BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terjadinya Gempa Pada dasarnya, bumi terdiri atas 3 lapisan utama yang terbagi mulai dari permukaan bumi tempat manusia hidup, hingga pusat bumi. Lapisan teratas disebut Litosfer, lalu lapisan Mantel, dan lapisan pusat bumi. Pusat bumi memiliki dua bagian, yaitu yang cair dan yang padat. Sebenarnya pusat bumi terbentuk atas logam, dan suhu yang sangat tinggi pada pusat bumi menyebabkan logam-logam tersebut mencair. Itulah yang menyebabkan adanya bagian cair pada pusat bumi. Bagian pusat bumi yang padat terjadi karena logam yang terkena suhu yang tinggi tersebut juga terkena tekanan yang sangat besar, sehingga logam tersebut tidak mencair. Gambar 2.1 Penampang Lapisan Bumi Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Asthenosphere Bagian Litosfer merupakan lapisan tempat adanya kehidupan. Lapisan ini tidak terbentuk sebagai satu kesatuan, namun terdapat lempeng-lempeng yang membentuknya, yang disebut lempeng tektonik. Dan lempeng-lempeng tersebut berada di atas lapisan yang disebut Astenosphere (bagian atas lapisan Mantel) yang berbentuk cair. Karena itu, setiap lempeng tersebut secara perlahan-lahan terus 5 6 bergerak. Ketika bergerak, lempeng tersebut satu saat akan bertemu, menjauhi, atau bergesekan dengan lempeng lainnya. Gambar 2.2 Lempeng di Bumi dan Pergerakannya Sumber: USGS Ketika dua buah lempeng saling bertemu, lalu keduanya mengalami gerakan, maka batas antara dua lempeng tersebut disebut patahan. Di antara kedua patahan tersebut, batuan akan saling mendorong, dan akan muncul friksi. Ketika friksi tersebut cukup besar, maka batuan tidak akan bergerak. Namun, pada saat yang sama, energi dari bawah lempeng tersebut akan terus mendorong lempeng-lempeng tersebut. Pada saat ini, dalam patahan akan terkumpul energi potensial. Ketika energi tersebut cukup besar hingga melebihi friksi kedua lempeng, maka akan terjadi pelepasan energi secara mendadak, dari energi potensial menjadi energi kinetik. Saat itu, kedua lempeng akan mengalami gerakan. Setelah energi potensial tersebut berubah menjadi energi kinetik, dan lempeng bergerak, bisa saja pada patahan lain terkumpul energi potensial lalu akhirnya menjadi energi kinetik juga. Karena itu, pada umumnya, ketika terjadi suatu gempa besar di satu patahan, akan terjadi juga gempa pada patahan di sekitar gempa tersebut dalam waktu yang singkat. Gelombang gempa mempunyai sifat merusak. Tingkat kerusakan dipengaruhi oleh seberapa besar gempa tersebut ketika sudah mencapai permukaan tanah. Gempa yang kecil tidak selalu merusak, bahkan bisa saja tidak terasa sama sekali oleh orang yang berada di atasnya. Namun sebaliknya, gempa yang besar selain dirasakan oleh manusia, bisa saja dapat menyebabkan kerusakan, hingga merenggut nyawa. Gambar 2.3 Proses Terjadinya Gempa Sumber: Press and Siever (1998) Selain mempunyai sifat merusak, gempa juga mempunyai sifat unik lainnya, yaitu tidak dapat diprediksi. Berapa besar gempa, dan kapan akan terjadinya tidak pernah diketahui oleh manusia. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan hingga saat ini belum mampu untuk melakukan prediksi terhadap gempa. 2.2 Jenis-jenis Sumber Gempa Sumber gempa memiliki peran yang penting dalam menentukan perambatan gelombang gempa tersebut. Berdasarkan USGS, ada beberapa jenis bentuk patahan yang menjadi sumber gempa: • Normal Fault Gambar 2.4 Normal Fault Sumber: science.howstuffworks.com 8 Patahan Normal Fault pada umumnya mempunyai kemiringan hampir vertikal. Batuan yang berada di bagian atas dari patahan (Hanging Wall) akan mendorong ke bawah, dan sebaliknya, batuan yang berada di bagian bawah patahan (Foot Wall) mendorong ke atas. Terjadinya patahan ini dapat diketahui dengan melihat dua lempengan yang saling menjauh. • Reverse Fault Gambar 2.5 Reverse Fault Sumber: science.howstuffworks.com Patahan Reverse Fault juga memiliki kemiringan hampir vertikal, namun pada patahan ini, batuan yang berada di atas patahan mendorong ke atas, dan sebaliknya, batuan yang berada di bawah patahan mendorong ke bawah. Pergerakan yang demikian menyebabkan kedua batuan tersebut saling menekan. Karena itu, patahan jenis ini dapat diidentifikasi, dengan cara melihat dua lempengan yang saling mendekat. • Thrust Fault Pada Thrust Fault, patahan yang terjadi sama dengan patahan Reverse Fault. Namun, perbedaannya adalah patahan ini akan membentuk sudut yang lebih horizontal. Pada umumnya, kemiringan patahan dapat mencapai lebih dari 45°. Apabila patahan ini mengalami pergeseran, maka batuan yang berada di atas bidang patahan bisa bergeser dan akhirnya berada benar-benar di atas dari lempengan yang berada di bawah bidang patahan. • Strike-Slip Fault Gambar 2.6 Strike-Slip Fault Sumber: science.howstuffworks.com Pada Strike-Slip Fault, batuan bergerak ke arah horizontal, dengan arah yang saling berlawanan. Karena itu, apabila patahan ini terjadi, kedua lempengan akan saling menyinggung/bergesekan. Patahan ini dapat diidentifikasi dengan melihat lempengan yang saling bergeser ke arah samping, atau Transform Zone. 2.3 Jenis-jenis Gelombang Gempa Gempa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan kejadian yang melibatkan perubahan energi dari potensial menjadi kinetik. Energi kinetik yang muncul adalah dalam bentuk gelombang, yang biasa disebut gelombang gempa. Gelombang yang muncul akibat terjadinya gempa terbagi atas dua jenis, yaitu Body Wave dan Surface Wave. 2.3.1 Body Wave Body Wave merupakan jenis gelombang yang dapat merambat menembus satu medium, misal dari pusat bumi menuju permukaan bumi. Body Wave ini terbagi atas dua jenis gelombang: • Compressional Wave Compressional Wave/P-Wave (Primary Wave) adalah gelombang yang getarannya sejajar arah rambatnya. Gelombang ini merupakan jenis gelombang yang kecepatan rambatnya paling tinggi. Pada umumnya, 10 gelombang P-Wave tidak menyebabkan kerusakan, kecuali pada gempa yang sangat kuat. • Shear Wave Shear Wave/S-Wave (Secondary Wave) merupakan gelombang yang getarannya tegak lurus arah rambat. Cepat rambat gelombang ini lebih rendah dibandingkan dengan P-Wave. Pada umumnya, gelombang SWave merupakan gelombang yang berbahaya untuk struktur di atasnya, dikarenakan sifatnya yang dapat membuat struktur bergetar (berosilasi). Gambar 2.7 Gelombang Body Wave: (a) P-Wave; (b) S-Wave 2.3.2 Surface Wave Surface Wave, sesuai dengan namanya, adalah gelombang yang merambat hanya di permukaan. Surface Wave mempunyai cepat rambat yang lebih rendah dibandingkan dengan Body Wave, karena itu biasanya akan terjadi beberapa saat setelah Body Wave tiba. Surface Wave juga terbagi atas dua jenis gelombang: • Rayleigh Wave Merupakan gelombang yang ditemukan oleh John William Strutt, 3rd Baron Rayleigh. Perambatan gelombang ini melibatkan partikel yang bergerak melingkar/elips. Gerakan ini mirip dengan yang terjadi ketika terjadi gelombang di permukaan air, walau tidak sepenuhnya sama. Kerusakan yang diakibatkan gelombang ini tidak terlalu besar. • Love Wave Nama gelombang ini diambil dari nama penemunya, yaitu August Edward Hough Love (A. E. H. Love). Gelombang jenis ini merambat di permukaan, dan mirip dengan S-Wave, arah getarnya tegak lurus arah rambatnya. Namun, yang membuat gelombang ini menjadi paling berbahaya adalah karena arah rambatnya bukan dari dalam ke luar, melainkan di permukaan, sehingga struktur yang terkena gelombang ini tidak hanya bergerak secara horizontal, namun juga mengalami puntir. Gambar 2.8 Skema Getaran Rayleigh Wave Gambar 2.9 Skema Getaran Love Wave 2.4 Pengukuran Gempa Segala cara dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai gempa. Salah satu usaha yang telah dilakukan sejak dulu adalah mengukur 12 besar gempa yang terjadi. Ada 3 karakteristik gempa yang penting yang didapat melalui pengukuran gempa: • Amplitudo Gempa • Frekuensi • Durasi Gempa Pengukuran besar gempa di satu daerah secara konstan dapat memberikan gambaran bagi manusia untuk memperkirakan seberapa besar gempa yang mungkin terjadi di daerah tersebut. Selain itu, dengan pengukuran gempa, maka dapat diketahui pula penyebab atau sumber-sumber gempa di suatu daerah. Segala bentuk interpretasi gempa tersebut dinamakan Seismic Hazard Analysis/Analisa Resiko Gempa. Dalam pengukuran besar gempa/intensitas gempa secara kualitatif, digunakanlah skala intensitas gempa. Ada beberapa jenis skala intensitas gempa: • Skala RF (Rossi-Forrel) pada tahun 1880an. • Skala Modified Mercalli. • Skala MSK (Medvedev-Spponheuer-Karnik) • Skala JMA (Japan Meteorological Agency)/Shindo. Untuk memperjelas bagaimana skala kualitatif digunakan, diambil contoh skala Mercalli: Tabel 2.1 Skala Mercalli Intensitas 1 – Instrumental 2 – Sangat Lemah 3 – Lemah 4 - Sedang 5 – Agak Kuat 6 – Kuat Deskripsi Tidak terasa bagi sebagian besar orang. Dapat dilihat dari bergeraknya air, pintu, dan terkadang ada sedikit pusing. Terasa hanya oleh yang sensitif, misal sedang berada di lantai atas suatu gedung. Terasa di dalam rumah, terlebih lagi yang berada di lantai atas gedung. Getaran mirip seperti truk yang lewat. Terasa oleh hampir semua yang berada di dalam rumah, dan sebagian kecil yang berada di luar. Peralatan dapur, kaca, dan pintu bergoyang, dan dinding mengeluarkan suara retak. Terasa oleh hampir semua yang di rumah, dan sebagian besar yang berada di luar. Perabotan dapur dan kaca mungkin pecah. Getaran seperti kereta yang lewat di dekat rumah. Terasa oleh semua orang, baik di luar rumah maupun di dalam. Banyak yang takut dan lari keluar rumah. Kaca, perabotan kaca pecah. Buku-buku berjatuhan. Sebagian besar bangunan tidak mengalami kerusakan (ada yang mengalami kerusakan). Sulit untuk berdiri, perabotan rumah hancur. Kerusakan ringan pada bangunan yang didesain dengan baik, dan kerusakan berat pada bangunan yang didesain buruk. Gempa terasa oleh yang membawa kendaraan bermotor. 7 – Sangat Kuat Tabel 2.1 Skala Mercalli (Lanjutan) 8 – Merusak 9 – Hebat/Berat Sekali 10 – Amat Sangat Kuat 11 – Ekstrim/ Menghancurkan 12 – Bencana/ Penghancur Total Bangunan yang didesain dengan baik mengalami kerusakan sedikit, dan kerusakan parah pada bangunan yang didesain dengan buruk. Dinding bata mengalami kerusakan parah. Arah aliran pada danau dan sumur dapat berubah sementara atau permanen. Kepanikan terjadi. Kerusakan kecil hingga sedang pada bangunan yang didesain dengan baik, kemiringan terjadi pada struktur rangka. Bangunan bisa tergeser dari pondasinya. Bangunan yang dibangun dengan baik hancur, rubuh, atau rusak parah. Sebagian besar bangunan hancur. Longsor besar terjadi. Dinding bata yang dibuat dengan sangat baik mengalami keretakan fatal. Hanya sedikit bangunan yang masih berdiri. Rel kereta tertekuk parah. Tanah mengalami gangguan besar. Terjadi longsor, retak dan deformasi pada tanah. Kerusakan total. Elevasi tanah berubah/terdistorsi. Barang-barang beterbangan. Tanah bergerak dengan arah seperti gelombang/riak. Semua struktur rusak parah/hancur. Pengukuran gempa dengan metode kualitatif tersebut cukup berguna, karena untuk mengetahui besar gempa, tidak diperlukan alat yang canggih, dan hanya berdasarkan pengamatan. Namun, untuk memahami gempa secara mendalam, diperlukan metode kualitatif untuk menggambarkan besar gempa yang terjadi. Besar gempa yang terjadi bukan diukur dengan intensitas, namun magnitude/tingkat gempa, yang didapat bukan dari pengamatan, namun pengukuran langsung. Salah satu pengukuran yang paling populer adalah skala Richter. Skala Richter mempunyai persamaan sebagai berikut: ...................................................................................... (1) Di mana: = Tingkat gempa lokal/Skala Richter. = Amplitudo yang terbaca pada seismograf Wood-Anderson yang terletak 100 km dari epicenter. 14 = Faktor kalibrasi yang tergantung oleh jarak. Skala Richter dikalibrasi pada ML = 3, jarak 100 km, dan dengan amplitudo maksimum 1 micron/0,001 mm (log 1/1000 = 3). Walau skala Richter cukup populer digunakan, namun ada batasan dari skala ini. Skala Richter hanya berlaku untuk gempa kecil dan dangkal di California, lokasi dikembangkannya skala ini. Lalu, juga hanya bisa digunakan pada lokasi yang berjarak maksimal 600 km dari epicenter. Karena itu, dikembangkanlah persamaan lain untuk menyatakan besaran gempa yang dapat diaplikasikan secara luas: .....................................................................(2) Di mana: = Besar Gempa. = Amplitudo yang terukur oleh seismograf. = Faktor Koreksi Stasiun Pengukur Gempa. = Faktor Koreksi Regional/Daerah. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa besar gempa didapat dari hasil bacaan dengan alat yang dinamakan seismograf. Skema kerja dari seismograf adalah seperti berikut: Gambar 2.10 Skema Kerja Seismograf Tipe Vertikal Sumber: www.visualdictionaryonline.com Gambar 2.11 Skema Kerja Seismograf Tipe Horizontal Sumber: www.visualdictionaryonline.com Suatu stasiun seismograf biasa paling tidak mempunyai tiga seismograf yang masing-masing mengukur gempa pada arah tertentu (X, Y, dan Z). Salah satu hasil dari pengukuran seismograf yang paling umum digunakan adalah Riwayat Waktu, yaitu grafik yang menggambarkan perbandingan antara percepatan/kecepatan/perpindahan terhadap waktu gempa. Setelah didapat data dari seismograf, maka perlu dilakukan koreksi, untuk mendapatkan hasil gempa yang lebih mendekati kenyataan. Adapun koreksi yang dilakukan berkaitan dengan: • Adanya kemungkinan background noise, yang bisa disebabkan oleh lalu lintas, aktivitas konstruksi, angin, ombak, dan sebagainya. • Respon dari seismograf itu sendiri (seismograf mempunyai frekuensi tersendiri). • Tingkat gempa pemicu seismograf. • Efek berubahnya percepatan gempa dikarenakan respon dari struktur tempat seismograf atau struktur di dekat seismograf. 16 Gambar 2.12 Riwayat Waktu pada Arah X (E-W) dan Y (N-S) Sumber : http://www.geerassociation.org Dari banyaknya hasil pencatatan gempa, yang paling banyak digunakan dalam dunia konstruksi adalah percepatan untuk arah horizontal, yang didapatkan dari hasil bacaan seismograf. Sedangkan percepatan vertikal jarang dimasukkan sebagai parameter penentu, dikarenakan sifat gravitasi yang menarik benda ke arah bawah. Arah horizontal mengandalkan kekakuan tanah itu sendiri dalam menahan gaya gempa, sedangkan arah vertikal dianggap tanah mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan gaya gempa (percepatan gravitasi, g = 9,8 m/s2 ke arah bawah, menahan gerakan gempa yang mengarah ke atas). Namun, terkadang gempa arah vertikal bisa saja memiliki nilai yang besar. Hal ini ditentukan oleh jarak epicenter gempa, dan besar gempa itu sendiri. Pada gempa sedang hingga besar, lokasi di dekatnya bisa mengalami amplitudo percepatan vertikal hingga sebesar 2/3 amplitudo percepatan horizontal, dan semakin jauh dari lokasi pusat gempa, semakin kecil (<2/3). Sebagai contoh, terjadi percepatan vertikal sebesar 1,74g pada gempa Imperial Valley (California). 2.5 Analisa Perambatan Gelombang (Wave Propagation Analysis) Analisa Perambatan Gelombang yang dilakukan dengan lengkap dan baik akan mampu memodelkan mekanisme keruntuhan/patahan yang terjadi pada sumber gempa, perambatan gaya gempa mulai dari sumber hingga ke lapisan batuan dasar (tanah keras), dan pada akhirnya memprediksi gerakan tanah permukaan dengan menganalisa pengaruh dari lapisan tanah yang berada di atas lapisan tanah keras. Namun pada kenyataannya, mekanisme dari sumber gempa ini terlalu rumit untuk dianalisa secara mendalam hingga menyebabkan analisa ideal tersebut tidak dapat dilakukan. Dari sumber gempa hingga ke batuan dasar, gaya gempa mungkin telah melalui puluhan hingga ratusan kilometer, dan dari batuan dasar hingga permukaan tanah, gempa mungkin hanya melalui beberapa ratus meter. Namun, beberapa ratus meter jarak tempuh gempa pada tahap kedua (dari batuan dasar ke permukaan) ternyata berpengaruh besar terhadap besar gelombang yang sampai di permukaan tanah. Karena itu, analisa secara mendalam akan perambatan gaya gempa dilakukan pada lapisan ini. Untuk melakukan Analisa Perambatan Gelombang, diperlukan dua data utama, yaitu: • Riwayat Waktu yang sesuai dengan daerah tersebut • Kondisi tanah, yang berupa parameter dinamis tanah. Parameter dinamis tanah didapat dengan cara melakukan uji Seismic Downhole test serta uji lab. Pada saat muncul gelombang gempa, ketika gempa tersebut merambat dan mencapai batas lapisan tanah yang berbeda, maka terjadi dua hal. Yang pertama, gelombang tersebut diteruskan, dan yang kedua, gelombang tersebut dipantulkan. Permukaan Diteruskan Lapisan tanah Dipantulka Diteruskan Lapisan tanah Dipantulka Gambar 2.13 Gelombang yang melewati lapisan tanah yang berbeda 18 Dalam penerapannya, Analisa Perambatan Gelombang dapat dilakukan secara limit equilibrium untuk asumsi bahwa semua lapisan tanah yang ada mempunyai ketebalan yang konsisten ke arah horizontal, dan tidak ada kemiringan tanah. Analisa tersebut dilakukan dengan membuat model tanah dalam satu dimensi (1D analysis). Apabila kondisi tanah yang akan dilakukan analisa mempunyai geometri yang lebih rumit (pada kenyataannya seringkali demikian), atau bahkan mengikutsertakan struktur baik di dalam tanah maupun di atas tanah, maka diperlukan analisa dengan metode FEM (Finite Element Method/Metode Elemen Hingga) baik untuk dua dimensi (2D analysis) maupun tiga dimensi (3D analysis). Dengan adanya kemajuan zaman, maka telah bermunculan aplikasi-aplikasi yang mampu menganalisa perambatan gelombang dalam tanah dengan prinsip dasar Limit Equilibrium dan Metode Elemen Hingga. Beberapa contoh aplikasi yang mampu menganalisa respon tanah terhadap gempa, serta yang akan digunakan dalam penelitian kali ini adalah Plaxis dan SHAKE2000. 2.6 Downhole Seismic Test Downhole Seismic Test merupakan salah satu metode pengujian untuk mempelajari sifat perambatan gelombang gempa saat melalui berbagai lapisan tanah pada satu lokasi tertentu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk memahami perilaku gempa saat mencapai permukaan tanah, diperlukan analisa pengaruh lapisan tanah yang berada di atas lapisan tanah keras. Agar analisa tersebut mungkin dilakukan dan mendapatkan hasil yang benar, maka tentulah diperlukan parameter-parameter tanah yang mampu menggambarkan sifat perambatan gelombang tersebut. Dengan melakukan Downhole Seismic Test, maka akan diperoleh parameter yang dibutuhkan tersebut. Ada dua jenis gelombang seismik yang berhubungan erat dengan elastisitas tanah, yaitu gelombang P-Wave (Compressional Wave) dan S-Wave (Shear Wave). Dikatakan berhubungan erat, karena gelombang tersebut mampu merambat melalui suatu medium tanah, tidak seperti gelombang permukaan (Surface Waves). Karena itu, pada analisa gerakan tanah, dibutuhkan kedua parameter ini. Dalam ilmu gempa, S-Wave merupakan gelombang yang biasa terekam pada Seismograf setelah gelombang P-Wave. Hal ini dikarenakan S-Wave merambat dengan kecepatan yang lebih rendah daripada P-Wave. Persamaan untuk kecepatan P-Wave dan S-Wave terhadap nilai elastisitas tanah adalah sebagai berikut: .................................................................................... (3) ............................................................................................. (4) Di mana: = Kecepatan rambat P-Wave (m/s) = Kecepatan rambat S-Wave (m/s) = Poisson Ratio = Modulus Young (kPa) = Massa jenis tanah (kN). Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, maka diperlukan Downhole Seismic Test, di mana pengujian ini mampu menghasilkan nilai kecepatan untuk PWave dan S-Wave. Dengan demikian, pada dasarnya, Downhole Seismic Test adalah uji di mana gelombang P-Wave dan S-Wave akan disimulasikan dan direkam, sehingga dapat diketahui karakteristik tanah yang dilewati oleh kedua gelombang tersebut. Salah satu standar yang digunakan sebagai acuan dalam pengujian Seismic Downhole Test adalah ASTM D7400-08, mengenai “Standard Test Methods for Downhole Seismic Testing”. Berikut adalah gambaran singkat mengenai persyaratan yang dicantumkan, yang terdiri dari sumber gempa, penerima gelombang/sensor, prosedur pengujian, dan perhitungan: 2.6.1 Sumber Gempa Pemilihan sumber gempa dilakukan berdasarkan kebutuhan dari survei. Sumber gempa harus mampu menghasilkan getaran yang cukup besar sehingga dapat terbaca pada sensor. Untuk P-Wave, getaran yang dihasilkan dari alat seperti 20 ledakan, palu, senapan angin, merupakan contoh sumber gempa yang cukup kuat untuk digunakan. Untuk gelombang S-Wave, sumber gempa harus menghantarkan gelombang ke tanah dengan arah tegak lurus terhadap sumbu survei. Baik beban impuls maupun beban harmonik dapat diterima, namun sumber tersebut sebaiknya dapat dibuat berulang. Lalu, ada yang dinamakan dengan Shear Beam, yaitu balok yang terbuat dari kayu atau logam, dan pada ujung-ujungnya, dapat dipasang pelat yang akan menerima pukulan. Agar pada saat dipukul balok tersebut tidak mudah bergeser, maka sebaiknya pada bawah balok tersebut terdapat pul (sejenis paku seperti pada sepatu pemain bola). Adapun dimensi balok yang digunakan juga mempunyai persyaratan, yaitu panjang balok kira-kira 2,4 m (8 kaki), dan lebar 150 mm (6 inci). Untuk posisi peletakan, titik tengah dari balok tersebut berjarak paling tidak 1-3 m dari lubang borehole yang terpasang sensor. Untuk simulasi beban gempa, maka jarak titik tengah balok terhadap lubang borehole dapat mencapai 4-6 m, untuk menghindari efek gelombang yang terlalu dekat dengan permukaan. Selain itu, Shear Beam juga perlu diberi beban statis secara vertikal, agar ada kontak antara balok dengan tanah. Untuk tanah yang tidak rata, maka tanah perlu diratakan dengan cara dipangkas. Penggunaan material pengisi tidak diperbolehkan, karena tidak akan menghasilkan kontak yang baik antara balok dengan tanah. Pembangkit gelombang gempa yang berupa palu merupakan yang paling umum digunakan. Untuk menggunakan palu, maka berat palu tersebut bervariasi mulai dari 1 kg hingga 15 kg. Lalu, balok dipukul pada salah satu ujungnya. ! " ! " % " " $% % % " Gambar 2.14 Denah Pemasangan Alat Uji Seismik Panjang balok 2,4 m merupakan panjang yang umum digunakan. Namun, diperbolehkan menggunakan panjang balok yang lebih pendek, apabila pengujian yang dilakukan juga tidak terlalu dalam (misal, kedalaman kurang dari 20 m). Panjang balok yang lebih pendek akan mampu memberikan simulasi beban titik yang lebih baik, namun beresiko gelombang gempa yang dihasilkan tidak cukup besar. Gambar 2.15 Pembangkitan Gelombang Shear Wave 22 2.6.2 Penerima Gelombang/Sensor Uji Downhole Seismic Test menggunakan sensor yang berfungsi untuk menangkap gelombang yang melalui lubang borehole. Ada dua jenis sensor, yaitu sensor yang terpasang pada alat seperti cone penetrometer, dan sensor yang dipasang pada lubang borehole secara langsung. Pemilihan sensor didasarkan pada persyaratan bahwa sensor harus mempunyai frekuensi dan sensitivitas yang cukup agar dapat menangkap gelombang yang datang. Contoh sensor yang dipasang pada lubang borehole secara terpisah adalah Geophone, yang menangkap kecepatan partikel, dan accelerometer yang menangkap percepatan partikel. Sensor yang dipasang harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga melekat dengan dinding lubang. Untuk itu, dapat digunakan beberapa cara, seperti dengan menggunakan grouting. Dengan menghubungkan sensor ke komputer, serta dari alat pemukul ke komputer, akan diketahui kapan gelombang tersebut mencapai lokasi terpasangnya sensor, dimulai dari setelah pemukulan terjadi. Dan dengan mengetahui posisi masing-masing sensor, akan didapat besar jarak dari sumber gelombang ke sensor. Untuk mendapatkan kecepatan gelombang, maka jarak tersebut dibagi dengan waktu tempuh. Gambar 2.16 Gelombang yang Terekam pada Sensor Sumber: ASTM D7400-08 x S z1 R1 z2 z3 R2 R3 Gambar 2.17 Pengujian untuk P-Wave x S z1 z2 R1 z3 R2 R3 Gambar 2.18 Pengujian untuk S-Wave 24 2.6.3 Prosedur Pengujian Ada 3 bagian utama dalam prosedur pengujian Seismic Downhole, yaitu persiapan lubang borehole, pemasangan sensor dan peralatan, dan pelaksanaan uji Seismic Downhole. a. Persiapan Lubang Borehole Penggalian lubang dilakukan sedemikian rupa sehingga gangguan terhadap tanah sekitar sekecil mungkin. Diameter lubang tidak boleh lebih dari 175 mm (7 inci). Setelah penggalian selesai, maka lubang perlu diberi casing dengan menggunakan pipa PVC atau alumunium, dengan diameter 50 hingga 100 mm (2 hingga 4 inci), tergantung kepada besar lubang borehole. Lalu, agar pipa melekat kuat dengan tanah, maka di antara pipa dan tanah, dilakukan grouting. Campuran grouting tersebut harus dibuat sedemikian rupa sehingga saat mengeras, massa jenisnya tidak berbeda jauh/mendekati massa jenis tanah yang berada di sekitarnya. Misal, bila borehole melalui lapisan batu, maka berat jenis grouting (BJ beton) pada umumnya, sekitar 2200 kg/m3, dapat diterima. Dan bila melalui lapisan tanah, berat jenis grouting harus mencapai sekitar 1800-1900 kg/m3. Untuk mencapai angka ini, dapat digunakan campuran bentonite 450 g dan semen 450g, lalu digunakan air sebanyak 2,8 kg. Apabila ada keterbatasan dalam biaya, serta ada pertimbangan lebih lanjut, maka penggunaan casing dapat dihindari, dan grouting tidak perlu digunakan. b. Pemasangan Sensor dan Peralatan Sensor yang digunakan dipasang pada kedalaman tertentu, dan kedalaman tersebut dicatat. Selain itu, arah sumbu sensor juga perlu diperhatikan, agar sensor tersebut dapat secara efektif menerima getaran yang muncul dari shear beam (arah sensor disesuaikan dengan arah sumbu pemukulan shear beam). Pada shear beam, dipasang alat berupa sensor getaran. Sensor ini berfungsi untuk menentukan waktu mulai terjadinya getaran. Ketika alat ini menerima getaran, maka alat yang mencatat getaran akan memulai perhitungan waktu. c. Pelaksanaan Uji Seismic Downhole Pengujian dimulai dengan mempersiapkan sumber gelombang. Lalu, sebelum diberikan getaran, alat perekam perlu diperiksa, untuk mengantisipasi adanya getaran-getaran lain, sehingga dapat dilakukan filtering, apabila diperlukan. Setelah itu, maka pengujian siap dilakukan. Bila diperlukan nilai P-Wave dan S-Wave, maka sebaiknya pengujian kedua gelombang tersebut dipisah. Gambar 2.17 dan 2.18 merupakan contoh metode untuk menciptakan kedua jenis gelombang tersebut. Dengan cara pemukulan yang berbeda, maka pada alat perekam akan terlihat dengan cukup jelas kapan gelombang jenis S-Wave atau P-Wave telah mencapai sensor. Kemudian, setelah gelombang terekam pada alat penerima/perekam, maka sensor tersebut diubah kedalamannya. Pergeseran kedalaman ini disesuaikan dengan stratifikasi tanah, namun pada umumnya tidak lebih dari 1,5 m dan tidak kurang dari 0,5 m. Setelah itu, kembali dilakukan prosedur di atas. Apabila kedalaman pengujian sudah cukup dalam (>30 m), dan tanah merupakan batuan keras, maka interval kedalaman sensor dapat mencapai 3 m. 2.6.4 Perhitungan Kecepatan rata-rata gelombang gempa dihitung dengan cara mengasumsikan gelombang merambat dalam satu garis lurus. Terdapat berbagai cara perhitungan lainnya yang mampu memperhitungkan efek refraksi gelombang (hukum Snell). Bila efek refraksi gelombang tersebut diabaikan, maka kecepatan rambat rata-rata gelombang dapat dihitung dengan persamaan berikut: ................................................................. (5) Di mana: = Kecepatan rambat rata-rata gelombang (m/s) = Jarak hipotenusa dari alat perekam ke sensor yang lebih dalam (m) = Jarak hipotenusa dari alat perekam ke sensor di atas (m) = Selisih waktu tempuh gelombang antara kedua sensor (s atau ms) 26 Berdasarkan gambar 2.12 dan 2.13, maka nilai untuk dan dapat diperoleh dengan persamaan berikut: Misal, untuk R1 dan R2: .............................................................................................(6) .............................................................................................(7) Cara lainnya untuk menghitung kecepatan rambat gelombang adalah dengan memplot kedalaman sensor terhadap waktu tempuh gelombang dari sumber ke sensor. Gambar 2.19 Plot Waktu terhadap Kedalaman Sumber: PT. Tarumanegara Bumiyasa Hasil plot akan menghasilkan garis, dan kemiringan garis tersebut merupakan kecepatan rambat gelombang dalam tanah. Dengan membagi tanah ke dalam lapisanlapisan, maka akan didapat kecepatan rambat untuk setiap lapisan tanah. 2.7 Riwayat Waktu Sintetik Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam melakukan analisa respon tanah, diperlukan data Riwayat Waktu yang sesuai serta data hasil uji Seismic Downhole. Pada kenyataannya, seringkali yang menjadi permasalahan adalah pada satu lokasi tertentu, tidak terdapat hasil pengukuran Riwayat Waktu. Indonesia merupakan salah satu negara yang belum memiliki hasil pencatatan yang cukup. Data pencatatan gempa yang terdapat di Indonesia sebagian besar berbentuk informasi mengenai lokasi pusat gempa, magnitude, kedalaman dan mekanisme patahan. Oleh karena itu, diperlukan apa yang dinamakan dengan Riwayat Waktu Sintetik, yaitu Riwayat Waktu yang dibentuk dengan pertimbangan kondisi daerah setempat dan parameter gempa dari sumber gempa setempat. Proses membuat Riwayat Waktu Sintetik merupakan proses yang melibatkan banyak aspek, seperti statistik, pemetaan, dsb. Pada penelitian kali ini, Riwayat Waktu sintetik yang digunakan diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan juga telah dipublikasikan. Pada prinsipnya, langkah-langkah tersebut adalah seperti berikut: a. Pengumpulan data-data gempa yang signifikan pada daerah sekitar lokasi yang ingin ditinjau. Signifikansi suatu gempa dapat ditentukan dengan membatasi data gempa yang digunakan, misal yang boleh digunakan hanya gempa pada radius, R < 500 km dari lokasi yang ditinjau, dengan magnitude, M > 5.0, serta kedalaman maksimal 200 km dari permukaan tanah. Sebelum data tersebut siap untuk digunakan, data gempa tersebut harus diproses kembali dengan prinsip-prinsip statistik, sehingga mencegah agar hasil yang didapat tidak menjadi bias. Adapun dua proses tersebut adalah: • Pemisahan data gempa, yaitu memisahkan gempa yang merupakan gempa utama (Foreshock) dengan gempa susulan (Aftershock). Ada beberapa metode yang telah dipublikasikan yang dapat digunakan untuk memisahkan jenis kejadian gempa, seperti Window Method (Gardner and Knopoff, 1974), lalu Cluster Method (Frolich & Davis, 1985), dan sebagainya. • Analisis kelengkapan data gempa. Analisis ini akan memberikan gambaran keseragaman data gempa. Dalam mengestimasi resiko gempa, diperlukan suatu kurun waktu di mana kejadian gempa 28 independen dalam suatu rentang magnitude tertentu dalam kurun waktu tersebut dapat dikatakan lengkap. Hal ini penting, dikarenakan pada umumnya, data gempa besar lebih banyak tercatat dibandingkan dengan data gempa kecil, dikarenakan pada masa lalu alat pencatat gempa tidak terlalu banyak, sehingga banyak gempa kecil yang tidak tercatat. Apabila tidak dilakukan analisa kelengkapan gempa, maka resiko gempa besar bisa menjadi overestimated dan resiko gempa kecil menjadi underestimated. b. Identifikasi parameter sumber gempa. Analisa resiko gempa memerlukan parameter gempa daerah setempat, yang ditentukan dengan berdasar pada data kejadian gempa dan kondisi tektonik setempat. Berdasarkan pada data kejadian gempa, maka akan didapat parameter a-b (konstanta persamaan garis hasil regresi data gempa), lalu berdasarkan kondisi tektonik, akan diperoleh Magnitude maksimum dan slip rate, serta fungsi atenuasi yang sesuai untuk daerah tersebut. Gambar 2.20 Penampang Lempeng Sumatra beserta Sumber-sumber Gempa Sumber: gempapadang.wordpress.com c. Analisa Resiko Gempa (Seismic Hazard Analysis). Analisa Resiko Gempa terbagi menjadi dua jenis, yaitu Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) dan Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA). DSHA: “Resiko Gempa pada lokasi tertentu adalah percepatan gempa maksimum sebesar G yang disebabkan oleh gempa dengan magnitude M dari sumber patahan X, pada jarak S dari lokasi.” PSHA: “Resiko gempa pada lokasi tertentu adalah percepatan gempa maksimum sebesar G dengan kemungkinan terjadi atau terlampaui sebesar P% dalam periode ulang sebesar T tahun.” Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada poin 2.8. d. Deaggregasi, yaitu mencari nilai Magnitude dan Jarak gempa yang mampu mewakili sumber gempa. Masing-masing sumber gempa akan memiliki satu perwakilan skenario gempa. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada poin 2.9. e. Pembuatan Riwayat Waktu Sintetik. Ada tiga metode alternatif: • Menggunakan catatan riwayat waktu dari daerah lain, yang kondisi geologi dan seismologinya telah dipastikan mendekati dengan lokasi yang ditinjau. • Menggunakan catatan riwayat waktu lokasi lain, lalu diskalakan terhadap target parameter gempa batuan dasar (Target Spectrum). Metode ini dinamakan Spectral Matching Analysis (SMA), yang akan dijelaskan lebih lanjut pada poin 2.10. • Membuat riwayat waktu gempa sintetik yang disesuaikan terhadap kondisi geologi dan seismologi daerah yang ditinjau. 2.8 PSHA vs DSHA Pada penerapannya, yang banyak dilakukan adalah analisa secara probabilitas (PSHA). Hal ini dikarenakan ketidakpastian akan lokasi, besar gempa, dan intensitas gempa hasil dari sumber gempa yang akan terjadi di masa mendatang. Beberapa permasalahan yang muncul pada DSHA dibandingkan dengan PSHA adalah sebagai berikut: a. Keberagaman Lokasi Kejadian Gempa Ketika akan mendesain, seorang ahli akan berusaha untuk mengacu pada gempa yang dapat memberikan dampak terbesar. Namun, pada prakteknya, hal tersebut memiliki beberapa kesulitan. Misal, ada dua jenis gempa yang berbeda, yang terletak pada jarak yang berbeda pula. 30 Gambar 2.21 Dua Sumber Gempa dengan Magnitude Berbeda (Kanan) Percepatan Spektral Kedua Gempa (Kiri) Sumber: Baker, 2008 Dari gambar di atas, terlihat bahwa kedua gempa tersebut memberikan nilai yang lebih besar pada periode tertentu (gempa Fault A memberikan nilai maksimum pada periode pendek, dan Fault B memberikan nilai maksimum pada periode panjang). Sehingga, sulit untuk menentukan satu kejadian tertentu yang dapat memberikan nilai maksimum untuk semua kemungkinan gempa. Kesulitan lainnya yang berkaitan dengan jarak adalah ketika suatu gempa tidak diketahui sumbernya, sehingga lebih diketahui sebagai suatu area/wilayah, di mana gempa dapat terjadi di mana saja di dalam wilayah tersebut. Gambar 2.22 Sumber Gempa berupa Wilayah Sumber: Baker, 2008 b. Keberagaman Intensitas Gempa dari suatu Kejadian Gempa Dalam mencari intensitas gempa satu daerah akibat dari satu sumber gempa, ada ketidakpastian yang membuat penentuan intensitas gempa tersebut menjadi sulit. Perhitungan-perhitungan yang digunakan untuk memprediksi besar intensitas gempa pada dasarnya merupakan perhitungan yang sifatnya empiris, di mana hasil yang didapat merupakan penyimpulan dari data-data yang telah ada sebelumnya. Dan model-model yang telah dibuat berdasarkan data yang tercatat sebelumnya Keberagaman memiliki tersebut tingkat keberagaman menciptakan yang ketidakpastian cukup pada tinggi. hasil perhitungan, yang pada umumnya disebut simpangan baku/standar deviasi. Ketika diambil suatu garis rata-rata, maka pada umumnya data yang menyebar di sekitar garis rata-rata tersebut memiliki pola yang dapat didekati dengan sebaran normal dengan cukup baik. Gambar 2.23 Percepatan Spektral untuk Gempa Chi Chi tahun 1999 Sumber: Baker, 2008 32 Pada akhirnya, DSHA, walau memiliki beberapa kesulitan dalam pelaksanaannya, tetap dapat dilakukan. Namun, gempa yang diambil dalam DSHA tidak dapat dikatakan sebagai ‘gempa terbesar’, melainkan hanya sebagai ‘cukup besar’, karena gempa yang lebih besar bisa saja terjadi. Gempa yang dipilih untuk digunakan dalam analisa DSHA disebut juga sebagai Maximum Credible Earthquake (MCE), yang pada akhirnya diubah menjadi Maximum Considered Earthquake, mengingat bahwa masih terdapat kemungkinan akan ada gempa yang lebih besar yang dapat terjadi. 2.8.1 Probabilistic Seismic Hazard Analysis/PSHA Pada PSHA, ketidakpastian yang terdapat dalam analisa gerakan tanah tersebut diikutsertakan ke dalam perhitungan, sehingga menghasilkan intensitas gempa potensial. Dengan PSHA, maka tidaklah perlu mencari gempa terbesar, sebaliknya, setiap gempa yang tercatat dan gerakan tanah yang tercatat diperhitungkan dalam ‘kemungkinan terjadi’, untuk menentukan tingkat gempa yang akan melampaui suatu batas yang ditentukan. Pada dasarnya, PSHA terbagi dalam 5 langkah utama: a. Mengidentifikasi semua gempa yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Berbeda dengan konsep deterministik, konsep probabilistik memperhitungkan semua kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Kejadian-kejadian yang diperhitungkan ini dapat berupa patahan, yang berupa permukaan datar yang teridentifikasi melalui berbagai macam pengamatan, seperti titik-titik gempa yang teridentifikasi di masa lalu, dan kenampakan geologi (ada patahan, atau ada perbedaan pergerakan lempeng pada lokasi patahan). b. Mengidentifikasi persebaran besar gempa (probabilitas terjadi gempa berdasarkan Magnitude/Besar Gempa). Suatu patahan dapat menghasilkan besar gempa yang bervariasi. Gutenberg dan Richter (1944) melakukan penelitian mengenai hal ini, dan menyimpulkan bahwa pada umumnya, persebaran besar gempa pada suatu daerah/patahan memiliki pola yang dapat dilihat melalui persamaan berikut: ....................................................................................(8) Di mana: = Kemungkinan terjadinya gempa lebih besar dari dan . = Konstanta yang diperoleh dari analisa statistik Persamaan di atas tidak memberikan batasan yang menyatakan besar gempa maksimum dari suatu sumber gempa. Pada kenyataannya, suatu sumber gempa memiliki batasan besar gempa yang terjadi yang dapat menyebabkan kerusakan. Karena itu, bila suatu batasan besar gempa diketahui, maka perhitungan dapat menjadi lebih realistis. Gambar 2.24 Persebaran Magnitude Gempa yang Teramati Sumber: Baker, 2008 c. Mengidentifikasi persebaran gempa berdasarkan jarak gempa ke situs (probabilitas terjadinya gempa berdasarkan jarak suatu titik gempa ke situs). Untuk memprediksi gempa suatu situs, maka jarak dari suatu gempa ke situs tersebut menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Ketika memperhitungkan suatu sumber gempa, pada umumnya akan diambil asumsi bahwa gempa akan terjadi dengan kemungkinan yang sama rata untuk semua lokasi di dalam suatu patahan tersebut. Dalam menganalisa jarak, istilah yang digunakan dapat beragam, misal, epicenter (jarak situs ke sumber gempa yang telah diproyeksikan tegak lurus ke permukaan) dan hipocenter (jarak situs ke titik terjadinya sumber gempa tersebut). Perbedaan lainnya adalah bentuk dari sumber gempa, apakah berupa 34 daerah, garis, atau titik. Setiap jenis sumber gempa memiliki persebaran yang berbeda. Gambar 2.25 Skema Sumber Gempa berupa Daerah dan Persebarannya Sumber: Baker, 2008 Gambar 2.26 Skema Sumber Gempa berupa Garis Sumber: Baker, 2008 Gambar 2.27 Persebaran Sumber Gempa berupa Garis Sumber: Baker, 2008 d. Memprediksi persebaran intensitas gempa sebagai fungsi dari Magnitude gempa dan jarak gempa (probabilitas suatu intensitas gempa terlampaui akibat sumber gempa pada jarak dan Magnitude gempa tertentu). Distribusi dalam magnitude gempa potensial dan jarak telah diperoleh, namun pada dasarnya yang menjadi tujuan utama adalah mempelajari gerak tanah, bukan mempelajari gempa. Karena itu, selanjutnya adalah memodelkan prediksi intensitas gempa. Pemodelan ini melibatkan banyak variabel, seperti magnitude gempa, jarak, mekanisme patahan, kondisi geologi lokal, dan lainnya. Pada akhirnya, segala variabel tersebut disatukan menjadi suatu model statistik yang didapat dengan regresi. Persamaan tersebut dinamakan persamaan atenuasi gempa. Untuk mendapatkan nilai probabilitas intensitas gempa, pertama adalah menentukan besar intensitas gempa target. Setelah itu, dengan model statistik, akan diperoleh besar kemungkinan intensitas gempa tersebut terlampaui. Perhitungan probabilitas intensitas gempa sebagai fungsi dari Magnitude dan Jarak dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.28 Model Statistik Intensitas Gempa dan Probabilitas Terlampauinya Intensitas Target Sumber: Baker, 2008 36 e. Menggabungkan setiap probabilitas/ketidakpastian, dengan suatu metode yang dinamakan Total Probability Theorem. 2.9 Deagregasi PSHA mampu mewakili sekelompok kejadian gempa dalam suatu model matematis yang menggambarkan resiko gempa satu lokasi. Namun, hal ini juga dapat menjadi masalah. Apabila ingin mengetahui satu skenario gempa yang paling berpotensi menyebabkan intensitas gempa lebih tinggi dari intensitas target, akan diperlukan perhitungan lebih lanjut, karena semua gempa telah teragregasi ke dalam satu model. Perhitungan tersebut dinamakan dengan Deagregasi. Pada dasarnya, Deagregasi adalah suatu metode untuk mencari kontribusi dari setiap skenario gempa, sehingga pada akhirnya akan diketahui sebuah nilai Magnitude dan Jarak untuk satu jenis sumber gempa yang akan mewakili semua gempa yang terjadi dalam satu sumber tersebut. Gambar 2.29 Grafik Kontribusi Gempa Terhadap Magnitude dan Jarak Sumber: SHAKE2000 Quick Tutorial, 2012 2.10 Spectral Matching Analysis (SMA) Hasil dari Deagregasi, yang memberikan angka Magnitude dan Jarak yang mampu mewakili sumber gempa pada akhirnya dapat digunakan untuk mencari data riwayat waktu yang telah tercatat secara internasional yang cocok dengan Magnitude dan Jarak tersebut. Pencarian tersebut dapat dilakukan secara manual melalui katalog gempa internasional (USGS, ISC, dll), atau dengan memanfaatkan mesin pencari yang tersedia pada situs-situs yang menyediakan katalog gempa tersebut. Setelah itu, dengan data riwayat waktu yang diperoleh, maka dapat dilakukan Spectral Matching Analysis, yaitu data riwayat waktu yang ada selanjutnya diskalakan sehingga memenuhi kriteria Seismic Hazard. Selanjutnya, bagian ini tidak akan dibahas lebih lanjut. Data riwayat waktu yang digunakan dalam laporan ini diperoleh dari penelitian sebelumnya. 2.11 Respon Dinamis Tanah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dari batuan dasar ke permukaan, walau gelombang gempa hanya bergerak melalui beberapa ratus meter, namun beberapa ratus meter tanah yang memiliki stratifikasi yang beragam tersebut akan memberikan respon yang unik yang perlu dipertimbangkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian yang dilakukan oleh Idris, 1991 dan Seed, 1976 (Gambar 2.30 dan 2.31). Gambar 2.30 Perbandingan Antara Percepatan pada Batuan dasar dan Percepatan Tanah di atasnya Sumber: Kramer, 1996 38 Gambar 2.31 Bentuk Respon Spektra untuk Beberapa Jenis Tanah Sumber: Kramer, 1996 Terlihat pada kedua gambar di atas, bahwa jenis tanah yang terdapat di atas batuan dasar mempunyai pengaruh yang cukup signifikan. Selain itu, lokasi batuan dasar yang terkadang sangat dalam bisa menyebabkan terjadinya variasi amplifikasi yang cukup signifikan, tergantung dari stratifikasi tanah di atasnya. Hasil dari respon tanah terhadap gelombang gempa yang merambat akan berupa getaran pula, yang merupakan data riwayat waktu. Seringkali data riwayat waktu ini akan diolah lebih lanjut agar lebih aplikatif, terutama untuk diterapkan dalam struktur, di mana ketika tanah, di permukaan tempat struktur tersebut berdiri, mengalami getaran akibat gempa, struktur tersebut juga akan mengalami getaran gempa dan menghasilkan riwayat waktu tersendiri. Salah satu metode pengolahan data riwayat waktu yang sangat banyak diaplikasikan pada dunia struktur adalah Respon Spektra. 2.12 Respon Spektra Konsep Respon Spektra pertama kali diperkenalkan pada building code Amerika Serikat, pada akhir tahun 1950an, yang berfungsi untuk menentukan besar gaya lateral pada gedung akibat gempa. Respon Spektra adalah penggambaran respon puncak atau respon steady-state (perpindahan, kecepatan, ataupun percepatan) dari serangkaian oscillator dengan frekuensi natural yang berbeda-beda, yang bergerak akibat satu nilai getaran atau gaya impuls yang sama. Hasil dari Respon Spektra ini kemudian dapat digunakan untuk menentukan respon dari suatu sistem, apabila diketahui frekuensi atau periode dari sistem tersebut. Gambar 2.32 Respon Spektra Canoga Park (redaman 5%) Sumber: nees.org Respon Spektra memberikan alternatif yang sangat praktis untuk menentukan kebutuhan kapasitas gedung akibat suatu getaran gempa, untuk bertahan terhadap getaran gempa tersebut. Data gempa yang diperoleh dari hasil pencatatan pada umumnya berbentuk data riwayat waktu. Lalu amplitudo dari getaran dapat dinyatakan dalam percepatan, kecepatan, atau perpindahan. Data pertama yang dilaporkan dari sebuah pencatatan gempa pada umumnya adalah Percepatan Tanah Maksimum (Peak Ground Acceleration/PGA), yang merupakan titik tertinggi (baik positif maupun negatif) pada grafik data riwayat waktu. 40 Gambar 2.33 Hasil Rekaman Riwayat Waktu Sumber: Chi Chi Earthquake, USGS Walaupun nilai PGA tersebut cukup berguna untuk menggambarkan intensitas relatif dari gempa (besar, sedang, atau kecil), namun nilai PGA tersebut sama sekali tidak memberikan informasi mengenai kandungan frekuensi atau periode yang mempengaruhi amplifikasi getaran pada bangunan akibat getaran siklis gempa. Misal, suatu gedung yang tinggi akan memberikan respon yang berbeda dengan gedung yang rendah, ketika diberikan getaran yang sama. Karakteristik inilah yang digambarkan dalam respon spektra. Untuk membentuk respon spectra, maka diperlukan respon dari suatu sistem SDOF dengan periode tertentu terhadap pergerakan tanah di permukaan, lalu dari respon sistem SDOF tersebut, diambil nilai maksimumnya. Untuk analisa Respon Spektra, digunakan sistem SDOF yang diidealisasikan, yaitu seperti permen lolipop. M K Gambar 2.34 Sistem SDOF Teridealisasi ......................................................................................................(9) Di mana: T = periode sistem (s) M = Massa sistem (kg) K = Kekakuan sistem (N/m2) Secara garis besar, pengerjaan respon spektra adalah seperti berikut: Data Input: Gambar 2.35 Data Riwayat Waktu USGS Data input merupakan getaranSumber: yang terjadi pada permukaan tanah. Nilai yang digunakan adalah nilai percepatan tanah. Kemudian, untuk mencari respon dari struktur, maka dilakukan perhitungan respon tanah-struktur (soil-structure interaction) untuk struktur SDOF dengan periode tertentu. Ada beberapa metode yang telah diakui, seperti metode Newmark, dan lainnya. Bagian selanjutnya akan memuat perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan respon dari suatu sistem SDOF (Response of SDOF to Arbitrary Excitation). Kemudian, nilai respon tersebut kembali di catat dalam grafik. Data Output: Gambar 2.36 Grafik Respon SDOF dengan Periode Tertentu dan Redaman 5% terhadap Getaran 42 Dari grafik respon sistem SDOF tersebut, diambil nilai maksimumnya. Tabel 2.2 Respon Maksimum SDOF Periode (detik) 0,5 Respon Maksimum (in.) 2,23 1,0 4,40 2 5,34 Setelah itu, berdasarkan nilai yang diperoleh tersebut, dengan Respon Maksimum pada sumbu Y dan Periode pada sumbu X, didapat grafik respon spektra untuk data riwayat waktu. Gambar 2.37 Grafik Respon Spektra Pada penelitian kali ini, perhitungan respon struktur yang digunakan adalah yang dikemukakan oleh Nigam and Jennings. 2.12.1 Perhitungan Respon Sistem SDOF Pencatatan data riwayat waktu terbagi dua, yaitu pencatatan dengan interval waktu yang sama, dan pencatatan dengan interval waktu yang berbeda. Kali ini akan dijelaskan perhitungan untuk pencatatan waktu dengan interval waktu yang sama. Perhitungan respon sistem SDOF yang akan disajikan berikut ini adalah perhitungan yang menghasilkan hasil pasti/analitis, sehingga tidak membutuhkan iterasi. Dengan kata lain, hasil yang didapat tidak menghasilkan error (Nigam and Jennings, 1968). Namun, metode yang memperoleh hasil pasti ini hanya berlaku untuk pencatatan dengan interval waktu yang sama. Bila interval waktu pencatatan berubah-ubah, maka akan dibutuhkan metode numerik, sehingga akan ada error. Persamaan gerak dari sistem SDOF adalah: ........................................................................... (10) Di mana: = Massa Sistem = Koefisien Redaman = Kekakuan Sistem = Percepatan Sistem = Kecepatan Sistem = Perpindahan Sistem Dengan membagi persamaan dengan dan mengambil nilai dan , maka persamaan tersebut menjadi: .......................................................................... (11) Di mana: = Rasio Redaman = Frekuensi Alami Sistem Dengan mengambil asumsi nilai berubah secara linear (gambar 42), maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi: .......................... (12) Lalu, 44 Gambar 2.38 Ilustrasi Perubahan Percepatan Secara Linear Solusi dari persamaan (3), untuk adalah: ...............................................................................................................(13) Di mana C1 dan C2 adalah konstanta. Dengan dan pada dan menyelesaikan C1 dan C2, didapat: ..............................................(14) ...................................................................................(15) Dengan mensubtitusikan nilai C1 dan C2 ke dalam persamaan (13), maka didapat solusi sebagai berikut: Di mana: Dan persamaan untuk elemen dalam matriks adalah sebagai berikut: Dan untuk memperoleh nilai percepatan, , pada waktu : 46 Respon spektra, sebagai fungsi dari respon maksimum sekumpulan sistem SDOF yang memiliki periode dan redaman yang berbeda-beda, dapat diperoleh dengan cara berikut: Perhitungan respon SDOF serta respon spektra pada penelitian kali ini akan menggunakan program yang dibuat dengan Fortran (Lampiran 3). Hasil perhitungan respon spektra pada umumnya akan menghasilkan grafik respon spektra yang tidak halus (bergerigi dan nilainya naik turun). Naik dan turunnya nilai respon spektra tersebut menggambarkan sensitivitas struktur terhadap getaran gempa, yang hanya karena sedikit perbedaan pada frekuensi alaminya saja, respon struktur dapat berubah. Selain itu, apabila terjadi gempa yang berasal dari sumber gempa lainnya, atau gempa yang sama namun pada arah yang berbeda, maka bentuk respon spektra tersebut akan berubah secara signifikan. Sensitivitas respon struktur terhadap getaran gempa tersebut pada akhirnya diatasi dengan mengembangkan respon spektra standar yang mampu diandalkan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut. Respon spektra yang telah beradaptasi terhadap perbedaan-perbedaan tersebut dinamakan dengan Desain Spektra (poin 2.16). 2.13 Kedalaman Batuan Dasar Jakarta Jakarta merupakan daerah yang telah melakukan uji seismik, yaitu uji untuk mendapatkan parameter-parameter seismik tanah. Salah satu parameter gempa yang dibutuhkan adalah kedalaman batuan dasar. Berdasarkan hasil studi yang pernah dilakukan, dalam jurnal yang berjudul “Pengembangan Peta Klasifikasi Tanah dan Kedalaman Batuan Dasar untuk Menunjang Pembuatan Peta Mikrozonasi Jakarta dengan Menggunakan Mikrotremor Array”, terdapat peta kontur yang menunjukkan kedalaman batuan dasar Jakarta. Gambar 2.39 Peta Kontur Kedalaman Batuan Dasar Sumber: Masyhur Irsyam, dkk (2013) 2.14 Analisa Dinamis dengan Plaxis Pada tahun 1917an, penelitian mengenai pengunaan metode Elemen Hingga (Finite Element Method/FEM) dan Model Konstitutif dilakukan di Technical University of Delft. Penelitian ini menghasilkan suatu kode/aplikasi yang mampu melakukan perhitungan elastis-plastis pada tanah secara memanjang (Plane Strain). Kemudian, kode tersebut dikembangkan hingga mampu melakukan perhitungan untuk permasalahan model tanah melingkar (Axi-Symmetry). Pada saat itulah muncul nama Plaxis, yang merupakan singkatan dari Plasticity Axi-Symmetry. Plaxis merupakan salah satu aplikasi komputer untuk permasalahan geoteknik yang menggunakan Metode Elemen Hingga/FEM. Dengan menggunakan FEM, Plaxis mampu menganalisa dinamika tanah secara dua dimensi (2D Analysis). Dalam analisa dinamis, Plaxis mampu melakukan analisa dengan menggunakan metode pseudo-statik maupun dengan data Riwayat Waktu. 48 Persamaan dasar yang digunakan Plaxis untuk pergerakan suatu volume tanah terhadap waktu adalah: .............................................................................(16) Di mana: = Matriks massa; = Vektor Percepatan; = Matriks redaman; = Vektor Kecepatan; = Matriks kekakuan; = Vektor Perpindahan; = Vektor Gaya Dinamis. Gambar 2.40 Interface Aplikasi Plaxis v8 Matriks m, yaitu matriks massa, menggambarkan massa yang terdiri dari air, tanah, dan struktur lainnya. Pada Plaxis, massa satu bagian tanah dianggap satu kesatuan. Matriks C menggambarkan redaman dari material, di mana pada kenyataannya, redaman pada tanah terjadi diakibatkan friksi atau deformasi plastis atau viskositas. Dalam Plaxis, menentukan besarnya redaman dalam tanah dilakukan dengan korelasi terhadap matriks massa dan kekakuan, dengan metode Rayleigh: ..................................................................................(17) Di mana variabel dan adalah nilai koefisien Rayleigh. Dan untuk matriks K, yaitu kekakuan material, modulus kompresibilitas air dalam tanah juga akan diperhitungkan (bila melakukan perhitungan Undrained). 2.14.1 Batasan Model Berbeda dengan analisa satu dimensi (1D analysis), pada analisa dua dimensi (2D Analysis) diperlukan pertimbangan secara geometrik, karena dengan menggunakan dua dimensi, maka geometri akan memberikan kontribusi tersendiri pada pergerakan gelombang gempa. Pengaruh geometri ini berperan pada batasan yang terdapat dalam model (model boundaries). Batasan dalam pemodelan dapat dibuat bebas ataupun diberi batasan tertentu (satu maupun dua arah). Dan pada analisa statik, batasan horizontal model dibuat non-fisik/sintetik sehingga, batasan tersebut tidak mempengaruhi bentuk deformasi model (dibuat seolah-olah sangat jauh). Karena itu, lebar dari batas pemodelan tidak berpengaruh banyak. Namun, pada analisa dinamis, batasan dari pemodelan tanah harus dibuat jauh lebih lebar daripada batasan pada analisa statik, dikarenakan apabila pemodelan tidak cukup lebar, maka gelombang gempa bisa saja terpantulkan kembali dan mengakibatkan distorsi pada hasil analisa. Namun, prinsip Metode Elemen Hingga, di mana suatu model akan dibagi dalam elemen-elemen kecil, pemodelan seperti ini menyebabkan jumlah elemen semakin banyak dan akhirnya berpengaruh pada kecepatan perhitungan. Ada beberapa cara untuk mengatasi permasalahan pantulan tersebut, di mana disebut juga silent/Viscous Boundaries: • Pemodelan yang sangat lebar (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) • Memodifikasi parameter tanah pada sekitar batas model, yaitu membuat model tanah dengan kekakuan sangat rendah. • Menggunakan batasan damper, bukan fixities. Atau disebut juga Viscous Boundaries. Untuk menggunakan Viscous Boundaries, digunakanlah damper, selain menggunakan standard fixities. Dengan menggunakan damper, maka tegangan yang mencapai boundary akan diserap, dan tidak dipantulkan. Pada Plaxis, fitur untuk membuat batasan Viscous Boundaries tersedia, dengan nama Absorbent Boundaries. Dalam melakukan pemodelan, Plaxis mempunyai beberapa tipe model tanah yang telah dipublikasikan dan telah diterima sebagai model tanah yang valid. Dalam penelitian kali ini, akan digunakan tiga jenis model tanah yang cukup populer, yaitu model tanah Linear Elastik, Mohr-Coulomb dan Hardening Soil Small Strain. 50 2.14.2 Model Tanah Linear Elastik Model tanah Linear Elastik adalah model yang paling sederhana di dalam Plaxis. Pada dasarnya, perilaku tanah dalam model ini digambarkan elastis sempurna, dan tidak terjadi failure pada tanah. Model tanah ini pada umumnya cocok digunakan untuk batuan keras. Perhitungan kekakuan tanah menggunakan hukum Hooke: ..............................................................................................(18) Di mana: = Modulus kekakuan tanah (kPa) = Tegangan (kPa) = Regangan (-) F = Gaya Aksial (kN) L = Panjang Semula (m) A = Luas Penampang (m2) = Perubahan Panjang (m) F A ∆L A L F Gambar 2.41 Komponen Model Linear Elastis Apabila komponen regangan lateral diperhitungkan, maka akan ada yang disebut dengan angka Poisson Ratio, yaitu perbandingan antara regangan aksial dan regangan lateral. -dε1 dε3 Gambar 2.42 Komponen Regangan Aksial dan Lateral ................................................................................................... (19) Di mana: = Poisson Ratio = Regangan Arah Aksial = Regangan Arah Lateral Simbol negatif pada persamaan untuk menghitung nilai Poisson Ratio adalah untuk menunjukkan bahwa kedua komponen regangan tersebut mempunyai nilai yang saling bertolak belakang. Ketika suatu benda memendek secara aksial (regangan aksial negatif), maka benda tersebut akan membesar pada arah lateral (regangan lateral positif), demikian sebaliknya. 2.14.3 Model Tanah Mohr-Coulomb Model Mohr-Coulomb bisa juga disebut Model Tanah Linear Elastis-Plastis Sempurna. Dalam kondisi elastis, Tegangan terhadap Regangan yang terjadi dalam tanah diperhitungkan secara linear. Setiap regangan yang terjadi akan kembali menjadi bentuk semula ketika tengangan dihilangkan. Namun, ketika memasuki kondisi plastis, maka regangan akan terjadi sedemikian rupa sehingga hanya dipengaruhi oleh parameter model tanah, bukan oleh besarnya regangan. Linea r Ela stik Plastis Sempurna e p Gambar 2.43 Grafik Tegangan-Regangan Model Mohr-Coulomb 52 Gambar di atas merupakan grafik yang menggambarkan kekakuan dari tanah dengan model Mohr-Coulomb. Berikut adalah grafik yang menggambarkan kekuatan dari tanah dengan model tersebut. Bidang keruntuhan Gambar 2.44 Grafik Kuat Geser Model Mohr-Coulomb Kuat geser model Mohr-Coulomb dapat didefinisikan sebagai berikut: .......................................................................................(20) Di mana: = Kuat Geser Tanah (kN/m2) = Kohesi Tanah (kN/m2) = Tegangan Efektif Tanah (kN/m2) = Sudut Geser Dalam Tanah (°) Dan bidang keruntuhannya sebagai berikut: ..........................................................................(21) Dalam menentukan fase tanah (plastis atau elastis), digunakan fungsi leleh, yaitu variabel : ..................................(22) f<0 f=0 e p Gambar 2.45 Fase Elastis Plastis Tanah Dengan melihat konsep yang digunakan, maka muncul beberapa kelebihan dan kekurangan model Mohr Coulomb: Kelebihan Model Mohr-Coulomb: 1. Relatif sederhana, mengingat dilakukannya penyederhanaan pada perilaku tanah (dibagi dua, linear elastis dan plastis sempurna). 2. Cukup cocok untuk berbagai aplikasi geoteknik. 3. Parameter tanah yang dibutuhkan cukup mudah untuk didapat. 4. Dalam kondisi drained, perilaku keruntuhan tanah dapat dimodelkan dengan cukup baik. 5. Mampu memperhitungkan dilatansi. Kekurangan Model Mohr-Coulomb: 1. Karena perilaku tanah dibagi dalam dua fase saja, maka perhitungan deformasi yang didapat tidak akan tepat. 2. Perlu menggunakan angka keamanan yang lebih besar (>2) agar deformasi yang diperoleh tidak underpredicted. 3. Dalam mendapatkan parameter tanah, pengujian perlu dilakukan dalam rentang pembebanan yang akan terjadi pada kondisi lapangan yang sesungguhnya, karena untuk menghindari overpredict kekuatan tanah. 54 2.14.4 Model Hardening Soil Small Strain Pada dasarnya, model Hardening Soil Small Strain merupakan model lanjutan dari Model Hardening Soil. Model Hardening Soil dikembangkan pertama kali untuk memodelkan hasil pengujian triaxial dalam kondisi undrained. Namun, kemudian model ini dikembangkan untuk mampu memodelkan tanah dalam kondisi drained maupun undrained. Persamaan dasar model ini merupakan persamaan hiperbolik, yaitu: .........................................................................................(23) Di mana: = Major Principal Stress = Minor Principal Stress = Regangan dan = Konstanta Material Dalam Plaxis, model Hardening Soil membutuhkan beberapa parameter kekakuan tanah. Sedangkan untuk parameter kekuatan tanah, yang digunakan adalah dan c, sama dengan yang digunakan dalam model Mohr-Coulomb. Parameter Kekakuan: = Secant Modulus = Tangent Modulus = Kekakuan tanah saat Unloading atau Reloading (dalam Plaxis, m ) = Pangkat persamaan kekakuan Gambar 2.46 Grafik Hiperbolik Tegangan-Regangan berdasarkan Uji Triaxial Drained Sumber: T.Schanz, et al., 1999 Salah satu kekurangan dari model Hardening Soil adalah tidak adanya kekakuan untuk regangan yang kecil (Small-strain Stiffness). Kekakuan pada regangan kecil cukup penting, dikarenakan pada regangan kecil sekalipun, kekakuan tanah tidaklah konstan, dan terdapat redaman yang juga mampu mempengaruhi perilaku tanah. Namun, mekanisme yang menyebabkan perilaku demikian pada tanah hingga pada saat ini belum diketahui secara jelas. Pada umumnya, yang dikatakan dengan regangan kecil adalah saat nilai regangan tanah kurang dari 1x10-3. Pembagian zona regangan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.47 Zona Regangan Tanah dan Penerapannya 56 Sumber: Karstunen, 2013 Dengan demikian, pada Plaxis akan muncul dua parameter baru yang akan menggambarkan perilaku tanah dalam regangan kecil tersebut, yakni G0 dan γ0.7. Gambar-gambar berikut menjelaskan mengenai kedua parameter tersebut: Gambar 2.48 Grafik Hiperbolik Tegangan-Regangan Beserta Efek Histerisis Sumber: Karstunen, 2013 0,7 γ0,7 Gambar 2.49 Contoh Kurva Reduksi Modulus Gambar 2.48 menunjukkan bahwa saat tanah mengalami UnloadingReloading, terdapat perubahan nilai kekakuan. Hal ini sedikit berbeda dengan teori Hardening Soil semula, yang menyatakan bahwa kekakuan tanah bersifat konstan saat Unloading-Reloading. Penambahan parameter kekakuan pada regangan kecil mampu membuat model yang semakin mendekati kenyataan. Nilai kekakuan aksial maksimum, E0 yang terdapat pada gambar tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kekakuan geser maksimum, G0, melalui persamaan berikut: ............................................................................... (24) Di mana: = Poisson Ratio Undrained = 0,495-0,500 = Kekakuan Aksial Maksimum = Kekakuan Geser Maksimum Lalu, nilai γ0.7, seperti yang terlihat pada Gambar 2.49, merupakan nilai regangan di mana Kekakuan Geser telah berkurang hingga 70% dari nilai maksimumnya, yaitu G/G0 = 0,7 2.15 Analisa Dinamis dengan SHAKE2000 SHAKE2000 merupakan salah satu aplikasi untuk analisa dinamis tanah yang banyak digunakan. Hal ini dikarenakan SHAKE2000 mempunyai kemampuan yang cukup luas digunakan dalam ilmu kegempaan. Mulai dari Seismic Hazard, Deagregasi, pembuatan Data Riwayat Waktu Sintetis, hingga Analisa Perambatan Gelombang Gempa, semua dapat dilakukan dengan SHAKE2000. Pada mulanya, aplikasi berbasis fortran untuk melakukan perhitungan dinamis ini dinamakan dengan SHAKE, yang dikembangkan pada tahun 1970an. Dan pada masa awalnya, tidak berupa program dalam komputer. Barulah pada tahun 1980an, dikembangkan sehingga dapat dijalankan dalam komputer. Dan seiring berjalannya waktu, SHAKE terus dikembangkan agar semakin fleksibel dalam perhitungan dan output, serta memudahkan input. Namun, perubahan tersebut tidaklah terlalu jauh. Pada dasarnya, SHAKE merupakan aplikasi yang telah terbukti selama lebih dari dua puluh lima tahun sebagai alat bantu analisa dinamis yang terpercaya. SHAKE2000 adalah aplikasi yang telah dikembangkan dari versi sebelumnya, yaitu SHAKE, di mana versi terbaru ini telah mampu memberikan tampilan yang lebih memudahkan pengguna untuk menyiapkan data masukan untuk 58 perhitungan. Selain itu, versi terbaru juga memungkinkan pengguna untuk mendapatkan hasil perhitungan dalam tampilan yang lebih baik dan menarik. Seiring perkembangan zaman, banyak aplikasi analisa dinamis lain yang telah bermunculan dengan fitur yang lebih modern. Namun, posisi SHAKE2000 sebagai aplikasi analisa dinamis dengan metode Linear Ekuivalen tetaplah tidak tergantikan, mengingat hasil yang diperoleh merupakan pendekatan yang cukup baik untuk digunakan serta mampu memberikan hasil analisa dalam waktu yang sangat singkat, hanya dalam beberapa detik. Dalam Analisa Perambatan Gelombang Gempa, SHAKE2000 menggunakan model Linear Ekuivalen, di mana tanah dimodelkan dalam satu dimensi. Untuk itu, ada beberapa asumsi yang digunakan dalam analisa: - Setiap lapisan tanah memanjang secara tak terhingga ke arah horizontal. - Setiap lapis tanah didefinisikan dengan nilai modulus geser, nilai redaman kritis, massa jenis, dan ketebalan. Semua nilai ini bebas terhadap frekuensi. - Respon dari tanah diakibatkan oleh perambatan gelombang geser dari batuan dasar secara vertikal. - Gelombang geser dinyatakan dalam nilai percepatan dengan selisih waktu yang sama. - Nilai modulus dan redaman yang bergantung pada regangan, dinyatakan dengan prosedur linear ekuivalen. Gambar 2.50 Tampilan Utama SHAKE2000 Gambar berikut mengilustrasikan model tanah dalam SHAKE2000: 60 Gambar 2.51 Model Tanah dalam SHAKE2000 2.15.1 Analisis Linear Ekuivalen Tanah memiliki sifat nonlinear dan inelastic, yang dapat digambarkan secara baik dalam ilmu Geoteknik. Sifat nonlinear tanah berarti bahwa modulus geser tanah terus berubah seiring tanah menerima beban, dan sifat inelastic berarti ketika tanah mengalami deformasi akibat beban, lalu beban tersebut dihilangkan, maka tanah tidak akan kembali ke bentuk pada awalnya dengan sempurna. Kedua sifat tersebut mengindikasikan adanya disipasi energi saat terjadi kontak antar partikel. Analisa secara mendalam (rigorous analysis) untuk memahami perubahan terhadap modulus dan sifat inelastis berarti mengamati perubahan pada parameter tanah seiring waktu. Namun, metode analisa yang digunakan SHAKE2000 tidak mampu melakukan perhitungan berdasarkan waktu. Oleh karena itu, untuk menggambarkan sifat nonlinear dan inelastis ini, digunakan pendekatan Analisis Linear Ekuivalen. Ketika suatu tanah dibebani secara siklis dan tegangan serta regangan yang terjadi dalam tanah terus diukur, maka tanah akan menunjukkan perilaku histeresis. Gambar 2.52 Loop Histerisis Tanah Sumber: Kramer, 2006 Perilaku histeresis ini dapat digambarkan dengan dua cara. Pertama adalah dengan menggambarkan bentuk sifat histeresis sesuai dengan kenyataan, dan kedua adalah dengan parameter-parameter yang dapat menggambarkan bentuk secara umum. Dengan mengambil cara kedua, maka perilaku histeresis dapat digambarkan dengan kemiringan dan lebar. Kemiringan digambarkan dengan Modulus Geser Tangensial, Gtan. Nilai Gtan tersebut berubah seiring berjalannya pembebanan, namun nilai rata-rata untuk parameter tersebut dapat diperkirakan dengan Modulus Geser Secant, Gsec: .................................................................................................... (25) Di mana dan adalah amplitudo untuk gaya geser dan regangan pada saat tanah dikenai beban siklis (Gambar 2.19). Dengan demikian, Gsec merupakan kemiringan dari perilaku histeresis. Sedangkan lebar dari histeresis berkaitan dengan luas histeresis tersebut, yang juga merupakan hasil dari disipasi energi/redaman yang terjadi dalam tanah: .............................................................................................. (26) 62 merupakan luas dari loop histeresis. Parameter Gsec dan ξ seringkali disebut sebagai parameter material linear ekuivalen. Kurva pada gambar 2.19 merupakan penggambaran untuk perilaku tanah pada satu jenis pembebanan siklis. Pada kenyataannya, besar pembebanan tersebut dapat berubah-ubah, karena beban gempa selalu bervariasi besarannya terhadap waktu. Karena itu, untuk mampu menggambarkan perilaku tanah pada berbagai tingkat pembebanan, digunakan pemodelan lebih lanjut. Gambar 2.53 Backbone Curve dan Kurva Reduksi Modulus Sumber: Kramer, 1996 Saat besar amplitudo pembebanan berubah, maka nilai modulus geser secant juga akan berubah. Saat nilai amplitudo pembebanan rendah, maka nilai modulus geser secant akan semakin besar, dan sebaliknya, semakin besar amplitudo pembebanan, akan semakin kecil nilai modulus geser secant-nya. Apabila titik-titik ujung dari loop histeresis pada berbagai tingkat pembebanan diplot ke dalam satu kurva, maka akan didapat kurva yang disebut backbone curve (Gambar 2.20). Dan dengan membandingkan nilai Gsec dan Gmax, akan didapat kurva reduksi modulus. Lalu, untuk nilai redaman, , berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli, ternyata tanah dalam kondisi regangan sangat kecil sekalipun mengalami redaman (penyebabnya belum diketahui secara pasti). Karena itu, nilai redaman tidak pernah mencapai angka nol. Semakin besar regangan yang dialami oleh tanah, maka akan semakin besar redaman yang terjadi dalam tanah (loop histeresis semakin lebar). Untuk menggambarkan perilaku ini, digunakan kurva redaman (Damping Curve) yang mampu menggambarkan perilaku redaman pada berbagai tingkatan regangan tanah. Untuk mendukung metode ini, SHAKE2000 menyediakan sekumpulan model kurva reduksi modulus dan redaman yang dapat dipilih pada Input Manager. Model kurva reduksi yang disediakan oleh SHAKE2000 merupakan model yang telah dipublikasikan dan telah diterima secara luas. Gambar 2.54 Contoh Kurva Redaman 2.16 SNI 1726-2012 Sebagai ganti standar SNI gempa sebelumnya, yaitu SNI 1726-2002, Indonesia telah mengeluarkan peraturan baru, yaitu SNI 1726-2012. Perubahan yang terjadi pada standar baru dibandingkan dengan standar lama cukup signifikan, terutama pada tingkat keamanan. Standar terbaru memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar sebelumnya. Pada standar yang terbaru, perancangan percepatan batuan dasar dilakukan untuk gempa dengan periode ulang 2500 tahun, sedangkan sebelumnya hanya untuk periode ulang 500 tahun. Selain itu, dalam hal tujuan pun ada perbedaan antara standar terbaru dengan standar sebelumnya. SNI 03-1726-2002 menetapkan bahwa ketika terjadi gempa besar, struktur gedung akan mencapai kondisi di ambang keruntuhan, namun masih berdiri, sehingga mencegah korban jiwa. Namun, pada SNI 03-1726-2012, ketika terjadi gempa besar, kerusakan yang terjadi pada struktur gedung masih berada pada batas masih bisa diperbaiki, dan bangunan masih mampu 64 melindungi jiwa penghuninya. Selain dua perbedaan ini, masih terdapat beberapa perbedaan lainnya. Pada penelitian kali ini, standar yang akan digunakan adalah standar terbaru, yaitu SNI 03-1726-2012. Fungsi utama dari penggunaan standar SNI ini adalah untuk membuat suatu model prediksi gempa yang sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia untuk diaplikasikan pada perancangan bangunan tahan gempa, di mana model prediksi gempa tersebut dinamakan dengan Desain Spektra. Ada beberapa langkah untuk membuat Desain Spektra: 2.16.1 Klasifikasi Situs SNI 03-1726-2012 menggunakan sistem Klasifikasi Situs berdasarkan tiga parameter tanah, yaitu , , dan . Untuk mengklasifikasikan tanah, maka digunakan minimal dua dari tiga parameter tanah tersebut. Dan dalam melakukan pengujian untuk ketiga parameter tersebut, kedalaman minimal tanah yang diuji adalah sebesar 30 m. Tabel 2.3 Klasifikasi Situs Kelas Situs SA (Batuan Keras) SB (Batuan) SC (Tanah Keras, Sangat Padat, dan Batuan Lunak) SD (Tanah Sedang) SE (Tanah Lunak) (m/detik) (kPa) >1500 750 sampai 1500 N/A N/A N/A N/A 350 sampai 750 >50 ≥ 100 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100 <175 <15 <50 Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Indeks Plasitisitas, PI > 20 2. Kadar Air, ω ≥ 40% 3. Kuat geser niralir, su < 25 kPa Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari karakterisitk berikut: - Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban SF (Tanah Khusus, gempa seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitif, yang membutuhkan tanah tersementasi lemah investigasi geoteknik - Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan, spesifik dan analisis H>3 m) respons spesifik- Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5 situs) m dengan Indeks Plasitisitas PI > 75) Lapisan Lempung Lunak/Setengah Teguh dengan ketebalan H > 35 m dengan su < 50 kPa) CATATAN : N/A = tidak dapat dipakai Sumber : RSNI-03-1726-201X - Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan 1. Penentuan Kecepatan Rata-rata Gelombang Geser, Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai adalah: ............................................................................................. (27) Di mana : = tebal lapisan ke i antara kedalaman 0 sampai 30 meter; = kecepatan gelombang geser lapisan ke i dinyatakan dalam meter per detik (m/detik); = 30 meter. 2. Penentuan Tahanan Penetrasi Standar Lapangan Rata-rata, , dan Tahanan Penetrasi Standar Rata-rata untuk Lapisan Tanah Non-Kohesif, Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai rata-rata adalah: ............................................................................................... (28) Di mana: = tebal lapisan ke i antara kedalaman 0 sampai 30 meter; = nilai tahanan penetrasi standar 60 persen energi (N60) tanpa koreksi. 3. Penentuan Undrained Shear Strength Rata-rata ( ) 66 Nilai Undrained Shear Strength rata-rata, dapat ditentukan dengan persamaan berikut: .............................................................................................(29) Di mana: = tebal lapisan ke i antara kedalaman 0 sampai 30 meter; = nilai tahanan penetrasi standar 60 persen energi (N60) tanpa koreksi. 2.16.2 Menentukan Parameter Percepatan Terpetakan Ada dua jenis Parameter Percepatan Terpetakan, yaitu Ss (periode pendek) dan S1 (periode 1 detik). Untuk menentukan kedua nilai tersebut, maka digunakan peta gerak tanah seismik yang terdapat pada SNI 03-1726-2012 pasal 14. Gambar 2.55 Peta Nilai Ss Sumber: SNI 03-1726-2012 Gambar 2.56 Peta Nilai S1 Sumber: SNI 03-1726-2012 2.16.3 Menentukan koefisien situs Fa dan Fv Untuk menentukan koefisien situs Fa dan Fv dapat digunakan tabel berikut : Tabel 2.4 Koefisien Situs, Fa Kelas Situs Parameter Respon Spektral Percepatan Gempa MCER Terpetakan Pada Periode Pendek, T = 0,2 detik, SS SS ≤ 0,25g SS = 0,5g SS = 0,75g SS = 1g SS ≥ 1,25g SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0 SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9 SF SSb Sumber : RSNI-03-1726-201X - Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, 2011 Catatan : 68 a. Untuk nilai-nilai antara Ss dapat mengunakan interpolasi linier b. SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik secara spesifik dan analisis respon situs spesifik Tabel 2.5 Koefisien Situs, Fv Kelas Situs Parameter Respon Spektral Percepatan Gempa MCER Terpetakan Pada Periode Pendek, T = 1 detik, S1 S1 ≤ 0,1g S1 = 0,2g S1 = 0,3g S1 = 0,4g S1 ≥ 0,5g SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 SD 2,4 2,0 1,8 1,6 1,5 SE 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4 SSb SF Sumber : RSNI-03-1726-201X - Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, 2011 Catatan : a. Untuk nilai-nilai antara S1 dapat mengunakan interpolasi linier b. SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik secara spesifik dan analisis respon situs spesifik 2.16.4 Menghitung parameter spektrum respons percepatan Persamaan yang digunakan adalah: .................................................................................................(30) .................................................................................................(31) Di mana: SMS =parameter spektrum respons percepatan pada periode pendek (0,2 detik) dengan redaman 5% SM1 =parameter spektrum respons percepatan pada periode 1 detik dengan redaman 5% SS =parameter percepatan Respon Spektral MCE (Maximum Credible Earthquake) dari Peta Gempa Indonesia 2010 pada periode pendek (0,2 detik) dengan redaman 5% S1 =parameter percepatan Respon Spektral MCE (Maximum Credible Earthquake) dari Peta Gempa Indonesia 2010 pada periode 1 detik dengan redaman 5% Fa =koefisien situs untuk periode pendek (0,2 detik) Fv =koefisien situs untuk periode 1 detik 2.16.5 Parameter Percepatan Spektral Desain Untuk mendapatkan angka percepatan spektral desain, maka nilai spektrum respons percepatan (2.11.4) harus dihitung seperti berikut: .................................................................................................. (32) .................................................................................................. (33) Di mana: SDS = parameter percepatan Respon Spektral pada periode pendek (0,2 detik) dengan redaman 5%. SD1 = parameter percepatan Respon Spektral pada periode pendek 1 detik redaman 5%. 2.16.6 Percepatan Tanah Puncak/Peak Ground Acceleration (PGA) Terdapat dua jenis percepatan tanah puncak yang seringkali diperhatikan untuk analisa seismik, yaitu PGA pada permukaan batuan dasar dan pada permukaan tanah. Berdasarkan SNI, nilai PGA pada permukaan batuan dasar ditentukan dengan menggunakan Peta Percepatan Tanah Puncak Terpetakan yang terdapat pada SNI 031726-2012 pasal 14. 70 Gambar 2.57 Peta Percepatan Tanah Puncak Terpetakan Sumber: SNI 03-1726-2012 Lalu, untuk mencari nilai PGA pada permukaan tanah, digunakan persamaan berikut: .......................................................................................(34) Di mana nilai diperoleh dengan menggunakan tabel berikut: Tabel 2.6 Koefisien Kondisi Situs untuk PGA, FPGA Kelas Situs PGA ≤ 0,1g PGA = 0,2g PGA = 0,3g PGA = 0,4g PGA ≥ 0,5g SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0 SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9 SF Perlu investigasi khusus Catatan: Gunakan interpolasi linear untuk PGA antara. 2.16.7 Spektrum Respons Desain Untuk periode yang lebih kecil dari T0, respon spektra percepatan desain Sa, diambil berdasarkan persamaan berikut : ; .................................................(35) Di mana : Sa = spektrum respons percepatan desain. T = periode fundamental bangunan. a. Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan nilai T0 dan lebih kecil dari atau sama dengan Ts, respon spektra percepatan desain Sa = SDS b. Untuk periode lebih besar dari Ts, respon spektra percepatan desain Sa, diambil berdasarkan persamaan berikut : ....................................................................................................... (36) ....................................................................................................... (37) Gambar 2.58 Desain Spektra RSNI-03-1726-201X Sumber: SNI 03-1726-2012 2.16.8 Contoh Pembuatan Desain Spektra Menurut SNI Sebagai pembanding hasil yang diperoleh, maka akan digunakan SNI sebagai acuan. Langkah untuk membuat Desain Spektra SNI menggunakan yang ditetapkan pada laporan ini (poin 2.15). Sebagai contoh perhitungan, maka digunakan data hasil pengujian untuk daerah Ancol: 72 Lokasi : Ancol Koordinat : 6° 07’ 43,8” S 106° 49’ 28,6” T Kedalaman Uji SPT : 50 m Kedalaman Uji Shear Wave Velocity: 30 m 1. Klasifikasi Jenis Tanah Penentuan jenis tanah berdasarkan pada uji yang didapat. SNI mensyaratkan tiga jenis uji tanah, yaitu Standard Penetration Test, Shear Wave Velocity (Seismic Downhole Test, dll), dan Undrained Shear Strength. Dan agar klasifikasi tanah dapat dikatakan benar, maka minimal dilakukan dua dari tiga uji tersebut. Tabel 2.7 Hasil Uji SPT Kedalaman Ketebalan (m) (m) N-SPT (N) 0 2 2 2 2 3 4 2 1 6 2 2 8 2 4 10 2 2 12 2 6 14 2 9 16 2 16 18 2 25 20 2 50 22 Tabel 2.7 Hasil Uji SPT (Lanjutan) d/N-SPT (m/N) 1 0,66667 2 1 0,5 1 0,33333 0,22222 0,125 0,08 0,04 Kedalaman Ketebalan N-SPT (N) (m) (m) 2 50 24 2 26 26 2 28 28 2 24 30 2 21 32 2 23 34 2 26 36 2 20 38 2 25 40 2 28 42 2 26 44 2 22 46 2 17 48 2 20 50 Kedalaman 50 SPT Rata-rata d/N-SPT (m/N) 0,04 0,07692 0,07143 0,08333 0,09524 0,08696 0,07692 0,1 0,08 0,07143 0,07692 0,09091 0,11765 0,1 8,13493 6 74 Lalu, untuk data hasil pengujian Shear Wave: Tabel 2.8 Hasil Uji Shear Wave Kedalaman Ketebalan (m) (m) 0 2 2 5 7 5 12 3 15 3 18 12 30 Vs Total 30 Vs (m/s) d/Vs (s) 59,8 0,03344 100 0,05 210,2 0,02379 313,1 0,00958 317,1 0,00946 308,7 0,03887 0,16515 Rata-rata 181,66 Maka, diperoleh nilai rata-rata untuk SPT dan Vs: - SPT rata-rata = 6 - Vs rata-rata = 181,66 m/s Dengan menggunakan tabel yang disediakan SNI (Tabel 2.1), maka tanah dapat diklasifikasikan sebagai SE (tanah lunak). 2. Menentukan Parameter Percepatan Terpetakan Ada asumsi yang digunakan untuk menentukan Parameter Percepatan Terpetakan. Pada penulisan kali ini, batuan dasar di Indonesia diasumsikan sebagai tanah keras (kelas SB, dengan Vs = 750 m/s). Parameter Percepatan Terpetakan adalah percepatan puncak batuan dasar, yang terbagi dua, yaitu untuk periode pendek (Ss), dan periode 1 detik (S1). Untuk mendapatkan nilai tersebut, digunakan peta yang telah disediakan oleh SNI. Gambar 2.60 Peta Nilai Ss Gambar 2.59 Peta Nilai S1 Sumber: SNI 03-1726-2012 Sumber: SNI 03-1726-2012 Lalu, berdasarkan pengamatan untuk posisi Jakarta, diambil nilai Ss dan S1 sebagai berikut: Ss : 0.65 3. S1 :0.28 Menentukan Koefisien Situs Fa dan Fv Setelah itu, untuk memperhitungkan kondisi tanah situs, maka digunakan variabel Fa dan Fv yang diperoleh dari tabel: Tabel 2.9 Koefisien Situs, Fa Kelas Situs SA (Batuan Keras) Parameter respons spectral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada periode pendek, T=0,2 detik, Ss Ss ≤ 0,25g Ss = 0,5g Ss = 0,75g Ss = 1g Ss ≥ 1,25g 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 1 1 1 1 1 SC (Tanah Keras) 1,2 1,2 1,1 1 1 SD (Tanah Sedang) 1,6 1,4 1,2 1,1 1 SE (Tanah Lunak) 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9 SB (Batuan) SF SS Dengan interpolasi linier, didapat nilai Fa: Fa = 1,4 b 76 Tabel 2.10 Koefisien Situs, Fv Parameter respons spectral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada periode 1 detik, T=1 detik, S1 S1 ≤ 0,1g S1 = 0,2g S1 = 0,3g S1 = 0,4g S1 ≥ 0,5g Kelas Situs SA (Batuan Keras) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 1 1 1 1 1 SC (Tanah Keras) 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 SD (Tanah Sedang) 2,4 2 1,8 1,6 1,5 SE (Tanah Lunak) 3,5 3,2 2,8 SSb 2,4 2,4 SB (Batuan) SF Dengan interpolasi linier, didapat nilai Fv: Fv = 2,88 4. Menentukan Parameter Spektrum Respons Percepatan SMS = Ss x Fa = 0,65 x 1,28 = 0,91 SM1 = S1 x Fv = 0,28 x 1,84 = 0,8064 5. Menghitung Parameter Percepatan Spektral Desain 6. Spektrum Respons Desain a. T < T0 Nilai Percepatan Spektralnya: Perhitungan dilakukan dengan Spreadsheet: Tabel 2.11 Nilai Sa pada T < T0 T (detik) Sa (g) 0,02954 0,30333 0,05908 0,364 0,08862 0,42467 0,11815 0,48533 0,14769 0,546 0,177231 0,6067 b. T0 ≤ T ≤ Ts Sa = SDS = 0,6067 c. T ≥ Ts Nilai Percepatan Spektralnya: Dengan menggunakan Spreadsheet: Tabel 2.12 Nilai Sa pada T > Ts T (detik) Sa (g) 0,886154 0,89754 0,90892 0,92031 0,93169 0,94308 0,95446 0,96585 0,97723 0,98862 1 1,2 1,8 2,2 2,7 0,6067 0,59897 0,59147 0,58415 0,57701 0,57005 0,56325 0,55661 0,55013 0,54379 0,5376 0,448 0,29867 0,24436 0,19911 78 3 0,1792 Dengan memplot nilai Sa yang didapat, akan diperoleh grafik sebagai berikut: Gambar 2.61 Desain Spektra untuk Tanah Lunak Jakarta (Ancol) Dengan melakukan langkah yang sama untuk data lainnya, diperoleh Desain Spektra untuk masing-masing lokasi, yang terbagi atas dua jenis tanah, yaitu Tanah Lunak dan Tanah Sedang. Klasifikasi situs menurut SNI: Tabel 2.13 Klasifikasi Jenis Tanah Situs Lokasi Jenis Tanah Cempaka Putih SD (Tanah Sedang) Pantai Mutiara SE (Tanah Lunak) Cilandak SD (Tanah Sedang) Ancol SE (Tanah Lunak) Karet SE (Tanah Lunak) Gambar 2.62 Desain Spektra Tanah Lunak dan Tanah Sedang 2.17 Korelasi Empiris Antar Parameter Untuk mendapatkan data parameter tanah yang diperlukan dalam desain suatu struktur Geoteknik, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu: pengujian langsung di lapangan, pengujian di laboratorium, hubungan matematis parameter, ataupun dengan mengunakan korelasi empiris antar parameter yang telah direkomendasikan oleh para tenaga ahli. Pada umumnya, parameter tanah diperoleh dari hasil pengujian di lapangan dan laboratorium. Sedangkan untuk korelasi empiris antar parameter biasanya digunakan apabila data yang diperlukan untuk desain tidak tersedia dari hasil pengujian langsung dilapangan ataupun laboratorium. Selain itu dapat juga digunakan untuk verifikasi hasil data dengan data lainnya. Dalam penelitian kali ini, ada beberapa korelasi yang dilakukan, yaitu korelasi untuk mendapatkan parameter kekakuan dan kekuatan tanah. 2.17.1 Parameter Kekuatan Undrained Salah satu korelasi yang banyak dilakukan adalah mendapatkan nilai kuat geser Undrained, yaitu cu berdasarkan nilai N-SPT. Nilai kuat geser undrained ini akan digunakan untuk tanah kohesif. Untuk tanah di Jakarta, nilai cu tanah diambil dengan perhitungan berikut: 80 .......................................................................................(38) Di mana: = nilai kohesi tanah (kN/m2) = nilai N-SPT 2.17.2 Parameter Kekuatan Efektif/Drained Tanah non-kohesif seperti pasir dan batuan dapat dimodelkan sebagai tanah non-kohesif, yang parameter kekuatan tanahnya dapat meningkat seiring bertambahnya tegangan efektif, dan hampir tidak memiliki nilai kohesi. Nilai yang digunakan adalah: - Pasir dengan N-SPT>30 : φ = 40°-42°, c = 5 - Pasir dengan N-SPT<30 : φ = 35°, c = 5 2.17.3 Kekakuan Tanah Parameter kekakuan tanah yang digunakan untuk pemodelan 2D menggunakan Plaxis terdiri atas beberapa nilai, yang penerapannya bisa berbeda untuk pemodelan yang berbeda. 1. Gmax/G0 Untuk modulus geser maksimum tanah, Gmax, digunakan persamaan berikut: ............................................................(39) Di mana: = Modulus Geser maksimal/awal tanah (kPa) = massa jenis tanah (ton/m3) = kecepatan gelombang Shear Wave (m/s) = berat jenis tanah (kN/m3) = percepatan gravitasi (9,81 m/s2) Nilai G0 ini digunakan pada pemodelan tingkat lanjut seperti Hardening Soil-Small Strain (HS Small). Pemodelan seperti Mohr Coulomb dan Linear Elastik hanya menggunakan satu jenis kekakuan, yaitu E50ref. Karena itu, pemodelan Mohr Coulomb dan Linear Elastik pada analisa dinamis akan menggunakan nilai Emax. Mengingat bahwa analisa dinamis hanya akan menyebabkan regangan kecil dalam tanah, asumsi ini dapat diterima. Persamaan matematis untuk menyatakan hubungan antara modulus geser dan modulus kekakuan aksial adalah seperti berikut: ....................................................................... (40) Di mana: = Modulus Kekakuan Aksial Maksimum/Awal Tanah (kPa) = Poisson Ratio Nilai Emax dan Gmax berlaku untuk tanah secara umum (kohesif dan nonkohesif). 2. E50ref, Eoedref dan Eurref Korelasi nilai E50ref pada bagian ini akan digunakan hanya untuk nilai E50ref pada pemodelan HS Small. Persamaan empiris yang digunakan adalah yang berdasarkan hasil dari penelitian: a. Tanah Kohesif ..................................................................................... (41) Di mana: = Modulus Kekakuan Aksial Undrained (kPa) = Indeks Plastisitas dalam % (misal = 50%, maka = 50, bukan 0,5) = Kuat Geser Undrained (kN/m2) Misal, Ip = 50% ; Eu = 300cu Ip = 30% ; Eu = 500cu Persamaan di atas merupakan hasil yang diperoleh dari Plate Load Test. Kekakuan yang akan digunakan untuk pemodelan merupakan kekakuan efektif/drained, sehingga nilai kekakuan yang diperoleh dengan persamaan di atas akan dikonversi menjadi kekakuan efektif/drained. 82 ................................................................................(42) Di mana: E’ = Kekakuan Aksial Efektif/Drained (kPa) = Poisson Ratio Efektif/Drained = Poisson Ratio Undrained Untuk pemodelan, nilai E50ref diambil dari nilai E’ yang didapat dari persamaan di atas. Dan untuk nilai kekakuan dari hasil uji Oedometer, Eoedref, nilai yang digunakan sama dengan kekakuan dari hasil uji Plate Loading Test, E50ref. Persamaan yang digunakan: ..........................................................................................(43) b. Tanah Non-Kohesif Tanah non-kohesif menggunakan nilai kekakuan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Janbu (1963) dan Von Soos (1990). Penelitian didasarkan pada uji Oedometer. Persamaan empiris yang digunakan: Pasir lepas atau berlanau: .....................................(44) Pasir padat dan bersih: .....................................(45) Dan untuk nilai kekakuan E50ref, nilai yang diambil sama dengan nilai Eoedref , seperti pada persamaan 2.36. c. Nilai Kekakuan Unloading-Reloading Untuk kekakuan Unloading-Reloading, akan diambil nilai default dari Plaxis, yaitu 3 kali nilai kekakuan loading (E50ref dan Eoedref). ............................................................................(46)