Tema dan Komponen Budaya dalam Film1 Oleh Nursyirwan Effendi Jurusan Antropologi – FISIP Universitas Andalas Pendahuluan Secara antropologis, seluruh perilaku dan aktivitas manusia merupakan perwujudan dari kebudayaan, karena kebudayaan mencakup seluruh segi kehidupan individu dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin, ada sekolompok manusia yang tidak pernah memiliki dan mengembangkan suatu kebudayaan. Hal ini mengartikan bahwa untuk mencari keberadaan kebudayaan di dalam lingkup manusia tidaklah terlalu sulit. Hanya mungkin, cara memahami kebudayaan akan berbeda-beda dari suatu individu ke individu lainnya. Di satu sisi, tidak semua dari kita yang memberi perhatian kepada keberadaan kebudayaan dalam kehidupan. Hal ini terlihat dari masih banyak cara berpikir dan perilaku individu yang tidak mengacu dan dipedomani oleh kebudayaan. Banyak dari mereka sering mengandalkan aspek rasional dan kondisional dalam menciptakan perilaku ataupun pola kehidupan secara umum. Artinya, lingkungan fisik seringkali menjadi dasar dalam menciptakan respon dalam bentuk perilaku ataupun cara-cara berpikir. Di sisi lain, banyak orang atau masyarakat yang sangat konsern dengan kebudayaan. Hal ini ditunjukkan dengan begitu dekatnya cara berpikir dan pola perilaku mereka dengan serangkaian norma, nilai ataupun etika yang sering mengacu kepada kebudayaan. Artinya, segala perbuatan dan cara berpikir masyarakat serupa ini berlandaskan kepada pedoman baku yang mampu mengarahkan dan membimbing mereka. Dalam konteks serupa ini, keberadaan kebudayaan menjadi sangat penting dalam membangun pola perilaku masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, tidaklah heran tidak semua individu yang memahami benar keberadaan kebudayaan dalam kehidupan mereka. Bisa jadi, mereka tidak pernah tahu, tidak paham atau tidak peduli tentang kebudayaan. Namun, banyak pula masyarakat yang tahu, peduli dan mengerti tentang kebudayaan. Kondisi yang saling bertolak belakang ini menuntut kita untuk perlu terus mengkaji dan menggali fakta-fakta yang menjadi dasar bagi terbentuknya kebudayaan. Salah satu upaya itu adalah dokumentasi eksistensi kebudayaan melalui film. Melalui cara ini, kebudayaan yang biasanya menjadi bagian dari diri individu, diobjektifasi melalui media visual. Bagaimana kebudayaan dapat secara baik divisualkan melalui media film? Sebelum memasuki persoalan pendokumentasian kebudayaan melalui film, perlu dipahami dulu mainstream/pemikiran tentang kebudayaan yang selama ini sudah berkembang, terutama, didalam ilmu antropologi, yakni salah satu bidang ilmu yang sangat konsern kepada kajian-kajian kebudayaan. Makalah pengantar diskusi disampaikan pada Pelatihan dan Lomba Pembuatan Film Dokumenter Kebudayaan tingkat SLTA se-Sumatera Barat tahun 2010, yang diselenggarakan oleh BALAI PELESTARIAN SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PADANG, tanggal 19 Mei 2010 di Padang. 1 1 Memahami Kebudayaan Kebudayaan merupakan konsep dan fenomena yang cukup kompleks. Secara konseptual, kebudayaan telah dikembangkan pengertiannya ke dalam ratusan definisi dari sejumlah besar ahli antropologi. (lihat Kluckhohn, 1960). Dari sekian banyak denifisi dari konsep kebudayaan, pengertian kebudayaan dikelompokkan ke dalam beberapa aliran (Keesing, 1983) yaitu (1) kebudayaan sebagai sistem yang adaptif; (2) kebudayaan sebagai sistem kognitif, (3) kebudayaan sebagai sistem yang struktural, dan (4) kebudayaan sebagai sistem simbolik. (1) Kebudayaan sebagai sistem yang adaptif banyak dipahami dari sudut pandang teori evolusi. Dalam pengertian ini komunitas manusia senantiasa mengembangkan pola-pola budaya mereka dalam konteks latar ekologi tertentu. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai seperangkat sistem pola perilaku yang berfungsi untuk mengaitkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologis mereka (Vayda dan Rappaort, 1983). Kebudayaan berfungsi membantu secara evolutif adaptasi kehidupan manusia terhadap lingkungan ekologis tertentu. Dalam pengertian di atas, masyarakat manusia akan menggunakan berbagai produk teknologi, organisasi ekonomi, pola tempat tinggal, pengelompokan sosial, organisasi politik, praktek dan kepercayaan religius untuk menciptakan suatu pola kehidupan budaya mereka. Hasil studi dari Rappaport di orang Tsembaga Maring, bahwa siklus ritual merupakan komponen utama dalam sistem yang adaptif dari kebudayaan (Keesing, 1983: 77). (2) Kebudayaan sebagai sistem kognitif telah dipakai untuk mengeksplorasi sistem klasifikasi masyarakat lokal tentang kehidupan mereka. Sistem klasifikasi ini merupakan suatu bentuk sistem kognisi yang dikembangkan oleh masyarakat. Goodenough (1983) mengartikan kebudayaan bukan sebagai serangkaian fenomena material, benda-benda, orang, perilaku atau emosi, melainkan suatu bentuk pengorganisasian tentang hal-hal tersebut. Dengan demikian, diartikan bahwa kebudayan adalah bentuk pengorganisasian pikiran (mind) dari benda-benda yang ada di dalam kepala anggota suatu masyarakat; dan bahwa kebudayan merupakan seperangkat model untuk memahami, mengaitkan dan menginterpretasi benda-benda tersebut. (3) Kebudayaan sebagai sistem yang struktural telah dikembangkan pengertiannya oleh Levi-strauss. Kebudayaan dalam pengertian struktural ini mengacu kepada proses pikiran (mind) yang membangun dunia simbolik manusia. Levi-Strauss mengartikan kebudayan sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama yang merupakan proses akumulasi dari penciptaan pikiran (creation of mind) (Keesing 1983: 78). Beberapa komponen/domain kebudayaan menurut Levi-Strauss antara lain mite, kesenian, kekerabatan dan bahasa. (4) Kebudayaan sebagai sistem simbolik dan makna telah dikembangkan dalam tradisi Parsonian oleh Clifford Geertz dan David Schneider. Menurut aliran ini, kebudayaan adalah suatu komponen ideasional dalam pikiran manusia, dan sebagai pemaknaan (semiotik) atau kode-kode makna. Untuk memahami kebudayaan seperti itu, diperlukan suatu interpretasi (Keesing 1983: 79). Berdasarkan pemahaman tentang pengertian kebudayaan dari empat aliran diatas, dapat ditarik suatu pemahaman umum tentang keberadaan konteks kebudayan, yaitu: 1. Kebudayaan berada dalam konteks hubungan manusia dan ekologi/lingkungan. 2. Kebudayaan berada dalam konteks kognisi/pengetahuan dan pikiran (mind) manusia. 2 3. Kebudayaan dalam konteks simbol-simbol yang diciptakan oleh pikiran manusia. 4. Kebudayaan dalam konteks makna. Untuk mengamati kebudayaan pada keempat konteks tersebut, fakta yang dilihat dalam masyarakat adalah realisasi sistem struktur sosial yang terdiri dari serangkaian perilaku, peran dan status sosial. Singkat kata, aktivitas sosial adalah bentuk paling konkrit untuk mencari pemahaman tentang kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1990: 186-187), kebudayaan dapat dipahami melalui pengamatan terhadap tiga wujud kebudayaan, yaitu: 1. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dsb. 2. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. wujud kebudayaan sebagi benda-benda hasil karya manusia Selanjutnya, kebudayaan dapat dipahami dari unsur-unsurnya yang bersifat universal, yang terdiri dari: Bahasa; Sistem Pengetahuan; Organisasi sosial; Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem Mata Pencaharian Hidup; Sistem religi; dan Kesenian. (Koentjaraningrat 1990: 203-204). Tema dan Komponen Budaya dalam Film Film dapat menjadi salah satu bentuk representasi visual dari fakta kebudayaan dalam masyarakat. Melalui film, kebudayaan dapat didokumentasi secara teknologis berdasarkan klasifikasi tema, tampilan (performance), wujud atau unsur-unsurnya. Dengan demikian, terdapat pemahaman bahwa kebudayaan dapat dikonstruksi melalui bentuk audio visual/media gambar bergerak. Kebudayaan yang dikonstruksi dalam suatu film akan memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan film yang menggambarkan suatu kebudayaan dapat bersifat terfokus, tersistematis dan klasifikatoris. Sementara kekurangannya, kebudayaan yang ditampilkan dalam film bisa jadi tidak detil ataupun komprehensif. Terlepas dari kelebihan dan kekuarangan tampilan kebudayaan dalam film, suatu film dapat menjadi sarana edukasi kebudayaan yang efektif kepada anggota masyarakat. Visualisasi yang baik dari suatu film budaya akan menjadi channel pengetahuan bagi individu untuk lebih mengenal suatu kebudayaan. Meskipun tidak akan terjadi interaksi antara penikmat film dengan pembuat film tersebut, namun pesan-pesan kognitif dan afektif paling tidak telah dapat disampaikan melalui film. Film budaya yang baik adalah yang dapat menghantarkan suatu interaksi pesan dan emosi kepada penontonnya. Oleh karena film sangat efektif untuk memberi pengetahuan dan edukasi tentang kebudayaan, maka film yang baik adalah film yang dapat dengan tepat memvisualisasikan tema dan komponen budaya sehingga dapat dipahami oleh penikmat film tersebut. Seringkali tidaklah mudah mencari tema-tema budaya untuk sebuah film, namun berdasarkan pemahaman konseptual yang bervariasi tentang kebudayaan, maka tema budaya untuk film harus memiliki karakter sebagai berikut: 3 1. Mampu menampilkan konteks ekologis/lingkungan fisik yang dapat dipahami atau dicerna oleh penikmat film. 2. Mampu menyusun/mengontruksi pengetahuan yang dapat disampaikan kepada penikmat film. 3. Mampu membangun pengertian simbolik atau menyiratkan pesan tertentu yang kuat kepada penikmat film. 4. Mampu mengembangkan berbagai interpretasi yang konstruktif dan positif bagi penikmat film. Berdasarkan tema-tema tersebut, maka perlu ditemukan berbagai komponen budaya yang konkrit yang dapat mendukung karakter tema-tema budaya tersebut ke dalam film. Komponen budaya yang dapat dirujuk untuk dipakai sebagai bahan visualisasi adalah serangkaian aktivitas sosial dan material/artefak yang terkait dengan aktitias sosial tersebut. Aktivitas sosial yang akan diangkat sebagai komponen film budaya mengacu kepada sejumlah unsur-unsur kebudayaan yang universal seperti Bahasa; Sistem Pengetahuan; Organisasi sosial; Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem Mata Pencaharian Hidup; Sistem religi; dan Kesenian. Kesimpulan Film budaya adalah dokumentasi visual tentang tema dan komponen kebudayaan. Tema budaya harus mengacu kepada komponen konseptual yang disepakati sebagai definisi kebudayaan. Pada dasarnya, tema-tema budaya berkait dengan aspek ekologis/lingkungan, aspek kognitif, aspek simbolik dan aspek pemaknaan. Sementara, komponen budaya untuk memvisualisasikan tema-tema tersebut mengacu kepada sifat tujuh unsur kebudayaan yang direfleksikan dari bentuk serangkaian aktivitas sosial dan artefak/material sebagai produk dari aktivitas sosial tersebut. Daftar Pustaka Keesing, Roger, M. 1983. “Theories of Culture” dalam Annual Review of Anthropology. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta 4