BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disertasi ini

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disertasi ini membahas sikap politik umat Kristen (Protestan) terhadap kebangkitan
“Islam politik” (Islamism)1di Indonesia pada Era Reformasi. Sikap politik umat Katolik
sengaja tidak dimasukkan supaya uraian terfokus pada kalangan Protestan, tanpa bermaksud
mengurangi peran umat Katolik dalam perpolitikan Indonesia.2Disertasi ini berargumen
bahwa gerakan kebangkitan Islam politik yang terjadi pada tingkat internasional, sejak tahun
1970-an, yang dikobarkan semangat Revolusi Islam Iran (Januari 1978-Februari 1979)3 di
satu pihak, dan perubahan kebijakan politik Orde Baru yang lebih akomodatif terhadap
kalangan Islam politik sejak tahun 1980-an di lain pihak, merupakan pemicu terhadap
bangkitnya kembali gerakan Islam politik di Indonesia yang memperjuangkan agar Indonesia
menjadi sebuah negara Islam, atau paling sedikit menjalankan syariat Islam pagi pemelukpemeluknya. Kebangkitan gerakan Islam politik di Indonesia di Era Reformasi,yaitu era yang
mempraktikkan liberalisasi politik (Hwang, 2011: 1), telah mengubah tatanan perpolitikan di
Indonesia yang, antara lain, ditandai dengan semakin tersanderanya kebebasan beragama dan
semakin maraknya politik diskriminasi terhadap agama-agama lain di Indonesia, khususnya
agama Kristen.
Umat Kristen di Indonesia sering dijuluki sebagai kelompok yangsmall but significant
minority (Campbell-Nelson, 1998: 74; Adeney-Risakotta, 2011: 9), karena walau jumlahnya
1
Gerakan Islam politik di Indonesia adalah gerakan kalangan Islam yang mencita-citakan Indonesia menjadi
negara Islam atau negara yang menjalankan syariat Islam sesuai dengan isi Piagam Jakarta (Hwang, 2011;
Platzdasch, 2009).
2
Diharapkan ke depan akan lahir studi-studi mengenai sikap politik umat Katolik di Indonesia.
3
Revolusi Islam Iran dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini, yang mengubah Iran dari Monarki di
bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi menjadi Republik Islam.
2
relatif kecil dibandingkan umat Islam4, tetapi kehadiran dan peran politiknya di tengah
bangsa Indonesia tidaklah kecil. Umat Kristen terlibat aktif dalam gerakan perlawanan
terhadap penjajah Belanda, turut serta mendirikan negara, merumuskan ideologi dan
mengesahkan UUD 1945, ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui perang
kemerdekaan, serta berperan aktif dalam membangun bangsa Indonesia.
Paling sedikit ada tiga fakta sejarah yang bisa dicatat sebagai ciri khas kekristenan di
Indonesia, dan yang membuktikan bahwa kekristenan di Indonesia adalah agama yang
tumbuh dan berakar di bumi Indonesia sama dengan agama-agama lainnya seperti Islam,
Hindu, Buddha dan lain-lain.Pertama, agama Kristen di Indonesia bukanlah agama asing,
atau agama Barat.Tidak dapat dipungkiri, agama Kristen (Protestan)datang ke Indonesia
ketika negara ini berada dalam kekuasaan penjajah Belanda. Tetapi kekristenan di Indonesia
tidak disebarkan melalui kekuatan penjajah Barat dengan cara “penaklukan”, seperti halnya
proses kristenisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, seperti Amerika Latin yang
dikatolikkan bersamaan dengan kolonisasi Spanyol dan Portugis di benua itu.5 Umat
Kristenterutama yang berkembang di Indonesia sejak awal abad ke-19, adalah buah
zending(penginjilan)yang dilakukan oleh pribadi-pribadi atau lembaga-lembaga pekabaran
Injil yang lahir di Eropa sejak akhir abad ke-18 sebagai akibat kebangunan rohani yang
melanda Eropa ketika itu. Orang-orang Kristen Eropa yang telah mengalami “kelahiran baru”
dan terpanggil menjadi misionaris, kemudian pergi ke luar negeri untuk mengabarkan Injil,
baik atas prakarsa sendiri maupun atas pengutusan lembaga pekabaran Injil tertentu. Buah
pekerjaan para misionaris inilah kemudian melahirkan gereja-gereja suku di Indonesia yang
berakar di bumi Indonesia dan mengembangkan ciri khasnya sendiri menurut kultur daerah
4
Enam agama terbesar dunia semuanya ada di Indonesia, yang menurut statistik tahun 2005 persentase pemeluk
keenam agama itu adalah: Islam (88, 58%), Kristen (5,79%), Katolik (3.07%), Hindu (1.73%), Buddha (0.61%)
dan Kong Hu Cu (0,11%) (Sensus BPS, 2005).
5
Berbeda dengan yang terjadi di dunia lain, seperti Timur Tengah, Amerika Latin dan lain-lain, proses
pengkristenan di Indonesia hampir sama dengan proses penetrasi agama-agama yang masuk ke Nusantara,
seperti Hindu, Buddha dan Islam, yang dilakukan dengan cara-cara damai. Itulah sebabnya Syafii Maarif
mengatakan bahwa Indonesia adalah “panggung interaksi lintas agama dan lintas kultur” (Maarif, 2009: 46).
3
tempat kelahirannya.6 Dengan kata lain kekristenan di Indonesia bukanlah hasil penjajahan,
karena misionaris-misionaris yang mengabarkan Injil ke Indonesia bukanlah didatangkan atas
inisiatif para penjajah itu.Tidak dipungkiri bahwa penjajah Belanda melakukan berbagai
upaya untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk mendukung proses penginjilan di daerah
tertentu, namun tujuan Belanda datang ke Indonesia selama 350 tahun bukanlah untuk
mengkristenkan Indonesia, melainkan untuk mengambil kekayaan Indonesia demi
kepentingan ekonomi negara penjajah itu.
Dalam konteks inilah dapat dipahami mengapa umat Kristen di Indonesia sejak awal
bersikap kritis kepada penjajah, bahkan mereka (umat Kristen) pernah melakukan perlawanan
bersenjata kepada penjajah, seperti yang dilakukan Pattimura di Maluku. Dalam perspektif
inilah juga kita memahami mengapa sejak awal munculnya pergerakan nasional, mulai
dengan lahirnya Budi Utomo (1908), dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda (1928), dan
berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan (1945), orang Kristen tidak pernah absen.7Api
nasionalisme yang menyala di Jawa dengan kelahiran Budi Utomo, juga menyala di berbagai
daerah, termasuk di daerah di mana terdapat mayoritas Kristen, seperti di Tanah Batak dan
Sulawesi Utara. Sumpah Pemuda yang merupakan pencetus pertama gagasan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1928 di Yogyakarta, adalah kebulatan tekad
pemuda-pemudi yang tengah menuntut ilmu di pulau Jawa, yang berasal dari berbagai daerah
dari Sabang sampai Merauke, melebur tanpa melihat sekat-sekat agama dan suku bangsa.
Bahkan, proklamasi kemerdekaan yang dipercepat menjadi tanggal 17 Agustus 1945 terjadi
karena desakan para pemuda dari berbagai latar belakang, termasuk pemuda Kristen, seperti
Johannes Leimena, yang di kemudian haripernah dipercaya Soekarno menjadi pejabat
Presiden RI. Bahkan, Sumarsono – teman seperjuangan Amir Sjarifoeddin – mengatakan
6
Mayoritas gereja Protestan di Indonesia adalah gereja suku, seperti Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di
tanah Batak; Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) di Minahasa; Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) di
Nusa Tenggara Timur; dan lain-lain.
7
Uraian mengenai kiprah Kristen dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dari sejak masa penjajahan Belanda
sampai Era Reformasi, lihat Aritonang, 2003: 5-48.
4
bahwa andaikata Amir Sjarifoeddin Harahap (Kristen) tidak sedang berada di penjara
Malang, maka dialah yang sebenarnya diharapkan bertindak sebagai proklamator, bukan
Soekarno-Hatta (Sumarsono, 2008: 16). Juga, ketika Indonesia harus berperang melawan
Belanda, selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), umat Kristen di berbagai daerah
mengambil sikap tegas, mendukung kemerdekaan itu dan ikut dalam perang gerilya melawan
Belanda yang berniat kembali menjajah. Maka tidak mengherankan banyak makam pahlawan
di seluruh Indonesia yang di atasnya tertancap tanda salib, yang membuktikan bahwa bahwa
putra-putri yang beragama Kristen juga banyak yang gugur dalam pertempuran membela
tanah air Indonesia.
Dengan latar belakang historis itulah juga, sejak awal kemerdekaan hingga era Orde
Baru banyak orang Kristen dipercaya memegang jabatan-jabatan yang penting di negara ini.
Seorang pemimpin militer pada awal kemerdekaan yang telah ikut meletakkan landasan
organisasi militer modern Indonesia ialah T. B. Simatupang, bahkan ia sempat dipercaya
menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) yang pertama. Sampai pertengahan
pemerintahan Orde Baru (1960-an – 1980-an) orang Kristen mempunyai peran yang sangat
besar dalam bidang politik dan ekonomi. Misalnya, dalam kabinet Soeharto orang Kristen
menjabat di berbagai kementerian yang menangani masalah-masalah ekonomi, seperti J.B.
Sumarlin, Radius Prawiro, dan Adrianus Mooy, serta kementerian dalam bidang politik dan
keamanan8, seperti M. Panggabean, L.B. Moerdani dan Sudomo9. Penyebab menonjolnya
karir orang Kristen di pemerintahan, menurut Peter Polomka, adalah karena pada saat itu
tingkat pendidikan orang-orang Kristen secara umum lebih tinggi ketimbang orang-orang
Islam, sebagai hasil kegiatan pendidikan sejak zaman zending. Polomka berkata:
8
Kementerian bidang ekonomi dan politik merupakan kementerian yang dianggap paling strategis dalam
struktur kabinet. Dominannya orang Kristen yang menduduki jabatan dalam bidang-bidang ini menurut Latif
merupakan faktor yang membuat kalangan Islam sakit hati, karena jumlah orang Kristen yang duduk di
pemerintahan dan parlemen sudah “over-represented” (Latif, 2005: 486; Lihat juga Bertrand, 2004: 81).
9
Belakangan Sudomo kembali memeluk agama Islam, dan tahun 2012 beliau meninggal secara Islam.
5
Their comparative prominence in government and national affairs is largely due to
better education opportunities offered through the activities of Christian missionaries
in the country, both in the present and past (Polomka, 1971: 195; bnd. Hefner, 2000:
242).10
Berbarengan dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia, umat Kristen Indonesia
pun mengalami perkembangan yang membentuk dan melahirkan identitas kekristenan
Indonesia yang melampaui bentuk awal ketika agama ini datang dari Eropa. Dapat dikatakan
bahwa identitas baru itu merupakan kristalisasi, pergumulan, akulturasi dan adaptasi ala
Indonesia. Secara nasional jumlah orang Kristen di Indonesia jauh lebih kecil dibanding umat
Islam, tetapi di daerah-daerah tertentu jumlah orang Kristen lebih besar dari jumlah umat
beragama lain, seperti di Minahasa, Papua, Tanah Toraja, Tanah Batak, Nusa Tenggara
Timur, dan lain-lain. Di daerah-daerah tersebut terbentuk gereja-gereja suku yang sangat kuat
berakar pada tradisi denominasi dengan warna teologi tertentu, ditambah dengan tradisi
kesukuan yang sangat kental menyatu. Di daerah mayoritas Kristen ini berdirilah gerejagereja suku yang “otonom”, yang memproklamirkan diri sebagai gereja yang mandiri
(otonom), dalam arti: bebas dari dominasi para misionaris asal Eropa.11 Dengan kata lain,
gereja-gereja suku itu lebih dahulu memproklamirkan “kemerdekaannya” dari negara
Indonesia sendiri. Itulah sebabnya mengapa di daerah-daerah tersebut tidak ada perasaan
bahwa mereka adalah penduduk yang menganut agama asing. Tentang hal ini T. B.
Simatupang berkata:
Kedatangan gereja ke Indonesia, dalam arti tertentu, memang ada hubungannya
dengan permulaan ekspansi Barat. Tetapi dengan amat segera ia berakar di bumi
Indonesia, memperkembangkan ciri-ciri khasnya, dan terutama di daerah-daerah di
mana orang Kristen adalah mayoritas tidak ada perasaan bahwa mereka adalah sebuah
kelompok yang menganut agama asing. Bagi saya, ini adalah ciri khas yang cukup
10
Pendapat yang mengatakan bahwa Presiden Soeharto merasa lebih nyaman bekerja dengan tokoh-tokoh
Kristen saat itu mungkin ada benarnya, karena Soeharto sedang melakukan “deislamisasi” perpolitikan
Indonesia pada saat itu. Tetapi fakta yang tidak bisa disangkal ialah bahwa umat Kristen Indonesia mempunyai
tokoh-tokoh sekaliber mereka.
11
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) berdiri sendiri tahun 1930 di Tanah Batak (Sumatera Utara); Gereja
Kalimantan Evangelis (GKE) berdiri sendiri tahun 1935 di Kalimantan; Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
berdiri sendiri tahun 1934 di Sulawesi Utara, Gereja Protestan Maluku (GPM) berdiri sendiri tahun 1935 di
Maluku,dan lain-lain. (Ukur, 1979: 500).
6
penting dari orang-orang Kristen di Indonesia dibandingkan dengan yang ada di
negara Asia lainnya: kekristenan bukanlah sebuah agama asing di Indonesia
(Simatupang, 1997: 6).
Keindonesiaan gereja-gereja itu menepis kecurigaan kelompok lain bahwa kekristenan di
Indonesia bergandengan tangan dengan penjajahan, apalagi disebut sebagai agama penjajah.
Kedua, umat Kristen Indonesia bukanlah warga negara kelas dua. Sesuai dengan
besarnya peran umat Kristen dalam kancah perjuangan politik dan militer sejak awal
kemerdekaan, maka konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa umat Kristen di
Indonesia bukanlah warga negara kelas dua. Umat Kristen di Indonesia sama seperti umat
beragama lainnya, memiliki jaminan kebebasan beragama (freedom of religion) sebagaimana
diatur dalam konstitusi. Berbeda dengan di negara Mesir, misalnya, yang menyatakan, “the
principles of the Islamic Shari’a are the principal source of legislation.” (Hosen, 2007: 8).12
Perpindahan agama,merupakan kejadian biasa di negara yang sangat majemuk ini tanpa
menimbulkan pertentangan yang mengganggu stabilitas masyarakat, walaupun tidak secara
resmi diizinkan oleh oleh undang-undang. Padapada pasal 28 UUD 1945 tentang HAM,
misalnya, tidak ada butir yang secara eksplisit menyatakan hak perpindah agama. Meskipun
ada upaya-upaya pemerintah untuk melarang “dakwah” atau “penginjilan” terhadap mereka
yang sudah mempunyai agama13, tetapi berpindah agama karena perkawinan, keputusan iman
pribadi, ataupun untuk mencari kedudukan, dan lain-lain, masih tetap terjadi secara bebas di
Indonesia. Walau tidak secara formal dijamin oleh aturan perundang-undangan, praktik
perpindahan agama dari dulu hingga sekarang, pada aras akar rumput sampai aras tokohtokoh masyarakat dan tokoh politik,adalah peristiwa biasa dan sah-sah saja, dan bukanlah
12
Di Malaysia Islam adalah agama resmi negara, kendati umat Islam di sana hanya sedikit di atas 50 persen dari
penduduk.
13
Tahun 1979 Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (didahului oleh Surat Keputusan Menteri Agama no.
70 dan 77 tahun 1978) mengeluarkan keputusan bersama tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan
bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dan
Majelis Wali Gereja Indonesia (MAWI) menyatakan keberatan atas keputusan pemerintah itu. Lihat Tanggapan
DGI-MAWI atas Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979
(Sekretariat Umum DGI, 1980).
7
sesuatu yang menimbulkan goncangan sosial (Fautre et al. (eds.), 2012: 103). Berbeda
dengan di negara Muslim lainnya, di Indonesia tidak ada “hukuman mati” terhadap peralihan
agama (Magnis-Suseno, 2013: 74). Berkaitan dengan ketentuan konstitusi tadi, berbeda
dengan di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya, umat Kristen di Indonesia
bukanlah warga negara kelas dua, yang di negara-negara Islam disebut dhimmi.14
Para pendiri bangsa ini sepakat bahwa Indonesia yang baru merdeka tahun 1945 itu
bukanlah sebuah negara agama (Islam), dan bukan juga negara sekuler, tetapi sebuah negara
Pancasila yang melihat semua penganut agama sebagai sama status dan kedudukannya dalam
negara Indonesia yang majemuk itu. Umat Kristen yang ada di Indonesia bukanlah sisa
penaklukan umat Islam Indonesia sebagaimana halnya dengan umat Kristen di Mesir, Turki,
Syria, dan negara-negara lain di Timur Tengah. Kenyataan yang terjadi di Indonesia, umat
Islam dan umat Kristen bersama-sama berjuang untuk mencapai kemenangan atas Belanda
dan musuh-musuh lainnya (Simatupang, 1991: 238-239).
Ketiga, umat Islam di Indonesia tidak melihat orang Kristen sebagai “orang lain”
tetapi sebagai “teman sebangsa”. W.C. Smith, seorang pakar Islamologi dari Amerika, setelah
membandingkan hubungan Islam-Kristen di Indonesia dengan di negara-negara berpenduduk
Muslim besar lainnya, tiba pada kesimpulan ini:
Nowhere in the Muslim world (except perhaps in Indonesia?) do Muslims feel that a
non-Muslim member of their nation is “one of us” . And nowhere do the minorities
feel accepted. Indeed, in many instances there is a very serious trepidation (Smith,
1957: 80).
Senada dengan pernyataan Smith itu, B. J. Boland, seorang teolog Belanda yang lama bekerja
di Indonesia sebagai pendeta, mengatakan:
Probably one point different from elsewhere is that Muslims in Indonesia cannot
simply disregard the existence Christian Churches in their country. Before 1945
14
Dhimmi (Arab: dhimmah) adalah status yang diberikan kepada warga negara yang berada di wilayah Islam
(dar al-Islam) seperti yang diberikan kepada warga Kristen dan Yahudi di negara-negara taklukan Islam di
Timur Tengah (Scruton, 2007: 180-181).
8
Christians were often regarded by Muslims as belonging to “other side” (Ind. pihak
sana), that is to say, the side of Dutch colonial power. Many Christians, however,
were in the forefront of the fight for freedom, together with Muslims and other
nationalists. So it became clear that IndonesianChristians, too, could be true
Indonesians and good patriots. In this way many Muslims and Christians got to know
and respect each other as fellow-citizens, and true relations between Muslims and
Christians within the Republic of Indonesia turned first in favourable
direction(Boland, 1971: 224).
Dari latar belakang sejarah demikianlah dapat dijelaskan mengapa para pengamat dan
negarawan luar negeri melihat Indonesia sebagai negara yang sangat toleran, di mana warga
negara dengan latar belakang agama berbeda hidup rukun berdampingan. Kesan demikian
pernah dikemukakan oleh Hillary Clinton (Menteri Luar Negeri Amerika) yang mengunjungi
Indonesia tahun 2008, ketika ia berkata: “If you want to know ifIslam, democracy and
modernity and women’s rights can coexist, go to Indonesia” (Tamara, 2009: xii). Pengamat
“luar” yang lain, Jeff Hammond, menemukan bahwa kendati Indonesia sering mengalami
berbagai goncangan politik, konflik antar-agama dan pemberontakan daerah, tetapi Indonesia
mempunyai tiga rahasia indah,
...yang tidak terdapat di tempat lain di dunia ini selain di Indonesia. Kalau ketiga hal
ini benar-benar dihayati, maka Indonesia bisa menjadi bangsa teladan dan terhormat
di antara semua bangsa di dunia. ... Ketiga rahasia yang saya temukan adalah
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Gotong-royong (Hammond, 2008: 175).
Hammond mengakui bahwa rahasia atau kata kunci mengapa Indonesia yang sedemikian
majemuk itu dapat bersatu menjadi sebuah negara Republik Indonesia yang rukun dan toleran
– kendati diakuinya ada juga berbagai konflik – adalah ideologi bangsa Indonesia yang
dirumuskan dan disahkan oleh para pendiri bangsa tahun 1945, yaitu Pancasila, yang jiwanya
adalah saling menghormati dan saling menerima kemajemukan yang ada itu. Atas dasar
Pancasila itulah dapat dipahamimengapa umat Kristen yang berjumlah kurang lebih 10%
(termasuk Katolik) itu bisa mempunyai peran besar dalam proses pembentukan dan
pembangunan Indonesia merdeka itu. Atas dasar Pancasila jugalah mengapa umat Kristen di
Indonesia diterima bukan sebagai agama asing di Indonesia, dan bukan pula warga negara
9
kelas dua. Hanya oleh karena Pancasila pula maka umat Islam – yang secara sosiologis
adalah golongan mayoritas – bisa merasakan bahwa umat Kristen di Indonesia adalah bagian
integral dari dirinya sendiri sebagai sesama warga bangsa yang setara, sebagaimana MagnisSuseno mengatakan:
In Indonesia, nondiscrimination on religious grounds was thus strongly written into
Constitutionof 1945 (and all other Indonesian constututions) and, in a generally
satisfaying way, into the law. There can be no doubt that there was and still is a strong
political concensus in Indonesian society, always kept up by the Indonesian state, that
all Indonesians are citizens in the full sense of their rights and duties. Member of
minority religions can occupy high positions in politics, the military, and universities.
(Magnis-Suseno, 2013: 74)
Cerita di atas adalah cerita di zaman Orde Baru dan sebelumnya. Semenjak Era
Reformasi bergulir, situasi dan kondisi umat Kristen di Indonesia seperti digambarkan di atas
berubah dan sedang mengalami krisis. Setelah Soeharto turun dan Habibie naik menjadi
Presiden, segera terjadi “perpecahan” dalam masyarakat yang tadinya bersatu menurunkan
Soeharto. Kendati hampir seluruh elemen masyarakat menyambut pengunduran diri Soeharto
dengan sorak-sorai kemenangan, tetapi pelantikan Habibie sebagai presiden ketiga Indonesia
(21 Mei 1998) segera menimbulkan pro-kontra masyarakat luas yang secara umum dapat
dikategorikan sebagai polarisasi antara kelompok nasionalis kontra kelompok Islamis, yaitu
kelompok yang berjuang untuk menjadikan Indonesia menjadi negara atau menganut sistem
Islam (Muhtadi, 2012: 48-49).Kelompok yang menolak Habibie melihat kedekatan Habibie
dengan Soeharto15dan membuat banyak pihak pesimis bahwa Habibie bisa melakukan
tuntutan reformasi seperti mengamandemen UUD 1945, menghapuskan dwifungsi ABRI dan
lain-lain. Di pihak lain kelompok Islam politik (Islamis), yaitu kalangan Islam yang
menginginkan Indonesia menjadi negara Islam,atau menjadi negara yang
menjalankan
syariat Islam, justru menyambut naiknya Habibie menjadi presiden. Ketika Habibie dilantik
menjadi presiden, sebanyak 43 organisasi massa Islam menyatakan diri dengan tegas untuk
15
Habibie menganggap Soeharto sebagai orangtuanya dan selalu mengaguminya selaku guru, super genius,
profesor dst. (Gaffar, 2000: 311).
10
mendukung Habibie (Gaffar, 2000: 313). Pihak Islam politik melihat sosok Habibie sebagai
tokoh yang dekat dengan Islam. Adalah fakta bahwa selama pemerintahan Soekarno sampai
era Soeharto kelompok Islam politik yang hendak menjadikan Indonesia negara Islam
mengalami tekanan politik, dan tidak diberi kesempatan terjun dalam arena perpolitikan
Indonesia. Tetapi ketika angin kebangkitan Islam transnasional berhembus dari Timur
Tengah sejak tahun 1980-an, kalangan Islam politik Islam menyambutnya dengan antusiasme
yang sangat tinggi. Di saat usia Soeharto sudah semakin tua (69 tahun), dan ketika kaum
intelektual Islam sudah sangat kuat dan solid, maka Soeharto mengubah strategi politiknya,
dari politik konfrontatif terhadap Islam yang berlangsung sejak awal Orde Baru sampai
pertengahan tahun 1980-an16menjadi politik yang sangat akomodatif.17Pada tahun 1980-an itu
terjadi “hijauisasi” (islamisasi) Orde Baru (Bertrand, 2004: 83). Douglas E. Ramage
mencatat, agenda politik yang diperjuangkan ICMI antara lain adalah: menuntut
demiliterisasi perpolitikan Indonesia; memperjuangkan demokratisasi; dan menciptakan suatu
sistem “proporsionalisasi” di mana umat Islam diwakili dalam pemerintah (Kabinet, MPR,
DPR, dan seterusnya) sesuai dengan persentase mereka dalam populasi (88 persen) (Ramage,
2002: 168). Dengan kata lain, setelah ICMI lahir maka politik diskriminasi berdasarkan
perbedaan agama, menjadi marak terjadi dalam berbagai lembaga pemerintahan Indonesia,
baik sipil maupun militer, berbeda dari periode-periode sebelumnya.
Dalam konteks perkembangan perpolitikan Indonesia yang digambarkan di atas, umat
Kristen di Indonesia, yang tadinya merasa terayomi dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945,
16
Tentang perubahan sikap Soeharto terhadap Islam, Wanandi melihat ada beberapa kemungkinan: (1) Pada
saat itu Soeharto sudah berusia di atas 65 tahun, yang secara psikologis sudah mulai mendekatkan diri dengan
Tuhan atau agama, dalam hal ini Islam; (2) Pada saat itu Soeharto sudah mulai berseberangan dengan petinggipetinggi militer yang sebelumnya merupakan kepecayaannya (terutama Benny Moerdani dan kawan-kawan),
sehingga Soeharto menyambut kekuatan Islam sebagai basis dukungan baru (Wanandi, 2014; 328-339).
17
Leo Suryadinata mencatat ada enam kebijakan Soeharto di akhir 1980-an dan awal 1990-an untuk merangkul
umat Islam, yaitu: (1) Peradilan Islam dibentuk tahun 1988; (2) Tahun 1989, Undang-undang Pendidikan
Nasional menetapkan bahwa pendidikan harus diajarkan oleh guru yang seagama dengan siswanya; (3)
Menghukum tabloid Monitor dan pemimpin redaksinya (Arswendo Atmowiloto) karena dituduh menghina nabi
Muhammad; (4) Merestui kelahiran ICMI tahun 1990; (5) Tahun 1991 Soeharto menunaikan ibadah Haji; (6)
Tahun 1992 untuk pertama kali sebuah Bank Islam diberdirikan (Lihat Suryadinata, 1999: 192-193).
11
di Era Reformasi mengalami perubahan perlakukan negara yang sangat mengkhawatirkan.
Paling sedikit ada dua masalah yang hendak disoroti dalam studi ini, yang merupakan pokok
pergulatan umat Kristen di Indonesia di Era Reformasi. Pertama,menguatnya sikap intolerasi
dalam bentuk pengingkaran terhadap kebebasan beragama. Kendati konstitusi Indonesia
memberikan jaminan akan kebebasan beragama kepada semua warga negara, tetapi
menjelang dan setelah kejatuhan Orde Baru konstitusi ini sepertinya tidak dapat ditegakkan.
Dekade 1990-an mencatat bahwa tindakan-tindakan perusakan, penutupan dan larangan
pendirian rumah-rumah ibadah Kristen semakin marak terutama di pulau Jawa. Menjelang
dan selama Era Reformasi tercatat rangkaian peristiwa perusakan dan penutupan gereja, yang
seakan tidak pernah berhenti, seperti di Sidotopo-Surabaya (1996),
Situbondo (1996),
Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), bom Natal (2000)18, sampai
peristiwa
penutupan secara sepihak dan paksa GKI Yasmin, Bogor (2011). Pelaku tindakan-tindakan
kekerasan ini ialah kelompok ormas-ormas Islam“garis keras” yang bebas bergerak pasca
Orde Baru, sementara penegakan hukum juga menjadi masalah dalam kaitan kebebasan
beragama ini. Aparat hukum, terutama polisi, yang seyogianya dapat melindungi setiap warga
negara dalam menjalankan ibadahnya, ternyata sangat lemah dalam berbagai kasus pendirian
rumah ibadah (Kristen) yang sering mengalami gangguan atau hambatan.
Kedua, politik syariat Islam dan diskriminasi. Di awal Era Reformasi itu gerakan
politik kelompok-kelompok Islam politik untuk memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam
Jakarta (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) ke dalam
Pembukaan UUD 1945 bergulir kembali. Menjelang Pemilihan Umum tahun 1999, partaipartai Islam secara terbuka mengangkat isu Piagam Jakarta, terutama sebagai komoditi politik
untuk meraih dukungan. Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) adalah dua partai politik Islam yang paling gencar mengangkat isu Piagam Jakarta
18
Uraian mengenai peristiwa-peristiwa tersebut lihat Aritonang, 2004: 463 dst.
12
(Mubarak, 2008: 161-165). Kendati dalam perdebatan di forum Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) ide untuk memasukkan ketujuh kata dari Piagam Jakarta kembali ke dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 gagal, tetapi visi dan cita-cita itu tidak
padam.19Setelah konstitusionalisasi syariat Islam gagal, maka “undang-undangisasi” syariat
Islam terus menjadi agenda kelompok Islam politik (Indrayana, 2008: 50-71). Di Era
Reformasi ini dapat dicatat sejumlah Undang-undang yang hanya berlaku bagi umat Islam,
dan tidak warga non-Islam, antara lain: Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Haji dan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Puncaknya adalah lahirnya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sejalan dengan maraknya perundang-undangan syariat
Islam pada dasawarsa pertama 2000-an, lebih marak lagi “perdaisasi” syariat Islam, yakni
dengan memasukkan prinsip-prinsip syariat Islam ke dalam perbagai Peraturan Daerah, yang
peluangnya dibuka oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Ratusan Perda bernuansa syariat Islam telah terbit di berbagai provinsi, kabupaten
dan kota.20
Selain diskriminasi yang diakibatkan perda-perda syariat itu, di Era Reformasi juga
muncul berbagai kebijakan politik yang sangat diskriminatif berdasarkan identitas agama.
Faktor agama menjadi bahan pertimbangan bagi penentuan promosi berbagai jabatan, baik
jabatan sipil, maupun jabatan militer. Politik “proporsionalisasi” yang dicanangkan ICMI
tidak jarang menjadi pertimbangan penting, baik terang-terangan maupun samar-samar dalam
melakukan rekrutmen dalam berbagai posisi di Indonesia, sangat berbeda dengan situasi pada
19
Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008: 373-374).
20
Majalah Tempo, Edisi 4 September 2011, membuat liputan khusus tentang perda-perda syariah, antara lain
mencatat sudah ada 150 Perda yang mengatur antara lain kewajiban berbusana muslim, zakat, larangan
minuman keras, serta kewajiban pandai membaca Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin.
13
era sebelumnya yang lebih mengutamakan “merit system” atau “the right man on the right
place”.
Bagi umat Kristen di Indonesia, masalah kebebasan beragama yang dijamin UUD
1945, di Era Reformasi menjadi pergumulan yang sangat serius. Sikap intoleransi, yang
semakin menguat di Indonesia dalam wujud tindakan perusakan dan pelarangan mendirikan
rumah ibadah Kristen, adalah keprihatinan besar yang mengkhawatirkan bagi masa depan
bangsa dan umat Kristen dan umat beragama lain. Kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti
pembentukan perda-perda syariat Islam, bagi umat Kristen, adalah mengingkaran terhadap
konstitusi negara. Berbagai perlakukan diskriminatif dalam promosi berbagai jabatan sipil
dan militer yang terjadi di Era Reformasi juga adalah kemunduran dalam berbangsa dan
berdemokrasi.Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada usaha untuk mengatasi secara serius,
bukan tidak mungkin masa depan bangsa ini akan terancam, dan bahaya disintegrasi bangsa
yang tidak diharapkan bisa menjadi ancaman.
B. Permasalahan Penelitian dan Hipotesa
Penelitian ini ingin menggali bagaimana sikap umat Kristen menghadapi
perkembangan perpolitikan Indonesia yang semakin menyimpang dari jiwa Pancasila dan
UUD 1945 itu. Tidak dapat dipungkiri, respons umat Kristen di Indonesia dalam menyikapi
perkembangan politik agama di Indonesia sangat beraneka-ragam karena dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti faktor sosiologis, teologis-misiologis, dan latar belakang kerohanian
umat Kristen yang berbeda-beda. Sikap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai
wadah kebersamaan gereja-gereja anggotanya, tidak selalu sama dengan sikap gerejagerejaanggota di daerah tertentu. Sikap PGI juga tidak selalu sama dengan sikap Persekutuan
14
Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili di Indonesia (PGLII)21 dan gereja-gereja Injili
yang ada di Indonesia. Di samping itu penelitian ini akan menunjukkan sejauh mana faktorfaktor teologis, historis dan kultural mempengaruhi sikap-sikap politik itu. Sebagai hasil
akhirnya akan diuraikan berbagai jenis tipologi yang menggambarkan variasi sikap politik
umat Kristen berikut faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu beberapa pertanyaan
penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah wawasan politik umat Kristen di Indonesia?
2. Bagaimana politik agama di Indonesia sampai periode Orde Baru?
3. Bagaimanakah kebangkitan Islam politik terjadi di Indonesia pada Era Reformasi?
4. Bagaimana respons umat Kristen terhadap dinamika politik di Indonesia pada Era
Reformasi, berkaitan dengan kebangkitan Islam politik?
Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, hipotesa kerja dalam penelitian ini
adalah: (1) Umat Kristen di Indonesia yang berjumlah sekitar 10% dari total penduduk adalah
bagian integral dari bangsa Indonesia, yang ikut aktif dalam dinamika perpolitikan bangsa
sejak mendirikan, memperjuangkan serta membangun masa depan bangsa ini. Itu sebabnya
Indonesia didirikan bukan sebagai sebuah negara agama (Islam) dan bukan negara sekuler,
tetapi negara Pancasila di mana semua agama mempunya posisi yang sama di depan hukum,
dan negara bersikap netral terhadap semua agama itu; (2) Kebangkitan Islam politik pada Era
Reformasi di Indonesia yang memperjuangkan agar Indonesia menjadi negara Islam atau
paling sedikit menjalankan syariat Islam, merupakan tantangan bagi Pancasila, sekaligus
menjadi ancaman bagi kebebasan beragama yang sangat didambakan umat Kristen di
Indonesia. Maraknya peritiwa penutupan gereja selama Era Reformasi, terjadi karena
massifnya tekanan kalangan Islam politik di satu pihak, dan lemahnya upaya penegakan
hukum di lain pihak; (3) Tekanan yang sangat keras yang dilakukan Islam politik kepada
21
Lihat “Definisi Kerja” pada halaman sebelumnya.
15
umat Kristen di Indonesia, yang dituduh melakukan upaya kristenisasi itu, membuat umat
Kristen di Indonesia dalam situasi galau dan penuh ketidakpastian masa depan. Respons umat
Kristen terhadap kebangkitan Islam politik di Indonesia pada Era Reformasi tidak seragam,
tergantung pada latar belakang teologis dan etnis dari gereja-gereja dan umat Kristen di
Indonesia yang sangat beraneka ragama itu.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini pertama-tama mendeskripsikan perkembangan kekristenan di Indonesia,
sambil melihat bagaimana wawasan politik umat Kristen yang berkembang di Indonesia,
yang mempengaruhi kiprah orang Kristen dalam bidang politik dalam sejarah perpolitikan
Indodoesia, danyang melatarbelakangi kiprah umat Kristen dalam dinamika politik nasional
pada Era Reformasi. Kedua, penelitian ini membahas bagaimana para pendiri bangsa
merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, dimana hubungan agama (terutama Islam) dan
negara di Indonesia dirumuskan sedemikian rupa, sehingga Indonesia bukan negara agama
dan bukan negara sekuler. Juga akan dibahas bagaimana pemerintah Orde Baru berupaya
mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga,
penelitian ini membahas bagaimana proses terjadinya kebangkitan Islam politik di Indonesia
yang sangat mempengaruhi dinamika politik nasional di Era Reformasi. Keempat, penelitian
ini akan membahas bagaimana sikap dan respons umat Kristen (Protestan) terhadap dinamika
politik nasional yang amat diwarnai oleh gerakan kebangkitan Islam politik di Era Reformasi.
D. Manfaat Penelitian
Literatur akademis dalam bentuk tesis atau disertasi tentang perpolitikan umat Kristen
Indonesia pasca Orde Baru (pada Era Reformasi) belum ada, paling tidak belum pernah
diterbitkan dalam bentuk buku.Sedangkan literatur tentang hubungan Islam dengan dinamika
16
politik pada Era Refromasi sudah sangat banyak (Assyaukanie, 2103; Platzdasch, 2009;
Salim, 2009; Latif, 2005; Hasan, 2006). Karena itu studi ini merupakan sebuah terobosan
untuk mengisi kekosongan itu, dengan harapan ke depan akan semakin banyak intelektualintelektual Kristen, baik teolog maupun warga gereja, yang mendalami ilmu politik di
berbagai universitas,yang terdorongmelakukan penelitian dalam bidang gereja (kekristenan)
dan politik. Baik warga gereja, maupun warga bangsa non-Kristen, sangat mengharapkan
hadirnya buku-buku hasil penelitian akademik yang membahas relasi umat Kristen dengan
dinamika perpolitikan di tengah bangsa.
Penelitian ini juga diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, terutama
umat Kristen sebagai referensi dalam meningkatkan peran serta dalam proses berbangsa dan
bernegara, bahwa umat Kristen Indonesia adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang
mempunyai peran dan kedudukan yang sama dengan saudara-saudara sebangsanya dari
berbagai latar belakang yang beraneka ragam itu. Penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi acuan bagi para pemimpin bangsa, bahwa negara yang dibentuk oleh para pendiri
bangsa kita bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekular, melainkan sebuah negara
yang demokratis yang kekuasaannya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tanpa
menafikan peran agama-agama dan para penganut yang ada di dalamnya, sebagaimana
tersirat dalam ideologi Pancasila. Jadi studi ini bermanfaat juga untuk memberikan
sumbangan pikiran dalam menggalang persaudaraan nasional dan memperkukuh kerjasama
lintas agama yang sudah mulai terbangun selama ini. Terakhir, penelitian ini juga diharapkan
dapat merangsang dan memotivasi umat Kristen di Indonesia untuk lebih proaktif
memikirkan dan sekaligus melibatkan diri dalam politik, baik politik praktis maupun politik
moral, dalam konteks Indonesia yang majemuk, dengan tetap mengutamakan tegaknya
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
17
E. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana dikatakan di atas, kajian tentang “Kekristenan dan Politik” belum
banyak dilakukanpada level akademis. Kebanyakan studi mengenai isu agama dan politik di
Indonesia, baik yang dilakukan intelektual Indonesia maupun pengamat luar (Indonesianist)
lebih berfokus pada relasi Islam dan politik (Platzdasch, 2009; Hosen, 2007;Hasan, 2006;
Effendy, 2003; Effendi, 2000; Mujani, 2007). Buku jenis ini boleh dikatakan berlimpah dan
tidak mungkin semuanya didaftarkan di sini. Ketika ditanyakan kepada R. William
Liddle,22seorang Indonesianist yang terkenal: “Kenapa para peneliti kehidupan politik
Indonesia dari luar negeri tidak ada yang mengkaji tentang kekristenan dan politik di
Indonesia?”, Liddle menjawab kira-kira sebagai berikut: “Isu kekristenan dan politik di
Indonesia bagi kami orang luar terlalu kecil dibandingkan dengan isu Islam dan politik. Itu
tidak berarti bahwa isu itu tidak penting. Karena itu orang Kristen Indonesia sendirilah yang
harus menelitinya.”Selain alasan di atas, para peneliti luar itu juga sangat bergantungpada
anggaran biaya penelitian yang disediakan pemerintahnya berdasarkan pertimbangan
geopolitik dan kepentingan nasionalnya. Jelas, isu kekristenan dan politik di Indonesia tidak
berarti apa-apa dari pertimbangan geopolitik Amerika dan negara-negara Barat umumnya,
dibanding isu komunisme tahun 1970-an dan isu Islam dan politik tahun 1990-an.23
Karya akademis khusus mengenai kekristenan dan politik di Indonesia boleh
dikatakan sangat langka.24Kelangkaan ini kemungkinan besar disebabkan dua hal. Pertama,
pada umumnya teolog-teolog Kristen kurang tertarik mendalami kajian-kajian dalam bidang
“Kekristenan dan Politik” karena mereka beranggapan bahwa kajian seperti itu bukan domain
ilmu teologi, melainkan bidang kajian ilmu-ilmu sosial sekuler. Kedua, para intelektual
22
Percakapan dengan R. William Liddle tahun 2010 di Jakarta.
Menurunnya minat para “Indonesianist” mengadakan studi-studi tentang Indonesia sekarang ini dibahas
secara panjang lebar dalam majalah Tempo, edisi 14-20 November 2011.
24
Tulisan-tulisan lepas, yang disunting menjadi kumpulan tulisan sudah lumayan banyak, seperti Simatupang,
1997a; 1997b; Yewangoe, 2009a; 2009b; 2009c.
23
18
Kristen yang mendalami ilmu-ilmu sosial-politik pada umumnya kurang mampu mengangkat
tema “Kekristenan dan Politik”karena pada umumnya mereka kurang memiliki latar belakang
ilmu yang berkaitan dengan gereja dan kekristenan.
Di tengah “kemiskinan” literatur yang membahas topik “Kekristenan dan Politik”, ada
beberapa karya akademis yang patut dicatat, yang tentu saja sangat besar sumbangannya bagi
proses penelitian ini.Buku Gerry van Klinken (Klinken, 2003) tidak bermaksud untuk
mengupas pergumulan politik orang Kristen di Indonesia, melainkan ingin mengemukakan
bahwa ada pelaku sejarah Indonesia yang beragama Kristen yang – kendati peranan mereka
sangat besar pada awal pembentukan Indonesia merdeka – dalam kenyataannya mereka
terlupakan.25Pembahasan utama dalam buku ini berkaitan dengan dinamika pergumulan
politik Kristen pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, yang memberikan
gambaran bagaimana sejumlah tokoh Kristen Indonesia ikut meletakkan dasar-dasar
Indonesia merdeka itu. Ramlan Surbakti menulis disertasi berjudul “Interrelation between
Religious and Political Power under New Order Indonesia”26, yang dipertahankan di
Departemen Ilmu Politik, Northern Illinois University, 1991. Karya ini mengupas kebijakan
politik Orde Baruyang, demi kepentingan politik, berusaha menjinakkan semua agama,
termasuk agama Kristen di Indonesia. Karya ini tidak secara khusus membahas topik
kekristenan dan politik di Indonesia, melainkan membahas kebijakan Orde Baru terhadap
semua agama yang diakui Orde Baru saat itu di Indonesia. Buku Saut Sirait (Sirait, 2000),
dari segi judul menjanjikan akan mengkaji pergumulan politik umat Kristen di Indonesia,
namun ternyata hanya menyediakan satu bab dari lima bab untuk membahas politik Kristen
di Indonesia, yang hampir seluruhnya mengupas persoalan di sekitar intervensi militer ke
dalam tubuh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tahun 1990-an.27Dengan kata lain buku
25
Syukurlah di bulan November 2011 pemerintah telah menetapkan Kasimo menjadi pahlawan nasional.
Disertasi yang tidak diterbitkan.
27
Pembahasan mengenai intervensi militer di HKBP tahun 1990-an, lihat Pakpahan (2012).
26
19
yang berawal dari tesis Magister Teologi di STT Jakarta itu hendak mengkritisi perilaku
politik Orde Baru yang melakukan intervensi ke dalam tubuh gereja HKBP tahun 1990-an
sebelum rezim Orde Baru berakhir. Paul Webb (1978) mengulas sejarah Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik, dan menyimpulkan bahwa kehadiran Parkindo dan
Partai Katolik telah mampu menghilangkan stigma bahwa orang Kristen adalah kolaborator
penjajah Belanda, yang sangat penting artinya dalam melihat
posisi orang Kristen di
Indonesia di zaman Indonesia merdeka. Tetapi buku Webb ini merupakan karya pertama
yang membahas topik “Kekristenan dan Politik” di Indonesia (Surbakti, 1991: 9394).28Zakaria Ngelow (Ngelow, 1994) memfokuskan penelitiannya pada peran umat Kristen
pada era ketika gerakan nasionalisme bangkit di Indonesia hingga perjuangan Indonesia
berhasil menekan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia tahun 1949. Karya yang relatif
baru mengenai pergumulan orang Kristen di Indonesia adalah buku Jan Sihar Aritonang
(Aritonang, 2004) yang secara panjang-lebar mengupas sejarah perjumpaan Kristen dan
Islam di Indonesia dari sejak zaman Portugis (1511) sampai awal-awal masa Reformasi
(2003). Rentang waktu dan periode yang dibahas sudah mengindikasikan bahwa buku ini
merupakan gambaran umum mengenai sejarah perjumpaan, terutama konflik, Kristen-Islam
di Indonesia – walau di sana-sini ada uraian tentang persahabatan. Buku ini tidak
dimaksudkan secara khusus membahas pergumulan politik umat Kristen di Indonesia dalam
periode tertentu. Buku Benjamin Fleming Intan, yang bermula dari disertasi di Boston
College berjudul “Public Religion” and The Pancasila-Based State of Indonesia - An Ethical
and Sociological Analysis(Intan, 2006), menguraikan dengan baik pemikiran empat orang
intelektual Kristen (T.B. Simatupang, Eka Darmaputera, J.B. Banawiratma dan Franz
Magnis-Suseno) dan empat orang intelektual Islam (Nurcholish Madjid, Djohan Effendi,
Abdurrahman Wahid dan Ahmad Wahib), yang sama-sama melihat bahwa Pancasila
28
Surbakti mengatakan: “Until now only one study has been conducted on the Christian role in Indonesian
politics” (Surbakti, 1991: 93-94).
20
merupakan “Public Religion” di Indonesia, sama seperti agama Kristen yang merupakan
“Public Religion” di Amerika.Disertasi yang sudah dibukukan, yang masih relatif baru ditulis
oleh Poltak Sibarani (2007) di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta berjudul Mengukur
Demokrasi di Indonesia & Partisipasi Kristen, mengulas panjang-lebar perkembangan
pemikiran dan praktik demokrasi sejak zaman Yunani hingga Era Reformasi di Indonesia.
Karya ini tidak bermaksud menganalisis dinamika perpolitikan di Indonesia dalam kaitannya
dengan kehadiran umat Kristen di Indonesia, terutama pada pada Era Reformasi. Osbin
Samosir menulis sebuah disertasi berjudul “Keterwakilan Politik Kristen di DPR RI Pada
Pemilu 2004 dan Pemilu 2009: Studi PDI Perjuangan dan Partai Golkar”, yang dipertahankan
di Universitas Indonesia (2013) membahas seluk-beluk dan trik-trik bagaimana para politisi
Kristen masuk menjadi anggota DPR-RI, khususnya dari Partai Golkar dan PDIP, dua partai
politik pengusung paling besar politisi Kristen di DPR-RI. Penelitian ini membuktikan bahwa
faktor primordialisme dapat dikalahkan oleh faktor “sosok” yakni kedekatan dan hubungan
emosional yang dibangun terus-menerus oleh seorang calon legislatif di daerah pemilihan
masing-masing (Samosir, 2013).
Karya terbaru, yang berasal dari disertasi di Universitas Cambridge, Inggris, yang
membahas topik “Kekristenan dan Politik” di Indonesia, adalah karya Myengko Seo (dosen
ilmu politik di Hankuk University of Foreign Studies, Korea), yang berjudul State
Management of Religion in Indonesia(2013). Karya ini mengupas dinamika perpolitikan
Indonesia yang diwarnai tarik-menarik antara menjadi sebuah negara agama (syariah) seperti
Arab Saudi atau menjadi sebuah negara Islam sekuler seperti Turki. Karya ini mengambil
studi kasusnya Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) yang berada di tengah-tengah masyarakat
mayoritas Islam, yang pernah mengalami pertumbuhan gereja yang spektakuler dengan
“pertobatan” jutaan kalangan Islam abangan pasca peristiwa G30S (1965). Peristiwa
21
bersejarah itulah yang merupakan pemicu lahirnya momok “kristenisasi” yang hingga
sekarang mengeruhkan hubungan Islam-Kristen di Indonesia.
Buku-buku yang disebutkan di atas adalah karya-karya akademis yang cemerlang,
tetapi tidak satu pun karya-karya itu yang memfokuskan pembahasan tentang persoalan
politik Kristen di Indonesia khususnya di Era Reformasi ini. Oleh karena itu disertasi ini
merupakan hasil kajian yang masih sangat bersifat “rintisan”, yang mengupas sikap politik
umat Kristen di Indonesia terhadap dinamika politik Indonesia di Era Reformasi, yaitu
wilayah penelitian yang belum pernah secara khusus dibahas secara akademis, apalagi dalam
bentuk disertasi.
F. Landasan Teori
Disertasi ini hendak menganalisis sikap politik umat Kristen di Indonesia terhadap
kebangkitan Islam politik di Indonesia pada Era Reformasi. Kata kunci di sini adalah sikap,
yang dapat dimaknai sebagai respons, reaksi, posisi, dan pendirian, termasuk tindakan dan
gerakan. Untuk menganalisis sikap umat Kristen terhadap dinamika politik berkaitan dengan
kebangkitan Islam politik di Indonesia,ada dua teori yang digunakan dalam karya ini.
Pertama adalah teori yang dirumuskan oleh J. Philip Wogaman, seorang pakar dalam Etika
Kristen di Amerika, yang pernah dipercaya sebagai penasihat rohani oleh Presiden Bill
Clinton. Setelah menguraikan perkembangan pemahaman dan sikap-sikap politik orang
Kristen sepanjang sejarah, dari zaman Gereja mula-mula sampai zaman modern, Wogaman
(Wogaman, 2000: 264-271) menguraikan tujuh level keterlibatan gereja dalam bidang politik.
Level pertama ialah Influence the Ethos. Yang dimaksud dengan ethos adalah nilai-nilai dasar
atau pandangan hidup yang mempengaruhi perilaku manusia dan masyarakat. Tugas dan
panggilan gereja yang pertama, menurut Wogaman, adalah mempengaruhi karakter (etos)
masyarakat atau “roh zaman” (the spirit of the times) yang mendasari lahirnya berbagai
22
kebijakan publik dalam sebuah negara. Gereja yang menyandang fungsi “suara kenabian”
harus selalu mengkritisi berbagai kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah yang
berkuasa bilamana kebijakan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan
kebenaran. Wogaman mengacu peristiwa sejarah tahun 1960-an tentang perjuangan
penghapusan diskriminasi terhadap warga negara kulit hitam, di mana gereja memainkan
fungsinya sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi karakter masyarakat. Pada waktu
itu gereja-gereja di Amerika mengeluarkan pernyataan yang menegaskan kesetaraan manusia
di hadapan Tuhan, tanpa membedakan warna kulit dan ras. Wogaman menjelaskan: “Even
without specific church actions, then, the proclamation of certain values had deep political
effects” (Wogaman, 2000: 265). Sikap dan posisi gereja-gereja di Amerika yang mampu
mempengaruhi karakter masyarakat Amerika yang tadinya sangat segregatif telah mengubah
sejarah Amerika sedemikian rupa ketika Amerika menghapuskan segala bentuk
diskriminasi.29
Level kedua ialah: Educating the Church’s Own Membership about Particular Issues.
Meningkat dari level pertama di atas, Wogaman melihat bahwa tugas politik gereja yang
tidak kurang pentingnya di tengah-tengah masyarakat ialah melakukan pendidikan politik
kepada warga gereja. Wogaman berargumen, bahwa tidak mungkin sikap pertama ditempuh
apabila gereja tidak melakukan upaya pencerahan politik melalui pendidikan politik.
Wogaman mengacu pada kegiatan Dewan Bishop Gereja Katolik di Amerika pada tahun
1980-an yang melakukan rangkaian pendidikan politik gereja dan menghasilkan sebuah
dokumen tentang bahaya “perang nuklir” yang kemudian diadopsi oleh masyarakat
internasional (Wogaman, 2005: 266) sebagai acuan dalam gerakan “anti nuklir”. Gereja harus
29
Peristiwa sejarah lain yang diangkat Wogaman adalah pernyataan gereja-gereja di Jerman yang terkenal
dengan nama “Barmen Declaration of the Confessing Church”, untuk mengkritisi politik Hitler yang sangat fasis
itu. Uraian tentang Deklarasi Barmen dapat juga dibaca dalam Aritonang (2011).
23
juga melakukan pendidikan politik kepada warganya sehingga warga gereja mengerti hak dan
kewajibannya sebagai bagian dari rakyat yang memegang kedaulatan negara.
Meningkat dari level pertama dan kedua di atas, menurut Wogaman, gereja dapat
melakukan peran politiknya pada level ketiga yaitu:Church Lobbying. Menurut Wogaman,
gereja dan pemimpin gereja dapat melakukan lobi terhadap para pengambil keputusan politik
agar keputusan politik yang dibuat, baik oleh legislatif maupun eksekutif, tidak bertentangan
dengan kepentingan umum. Dalam rangka memberi pengaruh kepada kebijakan publik yang
menjadi kewenangan penguasa resmi negara, gereja dapat melakukan intervensi melalui
pendekatan lobi. Lobi adalah sebuah sarana strategis yang sangat ampuh untuk
mempengaruhi kebijakan publik baik pada level legislatif, maupun eksekutif. Di Amerika
lobi Gereja ke Kongres atau Senator dan Gedung Putih (kantor Presiden) sangat kuat. Jika,
misalnya, muncul sebuah rancangan undang-undang yang kontroversial di tengah masyarakat
(misalnya isu pernikahan homo atau lesbian), maka pihak yang menolak pernikahan kaum
“homo” dan kaum “lesbian” akan melakukan lobi intensif, baik melalui surat, telepon,
maupun pertemuan dengan legislator-legislator dari daerah pemilihan mereka (Wogaman,
2005: 267).30Tetapi, Wogaman mengingatkan, dalam melakukan lobi ini Gereja atau
pemimpin Gereja harus memiliki kematangan iman, integritas dan moral yang kuat, sehingga
kebal terhadap segala godaan kuasa dan jabatan dunia.
Level yang lebih tinggi lagi yang gereja dan pemimpin gereja dapat lakukan dalam
rangka keterlibatan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik ialah dengan menjalankan
level keempat, yang disebut: Supporting Particular Candidate for Office.Menurut Wogaman,
30
Menurut pengamatan penulis, hampir semua Gereja (Methodist, Lutheran, Presbyterian, Baptis, dan yang lain)
mempunyai “Public Issue Desk” di Washington, DC, yang tugas pokoknya antara lain adalah melakukan lobi
kepada anggota Kongres yang bekerja di Ibu kota USA itu. Setiap isu nasional atau internasional yang perlu
disikapi oleh gereja-gereja di Amerika, maka kantor “Public Issue Desk” tersebutlah yang melakukan kajian dan
lobi-lobi yang diperlukan. Fungsi lobi yang dilakukan oleh lembaga keagamaan seperti itu juga sangat sering
dilakukan di Indonesia, terutama oleh kalangan Islam (NU, Muhammadiyah atau Majelis Ulama Indonesia).
Tentang bagaimana Muhammadiyah melakukan lobi intensif dengan pihak penguasa tentang berbagai isu
nasional (UU Perkawinan, UU Pendidikan Nasional, dan yang lainnya, lihat Syarifuddin Jurdi, dkk. (ed.),2010:
275-285.
24
di negara-negara demokratis di Barat, prinsip pada level keempat ini jarang dilakukan. Tetapi
secara hukum dan secara teologis tidak ada salahnya dengan keterlibatan gereja seperti itu.
Menurut Wogaman, gereja-gereja etnis31 yang berada di tengah hegemoni warga kulit
putih,dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu dalam pemilihan
anggota Kongres atau Senator di Amerika. Dalam kaitan ini dapat ditambahkan (walau tidak
diuraikan oleh Wogaman), bahwa prinsip pemihakan seperti ini lazim dilakukan dalam
negara demokrasi di mana pun di dunia ini. Berbagai contoh dalam sejarah dapat dirujuk
berkenaan dengan level keempat ini. Ketika Afrika Selatan diperintah oleh pemerintahan
apartheid kulit putih yang ditentang oleh Nelson Mandela, maka gereja-gereja di Afrika
Selatan dibawah pimpinan Desmond Tutu, seorang pemimpin gereja yang sangat menonjol di
Afrika Selatan, secara terang-terangan mengambil sikap memihak kepada Nelson Mandela
sebagai pemimpin kulit hitamyang sejak muda berjuang menentang politik apartheid (Tutu,
2004).
Level yang lebih meningkat dari level sebelumnya adalah level kelima:Becoming a
Political Party. Di berbagai negara Eropa kehadiran partai politik adalah hal biasa, seperti di
Jerman, Belanda, Swiss, Norwegia dan lain-lain. Tetapi umumnya partai politik berbasis
Kristen itu tidak langsung dibentuk gereja tertentu, tetapi oleh warga gereja yang terlibat
dalam politik. Level kelima ini secara teologis dan secara yuridis tidak ada alasan menolak
pilihan demikian. Karena gereja adalah bagian integral dari bangsanya, dan setiap kebijakan
publik yang diputuskan negara pasti juga mempunyai dampak terhadap gereja. Tetapi,
demikian Wogaman, jika gereja membentuk partai politik atau gereja menjadi kekuatan
politik, maka gereja akan diperhadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi gereja sebagai
kekuatan politik harus memperjuangkan aspirasi konstituennya, tetapi di sisi lain gereja
terpanggil untuk melayani semua orang tanpa membedakan latar belakang ideologi politik
31
Seperti Gereja Koptik imigran dari Mesir di Amerika, Gereja Ortodoks imigran dari Yunani, dan yang lainnya.
25
mereka. Level keenam, yang lebih keras dari level-level sebelumnya disebut:Civil
Disobedience. Secara teologis, sikap ini dapat dibenarkan, bahwa dalam situasi krisis gereja
dan umat Kristen dapat melakukan pembangkangan sipil yaitu menentang dan melawan
pemerintah yang berkuasa dan menolak segala undang-undang yang tidak adil itu. Dalam
Perjanjian Baru (Kisah Para Rasul) murid-murid Yesus diperhadapkan dengan kondisi krisis
ketika penguasa (Mahkamah Agama) memutuskan melarang mereka berkotbah dalam Nama
Yesus. Petrus dengan berani dan tegas menolak dan berkata,“Kita harus lebih taat kepada
Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5: 29).
Pembangkangan sipil biasanya dilakukan oleh umat Kristen di Amerika, dan negaranegara lain, ketika negara mengeluarkan produk hukum (seperti undang-undang) yang
dianggap bertentangan dengan konstitusi negara. Dalam konteks seperti inilahMartin Luther
King Jr., seorang pendeta Southern Baptist Convention, di Amerika, melakukan perlawanan
sipil di Amerika tahun 1960-an, ketika Martin Luther King Jr. memimpin demonstrasi besarbesaran, tanpa kekerasan, menentang undang-undang Amerika yang melakukan diskriminasi
terhadap warga negara kulit hitam. Tetapi gerakan pembangkangan sipil seperti ini bukanlah
gerakan yang biasa,melainkan luar biasa. Wogaman berkata: “The act should be reserved for
unusual circumstances” (Wogaman, 2005: 270).
Level ketujuh: Participating in Revolution. Dalam sebuah negara demokrasi, biasanya
level pertama sampai level keenam itu merupakan tindakan yang sah dan dijamin oleh
undang-undang, tetapi level ketujuh ini tidak mungkin dijadikan sebagai ketentuan dalam
sebuah perundang-undangan. Dalam kondisi khusus yang sangat luar biasa, di berbagai
wilayah di dunia, seperti Afrika Selatan dan Amerika Latin, gereja pernah bergabung dengan
kekuatan revolusi untuk menjatuhkan pemerintahan yang lalim dan diktator (Wogaman,
2005: 271). Tetapi Wogaman mengingatkan, bahwa ambil bagian dalam revolusi untuk
melawan penguasa yang lalim yang tidak mau berubah adalah sah. Namun demikian, pada
26
waktu yang sama, demikian Wogaman, gereja harus mengingatkan pelaku revolusi, bahwa di
hadapan Allah tidak ada yang dapat mengklaim kebenaran selain Allah sendiri.
Wogaman mengingatkan bahwa ketujuh level ini bermanfaat menolong gereja dan
organisasi keagamaan lain untuk mempertimbangkan berbagai opsi yang dapat dilakukan
dalam rangka keterlibatan gereja dalam politik. Setiap level mempunyai kelemahan dan
kelebihan masing-masing. Penggunaan setiap level keterlibatan gereja dalam politik sangat
tergantung kepada konteks masyarakat itu. Wogaman berkata:
These more or less principles may help religious groups sort out the different possible
levels of political involvement, each with possibilities and limitations appropriate to
different historical circumstances. (Wogaman, 2005: 272).
Khusus dalam konteks Indonesia di Era Reformasi, Bernie Adeney-Risakotta32
membangun sebuah tipologi tentang Five Types of Christian Attitudes to Politics in Indonesia
(Adeney-Risakotta, makalah UGM). Menurut Adeney-Risakotta, terdapat lima sikap umat
Kristen terhadap politik di Indonesia. Pertama, orang Kristen yang berorientasi pada
kekuasaan (Christian oriented to gaining or increasing political power). Orang Kristen di
Indonesia yang termasuk dalam kategori ini melihat bahwa semakin banyak orang Kristen
yang memegang posisi penting dalam kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam
berbagai level, maka nasib orang Kristen di Indonesia akan semakin kuat dan semakin baik.
Berapa banyak orang Kristen menjadi anggota DPR-RI, berapa orang menteri yang beragama
Kristen dan berapa orang jenderal yang beragama Kristen, adalah pertanyaan-pertanyaan
penting bagi kategori ini. Kekerasan bernuansa agama yang terjadi di Ambon dan Poso di Era
Reformasi ini bersumber pada perebutan kekuasaan politik di daerah tersebut.
Kedua, orang Kristen yang berorientasi pada penguatan kuasa rohani (Christians
oriented to expanding spiritual power). Pada umumnya Kristen yang bersikap seperti itu
32
Adeney-Risakotta adalah tenaga utusan dari Gereja Presbyterian, seorang pakar dalam bidang Etika Politik,
yang sekarang mengajar di Univeristas Kristen Duta Wacana, Jogyakarta; pada waktu yang sama juga menjadi
tenaga pengajar di CRCS-UGM.
27
adalah mereka yang masih kuat dipengaruhi wawasan teologis berlatar belakang Pietisme,
yang memandang dunia ini sebagai yang “fana” dan tidak berguna, dibandingkan dengan
Kerajaan Allah yang “kekal” yang merupakan tujuan utama orang percaya. Bagi mereka
Kerajaan Allah tidak diperoleh melalui kekuasaan politik, tetapi melalui pertobatan, kelahiran
baru dan keputusan iman untuk mengikut Yesus. Pandangan seperti ini sangat dominan di
kalangan Gereja-gereja Pentakostal dan Karismatik, yang sedang berkembang di seluruh
dunia termasuk di Indonesia. Kalangan ini pada umumnya cenderung apatis terhadap
persoalan-persoalan politik dan lebih banyak mencurahkan perhatian terhadap masalahmasalah kerohanian dan pekabaran Injil.
Ketiga, Kristen yang berorientasi kepada rasa aman dan status quo (Christians
oriented to protecting the status quo). Mereka ini adalah Kristen yang mengutamakan rasa
aman tanpa mempersoalkan siapa penguasa di mana. Yang penting bagi mereka adalah
kebebasan dan rasa aman beribadah dengan tenang dapat ditegakkan. Umat Kristen dalam
kategori ini umumnya adalah umat Kristen dan gereja-gereja yang lahir dalam lingkungan
mayoritas Islam, seperti di pulau Jawa. Mereka ini lebih menghendaki pemimpin yang kuat
dan keras seperti Soeharto yang dapat menciptakan stabilitas keamanan dan politik.
Umumnya mereka ini memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan pendukung Pancasila yang
militan, karena menurut pandangan mereka hanya Pancasilalah yang dapat memberikan
jaminan terhadap kebebasan beragama.
Keempat, Kristen yang berorientasi kepada peningkatan otonomi daerah (Christians
oriented to enhancing regional autonomy). Sikap dan orientasi Kristen yang mendukung
penguatan politik otonomi daerah pada umumnya ada pada kalangan Kristen dan gerejagereja yang lahir di daerah-daerah dan suku-suku tertentu yang dikenal dengan gereja
wilayah atau gereja suku, seperti di Papua, Minahasa, Maluku, Batak dan lain-lain. Identitas
etnis dengan identitas Kristen hampir menyatu dalam gereja suku. Pada saat ini sikap ini
28
sangat kuat pada gereja-gereja di Papua berjuang untuk penguatan “otonomi khusus” yang
telah diberikan Undang-undang Republik Indonesia.
Kelima adalah Kristen yang mengutamakan kerjasama lintas agama untuk keadilan
(Christian oriented to inter-religious cooperation for justice). Kalangan Kristen yang
menganut tipe ini berjuang untuk membangun dan memperkuat kerjasama lintas agama
terutama dengan elemen Islam sebagai agama terbesar untuk bersama-sama membangun
Indonesia yang majemuk.
G. Metode Penelitian
Studi ini adalah studi sejarah tentang kekristenan dalam hubungannya dengan politik
di Indonesia. Pokok yang dibahas berkaitan dengan agama Kristen dalam perjumpaannya
dengan negara Indonesia, sebuah negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia. Dengan
demikian studi ini membahas relasi agama dan negara secara umum, relasi antar agama,
khususnya antara agama Kristen dengan agama Islam di Indonesia. Sebagai studi tentang
agama dan lintas budaya, maka studi ini sangat bersifat multi-disipliner. Selain merupakan
studi sejarah gereja (kekristenan), yang membahas seluk-belukkehadiran dan pergumulan
politik umat Kristen di Indones, studi ini boleh juga disebut studi sejarah politik di Indonesia,
karena akan membahas peran dan kiprah politik serta pergumulan sekelompok warga negara
Indonesia yang beragama Kristen (Protestan), yang merupakan bagian integral dari bangsa
Indonesia. Sebagai disertasi yang menggunakan pendekatan multi-disipliner, makailmu
politik, ilmu teologi, ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya digunakan sebagai pisau analisis
dalam studi ini.
Penelitian ini adalah penelitian sejarah kontemporer Indonesia,yang menggunakan
metode penelitian kualitatif,denganmengandalkan sumber-sumber tertulis: dokumen, arsip,
buku, makalah, website dan lain-lain.Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
29
sudah dikemukakan di atas, penulis menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder
(literatur) yang tersedia di berbagai arsip dan perpustakaan. Sumber-sumber primer yang
mendukung penelitian ini diperoleh dari: Arsip pribadi, arsip PGI, arsip PGLII, arsip TNI dan
lain-lain. Perpustakaan paling banyak digunakan tentulah perpustakaan pribadi yang telah
memiliki koleksi sekitar 4000 judul, mayoritas dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan
kemasyarakatan, ilmu teologi, dan sejarah. Kemudahan mengakses dan “belanja” buku-buku
teks yang dimungkinkan oleh dunia maya (internet), seperti “Amazon” dan “Bookfi”, amat
membantu dalam penelitian ini. Beberapa perpustakaan umum juga sangat menolong, seperti
Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana (SPS) Universitas
Gajah Mada, Perpustakaan Columbia University, New York, USA, Perpustakaan Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta, perpustakaan STT Cipanas dan lain-lain.Secara khusus perlu dicatat,
dalam rangka studi ini penulis mendapat kesempatan baik untuk “magang” di School of
International and Public Affair (SIPA), Columbia University, New York. Selama lima bulan
(Maret-Juli 2011) penulis berkesempatan menggunakan perpustakaan SIPA, mengikuti
sejumlah seminar, dan melakukan diskusi informal dengan sejumlah pakar ilmu politik,
khususnyaa dengan Prof. Dr. Alfred Stepan, seorang ilmuwan terkenal di Amerika.
Terbitan berkala dari lembaga-lembaga penelitian seperti Wahid Institute, Setara
Institute, Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, CRCS-UGM dan lain-lain, sangat
menolong. Terbitan berupa jurnal lembaga-lembaga di atas sangat kaya dengan informasi
aktual tentang dinamika hubungan agama dan politik di Indonesia pada Era Reformasi ini.
Tetapi juga harus dicatat bahwa pengalaman empiris penulis sebagai salah seorangpimpinan
PGI selama periode 2000-2010 sangat banyak manfaatnya dalam memahami dan
menganalisis pokok bahasan dalam disertasi ini. Bahkan boleh dikatakan bahwa ketertarikan
penulis membahas topik yang hangat ini juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yang
30
banyak berkiprah dalam bidang hubungan antara agama (gereja) dengan negara, dan
hubungan lintas agama di Indonesia.
Selain sumber-sumber dalam bentuk literatur dan dokumen-dokumen resmi negara
dan gereja, sumber-sumber penelitian ini diperoleh melalui berbagai wawancara dengan
sejumlah narasumber, yaitu mereka yang merupakan pelaku sejarah berkaitan dengan pokok
penelitian ini. Dari kalangan aktivis Islam diwawancarai Slamet Effendy Yusuf (Ketua PB
NU), Ichwan Syam (Sekjen MUI), Imdadun Rakhmat (Wakil Ketua Komnas HAM), dan
Abdul Mu’ti (Sekjen PP Muhammadiyah). Dari kalangan birokrat yang beragama Islam telah
diwawancarai M. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI), Atho Mudzhar, Letjen (purn.) Agus
Wijoyo, Jimly Asshiddiqie, Ahmad Suaedy, dan lain-lain. Dari kalangan tokoh-tokoh Kristen
telah diwawancarai antara lain Letjen (purn.) Johny Lumintang, yang dalam
studi ini
dijadikan salah satu studi kasus, yaitu dalam peristiwa historis yang dikenal dengan
“Pangkostrad 17 jam”. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, beberapa kali
dilakukan wawancara mendalam dengan yang bersangkutan. Juga wawancara mendalam
dengan Jacob Tobing dilakukan untuk memahami bagaimana kiprah politisi senior beragama
Kristen ini dalam melakukan amandemen UUD 1945 di mana Jacob Tobing dipercayakan
sebagai Ketua PAH I. Wawancara mendalam dengan Sabam Sirait, politisi Kristen tiga
zaman (Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi), juga dilakukan beberapa kali guna
memotret sejauh mana kiprah politik umat Kristen di Indonesia pada sebelum dan selama Era
Reformasi ini. Selain nama-nama yang dicatat tadi, masih ada beberapa orang narasumber
lain, baik yang beragama Kristen maupun Islam, yang telah diwawancarai untuk memperkaya
informasi yang relevan dengan disertasi ini.
Sebagai studi sejarah, disertasi ini bersifat naratif, yang mendeskripsikan secara
analitis-kritis dinamika pergumulan gereja dan umat Kristen di Indonesia di bidang politik
31
sebagai bagian dari warga negara Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan gerakan dan
kiprah Islam politik yang sangat mewarnai wacana publik di negeri ini selama Era Reformasi.
H. Definisi Kerja (Working Definitions)
Dalam disertasi ini terdapat sejumlah istilah yang memerlukan penjelasan
makna,karena bisa saja sebuah ungkapan mempunyai makna yang berbeda-beda, sesuai
dengan latar belakang dan konteks penggunaan istilah itu. Kata kunci yang perlu
didefinisikan arti dan maknanya adalah: Islam Politik, Umat Kristen dan Gereja, Injili
(Evangelikal), dan Reformasi.
Islam Politik. Islam politik (Islamism)33 bukanlah sebuah organisasi atau lembaga,
melainkan mengacu pada sebuah “ideologi”, yang memperjuangkan pemberlakukan syariat
Islam (prinsip-prinsip Islam) dalam kehidupan masyarakat termasuk negara (Bubalo & Fealy,
2005: xx). Menurut Oliver Roy (1996: 42-43),asal-mula pemikiran dan organisasi Islamis
dewasa ini adalah Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir tahun
1928. Kaum Islamis berpendapat bahwa masyarakat hanya bisa diislamkan melalui kegiatan
sosial dan politik. Karena itu gerakan Islamis mengajak para pengikutnya keluar dari masjid
dan terlibat langsung dalam kehidupan politik untuk merebut kekuasaan. Dalam konteks
Indonesia, perjuangan Islam politik (Islamism) mengalami pasang-surut sesuai perkembangan
zaman. Sebagaimana ditunjukkan studi Assyaukanie (2011), pada era kemerdekaan
Indonesia, Masyumi yang didukung oleh NU dan Muhammadiyah menganut ideologi Islam
politik. Mereka berjuang untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan Islam, walau tidak
berhasil. Tetapi seiring dengan perkembangan waktu dan dinamika politik Indonesia, dewasa
ini, baik NU maupun Muhammadiyah secara resmi sudah meninggalkan ideologi Islam
politik, karena kedua organisasi Islam terbesar ini telah menerima Pancasila sebagai dasar
33
Bernhard Platzdasch, pakar ilmu politik dari Australia, menulis disertasi di The Australian National
University, yang telah dibukukan dengan judul Islamism in Indonesia (Platzdasch, 2009).
32
negara Indonesia yang final. Studi Bernhard Platzdasch (2009) menunjukkan bahwa gerakan
Islam politik yang bangkit di Era Reformasi direpresentasikan oleh partai-partai politik
seperti PPP, PKS, dan PBB. Ketiga partai ini secara terbuka berkampanye untuk menegakkan
syariat Islam di Indonesia. Di samping partai-partai politik tadi, ada juga pada kelompok
Islam politik sejumlah organisasi massa (ormas) Islamseperti HTI, FPI, JI dan banyak lagi.
Ormas-ormas ini berjuang melalui jalur non-parlemen untuk menuntut pemberlakukan syariat
Islam di Indonesia.
Umat Kristen dan Gereja.Dalam karya ini makna “umat Kristen” dan “gereja”
hampir sama, dengan asumsi bahwa semua orang (umat) Kristen adalah sekaligus warga
gereja. Atau dengan perkataan lain, “gereja” adalah lembaga (wadah) di mana orang (umat)
Kristen bersekutu sebagai anggota persekutuan. Di Indonesia umat Kristen terdiri dari dua
bagian besar, yakni Kristen Protestan (biasanya hanya disebut Kristen) dan Kristen
Katolik.34Umat Kristen yang dimaksud dalam disertasi ini ialah umat Kristen Indonesia dari
rumpun Protestan. Seperti sudah dikemukakan di atas, umat Kristen dari rumpun Katolik
tidak termasuk dalam penelitian ini. Istilah umat Kristen identik dengan warga gereja, dalam
arti semua warga gereja pada waktu yang sama adalah umat Kristen.Kata “gereja” (berasal
dari bahasa Portugis igreja) dalam konteks studi ini tidak mengacu pada pengertian gereja
secara teologis, yang mengandung makna sebagai persekutuan orang percaya dan keluarga
Allah di mana Yesus Kristus adalah “Kepala Gereja” dan orang-orang percaya adalah “tubuh
Kristus”. Secara teologis gereja dipahami sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada
Yesus Kristus sebagai Tuhan, yang diyakini sebagai sebuah gereja yang kudus dan “esa”.
Gereja yang “kudus dan am”, seperti terungkap dalam “pengakuan iman” orang Kristen,
34
Sebenarnya di Indonesia terdapat berbagai aliran gereja lain seperti Ortodoks, Adventis, Saksi Jehova,
Mormon, Christian Science dan yang lain. Uraian tentang berbagai aliran di dalam dan di sekitar gereja, lihat
Aritonang (1995).
33
adalah gereja yang kekal, yang sedang menantikan penggenapan Kerajaan Allah ketika Yesus
datang kedua kalinya.35
Kata gereja dalam konteks studi ini lebih mengarah pada pengertian gereja secara
sosiologis. Secara historis-sosiologis gereja dipahami sebagai lembaga atau organisasi
Kristen yang diikat oleh iman yang sama, dan dipersatukan oleh tradisi-tadisi yang sama.
Dalam sejarahnya ±2000tahun, gereja telah mengalami perpecahan demi perpecahan yang
diakibatkan berbagai faktor, seperti faktor teologis, politis, dan faktor etnis-geografis. Gereja
dalam arti yang demikian mempunyai tugas panggilan untuk memuliakan Tuhan dalam
kebaktian, memberitakan Injil kepada segala makhluk, melayankan sakramen (Baptisan dan
Perjamuan Kudus), membangun persekutuan orang-orang percaya, dan melakukan pelayanan
(diakonia) kepada sesama manusia (Verkuyl, 1958: 263). Secara garis besar, di dunia ini
terdapat beberapa rumpun gereja, antara lain: Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks, dan
Gereja-gereja beraliran Protestan. Khusus di Indonesia, rumpun gereja yang paling besar
adalah Gereja-gereja Protestan, yang sebagian besar bergabung dalam wadah Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI).36
Injili (Evangelikal). Umat Kristen (Protestan) di Indonesia pada umumnya
digolongkan atas dua kategori, yaitu Kristen “arus utama” (Ekumenikal) dan Kristen Injili
(Evangelikal). Kristen arus utama (main stream) pada umumnya dilabelkan sebagaigerejagereja yang lahir dari pekerjaan misionaris di berbagai daerah sejak abad ke-19, yang
kemudian melahirkan berbagai gereja suku atau gereja wilayah di berbagai daerah atau
wilayah di Indonesia. Gereja-gereja arus utama inilah pendiri PGI pada tahun 1950 sebagai
wadah bersama. Gereja-gereja anggota PGI biasanya dilabeli sebagai kalangan Ekumenikal,
yang wawasan teologisnya lebih terbuka dan lebih inklusif dibandingkan dengan kalangan
Evangelikal, yang relatif lebih eksklusif.
35
36
Uraian dogamits tentang Gereja, lihat Van Niftrik & Boland (1995: 351-371).
Uraian mengenai potret Gereja-gereja di Indonesia dibahas lebih luas pada bab 2.
34
Kata Injili (Evangelical) adalah sebutan yang dikenakan kepada sekelompok umat
Kristen yang menganut prinsip-prinsip iman berdasarkan kesaksian Alkitab (Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru). Dalam sejarah gereja, kata Injili mula-mula digunakan untuk kalangan
Protestan pada abad ke-16, yang berjuang membaharui (mereformasi) gereja Katolik yang
dianggap sudah menyimpang dari kesaksian Alkitab. Gereja-gereja Reformasi yang
dikeluarkan dari Gereja Katolik Roma saat itu diberi julukan Protestan dan gereja Protestan
yang terpisah dari Gereja Katolik Roma itu kemudian dinamai Evangelische Kirche (Gereja
Injili), misalnyaEvangelische Kirche in Deutschland (EKD) yaitu federasi Gereja-gereja
Protestan di Jerman (Aritonang, 1995: 228). Dari latar belakang inilah kemudian dapat
dipahami mengapa beberapa gereja suku (wilayah) di Indonesia diberi sebuat Injili, seperti
Gereja Masehi Injili Minahasa GMIM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja Masehi
Injili Sangir Talaud (GMIST), dan yang lainnya. Tetapi berbicara tentang gerakan atau aliran
Injili pada saat ini, maka konteksnya sudah berbeda dari konteks Injili pada abad ke-16 yang
melahirkan Gereja-gereja Injili di Jerman dan Eropa lainnya tadi. Gerakan dan aliran Injili
yang sekarang berkembang di Indonesia dan di dunia lain, berakar pada konteks kekristenan
di Amerika. Gerakan Injili (Evangelical) muncul di Amerika sejak awal abad ke-20 sebagai
reaksi terhadap arus sekularisasi yang melanda Amerika termasuk gereja dan kekristenan di
Amerika. Billy Graham (lahir tahun 1918) adalah tokoh kalangan Injili di Amerika Serikat,
yang melakukan gerakan kebangunan rohani di seluruh dunia, selama 50 tahun terakhir,
yang pengaruhnya cukup besar di Indonesia.37Cita-cita dan perjuangan gerejawi kalangan
Injil dewasa ini adalah kembali kepada amanat Alkitab (back to the Bible), dengan agenda:
(1) mengabarkan Injil ke seluruh dunia; (2) Mengakui Alkitab sebagai Firman Tuhan yang
sempurna dan tidak mengandung kesalahan; (3)Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi
37
Uraian lebih luas tentang apa dan bagaimana gerakan dan aliran Injili dibahas pada bab 2.
35
manusia, tidak berdosa, mati di kayu salib tetapi bangkit kembali dan naik ke sorga, dan akan
datang kembali dalam kemuliaan-Nya (Noll, 1993: 381 dst; Aritonang, 1995: 227 dst.).
Reformasi.Dalam karya ini kata Reformasi sangat sering digunakan dalam dua
konteks dan pengertian yang berbeda, baik pengertiannya maupun latar belakang sejarahnya.
Reformasi dalam konteks gereja mengacu pada gerakan “Reformasi” yang dilakukan oleh
Martin Luther di Jerman pada abad ke-16, yang berakibat pada perpecahan Gereja Katolik
Roma dengan lahirnya berbagai denominasi gereja Protestan di Eropa, seperti Gereja
Anglikan (Inggris), Gereja-gereja Lutheran (Jerman), Gereja-gereja Reformed (Belanda) dan
seterusnya. Boleh dikatakan, pada dasarnyasemua Gereja Protestan di dunia ini adalah
produk dari gerakan Reformasi tersebut.38
Tetapi dalam konteks Indonesia kata Reformasi (Era Reformasi), yang sangat sering
dipakai dalam karya ini, mengacu kepada gerakan Reformasi politik yang berlangsung di
Indonesia sejak tahun 1998, yang merupakan awal dari proses demokratisasi yang sedang
menjalani proses transisi hingga sekarang. Adapun agenda reformasi politik yang terjadi di
Indonesia antara lain adalah: (a) Amandemen UUD 1945; (b) Penghapusan dwifungsi TNI/
ABRI; (c) Penghapusan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); (d) Demokratisasi
perpolitikan Indonesia,serta (e) penguatan otonomi daerah. (Gaffar, 2000; Suryadinata,
1999). Sampai saat ini (2014) sebutan Era Reformasi masih tetap relevan, karena agendaagenda yang diusung gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998 masih belum terwujud secara
maksimal.
I. Sistematika Penulisan
Bab1 adalah bab Pendahuluan. Bab 2 akan menyajikan tinjauan umum mengenai
umat Kristen di Indonesia. Gereja-gereja atau kekristenan (Protestan) yang seperti apakah
38
Buku yang mengupas sejarah Reformasi Luther tersebut antara lain adalah: Forster (2008); Latourette (1975).
36
yang datang dan berkembang di Indonesia, dibahas secara historis-kritis. Selain menguraikan
latar belakang terbentuknya gereja-gereja suku di Indonesia, dalam bagian ini diuraikan juga
latar belakang terbentuknya lembaga ekumenis yaitu DGI (kemudian PGI) dan PII (kemudian
PGLII). PGI dan PGLII adalah wadah strategis tempat gereja-gereja anggotanya bersekutu
sambil menggumuli tugas bersama di tengah-tengah masyarakat dan bangsa. Yang paling
penting dalam bab 2 ini adalah gambaran umum tentang sikap politik (political attitude) umat
Kristen di Indonesia yang sebagai produk dari wawasan politik badan-badan zending yang
mengabarkan Injil di Indonesia, yang kemudian mempengaruhi respons dan sikapumat
Kristen dalam bidang politik, baik pada tataran nasional maupun pada tataran lokal.
Bab 3 akan membahas proses lahirnya bangsa Indonesia sebagai negara Pancasila,
yang bukan negara agama dan bukan juga negara sekuler, dan bagaimana Indonesia
kemudian mengalami krisis karena Pancasila dikhianati dengan meletusnya peristiwa G30S
tahun 1965. Bab ini juga menganalisis lahirnya Orde Baru menggantikan Orde Lama dan
membahas bagaimana politik agama dijalankan di Indonesia pada era Orde Baru di bawah
Soeharto yang dikenal sangat otoriter dan militeristik. Kedua topik dalam bab ini perlu
disajikan sebagai latar belakang untuk memahami bangkitnya gerakan Islam politik di
Indonesia di Era Reformasi, yang perupakan pokok kajian disertasi ini.
Bab 4membahaskebangkitan Islam di Indonesia, terutama Islam politik,
dan
bagaimana pemerintah mengambil berbagai kebijakan politik menyangkut persoalan agama
di era Reformasi yaitu era transisi dari pemerintahan militeristik menuju sistem demokratisasi
dan keterbukaan, di mana semua warga negara berhak untuk mengekspresikan aspirasi
politiknya secara bebas. Bab ini akan memfokuskan pembahasan terhadap tiga isu pokok,
yaitu politik kebebasan beragama, diskriminasi agama, dan isu syariat Islam di berbagai
daerah. Dalam bab ini juga akan diuraikan bagaimana proses terjadinya radikalisasi Islam di
Indonesia dengan menelusuri akar-akarnya baik di dalam maupun di luar negeri.
37
Bab 5 akan menganalisis berbagai sikap politik umat Kristen Indonesia pasca Orde
Baru. Dalam melihat sikap dan respons umat Kristen ini, pertama-tama akan dibahas sikap
umum umat Kristen secara nasional, yang dalam hal ini direpresentasikan lembaga atau tokoh
dari kalangan Ekumenikal (PGI) dan dari kalangan Evangelikal (PGLII). Dalam kaitan ini
juga akan dianalisis latar belakang dan keterlibatan partai politik yang menyatakan dirinya
sebagai partai politik berbasis Kristen di Era Reformasi. Partai Damai Sejahtera (PDS) adalah
partai politik yang melakukan mobilisasi umat Kristen terutama dari kalangan Injili, untuk
meraih dukungan suara dalam pemilihan umum 2004.Selain membahas sikap politik umat
Kristen secara nasional, pada bab ini akan dibahas berbagai sikap politik umat Kristen di
beberapa daerah yang berbasis agama Kristen, berikut faktor-faktor yang mempengaruhi
sikap itu. Daerah yang dipilih sebagai studi kasus adalah Papua dan Minahasa yang
mempunyai karakteristik perpolitikan yang khas, di mana keduanya merupakan provinsi
berpenduduk mayoritas Kristen di Indonesia.Bab 6 adalahpenutup, yang berisi rangkuman,
kesimpulandan beberapa saran tentang apa yang harus dilakukan ke depan.
Download