AKANKAH ADA KUDETA DI PAKISTAN ? Surwandono Dosen HI Fisipol UMY dan Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM Dalam setengah tahun terakhir, politik di Pakistan semakin tak menentu. Regim Musharaff semakin “gelap mata” untuk menyingkirkan kompetitor politiknya. Dari penembakan membabi buta di salah satu Pesantren yang diklaim sebagai sarang teroris, penyingkiran mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Pakistan sampai peristiwa berdarah di Masjid Merah. Sekarang ini, Musharaff telah menduduki tampuk kekuasaan selama 10 tahun pasca melakukan kudeta terhadap regim Nawaz Sharif di 1997. Di tahun yang ke 10 ini, Musharaff cenderung melakukan politik “sapu bersih”. Apakah ini sebagai tanda-tanda kekhawatiran Musharaff atas semakin tidak legitimatenya Musharaff di mata publik Pakistan. Ataukah Musharaff hendak menahan tuas politik “kudeta”, sebagai sebuah situs 10 tahunan di Pakistan. Sebagaimana diketahui, Pakistan merupakan negara dengan pola siklus kudeta per 1 dekade. Transformasi Politik Kudeta Dalam pengamatan Penulis terhadap peta transformasi politik di Pakistan “cenderung diwarnai politik kudeta” yang berjalan dalam siklus 10 tahunan. Hal ini bisa dilacak semenjak kudeta yang dilakukan oleh Yahya Khan terhadap Ayub Khan di 1967, akibat terdapatnya ketidakpuasan setelah lepasnya Bangladesh dari Pakistan. Demikian juga di tahun 1978, ketika seorang Zia ul Haq mengkudeta Zulfikar Ali Bhutto, akibat Bhutto yang semakin dekat dengan ide-ide sosialis Soviet. Di tahun 1988 juga bisa dimaknai “kudeta” tidak langsung terhadap Zia ul Haq setelah Zia menunjukkan gejala penentangan yang masif kepada intervensi Amerika Serikat berupa nasionalisasi perusahaan multinasional, dan oposisi nasional di bawah Benazir Bhutto tidak mampu mengalahkan popularitas Zia. Sebuah “drama” pembunuhan kepada Zia dalam sebuah helikopter yang ditumpangi juga penasehat militer Pakistan dari Amerika Serikat. Demikian pula di tahun 1997, setelah terjangan krisis ekonomi yang melanda Asia, disertai dengan ragam kekerasan etnik di Pakistan yang sedemikian masif, nafsu “pretorian” dari kelompok militer muncul ke permukaan. Nawaz Sharif sebagai “regim sipil” dikudeta oleh kelompok militer Dalam batas tertentu, para perwira militer di Pakistan terdapat sebuah “nafsu pretorian” bawaan, sebuah nafsu untuk melakukan keterlibatan militer dalam politik, meminjam istilah dari Eric Nodlinger. Para perwira yang berjiwa “pretorian” senantiasa mengklaim diri sebagai “pencinta tanah air”, “patriotik”, sehingga dalam batas tertentu cenderung akan melakukan “manipulasi” situasi yang memungkinkan aksi kudeta tersebut adalah sah dan bisa diterima. Alasan klasik yang senatiasa terus dipakai oleh para perwira pretorian adalah; pertama alasan ekonomi, yang biasanya ditandai dengan meningkatnya inflasi dan rusaknya sistem perekonomian. Ada kecenderungan militer berharap sistem ekonomi sedemikian rusak, inflasi mencapai titik nadir sehingga terjadi kegoncangan ekonomi nasional. Dari titik inilah, para perwira pretorian akan menjadi pahlawan penyelamat bangsa dalam aksi kudetanya. Kedua, alasan integrasi, yang biasanya ditandai dengan adanya konflik sosial baik yang berwatak horisontal dan vertikal. Konflik horisontal dan vertikal cenderung yang akan menjadi trigger utama untuk menjadikan situasi politik dalam politik semakin genting dan darurat. Konflik horisontal merupakan perpanjangan dari konflik vertikal yang tidak terlembagakan, merupakan “momentum blessing in disguised” yang cenderung sangat dinantikan oleh para perwira pretorian untuk mengambil alih kekuasaan. Probabilitas Kudeta Menilik kondisi ekonomi dan sosial Pakistan dalam 10 tahun pasca kudeta Musharaff di 1997 memang belum menunjukkan perubahan yang berarti. Pakistan menjadi salah satu negara miskin di Asia Selatan, bahkan tingkat perekonomiannya di bawah angka pendapatan per kapita Srilangka. Dalam data income percapita menurut Microsoft Encarta 2007, Pakistan hanya memiliki income per capita 635 US$, sebuah angka dalam patokan PBB sebagai negara di bawah garis kemiskinan. Pakistan juga kalah prestasi ekonominya dengan rival utamanya, India, yang memiliki income per capita 655 US$. Pakistan hanya unggul dalam prestasi ekonominya terhadap 2 negara termiskin di dunia, Bangladesh dan Nepal yang income perkapitanya di bawah 500 US$. Kudeta 10 tahun yang dilakukan oleh Musharraf belumlah memberikan “blessing” (rahmat) bagi perbaikan ekonomi Pakistan secara menyakinkan. Bahkan jika dibandingkan dengan prestasi Zia setelah melakukan kudeta terhadap regim Ali Bhutto, prestasi Zia sangatlah impresif dengan mampu mendongkrak income per capita di atas 900 US$. Artinya Musharraf dalam program 10 tahun terakhir cenderung gagal melakukan recovery ekonomi yang mampu mengangkat Pakistan menjadi major economy di Asia Selatan. Bagaimana halnya dengan kondisi sosial-politik ? Regim militer berkecenderungan akan memberikan garansi bagi terciptanya keadaan sosial politik yang cenderung aman dan terkendali. Di mana kondisi stabilitas senantiasa diyakini sebagai modal awal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui program investasi yang akseleratif. Prestasi Musharraf dalam bidang stabilitas sosial politik tidaklah juga cemerlang, bahkan dalam pengamatan penulis cenderung kontraproduktif, bahkan ada kecenderungan “sedang melakukan investasi kebijakan distabilitas”. Mengapa ? Pertama, Musharaf belum mampu menciptakan formula politik yang mampu meredam konflik horisontal Pakistan seperti masalah konflik etnik Punjab, Sindhi, dan kelompok Muhajir. Demikian pula konflik mazhab, baik konflik Sunni-Syiah, bahkan dengan kelompok Ahmadiyah. Konflik horisontal ini sedemikian rupa masih menjadi gejala akut dan mengkhawatirkan. Kedua, Musharraf justru melakukan kebijakan yang cenderung mengail kekerasan dengan beberapa kebijakan yang kontroversial seperti kebijakan untuk memberikan akses bagi Amerika Serikat untuk menggempur Afghanistan di 2002 dan aksi represif terhadap kelompok militan sebagai “bentuk partisipasi” Pakistan melawan terorisme. Ada kecenderungan kelompok militan banyal berasal dari suku Punjab dan kelompok Muhajir sebuah kelompok yang sangat berpengaruh dalam perpolitikan Pakistan. Tindakan represif yang tidak cermat justru akan memancing reaksi emosional yang lebih besar. Bahkan jika tidak termanajemen dengan baik, bukan hanya pembunuhan atau kudeta namun sangat mungkin akan terjadi revolusi di Pakistan. Akan sangat mungkin isue-issue miring kebijakan Musharraf akahir-akhir ini, akan dimanipulasi oleh para perwira militer Pakistan untuk mencipta “kudeta” sebagai kemestian dan takdir Pakistan yang proses transformasi politik melalui kudeta. Sikap Musharraf yang kaku dan tak mengenal kompromi terhadap issue domestik, akan tetapi sangat koperatif kepada regim internasional sebagai strategi bargaining politik tidaklah terbukti efektif untuk meredam masalah ekonomi, sosial, politik dan keamanan Pakistan. Musharraf hanya memiliki prestasi minimal yakni mampu mempertahankan kekuatan nuklir Pakistan untuk melakukan bargaining terhadap perebutan persoalan Kashmir dengan India. Prestasi minimal ini jelas akan sangat kurang untuk menekan arus ketidakpuasan, bahkan Musharraf telah ditenggarai melakukan “kecurangan” dalam sebuah forum pemilihan umum. Kecurangan dalam pemilu jelas akan semakin merusa citra Musharraf, yang dalam batas tertentu akan menyatukan barisan sakit hati untuk melakukan aksi politik yang tidak hanya individual-sektarian berupa upaya pembunuhan akan tetapi bisa lebih luas yakni “kudeta” atau bahkan “revolusi.”