View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya kejahatan perampokan Penodongan (Patodong) yang
terjadi di kota Makassar akhir-akhir ini, memberikan satu dorongan bagi
kami meneliti hal tersebut. Di Kota Makassar, perampokan atau kejahatan
Pencurian dengan perbuatan (Curat) adalah kasus kejahatan yang paling
banyak terjadi di Kota Makassar dengan jumlah 804 kasus, yang kedua
adalah kasus kejahatan Pencurian motor (Curanmor) dengan jumlah 641
kasus, yang ketiga adalah kasus kejahatan Penganiyayaan berat dengan
jumlah 508 kasus, yang ke-empat adalah kasus kejahatan pencurian
dengan kekerasan (Curas) dengan jumlah 404 Kasus, dan yang kelima
adalah kaskus kejahatan pembunuhan yaitu dengan jumlah 15 kasus.
(Arsip data Kriminalitas POLRESTABES Makassar tahun 2010-2011).
Kasus kejahatan penodongan merupakan bagian dari kasus
pencurian dengan perbuatan yang menempati tingkat pertama pada tahun
2010 sampai april 2011. Pada bulan januari 2010, pencurian dengan
perbuatan mencapai 95 kasus, bulan februari 76 kasus, bulan maret 47
kasus, bulan april 26 kasus, bulan mei 31 kasus, pada bulan juni (minggu I
dan II) berjumlah 16 Kasus, Bulan Agustus 17 Kasus, September 35
Kasus, Bulan Oktober berjumlah 40 kasus, bulan November 44 kasus,
bulan desember 60 kasus, bulan januari 2011 berjumlah 81 kasus, bulan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 1
februari 53 kasus, bulan maret 77 kasus dan pada bulan april terhitung 70
kasus. (Arsip Polrestabes Makassar).
Satu hal yang menjadi dasar dari peneliti bahwa keterpaksaan
mereka akan pekerjaan tersebut berasal dari kesadaran akan realitas
hidup yang memberikan beban tersendiri bagi mereka untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Perampok merupakan pelaku tindak kejahatan yang
didasari dengan kesadaran mereka bertindak dan berperilaku yang
memberikan kerugian bagi orang lain dan memberikan efek tersendiri bagi
lingkungan sosial yang ditempati. Pengaruh akan tindakan mereka sangat
menarik dikarenakan pekerjaan yang mereka geluti merupakan satu
kesadaran murni akan konsekuensi atas apa yang mereka lakukan, dalam
hal ini, penulis dapat mengatakan “tidak rasional” disaat mereka
melakukan pekerjaan tersebut tanpa harus memikirkan konsekuensi yang
nanti mereka dapat.
Layaknya, pekerja lainnya seperti tukang becak, Pegawai Negeri
Sipil, nelayan, perampok juga memiliki alasan tentang pekerjaan yang
mereka geluti. Keterbatasan akan kehidupan dalam segi ekonomi
pendapatan, tingkat pendidikan mereka yang rendah, tingkat kepuasaan
mereka terhadap materi kepuasaan yang minim terpenuhi membuat
mereka terpaksa melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini, bukan berarti
bahwa mereka melakukan pekerjaan ini berdasarkan factor diatas.
Beberapa factor diatas tidak menjamin mereka atau mendorong mereka
melakukan pekerjaan tersebut. Jika dipikirkan berdasarkan hal-hal diatas,
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2
mereka dapat berusaha dan bekerja sebagai tukang becak, buruh kapal,
buruh bangunan, supir angkutan kota, tapi mengapa mereka lebih memilih
menjadi “Perampok” yang secara sadar merupakan jenis pekerjaan yang
dapat memberikan bahaya bagi diri mereka dan dapat dijerat hukuman
sebagai konsekuensi pekerjaannya. Pekerjaan sebagai perampok adalah
jalan bagi beberapa orang untuk menemukan solusi dalam berbagai
permasalahan hidup mereka namun tetap mereka jalani, dan realitasnya,
sebagai perampok, konsekuensi
untuk terjerat hukum atas apa yang
mereka lakukan sangat minim dikarenakan profesional kerja mereka yang
sangat bersih.
Berdasar pada data kriminalitas diatas yang menjelaskan tentang
banyaknya tindak kejahatan perampokan yang terjadi di kota Makassar
adalah alasan sehingga penulis mengambil wacana ini, Menurut penulis,
persoalan yang menjadi salah satu point penting dalam kajian ini adalah
kelompok kerja dan Hubungan kerja antara pelaku dengan anggota
lainnya dan seorang penadah yang memiliki tujuan masing-masing dan
saling memberikan bantuan. Hubungan ini sangat berpengaruh terhadap
kehidupan mereka, dimana dalam pekerjaan, mereka saling membantu
satu sama lain, antara pemimpin kelompok dan anggotanya maupun
antara pemimpin kelompok dengan penadah barang rampokan. Bagi
penulis, hubungan ini dapat dikatakan sebagai hubungan kerja dimana
hubungan ini memberikan keuntungan yang timbal balik bagi semua pihak
yang berada didalamnya. Hubungan kerja yang dijalani inilah yang
UNIVERSITAS HASANUDDIN 3
menjadi point penting dan menarik bagi penulis dalam membahas profesi
kerja sebagai perampok.
Ketergantungan
diantara
mereka
inilah
yang
memberikan
gambaran tentang pekerjaan layaknya pekerja lainnya yang memiliki
ketergantungan terhadap system kerja. Sehingga bagi penulis pekerjaan
sebagai
perampok
merupakan
pekerjaan
yang
ketentuan
akan
keberhasilan proses kerjanya sama dengan pekerjaan yang dilakukan
manusia yang berprofesi lain, perbedaannya hanya terletak pada nilai
yang diperolah dari jenis kerja mereka yang dipandang menyimpang.
Label “berusaha” dalam kehidupan mereka sebagai tindakan untuk
bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah satu
kebaikan bagi mereka tersendiri jika menjadi seorang perampok adalah
pekerjaan yang secara sadar merupakan keinginan mereka sendiri.
Sehingga bagi penulis, “perampok” merupakan jenis pekerjaan yang
sangat menarik untuk dijadikan bahan penelitian dalam penyusunan tugas
akhir (skripsi) sebagai syarat gelar S1 (Stara Satu) pada Jurusan
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dengan itu, penulis
mengangkat judul “Patodong” (Studi Tentang Pola Hubungan Kerja
Pelaku Kejahatan Penodong Di Kota Makassar).
B. Fokus Penelitian
Perampok
merupakan
tindakan
kejahatan
seseorang
untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan kepuasaan materi yang mereka inginkan.
Dalam tulisan ini penulis tidak ingin mengkaji dan meneliti secara
UNIVERSITAS HASANUDDIN 4
keseluruhan tentang kehidupan mereka, perilaku mereka, perjalanan
hidup mereka. Penulis hanya membuat beberapa Fokus Penelitian dalam
mengkaji beberapa segi kehidupan kerja mereka.
Adapun Batasan
masalah yang penulis buat untuk mengkaji Patodong (Mekanisme Dan
Hubungan Kerja Para Pelaku Kejahatan Perompak Penodongan Di Kota
Makassar) adalah :
1. Bagaimana pandangan Patodong Terhadap dunia kerja ?
2. Bagaimana Organisasi dan pola kerja Patodong ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1) Tujuan penelitian
a). Menjelaskan tentang pandangan mereka (Patodong) dalam melihat
dunia kerja.
b) Menjelaskan tentang mekanisme kerja para Perampok (Patodong)
dalam menjalankan operasi perampokan.
c) Menggambarkan tentang kehidupan sosial para perampok dalam
menjalani kehidupan sehari-harinya.
d) Untuk menggambarkan pola hubungan kerja dan jaringan kerja
yang terbentuk dalam kelompok mereka.
e) Manfaat penelitian
a) Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi bagi
seluruh
komponen
masyarakat
sehingga
mereka
dapat
memahami strategi dan mekanisme kerja para perampok
UNIVERSITAS HASANUDDIN 5
penodongan yang telah terjadi di beberapa wilayah di Kota
Makassar
b) Manfaat Keilmuan
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
mampu
menambah
ilmu
pengetahuan serta dapat digunakan sebagai bahan referensi
untuk
peneliti-peneliti
selanjutnya
yang
akan
mengadakan
penelitian yang berkenaan judul skripsi ini.
c) Manfaat Bagi Peneliti
Bagi peneliti sendiri merupakan hal yang sangat bermanfaat
dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang realitas
dan fenomena yang terjadi tentang kasus perampokan dalam
kehidupan sehari-hari kita. Secara teknis manfaat paling utama
adalah sebagai syarat penulis untuk menyelesaikan Studi pada
Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.
D. Kerangka Konsep
Realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat, dan pemerintah
yang berbau politik ekonomi, luasnya sarana transportasi, berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dan bertambah luasnya komunikasi
merupakan efek dari globalisasi yang semakin menebarkan sayapnya
dalam kehidupan kita. Penggambaran ketergantungan tersebut dapat kita
lihat bahwa ketergantungan masyarakat yang menunjuk pada tingkat
perekonomian negara dan usaha pengembangan sumber daya manusia
UNIVERSITAS HASANUDDIN 6
negara ini yang menurut penulis masih dalam tahap “main-main” yang
imbasnya dapat dirasakan oleh “kita” sebagai masyarakat yang ingin
bertahan (Kurang mampu). Perkembangan yang terjadi inilah yang
memberikan beban tersendiri bagi beberapa orang atau kelompok
masyarakat yang kurang mampu dalam segi kehidupan ekonomi mereka
yang mau tidak mau (secara terpaksa) mereka akan melakukan sikap
tindak yang membuat mereka dapat bertahan.
Sederhananya,
manusia
merupakan
makhluk
yang
bersegi
jasmaniah (raga) dan rohaniah (jiwa). Segi rohaniah manusia terdiri dari
pikiran dan perasaan. Apabila diserasikan maka akan menghasilkan
kehendak yang kemudian menjadi sikap tindakan. Sikap tindakan inilah
yang kemudian menjadi landasan gerak raga manusia. Apakah yang
mereka hadirkan adalah sikap tindakan yang tidak melanggar aturanaturan hidup ataukah yang mereka hadirkan adalah sikap tindakan yang
mengesampingkan aturan-aturan, norma-norma yang berlaku (perilaku
menyimpang), tergantung dari kuantitas dan kualitas kehidupan mereka.
Kuantitas dan kualitas kehidupan manusia merupakan hubunganhubungan sosial yang terjalin diantara manusia dengan manusia
lainnya.manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan dengan
sesamanya.
pergaulan
Hubungan
yang
yang
dinamakan
terjalin
tersebut
interkasi
sosial.
mengahsilkan
Pergaulan
pola
tersebut
menghasilkan pandangan-pandangan mengenai kebaikan dan keburukan
dalam sikap dan tindakan mereka. Pandangan tersebut merupakan nilai-
UNIVERSITAS HASANUDDIN 7
nilai abstrak yang secara langsung mempengaruhi cara dan pola berpikir.
Pola berpikir yang dianuti seseorang akan mempengaruhi sikap
tindakannya. Sikap tersebut merupakan kecenderungan untuk berbuat
atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau kebendaan.
Jelasnya,
sikap
tindakan
manusia
merupakan
cerminan
dari
kebudayaan. Sebagaimana Varner dan Linda (dalam Pujileksono 2006 :
23) yang mendefenisikan kebudayaan sebagai :
Pandangan koheren tentang sesuatu
yang dipelajari, yang dibagi, atau yang
dipertukarkan oleh sekelompok orang.
Pandangan itu berisikan apa yang
mendasari kehidupan, apa yang menjadi
derajat kepentingan, tentang sikap
mereka yang tepat terhadap sesuatu,
gambaran suatu perilaku yang harus
diterima atau yang berkaitan dengan
orang lain.
Definisi diatas menggambarkan tentang kemampuan pengetahuan
manusia yang melahirkan sikap tindakan untuk menciptakan hubunganhubungan sosial berupa aturan-aturan nilai yang mengacu pada sesuatu
hal dalam kehidupan manusia. Yang secara langsung dapat dikatakan
sikap tindakan seseorang merupakan hasil dari hubungan-hubungan
sosial yang dilakukannya. Hal ini diperkuat oleh Spradley (1972 :8) bahwa:
Hubungan sosial merupakan hasil dari
interaksi (rangkaian tingkah laku) yang
sistematik antara dua orang atau lebih.
Suatu hubungan sosial akan ada jika tiaptiap orang dapat meramalkan secara
tepat macam tindakan yang akan datang
dari pihak lain terhadap dirinya.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 8
Dari uraian konsep diatas, dipahami bahwa hubungan yang terjadi
antara manusia dengan manusia lainnya, dapat menciptakan sikap
tindakan tertentu dari hasil hubungan sosial, yang pada akhirnya
hubungan tersebut akan membentuk jaringan sosial dalam kehidupan
masyarakat.
Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masingmasing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang
tersedia dalam masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
yang ada pada diri individu
yang bersangkutan. Manusia tidak
menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai
tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau
konteks sosialnya (Agusyanto, 1996: 14).
Dengan demikian, hubungan-hubungan sosial itu tidak terjadi atau
terbentuk secara acak, melainkan menunjukkan adanya suatu keteraturan.
Pada hakekatnya, di dalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya
masyarakat perkotaan, dijumpai adanya tiga jenis keteraturan hubunganhubungan sosial, yaitu: (1) keteratuan struktural (structural order), adalah
perilaku orang-orang ditafsirkan dalam istilah tindakan-tindakan yang
sesuai dengan posisi yang mereka duduki dalam seperangkat tatanan
posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga, asosiasi-asosiasi
sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis; (2) keteraturan
kategorikal (categorical order), adalah perilaku orang-orang dalam situasi
tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti
UNIVERSITAS HASANUDDIN 9
kelas, ras dan kesukubangsaan; (3) keteraturan personal (personal order),
adalah perilaku orang-orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur atau
tidak terstruktur, dapat ditafsirkan
dalam istilah hubungan-hubungan
antarindividu dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu
kelompok dengan kelompok lain seperti jaringan sosial keluarga. (Mitchell,
1969: 9-10).
Keteraturan dalam jaringan sosial berimplikasi pada pembentukan
struktur sosial. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak
dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud
dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu
jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku
dikaitkan dengan status dan peranan masing-masing (Suparlan, 1982: 3134). Sekurang-kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua unsur,
yaitu keseluruhan hubungan sosial yang ada di antara individu-individu
dan perbedaan individu-individu tertentu yang secara nyata ada dan
konkret. Suatu jaringan sosial akan merefleksikan pula suatu struktur
sosial.
Jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan
hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia akan berpeluang memiliki
sejumlah jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut akan
memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan
ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan yang akan dicapai. Dalam
suatu situasi, berdasarkan kebutuhan atau tujuan tertentu, seorang
UNIVERSITAS HASANUDDIN 10
individu dapat menjadi anggota suatu jaringan dan dalam situasi yang lain,
ia dapat menjadi anggota jaringan sosial yang berbeda.
Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan
dinamis yang pada dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan
selalu terkait dengan jaringan hubungan sosial yang kompleks. Apabila
seorang individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda
sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya, maka hal ini akan
merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula.
Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan hubungan
dalam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana memahami
batas-batas status dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang
terlibat di dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Oleh karena itu,
salah satu aspek penting dalam wacana jaringan sosial tidak semata-mata
terletak pada atribut para pelakunya, tetapi juga terletak pada karakteristik
dan pola-pola hubungan di antara individu-individu di dalam jaringan
sebagai cara untuk memahami dasar atau latar belakang perilaku mereka
itu (Mitchell dalam ariefhilmanarda.wordpress.com/2010)
Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan
sosial yang ada dalam masyarakat, menurut mitchell dalam arifhilman
arda maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis, Pertama,
adalah jaringan kekuasaan (power), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang
bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasi-konfigurasi
UNIVERSITAS HASANUDDIN 11
saling keterkaitan antarpelaku di dalamnya disengaja atau diatur oleh
kekuasaan. Tipe jaringan ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang
telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan konfigurasi saling
keterhubungan antarpelaku yang biasanya bersifat permanen. Hubunganhubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan kondisikondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau
distrukturkan secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini
harus mempunyai pusat kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji
ulang kinerja (performance) unit-unit sosialnya, dan mempolakan kembali
strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal
tidak memadai, masalahnya jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan
jaringan sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan
sosial tipe ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para
angotanya untuk memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa
insentif.
Kedua,
jaringan
kepentingan
(interest),
merupakan
jaringan
hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan
sosial yang bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk
oleh hubungan-hubungan yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau
khusus. Bila tujuan-tujuan tersebut spesifik dan konkret – seperti
memperoleh pekerjaan, barang, atau jasa – maka jika tujuan-tujuan
tersebut sudah dicapai oleh pelakunya, biasanya hubungan ini tidak
UNIVERSITAS HASANUDDIN 12
berkelanjutan. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah
sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak
sekonkret dan spesifik seperti itu atau tujuan-tujuan tersebut selalu
berulang, maka struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen.
Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang
terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan,
dan hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan
sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini
cenderung mantap dan permanen. Hubungan-hubungan sosial yang
terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di
antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelakupelaku lain dalam jaringan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol
secara emosional yang relatif kuat antarpelaku.
Dari konsep uraian diatas, penjelasan tentang jaringan sosial yang
secara tidak langsung menggambarkan tentang hubungan sosial manusia
yang dibagi dalam tiga jenis jaringan yang didapatkan dari proses interkasi
atau hubungan-hubungan tertentu. Sesuai dengan sifat manusia, bahwa
manusia mempunyai kebutuhan sosial yakni kebutuhan berinterkasi
dengan sesama manusia, maka pengelompokan sosial akan terjadi ketika
manusia satu melakukan hubungan dengan lainnya. Hubungan sosial
dapat terjadi hubungan yang berbentuk click atau pertemanan dan dapat
pula terjadi hubungan yang berbentuk patron-client atau hubungan yang
bersifat mengayomi dan membutuhkan (Rudita dan Famiola 2008;142).
UNIVERSITAS HASANUDDIN 13
Hubungan yang terbentuk secara click atau pertemanan terwujud
karena adanya kesamaan-kesamaan atribut oleh para pelaku yang
mendorong untuk terwujudnya suatu pengelompokan sosial, sedangkan
hubungan yang terbentuk secara patron-client lebih ditekankan pada
hubungan ketergantungan yang saling bergantung, sebagaimana si patron
(leader) yang memiliki kekuasaan penuh dan mengharap hasil kerja dari
client dan client yang memiliki ketergantungan kepada patron. Hubungan
ini menggambarkan tentang ketergantungan atas sikap dan tindakan yang
mengatur ketentuan-ketentuan dalam menjalin hubungan tersebut.
Dari penjelasan kerangka konsep diatas, maka penulis dapat
menggambarkan bagan mengenai jaringan para perompak darat yaitu
sebagai berikut :
Pemimpin Perampok
Pembeli
Anggota
Kelompok
Penadah atau BOS
Ket :
Pola Hubungan Timbal Balik
UNIVERSITAS HASANUDDIN 14
E. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam proses penelitian ini
adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara mendalam
dengan informan yang sangat memahami permasalahan yang diteliti.
Sedangkan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian
deskriptif
(Descriptive
Research),
yaitu
penelitian
yang
menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan data yang
diperoleh secara terperinci sesuai permasalahan yang ditetapkan dalam
penelitian ini.
Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Teknik Pemilihan lokasi
Penentuan lokasi penelitian untuk mengkaji dan meniliti perampok
penodongan ditentukan berdasarkan wilayah atau lokasi yang dipandang
peneliti terdapat banyak pelaku kejahatan perampok penodongan.
Penentuan lokasi yang dilakukan peneliti berdasar dari hubungan yang
dijalani oleh penulis dengan informan. Sumber untuk penentuan Lokasi
yang ditentukan peneliti untuk meneliti hal tersebut adalah wilayah
Alauddin, Kecamatan Parang Tambung Kota Makassar sebagai lokasi
awal dalam menelusuri data-data dalam penelitian ini.
Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive), karena
di kecamatan Parang Tambung terdapat banyak pelaku kejahatan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 15
penodongan sehingga penelitian yang akan dijalankan dapat berjalan
lancar sesuai dengan informasi data yang diinginkan penelti. Penentuan
atau pemilihan lokasi ini didapat dari informan yang dianggap mampu
memberikan penjelasan tentang informasi yang terkait dengan kajian
penelitian.
b. Sumber Data
Oleh karena lingkup penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka
teknik pengumpulan sampelnya menggunakan cara purposive, dimana
peneliti memakai berbagai pertimbangan, keingintahuan dari pada
penelitian tentang karakteristik pribadi dari obyek yang diteliti.
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah :
1. Informan, sebagai informan awal dipilih secara purposive, obyek
penelitian yang menguasai permasalahan yang diteliti ( key
informan ). Informasi selanjutnya diminta orang lain yang dapat
memberikan informasi, diminta pula untuk menunjukan orang lain
yang dapat memberikan informasi begitu seterusnya. Cara ini
biasanya lazim disebut sebagai snow ball yang dilakukan secara
serial atau berurutan.
2. Dokumen, yaitu melalui bahan-bahan tertulis, bahan-bahan laporan
penelitian terdahulu dan arsip lain yang Masih relevan dengan
wacana dan arah kajian yang diteliti.
3. Tempat atau lokasi untuk melakukan pengamatan
4. Instrumen Penelitian
UNIVERSITAS HASANUDDIN 16
Sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan
fokus penelitian yaitu peneliti sendiri yang telah dibantu dengan
menggunakan
alat-alat
pedoman
wawancara
serta
sarana
dokumentasi, tempat dan peristiwa.
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data didasarkan pada prinsip yang dianjurkan
oleh Naturalictic Approach yang melekat pada tradisi ilmu sosial ( Lofland
& Lofland, 1984 ) mengarah pada situasi dan kondisi setting penelitian,
kejadian yang dialami oleh subyek penelitian individu atau kelompok atas
dasar latar belakang (biografi, histori dan hubungan) personal atau
kelompok yang terjalin. Oleh Lofland & Lofland, proses ini mencakup tiga
tahap kegiatan, yaitu :
a. Persiapan memasuki kancah penelitian (getting in)
Agar proses pengumpulan data dan informasi berjalan sesuai
rencana, peneliti terlebih dahulu telah menyiapkan segala
sesuatu diperlukan, baik kelengkapan bersifat administratif
maupun semua masalah dengan berusaha memasuki lokasi
penelitian, peneliti harus melihat tempat dan fenomena yang
berkaitan dengan sumber data tambahan. Ketika menempuh
pendekatan ini dilakukan untuk melangkapi informasi informal
dan formal, serta juga harus mampu menjalin hubungan yang
akrab dengan informan. Untuk itu agar diperoleh melakukan
adaptasi berlandaskan yang etis dan simpatik sehingga bisa
UNIVERSITAS HASANUDDIN 17
mengurangi jarak antara peneliti dengan para informan. Peneliti
berperilaku dengan sopan, baik dalam kata bahasa dan
bertindak. Pada tahap ini yang diutamakan adalah bagaimana
peneliti dapat diterima dengan baik pada waktu memasuki
setting area.
b. Ketika berada di lokasi penelitian (getting along)
Disaat peneliti memasuki lokasi penelitian, maka hubungan yang
terjalin harus tetap dipertahankan. Kedudukan subyek harus
dihormati dan diberikan kebebasan untuk mengemukakan
semua persoalan, data serta informasi yang diketahui, peneliti
tidak secara langsung mengarahkan dan melakukan intervensi
terhadap worldview dan dikembangkan untuk menangkap apa
yang disampaikan, tindakan yang dilakukan, apa yang dirasakan
serta kerangka mental dari dalam yang dimiliki subyek ( emic ).
Berdasarkan emic yang diperoleh, peneliti mencoba memahami,
menafsirkan dan mencoba untuk membuat pemaknaan baru atas
worldview peneliti
c. Pengumpulan data (logging to data)
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri atas :
1. Studi Pustaka
Yaitu suatu teknik penelitian yang dilakukan dengan membaca
dan
mempelajari
buku-buku
serta
tulisan-tulisan
yang
UNIVERSITAS HASANUDDIN 18
berhubungan dengan permasalahan penelitian. Studi pustaka
ini
dilakukan
untuk
membantu
penulis
memperdalam
penegetahuan tentang masalah yang akan diteliti dan teori-teori
serta konsep-konsep untuk menganilsis permasalahan dan juga
sebagai penambah wawasan penulis.
2. Pengamatan (observasi)
hubungan sosial diantara mereka yang secara deksriptif oleh
penulis atau peneliti
Dan untuk hubungan patron-klien dan
mekanisme kerja dilakukan dengan cara wawancara mendalam
(indepth interview) pada informan.
3. Wawancara Mendalam (indepth Interview)
Wawancara mendalam dilakukan secara langsung pada
informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan rumusan masalah penelitian. Wawancara
ini dilakukan secara bebas terhadap para pelaku kejahatan
perampok penodongan (Patodong) yang dapat memberikan
informasi atau data yang berkaitan dengan penelitian.
d. Hambatan Penelitian
Penulis sadari bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang
biasa dikatakan sangat “susah” untuk dikaji dan dijadikan sebagai bahan
skripsi. Mengkaji atau meneliti tentang profesi kerja seorang criminal
(perampok penodong) telah penulis sadari bahwa hal itu pastinya akan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 19
memberikan banyak hambatan atau tantangan untuk mendapatkan data
informasi dari informan.
Selama penelitian, penulis atau peneliti tidak mendapatkan
masalah besar dalam mewawancarai maupun observasi, hanya pada
observasi dan lokasi penelitian, peneliti tidak dapat menentukan lokasi
peneltian dengan berdasar pada tempat tinggal informan. Lokasi
penelitian yang kami datangi tidak menentu sehingga penulis atau peneliti
tidak dapat menggambar secara jelas lokasi peneltian.
Selanjutnya, Hambatan penelitian pada proses pencarian data
sekunder, Ketakutan peneliti akan informasi dan data pangkal yang
diperoleh untuk memasukkan surat penelitian di Kantor Kecamatan dan
Kelurahan. Peneliti berpikir bahwa jika dimasukkan surat tersebut di
kecamatan atau kelurahan konsekuensinya akan berdampak pada
mereka (Informan) yang berada pada lokasi penelitian kami. Dan juga bias
berdampak bagi peneliti.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 20
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini disusun secara sistematis ke dalam beberapa bab, dan
setiap bab terdiri sub-sub bab, adapun sistematika penulisan disusun
sebagai berikut :
Bab I
:
Memuat bab pendahuluan yang didalamnya diuraikan
mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II :
Studi pustaka yang memaparkan studi-studi atau tulisantulisan yang memiliki hubungan dengan permasalahan
penelitian yang akan dikaji
Bab III :
Memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian yang
mencakup lokasi penelitian, keadaan geografi dan alam,
keadaan deografi, keadaan sosial budaya dan ekonomi, dan
sistem kepercayaan
Bab IV :
Pembahasan dan hasil penelitian berisikan hasil-hasil
penelitan yang menggambarkan tentang pandangan dunia
kerja, kelompok Patodong, perekrutan anggota, hubungan
kerja
antara
Patodong,
Penadah
Pembeli
dan
Menggambarkan Patodong dengan kejahatan lainnya.
Bab V :
Penutup berupa kesimpulan atas data informasi yang
diperoleh.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kelompok Sosial Dalam Kehidupan Masyarakat
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, memiliki naluri
untuk hidup dengan orang lain. Ketergantungan ini disadari oleh setiap
manusia bahwa suatu kegiatan atau usaha tidak akan mereka dapatkan
“hasil” jika tidak dibantu oleh pertolongan orang lain. Ketentuan ini
merupakan suatu realitas yang mengkaji tentang kehidupan sosial kita.
Dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, agaknya yang
paling penting adalah reaksi yang hadir sebagai akibat hubungan
ketergantungan tersebut. Reaksi yang dihadirkan inilah yang memberikan
atau menyebabkan seseorang untuk bertindak dan berperilaku atas apa
yang mereka inginkan.
Realitas sosial budaya mengandung arti kenyataan-kenyataan
sosial budaya di sekitar lingkungan masyarakat tertentu. Misalkan di jalan
raya kamu melihat orang berlalu-lalang, baik yang mengendarai
kendaraan bermotor atau para pejalan kaki. Contoh tersebut dikenal
sebagai realitas sosial di masyarakat. Sebagai kumpulan mahluk yang
dinamis, kita senantiasa menemukan realitas sosial dalam masyarakat.
Masyarakat terbentuk karena manusia menggunakan pikiran,
perasaan
dan
keinginannya
dalam
memberikan
reaksi
terhadap
lingkungannya. Hal ini terjadi karena manusia mempunyai dua kinginan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 22
pokok yaitu, keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lainnya dan
keinginan untuk menyatu dengan lingkungan alamnya. Menurut Soerjono
Soekanto, merumuskan beberapa ciri masyarakat sebagai berikut:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama.
Tingkatan hidup bersama ini bisa dalam dimulai dari
kelompok
2. Hidup bersama untuk waktu yang cukup lama. Dalam hidup
bersama
ini
akan
terjadi
interaksi.
Interaksi
yang
berlangsung terus menerus akan melahirkan sistem interaksi
yang
akan
nampak
dalam
peraturan-peraturan
yang
mengatur hubungan antara manusia.
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan
4. Mereka merupakan satu sistem hidup bersama. Sistem
kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap
anggota kelompok merasa dirinya terkait satu dengan yang
lainnya.
Masyarakat yang diakatakan sebagai system sosial Adalah suatu
system yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang terdiri dari ; tindakan
sosial yang dilakukan individu yang berinteraksi satu dengan lainnya dan
bersosialisasi sehingga tercipta hubungan-hubungan sosial. Keseluruhan
hubungan sosial tersebut membentuk struktur sosial dalam kelompok
UNIVERSITAS HASANUDDIN 23
maupun masyarakat yang akhirnya akan menentukan corak masyarakat
tersebut.
Struktur sosial Struktur sosial mencakup susunan status dan peran
yang terdapat di dalam satuan sosial, ditambah nilai-nilai dan normanorma yang mengatur interaksi antar status dan peran sosial. Didalam
struktur sosial terdapat unsur-unsur sosial, kelompok-kelompok sosial dan
lapisan-lapisan sosial. Unsur-unsur sosial terbentuk, berkembang, dan
dipelajari oleh individu dalam masyarakat melalui proses sosial. Proses
sosial adalah hubungan timbal balik antara bidang-bidang kehidupan
dalam
masyarakat
dan
memahami
norma-norma
yang
berlaku.
Sedangkan, Organisasi sosial adalah cara-cara perilaku masyarakat yang
terorganisir secara sosial. Dengan kata lain, organisasi sosial merupakan
jaringan hubungan antar warga masyarakat yang bersangkutan di dalam
suatu tempat dan dalam waktu yang relatif lama. Di dalam organisasi
sosial terdapat unsur-unsur seperti kelompok dan perkumpulan, lembaga
sosal, peranan dan kelas-kelas sosial.
Kelompok sosial adalah kumplan orang yang memiliki kesadaran
bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok atau
Perkumpulan juga dapat dikatakan sebagai masyarakat karena memenuhi
syarat-syarat tentang adanya sisstem interaksi antara para anggota,
dengan adat istiadatnya serta system norma yang mengatur interaksi itu,
dengan adanya kontinuitas, serta dengan adanya rasa identitas yang
mempersatukan semua anggota kelompok atau perkumpulan tersebut.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 24
(Koentjaraningrat :2002;154). Namun, dalam kelompok juga ada cirri
tambahan yaitu organisasi atau kelompok selalu tampak sebagai kesatuan
individu yang secara bersulang berkumpul dan kemudian bubar lagi dan
tentunya memiliki system pemimpin didalamnya.
Dalam ilmu Antropologi dan Sosiologi telah membedakan dan
membagi konsep tentang kelompok. Perbedaan ini dilihat dari azas
hubungan antara kedua macam kelompok sehingga yaitu kelompok primer
(Primary Group) dan kelompok sekunder (Secondary Group). E.
Durkheim,seorang ahli sosiologi dan Antropologi Perancis yang terkenal,
memperhatikan aspek solidaritas hubungan antara individu dalam
kelompok dan
dalam
perkumpulan,
dan
membedakannya
adalah
solidarate mechanique yang menjiwai kelompok, dan solidarate organique
yang menjiwai perkumpulan. (E. Durkheim dalam Koentjaraningrat :2002).
Lain halnya dengan P. Sorokin,seorang ahli Sosiologi yang membedakan
antara hubungan familistic (Kekeluargaan) yang mendasari pergaulan
manusia dalam kelompok dan hubungan contractual (kontrak) yang
mendasari pergaulan manusia dalam perkumpulan. (Koentjaringrat
:2002;157).
B. Kelompok sosial dipandang dari sudut individu
Di dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya, yang
menjadi dasar adalah bagaimana reaksi yang timbul sebagai akibat
hubungan interaksi sosial yang mereka lakukan. Hal inilah yang
menyebabkan tindakan sesseorang menjadi bertambah luas. Rekasi
UNIVERSITAS HASANUDDIN 25
tersebut terdapat kecendurungan manusia untuk memberikan keserasian
dengan tindakan-tindakan orang lain. Karena sejak manusia dilahirkan
sudah memiliki dua hasrat atau keinginan pokok (Soekanto :2007), yaitu::
1. Keinginan
untuk
menjadi
satu
dengan
manusia
lain
(Masyarakat).
2. Keinginan
untuk
menjadi
satu
dengan
suasana
alam
sekelilingnya.
Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan keduanya,
manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Sehingga
yang lahir adalah hubungan yang saling kait antara manusia dengan
manusia lain untuk bertahan dalam lingkungan alam sekelilingnya. Hal
inilah yang membentuk kelompok sosial dalam kehidupan manusia.
Hubungan yang terdapat dalam kelompok sosial antara lain menyangkut
tentang kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan kesadaran
untuk saling tolong menolong.
Untuk itu, ada beberapa syarat sehingga terbentuknya kelompok
sosial (Soekanto:2007) :
1. Adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok bahwa dia
merupakan sebagian dari kelompok tersebut.
2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota satu dengan
anggota lainnya.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 26
3. Ada suatu factor yang dimiliki bersama sehingga hubungan
antara mereka bertambah erat, yang dapat merupakan nasib
yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, dan
lain-lain.
4. Berstruktur dan memiliki pola perilaku.
5. Bersistem dan berproses.
Dalam masyarakat yang sudah kompleks, individu biasanya
menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu. Misalnya berdasar pada
seks, ras dan sebagainya. Akan tetapi, dalam hal lain seperti di bidang
pekerjaan, rekreasi dan sebagainya, keanggotaannya bersifat sukarela.
Apabila kelompok sosial di anggap sebagai kenyataan didalam kehidupan
manusia atau indovidu, hasrus diingat bahwa sikap individu terhadap
kelompok sosial sebagai kenyataan subjektif yang penting untuk
memahami gejala kolektifitas.
C. Kelompok-Kelompok Kecil (Small Group)
Kelompok kecil merupakan suatu kelompok yang secara teoretis
terdiri dari paling sedikit dua orang, dimana orang-orang saling
berhubungan
untuk
memenuhi
tujuan-tujuan
tertentu
dan
yang
menganggap hubungan itu penting baginya. Didalam kelompok-kelompok
besar, pastinya akan hadir kelompok-kelompok kecil. Hal itu disebabkan
karena manusia mungkin tidak mempunyai kepentingan-kepentingan yang
sama, manusia memerlukan perlindungan dari rekan-rekannya, manusia
UNIVERSITAS HASANUDDIN 27
mempunyai kemampuan yang terbatas didalam pergaulan hidup dan
sebagainya. Keadaaan demikian menyebabkan hadirnya small Group
yang merupakan wadah orang yang mempunyai kepentingan-kepentingan
yang sama. Kelompok-kelompok kecil selalu timbul didalam kelompok
atau kerangka organisasi yang lebih besar dan luas.
Komunikasi merupakan hal yang penting dalam proses berjalannya
suatu kelompok kecil. Hal ini terlihat dalam karakter kelompok-kelompok
kecil yang tergambarkan dalam menjalankannya. Antara lain sifat
Komunikasi Kelompok kecil, dimana, Komunikasi kelompok kecil terjadi
ketika tiga orang atau lebih bertatap muka, biasanya dibawah
pengarahan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan atau sasaran
bersama dan mempengaruhi satu sama lain. Inti dari definisi ini adalah
bahwa masyarakat berinteraksi, mereka saling bergantung, dan saling
mempengaruhi.
Kelompok
berkomunikasi
dengan
bertatap
muka,
Komunikasi kelompok kecil yang efektif menghendaki Anda untuk
berkomunikasi dengan orang lain melalui tatap muka. Interaksi yang
berarti dapat berlangsung jika komunikasi melibatkan hal berbicara dan
mendengar dalam lingkungan yang umum. Melalui pengenalan teknologi
baru-komputer, mesin fax, telekonferensi, dan bentuk komunikasi cepat
lainnya-masyarakat semakin terbiasa berkomunikasi dan menyokong
hubungan tanpa kehadiran fisik orang lain. Bagaimanpun, komunikasi
kelompok yang terbaik terjadi bila orang-orang dapat segera menanggapi
komunikasi verbal dan nonverbal orang lain secara pribadi. Kedua,
UNIVERSITAS HASANUDDIN 28
Kelompok Kecil Memiliki Partisipan, Terdapat berbagai macam opini
mengenai berapa banyak orang yang dibutuhkan untuk membangun
sebuah kelompok kecil, tetapi umumnya berdasarkan parameter luar
adalah 3 dan 12 orang.. Sedangkan ukuran sebagian lainnya ditentukan
oleh tujuan kelompok. Jika tujuannya untuk mendorong input individu,
diperlukan jumlah anggota yang lebih kecil. Jika anggota –anggota
hendak ditampakkan ke dalam berbagai sudut pandang, sebaiknya
dibentuk kelompok yang lebih besar. Keanggotaan suatu kelompok harus
cukup besar sehingga terdapat semua fungsi yang berorientasi pada
tugas dan manusia yang dibutuhkan dalam penyelesaian pekerjaan. Lima
sampai tujuh orang partisipan biasanya merupakan ukuran yang cukup
bagi sebuah kelompok kerja. Kelompok ini tidak terlalu kecil untuk
membagi sebuah tugas dan juga tidak terlalu besar untuk mencegah
interaksi bebas diantara para anggota.
Seseorang pembentuk kelompok pengambil keputusan akan
membatasi besarnya kelompok dengan baik karena memberi dan
menerima merupakan hal yang lebih cepat dan lebih tersebar luas dalam
kelompok kecil dibandingkan kelompok besar.” Jumlah anggota yang
ganjil mungkin umumya lebih disukai sehingga pada saat pemungutan
suara akan terdapat kelebihan suara. Ketidaksetujuan dalam suatu
kelompok bukan merupakan sifat tidak sehat, melainkan kelebihan suara
justru dapat mengatasi jalan buntu pada saat pemungutan suara
diperlukan. Ketiga, Kelompok kecil dijalankan dan dipimpin oleh
UNIVERSITAS HASANUDDIN 29
seseorang, Kepemimpinan merupakan sebuah dimensi penting dari suatu
studi kelompok kecil. Kelompok-kelompok kerja dapat berfungsi melalui
kepemimpinan yang ditunjuk, kepemimpinan yang berdasarkan jabatan
atau pangkat, atau kepemimpinan darurat. Hal yang pokok adalah
tindakan
kepemimpinan,
kelompok-kelompok
atau
mencapai
tindakan bersama
yang membantu
tujuannya,
diperlukan
sangat
untuk
kesehatan, efisiensi, dan efektivitas kelompok. Biasanya, hal yang lebih
efisien dilakukan adalah memiliki orang yang telah ditunjuk sebelumnya
sebagai pemimpin rapat, penyelenggara rapat, moderator, pemimpin, atau
fasilitator kelompok. Apabila pihak berwenang yang lebih tinggi tidak
menunjuk seorang pemimpin, sebaiknya mereka memilih seseorang untuk
jabatan tersebut. Keempat Kelompok Membagi Tujuan Dan Sasaran
Bersama, Untuk menjadi sebuah kelompok, para anggota harus membagi
tujuan bersama. Untuk menjadi sebuah tim yang efektif, sebuah kelompok
harus memiliki identitas bersama yang ditunjukkan oleh cita-cita atau
tujuan bersama. Dan Kelima adalah Anggota Memiliki Pengaruh atas
Anggota-Anggota Lainnya, Untuk menjadikan orang yang bersamasama itu sebuah kelompok, setiap anggota harus terbuka terhadap
pengaruh bersama-setiap orang dalam kelompok itu harus ikut serta
dalam kegiatan mempengaruhi dan dipengaruhi. Semangat timbal balik ini
merupakan hal penting bagi integritas suatu kelompok kecil. Perilaku
setiap anggota ditentukan dan menentukan perilaku orang lain. Kehadiran
seseorang dalam sebuah kelompok dapat berpengaruh sangat penting
UNIVERSITAS HASANUDDIN 30
terhadap perilaku dan pemikiran anggota lain dan keseluruhan proses
dalam kelompok tersebut. Beberapa orang memberikan kontribusi
gagasan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan; beberapa orang
lainnya menjaga kelompok tetap terpusat pada tugas. Seorang anggota
dapat memberikan kontribusi pada kelompoknya dengan menghentikan
ketegangan, berurusan dengan konflik, berpegang pada jadwal, atau
bertindak sebagai penyimpan catatan. Seorang pemimpin adalah
seseorang
yang
mempengaruhi
kelompok,
tetapi
tindakan
kepemimpinannya membantu para anggota dalam mencapai tujuan
mereka yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan kelompok. Setiap
anggota dapat dan harus mempengaruhi anggota-anggota lain dan
keputusan kelompok. (Zarda dalam /id.shvoong.com/Komunikasi/2010).
Suatu faktor yang kritis dari partisipasi kelompok adalah bahwa
setiap anggota harus bersikap terbuka dan mampu mengesampingkan
ambisi pribadi, “menyembunyikan agenda”, dan menghindarkan perilaku
lain yang dapat merusak kelompok dan hasil akhir tujuannya.
D. Tinjauan Tentang Jaringan Sosial
Hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah
laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Suatu hubungan sosial
akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramalkan secara tepat macam
tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Pola dari
interaksi ini disebut sebagai hubungan sosial dan hubungan sosial akan
membentuk jaringan sosial.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 31
Jaringan sosial terbentuk dalam masyarakat karena pada dasarnya
manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada;
hubungan selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu.Setiap orang
belajar
dari
pengalamannya
untuk
masing-masing
memilih
dan
mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang terbatas jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan sosial yang tersedia,
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada individu yang
bersangkutan sehingga dalam usaha peningkatan taraf hidup juga tidak
menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya (Agusyanto, 1991:
14).
Keterikatan individu-individu dalam hubungan-hubungan sosial
adalah pencerminan dirinya sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan
masyarakat,
hubungan-hubungan
sosial
yang
dilakukan
individu
merupakan suatu upaya untuk mempertahankan keberadaannya. Setiap
individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal kuantitas dan
kualitas atau intensitas hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya,
sekalipun dalam kehidupan masyarakat terbuka luas peluang bagi individu
untuk melakukan hubungan sosial secara maksimal. Hubungan-hubungan
tersebut tidak hanya melibatkan dua individu, tetapi juga banyak individu.
Keterhubungan antarindividu-individu tersebut akan membentuk suatu
jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan
sosial dalam kehidupan masyarakat (Kusnadi, 1998: 11-12). Jaringan
sosial sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk
UNIVERSITAS HASANUDDIN 32
di antara sekelompok orang yang karakteristik hubungan-hubungan
tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasi motif-motif perilaku
sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Definisi jaringan sosial
yang lain diberikan oleh Suparlan, yaitu Jaringan sosial adalah sebagai
suatu pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang, paling sedikit
terdiri atas tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri
dan masing-masing dihubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui
hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan sosial
tersebut mereka dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial
(Suparlan dalam arifhilman. Wordpress.com/2010).
Suparlan, mengatakan ada beberapa hal yang merupakan ciri-ciri
utama dari jaringan sosial, yaitu:
1.Titik-titik, merupakan titik-titik yang dihubungkan satu dengan
lainnya oleh satu atau sejumlah garis yang dapat merupakan
perwujudan dari orang, peranan, posisi, status, kelompok,
tetangga, organisasi, masyarakat, negara dan sebagainya.
2. Garis-garis, merupakan penghubung atau pengikat antara titiktitik yang ada dalam suatu jaringan sosial yang dapat
berbentuk pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan
superordinat-subordinat, hubungan-hubungan antarorganisasi,
persekutuan militer dan sebagainya.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 33
3. Ciri-ciri struktur. Pola dari garis yang menghubungkan
serangkaian atau satu set titik-titik dalam suatu jaringan sosial
dapat digolongkan dalam jaringan sosial tingkat mikro atau
mikro, tergantung dari gejala-gejala yang diabstraksikan.
Contoh dari jaringan tingkat mikro yang paling dasar adalah
suatu jaringan yang titik-titiknya terdiri atas tiga buah yang satu
sama lainnya dihubungkan oleh garis-garis yang mewujudkan
segitiga yang dinamakan triadic balance (keseimbangan
segitiga); sedangkan contoh dari jaringan tingkat makro
ditandai oleh sifatnya yang menekankan pda hubungan antara
sistem atau organisasi, atau bahkan antarnegara.
4. Konteks (ruang). Setiap jaringan dapat dilihat sebagai terwujud
dalam suatu ruang yang secara empiris dapat dibuktikan (yaitu
secara fisik), maupun dalam ruang yang didefenisikan secara
sosial,
ataupun
dalam
transportasi
selalu
sedangkan
jaringan
keduanya.
terletak
Misalnya,
jaringan
dalam
suatu
ruangan
fisik,
perseorangan
yang
terwujud
dari
hubungan-hubungan sosial tidak resmi yang ada dalam suatu
organisasi adalah suatu contoh dari suatu jaringan yang
terwujud dalam satu ruang sosial. Jaringan komunikasi dapat
digambarkan sebagai sebuah peta baik secara fisik, yaitu
geografis maupun menurut ruang sosialnya, yaitu yang
menyangkut status dan kelas sosial.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 34
5. Aspek-aspek temporer. Untuk maksud-maksud sesuatu analisa
tertentu, sebuah jaringan sosial dapat dilihat baik secara
sinkronik maupun secara diakronik, yaitu baik sebagai gejala
yang statis maupun dinamis.
Jaringan-jaringan hubungan yang terbentuk di dalam masyarakat
menjadi sedemikian penting bagi masyarakat tersebut karena di dunia ini
tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan
hubungan sosial dengan manusia lainnya di dalam masyarakatnya.
Manusia di bumi ini selalu membina hubungan sosial dengan
manusia lain di manapun ia tinggal dan hidup sebab manusia pada
dasarnya tidak dapat dan tidak sanggup hidup sendiri. Sebuah
masyarakat
dapat
dipandang
sebagai
jaringan
hubungan
sosial
antarindividu yang sangat kompleks. Seorang individu hanya menjadi
anggota dari jaringan-jaringan sosial tertentu dan tidak menjadi anggota
jaringan-jaringan yang lain. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan
manusia untuk berhubungan dengan semua manusia yang ada;
hubungannya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu.
Hubungan-hubungan sosial di mana setiap individu dilekatkan
dapat dilihat sebagai sebuah jaringan. Jaringan sosial dapat dilihat
sebagai sejumlah kecil titik-titik yang dihubungkan oleh garis-garis. Titiktitik ini dapat berupa orang, peranan, posisi, status, kelompok, tetangga,
organisasi, masyarakat, nasion atau negara dan sebagainya. Garisnya ini
dapat merupakan perwujudan dari hubungan sosial antarindividu,
UNIVERSITAS HASANUDDIN 35
pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-subordinat,
hubungan antarorganisasi, persekutuan militer, dan sebagainya (Suparlan
dalam arifhilman wordpress.com/2010/konsep-jaringan sosial).
Tiap-tiap individu dapat dilihat sebagai bintang, tempat awal garisgaris hubungan sosial menyebar kepada individu-individu lain. Boissevain
menyebutkan bahwa daerah jaringan utama (primary network zone)
merupakan daerah tempat individu pertama melakukan hubungan
langsung dengan individu-individu kedua. Namun, individu-individu kedua
ini juga melakukan kontak dengan individu-individu ketiga yang mungkin
sekali tidak dikenal oleh individu pertama. Individu pertama dapat
melakukan kontak dengan individu ketiga melalui individu kedua. Inilah
pentingnya teman dari teman. Dengan demikian, dalam kenyatannya
semua masyarakat dapat dilihat sebagai sebuah jaringan dan melalui
jaringan itu seorang individu dapat berhubungan dengan semua orang.
Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masingmasing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang
tersedia dalam masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Manusia tidak
menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai
tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau
konteks sosialnya (Agusyanto, 1996: 14). Dengan demikian, hubunganhubungan sosial itu tidak terjadi/terbentuk secara acak, melainkan
menunjukkan adanya suatu keteraturan.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 36
Di dalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat
perkotaan, dijumpai adanya tiga jenis keteraturan hubungan-hubungan
sosial, yaitu: (1) keteratuan struktural (structural order), adalah perilaku
orang-orang ditafsirkan
dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai
dengan posisi yang mereka duduki dalam seperangkat tatanan posisiposisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga, asosiasi-asosiasi
sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis; (2) keteraturan
kategorikal (categorical order), adalah perilaku orang-orang dalam situasi
tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti
kelas, ras dan kesukubangsaan; (3) keteraturan personal (personal order),
adalah perilaku orang-orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur atau
tidak terstruktur, dapat ditafsirkan
dalam istilah hubungan-hubungan
antarindividu dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu
kelompok dengan kelompok lain.
Individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan
hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia akan berpeluang memiliki
sejumlah jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut akan
memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan
ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan yang akan dicapai. Dalam
suatu situasi, berdasarkan kebutuhan atau tujuan tertentu, seorang
individu dapat menjadi anggota suatu jaringan dan dalam situasi yang lain,
ia dapat menjadi anggota jaringan sosial yang berbeda. Keanggotaan
individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis. Pada
UNIVERSITAS HASANUDDIN 37
dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan selalu terkait
dengan jaringan
hubungan sosial yang kompleks. Apabila seorang
individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda sesuai
dengan konteks khusus atau fungsinya, maka hal ini akan merefleksikan
struktur sosial yang berbeda pula.
Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan
hubungan dalam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana
memahami batas-batas status dan peranan serta hak dan kewajiban
individu yang terlibat di dalam hubungan-hubungan sosial tersebut.
Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan
sosial yang ada dalam masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan
menjadi tiga jenis. Pertama, adalah jaringan kekuasaan (power),
merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial
yang dibentuk oleh
hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan
kekuasaan, konfigurasi-konfigurasi saling keterkaitan antarpelaku di
dalamnya disengaja atau diatur oleh kekuasaan. Tipe jaringan ini muncul
bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan
tindakan kolektif dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku yang
biasanya bersifat permanen. Hubungan-hubungan kekuasaan ini biasanya
ditujukan pada penciptaan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah
artifisial yang direncanakan atau distrukturkan secara sengaja oleh
kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus mempunyai pusat kekuasaan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 38
yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja (performance) unit-unit
sosialnya, dan mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan
efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal tidak memadai, masalahnya
jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan jaringan sosial yang
terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan sosial tipe ini tidak
dapat menyandarkan diri pada kesadaran para angotanya untuk
memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa insentif. Kedua,
jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan hubungan-hubungan
sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan
kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan
yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila tujuantujuan tersebut spesifik dan konkret – seperti memperoleh pekerjaan,
barang, atau jasa – maka jika tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh
pelakunya, biasanya hubungan ini tidak berkelanjutan. Struktur yang
muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah.
Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik seperti itu
atau tujuan-tujuan tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk
relatif stabil dan permanen.
Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang
terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan,
dan hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan
sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini
cenderung mantap dan permanen. Hubungan-hubungan sosial yang
UNIVERSITAS HASANUDDIN 39
terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di
antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelakupelaku lain dalam jaringan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol
secara emosional yang relatif kuat antarpelaku (Agusyanto, 1997: 26-28).
Dalam kenyataan di lapangan, sebuah jaringan sosial tidak hanya
dibentuk oleh satu jenis jaringan sosial di atas. Namun, terjadi tumpang
tindih antara tiga jenis bentuk hubungan sosial tersebut. Sebuah jaringan
sosial dianggap sebagai jaringan kepentingan jika hubungan-hubungan
yang terbentuk dalam jaringan sosial tersebut lebih dominan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan tertentu.
Dua jenis jaringan sosial yang lain, yaitu jaringan kekuasan dan jaringan
perasaan tetap ada tetapi tidak dominan.
Bila dilihat dari status sosial ekonomi dari individu-individu yang
terlibat dalam suatu jaringan sosial, terdapat dua jenis jaringan sosial,
yaitu jaringan sosial yang bersifat horisontal dan hubungan sosial yang
bersifat vertikal. Jaringan sosial bersifat horisontal jika individu-individu
yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial ekonomi yang relatif sama.
Mereka memiliki kewajiban yang sama dalam perolehan sumber daya,
dan sumber daya yang dipertukarkan juga relatif sama. Sebaliknya, dalam
jaringan-jaringan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang
terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan.
Jaringan sosial dapat dianggap sebagai suatu jaringan komunikasi
jika di dalamnya mengalir informasi dari satu pihak ke pihak lainnya
UNIVERSITAS HASANUDDIN 40
sehingga
terjadi
pertukaran
informasi.
Seorang
individu
dapat
mengirimkan pesan kepada lebih banyak orang dibandingkan dengan
banyaknya orang yang ia kenal – yang merupakan orang-orang yang
melakukan hubungan langsung dengannya (primary network zone) –
karena tiap-tiap orang yang berhubungan langsung dengan pemberi
pesan mempunyai potensi untuk menyampaikan pesan tersebut kepada
banyak orang lagi.
Konsep ‘teman’ dan ‘pertemanan’ atau ‘persahabatan’ mengacu
pada hubungan sosial antara dua orang atau lebih dengan hubungan
yang bersifat sukarela, dekat dan berlangsung dalam waktu yang relatif
lama. Nilai-nilai yang tercakup dalam pertemanan adalah kedekatan,
solidaritas, tidak adanya maksud-maksud tersembunyi, resiprositas, dan
terlepas dari pembedaan-pembedaan umur, jenis kelamin dan kelas
sosial.
Wolf dalam Hilman Arda (2008: 10-15) membedakan hubungan
pertemanan menjadi dua macam yaitu hubungan pertemanan ekspresif
atau emosional dan hubungan pertemanan instrumental. Hubungan
pertemanan emosional adalah hubungan dua orang teman yang tiap-tiap
pihak
saling
memuaskan
kebutuhan
emosionalnya.
Hubungan
pertemanan instrumental adalah hubungan pertemanan yang sebenarnya
tidak ditujukan untuk memperoleh akses untuk menggunakan sumber
daya baik sumber daya alam maupun sosial, tetapi hal itu menjadi penting
dalam hubungan pertemanan ini. Setiap partisipan merupakan sponsor
UNIVERSITAS HASANUDDIN 41
bagi mereka yang lainnya. Hal ini berarti hubungan pertemanan ini
memungkinkan seseorang untuk menghubungkan temannya dengan
orang
lain
yang
mempunyai
relasi
atau
koneksi
dalam
rangka
mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan.
Dalam hubungan pertemanan instrumental ini tedapat rasa saling
percaya dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Selain itu hubungan
pertemanan ini bersifat timbal balik yang simetris dan seimbang. Hal-hal
inilah yang memungkinkan hubungan pertemanan instrumental dapat
terus berlanjut. Hubungan pertemanan instrumental berkembang dengan
baik dalam situasi sosial yang relatif terbuka serta situasi di mana tiap-tiap
pihak dapat saling berlaku sebagai sponsor bagi yang lainnya dalam
rangka untuk memperluas ruang gerak sosial mereka.
E. Tinjauan Tentang Tindak Kejahatan Dalam Kehidupan Masyarakat.
Kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai masalah sosial
tergantung dari system nilai yang terdapat dalam suatu masyarakat
tertentu, namun dalam beberapa hal, terdapat masalah sosial yang
merupakan permasalahan yang sering dijumpai dalam kehidupan
masyarakat, yaitu kemiskinan dan kejahatan.
Penulis pernah mendengar Berita di Salah satu Siaran Televisi
Swasta, tentang kecendurungan manusia melakukan suatu tindak
kejahatan atau tindak penyimpangan, hal yang dilakukan oleh individu
atau kelompok tertentu disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinan memiliki
pengaruh besar besar terhadap tindak kejahatan seseorang. Kedua factor
UNIVERSITAS HASANUDDIN 42
tersebut merupakan satu kesatuan yang mempengaruhi seseorang
melakukan suatu tindakan yang nekat (kejahatan). Sehingga, pada sub
bab ini penulis akan berusaha menguraikan tentang Kemiskinan dan
Kejahatan sebagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
tidak sanggup untuk memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan
kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun
fisiknya dalam kelompok tersebut. Secara history, bahwa keadaan hidup
dan
kaya
merupakan
suatu
persoalan
yang
diakibatkan
oleh
perkembangan zaman yang menentukan kebutuhan manusia, dimana ada
ketentuan-ketentuan pemenuhan kebutuhan hidup yang membedakan
miskin dan kaya melalui taraf hidup manusia dalam kehidupannya. Pada
masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasi, kemiskinan bukan
merupakan suatu masalah sosial karena mereka menganggap bahwa
semuanya
ditakdirkan
sehingga
tidak
ada
usaha-usaha
untuk
mengatasinya.
Pada masyarakat modern, kemiskinan menjadi suatu masalah
karena setiap manusia memiliki kebencian akan kemiskinan tersebut.
Seseorang merasa miskin bukan karena kurang makan, kurang minum,
dan sebagainya, namun kemiskinan menurut mereka berasal dari
pemenuhan kebutuhan hidup (taraf hidup) yang kurang dimiliki oleh
seseorang tersebut. Kepemilikan akan harta hidup (materi) tidak
UNIVERSITAS HASANUDDIN 43
memberikan mereka kepuasan hidup dan tidak menjangkau kebutuhan
hidup seperti orang-orang lainnya.
Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus
urbanisasi. Realitas yang terjadi banyak diantara mereka yang datang di
kota untuk mencari untuk menggantungkan hidupnya, ternyata tidak
mendapatkan pekerjaan. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi manusia yang memberikan dampak terhadap seseorang yang
tidak memiliki kuantitas sumber daya, maka secara langsung akan
melakukan atau mencari “pekerjaan” yang dapat membantunya “hidup”
dalam ruang hidup tertentu. Sehingga yang lahir adalah banyak dari
mereka, nekat untuk melakukan suatu “tidak kejahatan” tertentu dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kejahatan, dilihat dari sudut pandang pendekatan legal diartikan
sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau Undangundang yang berlaku di masyarakat (Soekanto :2007). Pada hakikatnya,
suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau Undang-undang
yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah suatu perbuatan yang
sangat merugikan masyarakat yang bersangkutan. Mengapa demikian?
Kita harus sadari bahwa eksistensi suatu hukum di dalam masyarakat
merupakan pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya
kehidupan bersama menjadi baik dan tertib. Dengan dilanggarnya fondasi
UNIVERSITAS HASANUDDIN 44
ketertiban masyarakat tersebut maka tentunya perbuatan tersebut adalah
jahat.
Pernyataan bahwa tidak akan ada kejahatan apabila tidak ada
hukum
(undang-undang)
pidana
dan
bahwa
kita
akan
dapat
menghilangkan seluruh kejahatan hanya dengan menghapuskan semua
hukum (undang-undang) pidana adalah logomachy. Memang benar
bahwa andaikata undang-undang terhadap pencurian ditarik kembali,
maka mencuri itu tidak akan merupakan kejahatan, meskipun ia bersifat
menyerang atau merugikan dan masyarakat umum akan memberikan
reaksi terhadapnya.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 45
BAB III
SITUASI SOSIAL LOKASI PENELITIAN
Pada bab ini, penulis tidak dapat memberikan gambaran data
sekunder tentang lokasi penelitian yang kami lakukan, dikarenakan lokasi
peneltian tidak menentu dan terdapat beberapa masalah pada proses
penelitian yang berdampak pada profesi informan yang kami teliti.
Sehingga untuk Bab ini, penulis akan mencoba menggambarkan tentang
kehidupan lingkungan sosial masyarakat setempat sampai dengan
Suasana markas “x” sebagai lokasi penelitian yang saya lakukan.
A. Kondisi Lingkungan Sosial Masyarakat Parang Tambung Lokasi “x”
Kelurahan Parang Tambung adalah bagian dari wilayah kota
Makassar yang memiliki tingkat mobilitas dan aktifitas masyarakat yang
sangat tinggi dikarenakan wilayah Parang Tambung sangat dekat dengan
Pusat Kota. Masyarakat Kelurahan Parang Tambung lokasi “x” pada
umumnya merupakan masyarakat yang sebagian besar berasal dari
Makassar, dan sebagian lainnya merupakan masyarakat pendatang yang
datang untuk mencari pekerjaan.
Aktifitas yang dilakukan
oleh masyarakat
setempat
sangat
beraneka ragam sehingga kondisi setempat terbilang cukup ramai dalam
kehidupan sehari-hari di Kelurahan Parang Tambung lokasi “x”. Penulis
dapat katakan bahwa wilayah Kelurahan Parang Tambung lokasi “x” dapat
dikatakan memiliki tingkat keamanan yang “lumayan” walaupun masih
UNIVERSITAS HASANUDDIN 46
banyak
perilaku-perilaku
seseorang
atau
beberapa
orang
yang
menyimpang, seperti pesta minuman keras (ballo), aktifitas para waria
pada malam hari, para “pelacur jalanan” yang ngurumpi di lorong-lorong
hingga
subuh,
dan
para
anak-anak
(9-12
Tahun)
yang
asyik
menggunakan obat penenang yang mereka kenal dengan istilah “somad”.
Hal tersebut diatas tidak memberikan efek akan kestabilan
keamanan di daerah Parang Tambung, mereka hanya melakukan itu
hanya untuk kesenangan dan bukan untuk mencari sensasi yang dapat
mengakibatkan keributan atau kekacauan tertentu.
Kehidupan sosial dan interaksi yang dilakukan oleh masyarakat
Parang Tambung “x” sangat baik. Masyarakat setempat masih saling
menghormati
dan
menyadari
akan
kedudukan
mereka
sebagai
masyarakat yang taat pada hokum dan norma-norma yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat. Namun, ada hal-hal yang mereka anggap
sebagai bentuk “individual” yang tidak dapat mereka campuri, dengan kata
lain bahwa masyarakat setempat “acuh” dan tidak mempedulikan apa
yang dilakukan (penyimpangan) oleh individual lainnya selama hal
tersebut tidak mengganggu dan mengancam keselamatan mereka.
Karakter masyarakat ditentukan oleh mata pencaharian hidup
mereka, menurut penulis, sebagian besar masyarakat yang melakukan
penyimpangan (minum minuman keras, pelacuran-prostitusi, kenakalan
remaja) adalah individu individu yang memiliki tingkat pendapatan yang
masih belum mencapai standar hidup. Seperti tukang becak, sopir
UNIVERSITAS HASANUDDIN 47
angkutan umum, buruh bangunan, dan pengangguran hal ini seterlihat
pada kondisi sosial masyarakat lokasi “x” tersebut.
Lingkungan sosial wilayah lokasi penelitian yang kami lakukan
berada pada lokasi pemukiman yang tersusun secara teratur dan dapat
dikenal hanya dengan melihat kondisi fisik bangunan. Bangunan yang
tertata berhimpitan merupakan wilayah pemukiman masyarakat yang
sebagian besar merupakan masyarakat pendatang dari Jeneponto yang
mencari pekerjaan di kota Makassar dan sebagian pekerjaan mereka
adalah sebagai sopir dan tukang becak atau pemulung (Payabo).
Bangunan tempat mereka tinggal adalah bangunan sewa atau kontrak.
Lokasi pemukiman ini merupakan lokasi yang banyak ditemukan pesta
minuman keras (ballo). Sedangkan pada lorong-lorong jalan tertentu
banyak terdapat remaja-remaja atau anak muda yang nongkrong, dan hal
ini berlangsung hamper tiap hari dalam kehidupan masyarakat Parang
Tambung. Banyaknya pengangguran dan anak-anak muda atau remaja
yang dilihat “bebas” dalam lingkungan sosial masyarakat Parang
Tambung merupakan hasil dari kurang adanya “tanggung jawab” orang
tua mereka untuk mengontrol atau mendidik mereka sebagaimana
mestinya. Hasil dari “acuh tak acuh” mereka sebagai orang tua adalah
dengan melihat anaknya secara bebas melakukan apa yang mereka
kehendaki.
Remaja di lingkungan Parang Tambung “x” melakukan apa saja
yang mereka inginkan, dan akibatnya ada beberapa remaja diantara
UNIVERSITAS HASANUDDIN 48
mereka yang dikenal penulis sebagai pencuri dan Mereka melakukan hal
tersebut hanya untuk memenuhi hasrat mereka.Tak lepas dari hal ini,
tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi pola perilaku seseorang dan
ini terlihat jelas dalam kehidupan remaja disana.
Sangat
jelas
bahwa
pada
masyarakat
Parang
Tambung,
pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dapat dikatakan hampir sebagian
besar masyarakat khususnya anak-anak remaja (5-17 Tahun) dapat
terpenuhi. Keragaman dan kreatifitas pekerjaan yang mereka lakukan
(tukang becak, sopir angkutan umum) tidak memberikan alasan untuk
tidak menyekolahkan anaknya. Sehingga pada masyarakat Parang
Tambung
“x”
hampir
sebagian
besar
anak-anak
atau
remaja
mennginjakkan kaki di sekolah sampai pada tingkat sekolah menengah,
dan yang terhitung menginjakkan kaki di perguruan tinggi hanyalah
beberapa orang dan selebihnya adalah masyarakat pendatang.
Mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah (Tepo’
Pulpen) inilah yang sebagian besar bekerja sebagai buruh bangunan dan
pemulung (Payabo’). Pekerjaan dan profesi mereka tidak membatasi
mereka untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Karakter atas
pekerjaan yang mereka jalani inilah yang penulis temukan bahwa dalam
pekerjaan mereka ada pekerjaan sampingan yang mereka lakukan yaitu
sebagai “Patodong” (perampok penodong).
UNIVERSITAS HASANUDDIN 49
B. Situasi Sosial Wilayah “x” Markas Patodong
Pada wilayah “x” markas, tata ruang atau letak antara rumah satu
dengan yang lainnya masih belum teratur. Kondisi fisik markas mereka
sangat sederhana yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan
memiliki bagian yang digunakan sebagai tempat bekumpul mereka. Letak
dari markas mereka berada di lorong setapak pertama pada wilayah
parang tambung “btd x”, rumah ke tiga kanan lorong yang berhimpitan
dengan rumah lainnya.
Tempat tersebut mereka biasa digunakan untuk berkumpul satu
dengan yang lainnya. Meminum minuman keras ataukah mengkonsumsi
narkoba mereka lakukan di tempat tersebut. Anehnya, masyarakat
setempat tidak terlihat untuk menegur atau memberikan sanksi kepada
mereka yang secara terang-terangan meminum-minuman keras. Hal ini
terjadi dikarenakan banyak juga masyarakat stempat yang gabung untuk
sama-sama “nginung” sehingga hal tersebut tidak dipedulikan oleh
masyarakat setempat.
Sebagian besar masyarakat “x” adalah pekerja buruh, tukang
becak, dan supir angkutan umum. Sehingga, pada pagi hari sangat ramai
dan pada malam hari banyak remaja atau muda-mudi yang berkumpul di
depan lorong. Namun, dalam keramian tersebut dan gambaran situasinya,
keamanan di lokasi “x” masih bisa dikontrol dalam kehidupan masyarakat
lokasi “x” setempat.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 50
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis menjelaskan dan menggambarkan sisi
kehidupan sang perampok mulai dari kehidupan keluarga mereka sampai
pada pola hubungan kerja yang secara tidak langsung memberikan
mereka strategi strategi bertahan hidup. Yaitu dengan melakukan ltindak
kejahatan penodongan. sehingga pada tulisan ini, penulis menekankan
pada gambaran kehidupan dan pandangan mereka tentang dunia kerja,
kelompok dan mekanisme kerja, Hubungan kerja (Patodong) dengan
penadah (Pattada) dan pembeli, dan sekilas gambaran tentang mereka
dan pencuri.
A. Kehidupan dan Pandangan Tentang Dunia Kerja.
Kehidupan ini dapat tergambarkan jika kita dapat “bertahan hidup”
Perkembangan akan semua
yang menjadi kebutuhan kita seperti
makanan, minuman, pakaian, materi kepuasan seperti rumah, motor,
mobil, adalah sesuatu yang diperlukan manusia secara tidak langsung.
Keinginan akan pemenuhan kepuasan tersebut merupakan sumber dari
seseorang melakukan sesuatu pekerjaan, mulai dari pekerjaan yang
dipandang positif sampai pada pekerjaan yang memberikan kerugian
bagi orang lain.
Keterpaksaan melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan manusia
merupakan hasil dari cara berpikir mereka. Baik dan buruk yang mereka
UNIVERSITAS HASANUDDIN 51
lakukan adalah hasil dari kesadaran mereka tentang apa yang mereka
kerjakan, mulai dari Pekerja Sipil, Karyawan Kantor, Penjaga Toko,
Tukang Becak, Tukang Ojek, hingga Pekerja yang mengambil “semua
jalan” untuk dapatkan materi pemenuhan hidup mereka seperti menjadi
Pencuri dan Perampok (Patodong). Kehidupan kerja dalam pandangan
mereka adalah semua pekerjaan sama yang membedakannya hanyalah
bidang mereka masing-masing. Sehingga yang menentukan baik
kehidupan yang dijalani seseorang adalah dengan melihat pekerjaan
apa yang mereka kerjakan.
Hal diatas terlihat pada seorang pelaku kejahatan perampok
(Patodong) yang memandang kehidupan ini seperti permainan yang
selalu saja berubah cara bermainnya, ketentuan tentang nasib dan hak
mereka untuk menjadi seseorang yang menginginkan kepuasan atas
“materi materi hidup” layaknya orang –orang yang mendiami lingkungan
sosial dekat mereka, dengan hal tersebut, lingkungan sosial yang
mereka tempati memberikan arti sendiri dalam kehidupan mereka.
Seperti yang diungkapkan Informan B (32 Tahun) kepada peneliti :
“..saya tauji kalo kerjaka begini salah, tapi beginimi kalo
eroki tallasa, mau tonga jadi orang, mautonga itu punya
handphone, punyaka motor, mau diapa, beginika dari
kecil, orang tuaku tidak ada uangna, tidak skolahka, tidak
tamatka SD, mau tonga itu kayak kau, anjari mahasiswa,
tapi mau diapa kodong..” (Wawancara Tanggal 12
Desember 2010)
UNIVERSITAS HASANUDDIN 52
Kejujuran dan keterpaksaan mereka yang terlihat dari pengakuan
informan diatas, menggambarkan mereka akan suatu “penyesalan hidup”
mereka atas keterbatasan financial mereka dari kecil, keluarga mereka
yang seharusnya jadi panutan akan masa depan mereka malah
memberikan kesengsaraan tersendiri. Sehingga yang mereka lakukan
adalah bagaimana mencari suatu pekerjaan yang menurut mereka dapat
memenuhi segala kebutuhan keluarganya.
Penulis dapat memahami bahwa kehidupan ini tidak terlepas dari
“sejarah kehidupan” mereka. Hakekatnya, mereka berasal dari keluarga
yang “kurang” dalam hal ini orang tua mereka kurang memiliki financial
yang cukup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sehingga
efek yang diberikan akan ditanggung oleh mereka sejak kecil hingga
menjadikan mereka sosok pekerja yang ingin merubah “ketentuan hidup”
yang mereka rasakan sekarang.
Keterpurukan akan pendidikan dan kepuasan materi yang tidak
terpenuhi sejak kecil membuat mereka “kuat” dalam menjalani kehidupan
ini. Seperti yang diungkapkan informan A (34 Tahun) kepada peneliti :
“ dari kecilka dulu tidak dijampangngima sama maceku,
nabiarkanja keluar, pergi mayabo’, malluka tonga cucianna
orang, sambarang dikerja, mauki minta uang dikasiki
panjaguru, anu memang kalo miskinki sengasara orang..”
(Wawancara tanggal 14 Desember 2010)
Penyataan tentang kerasnya kehidupan mereka seperti yang
diungkapkan informan diatas merupakan dasar atas perilaku mereka yang
UNIVERSITAS HASANUDDIN 53
berasal dari kehidupan keluarga yang kurang mampu, hal ini dipertegas
oleh pernyataan informan B (32 Tahun) kepada peneliti :
“ beginimi kalo orang miskinki, tidak punya apa-apa,
bapakku dulu kerjanya Cuma pangjama bangunan, kalo
dapatmi uang, a’lampai nginung ballo siagangngi
aganana, nakke tidak naurusma, nakana mate
konaung,.”(Wawancara Tanggal 12 Desember 2010)
Tampak bahwa, Kekerasan dalam bentuk psikis dan tidak
terpenuhinya kepuasan yang tersalurkan (bahagia) pada masa kecil
mereka, membuat mereka secara tidak langsung tertekan dan membuka
diri untuk melakukan hal hal yang membuat mereka “bertahan”, sehingga
semua pekerjaan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang anak
kecil terpaksa dilakukan demi untuk memenuhi kepuasan mereka dan
membantu orang tua mereka. Diperjelas kembali oleh informan B (32
Tahun) kepada peneliti :
“..dulu itu saya kerja mayabo, tiap harika dapat paling
banyak itu lima ratus sampe seribu, banyak skalimi itu
kalo dapatki, kalo dapatka seribu, kupakeki beli
sambarang, rokok sipappa’, baru kusimpang tongi sedikit
karena biasa maceku itu minta tongi uang disaya mau beli
sayur ato apa..”(Wawancara Tanggal 12 Desember 2010)
Pekerjaan yang dilakukan oleh orang dewasa telah mereka rasakan
sejak kecil, kekerasan yang mereka terima secara tidak langsung yang
membentuk mereka menjadi seperti sekarang. Kerterbatasan akan
financial keluarga yang menutupi dan membatasi mereka mendapatkan
segala ssesuatu yang berkaitan dengan masa depan mereka, dan sesuatu
UNIVERSITAS HASANUDDIN 54
itu adalah pendidikan. Hakekatnya, manusia berperilaku itu berdasarkan
pengetahuan mereka tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang
tidak harus dilakukan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam hal
ini sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan media pendorong bagi
mereka untuk mencegah tindakan buruk seseorang, dan media inilah yang
tidak didapatkan oleh mereka. Seperti yang diutarakan informan B (32
Tahun) kepada Penelti :
“..kutaumi kalo sekolah orang, pasti berhasilki, saya dulu
sekolah tonja, tapi sampe SMP, itupun tidak tammat,
mauki apa, tidak ada biaya sekolah yang nakasi dulu,
tidak sanggup kodong biayaika, sekarang kalo dapatma
banyak uang, kukasi sekolahki anakku, tapi bukang dari
uang ini,..”(Wawancara Tanggal 12 Desember 2010)
Hal serupa diungkapkan Informan A (34 Tahun) kepada Peneliti :
“..memang penting sekali itu sekolah, saya dulu sampe
SD, baru tidak lanjutka, karena kurasami toh enak, dapatki
uang, sekarang baru kuliat ternyata kalo orang sekolah itu
pasti berhasilki, anakku ini kukasi sekolah, mauka kasi
sekolah ini sampe SMA kalo bisa sampe kuliah, supaya
tidak sama kayak bapakna..”(Wawancara Tanggal 14
Desember 2010)
Kesadaran akan pentingnya pendidikan memberikan mereka
motivasi untuk merubah “jalur” kehidupan mereka agar tidak merembes
pada keturunan mereka kelak. Ketakutan akan profesi sebagai perampok
penodong (Patodong) yang mereka kerjakan, membuat mereka sadar
bahwa hal ini salah dan harus merubah jalan hidup demi kepentingan dan
masa depan anak-anak mereka kelak. Pendidikan adalah sesuatu yang
UNIVERSITAS HASANUDDIN 55
dapat memberikan kehormatan tersendiri bagi mereka yang menginginkan
pandangan positif dari lingkungan sosial yang mereka tempati. Hal ini
tampak pada realitas kehidupan sosial, hubungan-hubungan sosial
dengan individu dalam lingkungan sosial mereka dimana bagi mereka,
orang yang tidak berpendidikan pastinya tidak selalu untuk didengar dan
dihormati yang ada hanyalah pandangan negative yang mereka dapatkan.
Hal ini dipertegas oleh Informan A (34 Tahun) kepada peneliti :
“..saya disini dari lahir, besarka disini, tidak pernahka
pindah-pindah, ini rumahnyaji orang tuaku saya tempati,
baru nuliatmi toh, tidak ada itu orang-orang bapak-bapak
yang panggilka biasa kalo ada rapat, padahal kalo mau
dibilang sayami itu paling lama tinggal disini, mungkinmi
natau kalo saya ini tidak baik atau apa toh, tidak punya
sekolah, paling nabilangji apa tong kau, tidak adaji
sekolahmu..begitu saja tidak napandangki apalagi kalo
natauka jadi Patodong atau Pattada, bagaimana
are..”(Wawancara Tanggal 14 Desember 2010)
Pengutaraan informan diatas menggambarkan seorang yang
pernah melakukan perbuatan yang buruk dan perjalan hidup yang “keras”
memberikan arti pandangan tersendiri dlam suatu lingkungan sosial
masyarakat, kehidupan mereka dipandang “tak pantas” disebabkan
karena factor “kebodohan” dan label “nakal” yang membuat mereka harus
menjalani dan merasakan hal tersebut.
Mereka
(Patodong)
menyadari
bahwa
dalam
pandangan
masyarakat tentang sesuatu yang tidak baik (nakal atau penjahat), mereka
pastinya adalah seseorang yang tidak pantas untuk diberikan kebaikan
atau dalam hal ini menjalin hubungan dengan mereka. Namun, tidak
UNIVERSITAS HASANUDDIN 56
dipungkiri bahwa dalam lingkungan sosial mereka, keterpaksaan akan
pergaulan dengan masyarakat setempat memberi arti tersendiri bagi
mereka tentang bagaimana membina hubungan-hubungan sosial dengan
masyarakat sekitar dengan menyembunyikan identitas mereka sebagai
seorang pelaku kejahatan Patodong. Informan X (26 Tahun) mempertegas
kepada peneliti :
“..kalo orang disini natauka kerja begini, pasti tidak ada yang
mau dekat sama saya, nutaumi kalo jadi perampok orang,
pasti najalling birrisi tawwa..mau tidak mau saya tidak boleh
kasi lihat kalo saya ini Patodong ini, masa’ mauki bilang
liatka nakke Patodong..”(Wawancara Tanggal 22 Desember
2010)
Hal ini dipertegas oleh Informan B (32 Tahun) kepada Peneliti :
“..hampirka dua belas tahun kerja begini, tapi tidak pernahji
ditau kalo saya ini pencopet, palukka, atau parampok, pintarpintarta sembunyi, jangan sampe ditauki, pasti ditangkapki,
biarmi kalo natauka nakal, atau nabilangika miskin, yang
penting tidak natauja jadi parampok, ecece kalo natau
penjarama, nutaumi toh orang disini, capila semua,..”
(Wawancara tanggal 18 Desember 2010)
Hal diatas menggambarkan tentang bagaimana mereka secara
tidak langsung menginginkan kehidupan mereka secara baik atau dalam
pengertiannya mereka ingin menjadi makhluk sosial yang berinteraksi
dengan orang lain, saling menghormati, saling memberikan kebaikan dan
saling membantu disaat mereka memerlukan. Keinginan untuk memenuhi
kategori makhluk sosial inilah yang membuat mereka menyembunyikan
identitas mereka, menyembunyikan pekerjaan mereka dari publik
UNIVERSITAS HASANUDDIN 57
masyarakat lingkungan sosialnya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari
mereka, pandangan masyarakat tetap masih sama yaitu mereka
(informan) sebagai sesuatu yang “buruk” dikarenakan status sosial
mereka (kehidupan keluarga/orang tua), perjalanan hidup masa kanakkanak terlihat “nakal” hingga remaja yang menjadi frame tersendiri dalam
pandangan masyarakat tentang mereka. Sesuai dengan pernyataan
informan A (34 Tahun) kepada peneliti :
“..biarki sembunyikan bagaimana kalo kita ini Patodong, tapi
memang masyarakat disini kayak taumi kalo kita ini memang
nakal, paceku dulu nginungji, maceku tena najampangika,
hancurka memang dulu, jadi kalo ada kecurian disini, pasti
itu orang yang dicuri mengarah ke sayaji,..”(Wawancara
Tanggal 14 Desember 2010)
Pernyataan informan diatas, menjelaskan bagaimana Identitas
yang mereka miliki sekarang adalah hasil atau sebab dari kehidupan
mereka (orang tua) yang kurang mampu, kurang adanya pengawasan,
kontrol, dan perhatian sejak kecil, sehingga membentuk mereka menjadi
seseorang yang berperilaku keras, dan membentuk jiwa memberontak
terhadap aturan-aturan hidup dalam kehidupan sosialnya. Mereka
(Patodong) layaknya makhluk bebas yang tidak akan pernah terikat oleh
aturan-aturan hidup yang mereka pandang sebagai penghalang bagi
mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kehidupan yang
keras yang pernah mereka alami membuat mereka termotivasi untuk
merubah keadaan tersebut dengan menghadirkan dalam cara pikir
mereka untuk mendapatkan sejumlah materi melalui pekerjaan merampok
UNIVERSITAS HASANUDDIN 58
(Patodong). Kehidupan yang mereka jalani sekarang merupakan sesuatu
yang secara sadar dilakukan. Menjadi seorang perampok adalah hal yang
mereka sukai, dan menjalaninya dengan kesadaran dalam diri mereka
akan konsekuensi yang akan mereka dapatkan.
Melakukan pekerjaan sebagai seorang perampok bukanlah sesuatu
hal yang datang tiba-tiba, merasuk dalam otak mereka dan menghasut
untuk
melakukannya,
namun
untuk
menjadi
seorang
perampok
(Patodong) haruslah berdasarkan pengalaman yang banyak akan tindak
kejahatan yang hampir sama, dan dengan ilmu yang mereka dapatkan
dari pengalaman mereka tersebut membuat mereka berani dan sadar
untuk melakukan pekerjaan tersebut (Patodong). Pengalaman akan dunia
kejahatan yang membuat mereka terlena dalam melakukan hal tersebut.
Sejak kecil mereka telah merasakan dan melakukan pekerjaan kasar
seperti menjadi pemulung yang berprofesi ganda atau dalam bahasa
penulis “ sambil yabo’ malukka”.
Tidak sedikit anak remaja yang bekerja menjadi pemulung
sekaligus menjadi pencuri. Dalam lingkungan sosial tempat tinggal
peneliti, banyak anak remaja yang tertangkap oleh aparat hukum akibat
mencuri yang berkedok sebagai pemulung. Gambaran realitas inilah yang
menjadi awal mereka menjadi sesuatu yang lebih besar nantinya. Jika kita
melihat bahwa pengalaman yang akan membentuk kita menjadi
seseorang untuk mengetahui sesuatu maka secara tidak langsung itu
berlaku dalam kehidupan para perampok (Patodong). Pengalaman
UNIVERSITAS HASANUDDIN 59
mereka sejak kecil membuat mereka berani untuk melakukan pekerjaan
tersebut dan tidak takut terhadap jeratan aturan hukum yang berlaku.
Jelas terlihat dari pernyataan informan B (32 Tahun) terhadap peneliti :
“ ..dari kecilka mayabo’, disitumi kalo kulihat ada rumah
kosong masukka, lompatka pagarnya, kalo terkunci
pintunya, biasa langsung kebelakang rumahnya, kalo kulihat
ada pakaian ta’gantung langsungmi kuambil, berapa kalika
dulu ditangkap, lepaska lagi, begitu terus, tapi tidak selaluja
ditangkap, mulaimi dari situ saya mulai mencuri sampe
nulihatmi sekarang toh..”(Wawancara Tanggal 12 Desember
2010)
Keberanian yang mereka dapat untuk melakukan hal tersebut
terlihat jelas dari pernyataan informan diatas, bahwa sejak kecil mereka
telah mengenal dan melakukan tindakan kejahatan tertentu, sehingga
dalam pembentukan jiwa dalam diri terbentuk keberanian untuk
melakukannya. Hal ini dipertegas oleh informan C (30 Tahun) kepada
peneliti :
“saya mencuri itu lama sekali, dari kecilka itu sudah mencuri,
waktu saya umur 12 tahun itu, jadika pencuri disentral, itu
yang biasa kalo orang bilang dicopetka kantongku disileti,
begituka dulu, baru pernahka juga jadi sales yang masuk
dirumah-rumah bawa kalkulator, jam tangan, baru kalo
misalnya mau nabeli itu orang, baru pergi naambil uangnya
dikamarnya, disitumi itu kita ambil barang-barang
dirumahnya yang bisa dibawa, kayak hp atau
laptop..”(Wawancara Tanggal 20 Desember 2010)
Informasi data yang peneliti peroleh diatas, memberikan gambaran
kuat tentang kehidupan mereka yang memang dari kehidupan kecilnya,
telah melakukan berbagai tindak kejahatan dengan berbagai modus.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 60
Perjalanan hidup yang dijalani memberikan arti tersendiri bagi mereka
saat ini. Hakekatnya, seseorang yang telah merasakan dan menjalani
“sesuatu” yang terus menurus maka itulah yang menjadikan “dirinya”
sesuai dengan tindakannya pada kehidupan yang sekarang dijalani.
Pengetahuan berdasarkan pengalaman yang mereka dapat merupakan
sumber dari mereka melakukan penodongan (Patodong).
Seorang Patodong adalah seseorang yang berani, seseorang yang
secara sadar mengetahui tentang apa yang mereka kerjakan dan tidak
mempunyai rasa takut dalam menjalankan operasi kerjanya. Kehidupan
mereka sarat akan “kekerasan” dalam menjalani kehidupan membuat
mereka secara tidak langsung dipandang sebagai sosok yang rendahan
dan tidak berguna dalam lingkungan sosial yang ditempati. Pandangan
yang tersebut seperti yang telah penulis gambarkan sebelumnya, bahwa
pandangan miring tentang mereka (Patodong) tetap selalu ada, walaupun
identitas profesinya tidak diketahui lingkungan sosial yang dirinya tempati.
Pandangan tersebut lahir akibat kehidupan mereka yang terlihat
keras, dan ujungnya mereka juga akan menjadi seseorang yang keras.
Apapun yang mereka lakukan baik atau buruknya, tetap pandangan
masyarakat sama. Seperti yang dikemukakan oleh Informan D (31 Tahun)
kepada Peneliti :
“..nutaumi disini, sanging pagosip ngase, biarki bukan saya
yang bikin, tetapji sayaji yang ditunjuk, merasa tonja kalo
masyarakat begitu karena keluargaku dari dulu memang
rusak, pasti mereka bilang bapaknya nakal pasti anaknya
UNIVERSITAS HASANUDDIN 61
juga nakal, jadi biarmi jadiji tai toli itu yang mereka
bilang..”(Wawancara Tanggal 20 Desember 2010)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan yang rasional dari Informan E (24
Tahun) kepada Peneliti :
“..heranka disini, sundala, masa’ bukan saya ambil, dia ke
rumahku ngamuk, sundala tidak mengertika, ndabisaki apaapa, Cuma tauji sannang, kubilangji bukan saya, ngamukka
tadi disana, masa dituduh curi itu barang, sundala..tidak
kusukaki dikasi begini..iya tunggumi, lihat mami
nanti,.”(Wawancara Tanggal 20 Desember 2010)
Pandangan negatif yang mereka dapat dalam kehidupan seharihari mereka membuat beban tersendiri dalam dirinya, mereka tak memiliki
kekuatan untuk melawan pernyataan tentang tindakan mereka, walaupun
hal tersebut secara nyata tidak dilakukan. Keterbatasan pelayanan akan
situasi-situasi seperti tergambarkan diatas adalah sangat mereka sadari.
Kehidupan akan status sosial dalam masyarakat membuat mereka tak
bisa berbuat apa-apa dikarenakan label “nakal” telah mereka dapat sejak
dulu. Namun, hal tersebut tidak memberikan mereka “ledakan” dalam
psiskis mereka, mereka malah acuh terhadap pandangan masyarakat
terhadap dirinya, dan menjalani kehidupan mereka sesuai dengan apa
yang mereka inginkan. Mereka memandang bahwa apa yang mereka
kerjakan
merupakan
hal
yang
dapat
memberikan
materil
untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Seperti yang dikemukan oleh Informan
F (24 Tahun) kepada peneliti :
“..kerjaka begini karena bisaka dapat banyak uang, kalo
berhasilka dapat laptop, hp, bisaka dapat sampe lima ratus
UNIVERSITAS HASANUDDIN 62
ribu, paling sedikit itu saya dapat dua ratus lima puluh,
terserah mau bilang apa, paling bajiminntu kalo urus diri
masing-masing..” (Wawancara Tanggal 22 Desember 2010)
Terlihat jelas dalam penuturan informan diatas bahwa Pekerjaan
sebagai Patodong merupakan pekerjaan yang menurut mereka dapat
memberikan keuntungan besar atau dalam hal ini pendapatan yang besar
dalam waktu yang sangat cepat. Secara sederhana, mereka melakukan
hal tersebut dengan motif ekonomi untuk melangsungkan hidup,
memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan kepuasan materil
tertentu dan tak peduli dengan pandangan masyarakat yang negative
tentang mereka. Patodong atau menodong adalah sesuatu yang
dilakukan dengan cara cepat dan mendapatkan hasil yang banyak, sangat
berbeda dengan pekerjaan lainnya. Hal ini diuatarakan dan diperjelas
informan C ( 30 Tahun ) kepada peneliti :
“..tidak bisaki dapat banyak uang, kalo kayak saya, nutaumi
toh, kalo jadika tukang becak, jaiminntu punna gappaka
tallumpulo sa’bu (tiga puluh ribu), jadika sopir paling empat
puluh ribuji, tapi kalo jadi beginika, ai bisaka dapat lima ratus
satu hari, tapi begitu tommi cepat habis..”
Tampak bahwa, mendapatkan hasil yang banyak dengan cara
cepat (materi) adalah alasan bagi mereka untuk melakukan pekerjaan
tersebut (penodongan). Satu sisi, semua yang dilakukan adalah dorongan
ekonomi, namun dalam pandangan peneliti bahwa dorongan ekonomi
yang secara berlebihan yang diterapkan dalam kehidupan mereka
merupakan dasar mereka berperilaku seperti itu. Ini terjelaskan dalam
UNIVERSITAS HASANUDDIN 63
ketentuan-ketentuan tertentu tentang pemenuhan kebutuhan manusia
secara umum, yaitu makan, minum, dan tempat tinggal. Jika mereka
melihat pekerjaan halal (tukang becak, sopir, dan lain-lain) sebagai
pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, mengapa masih saja
melakukan tindak kejahatan penodongan seperti itu, maka peneliti
mengambil jawaban bahwa mereka melakukan pekerjaan tersebut
berdasarkan motif ekonomi yang berlebihan. Hal ini diperkuat informan G
(25 Tahun) kepada peneliti :
“..tidak bisaka hidup kalo jadika tukang becak, baru tidak
tentuji juga berapa saya dapat satu hari, umpamana kalo
dapatka dua puluh ribu, tidak bisaka beli apa-apa, na uang
rokokku saja dua puluh satu hari paling sedikit itu, baru kalo
jadika tukang becakka, apaku pake makan..bukanji saya
bilang jelek itu jadi tukang becak tapi memang sayaji yang
nd mau, bagus itu tukang becak.. ”(Wawancara Tanggal 22
Desember 2010)
Dari penjelasan informan diatas, tergambarkan bahwa dalam
kehidupan kerja yang mereka jalani, tuntutan ekonomi memang
merupakan keinginan dasar bagi mereka untuk melakukan pekerjaan
tersebut, tapi apa yang mereka kerjakan bukan hanya persoalan ekonomi
tapi lebih mengarah pada keinginan besar untuk mendapatkan hasil yang
banyak dan besar dan tidak dipungkiri bahwa apa yang dilakukan
merupakan persoalan ekonomi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Satu sisi mereka tidak menyalahkan atau mengatakan hal buruk
tentang pekerjaan lainnya (seperti tukang becak, supir, buruh bangunan,
dll), namun dalam pengertiannya, keinginan yang kuat dan rasa tidak
UNIVERSITAS HASANUDDIN 64
puas akan hasil yang “sedikit” membuat mereka tak dapat menjalankan
dan menjadikan pekerjaan itu sebagai profesi kerjanya. Seperti yang
diutarakan informan H (22 Tahun ) kepada peneliti :
“ begini..bukan saya tidak mau kerja bagunan, ato jadi
tukang becak, banyakji panggilanku itu dibelakang jadi sopir,
tapi kupikir, anakku dua, istriku, baru saya deh kalo dapatka
uang cuma 30 ribu habis memangmi, baru apa kupake untuk
istriku beli makanan, tidak anuji juga kalo ada pekerjaan,
biasa kuterimaji kalo itu kerja borongan..”(Wawancara
Tanggal 26 Desember 2010)
Lain halnya informan I (21 Tahun) kepada Peneliti :
“..pernahka juga jadi tukang becak, ato kerja bangunan,
biasaka juga, karna kalo pergiki ma’nodong bukanji tiap hari,
makanya kalo biasa tidak ada didapat, saya biasa jadi buruh
bangunan..kita tidak bisa hidup itu kaue..”(Wawancara
Tanggal 26 Desember 2010)
Selanjutnya Informan J (23 Tahun) kepada peneliti :
“..bukanji saya tidak mau jadi tukang, tapi sedikitji
didapat,kusaki beginiang karna satu kali latto deh..jai
rigappa, tapi kalo jadi tukang berapaji, tidak bisaki hura-hura,
baru saya ini kusukaki minum, nae’, sama ubas,.pikirmi kalo
kw, begitu maumu, baru kerjanu Cuma jadi tukang..dimana
dapa’..”(wawancara tanggal 27 Desember 2010)
Melihat dari penuturan mereka, tampak bahwa dalam menjalankan
suatu pekerjaan, ada kategori-kategori pemilihan akan suatu kerja yang
dilakukan, dalam hal ini, mereka memilih untuk menjadi seperti itu
dikarenakan tingkat kepuasan materi yang terbatas. Tanggung jawab
akan keluarga, kepuasan pemenuhan diri berdasarkan kepribadian yang
memberikan “jalan” bagi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut
UNIVERSITAS HASANUDDIN 65
(Patodong). sehingga, yang terjelaskan bahwa dalam kehidupan mereka
yang selalu dihantui dengan ketakutan akan kesengsaran hidup,
kecemasan dan keprihatinan dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang
dianggap sebagai “kunci” dalam membangunan keinginan dan mendorong
(motivasi) mereka melakukan tindak kejahatan tersebut.
Persoalan tentang pekerjaan mereka yang selalu dipandang
“buruk” jika dibenturkan dengan kehidupan sosial masyarakat (telah
tergambarkan sebelumnya), namun dalam pengertiannya mereka tetap
melakukan hal tersebut, dan bagi beberapa dari mereka memandang
bekerja sebagai Patodong merupakan pekerjaan yang memang mereka
tekuni dan menjadi pekerjaan utama dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Seperti yang dijelaskan Informan J ( 26 Tahun ) kepada Peneliti :
“..mulai ka dari bergaul, selalu ka sama itu bos, datingdatangja kesana, baru senangka di tempatnya, seringka
kesitu, itu hari na ajak ka, tertarikka, takut tonja pertama, tapi
lama-lama biasami, jadi sekarang begituji saya kerja, tidak
ada lagi yang bisa saya kerja..mau diapa kodong, saya
sendiri tidak terlalu tau kerja bangunan, sekolahku juga
Cuma sampe SMAji, baru saya ini tidak kusukaki kalo
diperintah, tidak tahu kenapa..”(wawancara tanggal 27
Desember 2010)
Dari hasil wawancara diatas, dapat dipahami bahwa dalam
kehidupan kerja mereka, persoalan tentang kerja sebagai perampok
merupakan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan diri mereka untuk
melakukan suatu pekerjaan. Pemilihan kerja dalam kehidupan mereka
bukan terletak pada alasan ekonomi namun lebih mengarah pada “hasrat”
UNIVERSITAS HASANUDDIN 66
keinginan dalam diri mereka yang mengikuti kepribadian diri. Mereka
memandang bahwa pekerjaan sebagai Patodong, adalah kemauan diri
mereka yang besandar pada alasan akan pekerjaan lain yang dipandang
sebagai “budak”. Hal ini dijelaskan oleh Informan K (26 Tahun) kepada
informan :
“..tidak mauka diperintah, begituka memang, biarki jadi
tukang ada tongi bosnya, baru biasa sambarang itu
naperintahki kalo jadi tukangki,tidak kutau kenapa mungkin
belumpi saya dapat yang bagus kerjana, tapi mauku kalo
ada uangku mauka buka usaha, supaya tidak begini-begini
terus..”(wawancara tanggal 3 Januari 2011)
Terlihat jelas, bahwa dalam kehidupan kerja mereka, benturan
kepribadian adalah sumber awal dari mereka melakukan pekerjaan
tersebut. Sederhananya, Patodong merupakan pekerjaan yang mereka
pandang sesuai dengan jiwa mereka dan mereka mengerti tentang dunia
kerja mereka bahwa pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang “buruk”
dan merugikan orang lain. Padangan mereka tentang dunia kerja yang
mereka jalani adalah bentuk kesadaran mereka bahwa melakukan
pekerjaan tersebut adalah salah. Kesalahan yang mereka lakukan
merupakan gambaran tentang kehidupan dunia kerja yang dijalani oleh
orang-orang yang dipandang “layak” untuk dikerjakan.
Kehidupan manusia dalam hal pekerjaan terbagi dalam dua
kategori yaitu kategori pekerjaan yang baik dan kategori pekerjaan yang
buruk. Kategori pekerjaan yang dijalani oleh mereka adalah pekerjaan
buruk yang senantiasa memberikan mereka gambaran tentang kesadaran
UNIVERSITAS HASANUDDIN 67
dalam menjalani hidup yang penuh dengan “kesengsaraan” dan
ketidakmampuan mereka untuk menutupi kebutuhan hidup mereka yang
“lebih”. Persoalan ini bukan berarti bahwa mereka tidak menerima apa
yang sudah menjadi ketentuan dalam hidupnya menjadi seorang
perampok Patodong. Sehubungan dengan hal diatas, Informan A (34
Tahun) mengutarakan kepada peneliti :
“..semua pekerjaan yang dilakukan orang itu Cuma dua,
yang satu pekerjaan baik, dan yang satu pekerjaan yang
salah, tergantung dari mana kita mau pilih, semua samasama mencari uang dan mau hidup, samaji juga toh dengan
pegawai negeri, kerjaki juga, tapi bedanya dia terima tiap
bulan, nassami uangna kalo kita keluarki cari, baikji kalo
dapat tiap kali kita keluar, tidak tentuki..”(Wawancara tanggal
7 Januari 2011)
Apa yang diutarakan oleh informan diatas adalah bagaimana
manusia
digambarkan
sebagai
makhluk
yang
berpotensi
untuk
membangun “dunianya” sendiri dengan melakukan suatu tindakan dalam
menjalankan kehidupannya. Memilah dengan dua kategori pilihan
pekerjaan yang membangun mereka menjadi makhluk yang ingin tetap
melangsungkan hidup, walau yang mereka pilih adalah pekerjaan yang
buruk atau salah. Pandangan mereka terhadap pekerjaan selain apa
yang mereka tekuni adalah memiliki persamaan yang memiliki konteks
dan ruang. Jika pekerja seperti Pegawai Negeri Siipil (PNS), Karyawan
Perusahaan dan sebagainya bekerja dalam konteks dan ruang, maka
sebagai Perampok Patodong merekapun memiliki konteks dan ruang
tersendiri dalam menjalankan aktifitas sesuai pekerjaan mereka.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 68
Hal ini senada yang diutarakan oleh informan D (31 Tahun) kepada
Peneliti :
“..tidak bedaji juga kalo jadiki penjahat sama kerja jadi
pegawai, tukang becak, atau sopir, dapat semuaji uang, tapi
tergantung berapa dia dapat, kalo pegawai kan nassami,
tukang becakji, sopir tidak jauh bedaji juga, saya ini samaji
dengan itu kerja-kerja lain, mauja hidup, dapat uang, tidak
beda toh, bedanya Cuma yang kerja begitu baiki, tapi kalo
yang saya kerja ini jelek,..”(Wawancara tanggal 5 Januari
2011)
Hal serupa juga dikatakan oleh Informan B (32 Tahun) kepada
Peneliti :
“..kita tauji, kalo kerja begini nda’ baik, kita sadarji, kalo kita
kerja begini pasti dapatki balasan, tapi kalo mau dipikir
samaji semua pekerjaan, mauji dapat uang dan hidup, kita
ini tidak pernah dipaksa mau kerja begini, dari kita tonji itu
semua pilih kerja beginiang,.”(Wawancara Tanggal 7 Januari
2011)
Pandangan tentang dunia kerja yang mereka pahami diatas,
menggambarkan tentang kesamaan semua yang dilakukan manusia
(pekerjaan) memiliki tujuan yang sama yaitu memenuhi kebutuhan hidup,
perbedaannya hanyalah terletak pada nilai dalam pekerjaan tersebut.
Pekerjaan yang bernilai “baik” dan bernilai “buruk” memiliki kuantitas yang
sama yaitu untuk memenuhi kepuasan seseorang dalam pemenuhan
materi. Mereka sadar bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan
pekerjaan yang membuatnya untuk tetap menjadi manusia yang memiliki
daya tahan dalam kehidupan ini.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 69
Manusia
merupakan
makhluk
yang
memiliki
keterbatasan
emotional, keterbatasan perilaku dalam bertindak, dan keterbatasan untuk
berpikir untuk mengetahui sesuatu, dan hakekatnya, semua manusia
memiliki semua keterbatasan tersebut. Hal tersebut tergambarkan pada
semua manusia, disaat melakukan sesuatu pastinya ada semua
keterbatasan tertentu dalam pekerjaan yang dia jalani, hal ini juga
terdapat pada perampok penodongan (Patodong), mereka terbatas pada
emotional mereka dan cara berpikir mereka tentang pekerjaan yang
mereka jalani. Hidup mereka tak lepas dari “beban” yang selalu datang,
baik secara materi maupun secara psikis. Beban psikis inilah yang
menghadirkan kesadaran bagi mereka untuk merubah profesi mereka,
merubah cara bepikir mereka, dan merubah perilaku mereka sendiri yang
bersandar pada apa yang penting dalam hidup mereka yaitu keluarga.
Seperti yang diutarakan Informan B (32 Tahun) kepada Peneliti :
“..banyak sekalimi dosaku ini, kurampas miliknya orang,
keras memang hidup, baru saya mau tidak mau harus kerja
begini karna apa mau kuandalkan, sekolahku tidak ada,
mauka mendaftar sekarang kerja tidak ada mau terima,
semua mau paling sedikitmi itu tamma’ SMA, sadarka juga
kalo keluargaku ini harus dikasi makan uang bae’, bukan
kayak begini, biasa itu kalo saya piker apa yang saya bikin,
menangiska, mauka kurasa mati, tidak bisaka begini terus,
kalo adami anakku masa’ saya mau kasi makan uang
kotor,.sayami mungkin orang tua yang tidak tau diri kalo ada
anakku kasi uang dari uang dicuri,..”(Wawancara Tanggal 7
Januari 2011)
UNIVERSITAS HASANUDDIN 70
Serupa dengan itu informan A (34 Tahun) mengutarakan kepada
peneliti :
“..menangis tonja kalo mau kupikir dulu-dulu, tidak ada
memang rasa kasihanku sama orang dulu, tidak kutauki kalo
tua beginiki baru dapatki kayak begini, biasa itu ada yang
bisik-bisik bilang tobat moko, biasaka mimpi itu orang yang
saya rampok, sumpah tidak enak skali kerja beginian,
anakku sekarang duami, baru biasa ku kasiki itu uang sama
anakku, tapi kalo tenami jalanna baru kukasiki, biasa juga
uang yang saya kasi itu uang kerjaku jadi tukang, tapi
sadarja iya baru terlanjurmi ini, mudah-mudahan dapatka
jalan untuk berhenti dari kerja begituang..”(Wawancara
Tanggal 7 Januari 2011)
Pandangan tentang dunia kerja mereka yang berujung pada
kesadaran mereka untuk menghentikan apa yang mereka kerjakan,
merupakan sesuatu desakan tersendiri dalam diri mereka untuk berhenti
dan melanjutkan hidup yang sesuai dengan apa yang dijalani oleh
manusia lainnya. Keterpurukan kehidupan kecil mereka atas apa yang
dimiliki orang tua mereka, tidak adanya pengawasan dan control dari
orang tua, “kekerasan” hidup yang telah mereka dapat sejak kecil dan
tidak terpenuhinya kebutuhan akan kepuasan tertentu yang membawa
mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Melakukan pekerjaan sebagai perampok penodong (Patodong)
bukanlah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian dari mereka. Namun,
bagi mereka bekerja menjadi seorang perampok penodong (Patodong)
menurut mereka merupakan pekerjaan yang sangat membantu mereka
memenuhi hasrat pemenuhan kebutuhan hidup yang “berlebihan”,
UNIVERSITAS HASANUDDIN 71
keterpaksaan
akan
pekerjaan
tersebut
mereka
sadari
dengan
ketidakmampuan mereka bersaing dalam dunia kerja lainnya, sehingga
yang hadir adalah pandangan mereka tentang apa yang mereka lakukan
tidak jauh berbeda dengan dunia kerja lainnya yang memiliki subtansi
yang sama yaitu mencari nafkah hidup dalam melangsungkan kehidupan.
Namun, dalam pekerjaan mereka ada gambaran kesadaran yang
terjelaskan, mereka tak memunafikan akan kesalahan yang mereka
lakukan, bagi mereka hanya waktu yang dapat menjawab permasalahan
dan memberikan mereka jalan untuk merubah mereka dan menjalani
hidup ini dengan normal tanpa beban hidup penyesalan.
B. Kelompok Patodong dan Perekrutan Anggota (Patodong).
“..temanku banyak, anggotaku ada delapan orang, mulaika
itu dua tahun lalu, baru semua kerja, saling menjagaji
semua, baku percaya, susah senang sama-sama, kalo ada
barang bersyukur, kalo tidak ya selamat tinggal,..hahahaha”
(Wawancara tanggal 10 Januari 2011)
Diatas merupakan penjelasan Informan D (31 Tahun) yang
menggambarkan sekilas tentang kelompok mereka, dimana didalamnya
terdapat saling percaya, saling membantu, dan memiliki perasaan dalam
ruang dan waktu yang sama.
Beberapa hal yang pasti bahwa dalam suatu masyarakat, ada halhal yang berkaitan dengan kelompok dalam suatu masyarakat. Apakah itu
dikatakan sebagai kelompok wilayah suatu tempat, atau kelompok
individu-individu
yang
memiliki
status
yang
sama
dalam
suatu
UNIVERSITAS HASANUDDIN 72
masyarakat, semuanya dikatakan sebagai suatu kelompok, dan hal ini
terdapat pada “wilayah” profesi para perampok penodongan (Patodong).
Dalam tulisan ini, peneliti melihat bahwa kelompok perampok
penodongan (Patodong) terbentuk
dari perasaan, pengalaman, dan
kepentingan yang sama yang dimiliki oleh para anggotanya, kesemuanya
inilah yang membentuk mereka menjadi sebuah kelompok kecil yang tidak
tersturuktur “tetap” dalam artian mereka tidak dipaksa untuk mengikuti
“aturan struktur” yang terdapat didalamnya.
Batasan tentang “aturan struktur” adalah anggota kelompok tidak
sepatutnya untuk mengikuti aturan-aturan yang terkait dengan jalannya
aktifitas kelompok tersebut. Seperti yang diutarakan informan D (31
Tahun) kepada Peneliti :
“..mulaika juga dari bawah, nda langsungka begini, terusterus, dapatka uang, merasama bisami sendiri, panggilma
teman-temanku yang dekat, terus begitu, mulaimi datang ta’
satu-satu, jadimi..”(Wawancara tanggal 10 Januari 2011)
Penjelasan informan diatas menggambarkan tentang tidak adanya
aturan baku dalam kelompok mereka untuk tetap berada dalam suatu
kelompok, mereka dapat melepaskan diri dan membentuk kelompok baru.
Pembentukan kelompok ini hanya bersandar pada ketertarikan seseorang
untuk menjalani pekerjaan tersebut yang memiliki criteria tertentu dan
sadar akan konsekuensi yang nanti mereka terima. Kelompok mereka
terlihat seperti kelompok yang dibentuk secara tidak sengaja, dan tidak
memiliki alasan tertentu untuk membentuk suatu kelompok kerja.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 73
Kelompok kerja mereka terbentuk atas dasar perasaan dan
kepentingan yang sama diantara sesama anggota kelompok tersebut.
Kepentingan anggota kelompok disini diartikan sebagai pemenuhan
kebutuhan mereka yang “lebih”, dan didalamnya memiliki struktur jabatan
yaitu pemimpin dan anggota kelompok.
Kelompok kerja yang dibentuk oleh para perampok penodongan
(Patodong) memiliki seorang pemimpin yang mengatur dan memberikan
instruksi tentang operasi yang nanti dan sedang dilakukan. Ketentuan
“struktur jabatan” yang didapatkan oleh seseorang untuk menjadi seorang
pemimpin dinilai dari keberanian dan seseorang yang menjadi “awal”
(melakukan operasi perampokan penodongan) sehingga kelompok
tersebut ada. Seperti yang diutarakan oleh informan D (31 Tahun) kepada
peneliti :
“..dulu itu, pertama waktu saya lepas, pergika operasi itu
sama C, berduaja dulu, tidak dapatka selalu kalo keluarka,
paling bawaja HP, baru bukan menodong, tapi jambret
nutaumi kalo sedikitki, lama begitu, ada temanku juga X
sama temannya, dia dari Kalimantan, ikut tongi sama saya
dulu, lamaki juga disini dia, dia di Kalimantan itu memang
begitu anunya, dia penodong mobil kanvas, disitumi baku
dapa’ma, sama-sama pergi keluar cari mangsa, pernah satu
kali itu dalam satu malam itu saya dapat dua laptop sama
satu hp, disitumi itu paling banyak saya dapat, hah,
datangmi anak-anaka yang biasa sama-sama minum,
naliatka banyak uang, kukasi taumi..ikutmi sama saya, tapi
banyak tongi yang keluar, sekarang itu kalo saya bilang
janganko dulu operasi, tidak pergiki itu semua, bilangpa
pergi baru semua pergi cari,..”(Wawancara Tanggal 10
Januari 2011)
UNIVERSITAS HASANUDDIN 74
Tergambarkan jelas apa yang dikatakan informan diatas tentang
pembentukan kelompok mereka. Sederhananya, Kelompok tersebut
terbentuk dari minat, keinginan dan doktrin ‘pelaku awal” terhadap
seseorang sehingga seseorang tersebut ikut dan terlibat didalamnya.
Penempatan untuk menjadi seorang pemimpin kelompok adalah “pelaku
awal” dimana pemimpin tersebut sebagai seseorang yang membentuk
kelompok perampok penodongan (Patodong). Ketertarikan dan niat yang
sama dalam pekerjaan merupakan “pemersatu” mereka untuk terlibat dan
menjadi seorang perampok Patodong. Pemimpin mereka tidak pernah
mengajak secara paksa seseorang untuk bergabung dalam kelompok
tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Informan D (31 Tahun) kepada peneliti :
“..tidak pernahka paksa bos, yang mau ikut sama saya, tidak
pernahka juga marah kalo mau berhenti dari saya, terserah,
yang jelas saya kasi tauji kalo beginiang ini harus sadarki,
kalo ditangkap ato apa itu urusanmu nah, ka natauji semua
kalo ini salah, tapi begitumi ikutji juga sama saya, masa’
saya
mau
bilang
pulang
moko,
masih
anakanakko,..”(Wawancara Tanggal 10 Januari 2011)
Selanjutnya diutarakan oleh informan I (21 Tahun) kepada peneliti :
“..mauja sendiri gabung, tidak ada yang paksaka, kalo
mauka dapat uang, beginimi ini, kan kerjaku jadi tukang
tidak selalu, adapi panggilan kerja, kalo nganggurka
dirumah, pergika kesini, nginung, aturmi apa-apaia, begini,
mauka ikut itu dari sayaji, tidak pernah tawwa D paksaka,
tidak tawaa, sayaji..saya dulu kenalki D itu, karna dia suka
lewat dekat rumahku, ketemu sama anak-anak dekat rumah,
baku sapaka dulu itu waktu maen bola sewa di lapangan Y,
disitu mulai kenal, tapi disitu belumpi saya tahu kalo dia
kerja beginiang, selaluka na ajak ke tempatnya minum ballo,
ikut tomma, banyak memang uangna, tapi tidak pernahka
UNIVERSITAS HASANUDDIN 75
liat dia kerja, heran-heranka, hah itu hari, perlu skalika uang,
tidak tahu apa mau kubeli itu, kulupai, pergima minta
tolongma sama dia, sampema ditempatna di situ, kuliiatki
laptop sama hp tiga, disitu tidak ada dia, jadi kuliat-liatmi itu
hp satu, mau ku kasi nyala, tidak ada kartuna, curigama
disitu kalo ini hp nalukka, datangmi ke saya, na tegurka, tapi
belumpi kutanya, minta tolongma pinjam uangna lima puluh,
nabilang tungguma disini, nabawa itu laptop sama hp,
sebentar datangi kasi saya lima puluh, sudah itu, lama-lama
begitu, na ajakka minum, disitumi saya tanya, dia bilangmi
kalo itu laptop sama hp dari ma’nodong, pas kutau begitu,
bilangma sama dia kasi ikutka juga, mau tonga itu kayak
kau, punya banyak uang, baru memang kutauki kalo di te’,
pasrah, ka memang saya salah,..”(Wawancara Tanggal 11
Januari 2011)
Pengalaman yang diceritakan oleh informan diatas memperjelas
tentang pembentukan kelompok mereka, jelas bahwa bukanlah suatu
paksaan atau ancaman dari seseorang yang dianggap “kuat” sehingga
seseorang yang tergabung dalam kelompok tersebut ikut terlibat dalam
setiap operasi kejahatan yang dilakukan, namun
berasal dari
kemauan
diri-individu
keterlibatan mereka
masing-masing
yang
memang
mengetahui konsekuensi resiko yang akan mereka terima nantinya disaat
mereka melakukan operasi perampokan, sehingga dalam kelompok
mereka, sangat ditanamkan kepercayaan (trust) didalam kelompok
mereka. Kepercayaan merupakan modal dasar bagi mereka para
perampok penodong (Patodong) untuk membangun sebuah kelompok,
satu kelompok yang lebih mengutamakan loyalitas, kejujuran dan rasa
saling percaya bagi semua anggota kelompok didalamnya.Jelasnya,
persoalan mengenai kepercayaan merupakan hal yang susah didapatkan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 76
dalam suatu kelompok, dikarenakan dalam “kepercayaan” terdapat
loyalitas dan kesetiaan.
Kelompok perampok penodong (Patodong) merupakan kelompok
yang secara nyata menjalankan kegiatan yang merugikan orang lain
(criminal) dan melanggar hukum. Sehingga, dalam kelompok mereka
saling percaya dan konsisten terhadap konsekuensi jika mereka dapatkan
sangat ditekankan. Seperti yang diutarakan oleh informan A (34 Tahun)
kepada peneliti :
“..bukanji saya tidak percaya orang, saya itu pilih-pilih juga
anggota yang bisa diajak, tidak langsungka pilih, makanya
kalo saya bergaul, lama memang sama orang, nda bisaka
cepat pilih anggota, kita tidak tau kalo yang kita temani nanti
itu intel, mauki apa bede’..dulu itu, ada anggotaku ditangkap,
didapatki karena nakira tidak adami yang kejarki, berhasil
memang nadapat itu barang, tapi pas mau belok, dite’,
ditarik itu kayak anjing daari motor, jatuh itu anggotaku, ai
bonnyo’ki ditempat, hah itu hari tidak anuka memang, saya
dirumahji sama anak-anak, senang-senang, geto’ apa,
minum, besokpi itu baru saya dengar kalo kemarin malam
dia di sel, itu hari dumba’ma ini, sundala gappa dia kasi tau
semua disini, ka itu orang baru memang sama saya, ku
ambil semua barang-barangku, dari rumah, pergika ke
mamuju sembunyi, dua mingguka disana, ku kasi tau
semuaji kalo nanti ada polisi datang, kubilang sama anakanak kalo kau nda tau, dumba’ skalika, lama bgitu saya di
mamuju, kutelponmi ke anak-anak, tidak adaji bede’ polisi
yang datang carika, ternyata dia tidak capilaji tawwa,
memang kita harus begitu, edede, orang baru saya kenal ini
ditangkap, sundala, nassami tidak terlalu saya percaya,
cobana sama itu C, stangngana nayawaku di dia, ka dari
duluji saya baku jaga memang..”(Wawancara Tanggal 13
Januari 2011)
UNIVERSITAS HASANUDDIN 77
Pengalaman yang pernah dijalani informan diatas terlihat bahwa
kepercayaan dan loyalitas dalam berkelompok sangat dijunjung tinggi
demi mencapai tujuan dan kepentingan yang sama. Kepercayaan yang
diperoleh dan memperoleh bukan senantiasa didapat dari sekedar
pergaulan dalam lingkungan tersebut, tapi lahir dari pengalaman hidup
yang begitu lama diantara sesama perampok penodong (anggota
kelompok) yang saling “membawa” satu sama lain. Sehingga, rasa
kepercayaan dalam kelompok tersebut sangat susah untuk diperoleh bagi
anggota kelompok tersebut.
Membangun kepercayaan diatara anggota kelompok Patodong
memerlukan waktu yang lama untuk menghadirkan keterikatan emosional
yang kuat diantara sesama mereka (Patodong). Menurut mereka, jika
telah ada kepercayaan dalam diri masing-masing anggota kelompok,
maka ketakutan akan aturan hukum tidak menjadi alasan bagi mereka
untuk membangun dan menjalankan kelompok mereka dengan baik.
Masalah tentang kepercayaan ini diutarakan oleh informan B (32 Tahun)
kepada peneliti :
“..saya kalo mau lihat teman itu, harus slalu memang bisa
untuk sama-sama susah, bukan langsung tarikji orang, atau
sering-sering minum sama-sama baru itumi yang bisa dikasi
jadi partner, tidak begitu, banyakmi saya ambil orang itu kalo
mau jadi anggotaku, percayaka dulu baru bisa kutemani
pergi, kayak itu temanku X, dia rela maati untuk saya, itu
baru dibilang agang kama-kamanne, susah cari teman yang
mau memang sama-sama susah, temanku dulu itu memang
dekat rumah iya, tapi dulu dia pergi ke Kalimantan kerja, pas
dia pulang baku dapatma lagi, dari dulu memang saya dan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 78
dia baku bawa, dulu itu, ada tawuran saya masih ingat itu,
dikepung dulu kompleks sini, tidak ada yang berani keluar,
sanging busurji terbang-terbang, didengarmi lappo-lappo
seng, tidak ditauki siapa yang busur, jadi keluarma ini bawa
badi’ dan itu temanku, pergika cariki, anu memangnga
pakeka tiga baju kulapis-lapis sama jeans, supaya susahki
tembus, dia santaiji, tidak pake apa-apa, tapi ka’bala
mungkin, samaka dia pergi cari itu orang, sambil lari, gilaka
memang dulu, ternyata ada lima orang memang yang ada di
depan lorong, sundala kuburu badik itu semua, sudah itu
jam dua malam, siaga semua disini, baku dapatmi di depan
al-Abrar situ, itu kuingat sekali itu waktu mau di tobo’ itu
temanku, kuhantam duluanki itu orang, perutnajji yang
kudapat, napegang mami itu kodong perutna lari sama
teman-temannya, ka adaki polisi datang,jadi lari tommaki
sembunyi di dalam di Daeng Tata, pas lama-lamami,
nabilangmi temanku, tarima kasih polong, tidak kulupai ini..”
begitumi dulu sampe sekarang saya sama dia baku bawa, X
itu kalo ditangkap tidak takutja, karena saya percayaji sama
dia, kalo dia tidak calepa bibirna, orang-orang beginipi
memang yang bisa dibawa “arisan”, biar susahki samasamaji juga merasakan, diami itu yang paling saya
percaya..”(Wawancara Tanggal 13 Januari 2011)
Keprcayaan dalam kelompok memang sangat diperlukan dalam
kelompok mereka, ketentuan ini tergambarkan dalam realitas yang terjadi
dalam keseharian hidup mereka dan penglaman
hidup para pelaku
kejahatan perampokan (Patodong). Pengalaman hidup akan pergaulan
dalam
lingkungan sosial mereka yang memberikan mereka gambaran
tentang “teman kerja” yang cocok dan dapat dijadikan sebagai partner
dalam melakukan operasi tersebut. Keterikatan secara emosional yang
mereka bangun memang berdasarkan pengalaman hidupnya yang secara
jelas terlihat akan konsekuensi pertemanan diantara mereka. Hubungan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 79
sosial yang mereka jalin dalam kelompok mereka memberikan arti
tersendiri dalam keberhasilan akan kelompok yang mereka jalankan.
Lahirnya kepercayaan dalam diri mereka harusnya berdasarkan
perjalanan hidup atas hubungan sosial yang mereka jalin sejak lama, dan
bukan berdasarkan keterikatan “profesi” atau “label nakal” dalam hidup
mereka masing-masing sehingga mereka dapat semaunya saja masuk
dalam kelompok kerja tersebut. Pemilihan anggota dan perekrutan dalam
kelompok perampok penodongan (Patodong) dilakukan dengan cara yang
tidak secara langsung di rekrut di tempat atau markas mereka, namun
perekrutan anggota dilakukan dengan cara kedekatan emosional yang
membangun kepercayaan dalam diri mereka berdasarkan hubungan yang
mereka bangun sejak lama sehingga dalam menjalankan operasi profesi
dapat dijalankan dengan lancar.
Pada sub bab ini penulis melihat bahwa kepercayaan dan
kedekatan emosional mereka adalah point penting dalam menjalankan
operasi dan stabilitas kelompok mereka, namun dalam perekrutan
anggota kelompok dapat terjadi juga berdasarkan hubungan sosial yang
membuat mereka terjaring dan menjadi anggota dalam kelompok
kejahatan tersebut (Patodong), dalam artian bahwa perekrutan anggota
dapat terjadi jika ada hubungan sosial (saudara, kerabat, atau teman
pergaulan dalam lingkungan sosial). Tidak dipungkiri bahwa dalam suatu
kelompok kejahatan tertentu, kepercayaan merupakan modal terpenting
dalam menjalankan kelompok tersebut, namun pada bagian perekrutan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 80
keterbatasan akan “kepercayaan” tersebut dilunturkan dengan melihat
adanya hubungan sosial diantara mereka. Hubungan yang terdapat dalam
kelompok mereka bisa dilihat dalam lingkungan sosial mereka.
Karakteristik dan
syarat menjadi anggota
kelompok dalam
kehidupan kelompok mereka adalah dengan memperlihatkan tanggung
jawab berdasarkan kepercayaan dan bentuk dari kedekatan hubungan
sosial (keluarga dekat, saudara dan teman). Menjadi seorang yang
tergabung dalam kelompok penjahat harusnya memiliki karakter “kuat”,
dalam konteks ini, informan C (30 Tahun) menjelaskan :
“..kalo mau jadi anggotaku, dia itu harus kuat, tahan banting,
sama rewa, jangan Cuma badan besar baru tena tajina,
makanya kalo ada temanku itu yang mau ikut gabung sama
saya, dia harus tahu memang kalo dia itu berani, baru bisa
diborongi, tahan pukulki kalo ditangkap, baru berani
bertarung memang, kalo begitu dia, baru kita lihat
bagaimana dia bisa dipercaya atau tidak, dulu saya juga
begitu, mulaika memang dari kasi rewa diri, baru masukka
beginiang, tidak anuka memang, saya dulu dicoba, mulaika
dulu di sentral ma’copet, lama-lama jadika kayak santai kerja
beginiang, baru bisa memang jadi kerja sehari-hari kalo
ma’copet, ya kalo beginimi dia kayak saya dulu yang
memang dari dulu katala lima, baru bisa saya ambil jadi
calon anggota, kalo kuliatmi bisa di kasi jadi anggota saya
cobami, berteman sama dia, kalo bagusji anunya sifatna,
baru kukasi ikutki, baru sama-sama pergi cari mangsa, itu
kalo dia memang begitu, biarki ditangkap nda takut-takut
tonjaki, ka diatumi toh bagaimana dia, makanya kalo saya
mau ambil orang itu kuliat-liat dulu, bisa tidak kuajak, jangan
sampe natobo’ riboko jaki..sekarang itu tidak bisaki cepat
percaya orang, banyak sekali intel yang menyamar jadi
preman, bergabung sama orang-orag kayak saya, tapi
bukanka orang bodoh, ada itu kejadian, dia kenal sama itu
orang, padahal orang itu polisi, itu teman tidak natauki
UNIVERSITAS HASANUDDIN 81
memang, dia bodoh, borro memang jadi begitumi, ditangkap
dikasi jatuh baru itu mukana kamma tong jangang ripeppe,
makanya bahaya sekarang kalo mauki ajak-ajak orang
sembarang,..”(Wawancara tanggal 15 Januari 2011)
Tampak bahwa, dalam perekrutan anggota yang dilakukan oleh
pemimpin mereka (ketua kelompok), bukan sesuatu yang dapat dikatakan
mudah, karena dalam gambaran yang terjelaskan diatas, bahwa proses
dalam merekrut anggota memiliki beberapa proses yang dimulai dari
“label nakal” dari pengalaman hidup mereka, dan pola pergaulan dalam
lingkungan sosial kelompok. Penilaian terhadap seseorang yang ingin
dijadikan sebagai anggota dimulai dari sifat berani yang dimiliki oleh
seseorang tersebut, siap untuk menerima resiko atau konsekuensi, dan
loyal terhadap anggota-anggota lainnya. Namun, penulis lebih melihat
pada perekrutan yang dilihat dari hubungan keluarga yang dimiliki.
Perampok penodong (Patodong) dalam hal ini ketua kelompok, lebih
memilih anggota berdasarkan hubungan sosial yang dekat dengan
perampok penodong lainnya. Dasar hubungan sosial yang dekat inilah
yang menjadi awal bagi mereka menumbuhkan rasa kepercayaan yang
kuat. Hakekatnya, seorang saudara tidak akan memberikan suatu
musibah terhadap saudara dekatnya yang bersama-sama mengalami
nasib yang sama. Ketentuan ini terjelaskan dan tergambarkan oleh
informan F (24 Tahun) kepada peneliti :
“..saya ini dengan itu D satu kampungka, dia kakakku,
karena paceku sama pacena itu baku sepupu, jadi kalo mau
dibilang saya ini saudarana itu D, dari dulu memang saya
UNIVERSITAS HASANUDDIN 82
main bola sama-sama, kalo pulangmi mayabo’ itu pergi maki
main bola sore-sore, kudapatki itu waktu D mappasimbungi
di lorong dua, rewa memang dari dulu, takut skalika itu sama
dia, tapi sekarang tidakmi, cobami..pas itu hari dudukka di
dekker malam-malam napanggilma disitu, ikut tonga, kucoba
tongi injo naung iyya, dapat satu HP ji iya, tidak ada laptop
itu hari didapat, nutaumi dapatki begitu paling nginung jaki,
sudah itu na ajak terusma keluar..”(Wawancara tanggal 17
Januari 2011)
Selanjutnya Informan I (21 Tahun) mengatakan kepada peneliti :
“..saya nda bersaudaraji sama dia D, tapi hubunganku sama
dia kayak ade’ dengan kakak, sama jaki susah, baru dia itu
baek sekali, kuhormati skali itu, kalo nabilang jangko, tidak
anuka itu, tapi kalo bilang atau we kesniko dulu, ato ada
masalahnya, saya mungkin yang duluan mati, ka baek skali
itu, karena bae’na itu dan dekatka memang juga sama dia,
nakasi ikutka biasa kalo mau pergi keluar, baru itu
napercaya sekalika nda tau kenapa, mungkin karena saya
juga baek sama dia, jadi napercaya sekalika..”(Wawancara
Tanggal 17 Januari 2011)
Tampak bahwa, untuk merekrut anggota kelompok, seorang ketua
harus memang memiliki dua kategori yang menjadi dasar pemilihan, yaitu
berdasarkan hubungan sosial (seperti keluarga, saudara dan teman) dan
berdasarkan loyalitas kepatuhan, kebaikan mereka secara timbal balik
terhadap sesama anggota, dan anggota terhadap pemimpin kelompok.
Hal
tersebut yang memberikan rasa saling percaya terhadap sesama
anggota kelompok tersebut sehingga dalam menjalankan operasi atau
kegiatannya mereka tak perlu lagi untuk takut terhadap konsekuensi yang
secara sadar mereka akan terima, dan dalam menjalankan operasional
akan keanggotan mereka, seseorang tak harus terikat, anggota dapat
UNIVERSITAS HASANUDDIN 83
keluar dari kelompok tersebut kapan saja sesuai dengan keinginan
mereka. Secara sederhana, perekrutan ini dilakukan tanpa ada paksaan
dari anggota maupun ketua kelompok perampok penodong (Patodong).
C. Pola Hubungan Kerja Perampok Penodong (Patodong), Penadah,
dan Pembeli
Berbicara tentang suatu pekerjaan, maka tidak lepas dari
hubungan status peran dalam struktur kerja tesebut. Bagian-bagian dari
struktur tersebut memiliki peran khusus sesuai dengan apa yang mereka
kuasai (skill) dan pengetahuan tentang itu. Hal ini juga terdapat dalam
kelompok perampok penodongan (Patodong) dengan mekanisme kerja
dan hubungan kerja antara mereka, penadah, dan Pembeli.
Pada
subbab
ini,
peneliti
akan
menggambarkan
tentang
mekanisme kerja yang dilakukan oleh perampok penodong (Patodong)
hingga pada jaringan penjualan barang hasil rampokan kepada penadah
dan pembeli langsung.
C.1 Mekanisme kerja Para Perampok Penodong (Patodong).
Pekerjaan yang dilakukan oleh perampok Penodong (Patodong)
memiliki dua cara, yaitu mereka bekerja secara bersama (berkelompok)
dan mereka bekerja secara “tidak sengaja”. Mereka bekerja bersama
(berkelompok) adalah mereka melakukan operasi biasanya berjumlah
enam sampai delapan orang dan dalam cara ini terdapat dua bagian yaitu
bekerja bersama dengan “perencanaan” dan “operasi kerja tidak sengaja”,
UNIVERSITAS HASANUDDIN 84
sedangkan bekerja secara “tidak terencana” adalah operasi dilakukan
sendiri atau dua orang yang melihat kesempatan untuk melakukan
perampokan penodongan.
Hal ini terlihat oleh penjelasan informan A (34 Tahun) kepada
peneliti :
“..tidak selaluji pergiki banyak orang, karena anak-anak
sering banyak yang tidak ada, tapi kalo pergiki banyak
orang, pasti banyak tongki di dapat, karena biar diatas
becak, kita rampokji, itu punna pepa’ki, jadi enak memang
kalo banyakki, berapa kalimi anak-anak keluar sama-sama
semua, ada yang jaga disini, ada yang jaga disitu, kalo
adami na liat bisa kita mabil, langsung baku kontakmi, bilang
tungguki disana, nantipi saya ikuti dari belakang, karena kita
harus siaga memang, saya dibelakang itu untuk awasiji kalo
ada orang atau polisi, kalo aman, baaru saya telpon
temanku
untuk
tarai
di
depan,
baru
itu
beraksimi..”(wawancara tanggal 20 Januari 2011)
Cara yang mereka lakukan yang tergambarkan diatas yaitu dengan
cara yang ideal, dimana mereka melakukan ini dengan cara mengatur
posisi mengawasi dan posisi eksekusi. Informan A (34 Tahun)
menambahkan :
“..sebelum pergiki memang kalo banyakki, disusunmi kau
yang didepan , kau di jalan tunggu, sayapa yang dibelakang,
begitu kalo mau paki berangkat, yang didepan dua orang,
ada yang memang sudah duduk-duduk di jalan dua orang,
baru saya sama anggotaku dibelakang ikuti itu orang, kuikuti
pas sampe di anggotaku itu yang dijalan, naikutika, jadi saya
sama anggotaku, empat orang toh ikuti orang, pas amanmi
diliat, baru itu teman na palangngi motorna,.sudah itu
ambilmi tasna, kalo melawanki, kita tobo’ saja, tapi belumpi
ada iya yang saya tobo’ atau anggotaku yang
begitu…”(Wawancara Tanggal 20 Januari 2011)
UNIVERSITAS HASANUDDIN 85
Penggambaran tentang cara kerja mereka sangat tersusun rapi
sebelum mereka melakukan operasi, pekerjaan yang dilakukan dengan
membagi tugas masing-masing dilakukan agar operasi ini dapat berjalan
dengan baik. Cara kerja tersebut menggambarkan tiga bagian wilayah
operasional, yaitu bagian depan, atas, dan belakang. Pada bagian depan,
perampok penodong (Patodong) bertugas untuk menunggu datangnya
korban, dan melihat situasi wilayah tempat kejadian, yang ditengah,
bertugas untuk menunggu korban, dan “mengawal” korban tanpa harus
melakukan apapun (beraksi) dan yang dibelakang bertugas untuk
mengikuti dari awal perjalanan korban
sampai pada wilayah tempat
kejadian. “Tiga bagian” ini dilakukan dengan kesadaran yang berdasar
pada situasi yang terlihat aman, dan bukan langsung saja beraksi dan
melakukan penodongan terhadap korban. Seperti yang dijelaskan A (34
Tahun) kepada peneliti :
“..memang keluarki, baru kita sudah siap-siap di anu
masing-masing tapi nda begitu langsungki tangkap, atau
palangngi itu orang, kita lihat dulu, banyak orang tidak, kalo
tidak kita langsung tarai tapi kalo banyak orang apa, tidak
anuki, biar dimana kalo disitu banyak orang tidak jadiki
anu..”(Wawancara Tangggal 20 Januari 2011)
UNIVERSITAS HASANUDDIN 86
3
2
: Korban Perampokan
: Pelaku Pertama
: Pengawas
: Pelaku Eksekusi
1
Gambar: Strategi Operasi Kerja
: Jalanan
: Tempat Eksekusi
Letak keberhasilan operasional kerja mereka terletak pada situasi
tempat kejadian yang terlihat aman, dan bukan dari susunan rencana
yang terlihat sempurna. Walaupun, rencana yang disusun merupakan
rencana yang sangat bagus, tapi kondisi atau situasi tempat kejadian tidak
terasa aman, maka rencana tersebut tak berguna.
Situasi wilayah yang terlihat “tidak aman” inilah yang sering
membuat mereka gagal dalam melakukan operasi, tapi jika cara ini
berhasil mereka bisa dapatkan hasil yang memuaskan, dikarenakan pada
cara ini pemilihan korban bukan secara tidak sengaja, tapi sengaja,
dengan melihat tampilan fisik, dan barang bawaan korban. Informan A (34
Tahun) menjelaskan kepada peneliti :
“..kita ini pilih orang, kalo memang banyakki keluar, karena
percumaji kalo sembarangki tarai baru nda adaji barang
kayak laptop apa, makanya kalo dijalanmi, kita lihat memang
itu orang, kayak dulu, waktu di daeng Tata,dari rumah
memang sudah dibagimi, pas itu ada anak sekolah mungkin
itu jam dua subuh lewat, pake tas laptop, kaya memang
karena motornya satria fu, waktu itu mungkin dia mau ke
UNIVERSITAS HASANUDDIN 87
malangkeri, rumahnya mungkin disitu, dia dari tanjung
mungkin, pas dia lewat depanku, langsungnga kejarki, tapi
pelan-pelanja, kulambung dulu itu anak, baru pelan-pelanka
lagi, mauka lihat barangna, pas kuliat baguski barangnya
laptop, kuikuti terus sampe dapat temanku didepan,
nataraimi, kutarai juga dibelakang, saya dulu yang duluan
tarai, baru temanku didepan yang halangngi, kuancamki
dulu pake badik, turun ko telaso kalo nda mauko saya
tendang motormu, itu anak-anak kodong, pasrah mami, dia
turun, ampung-ampungngi, na bilang teaki kodong,
kubilangmi sini itu tasmu, nakasi, kubilang semua hpmu,
jammu, jongkok mami itu kodong itu anak, sudah itu pergimi,
pas pulangta semua itu pas belokan dari baji gau, ada ibuibu naek becak, dia pegang hp nelpon mungkin, beh itu
anggotaku langsung tarai itu daengnga, tidak bilang-bilang
tongi itu daeng kodong, langsung berhenti, jadi itu
anggotaku kasi keluar badikna, baru mintaki itu hp sama
emasna itu ibu-ibu, upa’na itu malam, karna bisana itu ada
ibu-ibu naek becak malam-malam, mungkin dari pettarani,
baru memang disitu sunyi sekali baru gelap..”(Wawancara
Tanggal 20 Januari 2011)
Gambaran operasi kerja diatas menunjukan bahwa pemilihan
korban penodongan, dilihat dari tampilan fisik korban, dan berapa
berharganya barang bawaannya, strategi ini dilakukan dengan rencana
yang telah tersusun dari awal. Cara kerja mereka tidak memiliki alasan
akan “pengampunan” atau belas kasih terhadap korban, karena tujuan
mereka untuk mendapatkan dan mengerjakan pekerjaan tersebut
hanyalah untuk mendapatkan materi kebutuhan hidup. Sedangkan
gambaran berikutnya yang dijelaskan oleh informan adalah cara bekerja
sama tak disengaja yang hanya melihat korban dan situasi dan kondisi
yang mendukung mereka untuk melakukan perampokan penodongan.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 88
Rencana atau strategi operasional ini sering dilakukan oleh mereka,
namun pengalaman informan bahwa mereka memiliki banyak cara yang
dilakukan untuk melaksanakan operasi kerjanya. Menurut informan A (34
Tahun) kepada peneliti :
“..ada juga memang itu korban sudah diliat-liat, kayak begini,
dulu itu di maranca, ada anak-anak sering lewat tengah
malam, diliatki apa nabawa, kemudian sudah itu, kita awasi
terus, sampe berapa hari, kita ikuti dari maranca sampe di
rumahnya, rumahnya itu di todopuli, baru biasakan dia
pulang jam dua atau jam tiga, kita dulu itu hampir satu
minggu, pas sudah itu, kita anu memangmi besok malamna,
ha itu anggotaku ada yang pergi memang di maranca liati itu
orang, tunggu baru disituji duduk-duduk minum kopi, liati
terus sampe dia pulang, anggotaku itu menelponmi kesini,
hamper mungkin jam tiga, itu anak-anak pulang, sampe di
depannya RRI, disitu ditarai, saya sama anggotaku tiga
orang, nabisami apa-apa, begituji juga, nakasiji baru pergiki
semua, yang cara beginiang lama baru didapat, tapi
memang dapatki, tapi ini cara dulu, sekarang itu tidak begini
maki,.”(Wawancara Tanggal 20 Januari 2011)
Strategi
operasional
yang
dilakukan
oleh
para
perampok
penodongan (Patodong) sesuai yang dijelaskan oleh informan diatas
merupakan cara atau strategi lain dalam melakukan operasi perampokan,
dilihat dari penjelasan informan bahwa melakukan perampokan dengan
cara ini, memerlukan waktu yang lama dan proses pengintaian yang teliti,
melihat target atau korban yang sesuai dengan apa yang dinginkan, jika
hal tersebut telah dilakukan maka operasi akan berjalan lancar dan
mendapatkan hasil yang diharapkan.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 89
Perencanaan yang sempurna yang dilakukan oleh para perampok
penodongan (Patodong) diatas adalah cara ideal bagi mereka bekerja
sama, namun dalam kategori operasional kerja, para perampok
penodongan lebih banyak melakukan operasi dengan cara tak terencana
seperti gambaran rencana oleh informan sebelumnya diatas. Strategi
operasional “tidak terencana” adalah operasi kerja yang dilakukan tanpa
ada perencanaan yang tepat, dimana mereka (perampok penodong)
melakukannya disaat melihat kondisi, situasi tempat kejadian yang
mendatangkan kesempatan bagi mereka untuk melakukan perampokan.
Strategi “tidak berencana” ini biasanya dilakukan oleh satu atau
dua orang perampok saja yang “beruntung” menemukan target korban
yang tengah berada di jalan (tempat kejadian). Selengkapnya dijelaskan
oleh informan C (30 Tahun) kepada peneliti :
“..kalo dapatki orang dijalan baru jam-jam dua malam,
langsugki tarai tapi dilihat ki juga siapa orangna, kayak kalo
lewatka disitu baru ada memang orang bawa tas besar, baru
besar orangna, kayak begitu nda beraniki ganggui karena
ecece gappa polisi tauwa, intelka, yang begitu b memang
yang banyak anak-anakka sambarang, dianu, ngapai
gappami pistol, hah biasanya kalo begitumi, saya biasa lihat
memang itu orang toh, kayak jalanka keliling-keliling sama
temanku di hertasning, pas dijalan diliaki ada orang anakanak yang biasa mau pulang dari café, kalo adami orang
begitu beraksi maki, kayak begitu, pas sampe di samping
motorna itu anak-anak, langsungmi patte baru mintaki tasna,
langsungki tarik dari bandanna itu orang, sudah itu lari maki
cepat pulang,..”(wawancara Tanggal 22 Januari 2011)
Informan selanjutnya menggambarkan :
UNIVERSITAS HASANUDDIN 90
“..bukanji juga laptop tapi hp biasa juga diambil, kalo keluarki
toh baru diliatki ada orang pegang hpnya diatas motor baru
cewek apa, atau ada orang yang tengah malam berdiri
dijalan sambil menelpon, langsung rampas dari atas motor,
nutauki toh, begini dulu itu jam sebelas sampingnya TMP
panaikang, diisitukan sunyi, baru kalo jam sepuluh keatasmi
itu, kurangmi kendaraan, itu hari hujan memang, tapi hujan
rintik-rintik baru-baru ini, saya itu jalan beh pas-pas lagi ada
cewe’ sama pacarna, asiki sms, samaka anggotaku itu
langsung rampaski dari motorna itu cewe’ kodong, tidak bisa
apa-apa tong itu kodong cowo’na..hahaha, baru dulu juga itu
ada di sampingna manuruki tiga belas, disitu ada cewe’ jam
dua malam, sendiri, nda tau kenapa, lagi pegang hp nya,
langsungki rampas diatas motor, berteriak mami injo kodong
ceweka,..”(Wawancara Tanggal 22 Januari 2011)
Gambaran tentang strategi atau cara yang dilakukan oleh para
perampok penodongan (Patodong) diatas merupakan gambaran tentang
strategi cara “tidak berencana”, dalam strategi ini perampok melakukan
operasi kerja tanpa ada perancanaan apapun, ketentuan yang dilakukan
oleh para perampok merupakan sesuatu yang tidak disengaja oleh
mereka karena melihat kesempatan dan situasi yang mendukung mereka
untuk melakukan perampokan penodongan. Cara atau strategi ini lebih
mudah dilakukan oleh mereka karena intensitas resiko yang mereka
dapatkan sangat kecil bagi mereka (Patodong).
Strategi operasional yang dilakukan dengan perencanaan dan tidak
terencana merupakan cara yang pernah dilakukan oleh informan,
beragamnya cara mereka melakukan hal tersebut tidak terlepas dari
“kesempatan”, dan menurut penulis yang diilhami dari kata-kata “bang
Napi” di salah satu tayangan televisi bahwa “ kejahatan itu tidak juga
UNIVERSITAS HASANUDDIN 91
berasal dari niat pelaku, tapi juga karena ada kesempatan”. Dan
sederhananya, kalimat ini sangat sesuai dengan apa yang terjadi dalam
ruang kriminalitas para perampok penodongan (Patodong). Garis
besarnya, bahwa dalam strategi operasional terencana maupun tidak
terencana yang dilakukan oleh para perampok penodongan semua
bergantung dari kesempatan atas situasi tempat kejadian untuk
melakukan perampokan.
C.2 Perampok Dan Penadah-Pembeli
Hasil rampokan yang didapatkan dari operasi kerja mereka,
pastinya memerlukan proses penjualan barang tersebut. Pada penjualan
ini, para perompok membutuhkan “agen” dalam memasarkan atau
mengumpulkan hasil rampokan tersebut dengan membutuhkan agen yaitu
penadah. Penadah merupakan agen yang membantu mereka untuk
memasarkan atau membeli barang hasil operasi mereka dengan
ketentuan dan syarat tertentu.
Ketentuan dan syarat ini merupakan hasil kesepakatan antara
perampok dan penadah, yang sama-sama menentukan keuntungan yang
dapat dirasakan oleh keduanya. Biasanya, keuntungan yang diperoleh
oleh para perampok penodong (Patodong) adalah dengan penjualan yang
cepat, untuk penadah, keuntungannya terletak pada harga barang yang
relative sangat murah, dan pengambilan barang dari penadah itu
memerlukan spesifikasi permintaan pembeli, dan syarat pengambilan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 92
barang, sehingga barang tersebut dapat bernilai ekonomis tinggi. Seperti
yang dijelaskan oleh informan A (34 Tahun) kepada Peneliti:
“..itu barang kalo jelek tidak langsung dijual, biasa dipake
para kita-kitaji, baru disimpanji dulu di rumah, tapi kalo
barang bagus, langsung di ambil sama pattada, kayak laptop
Toshiba itu, itu bagus punya itu, langsungki bawa ke
pattada, disitumi negomi harga berapa itu laptop, kalo nda
baguski hargana, pindahki seng, yang satu lagi, tapi kalo
biasaki sama pattada disitu terusmi, karena nakasi harga
bagus, tapi kalo di pattada, kita juga bisa ke pattada lain,
kayak kaumi, kujual itu laptop di kau, karna nukasi harga
bagus, tapi biasa kau nda ada, jadi saya biasa jual di
situ..”(Wawancara tanggal 25 Januari 2011)
Peranan penadah (Pattada) dalam menyelesaikan operasional
kerja
para
tergambarkan
perampok
dan
yaitu
dijelaskan
penjualan
oleh
memiliki
informan,
ketentuan
dimana
yang
penadah
menginginkan barang hasil rampokan yang memeliki kualitas dan fisik
yang masih bisa dijual kembali. Ketentuan ini merupakan strategi penadah
untuk tidak merasa rugi, pemilihan barang itu disesuaikan dengan
ketelitian penadah melihat barang, jika penadah melihat barang tersebut
masih dalam kondisi baik atau “mulus” maka barang tersebut langsung
dibeli, dan nantinya akan dipasarkan kepada pembeli.
Sama halnya dengan perampok penodong (Patodong), penadah
juga merupakan pelaku kejahatan, yang menurut penulis mereka adalah
pelaku kejahatan “belakang layar” dan merupakan bagian dari tindakan
kejahatan tersebut, karena berhasilnya tujuan perampok adalah dengan
mendapatkan hasil dari operasi kerja mereka, sehingga pada point ini,
UNIVERSITAS HASANUDDIN 93
peranan penadah (Pattada) sangat menentukan keberhasilan tujuan
mereka para perampok penodongan, yaitu menerima materil (uang)
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Menurut salah satu Penadah X (34
Tahun) kepada peneliti :
“..saya biasa tada itu barang dari A kalo memang ada
memang yang pesan, kayak biasanya ada temanku sms, ini
kayak begini ni, ada temanku cari laptop, core2duo, acer,
harga 2,5jt, masih mulus, nuliatmi toh, sms beginiji ini yang
biasa kupake baru kupesanki di A, kalo nadapat kayak
begitu langsungmi kesaya, bawa barangnya, kalo bagus
saya liat, tidak lecet-lecetji kuambilki, kalo tidak bagus,
kubilangji, bawami saja di dr.sutomo, nutaumi disana itu
nabeli tembang bo’noki barangnga..” (Wawancara tanggal
25 Januari 2011)
Proses dalam melakukan transaksi penjualan hasil rampokan
kepada
penadah
memerlukan
syarat
dan
ketentuan
spesifikasi
permintaan pembeli yang memesan pada penadah (Pattada), permintaan
barang dari penadah disesuaikan dengan permintaan pembeli, namun
ada juga permintaan dari penadah sendiri yang menginginkan barang
tersebut tanpa harus ada permintaan. Permintaan barang dari penadah
(Pattada) biasanya berupa handphone, dan segala macam barang
elektronik. Satu hal yang pasti bahwa, proses pemasaran barang oleh
perampok penodong kepada penadah dilandasi dengan kepercayaan oleh
kedua pihak, hubungan kerja yang terjalin diantara mereka merupakan
hubungan kerja yang memiliki ikatan emosional erat dan rasa percaya
sangat tinggi, sehingga rasa aman itu ada dalam kehidupan kerja mereka.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 94
Kepercayaan sangat mereka utamakan dalam melakukan proses
penjualan dan pemasaran. Seperti yang dijelaskan informan A (34 Tahun)
kepada peneliti :
“..saya kalo mau kasi masuk barang ke orang, atau mau jual
ke orang, kuliat dulu itu orang, gappa napasiko’bikang jaki,
karena sekarang itu orang yang jujur itu susah didapat, saya
dulu kalo jual barang begini kayak hp apa, itu di penjualpenjual pinggir jalan, kujualki baru tidak tanya-tanyaji juga
itu, tidak ada cas, tidak ada dos, nabeli tembang bo’no,
begituka dulu, di penjual-penjual begituji, dulu kan saya ini
cuma mencuriji dirumah-rumah toh, hp ji saya dapat, itu
dulu, sekarang main besarmi orang toh, laptop apa, jadi kalo
mauki menjual nda bisaki di penjual-penjual pulsa itu pinggir
jalan, pertamaka jual itu di anak sekolah dekat rumah,
alasanku itu punyanya sepupuku yang kuliah, perlu skali
uang, lama begitu dapatki lagi laptop tapi laptop ko’dala, jadi
tidak ada yang mau beli, ada orang itu X datang ke saya,
baru bilang berapa nujual itu, tidak nupakeji juga, naliatki
dulu, itu yang kau bilang laptop dulu, kayak begitu kujual, na
ambilki, nabeli 300 ribu, baru nabilang kalo ada lagi
barangmu kau hubungima saja, dalam hatiku ini orang yang
sering duduk di manuruki, sering kuliat memang panginung
juga, jadi kalo ada barangku biasa biar hp kujual di dia ji,
biasa juga kalo itu hp bagus, biasa ku pake, bosanpa baru
kujualki di dia,.”(Wawancara tanggal 25 Januari 2011)
Tampak
bahwa
untuk
menentukan
“agen”
bagi
perampok
penodong untuk membeli barang hasil rampokan itu berdasar pada
penilaian tertentu, dimana seseorang dapat dijadikan sebagai penadah
barang bagi mereka, jika telah ada dalam pikiran dan ingatan mereka
tentang seseorang tersebut, ataukah sudah lengkap identitas penadah
dalam frame mereka. Selajutnya informan A (34 Tahun) menjelaskan :
“..kita harus percaya sama itu pattada, begituji juga dia,
harus percaya sama saya, karena kalo tidak sama-sama
percaya, tidak bisaki jual barang, baru itu juga kalo natawar
murah barangku, sundala, langsungka jual ke orang, karena
UNIVERSITAS HASANUDDIN 95
kalo kuliat ini bagus, tidak ada lecetna toh, baru mau
natawar murah, langsungka pergi, tapi biasa itu natelponka,
suruh lagi ke rumahnya, baru bicara hargaki lagi, bukanka
orang bodoh, biar nda ada sekolah itu, kuatuji mana bagus
punya..”(Wawancara tanggal 25 Januari 2011)
Penjelasan informan diatas menguatkan penulis untuk menyatakan
tentang rasa saling percaya (trust) diantara mereka (perampok-penadah)
merupakan jalan untuk mereka mencapai tujuan, karena dari rasa percaya
tersebut maka keuntungan ada dalam genggaman mereka. Keuntungan
yang membawa mereka (Patodong) mendapatkan apa yang mereka
inginkan dalam pemenuhan kebutuhan, sedangkan pada penadah
(Patodong) mereka menjual barang tersebut pada pembeli yang secara
tidak langsung tidak mengetahui barang tersebut adalah barang curian,
dan hal ini yang paling menguntungkan bagi penadah (Pattada)
dikarenakan harga barang tersebut naik sekitar 50% dari pembelian.
Pemilihan lokasi pemasaran penadah, banyak terdapat di wilayah
sekitaran pondokan mahasiswa, dan sebelum dipasarkan penadah
barang tersebut di modifikasi, seperti menempelkan stiker atau pelindung
laptop, dan menginstal ulang program (jika laptop atau netbook), setelah
itu
kemudian
dipasarkan.
Apa
yang
dilakukan
oleh
penadah
(memodifikasi) atas barang tersebut untuk tidak dicurigai oleh pembeli
bahwa barang tersebut dalah barang curian. Cara mereka (penadah)
dalam memasarkan merupakan sesuatu yang sangat cerdas, dan sangat
teliti dalam memilih pembeli (konsumen). Bukan hanya, perampok
UNIVERSITAS HASANUDDIN 96
menentukan penadah (Pattada) namun penadah juga memilih pembeli.
Ketentuan dalam menentukan pembeli atau konsumen tergambarkan oleh
informan X (34 Tahun) kepada peneliti :
“..kalo mauka jual ke orang, itu orang memang harus saya
kenal, atau itu orang dia punya teman toh, teman
kampusnya, ku liati dulu nda langsungka tawari, kalo lainlainmi gayana, tidak kulepaski barangku, nutaumi didapatki
saja satu, tiga bulan, apalagi kalo banyak barang,..bukan
begitu tapi, kita ini juga mau aman, jadi saya ini mau aman,
jadi harus hati-hati, tapi kalo mau dimakassar jarang skali di
dapat jadi itu barangku semua ku kirim ke daerah..”
Ketentuan dalam pemasaran dalam kategori pembeli yang
ditentukan oleh penadah harus berdasarkan kedekatan emosional juga,
bahwa penadah harus mengenal pembeli atau lingkungan sosial pembeli
sehingga dalam memasarkan tidak ada rasa takut akan konsekuensi yang
mereka dapatkan.
Profesi sebagai penadah barang bukan hanya mengambil atau
membeli barang dari perampok penodong, tapi juga membeli barang dari
pencuri rumahan, menurut mereka bahwa yang jelas apa yang bisa dibeli
dengan harga murah dan barangnya berkualitas maka barang tersebut
akan diambil dan dibeli. Pada point ini, penadah membuat mereka
(perampok atau pencuri) dapat bertahan kerja untuk menawarkan barang
hasil rampokan. Strategi untuk melakukan hal tersebut dijelaskan oleh
informan X kepada penelti :
“..saya itu kalo kutentukan harga, ituji, kayak Toshiba na
dapa’, ku kasi haga 1,8 juta, atau sampe 2juta, harga begitu
kukasi, nasukaji karna memang kalo barang begitu toh,
UNIVERSITAS HASANUDDIN 97
murah hargana, dari pada najualki di sana, paling satu jutaji
nakasi, anu juga kalo hp, biasa kubeli harga 500 rb, kalo
memang bagus barangna, kukasi memang harga bagus
supaya kalo besok-besok itu nadapa’ lagi barang,
langsungmi ke saya, kan biasa natelponka dulu, ada masuk
ini, kutanya apa, laptop, lengkap, bagus punya ini, kusuru mi
kerumah, kuliatki, kalo bagus kubeliki, tapi biasa kalo ada
barang pasti bagus-bagus nabawa kesaya…”
Hubungan kerja yang dijalani oleh penadah dengan perampok
penodong (Patodong), dilihat dari gambaran informan diatas adalah
bagaimana koordinasi yang dilakukan oleh kedua pihak dengan landasan
saling percaya, dan saling memberikan keuntungan antara mereka.
Seorang penadah pastinya berpikir bahwa jalan untuk mempertahankan
mitra kerjanya dan memperlancar proses kerja dalam hal pemasaran
barang, maka yang dilakukan adalah dengan memberikan satu bentuk
keuntungan untuk pihak yang dijadikan mitra. Hubungan yang “saling
memberikan” harus ada sehingga hal tersebut menciptakan “pertukaran”
yang bernilai positif antara penadah dan perampok .
D. Patodong Dan Kejahatan Lainnya.
Kejahatan merupakan suatu tindakan yang merugikan dan
memberikan dampak yang buruk dalam kehidupan ini, dan kita semua
tahu akan hal itu. Menariknya, Sebagai manusia pastinya kita secara
sadar berpikir sebelum melakukan suatu kegiatan atau berprilaku tertentu.
Tapi kenapa kejahatan atau suatu tindak penyimpangan yang dilakukan
manusia masih saja tetap dilakukan oleh seseorang tersebut yang secara
langsung mereka sadari dan melakukannya.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 98
Perampok penodong (Patodong) adalah mereka-mereka yang
tergambarkan sebagai pelaku criminal yang sesuai dengan uraian singkat
diatas, jelasnya dalam penelitian ini, penulis lebih menekankan mereka
sebagai “penjahat” dengan mengacu pada konsep kriminalitas. Secara
umum, penulis pahami bahwa Seseorang yang melakukan tindak yang
dapat merugikan orang lain adalah penjahat, dan pada sub bab ini,
penulis akan menggambarkan “pekerjaan pelengkap” bagi para perampok
penodong. Hal ini tergambarkan dari pernyataan Informan I (21 Tahun)
yang mengutarakan kepada peneliti :
“..kalo tidak ada didapat, subuhna pi seng keluarki malukka.
Kalo nda didapat lagi itu mami menjualki seng obat..biar
untung-untung sepuluh ribu..” (wawancara tanggal 2 februari
2011)
Pernyataan diatas menggambarkan tentang pekerjaan yang
dijadikan sebagai “cadangan” atau dalam bahasa saya sebagai “pekerjaan
pelengkap” jika dalam operasi kerja mereka (penodongan) tidak
mendapatkan hasil apa-apa, maka yang mereka lakukan adalah dengan
mencuri di rumah pada lokasi-lokasi tertentu ataukah menjadi seorang
Pengedar atau Penjual Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang (Narkoba).
Mereka menganggap pekerjaan sebagai perampok tidak berbeda
dengan pekerjaan sebagai seorang pencuri atau bekerja sebagai
pengedar
Narkoba.
menggambarkan
Untuk
tentang
itu,
penulis
pekerjaan
yang
akan
mereka
berusaha
untuk
lakukan
untuk
alternative dalam pemenuhan kehidupan mereka.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 99
a. Patodong Juga Pencuri
Perampokan dan pencurian adalah satu tindakan yang sama yaitu
mengambil miliknya seseorang hanya lokasi yang berbeda. Menurut
penulis, Dalam pikiran mereka, untuk mendapatkan hasil (jika tidak
mendapatkan apa-apa dalam operasi penodongan), mereka akan
melakukan pencurian. Hal ini terjelaskan melalui informan I (21 Tahun)
kepada peneliti :
“..apa mauku makan, tidak ada tommi uang, tidak ada tommi
rokok, baru keluar, tidak ada tommi didapat, biasa kalo tidak
ada didapat karna memang tidak ada orang pulang, baru
bata-bataki juga kalo mauki ma’todong, karna sundala
banyakmi polisi sekarang menyamar, biasa itu nabawaki
laptop, atau tas besar supaya bisaki ma’kenna jadi batabataki, kan dulu itu beh lancar memang, kamma-kammanne
tenamo ditembak jaki, kalo begituma saya, pulangma
kerumah, kutaruh dulu motor, baru sama ma itu X ke
manuruki, tempat kostna mahasiswaia, biasa dapatki juga,
biasa juga tidak,jadi begini mami kodong, nulaitmi
toh..”(wawancara tanggal 4 Februari 2011)
Dari pernyataan informan diatas, menggambarkan tentang aktifitas
yang mereka lakukan (mencuri) merupakan suatu pekerjaan yang
dasarnya berasal dari suatu “rencana cadangan”. Hal ini diperkuat oleh
gambaran operasional mereka saat ini. mereka lakukan penodongan tidak
lagi seperti dulu. Operasi yang dilakukan pastinya dilihat dari situasi dan
kondisi tempat operasi yang tidak terjaga oleh aparat keamanan, sehingga
mereka dapat melakukan operasi tersebut dengan lancar, namun
sekarang mereka tidak leluasa lagi mendapatkan ruang untuk melakukan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 100
penodongan
disebabkan
karena
banyak
aparat
keamanan
yang
menyamar menjadi “korban” dan ini yang membuat mereka takut untuk
selalu melakukan perampokan penodongan.
Rencana cadangan yang dilakukan oleh para “Patodong” adalah
dengan melakukan pencurian di rumah-rumah. Pemilhan target rumah
yang akan dicuri adalah rumah yang terlihat sepi, disebabkan lingkungan
sekitar tempat kejadian sunyi atau tak ada sarana keamanan (pos jaga).
Menurut informan J (23 Tahun) :
“..kalo nda’ dapatka barang sama I, teruska keliling pergi cari
tempat yang bagus untuk lukka, paling banyak di manuruki
karna disana banyak kost mahasiswaia, biarki jalan subuh
nakira jaki orang mahasiswa, baru disana itu deh kostkostka biasa tidak ta’kunci jadi gampagji masuk,..kayak dulu
itu saya pergi ke itu ada situ di manuruki 12 pondok kembar,
disitu itu paling banyak mahasiswa baru tidak dikunci itu
pintunya karena rumah, jadi biasa ada teman-temanna yang
datang terlambat biasa jam-jam 2, makanya kalo yang
tinggal disana tidak nakunciki jadi yang datang itu bisa
langsung masuk,..kuatauki karena banyak juga temanku
mahasiswa disana, biasaka sama-sama minum sampe
subuh, pas kutau begitu, kucoba-cobami masuk, kuperiksa
pintuna tidak ta’kunci itu hariji, tapi tidak langsungka
mencuri, besokpi datangka, kan tidak kubawaki alatku,
makanya besokpi baru saya kesana, sampe sana kutarget
memang, sampe sana pas-pas subuh memang kalo kerja
beginiki, karena paling enak itu kalo pas-pas adzan mesjid,
itu supaya tidak terlalu nadengarki kalo ada yang bongkarki
gembok atau masuk kamarnya, pas itu upakka karena duaji
kamar ta’kunci, kutunggu memangngi pas itu adzan baru
masukkka, kucari memang dulu kamar ta’gembok, baru
masukka di kamar yang tidak dikunci, mauko tau berapa
saya dapat dua laptop sama empat Hp, langsungma paccoki
UNIVERSITAS HASANUDDIN 101
itu motor, deh langsung pulangki pesta..”(Wawancara
tanggal 5 Februari 2011)
Mencuri dan mengkategorikan tempat operasi yang dilakukan
adalah dengan mengamati terlebih dahulu tempat yang mereka akan
datangi. Gambaran informan diatas tentang pencurian yang mereka
lakukan adalah
dengan
melihat
dan mengamati kondisi tempat,
melengkapi peralatan kerja, dan menyesuaikan kondisi yang dapat
mendukung lancarnya operasi kegiatan mereka (Adzan subuh). Informan
menambahkan bahwa :
“ tidak anuji juga mauki subuh pergi cari, tapi subuhkan
bagus toh karena tidur semuami baru pasti tidak sadarki kalo
pergiki jam-jam empat subuh, deh waktu-waktuna itu tinro
mateki tawwa, jadi gampang, biarji juga siang kalo mauki,
karena itu di malengkeri, kost-kostka, jalan jaki kalo diliatmi
tidak ada orang masuk maki, tapi jang tongki kamma tongki
anu lambussu tama, diliatki tong itu orangka, gappa
datangngi, mateki, jadi biar siang kalo bagusji waktua..”
Dari pernyataan diatas oleh informan, kejelasan tentang operasi
kerja mereka melakukan pencurian, tidak dibatasi atau tidak ada waktu
tertentu untuk melakukan operasi. Mereka dapat melakukan tindakan
tersebut kapanpun mereka inginkan yang disesuaikan dengan kondisi dan
waktu yang mendukung mereka melakukan pencurian.
Kehidupan mereka (Patodong) bukan hanya menjadi perampok
penodong tapi mereka juga melakukan pencurian jika mereka tidak
dapatkan hasil todongan. Untuk mengatisipasi dan menutupi hal tersebut
Kerja sebagai pencuri merupakan pekerjaan pelengkap bagi para
UNIVERSITAS HASANUDDIN 102
Patodong untuk menutupi kehidupan hidup mereka. Sehingga, dalam
tulisan ini penulis dapat katakana mereka perampok juga sebagai pencuri.
Hasil yang mereka dapatkan dari tindak kejahatan mereka,
biasanya mereka gunakan bukan hanya untuk membeli kebutuhan hidup
tapi juga membeli Narkoba yang kemudian di konsumsi atau dijual kembali
kepada para konsumen-pengguna obat tersebut.
b. Patodong dan Narkoba
Banyak hal dalam kehidupan mereka tentang bagaimana satu
pekerjaan yang mereka jalankan merupakan gambaran hidup tentang
“survive” dalam menutupi kebutuhan mereka. Pada bab-sub bab
sebelumnya
penulis
menggambarkan
tentang
pekerjaan
mereka
perampok penodong (Patodong) sebagai mata pencaharian (second job)
dan alternatif pekerjaan lainnya. Semua hal yang digambarkan penulis
diatas merupakan usaha mereka untuk bertahan menutupi kebutuhan
hidup mereka.
Hakekatnya, pelaku kejahatan tidak lepas dari bermacam-macam
tindak penyimpangan lainnya. Mereka (perampok penodong/Patodong)
bisa saja menjadi seorang pencuri maupun seseorang yang bekerja
sebagai penjual Narkoba. Pekerjaan yang mereka lakukan atau jalani
merupakan suatu bentuk alternative yang dapat membantu mereka untuk
mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Pada sub-sub bab ini, penulis
berusaha menggambarkan tentang mereka (Patodong) melakukan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 103
pekerjaan alternatife mereka yang dapat membantu mereka dalam
pemenuhan kebutuhan hidup.
Kehidupan yang mereka jalani dengan “label” sebagai penjahat
pastinya tidak terlepas dari perbuatan atau pekerjaan yang “tidak wajar”.
Hal ini serupa dengan informan A (34 Tahun) mengutarakan kepada
peneliti :
“..klao dapatki uang, langsungki biasa anak-anaka pergi beli
(ubas), baru dipake sama-sama, panggilmi semuami anakanak datang ke sini, begitumi kalo dapatmi uang, tapi tidak
anu tonji mau beli ubas, biasa juga na simpanji uangnya beli
baju atau celana, tapi kalo pintarki biasa nabeli banyak, baru
najual kembali, kan itu ubas sekarang itu mahal sekali, tapi
kalo sudahmi dibeli baru kita jual kembali, untung-untung
800 ribu kalo ambilki satu gram, karena biasa itu orang beli
tak sedikitji, jadi kalo ambil banyakki banyak tong
untungta,..ganja juga bagus dijual, tapi sedikitji untungnya,
biasa ta’ lima ribuji satu linting untungta, lumayanji,.. banyak
tongi itu mahasiswa yang pesan sama saya, baru kalo tidak
ada uangnya, biasa nakasipegang hp-nya atau laptop-nya
baru paganti sama ubas, rusak memang, baru kalo
seminggu tidak nabayar itu hp atau laptop laburmi, kayak
dulu itu, anak UH mungkin, karena nabilang itu X
mahasiswa, dia ambil 800 ribu, baru nakasi pegangmi
laptopnya, anu toh mau skalimi make’, jadi nakasi pegang
semua,..”(Wawancara tanggal 5 Februari 2011)
Menurut informan diatas bahwa bukan hanya sebagai perampok
penodong (Patodong) menjadi pekerjaan mereka tetapi mereka juga
mengerjakan pekerjaan yang dipandang membantu mereka untuk
menutupi kekurangan kebutuhan hidup mereka. Hal ini menjelaskan
tentang kriminalitas akan suatu tindakan seseorang, tidak terlepas dari
tindakan kriminalitas lainnya.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 104
Hasil yang diperoleh dari operasi perampokan penodongan
digunakan untuk keperluan hidup, namun ada beberapa diantara mereka
melakukan dan mendapatkan hasil hanya untuk membeli “kesenangan”
atau sesuatu yang memberikan “kenikmatan sementara” salah satunya
adalah “Ubas (Narkoba). Narkoba jenis ini yang sering mereka beli dari
“Bandar”, pembelian barang digunakan atau dapat juga untuk dipasarkan
kembali oleh mereka. Pembelian barang “ubas-sabu”, Ganja dan lainnya,
adalah sesuatu yang tidak terlepas dari kehidupan beberapa diantara
mereka, dan tidak tanggung-tanggung hasil yang mereka dapatkan
digunakan untuk membali barang tersebut. Informan I (24 Tahun)
mengutarakan kepada peneliti :
“.. kita itu kalo sudahmi dapat uang, langsungki beli ubas
sama “om jon” , tidak dipaksaji iya kalo umpamana saya toh
punya uang 400 ribu, mauka beli, tapi tidak cukup uangku,
kukasi taumi anak-anak kalo mauki pasti na tambahiji karena
sama-sama pake, tidak kuanuki, yang mauji tambai, nutaumi
mahal itu ubas-ka,..bagusji kalo begituang adaji uang terus,
de punna pepa’, injo anak-anaka nalabur ngase I hapena,
atau nakasi PTG (Patagallang), itu Hp 5800 yang dulu kau
pegang untuk beliji itu, berapa hai itu di kau, edede, itu hari
mau-mauna anak-anaka baru tidak ada semua uangna,jadi
nakasi pegang semua hapena..” (wawancra tanggal 7
Februari 2011)
Hal yang dijelaskan informan diatas, bukan berarti bahwa mereka
semua (Perampok Penodong) adalah pengguna dan penjual barang
tersebut. Menurut penulis bahwa mereka (Patodong) yang berumur
kisaran 20-23 tahun kerap dikatakan sebagai pengguna Narkoba jenis
Sabu (Ubas), penulis melihat bahwa, Pelaku yang memiliki tingkatan umur
UNIVERSITAS HASANUDDIN 105
(Remaja) dalam kelompok penodong adalah mereka-mereka yang
mencari pendapatan atau hasil untuk membeli dan menggunakan barang
tersebut. Hal ini dijelaskan informan I (24 Tahun) kepada peneliti :
“ kapan lagi, kita kayak orang kaya yang make ubas,.. tidakji,
karena enakki dirasa kalo makeki begitu, hilang semuaka
masalah, itu anak-anakka tidak napikir, kayak sayami, belum
ada istriku, baru, maceku paceku tidak najampangika, tidak
adami yang bisa kukasi uang kalo dapatka uang, lebih baek
saya begini mami,senang senang, mauki apa bede’, adami
baju, adami celana, hape ada, lebih bae’ beliki ubas, kan
sekali-sekaliji juga anak-anaka beli..
Selanjutnya informan J (23 Tahun) mengutarakan ke peneliti :
” ..mauki beli apa, mauki hape adaji hape, mauki beli laptop
bukanki mahasiswa, tidak sekolahki, jadi ubas mami dibeli,
kalo saya itu ku boli’ memangngi karena motorku mau
kubayar, empat ratus, kabukanji dari mattodongki dapatki
uang, kerja tonja, sekarang ada pengecetanku di SMP 26,
baru beginiangnga kalo adaji napanggil X, jadi ikut tonga,
mauku apa, kaperluka bayar motor, baru tidak ada sekali
uangku, kutambahiji kalo ada uangku kalo anak-anak mau
beli ubas, jadi ikut tonga..”(wawancara tanggal 7 februari
2011)
Penjelasan diatas tepat jika disandarkan bahwa tindakan yang
mereka lakukan adalah factor dari tidak adanya hubungan dengan orang
lain, atau dalam hal ini tidak adanya ikatan yang menggambarkan tentang
tanggung jawab dalam hidup mereka, sehingga yang mereka lakukan
hanyalah suatu hal yang memberikan kesenangan bagi diri mereka.
Beban hidup yang mereka tanggung hanyalah untuk hidup diri sendiri, dan
tidak untuk orang lain. Kesadaran akan perilaku tersebut disadari dengan
UNIVERSITAS HASANUDDIN 106
akal mereka bahwa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang
menyenangkan mereka, dan bagi mereka itu merupakan suatu “tambahan
kesenangan” dalam hidup mereka selain kebutuhan hidup sandangpangan dan papan.
Hasil yang diperoleh dari rampokan mereka adalah modal mereka
untuk membeli barang tersebut. Proses pembelian yang dilakukan bukan
dari mereka tapi mereka dapatkan barang (Narkoba) tersebut dari
seseorang yang dipandang sebagai pemimpin mereka. Pemimpin mereka
yang menjual atau membelikan mereka barang tersebut. Hal ini diperjelas
oleh informan A (34 Tahun) kepada peneliti :
“naambilji disaya kalo ada barang, begitumi kalo semua
dapat uang, itu X biasa langsungnabeli, kalo ada uangna,
ituji nabeli, tidak napake beli apa-apa, ubasji nabeli disaya,
sama semuaji, baru kalo tidak ada barang, biasa nasuruhka
anak-anak pergi belikanki, pergika kesana ambil barang, ada
itu Bandar besar di Balang Baru, bagus disana karena kuatki
dekkengna, baru tidak napatolo-toloki,.. memang susah kalo
mauki kasi jauh itu ubas dari anak-anaka,..”(wawancara
tanggal 5 Februari 2011)
Penjelasan informan diatas menggambarkan tentang bagaimana
proses untuk mendapatkan barang ubas tersebut, yaitu mereka dapat
membelinya dari pemimpin mereka atau mereka meminta bantuan kepada
pemimpin mereka untuk membelikan Narkoba tersebut.
Narkoba (Ubas-Sabu) adalah alat kesenangan mereka, dan itu
tidak terlepas dari sebagian kehidupan mereka. Bagi beberapa dari
mereka (Patodong) Hasil yang mereka dapatkan dari operasi kerja
UNIVERSITAS HASANUDDIN 107
merampok atau mencuri hanya untuk membeli barang haram tersebut.dan
sekali lagi penulis tekankan bahwa mereka dan narkoba adalah suatu hal
yang memberikan kesenangan tersendiri dalam menjalani kehidupan.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 108
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pekerjaan sebagai Patodong merupakan pekerjaan yang menurut
mereka dapat memberikan keuntungan besar atau dalam hal ini
pendapatan yang besar dalam waktu yang sangat cepat. Secara
sederhana, mereka melakukan hal tersebut dengan motif ekonomi untuk
melangsungkan hidup, memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan
kepuasan materil tertentu dan tak peduli dengan pandangan masyarakat
yang negative tentang mereka. Patodong atau menodong adalah sesuatu
yang dilakukan dengan cara cepat dan mendapatkan hasil yang banyak
walaupun konsekuensinya sama dengan pekerjaan mereka.
Pandangan tentang dunia kerja yang mereka pahami diatas,
menggambarkan tentang kesamaan semua yang dilakukan manusia
(pekerjaan) memiliki tujuan yang sama yaitu memenuhi kebutuhan hidup,
perbedaannya hanyalah terletak pada nilai dalam pekerjaan tersebut.
Pekerjaan yang bernilai “baik” dan bernilai “buruk” memiliki kuantitas yang
sama yaitu untuk memenuhi kepuasan seseorang dalam pemenuhan
materi. Mereka sadar bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan
pekerjaan yang membuatnya untuk tetap menjadi manusia yang memiliki
daya tahan dalam kehidupan ini.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 109
Melakukan pekerjaan sebagai perampok penodong (Patodong)
bukanlah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian dari mereka. Namun,
bagi mereka bekerja menjadi seorang perampok penodong (Patodong)
menurut mereka merupakan pekerjaan yang sangat membantu mereka
memenuhi hasrat pemenuhan kebutuhan hidup yang “berlebihan”,
keterpaksaan
akan
pekerjaan
tersebut
mereka
sadari
dengan
ketidakmampuan mereka bersaing dalam dunia kerja lainnya, sehingga
yang hadir adalah pandangan mereka tentang apa yang mereka lakukan
tidak jauh berbeda dengan dunia kerja lainnya yang memiliki subtansi
yang sama yaitu mencari nafkah hidup dalam melangsungkan kehidupan.
Pekerjaan sebagai penodong merupakan pekerjaan kolektif dan
bukan pekerjaan individu, sehingga dalam profesi mereka, mereka bekerja
dengan berkelompok. Kelompok yang mereka bangun tidak memiliki
aturan-aturan
tertentu
hanya
mengandalkan
“kepercayaan”
antara
anggota kelompok dan pihak-pihak yang terkait dalam pekerjaan mereka
serta mereka memiliki pemimpin yang dianggap sebagai orang yang
memberikan arahan dan rencana yang matang dalam melakukan operasi
perampokan. Perekrutan anggotapun tidak bersifat “paksaan” mereka
melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauan mereka untuk ikut serta
dalam operasi perampokan.
Dalam menjalankan operasi kerja, para perampok penodong
(Patodong) memiliki strategi operasi yang mereka gunakan untuk
melancarkan proses operasi kerja mereka. Strategi ini penulis sebut
UNIVERSITAS HASANUDDIN 110
sebagai strategi ‘terencana” dan strategi “tidak terencana”. Keberhasilan
dari operasi kerja mereka ditentukan juga dengan kondisi keamanan
tempat kejadian. Jika operasi kerja mereka berhasil maka mereka
(Patodong) bisa mendapatkan hasil yang cukup banyak.
Hasil yang diperoleh dapat dijual langsung oleh pelaku ke tangan
konsumen, atau barang rampokan dijual atau sudah dipesan oleh
penadah barang (Pattada). Dan hubungan kerja ini dilandasi dengan rasa
percaya (trust) yang besar yang dimiliki oleh keduanya.
Hal yang menarik dari mereka adalah pekerjaan tersebut bukanlah
pekerjaan tetap bagi mereka namun pekerjaan tersebut hanyalah
pekerjaan sampingan, rata-rata mereka bekerja sebagai buruh bangunan
atau
pemulung
(Payabo’).
Hal
ini
dilakukan
jika
mereka
tidak
mendapatkan pendapatn yang cukup untuk keseharian hidup mereka dan
hasrat untuk pemenuhan kebutuhan hidup “berlebihan”. Dan mereka tak
beda dengan pencuri (secara tidak langsung), jika operasi kerja mereka
gagal, maka mereka akan melakukan tindak kejahatan lainnya (mencuri)
di beberapa tempat seperti pondokan-pondokan mahasiswa.
Hasil dari pekerjaan mereka tersebut tidak terlepas dari pemenuhan
obat-obatan terlarang, (narkoba), dan tidak menggunakan hasil yang
mereka dapatkan untuk keperluan yang lebih penting dari hal tersebut.
Nyatanya, sebagian dari mereka melakukan hal tersebut hanya untuk
memenuhi hasrat mereka untuk memakai narkoba sebagai bentuk
kesenangan mereka semata.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 111
B. SARAN
Dengan mengetahui akan pandangan dunia kerja Patodong,
mekanisme kerja mereka dalam melakukan operasi penodongan,
penggambaran kehidupan social mereka dan mengetahui jaringan kerja
sama atau pola hubungan kerja sama dalam kelompok, maka dengan itu
penulis menyarankan untuk para pengguna jalan seharusnya lebih
berhati-hati dalam melakukan aktifitas pada malam hari, selalu menjaga ,
melihat kondisi atau situasi tempat dan waktu yang dapat memberikan
peluang bagi mereka (Patodong) melakukan tindak kejahatan.
Selanjutnya, penulis lebih memberikan saran kepada pemerintah
maupun swasta untuk membuka lahan pekerjaan (khususnya karyawan)
yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tanpa melihat
kualtas dan tingkat pendidikan seseorang sehingga tindak kriminalitas
dapat dikurangi jumlahnya.
UNIVERSITAS HASANUDDIN 112
Download