10 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pendidikan

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pendidikan IPA
1. Pengertian pendidikan IPA
IPA datang dengan berlandaskan segala sesuatu yang terjadi di alam dan
tertuang dalam bentuk fakta, konsep, prinsip, dan hukum yang telah diuji oleh
para ilmuwan secara ilmiah. Hal tersebut selaras dengan pendapat Susanto (2012,
hlm. 167) bahwa
Sains atau IPA adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta
melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta menggunakan prosedur,
dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapatkan suatu kesimpulan.
IPA merupakan cabang pengetahuan yang berawal dari fenomena alam.
IPA didefinisikan sebagai sekumpulan pengetahuan tentang objek dan
fenomena alam yang diperoleh dari hasil pemikiran dan penyelidikan
ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen dengan
menggunakan metode ilmiah.
Jadi, IPA memiliki rangkaian kegiatan yang sistematis berdasarkan
prosedur tertentu untuk melakukan pengamatan terhadap alam, di mana
pengamatan tersebut diawali karena adanya suatu fenomena. Sehingga IPA
keberadaannya sangat dekat dengan kehidupa makhluk hidup.
2. Karakteristik pendidikan IPA
Sebagaimana pembelajaran lainnya, pembelajaran IPA pun memiliki
karakteristik tersendiri. Karakteristik IPA menurut Sujana (dalam Djuanda &
Maulana, 2010) adalah sebagai berikut.
a. Menuntut guru untuk dapat berinteraksi dengan siswa, rekan kerja, serta dapat
berkomunikasi dengan alam.
b. Menuntut
guru
untuk
mampu
melakukan
kerja
ilmiah,
baik
mendemonstrasikan atau mempraktikkan segala sesuatu yang berkenaan
dengan alam atau yang berkenaan dengan makhluk hidup.
c. Menuntut guru untuk mampu melakukan pengelolaan kelas/laboratorium.
d. Menuntut guru untuk memiliki sense of humor yang sesuai dengan materi
yang dipelajari. Sehingga siswa termotivasi untuk belajar IPA dan IPA tidak
terkesan sebagai mata pelajaran yang membosankan.
10
11
3. Tujuan pendidikan IPA
Empat alasan IPA dimasukkan di kurikulum SD yaitu: a. kesejahteraan
bangsa hampir semua aspeknya ditunjang oleh kemampuan pada bidang IPA,
berbagai bidang profesi memiliki pengetahuan dasar IPA, b. dengan pembelajaran
yang tepat IPA mampu membuat siswa untuk berfikir kritis, c. IPA bukan mata
pelajaran yang bersifat hapalan karena sebenarnya IPA harus dengan mencoba
dan tidak bersifat hapalan, d. IPA memiliki potensi untuk membentuk pribadi
secara keseluruhan, (Samatowa, 2006).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita ketahui bahwa tujuan IPA di SD
adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman siswa mengenai
konsep-konsep IPA yang bermanfaat agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuan IPA juga untuk mengembangkan keterampilan proses, untuk
menyelidiki alam sekitar, terutama ketika terdapat suatu permasalahan yang
diharapkan dengan kemampuan menyelidiki, siswa dapat mengambil suatu
langkah mengambil keputusan tepat untuk memecahkan masalah.
4. Ruang lingkup IPA
Terdapat dua aspek ruang lingkup IPA yaitu, kerja ilmiah atau proses sains
dan pemahaman konsep. Kerja ilmiah adalah kinerja dalam memfasilitasi
berlangsungnya proses ilmiah yang meliputi, penyelidikan, komunikasi ilmiah,
pengembangan kreativitas dan pemecahan masalah, serta sikap dan nilai ilmiah
(Asy’ari, 2006).
Sedangkan, pemahaman konsep dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (2006, hlm. 125) mengenai Kurikulum 2006 yang meliputi sebagai
berikut.
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan yaitu, manusia, hewan, tumbuhan
dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan bendabenda langit lainnya.
12
B. Materi Sifat Fisik Tanah
1. Sifat fisik tanah
Dilihat dari materi tentang sifat fisik tanah yang dibahas di SD adalah
warna, tekstur, dan strukturnya. Sifat fisik tanah merupakan sifat-sifat yang
dimiliki tanah yang dapat diindera secara langsung oleh alat indera.
a. Warna tanah
Sifat tanah yang pertama adalah warna tanah, di mana warna tanah dapat
diidentifikasi dengan mata secara langsung. Syarief (dalam Tinnie, 2009)
menyatakan bahwa
Warna tanah merupakan salah satu sifat yang mudah dilihat dan
menunjukkan sifat dari tanah tersebut. Warna tanah merupakan campuran
komponen lain yang terjadi karena mempengaruhi berbagai faktor atau
persenyawaan tunggal. Urutan warna tanah adalah hitam, coklat, karat, abuabu, kuning dan putih.
Adapula definisi warna tanah menurut Sutanto (2005, hlm. 101) yaitu
Warna tanah merupakan salah satu ciri tanah yang jelas dan paling
menonjol sehingga terlihat lebih sering digunakan dalam memerikan
(description) tanah daripada ciri tanah lain, khususnya orang awam. Warna
tanah tidak secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
warna tanah adalah ciri fisik tanah yang paling menonjol dan paling mudah
dikenali khususnya oleh orang awam. Walaupun tidak secara langsung
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, namun warna tanah sifat yang paling
mudah untuk membedakan tanah.
b. Struktur tanah
Struktur tanah merupakan susunan atau gumpalan tanah yang saling
menempel menjadi butir-butir tanah. Secara khusus seorang ilmuwan tanah
bernama A.G. Kartasapoetra (dalam Utoyo, 2007) mengemukakan bahwa derajat
struktur tanah dapat dibedakan menjadi empat yaitu, tidak beragregat
(bergumpal), derajat strukturnya lemah, derajat strukturnya cukup, dan derajat
strukturnya kokoh.
Struktur tanah bergumpal adalah tanah yang lengket karena saling
menempel satu sama lain dengan sangat rekat. Struktur tanah dengan derajat
lemah adalah tanah yang saling menempel namun, masih dapat saling berpisah.
Struktur tanah dengan derajat yang cukup adalah keadaan tanah yang gembur,
13
tidak lengket serta tidak saling terpisah. Struktur derajat tanah yang kokoh adalah
keadaan tanah yang tidak lengket sama sekali.
c. Tekstur tanah
Sifat terakhir dari tanah adalah tekstur tanah yang bisa diidentifikasi secara
sederhana dengan dirasakan oleh tangan. Mutiara, dkk. (2008, hlm. 87)
menyatakan bahwa “Tekstur tanah merupakan gambaran tingkat kekasaran atau
kehalusan bahan mineral yang menyusun tanah. Tekstur tanah ditentukan oleh
proporsi tiga jenis partikel tanah, yaitu pasir, debu/endapan lumpur, dan
lempung/liat”. Menurut Yani & Mamat (2007, hlm. 104) menyatakan bahwa cara
kualitatif bersifat sederhana untuk mengetahui tekstur suatu tanah sebagai berikut.
Segumpal tanah sebesar kelereng diremas diantara ibu jari dan jari lainnya
dalam keadaan basah. Apabila terasa kasar dan tidak dapat dibentuk, berarti
fraksi pasir yang dominan sehingga tanah bertekstur pasir. Apabila terasa
halus dan licin, seperti sabun atau bubuk (talk) serta dapat dibentuk, tetapi
mudah pecah, dapat dikatakan sebagai tanah bertekstur debu.
Jadi, tanah dapat diklasifikasikan sifatnya secara sederhana oleh siswa SD
dengan mengidentifikasi warna tanah, struktur tanah, dan tekstur tanah.
2. Jenis-jenis tanah beserta penggunaannya
Tanah berhumus, tanah ini mengandung banyak humus dan berwarna
gelap. Tanah berhumus merupakan tanah yang paling subur. Baik digunakan
sebagai lahan bercocok tanaman.
Tanah berpasir mudah dilalui air dan mengandung sedikit bahan organik.
Pada umumnya, tanah berpasir tidak begitu subur. Baik digunakan sebagai bahan
dasar bangunan.
Tanah liat sangat sulit dilalui air. Tanah ini sangat lengket dan mudah
dibentuk ketika basah. Oleh karena itu, tanah liat sering digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan batu bata dan gerabah.
3. Pencemaran tanah
Seperti halnya air, tanah pun mengalami pencemaran terutama oleh ulah
manusia. Salah satunya adalah pembuangan sampah anorganik yang sulit terurai.
Sampah anorganik akan mempengaruhi kesuburan tanah.
14
Cara mengatasinya adalah melakukan pembersihan di tempat-tempat yang
telah tercemar dengan sampah serta dengan mengelompokkan jenis-jenis sampah
kemudian untuk sampah tertentu didaur ulang.
C. Model dalam Pembelajaran IPA
1. Konsep model pembelajaran
Beberapa ahli mengemukakan pedapatnya mengenai pembelajaran, salah
satunya adalah Gora & Sunarto (2010, hlm. 1) “Pembelajaran adalah aktivitas
guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa
berlangsung dengan optimal. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses
membuat orang belajar”. Model pembelajaran sendiri dikemukakan oleh Suyanto
& Jihad (2013, hlm. 134) yakni, “Kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi
oleh beragam
muatan mata pelajaran sesuai dengan karakteristik kerangka
dasarnya. Model pembelajaran dapat muncul dalam beragam bentuk dan
variasinya
sesuai
dengan
landasan
filosofis
dan
pedagogis
yang
melatarbelakanginya”.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa model pembelajaran
merupakan
rancangan, pola, kerangka berlandaskan landasan filosofis dan
pedagogis berisi muatan mata pelajaran dengan susunan prosedur yang sistematis
digunakan untuk mengkondisikan proses belajar yang efektif sehingga
menghasilkan hasil belajar yang optimal.
2. Fungsi model pembelajaran
Adanya model pembelajaran diciptakan bukan tanpa fungsi, model
pembelajaran memiliki kontribusi terhadap capaian proses dan hasil belajar yang
baik. Chauhan (dalam Suyanto & Jihad, 2013) mengemukakan fungsi model
pembelajaran yakni, pedoman, pengembang kurikulum, penempatan bahan-bahan
pembelajaran, dan perbaikan dalam pembelajaran.
a. Model
pembelajaran
sebagai
pedoman
yakni,
model
pembelajaran
membimbing guru untuk melakukan tahapan-tahapan pembelajaran, sehingga
pembelajaran berlangsung sistematis dan berurutan.
b. Model pembelajaran sebagai pengembang kurikulum yakni, melalui
sintaksnya yang harus dilaksanakan secara rinci model pembelajaran
15
membantu dalam mengembangkan kurikulum dalam kelas serta satuan
pendidikan yang berbeda.
c. Model pembelajaran sebagai penempatan bahan-bahan pembelajaran yakni,
menentukan secara rinci bahan ajar yang diperlukan dalam suatu
pembelajaran.
d. Model pembelajaran sebagai perbaikan dalam proses pembelajaran yakni,
dengan penggunaan model pembelajaran dapat meningkatkan keefektifan
pembelajaran, serta mempermudah dalam memperbaiki pembelajaran.
3. Karakterstik model pembelajaran
Model pembelajaran memiliki karakteristik yang khas sebagai berikut.
a. Rasional teoritis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya.
b. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan
pembelajaran yang akan dicapai).
c. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan berhasil.
d. Lingkungan belajar yang kondusif serta nyaman diperlukan agar tujuan
pembelajaran itu dapat tercapai (Giri, 2012, hlm. 12).
Model pembelajaran dapat dianalogikan suatu bangunan yang posisinya
sebagai
kerangka, bangunan yang hanya kerangka belum dikatakan suatu
bangunan yang utuh, ia butuh tambahan-tambahan material lain untuk dapat
disempurnakan, begitupun model pembelajaran tidak terlepas dari aspek lain yang
disebut sistem dukungan yang berupa keterampilan, sarana, prasarana, sumber
ajar media, dan sebagainya. Agar model pembelajaran tepat guna, guru harus
membuat analisis, diagnosa, dan hipotesis dari pengaruh suatu model
pembelajaran jika model tersebut diterapkan dalam pembelajaran.
4. Model discovery learning
a. Pengertian model discovery learning
Discovery learning adalah suatu model pembelajaran yang dirancang
untuk siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya dengan menyuguhkan
masalah kemudian dipecahkan oleh siswa dengan bantuan guru dengan tujuan
mencapai suatu konsep tertentu (Queen, 2008).
Sedangkan Bruner, Goodnow, dan Austin (dalam Huda, 2013, hlm. 81)
menjelaskannya discovery learning sebagai “Proses mencari dan mendaftar sifat-
16
sifat yang dapat digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan
contoh-contoh yang tidak tepat dari berbagai kategori”.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa model discovery
learning merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk dapat
berpikir kritis melalui pembangunan pengetahuan sendiri dan pencarian konsep
dari suatu permasalah yang disuguhkan. Kemudian mencocokkan berbagai data
melalui proses penemuan. Model discovery learning menciptakan pembelajaran
bermakna karena siswa aktif dalam pembelajaran untuk menemukan konsep
melalui percobaan atau cara lainnya. Hal ini berdasar pada pendapat Flewelling &
Higginson (dalam Suyono & Hariyanto, 2011, hlm. 103) bahwa indikasi
pembelajaran bermakna (meaningful learning) adalah “Murid aktif “.
b. Kelebihan model discovery learning
1) Usaha dalam penemuan membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan
kognitifnya.
2) Proses penemuan menggiring siswa untuk menyelidiki sehingga akan
menimbulkan rasa senang pada siswa.
3) Siswa menggunakan akalanya sendiri dalam kegiatan belajaranya.
4) Berpusat pada siswa (student centered).
5) Karena siswa menemukan sendiri, maka akan terhindar dari keragu-raguan
dalam memahami suatu konsep.
6) Karena siswa menemukan sendiri, maka siswa akan mengerti konsep lebih
baik.
7) Siswa merumuskan hipotesis sendiri.
8) Mendorong
siswa
untuk
mengembangkan
bakat
dan
kecakapanya
(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013).
c. Kekurangan model discovery learning
1) Siswa yang asor akan mengalami kesulitan mengungkapkan kesulitan untuk
menghubungkan peristiwa/konsep.
2) Berhubung membutuhkan waktu yang lama, model ini kurang efektif
digunakan pada kelas dengan jumlah siswa yang banyak.
17
3) Hanya cocok untuk pembelajaraan yang mengembangkan pemahaman
(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013).
d. Langkah-langkah model discovery learning
Adapun langkah-langkah penggunaan model discovery learning menurut
Syah (dalam Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013) yakni: stimulation
(stimulasi/pemberian rangsangan), problem statement (pernyataan/identifikasi
masalah), data collection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data),
verification (pembuktian), dan generalization (menarik kesimpulan/generalisasi).
1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Guru menghadapkan siswa pada suatu keadaan dimana siswa akan memulai
menemukan masalah, dan memunculkan keinginan pada siswa untuk menemukan
sendiri masalahnya. Hal ini dilakukan dengan memulai mengajukan pertanyaanpertanyaan.
2) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Guru membiarkan siswa untuk mengidentifikasi masalah untuk kemudian
merumuskan hipotesis.
3) Data collection (pengumpulan data)
Siswa melakukan penemuan dan mencari informasi/data melalui percobaan
untuk memecahkan permasalahan dan membuktikan hipotesis.
4) Data processing (pengolahan data)
Siswa melakukan kegiatan mengolah data/informasi yang telah diperoleh
para siswa. Semua data dan informasi hasil perolehan siswa diolah, ditabulasi,
serta ditafsirkan sesuai dengan kemampuan siswa dengan bantuan guru.
5) Verification (pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pembuktian dari hipotesis yang mereka
buat pada tahap problem statement dengan kesimpulan data hasil olahan, apakah
hipotesisnya terbukti atau sebaliknya. Hal ini akan mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif siswa.
6) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Menarik kesimpulan sebagai penegasan dari tahap pembuktian dan
disinilah siswa mendapatkan pengetahuan tentang suatu konsep baru.
18
D. Teori Belajar yang Mendukung Terhadap Penerapan Model Discovery
Learning
1. Teori belajar Bruner
Belajar merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang untuk
mengembangkan potensinya. Dalam memandang proses belajar, Bruner (dalam
Budiningsih, 2012, hlm. 41) menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap
tingkah laku seseorang. Ia mengatakan bahwa “Proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang ia jumpai dalam kehidupannya”. Selain itu, Bruner juga mengemukakan
tentang teori pembelajaran (dalam Budiningsih, 2012, hlm. 17) bahwa “Teori
pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang
lain agar terjadi hal belajar, atau bagaimana mengontrol variabel-variabel yang
dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar”.
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap siswa akan dapat
dengan mudah untuk memahami suatu materi dalam belajarnya jika materi
tersebut dimanifestasikan dalam contoh-contoh yang ada di sekitarnya dengan
kata lain dikatikan dengan hal yang telah siswa jumpai dalam kehidupannya.
Dalam belajar tentu siswa melalui pembelajaran yakni proses dari belajar itu
sendiri, cara bagaimana pengetahuan bisa sampai pada siswa, bisa secara langsung
dari guru melalui ceramah, atau melalui pengalamannya secara langsung melalui
pengamatan atau percobaan dengan berdiskusi sesama temannya.
2. Teori belajar Piaget
Belajar merupakan proses seseorang untuk mencapai suatu kompetensi
dengan tahapan-tahapan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Piaget
(dalam Budiningsih, 2012, hlm. 36) “Proses belajar seseorang akan mengikuti
pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap
ini bersifat hirarkis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan
seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berbeda di luar tahapan kognitifnya”.
Adapun lebih rinci Piaget (dalam Suyono & Hariyanto, 2011, hlm. 84)
menjelaskan tentang anak mulai usia 11 tahun dan seterusnya termasuk tahap
operasional formal bahwa
19
Sejak tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai
ide, mereka sudah mampu memikirkan berbagai alternatif pemecahan
masalah. Mereka sudah dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku
umum dan pertimbangan ilmiah. Mereka telah mampu menyusun hipotesis
serta membuat kaidah mengenai hal-hal ang bersifat abstrak.
Karena perkembangan kognitif seseorang telah terstruktur dengan tahaptahap tertentu. Maka, guru saat melaksanakan pembelajaran terhadap murid harus
sesuai dengan tahap perkembangannya jika tidak maka, siswa bisa mengalami
gangguan atau ketidakberaturan seperti berbicara terputus-putus atau berbelitbelit. Siswa kelas V rata-rata berusia 11 tahun, maka mereka telah memasuki
tahap operasional formal. Mereka sudah bisa dibimbing untuk merumuskan suatu
masalah serta menarik hipotesis dari hasil perumusan masalah tersebut.
3. Teori belajar konstruktivisme
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis
bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksikan
pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat hidup. Setiap orang akan
menciptakan hukum dan model mentalnya sendiri, yang dipergunakan untuk
menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman belajar. Dengan demikian,
pengalaman belajar semata-mata sebagai suatu proses pengaturan model mental
seseorang untuk mengakomodasi pengalam-pengalaman baru (Suyono dan
Hariyanto, 2011).
4. Teori belajar sosial Albert Bandura
Albert
Bandura
merupakan
pakar
dari
behaviorisme
baru
(neobehaviourism) yang memandang bahwa
Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis terhadap stimulus (S-R
Bond), melainkan juga akibat dari reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi
antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Teori
Bandura ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward and punishment, seorang individu akan berpikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilaksanakan (dalam Suyono
& Hariyanto, 2011, hlm. 66).
Jadi, respon setiap orang atas stimulus yang diberikan dipengaruhi oleh
lingkungan dan skema kognitifnya. Skema kognitif akan mempertimbangkan
setiap
respon
yang
harus
diberikan
ketika
adanya
stimulus,
dimana
pertimbangannya adalah mengacu pada benar salah. Jika benar maka ia mendapat
20
reward atau hadiah, ketika salah maka ia akan mendapat punishment atau
hukuman.
Albert Bandura (dalam Suyono & Hariyanto, 2011) juga mengembangkan
teori belajar sosial yakni modeling, dimana proses modeling terjadi melalui 4
tahap, yakni atensi, retensi, produksi, dan motivasi.
1.
Atensi, dalam tahap ini perhatian harus tertuju pada hal yang sedang
dipelajari dengan konsentrasi penuh.
2.
Retensi di mana tahap ini menuntut untuk mengingat hal yang telah
diperhatikan.
3.
Produksi, tahap ini adalah tahap untuk menerjemahkan hal yang telah diingat.
Kemudian diimprovisasi untuk dituangkan dalam suatu tindakan.
4.
Motivasi, adalah dorongan untuk meniru model yang diantaranya yaitu
dorongan dari masa lalu, dorongan janji, serta dorongan yang kentara dimana
itu adalah sesuatu yang patut untuk ditiru.
E. Hasil Penelitian yang Mendukung Terhadap Penerapan Model Discovery
Learning
Hasil penelitian yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh
Widya, pada tahun 2010 dengan judul “Penerapan Model Penemuan (Discovery
Learning) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Tentang Wujud Benda pada Siswa
Kelas IV SDN Sindangsuka V Kecamatan Cibatu Kabupaten Garut”.
Permasalahan yang muncul pada penelitian ini yaitu, guru langsung menuliskan
materi sifat-sifat benda gas di papan tulis, dan siswa disuruh mencatat materi
tesebut, kemudian guru menjelaskan materi tanpa ada percobaan. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut Widya menerapkan model discovery learning
yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sifat benda gas. Setelah
dilakukan PTK dengan menerapkan model discovery learning sekitar 92% siswa
memahami konsep sifat benda gas dan mendapat nilai lebih dari sama dengan
nilai KKM.
Hasil penelitian yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti
pada tahun 2010 dengan judul “Penerapan Model Penemuan (Discovery
Learning) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Sains
21
pada Materi Sifat-Sifat Cahaya Kelas V SD Negeri Pasir I Kecamatan Palasah
Kabupaten Majalengka”. Permasalahan yang muncul yaitu siswa hanya 22,7% (5
orang) saja yang tuntas dalam menguasai materi sifat-sifat cahaya sedangkan
77,3% (17 orang) tidak tuntas. Untuk mengatasi permasalahan tersebut Sugiarti
menerapkan model discovery learning yang dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada materi sifat-sifat cahaya. Setelah dilakukan PTK dengan menerapkan
model discovery learning sekitar 86,4% siswa memahami konsep sifat-sifat
cahaya dan mendapat nilai di atas KKM.
Hasil penelitian ketiga merupakan jurnal yang ditulis oleh Günay pada
tahun 2009 dengan judul “The Effects of Discovery Learning on Students’Success
and Inquiry Learning Skills”. Günay mencobakan pembelajaran dengan
menerapkan discovery learning pada 30 siswa laki-laki dan 27 siswa perempuan
yang terbagi dalam dua kelas yakni kelas eksperimen dan kelas kontrol. Ternyata
ada perbedaan yang signifikan pada hasil kedua kelas. Pada kelas ekperimen
siswa memiliki prestasi belajar yang baik dengan menerapkan discovery learning
dibandingkan
dengan
kelas
kontrol
yang
menggunakan
pembelajaran
konvensional.
Hasil penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Putrayasa
dkk. Pada tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Discovery
Learning dan Minat Belajar Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa”. Made dkk.
melakukan penelitian pada siswa kelas V SD di Desa Bontihing, Kecamatan
Kubutambahan Kabupaten Buleleng, Bali. Penelitian tersebut dilatarbelakangi
dengan adanya masalah yakni lemahnya pelaksanaan proses pembelajaran IPA
yang diterapkan guru. Pembelajaran IPA yang dikelola oleh guru dilakukan secara
konvensional yang masih didominasi metode ceramah dan pemberian tugas serta
terpaku pada buku teks. Kebanyakan guru tidak melakukan kegiatan pembelajaran
yang memperhatikan dimensi dari IPA dan tinggi rendahnya minat belajar yang
dimiliki oleh siswa. Dimensi dari IPA yang dimaksud yaitu, IPA sebagai produk
dan proses. Maka, perlu kiranya melaksanakan pembelajaran secara aktif dan
kreatif dalam melibatkan siswa sehingga peneliti menggunakan model discovery
learning. Hasilnya terdapat perbedaan yang signifikan antara yang diterapkan
model discovery learning dengan kelas yang diterapkan pembelajaran
22
konvensional, model discovery learning dan minat belajar siswa berpengaruh
terhadap hasil belajar IPA siswa.
Hasil penelitian terakhir yang dijadikan rujukan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ichmaruto pada tahun 2014 dengan judul
“Penerapan Model Discovery untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Tentang
Perubahan Kenampakan Bulan di Kelas IV SDN 6 Arjawinangun Kecamatan
Arjawinangun Kabupaten Cirebon”. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya
masalah pembelajaran tentang perubahan kenampakan bulan di kelas IV sehingga
siswa rata-rata mendapatkan nilai di bawah KKM. Sedangkan, dalam tuntutan
kurikulum KTSP ketuntasan hasil belajar siswa harus lebih dari atau sama dengan
KKM yang telah ditentukan. Selain itu, guru hanya menggunakan metode yang
bersifat klasikal, kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, maupun
kurang menggunakan media pembelajaran. Dalam mengatasi tersebut Ichmaruto
menggunakan model discovery, dan penelitian yang dilakukan sebanyak tiga
siklus, pencapaian ketuntasan siswa yang berdasarkan KKM sebesar 70,
menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini terbukti dengan
jumlah ketuntasan siswa pada hasil sebelum diberikan tindakan hanya 7 siswa
yang tuntas. Kemudian naik menjadi 10 siswa pada siklus I, kemudian pada siklus
II naik lagi menjadi 18 siswa, dan pada siklus III semua siswa dapat dinyatakan
tuntas berdasarkan KKM.
F. Hipotesis Tindakan
Dalam penelitian tindakan kelas ini, hipotesis yang digunakan adalah “Jika
model discovery learning diterapkan pada materi sifat fisik tanah di kelas V SDN
Cinangsi Kecamatan Tanjungmedar Kabupaten Sumedang maka, hasil belajar
siswa akan meningkat”.
Download