29 BAB II KECAKAPAN HUKUM SESEORANG

advertisement
29
BAB II
KECAKAPAN HUKUM SESEORANG
YANG BERADA DI DALAM RUMAH TAHANAN MENANDATANGANI
AKTA NOTARIS
A. Tinjauan Umum Notaris
1. Sejarah Notaris
Lembaga Notariat mempunyai peranan yang penting, karena yang
menyangkut akan kebutuhan dalam pergaulan antara manusia yang menghendaki
adanya alat bukti tertulis dalam bidang hukum perdata, sehingga mempunyai
kekuatan otentik mengingat pentingnya lembaga ini maka harus mengacu pada
peraturan perundang-undangan dibidang Notariat, yaitu Peraturan Jabatan Notaris
(staatblad 1860 Nomor 3, Reglement op het Notaris Ambt in Indonesie) yang
selanjutnya disebut PJN.
Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke
11 atau ke 12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di
Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan
“Latijnse Notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang
diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima
uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. Namun untuk mengetahui
asal dari lembaga notariat, para sarjana Italia telah mencoba mengadakan penelitian
sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga mencapai kesatuan pendapat
mengenai hal itu.43
43
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 3-4
29
Universitas Sumatera Utara
30
Notariat di Italia adalah sebagai pengabdian kepada masyarakat umum.
Namun notariat berasal dari nama pengabdinya yaitu “Notarius” yang merupakan
golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu.
Sebelum penggunaan nama notarius, ada beberapa nama yang pernah digunakan,
yaitu :
a. Notarii
Pada abad ke 2 dan ke 3 sesudah masehi sebelum nama notarius, dikenal
dengan nama “Notarii” yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian untuk
mempergunakan
tulisan
cepat
atau
sekarang
ini
dikenal
sebagai
“Stenografen”. Nama notarii awalnya diberikan kepada orang-orang yang
mencatat atau menuliskan pidato yang dahulu diucapkan oleh cato dalam
senat romawi dengan menggunakan tanda-tanda kependekan, yang lalu
berkembang menjadi menuliskan segala sesuatu yang dibicarakan dalam
konsorsium kaisar pada rapat yang membahas tentang kenegaraan.
b. Tabeliones
Selain nama notarii, pada permulaan abad ke 3, juga dikenal dengan nama
“Tabeliones”, yang dalam pekerjaannya mempunyai beberapa persamaan
yaitu untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat untuk kepentingan
masyarakat umum, walaupun jabatan atau kedudukan mereka tidak
mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk atau diangkat oleh
kekuasaan umum untuk melakukan suatu formalitas yang ditentukan oleh
undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
31
Akta-akta dan surat-surat yang dibuat oleh tabeliones tidak mempunyai
kekuatan sebagai akta otentik sehingga hanya mempunyai kekuatan sebagai
akta di bawah tangan.
c. Tabulari
Nama “Tabulari” juga dikenal sebagai pegawai negeri yang mengadakan dan
memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan pengawasan terhadap arsiparsip dari mengisrat kota-kota di bawah ressort mana mereka berada, hal ini
menimbulkan persaingan dengan tabeliones. Para tabeliones yang diangkat
menjadi notarii mempunyai kedudukan yang lebih terhormat di mata rakyat
sehingga
banyak
tabeliones
yang
menjadi
notarii
walaupun
tanpa
pengangkatan, maka nama “Tabelio” menjadi “Notarius”.44
Lembaga notariat yang berada di Italia Utara, dibawa ke Perancis dan pada
abad ke 13 mencapai puncak perkembangannya. Raja Lodewijk De Heilige banyak
berjasa dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang notariat, hal
tersebut dapat dilihat dengan diundangkannya undang-undang di bidang notariat
pada tanggal 16 Oktober 1791 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang 25
Ventosa an XI (16 Maret 1803). Sejak diundangkannya undang-undang tersebut,
notaris menjadi “ambtenaar” dan berada di bawah pengawasan “Chamber Des
Notaires”.
Pelembagaan notariat yang pertama ini, dimaksudkan untuk memberi
jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat, oleh karena tidak boleh
dilupakan, bahwa notariat mempunyai fungsi yang harus diabaikan bagi
44
Ibid., hal 5-8.
Universitas Sumatera Utara
32
masyarakat umum dan tidaklah dimaksudkan oleh undang-undang untuk memberikan
suatu kedudukan yang kuat bagi notariat itu sendiri, akan tetapi untuk kepentingan
umum.45
Peraturan kelembagaan notariat di Perancis kemudian dibawa ke Belanda dan
berlaku di Belanda berdasarkan dua dekrit kaisar, di mana pada saat itu Belanda
berada dalam kekuasaan Perancis sehingga peraturan perundang-undangan mengenai
notariat juga berlaku di Belanda.
Setelah lepas dari kekuasaan Perancis pada tahun 1813 peraturan tersebut
tetap ada. Dengan adanya desakan dari rakyat Belanda maka dibentuklah suatu
peraturan perundang-undangan nasional tentang notariat yang sesuai dengan
masyarakat Belanda maka dikeluarkanlah Undang-Undang tanggal 9 Juli 1842
(Ned.Stb. No. 20) tentang Jabatan Notaris namun isinya merupakan perubahanperubahan dari peraturan-peraturan “Ventosewet”.46
Lembaga Noariat masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke 17 dari
Belanda. Pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkatlah notaris pertama di Indonesia
yaitu Melchior Kerchem oleh Gubernur Belanda saat itu yaitu Jan Pieterz Coen,
setelah pengangkatan notaris pertama di Indonesia pada tahun 1620, lambat laun
jumlah notaris di Indonesia terus bertambah.
Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai dengan tahun 1822, notariat
hanya diatur dengan dua reglemen yaitu tahun 1625 dan tahun 1765, lalu pada tahun
1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan “Instructie Voor De Notarissen In Indonesia” yang
45
46
Ibid., hal. 12.
Ibid., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
33
terdiri dari 34 pasal, Yang merupakan resume dari peraturan-peraturan yang ada
sebelumnya.47
Pada tahun 1860, pemerintah Belanda menganggap sudah waktunya bagi
bangsa Indonesia untuk sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-peraturan
mengenai jabatan notaris maka diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris
Reglement) tanggal 26 Januari 1860 (Stb. No. 3) yang mulai berlaku sejak tanggal 1
Juli 1860.
Peraturan-peraturan yang mengatur mengenai notaris di Indonesia tersebut
setelah sekian lama dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, oleh karena itu, perlu untuk diadakan
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang
yang mengatur tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum,
yang berlaku bagi semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
2. Pengertian Notaris
Munculnya lembaga Notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang
mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat
alat bukti saksi kurang memadai lagi sebab sesuai dengan perkembangan masyarakat,
47
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
34
perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan
kompleks.
Notaris berasal dari kata notarius, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan
menulis pada zaman Romawi. Pada abad kelima dan keenam sebutan notarius,
majemuknya notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi raja.48 Ada juga
pendapat mengatakan bahwa nama notarius itu berasal dari perkataan ”nota
literaria”, yaitu yang menyatakan sesuatu perkataan.
Pengertian Notaris menurut Pasal 1 butir 1 UUJN yaitu: “Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana
dimaksud Undang-Undang ini”. Sementara dalam penjelasan atas
UUJN menyatakan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi
pejabat umum lainnya”.
Pengertian yang diberikan oleh UUJN tersebut merujuk pada tugas dan
wewenang yang dijalankan oleh Notaris. Artinya Notaris memliki tugas sebagai
pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta
kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris. 49
Sebutan Notarius pada abad ke-lima dan ke-enam diberikan kepada penulis
atau sekretaris pribadi dari raja dan kepada pegawai-pegawai istana yang
melaksanakan pekerjaan administrasi. Pejabat-pejabat yang dinamakan Notaris
merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani
48
Nico, Op.cit., hal. 31.
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia persfektif Hukum dan Etika,
Yogyakarta, UII Press, 2009, hal. 14.
49
Universitas Sumatera Utara
35
publik, yang melayani publik dinamakan tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan
pekerjaan penulis untuk publik atau umum yang membutuhkan keahliannya. Fungsi
dari pejabat ini agak mirip dengan Notaris pada masa sekarang, hanya saja tidak
mempunyai sifat Ambtelijk, sehingga akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai
sifat otentik.
Dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) 1860 ditegaskan bahwa pekerjaan
Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke verrichtingen) dan satu-satunya pejabat
umum yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang
memberi wewenang serupa kepada pejabat lain.50
Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki guna
mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-subyek hukum yang bersifat
perdata. Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang
dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam
melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban, ketertiban dan
perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya,
mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang
esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan
masyarakat. Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena notaris membuat alat
bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian.
Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam
pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian
50
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta,
Pradnya Paramita, 2003, hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
36
dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat
membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya adalah benar.51
3. Tugas Dan Wewenang Notaris
Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak
dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik.
Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.52
Menurut GHS. Lumban Tobing, bahwa “selain akta otentik, notaris juga
ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau akta-akta
yang dibuat di bawah tangan.” Notaris juga memberikan nasihat
hukum dan
penjelasan mengenai peraturan perundang-undang kepada pihak yang bersangkutan.
Hakikat tugas notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan
otentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat dan mufakat meminta jasa
notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan
keadilan di antara para pihak yang bersengketa. Dalam konstruksi hukum
Kenotariatan, salah satu tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan
atau tindakan penghadap/para penghadap kedalam bentuk akta otentik, dengan
memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
Bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah satu
pihak dan tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah sebabnya
dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan
51
Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, Semarang, Agung, 1991,
52
Tan Thong Kie, Op.cit., hal. 159.
hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
37
Undang-undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan sebagai
saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat dihadapannya.
Tugas pokok Notaris ialah membuat akta otentik. adapun kata otentik itu
menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya
suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang notaris, bahwa
notaris karena Undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang
sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada
pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya.
Sementara yang menjadi kewenangan Notaris sebagaimana dijabarkan dalam
Pasal 15 ayat 1 UUJN adalah:
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan ketetapan yang diharuskan oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selain kewenangan yang bersifat luas tersebut, Notaris juga diberi
kewenangan lain yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat 2, yaitu:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan
g. Membuat akta risalah lelang.
Universitas Sumatera Utara
38
Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat 3 UUJN disebutkan bahwa: “selain
kewenangan tersebut diatas, Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan”.
Selain penambahan kewenangan yang signifikan tersebut, UUJN juga
memberikan perluasan wilayah kewenangan (yuridiksi) yang oleh UUJN tersebut
disebut sebagai wilayah jabatan. Wilayah jabatan ini sebelum berlakunya UUJN,
yaitu Peraturan Jabatan Notaris (PJN), adalah meliputi Kabupaten/Kota, namun
berdasarkan Pasal 18 ayat 2 UUJN, diperluas wilayah kerjanya meliputi Provinsi,
dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota.
Habib Adjie lebih lanjut menyatakan bahwa:
Notaris sebagai sebuah jabatan (bukan profesi atau profesi jabatan), dan jabatan
apapun yang ada di negeri ini mempunyai wewenang tersendiri. Setiap wewenang
harus ada hukumnya. Kalau kita berbicara mengenai wewenang, maka wewenang
seorang pejabat apapun harus jelas dan tegas dalam peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pejabat atau jabatan tersebut. Sehingga jika
seorang pejabat melakukan suatu tindakan di luar wewenang disebut sebagai
perbuatan melanggar hukum.53
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa wewenang Notaris yang utama adalah
membuat akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti yang sempurna. Suatu akta
Notaris memperoleh stempel otentisitas menurut ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata
jika akta yang bersangkutan memenuhi persyaratan:
a. Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
53
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Op.cit., hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
39
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
Muhammad Adam menyebutkan bahwa: “Suatu akta akan memiliki suatu
karakter yang otentik, yaitu jika hal itu akan mempunyai daya bukti antara
pihak-pihak dan pihak ketiga, maka perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan
yang dikemukakan akan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan”.54
Kewenangan yang demikian luas ini tentunya harus didukung pula oleh
peningkatan kemampuannya untuk melaksanakannya, sehingga program kegiatan
yang bertujuan mengevaluasi dan meningkatkan kemampuan Notaris merupakan
sebuah tuntutan dan sebuah keharusan.
4. Hak dan Kewajiban Notaris
Sumpah jabatan Notaris mengandung substansi rahasia jabatan yang
mempunyai konsekuensi adanya hak ingkar bagi Notaris. Letak rahasia jabatan
Notaris terletak pada bagian sumpah bahwa Notaris akan merahasikan serapatrapatnya isi akta-akta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hak ingkar pada
Notaris merupakan pengecualian untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan
yaitu sepanjang mengenai isi akta-akta seperti yang diatur dalam Pasal 1909 ayat 3
KUHPerdata,
yang
menyatakan:
“siapa
saja
yang
karena
kedudukannya,
pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan
54
Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notaris, Bandung, Sinar Bandung, 1985,
hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
40
sesuatu, namun hanya mengenai hal-hal yang dipercayakankepadanya karena
kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu”.
Menurut Abdul Kohar, ”Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi aktanya
bahkan wajib merahasiakan semua pembicaraan-pembicaraan para langganannya
pada waktu diadakan persiapan-persiapan untuk membuat akta”.55 Terkait dengan
hal tersebut, maka tidak semua apa yang diberitahukan oleh kliennya kepadanya
dalam jabatannya itu dicantumkan dalam akta.
Sementara GHS. Lumban Tobing mengatakan, bahwa kepada mereka
sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat umum. Sekalipun kepentingan
terakhir berada di tangan Hakim, harus diberikan kebebasan tertentu oleh karena
mereka akan merahasiakan atau memberitahukan hal-hal yang mereka ketahui
tersebut.56
Kewajiban merahasiakan ini mempunyai dasar yang bersifat hukum publik
(een publikekrechttelijke inslag) yang kuat. Sungguhpun in concre, seseorang
individu memperoleh keuntungan dari adanya rahasia jabatan dan hak ingkar, akan
tetapi kewajiban merahasiakan dan hak ingkar itu bukan dibebankan untuk
melindungi individu itu, melainkan dibebankan untuk kepentingan masyarakat
umum. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa perlindungan dari kepentingan
individu itu selalu mempunyai kepentingan umum sebagai latar belakangnya.
Lebih lanjut GHS. Lumban Tobing berpendapat, bahwa :
Sekalipun hal itu tidak dinyatakan secara tegas bahwa dalam sumpah jabatan
Notaris termasuk rahasia jabatan yang menimbulkan hak ingkar, namun tidaklah
55
56
Abdul Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Bandung, Alumni, 1983, hal. 29.
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
41
berarti, bahwa Notaris dan para pembantunya tidak diwajibkan untuk
merahasiakan apa yang dibicarakan atau yang terjadi di Kantor Notaris, yang
tidak dicantumkan dalam akta.57
Notaris sebagai jabatan kepercayaan, wajib merahasiakan segala sesuatu
bersangkutan dengan jabatannya sebagai pejabat umum. Rahasia yang wajib
disimpan ini dikenal dengan sebutan rahasia jabatan. Jabatan Notaris dengan
sendirinya melahirkan kewajiban untuk merahasiakan itu, baik menyangkut isi
akta ataupun hal-hal yang disampaikan klien kepadanya, tetapi tidak dimuat
dalam akta, yakni untuk hal-hal yang diketahui karena jabatannya (uit hoofed van
zijn ambt).
Konsekuensi adanya rahasia jabatan, adalah apabila Notaris tersebut berperan
sebagai saksi, dia mempunyai hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dia
mempunyai hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, seperti yang ditetapkan
dalam Pasal 1909 ayat 2 point 3e KUHPerdata dan Pasal 170 ayat 1 KUHAP.
Dalam ketentuan Pasal 170 ayat (1) KUHAP, dinyatakan: “mereka yang
karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”.
Sedangkan dalam Pasal 1909 ayat 2 point 3e. KUHPerdata dinyatakan:
“Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut
undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata
mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian”.
57
Ibid., hal. 116.
Universitas Sumatera Utara
42
Ketentuan tersebut di atas, kembali menegaskan bahwa setiap individu yang
diberikan secara sadar kepercayaan oleh pihak lain dalam lingkup kedudukan,
pekerjaan, dan jabatannya, maka hal-hal yang dipercayakan kepadanya harus
dirahasikan sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang. Pada asasnya,
kewajiban untuk memberikan kesaksian bagi Notaris adalah fakultatif, artinya hal itu
tergantung pada penilaian dari Notaris itu sendiri.58
Hak lain yang dimiliki oleh Notaris adalah hak untuk mengambil cuti, hal
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai Pasal 35 UUJN. Seorang
Notaris yang cuti dianggap meletakkan jabatan untuk sementara, konsekwensinya
dari hal itu, dia tidak boleh membuat akta dalam waktu cuti tersebut dan apabil hal
tersebut dilanggar maka akta yang dibuatnya menjadi akta dibawah tangan. Notaris
juga berhak memungut honorarium atas kliennya dibuatkan suatu akta atas perbuatan
hukum yang dilakukan dihadapannya diatur di Pasal 36 UUJN.
Sedangkan yang menjadi kewajiban Notaris adalah mengangkat sumpah
terlebih dahulu sebelum menjalankan jabatannya dihadapan Menteri atau pejabat
yang ditunjuk, selain itu juga mempunyai kewajiban menetap tempat tinggal yang
sebenarnya dan tetap di tempat itu, mengadakan kantor dan menyimpan aktanya
ditempat kedudukan yang ditunjuk baginya.
Notaris berkewajiban pula bagi Notaris untuk memberikan bantuan cumacuma kepada mereka yang disebutkan dalam Pasal 37 UUJN. Ada dua hal-hal lain
dimana Notaris wajib menolak memberikan bantuannya yaitu dalam hal pembuatan
akta yang isinya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan. Juga dalam
58
Ibid, hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
43
hal pembuatan akta di mana tidak ada saksi-saksi yang tidak dapat dikenal oleh
Notaris ataupun tidak dapat diperkenalkan kepada Notaris.
Kewajiban Notaris lainnya diatur dalam Pasal 16 UUJN bagi Notaris, yakni :
a. Notaris harus jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum;
b. Membuat akta dalam minuta akta yang selanjutnya disimpan sebagai protokol
notaris;
c. Mengeluarkan grosse, salinan, kutipan akta berdasarkan minuta akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan UU kecuali ada alasan untuk ditolak.
e. Merahasiakan segala sesuai akta yang dibuatnya;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 bulan menjadi buku yang memuat tidak
lebih dari 50 akta apabila tidak muat 1 buku maka dapat dibuat 2 buku.
g. Membuat daftar akta protes tidak dibayar dan tidak diterimanya surat
berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat;
i. Mengirimkan daftar akta atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat;
j. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat setiap akhir
bulan;
k. Mempunyai cap stempel yang membuat lambang garuda;
l. Membaca akta dihadapan penghadap dengan dihadiri 2 orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga;
m. Menerima magang calon Notaris;
n. Penyimpanan minuta akta tidak berlaku apabila Notaris mengeluarkan akta
bentuk original contohnya pembayaran uang sewa, bunga dan pensiun;
penawaran pembayaran tunai; akta kuasa; keterangan pemilikan;
o. Pembacaan akta tidak berlaku apabila penghadap tidak menghendaki akta
dibaca karena telah mengetahui dan memahami akta tersebut.
B. Tinjauan Umum tentang Akta Otentik
1. Pengertian Akta
Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang
mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan,
Universitas Sumatera Utara
44
Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa
yang dilakukannya dan dilihatnya dihadapannya.
Para pakar hukum memberi pengertian yang saling berbeda mengenai akta,
yaitu diantaranya:
Sudikno Mertokusumo menyatakan akta adalah: ”surat yang diberi tanda
tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu, hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi, untuk
dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditanda tangani”.59
Menurut Subekti menyatakan akta adalah: ”suatu tulisan yang semata-mata
dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus
selalu ditandatangani”.60
A. Pitlo menyatakan bawah akta adalah: “suatu surat yang ditandatangani,
diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain untuk
keperluan siapa surat itu dibuat”.61
Sedangkan akta menurut Abdul Kohar adalah: ”akta atau disebut juga akte,
ialah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti”.62
Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata yaitu: “akta otentik
yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk
itu”. Akta otentik merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli
59
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1993,
hal. 120.
60
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1985, hal. 78.
Pitlo dalam Victor. M. Situmorang, dkk, Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi,
Jakarta, Rineka Cipta, 1992, hal. 37.
62
Abdul Kohar, Op.cit., hal. 3.
61
Universitas Sumatera Utara
45
warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum
didalamnya.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai akta oleh para ahli hukum
tersebut, maka untuk dapat dikatakan sebagai akta, suatu surat harus memenuhi
syarat-syarat yaitu:
a. Surat tersebut harus ditandatangani, hal ini untuk membedakan akta yang
satu dengan akta yang lain atau dari akta yang dibuat oleh orang lain. Jadi
tanda tangan berfungsi untuk memberikan ciri atau mengindividualisir sebuah
akta ;
b. Surat harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau peristiwa,
yaitu pada akta harus berisi suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang
diperlukan;
c. Surat tersebut sengaja dibuat sebagai alat bukti, maksudnya dimana di dalam
surat tersebut dimaksudkan untuk pembuktian suatu peristiwa hukum yang
dapat menimbulkan hak atau perikatan.63
Secara teroritis, yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta
yang sejak semula dengan sengaja dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan
sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk
pembuktian dikemudian hari apabila terjadi sengketa. 64
Secara umum dapat disimpulkan bahwa akta Notaris adalah akta otentik, yaitu
suatu tulisan yang dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa atau hubungan tertentu.
Sebagai suatu akta otentik, maka akta Notaris tersebut memberikan kekuatan
pembuktian yang kuat dan sempurna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
akta tersebut.
63
Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Majalah Varia Peradilan Tahun XI
Nomor 123, Desember 1995, hal. 129-130.
64
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Op.cit., hal. 145
Universitas Sumatera Utara
46
2. Jenis-jenis Akta
Semua akta yang dibuat di hadapan Notaris dapat disebut sebagai akta
otentik.65 Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh
pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat
merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu dengan
mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya.
Akta otentik dapat dibedakan menjadi akta yang dibuat “oleh” pejabat umum
dan akta yang dibuat “dihadapan” pejabat umum. Akta yang dibuat “oleh” pejabat
umum lazimnya disebut dengan istilah “akta pejabat” atau “relaas akta”. Akta
tersebut merupakan uraian secara otentik tentang suatu tindakan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum yaitu Notaris
didalam menjalankan jabatannya.66 Contohnya berita acara rapat pemegang saham
perseroan terbatas. Dalam suatu akta, Notaris hanya menerangkan atau memberikan
kesaksian dari semua yang dilihat, disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan oleh
pihak lain. Jadi kata “oleh” disini dimaksudkan karena inisiatif dari isi akta ini,67
tidak datang dari orang yang diberitakan tentang sesuatu di dalam akta tersebut.
Sedangkan akta yang dibuat “dihadapan” pejabat umum, lazimnya disebut
dengan istilah “akta partij” (akta pihak).68 Akta ini merupakan akta yang
berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh
pihak lain dihadapan Pejabat Umum (Notaris), artinya yang diterangkan atau
65
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2009,
hal. 82.
66
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Op.cit., hal.128
67
R. Soegondo Notodisoerjo, Op,cit., hal.58
68
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
47
diceritakan oleh orang yang lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya.69
Contohnya adalah akta-akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak
termasuk penjualan di muka umum atau lelang), kemauan terakhir (wasiat), kuasa dan
lain-lain.
Dalam “akta partij” tercantum secara otentik keterangan-keterangan dari
orang-orang yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta ini, disamping relaas dari
Notaris itu sendiri, yang menyatakan bahwa orang-orang yang hadir itu telah
menyatakan kehendaknya, sebagaimana yang dicantumkan dalam akta ini. Jadi
Notaris hanya mendengar apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang
menghadap dan menyatakan atau mewujudkan kehendak para pihak dalam akta.
3. Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Menurut Abdul Kohar, akta itu dikatakan otentik, kalau dibuat di hadapan
pejabat yang berwenang. Otentik itu artinya sah. Karena Notaris itu adalah pejabat
yang berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan Notaris adalah
akta otentik, atau akta itu sah.70
Pasal 15 ayat 1 UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris,
yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang:
a. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
69
70
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 51.
Abdul Kohar, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
48
aturan hukum atau yang dikehendaki oleh yang bersangkutan.
c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
d. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan
tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris.
e. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin
kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta
otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, hal ini sesuai
dengan pendapat Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie, yang
menyatakan bahwa syarat akta otentik yaitu:71
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku);
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum.
Sedangkan menurut Irawan Soerodjo menyatakan, bahwa ada 3 (tiga) unsur
esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu: 72
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk
itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
71
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Op.cit., hal. 56.
72
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
49
Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga
merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
a). Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang
Pejabat Umum.
Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktik Notaris disebut Akta
Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi uraian Notaris yang dilihat dan
disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau
perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta Notaris.
Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktik Notaris
disebut Akta Pihak atau Akta Partij, yang berisi uraian atau keterangan,
pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan
Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan
ke dalam bentuk akta Notaris.73
Pembuatan akta Notaris baik Akta Relaas maupun Akta Pihak, yang menjadi
dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada
keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika
keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan
membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan
para pihak, Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada
aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan
dalam akta Notaris, meskipun demikian hal tersebut tetap merupakan
73
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 51-52.
Universitas Sumatera Utara
50
keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau
isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan
Notaris.74
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh undang-undang, maka akta tersebut kehilangan otentisitasnya
dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta
tersebut ditandatangani oleh para penghadap;
c. Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta tersebut.
Wewenang Notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik,
meliputi 4 (empat) hal yaitu:75
1). Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat
itu;
2). Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang), untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat;
3). Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu
dibuat;
4). Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
4. Kekuatan Akta Otentik Sebagai Alat Bukti
Kekuatan pembuktian akta otentik adalah akibat langsung yang merupakan
keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik
sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada
74
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Op.cit., hal. 58.
75
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
51
pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak
pemberian tanda kepercayaan kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan
pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat.76
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1866 KUHPerdata, maka alat-alat bukti
terdiri dari:
a.
b.
c.
d.
e.
Bukti tulisan
Bukti dengan saksi-saksi
Persangkaan-persangkaan
Pengakuan
Sumpah
Alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata, jelas bahwa
alat bukti tulisan merupakan alat bukti yang utama daripada alat bukti lainnya.
Adapun dari bukti tulisan tersebut terdapat suatu yang berharga untuk pembuktian
yaitu akta. Akta dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu akta di bawah tangan
dan akta otentik.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, “Akta otentik adalah suatu akta yang
di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu
dibuatnya”.
Menurut Pasal 1874 KUHPerdata, yang dimaksud dengan bukti tulisan lain
adalah surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lainnya, yang
dibuat bukan dengan tujuan sebagai alat bukti di muka pengadilan dan tidak harus ada
tanda tangannya. Bukti tulisan di bawah tangan atau otentik mengharuskan
adanya tanda tangan dan sengaja dibuat sebagai alat bukti di muka pengadilan
76
Ibid., hal. 54.
Universitas Sumatera Utara
52
serta memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan perikatan.
Bukti tulisan di bawah tangan (akta di bawah tangan) dan bukti tulisan otentik
(akta otentik) berbeda dengan bukti tulisan lainnya yang tidak mengharuskan
adanya tanda tangan.
Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan
alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai
alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta
tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang,
salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Dalam hal
harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris
memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas
suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena
berdasarkan pasal 1 UUJN Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik.
Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan, dapat dilihat dari
kekuatan pembuktiannya. Oleh karena akta otentik dibuat oleh pejabat yang
mempunyai wewenang untuk itu, maka akta otentik merupakan alat bukti yang kuat
dan sempurna dan tidak membutuhkan pengakuan atau alat bukti yang lainnya dan
apabila ada yang menyangkal, maka yang menyangkal harus dapat membuktikannya
dengan memperlihatkan alat bukti yang sejajar dengan alat bukti otentik tersebut.
Dalam
Pasal 1870 KUHPerdata disebut bahwa, ”Suatu akta otentik
memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang
Universitas Sumatera Utara
53
mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
di dalamnya”.
Menurut pendapat umum yang dianut, pada hakikatnya setiap akta otentik
kekuatan pembuktian akta otentik dibedakan 3 (tiga), yakni: 77
1). Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige Bewijskracht).
Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu
sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini
menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang
dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah,
yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu
dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari
tandatangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum
dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan.78
Oleh karena itu, nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta
tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak
perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai
bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang
bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan
akta otentik.
2). Kekuatan pembuktian formal (Formele Bewijskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta
77
78
Ibid.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
54
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh
pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai
dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal
untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul (waktu) menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan
tandatangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa
yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita
acara) dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap
(pada akta pihak).79
Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian formal ini (juga dengan tidak
mengurangi pembuktian sebaliknya) yang merupakan pembuktian lengkap,
maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama, dengan
pengertian bahwa keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua golongan
akta itu ataupun keterangan dari para pihak dalam akta, baik yang ada di
dalam akta partij maupun di dalam akta pejabat, mempunyai kekuatan
pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang, yakni apa yang ada dan
terdapat di atas tandatangan mereka.80
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan
formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari,
tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran
mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,
79
Habib adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Op.cit., hal. 72-73.
80
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 57-58.
Universitas Sumatera Utara
55
disaksikan dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat
membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang
diberikan/disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan
para pihak, saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang
tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang mempermasalahkan akta
tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek
formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran
tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.81
3). Kekuatan pembuktian material (Materiele Bewijskracht)
Dahulu dianut pendapat, bahwa dengan kekuatan pembuktian formal tadi
habislah kekuatan pembuktian dari akta otentik. Pendapat sedemikian
sekarang ini tidak dapat diterima lagi. Ajaran semacam itu yang dinamakan
“de leer van de louter formele bewijskracht” telah ditinggalkan, oleh karena
itu merupakan pengingkaran terhadap perundang-undangan sekarang,
kebutuhan praktek dan sejarah.82
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut
dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan
yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau
keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan di hadapan Notaris dan
81
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Op.cit., hal. 74.
82
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
56
para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan/dimuat
dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang
menghadap Notaris yang kemudian keterangannya dituangkan/dimuat dalam
akta
harus
dinilai
telah
benar
berkata
demikian.
Jika
ternyata
pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal
tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal
semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian
sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak
dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.83
Jika akan membuktikan aspek material dari akta, maka yang bersangkutan
harus dapat
membuktikan
bahwa Notaris tidak
menerangkan
atau
menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar
berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan
pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.84
Sedangkan yang menjadi fungsi suatu akta otentik dapat dibedakan ke dalam
2 (dua) fungsi, yaitu:
1. Fungsi formal (formalitas causa) artinya suatu perbuatan hukum baru sah
jika dibuat dengan akta otentik dan tidak dapat dibuktikan dengan bukti lain;
2. Fungsi sebagai alat bukti (probationis casua) artinya akta otentik dibuat untuk
dipergunakan sebagai alat bukti di kemudian hari tentang perbuatan hukum
yang disebut dalam akta.
83
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Op.cit., hal. 74.
84
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
57
Kebenaran akta Notaris adalah kebenaran formal, maksudnya dasar
pembuatan akta mengacu pada identitas komparan dan dokumen-dokumen
formal sebagai pendukung untuk suatu perbuatan hukum. Sehingga akta yang
dibuat Notaris adalah bersifat kebenaran formal, disebut begitu karena Notaris
tidak melakukan penelusuran dan penelitian sampai ke lapangan tentang
dokumen formal yang dilampirkan sehingga akta Notaris bukan kebenaran
materil sebagaimana pencarian kebenaran dan keadilan dalam proses hukum di
pengadilan.
Suatu akta Notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil,
dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga
akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan
ketidakbenarannya.
Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian
lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas suatu akta,
maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di
bawah tangan.
C. Kedewasaan Menurut Hukum Dalam Pembuatan Akta Notaris
Kecakapan seseorang bertindak untuk melakukan perbuatan hukum,
memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur. Dalam konsep
Universitas Sumatera Utara
58
yang dipakai dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang, yang
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 KUHPerdata, orang dewasa adalah:85
a. Telah mencapai umur 21 tahun atau lebih;
b. Mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun
Berdasarkan ketentuan tersebut, dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan
dengan kecakapan bertindak dalam hukum, dapat disimpulkan, bahwa menurut
KUHPerdata, paling tidak menurut anggapan KUHPerdata, orang-orang yang
disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau lebih dan
mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut, adalah
orang-orang yang sudah bisa menyadari akibat hukum dari perbuatannya dan
karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum.
Menurut KUHPerdata ada faktor lain selain unsur usia untuk mengukur
kedewasaan yaitu status telah menikah, termasuk kalau suami isteri yang
bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun.
Sekalipun Pasal 330 KUHPerdata mengkaitkan kedewasaan dengan umur
tertentu dan di dalam KUHPerdata berlaku prinsip, bahwa yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum, adalah mereka-mereka yang telah dewasa namun dalam
hal ini tidak berarti, bahwa pembuat undang-undang tidak diperbolehkan memberikan
perkecualian-perkecualian.
Menurut konsep hukum Perdata, pendewasaan seseorang dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara yaitu:
85
J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Bandung, Citra Aditya Bakti,1999,
hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
59
1. Pendewasaan Penuh.
Untuk meminta pendewasaan lengkap, anak dibawah umur yang bersangkutan
harus telah mencapai umur 20 tahun (Pasal 421 KUH Perdata). Yang memberi
surat pendewasaan adalah Presiden (Menteri Kehakiman) setelah dilakukan
perundingan
dengan
Mahkamah
Agung
(Pasal
420
KUHPerdata).
Permohonan yang diajukan disertai dengan akta kelahiran yang didengar
adalah kedua orang tuanya yang hidup terlama, wali Badan Harta
Peninggalan (BHP) sebagai wali pengawas dan keluarga sedarah semenda
(Pasal 422 KUHPerdata).86
Dari pendewasaan penuh ini maka akibat hukumnya adalah status hukum
yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi apabila
ingin melangsungkan perkawinan tetap memerlukan dari ijin orang tua.
2. Pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas).
Untuk diperbolehkan memohon pendewasaan terbatas seorang anak harus
berusia genap 18 tahun. Instansi yang memberikannya adalah Pengadilan
Negeri di tempat tinggalnya. Tetapi jika orang tua yang menjalankan
kekuasaan orangtua atau perwalian tidak setuju, pendewasaan terbatas tidak
akan diberikan (Pasal 426 KUHPerdata).
Pengadilan Negeri mendengar kedua orang tua (Pasal 427 ayat 1
KUHPerdata) jika anak berada di bawah perwalian, maka pengadilan negeri
juga mendengar wali, jika wali orang lain bukan orangtuanya, wali pengawas,
86
Tan Thong Kie, Op.cit., hal.38.
Universitas Sumatera Utara
60
keluarga sedarah atau semenda. Jika hakim memandangnya perlu, anak pun
didengar (Pasal 427 ayat 3 KUHPerdata).
Sedangkan menurut beberapa konsep hukum yang ada, batasan usia dewasa
antara undang-undang yang satu dengan yang lain berbeda dan belum ada
keseragaman, hal ini dapat dilihat dari beberapa konsep hukum tersebut yaitu :
1. Konsep Hukum Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut
umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum 21 tahun, akan tetapi
sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku
hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum
perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi
termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut
Pasal 294 dan Pasal 295 KUHPerdata adalah ia yang belum mencapai umur
21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun
perkawinannya putus ia tidak kembali menjadi belum cukup umur.
2. Konsep Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam
hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat
mengenal secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan
perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau
tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum
tertentu pula.
Universitas Sumatera Utara
61
Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya
sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. Belum cakap artinya,
belum mampu memeperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri.
Cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya
sendiri.
3. Konsep Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
a. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila
belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);
b. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19
tahun dan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat 2);
c. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,
berada didalam kekuasaan orang tua (Pasal 47 ayat 1);
d. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,
yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada di kekuasaan
wali (Pasal 50 ayat 1).
Adanya perkecualian atas prinsip bahwa yang disebut cakap untuk melakukan
tindakan hukum adalah bagi mereka yang sudah dewasa (menurut ukuran Pasal 330
KUHPerdata). Dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, maka yang
dapat melangsungkan perkawinan secara sah adalah laki-laki yang telah mencapai
usia 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Pengecualian lain dari ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tentang batasan
kedewasaan, dapat dilihat dari ketentuan UUJN, terutama pada Pasal 39 ayat 1 UUJN
Universitas Sumatera Utara
62
yang menyatakan bahwa seorang penghadap harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan
b. Cakap melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut di atas, bahwa syarat
seseorang bisa menjadi penghadap dan berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum, adalah paling sedikit sudah berusia 18 tahun atau telah menikah
sebelumnya.
D. Kecakapan Hukum Seseorang Yang Berada Di Dalam Rumah Tahanan
Dalam Pembuatan Akta Notaris
1. Kecakapan Hukum Bertindak
Pemangku atau pengemban hak dan kewajiban adalah subjek hukum dan
sebab itu juga dari kacamata hukum memiliki kewenangan bertindak. Anak yang baru
dilahirkan, bahkan juga anak dalam kandungan yang dari kacamata hukum dianggap
sebagai telah dilahirkan, berkedudukan sebagai subjek hukum. Sepanjang oleh
hukum positif, apabila seseorang diakui sebagai subjek hukum, ia akan memiliki
kewenangan hukum.
Dalam lapangan hukum perdata, unsur usia memiliki peranan yang cukup
penting, sebab dikaitkan dengan masalah kecakapan bertindak seseorang sebagai
subyek hukum dalam tindakan hukumnya. Sebagian besar munculnya hak-hak
(subyektif) dan dengan kewajiban-kewajiban hukum, dikaitkan dengan atau terjadi
melalui tindakan hukum. Padahal kecakapan untuk melakukan tindakan hukum
Universitas Sumatera Utara
63
dikaitkan dengan faktor kedewasaan, yang didasarkan antara lain atas dasar umur.
Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan hukum, adalah tindakan-tindakan yang
menimbulkan akibat hukum dan akibat hukum itu dikehendaki atau dapat dianggap
dikehendaki.
Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh Undang-undang
dilarang melakukan tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu
memahami konsekuensi tindakan-tindakannya. Mereka yang dianggap tidak cakap
adalah orang belum dewasa atau anak-anak di bawah umur dan mereka yang
ditempatkan di bawah pengampunan. Mereka ini, tanpa seizin wakil, yakni orang tua
atau wali mereka menurut perundang-undangan, dinyatakan tidak dapat melakukan
tindakan hukum, terkecuali melalui lembaga perwakilan.
Mengenai hubungan antara kecakapan bertindak dan kedewasaan, sekalipun
harus diakui mengenai hal ini juga tidak ada ketentuan yang mengatakan secara tegas,
bahwa kecakapan untuk melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata, dikaitkan
dengan unsur kedewasaan dan hal itu secara tidak langsung ada kaitannya dengan
unsur umur, akan tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHPerdata,
antara lain dari Pasal 307 jo Pasal 308, Pasal 383 KUHPerdata, maupun Pasal 47
dan Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1330 dan
Pasal 1446 KUH Perdata, orang bisa menyimpulkan, bahwa pada asasnya, yang
dapat melakukan tindakan hukum secara sah, dengan akibat hukum yang sempurna
adalah mereka yang telah dewasa.87
87
J. Satrio, Op.cit., hal. 49-50.
Universitas Sumatera Utara
64
Kecakapan bertindak dikaitkan dengan faktor umur, dan faktor umur ini
didasarkan atas anggapan, bahwa orang di bawah umur tertentu, belum dapat
menyadari sepenuhnya akibat dari perbuatannya, maka dapat disimpulkan, bahwa
masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum, tidak harus sesuai dengan
kenyataannya atau dengan kata lain ketidakcakapan di sini adalah ketidakcakapan
yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan (juridische onbekwaamheid atau
veronderstelde onbekwaamheid), bukan ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai
dengan kenyataan yang ada).88
Dalam subyek hukum, ada subyek hukum yang oleh undang-undang
dinyatakan sama sekali tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum (mereka yang
ditaruh di bawah pengampuan karena sakit ingatan), ada yang tindakannya tidak bisa
menimbulkan akibat hukum yang sempurna (anak-anak belum dewasa pada
umumnya), ada yang mempunyai kewenangan yang terbatas, dalam arti harus
didampingi atau mendapat persetujuan dari orang lain (membuat perjanjian kawin,
untuk anak-anak yang telah mencapai usia menikah) dan ada yang mempunyai
kewenangan penuh (mereka yang sudah dewasa).
Kewenangan hukum, adalah kewenangan untuk menjadi pendukung hak
dan kewajiban di dalam hukum. Jadi merupakan kewenangan untuk menjadi
subyek hukum. Sedangkan yang menjadi subyek hukum, adalah semua manusia
dan bukan manusia, yaitu badan hukum yang juga pendukung hak dan kewajiban.
88
Pitlo, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, terjemahan J. Satrio, cetakan
keempat, Groningen, H.D. Tjeenk Wilink, 1971, hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
65
Apabila semua manusia dan badan hukum bisa menjadi pendukung hak dan
kewajiban, maka belum berarti bahwa semua subyek hukum bisa dengan leluasa
secara mandiri melaksanakan hak-haknya melalui tindakan-tindakan hukum. Untuk
itu harus ada kecakapan bertindak, yaitu kewenangan untuk melakukan tindakantindakan hukum pada umumnya.
Macam subyek hukum, ada subyek hukum yang oleh undang-undang
dinyatakan sama sekali tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum (mereka yang
ditaruh di bawah pengampuan karena sakit ingatan), ada yang tindakannya tidak bisa
menimbulkan akibat hukum yang sempurna (anak-anak belum dewasa pada
umumnya), ada yang mempunyai kewenangan yang terbatas, dalam arti harus
didampingi atau mendapat persetujuan dari orang lain (membuat perjanjian kawin,
untuk anak-anak yang telah mencapai usia menikah) dan ada yang mempunyai
kewenangan penuh (mereka yang sudah dewasa).
Jadi kecakapan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak pada
umumnya, subyek hukum pada umumnya dan untuk tindakan-tindakan hukum pada
umumnya, maka kewenangan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak
khusus, yang hanya tertuju pada orang-orang tertentu untuk tindakan-tindakan hukum
tertentu saja.
2. Kecakapan Hukum Tersangka atau Terdakwa Dalam Pembuatan Akta
Notaris
Seorang
yang
ditahan
merupakan
perampasan
ataupun
pembatasan
kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
66
Negara melalui aparatur Negara yang ditunjuk oleh undang-undang dalam hal ini
Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim, hal ini jelas bahwa orang yang
ditahan dirumah tahanan merupakan berdasarkan hukum dan merupakan tindakan
yudicial.
Menurut hukum perdata, seorang tersangka atau terdakwa tidak kehilangan
hak keperdataanya. Keadaan seorang tersangka atau terdakwa bebas untuk
mengadakan perbuatan hukum, seperti mengadakan perjanjian. Suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dalam suatu perjanjian berlaku asas konsensualisme yaitu pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan, dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu
formalitas.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala
hak kewarganeragaan”. Sehingga dalam hal ini dapat diartikan bahwa walaupun
seseorang sedang menjalankan hukuman maka tidak mengakibatkan hilangnya hak
seseorang dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum perdata mengakui
manusia sebagai orang, yang berarti dikuai sebagai subjek hukun, yaitu pendukung
hak dan kewajiban. Kalangan ahli hukum berpendapat bahwa kewenangan untuk
Universitas Sumatera Utara
67
menjadi pendukung hak dan kewajiban, kususnya hak dan kewajiban keperdataan
disebut kewenangan berhak dan ini ada pada manusia dan badan hukum.
Kewenangan berhak tersebut sering disebut dengan kecakapan berhak, yang artinya
kewenangan untuk dapat menyandang hak dan kewajiban.
Kewenangan seseorang dimulai sejak saat ia dilahirkan dan pada saat itu ia
sebagai pembawa hak, mulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal.
Kewenangan berhak manusia. berhenti dengan kematiannya, atau apabila seseorang
meninggalkan tempat kediamannya tanpa memberi pesan kepada orang lain, sehingga
tidak ada kepastian tentang hidup matinya, dan telah ada keputusan pengadilan yang
tetap tentang kematian atas dugaan kecuali ia memenuhi isi ketentuan Pasal 486 dan
Pasal 487 KUHPerdata. Dengan kata lain, selama orang masih hidup selama itu pula
ia mempunyai kewenangan berhak. Hanya kematianlah yang dapat mengakibatkan
berhentinya kewenangan berhak seseorang.89
Apabila melihat dari sistem peradilan pidana di Indonesia yang menganut
asas praduga tak bersalah, sebagaimana terkandung didalam Pasal 8 ayat 1
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan
bahwa: “ Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan
di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Sehingga jika menyangkut asas praduga tak bersalah tersebut dapat diartikan
bahwa seorang yang ditahan dirumah tahahan adalah patut dalam melakukan
89
F.X. Suhardana, Hukum Perdata I: Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 1992, hal. 45-46.
Universitas Sumatera Utara
68
perbuatan hukum apa saja, sepanjang pihak tersebut bebas menentukan kehendaknya
tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Berdasarkan dari apa yang diuraikan diatas, maka dapat dikatakan bahwa
seorang tersangka atau terdakwa tidak kehilangan kebebasan untuk melakukan
perbuatan hukum, termasuk dalam membuat perjanjian-perjanjian untuk dirinya
sendiri, baik itu perbuatan hukum dalam membuat perjanjian secara dibawah tangan
ataupun perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta Notaris.
Universitas Sumatera Utara
Download