Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor Kamis, 27 Januari 2011 UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TAHAN PENYAKIT BERCAK DAUN Yield Evaluation of Peanut (Arachis hypogaea L.) Leafspot Resistant Lines 1 Wahyu Junaedi1 dan Yudiwanti Wahyu E.K.2 Mahasiswa (NRP A24061238), Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB 2 Staf Pengajar, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB Abstract The objective of the research was to evaluate the yield of 16 peanut resistant leafspot lines with four national varieties as control. Gajah variety was used as control susceptable variety. The research was conducted at University Farm, Cikarawang, Bogor,West Java from March until July 2010. Randomized complete block design with 3 replications was used in this research. The result showed that plant height, number of branches, chlorophyl content, and weight of 100 grain were significanly different compared with the control variety. Nine best breeding line with high yield and resistant to leafspot were GWS134D, GWS39D, GWS79A, GWS110A2, GWS39B, GWS134A1, GWS73D, GWS110D, and GWS18A1. Key words : peanut, yield trial, leafspot resistant PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan palawija penting kedua setelah kedelai di Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan, namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis. Kacang tanah merupakan bahan pangan dan pakan ternak yang benilai gizi tinggi. Permintaaan terhadap produk kacang tanah tetap tinggi tiap tahunnya. Peningkatan kebutuhan kacang tanah nasional berkaitan erat dengan meningkatnya industri pangan dan pakan (Kasno, 2006). Balitan (2010) melaporkan hingga saat ini kebutuhan nasional kacang tanah masih harus dipenuhi dari impor sekitar 200 000 ton per tahun, karena konsumsi yang terus meningkat. Sementara itu terjadi kesenjangan hasil kacang tanah antara di tingkat petani dengan tingkat penelitian masih cukup tinggi (1.2 ton vs > 2 t/ha). Produksi kacang tanah di Indonesia dalam lima tahun terakhir (tahun 2005 sampai 2009) terus menurun dari 0.84 juta ton menjadi 0.77 juta ton, begitu juga luas area panennya yaitu 0.72 juta hektar (ha) menjadi 0.63 juta ha, sedangkan produktivitas kacang tanah naik dari 1.16 ton/ha menjadi 1.21 ton/ha (BPS, 2010). Produktivitas ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan potensi hasilnya. Produksi kacang tanah yang menurun dan rendahnya produktivitas disebabkan oleh teknik budidaya yang belum memadai, minimnya penggunaan benih unggul serta serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit utama pada kacang tanah di Indonesia adalah bercak daun. Penyakit ini disebabkan oleh fungi yaitu Cercospora arachidicola dan Cercosporidium personatum (Berk. et Curt). Serangan yang parah menyebabkan daun mengering dan rontok sehingga dapat menurunkan hasil lebih dari 50% jika tidak dikendalikan dengan baik dan benar (Adisarwanto, 2001). Peningkatan produksi kacang tanah tidak terlepas dari penggunaan varietas unggul. Pemuliaan tanaman ditujukan untuk memperbaiki potensi genetik tanaman sehingga dapat beradaptasi pada agroekosistem tertentu dengan hasil tinggi dan sesuai selera konsumen. Perakitan varietas baru dengan daya hasil tinggi dan tahan penyakit merupakan salah satu contohnya. Salah satu tahapan dalam pemuliaan tanaman yaitu uji daya hasil. Galur yang terbukti mempunyai daya hasil tinggi dapat diajukan untuk dilepas sebagai varietas baru. Hasil evaluasi ini berguna untuk mengetahui manfaat suatu genotipe sehingga diketahui genotipe yang dapat dijadikan varietas budidaya, genotipe-genotipe yang perlu diseleksi lebih lanjut, dan genotipe yang dapat dijadikan tetua dalam hibridisasi selanjutnya (Allard, 1960). Pembentukan varietas unggul dilengkapi dengan teknik budidaya yang baik, akan menghasilkan peningkatan produksi dan produktivitas kacang tanah. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi daya hasil 16 galur generasi lanjut kacang tanah (Arachis hypogaea L.) tahan penyakit bercak daun hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Hipotesis Terdapat paling sedikit satu galur generasi lanjut yang lebih unggul dan tahan penyakit bercak daun dibandingkan dengan varietas pembanding. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikarawang dan analisis klorofil dilakukan di Laboratorium RGCI IPB, Dramaga, Bogor. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut dengan jenis tanah latosol dan suhu udara rata-rata harian 32-36°C. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juli 2010. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah 16 galur generasi lanjut kacang tanah (Arachis hypogaea L.) hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB sebagai galur yang diuji, serta 4 varietas komersial sebagai pembandingnya. Galur yang diuji yaitu 16 galur GWS hasil persilangan varietas Gajah dengan galur introduksi GP-NCWS4 yang tahan penyakit bercak daun. Varietas pembanding yaitu Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima. Pupuk yang digunakan adalah Urea, SP-18, dan KCL. Furadan digunakan sebagai pestisida. Asetontris dan aquades untuk mengukur kadar klorofil. Alat yang digunakan adalah peralatan yang biasa digunakan dalam budidaya kacang tanah dan seperangkat alat untuk mengukur kadar klorofil daun. Peralatan untuk mengukur kadar klorofil antara lain box es, mortar, micro tube, sentrifuge,dan Unispec spectrometer. Metode Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak satu faktor yaitu genotipe (20 genotipe) dengan tiga ulangan. Jumlah petak percobaan yaitu 60 petak. Model rancangan yang digunakan adalah: Yij = μ+i βj + ij ; (i=1,....t, j=1,....r) Keterangan : Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j μ = rataan umum i = pengaruh perlakuan ke-i βj = pengaruh kelompok ke-j ij = pengaruh galat pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Pengolahan data dilakukan dengan uji F, perlakuan yang berpengaruh nyata diuji dengan uji lanjut Dunnet pada taraf nyata 5%. Pelaksanaan Lahan dibersihkan dari gulma dan anak kayu lalu digemburkan. Setelah itu, dibuat petakan sebanyak 60 petak dengan ukuran 4 m x 3 m dan jarak antar petak 50 cm. Lalu diberikan kaptan (500 kg/ha ) dan pupuk kandang (1.5 ton/ha) secara merata pada tiap petakan. Tanah dibiarkan selama kurang lebih satu minggu agar kaptan dan pupuk kandang menyatu dengan tanah. Penanaman dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm dan satu benih per lubang tanam sehingga total populasi per petak adalah 200 tanaman. Furadan diberikan pada lubang tanam saat penanaman dengan dosis 12 kg/ha. Pemupukan dilakukan sekali saat penanaman dengan mencampur tiga jenis pupuk. Pemberiannya dengan cara dialur di samping barisan tanaman dengan dosis 50 kg Urea/ha, 200 kg SP-18/ha, dan 100 kg KCL/ha. Pemeliharaan meliputi penyulaman, pembersihan gulma, dan pembumbunan. Penyulaman dilakukan pada satu minggu setelah tanam (MST). Pembersihan gulma dilakukan setiap minggu sampai 4 MST dan pembumbunan pada 4 MST. Pembumbunan dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah ginofor mencapai tanah. Pemanenan dilakukan pada 14 MST atau 100 hari setelah tanam (HST) disaat pengisian polong sudah maksimal dengan ciri kulit polong bagian dalam berwarna agak gelap, kulit polong terlihat berurat. Pengeringan dilakukan dengan dijemur di lantai selama 5-6 hari pada cuaca cerah. Pengupasan atau pembijian dilakukan dengan cara sederhana (polong dikupas dengan tangan). Selanjutnya penghitungan data untuk memperoleh komponen hasil. Pengamatan Pengamatan dilakukan dengan menggunakan sepuluh tanaman contoh kompetitif yang berada dalam satu baris pada masing-masing petak percobaan. Peubah yang diamati adalah : 1. Tinggi tanaman saat panen, diukur dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh pada batang utama. 2. Jumlah cabang yang tumbuh pada tiap tanaman saat panen. 3. Persentase panjang batang utama berdaun hijau pada saat panen. Dihitung dengan rumus : (panjang batang utama berdaun hijau/ tinggi tanaman saat panen) x 100%. 4. Indeks panen kering. Dihitung dengan rumus : Bobot polong bernas/Bobot brangkasan. 5. Jumlah polong total, bernas, cipo per tanaman. Dilakukan setelah tanaman contoh dikeringkan. 6. Bobot polong total, bernas, dan cipo per tanaman. Dilakukan setelah tanaman contoh dikeringkan. 7. Bobot biji per tanaman, bobot biji dari tanaman contoh yang sudah dikeringkan. 8. Bobot 100 biji kering. 9. Kadar klorofil daun pada 8 MST, menggunakan sampel daun yang ke 10 dari daun termuda. Daun yang digunakan sebagai sampel adalah daun ke 10 dari daun termuda. Pengambilan daun dilakukan pagi hari sebelum sinar matahari terik. Daun dimasukan ke dalam box yang berisi es batu untuk mencegah respirasi yang terlalu tinggi. Anak daun yang paling ujung dipilih dari daun tetrafoliet untuk diambil sampelnya. Lubangi daun dengan pelubang khusus yang berdiameter 0.92 cm dan diusahakan tidak mengenai urat daun. Daun yang terpotong digerus dan dilarutkan dengan aseton tris sebanyak 2 ml. Setelah menyatu, larutan dimasukan ke dalam mikro tube. Mikro tube dimasukan ke mesin sentrifuge untuk memisahkan supernatan dengan ampas daun. Setelah terpisah, ambil supernatan dengan pipet volumetrik sebanyak 1 ml dan encerkan dengan 2 ml aseton tris. Selanjutnya masing-masing sampel dihitung panjang gelombangnya dengan mesin Unispec spectrometer. Nilai dari panjang gelombang yang tercatat lalu dikonversi ke dalam jumlah klorofil per luas area sampel. Selanjutnya kadar klorofil dapat diketahui dan dibandingkan antar genotipe. Analisis Data Analisis data untuk masing-masing karakter pengamatan adalah rataan dari sepuluh tanaman contoh tiap petak percobaan. Data dianalisis menggunakan sidik ragam atau uji F pada taraf nyata (ɑ) 5 % dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji t-Dunnet. selain itu, dilakukan analisis ragam genetik (σ²g), ragam fenotipik (σ²p), koefisien keragaman genetik (KKG), dan nilai heritabilitas arti luas (h²). Tabel 1. Analisis Komponen Ragam Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Derajat Bebas (DB) r-1 g-1 (r-1)(g-1) Kuadrat Tengah (KT) M1 M2 M3 E (KT) σ² + rσ²g σ²e Keterangan : E (KT) = Harapan kuadrat tengah, r = ulangan, g = galur Berikut ini merupakan pendugaan komponen ragam : Ragam lingkungan (σ²e) = M3 Ragam genetik (σ²g) = (M2 – M3)/r Ragam fenotipik (σ²p) = (σ²e)/r + σ²g Nilai heritabilitas h² = σg² / σp² Koefisien Keragaman Genetik (KKG) = umum peubah √σ²g 𝑢 x 100%, u = rataan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Tanah yang digunakan untuk penelitian berjenis latosol. Penelitian dilaksanakan pada akhir musim hujan dengan data cuaca selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Ratarata curah hujan, jumlah hari hujan, dan suhu selama penanaman yaitu berturut-turut 458.92 mm, 21.2 hari hujan, dan 25.88 °C. Namun terjadi peningkatan curah hujan pada bulan ketiga sampai akhir penanaman. Peningkatan curah hujan ini di luar prediksi dikarenakan adanya badai lanina. Hal ini dapat mengganggu perkembangan pengisian polong, karena pada saat itu tanaman sedang memasuki fase pengisian dan pemasakan polong. Suhu rata-rata selama penelitian berkisar antara 25.1 – 26.7 °C/bulan. Adisarwanto et al. (1993) menyatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan kacang tanah yaitu berkisar antara 27 -30 °C. Sehingga suhu lingkungan penelitian kurang optimal untuk mendukung pertumbuhan. Sumarno dan Punarto (1993) menambahkan bahwa suhu berpengaruh terhadap semua aspek pertumbuhan kacang tanah terutama berkaitan dengan laju fotosintesis. Dengan suhu yang tidak optimum laju fotosintesis hanya dapat mencapai 75 %. Tabel 2. Data Cuaca Daerah Dramaga Bogor Bulan Maret April Mei Juni Jumlah Rata-rata Curah Hujan (mm) 672.6 527.0 330.9 303.4 2294.6 458.9 Jumlah Hari Hujan 26 21 18 18 106 21.2 Temperatur (°C) 25.1 25.8 26.7 25.9 129.4 25.9 Sumber : (Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor) Hama yang menyerang selama masa perkecambahan diantaranya hama semut yang memakan benih. Selain itu terdapat juga patogen berupa cendawan dari jenis Aspergillus niger dengan gejala serangan hifa berwarna hitam yang menyelimuti benih, Aspergillus flavus dengan gejala hifa berwarna hijau, dan Curvularia brachyspora dengan gejala miselia yang berwarna putih keabuan. Pertumbuhan tanaman dari mulai fase perkecambahan sampai 4 MST belum menunjukan adanya gela serangan penyakit bercak daun yang disebabkan Cercosporidium personatum dan Cercospora arachidicola. Setelah memasuki umur 5 MST, gejala serangan mulai tampak pada daun yang paling bawah yang ditandai bercak coklat kehitam kecil. Semakin lama, gejala serangan semakin berat yang ditandai dengan rontoknya daun mulai dari daun terbawah. Kondisi ini terjadi karena kelembaban pada daun terbawah lebih tinggi dibandingkan daun yang lebih atasnya. Semangun (1991) menyatakan bahwa penyebaran penyakit bercak daun sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan dalam kondisi yang lembab, penyakit dapat berkembangbiak pada umur 40 - 45 hari. Berdasarkan pengamatan visual di lapang, intensitas serangan yang paling berat diperlihatkan oleh varietas gajah sebagai kontrol yang rentan terhadap penyakit bercak daun. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase daun yang masih hijau jika dibandingkan dengan genotipe lainnya. Sedangkan serangan terhadap varietas Jerapah, Zebra Putih, dan Sima sebagai kontrol yang tahan terlihat tidak terlalu berat dibandingkan varietas gajah. Penyakit lainnya yang menyerang selama pertumbuhan tanaman yaitu layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), karat (Puccinia arachidis), Sapu setan (Mikoplasma), belang kacang tanah oleh virus (Groundnut Mottle Virus) dan penyakit bilur oleh virus (Peanut Stripe Virus/PStV). Hama yang menyerang secara umum yaitu rayap, belalang (Oxya spp.), ulat grayak (Spodoptera litura Fabricus), ulat penggulung daun (Omiodes indicate Fabricus). Rayap menyerang pangkal batang sehingga mengakibatkan tanaman layu kemudian mati. Ulat penggulung daun merupakan hama dengan serangan paling berat pada lahan penelitian. Hama ini menyerang pucuk tanaman pada 8 - 10 MST sehingga pucuk daun menggulung. Serangan hama lainnya memiliki intensitas yang rendah dan tidak membahahyakan. Gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman kacang tanah yaitu Mimosa pudica, Mimosa pigra, Boreria alata, Croton hirtus . Pengendalian gulma dilakukan secara manual tiap minggu sampai 4 MST, setelah itu tidak dilakukan pengendalian karena penutupan tajuk kacang tanah sudah mulai penuh. Selain itu, pengendalian gulma pada fase berbunga dan pengisian polong dapat mengganggu keberhasilan terbentuknya bunga dan polong. Keragaan Karakter Genotipe-genotipe yang diuji Galur-galur yang diuji memperlihatkan perbedaan keragaan pada beberapa karakter daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Hasil analisis sidik ragam dari 20 genotipe yang diamati menunjukan adanya perbedaan nyata pada taraf 1 % untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, kadar klorofil, jumlah polong cipo, bobot polong cipo, dan bobot 100 butir. Sedangkan karakter lainnya tidak menunjukan perbedaan nyata (Tabel 1). Tabel 3. Rekapitulasi Uji F, Nilai Tengah, Nilai Maksimum dan Nilai Minimum Beberapa Karakter Genotipe Kacang Tanah yang Diuji F hitung Nilai Tengah 5.78** 52.5 Jumlah cabang 5.98** 5.4 Karakter Tinggi tanaman (cm) Persentase batang bebas bercak (%) Kadar klorofil (µmol/cm²) Jumlah polong total Jumlah polong cipo Jumlah polong bernas Bobot polong total (gram) Bobot polong cipo (gram) Bobot polong bernas (gram) Bobot biji (gram) Bobot 100 butir (gram) Bobot brangkasan (gram) Indeks panen kering 1.71tn 5.9 2.70** 0.057 1.09 tn 9.7 2.67** 0.3 1.17tn 9.4 0.95tn 10.6 2.83** 0.1 0.97tn 10.5 1.09tn 7.2 20.5** 47.2 Nilai Maksimum (Genotipe) 79.1 (Sima) 7.1 (GWS79A) Nilai Minimum (Genotipe) 38.5 (GWS138A) 4.7 (GWS39D) 8.4 (GWS74A1) 2.3 (Gajah) 0.068 (GWS27C) 12.3 (GWS134D) 0.8 (GWS79A) 11.8 (GWS134D) 13.3 (GWS134D) 0.26 (GWS134A) 13.20 (GWS73D) 9.8 (GWS134A1) 53.6 (GWS138A) 0.051 (GWS110A2) 7.3 (GWS134A) 0.2 (GWS73D) 6.6 (GWS134A) 7.3 (GWS134A) 0.02 (GWS110D) 7.0 (GWS134A) 4.6 (GWS134A) 41.6 (GWS110D) 2.15tn 14.9 19.6 (GWS74A1) 10.8 (Gajah) 1.11tn 0.8 1.1 (Gajah) 0.5 (GWS74A1) Keterangan : tn : tidak nyata, ** : berbeda nyata pada taraf 5 % Varietas Sima memiliki tinggi tanaman tertinggi diantara varietas pembanding tahan lainnya sehingga digunakan sebagai pembanding varietas tahan. Semua galur yang diuji memiliki tinggi tanaman yang nyata lebih rendah dari varietas pembanding Sima sedangkan terhadap varietas Gajah tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-Dunnett (Tabel 4). Varietas Sima merupakan genotipe tertinggi dengan nilai 79.1 cm dan GWS138A merupakan galur dengan rata-rata terendah yaitu 38.5 cm. Berdasarkan pengamatan di lapang, habitus tanaman yang tinggi lebih cepat rebah dibandingkan dengan habitus tanaman yang lebih pendek. Galur GWS79A dan GWS134D nyata lebih banyak jumlah cabangnya dari varietas Gajah dan Zebra Putih. Varietas Gajah dan Zebra Putih memilki nilai rataan jumlah cabang tertinggi diantara varietas pembanding lainnya. Jumlah cabang tertinggi dimiliki oleh GWS79A dan terendah GWS39D dengan nilai berturut-turut 7.1 dan 4.7. Semakin banyak cabang maka bunga yang terbentuk akan semakin banyak, sehingga potensi terbentuknya polong akan semakin besar. Daun tanaman yang terkena penyakit bercak daun akan menguning dan jika semakin parah, daun akan kehilangan fungsinya sebagai penghasil fotosintat. Serangan dimulai dari daun terbawah lalu menyebar ke atas, sehingga yang tersisa biasanya daun-daun sebelah atas. Kusumo (1996) menyatakan bahwa persentase daun yang masih hijau berkorelasi dengan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Semakin tinggi persentasenya maka tingkat ketahan semakin tinggi. Tabel 4. Rataan Nilai Tengah Karakter Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Jumlah Polong Total, dan Jumlah Polong Bernas. Galur GWS18A1 GWS27C GWS39B GWS39D GWS72A GWS73D GWS74A1 GWS74D GWS79A GWS110A1 GWS110A2 GWS110D GWS134A GWS134A1 GWS134D GWS138A Gajah Jerapah Zebra Putih Sima Tinggi Tanaman (cm) 56.4 ch 56.7 ch 43.3 h 49.8 h 51.9 h 52.7 h 61.0 ch 56.2 ch 53.8 h 50.9 h 46.4 h 54.4 h 48.1 h 49.7 h 61.0 ch 38.5 h 45.8 53.7 39.9 79.1 Persentase Jumlah Cabang 5.1 5.4 6.0 4.7 5.2 5.4 5.2 5.0 7.1abcd 4.8 5.5 5.2 5.0 5.8 6.8abcd 4.8 5.1 5.1 5.0 5.1 Batang Masih Hijau (%) 5.6 5.6 6.5 4.3 4.3 6.4 8.4 7.1 6.1 7.3 6.7 4.7 6.9 5.5 4.9 5.5 2.3 5.6 7.4 6.2 Kadar Klorofil (µ mol/cm²) 0.053 0.068ab 0.061 0.062 0.055 0.055 0.053 0.056 0.052 0.054 0.051 0.054 0.062 0.055 0.058 0.056 0.057 0.055 0.060 0.059 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf a, b, c, dan d berturut-turut nyata > dari Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima, sedangkan e, f, g, dan h berturut-turut nyata < dari Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima berdasarkan uji Dunnet pada taraf 5% Hasil uji t-Dunnett untuk karakter persentase batang yang masih hijau tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dari semua galur yang diuji. Persentase tertinggi ditunjukan oleh galur GWS74A1 (8.4 %) dan terendah oleh varietas Gajah (2.3 %). Varietas Gajah sebagai pembanding yang rentan terbukti tidak tahan terhadap penyakit bercak daun. Klorofil merupakan organel dalam sel tanaman yang berperan dalam proses fotosintesis. Semakin tinggi kadar klorofil dalam daun maka secara fenotipe warna daun semakin hijau. Kadar klorofil galur GWS27C nyata lebih tinggi dari varietas pembanding Gajah dan Jerapah, sedangkan galur yang lain tidak berbeda nyata. Tabel 4. Rataan Nilai Tengah Karakter Tinggi Tanaman, jumlah Cabang, Jumlah Polong Total, dan Jumlah Polong Bernas. Galur GWS18A1 GWS27C GWS39B GWS39D GWS72A GWS73D GWS74A1 GWS74D GWS79A GWS110A1 GWS110A2 GWS110D GWS134A GWS134A1 GWS134D GWS138A Gajah Jerapah Zebra Putih Sima Jumlah Polong Total Jumlah Polong Bernas Bobot Polong Total Bobot Polong Bernas 10.2 9.0 11.3 12.0 8.6 10.5 8.7 8.0 11.7 8.8 11.7 10.2 7.3 10.9 12.3 7.7 10.0 7.9 9.9 8.1 9.9 8.3 11.2 11.8 8.3 10.3 8.3 7.8 10.9 8.6 11.4 10.1 6.6 10.6 11.8 7.5 9.5 7.6 9.4 7.8 9.8 9.2 12.1 11.8 10.4 13.3 8.6 8.9 12.0 8.7 11.0 10.0 7.3 13.1 13.3 9.3 10.4 9.8 12.6 10.9 9.7 9.0 12.0 11.8 10.4 13.2 8.5 8.9 11.8 8.6 10.9 10.0 7.0 13.1 13.2 9.2 10.2 9.7 12.4 10.8 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf a, b, c, dan d berturut-turut nyata > dari Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima, sedangkan e, f, g, dan h berturut-turut nyata < dari Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima berdasarkan uji Dunnet pada taraf 5% Galur-galur yang diuji sebagian besar memiliki jumlah polong total yang lebih tinggi dari varietas pembanding meskipun tidak berbeda nyata (Tabel 3). Galur GWS134D (12.3) merupakan galur dengan rata-rata jumlah polong terbanyak dan rata-rata terendah yaitu galur GWS134A (7.3). Trusnitah (1993) mengemukakan bahwa jumlah polong dipengaruhi oleh keberhasilan pembungaan dan pertumbuhan ginofor. Dari seluruh bunga yang dihasilkan hanya sekitar 55 % yang menjadi ginofor dan ginofor yang dihasilkan setelah pembungaan maksimum sampai akhir pembungaan tidak mempengaruhi hasil. Pembentukan biji dimulai setelah polong mencapai ukuran maksimum, yaitu antara hari ke-52 hingga hari ke-57 setelah tanam, atau tiga minggu setelah ginofor menembus tanah (Trustinah, 1993). Biji yang terisi penuh akan menghasilkan polong bernas, sedangkan yang tidak terisi akan menjadi polong cipo. Hasil uji t-Dunnett pada jumlah polong bernas memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang berbeda nyata dari semua varitas pembandingnya. Jumlah polong bernas tertinggi ditunjukan oleh galur GWS134D (11.8) dan terendah yaitu galur GWS134A (6.6). Bobot polong total dari galur-galur yang dievaluasi tidak menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan varietas pembanding. Bobot polong total tertinggi dimiliki oleh galur GWS134D (13.3) dan terendah galur GWS134A (7.3). Bobot polong sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan saat fase pengisian polong. Bobot biji per tanaman tiap galur tidak memperlihatkan pengaruh yang berbeda nyata dengan varietas pembanding. Bobot biji per tanaman tertinggi dimiliki oleh galur GWS134A1(9.8) dan terendah galur GWS134A (4.6). Bobot biji berkaitan dengan produktivitas tanaman. Bobot biji yang dihasilkan tergolong rendah jika dilihat dari potensinya. Rendahnya bobot biji ini dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi selama akhir penelitian. Sumarno dan Slamet (1993) menyampaikan bahwa rendahnya produktivitas kacang tanah pada musim hujan di Indonesia karena pengaruh penghambatan radiasi yang cukup tinggi, sehingga proses fotosintesis terhambat dan akibatnya hasil biji yang rendah. paling tinggi diantara pembanding tahan lainnya. Bobot 100 biji Galur GWS72A, GWS73D, GWS74A1, GWS134A1, dan GWS138A nyata lebih besar dari varietas gajah. Galur GWS27C, GWS72A, GWS73D, GWS74A1, GWS74D, GWS79A, GWS134A1, GWS134D, GWS138A nyata lebih besar dari varietas Zebra Putih. Bobot brangkasan menandakan efisiensi hasil fotosintat yang disimpan di dalam jaringan tanaman. Hasil uji lanjut tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara galur yang diuji dengan varietas pembandingnya. Bobot brangkasan tertinggi dimiliki oleh galur GWS74A1 (19.6) sedangkan varietas Gajah (10.8) merupakan tanaman dengan ketahanan terhadap penyakit bercak daun yang rendah menghasilkan bobot brangkasan terendah. Rendahnya bobot brangkasan varietas Gajah disebabkan sebagian besar daun rontok karena terserang penyakit bercak daun. Indeks panen merupakan pembagian hasil panen ekonomis kacang tanah yaitu bobot polong terhadap brangkasannya. Indeks panen tertinggi dimiliki oleh varietas Gajah (1.13) dan terendah galur GWS74A1 (0.46). Peubah Tinggi tanaman (cm) s²G 63.66 s²P h²bs 76.98 82.70 KKG 15.20 Tabel 4. Rataan Nilai Tengah Karakter Tinggi Tanaman, jumlah Cabang, Jumlah Polong Total, dan Jumlah Polong Bernas. Jumlah cabang Persentase batang utama bebas bercak daun (%) 0.33 0.78 0.40 1.87 83.27 41.52 10.64 14.94 Kadar klorofil (µmol/cm²) Jumlah polong total Jumlah polong cipo Jumlah polong bernas Bobot polong total (gram) Bobot polong cipo (gram) Bobot polong bernas (gram) Bobot biji (gram) Bobot 100 butir (gram) Bobot brangkasan (gram) Indeks panen kering <0.00 <0.00 63.03 5.84 0.22 0.02 0.37 0* 2.53 0.04 2.54 3.05 8.56 62.56 14.60 0 4.79 50.71 6.48 0 <0.00 <0.00 64.63 53.17 Galur GWS18A1 GWS27C GWS39B GWS39D GWS72A GWS73D GWS74A1 GWS74D GWS79A GWS110A1 GWS110A2 GWS110D GWS134A GWS134A1 GWS134D GWS138A Gajah Jerapah Zebra Putih Sima Bobot Biji per Tanaman 7.0 6.2 8.3 8.5 7.1 9.1 5.4 5.9 8.1 5.9 8.1 6.9 4.6 9.8 9.3 5.9 7.1 6.2 8.8 7.2 Bobot 100 Biji 42.9f 46.4cf 45.4f 42.8f 51.5acd 53.5acd 49.5ac 50.3acd 50.3acd 44.4f 44.7f 41.6fh 44.4f 52.2acd 46.8cf 53.6acd 43.9 52.4 41.7 45.9 Bobot Brangkasan Indeks Panen Kering 12.7 15.1 15.6 11.8 13.1 18.7 19.6 17.9 18.0 14.7 12.6 12.6 12.3 13.3 17.4 13.1 10.8 14.3 16.9 17.7 0.89 0.64 0.84 1.08 0.83 0.80 0.46 0.55 0.71 0.63 0.99 0.88 0.57 1.08 0.86 0.86 1.13 0.70 0.77 0.64 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf a, b, c, dan d berturut-turut nyata > dari Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima, sedangkan e, f, g, dan h berturut-turut nyata < dari Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima berdasarkan uji Dunnet pada taraf 5% Bobot biji per tanaman pada galur-galur yang diuji berkisar antara 4.6 (GWS134A) – 9.8 (GWS134A1) gram dengan nilai nilai tengah 7.2 gram (Tabel 3). Diantara tiga varietas pembanding tahan, varietas Zebra Putih memiliki bobot biji per tanaman paling tinggi sehingga dijadikan varietas pembanding tahan untuk karakter bobot biji per tanaman. Berdasarkan uji Dunnet, tidak ada galur yang berbeda nyata dengan varietas pembandingnnya. Bobot 100 biji merupakan salah satu karakter yang mempengaruhi daya hasil. Hasil uji t-Dunnett memperlihatkan perbedaan nyata dari galur-galur yang diuji. Bobot 100 biji memiliki nilai tengah 47.2 gram dengan nilai rataan tertinggi 53.6 gram (GWS138A) dan nilai rataan terendah 41.6 (GWS110D). Bobot 100 biji varietas Zebra putih digunakan sebagai pembanding tahan karena memiliki bobot 100 biji Pendugaan Parameter Genetik Berhasilnya suatu program pemuliaan tanaman sangat ditentukan oleh adanya variabilitas genetik yang diturunkan dari suatu populasi, karena tanpa adanya variabilitas genetik tidak akan terjadi perbaikan karakter tanaman (Poehlman, 1983). Parameter genetik yang dianalisis meliputi ragam genotipe, ragam fenotipe, koefisien keragaman genetik (KKG), dan heritabilitas (Tabel 7). Tabel 7. Heritabilitas Beberapa Karakter Kuantitatif Kacang Tanah 0* 3.08 0 0.17 15.72 3.68 2.07 8.08 16.53 95.11 6.87 53.51 <0.00 0.04 9.00 0 5.68 8.40 12.87 7.31 Keterangan : s² P : ragam fenotipe, s² G : ragam genotipe, h² bs : heritabilitas arti luas, *diperoleh dengan menolkan ragam genetik yang bernilai negatif Heritabilitas menyatakan proporsi varian 4genetik terhadap varian fenotipe yang nilainya berkisar antara 0 – 1 (Allard, 1960). Nilai heritabilitas digolongkan menjadi nilai heritabilitas tinggi (h²>0.5), heritabilitas sedang (0.2<h²<0.5), dan heritabilitas rendah (h²<0.2). Heritabilitas suatu karakter yang tinggi menandakan bahwa ekspresi genetik karakter tersebut relatif kurang dipengaruhi lingkungan, sedangkan nilai heritabilitas yang rendah menandakan keragaman fenotip dipengaruhi lingkungan (Rachmadi et al., 1996). Karakter-karakter yang diamati memiliki nilai heritabilitas rendah, sedang, dan tinggi. Karakter yang tergolong memiliki nilai heritabilitas tinggi yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, kadar klorofil, jumlah polong cipo, bobot polong cipo, bobot 100 biji dan bobot brangkasan sedangkan yang tergolong memiliki nilai heritabilitas rendah yaitu jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot biji ,dan indeks panen kering. Hanya persentase batang yang masih hijau dengan nilai 0.42 yang tergolong heritabilitas sedang. Karakter daya hasil merupakan karakter yang dipengaruhi oleh beberapa gen. Masing-masing memberikan pengaruh yang lebih kecil terhadap penampakan fenotipe dibandingkan pengaruh lingkungan. Sehingga dapat dilihat pada Tabel 7 bahwa nilai heritabilitas yang diperoleh tergolong rendah. Koefisien keragaman genetik menunjukan besaran ragam genetik dalam populasi. Nilai KKG dapt digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sempit (0-10 %), sedang (10-20 %), dan luas (> 20 %). Karakter dengan nilai KKG luas yaitu kadar klorofil, jumlah polong cipo, dan bobot polong cipo sedangkan karakter dengan nilai KKG sedang yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, persentase batang masih hijau, dan bobot brangkasan. Karakter jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot biji, bobot 100 biji, dan indeks panen kering. Nilai KKG yang rendah menyatakan bahwa terdapat pengeruh lingkungan yang lebih dominan dibandingkan pengaruh genetik. Adisarwanto, T., A.A. Rahmianna, dan Suhartina. 1993. Budidaya Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Seleksi Galur-galur Terbaik Kacang Tanah Balitan. 2010. PTT kacang tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor . 24 hal. Seleksi yang dilakukan terhadap kacang tanah yaitu terhadap karakter jumlah polong. Yudiwanti et al (1998) menyatakan bahwa karakter jumlah polong total dan jumlah polong isi lebih mencerminkan potensi genetik daya hasil genotipe kacang tanah berkaitan dengan penyakit bercak daun hitam. Hal ini dikarenakan polong terbentuk sebelum penyakit bercak daun menyerang sehingga jumlah polong yang terbentuk lebih disebabkan potensi genetik tanaman itu sendiri. Sedangkan karakter bobot biji lebih dipengaruhi kondisi lingkungan tumbuh saat fase pengisian polong. Hutagalung, JCSBY. 1998. Analisis Lintas Komponen Produksi Tanaman Padi (Oryza sativa L.). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tabel 10. Urutan Genotipe Berdasarkan Bobot Biji per Tanaman Genotipe GWS134D GWS39D GWS79A GWS110A2 GWS39B GWS134A1 GWS73D GWS110D GWS18A1 Gajah Zebra Putih GWS27C GWS110A1 GWS74A1 GWS72A Sima GWS74D Jerapah GWS138A GWS134A Jumlah Polong Total 12.3 12.0 11.7 11.7 11.3 10.9 10.5 10.2 10.2 10.0 9.9 9.0 8.8 8.7 8.6 8.1 8.0 7.9 7.7 7.3 Genotipe GWS134D GWS39D GWS110A2 GWS39B GWS79A GWS134A1 GWS73D GWS110D GWS18A1 Gajah Zebra Putih GWS110A1 GWS27C GWS72A GWS74A1 GWS74D Sima Jerapah GWS138A GWS134A Jumlah Polong Bernas 11.8 11.8 11.4 11.2 10.9 10.6 10.3 10.1 9.9 9.5 9.4 8.6 8.3 8.3 8.3 7.8 7.8 7.6 7.5 6.6 Terdapat sembilan galur generasi lanjut yang memiliki jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang lebih tinggi dari varietas pembanding yaitu GWS134D, GWS39D, GWS79A, GWS110A2, GWS39B, GWS134A1, GWS73D, GWS110D, dan GWS18A1. KESIMPULAN Terdapat perbedaan keragaan pada galur-galur generasi lanjut yang diuji untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, kadar klorofil, jumlah polong cipo, bobot polong cipo, dan bobot 100 butir, sedangkan karakter lainnya tidak terdapat perbedaan yang nyata. Terseleksi sembilan galur yang berdaya hasil tinggi dan lebih tahan penyakit bercak daun dibandingkan varietas pembanding yaitu GWS134D, GWS39D, GWS79A, GWS110A2, GWS39B, GWS134A1, GWS73D, GWS110D, dan GWS18A1. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2001. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hal. Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. Firs edition. John Wiley and Son. New York. 483 p. Allard, R.W. 1989. Pemuliaan Tanaman. Terjemahan dari : Principles of Plant Breeding. Penerjemah : Manna. Penerbit Bina Aksara. Jakarta. 642 hal. Badan Meteorologi, klimatologi, dan Geofisika (BMKG)nKec. Dramaga, Kab. Bogor. 2010. Badan Pusat Statistika. 2010. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Peanut by Province. http://www.bps.go.id. (03 Desember 2010). Kasno, A. 1993. Pengembangan Varietas Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Kasno, A. 2006. Prospek Pengembangan Kacang Tanah di Lahan Kering Masam dan Lahan Pasang Surut. http://balitkabi.litbang. deptan.go.id. (27 Mei 2009). Kusumo, Yudiwanti WE. 1996. Analisis Genotipik Ketahanan Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) terhadap Penyakit Bercak Daun Hitam Disebabkan oleh Phaeoisariopsis personata (Berk. & Curt) v. Arx. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Rohaeni, W.R. 2010. Pendugaaan Parameter Genetik dan Seleksi Rils F6 Kedelai Hasil SSD untuk Toleransi terhadap Cahaya Rendah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 100 hal. Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman pangan Di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 449 hal. Sumarno dan P. Slamet. 1993. Fisiologi dan Pertumbuhan Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Trusnitah. 1993. Biologi Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Yudiwanti, S. Sastrosumarjo, S. Hadi, S. Karama, A. Surkati, dan A.A. Mattjik. 1998. Korelasi Genotipik Antara Hasil dengan Tingkat Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun Hitam pada Kacang Tanah. Bulletin Agronomi 26(1):16-21.