Tinjauan Pustaka PRURITUS GENERALISATA TANPA PENYAKIT KULIT Elhuda, Yenny SW SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK Universitas Andalas/RSUP dr. M. Djamil Padang ABSTRAK Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit didefinisikan sebagai suatu kelainan yang ditandai dengan rasa gatal yang luas tanpa disertai dengan lesi primer pada kulit. Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit paling sering disebabkan oleh penyakit sistemik, prevalensinya berkisar antara 10 % sampai 50 %. Patogenesis terjadinya pruritus generalisata tanpa penyakit kulit pada dasarnya disebabkan karena ketidakseimbangan antara µ dan ™ opioid di susunan saraf sentral. Untuk menegakkan diagnosis pruritus generalisata tanpa penyakit kulit tidaklah mudah, diperlukan pendekatan yang komprehensif, dimulai dengan anamnesis yang mendalam pemeriksaan fisik yang teliti dan berbagai pemeriksaan laboratorium canggih. Pengobatan pruritus bergantung pada identifikasi dan menghilangkan penyebabnya. Tanpa diketahui penyebabnya, terapi yang diberikan hanya bersifat paliatif dan hasilnya tidak begitu me mua ska n. Terdapat beberapa modalitas terapi untuk penatalaksanaan pruritus generalisata, antara lain terapi farmakologik, fototerapi, dan psikoterapi. Berdasarkan patogenesis terjadinya pruritus generalisata tanpa penyakit kulit, maka terapi farmakologik yang paling efektif adalah antagonist opioid reseptor dan agonis-antagonis opioid. Berdasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilak uka n foto terapi da n p sik ote rap i terb ukti e fek tif u ntu k p ena talaksana an pru ritus generalisata.(MDVI 2015; 42/2: 91 - 96) Kata Kunci: Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit, patogenesis, terapi ABSTRACT Generalized pruritus without skin disease is defined as a disorder characterized by itching without any extensive primary lesions on the skin. The most common etiology of generalized pruritus without skin disease is systemic disease, with a prevalence of 10 % to 50%. Pathogenesis of generalized pruritus without skin disease is basicly caused by the imbalance between μ and ™ opioids in the central nervous system. To estability the diagnosis of generalized pruritus without skin disease, anamnesis, physical examination and other laboratory examinations have to be performed. The treatment of generalized pruritus without skin disease depends on identification and elimination of cause, if not identified, the treatment will only be paliative and unsatisfactory. There are several therapeutic modalities for the treatment of generalized pruritus, including pharmacologic therapy, phototherapy and psychotherapy. According to the pathogenesis of generalized pruritus without skin disease, the most effective pharmacologic therapy are opioid receptor antagonist and agonist-antagonist opioids. There are many studies that have found phototherapy and psychotherapy to be effective for the treatment of generalized pruritus.(MDVI 2015; 42/2:91 - 96) Keywords: Generalized pruritus without skin disease, pathogenesis, therapy Korespondensi : Jl. Perintis Kemerdekaan- Padang 25127 Telp/Fax: 0751 - 810256 Email: [email protected] 91 MDVI PENDAHULUAN Pruritus telah didefinisikan sejak lebih dari 340 tahun yang lalu oleh Samuel Hafenreffer, seorang dokter yang berasal dari Jerman sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk daerah tertentu untuk mendapatkan kelegaan.1-6 Pruritus merupakan gejala yang menyusahkan dari berbagai penyakit kulit dan penyakit sistemik.2 Metz dkk. (Jerman, 2010) melaporkan prevalensi pruritus berkisar antara 8,4 % sampai 13,9 % dari seluruh populasi. Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit paling sering disebabkan oleh penyakit sistemik, prevalensinya berkisar antara 10 % sampai 50 %.4 Pruritus yang disebabkan penyakit sistemik paling sering terjadi pada pasien uremia dengan prevalensi 10-70% dan penyakit hati dengan prevalensi 15-100%.5-7 The International Forum for the Study of Itch (IFSI), membedakan pruritus berdasarkan lama keluhannya, yaitu pruritus akut dan kronis, kronis jika keluhan berlangsung selama lebih dari 6 minggu. Pruritus kronis biasanya berkaitan dengan berbagai penyakit sistemik. Pruritus dapat timbul dengan atau tanpa kelainan kulit, lokal atau generalisata. 1-10 Pruritus generalisata termasuk pruritus kronis. Pruritus kronis merupakan masalah bagi dokter karena sulit untuk didiagnosis dan diobati. Bagi pasien, pruritus kronis mempengaruhi kualitas hidup, misalnya menyebabkan gangguan tidur, mengganggu pekerjaan serta kehidupan sosial.8-12 Untuk menegakkan diagnosis pruritus generalisata tanpa penyakit kulit tidaklah mudah, diperlukan pendekatan yang komprehensif, dimulai dengan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisis yang teliti, dan berbagai pemeriksaan laboratorium canggih.1,9,10 Pengobatan pruritus bergantung pada identifikasi dan menghilangkan penyebabnya. Tanpa diketahui penyebabnya, terapi yang diberikan bersifat paliatif dan hasilnya tidak begitu memuaskan.1,7,9,10 Karena itu diperlukan pemahaman yang baik mengenai diagnosis dan penatalaksanaan pruritus generalisata pada kulit yang normal. KLASIFIKASI PRURITUS IFSI pada tahun 2007 membuat klasifikasi pruritus berdasakan perubahan pada kulit dan mekanisme terjadinya pruritus, yaitu: a). Grup I: pruritus pada penyakit kulit (kulit mengalami inflamasi), b). Grup II: pruritus pada kulit yang normal (non-inflamasi), c). Grup III: pruritus dengan lesi sekunder akibat garukan kronis. 9,10 Setelah diklasifikasikan berdasarkan klinisnya, kemudian diklasifikasikan lagi berdasarkan mekanisme terjadinya pruritus.9,10 Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit secara klinis termasuk Grup II dan etiologinya adalah kelainan sistemik, neurologis, dan psikiatri. Pruritus tanpa 92 Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 91 - 96 lesi kulit dulu dikenal dengan istilah pruritus sine materia, yang dapat diinterpretasikan pada berbagai keadaan antara lain pruritus tanpa penyakit dasar, pruritus tanpa lesi kulit, dan pruritus pada orang tua, sehingga istilah tersebut menjadi membingungkan dan tidak direkomendasikan untuk digunakan lagi.9,10 PATOGENESIS PRURITUS Stimulus berupa perubahan temperatur rangsang, kimia, mediator inflamasi, perubahan pH akan diterima oleh berbagai reseptor di kulit dan diteruskan ke ganglion radiks dorsal kemudian ke kornu dorsalis medula spinalis dalam pembentukan sensasi nyeri, rasa terbakar, dan lain-lain termasuk gatal.1,13,14 Aktivasi saraf nosiseptor dalam tingkat yang rendah akan menimbulkan sensasi gatal, sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi akan menimbulkan sensasi nyeri, hal ini dikenal dengan teori intensitas. Berdasarkan teori tersebut, aplikasi pruritogen (misalnya histamin) dalam kosentrasi tinggi akan menyebabkan rasa nyeri. Namun aplikasi algogens konsentrasi rendah tidak menimbulkan sensasi gatal, tapi nyeri ringan.1,12-14 Sensasi gatal diawali dengan adanya stimulus pada ujung saraf bebas yang merupakan ujung serabut C yang tidak bermielin. Impuls gatal yang dibawa oleh serabut C tidak bermielin tersebut selanjutnya akan diteruskan ke ganglion radiks dorsalis selanjutnya ke kornu dorsalis medula spinalis, selanjutnya impuls gatal tersebut akan melalui jaras spinotalamikus lateral, kemudian diproyeksikan ke talamus dan akhirnya sampai ke korteks serebri. Proses tersebut akan mengaktifkan beberapa area pada otak, misalnya korteks somatosensori primer, korteks anterior, dan korteks premotor. Sehingga akhirnya terjadinya keinginan untuk menggaruk.1,12-14 Diperkirakan bahwa epidermis bertindak sebagai reseptor pruritus, tetapi reseptor spesifik belum teridentifikasi. Pengangkatan epidermis menghilangkan persepsi gatal, hal tersebut menunjukkan bahwa reseptor pruritus terutama terletak pada epidermis. Selain itu, keratinosit mengekspresikan berbagai mediator saraf dan reseptor yang terlibat dalam sensasi gatal, antara lain opioid, protease, substansi P, nerve growth factor (NGF) dan neurotrophin 4. Serta reseptor masing-masingnya, yaitu reseptor μ-dan κ-opioid, proteinase-activated receptor-2 (PAR-2), reseptor vaniloid, reseptor kinase tipe neurotropik tirosin 1 (NTRK1), dan transient receptor potential (TRP) ion channels (terutama TRPV1). Keratinosit juga memiliki ATP voltage-gated ion channels yang mirip dengan adenosine receptor ligands pada serabut C. Kesamaan struktur tersebut menunjukkan bahwa keratinosit mungkin terlibat dalam mekanisme terjadinya gatal.11-19 Neurotransmitter-neuropeptida yang bertanggung jawab atas sensasi gatal antara lain histamin, serotonin, Elhuda & Yenny SW bradikinin, neuropeptide-P, protease, dan endotelin (yang menghasilkan oksida nitrat). Opioid juga dikenal sebagai salah satu modulator terjadinya pruritus. Sensitisasi reseptor µ-opioid menginisiasi pruritus, sedangkan penghambatan reseptor µ-opioid dan stimulasi reseptor kappa menekan kejadian pruritus.10-16 Mekanisme yang paling berperan dalam terjadinya pruritus generalisata adalah gangguan pada neurotransmiter di susunan saraf pusat.1,2,13 DIAGNOSIS PRURITUS GENERALISATA TANPA PENYAKIT KULIT Anamnesis yang mendalam diperlukan untuk menegakkan diagnosis pruritus generalisata. Perlu ditanyakan apakah ada penyakit kulit yang mendasari keluhan gatal, apakah gatalnya terus menerus atau intermiten, kapan gatal terutama dirasakan (pagi, siang atau malam), apakah gatal sampai mengganggu tidur, apa saja faktor-faktor yang mencetuskan gatal (misalnya: cuaca, stres, berkeringat). Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat penyakit sistemik dan penggunaan obat.1 Jika gatal dimulai dari telapak tangan kemudian menyebar ke seluruh tubuh, disertai dengan perubahan warna kulit menjadi kekuningan kemungkinan penyebabnya adalah kolestasis. Jika gatal muncul setelah berkontak dengan air, kemungkinan disebabkan oleh polisitemia vera. Jika gatal disertai dengan perubahan warna kulit menjadi lebih gelap dan kulit kering kemungkinan disebabkan oleh gagal ginjal kronis.11,12,19,20 Lesi kulit sekunder yang muncul sebagai manifestasi klinis pruritus ialah ekskoriasi, likenifikasi, hiperpigmentasi, ataupun hipopigmentasi. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pascainflamasi sering muncul pada orang dengan tipe kulit IV - VI. Plak likenifikasi biasanya muncul di daerah yang mudah dijangkau oleh pasien misalnya tengkuk, siku, pergelangan kaki, bokong, dan genitalia. Butterfly sign adalah suatu tanda yang terlihat di punggung pasien, berupa kulit yang normal di bagian tengah punggung sedangkan pada bagian pinggirnya terdapat daerah yang hiperpigmentasi. Hal ini disebabkan ketidakmampuan pasien untuk menggaruk bagian tengah punggungnya. Garukan dengan kuku menyebabkan ekskoriasi linear pada kulit dan laserasi pada kukunya sendiri.1,12,13,25 Respons psikologik pada pruritus bergantung pada berat pruritus dan status emosional pasien. Bila stimulus pruritus berlangsung sering, lama, dan tanpa diketahui penyebabnya, maka akan berakibat timbulnya perasaan takut, tegang, dan cemas. Lambat laun dapat timbul perubahan pada kepribadian pasien.1, 2,12 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dilakukan untuk melihat ada tidaknya kelainan darah yaitu, polisitemia dan leukemia. Untuk mengetahui ada tidaknya hipertiroid dan hipotiroid diperlukan pemeriksaan TSH dan T4. Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) merupakan pemeriksaan penyaring untuk gagal ginjal kronis, pemeriksaan fungsi hepar (kadar SGOT, SGPT, bilirubin direk dan indirek) untuk mengetahui ada tidaknya kolestasis. Rontgen foto toraks dilakukan sebagai pemeriksaan penyaring untuk keganasan.7-13 PENATALAKSANAAN PRURITUS GENERALISATA TANPA PENYAKIT KULIT Tatalaksana pasien dengan pruritus generalisata diperlukan pendekatan yang menyeluruh terhadap pasien dan diperlukan adanya empati dari dokter ke pasien. Sangat penting untuk menerangkan kepada pasien bahwa keluhan gatal tersebut sulit untuk diobati.1,12,25 Faktor eksternal yang mencetuskan pruritus sedapat mungkin dihindari, misalnya ruangan yang panas dan pakaian yang tidak menyerap keringat. Sensasi gatal akan meningkat jika kulit hangat, sebaiknya suhu kulit didinginkan dengan mandi air dingin, memakai pakaian yang tipis, dan pemakaian penyejuk ruangan jika memungkinkan.6,7,12 Kulit kering merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada pruritus yang mungkin disebabkan oleh sering mandi dan penggunaan sabun. Untuk mengatasi keadaan tersebut, dianjurkan menggunakan pelembab segera setelah berkontak dengan air.1,6,7,12 Berbagai faktor internal yang dapat mencetuskan pruritus antara lain makanan pedas, alkohol, minuman panas, obat-obatan (seperti beta blocker dan alopurinol), dan faktor psikologis seperti stres, harus dihindari.6,12 Untuk pengobatan pruritus generalisata perlu dipertimbangkan penyakit dasar yang menimbulkan keluhan gatal tersebut. Terapi bersifat individual, bergantung pada berbagai faktor, antara lain: usia, penyakit penyerta dan pengobatannya serta tingkat keparahan pruritus.1,12,26,27 Terapi topikal untuk penatalaksanaan pruritus generalisata tidak efektif, karena pruritusnya bersifat menyeluruh dan kelainannya terjadi di jalur sentral pada jaras gatal. Terapi sistemik Antagonis reseptor opioid. Pruritus generalisata secara garis besar disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sistem µ dan κ-opioid. Aktivasi reseptor µ-κ akan merangsang munculnya gatal, sedangkan stimulasi reseptor κ-opioid menghambat efek µ-reseptor di sentral dan perifer. Berdasarkan teori ini, pilihan terapi untuk pruritus generalisata adalah antagonis µ-opioid, misalnya naloxone dan naltrexone.1,26-29 Obat-obat yang tergolong antagonis reseptor opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek kecuali jika sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid 93 MDVI endogen sedang aktif. Bioavaibilitas naloxone oral rendah, maka diperlukan pemberian secara parenteral. Setelah pemberian secara subkutan dan intra vena, sebagian besar akan mengalami metabolisme di hati menjadi naloxaneglucuronoid kemudian dieksresikan melalui ginjal. Naloxone didistribusikan dengan cepat ke otak, sehingga terjadi penghambatan reseptor µ-opioid di sentral.1,6,26-30 Naltrexone adalah antagonis kompetitif reseptor µopioid, long-acting, yang diberikan secara oral. Bahan aktifnya adalah derivat siklopropil dari oxyorphone yang strukturnya mirip dengan naloxone. Setelah diberikan secara oral, naltrexone diserap secara cepat dengan kadar tertinggi dalam plasma (19 s/d 44 µg/l) tercapai dalam 1 jam. Naltrexone dimetabolisme di hepar menjadi metabolit 6-β-naltrexol kemudian diubah lagi menjadi konjugasi glucoronide. 1,26-30 Naltrexone dan metabolitnya bertahan selama kurang lebih 48 jam di dalam sirkulasi darah, kemudian dieksresikan melalui ginjal. Setelah diberikan naltrexone 50 mg, reseptor µ-opioid di sentral dihambat selama 72 sampai 108 jam, dan terdapat beberapa efek lainnya berupa miosis pupil, disforia, dan perasaan yang tidak menyenangkan, wa la upun kea daa n ini da pa t dia bai ka n. Pot en si antagonisnya 12-17 kali lebih kuat dari nalorphine dan 2 kali lebih kuat dari naloxone. Kelebihan lainnya yaitu, naltrexone tidak menyebabkan ketergantungan. 26-30 Antagonis reseptor opioid merupakan obat pilihan untuk pruritus generalisata yang disebabkan ketidak seimbangan antara µ dan κ opioid, misalnya pada pruritus kolestatis dan pruritus renal. Pada beberapa penelitian eksperi men ta l, pr uri tus yang disebabkan ol eh neuropeptida dan neurotransmiter yang berbeda misalnya histamin, substansi P, serotonin, serta asetilkolin dapat benar-benar ditekan oleh nalokson dan naltreksone. 26-29 Pada pemakaian klinis, antagonis reseptor opioid terbukti mampu mengatasi pruritus yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Waktu paruh naloxone sangat pendek yaitu 1-2 jam, sehingga diperlukan pemberian yang sering atau diberikan secara continuous infusion (drip), dengan dosis 0,002 µg/kg/menit, dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 0,2 µg/kg/menit dalam 24 jam.1,6,26,27 Penelitian Jones pada tahun 1992 yang dikutip dari Sairi dkk,26 dan Paus dkk,27 melaporkan terdapat penurunan rasa gatal yang signifikan pada pasien dengan pruritus kolestatis yang mendapat terapi naltrexone 25 mg/hari yang diberikan secara oral. Neuberger memberikan naloxone 0,002-0,2 µg/kg/menit intra vena, kemudian dilanjutkan dengan pemberian naltrexone 12,5-150 mg/hari per ora l pa da pasien den gan prur itus kol esta sis memberikan hasil yang sangat memuaskan, seluruh pasien mengalami remisi lengkap. Naltrexone tidak boleh diberikan pada pasien hepatitis akut, dan insufisiensi hepar berat, karena obat tersebut dimetabolisme di hepar. 1,26,27 94 Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 91 - 96 Agonis-antagonis reseptor opioid. Butorphanol berperan sebagai agonis parsial dan antagonis pada reseptor μ-opioid dan aktivitas agonis pada reseptor κopioid. Perangsangan reseptor pada sistem saraf pusat menyebabkan penghambatan adenilat siklase intraselular, sehingga terjadi penutupan saluran kalsium, dan terbukanya saluran kalium pada membran sel. Hal tersebut menyebabkan hiperpolarisasi pada membran sel dan penghambatan transmisi impuls gatal pada jaras asenden. Waktu paruhnya kira-kira 3 jam, sehingga pemberiannya dapat diulang setiap 3-4 jam. 1,26 Dosis yang biasa digunakan untuk mengatasi pruritus adalah 1-4 mg, diberikan sebelum tidur secara intranasal. 1,12,26 Efek samping yang sering muncul berupa rasa mengantuk, dizziness, mual, dan muntah. Efek samping yang jarang terjadi adalah konstipasi. 1,12,26 Antidepresan. Antidepresan yang sering digunakan un tuk men ga ta si pr ur it us ada l ah mi rt azapi ne . Mirtazapine merupakan obat yang aman tanpa efek samping yang serius dan mungkin efektif digunakan sebagai terapi pruritus nokturnal. Obat tersebut efektif digunakan dengan dosis 15 mg pada malam hari untuk mengatasi pruritus. Efek samping yang sering muncul antara lain mengantuk, mulut terasa kering, meningkatnya nafsu makan, dan berat badan,. 1,16,17,25,26 Antikonvulsan. Gabapentin yang merupakan analog struktural neurotransmitter γ-aminobutyric acid telah digunakan sebagai antikonvulsan, namun mekanisme kerja pada SSP kurang dipahami. Beberapa penelitian telah m enun jukka n ba h wa ga ba pen t i n efekti f unt uk pengobatan pruritus brakioradial, pruritus pada multiple sclerosis, pruritus uremia dan pruritus neuropatik lainnya. Gabapentin dapat menghambat impuls gatal di sentral. Pregabalin adalah obat nyeri neuropatik baru yang memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan gabapentin dengan efek samping yang lebih sedikit.1,14,15,26 Dosis gabapentin yang biasa digunakan adalah 3002400 mg diberikan empat kali sehari. Efek samping yang seri n g m un cul ber upa r a sa m en ga n t uk da n konstipasi. 1,14,15,26 Antihistamin. Antihistamin H1 (AH1) merupakan anti pruritus yang paling sering digunakan, namun tidak efektif jika diberikan pada pruritus generalisata, karena histamin kurang berperan dalam terjadinya pruritus generalisata. Namun penelitian baru-baru ini menunjukan bahwa antihistamin modern dalam dosis tinggi dapat mengurangi rasa gatal pada pruritus generalisata tanpa lesi kulit, karena antihistamin modern dapat mencegah degranulasi sel mast, sehingga tidak terbentuk berbagai mediator pr ur i t us l a in n ya ya n g juga di ha si lka n ol eh sel mast. 1,3,6,8,12,15,26 Elhuda & Yenny SW Penatalaksanaan nonfarmakologik. Fototerapi. Fototerapi telah digunakan lebih dari satu dekade untuk mengobati berbagai tipe gatal. Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa narrow band UVB sama efektifnya dengan broad-band UVB dan UVA untuk mengatasi pruritus. Fototerapi menurunkan jumlah sel mast dengan mencetuskan apoptosis, yang menyebabkan disfungsi saraf perifer dan menurunkan kation divalen pada kulit. Fototerapi efektif digunakan untuk mengatasi pruritus yang disebabkan oleh polisitemia vera, limfoma, pruritus renal, maupun pruritus lainnya yang disebabkan oleh penyakit internal. Efek pengobatan dapat bertahan sampai 18 bulan.1,10 Fototerapi dianjurkan digunakan pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap antipruritus sistemik, seperti pada akhir kehamilan dan orang tua yang banyak menggunakan obat-obat sistemik lainnya. Fototerapi juga merupakan terapi pilihan jika terapi dengan antipruritus sistemik tidak memberikan respons yang baik.1,10 Psikoterapi. Stres dan kelainan psikologik lainnya merupakan faktor penting yang mempengaruhi pruritus. Beberapa penelitian memperlihatkan terapi modifikasi perilaku dapat mengurangi intensitas dan persepsi pruritus. Penelitian Boddecker pada tahun 1976 yang dikutip dari Graves31 dan Gieler32 mengenai pendekatan terapi perilaku pada pasien pruritus. Konsep terapi yang diberikannya berupa dukungan kepada pasien agar tidak menggaruk, memberikan penghargaan jika pasien berhasil dan memberikan hukuman jika pasien gagal. Terapi tersebut terbukti berhasil pada pasien dengan pruritus yang berhubungan dengan “siklus garukgatal”. KESIMPULAN Pruritus adalah sensasi kulit tidak menyenangkan yang mencetuskan keinginan untuk menggosok dan menggaruk kulit untuk menghilangkan keluhan tersebut. Pruritus generalisata pada kulit yang normal didefinisikan sebagai suatu kelainan yang ditandai dengan rasa gatal yang luas tanpa disertai dengan lesi primer pada kulit. Patogenesis terjadinya pruristus generalisata pada kulit yang normal pada dasarnya disebabkan karena ketidakseimbangan antara µ dan opioid di susunan saraf sentral. Histamin kurang berperan dalam terjadinya pruritus generalisata. Diagnosis pruritus generalisata pada kulit yang normal membutuhkan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisis yang teliti, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Terdapat berbagai modalitas terapi untuk penatalaksanaan pruritus generalisata pada kulit yang normal antara lain terapi farmakologik dengan obat-obatan yang bekerja pada sentral, fototerapi, dan psikoterapi. Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit Terapi farmakologik yang paling efektif untuk pruritus generalisata dengan antagonis reseptor opioid dan agonisantagonis reseptor opioid. Fototerapi dan psikoterapi terbukti efektif untuk penatalaksanaan pruritus generalisata. DAFTAR PUSTAKA 1. Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW. Pathophysiology and clinical aspect of pruritus. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick`s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2007.h.902-11 2. Yosipovitch G, Greaves MW. Definitions of itch. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.1-4 3. Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW, Schmelz M. Itch. Lancet. 2003; 361: 902-11 4. Gilchrest BA. Pruritus: pathogenesis, therapy and significance in systemic disease state. Arch Internal Medicine. 1982; 142: 101-5. 5. Twycross R, Greaves MW, Handwerker H, Jones EA, Lebertto SE, Szepietowski JC. Itch: Scratching more than the surface. QJ Med. 2003; 96: 7-26 6. Schmelz M, Handwerker HO. Neurophysiologic basis of itch. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.5-12 7. Greaves MW. Itch in systemic disease: Therapeutic options. Dermatology Therapy. 2005; 18: 323-7. 8. Benhard JD. Itch and pruritus: What are they, and how should itches be classified? Dermatology Therapy. 2005; 18: 288-91. 9. Stander S, Weisshar E, Mettang T, Szepietowski J, Carstens E, Ikoma A, dkk. Clinical classification of itch: A position paper of the International Forum for the Study of Itch. Acta DermatoVenerologica. 2007; 87: 291-4. 10. Metz M, Stander S. Inflammatory skin disorders, allergy, tricology. CME Dermatology. 2008; 3: 124-43. 11. Metz M, Stander S. Chronic pruritus-pathogenesis, clinical aspects and treatment. JEADV. 2010; 24: 1249-60. 12. Weisshaar E, Apfelbacher C, Jager G. Pruritus as a leading symptom: Clinical characteristics and quality of life in German and Ugandan patients. Br J Dermatol. 2006; 155: 957-64. 13. Stander S, Weisshaar E, Luger TA. Neurophysiological and neurochemical basis of modern pruritus treatment. Exper Dermatol. 2008; 17: 161-9 14. Roosterman D, Geroge T, Schneider W, Bunnet N, Steinhoff M. Neuronal control of skin function: The skin as a neuroimmunoendocrine organ. Am Physi Soc. 2006; 86: 1309-79. 15. Ikoma A, Steinhoff M, Stander S, Yosipovitch G, Schmelz M. The neurobiology of itch. Neuroscience. 2006; 7: 535-44 16. Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves M. Cutaneous neurophysiologi. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, penyunting. Dermatology. Edisi ke-2. New York: Mosby Elsevier; 2008.h. 81-90 17. Tey HL, Yosipovitch G. Targeted treatment of pruritus: A look into the future. Br J Dermatol. 2011; 165: 5-17 95 MDVI 18. Schmelz M, Handwerker HO. Pain and itch. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004: 13-20 19. Andrew D, Craig AD. Central neural mechanisms of itch. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.21-34 20. Utsumi J, Togashi Y, Umeuchi H, Okano K. Anti pruritic activity of a novel ?-Opioid receptor agonist, TRK-820. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer JR, Mc Glone F, penyunting. Itch, basic mechanism and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.107-14. 21. Wang H, Yosipovitch G. New insight into the pathophysiology and treatment of chronic itch in patients with end-stage renal disease, chronic liver disease, and lymphoma. Int J Dermatol. 2010; 49; 1-11 22. Phan NQ, Lotts T, Antal A, Bernhard JD, Stander S. Systemic kappa opioid receptor agonists in the treatment of chronic pruritus: A literature review. Acta Dermato-Venereologica. 2012; 92: 555-60. 23. Lugon JR. Uremic pruritus: A review. Hemodialysis International. 2005; 9: 180-8. 24. Paus R. How best to fight that nasty itch-form new insight into neuroimmunological bases of pruritus to novel therapeutic approaches. Exper Dermatol. 2005; 14: 225-40 25. Mela M, Mancuso A. Review article: Pruritus in cholestatic and other liver diseases. Aliment Pharmacology Therapy. 2003; 17: 857-70. 96 Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 91 - 96 26. Saini KS, Mrinal M. Polycytemia vera-associated pruritus and its management. Europ J Clin Invet. 2010; 40: 828-35 27. Paus R, Schmelz M, Biro T, Steinhoff M. Frontier in pruritus research: Scratching the brain for more effective itch therapy. J Clin Invest. 2006; 116(5): 1175-85. 28. Kumagai H, Saruta T, Matsukawa S. Utsumi J. Prospects for a novel kappa-opioid receptor agonist, TRK 820. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer JR, Mc Glone F, penyunting. Itch, basic mechanism and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.279-86. 29. Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD. Pruritus and dysesthesia. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, penyunting. Dermatology. Edisi ke-2. New York; Mosby Elsevier; 2008.h. 91-104 30. Stander S, Metze D. Treatment of pruritus in internal and dermatological diseases with opioid receptor antagonists. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.259-77 31. Greaves MW. Recent advance in pathophysiology and current management of itch. Annals Academy of Medicine. 2007; 36: 788-92. 32. Gieler U, Niemeier V, Kupfer J. Psychosomatic aspect of pruritus. Dalam: Yosipovitch G, Greaves MW, Fleischer AB, McGlone F, penyunting. Itch basic mechanisms and therapy. New York: Marcel Dekker Inc; 2004.h.343-9.