perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Hukum Humaniter Internasional a. Definisi Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya disebut sebagai hukum konflik bersenjata (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, disingkat dengan International Humanitarian Law atau Hukum Humaniter Internasional (Haryomataram, 2005: 1). Menurut Haryomataram, Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan seperangkat aturan yang didasarkan atas perjanjian internasional dan kebiasaan internasional yang membatasi kekuasaan pihak yang berperang dalam menggunakan cara dan alat berperang untuk mengalahkan musuh dan mengatur perlindungan korban perang. Adapun menurut J.G.Starke HHI terdiri dari seperangkat pembatasan yang diatur oleh hukum internasional yang di dalamnya diatur penggunaan kekerasan yang dapat digunakan untuk menundukkan pihak musuh dan prinsipprinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu dalam perang dan konflik bersenjata (Andrey Sujatmoko, 2015: 171). Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa HHI merupakan bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri, dan sedangkan menurut Panitia Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undang merumuskan bahwa HHI merupakan keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi commit to user 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang (Gustian, 2013: 21). Menurut Haryomataram tujuan utama HHI yaitu memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik yang secara aktif ataupun tidak secara aktif turut serta dalam permusuhan (Andrey Sujatmoko, 2015: 172). Adapun tujuan dari HHI antara lain sebagai berikut (Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, dkk., 1999: 12) : 1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). 2) Menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. b. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional Dalam HHI dikenal tiga asas utama yaitu (Gustian Ardi Sudrajad, 2013: 22) : 1) Asas kepentingan militer (military necessity) Berdasarkan asas ini pihak-pihak yang berkonflik dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. 2) Asas perikemanusiaan (humanity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang berkonflik diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 3) Asas Kesatriaan (chivalry) Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang atau konflik, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara seimbang. Sedangkan prinsip HHI yang merupakan prinsip dasar dan mempunyai peran penting dalam perkembangan HHI yakni prinsip pembedaan (distinction) dan prinsip proporsional. Berdasarkan prinsip pembedaan, pada waktu terjadi konflik bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (civilian) dengan kombatan serta antara objek sipil dengan objek militer. Hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam konflik bersenjata dan dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter (Listyo Budi Santoso, 2008: 16-18). Pendapat Jean Pictet mengenai Prinsip Pembedaan (distinction) adalah prinsip yang membagi penduduk suatu negara yang terlibat konflik bersenjata menjadi dua golongan, yakni combatan dan civilian. Maka, prinsip pembedaan pada dasarnya memberikan pembatasan kepada kombatan yang terlibat dalam konflik bersenjata dan memberikan perlindungan bagi penduduk sipil (Danial, 2013: 13). Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi warga sipil. Setiap kombatan harus membedakan dirinya dari penduduk sipil, karena penduduk sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam konflik bersenjata. Prinsip pembedaan ini membagi atau membedakan penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau terlibat dalam suatu konflik bersenjata ke dalam tiga golongan yaitu (Rony, 2013: 27): 1) Kombatan Kombatan adalah orang-orang yang tergabung dalam suatu angkatan perang yang terorganisir kecuali personil atau petugas kesehatan yang menggunakan tanda-tanda pengenal atau seragam yang dipersenjatai. Kombatan berhak untuk berperang dan karenanya dapat dijadikan sasaran militer. Kombatan dituntut untuk membedakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 dirinya dari penduduk sipil ketika mereka terlibat dalam suatu pertempuran atau dalam suatu persiapan operasi militer untuk melakukan serangan. 2) Non-kombatan Non-kombatan adalah orang-orang sipil atau angkatan perang yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran atau tidak memenuhi syarat sebagai kombatan, misalnya petugas atau personil kesehatan, wartawan sipil yang menyertai angkatan perang, kombatan yang telah menyerah, luka-luka, dan sakit termasuk tawanan perang. 3) Penduduk Sipil Penduduk sipil adalah orang-orang yang tidak terlibat langsung dan tidak diperbolehkan terlibat langsung dalam pertempuran. Penduduk sipil dilindungi dari serangan, jika mereka terlibat langsung dalam pertempuran maka mereka kehilangan perlindungan yang diberikan kepadanya. Tindakan keras ataupun serangan yang dilakukan dalam konflik bersenjata bagaimanapun alat dan caranya maka setiap pihak yang bersengketa harus melakukannya sesuai dengan prinsip proporsional. Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer atau operasi bersenjata harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa korban tewas, korban luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan tersebut (Ambarwati, Denny, dan Rina, 2012: 44). c. Sumber Hukum Humaniter Internasional Ketika telah terjadi perang atau konflik bersenjata, maka ketentuan yang berlaku adalah aturan-aturan HHI yang bersumber pada (I Wayan Parthiana, 2002: 28) : 1) Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907, disebut Hukum Den Haag. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 2) Konvensi-konvensi Jenewa -1949, disebut Hukum Jenewa. 3) Protokol-protokol Tambahan -1977. HHI pada intinya dibagi menjadi 2 bagian yaitu pertama mengenai ketentuan yang mengatur tentang cara, metode, atau pelaksanaan permusuhan atau peperangan termasuk apa saja yang boleh atau dilarang untuk digunakan yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1907 dan lazim disebut dengan Hukum Den Haag. Kedua, mengenai ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang baik meliputi kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian) yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 atau yang lazim disebut dengan Hukum Jenewa (Andrey Sujatmoko, 2015: 172). d. Definisi dan Jenis Konflik Bersenjata menyatakan bahwa perang adalah permusuhan (pertikaian) dengan menggunakan angkatan bersenjata yang terjadi antara bangsa-bangsa, negara-negara, atau penguasa-penguasa, atau warga-warga dalam satu bangsa atau satu negara. Sementara istilah perang dalam Dictionary of the International Law of Armed Conflict diartikan sebagai permusuhan (pertikaian) bersenjata antara dua atau lebih negara yang melibatkan angkatan bersenjata masing-masing dan diatur oleh hukum internasional. Dua pengertian ini menyebut dua unsur esensial dari perang yaitu (Yustina, 2013: 26): 1) Adanya suatu situasi pertikaian (permusuhan) dengan menggunakan kekuatan bersenjata. 2) Adanya pihak-pihak yang bersengketa. Berdasarkan kedua unsur ini maka istilah perang sama dengan istilah konflik bersenjata karena perang adalah pertikaian di antara para pihak dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Edward K. Kwakwa mengungkapkan istilah konflik bersenjata merupakan suatu ungkapan penghalusan dari istilah perang (Yustina, 2013: 27). Penggunaan tindakan kekerasan oleh suatu Negara atau Pihak Peserta Agung atau tindakan Negara dalam melawan dan memberantas commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 terorisme yang dilakukan dengan cara mengerahkan angkatan bersenjatanya dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata, walaupun tindakan tersebut merupakan pembelaan diri (Ambarwati, Denny, dan Rina, 2012: 73). Dengan digunakannya istilah konflik bersenjata (armed conflict), berlakunya Hukum Humaniter Internasional tidak lagi bergantung dari adanya suatu konflik bersenjata yang memenuhi syarat yuridis, tetapi konflik bersenjata dalam arti teknis (Haryomataram, 2005: 57). Hukum Jenewa merupakan salah satu sumber HHI serta aturan pokok yang mengatur mengenai perlindungan korban pada konflik bersenjata. Perlindungan terhadap penduduk sipil dapat diketahui melalui Konvensi Jenewa IV 1949 dan Protokol Tambahan 1977 sesuai dengan sifat konflik bersenjatanya. 1) Konflik bersenjata dalam Konvensi Jenewa IV 1949 (Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War) Konvensi Jenewa 1949 membagi konflik bersenjata menjadi konflik bersenjata internasional (KBI) dan konflik bersenjata noninternasional (KBNI). Konflik bersenjata internasional (KBI) terdapat pada Pasal 2 ketentuan yang bersamaan (common article) dari Konvensi Jenewa IV 1949, yang disebutkan bahwa: in peacetime, the present Convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the High Contracting Parties, even if the state of war is not recognized by one of them. The Convention shall also apply to all cases of partial or total occupation of the territory of a High Contracting Party, even if the said occupation meets with no armed resistance. Although one of the Powers in conflict may not be a party to the present Convention, the Powers who are parties thereto shall remain bound by it in their mutual relations. They shall furthermore be bound by the Convention in relation to the said Power, if the latter accepts and applies the provisions thereof commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 Pasal 2 di atas menunjukkan bahwa K onvensi Jenewa berlaku dalam keadaan: a) Perang atau konflik bersenjata yang melibatkan antara 2 (dua) atau lebih dari Pihak Peserta Agung. b) Perang atau konflik bersenjata yang diumumkan. c) Perang atau konflik bersenjata walaupun keadaan dari Perang atau konflik bersenjata tidak diakui. d) Pendudukan (okupasi) sebagian atau seluruh dari wilayah pihak peserta agung, meskipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan. Sedangkan konflik bersenjata non-internasional (KBNI) terdapat dalam Pasal 3 common article Konvensi Jenewa dengan menggunakan armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional, karena Konvensi Jenewa tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan armed conflict not of an international character. Penerapan pasal ini tidak mempengaruhi kedudukan hukum pihakpihak yang terlibat konflik bersenjata. Pasal 3 common article Konvensi Jenewa memberikan pengertian luas terhadap konflik non-internasional. Untuk membedakan konflik bersenjata non-internasional dalam pengertian Pasal 3 ini dengan situasi ketegangan dan gangguan internal, kerusuhan atau tindakan aksi bandit, maka terdapat kriteria atau batas tertentu, yaitu (www.icrc.org/eng/assets/files/other/opinion-paper- armed-conflict.pdf, How is the Term "Armed Conflict" Defined in International Humanitarian Law?, diakses pada 15 Oktober 2015 pukul 15.00 WIB): a) Konflik bersenjata harus mencapai tingkat minimum intensitas, ketika Pemerintah berkewajiban untuk menggunakan kekuatan militer terhadap pemberontak atau kelompok non-pemerintah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 b) Pemberontak atau kelompok non-pemerintah merupakan pihak yang terlibat dalam konflik, adanya pengorganisasian angkatan bersenjata secara berlanjut, adanya struktur komando tertentu dan memiliki kapasitas untuk mempertahankan operasi militer. 2) Konflik bersenjata dalam Protokol Tambahan 1977 a) Protokol Tambahan I 1977 (Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts) Protokol Tambahan I 1977, mengatur konflik bersenjata yang bersifat internasional. Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977 mengatakan bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi yang dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949. Protokol I 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4) yang mencakup konflik bersenjata dimana suatu bangsa (peoples) berjuang melawan dominasi colonial (colonial domination), pendudukan asing (alien occupation), dan melawan rezim rasialis (racist regimes) dalam memenuhi hak mereka menentukan nasib sendiri, seperti tercantum dalam Piagam PBB dan deklarasi tentang prinsip-prinsip hukum internasional yang berhubungan dengan hubungan bersahabat dan kerja sama antarnegara (Haryomataram, 2005: 151). Konflik-konflik bersenjata seperti dominasi colonial (colonial domination), pendudukan asing (alien occupation), dan melawan rezim rasialis (racist regimes) disebut dengan CAR konflik. b) Protokol Tambahan II 1977 (Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977) Protokol Tambahan II 1977 Pasal 1 menggunakan istilah - commit to user non-international armed perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 conflict) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional. Namun Protokol Tambahan II tidak memberikan suatu definisi mengenai apa yang dimaksud dengan - Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, dkk., 1999: 142-143). Sengketa bersenjata non-internasional yang dimaksud dalam Protokol Tambahan II 1977 adalah sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara peserta Protokol, antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pasukan pemberontak yang terorganisasi di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional yang termuat dalam Protokol Tambahan II 1977 (Ambarwati, Denny, dan Rina, 2012: 59-60). e. Perlindungan terhadap Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter Internasional Perlindungan terhadap penduduk sipil diatur dalam Konvensi Jenewa IV 1949. Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949 memberikan jaminan perlakuan terhadap penduduk sipil menurut asas-asas kemanusiaan. Hakhak ini merupakan hak-hak yang melekat pada martabat manusia, yang tidak boleh dilanggar dan diabaikan dalam keadaan apapun terlepas dari status pemberontak menurut hukum atau sifat dari konflik bersenjata tersebut (Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, dkk., 1999: 115). Bagian II Konvensi Jenewa IV 1949, mengatur mengenai perlindungan umum kepada penduduk sipil, diatur dalam Pasal 13 hingga Pasal 26 dan Bagian III, mengatur status dan perawatan orang-orang yang dilindungi. Sedangkan dalam Protokol Tambahan, perlindungan tersebut diatur dalam bagian IV tentang penduduk sipil. Bagian IV Protokol ini, antara commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 lain mengatur mengenai perlindungan umum (general protection against the effect of hostilities); bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population); serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a conflict), termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap para pengungsi, orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), anak-anak, wanita dan wartawan (Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, dkk., 1999: 170). 1) Perlindungan Umum Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan agamanya. Dalam konflik bersenjata non-internasional, tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang dilarang dan disebutkan dalam Pasal 3 (common article) Konvensi Jenewa 1949 yakni (Haryomataram, 2005: 59-60): a) Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan, atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan yang dapat merugikan semua manapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan, atau kekayaan atau setiap kriteria lainnya yang mencerminkan diskriminasi. Dalam hal yang dimaksudkan di atas, maka tindakan-tindakan berikut dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat manapun juga: (1) Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga terutama setiap macam pembunuhan, pengurungan, perlakuan dan penganiayaan. (2) Penyanderaan. (3) Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat. (4) Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab. b) Korban-korban luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sedangkan dalam sifat konflik bersenjata internasional tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 27-34 Konvensi Jenewa 1949, yaitu (Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, dkk., 1999: 170-171): a) Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan. b) Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani. c) Menjatuhkan hukuman kolektif. d) Melakukan intimidasi, terorisme, dan perampokan. e) Melakukan pembalasan (reprisal). f) Menjadikan mereka sebagai sandera. g) Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi. 2) Perlindungan Khusus Terdapat sekelompok penduduk sipil tertentu yang mendapat perlindungan khusus. Mereka adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Perhimpunan Penolong Palang Merah Sukarela Nasional lainnya, dan anggota termasuk anggota Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial (sipil), biasanya dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunanbangunan khusus), maupun lambang-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindungi (protected commit to user biarkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu sengketa tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer (Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, dkk., 1999: 177). 2. Tinjauan mengenai Subjek Hukum Internasional Subjek hukum internasional adalah pemegang hak dan kewajiban menurut internasional yang memiliki personalitas yuridik internasional dengan sejumlah kecakapan-kecakapan hukum internasional. Kecakapan hukum yang dimaksud adalah (Sefriani, 2010: 102) : a. Mampu untuk menuntut hak-haknya didepan pengadilan internasional dan nasional. b. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional. c. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional. d. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik. Beberapa macam subjek hukum internasional yang diakui adalah : a. Negara Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, karena negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat internasional, baik sesama negara maupun subjek-subjek hukum internasional lainnya. Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling banyak dan paling luas memiliki, memegang ataupun mendukung hak dan kewajiban dibanding subjek hukum internasional lainnya (I Wayan Parthiana, 2002: 88). Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai negara yaitu sesuai dengan Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara yaitu : 1) Penduduk yang tetap. 2) Wilayah yang pasti. 3) Adanya pemerintahan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 4) Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. b. Organisasi Internasional Berdirinya organisasi internasional pada hakekatnya didorong oleh keinginan untuk meningkatkan dan melembagakan kerjasama internasional secara permanen dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pelembagaan kerjasama internasional dengan cara mendirikan organisasi internasional dalam beberapa hal memang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kerjasama internasional secara multilateral maupun bilateral saja (I Wayan Parthiana, 2002: 102). Menurut Ian Brownlie, kriteria kepribadian hukum bagi suatu organisasi internasional, dapat disimpulkan sebagai berikut (Ian Brownlie, 2003: 658) : 1) Organisasi internasional merupakan suatu persekutuan antara negaranegara yang bersifat permanen dengan tujuan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku serta dilengkapi dengan organ-organnya. 2) Adanya suatu pemisahan atau pembedaan dalam kewenangan hukum maupun maksud dan tujuan dari organisasi internasional itu sendiri pada satu pihak dengan negara-negara anggotanya. 3) Adanya suatu kekuasaan hukum yang dapat dilaksanakan oleh organisasi internasional itu sendiri, tidak saja dalam hubungannya dengan sistem hukum nasional dari satu atau leih negara-negara, tetapi juga pada tingkat internasional. c. Palang Merah Internasional (International Committee for the Red Cross ICRC) Palang Merah Internasional atau ICRC adalah organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang kemanusiaan yakni memberikan bantuan dan pertolongan kepada korban konflik bersenjata. Pada awalnya organisasi ini hanya organisasi dalam ruang lingkup nasional yakni sesuai dengan hokum nasional Negara Swiss. Oleh karena kegiatannya dalam bidang kemanusiaan, ICRC banyak mendapat simpati dan sambutan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 positif tidak hanya di Negara Swiss namun juga meluas ke berbagai Negara yang diikuti dengan langkah yang nyata, berupa pembentukan Palang Merah Nasional di masingmasing negara bersangkutan, sehingga akhirnya berkembang pesat di seluruh penjuru dunia. Palang Merah Nasional dari negara-negara tersebut kemudian menghimpun diri menjadi Palang Merah Internasional. Dengan demikian, keanggotaan dari Palang Merah Internasional bukanlah negara-negara melainkan Palang Merah Nasional dari negara-negara. ICRC telah banyak berperan dalam pembentukan dan pengembangan HHI (I Wayan Parthiana, 2002: 123124) d. Pemberontak (Belligerent) Pemberontak atau Belligerent pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Sebagai contoh, pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara yang dilakukan oleh sekelompok orang melawan pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan demikian, hukum yang harus diberlakukan terhadap peristiwa pemberontakan dalam suatu negara adalah hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara dapat meningkat dan berkembang sedemikian rupa, yang bermula dengan intensitas rendah kemudian berintensitas tinggi, sehingga tampak seperti perang antara dua kekuatan yang setara atau yang lebih dikenal dengan perang saudara (I Wayan Parthiana, 2002: 129-130). Belligerent merupakan pihak yang bersengketa dengan negara atau pemerintah yang sah yang kemudian terlibat dalam suatu peperangan. Belligerent timbul ketika adanya suatu konflik politik antara warga sipil yang membentuk suatu kelompok perlawanan dengan pemerintah yang sah dalam suatu negara (Dian Rubiana dan Husni Syam, 2015: 323). Lampiran Konvensi Den Haag II 1899 Bagian I Pasal 1 memberikan kualifikasi mengenai Belligerent yakni : Article 1. The laws, rights, and duties of war apply not only to armies, but also to militia and volunteer commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 corps fulfilling the following conditions: 1. To be commanded by a person responsible for his subordinates; 2. To have a fixed distinctive emblem recognizable at a distance; 3. To carry arms openly; and 4. To conduct their operations in accordance with the laws and customs of war. In countries where militia or volunteer corps constitute the army, or form part of it, they are included under the denomination "army." Berdasarkan Pasal 1 tersebut memberikan kualifikasi bahwa Belligerent merupakan pihak yang berperang seperti milisi dan sukarelawan yang mempunyai ketentuan sebagai berikut : a. Terdapat komando yang bertanggungjawab terhadap bawahannya. b. Memiliki lambang khas tetap yang dapat dikenali dari jarak jauh. c. Membawa senjata secara terbuka. d. Melakukan operasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. 3. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Islamic State of Iraq and Syria atau disebut dengan ISIS merupakan kelompok yang bertujuan mendirikan kekhalifahan, atau negara Islam berdasarkan syariah. Kelompok ini muncul karena dampak dari invasi Amerika Serikat (AS) di Irak yang mana invasi ini bertujuan mencari senjata pemusnah masal (weapon of mass destruction), dan mengakhiri dengan paksa kepemimpinan Saddam Husein dari pemerintahan di Irak (Zachary Laub dan Jonathan Masters, 2014: 1). Pada mulanya kelompok ini bernama Islamic State in Iraq (ISI) yang didirikan pada tahun 2006. ISI melakukan penyerangan di berbagai daerah di Irak, khususnya kota Baghdad. Pada tahun 2009 ISI melakukan serangan terbesar dan signifikan pada pusat kota Baghdad dan menewaskan 382 orang. Lalu, pada tahun 2010 operasi skala besar oleh ISI mulai meningkat dengan melakukan pengeboman-pengeboman di berbagai wilayah Irak. ISI terus melakukan serangan yang terkoordinasi di Baghdad dan 12 wilayah lain di Irak pada 15 Agustus 2011, serangan ini ditujukan tidak hanya untuk menimbulkan kerusakan material, tapi juga untuk mengurangi moral pasukan keamanan Irak (Charles Lister, 2014: 11). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 Setelah penarikan pasukan militer AS di Irak pada tahun 2011, kelompok ini meningkatkan operasinya dan melakukan berbagai serangan terutama pada kelompok Syiah. Serangan tersebut merupakan efek dari didominasinya pemerintahan Irak oleh kelompok Syiah dengan Perdana Menteri Nouri al-Maliki (Zachary dan Jonathan, 2014: 1). Didominasinya pemerintahan di Irak oleh kelompok Syiah membuat kelompok Sunni mendapatkan perlakuan secara diskriminasi dan tidak memperoleh hak-hak dasar terutama hak atas politik. Kelompok ini terus mendapat dukungan dari mantan angkatan bersenjata pendukung Saddam Hussein yang kemudian di dukung pula oleh kelompok-kelompok pro Sunni. Selama tiga tahun melakukan operasi yang signifikan di Irak, ISI memperluas ekspansi wilayahnya di Suriah dengan memanfaatkan situasi perang saudara pada saat itu antara kelompok-kelompok pemberontak melawan Pemerintah Suriah. Pada tanggal 9 April 2013, Abu Bakr al-Baghdadi selaku pemimpin ISI menyatakan bahwa organisasi ISI berubah dan berganti nama menjadi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Setelah menguasai beberapa wilayah di Suriah, ISIS mengklaim dirinya sebagai Islamic State (IS) atau kekhalifahan secara global pada tanggal 29 Juni 2014 dengan menjadikan kota Raqqa di Suriah sebagai ibukota kekhalifahannya (Charles Lister, 2014: 13-14). Walaupun mengklaim sebagai Islamic State namun masyarakat internasional tidak mengakuinya dan sebagian besar tetap menyebutnya sebagai kelompok atau gerakan ISIS karena operasi dan penguasaan wilayahnya difokuskan di negara Irak dan Suriah. ISIS mulai menguasai dan mengontrol wilayah barat Irak dan timur Suriah dengan melakukan operasi-operasi dan membuat gerakan pemberontakan. Wilayah ISIS tidak dapat ditentukan secara jelas batasbatasnya, namun yang pasti ISIS memiliki ribuan militan atau pasukan tempur yang siap melakukan serangan dan pertempuran melawan militer Pemerintah Irak dan Suriah (Chanchal, 2015: 346). Konflik antara ISIS dengan Pemerintah Irak dan Suriah terus meningkat, sehingga intensitas konflik ini commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 menarik perhatian masyarakat internasional karena kondisi kemanusiaan di Irak dan Suriah yang semakin memburuk. Salah satu respon masyarakat internasional terhadap tindakan dan operasi ISIS dalam konflik tersebut yaitu dengan dikeluarkannya Resolusi DK PBB Nomor 2170 Tahun 2014 poin 3 menyatakan bahwa ISIS bertanggung jawab atas pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Selanjutnya, pada laporan Komisi Internasional Independen Penyelidikan Di Suriah (Independent International Commission of Inquiry on the Syrian Arab Republic) yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 13 Agustus 2015 menyatakan bahwa ISIS telah melakukan tindak kejahatan perang, yang meliputi pembunuhan, eksekusi tanpa proses hukum yang layak, penyiksaan, penyanderaan, perkosaan, kekerasan seksual, merekrut dan melibatkan anak-anak secara langsung dalam konflik bersenjata. B. Kerangka Pemikiran Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Konflik Bersenjata Status Konflik Bersenjata Tentara Negara Irak dan Suriah Korban Penduduk Sipil Perlindungan Penduduk Sipil berdasarkan Hukum Humaniter Internasional commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 Keterangan : Konflik bersenjata antara Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dengan tentara negara Irak dan Suriah di wilayah negara Irak dan Suriah menimbulkan korban penduduk sipil. Meningkatnya intensitas konflik bersenjata mengakibatkan jumlah korban dari penduduk sipil semakin bertambah. Hukum Humaniter Internasional khususnya Hukum Jenewa merupakan salah satu dari Hukum Internasional yang mempunyai tujuan memberikan perlindungan kepada penduduk sipil. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan penduduk sipil, terlebih dahulu perlu diketahui status dari konflik bersenjata tersebut. commit to user