1 PROSES REFORMASI DIPLOMASI DUNIA Pendahuluan Kegiatan diplomasi di dunia sudah berlangsung sejak lama sekali dan kedudukan diplomat di mata masyarakat dinilai sebagai profesi yang cukup terhormat. Dalam melaksanakan tugasnya, diplomat memiliki kemampuan sebagai professional yang sudah terlatih keahliannya. Lingkup tugas, peran dan arah kegiatan diplomasi di dunia mengalami suatu proses reformasi searah dengan perkembangan politik dunia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, lingkup kegiatan diplomasi berkisar pada persaingan ideologi antara kubu blok Barat dengan blok Timur. Persaingan antara kedua kubu selama berlangsungnya Perang Dingin, bukan lagi hanya melalui kegiatan politik untuk membangun opini masyarakat internasional melalui sarana diplomasi dan media internasional atau dengan meningkatkan kemampuan militer masing-masing kubu, tetapi juga melalui peningkatan persaingan dalam hubungan ekonomi dan perdagangan luar negeri. Walaupun persaingan ideologi masih tetap mendominasi percaturan politik dunia, tetapi suasana hubungan internasional selama berlangsungnya Perang Dingin ternyata membuka kesempatan terjadinya dialog antarnegara, yang secara tidak langsung ikut membatasi tingkat konflik bersenjata menjadi hanya berskala regional. Kondisi dan suasana ketika berlangsung Perang Dingin memberi kesempatan kepada negara industri maju lebih berkonsentrasi mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga persaingan untuk “mendominasi” dunia juga dilakukan melalui persaingan kemajuan pengembangan teknologi yang mencakup hampir semua bidang kehidupan manusia, termasuk perangkat persenjataan militer. Di akhir abad ke XX setelah berakhirnya Perang Dingin tahun 1989, nuansa hubungan politik antarnegara mengarah pada kepentingan hubungan antarmanusia dan semakin besarnya perhatian terhadap hak dasar perorangan (individu) serta kepedulian 2 terhadap pelestarian lingkungan alam. Perkembangan ini tidak mempengaruhi tingkat kemampuan dan kekuasaan politik dan ekonomi dunia. beberapa negara besar yang sudah memiliki pengaruh Salah satu perkembangan politik global yang sangat mempengaruhi hubungan antarbangsa adalah kenyataan AS menjadi satu-satunya negara adikuasa dunia, sebagai akibat logis dari “runtuhnya” tembok Berlin pada tahun 1989, yang juga menandakan berakhirnya kekuatan Uni Soviet sebagai adikuasa dunia. Menjelang abad ke XXI, dunia diplomasi mengalami perkembangan dan reformasi yang sangat cepat hampir bersamaan waktunya dengan kecepatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology - ICT), yang antara lain membawa pengaruh terjadinya interaksi hubungan antarkawasan yang semakin intensif menuju era globalisasi. Akibat terjadinya globalisasi dunia adalah lebih “mendekatkan” jarak geografis dan “memperpendek” waktu berlangsungnya hubungan komunikasi antarnegara. Meluasnya penggunaan pelayanan ilmu pengetahuan komputer, membawa pengaruh terjadinya saling keterkaitan dan saling memerlukan antara negara-negara di seluruh dunia, yang merupakan ciri utama globalisasi. Penduduk dunia dari berbagai bangsa merasa lebih dekat satu dengan yang lain untuk saling berhubungan, seakan mereka merupakan bagian dari “warganegara dunia”. Kemajuan ICT semakin mempercepat penyebaran berita serta meningkatnya peran media internasional yang memberi dimensi baru bagi pelaksanaan tugas diplomasi. Kecepatan penyebaran berita media menjadikan diplomat professional selalu waspada dan siap menghadapi pengaruh globalisasi, terutama apabila mempunyai kepentingan langsung dengan negaranya. Kesiapan dan kemampuan para diplomat dalam menjalankan tugasnya, secara tidak langsung dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan pelatihan para diplomat yang mendidik dan melatih mereka memiliki kepekaan menghadapi berbagai kecenderungan baru yang setiap saat muncul di dunia. Suatu kenyataan bahwa kecepatan penyebaran berita oleh media internasional dapat memberi keuntungan atau mengandung manfaat politis bagi kepentingan suatu negara, tetapi 3 sebaliknya dapat menyebabkan negara lain merasa dipojokkan atau dirugikan oleh pemberitaan media tersebut karena justru tidak menguntungkan posisi politiknya. Hampir semua negara di dunia pernah mengalami hal seperti itu. Kepekaan, kepiawaian dan kecepatan diplomat menghadapi masalah seperti itu ikut menentukan keberhasilan diplomasi suatu negara. Kekuasaan politik suatu negara ternyata secara sengaja dapat “menggunakan” pemberitaan media internasional untuk kepentingan politiknya. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa negara adikuasa AS memiliki kemampuan menggerakkan atau memobilisasi media internasional untuk mempengaruhi opini dunia demi kepentingan politik globalnya. Pemberitaan melalui TV yang disiarkan ke seluruh pelosok dunia dalam waktu sekejap sudah mampu mempengaruhi opini publik internasional. Diplomasi AS bahkan berhasil “memaksa” PBB membentuk pasukan sekutu untuk melakukan invasi ke Irak. Para diplomat harus menghadapi kenyataan dimanfaatkannya media elektronika dan media cetak untuk kepentingan politik negara-negara besar tertentu, sehingga dituntut dalam waktu yang cepat harus mampu menganalisa dan menyimpulkan setiap pemberitaan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi politik dunia. Tidak jarang pula bahwa diplomat secara tiba-tiba harus menghadapi analisa atau pemberitaan melalui media asing (internasional) mengenai negaranya, yang tentunya sebagai diplomat dia harus dapat bereaksi cepat menghadapi pertanyaan media atau politisi setempat. Perkembangan ini juga berarti bahwa kecepatan komunikasi yang terjadi antara kementerian atau departemen luar negeri di pusat ibukota dengan perwakilan diplomatik di luar negeri atau sebaliknya, menjadi faktor yang sangat penting menghadapi setiap pemberitaan atau perkembangan yang berkaitan dengan kepentingan politik negara. Negara Barat menilai bahwa kondisi dunia menjadi lebih aman dibandingkan ketika sebelum “runtuhnya” Uni Soviet. Ternyata dunia harus menghadapi munculnya berbagai isu internasional baru seperti : terorisme, kejahatan internasional, narkotika, sikap ekstrim penganut agama, masalah lingkungan hidup, global warming dll.nya. Isu baru tersebut secara cepat pula menjadi isu politik global yang menjadi keprihatinan hampir seluruh dunia, karena kecepatan pengaruhnya sulit untuk dibendung dan juga sulit 4 diperkirakan sejauhmana arah perkembangannya maupun batas lingkup kegiatannya. Isu tersebut semakin berkembang dan meluas, yang penanganannya bukan hanya melibatkan para diplomat professional saja. Kegiatan dan pelaksanaan diplomasi untuk menghadapi isu tersebut dilakukan pula oleh unsur pemerintah yang lain (bukan dari unsur departemen/kementerian luar negeri) maupun unsur non-pemerintah yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tehnis mengenai masalah tersebut, termasuk pengusaha swasta, NGO, kaum intelektual, lingkungan universitas dan media. Diplomasi yang dijalankan dan dikembangkan oleh unsur non-pemerintah biasa disebut sebagai “second track diplomacy”. Dari segi pelaksanaannya, disertakannya lingkungan yang lebih luas dalam menentukan kebijakan atau strategi diplomasi tersebut merupakan ciri “total diplomacy” yang banyak dipraktikkan pada masa kini. Total diplomacy bertujuan memperjuangkan kepentingan nasional, sehingga kerjasama, konsultasi dan koordinasi antara unsur pemerintah dan non-pemerintah menjadi sangat strategis yang diarahkan agar perjuangan mencapai kepentingan nasional berlangsung efektif untuk kepentingan rakyat. Pelaksanaan diplomasi tidak dapat dipisahkan dari wewenang, fungsi dan tugas kementerian atau departemen luar negeri, yang strukur organisasi dan jenis tugasnya harus secara terus-menerus disesuaikan dengan kecenderungan dan perkembangan diplomasi dunia, perkembangan aktual dalam hubungan internasional, serta kecepatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kebijakan politik luar negeri menjadi tanggung-jawab pemerintah melalui Menteri Luar Negeri, yang pelaksanaannya harus dilandasi oleh falsafah konsitusi negara serta sejalan dengan aspirasi umum masyarakat. Dalam menjalankan kebijakan politik luar negeri dan hubungan antar bangsa, negara biasanya berprinsp “tidak ada musuh dan kawan yang permanen, tetapi setiap kebijakan harus tetap berpedoman dan berdasarkan pada kepentingan nasional”. Setiap negara memiliki sasaran dan tujuan kepentingan nasionalnya dan diplomasi merupakan salah satu sarana mencapai tujuan nasional berdasarkan strategi yang disepakati secara nasional pula sebagai manifestasi kepentingan seluruh bangsa. 5 Reformasi dalam dunia diplomasi dewasa ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan diplomasi itu sendiri harus menghadapi dua kenyataan yang saling bertolak-belakang, yaitu para diplomat harus berfungsi mewakili kepentingan negara, tetapi yang berkembang sekarang bahwa peran negara dalam hubungan internasional menjadi semakin berkurang dan tidak selalu ikut menentukan. Proses globalisasi dunia mengindikasikan semakin terbatasnya fungsi yang dimiliki negara. Fungsi negara menjadi semakin berkurang dan kegiatan “first track diplomacy” harus disesuaikan dengan proses liberalisasi dan semakin berkurangnya peran pemerintah. Bangsa Indonesia tidak dapat menghindar dari pengaruh kecepatan arus globalisasi yang sedang melanda seluruh dunia. Kepentingan politik globalisasi tersebut pada dasarnya didukung dan dikembangkan oleh negara maju, khususnya AS. Bagi bangsa Indonesia, globalisasi memuat berbagai peluang dan juga ancaman terhadap kepentingan nasional RI, dan globalisasi mempunyai pengaruh tidak kecil bagi survival bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan keutuhan NKRI, khususnya menghadapi diplomasi bangsa lain yang tidak kondusif dengan kepentingan nasional Indonesia. 6 1. GLOBALISASI Berbagai isu global mengenai masalah lingkungan hidup seperti : kerusakan hutan, hak asasi manusia, global warming, terorisme internasional, demokratisasi, konflik etnis, hutang negara, kesehatan masyarakat, bantuan asing dan lain-lainnya lebih banyak yang dilontarkan oleh negara-negara maju yang tidak jarang mendapat reaksi keras dari negara sedang berkembang karena dianggap berdampak kurang menguntungkan bagi kehidupan sosial-politik negara sedang berkembang tertentu yang memiliki tingkat kehidupan penduduknya yang masih belum sepenuhnya berkembang. Negara berkembang merasa mendapat tekanan ketika harus menghadapi berbagai isu politik global yang dinilai sering memojokkan bahkan mengganggu program pembangunan ekonomi mereka. Kekayaan alam dan sumber hayati yang dimilikinya sangat diperlukan oleh negara industri maju, dan negara industri maju menuntut agar sumber hayati dunia harus dipelihara, dilestarikan, dijaga dan dilindungi kondisi lingkungan alamnya. Dengan kemampuan teknologi tinggi, negara maju lebih banyak menikmati kekayaan alam dan hasil sumber hayati yang dimiliki negara sedang berkembang, yang kemampuan teknologinya masih sangat terbatas. Dalam hal isu global yang berhubungan dengan hak individu manusia, ukuran umum yang sering dipakai oleh negara maju adalah tuntutan berdasarkan prinsip demokrasi liberal dengan tingkat kondisi ekonomi sesuai dengan yang telah mereka miliki, sementara kondisi umum penduduk di negara sedang berkembang masih banyak yang jauh tertinggal. Kalau dibuat suatu perbandingan antara kemanfaatan yang dinikmati negara maju dengan kompensasi bantuan yang diterima oleh negara sedang berkembang, ternyata perbandingan tersebut banyak yang berat sebelah. Bantuan tehnik, soft loan maupun hibah yang diterima negara sedang berkembang dinilai masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan nilai tambah yang dinikmati negara maju yang berasal dari sumber hayati yang mereka peroleh dari kawasan negara sedang berkembang. Apalagi dengan apa yang disebut “transfer of technology” dari negara maju. Banyak negara sedang berkembang menganggap konsep tersebut berlaku hanya di atas kertas saja tanpa ada 7 realisasi yang memuaskan. Teknologi ternyata harus diciptakan sendiri atau direbut, dan bukan didapat dengan cara menunggu belas kasihan atau hadiah dari bangsa lain. Isu global sering berkembang menjadi isu politik yang dipaksakan dengan melakukan tekanan politik antara lain melalui jalur diplomasi. Perbedaan penafsiran politik mengenai berbagai isu global semakin terlihat dalam hubungan interaksi antarnegara. Salah satu prinsip dasar dalam hubungan internasional bahwa negara yang memiliki kemampuan politik, ekonomi dan militer cenderung melakukan penekanan politik melalui sarana diplomasi terhadap negara yang dianggap lebih lemah. Terjadinya perbedaan sikap politik atau konflik kepentingan mengenai isu global, seringkali menjadikan posisi politik negara berkembang terdesak atau adakalanya dipaksa menerima pilihan politik yang kurang menguntungkan negara berkembang. Berakhirnya Perang Dunia II menyebabkan Jepang dan Eropa, kecuali Inggris, mengalami kehancuran total yang mengakibatkan pada saat itu mereka hampir tidak memiliki kemampuan apapun untuk ikut menentukan kehidupan politik dunia. Perkembangan politik yang signifikan setelah Perang Dunia II adalah terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menerapkan sistem diplomasi multilateral untuk menanggulangi masalah yang dihadapi bangsa-bangsa di dunia. Perkembangan lainnya adalah terbentuknya berbagai kerjasama regional di Eropa, Asia, Timur Tengah, Amerika dan Afrika. Membaiknya keadaan ekonomi dunia terutama setelah Amerika Serikat meluncurkan soft power diplomacy melalui “Marshall Plan” untuk membantu ekonomi dunia yang porak-poranda akibat Perang Dunia II. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Eropa secara bertahap mulai kehilangan wilayah jajahannya di Asia dan Afrika, ada yang melalui proses dekolonisasi damai tetapi ada juga yang melalui paksaan revolusi. Selesainya Perang Dunia II telah memunculkan dua kekuatan adikuasa yaitu Amerika Setrikat dan Uni Soviet yang kemudian melanjutkan persaingan ideologinya dalam suasana yang disebut Perang Dingin. Sebagai reaksi pertentangan dan persaingan dua kekuatan ideologi dunia yang mewakili kubu demokrasi liberal dan komunisme, muncul kekuatan ketiga yang membentuk Gerakan Non Blok (GNB). Keberadaan 8 kekuatan ketiga yang pada umumnya beranggotakan negara sedang berkembang, justru dijadikan ajang perebutan pengaruh tarik-menarik antara dua kekuatan blok dunia, sehingga memperlemah posisi dan fungsi GNB yang tadinya diharapkan sebagai kekuatan penengah terhadap dua kekuatan dunia yang saling bersaing tersebut. Dalam suasana Perang Dingin, persaingan antara kubu komunis dengan kubu demokrasi liberal seringkali mengakibatkan terjadinya konflik regional dan konflik etnis di berbagai kawasan dunia. Perang Dingin di benua Asia dianggap berakhir sejak Presiden Nixon dari AS melancarkan “Nixon Doctrine” tahun 1969 yang tujuan utamanya adalah mengurangi keterlibatan langsung kekuatan militer AS di Asia, yang kemudian dilanjutkan dengan kunjungan Presiden Nixon ke RRC tahun 1972, yang didahului dengan “ping-pong diplomacy” oleh RRC. Inisiatif AS di Asia menghadapi RRC dan Vietnam merupakan upaya diplomasi menyelamatkan muka AS. Gerakan politik dan diplomasi AS di Asia antara lain berakibat keanggotaan Taiwan dicabut di PBB digantikan RRC yang otomatis juga menjadi anggota tetap Dewan Keamanan-PBB. Sedangkan perang Vietnam dapat diakhiri melalui Perjanjian Paris antara AS dan Republik Demokrasi Vietnam tahun 1973, yang dapat dinilai sebagai kekalahan politik dan diplomasi AS di Asia. Perang Dingin di Eropa dapat dianggap berakhir setelah runtuhnya tembok Berlin tahun 1989, yang dilanjutkan dengan proses perkembangan politik. Diplomasi dunia mengalami tahapan pembaharuan dengan kondisi sosial-politik yang sangat berbeda. Dominasi kekuatan politik dan militer AS disertai kecanggihan teknologi mesin perangnya serta kemampuan dan kesiap-siagaannya mengerahkan kekuatan militernya ke seluruh pelosok dunia dalam waktu cepat, menjadikan AS sebagai kekuatan dunia dan merupakan satu-satunya negara adikuasa yang sulit ditandingi. Setelah tahun 1989, hubungan dan interaksi antarnegara semakin intensif akibat cepatnya kemajuan dan kecanggihan teknologi komunikasi. Akibatnya, terjadi jalinan hubungan informasi yang sangat cepat di hampir seluruh negara di dunia yang menghasilkan globalisasi ekonomi dan globalisasi teknologi komunikasi, yang ternyata lebih memberi manfaat kepada 9 negara industri maju karena teknologi informasi lebih banyak dikuasai oleh negara maju. Mereka memiliki kemampuan menggalang dan menguasai opini dunia untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Menjelang berakhirnya abad ke-XX, reformasi hubungan antarbangsa antara lain ditandai dengan semakin berperannya organisasi internasional yang mengatur kerjasama antarnegara untuk menangani masalah politik, ekonomi, keuangan, perdagangan, budaya, sosial dan lain-lain, yang kesemuanya menjurus pada keinginan membentuk tatanan dunia baru yang bersifat global. AS secara sefihak menggunakan kekuatan dan kekuasaannya baik melalui “hard power” ataupun “soft power” yang memanfaatkan penguasaan sistem informasi dan kemampuan teknologi komunikasi. Kedaulatan Irak tidak lagi dihormati karena negara tersebut dianggap melanggar prinsip yang dikembangkan AS untuk menciptakan dunia yang berasaskan kebebasan individu berdasarkan demokrasi liberal. AS dan sekutunya merasa berhak menyerang Irak (hard power) yang dituduh mendukung terorisme internasional. Isu global yang muncul saat ini adalah untuk memperkuat dan menghormati hak individu yang harus dilindungi oleh kewenangan negara dan pemerintah. Isu global itu sendiri ternyata dianggap banyak yang kurang memberi manfaat bagi negara sedang berkembang, karena penerapan hak individu cenderung lebih banyak disesuaikan dengan falsafah kehidupan demokrasiliberal bangsa Barat. Proses pembaharuan dan perubahan dunia di alam globalisasi akan tetap berlangsung dan tantangan yang harus dihadapi yaitu masih adanya kesenjangan antara kepentingan negara maju di satu fihak dan kepentingan negara sedang berkembang di fihak yang lain, terutama karena posisi ekonomi negara sedang berkembang yang berada jauh di bawah kemampuan negara maju. Faktor ini membawa akibat sering terjadinya tekanan dan paksaan politik dan diplomasi yang menonjolkan kekuatan, kekuasaan bahkan juga melalui show of force kemampuan militer. Sebaliknya konsentrasi negara sedang berkembang yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi, semakin menambah jumlah utang luar negeri mereka dalam bentuk kredit yang harus dibayar kembali bersama bunganya. Keadaan ini menyebabkan negara maju semakin kaya, 10 sedangkan kemajuan ekonomi sebagian besar negara berkembang pada umumnya masih marginal. Persoalan ekonomi lain yang dihadapi dunia antara lain juga akibat terjadinya ketidak-seimbangan antara jumlah manusia dengan luas tanah permukiman dan semakin menipisnya sumber hayati dunia untuk memberi kehidupan kepada manusia. Manusia bukan lagi memanfaatkan alam, tetapi sudah mengarah untuk merusak kondisi alam. Kemajuan teknologi yang tadinya dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas ternyata membawa akibat rusaknya kondisi lingkungan hidup karena pencemaran air dan udara maupun keracunan lain akibat digunakannya bahan kimiawi pada industri, sehingga mengurangi populasi banyak jenis hewan dan merusak sistem ekologi. Pertumbuhan ekonomi, teknologi dan kemajuan industri mempunyai kaitan yang sangat erat dengan pelestarian alam. Masalahnya, bahwa sumber hayati alam yang diperlukan kaum industrialis dan kapitalis banyak yang terdapat di kawasan negara sedang berkembang. Statistik menunjukkan bahwa negara industri Barat di Eropa dan AS, justru yang paling banyak menyerap sumber hayati bumi yang persediaannya semakin menipis. Dunia memerlukan pengaturan yang jelas, tegas, adil dan jujur agar terjadi keseimbangan pemanfaatan sumber hayati alam antara negara maju dan negara sedang berkembang, agar tidak terjadi kesenjangan kemakmuran yang semakin melebar. 11 2. REVOLUSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) terhadap praktik diplomasi ditanggapi secara bervariasi oleh negara-negara di dunia. Ada yang menanggapinya dengan agak lambat dan ada yang mengantisipasi dengan cepat terhadap setiap kecenderungan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi di masa mendatang. Beberapa negara ada yang masih tetap mengandalkan bentuk diplomasi lama (kuno) yang lebih melihat pada sosok diplomat sebagai satu-satunya sumber informasi menghadapi perkembangan politik internasional. Duta Besar masih dianggap sebagai “mata dan telinga” utama untuk menentukan kebijakan politik luar negeri. Kurang cepatnya pemerintah negara mengantisipasi pesatnya kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi, karena ada yang masih tetap ingin mempertahankan posisi diplomat sebagai faktor penentu dan sebagai sumber informasi yang dihandalkan, khususnya negara-negara yang kemajuan teknologinya masih terbatas. Akibatnya, semakin terjadi kesenjangan antara negara maju dengan negara sedang berkembang dalam menggunakan atau memanfaatkan ICT, yang berarti sangat mempengaruhi pula kecepatan suatu negara mengantisipasi perkembangan internasional yang akan terjadi. Suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari bahwa kemajuan teknologi ternyata lebih mampu dimanfaatkan oleh negara industri maju dalam menjalankan diplomasinya. Cepatnya proses perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dikembangkan oleh negara maju menghasilkan “revolusi informasi” dan “revolusi komunikasi”, yang secara langsung ikut mempengaruhi berbagai dinamika dalam kehidupan masyarakat, termasuk pengaruh langsung terhadap praktik diplomasi. Para diplomat harus cepat menyesuaikan kinerja dan sistem kerjanya dengan perkembangan baru tersebut, antara lain karena semakin meluasnya jaringan kerja setelah ditemukannya electric typing, pelayanan photography, facsimile, PC dan mobile phones ditambah lagi dengan jaringan E-mail, komputer dan penggunaan satellite untuk tele-conference yang semakin mempercepat proses komunikasi antar benua. Dunia mengalami perubahan yang sangat cepat yang berimplikasi pula pada praktik diplomasi. 12 Pengiriman informasi melalui sistem komunikasi mempunyai kaitan langsung dengan para pengguna informasi. Berlangsungnya revolusi informasi dan komunikasi yang begitu cepat, menuntut tersedianya sumber daya manusia yang secara cepat pula mampu menguasai dan menyesuaikan diri dengan teknologi baru, baik melalui cara rekrutmen atau pelatihan khusus. Diplomat adalah pengguna informasi dan sekaligus sebagai sumber informasi. Profesi diplomat memang sangat memerlukan informasi yang tepat dan akurat melalui komunikasi yang cepat. Sebagai konsekwensinya, diperlukan suatu komitmen di semua lembaga pemerintah di pusat ibukota maupun di perwakilan diplomatik di luar negeri, agar arus informasi timbal-balik dapat benar-benar efektif dan bermanfaat bagi kepentingan diplomasi negara. Pelaksanaan dan penggunaan ICT terbaru juga memerlukan suatu pengaturan baru dalam organisasi di pusat maupun di perwakilan diplomatik di luar negeri, karena sarana kecepatan arus informasi akan ikut mempengaruhi susunan dan struktur hirarki di jajaran organisasi. Melalui ICT berarti akan lebih mempersingkat proses instruksi tugas kepada para diplomat karena memungkinkan pimpinan organisasi dapat memberi pengarahan langsung kepada para pelaksana diplomasi melalui sarana E-mail ataupun internet, yang konsekwensinya terpaksa harus mengurangi sebagian dari struktur organisasi dan merampingkan hirarki organisasi, mengingat sejumlah manusia dan kotak organisasi yang sudah tidak diperlukan lagi. Berlangsungnya komunikasi yang semakin cepat dengan menggunakan ICT, dapat merupakan faktor positif yang memberi keuntungan, tetapi juga mengandung risiko. Keuntungan bagi kepentingan diplomasi bahwa informasi dapat diperoleh dengan sangat cepat, tetapi mengandung konsekwensi bahwa pemberi informasi harus diberi jawaban yang cepat pula, yang berarti harus bekerja lebih cepat untuk menyusun substasi jawabannya. Kecepatan penyaluran informasi memang merupakan faktor sangat penting dalam menjalankan tugas diplomasi. Risiko lain adalah faktor security, karena dengan menggunakan E-mail, internet dan sistem komputer yang centralized ternyata dapat lebih mudah disadap oleh pihak ketiga, sehingga kurang terjamin keamanannya maupun kerahasiaannya. 13 Tahun 1995, “The Diplomatic Academy of London” dan “The London Diplomatic Association” pernah menyelenggarakan simposium yang antara lain mengantisipasi diplomasi setelah tahun 2000 (“Diplomacy Beyond 2000”). Simposium tersebut antara lain menggambarkan dan mempertanyakan peran para diplomat selanjutnya sehubungan dengan terjadinya “revolusi infomasi dan revolusi komunikasi”. Beberapa pertanyaan yang muncul di simposium sehubungan dengan keterkaitan antara revolusi ICT dengan praktik diplomasi antara lain adalah : 1. Apa sebenarnya peran ICT dalam proses pengambilan keputusan ? Tentunya tidak mungkin terjadi bahwa di masa mendatang suatu keputusan untuk menetapkan kebijakan politik harus menggantungkan diri pada komputer. Teknologi informasi hanya berkemampuan mentransformasi berita atau informasi, artinya hanya mampu mempercepat pertukaran dan pengiriman informasi dari dan ke berbagai sumber informasi maupun pengguna informasi. Keputusan untuk menetapkan suatu kebijakan politik hanya dapat dilakukan oleh kecerdasan dan keterampilan manusia atau para diplomat yang menanganinya. Kemampuan manusia untuk dapat mengantisipasi perkembangan dunia yang akan datang, tetap merupakan faktor penting untuk menentukan kebijakan politik negara, yang berarti peran exchange of information dan kecepatan serta akurasi informasi menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan. ICT hanya merupakan penyempurnaan prasarana dalam menjalankan atau melaksanakan diplomasi. Unsur yang paling penting dalam diplomasi adalah tetap faktor kecerdasan dan kepiawaian manusia sebagai pelaksana dan kecepatan informasi yang didukung oleh sistem komunikasi yang tepat. 2. Apa sebenarnya peran diplomat, apakah hanya untuk menyalurkan informasi dari tingkat pucuk pimpinan ke bawah (from top to bottom), ataukah hanya antara sesama perwakilan diplomatik di luar negeri ? 14 Apabila sudah ditetapkan menggunakan ICT sebagai sarana dalam menyalurkan informasi, konsekwensinya harus ada arahan yang jelas (directives) dan komitmen dari pucuk pimpinan melaksanakan pelatihan intensif bagi semua pejabat foreign service di dalam maupun di luar negeri agar benar-benar menguasai manajemen informasi. Risikonya bahwa harus terjadi perubahan mendasar dalam hirarki organisasi sebagai akibat terhapusnya berbagai struktur yang sudah tidak diperlukan lagi. Akibat langsung digunakannya ICT justru untuk mempersingkat dan mempercepat prosedur pengambilan keputusan dan penyelesaian tugas dalam organisasi, yang akan memiliki konsekwensi merampingkan struktur organisasi di pusat ibukota maupun di perwakilan diplomatik di luar negeri. Setidaknya harus ditentukan pendefinisian baru mengenai tugas, fungsi dan lingkup pekerjaan para diplomat dalam organisasi; 3. Dengan ICT, jalur komunikasi melalui komputer sebenarnya dimungkinkan dapat dilakukan di mana saja, di kantor ataupun di rumah bahk Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana pengamanannya, karena masalah security merupakan penghalang utama digunakannya jaringan dan sistem komunikasi. Persoalannya adalah sejauhmana kemampuan setiap penentu kebijakan untuk dapat mengidentifikasi risiko security dalam menggunakan ICT. Sampai sekarang belum pernah ada konvensi atau kesepakatan untuk mengamankan informasi, karena negara berteknologi maju justru dengan diam-diam dan tertutup serta secara terus-menerus berusaha mengembangkan teknologi baru untuk mendapatkan atau menyadap informasi dari dan tentang negara yang berpotensi menjadi saingan atau musuhnya. Suatu realita bahwa digunakannya ICT dalam mendukung kegiatan diplomasi telah meringankan bahkan mempermudah peran para diplomat dalam menjalankan tugasnya. ICT juga membantu untuk kepada para diplomat.. lebih mengefektifkan tanggung-jawab yang dibebankan Ditemukannya internet dan video conference misalnya, 15 merupakan penemuan baru yang sangat mempercepat proses penyebaran informasi sebagai bagian dari kegiatan diplomasi. Peristiwa penting yang terjadi di suatu negara akan cepat tersebar pemberitaannya ke seluruh dunia. Media internasional segera menyebarkan berita tersebut ke seluruh pelosok dunia yang diselingi dengan berbagai penjelasan atau analisis yang dilandasi oleh informasi yang dikumpulkan oleh media tersebut atau dilatar-belakangi oleh sikap atau pandangan politik media bersangkutan. Para diplomat dari berbagai negara akan segera melaporkannya ke ibukotanya masing-masing mengenai peristiwa yang sama. Laporan yang dibuat oleh para diplomat tentunya tidak hanya mengutip saja dari pemberitaan media, tetapi harus berdasarkan informasi yang ditambah dengan analisa dan kesimpulan obyektif. Kecepatan mendapatkan latar belakang informasi, baik yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah atau politisi setempat maupun dari pihak media, sangat ditentukan oleh kedekatan hubungan para diplomat dengan sumber informasi yang dinilai penting dan memiliki kredibilitas. Jaringan hubungan berdasar kedekatan pribadi dengan berbagai kalangan sangat membantu kecepatan para diplomat mendapatkan akses ke sumber informasi, yang akan menjamin keakuratan laporan yang disampaikan ke pemerintah pusatnya. Keakuratan dan kecepatan menyampaikan laporan ke ibukota masing-masing akan membantu pemerintahnya merumuskan keputusan atau kebijakan politik yang tepat dan cepat. Namun apa yang sering terjadi bahwa para diplomat menyampaikan laporan ke pemerintahnya justru bersumber dari pemberitaan media. Fungsi para diplomat di luar negeri juga mengalami perubahan akibat revolusi ICT. Laporan politik ke ibukotanya tetap merupakan tugas sangat penting selain laporan ekonomi dan promosi perdagangan. Perubahan yang cukup drastis sejak beberapa dasawarsa terakhir bahwa tugas perwakilan diplomatik tidak hanya mengutamakan hubungan bilateral, tetapi juga hubungan multilateral. Perubahan ini harus diikuti dengan mempersiapkan para diplomat melalui pendidikan dan pelatihan khusus menguasai tehnik operasi diplomasi multilateral maupun berbagai masalah multilateral yang bersifat global. 16 3. PERAN MEDIA Pada masa-masa lalu terutama sebelum pecahnya Perang Dunia II, masyarakat dunia memiliki anggapan bahwa “diplomats are a close shop” (istilah yang digunakan oleh koresponden CBS, Marvin Kalb), yang mengartikan bahwa profesi sebagai diplomat bersifat sangat tertutup, karena mereka bekerja hanya untuk kepentingan dan dimengerti oleh lingkungannya sendiri dengan alasan menjaga security negara. Peran para diplomat di jaman sekarang sudah jauh berbeda. Tuntutan masyarakat menghendaki agar diplomat bersikap lebih transparan dengan melaksanakan komunikasi publik agar masyarakat memahami apa yang menjadi tugas diplomat dalam menjalankan diplomasi, terutama karena semakin cepatnya arus informasi akibat terjadinya revolusi komunikasi. Revolusi teknologi komunikasi bukan hanya berpengaruh terhadap pentingnya kecepatan arus informasi yang dilakukan oleh media yang harus secepatnya menyebarkan setiap informasi kepada publik di dalam maupun di luar negeri, tetapi juga oleh para diplomat yang harus segera menyampaikan laporan kepada pusat di ibukota. Dilihat dari segi kepentingan kecepatan, memang terdapat perbedaan antara peran diplomat di satu sisi dengan tugas media di sisi yang lain. Diplomat dalam melaksanakan peran dan tugasnya dilandasi oleh kepentingan nasional dan misi pemerintah negaranya, sementara antara media terjadi saling beradu cepat mengumpulkan dan menyalurkan informasi untuk kepentingan publik, yang dilatar-belakangi oleh motivasi persaingan antara mereka sendiri. Siapa dan apa yang disebut kepentingan pubik, dalam hal ini mewakili semua unsur yang ada di dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan dengan pemberitaan media, mulai dari mereka yang mempunyai kepentingan dengan masalah politik, ekonomi, sosial, militer, pendidikan dan lain-lainnya sampai dengan mereka yang hanya memerlukan informasi tanpa memiliki ikatan dengan kepentingan apapun atau siapapun, karena sekadar hanya ingin tahu apa yang telah terjadi. 17 Sejak di jaman Yunani kuno antara praktik diplomasi dengan evolusi sistem politik sudah saling mempengaruhi satu dengan yang lain, dan sejak abad ke-XIX nilai-nilai demokrasi mulai ikut memberi warna dalam praktik diplomasi. Di abad ke-XIX juga muncul teori-teori diplomasi yang banyak dipengaruhi oleh bentuk pemikiran baru yang dilandasi oleh perkembangan politik di saat itu, yang antara lain sebagai akibat adanya faktor yang berkembang dalam hubungan antarnegara, seperti : keinginan membentuk komunitas antar negara, semakin tingginya pengakuan terhadap pentingnya opini publik, dan semakin cepatnya sistem komunikasi antar negara. Faktor-faktor tersebut masih tetap berlaku sampai sekarang. Diplomasi yang sudah berlangsung ratusan tahun selalu dilaksanakan secara tertutup dan eksklusif, tetapi sejak berakhirnya Perang Dunia II arah diplomasi secara tetap bergerak menuju ke arah sifat yang lebih terbuka bagi kepentingan publik. Bahkan komunikasi publik secara pasti sudah memasuki arena tugas diplomasi yang berarti pelaksanaan tugas diplomat tidak lagi selalu eksklusif dan tertutup. Bahkan hasil pelaksanaan tugas para diplomat maupun menteri luar negeri harus dipertanggungjawabkan kepada parlemen. Perubahan apapun yang terjadi dalam pelaksanaan tugas diplomat, inti pokok tugas diplomasi sebenarnya masih tetap sama yaitu merupakan “seni untuk membujuk, mempengauhi dan meyakinkan fihak lain”, baik secara private maupun public. Dalam keadaan sekarang, seorang diplomat tidak cukup hanya menggunakan keahliannya untuk melakukan diplomasi melalui jalur private saja. Diplomasi akan menjadi lebih efektif apabila diplomat dalam melaksanakan tugas pokoknya, selain melakukan: reporting, analyzing dan negotiating juga mempunyai keahlian melakukan public communications. Diplomat harus menyadari bahwa pelaksanaan tugas diplomasi harus diikuti dengan kemampuan untuk menyalurkan informasi dan pesan politik melalui media agar dapat difahami dan dimengerti dengan baik oleh masyarakat umum. Diperlukan suatu pengertian dan pengetahuan khusus mengenai peran media agar dicapai komunikasi yang efektif. Akibat kemajuan dan kecepatan komunikasi menyebabkan ada yang berpendapat bahwa peran seorang duta besar sekarang dinilai menjadi kurang penting lagi dalam 18 hubungan internasional. Para kepala negara atau kepala pemerintahan mempunyai jadwal tetap untuk saling bertemu atau dapat melakukan komunikasi langsung melalui telepon, fax atau internet antarmereka sendiri untuk bertukar pendapat. Menghadapi perkembangan saat ini, salah satu upaya para diplomat adalah melaksanakan komunikasi publik antara lain dengan membina hubungan dekat atau memiliki komunikasi dengan pihak pejabat teras atau politisi yang berada di sekitar kepala negara atau kepala pemerintahan guna memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai kebijakan politik pemerintah setempat. Dalam hubungan ini dapat berlangsung persaingan ataupun kerjasama antara diplomat dengan pihak media dalam melaksanakan komunikasi publik tersebut. Di negara akreditasi, diplomat dan media seringkali menghadapi sumber informasi yang sama dan harus menggunakan kecepatan untuk mendapatkan informasi mengenai suatu peristiwa penting. Kecepatan masing-masing memperoleh informasi sangat ditentukan oleh kedekatan hubungan mereka dengan sumber informasi. Diplomat dan koresponden asing berlomba mendapatkan informasi untuk dilaporkan ke pemerintah pusatnya, sedangkan bagi koresponden media dikomunikasikan ke kantor pusatnya. Latar belakang dan analisa politik dari peristiwa yang dilaporkan oleh para diplomat dinilai lebih berbobot tinggi apabila laporan tersebut mengandung analisa yang lebih tajam dan akurat apabila dibandingkan dengan laporan jurnalistik yang secara cepat tersebar luas ke seluruh dunia, terlebih apabila peristiwa yang terjadi itu mempunyai kaitan dengan hubungan bilateral. Artinya, komunikasi publik yang dilakukan oleh para diplomat bukanlah hanya semata-mata memperoleh atau mengumpulkan informasi saja, tetapi harus disertai kemampuan membuat analisa politik yang canggih, mendalam dan tajam berdasarkan naluri politik dan kemampuan analisis seorang diplomat yang sudah terlatih baik. Kemampuan analisis tersebut harus pula didukung oleh kecanggihan diplomat mendapatkan informasi melalui komunikasi publik dari sumber informasi, baik dari fihak yang mendukung maupun dari kalangan yang menentang (oposisi) mengenai suatu perkembangan politik atau kebijakan penting lainnya. 19 Diplomat yang juga seorang birokrat ditugaskan di dalam maupun di luar negeri. Sebagai unsur birokrasi di dalam negeri, seorang diplomat menjadi berperan sebagai sumber informasi yang harus menghadapi media dari dalam maupun luar negeri. Anggota media memerlukan informasi yang cepat dan akurat untuk disebarkan kepada masyarakat luas, sehingga apapun yang disampaikan kepada pihak media pada umumnya merupakan informasi obyektif sebagai konsumsi masyarakat. Biasanya departemen luar negeri atau kementerian luar negeri suatu negara menerapkan kebijakan “satu pintu” untuk melayani media agar tercipta prinsip satu suara, yang biasanya dilakukan oleh juru bicara departemen. Sebagai bagian dari alat pemerintah, setiap lembaga pemerintah memiliki bahan substansi yang sedikitnya memiliki empat macam kategori, yaitu : - bahan substansi yang bukan untuk konsumsi pemberitaan, - yang belum matang menjadi konsumsi pemberitaan, - yang sudah matang sebagai bahan pemberitaan, dan - yang secara sengaja disebar-luaskan untuk kepentingan politik tertentu. Adakalanya penyebar-luasan suatu berita justru untuk memancing reaksi dari negara lain. Suatu pemberitaan untuk konsumsi masyarakat harus memiliki tujuan yang jelas dan sebagai bagian dari kebijakan politik pemerintah yang bersifat terbuka. Untuk keperluan dan kepentingan politik, informasi yang diberikan dapat bersifat tertutup, yang biasanya diberikan kepada kalangan tertentu saja. Walaupun dalam beberapa hal terjadi pertemuan kepentingan yang berbeda antara diplomat dengan unsur media, tetapi sebagai bagian dari tugas diplomasi tidak dapat dihindari bahwa diplomat dan media merupakan partner penting yang dapat saling mengisi dan saling membantu. Liberalisasi politik menuntut keterbukaan dalam setiap kebijakan pemerintah, yang tidak jarang ikut membatasi bahkan mempersulit lingkup tugas diplomat. Diplomat sering menghadapi dilemma dengan adanya liberalisasi informasi mengingat tidak semua informasi yang dapat dianggap sudah cukup matang untuk dijadikan informasi publik. Kecenderungan perkembangan ini mengandung kepekaan, karena di satu fihak adanya tuntutan masyarakat agar negara tidak memiliki kerahasiaan kepada public (harus bersifat 20 transparan), sementara di fihak lain masih diperlukan sifat tertutup karena menyangkut kerahasiaan negara karena dianggap tidak harus atau belum perlu diketahui publik. Suatu kecenderungan umum yang berlaku di alam globalisasi adalah tuntutan untuk mengutamakan sifat liberalisme dalam kehidupan politik negara, yang secara otomatis akan mempersempit gerak kewenangan diplomasi menjaga kerahasiaan negara. Dalam keadaan sekarang, dunia sudah dipenuhi dan dikelilingi oleh budaya elektronika. Sudah merupakan kenyataan sehari-hari bahwa pemberitaan media, khususnya berita di TV, yang dengan cepat mengulas mengenai kebijakan politik dalam negeri maupun permasalahan dalam hubungan internasional, untuk memenuhi keinginan konsumen memperoleh informasi secara cepat. Diplomat harus menyadari bahwa di dunia sedang berlangsung “demokrasi media” dan juga “diplomasi media”. Seorang diplomat harus memiliki kemampuan agar tidak terjebak oleh diplomasi media yang memang disengaja untuk mendapatkan informasi penting. Dengan semakin cepatnya sistem komunikasi, pemberitaan di media secara tidak langsung dapat ikut berperan mempercepat penyelasaian atau penanganan persoalan dalam hubungan internasional. Sebaliknya, demokrasi media dan diplomasi media dapat berakibat memperburuk situasi. Kecepatan suatu pemberitaan oleh media mengenai adanya permasalahan hubungan bilateral antara dua negara, ikut mempercepat reaksi atau penjelasan dari negara yang bersangkutan atau sebaliknya justru dapat memperkeruh suasana, sebagai akibat ulasan atau komentar subyektif media yang ternyata dibuat tergesa sehingga kurang akurat. Sebagai bagian dari public communications, dapat diselenggarakan suatu pertemuan berkala dengan media di dalam negeri untuk menyampaikan “background information”, untuk menumbuhkan saling pengertian antara diplomat dengan media mengenai latar belakang suatu kejadian politik tertentu. Adakalanya ada persoalan diplomatik yang sudah “tercium” oleh media, tetapi persoalan tersebut masih belum saatnya untuk dijadikan konsumsi publik, karena mungkin menyangkut kepentingan hubungan bilateral atau mempengaruhi keberhasilan sasaran kepentingan nasional. Timbul kemudian istilah “off the record”, yang artinya informasi yang disampaikan tidak untuk dijadikan bahan berita. Penyampaian background information “off the record”, biasanya disampaikan 21 kepada chief editors media di dalam negeri mengenai peristiwa nasional yang masih mengandung sifat kerahasiaan atau yang samasekali tidak perlu untuk diberitakan. Beberapa tokoh wartawan ada yang beranggapan bahwa penyampaian informasi “off the record” tidak akan efektif karena tidak mengandung sanksi, dan informasi yang diterima itu sudah dapat dipastikan di kemudian hari akan dijadikan bahan masukan dalam mengulas suatu peritiwa politik, sehingga dapat dipastikan bahwa informasi itu suatu saat akan menjadi “on the record”. Komitmen yang berlangsung antara media dan birokrat hanya akan berlangsung untuk jangka pendek saja. 22 4. DIPLOMASI TOTAL Di alam globalisasi terdapat banyak non-professional diplomat yang merasa mempunyai kepentingan sebagai pemerhati atau mau ikut berperan dalam kegiatan aktif diplomasi. Kalau para diplomat professional dalam melaksanakan tugasnya menggunakan sarana mesin diplomatik yang merupakan networking baku yang sudah terbentuk untuk menghubungkan pusat pemerintahan dengan perwakilan diplomatik di luar negeri dalam rangka menjalankan misi diplomatik, sementara aktor dari unsur nonpemerintah membentuk sendiri networkingnya yang dikesankan memiliki independensi. Keterbatasan gerak para diplomat professional dalam melaksanakan tugasnya yang harus mengikuti tata-cara dan protokol diplomatik, dinilai oleh kelompok lain sebagai lamban dan kurang efektif. Banyaknya aktor non-pemerintah yang ikut dalam pelaksanaan diplomasi yang bertujuan mencapai sasaran kepentingan nasional, pelaksanaannya menjadi kurang terarah dan kurang efektif karena berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang jelas. Dengan semakin meluas dan semaraknya peran “swasta” (non-pemerintah) tersebut dalam hubungan internasional khususnya di negara-negara maju, memunculkan persepsi di kalangan negara sedang berkembang untuk mengimbanginya dengan mengetengahkan juga aktor baru dalam kehidupan diplomastik. Faktor kurangnya pengalaman dan dana di beberapa negara sedang berkembang, menyebabkan kegiatan para aktor baru tersebut mudah dipengaruhi atau ditentukan arah gerakannya oleh unsur asing (termasuk NGO) yang sering memiliki latar belakang dan motivasi politik, bahkan ada yang menjadi bagian dari kegiatan intelijen. Kegiatan diplomasi merupakan pelaksanaan dari kebijakan politik luar negeri yang memperjuangkan kepentingan nasional suatu negara yang berhubungan dengan kepentingan negara atau negara-negara lain di dunia. Dari sudut pelaksanaan tugas diplomasi, kemampuan antisipasi menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan di satu sisi, dan upaya memperjuangkan diplomasi yang berdasarkan kepentingan nasional di sisi yang lain, disebut sebagai diplomasi total. Diplomasi total 23 mempunyai maksud ganda, yaitu pertama : untuk menggalang kekuatan nasional menghadapi unsur asing di dalam maupun di luar negeri, dan kedua : bahwa pelaksanaan diplomasi merupakan bagian dari aspirasi masyarakat yang tercermin sebagai bagian dari kepentingan nasional.. Diplomasi total didukung oleh sistem yang mampu menggerakkan seluruh kekuatan nasional untuk bekerjasama, berkonsultasi dan berkoordinasi melaksanakan kegiatan diplomasi yang memperjuangkan kepentingan nasional, baik melalui apa yang disebut first track diplomacy yang dilaksanakan oleh unsur resmi pemerintah, maupun second track diplomacy yang dijalankan oleh unsur-unsur nonpemerintah. Dalam rangka mencapai sasaran kepentingan nasional suatu negara, sudah sewajarnya kalau dalam melaksanakan diplomasi total perlu tercipta suatu koordinasi nasional dalam rangka mencapai satu sasaran yang sama. Koordinasi antara pelaksanaan first track dan second track diplomacy tersebut pada umumnya dilakukan oleh departemen/kementrian luar negeri sebagai unsur pemerintah yang mempunyai tanggung-jawab resmi menjalankan politik luar negeri dan melaksanakan diplomasi. Kegiatan koordinasi yang mencakup seluruh kekuatan nasional yang terdiri dari unsur pemerintah dan non-pemerintah, menjadi sangat strategis bagi perjuangan suatu negara untuk mencapai sasaran kepentingan nasional demi terciptanya kemakmuran dan kejayaan rakyat dan bangsanya, karena didukung oleh kekuatan positif seluruh masyarakat.. Masyarakat atau rakyat merupakan unsur kekuatan nasional yang memberi motivasi pemerintah melaksanakan kebijakan politik luar negeri, sebaliknya motivasi masyarakat tersebut harus didasarkan pada pengertian masyarakat mengenai arah dan tujuan politik luar negeri itu sendiri yang secara politis disalurkan melalui parlemen. Merupakan tugas penting bagi departemen/kementrian luar negeri untuk melakukan kegiatan public relations secara terus-menerus kepada masyarakat agar lebih memahami arah dan tujuan politik negeri negara. Merupakan suatu prasyarat mutlak bahwa semua pejabat publik, baik yang berada di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, memiliki satu tanggung-jawab mutlak untuk menyimpan kerahasiaan negara demi kepentingan nasional dan bukan digunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan. 24 Ciri diplomasi di abad millennium lebih banyak membahas masalah yang bersifat global melalui jalur kerjasama multilateral dan menunjukkan semakin berkurangnya peran pemerintah negara. Dari segi pelakunya, diplomasi total semakin banyak mengetengahkan aktor politik (baik yang berasal dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah) yang merasa berhak ikut menangani kegiatan diplomasi, baik yang disalurkan melalui jalur bilateral maupun multilateral. Hal yang cukup menonjol dalam kegiatan diplomasi di abad millennium adalah semakin diabaikannya kedaulatan negara termasuk kedaulatan atas wilayah negara, karena negara besar khususnya negara adikuasa, tidak lagi mau menghormati batas wilayah negara sepanjang hal tersebut mempunyai hubungan dengan kepentingan keamanan mereka. Mereka menganggap memiliki kewenangan menjaga dan mengamankan nilai-nilai tatanan dunia baru yang justru mereka sendiri menentukan kwalifikasinya. Semakin meningkatnya hubungan antarbangsa di alam globalisasi dengan kedudukan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa dunia yang terus-menerus ingin memperkuat dan mempertahankan dominasinya, kehidupan diplomasi juga disibukkan dengan semakin banyaknya kegiatan yang bersifat tertutup yang dikenal dengan kegiatan intelijen. Di satu fihak AS dan sekutunya berusaha menggunakan atau memperluas pengaruhnya dalam rangka mendukung strategi globalnya agar tatanan dunia selalu berada di bawah pengaruhnya, sementara di fihak lain berlangsung kegiatan counterintelijen dari negara lain sebagai faktor pengimbang bahkan menghalangi upaya dan kegiatan intelijen AS dan sekutunya. Kegiatan intelijen sebenarnya sudah berlangsung sangat lama seiring dengan lamanya umur diplomasi, bahkan banyak yang mengatakan bahwa kegiatan diplomatik adalah bagian dari kegiatan inteijen yang bersifat resmi. Semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini menyebabkan negara maju saling berusaha mendapatkan peluang dan kesempatan menguasai semua informasi yang mereka perlukan dari negara-negara yang dijadikan sasaran mereka. Dari segi kepentingan negara yang aktif melaksanakan apa yang disebut sebagai diplomasi total, faktor kegiatan intelijen dan kontra-intelijen merupakan bagian dari diplomasi itu sendiri, karena antara kegiatan diplomasi dengan kegiatan intelijen memang dapat saling mengisi 25 Bahkan adakalanya berlangsung penyusupan (tertutup) secara sengaja kegiatan intelijen ke dalam kegiatan diplomatik karena faktor hak imunitas sebagai diplomat. Tidak jarang pula bahwa kegiatan intelijen menggunakan diplomat sebagai sumber informasi atau dijadikan agen informasi, tetapi sebaliknya mereka dari unsur intelijen dalam menjalankan tugasnya difungsikan sebagai diplomat.. Banyak negara yang menggunakan departemen/kementrian luar negeri sebagai wadah yang mengkoordinasi kegiatan diplomatik tertututup (intelijen) yang dilakukan di lingkungan perwakilan diplomatik, karena tugas diplomasi dan intelijen memiliki garis batas yang sangat tipis. Di era globalisasi terjadi perubahan atau pergeseran sifat isu global. Perubahan tersebut pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan isu politik global yang sesuai dengan kecenderungan baru dunia yang lebih memberi perhatian pada hak-hak individu manusia sebagai penduduk dunia. Kalaupun di era globalisasi masih terjadi konflik atau kekerasan bersenjata, hal tersebut bukan lagi sebagai akibat pertentangan ideologi, tetapi lebih merupakan akibat dari perbedaan persepsi dan penilaian yang berhubungan dengan hak dasar manusia. Kekerasan yang terjadi di Afghanistan dan serangan AS terhadap Irak misalnya, merupakan akibat tuduhan yang ditujukan ke kedua negara tersebut yang dinilai mendukung dan terlibat dalam terorisme internasional yang dianggap membahayakan kehidupan dan kebebasan umat manusia. Walaupun AS sebagai adikuasa mempunyai agenda atau motivasinya sendiri mengapa menguasai kedua wilayah tersebut. Di paragraph sebelumnya sudah disinggung mengenai semakin banyaknya unsur non-pemerintah yang berminat atau merasa perlu untuk melakukan kegiatannya dengan memasuki atau mempengaruhi wilayah tugas dan kegiatan diplomasi. Landasan pokok pelaksanaan diplomasi adalah memperjuangkan kepentingan nasional secara utuh untuk kepentingan bangsa dan negara. Seperti sudah disinggung bahwa kegiatan diplomasi juga mengandung unsur intelijen berbentuk diplomasi tertutup, karena dalam hubungan diplomasi antarnegara terjadi pertemuan kepentingan negara (kepentingan nasional) yang memiliki persepsi politik yang berbeda bahkan juga ada yang berseberangan. Hal ini merupakan kenyataan dalam kehidupan bernegara bahkan juga antara negara yang tergabung dalam kerjasama regional ataupun antara negara yang di permukaan dinilai 26 sebagai negara sahabat, mengingat setiap negara harus memperjuangkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Kemampuan untuk mengantisipasi hubungan bilateral dan pengaruh hubungan tersebut bagi kepentingan nasional masing-masing, merupakan juga tugas pokok setiap negara dalam melaksanakan hubungan internasional. Kelangsungan hidup suatu negara memiliki kemampuan untuk survive, apabila setiap pemerintahan negara mempunyai kesadaran tinggi dalam menjaga, memelihara dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya serta mampu mengantisipasi kemungkinan bahaya yang mengancam dari dalam maupun luar negeri yang dapat diprediksi akan mengganggu kepentingan nasionalnya. Dalam hal ini sistem pengamanan (security) suatu negara menjadi sangat penting, baik yang mengandung kepentingan militer, ekonomi maupun politik. Berlangsungnya keseimbangan antara kemampuan militer, ekonomi dan politik suatu negara akan menjamin keberhasilannya mencapai sasaran dan tujuan kepentingan nasional negara tersebut. Departemen/kementrian luar negeri berfungsi menjalankan politik luar negeri berdasarkan konstitusi dan sesuai kebijakan politik pemerintah, selain juga untuk melaksanakan diplomasi melalui kerjasama, konsultasi dan koordinasi secara teratur dengan berbagai lembaga pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dengan memperhatikan aspirasi yang disuarakan oleh mayoritas rakyat melalui parlemen, untuk kemudian menetapkan kebijakan luar negeri dalam rangka mendukung dan menjalankan politik luar negeri menghadapi perkembangan politik dunia melalui first track diplomacy, baik dalam masalah bilateral maupun multilateral. Semakin berkurangnya peran pemerintah negara dalam menangani berbagai isu politik dunia, maka diperlukan kerjasama dengan unsur di luar pemerintah untuk memperjuangkan tuntutan kepentingan nasional. Masalah pelestarian hutan alam, hak asasi manusia, lingkungan hidup dll.nya sudah merupakan isu politik global yang lebih banyak ditangani oleh pihak swasta yang independen. Sebagai contoh, adanya illegal logging, penambangan liar dan penebangan liar di hutan lindung berakibat pada kerusakan lingkungan hidup yang sangat dikhawatirkan oleh berbagai kelompok di kalangan swasta karena sudah mengganggu kelestarian bumi dan kelanjutan kehidupan di alam semesta. Kerusakan alam sangat merugikan penghasilan negara, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi antara 27 swasta dan diplomat professional untuk menanggulangi masalah global ini melalui second track diplomacy. Second track diplomacy juga dapat digunakan oleh pemerintah untuk meminta dukungan pihak swasta melakukan kegiatan lobby menghadapi diberlakukannya politik dumping oleh negara lain. Sebaliknya apabila muncul permasalahain perdagangan yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pihak swasta, maka kerjasama atau kesepakatan antarpemerintah perdagangan tersebut melalui first track diplomacy. dapat menyelesaikan hambatan 28 5. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DIPLOMAT Keberhasilan seorang diplomat dalam menjalankan profesinya, selain ditentukan oleh kepiawaian perorangan juga ditentukan oleh keberhasilan sistem pendidikan dan pelatihan diplomat yang dimiliki suatu negara. Keberhasilan diplomasi negara sangat ditentukan oleh kemampuan para diplomatnya dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya berdasarkan kepentingan nasional, yang tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari hasil sistem pendidikan dan pelatihan para diplomat. Perlu dibedakan antara pengertian pendidikan dan pelatihan, karena kegiatannya merupakan satu kesatuan yang saling mendukung tetapi mempunyai sasaran yang berbeda. Pendidikan diplomat dimaksudkan agar setiap diplomat mengenal dan mengerti tentang tata-cara keprotokolan diplomatik, sopan santun, surat-menyurat, perilaku dan berbagai kebiasaan dalam kehidupan diplomatik, selain juga mendidik untuk menguasai berbagai tugas rutin seorang diplomat dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kepangkatan dan tingkat jabatannya. Kurang dikuasainya sopan-santun, aturan protokol dan kebiasaan surat-menyurat yang berlaku dalam dunia diplomatik dapat mengakibatkan kesalah-fahaman yang berakibat fatal dalam hubungan antanegara. Pendidikan juga untuk menyalurkan bahan-bahan keilmuan mengenai aturan baku yang berlaku untuk mendukung pelaksanaan diplomasi, selain untuk mendidik setiap insan diplomat menguasai perkembangan terakhir dari ilmu politik dan ekonomi bahkan perkembangan strategi dan peralatan militer, pengertian tentang tata-cara dan lingkup tugas kerjasama bilateral maupun multilateral, hubungan internasional, ilmu tata negara, hukum internasional, hukum administrasi negara dan lain-lainnya. Pelatihan merupakan sistem dan metoda untuk mengasah dalam rangka mempertajam naluri dan penginderaan serta kecakapan seorang diplomat dalam menilai dan mengantisipasi suatu perkembangan politik, militer, ekonomi, perdagangan, dan keuangan yang terjadi dalam hubungan antarbangsa dan untuk melatih mempertajam kepekaan dan kepiawaian seorang diplomat dalam melaksanakan tugasnya. Seorang diplomat harus terlatih untuk mampu melakukan antisipasi kejadian dan perkembangan 29 dunia yang akan terjadi di hari mendatang berdasarkan berbagai kecenderungan yang terjadi, baik dari sudut kepentingan ekonomi, politik, teknologi, sosial, budaya, pendidikan dan militer. Pelatihan juga bertujuan untuk menjadikan seorang diplomat selalu memilki “sense of management”, “sense of leadership”, “sense of commitment” dan “sense of urgency”, yang tentunya disesuaikan dengan jenjang kepangkatan diplomatik dan jabatan kedinasannya. Melalui metoda pelatihan berjenjang, sejak dini sudah dapat dipantau secara terus-menerus kemampuan dan kecanggihan setiap diplomat dalam melaksanakan departemen/kementrian tugasnya, yang akan mempermudah kedinasan di menentukan penugasan seseorang di dalam maupun di luar negeri, sesuai dengan performance yang bersangkutan. Sistem pemantauan (monitoring) perorangan harus secara terus-menerus dilakukan mengikuti jalan karir setiap diplomat dalam menjalankan tugasnya, agar tercapai hasil kerja yang efisien dan efektif, yang tentunya bertujuan memberi dukungan penuh terhadap pelaksanaan kebijakan politik luar negeri dan diplomasi negara. Dengan perkataan lain, harus berlangsung hubungan kerja yang serasi dan terus-menerus antara sistem pendidikan/pelatihan dengan sistem administrasi kepegawaian. Kematangan dan keberhasilan sorang diplomat professional tidak mungkin diperoleh hanya dalam waktu yang singkat, karena itu sistem penentuan tingkat senioritas seorang diplomat professional bukan semata-mata ditentukan dari lamanya pengalaman atau tugas yang bersangkutan saja, tetapi juga memperhitungkan kepiawaian yang bersangkutan dalam menangkap, menganalisan dan menyimpulkan berbagai peristiwa politik penting. Selain melalui sistem pendidikan dan pelatihan, kepiawaian seorang diplomat juga sangat ditentukan oleh kemauan dan kerja keras yang bersangkutan mengikuti secara terus menerus setiap perkembangan politik dunia dari berbagai sarana publik yang ada, yang berasal dari ulasan media maupun lembaga studi atau pendidikan tinggi serta diskusi terbuka antara sesama diplomat di wilayah akreditasi. Faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan diplomat dalam menjalankan tugas dan fungsinya di perwakilan diplomatik adalah naluri leadership, kemampuan management, keterbukaan untuk bekerjasama melalui konsultasi dan koordinasi. Tugas 30 sebagai diplomat mengandung perpaduan antara naluri individualisme dengan semangat komunalisme atau antara kemampuan pribadi seseorang yang sangat berkaitan dengan kemampuan untuk bekerjasama dengan sesama diplomat di lingkungan kerja sebagai sesama birokrat. atau sebagai bagian dari birokrasi negara. Dalam melakukan komunikasi publik, keberhasilan seorang diplomat akan sangat ditentukan dari kemampuan pribadinya untuk melaksanakan “seni untuk membujuk, mempengaruhi dan meyakinkan” dan keberhasilannya harus didukung oleh kerjasama sebagai satu team dalam kerangka yang lebih luas yaitu melaksanakan tugas negara bersama diplomat senegaranya.. Kemajuan teknologi informasi, teknologi komunikasi dan teknologi militer (mesin perang) akan terus berkembang dan akan melalui suatu proses kemajuan yang sangat cepat, yang sudah dapat dipastikan akan ikut menentukan arah perkembangan dunia. Negara yang mengabaikan kecenderungan pertumbuhan dan arah terjadinya revolusi teknologi informasi, komunikasi dan khususnya mesin perang, akan menjadi negara yang sangat tertinggal dan terbelakang, bahkan hanya akan dijadikan permainan politik negara atau bangsa lain yang lebih maju. Setiap proses praktik diplomasi harus didukung oleh kemampuan mengumpulkan data dan informasi yang menggunakan kemajuan teknologi baru. Sistem pelatihan para diplomat harus mengikuti, mengerti dan menguasai kecenderungan kemajuan teknologi tersebut dalam kurikulumnya. Pengertian tehnis tentang perkembangan kemajuan teknologi yang akan terjadi merupakan sarana mendapatkan informasi secara cepat dan akurat. 31 6. KESIMPULAN Indonesia di antara proses reformasi diplomasi dunia dan politik luar negeri bebas dan aktif Teori umum mengatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan negara dalam melaksanakan pembangunan sangat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonominya. Apabila memperhatikan tingkat kemajuan kehidupan dan kwalitas hidup rakyat di berbagai negara dewasa ini, menunjukkan bahwa sudah cukup banyak negara yang mencapai kemajuan substansial, tetapi masih ada yang pertumbuhannya masih lambat, bahkan banyak pula yang mengalami kegagalan dan menjadi bertambah miskin dibandingkan keadaan sebelumnya.. Untuk mengukur apakah suatu negara sudah dapat dinilai berhasil atau gagal mencapai kemakmuran bagi rakyatnya, harus dengan cara mengikuti dan menelusuri secara cermat keseluruhan proses pertumbuhan negara tersebut paling sedikit selama satu generasi. Kemajuan pertumbuhan ekonomi negara tidak hanya dapat dilihat dari kemampuannya meningkatkan standar kehidupan rakyatnya saja, tetapi juga catatan akurat sejauhmana negara tersebut berhasil memiliki akses ke seluruh dunia disertai kemampuannya mempengaruhi opini masyarakat internasional. Sebagai jaminan untuk menentukan ketahanan suatu negara menghadapi krisis, perlu pula diketahui kemampuan daya saing negara tersebut menghadapi negara-negara lain, disertai pula catatan tentang naik-turun kemampuan industri manufakturnya paling sedikit selama tigapuluh tahun terakhir. Efisiensi pelayanan untuk sektor industri sangat berhubungan dengan sistem pelayanan umum di sektor banking, kesehatan, pendidikan, transport publik, hotel dan lain-lain, juga merupakan ukuran penting menentukan apakah suatu negara memiliki daya saing atau tidak, dan sejauhmana daya saingnya itu mampu dipertahankan sampai generasi berikutnya. Faktor lain yang paling penting adalah juga kemampuan negara menggerakkan efisiensi seluruh kekuatan masyarakatnya agar memiliki disiplin dan 32 patuh terhadap ketentuan hukum yang berlaku, serta saling menghargai hak individu anggota masyarakat. Timbul kemudian pertanyaan, apakah Indonesia yang sudah berhasil memerdekakan diri dari penjajahan sejak tahun 1945 sudah dapat dianggap memiliki pertumbuhan ekonomi yang benar-benar bermanfaat bagi kemakmuran bangsanya, dan apakah sudah memiliki ketahanan daya saing menghadapi negara lain di dunia ? Patokan umum mengindikasikan bahwa negara dapat disebut sebagai negara normal dan mandiri apabila terjadi keseimbangan atau perbandingan lurus antara kemajuan ekonomi dengan kemampuan kekuatan militer untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi negara tersebut. Dalam mengikuti proses perkembangan politik yang terjadi di dunia dan ketika melaksanakan diplomasinya, Indonesia masih sering harus menghadapi kondisi dan situasi dunia yang tidak selalu kondusif dengan kepentingan nasionalnya. Di akhir abad XX, sistem penjajahan secara prinsip antarbangsa, sudah tidak dapat diterima dalam hubungan walaupun pada kenyataannya ciri-ciri neo-kolonialisme masih saja berlangsung melalui bentuk pemaksaan, penindasan dan penekanan oleh negara yang lebih kuat terhadap yang lemah, baik di bidang politik, ekonomi, militer maupun melalui kegiatan diplomasi. Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami penjajahan, masih harus berhadapan dengan usaha bekas negara kolonial yang masih terus berjuang memperoleh justifikasi terhadap apa yang pernah mereka lakukan di Nusantara sepanjang abad XV sampai abad XIX. Mereka mencoba terus mempengaruhi opini publik dunia memperoleh kebenaran terhadap perbuatannya selama menjajah Nusantara. Hambatan dan gangguan yang dihadapi Indonesia sampai sekarang juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik dan diplomasi negara besar yang sering menunjukkan sikap politik yang ingin mendominasi, baik yang dilakukannya secara terbuka maupun dengan cara tertutup. Sejak AS menjadi satu-satunya negara adikuasa, Indonesia harus menghadapi strategi global AS membentuk tatanan dunia yang berdasarkan demokrasi- 33 liberal. Dalam melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, diplomasi Indonesia tidak jarang harus pula berhadapan dengan kondisi politik yang tidak searah dengan kebijakan luar negeri Indonesia di tingkat global maupun regional. Tantangan lain yang harus dihadapi Indonesia adalah berlangsungnya ketidakseimbangan arus informasi dunia. Dunia lebih banyak dipenuhi oleh arus informasi yang justru berasal dari negara maju daripada dari negara sedang berkembang. Faktor yang menentukan adalah karena negara maju lebih menguasai teknologi komunikasi dan informasi, sehingga opini publik dunia lebih cepat dan lebih banyak dipengaruhi oleh sikap pandang politik negara maju. Akibatnya, negara sedang berkembang seringkali berada dalam posisi yang defensive dan menjadi “korban” informasi yang dikembangkan oleh negara maju yang mampu menguasai opini dunia. Diplomat Indonesia sering menghadapi “tekanan” opini media Barat yang justru mempersulit bahkan memojokkan posisi Indonesia dalam menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif.. Di abad millennium, AS dan sekutunya melaksanakan kebijakan politik yang secara terang-terangan tidak lagi menghormati beberapa ketentuan yang tercantum dalam “Vienna Convention on Diplomatic Relations” dan tidak lagi menghormati prinsip kedaulatan negara yang pernah dijunjung tinggi oleh semua negara di dunia. Satu-satunya dasar hubungan internasional yang diterapkan AS adalah kepentingan strategi globalnya membentuk tatanan dunia baru dan melindungi wilayah negaranya dari ancaman apapun. AS bahkan menggunakan legitimasi PBB untuk mendukung kepentingan politiknya akibat dari kondisi dunia yang sudah tidak ada lagi keseimbangan kekuatan menghadapi dominasi militer dan teknologi perang AS. Indonesia sangat berkepentingan dengan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, mengingat kepentingan pembangunan nasional Indonesia, khususnya di bidang ekonomi yang sangat ditentukan oleh tingkat hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara tetangganya dan negara-negara di Asia Timur, khususnya Jepang, China dan Korea Selatan. Hubungan antarnegara inti di Asia Timur juga menjadi perhatian Indonesia mengingat hubungan segitiga Jepang-China-Korea 34 Selatan seringkali mengalami pasang-surut. Indonesia ikut berkepentingan dengan perkembangan perairan di Selat Malaka dan Laut China Selatan karena mengandung kepekaan politik yang dapat mengganggu stabilitas keamanan regional. Ditempatkannya pasukan AS di kawasan Asia Timur menunjukkan bahwa kawasan tersebut mempunyai nilai strategis tinggi bagi AS dan mengandung kerawanan terhadap kemungkinan konflik regional yang dapat berkembang menjadi konflik antarregional. Indonesia merasa perlu untuk mengikuti dari dekat perkembangan hubungan regional di Asia Tenggara dan Asia Timur, khususnya perkembangan di China yang dapat dikatakan belum sepenuhnya bersifat transparan. Di Asia Tenggara, negara-negara pantai Selat Malaka masih harus berhadapan dengan negara besar dan negara pengguna Selat Malaka yang cenderung menginginkan internasionalisasi Selat tersebut, terutama untuk kepentingan strategi global Barat. Persoalan yang harus dihadapi Indonesia adalah adanya sikap politik sesama negara anggota ASEAN justru ada yang bersikap mendukung kepentingan negara Barat. Ketidak-seimbangan kekuatan militer dan kondisi pertumbuhan ekonomi negara di Asia Tenggara hanya akan mengakibatkan ketidakstabilan kawasan serta semakin memperlemah posisi tawar Indonesia menghadapi pergulatan strategik di lingkungan “lingkaran konsentrik pertama” Indonesia. Indonesia juga menghadapi kecenderungan yang muncul di permulaan abad XX, ketika hubungan antarbangsa mulai memperhatikan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Permasalahan pokok bahwa pada umumnya sumber hayati dunia lebih banyak yang dimiliki negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, sementara negara maju yang menguasai teknologi canggih yang justru memperoleh manfaat paling banyak dengan menyerap sumber hayati tersebut. Sementara itu persediaan sumber hayati dunia sudah semakin menipis. Untuk dapat meneruskan memanfaatkan sumber hayati alam bagi kepentingan survivalnya, negara maju melakukan tekanan politik kepada negara sedang berkembang agar lebih memperhatikan pelestarian tersedianya sumber hayati tersebut, sebaliknya negara berkembang menuduh negara maju melakukan cara-cara neokolonialisme sebagai “kolonialisme hijau” yang tujuan utamanya adalah menekan terus negara berkembang. 35 Kemajuan teknologi yang diharapkan dapat lebih meningkatkan produktivitas ekonomi dunia, ternyata membawa akibat memperparah kerusakan lingkungan hidup dan menambah pencemaran udara dan air, serta semakin habisnya sumber hayati alam. Kesenjangan teknologi antara negara maju dan negara sedang berkembang ikut memperlebar jarak kesenjangan kemakmuran bangsa-bangsa di dunia. Indonesia sebagai negara sedang membangun harus menghadapi isu lingkungan hidup yang sudah menjadi isu politik global oleh negara maju. Permasalahannya bahwa belum adanya kesatuan sikap menghadapi tekanan politik dan ekonomi oleh negara maju. Apa yang disebut sebagai bantuan negara maju kepada negara berkembang merupakan bentuk “tekanan psikologis” membungkam dan menjadikan negara berkembang selalu bergantung dari bantuan negara maju, yang berarti bantuan tersebut dijadikan alat pengikat sekaligus sebagai alat menekan terhadap penerima bantuan agar selalu mengikuti atau mendukung kepentingan negara pemberi bantuan. Kebesaran dan keunggulan AS sebagai negara adikuasa mulai terusik oleh kemajuan ekonomi Eropa, Jepang, China, Korea Selatan dan Taiwan. Satu-satunya kebijakan politik yang dilakukan AS adalah untuk tetap mempertahankan dominasi teknologi dan alat perang AS, selain untuk mempertahankan penguasaan manajemen sumber enerji dunia. Faktor hubungan AS dengan negara di Timur Tengah menjadi sangat krusial bagi survival AS sebagai satu-satunya adikuasa dunia. Kebijakan politik dan diplomasi AS di Timur Tengah merupakan politik menguasai ladang minyak, dan AS terus berusaha untuk tetap ungggul dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, bersamaan dengan dominasi teknologi peralatan militer dan politik. Negara-negara industri maju (khususnya Barat) menggunakan teknologi militer dan ICT serta isu globalisasi untuk menentukan tatanan dunia baru dengan tujuan menjadikan kondisi dunia yang disesuaikan dengan tujuan politik global mereka. Dalam hubungan ini, bangsa Indonesia harus menyadari agar dapat secepatnya bangkit untuk mengantisipasi akibat pengaruh globalisasi tersebut. 36 Banyak negara di Asia (China, Korea Selatan, India), termasuk negara-negara tetangga Indonesia (Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam), tampak lebih cepat mempersiapkan diri menghadapi pengaruh globalisasi. Kalau Indonesia tidak cepat dan tepat bertindak menghadapi pengaruh globalisasi, maka Indonesia hanya akan dijadikan pasar bagi produk dari negara yang memiliki kemampuan teknologi dan ekonomi yang lebih maju dari Indonesia. Kekosongan kesempatan kerja akibat lemahnya kwalitas SDM di Indonesia dapat dipastikan akan diisi oleh SDM asing yang lebih siap atau mampu memasuki pasar tenaga kerja di Indonesia, sebagai akibat dari kesepakatan mengenai liberalisasi tenaga professional. Di Asia Tenggara, kemampuan ekonomi, teknologi dan militer Indonesia masih berada di bawah kemampuan negara tetangganya terdekat. Sebagai negara besar dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk dan hasil alam yang dimiliki, ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia belum seimbang dengan pertumbuhan negara se-kawasan. Tanpa adanya keseimbangan kekuatan tersebut, bangsa Indonesia akan menjadi penghuni dunia yang hanya dijadikan permainan politik dan “jajahan” ekonomi bangsa-bangsa lain, termasuk oleh negara-negara tetangga Indonesia yang pertumbuhannya lebih maju. Kondisi wilayah kepulauan yang tersebar begitu luas dengan hasil alam yang kaya, kalau semuanya itu tidak terjaga dengan baik hanya akan dijadikan permainan spekulasi atau dimanfaatkan oleh pemilik modal asing, termasuk yang berasal dari negara tetangga Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sudah harus membulatkan kesadaran politik untuk membangun strategi agar mampu menentukan langkah menghadapi hari depan yang penuh tantangan akibat globalisasi. Melalui cara-cara yang terhormat, bersatu, berwibawa, berdisiplin, mandiri, terkoordinir dan lebih percaya diri, Indonesia harus secepatnya membangun SDM yang berkwalitas, mengembangkan teknologi canggih, memiliki sistem pendidikan nasional, menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan membangun kekuatan militer yang memiliki kemampuan menjaga, melindungi dan mempertahankan keutuhan wilayah dengan keragaman modal alam yang dimilikinya, untuk menghadapi semua ancaman dan gangguan dari dalam maupun luar negeri, sebagai prasyarat mutlak membangun suatu 37 negara modern.- Sebuah negara pembangunannya dianggap akan sangat berhasil atau ditentukan mengalami dari kegagalan pertumbuhan dalam ekonominya. Memperhatikan kemajuan tingkat kehidupan dan kwalitas hidup rakyat di berbagai negara, menunjukkan bahwa cukup banyak yang sudah mengalami kemajuan 38 substansial, ada yang perkembangannya agak lambat tetapi banyak pula yang mengalami kegagalan bahkan bertambah miskin. Negara dapat dianggap berhasil mencapai kemakmuran atau mengalami kegagalan dalam pertumbuhan ekonominya, haruslah ditinjau dari berlangsungnya proses pertumbuhan negara tersebut paling sedikit selama satu generasi. Kemajuan pertumbuhan ekonomi negara tidak hanya dilihat dari kemampuannya meningkatkan standar kehidupan rakyatnya saja, tetapi juga sejauhmana negara tersebut berhasil meningkatkan kekuasaannya (power) dapat mempengaruhi opini dunia. Kemampuan daya dan posisi saing negara tersebut terhadap negara-negara lain disertai naik-turun kemampuan industri manufakturnya selama tigapuluh tahun terakhir, merupakan ukuran jaminan yang ikut menentukan ketahanan negara tersebut menghadapi krisis. Efisiensi pelayanan untuk sektor industri yang berhubungan dengan sistem banking, pelayanan kesehatan, pendidikan, hotel dan lain-lain, juga merupakan ukuran penting apakah suatu negara memiliki daya saing atau tidak, dan sejauhmana daya saingnya itu mampu dipertahankan sampai generasi berikutnya. Ukuran terpenting dari kesemuanya adalah kemampuan negara tersebut mengembangkan efisiensi seluruh anggota masyarakatnya, terlepas dari perbedaan cara pendekatan masing-masing negara terhadap organisasi di lingkungan masyarakatnya. 39 Diplomasi dan Kerjasama Pembangunan Antar Bangsa Setelah berakhirnya Perang Dunia II, secara umum keadaan dunia dipengaruhi oleh kehancuran phisik banyak negara di Eropa dan Asia yang dilanda perang. Dari sisi yang lain, selesainya perang dilanjutkan dengan banyaknya bangsa-bangsa di Asia yang pernah dijajah menyatakan kemerdekaan dan melepaskan diri dari penjajahan Barat. Akibatnya, dunia menjadi terbagi antara negara maju (Barat) dan negara sedang berkembang. Timbul kemudian keinginan di kalangan negara maju (Barat) tertentu untuk membantu pembangunan negara sedang berkembang melalui bentuk kerjasama pembangunan internasional. Istilah yang umum dipakai bahwa negara maju disebut sebagai “the North” atau negara Utara, sedangkan negara sedang berkembang disebut “the South” atau negara Selatan. Dari sudut pandangan kepentingan negara Barat tertentu, bantuan yang diberikan kepada negara-negara sedang berkembang yang semula merupakan wilayah jajahan, harus dilihat dari kepentingan bekas negara penjajah tersebut untuk tetap memiliki akses politik maupun ekonomi di negara bekas jajahannya. Apapun alasan yang diberikan oleh negara yang pernah menjajah, yang menganggap bahwa aliran bantuan dari Utara ke Selatan tersebut dilandasi oleh tujuan moral menciptakan keadilan sosial di dunia untuk menghapuskan kemiskinan, ternyata aliran bantuan tersebut kurang effektif karena mengandung nilai-nilai lain yang bersifat politis. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pernah dibentuk suatu institusi internasional untuk memperbaiki kondisi ekonomi dunia yang disebut Bretton Woods Institution dan Marshall Plan yang khusus untuk membantu negara yang pernah menderita akibat Perang Dunia II. Kedua institusi tersebut merupakan dasar dan landasan utama kerjasama Utara-Selatan. Setelah kerjasama pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, muncul kemudian persoalan tentang efektivitas dari bantuan negara Utara kepada negara Selatan tersebut. 40 Proses Sejarah Diplomasi Diplomasi dan Politik Luar Negeri Diplomasi di Abad XXI