Keragaman Majelis Di Kalangan Umat Buddha Indonesia Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2016 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia i Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia Ed. 1, Cet. 1.— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016 xxiv + 461hlm; 15 x 21 cm. ISBN : 978-602-8739-65-8 Hak cipta pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, September 2016 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia Editor: Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://www.puslitbang1.kemenag.go.id ii Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Assalamu’alaikum wr. wb. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas inayahNya buku ”Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini sangat penting artinya bagi Puslitbang Kehidupan Keagamaan, sebagai upaya untuk menggali informasi dari lapangan tentang keragaman majelis di kalangan umat Buddha Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui sejarah sekte dan majelisnya; manajemen organisasi (struktur, keanggotaan, pembinaan, dana dan sarananya; kitab suci dan pokok-pokok ajarannya (teologi), ritual (sistem peribadatan), etika dan tradisi keagamaannya; konflik intern yang pernah terjadi dan cara penyelesaiannya; dan relasi sosial dengan pemerintah, umat Buddha lainnya dan masyarakat setempat. Laporan ini dapat tersaji karena kerjasama dari berbagai pihak, terutama Kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, untuk itu kami mengucapkan terima kasih atas segala arahannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik sesuai jadwalnya. Kemudian terima kasih pula kami ucapkan kepada Direktorat Jenderal Bimas Buddha yang telah melakukan kerjasama dengan baik dalam melakukan penelitian ini, dan juga para peneliti yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik hingga terselesaikannya laporan ini. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia iii Selain itu, mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, terutama Dirjen Bimas Buddha sebagai bahan kebijakan dan para peneliti sebagai bahan literatur. Kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami membuka kritik dan saran konstruktif dari pembaca, agar buku ini menjadi sebuah bacaan yang dapat bermanfaat dimasa yang akan datang. Wassalam, Jakarta, September 2016 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan H. Muharam Marzuki, Ph.D iv Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Salah satu fungsi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI adalah melakukan penelitian dan pengembangan. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi bagi pejabat Kementerian Agama RI dalam menyusun kebijakan pembangunan dalam bidang agama, dan menyediakan data bagi masyarakat akademik dan umum dalam rangka turut mendukung tercapainya programprogram pembangunan di bidang agama. Oleh sebab itu kami menyambut baik diterbitkannya buku: Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia ini, karena beberapa alasan, Pertama, penerbitan buku ini merupakan salah satu media untuk mensosialisasikan hasilhasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kedua, dapat memberikan informasi aktual dari lapangan tentang keberadaan berbagai majelis agama Buddha di berbagai wilayah Indonesia. Buku ini memuat 11 judul hasil penelitian yang diadakan pada tahun 2015. Sebelas hasil penelitian tersebut berusaha menggali informasi di sekitar sejarah perkembangan majelis, ajaran dan respon pemuka agama dan masyarakat terhadap majelis tersebut. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia v Adapun majelis dan penulis laporan yang dimuat dalam buku ini adalah: H. Nuhrison M. Nuh meneliti “Lembaga Keagamaan Buddha Indoensia (LKBI) di Provinsi Kalimantan Barat”. Asnawati meneliti “Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur. Suhana, meneliti “Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau”. Wakhid Sugiyarto, meneliti “Majelis Pandhita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan”. Muhammad Adlin Sila, meneliti “Buddhisme Niciren di Indonesia” Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia”. Achmad Rosidi, meneliti “Majelis Ummat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara Provinsi Jawa Tengah”. M. Taufik Hidayatullah, meneliti Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat”. Achmad Ubaidillah, meneliti “Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi) di Kota Tangerang”. Syaiful Arif, meneliti “Majelis Buddha Soka Gakkai di Indonesia”. Zaenal Abidin Eko Putro, meneliti Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan di antara majelis-majelis tersebut terdapat perbedaan ajaran karena adanya perbedaan dalam menafsirkan kitabsuci oleh pendiri aliran tersebut. Tetapi yang menarik walau terdapat perbedaan ajaran di antara majelelis tersebut, mereka dapat hidup rukun dan saling menghargai, dengan pertimbangan memang murid sang Buddha itu sangat banyak. Relasi sosial mereka sangat baik dengan internal umat Buddha maupun dengan eksternal umat beragama. vi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Melalui informasi yang dimuat dalam buku ini, diharapkan berbagai pihak dapat memetik pelajaran dalam menyikapi tumbuhnya berbagai aliran dan majelis dalam agama Buddha. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi, kalau tidak mungkin menghilangkan sama sekali gesekan-gesekan yang tidak perlu terjadi di kalangan intern umat Buddha. Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat dan menambah kelengkapan referensi tentang aliran dan majelis agama Buddha yang berkembang di Indonesia. Jakarta, September 2016 Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia vii viii Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia PROLOG Agama Buddha adalah salah satu agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Secara kebudayaan, agama Buddha di Indonesia mempunyai corak yang berbeda dengan agama Buddha yang ada di Negara lain, seperti India, Thailand dan Tiongkok. Di Indonesia, agama Islam adalah agama mayoritas atau dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Sedangkan agama Buddha adalah agama yang dianut oleh sebagian kecil penduduk Indonesia. Meskipun agama Buddha di Indonesia adalah agama minoritas, namun hak dan kewajibannya sama dengan agama mayoritas, tidak mendapat diskriminasi dari agama mayoritas dan tidak pula ada konflik keagamaan yang cukup berarti atau besar sepanjang sejarah Indonesia. Meskipun agama Islam di Indonesia adalah agama mayoritas, namun hubungannya dengan agama minoritas, khususnya Buddha tetap terjaga dengan baik dan keduanya dapat saling bekerjasama dalam bidang kerukunan umat beragama, pendidikan dan bidang-bidang sosial yang lain. Baiknya hubungan kedua agama ini dapat dilihat dari kontek sejarah masa lampau dan masa kini, hubungan sosial antara penganutnya dewasa ini dan kerjasama dalam berbagai segi kehidupan. Namun sebaliknya, negara lain seperti Thailand, di mana jumlah umat Buddha di sana mayoritas, terdapat hubungan yang kurang baik antara umat Buddha dan Islam. Kasus Indonesia ini, dapat dijadikan contoh bagi negaranegara lain dalam hubungan antar agama. Agama Buddha masuk ke Indonesia jauh sebelum masuknya agama Islam di Indonesia. Agama Buddha ini berasal dari India dan dibawa oleh para pedagang ke Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia ix Indonesia. Tidak dapat diketahui siapa tokoh pertama kali membawa agama Buddha ke Indonesia. Pada umumnya orang-orang yang datang dari India bukanlah tokoh agama, tapi para pedagang yang senang berkunjung ke berbagai Negara dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Karena para pedagang ini banyak yang beragama Buddha, maka penyebaran agama Buddha itu sendiri pada masyarakat Indonesia tidak dapat dihindarkan. Beberapa candi bercorak Buddha sampai sekarang masih dapat kita saksikan di beberapa pulau di Indonesia. Candi Borobudur adalah candi bercorak Buddha yang mulai dibangun pada tahun 760 dan selesai pada tahun 830 M. Candi ini diabangun atas perintah raja-raja Mataram Dinasti Syailendra. Candi ini mempunyai tinggi 42 M dan terletak di Magelang atau dibagian utara Yogyakarta. Candi lain yang masih juga bercorak Buddha adalah candi Mendut di Jogyakarta. Candi ini adalah terletak sekitar 2 km dari candi Borobudur. Rajaraja kerajaan Majapahit dan Sriwijaya umumnya dikenal sebagai penganut agama Buddha dan Hindu. Berdasarkan sejarah Indonesia, kerajaan Majapahit dan Sriwijaya adalah kerajaan di mana pemimpin dan anak buahnya adalah beragama Buddha. Dua kerajaan ini cukup terkenal pada masa itu dan wilayah kekuasaannya membentang sampai ke daratan Asia.Oleh karena itu, sebelum agama Islam masuk ke Indonesia atau dahulu dikenal dengan Nusantara, rakyat Indonesia umumnya penganut kedua agama tersebut. Tidaklah heran jika pengaruh agama Buddha di Indonesia masih cukup kuat dalam tradisi Islam. Masuknya agama Buddha di Indonesia juga terkait dengan kedatangan orang Cina ke Indonesia yang beragama Buddha di masa sebelum Indonesia merdeka, sebab sebagian besar mereka yang datang ke Indonesia sejak abab ke IV x Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia hingga sekarang adalah mereka yang beragama Buddha (J.U. Lontaan, 1975) dan sebagian lainnya adalah mereka yang beragama Tao, Khonghucu atau percampuran tiga agama (Taoisme, Confusianisme dan Buddhisme) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Tri Dharma atau tiga ajaran. Tri Dharma ini adalah salah salah satu Majelis dalam agama Buddha Mahayana. Hingga sekarang, sebagian besar orang China di Indonesia adalah mereka yang menganut agama Buddha Mahayana. Buddha Mahayana amat cocok bagi orang China, karena dalam perkembangan di Tiongkok dan di Indonesia didominasi oleh kebudayaan China. Mereka yang beragama Buddha Mahayana sebagian besar bekerja sebagai pedagang kecil maupaun besar. Pada masa kerajaan Airlangga di Tuban, Gersik, Jepara, Lasem dan Banten berkuasa, memberikan bukti yang kuat tentang keberadaan orang China yang beragama Buddha di Indonesia,1 karenan cukup banyak bukti-bukti sejarah yang mengacu tentang keberadaan orang-orang China tersebut di negeri yang dikenal seribu pulau ini. Berdasarkan catatan sejarah yang lain, orang China yang beragama Buddha mulai berdatangan ke Indonesia pada abad ke-9, yaitu pada masa dinasti Tang memerintah. Mereka datang ke Indoneia adalah untuk berdagang dan mencari kehidupan baru di luar Tiongkok. Migrasi orang-orang China ke keberbagai Negara pada masa itu mempunyai sebab-sebab tertentu, di antaranya karena di daratan China telah terjadi peperangan yang tidak kunjung selesai. Akibat dari perperangan tersebut, tidak 1Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, 1998, hal. 206211. Lihat juga dalam Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 18. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia xi sedikit penduduk China meninggalkan negerinya dengan berbagai alasan untuk mencari penghidupan baru di luar China, salah satunya adalah Indonesia.2 Salah satu pulau di Indonesia yang juga banyak mereka kunjungi adalah pulau Jawa. Pulau ini banyak memiliki peninggalan-peninggalan masa lalu yang mengacu pada etnis China tersebut.3 Tidak hanya itu, pulau ini juga banyak dihuni oleh sukubangsa Hokkian yang sekarang tidak lagi bisa berbahasa Hokkian. Sebelum abad ke-9 atau pada tahun 399-414 seorang pendeta bernama Fa Hian dari Tiongkok berkunjung ke Indian dan sempat mampir di pulau Jawa. Perjalanan pedeta Buddha ini diuraikan dalam buku Fahueki, yang diikuti oleh Sun Yun dan Hwui Niang yang juga melakukan Ziarah dari Tiongkok ke India.4 Bukan saja pendeta Fa Hian, pada tahun 629-645 pendeta Hiuen Thsang juga mengembara di India dan pengalamannya diuraikan secara panjang lebar dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch’uan. Di samping Fa Hian, Sun Yun, Hwui Niang dan pendeta Hiuen Thsang, pendeta I Tsing juga melakukan pengembaraan di luar Tiongkok selama 25 tahun. Dia kembali ke Guandong (Kwangtung) pada pertengahan musim panas ditahun pertama pemerintahan Cheng Heng (695 M) dan Tio, Kota Semarang Dalam Kenangan, Pemerintah Daerah Semarang, Tanpa Tahun. 3Peninggalan masa lalu tersebut adalah Klenteng Sam Po Kong, terletak sekitar 7 Km dari kota Semarang. Klenteng ini diyakini sebagai peninggalan dari Cheng Ho, muslim Cina yang diduga datang ke Semarang pada abad ke 15. Ada sebagian pendapat bahwa Klenteng Sam Po Kong ini dahulunya adalah tempat Cheng Ho dan anak buahnya melakukan sembahyang, dan dahulunya diyakini berfungsi sebagai Masjid. Dugaan tersebut diperkuat karena di dalam komplek Klenteng tersebut terdapat sebuah kuburan seorang muslim. Sampai sekarang kuburan ini diyakini sebagai kuburang Wang Jing Hong, salah seorang juru mudi Cheng Ho yang dikuburkan di situ. 4Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 18. 2Jongkie xii Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia diduga telah membawa pulang tidak kurang dari 4000 naskah yang terdiri dari 500.000 sloka. Selama 12 tahun (700-712) dia berhasil menerjemahkan 56 buku yang terdiri dari 230 jilid. Dari abad ke-3 sampai dengan abad ke-7 tidak sedikit pendeta Buddha yang berasal dari Tiongkok melakukan perjalanan ke India dan mampir di kerajaan Sriwijaya.5 Orang-orang Cina yang mengembara ke India inilah yang mempunyai peranan penting dalam menyebarkan agama Buddha ke Tiongkok. Akibatnya, orang-orang Cina tidak hanya memahami agama leluhurnya (Taoisme dan Confusianisme), tapi juga memahami agama luar (Buddha) yang dibawa dari India. Sejak itu pula agama Buddha telah menjadi ajaran penting dalam kehidupan orang Cina di samping agama Tao dan Confusianisme dan ketiganya saling melengkapi satu dengan yang lainnya sampai dengan dewasa ini. Pendeta I Tsing yang beragama Buddha, bukan saja dikenal sebagai pengembara di laut dan menghabiskan masa hidupnya di India, tapi juga cukup lama tinggal di Sriwijaya (sekarang Indonesia). Selama 25 tahun pengembaraannya di laut, 14 tahun di antaranya telah dihabiskan untuk tinggal di Sriwijaya. Oleh karena itu, tidak heran jika dia juga banyak mengenali kebudayaan Sriwijaya dan menuliskan kebudayaan itu dalam bentuk buku. Dia juga menggambarkan bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat, yaitu bahasa Kunlun.6 Atas dasar itu, maka tidak heran jika dia juga ikut menyebarkan agama Buddha di Indonesia. 5Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya NegaraNegara Islam di Nusantara, Djakarta, Bhratara, 1968. Lihat juga Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 19. 6Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 19. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia xiii Sama dengan agama Islam, agama Buddha adalah agama yang universal, yaitu agama yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Agama yang berasal dari India tersebut tidak dapat diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia tanpa diterjemahkan dengan kebudayaan lokal. Atas dasar itu, baik agama Buddha maupun agama Islam di Indonesia juga bercorak lokal, karena dipengaruhi oleh kebudayaan setempat atau kebudayaan sukubangsa. Atas dasar itu, orang Cina yang masuk agama Buddha di Indonesia, mereka masih tetap mempraktekkan kebudayaannya dalam kehidupan seharihari. Dan bahkan dalam praktek keagamaannya, mereka mencampurkan kebudayaan China dengan tradisi Buddhis. Dalam upacara perkawinan dan kematian misalnya, masih banyak orang China yang beragama Buddha menggunakan tradisi leluhur mereka dan untuk memimpin upacara mereka menggunakan jasa pendeta Buddhis (Tanggok, 1995). Ini menunjukkan bahwa perpaduan antara kebudayaan tradisional orang China dengan agma Buddha dapat dilihat dalam ritual keagamaan mereka. Beberapa hasil penelitian sarjana Barat di Indonesia yang sudah ditulis dalam sebuah buku, yaitu: The Religion of Java, yang ditulis oleh Cliford Geertz (1966) dan Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta (1989) oleh Mark R. Woodward, telah memberikan penjelasan tentang Islam lokal di Jawa yang dipengaruhi kebudayaan lokal, tradisi agama Buddha dan Hindu yang sudah cukup lama mengakar di bumi nusantara ini. Berdasarkan data statistik tahun 2000 bahwa penduduk Indonesia berjumlah 280 juta dan 90% penduduknya menganut agama Islam. Sedangkan 10% lagi menganut agama-agama lain, seperti: Kristen, Hindu, Buddha xiv Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dan Khonghucu. Khususnya agama Buddha, sebagian besar penganutnya berasal dari sukubangsa China. Agama Buddha di Indonesia terdiri dari beberapa aliran atau majelis di antaranya: Theravada, Mahayana, Tentrayana dan lain-lain. Pada masa sebelum reformasi majelis-majelis agama Buddha tidak kurang dari tujuh majelis sebagai berikut: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI);Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi);Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi); dan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbhumi). Sedangkan pada masa reformasi majelis-majelis itu semakin bertambah menjadi dua puluh majelis, di antaranya sebagai berikut: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI); Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi); Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Mahabuthi); Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi);Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Mahabhumi); Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi); Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbhumi); Majelis Agama Buddha Maitreya Indonesia; Majelis EkaDhamma Indonesia; Majelis Ikwan Tao Indonesia; Majelis Rohaniawan TriDhamma Seluruh Indonesia (Martrisia); dan Majelis Agama Buddha TriDhamma Indonesia. Munculnya berbagai majelis dalam agama Buddha di Indonesia ini menunjukkan bahwa ajaranajaran Buddha itu sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh para murid-murid Budda dan para pengikut-pengikutnya di masa sekarang. Buku yang berjudul Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia ini, merupakan hasil penelitian dari para peneliti Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia. Buku ini bukan saja memperkenalkan berbagai majelis agama Buddha Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia xv di Indonesia, namun juga menjelaskan aspek sejarah, ajaranajaran dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dari berbagai majelis tersebut. Meskipun keberadaan dari berbagai majelis ini memberikan corak baru dari perkembangan agama Buddha di Indonesia dan berbeda dari negara-negara lain, namun konflik-konflik kecil di antara majelis-majelis ini juga tidak bisa dihindarkan. Sebagai Negara yang multi etnis, multi agama dan multi kebudayaan, sepatutnya kemunculan berbagai macam majelis dalam agama Buddha di Indonsia patut dihargai, karena Negara Indonesia adalah Negara yang menjunjung tingga keberbedaan dan menghormati adanya keberbedaan di antara keyakinan. Diharapkan di anatara berbagai majelis Buddha ini dapat saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lainnya. Jakarta, September 2016 Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok xvi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia PRAKATA EDITOR Adanya sekte dan majelis dalam agama Buddha merupakan realitas yang tak dapat dihindari dalam kehidupan sosial keagamaan. Dalam sekte dan majelis dalam agama Buddha masih terdapat kelompok keagamaan tertentu yang berusaha memaksakan kehendaknya, hingga mengabaikan kelompok lainnya. Mereka mudah menyalahkan dan menyesatkan aliran, paham dan gerakan keagamaan yang berbeda, meskipun secara teologis perbedaan itu masih absah. Agama Buddha memiliki banyak aliran atau sekte yang beberapa di antaranya eksis di Indonesia, seperti Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Di samping itu banyak majelis yang dikelola oleh komunitas Buddha di seluruh Indonesia, baik yang bernaung di bawah sekte Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Secara keseluruhan jumlah majelis yang resmi tercatat ada 20 buah, 12 buah bernaung di bawah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) yaitu: Majabuthi, Mapanbumi, Madhatantri, PSBI, PBD, NSI, Majabumi, Kasogatan, Tantrayana, Majabuti, T. Suci, Matrisia, Amitaba, Sinar Buddha dan LKBI. 4 Majelis bergabung di Konferensi Sangha Indonesia (KASI), yaitu Sagin, STI, SMI (Sangha), MBI, Magabudhi, Majabumi dan Martrisia (Tridharma). Sementara majelis yang berada di luar WALUBI dan KASI yaitu: Ekadharma, Soka Gakkai, Mikti dan Mahabudhi (Dirjen Bimas Buddha, 2015) Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia xvii Di Indonesia sekarang ini berkembang berbagai paham dan aliran keagamaan Buddha. Dari berbagai aliran dan paham keagamaan Buddha yang berkembang tersebut Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, belum mempunyai informasi yang mendalam tentang keberadaan beberapa paham dan aliran keagamaan yang terdapat dalam agama Buddha. Selama ini baru beberapa aliran agama Buddha yang pernah dilakukan penelitian seperti Niciren Syosyu Indonesia (NSI) di Batam, Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Jakarta, Majelis Budhayana Indonesia (MBI) di Lampung, Madhatantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia) di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama memandang penting dan perlu untuk melakukan penelitian terhadap beberapa aliran yang belum diteliti. Maka pada tahun ini dilakukan penelitian terhadap 11 majelis dalam agama Buddha. Majelis-majelis tersebut adalah: LKBI di Kalimantan Barat; Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar; Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) di Provinsi Riau; Majelis Pandita Buddha Maitrena Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan; Budhisme Niciren di Indonesia: Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia, di Jakarta; Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) di Provinsi Riau; Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara; Majelis Kasogatan di Kalimantan Barat; Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia di Kota Tangerang; Majelis Buddha Soka Gakkai xviii Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Indonesia; Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: sejarah perkembangan dari masing-masing majelis (11 majelis); bagaimana manajemen organisasinya; apa kitab sucinya, pokok-pokok ajarannya, ritual dan tradisi keagamaannya; dinamika atau konflik-konflik yang pernah terjadi dan penyelesaiannya; relasi sosial dengan penganut agama Buddha lainnya dan non Buddha dan pandangan pemuka agama dari sekte lainnya dan pembimas Buddha. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, data yang digali bersifat naturalistik dari para pimpinan majelis, Pembimas Buddha, dan masyarakat. Narasumber yang diutamakan berasal dari pimpinan majelis-majelis dan pimpinan majelis lainnya. Penelitin ini dilakukan di Pontianak Kalimantan Barat (2 majelis); Kota Medan; Provinsi Riau (2 majelis), Blitar; Jakarta (2 majelis), Jepara, Tangerang, dan Provinsi Lampung. Kehadiran majelis-majelis tersebut tidak bersamaan, ada yang sudah lama berdirinya ada yang baru. Begitu pula perkembangan majelisnya ada yang berkembang dengan pesat ditandai banyaknya umat dan bersanya bangunan viharanya. Ada majelis yang jumlah viharanya masih sangat sedikit. Kitab sucinya umumnya adalah Tri Pitaka, tetapi masing-masing majelis (aliran) mempunyai kitab dengan tekanan sendiri. Sebagai contoh dalam aliran Buddha Maitreya selain Kitab Suci Tri Pitaka juga mengutamakan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia xix beberapa sutra yang dianggap lebih praktis yaitu: Sutra Intan; Sutra Hati; Sutra Altar Mustika Dharma; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya Mencapai Sorga Tusita; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya mencapai Kebudhaan; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya tentang Panggilan Jiwa Buddha, dan sastra-sastra Mahayana lainnya. Relasi sosial dengan sesama penganut Buddha, berjalan dengan baik, tidak ada persoalan di antara mereka walau berbeda aliran dan majelis. Mereka dapat memahami karena adanya perbedaan sesepuh dan leluhur. Dalam perayaan hari-hari besar keagamaan yang diadakan oleh WALUBI umumnya pimpinan majelis diundang untuk menghadiri acara tersebut. WALUBI merupakan wahana untuk mempersatukan umat Buddha yang tergabung dalam WALUBI. Dengan umat non Buddha juga kerukunannya terjalin dengan baik, hal ini mungkin karena agama Buddha bukan agama missi (dakwah), sehingga tidak mengkhawatirkan kelompok agama lainnya. Pimpinan beberapa majelis agama umumnya dapat menghargai perbedaan dalam agama Buddha. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan sesepuh dan leluhur, dan murid sang Buddha itu memang banyak sehingga sangat memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, apalagi sesepuh tersebut hidup dalam lingkungan yang berbeda. Berdasarkan deskripsi di atas, merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: penelitian ini Agar Ditjen Bimas Buddha melalui aparatnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mendata umat xx Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dari masing-masing majelis, melalui pengurus majelis, sehingga diperoleh data yang pasti mengenai jumlah umat yang akan dibina. Kerukunan yang sudah tercipta dengan baik, internal dan eksternal perlu dipertahankan melalui forum-forum dialog yang sudah ada, yaitu WALUBI dan FKUB. Semoga informasi yang terdapat dalam buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil kebijakan. Tak ada gading yang tak retak, untuk itu kritik dan saran untuk perbaikan buku ini sangat kami harapkan. Wabillahi taufik wal hidayah. Wassalam Jakarta, September 2016 Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia xxi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ....................................... iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA ............................ v PROLOG ............................................................................ ix PRAKATA EDITOR......................................................... xvii DAFTAR ISI ...................................................................... xxiii PENDAHULUAN ............................................................. 1. Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI) di Provinsi Kalimantan Barat Nuhrison M. Nuh .................................................. 1 11 2. Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur Asnawati ............................................................... 41 3. Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau Suhanah .................................................................. 75 4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan Wakhid Sugiyarto ................................................... 113 5. Buddhisme Niciren di Indonesia: Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia Muhammad Adlin Sila ........................................... 211 xxii Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 6. Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) di Provinsi Riau Reslawati ................................................................. 255 7. Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara Provinsi Jawa Tengah Achmad Rosidi ....................................................... 285 8. Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat M. Taufik Hidayatulloh .......................................... 307 9. Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (MAJUBUTHI) di Kota Tangerang Achmad Ubaidillah & Adang Nofandi ................... 357 10. Majelis Buddha Soka Gakkai di Indonesia Syaiful Arif ............................................................. 385 11. Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung Zaenal Abidin Eko Putro ....................................... 417 EPILOG............................................................................... 455 INDEKS .............................................................................. 459 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia xxiii Keragaman Majelis Di Kalangan Umat Buddha Indonesia xxiv Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Adanya sekte dan majelis dalam agama Buddha merupakan realitas yang tak dapat dihindari dalam kehidupan social keagamaan. Walaupun demikian masih terdapat kelompok keagamaan tertentu berusaha memaksakan kehendaknya seolah pemahmannya sendiri sebagai kebenaran, hingga mengabaikan kelompok lainnya. Mereka mudah menyalahkan dan menyesatkan aliran, paham dan gerakan keagamaan yang berbeda, meskipun secara teologis perbedaan itu masih absah. Menurut Durkheim, agama adalah realitas social dan kekuatan kolektif masyarakat yang berada di atas individuindividu, sehingga para pemeluknya tunduk dan bergantung pada kekuatan moral daripadanya, menerima segala sesuatu yang baik dan meninggalkan larangannya, (Bernard Raho: 2013: hal 44), sehingga agama dipahami sebagai jalan menuju kehidupan sejati, yang diyakini setiap pemeluknya dan menjadi pedoman atau lentera dalam hidupnya. Watak dasarnya adalah memperbaiki realitas kehidupan yang ada (das sein) agar sesuai dengan kehidupan seharusnya ( das sollen). Secara teoritis, jika suatu kelompok individu dan masyarakat secara social semakin tunduk dan mematuhi ajaran agama, berarti agama itu bermakna tinggi dan berfungsi dengan baik. Tetapi jika individu atau masyarakat secara social tidak lagi tunduk pada ajaran agamanya, berarti agama itu sudah kehilangan makna, apalagi berfungsi, sehingga beragamapun sekedar pengakuan administrative belaka. Oleh karena itu agar agama bernilai, bermakna dan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 1 berfungsi, ia harus beradaftasi dan direvitalisasi dengan perkembangan social masyarakat dimana agama itu dipeluk. Jika perlu dilahirkan aliran baru dengan spiritualitas baru dan vitalitas baru sesuai dengan perkembangan pemahaman keagamaan dari masyarakat yang memeluk agama itu. Dari proses seperti inilah lahir berbagai aliran, paham, sekte, gerakan, organisasi atau majelis keagamaan di hamper semua agama, dan menjadi keharusan sejarah. Agama Buddha merupakan agama tua yang kedatangannya bersamaan dengan agama Hindu di Indonesia. Tiba pada sekitar abad kelima masehi, dan sejumlah kerajaan Hindu dan Buddhapun telah dibangun secara bergelombang sejak abad kelima hingga kesebelas masehi. Kedatangan agama Buddha dimulai dengan aktivitas perdagangan sejak awal abad pertama melalui jalur sutra antara India- Cina dan jalur rempah-rempah India-Nusantara. (Buddhisme in Indonesia: Diunduh 30 Februari 2015). Sejumlah warisan kejayaan kerajaan Hindu dan Buddhapun dapat ditemukan di seluruh Indonesia, seperti candi dan berbagai situs sejarah dan prasasti sebagai situs sejarah dan menjadi symbol bahwa agama Hindu Buddha pernah mendominasi kehidupan social keagamaan masyarakat di seluruh pelosok Nusantara. Pada masa Majapahit, agama Buddha berkolaborasi dengan agama Hindu dan disebut dengan Shiwa Buddha, tetapi sayangnya kemudian lenyap begitu Brawijaya V masuk Islam. Di Negara asalnya (India) agama Buddhapun lenyap. Tetapi aliran/sekte Buddha Mahayana berhasil menyelamatkan agama Buddha dari kepunahan, dan dapat pengikut besar di Asia Timur, seperti Cina, Korea, Jepang dan Taiwan setelah mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Di Cina Buddha Hinayana tidak dapat diterima 2 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia karena ajarannya yang terlalu jauh bertentangan dengan kosmologi masyarakat Cina, yaitu kebahagiaan, kemakmuran dan umur panjang. Mahayanalah yang menyelamatkan mereka dengan prinsip karma yang dapat mereka terima secara logis, yang didasarkan pada prinsip kausalitas (sebab akibat). Jadi Mahayana dipandang ajaran yang didasarkan pada spirit Buddha yaitu kasih sayang pada sesama. Sementara itu Hinayana sifatnya sangat individu, tekstual dan dipandang tidak dapat menyelamatkan semua orang. (Beatric Lane Suzuki, 2009). Masuknya Brawijaya V sebagai muslim mempercepat konversi agama masyarakat dari Shiwa Buddha ke Islam. Ketidak mampuannya beradaptasi dengan perkembangan sosial keagamaan global waktu itu, menyebabkan Shiwa Buddha kehilangan daya tarik dan tidak fungsional bagi penganutnya. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa waktu itu banyak orang-orang suci (wali-sufi) yang memiliki ilmu kesaktian (kanuragan) mampu mengalahkan kehebatan ilmu kesaktian orang-orang suci dari Shiwa Buddha, sehingga masyarakat Jawa yang paternalistik dan menghormati orang suci dengan mudah masuk Islam. (Azyumardi Azra, 2004). Agama Buddha bangkit kembali ketika Indonesia sudah merdeka dan terus tumbuh subur dan berkembang hingga hari ini. Menurut keterang Dirjen Bimas Buddha, jumlah umat Buddha di Indonesia sat ini mencapai 8,7 juta jiwa. Sensus nasional tahun 2000, kurang lebih 3% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 8,7 juta orang. (Budhisme in Indonesia, 2006). Agama Buddha memiliki banyak aliran atau sekte yang beberapa diantaranya juga eksis di Indonesia, seperti Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 3 Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Di samping itu banyak majelis yang dikelola oleh komunitas Buddha diseluruh Indonesia, baik yang bernaung dibawah sekte Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Secara keseluruhan jumlah majelis yang resmi tercatat adalah 20 buah, 12 buah bernaung dibawah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), yaitu: Majabuthi, Mapanbumi, Madhatantri, PSBI, PBD NSI, Majabumi, Kasogatan, Tantrayana, Majabuti, T.Suci, Matrisia, Amitaba,Sinar Buddha, dan LKBI. 4 majelis bergabung di Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), yaitu Sagin, STI, SMI (sangha), MBI, Magabudhi, Majabumi, dan Martrisia (Tridharma). Sementara majelis yang berada diluar WALUBI dan KASI yaitu: Ekadharma, Soka Gakai, Mikti dan Mahabudhi.( Dirjen Bimas Buddha, 2015). Menurut Dirjen Bimas Buddha, sekte Mahayana banyak berkembang di Cihna, Korea dan Jepang. Theravada/Hinayana berkembang di Srilangka dan Birma, sementara Tantrayana berkembang di Tibet. Beberapa sekte dibawa Mahayana seperti Maitreya berkembang di Taiwan dan Nichiren berkembang di Jepang. (Dirjen Bimas Buddha: 2015). Di Indonesia sekarang ini berkembang berbagai paham dan aliran keagamaan dalam agama Buddha, namun Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, belum mempunyai informasi yang mendalam tentang keberadaan beberapa paham dan aliran keagamaan yang terdapat dalam agama Buddha. Selama ini baru beberapa aliran dalam agama Buddha yang pernah dilakukan penelitian seperti Niciren Syosyu Indonesia (NSI) di Batam, Majelis Pandita Buddha Maiteriya Indonesia (MAPANBUMI) di Jakarta, Majelis Buddhayana Indonesia 4 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia (MBI) di Lampung, Madhatantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia). Oleh karena itu, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, khususnya Puslitbang Kehidupan Keagamaan memandang penting dan perlu melakukan suatu kajian tersendiri terhadap beberapa aliran dalam agama Buddha yang belum diteliti, dan pada tahun ini penelitian dilakukan antara lain terhadap sebelas majelis agama Buddha. Masalah Penelitian Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: (1) Sejarah perkembangan majelis-majelis agama (2) Bagaimana manejemen organisasinya (3) Apa kitab sucinya, pokok-pokok ajarannya, ritual dan tradisi keagamaannya (4) Bagaimana dinamika atau konflik-konflik yang pernah terjadi dan cara penyelesaiannya (5) Bagaimana relasi sosialnya dengan penganut agama Buddha lainnya dan non Buddha. (6) Bagaimana pandangan pemuka agama dari sekte lainnya dan pembimas Buddha. Tujuan Penelitian Secara umum, kajian ini ingin memperoleh gambaran yang lebih jelas (secara deskriptif) tentang majelis-majelis agama yang diteliti. Sementara secara khusus dan lebih rinci tujuan kajian ini, ingin menghimpun berbagai informasi tentang sejarah lembaga, manajemen organisasinya (struktur, keanggotaan, pembinaan, dana dan prasarananya, kitab sucinya dan pokok-pokok ajaraannya (teologi), ritual (sistem peribadatan) etika dan tradisi keagamaannya (hari suci Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 5 keagamannya), relasi sosialnya (hubungan dengan umat Buddha lainnya, masyarakat setempat dan pemerintah), respon pemuka agama dan pemerintah terhadap keberadaan majelis-majelis agama yang diteliti. Kerangka Konseptual Konsep Teologis Agama Buddha Agama Buddha didasarkan pada konsep teologi yang memahami bahwa ada sesuatu kekuatan gaib yang maha dahsyat di alam semesta ini yang mengatur segala isi dari alam semesta ini. Siapa yang berbuat sesuai dengan kekuatan gaib ini akan selamat, siapa yang berbuat bertentangan dengan kekuatan gaib ini akan celaka. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut atau memberi nama kepada kekuatan gaib tersebut. Tuhan dalam agama Buddha tidak bernama seperti dalam agama lain. Sistem ketuhanan dalam agama Buddha didasarkan pada sabda Buddha, yaitu: “Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu,karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” (wikipedia org/ agama Buddha, 30-1-2015). Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu tanpa aku (anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, tidak dapat 6 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia digambarkan dalam bentuk apapun dan Yang Mutlak tidak berkondisi (asamkhata), manusia yang berkondisi (shamkata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi (berkhalwat dan bertapa). Akibat tidak ada sebutan Tuhan dalam agama Buddha, maka umat Buddha Indonesia menyebutnya “Tuhan Yang Maha Esa” atau “Yang Maha Esa”, sesuai dengan keputusan Pasamuan 1 Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang (12 s.d.14 Maret 1976). Tetapi beberapa tahun sebelumnya pendiri Perbudddi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mengusulkan agar sebutan Tuhan dalam agama Buddha disebut, Sang Hyang Adi Buddha, tetapi usulan ini tidak disepakati seluruh umat Buddha dan yang lazim tetap disebut Tuhan Yang Maha Esa. Umat Buddha memiliki nilainilai moralitas yang dipegang dan dijaga yang biasa disebut dengan Pancasila Buddhis. Disamping memegang lima sila moralitas ini umat Buddha juga sangat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat. Para penganut agama Buddha apapun alirannya berpegang pada Tripitaka, didalamnya tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama, yang diklasifikasikan dalam tiga buku yaitu Sutta Pitaka (khutbah-khutbah Sang Buddha), Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abidahmma Pitaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi). Itulah sebabnya kumpulan buku tersebut disebut Tripitaka. Tri artinya tiga dan pitaka artinya keranjang, Tripitaka artinya tiga keranjang (kelompok) buku diatas. (Nahar Nahrawi, 2006: hal 200-201). Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 7 Sekte Agama Buddha Agama Buddha memiliki banyak sekte/aliran karena Sang Buddha mengajarkan kepada banyak kelompok orang, ada masyarakat biasa, kaum terpelajar, kaum pertapa, para dewa, dan asura. Sang Buddha menyesuaikan materi yang diajarkan sesuai dengan pola pikir masing-masing kelompok yang berbeda. Tiap-tiap manusia memiliki kecendrungan yang berbeda, baik minat maupun kebiasaannya. Hal ini menyebabkan cara setiap orang melihat ajaran Sang Buddha bisa dari berbagai sudut pandang, disesuaikan dengan mereka. Masalah sekte/aliran, seperti halnya masalah agama, adalah masalah kesesuaian/kecocokan. Tentu saja hal ini berbeda pada setiap pribadi. Ajaran Sang Buddha amat luas, sehingga ada kelompok tertentu yang memiliki kecendrungan untuk memilih bagian atau tradisi tertentu dari ajaran Sang Buddha untuk dipraktekkan. Sekte/aliran dalam agama Buddha ada tiga yaitu Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Selain itu ada juga sekte yang sebenarnya merupakan pecahan dari sekte Buddha Mahayana. Yaitu: Tridharma; Maitreya, Nichiren, Satya Buddha, dan Buddhayana. Majelis Agama Buddha Majelis agama Buddha merupakan organisasi umat Buddha dalam mengembangkan dan membina sebuah aliran/sekte dalam agama Buddha. Majelis agama Buddha tersebut seperti Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI), Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA), Majelis Pandita Buddha Dhamma 8 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Indonesia (MAPANBUDDHI), dan masih banyak mejelis lainnya. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam bentuk studi kasus. Dalam memahami data yang ditemui di lapangan, peneliti lebih bertumpu pada pendekatan fenomenologis dalam arti berusaha memahami subjek dari sudut pandang mereka sendiri, memaknai berbagai fenomena sebagaimana dipahami dan dimaknai oleh para pelaku. Pengumpulan data dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara mendalam serta pengamatan lapangan. Kajian pustaka dilakukan baik sebelum maupun sesudah pengumpulan data lapangan. Sebelum ke lapangan kajian pustaka ditekankan pada usaha merumuskan permasalahan penelitian serta menentukan fokus dalam penelitian. Sedangkan kajian pustaka setelah pengumpulan data lapangan ditujukan untuk menganalisis dokumen-dokumen yang diperoleh selama penelitian lapangan. Wawancara dilakukan dengan tokoh-tokoh kelompok ini, pengikutnya, pemuka agama aliran/sekte agama Buddha lainnya, pengurus WALUBI (Provinsi dan Kota), pemuka agama setempat, dan Kepala Pembimas Agama Buddha Provinsi. Sedangkan pengamatan dilakukan mengenai kondisi tempat ibadat. Semua informasi, temuan, kenyataan lapangan berupa konsep, aspirasi, saran, dan catatan-catatan yang berhasil dikumpulkan, kemudian dicatat, diseleksi, diklasifikasi dan ditarik beberapa kesimpulan pokok yang bersifat umum dan menyeluruh. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 9 Buku ini memuat tulisan keragaman majelis-majelis dalam agama Buddha, yang terdiri dari: a) Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI); b) Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar Jawa Timur; c) Majelis Rohaniawan Tridharma (MARTRISIA) di Provinsi Riau; Seluruh Indonesia d) Majelis Pandita Buddha Maitreya (MAPANBUMI) di Kota Medan; e) Budhisme Niciren di Indonesia; f) Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) di Provinsi Riau; g) Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Maju Bumi) di Jepara Jawa Tengah; h) Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat; i) Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Maju Buthi) di Kota Tangerang j) Majelis-majelis Buddha Saka Gakkai Indonesia k) Majelis Buddhayana Lampung. 10 Indonesia (MBI) Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia di Provinsi 1 LEMBAGA KEAGAMAAN BUDDHA INDONESIA (LKBI) DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Oleh: Nuhrison M. Nuh Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 11 12 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI) A. Setting Sosial Ketika Berdirinya LKBI Agama Buddha telah menyebar dan berkembang di Kalimantan Barat sejak zaman kemerdekaan. Keberadaan agama Buddha di Kalimantan Barat sama keberadaannya seperti agama Buddha di Indonesia umumnya, namun demikian penyebaran dan perkembangan agama Buddha di Kalimantan Barat pada waktu itu dapat dikatakan mati suri antara ada dan tiada. Perkembangan berikutnya hanya mengikuti tradisi Cina. Artinya yang dikembangkan adalah nilai-nilai tradisional Cina sehingga menimbulkan perspektif bahwa agama Buddha adalah agama orang Cina. Pada kurun waktu 1990-an agama Buddha di Kalimantan Barat belum mampu menunjukkan eksistensinya secara menonjol karena belum ada pelayanan dari pemerintah secara khusus. Sekitar tahun 1993 terjadi pemisahan secara khusus dengan terpisahnya Pelayanan Bimbingan Masyarakat Hindu dan Pelayanan Bimbingan Masyarakat Buddha. Pada waktu itu Kepala Pembimas Buddha di jabat oleh Ida Bagus Putra Arimbawa. Sampai dengan tahun 1998 keberadaan agama Buddha belum mampu menunjukkan eksistensinya secara nyata, dimana agama Buddha belum mendapat pelayanan secara nyata karena pejabat Plt Pembimas Buddha dijalankan oleh pejabat dari agama Hindu. Siswa-siswi yang beragama Buddha di sekolah masih banyak yang mengikuti pelajaran agama lain. Hal ini Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 13 dikarenakan belum ada seorangpun umat Buddha yang telah diangkat oleh pemerintah secara depenitif menjadi pegawai negeri sipil sebagai guru agama Buddha. Tahun 1998 didatangkan sorang pegawai Bimas Buddha dari Jakarta (Saiman, S.S) untuk memberikan pelayanan kepada umat Buddha di wilayah Kalimantan Barat, kemudian pegawai tersebut diangkat sebagai Plt Pembimas Buddha. Pada tahun 1999 Plt Pembimas Buddha menghadap Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin, agar umat Buddha mendapat porsi dalam pengangkatan pegawai. Gubernur menanggapi secara serius permohonan Pembimas Buddha, dan menugaskan Drs. Ignasius Liong sebagai Kepala Biro Kepegawaian untuk mendata dan memberikan formasi pengangkatan guru agama Buddha. Setelah diadakan pendataan dan meneliti kondisi formasi pengangkatan pegawai, maka Kepala Biro memberikan jatah Formasi Guru Agama Buddha sebanyak 18 orang. Ketika itu tenaga yang tersedia baru satu orang, kekurangan 17 orang. Plt Pembimas Buddha mengusulkan kepada Kepala Biro untuk mengadakan seleksi di Jakarta. Kepala Biro menyetujui dan menugaskan kepada Plt Pembimas Buddha, Kepala Dinas Pendidkkan, Kepala Dinas Transmigrasi untuk menyeleksi calon guru agama Buddha di Jakarta. Bulan Oktober 1999 Surat Keputusan Guru Agama Buddha telah turun, dan Plt Pembimas Buddha memanggil semua Calon Guru Agama Buddha untuk datang melaksanakan tugas. Mulai tahun itulah untuk pertama kalinya ada 17 orang guru agama Buddha di Kalimantan Barat, karena yang satu orang mengundurkan diri. Pada periode 1999 sampai dengan 2006, merupakan periode perjuangan dan tantangan bagi Plt Pembimas Buddha 14 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia untuk menata dan mengumpulkan data keagamaan Buddha di seluruh Kalimantan Barat. Periode ini juga sedang hangathangatnya reformasi yang diikuti oleh banyaknya pemekaran wilayah. Setelah dilakukan pendataan pada setiap kabupaten/kota maka Plt mengusulkan dengan mendatangi setiap daerah pemekaran, agar dalam pembentukan struktur organisasi di daerah terdapat Kasi/Penyelenggara Bimas Buddha. Usulan tersebut ditembuskan ke Ditjen Bimas Hindu dan Buddha dan Sekjen Departemen Agama. Usulan tersebut dapat dikabulkan sehingga di setiap Kabupaten /Kota pemekaran terdapat Kasi/Penyelenggara Bimas Buddha. Periode 2006-2009 merupakan periode penataan organisasi-organisasi keagamaan Buddha. Pada tahun tersebut Plt Pembimas Buddha dilantik sebagai Pejabat Depenitif Pembimas Buddha. Saiman S.S, merupakan pejabat pertama Pembimas Buddha Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat, setelah tujuh tahun menjabat sebagai Plt. Pada tahun itu juga diadakan Musda Perwakilan Umat Buddha Provinsi Kalimantan Barat atau DPD WALUBI Provinsi Kalimantan Barat. Terpilih dalam Musda tersebut sdr Herman Limanto dari Madha Tantri ( Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia). Sejak berdirinya WALUBI mulailah tampak kesemarakan kehidupan umat Buddha di Provinsi Kalimantan Barat. Maka mulailah bermunculan organisasi-organisasi agama Buddha. Hingga saat ini di Provinsi Kalimantan Barat terdapat delapan majelis agama Buddha, yaitu: (1) Mapanbumi (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia); (2) YPSBDI ( Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia); (3) BDNSI ( Buddha Dharma Niciren Sosyu Indonesia); (4) Matrisia (Majelis Tri Dharma Indonesia); (5) LKBI (Lembaga Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 15 Keagamaan Buddha Indonesia); (6) Majelis Agama Buddha Kasogatan Indonesia; (7) Madha Tantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia); (8) MAGABUDTHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia). Dari delapan majelis tersebut yang terbesar adalah MAPANBUMI yang memiliki ratusan tempat ibadah, dan diantaranya terdapat vihara yang terbesar di Provinsi Kalimantan Barat, sedangkan yang terbesar kedua adalah Majelis Tri Dharma Indonesia ( MATRISIA). (Saiman,S.S, Agenda Kerja Pembimas Buddha Kanwil Departemen Agama Prov Kalbar, 2009, hal 29-31). B. Perkembangan LKBI Sejarah adalah masa lalu dan sekarang. Oleh sebab itu sumber primer sangatlah penting, sumber primer itu adalah para pelaku sejarah dan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Permasalahannya dalam masalah LKBI ini sumber primer tersebut tidak dapat ditemui dan diperoleh, hanya orang yang melanjutkan lembaga tersebut yang dapat ditemui. Berdasarkan informasi dari Bapak Sunarto Ketua LKBI yang sekarang, LKBI berdiri pada tanggal 18 Mei tahun 1999. Sebagai pendirinya Bapak Budi Wong, yang ketika itu sering mengadakan kontak dengan Pimpinan LKBI Pusat, ketika itu dia menjabat sebagai Ketua WALUBI Kalimanan Barat. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa sebelum terbentuknya LKBI, agama Buddha pada tahun 1998-an belum eksis, pelayannya masih ditangani oleh Pembimas Hindu, orangnyapun orang Hindu, karena pada saat itu belum ada pegawai yang beragama Buddha. 16 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Setelah ditempatkannya PLT Pembimas Agama Buddha di Kalimantan Barat dia mulai mengadakan pendataan dan pembinaan terhadap majelis agama Buddha. Dalam pendataan tersebut dia memperoleh informasi ada beberapa vihara yang belum tergabung dalam salah satu majelis. Maka disarankan agar mereka bergabung dalam Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI). LKBI pada awalnya berbeda dengan majelis yang merupakan representasi dari aliran/sekte, tetapi dia merupakan federasi dari berbagai aliran/sekte. Pada mulanya bergabung sekte kasogatan dan Maitereya (non MAPANBUMI), tetapi setelah berdiri majelis sendiri maka Kasogatan keluar dari LKBI dan mendirikan majelis sendiri. Berdirinya LKBI di Pusat bersamaan dengan dibentuknya WALUBI baru. Dimana dalam WALUBI yang baru beberapa majelis tidak bergabung, sehingga jumlah anggota majelis yang bergabung dengan WALUBI menjadi berkurang. Mereka yang tidak bergabung dengan WALUBI kemudian mendirikan KASI ( Konferensi Sangha Agung Indonesia). Dalam persaingan antara WALUBI dan KASI tersebut maka didirikanlah Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia. Selain itu beberapa majelis yang dibawah WALUBI lama dipermasalahkan, dalam wadah WALUBI yang baru, dapat diterima dengan baik. WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) didirikan pada 8 Mei 1978 ketika dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta, sebagai wadah tunggal umat Buddha Indonesia yang beranggotakan majelis-majelis agama Buddha dan tiga organisasi, yaitu: Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan Sangaha Mahayana Indonesia. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 17 Sedangkan majelis yang tergabung dalam WALUBI waktu itu adalah: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia ( Mapanbudhi) yang kemudian berganti nama menjadi Magabudhi, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Martrisia (Majelis Rohaniawan Tri Dharma Seluruh Indonesia), Majelis Pandita Buddha Maitereya Indonesia (Mapanbumi), Majelis Nichiren Syosyu Indonesia (NSI), dan Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia. Pada tahun 1998 WALUBI membubarkan diri, dan seiring dengan pembubaran ini berdiri WALUBI baru yang sifatnya federatif yang terdiri dari majelis-majelis agama Buddha. Berbeda dengan WALUBI sebelumnya, organisasi WALUBI ini merupakan singkatan dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia beranggotakan majelis-majelis dan terdapat dewan Sangha. Majelis-majelis anggota WALUBI Perwakilan saat ini terdiri dari: Majelis Agama Buddha Tantrayana Zen Fo Zong Kasogatan Indonesia ( Zhen Fo Zong Kasogatan), Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), Parisadha Buddha Dharma Indonesia (PSBDI), Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA), Majelis Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madha Tantri), Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI), Majelis Agama Buddha Mahayana Buddhis Indonesia (Mahabudhi), Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia (Majabudti), Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia Tanah Suci (Majabumi Tanah Suci). 18 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Sementara itu, terdapat pula majelis agama Buddha dalam WALUBI perwalian namun tidak bergabung dalam WALUBI perwakilan yaitu: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Majelis Agama Buddha Dhamma Indonesia (Magabudhi), Majelis Agama Buddha Tri Dharma Indonesia (Martrisia Jakarta sewaktu bergabung dalam WALUBI perwalian).(Lihat Tabloid KASI, Edisi Pertama, 1 November 2007). Sejak berdirinya telah terjadi empat kali pergantian pengurus. Pada periode pertama 1999-2004 dipimpin oleh Budiona Tan, sedangkan Pak Budi Wong yang merupakan pendirinya justru menjabat wakil ketua dibantu oleh Pak Sunarto. Kemudian pada periode 2004 – 2009 dipimpin oleh Bapak Sunarto, kemudian periode 2009 – 2014 dipimpin oleh Bapak Limas Joni, kembali pada periode 2015 – 2019 pimpinan dipercayakan kembali pada Bapak Sunarto. Berbeda dengan majelis lainnya yang mempunyai otoritas terhadap rumah ibadah yang berada dibawah binaannya, di LKBI tidak demikian, rumah ibadah yang bernaung dibawah LKBI mempunyai hak untuk mengatur viharanya, tanpa dapat dicampuri oleh LKBI. LKBI hanya berfungsi sebagai mediator antara vihara dengan pemerintah dan antara vihara dengan umat Buddha lainnya. Sedangkan kedalam pimpinan vihara berhak mengatur dirinya sendiri. Oleh sebab itu kalau kita tanya tentang informasi yang berkaitan dengan vihara yang berada dibawah binaannya, umumnya mereka tidak tahu. Bahkan berapa jumlah vihara yang tergabung dalam LKBI pengurus kurang mengetahuinya secara pasti. Sebagai contoh ketika terjadi pesamuan vihara yang dianggap anggota sebanyak 9 (sembilan) buah, tetapi yang datang hanya 6 (enam) orang pengurus vihara. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 19 Malah menurut Ketua WALUBI Kalimantan Barat Pdt Edi Tansuri anggota LKBI banyak, ada puluhan tetapi memang tidak terdata dengan baik. Semua vihara yang belum bergabung pada sebuah majelis seharusnya bergabung ke LKBI sebab LKBI merupakan federasi dari berbagai vihara, tetapi nampaknya sekarang yang tergabung dengan LKBI hanya vihara yang beraliran Maitreya yang tidak bergabung di MAPANBUMI. Mengapa mereka beraliran Maetreya tapi tidak mau bergabung dengan MAPANBUMI menurut keterangan Pak Soenarto dan Ketua MAPANBUMI karena berlainan gurunya. Yang bergabung dengan LKBI berguru langsung dengan guru ( Pdt Hung) yang berasal dari Taiwan, sedangkan MAPANBUMI melalui muridnya bernama MS Maitreyawira yang berguru dengan guru yang ada di Taiwan (Pdt Hung). Oleh sebab itu kelompok Maitreya yang ada di LKBI menganggap lebih hebat dari Maitreya yang tergabung di MAPANBUMI. (wawancara dengan Pdt Hendra Ngantung 224-2015 dan Soenarto, 16-4-2015). C. Setting Sosial Masa Kini Kondisi LKBI sekarang kurang berkembang bila dibandingkan dengan majelis-majelis lainnya, hal ini antara lain karena organisasi ini bersifat independen, artinya masingmasing vihara tidak tunduk pada pimpinan daerah LKBI Provinsi Kaliamnatan Barat. Selain itu LKBI belum mempunyai pengurus daerah tingkat II, yang seharusnya ada. Seandainya ada kepengurusan daerah tingkat II mungkin vihara yang akan bergabung akan lebih banyak. Tetapi kita juga dapat memakluminya karena WALUBI sendiri baru mempunyai perwakilan baru di tiga daerah, yaitu Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan Kota Singkawang. 20 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat (2013) 4.641.000 yang terdiri dari 2,366.000 laki-laki dan 2.275.000 perempuan. Sedangkan jumlah pemeluk agama adalah: Islam 2.892.238 orang; Katolik 268.551; Kristen 729.653; Hindu 12.153; Buddha 359.400; Khonghucu 19.368. Sarana peribadatan yang tersedia bagi masing-masing agama adalah: Masjid 4.203 buah; Gereja Kristen 3.062 buah; Gereja Katolik 2.056 buah; Pura 20 buah dan Vihara 312 buah, sedangkan untuk agama Khonghucu tidak tersedia datanya. Sedangkan tenaga penyuluh yang tersedia: Islam 1170 orang; Kristen 300 orang; Katolik 406 orang, Hindu 20 orang dan Buddha 95 orang. Jumlah penganut agama Buddha di Provinsi Kalimantan Barat berjumlah 359.400 jiwa. Penganut terbanyak di Kota Pontianak sebanyak 101. 204, kedua di Kota Singkawang sebanyak 92.574 jiwa. sedangkan penganut yang paling sedikit terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak 419 jiwa, Kabupaten Sintang sebanyak 1228 jiwa.( Kalimantan Barat Dalam Angka, 2014, BPS Provinsi Kalimantan Barat 2015). Dari sejumlah penganut agama Buddha tersebut tidak diketahui berapa yang bergabung dalam LKBI. Jumlah majelis yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat yaitu: MAPANBUMI (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia), beralamat di Jl Beringin No 12A Pontianak, Ketuanya Pandita D.Hendra Ngantung; PSBDI (Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia),beralamat di Jl Arteri Supadio Km 14,8 Kab Kubu Raya, Ketuanya Pandita Maskun Halim Krisno; LKBI (Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia), beralamat di Jl Siaga, Pontianak, Ketua Soenarto; MATRISIA (Majelis Tri Dharma Indonesia), beralamat di Jl Pattimura No 203, Pontianak Kalbar, Ketua Pandita Burhan?Lim Hui Weng; Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 21 Majelis Kasogatan Indonesia, beralamat di Jl Arteri Supadio, Kec Sungai Raya Kab Kubu Raya, Ketua Pandita Firmanto; MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravasa Indonesia), beralamat di Jl Parit II Gg Flamboyan III B Kec Sungai Raya Kab Kubu Raya, Ketua dr. Ali Fuchih Siaw M.BA; PBDNSI (Parisadha Buddha Dharma Niciren Sosu Indonesia), beralamat di Jl H.Abbas II No 35 Pontianak, Ketua Handoko Salim; MADHATANTRI (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia), beralamat di Jl Siam Gg Kelantan IV No 162 Pontianak, Ketua Pandita Herman Limanto. Selain itu terdapat Pengurus WALUBI tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota, yaitu WALUBI Tingkat Provinsi dengan Ketua Pandita Edy Tansuri; DPD WALUBI Kota Pontianak, dipimpin oleh Lilyana, SE,MM; DPD WALUBI Kabupaten Kubu Raya dipimpin oleh Tjen Jung Lung dan DPD WALUBI Kota Singkawang dipimpin oleh Pandita Tjhin Jiu Siu. Selain itu terdapat 51 orang guru agama Buddha di seluruh Kabupaten dan Kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat, 17 orang diantaranya bertugas di Kota Pontianak. Dengan data tersebut nampak masih banyak daerah kabupaten yang belum memiliki guru agama. Adapun sekolah umum yang bercirikan Buddha berjumlah 9 buah yang terdiri dari 4 buah TK, 3 buah SD, 1 buah SMP dan 1 buah SMK. Sekolah - sekolah tersebut tersebar di 6 buah di Kota Singkawang, 2 buah di Kabupaten Kubu Raya dan 1 buah di Kabupaten Sambas. Dilihat dari jumlah murid sekolah-sekolah tersebut cukup signifikan, sebagai contoh SMK Mudita Singkawang memiliki murid 679 orang ,terdiri dari 312 orang laki-laki dan 367 orang perempuan, dan SD Karena Singkawang mempunyai murid sebanyak 315 orang, terdiri dari 147 orang laki-laki dan 168 orang perempuan. Salah satu keluhan yang sering dikemukakan oleh tokoh 22 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia agama Buddha adalah minimnya umat Buddha mempunyai sekolah. Karena itu umumnya anak-anak orang Buddha sekolah disekolah Katolik atau sekolah Kristen, karena diajar agama Katolik dan Kristen mereka lebih mengerti ajaran agama Katolik dan Kristen dari pada ajaran agama Buddha. Tidak heran dengan kondisi yang demikian ada dari mereka kemudian yang pindah agama. Untuk memberikan pendidikan agama kepada anakanak dan remaja sebagian vihara mengadakan sekolah minggu agama Buddha. Berdasarkan data dari Pembimas Buddha, di Kalimantan Barat terdapat 34 buah sekolah minggu yang tersebar di Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang, Kota Pontianak, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Landak. ( Pembimas Buddha, 14 April 2015) Karena masih banyaknya kekurangan guru agama Buddha disekolah-sekolah, maka beberapa vihara mengadakan sekolah minggu Buddha (SMB). Dari 312 buah vihara yang ada diProvinsi Kalimantan Barat, hanya terdapat 34 buah SMB, bearti hanya 10% vihara yang sudah mempunyai SMB. SMB tersebut tidak tersebar disemua kabupaten dan kota, tetapi hanya tersebar di Kabupaten Sambas (2 Buah) Kabupaten Bengkayang (9 buah); Kota Singkawang (9 buah); Kota Pontianak (5 buah); Kabupaten Kubu Raya (2 buah); Kabupaten Landak (6 buah); dan Kabupaten Sekadau (1 buah). Vihara LKBI mempunyai 2 buah SMB. Untuk membina SMB tersebut hanya terdapat 25 orang guru SMB, dengan demikian masih terdapat SMB yang tidak mempunyai guru. Sebagian besar guru SMB tersebut mengajar pada SMB milik vihara Buddha Maitreya. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 23 1. Ajaran dan Peribadatan 1). Aspek Sradha LKBI hanya merupakan lembaga keagamaan, bukan merupakan sekte. Ajaran yang dianutnya adalah sama dengan ajaran Buddha Maitreya yang terdapat sedikit perbedaan diantara keduanya. LKBI juga mengenal aspek Sradha atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Tri Ratna,, adanya para Buddha, Bodhisatwa, Dewa dan Malaikat Penjaga Dharma, altar, adanya Hukum Kasunyatan, kitab suci dan Nirwana. Adapun aspek Buddha itu terdiri dari: a. Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. b. Keyakinan terhadap Tri Ratna (Buddha, Dharma dan Sangha). c. Keyakinan terhadap adanya Para Buddha, Boddhisatwa, Dewa, Para Malaikat penjaga Dharma dan Altar, Patriat dan Maha guru. d. Keyakinan Terhadap adanya Hukum Kasunyatan. 1). {Catur Aryasatya (Empat sebab Derita), Dukkha (derita); Dukkha Samudya Aryasatya (asal muasal derita). Dukha Niroda Aryasatya (terhentinya derita) dan Marga/Dukkhaniroda Pratipad Aryasatya (Jalan untuk mengentikan derita). 2). Hukum Tri Lakshana (Tiga corak umum) yaitu: Sabbe sankhara anitya; Sabbe sankhara dukkha; sabbe dhamma antman. 3) hukum karma 4) Punarbhawa (tumimbal lahir); 5). Pratitya 24 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Samutpadah (Hukum bergantungan). sebab akibat saling e. Keyakinan terhadap kitab suci, kitab sucinya Tri Pitaka, tetapi mengutamakan beberapa sutra yang dianggap lebih praktis seperti sutra intan, sutra hati, sutra altar mustika dharma. f. Keyakinan terhadap Nirwana. 2). Aspek Bhakti Puja bhakti dalam LKBI sangat diutamakan, sebagai aspek yang menghubungkan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha dan Boddhisatwa. Setiap hari umat Buddha LKBI melakukan 2 kali sembah sujud dan pertobatan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan para Buddha. Puja bhakti dilakukan pada waktu pagi dan sore. Selain itu puja bhakti dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan imlek. A. Puja bhakti berarti Pelaksanaan Sila, Samadhi dan Prajna. Sebagai pelaksanaan sila puja bhakti akan menarik semua kegiatan indera dan perilakunya dalam posisi penuh kedisiplinan dan pengendalian jiwa yang penuh dengan rasa hormat dan kerendahan hati, yaitu posisi bersujud. Posisi ini sebagai momen pengekangan diri dan penaklukan nafsu dan keinginan rendah. Sebagai pelaksanaan Samadhi, bahwa dalam puja bhakti umat melaksanakan persujudan yang Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 25 khidmat dan meditative hingga seribu atau bahkan sepuluh ribu suju dan yang akan memakan waktu lebih kurang satu jam. Dalam waktu satu jam itu, semua bentuk niat pikiran dan keinginan hingga yang sekecil-kecilnya dipadamkan, dengan penuh konsentrasi merenungi dan menginsafi kebesaran sifat Tuhan, para Buddha dan Bodhisatwa serta Buddhata yang nafsunya ada dalam diri manusia. Sebagai pengembangan Prajna, yaitu pengendalian dan penaklukan diri (sila) untuk memasuki suasana jiwa yang tenang dan penuh konsentrasi (samadhi). Melalui puja bhakti umat berusaha memadamkan semua kebodohan dan memancarkan kebijaksanaan luhur sebagai cara pengembangan prajna yang praktis. B. Bhakti Puja Berarti Pelaksanaan Pertobatan. Puja bhakti sebagai pertobatan dan pembaharuan diri, karena dalam tata ritual Puja Bhakti terdapat bait yang berbunyi:”pernyataan pertobatan”, menyesali semua kelalaian, kekasaran dan kejahatan yang telah diperbuat baik secara jasmaniah maupun hanya dalam pikiran C. Puja Bhakti sebagai Pernyataan Sikap Pengagungan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Para Buddha dan Boddhisatwa. Melalui puja bhakti ini seorang umat berjuang memecahkan konsep keakuan yang menjadi sumber semua penderitaan. 26 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 3). Aspek Sila Sila yang merupakan ajaran langsung dari Sang Budha adalah pedoman pengendalian dan pendisiplinan badan, ucapan dan pikiran yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan Buddhis seseorang. Sila merupakan pondasi dasar, sebagai jalur untuk merealisasi semua kebenaran dari wujud abstrak menjadi kenyataan yang hidup. Kesucian seseorang dapat terlihat dari kesempurnaan silanya. Sila-sila dalam LKBI yang menganut aliran Maytreya sebagai berikut: (a) Pancasila yaitu: menahan diri dari lima hal; pembunuhan, pencurian, perzinahan, pendustaan dan pemabukan. (b) Dasa Sila Paramita yaitu: tidak membunuh, tidak mencuri tidak berzina, tidak berdusta, tidak memfitnah, tidak berbicara kasar, tidak berbicara sembrono, tidak iri hati, tidak boleh marah, dan tidak loba (serakah). (c) Delapan Sila Buddhisme Maitreya, Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak bermabukan, tidak makan daging, tidak menyaksikan tarian atau pertunjukan yang asusila, dan tidak menggunakan tempat duduk/tidur yang terlalu mewah. (d) Dasa Sila Dasar Buddhisme Maitreya dan Dasa Sila Sadar Nurani. Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berhubungan kelamin, tidak bermabukan, tidak berdusta, tidak memakan daging, tidak menyaksikan tarian atau pertunjukan yang asusila, tidak Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 27 menggunakan wangi-wangian, alat kecantikan yang cendrung menimbulkan godaan/ pemikatan, tidak menggunakan kursi/tempat tidur terlalu mewah, dan tidak menerima pemberian emas, perak dan harta benda untuk diri pribadi. (e). Dasa Sila Sadar Nurani, Rendah hati, sabar (tidak emosi), tahan derita, dapat merugi diri, menghormati guru, menjunjung wadah ketuhanan, menghormati kerukunan antar umat, selalu bertobat, menjunjung kode etik kebuddhaan, dan hidup sederhana. Setiap umat Buddha Maitreya harus berusaha untuk melaksanakan Pancasila dan Dasa Sila Paramita sebagai landasan pembinaan kesucian diri. Delapan sila Budhisme Maitreya merupakan sila yang wajib dijalankan oleh seorang Pandita dan Dharma Duta. Dasa Sila Dasar Budhisme Maitreya wajib dilaksanakan oleh para sesepuh dan viharawan/wati, sedangkan Dasa Sila Sadar Nurani merupakan sila yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Buddhisme Maitreya dengan penuh kesadaran nuraninya. (DPP Mapanbumi: 1992, hal 28-31). A. Peribadatan Puja-bhakti dilaksanakan secara bersama-sama pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pukul 6 atau 6.30 pagi, pukul 12 siang, dan pukul 18 atau 18.30 petang. 28 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia B. Kitab Suci Dan Hari-Hari Suci Kitab suci LKBI adalah Tri Pitaka, namun disamping menghormati keseluruhan tri Pitaka juga mengutamakan beberapa sutra yang dianggap lebih praktis, yaitu: a. Sutra Intan (Vajrachedika Prajna Paramita Sutra) b. Sutra Hati (Prajna Paramita Herdaya Sutra) c. Sutra Altar Mustika Dharma d. Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya Mencapai Sorga Tusita. e. Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya Mencapai Kebudhaan f. Sutra Pertanyaan Bodhisatwa Maitrea tentang Panggilan Jiwa Buddha g. Sastra-sastra Mahayana lainnya. Sebagai hari suci dalam LKBI yaitu hari Waisak, Hari Asadha dan Hari Kathina, dalam hal ini sama dengan aliran agama Buddha pada umumnya. Dalam penyelenggaraan hari-hari suci tersebut selalu mengikuti program yang dilakukan oleh WALUBI. (Nuhrison M.Nuh:1992/1993, hal 37). 4). Perbedaan Ajaran dan Tata Cara Peribadatan Perbedaan ajaran LKBI dengan aliran lainnya ialah kalau aliran lain menganggap kedatangan Buddha Maitreya nanti pada masa yang akan datang, bagi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 29 Maitreya (LKBI) Buddha Maitreya sudah datang sekarang, maka itu ikut dihormati, bahkan dihormati lebih dari Buddha Sakyamuni. Maka dialtar pemujaan disamping rupang Buddha Sakyamuni dan yang lainnya juga terdapat rupang Buddha Maitreya. Bedanya LKBI dengan Maitreya, kalau di LKBI ada 6 rupang diatas altar: yaitu, didepan ada rupang Nacha, Sang Buddha (Sakyamuni), dan Kwan Kong, sedangkan dibelakang dari sebelah kanan, dewa Kwan Im, Buddha Maitreya dan Chi kung, sedangkan dalam aliran Maitreya (MAPANBUMI) hanya terdapat rupang Maitreya diatas altar. Selain itu ada kesan dari pihak Buddha lainnya, LKBI lebih mengutamakan Sutra dari Tri Pitaka. 2. Majelis dan Kegiatannya A. Struktur Kepengurusan Adapun susunan kepengurusan LKBI periode 2015 – 2019 adalah sebagai berikut: Pembina: 1. Pdt Tji Lie Ie 2. Pdt Rusfandi Aliman 3. Pdt Lim Tek Liung Penasehat: 1. Tjhang Tjin Long 2. Jap Fu Jung 3. Rudi Ho 4. Karol Tjahyadi Pengurus : Ketua Umum 30 : Ng Hon Kong/ Soenarto Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Wakil Ketua : Budiharto Tjendra Wakil Ketua : Willi Sutiono Wakil Ketua : Gunawan Wakil Ketua : Lim soi Tju Wakil Ketua : Wildi Kartolo Sekretaris : Tioyono, SE Wakil Sekretaris : Fatmawati, A.Md. Bendahara : Tjen Jun Lung Bidang – Bidang Pembinaan: Bidang Dharma : Hendra Bidang Pemuda & Olahraga : Alexander Andrew Bidang Seni Bdaya & Kreatifitas : Yanuarius Susanto Bidang Hubungan Masyarakat : Rudy Bidang Dokumentasi &Publikasi : Luukman, S.Kom,M.Kom Bidang Dokumentasi & Publikasi : Tek Wang Bidang Sosial Kemasyarakatan : Tomy Sudarjo Bidang Sosial Kemasyarakatan : Phang Phin Fa Bidang Organisasi & Kaderisasi : Susanto, SE Bidang Wanita Buddhis : Mary Onoris, SE. Kepengurusan ini telah dikirim ke LKBI pusat, tetapi sampai waktu diadakan penelitian belum keluar SK penetapan kepengurusan yang baru, sehingga mereka belum bisa beraktivitas dan menyusun program. Kantorpun belum ditetapkan, karena kantor yang lama milik ketua yang lama, setelah tidak menjabat lagi kantor itu diambil kembali. Untuk sementara akan ditetapkan kepengurusan yang baru akan berkantor di Vihara Avalokitesvara Jl Wolter Monginsidi No 50 A Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Secara struktural susunan kengurusan LKBI terdiri dari Pengurus Pusat di Jakarta, DPD TK I Tingkat Provinsi dan DPD TK II tingkat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 31 kabupaten dan kota. Tapi sampai saat ini belum ada DPD II di Kalimantan Barat. B. Keanggotaan Seperti disebutkan sebelumnya berkaitan dengan jumlah anggota LKBI bukan bersifat perseorangan tetapi berdasarkan tempat ibadah (vihara), maka jumlah anggota LKBI adalah tersebar di berbagai vihara yang menjadi anggotanya. Sampai sekarang belum ada data yang dilaporkan oleh masing-masing vihara mengenai jumlah anggota (umatnya). Hanya berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus vihara diantaranya Vihara Setia, mereka mempunyai umat sebanyak 5000 orang, yang aktif ibadah lebih kurang 500 orang. Sedangkan Vihara Avalokitesvara berjumlah 1500 orang, yang aktif lebih kurang 300 orang. Maka oleh sebab itu selanjutnya agar dilakukan pendataan oleh masing-masing vihara terhadap jumlah anggotanya, sehingga dengan demikian LKBI mempunyai data jumlah umat atau anggota yang tergabung dalam LKBI. Adapun Vihara yang tergabung dalam LKBI adalah: 1) Vihara Chien He, jl Siaga; 2) Vihara Wahyu Kwan im, jl Gajah Mada; 3) Vihara Mingde Jl Aris Marsono; 4) Vihara Avalokiteswara Jl Raya Kakap; 5) Vihara Zhen Zhi Ru Yuan Jl 28 Oktober dan 6) Vihara Setia Jl Woltermonginsidi. (Wawancara dengan Tiyono, 16 – 4 – 2015). Untuk menjadi anggota salah satu syaratnya adalah vihara yang mempunyai silsilah sesepuh yang sama dengan sesepuh yang dianut oleh LKBI. Selain itu belum tergabung 32 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dalam salah satu majelis, ada kesedian sendiri (tidak dipaksa) untuk bergabungm ada persetujuan dari pimpinan vihara. Fungsi lembaga adalah membantu umat dalam berhubungan dengan pemerintah seperti kalau mau mengurus surat nikah, lahir, kematian, dan izin mendirikan tempat ibadah. Majelis tidak berhak intervensi terhadap ajaran yang dianut oleh masing-masing Vihara. (Wawancara dengan Soenarto, 16 – 4 -2015). C. Kegiatan Pembinaan Pembinaan yang dilakukan LKBI terhadap anggotanya berupa bimbingan dan penjelasan dalam mengurus akta perkawinan, kelahiran, kematian dan izin pembangunan tempat ibadat. Hal tersebut dilakukan dalam berbagai pertemuan yang diadakan pengurus LKBI dengan pengurus vihara. Dalam pertemuan tersebut sering diadakan diskusidiskusi tentang masalah keagamaan. Sedangkan pembinaan terhadap umat, dilakukan oleh masing-masing vihara.Sebagai contoh Vihara Avalokiteswara yang terletak dj Jl Kakap Kabupaten Kubu Raya mengadakan kegiatan antara lain setiap Kamis malam diadakan ceramah keagamaan untuk umum, setiap hari Rabu untuk anak-anak SD dan hari Sabtu untuk para remaja. Kepada remaja diajarkan tentang hal-hal yang baik untuk dilakukan seperti hormat terhadap orang tua, berlaku sopan santun terhadap orang lain. Pembinaan terhadap anak-anak usia sekolah sangat penting, karena sebagian besar anak-anak Buddha bersekolah disekolah Katolik atau Kristen, sehingga tidak Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 33 sedikit dari mereka yang kurang pembinaan berpindah agama. Di Vihara Wahyu Kwan Im terdapat pembinaan berupa sekolah minggu,retreat, rekoleksi dan pembinaan iman. Sedangkan di Vihara Setia, Sekolah minggunya cukup ramai pesertanya, diikuti oleh anak-anak kelas 10 s.d 12 hal itu saya saksikan ketika berkunjung untuk mengadakan wawancara dengan pandita Rusfandi Aliman. Dalam sekolah minggu tersebut diadakan kegiatan berupa baca Parita, Belajar Bahasa Mandarin, nyayian, paduan suara, dan belajar Dharma. D. Dana, Sarana dan Prasarana Berdasarkan informasi dari Ketua LKBI dana untuk mengelola organisasi berasal dari para pengurus LKBI. Maka oleh sebab itu pengurus disamping mempunyai pengetahuan tentang agama Buddha juga, dianggap mampu dalam masalah finansial. Pak Soenarto sebagai Ketua LKBI merupakan seorang pengusaha eksportir udang. Selain itu dana juga diperoleh dari bantuan para pengurus Vihara yang berada dibawah naungan LKBI. Sedang di Vihara dana diperoleh dari iuran umat. Setiap ada kegiatan ada sumbangan dari umat. Dana tersebut digunakan untuk biaya operasional vihara, untuk menyumbang orang sakit, untuk mencetak kitab suci, buku, dan membeli buah-buahan untuk sembahyang. Sarana yang dimiliki oleh Vihara antara lain ruangan tempat puja bhakti, ruangan kantor, kursi, altar dan perlengkapannya, dapur (tidak semua), ruang perpustakaan, kamar untuk tamu. 34 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia E. Relasi Sosial Relasi sosial dengan sesama penganut Buddha berjalan dengan baik, tidak ada persoalan diantara mereka walau berbeda aliran. Dengan MAPANBUMI juga walau alirannya sama, tidak mempersoalkan keberadaan LKBI yang juga menganut aliran Maitreya. Mereka dapat memahami karena adanya perbedaan sesepuh dan leluhur. Umat Buddha yang berbeda aliran, dapat menerima keberadaan LKBI buktinya Ketua WALUBI Kabupaten Kubu Raya ditunjuk orang yang berasal dari LKBI. Dalam perayaan hari-hari besar keagamaan yang diadakan oleh WALUBI, orang LKBI selalu ikut serta merayakannya. Dengan umat Islam relasinya juga terjalin dengan baik. Dilokasi perumahan Pandita Rusfandi Alim, umat Buddha selalu terlibat dalam kegiatan sosial yang diadakan ketua RT setempat. Mereka kenal dengan pengurus masjid setempat yaitu Pak Eko dan Effendi dari masjid Al-Jihad. Di Vihara Avalokiteswara Sungai Kakap setiap tanggal 1 imlek diadakan makan bersama dengan penduduk sekitar yang menganut berbagai agama. Dalam merayakan hari-hari besar keagamaan diadakan santunan terhadap mereka yang kurang mampu, yang berbeda agama. Sedangkan relasi dengan pemerintah juga terjalin dengan baik, dimana dalam kegiatan hari-hari besar keagamaan yang diadakan oleh WALUBI diundang perwakilan dari pemerintah. LKBI sudah terdaftar di Bimas Buddha Provinsi Kalimantan Barat. Anggota LKBI sudah dilayani dalam hal hak-hak sipil seperti KTP, Akte Kelahiran, Akte Perkawinan, Kematian dan pendidikan agama Buddha ( Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 35 walaupun belum semua sekolah memberikannya). Umat Buddha (LKBI) selalu mematuhi aturan pemerintah. LKBI tidak berpolitik dan berbisnis, LKBI hanya membina kesadaran umat (Pdt Rusfandi, 19 April 2015). F. Pandangan Pemuka Agama Sekte Lainnya Peneliti sudah mewawancarai beberapa orang pengurus majelis agama Buddha lainnya. Diantaranya Guru Agama Buddha, Budi dari Magabhudi, Bu Lilyana, Ketua WALUBI Kota Pontianak, Pdt Kurniadi dari MNSBDI (FKUB Kota Pontianak), Pdt Hendra D.Ngantung, Ketua MAPANBUMI Provinsi Kalaimntan Barat. Menurut mereka tidak ada masalah dengan keberadaan LKBI di Provinsi Kalimantan Barat. Menurut Pdt Kurniadi, Ia menyadari bahwa ajaran dalam agama Buddha itu banyak sekali, ada sebanyak 48000 yang digabung menjadi Tri Pitaka, jadi wajar saja kalau pemahamannya berbeda. LKBI hadir untuk mewadahi vihara-vihara yang masih berdiri sendirisendiri. Umumnya ajaran pokok sama, yang berbeda paling tatacara peribadatannya. ( Wawancara Pdt Kurniadi, Pengurs FKUB Kota Pontianak, 21-April 2015). Menurut Pdt Hendra Ngantung dari MAPANBUMI, Kepercayaan pokok yang dianut oleh LKBI adalah sama, yang berbeda adalah tatacara sembahyang, dan struktur organisasi. LKBI terbentuk setelah Munas WALUBI tahun 1998. Menurut bu Hartati semua umat harus dilindungi, makanya yang tidak bergabung di MAPANBUMI, bergabung di LKBI. Berdirinya LKBI tidak masalah, karena kita tolerans. Ketua WALUBI Kabupaten Kubu Raya dari LKBI. Disini tidak ada berebut kedudukan, 36 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia pemilihan pengurus dilakukan berdasarkan musyawarah. Kerjasama antar majelis sangat baik, bahkan Theravada yang bukan anggota WALUBI tetap ada kerjasama.(Wawancara dengan Hendra D.Ngantung, 22 April 2015). Menurut Lilyana seorang dosen Agama Buddha, ia menghargai perbedaan dalam agama Buddha, umpamanya dalam LKBI dikenal adanya vegetarian. Selanjutnya dia mengatakan bahwa tujuan hidup itu sama, yaitu mencintai sesama, memperhatikan sesama, berbuat baik untuk orang lain, hanya cara untuk mewujudkannya yang berbeda.(Wawancara dengan Lilyana, 21 April 2015). Menurut Pak Budi seorang guru agama Buddha, yang juga merupakan pengurus Magabhudi, mengatakan dalam agama Buddha ada 10 macam kriteria, kalau 10 kriteria itu sudah dipenuhi, maka sudah memenuhi syarat agama Buddha. Kerukunan internal umat Buddha di Kalimantan Barat sangat baik. Magabudhi dalam kegiatan-kegiatan WALUBI tetap diikutkan walaupun Magabudhi tidak tergabung dalam WALUBI. Umpama dalam acara pelantikan pengurus WALUBI tetap diundang. Dalam acara Waisak juga ikut serta dan terlibat dalam kegiatan tersebut. Kalau dalam kegiatan umat Buddha, kita terlibat, tetapi kalau yang menyangkut majelis kita diundaang. Kalau keluar, tidak mengatasnamakan salah satu majelis, tetapi atas nama umat Buddha seperti WALUBI. Hubungan dengan LKBI terjalin dengan baik, karena sesama penganut agama Buddha, dengan tidak mempertentangkan ajaran dari masing-masing aliran. Selagi mereka tidak mengembangkan ajaran yang tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama Buddha tidak dipermasalahkan. Kita menghargai ajaran yang Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 37 dikembangkan oleh masing-masing sekte.(Wawancara dengan Budi, 21 April 2015). G. Kegiatan Sosial Keagamaan Kegiatan sosial umumnya dilakukan pada waktu merayakan hari-hari besar keagamaan. Kegiatan tersebut antara lain seminar tentang agama Buddha, berkunjung ke Panti Asuhan, Panti Jompo, Berziarah ke makam pahlawan, ke Lembaga Pemasyarakatan. Pengobatan gratis 2 x dalam setahun, bagi-bagi sembako, makan bersama setiap tanggal 1 imlek. Kegiatan ini umumnya dilakukan terhadap mereka yang berbeda agama, dalam rangka menjalin persahabatan dan pertemanan. 38 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II PENUTUP LKBI berdiri pada tanggal 18 Mei 1999 oleh Budi Wong. Berdirinya LKBI untuk menampung berbagai vihara yang belum bergabung dalam salah satu majelis. Pada mulanya bergabung Maitreya dan Kasogatan, kemudian Kasogatan keluar dan mendirikan majelis sendiri. Maka itu dalam LKBI ini semuanya vihara yang beraliran Maitreya. Berdirinya LKBI di pusat karena adanya perpecahan antara KASI dan WALUBI. Dengan pecahnya WALUBI maka anggotanya jadi berkurang, karena beberapa anggota sebelumnya tidak mau bergabung dengan WALUBI. Anggota LKBI sekarang 6 vihara yang terdaftar, sedangkan yang tidak terdaftar mencapai 60a-an. Dana diperoleh melalui pengurus, iuran anggota dan bantuan dari pemerintah. Sarana yang ada berupa gedung Vihara beserta bangunan yang terdapat di dalam dan di sekitar vihara. Ajaran pokoknya berupa Sradha (keimanan) terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Tri Ratna, adanya Para Buddha, Bodhisatwa, Dewa dan Malaikat Penjaga Dharma, Altar, adanya Hukum Kasunyatan, Kitab Suci dan Nirwana. Puja Bhakti sangat diutamakan, sebagai aspek yang menghubungkan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha Bodhisatwa. Setiap hari umat Buddha LKBI melakukan 2 kali sembah sujud, yaitu pagi dan sore, selain itu setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan imlek. Adapun aspek sila antara lain Pancasila, Dasa Sila Paramita, Delapan Sila Buddhisme Maitreya, Dasa Sila Dasar Budhisme Maitreya dan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 39 Dasa Sila Sadar Nurani. Kitab sucinya Tri Pitaka, disamping itu menghormati beberapa sutra yang dianggap lebih praktis. Perbedaan LKBI dengan aliran lainnya, menganggap Buddha Maitreya sekarang sudah datang, rupang yang utama adalah Buddha Maitreya disamping 5 rupang lainnya, selain ada kesan mengutamakan sutra daripada Tri Pitaka. Mereka juga mengakui adanya lima orang nabi yang mengajarkan ajaran Tuhan yaitu: Buddha Gautama, Khong Hucu, Lao Tse, Yesus dan Muhamad. Relasi umat Buddha dengan sesama umat Buddha berjalan dengan baik, begitu pula dengan umat agama lainnya dan dengan pemerintah. Respon pemuka agama Buddha terhadap keberadaan LKBI umumnya tidak mempermasalahkan, karena menganggap wajar adanya perbedaan, karena adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ajaran Sidharda Buddha Gautama yang begitu banyak. 40 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 2 MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA (MAGABUDHI) DI BLITAR, JAWA TIMUR Oleh: Asnawati Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 41 42 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR Nama Blitar tidak muncul secara tiba-tiba saja tetapi melalui proses perjalanan sejarah yang panjang. Ketika itu kerajaan Majapahit tidak terima atas perlakuan bangsa Tartar yang berasal dari Asia Timur yang ingin menguasai daerah Blitar (ketika itu belum bernama Blitar), dengan mengutus Nilasuwarna untuk mengusir bangsa Tartar keluar dari wilayahnya. Alhasil Nilasuwarna berhasil mengusir dan mendapat anugerah diberi gelar Adipati Aryo Blitar I dan kewenangan untuk memimpin daerah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Blitar, yang artinya kembali pulangnya bangsa Tartar. Singkat cerita Aryo Blitar I lengser kerena tahtanya direbut oleh Ki Sengguruh sebagai patihnya, yang kemudian mendapat gelar Adipati Aryo Blitar II. Tidak lama kemudian Adipati Aryo Blitar II dipaksa turun oleh putra kandung Aryo Blitar I dan perjuangannya terhenti dengan kedatangan bangsa Belanda. (http://www.blitarkab.go.id/2012/06/272.html). Berdasarkan catatan sejarah, Kota Blitar merupakan sebuah kota yang terletak di bagian selatan Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur yang terletak sekitar 167 Km. Kota Blitar dikenal juga selain sebagai tempat dimakamkannya presiden pertama RI Soekarno, sebagai Kota Patria, juga Kota Peta (Pembela Tanah Air) yang menginspirasi melakukan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 14 Februari 1945 untuk menuju kemerdekaan di daerah Blitar. (http://www.blitarkab.go.id/2012/06/272.html). Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 43 Kabupaten Blitar memiliki luas wilayah 1.588.79 Km² berbatasan dengan tiga kabupaten lain, yaitu sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Malang, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Kediri sedangkan sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang. Secara administrasi Pemerintah di Kabupaten Blitar terbagi menjadi 22 kecamatan, 220 desa, 28 kelurahan, 759 dusun/Rukun Warga(RW) dan sebanyak 6.978 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk Kabupaten Blitar menurut agama tahun 2013/2014 dengan rincian yang beragama Islam 1.141.312 jiwa, beragama Katolik 22.372 jiwa, umat Kristen berjumlah 27.848 jiwa, umat Hindu berjumlah 26.327 jiwa, dan yang beragama Buddha 6.244 jiwa. Sementara itu jumlah tempat peribadatan di Kabupaten Blitar, umat Islam memiliki masjid berjumlah 985 buah, Mushollah mencapai 3.934 unit, Gereja Katolik mencapai 44 unit, Kopel 18 unit, gereja bagi umat Kristen mencapai 107 unit dan Polis 35 unit, bagi umat Hindu terdapat 91 Pura dan 79 Sanggar, bagi umat Buddha Theravada terdapat 21 Vihara. Dalam kehidupan keagamaan terutama di lingkungan umat Buddha di Kabupaten Blitar 95% dari sekte Theravada, selebihnya dari umat Maitreya, meskipun berbeda sekte, tetap terjalin hubungan yang baik. Adapun faktor yang mendasar terciptanya kehidupan keagamaan yang dinamis dan kondusif dalam keberagaman umat Buddha di kota ataupun di Kabupaten Blitar, yang tersebar di beberapa kecamatan dan desa, karena umat beragama mampu mengaktualisasikan masing-masing ajarannya, dimana salah satunya pada Theravada yang mengajarkan kebajikan. Karena itu menurut Ibu Indavati (Hing Fung Ie) usia 52 tahun, sebagai 44 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia pengurus/sekretaris dari Vihara Samaggi Jaya mengatakan bahwa di Blitar (desa) tidak pernah ada konflik. Semua umat beragama saling menghormati, hidup rukun dan damai, saling bahu membahu, gotong royong membangun desa, demikian juga dalam pembangunan rumah ibadat. (Wawancara dengan Sekretaris Vihara Samaggi Jaya, 17 April 2015). Mata pencaharian penduduk Kabupaten Blitar selain sebagai karyawan pemerintahan, swasta, pedagang, buka warung juga petani. Masyarakat desa hidup tentram dan damai dengan kondisi harmonis, meskipun cukup beragam agama dan keyakinannya. Berdasarkan data jumlah rumah ibadat umat Buddha Theravada tersebar di 21 kecamatan di Kabupaten Blitar, yaitu: DATA VIHARA WILAYAH KABUPATEN BLITAR No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Vihara Alamat Buddha Sasana Dsn. Buneng, Ds. Boro, Kec. Selorejo, Kab. Blitar Buddha Dsn. Jarangan, Ds. Boro, Kec. Bumikha Selorejo, Kab. Blitar Buddha Ds. Sidomulyo, Kec. Selorejo, Nugraha Kab. Blitar Buddha Metta Dsn. Sidorejo, Ds. Sidomulyo, Loka Kec. Selorejo, Kab. Blitar Dharma Jaya Dsn. Blumbang, Ds. Ngembul, Kec. Binangun, Kab. Blitar Bodhi Giri/ Dsn. Lo Es, Ds. Balerejo, Kec. Panti Semedi Wlingi, Kab. Blitar Dhamma Dsn. Sanggrahan, Ds. Balerejo, Triguna Kec. Wlingi, Kab. Blitar Bodhi Amatta Dsn. Lungurtimo, Ds Bumiayu, Kec. Panggungrejo, Kab. Blitar Bumi Loka Dsn. Bumiayu, Ds. Bumiayu, Kec. Panggungrejo, Kab. Blitar Buddha Ds. Sekargadung, Kec. Bhavana Panggungrejo, Kab. Blitar Pengurus Jumlah Ketua: Sugianto 491 Ketua: Edy Purnomo Ketua: Meta Nurhayatin Ketua: Sianik Budi Wati Ketua: Budi Utomo Pengurus Harian: Jaenuri Ketua: Heri Purwanto Ketua: Suyadi 293 Ketua: Jemani 556 Ketua: Guntoro 35 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 175 105 233 97 152 234 45 11 Dharma Sasana 12 Dharma Tirta Mulia Indra Loka 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Dsn.Salamrejo, Ds. Resapombo, Kec. Doko, Kab. Blitar Ds. Karangrejo, Kec. Garum, Kab. Blitar Dsn. Ringin Rejo, Ds. Kararejo, Kec. Garum, Kab. Blitar Saddha Jaya Ds. Sumberingin, Kec. Sanan Kulon, Kab. Blitar Nusa Dhamma Ds. Sumberasri, Kec. Nglegok, Kab. Blitar Buddha Loka Dsn. Sumbertuk, Ds. Sumberjo, Jaya Kec. Kademangan, Kab. Blitar Viriya Jaya Ds. Gembongan, Kec. Ponggok, Kab. Blitar Amarta Loka Dsn. Karanganyar, Ds. Gebongan, Ds. Gembongan, Kec. Paonggok. Brahma Loka Dsn. Karanganyar, Ds. Gembongan, Kec. Ponggok, Kab. Blitar Metta Bhavana Dsn. Karanganyar, Ds. Loka Gembongan, Ds. Gembongan, Kec. Ponggok. Kerta Jaya Dsn. Sidomulyo, Ds. Sidorejo, Loka Kec. Ponggok, Kab. Blitar. Ketua: Siswanto 212 Ketua: Edy Subandriyo Ketua: Sudjito 132 Ketua: Eko Sulistyowarni Ketua: Budiono 31 Ketua: Diaman 224 Ketua: Sutrisno 110 Ketua: Budi Prayitno 453 Ketua: Suyono 213 Ketua: Siswoko 321 Ketua: Edi Sudarmanto 84 153 62 Sumber: Kantor Kankemenag Kabupaten Blitar, 2015. Di Kabupaten Blitar terdapat 21 Vihara Theravada, 1 vihara Theravada dan 1 Vihara Maitreya di Kota Blitar. Dari ke-21 Vihara tersebut setidaknya 3 nama Vihara yang sudah dikenal oleh umat Buddha di Indonesia bahkan diluar negeri, yaitu Vihara Samaggi Jaya, Vihara Bodhi Giri di BalerejoWlingi dan Vihara Buddha Sasana di Boro-Selorejo. (Data Keagamaan Kankemenag Kabupten Blitar). 46 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA (MAGABUDHI) Buddda Theravada di Kabupaten Blitar Blitar merupakan salah satu daerah basis umat Buddha dengan mazhab Theravada di Provinsi Jawa Timur, di mana terdapat 95% umat Buddha. Umat Buddha di Kabupaten Blitar, pada awalnya adalah masyarakat Jawa yang selain beragama Buddha Shiwa, juga penganut kepercayaan yang biasa disebut sebagai penganut kejawen. Dengan kedatangan Banthe Ashin Jinarakkhitta ke Blitar, merubah pandangan dalam pemahaman keyakinan masyarakat Jawa yang semula penganut Buddha Shiwa dan kejawen, pilihan menjadi penganut Buddha. Seiring berjalannya waktu, maka terjadi perubahan dalam pilihan kehidupan keagamaan menjadi penganut Buddha yang berafiliasi kepada sekte/aliran Theravada, setelah kedatangan Banthe Girirakito yang membawa bibit Theravada. Kedatangan pemuka agama Buddha Banthe Girirakito ke Blitar, menambah semangat keberagamaan umat Buddha dalam menjalankan aktifitas keagamaannya, terlebih lagi setelah Bhante Uttamo sering memberikan pembabaran Dhamma di Klenteng dan di Cetiya yang ada di Kota Blitar, karena memang rumah ibadat bagi umat Buddha yang ada hanya baru itu saja yang di miliki. Menurut salah seorang pengurus Wandani yaitu Wanita Theravada Indonesia mengatakan bahwa Bante Bhikkhu Uttamo turut berperan juga dalam membabarkan ajaran Buddha Theravada untuk Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 47 Kota dan Kabupaten Blitar. (Wawancara dengan pengurus Wandani, 20 April 2015). Umumnya umat Buddha di desa, memiliki rasa keagamaan lebih besar daripada di kota. Misalkan meskipun yang memberikan khutbah bukan dari golongan pandita, sebagai umat beragama tetap mau mendengarkan, bahkan kalau yang khutbah itu dari golongan pandita, mereka lebih mau mendengar dan lebih mau mendengar lagi, apalagi bila yang memberikan khutbah adalah dari golongan bhikkhu. Tetapi tidak demikian halnya bagi umat Buddha di kota, dimana sebagian besar, cenderung melihat nama yang akan memberikan khutbah di atas dhamma. Sehingga kurang memberikan respon bila yang memberikan khutbah, bukan dari golongan Bhikkhu, mungkin karena tingkat pemikiran orang-orang di kota lebih canggih, tingkat intelektualnya lebih tinggi, sehingga kurang begitu merespon bila yang ceramah hanya dari tingkat pandita. Vihara Theravada tampak sederhana, jauh dari keramaian dekorasi, yang ada hanya patung Buddha Gautama, lilin, air dalam gelas, bunga dan makanan-makanan ringan atau buah-buahan yang diletakkan di altar di bawah patung Buddha Gautama. Tetapi bila dibandingkan dengan vihara Maitreya, jauh lebih ramai dengan meletakkan lebih dari satu patung selain patung Buddha Gautama. Arti dari patung Buddha, melambangkan penghormatan kepada Sang Buddha. Sebagai simbol bahwa dalam menjalankan sembahyang ada guru untuk mengarahkan pikiran kita dan bukannya untuk meminta kepada patung. Arti Bunga, melambangkan anicca atau ketidak kekalan, bahwa dalam kehidupan ini tidak hakiki. Dimana bunga tidak kekal, tumbuh dan berkembang dan lalu mati. Sementara arti 48 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dupa/hio yang melambangkan keharuman Dhamma Sang Buddha. Keharuman hidup yang harus dijalani. Yang penting dalam kehidupan ini tidak seperti dupa yang akan terbawa oleh arah angin, tetapi harumnya nama baik seseorang bisa melawan arah angin, artinya kita harus membuat sesuatu yang harum. Arti lilin, melambangkan penerangan Dhamma Sang Buddha, sebagai lambang bahwa dalam kehidupan ini dapat menjadi penerang bagi semua makhluk, dan arti air, yang dianggap memiliki sifat-sifat seperti dapat membersihkan noda-noda, dapat memberikan tenaga, dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan selalu mencari tempat yang rendah (tidak sombong), yang melambangkan kondisi hidup agar selalu rendah hati. Dan buah, melambangkan buah dari kayma-kayma kita, selain itu sebagai lambang dari rasa terima kasih Adapun yang menjadi ciri Theravada, diantaranya Buddha dianggap sebagai manusia normal yang mempunyai kekuatan lebih. Buddha dipuja layaknya seorang guru yang membimbing ke kesucian tidak dilebih-lebihkan. Nibbana hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri. Termasuk dalam hal penafsiran, Theravada lebih bersifat konservatif yaitu menjaga yang sudah ada, mengacu pada apa yang sudah ditetapkan pada konsili-konsili yang sudah ada. Hal ini dipertahankan guna mengantisipasi adanya kesalahan penafsiran. Theravada menggunakan bahasa Pali, yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. “Thera” berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu, dan “vada” berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti “Ajaran Para Sesepuh”. Theravada secara harfiah merupakan ajaran yang konservatif, yang berpedoman pada Kitab Suci “Tipitaka” Pali, terdiri dari Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 49 Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhi Dhamma Pitaka. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khususnya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha Gautama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar. Untuk mengetahui lebih jelas tentang sejarah berdirinya vihara-vihara sebagai basisnya umat Buddha Theravada di Kabupaten Blitar, diantaranya adalah satu (1) di Kota dan 2 di Kabupaten Blitar, yang dapat dipaparkan sebagai berikut: Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar Vihara Samaggi Jaya di bawah pembinaan MAGABHUDI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang beralamat di Jln. Ir. Soekarno 67 yang semula bernama Jln. Slamet Riyadi No. 21 Kota Blitar, yang berada sekitar 400 meter sebelah selatan makam Proklamator Ir. Soekarno. Vihara Samaggi Jaya di bawah pengelolaan Yayasan/Lembaga: Dhammadipa Arama. Untuk wilayah Kabupaten Blitar merupakan daerah basis umat Buddha Theravada (95%), yang tersebar dibeberapa kecamatan dan desa. Umat Buddha Theravada di Kota Blitar, tidak sebanyak umat Theravada yang berada di Kabupaten Blitar. Terkait dengan sekte umat Buddha yang ada di kota Blitar, selain Theravada, juga dari Maitreya dan Buddhayana (=vihara Buddhayana ada di Kabupaten). Rumah ibadat bagi umat Maitreya yaitu Vihara Abdi Dharma dan Vihara Sacca Gupala sebagai rumah ibadat umat Buddhayana. Namun Vihara Sacca Gupala tidak berfungsi penuh sebagai tempat ibadah, 50 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia umatnya tidak berkembang, karena Bhiksunya keluar dari majelis dan memutuskan untuk berumah tangga. (Wawancara dengan Penyuluh Agama, 15 April 2015). Menurut Pandita Sugianto pada tahun 1966 para umat Buddha di kota Blitar, melakukan Puja Bhakti biasanya di rumah sendiri secara perseorangan, dan terkadang berpindah tempat dengan cara bergantian dari satu rumah ke rumah yang lain, setiap hari Kamis malam. Dengan kondisi berpindah-pindah tempat untuk melakukan Puja Bhakti, maka tergerak hati seorang tokoh agama Buddha Theravada bernama Suroto (kini sudah Alm). Dengan ketulusan dan kedermawanannya berkenan menyediakan sebagian halaman depan rumahnya, yang berukuran 5 x 8 meter, seolah sebagai tempat ibadat bagi para umat Buddha untuk berkumpul membaca Paritta dan membahas Dhamma ajaran Sang Buddha. Di tahun 1970-an berdatangan para Bhikkhu masuk Kota Blitar, dan ketika itu yang membina adalah Bhante Khemmasarano (alm) dan Banthe Girirakhito (pendiri Walubi). Di tahun 1972 para umat Buddha, para tokoh umat dan juga para dermawan, dengan semangat memberikan bantuan berupa tenaga dan materi, untuk bisa mendirikan Cetiya, yang semula berupa rumah biasa milik Pak Suroto. Dan dengan kedatangan Bhikkhu Uttamo di tahun 1980-an untuk pertama kalinya di Kota Blitar yang melakukan pembabaran dan ternyata membawa bibit Theravada, dengan awalnya sering memberikan khutbah di Klenteng dan Cetiya. Terkait dengan peraturan pemerintah, maka Departemen Agama (ketika itu) melayani proses pendaftaran hanya pada tingkat vihara saja, sementara yang ada hanya berupa Cetiya. Oleh karena itu, bangunan berupa rumah biasa Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 51 yang di gunakan sebagai Cetiya harus naik jenjang tingkatannya menjadi vihara. Kemudian oleh Suroto, Cetiya dihibahkan kepada Yayasan Sangha Theravada Indonesia, dan dibangun menjadi vihara dengan nama Vihara Metta Kirana, yang bermakna sebagai Sinar Cinta Kasih. Pendaftaran ke Departemen Agama tersebut terjadi dalam tahun 1987. Pada tahun 1990, Cetiya yang sudah menjadi vihara dan diberi nama Vihara Metta Kirana, kemudian berganti nama menjadi Samaggi Jaya yang artinya “Persatuan Membuahkan Kemenangan”. Luas tanah Vihara Samaggi Jaya 3.075 M², dengan jumlah umat mencapai 81 KK/ 165 jiwa. Sementara itu nama Metta Kirana sampai sekarang masih dipakai untuk nama Sekolah Minggu. (Wawancara dengan Pandita Sugianto, 15 April 2015). Bambang Pratignyo Bhikkhu Uttamo, yang baru saja kembali belajar dari Thayland, oleh Yayasan Sangha Theravada ditunjuk untuk menjadi ketua Vihara Samaggi Jaya, sekaligus juga ketua Yayasan Dhammadipa Arama cabang Blitar. Terjadinya jabatan rangkap ini karena jumlah Bhikkhu Sangha Theravada, masih kurang. Untuk memenuhi kebutuhan umat Buddha dalam pembinaan agama, di Vihara Samaggi Jaya terdapat 8 orang Pembina/Rohaniwan/Pandita dan 4 orang guru, untuk Sekolah Minggu. Di Vihara Samaggi Jaya hanya terdapat 2 orang Bhikkhu yaitu Bhikkhu Mulia Uttamo Mahathera dan Bhikkhu Sukhito Thera. Adapun lembaga/yayasan yang mengelola vihara ini adalah lembaga Dhammadipa Arama. Yang menjadi kepala Vihara Samaggi Jaya dan Vihara Bodhi Giri/Panti Semedi, dirangkap oleh Banthe Bhikkhu Uttamo. (Banthe adalah sapaan untuk para Bhikkhu). 52 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Sapaan sebagai Banthe pernah dialami pula oleh Sugianto Gandhika (PM.d) selama 10 tahun ( selama 6 tahun menjadi bhikkhu dan selama 4 tahun sebelum menjadi bhikkhu harus menempuh pendidikan di Sammanera). Sugianto asli kabupaten Blitar terlahir dari keluarga beragama Buddha. Dalam perjalanan hidupnya menjadi bhikkhu berakhir dengan melepaskan status sebagai Bhikkhu tahun 2004, kemudian memutuskan untuk berumah tangga (menikah tahun 2005), sekarang sudah memiliki 2 orang putra (masih duduk di TK dan SD). Untuk sekarang ini, Sugianto menjabat ketua di Magabudhi sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang (2015) dan wakilnya bernama Padma Sujata. (Wawancara dengan Ketua Magabudhi, 16 April 2015). Kegiatan keagamaan rutin di Vihara Samaggi Jaya, dilaksanakan setiap hari kamis malam, dimulai pada Pkl. 19.00 - 21.00 WIB. Kegiatan rutin Puja Bhakti di Vihara Samaggi Jaya dihadiri oleh 15 – 30 umat. Berdasarkan hasil pengamatan, ini yang menarik, dimana umat yang datang ke vihara, ada beberapa orang (laki dan perempuan tua) yang di jemput dan kemudian di antar kembali ke rumahnya masingmasing oleh mobil milik yayasan. Mereka umumnya sudah lansia, diantaranya ada yang sudah berumur 86 tahun, datang tanpa di dampingi oleh keluarganya, namun aktif untuk bersama yang lain ke vihara untuk membaca Kitab Paritta (kumpulan syair Buddha yang dilafalkan). Sebelum kegiatan dimulai, maka salah seorang, memukul gong sebanyak tiga (3) kali sebagai tanda untuk di mulai dan berakhirnya pembacaan Parita. Namun sebelumnya didahului dengan meditasi bersama selama kurang lebih antara 15-30 menit. Lain halnya bila kegiatan hari besar keagamaan seperti Waisak, Kathina, maka jumlah umat yang hadir, selain umat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 53 yang rutin, bisa mencapai antara 1000-1500 umat, karena terkadang ada tamu datang dari luar kota. Di hari itu, yang memberikan khutbah keagamaan atau dalam agama Buddha disebut Dhammadesana adalah para Bhikkhu. Dalam ceramah/khutbah di kota, para Bhikkhu menggunakan bahasa Indonesia terutama pada hari-hari besar keagamaan, tetapi bila Bhikkhu ke daerah-daerah dengan menggunakan bahasa daerah/Jawa, karena umatnya sudah tua-tua dan di dominasi etnis Jawa. Vihara Samaggi Jaya di dominasi oleh etnis Jawa, namun tampak imbang jumlahnya saat merayakan hari-hari besar keagamaan, seperti hari Dharmasanti Waisak, Kathina, dan Patidhana dan dalam peringatan hari raya lainnya. Hal ini terjadi karena etnis Cina yang berusia produktif banyak mencari pengalaman hidup baik untuk sekolah atau bekerja/usaha di luar Kota Blitar dan kembali saat menjelang Jompo. (wawancara dengan Pandita Vihara Samaggi Jaya, 15 April 2015). Vihara Bodhi Giri/Panti Semedi Balerejo Vihara Bodhi Giri desa Balerejo, Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar, berada di puncak sebuah bukit dengan hawa yang sejuk. Vihara ini selain digunakan untuk pembinaan keagamaan bagi umat Buddha Theravada di sekitarnya, juga sebagai tempat untuk bermeditasi. Aktifitas meditasi bisa diikuti masyarakat umum, tanpa mengikuti ritual keagamaan Buddha. Pelaksanaan meditasi merupakan kegiatan rutin pada masa Vassa bagi para Bhikkhu. Kegiatan Vasa ini merupakan latihan meditasi yang dilaksanakan setiap tahun selama tiga (3) bulan, sejak bulan Juli sampai Oktober. 54 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Pada masa tiga bulan itu, para bhikkhu tinggal disatu tempat untuk lebih giat bermeditasi. Vihara Bodhi Giri terletak di atas bukit kecil yang sekarang sudah mencapai luas 60.000 m, yang telah dibeli oleh Bhikkhu Uttamo. Kemudian tahun 1987 di bangun vihara yang diperuntukkan bagi umat Buddha Theravada. Sebagai pengurus/Ketua Vihara Bodhi Giri saat ini Bhikkhu Uttamo Mahathera. Menurut Om Ping, kegiatan peribadatan umat Buddha hanya sedikit yang dilakukan di Vihara Bodhi Giri ini. Kegiatan peribadatan yang rutin hanya dilaksanakan pada hari Selasa malam dengan peserta yang biasanya hanya berasal dari lingkungan vihara. Sedangkan untuk kegiatan keagamaan umat Buddha, terutama untuk perayaan hari-hari besar agama dan lain-lainnya, seluruh umat Buddha di Blitar Raya lebih banyak melakukannya/pelaksanaannya dipusatkan di Vihara Samaggi Jaya yang berada di jantung Kota Blitar atau kira-kira lima ratus meter ke arah selatan dari makam Bung Karno. Dan sesuai namanya pula, aktifitas di Vihara Bodhigiri/Panti Semedi Balerejo ini, menurut Om Ping, adalah merupakan tempat yang ideal untuk melatih meditasi. Dimana latihan meditasi sendiri merupakan latihan untuk mengendalikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang merupakan perilaku utama dalam menghayati Ajaran Sang Buddha. Untuk menuju lokasi vihara yang berada di lereng Gunung Butak, di tempuh selama ± 1,5 jam dari kantor Kankemenag Kabupaten Blitar. Dari pengamatan, vihara Bodhi Giri sangat luas dan terdiri dari beberapa bagian bangunan. Bangunan tersebut antara lain untuk Puja Bhakti, ruang makan, tempat bermalam dan bangunan untuk mengevaluasi hasil meditasi, yang diperuntukkan bagi yang Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 55 telah mengikuti meditasi selama waktu yang telah disepakati bersama sebelumnya. Sementara tempat untuk melakukan meditasi dimana saja, tergantung keinginan yang bersangkutan, bisa di dalam ruangan atau di luar ruangan, bahkan di taman. Menurut Om Ping, tujuan meditasi adalah untuk mengembangkan kesadaran dan menghilangkan emosi. Dimana latihan meditasi sendiri merupakan latihan untuk mengendalikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang merupakan perilaku utama dalam menghayati Ajaran Sang Buddha. Meditasi dilakukan minimum selama 15 hari, dan di lakukan dengan menggunakan timer. Gunanya timer untuk menentukan batas waktu yang kita inginkan. Selama meditasi harus konsentrasi, dan meditasi baru bisa dihentikan sesuai dengan timer yang sudah di tentukan sendiri. Ketika bermeditasi, tidak diperkenankan untuk makan, minum atau menggerak-gerakkan anggota badan (misal karena gatal), harus ditahan, tidak boleh di garuk-garuk. Bila itu yang terjadi, maka meditasinya gagal, dan diakhir meditasi akan mendapat penilaian dari Bhikkhu bahwa meditasinya kurang sempurna dan tidak perlu dilanjutkan meditasi. Setiap tahun banyak yang datang berkunjung ke vihara Bodhi Giri untuk bermeditasi, yang dikenal dengan masa Vasa, yaitu masa selama tiga bulan sejak bulan Juli sampai bulan Oktober, dimana para Bhikkhu tinggal dan menetap di vihara, untuk memahami, mendalami meditasi. Vihara Bodhi Giri, selain tempat untuk ibadat dan pembinaan bagi umat Buddha di sekitar vihara, juga digunakan oleh masyarakat umum, tanpa memandang pada agama apapun dan kepercayaan, bahkan datang dari luar negeri untuk mendalami dan melatih diri dengan melalui bermeditasi. 56 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Kegiatan Puja Bakti rutin di Vihara Bodhi Giri dilakukan setiap Selasa malam, yang diikuti oleh umat Buddha yang berada disekitar vihara bisa mencapai ± 30 KK. Kegiatan rutin selain di vihara, melakukan anjangsana (keliling) satu bulan sekali dengan bergiliran. Dan rumah yang ketempatan cukup menyiapkan tempat untuk ibadah saja. Tetapi biasanya yang punya rumah menyiapkan makanan. Sedangkan untuk kegiatan keagamaan terutama untuk perayaan hari-hari besar agama, seluruh umat Buddha di Blitar Raya lebih banyak melakukannya/pelaksanaannya dipusatkan di Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar. Selain itu kegiatan lain di Vihara Bodhi Giri ada Sekolah Minggu untuk anak-anak usia TK sampai SD dan jumlah muridnya sekitar 20 orang di bawah binaan guru-guru agama Buddha. (Wawancara dengan Kuncen Vihara Bodhi Giri, 16 April 2015). Vihara Dhamma Tirta Mulia Lokasi Vihara Dhamma Tirta Mulia berada di desa Karang Rejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Saat ini yang menjadi pengurus vihara adalah Edi Subandrio. Vihara Dhamma Tirta Mulia, di bangun atas inisiatif seluruh umat dengan diprakarsai beberapa tokoh yang salah satunya adalah Kartoriman (ayah dari Edi Subandrio). Menurutnya, agama Buddha di desa Karang Rejo sudah ada sejak tahun 1966. Kronologis di bangunnya vihara, berawal dari beberapa tokoh, termasuk Kartoriman yang ingin mempelajari lebih dalam mengenai ajaran agama Buddha. Untuk mewujudkan keinginannya belajar agama Buddha, kemudian mencari tahu ke Kota Blitar dan bertemu dengan Pandita Suroto. Hasil dari bertukar pikiran dengan Pandita Suroto, kemudian Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 57 dibawanya pulang ke desa Karang Rejo. Setelah tahun 1965, masyarakat di Karang Rejo dan sekitarnya, banyak yang mengikuti pemahaman ajaran agama Buddha yang dianut oleh beberapa tokoh, yang sebelumnya sebagai penganut kejawen. Seiring berjalannya waktu, jumlah umat semakin banyak, namun belum memiliki tempat untuk ibadah Puja Bhakti secara bersama-sama. Para tokoh agama Buddha Desa Karang Rejo waktu itu berfikir keras untuk mewujudkan cita-citanya agar umat Buddha di desanya memiliki tempat untuk melakukan Puja Bhakti bersama di tempat ibadat. Kemudian Kartoriman, menyediakan tempat untuk ibadat umat Buddha di rumahnya yang terletak di RT 2/RW 1. Akhirnya untuk mewujudkan cita-citanya itu, terlebih lagi sebagai salah seorang tokoh agama Buddha, dan jiwa nasionalnya cukup tinggi, kemudian Kartoriman menghibahkan sebahagian tanah dan rumahnya (separuh) yang berada di RT 1/RW 3 pada tahun 1982 untuk di jadikan vihara, kemudian langsung dibangun di tahun yang sama dan selesai di tahun 1983, lalu diberi nama Vihara Dhamma Tirta Mulia. Luas tanah yang 660 meter itu sebagian untuk rumah ibadat, sertifikatnyapun sudah di bagi dua. Perkembangan umat Buddha Theravada semakin pesat hampir mencapai ± 300 KK di Desa Karang Rejo dan sekitarnya. Sementara umat Buddha yang berada di Desa Karang Rejo saat ini hanya 31 KK atau 106 jiwa (dikarenakan ada yang pindah). Kegiatan pembinaan keagamaan di Vihara Dhamma Tirta Mulia dilaksanakan setiap Rabu malam disamping ada sekolah minggu Buddha Dharma Tirta. Aktifitas keagamaan selain setiap Rabu malam yang berjumlah sekitar 35-50 orang itu, diadakan pula setiap malam minggu, kelilingi ke rumah-rumah umat, bergantian (sesuai 58 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia jadwal yang telah disepakati), dan terkadang di luar permintaan umat yang berkepentingan. Jumlah tenaga Pembina yang memberikan bimbingan keagamaan terdapat 1 orang Pandita dan 3 orang Upacarika. Namun bila saat hari besar keagamaan, jumlah umat yang hadir bisa mencapai 100125 orang, sampai ke teras. (Wawancara dengan pengurus Vihara, 15 April 2015). Untuk menjaga kebersihan vihara dibuat jadwal untuk kebersihan bulanan dan kebersihan 2 (dua) mingguan, yang dikerjakan secara bergotong royong. Sementara untuk kebersihan mingguan dikerjakan oleh umat yang ingin membersihkan vihara sebelum dilaksanakannya Puja Bhakti. Saat ini yang menjadi pengurus/ketua Vihara Dhamma Tirta Mulia adalah putra Kartoriman yang bernama Edi Subandriyo. Walaupun sebagai putra Kartoriman, namun dalam pemilihan sebagai ketua/pengurus bukan karena penerus sebagai pewaris tetapi secara pemilihan. Awalnya diangkat sebagai pengurus vihara tahun 2010 sampai dengan sekarang sudah yang ketiga kalinya. Dalam sistem pemilihan bila habis masa kepengurusannya dilakukan pemilihan dalam dua tahun sekali. Perkembangan Umat Theravada di Kabupaten Blitar Setelah kedatangan Banthe Bhikkhu Uttamo perkembangan agama Buddha Theravada di Kota Blitar, mengalami perkembangan pesat terutama di Kabupaten Blitar. Umumnya umat Buddha disini masyarakat Jawa, dan mereka punya semangat untuk mempertahankan Dhammanya. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan umat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 59 Buddha dalam beribadah, dengan bergotong royong membangun vihara sehingga jumlah rumah ibadat umat Buddha Theravada di Kabupaten Blitar mencapai 21 vihara dengan jumlah pemeluknya mencapai 4.366 jiwa. Sementara umat Buddha Theravada di Kota Blitar hanya berkisar 100 jiwa dengan tersedia sebuah vihara. Dalam perkembangan umat Buddha Theravada di Kabupaten Blitar, menurut paparan beberapa Pandita bahwa tidak ada penambahan dan pengurangan secara signifikan, dalam agama Buddha tidak ada cara merekrut umat, karena dalam penambahan dan pengurangan umat, yang ada disebabkan secara alami yaitu karena kelahiran, kematian dan pernikahan. Untuk pernikahan umat Buddha Theravada, ada yang terambil keluar dan sebaliknya ada yang masuk menjadi Buddhis. Memang awalnya keyakinan masyarakat Jawa di kabupaten Blitar, sebagai penganut Buddha Syiwa dan kepercayaan kejawen. Tetapi di tahun 1966 setelah datangnya Bhante Ashin ke Blitar, maka berpindah menjadi pemeluk agama Buddha Theravada, karena Bhante Ashin sebagai pembawa bibit Theravada, disamping bhikkhu-bhikkhu lainnya yang membabarkan dhamma seperti Banthe Uttamo. Ajaran dan Peribadataannya Kitab Suci (Tipitaka) menggunakan bahasa Pali yang isinya antara lain: Vinaya Pitaka, isinya tentang moral, peraturan; Sutta Pitaka, berisi tentang khutbah dhamma yang panjang dan pendek dari Sang Buddha dan Abidhamma Pitaka, uraian-uraian ilmiah tentang dogmatika. 60 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Yang menjadi ajaran pokok dalam agama Buddha Theravada, pada dasarnya adalah sama dengan agama Buddha lainnya, yang didalamnya berisi tentang: Empat kasunyatan hidup; 3 Kondisi Tilakhana; Konsep Ketuhanan YME atau yang ada Nibbana; Hukum Karma; 10 Paramita dan Hukum Sebab akibat yang saling berhubungan Paticca Samuppada. Ajaran etika dalam umat Buddha Theravada harus menjalankan Pancasila (Pancasila Buddha), yaitu: a) Melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup; b) Melatih diri Menghindari mengambil barang orang yang tidak diberikan (mencuri); c) Melatih diri Menghindari perbuatan asusila, seperti berzinah; d) Melatih diri Menghindari ucapan bohong, memfitnah (bicara kasar dan sebagainya); e) Melatih diri Menghindari dari mengkomsumsi barang-barang yang memabukkan. http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/aliran-hinayana.html. Hari yang dianggap suci ada 4 dalam agama Buddha Theravada yaitu: a. Waisak Puja (Umat sembahyang ke vihara untuk memperingati 3 peristiwa penting, yaitu: kelahiran calon Buddha, mencapai kebuddhaan dan meninggalnya Buddha. b. Hari Asadha Puja yaitu pertama kalinya di babarkan ajaran Buddha. c. Kathina Dana, yaitu perayaaan persembahan dana berupa 4 kebutuhan pokok untuk para bhikkhu adalah: berupa sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Dana diperoleh dari umat yang mengumpulkannya untuk para bhikkhu. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 61 Dana yang terkumpul, kemudian di serahkan kepada bendahara, dikelola untuk kebutuhan para bhikkhu. d. Magha Puja, yaitu tempat berkumpulnya sejumlah 1250 orang bhikkhu, yang kehadirannya tanpa di undang datang ke vihara Veluvana di India. Berbicara mengenai Theravada yang bermakna ajaran sesepuh, maksudnya memegang teguh ajaran Buddha. Artinya di Theravada lebih kepada doktrin, karena itu berbeda dengan yang lainnya, lebih menerima kepada tradisi setempat, seperti Mahayana. Para penganut agama Buddha Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana) dengan menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa pencapaian Arahat adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah itu tidak ada kelahiran lagi. Tata Cara Ibadah Umat Theravada Agama Buddha mengajarkan tata cara peribadatan, yang biasanya disebut sebagai Puja. Puja adalah upacara pemujaan atau penghormatan kepada sesuatu atau benda yang dianggap suci maupun keramat. Dalam agama Buddha ditulis Pūjā yang artinya menghormat. Kata Pūjā dapat ditemukan dalam “Mangala Sutta”: “Pūjā ca pūjanīyānam etammangalamuttamam” yang artinya : menghormat kepada yang layak dihormati merupakan berkah utama. Istilah 'puja' berarti menghormat atau memuja, dan mengacu pada upacara sebagai sarana untuk menguatkan dan menuangkan keyakinan serta mengingatkan kita sehari-hari akan janji kita pada Triratnh - Tiga Permata; Buddha, Dhamma serta Sangha. Puja sebagai penghormatan memungkinkan untuk dilakukan 62 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dengan berbagai cara dapat berupa persembahan dengan materi seperti dengan persembahan makanan, buah, dupa, bunga, dll, maupun perilaku seperti sopan santun, ramah tamah, rendah hati; secara fisik, seperti bersikap anjali, namaskara, maupun mental seperti praktik cinta kasih, kasih sayang serta memiliki pandangan benar. Penghormatan yang diperkenankan oleh Buddha adalah penghormatan yang wajar serta didasari oleh pengertian yang benar, dan ditujukan kepada “sesuatu” yang memang layak untuk dihormati. Dalam melaksanakan puja yang disertai dengan sikap fisik dengan melakukan Anjali, kemudian sujud. Anjali Yaitu merangkapkan kedua belah tangan di depan dada, membentuk kuncup bunga teratai, baik dalam posisi berdiri, berjalan, maupun duduk bersimpuh/bersila. Kemudian dengan melakukan Namaskara, Yaitu bersujud tiga kali dengan lima titik (lutut, ujung jari-jari kaki, dahi, siku, telapak tangan) menyentuh lantai, dengan disertai sikap anjali dan membaca parita Namaskara-Gatha. Dan padakhina (pradaksina). Dengan tangan beranjali mengelilingi objek pemujaan dengan searah jarum jam (dari kiri ke kanan) sebanyak tiga kali. dan pikiran terpusat pada TRIRATNA. Di dalam Theravada tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yang menganut aliran ini, masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dulu di waktu sang guru sendiri masih hidup pada 25 abad silam. Penganut-penganutnya menitik beratkan meditasi untuk mencapai penerangan sempurna sebagai jalan yang terpendek dalam menyelami dhamma dan mencapai pembebasan (nibbana). Menurut Sugianto “Pada Theravada, saat melakukan sembahyang atau Puja Bhakti menghadap ke patung Buddha Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 63 Gautama, sebagai wujud rasa bhakti dan hormat kepada figur Buddha Gautama karena beliau sebagai orang biasa yang mencapai kesempurnaan dengan usahanya sendiri.” Berdasarkan pengamatan, saat akan melaksanakan Puja Bakti di vihara, masing-masing menghadap sang Guru Buddha Gautama sambil merapatkan kedua telapak tangan (anjali), barulah mengambil posisi sujud sebanyak 3 kali. Setiap kali sujud, diiringi dengan duduk sambil memberi penghormatan pada sang guru. Setelah umat siap untuk bersama membaca melakukan Puja Bhakti dengan membaca Kitab Paritta (menggunakan bahasa Pali), yang dipimpin oleh 2 orang, satu membaca isi Kitab Paritta berbahasa Pali dan yang lain membaca terjemahanya yang menggunakan bahasa Indonesia. Setelah selesai membaca Paritta, diisi dengan ceramah atau Dhammadesana yang di sampaikan oleh Pandita. Akan tetapi apabila Pandita berhalangan hadir, maka memberitahukan melalui surat agar di gantikan posisinya. Selesai ceramah ditutup dengan meditasi selama kurang lebih setengah jam. Dalam bermeditasi masing-masing mengerjakannya dengan konsentarsi penuh tiada gerak dan kata, tidak melakukan sesuatu yang membuat suasana tidak konsentrasi. Selesai membaca Paritta, maka di tutup dengan sejenak bermeditasi. Ayat yang dibaca saat Puja Bhakti antara lain: sabbapāpassa akaranam̒ usalassūpasampadā sacittapariyodapanam̒ etam̒buddhāna sāsanam̒ Artinya: Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha. (Kitab Suci Dhammapada, Buddha Vagga buddha, ayat 5: 9899). 64 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Magabudhi dan Kegiatannya Majelis-majelis Theravada yang ada di Kota Blitar yakni: MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia), WANDANI (Wanita Theravada Indonesia) dan PATRIA (Pemuda Theravada Indonesia). Sebelum ada PATRIA, organisasi pemuda di Kota Blitar namanya RUPABHI (Rumpun Pemuda Buddhis Blitar). Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi), atau dulunya bernama Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi), adalah sebuah organisasi massa kaum Buddha mazhab Theravada di Indonesia, yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung. Pada Pasamuan Agung V tahun 1995, Mapanbudhi berganti nama menjadi Magabudhi. MAGABUDHI beranggotakan para upasaka yang telah menyatakan tekadnya untuk aktif berpartisipasi dalam segala kegiatan yang menyangkut pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada.Terdiri dari para Pandita dan Upacarika (calon Pandita), adapun tugas dan kewajiban Pandita adalah memberikan pelayanan kerohanian kepada umat Buddha yang meliputi antara lain: a) Membabarkan Buddha Dhamma di dalam maupun di luar tempat ibadah umat Buddha. Melaksanakan upacara penyumpahan, pernikahan dan upacara-upacara agama Buddha. Membina umat dalam meningkatkan pengamalan ajaran agama Buddha sesuai dengan Kitab Suci Tipitaka Pali. b) Memberikan penerangan dan penjelasan yang memadai kepada masyarakat luas tentang agama Buddha. c) Membantu Pemerintah setempat dalam pembangunan nasional khususnya dalam bidang mental spiritual. d) Membina kerukunan intern umat beragama, antar umat beragama dan dengan Pemerintah. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 65 Dalam usianya yang ke-35 MAGABUDHI telah memiliki lebih dari 2591 orang anggota aktif, diantaranya yang berstatus Pandita sebanyak 46 orang, Pandita Madya sebanyak 111 orang dan Pandita Muda sebanyak 521 orang, selebihnya adalah para Upacarika sebanyak 1913 orang. Sampai akhir April 2011 telah terbentuk Pengurus Daerah MAGABUDHI di 21 Provinsi dan telah terbentuk Pengurus Cabang MAGABUDHI di 114 Kota / Kabupaten di seluruh Indonesia. Surat Pengurus cabang MAGABUDHI Kota Blitar Jawa Timur, Nomor: 003/MT.PC/BTR/XII/2013 tanggal 23 Desember 2013 perihal permohonan Perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT PC. MAGABUDHI Kota Blitar Nomor: 00-3572/0017/XII/2013 telah terdaftar sesuai dengan dokumen/ berkas setelah diteliti oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Daerah Kota Blitar, dengan susunan pengurus adalah: - Penasehat : Banthe Uttamo Mahathera Banthe Sukhito Thera - Ketua : PMd. Sugianto Gandhika - Wk. Ketua : PMy. Drs. Padma Sujata - Sekretaris PMd. Drs.Budiono. : Seksi lainnya : bendahara, kerohanian, pendidikan, bidang kewanitaan dan kepemudaan. Dalam hal keuangan ada yang mengelola dan ada laporannya per setengah semester, dan uang yang terkumpul untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para bhikkhu yang dijamin oleh umat misalnya untuk makan, dan kebutuhan lainnya. Para Bhikkhu tidak memegang uang, karena 66 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kebutuhannya telah disiapkan oleh yayasan berdasarkan sumbangan umat. Relasi Sosial dengan Sesama Umat Buddha Masyarakat Sekitar dan Pemerintah Terkait dengan hubungan/relasi sosial sesama umat beragama Buddha, terjalin hubungan yang baik saling menjaga sinergitas hubungan keberagamaan, saling mendukung dan berkunjung disaat ada perayaan hari besar keagamaan yang kebetulan waktunya sedikit berbeda antara Theravada dengan Maitreya. Kalau di Maitreya dengan menggunakan hitungan kalender Cina, seperti hitungan tanggal 1 dan 15 (purnama). Jadi ketika hari Waisak tidak bersamaan waktunya. Berbicara mengenai kehidupan masyarakat Kabupaten Blitar sebagaimana halnya bangsa Indonesia yang juga menganut berbagai agama, dengan Islam sebagai agama mayoritas, namun dalam kehidupan keagamaannya sangat baik dan kondusif. Sewajarnya rentan terhadap konflik dan perpecahan, namun atas kesadaran masing-masing pemeluk agama, kehidupan masyarakatnya terlihat aman dan tenteram. Meski hidup dengan keyakinan yang berbeda, namun warga saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama lain, hal ini dapat ditunjukkan dengan tempat tinggal yang berdampingan. Meskipun masyarakat Kabupaten Blitar hidup dalam keragaman agama terutama dalam penelitian ini terfokus pada keragaman umat Buddha dimana sekte Theravada yang mayoritas, dengan Maitreya sebagai penganut yang berjumlah tidak sebanyak dari umat Theravada, namun kedua sekte ini Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 67 bisa saling menghargai membangun kerukunan umat beragama Buddha. Kondisi ini dikuatkan dengan pendapat dari Kesbangpol mengatakan untuk wilayah Kabupaten Blitar yang sudah terbentuk FKUB, bahkan sudah memiliki kantor sekretariat sendiri dan telah diresmikan oleh Pemda setempat pada tanggal 18 Januari 2015. Kegiatan FKUB rutin melakukan pertemuan dan dilakukan dialog lintas agama terutama pada generasi muda. (Wawancara dengan Kabid Integrasi Bangsa, 20 April 2015). Bentuk kerukunan umat Buddha tidak hanya dalam intern saja, tetapi kepada umat yang berbeda keyakinan di wujudkan pula dalam bentuk hubungan yang sifatnya sosial yang di implementasikan pada hari-hari besar keagamaan, senantiasa vihara memberikan kepeduliannya dengan membagikan sembako pada masyarakat sekitar vihara, tanpa memandang kepada status agama. Kepedulian seperti ini berjalan setiap tahun saat hari besar keagamaan umat Buddha. Demikian pula halnya terjalin hubungan dan komunikasi yang cukup baik terutama dengan Kementerian Agama, disamping dengan Kebangpol Linmas, Kesra dan Diknas. Bantuan yang diterima oleh vihara, misalnya berupa tunjangan untuk guru-guru Sekolah Minggu, berupa honor untuk guru selama 4 bulan sejumlah Rp. 200.000 yang diterimanya. Bakti sosial lainnya yang dilaksanakan oleh umat Buddha di Kabupaten Blitar sebelum tiba waktu hari Waisak, umat bersama membersihkan lingkungan seperti kantor desa, tempat pemakaman/nisan khusus umat Buddha, dengan mengecat batu nisan dan batas-batas wilayah. 68 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Pandangan Theravada terhadap Sekte Lain Meskipun ada perbedaan ajaran antara Theravada dengan Maitreya, diantaranya pada Theravada: boleh makan daging/hewan, tidak vegetarian, tetapi yang terpenting ketika binatang/hewan itu disembelih tidak melihat secara langsung dan tidak pula menyuruh untuk disembelih (tidak ada niat untuk membunuh). Sementara Bhikkhu Theravada tidak menjalani vegetarian, mereka makan dalam satu hari hanya sekali saja yaitu sebelum jam 11 siang, setelah itu mereka tidak makan lagi kecuali minum air putih. Sementara pada Maitreya, justru sebaliknya tidak memakan daging/hewan, vegetarian. Meskipun pada ajarannya sama-sama dari Buddha Gautama, tetapi pada Theravada sepi dengan keramain dekorasi, tidak ada musik, namun pada Maitreya saat sembahyang diiringi dengan musik dan dinyanyikan. Tetapi dalam hubungan sesama umat beragama, terjalin komunikasi yang baik, meskipun berbeda sekte. Tidak pernah ada konflik diantara sekte yang ada di Kabupaten Blitar, karena sekte selain Theravada adalah Maitreya, selain itu tidak ada. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 69 70 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III PENUTUP Kesimpulan Awalnya masyarakat Jawa di kabupaten Blitar, menganut Buddha Syiwa dan kepercayaan kejawen. Dengan datangnya Bhante Ashin ke Blitar, mereka berpindah menjadi pemeluk agama Buddha sekte Theravada. Banthe Ashin dengan beberapa orang bhikkhu lainnya yang turut serta membabarkan Dhamma di desa-desa termasuk Banthe Uttamo, turut serta aktif membabarkan Dhamma di Klenteng dan Cetiya, karena saat itu belum memiliki vihara. Perkembangan sekte Theravada semakin pesat dengan bertambahnya umat, sehingga memerlukan vihara untuk melakukan ibadah. Organisasi Magabudhi yang hadir di Blitar sejak tahun 1995, semakin berkembang setelah kedatangan Banthe Ashin sebagai pembawa bibit Theravada. Management organisasi Magabudhi dalam kegiatannya masih menyatu dengan kegiatan di vihara, karena pengurus di vihara sekaligus juga sebagai pengurus organisasi. Kitab suci umat Buddha Theravada yaitu Kitab Tipitaka Pali, dengan menggunakan bahasa Pali. Sementara itu dalam tata cara ibadah umat Buddha Theravada berbeda dalam pelaksanaan Puja Bhakti dengan sekte lain, misalnya pada Maitreya dengan diiringi musik dan dinyanyikan, sementara puja bhakti pada Theravada, tidak diiringi musik. Dalam intern agama Buddha, tidak pernah terjadi konflik, terlebih Theravada mendominasi dari sekte lain. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 71 Kemudian terkait dengan dinamika atau konflik dalam intern agama Buddha, di Kabupaten Blitar tidak pernah terjadi konflik, baik intern maupun antar sekte dalam agama Buddha. Demikian pula halnya dalam relasi sosial pada sekte Theravada kepada pihak pemerintah dan masyarakat terjalin hubungan yang baik. Pada Hari Suci Waisak, selain Puja Bhakti di vihara, dilaksanakan pula bakti sosial dengan membersihkan lingkungan, mengecat makam-makam Buddha dan batasan wilayah serta membagikan sembako kepada masyarakat sekitar vihara. Sementara itu tanggapan masyarakat non Buddha, yang berada disekitar vihara, menyambut dengan baik dan merasa senang dengan kegiatan sosial tersebut. Rekomendasi Kepada Ditjen Bimas Buddha, diharapkan melakukan pendataan jumlah umat, agar diperoleh keterangan jumlah yang pasti. Kepada majelis-majelis agama Buddha, hubungan yang sudah baik, antara Magabudhi, Maitreya atau majelis yang lain, baik internal ataupun eksternal, dapat tetap dilestarikan, terus ditingkatkan pembinaan dalam forumforum dialog melibatkan majelis agama Buddha lainnya, agar tercipta kerukunan intern umat Buddha. 72 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR KEPUSTAKAAN Asnawati , Laporan Penelitian “Agama Buddha Mahayana Indonesia”, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangn Agama, Depatemen Agama RI, 1993/1994. Asnawati, Laporan Penelitian “ Studi tentang Martrisia di Kota Singkawang” Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangn Agama, Depatemen Agama RI, 2005. Yayasan Sangha Theravada Indonesia, “Paritta Suci”, Edisi II Pembaruan, Anggota IKAPI Jakarta 2005. Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Beragama, Organisasi Majelis Pandita Buddha Maitreya (MAPANBUMI), 1993. Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Beragama, Sekte Nichiren Shoshu Indonesia (NSI), 1988. Nuhrison M. Nuh, Respon terhadap Majelis Agama Buddha Thantrayana Satya Buddha Indonesia (2012). Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi), PT. Remaja Rosada Karya, Bandung, 2004. Wawancara: Wawancara dengan Penyuluh agama Buddha, Tatok Hadi Susanto, 15 April 2015. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 73 Wawancara di Vihara Samaggi Jaya, Pandita Sugianto 15 April 2015. Wawancara dengan pengurus Vihara, Edy Subandrio. 15 April 2015 Wawancara dengan Ibu Indavati, tanggal 18 April 2015, Jln. Mawar Kota Blitar. Wawancara dengan Kuncen Vihara Bodhi Giri (Wicaksono) atau Om Ping Hong, 16 April 015 Wawancara dengan pengurus Wandani, Memey , 20 April 2015. Wawancara dengan Kabid Integrasi wawancara 20 April 2015 Bangsa, Saroji, Wawancara dengan Eko, masyarakat non Buddhis, tanggal 18 April 2015). http://www.blitarkab.go.id/2012/06/272.html. http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/aliranhinayana.html 74 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 3 MAJELIS ROHANIWAN TRIDHARMA SELURUH INDONESIA (MARTRISIA) KOMISARIAT DAERAH PROVINSI RIAU Oleh: Suhanah Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 75 76 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I GAMBARAN UMUM Provinsi Riau terletak tepat di tengah-tengah pulau Sumatera yang berbatasan dengan beberapa Provinsi tetangga seperti: Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan Kepulauan Riau, sehingga secara umum penduduk Provinsi Riau beserta budayanya menjadi tempat bertemu, berasimilasi dan berakulturasi dengan berbagai budaya yang dibawa oleh pendatang dari berbagai etnis baik di dalam maupun di luar pulau Sumatera. Penduduk provinsi Riau terdiri dari masyarakat yang sangat heterogin dengan beragam etnis, suku, status sosial, agama, budaya dan bahasa. Keadaan ini di dorong pula oleh semakin maju dan berkembangnya perekonomian di Provinsi Riau. Meskipun demikian budaya melayu sebagai budaya asli penduduk Provinsi Riau masih tetap eksis dan dipertahankan, misalnya melalui seni tari, seni suara, pantun, sastra, kuliner, pakaian, upacara adat, upacara perkawinan, khitanan, bangunan rumah adat dan tata krama kehidupan masyarakat. Komitmen untuk mempertahankan dan melestarikan budaya Melayu ini dinyatakan secara tegas dalam visi Riau yang berbunyi “Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan bathin. (Agus Saputra, Kementerian Agama Kantor Wilayah Riau). Masyarakat melayu sejak zaman dahulu hingga sekarang ini merupakan masyarakat yang bersifat akomodatif, bersahabat, wellcome terhadap kaum perantau yang datang membawa budaya dan agama baru, baik dari dalam maupun Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 77 luar negeri. Misalnya pendatang dari India yang membawa agama Hindu dan Buddha. Dari cina/Tiongkok dengan membawa agama (Buddha, Tao dan Khonghucu). Yang dalam organisasi di Indonesia disebut Tridharma, atau dikenal dengan nama Sam Kauw. Suku-suku yang terdapat di Provinsi Riau adalah 1) Suku Melayu; 2) Suku Bugis dan Makassar; 3) Suku Mandailing; 4) Suku Batak; 5) Suku Jawa; 6) Suku Minangkabau; dan 7) Suku Cina. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, Provinsi Riau memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.543.031 orang, yang terdiri dari 2.854.989 laki-laki dan 2.688.042 perempuan.Dari data tersebut diketahui bahwa penyebaran penduduk Provinsi Riau masih bertumpu di Kota Pekanbaru yang merupakan ibukota Provinsi Riau, yakni 16,31 persen, kemudian diikuti oleh kabupaten Kampar sebesar 12,38 persen dan Kabupaten Meranti yang merupakan Kabupaten termuda di Provinsi Riau sebesar 3,18 persen. Penduduk yang ada di Provinsi Riau bila dilihat berdasarkan agama adalah sebagai berikut: a) Islam 5.235.931 orang (89, 86 %); b) Kristen 287.878 orang (4, 94 %); c) Katolik 100.343 orang (1, 72 %); d) Hindu 21.267 (0,37 %); e) Buddha 175. 961orang (3,02%); f) Khonghucu 5.095 orang. (Kementerian Agama Dalam Angka Provinsi Riau, 2013 : 1). Dengan melihat paparan di atas dapat dikatakan bahwa sifat budaya masyarakat Melayu yang sangat terbuka, suka damai dan toleran, sehingga keadaan di Riau cukup aman dan banyak masyarakat Tionghoa serta Jawa yang tinggal di Provinsi Riau. 78 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Asal Mula Tridharma/Sam Kauw di Indonesia Menurut Ketua Martrisia (Ibu Mariya) mengatakan bahwa berawal pada tahun 1908 Dewi Kiu Tian Hian De Ma, Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue diundang ke Singapore dengan Hio Hee dari Cina yang terletak di Ling Ing King, Yu Mia Hian De Ma King, Te Wi Hokian Seng (Provinsi Hokian), An KweeKwe (Kabupaten Angkwe), Kecamatan Ling Bun Tin Desa Liau San Ceng-Desa Eh Poh yang berdiri pada tahun 1480. Sehingga generasi dari Pek Kau Ing menyembayangi Dewi Kiu Thian Hian De Ma yang ada di Ling Ing King telah berumur 535 Tahun. Kemudian Pek Kau Ing bermarga Ang Tuan Niu orang tua dari Pek Tiam Po mertuanya Tan Kim Huat, Kakek dan neneknya dari Alek/Sinmardi Taman dan Buyutnya Pek Ana/Mariya membawa Hio Hee Dewi Kiu Tian Hian De, Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue yang dipuja dialtar utama rumah Pek Kau Ing di Kampung Jajahan Belanda (sekarang namanya Desa Tanjung Belit, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis) pada tahun 1926. Kiu Thian De Ma sebagai Ibu Tridharma (Ibu dari Tao, pembimbing Sakyamuni dan Promotor Khonghucu) dari Tiongkok. Asal mula berkembangnya Tridharma di Indonesia dimulai pada tahun 1932 yang dipelopori oleh Bapak Kwee Tek Hoay dan para tokoh lainnya: Bapak Kwee Tek Hoay (lahir 31 Juli1886). Pada tahun 1932 Bapak Kwee Tek Hoay menerbitkan Majalah Moestika Dharma yang memuat tentang Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 79 Ajaran Buddha, Tao dan Khonghucu. Selanjutnya disusul dengan penerbitan majalah Sam Kauw Gwat Po khusus mengungkapkan ajaran Sam Kauw. B. Berdirinya Sam Kauw Hwee 1. Bapak Kwee Tek Hoay Pada tahun 1934 Bapak Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee. 2. Bapak Tan Koen Swie Kediri Pada tanggal 21 Desember 1934 Tan Koen Swie mendirikan Sam Kauw Hwee dan menerbitkan Majalah soeara Sam Kauw Hwee. 3. Tahun 1935 berdiri Sam Kauw Hwee Menado dengan Kapten Oey Pek sebagai pendirinya. 4. Tahun 1935 – 1952 Sam Kauw Hwee, Thian Li Hwee dan Badan Kebatinan seperti : Cin Tik Hwee Muntilan dan lain-lain bermunculan di Bumi Indonesia. 5. Tahun 1952 lahir/terbentuk gabungan Sam Kauw Indonesia/gabungan Tridharma Indonesia, GSKI memperoleh badan hukum pada tanggal 22 Oktober 1952 No. 5/129/10 dari Kementerian Kehakiman RI. Pemrakarsanya Mr. Ang Toen Dhiong dan Nyonya Tjoa Hin Hoay/ Visakha Gunadharma. 6. Sekitar Tahun 1956 lahir di Watu Gong, Semarang Persaudaraan Upasaka-upasaka Indonesia (PUUI) dan menyusul Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudhi), yang melahirkan kedua Badan ini adalah Bhikkhu Ashin 80 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Jinarakkhita bersama-sama tokoh-tokoh Sam Kauw dan Tokoh Buddhis Non Sam Kauw yang mulai muncul. 7. Sekitar tahun 1966 lahir perhimpunan Tempat Ibadat Tridahrma atas prakarsa Bapak Ong Kie Tjay disusul dengan lahirnya: - Majelis Rohaniwan Tridharma se Indonesia dan - Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia yang berasal dari seksi Penceramah Gabungan Tridharma Indonesia. Sam Kauw Hwee yang didirikan oleh Bapak Kwee Tek Hoay pada tahun 1934 berganti nama menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia yang kemudian berubah lagi menjadi Gabungan Tridharma Indonesia. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) resmi berdiri pada tanggal 20 Pebruari tahun 1952 pukul 12.00 WIB dan berbentuk Badan Hukum/Reshtspersoon/Legal Body berdasrkan penetapan Menteri Kehakiman RI No. JA 5/31/13, tanggal 9 April 1953 dan termuat dalam tambahan Berita Negara RI No. 33 tanggal 24 April 1953 urutan No. 3 C. Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma (PTITD) dan Majelis Rohaniwan Tridharma Se Indonesia (Martrisia) 1. Lahirnya (PTITD) Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma Sekitar tahun 1966 atas prakarsa Ong Kie Tjay lahirlah Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma (PTITD), kemudian disusul dengan lahirnya: Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 81 - Majelis Rohaniawan Tridharma se Indonesia (Surabaya) dan - Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia (Jakarta) yang berasal dari Seksi Penceramah Gabungan Tridharma Indonesia. Kedua Majelis ini kemudian bersatu dalam wadah : Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia disingkat MARTRISIA berpusat di Jawa Timur dibentuk pada tanggal 22 September 1979, yang dipimpin oleh Ong Kie Tjay di Jawa Timur (Surabaya). Ong Kie Tjay (1917 – 1985) sebagai tokoh San Jiao, beliau gigih memperjuangkan keberadaan Kelenteng di masa Orde Baru dengan mendirikan “ Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma “ (PTITD) se Jawa Timur di Surabaya pada tanggal 15 Mei 1967. Organisasi ini kemudian diperluas menjadi PTITD se Indonesia. Penetapan nama” Tridharma” dan Kelenteng sebagai Badan Keagamaan yang disebut sebagai “Tempat Ibadah Tridharma “ disingkat TITD, yang diresmikan oleh Menteri Agama RI pada tanggal 19 November 1979. Atas perjuangan yang sangat gigih para tokoh Tridharma yang dipimpin oleh Bapak Ong Kie Tjay pada tanggal 28 Juni 1967, Pangdam VIII Brawidjaya di Surabaya mengeluarkan SK: Kep-26/6/1967 yang isinya menetapkan mengganti istilah Kelenteng menjadi Tempat Ibadah Tridharma. Sehingga sejak saat itu semua Kelenteng yang menjadi anggota dari Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma telah berubah namanya menjadi Tempat Ibadah Tridharma (TITD). Pada tanggal 6 Desember 1967, Pemerintah mengeluarkan Intruki Presiden Republik Indonesia No. 14 82 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, dimana hal tersebut membatasi ruang gerak Adat Istiadat Cina. Pada tanggal 19 November 1979, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No. H/31/Sk/1979 yang isinya: 1. Menetapkan Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma se Indonesia, sebagai Badan Keagamaan. 2. Semua Badan yang menjadi anggota Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma adalah termasuk sebagai Badan Keagamaan menurut poin pertama. Ong KieTjay juga menerbitkan bulletin untuk Tridharma yang bernama Tjahaya. Dokumentasi perjuangan Ong Kie Tjay untuk Tridharma adalah: 1. Keputusan Menteri Agama No.H/31/SK/1979 tanggal 19 November 1979 tentang penyempurnaan keputusan Menteri Agama No. H/ 29/SK/1979. 2. Intruksi Presiden R.I No 14 Tahun 1967 tanggal 6 Desember 1967 tentang Agama, Keprcayaan dan Adat istiada Cina 3. Keputusan bersama Mentri Agama, Mentri Dalam Negri dan Jaksa Agung No 67 Tahun 1980,No 224 Thaun 1980 dan No KEP-111/JA/10/1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaa Intruksi Presiden No 14 Thaun 1967 4. Lampiran Keputusan Bersama Mentri Agama, Mentri Dalam Negri & Jaksa Agung Tentang Pokok-Pokok Pikiran Petunjuk Pelaksanaan Intruksi Presiden No 14 Th 1967 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 83 5. Intruksi Mentri Dalam Negri No 455.2-360 tanggal 21 April 1988 tentang Penataan Klenteng 6. Surat Kejaksaan Agung R.I No B.098/D.1/1/1980 Perihal pelaksanaan Inpres No 14/1967 Khususnya tentang kertaskertas untuk keperluan sembahyang dalam bahasa dan aksara Cina 7. Surat P.T.I.TD No 029/VI/PTITD/88 tertanggal 23 Juni 1988 perihal intruksi Mendagri No.455.2-360 8. Penjelasan singkat tentang Tempat Ibadah Tridharma tertanggal 1 April 1984 9. Surat Departemen Agama Dirjen Bimas Hindu dan BudddhaNo H./BA/04/677/1988 tertanggal 30 juni 1988 Perihal tentang Penataan Klenteng 10. Pelopor dan Donatur terbesar pembangunan Proyek Gunung Sinar Buddha yaitu kantor Sam Kauw di Lawang Surabaya. (Photo) 11. Pelopor pembangunan TITD Hong Tek Kian, P. IN . KIONG di Jalan Kampung Duku Surabaya Tahun 1988 Ong Kie Tjay wafat dan diganti oleh putranya bernama Ongko Prawiro dari tahun 1988 – sekarang. 2. Sejarah Perkembangan Martrisia di Provinsi Riau Masuknya Tridharma di Provinsi Riau merupakan perjuangan Pek Kau Ing an Pek Thiam Po dan pasangan Sinmardi Taman (Pek Sing Tjong) dan Rosna (Ong Kiau Ling) yang dimulai pada tahun 1918. Berawal Pek Kau Ing dan Pek Thiam Po yang dilahirkan disuatu daerah di Cina daratan tepatnya di Provinsi Hokkian Kabupaten An Kwee desa Eh 84 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Poh menuju daerah Koloni Inggris Singapura pada tahun 1908. Walupun sebagai pendatang, mereka tetap menjalankan adat istiadat, tata cara serta kepercayaan yang tidak bisa ditinggalkannya adalah ajaran Tao Tridharma yang memuliakan leluhur Agama Buddha Tridharma. (Nawasura Sakti, Buletin Tridharma, Edisi 3 Maret 2014:33). Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa masuknya Tridharma berangkat dari provinsi Hokkian Kabupaten An Kwee desa Eh Poh menuju daerah Koloni Inggris Singapura pada Tahun 1908. Tentunya sebagai pendatang, mereka tidak akan bisa meninggalkan adat istiadat, tata cara serta kepercayaan yang mereka anut, salah satu kepercayaan mereka adalah ajaran Tao yang memuliakan leluhur (Agama Buddha Sekte Tridharma). Pada tahun 1908 Dewi Kiu Tian Hian De atau Hian De Ma, Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue diundang ke Singapura dengan Hio Hee dari Cina yang terletak di Ling Ing King, Yu Mia Hian De Ma King, Te Wi Hokian Seng(Provinsi Hokian), An Kwee Kwe (Kabupaten Angkwe), Kecamatan Ling Bun Tin Desa Liau San Ceng- Desa Eh Poh yang berdiri pada tahun 1480. Sehingga Generasi dari Pek Kau Ing menyembahyangi Dewi Kiu Thian Hian De Ma yang ada di Ling Ing King telah berumur 535 Tahun (± 5 abad). Sudah menyembahyangi Kiu Thian Hian De Ma selama 4 (empat ) generasi. Selain itu menurutnya pula bahwa Ajaran Tao kuno adalah Agama Buddha Tridharma/SAM KAUW yang memuliakan Leluhur/Kiu Thian Hian De Thian Ciau (ajaran langit). Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 85 Dewi Kiu Thian Hian De Cin Sian atau Dewi Hian De Ma (Ni Wa) adalah promotor Khonghucu, ibu dari Tao, pembimbing Sakyamuni yang dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa yang membuat manusia dari tanah kuning. Pek Kau Ing membawa istrinya Ang Tuan Niu pindah dari Singapura menuju daerah koloni Belanda sekarang di Tanjung Belit Desa Lubuk Muda Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis tahun 1926” Hio Hee” Dewi Hian De Ma, Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue sekaligus dibawa. Selama 25 tahun Pek Kau Ing ingin mempunyai sebuah kelenteng. Dengan dikoordinir oleh Pek Kau Ing dibangunlah sebuah kelenteng sederhana pada tahun 1951 dari papan dengan ukuran 4 X 5 meter dengan pembagian tugas bersama, Pek Tiam Siu (alm) (Orang Tua Pek Te Ci) , Pek Tiam Po (alm) (Orang Tua Pek Sing Tjong), Pek Bun Kui (alm) (Orang Tua Pek Cun Kian), Pek Ong Hee (alm) (Orang Tua Pek Kim Ling). Pemugaran kelenteng Ding Yong King pertama dilakukan pada tahun 1975 oleh Pek Tiam Po, yang dikoordinir oleh Tan Kim Huat istrinya dan Pek Kim Ling, Pek Tekci, Oung Kiau Ling /Rosna, Tok Yu Hok. Pemugaran kelenteng Ding Yong King yang kedua dilakukan pada tahun 1992 oleh Alek/Pek Sing Tjong, Rosna, Sueng, Husin Adi, Lai Hi serta umat lain yang ikut beribadah di Kelenteng Ding Yong King juga ikut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut. Pada tahun 1982, Bapak alek dan Ibu Rosna membangun sebuah tempat ibadah Tridharma atau Klenteng di klilometer 18 Rumbai Pekan Baru dengan nama Cetiya 86 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Dewa Loka Kiu Sian Tian dengan Dewi Utamanya Dewi Kiu Tian Hian De Cin Sian.( Ibu Mariya). Dewi Kiu Tian Hian De Cin Sian atau Dewi Hian De Ma adalah salah satu Dewi dari ajaran Tao Tridharma yang dianggap sebagai leluhur pindah dari Singapora menuju daerah koloni Belanda sekarang di Tanjung Belit Desa Lubuk Muda Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis tahun 1926” Hio Hee” Dewi Hian De Ma, Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue sekaligus dibawa. (Nawasura Sakti, Buletin Tridharma, Edisi 3 Maret 2014:33). Pada tahun 1951 sebuah Klenteng di bangun dan direhab oleh Pek Kau Ing dan Pek Thiam Po dengan pasangan Sinmardi Taman (Pek Sing Tjong) dan Rosna (Ong Kiau Ling) yang pada awalnya hanya berukuran 4x5 meter dan kini sudah diperluas dengan ukuran 13,5 meter x 16,5 meter. Klenteng tersebut diberi nama dengan Ding Yong King di Tanjung Belit Desa Lubuk Muda Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis dan menjadi Klenteng pertama umat Tridharma di Sumatera. (Nawasura Sakti, Buletin Tridharma, Edisi 3 Maret 2014:33). Pada tahun 1982, Bapak Sinmardi Taman dan Ibu Rosna membangun sebuah tempat ibadat Tridharma atau Klenteng di klilometer 18 Rumbai Pekan Baru dengan nama Cetiya Dewa Loka Kiu Sian Tian dengan Dewi Utamanya Dewi Kiu Tian Hian De Cin Sian. (Nawasura Sakti, Buletin Tridharma, Edisi 3 Maret 2014:33). Mengingat perkembangan umat Buddha sangat besar di daerah Tingkat I Provinsi Riau, dan permasalahan pembinaan umat semakin komplit, maka pada tahun 1994 dibangun Vihara Tridharma Dewi Sakti dengan Dewi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 87 Utamanya Dewi Kiu Tian Hian De, di Jl. Riau Ujung/ Karya Indah No. 1 Pekanbaru. Untuk menanggapi perkembangan tersebut maka diadakanlah rapat pembentukan Dewan Perwakilan Daerah Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) dan Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma se Provinsi Riau yang nantinya dapat menampung semua aspirasi umat Martrisia dan Tempat Ibadah Tridharma di Daerah Riau. Melihat hal tersebut maka pada tanggal 11 Agustus 1998 bertempat di Hotel Furaya Pekanbaru diadakan rapat pembentukan DPD Martrisia dan pembentukan PTITD tingkat I dengan mengundang pengurus tempat ibadat yang ada di Pekanbaru dan wakil-wakil dari daerah tingkat II Kabupaten se-Provinsi Riau yang berada di bawah naungan Departemen Agama dengan berjumlah 57 orang anggota yang dipimpin oleh Pek Sing Tjong/Sinmardi Taman didampingi oleh Oung Kiau Ling/Rosna dan Mariya. (Buletin Tridharma Edisi I Maret 2014 : 3). Secara Musyawarah dengan keputusan akhir dari para peserta yang hadir terbentuklah Dewan Pengurus MARTRISIA dan PTITD Tingkat I Riau diputuskan sebagai ketuanya adalah Pek Sing Tjong/Sinmardi. Pada tanggal 27 Agustus 1998 dikeluarkan SK resmi dari Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia Komda Riau dengan Nomor: 01/SK/M.RTD/VIII/1988 dan SK Resmi Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma Komda Riau dengan: 01/SK/P.TITD/VIII/1988. Penyerahan surat keputusan tersebut langsung diberikan oleh Ongko Prawiro selaku ketua MARTRISIA dan PTITD yang berpusat di Surabaya. Sinmardi juga sebagai ketua pertama Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA) dan Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma 88 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia (PTITD) Komisariat Daerah Provinsi Riau dengan masa bakti 1998 – 2003. (Buletin Tridharma Edisi I Maret 2014 : 4). Susunan Pengurus tahun 1998 – 2003 adalah: Dewan Pengurus Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara Seksi Pembangunan dan pemeliharaan Seksi Pendidikan dan Pembinaan Seksi Kerohanian Seksi Sosial Budaya Seksi Pemuda dan Olah raga Anggota : Matrias, Tirto Hubaya Wiguno : Sinmardi Taman : Asin, L. Hadi Hastomo : Mariya : Salim : Husin Adi : Sarjoko : Samin (Alm), Nuryati : Triyani : Agung (Alm), Satimin : Merina, Mariono : Djohan, Mariyana : Surio Manteri, Rudyanto, Efendy, L, Rusli Wijaya dan Hasnan. Pembangunan Rumah ibadat Vihara Tridharma Dewi Sakti pada awalnya Klenteng Loka Kiu Sian Tian, yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan keluarga dan pekerja pabrik, namun melihat antusiasme masyarakat terhadap tempat persembahyangan di Klenteng Dewa Loka Kiu Sian Tian yang semakin hari semakin ramai, maka bapak Sinmardi Taman/Pek Sing Tjong timbul pemikiran untuk membangun Klenteng yang lebih besar dan permanen dan dapat menjadi monumen bagi anak cucunya. Ide bapak Sinmardi untuk Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 89 membangun rumah ibadat bagi umat Tridharma yang sangat representative disampaikannya kepada istrinya yang bernama ibu Rosna/Oung Kiau Ling dan anak perempuannya yang bernama Mariya/Pek Ana. Ide tersebut disambut baik, maka tepat pada tanggal 25 Agustus 1994, dibuatlah Yayasan Dewi Sakti dengan akte Notaris Singgih Susilo,SH pembangunan Rumah Ibadat Vihara Tridharma Dewi Sakti. Yayasan tersebut pada awalnya diketuai oleh Sinmardi, dan sekretarisnya adalah anaknya sendiri yang bernama Mariya. (Sejarah Tridharma, 2013 : 13). Pengurusan izin pendirian rumah ibadat dimulai dari RT/RW, Desa, Camat dan seterusnya, dengan luas tanah 1.378 M2 diperuntukkan membangun Vihara yang terletak di Jalan Riau Karya Indah, Kelurahan Tampan, kecamatan Tampan, Kota Madya Pekanbaru IMB dari Pemerintah Kota telah diperoleh dengan No. 302/IMB/DTK/1996 tertanggal 01 Oktober 1996 dan Sm 217887. (Sejarah Tridharma, 2013 : 14). Dengan telah selesainya surat izin dan telah mendapatkan akte notaris, maka peletakaan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 13 Maret1998, dari peletakan batu pertama hingga hari peresmian hampir memakan waktu 2 tahun dan kemudian rumah ibadat Vihara Tridharma Dewi Sakti ini diresmikan pada tang 17 Oktober 1999. (Sejarah Tridharma, 2013 : 14). 3. Struktur Kepengurusan Susunan pengurus Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma se Indonesia Komisariat Daerah Riau, masa Bakti 2011 – 2016 adalah: Sebagai Penasehat: 1) Sinmardi Taman (Pek Sing Tjong); 2) Supendi ; 3) Rosna, Ong Kiau Ling; 4) 90 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Husin Hadi, Pek Sing Bi; 5) Leo Hady Hastono, Li Guan Hai. Sebagai Ketua: (Mariya); Sebagai Wakil Ketua Bid. Agama: (Anton Khasdi- Apiau); Sebagai Wakil Ketua Bid. Organisasi: (Sidik); Sebagai Wakil Ketua Bid. Wanita dan Pemuda: (Jondy,Apeng); Sebagai Sekretaris: (Suwanto); Sebagai Wakil Sekretaris: (Joni); Sebagai Bendahara: (Anita); Sebagai Pelaksana Harian: (Susanto). Oleh karena itu Tempat Ibadat Tridharma (TITD)/ Klenteng/Vihara/Cetiya baik anggota maupun calon anggota Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma se Indonesia dan Martisia Provinsi Riau di Kabupaten dan Kecamatan belum terbentuk Komwil, maka diperlukan utusan agar komunikasi bisa lebih lancar.Utusan yang ditunjuk adalah: 1)Bengkalis (Yani Sakiman); 2) Perawang (Ing Hok); 3) Siak Mempurna Muchtar; 4) Siak Kecil (Sueng); 5) Tanjung Balai ( Suriomantri); 6) Dumai ( Rusli Wijaya); 7) Selat Panjang ( Akhiong). Nama Kelenteng bermula dari suara bunyi alat tabuh upacara terdengar “teng, teng, teng” suara yang has itu, maka nama tempat ibadat Agama Buddha Tridharma di Indonesia bagi masyarakat Jawa disebut Kelenteng, yang hingga saat ini nama Kelenteng menjadi sebutan untuk tempat ibadat Agama Buddha Tridharma. (Sejarah Tridharma, 2013 : 3). Pengurus PTITD se Indonesia dan Martrisia ini merupakan 2 (dua) gabungan Provinsi yaitu Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, dikarenakan Komda PTITD se Indonesia dan Martrisia Komisariat Daerah (Komda) Provinsi Riau hingga Komda PTITD se Indonesia dan Martrisia Kepulauan Riau terbentuk. Jumlah umat Tridharma tidak bisa dipastikan karena umat yang datang ke Vihara Tridharma Dewi Sakti itu, belum Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 91 tentu mereka itu umat Tao, umat Khonghucu atau umat Buddha, yang jelas baik ia Buddha, Tao ataupun Khonghucu dalam KTP semuanya ditulis Buddha. Namun dalam buku sejarah Tridharma disebutkan bahwa selama kepemimpinan dipegang oleh Ibu Mariya, jumlah anggota Tridharma yang ada di Pekanbaru sebanyak 91 orang. (Sejarah Tridharma, 2013: 21). Menurut Ibu Mariya sebagai ketua Martrisia mengatakan bahwa Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia yang terdiri dari tiga ajaran agama yang yaitu ajaran Tao, Khonghucu dan Buddha, ketiga ajaran ini saling menyatu dan tidak bisa dipisahkan antara satu sama lainnya. Ajaran Tridharma ini awalnya datang dari Tiongkok yang dikenal dengan nama Sam Kauw. Apa yang diajarkan Tao, Khonghucu dan Buddha, semuanya diterima oleh umat Tridharma. Ajaran Tao mengajarkan keseimbangan antara yang positif dan negatif, antara dunia dan akhirat yang dibuktikan dalam lambang agama Tao atau apa yang disebut Yin dan Yang. Dalam ajaran agama Khonghucu dikenal dengan ajaran moral atau etika yang berlandaskan pada dasar-dasar keimanan yang diaktualisasikan dalam kehidupan praktis, seperti: bijaksana dan cinta kasih.(Shadiq Kawu dkk, 2011 : 77). Ajaran Buddha Mahayana, dimana dalam Mahayana mengenal banyak dewa-dewa. Mahayana mengenal faham Trimurti Budhisme yaitu kepercayaan terhadap adanya tokohtokoh kedewaan dan dewa-dewa sakti. Tokoh dewa seperti: Dyani Buddha dan Dyani Bodhisatwa. Dewa sakti seperti: Dewi Tara Availoka. (Arifin, 1990 :112). Bagi Umat Tridharma, pembinaan keagamaannya dibawah naungan WALUBI. Pembinaan keagamaan terhadap 92 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia umatnya oleh para pendeta, seperti: Ibu Mariya , Bapak Alex Sidiq, dan Bapak Tan. Tugas dari para pendetanya adalah: memberikan pemberkatan perkawinan, melakukan sosialisasi tentang Tridharma di masyarakat, dan memimpin do’a dalam upacara kematian. Sarana maupun dana yang ada di ViharaVihara yang ada di Provinsi Riau adalah atas sumbangan dari para penganut umat Tridharma itu sendiri dan juga dari Ketua Tridharma yaitu Ibu Mariya. Selain itu Ibu mariya selaku Ketua PTITD dan Martrisia Komda Riau dan sekaligus Pengurus Bidang Pendidikan PTITD dan Martrisia Seluruh Indonesia Pusat dan Surabaya menyatakan bahwa ia sudah mendapatkan persetujuan secara tertulis dari Profesor Doktor Hang Sheng Kui yang merupakan seorang peneliti dari Qinghai Kunlun Tiongkok dan telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO dan sudah diakui di PBB untuk mentranslate buku-buku, kitab serta Video yang diperoleh dari Kelenteng Zha Ma Long Fen Guang Shan untuk disebarluaskan di Indonesia. Bahkan barubaru ini Profesor Doktor Hang Sheng Kui selaku Direktur Pusat Penelitian Budaya Kunlun Tiong Hua Komite Pembangunan Budaya PBB memberikan gelar master kepada Ibu Mariya dalam hal penelitian dan menyebarluaskan mitologi Kunlun yang menceritakan Yang Mulia Maha Dewi Ratu Nawasuri Sakti Kiu Thian Hian De Ma. Kemudian Ibu Mariya menawarkan kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan dengan Pusat Pertukaran Budaya Kunlun dan Pusat Penelitian Budaya Kunlun Tionghoa Komite Pembangunan Budaya PBB di Kunlun Qinghai Tiongkok. Bahkan Ibu Mariya memohon kepada pemerintah supaya diberi Direktur atau Dirjen Tridharma untuk membimbing dan mengayomi umat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 93 Tridahrma secara intens dan berkesinambungan, seperti agama lainnya. 4. Ajaran dan Tradisi Keagamaan Martrisia C.1. Kitab Suci Umat Tridharma Kitab suci bagi umat Tridharma meliputi: 1) Kitab Sejati Kiu Thian Hian De , jilid 1s/d 5; 2)Kitab Sejati Kiu Thian Hian De, Menyelamat Dunia, jilid 1 s/d 3; 3) Kitab Sejati Dewi Nawasura Sakti. (Sejarah Tridharma, 2013 : 22). Selain itu kitab suci yang menjadi pegangan Martrisia adalah Kitab Suci Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King. ( Buletin Tridharma Edisi ke 8 Agustus 2014: 11). Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa Kitab suci bagi umat Tridharma meliputi: 1) Kitab suci Dewi KIU THIAN HIAN DE KIU SE CIN KING ( Kitab Suci Kiu Thian Hian De Menyelamatkan Dunia); 2) KIU THIAN HIAN DE THI SIM SIU GIAP CIN KING ( Kitab Suci Kiu Thian Hian De Mengobati Hati dan Menghapus Dosa); 3) Kitab Sejati Dewi Nawasura Sakti; 4) Kitab Suci Ibu Bumi (te Bu); 5) Tripitaka; 6) Tong Su; 7) Se Su Wu Jing. C.2. Hari yang dianggap suci Bagi Umat Tridharma Menurut Ibu Mariya, hari yang dianggap suci bagi umat Tridharma meliputi : 1) Tahun baru Imlek; 2) Ceng Beng; 3) Cit Gwee; 4) Cap Go Meh; 5) Peh Cun; 6) Tong Chiu; 7) Tang Ce; 8) Cet It Cap Go; 9) Co Ki Leluhur; 10) Perayaan Ulang Tahun Dewa Dewi Tridharma. (Memperingati hari lahir, wafat, dan menjadi Dewa-Dewi) termasuk perayaan waisak; 11) Perayaan Ulang Tahun 94 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Vihara, TITD dan Klenteng; 12) Pembukaan Vihara, TITD dan Klenteng; 13) Kelahiran; 14) Upacara perkawinan; 15) Upacara Kematian/duka; 16) Peresmian Toko/Tempat Usaha; 17) Hari Ulang Tahun Keselamatan. Pendapat lain mengatakan bahwa hari yang dianggap suci bagi umat Tridharma adalah 1) Waisak (setiap bulan purnama di bulan waisak antara Mei/Juni); 2) Ashada (Bulan purnama di bulan Ashada antara Juli/Agustus); 3) Kathina (Hari persembahan umat Buddha kepada Sangha/Bikhu); 4) Magapuja ( memperingati hari terkumpulnya Arahat sebanyak 1250 ); Kesemuanya ini dilakukan juga oleh seluruh umat Buddha pada umumnya, terkecuali kalau di Tridharma mereka melakukan hari-hari khusus yaitu hari ulang tahun DewaDewi seperti: Dewa gunung, Dewa Laut. C.3. Ajaran pokok Tridharma Ajaran pokok bagi umat Tridharma meliputi: 1) Tao mengajarkan hidup selaras dengan alam; 2) Khonghucu mengajarkan hidup harmonis dengan masyarakat; 3) Buddha mengajarkan tidak boleh melakukan kejahatan, tetapi berbuat kebajikan dan mensucikan pikiran. (Wawancara dengan I. Ketut Sukarsa). Dalam buku yang ditulis oleh Arnis Rachmadhani, disebutkan bahwa penganut agama Tao percaya pada tiga hal yaitu: 1) percaya kepada roh-roh suci yang menjadi pujaannya yaitu yang disebut Shen-ming; 2) percaya kepada hakikat kehidupan, di mana dalam kehidupan seseorang itu, dapat dikatakan sempurna bila ia Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 95 menyelaraskan diri dengan kodrat alam; 3) percaya kepada hakikat kematian. Jadi orang yang percaya kepada roh-roh pujaannya dan dapat menjalankan hidup dalam keselarasan terhadap alam, maka orang tersebut akan menemukan kematian yang sempurna. Dalam agama Tao terdapat tiga dewa besar yaitu: 1) Thay Sng Lauw Cin (Dewa tertinggi Tao); 2) Dewa Er Lang Sen; 3) Dewa Ciu Thian Sian Nie. ( PUTI, Sadar Untuk Siu Tao, 2010 :11). C.4. Tatacara peribadatan umat Tridharma Tata cara peribadatan Umat Tridharma adalah: 1) Umat Tridharma pada saat datang ke Vihara, mereka langsung melakukan sembahyang (Puja bakti) kepada Thian dengan menghadap ke Dewa Langit, Bumi dan Leluhur; 2) Melakukan sembahyang kepada dewa utama sesuai dewa yang ada di Vihara masing-masing, seperti di Vihara Tridharma Dewi Sakti, Dewa utamanya adalah Dewi Kiu Tian Hian De; 3) Melakukan sembahyang ke Dewa Budha, bagi umat Budha Tridharma; 4) Melakukan sembahyang ke Dewa Khonghucu bagi umat Khonghucu Tridharma; 5)Melakukan sembahyang ke Dewa Tao, bagi umat Tao yang ada dalam Tridharma; 6) Melakukan sembahyang ke Dewa Harimau; 7) Melakukan sembahyang ke Dewa penjaga keamanan. (Wawancara dengan Tandi (pengurus Vihara Tridharma Dewi Sakti, 14 April 2015). Bahkan ada juga bagi umat Tridharma setelah selesai melaksanakan sembahyang mereka selalu melaksanakan Tiam Yu/mengisi lampu penerangan, 96 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia karena percaya akan mendatangkan penerangan bagi mereka. Begitu juga setelah selesai melakukan sembahyang pada dewa-dewa yang ada, maka mereka menyumbang untuk kebutuhan Vihara, sumbangan tersebut besar kecilnya tidak ditentukan dan tidak ada kewajiban, hanya atas kesadaran sendiri mau nyumbang berapa banyaknya. Ajaran tentang Etika/Moralnya ada 4 kriteria yaitu: 1) LI, Sopan santun; 2)YI, Budi luhur; 3) LIAN, Integritas; 4) CHI, Tahu arti malu. ( Buletin Tridharma Edisi ke 8 Agustus 2014). Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa ajaran tentang etika/moralnya sesuai ajaran Konghucu ada empat Kriteria moral dan delapan kriteria disiplin diri diantaranya yaitu: SI WELLI YI LIAN CHI yang terdiri dari : 1) Li : Sopan santun; 2) YI : Budi Luhur; 3) LIAN : Bersih dari korupsi; 4) CHI : Tau arti malu. Kriteria Disiplin yaitu: 1) ZHONG : Setia; 2) XIAO : Berbakti pada orang tua; 3) REN : Bermoral; 4) AI : Cinta kasih; 5) XIN : Kepercayaan. (berdasarkan kitab Suci Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King, hal. 81). Tradisi Keagamaan umat Tridharma, yang menjadi Sumber ajarannya adalah melakukan Puja Bhakti kepada Thian/Langit, Te/Bumi dan Din/Leluhur yang merupakan tradisi keagamaan/Sam Kauw (Buddha, Tao dan Kong Hu Cu) yang berdasarkan kitab suci Dewi Kiu Thian Hian De; Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King dan Kiu Thian Hian De Thi Sim Siau Giap Cin King. Selain itu menurut Ibu Mariya Dewi Kiu Thian Hian De Cin Sian atau Dewi Hian De Ma (Ni Wa) adalah Promotor Khonghucu, Ibu dari Tao, pembimbing Sakyamuni yang dianggap sebagai Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 97 leluhur orang Tionghua/orang kuning langsat/Asia yang membuat manusia dari tanah kuning. C.5. Rupang dan Ornamen Rupang dan Ornamen yang ada di Vihara Tridharma Dewi Sakti adalah melambangkan perikehidupan manusia sebagai perwujudan terakhir makhluk hidup, seperti: a) Rupang/Patung (Dewa Langit); b) Dewa Bumi; c) Dewa manusia (leluhur), yang kesemuanya turun merintis dengan tugas-tugas tertentu dan terbatas. Yang kesemuanya bukanlah banyak tetapi Esa, karena merupakan bagian dari Tuhan (Thian). Ornamen-ornamen flora dalam bentuk rangkaian bunga-bungaan, buah-buahan antara lain: a) bunga anggrek, seruni dan bamboo atau bunga lainnya. b) buah apel, jeruk dan buah lainnya yang sesuai. Ornamen Fauna, seperti: Naga, Harimau, Kura-kura dan Burung Phonik. Ornamen-ornamen tersebut merupakan saranaprasarana perlambangan yang menggambarkan seluruh isi langit dan bumi beserta hukum dan sifat-sifatnya. Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa Rupang dan Ornamen yang ada di Vihara Tridharma Dewi Sakti sebagai berikut: 1) Patung dewa-dewi sebanyak 39 patung; 2) Daun pintu diukir Meng Sin; 3) Meja sembahyang dipasang dengan To Wi; 4) Langit-langit dipasang Ang Chaie; 5) Tiang diukir dengan Ling Hong; 6) Alat Sembahyang Ling Ki, Tua Kiam, Sian Chai, Lo ko, Tua Ko, Ceng, Chi Kiu, Huat Shut, Hu dan lain-lain; 7) Kio; 8) Niu Sua dan Se; 9) Kursi Besar Dewi. 98 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Altar Paling Depan 1. Ti Kong Cho 2. Dit Gek3. Ciok Sai 3. Pat Sian 4. Ngo Hong Kun Ciong 5. Meng Sin 6. Se Tai Tian Wang Altar depan (utama) meliputi : 1) Kiu Tian Hian De/Nawasura Sakti ( Tengah ); 2) Cik Sian De; 3) Cu Sin Niu-Niu; 4) Kwan Im Po Sat; 5) Tian To Guan Sue; 6) CeTian Tai Sing; 7) Cing Cui Cho Se; 8) Kong Ze Kong ( Khong Hu Chu ); 8) Yek Lau Cin Din; 9) Tua Pe Kong; 10) Kwan Te Kong; 11) Lo Cia Kong; 12) Tai Sue Ya; 13) Ling Ong Ciong Kun; 14) Ho Ya Kong. Altar belakang meliputi : 1) Giok Ong Tai Te; 2) Ong Bu Niu-Niu; 3) Ong Hui Niu-Niu; 4) Ng Te; 5) Yok Se Hut; 6) De Lai Put Cho; 7) Omi To Hut; 8) Mi Lek Hut; 9) Ho Ki Sian Te; 10) Sing Ong Tai Te; 11) Wang Sian Lo Co; 12) To Tik Tian Chun; 13) Guan Chi Tian Chun; 14) Ling Po Tian Chun; 15) Cang Fu Tian Se; 16) Ci Kong; 17) Cai Sen Ya. C.6. Peralatan yang tersedia di Vihara Tridharma Sarana (peralatan) tempat ibadat yang ada di Vihara Tridharma Dewi Sakti adalah : a) Altar/meja persembahyangan; b) Tempat lilin/lampu; c) Tempat Dupa/Hio, Stanggi (Hio Lho); d) Tempat buah-buahan; e) Tempat air; f) Tempat manisan; g) Tambur (bedug), genta(bel,klenengan) dan berbagai peralatan bunyibunyian. Fungsi-fungsinya adalah: 1) Meja persembahyangan berfungsi untuk menempatkan patung Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 99 dan meletakkan sarana prasarana dan benda-benda persembahyangan; 2) Lampu berfungsi untuk sumber penerangan, melambangkan kehidupan, pembebasan dari kegelapan menuju pada pencerahan dan penerangan sempurna dari kematian menuju kebangkitan rohani dari kepalsuan kepada kebenaran sejati dan masih banyak sifat dan sikap pembaharuan diri; 3) Tempat dupa, hio/setanggi berfungsi untuk meletakkan dupa, hio dan setanggi; 4) Tempat air berfungsi untuk meletakkan air; 5) Tempat buah-buahan berfungsi untuk meletakka buahbuahan; 6) Tempat manisan berfungsi untuk meletakkan manisan;7) Tambur dan genda serta berbagai peralatan bunyi-bunyian berfungsi untuk mengiringi upacara persembahyangan.(Buletin Tridharma, Nawasura, 2014 : 24). C.7. Fungsi Tempat Ibadat Tridharma (TITD) yang ada di Pekanbaru Riau. Tempat Ibadat Tridharma Pekanbaru bernama Vihara Tridharma Dewi Sakti. Tempat ibadat ini berfungsi sebagai berikut: a) sebagai tempat untuk melaksanakan persembahyangan, puja bhakti dan ritual keagamaan bagi umat Buddha Tridharma untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Thian Tuhan Yang Maha Esa, dan Yang Maha Mulia Maha Dewi Ratu Nawasura Sakti Kiu Thian Hian De Maha Para Dewa Dewi/Sinbeng. Guru Agung Boddhisatwa.; b) sebagai tempat untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan umat Buddha Tridharma terhadap Thian Tuhan Yang Maha Esa, dan Yang Mulia Maha Dewi Ratu Nawa Sura Sakti Kiu Thian 100 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Hian De Ma kepada Para Dewa Dewi/Sinbeng, Guru Agung dan Boddhisatwa. c) sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan upacara keagamaan umat Buddha Tridharma seperti: - Upacara pemberkatan pernikahan; -Upacara memperingati ulang tahun, kelahiran, atau pergabungan (yang dilaksanakan di rumah duka); d) sebagai tempat untuk meyebarluaskan ajaran agama Buddha Tridharma; e) sebagai tempat untuk mengembangkan dan mendalami ajaran Agama Buddha Tridharma. (Nawasura Sakti, April 2014 : 25). Puja Bhakti umat Buddha Tridharma dibagi menjadi 2 yaitu: 1) Puja bhakti kepada Thian (Tuhan), adalah puja bhakti yang dilakukan oleh umat Buddha Tridharma yang dilaksanakan setiap hari pagi dan sore untuk memuja dan mengagungkan Thian (Tuhan), Dewi Kiu Thian Hian De dan para Dewa-Dewi, pelaksanaannya bisa di rumah atau di tempat ibadat Tridharma; 2) Puja bhakti kepada leluhur, dilaksanakan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dan pada hari-hari tertentu. Dengan tujuan mendoakan para leluhur semoga hidupnya di alam berikutnya memperoleh kebahagiaan dan sebagai wujud rasa bakti. Pelaksanaannya bisa di rumah masing-masing atau di tempat ibadat Tridharma. Sembahyangnya dilakukan dengan menggunakan lilin 2 batang, Hio 2 batang, yang ditancapkan di Hio Lo Leluhur. (Pedoman Puja Bhakti Tridharma, 2013 : 3). Dalam lingkup besar ada garis wewenang yang menghubungkan secara vertical antara Thian (Tuhan) dengan Raja. Seorang Raja (Kaisar) yang mengadakan Puja Bhakti kepada Thian, itu sudah berarti mewakili seluruh rakyat. Dalam lingkup kecil (keluarga), Puja Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 101 bhakti kepada Thian biasanya diwakili kepala keluarga. Puja Bhakti kepada para Sin Beng/Dewi Kiu Thian Hian De lebih banyak dipengaruhi oleh Theologi Tao Tridharma. Dengan konsep mengenai Penguasa Langit Giok Ong Tai Te (I Hwang Ta Ti). (Pedoman Puja Bhakti Tridharma, 2013 : 3). Lambang Tridharma Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia Keterangan: 102 Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma Se-Indonesia Gambar Dai Chi adalah symbol dari agama Tao. Dai Chi ini melambangkan dualisme/dua sifat yang berlainan (sifat positif dan negatif) timbul dari satu sumber kebenaran adanya yang satu menunjukan yang lain bergantungan bila terpadu secara harmonis, terwujud /tampaklah kebenaran yang hakiki/sejati mengandung makna dinamis/dinamika dan mujijat. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Gambar Tigan/Wang adalah symbol dari agama Confucius. Tigan/Wang merupakan grafik simbolisa pertalian tiga unsur besar yang mudah dapat dimengerti, tidak saja mengandung arti awal mula jaman, tetapi juga perkembangannya dan pengarahannya. Pertalian dari tiga garis grafik ini melambangkan dan meringkas semua isi pelajaran kuno, meringkas semua proses genetic dari Siandian sampai Hodian, termasuk semua yang diajarkan oleh Confusius. Gambar Swastika adalah symbol dari agama Buddha. Swastika merupakan lambang jalannya kehidupan yang terus menerus dalam bentuk yang bagaimanapun juga Samsara suatu alat untuk menempuh jalan kebahagiaan. Perkataan Swastika berarti sesuatu yang dapat membahagiakan. (Sejarah Tridharma, 2013 : 4). Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Mariya bahwa yang dikatakan Nabi sebagai pembawa ajaran dalam Tridharma adalah : 1) Laut Ce (Taoisme); 2) Khong Ce (Khong Hu Cu); 3) Sidharta Gautama. Pengikut Konghucu etnisnya kebanyakan orang Tionghoa; Pengikut Tao etnisnya kebanyakan orang Tionghoa; Pengikut Buddha etnisnya campuran. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 103 5. 104 Dinamika atau konflik-konflik intern yang pernah terjadi dan cara penyelesaiannya Dalam internal umat Tridharma tidak pernah terjadi konflik, karena apa yang diajarkan Buddha, Tridharma menerimanya; apa yang diajarkan Tao, Tridharma menerimanya; apa yang diajarkan Khonghucu Tridharma menerimanya. Jadi tidak ada konflik yang terjadi, terkecuali pernah ada umat Khonghucu ingin mengambil tempat ibadat umat Buddha, karena menurutnya dulu itu Klenteng milik umat Khonghucu, kemudian karena Zaman orde baru nama-nama yang berbau Cina diganti menjadi Vihara. Namun demikian Kepala Kanwil Provinsi Riau tidak membolehkannya, terkecuali di Vihara itu tidak ada umatnya. Oleh karena itu Kepala Kanwil Riau menyatakan, kalau Khonghucu mau punya tempat ibadat, bangunlah di Kabupaten Meranti, nanti dibantu oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama Pusat. Melihat kejadian itu, dan ada saran dari Kepala Kanwil untuk membangun rumah ibadat Khonghucu (Litang), maka tercetuslah ide membangun rumah ibadat dan pada akhirnya terlaksana, kemudian Kementerian Agama Pusat memberikan bantuan sebesar Rp. 600.000.000;(enam ratus juta rupiah); dan hingga sekarang ini tempat ibadat Umat Khonghucu sedang dibangun dan belum selesai. Selanjutnya menurut penuturan Djalius (Umat Khonghucu) menyatakan bahwa sekarang ini kami keluar dari Tridharma tidak ada masalah, dulunya susah sekali, namun walaupun kami sudah keluar tetapi administrasi kami masih tetap ada di Tridharma. Karena Tridharma merupakan satu organisasi 3 ajaran agama (Tao, Khonghucu dan Buddha), sehingga sulit untuk Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia memisahkan diri. Selain itu ajaran Khonghucu yang ada di Tridharma dan yang ada di Matakin sama (tidak ada perbedaan sama sekali). Organisasi Tridharmanya tidak mau bubar, bahkan “ ketuanya sendiri berkeinginan Tridharma dijadikan sebuah agama seperti layaknya agama Khonghucu dan agama lainnya “ (Ibu Mariya Ketua Martrisia Riau). 6. Relasi sosial dengan penganut Buddha lainnya, masyarakat sekitar dan pemerintah Hubungan dengan penganut Buddha lainnya tidak ada masalah, ketika umat Buddha Magabudhi melakukan kegiatan hari-hari besar keagamaan, umat Tridharma di undang, begitu juga ketika umat Khonghucu mengadakan sosialisasi tentang Khonghucu umat Tridharmapun diundang, jadi relasinya cukup baik. Begitu juga relasinya dengan masyarakat sekitar, baik-baik saja, dan tidak pernah ada masalah, terutama komunikasinya dengan RT dan RW sangat baik, begitu juga komunikasi dengan pemerintah berjalan lancer dan pemerintah selalu memberikan perhatian besar terhadap Martrisia dan Sekte Buddha lainnya. 7. Pandangannya dengan sekte lain Pandangan dengan sekte lainnya, seperti dengan Pengurus Magabudhi, Majubuthi dan Matakin, baik-baik saja dan tidak ada masalah. Mereka selalu bekerjasama dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dan tidak pernah ada masalah. Bahkan pemerintah daerah dalam hal ini (Kanwil Kementerian Agama Riau) sangat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 105 mendukung dan memberikan perhatian besar terhadap keberadaan Martrisia. 8. 106 Kegiatan sosial keagamaan yang dilakukan Martrisia Kegiatan yang dilakukan oleh Martrisia meliputi: a. Melakukan kegiatan Sekolah minggu Buddha Tridharma; 2) Melakukan pemberkatan Perkawinan; 3) Melakukan pembacaan doa bersama dalam upacara kematian; 4) Melaksanakan perayaan hari-hari besar keagamaan bagi umat Tridharma; 5) Mengisi siaran agama Buddha di RRI Riau. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III PENUTUP A. Kesimpulan Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) adalah merupakan salah satu organisasi Keagamaan yang terdiri dari 3 ajaran agama ( Tao, Khonghucu dan Buddha); Dimana ajaran pokok dari Tridharma ini meliputi tiga hal yaitu: 1) mengajarkan hidup selaras dengan alam, adanya keseimbangan antara positif dan negatif yang tercetus dalam lambangnya Yin dan Yang (Tao); 2) mengajarkan hidup harmonis dengan masyarakat, tidak boleh melakukan kejahatan, tetapi berbuat kebajikan atau dikenal dengan ajaran moral atau etika (Khonghucu); 3) Ajaran Buddha Mahayana mengenal banyak dewa-dewa dan mengenal faham Trimurti Budhisme. Dikatakan pula bahwa Tridharma adalah Bhinneka Tunggal Ika, sekalipun berbeda tetapi tetap satu dari ujung atas langit sampai ujung bawah tanah, nalar kebaikan hanya ada satu. Tata cara peribadatan Umat Tridharma adalah: melakukan sembahyang (Puja bakti) kepada Thian dengan menghadap ke Dewa Langit, Bumi dan Leluhur yang merupakan tradisi Keagamaan/Sam Kauw (Buddha, Tao dan Konghucu) yang berdasarkan kitab suci Dewi Kiu Thian Hian De; Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King dan Kiu Thian Hian De Thi Sim Siau Giap Cin King. Bagi umat Buddha Tridharma, melakukan sembahyang ke Dewa Buddha; Bagi umat Khonghucu Tridharma, melakukan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 107 sembahyang ke Dewa Khonghucu; Bagi umat Tao yang ada dalam Tridharma, melakukan sembahyang ke Dewa Tao, dan ketiga umat tersebut melakukan sembahyang ke Dewa Harimau serta Dewa penjaga keamanan. Ajaran tentang Etika/Moral umat Tridharma yaitu: Sopan santun, budi luhur, persatuan dan tahu arti malu. Sumber ajaran bagi umat Tridharma adalah melakukan Puja Bhakti kepada Thian/Langit, Te/Bumi dan Din/Leluhur yang merupakan tradisi keagamaan/Sam Kauw (Buddha, Tao dan Kong Hu Cu) yang berdasarkan kitab suci Dewi Kiu Thian Hian De; Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King dan Kiu Thian Hian De Thi Kitab suci bagi umat Tridharma meliputi: 1) Kitab Sejati Kiu Thian Hian De (Penyelamat Dunia); 2)Kitab Sejati Dewi Nawasura Sakti; 3) kitab suci Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King. Kegiatan sosial keagamaan yang dilakukan Martrisia, adalah : melakukan kegiatan Sekolah minggu Buddha Tridharma, melakukan pemberkatan Perkawinan, melakukan pembacaan doa bersama dalam upacara kematian, melaksanakan perayaan hari-hari besar keagamaan bagi umat Tridharma dan mengisi siaran agama Buddha di RRI Riau. Hari yang dianggap suci bagi umat Tridharma meliputi : 1) Tahun baru Imlek; 2) Ceng Beng; 3) Cit Gwee; 4) Cap Go Meh; 5) Peh Cun; 6) Tong Chiu; 7) Tang Ce; 8) Cet It Cap Go; 9) Co Ki Leluhur; 10) Perayaan Ulang Tahun Dewa Dewi Tridharma, termasuk perayaan waisak; 11) Perayaan Ulang Tahun Vihara; 12) Pembukaan Vihara; 13) Ulang tahun Kelahiran; 14) Upacara perkawinan; 15) 108 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Upacara Kematian/duka; 16) Peresmian Toko/Tempat Usaha; 17) Hari Ulang Tahun Keselamatan. Tridharma merupakan satu organisasi keagamaan dengan 3 ajaran agama (Tao, Khonghucu dan Buddha), sehingga sulit untuk memisahkan diri dan tidak pernah terjadi konflik, bahkan satu sama lainnya saling bertoleransi dan menyatu seperti teh manis yang menyatunya (gula, teh dan air). Selain itu ajaran Khonghucu yang ada di Tridharma dan yang ada di Matakin, semuanya sama (tidak ada perbedaan sama sekali). Bahkan umat Tao, Khonghucu dan Buddha, dalam KTP kolom agamanya masih ditulis agama Buddha, walaupun Umat Khonghucu sudah diakui oleh pemerintah sebagai agama tersendiri. Oleh karena itu Pembimas Buddha seharusnya melakukan pendataan umatnya, supaya jelas mana yang Buddha dan mana yang betul-betul Khonghucu. Pada intinya ajaran Tridharma yang ada di Riau adalah kepercayaan terhadap ajaran langit/Kiu Thian Hian De Thian Ciau yang sangat memuliakan ajaran leluhur. Relasi sosial umat Tridharma dengan penganut Buddha lainnya tidak ada masalah, ketika umat Buddha Magabudhi melakukan kegiatan hari-hari besar keagamaan, umat Tridharma di undang, begitu juga ketika umat Khonghucu mengadakan sosialisasi tentang Khonghucu umat Tridharmapun diundang, bahkan dengan Buddha Majuputi, yang berencana mengadakan peresmian gedungnya umat Buddha yang lainnya akan diundang, termasuk umat Tridharma. Relasinya dengan masyarakat sekitar, baik-baik saja, dan tidak pernah ada masalah, terutama komunikasinya dengan RT dan RW Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 109 sangat baik bahkan dengan pemerintah hubungan cukup baik dan pemerintah daerah (Kepala Kanwil Kementerian Agama Riau dan Pembimas Buddhanya memberikan perhatian besar kepada umat Tridharma dan terhadap umat Buddha lainnya. Selain itu diharapkan kepada pihak pemerintah pusat supaya dapat memberikan perhatian besar terhadap agama-agama yang belum diakui dan masih bergabung dalam satu organisasi keagamaan. B. Rekomendasi 1. Kepada pihak pemerintah sebaiknya dapat memberikan perhatian besar kepada agama yang masih tergabung dalam satu organisasi (Tridharma); 2. Pembimas Buddha perlu melakukan pendataan ulang umatnya supaya jelas mana yang benar-benar umat Buddha dan mana yang umat Khonghucu; 3. Relasi sosial umat Tridharma dengan penganut Buddha lainnya yang sudah cukup baik dan toleran perlu dipertahankan. 110 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Arnis Rachmadhani, Religi Etnis China di Jawa, Semarang, 2009. Buletin Tridharma, Nawasura, Maret- Juni 2014 Dr. I Djaja L.M.Se , Kitab Suci Mahadewa, Thai Shang Laojun, , 2011. Dr. Djalal LM. SC., Serba Serbi Agama Tao,. Dr. ID. LIKA, M.Se., Dao Dejing, Kitab Suci Utama Agama Tao, LIE ER (LAOZI) Departemen Agama RI, Badan Litbang Dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 2012. Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia, 2006. Ikhsan Tanggok , Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, Jakarta, 2010. Kementerian Agama Dalam Angka, 2013. Kumpulan Dokumen Autentik Penting, Tridharma Paguyuban Umat Tao Indonesia, Sadar Untuk Siu Tao menuju kesempurnaan, 2007. Paguyuban Umat Tao Indonesia, Sadar untuk Siu Tao, 2010. Shadiq Kawu dkk, Spirit Khonghucu Modal Sosial Dalam Merenda Kebangsaan, 2011. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 111 Ir. Endar Sugiarto, MM., Psikologi Pelayanan Dalam Industri Jasa, 1999. Ronald Robertson, Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis, 1992. Yayasan Dewi Sakti, Sejarah Tridharma, Pekanbaru, 2013 Yayasan Dewi Sakti, Pekanbaru, 2013 112 Pedoman Puja Bakti Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Tridharma, 4 MAJELIS PANDITA BUDDHA MAITREYA INDONESIA (MAPANBUMI) DI KOTA MEDAN Oleh: Wakhid Sugiyarto Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 113 114 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I GAMBARAN UMUM LOKUS PENELITIAN Letak Geografis dan Pemerintahan; Kota Medan adalah kota yang sangat mencerminkan Indonesia, karena heterogenitasnya yang sangat tinggi dalam etnis, tradisi, dan agama, tetapi hidup rukun tiada duanya di Indonesia. Kota Medan juga merupakan kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya yang menjadi ibukota dari Provinsi Sumatra Utara dengan penduduk 2.295.956 jiwa pada tahun 20101. Tanah Deli yang kemudian hari disebut dengan Kota Medan ini luasnya sekitar 4.000 ha. Sebelum menjadi kota, Kota Medan ini merupakan hamparan dataran rendah, rawa-rawa dan tanah subur karena dilewati oleh banyak sungai yang sangat mempengaruhi kesuburannya. Seluruh sungai di Kota Medan mengalir ke Selat Malaka, seperti; Sei Deli, Sei Babura, Sei Kambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang atau Sei Kera. Salah satu produk yang namanya pernah mendunia adalah “tembakau Deli”. Tanah Deli ini, karena kesuburan, keindahan dan tata ruang wilayahnya yang bagus pada masa itu, pernah disebut dengan sebutan Paris van Sumatra, seperti Bandung pernah disebut sebagai Paris van Java. Ketika perkampungan dibuka oleh guru Patimpus wilayah ini disebut dengan Kampung Putri hijau, kemudian Medan Putri yang secara geografis sangat strategis, karena 1 Kota Medan Dalam Angka 2012. Lihat pula Basyaruddin, Peta Dakwah Kota Medan, Bank Muamalat Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia Kota Medan, Perdana Publising, Medan, 2012, hal. 49 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 115 diapit oleh dua sungai besar yaitu sungai Babura dan sungai Deli yang menjadi pelabuhan transit setelah Kampung Medan Putri itu menjadi ramai. Kampung Medan Putri sebagai pelabuhan transit yang ramai itu rupanya terdengar oleh Iskandar Muda (Sultan Aceh). Sultan Aceh kemudian mengirimkan seorang panglima perangnya bernama Gocah Pahlawan bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin dan mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Selanjutnya raja-raja (Kepala-kepala wilayah) di sekitar kampung Medan Putri menyerah pada Gocah Pahlawan. Kampung Medan Putri ini kemudian berkembang menjadi Kesultanan Deli yang wilayah kekuasaanya sampai di Rokan, separuh wilayah Sumatra Utara sekarang dan Aceh Tamiang di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kota Medan yang didirikan oleh Guru Patimpus ini sekarang di batasi oleh beberapa kota, Kabupaten serta wilayah laut. Sebelah utara adalah Selat Malaka, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai dan Lubuk Pakam, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Binjai. Demografi Keagamaan Penduduk Secara administrasi Kota Medan terbagi menjadi 21 kecamatan, 151 kelurahan, 2001 lingkungan dengan luas lahan 265 265 km2 dan jumlah penduduk 2.295.956 jiwa.2 Secara demografis, dinamika penduduk Kota Medan sangat tinggi, sebagaimana terlihat dari perubahan perimbangan etnis 2 Kota Medan Dalam Angka 2010, Lihat lagi Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012 116 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia penduduk yang tinggal di Kota Medan yang semakin beragam dan semakin berimbang. Dinamika kependudukan secara etnis itu ternyata juga diikuti oleh adanya dinamika sosial keagamaan bagi penduduknya. Jika wilayah Kota Medan sejak berdirinya di tahun 1600-an sampai pembukaan lahan perkebunan sekitar akhir tahun 1800-an hampir didominasi mutlak oleh kaum muslim dan bercokolnya Kesultanan Deli, maka secara berangsur-angsur setelah pembukaan lahan perkebunan itu terjadi dinamika perimbangan penduduk berdasarkan agama, sebagai berikut; Tabel 3 Komposisi penduduk berdasarkan agama Berdasarkan Kecamatan Di Kota Medan3 No Kecamaatan 1 2 3 4 5 Medan Kota Medan Timur Medan Barat Medan Baru Medan Belawan Medan Labuhan Medan Deli Medan Sunggal M. Tuntungan Medan Denai Medan Johor Medan Amplas 6 7 8 9 10 11 12 Penduduk 47.062 83.098 58.987 30.353 73.859 23.443 24.060 23.875 22.244 34.052 10.075 10.501 5.718 7.067 15.426 3.392 1.145 3.979 1.779 972 5.323 3.437 2.387 4.444 4.864 Konghucu 242 147 157 97 134 98.323 46.258 4.093 1.075 3.227 156 78.564 87.986 25.670 17.819 17.100 8.632 2.140 1.447 4.532 2.226 185 132 27.496 89.870 87.567 78.462 30.316 57.728 24.639 30.120 13.491 9.921 9.508 12.067 352 411 116 1.158 705 2.406 1.052 3.476 102 105 56 37 Muslim Protestan Katolik Hindu Budha 3 Kota Medan Dalam Angka 2010. Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 117 13 14 15 16 17 18 19 20 21 M. Tembung Medan Helvetia Medan Petisah Medan Polonia Medan Maimun Medan Selayang M. Perjuangan Medan Marelan Medan Area JUMLAH 98.678 72.897 37.099 43.881 20.100 12.099 1.746 1.494 4.279 3.114 106 69 42.795 27.881 37.253 22.620 17.201 5.821 2.470 11.004 4.062 6.168 1.612 1.746 2.741 3.225 5.567 135 57 132 46.750 37.872 2.904 1.764 882 56 68.453 99.369 32.969 12.739 13.096 10.000 1.063 5.095 3.191 2.547 106 134 66.473 1.402.176 (61.07%) 8.745 579.171 (25.23%) 9.105 208.439 (9.08%) 1.092 4.752 125 39.746 68.377 2.470 (2.80%) (1.72%) (0,11%) , Memperhatikan tabel di atas, nyata bahwa jumlah umat Islam di Kota Medan hanya mencapai 1.402.176 (61.07%) dari jumlah penduduk sebanyak 2.295.956 jiwa. Hal ini memperlihatkan dinamika atau perlombaan dalam usaha fungsionalisasi agama atau dalam bahasa Islamnya adalah “berlomba-lomba dalam kebaikan” menjadi sangat seru. Jika tokoh-tokoh agama tidak mampu memfungsionalkan agama untuk mempertahankan keyakinan keagamaan umatnya, maka masa depan kehidupan sosial keagamaan ke depan sebenarnya sudah dapat dibaca pada saat ini. Mungkin faktor urbanisasi akan cukup berpengaruh terhadap perimbangan jumlah penduduk menurut agamanya, tetapi tidak mungkin pertumbuhanya mengalahkan jumlah kelahiran di Kota Medan, yang berbeda dengan kondisi tahun 1930-an ketika etnis Batak Toba baru memulai migrasi ke wilayah Kota Medan dan sekitarnya. Karena itu pimpinan umat Islam misalnya, harus merubah metode dakwah dari model lisan dan bicara amal shaleh, surga dan neraka harus merubah dengan memfungsionalkan agama sebagai jalan keluar dari semua kesulitan dan penderitaan umat Islam di Kota Medan. 118 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Jika tidak, maka masa depan umat Islam secara prosentase dapat diramalkan akan semakin menurun. Kecenderungan ini sudah terjadi sejak tahun 1930-an, ketika etnis Batak Toba mulai migrasi dari dataran tinggi Toba ke wilayah Medan untuk berpartisipasi membuka lahan perkebunan dan persawahan, dimana para pendeta secara rutin mengunjungi umatnya dan sekaligus membantu kesulitan yang dihadapinya. Bandingkan dengan umat Islam yang tidak mendapatkan perhatian secara maksimal dari elit-elit muslim sendiri. Pada tahun 1930-an (sebagaimana tabel penduduk menurut etnis), jumlah etnis Batak Toba yang 100% menganut agama Kristen, baru mencapai angka 820 jiwa atau 1.07%, tetapi pada tahun 1980-an atau dalam waktu 50 tahun secara prosentase sudah mencapai 14.11% pada tahun 1981 dan menjadi 14.70 % pada tahun 1989. Tabel 4 Jumlah penduduk non muslim di Kota Medan4 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Protestan 23.443 24.060 23.875 22.244 34.052 46.258 25.670 17.819 30.316 57.728 24.639 30.120 Katolik 10.075 10.501 5.718 7.067 15.426 4.093 17.100 8.632 13.491 9.921 9.508 12.067 Hindu 3.392 1.145 3.979 1.779 972 1.075 2.140 1.447 352 411 116 1.158 Budha 5.323 3.437 2.387 4.444 4.864 3.227 4.532 2.226 705 2.406 1.052 3.476 Konghuc u 242 147 157 97 134 156 185 132 102 105 56 37 Jumlah 42.475 39.290 36.116 35.631 55.448 54.809 49.627 30.256 44.966 70.571 35.371 46.858 4 Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Meda, 2015; Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 119 13 14 15 16 17 18 19 20 21 37.099 43.881 22.620 17.201 5.821 37.872 32.969 12.739 8.745 579.171 (25.23%) 20.100 12.099 2.470 11.004 4.062 2.904 13.096 10.000 9.105 208.439 (9.08%) 1.746 1.494 6.168 1.612 1.746 1.764 1.063 5.095 1.092 39.746 (2.80%) 4.279 3.114 2.741 3.225 5.567 882 3.191 2.547 4.752 68.377 (1.72%), 106 69 135 57 132 56 106 134 125 2.470 (0,11%) 63.330 60.657 34.134 33.099 17.328 43.478 50.425 30.515 23.819 898.203 38,93% Tabel 5 Perimbangan jumlah penduduk muslim dan non muslim perkecamatan5 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Kecamaatan Medan Kota Medan Timur Medan Barat Medan Baru Medan Belawan Medan Labuhan Medan Deli Medan Sunggal M. Tuntungan Medan Denai Medan Johor Medan Amplas M. Tembung Medan Helvetia Medan Petisah Medan Polonia Muslim 47.062 83.098 58.987 30.353 73.859 98.323 78.564 87.986 27.496 89.870 87.567 78.462 98.678 72.897 42.795 27.881 Non Muslim 42.475 39.290 36.116 35.631 55.448 54.809 49.627 30.256 44.966 70.571 35.371 46.858 63.330 60.657 34.134 33.099 5 Dolah dari data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015; Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012 120 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 17 18 19 20 21 Medan Maimun Medan Selayang M. Perjuangan Medan Marelan Medan Area JUMLAH 37.253 46.750 68.453 99.369 66.473 1.402.176 (61.07%) 17.328 43.478 50.425 30.515 23.819 898.203 38,93% Dari tabel di atas, terlihat bahwa perimbangan jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut semakin dekat jika dibandingkan tahun 1930-an, 1980-an dan pada saat data 2010 ini diperoleh di tahun 2014. Lagi-lagi posisi umat Islam akan semakin menurun jika tidak ada perubahan pola dan metode dakwah Islam secara baik. Ajaran agama apapun tidak lagi dapat dipuja-puja kehebatan, kebenaranya dan kebaikanya di atas meja atau diatas kertas al Kitab, tetapi agama harus fungsional dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dinamika Sosial Keagamaan Dinamika Sosial Ekonomi Kota Medan adalah ibukota Provinsi Sumatra Utara. Sebagai ibukota provinsi yang memiliki wilayah luas dari selat Malaka sampai Samudra Hindia, Kota Medan menjadi sangat penting dalam proses distribusi sosial ekonomi bagi wilayah provinsi yang luas itu. Bahkan diantaranya juga sangat penting peranya dalam distribusi ekonomi bagi wilayah Aceh Selatan, Aceh Timur dan Aceh Tengah, karena semua kebutuhan komoditas yang tidak dapat dipenuhi oleh daerah Aceh sendiri seluruhnya dipasok dari Medan dan sekitarnya. Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi NAD hanya berfungsi adminsitartif saja bagi penduduk wilayah Aceh. Mobilitas Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 121 ekonomi dan sosialpun lebih kencang dengan Kota Medan sekitarnya daripada dengan Banda Aceh sendiri. Sebagai kota besar, Kota Medan memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik bahkan hampir selalu di atas pertumbuhan ekonomi nasional, sehinga pendapatan perkapita penduduk Kota Medan juga cukup tinggi yaitu 12,5 juta per tahun. Tingkat laju inflasi rata-rata hanya 2,69% pertahun, dibawah rata-rata inflasi ekonomi nasional yang mencapai di atas 6% pertahun dalam beberapa tahun terakhir. Kontribusi ekonomi terbesar berasal dari sektor tersier yaitu 66,84%, baru kemudian sektor sekunder 29,06% dan sektor primer hanya menyumbangkan distribusi ekonomi sebesar 4,18% dari penduduk Kota Medan yang berjumlah 2.295.956 jiwa. Pertumbuhan ekonomi Kota Medan merupakan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan semua daerah Kabupaten/Kota lain di Provinsi Sumatra Utara. Sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadikan Kota Medan sebagai kota generator ekonomi bagi Provinsi Sumatra Utara dan wilayah Aceh yang disebut di atas, yaitu Aceh Tenggara, Aceh Timur dan Aceh Tengah. Para pengusaha dan pedagang di 3 wilayah Aceh diatas lebih banyak berurusan bisnis langsung dengan Provinsi Sumatra Utara khususnya dengan Kota Medan dari pada dengan Kota Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi Aceh. Posisi Kota Medan menjadi strategis bukan hanya karena menjadi generator atau penggerak ekonomi wilayah sekitarnya, tetapi juga karena telah didukung oleh infrastruktur yang menghubungkan berbagai wilayah di Provinsi Sumatra Utara maupun wilayah Aceh yang cukup bagus. Bahkan infrastruktur penunjang lainya cukup baik ketersedian maupun fungsionalisasinya, 122 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia seperti; adanya jalan tol, terminal-terminal antar kota yang cukup berfungsi dengan baik, bandara internasional yang luas dan baru diresmikan bulan Maret 2014 yang merupakan pemindahan dari bandar udara yang lama yaitu di Polonia, adanya pelabuhan untuk bongkar muat komoditas eksport dan import komoditas bagi komunitas internasional yang cukup besar di Medan Belawan dan adanya jalan-jalan lingkar kota maupun dalam kota yang lebar dan rapi karena jarang ada pedagang asongan kaki lima yang biasanya mengganggu arus lalu lintas di berbagai kota Indonesia yang tidak tertib. Pertumbuhan ekonomi Kota Medan dengan segala kelebihan dan kekuranganya itu memiliki dampak atau efek domino bagi rotasi ekonomi dan sosialnya. Sektor yang paling terkena dampak dari pertumbuhan ekonomi di Kota Medan adalah menggelembungnya harga-harga sektor property, seperti harga tanah, harga sewa kontrakan, rumah, pertokoan dan perkantoran serta mahalnya biaya ongkos kerja bangunan. Sementara itu sektor riil, seperti rumah makan, pertokoan kurang terkena dampaknya, karena stabilitas pertumbuhan ekonominya. Dinamika Sosiokultural dan Sosial Keagamaan Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa secara demografis, penduduk Kota Medan sangat plural dalam etnis, kultural, dan keagamaan. Secara sosiokultural, masyarakat Kota Medan benar-benar merupakan masyarakat majemuk, dimana tidak ada kelompok dominan dalam etnis dan budaya. Di Kota Medan masyarakat etnis Jawa yang secara etnis sebenarya cukup dominan, tetapi dalam kehidupan sosial kebudayaan bukanlah masyarakat dominan, begitu pula masyarakat dari etnis Batak Mandailing, Toba, Tionghoa dan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 123 lainya. Justru yang terjadi adalah adanya saling menjaga budaya masing-masing, sehingga semua budaya berjalan seperti apa adanya yang dalam dinamikanya justru berhadapan dengan perubahan budaya dari luar. Oleh karena itu secara etnis dan budaya sebagaimana disebutkan sebelumnya, Kota Medan Menjadi miniatur Indonesia yang sesungguhnya karena keragamannya itu. Dalam kehidupan sosial keagamaan, masyarakat Kota Medan juga menunjukan adanya keragaman keberagamaan yang luar biasa. Namun demikian toleransi kehidupan beragama sangat baik, sehingga selama ini tidak pernah terdengar terjadinya konflik keagamaan, utamanya antar umat beragama. Kalaupun ada, hanyalah konflik intern umat beragama, utamanya di kalangan umat Kristen akibat persoalan-persoalan intern yang memang sudah lazim terjadi, seperti kasus dualism kepemimpinan organisasi atau lainya. Dalam kehidupan sosial keagamaan, masyarakat Medan dapat dikatakan cukup dipengaruhi oleh nilai-nilai agama atau setidaknya terdapat semangat keagamaan yang cukup tinggi. Hal ini dapat ditunjukan oleh jumlah rumah ibadah yang cukup banyak di Kota Medan. Tabel rumah ibadah berikut dapat menjadi petunjuk bahwa masyarakat Kota Medan memiliki semangat keagamaan yang cukup tinggi, meskipun mungkin secara rasio masih kurang juga. Hal ini adalah karena sebagian juga belum sepenuhnya menjalankan peribadatan sesuai dengan agamanya. Tetapi jelas bahwa dari semua rumah ibadah yang ada, ketika waktu peribadatan utama tidak pernah sepi. Misalnya masjid pada hari jum’at selalu penuh jamaah, gereja penuh ketika hari minggu dan sebagainya. 124 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Tabel 6 Rumah Ibadah6 Rumah Ibadah No Kecamaatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Medan Kota Medan Timur Medan Barat Medan Baru Medan Belawan Medan Labuhan Medan Deli Medan Sunggal Medan Tuntungan Medan Denai Medan Johor Medan Amplas Medan Tembung Medan Helvetia Medan Petisah Medan Polonia Medan Maimun Medan Selayang Medan Perjuangan Medan Marelan Medan Area JUMLAH 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 53 51 47 19 26 45 44 69 46 24 33 35 31 71 48 57 18 17 36 33 19 27 47 43 15 26 65 Wihara/ Cetia 2 5 4 4 6 6 9 7 5 73 73 69 76 31 27 34 26 56 16 33 36 5 4 4 6 85 35 22 21 46 59 29 20 9 21 12 19 49 30 15 8 32 35 5 4 9 4 4 4 29 51 1039 52 55 669 4 9 634 5 9 192 Masjid Musholla Gereja Pura 6 Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015; Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 125 Tabel 7 Data Lembaga/Majelis Agama Buddha Kota Medan Tahun 20157 NO. NO. REGISTRA SI 1 2 3 4 5 6 7 NAMA KETUA TAHU ALAMAT N SEKRETAR BERDI IAT RI 2000 Jl. Mahoni Medan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) Prov. Sumut Kw.02/9/BA Majelis Budhayana .01.1/41/200 Indonesia (MBI) 8 Prov. Sumut Dr. Indra Wahidin Ony Indra Kusuma 1979 Kw.02/9/BA Majelis Agama .01.1/16/V/2 Buddha Theravada 008 Indonesia (MAPAN BUMI) Kw.02/9/BA Majelis Agama .01.1/15/III/ Buddha Zhen Fo 2008 Zong Tantrayana Kasogatan Indonesia Kw.02/9/BA Wanita Buddhis .01.1/10/200 Indonesia (WBI) 8 Pdt. Rudi Harjon, S.Ag. 1976 Drs. Wilson Wirya, MBA Mariana Waty, SH 1975 Jl. Merbabu No.10 D Medan 1973 Kw.02/9/BA Perwakilan Umat .01.1/33/200 Buddha Indonesia 8 (WALUBI) Kota Medan Kw.02/9/BA Majelis Budhayana .01.1/33/200 Indonesia (MBI) Kota 9 Medan Ir. Sutopo 2008 Densi Ginting, S. Ag. 1979 Jl. Bambu II Komp. Graha Niaga A2 Medan Komp. Asia Mega Mas Blok H Medan Jl. Bambu II Komp. Graha 7 126 NAMA LEMBAGA (MAJELIS) Jl. Bambu II Kompleks Graha Niaga A2 Medan Jl. Panjang No. 7-9 Medan Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 8 Kw.02/9/BA Majelis Buddha .01.1/02/201 Mahayana Tanah 1 Suci Indonesia Kota Medan 9 Kw.02/9/BA Perkumpulan .01.1/32/200 Sarjana dan 9 Profesional Buddhis Indonesia (SIDDHI) Kota Medan 10 Kw.02/9/BA Perkumpulan Vihara .01.1/20/201 Buddha Tri Dharma 0 Mulia Kota Medang Daslim 2010 Tjoa Wie Pin, BSc. 2007 Ismed Tan 2009 11 Kw.02/9/BA Perkumpulan .01.1/38/201 Buddha Amitabha 0 Kota Medan Edi Darsono 2005 12 Kw.02/9/BA Sinar Buddha .01.1/04/200 Indonesia (BLIA) 8 Medan Nasir Udin 1992 13 Kw.02/9/BA Parisada Buddha .01.1/31/200 Dharma Niceren 8 Syosyu Indonesia (PBDNSI) Bak In 1954 Niaga A2 Medan Jl. Thamrin No.832 Q Medan Jl. Bambu II Komp. Graha Niaga A2 Medan Jl. Rachmadsy ah, Gg. Kemala 2 No.38 AA/63 Jl. H. Misbah Komp.Muta tuli Indah Blok G 1920. Jl. Gandi Dalam No. 121 F Medan Jl. Gandi No. 116 Medan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 127 Tabel 8 Data Yayasan/Lembaga Sosial Keagamaan Buddha Kota Medan Tahun 20158 NO 1 2 3 4 5 6 TAHUN BERDIR ALAMAT I DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Eddi 2008 Jl. Panjang No. 02/348/2009 Mahasampatti Dhammadip 7-9 Medan a DJ.VI/BA.01.1/ Vipassana Jecky 2008 Jl. Asia Raya 02/350/2009 Indonesia Koeswandy Komp. Ruko Asia Mega Mas Blok P No.12 AB, 15, 16 Medan DJ.VI/BA.01.1/ Pendidikan Bodhi Tongariodjo 2002 Jl. Selam No.3902/379/2009 Dhamma Medan Angkasa, 41, Lingk.II Kel. SE, MM, Tegal Sari, MBA Mandala I, Kec. Medan Denai, Kota Medan DJ.VI/BA.01.1/ Pendidikan Tongariodjo 2000 Jl. Selam No.3902/380/2009 Buddhis Angkasa, 41, Lingk.II Kel. Bodhicitta SE, MM, Tegal Sari, MBA Mandala I, Kec. Medan Denai, Kota Medan DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Budi Kurnia 2009 Jl. Palembang 02/406/2010 Kebajikan Halim No. 21-23 Kel. Pandau Hilir, Kec. Medan Perjuangan, Kota Medan DJ.VI/BA.01.1/ Buddha Tamrin Yati, 2004 Jl. Surakarta 02/409/2010 Indonesia SE No.7E/27 Kel. Pasar Baru, Kec. Medan Kota NO.REGISTR NAMA YAYASAN ASI 8 128 NAMA KETUA Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 7 DJ.VI/BA.01.1/ Padma Sambhava Halil 02/420/2010 Sutrisno 2009 8 DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Sala 02/423/2010 Prakcha Semakhom So Sion Eng 2010 9 DJ.VI/BA.01.1/ Dhammacakra 02/428/2010 Zulkifli, S.Ag., SE 2010 10 DJ.VI/BA.01.1/ 02/439/2010 DJ.VI/BA.01.1/ 02/451/2011 Tjen Tjong 2010 Liaw She Thung 2009 11 Dhammavicayo Indonesia Buddha Bhaisajia Guru 12 DJ.VI/BA.01.1/ Indonesia Widya 02/462/2011 Carita Bety 2011 13 DJ.VI/BA.01.1/ Mitra Buddhis 02/463/2011 Center Cing 2007 14 DJ.VI/BA.01.1/ Dharma 02/500/2012 Manggala Charles Thamrin 2010 Jl. Asia Raya Blok L, No.18 Lingk. V Kel. Sukaramai II Kec. Medan Area Jl. Pasar III Lingk. IX Kel. Sunggal Kec. Medan Sunggal Jl. K.I Yos Sudarso Lingk.XIV Komp. Cilincing Indah No.67-68 Jl. S. Parman No. 168 Medan Jl. Timur Baru I No.90A Kel. Gang Buntu, Kec. Medan Timur Jl. Komp. Multatuli Indah Blok C No.18 Kel. Aur Kec. Medan Maimun, Medan Jl. Komp. Graha Sunggal Blok E No.33 Kel. Sunggal, Kec. Medan Sunggal, Medan Jl. Karantina I No.35 Kel. Glugur Darat II Kec. Medan Timur Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 129 15 DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Aya Ratna Sow Siew 02/514/2012 Prajna Hong 2010 16 DJ.VI/BA.01.1/ Pusat Dharma William 02/515/2012 Zurmang Kagyud Chen Medan 2003 17 DJ.VI/BA.01.1/ Padma Ratna 02/518/2012 Franscisca Sumartio 2012 18 DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Maitri 02/519/2012 Medan Teh Hian 2012 19 130 Ci Kong Lin Gunawan 2010 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Jl. Sutrisno Dalam No.10 I & J Kel. Kota Matsum I, Kec. Medan Area. Jl. Asia Raya Blok N No.24 Komp. Asia Mega Mas, Kel. Sukaramai II, Kec. Medan Area Jl. Gandhi No.90/92 Kel. Sei Rengas Permata, Kec. Medan Area, Kota Medan Jl. Gandhi No.90/92 Kel. Sei Rengas Permata, Kec. Medan Area, Kota Medan Jl. Rahayu Kel. Bantan Timur, Kec. Medan Tembung II BUDDHA MAITREYA Sejarah Agama Buddha Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik keagamaan yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu di abad ke-6 SM. Beliau dikenal umat Buddha sebagai guru spiritual yang telah sadar atau tercerahkan dan membagikan wawasanya untuk membantu makhluk hidup lainya mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avidya), kehausan/napsu rendah (tanha), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan sunyatan dalam mencapai Nirvana (Pali: Nibbana). Menurut para ahli Barat, Budha Gautama, pendiri agama Budha lahir pada 563 S.M dan wafat pada tahun 483 S.M. Ia adalah anak dari raja Suddhodana, yang memerintah atas suku Sakya, maka dari itu Budha Gautama juga dikenal dengan sebutan Sang Budha Sakyamuni, karena berasal dari suku Sakya. Ibunya bernama Maya, ia dibesarkan di ibukota kerajaan, yaitu Kapilawastu. Ia dibesarkan oleh orang tuanya yang beragama Hindu, pada masa kelahiran Sang Budha masyarakat yang ada di India yang beragama Hindu terbagi kedalam empat Vanna (kasta), yaitu Khattiya (raja dan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 131 keluarganya yang memegang pemerintahan), Brahmana (bertugas dalam upacara dan pendidikan), Vessa atau pedagang (termasuk petani dan tukang ahli), serta Sudra (para pekerja). Sedangkan Budha termasuk kedalam golongan Khattiya, kerana ayahnya berasal dari keturunan bangsa Arya dan berasal dari keturunan kerajaan Magadha. Dalam sejarah bangsa Arya boleh dikatakan sejarah dari dua golongan saja, masing-masing golongan Khattiya dan Brahmana. Antara dua golongan ini sering terjadi perkawinan sebab perkawinan dari selain dua golongan ini tidak dimungkinkan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa masyarakat India (Jambudipa Purba) adalah menganut sistem matriarkhat, yang memberikan wanita hak-hak khusus seperti mengizinkan seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami. Terdapat 2 pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme dan Sramanaisme. Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan bangsa Arya, yang menurutnya, roh dan jasmani itu satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham nihilisme. Karena beranggapan bahwa hidup hanya sekali dan tidak ada lagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahan pada kehidupan ini. Sementara pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh bangsa Dravida menganggap bahwa roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang 132 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kekal dan abadi dan apabila pada saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan paham eternalisme (kekekalan). karena beranggapan bahwa roh akan terus ada, roh ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan sesuatu yang disebut Maha Kekal. Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal, roh tersebut haruslah menjadi roh yang suci dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan penyiksaan diri (bahkan sampai berlebihan) dengan tujuan menyucikan rohnya sendiri. Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (the eightfold path) atau Jalan Tengah (the middle way). Bagi umat Buddha ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup (the way of life) daripada agama. Karena apa yang ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan, melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua orang) agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti. Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa dunia ini (masa dunia atau kalpa: satu kalpa lamanya kurang lebih 320.000.000 tahun). Ada buddhabuddha sebelumnya seperti Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa dan Buddha yang akan lahir (mesianism) yaitu Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam Cakkavatti Sihanada sutta, sutta ke-26 dari Digha Nikaya dikatakan bahwa:“Pada saat itu kota yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 133 bernama Ketumati, kuat dan makmur, didapati oleh masyarakat dan berkecukupan. Di jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seseorang yang terberhkahi, arahat, sammasambuddha bernama Meitteya”, di dalam Buddhavacana disebut Maitreya Bodhisattva.9 Menurut Peter Lim, dalam Sutra disebut: “O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000 yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan permukaan buminya demikian rata dan bersih" Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi di dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik dari pada sekarang. Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat penjuru tidak setinggi sekarang10. Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya 9 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke-1hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015; Seperti diejalskan pula oleh Peter Liem dan Ling-Ling, April 2015 10 Keterangan dari Pdt. Peter Lim tentang perkembangan agama Buddha di Indonesia. 134 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama. Pengikutpengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Pitaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abidhamma Pitaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi)11. Dalam tataran konseptual, maka Tripitaka ini bukanlah kitb suci, karena bukan merupakan firman Tuhan, tetapi sabda Buddha Gautama atau ajaran sang Buddha Gautama yang disampakan ke berbagai kelompok lapisan dalam masyarakat waktu itu. Itulah sebabnya banyak ilmuwan mengatakan bahwa Buddha Gautama atau Buddha Sakyamuni setara dengan nabi dan Rasul, malah ada yang mengatakan sebagai Nabi Zulkifli, tetapi di kalangan umat Buddha sebagian menganggapnya sebagai Tuhan. Oleh karena itu setiap tulisan yang menunjukkan darinya selalu ditulis nya (bentuk kata ketiga) dengan NYA (hurup besar semua) yang umumnya menjelaskan sebagai milik Tuhan. Dalam Islam, pernyataan Nabi disebut sabda, sabda tersebut disebut hadits, sementara pernyataan Tuhan (Allah) disebut firman. Oleh karena itu ketika menunjuk ajaran Rasul Muhammad SAW, maka tidak pernah dengan ditulis Nya. Hanya ketika menulis firman Tuhan dalam Al Qur’an, umat Islam menulis dengan Nya. Itulah sebabnya pernyataan Buddha karena banyaknya disebut Tripitaka artinya tiga keranjang, yaitu Sutta pitaka, Vinaya Pitaka dan Abidhamma Pitaka yang pada kenyataanya, seperti dikatakan oleh Peter Lim, Ling ling dan Burhanuddin bahwa kitab suci Tripitaka ini jika dalam keadaan utuh, banyaknya lebih dari 1 truk kontainer12. Jadi bagaimana manusia dapat belajar dengan http://id.wikipedia.org/wiki/Sutta_Pi%E1%B9%ADaka Peneliti ditunjukan oleh Peter Lim dan Ling Ling 1 bufeet besar setiinggi 2.5 meter yang berisi kitab suci Tripitaka di sebuah vihara 11 12 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 135 kitab sebanyak 1 truk konteiner itu. Jadi jangan dibayangkan kitab suci tripitaka itu seperti kitab suci al Qur’an atau Beybel yang ringkas, ringan, dapat dibawa kemana-mana dan jika ada masalah tinggal membuka mencari rujukanya. Jejeran Tripitaka seperti toko buku Gramedia, sehingga orang harus datang untuk mempelajarinya. Jika kita tidak bersedia datang, dan ingin mengambil beberapa pitaka, maka bersiaplah anda akan menjadi salah satu penghulu lahirnya sekte dan aliran baru dalam Buddha. Sebab kita pasti tidak lengkap dalam mempelajari keseluruhan yang dimaksud dalam Pitaka sebagai kitab suci.13 Dengan semakin berkembangnya agama Buddha kepada berbagai bangsa yang berbeda dalam filosofi, tradisi, kosmologi, bahasa dan sebagainya, apalagi dinyatakan bahwa banyaknya kitab Triptaka bisa lebih dari 1 truk kontainer, maka peluang perbedaan tafsir di kalangan umat Buddha menjadi sangat-sangat mungkin terjadi. Kitab suci al Qur’an yang banyaknya hanya sekitar 540 halaman saja perbedan tafsir sudah demikan besar, apalagi 1 truk kontainer. Itulah sebabnya, akhirnya agama Buddha pecah menjadi banyak aliran utama dan mungkin ribuan aliran sempalan atau sekte di seluruh dunia. Perpecahan besar yang dipandang menjadi hulu dari seluruh perpecahan adalah munculnya aliran Mahayana (kereta besar), Hinayana (kereta kecil) dan Tantrayana. Khusus di Indonesia, perpecahan menjadi aliran, mazhab dan sekte itu diikuti dengan pendirian majelis umat Buddha sesuai dengan aliran yang ada. Dari aliran Mahayana Theravada, yang didatangkan dari Thailand. Katanya Tripitaka itu baru sebagian kecil saja dari Tripitaka secara keseluruhan, karena secara keseluruhan Tripitaka itu lebih dari 3 konteiner dalam bahasa Pali. 13 Lihat pula DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015 136 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia terdapat ribuan sekte di seluruh dunia, termasuk di dalamnya adalah Maitreya, demikian pula Hinayana atau Theravada dan Tantrayana. Syukurnya, banyaknya aliran itu tidaklah menimbulkan pertengkaran atau konflik yang mengabadi dan terus dipertahankan dari generasi kegenerasi dan diperkuat argumenya dengan segala cara, sebagaimana dalam agama lainya agar hanya satu yang eksis14. Dalam agama Kristen, konflik teologis dan keagamaan akibat perbedaan aliran, atau sekte telah berakhir sejak lama, sehingga di kalangan Nasrani munculnya beribu-ribu sekte dan paham keagamaan (denominasi di seluruh dunia), tetapi tidak lagi menimbulkan konflik. Keberadaan denomnasi yang begitu banyak telah mendorongnya untuk dewasa, dan yang terjadi adalah saling mengakui dan bila perlu saling membantu dalam missi dengan semangat Reconscuista. Sementara itu, dalam Islam, perbedaan antara mazhab Suni dan Syi’ah adalah abadi, karena terus sengaja dipertajam perebedaanya pada beberapa dekade ini, sehingga konflik sektarian antara keduanya diperkirakan juga akan semakin menguat di masa-masa mendatang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sekaligus memperlihatkan bahwa beragamanya umat Islam masih seperti anak kecil yang baru belajar, sehingga beda sedikit saja tidak boleh. Di Indonesia secara inskontitusional telah terjadi usaha keras peniadaan komunitas Syi’ah oleh komunitas yang menyebut dirinya sebagai Suni dengan berbagai cara. Mulai dari pengusiran komunitas, pembakaran properti, penjarahan ternak, intimidasi, pengadilan in absenteia dalam road show anti Syi’ah, agitasi, tablik akbar yang berisi penghujatan dan pengkafiran atau menyatakan Syi’ah bukan bagian Islam dan sebagainya, yang secara keseluruhan merupakan langkah besar untuk mengusir mazhab Ahlulbait itu. Jadi aneh luar biasa, ketika tablig akbar atau dakwah bukan mengajak kebaikan, tetapi berisi penghujatan dan caci maki terhadap yang lain (kompor perpecahan umat Islam), sehingga yang tadinya ingin paham Islam malah lari ke agama lain. Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan umat Islam Indonesia sejak Indonesia merdeka, dimana waktu itu Islam mencapai 95%, tetapi di tahun 2010 tinggal 85% (menurun 10% dalam 55 tahun). Mungkin ditahun 2045 (1 abad) nanti tinggal 75%. Dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan Indonesia tidak ada satu kalimatpun menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Islam Suni. Justru 14 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 137 Bagi kalangan umat Buddha, aliran atau sekte apapun asal masih memegang pitaka, maka jalan menuju kebuddhaan dapat dilakukan oleh siapapun tidak memandang strata sosial ekonomi, pendidikan seseorang. Apalagi secara teologis, agama Buddha tidak menempatkan dirinya sebagai agama yang paling benar, sehingga tidak mengikat umatnya untuk menggunakan jalur kepercyaan apapun untuk menuju kebuddhaan. Bagi agama Buddha semua agama sama baiknya dan sama benarnya, karena yang terpenting ada usaha berbuat damma atau karma baik sebanyak-banyaknya. Benar dan baik secara konseptual tidaklah bermakna, jika tidak dapat diperaktekan atau tidak dilaksanakan oleh umat manusia, setidaknya oleh umat Buddha. Bagi Buddha apapun keyakinan atau agama yang dianut seorang dapat menjadi jalan menuju kebuddhaan (pencerahan) yang dipandang sebagai maqam spriritual tertinggi di kalangan umat Buddha15. Sang Buddha dahulu mengajarkan kepada banyak kelompok orang, ada masyarakat biasa, terpelajar, pertapa, menurut filsafat Pancasila, konsitusi dan berbagai peraturan-perundangan yang ada adalah menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya itu. Jadi jangan dibayangkan seperti negara Malaysia, Brunai Darrussalam, Iran, dan lainya yang menempatkan Islam dengan mazhab tertentu sebagai mazhab negara. Di kalangan kaum Nasrani, semua sekte atau denominasi saling mengakui keberadaanya ketika memang sudah tidak dapat dipertemukan lagi. Dalam agama Hindupun demikian, tidak ada yang mempertajam perbedaan dan mengabadi seperti umat Islam kalangan Suni dan Syi’ah. 15Wawancara dengan Peter Lim, Burhan dan Ling Ling, April 2015 dan ceramah mingguan Pdt. Peter Lim di Vihara Borobudur, Medan, Sumatra Utara, 19 April 2015; Dijelaskan pula oleh beberapa saudara pejabat di Bimas Buddha Kemneterian Agama dan Komentar narasumber seminar, Cornelis Wowor, Juli 2015 138 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia para Brahmana, asura, dan sebagainya. Sang Buddha menyesuaikan materi yang diajarkan sesuai dengan pola pikir masing-masing kelompok yang berbeda itu. Secara kebetulan, tiap manusia memiliki kecenderungan yang berbeda, baik minat maupun kebiasaannya. Hal inilah yang menyebabkan cara setiap orang melihat ajaran Sang Buddha bisa dari berbagai sudut pandang, disesuaikan dengan kesukaanya. Masalah sekte/aliran, seperti halnya masalah cara atau jalan atau tariqah, sehingga masalah kesesuaian/kecocokan untuk mencapai pencerahan tentu saja berbeda pada setiap pribadi. Ajaran Sang Buddha sangat luas, sehingga ada kelompok tertentu yang memiliki kecenderungan untuk memilih bagian atau tradisi tertentu dari ajaran Sang Buddha untuk dipraktekkan. Itulah sebabnya muncul banyak sekte dalam agama Buddha di seluruh dunia. Di Indonesia sekte/aliran Buddha yang lazim ada tiga, yaitu; Pertama, Theravada atau Hinayana (kereta kecil), adalah sekte yang dianggap paling dekat dengan tradisi awal perkembangan Buddhisme, yang serig disebut sebagai Buddha fundamentalis dan skripturalis. Beberapa majelis umat Buddha di Kota Medan bersekte Theravada. Kedua, Mahayana (kereta besar), adalah salah satu sekte yang amat dekat dengan tradisi Tionghoa, karena sekte ini tidak diterima di anak benua India tetapi berkembang pesat di Tiongkok. Pembacaan nama-nama Buddha sangat lekat dengan sekte ini dan memiliki banyak sub sekte yang khas Tionghoa. Tetapi fenomena sekte ini tidak menonjol di Indonesia. Di Indonesia, sekte ini pernah berkembang pesat pada masa Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan setelahnya berkolaborasi dengan Hindu Syiwa. Tentu pada saat itu, sekte ini lekat dengan tradisi Jawa Kuno. Sedangkan Mahayana yang berkembang sekarang di Indonesia diadopsi dari Mahayana Tiongkok. Ciri khasnya adalah sangat terbuka Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 139 terhadap tradisi setempat dan kebebasan mencari jalan sendiri menuju kebuddhaan, karena setiap orang berpotensi mencapai kebuddhaan. Majelis umat Buddha di Kota Medan berasal dari sekte Mahayana ini dan jumlah umatnya setengah dari keseluruhan jumlah umat Buddha berbagai sekte di Kota Medan. Ketiga, Tantrayana, adalah sekte yang berkembang di Tibet yang sekarang dipimpin Dalai Lama. Hal-hal yang tampak gaib di mata awam adalah ciri khas sekte ini. Sekte ini terbagi dalam sub-sub sekte.16 Konsep Teologi Agama Buddha Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham ketuhanan dalam agama Budha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’ atau ‘Maha Buddha’ atau ’Yang Mahakuasa’, dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’. Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Bahrun, S. Ag dan Ashok, S.Ag, 17 April 2015 16 140 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal. Menurut paham ini seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara 2 melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersamadhi (dhyana). Adi‐Buddha mungkin dianggap sebagai personifikasi dari Ketuhanan, tetapi pada dasarnya Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha tidak dinyatakan sebagai suatu pribadi. Di Indonesia sebutan lengkapnya adalah Sanghyang Adi Buddha, sedangkan bentuk pujiannya adalah Namo Sanghyang Adi Buddhaya.17 Dalam wawancara dengan informan, ternyata agama Buddha didasarkan pada konsep teologi yang memahami bahwa ada suatu kekuatan ghaib maha dasyat yang mengatur segala isi di alam semesta ini. Siapa yang berbuat sesuai dengan kehendak Sang Kekuatan Ghaib ini akan selamat, dan siapa yang berbuat bertentangan dengan Sang Kekuatan Ghaib ini akan celaka. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut atau memberi nama kepada kekuatan ghaib tersebut18. Tuhan dalam agama Buddha tidak bernama seperti dalam agama lain, misalnya; Islam (Allah), Kristen (Yesus Kristus), Yahudi (Yahweh), Hindu (Sang Hyang Widiwasa), Sikh menyebut tuhanya dengan sebutan Waheguru dan sebagainya. Seperti dijelaskan Wang Chi Biu, bila dikaitkan dengan konsep monoteisme agama tersebut, maka ajaran Buddha tidak mengenal teologi. Buddha tidak mengajarkan teisme fatalis dan determinis yang menempatkan pribadi dengan kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua 17 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015 18http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/ Diunduh 23 maret 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 141 mahluk. Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Maha Esa atau Yang Maha Mutlak Sebagai Yang Maha Tinggi, Maha Luhur, Mahasuci, Maha Sempurn, Kekal Atau Tanpa Awal Dan Tanpa Akhir, tetapi bukan suatu pribadi. Di samping itu menurutnya, sudah cukup lama monoteisme dan politeisme dalam sistem teologi menjadi sasaran kritik para ilmuwan tanpa bisa membela diri, hingga akhirnya fakta menunjukan bahwa agama Buddha semakin mudah dipahami dan semakin berkembang di seluruh dunia.19 Karena itu agama Buddha dapat disebut agama tetapi bukan agama sistem, karena sistem teologisnya tidak seperti lazimnya agama-agama lainya. Ketuhanan dalam agama Buddha didasarkan sabda Sang Buddha, yaitu; “Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang telah lalu.20 Pernyataan Sang Buddha di atas termuat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, dan merupakan konsep monoteisme 19 Wang Chi Biu, The Scientific Outlook of Buddhism, Terj. Oleh Hendy Hanusia, Pandangan Ilmiah dalam Agama Buddha, Yayasan Penerbit Karaniya, Jakarta, 2002, hal.vii -viii 20 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Diunduh 30 Januari 2015 142 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Buddha yang aslinya masih dalam bahasa Pali (bahasa kaumnya Buddha Gautama) yaitu Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang, artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu tanpa aku (anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun, Yang Mutlak tidak berkondisi (asamkhata), manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari samsara dengan cara bermeditasi (berkhalwat dan bertapa). Tidak adanya nama tuhan dalam agama Buddha telah mempersult umatnya di tengah umat agama-agama lain yang memiliki nama Tuhan. Menyadari hal itu, maka para agamawan Buddha memutuskan bahwa nama tuhan dalam agama Buddha adalah “Tuhan Yang Maha Esa” atau “Yang Maha Esa”. Keputusan para sangha yang mirip konsili Necea yang memutuskan bahwa tuhan bagi umat Kristen disebut dengan Yesus Kristus (Trinitas), diputuskan dalam Pasamuan I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang (12 s/d14 Maret 1976). Namun sebenarnya, beberapa tahun sebelumnya (1960-an) pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), yaitu Bhikku Ashin Jinarakkhita, telah mengusulkan agar Tuhan dalam agama Buddha disebut dengan Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini menurutnya didukung sejarah versi Buddha Indonesia dalam teks Jawa kuno dan relief-relief pada situs Borobudur yang menggambarkan "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Maha Mutlak"21. Tetapi sayang nama Sang Hyang Adi Buddha ini ternyata tidak dapat disepakati seluruh umat Buddha, Jo Pristiana, Brain Storming untuk bahan penyusunan desain penelitian ini, Maret 2015 21 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 143 karena mirip-mirip konsep teologi Hindu dan Sikh, dan akhirnya yang lazim disebut “Tuhan Yang Maha Esa”. Umat Buddha memiliki nilai-nilai moralitas yang sifatnya sangat teologis dijunjung tinggi dan dijaga ketat oleh umat Buddha apapun aliran dan sektenya, yaitu Pancasila (lima sila-moralitas). Pertama, Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami artinya Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. Kedua, Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami artinya aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan (menghindari kliptomania). Ketiga, Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam artinya aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila (menghindari molimo); Keempat, Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami artinya aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perkataan dusta (bohong dan menipu); dan Kelima Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami artinya aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (miras).22 Di samping memegang lima sila moralitas ini, umat Buddha juga sangat menjunjung tinggi secara teologis, yaitu karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat. Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan 22Dalam sejarah pembahasan dasar untuk negara Indonesia merdeka oleh PPKI pada tanggal 1 Juni 1945, sering disebut bahwa istilah Pancasila sebagai nama dasar Negara ditemukan oleh Soekarno yang menyebutkan bahwa ada lima dasar yang menjadi landasan hidup bangsa Indonesia dalam bernagara. Jangan-jangan istilah itu diambil dari ajaran Buddha ini! Wallahu a’lam bishawaf. 144 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia ada pula aksi atau karma buruk. Istilah karma ini lazim digunakan oleh masyarakat, namun cenderung diartikan sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya, yang itu merupakan pemahaman yang salah tentang karma dalam agama Buddha. Guru Buddha dalam Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan arti kamma: Pertama, ”Para bhikkhu, cetana (kehendak) lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran.” Kedua, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala). Ketiga, Kamma, sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat. Akibat atau hasil dari kamma disebut sebagai Kamma Vipaka.23 Sejarah Buddha Maitreya Banyak sekte-sekte yang merupakan turunan dari sekte Buddha Mahayana, yaitu pertama, Tridharma, adalah sekte yang didirikan oleh kaum Buddhis yang selain kagum terhadap ajaran Buddha, juga amat terbuka terhadap filsafat Khonghucu dan kepercayaan Taoisme. Kaum terpelajar yang kental memelihara dengan kuat tradisi Tionghoa, memilih 23Ibid, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Diunduh 30 Januari 2015; Dalam konsep teologi Islam disebut dengan janji dan ancaman. Demikian pula penjelasandari Peyuluh agama Buddha di Kota Medan, Peter Lim dan Ling Ling Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 145 sekte ini. Kedua, sekte Maitreya, adalah sekte yang merupakan turunan dari Buddha Mahayana yang berkembang di Taiwan. Banyak yang menganggap sekte ini menyimpang dari ajaran Buddha awal, karena adanya misi keselamatan tunggal dari Buddha Maitreya, yaitu Buddha yang akan datang (Mesianisme). Sekte ini sangat menganjurkan umatnya bervegetarian untuk mempercepat tercapainya kebuddhaan. Puja puji (sembahyang-agama lain) sangat ditekankan dalam sekte ini. Ketiga, sekte Nichiren, adalah sekte turunan dari Buddha Mahayana yang berkembang dan berakulturasi dengan tradisi Jepang. Keempat, sekte Satya Buddhagama, adalah sekte yang termasuk rumpun Mahayana yang didirikan oleh Master Lu Sheng Yen, seorang Amerika keturunan Tionghoa. Ajaran Lu Sheng Yen merupakan pengalaman-pengalaman spiritualnya seputar ajaran Buddha dan kepercayaan Taoisme. Kelima, sekte Buddhayana, sebenarnya bukan sekte/aliran yang berdiri sendiri, karena Buddhayana pada awalnya bertujuan untuk menghindari adanya sektarian dan kefanatikan, sehingga sangat terbuka terhadap semua sekte yang ada, tetapi akhirnya menjadi sekte tersendiri.24 Menurut Buddha Gautama, kenikmatan kesadaran nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan bodhisattva (makhluk yang tekad "committed") pada kesadaran tetapi menangguhkan nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu. Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30 Feburari 2015 24 146 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Buddha - tidak terbilang Buddha yang telah lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, yaitu Buddha Maitreya. Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia atau kalpa; satu kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha-Buddha sebelumnya adalah Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam Cakkavatti-Sihanada Sutta, Sutta ke-26 dari Digha Nikaya dikatakan bahwa: "Pada saat itu kota yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang bernama Ketumati, kuat dan makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan. Di Jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Dan pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seorang Yang Terberkahi, Arahat, Sammasambuddha bernama Metteya" Di dalam Buddhavacana disebutkan juga: Maitreya Bodhisattva Sutra "O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 147 yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan permukaan buminya demikian rata dan bersih" Pada zaman dinasti Liang (tahun 502 - 550) daratan Tiongkok berada dalam keadaan kacau, perang saudara dan perebutan kekuasaaan. Sehingga para penganut Buddha mengharapkan datangnya Maitreya sebagai penyelamat. Karena itulah lahir sekte Maitreya. Gambar Maitreya sebagai pangeran India yang gagah menjelma sebagai bhiksu gendut yang selalu senyum. Buddha Maitreya dipercayai lahir di provinsi Zhejiang sebagai bhiksu gendut yang disebut Pu Tai He Sang atau Bhiksu Berkantong Kain. Legenda mengatakan bahwa bhiksu ini sering berkelana membawa kantong kain pada permulaan abad ke-10. Dia juga dijuluki Buddha Ketawa, Buddha Mi Le, atau Ju Lai Fo (Buddha yang akan datang). Ia dipercayai sebagai reinkarnasi Maitreya karena saat akan meninggal menulis syair: Maitreya, Maitreya yang asli. Manusia selalu mengharapkan kedatangannya. Dia selalu menjelma dalam berbagai bentuk, namun saat dia datang menjelma sebagai manusia, tidak ada yang mengenalnya.Seribu kalpa kelahiran untuk mengikat jodoh dengan umat manusia agar umat manusia mandiri dan tahu berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari alam sengsara dan di naungi oleh prana jubah emas Budha Maitreya agar tahan di jalan kebenaran. Dalam agama Buddha, Bodhisattva Maitreya adalah Buddha yang akan datang yang dalam bahasa Tionghoa, Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa. Dalam agama Buddha diajarkan bahwa Buddha merupakan sebuah gelar (Sang Pencerah), sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada Buddha Sakyamuni saja. Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai bodhisattva (calon Buddha). 148 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Maitreya bertempat tinggal di surge Tusita, yang merupakan tempat tinggal bagi para bodhisatva sebelum mencapai tingkat ke-buddha-an. Buddha Sakyamuni juga bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama di dunia.25 Maitreya berasal dari bahasa Sanskerta berarti kasih, yaitu membawakan kebahagiaan, sukacita, harapan dan kecemerlangan bagi umat manusia. Buddha Maitreya adalah Buddha universal, Buddha yang mendunia yaitu Buddha Buddha sukacita, Buddha kebahagiaan, Buddha keberuntungan, dan Buddha tawa-ria. Dengan ikrarnya, Buddha Maitreya berusaha mengubah dunia yang kacau menjadi dunia damai sentosa, mengubah dunia yang penuh kekotoran dan kejahatan menjadi alam sukhawati, mengubah dunia yang penuh penderitaan menjadi Bumi Suci yang membahagiakan, mengubah bumi yang sedang terluka parah menjadi taman sukacita semesta yang paling sejati, paling bajik, dan paling Indah26. Buddha Maitreya memiliki kasih sayang yang sangat besar terhadap semua mahluk dunia. Kenyataannya di sepanjang sejarah umat manusia, kehidupan dipenuhi oleh perbedaan, baik itu negara, ras, warna kulit, suku, agama, kebudayaan, idealisme, adat istiadat, kebiasaan, bahasa, ataupun perbedaan miskin-kaya, cantik-jelek, pintarbodoh. Sesungguhnya betapapaun banyaknya perbedaan, suara hati dan hasrat kalbu yang terdalam pada setiap individu adalah salam, yaitu; sebuah kehidupan yang leluasa dan penuh sukacita; sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis; sebuah lingkungan masyarakat yang rukun dan 25 Diolah dari hasil wawancara dengan Sucipto (Sekjen DPP MAPANBUMI dan Bendahara DPD MAPANBUMI Sumatra Utara), April 2015 26 DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 149 damai; sebuah negara yang mendiri dan sentosa; sebuah dunia yang gemilang, tenang dan damai27. Dalam bookletnya DPP MAPANBUMI yang isinya terasa seperti iklan, disebutkan bahwa di sepanjang sejarah, jauh di dalam lubuk hatinya setiap umat manusia berharap agar terhindar dari kondisi kelaparan, kemiskinan, kekurangan, jauh dari penderitaan, kegelapan, dosa, kekotoran, dan kekacauan, jauh dari ketakutan, dan ketidaktenangan, jauh dari bencana alam, peperangan, musibah, dan malapetaka. Seruan lubuk kalbu yang terdalam dari setiap umat manusia ini menggugah Buddha Maitreya untuk datang ke dunia. Besarnya getaran panggilan kasih untuk mengakhiri semua bentuk penderitaan, mendorong Buddha Maitreya, Buddha yang melampaui batas ruang dan waktu untuk datang ke dunia. Karena itu Buddha Maitreya merupakan jawaban atas jeritan hati umat manusia yang telah berlangsung ribuan, bahkan laksaan masa. Buddha Maitreya mengasihi alam semesta, langit, bumi, manusia, laksa makhluk dan benda, menghargai kemuliaan setiap kehidupan. Kita diajak meneladani keindahan kodrati Buddha Maitreya yaitu yang bertutur kata Maitreyani, berteguh dalam hati Maitreyani, berprilaku Maitreyani, dan memancarkan wajah kasih Maitreyani. Dengan demikian, bersama Buddha Maitreya mewujudkan dunia iniversal, alam sukhawati, bumi semesta yang paling sejati, paling bajik, dan paling Indah.28 Pada zamannya, Buddha Sakyamuni, Boddhisattva Maitreya merupakan salah satu murid dari Sang Buddha. 27 DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015 28 Booklet DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) II, DPP Mapanbumi, Medan, 2015 150 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Buddha Sakyamuni tidak membina dengan penegasan cara duduk bermeditasi dan tidak melepaskan kilesa namun mendapat afirmasi dari Buddha Sakyamuni bahwa ia akan mencapai Kebuddhaan. Bodhisatva Maitreya adalah manusia Buddha setelah Buddha Sakyamuni, sehingga disebut Buddha yang akan datang. Masa lalu Buddha Maitreya adalah Bodhisatva Maitreya. Dan pada masa itu Bodhisatva Maitreya menegakkan ikrar agung, bertekad merubah dunia yang penuh kekacauan menjadi dunia yang damai.29 Menurut Sucipto (Sekjen DPP MAPANBUMI), sabda sang Buddha dalam Sutra Maha Ratna Kuta (Ta Pao Ci Kung) pada Bab 88 (Pertemuan Maha Kasyapa), Suatu ketika Sang Buddha menjalarkan tangan-Nya yang membiaskan cahaya kemilauan, hasil paduan dari kesucian laksa asamkheya kalpa. Dengan jari dan telapak tanganya yang bersinar bagaikan bunga teratai, beliau mengusap ubun-ubun Bodhisatva Maitreya sambil bersabda, “Wahai Maitreya! Demikianlah. kupesankan kepadamu nanti masa lima ratus tahun kelima, saat lenyapnya Dharma sejati, engkau harus melindungi Tri Mustika Buddha, Dharma dan Sangha. Jangan sampai lenyap dan terputus”. Seketika itu juga Trisahasra Maha Sahasra lokya dhatu (alam semesta) dipenuhi cahaya terang dan diikuti enam bentuk suara gemuruh yang dahsyat. Semua mahluk suci dan dewa serentak menghormati Bodhisatwa Maitreya dengan sikap anjali (hormat) sambil berkata, “Sang Tathagata telah berpesan kepadamu yang mulia dengan pengharapan seluruh umat manusia dan dewa mendapatkan berkah kebahagiaan, terimalah pesan itu yang mulia”. Kemudian Bodhosatwa Maitreya segera berdiri sambil menampakan bahu kananya, dan berlutut menghormat Sang Buddha: “Junjungan dunia, demi keselamatan semua mahluk aku 29 Ibid, hal 2-3 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 151 telah menerima penderitaan laksaan khalpa yang tak terhitung, apalagi kini Tathagata telah menyampaikan pesan dharma sejati, bagaimana mungkin tidak diterima? Wahai junjungan dunia! Kini aku berjanji pada masa yang datang akan kukhabarkan Dharma Amutara Samma Sambadhi yng telah Tathagata cepat dalam perjuangan berlaksa-laksa asam-kheya kalpa yang tak terhitung”.30 Dari dialog antara Sang Buddha dan Buddha Maitreya itu, maka terlihat adanya usaha dharma yang terus menerus yang akan dilaksakan ke seluruh penjuru angin dari generasi ke generasi dan pasang surutnya kehidupan sosial kemasyarakatan dimana Buddha dianut oleh masyarakat. Sampailah usaha dharma itu kemudian di kota Medan dengan jumlah umat Buddha yang terakomidir dalam Buddha Maitreya dengan organisasi MAPANBUMI. Budhha Maitreya dinyatakan sebaik-baik mahluk oleh kalangan umat Buddha Maitreya untuk mensejahterakan, mendamaikan manusia dalam satu keluarga di seluruh dunia. Harapan yang diperjuangkan Buddha Maitreya adalah dunia yang aman, damai, sentosa, tidak ada kekerasan, tidak ada pembunuhan hewan dan manusia, serta menjadikan umat manusia ini satu keluarga yang saling bekerjasama dan mendukung dalam semua tindakan dharma. Sang Buddha bukanlah dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha ini akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya. I Kuan Tao (baca;Yi Guna Dau) menyatakan bahwa pencipta alam semesta, bumi dan seluruh mahluk hidup Booklet DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) II, DPP Mapanbumi, Medan, 2015, hal. 21-22 30 152 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia adalah Tuhan yang berupa seorang Ibunda yang disebut Lao Mu. Lingkaran hidup bumi dan alam semesta adalah 108 000 tahun, dan kita berada dalam zaman terakhir dimana manusia telah hidup 60 000 tahun. Manusia sebagai anak-anak dari Tuhan (Lao Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat dalam hidup duniawi, terjerumus dalam dosa yang menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi kejahatan maupun penderitaan dan tidak bisa kembali ke Surga. Lao Mu sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus 10 Buddha untuk menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7 Buddha pertama telah datang saat bermulanya kebudayaan manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas penyelamatan. Sehingga dibagi 3 zaman: Zaman Pancaran Hijau, Pancaran Merah, dan Pancaran Putih. Buddha Dipankara diutus saat Zaman Pancaran Hijau (sekitar 3000 SM) sampai lahirnya Siddharta Buddha. Zaman Pancaran Merah bermula dengan diutusnya Siddharta Gautama. Zaman Pancaran Putih atau zaman terakhir bermula saat Buddha Maitreya diutus, yang menurut umat Buddha Maitreya Inkuanisme, Buddha Maitreya telah datang ke dunia sebagai Guru ke-17, bernama Lu Zhong I. Sejarah resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao dalam 3 periode. Periode pertama disebut sebagai 18 Sesepuh Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya manusia. Sesepuh pertama adalah Fu Shi, tokoh mistis dari Tiongkok, pencipta pa kwa (8 triagram). Kemudian berlanjut ke tokoh mitos dan sejarah: Shen Nong (penemu pertanian), Huang Ti (Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok, sampai Kong Hu Cu, dan terakhir Lau Ce (Penulis Tao Te Ching). Dikatakan bahwa karena perang saudara di daratan Tiongkok, menyebabkan Lao Ce membawa Tao ke India dan meneruskan ke Siddharta Gautama. Di sini bermula periode Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 153 ke-2 yang disebut 28 Sesepuh dari Barat, bermula dari Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut aliran Zen sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma dikatakan membawa Tao kembali ke Tiongkok, dan bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari Timur. Bermula dari Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng (sama seperti aliran Zen). Dari sesepuh ke-7 bermula namanama dari sekte atau aliran bawah tanah Tiongkok. Guru ke-9 yang bernama Huang Te Hui (1624-1690) adalah juga pendiri sekte "Shien Thien Tao" (atau Jalan Surga Pertama). Aliran Shien Thien Tao masih ada di Indonesia dalam bentuk kelenteng kelenteng yang dipegang oleh Bhiksuni (Chai Ma). Sehingga disebutlah I Kuan Tao bercabang dari Shien Thien Tao. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan belakangan ini menunjukkan bahwa Wang Cue Yi, sesepuh ke-15, mendirikan aliran "I Kuan Ciao" (Agama I Kuan) di zaman dinasti Ching (sekitar tahun 1850). Sejarah I Kuan Tao menunjuk ke sesepuh ke-17 Lu Chong I sebagai jelmaan Buddha Maitreya, merupakan awal Zaman Pancaran Putih (zaman terakhir) di tahun 1905. Chang Thien Ran, Bapak I Kuan Tao mulai berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Chang Thien Ran memegang pimpinan. Sesepuh Chang lahir tahun 1889 pada tanggal Imlek 19 bulan 7, di Ji Ning, propinsi Shan Tong. Sesepuh Chang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun 1914. Sesepuh ke-17 Lu Zhong I yang dipercaya adalah jelmaan Buddha Maitreya melihat talenta Sesepuh Chang. Dan setelah meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925, Sesepuh Chang diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Chang dikatakan sebagai jelmaan Ci Kung, Buddha Sinting, atau disebut Buddha Hidup Ci Kung. Sesepuh Chang Thien Ran disebut sebagai Se Cun (Bapak Guru Agung). Sesepuh Chang 154 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dikatakan atas mandat Lao Mu, menikahi Sesepuh Sun Su Chen yang disebut sebagai jelmaan Bodhisatwa Yek Huei (Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun Su Chen besama Sesepuh Chang Tien Jan menjabat sebagai sesepuh ke-18 I Kuan Tao. Sun dihormati sebagai Se Mu (Ibu Guru Suci). I Kuan Tao menyebar pesat dari tahun 1930 sampai 1936. Dari tahun 1937-1947 selama kekuasaan Jepang, I Kuan Tao juga berhasil menarik penganut dari utara, tengah sampai selatan Tiongkok. Sesepuh Chang Tien Ran meninggal tahun 1947 saat komunis mulai berkuasa di Tiongkok. Dengan meninggalnya Sesepuh Chang, dan berkembangnya komunis di China, I Kuan Tao tidak dalam keadaan yang bersatu. Para muridnya secara tersendiri melarikan diri ke Hong Kong dan Taiwan. Sesepuh Sun Su Cen (Se Mu) mengambil alih kedudukan dan membawa ajaran Ikuanisme ke Hong Kong dan Taiwan. Dari Taiwan I Kuan Tao berkembang pesat dan menyebar ke Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand). Sementara itu, para murid Sesepuh Chang secara individual menyebarkan ajaran I Kuan Tao, sehingga muncul kelompok-kelompok Ikuanisme dengan sesepuh atau pemimpin yang berbeda-beda. Di Taiwan, I Kuan Tao mulai resmi diakui pemerintah sejak tahun 198731. Wilayah bersejarah sebagai tanah awal pijakanya Buddha Maitreya di Indonesia adalah Kota Malang tahun 1949. Missionaris pertamanya bernama dr gigi Tan Pik Ling (Hokkian) dari Taiwan sebagai Maitreyawira (Indonesia). Katanya diutus Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling. Umat Buddha Maitreya mendirikan vihara Maitreya atau Fo Tang (rumah ibadah) pertama di Malang thn 1950 sebagai Hendy Tazali, Sejarah Buddha Maitreya di http://sejarahbudhamaitreya.blogspot.com, diunduh April 2015 dalam Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 155 31 vihara Buddha Maitreya pertama di luar daratan China dan Taiwan. Sejak kedatanganya thn 1930 hingga thn 1949, dokter Tan membangun relasi di kalangan etnis Tionghoa, kemudian menyatakan ia diutus memimpin dan mengabarkan kabar gembira pada etnis Tionghoa, bahwa Buddha Maitreya sudah hadir dan harus ditaati umat manusia. Dari missi dokter Tan dan pembantunya, Buddha Maitreya menyebar ke Surabaya, Pasuruan, Jakarta, Medan, Bagansiapi-api, dan Pontianak. Buddha Maitreya menjadi sekte dalam agama Buddha yang tumbuh dan berkembang paling pesat diantara semua sekte agama Buddha di Indonesia. Tan meninggal tahun 1985.Tetapi semua informan non Buddha Maitreya, menolak I Kuan Tao sebagai bagian agama Buddha. Ajaran-ajaran dan ritual-ritual sekte Buddha Maitreya dianggap tidak ada hubungannya dengan Buddha. Penamaan Buddha Maitreya karena politis, bukan karena alasan agama, agar diakui pemerintah. 32 32 Diolah dari wawancara dengan Peter Liem, Ling-ling, Sabaruddin Juni 2015 serta penjelasan Narasumber seminar, Cornelis Wowor, Agustus 2015 156 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III SUTRA, AJARAN RITUAL DAN HARI BESAR KEAGAMAAN Sutra Penting Tentang Buddha Maitreya Sutra Sarvajna Prabha Manusya Deva berpantang Daging Berdasarkan catatan sutra dalam Buddha Maitreya, Sang petapa di masa lampau memuja Maitreya sebagai guru. Ajaran Maitreya adalah Catur Paramita, inti dari ajaran yang disampaikan adalah penerapan cinta kasih. Saat itu petapa tak hanya memuja Maitreya sebagai guru bahkan berikrar di kehidupan berikutnya dapat mencapai kebuddhaan dengan nama Maitreya. Dari sini Maitreya mulai membina diri, menjalani hidup dengan berpindah-pindah dan fokus dalam pembinaan hati. Dalam perjalanan pembinaannya, Maitreya tibalah di sebuah negara, namun disayangkan negara tersebut dipimpin oleh raja yang bejat, dan tidak mencintai rakyatnya. Suatu hari hujan turun tiada henti sehingga terjadi bencana banjir bah. Karena banjir, sang petapa tidak dapat memperoleh makanan selama tujuh hari. Melihat hal ini, seekor induk kelinci yang dapat merasakan kebajikan sang petapa merasa tergugah dan bertekad mengorbankan tubuhnya untuk dipersembahkan kepada petapa. Tekad sang ibu terdengar oleh anak kelinci, segeralah anak kelinci lebih dulu menerjunkan diri ke dalam kobaran api dan kemudian disusul oleh induk kelinci. Setelah mengetahui adanya peristiwa pengorbanan dua ekor kelinci ini, Sang petapa tergugah dan menjadi sedih Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 157 lalu berkata : “ Lebih baik aku membunuh diriku dan mengorbankan mataku, aku rela menerima berbagai penderitaan daripada harus menyantap daging sesama makhluk hidup.” Seperti yang disabdakan Sang Buddha, seorang yang memakan daging, pengamalan cinta kasihnya tidak akan sempurna, pendek umur dan banyak penyakit yang menggerogoti tubuh, tersesat dalam tumimbal lahir, tak bisa mencapai Kebuddhaan. Oleh sebab itu sang petapa menegakkan ikrar,” Disetiap kelahiranku yang berikutnya, sebetikpun tak terbetik niat membunuh dan memakan daging, menempuh jalan Kebuddhaan mencapai kesucian.” Setelah itu petapa juga melompat ke dalam api dan wafat. Induk kelinci pada saat itu adalah Buddha Sakyamuni dan anak kelinci adalah Rahula, 500 ekor kelinci adalah 500 murid Sang Buddha, sedangkan petapa adalah Bodhisatva Maitreya. Hal penting yang tercantum dalam sutra ini adalah, Sang Petapa memuja Maitreya sebagai guru pada setiap kehidupan berikutnya. Ia mencapai Buddha dengan gelar Maitreya. Jadi sesungguhnya Maitreya bukan hanya menunjuk kepada Buddha Maitreya semata, melainkan siapa saja yang membina dalam ajaran maitri karuna dan mencapai Kebuddhaan akan bergelar Maitreya. Maitreya berarti cinta kasih, Cinta kasih adalah kebahagiaan dan kesukacitaan, agar seluruh makhluk hidup dapat berbahagia. Syarat utama adalah tidak melakukan pembunuhan, tidak memakan daging. Ini adalah tugas pokok menjalankan ajaran Maitreya.33 Diringkas dari booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha Maitreya, 2015 33 158 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Sutra Pertanyaan tentang Nazar Bodhisatva Maitreya Hal penting yang disampaikan sutra ini adalah penjelasan perbedaan metode pembinaan Buddha Sakyamuni dengan Buddha Maitreya. Pada masa pembinaan Buddha Sakyamuni, segala yang dimiliki dapat dikorbankan, termasuk istri, anak, organ tubuh, kekuasaan, harta benda ,darah, daging bahkan nyawa sendiri demi mencapai kesadaran sejati. Sedangkan Buddha Maitreya di dalam pembinaannya tidak mengorbankan apapun seperti telinga,hidung, mata, tangan, kaki, nyawa, harta benda, anak, istri, kekuasaan dan lainnya. Melainkan dengan fleksibilitas dan teknik pembinaan yang sukacita hingga mencapai kebenaran tertinggi. Buddha Maitreya pagi hingga malam berpakaian rapi dengan penuh hormat berlutut menghadap 10 penjuru alam dan bersabda :” Aku bertobat atas segala dosa dan kekhilafan, bertekad membantu semua mekhluk mencapai kesadaran, bersujud dan memohon kepada para Buddha demi mencapai kesempurnaan tertinggi.” Makna penting dari kitab ini adalah ikrar yang ditegakkan kelak menentukan arah pembinaan. Pembinaan Maitreya yang fleksibel, luwes dan leluasa. Pertama : bertobat, instropeksi ke dalam hati mencari dosa dan kesalahan diri, senantiasa tahu dan mawas akan setiap perbuatan diri barulah bisa menapaki langkah awal pembinaan mencapai kesempurnaan. Kedua: membantu orang lain. Membantu orang lain adalah perbuatan yang dapat mengikis ketamakan dalam diri dan melapangkan hati. Bertobat dan menyesali dosa adalah pembinaan yang menyempurnakan kebajikan sendiri. Ini adalah pembinaan yang harus dijalani setiap orang untuk mencapai Bodhisatva. Dalam usaha bertobat dan menyelamatkan orang lain, mungkin tidak akan cukup hanya Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 159 mengandalkan kekuatan kekuatan para Buddha. pribadi, perlu mengandalkan Ketiga adalah bersujud dan menghormati para Buddha, ini bukan hanya sikap merendahkan hati, lebih-lebih sebagai awal dari menghormati segalanya, segalanya dihormati. Dari menghormati Buddha berkembang hingga dapat menghormati laksa benda, ini adalah satu pribadi serta jiwa yang sangat luhur. Dengan dapat menjalankan ketiga teknik pembinaan Maitreya yaitu bertobat, penyelamatan makhluk, menghormati para Buddha, terakhir akan mencapai kebijaksanaan tiada tara. Maitreya adalah Buddha masa depan. Cara pembinaannya lebih sesuai dengan umat manusia di zaman sekarang ini.34 Sutra Bodhisatva Maitreya Mencapai Surga Tusita Point penting dalam sutra ini adalah Buddha Sakyamuni bersabda bahwa Ajita (nama Maitreya) kelak akan menjadi Buddha. Ajita seperti manusia pada umumnya, meskipun sebagai bhiksu, namun ia tidak membina dengan meditasi dan pelepasan kilesa. Sang Buddha mengatakan Ajita kelak pasti menjadi Buddha. Maitreya dikenal sebagai Bodhisatva. Didalam sutra juga tertulis untuk menjadi murid Maitreya harus mematuhi lima pantangan, bervegetarian, senantiasa menuntut pembinaan diri dan berbuat kebajikan. Kelak Bodhisatva Maitreya akan menjadi penuntun umat manusia menuju kecemerlangan. Bagi yang melafalkan, mendengarkan dan menghormati Nama Agung Maitreya dapat menghapus laksa kalpa dosa yang tak terhingga. Lihat lagi booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha Maitreya, 2015 34 160 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Inti yang disampaikan kitab ini adalah Maitreya kelak merupakan pengharapan semua makhluk yang ada di dunia. Adalah Buddha akan datang setelah Buddha Sakyamuni. Buddha Maitreya tak hentinya membina dalam setiap kehidupan, hingga mencapai kedudukan suci “Bodhisatva yang menyempurnakan kebajikan” artinya asalkan sekali lagi terlahir kembali, Beliau pasti akan menjadi Buddha. Yang istimewa adalah ciri khas pembinaan Maitreya yang seperti manusia pada umumnya, meskipun menjadi bhiksu namun Beliau tidak membina dengan bermeditasi dan pemutusan kilesa. Namun cara pembinaan yang akan diajarkan Maitreya sangat berbeda, Beliau menekankan pada keuletan membina dalam menjalankan lima pantangan dan mengamalkan 10 kebajikan. Dengan kata lain fokus pada pembinaan Dharma secara positif dan bukan dengan paksaan dan penyiksaan diri (memutuskan kilesa dan keduniawian). Dengan banyak berbuat bajik, kejahatan akan lenyap dengan sendiri, diibaratkan seperti masuk ke sebuah ruang gelap, namun tidak perlu bertanya bagaimana mengusir kegelapan ? Hanya perlu membuka lampu, kegelapan pun akan hilang dengan sendirinya. Maitreya dengan raga dan kehidupan seperti manusia awam namun pada akhirnya mencapai Kebuddhaan. Ini menunjukkan bahwa meskipun hidup di dunia sebagai manusia awam, namun jika membina diri juga dapat menjadi Buddha.35 Lihat lagi booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha Maitreya, 2015 35 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 161 Sutra Kedatangan Maitreya ke Dunia Sutra ini selain menjelaskan tentang kelahiran Maitreya di dunia, meninggalkan keluarga membina diri hingga mencapai pencerahan di pohon Puspanaga, sutra ini juga menjelaskan hubungan penerusan antara Buddha Sakyamuni dengan Buddha Maitreya. Maitreya adalah Buddha akan datang setelah Buddha Sakyamuni. Keluhuran pencapaian Kebuddhaan Maitreya adalah pembinaannya di setiap kehidupan yang tiada henti. Dharma, ajaran Sang Buddha Sakyamuni baik di masa lalu, sekarang dan akan datang, akan diteruskan Maitreya di setiap kehidupannya. Ajaran Maitreya sangatlah fleksibel dan universal, barang siapa yang melafalkan nama besar Buddha Maitreya, mendengar nama-Nya dan menghormati-Nya dapat menjalin jodoh dharma dengan Buddha Maitreya, dapat disebut sebagai murid cinta kasih atau murid Maitreya. Sutra Mahasambhava Maitreya Sutra ini membahas tentang kesadaran akan ketidakkekalan adalah langkah awal membina diri, segala yang ada di dunia suatu hari akan musnah. Dengan menyadari hal ini, baru bisa mengejar hidup yang abadi. Mengubah hidup yang terbatas menjadi hidup yang tidak terbatas. Setiap Pembina perlu mengumpulkan kebajikan di setiap kehidupannya. Mungkin saja pada suatu kehidupan pernah membina sebagai murid Buddha Sakyamuni dan kelak akan terlahir lagi ke dunia membina di zaman Maitreya. Hal ini mengungkapkan bahwa silsilah dharma bersifat berkelanjutan. 162 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Meskipun dalam sutra dikatakan Maitreya baru akan datang ke dunia pada lima milyar tahun lebih mendatang, namun ini hanya mewakili suatu angka, angka menunjukkan adanya batas. Berdasarkan maksud dari Buddha Sakyamuni, Maitreya kelak pasti akan menjadi Buddha di dunia ini, dan terwujudnya bumi suci Maitreya sangat mengandalkan usaha pembinaan manusia dan bukan hanya sekedar menunggu. Jika harus menunggu, lima milyar tahun lebih adalah waktu yang sangat panjang. Asalkan setiap orang berjuang dalam pembinaan ini, bumi suci pun dapat terwujud pada saat sekarang juga. Saat itu, seperti yang disabdakan Buddha Sakyamuni bahwa Buddha Maitreya dapat kita jumpai di dunia. Maitreya walau masih sebagai Bodhisatva di surga Tusita, namun petunjuk dari Buddha Sakyamuni kelak menjadi Buddha. Sesungguhnya semua Buddha sebelumnya adalah Bodhisatva, setiap Bodhisatva harus melalui pembinaan berkali-kali kehidupan untuk dapat mencapai tingkat Kebuddhaan. Sutra ini tidak berpanjang lebar menjelaskan asal mula dan perkembangan keyakinan terhadap Maitreya. Yang menjadi fokus adalah perjuangan pembinaan Buddha Maitreya.36 Bhakti Puja Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu Lihat lagi booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha Maitreya, 2015 36 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 163 sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat Buddha juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat Buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang Buddha maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat Buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang Buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat Buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan seharihari.37 Dalam melakukan puja bakti, umat Buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang Buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang Buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang 37 164 Lihat brosur yang diterbitkan oleh DPP Mapanbumi Medan, 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri. Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati. Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat Buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang Buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang Buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian Dhamma sang Buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal Dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang Buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya. Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah sang Buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 165 dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya. Itulah makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang Buddha. Sekali lagi, umat Buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat Buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat Buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai? Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat Buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.38 38 166 Lihat brosur yang diterbitkan oleh DPP Mapanbumi Medan, 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Berdoa Bukan Meminta Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah. Kepada anathapindika, Buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik. Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau juga menjilat hingga menyogok, atau menuntut. Jika doa diartikan meminta, dan ternyata yang dihaaprkan sesorang tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah tuhan, kasih Buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, Buddha selalu melindungi, dan Buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak terbatas. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 167 Contoh doa dalam syair shanti deva (abad ke 7) Semoga aku menjadi penawar rasa sakit bagi semua makhluk Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan. Shanti deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa memberi.39 Parrita dan Mantra Parrita adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan parita bermula dari petunjuk Buddha kepada siswanya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala parrita yang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang diajarkan oleh Buddha Gautama kepada Angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi 39 Lihat lagi brosur yang diterbitkan oleh DPP Mapanbumi Medan, 2015 168 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kesukaran melahirkan. Selanjutnya adalah mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata. Konsep mantra berkembang dari keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam kesadaran seorang melalui integrasi psikofisik dan meditasi mendalam, karena tanpa begitu, mantra tidak memiliki kekuatan.40 Persembahan Berdoa (bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk melakukan upacara persembahan karena buddha dan boddhisattwa memerlukan persembahan itu. Tidak juga suatu persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi persembahan bukan keharusan, tetapi biasanya dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan untuk memberi apa yang terbaik dengan 40 Dijelaskan oleh Sucipto, Mei 201 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 169 terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa kehilangan. Para Buddha dan Boddhisattwa menerima persembahan tanpa membawa pergi.Setiap sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air selain membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga. Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai kebebasan.41 Ajaran Buddha Maitreya Tentang Penciptaan Alam Penciptaan Manusia. Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu: Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk), adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh. Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan), adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang, susah ataupun netral. Sannakhandha, adalah kegemaran akan 41 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, diunduh 20 Agutus 2015. Dijelaskan pula oleh Sucipto (Sekjen DPP Mapanbumi) April 2015 170 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, baubauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran. Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Bentuk-bentuk pikiran disini ada 50 macam, seperti lobha (keserakahan), chanda (keinginan), sadha (keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya. Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan obyek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran bendabenda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah pada yang buruk, yang baik atau netral. Kelima Kandha tersebut sering diringkas menjadi dua yaitu nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat digolongkan sebagai unsur-unsur rohaniah. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri dari empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara. Pemikiran tentang manusia dalam agama Budha adalah unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya. Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau tetap. Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand Russel “Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu dukungan dari ilmu pengetahuan”. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 171 Umat Budha setuju dengan pendapat Bertrand Russel yang menyatakan “Jelas terdapat beberapa alasan dimana aku sekarang merupakan orang yang sama dengan aku kemarin, dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila aku melihat seseorang dan mendengar ia bicara maka terdapat suatu pengertian di mana “aku” yang mendengar. Anatma dapat diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu: “Tidak terlalu mementingkan diri. Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja. Bila tingkatan pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan akan pengetahuan dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa aku”. Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus dapat diidentifikasikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.42 Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha 42 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 172 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani. Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu: Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha); Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha); dan Dukkha sebagai keadaan saling bergantung (sankharadukkha). Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu. Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancuran anavas, yaitu sifat-sifat induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada halhal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali. Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 173 pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.43 Penciptaan Alam Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka, menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat. Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan terus berubah. Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan Mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand 43 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 174 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.” Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”. Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya. Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut: Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu. Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha Meitreya tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha. Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya. Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang alam semesta ditujukan untuk Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 175 memungkinkan manusia untuk menguasai demi kenyamanan material dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan bahwa tidak ada pengetahuan nyata apapun yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit. Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolonggolongkan atas shankharaloka, sattaloka, okasaloka. Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas. Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi, kelihatan, seperti manusia, hantu, dan dewa.44 Ajaran Buddha Meitreya Tentang Etika Pengertian Sila dan Macam-Macam Sila. Sang Buddha mengajarkan berbagai macam ajaran yang keseluruhannya dapat digolongkan menjadi tiga inti ajaran, yaitu Sila, Samadhi dan Panna. Inti dari Sila adalah tidak melakukan kejahatan dan selalu berbaut kebajikan. Inti dari Samadhi adalah mensucikan pikiran dengan melaksanakan samadhi. Tujuan akhir dari ajaran Sang Buddha tersebut adalah untuk membawa para pelaksananya pada pembebasan (Panna).Sila, sebagai landasan moral bagi pelaksanaan Dhamma selanjutnya merupakan ‘hukum’ yang jika ditaati akan membawa kebaikan dan jika tidak ditaati akan menyebabkan manusia tidak dapat maju kualitas 44 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh Agustus 2015, Diringkas pula dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 176 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia batinnya. Namun para pengikut Sang Buddha terdiri dari dua macam yaitu para Gharavasa (umat perumah tangga) dan Pabbajita (para pertapa). Oleh karena itu Sang Buddha menetapkan peraturan yang berbeda bagi keduanya. Peraturan moral bagi para perumah tangga dikenal sebagai Sila sedangkan peraturan bagi para bhikkhu dikenal sebagai Vinaya, meski sebenarnya keduanya adalah Vinaya.45 Sila (Agariya Vinaya) Sila berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Pali. Sila yang digunakan dalam kebudayaan Buddhis mempunyai banyak arti. Pertama, berarti norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, kata itu menyatakan pula keadaan batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga ‘sikap, keadaban, perilaku, sopan-santun’ dan sebagainya. (Teja S.M Rashid, 1996: 3). Ciri dari sila adalah ketertiban dan ketenangan. Dalam agama Buddha, sila merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama Buddha. Penyebab terdekat sila adalah Hiri dan Otappa. Sila sebagai latihan moral bagi umat awam (Gharavasa) terdiri dari berbagai macam jenis. Berdasarkan aspeknya, sila terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 1). Varita-sila (aspek negatif), yaitu sila yang dilakukan dengan cara ‘menghindari’, terdiri dari: Pancasila Buddhis, Atthasila, Dasasila. 45 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 177 2). Carita-sila (aspek poritif), yaitu sila yang dilakukan dengan cara ‘melakukan bhakti puja”, seperti terdapat dalam Suttasutta misalnya: Vyagghapajja Sutta, Maha Manggala Sutta, Sigalovada Sutta, Parabhava Sutta46. Vinaya (Anagariya Vinaya) Vinaya memiliki arti ‘mengusir, melenyapkan, memusnahkan segala perilaku yang menghalangi kemajuan dalam peningkatan rohani’ atau sesuatu yang membimbing keluar dari samsara (Teja S.M Rashid, 1996: 24). Tujuan dari vinaya adalah untuk menjauhkan dari hal-hal yang merugikan.Sang Buddha menetapkan vinaya bagi para bhikkhu dan bhikkhuni, samanera-samaneri adalah untuk Kebaikan Sangha; Kesejahteraan Sangha; Mengendalikan para bhikkhu yang tidak teguh; Kesejahteraan bhikkhu yang berkelakuan baik; Melindungi dari atau melenyapkan kilesa; Mencegah timbulnya kilesa baru; Memuaskan mereka yang belum puas; Menambah keyakinan mereka yang telah mendengar Dharma; Menegakkan Dharma yang benar; dan Manfaat vinaya itu sendiri. Seorang siswa Sang Buddha yang telah bertekad (diupasampada) menjadi bhikkhu harus menjalankan 227 peraturan latihan yang disebut Patimokkha-sila. Patimokkhasila terdiri dari Parajika 4; Sanghadisesa 13; Aniyata 2; Nissagiya Pacittiya 30; Pacittiya 92; Patidesaniya 4; Sekhiyadhamma 75; dan Adhikarana 7. Sementara itu Patimokkha-sila untuk para bhikkhuni terdiri dari 311 46 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 178 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia peraturan, yaitu: Parajika 8; Sanghadisesa 17; Nissahiya Pacittiya 30; Pacittiya 116; Patidesaniya 8; Sekhiyadhamma 75; dan Adhikaranasamatha 7.47 Pelanggaran-Pelanggaran Hukum/Peraturan Peraturan yang dibuat oleh Sang Buddha disebut ‘pannati’. Pelanggaran terhadap peraturan (pannati) yang menjadikan seseorang mendapat hukuman disebut sebagai ‘apatti’. Apatti terjadi melalui ucapan dan perbuatan badan jasmani. Apatti dapat terjadi memalui enam cara yaitu: dengan jasmani, ucapan, jasmani dan pikiran, ucapan dan pikiran, ucapan dan jasmani, ucapan, jasmani dan pikiran. Enam kondisi yang dapat menyebabkan apatti yaitu: alajjhita (tanpa malu), ananata (tanpa diketahui), kukucca-pakataka (ragu-ragu), merasa boleh padahal tidak boleh, dengan pikiran boleh padahal terlarang dan dilakukan dalam keadaan bingung. Pelanggaran terhadap peraturan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh umat awam (Gharavasa) dan pelanggaran oleh para bhikkhu/bhikkhuni (Pabbajita). Pelanggaran yang dilakukan oleh keduanya berbeda dalam pemberian sanksi dan penyelesaiannya. Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang umat perumah tangga berupa pelanggaran terhadap Sila-sila yang jumlahnya lebih sedikit dibanding sila bagi para Pabbajita. 47 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 179 Sedangkan pelanggaran (apatti) oleh Pabbajita pelanggaran terhadap Patimokkha-sila atau Vinaya.48 adalah Penyelesaian Pelanggaran Setiap pelanggaran, baik dilakukan oleh Gharavasa maupun Pabbajita pasti ada cara penyelesaiannya. Penyelesaian pelanggaran sila bagi kaum Gharavasa adalah berupa sanksi moral dari masyarakat tempat tinggal, misalnya: diusir dari daerah tersebut, dikucilkan dan lain-lain. Bila pelanggaran itu termasuk kategori berat (misalnya membunuh atau mencuri) maka pelaku dapat dikenakan sanksi oleh pemerintah dimana ia tinggal. Namun pelanggaran apapun yang dilakukan oleh seorang Gharavasa tidak akan menyebabkan ia dikeluarkan dari statusnya sebagai Gharavasa. Pelanggaran yang dilakukan oleh Pabbajita akan diselesaikan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Ditinjau dari berat ringan dan akibat pelanggaran, maka apatti dalam vinaya terdapat dalam tiga tingkat, yaitu: Kesalahan berat (Garukapatti) Garukapatti yaitu pelanggaran yang menyebabkan seseorang dikeluarkan dari kebhikkhuan- nya dan seumur hidup tidak dapat menjadi bhikkhu lagi. Hal ini terjadi pada pelanggaran terhadap Parajika 4. 48 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 180 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Kesalahan menengah (Majjhimapatti) Majjhimapatti dapat diperbaiki dalam sidang sangha yang minimal terdiri dari dua puluh orang. Kesalahan dapat juga diperbaiki dengan cara melakukan Manatta (duduk berdiam diri dan melakukan doa pertobatan selama enam malam penuh). Hal ini terjadi bila bhikkhu/bhikkhuni melakukan Sanghadisesa. Kesalahan ringan (Lahukapatti) Dapat diselesaikan dengan cara mengakui kesalahan di hadapan bhikkhu lain. Kadangkala dalam Sangha juga terjadi perselisihan. Perselisihan dalam Sangha disebut Adhikarana. Dalam vinaya dikelompokkan menjadi empat Adhikarana, yaitu; Vivadhadikarana, yaitu perselisihan mengenai mana yang Dhamma dan mana yang bukan Dhamma, mana yang Vinaya dan mana yang bukan Vinaya; Anuvadadhikarana, yaitu perselisihan yang timbul karena tuduhan terhadap seorang bhikkhu melakukan apatti, penyimpangan dalam pengamalan, pandangan benar dan penghidupan benar; Apattadhikarana, yaitu perselisihan yang timbul karena tuduhan terhadap seorang bhikkhu telah melanggar vinaya; dan Kiccadhikarana, yaitu perselisihan sehubungan dengan keputusan atau peraturan yang dikeluarkan oleh Sangha. Sang Buddha memberikan tujuh peraturan untuk menyelesaikan empat Adhikarana tersebut yang disebut sebagai Adhikarana-samatha. Adhikaranasamatha adalah sidang sangha yang harus dihadiri minimal dua puluh orang bhikkhu untuk mengadili dan memutuskan kesalahan (pelanggaran) yang telah dilakukan oleh seorang bhikkhu. Cara yang dilakukan adalah dengan pembacaan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 181 pengumuman resmi oleh Sangha. Bunyi butir aturan itu adalah Sammukhavinaya yaitu penyelesaian dilakukan dihadapan Sangha, di hadapan seseorang, di hadapan benda yang bersangkutan dan di hadapan Dhamma. Cara ini dapat untuk menyelesaikan semua Adhikarana; Sativinaya yaitu pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha, bahwa seorang bhikkhu yang telah mencapai tingkat arahat adalah orang yang penuh kesadaran sehingga tidak seorangpun layak menuduhnya melakukan Apatti; Amulhavinaya yaitu pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha, bahwa seorang bhikkhu yang sudah sembuh dari penyakit jiwanya tidak sepatutnya dituduh melakukan Apatti yang mungkin dilakukannya pada waktu dia masih terganggu jiwanya; Patinnatakavinaya yaitu penyelesaian suatu Apatti sesuai dengan pengakuan yang diberikan oleh tertuduh yang mengakuinya secara jujur tentang apa yang telah dilakukannya; Yebhuyyatakarana yaitu keputusan dibuat berdasarkan suara terbanyak; Tassa-papiyasida yaitu pemberian hukuman kepada bhikkhu yang telah melakukan kesalahan; dan Tina-vattharaka yaitu pelaksanaan perdamaian antara kedua belah pihak yang berselisih tanpa terlebih dahulu melakukan penyelidikan tentang sebab musabab terjadinya perselisihan. Sativinaya, Amulhavinaya dan Tassa-papiyasika dapat digunakan untuk menyelesaikan Anuvadadhikarana. Sedangkan Patinnakarana dan Tinavattharaka hanya dapat menyelesikan Apattadikarana. Yebhuyyasika dipergunakan untuk menyelesaikan Vivaddadhikarana.49 49 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 182 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Catur Paramitha dan Catur Mara Di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhannan (paramita) yaitu di dalam batinnya merupakan sumber dari segala perbuatan baik (kusalakamma) yang tercetus oleh pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita kita harus dapat mengembangkan paramita itu. Demi untuk kebahagiaan, ketenangan dan kegembiraan bagi hidup kita. Sifat ketuhanan itu terdiri dari Metta, Karuna, Mudita, dan Upekha. Yang disebut catur paramita. Disamping adanya sifat ketuhanan, terdapat pula sifatsifat Syetan atau jahat (mara) dalam batin manusia dan ini merupakan sumber dari segala perbuatan buruk (akusalakamma) yang tercetus pada pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita harus dapat melenyapkannya agar hidup kita tidak terus-menerus dalam kesengsaraan dan penderitaan yang tiada henti-hentinya.50 Catur Paramita (Empat Sifat Ketuhanan) Emat sifat ketuhanan dimaksud adalah Metta yaitu cinta kasih universal yang menjadi akar dari perbuatan baik (kusalakamma). Bila ini berkembang dosa akan tertekan; Karuna: ialah kasih saying universal karena melihat suatu kesengsaraan, yang menjadi akar perbuatan baik (kusalakamma). Bila ini berkembang lobha akan tertekan; Mudhita: ialah perasaan bahagia (simpati) universal karena melihat makhluk lain bergembira, yang menjadi akar perbuatan baik (kusalakamma). Bila ini berkembang issa akan 50 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 183 tertekan; dan Upekha: ialah keseimbangan bhatin universal sebagai hasil dari melaksanaan metta. Karuna, mudita dan upekha, juga merupakan akar dari perbuatan baik (kusalakamma). Bila ini berkembang moha akan tertekan dan bahkan akan lenyap.51 Catur Mara (Empat Sifat Syetan Jahat) Mara merupakan sifat syetan yang selalu bertolak belakang denga sifat paramita. Sifat ini dimiliki oleh manusia yang keduanya sangat bertentangan. Yang apabila mara menguasai hidup kita akan penuh dengan derita (dukha). Sifat mara ini dibagi menjadi empat sifat diantaranya: Pertama adalah Dosa ialah kebencian yang menjadi akar dari perbuatan jahat (akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya metta. Dosa ni ada dua yaitu Dosa ini secara etika (ajaran tentang keluhuran budi dan peraturaan kesopanan) bearti kebencian dan secara psykologis (kejiwaan) bearti pukulan yang berat dari pikiran terhadap objek yang bertentangan; dan Mengenai hal ini mempunyai dua nama, yaitu: Patigha = jijik atau tidak senang dan Vyapada = Kemauan jahat. Kemudian sifat Lobha yaitu serakah yang merupakan akar perbuatan jahat (akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya karuna. Lobha ini secara etika bearti keserakaan atau ketamakan. Tetapi secara psikologis bearti terikat pikiran pada objek-objek. Inilah kadang-kadang disebut tanha = keinginan yang tiada henti-hentinya: kadang-kadang juga disebut Abhijjha = mempunyai nafsu serakah dan kadang-kadang 51 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 184 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia pula disebut Kama = Nafsu birahi serta raga = hawa nafsu. Kemudian Issa ialah iri hati yaitu perasaan tidak senang melihat makhluk lain berbahagia. yang menjadi akar dari perbuatan jahat (akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya mudita. Dan terakir adalah Moha yaitu kegelisahaan batin sebagai akibat dari perbuatan dosa, lobha dan issa, akan lenyap bila dikembangkannya upekha. Moha bearti kebodohan dan kurangnya pengertian. Selain dari pada itu moha juga disebut Avijjha = ketidaktahuan atau Annana = tidak berpengetahuan atau Adassana = tidak melihat. Pikiran Baik dan Pikiran Jahat dan Akibatnya Tersebutlah kata-kata yang di ucapan Buddha Gautama dalam kitab Dhammapada, yaitu bagian kecil dari Sutta-Pitaka yang berbunyi sebagai berikut: Ayat 1: Segala sesuatu adalah hasil dari pada apa yang telah dipikirkan, berdasarkan pikiran dan di bentuk oleh pikiran. Bila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran yang jahat, maka penderitaan akan mengikutinya seperti roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Ayat 2: Segala sesuatu adalah hasil dari pada apa yang telah dipikirkan, berdasarkan pikiran dan dibentuk oleh pikiran. Bila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran yang baik, maka kebahagiaan akan mengikutinya seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan dirinya.52 Kejahatan Menerima kejahatan 52 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 185 Bilamana kita membuat suatu kejahatan, janganlah perbuatan jahat itu terulang lagi. Usahakan agar diri kita tidak senang dengan kejahatan, karena penderitaan adalah sebagai buahnya. Haruslah diketahui bahwa sipembuat kejahatan melihat kebahagiaan selama perbuatan jahatnya belum masuk. Tetapi bilamana perbuatan jahat telah masuk, maka barulah ia melihat penderitaan sebagai akibatnnya.Janganlah kita meremehkan kejahatan dengan mengatakan, bahwa kejahatan itu tidak akan mencelakakan diri kita. Jika demikian kita bagaikan si dungu mengumpulkan kejahatan sedikit demi sedikit, seperti halnya tempayan akan penuh oleh air yang diisi setetes demi setetes. Perbuatan jahat adalah yang mengarahkan kita kejalan kehidupan yaitu : Neraka atau neraya; Binatang atau tiracchana; dan Setan atau peta. Kebaikan Menerima Kebaikan. Bila kita dapat membuat sesuatu perbuatan baik, maka berusahalah terus dapat mengulangi perbuatan baik itu. Perlu diketahui bahwa si pembuat kebaikan akan melihat penderitaan selama perbuatan baiknya belum masuk. Tetapi apabila perbuatan baiknya telah masuk, maka akan terlihatlah kebahagiaan. Perbuatan baik adalah yang mengarahkan kita jalan kehidupan; Alam dewa: yang sebagaian besar di sebabkan oleh seseorang seperti berdana, mendengarkan dhamma, belajar dhamma, mendengarkan dhamma, menterjemahkan buku-buku dhamma untuk disebarluaskan, membangun vihara, membangun rumah sakit, membangun sekolah dan lain sebagainya. Alam Brahma : yang sebagian besar di sebabkan oleh seseorang banyak sekali yang melaksanakan samatha bhavana sehingga yang diperolehnya 186 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia jhana. Jhana berarti kesadaran/pikiran yang melekat kuat dalam objek kammatthana (meditasi), yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada objek dengan kekutan appna Samadhi (konsentrasi yang padai, yaitu kesadaran/pikiran terpusat pada objek dengan kuat). Nibbana atau Nirvana; yang sebagain besar disebabkan oleh seseorang melaksanakan vippasana bhavana sehingga menjadi Arahat. Arahat berarti orang suci tingkat keempat yang terbebas dari kelahiran dan kematian atau telah bersatu dengan Sanghayang Adi Buddha.53 Hari Besar Agama Buddha Trisuci Waisak Terdapat empat hari raya besar dalam Agama Buddha semua sekte dan aliran. Namun satu-satunya yang dikenal luas masyarakat adalah Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus satu-satunya hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur nasional Indonesia setiap tahunnya. Penganut Buddha sekte apapun merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali 53 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 187 "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sanskerta.54 Hari Kathina Di kalangan umat Buddha, hari Kathina dirayakan pada bulan Oktober dan November, di akhir masa Vassa, yakni di akhir masa musim hujan di negara Buddhis. Selama musim hujan ini, para Sangha (persekutuan Bhikkhu Buddhis) akan menyendirikan/mengasingkan diri mereka sendiri untuk mengasah dan mengolah pengetahuan Dhamma mereka dan ber-Meditasi (bisa di dalam satu vihara saja atau di dalam hutan), dan juga berusaha untuk tidak keluar dari tempat pengasingan mereka kecuali diharuskan/diperlukan sekali. Musim hujan biasanya di mulai 3 bulan sebelum bulan Oktober, yaitu dari bulan Juli (berdasarkan tanggalan di negara Buddhis). Setelah para Bhikkhu menyelesaikan pengasingan diri mereka selama musim hujan ini, mereka akan keluar kembali ke masyarakat umum, dan pada umumnya para umat Buddhis akan merayakan hal tersebut dengan mempersembahkan kain/jubah dan segala kebutuhan dasar kepada para Bhikkhu, dan masa itu lah yang dinamakan dengan Hari Kathina, yang terkadang sering disebut sebagai “Berkah Kathina”. Hari Kathina ini biasanya dirayakan oleh semua umat Buddhis dari bulan Oktober sampai November. Cerita di balik hari Kathina ini ada disebutkan di dalam kitab suci agama Buddha. Pada jaman Sang Buddha, para Bhikkhu biasanya akan tetap menyebarkan Dhamma Sang Buddha http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh Agustus 2015 54 188 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kepada masyarakat walau pada musim hujan. Akan tetapi masyarakat mengeluh karena tanaman sayur-sayuran dan padi mereka pun terinjak-injak oleh para Bhikkhu yang sedang lewat. Sehingga, Sang Buddha pun meminta para Bhikkhu untuk tidak berpergian lagi selama musim hujan ini untuk tidak menganggu dan merusak sawah masyarakat disekitarnya, dan manfaatkan masa tersebut untuk memperdalam pengetahuan Dhamma dan Meditasi mereka. Tak lama setelah itu, ada 30 Bhikkhu yang ingin bertemu dengan Sang Buddha dan menyelesaikan masa Vassa (musim hujan) tersebut bersama Sang Buddha. Tetapi, musim hujan telah tiba dan 30 Bhikkhu tersebut pun belum sampai di tempat Sang Buddha berada, sehingga mereka harus menyinggah di suatu tempat dan menunggu sampai musim hujan ini berlalu. Pada saat Sang Buddha mendengarkan berita ini, setelah musim hujan ini selesai, Sang Buddha mengirimkan kain-kain kepada 30 Bhikkhu tersebut untuk mereka jahit menjadi jubah. Para Bhikkhu tersebut menjahit banyak jubah baru dari kain yang diberikan oleh Sang Buddha dengan menggunakan Kathina, yaitu alat untuk menyebarkan kain di dalam rangka dan menjahit kain-kain tersebut untuk membentuk suatu jubah.55 Asadha Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja/Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa dimana Buddha membabarkan http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh Agustus 2015 55 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 189 Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orangorang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu (Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha). Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana (Trisarana). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati. Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia 190 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia (Cattari Ariya Saccani) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma. Magha Puja Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, inti agama Buddha dan etika pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditasbihkan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu:Bhikkhu yang ditasbihkan sendiri oleh sang Buddha), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. 56 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/harikathina.html, Diunduh Agustus 2015 56 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 191 192 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia IV ORGANISASI, PENDANAAN, SARANA KEAGAMAAN DAN PEMBINAAN UMAT BUDDHA MAITREYA Organisasi Buddha Maitreya Struktur Organisasi Majelis Untuk memperkuat posisinya dalam konstelasi kehidupan sosial keagamaan, utamanya di kalangan umat Buddha di Indonesia, umat Buddha mendirikan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan bernaung di bawah Walubi. MAPANBUMI didirikan 07 Agustus 1975 di Malang. Struktur organisasinya terdiri dari Dewan Sesepuh; Dewan pimpinan Pusat; Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I; Dewan Pimpinan Daerah Tinkat II; dan Dewan Pimpinan Komisariat/ Kecamatan/Kelurahan. Herarki kekuasaanya adalah Dewan Sesepuh; Pasamuan Agung baru kemudian Dewan Pimpinan Pusat (DPP). DPP berkewajiban menjalankan keputusan Pesamuan Agung dan Pasamuan Paripurna. Setiap vihara dipimpin seorang Pandita yang ditugaskan oleh DPD Tk I. Seorang Pandita diperbolehkan menyusun kepengurusan terhadap vihara yang dikelolanya. Dewan tertinggi adalah Dewan Sesepuh yang beranggotakan para sesepuh dan Maha Pandita. Anggota Dewan Sesepuh diusulkan oleh Pandita dan diangkat oleh Ketua Dewan Sesepuh. Model struktur organisasi MAPANBUMI adalah Ketua Kehormatan yang diiisi oleh Maha Sesepuh; Ketua yang biasanya juga Maha Sesepuh dan kemudian para anggota Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 193 yang terdiri dari para sesepuh dan Maha Pandita. Dalam aktifitas sehari-hari, dewan pimpinan ini dikendalikan oleh pelaksana harian yang terdiri dari Penasehat; Ketua Umum; Ketua Bid. Hukum dan Humas; Ketua Bid. Pengawasan Keuangan; Ketua Bid. Kader dan Organisasi; Ketua Bid. Litbang; Sekjen; Wakil Sekjen; Bendahara dan Wakil; Korda; Korbid Dana; Korbid Dharma; Korbid Kitab Suci; dan Korbid Generasi Muda.57 Tujuan Organsiasi MAPANBUMI berasaskan Pancasila dan sifat dari organisasinya sebagai organisasi keagamaan Buddha.. MAPANBUMI bertujuan, pertama, Menyebarluaskan dan mengembangkan agama Buddha Maitreya; Kedua, Membina umat Buddha Maitreya menjadi umat Buddha yang beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Buddha dan Bodhisatva serta mempunyai kesadaran beragama yang tinggi, memiliki mental dan spiritual serta budi pekerti yang luhur; Keempat, Membina umat Buddha sebagai warga negara Indonesia untuk dapat menjadi umat Buddha yang dapat menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia; Kelima, Membina dan meningkatkan, penghayatan dan pengamalan para Pandita Buddha Maitreya mengenai Buddha serta keterampilannya sehingga dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan penuh tanggung jawab dalam membimbing umat Buddha Maitreya sesuai dengan ajaran para Buddha dan Bodhisatva; Keenam, Membina persaudaraan sesama umat Selebaran tentang struktur Organisasi DPP Mapanbumu, diambil April 2015 57 194 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia manusia tanpa membedakan agama, suku, warna kulit, demi terwujudnya kerukunan dan kerjasama yang sebaik-baiknya. Berusaha menciptakan dunia yang Mahaterang, yang disebut dunia damai sentausa, bumi suci Maitreya, negeri Buddhata, taman sukacita semesta yang mahasejati, mahabajik dan mahaindah.58 Usaha Organisasi Untuk mencapai tujuan itu, maka usaha yang dilakukan adalah; Pertama, Melakukan pengangkatan pandita dan dhiksa umat Buddha Maitreya, mendirikan dan memelihara viharavihara, cetya-cetya Buddha Maitreya; Kedua, Mengadakan persembahyangan, khotbah-khotbah dan ceramah-ceramah agama Buddha; Ketiga, Menterjemahkan kitab suci agama Buddha, menyusun buku-buku dan menerbitkan kitab suci dan buku agama serta majalah, brosur dan menyebarkannya; dan keempat, Mengadakan penataran untuk Pandita dan umat Buddha Maitreya, mendirikan sekolah-sekolah, menyelenggarakan diklat dan kursus-kursus. Menjaga kelestarian, kerukunan intern umat beragama Buddha, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. DPP MAPANBUMI, berkantor pusat di Vihara Mahavira Maitreya Kota Medan yang memang sangat representatif. Kantor DPD MAPANBUMI Sumatra Utara-pun juga berada di vihara ini, dengan mengambil bagian ruangan yang lain dari gedung vihara Mahatera yag secara keseluruhan bangunan terdiri dari 1,5 ha. dan berdiri diatas lahan seluas 5 ha. 58 Lihat Ad/ART DPP Mapanbumi, Diambil April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 195 Stuktur Organisasi MAPANBUMI Majelis agama Buddha ini bernama Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia disingkat MAPANBUMI. MAPANBUMI didirikan pada tanggal 07 Agustus 1975 di Malang untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya. Dewan Pengurus Pusat MAPANBUMI berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Tetapi pada saat ini atas berbagai pertimbangan, maka kantor pusat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ada di vihara Mahavira Maitreya Kota Medan. Bahkan kantor DPD MAPANBUMI-pun juga berada di vihara ini. DPP MAPANBUMI pada saat ini telah memiliki perwakilan 18 buah DPD dari 33 provinsi yang ada di seluruh Indonesia. Khusus di Sumatra Utara DPD MAPANBUMI ini memiliki 18 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di 18 buah kabupaten/kota.59 Simbol Buddha Maitreya yag tampak di zaman sekarang adalah wujud dari pratina (patung) Bhiksu Berkantong (perut gendut). Senyumanya selalu memenuhi wajahnya, daun telinga yang terkulai ke bawah, perut yang bulat dan besar, leher dan perut tampak terbuka lebar, tangan menggenggam kantong, sikapnya lugu, polos dan jujur. Agama Buddha Maitreya ini di Kota Medan berkembang baik, hingga memiliki umat sebanyak sekitar 150.000 orang, yang umumnya dari kalangan saudara kita yang beretnis Tionghoa. Jumlah umat sebanyak itu dibina secara berkala di berbagai vihara dan cetiya di Kota Medan yang jumlahnya mencapai 52 buah.60 Lihat Booklet 2 terbitan DPP MAPANBUMI 2014 Lihat Laporan smesteran kegiatan DPP Mapanbumi dan DPD Mapanbumi Kota Medan, diambil 2015 59 60 196 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Dana dan Sarana Keagamaan Umat Buddha Maitreya Kota Medan hampir 25% adalah etnis Tionghoa dan sebagian besar beragama Buddha. Penyumbang utama jumlah umat Buddha secara statistik di Sumatra Utara adalah umat Buddha Maitreya. Banyaknya umat Buddha Maitreya yang melaksanakan ibadah minggu, memerlukan lahan parkir sangat luas dan pedagang makanan yang banyak, pedagang mainan dan juru parkir menjadi bentuk simbiosis mutualisme antara kaum Buddhis dengan masyarakat. Di sini uang berputar kencang di tingkat akar rumput yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian penduduk setempat. Seperti dikenal, etnis Tionghoa adalah kampiun ekonomi Indonesia, akibat diskriminasi sepanjang sejarah kolonial dan Indonesia merdeka. Dana, sarana dan prasarana bagi umat Buddha Maitreya bukan masalah. Seluruh kebutuhan keuangan dapat dipenuhi sendiri dari para dermawan ummat Buddha Maitreya, bahkan secara berkala memberi bantuan kepada umat lain tanpa melihat latar belakang agama dan etnisnya.Vihara Mahavira Maitreya misalnya, setiap bulan mendapatkan uang kas dari donatur rata-rata 1 milyar (ditanya senyum-senyum saja). Gedung vihara dan kelengkapanya mewah bak hotel bintang lima dan merupakan vihara terbesar di Asia Tenggara. Organisasi umat Buddha Maitreya sangat kaya di Kota Medan, yang kemudian menebar kasih bagi semua umat, apapun latar belakang agamanya. Menurut semua informan yang bertempat tinggal sekitar berbagai vihara Maitreya di Kota Medan, dinyatakan bahwa seluruh Vihara Buddha Maitreya selalu memberi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 197 bingkisan Ramdhan atau Idzul Fitri bagi kaum miskin (kere) di Kota Medan, tanpa melihat latar belakang agama, berupa kebutuhan pokok. Tentu saja penerima terbanyak adalah kaum muslim. Sejak masuk bulan Puasa, pihak pengurus vihara selalu sudah memberitahukan kepada kelurahan setempat agar mendata kaum miskin kota yang akan diberi bingkisan bahan kebutuhan pokok Ramadan dan Idul Fitri. Para calon penerima dibagi kartu untuk pengambilan bingkisan oleh petugas Linmas kelurahan setempat, sehingga pembagian bingkisan terjadi secara tertib. Dalam hal rumah ibadah atau vihara dan cetia, umat Buddha Maitreya memperlihatkan sebagai sekte Buddha yag memiliki vihara dan cetia terbesar di antara semua sekte dan majelis umat Buddhis di Kota Medan. Vihara dan Cetia yang dimiliki umat Buddha Maitreya sebanyak 62 buah, diantara jumlah vihara dan cetia sebanyak 192 buah yang dimiliki umat Buddhis di Kota Medan. Umat Buddha Meitreya di Kota Medan memiliki 13 buah lembaga dan yayasan umat buddhis sebanyak 19 buah. Umat Buddha Maitreya memiliki lembaga yaitu Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan beberapa yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, rumah sakit, perabuan (rumah duka/kremasi) dan usaha amal di Kota Medan. Pada saat ini umat Buddha Maitreya sedang membangun gedung sekolah yang mirip hotel bintang lima bernama sekolah Maitrawira lima lantai, posisiya di seberang vihara Mahavira Maitreya. Sementara dibangun, asrama siswa sekolah Maitrawira sebanyak 450 siswa ditampung di gedung vihara Mahavira Maitreya. Menurut rencana tahun ajaran baru 2015 nanti akan 198 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia segera digunakan untuk menampung seluruh siswa sekolah Maitrawira dari tingkat SD hingga SLA. Dalam gedung vihara Mahavira ini terdapat Kantor informasi, Perpustakaan, genta Kebahagiaan, Teko Healthy Resto (restoran vegetarian yang sehat dan bergizi), Souvenir Shop, Sky Covention Hall, Sky Room, auditorium dengan kapasitas 130 orang, taman bermain anak-anak. Kemudian terdapat pula Graha Maitreya, yang berada di lantai II dengan ukuran 96 x 38 meter yang disebut dengan gedung Baktisala Maitreya, sekaligus ruang bakti puja utama yang berkapasitas 2.500 orang. Di depan terdapat arca atau Pratima Buddha Maitreya berkantong setinggi 6,8 mater yang sedang tertawa lebar tanpa beban. Di samping itu terdapat Graha Sakyamuni yang terletak di lantai dasar (1) denga ukuran ruangan 56 x 28 meter. Di dalamnya terdapat rupang Buddha Sakyamuni, Bodhisatva Avalokitesvara dan Bodhisatva Satyakalama, denga kapasitas kebaktian 1.500 orang. Di dua sisi gedung terdapat lukisan pahatan batu yag mengisahkan pembinaann dan perjalanan hidup Buddha dan Bodhisatva serta kisah bersejarah tentang bakti terhadap orang tua. Jadi umat Buddha Maitreya Kota Medan telah memiliki sarana yang sangat memadai, lux dan lengkap karena didukung oleh pendanaan yang tak terbatas dari umatnya. Jika umat lain sering mendatangkan uang dari luar egeri, maka Buddha maitreya malah mengirim sebagian uang ke Taiwan (tanah suci Buddha Maitreya)61. Lihat Brosur tentang lembaga pendidikan dan yayasan yang dimiliki DPP Mapanbumi 61 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 199 Pembinaan Keagamaan dan Relasinya dengan Umat Buddha Non Maitreya Buddha Maitreya di Kota Medan dan sekitarnya berkembang sangat baik, hingga memiliki umat sebanyak sekitar 150.000 orang, yang umumnya dari kalangan etnis Tionghoa. Jumlah umat sebanyak itu dibina secara berkala di berbagai vihara dan cetiya di Kota Medan yang jumlahnya mencapai 52 buah. Bentuk pembinaanya adalah sekolah minggu, bagi anak-anak, remaja dan orang dewasa, serta kaum outri dan ibu-ibu. Setiap minggu semua vihara Buddha Maitreya penuh dengan umat Buddha Maitreya yang akan sembahyang, puja bhakti dan belajar agama. Umat Buddha Maitreya yang biasa berpuja bhakti di vihara Mahavira Maitreya memiliki jumlah Pandita 38 yang terdiri dari calon Pandita, Pandita Muda, Pandita Madya dan Pandita Utama. Seluruh biaya hidup dari para pandita tu dicukupi oleh umat Buddha vihara Mahavera Maitreya. Vihara Mahavira yang sekaligus menjadi kantor pusat DPP MAPANBUMI dan DPD MAPANBUMI Sumatra Utara ini memiliki dana yang hamper tak terbatas dari umatnya. Menurut informasi yang akurat, ada sekitar 1 milyar setiap bulan dana yang masuk dari umat Buddha Maitreya. Itulah sebabnya, Buddha Maitreya Kota Medan membangun gedung-gedung sekolah dengan model dan kontruksi hotel berbintang. Penataan halaman parkir yang sangat luas juga memperlihatkan betapa besar dana yang di miliki oleh umat Buddha yang bernaung di bawah MAPANBUMI ini. Seluruh asesoris ruangan di vihara Mahavera terlihat sebagai sangat mahal. Misalnya beberapa pratina (patung) kecil, harganya 200 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia per unit mencapai 80 jt rupiah. Di toko yang dikelolanya (di lantai 1) juga dijual beberapa pratina yang harganya mencapai 250 jt perbuah. Konon katanya sudah terjual sebanyak 90 buah. Jadi banyak cara umat Buddha Maitreya mempertahankan eksistensinya di Indonesia, khususnya di Kota Medan. Melalui lembaga, yayasan, sekolah minggu, sekolah umum dengan ekstra kurikuler Buddhis, rumah sakit, balai pengobatan, berderma kepada masyarakat lingkungan secara berkala dan sebagainya.62 Laporan smesteran DPP Mapanbumi dan laporan kegiatan mingguan DPP Mapanbumi. 62 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 201 202 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia V PENUTUP Pada mulanya Buddha itu hanya satu, tetapi akibat provokasi Bikhu tua bernama Subadha paska paribhananya Sanga Buddha, kepada para bikhu lainya agar tidak merasa sengsara, telah memulai keraguan awal dari para Bikhu akan keharusan Dharma dan Vinaya, atau setidaknya agar dhrama dan Vinaya cukup menjadi spirit saja dalam mencapai kebuddhaan. Bikhu yang concern terhadap ajaran Sang Buddhapun bereaksi keras agar para bikhu tetap pada vinaya aslinya. Dari sanalah kemudian muncul beberapa aliran, dan dengan seiring perjalanan waktu dan penyebaranya keberbagai penjuru dunia, maka lahirlah ribuan sekte yang mengatasnamakan ajaran Sang Buddha, termasuk Buddha Maitreya. Buddha Maitreya yang lahir dari I Kuan Tao dan berkembang di Taiwan ini menemukan lahanya yang subur di Indonesia, dengan wilayah Malang sebagai tanah pijakanya yang pertama, terus tumbuh dan berkembang secara baik di seluruh Indonesia. Buddha Maitreyapun sampai di Sumatra Utara dengan berbagai fasilitas keagamaan yang sangat sempurna, dharma yang tiada henti kepada seluruh masyarakat Medan tidak pandang bulu asal agama, etnis dan strata sosial. Membagi dharma secara rutin setiap tahun, melakukan vinaya tiada henti dengan dukungan dana tak terbatas dari umat Buddha Meitreya yang sadar. Dana dan saranapun sedemikian mewah, semewah mereka berderma Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 203 kepada sesama umat manusia di seluruh dunia, dimanapun umat Buddha Maitreya berada. Seluruh aspek yang dikembangkan, diajarkan, dipertahankan adalah untuk menuju manusia yang maitreyani dalam segala aspek kehidupan, dengan kasih tiada putus kepada semua mahluk, dan berusaha mencapai kebuddhaan dengan caranya sendiri yang sering dinyatakan kalangan luar sebagai tidak ada hubunganya dengan Buddha. Apapun kata orang, Buddha Maitreya dengan segala kekurangan dan kelebihanya telah menjadikan agama Buddha menjadi lebih bermakna bagi semua mahluk, tidak suka kekerasan, tidak suka membunuh manusia dan hewan apapun, yang katanya untuk mempercepat tercapainya kebuddhaan. Umat Buddha Maitreyapun telah menjadikan agama Buddha sangat fungsional untuk memperbaiki kehidupan umat manusia, dengan berbagai program kemanusiaan, membantu si miskin, derma dan kasih tiada tara, mengalahkan semua praktek keagamaan yang ada saat ini. Ketika umat agama lain masih sedang bertengkar antar sesamanya yang saling menghancurkan (lihat di Timur Tengah, dan percik-percik kekerasan intern agama di Indonesia), saling menyesatkan, umat Buddha Maitreyani sudah sibuk mengembangkan dharma dan kasih kepada semua mahluk, membangun kesadaran bahwa umat manusia adalah satu keluarga yang harus saling membantu, saling menjaga dan mendorong seluruh umat manusia mencapai kesejahteraan, kedamaian, dan nirwana. Simbol Buddha Maitreya yang tampak di semua vihara Buddha Maitreya adalah wujud dari pratina (patung) Bhiksu 204 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Berkantong (perut gendut). Senyumanya selalu memenuhi wajahnya, daun telinga yang terkulai ke bawah, perut yang bulat dan besar, leher dan perut tampak terbuka lebar, tangan menggenggam kantong, sikapnya lugu, polos dan jujur yang selalu tertawa lebar. Semua mengisyaratkan bahwa Buddha Maitreya siap membantu sebisamungkin bagi siapapun untuk perdamaian, keluhuran budhi, kesucian hati, kebahagiaan, kesejahteraan dan penyadaran bahwa umat manusia adalah satu keluarga. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 205 206 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Penerbit Obor, Jakarta, Januari 2013 Buddhism in Indonesia. Buddha Dharma Education Association. Buddha Dharma Education Association. 2005. Diunduh 30 Februari 2015 Daisetz Teitaro Suzuki, dalam Pendahluan buku “ Agama Buddha Mahayana” yang ditulis oleh Beatrice Lane Suzuki (1939), Penerbit Karania Dharma Universal Untuk Semua, Terj. Hastiati, Cet. I, Agustus 2009 Azyumardi Azra, Jaringan Bandung, 2004. Ulama Nusantara, Mizan, Dirjen Bimas Buddha, dalam Brain Storming Penyusunan Desain Penelitian tentang Keragaman Sekte dan Majelis di Kalangan Umat Buddha, 2015 Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut. Sensus Penduduk 2010. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/ Diunduh 23 maret 2015 Wang Chi Biu, The Scientific Outlook of Buddhism, Terj. Oleh Hendy Hanusia, Pandangan Ilmiah dalam Agama Buddha, Yayasan Penerbit Karaniya, Jakarta, 2002. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Maret 2015 Diunduh Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 30 207 Jo Pristiana, Brain Storming untuk bahan penyusunan desain penelitian, Maret 2015 Ibid, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Diunduh 30 Januari 2015; Dalam konsep teologi Islam disebut dengan janji dan ancaman. Demikian pula penjelasan dari, Peter Lim dan Ling Ling Nahar Nahrawi, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam (dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2006 hal 200 – 201. Cornelis Wowor (mantan Direktur Urusan Agama Buddha Kementerian Agama) dan Jo Pristiana dalam diskusi untuk penyempurnaan desain penelitian dijadikan pegangan dalam penelitian ini, Maret - April 2015 Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30 Feburari 2015 http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia Diunduh 23 Maret 2015 Abdul Azis, Varian-Varian Fundamentalisme Indonesia, Pen Dian, 1998, Jakarta. Islam di Basyaruddin, Peta Dakwah Kota Medan, Bank Muamalat Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia Kota Medan, Perdana Publising, Medan, 2012, hal. 49 O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba, Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara: Suatu Deskripsi, Penerbit Monora, Medan, 1998, hal. 102. 208 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Chalida Fachruddin, Labuhan Deli: Organisasi sebuah Komuniti Melayu di Sumatra Utara, Indonesia, Fakultas Sain Kemasyarakatan dan Kemanusiaan Universitas Kebangsaan Malaysia, Bangi, 1998, hal. 33 Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015; http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resumeke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015; http://id.wikipedia.org/wiki/Sutta_Pi%E1%B9%ADaka DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resumeke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Januari 2015 Diunduh 30 http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30 Feburari 2015 DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015 Booklet DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi) II, DPP Mapanbumi, Medan, 2015 Hendy Tazali, Sejarah Buddha Maitreya di dalam http://sejarahbudhamaitreya.blogspot.com, diunduh April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 209 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resumeke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, diunduh 20 Agutus 2015. Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan pula oleh Sucipto (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 Majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015 Selebaran tentang struktur Organisasi DPP Mapanbumu, diambil April 2015 Ad/ART DPP Mapanbumi, Diambil April 2015 Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995. Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Budha). Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011). Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha). Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet, I, 1988. H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995. 210 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 5 BUDDHISME NICIREN DI INDONESIA: STUDI KASUS NICIREN SYOSYU INDONESIA Oleh: Muhammad Adlin Sila Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 211 212 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi orang Indonesia, terlepas agama apa yang dianutnya, pasti mengenal Candi Borobudur. Para sejarahwan sepakat bahwa candi ini dibangun pada periode kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa Tengah sekarang: Sebuah kerajaan yang berdiri antara tahun 775-850. Kerajaan ini meninggalkan beberapa candi Buddha lain yang masih berdiri hingga sekarang seperti Candi Mendut dan Candi Pawon. Candi-candi ini adalah simbol kebesaran agama Buddha yang masih berdiri tegak dan menjadi tujuan wisata bagi turis domestik dan asing. Dari catatan sejarah, sebagaimana ditulis oleh George Cœdès (1975: 82), misalnya, kerajaan Buddha yang pertama kali berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 (tahun 683 M). Oleh Cœdès lagi, kekuasaan kerajaan maritim yang berlokasi di Palembang ini, tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sebenarnya, Kerajaan Sriwijaya sempat dilupakan dalam sejarah. Tapi setelah dikenalkan kembali oleh George Cœdès, seorang sarjana Perancis ini, pada tahun 1920-an, Kerajaan Sriwijaya kembali dikenal dunia. Temuan George Cœdès dalam bentuk prasasti dan berita dari Cina dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Dan sejak saat itu Kerajaan Sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 213 Meskipun begitu, pemerintah Belanda waktu itu secara formal belum mengakui Buddha sebagai agama yang formal dianut oleh penduduk Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tapi hanya sebagai agama kuno atau budaya masa lalu. Selain sarjana dari Perancis itu, beberapa orang juga berupaya melestarikan agama Buddha di Indonesia, seperti seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada. Kedatangannya sebagai Bhikkhu pertama Buddha ini berhasil menumbuhkan minat masyarakat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Sejak itu, agama Buddha berkembang hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Untuk menyesuaikan dengan Sila Pertama Pancasila, maka digagaslah ketuhanan dalam agama Buddha di Indonesia dengan sebutan "Sang Hyang Adi Buddha". Setelah percobaan kudeta 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gagal tersebut, semua warga negara Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu. Pada tahun 1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Niciren. Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Nanti pada tahun 2008, jumlah penganut agama Buddha diperkirakan sekitar 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau sekitar 0.6%. Jumlah umat Buddha ini termasuk penganut Konfusianisme atau Khonghucu yang 214 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia mayoritas berasal dari etnis Cina. Menurut Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia (LAPTAH) (2015: 16), terjadi fluktuasi penganut Buddha antara Sensus BPS tahun 2000 dengan Sensus BPS tahun 2010 terutama setelah Khonghucu diakui sebagai agama pada masa Presiden Abdurrahman Whaid (Gusdur). Sensus tahun 2000 menunjukkan jumlah penganut Buddha adalah 2,162,409 (1,10%). Sementara Sensus tahun 2010, jumlah penganut Buddha menjadi 1,703,254 orang (0,725). Agama Buddha di Indonesia paling banyak dianut oleh masyarakat Cina dan beberapa kelompok asli Indonesia, dengan persentase jumlah 1% (Buddhisme saja) sampai 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme). Ketidakpastian jumlah umat Buddha ini karena Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologiideologi agama Timur, budaya adat etnis Cina, dan kebijakan politik pemerinta Orde Baru. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Khonghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Cina, atau Tionghoa, yang umumnya berdomisili di daerah perkotaan, terutama di Jakarta. Ada juga umat Buddha di provinsi lain seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah tersebut belum final karena pada saat itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia sehingga mereka disensuskan sebagai penganut agama Buddha. Studi ini menganggap bahwa data statistik jumlah umat Buddha ini mengindikasikan kompleksitas dan dinamika perkembangan penganut Agama Buddha. Artinya, meski data BPS menunjukkan jumlah penganut Buddha dibawah 1 %, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 215 penganut Agama Buddha berkembang sangat dinamis dan terbagi dalam beberapa aliran atau sekte. Untuk mengungkap dinamika Agama Buddha saat ini, studi ini memilih untuk menggambarkan keberadaan sekte Niciren di Indonesia. B. Tujuan Penelitian 1. Menggambarkan sejarah perkembangan aliran Niciren di Indonesia; 2. Menggambarkan manajemen organisasi aliran Niciren di Indonesia; 3. Menjelaskan ajaran pokok dan praktek keagamaan Niciren di Indonesia; 4. Mengeksplorasi dinamika penganut Niciren dalam berinteraksi dengan sesama penganut Niciren dan penganut agama lainnya; 5. Menelusuri persoalan internal dan konflik yang pernah terjadi dalam aliran Niciren di Indonesia. C. Kajian Pustaka Tidak hanya dalam Kristen dan Islam, dua agama besar yang dikenal sebagai agama Samawi, yang memiliki banyak sekte. Dalam agama Buddha juga identik dengan banyaknya sekte. Banyak kasus di lapangan dimana vihara-vihara menolak Bhikkhu-Bhikkhu melakukan pembabaran atau mengajarkan meditasi hanya karena mereka tidak termasuk di dalam sekte vihara tersebut. Namun, para penganut Buddha aliran manapun berpedoman pada Kitab Tripitaka. Dalam kitab ini tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama yang 216 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia teridiri dari 3 (tiga) buku yaitu; 1) Sutta Pitaka (khutbahkhutbah Sang Buddha), 2) Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para Bhikkhu), dan 3) Abdidhamma Pitaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi). Ketiga buku ini disebut Tripitaka: tri artinya tiga dan pitaka artinya keranjang (Nahrawi, 2006: 200-201). Pada awal kemerdekaan, terdapat tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Niciren. Namun sebenarnya, hanya ada tiga sekte besar dalam Buddha, yaitu: Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Hanya saja, di dalam ketiga sekte itu terdapat banyak aliran lagi yang memiliki ajaran yang berbeda satu sama lain. Kecenderungan lahirnya banyak aliran dalam satu atau dua sekte yang berbeda ini terkait dengan kebangkitan agama Buddha di Indonesia (Iem, 2004: 45-55). Sejak tahun 1998, berdiri Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), yang mewadahi tiga majelis yaitu: 1) Majelis Agama Buddha, 2) Majelis Budayana Indonesia, dan 3) Majelis Agama Buddha Tridharma. Iem (1990) sebelumnya mencatat bahwa sebuah sekte yang cukup menggemparkan umat Buddha adalah sekte Maitreya. Sekte ini mengklaim kehadiran seseorang yang dianggap akan menjadi penyelamat umat manusia. Bagi umat Buddha kebanyakan, kedatangan Maitreya ini sebenarnya belum diketahui waktunya. Masih menjadi misteri. Dengan mengutip Saddharma Pundarika Sutra 94, Steenbrink (2013: 25) bahkan mengklaim bahwa yang dimaksud sosok Maitreya itu adalah Nabi Muhammad. Apa yang ditemukan oleh Steenbrink dari sutra atau petuah-petuah sang Buddha yang Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 217 diwajibkan dibaca oleh sekte Niciren Syosyu ini tentunya tidak menjadi pemahaman umum di kalangan umat Buddha kebanyakan. Intinya, Maitreya adalah sosok Ratu Adil yang yang diramalkan akan datang di kemudian hari. Kapan itu? Tidak diketahui dengan pasti. Dalam Islam, sosok Sang Buddha ditenggarai sebagai salah satu nabi yang bernama Zulkifli (Dhu al-Kifli). Ajarannya yang mengutamakan cinta dan perbuatan baik (dharma) dianggap sebagai buah dari pencerahan ilahiyah (divine enlightenment) seperti yang diperoleh Nabi Muhammad di Gua Hira (Sttenbrink (2013: 25). Ritual-ritual agama Buddha seperti meditasi agar memperoleh ketenangan bathin untuk menjadi manusia yang paripurna (Wahyono, 2002), adalah sebuah konsep yang mirip dengan ritual zikir di kalangan pelaku tarekat dalam Islam untuk menjadi insan kamil atau manusia yang sempurna. Ajaran tentang karma dalam Buddha juga mirip dengan konsep bencana atau musibah dalam Islam yaitu bahwa setiap musibah yang menimpa seseorang atau masyarakat adalah akibat dari perbuatan buruknya di masa lalu. Meskipun begitu, para sarjana lebih banyak mengaitkan Buddha dengan Hindu apabila berbicara tentang agama di Indonesia kaitannya dengan diskusi mengenai agama-agama pra Islam di Nusantara. Studi lain juga lebih berbicara bagaimana hubungan yang tidak harmonis antara umat Muslim dengan umat Buddha (Muzakki, 2010). Hanya sedikit sekali sarjana yang menghubungkan antara Islam dengan Buddha dari segi teologis. Diantara yang sedikit itu adalah Steenbrink, yang menulis artikel berjudul “Buddhism in Muslim Indonesia” (2013). 218 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Studi ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai hubungan Buddha dengan Islam. Tapi studi ini ingin menggarisbawahi bahwa perbedaan sekte dalam Buddha adalah sesuatu yang alamiah. Persoalan itu juga terdapat di setiap agama. Perbedaannya adalah pada aspek bagaimana umat beragama pada agama yang bersangkutan mengelola perbedaan itu menjadi sesuatu yang positif. Pada bagianbagian selanjutnya, penulis akan membahas alasan studi ini memilih sekte Niciren: Sebuah sekte yang mengalami dinamika sehingga menimbulkan juga perselisihan di dalam sejarah perkembangannya di Indonesia. D. Mengapa Niciren Syosyu? Foto diatas memperlihatkan sebuah momen dimana Bapak Menteri Agama RI, Suryadarma Ali memberikan sambutan di kalangan pengikut sekte Niciren versi Buddha Dharma Indonesia di Semarang, tahun 2013. Kehadiran Menteri Agama dalam sebuah perhelatan sekte Niciren ini mengindikasikan vitalnya peran sekte ini dalam Agama Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 219 Buddha. Sejak 1993, ketika Senosoenoto (pembawa sekte ini ke Indonesia) wafat, sekte ini terbelah menjadi dua: Niciren Syosyu Indonesia (NSI) dan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI). Menurut sejarahnya, sekte Niciren masuk ke Indonesia tahun 1950. Namun nanti pada 28 Oktober 1964, almarhum Senosoenoto bersama istrinya Keiko (asal Jepang) mendirikan Niciren Syosyu Indonesia (NSI). Tahun 1986, muncul usulan dan tuntutan dari beberapa orang pengikut NSI untuk membuat AD dan ART NSI. Draft AD ART disusun dan dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto, yang dikemudian hari dikenal sebagai Kelompok Sembilan. Karena AD ART NSI tak kunjung terwujud, Kelompok Sembilan lalu membuat Yayasan Visistacaritra pada tgl 16 Februari 1987. Selanjutnya, Kelompok Sembilan ini mengambil sikap untuk mempertahankan nama NSI dengan mengangkat Suhadi Sendjaja sebagai ketuanya. Sementara istri almarhum Senosoenoto, Keiko Senosoenoto, memilih untuk mengambil nama baru dengan mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI), dan mengangkat anak perempuannya, Herwindra Aiko Senosoenoto (atau Aiko) sebagai ketua umum sampai sekarang ini dengan menguasai seluruh asetaset NSI peninggalan almarhum Senosoenoto. Publik tidak banyak mengetahui alasan perpecahan sekte Niciren ini menjadi dua kelompok, dan apa yang membuat keduanya bisa eksis hingga sekaramg ini. Pertanyaan penelitian yang kemudian muncul adalah: Adakah perbedaan dan persamaan dari berbagai sekte Niciren di Indonesia selain persoalan politik yang mengitari perpecahan di antara mereka? 220 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Penelitian ini mengurai beberapa ajaran dari sekte Niciren yang bercorak puritan pada satu sisi, tapi memiliki warna nasionalisme di sisi lainnya. E. Pendekatan dan Metode Penelitian Meneliti sebuah agama memiliki strategi tertentu karena terkait masalah yang sakral dan sensitif. Namun demikian, meski agama lebih menyentuh aspek spiritual atau immateri, tapi ia bisa didekati dengan mengamati para penganutnya, simbol-simbol agama yang digunakan penganutnya dan juga praktek ritual yang diamalkannya. Dari segi pendekatan, penelitian ini memilih pendekatan kualitatif, yaitu memahami unit analisis yang diteliti sebagai subyek dan bukan obyek layaknya benda mati. Salah satu ciri penelitian kualitatif adalah penelitian lapangan atau field research dengan mengeksplor manusia sebagai subyek yang memiliki pemahaman atas sesuatu seperti agama yang dianutnya sebagi hasil pilihan sendiri, dan bukan semata-mata dipaksakan oleh struktur di luar dirinya. Yang diteliti adalah konstruksi dari realitas sosial manusia dan apa makna atau meaning dari segala perilaku mereka yang terbangun dalam proses interaksi sehari-hari (Newman, 2003: 14) Dari segi pendekatan, penelitian ini memilih pendekatan Max Weber (1864-1920) (baca: paradigma interpretif) melihat manusia mendefinisikan situasi yang mengelilinginya dan memberikan makna (meaning) pada perilakunya dan yang lainnya, karena manusia tidak hanya bereaksi terhadap rangsangan luar (eksternal stimuli) tapi juga menginterpretasi rangsangan itu lalu bertindak sesuai dengan interpretasi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 221 tersebut. Pendekatan Weberian ini menunjuk pada tindakan sosial (social action) yang digerakkan oleh motivasi internal. Dengan pilihan pendekatan ini, peneliti berusaha memahami agama sama dengan pemahaman yang dianut oleh para penganut sekte Niciren yang diteliti. Aspek pemahaman ini tidak linear dan mudah ditebak alurnya. Oleh karena itu, dari segi metode pengumpulan data, peneliti memilih terjun langsung ke komunitas sekte yang diteliti dengan membenamkan diri (self-immersion) dalam proses interaksi sosial keseharian penganutnya. Dalam proses itu, peneliti melakukan pengamatan secara terlibat (participant observation) dengan hadir dalam kegiatan-kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh penganut sekte ini. Dari awal penelitian, peneliti setiap hari berkunjung ke kuil sekte ini baik yang berlokasi di Jakarta maupun di daerah Megamendung, Bogor. Bahkan, peneliti menginap beberapa malam di komplek perumahan kuil sekte ini yang berlokasi di Bogor. Kesempatan berada beberapa hari di Megamendung itu membantu peneliti untuk memahami (understanding) perasaan lebih dalam dari para penganut Niciren (Lihat Neuman, 2003: 376). Dalam proses pengamatan itu, peneliti kemudian berhasil membangun hubungan-hubungan sosial yang cair (rapport), sehingga tercipta kepercayaan (trust) antara peneliti dengan beberapa informan kunci (key informants) di lapangan seperti beberapa penganut sekte, pengurus bahkan ketua sekte. Karena cairnya hubungan yang terbangun, peneliti berhasil melakukan beberapa kali wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan para informan. Hasil dari pengamatan terlibat dan wawancara mendalam ini 222 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kemudian dinterpretasi menjadi sebuah data yang memiliki informasi yang disampaikan dalam laporan penelitian ini. F. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini memilih lokasi di Jakarta untuk mengeksplorasi keberadaan sekte Niciren. Waktu penelitian dilakukan selama bulan April dan Mei 2015, di Jakarta dan Bogor. Sebagaimana ditemukan studi ini, sekte Niciren berkantor di Jl. Minangkabau, Manggarai Jakarta Pusat. Di halaman kantornya, terpampang sebuah billboard atau papan nama yang bertuliskan Niciren Syosyu di Indonesia (NSI). Sepeninggal pendiri sekte ini, Senosoenoto, NSI terpecah menjadi dua kelompok majelis agama: satu diketuai oleh Suhadi Sendjaja dan satunya lagi diketuai oleh Keiko Senosoenoto (istri almarhum Senosoenoto). Yang pertama berkantor di Jl. Minangkabau, dan satunya lagi berkantor di Jl. Padang, keduanya berlokasi di halaman yang sama, hanya beda jalan. Dengan alasan metodologis dan waktu, peneliti memilih untuk fokus pada penggambaran sekte Niciren yang berlokasi di Jl. Padang, yang saat ini diketuai oleh Keiko Senosoenoto, anak almarhum Senosoenoto. Penelitian terhadap sekte Niciren yang diketuai oleh Suhadi Sendjaja sudah pernah dilakukan oleh Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2006 (Nahrawi, 2006). Sementara yang diketuai oleh Keiko Senosoenoto belum dilakukan secara komprehensif. Dengan alasan teoretis dan metodologis tadi, peneliti memutuskan untuk memilih Niciren Syosyu versi Keiko Senosoenoto sebagai sasaran penelitian. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 223 Foto 2. Kantor BDI dalam satu kompleks dengan Kuil Hosei-ji di Jl. Padang No.30. Foto 4. Kuil Myogan – Ji milik BDI di Megamendung, Bogor. 224 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II BUDDHISME NICIREN SEBAGAI SEBUAH SEKTE A. Sejarah Niciren Syosyu di Indonesia Niciren Syosyu adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang pada abad ke-13. Dipelopori oleh Bhikkhu Niciren Daishonin pada 28 April 1253. Sekte ini berpusat di Taisekiji, Fujinomina, propinsi Shizouka, Jepang. Sekte Buddha ini menyebar dari India ke Cina, lalu ke Korea, dan dari Korea kemudian masuk ke Jepang. Niciren Syosyu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, Sasta Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, sebuah karya Mahaguru Tien Tai, Mahaguru Mio Lo, dan Mahaguru Dengyo. Di negeri Cina, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa, disebut dengan Miao Hua Lien Hwa Cing, dan Myohorengekyo, dalam bahasa Jepang. Sutra Saddharma Pundarika berakar pada mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, lalu disebarluaskan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo. Niciren adalah salah satu sekte Buddha yang berasal dari Jepang. Sekte ini menekankan pada pembacaan secara berulang mantra Nam-myoho-renge-kyo untuk memperoleh kesehatan, kebahagiaan dan pencerahan (health, happiness and enlightenment). Niciren terbelah menjadi beberapa cabang, yaitu: Niciren Shu, Niciren Syosyu, dan Soka Gokkai Internasional. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 225 Niciren berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, Sasta Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, sebuah karya Mahaguru Tien Tai, Mahaguru Mio Lo, dan Mahaguru Dengyo. Di Cina, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Sutra Saddharma Pundarika. Dalam bahasa Cina atau Tionghoa, disebut dengan Miao Hua Lien Hwa Cing, dan Myohorengekyo, dalam bahasa Jepang. Sutra Saddharma Pundarika berakar pada mazhab Mahayana: Sebuah mazhab yang didasarkan pada spirit Buddha yaitu kasih sayang pada sesama.63 Sekte Niciren Syosyu masuk ke Indonesia tahun 1950, dibawa oleh beberapa orang Jepang yang bermukim di Jakarta. Pada 28 Oktober 1964, almarhum Senosoenoto bersama istrinya Keiko (asal Jepang) mendirikan Nirichen Syosyu Indonesia (NSI). Tahun 1986 muncul usulan dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI. Draf AD ART disusun dan dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto, yang dikemudian hari dikenal sebagai Kelompok 9. AD ART NSI tak kunjung terwujud, Kelompok 9 lalu membuat Yayasan Visistacaritra pada tgl 16 Februari 1987. Saat ini, Visistacaritra berorientasi pada Sangha Niciren Syosyu. Sepeninggl Senosoenoto pada 6 Januari 1993, NSI terpecah dua: 1) Kubu wakil ketua umum Johan Nataprawira dan sekjen Suhadi Sendjaja; dan 2) Kubu Ibu Keiko Senosoenoto. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya dicapai kesepakatan sebagai berikut: Kubu Johan Nataprawira dan Suhadi Sendjaja mengambil sikap untuk mempertahankan nama NSI dengan mengangkat Suhadi Sendjaja sebagai ketuanya. Kubu Keiko Senosoenoto Daisetz Teitaro Suzuki, dalam “Pendahuluan”. Lihat Beatrice Lane Suzuki (1939). 63 226 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia memilih untuk mengambil nama baru dengan mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI), dan mengangkat anak perempuannya, Herwindra Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini dengan menguasai seluruh aset-aset NSI peninggalan almarhum Senosoenoto. Tahun 2000, Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI), atau BDI saja, berafiliasi dengan Sangha Niciren Syosyu Indonesia yang diketuai oleh Rusdy Rukmarata (suami Aiko). Yayasan sangha ini memiliki dua buah kuil, yaitu Myogan-ji terletak di Mega Mendung, dan Hosei-ji terletak di Jakarta (Lih. Foto). Pada tahun 1992 terjadi pertikaian antara Sangha Niciren Syosyu (di Jepang) dengan Soka Gakkai Internasional (SGI), dan berakibat SGI membentuk sekte tersendiri dan diberi nama Niciren Sekai Shu. Kejadian ini juga berimbas ke Indonesia, sebagian umat Niciren yang ada membentuk kelompok baru bernama Soka Gakkai Indonesia yang berpusat di Kemayoran Jakarta, dan menjadi penganut sekte Niciren Sekai Shu, yang tentu saja didukung oleh Soka Gakkai internasional dan Shintaro Noda. Pada 1 Juni 1995, Sangha Kuil Pusat Niciren Syosyu di Jepang menunjuk YPSBDI (Aiko Senosoenoto) sebagai satu-satunya wadah penganut Niciren Syosyu di Indonesia. Ternyata, pemilihan nama YPSBDI atau BDI saja, memiliki sejarah yang panjang. Tabel berikut menunjukkan itu. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 227 1964 1986 1992 1993 1995 1996 1997 Berdiri Yayasan Buddhist Niciren Syosyu Berdiri Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia (MABNSI) MABNSI berubah nama menjadi Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (PBDNSI) Ketua NSI, Senosoenoto wafat, kemudian Ibu Keiko Senosoenoto diangkat menjadi penanggunjawab tertinggi Niciren Syosyu di Indonesia oleh Bhiksu Tertinggi di Jepang. Sangha Kuil Pusat di Jepang mencabut pengakuan terhadap PBDNSI. Ibu Keiko Senosoenoto mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI) Sangha Kuil Pusat di Jepang memutuskan hubungan kepercayaan dengan NSI yang diketuai Suhadi Sendjaja dan Djohan Nataprawira. Lalu melalui Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Dep. Agama RI, menetapkan bahwa YPSBDI adalah satu-satunya lembaga keagamaan Buddha Niciren Syosyu di Indonesia. Pada 1 Juni 1995, Sangha Kuil Pusat Niciren Syosyu di Jepang menunjuk YPSBDI (Ketua, Aiko Senosoenoto) sebagai satu-satunya wadah penganut Niciren Syosyu di Indonesia. Saat ini, Ketua Pembina YPSBDI adalah Rusdy Rukmarat, Ketua Pengurus YPSBDI adalah Aiko Senosoenoto dan Sekretaris adalah Alim Sudio. Jumlah staf di YPSBDI saat penelitian ini dilakukan adalah 229 orang yang tersebar dari pusat hingga daerah. 228 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Jumlah Penganut Niciren Syosyu YPSBDI 2015 (Sumber: Kantor YPSBDI, Jl. Padang No. 30, Jakarta)64 B. Buddha Niciren Syosyu Sebagai bagian dari agama Buddha Mahayana, Kitab Suci umat Niciren adalah Tri Pitaka – Saddharmapundarika Sutra. Menurut Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, bahwa Buddha Niciren Daisyonin adalah Buddha masa akhir Dharma yang mengaktualisasikan ajaran Buddha Sakayumi untuk manusia akhir Dharma yang keruh dan buruk. Penganut Niciren wajib patuh pada Triratna, yaitu: Buddha Niciren Daisyonin, Dharma Namyohorengekyo, dan 3) Sangha Bhiksu Tertinggi Niciren Syosyu turun temurun. ‘Bhiksu saat ini adalah yang ke 68’, tambah Alim Sudio kepada peneliti. Obyek penyembahan atau pemujaan umat Niciren Syosyu bukanlah patung Sang Buddha Gautama, tapi objek yang namanya Gohonzon (Lihat foto). Di dalam Gohonzon itu tertulis surat yang ditulis oleh Bhiksu tertinggi, sebagai pewaris langsung Data diperoleh dari Agustina, staf Bidang Hukum BDI, di Kantor BDI, Jl. Padang No. 30, Jakarta. 64 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 229 hubungan darah kepercayaan dharma dengan Buddha Niciren Daisyonin. Menurut Alim Sudio: ‘Gohonzon ini diletakkan di sebuah altar. Bentuknya seperti lemari yang memiliki dua pintu. Bukan patung atau lukisan, karena tidak semua Bhiksu bisa membuat patung atau melukis. Siapapun yang tidak mengikuti bimbingan hati kepercayaan dari Bhiksu tertinggi ini maka akan tergolong sebagai pemfitnah dharma’.65 Sambil mencontohkan, Alim Sudio menyebut Soka Gakkai Internasional (SGI) semula adalah organisasi yang dipercayai oleh Sangha Kuil Pusat di Jepang untuk mengkoordinir dan mengontrol organisasi-organisasi umat Niciren Syosyu di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tapi karena SGI pernah melakukan pelanggaran besar seperti menentang Bhiksu tertinggi dan melakukan fitnah dharma besar, maka SGI dikeluarkan dari sekte Nichiren Syosyu pada tahun 1991. Sejak didirikan oleh Senosoenoto dan Keiko Senosoenoto di Indonesia, NSI adalah organisasi mandiri yang tidak pernah berada di bawah kontrol SGI. Prinsip untuk tidak berada di bawah pengaruh asing menjadi dasar dari pendirian NSI dari awal berdirinya. Apalagi pada masa Orde Baru, semua organisasi keagamaan harus berpedoman pada Pancasila dan tidak dikendalikan oleh pengaruh asing. Menurut Alim Sudio, bukan hanya pengaruh asing yang tidak ada, tapi juga dana atau pembiayaan organisasi. ‘Semua kegiatan dibiayai oleh dana umat Niciren sendiri’, imbuh Alim Sudio. 65 Wawancara dengan Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, tanggal 24 April 2015. 230 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia C. Puritanisme Sekte Niciren Mahaguru Tien Tai menyimpulkan bahwa hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan ajaran pokok dari Buddha Sakyamuni yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sehingga, sejak saat itu mahaguru ini menyebut dirinya dengan sebutan “Niciren”. Tujuan atau misi yang dibawanya adalah untuk mengembalikan ajaran Buddha kepada bentuk yang murni yang menjadi dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan melawan ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, patriotis, namun eksklusif. Tien Tai mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci. Dari hasil studi dalam mempelajari agama-agama Buddha, ia menyadari bahwa agama Buddha sudah terpecahpecah dengan bermunculan beraneka ragam sekte dan beranggapan bahwa semua sekte itu telah menyimpang dari ajaran Sakyamuni yang asli. Oleh karena itu, tujuan utama sekte ini adalah mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar perbaikan masyarakat (puritanisme). Niciren Daishonin melakukan pembaharuan yang radikal terhadap ajaran-ajaran dari seluruh sekte yang ada, kecuali pada sekte Tendai. Ia tidak menolak ajarannya secara keseluruhan. Karena alirannya memang berdasar dari ajaran Buddha Sakyamuni melalui jalur sekte Tientai. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 231 Gohonzon di Kuil Hosei-Ji (kiri) di Jakarta dan Kuil Myogan-Ji (kanan) di Bogor Foto 5. Aksara Myo di depan Gohonzon Sebagaimana dikatakan diawal bahwa objek penyembahan umat Niciren adalah Gohonzon. Pada foto diatas terlihat bahwa Gohonzon adalah sesuatu yang menjadi pusat pemujaan sekte Niciren Syosyu. Menurut Alim Sudio lagi, pemujaan terhadap Gohonzon ini telah diajarkan Niciren Doisyonin yang diamanatkan kepada setiap orang yang percaya kepada Niciren Doisyonin. Yang mengucapkan Nammyoho-renge-kyo, maka ia akan merasa roh individunya akan menyatu dengan alam semesta. Makna filosofis dari ucapan suci itu adalah, sebagaimana diutarakan oleh ibu Aiko: ‘aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan ke dalam dan keindahannya yang dijelaskan di 232 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddha yang paling luhur’. Itu dari segi teologi. Ada juga beberapa jemaat yang datang ke kuil Niciren karena alasan kesehatan. Ada seorang pengikut sekte ini mengaku kepada penulis sembuh dari penyakit setelah beberapa kali ikut sembahyang di kuil Myogan-Ji yang berlokasi di Megamendung. Namanya Turiyah, usia 56 tahun, berasal dari Salatiga, Jawa Timur. Awalnya dia ikut suami yang sudah almarhum. Dia menderita sakit kulit yang parah selama bertahun-tahun. Tapi setelah mengikuti beberapa kali sembahyang, dia beransur-ansur sembuh. Dia akhirnya mengikuti ajaran sekte ini sampai sekarang ini. Faktor kesehatan ini yang juga menjadi daya tarik sekte ini bagi masyarakat setempat. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 233 234 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III AJARAN INTI NICIREN SYOSYU A. Inti Ajaran Niciren Syosyu Pada dasarnya, umat Niciren Syosyu berbasis pada kuil karena mereka adalah penganut kuil setempat yang disebut Hokkeko. Niciren sangat merasakan bahwa Buddhisme seharusnya memungkinkan orang-orang yang hidup dalam dunia nyata dan yang sedang menghadapi masalah nyata memperoleh kekuatan untuk mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Buddhisme Niciren menekankan hubungan yang mendalam di antara kebahagiaan diri sendiri dengan kebahagiaan orang lain. Kepuasan dan pencapaian terbesar dalam kehidupan diri sendiri diwujudkan melalui perjuangan untuk kebahagiaan orang lain. Filsafat Niciren berasal dari ajaran Sakyamuni, yakni pendiri Buddhisme yang berdasarkan catatan sejarah hidup di India sekitar 2,500 tahun lalu. Niciren menemukan bahwa Sutra BungaTeratai mengandung inti ajaran Buddha dan kebenaran yang disadari Sakyamuni. Sutra ini mengungkapkan bahwa sebuah asas universal yang disebut sifat Buddha terdapat di dalam semua kehidupan. Asas ini menegaskan bahwa semua orang bisa mencapai pencerahan. Niciren mengajarkan bahwa kata-kata dari judul Sutra Bunga Teratai, yakni Myoho-Renge- Kyo, yang mengandung kebenaran universal yang disadari Sakyamuni. Dengan menyebut Nam-myoho-renge-kyo dan mengarahkan diri dalam kepercayaan dan pelaksanaannya, maka setiap orang Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 235 dapat merasakan dan mewujudkan sifat Buddha dalam kehidupannya sendiri. Bhiksu YPSBDI menganjurkan umatnya untuk bersembahyang minimal dua kali sehari, yaitu pagi dan sore selama masing-masing satu hingga dua jam. Yang dibaca dalam sembahyang adalah Nam-myoho-renge-kyo secara berulang dengan menggunakan biji “tasbih” yang mirip dengan kalung tasbih di kalngan Muslim. Nam-MyohoRenge-Kyo berarti “aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan ke dalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddha yang paling luhur”. Menurut Ibu Aiko, hanya dengan menyatu dengan alam semesta, akan mencapai kebahagiaan yang mutlak. Dari pembahasan tentang garis besar pandangan spiritual Buddhisme Niciren, inti dari semua ajaran Buddha terletak pada kalimat Nam-myoho-renge-kyo. Kalimat ini merupakan bahasa Jepang dari judul salah satu Kitab Tripitaka, Saddharma Pundarika Sutra atau "Sutra Bunga Teratai Hukum yang Luar Biasa". Dengan demikian, kalimat Nammyoho-renge-kyo merupakan judul (daimoku) yang sekaligus menggambarkan intisari ajaran dan realitas hakiki yang diajarkan oleh Saddharma Pundarika Sutra. Pemikiran Niciren tentang Nam-myoho-renge-kyo sekaligus menandai perbedaan ajaran sekaligus kitab sucinya dari para guru besar Buddha terutama Sakyamuni. Beberapa initi ajaran Niciren Syisyu adalah sebagai berikut: 1. Nam-myoho-renge-kyo merujuk pada pengabdian atas hukum mistik yang mewakili semua nilai dalam Saddharma Pundarika Sutra sekaligus realitas absolut 236 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia yang ada di dalamnya. Kalimat ini merupakan gabungan antara kata Sansekerta Namu, dan bahasa Cina, MyohoRenge-Kyo. Kata namu berarti pengabdian, baik kepada hukum maupun orang yang merepresentasikan hukum tersebut, yakni Buddha Sakyamuni maupun Niciren Daishonin. Ketika kata namu bertemu dengan kata berawalan 'm' (myoho), ia menjadi 'nam'. Sedangkan myoho berarti hukum mistik. Hukum (ho) atau realitas hakiki digambarkan sebagai mistik (myo), karena berada di luar konsepsi dan formulasi akal manusia. Realitas ini mendalam tak terhingga. Di sisi lain, myo menunjukkan sifat dasar pencerahan (kebuddhaan), sedangkan ho menunjukkan kegelapan atau khayalan yang berada pada sembilan dunia sebelum dunia kebuddhaan. Kesatuan khayalan dan pencerahan disebut myoho atau hukum mistik. Dalam praktiknya, ketika peneliti mewawancarai Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, kalimat Nam-myoho-renge-kyo dilantunkan pada saat melaksanakan ritual di hadapan Gohonzon (Sebuah altar pemujaan yang di dalamnya terdapat satu kertas bertulis Nam-myoho-renge-kyo oleh Bhikkhu tertinggi). Pelaksanaan ritual ini tidak memiliki penjadwalan baku, hanya secara umum dilakukan setiap pagi dan malam. Ritual BDI juga merujuk pada pembacaan dua bab dari Saddarma Pundarika Sutra, yakni Bab Upaya Kausalya yang berisi potensi kebuddhaan pada setiap manusia dan makhluk. Serta Bab Panjang Usia Sang Tathagata yang berisi keabadian jiwa manusia. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 237 2. Dai-Gohonzon Dai-Gohonzon adalah sesuatu yang menjadi pusat pemujaan yang telah diajarkan Niciren Doisyonin yang diamanatkan kepada setiap orang yang percaya kepada Niciren Doisyonin. Yang mengucapkan Nam-myohorenge-kyo, maka ia akan merasa roh individunya akan menyatu dengan alam semesta. 3. Teori Kaidan Kaidan adalah suatu tempat bagi para calon Bhiksu atau Bhikkhu untuk bernazar dan menyatakan diri akan mengabdi sebagai bhikkhu atau bhikkhuni. B. Model Ritual atau Sembahyang Model sembahyang penganut Niciren Syosyu disebut dengan Gongyo yang artinya membaca Sutra. Menurut wawancara saya dengan Ibu Aiko Senosoenoto, Sutra yang dibaca adalah Saddharmapundarika pada Bab ke -2 dan Bab ke-16. Bab 2 yang dibaca ada di halaman 1-5 dan Bab 16 halaman 6-26. Pembacaan ini dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari: pagi hari sekitar jam 8 dan sore hari sekitar jam 4. Sambil sembahyang, para penganut memegang di kedua tangannya layaknya sebuah tasbih dalam Islam, yang disebut dengan nama jujue, yang berisi 114 biji batu (lihat foto). Pada setiap sembahyang itu, seperti yang peneliti amati, waktu yang digunakan adalah sekitar satu jam, baik pagi maupun sore hari. 238 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Foto “Tasbih” Jujue ala BDI Foto 6. Jujue atau kalung Tasbih ala Niciren Syosyu Sebagaimana yang peneliti amati, para pengunjung kuil ketika melakukan sembahyang atau gongyo memberikan penghormatan yang penuh dan khidmat terhadap Gohonzon Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 239 dimulai dari ketika memasuki pintu gerbang kuil. Setelah berada di dalam kuil, mereka ada yang duduk bersimpuh, bersila, atau duduk di atas kursi bagi yang sudah sepuh atau sedang sakit. Yang peneliti saksikan, posisi duduk mereka tegak, dan tangan bersikap anjali (mengatupkan kedua belah telapak tangan di depan dada). Bagi yang duduk di kursipun, mereka duduk dengan sopan dengan kaki menyentuh di lantai. Mereka memusatkan perhatian pada aksara “Myo” yang terletak di tengah-tengah Gohonzon (Lihat Foto 5). Suara yang dikeluarkan juga tidak keras, sewajarnya saja dengan kecepatan yang seirama dengan nafas. Ketika membaca dalam hatipun, mereka terlihat sepenuh hati (khusyu’ dalam Bahasa Islam). “Pada saat melaksanakan Gongyo terkadang pikiran kita kacau atau menyimpang. Namun demikian, janganlah digoyahkan oleh pikiran seperti itu. Milikilah keyakinan bahwa dengan melaksanakan pertapaan kepada Gohonzon yang agung yang didasarkan pada hati kepercayaan yang benar, kita pasti dapat mewujudkan karunia kebajikan yang agung dalam kehidupan”. Nasehat disampaikan Aiko Senosoenoto ketika peneliti menanyakan metode agar yang melakukan Gongyo bisa berkonsentrasi penuh dalam ibadahnya. Tambah Aiko, dia memberikan sebuah buku yang menjadi pedoman pelaksanaan sembahyan penganut Niciren Syosyu yang diterbitkan oleh Yayasan Sangha Niciren Syosyu Indonesia.66 66 Buku Sembahyang Agama Buddha Niciren Syosyu. Jakarta: Yayasan Sangha Niciren Syosyu Indonesia, 2013. Saya mengucapkan terima kasih kepada Alim Sudio, Nanang dan Agustina yang telah mempersembahkan buku ini kepada saya selama penelitian berlangsung 240 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Di dalam buku itu juga dijelaskan tentang beberapa doa yang wajib dibaca selama pelaksanaan Gongyo. Kelima macam doa itu adalah: 1) Doa pertama kepada Dewa Dewi, 2) Doa kedua kepada Dai Gohonzon (oyek pemujaan), 3) Doa ketiga kepada pusaka Buddha Niciren Daisyonin, pusaka Sangha, Nicimoku Syosyu dan seluruh Bhiksu Tertinggi Niciren Syosyu, 4) Doa keempat agar tujuan agung tersebarnya dharma tercapai, terhapusnya fitnah dan tercapainya kesadaran Buddha, dan 5) Doa kelima merupakan doa untuk seluruh leluhur keluarga dan keselamatan untuk seluruh makhluk. C. Nama-Nama Bhiksu (Bhikkhu) Niciren Kebanyakan Bhiksu Niciren Syosyu di Indonesia berasal dari Jepang. Alasannya karena hanya mereka yang disahkan oleh Kuil Pusat di Jepang yang berhak menjadi Bhiksu. Menurut pengakuan Aiko Senosoenoto, Ketua Badan Pengurus YPSBDI dan Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, bahwa saat ini baru ada satu Bhiksu yang asli Indonesia dan sekarang sedang mengabdi di Kuil Pusat Jepang. Kalau masa pengabdiannya sudah selesai, dia diharapkan akan kembali ke Tanah Air. Oleh karena itu, level tertinggi dalam sistem keBhiksu-an Niciren Syosyu yang diperoleh di Indonesia adalah Pandita Muda, Pandita dan Pandita Utama. Saat ini, yang menjadi Pandita Utama adalah Keiko Senosoenoto (almarhumah), sedangkan Aiko Senosoenoto dan Rusdy Rumarata (suami Aiko) masih berstatus Pandita. Yang menarik adalah Bhiksu Niciren Syosyu boleh menikah dan dan menemani saya selama mengikuti kegiatan di Kuil Myo-Gan, Megamendung pada awal Mei 2015. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 241 makan daging. Kebolehan menikah dan makan daging ini tidak ditemui di kalangan penganut Buddha lainnya. Dalam Gongyo atau sembahyang, yang berhak memimpin adalah Bhiksu, sementara Pandita Utama dan Pandita hanya boleh memberikan pembabaran atau ceramah biasa kepada umat Niciren Syosyu. Dalam beberapa kali Gongyo yang peneliti ikuti, Bhiksu Yang Arya Shojo Sakabe yang memimpin Gongyo di Kuil sementara para pandita dan umat Niciren Syosyu lainnya mengikuti saja. Dibawah ini adalah nama-nama para Bhiksu Tertinggi Niciren Syosyu sesuai urutan periode kepemimpinan, mulai dari Bhiksu pertama Niciren yaitu Niciren Daisyonin. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 242 Niciren Daisyonin Nikko Syonin Nicimoku Syonin Nicido Syonin Nicigyo Syonin Niciji Syonin Nicia Syonin Niciei Syonin Niciu Syonin Nicijo Syonin Nittei Syonin Nitcin Syonin Niciin Syonin Nissyu Syonin Nissyo Syonin Niciju Syonin Nissei Syonin Niciei Syonin 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. Nicion Syonin Nikken Syonin Nippo Syonin Nittai Syonin Nicijun Syonin Nicinin Syonin Nicimon Syonin Nicigon Syonin Nisso Syonin Nissen Syonin Nicirei Syonin Nitcio Syonin Nissyu Syonin Niciryo Syonin Nisso Syonin Nicijo Syonin Nicieo Syonin Niciden Syonin Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. Nissyun Syonin Nitten Syonin Nicinin Syonin Nissyun Syonin Nikkei Syonin Niciei Syonin Niciyu Syonin Nicikan Syonin Niciyo Syonin Nissyo Syonin Nitto Syonin Nitciu Syonin Niciin Syonin Nikkyo Syonin Nicigen Syonin Nissyin Syonin Foto 7. Bersama Bhiksu Yang Arya Shoju Sakabe di Kuil Myogan – Ji, Megamendung. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. Nicijo Syonin Niciin Syonin Nippu Syonin Nicio Syonin Nissyo Syonin Nitciu Syonin Niciko Syonin Nicikai Syonin Niciryu Syonin Nikkyo Syonin Niciman Syonin Nissyo Syonin Nicijun Syonin Nittace Syonin Nikken Syonin Nichinyo Syonin Foto 8. Salah satu penganut Niciren Syosyu memberi hormat sebelum memasuki Kuil Myogan-Ji. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 243 244 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia IV ANTARA PURITANISME DAN NASIONALISME A. Upaya Mengindonesiakan Niciren: YPSBDI Beberapa tokoh Niciren Syosyu YPSBDI menolak menyebut kalau Niciren Syosyu di Indonesia dianggap sebagai agama Jepang. Mereka lebih cocok menyebut Niciren sebagai bagian agama Buddha dari mazhab Mahayana berdasarkan Tripitaka dan bersifat nasionalis. Niciren Syosyu di Indonesia menegaskan bahwa Niciren Syhoshu bukanlah suatu agama yang bersifat eksklusif untuk golongan tertentu saja, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat berdasarkan prinsip “Icien Bodai Soyo” dan bersifat universal. Menurut Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, Niciren Syosyu di Indonesia memiliki prinsip “Esyo Funi” yang berarti manusia dan lingkungan tidak dapat terpisahkan. Buktinya adalah penggunaan bahasa Indonesia saat pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh YPSBDI. Menurut pengakuan Aiko juga, pengikut YPSBDI tidak merayakan Imlek, tapi merayakan Waisak. Alasannya, Imlek adalah budaya suku Tionghoa (Cina), dan bukan perayaan agama Buddha. Mereka juga tidak wajib menyembah patung Buddha. Yang ada adalah Dai-Gohonzon atau Gohonzon, yaitu obyek pemujaan yang berisi tulisan Sangha atau Bhikkhu. Mereka lebih mengutamakan kesadaran bukan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 245 peraturan. Bhikkhu boleh menikah, termasuk boleh makan daging. Niciren Syosyu di Indonesia memiliki prinsip “Esyo Funi” yang berarti manusia dan lingkungan tidak dapat terpisahkan. Ajaran ini dibuktikan dengan semangat Cinta Tanah Air dan penggunaan bahasa Indonesia di setiap pertemuan. B. Surat-Surat Bhiksu (Bhikkhu) Para Bhikkhu sekte Niciren menyampaikan pemikiran- pemikirannya melalui surat yang disebut dengan Gosyo. Surat-surat ini ditulis oleh Bhikkhu Tertinggi secara turun temurun. Beberapa surat yang ditulis yang berkaitan dengan cinta tanah air adalah: 1) Surat Membuka Mata: “Aku adalah mata dari bangsaku, Aku adalah tiang dari bangsaku, Aku adalah bahtera dari bangsaku.” Surat ini juga selalu dibacakan di setiap upacara-upacara penting di Niciren Syosyu Indonesia, misalnya saat Upacara Tahun Baru, 2) WAR (Wahana Negara Raharja) untuk setiap kelompok umur, dan 3) REACH (ready to take the challenge) untuk anak muda. Maitri Karuna: “Dengan membahagiakan orang lain, maka kita akan bahagia”. Menurut Alim Sudio, Wakil Sekjen YPSBDI, “Orang akan bahagia jika cinta Tanah Air”. 246 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Suasana Kegiatan Cinta Air di Megamendung, Bogor Mei 2015 Foto 9. Suasana Pembabaran Foto 10. Bersama Ketua Panitia (Baca: ceramah agama) Kegiatan Cinta Tanah Air. dalam Kegiatan Cinta Tanah Air di Aula YPSBDI, Megamendung, Bogor, 3-5 Mei 2015. Kegiatan REACH focus pada pembinaan generasi muda sebagai penerus masa depan bangsa. REACH menjadi perhatian utama Pandita Aiko Senosoenoto. Di bawah kepemimpinannya, dinamika anak muda YPSBDI mendapat tempat yang sangat pantas. Sejak tahun 1986, berbagai kegiatan nasional anak muda yang terarah dan terpadu dijalankan secara berkesinambungan dan terus menerus. Diawali dengan Temu Pelajar dan Mahasiswa (TPM) pertama di Sumatera Utara hingga TPM ketujuh di Megamendung. TPM ini dilaksanakan setiap tahun secara rutin di berbagai tempat di Tanah Air. Selain Sumatera Utara dan Megamendung - Jawa Barat, Bromo - Jawa Timur, Bedugul – Bali, Yogyakarta, Tanjung Pinang – Kepulauan Riau juga pernah menjadi tuan rumah TPM. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 247 Pelaksanaan kegiatan di berbagai tempat di Indonesia juga bertujuan untuk meletakan dasar cinta Tanah Air di dalam jiwa setiap generasi muda YPSBDI. Dengan mengenal kebesaran dan keberagaman Indonesia, diharapkan akan muncul perasaan cinta terhadap Tanah Air mereka.Pembinaan generasi muda tahap kedua adalah (Pendidikan Agama dan Susila Teruna Indonesia (PASTI). Pembinaan tahap kedua ini juga dilangsungkan setiap tahun tanpa terhenti di kompleks Sadapaributha Buddhis Centre, Megamendung. Atas undangan Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, peneliti menghadiri PASTI yang diselenggarakan pada bulan Mei 2015 di Megamendung. Dari PASTI pertama hingga ketujuh, kalangan muda YPSBDI dilatih untuk memiliki sikap berkompetisi secara sportif dan fair. Memasuki tahap tujuh tahunan yang ketiga, diselenggarakanlah Menggapai Inspirasi Merdeka Putra Indonesia (MIMPI). Kegiatan ini menekankan pada pengembangan sikap disiplin, tekun dan mau belajar pada anak-anak muda. Berbagai pelatihan dan workshop diberikan kepada mereka dalam kegiatan yang dipusatkan di kompleks Kuil Myogan-ji, Megamendung ini. Mulai dari kelas tari, musik, hingga teater menjadi sarana mereka untuk menempa diri menjadi anak muda Indonesia yang tangguh. Maksud dan tujuan dari berbagai kegiatan tersebut adalah untuk mendekatkan umat dengan lingkungan dan masyarakat sekitar dimanapun mereka berada. 248 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia V PENUTUP Kesimpulan Agama Buddha memiliki banyak sekte karena Sang Buddha memiliki banyak murid dari berbagai kalangan yang berbeda. Masing-masing murid ini kemudian memberikan penasiran yang berbeda-beda terhadap ajaran Sang Buddha. Sekte Niciren berasal dari salah satu pembaca ajaran Sang Buddha yaitu Niciren Daisyonin, yang memiliki penafsiran yang berbeda dengan penganut Buddha lainnya. Sebagai contoh dalam perbedaan penafsiran masing aliran dan sekte dalam Buddha adalah dalam memahami Hari Waisak, atau hari besar agama Buddha. Alira Mahayana memahami Waisak sebagai hari kelahiran Pangeran Sidharta atau Sang Buddha pada 623 SM, atau yaitu pada 8 April. Sementara Aliran Teravada memperingati kelahiran Sang Buddha pada 2 Juni. Dalam kenyataannya, aliran Mahayana yang popular di Jepang adalah Niciren Syosyu. Dan adalah seorang Senosoenoto, asli Indonesia, yang mendirikan dan sekaligus menyebarkan sekte ini ke masyarakat Indonesia. Sebagaimana diutarakan di dalam laporan penelitian ini adalah bahwa inti ajaran sekte Niciren Syosyu adalah pembacaan Sutra Saddharma Pundarika. Dalam bahasa Cina atau Tionghoa, disebut Sutra itu disebut dengan Miao Hua Lien Hwa Cing, sedangkan dalam Bahasa Jepang adalah NamMyoho-Renge-Kyo. Pembacaan Sutra ini adalah wajib dalam ritual sembahyang atau disebut Gongyo bagi umat Niciren Syosyu. Bahkan oleh Bhiksu Tertinggi ke 68 Niciren Syosyu, Nichinyo Syonin, pembacaan Sutra yang memiliki lima aksara Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 249 ini dianggap sebagai aksara Hukum Gaib, dan simbol kemanunggalan antara manusia dan Hukum. Dalam catatan ajaran Niciren Daisyonin mengajarkan bahwa: ‘…Tidak diragukan lagi bahwa ‘akar’ kesesatan pokok seluruh makhluk hidup dapat sepenuhnya disembuhkan dengan “obat mujarab” Hukum Gaib Myoho-Renge-Kyo’. Pembacaan Sutra ini adalah ciri khas Niciren Syosyu yang tidak ditemui pada penganut aliran Mahayana lainnya. Oleh karena itu, wajarlah kalau dikatakan bahwa Niciren ini adalah sebuah sekte yang merupakan pecahan dari Mahayana sebagai aliran induk. Beberapa ciri dan perbedaan sekte Niciren dibanding sekte lain dalam aliran Mahayana atau aliran lainnya adalah; 1) pusat pemujaan bukan patung Buddha tapi Gohonzon, 2) yang dibaca dalam sembahyang (Gongyo) adalah Sutra atau Nam-Myoho-Renge-Kyo, 3) Bhiksu atau Bhikkhu hanya dilantik di Kuil Pusat di Jepang dan berhak memimpin Gongyo, dan 4) Bhiksu boleh menikah tanpa meninggalkan statusnya sebagai Bhiksu atau Bhikkhu. Hingga sekarang, gerakan cinta Tanah Air umat Buddha Niciren Syosyu di Indonesia secara konsisten dijaga dan dikembangkan penerapannya sesuai jaman oleh Pandita Aiko Senosoenoto dan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia dan juga SGI. Ternyata kecenderungan untuk selalu memiliki sikap Cinta Tanah Air ini, menurut Aiko, sudah sejak awal dianjurkan oleh almarhum Senosoenoto. Beliau selalu mendengungkan ajaran Cinta Tanah Air dari Buddha Niciren Daisyonin kepada umatnya. Prinsip Menjadi Mata, Tiang dan Bahtera Bangsa benarbenar diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Umat didorong untuk bisa berbahasa Indonesia. Aksi-aksi kemanusiaan seperti donor darah, menjadi calon donor mata, kebersihan 250 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia lingkungan, reboisasi dan penghijauan, penanggulangan banjir dan menolong korban berbagai bencana lainnya juga dilakukan oleh umat Niciren Syosyu ini. Sebagai wujud dari cinta Tanah Air itu, pengikut YPSBDI terus didorong untuk bekerja sama dengan berbagai unsur masyarakat dalam membangun daerah sekitarnya. Aiko menutup wawancaranya dengan ucapan bijak dari salah satu sutra sebagai berikut: “Dengan membahagiakan orang lain, maka kita akan bahagia. Orang akan bahagia jika cinta Tanah Air”. Konsep Cinta Tanah Air ini menjadi bukti bahwa kecenderungan menjadi puritan tidak menjadikan YPSBDI sebagai sekte yang ekskulusif dan cenderung men-kafir-kan sekte lain sebagai sesat. Sikap ini juga menjadi pegangan bagi SGI. Justru dengan memisahkan diri dari Niciren Syosyu Indonesia (NSI), YPSBDI dan SGI semakin berbaur dengan berbagai kalangan baik politisi maupun rakyat jelata demi menyampaikan pesan-pesan ajaran Buddha Niciren yang universal. Sepertinya, sikap merangkul segala lapisan masyarakat ini harus ditempuh oleh sekte ini untuk memberikan image ke masyarakat bahwa puritanisme tidak selalu berwajah negatif. Aspek yang masih harus digali lebih jauh. Rekomendasi Rekomendasi ini ditujukan masyarakat dan pemerintah: kepada dua pihak, 1. Masyarakat diharapkan bersikap dewasa dan mengambil tindakan yang arif dalam menyikapi keberadaan berbagai sekte dalam agama Buddha. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 251 2. Pemerintah dalam hal ini Dirjen Bimas Buddha harus mewadahi dan memberikan pelayanan yang selayaknya kepada umat Niciren Syosyu tanpa membeda-bedakannya dengan penganut Buddha dari aliran lainnya. 3. Meskipun aspek puritanisme mengemuka di awal kelahirannya sebagai sebuah sekte dalam aliran Mahayana, upaya pendiri Niciren Syosyu di Indonesia, almarhum Senosoenoto, dalam men-Indonesia-kan Niciren Syosyu layak untuk diapresiasi. 252 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2010. Brown, Liem, 1990. ‘Agama Buddha Maitreya: A Modern Buddhist Sect in Indonesia’. Contribution to Southeast Asian Ethnography, vol. 9. Brown, Liem, 2004. ‘The Revival of Buddhism in modern Indonesia’, in Martin Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia, Routledge and Curzon, London and New York. Cœdès, George. 1975. The Indianized States of Southeast Asia. Edited bu Water F. Vella, Translated by Susan Brown Cowing. Canberra: The Australian National University (ANU). Laporan Tahunan (LAPTAH), Puslitbang Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2015. Muzakki, Akh, 2010. ‘Ethnic Chinese Muslims in Indonesia: An Unfinished Anti-Discrimination Project’, in Journal of Muslim Minority Affairs, Vol. 30, No. 1, March 2010. Nahrawi, Muh Nahar 2006. ‘Studi tentang Niciren Syosyu pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam’. Dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 253 Neuman, W. Lawrence (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. (5th edition). Pearson Education Inc. Senosoenoto, Aiko. Kuil Untuk Rakyat. Jakarta: YPSBDI, 2006. Steenbrink, Karel, 2013. ‘Buddhism in Muslim Indonesia’. Studia Islamika, Vol. 20, Number 1, 2013. Suzuki, Beatrice Lane 1939. Agama Buddha Mahayana. Penerbit Karani Dharma. Wahyono, Mulyadi, 2002. Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha. Jakarta: Departemen Agama. 254 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 6 MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA INDONESIA (MAGABUDHI) DI PROVINSI RIAU Oleh: Reslawati Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 255 256 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 1. Sejarah Perkembangan Agama Buddha dan Maga Buddhi di Prov. Riau a. Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Prov. Riau Dari penelusuran peneliti melalui literatur dan hasil wawancara dengan berbagai tokoh agama Buddha, akademisi/cendikiawan Agama Buddha serta umat Buddha yang ada di Provinsi Riau tidak di ketahui kapan agama Buddha masuk ke Provinsi Riau dan juga tidak diketahui kapan aliran Theravada masuk dan berkembang di Riau.Namun dalam literatur disebutkan bahwa di Kepulauan Riau berkembang agama Buddha, karena dulu Kepulauan Riau merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya. Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah Sumatera Tengah dan Selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula pada penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada penghujung abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari Kerajaan Bintan Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu zaman Melaka abad 14-15 M, zaman Johor-Kampar abad 16-17 M, zaman Riau-Lingga abad 18-19 M. Bukti adanya agama Buddha yang disinyalir pada masa kerajaan Sriwijaya ini dengan adanya Candi Muara Takus, Candi Mahligai, Candi Tua, Candi Bungsu dan Candi Palangka. Candi-candi ini merupakan bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Bangunan agama Buddha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 257 Kabupaten Kampar, Riau, ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Adapun aliran agama Buddha yang datang pada masa kerajaan Sriwijaya adalah Mahayana dan Hinayana. Tidak diketahui aliran apa yang datang dan berkembang di Riau pada masa kerajaan Sriwijaya tersebut. Menurut Sonika (Dosen Sekolah Matreyah dan Dewan Pakar Agama Tionghoa Prov. Riau), bahwa tidak diketahui dengan pasti kapan agama Buddha masuk ke Provinsi Riau, di duga dibawa oleh para leluhur mereka yang berasal dari Cina melalui jalur perdagangan dan sekaligus dengan tidak secara sengaja artinya secara natural dalam kehidupannya melaksanakan ajaran Buddha Gautama dan lambat laun berkembang di masyarakat Riau.Hal senada juga di sampaikan oleh Darmadji (Ketua Walubi Prov. Riau) bahwa tidak diketahui secara pasti kapan agama Buddha masuk ke Riau.Terkait dengan Magabudhi pun belum begitu banyak mengetahuinya di Riau ini jelas Sonika.Namun Ketua Walubi menyampaikan bahwa Magabudhi di Riau baru saja berdiri lebih kurang 2 (dua) tahun dan selalu melakukan kerjasama dengan Walubi. b. Sejarah Perkembangan Magabudhi di Prov. Riau Belum diketahui sejak kapan umat Buddha aliran Theravada berada di Riau, namun sebelum tahun 2012 di bentuknya Magabudhi di Riau umat Buddha khususnya aliran Theravada yang ada di Riau melakukan ibadah di rumah masing-masing dan di Vihara-vihara lain. Pada Tahun 2007, Susmoro yang berasal dari Jambi pergi ke `Riau.Di Jambi beliau bergabung dengan Magabudhi Jambi.Selama di Riau beliau melakukan ibadah di vihara milik Maju Buthi.Pada 258 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Tahun 2011, Banthe/Bikhu Pembina yaitu Atimodo Mahatera dari Shanga Theravada dari Jambi yang sering datang ke Riau.Kemudian meminta Susmoro untuk ikut membina umat Buddha khususnya aliran Theravada dan membentuk serta mengembangkan Magabudhi di Riau.Bersama Ingersah yang juga penganut Buddha Theravada, Susmoro membina umat Buddha di Riau. Pada tahun 2011 jumlah umat Buddha Theravada yang dapat di data saat itu di Pekan Baru sebanyak 10-15 orang yang terdiri dari keluarga Ingersah, Keluarga Sumujan, Keluarga Susmoro dan Keluarga Johson. Pada saat itu mereka tidak ada tempat untuk melakukan ibadah, sehingga ibadah dilakukan di rumah pasangan suami isteri (Johnson dan Suniah).Di rumah inilah awal mulanya kegiatan umat Buddha Theravada di mulai, yang merupakan cikal bakal lahirnya Magbudhi di Riau.Kegiatan dilakukan seminggu sekali dengan melakukan Puja Bakti dan diskusi. Dari sering diadakannya kegiatan ini sehingga terdengar oleh yang lain,maka mulai bertambahlah keluarga lain untuk mengikuti. Selain itu jika diketahui ada penganut Buddha aliran Theravada maka akan di sampaikan melalui sms dan media lainnya. Tahun 2012, umat bertambah menjadi 30 orang.Karena umat bertambah banyak dan dirasa cukup untuk membentuk pengurus Magabudhi di Riau. Pada tanggal 4 November 2012, bertempat di rumah Johson, Jln. Riau Ujung No. 305-307, Kelurahan Air Hitam,Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekan Baru Prov. Riau diadakanlah Pasamuan Pengurus Daerah Magabudhi Provinsi Riau. Karena umat semakin banyak, pada tahun 2013 berjumlah 75 orang, maka pengurus mendapatkan pinjaman tempat di ruko milik Suryati (Aling) dan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 259 keluarganya yang saat ini menjadi tempat ibadah umat Buddha Theravada Provinsi Riau. Ruko berukuran 5 X 18 meter tersebut terdiri dari 3 lantai.Lantai pertama, tempat ibadaha anak-anak.Lantai kedua, tempat ibadah umum/ dewasa dan lantai ketiga, untuk tempat ibadah remaja. Ruko berada tidak jauh dari pemukiman penduduk dan 50 meter dari sana terdapat masjid al Muttaqin. Adapun pengesahan kepengurusan Magabudhi Prov. Riau Periode 2013-2018 ditetapkan, berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat Magabudhi pada 4 Februari 2013. Magabudhi Provinsi Riau terdaftar di Kanwil Kemenag Prov. Riau pada tanggal 20 November 2014 sampai 20 November 2017 dengan Nomor: Kw.04.10/BA.04/456/2014, dengan alamat: Jln. Riau Ujung Komp. Ruko Mas Blok C No. 07 Kota Pekan Baru Riau. Sedangkan nama tempat ibadahnya juga di Ruko tersebut diberi nama Vihara Pubba Mangala Arama, terdaftar dengan Nomor: KW.04.10/BA.04/340/2013. Lebih lanjut Susmoro menyampaikan awalnya ruko tersebut adalah rumah tinggal, setelah kosong dipinjamkan keluarga Suryanti untuk tempat ibadah, dan kegiatan lain.Saat ini Magabudhi sudah memiliki tanah kosong seluas 3 hektar. 2 hektar terletak di jalan Dharma Bakti Ujung, rencananya akan dibangun Vihara Pubba Manggala Arama. Satu (1) hektarnya di jalan Riau Ujung dijadikan sarana umum dan meditasi. Dalam waktu dekat vihara akan dibangun,karena panitia sudah dibentuk. Sekarang dalam proses pembentukan gambar vihara yang dibantu arsitek dari Jakarta. Untuk membangun Vihara dengan luas 2 hektar tersebut dibutuhkan dana 10 milyar. Saat ini sedang mengumpulkan dana, baik dari umat Buddha yang ada di Riau dan dari Vihara-vihara Theravada yang ada diseluruh Indonesia serta dari bantuan lainnya yang 260 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia tidak mengikat. Adapun Yayasan Pubba Manggala didirikan di Pekan Baru Riau pada tanggal 11 Agustus 2014, dengan akta notaris Pritta Melanie, Nomor: 109/NOT/VIII/2014 dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-04868.50.10.2014, pada tanggal 22 Agustus 2014. Terdaftar di Dirjen Bimas Buddha Kemenag pada tanggal 17 November 2014 dengan Nomor: DJ. VI/BA.01.1/04/656/2014. Umat Buddha yang tergabung di Magabudhi berasal dari berbagai etnis dan suku seperti Jawa, Bali, Tionghoa (Cina), Banjar dan belum ada dari orang Melayu.Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Tionghoa (Cina). 2. Manajemen Organisasi Magabudhi (struktur, keanggotaan, pembinaan, dana dan sarananya) Menurut Romo Susumoro, penganut Magabudhi di Provinsi Riau sebanyak 75 orang, namun jika mengadakan kegiatan dapat dihadiri oleh umat Buddha sebanyak 300-500 orang. Adapun setiap kebaktian pada hariminggu umat yang datang tidak lebih dari 70 orang, bisa lebih, bisa kurang.Untuk umat di luar Magabudhi belum ada yang datang beribadah ke Vihara Pubba Manggala Arama milik Magabudhi.Di Magabudhi belum ada bikkhu.Bikkhu ditunjuk dari pusat, sehingga bikkhunya di datangkan dari Jakarta, Medan dan Jambi. Dalam 1 bulan ada bikkhu yang datang 1-2 bikkhu. Untuk semua fasilitas bikkhu selama di Riau, pengurus vihara yang memfasilitasinya. Di kantorMagabudhi (ruko) disediakan dua (2) kamar untuk bikkhu, jika mereka datang ke Riau. Letaknya di lantai 3. Ukuraun kamarnya 2 X 3 M. adapun tempat tidur bikkhu tidak boleh lebih dari 60 cm dari Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 261 lantai. Kamar bikkhu disiapkan sesederhana mungkin dan layak untuk tidur.Di Magabudhi ada 5 pandita yaitu: Romo Ingersah, Romo Susmoro, Romo I Ketut Sukarsa, Romo Sumijan dan Romo Edi Wijaya. Adapun yang menentukan pandita/Romo adalah dari pusat.Magabudhi daerah mengajukan ke pusat.Pusat melakukan verifikasi setelah itu baru di SK-kan dan dilantik. Sekretariat Magabudhi/Vihara Pubba Manggala di Ruko Jln. Riau Ujung Komplek Pertokoan Riau Mas Blok C-1 No. 7 Pekan Baru Riau 262 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Tempat Tidur Untuk Bhikku tidak boleh lebih tinggi dari 60 cm di Magabudhi Adapun untuk mencapai tujuan dan jalannya roda organisasi sebagaimana mestinya, maka Magabudhi Provinsi Riau mempunyai kepengurusan organisasi Magabudhi, Kepengurusan Yayasan Pubba Manggala Arama, dan Pengurus Pemuda Theravada Indonesa. Adapun susunan kepengurusannya sebagai berikut: a. Susunan Pengurus Yayasan Pubba Manggala Arama berdasarkan Keputusan Kementrian Hukum dan HAM Nomor: AHU-04868.50.10.2014, adalah sebagai berikut: Pengurus Yayasan Pubba Manggala Arama NO 1 2 JABATAN Pendiri Yayasan Susunan Organisasi Yayasan Ketua Pembina Anggota Pembina 1 2 NAMA Ingersah Anton Teguh Atmaja 1 2 3 4 5 Husodo Pannavaro Dharma Putra Aris Wardoyo Martoyo Atimedho Misbah Cittagutto Slamet Abhayanando Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 263 3 4 Pengurus Harian Ketua Umum Wakil Ketua Sekretaris Umum Sekretaris Bendahara Umum Bendahara Anggota Pengawas 6 7 Ingersah Anton Teguh Atmaja 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4 Herman Johson Siti Rosita Suniah Suryanti Susmoro Edy Susanto Rimba Antony b. Susunan Pengurus Daerah Magabudhi Prov. Riau Periode 2013-2018, Berdasarkan SK Pengurus Pusat Magabudhi, Nomor: 069/MGBD-PP/KUSU/II/2013,adalah sebagai berikut: NO 1 2 JABATAN Dewan Penasehat Dewan Pembina 3 Dewan Penyantun 4 Ketua Wakil Ketua Sekretaris 1 Sekretaris 2 Bendahara 1 Bendahara 2 Anggota 5 6 7 264 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4 5 6 NAMA Sangha TheravadaIndonesia Pembimas Buddha Kanwil Kemenag Prov.Riau Upc. Siti Upc. Suniah PMd. Susmoro Upc. I Ketut Sukarsa Upc.Sukriyanto Upc. Sumijan Upc. Suryati Upc. Edi Wijaya Upc. Nurjanah Upc. Suniah Upc. Bintorowati Upc. Henny Upc. Samir Upc. Johson Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia c. Susunan Dewan Pengurus Daerah Riau Pemuda Theravada Indonesia masa bakti 2012-2015, berdasarkan SK Dewan Pengurus Pusat Pemuda Theravada Indonesia Nomor: 021/SK/DPP-PATRIA/I/2013, adalah sebagai berikut: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 JABATAN Dewan Pembina Ketua Sekretaris Bendahara Biro Organisasi dan SDM Biro Kemandirian Biro Social, Budaya dan Olah Raga Biro Informasi NAMA I Ketut Sukarsa Suhendrik Yuli Fitari Nigsih Fanny Petrina Ricky Fernando Yulius Kurniawan Ariefin Dewi Diana Berikut ini kegiatan rutin dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Vihara Pubba Manggala Arama antara lain: 1. 2 3 4. Melakukan Puja Bakti Setiap Hari Minggu : 1 Sekolah minggu anak di Lantai 1 : Pkl. 09.30- Selesai 2 Kebaktian remaja di lantai 3 : Pkl. 09.30- Selesai 3 Kebaktian umum/dewasa di lantai 2 : Pkl. 09.30- Selesai Meditasi setiap hari jumat : Pkl. 19.30-Selesai Puja baktidi Hari Uposatha (Che it dan Cap : Go) 1 Che it dilaksanakan di Vihara Pubba Manggala Arama 2 Cap Go dilaksanakan di Rumah umat (bergantian) Melakukan Perayaan Keagamaan Lainnya, dalam keyakinan umat Buddha Buddhi Maga ada 4 ibadah suci yaitu: 1 Asadha Puja (memperingati Buddha membabarkan ajarannya kepada 5 pertapa Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 265 2 5 Waisyak Puja (memperingati lahirnya sidarta Gautama dan menjadi Buddha (sempurna) 3 Khatina Puja (memperingati hari persembahan bikhu Sangha,karena sudah 3 bulan tidak keluar dari vihara), persembahan yang diberikan berupa obat-obatan, jubah, tempat tinggal dan 4 kebutuhan pokok. 4 Pattidana (sembahyang kematian, untuk orang yang meninggal, artinya setelah melaksanakan kebajikan maka kebijakan tersebut dilimpahkan kepada sanak saudara yang sudah meninggal) Kegiatan Sosial lainnya: 1 Talk Show dan Dhamma Talk 2 Donor Dana 3 Bakti Sosial 4 Kunjungan Kasih 5 Fangsen Selain itu Magabudhi juga aktif berperan serta dalam kegiatan sosial keagamaan diluar kegiatan Magabudhi (Pubba Manggala Arema), seperti membantu dan menjadi panitia acara vihara dan organisasi lainnya, menjadi panitia rangkaian acara prosesi dan Dhammasanti Waisak untuk Provinsi Riau, menghadiri undangan acara Pembimas Buddha Kanwil Kementerian Agama Prov. Riau. Magabudhi melakukan pembinaan dengan cara mengadakan kegiatan, mengikuti pelatihan yang di adakan Sangha Theravada Indonesia, saling silaturrahmi ke umat, dll. Adapun dana Magabudhi berasal dari umat Buddha yang ada di Magabudhi, sumbangan dari Magabudhi lainnya yang ada di Indonesia, umat Buddha pada umumnya serta bantuan yang tidak mengikat dari pihak lainnya. 266 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Adapun Lambang Magabudhi adalah sebagai berikut: a. Stupa melambangkan Nibbana (Kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama dan menjadi tujuan setiap umat Buddha. Stupa yang menjadi lambang Magabudhi ini diambil dari stupa induk di puncak Candi Borobudur. b. Dhammacakka (Roda Dhamma) dengan jari-jari delapan di tengah-tengah stupa melambangkan Ariya Atthangika Magga (Jalan Ariya Berunsur Delapan) yang merupakan Jalan untuk mencapai Kebebasan. c. Empat lingkaran ditengah-tengah Roda Dhamma melambangkan Empat Tingkat Kesucian dalam menuju Pencapaian Kebebasan: Sotapatti, Sakadagami, Anagami, Arahat. 3. Kitab sucinya, ajaran pokoknya (teologi), ritual (sistem peribadatan), etika dan tradisi keagamaanya Umat Buddha di Maghabudhi Provinsi Riau dalam menjalankan aktivitasnya sama dengan umat Buddha Theravada pada umumnya, demikian disampaikan Romo Susmoro (Ketua Magabuddi sekaligus Pandita), hal senada juga diungkapkan Budi Pujianto (Ketua Majubuthi (Ketua Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 267 Vihara Dhamma Metta Arama). Pengurus Magabudhi dalam melakukan aktivitas keagamaan berdasarkan panduan keagamaan yang telah digariskan oleh Sangha Theravada Indonesia serta menjalankan visi dan misi yang telah ditetapkan dalam AD/ART Magabudhi. Mereka menggunakan kitab suci Tipitaka Pali.Adapun ajaran pokok Magabudhi tertuang di dalam Kitab Tipitaka yang di sarikan ke dalam buku Paritta Suci sebagai buku panduan umat Buddha dalam melakukan puja bakti dan membabarkan ajaran Buddha.Ritual keagaman (ibadat) berupa puja bakti dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas keyakinan (saddha), moral (sila), kedermawanan (caga) dan kebijaksanaan (panna). Umat Magabudhi Prov. Riau menggunakan buku panduan Paritta Suci, yang terbitkan oleh Sangha Theravada Indonesia, demikian disampaikan Romo Herman selaku Ketua Vihara Pubba Manggala Amarata milik Magabudhi. Paritta Suci memuat panduan hidup umat Buddha Theravada, seperti Puja Bakti, upacara perkawinan, kematian, menempati rumah baru, tujuh bulan kandungan, menjelang kelahiran, menempati rumah baru, ulang tahun, turun rumah, potong rambut, menempati rumah baru, pengukuhan janji jabatan, tanam disawah, pengukuhan janji di Pengadilan, wisuda Upasaka/upasika, dll. Umat Buddha Theravada yang terdapat di Magabudhi dalam mejalankan ajaran agamanya tidak ada perbedaan dengan umat Buddha yang ada di Majubuthi hanya perbedaan majelisnya saja.Dimana Magabudhi bergabung di dalam Kasi sedangkan Majubuthi bergabung di dalam Walubi. Untuk Sanghanya juga sama. Bikkhu-bikkhu Majubuthi kebanyakan dari Tahiland, sedangkan Bikkhubikkhu Magabudhi dari Sangha Theravada Indonesia.Namun jika ada kegiatan Sangha selalu bersama-sama.Namun untuk 268 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia umat Buddha yang ada di klenteng (vihara lainnya), berbeda dengan umat Buddha Theravada yang ada di Magabudhi dan di Majubuthi.Di Klenteng (vihara lainnya) tidak ada bikkhu karena tidak ada sangha, namun mereka memiliki pandita dari Tri Dharma.Mereka juga tidak menggunakan Paritta Suci dalam ibadahnya, sedangkan Magabudhi dan Majubuthi memakai Paritta Suci. Bagi Magabudhi dan Majubuthi hanya menyembah Buddha Gautama (hanya ada Patung Buddha), sedangkan di Klenteng mereka menyembah banyak dewa dan juga pada Buddha (patung dewa-dewa dan patung Buddha), demikiandiungkapkan Budi Pujianto dari Majubuthi. Selain itu di Magabudhi dan Majubuthi tidak ada ritual loncat, sedangkan di Vihara lain ada ritual loncat (kemasukan roh dewa) yang dianggap mendapatkan petunjuk dari dewa tersebut untuk umat Buddha yang ada di Vihara tersebut. Di Magabudhi patung arhat (orang yang telah mencapai tingkat kesucian yang tinggi) murid-murid Buddha berjumlah 1200 orang di pajang di dinding lantai 3 Vihara Pubba Manggala Arama (di Ruko), hal ini sangat penting untuk mengenang, menghormati murid-murid arhat sang Buddha Gautama dan sebagai motivasi umat Buddha Magabudhi membabarkan ajaran Sang Buddha. Umat Buddha Theravada yang ada di Vihara milik Magabudhi, sembahyang puja bakti bersama setiap hari minggu. Begitu juga umat Theravada di Majubuthi melakukan hal yang sama. Namun jika di Magabudhi hanya ada patung Budha Gautama, di Majubthi selain patung Buddha Gautama, ada juga patung dewa berwajah empat (Brahmana) yang terletak di lingkungan gedung Majubuthi. Sedangkan umat Buddha yang ada di Tri Dharma tidak ada secara bersama-sama melainkan secara individu (datang dan pergi), beribadah kapanpun mereka mau datang. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 269 Selain ke Magabudhi dan Majubuthi, peneliti juga ke vihara Tri Dharma untuk melihat tatacara peribadatan mereka. Peneliti sempat menghadiri kebaktian di Magabudhi. Dari penelusuran wawancara peneliti kepada Romo Susmoro (Ketua Magabudhi), Budi Pujianto (Ketua Vihara Dhamma Metta Arama/Majubuthi) dan Alex Sidiq (Pembina Vihara Surya Dharma dan Ketua Tri Dharma Komda Riau) dan pengamatan peneliti, ternyata ada perbedaan ritual umat Buddha yang ada di Vihara Magabudhi/Majubuthi dengan yang ada di Vihara Tri Dharma. Untuk magabudhi dan majubuthi tidak ada perbedaan, sedangkan dengan Tri Dharma ada perbedaan mendasar. 270 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Ada beberapa perbedaan Tatacara peribadatan (sembahyang) umat Buddha yang ada di Magabudhi/ Majubuthi dan Tri Dharma saat di Vihara: Magabudhi/Majubuthi Tri Dharma 1 Saat semua umat sudah 1 Saat datang ke vihara datang di vihara, maka 2 langsung sembahyang langit/menghadap ke langit orang memimpin untuk (sembayang pada sembahyang mengajak Tien/Tuhan di langit) umat memberikan penghormatan awal kepada Sang Buddha, Sang Bhagava 2 Membuka Buku Paritta 2 Sembahyang dewa utama Suci pada halaman 23 (sesuai dengan vihara masing-masing), termasuk dan memimpin membaca kepada dewa-dewa kalimat perlindungan (leluhur) lainnya yang ada (saranagamana patha) di dalam vihara tersebut. secara bersama-sama Setiap vihara beda-beda dengan umat. dewanya sesuai dengan keinginan pengurus vihara 2 Membaca Pancasila (lima 3 Sembahyang ke Buddha sila) yang ada bagi umat Buddha dalamParitta suci (menghindari: pembunuhan, pengambilan barang yang tidak diberikan, perbuatan asusila, ucapan bohong dan minuman memabukan yang menyebabkan lemahnya kesadaran) Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 271 3 Perenungan terhadap 4 Sembahyang ke Khonghucu Buddha (Buddhanussati) jika ada patung Khonghucu bagi umat Khonghucu, jika tidak ada pada dewa lain, misalnya To Pe Kong 4 Perenungan terhadap 5 Sembahyang Dewa dhamma Harimau, bagi umat Tao (dhammanussanti) 5 Perenungan terhadap 6 Sembahyang ke Ngo Thian Sangha (Sanghanussati) Kun (yang menjaga keamanan) 6 Pernyataan kebenaran 7 Setelah sembahyang umat (Saccakiriya gatha) menyumbang untuk vihara, tapi tidak ada kewajiban. Besarnya sumbangan tidak di tentukan. 7 Perenungan-perenungan 8 Sembahyang pada dewa dan permohonan lainnya empat muka (Shien Bien sebanyak 20 perenungan Puk Choo) bagi agama dan permohonan lainnya Buddha 8 Ceramah/Pandita 9 Selesai (Romo Susmoro) atau pemberkahan oleh bikkhu/samanera 9 Membaca Ettavatatiadipattidannad an ditutup dengan namakara 10 Selesai Bagi penganut Tri Dharma (Khonghucu, Tao dan Buddha) mereka sembahyang ke semua dewa yang ada di dalam vihara Tri Dharma. 272 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Patung Buddha di Vihara Magabudhi Patung Buddha di Majubuthi (gedung lama) Latar belakangnya Patung Buddha di Majubuthi (gedung baru) Patung Buddha di Tridharma 4. Dinamika atau konflik-konflik intern yang pernah terjadi dan cara penyelesaianya Keberadaan Magbudhi di Provinsi Riau terbilang baru (2 tahun) berdasarkan SK PP Magbudhi yang diterbitkan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 273 tahun 2013, walaupun kegiatan mereka sudah ada sejak tahun 2011. Selain itu umatnya belum terbilang banyak, sehingga konflik internal pun belum nampak. Saat ini umat Buddha di Magbuddhi lebih banyak melakukan penguatan dan pembinaan umat secara internal. Mengadakan kegiatan secara bersama-sama, dan melakukan kegiatan bergantian di rumah umat Buddha yang tergabung dalamMagabudhi. 5. Relasi sosialnya dengan penganut Buddha lainya, dan masyarakat sekitar Tidak banyak orang mengetahui adanya Magabudhi di Riau, hanya tokoh agama tertentu saja yang suka hadir dalam kegiatan organisasi umat Buddha yang ada di Riau yang mengetahui adanya Magabudhi di Provinsi Riau.Adapun Magabudhi kepada pihak eksternal tidak mempunyai persoalan, karena mereka terbilang baru, maka mereka lebih banyak bersosialisasi diri dan masih butuh belajar dari umat Buddha lainnya terutama dalam mengelolah organisasi dan viharanya. Menurut Darmaji (Ketua Walubi Prov. Riau), hubungan Magabudhi dengan majelis lainnya terjalin secara baik. Magabudhi baru di Provinsi Riau, mereka ikut terlibat dalam kegiatan Waisyak secara bersama-sama dengan majelis lainnya. Menurut Syahril Indra (imam Masjid Al Mutaqin sekaligus Ketua Rt 4 Rw 6, Kelurahan Tampan Kec. Payung Sekaki Kota Pekan Baru), dimana Kantor Magabudhi berada. Magabudhi jika ingin mengadakan kegiatan selalu memberitahu dan minta izin padanya. Dan masyarakat sekitar tidak mempersoalkan keberadaan Magabudhi di ruko tersebut. Bahkan Syahril menyatakan jika ada warga yang 274 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia tidak setuju dengan keberadaan Magabudhi maka harus berhadapan dulu dengannya. Menurutnya masak orang mau beribadah dilarang. Selama ini belum ada masyarakat yang mempermasalahkan keberadaan Magabudhi di sekitar sini, walaupun masyarakat nya terdiri dari umat Hindu, thingoa (Konghucu), Buddha dan Islam mayoritas. Menurut Mulyadi (sopir warga Pekanbaru beragama Islam), tidak pernah mendengarkan keributan umat Buddha di Riau. Kebanyakan mereka adalah orang-orang Cina dan mereka kebanyakan pengusaha dan kaya-kaya hidupnya. Mereka mempunyai vihara besar-besar di Riau ini.Namun agama Islam tetap mayoritas di sini.Masyarakat Riau hidup rukun berdampingan. 6. Pandangan sekte lainya dan pemerintah (Kemenag) Menurut Budi Pujianto (Ketua Vihara Dhamma Metta Arama/Majubuthi) dan Alex Sidiq (Pembina Vihara Surya dharma dan Wakil Ketua Tri Dharma Komda Riau) serta Maria (Pimpinan Vihara Dewi Sakti/Ketua Umum Tri Dharma Prov.Riau) dan Jalius (Sekertaris Matakin Prov. Riau), mereka senada menanggapi hadirnya Magabudhi di Provinsi Riau dan tidak mempermasalahkannya. Bahkan dengan adanya Magabudhi, umat Budha Theravada bisa beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Mereka bisa ikut kegiatan umat Budha di Riau secara bersama-sama dengan umat Buddha lainnya, seperti kegiatan Waisyak yang akan diadakan dalam waktu dekat ini. Sedangkan menurut Tarmizi Thohor (Kepala Kanwil Kemenag Prov. Riau), pada prinsipnya secara umum umat Buddha di Riau baik-baik saja, dan terjalin kerukunan umat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 275 beragama secara lintas agama. Namun diakui ada beberapa kejadian di internal vihara Tri Dharma dengan umat Khonghucu setelah berpisah dari Buddha. Mereka berebut Vihara. Namun dapat diselesaikan. Dimana kedua belah pihak (Buddha dan Khonghucu) di pertemukan oleh KaKanwil Kemenag Prov. Riau. Disepakati kedua belah pihak solusi yang ditawarkan KaKanwil yaitu umat Khonghucu dipersilahkan membangun vihara untuk mereka, dimana ada umatnya dan kanwil Kemenag yang memfasilitasinya.Untuk Vihara-vihara yang sudah ada sebelumnya biarlah menjadi milik umat Budha yang selama ini sudah memakainya (Tri Dharma). Dan kedua belah pihak menerima solusi tersebut, demikian diungkapkan Tarmizi. Selanjutnya Tarmizi menyampaikan saat ini Kemenag Pusat telah memberikan bantuan 600 juta untuk pendirian rumah ibadat umat Khonghucu tersebut, sehingga keadaannya sudah menjadi tenang kembali. Sementara itu menurut Tarjoko (Pembimas Agama Buddha Kanwil Kemenag Prov. Riau) bahwa hubungan umat Buddha Magabudhi dengan Kanwil dan sekte serta majelismajelis lainyayang ada di bawah pembinaannya terjalin dengan baik. Bahkan Kemenag melalui Pembimas Agama Buddha memberikan bantuan untuk rumah ibadat umat Buddha yang ada di Provinsi Riau. Untuk Magabudhi sudah dibantu alas tempat duduk untuk ibadah sebanyak 200 buah, bantuan guru non honorer 300.000/orang/tahun dan untuk tahun berikutnya harus diajukan lagi ke Kanwil Kemenag.Dan juga memberikan bantuan untuk pembangunan rumah ibadat umat Buddha lainnya di Prov. Riau. Sedangkan menurut Hermansnya (Kabid Ketahanan Ekonomi, Budaya, Agama dan Masyarakat Kesbangpol) 276 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia bahwa Agama Buddha yang ada di Prov. Riau tidak mempunyai masalah.Yang bermasalah justru yang Kristen, Islam dan Khonghucu. Namun dapat diatasi. Umat Buddha di Riau mampu beradaptasi dan berakulturasi dengan masyarakat Riau yang notabenenya orang Melayu. Lebih lanjut Hermansyah mengungkapkan bahwa Kesbangpol melakukan pembinaan kepada ormas keagamaan melalui koordinasi, memfasilitasi dan kerjasama kegiatan dengan FKUB serta tokoh lintas agama dalam rangka penguatan rasa berbangsa dan bernegara.Dulu ormas melaporkan keberadaannya kepada kesbangpol dengan mengisi Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Namun sejak adanya UU No. 17 tahun 2013 tentang Ormas, mereka tidak perlu melapor lagi. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 277 278 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III PENUTUP Kesimpulan: Dari deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa ajaran agama Buddha khususnya aliran Theravada tidak diketahui secara pasti kapan mulai datang ke Provinsi Riau.Namun ada dugaan bahwa ajaran Buddha tersebut dibawa oleh pedagang di zaman Kerajaan Sriwijaya dan juga dari leluhur mereka yang berasal dari Cina.Bukti adanya agama Buddha di Riau dengan adanya candi Muara Takus dan candi lainnya yang ada di Riau.Namun agama Buddha di Riau dalam perkembangannya tidak dapat dideteksi sejauh mana mengalami perubahan perkembangan yang cukup siknifikan, hal ini dilihat banyaknya jumlah Vihara yang bertebaran di Riau. Terkait dengan adanya aliran Theravada di Prov. Riau, juga tidak dapat diketahui kapan masuknya di Riau.Namun pada perkembangannya aliran ini muncul hidup rukun bersama aliran dalam agama Buddha lainnya yang ada di Riau.Begitu juga dengan aliran Theravada yang tergabung dalam Magabudhi. Karena Magabudhi baru berdiri maka yang dapat dilakukan adalah konsolidasi internal untuk penguatan umat dan penguatan Magabudhi baik secara spiritualitas maupun secara fhisik bangunan.Umat Buddha Theravada yang berada di Magabuddhi dalam melaksanakan ibadah tidak ada bedanya dengan umat Buddha Theravada yang ada di Majubuthi. Mereka melakukan Puja bakti Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 279 Uposatha, meditasi, serta perayaan keagamaan lainnya seperti: hari asadha puja, wiasyak, khatina puja dan pattidana, serta kegiatan sosial lainnya. Namun tatacara ibadah umat yang tergabung dalam Magabudhi berbeda dengan umat Buddha yang ada di Kelenteng.Di karenakan umat Buddha yang di kelenteng saat sembahyang menyembah banyak dewa selain Sang Buddha. Dikarenakan Magabudhi baru berusia 2 (dua) tahun berdiri di prov. Riau dan kehadirannya pun di Prov. Riau belum banyak dikenal umat Buddha, majelis-majelis yang ada di Prov. Riau serta masyarakat Riau pada umumnya, maka belum muncul konflik baik internal maupun eksternal yang terjadi. Mereka bahkan saat ini membangun relasi sosial dengan masyarakat dan aliran agama Buddha lainnya yang ada di Prov. Riau sebagai bentuk sosialisasi diri keberadaan mereka, dalam bentuk ikut serta terlibat dalam kegiatankegiatan yang diadakan secara bersama, serta menjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang ada di Prov. Riau. Dengan adanya komunikasi yang baik kehadiran Magabudhi di Prov. Riau dapat diterima dengan baik pula oleh majelis agama Buddha lainnya yang kebetulan mengetahui adanya Magabudhi di Provinsi Riau.Begitu juga hubungannya dengan pemerintah (Kanwil Kemenag Prov. Riau) terjalin dengan baik, karna magabudhhi masuk dalam pembinaan Kemenag. Rekomendasi: Dari penelitian yang dilakukan dapat direkomendasikan bahwa hubungan yang sudah baik selama ini antara Magabudhi yang tidak memiliki konflik baik 280 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia internal maupun eksternal, maka sebaiknya Kanwil Kementrian Agama Prov. Riau, khususnya Pembimas Agama Buddha untuk terus meningkatkan pembinaan dan melibatkan Magabudhi dalam forum-forum dialog yang melibatkan majelis agama Buddha lainnya yang ada di Prov. Riau, agar tetap terjalin hubungan yang baik antara Magabudhi dan pihak eksternal, sehingga tercipta kerukunan intern umat Buddha yang ada di Prov. Riau. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 281 282 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR RUJUKAN Azis, Abdul, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Pen Dian, 1998, Jakarta. Buddha Dharma Education Association. Buddha Dharma Education Association. 2005. Diunduh 30 Februari 2015 Jo Pristiana, Brain Storming untuk bahan penyusunan desain penelitian, Maret 2015 Nahrawi, Nahar, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam (dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, BadanLitbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2006 http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia http://study-budhisme.blogspot.com/p/blog-page_5576.html Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 283 284 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 7 MAJELIS UMAT BUDDHA MAHAYANA INDONESIA (MAJUBUMI) DI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH Oleh: Achmad Rosidi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 285 286 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I PENDAHULUAN 1. Sekte Mahayana Setelah Buddha Gautama mencapai Pari-Nibbana, diadakanlah Sidang Agung (Sanghasamaya) yang pertama di kota Rajagaha (543 S.M.) dan dihadiri oleh 500 orang bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.67 Kemudian Sidang Agung ke-dua diadakan di kota Vesali lebih kurang 100 tahun kemudian (l.k. 443 S.M.). Sidang ini diadakan untuk membicarakan tuntutan segolongan bhikkhu (golongan Mahasangika), yang menghendaki agar beberapa peraturan tertentu dari Vinaya, yang dianggap terlalu keras, dirobah atau diperlunak. Dalam sidang ini golongan Mahasangika dikalahkan dan sidang memutuskan untuk tidak merobah Vinaya yang sudah ada. Kemudian Sidang Agung ke tiga diadakan lebih kurang 230 tahun setelah Sidang Agung pertama (l.k. 313 S.M.), di ibu kota kerajaan Asoka, yaitu Pataliputta.68 67 Maksud dari sidang ini ialah untuk menghimpun ajaran-ajaran dari Buddha Gautama yang diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Dalam sidang tersebut diantaranya disampaikan khotbahkhotbah (Sutta) dari Buddha Gautama yang merupakan ajaran dari Sang Buddha. Ajaran-ajaran ini dihafalkan di luar kepala dan diajarkan lagi kepada orang lain dari mulut ke mulut. 68 Sidang ini memiliki tujuan menertibkan beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali. Di Sidang Agung ke-tiga ini Ajaran Abidhamma diulang secara tersendiri, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 287 Kemudian Sidang Agung ke empat diadakan di Srilangka pada 400 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia dan dipimpin oleh seorang anak dari Raja Asoka, yaitu Mahinda. Sidang ini berhasil untuk secara resmi menulis Ajaran-Ajaran Buddha Gautama di daun-daun lontar yang kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam bahasa Pali. Sidang Agung ke lima diadakan di Kanishka oleh Raja Kanishka pada kurang lebih 600 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia.69 Dari konvensi sidang yang dilakukan beberapa kali ini akhirnya memunculkan perbedaan antara dua aliran besar, yakni Theravada dan Mahayana. Mahayana yang mengusung dekat dengan tradisi berkembang di daratan Tionghoa. Di Indonesia, sekte Mahayana pernah berkembang pesat pada masa kejayaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan setelahnya yang berkolaborasi dengan Hindu Siwa. Tentu saja pada saat itu, sekte ini lekat dengan tradisi Jawa Kuno. Sekte Mahayana yang berkembang sekarang di Indonesia diadopsi dari Mahayana yang berkembang di Tiongkok. Ciri khas Mahayana adalah keterbukaan yang amat besar terhadap tradisi setempat dan kebebasan mencari jalan sendiri menuju sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri dari tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab dan masih dihafal di luar kepala. Golongan bhikkhu-bhikkhu yang terkena penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada (pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara. 69 Pandita S. Widyadharma, Inti Sari Agama Buddha. Lihat: http://www.samaggi-phala.or.id. Sidang ini diadakan oleh mereka yang memisahkan diri dari golongan Sthaviravada dan di sidang ini buku Tipitaka menurut pandangan golongan Mahayana secara resmi ditulis dalam bahasa Sansekerta. 288 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kebuddhaan, karena setiap orang memiliki potensi mencapai kebuddhaan.70 2. Perkembangan Agama Buddha di Indonesia a. Awal Mula Sebelum kedatangan agama Buddha di Indonesia, penduduk Indonesia telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan adi kodrati di luar kekuatan manusia. Kepercayaan itu mengantarkan kepada penyembahan dan penghormatan, diantaranya kepada roh leluhur karena dianggap memiliki jasa pada kehidupan manusia. Roh itu memiliki kekuatan gaib yang dapat dijadikan sebaga sandaran hidup bagi manusia yang masih hidup untuk menyelesaikan tugas-tugas pentingnya. Selain itu juga ada kepercayaan kepada adanya roh dan kekuatan yang dimiliki oleh pohon, batu besar, gunung dan sejenis senjata-senjata yang dimiliki manusia. Pemujaan berupa persembahan kemudian diatur sedemikian rupa dan sekhidmad mungkin. Kondisi tersebut terjadi dalam masa yang lama, sampai kemudian datanglah agama Buddha ke Nusantara. Keberadaan agama Buddha di Indonesia ditandai dengan adanya pemerintahan yang pernah memerintah. Bukti tertua secara tertulis ditemukan di Kalimantan Timur bertanda tahun 400M, berupa situs-situs agama Buddha di lembahlembah Sungai Kapus dan Mahakam. 70 Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 12 Mei 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 289 Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Di zaman Sriwijaya itu terdapat banyak Bhikkhu dan banyak vihara yang melayani umat dalam melakukan peribadatan. Pada masa itu, kerajaan Sriwijaya menjadi mercusuar bagi perkembangan agama Buddha di Indonesia. Sebagaimana dalam catatan perjalanan I-Tsing, sarjana Buddha dari Tiongkok yang menceritakan bahwa pada tahun 672 yang melakukan kunjungan ziarah ke Sriwijaya. Dalam waktu yang relatif lama I-Tsing tinggal di Sriwijaya dan tulisannya menjadi bukti akan prestasi yang diperoleh oleh Sriwijaya dalam menyebarkan agama Buddha. Setelah kerajaan Sriwijaya, muncul pula kerajaan Buddha di Mataram yang dikenal dengan Mataram.71 b. Eksistensi Agama Buddha di Jepara Pasang surut Agama dan umat Buddha di Jepara diketahui bermula era Kerajaan Kalingga di Jepara yang pernah mengalami kemajuan. Kerajaan tersebut pernah dipimpin Ratu Sima, dengan kekuasaan di daerah Jepara Pati dan Kudus terasa sirna dan tidak terdengar kabar lagi tentang keberadaan agama Buddha. Berapa literature menyebutkan surutnya agama Buddha seiring dengan masuknya Islam di Nusantara dengan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang pernah memerintah. Kerajaan Kalingga berada di wilayah sekarang Jepara. Dalam berita Cina kerajaan ini disebiut Holing. Di sana 71 Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 12 Mei 2015 290 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dijelaskan bahwa pada abad ke 7 di Jawa Tengah bagian utara sudah berdiri satu kerajaan. Rakyat dari kerajaan tersebut hidupnya makmur dari hasil bercocok tanam serta mempunyai sumber air asin. Hidup mereka tenteram, karena tidak ada kejahatan dan kebohongan. Ilmu perbintangan sudah dikenal dan dimanfaat dalam bercocok tanam. Raja yang terkemuka dari kerajaan ini adalah Ratu Sima.72 Namun setelah itu, tidak ada berita yang pasti mengenai kerajaan tersebut karena tidak ada situs yang dapat menceritakannya. c. Agama Buddha Jepara Awal mula agama Buddha bagkit kembali di Jepara adalah seorang yang bernama Kalam Wiryo Atmojo beliau sebelumnya adalah Muslim sejati. Ayahnya bernama Marjo Ahmad dan ibu bernama Kasifah. Ayah dari Kalam Wiryo Atmojo adalah Modin (penghulu). Sejak kecil Kalam Wiryo Atmojo didik dengan didikan Islam. Dan menurut sumber dari anak-anaknya Kalam Wiryo Atmojo juga pernah di besarkan di salah satu di Pondok Pesantren di daerah Pati. Kalam Wiryo Atmojo di karunai 4 (empat) orang anak adapun anak-anak itu bernama (1) Listyo Arini, (2) Ris Budiyani (3) Tuty Diyan Karunatuti dan (4) Yoyok Liswidya dan saat ini semua beragama Buddha.Sebelum menjadi Bhiku Kalam Wiryo Atmojo pernah menjabat sebagai Kepaka Desa Kunir dari tahun 1977-1988 dana beliau juga pernah menjadi Ketua MAPANBUMI yang saat ini berganti MAGHABUDHI https://edumania.files.wordpress.com/2009/01/kuitaitarumanegara-kalingga1.pdf 72 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 291 Awal mula Kalam Wiryo Atmojo mengenal agama Buddha belajar dari seorang yang bernama TOYO, Toyo adalah dalang Kondang Asal Pati. Disinilah Kalam Wiryo Atmojo banyak belajar agama Buddha dan setelah itu Kalam Wiryo Atmojo karena ingin memperdalam ajaran Buddha oleh Toyo di kirim ke Kab Kudus. Dari Kabupaten Kudus ini Kalam di beri buku oleh Tokoh Agama Buddha Kudus buku yang berjudul Buddha Jayanti. Dari sinilah beliau tertarik ajaran Buddha dan setelah itu memperdalam di Thailand menjadi saramanera (Calon Bhikhu dan akhirnya di Upasampada menjadi Bhikhu pada tanggal 25 Januari 2001 di Thailand berubah nama menjadi Bhikhu Kalannyuta. Setelah menjadi Bhkhu beliau membabarkan agama Buddha di pelosok pelosok wilayah Jepara dan Pati juga wilayah Kab Kudusa dan bahkan wilayah yang lain. Disinilah peran Bhiku Kalannyuta sangat besar bagi perkembangan Agama Buddha di wilayah ini dan akhirnnya agama Buddha berkembangn dengan pesat di bawah binaan Bhiku Kalannyuta. 292 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II UMAT BUDDHA MAHAYANA TANJUNG PAKISAJI JEPARA Sentral kegiatan umat Buddha Mahayana di Dusun Gronggong Desa Tanjung Pakisaji Jepara. Vihara Muriantoro berdiri tahun 1969 atas prakarsa Bp. Ngateni seorang rohaniawan. Tahun 1980an dia pindah agama menjadi seorang Hindu. Sekarang sudah meninggal tetap dalam agama Hindu. Awal mula Ngateni yang bukan orang tanjung, tapi orang Plajan tetangga kampong Tanjung. Ia pernah didatangi oleh Rohaniwan Keling (Bhante Kalanyuta) atau mbah Kalam dan kawan-kawan sebagaimana dipaparkan di atas. Mereka datang ke desa Plajan untuk mensyiarkan agama Buddha. Saat itu yang menguasai pengajaran tentang Buddha adalah pak Ngateni tersebut. Sejak saat itu Ngateni secara intensif menyampaikan Buddha kepada masyarakat di Dukuh Nggrongong dan Tanjung. Sejak tahun 1969 di desa Tanjung berdiri 2 vihara Buddha Mahayana, yaitu Vihara Muriantoro dan Perti Wanggono. Vihara Muriantoro terletak di dukuh Ngronggo sementara Vihara Perti Wanggono di Dukuh Botohan Desa Tanjung Pakis Aji. Penamaan Vihara Perti Wanggono karena ketika masyarakat hendak membangun vihara tersebut, ada seseorang yang dipercaya untuk merancang dan memegang dana pembangunannya. Namun kepercayaan tersebut dicedarai oleh orang tersebut. Ia kabur dan dana yang telah diberikan kepadanya pun lenyap. Setelah kejadian tersebut, masyarakat Buddhis Tanjung kedatangan rohaniwan Buddha Mahayana dari Salatiga yang bernama Prawiro Wirono. Atas Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 293 dorongan beliau, masyarakat kemudian mendirikan vihara meskipun dalam bentuk yang sederhana. Untuk mengingat kejadian penipuan yang memalukan tersebut kemudian Pak Prawiro Wirono menamai vihara tersebut dengan Perti Wanggono. Perti artinya seperti, dan Wanggono artinya Kera. Jadi Perti Wanggono memiliki arti Seperti Kera yang dinisbahkan pada kejadian yang menciderai masyarakat Buddhis di Desa Tanjung. Sejak tahun 1998 nama vihara tersebut kemudian berubah nama menjadi Vihara Virya Manggala. Virya memiliki arti semangat, sedangkan Manggala berarti sosok prajurit yang gagah berani atau memiliki semangat juang yang luar biasa dalam medan juang peperangan untuk memperoleh kemenangan. Selain kedua vihara tersebut, terdapat Cetiya yang terletak di Dukuh Nggronggong yang bernama Puspe Dwi Dana. Dinamai demikian karena terdapat dua orang yang mencurahkan atau mengeluarkan dana untuk mendirikan Cetiya tersebut. Sampai sekarang tempat ibadat tersebut masih termanfaatkan dengan baik dan dapat menampung 50 orang umat. Vihara Muriantoro sejak awal berdiri tahun 1969 telah beberapa kali dilakukan pembongkaran (renovasi). Pada permulaan pendirian, material bangunan terdiri dari tiang dan bilik terbuat dari bambu dengan beratap rumbia, dengan ukuran bangunan utamanya 5x7m. Pengerjaan pendirian awal bangunan tersebut dilakukan secara swadaya dan gotong royong antar warga di dusun Nggronggong. Setelah bangunan berdiri belum dinamakan vihara, tetapi disebut dengan sanggar dengan dalih pada saat itu belum mengenal nama vihara. Bangunan sanggar tersebut pada saat 294 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dilaksanakannya peribadatan dapat menampung kurang lebih sebanyak 50 kepala keluarga atau sekitar 200-an orang umat. Adalah Kaspari, seorang guru PNS yang mengajar materi pelajaran umum sekaligus sebagai guru agama dipercaya oleh pemerintah untuk mengabdi di SDN Tanjung III yang terletak di Dukuh Nggronggong Desa Tanjung Kecamatan Pakisaji sejak tahun 1998. Pada saat itu Kaspari merintis renovasi bangunan tempat ibadat tersebut. Setelah dirasa cukup dana untuk melakukan renovasi, pada tahun 2003 dimulailah pengerjaannya sedikit demi sedikit secara bertahap dan masih berlanjut hingga saat ini. Tradisi Buddha yang berjalan sejak muncul dan masamasa berkembangnya Buddha di Nggronggong adalah Mahayana. Orang Nggronggong menyebutnya dengan Mohoyono (Jawa, red). Bahasa pengantar dalam peribadatan adalah bahasa Jawa, bukan bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali. Di sinilah Buddha dan umatnya di Nggrongong pada masa itu masih belum menunjukkan geliatnya berupa pertambahan umat atau kegiatan spiritualnya sampai datang seorang pandita Buddha Mahayana yang bernama Suhu Sahlan Hidayat, rohaniwan Buddha keturunan China berasal dari Jakarta. Sejak kedatangan Sahlan Hidayat itulah mulai digunakan bahasa Sansekerta dalam acara-acara ritual di vihara Nggrongong. Penggunaan bahasa Sansekerta secara intensif kemudian digunakan sebagai bahasa dalam pelaksanaan ritual di Vihara. Langkah tersebut disambut baik oleh masyarakat Nggronggong yang selama ini ini menjadi umat Buddha Mahayana. Untuk kaderisasi, sekitar tahun 1990-an itu Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 295 kemudian direkrutlah 15 orang pemuda dan dikirim ke Jakarta untuk khusus mempelajari dan mendalami bahasa Sansekerta. Mereka tidak berapa lama tinggal di Jakarta dan kemudian semuanya kembali ke Nggronggong. Semenjak itulah dalam kegiatan peribadatan atau acara ritual di vihara Nggronggong penggunaan bahasa Sansekerta benar-benar sudah berjalan efektif hingga saat ini. Sementara bahasa Jawa tetap digunakan sebagai bahasa pengantar dalam ceramahceramah yang disampaikan oleh rohaniwan. Akan tetapi, bukan berarti bahasa Jawa sama sekali tidak digunakan dalam acara ritual. Penggunaan bahasa Jawa pada saat acara ritual biasanya pada malam Rabu Wage dan momen perayaan 1 Syuro atau tahun baru Saka.73 Selama ini secara kuantitas perkembangan umat Buddha di Nggronggong menurut penuturan Kaspari berjalan lambat. Dalam agama Buddha tidak ada misi mengajak orang untuk memeluk (konversi) ke agama Buddha. Masuknya seseorang ke dalam agama Buddha berdasarkan kesadaran individu tersebut. Selama ini kebanyakan orang yang masuk ke agama Buddha disebabkan oleh faktor perkawinan. Jumlah umat yang dilayani dan melakukan ibadah di Vihara Muriantoro Dusun Nggronggong hingga saat ini adalah 80. Sementara itu, jumlah umat di vihara Virya Manggala pada tahun 1988 sebanyak 24 KK, dan sekarang berjumlah 43 KK.74 73 Tahun baru Saka tersebut sering disebut dengan tahun baru Jawa. umat Buddha Mahayana Nggrongong meyakini bahwa agama Buddha Mahayana datang dan masuk di Indonesia khususnya tanah Jawa terjadi pada tahun baru Saka tersebut. 74 Wawancara dengan Kaspari, Pembina Yayasan 296 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Sekolah Minggu Bangunan Vihara Muriantoro kini memiliki luas 160m2, dengan ukuran bangunan utamanya panjang 20 meter dan lebar 8 meter. Perluasan tersebut tepatnya dimulai pada tahun 1991 dan hingga saat ini masih berlanjut. Di dekat bangunan vihara adalah gedung berlantai 3. Lantai pertama digunakan untuk dapur dan gudang, lantai 2 adalah ruang tamu dan untuk sekolah minggu. Sementara lantai 3 masih dalam tahap penggarapan yang direncanakan untuk Kuti, yakni ruangan untuk istirahat para Suhu yang singgah di Gronggong untuk melayani umat. Dedikasi untuk Umat Sekolah Minggu vihara Muriantoro diberi nama sekolah Minggu Buddha Sekar Teratai. Pengelolaan sekolah Minggu ini secara organisatoris di bawah pengelolaan Yayasan Vajra Virya Viryatara. Saat ini yang menjadi kepala Sekolah adalah Sukamto dan wakilnya Sutrisno. Di bawahnya terdapat formatur seksi atau bagian yang terdiri dari seksi kurikulum, seksi sarana prasarana, seksi kesiswaan, seksi humas, seksi guru kelas dan kesiswaan. Seluruh penyelenggara kegiatan tersebut tidak memperoleh gaji dari yayasan, justru sebaliknya memberikan kontribusi yang lebih besar untuk kemajuan dari yayasan dan sekolah minggu Buddha tersebut. Para guru atau mentor sekolah tersebut adalah umat yang mengikuti peribadatan di Vihara Muriantoro. Mereka memiliki kepedulian dan keterpanggilan untuk kemajuan umat Buddha di Gronggong. Rata-rata pendidikan mereka adalah sekolah menengah atas (SMA). Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 297 Sekolah Minggu telah berjalan sejak tahun 1988 meski mengalami pasang surut seiring dengan keterbatasan sarana prasarana yang dimiliki oleh lembaga ini. Dalam Sekolah Minggu diajarkan diantaranya ilmu-ilmu agama Buddha, pendalaman Tri Pitaka, baca tulis bagi anak-anak usia prasekolah, aneka ragam ketrampilan dan keputrian melibatkan para remaja dan ibu-ibu.75 Sebagaimana dipaparkan di atas, Kaspari adalah seorang guru yang ditugaskan di SDN Tanjung. Sebagai tugas tambahan, ia dipercaya menjadi Kepala Sekolah di SDN Plajan 5 Kecamatan Pakisaji. Di sekolah tersebut guru-guru dan para siswanya tidak ada yang beragama Buddha, semuanya muslim. Meski sebagai seorang Buddhis, ternyata hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Kaspari dalam mengemban amanah tersebut dan beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Pada awal mula memimpin sekolah tersebut, dia memperoleh sambutan yang hangat dari segenap guru dan murid. Mereka tidak khawatir dengan perbedaan keyakinnya yang dimiliki oleh pimpinan barunya. Tenaga pemeliharaan gedung dipercayakan kepada Pasit yang juga umat di Vihara Muriantoro. Pasit dipercayakan melakukan tugas ini yang sebelumnya dipercayakan kepada ayahnya (alm) Sucipto yang meninggal dunia pada tahun 2012. 75 298 Wawancara dengan Sukamto, Kepala Sekolah Minggu. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Upacara Puja Bhakti Sebagai pengikut tradisi Mahayana, vihara Muriantoro dalam acara ritual tidak berbeda dengan aliran-aliran Mahayana. Bahasa yang digunakan dalam acara ritual adalah bahasa Sansekerta. Puja Bhakti di Vihara Muriantoro dilakukan dengan cara membaca ulang berkali-kali Sutra agama Buddha Mahayana. Puja bhakti mingguan dilakukan setiap Malam Rabu setelah pukul 20.00 WIB sampai selesai. Puja bhakti dilakukan dengan kesungguhan niat yang kuat, dengan pengantar bacaan-bacaan sebagaimana yang diatur dalam kitab suci, penuh keyakinan dihadapan Buddha Ruphang dan Bodisattva Ruphang. Sajian yang diberikan di atas altar tidak ada yang mengandung dari benda bernyawa. Umumnya sebagai berikut : a. Buah-buahan yang bermakna jangan membunuh mahluk hidup. b. Air bersih atau air mineral. Air yang telah dimasak, bermakna agar pikiran, ucapan, dan perbuatan baik, membersihkan batin dari ketidaktahuan juga kebodohan. c. Bunga, melambangkan keindahan dan ketidak kekalan. d. Lilin merah atau penerangan dari minyak kelapa. Lilin merah lebih awal di nyalakan sebelum Dupa, bermakna kita selalu diberikan penerangan dalam jalan kehidupan di waktu sekarang. e. Dupa, bermakna wangi khasnya guna membersihkan udara dan lingkungan, mengundang langsung secara batin atau hati nurani ke hadapan Hyang Thagatha, Tuhan Yang Maha Esa. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 299 Selain yang lima di atas ada juga yang menambahkan bunga atau bubuk cendana dan makanan sayuran, kue, manisan dan lain-lain untuk persembahan sembahyang terhadap orang yang meninggal. Makna dari sajian tersebut sangat berbeda sesuai sekte nya masing-masing. Upacara ini dianggap sangat sakral. 300 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III PENUTUP Kesimpulan Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, untuk memberikan arti dari uraian di atas kiranya dapat diperoleh kesimpulan, diantaranya bahwa pertumbuhan dan dinamika umat Buddha di Jepara dari era awal pembentukannya dapat mengarahkan pada pemikiran adanya perubahan identitas secara sosial. Akibat tekanan dari luar diri kelompok mereka. Umat Buddha di daerah ini mencoba untuk berupaya mencari relevansi dengan makna baru yang disodorkan. Perubahan idnentitas itu paling mencolok dapat dilihat pada kelompok Sam Kauw Hwee dan Buddha Jawi Wisnu ke dalam Agama Buddha (Buddhisme) yang lebih universal. Demikian halnya umat Buddha di Jepara dalam perjalanan sejarah umat Buddha sejak awal mula sejarah bangsa Indonesia di daerah ini mengalami stagnasi yang cukup lama. Terlebih pada rezim orde baru dan suasana perpolitikan di tanah air, kondisi umat Buddha turut larut dalam pasang surutnya. Perkembangan umat Buddha dalam suasana perbedaan menjadi berbagai sekte dan majelis agama, di Jepara sejauh ini tidak terjadi gejolak berarti. Komunikasi dan jalinan antarmajelis terus dijaga, terutama oleh elite MBI dan Majubumi dengan pemerintah (Bimas Buddha Kantor Kementrian Agama). Inisiatif dari majelis direspon dengan mendatangi undangan supaya menyambung dengan umat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 301 satu majelis lain. Begitu pula belum pernah terjadi konflik uamt Buddha dengan agama lain. Umat Buddha cukup terwadahi dalam FKUB kedua wilayah tersebut. Rekomendasi Sebagai bahan pertimbangan, beberapa hal dikemukakan di sini sebagai rekomendasi bagi pemangku kebijakan: 1. Perlu pembinaan yang lebih terkoordinasi dengan baik. Pemerintah perlu memberi fasilitasi terhadap persoalan yang dihadapi umat Buddha di Jepara. Walaupun Pembimas hanya ada di tingkat provinsi, pemkot/pemda juga seharusnya lebih peduli dengan pembinaan umat Buddha, misalnya bantuan untuk perayaan hari besar, pendidikan, kegiatan keagamaan, maupun perbaikan infrastruktur. 2. Optimalisasi penyuluh non-PNS dari kalangan umat Buddha yang SK-nya dikeluarkan oleh Kanwil Kemenag Provinsi dan memperhatikan sarana dan prasarananya untuk meningkatkan pelayanan bagi umat Buddha di level akar rumput. Selain itu juga perlu meningkatkan kerjasama antar majelis dan dengan pemerintah untuk terciptanya dinamika yang positif. 3. Perlunya segera diwujudkan perbaikan sarana infrastruktur untuk pengembangan ekonomi dan pendidikan umat Buddha di kedua daerah tersebut. 302 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur Abdul Azis, Varian-Varian Fundamentalisme Indonesia, Penerbit Dian, 1998, Jakarta. Azyumardi Azra, Jaringan Bandung, 2004. Ulama Islam Nusantara, di Mizan, Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Penerbit Obor, Jakarta, Januari 2013. Burke, Peter J. & Stet, Jan E.. Identity Theory. Oxford: Oxford University Press. 2009. Buddisme in Indonesia. Buddha Dharma Education Association. Buddha Dharma Education Association. 2005. Diakses 2006-10-03. Daisetz Teitaro Suzuki, dalam Pendahluan buku “ Agama Buddha Mahayana” yang ditulis oleh Beatrice Lane Suzuki (1939), Penerbit Karania Dharma Universal Untuk Semua, Terj. Hastiati, Cet. I, Agustus 2009 Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut. Sensus Penduduk 2010. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. Dirjen Bimas Agama Buddha, Bahan pengayaan dalam rangka penyusunan Desain Operasinal Penelitian oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2015. Nahar Nahrawi, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 303 (dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2006. Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30 Feburari 2015 Sumber Online: "Buddhism in Indonesia". Buddha Dharma Education Association. Buddha Dharma Education Association. 2005. Diunduh 30 Februari 2015 http://study-budhisme.blogspot.com/p/blog-page_5576.html http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia Diunduh 23 Maret 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Januari 2015 Diunduh 30 http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/ Diunduh 23 maret 2015 http://ekacarya.org/ekacarya/buddhayana/. Didownload tanggal 29 Juni 2015 pukul 09.30 WIB. http://buddhayana-sby.blogspot.com/2010/01/viharabuddhayana-surabaya.html 304 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/buddhismetheravada-dan-mahayana/ http://karefin.blogspot.com/2014/02/pengertian-dan-tata-carasembahang.html http://artikelbuddhist.com/2011/06/etika-buddha-membentukpribadi-bersusila-yang-mandiri-dan-peduli.html Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 305 306 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 8 MAJELIS KASOGATAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Oleh: M. Taufik Hidayatulloh Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 307 308 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia BAB I GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Gambaran Umum Kehidupan Agama di Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur. Sehingga memiliki akses jalan masuk dan keluar dari negara asing dengan rute PontianakEntikong-Kuching sepanjang 400 km. Batas-batas wilayah sebelah utara adalah Sarawak, sebelah selatan adalah Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, sebelah timur adalah Kalimantan Timur dan sebelah barat adalah Laut Natuna dan Selat Karimata76. Sebagian besar wilayah merupakan daratan berdataran rendah dengan luas 146.807 km2. Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk provinsi terbesar keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Kalimantan Barat dijuluki provinsi seribu sungai karena mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang sering dilayari. Kalimantan Barat terdiri atas 12 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013. Indeks Pembangunan Manusia 2013. [katalog] 76 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 309 Kubu Raya, Kota Pontianak, Kota Singkawang, kecamatan, 1.881 desa dan 89 kelurahan77. 176 Jumlah penduduk Kalimantan Barat menurut data sensus tahun 2013 mencapai 4,641 juta jiwa (BPS 2014). Sebagian besar penduduk adalah suku Dayak, Melayu dan Tionghoa serta sejumlah suku-suku minoritas lainnya seperti Madura, Jawa, Sunda dan suku asli Kalimantan. Umat beragama di Kalimantan Barat terkenal dapat saling bekerjasama dalam memajukan wilayahnya. Kondisi kerukunan hidup beragama ini dipandang relatif kondusif di tengah beragamnya kehidupan keagamaaan yang diwakili oleh keragaman penganut agama di mana agama mayoritas adalah Islam (54,76%), diikuti dengan Kristen (13,81%), Katholik (24,01%), Buddha (6,8%), Hindu (2,3%) dan Kong Hu Chu (3,6%). Keragaman juga dillihat dari banyaknya tempattempat ibadah seperti 4.203 mesjid, 5.118 gereja, 20 pura, 312 vihara dan 124 klenteng/cetya78. 77 Biro Pusat Statistik 2013 a Indeks Pembangunan Manusia 2013. [katalog] Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013 b. Statistik Politik 2013. [katalog] 78 310 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II TEMUAN PENELITIAN Majelis Agama Buddha Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat 1. Pendiri Aliran Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan Pendiri aliran Tantrayana Zhenfo Zong bernama Liansheng Huo Fo atau disebut juga dengan Lu Sheng Yen. Ia adalah seorang warga Amerika keturunan Tionghoa. Ia dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1945 di tepi sungai Niuzhou, Jiayi, Taiwan. Lu Sheng Yen kecil hidup dalam kemiskinan sehingga badannya kurus dan lemah. Sejak kecil ia telah turut menanggung beban keluarga. Beberapa pekerjaan dilakoninya sebagai penjual permen labu, es lilin dan gula kapas di jalanan. Menjelang dewasa ia bekerja sebagai operator mesin bubut dan bekerja di pabrik cor. Ia melakukan pekerjaan kasar dan membahyakan, bahkan beberapa kali hampir kehilangan nyawanya. Ketertarikannya pada masalah teknis mengantarkannya pada perkuliahan di Fakultas Geodesi Akademi Sains Zhongzheng dengan beasiswa. Pengalamannya yang luar biasa di Kuil Yuhuang Gong pada saat usianya menginjak 26 tahun menjadikannya mampu melihat yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, alam yang tidak diketahui orang biasa. Untuk melengkapi pengetahuannya dia bersarana pada Bhiksu Yinshun dari sekte Esoterik, Bhiksu Leguo, Bhiksu Dao-an, Bhiksu Xiandun yang menasbihkan Sila Bodhisattva pada tahun 1972, Bhiksu Huisan, Bhiksu Jueguang sebagai Guru Sila serta Bhiksu Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 311 Shanglin dan Bhiksu Shanci sebagai Guru Ritual di Vihara Bishan Yan, Nantou. Sejak saat itu (era tahun 60-an) namanya mulai dikenal terutama setelah menerbitkan buku Ling Yu Wo Zhijian; Ling Ji Shen Suan Man Tan, dan beberapa buku lainnya yang menggemparkan. Ia sering diundang berceramah mengenai Ling Xue Mian Mian Guan. Bahkan ramalan jitu Lu Sheng Yen tersebar melalui mulut dan telinga massa, menjadikanya sebagai medan magnet bagi ratusan orang datang untuk bertemu. Ketika itu tidak hanya mendapat inspirasi dari ajaran Buddha eksoterik dan spiritual, juga mengikuti guru spiritual yang tak berwujud. “Mister Shanshan Jiuhou” melatih Sadhana Tantra selama 3 tahun dan menjalankan sila Bodhisattva. Kemudian ia bertolak ke Gunung Jiji, Nantou, untuk berguru pada Pewaris XIV Taoisme Qingcheng Daozhang (Bhiksu Liao Ming) mempelajari ilmu Tao, Danding Fulu, Jiuxing Dili Dafa, Mahasadhana Sekte Nyingmapa versi Tantra Cina dan Tantra Tibet, lima macam pengetahuan dan lain-lain dari aliran besar Sekte Merah Tibet beserta dharma agung lainnya. Lu Sheng Yen pun menjadi Pewaris XV Taoisme Qingcheng dengan nama Taois ”Xuanhong Daozang”. Pada masa itu Lu Sheng Yen telah menguasai tataritual Sadhana Tantra yang lengkap. Kunci utama mencapai pencerahan ke-Buddhaan serta mahasadana rahasia dari sekte-sekte utama Tibet yang tidak diwariskan selama ribuan tahun pun telah dikuasai semuanya. Pada tahun 1981 Lu Sheng Yen mendapat kesempatan bertemu dengan Raja 312 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Dharma XVI dari Sekte Putih aliran Tantrayana, bahkan menerima abhiseka dari Acarya Kargyupa. Menyadari bahwa karma dirinya sebagai silsilah penyatu dharma, sejak itu ia mulai meneliti dan menjalankan Tantrayana Sekte Merah, Sekte Putih, Sekte Kuning, Sekte Kembang dan berbagai aliran dharma lainnya. Ajaran yang dikembangkan oleh Lu Sheng Yen di Taiwan mendapat tekanan dari berbagai aliran agama Buddha. Maka dari itu, pada tahun 1982 ketika dia berusia 38 tahun Lu Sheng Yen dan keluarganya pindah ke Seattle, Amerika Serikat. Di sana Ia mendalami Sadhana Tantra di Paviliun Lingxian selama tiga tahun. Lu Sheng Yen saat itu juga berhasil mempelajari seluruh kunci utama empat tingkatan yaitu ‘ Krya Tantra, ‘Charya Tantra’, ‘Yoga Tantra’, dan Anuttarayoga Tantra’, lalu melebur dalam Samudra Kesadaran Vairocana dan berhasil dalam ‘Asta-sadhana Eksternal’ dan Asta-sadhana Internal’. Semua riwayat sadhana ini berserta pemahaman mantra dicantumkan di antara dua ratusan buku karya pribadinya. 2. Setting Sosial yang Melatarbelakangi Berdirinya Majelis Agama Buddha Kasogatan di Kalimantan Barat Kasogatan adalah penamaan aliran pada kelompok Tantrayana yang lahir dari sebuah harapan akan kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia (yakni pada zaman keprabuan Majapahit, zaman kedatuan Sriwijaya, serta pada zaman Mataram purba). Aliran ini dipelopori oleh mendiang Bhikkhu Ashin Jinnarakitta Mahathera pada tahun 1953. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 313 Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia (Zhenfo Zong Kasogatan) terdiri dari dua embrio organisasi. Pertama, Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia (Kasogatan) yang didirikan di Vihara Dharma Darsana Ambarawa, Semarang pada tanggal 23 Juli 1975 oleh mendiang Romo Giriputra Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oka Diputhera. Kedua, Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang didirikan tahun 1987 oleh Vajracarya Harsono yang menekuni ajaran Tantrayana melalui upaya bersarana kepada Maha Acarya Lian Sheng sejak tahun 1985. Setelah melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lain (karena tidak tersedianya fasilitas bersembahyang yang tetap), maka Vajracarya Harsono mengajak beberapa umat untuk mendirikan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia pada tahun 1987, dan membangun sebuah vihara di daerah Muara Karang, Jakarta Utara yang diberi nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta (Foguangtang) sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Adanya persamaan aliran antara Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia dan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang sama-sama menganut Tantrayana menjadikan sebuah kesempatan untuk menyatukan diri dan saling bersinergi satu sama lain sejak tahun 1988. Penyatuan secara de facto tersebut dikokohkan secara de jure dengan menggabungkan ke dua organisasi tersebut menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia di tahun 1994. Majelis ini kemudian berganti nama lagi menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001. Seiring dengan metamorfosis organisasi Kasogatan, secara ajaran aliran ini mulai diterima 314 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia di masyarakat Buddha sampai ke pelosok nusantara. Salah satunya diterima di Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat, berdirinya Majelis Agama Buddha Kasogatan sekitar tahun 1985-an ke Singkawang dan kemudian ke Pontianak di tahun 1987-an. Masuknya aliran Tantrayana Kasogatan di Kalimantan Barat terjadi karena beberapa jalur. Pertama, beberapa umat Buddha ada yang membaca buku tulisan Maha Acarya Lian Sheng, kemudian mengangkat guru bersama (bersarana) kepadanya. Kedua, adanya hubungan antara Majelis Kasogatan pusat dengan beberapa umat Buddha di Kalimantan Barat, dan Ketiga, melihat beberapa aliran lain mendirikan majelis, maka ada inisiatif (lebih dekat dengan ikut-ikutan) dari beberapa tokoh agama Buddha yang telah bersarana kepada Maha Acarya Lian Sheng untuk mendirikan juga majelis agama yang akan menaungi dan membina umat yang telah menganut aliran Kasogatan79. Sebagaimana pada umumnya aliran yang baru masuk ke sebuah daerah, mula-mula umat Buddha mengadakan puja bakti di rumah-rumah, kemudian menyelenggarakan ritual sendiri dengan cara meminjam Vihara Sakyamuni tahun sejak tahun 1987 selama kurang lebih dari 20 tahun. Setelah itu sejak tahun 1999 mulai membangun sebuah vihara besar di Jalan Ahmad Yani II dan selesai tahun 2004. Vihara tersebut bernama Vihara Vajra Bumi Kertayuga (penuh dengan pahala sejati laksana intan) seluas 1.800 meter persegi yang mengadopsi bentuk Vihara Tibet. Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai Pandita Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 21 April 2015 79 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 315 Sejak masuknya Majelis Agama Buddha Kasogatan ke Kalimantan Barat tahun 1985-an, maka organisasi majelis solid dalam mengatur dan membina umat Buddha aliran Tantrayana Kasogatan. Namun memasuki tahun 1998, akibat konflik kepengurusan, ada sebagian anggota Majelis Agama Buddha Kasogatan Kalimantan Barat yang memisahkan diri dan membentuk organsiasi baru dengan nama Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia (Madhatantri)80. Tempat ibadahpun berpisah ketika tahun 1991 didirikan Vihara Buddha Vajra, yang beralamat di Jalan Siam Gang Kelantan IV No162 Pontianak dalam rangka mewadahi kepentingan beribadah umatnya. Dengan demikian, di Kalimantan Barat terdapat dua organisasi yang menjadi wadah dari umat Buddha aliran Tantrayana, yaitu Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia (lebih dikenal dengan nama Kasogatan) dan Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia (lebih dikenal dengan nama Madhatantri). 3. Perkembangan Tempat Ibadah dan Ummat dalam Lingkup Majelis Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Jumlah vihara yang menjadi tempat ibadah umat Buddha Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan Indonesia (selanjutnya untuk memudahkan penyebutan akan menggunakan nama Kasogatan) bisa dikatakan masih sedikit. 80 Nuhrison M Nuh. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2012, Jakarta, hal. 23 316 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Saat ini di seluruh wilayah Kalimantan Barat baru terdapat 6 buah vihara, yang tersebar di empat kabupaten/kota, yaitu 1 vihara di Kabupaten Kubu Raya—ini merupakan vihara paling besar, 3 vihara di Kabupaten Landak, 1 vihara di Kota Singkawang dan 1 vihara di Kabupaten Sambas. Jumlah keseluruhan vihara di bawah naungan aliran Buddha Kasogatan di Kalimantan Barat sebanyak 6 buah vihara. Ummat yang menjadi anggota dari aliran Kasogatan di Kalimantan Barat sejauh ini tidak dapat diketahui jumlahnya. Beberapa faktor menjadi penyebabnya. Selain karena tidak adanya data81, juga disebabkan oleh jumlah umat yang beribadah di vihara tidak mewakili jumlah keseluruhan umat Buddha Kasogatan82. Untuk anggota Vihara Vajra Bumi Kertayuga di Kubu Raya, diperoleh informasi ada 200 orang anggota yang aktif ibadah setiap hari minggu. Jumlah anggota yang hadir saat ibadah tahunan cenderung meningkat terutama menjelang imlek hingga mencapai 1.000 orang. Dilihat dari sisi etnis, bahwa umat Buddha Kasogatan beretnis Tionghoa sebanyak 89 %, Dayak 10 % dan etnis lainnya 1 %83. Dilihat secara umum bahwa aliran Kasogatan di Kalimantan Barat diperkirakan menempati peringkat ke tiga pemeluk terbesar setelah peringkat pertama diduduki oleh Majelis Mapanbumi (yang menganut aliran Maitreya) dan 81 Wawancara dengan Eddo sebagai Pengurus Muda Mudi Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 20 April 2015 82 Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai Pandita Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 21 April 2015 83 Wawancara dengan Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat, 16 April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 317 kedua oleh Majelis Magabuthi (yang beraliran Theravada)84. Baik Maitreya, Theravada maupun Tantrayana termasuk ke dalam aliran besar Mahayana yang ternyata menjadi ummat Buddha yang mayoritas. Hal ini disebabkan oleh kemudahan cara mempraktekkannya85 dan pengajaran (pembabaran darma) menggunakan bahasa Indonesia86. Secara lebih khusus lagi bahwa ummat Buddha aliran Kasogatan dipandang cepat perkembangnnya karena didukung oleh kemampuan pengurus Majelis Kasogatan karena dikelola oleh pengurus yang rata-rata memahami manajemen87. 4. Situasi Masalah Keagamaan Saat Sekarang Keragaman agama di Kalimantan Barat meniscayakan potensi persinggungan di berbagai lapangan. Maka dari itu, hubungan sosial menjadi salah satu hal penting dalam agama Buddha. Hubungan manusia dengan sesamanya harus didasari dengan cinta kasih yang murni sehingga tercipta kerukunan di antara umat manusia. Untuk menuju terciptanya kerukunan tersebut, maka agama Buddha menyerukan agar ummat bertindak berdasarkan kepada ajaran dharma. 84 Wawancara dengan Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat, 16 April 2015 85 Wawancara dengan Rakiman, S.Thi sebagai Penyelenggara Bimas Buddha Kabupaten Kubu Raya, 25 April 2015 86 Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015 87 Wawancara dengan Rakiman, S.Thi sebagai Penyelenggara Bimas Buddha Kabupaten Kubu Raya,25 April 2015 318 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Beranjak pada keinginan untuk ikut mewujudkan kehidupan yang rukun dengaan seluruh pemeluk agama lain, maka kerukunan hidup antar umat beragama menjadi salah satu hal yang diprioritaskan. Kerukunan internal ummat Buddha di Kalimantan Barat sejauh ini dapat tercipta dengan baik di tengah beragamnya aliran agama Buddha. Sedikitnya ada 9 majelis abama Buddha di Kalimantan Barat, yaitu ; Kasogatan, Budayana, Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia, Magabudhi, Madhatantri, Buddha Dharma Indonesia, Maitreya, Nichiren Syonsu Indonesia, dan Tridharma88. Secara internal berbagai aliran tersebut nampak hubungan yang harmonis saling menghormati keyakinannya masing-masing. Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas Agama Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat, 15 April 2015 88 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 319 320 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III AJARAN DAN PERIBADATAN DALAM ALIRAN TANTRAYANA ZENFO ZONG KASOGATAN INDONESIA Ajaran Pokok Aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan memadukan empat unsur, yaitu ; Tao, Tantra, Mahayana dan Theravada. Berbagai unsur tersebut diambil dalam bentuk simbol, ritual maupun ajaran. Dalam konsep ke-Tuhan-an, umat Buddha Tantrayana Kasogatan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menyebut nama Tuhan sebagai Sang Adi Buddha89. Tabel 1. Unsur dalam Aliran Tantrayana Kasogatan No 1 Unsur Tao Bentuk Klasifik asi - Thai Sui (Dewa tahunan berada di Simbol sebelah kanan altar sebanyak 60 petugas) yang bertugas mengurus seluruh bumi - Dewa bumi yang berada disebelah kiri altar - Chaiam shi (memohon petunjuk kepada Ritual Dewa, berisi kayu berangka untuk meramal hari baik), - Bakar kertas lotus Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai Pandita Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 21 April 2015 89 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 321 2 3 4 Tantrayana Mahayana - Theravada Sumber : - Meditasi, Kebaktian, Upacara, Do’a arwah dan Viambara Ceramah, Samadhi, Pradnya paramita (kebijaksanaan), Jalan bodisattva (pengorbanan yang dilakukan seorang sadaka) Sadha paramitha (6 kesempurnaan), Jaranama buddha, Sila paramita Trilaksana, Catur kesunyataan mulia, 8 jalan utama, 12 hukum sebab akibat yang saling bergantungan Ritual Ritual Ajaran Ajaran Diolah dari hasil wawancara dengan Biksu Lian Yang Tuhan merupakan hakikat yang tak dapat diketahui, keberadaannya Suci. Selain itu, ummat Buddha yakin terhadap Triratna (Khusus bagi pemeluk Tantrayana Kasogatan ada penambahan berupa yakin dengan guru), yakin terhadap Bodhisatva, Arahat dan Para Buddha, yakni terhadap hukum kesunyataan, yakin terhadap kitab suci dan yakin terhadap Nibbana90. Ritual Puja Bakti Ibadah dalam agama Buddha, khususnya menurut aliran Tantrayana Kasogatan di antaranya kebaktian/ Virana dan Tjeng Ing, Ensiklopedia Buddha Dharma. Jakarta : Santusita, hal. 17-45 90 322 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia sembahyang baik di vihara maupun di rumah. Selain itu juga melakukan do’a arwah kepada leluhur. Dalam hal puja bakti, aliran Buddha Kasogatan mempraktekkan beberapa kebaktian, yaitu; Pujaan dupa, Pujaan para Buddha dan Bodhisattva, Sadhana vajrasattva, Sadhana vajra yoga padma kumara, Sadhana Amithaba Buddha, Sadhana Avolikiteswara Bodhisattva, Sadhana ksitigarbha Bodhisattva, Sadhana maha chundi Bodhisattva, Sadhana jambhala kuning, Sadhana Padmasambhava Bodhisattva, Sadhana bhaisajya guru Buddha, dan Maha Karuna Dharani. Tabel 2. Jenis Puja Bakti Aliran Tantrayana Kasogatan No Nama kebaktian 1 Pujaan dupa 2 Pujian para Buddha dan Bodhisattva 3 Maha karuna dharani 4 Sadhana vajrasattva Jenis Mantra Mantra Tahapan kebaktian Pemujaan Pujian Mantra Pembukaan sutra Mantra, sutra, visualisasi, samadhi mengucap mantra pembersihan, mengucap mantra pengundangan, maha namaskara, maha persembahan, mengucap mantra 4 perlindungan, melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, mengucap mantra hati maha mula vajra acharya 108 kali, sadhana vajrasattva, memanjatkan mantra sata aksara 21 atau 49 kali, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucap amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), maha namaskara, mengucap mantra kesempurnaan. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 323 5 6 7 324 Sadhana yoga kumara vajra Mantra, padma sutra, do’a kepada guru, visualisasi, samadhi mengucap mantra pembersihan, mengucap mantra pengundangan, maha namaskara, maha persembahan, mengucap mantra 4 perlindungan, melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, mengundang kehadiran padma kumar, memanjatkan mantra hati padma kumara, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), maha namaskara, mengucap mantra kesempurnaan. Sadhana Mantra, mengucap mantra pembersihan, amithaba Buddha sutra, mengucap mantra pengundangan, visualisasi, maha namaskara, maha persembahan, samadhi mengucap mantra 4 perlindungan, melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, memvisualisasikan 3 sinar memberkati, memanjatkan mantra hati amithaba buddha 108 kali, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), memanjatkan mantra sata akasara 3 kali, maha namaskara, mengucap mantra kesempurnaan. Sadhana Mantra, mengucap mantra pembersihan, avolikiteswara sutra, mengucap mantra pengundangan, Bodhisattva visualisasi, maha namaskara, maha persembahan, mengucap mantra 4 perlindungan, samadhi melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, memvisualisasikan 3 sinar memberkati, memanjatkan mantra hati avalokiteswara bodhisatvva 108 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 8 9 kali, memasuki samdhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), memanjatkan mantra sata akasara 3 kali. Sadhana Mantra, mengucapkan mantra pembersihan, ksitigarbha sutra, mengucap mantra pengundangan, Bodhisattva visualisas, maha namaskara, maha persembahan, mengucap mantra 4 perlindungan, samadhi melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, memvisualisasikan 3 sinar memberkati, memanjatkan mantra hati ksitigarbha boddhisatvva 108 kali, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), memanjatkan mantra sata aksara 3 kali, maha namaskara, mengucapkan mantra kesempurnaan. Sadhana maha Mantra, mengucapkan mantra pembersihan, chundi sutra, mengucap mantra pengundangan, Bodhisattva visualisasi, maha namaskara, maha persembahan, samadhi mengucap mantra 4 perlindungan, melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, memvisualisasikan 3 sinar memberkati, memanjatkan mantra hati chundi boddhisatvva 108 kali, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), memanjatkan mantra sata aksara 3 kali, maha namaskara, mengucapkan mantra kesempurnaan. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 325 10 11 12 326 Sadhana jambhala kuning Mantra, sutra, visualisasi, samadhi mengucapkan mantra pembersihan, mengucap mantra pengundangan, maha namaskara, maha persembahan, mengucap mantra 4 perlindungan, melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, memvisualisasikan 3 sinar memberkati, memanjatkan mantra hati jambhala kuning 108 kali, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), memanjatkan mantra sata aksara 3 kali, maha namaskara, mengucapkan mantra kesempurnaan. Sadhana Mantra, mengucapkan mantra pembersihan, padmasambhava sutra, mengucap mantra mengundang, maha maha persembahan, Bodhisattva visualisasi, namaskara, mengucap mantra 4 perlindungan, samadhi melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Bodhisattva, puja catur apramana, memvisualisasikan 3 sinar memberkati, memanjatkan mantra hati padma sambhava boddhisatvva 108 kali, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), memanjatkan mantra sata aksara 3 kali, maha namaskara, mengucapkan mantra kesempurnaan. Sadhana mengucapkan mantra pembersihan, bhaisajya guru mengucap mantra pengundangan, Buddha maha namaskara, maha persembahan, mengucap mantra 4 perlindungan, melaksanakan simabhandana, mengucap sutra avolekiteswara Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Bodhisattva, puja catur apramana, memvisualisasikan 3 sinar memberkati, memanjatkan mantra hati bhaisajya guru buddha 108 kali, memasuki samadhi, memanjatkan sajak, mengucap mantra hati, mengucapkan amithaba vandana 3 kali, parinamana (penyaluran jasa), memanjatkan mantra sata aksara 3 kali, maha namaskara, mengucapkan mantra kesempurnaan. Sumber : Buku Pedoman Ibadah Vihara Vajra Bumi Kertayuga Dilihat dari sisi upacara yang dilakukan, aliran Tantrayana Kasogatan mengenal beberapa upacara seperti ; upacara pemberkahan, upacara penyeberangan, upacara pertobatan, perayaan ulang tahun Buddha Bodisattva, upacara api homa, upacara pelepasan satwa, maupun ulambana. Tiap upacara tersebut setidaknya ada yang dilakukan mulai dari tiga bulan sekali hingga setahun sekali. Untuk mengurangi tingkat keseringan pelaksanaan upacara selanjutnya disiasati dengan melakukan penggabungan upacara. Sarana ibadah umat Buddha Kasogatan terlihat dari fasilitas yang dimiliki oleh Vihara. Sarana ibadah tersebut dapat berupa meja sembahyang, persembahan, alat upacara, maupun upacara yang dilaksanakan. Banyaknya ummat Buddha Kasogatan yang beribadah di vihara karena adanya fasilitas, prosesinya lengkap dan lebih hikmat91 serta dalam kondisi waktu yang lapang92. 91 Wawancara dengan Eddo sebagai Pengurus Muda Mudi Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 20 April 2015 92 Wawancara dengan Pandita Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat, 16 April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 327 Tabel 3. Jenis-Jenis Upacara dalam Aliran Tantrayana Kasogatan No Jenis Ibadah 1 Pemberkahan 2 3 4 5 6 7 8 Keterangan Agar ummat dapat mentranformasikan diri menjadi sempurna Penyebrangan Tiap tahun Bulan ke Menyingkirkan rintangan 2 lunar karma hewan agar terbebas dari duka Pertobatan Tiap Bulan Bulan ke Melakukan visualisasi dan 7 lunar mengeluarkan rintangan karma agar tubuh menjadi bersih dan terang Perayaan ulang Tiap Bulan Fleksibel Mengingatkan kembali tahun Buddha upaya mencapai Bodisattva kebuddhaan Api Homa 2-3 bulan Fleksibel Mengundang para Buddha sekali dan Bodisatvva untuk berkenan menerima persembahan sekaligus membanttu membersihkan karma buruk Pelepasan satwa Tiap tahun Fleksibel Melepaskan satwa seperti mocana ikan, kura-kura, kodok ataupun burung Ulambana Tiap tahun Bulan ke Merupakan upacara 7 lunar membantu makhluk menderita Tolak bala Temporer Fleksibel Berdo’a agar dijauhkan dari kedukaan Sumber: Frekwensi Waktu Tiap tahun Setelah imlek Diolah dari hasil wawancara dengan Pandita Hendra, ST Dalam aliran Tantrayana Kasogatan, altar (atau biasa juga disebut sebagai meja persembahan) di Vihara terdiri atas tiga tingkatan yang mewakili alam Buddha, alam arahat dan alam dewa yang diisi oleh masing-masing dewa tiap tingkatnya. Masing-masing dewa di tiap tingkatan tersebut 328 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia memiliki fungsi sendiri sebagaimana sebagaimana pada tampilan Tabel 4. dapat dilihat Di meja sembahyang/altar terdapat 8 persembahan, yaitu ; air sabun (bermakna ; pembersihan diri), air minum (bermakna ; persembahan buat dewa), dupa (bermakna ; kebajikan akan sampai ke alam dewa), bunga (bermakna ; ketidakkekalan karena dapat layu), buah (bermakna ; buah karma), minyak/kayu cendana (bermakna ; kebajikan akan sampai ke alam dewa), keong laut (bermakna ; suara darma menyebar ke segala penjuru), dan lilin (bermakna ; penerang kebajikan). Tabel 4. Struktur Rupang Kasogatan Tempat I bawah II tengah dalam Tema Nama patung Dewa Acalanata Ucusma pelindung darma Catur maha rajika (destrarata, wirudaka, wirupaksa, waisramana) Dewa jambala (putih, kuning, merah) Vajra pertiwi Ragawidya raja Bodisattva Awalokiteswara 2 tangan dalam berbagai Maitreya bentuk wujud dan nama Manjusri Mahacundi Vajrasattva Ksitigarba Aliran Tantrayana Sifat Pelindung dari roh jahat dan siluman Pelindung ajaran Keterangan Dengan cinta kasih dan murka (sisi lembut dan keras) Pemberi rejeki Pelindung bumi Pemberi keharmonisan Menolong penderitaan Mengajarkan kesadaran pikiran Kebijaksanaan Mendapatkan sitdi Melenyapkan karma buruk Terbebas dari neraka Pelindung makhluk alam dari samsara Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 329 Padmasambawa III atas Buddha Penakluk ajaran sesat Awalokiteswara 1000 Menolong tangan dan 1000 mata penderitaan semua makhluk Usnisawijaya Terbebas reinkarnasi Marici Melindungi nyawa dan harta Yaotze Terbebas dari penyakit Baisaja raja guru Pengobatan Amogasidhi Duduk di utara Amithaba Barat Wairocana Tengah Aksobya Timur Ranasambawa Selatan Sakyamuni Buddha masa sekarang Menyadarka n umat untuk mencapai pencerahan sempurna Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Biksu Lian Ling Fashi dan Biksu Lian Yang Alat upacara yang digunakan berupa ; vajra genta/lonceng bel (bermakna ; welas asih), vajra dorje/lonceng bentuk vajra (bermakna ; pelimpahan jasa), botol abiseka dari perak (bermakna ; permberkahan), muk’ih/kentongan kayu (fungsi ; pengatur tempo), gong (fungsi ; pemberitahu pemberhentian ketukan), tambur biasa, Cina dan Tibet (fungsi ; pelengkap variasi), javamala/tasbih (fungsi ; menghitung banyak mantra), Liu ing dari tembaga (fungsi ; pemberi tanda). Aspek Ibadah Ritual dalam aliran Tantrayana Kasogatan dikenal dengan nama Sadhana. Sadhana sejatinya berusaha melatih diri untuk mencapai hidup kebudhaan. Logika yang digunakan adalah setiap manusia memiliki benih kebudhaan, 330 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia jika melatih diri seseorang dapat mencapai kehidupan Buddha sekarang ini. Terdapat berbagai jenis sadhana. Beberapa di antaranya adalah : Sadhana Vajra Sattva (sadhana dasar); Sadhana Guru Yoga (Padma Kumara Putih/Lu Sheng Yen); dan Yi Dam yang delapan (tinggal mana yang dipilih), inilah kebaktian/sadhana yang dianjurkan. Ritual terkait dengan upaya bersarana. Hal pertama dipandang penting visualisasi sebagai upaya membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan. Visualisasi berarti membayangkan fisik (wujud) dari guru, Buddha, cahaya dan Dharmapala. Selain hal tersebut juga sangat penting praktek sebagaimana ajaran guru. Beranjak dari hal itulah, maka betapa penting peran seorang guru dalam aliran Tantrayana Kasogatan. Dalam aliran Tantrayana Kasogatan dikenal catur sarana, terdiri atas ; Berlindung pada guru, Berlindung pada Buddha, Berlindung pada Dharma, dan Berlindung pada Sangha. Ajaran Etika/Moral Pokok-Pokok Ajaran Tantrayana Kasogatan adalah ; Tripitaka, Pancasila Buddhis, Empat Belas Sila Dasar Tantra, Abdiguru Pancasika, serta Bodhisattva Sila, Enam Kesempurnaan, Trilaksana, Empat Kesunyataan Mulia, Delapan Jalan Utama, Dua Belas Hukum Sebab Akibat93. Setelah pemeluk Buddha mengamalkan ajaran etika/moral inilah, maka diharapkan akan mencapai taraf Wawancara dengan Biksu Lian Yang dan Biksu Lian Ling Fashi sebagai Biksu Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 19 April 2015 93 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 331 kebuddhaan. Dalam aliran Tantrayana Kasogatan, mengakui adanya Buddha Hidup. Yang dimaksud dengan Buddha Hidup adalah orang yang tercerahkan, tapi dia masih hidup. Sejauh ini hanya ada seorang Buddha Hidup, tidak lain adalah Lu Sheng Yen (Liangsheng Huo Fo), sebagai Maha Mula Vajra Acharya. Kitab Suci Kitab yang dianggap suci terdiri atas empat kelompok besar sebagaimana unsur serapannya yang mengambil dari Theravada, Mahayana, Tao dan Tantrayana. Terdiri dari; Tripitaka (Theravada), Pradnya paramita, vajra cedika, sad dharma pundarika, sutra altar, awsamtaka, lanka watara (Mahayana), Sutra Yao Che (Tao), dan Sutra tantrayana yang terdiri atas ; sutra wairocana, Usnisa vajra, susidi sutra (Tantrayana). Hari Suci Hari yang dianggap suci oleh penganut agama Buddha aliran Tantrayana Kasogatan di antarannya adalah ; Waisak, Kathina (berdo’a untuk Sangha), Hari ulang tahun Buddha Bodisatvva, dan perayaan Ulambana. 332 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia IV KEGIATAN MAJELIS TANTRAYANA ZENFO ZONG KASOGATAN INDONESIA KALIMANTAN BARAT Struktur Kepengurusan Sebagaimana surat keputusan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat Nomor : 002/SP/DPD/ZFZK/2013, susunan pengurus DPD Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Tingkat Provinsi Kalimantan Barat dapat disebutkan sebagaimana berikut ini : Dewan Penasehat : Firmanto, SH, Lie Mei Fung, Lim Yam Song Ketua Wakil Ketua Sekretaris Jenderal Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara Bidang Humas Bidang Publikasi Bidang Sosial Bidang Usaha Dana Bidang Wanita Bidang Pembabaran Dharma : : : : : : : : : : : : Bidang Perlengkapan : Herman Kora Iwan Suwito Agus Tjandra Hendra, ST Siskawaty, SE Evi Setiana Lim Jong Hwa, Eko Eddy Lasmin, Efendy Dju Teng, Suhardi Lo Ratnasari, Siau Ling Tan Kek Pue, Santi Tansari Rudy Cahyadi, Bhikkulama Lian Yang Tansil Halim, Yulianto Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 333 Selain itu, dalam struktur DPP Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat tersebut terdapat beberapa organ organisasi yang terdiri atas ; Yayasan Vajra Bumi Kertayuga dipimpin Lie Min Fhung sebagai ketua dan Firmanto, SH sebagai sekretaris, Vihara Vajra Bumi Kertayuga pimpinan Yo Sai Heng, Lotus Light Charity dipimpin oleh Tansil Halim dan Pandita Rudy Cahyadi, dan Sekolah minggu Vihara Vajra Bumi Kertayuga dengan Eddo sebagai kepala sekolah minggu. Melihat lampiran surat keputusan DPD Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat tentang susunan pengurus Vihara Vajra Bumi Kertayuga terdiri atas ; Ketua Vihara Wakil Ketua I Wakil Ketua II Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara I Wakil Bendahara II Koordinator Kebaktian Koordinator Muda Mudi Koordinator Sosial Koordinator Dokumentasi Koordinator Konsumsi Koordinator Pendidikan Koordinator Humas 334 : Yo Sai Heng : Lie Mei Fung : Iwan Suwito : Siskawaty, SE : Hendra, ST : Bong Jun Ngo : Ratnasari : The Ai Suan : Bhikkulama Lian Yang : Eddo : Tamsil Halim : Efendi, Suriawati : Ng Hun Hwa : Youky, Siska Kumara : Rudy Cahyadi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Berdasarkan susunan pengurus organisasi di lingkungan Kasogatan baik dilihat dari pengurus Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat dan pengurus Vihara Vajra Bhumi Kertayuga ternyata banyak kepengurusan yang dirangkap, hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki kemauan dan kemampuan berorganisasi memajukan pembinaan umat Buddha Kasogatan. Adanya organisasi dan organ pelengkapnya meniscayakan adanya umat dari aliran Tantrayana Kasogatan. Berbicara tentang persebaran umat Buddha Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan di seluruh wilayah Kalimantan Barat baru sejauh ini masih terbatas pada beberapa Kabupaten/Kota, yang tersebar di empat daerah, yaitu Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Landak, Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas. Rekrutmen anggota yang dijalankan oleh Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 4 cara, yaitu ; Merekrut anggota baru pada upacara tahunan karena umat membawa relasi dan manfaatnya karena ada testimoni sebanyak 50 %-an, Darma duta pada saat sembahyang duka sebanyak 30 %-an, Buku karangan Mahaacarya 20 %-an dan Sekolah minggu sebanyak 1 %-an. Kegiatan Pembinaan Untuk meningkatkan kualitas beragama umat, kegiatan pembinaan mutlak dilakukan. Berkaitan dengan pembinaan yang selama ini dilakukan oleh Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan dengan cara ; pertama, Konsultasi, baik Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 335 kepada Acarya—tergantung kedatangan minimal 4 kali dalam setahun maupun kepada Bikkulama. Tema yang diusung ketika konsultasi ke Acarya adalah tentang usaha, kesehatan ataupun perjodohan. Adapun tema konsultasi Bikkulama berkisar pada tata cara ibadah, Ceramah dharma seminggu dua kali setelah selesai kebaktian, dan Kelas Dharma oleh Acarya. Kedua, Pembabaran darma yang dilakukan secara reguler dalam peribadatan di lingkungan vihara. Pendanaan Roda organisasi Majelis Agama Budha Tantrayana Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat beserta dengan organ-organnya memerlukan dana untuk menggerakkannya. Sejumlah cara ditempuh Majelis Kasogatan untuk membiayai berbagai aktivitas kegiatan. Pengumpulan dana secara umum terbagi menjadi dua bagaian yaitu kegiatan fundrising yang berorieantasi profit dan fundrising yang berorientasi non profit. Sebagaimana terlihat pada tabel 5 ternyata asal dana lebih banyak dikontribusikan melalui kegiatan upacara. Tabel 5. Pendanaan pada Aliran Tantrayana Kasogatan No 1 Kategori Fundrising Profit Bentuk Koperasi Sewa 336 Aktifitas Jual beli peralatan ibadah Menyewakan tempat abu Menyewakan stand saat pasar imlek Menyewakan stand iklan saat pasar imlek Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 2 Non profit Sumber: Menjadi peserta upacara Pendaftran dewa tahunan Upacara Peringatan dewi Kwan Im Pemasangan lampion di vihara Derma tahunan sebesar Rp. 25.000,Kesukarelaan Sumbangan sukarela Dana paramitha Diolah dari hasil wawancara dengan Pandita Hendra, ST Pendanaan yang sifatnya profit secara langsung diwakili oleh kegiatan koperasi pengadaan alat-alat keperluan beribadah. Secara lengkap berikut ini merupakan berbagai aktifitas pendanaan pada Majelis Kasogatan, yaitu ; Upacara, Koperasi, Penyewaan tempat abu, Sumbangan sukarela, Pendaftaran dewa tahunan, Peringatan Dewi Kwan Im, Pemasangan lampion di vihara, Menyewakan stand atau space iklan di pasar imlek, Derma tahunan sebesar Rp. 25.000,yang diberikan pada bendahara vihara, dan Dana paramitha. Sarana dan Prasarana Selain sarana berbagai organ organisasi majelis, Majelis Agama Buddha Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan Indonesia juga dilengkapi oleh vihara pusat bernama Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, juga vihara yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota, di antaranya ; 3 vihara di Kabupaten Landak, 1 vihara di Kota Singkawang dan 1 vihara di Kabupaten Sambas. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 337 Relasi Sosial Inter dan Antar Agama Pengurus Majelis Tantrayana Kasogatan sebagaimana organisasi pada umumnya terdiri atas berbagai jabatan seperti unsur ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan berbagai unsur ketua bidang. Semua jabatan tersebut diadakan dalam rangka memudahkan pembagian kerja di antara pengurus bersangkutan. Hubungan antar anggota pengurus majelis Kasogatan diluar penyelenggaraan musyawarah bersifat kembali seperti biasa tanpa ada perbedaan. Artinya, sesama pengurus dapat melakukan hubungan informal. Relasi sosial Majelis Tantrayana Kasogatan dengan majelis agama Buddha lainnya berjalan cukup baik. Hubungan antar majelis tersebut terjadi saat ulang tahun vihara tertentu. Dalam kegiatan ulang tahun ini biasanya ada undangan kepada berbagai majelis agama Buddha lainnya untuk dapat menghadiri acara tersebut94. Hubungan antar aliran juga terjadi saat memperingati hari WAISAK, di mana seluruh aliran dalam agama Buddha diminta untuk masuk menjadi panitia perayaan WAISAK bersama95. Belum lagi tentang perwakilan agama Buddha dalam masalah kerukunan hidup beragama yang tergabung dalam FKUB ternyata seluruh aliran satu suara dan mempercayakan sepenuhnya kepada perwakilan umat Buddha apapun alirannya. Meski 94 Wawancara dengan Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat, 16 April 2015 95 Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua WALUBI Kalimantan Barat, 18 April 2015 338 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia demikian, masing-masing aliran sangat tertutup sehingga mereduksi kemungkinan interaksi ajaran dengan aliran lain96. Menyangkut pergaulan di antara masyarakat luas (antar penganut agama), penganut agama Buddha Tantrayana Kasogatan tidak terlalu terbuka. Ummat Buddha yang kebanyakan beretnis Tionghoa kurang dapat bergaul dengan non Tionghoa, kalau ada orang asing yang masuk ke sebuah gang contohnya, maka mereka cenderung curiga dan tertutup97. Namun demikian dikecualikan bila pergaulannya berbentuk kerjasama usaha98, ketika merayakan hari raya99 dan melakukan ngembun dalam pergaulan kewargaan100. Secara eksternal, saling menghormati antar pemeluk agama terjadi terutama dengan penduduk Tionghoa saat malam tahun baru imlek yang dilakukan oleh kaum Kristiani dengan cara melaksanakan ibadah syukur malam menjelang imlek. Sementara itu, hubungan dengan kalangan Muslim sejauh ini masih kondusif di tengah adanya kekhawatiran akan efek tindakan ummat Buddha di Myanmar yang melakukan diskriminasi terhadap umat minoritas dapat mempengaruhi relasi sosial (aksi balasan) di Kalimantan Barat. 96 Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua WALUBI Kalimantan Barat, April 2015 97 Wawancara dengan Pendeta Ir. Iwan Luwuk sebagai Wakil Sekretaris FKUB Kota Pontianak/Pendeta Gereja Pantekosta Indonesia Barat Kota Pontianak, 24 April 2015 98 Wawancara dengan Rakiman, S.Thi sebagai Penyelenggara Bimas Buddha Kabupaten Kubu Raya, 25 April 2015 99 Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015 100 Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 339 Relasi sosial antara aliran Kasogatan yang diwakili oleh Majelis Tantrayana Kasogatan dengan pemerintah juga berjalan dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan kehadiran perwakilan pemerintah baik dari pemerintah daerah maupun Kemenag (baik kabupaten/kota maupun dari kantor wilayah provinsi) dalam berbagai acara seperti pelantikan pengurus WALUBI ataupun kegiatan lainnya. Pandangan Pemuka Agama Majelis Lain terhadap Ajaran dan Tata Cara Peribadatan dalan Aliran Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia Secara umum, tidak ada perbedaan antara aliran Tantrayana Kasogatan dengan berbagai aliran lainnya. Perbedaan yang terlihat dipermukaan hanya sebatas pada tata cara ibadahnya saja101 yang diakibatkan perbedaan guru102. Perbedaan yang mencolok bila dibandingkan dengan ajaran pada aliran lainnya menyangkut Buddha hidup yang diyakini aliran Tantrayana Kasogatan dapat dilihat perilaku hidup Maha Acarya Lin Shen Yen. Jelas pandangan ini berbeda dan sangat tidak bisa diterima oleh aliran lainnya karena masih ada Buddha Sakyamuni. Bila dikategorikan menyimpang bisa disebutkan demikian. Meski demikian tidak ada kewenangan dalam 101 Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua WALUBI Kalimantan Barat, 18 April 2015 102 Wawancara dengan Yanto, SE sebagai Penyelenggara Bimas Buddha Kota Pontianak, 25 April 2015 340 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia majelis untuk menyatakan suatu aliran itu menyimpang atau tidak103. Kegiatan Sosial Keagamaan Adanya dana yang terkumpul memungkinkan dilakukannya pendistribusian kepada umat yang membutuhkan. Tercatat beberapa kegiatan telah dilaksanakan sejak beberapa tahun yang lalu. Salah satu kinerja organisasi majelis yang cukup menonjol adalah bantuan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan. Tabel 6. Bantuan Sosial terhadap Umat Kasogatan di Kalimantan Barat No Bentuk bantuan 1 Pemberian Sembako 2 Pemberian Sembako 3 4 5 Kunjungan rumah Pengobatan Pelaksana Mejelis Vihara ke Lotus Charity Lotus Charity Kebaktian singkat Lotus / do’a Charity Sasaran Masyarakat umum Panti jompo dan panti yatim piatu Light Umat Buddha Intensitas Rutin tahunan Rutin bulanan Temporer Light Umat Buddha Temporer Light Umat Buddha Temporer Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Pandita Hendra, ST Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015 103 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 341 Beberapa bentuk bantuan sosial ini adalah ; (1) bantuan sembako pada hari Waisak yang dilakukan majelis rutin per tahunnya, (2) bantuan sembako kepada panti jompo dan yatim piatu secara rutin dilakukan oleh vihara setiap bulan, (3) bantuan sosial kunjungan ke rumah umat, pengobatan juga kebaktian singkat dan do’a oleh Lotus Light Charity. D. Konflik yang Pernah Terjadi Sejauh ini belum ada konflik yang memasuki tahapan agresi (yaitu kekerasan yang berhadapan dengan kekerasan) baik antar aliran dalam agama Buddha maupun antar agama Buddha dengan berbagai agama lainnya. Meskipun demikian, tercatat beberapa gesekan yang terjadi utamanya antara umat Buddha dengan ummat Kristiani. Pertama, terkait dengan perilaku oknum pendeta yang pernah melakukan upaya pembakaran rupang dari salah satu vihara aliran Mapanbumi/LKBI/BDI sekitar tahun 2010, akibat adanya anggapan bahwa rupang adalah berhala yang harus dilenyapkan dengan cara dibakar. Kedua, konflik dalam bidang pendidikan. Pernah ada kasus di SD Mulia Dharma Jl. WR. Supratman di mana kepala sekolah beragama Katolik namun mengajak siswa beragama Buddha untuk belajar agama Katolik meski di sana ada juga guru agama Buddha. Kasus lainnya terjadi di SMPN 3 Kubu Raya siswa diminta mengisi surat pernyataan untuk mengikuti pelajaran agama Kristen/Katolik padahal menurut UU Sisdiknas bahwa bila tidak ada guru agama di sekolah yang sama dengan agama siswa, maka siswa dapat dididik 342 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia oleh guru agama yang berada di luar sekolah104. Upaya konversi agama Buddha ke Kristen/Katolik lebih banyak terjadi lewat media pendidikan. Hal ini terjadi karenaa di sekolah negeri hampir tidak ada guru agama Buddha, sehingga siswa ikut ke ajaran lain105. 104 Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas Agama Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat, 25 April 2015; Pendeta Ir. Iwan Luwuk sebagai Wakil Sekretaris FKUB Kota Pontianak/Pendeta Gereja Pantekosta Indonesia Barat Kota Pontianak, 24 April 2015 105 Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas Agama Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat, 25 April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 343 344 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia V ANALISA Temuan Aspek Aliran Agama Buddha merupakan termasuk agama yang keberadaanya sudah lebih dahulu eksistensinya bila dibandingkan dengan agama lainnya. Keberbedaan agama ini terlihat dari adanya sistem keyakinannya dan berbagai ritual keagamaan tersendiri meliputi keimanan dan eskatologis, ajaran dan ibadah, relasi sosial dan kemasyarakatan. Penganut agama Buddha dengan adanya ajaran tersebut telah mewarnai perilaku sehari-harinya dengan perilaku keagamaan yang mendapat pengaruh langsung dari agamanya tersebut. Sebagai sebuah agama, Agama Buddha aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan memiliki sistem keyakinan akan ke-Tuhan-an dan masalah eskatologis (keakhiratan), sistem ajaran dan peribadatan yang bersumber dari kitab suci, sistem sosial dan kemasyarakatan. Terkait dengan aspek aliran, terdapat beberapa temuan, yaitu : 1. Aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan memadukan empat unsur, yaitu ; Tao, Tantra, Mahayana dan Theravada. Berbagai unsur tersebut diambil dalam bentuk simbol, ritual maupun ajaran. Sebagai akibatnya, maka kitab yang dianggap suci terdiri atas empat kelompok besar sebagaimana unsur serapannya yang mengambil dari Theravada, Mahayana, Tao dan Tantrayana. 2. Agama Buddha aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan yakin terhadap Caturratna (padahal pada umumnya aliran yang lain hanya yakin dengan Triratna yaitu ; yakin Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 345 terhadap Bodhisatva, Arahat dan Para Buddha). Sehingga bertambahlah dengan unsur Guru sebagai Ratna yang ke empat. Aliran ini memandang sangat penting pada praktek peribadatan sehingga benar atau salahnya harus senantiasa sesuai dengan ajaran dari guru. Beranjak dari hal itulah, maka betapa penting peran seorang guru dalam aliran Tantrayana Kasogatan. 3. Struktur keorganisasian Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan sudah dirasa memiliki kecukupan sarana maupun prasarnanya baik berkaitan dengan tempat ibadah (melalui keberadaan vihara), pembinaan umat Buddha (melalui peran para Bhikulama, Acarya maupun Maha Acarya) dan pembinaan anak-anak (melalui sekolah minggu) dan kesejahteraan umat Buddha (melalui peran lembaga otonom charity). 4. Masalah pendanaan merupakan hal yang dianggap penting bagi kelangsungan organisasi majelis beserta dengan beragam kegiatan pembinaan umat. Oleh sebab itu, aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan sejauh ini dianggap berhasil dalam upaya mereka menggali beragam pendanaan baik yang bersifat usaha profit maupun non profit (dana paramitha). Cara yang digunakannya pun sangat sesuai dengan kebutuhan umat sehingga relatif tidak menghadapi kendala yang berarti. 5. Perbedaan yang mencolok pada aliran Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan bila dibandingkan dengan ajaran agama buddha pada umumnya menyangkut Buddha hidup yang diyakini aliran Tantrayana Kasogatan dapat dilihat perilaku hidup Maha Acarya Lin Shen Yen. Ajaran ini linier dengan keyakinan Caturratna yang memasukkan satu unsur tambahan yaitu yakin kepada guru. Guru 346 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia sejatinya bukan saja menjadi tempat bersarana bagi para umatnya, namun juga menuntut untuk mengikuti teladan dari figur tertentu. Karena figur ini dianggap mewakili perilaku ideal kebudhaan, sehingga dimunculkanlah ajaran Buddha hidup ini. Temuan Aspek Potensi Konflik dan Penyelesaiannya Relasi sosial ummat Buddha dengan non Buddha paling dekat terhadap umat Kristiani dan paling jauh dengan kalangan Muslim. Hal ini disebabkan oleh ; masalah makanan yang linier dengan keserbasalahan atau tidaknya bila melakukan perjamuan, tingkat kekhawatiran kehilangan identitas ketionghoannya yang dipersepsikan hilang, tidak setuju dengan sikap kekerasan. Eksistensi Majelis agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat ditunjukkan oleh tumbuh dan berkembangnya aliran ini di daerah penelitian. Masuknya aliran Kasogatan di Kalimantan Barat sampai sejauh ini masih mengikuti (dipengaruhi) perkembangan di tingkat pusat. Artinya bila perpecahan majelis terjadi di tingkat pusat maka akan mengakibatkan besarnya potensi terjadinya perpecahan juga di tingkat provinsi, Kabupaten/Kota. Beberapa konflik yang rawan muncul, yaitu ; efek dari konversi agama yang tidak disetujui orang tua yang berpindah agama, kegiatan misionari (agama non Buddha) yang tidak didukung dengan etika dan masalah dalam pengajaran terhadap siswa beragama Buddha di sekolah yang tidak ada pengajar beragama Buddha.. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 347 Selama ini potensi konflik yang diakibatkan oleh perbedaan aliran dalam agama Buddha dapat diredam. Beberapa faktor penyebabnya, di antaranya ; percaya karma dan percaya reinkarnasi sehingga masih ada kemungkinan terjadi perbaikan di masa kelahiran yang akan datang. Adanya konflik dalam hal pengajaran maupun konflik terkait konversi agama selama ini belum terselesaikan dengan baik sehingga rawan terjadinya tingkat eskalasi yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Adapun masalah yang sudah tertangani hanya terkait kegiatan missionari yang tidak didukung etika yang penyelesaiannya dapat diselesaikan melalui musyawarah melibatkan tokoh dan pemerintah setempat. 348 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia VI PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan paparan sebagaimana di atas dapat disebutkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pendiri aliran Tantrayana Zhenfo Zong global bernama Liansheng Huo Fo atau disebut juga dengan Lu Sheng Yen. Secara umum kelahiran aliran Kasogatan merupakan sebuah harapan akan kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia (yakni pada zaman keprabuan Majapahit, zaman kedatuan Sriwijaya, serta pada zaman Mataram purba). Aliran ini di Indonesia dipelopori oleh mendiang Bhikkhu Ashin Jinnarakitta Mahathera pada tahun 1953. Pimpinan aliran Kasogatan di Kalimantan Barat bernama Herman Kora yang memimpin sejumlah manpower dengan berbagai fungsi dan tugas dan dukungan sejumlah dana yang berasal dari donasi ummat maupun usaha otonom. Jumlah pemeluk aliran Kasogatan sampai sejauh ini tidak dapat dikuantifikasi secara pasti. 2. Kitab yang dianggap suci terdiri atas empat kelompok besar sebagaimana unsur serapannya yang mengambil dari Theravada, Mahayana, Tao dan Tantrayana. Terdiri dari; Tripitaka (Theravada), Pradnya paramita, vajra cedika, sad dharma pundarika, sutra altar, awsamtaka, lanka watara (Mahayana), Sutra Yao Che (Tao), dan Sutra tantrayana yang terdiri atas ; sutra wairocana, Usnisa vajra, susidi sutra (Tantrayana). Pokok-Pokok Ajaran Tantrayana Kasogatan adalah ; Catur Arya Satyani, TriKeragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 349 Lakshana, Pratitya Samutpada, Hukum Karma dan Tumimbal Lahir, Tri-Kaya, Bodhisattva, Upaya Kausalya dan Sunyata. Ajaran Esoterik Tantrayana Satya Buddha meliputi Kriya Tantra, Carya Tantra, Yoga Tantra, dan Anuttara Tantra. Hari yang dianggap suci di antarannya adalah ; Waisak, Kathina (berdo’a untuk Sangha), Hari ulang tahun Buddha Bodisatvva, dan perayaan Ulambana. 3. Penelitian ini tidak menemukan adanya konflik atau gesekan di antara majelis yang ada di Kalimantan Barat. Namun dalam hubungan ke luar, tercatat beberapa gesekan / konflik yang terjadi yaitu ; gesekan dengan oknum pendeta yang membakar rupang dari salah satu vihara aliran Mapanbumi/LKBI/BDI sekitar tahun 2010. Konflik dalam bidang pendidikan dan konflik akibat konversi agama. Relasi sosial ummat Buddha dengan masyarakat masih terbatas pada bidang-bidang tertentu. Sedangkan relasi dengan pemerintah menunjukkan hubungan yang erat. A. Saran Penelitian ini sudah berupaya menjawab pertanyaan penelitian dengan semaksimal mungkin. Maka dari itu saran peneliti adalah : 1. Hasil penelitian ini secara umum kiranya dapat digunakan oleh Kementerian Agama RI, khususnya Dirjen Agama Buddha, sebagai bahan dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan pembinaan keorganisasian lingkup agama Buddha. 350 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 2. Menyangkut hubungan antar agama, di Kalimantan Barat khususnya pemeluk agama Buddha aliran Kasogatan dengan Kristiani mengalami konflik (meskipun masih dalam tahap prasangka) di pada aktifitas efek konversi agama, pendidikan keagamaan Buddha dan kegiatan misionari (agama) yang tidak didukung dengan etika. Maka dari itu perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan di daerah melalui perangkat penyelenggara bimbingan masyarakat Buddha dan Pembimas Buddha. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 351 352 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Alfian. 2009. “Sekte-Sekte dalam Agama Buddha”. Dalam http://jayalah-indonesiakutercinta.blogspot.com/2009/09/sekte-sekte-dalamagama-buddha.htm?m=1 [Diunduh 30 Feburari 2015] Azis, Abdul. Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Dian, 1998) Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Nusantara, (Mizan : Bandung, 2004) Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013 b. Statistik Politik 2013. [katalog] Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013 a. Indeks Pembangunan Manusia 2013. [katalog] Biro Pusat Statistik. Sensus Penduduk 2010 : Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut, (Jakarta, 2010) Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. Kalimantan Barat dalam Angka Tahun 2014 2015. Buddha Dharma Education Association. 2008. "Buddhism in Indonesia". dalam http:// www.buddhanet.net/elearrning/buddhistworld/indo-txt.htm [Diunduh 23 April 2015] Nahrawi, Nahar, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam (dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2006 hal 200 – 201. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 353 Nuh. Nuhrison M. 2012. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia. Jakarta : Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI Priastana, Jo. 2014. Buddhism and Religious Tolerance in Indonesia. [makalah] Rofiqoh, Ifa Nur, 2014. Kitab Suci Tipitaka. http://study-budhisme.blogspot.com/p/blogpage_5576.html [Diunduh 23 Maret 2015] Dalam Suzuki, Beatrice Lane. Agama Buddha Mahayana, (Jakarta : Karaniya, 2009) SVD, Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta : Penerbit Obor, 2013) Virana dan Tjeng Ing, Ensiklopedia Buddha Dharma, (Jakarta : Santusita, 2008) Widyadharma, Sumedha, 1995. “Agama Buddha dan Perkembangannya di Indonesia”. Dalam http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdhamma/agama-buddha-dan-perkembangannya-diindonesia/ [Diunduh 23 Maret 2015] Wikipedia. 2015. “Agama Buddha”. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, [Diunduh 30 Januari 2015] Dalam Daftar Wawancara : Wawancara dengan Pandita Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat, 16 April 2015 354 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Wawancara dengan Bhiksu Lian Ling Fashi sebagai Biksu Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 17 April 2015 dan 19 April 2015 Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua WALUBI Kalimantan Barat, 18 April 2015 Wawancara dengan Bhiksu Lian Yang sebagai Biksu Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 19 April 2015 Wawancara dengan Eddo sebagai Pengurus Muda Mudi Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 20 April 2015 Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai Pandita Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 21 April 2015 Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015 Wawancara dengan Pendeta Ir. Iwan Luwuk sebagai Wakil Sekretaris FKUB Kota Pontianak/Pendeta Gereja Pantekosta Indonesia Barat Kota Pontianak, 24 April 2015 Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas Agama Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat, 15 April 2015 dan 25 April 2015 Wawancara dengan Yanto sebagai Penyelenggara Bimas Buddha Kota Pontianak, 25 April 2015 Wawancara dengan Rakiman sebagai Penyelenggara Bimas Buddha Kabupaten Kubu Raya, 25 April 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 355 356 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 9 MAJELIS UMAT BUDDHA THERAVADA INDONESIA DI KOTA TANGERANG Oleh: Achmad Ubaidillah & Adang Nofandi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 357 358 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I GAMBARAN UMUM WILAYAH Sekilas Kota Tangerang Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976, Tangerang termasuk ke dalam wilayah pengembangan Jabotabek. Kedudukan dan peranan Kota Tangerang sebagai daerah penyangga DKI Jakarta menyebabkan Kota Tangerang menjadi konsentrasi wilayah pemukiman penduduk dan menjadi tempat kegiatan perdagangan terutama pada sektor industri. Perkembangan sektor perdagangan dan industri di kawasan ini memancing derasnya arus imigrasi sirkuler penduduk. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya lonjakan pertumbuhan penduduk Kota Tangerang yang terus mengalami pertumbuhan. (http://www.tangerangkota.go.id. 8 Mei 2015). Berdasarkan data kependudukan tahun 2015, penduduk Kota Tangerang telah mencapai 2.043.432 jiwa. Adapun komposisi penduduk Kota Tangerang berdasarkan agama terdiri atas: Islam (1.786.638 jiwa), Kristen (112.952 jiwa), Katolik (54.508 jiwa), Hindu (3.704 jiwa), Buddha (84.724 jiwa), Konghucu (698 jiwa) dan lain-lain (208 jiwa). (Data Kementerian Agama Kota Tangerang Tahun 2015). Dari data tersebut terlihat jelas bahwa Kota Tangerang merupakan salah satu kota di Indonesia yang begitu plural masyarakatnya khususnya dalam hal keragaman agama. Sebagai kota yang dihuni oleh penganut agama yang beragam, wilayah Kota Tangerang juga tidak sepi dari problem yang menyertainya. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 359 Kasus-kasus yang muncul terkait hubungan antarumat beragama di Kota Tangerang yang paling sering timbul ke permukaan adalah terkait pendirian rumah ibadah, atau penggunaan bangunan tertentu untuk beribadah. Beberapa kasus yang pernah terjadi di antaranya protes warga terhadap rumah yang dijadikan tempat ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pondok Bahar, yang berada di wilayah Ciledug; kasus renovasi gereja HKBP di kawasan Tanah Tinggi; kasus perluasan komplek pendidikan Strada; kasus Sang Timur yang termasuk dalam kategori pelarangan warga atas pembangunan gereja. (Prof. Dr. Marzani Anwar, 2011 dalam https://marzanianwar.wordpress.com. 8 Mei 2015) Selain kasus di atas, di Kota Tangerang pernah terjadi kasus lain seputar penolakan pendirian rumah ibadah di antaranya: penolakan atas rencana pembangunan Gereja Paroki Santa Bernadet; penolakan atas pembangunan rumah ibadah umat Sikh, Kuil Gurdwara Dharma Khalsa di Kecamatan Karang Tengah (Drs.H. Arief Fahruddin, Kasubag TU Kemenag Kota Tangerang. Wawancara. 4 Mei 2015). Namun demikian, kasus-kasus keagamaan tersebut pada umumnya tidak berujung pada aksi-aksi kekerasan. Hal ini dikemukakan oleh Drs. KH. Amin, MA, Ketua FKUB Kota Tangerang yang menyebutkan bahwa faktanya memang ada riak-riak di masyarakat dalam merespon keberagaman namun pada umumnya dapat diselesaikan dengan baik tanpa menimbulkan aksi-aksi kekerasan. (Drs. KH. Amin, MA, Ketua FKUB Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Keterangan ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. Marzani Anwar (2011), bahwa keberadaan Forum Kerukunan Antar 360 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Umat Beragama (FKUB) di Kota Tangerang relatif telah berhasil mengurangi ketegangan antarumat beragama. Keberhasilan tersebut salah satunya dikarenakan FKUB Kota Tangerang secara intensif bekerjasama dengan semua unsur terkait seperti pemerintah daerah, TNI, Polri dan tokoh tokoh agama, bersinergi dalam membangun dan merawat kerukunan umat beragama. Modal utama dalam membangun dan menjaga kerukunan, FKUB Kota Tangerang senantiasa membangun kebersamaan antar pemimpin agama yang ada di FKUB, juga sering berkomunikasi dengan masyarakat untuk menjaring informasi dari masyarakat serta sering mengundang para tokoh agama dalam rangka menyosialisasikan program untuk menyebarkan spirit kerukunan antar umat (Drs. KH. Amin, MA, Ketua FKUB Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Di samping itu, modal lainnya yang mendorong upayaupaya peace keeping tersebut yaitu adanya realitas yang tidak dapat dimungkiri bahwa kerukunan umat di Kota Tangerang sesungguhnnya sudah lama ada sejak dahulu. Hal semacam ini telah menjadi salah satu modal sekaligus faktor penting dalam upaya membangun dan merawat kerukunan antarumat beragama di Kota Tangerang yang begitu plural dalam hal etnisitas dan agama. (Ahmad Kahfi, Pengurus PCNU Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Perkembangan Agama Buddha di Kota Tangerang Perkembangan agama Buddha saat ini kian pesat di Indonesia, salah satu kota yang mengalami perkembangan agama Buddha yang pesat adalah kota Tangerang. Umat Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 361 Buddha menyebar di kota sampai ke pelosok kota Tangerang. Diiringi dengan pembangunan vihara/cetiya hingga ke pelosok guna memudahkan umat untuk beribadah di Vihara/Cetiya. Gambaran perkembangan pesat ini dapat dilihat dari data komposisi penduduk berdasarkan agama dari Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang sebagaimana uraian di atas yang menyebutkan jumlah populasi umat Buddha di Kota Tangerang adalah sebesar 84.724 jiwa. Terlebih jika mengacu pada data populasi umat Buddha yang dikeluarkan oleh Pembimas Buddha Kantor Kementerian Agama Wilayah Provinsi Banten yang menyebutkan bahwa jumlah umat Buddha di Kota Tangerang adalah sebanyak 165.905 jiwa. (Data Pembimas Buddha Kementerian Agama Provinsi Banten Tahun 2015). Data tersebut memang berbeda jauh dengan data populasi umat Buddha dari Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang, dan bahkan selisih jumlah tersebut hampir dua kali lipat lebih besar dari jumlah populasi umat Buddha yang diperoleh dari Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang. Kondisi semacam ini tentu perlu menjadi perhatian segenap pihak untuk melakukan pemutakhiran data berdasarkan pada sensus yang dilakukan secara periodik sehingga akan ditemukan jumlah populasi yang akurat. Selanjutnya, berdasarkan data Pembimas Buddha Kementerian Agama Provinsi Banten Tahun 2015, secara terperinci data keberadaan Agama Buddha di Kota Tangerang adalah berikut: 8 Bikhhu/Bikkhuni, 78 Juru Penerang, 90 Dharmaduta, 26 Pandita, 90 Penyuluh non-PNS, 86 Guru, 1 Pengawas Pendidikan, 49 Vihara, 29 Sekolah Minggu Buddha, 12 Yayasan dan 19 Sekolah Bercirikan Buddha. Sedangkan 362 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia majelis yang ada di Kota Tangerang antara lain: Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi), Majelis Agama Buddha Indonesia (Magabudhi), Majelis Agama Buddha Tri Dharma Indonesia, Majelis Buddhayana Indonesia, Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), Majelis Agama Buddha Tantrayana ZFZ Kasogatan Indonesia. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 363 364 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II TEMUAN PENELITIAN Sejarah Majelis (Majubuthi) Umat Buddha Theravada Indonesia Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia disingkat Majubuthi, dideklarasikan pada tanggal 19 April 2000 di Bandung. Majubuthi merupakan Majelis Agama Buddha yang bersumber pada kitab Suci Tipitaka (Pali) dan berasaskan pada Buddha Dhamma dan Pancasila Negara. Sebagai majelis yang menaungi umat Buddha Theravada di Indonesia, Majubuthi merupakan organisasi yang bersifat kerukunan yang menjalankan fungsi memberikan bimbingan, tuntunan dan menghimpun serta mengarahkan kehidupan beragama untuk umat Buddha Theravada sesuai ajaran Agama Buddha dengan kepribadian Indonesia. (http://www.walubi.or.id/majelis/majelis_majubuthi.shtml. 9 Mei 2015). Sebelum terbentuknya Majubuthi, telah ada satu organisasi berbentuk LSM yang dinamakan Pervitubhi atau Persaudaraan Vihara Umat Buddha Indonesia yang lahir pada tanggal 30 November 1999 dan merupakan cikal bakal Majubuthi. Pervitubhi didirikan oleh para tokoh agama Buddha dari mazhab Theravada yang berkeinginan untuk tetap berada dalam tubuh Walubi pasca keluarnya Magabudhi atau Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia dari Walubi. Kekosongan majelis Theravada dalam organisasi Walubi tersebut mendorong para tokoh agama Buddha mazhab Theravada yang tetap ingin berada dalam Walubi Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 365 melahirkan keputusan untuk melebur Pervibuthi menjadi Majubuthi pada tanggal 19 April tahun 2000 di Bandung. Perubahan nama ini selain disebabkan oleh kedudukan Pervitubhi sebagai LSM juga disebabkan adanya persyaratan keanggotaan Walubi bahwa anggota Walubi harus merupakan majelis-majelis agama Buddha (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Penjelasan mengenai syarat keanggotaan Walubi tersebut sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Walubi yang berbunyi: “Anggota WALUBI terdiri dari Majelis-Majelis Agama Buddha dan Lembaga Keagamaan Buddha yang bertaraf nasional.” (AD-ART Walubi Bab VII Pasal 12). Dalam pendirian Majubuthi, tokoh tokoh agama Buddha yang berperan dalam pendirian tersebut antara lain: Romo Soedjito Kusumo Kartiko, Romo Anton Setiawan, Murdaya Widyawimarta Poo dan beberapa tokoh agama Buddha Theravada perwakilan dari daerah Jakarta, Pekanbaru, Jambi, Manado, Tangerang dan Bandung. Pertemuan di Bandung pada tanggal 19 April 2000 tersebut dalam sejarah pendirian Majubuthi dikenal dengan sebutan Konsensus yakni sebuah kesepakatan peleburan nama Pervitubhi menjadi Majubuthi sekaligus memutuskan Romo Soedjito Kusumo Kartiko sebagai ketua umum DPP Majubuthi. Sedangkan tokoh-tokoh yang menjadi tim perumus selama Konsensus itu berlangsung antara lain Romo Rubi Santamoko, Leo Kristi, Eeng, Antonio dan beberapa tokoh lain dalam mazhab Buddha Theravada di Indonesia. (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). 366 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Selain faktor-faktor di atas, pendirian Majubuthi merupakan imbas dari adanya keputusan Ibu Hartati Murdaya selaku ketua umum Walubi mengubah kata “perwalian” dalam akronim Walubi menjadi “perwakilan” (Romo Yura, Ketua DPC Walubi Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Perubahan kata “perwalian” menjadi “perwakilan” tersebut telah membuka kesempatan kepada orang biasa untuk menjadi pengurus Walubi. Adapun konflik Walubi dengan KASI dikarenakan ada kelompok di Sangha yang menginginkan kepimpinan Walubi (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Adanya peristiwa ini menyebabkan Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia atau Magabudhi keluar dari keanggotaan Walubi dan bergabung dengan Konferensi Agung Sangha Indonesia. Dengan keluarnya Magabuthi yang bermazhab Theravada, maka terjadi kekosongan representasi Theravada dalam organisasi Walubi yang pada akhirnya mendorong para tokoh Buddha Theravada di Indoonesia yang masih ingin bergabung dalam Walubi membentuk Majubuthi atau Majelis Umat Buddha Theravada di Indonesia serta mengisi kekosongan tersebut dengan masuk dalam keanggotaan Walubi (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015). Perubahan kata “perwalian” menjadi “perwakilan” memang menjadi hal yang sangat kontroversial dalam internal Buddha di Indonesia. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang dibentuk di era reformasi, tidaklah sama dengan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), walaupun menggunakan singkatan yang sama. Perwalian Umat Buddha Indonesia yang didirikan pada bulan Mei tahun 1979 oleh 3 (tiga) Sangha dan 7 (tujuh) majelis agama Buddha (organisasi umat Buddha awam) merupakan wadah tunggal Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 367 yang didesign mencakup semua organisasi umat Buddha Indonesia, tetapi Perwakilan Umat Buddha Indonesia yang didirikan pada bulan Desember tahun 1998 hanyalah organisasi umat Buddha awam. Karena itu kemunculan Dewan Sangha dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia tidak dapat dibenarkan, sebab tidak sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Suci Tripitaka. Kemunculan Dewan Sangha Walubi di samping telah melanggar aturan Kitab Suci, juga telah menjadikan adanya bhiksu dan bhiksuni di luar KASI, walaupun mayoritas bhiksu dan bhiksuni Indonesia (95 %) tergabung dalam KASI. Sebaliknya pembubaran Walubi (Perwalian) dan pembentukan Walubi (Perwakilan) yang penuh kontroversi serta sikap Walubi (Perwakilan) yang tidak menghormati keberadaan KASI, telah mengakibatkan Walubi (Perwakilan) dianggap tidak mendapat dukungan dari mayoritas umat Buddha kendati Walubi (Perwakilan) beranggotakan banyak majelis agama Buddha (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8212.15. 14 Mei 2015). Selanjutnya terkait dengan perkembangan Majubuthi di Indonesia dan Kota Tangerang, sejak didirikan pada tahun 2000, perkembangan Majubuthi relatif kurang berkembang dengan baik dan bahkan dalam hal kepemimpinan pun Romo Sujito terlalu lama memimpin organisasi Majubuthi. Namun demikian, kondisi ini – sebagimana diungkapkan oleh Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi, lamanya masa kepemimpinan tersebut bukan karena tidak ingin melakukan regenerasi tetapi lebih pada alasan pembenahan di internal dan pilihan para elit Majubuthi untuk fokus mendirikan yayasan pendidikan Dharma Widya sebagai yayasan yang mengelola TK, SD, SMP, SMK dan Sekolah Tinggi Agama Buddha Dharma Widya di Tangerang. 368 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Perkembangan dan kemajuan ini merupakan dampak positif dari reformasi yang terjadi di tubuh Majubuthi yang dimulai pada tahun 2012. Pada tahun ini, Majubuthi melakukan reformasi diri setelah mengalami masa vakum yang cukup panjang. Bahkan tahun 2012 dianggap oleh kalangan internal Majubuthi sebagai tahun kebangkitan Majubuthi secara organisasi. Kemajuan ini kemudian berdampak pula pada pengembangan keorganisasian yakni dengan adanya pembentukan kepengurusan di 14 Provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Di 14 provinsi tersebut juga sudah terbentuk kepengurusan cabang di Kota Kabupaten. Di samping itu, saat ini Majubuthi memiliki 387 Romo/Pandita di seluruh Indonesia, dan paling banyak terdapat di Propinsi Banten yakni 52 Romo/Pandita dan sebagian besar ada di Kota Tangerang. Adapun jumlah Vihara Majubuthi di Kota Tangerang ada sekitar 10 vihara dan ada 60 Vihara yang dibina Majubuthi di wilayah Tangerang Raya. Namun, terkait dengan jumlah Umat Buddha yang tergabung ke dalam Majubuthi, hingga saat ini tidak pernah ada data valid mengenai jumlah tersebut dan ini diakui merupakan kelemahan umat Buddha secara keseluruhan termasuk di Majubuthi yang tidak mempunyai data valid mengenai keanggotaan. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya melakukan pendataan tersebut dikarenakan umat Buddha yang mengikuti peribadatan di Vihara yang dimiliki dan dibina oleh Majubuthi tidak selalu merupakan anggota Majubuthi, melainkan dari kalangan mazhab yang berbeda Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 369 pun seringkali beribadah di vihara Majubuthi (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015) Ajaran dan Peribadatan Ajaran Pokok umat Buddha Majubuthi tidak berbeda dengan sebagian besar pemeluk agama Buddha yang menjadikan Tripitaka sebagai sumber ajaran pokok. Ajaran utama dari kitab Tripitaka meliputi 3 inti ajaran sang Buddha yaitu tidak berbuat jahat, memperbanyak perbuatan baik, menyucikan hati dan fikiran. Ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Ajaran tentang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup pada perkembangan. Ajaran tentang Buddha berkaitan pula dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu ciri ajaran semua agama. Ajaran tentang Damma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan ciri manusia itu sendiri maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya. Ajaran tentang Sangha sebagai pasamuan para bikshu juga berkaitan dengan umat yang menjadi tempat para bikshu menjalankan dhammanya. Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, dhamma, Sangha, dan dalam satu rumusan kuno yang sederhana namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tiratana yang berasal dari bahasa Pali yang artinya satu bagian terpenting dan yang 370 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia menjadi dasar agama Buddha. Tiratana berasal dari dua kata Ti yang berarti tiga dan Ratana yang berarti permata arti keseluruhannya adalah tiga permata mulia, yang maksudnya adalah tiga Perlindungan, rumusan tersebut berbunyi: Buddha Saranam Gaccami – Aku berlindung kepada Buddha; Dhamma Saranam Gaccami – Aku berlindung kepada Dhamma; Sangha Saranam Gaccami – Aku berlindung kepada Sangha Permata yang pertama adalah Buddha yaitu seseorang yang mencapai penerapan yang sempurna dengan kemampuan sendiri tanpa bantuan dari makhluk-makhluk lain. Ia mempunyai kemampuan untuk menguraikan dan membabarkan penyatuan kepada makhluk-makhluknya. Permata yang kedua adalah Dhamma yaitu ajaran-ajaran yang diberikan dan dibabarkan Sang Buddha untuk mencapai Nibbana. Permata yang ketiga adalah Ariya Sangha yaitu persaudaraan para pengikut sang Buddha yang telah melaksanakan dhamma dengan sempurna dan yang telah mencapai magga (jalan) dan phala (hasil) dapat juga dikatakan persaudaraan para pengikut sang Buddha yang telah mencapai tingkatan tingkatan kesucian baik tingkatan pertama (sota panna) orang yang telah mencapai tujuh kali kelahiran, kedua (saka dagami) orang yang telah mencapai lima kali kelahiran, ketiga (anagani) orang yang telah mencapai satu kali kelahiran, maupun yang keempat (arahat) orang yang tidak sama sekali mengalami kelahiran (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015). Dalam hal peribadatan, umat Buddha Majubuthi melaksanakan peribadatan di Vihara: Membaca Parita Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 371 (membaca doa Tripitaka), Meditasi (menyucikan hati dan fikiran), berdana/beramal. Selain aktifitas peribadatan tersebut, dilaksanakan pula kebaktian umum untuk semua usia, sekolah minggu untuk anak anak, kebaktian remaja, meditasi pagi dan pujabhakti, pujabhakti sore dan meditasi sore. Peribadatan ini tidak hanya dilakukan di vihara tetapi juga terdapat peribadatan doa pagi, doa malam yang dilakukan di rumah serta melakukan ibadah pujabhakti untuk pemberkatan rumah, kelahiran, kematian dan pada saat akan membuka usaha. Secara runut peribadatan di Vihara terdiri atas: 1). Menghormat kepada Buddha Dharma dan Sangha; 2). Mengukuhkan keyakinan dengan membaca Parita; 3). Mengulang ikrar bertekad melaksanakan Pancasila (tidak membunuh, tidak mengambil barang yang tidak diberikan, melatih diri menghindari perbuatan asusila, menghindari ucapan tidak benar/ berbohong, tidak mengonsumsi minuman atau makanan yang melemahkan kesadaran); 4). Membaca Parita tentang 9 keagungan Buddha; 5). Membaca Parita keagungan Dhamma; 6). Membaca Parita para Sangha (para bikkhu); 7). Membaca Parita pernyataan kebenaran; 8). Membaca tentang Manggalasuta tentang berkah utama; 9). Membaca aturan tentang cinta kasih termasuk terhadap mahluk setan; 10). Membaca Parita tentang pelimpahan jasa (Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten; Romo Nanda, Pengurus Vihara Shidarta Milik Majubuthi dan Ketua Majubuthi Kota Tangerang Selatan. Wawancara. 2 Mei 2015). Simbol simbol yang terdapat dalam keyakinan mazhab Majubuthi antara lain: bendera warna warni sebagai 372 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia perlambang bahwa umat Buddha Majubuthi siap melaksanakan dhamma/ajaran. Warna tersebut terdiri atas warna biru bermakna bakti; kuning bermakna bijaksana; merah bermakna cinta kasih; putih bermakna suci dan jingga bermakna semangat (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015). Di samping itu, di vihara vihara Majubuthi pada umumnya terdapat rupang Brahma dan rupang Dewi Kwan Im. Adanya rupang Dewa Brahma tersebut bukan dalam rangka memuja melainkan menghormati Brahma karena telah berjasa dalam menerangkan ajaran Buddha yang menjadi ajaran yang dijalankan oleh umat Buddha. Dasar argumentasi penghormatan tersebut mengacu pada Kitab Tripitaka Parita Manggalasuta Bait ke-4 yang berbunyi: “Hormatilah siapapun yang patut dihormati” (Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten; Romo Nanda, Pengurus Vihara Shidarta Milik Majubuthi dan Ketua Majubuthi Kota Tangerang Selatan. Wawancara. 2 Mei 2015). Perbedaan lainnya yang nampak adalah pada warna seragam yang dipakai oleh para romo yaitu cokelat muda yang awalnya berwarna cokelat tua. Perubahan warna tersebut didasari oleh semangat era kebangkitan Majubuthi. Adapun hari raya suci yang dirayakan oleh Umat Buddha Majubuthi kurang lebih sama dengan mazhab lainnya dalam agama Buddha yaitu merayakan Hari Raya Suci Waisak, Magapuja, Khatina, Asadha. Upacara Keagamaan lainnya yaitu acara pelimpahan jasa kepada leluhur lewat Patidana sebuah upacara menggabungkan tradisi dengan agama serta menyajikan sesaji makanan untuk leluhur kemudian didoakan Bikkhu. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 373 Selanjutnya mengenai perbedaan dengan mazhab lainnya, terdapat beberapa perbedaan di antaranya: Theravada dan Mahayana berbeda dalam perayaan hari suci Waisak. Untuk Mahayana misalnya diperingati dengan memandikan rupang Shidahrta Kecil (patung). Selain itu, Majubuthi memberikan kelonggaran bagi mereka yang ingin bergabung sebagai romo, sedangkan di mazhab lain ada kriteria yang ketat untuk menjadi romo yaitu harus menjadi Upacarika lalu di test untuk menjadi romo/Pandita. Sedangkan di Majubuthi hal tersebut tidak dilakukan karena para pengurus Majubuthi berpikir bahwa setelah mereka memiliki keinginan maka pengurus Majubuthi akan melakukan pembekalan dan pendidikan. Oleh karena itu, Majubuthi merupakan era baru dalam rekrutmen rohaniwan dan bahkan dianggap terlalu mudah dalam melakukan proses rekrutmen. Hal semacam ini di Magabudhi pun tidak dilakukan padahal notabene sesama mazhab Theravada. Apa yang dilakukan oleh Majubuthi ini membawa haluan baru dan ketertarikan baru di kalangan generasi muda yang ingin menjadi romo/pandita (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Perbedaan lainnya adalah dari segi tata cara kebaktian meskipun tidak berbeda dengan mazhab lainnya dalam Buddha, namun intonasi dan pelafalan pembacaan doa terdapat sedikit perbedaan. Selain itu ada beberapa peraturan khusus untuk setiap Sanghanya: Untuk Theravada termasuk Majubuthi ada 227 Peraturan kehidupan, sedangkan mazhab Mahayana ada 356 aturan yang harus dipegang dan dilaksanakan oleh para Sangha (Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten. Wawancara. 2 Mei 2015). 374 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Kegiatan Majubuthi Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia atau Majubuthi sejak tahun 2000 mulai melakukan reformasi melalui upaya pembenahan internal organisasi dan pembentukan perwakilan di wilayah wilayah dan cabang di beberapa provinsi, kota/kabupaten di Indonesia termasuk di Kota Tangerang. Oleh karena itu, di Kota Tangerang pun telah dibentuk kepengurusan yang diketuai oleh Romo Ridwan selaku tokoh yang dianggap sesepuh bagi umat Buddha Majubuthi khususnya di Provinsi Banten. Hal yang menarik dalam proses pergantian kepemimpinan di organisasi Majubuthi adalah pergantian kepemimpinan melalui mekanisme pembentukan yang hampir tidak menimbulkan gesekan sama sekali di internal Majubuthi. Hal ini berbeda dengan organisasi lain di mana proses suksesi kepemimpinan melalui mekanisme pemilihan yang relatif berlangsung dinamis dan kompetitif. Peneliti berpandangan bahwa proses ini terjadi dikarenakan minimnya ketertarikan umat Buddha Majubuthi untuk terlibat aktif dalam struktur organisasi. Selanjutnya, secara struktur organisasi, selain Majubuthi merupakan bagian dari organisasi Walubi, juga berkiblat pada Organisasi Sangha Thervada Thailand. Ini berbeda dengan sesama majelis bermazhab Theravada lainnya yaitu Magabudhi yang berkiblat pada Sangha Theravada Indonesia. Dalam hal keanggotaan, meskipun ada etnis Jawa yang menjadi umat Buddha Majubuthi, tetapi sebagian besar adalah berlatar belakang Tionghoa. Adapun kegiatan pembinaan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 375 yang rutin dilakukan oleh Majubuthi adalah melalui kegiatan sekolah Minggu dan kebaktian anak-anak dan remaja. Selain itu secara rutin dilakukan kegiatan upgrading untuk para romo/pandita yang mengabdi di vihara vihara yang dimiliki dan dibina oleh Majubuthi. Kegiatan pembinaan pun tidak sebatas itu, Majubuthi juga terus melakukan pembinaan dengan cara mendorong umat untuk terlibat aktif dalam setiap upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh Majubuthi sebagai bagian dari penanaman dan penguatan nilai-nilai dan ajaran Buddha (Romo Taram, Ketua Majubuthi Kabupaten Tangerang/Plt Pembimas Buddha Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Sedangkan dalam hal pendanaan, pada umumnya dalam setiap kegiatan termasuk honor para pandita, sebagian besar diperoleh dari umat dan pengurus Majubuthi yang memberikan donasi kepada Vihara yang dimiliki dan dibina oleh Majubuthi yang statusnya otonom tidak bersifat hierarkis di bawah struktur Majubuthi. Namun demikian, pemerintah juga tetap memberikan perhatian dalam bentuk bantuan dana untuk kegiatan upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh Majubuthi meskipun bantuan tersebut tidak bersifat rutin dan periodik (Romo Yura, Ketua DPC Walubi Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Untuk kegiatan sosial, Majubuthi rutin menyelenggarakan kegiatan sosial dalam bentuk bakti sosial dan santunan. Selanjutnya dalam hal relasi umat Buddha Majubuthi dengan mazhab yang berbeda dan umat pemeluk agama lain termasuk dengan masyarakat berlangsung baik dan harmonis. Sejauh ini dengan majelis lain tidak ada masalah dan hidup saling hormat menghormati. Bahkan untuk pembangunan 376 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia vihara pun tidak menemui kendala berarti. Kasubag TU Kementerian Agama Kota Tangerang. Wawancara. 4 Mei 2015). Relasi yang tidak harmonis justeru berlangsung di internal, terutama dengan sesama mazhab Theravada yaitu Magabudhi. Magabudhi bahkan pernah memasang label/plang Sangha dari Magabudhi di vihara vihara yang diklaim sebagai binaan Magabudhi meskipun sekarang sudah berubah. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan eksistensi mereka dan untuk menutup Majubuthi masuk ke dalam vihara mereka. Saat itu bahkan Majubuthi dicap sebagai kelompok sempalan. Selain pemasangan plang tersebut, juga pernah terjadi pelarangan kepada romo/pandita Majubuthi untuk melakukan pembabaran Dharma di vihara yang dibina oleh Magabudhi (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Hal yang sama juga dialami Romo Taram, Ketua Majubuthi Kabupaten Tangerang/Plt Pembimas Buddha Kota Tangerang (Wawancara. 8 Mei 2015). Analisis Dari uraian di atas jelas bahwa relasi antar umat beragama khususnya kalangan pemeluk agama Buddha dengan umat agama lain berlangsung baik dan hampir tidak pernah terjadi gesekan maupun konflik terbuka. Begitupun halnya dalam intern Buddha antara Majubuthi yang bermazhab Theravada dengan mazhab lain yang berbeda. Justeru yang terjadi adalah relasi yang kurang harmonis terjadi di internal mazhab Theravada di Indonesia yakni Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 377 antara umat Buddha Majubuthi dengan Magabudhi meskipun relasi yang kurang harmonis ini hanya terjadi di level elit mengingat di level akar rumput hampir tidak memikirkan soal perbedaan mazhab terlebih lagi perbedaan organisasi. Gambaran potensi konflik semacam ini tentu penting untuk menjadi informasi yang bisa menguatkan hipotesis bahwa tidak mesti konflik terjadi disebabkan oleh perbedaan agama maupun perbedaan mazhab, karena faktanya terjadi bahwa di internal mazhab/aliran tertentu pun potensi konflik terjadi akibat adanya perbedaan cara pandang dan penafsiran misalnya dalam hal dihadirkannya rupang Brahma dan Dewi Kwan Im di Vihara Majubuthi yang mendapat respon kurang positif dari kalangan Magabudhi (Irwan, Umat Buddha Magabudhi. Wawancara. 8 Mei 2015). Peristiwa kurang harmonisnya elit Majubuthi dengan Magabudhi yang tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perpecahan di internal agama Buddha di Indonesia antara tokoh tokoh Walubi dengan Konferensi Agung Sangha Indonesia. Sedangkan potensi konflik di internal Majubuthi, berdasarkan hasil observasi dan wawancara, dapat dikemukakan bahwa potensi konflik di internal Majubuthi nyaris tidak ada dan bahkan justeru sebaliknya, mereka satu sama lain bekerjasama membangun dan menguatkan organisasi dan kiprah Majubuthi di kalangan umat Buddha dan masyarakat pada umumnya. Hal menarik yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk menguatkan hal tersebut adalah pada peristiwa suksesi kepemimpinan di Majubuthi baik di tingkat Dewan Pimpinan Pusat maupun Wilayah dan Cabang. Tidak ada proses pemilihan yang dinamis dan kompetitif sebagaimana terjadi di organisasi pada umumnya 378 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia di Indonesia. Tentu akan berbeda apabila Majubuthi sudah menjelma menjadi organisasi yang relatif besar dalam arti pengaruh dan posisi tawar politik di hadapan publik meskipun Majubuthi bukan merupakan organisasi politik maupun organisasi keagamaan yang terstigma sebagai organisasi keagamaan yang cenderung politis. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan kegiatan yang lebih menguatkan kebersamaan di internal mazhab Theravada antara Majubuthi dan Magabudhi meskipun saat ini konflik konflik semacam itu tidak terjadi dan masih bersifat laten dan tidak bersifat terbuka. Inisiatif itu perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama melalui Pembimas Buddha. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 379 380 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III PENUTUP Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, lahirnya Majubuthi merupakan implikasi perpecahan di internal Walubi. Kedua, potensi konflik di kalangan umat Buddha sesungguhnya terjadi tidak seperti asumsi yang berkembang selama ini bahwa pemeluk agama Buddha kecil kemungkinannya terlibat dalam konflik meskipun berlangsung diam diam dan tidak bersifat konflik terbuka khususnya di kalangan internal mazhab Theravada yakni Magabudhi dan Majubuthi. Ketiga, ajaran pokok dan tata cara peribadatan semua mazhab pada umumnya sama, yang membedakan hanyalah intonasi, tata cara pelafalan, simbol simbol dan perlakuan terhadap tradisi Tionghoa dan Hinduisme. Keempat, dalam penelusuran jumlah anggota majelis termasuk jumlah pemeluk agama Buddha selain terkendala oleh tidak adanya data base yang akurat di pembimas Buddha juga disebabkan oleh perilaku beribadat umat Buddha yang tidak terpaku pada satu vihara dan mazhab tertentu. Atas dasar kesimpulan tersebut maka penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi antara lain: Pertama, Ditjen Bimas Buddha perlu melakukan pendataan dan pemutakhiran data umat Buddha dan jika mungkin pendataan anggota majelis agama Buddha secara baik dan akurat agar diperoleh keterangan jumlah umat. Kedua, pemerintah perlu membuat program yang lebih menekankan pada dukungan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan umat Buddha dan kepada para rohaniwan yang telah berbakti bagi umat Buddha Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 381 yang pada umumnya lebih berorientasi pada kepedulian membabarkan Dharma Buddha. Ketiga, perlu diselenggarakan kegiatan kegiatan yang intensif untuk membangun kebersamaan di kalangan umat Buddha baik di internal mazhab maupun dari berbagai mazhab yang berbeda. 382 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Aziz, Abdul. Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia. Jakarta: Pen Dian, 1998. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Nusantara. Bandung: Mizan, 2004. Buddisme in Indonesia”. Buddha Association, 2005. Diakses “ Dharma Education 2006-10-03. Nahrawi, Nahar. Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam (dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia). Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2006. “ Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut.” Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2010. Raho, Bernard Raho SVD. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Penerbit Obor, 2013. "Buddhism in Indonesia". Buddha Dharma Education Association. Buddha Dharma Teitaro Suzuki, Daisetz. “Agama Buddha Mahayana.” Terj. Hastiati. Beatrice Lane. Jakarta: Karania Dharma Universal Untuk Semua, 2009. http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/. maret 2015 23 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha. 30 Januari 2015 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 383 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha. 30 Januari 2015. http://www.geocities.com/budicentre. 30 Februari 2015. http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia. 23 Maret 2015 http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia http://study-budhisme.blogspot.com/p/blog-page_5576.html 384 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 10 MAJELIS BUDDHA SOKA GAKKAI DI INDONESIA Oleh: Syaiful Arif Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 385 386 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I PENDAHULUAN Soka Gakkai Indonesia (SGI) adalah cabang dari Soka Gakkai Internasional. Ia merupakan perkumpulan umat Buddha Jepang yang mengembangkan ajaran Buddhisme Nichiren dan pemikiran serta gerakan perdamaian dari Presiden Ke-3 Soka Gakkai Internasional, Daisaku Ikeda. Nama Soka Gakkai berarti perkumpulan pencipta nilai. Awalnya ia merupakan perkumpulan pendidikan pencipta nilai yang didirikan oleh Tsunesaburo Makiguchi (1871-1944) pada 1930 di Jepang. Perkumpulan ini mengembangkan pendidikan bagi para guru agar menggunakan pendekatan pengajaran pencipta nilai (soka) sebagai alternatif bagi pendidikan indoktrinasi yang dipaksakan oleh kekaisaran Jepang. Perkenalan Makiguchi dengan ajaran Buddhisme Bikhu Nichiren membuat ia menggeser arah perkumpulan ini dari pendidikan kepada penyebaran agama Budhha. Ajaran Nichiren sendiri merupakan upaya reformatif sebagai bagian dari kontekstualisasi Buddhisme Sakyamuni ke kehidupan modern. Aspek reformatifnya terletak pada pemahamannya atas keinginan, yang dalam Buddha konvensional dimaknai sebagai penyakit yang harus dihilangkan. Namun dalam pandangan Nichiren, ia merupakan potensi bagi pencerahan. Sebab praktik spiritual yang baik tidak terletak pada penghapusan keinginan yang merupakan sifat dasar manusia. Melainkan mengolahnya menjadi energi positif yang bermanfaat bagi sesama. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 387 SGI merupakan perkumpulan umat dan tidak memiliki struktur kebikhuan. Ini merupakan kritik mereka atas peran sentral bikhu di dalam agama Buddha yang telah menciptakan struktur hirarkis. Ini juga berdampak pada penempatan Sakyamuni yang dipahami sebagai guru, bukan dewa yang disakralkan. Inti ajaran mistiknya terdapat pada kalimat Nam Myoho Renge Kyo, yang merupakan alih bahasa Jepang dari judul kitab Buddha, Saddhama Pundarika Sutra (Sutra Bunga Teratai). Makna dari kalimat tersebut berarti ketaatan terhadap hukum mistik. Kalimat ini menjadi mantra suci yang dilafadzkan ketika sembahyang di hadapan Gohonzon, sebuah objek suci tempat peribadatan. Sebagai perkumpulan umat, SGI mengembangkan tiga program yang telah dipraktikkan secara global. Yakni perdamaian, kebudayaan dan pendidikan. Pada ranah perdamaian, gerakan SGI merujuk pada Proposal Perdamaian (Peace Proposal) yang ditulis Daisaku Ikeda dan disampaikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setiap tanggal 26 Januari, tanggal kelahiran Soka Gakkai Internasional. Dalam kaitan ini, gagasan perdamaian Ikeda memuat tiga tawaran; transformasi internal yang bersifat psikis, dari pribadi konfliktual menjadi pribadi yang damai, dialog peradaban lintas agama, bangsa dan ideologi, serta kewargaan global yang lahir dari kesadaran global akan urgensi perdamaian dunia. Sedangkan untuk kebudayaan dan pendidikan, SGI mengembangkan apresiasi budaya lokal serta pendidikan berbasis perdamaian. Dengan demikian, SGI merupakan perkumpulan Buddhis yang mengedepankan tindakan aktif bagi penciptaan perdamaian, kebudayaan dan pendidikan. Ia tidak hanya 388 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia perkumpulan ibadah, melainkan gerakan berbasis nilai-nilai spiritual Buddhisme. kemanusiaan Penelitian tentang Soka Gakkai Indonesia ini merupakan bagian dari penelitian tentang Majelis-majelis Agama Buddha di Indonesia yang diadakan oleh Puslitbang Kehidupan Kegamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2015. Ruang lingkupnya di DKI Jakarta sebagai representasi kepengurusan pusat SGI. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 389 390 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II TEMUAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Soka Gakkai Soka Gakkai Indonesia (SGI) merupakan organisasi umat awam Buddhisme Nichiren Daishonin. Ia merupakan anggota dari Soka Gakkai Internasional yang lahir di Jepang. Secara historis, Soka Gakkai bermula pada tahun 1930 sebagai sebuah kelompok studi para pendidik reformis. Sang pendiri Tsunesaburo Makiguchi (1871-1944) adalah seorang penulis dan pendidik, terinspirasi oleh Buddhisme Nichiren Daishonin dan sepenuh hati mendedikasikan diri untuk mengubah sistem pendidikan Jepang. Teorinya tentang pendidikan penciptaan nilai yang kemudian ia terbitkan dalam bentuk sebuah buku pada tahun 1930, dipusatkan pada kepercayaan akan potensi tak terhingga dari setiap individu dan menganggap pendidikan sebagai pencarian seumur hidup akan kesadaran diri, kearifan dan perkembangan. Penekanan Makiguchi tentang cara berpikir yang mandiri daripada cara belajar tanpa berpikir, dan motivasi diri daripada kepatuhan yang membabi buta, secara langsung telah menantang penguasa di Jepang saat itu yang menganggap peranan pendidikan hanyalah untuk membentuk orang-orang yang patuh terhadap negara. Tahun 1930-an adalah masa bangkitnya nasionalisme militeristik di Jepang yang kemudian memuncak pada keterlibatannya dalam Perang Dunia II. Pemerintah militer Jepang memaksa seluruh warganya untuk memeluk Shinto sebagai cara untuk memuliakan perang agresinya, dan Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 391 mengambil tindakan keras terhadap segala bentuk penentangan. Makiguchi dan rekan terdekatnya Josei Toda (1900-1958), menolak untuk mengkompromikan kepercayaan maupun memberikan dukungan kepada rezim militer. Akibatnya, mereka ditangkap dan dipenjara pada tahun 1943 sebagai "penjahat pemikiran." Meskipun berbagai upaya dilakukan untuk membujuk agar ia melepaskan prinsipnya, Makiguchi tetap berpegang teguh pada keyakinannya dan meninggal dalam penjara pada tahun 1944. Josei Toda selamat dari siksaan penjara dan dibebaskan beberapa minggu sebelum perang berakhir. Di tengah-tengah kebingungan pasca perang Jepang, ia memulai pembangunan kembali Soka Gakkai dan memperluas misinya dari bidang pendidikan ke perbaikan masyarakat secara keseluruhan. Ia mempromosikan sebuah bentuk Buddhisme yang aktif dan bergerak dalam masyarakat sebagai cara pemberdayaan diri, yakni sebuah cara untuk mengatasi rintangan-rintangan dalam kehidupan dan membuka harapan, keyakinan, keberanian dan kebijaksanaan dalam diri seseorang. Pesan ini bergema terutama di masyarakat Jepang yang telah kehilangan hak bersuara. Sebelum Toda wafat pada tahun 1958, organisasi ini memiliki sekitar satu juta anggota. Penerus Toda, Daisaku Ikeda, berusia 32 tahun sewaktu ia menjadi presiden Soka Gakkai ketiga pada tahun 1960. Di bawah kepemimpinan Ikeda, organisasi ini terus berkernbang dan memperluas visinya. Untuk menanggapi keperluan akan semakin meningkatnya keanggotaan internasional, Soka Gakkai Internasional (SGI) didirikan pada tahun 1975. Atas dukungan semua anggota, pada tahun 1979, SGI menjadi anggota NGO (non-governmental organization) di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berusaha sekuat tenaga 392 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia mempromosikan berbagai kegiatan perdamaian, kebudayaan dan pendidikan, dan karenanya mendapatkan perhatian dan pujian besar dari banyak kalangan di dunia. Sejak tahun 1983, PBB menganugerahkan “Penghargaan Perdamaian," "Penghargaan Kemanusiaan," dan gelar "Duta Perdamaian" kepada Presiden SGI Daisaku Ikeda atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian. Sebagai seorang aktivis dan filsuf Buddhis, Presiden SGI Daisaku Ikeda telah mengadakan diskusi-diskusi mengenai perdamaian, hak asasi manusia, peran agarna dalam masyarakat, astronomi, hingga kekuatan budaya dengan tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai negara. Antara lain sejarawan Inggris (Arnold J.Toynbee)106, penerima dua hadiah Nobel (Dr. Linus Pauling), mantan presiden Rusia (Mikhail Gorbachev), pendiri Klub Roma(Aurelio Peccei), sastrawan China (Jin Yong), direktur pertama Institut Toda untuk Penelitian Kebijakan dan Perdamaian Dunia (Dr. Majid Tehranian)107, dan mantan presiden ke-4 Republik Indonesia (KH Abdurrahman Wahid)108. Dialog-dialog tersebut beserta karya lainnya telah diterbitkan dalam lebih dari 32 bahasa di seluruh dunia dan banyak digunakan sebagai buku pelajaran ataupun bahan penelitian di berbagai tingkat institusi pendidikan. Untuk memperingati hari berdirinya SGI, setiap tahun pada 26 Januari, Presiden Ikeda memberikan proposal yang 106 Arnold Toynbee dan Daisaku Ikeda, Choose Life, A Dialogue, Oxford University Press, 1976. 107 Daisaku Ikeda dan Majid Tehranian, Jalan Sutra Baru, Dialog Kreatif Islam-Buddha, Jakarta: Mizan, 2010. 108 Daisaku Ikeda dan Abdurrahman Wahid, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian, Jakarta: Gramedia, 2010 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 393 menyoroti inisiatif-inisiatif perdamaian kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.109 Pada tanggal 1 Januari 2005, Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Program Dunia untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia dari PBB dimulai.Kedua tema tersebut merupakan proposal yang dibuat oleh Presiden Ikeda. Kini, SGI merupakan sebuah jaringan global dengan 90 organisasi konstituen dan anggota di 192 negara dan wilayah yang berbagi sebuah visi bersama, yakni sebuah dunia yang lebih baik. Gelombang humanisme dan pasifisme yang ditimbulkan SGI sedang mengalir menuju dunia yang luas dengan penuh optimisme. Sokka Gakkai Indonesia Di Indonesia, Soka Gakkai Indonesia (SGI) didirikan pada tanggal 13 Juli 2004. Ia memiliki tujuan mempraksiskan nilai-nilai Buddhisme dalam kehidupan modern, terutama dalam konteks penguatan nilai-nilai kemanusiaan pada level nasional dan global. Organisasi ini mendasarkan paham teologisnya pada pemikiran dan praktik Budhisme Nichiren Daishonin (1222-1282). SGI merupakan anggota Soka Gakkai Internasional yang kini dipimpin oleh Daisaku Ikeda, presiden ketiga SGI setelah presiden pertama, Tsunesaburo Makiguchi (1871-1944) dan kedua, Josei Toda (1990-1958). Soka Gakkai Internasional 109 Salah dua dari proposal perdamaian tersebut ialah; (1) A Shared Pledge for A More Human Future: to Eliminate Misery from the Earth, 26 Januari 2015; (2) Penciptaan Nilai untuk Perubahan Global: Membangun Masyarakat yang Berdaya Lenting dan Berkelanjutan, 26 Januari 2014. 394 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia sendiri didirikan pada 1975 di bawah kepemimpinan Daisaku Ikeda. SGI bukan majelis Buddha, melainkan organisasi umat awam Buddha yang lahir dari pemberontakan Nichiren atas sistem kebhikuan Buddha. Tanah kelahirannya di Jepang, dan merupakan salah satu sekte atau aliran dari Buddha Mahayana. Sebagai organisasi awam, SGI konsen dengan tiga pilar gerakan, yakni perdamaian, kebudayaan, dan pendidikan. Prinsip yang melatari gerakan SGI ini tidak jauh beda dengan tradisi Mahayana. Yakni, pertama, keyakinan akan adanya potensi kebuddhaan di setiap manusia. Dalam hal ini, SGI menolak sistem kebhikuan karena telah mengasingkan Buddhisme dari masyarakat. Kedua, pemahaman akan pencerahan Buddhis yang harus bersifat sosial kemanusiaan. Ini memang merupakan perdebatan lama antara aliran Teravada dan Mahayana, di mana Mahayana memahami proses kembalinya Sang Buddha ke tengah masyarakat, setelah mengalami pencerahan di bawah Pohon Bodhi, sebagai tugas Buddhisme yang sejati. Maka konsen SGI tidak semata penyebaran agama, perawatan umat, pelaksanaan ritual, melainkan kerja kemanusiaan secara global, lintas agama, etnis dan bangsa. Organisasi ini berkantor pusat di Jalan Angkasa Blok B 15 Kav. 5 Bandar Kemayoran, Jakarta, dengan nama Pusat Kebudayaan Soka Gakkai. Saat ini SGI dipimpin oleh Peter Nurhan (Ketua Umum), Kurniawan Sugiarto (Sekretaris Jenderal), L. Teddy Wijaya (Bendahara), Magalena Polim (Kabid. Organisasi) dan Tetsuji Taguchi (Kabid.Penelitian dan Pengembangan). Ini merupakan jajaran pengurus periode 2012-2015.Di dalam struktur organisasi, terdapat enam macam Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 395 divisi yang mewakili empat unsur keanggotaan serta pendidikan, yakni Divisi Ibu, Divisi Bapak, Divisi Pemuda, Divisi Pemudi, Divisi Mahasiswa dan Divisi Pelajar. Organisasi ini juga memiliki dewan pembina, meliputi; Bikhu Yang Arya Bhiku Satushi Watanabe, Toen Pontoh, Shinji Ushioda, Makoto Tsusumi dan Gouw Sok Hun. Di sini terlihat bahwa meskipun SGI menolak sistem kebhikuan, namun ia tetap menempatkan Bikhu Watanabe sebagai Dewan Pembina. Ini merupakan peraturan Direktorat Jenderal Bimas Buddha Kementerian Agama RI yang harus dipatuhi.110 Pembumian Buddhisme ke dalam kerja kemanusiaan global ini didasarkan pada Tiga Hukum Rahasia Agung yang tersirat di dalam Bab ke-16 Saddarma Pundarika Sutra, yakni Mandala Agung dari Ajaran Pokok, Mantra Agung dari Ajaran Pokok, Altar Sila dari Ajaran Pokok harus disebarluaskan dalam masa Mutakhir Dharma, di mana tugas penyebarluasan Dharma “Tiga Hukum Rahasia Agung” diserahkan kepada Bodhisatva Visistakarita seperti yang tertera dalam Bab ke-21 Saddharma Pundarika Sutra. Dalam Bab ke-23 juga dinyatakan, “Memasuki 500 tahun kelima setelah kemoksaan Sang Buddha, laksanakanlah penyebarluasan Dharma dan jangan membiarkan aliran penyebarluasan ini terhenti. Sumber ajaran atau kitab suci SGI ialah Gosho, yang ditulis oleh Buddha Pokok Nichiren, yang tertuang dalam kumpulan lengkap Gosho. Kumpulan ini dihimpun oleh Soka Gakkai dan diedit oleh Nichiko Hori, Bhikku tertinggi ke-59 yang merupakan sejarawan terkemuka Buddhisme Nichiren Daishonin. Wawancara dengan Antonius Polim, Ketua DPP SGI DKI Jakarta pada 19 April 2015 110 396 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Komunitas penganut Buddhisme Nichiren yang tergabung dalam jaringan SGI saat ini telah mencapai lebih dari 12 juta anggota di 192 negara dan wilayah. Bagi anggota SGI, Buddhisme adalah suatu filsafat praktis tentang pemberdayaan diri dan perubahan internal seseorang yang memungkinkan orang tersebut rnengembangkan diri dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.111 Buddhisme Nichiren sendiri diperkenalkan ke Indonesia di tahun 1960-an. Kata "Soka" yang berarti "mencipta nilai" secara tepat memperkenalkan nilai dasar dan prinsip Buddhis tentang pengarahan kehidupan seseorang ke arah yang baik dan positif. Pada skala yang lebih besar, kata "Soka" mencerminkan komitmen organisasi untuk menyumbang pada kebaikan masyarakat. Gerakan Soka Gakkai Indonesia berakar pada filsafat penguat jiwa yang diajarkan oleh Nichiren. Ajaran Nichiren menegaskan bahwa setiap individu, tidak peduli apapun ras, jenis kelamin, kapasitas atau kedudukan sosialnya, memiliki kekuatan untuk mengatasi tantangan yang tak terelakkan dalam kehidupan, kekuatan untuk mengembangkan kehidupan yang berdaya cipta dan bernilai tinggi, dan kekuatan untuk memberikan pengaruh positif pada komunitas, masyarakat dan dunia. Filsafat Nichiren berasal dari ajaran Sakyamuni, yakni pendiri Buddhisme yang berdasarkan catatan sejarah hidup di India sekitar 2,500 tahun lalu. Nichiren menemukan bahwa Sutra BungaTeratai mengandung inti ajaran Buddha dan kebenaran yang disadari Sakyamuni. Sutra ini mengungkapkan Wawancara Organisasi 22 April 2015 111 dengan Magdalena Polim, Kepala Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Bidang 397 bahwa sebuah asas universal yang disebut sifat Buddha terdapat di dalam semua kehidupan. Asas ini menegaskan bahwa semua orang bisa mencapai pencerahan. Nichiren sangat merasakan bahwa Buddhisme seharusnya memungkinkan orang-orang yang hidup dalam dunia nyata dan yang sedang menghadapi masalah nyata memperoleh kekuatan untuk mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Buddhisme Nichiren menekankan hubungan yang mendalam di antara kebahagiaan diri sendiri dengan kebahagiaan orang lain. Kepuasan dan pencapaian terbesar dalam kehidupan diri sendiri diwujudkan melalui perjuangan untuk kebahagiaan orang lain. Nichiren mengajarkan bahwa kata-kata dari judul Sutra Bunga Teratai, yakni Myoho-Renge- Kyo, yang mengandung kebenaran universal yang disadari Sakyamuni. Dengan menyebut Nam-myoho-renge-kyo dan mengarahkan diri dalam kepercayaan dan pelaksanaannya, maka setiap orang dapat merasakan dan mewujudkan sifat Buddha dalam kehidupannya sendiri.112 Saat ini, penyebutan Nam-myoho-renge-kyo dan pembacaan bagian dari Sutra BungaTeratai serta pembelajaran ajaran Buddha merupakan pelaksanaan dasar atau ritual bagi anggota SGI di seluruh dunia. Pada pertemuan diskusi rutin, teman-teman dan para tamu saling bertukar pikiran, harapan, masalah, dan pengalaman dari kepercayaan dan pelaksanaan Buddhis diri masing-masing. Mereka juga mempelajari prinsip-prinsip Buddhisme dan bagairnana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 112 Wawancara dengan Peter Nurhan, Ketua Umum SGI pada 14 April 2015 398 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Konsep-konsep rneliputi; kunci dalam Buddhisme Nichiren Martabat bawaan dan saling keterkaitan antar semua kehidupan. Kekekalan jiwa. Kesatuan antara kehidupan dan lingkungannya. Pengembangan potensi tak terbatas dari setiap individu melalui sebuah proses reformasi atas motivasi diri sendiri atau yang disebut dengan "revolusi manusia" baru. Filsafat inti dari SGI dapat disimpulkan dengan konsep "revolusi manusia" yang berarti perubahan dalam diri seseorang atas motivasinya sendiri akan memberikan pengaruh positif terhadap jaringan kehidupan yang lebih besar.113 Proses reformasi diri yang dinamis; dari ketakutan menjadi keyakinan, dari penghancuran menjadi daya cipta, dari kebencian menjadi welas asih; dan peremajaan masyarakat yang dihasilkan inilah yang membentuk inti dari visi SGI akan sebuah dunia yanq damai. Tujuan akhir dari Buddhisme dan SGI adalah terciptanya sebuah dunia yang damai. Untuk itu, Soka Gakkai Indonesia aktif sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan 113 Buku Revolusi Manusia Baru memiliki 22 Jilid dan diterjemahkan oleh Soka Gakkai Indonesia pada 2012. Meliputi: Bab 1, Matahari Terbit, Bab 2, Dunia Baru, Bab 3, Musim Gugur Keemasan, Bab 4, Cahaya Welas Asih, Bab 5, Para Pelopor, Bab 6, Barisan Depan, Bab 7, Pelatihan, Bab 8, Upaya Penuh Keberanian, Bab 9, Panji-panji Rakyat, Bab 10, Penyebaran Ke Arah Barat, Bab 11, India, Bab 12, Sang Buddha, Bab 13, CahayaPerdamaian, Bab 14, BadaiMusimSemi, Bab 15, Kemenangan, Bab 16, Daun-daun Baru, Bab 17, Rissho Ankoku, Bab 18, Cahaya Agung, Bab 19, Membuka Jalan, Bab 20, Kegembiraan, Bab 21, Kemenangan Nan Jaya, dan Bab 22, Singa. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 399 yang mempromosikan perdamaian, kebudayaan dan pendidikan.Kegiatan yang diadakan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah setempat serta budaya dan keadaan masyarakatnya. Gerakan perdamaian, kebudayaan dan pendidikan SGI didasarkan pada asas penghormatan terhadap martabat kehidupan yang merupakan ajaran kunci dalam filosofi Buddhisme. Konsep perdamaian yang dianut SGI bukanlah sekedar tidak adanya konflik bersenjata. Perdamaian adalah sebuah proses yang dinamis dan interaktif di mana kecenderungan perusakan diri yang mengakar diarahkan pada tujuan yang kreatif dan konstruktif. Untuk mencapai tujuan ini, SGI mempromosikan pertukaran di bidang pendidikan dan kebudayaan. Presiden SGI Daisaku Ikeda melibatkan dirinya dalam pertukaran persahabatan, bertemu dengan para pemimpin dunia, ilrnuwan dan sarjana untuk membahas berbagai isu mendesak yang berkaitan dengan perdamaian dan umat manusia. Upaya untuk mencapai visi SGI akan sebuah dunia yang damai tetah mendorongnya untuk mendirikan beberapa institusi yang didedikasikan pada pertukaran perdamaian, kebudayaan dan pendidikan. Institusi-institusi yang didirikan Presiden SGI untuk tujuan dialog lintas budaya dan perdamaian di antaranya adalah: Pusat Penelitian Boston untuk Abad 21 (1993), yang berubah menjadi Pusat Ikeda untuk Perdamaian, Pernbelajaran, dan Dialog pada tahun 2009, dengan tujuan memajukan dialog antar ilmuwan dan aktivis mengenai nilai universal dari semua budaya dan agama untuk mendukung pengembangan etika global demi perdamaian abad 21; dan Institut Toda untuk Penelitian Kebijakan dan Perdamaian 400 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Dunia (1996) yang focus pada dialog internasional dalam empat tema utama, yakni Keamanan Umat Manusia dan Sistem Pemerintahan Global, Hak Asasi Manusia dan Etika Global, Keadilan Sosial dan Ekonomi Global, serta Identitas Budaya dan Warga Dunia. Institusi kebudayaan yang didirikan Ikeda antara lain Asosiasi Konser Min-On (1963) yang merupakan salah satu promotor musik terbesar di Jepang dengan pertukaran musik, tari, dan seni pertunjukan bersama kelompok-kelompok dari 80 negara termasuk Indonesia, dan Museum Seni Fuji di Tokyo (1983) yang memamerkan berbagai harta warisan budaya dunia pada publik selain koleksinya sendiri yang berjumlah lebih dari 25.000 karya seni. Di bidang pendidikan, Ikeda mendirikan Sistem Pendidikan Soka yang mencakup taman kanak-kanak hingga program pascasarjana.Taman kanak-kanak Soka juga telah dibuka di Singapura, Malaysia, Hong Kong, Korea Selatan dan Brasil. Universitas Soka yang didirikan pada tahun 1971 di Jepang memiliki program pertukaran dengan lebih dari 90 institusi pendidikan tinggi di seluruh dunia termasuk Universitas Indonesia.Universitas Soka Amerika yang memiliki dua kampus di Amerika Serikat, rnemberikan program bahasa dan seni liberal yang berfokus pada studi masalah global dan kondisi umat rnanusia. Selain itu, Ikeda juga mendirikan Institut Filosofi Oriental (1962) dengan cabang-cabangnya di Inggris, Perancis, Rusia, Hongkong dan India, bertujuan memperkenalkan warisan kekayaan filosofi Asia ke seluruh dunia.114 Profil Soka Gakkai Indonesia, Mengejar Perdamaian, Jakarta: SGI, 2013, h., 5-15 114 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 401 Ajaran Pokok Sebagai bagian dari Soka Gakkai Internasional, SGI mendasarkan pemikiran dan praktik keagamaannya dari Buddhisme Nichiren Daisonin yang mengacu pada Buddhisme aktif dalam kerangka Buddhisme awam. Ini merupakan prinsip utama Buddha Mahayana yang berbeda dengan tradisi Teravada. Hal ini nampak jelas dari tujuan akhir pencerahan spiritual yang berbeda. Bagi Buddhisme Teravada atau tradisional, pencerahan Buddhistik merujuk pada ketidakmelekatan atas dunia. Ini merujuk pada hilangnya keinginan (tanha) yang merupakan sumber penderitaan (dukha). Sedangkan bagi SGI, pencerahan Buddhistik merujuk pada kebahagiaan sebagai pemutarbalikan penderitaan. Ini merupakan sikap optimis dalam memandang dunia, keinginan dan penderitaan, karena selayak Bunga Teratai yang menjadi simbol spiritualitasnya: kebaikan bisa lahir dari keburukan. Bunga Teratai yang indah itu, tumbuh di atas lumpur. Untuk menjelaskan hal ini, perlulah kiranya berangkat dari doktrin awal Buddha yang merupakan pusat dari semua ajarannya, yakni kebenaran tentang penderitaan atau yang terkenal dengan empat penderitaan universal; kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Ini empat fenomena yang ditemui oleh Buddha Sakyamuni ketika keluar dari istana. Inti dari empat penderitaan universal ini ialah, bahwa penderitaan telah melekat begitu manusia lahir. Ketika semua kebahagiaan ternyata bersifat sementara; usia muda, kesehatan dan hidup itu sendiri, manusia mengalami penderitaan akibat keinginan yang bertentangan dengan kesementaraan kebahagiaan. Di teks lain, penderitaan atau dukha tidak hanya merujuk pada 402 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia penderitaan fisik atau emosional, melainkan penderitaan spiritual akibat tertutupinya potensi pencerahan manusia. Artinya, setiap manusia sebenarnya memiliki potensi untuk tercerahkan (kebuddhaan). Namun akibat dominasi keinginan, ia berada dalam kegelapan. Dari sini Buddha kemudian menetapkan empat kebenaran mulia sebagai obat bagi empat penderitaan universal. Pertama, kebenaran penderitaan, yakni kebenaran akan penderitaan yang inheren di dalam setiap keberadaan atau eksistensi sebagaimana dijelaskan oleh doktrin empat penderitaan universal. Kedua, kebenaran asal penderitaan, yang merujuk pada keinginan mementingkan diri sendiri demi kebahagiaan duniawi yang bersifat sementara. Ketiga, kebenaran lenyapnya penderitaan, yakni pemadaman keinginan yang mementingkan diri sendiri akan berujung pada lenyapnya penderitaan. Keempat, kebenaran jalan menuju lenyapnya penderitaan. Jalan pelenyapan penderitaan ini memuat delapan jalan Buddha yang meliputi; (1) pengertian benar, yang didasarkan pada empat kebenaran mulia serta pemahaman Buddhisme yang tepat, (2) pikiran benar atau penguasaan akal, (3) ucapan benar, (4) perbuatan benar, (5) penghidupan benar yang didasarkan pada pemurnian pikiran, ucapan dan perbuatan, (6) usaha benar untuk menuntut Dharma sejati, (7) perhatian benar, selalu menyimpan pandangan yang benar dalam akal, dan (8) konsentrasi yang benar. Hanya saja bagi SGI, empat kebenaran mulia dan delapan jalan Buddha hanya bisa dilakukan melalui asketisisme keras dengan menjadi biksu. Ini disebabkan oleh penempatan dunia dan keinginan sebagai hal buruk yang harus dihilangkan. Artinya, pencerahan dan keinginan beradu Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 403 secara biner. Dari sini Buddhisme tradisional mensyaratkan pelenyapan sama sekali keinginan melalui praktik asketik kebikhuan. Ini yang tidak bisa diterima oleh SGI berdasarkan pemikiran Nichiren. Sebab penghapusan sama sekali keinginan, bukan hanya mustahil tapi juga meniadakan sifat dasar manusia sekaligus potensi kebijaksanaan yang ada di dalamnya.115 Dalam tradisi Buddhisme Madhyamika yang digagas oleh filsuf Buddhis India, Nagarjuna, asketisisme keras dipahami sebagai ekstrimitas yang sebenarnya telah dilampaui oleh Sakyamuni sendiri. Dari sini lahirlah prinsip jalan tengah (the middle way) yang berada di antara ekstrim asketisisme dan hedonisme. Ini ditemukan oleh Sakyamuni ketika melihat senar dawai, yang bisa berbunyi dalam keadaan pertengahan antara ketegangan dan kelenturan.116 Di sisi lain, praktik asketik yang mensyaratkan kebikhuan dinilai tidak sesuai dengan kehidupan umat awam yang hidup dalam keseharian duniawi. Dus, SGI, sebagaimana tradisi Mahayana lain, mengritik praktik kebikhuan yang memisahkan Buddhisme dari masyarakat. Oleh karena SGI mendefinisikan diri sebagai organisasi Buddha umat awam, maka para pemimpinannya membumikan nilai-nilai Buddhisme agar aplikatif bagi umat awam. Dari sinilah lahir doktrin teologis yang berbeda dengan Buddhisme tradisional, termasuk ajaran original Sakyamuni. Perbedaan ini bersumber dari ijtihad Nichiren Daisonin yang telah merevisi Buddhisme 115 Daisaku Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, Jakarta: Ufuk Publishing, 2011, h., xi-xxxiv 116 Hsueh-Li Cheng, Empty Logic, Madhymika Buddhism from Chinese Sources, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers PUT.LTD, 1991, h., 33-35 404 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia agar kontekstual di dalam apa yang mereka sebut, masa Dharma Akhir. C.1. Sepuluh Dunia Inti dari ajaran keagamaan SGI dalam rangka Buddhisme aktif ialah sistem filsafat "tiga ribu fenomena dalam sekejap". Sistem ini dikembangkan oleh teoritikus Buddha Cina abad keenam, T'ien-t'ai yang didasarkan pada Sutra Bunga Teratai. Dalam bahasa Jepang, "tiga ribu fenomena dalam sekejap" dikenal sebagai ichinen sanzen. Ichinen merujuk pada pikiran sekejap atau sekejap hidup yang menunjukkan sifat atau realitas hakiki yang muncul pada setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sanzen berarti tiga ribu yang mengacu pada banyaknya hukum yang mengatur berbagai fenomena yang menjadi jalan bagi terwujudnya realitas hakiki tersebut. Dalam konteks inilah Sakyamuni disebut juga sebagai Tathagata (Ia yang Datang). Artinya, Ia yang muncul dari kebenaran saat demi saat. Angka tiga ribu diambil dari pengalian prinsip-prinsip pembentuk ichinen sanzen, yang meliputi: Sepuluh Dunia, atau kondisi hati di mana setiap dunia memiliki sembilan faktor selain dunia itu sendiri sehingga secara keseluruhan menjadi seratus; sepuluh faktor yang dianugerahkan kepada masingmasing dari seratus dunia ini, sehingga secara keseluruhan menjadi seribu faktor; dan tiga alam eksistensi tempat masingmasing seribu faktor bergerak sehingga mencapai total tiga ribu. Berikut deskripsi pengaliannya: Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 405 Tiga Ribu Fenomena Berasal dari perhitungan berikut: 10 (Sepuluh Dunia) x 10 (Sepuluh Dunia) x 10 (Sepuluh Faktor) x (Tiga Alam) = 3000 Fenomena Hidup pada setiap saat mewujudkan salah satu dari Sepuluh Dunia. Tiap-tiap dunia ini menyimpan potensi kesepuluh-puluhnya di dalam dirinya sendiri atau saling mencakupi, sehingga menghasilkan seratus kemungkinan dunia. Masing-masing dari seratus dunia memiliki sepuluh faktor, sehingga menghasilkan seribu faktor atau potensi. Dan keseribunya bekerja dalam tiga alam eksistensi sehingga menghasilkan tiga ribu fenomena dalam sekejap. Dalam kaitan ini, Sepuluh Dunia yang sebenarnya merupakan sepuluh tahapan kondisi dan kualitas jiwa secara rinci bisa dipahami sebagai berikut: (1) Dunia Neraka, yakni dunia yang paling bawah dan gelap. Kata neraka berasal dari Sansekerta, naraku yang berarti penjara bawah tanah. Ia melambangkan kondisi hati yang berisi kemarahan yang merupakan salah satu dari Tiga Racun. Dalam dunia ini, manusia mengalami penderitaan yang sangat akut. (2) Dunia Kelaparan atau arwah kelaparan, berasal dari kata Sansekerta, preta yang berarti si mati yang senantiasa mengalami kelaparan. Manusia yang berada di dunia ini mengalami penderitaan karena dikuasai oleh keserakahan yang merupakan salah satu dari Tiga Racun. (3) Kebinatangan atau dunia binatang. Sebuah kondisi di mana manusia hanya menuruti naluri karena tidak memiliki akal budi dan moralitas. Dunia kebinatangan berisi kebodohan yang merupakan salah satu dari Tiga Racun. Dengan demikian, terdapat Tiga Racun jiwa yang menempatkan manusia berada di tiga dunia terbawah; 406 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kemarahan, kerakusan dan kebodohan. Dunia neraka, kelaparan dan kebinatangan dikenal sebagai tiga jalan kejahatan. (4) Dunia kemarahan, berasal dari kata Sansekerta, asura. Awalnya di India kuno, asura melambangkan dewadewa pengasih. Namun dalam mitologi selanjutnya, dewadewa tersebut dipandang sebagai iblis-iblis yang berpenampilan manis namun berhati busuk. Lalu berturut-turut; (5) Dunia kemanausiaan yang telah mampu mengendalikan keinginan melalui nalar; (6) Surga, di mana manusia telah mendapatkan kenikmatan material dan spiritual; (7) Pendengar ajaran, di mana seorang murid Buddha telah menyadari kefanaan segala sesuatu serta ketidakstabilan keenam jalan; (8) Kesadaran, di mana murid Buddha telah menyadari sebab musabab kehidupan melalui pemahamannya sendiri; (9) Bodhisattva, ketika seorang murid telah memiliki welas asih dan sikap alturisme, dan akhirnya (10) Kebuddhaan yang merupakan puncak dari prestasi spiritual, di mana seorang manusia telah mengalami kebahagiaan absolut dan tidak terpengaruh oleh perubahan keadaaan. Secara umum, kondisi kebuddhaan ini merujuk pada: "Keadaan welas asih tak terhingga, suatu kemurnian hidup yang menyeluruh dan abadi, serta kebebasan absolut di mana manusia memiliki kearifan untuk mengenali kebenaran hakiki kehidupan. Manusia mencapai kondisi ini dengan mewujudkan sifat Buddha yang inheren di dalam diri".117 117 Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, h., 139-167 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 407 Nam-Myoho-Renge-Kyo Dari pembahasan tentang garis besar pandangan spiritual Buddhisme Nichiren yang dianut oleh SGI, kita sampai pada inti dari doktrin spiritual yang sekaligus menggambarkan praktik ritual dan kitab sucinya. Inti dari semua itu terletak pada kalimat Nam-myoho-renge-kyo. Kalimat di atas merupakan bahasa Jepang dari judul salah satu Kitab Tripitaka, Saddharma Pundarika Sutra atau "Sutra Bunga Teratai Hukum yang Luar Biasa". Dengan demikian, kalimat Nam-myoho-renge-kyo merupakan judul (daimoku) yang sekaligus menggambarkan intisari ajaran dan realitas hakiki yang diajarkan oleh Saddharma Pundarika Sutra. Pemikiran Nichiren tentang Nam-myoho-renge-kyo sekaligus menandai perbedaan ajaran sekaligus kitab sucinya dari para guru besar Buddha terutama Sakyamuni. Sebab sebagaimana dijelaskan oleh presiden kedua Soka Gakkai, Josei Toda, terdapat tiga macam Saddharma Pundarika Sutra yang mewakili tiga guru dan tiga masa. Pertama, Saddharma Pundarika Sutra dari Sakyamuni yang berisi 28 bab dan diajarkan di masa kehidupan Sakyamuni serta menandai zaman Awal Dharma. Kedua, Saddharma Pundarika Sutra dari Tien Tai, yakni Maka Shikan yang diajarkan pada masa Pertengahan Dharma. Ketiga, Saddharma Pundarika Sutra Nichiren Daishonin yang diajarkan untuk masa Akhir Dharma. Dalam masa Akhir Dharma ini, Nichiren telah membuang "yang umum" dan "yang besar" dari Saddharma Pundarika Sutra karena telah menemukan intisari dari Saddharma yang merupakan judul dari kitab suci itu sendiri, yakni Myoho-Renge-Kyo. Sebenarnya 408 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kalimat ini terdapat dalam bab "Panjang Usia Sang Tathagata", salah satu bab dari Saddharma Pundarika Sutra.118 Dalam kaitan ini, Nam-myoho-renge-kyo merujuk pada pengabdian atas hukum mistik yang mewakili semua nilai dalam Saddharma Pundarika Sutra sekaligus realitas absolut yang ada di dalamnya. Kalimat ini merupakan gabungan antara kata Sansekerta Namu, dan bahasa Cina, Myoho-RengeKyo. Kata namu berarti pengabdian, baik kepada hukum maupun orang yang merepresentasikan hukum tersebut, yakni Buddha Sakyamuni maupun Nichiren Daishonin. Ketika kata namu bertemu dengan kata berawalan 'm' (myoho), ia menjadi 'nam'. Sedangkan myoho berarti hukum mistik. Hukum (ho) atau realitas hakiki digambarkan sebagai mistik (myo), karena berada di luar konsepsi dan formulasi akal manusia. Realitas ini mendalam tak terhingga. Di sisi lain, myo menunjukkan sifat dasar pencerahan (kebuddhaan), sedangkan ho menunjukkan kegelapan atau khayalan yang berada pada sembilan dunia sebelum dunia kebuddhaan. Kesatuan khayalan dan pencerahan disebut myoho atau hukum mistik. Sementara itu, renge berarti bunga teratai. Ada dua makna kenapa SGI dan Sang Buddha menjadikan teratai sebagai simbol bagi intisari ajarannya. Pertama, bunga teratai tumbuh di atas lumpur. Ini menunjukkan prinsip utama Buddhisme Nichiren bahwa sifat buruk manusia bisa diolah menjadi sifat-sifat baik. Pencerahan bisa lahir tidak dari 118 Daisaku Ikeda, Ceramah Bab Upaya Kausalya dan Bab Panjang Usia Sang Tathagata dari Saddharma Pundarika Sutra, Jakarta: Yayasan Buddhis Saddarma Pundarika Indonesia, 2001, h., 8-10 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 409 peniadaan keinginan, namun justru berangkat darinya melalui pengolahan-pengolahan spiritual. Kedua, teratai ialah bunga yang berbuah dan berbunga pada saat yang sama. Berbeda dengan tanaman lain yang berbuah dan berbunga secara bergantian. Ini menggambarkan prinsip Buddha bahwa sebab dan akibat hadir bersamaan dalam kebenaran Buddhisme. Dijelaskan bahwa bila sebuah tangan menyentuh Sutra Bunga Teratai, pada saat itu juga ia menjadi seorang Buddha. Demikian pula jika seseorang melantunkan Nam-myoho-rengekyo, mulut itu sendiri ialah Buddha. Sedangkan kyo ialah sutra atau suara. Karena Sakyamuni mengajarkan ajarannya melalui suara (berkhotbah), maka kyo berarti kata, ujaran, bunyi dan suara semua makhluk hidup.119 Dalam praktiknya, kalimat Nam-myoho-renge-kyo dilantunkan pada saat melaksanakan ritual di hadapan Gohonzon. Sebuah altar pemujaan yang di dalamnya terdapat satu kertas bertulis nam myoho renge kyo. Pelaksanaan ritual ini tidak memiliki penjadwalan baku, hanya secara umum dilakukan setiap pagi dan malam atau ketika anggota SGI datang ke kantor SGI. Selain pelantunan nam myoho renge kyo dengan menggunakan tasbih, ritual SGI juga merujuk pada pembacaan dua bab dari Saddarma Pundarika Sutra, yakni Bab Upaya Kausalya yang berisi potensi kebuddhaan pada setiap manusia dan makhluk. Serta Bab Panjang Usia Sang Tathagata yang berisi keabadian jiwa manusia.120 119 Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, h., 235-259 Wawancara dengan Kurniawan Sugiarto, Sekretaris Jenderal SGI pada 22 April 2015 120 410 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Kegiatan-kegiatan Rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan oleh SGI antara lain: Pameran Lukisan Anak-anak Sedunia, Peluncuran Piagam Bumi di Indonesia dalam Rangka Konferensi Komite Persiapan Ke-4 untuk KTT Bumi tentang Pembangunan PBB di Bali, Festival Kebudayaan Asia Pertama untuk Perdamaian, Youth Concert for Peace sekaligus pengumpulan dana untuk korban Tsunami Aceh, pameran foto Dialogue with Nature, Religious Art Festival for Peace yang bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan KNPI, Festival Kebudayaan untuk Perdamaian di Jambi, Batam, Tangerang dan Karawang. Selain kegiatan di atas, sejak tahun 2006, Divisi Ibu SGI secara rutin mengadakan Konferensi Perdamaian Wanita setiap tahun baik di tingkat nasional maupun lokal. Divisi Mahasiswa juga telah melaksanakan Pameran Tokoh-tokoh Perdamaian Dunia dan juga Pameran Benih-benih Harapan bagi generasi muda. Dalam kalaedoskop kegiatan SGI, beberapa kegiatan lain meliputi: 1. Kursus pelatihan dengan tema, Matahari Kebahagiaan Menuju Josho Indonesia" pada tanggal 1516 September 2012 di Jakarta. Pelatihan yang diikuti oleh 222 pemudi dari 10 daerah ini bertujuan memperkuat persaudaraan di antara Divisi Pemudi SGI seindonesia, disamping memperdalam pemahaman terhadap Buddhisme Nichiren Daishonin dan tugas jiwa anggota grup Ikeda Kayokai. 2. Perayaan Tahun Baru 2012 oleh seluruh anggota SGI. Perayaan ini diadakan di Bali, Chiku Cisarua-Bogor, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 411 Batam, Bekasi, Jakarta, Karawang, Jambi, Palembang, Pontianak, Surabaya, Semarang, Pematang Siantar, Tanjung Balai Karimun, Tangerang dan Yogyakarta. Lokasi perayaan ini juga menggambarkan wilayah persebaran SGI di Indonesia. 3. Pertemuan Hari Guru dan Murid pada 3 Juli 2013 di kaikan Tanjung Pinang. Pertemuan ini merupakan konsolidasi SGI seluruh Indonesia dan dihadiri oleh perwakilan Soka Gakkai International, Singapore Soka Association (SSA), Soka Gakkai Malaysia, dan perwakilan shibu-shibu di Indonesia. 4. Penyelenggaraan Soka Anak Wilayah Puncak pada 30 Juni 2013 di Mall Bekasi Square. Acara ini merupakan peringatan Hari Anak Nasional. Acara dihadiri oleh 383 orang, 147 diantaranya anak-anak. 5. Festival Kebudayaan dan Pameran Edukatif untuk Perdamaian pada 12 Oktober 2014 di Gedung Istora Senayan, Jakarta. Festival ini menyajikan karya seni anggota SGI berbasis ragam kesenian di Indonesia dengan melibatkan para pekerja seni dan lembaga seni budaya di luar agama Buddha. Aksi kesenian tersebut meliputi; Persatuan Insan Kolintang Nasional, Paduan Suara SGI, Tari Kipas Gagah Perkasa (Divisi Bapak SGI), Group Angklung Bugenvil (Divisi Ibu SGI), Tari KontemporerTitik Harapan (Generasi SGI dan Institut Seni Indonesia), Tari Lenggang Nyai (Lembaga Kebudayaan Betawi), Tari Merak (SGI), Tarian Pelangi Harapan (Divisi Anak SGI), Tari Jaipong Kelangan (Institut Seni Budaya IndonesiaBandung), Tari Tradisional Papua (Generasi Muda SGI- 412 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Semarang), Tari Kolaborasi Melayu (SGI-Kepulauan Riau), Genderang Langit (Divisi Pelajar SGI), Young Lion Gymnastic (Divisi Pemuda SGI), serta Dinamic Dance (Divisi Pemudi SGI). 6. Banten Youth Culture Festival for Peace pada 20 Oktober 2013 di Banten. Acara dihadiri 2100 pengunjung dan 300 panitia. Menampilkan Kolaborasi Musik Koto dari Soka Gakkai International dan musik tradisional Kolintang, Rampak Bedhug, Lenggang Cisadane, Kalangkangan, modern dance, Dynamic Dance dan Kumitaiso. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 413 414 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Soka Gakkai Indonesia merupakan organisasi keumatan dan bukan kebikhuan Buddha. Hal ini sebagai kritik atas sistem kebikhuan yang dianggap menciptakan struktur umat hirarkis. Kritik ini juga menandai ciri utama dari Buddha Mahayana yang lebih mengedepankan pelayanan umat dan kemanusiaan, daripada praktik asketik terisolasi berbasis otoritas bikhu. 2. Soka Gakkai Indonesia sebagai cabang dari Soka Gakkai Internasional mengembangkan tiga gerakan Buddhisme untuk dunia. Pertama, perdamaian berbasis gerakan perdamaian yang diprakarsai oleh Daisaku Ikeda di kancah global. Kedua, dialog lintas agama, suku dan peradaban demi menjalin toleransi serta perdamaian. Ketiga, pendidikan yang merupakan program awal pendirian Soka Gakkai. Di Indonesia, Soka Gakkai belum mendirikan lembaga pendidikan sebagaimana terjadi di Jepang dan AS yang telah mendirikan Soka University. 3. Gerakan perdamaian Soka Gakkai Indonesia strategis bagi pengembangan kerukunan umat beragama. Apalagi gerakan ini telah dikembangkan pada level internasional, sehingga memiliki modal besar untuk diterapkan di Indonesia. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 415 B. Rekomendasi 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pemikiran Buddhisme yang mengembangkan kemanusiaan, perdamaian, kebangsaan dan toleransi. Ini akan melahirkan visi Buddhisme tentang kerukunan agama di Indonesia. Posisi Daisaku Ikeda sebagai pemikir dan penulis produktif tentang tema-tema perdamaian, strategis bagi pengembangan penelitian ini. 2. Kalangan agamawan non-Buddhis perlu menjalin hubungan dengan Soka Gakkai Indonesia mengingat organisasi ini memiliki jaringan internasional kuat. Organisasi yang mengedepankan paham keagamaan moderat ini tentu strategis bagi moderasi kehidupan keagamaan di Indonesia secara umum. 3. Pemerintah perlu menyambut baik agenda perdamaian yang dikembangkan Soka Gakkai, karena secara umum, kalangan Buddhis di Indonesia belum begitu nampak di ruang publik kebangsaan dan keumatan di republik ini. 416 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 11 PAHAM BUDDHAYANA DAN TANTANGANNYA DI PROVINSI LAMPUNG Oleh: Zaenal Abidin Eko Putro Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 417 418 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia I PENDAHULUAN Umat Buddha di Lampung ternyata telah mengalami transformasi dari identitas sebelumnya. Hal ini tentu sebuah fakta yang wajar dalam ranah kehidupan social ketika identitas ternyata sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup dan masa depan. Identitas individu terkadang tidak lebih penting dari identitas kelompok. Tidak terlalu berlebihan jika umat Buddha di Lampung mengalami penguatan identitas kelompok atau identitas social pada era ketika tekanan dari luar kelompok begitu gencar. Identitas sosial (social identity) berpatokan pada individu-individu yang berangkat dan mempunyai pandangan yang sama bahwa mereka berada dalam kesamaan kategori sosial. Melalui perbandingan sosial dan proses kategorisasi, orang-orang yang sama dikategorikan dalam kesamaan kelompok (ingroup). Sebaliknya, orang yang berbeda dikategorikan outgroup. Mempunyai identitas sosial tertentu bermakna menjadi sama dengan yang lain dalam kelompok dan memahami persolan dari perspektif kelompok mereka. Oleh sebab itu dapat diasumsikan bahwa individuindividu yang tergabung dalam keanggotaan akan berpikir dan bertindak serupa. Di sini terdapat keseragaman dalam pikiran dan tindakan sebagai sama-sama anggota kelompok.121 Identitas sosial dalam kenyataannya juga terbangun atas kesepakatan makna (meaning). Ketika makna baru hadir Burke, Peter J. & Stet, Jan E.. Identity Theory. Oxford: Oxford University Press. 2009. hal. 118. 121 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 419 dan berpotensi akan mengganti atau menguatkan makna sosial yang telah ada sebelumnya, maka sontak dilakukan verifikasi. Jika makna baru hadir, maka terjadilah proses verifikasi identitas, yaitu sebuah proses di balik perilaku orang untuk merubah makna yang relevant dalam situasi yang membuatnya sesuai dengan makna yang dituntut oleh standar identitas mereka. Dalam teori identitas, makna-makna (meanings) identitas adalah selalu berubah. 122 Memahami umat Buddha di Lampung dari era awal pembentukannya dapat menggunakan kerangka berpikir tersebut. Akibat tekanan dari luar diri kelompok mereka, mereka kemudian mencoba untuk berupaya mencari relevansi dengan makna baru yang disodorkan. Perubahan paling mencolok dapat dilihat pada kelompok Sam Kauw Hwee dan Buddha Jawi Wisnu ke dalam Agama Buddha (Buddhisme) yang lebih universal. Kondisi Kekinian Umat Buddha di Lampung Menurut data statistik Keagamaan Kementerian Agama Provinsi Lampung tahun 2013, jumlah umat Buddha sebesar 133.332 jiwa, atau sekitar 1,7 persen dari total penduduk Lampung keseluruhan yang tercatat sebesar 7.933.003 jiwa.123 Umat Buddhis paling banyak berdomisili di Kota Bandar Lampung yang berjumlah hingga 34 ribu umat lebih. Data dari Bimas Buddha Kakanwil Lampung tahun 2015 menyebutkan, total vihara di Provinsi Lampung sebanyak 181 buah. Burke, Peter J. And Stets, Jan E. Ibid. hal. 175 Kementerian Agama Provinsi Lampung Dalam Angka. Data Statistik Keagamaan Tahun 2013. hal. 45 122 123 420 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Dipandang dari sisi jumlah vihara, umat Buddha di Lampung paling besar bernaung di bawah pembinaan Sangha Agung Indonesia (Sagin). Sangha ini menjadi tempat berkumpulnya para bhikkhu Buddhayana. Di dalam sangha ini terdapat unsur Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Sangha Agung Indonesia (Sagin) dikembangkan oleh Bhikkhu Ashin. Pembinaan umat dalam sangha ini dikoordinasi oleh Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). MBI merupakan majelis umat Buddha yang terbesar di Lampung. Pengurus MBI di Provinsi Lampung cukup eksis baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Jumlah vihara yang dibina majelis ini mencapai lebih kurang 145 buah, yang tersebar di 14 kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Vihara-vihara lain dibina oleh enam majelis lain yang tersebar di berbagai wilayah di Lampung yaitu, Tantrayana Kasogatan Zen Fo Zhong, Pandita Buddha Maitreya Indonesia, Parisada Buddha Dharma Nichiren Indonesia (PBDNSI), Majels Tri Dharma, dan Magabudhi/Sangha Theravada Indonesia (STI). Tabel 1 Jumlah Tempat Ibadah (Vihara/Cetiya) Berdasarkan Majelis Umat Buddha di Provinsi Lampung No Kab/Kota 1. Bandar Lampung 2. Pesawaran 3. Way Kanan 4. Lampung Barat 5. Lampung Utara 6. Lampung Kaso gatan 4 1 MBI STI TITD NSI BDNSIMaitreya 35 2 12 4 9 1 2 1 2 1 13 5 9 5 28 Jumlah 47 5 4 32 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 421 Tengah 7. Lampung Timur 8. Lampung Selatan 9. Tanggamus 10. Pringsewu 11. Mesuji 12. Tulang Bawang 13. Tulang Bawang Barat 14. Metro Jumlah 22 3 25 14 14 2 4 2 11 2 4 4 13 2 2 4 1 2 5 1 3 181 Kondisi saat ini menyatakan, umat Buddha di Lampung paling banyak menetap di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Mereka mayoritas bergabung dalam MBI. Namun sayangnya, hingga saat ini, MBI provinsi belum mempunyai program untuk membantu mencari jalan keluar atas kesulitan para umat yang berprofesi sebagai petani ini. Problem yang paling nyata dihadapi umat yang sekaligus petani ini berupa rusaknya infrastruktur jalan untuk menjangkau antar desa. Jalan untuk menuju desa-desa tempat umat Buddha, dan juga rata-rata jalan di pelosok Lampung, kondisinya rusak parah. Jalanan sempit dan bergelombang sehingga cukup merepotkan pengangkutan barang-barang hasil pertanian. Di samping itu, masalah irigasi juga belum diperbaiki, sebab pengairan untuk persawahan hanya mengandalkan tadah hujan. Pengurus MBI Provinsi Lampung pun mengakui, programnya hanya sebatas pembinaan umat yang berpusat di vihara, dan belum sampai menyentuh 422 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia problem ekonomi.124 Para pengurus MBI provinsi Lampung rata-rata berprofesi sebagai wiraswasta. Dilihat dari tingkat pendidikan, umat Buddha di Lampung juga masih terbilang menengah ke bawah. Data dari Bimas Buddha Provinsi Lampung tahun 2013 menyebutkan dari total 93 guru Agama Buddha, hanya 2 orang berpendidikan S-2.125 Lebih tidak menggembirakan melihat latar belakang para pandita (romo) yang berperan dalam menikahkan, memimpin puja bhakti, memimpin upacara kematian, serta menyampaikan pesan dhamma. Peran pandita adalah menggantikan posisi bhikkhu mengingat jumlah bhikkhu yang terbatas. Rata-rata pendidikan pandita ini menyebar dari jenjang SD-SMA. Di Lampung baru terdapat satu Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB), yaitu STAB Jinarakkhita yang dikelola oleh Sagin Lampung. STAB ini mendapatkan status akreditasi B berada di bawah Wawancara dengan Gunawan Chandra, Ketua MBI Provinsi Lampung, tanggal 16 April 2015 dan juga Wawancara dengan Cucuh Maytriratna serta Jumiatin, pengurus Wanita Buddhayana Indonesia (WBI) Provinsi Lampung, tanggal 19 April 2015. Gunawan Chandra, Ketua Provinsi Lampung, juga adalah Ketua REI Provinsi Lampung dan menjadi pengurus Perkumpulan Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Lampung. Oleh karena kemampuan financial dan kedermawanannya, ia begitu mudah diminta partisipasinnya untuk kegiatan pembinaan umat Buddha, walau seringkali hanya meminjamkan mobil land cruiser serta dengan sopirnya. Mobilnya ini amat membantu transportasi para pimpinan umat Buddha, termasuk dari Kementerian Agama, untuk menjumpai umat Buddha yang berdiam di pelosok-pelosok desa dengan kondisi jalan yang berlubang. 125 Kementerian Agama Provinsi Lampung Dalam Angka. Ibid. hal. 48. 124 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 423 pengawasan Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI.126 Saat ini, sedang dibangun sebuah bangunan kampus yang terletak di pinggir Teluk Panjang yang telah menghabiskan miliaran rupiah, walau belum selesai. Untuk masalah tingkat pendidikan dan ekonomi, dapat dikatakan terdapat dua tipologi umat Buddha di Lampung, yaitu masyarakat yang tinggal di perkotaan dan masyarakat Buddhis di pedesaan. Masyarakat Budhis yang menetap di perkotaan, rata-rata mereka mempunyai kemampuan ekonomi dan pendidikan mulai tingkat menengah ke atas. Mereka ini berdomisili seperti di di Bandar Lampung dan sekitarnya. Kedua, masyarakat yang tinggal di pelosok, seperti di pedalaman Mesuji, Lampung Timur dan sebagainya, umat Buddha rata-rata berpendidikan hanya sampai tingkat SD. Jenjang SMP sudah paling tinggi. Hal ini terutama untuk generasi tuanya. “Namun, untuk generasi mudanya, sudah mulai banyak yang mengenyam pendidikan sampai tingkat S-1. Sayangnya, mereka ini kemudian pergi ke luar daerah. Dari Papua sampai Aceh, baik guru-guru baik yang PNS maupun honorer, dan juga penyuluh pasti ada orang Lampung. Karena itu sekarang ini mencari generasi muda Buddhis berpendidkan di kampung-kampung amatlah susah. Kebanyakan mereka pergi ke luar Lampung.”127 Salah satu bukti kendala terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan, dijumpai yang berdampak pada misalnya 126 Wawancara dengan Suhu Badra Surya (Tejo), bagian Akademik STAB Jinarakkhita, tanggal 21 April 2015. 127 Wawancara dengan Bambang Supeno, Pembimas Buddha Kemenag Lampung, tanggal 20 April 2015. 424 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kekurangmengertian terhadap tata cara pembuatan proposal misalnya. Setelah dijelaskan oleh pihak Bimas Buddha untuk penyusunan proposal pembangunan atau rehab vihara misalnya, kadang-kadang mereka datang hanya membawa stempel saja. Di sisi lain, Bimas Buddha Kemenag Provinsi Lampung hanya terdiri dari 5 personel dengan anggaran terbatas. Diakui pula, sejauh ini masih ada juga vihara yang belum sempat dikunjungi. “Yang pasti dalam satu tahun tidak bisa berkeliling ke 16 kabupaten/kota, karena anggaran dan jarak tempuh.” 128 Faktor perpindahan elit terdirik umat Buddha di Lampung seperti disebutkan sebelumnya juga berpengaruh. Diperoleh informasi bahwa tingkat perpindahan umat yang bergelar sarjana ke luar Lampung cukup tinggi. Kebanyakan dari mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah tinggi Agama Buddha di Jawa tidak lagi kembali ke Lampung. Mereka memilih mengisi formasi PNS di bimas Buddha dan juga guru-guru Agama Buddha di provinsi yang tersebar di seluruh Tanah Air. Hal ini berdampak, hingga hari ini belum ditemukan pula tokoh Buddhis lokal yang aktif dalam bidang politik dengan menjadi anggota dewan misalnya. Begitu pula untuk jabatan di birokrasi lokal. Umat Hindu di Bali dipandang lebih maju dalam hal ini ketimbang umat Buddha. 128 Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 425 426 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia II SEKILAS TENTANG BUDDHAYANA Ajaran Pokok Ajaran pokok Buddhayana antara lain mengacu pada Saddharma Pundarika Sutra yang menjelaskan bahwa sekalipun terdapat banyak metode, Buddha mengajarkan Hukum Kebenaran yang sama. Beliau menunjukkan Jalan Agung dengan ajaran Tiga Kendaraan (Triyana), yaitu Srawakayana, Pratyekabuddhayana, dan Boddhisattwaya. Namun akhirnya hanya ada Satu Kendaraan (Ekayana), yaitu Buddhayana. Selanjutnya dalam Satipatthana Sutta, apa yang dimaksud dengan Ekayana atau Jalan Tunggal dijelaskan. Ekayana magga sebagai satu-satunya jalan pembebasan adalah hidup dengan berkesadaran (eling).129 Dalam Buddhayana berkembang pemikiran bahwa inti Agama Buddha atau jalan tunggal dalam agama Buddha adalah perhatian penuh berkesadaran (sati), yang akan menghasilkan konsentrasi (Samadhi), sehingga seseorang akan mampu melihat secara mendalam, melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya, dan memperoleh insight (panna) untuk pada akhirnya mencapai pembebasan (vimutti).130 Untuk dapat memiliki pandangan Buddhayana secara lengkap, terdapat 5 (lima) nilai yang perlu didalami pengertian dan harus dijalani, yaitu non sectarian, 129 Dharmawimala, Buddhayana dan Kontekstualisasi Agama Buddha di Indonsia, dalam Dharmawimala, et. al. Buddhayana Values. Jakarta: Keluarga Buddhayana Indonesia. 2012. Hal. 3. 130 Ibid. hal. 4 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 427 inclusivisme, pluralism, universalisme dan keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (Sang Hyang Adi Buddha/ Dharmakaya.131 Peribadatan/Puja Bhakti Di lingkungan keseharian umat, kegiatan peribadatan bersama difokuskan di vihara masing-masing. Untuk kegiatan bersama di vihara, terutama untuk puja bhakti dan mendengarkan ceramah dharma, dilakukan setiap hari Minggu. Tabel 2 Kegiatan rutin vihara (versi MBI) Hari Minggu Waktu Pagi Siang Sore-malam Selasa/Rabu Harian Malam Kegiatan Sekolah Minggu Buddhis (SMB) untuk anak-anak dan remaja (TKSD-SMP-SMA) Ritual Pemuda (sembahyang, membaca paritta) dan Pembabaran dhamma. Ritual umum (sembahyang, membaca paritta) Anjangsana dari rumah ke rumah (sembahyang, membaca paritta dan Pembabaran dhamma) Duduk dan membaca paritta; visualisasi rupang/gambar 131 Sudhamek, Eksplorasi Nilai-Nilai Buddhayana (Sebuah Telaah dari Perspektif Transformatif-Liberatif), dalam Dharmawimala, et. al. Buddhayana Values. Jakarta: Keluarga Buddhayana Indonesia. 2012. Hal. 41. 428 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Kepengurusan MBI Lampung dan Pembinaan Umat Seperti disebutkan di muka, bahwa para pengurus MBI provinsi didominasi oleh etnis Tionghoa, sementara di tingkat kabupaten lebih banyak dihiasi etnis Jawa. Sekalipun tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, namun cukup meyakinkan untuk tampil memimpin MBI tingkat kabupaten. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Sumarsono yang juga aktif di FKUB Kabupaten Pesawaran. Untuk level provinsi, kepengurusan didominasi etnis Tionghoa. Umat Buddha dari etnis Jawa belum bisa menembus level provinsi karena terkendala faktor ekonomi dan tingkat pendidikan. Barangkali muncul pertanyaan, sejak kapan pergeseran peran tokoh dilatari perbedaan etnis ini terjadi. Jika para figur awal terbentuknya umat Buddhayana di Lampung seperti sekarang ini kebanyakan orang Jawa, walaupun beberapa juga berasal dari Tionghoa, namun belakangan justru tokoh dari latar belakang Jawa menyusut. Terkait hal ini diduga, bahwa pergeseran tampuk kekuasaan dari orang Jawa ke orang China ini terjadi di tahun 1980an hingga 1990an, seiring dengan pergeseran peran tokoh. Tokoh-tokoh lama telah tidak aktif lagi, sementara tokohtokoh baru belum bermunculan karena terhadang masalah ekonomi dan pendidikan. Akhirnya di situlah etnis Tionghoa tampil sebagai pengurus di tingkat provinsi, bahkan hingga di kepengurusan pusat MBI. Berbeda dengan tingkat kabupaten, pengurusnya masih banyak dari etnis Jawa, walaupun beberapa berlatar belakang Tionghoa, seperti contohnya Ketua MBI Lampung Selatan. Pengurus MBI Provinsi Lampung melakukan pembinaan melalui program Darma Keliling (Darling). Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 429 Program ini dilakukan secara bergantian di setiap kabupaten. Program rutin berupa program Perayaan Hari Tri Suci Waisak dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Diakui oleh pengurus MBI Provinsi Lampung, bahwa secara organisasi, MBI provinsi sangat jarang melakukan program pembinaan langsung kepada pengurus MBI tingkat kabupaten. Salah satu contohnya pengurus MBI Kabupaten Pesawaran yang mengaku lebih bergerak atas inisiatif pengurus kabupaten sendiri. Meski diserahkan ke setiap pengurus MBI kabupaten, namun karena terkendala rendahnya kualitas pendidikan SDM dan tingkat ekonomi, dua hal itu dirasakan menjadi penghambat. Terlebih dana paramita, walau ada, namun tidak kontinu jumlahnya. Hanya diberikan pada waktu puja bakti dengan jumlah tidak ditentukan minimalnya. Terkadang dana paramita habis untuk operasional vihara. Mengharapkan kepedulian pengurus provinsi juga susah karena mereka juga memikirkan kelangsungan vihara mereka. “Saya kepingin agar donatur itu lari ke daerah. Ada yang mau sumbang pemugaran vihara, namun tidak mau disebut namanya. Akhirnya dipugar sampai selesai, tapi tetap saja nama donatur tersebut tidak mau dipublikasikan. Vihara di kampung jauh sekali kondisinya dengan vihara di kota.” 132 Karena aktifnya gerakan pengurus MBI Pesawaran, mereka mendapatkan bantuan gedung Dammaseka dari Kemenag RI yang didirikan di Dusun Sri Nusabangsa, Desa Poncokresno, Kecamatan Negrikaton, Kabupaten. Bantuan tersebut senilai Rp. 500 juta. 132 430 Bambang Supeno, Ibid. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia “Hal ini karena di Pesawaran penggeraknya banyak. Termasuk pengurus MBInya. Di daerah lain tidak sama gerakannya. Perayaan Waisak di Pesawaran ini bisa menghadirkan ribuan orang, dengan biaya ditanggung masing-masing KK. Dengan ditanggung masing-masing KK, maka akan terasa keadilannya. Namun hal serupa mash belum bisa diterima di daerah lain yang biaya untuk Perayaan Waisak masih berdasarkan vihara.” Di Pesawaran para tokoh umat Buddha-nya juga aktif dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dengan berusaha selain di pertanian juga di bidang peternakan. Mereka beternak sapi dan juga menerapkan energi terbarukan berupa biogas dari kotoran sapi tersebut. Mereka kini telah dipantau oleh kementerian ESDM mengenai penggunaan renewable energy ini. Namun inisiatif ini di luar program MBI, melainkan inisiatif tokoh-tokoh Buddha di Pesawaran. Belum ada juga modal bergulir yang diberikan MBI. 133 Pemerintah juga telah membantu pembangunan gedung serbaguna Dhammaseka yang terletak di Desa Poncokresno, Kecamatan Negerikaton, Kabupaten Pesawaran. Gedung tersebut merupakan bangunan seperti bangunan sekolah yang terbagi dalam beberapa kelas. Dana pembangunan gedung ini diperoleh dari Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI sebesar Rp. 500 juta. Di gedung ini telah diselenggarakan program Dhamma Camp 2013 dan 2014 yang dijalankan oleh Bimas Buddha Kemenag Lampung. 133 Wawancara dengan Bambang Supeno.Ibid. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 431 Donor darah dilakukan setahun 3 kali, seperti diselenggarakan oleh WBI. Mereka juga mengadakan baksos dan pengobatan massal dengan melibatkan Yayasan Buddha Tzu Chi. Latar Belakang Munculnya Buddhayana di Lampung Cikal bakal perkembangan Agama Buddha di Lampung tidak dapat dipisahkan dari sebuah bangunan rumah ibadah sederhana, yang berdiri di tepi sungai kecil Kampung Bugis, Teluk Betung yang telah berdiri sejak jaman Jepang. Rumah ibadah yang dinamakan Ban Tek Yan tersebut didirikan atas ijin pemerintahan Guncho (setingkat Wedana) di Tanjung Karang tertanggal 4 September 1942 dan berdiri di atas sebidang tanah seluas 2.667 meter persegi. Saat itu, di dalamnya telah ditempatkan rupang Dewi Kwan Im/Avalokiteswara yang dibawa oleh seorang perempuan bernama Lie Kim Nio atau Lie Kim Njuk dari Serang, Banten.134 Kini, tempat ibadah ini telah berubah bentuk menjadi bangunan modern dengan gaya khas oriental-nya. Warna merah mendominasi bagian atas disertai berbagai bentuk rupang di lantai bawah. Di bagian atas, tidak banyak rupang, hanya tiga rupang yang dominan di atas altar. Warga Buddhis Lampung lebih mengenalnya sebagai Vihara Banten. Tercatat, vihara ini berdiri paling awal di Lampung. Vihara ini saat ini dikelola Yayasan Boddhisatwa Bandar Lampung. Yayasan ini juga membuka layanan pendidikan dari jenjang PAUD hingga 134 Liong, Tjia Jun. Edisi Khusus Kenangan Purna Pugar Ban Tek Yan (D/H Wihara Banten Yayasan Boddhisttva Bandar Lampung, 2011. hal. 7 432 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia SD. Bermula dari vihara inilah, tokoh sentral perkembangan Agama Buddha pasca kemerdekaan RI Ashin Jinarakkhita (1923-2002, selanjutnya disebut Bhikkhu Ashin) dari Sangha Agung Indonesia (Sagin) yang bernafaskan paham Buddhayana, membabarkan dharma dan menancapkan roda pembinaan umat Buddha di Provinsi Lampung.135 Bhikkhu Ashin tercatat sebagai bhikkhu asli Indonesia paling awal waktu itu yang melakukan pembinaan terhadap umat Buddha di Lampung.136 Sejak sekitar tahun 1950-an, Wawancara dengan Suwarnatha (Tjong Fuk), tokoh Buddhis senior Lampung dan mantan Ketua MBI Lampung, tanggal 17 April 2015. 136 Bhikku ini dikenal sebagai sosok bhikkhu yang mengundang kontroversi di kalangan Buddhis sendiri. Di sisi lain, ia sangat akomodatif dan tampak ingin menancapkan Agama Buddha yang bernafaskan Indonesia. The Boan An (belakangan menjadi Bhikkhu Ashin) semasa muda ternyata aktivis Sam Kauw Hwee (berubah menjadi Tridharma pada tahun 1963). Bahkan The Boan An pernah menjabat sebagai kepala Komite sentral Gabungan Sam Kauw Hwee. Terlahir di Bogor tahun 1923, sempat mengenyam pendidikan Belanda sebelum melanjutkan ke negeri Belanda untuk kuliah selama lima tahun. Di negeri Belanda ini ia mulai tertarik dengan teosofi dan Buddhisme. Mejadi deputi presiden asosiasi teosofi kaum muda membawanya keliling Eropa. Saat itu ia diketahui memelihara jenggot, berambut panjang dan mengenakan jubah putih. Kembali pulang ke Indonesia tahun 1951, lantas menjadi guru di sekolah. Tidak lama kemudian memutuskan menjadi anagarika (pelayan Buddha dan tidak menikah). Aktivitas di teosofi masih berlanjut dan terpilih menjadi ketua Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) yang membawanya sering bepergian dan bertemu dengan banyak kolega baik kalangan Tionghoa maupun non Tionghoa. Di saat bersamaan, ia tertarik dengan Mahayana dan berguru pada Mahabhikkhu Pen Ching di Vihara Kong Hoa Sie di Jakata. Namun keinginannya menjadi bhikkhu malah membawanya ke Burma yang bertradisi Theravada. Pada Desember 1953, ia pergi ke Burma untuk menjadi bhikkhu dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Ia kembali ke Indonesia pada Januari 1955 dan mulai menyebarkan Buddhisme. Lantas, kedekatan Bhikkhu Ashin dengan Sam Kauw Hwee melemah dan malah belakangan meninggalkan Sam Kauw Hwee dan memilih Buddhisme yang 135 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 433 Bhikkhu Ashin yang juga akrab dipanggil Sukong, telah merambah wilayah Lampung. Di era itu pulalah, Bhikkhu Ashin bertemu dan membimbing Lie Kim Njuk, pengelola rumah ibadah Ban Tek Yan dan bahkan selanjutnya memvisudhi-nya menjadi upasika dengan nama “Yuan Ming”.137 Lie Kim Njuk dan kebanyakan tokoh Tionghoa yang ditemui Bhikkhu Ashin adalah para penganut agama tradisi Tionghoa, agama Sam Kaw (Sam Kaw Hwee). Diperkirakan, perkenalan Lie Kim Njuk denga Bhikkhu Ashin telah terbangun sejak sama-sama aktif dalam Sam Kauw Hwee. Agama atau kepercayaan ini berkembang di kalangan Tionghoa peranakan setelah diperkenalkan oleh Kwee Tek Hoay di tahun 1934.138 Perkenalan ini membawa perwakilan umat Buddha (Sam Kauw) dari Lampung diundang dalam perayaan Buddha Jayanti tahun 1956 di Candi Borobudur, termasuk Lie Kim Njuk. Saat ini, cucu Lie Kim Njuk yang bernama Surwarnatha (Tjong Fuk) meneruskan pengelolaan vihara tersebut. tidak eksklusif untuk kalangan TIonghoa. Kontroversi Ashin Jinarakkhita menguat setelah ia mengenalkan konsep ketuhanan dalam Buddhisme dengan mengenalkan istilah “Adhi Buddha”. Istilah ini diambil dari teks Buddha Jawa di abad ke-10, Sang Hyang Kamahayanikan. Konsep ini ditentang kalangan Theravada. Kontroversi Bhikkhu Ashin berlanjut ketika ia mulai berusaha memadukan Mahayana dan Theravada, yaitu dengan menggunakan jubah a la Theravada namun memanjangan jenggot seperti dalam gaya Mahayana. Ia juga dikenal pengagum Sai Baba dan juga Dalai Lama. Akibatnya, gerakannya mulai tidak disukai pemerintah saat itu, karena dianggap terlalu liberal, dan juga membuat Walubi mengambil sikap untuk mengeluarkan Bhikkhu Ashin dan pengikutnya (Sangha Agung Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia) dari keanggotaan Walubi pada tahun 1995. Lih. Suryadinata, Leo. The Cultureof the Chinese Minority in Indonesia. Singapore: Times Books International. 1997. Hal. 163 & 175-184. 137 Liong, Ibid. 138 Suryadinata, Ibid. hal. 168 434 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Ditelusuri dari sisi latar belakang etnis dan orientasi keagamaan, saat itu umat Buddha di Lampung dapat disederhanakan berasal dari etnis Tionghoa dan etnis Jawa. Kalangan Tionghoa berpedoman pada Sam Kauw Hwee, yang terorganisir dalam Gabungan Sam Kaw Indonesia (GSKI). Di lain pihak, orang-orang Jawa, terutama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang berdatangan ke berbagai penjuru Lampung, mempertahankan ajaran Buddha Jawi Wisnu mereka.139 Kondisi serupa dapat dijumpai di Kasembon, Malang, Jawa Timur yang mana Buddha Jawi Wisnu melatari terlembaganya Agama Buddha seperti sekarang ini.140 Di saat perubahan Bhikkhu Ashin dari Sam Kauw ke Agama Buddha dan membina pengikutnya di Lampung, secara kebetulan, setelah pecahnya peristiwa G 30 S tahun 1965 berbuntut pada kecurigaan dan penangkapan terhadap beberapa tokoh penganut Buddha Jawi Wisnu karena dituduh pengikut paham komunisme. Kebanyakan mereka beretnis Jawa dan memang ada yang aktif dalam organisasi underbow PKI. Penahanan tanpa didahului persidangan yang memadai. Didapatkan informasi bahwa salah satu tokoh yang datang ke Lampung yang menyertai Bhikkhu Ashin ternyata seorang militer bernama Sudibyo Dharma Murti. Bhikkhu Ashin yang datang dengan membawa dhamma disambut dengan tangan terbuka oleh kalangan Tionghoa yang sebelumnya hanya melakukan persembahan ke kelenteng, namun dhamma atau ajarannya masih dangkal. Wawancara dengan Suwarnatha (Tjong Fuk), Ibid. Ekoputro, Zaenal Abidin. Berpeluh Berselaras. Buddhis dan Muslim Barakan Membangun Harmoni. Dalam Ekoputro, Zaenal Abidin (ed.). Berpeluh Berselaras. Buddhis-Muslim Meniti Harmoni. Jakarta: Centre of Asian Studies (Cenas), Kepik Ungu & Hivos. Hal. Hal 192-194. 139 140 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 435 “Romo Sudibyo yang berlatar belakang militer, membebaskan para pemeluk Buddha Jawi Wisnu yang ditahan di Rutan Wates, Bandar Lampung akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Entah apakah karena kebetulan atau memang sepaham, mereka yang dibebaskan ini kemudian juga bergabung dalam Buddhayana.”141 Bhikkhu Ashin (Sukong) menjadi figur sentral yang aktif membabarkan dhamma dengan mempopulerkan konsep ketuhanan Sang Hyang Adhi Buddha. Dalam penyebarluasan doktrin Buddhayana, para pandita (romo) turut pula berkontribusi hingga masuk ke pelosok-pelosok desa dengan berjalan kaki ataupun menggunakan pedati yang ditarik sapi. Sepeda hanya digunakan secara terbatas. Para bhikkhu yang datang ke Lampung saat itu diangkut dengan moda transportasi semacam itu. Memasuki era tahun 1960an hingga 1970an, kedatangan Bhikku Ashin terkadang disertai bhikkhu yang lain seperti Bhikkhu Girirakhito (alm) dan Bhikkhu Jinaratana (Pandit J Kaharuddin).142 Para bhikkhu ini berkilo-kilo meter menggunakan transportasi seadanya, memasuki daerah pedalaman Lampung yang jalannya belum bagus. Bhikkhu Ashin selama hidupnya juga bahkan sampai tiga kali mengunjungi umat Buddha di Dusun Kampung Baru, Kelurahan Sidosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Warga Buddhis mengingat, Bhikkhu Ashin pertama 141 Wawancara dengan Eka Tjandra, panditaBuddhis Magabudhi, tanggal 18 April 2015. 142 Kaharuddin, Pandit. Catatan Hidup Pejuang Dhamma. Otobiografi Singkat Pandit Kaharuddin. Jakarta: Persatuan Pariyati Abhidhammad. 2015. Hal. 67. 436 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia kali datang ke Lampung Selatan tepatnya setelah tahun 1965.143 Umat Buddha di Dusun Kampung Baru, Kelurahan Sidosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan merupakan bagian dari tipikal sejarah “terbentuknya” umat Buddha di Lampung. Seorang pelaku sejarah terbentuknya umat Buddha di Lampung yang menetap di dusun tersebut menuturkan, bahwa jejak-jejak terbentuknya umat Buddha di desanya muncul sejak tahun 1964. Tercetusnya benar-benar setelah peresmian tahun 1966 dipelopori oleh Sudibyo Darma Murti. Selain Sudibyo, tokoh lain adalah Sutrisno (ayahanda Pembimas Buddha Kanwil Kemenag Lampung saat ini, Bambang Supeno), Suladi, Sumitro, Lakip dan masih banyak lagi.144 Tokoh-tokoh dibalik terbentuknya umat Buddha di Lampung seperti disebutkan di atas secara rutin membina umat. Di mana di situ ada umat, segeralah diprogramkan pendirian vihara. Terkenang oleh Dadi, para tokoh itu hanya berjalan kaki untuk masuk ke desa-desa dan bermalam di rumah-rumah umat. “Dari sini (Dusun Kampung Baru, Sidosari, Natar) ke Poncokresno Negerikaton di Pesawaran yang berjarak puluhan kilometer, kita jalan kaki. Sepeda itu baru ada tahun 1967/1968. Ke Metro (yang berjarak 40 143 Wawancara dengan Dadi, tokoh Buddhis senior Lampung, tanggal 20 April 2015. 144 Wawancara dengan Dadi, tokoh senior Buddhis Lampung, Ibid. Dadi Mengikuti pasang surutnya dari majelis Persatuan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) hingga menjadi MBI, dan juga terbentuknya Bimas Buddha yang pertama dijabat oleh Sudibyana. Dadi kelahiran Gedong Tataan, tahun 1944, tamatan SR tahun 1958. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 437 kilometer) juga jalan kaki. Untuk di Lampung ini, tidak ada yang membandingi Banthe Nyanasuttha yang menjumpai umat-umat Buddha di desa-desa di Lampung sekitar tahun 1970an.” Sebagai seorang penganut Buddha Jawi Wisnu yang kebetulan aktif di Pemuda Rakyat, Dadi termasuk orang yang diintrogasi tentara setelah pecahnya peristiwa G 30 S. Dia dipanggil di Kodim untuk dimintai keterangan disertai ancaman. Setelah diintrograsi terkait dengan keyakinannya, ia berpikir untuk mencari perlindungan. Ia juga sempat ditahan tanpa proses pengadilan karena bergerak di organisasi yang diduga berasosiasi dengan komunisme. Melalui Sudibyo Darma Murti yang militer itu, ia mendapatkan buku yang membahas tentang petunjuk pancasila Buddhis, yang berisi tentang larangan membunuh, mencuri, berzina (main perempuan), berbohong, dan mabukmabukan. Di situlah ia merasakan apa yang dicarinya selama ini dan timbullah kesesuaian hatinya. Ketika berpegang pada Buddha Jawi Wisnu, awalnya ia berpegang pada falsafah Jawa, sapa sing nandur, bakale ngunduh (siapa yang menanam, ia akan memanen) dan becik ketitik, ala ketara (baik diingat, jelek diketahui).145 Merunut pada dokumen yang ada, Buddha Jawi Wisnu yang dianut orang Jawa di Lampung saat itu diperkenalkan oleh Bhiksu Dewadharmaputra yang berasal 145 Sebelum tahun 1964 saat bersentuhan mendalam dengan Buddha Jawi Wisnu, pedoman hatinya adalah Islam seperti kebanyakan umat Islam saat itu, yang hanya sebagai identitas saja, Islam nominal. Sholat lima waktu merupakan hal yang jarang dilakukan. Segenerasinya dan generasi orangtuanya, mereka yang melakukan sholat hanya yang dekat dengan masjid saja. Secara kebetulan, waktu itu bangunan masjid masih sangat jarang. Dadi, Ibid. 438 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia dari Jember, Jawa Timur. Bhikkhu ini ternyata tercatat aktif di Sagin.146 Bhikkhu ini juga merambah ke banyak wilayah lain dengan mengajarkan Buddha Jawi Wisnu, dengan ciri khasnya menggunakan mantra Hong Wilaheng.147 Bahkan, Bhikkhu ini juga datang ke Kampung Baru, membina umat Buddha di kampung itu. Konsep tentang Jawa yang bercorakkan Majapahit ini masih bersemayam dalam pengetahuan sehari-hari terutama umat Buddha yang tergolong berusia paruh baya. Faktor keyakinan bahwa orang Jawa yang pernah jaya dalam imperium Majapahit yang disangga oleh kekuatan SyiwaBuddha berandil besar dalam terlembaganya keyakinan terhadap Agama Buddha, khususnya Buddhayana bagi umat Buddha di Lampung.148 Akan tetapi, ajaran Buddha Jawi Wisnu tidak terdokumentasikan secara rapi, termasuk juga mantra yang rutin diucapkan. Orang Buddha di pedalaman Lampung mengenalnya dengan mantra Hong Wilaheng saja. Hanya berdasarkan mantra, lalu dikatakan Buddha. Sayangnya, Agama Buddha Jawi Wisnu ini belakangan “diserang” eksistensinya karena dinyatakan tidak mempunyai kitab suci. Saat itu juga belum ada lembaga yang cukup kuat untuk mengayomi umat Buddha Jawi Wisnu. Sementara banyak orang Jawa saat itu bukan hanya berpedoman satu sumber 146 Lih. Susunan Pimpinan Sangha Agung Indonesia berdasarkan Keputusan Samaya No. III/1978, tertanggal 27 September 1978. 147 Agak lengkapnya, Mantra Buddha Jawi Wisnu (mantra pembuka dan penutup ritual) : Hong wilaheng awigenam sekaring bawana langgeng Luputo sarik lan sandikala Luputo dendang tawang-tawang jagad dewa bathara langgeng 148 Wawancara dengan Suwarnatha, Ibid. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 439 kebenaran saja, seperti orangtua Dadi sendiri adalah seorang penganut Ilmu Sejati, ngelmu yang berkembang di banyak orang Jawa saat itu, selain Jawi Wisnu. Orang seperti Dadi yang hanya tamatan SR, tidak tahu menahu tentang keberadaan Kitab dan teks-teks kitab suci Agama Buddha, seperti waktu itu disodorkan padanya akan teks Sang Hyang Kamahanikan. Kitab ini dipandang sebagai landasan keberadaan Tuhan dalam Agama Buddha, seperti diyakini oleh penganut Buddhayana. Baginya, teks-teks itu sulit sekali dipahami. Pembacaan paritta dengan lafal Namo Tassa149 itu muncul dibawa oleh Bhikkhu Ashin. Sementara, mantra Hong Wilaheng itu sejak sebelumnya sudah ada. Buddha Jawi Wisnu ini juga sangat dipahami oleh warga di sekitar Kampung Baru, di mana banyak umat seperti Dadi tinggal. Tatkala Buddha Jawi Wisnu dilarang sejak tahun 1965, karena dituntut untuk menginduk pada agama universal, maka Agama Buddha Jawi Wisnu berlindung ke dalam Agama Buddha yang memiliki kitab suci dan juga, Tuhan. Jawi Wisnu tidak mempunyai kitab suci dan hanyalah mantra yang diucapkan saja. Sekarang ini mantra Hong Wilaheng masih dipraktikkan oleh sebagian kalangan tua, selain membaca paritta Namo Tassa. Ditambah lagi sedikit perubahan, jika dahulu di Buddha Jawi Wisnu, ketika bersemadi menggunakan kemenyan yang disebut dupo arum, maka sekarang setelah menginduk kepada Buddhayana, jika bermeditasi di depan altar menggunakan hio yang disebut sekar arum. 149 Teks lengkapnya, Namo Tassa Bhagavato Arahatto Samma Sambuddhassa! (Pujilah Sang Buddha, Yang telah mencapai penerangan dan Kebijaksanaan sempurna). 440 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Munculnya majelis umat Buddha Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), yang diperkirakan berdiri tahun 1955, turut mempopulerkan paritta Namo Tassa yang berdasarkan kitab suci Tripitaka. Saat itu, Buddha Jawi Wisnu memang juga belum terlembaga secara kuat seperti dibentuknya oganisasi atau majelis. Bentuk pengorganisasian Buddha Jawi Wisnu masih sangat sederhana, yaitu tersentral pada figur guru. Lembaga yang ada hanya guru dan cantriknya saja. Dewadharmaputra misalnya, memiliki cantrik satu saja bernama Ki Kusumo Dewa. 150 Diterimanya Buddhayana secara meluas di Lampung bisa dibaca karena terakomodasinya dengan baik keyakinan lokal yang telah ada sebelumnya. Di samping dikenalkannya paritta dan kitab suci dalam Bahasa Pali, unsur local yang telah ada sebelumnya juga dapat tetap dipertahankan. Para tokohnya pun juga dapat bersanding dan bekerja sama walaupun pemahamannya sedikit berbeda. Hal ini seperti diterimanya Bhikkhu Dewadharmaputra yang tidak lain adalah tokoh Buddha Jawi Wisnu, duduk sebagai pengurus Sangha Agung Indonesia (Sagin) yang diketuai oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita yang dikenal sangat akomodatif dalam bertradisi. Dalam pembinaan umat selanjutnya, Bhikkhu Ashin juga mengenalkan bhikkhu-bhikkhu lain pada umat Buddhayana Lampung, seperti Bhikkhu Ugadhammo bersama Bhante Jinamitto dari Sangha Agung Indonesia (Sagin). Disebutkan, bahwa saat kedatangan mereka ini banyak anak membuntuti terus dan sambil menyanyikan lagu “gundul-gundul pacul” sembari disambut senyum dan tawa 150 Wawancara dengan Dadi, tokoh senior Buddhis Lampung, tanggal Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 441 para bhikkhu tersebut. Bagi masyarakat Jawa Buddhis terutama di Lampung, Bhante Uggadhammo bersama Bhante Agga Jinamitto dan Bhante Khemasarano merupakan tiga bhikkhu yang tekun mengumandangkan dharma ke desa desa dan di daerah transmigran untuk melestarikan agama Buddha sebagai peninggalan orang “Jowo Kuno” yang erat dengan budaya Majapahit.151 Buddhayana Yang Menguat dan Melemah Seperti disebutkan di muka, tokoh generasi pertama setelah Buddhayana masuk ke Lampung antara lain Sudibyo Dharma Murti (militer), Suladi (Polisi), Sumitro (PNS Gubernuran), Sutrisno (Ulu-ulu/pengairan) dan Sukarama (wiraswasta/Tionghoa). Mereka inilah tokoh-tokoh awal yang dikenal menyebarluaskan Buddha berfaham Buddhayana di Lampung dan jejaknya masih terasakan hingga sekarang. Setelah generasi pertama tersebut, kemudian menyusul generasi kedua, seperti Dadi, Eka Tjandra, dan juga Haryoto. Generasi penerusnya antara lain Suwarnatha (Tjong Fuk), serta Sudibyana (Pembimas Buddha pertama di Kemenag Provinsi Lampung). Jejak para aktivis terbentuknya Buddha bernafaskan Buddhayana itu menyebar hingga ke pedalaman Lampung yang banyak dihuni orang-orang Jawa. Budhayana kemudian kebanyakan dipeluk oleh etnis Jawa yang berdiam di wilayah pedesaan di Lampung. Diperkirakan, di seluruh Provinsi Lampung, sekitar 20 persen umat Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) berasal dari etnis Tionghoa, sementara 80 http://dhammacitta.org/forum/index.php?action=profile; diakses taggal 1 Mei 2015. 151 442 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia persen berlatar belakang etnis Jawa. Namun demikian, pengurus MBI di tingkat Povinsi Lampung didominasi oleh etnis Cina. Hal ini lebih karena faktor domisili semata. Lain halnya dengan pengurus MBI di tingkat kabupaten yang banyak didominasi orang bersuku Jawa. Petaka menimpa umat Buddhayana Lampung manakala MBI dikeluarkan dari Walubi tahun 1995. Akibat dikeluarkannya MBI dari Walubi pusat lebih karena konflik elite itu, umat MBI Lampung merasakan imbasnya dengan mendapatkan intimidasi dari militer. Saat itu, para tokoh umat Buddha di desa-desa dibawa ke markas militer (korem) Bandar Lampung untuk mengikuti suatu pertemuan yang difasilitasi oleh Walubi. Para tokohnya diberi ceramah tentang Walubi agar mereka tetap berada dalam walubi. Massa yang mengikuti pertemuan tersebut, bertempat di lapangan dan diindoktrinasi agar tetap bertahan dalam Walubi. Walaupun di bawah ancaman, mereka tetap bertahan dengan Buddhayana. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya penyekapan tiga orang tokoh Buddhis di Jakarta yang menentang Walubi. Konon, tiga orang tersebut diintimidasi hingga disiksa secara fisik.152 Kondisi ini seperti mengulang kembali kisah heroik yang ditunjukkan para pimpinan umat Buddha Lampung setelah pecahnya G 30 S. Ketika tokoh-tokoh Buddhis di desadesa diintimidasi di tahanan, para pemimpin merekalah yang bersedia menjadi jaminan. Majelis umat Buddha yang eksis hanyalah MBI, belum muncul majelis lain seperti sekarang. 152 Salah satu korban penyiksaan tersebut adalah Tjoetjoe Ali Hartonodari MBI. Lih. Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti. Kisah Spiritual Anak Madura. Jakarta Centre of Asian Studies (Cenas). 2012. Hal. 165 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 443 Hal inilah yang tidak dipungkiri menjadi semacam kebanggaan menjadi umat MBI, khususnya untuk membingkai umat MBI Lampung, karena sejak dulunya yang eksis hanyalah MBI. Ditambah kenangan heroisme para tokoh waktu awal melakukan pembinaan. Nama-nama figur tersebut di atas masih melegenda di hati para umat Buddha secara merata di Lampung, termasuk bagi umat Buddha di Mesuji yang ditempuh selama 8 jam perjalanan dari Bandar Lampung. Kebanggaan sebagai kekuatan yang melapisi identitas keagamaan itu disulut juga atas kenangan umat sewaktu para figur itu berhadapan dengan aparat, terutama setelah peristiwa G 3 S. “Saat itu, setiap orang yang mengaku beragama Buddha ditangkapi aparat sebab dikatakan tidak bertuhan. Para tokoh itu kemudian bersiap pasang badan, lebih baik mereka yang diambil ketimbang mengambil warga. Dua puluh sampai tiga puluh orang di dalam ruang tahanan, digantikan oleh para tokoh ini. Mereka merasa dibela oleh pimpinannya. Kenangan seperti ini masih melekat di hati umat Buddha Lampung sampai sekarang.”153 Akan tetapi, perjuangan para tokoh awal dalam membentuk umat Buddha ini cukup menyisakan getir pada akhirnya. Hal ini persisnya setelah diketahui menurunnya jumlah vihara sejak jaman awal terbentuknya umat Buddha di Lampung hingga jaman sekarang. Pada era setelah G 30 S, 153 444 Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia jumlah vihara mencapai 350 buah, sekarang menyusut tinggal 181 buah.154 Hal ini ditengarai karena seiring dengan lemahnya pembinaan yang dilakukan majelis. Pelaku sejarah seperti Dadi menyampaikan, sejak terbentuknya MBI Lampung, baginya hanya tahu organisasi MBI saja. Namun saat itu hinga jauh ke depan, tidak pernah ada apa yang sekarang disebut pengurus melakukan blusukan. Padahal, pengurus MBI selalu ada dari tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten, termasuk kabupaten Lampung Selatan. Sampai sekarang pun diakuinya, pengurus MBI Tingkat provinsi belum pernah datang ke daerahnya walaupun sejak tiga tahun belakangan ini, justru perhatian datang dari pengurus MBI tingat kabupaten.155 Dari sisi umat sendiri, timbul semacam anggapan bahwa pembinaan dilakukan bhikkhu lebih mengena ketimbang para pandita. Padahal, realitasnya menyatakan jumlah bhikkhu tidaklah seimbang denan jumlah vihara yang ada di Lampung. Walaupun sebenarnya pimpinan vihara juga terus memberikan ceramah, dan motivasi namun lama-lama sering dirasakan membosankan.156 Jumlah bhikku Sagin di Lampung sendiri belum sebanding dengan jumlah umat dan vihara. Jumlah bhikku yang bernaung di Sagin dan siap diterjunkan ke umat di Lampung sebanyak 32 orang. Mereka ini sudah dijadwal untuk melakukan kegiatan di tempat-tempat yang ditentukan. Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid. Wawancara dengan Dadi, Ibid. 156 Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid. 154 155 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 445 Namun karena memang jumlahnya tidak sebanding denan umatnya, maka tidak semua umat dapat dilayani bhikkhu.157 Intra Relasi Dan Inter Relasi Dengan Pemerintah dan Agama Lain Majelis terbesar seperti MBI diakui belum mempunyai langkah pembinaan yang terjadwal, misalnya sebulan sekali. Namun begitu, hubungan antar majelis tetaplah baik. Karena memang mayoritas dari segi jumlah, pengurus MBI tergolong lebih dekat dengan pemerintah. Kalau majelis lain, masalahnya juga tidak semua kabupaten sudah berdiri cabangnya. Seperti Kasogatan umpamanya, hanya di dua kabupaten. Lain halnya dengan MBI yang telah berdiri di seluruh kabupaten. Namun semua majelis pernah berkomunikasi dengan Pembimas. Termasuk ketua Walubi yang berasal dari Maitreya. Untuk menjaga hubungan harmonis antarmajelis tersebut, diberikanlah perhatian yang sama terhadap semua majelis oleh Pembimas Buddha. Pembimas Lampung diserahi tugas mengisi program siaran di TVRI Bandar Lampung untuk siaran Agama Buddha. Oleh Pembimas diserahkan kepada majelis-majelis tersebut. Ditawarkanlah kepada keenam majelis, tapi ada juga ketidaksiapan dari majelis lain. Akhirnya MBI jadi tumpuan lagi, karena SDM-nya paling banyak. Program ini rutin berjalan setiap bulan. Program lain sifatnya incidental, dengan mengumpulkan seluruh majelis. Wawancara dengan Bhikkhu Nyana….., Ketua Sagin Lampung, tanggal 21 April 2015. 157 446 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Namun untuk koordinasi langsung agak susah, karena mereka harus berkomunikasi dulu dengan pihak pusat.158 Seringkali ditarik-tarik dalam pusaran politik local, paling mutakhir saat pemilihian gubernur digelar. Akhirnya dicoblos semua. Ketua MBI Lampung juga sekaligus sebagai Ketua REI Lampung, aktif di organisasi Tionghoa PSMTI. Cukup dekat dengan Walubi. Ketika Walubi mengundangnya, ia hadir. Begitu pula diundang oleh Majelis Tridharma. Walaupun terdapat perbedaan pendapat, hal ditonjolkan adalah ajaran cinta kasih. Dukungan gubernur tahun ini mendapat jatah juru nikah (P4B) dari Gubernur sebanyak 6 orang. Kawin mawin lebih sering terjadi dengan orang berbeda agama, misalnya Islam. Namun biasanya yang Buddhis mengalah untuk mengikuti agama pasangannya. Apalagi jika perkawinan dilangsungkan di KUA. Perkawinan dengan orang China walaupun seagama, masih langka. Ada anggapan bahwa jika nikah dengan orang di luar etnis, orang China menganggap cucu luar. Tidak diakui oleh keluarga besarnya, karena mereka tidak mempunyai marga.159 Minimnya pembinaan terhadap umat Buddha disertai dengan kekhawatiran akan semakin berkurangnya jumlah umat Buddha disebabkan berpindah keyakinan. Hal ini menyebabkan tokoh seperti Eka Tjandra lebih melihat pentingnya pembinaan umat melalui penyampaian dhamma. Karena dirasa kurangnya pembinaan di MBI, ia memutuskan untuk bergabung ke Theravada sejak tahun 1983 dan lantas aktif dalam Magabudhi. 158 159 Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid. Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 447 Konfik Antarmajelis Sesuai dengan visi misi Kementerian Agama yaitu menciptakan kesejahteraan dan kerukunan. Disosialisasikan ke bawah dengan bahasa umat. Melakukan pembinaan dengan menekankan pentingnya kerukunan antarumat beragama, intern umat beragama dan hubungan yang baik dengan pemerintah. Sejauh ini di Lampung tidak terjadi gejolak. Dengan cara kalau ada pertemuan, dialog yang ditekankan masalah itu. Inisiatif dari majelis direspon dengan mendatangi undangan supaya dapat menyambung silaturahmi dengan umat majelis lain.160 Sejauh ini belum pernah terjadi konflik karena perbedaan majelis. Para tokoh MBI mengetahui pula bahwa para tokoh di majelis lain itu dulunya juga umat di MBI. Begitu pula belum pernah terjadi konflik dengan agama lain. Umat Buddha cukup terwadahi dalam FKUB Provinsi Lampung. Salah satu anggotanya yang berasal dari Walubi didudukkan menjadi bendahara dalam FKPT yang dibentuk oleh BNPT. Pimpinan Walubi ini dikenal dekat dengan pimpinan MBI. Justu untuk di Lampung ini yang menggelisahkan bukanlah relasi antaragama, melainkan relasi antaretnis seperti terjadinya kerusuhan Balinuraga. Itu bukan masalah agama, antaretnis tapi masalah ekonomi. Rata-rata pendatang lebih rajin, daripada penduduk local. Akhirnya timbullah kecemburuan social. 160 448 Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia Jika disebutkan Umat MBI berkurang karena berpindah ke majelis lain. Namun, hal ini tidak sepenuhnya kerugian, tapi juga akibat kesalahan sendiri. SDM mereka banyak, tapi jarang melakukan pembinaan ke daerah-daerah. Apakah seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali. Atau berapa waktu sekali lah. Nah, para tokoh termasuk para bhikkhu yang jumlahnya dua puluhan itu juga kurang intensif melakukan pembinaan ke daerah-daerah. Makanya, terjadilan perpindahan ke majelis lain. Karena merasa puas besarnya anggota, dan jarang dilakukan pembinaan, maka banyak berpindah ke majelis lain dan bahkan agama lain. Umat Buddha di kampung-kampung jarang tersentuh. Padahal mereka adalah ujung tombaknya.161 Seperti telah dipaparkan di muka, umat Buddha di Lampung terbagi dalam beberapa majelis. Namun sebenarnya pada awalnya majelis yang berdiri hanyalah MBI di bawah pembinaan Sangha Agung Indonesia (Sagin). Munculya majelis-majelis lain itu dipengaruhi factor ketidakpusaan terhadap kinerja pengurus MBI seperti disampaikan Eka Tjandra, tokoh senior yang sering blusukan sewaktu muda ke desa-desa bertemu dengan umat Buddha. Karena terdapat beberapa majelis, maka tidak terhindarkan terselip adanya selisih pendapat. Namun, sejauh ini selisih pendapat dalam batas kewajaran, dan perselisihan itu tidak sampai terekspose media. Misalnya hanya dalam kegiatan rapat saja terjadi perdebatan. Kemudian selesai saja. 161 Wawancara dengan Bambang Supeno Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 449 450 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia III PENUTUP Kesimpulan Mencoba memahami umat Buddha di Lampung dari era awal pembentukannya dapat mengarahkan pada pemikiran adanya perubahan identitas secara sosial. Akibat tekanan dari luar diri kelompok mereka, mereka kemudian mencoba untuk berupaya mencari relevansi dengan makna baru yang disodorkan. Perubahan idnentitas itu paling mencolok dapat dilihat pada kelompok Sam Kauw Hwee dan Buddha Jawi Wisnu ke dalam Agama Buddha (Buddhisme) yang lebih universal. Sejauh ini di internal umat Buddha di Lampung tidak terjadi gejolak berarti. Reunikasi dan jalinan antarmajelis terus dijaga, terutama oleh elite MBI dan juga Penmas Buddha Kemenag Provinsi Lampung. Inisiatif dari majelis direspon dengan mendatangi undangan supaya dengan menyambung hubungan dengan umat dari majelis lain. Begitu pula belum pernah terjadi konflik uamt Buddha dengan agama lain. Umat Buddha cukup terwadahi dalam FKUB Provinsi Lampung. Salah satu anggotanya yang berasal dari Walubi menempati jabatan menjadi bendahara dalam FKPT yang dibentuk oleh BNPT bekerja sama dengan MUI Lampung. Bahkan, pimpinan Walubi ini dikenal dekat dengan pimpinan MBI. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 451 Rekomendasi Untuk bahan pertimbangan, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan terkait dengan fasilitasi umat Buddha khususnya di Lampung ini antara lain : 1. Perlunya pembinaan yang lebih terkoordinasi dengan baik. Pemerintah perlu memberi fasilitasi terhadap persoalan yang dihadapi umat Buddha di Lampung. Walaupun Pembimas hanya ada di tingkat provinsi, pemkot/pemda juga seharusnya lebih peduli dengan pembinaan umat Buddha, misalnya bantuan untuk perayaan hari besar, pendidikan, kegiatan keagamaan, maupun perbaikan infrastruktur. 2. Perlunya untuk segera diangkat penyuluh Non PNS dari kalangan umat Buddha yang SK-nya dikeluarkan oleh Kanwil Kemenag Provinsi. Selama ini SK menjadi pandita dikeluarkan oleh majelis dan tidak disertai honorarium. 3. Perlunya segera diwujudkan perbaikan sarana infrastruktur untuk pengembangan ekonomi dan pendidikan umat Buddha di Lampung. 452 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Burke, Peter J. & Stet, Jan E.. Identity Theory. Oxford: Oxford University Press. 2009. Dharmawimala, et. al. Buddhayana Values. Jakarta: Keluarga Buddhayana Indonesia. 2012. Ekoputro, Zaenal Abidin (ed.). Berpeluh Berselaras. BuddhisMuslim Meniti Harmoni. Jakarta: Centre of Asian Studies (Cenas), Kepik Ungu & Hivos. Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti. Kisah Spiritual Anak Madura. Jakarta: Centre of Asian Studies (Cenas). 2012. Kaharuddin, Pandit. Catatan Hidup Pejuang Dhamma. Otobiografi Singkat Pandit Kaharuddin. Jakarta: Persatuan Pariyati Abhidhammad. 2015. Kementerian Agama Provinsi Lampung Dalam Angka. Data Statistik Keagamaan Tahun 2013. Liong, Tjia Jun. Edisi Khusus Kenangan Purna Pugar Ban Tek Yan (D/H Wihara Banten Yayasan Boddhisttva Bandar Lampung, 2011. Suryadinata, Leo. The Culture of the Chinese Minority in Indonesia. Singapore: Times Books International. 1997. Hal. 163 & 175-184. Internet : http://dhammacitta.org/forum/index.php?action=profile; diakses taggal 1 Mei 2015. *** Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 453 454 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia EPILOG Buku yang berjudul Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia ini memuat 11 artikel atau tulisan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Badan Litbag dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagaman pada tahun 2015. Mereka ini sudah terbiasa melakukan penelitian dalam kehidupan keagamaan di Indonesia dan melahirkan berbagai karya ilmiah. Jasa mereka patut dihargai, karena melalui hasil penelitian mereka pengetahuan kita tentang perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia semakin bertambah dari masa ke masa. Tulisan pertama dari buku ini berjudul Lembaga Keagamaan Buddha di Indonesia (LKBI) Propinsi Kalimantan Barat. Inti dari tulisan ini menjelaskan bahwa hubungan umat Buddha dengan sesama umat Buddha lainnya berjalan dengan baik, begitu juga hubungan mereka dengan pemerintah juga berjalan dengan baik. Meskipun hubungan umat Buddha yang satu dengan lainnya berjalan baik, namun ajaran-ajaran LKBI agak sedikit berbeda dengan majelis yang lainnya. Salah satu yang menarik adalah mereka mengakui adanya lima orang nabi yang mengajarkan ajaran Tuhan, yaitu: Buddha Gautama, Khonghucu, Lao Tse, Yesus dan Muhammad. Artikel kedua dari buku ini menjelaskan tentang Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa sebelum masuknya sekte Theravada di Blitar, masyarakat Blitar masih menganut kepercayaan kejawen. Setelah masuknya sekter Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 455 Theravada di sana, masyarakat sedikit demi sedikit pindah ke sekte agama Theravada ini. Pada masa lalu di Blitar hanya ada kelenteng-kelenteng masyarakat China, maka melalui kelenteng itulah sekte Theravada ini berkembang. Dalam segi ritualnya, sekte ini juga memiliki perbedaan dengan sektesekte lain dalam agama Buddha. Artikel ke tiga dari buku ini menjelaskan tentang Rohaniawan Tri Dharma Seluruh Indonesia (Martrisia) di propinsi Riau. Martrisia adalah salah satu dari organisasi keagamaan yang menggabungkan tiga ajaran agama (Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme). Taoisme dan Konfusianisme berasal dari Tiongkok dan Buddhisme berasal dari India. Ketiganya ini menyatu dalam kehidupan orang China dan mereka jadikan pedoman dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam praktek keagamaannya sulit untuk kita memisahkan mana yang berasal dari Taoisme, Konghucuisme dan Buddhisme. Mereka umumnya melakukan ibadah dalam klenteng dan menyatu dalam kebudayaan orang China. Artikel ke empat dari buku ini menjelaskan tentang Majelis Pandeta Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi). Dalam artikel ini dikatakan bahawa Buddha Maitreya lahir di I kuan Tao dan berkembang di Taiwan. Dalam perkembangannya sekte ini menemukan tempat yang subur di Indonesia. Tidak hanya di propinsi-propinsi lain di Indonesia, Buddha Maitreya juga berkembang pesat di Medan Sumatera Utara. Para pengikutnya umumnya dari kalangan masyarakat Indonesia keturunan China. Mereka dapat mengumpulkan dana yang cukup besar dan memungkinkan mereka untuk memberikan derma kepada orang lain yang 456 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia membutuhkannya. Mereka tidak hanya menanamkan kasih sayang pada sesamanya, namun juga menanamkan kasih sayang sesama manusia tanpa melihat dari mana mereka berasal. Ciri khas dari tempat ibadahnya adalah menyerupai kelenteng dan di dalamnya diletakkan patung Buddha Maitreya yang memiliki perut gendut. Meskipun berperut gendut, namun dia selalu mengumbar senyum kepada semua orang. Ini artinya bahawa Buddha Maitreya selalu siap membantu semua orang untuk perdamaian, keluhuran buddhi, dan kesucian. Artikel terakhir dari buku ini menjelaskan tentang Buddhayana dengan lokasi penelitian di propinsi Lampung. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa umat Buddhayana di Lampung dapat menjaga keharmonisan satu dengan yang lainnya. Tidak ditemukan konflik antara aliran satu dengan lainnya dalam agama Buddha dan juga tidak ditemukan konflik antara umat Buddhayana dengan umat-umat beragama lain. Peranan FKUB di Lampung cukup besar dalam menyatukan antara umat beragama, termasuk agama Buddha yang benaung dalam sekte Buddhayana. Tentu saja dalam bagian ini tidak dapat kita ringkaskan untuk semua artikel yang ditulis dalam buku ini, namun pada intinya bahwa buku ini telah menjelaskan kepada pembaca bahwa meskipun agama Buddha di Indonesia masuk dalam kelompok agama yang memiliki pengikut lebih sedikit dari agama Islam, tapi juga memiliki berbagai aliran yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Setiap aliran dalam agama Buddha mempunya cara pandang tersendiri tentang konsep ketuhanan dan ajaran-ajaran lainnya. Perbedaan antara satu aliran dengan aliran lain dalam Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 457 agama Buddha, memberikan khasanah yang luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Cukup menarik untuk kita simak di sini bahwa meskipun aliranaliran dalam agama Buddha memiliki cara pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya, namun di antara para penganutnya tetap selalu menjaga keharmonisan satu dengan yang lainnya. 458 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia INDEKS Adi Buddha, 7, 141, 143, 187, 214, 321, 428 Altar, 24, 29, 39, 99, 396 Anjali, 63 Asadha, 29, 61, 189, 190, 265, 373 BDNSI, 15, 421 Bhikku, 143, 263, 396, 433, 436 Bimas Buddha, 3, 4, 14, 15, 35, 72, 138, 207, 252, 261, 301, 318, 339, 340, 355, 381, 396, 420, 423, 425, 431, 437 Boddhisatwa, 24, 25, 26, 100, 432 Buddha Gautama, 7, 40, 48, 64, 69, 132, 133, 135, 143, 146, 168, 185, 216, 230, 258, 269, 287, 288, 370 Catur Paramita, 157, 183 Dasa Sila Paramita, 27, 28, 39 Dewi, 79, 85, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 107, 108, 112, 155, 241, 265, 275, 337, 373, 378, 432 FKUB, 36, 68, 277, 302, 338, 339, 343, 355, 360, 361, 429, 448, 451 Gohonzon, 230, 232, 237, 238, 239, 240, 241, 245, 250, 388, 410 I Kuan Tao, 152, 153, 154, 155, 156, 203 KASI, 4, 17, 19, 39, 217, 367, 368 Kasogatan, 4, 10, 16, 17, 18, 22, 39, 126, 214, 217, 311, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 321, 322, 323, 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 345, 346, 347, 349, 351, 354, 363, 421, 446 Kathina, 29, 53, 54, 61, 95, 188, 332, 350 Kerukunan, 37, 111, 319, 360 Madha Tantri, 15, 16, 18 Magabudhi, 4, 10, 18, 19, 37, 53, 65, 71, 72, 105, 109, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 273, 274, 275, 276, 279, 280, 319, 363, 365, 367, 374, 375, 377, 378, 379, 381, 421, 436, 447 Mahayana, 2, 4, 8, 10, 17, 18, 29, 62, 73, 92, 107, 127, 136, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 459 139, 140, 145, 146, 207, 210, 214, 217, 225, 226, 229, 245, 249, 250, 252, 254, 258, 287, 288, 293, 295, 296, 299, 303, 318, 321, 322, 332, 345, 349, 354, 374, 383, 395, 402, 404, 415, 421, 433 Majelis Agama Buddha, 5, 8, 10, 15, 16, 18, 19, 22, 50, 65, 73, 126, 217, 228, 311, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 327, 333, 334, 335, 337, 338, 346, 354, 363, 365, 367 Majubumi, 18, 301 Majubuthi, 18, 105, 267, 268, 269, 270, 271, 273, 275, 279, 363, 365, 366, 367, 368, 369, 370, 371, 372, 373, 374, 375, 376, 377, 378, 381 MBI, 4, 5, 10, 18, 19, 126, 127, 301, 421, 422, 423, 428, 429, 430, 431, 433, 437, 442, 443, 444, 445, 446, 447, 448, 449, 451 Meditasi, 56, 188, 189, 265, 322, 372 Pali, 49, 60, 64, 65, 71, 131, 136, 143, 144, 174, 177, 187, 268, 287, 288, 295, 365, 370, 441 Puja bhakti, 25, 26, 101, 102, 299 460 Relasi sosial, 35, 105, 109, 110, 274, 338, 340, 347, 350 Rupang, 98, 329 Sadhana, 312, 313, 323, 324, 325, 326, 330, 331 Saka Gakkai, 10 Sam Kaw Hwe, 434 Sradha, 24, 39 STAB, 423, 424 Sutra, 29, 30, 134, 147, 151, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 217, 225, 226, 229, 231, 233, 235, 236, 237, 238, 249, 250, 299, 332, 349, 388, 393, 396, 397, 398, 405, 408, 409, 410, 427 Tantrayana, 4, 5, 8, 15, 16, 18, 22, 126, 136, 140, 217, 311, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 321, 322, 323, 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 345, 346, 347, 349, 354, 363, 421 Thian, 79, 80, 85, 86, 87, 93, 94, 96, 97, 98, 100, 101, 107, 108, 109, 272 Tri Pitaka, 25, 29, 30, 36, 40, 229, 298 Tri Ratna, 24, 39 Trisuci Waisak, 187 Vihara, 21, 23, 31, 32, 33, 34, 35, 39, 44, 45, 46, 48, 50, 52, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 74, 87, 89, 90, 91, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 104, 108, 127, 128, 129, 130, 138, 191, 195, 197, 198, 200, 258, 260, 261, 262, 265, 268, 269, 270, 271, 273, 275, 276, 279, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 312, 314, 315, 316, 317, 321, 327, 328, 331, 334, 335, 337, 341, 355, 362, 365, 369, 371, 372, 373, 376, 378, 421, 430, 432, 433 Vinaya, 7, 50, 60, 135, 177, 178, 180, 181, 203, 217, 287 Waisak, 29, 37, 53, 54, 61, 67, 68, 72, 95, 187, 189, 245, 249, 266, 332, 342, 350, 373, 374, 430, 431 WALUBI, 4, 9, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 22, 29, 35, 36, 37, 39, 92, 126, 338, 339, 340, 355, 366 YPSBDI, 15, 220, 227, 228, 229, 230, 236, 237, 241, 245, 246, 247, 248, 251, 254 Zen Fo Zong, 18 Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia 461