Ancaman Globalisasi terhadap Implementasi Hukum Lingkungan : Sebuah Tinjauan Perspektif Feminist Legal Theory Oleh: Adzkar Ahsinin Pendahuluan Wilayah hidup rakyat di berbagai kampung di Indonesia telah dan sedang mengalami perusakan yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan rakyat yang hidup di dalamnya. Ribuan bentuk perusakan dari yang paling halus hingga paling kasat mata terus menerus mengancam dan menggerogoti wilayah-wilayah hidup rakyat, lahan pertanian, hutan, lahan peternakan, termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup yang telah lama ada.1 Kondisi serupa juga dialami oleh rakyat miskin kota, penggusuran hunian sudah jamak terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Gejala penggusuran yang semakin massif akhir-akhir ini merupakan indikasi betapa tata ruang kota sebagai salah satu aspek dari tata lingkungan yang bersifat makro tidak mengakomodasi hak rakyat yang bersifat mendasar. Setidaknya ada 3 (tiga) jenis perusak lingkungan yang hadir di dunia dan mengancam keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di negara-negara berkembang. Pertama, adalah industri pertanian global, kedua, industri pertambangan, dan ketiga, adalah industri kehutanan.2 Dalam konteks tata ruang kota, gejala transformasi ruang publik menjadi ruang privat merefleksikan komodifikasi ruang hidup dan ruang sosial yang cenderung memarjinalkan dan mengorbankan rakyat miskin kota. Manakala suatu komunitas dimarjinalkan dari wilayah hidup, kita harus melihat bahwa di dalam komunitas-komunitas tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang lain. Realita menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain.3 Kelompok dan golongan tersebut lebih rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah menjadi sasaran proses dan perlakuan diskriminasi. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).4 Tulisan ini mencoba mendeskripsikan perempuan sebagai korban atas kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat globalisasi ekonomi dan kemudian mentautkannya dengan HAM khususnya hak asasi perempuan. Perspektif feminist legal theory dijadikan pisau analisis untuk memetakan sampai sejauhmana keberpihakan peraturan perundang-undangan di sektor lingkungan berpihak pada perempuan. Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1 2 Ibid, hal. 33 3 Saat Freeport belum masuk, perempuan asli mungkin sekali tidak merasakan beban kehidupan yang berat. Namun ketika Freeport masuk, dampak yang dirasakan oleh perempuan lebih berat dibandingkan dengan lakilaki. Pembedaan secara tradisional ternyata menimbulkan kesengsaraan bagi peempuan saat terjadi perubahan. Karena perempuan harus mengurus makan keluarga maka kerja perempuan menjadi lebih berat saat lingkungan rusak oleh pertambangan. Lihat ibid, hal. 12 4 Economic, Social, and Cultural Committee United Nations memasukan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok rentan dan tidak beruntung 1 1 Globalisasi Ekonomi dan Dampaknya terhadap Lingkungan Globalisasi memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization).5 Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G 86 melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s),7 kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC).8 Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia.9 Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.10 M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 50 6 Negara-negara yang tergabung dalam G 8 terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Itali, Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang . 7 Lembaga Keuangan Internasional yakni : Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Bank Pembangunan Eropa (EBRD), Bank Pembangunan antar Amerika (IADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB). 8 Selain melalui institusi-institusi tersebut, negara-negara maju dengan menciptakan lembaga keuangan untuk mendukung investasi mereka di luar negeri. Lembaga ini umumnya disebut sebagai Lembga Kredit Ekspor (Export Credit Agencies/ECA) seperti JBIC (Jepang), Exim Bank (AS), EDC (Kanada), Hermes Jerman). Kemudian mereka juga menciptakan lembaga penjamin yang ditujukan untuk menjamin investasi atas aset-aset negara tersebut di luar negeri, misalnya OPIC (AS). Lihat Konspirasi Global : Kejahatan yang Terorganisir dalam Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, Jakarta, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, 2004, hal. 14 9 Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan instrumen hukum internasional untuk melindungi kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan. Bila orang lain ingin memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang sama mereka harus membayar pada pemilik paten. Implikasinya para petani dan masyarakat adat tidak dapat lagi menjalankan aktivitas seperti menyimpan benih, mempertukarkan, menanam, dan menjual tanpa seijin pemilik paten. Lihat Posisi Koalisi Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 38 10 Aflina Mustafainah et. al, loc. cit. Kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga keuangan multilateral selalu mengarah kepada privatisasi (yang selalu didahului oleh restrukturisasi) dan liberalisasi lewat mesin mereka : pinjaman (loan). Setiap pinjaman yang diberikan kepada negara-negara debitor selalu disertai syarat-syarat (conditionalities) yang lebih dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Program/SAP). Fungsi utama SAP adalah untuk meromabk sistem lama disuatu negara agar sesuai dengan mekanisme pasar bebas murni yang diusung oleh aliran neoliberalisme. Lihat Arimbi Heroepoetri dalam Fabby Tumiwa, Listrik yang Menyengat Rakyat : Menggugat Peranan Bank-Bank Pembangunan Multilarel, Jakarta, WGPSR, 2002, hal. Xii. Berdasarkan kesepakatan dengan IMF, Indonesia akan membuka keran impor beras dengan bea masuk 0% pada bulan Agustus 2002. Artinya beras dari luar akan membanjiri pasar eras di Indonesia dengan harga murah. Harga beras di pasar dunia pada tahun 2000 berkisar 1500 rupaiah sementara harga beras lokal berkisar antara 2000 hingga 3000 rupiah perkila gram. Lihat Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, ibid. hal 34 5 2 Kemudian dampak dari investasi MNC yang mengakibatkan penderitaan pada masyarakat adat (indigenous people) dilakukan oleh Hitchock sebagaimna dipaparkan dalam tabel di bawah ini.11 Tabel 1 : Proyek MNC yang menyebabkan dampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat adapt Perubahan Negara Ecuador oil development (Petroequador, Maxus oil Co.) Ecuador Total, Unocal (Union Oil Company of California) Royal dutch shell Burma Tanzania Wheat Project Tanzania Borneo Logging (Mitshubishi) Western Desert Mining (Rio Tinto Zinc) Uranium Mining (KerrMcGee) Malaysia Agricultural Project (Swft Armour, King Ranch) Brasil Nigeria Australia New Mexico Dampak Waorani dan masyarakat adat lainnya tergusur dari tanahnya, keanekaragaman hayati hilang, air terkena racun, da kerusakan lingkungan secara masif karena tumpahan minyak Terlibat dalam hak-hak buruh dan menggunakan budak Perusakan lingkungan, penindasan, perampasan milik rakyat ogoni, penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang, dan menghukum mati aktivis lingkungan Pemindahan secara paksa, pelecehan dan penahan, serta mengurangi akses Perusakan hutan, dan penindasan atas suku Punan dan masyarakat asli lainnya Aborigin tergusur dari wilayah tradisionalnya, polusi dan perusakan sumber daya Penambangan-penambangan Navajo menderita kanker dan penyakit lainnya, tetapi mendapat kompensasi dan bantuan sangat minimal Pembersihan hutan dan timbulnya konflikkonflik sosial Selain merusak lingkungan, korporasi global yang didukung oleh negara-negara maju dan kaya, WTO, kartel utang terutama IMF, Bank Dunia sebagai mesin utama globalisasi dalam mengakumulasi kekayaan dan menghisap sumber daya negaranegara berkembang, operasi korporasi global tersebut menyokong terjadinya 12 pemiskinan yang semakin masif. Kecenderungannya kesenjangan sosial ekonomi antara negara maju dan negara miskin semakin memprihatinkan sepanjang 10 tahun terakhir. Data UNDP tahun 1999 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197 milyar pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk dunia. Dua puluh lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan hidup dengan 1-2 dollar AS setiap hari. Dampaknya setiap hari 11.000 anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori (satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari 800 juta orang menderita Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi Internasional, SUAR, Volume 5 No. 10 & 11 Tahun 2004, hal. 24 12 Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang menghambat terpenuhinya hak atas lingkungan yang sehat. Permasalahan pemenuhan atas hak lingkungan juga terkait dengan hak atas permukiman yang layak (right to adequate housing) dan akses terhadap layanan air bersih. Rakyat yang hidup dalam kondisi miskin justru sulit untuk memperoleh kedua penikmatan atas hak ini. 11 3 kelaparan kronis di seluruh dunia dan kira-kira 70% dari mereka adalah perempuan dan anak.13 Di sisi lain, globalisasi menghasilkan pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang. Tiga orang terkaya di dunia menguasai aset yang nilainya setara dengan milik 600 juta orang di 48 negara miskin. Saat ini pula seperlima penduduk di negeri-negeri paling menguasai 86 % produk domestik bruto dunia, 82% pasar ekspor dunia, dan 68 % penanaman modal langsung yang mana pelaku ekonominya didominasi oleh korporaso global.14 Gejala ini menunjukkan bahwa kekuasaan korporasi kini telah menyaingi kekuasaan ekonomi-ekonomi negara-negara yang mana proses akumulasi kekayaan tersebut bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini dikenal sebagai neoliberalisme dan globalisasi kapitalis.15 Demikian juga halnya dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan pemodal melalui pembangunan apartemen, mal, dan sentra-sentra bisnis lainnya melalui penggusuran hunian masyarakat miskin kota sebangun dengan kecenderungan terjadinya komodifikasi ruang-ruang publik sebagai nafas utama kapitalisme. Perempuan sebagai Korban Dalam perspektif hukum HAM, kondisi di atas dapat dipetakan menjadi 2 (dua) pihak di mana pihak yang satu menjadi pelaku, sementara pihak yang lain menjadi korban. Pihak pelaku selalu dilekati dengan kekuasaan (power) yang bisa bersumber dari otoritas/kewenangan dan bisa juga berasal dari kekuatan modal. Yang pertama melekat pada negara/pemerintah, sedangkan yang kedua biasanya melekat pada korporasi. Pihak korban yang pasti tidak memiliki kedua-duanya atau tuna kuasa (powerless). Kelompok ini seringkali disebut masyarakat sipil (civil society). Secara konseptual terdapat 3 (tiga) sektor dengan ukuran, kekuatan, dan kekuasaan relatif yang bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat, yakni : (i) Masyarakat sipil; (ii) Negara; dan (iii) Pasar. Dalam konteks globalisasi, liberalisasi ekonomi, penyesuaian struktural, dan kebijakan privatisasi yang dilakukan negara malahan memperkuat peran pasar dan cenderung memperlemah bekerjanya negara dan kemampuannya untuk memberikan layanan dasar. Pintu masuknya melalui deregulasi16 yang membebaskan pasar dari otoritas negara. Dengan deregulasi terjadi pergeseran locus otoritas dari negara ke tangan pemilik modal. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan peran, kekuatan, dan kekuasaan dari ketiga sektor tersebut. Kondisi ini pada akhirnya merugikan masyarakat sipil yang tidak dilekati dengan kewenangan dan modalitas finansial/kapital. Dalam titik ini negara yang seharusnya mempunyai kewajiban utama memenuhi HAM warganya gagal menjalani hakikat fungsi filosofi negara yakni mensejahterakan warga negaranya Menuju Forum Sosial Indonesia dalam Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, Amalia Pulungan dan Roysepta Abimanyu, Jakarta, IGJ dan Walhi, 2005, hal.169-170 14 Dari 100 pelaku ekonomi terbesar di dunia, 52 di antaranya adalah korporasi global. Gabungan pendapatan Mitsubishi, General Motor, dan Ford Motor lebih besar dibandingkan gabungan Denmark, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili, dan Selandia Baru. ibid 15 ibid 16 Deregulasi berarti kemauan pemerintah untuk menyerahkan kedaulatannya demi keuntungan korporasi transnasional dan para operator pasar keuangan. Lihat Susan George, Republik Pasar Bebas, Jakarta, INFID, 2002, hal. 18 13 4 Jika ketiga sektor tersebut dikerangkakan dalam perspektif pelanggaran HAM, maka akan didapati tabel sebagai berikut :17 Tabel 2 : Tiga pelaku dan tiga peranan dalam HAM Pelaku Korban Pemberdaya Negara Ya Bukan Ya Modal Ya Ya Bukan Masyarakat Sipil Bukan Ya Ya Sumber : Galtung, 1994 Dampak kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat beroperasinya korporasi global menempatkan korporasi global sebagai pelaku pelanggaran HAM.18 Matthew Lippman mengetengahkan 4 (empat) factor bagi masuknya korporasi global sebagai actor yang berkewajiban menjamin dan melindungi HAM yang tertuang dalam berbgai konvensi HAM. Keempat argument tersebut meliputi : (i) kekuasaan ekonomi perusahaan multi nasional; (ii) sifat internasional dari perusahaan multinasional; (iii) dampak operasi perusahaan multi nasional; dan (iv) terbatasnya kemampuan negaranegara berkembang dalam mengatur tingkah laku perusahaan multinasional.19 Sejalan dengan pemikiran Matthew LippmanTerdapat satu dokumen penting yang dikeluarkan Komisi HAM (CHR) Sub Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB. Dokumen ini berjudul “Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights” – selanjutnya disebut dengan Norma tentang Tanggungjawab korporasi global. Membaca dokumen CHR ini, maka ‘corporate crime’ secara sederhana, dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan (crime) yang dilakukan korporasi (badan usaha) mencakup kejahatan HAM, humaniter, perburuhan, kejahatan terhadap hak konsumen serta praktik-praktif yang luas dari definisi korupsi.20 Norma tentang Tanggungjawab korporasi global menjadi penting karena 2 (dua) alasan pokok: pertama, dokumen ini dianggap oleh banyak komentator merupakan sebuah langkah maju yang diambil PBB – dalam hal ini Komisi HAM – untuk menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional (international legal principle) yang (dapat) diterapkan pada sektor bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan Hari Wibowo, Kampanye Hak Asasi Manusia, dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia : Perspektif dan Aksi, E. Shobirin Nadj, Naning Mardiniah (Editor), Jakarta, CESDA LP3ES, 2000, hal.245 18 Pandangan yang selama ini dominant mengenai konsep pertanggungjawaban (liability) dalam hal pelanggaran HAM berpusat pada negara (state-centric paradigm) yang menempatkan negara sebagai pelaku utama yang bertanggung jawab untuk menjamin dan melindungi HAM. Inilah konsep yang dikenal dengan state responsibility. Namun seiring dengan kecenderungan pergerakan investasi asing yang mengglobal untuk mengekspolitasi sumber daya alam di negara lain, maka langsung atau tidak langsung korporasi global terlibat dalam pelanggaran HAM baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Kondisi demikian merubah state-centric paradigm dalam pelanggaran HAM. Tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM sudah seharusnya mempertimbangkan actor-aktor baru apakah korporasi global, IMF, WTO sebagai subyek hak dan kewajiban (right and duty holder). Lihat Ifdhal Kasim, op. cit, hal. 26-29 19 ibid 20 Lihat Lihat A. Patra M. Zen, op.cit hal. 89 – 90 17 5 hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi melanggar HAM.21 Sebagaimana telah dipapar di atas, setiap pelanggaran HAM yang menimbulkan korban senantiasa menerbitkan kewajiban negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation) kepada korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban tersebut harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan HAM secara keseluruhan. Tidak ada HAM tanpa pemulihan atas pelanggarannya. Hal ini sama artinya dengan mengatakan bahwa impunitas akan terus berlangsung apabila tidak ada langkah konkret untuk pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM. 22 Korban pelanggaran HAM didefisinikan melalui studi van Boven dengan merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekeuasaan (Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power) . Korban didefisinikan sebagai berikut : Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasab yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission)…23 Perlu ditegaskan bahwa korban dalm pengertian yang digunakan dalam deklarasi di atas bukan hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalami secara langsung, tetapi juga mencakup orang-orang yang secara tidak langsung menjadi korban seperti kelurga korban, orang yang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya (their relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak menjadi korban.24 Dalam konteks kerusakan lingkungan penderitaan yang melingkupi perempuan dapat di analisis menggunakan analisis feminis sebagai beikut : (ii) stereotipi; (ii) dominasi; (iii) diskriminasi; (iv) beban ganda; dan (v) kekerasan.25 Bagi perempuan Sebuah langkah tindak lanjut dari norma yang ditelurkan oleh Komisi HAM PBB, Sekjen PBB Kofi Anan mengeluarkan Global Compact pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta para pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk menjawab problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Secara singkat, merujuk pada dokumen Global Compact, penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu, sebagai berikut: (1) dukungan dan penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human rights) berdasarkan pengaruh yang dimilikinya; (2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan menyebabkan timbulnya kejahatan HAM (human rights abuses); (3) mewujudkan kebebasan berserikat dan pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the right to collective bargaining); (4) turut serta menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor); (5) berpartisipasi menghapus buruh anak; (6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan lapangan kerja; (7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan; (8) mengambil inisiatif mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar; (9) mendorong pengmbangan dan difusi tekonologi yang ramah lingkungan. Lihat A. Patra M. Zen, ibid 22 Ifdhal Kasim, “Prinsip-Prinsip van Boven” Mengenai Korban Pelanggaran Berat HAM, Kata Pengantar dalam Mereka yang Menjadi Korban : Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, ELSAM, 2002, hal. xiii 23 ibid 24 ibid, hal. viv 25 Rio Ismail, Risma Umar, Titi Soentoro, Suara Mayoritas yang Samar : Studi tentang Respon Partai Politik terhadap Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004, Jakarta, Solidaritas Perempuan, 2004, hal. 13 - 21 21 6 kerusakan lingkungan di kawasan industri Mobil Oil (Aceh), Freeport (Papua), Newmont Minahasa (Sulaewsi Utara), dan Newmont Nusa Tenggara (NTB) jika dianalisis dengan pisau feminis berdampak berlipat ganda dan berefek domino ketika model kekerasan yang patriarkhi dan militeristik berpadu dengan factor kekuatan modal internasional. Di desa Buyat Pantai, Sulawesi Utara, lokasi pembuangan limbah penambangan emas PT Newmont Minaha misalnya, beberapa perempuan dan anak-anak seperti kehilangan harapan hidup karena tidak mampu lagi menghadapi proses pemiskinan akibat hancurnya perairan tempat menangkap ikan.26 Kondisi ini merefleksikan 2 (dua) persoalan besar sebagai akibat dari konflik kepentingan antara rakyat dan investasi yang berdampak pada perempuan, yakni pertama kehilangan tanah (wilayah kelola) dan kedua kerusakan lingkungan.27 Hak Asasi Perempuan atas Lingkungan Hidup yang Sehat Kesadaran mengenai keterpautan antara HAM dengan lingkungan dipicu oleh tingginya laju perusakan lingkungan secara global yang diakibatkan oleh pertumbuhan industri yang cepat di bidang kehutanan, kelautan, energi, dan pertambangan. Perusakan ini pada gilirannya memustahilkan penikmatan atau pemenuhan HAM, yang tidak hanya terbatas pada hak-hak ekonomi, social, dan budaya, tetapi juga mencakup hak-hak sipil dan politik.28 Berdasarkan doktrin hukum HAM internasional, menurut Karel Vasak, hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori generasi ketiga di mana yang mendapatkan perlindungan tidak hanya hak yang bersifat individu tetapi juga hak-hak kolektif. Paul Sieghart mengidentifikasi sedikitnya 6 (enam) golongan hak-hak kolektif, yaitu : (i) hak atas penentuan nasib sendiri; (ii) hak atas perdamaian dan keamanan internasional; (iii) hak untuk menggunakan kekayaan dan sumber daya alam; (iv) hak atas pembangunan; (v) hak kaum minoritas, dan (vi) hak atas lingkungan hidup. 29 Perkembangan terkini, berdasarkan Konvensi HAM Wina 1993, tidak terdapat lagi perbedaan kategorisasi HAM berdasarkan perkembangan generasi, kepentingan yang dilindungi, maupun dikotomi antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, social, dan budaya karena HAM pada prinsipnya saling terkait (interdependence) dan tidak dapat dipisahkan (indivisible). Draft Deklarasi HAM dan Lingkungan Hidup Pasal 2, bagian 1 menyatakan :30 All persons have the right to secure, healthy, and ecologically sound environment. This right and other human rights, including civil, cultural, economic, political, and social rights, are universal, interdependent, and indivisible. ibid Bagi perempuan kehilangan wilayah kelola memiliki dampak pada semakin tingginya beban kerja dan menurunkan pendapatan yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kekerasan. Perempuan dalam masyarakat patriarki merupakan tulang punggung mengelola rumah tangga sehingga merupakan pihak yang paling merasakan penderitaan tersebut. Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 47 28 Tonggak terpenting dari tumbuhnya kesadaran tersebut termanifestasi dengan lahirnya deklarasi Stockholm 1972. Di sini untuk pertama kalinya masyarakat internasional mengakui bukan hanya saling keterkaitan antara lingkungan hidup dengan HAM, tetapi juga kaitannya dengan hak atas pembangunan. Lihat Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup. Op.cit 24 29 Ridha Saleh, op. cit, hal. 34 30 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup, loc. cit 26 27 7 Meskipun hak atas lingkungan tidak secara spesifik dirumuskan secara hukum dalam instrument internasional HAM, oleh karena itu keberadaan hak atas lingkungan dihadirkan dengan membuat penafsiran yang luas terhadap isi dari hak atas hidup (right to life) dengan merujuk pada survey R.G. Ramcharan yang mencoba melihat keterkaitan antara hak atas hidup dengan hak atas lingkungan :31 Threats to the environment or serious environmental hazard my threaten the lives of large groups of people directly; the connection between the rights to life and the environment is an obvious one… A discussion of the interrelationship between the two rights should, however, go beyond this…(and) may be summarized in the following proposition : (i) There is a strict duty upon States, as well as upon the international community as a whole, to take effective measures to prevent and safeguard of human being; (ii) every states, as well as the UN, should establish and operate adequate monitoring and early-warning system to detect hazard or threats before actually occur; (iii) the right to life, as an imperative norm, takes priority above economic considerations and should, in all circumstances, be accorded priority; (iv) States and other responsible entities (corporations or individuals) may be criminally or civilly responsible under international law for causing serious environmental hazard posing grave risks to life. Dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, maka instrument hukum HAM internasional menjadi pijakan karena hak asasi perempuan merupakan bagian dari HAM secara umum.32 Keberadaan hak atas lingkungan sebagai salah satu hak sudah tercakup pada pasal 28 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 12 (b) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Meskipun formulasinya terbilang sangat abstract. 33 Untuk itu hak atas lingkungan harus diinterpretasikan secara luas sebagai hak untuk memperoleh mutu atau kondisi lingkungan yang baik dan sehat, dalam arti tidak dibatasi hanya menyangkut obyek ruang berupa bumi, air, dan udara. Namun hak atas lingkungan hidup harus menegaskan pula penjaminan yang meliputi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan bagi subyek lingkungan hidup. 34 Meskipun hak atas lingkungan hidup dalam instrument hukum HAM tidak diatur dan diformulasikan secara khusus, namun hukum nasional telah mengakui hak atas lingkungan hidup secara expressive verbis, malahan telah menjadi bagian hak konstitusional setiap warga Negara Indonesia. Pasal 28 H UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 35 Karena hak atas lingkungan telah mendapatkan tempat secara yuridis baik dilevel ibid Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) yang secara sui generis mengatur hak-hak perempuan menegaskan bahwa perempuan harus sejajar dengan laki-laki dalam pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, dan sipil. Terkait dengan permasalahan hak atas lingkungan maka berdasarkan interpretasi terhadap hak atas hidup, maka pemenuhan hak-hak politik, sipil, ekonomi, social, dan budaya menjadi conditio sina quanon. Interpretasi ini diperlukan karena CEDAW tidak secara khusus mengatur hak perempuan atas lingkungan dan memformulasikan hak atas lingkungan ke dalam pasal-pasalnya. 33 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup, op. cit, hal. 25 34 M. Ridha Saleh, op. cit, hal. 31 35 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mengaskan hal yang serupa khususnya ketentuan Pasal 9 (3) bagian hak atas hidup : Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lihat pula ketentuan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, Pasal 5 (1) mengaskan kembali perlindungan tersebut. 31 32 8 internasional maupun nasional, maka hak atas lingkungan merupakan hak yang justiciable dan enforceability. Artinya hak ini merupakan hak hukum yang apat dieksaminasi melalui prosedur institusi peradilan baik di level domestic maupun internasional. Dampak Globalisasi terhadap Efektifitas Implementasi Hukum Lingkungan : Kasus Terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 Meskipun hak atas lingkungan telah dijamin dalam instrument hukum, namun penegakannya mendapatkan hambatan karena pengaruh globalisasi. Dengan demikian justiciability hak ini tidak efektif lagi dalam menjamin penikmatan hak atas lingkungan. Pemberian izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk meneruskan kegiatan penambangan secara terbuka (open-pit mining) di hutan lindung menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki visi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kenyataan itu sekaligus mempertegas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia sekadar jargon. Keppres Nomor 41 Tahun 2004 tersebut ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 12 Mei 2004, menyusul keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu) No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan, 11 Maret 2004. Perpu itu menegaskan, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.36 Terkait dengan justiciability hak atas lingkungan hidup yang baik, efektifitas hak ini mendapatkan hambatan dari institusi peradilan. Ironisnya hambatan ini berasal dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas sebagai the guardian of the constitusion. Salah satu buktinya adalah penolakan MK terhadap permohonan judicial review37 terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang diajukan oleh 11 LSM dan 81 warga masyarakat yang tinggal di lokasi 13 perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan lindung itu. MK dapat memahami alasan pemerintah soal perlunya ketentuan transisional bagi izin eksplorasi hutan lindung.38 Padahal dampak dikeluarkannya perizinan tersebut berdampak pada kerusakan hutan dan kelestarian lingkungan dan nyata-nyata melanggar hak atas lingkungan yang telah menjadi hak konstitusional warga negara Indonesia. Keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tersebut dan dukungan yuridis dari MK merupakan manifestasi nyata negara memfasilitasi kepentingan korporasi global melakukan investasi melalui kontrak karya.39 Sebenarnya negara ini mempunyai kedaulatan berdasarkan prinsip hak menentukan nasib sendiri (the right to selfdetermination) untuk mengelola kekayaan alamnya. Pengalaman Pemerintah Kosta Rika pada bulan Juni 2002 perlu dijadikan rujukan untuk menentukan sikap terhadap www.kompas.com/kompas-cetak/0405/19/humaniora Para pemohon menganggap persyaratan lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 22 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945, Pasal 28, dan Pasal 33. Lihat www.kompas.com/kompascetak/0507/08/ekonomi 38 ibid 39 Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menyebut terbitnya perpu itu sebagai suatu kecelakaan. Akan tetapi, katanya, Perpu No 1/2004 itu tidak perlu dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk. "Seharusnya itu diperlakukan sebagai suatu kecelakaan. Ini kasus aneh. Mudah-mudahan tidak terulang lagi," kata Makarim. Ia menjelaskan, masalah tersebut menjadi pelik karena kontrak karya dengan perusahaan pertambangan sudah ditandatangani sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung. "Kita tidak bisa mengatakan kontrak itu tidak berlaku karena kawasannya ditetapkan sebagai hutan lindung setelah kontrak ditandatangani. Artinya, kalau kita mau kawasan itu tetap menjadi hutan lindung, harus ditebus dengan ganti rugi. Kita tidak punya uang untuk itu. Lihat www.kompas.com/kompas-cetak/0405/16/humaniora 36 37 9 intervensi kekuatan korporasi global. Karena menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, presiden Abel Pacheco ketika itu, berani membuat keputusan melarang praktik tambang terbuka dengan sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan.40 Praktik-praktik seperti ini akan berdampak pada eksploitasi secara massif terhadap sumber daya alam. Jika dibiarkan akan mengarah pada tindakan pengerusakan dan pemusnahan ekosistem lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan. Deplesi ekologi yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan hidup dan masa depan generasi manusia yang akan datang. Praktek ecoside semakin tampak melalui fenomena dan praktik pengrusakan lingkungan hidup. Franz J. Broswimmer mengartikan ecoside is the killing of an ecosystem, termasuk mereka yang ikut serta dalam membuat kebijakan dan mengkonsumsikannya secara massif. 41 Realita di atas menunjukan bahwa globalisasi secara langsung berdampak pada pengelolaan lingkungan hidup. Apabila dianalisis lebih jauh kondisi ini menunjukkan bahwa implementasi dan penegakkan hukum lingkungan di Indonesia mengalami kendala yang justru berasal dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia dilakukan melalui kerja dan relasi yang sistematis dan massal. Melalui dukungan modal sebagai komprador atau negara sebagai fasilitator dan regulator, akan tetapi juga melibatkan pengarahan massa sebagai konsumen aktif. 42 Oleh karenya terbitnya Perpu tersebut perlu dikaitkan dengan diskursus ecoside karena, pertama, eksploitasi lingkungan hidup selama ini telah mengarah pada tindakan pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia. Kedua, pemusnahan tersebut merupakan tindakan yang berkaitan erat dengan praktik penghilangan hak-hak hidup manusia bahkan telah menyebabkan hak hidup ekosistem di dalamnya ikut kehilangan kelayakannya. Ketiga, menjadi bagian dari ekspolitasi sumber daya alam yang mengarah terancamnya keamanan hidup manusia saat ini dan kehiduoan generasi yang akan datang, demikian pula ancaman terhadap punahnya keberagaman hidup dan keanekaragaman hayati lainnya. 43 Senada dengan itu, Hardjasoemantri menghubungkan masalah lingkungan dengan aktivitas pembangunan. Menurutnya, pembangunan dapat menimbulkan risikorisiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan. Risikorisiko tersebut dapat berupa: (1) rusaknya berbagai sistem pendukung peri-kehidupan yang vital bagi manusia, baik sistem biofisik maupun sosial; (2) munculnya bahayabahaya baru akibat ciptaan manusia, seperti bahan berbahaya beracun atau B3 serta hasil-hasil bioteknologi; (3) pengalihan beban dan risiko generasi berikutnya atau kepada sektor serta kepada daerah lain; (4) kurang berfungsinya sistem organisasi sosial dalam masyarakat. Risiko-risiko ini terutama akan berdampak pada: pertumbuhan penduduk, pertumbuhan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan lembagalembaga masyarakat termasuk teknologi yang dikembangkan untuk meningkatkan produksi44 ibid M. Ridha Saleh, Rezim Ecoside & Implikasi Pelanggaran HAM, Majalah SUAR Vol. 5 No. 10 & 11, Tahun 2004, hal. 31 42 Kerusakan lingkungan karena pola konsumsi yang berlebihan bukan oleh 80% penduduk miskin di 2/3 belahan bumi, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber daya alam dunia. Lihat M. Ridha Saleh, Rezim Ecoside, ibid, hal. 32 43 M. Ridha Saleh, Rezim Ecoside, ibid 44 Koesnadi Hardjasoemantri, 1986. Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 40 41 10 Analisis Feminist Legal Theory terhadap Substansi Hukum Lingkungan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang memberikan ijin kepada perusahaan tambang untuk membuka tambang terbuka di kawasan hutan lindung berdampak pada kerusakan lingkungan dan lebih jauh berdampak pada penderitaan perempuan. Jika kerusakan lingkungan ditilik berdasarkan perspektif feminis maka harus dilihat penderitaan perempuan secara personal. Mengingat perspektif feminisme menjunjung nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman personal, rumusan tentang diri sendiri, kekuasaan personal, dan otentitas.45 Dalam konteks lingkungan hidup, terdapat keterpautan antara pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam. Dalam titik ini muncul aliran ekofiminisme. Karen J. Warren menspesifikan lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminismeyang meliputi : (1) ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (2) pemahaman terhadap alam dalam kaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (3) teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi; dan (4) pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminisme.46 Terkait dengan perspektif feminisme, maka untuk melihat suatu substansi peraturan perundang-undangan berperspektif feminis atau tidak, termasuk hukum lingkungan47 atau hukum yang terkait dengan aspek lingkungan, dapat mempergunakan pisau analisis Feminist Legal Theory. Teori ini mendekonstruksi terhadap konsep dasar ilmu hukum terutama wacana prinsip netralitas dan objektivitas. Hukum merupakan hasil konstentasi politik sehingga suara yang berkuasa di parlemen yang mayoritas lakilaki akan mendominasi materi muatan hukum yang dihasilkannya. Situasi serupa juga terjadi di lembaga eksekutif dan yudikatif. Netralitas dan objektif pada akhirnya berdampak tidak adil bagi perempuan.48 Arimbi Heroepoetri, R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Jakarta, debtWATCH Indonesia dan Institut Perempuan, 2004, hal. 17-19 46 Lebih lanjut Warren menawarkan feminisme transformatif untuk menyikapi kegagalan 4 (empat) cabang pemikiran feminis – liberal, marxis, radikal, dan sosialis – untuk melaksanakan praktik ekofeminisme. Feminisme transformatif mempunyai 6 (enam) karakteristik: (1) feminisme transformatif mengakui dan mengeksplisitkan saling keterkaitaan antara semua sistem opresi; (2) menekankan keberagaman pengalaman perempuan; (3) menolak logika dominasi; (4) memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia; (5) bergantung pada etika yang menekankan nilai-nilai etika “feminin” tradisional yang cenderung untuk menjalin, saling menghubungkan, dan menyatukan manusia; dan (6) ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan bumi. Lihat Rosemarrie Putnam Tong, Feminist Thought, Yogyakarta, Jalasutra, 2005, 366 – 391 47 Hukum lingkungan adalah keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung di dalam peraturan perundangundangan yang berobyek lingkungan hidup yang oleh masyarakat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan. Mengadopsi pemikiran Mochtar Kusumaatmadja 48 Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiologis dalam Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009 45 11 Feminist Legal Theory menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hukum berperspektif feminis dan praktik hukum berperspektif feminis.49 Teori hukum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hukum. Untuk itu karakteristik dasar teori hukum berperspektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hukum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (i) mengubah pandangan bahwa hukum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii) mengidentifikasi implikasi hukum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (iii) bagaimana hukum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas.50 Kemudian praktik hukum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama, bagaimana hukum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hukum digunakan untuk meningkatkan posisi sosial perempuan.51 Jika substansi hukum lingkungan dianalisis dengan perspektif feminist legal theory maka perspektif ini dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi sampai sejauhmana substansi tersebut berpihak pada perempuan atau malah menyumbang terjadinya subordinasi terhdap perempuan. Dalam kerangka ini maka analisis substansi, proses pembentukan hukum, metode pemikiran hukum dan epistemology hukum yang berobyek lingkungan perlu dilakukan.52 Di samping itu upaya mengajukan permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada perempuan melalui proses penyelesaian melalui mekanisme hukum, baik melalui pengadilan maupun alternative dispute resolution perlu terus diupayakan. Upaya ini dilakukan dengan landasan bahwa hak perempuan atas lingkungan hidup yang sehat bersifat justiciable dan enforceable dalam arti kata dapat diputuskan pemenuhannya lewat pengadilan dan dipaksa pemenuhannya lewat sebuah vonis hakim karena pelanggaran HAM menerbitkan upaya pemulihan bagi korbannya. Terkait dengan upaya pemulihan korban, studi van Boven mengemukakan bahwa hak-hak korban pelanggaran HAM secara komprehensif tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice), tetapi mencakup juga hak atas reparasi (right to reparation).53 Pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM. Aspek-aspek pemulihan bagi korban meliputi kompensasi54, retitusi55, Ratna Kapoor, Pendekatan Hukum Berperspektif Gender, disarikan dan diterjemahkan oleh Sri Wiyanti Eddyono, dalam Materi Pelatihan HAM bagi Pengacara Angkatan VII, Jakarta, Elsam, 2002 50 ibid. Perspektif feminisme perlu pula dijadikan pisau analisis untuk melengkapi sehingga dalam memandang persoalan perempuan lebih komprehensif dan lebih utuh. Adapun perpektif tersebut meliputi : (i) pendekatan holistic; (ii) berorientasi pada proses; (iii) menghargai keanekaragaman; (iv)pendekatan win-win terhadap konflik; (v) menghargai intuisi, rasio, dan logika; (vi) menolak pemisahan antara pikiran, perasaan, dan ketubuhan; (vii) pengambilan keputusan tidak hierarkis; (viii) menolak naturalisme; (ix) pembagian kekuasaan yang adil; dan (x) menghargai pengorganisasian secara kolektif untuk melakukan perubahan. Lihat Arimbi Heroepoetri, R. Valentina, op. cit, hal. 25-29 51 ibid 52 Ratna Kapoor, op.cit. 53 Ifdhal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven, op. cit. , hal. xv 54 Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan tanah. Lihat Ifdhal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven, ibid. xvi 55 Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian baiaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sndiri. Lihat, Ifdhal Kasim, ibid 49 12 rehabilitasi56, kepuasan (satisfaction) dan jaminan terhadap tidak terulanginya lagi pelanggaran (guarantees of non-repetition).57 Dalam titik ini dapat terlihat apakah hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang telah menjadi hak konstitusional efektif berhadapan dengan kekuatan arus utama neoliberalisme yang digawangi oleh korporasi global. Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan social., ibid Sedangkan kepuasan dan jaminan tidak terulangnya pelanggaran merupakan bagian dari kewajiban negara dan bentuk khusus dari reparasi. ibid 56 57 13