BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kejahatan perampokan Penodongan (Patodong) yang terjadi di kota Makassar akhir-akhir ini, memberikan satu dorongan bagi kami meneliti hal tersebut. Di Kota Makassar, perampokan atau kejahatan Pencurian dengan perbuatan (Curat) adalah kasus kejahatan yang paling banyak terjadi di Kota Makassar dengan jumlah 804 kasus, yang kedua adalah kasus kejahatan Pencurian motor (Curanmor) dengan jumlah 641 kasus, yang ketiga adalah kasus kejahatan Penganiyayaan berat dengan jumlah 508 kasus, yang ke-empat adalah kasus kejahatan pencurian dengan kekerasan (Curas) dengan jumlah 404 Kasus, dan yang kelima adalah kaskus kejahatan pembunuhan yaitu dengan jumlah 15 kasus. (Arsip data Kriminalitas POLRESTABES Makassar tahun 2010-2011). Kasus kejahatan penodongan merupakan bagian dari kasus pencurian dengan perbuatan yang menempati tingkat pertama pada tahun 2010 sampai april 2011. Pada bulan januari 2010, pencurian dengan perbuatan mencapai 95 kasus, bulan februari 76 kasus, bulan maret 47 kasus, bulan april 26 kasus, bulan mei 31 kasus, pada bulan juni (minggu I dan II) berjumlah 16 Kasus, Bulan Agustus 17 Kasus, September 35 Kasus, Bulan Oktober berjumlah 40 kasus, bulan November 44 kasus, bulan desember 60 kasus, bulan januari 2011 berjumlah 81 kasus, bulan UNIVERSITAS HASANUDDIN 1 februari 53 kasus, bulan maret 77 kasus dan pada bulan april terhitung 70 kasus. (Arsip Polrestabes Makassar). Satu hal yang menjadi dasar dari peneliti bahwa keterpaksaan mereka akan pekerjaan tersebut berasal dari kesadaran akan realitas hidup yang memberikan beban tersendiri bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perampok merupakan pelaku tindak kejahatan yang didasari dengan kesadaran mereka bertindak dan berperilaku yang memberikan kerugian bagi orang lain dan memberikan efek tersendiri bagi lingkungan sosial yang ditempati. Pengaruh akan tindakan mereka sangat menarik dikarenakan pekerjaan yang mereka geluti merupakan satu kesadaran murni akan konsekuensi atas apa yang mereka lakukan, dalam hal ini, penulis dapat mengatakan “tidak rasional” disaat mereka melakukan pekerjaan tersebut tanpa harus memikirkan konsekuensi yang nanti mereka dapat. Layaknya, pekerja lainnya seperti tukang becak, Pegawai Negeri Sipil, nelayan, perampok juga memiliki alasan tentang pekerjaan yang mereka geluti. Keterbatasan akan kehidupan dalam segi ekonomi pendapatan, tingkat pendidikan mereka yang rendah, tingkat kepuasaan mereka terhadap materi kepuasaan yang minim terpenuhi membuat mereka terpaksa melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini, bukan berarti bahwa mereka melakukan pekerjaan ini berdasarkan factor diatas. Beberapa factor diatas tidak menjamin mereka atau mendorong mereka melakukan pekerjaan tersebut. Jika dipikirkan berdasarkan hal-hal diatas, UNIVERSITAS HASANUDDIN 2 mereka dapat berusaha dan bekerja sebagai tukang becak, buruh kapal, buruh bangunan, supir angkutan kota, tapi mengapa mereka lebih memilih menjadi “Perampok” yang secara sadar merupakan jenis pekerjaan yang dapat memberikan bahaya bagi diri mereka dan dapat dijerat hukuman sebagai konsekuensi pekerjaannya. Pekerjaan sebagai perampok adalah jalan bagi beberapa orang untuk menemukan solusi dalam berbagai permasalahan hidup mereka namun tetap mereka jalani, dan realitasnya, sebagai perampok, konsekuensi untuk terjerat hukum atas apa yang mereka lakukan sangat minim dikarenakan profesional kerja mereka yang sangat bersih. Berdasar pada data kriminalitas diatas yang menjelaskan tentang banyaknya tindak kejahatan perampokan yang terjadi di kota Makassar adalah alasan sehingga penulis mengambil wacana ini, Menurut penulis, persoalan yang menjadi salah satu point penting dalam kajian ini adalah kelompok kerja dan Hubungan kerja antara pelaku dengan anggota lainnya dan seorang penadah yang memiliki tujuan masing-masing dan saling memberikan bantuan. Hubungan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan mereka, dimana dalam pekerjaan, mereka saling membantu satu sama lain, antara pemimpin kelompok dan anggotanya maupun antara pemimpin kelompok dengan penadah barang rampokan. Bagi penulis, hubungan ini dapat dikatakan sebagai hubungan kerja dimana hubungan ini memberikan keuntungan yang timbal balik bagi semua pihak yang berada didalamnya. Hubungan kerja yang dijalani inilah yang UNIVERSITAS HASANUDDIN 3 menjadi point penting dan menarik bagi penulis dalam membahas profesi kerja sebagai perampok. Ketergantungan diantara mereka inilah yang memberikan gambaran tentang pekerjaan layaknya pekerja lainnya yang memiliki ketergantungan terhadap system kerja. Sehingga bagi penulis pekerjaan sebagai perampok merupakan pekerjaan yang ketentuan akan keberhasilan proses kerjanya sama dengan pekerjaan yang dilakukan manusia yang berprofesi lain, perbedaannya hanya terletak pada nilai yang diperolah dari jenis kerja mereka yang dipandang menyimpang. Label “berusaha” dalam kehidupan mereka sebagai tindakan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah satu kebaikan bagi mereka tersendiri jika menjadi seorang perampok adalah pekerjaan yang secara sadar merupakan keinginan mereka sendiri. Sehingga bagi penulis, “perampok” merupakan jenis pekerjaan yang sangat menarik untuk dijadikan bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai syarat gelar S1 (Stara Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dengan itu, penulis mengangkat judul “Patodong” (Studi Tentang Pola Hubungan Kerja Pelaku Kejahatan Penodong Di Kota Makassar). B. Fokus Penelitian Perampok merupakan tindakan kejahatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kepuasaan materi yang mereka inginkan. Dalam tulisan ini penulis tidak ingin mengkaji dan meneliti secara UNIVERSITAS HASANUDDIN 4 keseluruhan tentang kehidupan mereka, perilaku mereka, perjalanan hidup mereka. Penulis hanya membuat beberapa Fokus Penelitian dalam mengkaji beberapa segi kehidupan kerja mereka. Adapun Batasan masalah yang penulis buat untuk mengkaji Patodong (Mekanisme Dan Hubungan Kerja Para Pelaku Kejahatan Perompak Penodongan Di Kota Makassar) adalah : 1. Bagaimana pandangan Patodong Terhadap dunia kerja ? 2. Bagaimana Organisasi dan pola kerja Patodong ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1) Tujuan penelitian a). Menjelaskan tentang pandangan mereka (Patodong) dalam melihat dunia kerja. b) Menjelaskan tentang mekanisme kerja para Perampok (Patodong) dalam menjalankan operasi perampokan. c) Menggambarkan tentang kehidupan sosial para perampok dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. d) Untuk menggambarkan pola hubungan kerja dan jaringan kerja yang terbentuk dalam kelompok mereka. e) Manfaat penelitian a) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi bagi seluruh komponen masyarakat sehingga mereka dapat memahami strategi dan mekanisme kerja para perampok UNIVERSITAS HASANUDDIN 5 penodongan yang telah terjadi di beberapa wilayah di Kota Makassar b) Manfaat Keilmuan Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk peneliti-peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian yang berkenaan judul skripsi ini. c) Manfaat Bagi Peneliti Bagi peneliti sendiri merupakan hal yang sangat bermanfaat dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang realitas dan fenomena yang terjadi tentang kasus perampokan dalam kehidupan sehari-hari kita. Secara teknis manfaat paling utama adalah sebagai syarat penulis untuk menyelesaikan Studi pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. D. Kerangka Konsep Realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat, dan pemerintah yang berbau politik ekonomi, luasnya sarana transportasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan bertambah luasnya komunikasi merupakan efek dari globalisasi yang semakin menebarkan sayapnya dalam kehidupan kita. Penggambaran ketergantungan tersebut dapat kita lihat bahwa ketergantungan masyarakat yang menunjuk pada tingkat perekonomian negara dan usaha pengembangan sumber daya manusia UNIVERSITAS HASANUDDIN 6 negara ini yang menurut penulis masih dalam tahap “main-main” yang imbasnya dapat dirasakan oleh “kita” sebagai masyarakat yang ingin bertahan (Kurang mampu). Perkembangan yang terjadi inilah yang memberikan beban tersendiri bagi beberapa orang atau kelompok masyarakat yang kurang mampu dalam segi kehidupan ekonomi mereka yang mau tidak mau (secara terpaksa) mereka akan melakukan sikap tindak yang membuat mereka dapat bertahan. Sederhananya, manusia merupakan makhluk yang bersegi jasmaniah (raga) dan rohaniah (jiwa). Segi rohaniah manusia terdiri dari pikiran dan perasaan. Apabila diserasikan maka akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi sikap tindakan. Sikap tindakan inilah yang kemudian menjadi landasan gerak raga manusia. Apakah yang mereka hadirkan adalah sikap tindakan yang tidak melanggar aturanaturan hidup ataukah yang mereka hadirkan adalah sikap tindakan yang mengesampingkan aturan-aturan, norma-norma yang berlaku (perilaku menyimpang), tergantung dari kuantitas dan kualitas kehidupan mereka. Kuantitas dan kualitas kehidupan manusia merupakan hubunganhubungan sosial yang terjalin diantara manusia dengan manusia lainnya.manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. pergaulan Hubungan yang yang dinamakan terjalin tersebut interkasi sosial. mengahsilkan Pergaulan pola tersebut menghasilkan pandangan-pandangan mengenai kebaikan dan keburukan dalam sikap dan tindakan mereka. Pandangan tersebut merupakan nilai- UNIVERSITAS HASANUDDIN 7 nilai abstrak yang secara langsung mempengaruhi cara dan pola berpikir. Pola berpikir yang dianuti seseorang akan mempengaruhi sikap tindakannya. Sikap tersebut merupakan kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau kebendaan. Jelasnya, sikap tindakan manusia merupakan cerminan dari kebudayaan. Sebagaimana Varner dan Linda (dalam Pujileksono 2006 : 23) yang mendefenisikan kebudayaan sebagai : Pandangan koheren tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang. Pandangan itu berisikan apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan, tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu perilaku yang harus diterima atau yang berkaitan dengan orang lain. Definisi diatas menggambarkan tentang kemampuan pengetahuan manusia yang melahirkan sikap tindakan untuk menciptakan hubunganhubungan sosial berupa aturan-aturan nilai yang mengacu pada sesuatu hal dalam kehidupan manusia. Yang secara langsung dapat dikatakan sikap tindakan seseorang merupakan hasil dari hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya. Hal ini diperkuat oleh Spradley (1972 :8) bahwa: Hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Suatu hubungan sosial akan ada jika tiaptiap orang dapat meramalkan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. UNIVERSITAS HASANUDDIN 8 Dari uraian konsep diatas, dipahami bahwa hubungan yang terjadi antara manusia dengan manusia lainnya, dapat menciptakan sikap tindakan tertentu dari hasil hubungan sosial, yang pada akhirnya hubungan tersebut akan membentuk jaringan sosial dalam kehidupan masyarakat. Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masingmasing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Manusia tidak menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau konteks sosialnya (Agusyanto, 1996: 14). Dengan demikian, hubungan-hubungan sosial itu tidak terjadi atau terbentuk secara acak, melainkan menunjukkan adanya suatu keteraturan. Pada hakekatnya, di dalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat perkotaan, dijumpai adanya tiga jenis keteraturan hubunganhubungan sosial, yaitu: (1) keteratuan struktural (structural order), adalah perilaku orang-orang ditafsirkan dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang mereka duduki dalam seperangkat tatanan posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga, asosiasi-asosiasi sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis; (2) keteraturan kategorikal (categorical order), adalah perilaku orang-orang dalam situasi tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti UNIVERSITAS HASANUDDIN 9 kelas, ras dan kesukubangsaan; (3) keteraturan personal (personal order), adalah perilaku orang-orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur atau tidak terstruktur, dapat ditafsirkan dalam istilah hubungan-hubungan antarindividu dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain seperti jaringan sosial keluarga. (Mitchell, 1969: 9-10). Keteraturan dalam jaringan sosial berimplikasi pada pembentukan struktur sosial. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan status dan peranan masing-masing (Suparlan, 1982: 3134). Sekurang-kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua unsur, yaitu keseluruhan hubungan sosial yang ada di antara individu-individu dan perbedaan individu-individu tertentu yang secara nyata ada dan konkret. Suatu jaringan sosial akan merefleksikan pula suatu struktur sosial. Jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia akan berpeluang memiliki sejumlah jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut akan memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan yang akan dicapai. Dalam suatu situasi, berdasarkan kebutuhan atau tujuan tertentu, seorang UNIVERSITAS HASANUDDIN 10 individu dapat menjadi anggota suatu jaringan dan dalam situasi yang lain, ia dapat menjadi anggota jaringan sosial yang berbeda. Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis yang pada dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan selalu terkait dengan jaringan hubungan sosial yang kompleks. Apabila seorang individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya, maka hal ini akan merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan hubungan dalam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana memahami batas-batas status dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang terlibat di dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam wacana jaringan sosial tidak semata-mata terletak pada atribut para pelakunya, tetapi juga terletak pada karakteristik dan pola-pola hubungan di antara individu-individu di dalam jaringan sebagai cara untuk memahami dasar atau latar belakang perilaku mereka itu (Mitchell dalam ariefhilmanarda.wordpress.com/2010) Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, menurut mitchell dalam arifhilman arda maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis, Pertama, adalah jaringan kekuasaan (power), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasi-konfigurasi UNIVERSITAS HASANUDDIN 11 saling keterkaitan antarpelaku di dalamnya disengaja atau diatur oleh kekuasaan. Tipe jaringan ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku yang biasanya bersifat permanen. Hubunganhubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan kondisikondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau distrukturkan secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus mempunyai pusat kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja (performance) unit-unit sosialnya, dan mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal tidak memadai, masalahnya jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan jaringan sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan sosial tipe ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para angotanya untuk memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa insentif. Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila tujuan-tujuan tersebut spesifik dan konkret – seperti memperoleh pekerjaan, barang, atau jasa – maka jika tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh pelakunya, biasanya hubungan ini tidak UNIVERSITAS HASANUDDIN 12 berkelanjutan. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik seperti itu atau tujuan-tujuan tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan, dan hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini cenderung mantap dan permanen. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelakupelaku lain dalam jaringan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol secara emosional yang relatif kuat antarpelaku. Dari konsep uraian diatas, penjelasan tentang jaringan sosial yang secara tidak langsung menggambarkan tentang hubungan sosial manusia yang dibagi dalam tiga jenis jaringan yang didapatkan dari proses interkasi atau hubungan-hubungan tertentu. Sesuai dengan sifat manusia, bahwa manusia mempunyai kebutuhan sosial yakni kebutuhan berinterkasi dengan sesama manusia, maka pengelompokan sosial akan terjadi ketika manusia satu melakukan hubungan dengan lainnya. Hubungan sosial dapat terjadi hubungan yang berbentuk click atau pertemanan dan dapat pula terjadi hubungan yang berbentuk patron-client atau hubungan yang bersifat mengayomi dan membutuhkan (Rudita dan Famiola 2008;142). UNIVERSITAS HASANUDDIN 13 Hubungan yang terbentuk secara click atau pertemanan terwujud karena adanya kesamaan-kesamaan atribut oleh para pelaku yang mendorong untuk terwujudnya suatu pengelompokan sosial, sedangkan hubungan yang terbentuk secara patron-client lebih ditekankan pada hubungan ketergantungan yang saling bergantung, sebagaimana si patron (leader) yang memiliki kekuasaan penuh dan mengharap hasil kerja dari client dan client yang memiliki ketergantungan kepada patron. Hubungan ini menggambarkan tentang ketergantungan atas sikap dan tindakan yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam menjalin hubungan tersebut. Dari penjelasan kerangka konsep diatas, maka penulis dapat menggambarkan bagan mengenai jaringan para perompak darat yaitu sebagai berikut : Pemimpin Perampok Pembeli Anggota Kelompok Penadah atau BOS Ket : Pola Hubungan Timbal Balik UNIVERSITAS HASANUDDIN 14 E. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara mendalam dengan informan yang sangat memahami permasalahan yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif (Descriptive Research), yaitu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan data yang diperoleh secara terperinci sesuai permasalahan yang ditetapkan dalam penelitian ini. Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Teknik Pemilihan lokasi Penentuan lokasi penelitian untuk mengkaji dan meniliti perampok penodongan ditentukan berdasarkan wilayah atau lokasi yang dipandang peneliti terdapat banyak pelaku kejahatan perampok penodongan. Penentuan lokasi yang dilakukan peneliti berdasar dari hubungan yang dijalani oleh penulis dengan informan. Sumber untuk penentuan Lokasi yang ditentukan peneliti untuk meneliti hal tersebut adalah wilayah Alauddin, Kecamatan Parang Tambung Kota Makassar sebagai lokasi awal dalam menelusuri data-data dalam penelitian ini. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive), karena di kecamatan Parang Tambung terdapat banyak pelaku kejahatan UNIVERSITAS HASANUDDIN 15 penodongan sehingga penelitian yang akan dijalankan dapat berjalan lancar sesuai dengan informasi data yang diinginkan penelti. Penentuan atau pemilihan lokasi ini didapat dari informan yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang informasi yang terkait dengan kajian penelitian. b. Sumber Data Oleh karena lingkup penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka teknik pengumpulan sampelnya menggunakan cara purposive, dimana peneliti memakai berbagai pertimbangan, keingintahuan dari pada penelitian tentang karakteristik pribadi dari obyek yang diteliti. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah : 1. Informan, sebagai informan awal dipilih secara purposive, obyek penelitian yang menguasai permasalahan yang diteliti ( key informan ). Informasi selanjutnya diminta orang lain yang dapat memberikan informasi, diminta pula untuk menunjukan orang lain yang dapat memberikan informasi begitu seterusnya. Cara ini biasanya lazim disebut sebagai snow ball yang dilakukan secara serial atau berurutan. 2. Dokumen, yaitu melalui bahan-bahan tertulis, bahan-bahan laporan penelitian terdahulu dan arsip lain yang Masih relevan dengan wacana dan arah kajian yang diteliti. 3. Tempat atau lokasi untuk melakukan pengamatan 4. Instrumen Penelitian UNIVERSITAS HASANUDDIN 16 Sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan fokus penelitian yaitu peneliti sendiri yang telah dibantu dengan menggunakan alat-alat pedoman wawancara serta sarana dokumentasi, tempat dan peristiwa. c. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data didasarkan pada prinsip yang dianjurkan oleh Naturalictic Approach yang melekat pada tradisi ilmu sosial ( Lofland & Lofland, 1984 ) mengarah pada situasi dan kondisi setting penelitian, kejadian yang dialami oleh subyek penelitian individu atau kelompok atas dasar latar belakang (biografi, histori dan hubungan) personal atau kelompok yang terjalin. Oleh Lofland & Lofland, proses ini mencakup tiga tahap kegiatan, yaitu : a. Persiapan memasuki kancah penelitian (getting in) Agar proses pengumpulan data dan informasi berjalan sesuai rencana, peneliti terlebih dahulu telah menyiapkan segala sesuatu diperlukan, baik kelengkapan bersifat administratif maupun semua masalah dengan berusaha memasuki lokasi penelitian, peneliti harus melihat tempat dan fenomena yang berkaitan dengan sumber data tambahan. Ketika menempuh pendekatan ini dilakukan untuk melangkapi informasi informal dan formal, serta juga harus mampu menjalin hubungan yang akrab dengan informan. Untuk itu agar diperoleh melakukan adaptasi berlandaskan yang etis dan simpatik sehingga bisa UNIVERSITAS HASANUDDIN 17 mengurangi jarak antara peneliti dengan para informan. Peneliti berperilaku dengan sopan, baik dalam kata bahasa dan bertindak. Pada tahap ini yang diutamakan adalah bagaimana peneliti dapat diterima dengan baik pada waktu memasuki setting area. b. Ketika berada di lokasi penelitian (getting along) Disaat peneliti memasuki lokasi penelitian, maka hubungan yang terjalin harus tetap dipertahankan. Kedudukan subyek harus dihormati dan diberikan kebebasan untuk mengemukakan semua persoalan, data serta informasi yang diketahui, peneliti tidak secara langsung mengarahkan dan melakukan intervensi terhadap worldview dan dikembangkan untuk menangkap apa yang disampaikan, tindakan yang dilakukan, apa yang dirasakan serta kerangka mental dari dalam yang dimiliki subyek ( emic ). Berdasarkan emic yang diperoleh, peneliti mencoba memahami, menafsirkan dan mencoba untuk membuat pemaknaan baru atas worldview peneliti c. Pengumpulan data (logging to data) Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : 1. Studi Pustaka Yaitu suatu teknik penelitian yang dilakukan dengan membaca dan mempelajari buku-buku serta tulisan-tulisan yang UNIVERSITAS HASANUDDIN 18 berhubungan dengan permasalahan penelitian. Studi pustaka ini dilakukan untuk membantu penulis memperdalam penegetahuan tentang masalah yang akan diteliti dan teori-teori serta konsep-konsep untuk menganilsis permasalahan dan juga sebagai penambah wawasan penulis. 2. Pengamatan (observasi) hubungan sosial diantara mereka yang secara deksriptif oleh penulis atau peneliti Dan untuk hubungan patron-klien dan mekanisme kerja dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview) pada informan. 3. Wawancara Mendalam (indepth Interview) Wawancara mendalam dilakukan secara langsung pada informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan rumusan masalah penelitian. Wawancara ini dilakukan secara bebas terhadap para pelaku kejahatan perampok penodongan (Patodong) yang dapat memberikan informasi atau data yang berkaitan dengan penelitian. d. Hambatan Penelitian Penulis sadari bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang biasa dikatakan sangat “susah” untuk dikaji dan dijadikan sebagai bahan skripsi. Mengkaji atau meneliti tentang profesi kerja seorang criminal (perampok penodong) telah penulis sadari bahwa hal itu pastinya akan UNIVERSITAS HASANUDDIN 19 memberikan banyak hambatan atau tantangan untuk mendapatkan data informasi dari informan. Selama penelitian, penulis atau peneliti tidak mendapatkan masalah besar dalam mewawancarai maupun observasi, hanya pada observasi dan lokasi penelitian, peneliti tidak dapat menentukan lokasi peneltian dengan berdasar pada tempat tinggal informan. Lokasi penelitian yang kami datangi tidak menentu sehingga penulis atau peneliti tidak dapat menggambar secara jelas lokasi peneltian. Selanjutnya, Hambatan penelitian pada proses pencarian data sekunder, Ketakutan peneliti akan informasi dan data pangkal yang diperoleh untuk memasukkan surat penelitian di Kantor Kecamatan dan Kelurahan. Peneliti berpikir bahwa jika dimasukkan surat tersebut di kecamatan atau kelurahan konsekuensinya akan berdampak pada mereka (Informan) yang berada pada lokasi penelitian kami. Dan juga bias berdampak bagi peneliti. UNIVERSITAS HASANUDDIN 20 F. Sistematika Penulisan Tulisan ini disusun secara sistematis ke dalam beberapa bab, dan setiap bab terdiri sub-sub bab, adapun sistematika penulisan disusun sebagai berikut : Bab I : Memuat bab pendahuluan yang didalamnya diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Studi pustaka yang memaparkan studi-studi atau tulisantulisan yang memiliki hubungan dengan permasalahan penelitian yang akan dikaji Bab III : Memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian yang mencakup lokasi penelitian, keadaan geografi dan alam, keadaan deografi, keadaan sosial budaya dan ekonomi, dan sistem kepercayaan Bab IV : Pembahasan dan hasil penelitian berisikan hasil-hasil penelitan yang menggambarkan tentang pandangan dunia kerja, kelompok Patodong, perekrutan anggota, hubungan kerja antara Patodong, Penadah Pembeli dan Menggambarkan Patodong dengan kejahatan lainnya. Bab V : Penutup berupa kesimpulan atas data informasi yang diperoleh. UNIVERSITAS HASANUDDIN 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kelompok Sosial Dalam Kehidupan Masyarakat Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, memiliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Ketergantungan ini disadari oleh setiap manusia bahwa suatu kegiatan atau usaha tidak akan mereka dapatkan “hasil” jika tidak dibantu oleh pertolongan orang lain. Ketentuan ini merupakan suatu realitas yang mengkaji tentang kehidupan sosial kita. Dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, agaknya yang paling penting adalah reaksi yang hadir sebagai akibat hubungan ketergantungan tersebut. Reaksi yang dihadirkan inilah yang memberikan atau menyebabkan seseorang untuk bertindak dan berperilaku atas apa yang mereka inginkan. Realitas sosial budaya mengandung arti kenyataan-kenyataan sosial budaya di sekitar lingkungan masyarakat tertentu. Misalkan di jalan raya kamu melihat orang berlalu-lalang, baik yang mengendarai kendaraan bermotor atau para pejalan kaki. Contoh tersebut dikenal sebagai realitas sosial di masyarakat. Sebagai kumpulan mahluk yang dinamis, kita senantiasa menemukan realitas sosial dalam masyarakat. Masyarakat terbentuk karena manusia menggunakan pikiran, perasaan dan keinginannya dalam memberikan reaksi terhadap lingkungannya. Hal ini terjadi karena manusia mempunyai dua kinginan UNIVERSITAS HASANUDDIN 22 pokok yaitu, keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lainnya dan keinginan untuk menyatu dengan lingkungan alamnya. Menurut Soerjono Soekanto, merumuskan beberapa ciri masyarakat sebagai berikut: 1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Tingkatan hidup bersama ini bisa dalam dimulai dari kelompok 2. Hidup bersama untuk waktu yang cukup lama. Dalam hidup bersama ini akan terjadi interaksi. Interaksi yang berlangsung terus menerus akan melahirkan sistem interaksi yang akan nampak dalam peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia. 3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan 4. Mereka merupakan satu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terkait satu dengan yang lainnya. Masyarakat yang diakatakan sebagai system sosial Adalah suatu system yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang terdiri dari ; tindakan sosial yang dilakukan individu yang berinteraksi satu dengan lainnya dan bersosialisasi sehingga tercipta hubungan-hubungan sosial. Keseluruhan hubungan sosial tersebut membentuk struktur sosial dalam kelompok UNIVERSITAS HASANUDDIN 23 maupun masyarakat yang akhirnya akan menentukan corak masyarakat tersebut. Struktur sosial Struktur sosial mencakup susunan status dan peran yang terdapat di dalam satuan sosial, ditambah nilai-nilai dan normanorma yang mengatur interaksi antar status dan peran sosial. Didalam struktur sosial terdapat unsur-unsur sosial, kelompok-kelompok sosial dan lapisan-lapisan sosial. Unsur-unsur sosial terbentuk, berkembang, dan dipelajari oleh individu dalam masyarakat melalui proses sosial. Proses sosial adalah hubungan timbal balik antara bidang-bidang kehidupan dalam masyarakat dan memahami norma-norma yang berlaku. Sedangkan, Organisasi sosial adalah cara-cara perilaku masyarakat yang terorganisir secara sosial. Dengan kata lain, organisasi sosial merupakan jaringan hubungan antar warga masyarakat yang bersangkutan di dalam suatu tempat dan dalam waktu yang relatif lama. Di dalam organisasi sosial terdapat unsur-unsur seperti kelompok dan perkumpulan, lembaga sosal, peranan dan kelas-kelas sosial. Kelompok sosial adalah kumplan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok atau Perkumpulan juga dapat dikatakan sebagai masyarakat karena memenuhi syarat-syarat tentang adanya sisstem interaksi antara para anggota, dengan adat istiadatnya serta system norma yang mengatur interaksi itu, dengan adanya kontinuitas, serta dengan adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota kelompok atau perkumpulan tersebut. UNIVERSITAS HASANUDDIN 24 (Koentjaraningrat :2002;154). Namun, dalam kelompok juga ada cirri tambahan yaitu organisasi atau kelompok selalu tampak sebagai kesatuan individu yang secara bersulang berkumpul dan kemudian bubar lagi dan tentunya memiliki system pemimpin didalamnya. Dalam ilmu Antropologi dan Sosiologi telah membedakan dan membagi konsep tentang kelompok. Perbedaan ini dilihat dari azas hubungan antara kedua macam kelompok sehingga yaitu kelompok primer (Primary Group) dan kelompok sekunder (Secondary Group). E. Durkheim,seorang ahli sosiologi dan Antropologi Perancis yang terkenal, memperhatikan aspek solidaritas hubungan antara individu dalam kelompok dan dalam perkumpulan, dan membedakannya adalah solidarate mechanique yang menjiwai kelompok, dan solidarate organique yang menjiwai perkumpulan. (E. Durkheim dalam Koentjaraningrat :2002). Lain halnya dengan P. Sorokin,seorang ahli Sosiologi yang membedakan antara hubungan familistic (Kekeluargaan) yang mendasari pergaulan manusia dalam kelompok dan hubungan contractual (kontrak) yang mendasari pergaulan manusia dalam perkumpulan. (Koentjaringrat :2002;157). B. Kelompok sosial dipandang dari sudut individu Di dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya, yang menjadi dasar adalah bagaimana reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan interaksi sosial yang mereka lakukan. Hal inilah yang menyebabkan tindakan sesseorang menjadi bertambah luas. Rekasi UNIVERSITAS HASANUDDIN 25 tersebut terdapat kecendurungan manusia untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain. Karena sejak manusia dilahirkan sudah memiliki dua hasrat atau keinginan pokok (Soekanto :2007), yaitu:: 1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain (Masyarakat). 2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan keduanya, manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Sehingga yang lahir adalah hubungan yang saling kait antara manusia dengan manusia lain untuk bertahan dalam lingkungan alam sekelilingnya. Hal inilah yang membentuk kelompok sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan yang terdapat dalam kelompok sosial antara lain menyangkut tentang kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan kesadaran untuk saling tolong menolong. Untuk itu, ada beberapa syarat sehingga terbentuknya kelompok sosial (Soekanto:2007) : 1. Adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok tersebut. 2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota satu dengan anggota lainnya. UNIVERSITAS HASANUDDIN 26 3. Ada suatu factor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka bertambah erat, yang dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, dan lain-lain. 4. Berstruktur dan memiliki pola perilaku. 5. Bersistem dan berproses. Dalam masyarakat yang sudah kompleks, individu biasanya menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu. Misalnya berdasar pada seks, ras dan sebagainya. Akan tetapi, dalam hal lain seperti di bidang pekerjaan, rekreasi dan sebagainya, keanggotaannya bersifat sukarela. Apabila kelompok sosial di anggap sebagai kenyataan didalam kehidupan manusia atau indovidu, hasrus diingat bahwa sikap individu terhadap kelompok sosial sebagai kenyataan subjektif yang penting untuk memahami gejala kolektifitas. C. Kelompok-Kelompok Kecil (Small Group) Kelompok kecil merupakan suatu kelompok yang secara teoretis terdiri dari paling sedikit dua orang, dimana orang-orang saling berhubungan untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu dan yang menganggap hubungan itu penting baginya. Didalam kelompok-kelompok besar, pastinya akan hadir kelompok-kelompok kecil. Hal itu disebabkan karena manusia mungkin tidak mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama, manusia memerlukan perlindungan dari rekan-rekannya, manusia UNIVERSITAS HASANUDDIN 27 mempunyai kemampuan yang terbatas didalam pergaulan hidup dan sebagainya. Keadaaan demikian menyebabkan hadirnya small Group yang merupakan wadah orang yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama. Kelompok-kelompok kecil selalu timbul didalam kelompok atau kerangka organisasi yang lebih besar dan luas. Komunikasi merupakan hal yang penting dalam proses berjalannya suatu kelompok kecil. Hal ini terlihat dalam karakter kelompok-kelompok kecil yang tergambarkan dalam menjalankannya. Antara lain sifat Komunikasi Kelompok kecil, dimana, Komunikasi kelompok kecil terjadi ketika tiga orang atau lebih bertatap muka, biasanya dibawah pengarahan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan atau sasaran bersama dan mempengaruhi satu sama lain. Inti dari definisi ini adalah bahwa masyarakat berinteraksi, mereka saling bergantung, dan saling mempengaruhi. Kelompok berkomunikasi dengan bertatap muka, Komunikasi kelompok kecil yang efektif menghendaki Anda untuk berkomunikasi dengan orang lain melalui tatap muka. Interaksi yang berarti dapat berlangsung jika komunikasi melibatkan hal berbicara dan mendengar dalam lingkungan yang umum. Melalui pengenalan teknologi baru-komputer, mesin fax, telekonferensi, dan bentuk komunikasi cepat lainnya-masyarakat semakin terbiasa berkomunikasi dan menyokong hubungan tanpa kehadiran fisik orang lain. Bagaimanpun, komunikasi kelompok yang terbaik terjadi bila orang-orang dapat segera menanggapi komunikasi verbal dan nonverbal orang lain secara pribadi. Kedua, UNIVERSITAS HASANUDDIN 28 Kelompok Kecil Memiliki Partisipan, Terdapat berbagai macam opini mengenai berapa banyak orang yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kelompok kecil, tetapi umumnya berdasarkan parameter luar adalah 3 dan 12 orang.. Sedangkan ukuran sebagian lainnya ditentukan oleh tujuan kelompok. Jika tujuannya untuk mendorong input individu, diperlukan jumlah anggota yang lebih kecil. Jika anggota –anggota hendak ditampakkan ke dalam berbagai sudut pandang, sebaiknya dibentuk kelompok yang lebih besar. Keanggotaan suatu kelompok harus cukup besar sehingga terdapat semua fungsi yang berorientasi pada tugas dan manusia yang dibutuhkan dalam penyelesaian pekerjaan. Lima sampai tujuh orang partisipan biasanya merupakan ukuran yang cukup bagi sebuah kelompok kerja. Kelompok ini tidak terlalu kecil untuk membagi sebuah tugas dan juga tidak terlalu besar untuk mencegah interaksi bebas diantara para anggota. Seseorang pembentuk kelompok pengambil keputusan akan membatasi besarnya kelompok dengan baik karena memberi dan menerima merupakan hal yang lebih cepat dan lebih tersebar luas dalam kelompok kecil dibandingkan kelompok besar.” Jumlah anggota yang ganjil mungkin umumya lebih disukai sehingga pada saat pemungutan suara akan terdapat kelebihan suara. Ketidaksetujuan dalam suatu kelompok bukan merupakan sifat tidak sehat, melainkan kelebihan suara justru dapat mengatasi jalan buntu pada saat pemungutan suara diperlukan. Ketiga, Kelompok kecil dijalankan dan dipimpin oleh UNIVERSITAS HASANUDDIN 29 seseorang, Kepemimpinan merupakan sebuah dimensi penting dari suatu studi kelompok kecil. Kelompok-kelompok kerja dapat berfungsi melalui kepemimpinan yang ditunjuk, kepemimpinan yang berdasarkan jabatan atau pangkat, atau kepemimpinan darurat. Hal yang pokok adalah tindakan kepemimpinan, kelompok-kelompok atau mencapai tindakan bersama yang membantu tujuannya, diperlukan sangat untuk kesehatan, efisiensi, dan efektivitas kelompok. Biasanya, hal yang lebih efisien dilakukan adalah memiliki orang yang telah ditunjuk sebelumnya sebagai pemimpin rapat, penyelenggara rapat, moderator, pemimpin, atau fasilitator kelompok. Apabila pihak berwenang yang lebih tinggi tidak menunjuk seorang pemimpin, sebaiknya mereka memilih seseorang untuk jabatan tersebut. Keempat Kelompok Membagi Tujuan Dan Sasaran Bersama, Untuk menjadi sebuah kelompok, para anggota harus membagi tujuan bersama. Untuk menjadi sebuah tim yang efektif, sebuah kelompok harus memiliki identitas bersama yang ditunjukkan oleh cita-cita atau tujuan bersama. Dan Kelima adalah Anggota Memiliki Pengaruh atas Anggota-Anggota Lainnya, Untuk menjadikan orang yang bersamasama itu sebuah kelompok, setiap anggota harus terbuka terhadap pengaruh bersama-setiap orang dalam kelompok itu harus ikut serta dalam kegiatan mempengaruhi dan dipengaruhi. Semangat timbal balik ini merupakan hal penting bagi integritas suatu kelompok kecil. Perilaku setiap anggota ditentukan dan menentukan perilaku orang lain. Kehadiran seseorang dalam sebuah kelompok dapat berpengaruh sangat penting UNIVERSITAS HASANUDDIN 30 terhadap perilaku dan pemikiran anggota lain dan keseluruhan proses dalam kelompok tersebut. Beberapa orang memberikan kontribusi gagasan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan; beberapa orang lainnya menjaga kelompok tetap terpusat pada tugas. Seorang anggota dapat memberikan kontribusi pada kelompoknya dengan menghentikan ketegangan, berurusan dengan konflik, berpegang pada jadwal, atau bertindak sebagai penyimpan catatan. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempengaruhi kelompok, tetapi tindakan kepemimpinannya membantu para anggota dalam mencapai tujuan mereka yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan kelompok. Setiap anggota dapat dan harus mempengaruhi anggota-anggota lain dan keputusan kelompok. (Zarda dalam /id.shvoong.com/Komunikasi/2010). Suatu faktor yang kritis dari partisipasi kelompok adalah bahwa setiap anggota harus bersikap terbuka dan mampu mengesampingkan ambisi pribadi, “menyembunyikan agenda”, dan menghindarkan perilaku lain yang dapat merusak kelompok dan hasil akhir tujuannya. D. Tinjauan Tentang Jaringan Sosial Hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Suatu hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramalkan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Pola dari interaksi ini disebut sebagai hubungan sosial dan hubungan sosial akan membentuk jaringan sosial. UNIVERSITAS HASANUDDIN 31 Jaringan sosial terbentuk dalam masyarakat karena pada dasarnya manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada; hubungan selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu.Setiap orang belajar dari pengalamannya untuk masing-masing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan sosial yang tersedia, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada individu yang bersangkutan sehingga dalam usaha peningkatan taraf hidup juga tidak menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya (Agusyanto, 1991: 14). Keterikatan individu-individu dalam hubungan-hubungan sosial adalah pencerminan dirinya sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan masyarakat, hubungan-hubungan sosial yang dilakukan individu merupakan suatu upaya untuk mempertahankan keberadaannya. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal kuantitas dan kualitas atau intensitas hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya, sekalipun dalam kehidupan masyarakat terbuka luas peluang bagi individu untuk melakukan hubungan sosial secara maksimal. Hubungan-hubungan tersebut tidak hanya melibatkan dua individu, tetapi juga banyak individu. Keterhubungan antarindividu-individu tersebut akan membentuk suatu jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat (Kusnadi, 1998: 11-12). Jaringan sosial sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk UNIVERSITAS HASANUDDIN 32 di antara sekelompok orang yang karakteristik hubungan-hubungan tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Definisi jaringan sosial yang lain diberikan oleh Suparlan, yaitu Jaringan sosial adalah sebagai suatu pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang, paling sedikit terdiri atas tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan masing-masing dihubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan sosial tersebut mereka dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial (Suparlan dalam arifhilman. Wordpress.com/2010). Suparlan, mengatakan ada beberapa hal yang merupakan ciri-ciri utama dari jaringan sosial, yaitu: 1.Titik-titik, merupakan titik-titik yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu atau sejumlah garis yang dapat merupakan perwujudan dari orang, peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, negara dan sebagainya. 2. Garis-garis, merupakan penghubung atau pengikat antara titiktitik yang ada dalam suatu jaringan sosial yang dapat berbentuk pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-subordinat, hubungan-hubungan antarorganisasi, persekutuan militer dan sebagainya. UNIVERSITAS HASANUDDIN 33 3. Ciri-ciri struktur. Pola dari garis yang menghubungkan serangkaian atau satu set titik-titik dalam suatu jaringan sosial dapat digolongkan dalam jaringan sosial tingkat mikro atau mikro, tergantung dari gejala-gejala yang diabstraksikan. Contoh dari jaringan tingkat mikro yang paling dasar adalah suatu jaringan yang titik-titiknya terdiri atas tiga buah yang satu sama lainnya dihubungkan oleh garis-garis yang mewujudkan segitiga yang dinamakan triadic balance (keseimbangan segitiga); sedangkan contoh dari jaringan tingkat makro ditandai oleh sifatnya yang menekankan pda hubungan antara sistem atau organisasi, atau bahkan antarnegara. 4. Konteks (ruang). Setiap jaringan dapat dilihat sebagai terwujud dalam suatu ruang yang secara empiris dapat dibuktikan (yaitu secara fisik), maupun dalam ruang yang didefenisikan secara sosial, ataupun dalam transportasi selalu sedangkan jaringan keduanya. terletak Misalnya, jaringan dalam suatu ruangan fisik, perseorangan yang terwujud dari hubungan-hubungan sosial tidak resmi yang ada dalam suatu organisasi adalah suatu contoh dari suatu jaringan yang terwujud dalam satu ruang sosial. Jaringan komunikasi dapat digambarkan sebagai sebuah peta baik secara fisik, yaitu geografis maupun menurut ruang sosialnya, yaitu yang menyangkut status dan kelas sosial. UNIVERSITAS HASANUDDIN 34 5. Aspek-aspek temporer. Untuk maksud-maksud sesuatu analisa tertentu, sebuah jaringan sosial dapat dilihat baik secara sinkronik maupun secara diakronik, yaitu baik sebagai gejala yang statis maupun dinamis. Jaringan-jaringan hubungan yang terbentuk di dalam masyarakat menjadi sedemikian penting bagi masyarakat tersebut karena di dunia ini tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan hubungan sosial dengan manusia lainnya di dalam masyarakatnya. Manusia di bumi ini selalu membina hubungan sosial dengan manusia lain di manapun ia tinggal dan hidup sebab manusia pada dasarnya tidak dapat dan tidak sanggup hidup sendiri. Sebuah masyarakat dapat dipandang sebagai jaringan hubungan sosial antarindividu yang sangat kompleks. Seorang individu hanya menjadi anggota dari jaringan-jaringan sosial tertentu dan tidak menjadi anggota jaringan-jaringan yang lain. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan manusia untuk berhubungan dengan semua manusia yang ada; hubungannya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu. Hubungan-hubungan sosial di mana setiap individu dilekatkan dapat dilihat sebagai sebuah jaringan. Jaringan sosial dapat dilihat sebagai sejumlah kecil titik-titik yang dihubungkan oleh garis-garis. Titiktitik ini dapat berupa orang, peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, nasion atau negara dan sebagainya. Garisnya ini dapat merupakan perwujudan dari hubungan sosial antarindividu, UNIVERSITAS HASANUDDIN 35 pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-subordinat, hubungan antarorganisasi, persekutuan militer, dan sebagainya (Suparlan dalam arifhilman wordpress.com/2010/konsep-jaringan sosial). Tiap-tiap individu dapat dilihat sebagai bintang, tempat awal garisgaris hubungan sosial menyebar kepada individu-individu lain. Boissevain menyebutkan bahwa daerah jaringan utama (primary network zone) merupakan daerah tempat individu pertama melakukan hubungan langsung dengan individu-individu kedua. Namun, individu-individu kedua ini juga melakukan kontak dengan individu-individu ketiga yang mungkin sekali tidak dikenal oleh individu pertama. Individu pertama dapat melakukan kontak dengan individu ketiga melalui individu kedua. Inilah pentingnya teman dari teman. Dengan demikian, dalam kenyatannya semua masyarakat dapat dilihat sebagai sebuah jaringan dan melalui jaringan itu seorang individu dapat berhubungan dengan semua orang. Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masingmasing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Manusia tidak menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau konteks sosialnya (Agusyanto, 1996: 14). Dengan demikian, hubunganhubungan sosial itu tidak terjadi/terbentuk secara acak, melainkan menunjukkan adanya suatu keteraturan. UNIVERSITAS HASANUDDIN 36 Di dalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat perkotaan, dijumpai adanya tiga jenis keteraturan hubungan-hubungan sosial, yaitu: (1) keteratuan struktural (structural order), adalah perilaku orang-orang ditafsirkan dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang mereka duduki dalam seperangkat tatanan posisiposisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga, asosiasi-asosiasi sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis; (2) keteraturan kategorikal (categorical order), adalah perilaku orang-orang dalam situasi tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti kelas, ras dan kesukubangsaan; (3) keteraturan personal (personal order), adalah perilaku orang-orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur atau tidak terstruktur, dapat ditafsirkan dalam istilah hubungan-hubungan antarindividu dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain. Individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia akan berpeluang memiliki sejumlah jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut akan memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan yang akan dicapai. Dalam suatu situasi, berdasarkan kebutuhan atau tujuan tertentu, seorang individu dapat menjadi anggota suatu jaringan dan dalam situasi yang lain, ia dapat menjadi anggota jaringan sosial yang berbeda. Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis. Pada UNIVERSITAS HASANUDDIN 37 dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan selalu terkait dengan jaringan hubungan sosial yang kompleks. Apabila seorang individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya, maka hal ini akan merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan hubungan dalam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana memahami batas-batas status dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang terlibat di dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, adalah jaringan kekuasaan (power), merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasi-konfigurasi saling keterkaitan antarpelaku di dalamnya disengaja atau diatur oleh kekuasaan. Tipe jaringan ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku yang biasanya bersifat permanen. Hubungan-hubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau distrukturkan secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus mempunyai pusat kekuasaan UNIVERSITAS HASANUDDIN 38 yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja (performance) unit-unit sosialnya, dan mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal tidak memadai, masalahnya jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan jaringan sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan sosial tipe ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para angotanya untuk memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa insentif. Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila tujuantujuan tersebut spesifik dan konkret – seperti memperoleh pekerjaan, barang, atau jasa – maka jika tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh pelakunya, biasanya hubungan ini tidak berkelanjutan. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik seperti itu atau tujuan-tujuan tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan, dan hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini cenderung mantap dan permanen. Hubungan-hubungan sosial yang UNIVERSITAS HASANUDDIN 39 terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelakupelaku lain dalam jaringan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol secara emosional yang relatif kuat antarpelaku (Agusyanto, 1997: 26-28). Dalam kenyataan di lapangan, sebuah jaringan sosial tidak hanya dibentuk oleh satu jenis jaringan sosial di atas. Namun, terjadi tumpang tindih antara tiga jenis bentuk hubungan sosial tersebut. Sebuah jaringan sosial dianggap sebagai jaringan kepentingan jika hubungan-hubungan yang terbentuk dalam jaringan sosial tersebut lebih dominan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan tertentu. Dua jenis jaringan sosial yang lain, yaitu jaringan kekuasan dan jaringan perasaan tetap ada tetapi tidak dominan. Bila dilihat dari status sosial ekonomi dari individu-individu yang terlibat dalam suatu jaringan sosial, terdapat dua jenis jaringan sosial, yaitu jaringan sosial yang bersifat horisontal dan hubungan sosial yang bersifat vertikal. Jaringan sosial bersifat horisontal jika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial ekonomi yang relatif sama. Mereka memiliki kewajiban yang sama dalam perolehan sumber daya, dan sumber daya yang dipertukarkan juga relatif sama. Sebaliknya, dalam jaringan-jaringan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan. Jaringan sosial dapat dianggap sebagai suatu jaringan komunikasi jika di dalamnya mengalir informasi dari satu pihak ke pihak lainnya UNIVERSITAS HASANUDDIN 40 sehingga terjadi pertukaran informasi. Seorang individu dapat mengirimkan pesan kepada lebih banyak orang dibandingkan dengan banyaknya orang yang ia kenal – yang merupakan orang-orang yang melakukan hubungan langsung dengannya (primary network zone) – karena tiap-tiap orang yang berhubungan langsung dengan pemberi pesan mempunyai potensi untuk menyampaikan pesan tersebut kepada banyak orang lagi. Konsep ‘teman’ dan ‘pertemanan’ atau ‘persahabatan’ mengacu pada hubungan sosial antara dua orang atau lebih dengan hubungan yang bersifat sukarela, dekat dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Nilai-nilai yang tercakup dalam pertemanan adalah kedekatan, solidaritas, tidak adanya maksud-maksud tersembunyi, resiprositas, dan terlepas dari pembedaan-pembedaan umur, jenis kelamin dan kelas sosial. Wolf dalam Hilman Arda (2008: 10-15) membedakan hubungan pertemanan menjadi dua macam yaitu hubungan pertemanan ekspresif atau emosional dan hubungan pertemanan instrumental. Hubungan pertemanan emosional adalah hubungan dua orang teman yang tiap-tiap pihak saling memuaskan kebutuhan emosionalnya. Hubungan pertemanan instrumental adalah hubungan pertemanan yang sebenarnya tidak ditujukan untuk memperoleh akses untuk menggunakan sumber daya baik sumber daya alam maupun sosial, tetapi hal itu menjadi penting dalam hubungan pertemanan ini. Setiap partisipan merupakan sponsor UNIVERSITAS HASANUDDIN 41 bagi mereka yang lainnya. Hal ini berarti hubungan pertemanan ini memungkinkan seseorang untuk menghubungkan temannya dengan orang lain yang mempunyai relasi atau koneksi dalam rangka mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. Dalam hubungan pertemanan instrumental ini tedapat rasa saling percaya dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Selain itu hubungan pertemanan ini bersifat timbal balik yang simetris dan seimbang. Hal-hal inilah yang memungkinkan hubungan pertemanan instrumental dapat terus berlanjut. Hubungan pertemanan instrumental berkembang dengan baik dalam situasi sosial yang relatif terbuka serta situasi di mana tiap-tiap pihak dapat saling berlaku sebagai sponsor bagi yang lainnya dalam rangka untuk memperluas ruang gerak sosial mereka. E. Tinjauan Tentang Tindak Kejahatan Dalam Kehidupan Masyarakat. Kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai masalah sosial tergantung dari system nilai yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu, namun dalam beberapa hal, terdapat masalah sosial yang merupakan permasalahan yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat, yaitu kemiskinan dan kejahatan. Penulis pernah mendengar Berita di Salah satu Siaran Televisi Swasta, tentang kecendurungan manusia melakukan suatu tindak kejahatan atau tindak penyimpangan, hal yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinan memiliki pengaruh besar besar terhadap tindak kejahatan seseorang. Kedua factor UNIVERSITAS HASANUDDIN 42 tersebut merupakan satu kesatuan yang mempengaruhi seseorang melakukan suatu tindakan yang nekat (kejahatan). Sehingga, pada sub bab ini penulis akan berusaha menguraikan tentang Kemiskinan dan Kejahatan sebagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Secara history, bahwa keadaan hidup dan kaya merupakan suatu persoalan yang diakibatkan oleh perkembangan zaman yang menentukan kebutuhan manusia, dimana ada ketentuan-ketentuan pemenuhan kebutuhan hidup yang membedakan miskin dan kaya melalui taraf hidup manusia dalam kehidupannya. Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasi, kemiskinan bukan merupakan suatu masalah sosial karena mereka menganggap bahwa semuanya ditakdirkan sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Pada masyarakat modern, kemiskinan menjadi suatu masalah karena setiap manusia memiliki kebencian akan kemiskinan tersebut. Seseorang merasa miskin bukan karena kurang makan, kurang minum, dan sebagainya, namun kemiskinan menurut mereka berasal dari pemenuhan kebutuhan hidup (taraf hidup) yang kurang dimiliki oleh seseorang tersebut. Kepemilikan akan harta hidup (materi) tidak UNIVERSITAS HASANUDDIN 43 memberikan mereka kepuasan hidup dan tidak menjangkau kebutuhan hidup seperti orang-orang lainnya. Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi. Realitas yang terjadi banyak diantara mereka yang datang di kota untuk mencari untuk menggantungkan hidupnya, ternyata tidak mendapatkan pekerjaan. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi manusia yang memberikan dampak terhadap seseorang yang tidak memiliki kuantitas sumber daya, maka secara langsung akan melakukan atau mencari “pekerjaan” yang dapat membantunya “hidup” dalam ruang hidup tertentu. Sehingga yang lahir adalah banyak dari mereka, nekat untuk melakukan suatu “tidak kejahatan” tertentu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kejahatan, dilihat dari sudut pandang pendekatan legal diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau Undangundang yang berlaku di masyarakat (Soekanto :2007). Pada hakikatnya, suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau Undang-undang yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat yang bersangkutan. Mengapa demikian? Kita harus sadari bahwa eksistensi suatu hukum di dalam masyarakat merupakan pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya kehidupan bersama menjadi baik dan tertib. Dengan dilanggarnya fondasi UNIVERSITAS HASANUDDIN 44 ketertiban masyarakat tersebut maka tentunya perbuatan tersebut adalah jahat. Pernyataan bahwa tidak akan ada kejahatan apabila tidak ada hukum (undang-undang) pidana dan bahwa kita akan dapat menghilangkan seluruh kejahatan hanya dengan menghapuskan semua hukum (undang-undang) pidana adalah logomachy. Memang benar bahwa andaikata undang-undang terhadap pencurian ditarik kembali, maka mencuri itu tidak akan merupakan kejahatan, meskipun ia bersifat menyerang atau merugikan dan masyarakat umum akan memberikan reaksi terhadapnya. UNIVERSITAS HASANUDDIN 45 BAB III SITUASI SOSIAL LOKASI PENELITIAN Pada bab ini, penulis tidak dapat memberikan gambaran data sekunder tentang lokasi penelitian yang kami lakukan, dikarenakan lokasi peneltian tidak menentu dan terdapat beberapa masalah pada proses penelitian yang berdampak pada profesi informan yang kami teliti. Sehingga untuk Bab ini, penulis akan mencoba menggambarkan tentang kehidupan lingkungan sosial masyarakat setempat sampai dengan Suasana markas “x” sebagai lokasi penelitian yang saya lakukan. A. Kondisi Lingkungan Sosial Masyarakat Parang Tambung Lokasi “x” Kelurahan Parang Tambung adalah bagian dari wilayah kota Makassar yang memiliki tingkat mobilitas dan aktifitas masyarakat yang sangat tinggi dikarenakan wilayah Parang Tambung sangat dekat dengan Pusat Kota. Masyarakat Kelurahan Parang Tambung lokasi “x” pada umumnya merupakan masyarakat yang sebagian besar berasal dari Makassar, dan sebagian lainnya merupakan masyarakat pendatang yang datang untuk mencari pekerjaan. Aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat sangat beraneka ragam sehingga kondisi setempat terbilang cukup ramai dalam kehidupan sehari-hari di Kelurahan Parang Tambung lokasi “x”. Penulis dapat katakan bahwa wilayah Kelurahan Parang Tambung lokasi “x” dapat dikatakan memiliki tingkat keamanan yang “lumayan” walaupun masih UNIVERSITAS HASANUDDIN 46 banyak perilaku-perilaku seseorang atau beberapa orang yang menyimpang, seperti pesta minuman keras (ballo), aktifitas para waria pada malam hari, para “pelacur jalanan” yang ngurumpi di lorong-lorong hingga subuh, dan para anak-anak (9-12 Tahun) yang asyik menggunakan obat penenang yang mereka kenal dengan istilah “somad”. Hal tersebut diatas tidak memberikan efek akan kestabilan keamanan di daerah Parang Tambung, mereka hanya melakukan itu hanya untuk kesenangan dan bukan untuk mencari sensasi yang dapat mengakibatkan keributan atau kekacauan tertentu. Kehidupan sosial dan interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Parang Tambung “x” sangat baik. Masyarakat setempat masih saling menghormati dan menyadari akan kedudukan mereka sebagai masyarakat yang taat pada hokum dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, ada hal-hal yang mereka anggap sebagai bentuk “individual” yang tidak dapat mereka campuri, dengan kata lain bahwa masyarakat setempat “acuh” dan tidak mempedulikan apa yang dilakukan (penyimpangan) oleh individual lainnya selama hal tersebut tidak mengganggu dan mengancam keselamatan mereka. Karakter masyarakat ditentukan oleh mata pencaharian hidup mereka, menurut penulis, sebagian besar masyarakat yang melakukan penyimpangan (minum minuman keras, pelacuran-prostitusi, kenakalan remaja) adalah individu individu yang memiliki tingkat pendapatan yang masih belum mencapai standar hidup. Seperti tukang becak, sopir UNIVERSITAS HASANUDDIN 47 angkutan umum, buruh bangunan, dan pengangguran hal ini seterlihat pada kondisi sosial masyarakat lokasi “x” tersebut. Lingkungan sosial wilayah lokasi penelitian yang kami lakukan berada pada lokasi pemukiman yang tersusun secara teratur dan dapat dikenal hanya dengan melihat kondisi fisik bangunan. Bangunan yang tertata berhimpitan merupakan wilayah pemukiman masyarakat yang sebagian besar merupakan masyarakat pendatang dari Jeneponto yang mencari pekerjaan di kota Makassar dan sebagian pekerjaan mereka adalah sebagai sopir dan tukang becak atau pemulung (Payabo). Bangunan tempat mereka tinggal adalah bangunan sewa atau kontrak. Lokasi pemukiman ini merupakan lokasi yang banyak ditemukan pesta minuman keras (ballo). Sedangkan pada lorong-lorong jalan tertentu banyak terdapat remaja-remaja atau anak muda yang nongkrong, dan hal ini berlangsung hamper tiap hari dalam kehidupan masyarakat Parang Tambung. Banyaknya pengangguran dan anak-anak muda atau remaja yang dilihat “bebas” dalam lingkungan sosial masyarakat Parang Tambung merupakan hasil dari kurang adanya “tanggung jawab” orang tua mereka untuk mengontrol atau mendidik mereka sebagaimana mestinya. Hasil dari “acuh tak acuh” mereka sebagai orang tua adalah dengan melihat anaknya secara bebas melakukan apa yang mereka kehendaki. Remaja di lingkungan Parang Tambung “x” melakukan apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya ada beberapa remaja diantara UNIVERSITAS HASANUDDIN 48 mereka yang dikenal penulis sebagai pencuri dan Mereka melakukan hal tersebut hanya untuk memenuhi hasrat mereka.Tak lepas dari hal ini, tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi pola perilaku seseorang dan ini terlihat jelas dalam kehidupan remaja disana. Sangat jelas bahwa pada masyarakat Parang Tambung, pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dapat dikatakan hampir sebagian besar masyarakat khususnya anak-anak remaja (5-17 Tahun) dapat terpenuhi. Keragaman dan kreatifitas pekerjaan yang mereka lakukan (tukang becak, sopir angkutan umum) tidak memberikan alasan untuk tidak menyekolahkan anaknya. Sehingga pada masyarakat Parang Tambung “x” hampir sebagian besar anak-anak atau remaja mennginjakkan kaki di sekolah sampai pada tingkat sekolah menengah, dan yang terhitung menginjakkan kaki di perguruan tinggi hanyalah beberapa orang dan selebihnya adalah masyarakat pendatang. Mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah (Tepo’ Pulpen) inilah yang sebagian besar bekerja sebagai buruh bangunan dan pemulung (Payabo’). Pekerjaan dan profesi mereka tidak membatasi mereka untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Karakter atas pekerjaan yang mereka jalani inilah yang penulis temukan bahwa dalam pekerjaan mereka ada pekerjaan sampingan yang mereka lakukan yaitu sebagai “Patodong” (perampok penodong). UNIVERSITAS HASANUDDIN 49 B. Situasi Sosial Wilayah “x” Markas Patodong Pada wilayah “x” markas, tata ruang atau letak antara rumah satu dengan yang lainnya masih belum teratur. Kondisi fisik markas mereka sangat sederhana yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan memiliki bagian yang digunakan sebagai tempat bekumpul mereka. Letak dari markas mereka berada di lorong setapak pertama pada wilayah parang tambung “btd x”, rumah ke tiga kanan lorong yang berhimpitan dengan rumah lainnya. Tempat tersebut mereka biasa digunakan untuk berkumpul satu dengan yang lainnya. Meminum minuman keras ataukah mengkonsumsi narkoba mereka lakukan di tempat tersebut. Anehnya, masyarakat setempat tidak terlihat untuk menegur atau memberikan sanksi kepada mereka yang secara terang-terangan meminum-minuman keras. Hal ini terjadi dikarenakan banyak juga masyarakat stempat yang gabung untuk sama-sama “nginung” sehingga hal tersebut tidak dipedulikan oleh masyarakat setempat. Sebagian besar masyarakat “x” adalah pekerja buruh, tukang becak, dan supir angkutan umum. Sehingga, pada pagi hari sangat ramai dan pada malam hari banyak remaja atau muda-mudi yang berkumpul di depan lorong. Namun, dalam keramian tersebut dan gambaran situasinya, keamanan di lokasi “x” masih bisa dikontrol dalam kehidupan masyarakat lokasi “x” setempat. UNIVERSITAS HASANUDDIN 50 BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini, penulis menjelaskan dan menggambarkan sisi kehidupan sang perampok mulai dari kehidupan keluarga mereka sampai pada pola hubungan kerja yang secara tidak langsung memberikan mereka strategi strategi bertahan hidup. Yaitu dengan melakukan ltindak kejahatan penodongan. sehingga pada tulisan ini, penulis menekankan pada gambaran kehidupan dan pandangan mereka tentang dunia kerja, kelompok dan mekanisme kerja, Hubungan kerja (Patodong) dengan penadah (Pattada) dan pembeli, dan sekilas gambaran tentang mereka dan pencuri. A. Kehidupan dan Pandangan Tentang Dunia Kerja. Kehidupan ini dapat tergambarkan jika kita dapat “bertahan hidup” Perkembangan akan semua yang menjadi kebutuhan kita seperti makanan, minuman, pakaian, materi kepuasan seperti rumah, motor, mobil, adalah sesuatu yang diperlukan manusia secara tidak langsung. Keinginan akan pemenuhan kepuasan tersebut merupakan sumber dari seseorang melakukan sesuatu pekerjaan, mulai dari pekerjaan yang dipandang positif sampai pada pekerjaan yang memberikan kerugian bagi orang lain. Keterpaksaan melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan manusia merupakan hasil dari cara berpikir mereka. Baik dan buruk yang mereka UNIVERSITAS HASANUDDIN 51 lakukan adalah hasil dari kesadaran mereka tentang apa yang mereka kerjakan, mulai dari Pekerja Sipil, Karyawan Kantor, Penjaga Toko, Tukang Becak, Tukang Ojek, hingga Pekerja yang mengambil “semua jalan” untuk dapatkan materi pemenuhan hidup mereka seperti menjadi Pencuri dan Perampok (Patodong). Kehidupan kerja dalam pandangan mereka adalah semua pekerjaan sama yang membedakannya hanyalah bidang mereka masing-masing. Sehingga yang menentukan baik kehidupan yang dijalani seseorang adalah dengan melihat pekerjaan apa yang mereka kerjakan. Hal diatas terlihat pada seorang pelaku kejahatan perampok (Patodong) yang memandang kehidupan ini seperti permainan yang selalu saja berubah cara bermainnya, ketentuan tentang nasib dan hak mereka untuk menjadi seseorang yang menginginkan kepuasan atas “materi materi hidup” layaknya orang –orang yang mendiami lingkungan sosial dekat mereka, dengan hal tersebut, lingkungan sosial yang mereka tempati memberikan arti sendiri dalam kehidupan mereka. Seperti yang diungkapkan Informan B (32 Tahun) kepada peneliti : “..saya tauji kalo kerjaka begini salah, tapi beginimi kalo eroki tallasa, mau tonga jadi orang, mautonga itu punya handphone, punyaka motor, mau diapa, beginika dari kecil, orang tuaku tidak ada uangna, tidak skolahka, tidak tamatka SD, mau tonga itu kayak kau, anjari mahasiswa, tapi mau diapa kodong..” (Wawancara Tanggal 12 Desember 2010) UNIVERSITAS HASANUDDIN 52 Kejujuran dan keterpaksaan mereka yang terlihat dari pengakuan informan diatas, menggambarkan mereka akan suatu “penyesalan hidup” mereka atas keterbatasan financial mereka dari kecil, keluarga mereka yang seharusnya jadi panutan akan masa depan mereka malah memberikan kesengsaraan tersendiri. Sehingga yang mereka lakukan adalah bagaimana mencari suatu pekerjaan yang menurut mereka dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Penulis dapat memahami bahwa kehidupan ini tidak terlepas dari “sejarah kehidupan” mereka. Hakekatnya, mereka berasal dari keluarga yang “kurang” dalam hal ini orang tua mereka kurang memiliki financial yang cukup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sehingga efek yang diberikan akan ditanggung oleh mereka sejak kecil hingga menjadikan mereka sosok pekerja yang ingin merubah “ketentuan hidup” yang mereka rasakan sekarang. Keterpurukan akan pendidikan dan kepuasan materi yang tidak terpenuhi sejak kecil membuat mereka “kuat” dalam menjalani kehidupan ini. Seperti yang diungkapkan informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “ dari kecilka dulu tidak dijampangngima sama maceku, nabiarkanja keluar, pergi mayabo’, malluka tonga cucianna orang, sambarang dikerja, mauki minta uang dikasiki panjaguru, anu memang kalo miskinki sengasara orang..” (Wawancara tanggal 14 Desember 2010) Penyataan tentang kerasnya kehidupan mereka seperti yang diungkapkan informan diatas merupakan dasar atas perilaku mereka yang UNIVERSITAS HASANUDDIN 53 berasal dari kehidupan keluarga yang kurang mampu, hal ini dipertegas oleh pernyataan informan B (32 Tahun) kepada peneliti : “ beginimi kalo orang miskinki, tidak punya apa-apa, bapakku dulu kerjanya Cuma pangjama bangunan, kalo dapatmi uang, a’lampai nginung ballo siagangngi aganana, nakke tidak naurusma, nakana mate konaung,.”(Wawancara Tanggal 12 Desember 2010) Tampak bahwa, Kekerasan dalam bentuk psikis dan tidak terpenuhinya kepuasan yang tersalurkan (bahagia) pada masa kecil mereka, membuat mereka secara tidak langsung tertekan dan membuka diri untuk melakukan hal hal yang membuat mereka “bertahan”, sehingga semua pekerjaan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang anak kecil terpaksa dilakukan demi untuk memenuhi kepuasan mereka dan membantu orang tua mereka. Diperjelas kembali oleh informan B (32 Tahun) kepada peneliti : “..dulu itu saya kerja mayabo, tiap harika dapat paling banyak itu lima ratus sampe seribu, banyak skalimi itu kalo dapatki, kalo dapatka seribu, kupakeki beli sambarang, rokok sipappa’, baru kusimpang tongi sedikit karena biasa maceku itu minta tongi uang disaya mau beli sayur ato apa..”(Wawancara Tanggal 12 Desember 2010) Pekerjaan yang dilakukan oleh orang dewasa telah mereka rasakan sejak kecil, kekerasan yang mereka terima secara tidak langsung yang membentuk mereka menjadi seperti sekarang. Kerterbatasan akan financial keluarga yang menutupi dan membatasi mereka mendapatkan segala ssesuatu yang berkaitan dengan masa depan mereka, dan sesuatu UNIVERSITAS HASANUDDIN 54 itu adalah pendidikan. Hakekatnya, manusia berperilaku itu berdasarkan pengetahuan mereka tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam hal ini sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan media pendorong bagi mereka untuk mencegah tindakan buruk seseorang, dan media inilah yang tidak didapatkan oleh mereka. Seperti yang diutarakan informan B (32 Tahun) kepada Penelti : “..kutaumi kalo sekolah orang, pasti berhasilki, saya dulu sekolah tonja, tapi sampe SMP, itupun tidak tammat, mauki apa, tidak ada biaya sekolah yang nakasi dulu, tidak sanggup kodong biayaika, sekarang kalo dapatma banyak uang, kukasi sekolahki anakku, tapi bukang dari uang ini,..”(Wawancara Tanggal 12 Desember 2010) Hal serupa diungkapkan Informan A (34 Tahun) kepada Peneliti : “..memang penting sekali itu sekolah, saya dulu sampe SD, baru tidak lanjutka, karena kurasami toh enak, dapatki uang, sekarang baru kuliat ternyata kalo orang sekolah itu pasti berhasilki, anakku ini kukasi sekolah, mauka kasi sekolah ini sampe SMA kalo bisa sampe kuliah, supaya tidak sama kayak bapakna..”(Wawancara Tanggal 14 Desember 2010) Kesadaran akan pentingnya pendidikan memberikan mereka motivasi untuk merubah “jalur” kehidupan mereka agar tidak merembes pada keturunan mereka kelak. Ketakutan akan profesi sebagai perampok penodong (Patodong) yang mereka kerjakan, membuat mereka sadar bahwa hal ini salah dan harus merubah jalan hidup demi kepentingan dan masa depan anak-anak mereka kelak. Pendidikan adalah sesuatu yang UNIVERSITAS HASANUDDIN 55 dapat memberikan kehormatan tersendiri bagi mereka yang menginginkan pandangan positif dari lingkungan sosial yang mereka tempati. Hal ini tampak pada realitas kehidupan sosial, hubungan-hubungan sosial dengan individu dalam lingkungan sosial mereka dimana bagi mereka, orang yang tidak berpendidikan pastinya tidak selalu untuk didengar dan dihormati yang ada hanyalah pandangan negative yang mereka dapatkan. Hal ini dipertegas oleh Informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “..saya disini dari lahir, besarka disini, tidak pernahka pindah-pindah, ini rumahnyaji orang tuaku saya tempati, baru nuliatmi toh, tidak ada itu orang-orang bapak-bapak yang panggilka biasa kalo ada rapat, padahal kalo mau dibilang sayami itu paling lama tinggal disini, mungkinmi natau kalo saya ini tidak baik atau apa toh, tidak punya sekolah, paling nabilangji apa tong kau, tidak adaji sekolahmu..begitu saja tidak napandangki apalagi kalo natauka jadi Patodong atau Pattada, bagaimana are..”(Wawancara Tanggal 14 Desember 2010) Pengutaraan informan diatas menggambarkan seorang yang pernah melakukan perbuatan yang buruk dan perjalan hidup yang “keras” memberikan arti pandangan tersendiri dlam suatu lingkungan sosial masyarakat, kehidupan mereka dipandang “tak pantas” disebabkan karena factor “kebodohan” dan label “nakal” yang membuat mereka harus menjalani dan merasakan hal tersebut. Mereka (Patodong) menyadari bahwa dalam pandangan masyarakat tentang sesuatu yang tidak baik (nakal atau penjahat), mereka pastinya adalah seseorang yang tidak pantas untuk diberikan kebaikan atau dalam hal ini menjalin hubungan dengan mereka. Namun, tidak UNIVERSITAS HASANUDDIN 56 dipungkiri bahwa dalam lingkungan sosial mereka, keterpaksaan akan pergaulan dengan masyarakat setempat memberi arti tersendiri bagi mereka tentang bagaimana membina hubungan-hubungan sosial dengan masyarakat sekitar dengan menyembunyikan identitas mereka sebagai seorang pelaku kejahatan Patodong. Informan X (26 Tahun) mempertegas kepada peneliti : “..kalo orang disini natauka kerja begini, pasti tidak ada yang mau dekat sama saya, nutaumi kalo jadi perampok orang, pasti najalling birrisi tawwa..mau tidak mau saya tidak boleh kasi lihat kalo saya ini Patodong ini, masa’ mauki bilang liatka nakke Patodong..”(Wawancara Tanggal 22 Desember 2010) Hal ini dipertegas oleh Informan B (32 Tahun) kepada Peneliti : “..hampirka dua belas tahun kerja begini, tapi tidak pernahji ditau kalo saya ini pencopet, palukka, atau parampok, pintarpintarta sembunyi, jangan sampe ditauki, pasti ditangkapki, biarmi kalo natauka nakal, atau nabilangika miskin, yang penting tidak natauja jadi parampok, ecece kalo natau penjarama, nutaumi toh orang disini, capila semua,..” (Wawancara tanggal 18 Desember 2010) Hal diatas menggambarkan tentang bagaimana mereka secara tidak langsung menginginkan kehidupan mereka secara baik atau dalam pengertiannya mereka ingin menjadi makhluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain, saling menghormati, saling memberikan kebaikan dan saling membantu disaat mereka memerlukan. Keinginan untuk memenuhi kategori makhluk sosial inilah yang membuat mereka menyembunyikan identitas mereka, menyembunyikan pekerjaan mereka dari publik UNIVERSITAS HASANUDDIN 57 masyarakat lingkungan sosialnya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari mereka, pandangan masyarakat tetap masih sama yaitu mereka (informan) sebagai sesuatu yang “buruk” dikarenakan status sosial mereka (kehidupan keluarga/orang tua), perjalanan hidup masa kanakkanak terlihat “nakal” hingga remaja yang menjadi frame tersendiri dalam pandangan masyarakat tentang mereka. Sesuai dengan pernyataan informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “..biarki sembunyikan bagaimana kalo kita ini Patodong, tapi memang masyarakat disini kayak taumi kalo kita ini memang nakal, paceku dulu nginungji, maceku tena najampangika, hancurka memang dulu, jadi kalo ada kecurian disini, pasti itu orang yang dicuri mengarah ke sayaji,..”(Wawancara Tanggal 14 Desember 2010) Pernyataan informan diatas, menjelaskan bagaimana Identitas yang mereka miliki sekarang adalah hasil atau sebab dari kehidupan mereka (orang tua) yang kurang mampu, kurang adanya pengawasan, kontrol, dan perhatian sejak kecil, sehingga membentuk mereka menjadi seseorang yang berperilaku keras, dan membentuk jiwa memberontak terhadap aturan-aturan hidup dalam kehidupan sosialnya. Mereka (Patodong) layaknya makhluk bebas yang tidak akan pernah terikat oleh aturan-aturan hidup yang mereka pandang sebagai penghalang bagi mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kehidupan yang keras yang pernah mereka alami membuat mereka termotivasi untuk merubah keadaan tersebut dengan menghadirkan dalam cara pikir mereka untuk mendapatkan sejumlah materi melalui pekerjaan merampok UNIVERSITAS HASANUDDIN 58 (Patodong). Kehidupan yang mereka jalani sekarang merupakan sesuatu yang secara sadar dilakukan. Menjadi seorang perampok adalah hal yang mereka sukai, dan menjalaninya dengan kesadaran dalam diri mereka akan konsekuensi yang akan mereka dapatkan. Melakukan pekerjaan sebagai seorang perampok bukanlah sesuatu hal yang datang tiba-tiba, merasuk dalam otak mereka dan menghasut untuk melakukannya, namun untuk menjadi seorang perampok (Patodong) haruslah berdasarkan pengalaman yang banyak akan tindak kejahatan yang hampir sama, dan dengan ilmu yang mereka dapatkan dari pengalaman mereka tersebut membuat mereka berani dan sadar untuk melakukan pekerjaan tersebut (Patodong). Pengalaman akan dunia kejahatan yang membuat mereka terlena dalam melakukan hal tersebut. Sejak kecil mereka telah merasakan dan melakukan pekerjaan kasar seperti menjadi pemulung yang berprofesi ganda atau dalam bahasa penulis “ sambil yabo’ malukka”. Tidak sedikit anak remaja yang bekerja menjadi pemulung sekaligus menjadi pencuri. Dalam lingkungan sosial tempat tinggal peneliti, banyak anak remaja yang tertangkap oleh aparat hukum akibat mencuri yang berkedok sebagai pemulung. Gambaran realitas inilah yang menjadi awal mereka menjadi sesuatu yang lebih besar nantinya. Jika kita melihat bahwa pengalaman yang akan membentuk kita menjadi seseorang untuk mengetahui sesuatu maka secara tidak langsung itu berlaku dalam kehidupan para perampok (Patodong). Pengalaman UNIVERSITAS HASANUDDIN 59 mereka sejak kecil membuat mereka berani untuk melakukan pekerjaan tersebut dan tidak takut terhadap jeratan aturan hukum yang berlaku. Jelas terlihat dari pernyataan informan B (32 Tahun) terhadap peneliti : “ ..dari kecilka mayabo’, disitumi kalo kulihat ada rumah kosong masukka, lompatka pagarnya, kalo terkunci pintunya, biasa langsung kebelakang rumahnya, kalo kulihat ada pakaian ta’gantung langsungmi kuambil, berapa kalika dulu ditangkap, lepaska lagi, begitu terus, tapi tidak selaluja ditangkap, mulaimi dari situ saya mulai mencuri sampe nulihatmi sekarang toh..”(Wawancara Tanggal 12 Desember 2010) Keberanian yang mereka dapat untuk melakukan hal tersebut terlihat jelas dari pernyataan informan diatas, bahwa sejak kecil mereka telah mengenal dan melakukan tindakan kejahatan tertentu, sehingga dalam pembentukan jiwa dalam diri terbentuk keberanian untuk melakukannya. Hal ini dipertegas oleh informan C (30 Tahun) kepada peneliti : “saya mencuri itu lama sekali, dari kecilka itu sudah mencuri, waktu saya umur 12 tahun itu, jadika pencuri disentral, itu yang biasa kalo orang bilang dicopetka kantongku disileti, begituka dulu, baru pernahka juga jadi sales yang masuk dirumah-rumah bawa kalkulator, jam tangan, baru kalo misalnya mau nabeli itu orang, baru pergi naambil uangnya dikamarnya, disitumi itu kita ambil barang-barang dirumahnya yang bisa dibawa, kayak hp atau laptop..”(Wawancara Tanggal 20 Desember 2010) Informasi data yang peneliti peroleh diatas, memberikan gambaran kuat tentang kehidupan mereka yang memang dari kehidupan kecilnya, telah melakukan berbagai tindak kejahatan dengan berbagai modus. UNIVERSITAS HASANUDDIN 60 Perjalanan hidup yang dijalani memberikan arti tersendiri bagi mereka saat ini. Hakekatnya, seseorang yang telah merasakan dan menjalani “sesuatu” yang terus menurus maka itulah yang menjadikan “dirinya” sesuai dengan tindakannya pada kehidupan yang sekarang dijalani. Pengetahuan berdasarkan pengalaman yang mereka dapat merupakan sumber dari mereka melakukan penodongan (Patodong). Seorang Patodong adalah seseorang yang berani, seseorang yang secara sadar mengetahui tentang apa yang mereka kerjakan dan tidak mempunyai rasa takut dalam menjalankan operasi kerjanya. Kehidupan mereka sarat akan “kekerasan” dalam menjalani kehidupan membuat mereka secara tidak langsung dipandang sebagai sosok yang rendahan dan tidak berguna dalam lingkungan sosial yang ditempati. Pandangan yang tersebut seperti yang telah penulis gambarkan sebelumnya, bahwa pandangan miring tentang mereka (Patodong) tetap selalu ada, walaupun identitas profesinya tidak diketahui lingkungan sosial yang dirinya tempati. Pandangan tersebut lahir akibat kehidupan mereka yang terlihat keras, dan ujungnya mereka juga akan menjadi seseorang yang keras. Apapun yang mereka lakukan baik atau buruknya, tetap pandangan masyarakat sama. Seperti yang dikemukakan oleh Informan D (31 Tahun) kepada Peneliti : “..nutaumi disini, sanging pagosip ngase, biarki bukan saya yang bikin, tetapji sayaji yang ditunjuk, merasa tonja kalo masyarakat begitu karena keluargaku dari dulu memang rusak, pasti mereka bilang bapaknya nakal pasti anaknya UNIVERSITAS HASANUDDIN 61 juga nakal, jadi biarmi jadiji tai toli itu yang mereka bilang..”(Wawancara Tanggal 20 Desember 2010) Hal ini diperkuat dengan pernyataan yang rasional dari Informan E (24 Tahun) kepada Peneliti : “..heranka disini, sundala, masa’ bukan saya ambil, dia ke rumahku ngamuk, sundala tidak mengertika, ndabisaki apaapa, Cuma tauji sannang, kubilangji bukan saya, ngamukka tadi disana, masa dituduh curi itu barang, sundala..tidak kusukaki dikasi begini..iya tunggumi, lihat mami nanti,.”(Wawancara Tanggal 20 Desember 2010) Pandangan negatif yang mereka dapat dalam kehidupan seharihari mereka membuat beban tersendiri dalam dirinya, mereka tak memiliki kekuatan untuk melawan pernyataan tentang tindakan mereka, walaupun hal tersebut secara nyata tidak dilakukan. Keterbatasan pelayanan akan situasi-situasi seperti tergambarkan diatas adalah sangat mereka sadari. Kehidupan akan status sosial dalam masyarakat membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa dikarenakan label “nakal” telah mereka dapat sejak dulu. Namun, hal tersebut tidak memberikan mereka “ledakan” dalam psiskis mereka, mereka malah acuh terhadap pandangan masyarakat terhadap dirinya, dan menjalani kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mereka memandang bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan hal yang dapat memberikan materil untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Seperti yang dikemukan oleh Informan F (24 Tahun) kepada peneliti : “..kerjaka begini karena bisaka dapat banyak uang, kalo berhasilka dapat laptop, hp, bisaka dapat sampe lima ratus UNIVERSITAS HASANUDDIN 62 ribu, paling sedikit itu saya dapat dua ratus lima puluh, terserah mau bilang apa, paling bajiminntu kalo urus diri masing-masing..” (Wawancara Tanggal 22 Desember 2010) Terlihat jelas dalam penuturan informan diatas bahwa Pekerjaan sebagai Patodong merupakan pekerjaan yang menurut mereka dapat memberikan keuntungan besar atau dalam hal ini pendapatan yang besar dalam waktu yang sangat cepat. Secara sederhana, mereka melakukan hal tersebut dengan motif ekonomi untuk melangsungkan hidup, memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan kepuasan materil tertentu dan tak peduli dengan pandangan masyarakat yang negative tentang mereka. Patodong atau menodong adalah sesuatu yang dilakukan dengan cara cepat dan mendapatkan hasil yang banyak, sangat berbeda dengan pekerjaan lainnya. Hal ini diuatarakan dan diperjelas informan C ( 30 Tahun ) kepada peneliti : “..tidak bisaki dapat banyak uang, kalo kayak saya, nutaumi toh, kalo jadika tukang becak, jaiminntu punna gappaka tallumpulo sa’bu (tiga puluh ribu), jadika sopir paling empat puluh ribuji, tapi kalo jadi beginika, ai bisaka dapat lima ratus satu hari, tapi begitu tommi cepat habis..” Tampak bahwa, mendapatkan hasil yang banyak dengan cara cepat (materi) adalah alasan bagi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut (penodongan). Satu sisi, semua yang dilakukan adalah dorongan ekonomi, namun dalam pandangan peneliti bahwa dorongan ekonomi yang secara berlebihan yang diterapkan dalam kehidupan mereka merupakan dasar mereka berperilaku seperti itu. Ini terjelaskan dalam UNIVERSITAS HASANUDDIN 63 ketentuan-ketentuan tertentu tentang pemenuhan kebutuhan manusia secara umum, yaitu makan, minum, dan tempat tinggal. Jika mereka melihat pekerjaan halal (tukang becak, sopir, dan lain-lain) sebagai pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, mengapa masih saja melakukan tindak kejahatan penodongan seperti itu, maka peneliti mengambil jawaban bahwa mereka melakukan pekerjaan tersebut berdasarkan motif ekonomi yang berlebihan. Hal ini diperkuat informan G (25 Tahun) kepada peneliti : “..tidak bisaka hidup kalo jadika tukang becak, baru tidak tentuji juga berapa saya dapat satu hari, umpamana kalo dapatka dua puluh ribu, tidak bisaka beli apa-apa, na uang rokokku saja dua puluh satu hari paling sedikit itu, baru kalo jadika tukang becakka, apaku pake makan..bukanji saya bilang jelek itu jadi tukang becak tapi memang sayaji yang nd mau, bagus itu tukang becak.. ”(Wawancara Tanggal 22 Desember 2010) Dari penjelasan informan diatas, tergambarkan bahwa dalam kehidupan kerja yang mereka jalani, tuntutan ekonomi memang merupakan keinginan dasar bagi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut, tapi apa yang mereka kerjakan bukan hanya persoalan ekonomi tapi lebih mengarah pada keinginan besar untuk mendapatkan hasil yang banyak dan besar dan tidak dipungkiri bahwa apa yang dilakukan merupakan persoalan ekonomi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Satu sisi mereka tidak menyalahkan atau mengatakan hal buruk tentang pekerjaan lainnya (seperti tukang becak, supir, buruh bangunan, dll), namun dalam pengertiannya, keinginan yang kuat dan rasa tidak UNIVERSITAS HASANUDDIN 64 puas akan hasil yang “sedikit” membuat mereka tak dapat menjalankan dan menjadikan pekerjaan itu sebagai profesi kerjanya. Seperti yang diutarakan informan H (22 Tahun ) kepada peneliti : “ begini..bukan saya tidak mau kerja bagunan, ato jadi tukang becak, banyakji panggilanku itu dibelakang jadi sopir, tapi kupikir, anakku dua, istriku, baru saya deh kalo dapatka uang cuma 30 ribu habis memangmi, baru apa kupake untuk istriku beli makanan, tidak anuji juga kalo ada pekerjaan, biasa kuterimaji kalo itu kerja borongan..”(Wawancara Tanggal 26 Desember 2010) Lain halnya informan I (21 Tahun) kepada Peneliti : “..pernahka juga jadi tukang becak, ato kerja bangunan, biasaka juga, karna kalo pergiki ma’nodong bukanji tiap hari, makanya kalo biasa tidak ada didapat, saya biasa jadi buruh bangunan..kita tidak bisa hidup itu kaue..”(Wawancara Tanggal 26 Desember 2010) Selanjutnya Informan J (23 Tahun) kepada peneliti : “..bukanji saya tidak mau jadi tukang, tapi sedikitji didapat,kusaki beginiang karna satu kali latto deh..jai rigappa, tapi kalo jadi tukang berapaji, tidak bisaki hura-hura, baru saya ini kusukaki minum, nae’, sama ubas,.pikirmi kalo kw, begitu maumu, baru kerjanu Cuma jadi tukang..dimana dapa’..”(wawancara tanggal 27 Desember 2010) Melihat dari penuturan mereka, tampak bahwa dalam menjalankan suatu pekerjaan, ada kategori-kategori pemilihan akan suatu kerja yang dilakukan, dalam hal ini, mereka memilih untuk menjadi seperti itu dikarenakan tingkat kepuasan materi yang terbatas. Tanggung jawab akan keluarga, kepuasan pemenuhan diri berdasarkan kepribadian yang memberikan “jalan” bagi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut UNIVERSITAS HASANUDDIN 65 (Patodong). sehingga, yang terjelaskan bahwa dalam kehidupan mereka yang selalu dihantui dengan ketakutan akan kesengsaran hidup, kecemasan dan keprihatinan dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang dianggap sebagai “kunci” dalam membangunan keinginan dan mendorong (motivasi) mereka melakukan tindak kejahatan tersebut. Persoalan tentang pekerjaan mereka yang selalu dipandang “buruk” jika dibenturkan dengan kehidupan sosial masyarakat (telah tergambarkan sebelumnya), namun dalam pengertiannya mereka tetap melakukan hal tersebut, dan bagi beberapa dari mereka memandang bekerja sebagai Patodong merupakan pekerjaan yang memang mereka tekuni dan menjadi pekerjaan utama dalam kehidupan sehari-hari mereka. Seperti yang dijelaskan Informan J ( 26 Tahun ) kepada Peneliti : “..mulai ka dari bergaul, selalu ka sama itu bos, datingdatangja kesana, baru senangka di tempatnya, seringka kesitu, itu hari na ajak ka, tertarikka, takut tonja pertama, tapi lama-lama biasami, jadi sekarang begituji saya kerja, tidak ada lagi yang bisa saya kerja..mau diapa kodong, saya sendiri tidak terlalu tau kerja bangunan, sekolahku juga Cuma sampe SMAji, baru saya ini tidak kusukaki kalo diperintah, tidak tahu kenapa..”(wawancara tanggal 27 Desember 2010) Dari hasil wawancara diatas, dapat dipahami bahwa dalam kehidupan kerja mereka, persoalan tentang kerja sebagai perampok merupakan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan diri mereka untuk melakukan suatu pekerjaan. Pemilihan kerja dalam kehidupan mereka bukan terletak pada alasan ekonomi namun lebih mengarah pada “hasrat” UNIVERSITAS HASANUDDIN 66 keinginan dalam diri mereka yang mengikuti kepribadian diri. Mereka memandang bahwa pekerjaan sebagai Patodong, adalah kemauan diri mereka yang besandar pada alasan akan pekerjaan lain yang dipandang sebagai “budak”. Hal ini dijelaskan oleh Informan K (26 Tahun) kepada informan : “..tidak mauka diperintah, begituka memang, biarki jadi tukang ada tongi bosnya, baru biasa sambarang itu naperintahki kalo jadi tukangki,tidak kutau kenapa mungkin belumpi saya dapat yang bagus kerjana, tapi mauku kalo ada uangku mauka buka usaha, supaya tidak begini-begini terus..”(wawancara tanggal 3 Januari 2011) Terlihat jelas, bahwa dalam kehidupan kerja mereka, benturan kepribadian adalah sumber awal dari mereka melakukan pekerjaan tersebut. Sederhananya, Patodong merupakan pekerjaan yang mereka pandang sesuai dengan jiwa mereka dan mereka mengerti tentang dunia kerja mereka bahwa pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang “buruk” dan merugikan orang lain. Padangan mereka tentang dunia kerja yang mereka jalani adalah bentuk kesadaran mereka bahwa melakukan pekerjaan tersebut adalah salah. Kesalahan yang mereka lakukan merupakan gambaran tentang kehidupan dunia kerja yang dijalani oleh orang-orang yang dipandang “layak” untuk dikerjakan. Kehidupan manusia dalam hal pekerjaan terbagi dalam dua kategori yaitu kategori pekerjaan yang baik dan kategori pekerjaan yang buruk. Kategori pekerjaan yang dijalani oleh mereka adalah pekerjaan buruk yang senantiasa memberikan mereka gambaran tentang kesadaran UNIVERSITAS HASANUDDIN 67 dalam menjalani hidup yang penuh dengan “kesengsaraan” dan ketidakmampuan mereka untuk menutupi kebutuhan hidup mereka yang “lebih”. Persoalan ini bukan berarti bahwa mereka tidak menerima apa yang sudah menjadi ketentuan dalam hidupnya menjadi seorang perampok Patodong. Sehubungan dengan hal diatas, Informan A (34 Tahun) mengutarakan kepada peneliti : “..semua pekerjaan yang dilakukan orang itu Cuma dua, yang satu pekerjaan baik, dan yang satu pekerjaan yang salah, tergantung dari mana kita mau pilih, semua samasama mencari uang dan mau hidup, samaji juga toh dengan pegawai negeri, kerjaki juga, tapi bedanya dia terima tiap bulan, nassami uangna kalo kita keluarki cari, baikji kalo dapat tiap kali kita keluar, tidak tentuki..”(Wawancara tanggal 7 Januari 2011) Apa yang diutarakan oleh informan diatas adalah bagaimana manusia digambarkan sebagai makhluk yang berpotensi untuk membangun “dunianya” sendiri dengan melakukan suatu tindakan dalam menjalankan kehidupannya. Memilah dengan dua kategori pilihan pekerjaan yang membangun mereka menjadi makhluk yang ingin tetap melangsungkan hidup, walau yang mereka pilih adalah pekerjaan yang buruk atau salah. Pandangan mereka terhadap pekerjaan selain apa yang mereka tekuni adalah memiliki persamaan yang memiliki konteks dan ruang. Jika pekerja seperti Pegawai Negeri Siipil (PNS), Karyawan Perusahaan dan sebagainya bekerja dalam konteks dan ruang, maka sebagai Perampok Patodong merekapun memiliki konteks dan ruang tersendiri dalam menjalankan aktifitas sesuai pekerjaan mereka. UNIVERSITAS HASANUDDIN 68 Hal ini senada yang diutarakan oleh informan D (31 Tahun) kepada Peneliti : “..tidak bedaji juga kalo jadiki penjahat sama kerja jadi pegawai, tukang becak, atau sopir, dapat semuaji uang, tapi tergantung berapa dia dapat, kalo pegawai kan nassami, tukang becakji, sopir tidak jauh bedaji juga, saya ini samaji dengan itu kerja-kerja lain, mauja hidup, dapat uang, tidak beda toh, bedanya Cuma yang kerja begitu baiki, tapi kalo yang saya kerja ini jelek,..”(Wawancara tanggal 5 Januari 2011) Hal serupa juga dikatakan oleh Informan B (32 Tahun) kepada Peneliti : “..kita tauji, kalo kerja begini nda’ baik, kita sadarji, kalo kita kerja begini pasti dapatki balasan, tapi kalo mau dipikir samaji semua pekerjaan, mauji dapat uang dan hidup, kita ini tidak pernah dipaksa mau kerja begini, dari kita tonji itu semua pilih kerja beginiang,.”(Wawancara Tanggal 7 Januari 2011) Pandangan tentang dunia kerja yang mereka pahami diatas, menggambarkan tentang kesamaan semua yang dilakukan manusia (pekerjaan) memiliki tujuan yang sama yaitu memenuhi kebutuhan hidup, perbedaannya hanyalah terletak pada nilai dalam pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang bernilai “baik” dan bernilai “buruk” memiliki kuantitas yang sama yaitu untuk memenuhi kepuasan seseorang dalam pemenuhan materi. Mereka sadar bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan pekerjaan yang membuatnya untuk tetap menjadi manusia yang memiliki daya tahan dalam kehidupan ini. UNIVERSITAS HASANUDDIN 69 Manusia merupakan makhluk yang memiliki keterbatasan emotional, keterbatasan perilaku dalam bertindak, dan keterbatasan untuk berpikir untuk mengetahui sesuatu, dan hakekatnya, semua manusia memiliki semua keterbatasan tersebut. Hal tersebut tergambarkan pada semua manusia, disaat melakukan sesuatu pastinya ada semua keterbatasan tertentu dalam pekerjaan yang dia jalani, hal ini juga terdapat pada perampok penodongan (Patodong), mereka terbatas pada emotional mereka dan cara berpikir mereka tentang pekerjaan yang mereka jalani. Hidup mereka tak lepas dari “beban” yang selalu datang, baik secara materi maupun secara psikis. Beban psikis inilah yang menghadirkan kesadaran bagi mereka untuk merubah profesi mereka, merubah cara bepikir mereka, dan merubah perilaku mereka sendiri yang bersandar pada apa yang penting dalam hidup mereka yaitu keluarga. Seperti yang diutarakan Informan B (32 Tahun) kepada Peneliti : “..banyak sekalimi dosaku ini, kurampas miliknya orang, keras memang hidup, baru saya mau tidak mau harus kerja begini karna apa mau kuandalkan, sekolahku tidak ada, mauka mendaftar sekarang kerja tidak ada mau terima, semua mau paling sedikitmi itu tamma’ SMA, sadarka juga kalo keluargaku ini harus dikasi makan uang bae’, bukan kayak begini, biasa itu kalo saya piker apa yang saya bikin, menangiska, mauka kurasa mati, tidak bisaka begini terus, kalo adami anakku masa’ saya mau kasi makan uang kotor,.sayami mungkin orang tua yang tidak tau diri kalo ada anakku kasi uang dari uang dicuri,..”(Wawancara Tanggal 7 Januari 2011) UNIVERSITAS HASANUDDIN 70 Serupa dengan itu informan A (34 Tahun) mengutarakan kepada peneliti : “..menangis tonja kalo mau kupikir dulu-dulu, tidak ada memang rasa kasihanku sama orang dulu, tidak kutauki kalo tua beginiki baru dapatki kayak begini, biasa itu ada yang bisik-bisik bilang tobat moko, biasaka mimpi itu orang yang saya rampok, sumpah tidak enak skali kerja beginian, anakku sekarang duami, baru biasa ku kasiki itu uang sama anakku, tapi kalo tenami jalanna baru kukasiki, biasa juga uang yang saya kasi itu uang kerjaku jadi tukang, tapi sadarja iya baru terlanjurmi ini, mudah-mudahan dapatka jalan untuk berhenti dari kerja begituang..”(Wawancara Tanggal 7 Januari 2011) Pandangan tentang dunia kerja mereka yang berujung pada kesadaran mereka untuk menghentikan apa yang mereka kerjakan, merupakan sesuatu desakan tersendiri dalam diri mereka untuk berhenti dan melanjutkan hidup yang sesuai dengan apa yang dijalani oleh manusia lainnya. Keterpurukan kehidupan kecil mereka atas apa yang dimiliki orang tua mereka, tidak adanya pengawasan dan control dari orang tua, “kekerasan” hidup yang telah mereka dapat sejak kecil dan tidak terpenuhinya kebutuhan akan kepuasan tertentu yang membawa mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut. Melakukan pekerjaan sebagai perampok penodong (Patodong) bukanlah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian dari mereka. Namun, bagi mereka bekerja menjadi seorang perampok penodong (Patodong) menurut mereka merupakan pekerjaan yang sangat membantu mereka memenuhi hasrat pemenuhan kebutuhan hidup yang “berlebihan”, UNIVERSITAS HASANUDDIN 71 keterpaksaan akan pekerjaan tersebut mereka sadari dengan ketidakmampuan mereka bersaing dalam dunia kerja lainnya, sehingga yang hadir adalah pandangan mereka tentang apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan dunia kerja lainnya yang memiliki subtansi yang sama yaitu mencari nafkah hidup dalam melangsungkan kehidupan. Namun, dalam pekerjaan mereka ada gambaran kesadaran yang terjelaskan, mereka tak memunafikan akan kesalahan yang mereka lakukan, bagi mereka hanya waktu yang dapat menjawab permasalahan dan memberikan mereka jalan untuk merubah mereka dan menjalani hidup ini dengan normal tanpa beban hidup penyesalan. B. Kelompok Patodong dan Perekrutan Anggota (Patodong). “..temanku banyak, anggotaku ada delapan orang, mulaika itu dua tahun lalu, baru semua kerja, saling menjagaji semua, baku percaya, susah senang sama-sama, kalo ada barang bersyukur, kalo tidak ya selamat tinggal,..hahahaha” (Wawancara tanggal 10 Januari 2011) Diatas merupakan penjelasan Informan D (31 Tahun) yang menggambarkan sekilas tentang kelompok mereka, dimana didalamnya terdapat saling percaya, saling membantu, dan memiliki perasaan dalam ruang dan waktu yang sama. Beberapa hal yang pasti bahwa dalam suatu masyarakat, ada halhal yang berkaitan dengan kelompok dalam suatu masyarakat. Apakah itu dikatakan sebagai kelompok wilayah suatu tempat, atau kelompok individu-individu yang memiliki status yang sama dalam suatu UNIVERSITAS HASANUDDIN 72 masyarakat, semuanya dikatakan sebagai suatu kelompok, dan hal ini terdapat pada “wilayah” profesi para perampok penodongan (Patodong). Dalam tulisan ini, peneliti melihat bahwa kelompok perampok penodongan (Patodong) terbentuk dari perasaan, pengalaman, dan kepentingan yang sama yang dimiliki oleh para anggotanya, kesemuanya inilah yang membentuk mereka menjadi sebuah kelompok kecil yang tidak tersturuktur “tetap” dalam artian mereka tidak dipaksa untuk mengikuti “aturan struktur” yang terdapat didalamnya. Batasan tentang “aturan struktur” adalah anggota kelompok tidak sepatutnya untuk mengikuti aturan-aturan yang terkait dengan jalannya aktifitas kelompok tersebut. Seperti yang diutarakan informan D (31 Tahun) kepada Peneliti : “..mulaika juga dari bawah, nda langsungka begini, terusterus, dapatka uang, merasama bisami sendiri, panggilma teman-temanku yang dekat, terus begitu, mulaimi datang ta’ satu-satu, jadimi..”(Wawancara tanggal 10 Januari 2011) Penjelasan informan diatas menggambarkan tentang tidak adanya aturan baku dalam kelompok mereka untuk tetap berada dalam suatu kelompok, mereka dapat melepaskan diri dan membentuk kelompok baru. Pembentukan kelompok ini hanya bersandar pada ketertarikan seseorang untuk menjalani pekerjaan tersebut yang memiliki criteria tertentu dan sadar akan konsekuensi yang nanti mereka terima. Kelompok mereka terlihat seperti kelompok yang dibentuk secara tidak sengaja, dan tidak memiliki alasan tertentu untuk membentuk suatu kelompok kerja. UNIVERSITAS HASANUDDIN 73 Kelompok kerja mereka terbentuk atas dasar perasaan dan kepentingan yang sama diantara sesama anggota kelompok tersebut. Kepentingan anggota kelompok disini diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan mereka yang “lebih”, dan didalamnya memiliki struktur jabatan yaitu pemimpin dan anggota kelompok. Kelompok kerja yang dibentuk oleh para perampok penodongan (Patodong) memiliki seorang pemimpin yang mengatur dan memberikan instruksi tentang operasi yang nanti dan sedang dilakukan. Ketentuan “struktur jabatan” yang didapatkan oleh seseorang untuk menjadi seorang pemimpin dinilai dari keberanian dan seseorang yang menjadi “awal” (melakukan operasi perampokan penodongan) sehingga kelompok tersebut ada. Seperti yang diutarakan oleh informan D (31 Tahun) kepada peneliti : “..dulu itu, pertama waktu saya lepas, pergika operasi itu sama C, berduaja dulu, tidak dapatka selalu kalo keluarka, paling bawaja HP, baru bukan menodong, tapi jambret nutaumi kalo sedikitki, lama begitu, ada temanku juga X sama temannya, dia dari Kalimantan, ikut tongi sama saya dulu, lamaki juga disini dia, dia di Kalimantan itu memang begitu anunya, dia penodong mobil kanvas, disitumi baku dapa’ma, sama-sama pergi keluar cari mangsa, pernah satu kali itu dalam satu malam itu saya dapat dua laptop sama satu hp, disitumi itu paling banyak saya dapat, hah, datangmi anak-anaka yang biasa sama-sama minum, naliatka banyak uang, kukasi taumi..ikutmi sama saya, tapi banyak tongi yang keluar, sekarang itu kalo saya bilang janganko dulu operasi, tidak pergiki itu semua, bilangpa pergi baru semua pergi cari,..”(Wawancara Tanggal 10 Januari 2011) UNIVERSITAS HASANUDDIN 74 Tergambarkan jelas apa yang dikatakan informan diatas tentang pembentukan kelompok mereka. Sederhananya, Kelompok tersebut terbentuk dari minat, keinginan dan doktrin ‘pelaku awal” terhadap seseorang sehingga seseorang tersebut ikut dan terlibat didalamnya. Penempatan untuk menjadi seorang pemimpin kelompok adalah “pelaku awal” dimana pemimpin tersebut sebagai seseorang yang membentuk kelompok perampok penodongan (Patodong). Ketertarikan dan niat yang sama dalam pekerjaan merupakan “pemersatu” mereka untuk terlibat dan menjadi seorang perampok Patodong. Pemimpin mereka tidak pernah mengajak secara paksa seseorang untuk bergabung dalam kelompok tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Informan D (31 Tahun) kepada peneliti : “..tidak pernahka paksa bos, yang mau ikut sama saya, tidak pernahka juga marah kalo mau berhenti dari saya, terserah, yang jelas saya kasi tauji kalo beginiang ini harus sadarki, kalo ditangkap ato apa itu urusanmu nah, ka natauji semua kalo ini salah, tapi begitumi ikutji juga sama saya, masa’ saya mau bilang pulang moko, masih anakanakko,..”(Wawancara Tanggal 10 Januari 2011) Selanjutnya diutarakan oleh informan I (21 Tahun) kepada peneliti : “..mauja sendiri gabung, tidak ada yang paksaka, kalo mauka dapat uang, beginimi ini, kan kerjaku jadi tukang tidak selalu, adapi panggilan kerja, kalo nganggurka dirumah, pergika kesini, nginung, aturmi apa-apaia, begini, mauka ikut itu dari sayaji, tidak pernah tawwa D paksaka, tidak tawaa, sayaji..saya dulu kenalki D itu, karna dia suka lewat dekat rumahku, ketemu sama anak-anak dekat rumah, baku sapaka dulu itu waktu maen bola sewa di lapangan Y, disitu mulai kenal, tapi disitu belumpi saya tahu kalo dia kerja beginiang, selaluka na ajak ke tempatnya minum ballo, ikut tomma, banyak memang uangna, tapi tidak pernahka UNIVERSITAS HASANUDDIN 75 liat dia kerja, heran-heranka, hah itu hari, perlu skalika uang, tidak tahu apa mau kubeli itu, kulupai, pergima minta tolongma sama dia, sampema ditempatna di situ, kuliiatki laptop sama hp tiga, disitu tidak ada dia, jadi kuliat-liatmi itu hp satu, mau ku kasi nyala, tidak ada kartuna, curigama disitu kalo ini hp nalukka, datangmi ke saya, na tegurka, tapi belumpi kutanya, minta tolongma pinjam uangna lima puluh, nabilang tungguma disini, nabawa itu laptop sama hp, sebentar datangi kasi saya lima puluh, sudah itu, lama-lama begitu, na ajakka minum, disitumi saya tanya, dia bilangmi kalo itu laptop sama hp dari ma’nodong, pas kutau begitu, bilangma sama dia kasi ikutka juga, mau tonga itu kayak kau, punya banyak uang, baru memang kutauki kalo di te’, pasrah, ka memang saya salah,..”(Wawancara Tanggal 11 Januari 2011) Pengalaman yang diceritakan oleh informan diatas memperjelas tentang pembentukan kelompok mereka, jelas bahwa bukanlah suatu paksaan atau ancaman dari seseorang yang dianggap “kuat” sehingga seseorang yang tergabung dalam kelompok tersebut ikut terlibat dalam setiap operasi kejahatan yang dilakukan, namun berasal dari kemauan diri-individu keterlibatan mereka masing-masing yang memang mengetahui konsekuensi resiko yang akan mereka terima nantinya disaat mereka melakukan operasi perampokan, sehingga dalam kelompok mereka, sangat ditanamkan kepercayaan (trust) didalam kelompok mereka. Kepercayaan merupakan modal dasar bagi mereka para perampok penodong (Patodong) untuk membangun sebuah kelompok, satu kelompok yang lebih mengutamakan loyalitas, kejujuran dan rasa saling percaya bagi semua anggota kelompok didalamnya.Jelasnya, persoalan mengenai kepercayaan merupakan hal yang susah didapatkan UNIVERSITAS HASANUDDIN 76 dalam suatu kelompok, dikarenakan dalam “kepercayaan” terdapat loyalitas dan kesetiaan. Kelompok perampok penodong (Patodong) merupakan kelompok yang secara nyata menjalankan kegiatan yang merugikan orang lain (criminal) dan melanggar hukum. Sehingga, dalam kelompok mereka saling percaya dan konsisten terhadap konsekuensi jika mereka dapatkan sangat ditekankan. Seperti yang diutarakan oleh informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “..bukanji saya tidak percaya orang, saya itu pilih-pilih juga anggota yang bisa diajak, tidak langsungka pilih, makanya kalo saya bergaul, lama memang sama orang, nda bisaka cepat pilih anggota, kita tidak tau kalo yang kita temani nanti itu intel, mauki apa bede’..dulu itu, ada anggotaku ditangkap, didapatki karena nakira tidak adami yang kejarki, berhasil memang nadapat itu barang, tapi pas mau belok, dite’, ditarik itu kayak anjing daari motor, jatuh itu anggotaku, ai bonnyo’ki ditempat, hah itu hari tidak anuka memang, saya dirumahji sama anak-anak, senang-senang, geto’ apa, minum, besokpi itu baru saya dengar kalo kemarin malam dia di sel, itu hari dumba’ma ini, sundala gappa dia kasi tau semua disini, ka itu orang baru memang sama saya, ku ambil semua barang-barangku, dari rumah, pergika ke mamuju sembunyi, dua mingguka disana, ku kasi tau semuaji kalo nanti ada polisi datang, kubilang sama anakanak kalo kau nda tau, dumba’ skalika, lama bgitu saya di mamuju, kutelponmi ke anak-anak, tidak adaji bede’ polisi yang datang carika, ternyata dia tidak capilaji tawwa, memang kita harus begitu, edede, orang baru saya kenal ini ditangkap, sundala, nassami tidak terlalu saya percaya, cobana sama itu C, stangngana nayawaku di dia, ka dari duluji saya baku jaga memang..”(Wawancara Tanggal 13 Januari 2011) UNIVERSITAS HASANUDDIN 77 Pengalaman yang pernah dijalani informan diatas terlihat bahwa kepercayaan dan loyalitas dalam berkelompok sangat dijunjung tinggi demi mencapai tujuan dan kepentingan yang sama. Kepercayaan yang diperoleh dan memperoleh bukan senantiasa didapat dari sekedar pergaulan dalam lingkungan tersebut, tapi lahir dari pengalaman hidup yang begitu lama diantara sesama perampok penodong (anggota kelompok) yang saling “membawa” satu sama lain. Sehingga, rasa kepercayaan dalam kelompok tersebut sangat susah untuk diperoleh bagi anggota kelompok tersebut. Membangun kepercayaan diatara anggota kelompok Patodong memerlukan waktu yang lama untuk menghadirkan keterikatan emosional yang kuat diantara sesama mereka (Patodong). Menurut mereka, jika telah ada kepercayaan dalam diri masing-masing anggota kelompok, maka ketakutan akan aturan hukum tidak menjadi alasan bagi mereka untuk membangun dan menjalankan kelompok mereka dengan baik. Masalah tentang kepercayaan ini diutarakan oleh informan B (32 Tahun) kepada peneliti : “..saya kalo mau lihat teman itu, harus slalu memang bisa untuk sama-sama susah, bukan langsung tarikji orang, atau sering-sering minum sama-sama baru itumi yang bisa dikasi jadi partner, tidak begitu, banyakmi saya ambil orang itu kalo mau jadi anggotaku, percayaka dulu baru bisa kutemani pergi, kayak itu temanku X, dia rela maati untuk saya, itu baru dibilang agang kama-kamanne, susah cari teman yang mau memang sama-sama susah, temanku dulu itu memang dekat rumah iya, tapi dulu dia pergi ke Kalimantan kerja, pas dia pulang baku dapatma lagi, dari dulu memang saya dan UNIVERSITAS HASANUDDIN 78 dia baku bawa, dulu itu, ada tawuran saya masih ingat itu, dikepung dulu kompleks sini, tidak ada yang berani keluar, sanging busurji terbang-terbang, didengarmi lappo-lappo seng, tidak ditauki siapa yang busur, jadi keluarma ini bawa badi’ dan itu temanku, pergika cariki, anu memangnga pakeka tiga baju kulapis-lapis sama jeans, supaya susahki tembus, dia santaiji, tidak pake apa-apa, tapi ka’bala mungkin, samaka dia pergi cari itu orang, sambil lari, gilaka memang dulu, ternyata ada lima orang memang yang ada di depan lorong, sundala kuburu badik itu semua, sudah itu jam dua malam, siaga semua disini, baku dapatmi di depan al-Abrar situ, itu kuingat sekali itu waktu mau di tobo’ itu temanku, kuhantam duluanki itu orang, perutnajji yang kudapat, napegang mami itu kodong perutna lari sama teman-temannya, ka adaki polisi datang,jadi lari tommaki sembunyi di dalam di Daeng Tata, pas lama-lamami, nabilangmi temanku, tarima kasih polong, tidak kulupai ini..” begitumi dulu sampe sekarang saya sama dia baku bawa, X itu kalo ditangkap tidak takutja, karena saya percayaji sama dia, kalo dia tidak calepa bibirna, orang-orang beginipi memang yang bisa dibawa “arisan”, biar susahki samasamaji juga merasakan, diami itu yang paling saya percaya..”(Wawancara Tanggal 13 Januari 2011) Keprcayaan dalam kelompok memang sangat diperlukan dalam kelompok mereka, ketentuan ini tergambarkan dalam realitas yang terjadi dalam keseharian hidup mereka dan penglaman hidup para pelaku kejahatan perampokan (Patodong). Pengalaman hidup akan pergaulan dalam lingkungan sosial mereka yang memberikan mereka gambaran tentang “teman kerja” yang cocok dan dapat dijadikan sebagai partner dalam melakukan operasi tersebut. Keterikatan secara emosional yang mereka bangun memang berdasarkan pengalaman hidupnya yang secara jelas terlihat akan konsekuensi pertemanan diantara mereka. Hubungan UNIVERSITAS HASANUDDIN 79 sosial yang mereka jalin dalam kelompok mereka memberikan arti tersendiri dalam keberhasilan akan kelompok yang mereka jalankan. Lahirnya kepercayaan dalam diri mereka harusnya berdasarkan perjalanan hidup atas hubungan sosial yang mereka jalin sejak lama, dan bukan berdasarkan keterikatan “profesi” atau “label nakal” dalam hidup mereka masing-masing sehingga mereka dapat semaunya saja masuk dalam kelompok kerja tersebut. Pemilihan anggota dan perekrutan dalam kelompok perampok penodongan (Patodong) dilakukan dengan cara yang tidak secara langsung di rekrut di tempat atau markas mereka, namun perekrutan anggota dilakukan dengan cara kedekatan emosional yang membangun kepercayaan dalam diri mereka berdasarkan hubungan yang mereka bangun sejak lama sehingga dalam menjalankan operasi profesi dapat dijalankan dengan lancar. Pada sub bab ini penulis melihat bahwa kepercayaan dan kedekatan emosional mereka adalah point penting dalam menjalankan operasi dan stabilitas kelompok mereka, namun dalam perekrutan anggota kelompok dapat terjadi juga berdasarkan hubungan sosial yang membuat mereka terjaring dan menjadi anggota dalam kelompok kejahatan tersebut (Patodong), dalam artian bahwa perekrutan anggota dapat terjadi jika ada hubungan sosial (saudara, kerabat, atau teman pergaulan dalam lingkungan sosial). Tidak dipungkiri bahwa dalam suatu kelompok kejahatan tertentu, kepercayaan merupakan modal terpenting dalam menjalankan kelompok tersebut, namun pada bagian perekrutan UNIVERSITAS HASANUDDIN 80 keterbatasan akan “kepercayaan” tersebut dilunturkan dengan melihat adanya hubungan sosial diantara mereka. Hubungan yang terdapat dalam kelompok mereka bisa dilihat dalam lingkungan sosial mereka. Karakteristik dan syarat menjadi anggota kelompok dalam kehidupan kelompok mereka adalah dengan memperlihatkan tanggung jawab berdasarkan kepercayaan dan bentuk dari kedekatan hubungan sosial (keluarga dekat, saudara dan teman). Menjadi seorang yang tergabung dalam kelompok penjahat harusnya memiliki karakter “kuat”, dalam konteks ini, informan C (30 Tahun) menjelaskan : “..kalo mau jadi anggotaku, dia itu harus kuat, tahan banting, sama rewa, jangan Cuma badan besar baru tena tajina, makanya kalo ada temanku itu yang mau ikut gabung sama saya, dia harus tahu memang kalo dia itu berani, baru bisa diborongi, tahan pukulki kalo ditangkap, baru berani bertarung memang, kalo begitu dia, baru kita lihat bagaimana dia bisa dipercaya atau tidak, dulu saya juga begitu, mulaika memang dari kasi rewa diri, baru masukka beginiang, tidak anuka memang, saya dulu dicoba, mulaika dulu di sentral ma’copet, lama-lama jadika kayak santai kerja beginiang, baru bisa memang jadi kerja sehari-hari kalo ma’copet, ya kalo beginimi dia kayak saya dulu yang memang dari dulu katala lima, baru bisa saya ambil jadi calon anggota, kalo kuliatmi bisa di kasi jadi anggota saya cobami, berteman sama dia, kalo bagusji anunya sifatna, baru kukasi ikutki, baru sama-sama pergi cari mangsa, itu kalo dia memang begitu, biarki ditangkap nda takut-takut tonjaki, ka diatumi toh bagaimana dia, makanya kalo saya mau ambil orang itu kuliat-liat dulu, bisa tidak kuajak, jangan sampe natobo’ riboko jaki..sekarang itu tidak bisaki cepat percaya orang, banyak sekali intel yang menyamar jadi preman, bergabung sama orang-orag kayak saya, tapi bukanka orang bodoh, ada itu kejadian, dia kenal sama itu orang, padahal orang itu polisi, itu teman tidak natauki UNIVERSITAS HASANUDDIN 81 memang, dia bodoh, borro memang jadi begitumi, ditangkap dikasi jatuh baru itu mukana kamma tong jangang ripeppe, makanya bahaya sekarang kalo mauki ajak-ajak orang sembarang,..”(Wawancara tanggal 15 Januari 2011) Tampak bahwa, dalam perekrutan anggota yang dilakukan oleh pemimpin mereka (ketua kelompok), bukan sesuatu yang dapat dikatakan mudah, karena dalam gambaran yang terjelaskan diatas, bahwa proses dalam merekrut anggota memiliki beberapa proses yang dimulai dari “label nakal” dari pengalaman hidup mereka, dan pola pergaulan dalam lingkungan sosial kelompok. Penilaian terhadap seseorang yang ingin dijadikan sebagai anggota dimulai dari sifat berani yang dimiliki oleh seseorang tersebut, siap untuk menerima resiko atau konsekuensi, dan loyal terhadap anggota-anggota lainnya. Namun, penulis lebih melihat pada perekrutan yang dilihat dari hubungan keluarga yang dimiliki. Perampok penodong (Patodong) dalam hal ini ketua kelompok, lebih memilih anggota berdasarkan hubungan sosial yang dekat dengan perampok penodong lainnya. Dasar hubungan sosial yang dekat inilah yang menjadi awal bagi mereka menumbuhkan rasa kepercayaan yang kuat. Hakekatnya, seorang saudara tidak akan memberikan suatu musibah terhadap saudara dekatnya yang bersama-sama mengalami nasib yang sama. Ketentuan ini terjelaskan dan tergambarkan oleh informan F (24 Tahun) kepada peneliti : “..saya ini dengan itu D satu kampungka, dia kakakku, karena paceku sama pacena itu baku sepupu, jadi kalo mau dibilang saya ini saudarana itu D, dari dulu memang saya UNIVERSITAS HASANUDDIN 82 main bola sama-sama, kalo pulangmi mayabo’ itu pergi maki main bola sore-sore, kudapatki itu waktu D mappasimbungi di lorong dua, rewa memang dari dulu, takut skalika itu sama dia, tapi sekarang tidakmi, cobami..pas itu hari dudukka di dekker malam-malam napanggilma disitu, ikut tonga, kucoba tongi injo naung iyya, dapat satu HP ji iya, tidak ada laptop itu hari didapat, nutaumi dapatki begitu paling nginung jaki, sudah itu na ajak terusma keluar..”(Wawancara tanggal 17 Januari 2011) Selanjutnya Informan I (21 Tahun) mengatakan kepada peneliti : “..saya nda bersaudaraji sama dia D, tapi hubunganku sama dia kayak ade’ dengan kakak, sama jaki susah, baru dia itu baek sekali, kuhormati skali itu, kalo nabilang jangko, tidak anuka itu, tapi kalo bilang atau we kesniko dulu, ato ada masalahnya, saya mungkin yang duluan mati, ka baek skali itu, karena bae’na itu dan dekatka memang juga sama dia, nakasi ikutka biasa kalo mau pergi keluar, baru itu napercaya sekalika nda tau kenapa, mungkin karena saya juga baek sama dia, jadi napercaya sekalika..”(Wawancara Tanggal 17 Januari 2011) Tampak bahwa, untuk merekrut anggota kelompok, seorang ketua harus memang memiliki dua kategori yang menjadi dasar pemilihan, yaitu berdasarkan hubungan sosial (seperti keluarga, saudara dan teman) dan berdasarkan loyalitas kepatuhan, kebaikan mereka secara timbal balik terhadap sesama anggota, dan anggota terhadap pemimpin kelompok. Hal tersebut yang memberikan rasa saling percaya terhadap sesama anggota kelompok tersebut sehingga dalam menjalankan operasi atau kegiatannya mereka tak perlu lagi untuk takut terhadap konsekuensi yang secara sadar mereka akan terima, dan dalam menjalankan operasional akan keanggotan mereka, seseorang tak harus terikat, anggota dapat UNIVERSITAS HASANUDDIN 83 keluar dari kelompok tersebut kapan saja sesuai dengan keinginan mereka. Secara sederhana, perekrutan ini dilakukan tanpa ada paksaan dari anggota maupun ketua kelompok perampok penodong (Patodong). C. Pola Hubungan Kerja Perampok Penodong (Patodong), Penadah, dan Pembeli Berbicara tentang suatu pekerjaan, maka tidak lepas dari hubungan status peran dalam struktur kerja tesebut. Bagian-bagian dari struktur tersebut memiliki peran khusus sesuai dengan apa yang mereka kuasai (skill) dan pengetahuan tentang itu. Hal ini juga terdapat dalam kelompok perampok penodongan (Patodong) dengan mekanisme kerja dan hubungan kerja antara mereka, penadah, dan Pembeli. Pada subbab ini, peneliti akan menggambarkan tentang mekanisme kerja yang dilakukan oleh perampok penodong (Patodong) hingga pada jaringan penjualan barang hasil rampokan kepada penadah dan pembeli langsung. C.1 Mekanisme kerja Para Perampok Penodong (Patodong). Pekerjaan yang dilakukan oleh perampok Penodong (Patodong) memiliki dua cara, yaitu mereka bekerja secara bersama (berkelompok) dan mereka bekerja secara “tidak sengaja”. Mereka bekerja bersama (berkelompok) adalah mereka melakukan operasi biasanya berjumlah enam sampai delapan orang dan dalam cara ini terdapat dua bagian yaitu bekerja bersama dengan “perencanaan” dan “operasi kerja tidak sengaja”, UNIVERSITAS HASANUDDIN 84 sedangkan bekerja secara “tidak terencana” adalah operasi dilakukan sendiri atau dua orang yang melihat kesempatan untuk melakukan perampokan penodongan. Hal ini terlihat oleh penjelasan informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “..tidak selaluji pergiki banyak orang, karena anak-anak sering banyak yang tidak ada, tapi kalo pergiki banyak orang, pasti banyak tongki di dapat, karena biar diatas becak, kita rampokji, itu punna pepa’ki, jadi enak memang kalo banyakki, berapa kalimi anak-anak keluar sama-sama semua, ada yang jaga disini, ada yang jaga disitu, kalo adami na liat bisa kita mabil, langsung baku kontakmi, bilang tungguki disana, nantipi saya ikuti dari belakang, karena kita harus siaga memang, saya dibelakang itu untuk awasiji kalo ada orang atau polisi, kalo aman, baaru saya telpon temanku untuk tarai di depan, baru itu beraksimi..”(wawancara tanggal 20 Januari 2011) Cara yang mereka lakukan yang tergambarkan diatas yaitu dengan cara yang ideal, dimana mereka melakukan ini dengan cara mengatur posisi mengawasi dan posisi eksekusi. Informan A (34 Tahun) menambahkan : “..sebelum pergiki memang kalo banyakki, disusunmi kau yang didepan , kau di jalan tunggu, sayapa yang dibelakang, begitu kalo mau paki berangkat, yang didepan dua orang, ada yang memang sudah duduk-duduk di jalan dua orang, baru saya sama anggotaku dibelakang ikuti itu orang, kuikuti pas sampe di anggotaku itu yang dijalan, naikutika, jadi saya sama anggotaku, empat orang toh ikuti orang, pas amanmi diliat, baru itu teman na palangngi motorna,.sudah itu ambilmi tasna, kalo melawanki, kita tobo’ saja, tapi belumpi ada iya yang saya tobo’ atau anggotaku yang begitu…”(Wawancara Tanggal 20 Januari 2011) UNIVERSITAS HASANUDDIN 85 Penggambaran tentang cara kerja mereka sangat tersusun rapi sebelum mereka melakukan operasi, pekerjaan yang dilakukan dengan membagi tugas masing-masing dilakukan agar operasi ini dapat berjalan dengan baik. Cara kerja tersebut menggambarkan tiga bagian wilayah operasional, yaitu bagian depan, atas, dan belakang. Pada bagian depan, perampok penodong (Patodong) bertugas untuk menunggu datangnya korban, dan melihat situasi wilayah tempat kejadian, yang ditengah, bertugas untuk menunggu korban, dan “mengawal” korban tanpa harus melakukan apapun (beraksi) dan yang dibelakang bertugas untuk mengikuti dari awal perjalanan korban sampai pada wilayah tempat kejadian. “Tiga bagian” ini dilakukan dengan kesadaran yang berdasar pada situasi yang terlihat aman, dan bukan langsung saja beraksi dan melakukan penodongan terhadap korban. Seperti yang dijelaskan A (34 Tahun) kepada peneliti : “..memang keluarki, baru kita sudah siap-siap di anu masing-masing tapi nda begitu langsungki tangkap, atau palangngi itu orang, kita lihat dulu, banyak orang tidak, kalo tidak kita langsung tarai tapi kalo banyak orang apa, tidak anuki, biar dimana kalo disitu banyak orang tidak jadiki anu..”(Wawancara Tangggal 20 Januari 2011) UNIVERSITAS HASANUDDIN 86 3 2 : Korban Perampokan : Pelaku Pertama : Pengawas : Pelaku Eksekusi 1 Gambar: Strategi Operasi Kerja : Jalanan : Tempat Eksekusi Letak keberhasilan operasional kerja mereka terletak pada situasi tempat kejadian yang terlihat aman, dan bukan dari susunan rencana yang terlihat sempurna. Walaupun, rencana yang disusun merupakan rencana yang sangat bagus, tapi kondisi atau situasi tempat kejadian tidak terasa aman, maka rencana tersebut tak berguna. Situasi wilayah yang terlihat “tidak aman” inilah yang sering membuat mereka gagal dalam melakukan operasi, tapi jika cara ini berhasil mereka bisa dapatkan hasil yang memuaskan, dikarenakan pada cara ini pemilihan korban bukan secara tidak sengaja, tapi sengaja, dengan melihat tampilan fisik, dan barang bawaan korban. Informan A (34 Tahun) menjelaskan kepada peneliti : “..kita ini pilih orang, kalo memang banyakki keluar, karena percumaji kalo sembarangki tarai baru nda adaji barang kayak laptop apa, makanya kalo dijalanmi, kita lihat memang itu orang, kayak dulu, waktu di daeng Tata,dari rumah memang sudah dibagimi, pas itu ada anak sekolah mungkin itu jam dua subuh lewat, pake tas laptop, kaya memang karena motornya satria fu, waktu itu mungkin dia mau ke UNIVERSITAS HASANUDDIN 87 malangkeri, rumahnya mungkin disitu, dia dari tanjung mungkin, pas dia lewat depanku, langsungnga kejarki, tapi pelan-pelanja, kulambung dulu itu anak, baru pelan-pelanka lagi, mauka lihat barangna, pas kuliat baguski barangnya laptop, kuikuti terus sampe dapat temanku didepan, nataraimi, kutarai juga dibelakang, saya dulu yang duluan tarai, baru temanku didepan yang halangngi, kuancamki dulu pake badik, turun ko telaso kalo nda mauko saya tendang motormu, itu anak-anak kodong, pasrah mami, dia turun, ampung-ampungngi, na bilang teaki kodong, kubilangmi sini itu tasmu, nakasi, kubilang semua hpmu, jammu, jongkok mami itu kodong itu anak, sudah itu pergimi, pas pulangta semua itu pas belokan dari baji gau, ada ibuibu naek becak, dia pegang hp nelpon mungkin, beh itu anggotaku langsung tarai itu daengnga, tidak bilang-bilang tongi itu daeng kodong, langsung berhenti, jadi itu anggotaku kasi keluar badikna, baru mintaki itu hp sama emasna itu ibu-ibu, upa’na itu malam, karna bisana itu ada ibu-ibu naek becak malam-malam, mungkin dari pettarani, baru memang disitu sunyi sekali baru gelap..”(Wawancara Tanggal 20 Januari 2011) Gambaran operasi kerja diatas menunjukan bahwa pemilihan korban penodongan, dilihat dari tampilan fisik korban, dan berapa berharganya barang bawaannya, strategi ini dilakukan dengan rencana yang telah tersusun dari awal. Cara kerja mereka tidak memiliki alasan akan “pengampunan” atau belas kasih terhadap korban, karena tujuan mereka untuk mendapatkan dan mengerjakan pekerjaan tersebut hanyalah untuk mendapatkan materi kebutuhan hidup. Sedangkan gambaran berikutnya yang dijelaskan oleh informan adalah cara bekerja sama tak disengaja yang hanya melihat korban dan situasi dan kondisi yang mendukung mereka untuk melakukan perampokan penodongan. UNIVERSITAS HASANUDDIN 88 Rencana atau strategi operasional ini sering dilakukan oleh mereka, namun pengalaman informan bahwa mereka memiliki banyak cara yang dilakukan untuk melaksanakan operasi kerjanya. Menurut informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “..ada juga memang itu korban sudah diliat-liat, kayak begini, dulu itu di maranca, ada anak-anak sering lewat tengah malam, diliatki apa nabawa, kemudian sudah itu, kita awasi terus, sampe berapa hari, kita ikuti dari maranca sampe di rumahnya, rumahnya itu di todopuli, baru biasakan dia pulang jam dua atau jam tiga, kita dulu itu hampir satu minggu, pas sudah itu, kita anu memangmi besok malamna, ha itu anggotaku ada yang pergi memang di maranca liati itu orang, tunggu baru disituji duduk-duduk minum kopi, liati terus sampe dia pulang, anggotaku itu menelponmi kesini, hamper mungkin jam tiga, itu anak-anak pulang, sampe di depannya RRI, disitu ditarai, saya sama anggotaku tiga orang, nabisami apa-apa, begituji juga, nakasiji baru pergiki semua, yang cara beginiang lama baru didapat, tapi memang dapatki, tapi ini cara dulu, sekarang itu tidak begini maki,.”(Wawancara Tanggal 20 Januari 2011) Strategi operasional yang dilakukan oleh para perampok penodongan (Patodong) sesuai yang dijelaskan oleh informan diatas merupakan cara atau strategi lain dalam melakukan operasi perampokan, dilihat dari penjelasan informan bahwa melakukan perampokan dengan cara ini, memerlukan waktu yang lama dan proses pengintaian yang teliti, melihat target atau korban yang sesuai dengan apa yang dinginkan, jika hal tersebut telah dilakukan maka operasi akan berjalan lancar dan mendapatkan hasil yang diharapkan. UNIVERSITAS HASANUDDIN 89 Perencanaan yang sempurna yang dilakukan oleh para perampok penodongan (Patodong) diatas adalah cara ideal bagi mereka bekerja sama, namun dalam kategori operasional kerja, para perampok penodongan lebih banyak melakukan operasi dengan cara tak terencana seperti gambaran rencana oleh informan sebelumnya diatas. Strategi operasional “tidak terencana” adalah operasi kerja yang dilakukan tanpa ada perencanaan yang tepat, dimana mereka (perampok penodong) melakukannya disaat melihat kondisi, situasi tempat kejadian yang mendatangkan kesempatan bagi mereka untuk melakukan perampokan. Strategi “tidak berencana” ini biasanya dilakukan oleh satu atau dua orang perampok saja yang “beruntung” menemukan target korban yang tengah berada di jalan (tempat kejadian). Selengkapnya dijelaskan oleh informan C (30 Tahun) kepada peneliti : “..kalo dapatki orang dijalan baru jam-jam dua malam, langsugki tarai tapi dilihat ki juga siapa orangna, kayak kalo lewatka disitu baru ada memang orang bawa tas besar, baru besar orangna, kayak begitu nda beraniki ganggui karena ecece gappa polisi tauwa, intelka, yang begitu b memang yang banyak anak-anakka sambarang, dianu, ngapai gappami pistol, hah biasanya kalo begitumi, saya biasa lihat memang itu orang toh, kayak jalanka keliling-keliling sama temanku di hertasning, pas dijalan diliaki ada orang anakanak yang biasa mau pulang dari café, kalo adami orang begitu beraksi maki, kayak begitu, pas sampe di samping motorna itu anak-anak, langsungmi patte baru mintaki tasna, langsungki tarik dari bandanna itu orang, sudah itu lari maki cepat pulang,..”(wawancara Tanggal 22 Januari 2011) Informan selanjutnya menggambarkan : UNIVERSITAS HASANUDDIN 90 “..bukanji juga laptop tapi hp biasa juga diambil, kalo keluarki toh baru diliatki ada orang pegang hpnya diatas motor baru cewek apa, atau ada orang yang tengah malam berdiri dijalan sambil menelpon, langsung rampas dari atas motor, nutauki toh, begini dulu itu jam sebelas sampingnya TMP panaikang, diisitukan sunyi, baru kalo jam sepuluh keatasmi itu, kurangmi kendaraan, itu hari hujan memang, tapi hujan rintik-rintik baru-baru ini, saya itu jalan beh pas-pas lagi ada cewe’ sama pacarna, asiki sms, samaka anggotaku itu langsung rampaski dari motorna itu cewe’ kodong, tidak bisa apa-apa tong itu kodong cowo’na..hahaha, baru dulu juga itu ada di sampingna manuruki tiga belas, disitu ada cewe’ jam dua malam, sendiri, nda tau kenapa, lagi pegang hp nya, langsungki rampas diatas motor, berteriak mami injo kodong ceweka,..”(Wawancara Tanggal 22 Januari 2011) Gambaran tentang strategi atau cara yang dilakukan oleh para perampok penodongan (Patodong) diatas merupakan gambaran tentang strategi cara “tidak berencana”, dalam strategi ini perampok melakukan operasi kerja tanpa ada perancanaan apapun, ketentuan yang dilakukan oleh para perampok merupakan sesuatu yang tidak disengaja oleh mereka karena melihat kesempatan dan situasi yang mendukung mereka untuk melakukan perampokan penodongan. Cara atau strategi ini lebih mudah dilakukan oleh mereka karena intensitas resiko yang mereka dapatkan sangat kecil bagi mereka (Patodong). Strategi operasional yang dilakukan dengan perencanaan dan tidak terencana merupakan cara yang pernah dilakukan oleh informan, beragamnya cara mereka melakukan hal tersebut tidak terlepas dari “kesempatan”, dan menurut penulis yang diilhami dari kata-kata “bang Napi” di salah satu tayangan televisi bahwa “ kejahatan itu tidak juga UNIVERSITAS HASANUDDIN 91 berasal dari niat pelaku, tapi juga karena ada kesempatan”. Dan sederhananya, kalimat ini sangat sesuai dengan apa yang terjadi dalam ruang kriminalitas para perampok penodongan (Patodong). Garis besarnya, bahwa dalam strategi operasional terencana maupun tidak terencana yang dilakukan oleh para perampok penodongan semua bergantung dari kesempatan atas situasi tempat kejadian untuk melakukan perampokan. C.2 Perampok Dan Penadah-Pembeli Hasil rampokan yang didapatkan dari operasi kerja mereka, pastinya memerlukan proses penjualan barang tersebut. Pada penjualan ini, para perompok membutuhkan “agen” dalam memasarkan atau mengumpulkan hasil rampokan tersebut dengan membutuhkan agen yaitu penadah. Penadah merupakan agen yang membantu mereka untuk memasarkan atau membeli barang hasil operasi mereka dengan ketentuan dan syarat tertentu. Ketentuan dan syarat ini merupakan hasil kesepakatan antara perampok dan penadah, yang sama-sama menentukan keuntungan yang dapat dirasakan oleh keduanya. Biasanya, keuntungan yang diperoleh oleh para perampok penodong (Patodong) adalah dengan penjualan yang cepat, untuk penadah, keuntungannya terletak pada harga barang yang relative sangat murah, dan pengambilan barang dari penadah itu memerlukan spesifikasi permintaan pembeli, dan syarat pengambilan UNIVERSITAS HASANUDDIN 92 barang, sehingga barang tersebut dapat bernilai ekonomis tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh informan A (34 Tahun) kepada Peneliti: “..itu barang kalo jelek tidak langsung dijual, biasa dipake para kita-kitaji, baru disimpanji dulu di rumah, tapi kalo barang bagus, langsung di ambil sama pattada, kayak laptop Toshiba itu, itu bagus punya itu, langsungki bawa ke pattada, disitumi negomi harga berapa itu laptop, kalo nda baguski hargana, pindahki seng, yang satu lagi, tapi kalo biasaki sama pattada disitu terusmi, karena nakasi harga bagus, tapi kalo di pattada, kita juga bisa ke pattada lain, kayak kaumi, kujual itu laptop di kau, karna nukasi harga bagus, tapi biasa kau nda ada, jadi saya biasa jual di situ..”(Wawancara tanggal 25 Januari 2011) Peranan penadah (Pattada) dalam menyelesaikan operasional kerja para tergambarkan perampok dan yaitu dijelaskan penjualan oleh memiliki informan, ketentuan dimana yang penadah menginginkan barang hasil rampokan yang memeliki kualitas dan fisik yang masih bisa dijual kembali. Ketentuan ini merupakan strategi penadah untuk tidak merasa rugi, pemilihan barang itu disesuaikan dengan ketelitian penadah melihat barang, jika penadah melihat barang tersebut masih dalam kondisi baik atau “mulus” maka barang tersebut langsung dibeli, dan nantinya akan dipasarkan kepada pembeli. Sama halnya dengan perampok penodong (Patodong), penadah juga merupakan pelaku kejahatan, yang menurut penulis mereka adalah pelaku kejahatan “belakang layar” dan merupakan bagian dari tindakan kejahatan tersebut, karena berhasilnya tujuan perampok adalah dengan mendapatkan hasil dari operasi kerja mereka, sehingga pada point ini, UNIVERSITAS HASANUDDIN 93 peranan penadah (Pattada) sangat menentukan keberhasilan tujuan mereka para perampok penodongan, yaitu menerima materil (uang) dalam memenuhi kebutuhan hidup. Menurut salah satu Penadah X (34 Tahun) kepada peneliti : “..saya biasa tada itu barang dari A kalo memang ada memang yang pesan, kayak biasanya ada temanku sms, ini kayak begini ni, ada temanku cari laptop, core2duo, acer, harga 2,5jt, masih mulus, nuliatmi toh, sms beginiji ini yang biasa kupake baru kupesanki di A, kalo nadapat kayak begitu langsungmi kesaya, bawa barangnya, kalo bagus saya liat, tidak lecet-lecetji kuambilki, kalo tidak bagus, kubilangji, bawami saja di dr.sutomo, nutaumi disana itu nabeli tembang bo’noki barangnga..” (Wawancara tanggal 25 Januari 2011) Proses dalam melakukan transaksi penjualan hasil rampokan kepada penadah memerlukan syarat dan ketentuan spesifikasi permintaan pembeli yang memesan pada penadah (Pattada), permintaan barang dari penadah disesuaikan dengan permintaan pembeli, namun ada juga permintaan dari penadah sendiri yang menginginkan barang tersebut tanpa harus ada permintaan. Permintaan barang dari penadah (Pattada) biasanya berupa handphone, dan segala macam barang elektronik. Satu hal yang pasti bahwa, proses pemasaran barang oleh perampok penodong kepada penadah dilandasi dengan kepercayaan oleh kedua pihak, hubungan kerja yang terjalin diantara mereka merupakan hubungan kerja yang memiliki ikatan emosional erat dan rasa percaya sangat tinggi, sehingga rasa aman itu ada dalam kehidupan kerja mereka. UNIVERSITAS HASANUDDIN 94 Kepercayaan sangat mereka utamakan dalam melakukan proses penjualan dan pemasaran. Seperti yang dijelaskan informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “..saya kalo mau kasi masuk barang ke orang, atau mau jual ke orang, kuliat dulu itu orang, gappa napasiko’bikang jaki, karena sekarang itu orang yang jujur itu susah didapat, saya dulu kalo jual barang begini kayak hp apa, itu di penjualpenjual pinggir jalan, kujualki baru tidak tanya-tanyaji juga itu, tidak ada cas, tidak ada dos, nabeli tembang bo’no, begituka dulu, di penjual-penjual begituji, dulu kan saya ini cuma mencuriji dirumah-rumah toh, hp ji saya dapat, itu dulu, sekarang main besarmi orang toh, laptop apa, jadi kalo mauki menjual nda bisaki di penjual-penjual pulsa itu pinggir jalan, pertamaka jual itu di anak sekolah dekat rumah, alasanku itu punyanya sepupuku yang kuliah, perlu skali uang, lama begitu dapatki lagi laptop tapi laptop ko’dala, jadi tidak ada yang mau beli, ada orang itu X datang ke saya, baru bilang berapa nujual itu, tidak nupakeji juga, naliatki dulu, itu yang kau bilang laptop dulu, kayak begitu kujual, na ambilki, nabeli 300 ribu, baru nabilang kalo ada lagi barangmu kau hubungima saja, dalam hatiku ini orang yang sering duduk di manuruki, sering kuliat memang panginung juga, jadi kalo ada barangku biasa biar hp kujual di dia ji, biasa juga kalo itu hp bagus, biasa ku pake, bosanpa baru kujualki di dia,.”(Wawancara tanggal 25 Januari 2011) Tampak bahwa untuk menentukan “agen” bagi perampok penodong untuk membeli barang hasil rampokan itu berdasar pada penilaian tertentu, dimana seseorang dapat dijadikan sebagai penadah barang bagi mereka, jika telah ada dalam pikiran dan ingatan mereka tentang seseorang tersebut, ataukah sudah lengkap identitas penadah dalam frame mereka. Selajutnya informan A (34 Tahun) menjelaskan : “..kita harus percaya sama itu pattada, begituji juga dia, harus percaya sama saya, karena kalo tidak sama-sama percaya, tidak bisaki jual barang, baru itu juga kalo natawar murah barangku, sundala, langsungka jual ke orang, karena UNIVERSITAS HASANUDDIN 95 kalo kuliat ini bagus, tidak ada lecetna toh, baru mau natawar murah, langsungka pergi, tapi biasa itu natelponka, suruh lagi ke rumahnya, baru bicara hargaki lagi, bukanka orang bodoh, biar nda ada sekolah itu, kuatuji mana bagus punya..”(Wawancara tanggal 25 Januari 2011) Penjelasan informan diatas menguatkan penulis untuk menyatakan tentang rasa saling percaya (trust) diantara mereka (perampok-penadah) merupakan jalan untuk mereka mencapai tujuan, karena dari rasa percaya tersebut maka keuntungan ada dalam genggaman mereka. Keuntungan yang membawa mereka (Patodong) mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam pemenuhan kebutuhan, sedangkan pada penadah (Patodong) mereka menjual barang tersebut pada pembeli yang secara tidak langsung tidak mengetahui barang tersebut adalah barang curian, dan hal ini yang paling menguntungkan bagi penadah (Pattada) dikarenakan harga barang tersebut naik sekitar 50% dari pembelian. Pemilihan lokasi pemasaran penadah, banyak terdapat di wilayah sekitaran pondokan mahasiswa, dan sebelum dipasarkan penadah barang tersebut di modifikasi, seperti menempelkan stiker atau pelindung laptop, dan menginstal ulang program (jika laptop atau netbook), setelah itu kemudian dipasarkan. Apa yang dilakukan oleh penadah (memodifikasi) atas barang tersebut untuk tidak dicurigai oleh pembeli bahwa barang tersebut dalah barang curian. Cara mereka (penadah) dalam memasarkan merupakan sesuatu yang sangat cerdas, dan sangat teliti dalam memilih pembeli (konsumen). Bukan hanya, perampok UNIVERSITAS HASANUDDIN 96 menentukan penadah (Pattada) namun penadah juga memilih pembeli. Ketentuan dalam menentukan pembeli atau konsumen tergambarkan oleh informan X (34 Tahun) kepada peneliti : “..kalo mauka jual ke orang, itu orang memang harus saya kenal, atau itu orang dia punya teman toh, teman kampusnya, ku liati dulu nda langsungka tawari, kalo lainlainmi gayana, tidak kulepaski barangku, nutaumi didapatki saja satu, tiga bulan, apalagi kalo banyak barang,..bukan begitu tapi, kita ini juga mau aman, jadi saya ini mau aman, jadi harus hati-hati, tapi kalo mau dimakassar jarang skali di dapat jadi itu barangku semua ku kirim ke daerah..” Ketentuan dalam pemasaran dalam kategori pembeli yang ditentukan oleh penadah harus berdasarkan kedekatan emosional juga, bahwa penadah harus mengenal pembeli atau lingkungan sosial pembeli sehingga dalam memasarkan tidak ada rasa takut akan konsekuensi yang mereka dapatkan. Profesi sebagai penadah barang bukan hanya mengambil atau membeli barang dari perampok penodong, tapi juga membeli barang dari pencuri rumahan, menurut mereka bahwa yang jelas apa yang bisa dibeli dengan harga murah dan barangnya berkualitas maka barang tersebut akan diambil dan dibeli. Pada point ini, penadah membuat mereka (perampok atau pencuri) dapat bertahan kerja untuk menawarkan barang hasil rampokan. Strategi untuk melakukan hal tersebut dijelaskan oleh informan X kepada penelti : “..saya itu kalo kutentukan harga, ituji, kayak Toshiba na dapa’, ku kasi haga 1,8 juta, atau sampe 2juta, harga begitu kukasi, nasukaji karna memang kalo barang begitu toh, UNIVERSITAS HASANUDDIN 97 murah hargana, dari pada najualki di sana, paling satu jutaji nakasi, anu juga kalo hp, biasa kubeli harga 500 rb, kalo memang bagus barangna, kukasi memang harga bagus supaya kalo besok-besok itu nadapa’ lagi barang, langsungmi ke saya, kan biasa natelponka dulu, ada masuk ini, kutanya apa, laptop, lengkap, bagus punya ini, kusuru mi kerumah, kuliatki, kalo bagus kubeliki, tapi biasa kalo ada barang pasti bagus-bagus nabawa kesaya…” Hubungan kerja yang dijalani oleh penadah dengan perampok penodong (Patodong), dilihat dari gambaran informan diatas adalah bagaimana koordinasi yang dilakukan oleh kedua pihak dengan landasan saling percaya, dan saling memberikan keuntungan antara mereka. Seorang penadah pastinya berpikir bahwa jalan untuk mempertahankan mitra kerjanya dan memperlancar proses kerja dalam hal pemasaran barang, maka yang dilakukan adalah dengan memberikan satu bentuk keuntungan untuk pihak yang dijadikan mitra. Hubungan yang “saling memberikan” harus ada sehingga hal tersebut menciptakan “pertukaran” yang bernilai positif antara penadah dan perampok . D. Patodong Dan Kejahatan Lainnya. Kejahatan merupakan suatu tindakan yang merugikan dan memberikan dampak yang buruk dalam kehidupan ini, dan kita semua tahu akan hal itu. Menariknya, Sebagai manusia pastinya kita secara sadar berpikir sebelum melakukan suatu kegiatan atau berprilaku tertentu. Tapi kenapa kejahatan atau suatu tindak penyimpangan yang dilakukan manusia masih saja tetap dilakukan oleh seseorang tersebut yang secara langsung mereka sadari dan melakukannya. UNIVERSITAS HASANUDDIN 98 Perampok penodong (Patodong) adalah mereka-mereka yang tergambarkan sebagai pelaku criminal yang sesuai dengan uraian singkat diatas, jelasnya dalam penelitian ini, penulis lebih menekankan mereka sebagai “penjahat” dengan mengacu pada konsep kriminalitas. Secara umum, penulis pahami bahwa Seseorang yang melakukan tindak yang dapat merugikan orang lain adalah penjahat, dan pada sub bab ini, penulis akan menggambarkan “pekerjaan pelengkap” bagi para perampok penodong. Hal ini tergambarkan dari pernyataan Informan I (21 Tahun) yang mengutarakan kepada peneliti : “..kalo tidak ada didapat, subuhna pi seng keluarki malukka. Kalo nda didapat lagi itu mami menjualki seng obat..biar untung-untung sepuluh ribu..” (wawancara tanggal 2 februari 2011) Pernyataan diatas menggambarkan tentang pekerjaan yang dijadikan sebagai “cadangan” atau dalam bahasa saya sebagai “pekerjaan pelengkap” jika dalam operasi kerja mereka (penodongan) tidak mendapatkan hasil apa-apa, maka yang mereka lakukan adalah dengan mencuri di rumah pada lokasi-lokasi tertentu ataukah menjadi seorang Pengedar atau Penjual Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang (Narkoba). Mereka menganggap pekerjaan sebagai perampok tidak berbeda dengan pekerjaan sebagai seorang pencuri atau bekerja sebagai pengedar Narkoba. menggambarkan Untuk tentang itu, penulis pekerjaan yang akan mereka berusaha untuk lakukan untuk alternative dalam pemenuhan kehidupan mereka. UNIVERSITAS HASANUDDIN 99 a. Patodong Juga Pencuri Perampokan dan pencurian adalah satu tindakan yang sama yaitu mengambil miliknya seseorang hanya lokasi yang berbeda. Menurut penulis, Dalam pikiran mereka, untuk mendapatkan hasil (jika tidak mendapatkan apa-apa dalam operasi penodongan), mereka akan melakukan pencurian. Hal ini terjelaskan melalui informan I (21 Tahun) kepada peneliti : “..apa mauku makan, tidak ada tommi uang, tidak ada tommi rokok, baru keluar, tidak ada tommi didapat, biasa kalo tidak ada didapat karna memang tidak ada orang pulang, baru bata-bataki juga kalo mauki ma’todong, karna sundala banyakmi polisi sekarang menyamar, biasa itu nabawaki laptop, atau tas besar supaya bisaki ma’kenna jadi batabataki, kan dulu itu beh lancar memang, kamma-kammanne tenamo ditembak jaki, kalo begituma saya, pulangma kerumah, kutaruh dulu motor, baru sama ma itu X ke manuruki, tempat kostna mahasiswaia, biasa dapatki juga, biasa juga tidak,jadi begini mami kodong, nulaitmi toh..”(wawancara tanggal 4 Februari 2011) Dari pernyataan informan diatas, menggambarkan tentang aktifitas yang mereka lakukan (mencuri) merupakan suatu pekerjaan yang dasarnya berasal dari suatu “rencana cadangan”. Hal ini diperkuat oleh gambaran operasional mereka saat ini. mereka lakukan penodongan tidak lagi seperti dulu. Operasi yang dilakukan pastinya dilihat dari situasi dan kondisi tempat operasi yang tidak terjaga oleh aparat keamanan, sehingga mereka dapat melakukan operasi tersebut dengan lancar, namun sekarang mereka tidak leluasa lagi mendapatkan ruang untuk melakukan UNIVERSITAS HASANUDDIN 100 penodongan disebabkan karena banyak aparat keamanan yang menyamar menjadi “korban” dan ini yang membuat mereka takut untuk selalu melakukan perampokan penodongan. Rencana cadangan yang dilakukan oleh para “Patodong” adalah dengan melakukan pencurian di rumah-rumah. Pemilhan target rumah yang akan dicuri adalah rumah yang terlihat sepi, disebabkan lingkungan sekitar tempat kejadian sunyi atau tak ada sarana keamanan (pos jaga). Menurut informan J (23 Tahun) : “..kalo nda’ dapatka barang sama I, teruska keliling pergi cari tempat yang bagus untuk lukka, paling banyak di manuruki karna disana banyak kost mahasiswaia, biarki jalan subuh nakira jaki orang mahasiswa, baru disana itu deh kostkostka biasa tidak ta’kunci jadi gampagji masuk,..kayak dulu itu saya pergi ke itu ada situ di manuruki 12 pondok kembar, disitu itu paling banyak mahasiswa baru tidak dikunci itu pintunya karena rumah, jadi biasa ada teman-temanna yang datang terlambat biasa jam-jam 2, makanya kalo yang tinggal disana tidak nakunciki jadi yang datang itu bisa langsung masuk,..kuatauki karena banyak juga temanku mahasiswa disana, biasaka sama-sama minum sampe subuh, pas kutau begitu, kucoba-cobami masuk, kuperiksa pintuna tidak ta’kunci itu hariji, tapi tidak langsungka mencuri, besokpi datangka, kan tidak kubawaki alatku, makanya besokpi baru saya kesana, sampe sana kutarget memang, sampe sana pas-pas subuh memang kalo kerja beginiki, karena paling enak itu kalo pas-pas adzan mesjid, itu supaya tidak terlalu nadengarki kalo ada yang bongkarki gembok atau masuk kamarnya, pas itu upakka karena duaji kamar ta’kunci, kutunggu memangngi pas itu adzan baru masukkka, kucari memang dulu kamar ta’gembok, baru masukka di kamar yang tidak dikunci, mauko tau berapa saya dapat dua laptop sama empat Hp, langsungma paccoki UNIVERSITAS HASANUDDIN 101 itu motor, deh langsung pulangki pesta..”(Wawancara tanggal 5 Februari 2011) Mencuri dan mengkategorikan tempat operasi yang dilakukan adalah dengan mengamati terlebih dahulu tempat yang mereka akan datangi. Gambaran informan diatas tentang pencurian yang mereka lakukan adalah dengan melihat dan mengamati kondisi tempat, melengkapi peralatan kerja, dan menyesuaikan kondisi yang dapat mendukung lancarnya operasi kegiatan mereka (Adzan subuh). Informan menambahkan bahwa : “ tidak anuji juga mauki subuh pergi cari, tapi subuhkan bagus toh karena tidur semuami baru pasti tidak sadarki kalo pergiki jam-jam empat subuh, deh waktu-waktuna itu tinro mateki tawwa, jadi gampang, biarji juga siang kalo mauki, karena itu di malengkeri, kost-kostka, jalan jaki kalo diliatmi tidak ada orang masuk maki, tapi jang tongki kamma tongki anu lambussu tama, diliatki tong itu orangka, gappa datangngi, mateki, jadi biar siang kalo bagusji waktua..” Dari pernyataan diatas oleh informan, kejelasan tentang operasi kerja mereka melakukan pencurian, tidak dibatasi atau tidak ada waktu tertentu untuk melakukan operasi. Mereka dapat melakukan tindakan tersebut kapanpun mereka inginkan yang disesuaikan dengan kondisi dan waktu yang mendukung mereka melakukan pencurian. Kehidupan mereka (Patodong) bukan hanya menjadi perampok penodong tapi mereka juga melakukan pencurian jika mereka tidak dapatkan hasil todongan. Untuk mengatisipasi dan menutupi hal tersebut Kerja sebagai pencuri merupakan pekerjaan pelengkap bagi para UNIVERSITAS HASANUDDIN 102 Patodong untuk menutupi kehidupan hidup mereka. Sehingga, dalam tulisan ini penulis dapat katakana mereka perampok juga sebagai pencuri. Hasil yang mereka dapatkan dari tindak kejahatan mereka, biasanya mereka gunakan bukan hanya untuk membeli kebutuhan hidup tapi juga membeli Narkoba yang kemudian di konsumsi atau dijual kembali kepada para konsumen-pengguna obat tersebut. b. Patodong dan Narkoba Banyak hal dalam kehidupan mereka tentang bagaimana satu pekerjaan yang mereka jalankan merupakan gambaran hidup tentang “survive” dalam menutupi kebutuhan mereka. Pada bab-sub bab sebelumnya penulis menggambarkan tentang pekerjaan mereka perampok penodong (Patodong) sebagai mata pencaharian (second job) dan alternatif pekerjaan lainnya. Semua hal yang digambarkan penulis diatas merupakan usaha mereka untuk bertahan menutupi kebutuhan hidup mereka. Hakekatnya, pelaku kejahatan tidak lepas dari bermacam-macam tindak penyimpangan lainnya. Mereka (perampok penodong/Patodong) bisa saja menjadi seorang pencuri maupun seseorang yang bekerja sebagai penjual Narkoba. Pekerjaan yang mereka lakukan atau jalani merupakan suatu bentuk alternative yang dapat membantu mereka untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Pada sub-sub bab ini, penulis berusaha menggambarkan tentang mereka (Patodong) melakukan UNIVERSITAS HASANUDDIN 103 pekerjaan alternatife mereka yang dapat membantu mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kehidupan yang mereka jalani dengan “label” sebagai penjahat pastinya tidak terlepas dari perbuatan atau pekerjaan yang “tidak wajar”. Hal ini serupa dengan informan A (34 Tahun) mengutarakan kepada peneliti : “..klao dapatki uang, langsungki biasa anak-anaka pergi beli (ubas), baru dipake sama-sama, panggilmi semuami anakanak datang ke sini, begitumi kalo dapatmi uang, tapi tidak anu tonji mau beli ubas, biasa juga na simpanji uangnya beli baju atau celana, tapi kalo pintarki biasa nabeli banyak, baru najual kembali, kan itu ubas sekarang itu mahal sekali, tapi kalo sudahmi dibeli baru kita jual kembali, untung-untung 800 ribu kalo ambilki satu gram, karena biasa itu orang beli tak sedikitji, jadi kalo ambil banyakki banyak tong untungta,..ganja juga bagus dijual, tapi sedikitji untungnya, biasa ta’ lima ribuji satu linting untungta, lumayanji,.. banyak tongi itu mahasiswa yang pesan sama saya, baru kalo tidak ada uangnya, biasa nakasipegang hp-nya atau laptop-nya baru paganti sama ubas, rusak memang, baru kalo seminggu tidak nabayar itu hp atau laptop laburmi, kayak dulu itu, anak UH mungkin, karena nabilang itu X mahasiswa, dia ambil 800 ribu, baru nakasi pegangmi laptopnya, anu toh mau skalimi make’, jadi nakasi pegang semua,..”(Wawancara tanggal 5 Februari 2011) Menurut informan diatas bahwa bukan hanya sebagai perampok penodong (Patodong) menjadi pekerjaan mereka tetapi mereka juga mengerjakan pekerjaan yang dipandang membantu mereka untuk menutupi kekurangan kebutuhan hidup mereka. Hal ini menjelaskan tentang kriminalitas akan suatu tindakan seseorang, tidak terlepas dari tindakan kriminalitas lainnya. UNIVERSITAS HASANUDDIN 104 Hasil yang diperoleh dari operasi perampokan penodongan digunakan untuk keperluan hidup, namun ada beberapa diantara mereka melakukan dan mendapatkan hasil hanya untuk membeli “kesenangan” atau sesuatu yang memberikan “kenikmatan sementara” salah satunya adalah “Ubas (Narkoba). Narkoba jenis ini yang sering mereka beli dari “Bandar”, pembelian barang digunakan atau dapat juga untuk dipasarkan kembali oleh mereka. Pembelian barang “ubas-sabu”, Ganja dan lainnya, adalah sesuatu yang tidak terlepas dari kehidupan beberapa diantara mereka, dan tidak tanggung-tanggung hasil yang mereka dapatkan digunakan untuk membali barang tersebut. Informan I (24 Tahun) mengutarakan kepada peneliti : “.. kita itu kalo sudahmi dapat uang, langsungki beli ubas sama “om jon” , tidak dipaksaji iya kalo umpamana saya toh punya uang 400 ribu, mauka beli, tapi tidak cukup uangku, kukasi taumi anak-anak kalo mauki pasti na tambahiji karena sama-sama pake, tidak kuanuki, yang mauji tambai, nutaumi mahal itu ubas-ka,..bagusji kalo begituang adaji uang terus, de punna pepa’, injo anak-anaka nalabur ngase I hapena, atau nakasi PTG (Patagallang), itu Hp 5800 yang dulu kau pegang untuk beliji itu, berapa hai itu di kau, edede, itu hari mau-mauna anak-anaka baru tidak ada semua uangna,jadi nakasi pegang semua hapena..” (wawancra tanggal 7 Februari 2011) Hal yang dijelaskan informan diatas, bukan berarti bahwa mereka semua (Perampok Penodong) adalah pengguna dan penjual barang tersebut. Menurut penulis bahwa mereka (Patodong) yang berumur kisaran 20-23 tahun kerap dikatakan sebagai pengguna Narkoba jenis Sabu (Ubas), penulis melihat bahwa, Pelaku yang memiliki tingkatan umur UNIVERSITAS HASANUDDIN 105 (Remaja) dalam kelompok penodong adalah mereka-mereka yang mencari pendapatan atau hasil untuk membeli dan menggunakan barang tersebut. Hal ini dijelaskan informan I (24 Tahun) kepada peneliti : “ kapan lagi, kita kayak orang kaya yang make ubas,.. tidakji, karena enakki dirasa kalo makeki begitu, hilang semuaka masalah, itu anak-anakka tidak napikir, kayak sayami, belum ada istriku, baru, maceku paceku tidak najampangika, tidak adami yang bisa kukasi uang kalo dapatka uang, lebih baek saya begini mami,senang senang, mauki apa bede’, adami baju, adami celana, hape ada, lebih bae’ beliki ubas, kan sekali-sekaliji juga anak-anaka beli.. Selanjutnya informan J (23 Tahun) mengutarakan ke peneliti : ” ..mauki beli apa, mauki hape adaji hape, mauki beli laptop bukanki mahasiswa, tidak sekolahki, jadi ubas mami dibeli, kalo saya itu ku boli’ memangngi karena motorku mau kubayar, empat ratus, kabukanji dari mattodongki dapatki uang, kerja tonja, sekarang ada pengecetanku di SMP 26, baru beginiangnga kalo adaji napanggil X, jadi ikut tonga, mauku apa, kaperluka bayar motor, baru tidak ada sekali uangku, kutambahiji kalo ada uangku kalo anak-anak mau beli ubas, jadi ikut tonga..”(wawancara tanggal 7 februari 2011) Penjelasan diatas tepat jika disandarkan bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah factor dari tidak adanya hubungan dengan orang lain, atau dalam hal ini tidak adanya ikatan yang menggambarkan tentang tanggung jawab dalam hidup mereka, sehingga yang mereka lakukan hanyalah suatu hal yang memberikan kesenangan bagi diri mereka. Beban hidup yang mereka tanggung hanyalah untuk hidup diri sendiri, dan tidak untuk orang lain. Kesadaran akan perilaku tersebut disadari dengan UNIVERSITAS HASANUDDIN 106 akal mereka bahwa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang menyenangkan mereka, dan bagi mereka itu merupakan suatu “tambahan kesenangan” dalam hidup mereka selain kebutuhan hidup sandangpangan dan papan. Hasil yang diperoleh dari rampokan mereka adalah modal mereka untuk membeli barang tersebut. Proses pembelian yang dilakukan bukan dari mereka tapi mereka dapatkan barang (Narkoba) tersebut dari seseorang yang dipandang sebagai pemimpin mereka. Pemimpin mereka yang menjual atau membelikan mereka barang tersebut. Hal ini diperjelas oleh informan A (34 Tahun) kepada peneliti : “naambilji disaya kalo ada barang, begitumi kalo semua dapat uang, itu X biasa langsungnabeli, kalo ada uangna, ituji nabeli, tidak napake beli apa-apa, ubasji nabeli disaya, sama semuaji, baru kalo tidak ada barang, biasa nasuruhka anak-anak pergi belikanki, pergika kesana ambil barang, ada itu Bandar besar di Balang Baru, bagus disana karena kuatki dekkengna, baru tidak napatolo-toloki,.. memang susah kalo mauki kasi jauh itu ubas dari anak-anaka,..”(wawancara tanggal 5 Februari 2011) Penjelasan informan diatas menggambarkan tentang bagaimana proses untuk mendapatkan barang ubas tersebut, yaitu mereka dapat membelinya dari pemimpin mereka atau mereka meminta bantuan kepada pemimpin mereka untuk membelikan Narkoba tersebut. Narkoba (Ubas-Sabu) adalah alat kesenangan mereka, dan itu tidak terlepas dari sebagian kehidupan mereka. Bagi beberapa dari mereka (Patodong) Hasil yang mereka dapatkan dari operasi kerja UNIVERSITAS HASANUDDIN 107 merampok atau mencuri hanya untuk membeli barang haram tersebut.dan sekali lagi penulis tekankan bahwa mereka dan narkoba adalah suatu hal yang memberikan kesenangan tersendiri dalam menjalani kehidupan. UNIVERSITAS HASANUDDIN 108 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pekerjaan sebagai Patodong merupakan pekerjaan yang menurut mereka dapat memberikan keuntungan besar atau dalam hal ini pendapatan yang besar dalam waktu yang sangat cepat. Secara sederhana, mereka melakukan hal tersebut dengan motif ekonomi untuk melangsungkan hidup, memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan kepuasan materil tertentu dan tak peduli dengan pandangan masyarakat yang negative tentang mereka. Patodong atau menodong adalah sesuatu yang dilakukan dengan cara cepat dan mendapatkan hasil yang banyak walaupun konsekuensinya sama dengan pekerjaan mereka. Pandangan tentang dunia kerja yang mereka pahami diatas, menggambarkan tentang kesamaan semua yang dilakukan manusia (pekerjaan) memiliki tujuan yang sama yaitu memenuhi kebutuhan hidup, perbedaannya hanyalah terletak pada nilai dalam pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang bernilai “baik” dan bernilai “buruk” memiliki kuantitas yang sama yaitu untuk memenuhi kepuasan seseorang dalam pemenuhan materi. Mereka sadar bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan pekerjaan yang membuatnya untuk tetap menjadi manusia yang memiliki daya tahan dalam kehidupan ini. UNIVERSITAS HASANUDDIN 109 Melakukan pekerjaan sebagai perampok penodong (Patodong) bukanlah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian dari mereka. Namun, bagi mereka bekerja menjadi seorang perampok penodong (Patodong) menurut mereka merupakan pekerjaan yang sangat membantu mereka memenuhi hasrat pemenuhan kebutuhan hidup yang “berlebihan”, keterpaksaan akan pekerjaan tersebut mereka sadari dengan ketidakmampuan mereka bersaing dalam dunia kerja lainnya, sehingga yang hadir adalah pandangan mereka tentang apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan dunia kerja lainnya yang memiliki subtansi yang sama yaitu mencari nafkah hidup dalam melangsungkan kehidupan. Pekerjaan sebagai penodong merupakan pekerjaan kolektif dan bukan pekerjaan individu, sehingga dalam profesi mereka, mereka bekerja dengan berkelompok. Kelompok yang mereka bangun tidak memiliki aturan-aturan tertentu hanya mengandalkan “kepercayaan” antara anggota kelompok dan pihak-pihak yang terkait dalam pekerjaan mereka serta mereka memiliki pemimpin yang dianggap sebagai orang yang memberikan arahan dan rencana yang matang dalam melakukan operasi perampokan. Perekrutan anggotapun tidak bersifat “paksaan” mereka melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauan mereka untuk ikut serta dalam operasi perampokan. Dalam menjalankan operasi kerja, para perampok penodong (Patodong) memiliki strategi operasi yang mereka gunakan untuk melancarkan proses operasi kerja mereka. Strategi ini penulis sebut UNIVERSITAS HASANUDDIN 110 sebagai strategi ‘terencana” dan strategi “tidak terencana”. Keberhasilan dari operasi kerja mereka ditentukan juga dengan kondisi keamanan tempat kejadian. Jika operasi kerja mereka berhasil maka mereka (Patodong) bisa mendapatkan hasil yang cukup banyak. Hasil yang diperoleh dapat dijual langsung oleh pelaku ke tangan konsumen, atau barang rampokan dijual atau sudah dipesan oleh penadah barang (Pattada). Dan hubungan kerja ini dilandasi dengan rasa percaya (trust) yang besar yang dimiliki oleh keduanya. Hal yang menarik dari mereka adalah pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan tetap bagi mereka namun pekerjaan tersebut hanyalah pekerjaan sampingan, rata-rata mereka bekerja sebagai buruh bangunan atau pemulung (Payabo’). Hal ini dilakukan jika mereka tidak mendapatkan pendapatn yang cukup untuk keseharian hidup mereka dan hasrat untuk pemenuhan kebutuhan hidup “berlebihan”. Dan mereka tak beda dengan pencuri (secara tidak langsung), jika operasi kerja mereka gagal, maka mereka akan melakukan tindak kejahatan lainnya (mencuri) di beberapa tempat seperti pondokan-pondokan mahasiswa. Hasil dari pekerjaan mereka tersebut tidak terlepas dari pemenuhan obat-obatan terlarang, (narkoba), dan tidak menggunakan hasil yang mereka dapatkan untuk keperluan yang lebih penting dari hal tersebut. Nyatanya, sebagian dari mereka melakukan hal tersebut hanya untuk memenuhi hasrat mereka untuk memakai narkoba sebagai bentuk kesenangan mereka semata. UNIVERSITAS HASANUDDIN 111 B. SARAN Dengan mengetahui akan pandangan dunia kerja Patodong, mekanisme kerja mereka dalam melakukan operasi penodongan, penggambaran kehidupan social mereka dan mengetahui jaringan kerja sama atau pola hubungan kerja sama dalam kelompok, maka dengan itu penulis menyarankan untuk para pengguna jalan seharusnya lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas pada malam hari, selalu menjaga , melihat kondisi atau situasi tempat dan waktu yang dapat memberikan peluang bagi mereka (Patodong) melakukan tindak kejahatan. Selanjutnya, penulis lebih memberikan saran kepada pemerintah maupun swasta untuk membuka lahan pekerjaan (khususnya karyawan) yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tanpa melihat kualtas dan tingkat pendidikan seseorang sehingga tindak kriminalitas dapat dikurangi jumlahnya. UNIVERSITAS HASANUDDIN 112