analisis yuridis terhadap legalitas dokumen elektronik sebagai alat

advertisement
ANALISIS YURIDIS TERHADAP LEGALITAS
DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
Aloina Sembiring Meliala
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
E-mail: [email protected]
Abstract
The development of information and communication technologies lead the world into
a borderless relationship. One of the problems that occursis that; the electronic transaction
for trading activity through the electronic system (electronic commerce). This transaction
yields electronic documents as regulated in Act No. 11 year of 2008 article 1 paragraph 4
on Information and Electronic Transactions. The method used in this research is normative
juridical approach with descriptive analytical. Electronic documents can be categorized
as valid written evidence in the form of a deed under the hand, so it has the same legal
force asthe document written on paper and can be used as evidence in the event of a dispute
between the parties in terms of proving the existence of an agreement.
Keywords: electronic documents; legality; e-commerce.
Abstrak
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan hubungan dunia
menjadi tanpa batas (borderless). Salah satu permasalahan yang terjadi adalah adanya
transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic
commerce). Dengan adanya transaksi tersebut menghasilkan dokumen elektronik seperti
yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan yuridis normatif dengan deskriptif analitis. Dokumen elektronik
dapat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis yang sah berupa akta di bawah tangan,
sehingga memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen yang tertulis di atas
kertas dan dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa di antara para pihak
dalam hal pembuktian adanya suatu perjanjian.
Kata Kunci: Dokumen Elektronik, Legalitas, E-commerce.
A. PENDAHULUAN
Kehidupan
masyarakat
dunia
termasuk Indonesia semakin berkembang
ke arah yang lebih modern. Perkembangan
ini diiringi dengan adanya perkembangan
bidang teknologi yang sangat pesat
di berbagai negara, yang secara tidak
langsung mempengaruhi aspek-aspek
dalam
kehidupan
manusia.
Salah
satu perkembangan tersebut adalah
perkembangan dalam bidang teknologi
informasi dan komunikasi. Wujud dari
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
99
perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi tersebut adalah berupa
internet (interconection networking) yaitu
suatu koneksi antar jaringan komputer.
Penggunaan internet saat ini telah
memasuki berbagai aktivitas manusia,
baik dalam sektor politik, sosial, budaya,
ekonomi dan bisnis.
Perkembangan internet menciptakan
terbentuknya suatu dunia baru yang
biasa disebut dengan dunia maya (cyber
space), di mana setiap individu yang satu
dengan yang lain dapat berhubungan
tanpa batasan dan tidak perlu bertatap
muka. Dengan adanya teknologi berupa
internet merubah gaya hidup dan perilaku
masyarakat dunia yang biasanya informasi
dan komunikasi dilakukan dengan
menggunakan kertas (paper), berubah
menjadi elektronik (paperless).
Dalam dunia maya, masyarakat
melakukan berbagai kegiatan di berbagai
bidang, termasuk transaksi-transaksi
yang membawa konsekuensi tertentu di
bidang hukum. Transaksi tersebut adalah
kegiatan yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terlibat
dalam kegiatan tersebut sesuai dengan
aturan-aturan hukum yang berlaku.
Kegiatan dalam bidang hukum di dunia
maya mencakup segala bidang hukum,
seperti, perdata, pidana, bisnis, dll.
Dalam dunia maya, banyak terjadi
transaksi dalam bidang hukum bisnis.
Salah satu kegiatan yang sering dilakukan
adalah kegiatan perdagangan. Dengan latar
1
2
100
belakang tersebut, lahirlah suatu proses
transaksi perdagangan yang dilakukan
dalam dunia maya yaitu, transaksi
perdagangan elektronik atau electronic
commerce transaction yang biasa disebut
dengan e-commerce. Menurut Mariam
Darus Badrulzaman istilah lain yang
dipakai untuk e-commerce di antaranya
kontrak dagang elektronik, kontrak siber,
transaksi dagang elektronik, dan kontrak
web.1
Electronic Commerce transaction
adalah transaksi dagang antara penjual
dan pembeli untuk menyediakan barang,
jasa, atau mengambil alih hak melalui
media elektronik dimana para pihak
tidak hadir secara fisik dan menggunakan
jaringan umum dengan sistem terbuka
yaitu internet. Berbeda dengan transaksi
perdagangan biasa, transaksi e-commerce
memiliki beberapa karakteristik yang
sangat khusus, yaitu:2
1. Transaksi tanpa batas
Sebelum era internet, batas-batas
geografi menjadi penghalang suatu
perusahaan atau individu yang ingin
go-international. Sehingga, hanya
perusahaan atau individu dengan
modal besar yang dapat memasarkan
produknya ke luar negeri. Dewasa
ini dengan internet pengusaha kecil
dan menengah dapat memasarkan
produknya secara internasional cukup
dengan membuat situs web atau
dengan memasang iklan di situs-situs
internet tanpa batas waktu (24 jam),
Mariam Darus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber (cyber law) di Indonesia, Pidato
diucapkan pada upacara memasuki masa Purna Bhakti sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum USU,
Medan, Selasa 13 November 2001, bertempat di Hotel Danau Toba, Medan , hlm. 1.
Kisma Kartika, https://kismayuniputrikartika.wordpress.com/2013/03/22/karakteristik-e-commerce/
diunduh tanggal 1 September 2015.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
dan tentu saja pelanggan dari seluruh
dunia dapat mengakses situs tersebut
dan melakukan transaksi secara
online.
2. Transaksi anonim
Para penjual dan pembeli dalam
transaksi melalui internet tidak harus
bertemu muka satu sama lainnya.
Penjual tidak memerlukan nama
dari pembeli sepanjang mengenai
pembayarannya telah diotorisasi oleh
penyedia sistem pembayaran yang
ditentukan, yang biasanya dengan
kartu kredit.
3.Produk digital dan non digital
Produk-produk
digital
seperti
software komputer, musik dan produk
lain yang bersifat digital dapat
dipasarkan melalui internet dengan
cara mendownload secara elektronik.
Dalam perkembangannya objek yang
ditawarkan melalui internet juga
meliputi barang-barang kebutuhan
hidup lainnya.
4. Produk barang tak berwujud
Banyak perusahaan yang bergerak
di bidang e-commerce dengan
menawarkan barang tak berwujud
separti data, software dan ide-ide yang
dijual melalui internet.
Transaksi
yang
terjadi
antara
permintaan (demand) dan penawaran
(supply) dapat dengan mudah dilakukan
walaupun yang bersangkutan berada
dalam sisi geografis yang berbeda karena
kemajuan dan perkembangan teknologi
3
4
5
informasi, yang dalam hal ini adalah
teknologi e-commerce.3
Salah satu bidang hukum yang
terkait dengan adanya transaksi via
e-commerce adalah bidang hukum
kontrak. Hal ini dikarenakan kebanyakan
dari kesepakatan dalam bisnis termasuk
bisnis lewat e-commerce didasari atas
suatu kontrak bisnis.4 Bidang-bidang dari
hukum kontrak yang bersentuhan dengan
bisnis e-commerce ini antara lain sebagai
berikut:5
1. Ada atau tidaknya penawaran (offer);
2.Ada atau tidaknya penerimaan
(acceptance);
3. Ada atau tidaknya kata sepakat;
4. Jika ada kata sepakat, sejak kapan
mulai ada;
5. Keharusan kontrak tertulis dan tanda
tangan tertulis;
6. Masalah pembuktian perdata;
7. Bagaimana mengetahui para pihak
dan kecakapan berbuat para pihak;
8.
Perumusan
kembali
masalah
wanprestasi;
9.Perumusan kembali masalah force
majeure;
10. Ganti rugi yang bagaimana yang paling
cocok untuk kontrak e-commerce;
11.Masalah kontrak berat sebelah dan
kontrak baku.
Apabila suatu kontrak bisnis dilakukan
melalui e-commerce, maka kontrak yang
terjadi adalah berupa kontrak online atau
elektronik. Kontrak elektronik adalah
kontrak yang dirancang dibuat, ditetapkan,
R. Eko Indrajit, Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2001, hlm. 259.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 409-410.
Ibid, hlm. 410.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
101
digandakan, dan disebarluaskan secara
digital melalui situs di internet (website)
secara sepihak oleh pembuat kontrak
untuk ditutup secara digital pula oleh
penutup kontrak. Di dalam kontrak
elektronik terdapat ciri khas kontrak
elektronik, yaitu:6
1.Kontrak elektronik dapat terjadi
secara jarak jauh, bahkan melampaui
batas-batas negara melalui internet;
2. Para pihak dalam kontrak elektronik
pada umumnya tidak pernah bertatap
muka (faceless nature), bahkan
mungkin tidak pernah bertemu.
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata
menjelaskan perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Dalam Pasal 1320
KUH Perdata, kontrak dianggap sah,
apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Sepakat (Toestemming)
Kesesuaian, kecocokan, pertemuan
kehendak dari yang mengadakan
perjanjian atau pernyataan kehendak
yang
disetujui
antara
pihakpihak. Sebelum ada kesepakatan,
para
pihak-pihak
mengadakan
perundingan dahulu. Pihak yang
satu memberitahukan kepada pihak
lain mengenai objek perjanjian serta
syarat-syaratnya, lalu pihak yang
lain mengatakan pula kehendaknya,
sehingga mencapai kesepakatan.7
Kesepakatan bersifat bebas, yaitu tidak
ada paksaan atau tekanan dari pihak6
7
9
8
102
pihak lain serta tidak ada penipuan
dan kehilafan.
Unsur-unsur kesepakatan:8
a. Offerte (penawaran) adalah per­
nyataan pihak yang menawarkan.
b. Acceptasi (penerimaan) adalah
pernyataan pihak yang menerima
penawaran.
Kesepakatan termasuk hal yang
penting untuk diketahui karena
kepakatan merupakan awal terjadinya
perjanjian. Untuk mengetahui kapan
kesepakatan terjadi ada empat macam
teori, yaitu:9
a. Teori Pernyataan.
Sepakat terjadi saat kehendak
pihak yang menerima tawaran
menyatakan bahwa ia menerima
penawaran itu. Kelemahannya
sangat teoritis karena dianggap
terjadinya kesepakatan secara
otomatis.
b. Teori Pengiriman.
Sepakat terjadi saat kehendak
yang dinyatakan itu dikirim oleh
pihak yang menerima tawaran.
c. Teori Pengetahuan.
Pihak
yang
menawarkan
seharusnya sudah mengetahui
bahwa tawarannya sudah diterima
(walaupun penerimaan itu belum
diterimanya dan tidak diketahui
secara langsung).
d. Teori Penerimaan.
Kesepakatan
terjadi
pada
saat pihak yang menawarkan
Johannes Gunawan, Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 No. 6,
Tahun 2003, hlm. 46.
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 47.
Ibid.
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm. 24.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
menerima menerima langsung
jawaban dari pihak lawan.
Akibat hukum apabila tidak
ada kesepakatan adalah perjanjian
tersebut dapat dibatalkan melalui
hakim (vernietigbaar, vidable).
2.Kecakapan
Kecakapan
berbuat
adalah
kewenangan
untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri.
Subjek hukum yang cakap berbuat
adalah orang dewasa, sehat akal
pikiran dan tidak dilarang oleh undangundang.
Kecakapan
merupakan
suatu istilah hukum, bukan sifat
pembawaan karena tidak tertutup
kemungkinan bahwa ia tidak sesuai
dengan kenyataan. Orang yang secara
yuridis tidak cakap, ada kemungkinan
dalam kenyataanya adalah orang yang
tahu atau sadar betul akan akibat atau
konsekuensi dari tindakannya.10
Pada
umumnya
seseorang
dikatakan cakap melakukan perbuatan
hukum apabila sudah dewasa, yaitu
mencapai umur 21 tahun atau sudah
kawin walaupun belum 21 tahun.11
Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata,
seseorang dapat dikatakan tidak
cakap apabila orang tersebut belum
dewasa, orang yang berada di bawah
pengampuan, dan wanita bersuami.
Mereka dapat melakukan perbuatan
hukum apabila diwakili oleh wali
mereka.
Akibat hukum dari ketidakcakapan
dalam membuat perjanjian adalah
perjanjian
yang
dibuat
dapat
dibatalkan melalui hakim. Jika
pembatalan tidak dimintakan oleh
pihak yang tidak berkepentingan dan
sepanjang tidak dipungkiri oleh pihak
yang berkepentingan maka perjanjian
tersebut tetap berlaku bagi para pihak.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah berupa
objek perjanjian. Objek perjanjian
adalah isi dari prestasi yang menjadi
pokok perjanjian yang bersangkutan.12
Objek-objek
perjanjian
tersebut
berupa:13
a. Objek yang akan ada (kecuali
warisan), dapat ditentukan jenis
dan dapat dihitung.
b. Objek yang dapat diperdagangkan
(barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum
tidak dapat dijadikan objek
perjanjian).
Dalam Pasal 1333 KUH Perdata
mengatakan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai pokok
suatu barang yang dapat ditentukan
jenisnya dan jumlahnya dapat
ditentukan dikemudian hari. Jika
pokok perjanjian atau objek perjanjian
tidak jelas, bahkan tidak mungkin
untuk dilaksanakan, maka perjanjian
tersebut batal (nietig, void).
10
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian Buku II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
1995, hlm. 3.
11
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 231.
12
Ibid.
13
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 32.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
103
4. Suatu sebab yang halal
Sebab yang dimaksud adalah isi
dari perjanjian itu atau tujuan dari para
pihak mengadakan perjanjian. Halal
adalah tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum
dan kesusilaan. Isi perjanjian tersebut
harus halal karena isi perjanjian
tersebut yang akan dilaksanakan.14
Akibat hukum perjanjian yang
berisi kausa tidak halal adalah batal
(nietig, void). Sehingga tidak ada
dasar untuk menuntut pemenuhan
perjanjian di muka hakim karena,
karena sejak semula dianggap tidak
pernah ada perjanjian dan perjanjian
yang dibuat tanpa causa (sebab),
dianggap tidak pernah ada seperti
yang dikatakan dalam Pasal 1335 KUH
Perdata, yaitu suatu persetujuan tanpa
sebab, atau dibuat berdasarkan suatu
sebab yang palsu atau yang terlarang,
tidaklah mempunyai kekuatan.15
Apabila suatu kontrak bisnis dilakukan
melalui e-commerce, maka kontrak yang
terjadi adalah berupa kontrak online atau
elektronik. Sehingga, dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan kontrak
elektronik tersebut tidak tertuang dalam
kertas, melainkan dalam bentuk dokumen
elektronik.
Menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Pasal 1 butir 4
mendefinisikan dokumen elektronik
adalah setiap informasi elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui komputer atau
sistem elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, atau angka, kode akses, simbol,
atau perforasi yang memiliki makna atau
arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
Namun, yang menjadi permasalahan
adalah apakah dokumen elektronik
dapat dijadikan alat bukti yang memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan
dokumen tertulis di atas kertas yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Perdata?
Di dalam Pasal 164 HIR/284 RBg
dan Pasal 1866 KUH Perdata mengatur
secara limitatif mengenai alat bukti dalam
perkara perdata, yaitu:
1. Alat bukti tertulis;
Alat bukti tertulis ini diatur dalam
Pasal 137, 138, 165, 167 HIR dan Pasal
164, 285, 305 RBg. Menurut Sudikno
Mertokusumo, alat bukti tertulis
atau surat adalah segala sesuatu
yang memuat tanda-tanda baca,
dimaksud untuk mencurahkan isi
hati atau menyampaikan buah pikiran
seseorang yang digunakan untuk
pembuktian. Segala sesuatu yang
tidak memuat tanda-tanda baca atau
meskipun memuat tanda-tanda baca
tetapi tidak mengandung buah pikiran,
tidak termasuk dalam pengertian alat
bukti tertulis atau surat.16
14
Handri Raharjo, Op.Cit., hlm. 57.
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit,, hlm. 233.
16
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 17.
15
104
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
Surat (tulisan) merupakan alat
bukti yang utama, karena dalam lalu
lintas keperdataan, seperti jual beli,
utang piutang, sewa menyewa dan
sebagainya, orang memang dengan
sengaja membuat alat-alat bukti yang
akan digunakan (dipersiapkan) untuk
membuktikan perbuatan hukum
yang ia lakukan dikemudian hari
seandainya timbul perselisihan, dan
bukti yang disediakan tadi lazimnya
bebentuk tulisan17.
Akta dibagi menjadi dua macam,
yaitu:18
a. Akta otentik
Pasal 1868 KUH Perdata
menjelaskan suatu akta otentik
ialah akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang
untuk itu ditempat akta dibuat.
b. Akta di Bawah Tangan
Menurut Pasal 1874 KUH
Perdata dan Pasal 286 RBg, akta di
bawah tangan adalah tulisan atau
akta yang ditandatangani di bawah
tangan, tidak dibuat dan tidak
ditandatangani di hadapan pejabat
yang berwenang, tetapi dibuat
oleh seseorang atau para pihak,
secara umum terdiri dari segala
jenis tulisan yang tidak dibuat oleh
atau di hadapan pejabat, meliputi:
surat-surat, register, surat urusan
rumah tangga, lain-lain tulisan
yang dibuat tanpa permintaan
pejabat umum. Akta di bawah
tangan adalah akta yang sengaja
dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak yang berkepentingan
tanpa bantuan dari pejabat yang
berwenang.
2. Kesaksian (keterangan saksi)19
Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan
tentang peristiwa yang disengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang
bukan salah satu pihak dalam perkara,
yang
dipanggil
dipersidangan.
Keterangan yang diberikan oleh saksi
harus tentang peristiwa atau kejadian
yang dialaminya sendiri, sedangkan
pendapat atau dugaan yang diperoleh
melalui berpikir tidaklah merupakan
kesaksian.
3.Persangkaan-persangkaan20
Persangkaan
merupakan
alat
bukti yang bersifat tidak langsung
karena alat bukti persangkaan tidak
dapat berdiri sendiri melainkan harus
dengan perantaraan alat bukti lain.
Dengan persangkaan suatu peristiwa
dibuktikan secara tidak langsung
artinya dengan melalui pembuktian
peristiwa lain.
4.Pengakuan21
Pengakuan merupakan keterangan
yang membenarkan peristiwa, hak
17
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1982, hlm. 89.
Handri Raharjo, Op.Cit., hlm. 64.
19
Efa Laela Fakhriah, Bukti Eleketronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2009,
hlm. 21-22.
20
Ibid., hlm. 23.
21
Ibid., hlm. 24-25.
18
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
105
atau hubungan hukum yang diajukan
oleh pihak lawan. Ilmu pengetahuan
membagi
pengakuan
menjadi
pengakuan murni dan pengakuan
tambahan, sedangkan pengakuan
dengan tambahan dibagi menjadi
pengakuan dengan klasifikasi dan
pengakuan dengan kualifikasi.
5.Sumpah.22
Sumpah pada umumnya adalah
suatu pernyataan yang khidmat,
diberikan atau diucapkan pada waktu
memberikan janji atau keterangan
dengan mmengingat sifat maha kuasa
dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa
yang memberi keterangan atau janji
atau keterangan yang tidak benar
akan dihukum oleh Tuhan. HIR /RBg
menyebutkan ada 3 macam sumpah
sebagi alat bukti yaitu, sumpah pelengkap, sumpah pemutus, dan sumpah
penaksir, yang diatur dalam Pasal 155158 dan 177 HIR (182-185 RBg).
Adapun alat bukti di luar kelima
jenis alat bukti yang telah dijelaskan di
atas, yaitu pemeriksaan setempat yang
diatur dalam Pasal 153 HIR/ 180 RBG dan
keterangan ahli atau saksi ahli yang diatur
dalam Pasal 154 HIR/ 181 RBG.
B.PEMBAHASAN
Dalam transaksi e-commerce para
pihak tidak bertemu secara langsung
atau tidak bertatap muka pada saat
melakukan transaksi. Mereka melakukan
transaksi melalui perantara media
elektronik. Oleh karena itu, kontrak yang
dihasilkan dari transaksi tersebut berupa
kontrak elektronik. Kontrak elektronik
22
Ibid., hlm. 26-27.
106
dalam transaksi elektronik, harus
memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan kontrak konvensional. Kontrak
elektronik harus juga mengikat para pihak
sebagaimana Pasal 18 ayat (1) UU ITE
menyebutkan bahwa transaksi elektronik
yang dituangkan ke dalam kontrak
elektronik mengikat para pihak.
Kontrak elektronik yang memiliki
kekuatan hukum dan mengikat para pihak
adalah kontrak yang sah. Salah satu unsur
yang penting untuk terciptanya kontrak
yang sah adalah adanya unsur kesepakatan.
Jika kesepakatan diberikan secara tertulis,
maka kontrak yang dihasilkan adalah
kontrak tertulis. Sebaliknya kesepakatan
yang diberikan secara lisan, kontrak yang
dihasilkan adalah kontrak lisan. Sedangkan
dalam kontrak e-commerce kesepakatan
tidak diberikan dalam bentuk tertulis dan
lisan, melainkan melalui media elektronik,
sehingga sulit untuk menentukan kapan
terjadinya suatu kesepakatan dalam
kontrak e-commerce.
Kesepakatan dalam suatu kontrak
terjadi apabila adanya pertemuan
penawaran
dan
penerimaan
dari
masing-masing pihak. Ketika proses
penawaran dan penerimaan melalui
media elektronik berjalan melalui media
maya, yang menimbulkan kesulitan dalam
pembuktiannya, maka negara-negara yang
tergabung dalam masyarakat ekonomi
Eropa telah memberikan garis-garis
petunjuk kepada para anggotanya untuk
menjamin terlaksananya dengan tertib
penawaran tadi. Semula petunjuknya
dikenal sebagai sistem 3 klik. Pertama,
setelah calon pembeli melihat layar di
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
komputernya bahwa adanya penawaran
dari calon penjual (klik pertama), maka
calon pembeli memberikan penerimaan
terhadap penawaran tersebut (klik kedua).
Disamping adanya proses (klik) penawaran
dan penerimaan masih ada disyaratkan
adanya peneguhan dan persetujuan dari
calon penjual kepada calon pembeli
perihal diterimanya penerimaan dari
calon pembeli (klik ketiga).23
Dari penjelasan di atas dapat telihat
bahwa, lahirnya suatu kesepakatan
dalam transaksi e-commerce adalah
adanya penawaran dan penerimaan dari
masing-masing pihak. Penjual melakukan
penawaran melalui media elektronik dan
pembeli menerima penawaran tersebut
melalui media elektronik juga, lalu penjual
mengkonfirmasikan kepada pembeli
mengenai diterimanya penerimaan dari
pembeli. Setelah melalui proses-proses
tersebutlah kesepakatan dalam transaksi
e-commerce tercipta.
Kontrak atau perjanjian yang dibuat
dalam transaksi e-commerce adalah bukan
kontrak atau perjanjian yang dibuat
secara tertulis di atas kertas, melainkan
berbentuk dokumen elektronik. Dalam
transaksi jual beli pada umumnya,
apabila terjadi sengketa para pihak dapat
menggunakan kontrak atau perjanjian
yang tertulis di atas kertas untuk dijadikan
bukti telah terjadinya perjanjian jual beli
diantara para pihak. Apabila perjanjian
dalam bentuk dokumen elektronik sulit
untuk dijadikan sebagai alat bukti apabila
terjadi sengketa.
Hukum
pembuktian
Indonesia
yang diatur dalam Pasal 164 HIR/284
RBg hanya mengatur mengenai alat
bukti berupa surat, saksi, persangkaan,
pengakuan, dan sumpah. Apabila dilihat
dari pengertian dari setiap alat bukti
tersebut, maka dokumen elektronik
tidak termasuk dari alat -alat bukti
tersebut. Jika dilihat dari kelima macam
alat bukti tersebur dokumen elektronik
hanya bisa di masukkan dalam kategori
alat bukti tertulis. Dokumen elektronik
ini merupakan tulisan yang dituangkan
dalam sebuah surat elektronik dan tujuan
dari pembuatan tulisan ini adalah untuk
mewujudkan suatu kejadian yang telah
terjadi dan menyatakan perbuatan hukum
yang harus dilakukan oleh seseorang.
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan
alat bukti surat segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati
atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan di pergunakan sebagai
pembuktian.24 Maksud dari pembuatan
dokumen elektronik itu sendiri pun untuk
digunakan sebagai alat bukti, sehingga
dokumen elektronik dapat dikategorikan
sebagai alat bukti.
Apabila dokumen elektronik dapat
dijadikan alat bukti tertulis, maka yang
harus dibuktikan adalah apakah dokumen
elektronik memenuhi syarat-syarat dari
alat bukti tertulis? Dalam Pasal 1 angka
4 UU ITE menjelaskan bahwa bentuk
dokumen elektronik sangat beraneka
ragam sangat bergantung pada maksud
23
Niniek Suparni, Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2009, hlm. 68.
24
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 149.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
107
penggunaan dari dokumen itu sendiri.
Apabila dokumen elektronik itu hanya
berupa informasi biasa maka dokumen itu
termasuk dalam surat biasa karena dibuat
seadanya dan tidak digunakan sebagai
alat bukti nantinya. Namun jika dokumen
itu dimaksudkan sebagai dokumen
yang otentik, maka dokumen tersebut
harus memenuhi beberapa persyaratan.
Persyaratan utama agar dokumen
elektronik itu dapat dinyatakan sebagai
alat bukti yang sah adalah penggunaan
sistem elektronik yang telah mendapatkan
sertifikasi elektornik dari pemerintah
seperti yang diatur dalam Pasal 15-16 UU
ITE. Pasal 15 UU ITE menjelaskan bahwa:
1.
Setiap
Penyelenggara
Sistem
Elektronik harus menyelenggarakan
Sistem Elektronik secara andal dan
aman serta bertanggung jawab
terhadap
beroperasinya
Sistem
Elektronik sebagaimana mestinya;
2.Penyelenggara Sistem Elektronik
bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya;
3.Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku dalam
hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa kesalahan, dan/
atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik.
Sedangkan dalam Pasal 16 UU ITE,
dijelaskan bahwa setiap Penyelenggara
Sistem Elektronik wajib mengoperasikan
Sistem Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut:
1. Dapat menampilkan kembali Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik secara utuh sesuai dengan
masa retensi yang ditetapkan dengan
Peraturan Perundang-undangan;
108
2.
Dapat
melindungi
ketersediaan,
keutuhan, keotentikan, kerahasiaan,
dan keteraksesan Informasi Elektronik
dalam
Penyelenggaraan
Sistem
Elektronik tersebut;
3.Dapat beroperasi sesuai dengan
prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
4.
Dilengkapi
dengan
prosedur
atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau
simbol yang dapat dipahami oleh
pihak yang bersangkutan dengan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut; dan
5.
Memiliki
mekanisme
yang
berkelanjutan
untuk
menjaga
kebaruan,
kejelasan,
dan
kebertanggungjawaban prosedur atau
petunjuk.
Persyaratan
yang
lain,
harus
membubuhkan tanda tangan elektronik,
dan menuangkannya dalam kontrak
elektronik yang baku. Alat bukti tertulis
terbagi atas akta otentik dan akta di bawah
tangan. Apabila dilihat dari pengertian
akta otentik berdasarkan pasal 1868 KUH
Perdata menjelaskan suatu akta otentik
ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta dibuat. Dari
penjelasan tersebut, dokumen elektronik
tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik
karena berdasarkan Pasal 5 ayat (4) UU
ITE menjelaskan bahwa:
”Ketentuan
mengenai
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
1.surat yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam
bentuk tertulis;
2. surat beserta dokumennya yang
menurut Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk akta notaril
atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.“
Namun,
dokumen
elektronik
elektronik dapat dikatakan sebagai akta di
bawah tangan karena dokumen elektonik
adalah akta yang sengaja yang sengaja
dibuat untuk pembuktian oleh para pihak
yang berkepentingan tanpa bantuan
dari pejabat yang berwenang. Dari sudut
pandang pembuktian agar suatu akta
bernilai sebagai suatu akta di bawah
tangan harus memenuhi syarat pokok,
yaitu:25
1. Surat atau tulisan itu ditanda-tangani;
2. Isi yang diterangkan di dalamnnya
menyangkut perbuatan hukum atau
hubungan hukum;
3. Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti
dari perbuatan atau hubungan yang
disebut di dalamnya.
Isi dokumen elektronik menerangkan
mengenai perbuatan hukum yang
dilakukan oleh para pihak dan tujuan
dari pembuatan dokumen elektronik
itu sendiri adalah untuk dijadikan alat
bukti oleh para pihak yang membuat
dokumen elektronik tersebut. Mengenai
syarat bahwa akta di bawah tangan harus
di tanda tangan, maka dalam dokumen
elektronik tidak menggunakan tanda
tangan seperti dokumen yang di atas
kertas. Dalam dokumen elektronik yang
digunakan adalah tanda tangan digital
(digital signature).
Tanda tangan digital (digital signature)
adalah suatu tanda tangan yang dibuat
secara elektronik yang berfungsi sama
dengan tanda tangan biasa pada dokumen
kertas biasa. Tanda tangan digital tersebut
pun harus memenuhi syarat-syarat agar
dokumen elektronik dapat dikatakan sah
sebagai alat bukti, seperti:26
1.Data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik terkait hanya kepada
Penanda Tangan;
2.Data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik
pada
saat
proses
penandatanganan elektronik hanya
berada dalam kuasa Penanda Tangan;
3.Segala perubahan terhadap Tanda
Tangan Elektronik yang terjadi setelah
waktu
penandatanganan
dapat
diketahui;
4. Segala perubahan terhadap Informasi
Elektronik yang terkait dengan Tanda
Tangan Elektronik tersebut setelah
waktu
penandatanganan
dapat
diketahui;
5. Terdapat cara tertentu yang dipakai
untuk
mengidentifikasi
siapa
Penandatangannya; dan
6.
Terdapat
cara
tertentu
untuk
menunjukkan bahwa Penanda Tangan
telah
memberikan
persetujuan
terhadap Informasi Elektronik yang
terkait.
Dalam transaksi elektronik, seperti
transaksi e-commerce, dokumen elektronik
yang berasal dari Sistem Elektronik yang
25
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 590.
Pasal 11 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
26
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
109
telah memenuhi syarat berdasarkan
undang-undang dan terdapat tanda tangan
digital (digital signature) yang telah
disertifikasi (diakui keabsahannya ) dapat
dijadikan alat bukti apabila terjadi sengketa
diantara para pihak yang melakukan
transaksi e-commerce tersebut. Dokumen
elektronik tersebut dapat dijadikan dasar
atau alas, seperti kontrak atau perjanjian
para pihak dalam melakukan transaksi
e-commerce karena dokumen elektronik
tersebut telah memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian, seperti kesepakatan,
kecakapan, suatu hal tertentu dan sebab
yang halal. Sehingga, dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa dokumen
elektronik memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan dokumen tertulis di atas
kertas dan dapat digunakan sebagai alat
bukti apabila terjadi sengketa di antara
para pihak.
C.PENUTUP
Dalam transaksi e-commerce, transaksi
dilakukan tanpa kertas dan pihak tidak
bertemu secara langsung. Dalam transaksi
tersebut, dokumen tidak tersimpan dalam
bentuk kertas, melainkan dalam bentuk
dokumen elektronik. Dengan adanya
transaksi yang berdasarkan dokumen
elektronik, maka terjadi perubahan
terhadap macam-macam alat bukti yang
sudah ada sebelumnya yang digunakan
untuk membuktikan adanya suatu
perbuatan hukum dan dalam hukum
pembuktian di Indonesia belum mengatur
mengenai dokumen elektronik sebagai
alat bukti.
Persyaratan utama agar dokumen
elektronik itu dapat dinyatakan sebagai
alat bukti yang sah adalah penggunaan
110
sistem elektronik yang telah mendapatkan
sertifikasi elektornik dari pemerintah
seperti yang diatur dalam Pasal 15-16
UU ITE. Persyaratan yang lain, harus
membubuhkan tanda tangan elektronik,
dan menuangkannya dalam kontrak
elektronik yang baku.
Alat bukti tertulis terbagi atas akta
otentik dan akta di bawah tangan. Apabila
dilihat dari pengertian akta otentik
berdasarkan pasal l868 KUH Perdata
menjelaskan suatu akta otentik ialah akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu
di tempat akta dibuat. Dari penjelasan
tersebut, dokumen elektronik tidak dapat
dikatakan sebagai akta otentik.
Dokumen
elektronik
dapat
dikategorikan sebagai alat bukti tertulis
yang sah berupa akta di bawah tangan.
Isi dokumen elektronik menerangkan
mengenai perbuatan hukum yang
dilakukan oleh para pihak dan tujuan
dari pembuatan dokumen elektronik itu
sendiri adalah untuk dijadikan alat bukti
oleh para pihak yang membuat dokumen
elektronik tersebut. Mengenai syarat
bahwa akta di bawah tangan harus di tanda
tangan, maka dalam dokumen elektronik
tidak menggunakan tanda tangan seperti
dokumen yang di atas kertas. Dalam
dokumen elektronik yang digunakan
adalah tanda tangan digital (digital
signature). Sehingga memiliki kekuatan
hukum yang sama dengan dokumen yang
tertulis di atas kertas dan dapat dijadikan
sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa
di antara para pihak dalam hal pembuktian
adanya suatu perjanjian.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
DAFTAR PUSTAKA
Mariam Barus Badrulzaman, Aneka Hukum
Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
Mariam
Darus
Badrulzaman,
Mendambakan Kelahiran Hukum
Saiber (cyber law) di Indonesia, Pidato
diucapkan pada upacara memasuki
masa Purna Bhakti sebagai Guru Besar
Tetap Fakultas Hukum USU, Medan,
Selasa 13 November 2001, bertempat
di Hotel Danau Toba, Medan.
Efa Laela Fakhriah, Bukti Eleketronik
Dalam Sistem Pembuktian Perdata, PT.
Alumni, Bandung, 2009.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis
Menata Bisnis Modern di Era Global,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Johannes Gunawan, Reorientasi Hukum
Kontrak di Indonesia, Jurnal Hukum
Bisnis Volume 22 No. 6, Tahun 2003.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993.
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian
di Indonesia, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2009.
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang
Lahir dari Perjanjian Buku II, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung,1995.
R.
Subekti, Hukum Acara
Binacipta, Bandung, 1982.
Perdata,
Niniek Suparni, Cyberspace Problematika
& Antisipasi Pengaturannya, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
R.
Eko Indrajit, Manajemen Sistem
Informasi dan Teknologi Informasi, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001.
Kisma Kartika, Karakteristik e-commerce,
https://kismayuniputrikartika.
wordpress.com/ diunduh tanggal 1
September 2015.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 2006.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
111
112
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015
Download