Untitled - Balitbang Kemenag

advertisement
Keragaman Majelis
Di Kalangan Umat Buddha
Indonesia
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta, 2016
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia
Ed. 1, Cet. 1.—
Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016
xxiv + 461hlm; 15 x 21 cm.
ISBN : 978-602-8739-65-8
Hak cipta pada penulis
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan pertama, September 2016
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia
Editor: Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA
Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta
Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE
Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340
Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421
http://www.puslitbang1.kemenag.go.id
ii
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Assalamu’alaikum wr. wb.
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena hanya atas inayahNya buku ”Keragaman Majelis di
Kalangan Umat Buddha Indonesia” dapat diselesaikan
dengan baik. Penelitian ini sangat penting artinya bagi
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, sebagai upaya untuk
menggali informasi dari lapangan tentang keragaman majelis
di kalangan umat Buddha Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
tujuan untuk mengetahui sejarah sekte dan majelisnya;
manajemen organisasi (struktur, keanggotaan, pembinaan,
dana dan sarananya; kitab suci dan pokok-pokok ajarannya
(teologi), ritual (sistem peribadatan), etika dan tradisi
keagamaannya; konflik intern yang pernah terjadi dan cara
penyelesaiannya; dan relasi sosial dengan pemerintah, umat
Buddha lainnya dan masyarakat setempat.
Laporan ini dapat tersaji karena kerjasama dari
berbagai pihak, terutama Kepada Kepala Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih atas segala arahannya sehingga penelitian ini
dapat terlaksana dengan baik sesuai jadwalnya. Kemudian
terima kasih pula kami ucapkan kepada Direktorat Jenderal
Bimas Buddha yang telah melakukan kerjasama dengan baik
dalam melakukan penelitian ini, dan juga para peneliti yang
telah melaksanakan tugasnya dengan baik hingga
terselesaikannya laporan ini.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
iii
Selain itu, mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, terutama
Dirjen Bimas Buddha sebagai bahan kebijakan dan para
peneliti sebagai bahan literatur.
Kami
menyadari
sepenuhnya,
bahwa
dalam
pelaksanaan penelitian dan penyusunan buku ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kami membuka kritik dan
saran konstruktif dari pembaca, agar buku ini menjadi sebuah
bacaan yang dapat bermanfaat dimasa yang akan datang.
Wassalam,
Jakarta, September 2016
Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
H. Muharam Marzuki, Ph.D
iv
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI
Salah satu fungsi Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI adalah melakukan penelitian dan
pengembangan. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan
data dan informasi bagi pejabat Kementerian Agama RI dalam
menyusun kebijakan pembangunan dalam bidang agama, dan
menyediakan data bagi masyarakat akademik dan umum
dalam rangka turut mendukung tercapainya programprogram pembangunan di bidang agama.
Oleh sebab itu kami menyambut baik diterbitkannya
buku: Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia ini,
karena beberapa alasan, Pertama, penerbitan buku ini
merupakan salah satu media untuk mensosialisasikan hasilhasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, dalam hal ini
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kedua, dapat memberikan
informasi aktual dari lapangan tentang keberadaan berbagai
majelis agama Buddha di berbagai wilayah Indonesia.
Buku ini memuat 11 judul hasil penelitian yang
diadakan pada tahun 2015. Sebelas hasil penelitian tersebut
berusaha menggali informasi di sekitar sejarah perkembangan
majelis, ajaran dan respon pemuka agama dan masyarakat
terhadap majelis tersebut.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
v
Adapun majelis dan penulis laporan yang dimuat
dalam buku ini adalah: H. Nuhrison M. Nuh meneliti
“Lembaga Keagamaan Buddha Indoensia (LKBI) di Provinsi
Kalimantan Barat”. Asnawati meneliti “Majelis Agama
Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur.
Suhana, meneliti “Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh
Indonesia (Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau”.
Wakhid Sugiyarto, meneliti “Majelis Pandhita Buddha
Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan”.
Muhammad Adlin Sila, meneliti “Buddhisme Niciren di
Indonesia” Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia”. Achmad
Rosidi, meneliti “Majelis Ummat Buddha Mahayana Indonesia
(Majubumi) di Jepara Provinsi Jawa Tengah”. M. Taufik
Hidayatullah, meneliti Majelis Kasogatan di Provinsi
Kalimantan Barat”. Achmad Ubaidillah, meneliti “Majelis
Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi) di Kota
Tangerang”. Syaiful Arif, meneliti “Majelis Buddha Soka
Gakkai di Indonesia”. Zaenal Abidin Eko Putro, meneliti
Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan di antara majelis-majelis
tersebut terdapat perbedaan ajaran karena adanya perbedaan
dalam menafsirkan kitabsuci oleh pendiri aliran tersebut.
Tetapi yang menarik walau terdapat perbedaan ajaran di
antara majelelis tersebut, mereka dapat hidup rukun dan
saling menghargai, dengan pertimbangan memang murid
sang Buddha itu sangat banyak. Relasi sosial mereka sangat
baik dengan internal umat Buddha maupun dengan eksternal
umat beragama.
vi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Melalui informasi yang dimuat dalam buku ini,
diharapkan berbagai pihak dapat memetik pelajaran dalam
menyikapi tumbuhnya berbagai aliran dan majelis dalam
agama Buddha. Dengan demikian diharapkan dapat
mengurangi, kalau tidak mungkin menghilangkan sama sekali
gesekan-gesekan yang tidak perlu terjadi di kalangan intern
umat Buddha.
Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat dan
menambah kelengkapan referensi tentang aliran dan majelis
agama Buddha yang berkembang di Indonesia.
Jakarta, September 2016
Kepala
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
vii
viii
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
PROLOG
Agama Buddha adalah salah satu agama yang dianut
oleh penduduk Indonesia. Secara kebudayaan, agama Buddha
di Indonesia mempunyai corak yang berbeda dengan agama
Buddha yang ada di Negara lain, seperti India, Thailand dan
Tiongkok. Di Indonesia, agama Islam adalah agama mayoritas
atau dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Sedangkan agama Buddha adalah agama yang dianut oleh
sebagian kecil penduduk Indonesia. Meskipun agama Buddha
di Indonesia adalah agama minoritas, namun hak dan
kewajibannya sama dengan agama mayoritas, tidak mendapat
diskriminasi dari agama mayoritas dan tidak pula ada konflik
keagamaan yang cukup berarti atau besar sepanjang sejarah
Indonesia. Meskipun agama Islam di Indonesia adalah agama
mayoritas, namun hubungannya dengan agama minoritas,
khususnya Buddha tetap terjaga dengan baik dan keduanya
dapat saling bekerjasama dalam bidang kerukunan umat
beragama, pendidikan dan bidang-bidang sosial yang lain.
Baiknya hubungan kedua agama ini dapat dilihat dari kontek
sejarah masa lampau dan masa kini, hubungan sosial antara
penganutnya dewasa ini dan kerjasama dalam berbagai segi
kehidupan. Namun sebaliknya, negara lain seperti Thailand,
di mana jumlah umat Buddha di sana mayoritas, terdapat
hubungan yang kurang baik antara umat Buddha dan Islam.
Kasus Indonesia ini, dapat dijadikan contoh bagi negaranegara lain dalam hubungan antar agama.
Agama Buddha masuk ke Indonesia jauh sebelum
masuknya agama Islam di Indonesia. Agama Buddha ini
berasal dari India dan dibawa oleh para pedagang ke
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
ix
Indonesia. Tidak dapat diketahui siapa tokoh pertama kali
membawa agama Buddha ke Indonesia. Pada umumnya
orang-orang yang datang dari India bukanlah tokoh agama,
tapi para pedagang yang senang berkunjung ke berbagai
Negara dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih
besar. Karena para pedagang ini banyak yang beragama
Buddha, maka penyebaran agama Buddha itu sendiri pada
masyarakat Indonesia tidak dapat dihindarkan. Beberapa
candi bercorak Buddha sampai sekarang masih dapat kita
saksikan di beberapa pulau di Indonesia. Candi Borobudur
adalah candi bercorak Buddha yang mulai dibangun pada
tahun 760 dan selesai pada tahun 830 M. Candi ini diabangun
atas perintah raja-raja Mataram Dinasti Syailendra. Candi ini
mempunyai tinggi 42 M dan terletak di Magelang atau
dibagian utara Yogyakarta. Candi lain yang masih juga
bercorak Buddha adalah candi Mendut di Jogyakarta. Candi
ini adalah terletak sekitar 2 km dari candi Borobudur. Rajaraja kerajaan Majapahit dan Sriwijaya umumnya dikenal
sebagai penganut agama Buddha dan Hindu. Berdasarkan
sejarah Indonesia, kerajaan Majapahit dan Sriwijaya adalah
kerajaan di mana pemimpin dan anak buahnya adalah
beragama Buddha. Dua kerajaan ini cukup terkenal pada
masa itu dan wilayah kekuasaannya membentang sampai ke
daratan Asia.Oleh karena itu, sebelum agama Islam masuk ke
Indonesia atau dahulu dikenal dengan Nusantara, rakyat
Indonesia umumnya penganut kedua agama tersebut.
Tidaklah heran jika pengaruh agama Buddha di Indonesia
masih cukup kuat dalam tradisi Islam.
Masuknya agama Buddha di Indonesia juga terkait
dengan kedatangan orang Cina ke Indonesia yang beragama
Buddha di masa sebelum Indonesia merdeka, sebab sebagian
besar mereka yang datang ke Indonesia sejak abab ke IV
x
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
hingga sekarang adalah mereka yang beragama Buddha (J.U.
Lontaan, 1975) dan sebagian lainnya adalah mereka yang
beragama Tao, Khonghucu atau percampuran tiga agama
(Taoisme, Confusianisme dan Buddhisme) atau di Indonesia
dikenal dengan sebutan Tri Dharma atau tiga ajaran. Tri
Dharma ini adalah salah salah satu Majelis dalam agama
Buddha Mahayana. Hingga sekarang, sebagian besar orang
China di Indonesia adalah mereka yang menganut agama
Buddha Mahayana. Buddha Mahayana amat cocok bagi orang
China, karena dalam perkembangan di Tiongkok dan di
Indonesia didominasi oleh kebudayaan China. Mereka yang
beragama Buddha Mahayana sebagian besar bekerja sebagai
pedagang kecil maupaun besar.
Pada masa kerajaan Airlangga di Tuban, Gersik,
Jepara, Lasem dan Banten berkuasa, memberikan bukti yang
kuat tentang keberadaan orang China yang beragama Buddha
di Indonesia,1 karenan cukup banyak bukti-bukti sejarah yang
mengacu tentang keberadaan orang-orang China tersebut di
negeri yang dikenal seribu pulau ini. Berdasarkan catatan
sejarah yang lain, orang China yang beragama Buddha mulai
berdatangan ke Indonesia pada abad ke-9, yaitu pada masa
dinasti Tang memerintah. Mereka datang ke Indoneia adalah
untuk berdagang dan mencari kehidupan baru di luar
Tiongkok.
Migrasi orang-orang China ke keberbagai Negara pada
masa itu mempunyai sebab-sebab tertentu, di antaranya
karena di daratan China telah terjadi peperangan yang tidak
kunjung selesai. Akibat dari perperangan tersebut, tidak
1Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, 1998, hal. 206211. Lihat juga dalam Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt,
hal. 18.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
xi
sedikit penduduk China meninggalkan negerinya dengan
berbagai alasan untuk mencari penghidupan baru di luar
China, salah satunya adalah Indonesia.2 Salah satu pulau di
Indonesia yang juga banyak mereka kunjungi adalah pulau
Jawa. Pulau ini banyak memiliki peninggalan-peninggalan
masa lalu yang mengacu pada etnis China tersebut.3 Tidak
hanya itu, pulau ini juga banyak dihuni oleh sukubangsa
Hokkian yang sekarang tidak lagi bisa berbahasa Hokkian.
Sebelum abad ke-9 atau pada tahun 399-414 seorang pendeta
bernama Fa Hian dari Tiongkok berkunjung ke Indian dan
sempat mampir di pulau Jawa. Perjalanan pedeta Buddha ini
diuraikan dalam buku Fahueki, yang diikuti oleh Sun Yun dan
Hwui Niang yang juga melakukan Ziarah dari Tiongkok ke
India.4 Bukan saja pendeta Fa Hian, pada tahun 629-645
pendeta Hiuen Thsang juga mengembara di India dan
pengalamannya diuraikan secara panjang lebar dalam
bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa
Kao Seng Ch’uan. Di samping Fa Hian, Sun Yun, Hwui Niang
dan pendeta Hiuen Thsang, pendeta I Tsing juga melakukan
pengembaraan di luar Tiongkok selama 25 tahun. Dia kembali
ke Guandong (Kwangtung) pada pertengahan musim panas
ditahun pertama pemerintahan Cheng Heng (695 M) dan
Tio, Kota Semarang Dalam Kenangan, Pemerintah Daerah Semarang,
Tanpa Tahun.
3Peninggalan masa lalu tersebut adalah Klenteng Sam Po Kong, terletak
sekitar 7 Km dari kota Semarang. Klenteng ini diyakini sebagai peninggalan dari
Cheng Ho, muslim Cina yang diduga datang ke Semarang pada abad ke 15. Ada
sebagian pendapat bahwa Klenteng Sam Po Kong ini dahulunya adalah tempat Cheng
Ho dan anak buahnya melakukan sembahyang, dan dahulunya diyakini berfungsi
sebagai Masjid. Dugaan tersebut diperkuat karena di dalam komplek Klenteng
tersebut terdapat sebuah kuburan seorang muslim. Sampai sekarang kuburan ini
diyakini sebagai kuburang Wang Jing Hong, salah seorang juru mudi Cheng Ho yang
dikuburkan di situ.
4Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 18.
2Jongkie
xii
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
diduga telah membawa pulang tidak kurang dari 4000 naskah
yang terdiri dari 500.000 sloka. Selama 12 tahun (700-712) dia
berhasil menerjemahkan 56 buku yang terdiri dari 230 jilid.
Dari abad ke-3 sampai dengan abad ke-7 tidak sedikit pendeta
Buddha yang berasal dari Tiongkok melakukan perjalanan ke
India dan mampir di kerajaan Sriwijaya.5 Orang-orang Cina
yang mengembara ke India inilah yang mempunyai peranan
penting dalam menyebarkan agama Buddha ke Tiongkok.
Akibatnya, orang-orang Cina tidak hanya memahami agama
leluhurnya (Taoisme dan Confusianisme), tapi juga
memahami agama luar (Buddha) yang dibawa dari India.
Sejak itu pula agama Buddha telah menjadi ajaran penting
dalam kehidupan orang Cina di samping agama Tao dan
Confusianisme dan ketiganya saling melengkapi satu dengan
yang lainnya sampai dengan dewasa ini.
Pendeta I Tsing yang beragama Buddha, bukan saja
dikenal sebagai pengembara di laut dan menghabiskan masa
hidupnya di India, tapi juga cukup lama tinggal di Sriwijaya
(sekarang Indonesia). Selama 25 tahun pengembaraannya di
laut, 14 tahun di antaranya telah dihabiskan untuk tinggal di
Sriwijaya. Oleh karena itu, tidak heran jika dia juga banyak
mengenali kebudayaan Sriwijaya dan menuliskan kebudayaan
itu dalam bentuk buku. Dia juga menggambarkan bahasa
yang digunakan oleh penduduk setempat, yaitu bahasa
Kunlun.6 Atas dasar itu, maka tidak heran jika dia juga ikut
menyebarkan agama Buddha di Indonesia.
5Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya NegaraNegara Islam di Nusantara, Djakarta, Bhratara, 1968. Lihat juga Benny G. Sugiono,
Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 19.
6Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 19.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
xiii
Sama dengan agama Islam, agama Buddha adalah
agama yang universal, yaitu agama yang terdapat dalam
kitab-kitab suci. Agama yang berasal dari India tersebut tidak
dapat diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia tanpa
diterjemahkan dengan kebudayaan lokal. Atas dasar itu, baik
agama Buddha maupun agama Islam di Indonesia juga
bercorak lokal, karena dipengaruhi oleh kebudayaan setempat
atau kebudayaan sukubangsa. Atas dasar itu, orang Cina yang
masuk agama Buddha di Indonesia, mereka masih tetap
mempraktekkan kebudayaannya dalam kehidupan seharihari. Dan bahkan dalam praktek keagamaannya, mereka
mencampurkan kebudayaan China dengan tradisi Buddhis.
Dalam upacara perkawinan dan kematian misalnya, masih
banyak orang China yang beragama Buddha menggunakan
tradisi leluhur mereka dan untuk memimpin upacara mereka
menggunakan jasa pendeta Buddhis (Tanggok, 1995). Ini
menunjukkan bahwa perpaduan antara kebudayaan
tradisional orang China dengan agma Buddha dapat dilihat
dalam ritual keagamaan mereka.
Beberapa hasil penelitian sarjana Barat di Indonesia
yang sudah ditulis dalam sebuah buku, yaitu: The Religion of
Java, yang ditulis oleh Cliford Geertz (1966) dan Islam in Java:
Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta
(1989) oleh Mark R. Woodward, telah memberikan penjelasan
tentang Islam lokal di Jawa yang dipengaruhi kebudayaan
lokal, tradisi agama Buddha dan Hindu yang sudah cukup
lama mengakar di bumi nusantara ini.
Berdasarkan data statistik tahun 2000 bahwa
penduduk Indonesia berjumlah 280 juta dan 90%
penduduknya menganut agama Islam. Sedangkan 10% lagi
menganut agama-agama lain, seperti: Kristen, Hindu, Buddha
xiv
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dan Khonghucu. Khususnya agama Buddha, sebagian besar
penganutnya berasal dari sukubangsa China. Agama Buddha
di Indonesia terdiri dari beberapa aliran atau majelis di
antaranya: Theravada, Mahayana, Tentrayana dan lain-lain.
Pada masa sebelum reformasi majelis-majelis agama Buddha
tidak kurang dari tujuh majelis sebagai berikut: Majelis
Buddhayana Indonesia (MBI);Majelis Pandita Buddha
Dhamma Indonesia (Mapanbudhi);Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia (Majabumi); dan Majelis Pandita Buddha
Maitreya Indonesia (Mapanbhumi). Sedangkan pada masa
reformasi majelis-majelis itu semakin bertambah menjadi dua
puluh majelis, di antaranya sebagai berikut:
Majelis
Buddhayana Indonesia (MBI); Majelis Agama Buddha
Theravada Indonesia (Magabudhi); Majelis Umat Buddha
Theravada Indonesia (Mahabuthi); Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia (Majabumi);Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia (Mahabhumi); Majelis Umat Buddha
Mahayana Indonesia (Majubumi); Majelis Pandita Buddha
Maitreya Indonesia (Mapanbhumi); Majelis Agama Buddha
Maitreya Indonesia; Majelis EkaDhamma Indonesia; Majelis
Ikwan Tao Indonesia; Majelis Rohaniawan TriDhamma
Seluruh Indonesia (Martrisia); dan Majelis Agama Buddha
TriDhamma Indonesia. Munculnya berbagai majelis dalam
agama Buddha di Indonesia ini menunjukkan bahwa ajaranajaran Buddha itu sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh para
murid-murid Budda dan para pengikut-pengikutnya di masa
sekarang.
Buku yang berjudul Keragaman Majelis di Kalangan
Umat Buddha Indonesia ini, merupakan hasil penelitian dari
para peneliti Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia. Buku ini
bukan saja memperkenalkan berbagai majelis agama Buddha
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
xv
di Indonesia, namun juga menjelaskan aspek sejarah, ajaranajaran dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dari berbagai
majelis tersebut. Meskipun keberadaan dari berbagai majelis
ini memberikan corak baru dari perkembangan agama
Buddha di Indonesia dan berbeda dari negara-negara lain,
namun konflik-konflik kecil di antara majelis-majelis ini juga
tidak bisa dihindarkan. Sebagai Negara yang multi etnis, multi
agama dan multi kebudayaan, sepatutnya kemunculan
berbagai macam majelis dalam agama Buddha di Indonsia
patut dihargai, karena Negara Indonesia adalah Negara yang
menjunjung tingga keberbedaan dan menghormati adanya
keberbedaan di antara keyakinan. Diharapkan di anatara
berbagai majelis Buddha ini dapat saling menjaga
keharmonisan satu dengan yang lainnya.
Jakarta, September 2016
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok
xvi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
PRAKATA EDITOR
Adanya sekte dan majelis dalam agama Buddha
merupakan realitas yang tak dapat dihindari dalam
kehidupan sosial keagamaan. Dalam sekte dan majelis dalam
agama Buddha masih terdapat kelompok keagamaan tertentu
yang
berusaha
memaksakan
kehendaknya,
hingga
mengabaikan kelompok lainnya. Mereka mudah menyalahkan
dan menyesatkan aliran, paham dan gerakan keagamaan yang
berbeda, meskipun secara teologis perbedaan itu masih absah.
Agama Buddha memiliki banyak aliran atau sekte
yang beberapa di antaranya eksis di Indonesia, seperti
Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Di samping itu banyak
majelis yang dikelola oleh komunitas Buddha di seluruh
Indonesia, baik yang bernaung di bawah sekte Theravada,
Mahayana, dan Tantrayana. Secara keseluruhan jumlah
majelis yang resmi tercatat ada 20 buah, 12 buah bernaung di
bawah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) yaitu:
Majabuthi, Mapanbumi, Madhatantri, PSBI, PBD, NSI,
Majabumi, Kasogatan, Tantrayana, Majabuti, T. Suci, Matrisia,
Amitaba, Sinar Buddha dan LKBI. 4 Majelis bergabung di
Konferensi Sangha Indonesia (KASI), yaitu Sagin, STI, SMI
(Sangha), MBI, Magabudhi, Majabumi dan Martrisia
(Tridharma). Sementara majelis yang berada di luar WALUBI
dan KASI yaitu: Ekadharma, Soka Gakkai, Mikti dan
Mahabudhi (Dirjen Bimas Buddha, 2015)
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
xvii
Di Indonesia sekarang ini berkembang berbagai paham
dan aliran keagamaan Buddha. Dari berbagai aliran dan
paham keagamaan Buddha yang berkembang tersebut
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, belum mempunyai informasi yang
mendalam tentang keberadaan beberapa paham dan aliran
keagamaan yang terdapat dalam agama Buddha. Selama ini
baru beberapa aliran agama Buddha yang pernah dilakukan
penelitian seperti Niciren Syosyu Indonesia (NSI) di Batam,
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI)
di Jakarta, Majelis Budhayana Indonesia (MBI) di Lampung,
Madhatantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia)
di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama memandang penting dan perlu
untuk melakukan penelitian terhadap beberapa aliran yang
belum diteliti. Maka pada tahun ini dilakukan penelitian
terhadap 11 majelis dalam agama Buddha.
Majelis-majelis tersebut adalah: LKBI di Kalimantan
Barat; Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di
Blitar; Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia
(Martrisia) di Provinsi Riau; Majelis Pandita Buddha Maitrena
Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan; Budhisme Niciren
di Indonesia: Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia, di
Jakarta; Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia
(MAGABUDHI) di Provinsi Riau; Majelis Umat Buddha
Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara; Majelis Kasogatan
di Kalimantan Barat; Majelis Umat Buddha Theravada
Indonesia di Kota Tangerang; Majelis Buddha Soka Gakkai
xviii
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Indonesia; Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi
Lampung.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
sejarah perkembangan dari masing-masing majelis (11
majelis); bagaimana manajemen organisasinya; apa kitab
sucinya, pokok-pokok ajarannya, ritual dan tradisi
keagamaannya; dinamika atau konflik-konflik yang pernah
terjadi dan penyelesaiannya; relasi sosial dengan penganut
agama Buddha lainnya dan non Buddha dan pandangan
pemuka agama dari sekte lainnya dan pembimas Buddha.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
data yang digali bersifat naturalistik dari para pimpinan
majelis, Pembimas Buddha, dan masyarakat. Narasumber
yang diutamakan berasal dari pimpinan majelis-majelis dan
pimpinan majelis lainnya. Penelitin ini dilakukan di Pontianak
Kalimantan Barat (2 majelis); Kota Medan; Provinsi Riau (2
majelis), Blitar; Jakarta (2 majelis), Jepara, Tangerang, dan
Provinsi Lampung.
Kehadiran majelis-majelis tersebut tidak bersamaan,
ada yang sudah lama berdirinya ada yang baru. Begitu pula
perkembangan majelisnya ada yang berkembang dengan
pesat ditandai banyaknya umat dan bersanya bangunan
viharanya. Ada majelis yang jumlah viharanya masih sangat
sedikit.
Kitab sucinya umumnya adalah Tri Pitaka, tetapi
masing-masing majelis (aliran) mempunyai kitab dengan
tekanan sendiri. Sebagai contoh dalam aliran Buddha
Maitreya selain Kitab Suci Tri Pitaka juga mengutamakan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
xix
beberapa sutra yang dianggap lebih praktis yaitu: Sutra Intan;
Sutra Hati; Sutra Altar Mustika Dharma; Sutra tentang
Bodhisatwa Maitreya Mencapai Sorga Tusita; Sutra tentang
Bodhisatwa Maitreya mencapai Kebudhaan; Sutra tentang
Bodhisatwa Maitreya tentang Panggilan Jiwa Buddha, dan
sastra-sastra Mahayana lainnya.
Relasi sosial dengan sesama penganut Buddha,
berjalan dengan baik, tidak ada persoalan di antara mereka
walau berbeda aliran dan majelis. Mereka dapat memahami
karena adanya perbedaan sesepuh dan leluhur. Dalam
perayaan hari-hari besar keagamaan yang diadakan oleh
WALUBI umumnya pimpinan majelis diundang untuk
menghadiri acara tersebut. WALUBI merupakan wahana
untuk mempersatukan umat Buddha yang tergabung dalam
WALUBI. Dengan umat non Buddha juga kerukunannya
terjalin dengan baik, hal ini mungkin karena agama Buddha
bukan agama missi (dakwah), sehingga tidak mengkhawatirkan kelompok agama lainnya.
Pimpinan beberapa majelis agama umumnya dapat
menghargai perbedaan dalam agama Buddha. Perbedaan
tersebut dikarenakan perbedaan sesepuh dan leluhur, dan
murid sang Buddha itu memang banyak sehingga sangat
memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, apalagi
sesepuh tersebut hidup dalam lingkungan yang berbeda.
Berdasarkan deskripsi di atas,
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
penelitian
ini
Agar Ditjen Bimas Buddha melalui aparatnya di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mendata umat
xx
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dari masing-masing majelis, melalui pengurus majelis,
sehingga diperoleh data yang pasti mengenai jumlah umat
yang akan dibina. Kerukunan yang sudah tercipta dengan
baik, internal dan eksternal perlu dipertahankan melalui
forum-forum dialog yang sudah ada, yaitu WALUBI dan
FKUB.
Semoga informasi yang terdapat dalam buku ini dapat
digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam
mengambil kebijakan. Tak ada gading yang tak retak, untuk
itu kritik dan saran untuk perbaikan buku ini sangat kami
harapkan.
Wabillahi taufik wal hidayah.
Wassalam
Jakarta, September 2016
Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
xxi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG
KEHIDUPAN KEAGAMAAN ....................................... iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN
DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA ............................
v
PROLOG ............................................................................
ix
PRAKATA EDITOR......................................................... xvii
DAFTAR ISI ...................................................................... xxiii
PENDAHULUAN .............................................................
1. Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI)
di Provinsi Kalimantan Barat
Nuhrison M. Nuh ..................................................
1
11
2. Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi)
di Blitar, Jawa Timur
Asnawati ...............................................................
41
3. Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia
(Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau
Suhanah ..................................................................
75
4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(MAPANBUMI) di Kota Medan
Wakhid Sugiyarto ................................................... 113
5. Buddhisme Niciren di Indonesia: Studi Kasus
Niciren Syosyu Indonesia
Muhammad Adlin Sila ........................................... 211
xxii
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
6. Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia
(MAGABUDHI) di Provinsi Riau
Reslawati ................................................................. 255
7. Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia
(Majubumi) di Jepara Provinsi Jawa Tengah
Achmad Rosidi ....................................................... 285
8. Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat
M. Taufik Hidayatulloh .......................................... 307
9. Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia
(MAJUBUTHI) di Kota Tangerang
Achmad Ubaidillah & Adang Nofandi ................... 357
10. Majelis Buddha Soka Gakkai di Indonesia
Syaiful Arif ............................................................. 385
11. Paham Buddhayana dan Tantangannya di
Provinsi Lampung
Zaenal Abidin Eko Putro ....................................... 417
EPILOG............................................................................... 455
INDEKS .............................................................................. 459
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
xxiii
Keragaman Majelis
Di Kalangan Umat Buddha
Indonesia
xxiv
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adanya sekte dan majelis dalam agama Buddha
merupakan realitas yang tak dapat dihindari dalam
kehidupan social keagamaan. Walaupun demikian masih
terdapat
kelompok
keagamaan
tertentu
berusaha
memaksakan kehendaknya seolah pemahmannya sendiri
sebagai kebenaran, hingga mengabaikan kelompok lainnya.
Mereka mudah menyalahkan dan menyesatkan aliran, paham
dan gerakan keagamaan yang berbeda, meskipun secara
teologis perbedaan itu masih absah.
Menurut Durkheim, agama adalah realitas social dan
kekuatan kolektif masyarakat yang berada di atas individuindividu, sehingga para pemeluknya tunduk dan bergantung
pada kekuatan moral daripadanya, menerima segala sesuatu
yang baik dan meninggalkan larangannya, (Bernard Raho:
2013: hal 44), sehingga agama dipahami sebagai jalan menuju
kehidupan sejati, yang diyakini setiap pemeluknya dan
menjadi pedoman atau lentera dalam hidupnya. Watak
dasarnya adalah memperbaiki realitas kehidupan yang ada
(das sein) agar sesuai dengan kehidupan seharusnya ( das
sollen). Secara teoritis, jika suatu kelompok individu dan
masyarakat secara social semakin tunduk dan mematuhi
ajaran agama, berarti agama itu bermakna tinggi dan
berfungsi dengan baik. Tetapi jika individu atau masyarakat
secara social tidak lagi tunduk pada ajaran agamanya, berarti
agama itu sudah kehilangan makna, apalagi berfungsi,
sehingga beragamapun sekedar pengakuan administrative
belaka. Oleh karena itu agar agama bernilai, bermakna dan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
1
berfungsi, ia harus beradaftasi dan direvitalisasi dengan
perkembangan social masyarakat dimana agama itu dipeluk.
Jika perlu dilahirkan aliran baru dengan spiritualitas baru dan
vitalitas baru sesuai dengan perkembangan pemahaman
keagamaan dari masyarakat yang memeluk agama itu. Dari
proses seperti inilah lahir berbagai aliran, paham, sekte,
gerakan, organisasi atau majelis keagamaan di hamper semua
agama, dan menjadi keharusan sejarah.
Agama Buddha merupakan agama tua yang
kedatangannya bersamaan dengan agama Hindu di Indonesia.
Tiba pada sekitar abad kelima masehi, dan sejumlah kerajaan
Hindu dan Buddhapun telah dibangun secara bergelombang
sejak abad kelima hingga kesebelas masehi. Kedatangan
agama Buddha dimulai dengan aktivitas perdagangan sejak
awal abad pertama melalui jalur sutra antara India- Cina dan
jalur rempah-rempah India-Nusantara. (Buddhisme in
Indonesia: Diunduh 30 Februari 2015). Sejumlah warisan
kejayaan kerajaan Hindu dan Buddhapun dapat ditemukan di
seluruh Indonesia, seperti candi dan berbagai situs sejarah dan
prasasti sebagai situs sejarah dan menjadi symbol bahwa
agama Hindu Buddha pernah mendominasi kehidupan social
keagamaan masyarakat di seluruh pelosok Nusantara.
Pada masa Majapahit, agama Buddha berkolaborasi
dengan agama Hindu dan disebut dengan Shiwa Buddha,
tetapi sayangnya kemudian lenyap begitu Brawijaya V masuk
Islam. Di Negara asalnya (India) agama Buddhapun lenyap.
Tetapi
aliran/sekte
Buddha
Mahayana
berhasil
menyelamatkan agama Buddha dari kepunahan, dan dapat
pengikut besar di Asia Timur, seperti Cina, Korea, Jepang dan
Taiwan setelah mengalami akulturasi dengan budaya
setempat. Di Cina Buddha Hinayana tidak dapat diterima
2
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
karena ajarannya yang terlalu jauh bertentangan dengan
kosmologi masyarakat Cina, yaitu kebahagiaan, kemakmuran
dan umur panjang. Mahayanalah yang menyelamatkan
mereka dengan prinsip karma yang dapat mereka terima
secara logis, yang didasarkan pada prinsip kausalitas (sebab
akibat). Jadi Mahayana dipandang ajaran yang didasarkan
pada spirit Buddha yaitu kasih sayang pada sesama.
Sementara itu Hinayana sifatnya sangat individu, tekstual dan
dipandang tidak dapat menyelamatkan semua orang. (Beatric
Lane Suzuki, 2009).
Masuknya
Brawijaya
V
sebagai
muslim
mempercepat konversi agama masyarakat dari Shiwa Buddha
ke Islam. Ketidak mampuannya beradaptasi dengan
perkembangan sosial keagamaan global waktu itu,
menyebabkan Shiwa Buddha kehilangan daya tarik dan tidak
fungsional bagi penganutnya. Azyumardi Azra menjelaskan
bahwa waktu itu banyak orang-orang suci (wali-sufi) yang
memiliki ilmu kesaktian (kanuragan) mampu mengalahkan
kehebatan ilmu kesaktian orang-orang suci dari Shiwa
Buddha, sehingga masyarakat Jawa yang paternalistik dan
menghormati orang suci dengan mudah masuk Islam.
(Azyumardi Azra, 2004).
Agama Buddha bangkit kembali ketika Indonesia
sudah merdeka dan terus tumbuh subur dan berkembang
hingga hari ini. Menurut keterang Dirjen Bimas Buddha,
jumlah umat Buddha di Indonesia sat ini mencapai 8,7 juta
jiwa. Sensus nasional tahun 2000, kurang lebih 3% dari total
penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 8,7 juta orang.
(Budhisme in Indonesia, 2006).
Agama Buddha memiliki banyak aliran atau sekte
yang beberapa diantaranya juga eksis di Indonesia, seperti
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
3
Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Di samping itu banyak
majelis yang dikelola oleh komunitas Buddha diseluruh
Indonesia, baik yang bernaung dibawah sekte Theravada,
Mahayana dan Tantrayana. Secara keseluruhan jumlah majelis
yang resmi tercatat adalah 20 buah, 12 buah bernaung
dibawah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI),
yaitu: Majabuthi, Mapanbumi, Madhatantri, PSBI, PBD NSI,
Majabumi, Kasogatan, Tantrayana, Majabuti, T.Suci, Matrisia,
Amitaba,Sinar Buddha, dan LKBI. 4 majelis bergabung di
Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), yaitu Sagin, STI,
SMI (sangha), MBI, Magabudhi, Majabumi, dan Martrisia
(Tridharma). Sementara majelis yang berada diluar WALUBI
dan KASI yaitu: Ekadharma, Soka Gakai, Mikti dan
Mahabudhi.( Dirjen Bimas Buddha, 2015).
Menurut Dirjen Bimas Buddha, sekte Mahayana
banyak berkembang di Cihna, Korea dan Jepang.
Theravada/Hinayana berkembang di Srilangka dan Birma,
sementara Tantrayana berkembang di Tibet. Beberapa sekte
dibawa Mahayana seperti Maitreya berkembang di Taiwan
dan Nichiren berkembang di Jepang. (Dirjen Bimas Buddha:
2015).
Di Indonesia sekarang ini berkembang berbagai
paham dan aliran keagamaan dalam agama Buddha, namun
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, belum mempunyai informasi yang
mendalam tentang keberadaan beberapa paham dan aliran
keagamaan yang terdapat dalam agama Buddha. Selama ini
baru beberapa aliran dalam agama Buddha yang pernah
dilakukan penelitian seperti Niciren Syosyu Indonesia (NSI) di
Batam, Majelis Pandita Buddha Maiteriya Indonesia
(MAPANBUMI) di Jakarta, Majelis Buddhayana Indonesia
4
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
(MBI) di Lampung, Madhatantri (Majelis Agama Buddha
Tantrayana Indonesia). Oleh karena itu, Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama, khususnya Puslitbang Kehidupan
Keagamaan memandang penting dan perlu melakukan suatu
kajian tersendiri terhadap beberapa aliran dalam agama
Buddha yang belum diteliti, dan pada tahun ini penelitian
dilakukan antara lain terhadap
sebelas majelis agama
Buddha.
Masalah Penelitian
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: (1) Sejarah
perkembangan majelis-majelis agama (2) Bagaimana
manejemen organisasinya (3) Apa kitab sucinya, pokok-pokok
ajarannya, ritual dan tradisi keagamaannya (4) Bagaimana
dinamika atau konflik-konflik yang pernah terjadi dan cara
penyelesaiannya
(5) Bagaimana relasi sosialnya dengan
penganut agama Buddha lainnya dan non Buddha. (6)
Bagaimana pandangan pemuka agama dari sekte lainnya dan
pembimas Buddha.
Tujuan Penelitian
Secara umum, kajian ini ingin memperoleh gambaran
yang lebih jelas (secara deskriptif) tentang majelis-majelis
agama yang diteliti. Sementara secara khusus dan lebih rinci
tujuan kajian ini, ingin menghimpun berbagai informasi
tentang sejarah lembaga, manajemen organisasinya (struktur,
keanggotaan, pembinaan, dana dan prasarananya, kitab
sucinya dan pokok-pokok ajaraannya (teologi), ritual (sistem
peribadatan) etika dan tradisi keagamaannya (hari suci
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
5
keagamannya), relasi sosialnya (hubungan dengan umat
Buddha lainnya, masyarakat setempat dan pemerintah),
respon pemuka agama dan pemerintah terhadap keberadaan
majelis-majelis agama yang diteliti.
Kerangka Konseptual
Konsep Teologis Agama Buddha
Agama Buddha didasarkan pada konsep teologi yang
memahami bahwa ada sesuatu kekuatan gaib yang maha
dahsyat di alam semesta ini yang mengatur segala isi dari
alam semesta ini. Siapa yang berbuat sesuai dengan kekuatan
gaib ini akan selamat, siapa yang berbuat bertentangan
dengan kekuatan gaib ini akan celaka. Sang Buddha sendiri
tidak pernah menyebut atau memberi nama kepada kekuatan
gaib tersebut. Tuhan dalam agama Buddha tidak bernama
seperti dalam agama lain. Sistem ketuhanan dalam agama
Buddha didasarkan pada sabda Buddha, yaitu: “Ketahuilah
para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para bhikkhu,
apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin
kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu,karena ada
Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang
lalu.” (wikipedia org/ agama Buddha, 30-1-2015).
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu tanpa
aku (anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, tidak dapat
6
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
digambarkan dalam bentuk apapun dan Yang Mutlak tidak
berkondisi (asamkhata), manusia yang berkondisi (shamkata)
dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan
(samsara) dengan cara bermeditasi (berkhalwat dan bertapa).
Akibat tidak ada sebutan Tuhan dalam agama Buddha, maka
umat Buddha Indonesia menyebutnya “Tuhan Yang Maha
Esa” atau “Yang Maha Esa”, sesuai dengan keputusan
Pasamuan 1 Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang (12
s.d.14 Maret 1976). Tetapi beberapa tahun sebelumnya pendiri
Perbudddi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita mengusulkan agar sebutan Tuhan dalam agama
Buddha disebut, Sang Hyang Adi Buddha, tetapi usulan ini
tidak disepakati seluruh umat Buddha dan yang lazim tetap
disebut Tuhan Yang Maha Esa. Umat Buddha memiliki nilainilai moralitas yang dipegang dan dijaga yang biasa disebut
dengan Pancasila Buddhis. Disamping memegang lima sila
moralitas ini umat Buddha juga sangat menjunjung tinggi
karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab
akibat.
Para penganut agama Buddha apapun alirannya
berpegang pada Tripitaka, didalamnya tercatat sabda dan
ajaran Buddha Gautama, yang diklasifikasikan dalam tiga
buku yaitu Sutta Pitaka (khutbah-khutbah Sang Buddha),
Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan
Abidahmma Pitaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).
Itulah sebabnya kumpulan buku tersebut disebut Tripitaka.
Tri artinya tiga dan pitaka artinya keranjang, Tripitaka artinya
tiga keranjang (kelompok) buku diatas. (Nahar Nahrawi, 2006:
hal 200-201).
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
7
Sekte Agama Buddha
Agama Buddha memiliki banyak sekte/aliran karena
Sang Buddha mengajarkan kepada banyak kelompok orang,
ada masyarakat biasa, kaum terpelajar, kaum pertapa, para
dewa, dan asura. Sang Buddha menyesuaikan materi yang
diajarkan sesuai dengan pola pikir masing-masing kelompok
yang berbeda. Tiap-tiap manusia memiliki kecendrungan
yang berbeda, baik minat maupun kebiasaannya. Hal ini
menyebabkan cara setiap orang melihat ajaran Sang Buddha
bisa dari berbagai sudut pandang, disesuaikan dengan
mereka. Masalah sekte/aliran, seperti halnya masalah agama,
adalah masalah kesesuaian/kecocokan. Tentu saja hal ini
berbeda pada setiap pribadi. Ajaran Sang Buddha amat luas,
sehingga ada kelompok tertentu yang memiliki kecendrungan
untuk memilih bagian atau tradisi tertentu dari ajaran Sang
Buddha untuk dipraktekkan.
Sekte/aliran dalam agama Buddha ada tiga yaitu
Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Selain itu ada juga
sekte yang sebenarnya merupakan pecahan dari sekte Buddha
Mahayana. Yaitu: Tridharma; Maitreya, Nichiren, Satya
Buddha, dan Buddhayana.
Majelis Agama Buddha
Majelis agama Buddha merupakan organisasi umat
Buddha dalam mengembangkan dan membina sebuah
aliran/sekte dalam agama Buddha. Majelis agama Buddha
tersebut seperti Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(MAPANBUMI), Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh
Indonesia (MARTRISIA), Majelis Pandita Buddha Dhamma
8
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Indonesia (MAPANBUDDHI), dan masih banyak mejelis
lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam
bentuk studi kasus. Dalam memahami data yang ditemui di
lapangan, peneliti lebih bertumpu pada pendekatan
fenomenologis dalam arti berusaha memahami subjek dari
sudut pandang mereka sendiri, memaknai berbagai fenomena
sebagaimana dipahami dan dimaknai oleh para pelaku.
Pengumpulan data dilakukan melalui kajian pustaka,
wawancara mendalam serta pengamatan lapangan. Kajian
pustaka dilakukan baik sebelum maupun sesudah
pengumpulan data lapangan. Sebelum ke lapangan kajian
pustaka ditekankan pada usaha merumuskan permasalahan
penelitian serta menentukan fokus dalam penelitian.
Sedangkan kajian pustaka setelah pengumpulan data
lapangan ditujukan untuk menganalisis dokumen-dokumen
yang diperoleh selama penelitian lapangan.
Wawancara dilakukan dengan tokoh-tokoh kelompok
ini, pengikutnya, pemuka agama aliran/sekte agama Buddha
lainnya, pengurus WALUBI (Provinsi dan Kota), pemuka
agama setempat, dan Kepala Pembimas Agama Buddha
Provinsi. Sedangkan pengamatan
dilakukan mengenai
kondisi tempat ibadat.
Semua informasi, temuan, kenyataan lapangan
berupa konsep, aspirasi, saran, dan catatan-catatan yang
berhasil
dikumpulkan,
kemudian
dicatat,
diseleksi,
diklasifikasi dan ditarik beberapa kesimpulan pokok yang
bersifat umum dan menyeluruh.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
9
Buku ini memuat tulisan keragaman majelis-majelis
dalam agama Buddha, yang terdiri dari:
a) Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI);
b) Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar
Jawa Timur;
c) Majelis Rohaniawan Tridharma
(MARTRISIA) di Provinsi Riau;
Seluruh
Indonesia
d) Majelis Pandita Buddha Maitreya (MAPANBUMI) di Kota
Medan;
e) Budhisme Niciren di Indonesia;
f) Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi)
di Provinsi Riau;
g) Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Maju Bumi) di
Jepara Jawa Tengah;
h) Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat;
i)
Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Maju Buthi)
di Kota Tangerang
j)
Majelis-majelis Buddha Saka Gakkai Indonesia
k) Majelis Buddhayana
Lampung.
10
Indonesia
(MBI)
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
di
Provinsi
1
LEMBAGA KEAGAMAAN BUDDHA INDONESIA (LKBI)
DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Oleh:
Nuhrison M. Nuh
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
11
12
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI)
A. Setting Sosial Ketika Berdirinya LKBI
Agama Buddha telah menyebar dan berkembang di
Kalimantan Barat sejak zaman kemerdekaan. Keberadaan
agama Buddha di Kalimantan Barat sama keberadaannya
seperti agama Buddha di Indonesia umumnya, namun
demikian penyebaran dan perkembangan agama Buddha di
Kalimantan Barat pada waktu itu dapat dikatakan mati suri
antara ada dan tiada. Perkembangan berikutnya hanya
mengikuti tradisi Cina. Artinya yang dikembangkan adalah
nilai-nilai tradisional Cina sehingga menimbulkan perspektif
bahwa agama Buddha adalah agama orang Cina.
Pada kurun waktu 1990-an agama Buddha di
Kalimantan Barat belum mampu menunjukkan eksistensinya
secara menonjol karena belum ada pelayanan dari pemerintah
secara khusus. Sekitar tahun 1993 terjadi pemisahan secara
khusus dengan terpisahnya Pelayanan Bimbingan Masyarakat
Hindu dan Pelayanan Bimbingan Masyarakat Buddha. Pada
waktu itu Kepala Pembimas Buddha di jabat oleh Ida Bagus
Putra Arimbawa. Sampai dengan tahun 1998 keberadaan
agama Buddha belum mampu menunjukkan eksistensinya
secara nyata, dimana agama Buddha belum mendapat
pelayanan secara nyata karena pejabat Plt Pembimas Buddha
dijalankan oleh pejabat dari agama Hindu.
Siswa-siswi yang beragama Buddha di sekolah masih
banyak yang mengikuti pelajaran agama lain. Hal ini
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
13
dikarenakan belum ada seorangpun umat Buddha yang telah
diangkat oleh pemerintah secara depenitif menjadi pegawai
negeri sipil sebagai guru agama Buddha.
Tahun 1998 didatangkan sorang pegawai Bimas
Buddha dari Jakarta (Saiman, S.S) untuk memberikan
pelayanan kepada umat Buddha di wilayah Kalimantan Barat,
kemudian pegawai tersebut diangkat sebagai Plt Pembimas
Buddha. Pada tahun 1999 Plt Pembimas Buddha menghadap
Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin, agar umat Buddha
mendapat porsi dalam pengangkatan pegawai. Gubernur
menanggapi secara serius permohonan Pembimas Buddha,
dan menugaskan Drs. Ignasius Liong sebagai Kepala Biro
Kepegawaian untuk mendata dan memberikan formasi
pengangkatan guru agama Buddha. Setelah diadakan
pendataan dan meneliti kondisi formasi pengangkatan
pegawai, maka Kepala Biro memberikan jatah Formasi Guru
Agama Buddha sebanyak 18 orang. Ketika itu tenaga yang
tersedia baru satu orang, kekurangan 17 orang. Plt Pembimas
Buddha mengusulkan kepada Kepala Biro untuk mengadakan
seleksi di Jakarta. Kepala Biro menyetujui dan menugaskan
kepada Plt Pembimas Buddha, Kepala Dinas Pendidkkan,
Kepala Dinas Transmigrasi untuk menyeleksi calon guru
agama Buddha di Jakarta.
Bulan Oktober 1999 Surat Keputusan Guru Agama
Buddha telah turun, dan Plt Pembimas Buddha memanggil
semua Calon Guru Agama Buddha untuk datang
melaksanakan tugas. Mulai tahun itulah untuk pertama
kalinya ada 17 orang guru agama Buddha di Kalimantan
Barat, karena yang satu orang mengundurkan diri.
Pada periode 1999 sampai dengan 2006, merupakan
periode perjuangan dan tantangan bagi Plt Pembimas Buddha
14
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
untuk menata dan mengumpulkan data keagamaan Buddha
di seluruh Kalimantan Barat. Periode ini juga sedang hangathangatnya reformasi yang diikuti oleh banyaknya pemekaran
wilayah. Setelah dilakukan pendataan pada setiap
kabupaten/kota maka Plt mengusulkan dengan mendatangi
setiap daerah pemekaran, agar dalam pembentukan struktur
organisasi di daerah terdapat Kasi/Penyelenggara Bimas
Buddha. Usulan tersebut ditembuskan ke Ditjen Bimas Hindu
dan Buddha dan Sekjen Departemen Agama. Usulan tersebut
dapat dikabulkan sehingga di setiap Kabupaten /Kota
pemekaran terdapat Kasi/Penyelenggara Bimas Buddha.
Periode 2006-2009 merupakan periode penataan
organisasi-organisasi keagamaan Buddha. Pada tahun tersebut
Plt Pembimas Buddha dilantik sebagai Pejabat Depenitif
Pembimas Buddha. Saiman S.S, merupakan pejabat pertama
Pembimas Buddha Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Kalimantan Barat, setelah tujuh tahun menjabat
sebagai Plt. Pada tahun itu juga diadakan Musda Perwakilan
Umat Buddha Provinsi Kalimantan Barat atau DPD WALUBI
Provinsi Kalimantan Barat. Terpilih dalam Musda tersebut sdr
Herman Limanto dari Madha Tantri ( Majelis Agama Buddha
Tantrayana Satya Buddha Indonesia).
Sejak
berdirinya
WALUBI
mulailah
tampak
kesemarakan kehidupan umat Buddha di Provinsi Kalimantan
Barat. Maka mulailah bermunculan organisasi-organisasi
agama Buddha. Hingga saat ini di Provinsi Kalimantan Barat
terdapat delapan majelis agama Buddha, yaitu: (1)
Mapanbumi (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia); (2)
YPSBDI ( Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia);
(3) BDNSI ( Buddha Dharma Niciren Sosyu Indonesia); (4)
Matrisia (Majelis Tri Dharma Indonesia); (5) LKBI (Lembaga
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
15
Keagamaan Buddha Indonesia); (6) Majelis Agama Buddha
Kasogatan Indonesia; (7) Madha Tantri (Majelis Agama
Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia); (8)
MAGABUDTHI (Majelis Agama Buddha Theravada
Indonesia). Dari delapan majelis tersebut yang terbesar adalah
MAPANBUMI yang memiliki ratusan tempat ibadah, dan
diantaranya terdapat vihara yang terbesar di Provinsi
Kalimantan Barat, sedangkan yang terbesar kedua adalah
Majelis Tri Dharma Indonesia ( MATRISIA). (Saiman,S.S,
Agenda Kerja Pembimas Buddha Kanwil Departemen Agama Prov
Kalbar, 2009, hal 29-31).
B. Perkembangan LKBI
Sejarah adalah masa lalu dan sekarang. Oleh sebab itu
sumber primer sangatlah penting, sumber primer itu adalah
para pelaku sejarah dan dokumen-dokumen yang dimiliki
oleh lembaga tersebut. Permasalahannya dalam masalah LKBI
ini sumber primer tersebut tidak dapat ditemui dan diperoleh,
hanya orang yang melanjutkan lembaga tersebut yang dapat
ditemui.
Berdasarkan informasi dari Bapak Sunarto Ketua LKBI
yang sekarang, LKBI berdiri pada tanggal 18 Mei tahun 1999.
Sebagai pendirinya Bapak Budi Wong, yang ketika itu sering
mengadakan kontak dengan Pimpinan LKBI Pusat, ketika itu
dia menjabat sebagai Ketua WALUBI Kalimanan Barat.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya
bahwa sebelum
terbentuknya LKBI, agama Buddha pada tahun 1998-an
belum eksis, pelayannya masih ditangani oleh Pembimas
Hindu, orangnyapun orang Hindu, karena pada saat itu
belum ada pegawai yang beragama Buddha.
16
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Setelah ditempatkannya PLT Pembimas Agama
Buddha di Kalimantan Barat dia mulai mengadakan
pendataan dan pembinaan terhadap majelis agama Buddha.
Dalam pendataan tersebut dia memperoleh informasi ada
beberapa vihara yang belum tergabung dalam salah satu
majelis. Maka disarankan agar mereka bergabung dalam
Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI). LKBI pada
awalnya berbeda dengan majelis yang merupakan
representasi dari aliran/sekte, tetapi dia merupakan federasi
dari berbagai aliran/sekte. Pada mulanya bergabung sekte
kasogatan dan Maitereya (non MAPANBUMI), tetapi setelah
berdiri majelis sendiri maka Kasogatan keluar dari LKBI dan
mendirikan majelis sendiri.
Berdirinya LKBI di Pusat bersamaan dengan
dibentuknya WALUBI baru. Dimana dalam WALUBI yang
baru beberapa majelis tidak bergabung, sehingga jumlah
anggota majelis yang bergabung dengan WALUBI menjadi
berkurang. Mereka yang tidak bergabung dengan WALUBI
kemudian mendirikan KASI ( Konferensi Sangha Agung
Indonesia). Dalam persaingan antara WALUBI dan KASI
tersebut maka didirikanlah Lembaga Keagamaan Buddha
Indonesia. Selain itu beberapa majelis yang dibawah WALUBI
lama dipermasalahkan, dalam wadah WALUBI yang baru,
dapat diterima dengan baik.
WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia)
didirikan pada 8 Mei 1978 ketika dilangsungkan Kongres
Umat Buddha di Yogyakarta, sebagai wadah tunggal umat
Buddha Indonesia yang beranggotakan majelis-majelis agama
Buddha dan tiga organisasi, yaitu: Sangha Agung Indonesia,
Sangha Theravada Indonesia, dan Sangaha Mahayana
Indonesia.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
17
Sedangkan majelis yang tergabung dalam WALUBI
waktu itu adalah: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI),
Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia ( Mapanbudhi)
yang kemudian berganti nama menjadi Magabudhi, Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Martrisia
(Majelis Rohaniawan Tri Dharma Seluruh Indonesia), Majelis
Pandita Buddha Maitereya Indonesia (Mapanbumi), Majelis
Nichiren Syosyu Indonesia (NSI), dan Majelis Dharmaduta
Kasogatan Indonesia.
Pada tahun 1998 WALUBI membubarkan diri, dan
seiring dengan pembubaran ini berdiri WALUBI baru yang
sifatnya federatif yang terdiri dari majelis-majelis agama
Buddha. Berbeda dengan WALUBI sebelumnya, organisasi
WALUBI ini merupakan singkatan dari Perwakilan Umat
Buddha Indonesia beranggotakan majelis-majelis dan terdapat
dewan Sangha.
Majelis-majelis anggota WALUBI Perwakilan saat ini
terdiri dari: Majelis Agama Buddha Tantrayana Zen Fo Zong
Kasogatan Indonesia ( Zhen Fo Zong Kasogatan), Majelis
Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), Parisadha
Buddha Dharma Indonesia (PSBDI), Majelis Rohaniawan
Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA), Majelis Buddha
Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madha Tantri), Majelis
Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi), Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Lembaga
Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI), Majelis Agama Buddha
Mahayana Buddhis Indonesia (Mahabudhi), Majelis Agama
Buddha Tantrayana Indonesia (Majabudti), Majelis Umat
Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi), Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia Tanah Suci (Majabumi Tanah
Suci).
18
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Sementara itu, terdapat pula majelis agama Buddha
dalam WALUBI perwalian namun tidak bergabung dalam
WALUBI perwakilan yaitu: Majelis Buddhayana Indonesia
(MBI), Majelis Agama Buddha Dhamma Indonesia
(Magabudhi), Majelis Agama Buddha Tri Dharma Indonesia
(Martrisia Jakarta sewaktu bergabung dalam WALUBI
perwalian).(Lihat Tabloid KASI, Edisi Pertama, 1 November 2007).
Sejak berdirinya telah terjadi empat kali pergantian
pengurus. Pada periode pertama 1999-2004 dipimpin oleh
Budiona Tan, sedangkan Pak Budi Wong yang merupakan
pendirinya justru menjabat wakil ketua dibantu oleh Pak
Sunarto. Kemudian pada periode 2004 – 2009 dipimpin oleh
Bapak Sunarto, kemudian periode 2009 – 2014 dipimpin oleh
Bapak Limas Joni, kembali pada periode 2015 – 2019 pimpinan
dipercayakan kembali pada Bapak Sunarto.
Berbeda dengan majelis lainnya yang mempunyai
otoritas terhadap rumah ibadah yang berada dibawah
binaannya, di LKBI tidak demikian, rumah ibadah yang
bernaung dibawah LKBI mempunyai hak untuk mengatur
viharanya, tanpa dapat dicampuri oleh LKBI. LKBI hanya
berfungsi sebagai mediator antara vihara dengan pemerintah
dan antara vihara dengan umat Buddha lainnya. Sedangkan
kedalam pimpinan vihara berhak mengatur dirinya sendiri.
Oleh sebab itu kalau kita tanya tentang informasi yang
berkaitan dengan vihara yang berada dibawah binaannya,
umumnya mereka tidak tahu. Bahkan berapa jumlah vihara
yang tergabung dalam LKBI pengurus kurang mengetahuinya
secara pasti. Sebagai contoh ketika terjadi pesamuan vihara
yang dianggap anggota sebanyak 9 (sembilan) buah, tetapi
yang datang hanya 6 (enam) orang pengurus vihara.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
19
Malah menurut Ketua WALUBI Kalimantan Barat Pdt
Edi Tansuri anggota LKBI banyak, ada puluhan tetapi
memang tidak terdata dengan baik. Semua vihara yang belum
bergabung pada sebuah majelis seharusnya bergabung ke
LKBI sebab LKBI merupakan federasi dari berbagai vihara,
tetapi nampaknya sekarang yang tergabung dengan LKBI
hanya vihara yang beraliran Maitreya yang tidak bergabung
di MAPANBUMI. Mengapa mereka beraliran Maetreya tapi
tidak mau bergabung dengan
MAPANBUMI menurut
keterangan Pak Soenarto dan Ketua MAPANBUMI karena
berlainan gurunya. Yang bergabung dengan LKBI berguru
langsung dengan guru ( Pdt Hung) yang berasal dari Taiwan,
sedangkan MAPANBUMI melalui muridnya bernama MS
Maitreyawira yang berguru dengan guru yang ada di Taiwan
(Pdt Hung). Oleh sebab itu kelompok Maitreya yang ada di
LKBI menganggap lebih hebat dari Maitreya yang tergabung
di MAPANBUMI. (wawancara dengan Pdt Hendra Ngantung 224-2015 dan Soenarto, 16-4-2015).
C. Setting Sosial Masa Kini
Kondisi LKBI sekarang kurang berkembang bila
dibandingkan dengan majelis-majelis lainnya, hal ini antara
lain karena organisasi ini bersifat independen, artinya masingmasing vihara tidak tunduk pada pimpinan daerah LKBI
Provinsi Kaliamnatan Barat. Selain itu LKBI belum
mempunyai pengurus daerah tingkat II, yang seharusnya
ada. Seandainya ada kepengurusan
daerah tingkat II
mungkin vihara yang akan bergabung akan lebih banyak.
Tetapi kita juga dapat memakluminya karena WALUBI
sendiri baru mempunyai perwakilan baru di tiga daerah, yaitu
Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan Kota Singkawang.
20
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat (2013)
4.641.000 yang terdiri dari 2,366.000 laki-laki dan 2.275.000
perempuan. Sedangkan jumlah pemeluk agama adalah: Islam
2.892.238 orang; Katolik 268.551; Kristen 729.653; Hindu
12.153; Buddha 359.400; Khonghucu 19.368.
Sarana peribadatan yang tersedia bagi masing-masing
agama adalah: Masjid 4.203 buah; Gereja Kristen 3.062 buah;
Gereja Katolik 2.056 buah; Pura 20 buah dan Vihara 312 buah,
sedangkan untuk agama Khonghucu tidak tersedia datanya.
Sedangkan tenaga penyuluh yang tersedia: Islam 1170 orang;
Kristen 300 orang; Katolik 406 orang, Hindu 20 orang dan
Buddha 95 orang.
Jumlah penganut agama Buddha di Provinsi
Kalimantan Barat berjumlah 359.400 jiwa. Penganut terbanyak
di Kota Pontianak sebanyak 101. 204, kedua di Kota
Singkawang sebanyak 92.574 jiwa. sedangkan penganut yang
paling sedikit terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak
419 jiwa, Kabupaten Sintang sebanyak 1228 jiwa.( Kalimantan
Barat Dalam Angka, 2014, BPS Provinsi Kalimantan Barat 2015).
Dari sejumlah penganut agama Buddha tersebut tidak
diketahui berapa yang bergabung dalam LKBI.
Jumlah majelis yang terdapat di Provinsi Kalimantan
Barat yaitu: MAPANBUMI (Majelis Pandita Buddha Maitreya
Indonesia), beralamat di Jl Beringin No 12A Pontianak,
Ketuanya Pandita D.Hendra Ngantung; PSBDI (Pandita Sabha
Buddha Dharma Indonesia),beralamat di Jl Arteri Supadio Km
14,8 Kab Kubu Raya, Ketuanya Pandita Maskun Halim Krisno;
LKBI (Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia), beralamat di
Jl Siaga, Pontianak, Ketua Soenarto; MATRISIA (Majelis Tri
Dharma Indonesia), beralamat di Jl Pattimura No 203,
Pontianak Kalbar, Ketua Pandita Burhan?Lim Hui Weng;
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
21
Majelis Kasogatan Indonesia, beralamat di Jl Arteri Supadio,
Kec Sungai Raya Kab Kubu Raya, Ketua Pandita Firmanto;
MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravasa Indonesia),
beralamat di Jl Parit II Gg Flamboyan III B Kec Sungai Raya
Kab Kubu Raya, Ketua dr. Ali Fuchih Siaw M.BA; PBDNSI
(Parisadha Buddha Dharma Niciren Sosu Indonesia),
beralamat di Jl H.Abbas II No 35 Pontianak, Ketua Handoko
Salim; MADHATANTRI (Majelis Agama Buddha Tantrayana
Indonesia), beralamat di Jl Siam Gg Kelantan IV No 162
Pontianak, Ketua Pandita Herman Limanto. Selain itu terdapat
Pengurus WALUBI tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota,
yaitu WALUBI Tingkat Provinsi dengan Ketua Pandita Edy
Tansuri; DPD WALUBI Kota Pontianak, dipimpin oleh
Lilyana, SE,MM; DPD WALUBI Kabupaten Kubu Raya
dipimpin oleh Tjen Jung Lung dan DPD WALUBI Kota
Singkawang dipimpin oleh Pandita Tjhin Jiu Siu.
Selain itu terdapat 51 orang guru agama Buddha di
seluruh Kabupaten dan Kota yang terdapat di Provinsi
Kalimantan Barat, 17 orang diantaranya bertugas di Kota
Pontianak. Dengan data tersebut nampak masih banyak
daerah kabupaten yang belum memiliki guru agama. Adapun
sekolah umum yang bercirikan Buddha berjumlah 9 buah
yang terdiri dari 4 buah TK, 3 buah SD, 1 buah SMP dan 1
buah SMK. Sekolah - sekolah tersebut tersebar di 6 buah di
Kota Singkawang, 2 buah di Kabupaten Kubu Raya dan 1
buah di Kabupaten Sambas. Dilihat dari jumlah murid
sekolah-sekolah tersebut cukup signifikan, sebagai contoh
SMK Mudita Singkawang memiliki murid 679 orang ,terdiri
dari 312 orang laki-laki dan 367 orang perempuan, dan SD
Karena Singkawang mempunyai murid sebanyak 315 orang,
terdiri dari 147 orang laki-laki dan 168 orang perempuan.
Salah satu keluhan yang sering dikemukakan oleh tokoh
22
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
agama Buddha adalah minimnya umat Buddha mempunyai
sekolah. Karena itu umumnya anak-anak orang Buddha
sekolah disekolah Katolik atau sekolah Kristen, karena diajar
agama Katolik dan Kristen mereka lebih mengerti ajaran
agama Katolik dan Kristen dari pada ajaran agama Buddha.
Tidak heran dengan kondisi yang demikian ada dari mereka
kemudian yang pindah agama.
Untuk memberikan pendidikan agama kepada anakanak dan remaja sebagian vihara mengadakan sekolah
minggu agama Buddha. Berdasarkan data dari Pembimas
Buddha, di Kalimantan Barat terdapat 34 buah sekolah
minggu yang tersebar di Kabupaten Sambas, Kabupaten
Bengkayang, Kota Singkawang, Kota Pontianak, Kabupaten
Sekadau, Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Landak. (
Pembimas Buddha, 14 April 2015)
Karena masih banyaknya kekurangan guru agama
Buddha
disekolah-sekolah,
maka
beberapa
vihara
mengadakan sekolah minggu Buddha (SMB). Dari 312 buah
vihara yang ada diProvinsi Kalimantan Barat, hanya terdapat
34 buah SMB, bearti hanya 10% vihara yang sudah
mempunyai SMB. SMB tersebut tidak tersebar disemua
kabupaten dan kota, tetapi hanya tersebar di Kabupaten
Sambas (2 Buah) Kabupaten Bengkayang (9 buah); Kota
Singkawang (9 buah); Kota Pontianak (5 buah); Kabupaten
Kubu Raya (2 buah); Kabupaten Landak (6 buah); dan
Kabupaten Sekadau (1 buah). Vihara LKBI mempunyai 2 buah
SMB. Untuk membina SMB tersebut hanya terdapat 25 orang
guru SMB, dengan demikian masih terdapat SMB yang tidak
mempunyai guru. Sebagian besar guru SMB tersebut mengajar
pada SMB milik vihara Buddha Maitreya.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
23
1. Ajaran dan Peribadatan
1). Aspek Sradha
LKBI hanya merupakan lembaga keagamaan, bukan
merupakan sekte. Ajaran yang dianutnya adalah sama
dengan ajaran Buddha Maitreya yang terdapat sedikit
perbedaan diantara keduanya.
LKBI juga mengenal aspek Sradha atau keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Tri Ratna,, adanya
para Buddha, Bodhisatwa, Dewa dan Malaikat Penjaga
Dharma, altar, adanya Hukum Kasunyatan, kitab suci
dan Nirwana.
Adapun aspek Buddha itu terdiri dari:
a. Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Keyakinan terhadap Tri Ratna (Buddha, Dharma
dan Sangha).
c. Keyakinan terhadap adanya Para Buddha,
Boddhisatwa, Dewa, Para Malaikat penjaga Dharma
dan Altar, Patriat dan Maha guru.
d. Keyakinan Terhadap adanya Hukum Kasunyatan.
1). {Catur Aryasatya (Empat sebab Derita), Dukkha
(derita); Dukkha Samudya Aryasatya (asal muasal
derita). Dukha Niroda Aryasatya (terhentinya
derita)
dan
Marga/Dukkhaniroda
Pratipad
Aryasatya (Jalan untuk mengentikan derita). 2).
Hukum Tri Lakshana (Tiga corak umum) yaitu:
Sabbe sankhara anitya; Sabbe sankhara dukkha;
sabbe dhamma antman. 3) hukum karma 4)
Punarbhawa (tumimbal lahir); 5). Pratitya
24
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Samutpadah (Hukum
bergantungan).
sebab
akibat
saling
e. Keyakinan terhadap kitab suci, kitab sucinya Tri
Pitaka, tetapi mengutamakan beberapa sutra yang
dianggap lebih praktis seperti sutra intan, sutra hati,
sutra altar mustika dharma.
f.
Keyakinan terhadap Nirwana.
2). Aspek Bhakti
Puja bhakti dalam LKBI sangat diutamakan, sebagai
aspek yang menghubungkan manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa, para Buddha dan Boddhisatwa.
Setiap hari umat Buddha LKBI melakukan 2 kali
sembah sujud dan pertobatan ke hadapan Tuhan Yang
Maha Esa dan para Buddha. Puja bhakti dilakukan
pada waktu pagi dan sore. Selain itu puja bhakti
dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan imlek.
A. Puja bhakti berarti Pelaksanaan Sila, Samadhi
dan Prajna.
Sebagai pelaksanaan sila puja bhakti akan
menarik semua kegiatan indera dan perilakunya dalam
posisi penuh kedisiplinan dan pengendalian jiwa yang
penuh dengan rasa hormat dan kerendahan hati, yaitu
posisi bersujud. Posisi ini sebagai momen
pengekangan diri dan penaklukan nafsu dan keinginan
rendah.
Sebagai pelaksanaan Samadhi, bahwa dalam
puja bhakti umat melaksanakan persujudan yang
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
25
khidmat dan meditative hingga seribu atau bahkan
sepuluh ribu suju dan yang akan memakan waktu
lebih kurang satu jam. Dalam waktu satu jam itu,
semua bentuk niat pikiran dan keinginan hingga yang
sekecil-kecilnya dipadamkan, dengan penuh konsentrasi merenungi dan menginsafi kebesaran sifat Tuhan,
para Buddha dan Bodhisatwa serta Buddhata yang
nafsunya ada dalam diri manusia.
Sebagai
pengembangan
Prajna,
yaitu
pengendalian dan penaklukan diri (sila) untuk
memasuki suasana jiwa yang tenang dan penuh
konsentrasi (samadhi). Melalui puja bhakti umat
berusaha memadamkan semua kebodohan dan
memancarkan kebijaksanaan luhur sebagai cara
pengembangan prajna yang praktis.
B. Bhakti Puja Berarti Pelaksanaan Pertobatan.
Puja bhakti sebagai pertobatan dan pembaharuan diri,
karena dalam tata ritual Puja Bhakti terdapat bait yang
berbunyi:”pernyataan pertobatan”, menyesali semua
kelalaian, kekasaran dan kejahatan yang telah
diperbuat baik secara jasmaniah maupun hanya dalam
pikiran
C. Puja
Bhakti
sebagai
Pernyataan
Sikap
Pengagungan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
Para Buddha dan Boddhisatwa.
Melalui puja bhakti ini seorang umat berjuang
memecahkan konsep keakuan yang menjadi sumber
semua penderitaan.
26
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
3). Aspek Sila
Sila yang merupakan ajaran langsung dari Sang Budha
adalah pedoman pengendalian dan pendisiplinan
badan, ucapan dan pikiran yang tak dapat dipisahkan
dari kehidupan Buddhis seseorang. Sila merupakan
pondasi dasar, sebagai jalur untuk merealisasi semua
kebenaran dari wujud abstrak menjadi kenyataan yang
hidup. Kesucian seseorang dapat terlihat dari
kesempurnaan silanya.
Sila-sila dalam LKBI yang menganut aliran Maytreya
sebagai berikut:
(a) Pancasila yaitu: menahan diri dari lima hal;
pembunuhan, pencurian, perzinahan, pendustaan dan
pemabukan.
(b) Dasa Sila Paramita yaitu: tidak membunuh, tidak
mencuri tidak berzina, tidak berdusta, tidak
memfitnah, tidak berbicara kasar, tidak berbicara
sembrono, tidak iri hati, tidak boleh marah, dan tidak
loba (serakah).
(c) Delapan Sila Buddhisme Maitreya, Tidak
membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak
berdusta, tidak bermabukan, tidak makan daging,
tidak menyaksikan tarian atau pertunjukan yang
asusila, dan tidak menggunakan tempat duduk/tidur
yang terlalu mewah.
(d) Dasa Sila Dasar Buddhisme Maitreya dan Dasa Sila
Sadar Nurani. Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak
berhubungan kelamin, tidak bermabukan, tidak
berdusta, tidak memakan daging, tidak menyaksikan
tarian atau pertunjukan yang asusila, tidak
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
27
menggunakan wangi-wangian, alat kecantikan yang
cendrung menimbulkan godaan/ pemikatan, tidak
menggunakan kursi/tempat tidur terlalu mewah, dan
tidak menerima pemberian emas, perak dan harta
benda untuk diri pribadi.
(e). Dasa Sila Sadar Nurani, Rendah hati, sabar (tidak
emosi), tahan derita, dapat merugi diri, menghormati
guru, menjunjung wadah ketuhanan, menghormati
kerukunan antar umat, selalu bertobat, menjunjung
kode etik kebuddhaan, dan hidup sederhana.
Setiap umat Buddha Maitreya harus berusaha untuk
melaksanakan Pancasila dan Dasa Sila Paramita
sebagai landasan pembinaan kesucian diri. Delapan
sila Budhisme Maitreya merupakan sila yang wajib
dijalankan oleh seorang Pandita dan Dharma Duta.
Dasa Sila Dasar Budhisme Maitreya wajib
dilaksanakan oleh para sesepuh dan viharawan/wati,
sedangkan Dasa Sila Sadar Nurani merupakan sila
yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Buddhisme
Maitreya dengan penuh kesadaran nuraninya. (DPP
Mapanbumi: 1992, hal 28-31).
A. Peribadatan
Puja-bhakti dilaksanakan secara bersama-sama
pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pukul 6
atau 6.30 pagi, pukul 12 siang, dan pukul 18 atau
18.30 petang.
28
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
B. Kitab Suci Dan Hari-Hari Suci
Kitab suci LKBI adalah Tri Pitaka, namun
disamping menghormati keseluruhan tri Pitaka
juga mengutamakan beberapa sutra yang dianggap
lebih praktis, yaitu:
a. Sutra Intan (Vajrachedika Prajna Paramita
Sutra)
b. Sutra Hati (Prajna Paramita Herdaya Sutra)
c. Sutra Altar Mustika Dharma
d. Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya Mencapai
Sorga Tusita.
e. Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya Mencapai
Kebudhaan
f.
Sutra Pertanyaan Bodhisatwa Maitrea tentang
Panggilan Jiwa Buddha
g. Sastra-sastra Mahayana lainnya.
Sebagai hari suci dalam LKBI yaitu hari
Waisak, Hari Asadha dan Hari Kathina, dalam hal
ini sama dengan aliran agama Buddha pada
umumnya. Dalam penyelenggaraan hari-hari suci
tersebut selalu mengikuti program yang dilakukan
oleh WALUBI. (Nuhrison M.Nuh:1992/1993, hal 37).
4). Perbedaan Ajaran dan Tata Cara Peribadatan
Perbedaan ajaran LKBI dengan aliran lainnya ialah
kalau aliran lain menganggap kedatangan Buddha
Maitreya nanti pada masa yang akan datang, bagi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
29
Maitreya (LKBI) Buddha Maitreya sudah datang
sekarang, maka itu ikut dihormati, bahkan dihormati
lebih dari Buddha Sakyamuni. Maka dialtar pemujaan
disamping rupang Buddha Sakyamuni dan yang
lainnya juga terdapat
rupang Buddha Maitreya.
Bedanya LKBI dengan Maitreya, kalau di LKBI ada 6
rupang diatas altar: yaitu, didepan ada rupang Nacha,
Sang Buddha (Sakyamuni), dan Kwan Kong,
sedangkan dibelakang dari sebelah kanan, dewa
Kwan Im, Buddha Maitreya dan Chi kung, sedangkan
dalam aliran Maitreya (MAPANBUMI) hanya terdapat
rupang Maitreya diatas altar. Selain itu ada kesan dari
pihak Buddha lainnya, LKBI lebih mengutamakan
Sutra dari Tri Pitaka.
2. Majelis dan Kegiatannya
A. Struktur Kepengurusan
Adapun susunan kepengurusan LKBI periode 2015 –
2019 adalah sebagai berikut:
Pembina:
1. Pdt Tji Lie Ie
2. Pdt Rusfandi Aliman
3. Pdt Lim Tek Liung
Penasehat:
1. Tjhang Tjin Long
2. Jap Fu Jung
3. Rudi Ho
4. Karol Tjahyadi
Pengurus :
Ketua Umum
30
: Ng Hon Kong/ Soenarto
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Wakil Ketua
: Budiharto Tjendra
Wakil Ketua
: Willi Sutiono
Wakil Ketua
: Gunawan
Wakil Ketua
: Lim soi Tju
Wakil Ketua
: Wildi Kartolo
Sekretaris
: Tioyono, SE
Wakil Sekretaris
: Fatmawati, A.Md.
Bendahara
: Tjen Jun Lung
Bidang – Bidang Pembinaan:
Bidang Dharma
: Hendra
Bidang Pemuda & Olahraga
: Alexander Andrew
Bidang Seni Bdaya & Kreatifitas : Yanuarius Susanto
Bidang Hubungan Masyarakat : Rudy
Bidang Dokumentasi &Publikasi : Luukman, S.Kom,M.Kom
Bidang Dokumentasi & Publikasi : Tek Wang
Bidang Sosial Kemasyarakatan : Tomy Sudarjo
Bidang Sosial Kemasyarakatan : Phang Phin Fa
Bidang Organisasi & Kaderisasi : Susanto, SE
Bidang Wanita Buddhis
: Mary Onoris, SE.
Kepengurusan ini telah dikirim ke LKBI pusat, tetapi
sampai waktu diadakan penelitian belum keluar SK
penetapan kepengurusan yang baru, sehingga mereka belum
bisa beraktivitas dan menyusun program. Kantorpun belum
ditetapkan, karena kantor yang lama milik ketua yang lama,
setelah tidak menjabat lagi kantor itu diambil kembali. Untuk
sementara akan ditetapkan kepengurusan yang baru akan
berkantor di Vihara Avalokitesvara Jl Wolter Monginsidi No
50 A Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Secara struktural
susunan kengurusan LKBI terdiri dari Pengurus Pusat di
Jakarta, DPD TK I Tingkat Provinsi dan DPD TK II tingkat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
31
kabupaten dan kota. Tapi sampai saat ini belum ada DPD II di
Kalimantan Barat.
B. Keanggotaan
Seperti disebutkan sebelumnya berkaitan dengan
jumlah anggota LKBI bukan bersifat perseorangan tetapi
berdasarkan tempat ibadah (vihara), maka jumlah anggota
LKBI adalah tersebar di berbagai vihara yang menjadi
anggotanya. Sampai sekarang belum ada data yang
dilaporkan oleh masing-masing vihara mengenai jumlah
anggota (umatnya). Hanya berdasarkan hasil wawancara
dengan pengurus vihara diantaranya Vihara Setia, mereka
mempunyai umat sebanyak 5000 orang, yang aktif ibadah
lebih kurang 500 orang. Sedangkan Vihara Avalokitesvara
berjumlah 1500 orang, yang aktif lebih kurang 300 orang.
Maka oleh sebab itu selanjutnya agar dilakukan pendataan
oleh masing-masing vihara terhadap jumlah anggotanya,
sehingga dengan demikian LKBI mempunyai data jumlah
umat atau anggota yang tergabung dalam LKBI.
Adapun Vihara yang tergabung dalam LKBI adalah: 1)
Vihara Chien He, jl Siaga; 2) Vihara Wahyu Kwan im, jl Gajah
Mada; 3) Vihara Mingde Jl Aris Marsono; 4) Vihara
Avalokiteswara Jl Raya Kakap; 5) Vihara Zhen Zhi Ru Yuan Jl
28 Oktober dan 6) Vihara Setia Jl Woltermonginsidi.
(Wawancara dengan Tiyono, 16 – 4 – 2015).
Untuk menjadi anggota salah satu syaratnya adalah
vihara yang mempunyai silsilah sesepuh yang sama dengan
sesepuh yang dianut oleh LKBI. Selain itu belum tergabung
32
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dalam salah satu majelis, ada kesedian sendiri (tidak dipaksa)
untuk bergabungm ada persetujuan dari pimpinan vihara.
Fungsi lembaga adalah membantu umat dalam
berhubungan dengan pemerintah seperti kalau mau
mengurus surat nikah, lahir, kematian, dan izin mendirikan
tempat ibadah. Majelis tidak berhak intervensi terhadap ajaran
yang dianut oleh masing-masing Vihara. (Wawancara dengan
Soenarto, 16 – 4 -2015).
C. Kegiatan Pembinaan
Pembinaan yang dilakukan LKBI terhadap anggotanya
berupa bimbingan dan penjelasan dalam mengurus akta
perkawinan, kelahiran, kematian dan izin pembangunan
tempat ibadat. Hal tersebut dilakukan dalam berbagai
pertemuan yang diadakan pengurus LKBI dengan pengurus
vihara. Dalam pertemuan tersebut sering diadakan diskusidiskusi tentang masalah keagamaan.
Sedangkan pembinaan terhadap umat, dilakukan oleh
masing-masing vihara.Sebagai contoh Vihara Avalokiteswara
yang terletak dj Jl Kakap Kabupaten Kubu Raya mengadakan
kegiatan antara lain setiap Kamis malam diadakan ceramah
keagamaan untuk umum, setiap hari Rabu untuk anak-anak
SD dan hari Sabtu untuk para remaja. Kepada remaja
diajarkan tentang hal-hal yang baik untuk dilakukan seperti
hormat terhadap orang tua, berlaku sopan santun terhadap
orang lain. Pembinaan terhadap anak-anak usia sekolah
sangat penting, karena sebagian besar anak-anak Buddha
bersekolah disekolah Katolik atau Kristen, sehingga tidak
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
33
sedikit dari mereka yang kurang pembinaan berpindah
agama. Di Vihara Wahyu Kwan Im terdapat pembinaan
berupa sekolah minggu,retreat, rekoleksi dan pembinaan
iman. Sedangkan di Vihara Setia, Sekolah minggunya cukup
ramai pesertanya, diikuti oleh anak-anak kelas 10 s.d 12 hal itu
saya saksikan ketika berkunjung untuk mengadakan
wawancara dengan pandita Rusfandi Aliman. Dalam sekolah
minggu tersebut diadakan kegiatan berupa baca Parita, Belajar
Bahasa Mandarin, nyayian, paduan suara, dan belajar
Dharma.
D. Dana, Sarana dan Prasarana
Berdasarkan informasi dari Ketua LKBI dana untuk
mengelola organisasi berasal dari para pengurus LKBI. Maka
oleh sebab itu pengurus disamping mempunyai pengetahuan
tentang agama Buddha juga, dianggap mampu dalam
masalah finansial. Pak Soenarto sebagai Ketua LKBI
merupakan seorang pengusaha eksportir udang. Selain itu
dana juga diperoleh dari bantuan para pengurus Vihara yang
berada dibawah naungan LKBI. Sedang di Vihara dana
diperoleh dari iuran umat. Setiap ada kegiatan ada
sumbangan dari umat. Dana tersebut digunakan untuk biaya
operasional vihara, untuk menyumbang orang sakit, untuk
mencetak kitab suci, buku, dan membeli buah-buahan untuk
sembahyang. Sarana yang dimiliki oleh Vihara antara lain
ruangan tempat puja bhakti, ruangan kantor, kursi, altar dan
perlengkapannya, dapur (tidak semua), ruang perpustakaan,
kamar untuk tamu.
34
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
E. Relasi Sosial
Relasi sosial dengan sesama penganut Buddha berjalan
dengan baik, tidak ada persoalan diantara mereka walau
berbeda aliran. Dengan MAPANBUMI juga walau alirannya
sama, tidak mempersoalkan keberadaan LKBI yang juga
menganut aliran Maitreya. Mereka dapat memahami karena
adanya perbedaan sesepuh dan leluhur. Umat Buddha yang
berbeda aliran, dapat menerima keberadaan LKBI buktinya
Ketua WALUBI Kabupaten Kubu Raya ditunjuk orang yang
berasal dari LKBI. Dalam perayaan hari-hari besar keagamaan
yang diadakan oleh WALUBI, orang LKBI selalu ikut serta
merayakannya.
Dengan umat Islam relasinya juga terjalin dengan baik.
Dilokasi perumahan Pandita Rusfandi Alim, umat Buddha
selalu terlibat dalam kegiatan sosial yang diadakan ketua RT
setempat. Mereka kenal dengan pengurus masjid setempat
yaitu Pak Eko dan Effendi dari masjid Al-Jihad. Di Vihara
Avalokiteswara Sungai Kakap setiap tanggal 1 imlek diadakan
makan bersama dengan penduduk sekitar yang menganut
berbagai agama. Dalam merayakan hari-hari besar keagamaan
diadakan santunan terhadap mereka yang kurang mampu,
yang berbeda agama. Sedangkan relasi dengan pemerintah
juga terjalin dengan baik, dimana dalam kegiatan hari-hari
besar keagamaan yang diadakan oleh WALUBI diundang
perwakilan dari pemerintah. LKBI sudah terdaftar di Bimas
Buddha Provinsi Kalimantan Barat. Anggota LKBI sudah
dilayani dalam hal hak-hak sipil seperti KTP, Akte Kelahiran,
Akte Perkawinan, Kematian dan pendidikan agama Buddha (
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
35
walaupun belum semua sekolah memberikannya). Umat
Buddha (LKBI) selalu mematuhi aturan pemerintah. LKBI
tidak berpolitik dan berbisnis, LKBI hanya membina
kesadaran umat (Pdt Rusfandi, 19 April 2015).
F. Pandangan Pemuka Agama Sekte Lainnya
Peneliti sudah mewawancarai beberapa orang pengurus
majelis agama Buddha lainnya. Diantaranya Guru Agama
Buddha, Budi dari Magabhudi, Bu Lilyana, Ketua WALUBI
Kota Pontianak, Pdt Kurniadi dari MNSBDI (FKUB Kota
Pontianak), Pdt Hendra D.Ngantung, Ketua MAPANBUMI
Provinsi Kalaimntan Barat.
Menurut mereka tidak ada masalah dengan keberadaan
LKBI di Provinsi Kalimantan Barat. Menurut Pdt Kurniadi, Ia
menyadari bahwa ajaran dalam agama Buddha itu banyak
sekali, ada sebanyak 48000 yang digabung menjadi Tri Pitaka,
jadi wajar saja kalau pemahamannya berbeda. LKBI hadir
untuk mewadahi vihara-vihara yang masih berdiri sendirisendiri. Umumnya ajaran pokok sama, yang berbeda paling
tatacara peribadatannya. ( Wawancara Pdt Kurniadi, Pengurs
FKUB Kota Pontianak, 21-April 2015). Menurut Pdt Hendra
Ngantung dari MAPANBUMI, Kepercayaan pokok yang
dianut oleh LKBI adalah sama, yang berbeda adalah tatacara
sembahyang, dan struktur organisasi. LKBI terbentuk setelah
Munas WALUBI tahun 1998. Menurut bu Hartati semua umat
harus dilindungi, makanya yang tidak bergabung di
MAPANBUMI, bergabung di LKBI. Berdirinya LKBI tidak
masalah, karena kita tolerans. Ketua WALUBI Kabupaten
Kubu Raya dari LKBI. Disini tidak ada berebut kedudukan,
36
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
pemilihan pengurus dilakukan berdasarkan musyawarah.
Kerjasama antar majelis sangat baik, bahkan Theravada yang
bukan anggota WALUBI tetap ada kerjasama.(Wawancara
dengan Hendra D.Ngantung, 22 April 2015).
Menurut Lilyana seorang dosen Agama Buddha, ia
menghargai perbedaan dalam agama Buddha, umpamanya
dalam LKBI dikenal adanya vegetarian. Selanjutnya dia
mengatakan bahwa tujuan hidup itu sama, yaitu mencintai
sesama, memperhatikan sesama, berbuat baik untuk orang
lain,
hanya
cara
untuk
mewujudkannya
yang
berbeda.(Wawancara dengan Lilyana, 21 April 2015).
Menurut Pak Budi seorang guru agama Buddha, yang
juga merupakan pengurus Magabhudi, mengatakan dalam
agama Buddha ada 10 macam kriteria, kalau 10 kriteria itu
sudah dipenuhi, maka sudah memenuhi syarat agama
Buddha. Kerukunan internal umat Buddha di Kalimantan
Barat sangat baik. Magabudhi dalam kegiatan-kegiatan
WALUBI tetap diikutkan walaupun Magabudhi tidak
tergabung dalam WALUBI. Umpama dalam acara pelantikan
pengurus WALUBI tetap diundang. Dalam acara Waisak juga
ikut serta dan terlibat dalam kegiatan tersebut. Kalau dalam
kegiatan umat Buddha, kita terlibat, tetapi kalau yang
menyangkut majelis kita diundaang. Kalau keluar, tidak
mengatasnamakan salah satu majelis, tetapi atas nama umat
Buddha seperti WALUBI. Hubungan dengan LKBI terjalin
dengan baik, karena sesama penganut agama Buddha, dengan
tidak mempertentangkan ajaran dari masing-masing aliran.
Selagi mereka tidak mengembangkan ajaran yang tidak
bertentangan dengan ajaran pokok agama Buddha tidak
dipermasalahkan.
Kita
menghargai
ajaran
yang
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
37
dikembangkan oleh masing-masing sekte.(Wawancara dengan
Budi, 21 April 2015).
G. Kegiatan Sosial Keagamaan
Kegiatan sosial umumnya dilakukan pada waktu
merayakan hari-hari besar keagamaan. Kegiatan tersebut
antara lain seminar tentang agama Buddha, berkunjung ke
Panti Asuhan, Panti Jompo, Berziarah ke makam pahlawan, ke
Lembaga Pemasyarakatan. Pengobatan gratis 2 x dalam
setahun, bagi-bagi sembako, makan bersama setiap tanggal 1
imlek. Kegiatan ini umumnya dilakukan terhadap mereka
yang berbeda agama, dalam rangka menjalin persahabatan
dan pertemanan.
38
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
PENUTUP
LKBI berdiri pada tanggal 18 Mei 1999 oleh Budi
Wong. Berdirinya LKBI untuk menampung berbagai vihara
yang belum bergabung dalam salah satu majelis. Pada
mulanya bergabung Maitreya dan Kasogatan, kemudian
Kasogatan keluar dan mendirikan majelis sendiri. Maka itu
dalam LKBI ini semuanya vihara yang beraliran Maitreya.
Berdirinya LKBI di pusat karena adanya perpecahan antara
KASI dan WALUBI. Dengan pecahnya WALUBI maka
anggotanya jadi berkurang, karena beberapa anggota
sebelumnya tidak mau bergabung dengan WALUBI.
Anggota LKBI sekarang 6 vihara yang terdaftar,
sedangkan yang tidak terdaftar mencapai 60a-an. Dana
diperoleh melalui pengurus, iuran anggota dan bantuan dari
pemerintah. Sarana yang ada berupa gedung Vihara beserta
bangunan yang terdapat di dalam dan di sekitar vihara.
Ajaran pokoknya berupa Sradha (keimanan) terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, Tri Ratna, adanya Para Buddha,
Bodhisatwa, Dewa dan Malaikat Penjaga Dharma, Altar,
adanya Hukum Kasunyatan, Kitab Suci dan Nirwana. Puja
Bhakti
sangat
diutamakan,
sebagai
aspek
yang
menghubungkan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
para Buddha Bodhisatwa. Setiap hari umat Buddha LKBI
melakukan 2 kali sembah sujud, yaitu pagi dan sore, selain itu
setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan imlek. Adapun aspek sila
antara lain Pancasila, Dasa Sila Paramita, Delapan Sila
Buddhisme Maitreya, Dasa Sila Dasar Budhisme Maitreya dan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
39
Dasa Sila Sadar Nurani. Kitab sucinya Tri Pitaka, disamping
itu menghormati beberapa sutra yang dianggap lebih praktis.
Perbedaan LKBI dengan aliran lainnya, menganggap
Buddha Maitreya sekarang sudah datang, rupang yang utama
adalah Buddha Maitreya disamping 5 rupang lainnya, selain
ada kesan mengutamakan sutra daripada Tri Pitaka. Mereka
juga mengakui adanya lima orang nabi yang mengajarkan
ajaran Tuhan yaitu: Buddha Gautama, Khong Hucu, Lao Tse,
Yesus dan Muhamad.
Relasi umat Buddha dengan sesama umat Buddha
berjalan dengan baik, begitu pula dengan umat agama lainnya
dan dengan pemerintah. Respon pemuka agama Buddha
terhadap
keberadaan
LKBI
umumnya
tidak
mempermasalahkan, karena menganggap wajar adanya
perbedaan, karena adanya perbedaan dalam memahami dan
menafsirkan ajaran Sidharda Buddha Gautama yang begitu
banyak.
40
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
2
MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA
(MAGABUDHI) DI BLITAR, JAWA TIMUR
Oleh:
Asnawati
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
41
42
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR
Nama Blitar tidak muncul secara tiba-tiba saja tetapi
melalui proses perjalanan sejarah yang panjang. Ketika itu
kerajaan Majapahit tidak terima atas perlakuan bangsa
Tartar yang berasal dari Asia Timur yang ingin menguasai
daerah Blitar (ketika itu belum bernama Blitar), dengan
mengutus Nilasuwarna untuk mengusir bangsa Tartar
keluar dari wilayahnya. Alhasil Nilasuwarna berhasil
mengusir dan mendapat anugerah diberi gelar Adipati
Aryo Blitar I dan kewenangan untuk memimpin daerah
yang berhasil ia bebaskan dengan nama Blitar, yang artinya
kembali pulangnya bangsa Tartar. Singkat cerita Aryo Blitar
I lengser kerena tahtanya direbut oleh Ki Sengguruh
sebagai patihnya, yang kemudian mendapat gelar Adipati
Aryo Blitar II. Tidak lama kemudian Adipati Aryo Blitar II
dipaksa turun oleh putra kandung Aryo Blitar I dan
perjuangannya terhenti dengan kedatangan bangsa
Belanda. (http://www.blitarkab.go.id/2012/06/272.html).
Berdasarkan catatan sejarah, Kota Blitar merupakan
sebuah kota yang terletak di bagian selatan Kota Surabaya
Provinsi Jawa Timur yang terletak sekitar 167 Km. Kota Blitar
dikenal juga selain sebagai tempat dimakamkannya presiden
pertama RI Soekarno, sebagai Kota Patria, juga Kota Peta
(Pembela Tanah Air) yang menginspirasi melakukan
perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 14 Februari 1945
untuk
menuju
kemerdekaan
di
daerah
Blitar.
(http://www.blitarkab.go.id/2012/06/272.html).
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
43
Kabupaten Blitar memiliki luas wilayah 1.588.79 Km²
berbatasan dengan tiga kabupaten lain, yaitu sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Malang, sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten
Kediri sedangkan sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang. Secara administrasi
Pemerintah di Kabupaten Blitar terbagi menjadi 22 kecamatan,
220 desa, 28 kelurahan, 759 dusun/Rukun Warga(RW) dan
sebanyak 6.978 Rukun Tetangga (RT).
Jumlah penduduk Kabupaten Blitar menurut agama
tahun 2013/2014 dengan rincian yang beragama Islam
1.141.312 jiwa, beragama Katolik 22.372 jiwa, umat Kristen
berjumlah 27.848 jiwa, umat Hindu berjumlah 26.327 jiwa, dan
yang beragama Buddha 6.244 jiwa. Sementara itu jumlah
tempat peribadatan di Kabupaten Blitar, umat Islam memiliki
masjid berjumlah 985 buah, Mushollah mencapai 3.934 unit,
Gereja Katolik mencapai 44 unit, Kopel 18 unit, gereja bagi
umat Kristen mencapai 107 unit dan Polis 35 unit, bagi umat
Hindu terdapat 91 Pura dan 79 Sanggar, bagi umat Buddha
Theravada terdapat 21 Vihara.
Dalam kehidupan keagamaan terutama di lingkungan
umat Buddha di Kabupaten Blitar 95% dari sekte Theravada,
selebihnya dari umat Maitreya, meskipun berbeda sekte, tetap
terjalin hubungan yang baik. Adapun faktor yang mendasar
terciptanya kehidupan keagamaan yang dinamis dan kondusif
dalam keberagaman umat Buddha di kota ataupun di
Kabupaten Blitar, yang tersebar di beberapa kecamatan dan
desa, karena umat beragama mampu mengaktualisasikan
masing-masing ajarannya, dimana salah satunya pada
Theravada yang mengajarkan kebajikan. Karena itu menurut
Ibu Indavati (Hing Fung Ie) usia 52 tahun, sebagai
44
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
pengurus/sekretaris dari Vihara Samaggi Jaya mengatakan
bahwa di Blitar (desa) tidak pernah ada konflik. Semua umat
beragama saling menghormati, hidup rukun dan damai,
saling bahu membahu, gotong royong membangun desa,
demikian juga dalam pembangunan rumah ibadat.
(Wawancara dengan Sekretaris Vihara Samaggi Jaya, 17 April
2015).
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Blitar selain
sebagai karyawan pemerintahan, swasta, pedagang, buka
warung juga petani. Masyarakat desa hidup tentram dan
damai dengan kondisi harmonis, meskipun cukup beragam
agama dan keyakinannya.
Berdasarkan data jumlah rumah ibadat umat Buddha
Theravada tersebar di 21 kecamatan di Kabupaten Blitar,
yaitu:
DATA VIHARA WILAYAH KABUPATEN BLITAR
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nama Vihara
Alamat
Buddha Sasana Dsn. Buneng, Ds. Boro, Kec.
Selorejo, Kab. Blitar
Buddha
Dsn. Jarangan, Ds. Boro, Kec.
Bumikha
Selorejo, Kab. Blitar
Buddha
Ds. Sidomulyo, Kec. Selorejo,
Nugraha
Kab. Blitar
Buddha Metta Dsn. Sidorejo, Ds. Sidomulyo,
Loka
Kec. Selorejo, Kab. Blitar
Dharma Jaya
Dsn. Blumbang, Ds. Ngembul,
Kec. Binangun, Kab. Blitar
Bodhi Giri/
Dsn. Lo Es, Ds. Balerejo, Kec.
Panti Semedi
Wlingi, Kab. Blitar
Dhamma
Dsn. Sanggrahan, Ds. Balerejo,
Triguna
Kec. Wlingi, Kab. Blitar
Bodhi Amatta Dsn. Lungurtimo, Ds Bumiayu,
Kec. Panggungrejo, Kab. Blitar
Bumi Loka
Dsn. Bumiayu, Ds. Bumiayu,
Kec. Panggungrejo, Kab. Blitar
Buddha
Ds. Sekargadung, Kec.
Bhavana
Panggungrejo, Kab. Blitar
Pengurus
Jumlah
Ketua: Sugianto
491
Ketua: Edy
Purnomo
Ketua: Meta
Nurhayatin
Ketua: Sianik
Budi Wati
Ketua: Budi
Utomo
Pengurus
Harian: Jaenuri
Ketua: Heri
Purwanto
Ketua: Suyadi
293
Ketua: Jemani
556
Ketua: Guntoro
35
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
175
105
233
97
152
234
45
11
Dharma
Sasana
12
Dharma Tirta
Mulia
Indra Loka
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Dsn.Salamrejo, Ds. Resapombo,
Kec. Doko, Kab. Blitar
Ds. Karangrejo, Kec. Garum,
Kab. Blitar
Dsn. Ringin Rejo, Ds. Kararejo,
Kec. Garum, Kab. Blitar
Saddha Jaya
Ds. Sumberingin, Kec. Sanan
Kulon, Kab. Blitar
Nusa Dhamma Ds. Sumberasri, Kec. Nglegok,
Kab. Blitar
Buddha Loka
Dsn. Sumbertuk, Ds. Sumberjo,
Jaya
Kec. Kademangan, Kab. Blitar
Viriya Jaya
Ds. Gembongan, Kec. Ponggok,
Kab. Blitar
Amarta Loka
Dsn. Karanganyar, Ds.
Gebongan, Ds. Gembongan,
Kec. Paonggok.
Brahma Loka
Dsn. Karanganyar, Ds.
Gembongan, Kec. Ponggok,
Kab. Blitar
Metta Bhavana Dsn. Karanganyar, Ds.
Loka
Gembongan, Ds. Gembongan,
Kec. Ponggok.
Kerta Jaya
Dsn. Sidomulyo, Ds. Sidorejo,
Loka
Kec. Ponggok, Kab. Blitar.
Ketua: Siswanto
212
Ketua: Edy
Subandriyo
Ketua: Sudjito
132
Ketua: Eko
Sulistyowarni
Ketua: Budiono
31
Ketua: Diaman
224
Ketua: Sutrisno
110
Ketua: Budi
Prayitno
453
Ketua: Suyono
213
Ketua: Siswoko
321
Ketua: Edi
Sudarmanto
84
153
62
Sumber: Kantor Kankemenag Kabupaten Blitar, 2015.
Di Kabupaten Blitar terdapat 21 Vihara Theravada, 1
vihara Theravada dan 1 Vihara Maitreya di Kota Blitar. Dari
ke-21 Vihara tersebut setidaknya 3 nama Vihara yang sudah
dikenal oleh umat Buddha di Indonesia bahkan diluar negeri,
yaitu Vihara Samaggi Jaya, Vihara Bodhi Giri di BalerejoWlingi dan Vihara Buddha Sasana di Boro-Selorejo. (Data
Keagamaan Kankemenag Kabupten Blitar).
46
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA
(MAGABUDHI)
Buddda Theravada di Kabupaten Blitar
Blitar merupakan salah satu daerah basis umat Buddha
dengan mazhab Theravada di Provinsi Jawa Timur, di mana
terdapat 95% umat Buddha. Umat Buddha di Kabupaten
Blitar, pada awalnya adalah masyarakat Jawa yang selain
beragama Buddha Shiwa, juga penganut kepercayaan yang
biasa disebut sebagai penganut kejawen. Dengan kedatangan
Banthe Ashin Jinarakkhitta ke Blitar, merubah pandangan
dalam pemahaman keyakinan masyarakat Jawa yang semula
penganut Buddha Shiwa dan kejawen, pilihan menjadi
penganut Buddha. Seiring berjalannya waktu, maka terjadi
perubahan dalam pilihan kehidupan keagamaan menjadi
penganut Buddha yang berafiliasi kepada sekte/aliran
Theravada, setelah kedatangan Banthe Girirakito yang
membawa bibit Theravada.
Kedatangan pemuka agama Buddha Banthe Girirakito
ke Blitar, menambah semangat keberagamaan umat Buddha
dalam menjalankan aktifitas keagamaannya, terlebih lagi
setelah Bhante Uttamo sering memberikan pembabaran
Dhamma di Klenteng dan di Cetiya yang ada di Kota Blitar,
karena memang rumah ibadat bagi umat Buddha yang ada
hanya baru itu saja yang di miliki. Menurut salah seorang
pengurus Wandani yaitu Wanita Theravada Indonesia
mengatakan bahwa Bante Bhikkhu Uttamo turut berperan
juga dalam membabarkan ajaran Buddha Theravada untuk
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
47
Kota dan Kabupaten Blitar. (Wawancara dengan pengurus
Wandani, 20 April 2015).
Umumnya umat Buddha di desa, memiliki rasa
keagamaan lebih besar daripada di kota. Misalkan meskipun
yang memberikan khutbah bukan dari golongan pandita,
sebagai umat beragama tetap mau mendengarkan, bahkan
kalau yang khutbah itu dari golongan pandita, mereka lebih
mau mendengar dan lebih mau mendengar lagi, apalagi bila
yang memberikan khutbah adalah dari golongan bhikkhu.
Tetapi tidak demikian halnya bagi umat Buddha di kota,
dimana sebagian besar, cenderung melihat nama yang akan
memberikan khutbah di atas dhamma. Sehingga kurang
memberikan respon bila yang memberikan khutbah, bukan
dari golongan Bhikkhu, mungkin karena tingkat pemikiran
orang-orang di kota lebih canggih, tingkat intelektualnya lebih
tinggi, sehingga kurang begitu merespon bila yang ceramah
hanya dari tingkat pandita.
Vihara Theravada tampak sederhana, jauh dari
keramaian dekorasi, yang ada hanya
patung Buddha
Gautama, lilin, air dalam gelas, bunga dan makanan-makanan
ringan atau buah-buahan yang diletakkan di altar di bawah
patung Buddha Gautama. Tetapi bila dibandingkan dengan
vihara Maitreya, jauh lebih ramai dengan meletakkan lebih
dari satu patung selain patung Buddha Gautama. Arti dari
patung Buddha, melambangkan penghormatan kepada Sang
Buddha. Sebagai simbol bahwa dalam menjalankan
sembahyang ada guru untuk mengarahkan pikiran kita dan
bukannya untuk meminta kepada patung. Arti Bunga,
melambangkan anicca atau ketidak kekalan, bahwa dalam
kehidupan ini tidak hakiki. Dimana bunga tidak kekal,
tumbuh dan berkembang dan lalu mati. Sementara arti
48
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dupa/hio yang melambangkan keharuman Dhamma Sang
Buddha. Keharuman hidup yang harus dijalani. Yang penting
dalam kehidupan ini tidak seperti dupa yang akan terbawa
oleh arah angin, tetapi harumnya nama baik seseorang bisa
melawan arah angin, artinya kita harus membuat sesuatu
yang harum. Arti lilin, melambangkan penerangan Dhamma
Sang Buddha, sebagai lambang bahwa dalam kehidupan ini
dapat menjadi penerang bagi semua makhluk, dan arti air,
yang
dianggap
memiliki
sifat-sifat
seperti
dapat
membersihkan noda-noda, dapat memberikan tenaga, dapat
menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan selalu mencari
tempat yang rendah (tidak sombong), yang melambangkan
kondisi hidup agar selalu rendah hati. Dan buah,
melambangkan buah dari kayma-kayma kita, selain itu
sebagai lambang dari rasa terima kasih
Adapun yang menjadi ciri Theravada, diantaranya
Buddha dianggap sebagai manusia normal yang mempunyai
kekuatan lebih. Buddha dipuja layaknya seorang guru yang
membimbing ke kesucian tidak dilebih-lebihkan. Nibbana
hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri. Termasuk dalam hal
penafsiran, Theravada lebih bersifat konservatif yaitu
menjaga yang sudah ada, mengacu pada apa yang sudah
ditetapkan pada konsili-konsili yang sudah ada. Hal ini
dipertahankan guna mengantisipasi adanya kesalahan
penafsiran.
Theravada menggunakan bahasa Pali, yang terdiri dari
dua kata yaitu thera dan vada. “Thera” berarti sesepuh
khususnya sesepuh terdahulu, dan “vada” berarti perkataan
atau ajaran. Jadi Theravada berarti “Ajaran Para Sesepuh”.
Theravada secara harfiah merupakan ajaran yang konservatif,
yang berpedoman pada Kitab Suci “Tipitaka” Pali, terdiri dari
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
49
Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhi Dhamma Pitaka. Para
penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam
Tipitaka, khususnya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga
sebagai Buddha Gautama. Theravada tidak memuja para
Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat
karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang sejarah berdirinya
vihara-vihara sebagai basisnya umat Buddha Theravada di
Kabupaten Blitar, diantaranya adalah satu (1) di Kota dan 2 di
Kabupaten Blitar, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar
Vihara
Samaggi
Jaya
di
bawah
pembinaan
MAGABHUDI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia)
yang beralamat di Jln. Ir. Soekarno 67 yang semula bernama
Jln. Slamet Riyadi No. 21 Kota Blitar, yang berada sekitar 400
meter sebelah selatan makam Proklamator Ir. Soekarno.
Vihara
Samaggi
Jaya
di
bawah
pengelolaan
Yayasan/Lembaga: Dhammadipa Arama. Untuk wilayah
Kabupaten Blitar merupakan daerah basis umat Buddha
Theravada (95%), yang tersebar dibeberapa kecamatan dan
desa.
Umat Buddha Theravada di Kota Blitar, tidak sebanyak
umat Theravada yang berada di Kabupaten Blitar. Terkait
dengan sekte umat Buddha yang ada di kota Blitar, selain
Theravada, juga dari Maitreya dan Buddhayana (=vihara
Buddhayana ada di Kabupaten). Rumah ibadat bagi umat
Maitreya yaitu Vihara Abdi Dharma dan Vihara Sacca Gupala
sebagai rumah ibadat umat Buddhayana. Namun Vihara Sacca
Gupala tidak berfungsi penuh sebagai tempat ibadah,
50
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
umatnya tidak berkembang, karena Bhiksunya keluar dari
majelis dan memutuskan untuk berumah tangga. (Wawancara
dengan Penyuluh Agama, 15 April 2015).
Menurut Pandita Sugianto pada tahun 1966 para umat
Buddha di kota Blitar, melakukan Puja Bhakti biasanya di
rumah sendiri secara perseorangan, dan terkadang berpindah
tempat dengan cara bergantian dari satu rumah ke rumah
yang lain, setiap hari Kamis malam. Dengan kondisi
berpindah-pindah tempat untuk melakukan Puja Bhakti, maka
tergerak hati seorang tokoh agama Buddha Theravada
bernama Suroto (kini sudah Alm). Dengan ketulusan dan
kedermawanannya berkenan menyediakan sebagian halaman
depan rumahnya, yang berukuran 5 x 8 meter, seolah sebagai
tempat ibadat bagi para umat Buddha untuk berkumpul
membaca Paritta dan membahas Dhamma ajaran Sang
Buddha.
Di tahun 1970-an berdatangan para Bhikkhu masuk Kota
Blitar, dan ketika itu yang membina adalah Bhante
Khemmasarano (alm) dan Banthe Girirakhito (pendiri
Walubi). Di tahun 1972 para umat Buddha, para tokoh umat
dan juga para dermawan, dengan semangat memberikan
bantuan berupa tenaga dan materi, untuk bisa mendirikan
Cetiya, yang semula berupa rumah biasa milik Pak Suroto.
Dan dengan kedatangan Bhikkhu Uttamo di tahun 1980-an
untuk pertama kalinya di Kota Blitar yang melakukan
pembabaran dan ternyata membawa bibit Theravada, dengan
awalnya sering memberikan khutbah di Klenteng dan Cetiya.
Terkait
dengan
peraturan
pemerintah,
maka
Departemen Agama (ketika itu) melayani proses pendaftaran
hanya pada tingkat vihara saja, sementara yang ada hanya
berupa Cetiya. Oleh karena itu, bangunan berupa rumah biasa
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
51
yang di gunakan sebagai Cetiya harus naik jenjang
tingkatannya menjadi vihara. Kemudian oleh Suroto, Cetiya
dihibahkan kepada Yayasan Sangha Theravada Indonesia, dan
dibangun menjadi vihara dengan nama Vihara Metta Kirana,
yang bermakna sebagai Sinar Cinta Kasih. Pendaftaran ke
Departemen Agama tersebut terjadi dalam tahun 1987.
Pada tahun 1990, Cetiya yang sudah menjadi vihara dan
diberi nama Vihara Metta Kirana, kemudian berganti nama
menjadi Samaggi Jaya yang artinya “Persatuan Membuahkan
Kemenangan”. Luas tanah Vihara Samaggi Jaya 3.075 M²,
dengan jumlah umat mencapai 81 KK/ 165 jiwa. Sementara itu
nama Metta Kirana sampai sekarang masih dipakai untuk
nama Sekolah Minggu. (Wawancara dengan Pandita Sugianto,
15 April 2015).
Bambang Pratignyo Bhikkhu Uttamo, yang baru saja
kembali belajar dari Thayland, oleh
Yayasan Sangha
Theravada ditunjuk untuk menjadi ketua Vihara Samaggi
Jaya, sekaligus juga ketua Yayasan Dhammadipa Arama
cabang Blitar. Terjadinya jabatan rangkap ini karena jumlah
Bhikkhu Sangha Theravada, masih kurang.
Untuk memenuhi kebutuhan umat Buddha dalam
pembinaan agama, di Vihara Samaggi Jaya terdapat 8 orang
Pembina/Rohaniwan/Pandita dan 4 orang guru, untuk
Sekolah Minggu. Di Vihara Samaggi Jaya hanya terdapat 2
orang Bhikkhu yaitu Bhikkhu Mulia Uttamo Mahathera dan
Bhikkhu Sukhito Thera. Adapun lembaga/yayasan yang
mengelola vihara ini adalah lembaga Dhammadipa Arama.
Yang menjadi kepala Vihara Samaggi Jaya dan Vihara Bodhi
Giri/Panti Semedi, dirangkap oleh Banthe Bhikkhu Uttamo.
(Banthe adalah sapaan untuk para Bhikkhu).
52
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Sapaan sebagai Banthe pernah dialami pula oleh
Sugianto Gandhika (PM.d) selama 10 tahun ( selama 6 tahun
menjadi bhikkhu dan selama 4 tahun sebelum menjadi
bhikkhu harus menempuh pendidikan
di Sammanera).
Sugianto asli kabupaten Blitar terlahir dari keluarga beragama
Buddha. Dalam perjalanan hidupnya menjadi bhikkhu
berakhir dengan melepaskan status sebagai Bhikkhu tahun
2004, kemudian memutuskan untuk berumah tangga
(menikah tahun 2005), sekarang sudah memiliki 2 orang putra
(masih duduk di TK dan SD). Untuk sekarang ini, Sugianto
menjabat ketua di Magabudhi sejak tahun 2010 sampai
dengan sekarang (2015) dan wakilnya bernama Padma Sujata.
(Wawancara dengan Ketua Magabudhi, 16 April 2015).
Kegiatan keagamaan rutin di Vihara Samaggi Jaya,
dilaksanakan setiap hari kamis malam, dimulai pada Pkl.
19.00 - 21.00 WIB. Kegiatan rutin Puja Bhakti di Vihara
Samaggi Jaya dihadiri oleh 15 – 30 umat. Berdasarkan hasil
pengamatan, ini yang menarik, dimana umat yang datang ke
vihara, ada beberapa orang (laki dan perempuan tua) yang di
jemput dan kemudian di antar kembali ke rumahnya masingmasing oleh mobil milik yayasan. Mereka umumnya sudah
lansia, diantaranya ada yang sudah berumur 86 tahun, datang
tanpa di dampingi oleh keluarganya, namun aktif untuk
bersama yang lain ke vihara untuk membaca Kitab Paritta
(kumpulan syair Buddha yang dilafalkan). Sebelum kegiatan
dimulai, maka salah seorang, memukul gong sebanyak tiga (3)
kali sebagai tanda untuk di mulai dan berakhirnya pembacaan
Parita. Namun sebelumnya didahului dengan meditasi
bersama selama kurang lebih antara 15-30 menit.
Lain halnya bila kegiatan hari besar keagamaan seperti
Waisak, Kathina, maka jumlah umat yang hadir, selain umat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
53
yang rutin, bisa mencapai antara 1000-1500 umat, karena
terkadang ada tamu datang dari luar kota. Di hari itu, yang
memberikan khutbah keagamaan atau dalam agama Buddha
disebut Dhammadesana adalah para Bhikkhu. Dalam
ceramah/khutbah di kota, para Bhikkhu menggunakan bahasa
Indonesia terutama pada hari-hari besar keagamaan, tetapi
bila Bhikkhu ke daerah-daerah dengan menggunakan bahasa
daerah/Jawa, karena umatnya sudah tua-tua dan di dominasi
etnis Jawa.
Vihara Samaggi Jaya di dominasi oleh etnis Jawa,
namun tampak imbang jumlahnya saat merayakan hari-hari
besar keagamaan, seperti hari Dharmasanti Waisak, Kathina,
dan Patidhana dan dalam peringatan hari raya lainnya. Hal ini
terjadi karena etnis Cina yang berusia produktif banyak
mencari pengalaman hidup baik untuk sekolah atau
bekerja/usaha di luar Kota Blitar dan kembali saat menjelang
Jompo. (wawancara dengan Pandita Vihara Samaggi Jaya, 15
April 2015).
Vihara Bodhi Giri/Panti Semedi Balerejo
Vihara Bodhi Giri desa Balerejo, Kecamatan Wlingi
Kabupaten Blitar, berada di puncak sebuah bukit dengan
hawa yang sejuk. Vihara ini selain digunakan untuk
pembinaan keagamaan bagi umat Buddha Theravada di
sekitarnya, juga sebagai tempat untuk bermeditasi. Aktifitas
meditasi bisa diikuti masyarakat umum, tanpa mengikuti
ritual keagamaan Buddha. Pelaksanaan meditasi merupakan
kegiatan rutin pada masa Vassa bagi para Bhikkhu. Kegiatan
Vasa ini merupakan latihan meditasi yang dilaksanakan setiap
tahun selama tiga (3) bulan, sejak bulan Juli sampai Oktober.
54
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Pada masa tiga bulan itu, para bhikkhu tinggal disatu tempat
untuk lebih giat bermeditasi. Vihara Bodhi Giri terletak di atas
bukit kecil yang sekarang sudah mencapai luas 60.000 m, yang
telah dibeli oleh Bhikkhu Uttamo. Kemudian tahun 1987 di
bangun vihara yang diperuntukkan bagi umat Buddha
Theravada. Sebagai pengurus/Ketua Vihara Bodhi Giri saat ini
Bhikkhu Uttamo Mahathera.
Menurut Om Ping, kegiatan peribadatan umat Buddha
hanya sedikit yang dilakukan di Vihara Bodhi Giri ini.
Kegiatan peribadatan yang rutin hanya dilaksanakan pada
hari Selasa malam dengan peserta yang biasanya hanya
berasal dari lingkungan vihara. Sedangkan untuk kegiatan
keagamaan umat Buddha, terutama untuk perayaan hari-hari
besar agama dan lain-lainnya, seluruh umat Buddha di Blitar
Raya lebih banyak melakukannya/pelaksanaannya dipusatkan
di Vihara Samaggi Jaya yang berada di jantung Kota Blitar
atau kira-kira lima ratus meter ke arah selatan dari makam
Bung Karno. Dan sesuai namanya pula, aktifitas di Vihara
Bodhigiri/Panti Semedi Balerejo ini, menurut Om Ping, adalah
merupakan tempat yang ideal untuk melatih meditasi.
Dimana latihan meditasi sendiri merupakan latihan untuk
mengendalikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang
merupakan perilaku utama dalam menghayati Ajaran Sang
Buddha.
Untuk menuju lokasi vihara yang berada di lereng
Gunung Butak, di tempuh selama ± 1,5 jam dari kantor
Kankemenag Kabupaten Blitar. Dari pengamatan, vihara
Bodhi Giri sangat luas dan terdiri dari beberapa bagian
bangunan. Bangunan tersebut antara lain untuk Puja Bhakti,
ruang makan, tempat bermalam dan bangunan untuk
mengevaluasi hasil meditasi, yang diperuntukkan bagi yang
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
55
telah mengikuti meditasi selama waktu yang telah disepakati
bersama sebelumnya. Sementara tempat untuk melakukan
meditasi dimana saja, tergantung keinginan yang
bersangkutan, bisa di dalam ruangan atau di luar ruangan,
bahkan di taman. Menurut Om Ping, tujuan meditasi adalah
untuk mengembangkan kesadaran dan menghilangkan emosi.
Dimana latihan meditasi sendiri merupakan latihan untuk
mengendalikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang
merupakan perilaku utama dalam menghayati Ajaran Sang
Buddha.
Meditasi dilakukan minimum selama 15 hari, dan di
lakukan dengan menggunakan timer. Gunanya timer untuk
menentukan batas waktu yang kita inginkan. Selama meditasi
harus konsentrasi, dan meditasi baru bisa dihentikan sesuai
dengan timer yang sudah di tentukan sendiri. Ketika
bermeditasi, tidak diperkenankan untuk makan, minum atau
menggerak-gerakkan anggota badan (misal karena gatal),
harus ditahan, tidak boleh di garuk-garuk. Bila itu yang
terjadi, maka meditasinya gagal, dan diakhir meditasi akan
mendapat penilaian dari Bhikkhu bahwa meditasinya kurang
sempurna dan tidak perlu dilanjutkan meditasi.
Setiap tahun banyak yang datang berkunjung ke vihara
Bodhi Giri untuk bermeditasi, yang dikenal dengan masa
Vasa, yaitu masa selama tiga bulan sejak bulan Juli sampai
bulan Oktober, dimana para Bhikkhu tinggal dan menetap di
vihara, untuk memahami, mendalami meditasi. Vihara Bodhi
Giri, selain tempat untuk ibadat dan pembinaan bagi umat
Buddha di sekitar vihara, juga digunakan oleh masyarakat
umum, tanpa memandang pada agama apapun dan
kepercayaan, bahkan datang dari luar negeri untuk
mendalami dan melatih diri dengan melalui bermeditasi.
56
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Kegiatan Puja Bakti rutin di Vihara Bodhi Giri dilakukan
setiap Selasa malam, yang diikuti oleh umat Buddha yang
berada disekitar vihara bisa mencapai ± 30 KK. Kegiatan rutin
selain di vihara, melakukan anjangsana (keliling) satu bulan
sekali dengan bergiliran. Dan rumah yang ketempatan cukup
menyiapkan tempat untuk ibadah saja. Tetapi biasanya yang
punya rumah menyiapkan makanan. Sedangkan untuk
kegiatan keagamaan terutama untuk perayaan hari-hari besar
agama, seluruh umat Buddha di Blitar Raya lebih banyak
melakukannya/pelaksanaannya dipusatkan di Vihara Samaggi
Jaya Kota Blitar. Selain itu kegiatan lain di Vihara Bodhi Giri
ada Sekolah Minggu untuk anak-anak usia TK sampai SD dan
jumlah muridnya sekitar 20 orang di bawah binaan guru-guru
agama Buddha. (Wawancara dengan Kuncen Vihara Bodhi
Giri, 16 April 2015).
Vihara Dhamma Tirta Mulia
Lokasi Vihara Dhamma Tirta Mulia berada di desa
Karang Rejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Saat ini
yang menjadi pengurus vihara adalah Edi Subandrio. Vihara
Dhamma Tirta Mulia, di bangun atas inisiatif seluruh umat
dengan diprakarsai beberapa tokoh yang salah satunya adalah
Kartoriman (ayah dari Edi Subandrio). Menurutnya, agama
Buddha di desa Karang Rejo sudah ada sejak tahun 1966.
Kronologis di bangunnya vihara, berawal dari beberapa
tokoh, termasuk Kartoriman yang ingin mempelajari lebih
dalam mengenai ajaran agama Buddha. Untuk mewujudkan
keinginannya belajar agama Buddha, kemudian mencari tahu
ke Kota Blitar dan bertemu dengan Pandita Suroto. Hasil dari
bertukar pikiran
dengan Pandita Suroto, kemudian
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
57
dibawanya pulang ke desa Karang Rejo. Setelah tahun 1965,
masyarakat di Karang Rejo dan sekitarnya, banyak yang
mengikuti pemahaman ajaran agama Buddha yang dianut
oleh beberapa tokoh, yang sebelumnya sebagai penganut
kejawen. Seiring berjalannya waktu, jumlah umat semakin
banyak, namun belum memiliki tempat untuk ibadah Puja
Bhakti secara bersama-sama.
Para tokoh agama Buddha Desa Karang Rejo waktu itu
berfikir keras untuk mewujudkan cita-citanya agar umat
Buddha di desanya memiliki tempat untuk melakukan Puja
Bhakti bersama di tempat ibadat. Kemudian Kartoriman,
menyediakan tempat untuk ibadat umat Buddha di rumahnya
yang terletak di RT 2/RW 1. Akhirnya untuk mewujudkan
cita-citanya itu, terlebih lagi sebagai salah seorang tokoh
agama Buddha, dan jiwa nasionalnya cukup tinggi, kemudian
Kartoriman menghibahkan sebahagian tanah dan rumahnya
(separuh) yang berada di RT 1/RW 3 pada tahun 1982 untuk di
jadikan vihara, kemudian langsung dibangun di tahun yang
sama dan selesai di tahun 1983, lalu diberi nama Vihara
Dhamma Tirta Mulia. Luas tanah yang 660 meter itu sebagian
untuk rumah ibadat, sertifikatnyapun sudah di bagi dua.
Perkembangan umat Buddha Theravada semakin pesat
hampir mencapai ± 300 KK di Desa Karang Rejo dan
sekitarnya. Sementara umat Buddha yang berada di Desa
Karang Rejo saat ini hanya 31 KK atau 106 jiwa (dikarenakan
ada yang pindah). Kegiatan pembinaan keagamaan di Vihara
Dhamma Tirta Mulia dilaksanakan setiap Rabu malam
disamping ada sekolah minggu Buddha Dharma Tirta.
Aktifitas keagamaan selain setiap Rabu malam yang
berjumlah sekitar 35-50 orang itu, diadakan pula setiap malam
minggu, kelilingi ke rumah-rumah umat, bergantian (sesuai
58
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
jadwal yang telah disepakati), dan terkadang di luar
permintaan umat yang berkepentingan. Jumlah tenaga
Pembina yang memberikan bimbingan keagamaan terdapat 1
orang Pandita dan 3 orang Upacarika. Namun bila saat hari
besar keagamaan, jumlah umat yang hadir bisa mencapai 100125 orang, sampai ke teras. (Wawancara dengan pengurus
Vihara, 15 April 2015).
Untuk menjaga kebersihan vihara dibuat jadwal untuk
kebersihan bulanan dan kebersihan 2 (dua) mingguan, yang
dikerjakan secara bergotong royong. Sementara untuk
kebersihan mingguan dikerjakan oleh umat yang ingin
membersihkan vihara sebelum dilaksanakannya Puja Bhakti.
Saat ini yang menjadi pengurus/ketua Vihara Dhamma
Tirta Mulia adalah putra Kartoriman yang bernama Edi
Subandriyo. Walaupun sebagai putra Kartoriman, namun
dalam pemilihan sebagai ketua/pengurus bukan karena
penerus sebagai pewaris tetapi secara pemilihan. Awalnya
diangkat sebagai pengurus vihara tahun 2010 sampai dengan
sekarang sudah yang ketiga kalinya. Dalam sistem pemilihan
bila habis masa kepengurusannya dilakukan pemilihan dalam
dua tahun sekali.
Perkembangan Umat Theravada di Kabupaten Blitar
Setelah
kedatangan
Banthe
Bhikkhu
Uttamo
perkembangan agama Buddha Theravada di Kota Blitar,
mengalami perkembangan pesat terutama di Kabupaten
Blitar. Umumnya umat Buddha disini masyarakat Jawa, dan
mereka
punya
semangat
untuk
mempertahankan
Dhammanya. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan umat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
59
Buddha dalam beribadah, dengan bergotong royong
membangun vihara sehingga jumlah rumah ibadat umat
Buddha Theravada di Kabupaten Blitar mencapai 21 vihara
dengan jumlah pemeluknya mencapai 4.366 jiwa. Sementara
umat Buddha Theravada di Kota Blitar hanya berkisar 100
jiwa dengan tersedia sebuah vihara.
Dalam perkembangan umat Buddha Theravada di
Kabupaten Blitar, menurut paparan beberapa Pandita bahwa
tidak ada penambahan dan pengurangan secara signifikan,
dalam agama Buddha tidak ada cara merekrut umat, karena
dalam penambahan dan pengurangan umat, yang ada
disebabkan secara alami yaitu karena kelahiran, kematian dan
pernikahan. Untuk pernikahan umat Buddha Theravada, ada
yang terambil keluar dan sebaliknya ada yang masuk menjadi
Buddhis.
Memang awalnya keyakinan masyarakat Jawa di
kabupaten Blitar, sebagai penganut Buddha Syiwa dan
kepercayaan kejawen. Tetapi di tahun 1966 setelah datangnya
Bhante Ashin ke Blitar, maka berpindah menjadi pemeluk
agama Buddha Theravada, karena Bhante Ashin sebagai
pembawa bibit Theravada, disamping bhikkhu-bhikkhu
lainnya yang membabarkan dhamma seperti Banthe Uttamo.
Ajaran dan Peribadataannya
Kitab Suci (Tipitaka) menggunakan bahasa Pali yang
isinya antara lain: Vinaya Pitaka, isinya tentang moral,
peraturan; Sutta Pitaka, berisi tentang khutbah dhamma yang
panjang dan pendek dari Sang Buddha dan Abidhamma
Pitaka, uraian-uraian ilmiah tentang dogmatika.
60
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Yang menjadi ajaran pokok dalam agama Buddha
Theravada, pada dasarnya adalah sama dengan agama
Buddha lainnya, yang didalamnya berisi tentang: Empat
kasunyatan hidup; 3 Kondisi Tilakhana; Konsep Ketuhanan
YME atau yang ada Nibbana; Hukum Karma; 10 Paramita dan
Hukum Sebab akibat yang saling berhubungan Paticca
Samuppada.
Ajaran etika dalam umat Buddha Theravada harus
menjalankan Pancasila (Pancasila Buddha), yaitu: a) Melatih
diri menghindari pembunuhan makhluk hidup; b) Melatih
diri Menghindari mengambil barang orang yang tidak
diberikan (mencuri); c) Melatih diri Menghindari perbuatan
asusila, seperti berzinah; d) Melatih diri Menghindari ucapan
bohong, memfitnah (bicara kasar dan sebagainya); e) Melatih
diri Menghindari dari mengkomsumsi barang-barang yang
memabukkan.
http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/aliran-hinayana.html.
Hari yang dianggap suci ada 4 dalam agama Buddha
Theravada yaitu:
a. Waisak Puja (Umat sembahyang ke vihara untuk
memperingati 3 peristiwa penting, yaitu: kelahiran calon
Buddha, mencapai kebuddhaan dan meninggalnya
Buddha.
b. Hari Asadha Puja yaitu pertama kalinya di babarkan ajaran
Buddha.
c. Kathina Dana, yaitu perayaaan persembahan dana berupa
4 kebutuhan pokok untuk para bhikkhu adalah: berupa
sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Dana diperoleh
dari umat yang mengumpulkannya untuk para bhikkhu.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
61
Dana yang terkumpul, kemudian di serahkan kepada
bendahara, dikelola untuk kebutuhan para bhikkhu.
d. Magha Puja, yaitu tempat berkumpulnya sejumlah 1250
orang bhikkhu, yang kehadirannya tanpa di undang
datang ke vihara Veluvana di India.
Berbicara mengenai Theravada yang bermakna ajaran
sesepuh, maksudnya memegang teguh ajaran Buddha.
Artinya di Theravada lebih kepada doktrin, karena itu
berbeda dengan yang lainnya, lebih menerima kepada tradisi
setempat, seperti Mahayana. Para penganut agama Buddha
Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana) dengan
menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga
disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa
pencapaian Arahat adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah
itu tidak ada kelahiran lagi.
Tata Cara Ibadah Umat Theravada
Agama Buddha mengajarkan tata cara peribadatan,
yang biasanya disebut sebagai Puja. Puja adalah upacara
pemujaan atau penghormatan kepada sesuatu atau benda
yang dianggap suci maupun keramat. Dalam agama Buddha
ditulis Pūjā yang artinya menghormat. Kata Pūjā dapat
ditemukan dalam “Mangala Sutta”: “Pūjā ca pūjanīyānam
etammangalamuttamam” yang artinya : menghormat kepada
yang layak dihormati merupakan berkah utama. Istilah 'puja'
berarti menghormat atau memuja, dan mengacu pada upacara
sebagai sarana untuk menguatkan dan menuangkan
keyakinan serta mengingatkan kita sehari-hari akan janji kita
pada Triratnh - Tiga Permata; Buddha, Dhamma serta Sangha.
Puja sebagai penghormatan memungkinkan untuk dilakukan
62
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dengan berbagai cara dapat berupa persembahan dengan
materi seperti dengan persembahan makanan, buah, dupa,
bunga, dll, maupun perilaku seperti sopan santun, ramah
tamah, rendah hati; secara fisik, seperti bersikap anjali,
namaskara, maupun mental seperti praktik cinta kasih, kasih
sayang serta memiliki pandangan benar. Penghormatan yang
diperkenankan oleh Buddha adalah penghormatan yang wajar
serta didasari oleh pengertian yang benar, dan ditujukan
kepada “sesuatu” yang memang layak untuk dihormati.
Dalam melaksanakan puja yang disertai dengan sikap
fisik dengan melakukan Anjali, kemudian sujud. Anjali Yaitu
merangkapkan kedua belah tangan di depan dada,
membentuk kuncup bunga teratai, baik dalam posisi berdiri,
berjalan, maupun duduk bersimpuh/bersila. Kemudian
dengan melakukan Namaskara, Yaitu bersujud tiga kali
dengan lima titik (lutut, ujung jari-jari kaki, dahi, siku, telapak
tangan) menyentuh lantai, dengan disertai sikap anjali dan
membaca
parita
Namaskara-Gatha. Dan
padakhina
(pradaksina). Dengan tangan beranjali mengelilingi objek
pemujaan dengan searah jarum jam (dari kiri ke kanan)
sebanyak tiga kali. dan pikiran terpusat pada TRIRATNA.
Di dalam Theravada tidak ada upacara-upacara
keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yang menganut
aliran ini, masih mempertahankan kesederhanaannya seperti
dulu di waktu sang guru sendiri masih hidup pada 25 abad
silam. Penganut-penganutnya menitik beratkan meditasi
untuk mencapai penerangan sempurna sebagai jalan yang
terpendek dalam menyelami dhamma dan mencapai
pembebasan (nibbana).
Menurut Sugianto “Pada Theravada, saat melakukan
sembahyang atau Puja Bhakti menghadap ke patung Buddha
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
63
Gautama, sebagai wujud rasa bhakti dan hormat kepada figur
Buddha Gautama karena beliau sebagai orang biasa yang
mencapai kesempurnaan dengan usahanya sendiri.”
Berdasarkan pengamatan, saat akan melaksanakan Puja Bakti
di vihara, masing-masing menghadap sang Guru Buddha
Gautama sambil merapatkan kedua telapak tangan (anjali),
barulah mengambil posisi sujud sebanyak 3 kali. Setiap kali
sujud, diiringi dengan duduk sambil memberi penghormatan
pada sang guru. Setelah umat siap untuk bersama membaca
melakukan Puja Bhakti dengan membaca Kitab Paritta
(menggunakan bahasa Pali), yang dipimpin oleh 2 orang, satu
membaca isi Kitab Paritta berbahasa Pali dan yang lain
membaca terjemahanya yang menggunakan bahasa Indonesia.
Setelah selesai membaca Paritta, diisi dengan ceramah atau
Dhammadesana yang di sampaikan oleh Pandita. Akan tetapi
apabila Pandita berhalangan hadir, maka memberitahukan
melalui surat agar di gantikan posisinya. Selesai ceramah
ditutup dengan meditasi selama kurang lebih setengah jam.
Dalam bermeditasi masing-masing mengerjakannya dengan
konsentarsi penuh tiada gerak dan kata, tidak melakukan
sesuatu yang membuat suasana tidak konsentrasi. Selesai
membaca Paritta, maka di tutup dengan sejenak bermeditasi.
Ayat yang dibaca saat Puja Bhakti antara lain:
sabbapāpassa akaranam̒
usalassūpasampadā
sacittapariyodapanam̒
etam̒buddhāna sāsanam̒
Artinya: Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa
mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah
Ajaran Para Buddha.
(Kitab Suci Dhammapada, Buddha Vagga buddha, ayat 5: 9899).
64
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Magabudhi dan Kegiatannya
Majelis-majelis Theravada yang ada di Kota Blitar yakni:
MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia),
WANDANI (Wanita Theravada Indonesia) dan PATRIA
(Pemuda Theravada Indonesia). Sebelum ada PATRIA,
organisasi pemuda di Kota Blitar namanya RUPABHI
(Rumpun Pemuda Buddhis Blitar). Majelis Agama Buddha
Theravada Indonesia (Magabudhi), atau dulunya bernama
Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi),
adalah sebuah organisasi massa kaum Buddha mazhab
Theravada di Indonesia, yang didirikan pada tanggal 3
Oktober 1976 di Bandung. Pada Pasamuan Agung V tahun
1995, Mapanbudhi berganti nama menjadi Magabudhi.
MAGABUDHI beranggotakan para upasaka yang telah
menyatakan tekadnya untuk aktif berpartisipasi dalam segala
kegiatan yang menyangkut pembabaran Agama Buddha
Mazhab Theravada.Terdiri dari para Pandita dan Upacarika
(calon Pandita), adapun tugas dan kewajiban Pandita adalah
memberikan pelayanan kerohanian kepada umat Buddha
yang meliputi antara lain: a) Membabarkan Buddha Dhamma
di dalam maupun di luar tempat ibadah umat Buddha.
Melaksanakan upacara penyumpahan, pernikahan dan
upacara-upacara agama Buddha. Membina umat dalam
meningkatkan pengamalan ajaran agama Buddha sesuai
dengan Kitab Suci Tipitaka Pali. b) Memberikan penerangan
dan penjelasan yang memadai kepada masyarakat luas
tentang agama Buddha. c) Membantu Pemerintah setempat
dalam pembangunan nasional khususnya dalam bidang
mental spiritual. d) Membina kerukunan intern umat
beragama, antar umat beragama dan dengan Pemerintah.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
65
Dalam usianya yang ke-35 MAGABUDHI telah
memiliki lebih dari 2591 orang anggota aktif, diantaranya
yang berstatus Pandita sebanyak 46 orang, Pandita Madya
sebanyak 111 orang dan Pandita Muda sebanyak 521 orang,
selebihnya adalah para Upacarika sebanyak 1913 orang.
Sampai akhir April 2011 telah terbentuk Pengurus Daerah
MAGABUDHI di 21 Provinsi dan telah terbentuk Pengurus
Cabang MAGABUDHI di 114 Kota / Kabupaten di seluruh
Indonesia.
Surat Pengurus cabang MAGABUDHI Kota Blitar Jawa
Timur, Nomor: 003/MT.PC/BTR/XII/2013 tanggal 23 Desember
2013 perihal permohonan Perpanjangan Surat Keterangan
Terdaftar (SKT PC. MAGABUDHI Kota Blitar Nomor: 00-3572/0017/XII/2013 telah terdaftar sesuai dengan dokumen/
berkas setelah diteliti oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat Daerah Kota Blitar, dengan susunan
pengurus adalah:
- Penasehat
:
Banthe Uttamo Mahathera
Banthe Sukhito Thera
- Ketua
:
PMd. Sugianto Gandhika
- Wk. Ketua :
PMy. Drs. Padma Sujata
- Sekretaris
PMd. Drs.Budiono.
:
Seksi lainnya :
bendahara, kerohanian, pendidikan, bidang
kewanitaan dan kepemudaan.
Dalam hal keuangan ada yang mengelola dan ada
laporannya per setengah semester, dan uang yang terkumpul
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para bhikkhu yang
dijamin oleh umat misalnya untuk makan, dan kebutuhan
lainnya. Para Bhikkhu tidak memegang uang, karena
66
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kebutuhannya telah disiapkan oleh yayasan berdasarkan
sumbangan umat.
Relasi Sosial dengan Sesama Umat Buddha Masyarakat
Sekitar dan Pemerintah
Terkait dengan hubungan/relasi sosial sesama umat
beragama Buddha, terjalin hubungan yang baik saling
menjaga sinergitas hubungan keberagamaan, saling
mendukung dan berkunjung disaat ada perayaan hari besar
keagamaan yang kebetulan waktunya sedikit berbeda antara
Theravada dengan Maitreya. Kalau di Maitreya dengan
menggunakan hitungan kalender Cina, seperti hitungan
tanggal 1 dan 15 (purnama). Jadi ketika hari Waisak tidak
bersamaan waktunya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat Kabupaten
Blitar sebagaimana halnya bangsa Indonesia yang juga
menganut berbagai agama, dengan Islam sebagai agama
mayoritas, namun dalam kehidupan keagamaannya sangat
baik dan kondusif. Sewajarnya rentan terhadap konflik dan
perpecahan, namun atas kesadaran masing-masing pemeluk
agama, kehidupan masyarakatnya terlihat aman dan
tenteram. Meski hidup dengan keyakinan yang berbeda,
namun warga saling menghargai dan menghormati antar
pemeluk agama lain, hal ini dapat ditunjukkan dengan tempat
tinggal yang berdampingan.
Meskipun masyarakat Kabupaten Blitar hidup dalam
keragaman agama terutama dalam penelitian ini terfokus
pada keragaman umat Buddha dimana sekte Theravada yang
mayoritas, dengan Maitreya sebagai penganut yang berjumlah
tidak sebanyak dari umat Theravada, namun kedua sekte ini
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
67
bisa saling menghargai membangun kerukunan umat
beragama Buddha. Kondisi ini dikuatkan dengan pendapat
dari Kesbangpol mengatakan untuk wilayah Kabupaten Blitar
yang sudah terbentuk FKUB, bahkan sudah memiliki kantor
sekretariat sendiri dan telah diresmikan oleh Pemda setempat
pada tanggal 18 Januari 2015. Kegiatan FKUB rutin melakukan
pertemuan dan dilakukan dialog lintas agama terutama pada
generasi muda. (Wawancara dengan Kabid Integrasi Bangsa,
20 April 2015).
Bentuk kerukunan umat Buddha tidak hanya dalam
intern saja, tetapi kepada umat yang berbeda keyakinan di
wujudkan
pula dalam bentuk hubungan yang sifatnya
sosial yang di implementasikan pada hari-hari besar
keagamaan, senantiasa vihara memberikan kepeduliannya
dengan membagikan sembako pada masyarakat sekitar
vihara, tanpa memandang kepada status agama. Kepedulian
seperti ini berjalan setiap tahun saat hari besar keagamaan
umat Buddha. Demikian pula halnya terjalin hubungan dan
komunikasi yang cukup baik terutama dengan Kementerian
Agama, disamping dengan Kebangpol Linmas, Kesra dan
Diknas. Bantuan yang diterima oleh vihara, misalnya berupa
tunjangan untuk guru-guru Sekolah Minggu, berupa honor
untuk guru selama 4 bulan sejumlah Rp. 200.000 yang
diterimanya.
Bakti sosial lainnya yang dilaksanakan oleh umat
Buddha di Kabupaten Blitar sebelum tiba waktu hari Waisak,
umat bersama membersihkan lingkungan seperti kantor desa,
tempat pemakaman/nisan khusus umat Buddha, dengan
mengecat batu nisan dan batas-batas wilayah.
68
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Pandangan Theravada terhadap Sekte Lain
Meskipun ada perbedaan ajaran antara Theravada
dengan Maitreya, diantaranya pada Theravada: boleh makan
daging/hewan, tidak vegetarian, tetapi yang terpenting ketika
binatang/hewan itu disembelih tidak melihat secara langsung
dan tidak pula menyuruh untuk disembelih (tidak ada niat
untuk membunuh). Sementara Bhikkhu Theravada tidak
menjalani vegetarian, mereka makan dalam satu hari hanya
sekali saja yaitu sebelum jam 11 siang, setelah itu mereka tidak
makan lagi kecuali minum air putih. Sementara pada
Maitreya, justru sebaliknya tidak memakan daging/hewan,
vegetarian. Meskipun pada ajarannya sama-sama dari Buddha
Gautama, tetapi pada Theravada sepi dengan keramain
dekorasi, tidak ada musik, namun pada Maitreya saat
sembahyang diiringi dengan musik dan dinyanyikan.
Tetapi dalam hubungan sesama umat beragama, terjalin
komunikasi yang baik, meskipun berbeda sekte. Tidak pernah
ada konflik diantara sekte yang ada di Kabupaten Blitar,
karena sekte selain Theravada adalah Maitreya, selain itu
tidak ada.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
69
70
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
PENUTUP
Kesimpulan
Awalnya masyarakat Jawa di kabupaten Blitar,
menganut Buddha Syiwa dan kepercayaan kejawen. Dengan
datangnya Bhante Ashin ke Blitar, mereka berpindah menjadi
pemeluk agama Buddha sekte Theravada. Banthe Ashin
dengan beberapa orang bhikkhu lainnya yang turut serta
membabarkan Dhamma di desa-desa termasuk Banthe
Uttamo, turut serta aktif membabarkan Dhamma di Klenteng
dan Cetiya, karena saat itu belum memiliki vihara.
Perkembangan sekte Theravada semakin pesat dengan
bertambahnya umat, sehingga memerlukan vihara untuk
melakukan ibadah. Organisasi Magabudhi yang hadir di Blitar
sejak tahun 1995, semakin berkembang setelah kedatangan
Banthe Ashin sebagai pembawa bibit Theravada. Management
organisasi Magabudhi dalam kegiatannya masih menyatu
dengan kegiatan di vihara, karena pengurus di vihara
sekaligus juga sebagai pengurus organisasi.
Kitab suci umat Buddha Theravada yaitu Kitab Tipitaka
Pali, dengan menggunakan bahasa Pali. Sementara itu dalam
tata cara ibadah umat Buddha Theravada berbeda dalam
pelaksanaan Puja Bhakti dengan sekte lain, misalnya pada
Maitreya dengan diiringi musik dan dinyanyikan, sementara
puja bhakti pada Theravada, tidak diiringi musik. Dalam
intern agama Buddha, tidak pernah terjadi konflik, terlebih
Theravada mendominasi dari sekte lain.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
71
Kemudian terkait dengan dinamika atau konflik dalam
intern agama Buddha, di Kabupaten Blitar tidak pernah terjadi
konflik, baik intern maupun antar sekte dalam agama Buddha.
Demikian pula halnya dalam relasi sosial pada sekte
Theravada kepada pihak pemerintah dan masyarakat terjalin
hubungan yang baik. Pada Hari Suci Waisak, selain Puja
Bhakti di vihara, dilaksanakan pula bakti sosial dengan
membersihkan lingkungan, mengecat makam-makam Buddha
dan batasan wilayah serta membagikan sembako kepada
masyarakat sekitar vihara. Sementara itu tanggapan
masyarakat non Buddha, yang berada disekitar vihara,
menyambut dengan baik dan merasa senang dengan kegiatan
sosial tersebut.
Rekomendasi
Kepada Ditjen Bimas Buddha, diharapkan melakukan
pendataan jumlah umat, agar diperoleh keterangan jumlah
yang pasti. Kepada majelis-majelis agama Buddha, hubungan
yang sudah baik, antara Magabudhi, Maitreya atau majelis
yang lain, baik internal ataupun eksternal, dapat tetap
dilestarikan, terus ditingkatkan pembinaan dalam forumforum dialog melibatkan majelis agama Buddha lainnya, agar
tercipta kerukunan intern umat Buddha.
72
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asnawati , Laporan Penelitian “Agama Buddha Mahayana
Indonesia”, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan
Penelitian dan Pengembangn Agama, Depatemen
Agama RI, 1993/1994.
Asnawati, Laporan Penelitian “ Studi tentang Martrisia di
Kota Singkawang” Puslitbang Kehidupan Beragama,
Badan Penelitian dan Pengembangn Agama,
Depatemen Agama RI, 2005.
Yayasan Sangha Theravada Indonesia, “Paritta Suci”, Edisi II
Pembaruan, Anggota IKAPI Jakarta 2005.
Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Beragama, Organisasi
Majelis Pandita Buddha Maitreya (MAPANBUMI),
1993.
Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Beragama, Sekte Nichiren
Shoshu Indonesia (NSI), 1988.
Nuhrison M. Nuh, Respon terhadap Majelis Agama Buddha
Thantrayana Satya Buddha Indonesia (2012).
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi), PT.
Remaja Rosada Karya, Bandung, 2004.
Wawancara:
Wawancara dengan Penyuluh agama Buddha, Tatok Hadi
Susanto, 15 April 2015.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
73
Wawancara di Vihara Samaggi Jaya, Pandita Sugianto 15 April
2015.
Wawancara dengan pengurus Vihara, Edy Subandrio. 15 April
2015
Wawancara dengan Ibu Indavati, tanggal 18 April 2015, Jln.
Mawar Kota Blitar.
Wawancara dengan Kuncen Vihara Bodhi Giri (Wicaksono)
atau Om Ping Hong, 16 April 015
Wawancara dengan pengurus Wandani, Memey , 20 April
2015.
Wawancara dengan Kabid Integrasi
wawancara 20 April 2015
Bangsa,
Saroji,
Wawancara dengan Eko, masyarakat non Buddhis, tanggal 18
April 2015).
http://www.blitarkab.go.id/2012/06/272.html.
http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/aliranhinayana.html
74
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
3
MAJELIS ROHANIWAN TRIDHARMA
SELURUH INDONESIA (MARTRISIA)
KOMISARIAT DAERAH PROVINSI RIAU
Oleh:
Suhanah
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
75
76
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
GAMBARAN UMUM
Provinsi Riau terletak tepat di tengah-tengah pulau
Sumatera yang berbatasan dengan beberapa
Provinsi
tetangga seperti: Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Jambi dan Kepulauan Riau, sehingga secara umum penduduk
Provinsi Riau beserta budayanya menjadi tempat bertemu,
berasimilasi dan berakulturasi dengan berbagai budaya yang
dibawa oleh pendatang dari berbagai etnis baik di dalam
maupun di luar pulau Sumatera.
Penduduk provinsi Riau terdiri dari masyarakat yang
sangat heterogin dengan beragam etnis, suku, status sosial,
agama, budaya dan bahasa. Keadaan ini di dorong pula oleh
semakin maju dan berkembangnya perekonomian di Provinsi
Riau. Meskipun demikian budaya melayu sebagai budaya asli
penduduk Provinsi Riau masih tetap eksis dan dipertahankan,
misalnya melalui seni tari, seni suara, pantun, sastra, kuliner,
pakaian, upacara adat, upacara perkawinan, khitanan,
bangunan rumah adat dan tata krama kehidupan masyarakat.
Komitmen untuk mempertahankan dan melestarikan budaya
Melayu ini dinyatakan secara tegas dalam visi Riau yang
berbunyi “Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat
Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam lingkungan
masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan bathin. (Agus
Saputra, Kementerian Agama Kantor Wilayah Riau).
Masyarakat melayu sejak zaman dahulu hingga
sekarang ini merupakan masyarakat yang bersifat akomodatif,
bersahabat, wellcome terhadap kaum perantau yang datang
membawa budaya dan agama baru, baik dari dalam maupun
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
77
luar negeri. Misalnya pendatang dari India yang membawa
agama Hindu dan Buddha. Dari cina/Tiongkok dengan
membawa agama (Buddha, Tao dan Khonghucu). Yang dalam
organisasi di Indonesia disebut Tridharma, atau dikenal
dengan nama Sam Kauw.
Suku-suku yang terdapat di Provinsi Riau adalah 1)
Suku Melayu; 2) Suku Bugis dan Makassar; 3) Suku
Mandailing; 4) Suku Batak; 5) Suku Jawa; 6) Suku
Minangkabau; dan 7) Suku Cina.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010,
Provinsi Riau memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.543.031
orang, yang terdiri dari 2.854.989 laki-laki dan 2.688.042
perempuan.Dari data tersebut diketahui bahwa penyebaran
penduduk Provinsi Riau masih bertumpu di Kota Pekanbaru
yang merupakan ibukota Provinsi Riau, yakni 16,31 persen,
kemudian diikuti oleh kabupaten Kampar sebesar 12,38
persen dan Kabupaten Meranti yang merupakan Kabupaten
termuda di Provinsi Riau sebesar 3,18 persen. Penduduk yang
ada di Provinsi Riau bila dilihat berdasarkan agama adalah
sebagai berikut: a) Islam 5.235.931 orang (89, 86 %); b) Kristen
287.878 orang (4, 94 %); c) Katolik 100.343 orang (1, 72 %); d)
Hindu 21.267 (0,37 %); e) Buddha 175. 961orang (3,02%); f)
Khonghucu 5.095 orang. (Kementerian Agama Dalam Angka
Provinsi Riau, 2013 : 1).
Dengan melihat paparan di atas dapat dikatakan
bahwa sifat budaya masyarakat Melayu yang sangat terbuka,
suka damai dan toleran, sehingga keadaan di Riau cukup
aman dan banyak masyarakat Tionghoa serta Jawa yang
tinggal di Provinsi Riau.
78
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Asal Mula Tridharma/Sam Kauw di Indonesia
Menurut Ketua Martrisia (Ibu Mariya) mengatakan
bahwa berawal pada tahun 1908 Dewi Kiu Tian Hian De Ma,
Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue diundang
ke Singapore dengan Hio Hee dari Cina yang terletak di Ling
Ing King, Yu Mia Hian De Ma King, Te Wi Hokian Seng
(Provinsi Hokian), An KweeKwe (Kabupaten Angkwe),
Kecamatan Ling Bun Tin Desa Liau San Ceng-Desa Eh Poh
yang berdiri pada tahun 1480. Sehingga generasi dari Pek Kau
Ing menyembayangi Dewi Kiu Thian Hian De Ma yang ada di
Ling Ing King telah berumur 535 Tahun.
Kemudian Pek Kau Ing bermarga Ang Tuan Niu orang
tua dari Pek Tiam Po mertuanya Tan Kim Huat, Kakek dan
neneknya dari Alek/Sinmardi Taman dan Buyutnya Pek
Ana/Mariya membawa Hio Hee Dewi Kiu Tian Hian De,
Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue yang
dipuja dialtar utama rumah Pek Kau Ing di Kampung Jajahan
Belanda (sekarang namanya Desa Tanjung Belit, Kecamatan
Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis) pada tahun 1926.
Kiu Thian De Ma sebagai Ibu Tridharma (Ibu dari Tao,
pembimbing Sakyamuni dan Promotor Khonghucu) dari
Tiongkok. Asal mula berkembangnya Tridharma di Indonesia
dimulai pada tahun 1932 yang dipelopori oleh Bapak Kwee
Tek Hoay dan para tokoh lainnya: Bapak Kwee Tek Hoay
(lahir 31 Juli1886). Pada tahun 1932 Bapak Kwee Tek Hoay
menerbitkan Majalah Moestika Dharma yang memuat tentang
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
79
Ajaran Buddha, Tao dan Khonghucu. Selanjutnya disusul
dengan penerbitan majalah Sam Kauw Gwat Po khusus
mengungkapkan ajaran Sam Kauw.
B. Berdirinya Sam Kauw Hwee
1. Bapak Kwee Tek Hoay
Pada tahun 1934 Bapak Kwee Tek Hoay mendirikan
Sam Kauw Hwee.
2. Bapak Tan Koen Swie Kediri
Pada tanggal 21 Desember 1934 Tan Koen Swie
mendirikan Sam Kauw Hwee dan menerbitkan Majalah
soeara Sam Kauw Hwee.
3. Tahun 1935 berdiri Sam Kauw Hwee Menado dengan
Kapten Oey Pek sebagai pendirinya.
4. Tahun 1935 – 1952 Sam Kauw Hwee, Thian Li Hwee dan
Badan Kebatinan seperti : Cin Tik Hwee Muntilan dan
lain-lain bermunculan di Bumi Indonesia.
5. Tahun 1952 lahir/terbentuk gabungan Sam Kauw
Indonesia/gabungan Tridharma Indonesia,
GSKI
memperoleh badan hukum pada tanggal 22 Oktober 1952
No. 5/129/10 dari Kementerian Kehakiman RI.
Pemrakarsanya Mr. Ang Toen Dhiong dan Nyonya Tjoa
Hin Hoay/ Visakha Gunadharma.
6. Sekitar Tahun 1956 lahir di Watu Gong, Semarang
Persaudaraan Upasaka-upasaka Indonesia (PUUI) dan
menyusul Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudhi),
yang melahirkan kedua Badan ini adalah Bhikkhu Ashin
80
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Jinarakkhita bersama-sama tokoh-tokoh Sam Kauw dan
Tokoh Buddhis Non Sam Kauw yang mulai muncul.
7. Sekitar tahun 1966 lahir perhimpunan Tempat Ibadat
Tridahrma atas prakarsa Bapak Ong Kie Tjay disusul
dengan lahirnya:
-
Majelis Rohaniwan Tridharma se Indonesia dan
-
Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia yang berasal
dari seksi Penceramah Gabungan Tridharma
Indonesia.
Sam Kauw Hwee yang didirikan oleh Bapak Kwee Tek
Hoay pada tahun 1934 berganti nama menjadi Gabungan Sam
Kauw Indonesia yang kemudian berubah lagi menjadi
Gabungan Tridharma Indonesia. Gabungan Tridharma
Indonesia (GTI) resmi berdiri pada tanggal 20 Pebruari tahun
1952
pukul
12.00
WIB
dan
berbentuk
Badan
Hukum/Reshtspersoon/Legal Body berdasrkan penetapan
Menteri Kehakiman RI No. JA 5/31/13, tanggal 9 April 1953
dan termuat dalam tambahan Berita Negara RI No. 33 tanggal
24 April 1953 urutan No. 3
C. Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma (PTITD) dan
Majelis Rohaniwan Tridharma Se Indonesia (Martrisia)
1. Lahirnya
(PTITD)
Perhimpunan
Tempat
Ibadah
Tridharma
Sekitar tahun 1966 atas prakarsa Ong Kie Tjay lahirlah
Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma (PTITD), kemudian
disusul dengan lahirnya:
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
81
- Majelis Rohaniawan Tridharma se Indonesia (Surabaya) dan
- Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia (Jakarta) yang
berasal dari Seksi Penceramah Gabungan Tridharma
Indonesia.
Kedua Majelis ini kemudian bersatu dalam wadah :
Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia disingkat
MARTRISIA berpusat di Jawa Timur dibentuk pada tanggal
22 September 1979, yang dipimpin oleh Ong Kie Tjay di Jawa
Timur (Surabaya).
Ong Kie Tjay (1917 – 1985) sebagai tokoh San Jiao,
beliau gigih memperjuangkan keberadaan Kelenteng di masa
Orde Baru dengan mendirikan “ Perhimpunan Tempat Ibadah
Tridharma “ (PTITD) se Jawa Timur di Surabaya pada tanggal
15 Mei 1967. Organisasi ini kemudian diperluas menjadi
PTITD se Indonesia.
Penetapan nama” Tridharma” dan Kelenteng sebagai
Badan Keagamaan yang disebut sebagai “Tempat Ibadah
Tridharma “ disingkat TITD, yang diresmikan oleh Menteri
Agama RI pada tanggal 19 November 1979.
Atas perjuangan yang sangat gigih para tokoh
Tridharma yang dipimpin oleh Bapak Ong Kie Tjay pada
tanggal 28 Juni 1967, Pangdam VIII Brawidjaya di Surabaya
mengeluarkan SK: Kep-26/6/1967 yang isinya menetapkan
mengganti istilah Kelenteng menjadi Tempat Ibadah
Tridharma. Sehingga sejak saat itu semua Kelenteng yang
menjadi anggota dari Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma
telah berubah namanya menjadi Tempat Ibadah Tridharma
(TITD).
Pada tanggal 6 Desember 1967, Pemerintah
mengeluarkan Intruki Presiden Republik Indonesia No. 14
82
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Cina, dimana hal tersebut membatasi ruang gerak Adat
Istiadat Cina.
Pada tanggal 19 November 1979, Menteri Agama
mengeluarkan Surat Keputusan No. H/31/Sk/1979 yang isinya:
1. Menetapkan Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma se
Indonesia, sebagai Badan Keagamaan.
2. Semua Badan yang menjadi anggota Perhimpunan Tempat
Ibadah Tridharma adalah termasuk sebagai Badan
Keagamaan menurut poin pertama.
Ong KieTjay juga menerbitkan bulletin untuk Tridharma
yang bernama Tjahaya. Dokumentasi perjuangan Ong Kie
Tjay untuk Tridharma adalah:
1. Keputusan Menteri Agama No.H/31/SK/1979 tanggal 19
November 1979 tentang penyempurnaan keputusan
Menteri Agama No. H/ 29/SK/1979.
2. Intruksi Presiden R.I No 14 Tahun 1967 tanggal 6
Desember 1967 tentang Agama, Keprcayaan dan Adat
istiada Cina
3. Keputusan bersama Mentri Agama, Mentri Dalam Negri
dan Jaksa Agung No 67 Tahun 1980,No 224 Thaun 1980
dan No KEP-111/JA/10/1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaa
Intruksi Presiden No 14 Thaun 1967
4. Lampiran Keputusan Bersama Mentri Agama, Mentri
Dalam Negri & Jaksa Agung Tentang Pokok-Pokok
Pikiran Petunjuk Pelaksanaan Intruksi Presiden No 14 Th
1967
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
83
5. Intruksi Mentri Dalam Negri No 455.2-360 tanggal 21 April
1988 tentang Penataan Klenteng
6. Surat Kejaksaan Agung R.I No B.098/D.1/1/1980 Perihal
pelaksanaan Inpres No 14/1967 Khususnya tentang kertaskertas untuk keperluan sembahyang dalam bahasa dan
aksara Cina
7. Surat P.T.I.TD No 029/VI/PTITD/88 tertanggal 23 Juni 1988
perihal intruksi Mendagri No.455.2-360
8. Penjelasan singkat tentang Tempat Ibadah Tridharma
tertanggal 1 April 1984
9. Surat Departemen Agama Dirjen Bimas Hindu dan
BudddhaNo H./BA/04/677/1988 tertanggal 30 juni 1988
Perihal tentang Penataan Klenteng
10. Pelopor dan Donatur terbesar pembangunan Proyek
Gunung Sinar Buddha yaitu kantor Sam Kauw di Lawang
Surabaya. (Photo)
11. Pelopor pembangunan TITD Hong Tek Kian, P. IN .
KIONG di Jalan Kampung Duku Surabaya
Tahun 1988 Ong Kie Tjay wafat dan diganti oleh
putranya bernama Ongko Prawiro dari tahun 1988 – sekarang.
2. Sejarah Perkembangan Martrisia di Provinsi Riau
Masuknya Tridharma di Provinsi Riau merupakan
perjuangan Pek Kau Ing an Pek Thiam Po dan pasangan
Sinmardi Taman (Pek Sing Tjong) dan Rosna (Ong Kiau Ling)
yang dimulai pada tahun 1918. Berawal Pek Kau Ing dan Pek
Thiam Po yang dilahirkan disuatu daerah di Cina daratan
tepatnya di Provinsi Hokkian Kabupaten An Kwee desa Eh
84
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Poh menuju daerah Koloni Inggris Singapura pada tahun
1908. Walupun sebagai pendatang, mereka tetap menjalankan
adat istiadat, tata cara serta kepercayaan yang tidak bisa
ditinggalkannya
adalah ajaran Tao Tridharma yang
memuliakan leluhur Agama Buddha Tridharma. (Nawasura
Sakti, Buletin Tridharma, Edisi 3 Maret 2014:33).
Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa masuknya
Tridharma berangkat dari provinsi Hokkian Kabupaten An
Kwee desa Eh Poh menuju daerah Koloni Inggris Singapura
pada Tahun 1908. Tentunya sebagai pendatang, mereka tidak
akan bisa meninggalkan adat istiadat, tata cara serta
kepercayaan yang mereka anut, salah satu kepercayaan
mereka adalah ajaran Tao yang memuliakan leluhur (Agama
Buddha Sekte Tridharma).
Pada tahun 1908 Dewi Kiu Tian Hian De atau Hian De
Ma, Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue
diundang ke Singapura dengan Hio Hee dari Cina yang
terletak di Ling Ing King, Yu Mia Hian De Ma King, Te Wi
Hokian Seng(Provinsi Hokian), An Kwee Kwe (Kabupaten
Angkwe), Kecamatan Ling Bun Tin Desa Liau San Ceng- Desa
Eh Poh yang berdiri pada tahun 1480. Sehingga Generasi dari
Pek Kau Ing menyembahyangi Dewi Kiu Thian Hian De Ma
yang ada di Ling Ing King telah berumur 535 Tahun (± 5
abad). Sudah menyembahyangi Kiu Thian Hian De Ma selama
4 (empat ) generasi.
Selain itu menurutnya pula bahwa Ajaran Tao kuno
adalah Agama Buddha Tridharma/SAM KAUW
yang
memuliakan Leluhur/Kiu Thian Hian De Thian Ciau (ajaran
langit).
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
85
Dewi Kiu Thian Hian De Cin Sian atau Dewi Hian De
Ma (Ni Wa) adalah promotor Khonghucu, ibu dari Tao,
pembimbing Sakyamuni yang dianggap sebagai leluhur orang
Tionghoa yang membuat manusia dari tanah kuning.
Pek Kau Ing membawa istrinya Ang Tuan Niu pindah
dari Singapura menuju daerah koloni Belanda sekarang di
Tanjung Belit Desa Lubuk Muda Kecamatan Bukit Batu
Kabupaten Bengkalis tahun 1926” Hio Hee” Dewi Hian De
Ma, Dewa Sam Ong Huu dan Dewa Thian To Guan Sue
sekaligus dibawa.
Selama 25 tahun Pek Kau Ing ingin mempunyai
sebuah kelenteng. Dengan dikoordinir oleh Pek Kau Ing
dibangunlah sebuah kelenteng sederhana pada tahun 1951
dari papan dengan ukuran 4 X 5 meter dengan pembagian
tugas bersama, Pek Tiam Siu (alm) (Orang Tua Pek Te Ci) ,
Pek Tiam Po (alm) (Orang Tua Pek Sing Tjong), Pek Bun Kui
(alm) (Orang Tua Pek Cun Kian), Pek Ong Hee (alm) (Orang
Tua Pek Kim Ling).
Pemugaran kelenteng Ding Yong King pertama
dilakukan pada tahun 1975 oleh Pek Tiam Po, yang
dikoordinir oleh Tan Kim Huat istrinya dan Pek Kim Ling,
Pek Tekci, Oung Kiau Ling /Rosna, Tok Yu Hok. Pemugaran
kelenteng Ding Yong King yang kedua dilakukan pada tahun
1992 oleh Alek/Pek Sing Tjong, Rosna, Sueng, Husin Adi, Lai
Hi serta umat lain yang ikut beribadah di Kelenteng Ding
Yong King juga ikut berpartisipasi dalam pembangunan
tersebut.
Pada tahun 1982, Bapak alek dan Ibu Rosna
membangun sebuah tempat ibadah Tridharma atau Klenteng
di klilometer 18 Rumbai Pekan Baru dengan nama Cetiya
86
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Dewa Loka Kiu Sian Tian dengan Dewi Utamanya Dewi Kiu
Tian Hian De Cin Sian.( Ibu Mariya).
Dewi Kiu Tian Hian De Cin Sian atau Dewi Hian De
Ma adalah salah satu Dewi dari ajaran Tao Tridharma yang
dianggap sebagai leluhur pindah dari Singapora menuju
daerah koloni Belanda sekarang di Tanjung Belit Desa Lubuk
Muda Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis tahun
1926” Hio Hee” Dewi Hian De Ma, Dewa Sam Ong Huu dan
Dewa Thian To Guan Sue sekaligus dibawa. (Nawasura Sakti,
Buletin Tridharma, Edisi 3 Maret 2014:33).
Pada tahun 1951 sebuah Klenteng di bangun dan
direhab oleh Pek Kau Ing dan Pek Thiam Po dengan pasangan
Sinmardi Taman (Pek Sing Tjong) dan Rosna (Ong Kiau Ling)
yang pada awalnya hanya berukuran 4x5 meter dan kini
sudah diperluas dengan ukuran 13,5 meter x 16,5 meter.
Klenteng tersebut diberi nama dengan Ding Yong King di
Tanjung Belit Desa Lubuk Muda Kecamatan Bukit Batu
Kabupaten Bengkalis dan menjadi Klenteng pertama umat
Tridharma di Sumatera. (Nawasura Sakti, Buletin Tridharma,
Edisi 3 Maret 2014:33).
Pada tahun 1982, Bapak Sinmardi Taman dan Ibu
Rosna membangun sebuah tempat ibadat Tridharma atau
Klenteng di klilometer 18 Rumbai Pekan Baru dengan nama
Cetiya Dewa Loka Kiu Sian Tian dengan Dewi Utamanya
Dewi Kiu Tian Hian De Cin Sian. (Nawasura Sakti, Buletin
Tridharma, Edisi 3 Maret 2014:33).
Mengingat perkembangan umat Buddha sangat besar
di daerah Tingkat I Provinsi Riau, dan permasalahan
pembinaan umat semakin komplit, maka pada tahun 1994
dibangun Vihara Tridharma Dewi Sakti dengan Dewi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
87
Utamanya Dewi Kiu Tian Hian De, di Jl. Riau Ujung/ Karya
Indah No. 1 Pekanbaru.
Untuk menanggapi perkembangan tersebut maka
diadakanlah rapat pembentukan Dewan Perwakilan Daerah
Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia)
dan Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma se Provinsi Riau
yang nantinya dapat menampung semua aspirasi umat
Martrisia dan Tempat Ibadah Tridharma di Daerah Riau.
Melihat hal tersebut maka pada tanggal 11 Agustus
1998 bertempat di Hotel Furaya Pekanbaru diadakan rapat
pembentukan DPD Martrisia dan pembentukan PTITD tingkat
I dengan mengundang pengurus tempat ibadat yang ada di
Pekanbaru dan wakil-wakil dari daerah tingkat II Kabupaten
se-Provinsi Riau yang berada di bawah naungan Departemen
Agama dengan berjumlah 57 orang anggota yang dipimpin
oleh Pek Sing Tjong/Sinmardi Taman didampingi oleh Oung
Kiau Ling/Rosna dan Mariya. (Buletin Tridharma Edisi I Maret
2014 : 3).
Secara Musyawarah dengan keputusan akhir dari
para peserta yang hadir terbentuklah Dewan Pengurus
MARTRISIA dan PTITD Tingkat I Riau diputuskan sebagai
ketuanya adalah Pek Sing Tjong/Sinmardi. Pada tanggal 27
Agustus 1998 dikeluarkan SK resmi dari Majelis Rohaniawan
Tridharma Seluruh Indonesia Komda Riau dengan Nomor:
01/SK/M.RTD/VIII/1988 dan SK Resmi Perhimpunan Tempat
Ibadat Tridharma Komda Riau dengan: 01/SK/P.TITD/VIII/1988.
Penyerahan surat keputusan tersebut langsung diberikan oleh
Ongko Prawiro selaku ketua MARTRISIA dan PTITD yang
berpusat di Surabaya. Sinmardi juga sebagai ketua pertama
Majelis
Rohaniwan
Tridharma
Seluruh
Indonesia
(MARTRISIA) dan Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma
88
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
(PTITD) Komisariat Daerah Provinsi Riau dengan masa bakti
1998 – 2003. (Buletin Tridharma Edisi I Maret 2014 : 4).
Susunan Pengurus tahun 1998 – 2003 adalah:
Dewan Pengurus
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
Seksi Pembangunan dan
pemeliharaan
Seksi Pendidikan dan
Pembinaan
Seksi Kerohanian
Seksi Sosial Budaya
Seksi Pemuda dan Olah raga
Anggota
: Matrias, Tirto Hubaya Wiguno
: Sinmardi Taman
: Asin, L. Hadi Hastomo
: Mariya
: Salim
: Husin Adi
: Sarjoko
: Samin (Alm), Nuryati
: Triyani
: Agung (Alm), Satimin
: Merina, Mariono
: Djohan, Mariyana
: Surio Manteri, Rudyanto,
Efendy, L, Rusli Wijaya dan
Hasnan.
Pembangunan Rumah ibadat Vihara Tridharma Dewi
Sakti pada awalnya Klenteng Loka Kiu Sian Tian, yang hanya
diperuntukkan bagi kepentingan keluarga
dan pekerja
pabrik, namun melihat antusiasme masyarakat terhadap
tempat persembahyangan di Klenteng Dewa Loka Kiu Sian
Tian yang semakin hari semakin ramai, maka bapak Sinmardi
Taman/Pek Sing Tjong timbul pemikiran untuk membangun
Klenteng yang lebih besar dan permanen dan dapat menjadi
monumen bagi anak cucunya. Ide bapak Sinmardi untuk
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
89
membangun rumah ibadat bagi umat Tridharma yang sangat
representative disampaikannya kepada istrinya yang bernama
ibu Rosna/Oung Kiau Ling dan anak perempuannya yang
bernama Mariya/Pek Ana. Ide tersebut disambut baik, maka
tepat pada tanggal 25 Agustus 1994, dibuatlah Yayasan Dewi
Sakti dengan akte Notaris Singgih Susilo,SH pembangunan
Rumah Ibadat Vihara Tridharma Dewi Sakti. Yayasan tersebut
pada awalnya diketuai oleh Sinmardi, dan sekretarisnya
adalah anaknya sendiri yang bernama Mariya. (Sejarah
Tridharma, 2013 : 13).
Pengurusan izin pendirian rumah ibadat dimulai dari
RT/RW, Desa, Camat dan seterusnya, dengan luas tanah 1.378
M2 diperuntukkan membangun Vihara yang terletak di Jalan
Riau Karya Indah, Kelurahan Tampan, kecamatan Tampan,
Kota Madya Pekanbaru IMB dari Pemerintah Kota telah
diperoleh dengan No. 302/IMB/DTK/1996 tertanggal 01
Oktober 1996 dan Sm 217887. (Sejarah Tridharma, 2013 : 14).
Dengan telah selesainya surat izin dan telah
mendapatkan akte notaris, maka peletakaan batu pertamanya
dilakukan pada tanggal 13 Maret1998, dari peletakan batu
pertama hingga hari peresmian hampir memakan waktu 2
tahun dan kemudian rumah ibadat Vihara Tridharma Dewi
Sakti ini diresmikan pada tang 17 Oktober 1999. (Sejarah
Tridharma, 2013 : 14).
3. Struktur Kepengurusan
Susunan pengurus Perhimpunan Tempat Ibadat
Tridharma se Indonesia Komisariat Daerah Riau, masa Bakti
2011 – 2016 adalah: Sebagai Penasehat: 1) Sinmardi Taman
(Pek Sing Tjong); 2) Supendi ; 3) Rosna, Ong Kiau Ling; 4)
90
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Husin Hadi, Pek Sing Bi; 5) Leo Hady Hastono, Li Guan Hai.
Sebagai Ketua: (Mariya); Sebagai Wakil Ketua Bid. Agama:
(Anton Khasdi- Apiau); Sebagai Wakil Ketua Bid. Organisasi:
(Sidik); Sebagai Wakil Ketua Bid. Wanita dan Pemuda:
(Jondy,Apeng); Sebagai Sekretaris: (Suwanto); Sebagai Wakil
Sekretaris: (Joni); Sebagai Bendahara: (Anita); Sebagai
Pelaksana Harian: (Susanto).
Oleh karena itu Tempat Ibadat Tridharma (TITD)/
Klenteng/Vihara/Cetiya baik anggota maupun calon anggota
Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma se Indonesia dan
Martisia Provinsi Riau di Kabupaten dan Kecamatan belum
terbentuk Komwil, maka diperlukan utusan agar komunikasi
bisa lebih lancar.Utusan yang ditunjuk adalah: 1)Bengkalis
(Yani Sakiman); 2) Perawang (Ing Hok); 3) Siak Mempurna
Muchtar; 4) Siak Kecil (Sueng); 5) Tanjung Balai
(
Suriomantri); 6) Dumai ( Rusli Wijaya); 7) Selat Panjang (
Akhiong). Nama Kelenteng bermula dari suara bunyi alat
tabuh upacara terdengar “teng, teng, teng” suara yang has itu,
maka nama tempat ibadat Agama Buddha Tridharma di
Indonesia bagi masyarakat Jawa disebut Kelenteng, yang
hingga saat ini nama Kelenteng menjadi sebutan untuk tempat
ibadat Agama Buddha Tridharma. (Sejarah Tridharma, 2013 :
3).
Pengurus PTITD se Indonesia dan Martrisia ini
merupakan 2 (dua) gabungan Provinsi yaitu Provinsi Riau
dan Kepulauan Riau, dikarenakan Komda PTITD se Indonesia
dan Martrisia Komisariat Daerah (Komda) Provinsi Riau
hingga Komda PTITD se Indonesia dan Martrisia Kepulauan
Riau terbentuk.
Jumlah umat Tridharma tidak bisa dipastikan karena
umat yang datang ke Vihara Tridharma Dewi Sakti itu, belum
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
91
tentu mereka itu umat Tao, umat Khonghucu atau umat
Buddha, yang jelas baik ia Buddha, Tao ataupun Khonghucu
dalam KTP semuanya ditulis Buddha. Namun dalam buku
sejarah Tridharma disebutkan bahwa selama kepemimpinan
dipegang oleh Ibu Mariya, jumlah anggota Tridharma yang
ada di Pekanbaru sebanyak 91 orang. (Sejarah Tridharma,
2013: 21).
Menurut Ibu Mariya sebagai ketua Martrisia
mengatakan bahwa Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh
Indonesia yang terdiri dari tiga ajaran agama yang yaitu
ajaran Tao, Khonghucu dan Buddha, ketiga ajaran ini saling
menyatu dan tidak bisa dipisahkan antara satu sama lainnya.
Ajaran Tridharma ini awalnya datang dari Tiongkok yang
dikenal dengan nama Sam Kauw. Apa yang diajarkan Tao,
Khonghucu dan Buddha, semuanya diterima oleh umat
Tridharma.
Ajaran Tao mengajarkan keseimbangan antara yang
positif dan negatif, antara dunia dan akhirat yang dibuktikan
dalam lambang agama Tao atau apa yang disebut Yin dan
Yang. Dalam ajaran agama Khonghucu dikenal dengan ajaran
moral atau etika yang berlandaskan pada dasar-dasar
keimanan yang diaktualisasikan dalam kehidupan praktis,
seperti: bijaksana dan cinta kasih.(Shadiq Kawu dkk, 2011 :
77). Ajaran Buddha Mahayana, dimana dalam Mahayana
mengenal banyak dewa-dewa. Mahayana mengenal faham
Trimurti Budhisme yaitu kepercayaan terhadap adanya tokohtokoh kedewaan dan dewa-dewa sakti. Tokoh dewa seperti:
Dyani Buddha dan Dyani Bodhisatwa. Dewa sakti seperti:
Dewi Tara Availoka. (Arifin, 1990 :112).
Bagi Umat Tridharma, pembinaan keagamaannya
dibawah naungan WALUBI. Pembinaan keagamaan terhadap
92
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
umatnya oleh para pendeta, seperti: Ibu Mariya , Bapak Alex
Sidiq, dan Bapak Tan. Tugas dari para pendetanya adalah:
memberikan pemberkatan perkawinan, melakukan sosialisasi
tentang Tridharma di masyarakat, dan memimpin do’a dalam
upacara kematian. Sarana maupun dana yang ada di ViharaVihara yang ada di Provinsi Riau adalah atas sumbangan dari
para penganut umat Tridharma itu sendiri dan juga dari
Ketua Tridharma yaitu Ibu Mariya.
Selain itu Ibu mariya selaku Ketua PTITD dan Martrisia
Komda Riau dan sekaligus Pengurus Bidang Pendidikan
PTITD dan Martrisia Seluruh Indonesia Pusat dan Surabaya
menyatakan bahwa ia sudah mendapatkan persetujuan secara
tertulis dari Profesor Doktor Hang Sheng Kui yang
merupakan seorang peneliti dari Qinghai Kunlun Tiongkok
dan telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO dan
sudah diakui di PBB untuk mentranslate buku-buku, kitab
serta Video yang diperoleh dari Kelenteng Zha Ma Long Fen
Guang Shan untuk disebarluaskan di Indonesia. Bahkan barubaru ini Profesor Doktor Hang Sheng Kui selaku Direktur
Pusat Penelitian Budaya Kunlun Tiong Hua Komite
Pembangunan Budaya PBB memberikan gelar master kepada
Ibu Mariya dalam hal penelitian dan menyebarluaskan
mitologi Kunlun yang menceritakan Yang Mulia Maha Dewi
Ratu Nawasuri Sakti Kiu Thian Hian De Ma. Kemudian Ibu
Mariya menawarkan kerjasama antara Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kehidupan Keagamaan dengan Pusat
Pertukaran Budaya Kunlun dan Pusat Penelitian Budaya
Kunlun Tionghoa Komite Pembangunan Budaya PBB di
Kunlun Qinghai Tiongkok. Bahkan Ibu Mariya memohon
kepada pemerintah supaya diberi Direktur atau Dirjen
Tridharma untuk membimbing dan mengayomi umat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
93
Tridahrma secara intens dan berkesinambungan, seperti
agama lainnya.
4.
Ajaran dan Tradisi Keagamaan Martrisia
C.1. Kitab Suci Umat Tridharma
Kitab suci bagi umat Tridharma meliputi: 1) Kitab
Sejati Kiu Thian Hian De , jilid 1s/d 5; 2)Kitab Sejati Kiu
Thian Hian De, Menyelamat Dunia, jilid 1 s/d 3; 3) Kitab
Sejati Dewi Nawasura Sakti. (Sejarah Tridharma, 2013 :
22). Selain itu kitab suci yang menjadi pegangan Martrisia
adalah Kitab Suci Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King. (
Buletin Tridharma Edisi ke 8 Agustus 2014: 11).
Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa Kitab suci
bagi umat Tridharma meliputi: 1) Kitab suci Dewi KIU
THIAN HIAN DE KIU SE CIN KING ( Kitab Suci Kiu
Thian Hian De Menyelamatkan Dunia); 2) KIU THIAN
HIAN DE THI SIM SIU GIAP CIN KING ( Kitab Suci Kiu
Thian Hian De Mengobati Hati dan Menghapus Dosa); 3)
Kitab Sejati Dewi Nawasura Sakti; 4) Kitab Suci Ibu Bumi
(te Bu); 5) Tripitaka; 6) Tong Su; 7) Se Su Wu Jing.
C.2. Hari yang dianggap suci Bagi Umat Tridharma
Menurut Ibu Mariya, hari yang dianggap suci bagi
umat Tridharma meliputi : 1) Tahun baru Imlek; 2) Ceng
Beng; 3) Cit Gwee; 4) Cap Go Meh; 5) Peh Cun; 6) Tong
Chiu; 7) Tang Ce; 8) Cet It Cap Go; 9) Co Ki Leluhur; 10)
Perayaan Ulang Tahun Dewa Dewi Tridharma.
(Memperingati hari lahir, wafat, dan menjadi Dewa-Dewi)
termasuk perayaan waisak; 11) Perayaan Ulang Tahun
94
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Vihara, TITD dan Klenteng; 12) Pembukaan Vihara, TITD
dan Klenteng; 13) Kelahiran; 14) Upacara perkawinan; 15)
Upacara Kematian/duka; 16) Peresmian Toko/Tempat
Usaha; 17) Hari Ulang Tahun Keselamatan.
Pendapat lain mengatakan bahwa hari yang dianggap
suci bagi umat Tridharma adalah 1) Waisak (setiap bulan
purnama di bulan waisak antara Mei/Juni); 2) Ashada
(Bulan purnama di bulan Ashada antara Juli/Agustus); 3)
Kathina (Hari persembahan umat Buddha kepada
Sangha/Bikhu); 4) Magapuja ( memperingati hari
terkumpulnya Arahat sebanyak 1250 ); Kesemuanya ini
dilakukan juga oleh seluruh umat Buddha pada
umumnya, terkecuali kalau di Tridharma mereka
melakukan hari-hari khusus yaitu hari ulang tahun DewaDewi seperti: Dewa gunung, Dewa Laut.
C.3. Ajaran pokok Tridharma
Ajaran pokok bagi umat Tridharma meliputi: 1)
Tao mengajarkan hidup selaras dengan alam; 2)
Khonghucu mengajarkan hidup harmonis dengan
masyarakat; 3) Buddha mengajarkan tidak boleh
melakukan kejahatan, tetapi berbuat kebajikan dan
mensucikan pikiran. (Wawancara dengan I. Ketut
Sukarsa).
Dalam buku yang ditulis oleh Arnis Rachmadhani,
disebutkan bahwa penganut agama Tao percaya pada tiga
hal yaitu: 1) percaya kepada roh-roh suci yang menjadi
pujaannya yaitu yang disebut Shen-ming; 2) percaya
kepada hakikat kehidupan, di mana dalam kehidupan
seseorang itu, dapat dikatakan sempurna bila ia
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
95
menyelaraskan diri dengan kodrat alam; 3) percaya
kepada hakikat kematian. Jadi orang yang percaya
kepada roh-roh pujaannya dan dapat menjalankan hidup
dalam keselarasan terhadap alam, maka orang tersebut
akan menemukan kematian yang sempurna.
Dalam agama Tao terdapat tiga dewa besar yaitu:
1) Thay Sng Lauw Cin (Dewa tertinggi Tao); 2) Dewa Er
Lang Sen; 3) Dewa Ciu Thian Sian Nie. ( PUTI, Sadar
Untuk Siu Tao, 2010 :11).
C.4. Tatacara peribadatan umat Tridharma
Tata cara peribadatan Umat Tridharma adalah: 1)
Umat Tridharma pada saat datang ke Vihara, mereka
langsung melakukan sembahyang (Puja bakti) kepada
Thian dengan menghadap ke Dewa Langit, Bumi dan
Leluhur; 2) Melakukan sembahyang kepada dewa utama
sesuai dewa yang ada di Vihara masing-masing, seperti di
Vihara Tridharma Dewi Sakti, Dewa utamanya adalah
Dewi Kiu Tian Hian De; 3) Melakukan sembahyang ke
Dewa Budha, bagi umat Budha Tridharma; 4) Melakukan
sembahyang ke Dewa Khonghucu bagi umat Khonghucu
Tridharma; 5)Melakukan sembahyang ke Dewa Tao, bagi
umat Tao yang ada dalam Tridharma; 6) Melakukan
sembahyang ke Dewa Harimau; 7) Melakukan
sembahyang ke Dewa penjaga keamanan. (Wawancara
dengan Tandi (pengurus Vihara Tridharma Dewi Sakti, 14
April 2015). Bahkan ada juga bagi umat Tridharma setelah
selesai melaksanakan sembahyang mereka selalu
melaksanakan Tiam Yu/mengisi lampu penerangan,
96
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
karena percaya akan mendatangkan penerangan bagi
mereka.
Begitu juga setelah selesai melakukan sembahyang
pada dewa-dewa yang ada, maka mereka menyumbang
untuk kebutuhan Vihara, sumbangan tersebut besar
kecilnya tidak ditentukan dan tidak ada kewajiban, hanya
atas kesadaran sendiri mau nyumbang berapa banyaknya.
Ajaran tentang Etika/Moralnya ada 4 kriteria yaitu:
1) LI, Sopan santun; 2)YI, Budi luhur; 3) LIAN, Integritas;
4) CHI, Tahu arti malu. ( Buletin Tridharma Edisi ke 8
Agustus 2014). Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa
ajaran tentang etika/moralnya sesuai ajaran Konghucu
ada empat Kriteria moral dan delapan kriteria disiplin diri
diantaranya yaitu: SI WELLI YI LIAN CHI yang terdiri
dari : 1) Li : Sopan santun; 2) YI : Budi Luhur; 3) LIAN :
Bersih dari korupsi; 4) CHI : Tau arti malu. Kriteria
Disiplin yaitu: 1) ZHONG : Setia; 2) XIAO : Berbakti
pada orang tua; 3) REN : Bermoral; 4) AI : Cinta kasih; 5)
XIN : Kepercayaan. (berdasarkan kitab Suci Kiu Thian
Hian De Kiu Se Cin King, hal. 81).
Tradisi Keagamaan umat Tridharma, yang menjadi
Sumber ajarannya adalah melakukan Puja Bhakti kepada
Thian/Langit, Te/Bumi dan Din/Leluhur yang merupakan
tradisi keagamaan/Sam Kauw (Buddha, Tao dan Kong Hu
Cu) yang berdasarkan kitab suci Dewi Kiu Thian Hian De;
Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King dan Kiu Thian Hian
De Thi Sim Siau Giap Cin King. Selain itu menurut Ibu
Mariya Dewi Kiu Thian Hian De Cin Sian atau Dewi Hian
De Ma (Ni Wa) adalah Promotor Khonghucu, Ibu dari
Tao, pembimbing Sakyamuni yang dianggap sebagai
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
97
leluhur orang Tionghua/orang kuning langsat/Asia yang
membuat manusia dari tanah kuning.
C.5. Rupang dan Ornamen
Rupang dan Ornamen yang ada di Vihara
Tridharma
Dewi
Sakti
adalah
melambangkan
perikehidupan manusia sebagai perwujudan terakhir
makhluk hidup, seperti: a) Rupang/Patung
(Dewa
Langit); b) Dewa Bumi; c) Dewa manusia (leluhur), yang
kesemuanya turun merintis dengan tugas-tugas tertentu
dan terbatas. Yang kesemuanya bukanlah banyak tetapi
Esa, karena merupakan bagian dari Tuhan (Thian).
Ornamen-ornamen flora dalam bentuk rangkaian
bunga-bungaan, buah-buahan antara lain: a) bunga
anggrek, seruni dan bamboo atau bunga lainnya. b) buah
apel, jeruk dan buah lainnya yang sesuai. Ornamen
Fauna, seperti: Naga, Harimau, Kura-kura dan Burung
Phonik. Ornamen-ornamen tersebut merupakan saranaprasarana perlambangan yang menggambarkan seluruh
isi langit dan bumi beserta hukum dan sifat-sifatnya.
Sedangkan menurut Ibu Mariya bahwa Rupang
dan Ornamen yang ada di Vihara Tridharma Dewi Sakti
sebagai berikut: 1) Patung dewa-dewi sebanyak 39
patung; 2) Daun pintu diukir Meng Sin; 3) Meja
sembahyang dipasang dengan To Wi; 4) Langit-langit
dipasang Ang Chaie; 5) Tiang diukir dengan Ling Hong;
6) Alat Sembahyang Ling Ki, Tua Kiam, Sian Chai, Lo ko,
Tua Ko, Ceng, Chi Kiu, Huat Shut, Hu dan lain-lain; 7)
Kio; 8) Niu Sua dan Se; 9) Kursi Besar Dewi.
98
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Altar Paling Depan
1. Ti Kong Cho
2. Dit Gek3. Ciok Sai
3. Pat Sian
4. Ngo Hong Kun Ciong
5. Meng Sin
6. Se Tai Tian Wang
Altar depan (utama) meliputi : 1) Kiu Tian Hian
De/Nawasura Sakti ( Tengah ); 2) Cik Sian De; 3) Cu Sin
Niu-Niu; 4) Kwan Im Po Sat; 5) Tian To Guan Sue; 6)
CeTian Tai Sing; 7) Cing Cui Cho Se; 8) Kong Ze Kong (
Khong Hu Chu ); 8) Yek Lau Cin Din; 9) Tua Pe Kong; 10)
Kwan Te Kong; 11) Lo Cia Kong; 12) Tai Sue Ya; 13) Ling
Ong Ciong Kun; 14) Ho Ya Kong.
Altar belakang meliputi : 1) Giok Ong Tai Te; 2) Ong Bu
Niu-Niu; 3) Ong Hui Niu-Niu; 4) Ng Te; 5) Yok Se Hut; 6)
De Lai Put Cho; 7) Omi To Hut; 8) Mi Lek Hut; 9) Ho Ki
Sian Te; 10) Sing Ong Tai Te; 11) Wang Sian Lo Co; 12) To
Tik Tian Chun; 13) Guan Chi Tian Chun; 14) Ling Po Tian
Chun; 15) Cang Fu Tian Se; 16) Ci Kong; 17) Cai Sen Ya.
C.6. Peralatan yang tersedia di Vihara Tridharma
Sarana (peralatan) tempat ibadat yang ada di Vihara
Tridharma Dewi Sakti adalah : a) Altar/meja
persembahyangan; b) Tempat lilin/lampu; c) Tempat
Dupa/Hio, Stanggi (Hio Lho); d) Tempat buah-buahan; e)
Tempat air; f) Tempat manisan; g) Tambur (bedug),
genta(bel,klenengan) dan berbagai peralatan bunyibunyian.
Fungsi-fungsinya
adalah:
1)
Meja
persembahyangan berfungsi untuk menempatkan patung
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
99
dan meletakkan sarana prasarana dan benda-benda
persembahyangan; 2) Lampu berfungsi untuk sumber
penerangan, melambangkan kehidupan, pembebasan dari
kegelapan menuju pada pencerahan dan penerangan
sempurna dari kematian menuju kebangkitan rohani dari
kepalsuan kepada kebenaran sejati dan masih banyak
sifat dan sikap pembaharuan diri; 3) Tempat dupa,
hio/setanggi berfungsi untuk meletakkan dupa, hio dan
setanggi; 4) Tempat air berfungsi untuk meletakkan air; 5)
Tempat buah-buahan berfungsi untuk meletakka buahbuahan; 6) Tempat manisan berfungsi untuk meletakkan
manisan;7) Tambur dan genda serta berbagai peralatan
bunyi-bunyian
berfungsi untuk mengiringi upacara
persembahyangan.(Buletin Tridharma, Nawasura, 2014 :
24).
C.7. Fungsi Tempat Ibadat Tridharma (TITD) yang ada
di Pekanbaru Riau.
Tempat Ibadat Tridharma Pekanbaru bernama
Vihara Tridharma Dewi Sakti. Tempat ibadat ini
berfungsi sebagai berikut: a) sebagai tempat untuk
melaksanakan persembahyangan, puja bhakti dan ritual
keagamaan bagi umat Buddha Tridharma untuk memuja
dan mengagungkan kebesaran Thian Tuhan Yang Maha
Esa, dan Yang Maha Mulia Maha Dewi Ratu Nawasura
Sakti Kiu Thian Hian De Maha Para Dewa Dewi/Sinbeng.
Guru Agung Boddhisatwa.; b) sebagai tempat untuk
meningkatkan ketakwaan dan keimanan umat Buddha
Tridharma terhadap Thian Tuhan Yang Maha Esa, dan
Yang Mulia Maha Dewi Ratu Nawa Sura Sakti Kiu Thian
100
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Hian De Ma kepada Para Dewa Dewi/Sinbeng, Guru
Agung dan Boddhisatwa. c) sebagai tempat untuk
melaksanakan kegiatan upacara keagamaan umat
Buddha Tridharma seperti: - Upacara pemberkatan
pernikahan; -Upacara memperingati ulang tahun,
kelahiran, atau pergabungan (yang dilaksanakan di
rumah duka); d) sebagai tempat untuk meyebarluaskan
ajaran agama Buddha Tridharma; e) sebagai tempat
untuk mengembangkan dan mendalami ajaran Agama
Buddha Tridharma. (Nawasura Sakti, April 2014 : 25).
Puja Bhakti
umat Buddha Tridharma dibagi
menjadi 2 yaitu: 1) Puja bhakti kepada Thian (Tuhan),
adalah puja bhakti yang dilakukan oleh umat Buddha
Tridharma yang dilaksanakan setiap hari pagi dan sore
untuk memuja dan mengagungkan Thian (Tuhan), Dewi
Kiu Thian Hian De dan para Dewa-Dewi, pelaksanaannya
bisa di rumah atau di tempat ibadat Tridharma; 2) Puja
bhakti kepada leluhur, dilaksanakan setiap hari pada
waktu pagi dan sore hari dan pada hari-hari tertentu.
Dengan tujuan mendoakan para leluhur semoga
hidupnya di alam berikutnya memperoleh kebahagiaan
dan sebagai wujud rasa bakti. Pelaksanaannya bisa di
rumah masing-masing atau di tempat ibadat Tridharma.
Sembahyangnya dilakukan dengan menggunakan lilin 2
batang, Hio 2 batang, yang ditancapkan di Hio Lo
Leluhur. (Pedoman Puja Bhakti Tridharma, 2013 : 3).
Dalam lingkup besar ada garis wewenang yang
menghubungkan secara vertical antara Thian (Tuhan)
dengan Raja. Seorang Raja (Kaisar) yang mengadakan
Puja Bhakti kepada Thian, itu sudah berarti mewakili
seluruh rakyat. Dalam lingkup kecil (keluarga), Puja
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
101
bhakti kepada Thian biasanya diwakili kepala keluarga.
Puja Bhakti kepada para Sin Beng/Dewi Kiu Thian Hian
De lebih banyak dipengaruhi oleh Theologi Tao
Tridharma. Dengan konsep mengenai Penguasa Langit
Giok Ong Tai Te (I Hwang Ta Ti). (Pedoman Puja Bhakti
Tridharma, 2013 : 3).
Lambang Tridharma
Majelis Agama Buddha
Tridharma Indonesia
Keterangan:
102
Majelis Rohaniwan
Tridharma Seluruh Indonesia
Perhimpunan Tempat Ibadat
Tridharma Se-Indonesia
Gambar Dai Chi adalah symbol dari
agama Tao. Dai Chi ini melambangkan
dualisme/dua sifat yang berlainan (sifat
positif dan negatif) timbul dari satu
sumber kebenaran adanya yang satu
menunjukan yang lain bergantungan bila
terpadu secara harmonis, terwujud
/tampaklah kebenaran yang hakiki/sejati
mengandung makna dinamis/dinamika
dan mujijat.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Gambar Tigan/Wang adalah symbol dari
agama Confucius. Tigan/Wang merupakan
grafik simbolisa pertalian tiga unsur besar
yang mudah dapat dimengerti, tidak saja
mengandung arti awal mula jaman, tetapi
juga
perkembangannya
dan
pengarahannya. Pertalian dari tiga garis
grafik ini melambangkan dan meringkas
semua isi pelajaran kuno, meringkas
semua proses genetic dari
Siandian
sampai Hodian, termasuk semua yang
diajarkan oleh Confusius.
Gambar Swastika adalah symbol dari
agama Buddha. Swastika merupakan
lambang jalannya kehidupan yang terus
menerus
dalam
bentuk
yang
bagaimanapun juga Samsara suatu alat
untuk menempuh jalan kebahagiaan.
Perkataan Swastika berarti sesuatu yang
dapat
membahagiakan.
(Sejarah
Tridharma, 2013 : 4).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Mariya
bahwa yang dikatakan Nabi sebagai pembawa ajaran
dalam Tridharma adalah : 1) Laut Ce (Taoisme); 2) Khong
Ce (Khong Hu Cu); 3) Sidharta Gautama. Pengikut
Konghucu etnisnya kebanyakan orang Tionghoa;
Pengikut Tao etnisnya kebanyakan orang Tionghoa;
Pengikut Buddha etnisnya campuran.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
103
5.
104
Dinamika atau konflik-konflik intern yang pernah
terjadi dan cara penyelesaiannya
Dalam internal umat Tridharma tidak pernah terjadi
konflik, karena apa yang diajarkan Buddha, Tridharma
menerimanya; apa yang diajarkan Tao, Tridharma
menerimanya; apa yang diajarkan Khonghucu Tridharma
menerimanya. Jadi tidak ada konflik yang terjadi,
terkecuali pernah ada umat Khonghucu ingin mengambil
tempat ibadat umat Buddha, karena menurutnya dulu itu
Klenteng milik umat Khonghucu, kemudian karena
Zaman orde baru nama-nama yang berbau Cina diganti
menjadi Vihara.
Namun demikian Kepala Kanwil Provinsi Riau
tidak membolehkannya, terkecuali di Vihara itu tidak ada
umatnya. Oleh karena itu Kepala Kanwil Riau
menyatakan, kalau Khonghucu mau punya tempat ibadat,
bangunlah di Kabupaten Meranti, nanti dibantu oleh
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama Pusat.
Melihat kejadian itu, dan ada saran dari Kepala Kanwil
untuk membangun rumah ibadat Khonghucu (Litang),
maka tercetuslah ide membangun rumah ibadat dan pada
akhirnya terlaksana, kemudian Kementerian Agama
Pusat memberikan bantuan sebesar Rp. 600.000.000;(enam
ratus juta rupiah); dan hingga sekarang ini tempat ibadat
Umat Khonghucu sedang dibangun dan belum selesai.
Selanjutnya menurut penuturan Djalius (Umat
Khonghucu) menyatakan bahwa sekarang ini kami keluar
dari Tridharma tidak ada masalah, dulunya susah sekali,
namun walaupun kami sudah keluar tetapi administrasi
kami masih tetap ada di Tridharma. Karena Tridharma
merupakan satu organisasi 3 ajaran agama (Tao,
Khonghucu dan Buddha), sehingga sulit untuk
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
memisahkan diri. Selain itu ajaran Khonghucu yang ada
di Tridharma dan yang ada di Matakin sama (tidak ada
perbedaan sama sekali). Organisasi Tridharmanya tidak
mau bubar, bahkan “ ketuanya sendiri berkeinginan
Tridharma dijadikan sebuah agama seperti layaknya
agama Khonghucu dan agama lainnya “ (Ibu Mariya
Ketua Martrisia Riau).
6.
Relasi sosial dengan penganut Buddha lainnya,
masyarakat sekitar dan pemerintah
Hubungan dengan penganut Buddha lainnya tidak
ada masalah, ketika umat Buddha Magabudhi melakukan
kegiatan hari-hari besar keagamaan, umat Tridharma di
undang, begitu juga ketika umat Khonghucu mengadakan
sosialisasi tentang Khonghucu umat Tridharmapun
diundang, jadi relasinya cukup baik. Begitu juga relasinya
dengan masyarakat sekitar, baik-baik saja, dan tidak
pernah ada masalah, terutama komunikasinya dengan RT
dan RW sangat baik, begitu juga komunikasi dengan
pemerintah berjalan lancer dan pemerintah selalu
memberikan perhatian besar terhadap Martrisia dan Sekte
Buddha lainnya.
7.
Pandangannya dengan sekte lain
Pandangan dengan sekte lainnya, seperti dengan
Pengurus Magabudhi, Majubuthi dan Matakin, baik-baik
saja dan tidak ada masalah. Mereka selalu bekerjasama
dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dan
tidak pernah ada masalah. Bahkan pemerintah daerah
dalam hal ini (Kanwil Kementerian Agama Riau) sangat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
105
mendukung dan memberikan perhatian besar terhadap
keberadaan Martrisia.
8.
106
Kegiatan sosial keagamaan yang dilakukan Martrisia
Kegiatan yang dilakukan oleh Martrisia meliputi: a.
Melakukan kegiatan Sekolah minggu Buddha Tridharma;
2) Melakukan pemberkatan Perkawinan; 3) Melakukan
pembacaan doa bersama dalam upacara kematian; 4)
Melaksanakan perayaan hari-hari besar keagamaan bagi
umat Tridharma; 5) Mengisi siaran agama Buddha di RRI
Riau.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia
(Martrisia) adalah merupakan salah satu organisasi
Keagamaan yang terdiri dari 3 ajaran agama ( Tao,
Khonghucu dan Buddha); Dimana ajaran pokok dari
Tridharma ini meliputi tiga hal yaitu: 1) mengajarkan
hidup selaras dengan alam, adanya keseimbangan antara
positif dan negatif yang tercetus dalam lambangnya Yin
dan Yang (Tao); 2) mengajarkan hidup harmonis dengan
masyarakat, tidak boleh melakukan kejahatan, tetapi
berbuat kebajikan atau dikenal dengan ajaran moral atau
etika (Khonghucu); 3) Ajaran Buddha Mahayana
mengenal banyak dewa-dewa dan mengenal faham
Trimurti Budhisme. Dikatakan pula bahwa Tridharma
adalah Bhinneka Tunggal Ika, sekalipun berbeda tetapi
tetap satu dari ujung atas langit sampai ujung bawah
tanah, nalar kebaikan hanya ada satu.
Tata cara peribadatan Umat Tridharma adalah:
melakukan sembahyang (Puja bakti) kepada Thian dengan
menghadap ke Dewa Langit, Bumi dan Leluhur yang
merupakan tradisi Keagamaan/Sam Kauw (Buddha, Tao
dan Konghucu) yang berdasarkan kitab suci Dewi Kiu
Thian Hian De; Kiu Thian Hian De Kiu Se Cin King dan
Kiu Thian Hian De Thi Sim Siau Giap Cin King. Bagi umat
Buddha Tridharma, melakukan sembahyang ke Dewa
Buddha; Bagi umat Khonghucu Tridharma, melakukan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
107
sembahyang ke Dewa Khonghucu; Bagi umat Tao yang
ada dalam Tridharma, melakukan sembahyang ke Dewa
Tao, dan ketiga umat tersebut melakukan sembahyang ke
Dewa Harimau serta Dewa penjaga keamanan.
Ajaran tentang Etika/Moral umat Tridharma yaitu:
Sopan santun, budi luhur, persatuan dan tahu arti malu.
Sumber ajaran bagi umat Tridharma
adalah
melakukan Puja Bhakti kepada Thian/Langit, Te/Bumi dan
Din/Leluhur yang merupakan tradisi keagamaan/Sam
Kauw (Buddha, Tao dan Kong Hu Cu) yang berdasarkan
kitab suci Dewi Kiu Thian Hian De; Kiu Thian Hian De
Kiu Se Cin King dan Kiu Thian Hian De Thi
Kitab suci bagi umat Tridharma meliputi: 1) Kitab
Sejati Kiu Thian Hian De (Penyelamat Dunia); 2)Kitab
Sejati Dewi Nawasura Sakti; 3) kitab suci Kiu Thian Hian
De Kiu Se Cin King.
Kegiatan sosial keagamaan yang dilakukan
Martrisia, adalah : melakukan kegiatan Sekolah minggu
Buddha Tridharma, melakukan pemberkatan Perkawinan,
melakukan pembacaan doa bersama dalam upacara
kematian, melaksanakan perayaan hari-hari besar
keagamaan bagi umat Tridharma dan mengisi siaran
agama Buddha di RRI Riau.
Hari yang dianggap suci bagi umat Tridharma
meliputi : 1) Tahun baru Imlek; 2) Ceng Beng; 3) Cit Gwee;
4) Cap Go Meh; 5) Peh Cun; 6) Tong Chiu; 7) Tang Ce; 8)
Cet It Cap Go; 9) Co Ki Leluhur; 10) Perayaan Ulang
Tahun Dewa Dewi Tridharma, termasuk perayaan waisak;
11) Perayaan Ulang Tahun Vihara; 12) Pembukaan Vihara;
13) Ulang tahun Kelahiran; 14) Upacara perkawinan; 15)
108
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Upacara Kematian/duka; 16) Peresmian Toko/Tempat
Usaha; 17) Hari Ulang Tahun Keselamatan.
Tridharma merupakan satu organisasi keagamaan
dengan 3 ajaran agama (Tao, Khonghucu dan Buddha),
sehingga sulit untuk memisahkan diri dan tidak pernah
terjadi konflik, bahkan satu sama lainnya saling
bertoleransi dan menyatu seperti teh manis yang
menyatunya (gula, teh dan air). Selain itu ajaran
Khonghucu yang ada di Tridharma dan yang ada di
Matakin, semuanya sama (tidak ada perbedaan sama
sekali). Bahkan umat Tao, Khonghucu dan Buddha, dalam
KTP kolom agamanya masih ditulis agama Buddha,
walaupun Umat Khonghucu sudah diakui oleh
pemerintah sebagai agama tersendiri. Oleh karena itu
Pembimas Buddha seharusnya melakukan pendataan
umatnya, supaya jelas mana yang Buddha dan mana yang
betul-betul Khonghucu. Pada intinya ajaran Tridharma
yang ada di Riau adalah kepercayaan terhadap ajaran
langit/Kiu Thian Hian De Thian Ciau yang sangat
memuliakan ajaran leluhur.
Relasi sosial umat Tridharma dengan penganut
Buddha lainnya tidak ada masalah, ketika umat Buddha
Magabudhi
melakukan
kegiatan
hari-hari
besar
keagamaan, umat Tridharma di undang, begitu juga ketika
umat Khonghucu mengadakan sosialisasi tentang
Khonghucu umat Tridharmapun diundang, bahkan
dengan Buddha Majuputi, yang berencana mengadakan
peresmian gedungnya umat Buddha yang lainnya akan
diundang, termasuk umat Tridharma. Relasinya dengan
masyarakat sekitar, baik-baik saja, dan tidak pernah ada
masalah, terutama komunikasinya dengan RT dan RW
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
109
sangat baik bahkan dengan pemerintah hubungan cukup
baik dan pemerintah daerah (Kepala Kanwil Kementerian
Agama Riau dan Pembimas Buddhanya memberikan
perhatian besar kepada umat Tridharma dan terhadap
umat Buddha lainnya. Selain itu diharapkan kepada pihak
pemerintah pusat supaya dapat memberikan perhatian
besar terhadap agama-agama yang belum diakui dan
masih bergabung dalam satu organisasi keagamaan.
B. Rekomendasi
1. Kepada
pihak
pemerintah
sebaiknya
dapat
memberikan perhatian besar kepada agama yang
masih tergabung dalam satu organisasi (Tridharma);
2. Pembimas Buddha perlu melakukan pendataan ulang
umatnya supaya jelas mana yang benar-benar umat
Buddha dan mana yang umat Khonghucu;
3. Relasi sosial umat Tridharma dengan penganut
Buddha lainnya yang sudah cukup baik dan toleran
perlu dipertahankan.
110
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Arnis Rachmadhani, Religi Etnis China di Jawa, Semarang, 2009.
Buletin Tridharma, Nawasura, Maret- Juni 2014
Dr. I Djaja L.M.Se , Kitab Suci Mahadewa, Thai Shang Laojun, ,
2011.
Dr. Djalal LM. SC., Serba Serbi Agama Tao,.
Dr. ID. LIKA, M.Se., Dao Dejing, Kitab Suci Utama Agama Tao,
LIE ER (LAOZI)
Departemen Agama RI, Badan Litbang Dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan,
Kompilasi Kebijakan dan
Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat
Beragama, 2012.
Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Kelompok Keagamaan Kristen,
Hindu dan Buddha di Indonesia, 2006.
Ikhsan Tanggok , Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, Jakarta,
2010.
Kementerian Agama Dalam Angka, 2013.
Kumpulan Dokumen Autentik Penting, Tridharma
Paguyuban Umat Tao Indonesia, Sadar Untuk Siu Tao menuju
kesempurnaan, 2007.
Paguyuban Umat Tao Indonesia, Sadar untuk Siu Tao, 2010.
Shadiq Kawu dkk, Spirit Khonghucu Modal Sosial Dalam
Merenda Kebangsaan, 2011.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
111
Ir. Endar Sugiarto, MM., Psikologi Pelayanan Dalam Industri
Jasa, 1999.
Ronald Robertson, Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi
Sosiologis, 1992.
Yayasan Dewi Sakti, Sejarah Tridharma, Pekanbaru, 2013
Yayasan Dewi Sakti,
Pekanbaru, 2013
112
Pedoman
Puja
Bakti
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Tridharma,
4
MAJELIS PANDITA BUDDHA MAITREYA INDONESIA
(MAPANBUMI)
DI KOTA MEDAN
Oleh:
Wakhid Sugiyarto
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
113
114
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
GAMBARAN UMUM LOKUS PENELITIAN
Letak Geografis dan Pemerintahan;
Kota Medan adalah kota yang sangat mencerminkan
Indonesia, karena heterogenitasnya yang sangat tinggi dalam
etnis, tradisi, dan agama, tetapi hidup rukun tiada duanya di
Indonesia. Kota Medan juga merupakan kota terbesar ketiga
setelah Jakarta dan Surabaya yang menjadi ibukota dari
Provinsi Sumatra Utara dengan penduduk 2.295.956 jiwa pada
tahun 20101. Tanah Deli yang kemudian hari disebut dengan
Kota Medan ini luasnya sekitar 4.000 ha. Sebelum menjadi
kota, Kota Medan ini merupakan hamparan dataran rendah,
rawa-rawa dan tanah subur karena dilewati oleh banyak
sungai yang sangat mempengaruhi kesuburannya.
Seluruh sungai di Kota Medan mengalir ke Selat
Malaka, seperti; Sei Deli, Sei Babura, Sei Kambing, Sei Denai,
Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang atau Sei Kera.
Salah satu produk yang namanya pernah mendunia adalah
“tembakau Deli”. Tanah Deli ini, karena kesuburan,
keindahan dan tata ruang wilayahnya yang bagus pada masa
itu, pernah disebut dengan sebutan Paris van Sumatra, seperti
Bandung pernah disebut sebagai Paris van Java.
Ketika perkampungan dibuka oleh guru Patimpus
wilayah ini disebut dengan Kampung Putri hijau, kemudian
Medan Putri yang secara geografis sangat strategis, karena
1 Kota Medan Dalam Angka 2012. Lihat pula Basyaruddin, Peta
Dakwah Kota Medan, Bank Muamalat Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia
Kota Medan, Perdana Publising, Medan, 2012, hal. 49
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
115
diapit oleh dua sungai besar yaitu sungai Babura dan sungai
Deli yang menjadi pelabuhan transit setelah Kampung Medan
Putri itu menjadi ramai. Kampung Medan Putri sebagai
pelabuhan transit yang ramai itu rupanya terdengar oleh
Iskandar Muda (Sultan Aceh). Sultan Aceh kemudian
mengirimkan seorang panglima perangnya bernama Gocah
Pahlawan bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi
pemimpin dan mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli.
Selanjutnya raja-raja (Kepala-kepala wilayah) di sekitar
kampung Medan Putri menyerah pada Gocah Pahlawan.
Kampung Medan Putri ini kemudian berkembang menjadi
Kesultanan Deli yang wilayah kekuasaanya sampai di Rokan,
separuh wilayah Sumatra Utara sekarang dan Aceh Tamiang
di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Kota Medan yang didirikan oleh Guru Patimpus ini
sekarang di batasi oleh beberapa kota, Kabupaten serta
wilayah laut. Sebelah utara adalah Selat Malaka, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai dan Lubuk
Pakam, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli
Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Binjai.
Demografi Keagamaan Penduduk
Secara administrasi Kota Medan terbagi menjadi 21
kecamatan, 151 kelurahan, 2001 lingkungan dengan luas lahan
265 265 km2 dan jumlah penduduk 2.295.956 jiwa.2 Secara
demografis, dinamika penduduk Kota Medan sangat tinggi,
sebagaimana terlihat dari perubahan perimbangan etnis
2 Kota Medan Dalam Angka 2010, Lihat lagi Basyaruddin, Peta
dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana Publising, Medan, Cet.
kedua Januari 2012
116
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
penduduk yang tinggal di Kota Medan yang semakin
beragam dan semakin berimbang. Dinamika kependudukan
secara etnis itu ternyata juga diikuti oleh adanya dinamika
sosial keagamaan bagi penduduknya. Jika wilayah Kota
Medan sejak berdirinya di tahun 1600-an sampai pembukaan
lahan perkebunan sekitar akhir tahun 1800-an hampir
didominasi mutlak oleh kaum muslim dan bercokolnya
Kesultanan Deli, maka secara berangsur-angsur setelah
pembukaan lahan perkebunan itu terjadi dinamika
perimbangan penduduk berdasarkan agama, sebagai berikut;
Tabel 3
Komposisi penduduk berdasarkan agama
Berdasarkan Kecamatan
Di Kota Medan3
No
Kecamaatan
1
2
3
4
5
Medan Kota
Medan Timur
Medan Barat
Medan Baru
Medan
Belawan
Medan
Labuhan
Medan Deli
Medan
Sunggal
M. Tuntungan
Medan Denai
Medan Johor
Medan
Amplas
6
7
8
9
10
11
12
Penduduk
47.062
83.098
58.987
30.353
73.859
23.443
24.060
23.875
22.244
34.052
10.075
10.501
5.718
7.067
15.426
3.392
1.145
3.979
1.779
972
5.323
3.437
2.387
4.444
4.864
Konghucu
242
147
157
97
134
98.323
46.258
4.093
1.075
3.227
156
78.564
87.986
25.670
17.819
17.100
8.632
2.140
1.447
4.532
2.226
185
132
27.496
89.870
87.567
78.462
30.316
57.728
24.639
30.120
13.491
9.921
9.508
12.067
352
411
116
1.158
705
2.406
1.052
3.476
102
105
56
37
Muslim
Protestan
Katolik
Hindu
Budha
3 Kota Medan Dalam Angka 2010. Basyaruddin, Peta dakwah Kota
Medan, Bank Mu’amalat, Perdana Publising, Medan, Cet. kedua Januari
2012
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
117
13
14
15
16
17
18
19
20
21
M. Tembung
Medan
Helvetia
Medan Petisah
Medan Polonia
Medan
Maimun
Medan
Selayang
M. Perjuangan
Medan
Marelan
Medan Area
JUMLAH
98.678
72.897
37.099
43.881
20.100
12.099
1.746
1.494
4.279
3.114
106
69
42.795
27.881
37.253
22.620
17.201
5.821
2.470
11.004
4.062
6.168
1.612
1.746
2.741
3.225
5.567
135
57
132
46.750
37.872
2.904
1.764
882
56
68.453
99.369
32.969
12.739
13.096
10.000
1.063
5.095
3.191
2.547
106
134
66.473
1.402.176
(61.07%)
8.745
579.171
(25.23%)
9.105
208.439
(9.08%)
1.092
4.752
125
39.746 68.377
2.470
(2.80%) (1.72%) (0,11%)
,
Memperhatikan tabel di atas, nyata bahwa jumlah
umat Islam di Kota Medan hanya mencapai 1.402.176 (61.07%)
dari jumlah penduduk sebanyak 2.295.956 jiwa. Hal ini
memperlihatkan dinamika atau perlombaan dalam usaha
fungsionalisasi agama atau dalam bahasa Islamnya adalah
“berlomba-lomba dalam kebaikan” menjadi sangat seru. Jika
tokoh-tokoh agama tidak mampu memfungsionalkan agama
untuk mempertahankan keyakinan keagamaan umatnya,
maka masa depan kehidupan sosial keagamaan ke depan
sebenarnya sudah dapat dibaca pada saat ini. Mungkin faktor
urbanisasi akan cukup berpengaruh terhadap perimbangan
jumlah penduduk menurut agamanya, tetapi tidak mungkin
pertumbuhanya mengalahkan jumlah kelahiran di Kota
Medan, yang berbeda dengan kondisi tahun 1930-an ketika
etnis Batak Toba baru memulai migrasi ke wilayah Kota
Medan dan sekitarnya. Karena itu pimpinan umat Islam
misalnya, harus merubah metode dakwah dari model lisan
dan bicara amal shaleh, surga dan neraka harus merubah
dengan memfungsionalkan agama sebagai jalan keluar dari
semua kesulitan dan penderitaan umat Islam di Kota Medan.
118
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Jika tidak, maka masa depan umat Islam secara prosentase
dapat diramalkan akan semakin menurun. Kecenderungan ini
sudah terjadi sejak tahun 1930-an, ketika etnis Batak Toba
mulai migrasi dari dataran tinggi Toba ke wilayah Medan
untuk berpartisipasi membuka lahan perkebunan dan
persawahan, dimana para pendeta secara rutin mengunjungi
umatnya dan sekaligus membantu kesulitan yang
dihadapinya. Bandingkan dengan umat Islam yang tidak
mendapatkan perhatian secara maksimal dari elit-elit muslim
sendiri. Pada tahun 1930-an (sebagaimana tabel penduduk
menurut etnis), jumlah etnis Batak Toba yang 100% menganut
agama Kristen, baru mencapai angka 820 jiwa atau 1.07%,
tetapi pada tahun 1980-an atau dalam waktu 50 tahun secara
prosentase sudah mencapai 14.11% pada tahun 1981 dan
menjadi 14.70 % pada tahun 1989.
Tabel 4
Jumlah penduduk non muslim di Kota Medan4
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Protestan
23.443
24.060
23.875
22.244
34.052
46.258
25.670
17.819
30.316
57.728
24.639
30.120
Katolik
10.075
10.501
5.718
7.067
15.426
4.093
17.100
8.632
13.491
9.921
9.508
12.067
Hindu
3.392
1.145
3.979
1.779
972
1.075
2.140
1.447
352
411
116
1.158
Budha
5.323
3.437
2.387
4.444
4.864
3.227
4.532
2.226
705
2.406
1.052
3.476
Konghuc
u
242
147
157
97
134
156
185
132
102
105
56
37
Jumlah
42.475
39.290
36.116
35.631
55.448
54.809
49.627
30.256
44.966
70.571
35.371
46.858
4 Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Meda, 2015;
Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana
Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
119
13
14
15
16
17
18
19
20
21
37.099
43.881
22.620
17.201
5.821
37.872
32.969
12.739
8.745
579.171
(25.23%)
20.100
12.099
2.470
11.004
4.062
2.904
13.096
10.000
9.105
208.439
(9.08%)
1.746
1.494
6.168
1.612
1.746
1.764
1.063
5.095
1.092
39.746
(2.80%)
4.279
3.114
2.741
3.225
5.567
882
3.191
2.547
4.752
68.377
(1.72%),
106
69
135
57
132
56
106
134
125
2.470
(0,11%)
63.330
60.657
34.134
33.099
17.328
43.478
50.425
30.515
23.819
898.203
38,93%
Tabel 5
Perimbangan jumlah penduduk muslim
dan non muslim perkecamatan5
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kecamaatan
Medan Kota
Medan Timur
Medan Barat
Medan Baru
Medan Belawan
Medan Labuhan
Medan Deli
Medan Sunggal
M. Tuntungan
Medan Denai
Medan Johor
Medan Amplas
M. Tembung
Medan Helvetia
Medan Petisah
Medan Polonia
Muslim
47.062
83.098
58.987
30.353
73.859
98.323
78.564
87.986
27.496
89.870
87.567
78.462
98.678
72.897
42.795
27.881
Non Muslim
42.475
39.290
36.116
35.631
55.448
54.809
49.627
30.256
44.966
70.571
35.371
46.858
63.330
60.657
34.134
33.099
5 Dolah dari data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota
Medan, 2015; Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat,
Perdana Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012
120
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
17
18
19
20
21
Medan Maimun
Medan Selayang
M. Perjuangan
Medan Marelan
Medan Area
JUMLAH
37.253
46.750
68.453
99.369
66.473
1.402.176
(61.07%)
17.328
43.478
50.425
30.515
23.819
898.203
38,93%
Dari tabel di atas, terlihat bahwa perimbangan jumlah
penduduk berdasarkan agama yang dianut semakin dekat jika
dibandingkan tahun 1930-an, 1980-an dan pada saat data 2010
ini diperoleh di tahun 2014. Lagi-lagi posisi umat Islam akan
semakin menurun jika tidak ada perubahan pola dan metode
dakwah Islam secara baik. Ajaran agama apapun tidak lagi
dapat dipuja-puja kehebatan, kebenaranya dan kebaikanya di
atas meja atau diatas kertas al Kitab, tetapi agama harus
fungsional dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dinamika Sosial Keagamaan
Dinamika Sosial Ekonomi
Kota Medan adalah ibukota Provinsi Sumatra Utara.
Sebagai ibukota provinsi yang memiliki wilayah luas dari selat
Malaka sampai Samudra Hindia, Kota Medan menjadi sangat
penting dalam proses distribusi sosial ekonomi bagi wilayah
provinsi yang luas itu. Bahkan diantaranya juga sangat
penting peranya dalam distribusi ekonomi bagi wilayah Aceh
Selatan, Aceh Timur dan Aceh Tengah, karena semua
kebutuhan komoditas yang tidak dapat dipenuhi oleh daerah
Aceh sendiri seluruhnya dipasok dari Medan dan sekitarnya.
Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi NAD hanya berfungsi
adminsitartif saja bagi penduduk wilayah Aceh. Mobilitas
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
121
ekonomi dan sosialpun lebih kencang dengan Kota Medan
sekitarnya daripada dengan Banda Aceh sendiri.
Sebagai kota besar, Kota Medan memiliki
pertumbuhan ekonomi yang cukup baik bahkan hampir selalu
di atas pertumbuhan ekonomi nasional, sehinga pendapatan
perkapita penduduk Kota Medan juga cukup tinggi yaitu 12,5
juta per tahun. Tingkat laju inflasi rata-rata hanya 2,69%
pertahun, dibawah rata-rata inflasi ekonomi nasional yang
mencapai di atas 6% pertahun dalam beberapa tahun terakhir.
Kontribusi ekonomi terbesar berasal dari sektor tersier yaitu
66,84%, baru kemudian sektor sekunder 29,06% dan sektor
primer hanya menyumbangkan distribusi ekonomi sebesar
4,18% dari penduduk Kota Medan yang berjumlah 2.295.956
jiwa.
Pertumbuhan ekonomi Kota Medan merupakan
pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan semua daerah
Kabupaten/Kota lain di Provinsi Sumatra Utara. Sebagai kota
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadikan Kota
Medan sebagai kota generator ekonomi bagi Provinsi Sumatra
Utara dan wilayah Aceh yang disebut di atas, yaitu Aceh
Tenggara, Aceh Timur dan Aceh Tengah. Para pengusaha dan
pedagang di 3 wilayah Aceh diatas lebih banyak berurusan
bisnis langsung dengan Provinsi Sumatra Utara khususnya
dengan Kota Medan dari pada dengan Kota Banda Aceh
sebagai ibukota Provinsi Aceh. Posisi Kota Medan menjadi
strategis bukan hanya karena menjadi generator atau
penggerak ekonomi wilayah sekitarnya, tetapi juga karena
telah didukung oleh infrastruktur yang menghubungkan
berbagai wilayah di Provinsi Sumatra Utara maupun wilayah
Aceh yang cukup bagus. Bahkan infrastruktur penunjang
lainya cukup baik ketersedian maupun fungsionalisasinya,
122
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
seperti; adanya jalan tol, terminal-terminal antar kota yang
cukup berfungsi dengan baik, bandara internasional yang luas
dan baru diresmikan bulan Maret 2014 yang merupakan
pemindahan dari bandar udara yang lama yaitu di Polonia,
adanya pelabuhan untuk bongkar muat komoditas eksport
dan import komoditas bagi komunitas internasional yang
cukup besar di Medan Belawan dan adanya jalan-jalan lingkar
kota maupun dalam kota yang lebar dan rapi karena jarang
ada pedagang asongan kaki lima yang biasanya mengganggu
arus lalu lintas di berbagai kota Indonesia yang tidak tertib.
Pertumbuhan ekonomi Kota Medan dengan segala kelebihan
dan kekuranganya itu memiliki dampak atau efek domino
bagi rotasi ekonomi dan sosialnya. Sektor yang paling terkena
dampak dari pertumbuhan ekonomi di Kota Medan adalah
menggelembungnya harga-harga sektor property, seperti
harga tanah, harga sewa kontrakan, rumah, pertokoan dan
perkantoran serta mahalnya biaya ongkos kerja bangunan.
Sementara itu sektor riil, seperti rumah makan, pertokoan
kurang terkena dampaknya, karena stabilitas pertumbuhan
ekonominya.
Dinamika Sosiokultural dan Sosial Keagamaan
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa secara
demografis, penduduk Kota Medan sangat plural dalam etnis,
kultural, dan keagamaan. Secara sosiokultural, masyarakat
Kota Medan benar-benar merupakan masyarakat majemuk,
dimana tidak ada kelompok dominan dalam etnis dan
budaya. Di Kota Medan masyarakat etnis Jawa yang secara
etnis sebenarya cukup dominan, tetapi dalam kehidupan
sosial kebudayaan bukanlah masyarakat dominan, begitu pula
masyarakat dari etnis Batak Mandailing, Toba, Tionghoa dan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
123
lainya. Justru yang terjadi adalah adanya saling menjaga
budaya masing-masing, sehingga semua budaya berjalan
seperti apa adanya yang dalam dinamikanya justru
berhadapan dengan perubahan budaya dari luar. Oleh karena
itu secara etnis dan budaya sebagaimana disebutkan
sebelumnya, Kota Medan Menjadi miniatur Indonesia yang
sesungguhnya karena keragamannya itu.
Dalam kehidupan sosial keagamaan, masyarakat Kota
Medan juga menunjukan adanya keragaman keberagamaan
yang luar biasa. Namun demikian toleransi kehidupan
beragama sangat baik, sehingga selama ini tidak pernah
terdengar terjadinya konflik keagamaan, utamanya antar
umat beragama. Kalaupun ada, hanyalah konflik intern umat
beragama, utamanya di kalangan umat Kristen akibat
persoalan-persoalan intern yang memang sudah lazim terjadi,
seperti kasus dualism kepemimpinan organisasi atau lainya.
Dalam kehidupan sosial keagamaan, masyarakat Medan dapat
dikatakan cukup dipengaruhi oleh nilai-nilai agama atau
setidaknya terdapat semangat keagamaan yang cukup tinggi.
Hal ini dapat ditunjukan oleh jumlah rumah ibadah yang
cukup banyak di Kota Medan. Tabel rumah ibadah berikut
dapat menjadi petunjuk bahwa masyarakat Kota Medan
memiliki semangat keagamaan yang cukup tinggi, meskipun
mungkin secara rasio masih kurang juga. Hal ini adalah
karena sebagian juga belum sepenuhnya menjalankan
peribadatan sesuai dengan agamanya. Tetapi jelas bahwa dari
semua rumah ibadah yang ada, ketika waktu peribadatan
utama tidak pernah sepi. Misalnya masjid pada hari jum’at
selalu penuh jamaah, gereja penuh ketika hari minggu dan
sebagainya.
124
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Tabel 6
Rumah Ibadah6
Rumah Ibadah
No
Kecamaatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Medan Kota
Medan Timur
Medan Barat
Medan Baru
Medan Belawan
Medan Labuhan
Medan Deli
Medan Sunggal
Medan
Tuntungan
Medan Denai
Medan Johor
Medan Amplas
Medan
Tembung
Medan Helvetia
Medan Petisah
Medan Polonia
Medan Maimun
Medan Selayang
Medan
Perjuangan
Medan Marelan
Medan Area
JUMLAH
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
53
51
47
19
26
45
44
69
46
24
33
35
31
71
48
57
18
17
36
33
19
27
47
43
15
26
65
Wihara/
Cetia
2
5
4
4
6
6
9
7
5
73
73
69
76
31
27
34
26
56
16
33
36
5
4
4
6
85
35
22
21
46
59
29
20
9
21
12
19
49
30
15
8
32
35
5
4
9
4
4
4
29
51
1039
52
55
669
4
9
634
5
9
192
Masjid Musholla Gereja Pura
6 Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015;
Basyaruddin, Peta dakwah Kota Medan, Bank Mu’amalat, Perdana
Publising, Medan, Cet. kedua Januari 2012
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
125
Tabel 7
Data Lembaga/Majelis Agama Buddha
Kota Medan Tahun 20157
NO.
NO. REGISTRA
SI
1
2
3
4
5
6
7
NAMA
KETUA
TAHU
ALAMAT
N
SEKRETAR
BERDI
IAT
RI
2000 Jl. Mahoni
Medan
Perwakilan Umat
Buddha Indonesia
(WALUBI) Prov.
Sumut
Kw.02/9/BA Majelis Budhayana
.01.1/41/200 Indonesia (MBI)
8
Prov. Sumut
Dr. Indra
Wahidin
Ony Indra
Kusuma
1979
Kw.02/9/BA Majelis Agama
.01.1/16/V/2 Buddha Theravada
008
Indonesia (MAPAN
BUMI)
Kw.02/9/BA Majelis Agama
.01.1/15/III/ Buddha Zhen Fo
2008
Zong Tantrayana
Kasogatan Indonesia
Kw.02/9/BA Wanita Buddhis
.01.1/10/200 Indonesia (WBI)
8
Pdt. Rudi
Harjon,
S.Ag.
1976
Drs.
Wilson
Wirya,
MBA
Mariana
Waty, SH
1975
Jl. Merbabu
No.10 D
Medan
1973
Kw.02/9/BA Perwakilan Umat
.01.1/33/200 Buddha Indonesia
8
(WALUBI) Kota
Medan
Kw.02/9/BA Majelis Budhayana
.01.1/33/200 Indonesia (MBI) Kota
9
Medan
Ir. Sutopo
2008
Densi
Ginting, S.
Ag.
1979
Jl. Bambu II
Komp.
Graha
Niaga A2
Medan
Komp. Asia
Mega Mas
Blok H
Medan
Jl. Bambu II
Komp.
Graha
7
126
NAMA LEMBAGA
(MAJELIS)
Jl. Bambu II
Kompleks
Graha
Niaga A2
Medan
Jl. Panjang
No. 7-9
Medan
Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
8
Kw.02/9/BA Majelis Buddha
.01.1/02/201 Mahayana Tanah
1
Suci Indonesia Kota
Medan
9 Kw.02/9/BA Perkumpulan
.01.1/32/200 Sarjana dan
9
Profesional Buddhis
Indonesia (SIDDHI)
Kota Medan
10 Kw.02/9/BA Perkumpulan Vihara
.01.1/20/201 Buddha Tri Dharma
0
Mulia Kota Medang
Daslim
2010
Tjoa Wie
Pin, BSc.
2007
Ismed Tan
2009
11 Kw.02/9/BA Perkumpulan
.01.1/38/201 Buddha Amitabha
0
Kota Medan
Edi
Darsono
2005
12 Kw.02/9/BA Sinar Buddha
.01.1/04/200 Indonesia (BLIA)
8
Medan
Nasir Udin
1992
13 Kw.02/9/BA Parisada Buddha
.01.1/31/200 Dharma Niceren
8
Syosyu Indonesia
(PBDNSI)
Bak In
1954
Niaga A2
Medan
Jl. Thamrin
No.832 Q
Medan
Jl. Bambu II
Komp.
Graha
Niaga A2
Medan
Jl.
Rachmadsy
ah, Gg.
Kemala 2
No.38
AA/63
Jl. H.
Misbah
Komp.Muta
tuli Indah
Blok G 1920.
Jl. Gandi
Dalam No.
121 F
Medan
Jl. Gandi
No. 116
Medan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
127
Tabel 8
Data Yayasan/Lembaga Sosial Keagamaan Buddha
Kota Medan Tahun 20158
NO
1
2
3
4
5
6
TAHUN
BERDIR
ALAMAT
I
DJ.VI/BA.01.1/ Vihara
Eddi
2008
Jl. Panjang No.
02/348/2009
Mahasampatti
Dhammadip
7-9 Medan
a
DJ.VI/BA.01.1/ Vipassana
Jecky
2008
Jl. Asia Raya
02/350/2009
Indonesia
Koeswandy
Komp. Ruko
Asia Mega Mas
Blok P No.12
AB, 15, 16
Medan
DJ.VI/BA.01.1/ Pendidikan Bodhi Tongariodjo
2002
Jl. Selam No.3902/379/2009
Dhamma Medan Angkasa,
41, Lingk.II Kel.
SE, MM,
Tegal Sari,
MBA
Mandala I, Kec.
Medan Denai,
Kota Medan
DJ.VI/BA.01.1/ Pendidikan
Tongariodjo
2000
Jl. Selam No.3902/380/2009
Buddhis
Angkasa,
41, Lingk.II Kel.
Bodhicitta
SE, MM,
Tegal Sari,
MBA
Mandala I, Kec.
Medan Denai,
Kota Medan
DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Budi
Kurnia
2009
Jl. Palembang
02/406/2010
Kebajikan
Halim
No. 21-23 Kel.
Pandau Hilir,
Kec. Medan
Perjuangan,
Kota Medan
DJ.VI/BA.01.1/ Buddha
Tamrin Yati,
2004
Jl. Surakarta
02/409/2010
Indonesia
SE
No.7E/27 Kel.
Pasar Baru, Kec.
Medan Kota
NO.REGISTR
NAMA YAYASAN
ASI
8
128
NAMA
KETUA
Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan, 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
7
DJ.VI/BA.01.1/ Padma Sambhava Halil
02/420/2010
Sutrisno
2009
8
DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Sala
02/423/2010
Prakcha
Semakhom
So Sion Eng
2010
9
DJ.VI/BA.01.1/ Dhammacakra
02/428/2010
Zulkifli,
S.Ag., SE
2010
10
DJ.VI/BA.01.1/
02/439/2010
DJ.VI/BA.01.1/
02/451/2011
Tjen Tjong
2010
Liaw She
Thung
2009
11
Dhammavicayo
Indonesia
Buddha Bhaisajia
Guru
12
DJ.VI/BA.01.1/ Indonesia Widya
02/462/2011
Carita
Bety
2011
13
DJ.VI/BA.01.1/ Mitra Buddhis
02/463/2011
Center
Cing
2007
14
DJ.VI/BA.01.1/ Dharma
02/500/2012
Manggala
Charles
Thamrin
2010
Jl. Asia Raya
Blok L, No.18
Lingk. V Kel.
Sukaramai II
Kec. Medan
Area
Jl. Pasar III
Lingk. IX Kel.
Sunggal Kec.
Medan Sunggal
Jl. K.I Yos
Sudarso
Lingk.XIV
Komp. Cilincing
Indah No.67-68
Jl. S. Parman
No. 168 Medan
Jl. Timur Baru I
No.90A Kel.
Gang Buntu,
Kec. Medan
Timur
Jl. Komp.
Multatuli Indah
Blok C No.18
Kel. Aur Kec.
Medan
Maimun,
Medan
Jl. Komp. Graha
Sunggal Blok E
No.33 Kel.
Sunggal, Kec.
Medan Sunggal,
Medan
Jl. Karantina I
No.35 Kel.
Glugur Darat II
Kec. Medan
Timur
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
129
15
DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Aya Ratna Sow Siew
02/514/2012
Prajna
Hong
2010
16
DJ.VI/BA.01.1/ Pusat Dharma
William
02/515/2012
Zurmang Kagyud Chen
Medan
2003
17
DJ.VI/BA.01.1/ Padma Ratna
02/518/2012
Franscisca
Sumartio
2012
18
DJ.VI/BA.01.1/ Vihara Maitri
02/519/2012
Medan
Teh
Hian
2012
19
130
Ci Kong
Lin
Gunawan
2010
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Jl. Sutrisno
Dalam No.10 I
& J Kel. Kota
Matsum I, Kec.
Medan Area.
Jl. Asia Raya
Blok N No.24
Komp. Asia
Mega Mas, Kel.
Sukaramai II,
Kec. Medan
Area
Jl. Gandhi
No.90/92 Kel.
Sei Rengas
Permata, Kec.
Medan Area,
Kota Medan
Jl. Gandhi
No.90/92 Kel.
Sei Rengas
Permata, Kec.
Medan Area,
Kota Medan
Jl. Rahayu Kel.
Bantan Timur,
Kec. Medan
Tembung
II
BUDDHA MAITREYA
Sejarah Agama Buddha
Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang
berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi
kepercayaan, dan praktik keagamaan yang sebagian besar
berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha
Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha
(berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali).
Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua
India dalam beberapa waktu di abad ke-6 SM. Beliau dikenal
umat Buddha sebagai guru spiritual yang telah sadar atau
tercerahkan dan membagikan wawasanya untuk membantu
makhluk hidup lainya mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan
(avidya), kehausan/napsu rendah (tanha), dan penderitaan
(dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling
bergantungan dan sunyatan dalam mencapai Nirvana (Pali:
Nibbana).
Menurut para ahli Barat, Budha Gautama, pendiri
agama Budha lahir pada 563 S.M dan wafat pada tahun 483
S.M. Ia adalah anak dari raja Suddhodana, yang memerintah
atas suku Sakya, maka dari itu Budha Gautama juga dikenal
dengan sebutan Sang Budha Sakyamuni, karena berasal dari
suku Sakya. Ibunya bernama Maya, ia dibesarkan di ibukota
kerajaan, yaitu Kapilawastu. Ia dibesarkan oleh orang tuanya
yang beragama Hindu, pada masa kelahiran Sang Budha
masyarakat yang ada di India yang beragama Hindu terbagi
kedalam empat Vanna (kasta), yaitu Khattiya (raja dan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
131
keluarganya yang memegang pemerintahan), Brahmana
(bertugas dalam upacara dan pendidikan), Vessa atau
pedagang (termasuk petani dan tukang ahli), serta Sudra (para
pekerja).
Sedangkan Budha termasuk kedalam golongan
Khattiya, kerana ayahnya berasal dari keturunan bangsa Arya
dan berasal dari keturunan kerajaan Magadha. Dalam sejarah
bangsa Arya boleh dikatakan sejarah dari dua golongan saja,
masing-masing golongan Khattiya dan Brahmana. Antara dua
golongan ini sering terjadi perkawinan sebab perkawinan dari
selain dua golongan ini tidak dimungkinkan. Beberapa
sarjana berpendapat bahwa masyarakat India (Jambudipa
Purba) adalah menganut sistem matriarkhat, yang
memberikan wanita hak-hak khusus seperti mengizinkan
seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami.
Terdapat 2 pandangan yang lazim di India sebelum
masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme dan Sramanaisme.
Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan
bangsa Arya, yang menurutnya, roh dan jasmani itu satu.
Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu
kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi
kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan
berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham
nihilisme. Karena beranggapan bahwa hidup hanya sekali dan
tidak ada lagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang akan
terus-menerus memuaskan nafsu keserakahan pada
kehidupan ini. Sementara pandangan Sramanaisme yang
diturunkan oleh bangsa Dravida menganggap bahwa roh dan
jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama
dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti
matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang
132
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kekal dan abadi dan apabila pada saatnya seseorang
meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya
menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini
memunculkan paham eternalisme (kekekalan). karena
beranggapan bahwa roh akan terus ada, roh ini pada akhirnya
harus berhenti dalam penyatuan dengan sesuatu yang disebut
Maha Kekal. Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang
Maha Kekal, roh tersebut haruslah menjadi roh yang suci
dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan
penyiksaan diri (bahkan sampai berlebihan) dengan tujuan
menyucikan rohnya sendiri.
Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama
dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah jalan
alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia
Berunsur Delapan (the eightfold path) atau Jalan Tengah (the
middle way). Bagi umat Buddha ajaran yang dibabarkan oleh
Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup
(the way of life) daripada agama. Karena apa yang ditawarkan
oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan,
melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat
diterima oleh semua orang) agar manusia dapat menjalani
hidupnya dengan lebih berarti.
Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di
dalam masa dunia ini (masa dunia atau kalpa: satu kalpa
lamanya kurang lebih 320.000.000 tahun). Ada buddhabuddha sebelumnya seperti Buddha Kakusandha, Buddha
Konagamana, Buddha Kassapa dan Buddha yang akan lahir
(mesianism) yaitu Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam
Cakkavatti Sihanada sutta, sutta ke-26 dari Digha Nikaya
dikatakan bahwa:“Pada saat itu kota yang sekarang
merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
133
bernama Ketumati, kuat dan makmur, didapati oleh
masyarakat dan berkecukupan. Di jambudvipa akan terdapat
84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota.
Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan
sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit
seorang raja bernama Sankha, seorang cakkavati (Raja Dunia),
seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Pada saat
orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di
dunia seseorang yang terberhkahi, arahat, sammasambuddha
bernama Meitteya”, di dalam Buddhavacana disebut Maitreya
Bodhisattva.9
Menurut Peter Lim, dalam Sutra disebut:
“O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut
dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia
Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut
agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan
laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut
kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000
yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan
permukaan buminya demikian rata dan bersih"
Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia
Jambudvipa. Situasi dan kondisi di dunia Jambudvipa ini jauh
lebih baik dari pada sekarang. Air laut agak susut dan daratan
bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat penjuru
tidak setinggi sekarang10. Setiap aliran Buddha berpegang
kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya
9 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke-1hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015; Seperti diejalskan
pula oleh Peter Liem dan Ling-Ling, April 2015
10 Keterangan dari Pdt. Peter Lim tentang perkembangan agama
Buddha di Indonesia.
134
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama. Pengikutpengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan
ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Pitaka (kotbah-kotbah
Sang Buddha), Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para
bhikkhu) dan Abidhamma Pitaka (ajaran hukum metafisika
dan psikologi)11. Dalam tataran konseptual, maka Tripitaka
ini bukanlah kitb suci, karena bukan merupakan firman
Tuhan, tetapi sabda Buddha Gautama atau ajaran sang
Buddha Gautama yang disampakan ke berbagai kelompok
lapisan dalam masyarakat waktu itu. Itulah sebabnya banyak
ilmuwan mengatakan bahwa Buddha Gautama atau Buddha
Sakyamuni setara dengan nabi dan Rasul, malah ada yang
mengatakan sebagai Nabi Zulkifli, tetapi di kalangan umat
Buddha sebagian menganggapnya sebagai Tuhan. Oleh
karena itu setiap tulisan yang menunjukkan darinya selalu
ditulis nya (bentuk kata ketiga) dengan NYA (hurup besar
semua) yang umumnya menjelaskan sebagai milik Tuhan.
Dalam Islam, pernyataan Nabi disebut sabda, sabda tersebut
disebut hadits, sementara pernyataan Tuhan (Allah) disebut
firman. Oleh karena itu ketika menunjuk ajaran Rasul
Muhammad SAW, maka tidak pernah dengan ditulis Nya.
Hanya ketika menulis firman Tuhan dalam Al Qur’an, umat
Islam menulis dengan Nya. Itulah sebabnya pernyataan
Buddha karena banyaknya disebut Tripitaka artinya tiga
keranjang, yaitu Sutta pitaka, Vinaya Pitaka dan Abidhamma
Pitaka yang pada kenyataanya, seperti dikatakan oleh Peter
Lim, Ling ling dan Burhanuddin bahwa kitab suci Tripitaka
ini jika dalam keadaan utuh, banyaknya lebih dari 1 truk
kontainer12. Jadi bagaimana manusia dapat belajar dengan
http://id.wikipedia.org/wiki/Sutta_Pi%E1%B9%ADaka
Peneliti ditunjukan oleh Peter Lim dan Ling Ling 1 bufeet besar
setiinggi 2.5 meter yang berisi kitab suci Tripitaka di sebuah vihara
11
12
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
135
kitab sebanyak 1 truk konteiner itu. Jadi jangan dibayangkan
kitab suci tripitaka itu seperti kitab suci al Qur’an atau Beybel
yang ringkas, ringan, dapat dibawa kemana-mana dan jika
ada masalah tinggal membuka mencari rujukanya. Jejeran
Tripitaka seperti toko buku Gramedia, sehingga orang harus
datang untuk mempelajarinya. Jika kita tidak bersedia datang,
dan ingin mengambil beberapa pitaka, maka bersiaplah anda
akan menjadi salah satu penghulu lahirnya sekte dan aliran
baru dalam Buddha. Sebab kita pasti tidak lengkap dalam
mempelajari keseluruhan yang dimaksud dalam Pitaka
sebagai kitab suci.13
Dengan semakin berkembangnya agama Buddha
kepada berbagai bangsa yang berbeda dalam filosofi, tradisi,
kosmologi, bahasa dan sebagainya, apalagi dinyatakan bahwa
banyaknya kitab Triptaka bisa lebih dari 1 truk kontainer,
maka peluang perbedaan tafsir di kalangan umat Buddha
menjadi sangat-sangat mungkin terjadi. Kitab suci al Qur’an
yang banyaknya hanya sekitar 540 halaman saja perbedan
tafsir sudah demikan besar, apalagi 1 truk kontainer. Itulah
sebabnya, akhirnya agama Buddha pecah menjadi banyak
aliran utama dan mungkin ribuan aliran sempalan atau sekte
di seluruh dunia. Perpecahan besar yang dipandang menjadi
hulu dari seluruh perpecahan adalah munculnya aliran
Mahayana (kereta besar), Hinayana (kereta kecil) dan
Tantrayana. Khusus di Indonesia, perpecahan menjadi aliran,
mazhab dan sekte itu diikuti dengan pendirian majelis umat
Buddha sesuai dengan aliran yang ada. Dari aliran Mahayana
Theravada, yang didatangkan dari Thailand. Katanya Tripitaka itu baru
sebagian kecil saja dari Tripitaka secara keseluruhan, karena secara
keseluruhan Tripitaka itu lebih dari 3 konteiner dalam bahasa Pali.
13 Lihat pula DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha
Maitreya Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015
136
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
terdapat ribuan sekte di seluruh dunia, termasuk di dalamnya
adalah Maitreya, demikian pula Hinayana atau Theravada
dan Tantrayana. Syukurnya, banyaknya aliran itu tidaklah
menimbulkan pertengkaran atau konflik yang mengabadi dan
terus dipertahankan dari generasi kegenerasi dan diperkuat
argumenya dengan segala cara, sebagaimana dalam agama
lainya agar hanya satu yang eksis14.
Dalam agama Kristen, konflik teologis dan keagamaan akibat
perbedaan aliran, atau sekte telah berakhir sejak lama, sehingga di kalangan
Nasrani munculnya beribu-ribu sekte dan paham keagamaan (denominasi
di seluruh dunia), tetapi tidak lagi menimbulkan konflik. Keberadaan
denomnasi yang begitu banyak telah mendorongnya untuk dewasa, dan
yang terjadi adalah saling mengakui dan bila perlu saling membantu dalam
missi dengan semangat Reconscuista. Sementara itu, dalam Islam,
perbedaan antara mazhab Suni dan Syi’ah adalah abadi, karena terus
sengaja dipertajam perebedaanya pada beberapa dekade ini, sehingga
konflik sektarian antara keduanya diperkirakan juga akan semakin menguat
di masa-masa mendatang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,
sekaligus memperlihatkan bahwa beragamanya umat Islam masih seperti
anak kecil yang baru belajar, sehingga beda sedikit saja tidak boleh. Di
Indonesia secara inskontitusional telah terjadi usaha keras peniadaan
komunitas Syi’ah oleh komunitas yang menyebut dirinya sebagai Suni
dengan berbagai cara. Mulai dari pengusiran komunitas, pembakaran
properti, penjarahan ternak, intimidasi, pengadilan in absenteia dalam road
show anti Syi’ah, agitasi, tablik akbar yang berisi penghujatan dan
pengkafiran atau menyatakan Syi’ah bukan bagian Islam dan sebagainya,
yang secara keseluruhan merupakan langkah besar untuk mengusir mazhab
Ahlulbait itu. Jadi aneh luar biasa, ketika tablig akbar atau dakwah bukan
mengajak kebaikan, tetapi berisi penghujatan dan caci maki terhadap yang
lain (kompor perpecahan umat Islam), sehingga yang tadinya ingin paham
Islam malah lari ke agama lain. Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan umat
Islam Indonesia sejak Indonesia merdeka, dimana waktu itu Islam mencapai
95%, tetapi di tahun 2010 tinggal 85% (menurun 10% dalam 55 tahun).
Mungkin ditahun 2045 (1 abad) nanti tinggal 75%. Dalam sistem konstitusi
dan perundang-undangan Indonesia tidak ada satu kalimatpun menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Islam Suni. Justru
14
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
137
Bagi kalangan umat Buddha, aliran atau sekte apapun
asal masih memegang pitaka, maka jalan menuju kebuddhaan
dapat dilakukan oleh siapapun tidak memandang strata sosial
ekonomi, pendidikan seseorang. Apalagi secara teologis,
agama Buddha tidak menempatkan dirinya sebagai agama
yang paling benar, sehingga tidak mengikat umatnya untuk
menggunakan jalur kepercyaan apapun untuk menuju
kebuddhaan. Bagi agama Buddha semua agama sama baiknya
dan sama benarnya, karena yang terpenting ada usaha
berbuat damma atau karma baik sebanyak-banyaknya. Benar
dan baik secara konseptual tidaklah bermakna, jika tidak
dapat diperaktekan atau tidak dilaksanakan oleh umat
manusia, setidaknya oleh umat Buddha. Bagi Buddha apapun
keyakinan atau agama yang dianut seorang dapat menjadi
jalan menuju kebuddhaan (pencerahan) yang dipandang
sebagai maqam spriritual tertinggi di kalangan umat
Buddha15.
Sang Buddha dahulu mengajarkan kepada banyak
kelompok orang, ada masyarakat biasa, terpelajar, pertapa,
menurut filsafat Pancasila, konsitusi dan berbagai peraturan-perundangan
yang ada adalah menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ajaran
agama yang dianutnya itu. Jadi jangan dibayangkan seperti negara
Malaysia, Brunai Darrussalam, Iran, dan lainya yang menempatkan Islam
dengan mazhab tertentu sebagai mazhab negara. Di kalangan kaum
Nasrani, semua sekte atau denominasi saling mengakui keberadaanya
ketika memang sudah tidak dapat dipertemukan lagi. Dalam agama Hindupun demikian, tidak ada yang mempertajam perbedaan dan mengabadi
seperti umat Islam kalangan Suni dan Syi’ah.
15Wawancara dengan Peter Lim, Burhan dan Ling Ling, April 2015
dan ceramah mingguan Pdt. Peter Lim di Vihara Borobudur, Medan,
Sumatra Utara, 19 April 2015; Dijelaskan pula oleh beberapa saudara pejabat
di Bimas Buddha Kemneterian Agama dan Komentar narasumber seminar,
Cornelis Wowor, Juli 2015
138
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
para Brahmana, asura, dan sebagainya. Sang Buddha
menyesuaikan materi yang diajarkan sesuai dengan pola pikir
masing-masing kelompok yang berbeda itu. Secara kebetulan,
tiap manusia memiliki kecenderungan yang berbeda, baik
minat maupun kebiasaannya. Hal inilah yang menyebabkan
cara setiap orang melihat ajaran Sang Buddha bisa dari
berbagai sudut pandang, disesuaikan dengan kesukaanya.
Masalah sekte/aliran, seperti halnya masalah cara atau jalan
atau tariqah, sehingga masalah kesesuaian/kecocokan untuk
mencapai pencerahan tentu saja berbeda pada setiap pribadi.
Ajaran Sang Buddha sangat luas, sehingga ada kelompok
tertentu yang memiliki kecenderungan untuk memilih bagian
atau tradisi tertentu dari ajaran Sang Buddha untuk
dipraktekkan. Itulah sebabnya muncul banyak sekte dalam
agama Buddha di seluruh dunia. Di Indonesia sekte/aliran
Buddha yang lazim ada tiga, yaitu; Pertama, Theravada atau
Hinayana (kereta kecil), adalah sekte yang dianggap paling
dekat dengan tradisi awal perkembangan Buddhisme, yang
serig disebut sebagai Buddha fundamentalis dan skripturalis.
Beberapa majelis umat Buddha di Kota Medan bersekte
Theravada. Kedua, Mahayana (kereta besar), adalah salah satu
sekte yang amat dekat dengan tradisi Tionghoa, karena sekte
ini tidak diterima di anak benua India tetapi berkembang
pesat di Tiongkok. Pembacaan nama-nama Buddha sangat
lekat dengan sekte ini dan memiliki banyak sub sekte yang
khas Tionghoa. Tetapi fenomena sekte ini tidak menonjol di
Indonesia. Di Indonesia, sekte ini pernah berkembang pesat
pada masa Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan setelahnya
berkolaborasi dengan Hindu Syiwa. Tentu pada saat itu, sekte
ini lekat dengan tradisi Jawa Kuno. Sedangkan Mahayana
yang berkembang sekarang di Indonesia diadopsi dari
Mahayana Tiongkok. Ciri khasnya adalah sangat terbuka
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
139
terhadap tradisi setempat dan kebebasan mencari jalan sendiri
menuju kebuddhaan, karena setiap orang berpotensi
mencapai kebuddhaan. Majelis umat Buddha di Kota Medan
berasal dari sekte Mahayana ini dan jumlah umatnya setengah
dari keseluruhan jumlah umat Buddha berbagai sekte di Kota
Medan. Ketiga, Tantrayana, adalah sekte yang berkembang di
Tibet yang sekarang dipimpin Dalai Lama. Hal-hal yang
tampak gaib di mata awam adalah ciri khas sekte ini. Sekte ini
terbagi dalam sub-sub sekte.16
Konsep Teologi Agama Buddha
Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan
Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari
tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang
menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa.
Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut
paham ketuhanan dalam agama Budha. Kata ini berasal dari
‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’ atau ‘Maha Buddha’ atau ’Yang
Mahakuasa’, dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’.
Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran
Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah
satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong
Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran
ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar
ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam
agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman
Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal
pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah
Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Bahrun, S. Ag dan
Ashok, S.Ag, 17 April 2015
16
140
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di
Nepal. Menurut paham ini seseorang dapat menyatu (moksa)
dengan Adi‐Buddha atau Isvara 2 melalui upaya yang
dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersamadhi
(dhyana).
Adi‐Buddha
mungkin
dianggap
sebagai
personifikasi dari Ketuhanan, tetapi pada dasarnya Tuhan
Yang Maha Esa dalam agama Buddha tidak dinyatakan
sebagai suatu pribadi. Di Indonesia sebutan lengkapnya
adalah Sanghyang Adi Buddha, sedangkan bentuk pujiannya
adalah Namo Sanghyang Adi Buddhaya.17
Dalam wawancara dengan informan, ternyata agama
Buddha didasarkan pada konsep teologi yang memahami
bahwa ada suatu kekuatan ghaib maha dasyat yang mengatur
segala isi di alam semesta ini. Siapa yang berbuat sesuai
dengan kehendak Sang Kekuatan Ghaib ini akan selamat, dan
siapa yang berbuat bertentangan dengan Sang Kekuatan Ghaib
ini akan celaka. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut
atau memberi nama kepada kekuatan ghaib tersebut18. Tuhan
dalam agama Buddha tidak bernama seperti dalam agama
lain, misalnya; Islam (Allah), Kristen (Yesus Kristus), Yahudi
(Yahweh), Hindu (Sang Hyang Widiwasa), Sikh menyebut
tuhanya dengan sebutan Waheguru dan sebagainya. Seperti
dijelaskan Wang Chi Biu, bila dikaitkan dengan konsep
monoteisme agama tersebut, maka ajaran Buddha tidak
mengenal teologi. Buddha tidak mengajarkan teisme fatalis
dan determinis yang menempatkan pribadi dengan kekuasaan
adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua
17 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015
18http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/ Diunduh 23 maret 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
141
mahluk. Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang
Maha Esa atau Yang Maha Mutlak Sebagai Yang Maha Tinggi,
Maha Luhur, Mahasuci, Maha Sempurn, Kekal Atau Tanpa
Awal Dan Tanpa Akhir, tetapi bukan suatu pribadi. Di
samping itu menurutnya, sudah cukup lama monoteisme dan
politeisme dalam sistem teologi menjadi sasaran kritik para
ilmuwan tanpa bisa membela diri, hingga akhirnya fakta
menunjukan bahwa agama Buddha semakin mudah dipahami
dan semakin berkembang di seluruh dunia.19 Karena itu
agama Buddha dapat disebut agama tetapi bukan agama
sistem, karena sistem teologisnya tidak seperti lazimnya
agama-agama lainya. Ketuhanan dalam agama Buddha
didasarkan sabda Sang Buddha, yaitu;
“Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta,
Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang
Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita
dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu,
karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan
untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang telah lalu.20
Pernyataan Sang Buddha di atas termuat dalam Sutta
Pitaka, Udana VIII : 3, dan merupakan konsep monoteisme
19 Wang Chi Biu, The Scientific Outlook of Buddhism, Terj. Oleh
Hendy Hanusia, Pandangan Ilmiah dalam Agama Buddha, Yayasan
Penerbit Karaniya, Jakarta, 2002, hal.vii -viii
20
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Diunduh 30
Januari 2015
142
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Buddha yang aslinya masih dalam bahasa Pali (bahasa
kaumnya Buddha Gautama) yaitu Atthi Ajatang Abhutang
Akatang Asamkhatang, artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan,
Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak".
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu tanpa aku
(anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apapun, Yang Mutlak tidak
berkondisi (asamkhata), manusia yang berkondisi (samkhata)
dapat mencapai kebebasan dari samsara dengan cara
bermeditasi (berkhalwat dan bertapa).
Tidak adanya nama tuhan dalam agama Buddha telah
mempersult umatnya di tengah umat agama-agama lain yang
memiliki nama Tuhan. Menyadari hal itu, maka para
agamawan Buddha memutuskan bahwa nama tuhan dalam
agama Buddha adalah “Tuhan Yang Maha Esa” atau “Yang
Maha Esa”. Keputusan para sangha yang mirip konsili Necea
yang memutuskan bahwa tuhan bagi umat Kristen disebut
dengan Yesus Kristus (Trinitas), diputuskan dalam Pasamuan
I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang (12 s/d14
Maret 1976). Namun sebenarnya, beberapa tahun sebelumnya
(1960-an) pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia),
yaitu Bhikku Ashin Jinarakkhita, telah mengusulkan agar
Tuhan dalam agama Buddha disebut dengan Sang Hyang Adi
Buddha. Hal ini menurutnya didukung sejarah versi Buddha
Indonesia dalam teks Jawa kuno dan relief-relief pada situs
Borobudur yang menggambarkan "Suatu Yang Tidak
Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang
Maha Mutlak"21. Tetapi sayang nama Sang Hyang Adi Buddha
ini ternyata tidak dapat disepakati seluruh umat Buddha,
Jo Pristiana, Brain Storming untuk bahan penyusunan desain
penelitian ini, Maret 2015
21
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
143
karena mirip-mirip konsep teologi Hindu dan Sikh, dan
akhirnya yang lazim disebut “Tuhan Yang Maha Esa”.
Umat Buddha memiliki nilai-nilai moralitas yang
sifatnya sangat teologis dijunjung tinggi dan dijaga ketat oleh
umat Buddha apapun aliran dan sektenya, yaitu Pancasila
(lima sila-moralitas). Pertama, Panatipata Veramani Sikkhapadam
Samadiyami artinya Aku bertekad akan melatih diri
menghindari pembunuhan makhluk hidup. Kedua, Adinnadana
Veramani Sikkhapadam Samadiyami artinya aku bertekad akan
melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang
tidak diberikan (menghindari kliptomania). Ketiga, Kamesu
Micchacara Veramani Sikhapadam artinya aku bertekad akan
melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila
(menghindari molimo); Keempat, Musavada Veramani
Sikkhapadam Samadiyami artinya aku bertekad akan melatih
diri menghindari melakukan perkataan dusta (bohong dan
menipu); dan Kelima Surameraya Majjapamadatthana Veramani
Sikkhapadam Samadiyami artinya aku bertekad akan melatih
diri menghindari makanan atau minuman yang dapat
menyebabkan lemahnya kesadaran (miras).22
Di samping memegang lima sila moralitas ini, umat
Buddha juga sangat menjunjung tinggi secara teologis, yaitu
karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab
akibat. Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sanskerta)
berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan
22Dalam sejarah pembahasan dasar untuk negara Indonesia
merdeka oleh PPKI pada tanggal 1 Juni 1945, sering disebut bahwa istilah
Pancasila sebagai nama dasar Negara ditemukan oleh Soekarno yang
menyebutkan bahwa ada lima dasar yang menjadi landasan hidup bangsa
Indonesia dalam bernagara. Jangan-jangan istilah itu diambil dari ajaran
Buddha ini! Wallahu a’lam bishawaf.
144
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
ada pula aksi atau karma buruk. Istilah karma ini lazim
digunakan oleh masyarakat, namun cenderung diartikan
sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain
sebagainya, yang itu merupakan pemahaman yang salah
tentang karma dalam agama Buddha. Guru Buddha dalam
Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan arti
kamma: Pertama, ”Para bhikkhu, cetana (kehendak) lah yang
kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang
melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran.”
Kedua, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana),
perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan
oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang
baik (kusala) maupun yang jahat (akusala). Ketiga, Kamma,
sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu
hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip sebab akibat.
Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma
(perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat.
Akibat atau hasil dari kamma disebut sebagai Kamma
Vipaka.23
Sejarah Buddha Maitreya
Banyak sekte-sekte yang merupakan turunan dari
sekte Buddha Mahayana, yaitu pertama, Tridharma, adalah
sekte yang didirikan oleh kaum Buddhis yang selain kagum
terhadap ajaran Buddha, juga amat terbuka terhadap filsafat
Khonghucu dan kepercayaan Taoisme. Kaum terpelajar yang
kental memelihara dengan kuat tradisi Tionghoa, memilih
23Ibid, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Diunduh 30
Januari 2015; Dalam konsep teologi Islam disebut dengan janji dan ancaman.
Demikian pula penjelasandari Peyuluh agama Buddha di Kota Medan, Peter
Lim dan Ling Ling
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
145
sekte ini. Kedua, sekte Maitreya, adalah sekte yang merupakan
turunan dari Buddha Mahayana yang berkembang di Taiwan.
Banyak yang menganggap sekte ini menyimpang dari ajaran
Buddha awal, karena adanya misi keselamatan tunggal dari
Buddha Maitreya, yaitu Buddha yang akan datang
(Mesianisme). Sekte ini sangat menganjurkan umatnya
bervegetarian untuk mempercepat tercapainya kebuddhaan.
Puja puji (sembahyang-agama lain) sangat ditekankan dalam
sekte ini. Ketiga, sekte Nichiren, adalah sekte turunan dari
Buddha Mahayana yang berkembang dan berakulturasi
dengan tradisi Jepang. Keempat, sekte Satya Buddhagama,
adalah sekte yang termasuk rumpun Mahayana yang
didirikan oleh Master Lu Sheng Yen, seorang Amerika
keturunan Tionghoa. Ajaran Lu Sheng Yen merupakan
pengalaman-pengalaman spiritualnya seputar ajaran Buddha
dan kepercayaan Taoisme. Kelima, sekte Buddhayana,
sebenarnya bukan sekte/aliran yang berdiri sendiri, karena
Buddhayana pada awalnya bertujuan untuk menghindari
adanya sektarian dan kefanatikan, sehingga sangat terbuka
terhadap semua sekte yang ada, tetapi akhirnya menjadi sekte
tersendiri.24
Menurut Buddha Gautama, kenikmatan kesadaran
nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia
kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai
manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana
khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan bodhisattva
(makhluk yang tekad "committed") pada kesadaran tetapi
menangguhkan nirvana mereka agar dapat membantu orang
lain pada jalan itu. Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci
Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30
Feburari 2015
24
146
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Buddha - tidak terbilang Buddha yang telah lalu dan hidup
mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan
datang, yaitu Buddha Maitreya. Buddha Gautama bukanlah
Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia
atau kalpa; satu kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000
tahun). Buddha-Buddha sebelumnya adalah Buddha
Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha
yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam
Cakkavatti-Sihanada Sutta, Sutta ke-26 dari Digha Nikaya
dikatakan bahwa:
"Pada saat itu kota yang sekarang merupakan Varanasi akan
menjadi sebuah ibu kota yang bernama Ketumati, kuat dan
makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan. Di
Jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh
Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan
memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota
Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha,
seorang Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik,
penakluk keempat penjuru. Dan pada saat orang memiliki
harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia
seorang Yang Terberkahi, Arahat, Sammasambuddha
bernama Metteya"
Di dalam Buddhavacana
disebutkan juga:
Maitreya
Bodhisattva
Sutra
"O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut
dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia
Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut
agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan
laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut
kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
147
yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan
permukaan buminya demikian rata dan bersih"
Pada zaman dinasti Liang (tahun 502 - 550) daratan
Tiongkok berada dalam keadaan kacau, perang saudara dan
perebutan kekuasaaan. Sehingga para penganut Buddha
mengharapkan datangnya Maitreya sebagai penyelamat.
Karena itulah lahir sekte Maitreya. Gambar Maitreya sebagai
pangeran India yang gagah menjelma sebagai bhiksu gendut
yang selalu senyum. Buddha Maitreya dipercayai lahir di
provinsi Zhejiang sebagai bhiksu gendut yang disebut Pu Tai
He Sang atau Bhiksu Berkantong Kain. Legenda mengatakan
bahwa bhiksu ini sering berkelana membawa kantong kain
pada permulaan abad ke-10. Dia juga dijuluki Buddha Ketawa,
Buddha Mi Le, atau Ju Lai Fo (Buddha yang akan datang). Ia
dipercayai sebagai reinkarnasi Maitreya karena saat akan
meninggal menulis syair: Maitreya, Maitreya yang asli. Manusia
selalu mengharapkan kedatangannya. Dia selalu menjelma dalam
berbagai bentuk, namun saat dia datang menjelma sebagai manusia,
tidak ada yang mengenalnya.Seribu kalpa kelahiran untuk
mengikat jodoh dengan umat manusia agar umat manusia
mandiri dan tahu berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya
sendiri dari alam sengsara dan di naungi oleh prana jubah
emas Budha Maitreya agar tahan di jalan kebenaran.
Dalam agama Buddha, Bodhisattva Maitreya adalah
Buddha yang akan datang yang dalam bahasa Tionghoa,
Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa. Dalam agama Buddha
diajarkan bahwa Buddha merupakan sebuah gelar (Sang
Pencerah), sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada
Buddha Sakyamuni saja. Buddha yang akan datang setelah
Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang
ini masih bergelar sebagai bodhisattva (calon Buddha).
148
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Maitreya bertempat tinggal di surge Tusita, yang merupakan
tempat tinggal bagi para bodhisatva sebelum mencapai
tingkat ke-buddha-an. Buddha Sakyamuni juga bertempat
tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama di
dunia.25
Maitreya berasal dari bahasa Sanskerta berarti kasih,
yaitu membawakan kebahagiaan, sukacita, harapan dan
kecemerlangan bagi umat manusia. Buddha Maitreya adalah
Buddha universal, Buddha yang mendunia yaitu Buddha Buddha
sukacita, Buddha kebahagiaan, Buddha keberuntungan, dan Buddha
tawa-ria. Dengan ikrarnya, Buddha Maitreya berusaha
mengubah dunia yang kacau menjadi dunia damai sentosa,
mengubah dunia yang penuh kekotoran dan kejahatan menjadi alam
sukhawati, mengubah dunia yang penuh penderitaan menjadi Bumi
Suci yang membahagiakan, mengubah bumi yang sedang terluka
parah menjadi taman sukacita semesta yang paling sejati, paling
bajik, dan paling Indah26. Buddha Maitreya memiliki kasih
sayang yang sangat besar terhadap semua mahluk dunia.
Kenyataannya di sepanjang sejarah umat manusia, kehidupan
dipenuhi oleh perbedaan, baik itu negara, ras, warna kulit,
suku, agama, kebudayaan, idealisme, adat istiadat, kebiasaan,
bahasa, ataupun perbedaan miskin-kaya, cantik-jelek, pintarbodoh. Sesungguhnya betapapaun banyaknya perbedaan,
suara hati dan hasrat kalbu yang terdalam pada setiap
individu adalah salam, yaitu; sebuah kehidupan yang leluasa
dan penuh sukacita; sebuah keluarga yang bahagia dan
harmonis; sebuah lingkungan masyarakat yang rukun dan
25 Diolah dari hasil wawancara dengan Sucipto (Sekjen DPP
MAPANBUMI dan Bendahara DPD MAPANBUMI Sumatra Utara), April
2015
26 DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya
Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
149
damai; sebuah negara yang mendiri dan sentosa; sebuah
dunia yang gemilang, tenang dan damai27.
Dalam bookletnya DPP MAPANBUMI yang isinya
terasa seperti iklan, disebutkan bahwa di sepanjang sejarah,
jauh di dalam lubuk hatinya setiap umat manusia berharap
agar terhindar dari kondisi kelaparan, kemiskinan,
kekurangan, jauh dari penderitaan, kegelapan, dosa,
kekotoran, dan kekacauan, jauh dari ketakutan, dan
ketidaktenangan, jauh dari bencana alam, peperangan,
musibah, dan malapetaka. Seruan lubuk kalbu yang terdalam
dari setiap umat manusia ini menggugah Buddha Maitreya
untuk datang ke dunia. Besarnya getaran panggilan kasih
untuk mengakhiri semua bentuk penderitaan, mendorong
Buddha Maitreya, Buddha yang melampaui batas ruang dan
waktu untuk datang ke dunia. Karena itu Buddha Maitreya
merupakan jawaban atas jeritan hati umat manusia yang telah
berlangsung ribuan, bahkan laksaan masa. Buddha Maitreya
mengasihi alam semesta, langit, bumi, manusia, laksa
makhluk dan benda, menghargai kemuliaan setiap kehidupan.
Kita diajak meneladani keindahan kodrati Buddha Maitreya
yaitu yang bertutur kata Maitreyani, berteguh dalam hati
Maitreyani, berprilaku Maitreyani, dan memancarkan wajah
kasih Maitreyani. Dengan demikian, bersama Buddha
Maitreya mewujudkan dunia iniversal, alam sukhawati, bumi
semesta yang paling sejati, paling bajik, dan paling Indah.28
Pada zamannya, Buddha Sakyamuni, Boddhisattva
Maitreya merupakan salah satu murid dari Sang Buddha.
27
DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya
Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015
28 Booklet DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(Mapanbumi) II, DPP Mapanbumi, Medan, 2015
150
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Buddha Sakyamuni tidak membina dengan penegasan cara
duduk bermeditasi dan tidak melepaskan kilesa namun
mendapat afirmasi dari Buddha Sakyamuni bahwa ia akan
mencapai Kebuddhaan. Bodhisatva Maitreya adalah manusia
Buddha setelah Buddha Sakyamuni, sehingga disebut Buddha
yang akan datang. Masa lalu Buddha Maitreya adalah
Bodhisatva Maitreya. Dan pada masa itu Bodhisatva Maitreya
menegakkan ikrar agung, bertekad merubah dunia yang
penuh kekacauan menjadi dunia yang damai.29
Menurut Sucipto (Sekjen DPP MAPANBUMI), sabda
sang Buddha dalam Sutra Maha Ratna Kuta (Ta Pao Ci Kung)
pada Bab 88 (Pertemuan Maha Kasyapa), Suatu ketika Sang
Buddha menjalarkan tangan-Nya yang membiaskan cahaya
kemilauan, hasil paduan dari kesucian laksa asamkheya kalpa.
Dengan jari dan telapak tanganya yang bersinar bagaikan
bunga teratai, beliau mengusap ubun-ubun Bodhisatva
Maitreya sambil bersabda, “Wahai Maitreya! Demikianlah.
kupesankan kepadamu nanti masa lima ratus tahun kelima, saat
lenyapnya Dharma sejati, engkau harus melindungi Tri Mustika
Buddha, Dharma dan Sangha. Jangan sampai lenyap dan terputus”.
Seketika itu juga Trisahasra Maha Sahasra lokya dhatu (alam
semesta) dipenuhi cahaya terang dan diikuti enam bentuk suara
gemuruh yang dahsyat. Semua mahluk suci dan dewa serentak
menghormati Bodhisatwa Maitreya dengan sikap anjali (hormat)
sambil berkata, “Sang Tathagata telah berpesan kepadamu yang
mulia dengan pengharapan seluruh umat manusia dan dewa
mendapatkan berkah kebahagiaan, terimalah pesan itu yang mulia”.
Kemudian Bodhosatwa Maitreya segera berdiri sambil
menampakan bahu kananya, dan berlutut menghormat Sang
Buddha: “Junjungan dunia, demi keselamatan semua mahluk aku
29
Ibid, hal 2-3
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
151
telah menerima penderitaan laksaan khalpa yang tak terhitung,
apalagi kini Tathagata telah menyampaikan pesan dharma sejati,
bagaimana mungkin tidak diterima? Wahai junjungan dunia! Kini
aku berjanji pada masa yang datang akan kukhabarkan Dharma
Amutara Samma Sambadhi yng telah Tathagata cepat dalam
perjuangan berlaksa-laksa asam-kheya kalpa yang tak terhitung”.30
Dari dialog antara Sang Buddha dan Buddha Maitreya
itu, maka terlihat adanya usaha dharma yang terus menerus
yang akan dilaksakan ke seluruh penjuru angin dari generasi
ke generasi dan pasang surutnya kehidupan sosial
kemasyarakatan dimana Buddha dianut oleh masyarakat.
Sampailah usaha dharma itu kemudian di kota Medan dengan
jumlah umat Buddha yang terakomidir dalam Buddha
Maitreya dengan organisasi MAPANBUMI. Budhha Maitreya
dinyatakan sebaik-baik mahluk oleh kalangan umat Buddha
Maitreya untuk mensejahterakan, mendamaikan manusia
dalam satu keluarga di seluruh dunia. Harapan yang
diperjuangkan Buddha Maitreya adalah dunia yang aman,
damai, sentosa, tidak ada kekerasan, tidak ada pembunuhan
hewan dan manusia, serta menjadikan umat manusia ini satu
keluarga yang saling bekerjasama dan mendukung dalam
semua tindakan dharma. Sang Buddha bukanlah dewa atau
makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha
adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai
kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran
Buddha ini akan membawa kesejahteraan kepada
pengamalnya.
I Kuan Tao (baca;Yi Guna Dau) menyatakan bahwa
pencipta alam semesta, bumi dan seluruh mahluk hidup
Booklet DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(Mapanbumi) II, DPP Mapanbumi, Medan, 2015, hal. 21-22
30
152
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
adalah Tuhan yang berupa seorang Ibunda yang disebut Lao
Mu. Lingkaran hidup bumi dan alam semesta adalah 108 000
tahun, dan kita berada dalam zaman terakhir dimana manusia
telah hidup 60 000 tahun. Manusia sebagai anak-anak dari
Tuhan (Lao Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat
dalam hidup duniawi, terjerumus dalam dosa yang
menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi kejahatan
maupun penderitaan dan tidak bisa kembali ke Surga. Lao Mu
sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus
10 Buddha untuk menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7
Buddha pertama telah datang saat bermulanya kebudayaan
manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas
penyelamatan. Sehingga dibagi 3 zaman: Zaman Pancaran
Hijau, Pancaran Merah, dan Pancaran Putih. Buddha
Dipankara diutus saat Zaman Pancaran Hijau (sekitar 3000
SM) sampai lahirnya Siddharta Buddha. Zaman Pancaran
Merah bermula dengan diutusnya Siddharta Gautama. Zaman
Pancaran Putih atau zaman terakhir bermula saat Buddha
Maitreya diutus, yang menurut umat Buddha Maitreya
Inkuanisme, Buddha Maitreya telah datang ke dunia sebagai
Guru ke-17, bernama Lu Zhong I.
Sejarah resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao
dalam 3 periode. Periode pertama disebut sebagai 18 Sesepuh
Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya manusia.
Sesepuh pertama adalah Fu Shi, tokoh mistis dari Tiongkok,
pencipta pa kwa (8 triagram). Kemudian berlanjut ke tokoh
mitos dan sejarah: Shen Nong (penemu pertanian), Huang Ti
(Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok, sampai
Kong Hu Cu, dan terakhir Lau Ce (Penulis Tao Te Ching).
Dikatakan bahwa karena perang saudara di daratan Tiongkok,
menyebabkan Lao Ce membawa Tao ke India dan
meneruskan ke Siddharta Gautama. Di sini bermula periode
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
153
ke-2 yang disebut 28 Sesepuh dari Barat, bermula dari
Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut
aliran Zen sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma
dikatakan membawa Tao kembali ke Tiongkok, dan
bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari Timur.
Bermula dari Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng
(sama seperti aliran Zen). Dari sesepuh ke-7 bermula namanama dari sekte atau aliran bawah tanah Tiongkok. Guru ke-9
yang bernama Huang Te Hui (1624-1690) adalah juga pendiri
sekte "Shien Thien Tao" (atau Jalan Surga Pertama). Aliran
Shien Thien Tao masih ada di Indonesia dalam bentuk
kelenteng kelenteng yang dipegang oleh Bhiksuni (Chai Ma).
Sehingga disebutlah I Kuan Tao bercabang dari Shien Thien
Tao. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan belakangan ini
menunjukkan bahwa Wang Cue Yi, sesepuh ke-15,
mendirikan aliran "I Kuan Ciao" (Agama I Kuan) di zaman
dinasti Ching (sekitar tahun 1850). Sejarah I Kuan Tao
menunjuk ke sesepuh ke-17 Lu Chong I sebagai jelmaan
Buddha Maitreya, merupakan awal Zaman Pancaran Putih
(zaman terakhir) di tahun 1905.
Chang Thien Ran, Bapak I Kuan Tao mulai
berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Chang Thien Ran
memegang pimpinan. Sesepuh Chang lahir tahun 1889 pada
tanggal Imlek 19 bulan 7, di Ji Ning, propinsi Shan Tong.
Sesepuh Chang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun 1914.
Sesepuh ke-17 Lu Zhong I yang dipercaya adalah jelmaan
Buddha Maitreya melihat talenta Sesepuh Chang. Dan setelah
meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925, Sesepuh Chang
diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Chang
dikatakan sebagai jelmaan Ci Kung, Buddha Sinting, atau
disebut Buddha Hidup Ci Kung. Sesepuh Chang Thien Ran
disebut sebagai Se Cun (Bapak Guru Agung). Sesepuh Chang
154
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dikatakan atas mandat Lao Mu, menikahi Sesepuh Sun Su
Chen yang disebut sebagai jelmaan Bodhisatwa Yek Huei
(Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun Su Chen besama
Sesepuh Chang Tien Jan menjabat sebagai sesepuh ke-18 I
Kuan Tao. Sun dihormati sebagai Se Mu (Ibu Guru Suci).
I Kuan Tao menyebar pesat dari tahun 1930 sampai
1936. Dari tahun 1937-1947 selama kekuasaan Jepang, I Kuan
Tao juga berhasil menarik penganut dari utara, tengah sampai
selatan Tiongkok. Sesepuh Chang Tien Ran meninggal tahun
1947 saat komunis mulai berkuasa di Tiongkok. Dengan
meninggalnya Sesepuh Chang, dan berkembangnya komunis
di China, I Kuan Tao tidak dalam keadaan yang bersatu. Para
muridnya secara tersendiri melarikan diri ke Hong Kong dan
Taiwan. Sesepuh Sun Su Cen (Se Mu) mengambil alih
kedudukan dan membawa ajaran Ikuanisme ke Hong Kong
dan Taiwan. Dari Taiwan I Kuan Tao berkembang pesat dan
menyebar ke Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand). Sementara itu, para murid Sesepuh Chang secara
individual menyebarkan ajaran I Kuan Tao, sehingga muncul
kelompok-kelompok Ikuanisme dengan sesepuh atau
pemimpin yang berbeda-beda. Di Taiwan, I Kuan Tao mulai
resmi diakui pemerintah sejak tahun 198731.
Wilayah bersejarah sebagai tanah awal pijakanya
Buddha Maitreya di Indonesia adalah Kota Malang tahun
1949. Missionaris pertamanya bernama dr gigi Tan Pik Ling
(Hokkian) dari Taiwan sebagai Maitreyawira (Indonesia).
Katanya diutus Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling.
Umat Buddha Maitreya mendirikan vihara Maitreya atau Fo
Tang (rumah ibadah) pertama di Malang thn 1950 sebagai
Hendy Tazali, Sejarah Buddha Maitreya di
http://sejarahbudhamaitreya.blogspot.com, diunduh April 2015
dalam
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
155
31
vihara Buddha Maitreya pertama di luar daratan China dan
Taiwan. Sejak kedatanganya thn 1930 hingga thn 1949, dokter
Tan membangun relasi di kalangan etnis Tionghoa, kemudian
menyatakan ia diutus memimpin dan mengabarkan kabar
gembira pada etnis Tionghoa, bahwa Buddha Maitreya sudah
hadir dan harus ditaati umat manusia. Dari missi dokter Tan
dan pembantunya, Buddha Maitreya menyebar ke Surabaya,
Pasuruan, Jakarta, Medan, Bagansiapi-api, dan Pontianak.
Buddha Maitreya menjadi sekte dalam agama Buddha yang
tumbuh dan berkembang paling pesat diantara semua sekte
agama Buddha di Indonesia. Tan meninggal tahun 1985.Tetapi
semua informan non Buddha Maitreya, menolak I Kuan Tao
sebagai bagian agama Buddha. Ajaran-ajaran dan ritual-ritual
sekte Buddha Maitreya dianggap tidak ada hubungannya
dengan Buddha. Penamaan Buddha Maitreya karena politis,
bukan karena alasan agama, agar diakui pemerintah. 32
32
Diolah dari wawancara dengan Peter Liem, Ling-ling,
Sabaruddin
Juni 2015 serta penjelasan Narasumber seminar, Cornelis
Wowor, Agustus 2015
156
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
SUTRA, AJARAN RITUAL
DAN HARI BESAR KEAGAMAAN
Sutra Penting Tentang Buddha Maitreya
Sutra Sarvajna Prabha Manusya Deva berpantang Daging
Berdasarkan catatan sutra dalam Buddha Maitreya,
Sang petapa di masa lampau memuja Maitreya sebagai guru.
Ajaran Maitreya adalah Catur Paramita, inti dari ajaran yang
disampaikan adalah penerapan cinta kasih. Saat itu petapa tak
hanya memuja Maitreya sebagai guru bahkan berikrar di
kehidupan berikutnya dapat mencapai kebuddhaan dengan
nama Maitreya. Dari sini Maitreya mulai membina diri,
menjalani hidup dengan berpindah-pindah dan fokus dalam
pembinaan hati. Dalam perjalanan pembinaannya, Maitreya
tibalah di sebuah negara, namun disayangkan negara tersebut
dipimpin oleh raja yang bejat, dan tidak mencintai rakyatnya.
Suatu hari hujan turun tiada henti sehingga terjadi bencana
banjir bah. Karena banjir, sang petapa tidak dapat
memperoleh makanan selama tujuh hari. Melihat hal ini,
seekor induk kelinci yang dapat merasakan kebajikan sang
petapa merasa tergugah dan bertekad mengorbankan
tubuhnya untuk dipersembahkan kepada petapa. Tekad sang
ibu terdengar oleh anak kelinci, segeralah anak kelinci lebih
dulu menerjunkan diri ke dalam kobaran api dan kemudian
disusul oleh induk kelinci.
Setelah mengetahui adanya peristiwa pengorbanan
dua ekor kelinci ini, Sang petapa tergugah dan menjadi sedih
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
157
lalu berkata : “ Lebih baik aku membunuh diriku dan
mengorbankan mataku, aku rela menerima berbagai penderitaan
daripada harus menyantap daging sesama makhluk hidup.” Seperti
yang disabdakan Sang Buddha, seorang yang memakan
daging, pengamalan cinta kasihnya tidak akan sempurna,
pendek umur dan banyak penyakit yang menggerogoti tubuh,
tersesat dalam tumimbal lahir, tak bisa mencapai
Kebuddhaan. Oleh sebab itu sang petapa menegakkan ikrar,”
Disetiap kelahiranku yang berikutnya, sebetikpun tak terbetik niat
membunuh dan memakan daging, menempuh jalan Kebuddhaan
mencapai kesucian.” Setelah itu petapa juga melompat ke dalam
api dan wafat. Induk kelinci pada saat itu adalah Buddha
Sakyamuni dan anak kelinci adalah Rahula, 500 ekor kelinci
adalah 500 murid Sang Buddha, sedangkan petapa adalah
Bodhisatva Maitreya.
Hal penting yang tercantum dalam sutra ini adalah,
Sang Petapa memuja Maitreya sebagai guru pada setiap
kehidupan berikutnya. Ia mencapai Buddha dengan gelar
Maitreya. Jadi sesungguhnya Maitreya bukan hanya
menunjuk kepada Buddha Maitreya semata, melainkan siapa
saja yang membina dalam ajaran maitri karuna dan mencapai
Kebuddhaan akan bergelar Maitreya. Maitreya berarti cinta
kasih, Cinta kasih adalah kebahagiaan dan kesukacitaan, agar
seluruh makhluk hidup dapat berbahagia. Syarat utama
adalah tidak melakukan pembunuhan, tidak memakan
daging. Ini adalah tugas pokok menjalankan ajaran Maitreya.33
Diringkas dari booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha
Maitreya, 2015
33
158
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Sutra Pertanyaan tentang Nazar Bodhisatva Maitreya
Hal penting yang disampaikan sutra ini adalah
penjelasan perbedaan metode pembinaan Buddha Sakyamuni
dengan Buddha Maitreya. Pada masa pembinaan Buddha
Sakyamuni, segala yang dimiliki dapat dikorbankan, termasuk
istri, anak, organ tubuh, kekuasaan, harta benda ,darah,
daging bahkan nyawa sendiri demi mencapai kesadaran sejati.
Sedangkan Buddha Maitreya di dalam pembinaannya tidak
mengorbankan apapun seperti telinga,hidung, mata, tangan,
kaki, nyawa, harta benda, anak, istri, kekuasaan dan lainnya.
Melainkan dengan fleksibilitas dan teknik pembinaan yang
sukacita hingga mencapai kebenaran tertinggi. Buddha
Maitreya pagi hingga malam berpakaian rapi dengan penuh
hormat berlutut menghadap 10 penjuru alam dan bersabda :”
Aku bertobat atas segala dosa dan kekhilafan, bertekad membantu
semua mekhluk mencapai kesadaran, bersujud dan memohon kepada
para Buddha demi mencapai kesempurnaan tertinggi.”
Makna penting dari kitab ini adalah ikrar yang ditegakkan
kelak menentukan arah pembinaan. Pembinaan Maitreya yang
fleksibel, luwes dan leluasa. Pertama : bertobat, instropeksi ke
dalam hati mencari dosa dan kesalahan diri, senantiasa tahu
dan mawas akan setiap perbuatan diri barulah bisa menapaki
langkah awal pembinaan mencapai kesempurnaan.
Kedua: membantu orang lain. Membantu orang lain
adalah perbuatan yang dapat mengikis ketamakan dalam diri
dan melapangkan hati. Bertobat dan menyesali dosa adalah
pembinaan yang menyempurnakan kebajikan sendiri. Ini
adalah pembinaan yang harus dijalani setiap orang untuk
mencapai Bodhisatva. Dalam usaha bertobat dan
menyelamatkan orang lain, mungkin tidak akan cukup hanya
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
159
mengandalkan kekuatan
kekuatan para Buddha.
pribadi,
perlu
mengandalkan
Ketiga adalah bersujud dan menghormati para Buddha,
ini bukan hanya sikap merendahkan hati, lebih-lebih sebagai
awal dari menghormati segalanya, segalanya dihormati. Dari
menghormati
Buddha
berkembang
hingga
dapat
menghormati laksa benda, ini adalah satu pribadi serta jiwa
yang sangat luhur. Dengan dapat menjalankan ketiga teknik
pembinaan Maitreya yaitu bertobat, penyelamatan makhluk,
menghormati para Buddha, terakhir akan mencapai
kebijaksanaan tiada tara. Maitreya adalah Buddha masa
depan. Cara pembinaannya lebih sesuai dengan umat manusia
di zaman sekarang ini.34
Sutra Bodhisatva Maitreya Mencapai Surga Tusita
Point penting dalam sutra ini adalah Buddha
Sakyamuni bersabda bahwa Ajita (nama Maitreya) kelak akan
menjadi Buddha. Ajita seperti manusia pada umumnya,
meskipun sebagai bhiksu, namun ia tidak membina dengan
meditasi dan pelepasan kilesa. Sang Buddha mengatakan Ajita
kelak pasti menjadi Buddha. Maitreya dikenal sebagai
Bodhisatva. Didalam sutra juga tertulis untuk menjadi murid
Maitreya harus mematuhi lima pantangan, bervegetarian,
senantiasa menuntut pembinaan diri dan berbuat kebajikan.
Kelak Bodhisatva Maitreya akan menjadi penuntun umat
manusia menuju kecemerlangan. Bagi yang melafalkan,
mendengarkan dan menghormati Nama Agung Maitreya
dapat menghapus laksa kalpa dosa yang tak terhingga.
Lihat lagi booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha
Maitreya, 2015
34
160
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Inti yang disampaikan kitab ini adalah Maitreya kelak
merupakan pengharapan semua makhluk yang ada di dunia.
Adalah Buddha akan datang setelah Buddha Sakyamuni.
Buddha Maitreya tak hentinya membina dalam setiap
kehidupan, hingga mencapai kedudukan suci “Bodhisatva
yang menyempurnakan kebajikan” artinya asalkan sekali lagi
terlahir kembali, Beliau pasti akan menjadi Buddha. Yang
istimewa adalah ciri khas pembinaan Maitreya yang seperti
manusia pada umumnya, meskipun menjadi bhiksu namun
Beliau tidak membina dengan bermeditasi dan pemutusan
kilesa. Namun cara pembinaan yang akan diajarkan Maitreya
sangat berbeda, Beliau menekankan pada keuletan membina
dalam menjalankan lima pantangan dan mengamalkan 10
kebajikan.
Dengan kata lain fokus pada pembinaan Dharma
secara positif dan bukan dengan paksaan dan penyiksaan diri
(memutuskan kilesa dan keduniawian). Dengan banyak
berbuat bajik, kejahatan akan lenyap dengan sendiri,
diibaratkan seperti masuk ke sebuah ruang gelap, namun
tidak perlu bertanya bagaimana mengusir kegelapan ? Hanya
perlu membuka lampu, kegelapan pun akan hilang dengan
sendirinya. Maitreya dengan raga dan kehidupan seperti
manusia awam namun pada akhirnya mencapai Kebuddhaan.
Ini menunjukkan bahwa meskipun hidup di dunia sebagai
manusia awam, namun jika membina diri juga dapat menjadi
Buddha.35
Lihat lagi booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha
Maitreya, 2015
35
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
161
Sutra Kedatangan Maitreya ke Dunia
Sutra ini selain menjelaskan tentang kelahiran
Maitreya di dunia, meninggalkan keluarga membina diri
hingga mencapai pencerahan di pohon Puspanaga, sutra ini
juga menjelaskan hubungan penerusan antara Buddha
Sakyamuni dengan Buddha Maitreya. Maitreya adalah
Buddha akan datang setelah Buddha Sakyamuni. Keluhuran
pencapaian Kebuddhaan Maitreya adalah pembinaannya di
setiap kehidupan yang tiada henti. Dharma, ajaran Sang
Buddha Sakyamuni baik di masa lalu, sekarang dan akan
datang, akan diteruskan Maitreya di setiap kehidupannya.
Ajaran Maitreya sangatlah fleksibel dan universal, barang
siapa yang melafalkan nama besar Buddha Maitreya,
mendengar nama-Nya dan menghormati-Nya dapat menjalin
jodoh dharma dengan Buddha Maitreya, dapat disebut
sebagai murid cinta kasih atau murid Maitreya.
Sutra Mahasambhava Maitreya
Sutra ini membahas tentang kesadaran akan
ketidakkekalan adalah langkah awal membina diri, segala
yang ada di dunia suatu hari akan musnah. Dengan
menyadari hal ini, baru bisa mengejar hidup yang abadi.
Mengubah hidup yang terbatas menjadi hidup yang tidak
terbatas. Setiap Pembina perlu mengumpulkan kebajikan di
setiap kehidupannya. Mungkin saja pada suatu kehidupan
pernah membina sebagai murid Buddha Sakyamuni dan kelak
akan terlahir lagi ke dunia membina di zaman Maitreya. Hal
ini mengungkapkan bahwa silsilah dharma bersifat
berkelanjutan.
162
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Meskipun dalam sutra dikatakan Maitreya baru akan
datang ke dunia pada lima milyar tahun lebih mendatang,
namun ini hanya mewakili suatu angka, angka menunjukkan
adanya batas. Berdasarkan maksud dari Buddha Sakyamuni,
Maitreya kelak pasti akan menjadi Buddha di dunia ini, dan
terwujudnya bumi suci Maitreya sangat mengandalkan usaha
pembinaan manusia dan bukan hanya sekedar menunggu.
Jika harus menunggu, lima milyar tahun lebih adalah waktu
yang sangat panjang. Asalkan setiap orang berjuang dalam
pembinaan ini, bumi suci pun dapat terwujud pada saat
sekarang juga. Saat itu, seperti yang disabdakan Buddha
Sakyamuni bahwa Buddha Maitreya dapat kita jumpai di
dunia.
Maitreya walau masih sebagai Bodhisatva di surga
Tusita, namun petunjuk dari Buddha Sakyamuni kelak
menjadi Buddha. Sesungguhnya semua Buddha sebelumnya
adalah Bodhisatva, setiap Bodhisatva harus melalui
pembinaan berkali-kali kehidupan untuk dapat mencapai
tingkat Kebuddhaan. Sutra ini tidak berpanjang lebar
menjelaskan asal mula dan perkembangan keyakinan
terhadap Maitreya. Yang menjadi fokus adalah perjuangan
pembinaan Buddha Maitreya.36
Bhakti Puja
Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa
umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu,
sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah
sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu
Lihat lagi booklet DPP Mapanbumi tentang Sutra Buddha
Maitreya, 2015
36
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
163
sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan
demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para
dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat
buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat
buddha bukanlah umat yang menghormat maupun
menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan
para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang
kepada mereka. Umat Buddha juga tidak berdoa karena istilah
ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan
ketika seseorang sedang berdoa. Umat Buddha tentu saja
tidak pernah meminta kepada arca sang Buddha maupun
kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa
umat Buddha bukanlah penyembah berhala karena memang
tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang
Buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia
lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat
Buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti.
Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna
menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai
melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan seharihari.37
Dalam melakukan puja bakti, umat Buddha
melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang
Buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang
penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau
bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang
sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala.
Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang Buddha berasal
dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di
berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang
37
164
Lihat brosur yang diterbitkan oleh DPP Mapanbumi Medan, 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan
melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai
tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan
menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang
Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan
simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya
tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah,
karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa
seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun,
dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya.
Ia belajar bersikap rendah hati. Setelah memasuki ruangan
dan bersujud, umat Buddha dapat duduk bersila di tempat
yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau
bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut
membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang Buddha.
Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang Buddha, umat
mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian
Dhamma sang Buddha serta berusaha melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama
seseorang mengenal Dhamma, semakin banyak ia melakukan
puja bakti, semakin banyak kotbah sang Buddha yang
diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam
tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan
adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta Sutta di
vihara. Sutta atau kotbah sang Buddha ini berisikan cara
memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua
mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri,
berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan,
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
165
dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu
berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada
lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar
dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta
tersebut bahwa jangan karena marah dan benci
mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih
ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan.
Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam
kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang
dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak
sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu
mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir
dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan
untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti
yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang Buddha.
Sekali lagi, umat Buddha tidak berdoa, juga tidak
sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar
apabila umat Buddha mempunyai keinginan atau permintaan,
misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika
demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat Buddha
agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat
tercapai? Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara
tradisi umat Buddha disarankan untuk melakukan kebajikan
terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran.
Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan
yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan
seperti yang diharapkan.38
38
166
Lihat brosur yang diterbitkan oleh DPP Mapanbumi Medan, 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Berdoa Bukan Meminta
Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai
jenis permohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya
diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan,
kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta
pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat
gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon
pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi
sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan
masalah.
Kepada
anathapindika,
Buddha
pernah
mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan
panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam
surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa.
Untuk mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung
pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus
berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat
merubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang
terbaik. Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar
keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau
juga menjilat hingga menyogok, atau menuntut. Jika doa
diartikan meminta, dan ternyata yang dihaaprkan sesorang
tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa jengkel dan
kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah tuhan,
kasih Buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang
yang meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti
akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan
(karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, Buddha
selalu melindungi, dan Buddha selalu memancarkan kasih
sayangnya yang tidak terbatas.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
167
Contoh doa dalam syair shanti deva (abad ke 7)
Semoga aku menjadi penawar rasa sakit bagi semua makhluk
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang
menderita lapar dan kehausan
Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang
miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar
dipinggir jalan
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang
merindukan pantai sebrang
Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang
diharapkannya jelas tidak akan tercapai tanpa kekayaan.
Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa
memberi.39
Parrita dan Mantra
Parrita adalah bacaan perlindungan yang dalam
pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan
parita bermula dari petunjuk Buddha kepada siswanya untuk
mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan
atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala parrita
yang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari
formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny
selamat, yang diajarkan oleh Buddha Gautama kepada
Angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi
39
Lihat lagi brosur yang diterbitkan oleh DPP Mapanbumi Medan,
2015
168
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kesukaran melahirkan. Selanjutnya adalah mantra. Mantra
adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci
dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra
panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut
hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang
hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang
selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari
beberapa suku kata.
Konsep mantra berkembang dari keyakinan agar
kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu kekuatan atau
bahkan sebagai kekuatan itu sendiri memiliki pengaruh kuat
terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar mantra
menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut
atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam kesadaran
seorang melalui integrasi psikofisik dan meditasi mendalam,
karena tanpa begitu, mantra tidak memiliki kekuatan.40
Persembahan
Berdoa (bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi
atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan
dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk
melakukan upacara persembahan karena buddha dan
boddhisattwa memerlukan persembahan itu. Tidak juga suatu
persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka.
Memberi persembahan bukan keharusan, tetapi biasanya
dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi batin
dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis
egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita
membiasakan untuk memberi apa yang terbaik dengan
40
Dijelaskan oleh Sucipto,
Mei 201
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
169
terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa
kehilangan. Para Buddha dan Boddhisattwa menerima
persembahan tanpa membawa pergi.Setiap sajian yang
dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin
melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan
ketidaktahuan. Air selain membersihkan juga melambangkan
kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap
membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama
baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga.
Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong
untuk mencapai kebebasan.41
Ajaran Buddha Maitreya Tentang Penciptaan Alam
Penciptaan Manusia.
Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari
kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan
bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok
kegemaran yaitu: Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau
bentuk), adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang
masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan
dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah
hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan obyek
seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium
ataupun tersentuh. Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan),
adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan
lima indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang,
susah ataupun netral. Sannakhandha, adalah kegemaran akan
41 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, diunduh 20 Agutus 2015. Dijelaskan
pula oleh Sucipto (Sekjen DPP Mapanbumi) April 2015
170
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam
menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam
macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, baubauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran.
Bentuk-bentuk pikiran disini ada 50 macam, seperti lobha
(keserakahan), chanda (keinginan), sadha (keyakinan), viriya
(kemauan keras) dan sebagainya. Vinnanakhandha (kegemaran
akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi atau
jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra
dengan obyek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata
misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran bendabenda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah pada
yang buruk, yang baik atau netral. Kelima Kandha tersebut
sering diringkas menjadi dua yaitu nama dan rupa. Nama
adalah kumpulan dari perasaan, pikiran, penyerapan dan
perasaan, yang dapat digolongkan sebagai unsur-unsur
rohaniah. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri dari
empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Pemikiran tentang manusia dalam agama Budha
adalah unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya
roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia
dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa
adanya roh atau atma di dalamnya. Anatma merupakan
ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau
tetap. Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat
langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun
kemunduran. Menurut pendapat Bertrand Russel “Perbedaan
lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah
kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah.
Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak
mendapat suatu dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
171
Umat Budha setuju dengan pendapat Bertrand Russel
yang menyatakan “Jelas terdapat beberapa alasan dimana aku
sekarang merupakan orang yang sama dengan aku kemarin,
dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila aku melihat
seseorang dan mendengar ia bicara maka terdapat suatu
pengertian di mana “aku” yang mendengar. Anatma dapat
diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu: “Tidak terlalu
mementingkan diri. Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan
apa saja. Bila tingkatan pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah
mempraktekkan akan pengetahuan dan menemukan bahwa jasmani
dan batinnya sendiri adalah tanpa aku”.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus
dapat diidentifikasikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah
tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai
kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak
dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu
dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak
ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri
sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak
faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini
hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi
dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau
konkrit di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan
lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermura
hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus
membentengi diri.42
Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu
kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha
42 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
172
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di
dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi
seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau
kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan
jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu
merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup
menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha,
sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang
hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu: Dukkha
sebagai derita biasa (dukkha-dukkha); Dukkha sebagai akibat dari
perubahan-perubahan (viparinamadukkha); dan Dukkha sebagai
keadaan
saling
bergantung
(sankharadukkha).
Untuk
menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan
memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya,
yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha
(kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran
kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda
yang berarti nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana”
mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir
proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan
konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan
itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu. Nirwana
diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan
dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui
cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman,
penghancuran anavas, yaitu sifat-sifat induvidualis, menuruti
hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada halhal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran
kembali. Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
173
pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah
mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan
memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.43
Penciptaan Alam
Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka,
menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang
timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak
kekal. Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharma yang
berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul,
lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses
kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat
kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan
menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam
semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu
dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu
substansi yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia.
Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada
karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan
kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya
sendiri dan terus berubah. Tradisi pikiran kedua berkata bahwa
dunia diciptakan oleh suatu Tuhan Mahakuasa yang
bertanggung jawab akan segala sesuatu.Tradisi pikiran ketiga
berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat
dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir.
Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand
43 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
174
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama
sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia
memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu
harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya
pikiran kita.”
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum
Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih
adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau
“pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”.
Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur
penyusun alam semesta, baik materi maupun mental
berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun
yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama
pentingnya. Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada
diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya
berbunyi sebagai berikut:
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan
hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak
berpenghujung. Ajaran Budha Meitreya tidak pernah
menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin,
air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang
berkuasa atau seorang Budha. Umat Budha tidak percaya
bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran
total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam menghilang,
sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa
alam semesta sebelumnya. Dalam ilmu pengetahuan,
pengetahuan tentang alam semesta ditujukan untuk
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
175
memungkinkan manusia untuk menguasai demi kenyamanan
material dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha
mengajarkan bahwa tidak ada pengetahuan nyata apapun
yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit.
Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolonggolongkan atas shankharaloka, sattaloka, okasaloka.
Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai
kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas.
Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai
kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang
tinggi, kelihatan, seperti manusia, hantu, dan dewa.44
Ajaran Buddha Meitreya Tentang Etika
Pengertian Sila dan Macam-Macam Sila.
Sang Buddha mengajarkan berbagai macam ajaran
yang keseluruhannya dapat digolongkan menjadi tiga inti
ajaran, yaitu Sila, Samadhi dan Panna. Inti dari Sila adalah
tidak melakukan kejahatan dan selalu berbaut kebajikan. Inti
dari Samadhi adalah mensucikan pikiran dengan
melaksanakan samadhi. Tujuan akhir dari ajaran Sang Buddha
tersebut adalah untuk membawa para pelaksananya pada
pembebasan (Panna).Sila, sebagai landasan moral bagi
pelaksanaan Dhamma selanjutnya merupakan ‘hukum’ yang
jika ditaati akan membawa kebaikan dan jika tidak ditaati
akan menyebabkan manusia tidak dapat maju kualitas
44 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh Agustus 2015, Diringkas
pula dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang
diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga dijelaskan oleh
Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
176
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
batinnya. Namun para pengikut Sang Buddha terdiri dari dua
macam yaitu para Gharavasa (umat perumah tangga) dan
Pabbajita (para pertapa). Oleh karena itu Sang Buddha
menetapkan peraturan yang berbeda bagi keduanya.
Peraturan moral bagi para perumah tangga dikenal sebagai
Sila sedangkan peraturan bagi para bhikkhu dikenal sebagai
Vinaya, meski sebenarnya keduanya adalah Vinaya.45
Sila (Agariya Vinaya)
Sila berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Pali.
Sila yang digunakan dalam kebudayaan Buddhis mempunyai
banyak arti. Pertama, berarti norma (kaidah), peraturan hidup,
perintah. Kedua, kata itu menyatakan pula keadaan batin
terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga ‘sikap,
keadaban, perilaku, sopan-santun’ dan sebagainya. (Teja S.M
Rashid, 1996: 3).
Ciri dari sila adalah ketertiban dan ketenangan. Dalam
agama Buddha, sila merupakan dasar utama dalam
pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan
sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika
agama Buddha. Penyebab terdekat sila adalah Hiri dan
Otappa. Sila sebagai latihan moral bagi umat awam
(Gharavasa) terdiri dari berbagai macam jenis. Berdasarkan
aspeknya, sila terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 1). Varita-sila
(aspek negatif), yaitu sila yang dilakukan dengan cara
‘menghindari’, terdiri dari: Pancasila Buddhis, Atthasila,
Dasasila.
45 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
177
2). Carita-sila (aspek poritif), yaitu sila yang dilakukan dengan
cara ‘melakukan bhakti puja”, seperti terdapat dalam Suttasutta misalnya: Vyagghapajja Sutta, Maha Manggala Sutta,
Sigalovada Sutta, Parabhava Sutta46.
Vinaya (Anagariya Vinaya)
Vinaya memiliki arti ‘mengusir, melenyapkan,
memusnahkan segala perilaku yang menghalangi kemajuan
dalam peningkatan rohani’ atau sesuatu yang membimbing
keluar dari samsara (Teja S.M Rashid, 1996: 24). Tujuan dari
vinaya adalah untuk menjauhkan dari hal-hal yang
merugikan.Sang Buddha menetapkan vinaya bagi para
bhikkhu dan bhikkhuni, samanera-samaneri adalah untuk
Kebaikan Sangha; Kesejahteraan Sangha; Mengendalikan para
bhikkhu yang tidak teguh; Kesejahteraan bhikkhu yang
berkelakuan baik; Melindungi dari atau melenyapkan kilesa;
Mencegah timbulnya kilesa baru; Memuaskan mereka yang
belum puas; Menambah keyakinan mereka yang telah
mendengar Dharma; Menegakkan Dharma yang benar; dan
Manfaat vinaya itu sendiri.
Seorang siswa Sang Buddha yang telah bertekad
(diupasampada) menjadi bhikkhu harus menjalankan 227
peraturan latihan yang disebut Patimokkha-sila. Patimokkhasila terdiri dari Parajika 4; Sanghadisesa 13; Aniyata 2;
Nissagiya Pacittiya 30; Pacittiya 92; Patidesaniya 4;
Sekhiyadhamma 75; dan Adhikarana 7. Sementara itu
Patimokkha-sila untuk para bhikkhuni terdiri dari 311
46 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
178
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
peraturan, yaitu: Parajika 8; Sanghadisesa 17; Nissahiya
Pacittiya 30; Pacittiya 116; Patidesaniya 8; Sekhiyadhamma 75;
dan Adhikaranasamatha 7.47
Pelanggaran-Pelanggaran Hukum/Peraturan
Peraturan yang dibuat oleh Sang Buddha disebut
‘pannati’. Pelanggaran terhadap peraturan (pannati) yang
menjadikan seseorang mendapat hukuman disebut sebagai
‘apatti’. Apatti terjadi melalui ucapan dan perbuatan badan
jasmani. Apatti dapat terjadi memalui enam cara yaitu:
dengan jasmani, ucapan, jasmani dan pikiran, ucapan dan
pikiran, ucapan dan jasmani, ucapan, jasmani dan pikiran.
Enam kondisi yang dapat menyebabkan apatti yaitu: alajjhita
(tanpa malu), ananata (tanpa diketahui), kukucca-pakataka
(ragu-ragu), merasa boleh padahal tidak boleh, dengan
pikiran boleh padahal terlarang dan dilakukan dalam keadaan
bingung.
Pelanggaran terhadap peraturan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh umat
awam
(Gharavasa)
dan
pelanggaran
oleh
para
bhikkhu/bhikkhuni (Pabbajita). Pelanggaran yang dilakukan
oleh keduanya berbeda dalam pemberian sanksi dan
penyelesaiannya.
Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang umat
perumah tangga berupa pelanggaran terhadap Sila-sila yang
jumlahnya lebih sedikit dibanding sila bagi para Pabbajita.
47 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
179
Sedangkan pelanggaran (apatti) oleh Pabbajita
pelanggaran terhadap Patimokkha-sila atau Vinaya.48
adalah
Penyelesaian Pelanggaran
Setiap pelanggaran, baik dilakukan oleh Gharavasa
maupun Pabbajita pasti ada cara penyelesaiannya.
Penyelesaian pelanggaran sila bagi kaum Gharavasa adalah
berupa sanksi moral dari masyarakat tempat tinggal,
misalnya: diusir dari daerah tersebut, dikucilkan dan lain-lain.
Bila pelanggaran itu termasuk kategori berat (misalnya
membunuh atau mencuri) maka pelaku dapat dikenakan
sanksi oleh pemerintah dimana ia tinggal. Namun
pelanggaran apapun yang dilakukan oleh seorang Gharavasa
tidak akan menyebabkan ia dikeluarkan dari statusnya
sebagai Gharavasa.
Pelanggaran yang dilakukan oleh Pabbajita akan
diselesaikan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Ditinjau dari berat ringan dan akibat pelanggaran, maka apatti
dalam vinaya terdapat dalam tiga tingkat, yaitu:
Kesalahan berat (Garukapatti)
Garukapatti yaitu pelanggaran yang menyebabkan
seseorang dikeluarkan dari kebhikkhuan- nya dan seumur
hidup tidak dapat menjadi bhikkhu lagi. Hal ini terjadi pada
pelanggaran terhadap Parajika 4.
48 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
180
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Kesalahan menengah (Majjhimapatti)
Majjhimapatti dapat diperbaiki dalam sidang sangha
yang minimal terdiri dari dua puluh orang. Kesalahan dapat
juga diperbaiki dengan cara melakukan Manatta (duduk
berdiam diri dan melakukan doa pertobatan selama enam
malam penuh). Hal ini terjadi bila bhikkhu/bhikkhuni
melakukan Sanghadisesa.
Kesalahan ringan (Lahukapatti)
Dapat diselesaikan dengan cara mengakui kesalahan di
hadapan bhikkhu lain. Kadangkala dalam Sangha juga terjadi
perselisihan. Perselisihan dalam Sangha disebut Adhikarana.
Dalam vinaya dikelompokkan menjadi empat Adhikarana,
yaitu; Vivadhadikarana, yaitu perselisihan mengenai mana
yang Dhamma dan mana yang bukan Dhamma, mana yang
Vinaya dan mana yang bukan Vinaya; Anuvadadhikarana,
yaitu perselisihan yang timbul karena tuduhan terhadap
seorang bhikkhu melakukan apatti, penyimpangan dalam
pengamalan, pandangan benar dan penghidupan benar;
Apattadhikarana, yaitu perselisihan yang timbul karena
tuduhan terhadap seorang bhikkhu telah melanggar vinaya;
dan Kiccadhikarana, yaitu perselisihan sehubungan dengan
keputusan atau peraturan yang dikeluarkan oleh Sangha.
Sang Buddha memberikan tujuh peraturan untuk
menyelesaikan empat Adhikarana tersebut yang disebut
sebagai Adhikarana-samatha. Adhikaranasamatha adalah
sidang sangha yang harus dihadiri minimal dua puluh orang
bhikkhu untuk mengadili dan memutuskan kesalahan
(pelanggaran) yang telah dilakukan oleh seorang bhikkhu.
Cara
yang
dilakukan
adalah
dengan
pembacaan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
181
pengumuman resmi oleh Sangha. Bunyi butir aturan itu
adalah Sammukhavinaya yaitu penyelesaian dilakukan
dihadapan Sangha, di hadapan seseorang, di hadapan benda
yang bersangkutan dan di hadapan Dhamma. Cara ini dapat
untuk menyelesaikan semua Adhikarana; Sativinaya yaitu
pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha, bahwa seorang
bhikkhu yang telah mencapai tingkat arahat adalah orang
yang penuh kesadaran sehingga tidak seorangpun layak
menuduhnya melakukan Apatti; Amulhavinaya yaitu
pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha, bahwa seorang
bhikkhu yang sudah sembuh dari penyakit jiwanya tidak
sepatutnya dituduh melakukan Apatti yang mungkin
dilakukannya pada waktu dia masih terganggu jiwanya;
Patinnatakavinaya yaitu penyelesaian suatu Apatti sesuai
dengan pengakuan yang diberikan oleh tertuduh yang
mengakuinya secara jujur tentang apa yang telah
dilakukannya; Yebhuyyatakarana yaitu keputusan dibuat
berdasarkan suara terbanyak; Tassa-papiyasida yaitu
pemberian hukuman kepada bhikkhu yang telah melakukan
kesalahan; dan Tina-vattharaka yaitu pelaksanaan perdamaian
antara kedua belah pihak yang berselisih tanpa terlebih
dahulu melakukan penyelidikan tentang sebab musabab
terjadinya perselisihan.
Sativinaya, Amulhavinaya dan Tassa-papiyasika dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan
Anuvadadhikarana.
Sedangkan Patinnakarana dan Tinavattharaka hanya dapat
menyelesikan Apattadikarana. Yebhuyyasika dipergunakan
untuk menyelesaikan Vivaddadhikarana.49
49 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
182
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Catur Paramitha dan Catur Mara
Di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhannan
(paramita) yaitu di dalam batinnya merupakan sumber dari
segala perbuatan baik (kusalakamma) yang tercetus oleh
pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita kita harus dapat
mengembangkan paramita itu. Demi untuk kebahagiaan,
ketenangan dan kegembiraan bagi hidup kita. Sifat ketuhanan
itu terdiri dari Metta, Karuna, Mudita, dan Upekha. Yang
disebut catur paramita.
Disamping adanya sifat ketuhanan, terdapat pula sifatsifat Syetan atau jahat (mara) dalam batin manusia dan ini
merupakan
sumber
dari
segala
perbuatan
buruk
(akusalakamma) yang tercetus pada pikiran, ucapan dan
badan. Karena itu kita harus dapat melenyapkannya agar
hidup kita tidak terus-menerus dalam kesengsaraan dan
penderitaan yang tiada henti-hentinya.50
Catur Paramita (Empat Sifat Ketuhanan)
Emat sifat ketuhanan dimaksud adalah Metta yaitu
cinta kasih universal yang menjadi akar dari perbuatan baik
(kusalakamma). Bila ini berkembang dosa akan tertekan;
Karuna: ialah kasih saying universal karena melihat suatu
kesengsaraan, yang menjadi akar perbuatan baik
(kusalakamma). Bila ini berkembang lobha akan tertekan;
Mudhita: ialah perasaan bahagia (simpati) universal karena
melihat makhluk lain bergembira, yang menjadi akar
perbuatan baik (kusalakamma). Bila ini berkembang issa akan
50 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
183
tertekan; dan Upekha: ialah keseimbangan bhatin universal
sebagai hasil dari melaksanaan metta. Karuna, mudita dan
upekha, juga merupakan akar dari perbuatan baik
(kusalakamma). Bila ini berkembang moha akan tertekan dan
bahkan akan lenyap.51
Catur Mara (Empat Sifat Syetan Jahat)
Mara merupakan sifat syetan yang selalu bertolak
belakang denga sifat paramita. Sifat ini dimiliki oleh manusia
yang keduanya sangat bertentangan. Yang apabila mara
menguasai hidup kita akan penuh dengan derita (dukha).
Sifat mara ini dibagi menjadi empat sifat diantaranya: Pertama
adalah Dosa ialah kebencian yang menjadi akar dari perbuatan
jahat (akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya
metta. Dosa ni ada dua yaitu Dosa ini secara etika (ajaran
tentang keluhuran budi dan peraturaan kesopanan) bearti
kebencian dan secara psykologis (kejiwaan) bearti pukulan
yang berat dari pikiran terhadap objek yang bertentangan; dan
Mengenai hal ini mempunyai dua nama, yaitu: Patigha = jijik
atau tidak senang dan Vyapada = Kemauan jahat. Kemudian
sifat Lobha yaitu serakah yang merupakan akar perbuatan
jahat (akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya
karuna. Lobha ini secara etika bearti keserakaan atau
ketamakan. Tetapi secara psikologis bearti terikat pikiran pada
objek-objek. Inilah kadang-kadang disebut tanha = keinginan
yang tiada henti-hentinya: kadang-kadang juga disebut
Abhijjha = mempunyai nafsu serakah dan kadang-kadang
51 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
184
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
pula disebut Kama = Nafsu birahi serta raga = hawa nafsu.
Kemudian Issa ialah iri hati yaitu perasaan tidak senang
melihat makhluk lain berbahagia. yang menjadi akar dari
perbuatan jahat (akusalakamma) dan akan lenyap bila
dikembangkannya mudita. Dan terakir adalah Moha yaitu
kegelisahaan batin sebagai akibat dari perbuatan dosa, lobha
dan issa, akan lenyap bila dikembangkannya upekha. Moha
bearti kebodohan dan kurangnya pengertian. Selain dari pada
itu moha juga disebut Avijjha = ketidaktahuan atau Annana =
tidak berpengetahuan atau Adassana = tidak melihat.
Pikiran Baik dan Pikiran Jahat dan Akibatnya
Tersebutlah kata-kata yang di ucapan Buddha
Gautama dalam kitab Dhammapada, yaitu bagian kecil dari
Sutta-Pitaka yang berbunyi sebagai berikut: Ayat 1: Segala
sesuatu adalah hasil dari pada apa yang telah dipikirkan,
berdasarkan pikiran dan di bentuk oleh pikiran. Bila
seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran yang jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya seperti roda pedati
yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Ayat 2:
Segala sesuatu adalah hasil dari pada apa yang telah
dipikirkan, berdasarkan pikiran dan dibentuk oleh pikiran.
Bila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran yang
baik, maka kebahagiaan akan mengikutinya seperti bayangan
yang tidak pernah meninggalkan dirinya.52
Kejahatan Menerima kejahatan
52 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
185
Bilamana kita membuat suatu kejahatan, janganlah
perbuatan jahat itu terulang lagi. Usahakan agar diri kita tidak
senang dengan kejahatan, karena penderitaan adalah sebagai
buahnya. Haruslah diketahui bahwa sipembuat kejahatan
melihat kebahagiaan selama perbuatan jahatnya belum
masuk. Tetapi bilamana perbuatan jahat telah masuk, maka
barulah ia melihat penderitaan sebagai akibatnnya.Janganlah
kita meremehkan kejahatan dengan mengatakan, bahwa
kejahatan itu tidak akan mencelakakan diri kita. Jika demikian
kita bagaikan si dungu mengumpulkan kejahatan sedikit demi
sedikit, seperti halnya tempayan akan penuh oleh air yang
diisi setetes demi setetes. Perbuatan jahat adalah yang
mengarahkan kita kejalan kehidupan yaitu : Neraka atau
neraya; Binatang atau tiracchana; dan Setan atau peta.
Kebaikan Menerima Kebaikan.
Bila kita dapat membuat sesuatu perbuatan baik, maka
berusahalah terus dapat mengulangi perbuatan baik itu. Perlu
diketahui bahwa si pembuat kebaikan akan melihat
penderitaan selama perbuatan baiknya belum masuk. Tetapi
apabila perbuatan baiknya telah masuk, maka akan terlihatlah
kebahagiaan. Perbuatan baik adalah yang mengarahkan kita
jalan kehidupan; Alam dewa: yang sebagaian besar di
sebabkan oleh seseorang seperti berdana, mendengarkan
dhamma, belajar dhamma, mendengarkan dhamma,
menterjemahkan buku-buku dhamma untuk disebarluaskan,
membangun vihara, membangun rumah sakit, membangun
sekolah dan lain sebagainya. Alam Brahma : yang sebagian
besar di sebabkan oleh seseorang banyak sekali yang
melaksanakan samatha bhavana sehingga yang diperolehnya
186
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
jhana. Jhana berarti kesadaran/pikiran yang melekat kuat
dalam objek kammatthana (meditasi), yaitu kesadaran/pikiran
terkonsentrasi pada objek dengan kekutan appna Samadhi
(konsentrasi yang padai, yaitu kesadaran/pikiran terpusat
pada objek dengan kuat). Nibbana atau Nirvana; yang
sebagain besar disebabkan oleh seseorang melaksanakan
vippasana bhavana sehingga menjadi Arahat. Arahat berarti
orang suci tingkat keempat yang terbebas dari kelahiran dan
kematian atau telah bersatu dengan Sanghayang Adi
Buddha.53
Hari Besar Agama Buddha
Trisuci Waisak
Terdapat empat hari raya besar dalam Agama Buddha
semua sekte dan aliran. Namun satu-satunya yang dikenal
luas masyarakat adalah Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus
satu-satunya hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur
nasional Indonesia setiap tahunnya. Penganut Buddha sekte
apapun merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan
3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama
sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan
Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat
atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal
dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India,
Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand,
dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali
53 Diringkas dari majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan
Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi
2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
187
"Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan
"Waishakha" dari bahasa Sanskerta.54
Hari Kathina
Di kalangan umat Buddha, hari Kathina dirayakan
pada bulan Oktober dan November, di akhir masa Vassa,
yakni di akhir masa musim hujan di negara Buddhis. Selama
musim hujan ini, para Sangha (persekutuan Bhikkhu Buddhis)
akan menyendirikan/mengasingkan diri mereka sendiri untuk
mengasah dan mengolah pengetahuan Dhamma mereka dan
ber-Meditasi (bisa di dalam satu vihara saja atau di dalam
hutan), dan juga berusaha untuk tidak keluar dari tempat
pengasingan mereka kecuali diharuskan/diperlukan sekali.
Musim hujan biasanya di mulai 3 bulan sebelum bulan
Oktober, yaitu dari bulan Juli (berdasarkan tanggalan di
negara Buddhis).
Setelah para Bhikkhu menyelesaikan pengasingan diri
mereka selama musim hujan ini, mereka akan keluar kembali
ke masyarakat umum, dan pada umumnya para umat
Buddhis
akan
merayakan
hal
tersebut
dengan
mempersembahkan kain/jubah dan segala kebutuhan dasar
kepada para Bhikkhu, dan masa itu lah yang dinamakan
dengan Hari Kathina, yang terkadang sering disebut sebagai
“Berkah Kathina”. Hari Kathina ini biasanya dirayakan oleh
semua umat Buddhis dari bulan Oktober sampai November.
Cerita di balik hari Kathina ini ada disebutkan di dalam kitab
suci agama Buddha. Pada jaman Sang Buddha, para Bhikkhu
biasanya akan tetap menyebarkan Dhamma Sang Buddha
http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh Agustus 2015
54
188
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kepada masyarakat walau pada musim hujan. Akan tetapi
masyarakat mengeluh karena tanaman sayur-sayuran dan
padi mereka pun terinjak-injak oleh para Bhikkhu yang
sedang lewat. Sehingga, Sang Buddha pun meminta para
Bhikkhu untuk tidak berpergian lagi selama musim hujan ini
untuk tidak menganggu dan merusak sawah masyarakat
disekitarnya, dan manfaatkan masa tersebut untuk
memperdalam pengetahuan Dhamma dan Meditasi mereka.
Tak lama setelah itu, ada 30 Bhikkhu yang ingin bertemu
dengan Sang Buddha dan menyelesaikan masa Vassa (musim
hujan) tersebut bersama Sang Buddha. Tetapi, musim hujan
telah tiba dan 30 Bhikkhu tersebut pun belum sampai di
tempat Sang Buddha berada, sehingga mereka harus
menyinggah di suatu tempat dan menunggu sampai musim
hujan ini berlalu. Pada saat Sang Buddha mendengarkan
berita ini, setelah musim hujan ini selesai, Sang Buddha
mengirimkan kain-kain kepada 30 Bhikkhu tersebut untuk
mereka jahit menjadi jubah. Para Bhikkhu tersebut menjahit
banyak jubah baru dari kain yang diberikan oleh Sang Buddha
dengan menggunakan Kathina, yaitu alat untuk menyebarkan
kain di dalam rangka dan menjahit kain-kain tersebut untuk
membentuk suatu jubah.55
Asadha
Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha
disebut Asadha Puja/Asalha Puja. Hari raya Asadha,
diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna
memperingati peristiwa dimana Buddha membabarkan
http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh Agustus 2015
55
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
189
Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa
(Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588
Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna,
Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah
mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat.
Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam
bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orangorang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai
kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya.
Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu
tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu
(Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588
Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka
Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada
Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas
Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan
pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung
kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana
(Trisarana). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti
umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya.
Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat
Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang
bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat
Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha
yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal
Dhamma yang patut dihormati. Khotbah pertama yang
disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal
dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti
Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut,
Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia
190
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
(Cattari Ariya Saccani) yang menjadi landasan pokok Buddha
Dhamma.
Magha Puja
Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya
Ovadha Patimokha, inti agama Buddha dan etika pokok para
Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang
kesemuanya arahat tersebut ditasbihkan sendiri oleh Sang
Buddha (Ehi Bhikkhu:Bhikkhu yang ditasbihkan sendiri oleh
sang Buddha), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan
tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu,
Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. 56
http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/harikathina.html, Diunduh Agustus 2015
56
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
191
192
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
IV
ORGANISASI, PENDANAAN, SARANA
KEAGAMAAN DAN PEMBINAAN UMAT
BUDDHA MAITREYA
Organisasi Buddha Maitreya
Struktur Organisasi Majelis
Untuk memperkuat posisinya dalam konstelasi
kehidupan sosial keagamaan, utamanya di kalangan umat
Buddha di Indonesia, umat Buddha mendirikan Majelis
Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan
bernaung di bawah Walubi. MAPANBUMI didirikan 07
Agustus 1975 di Malang. Struktur organisasinya terdiri dari
Dewan Sesepuh; Dewan pimpinan Pusat; Dewan Pimpinan
Daerah Tingkat I; Dewan Pimpinan Daerah Tinkat II; dan
Dewan Pimpinan Komisariat/ Kecamatan/Kelurahan. Herarki
kekuasaanya adalah Dewan Sesepuh; Pasamuan Agung baru
kemudian Dewan Pimpinan Pusat (DPP). DPP berkewajiban
menjalankan keputusan Pesamuan Agung dan Pasamuan
Paripurna. Setiap vihara dipimpin seorang Pandita yang
ditugaskan oleh DPD Tk I. Seorang Pandita diperbolehkan
menyusun kepengurusan terhadap vihara yang dikelolanya.
Dewan tertinggi adalah Dewan Sesepuh yang beranggotakan
para sesepuh dan Maha Pandita. Anggota Dewan Sesepuh
diusulkan oleh Pandita dan diangkat oleh Ketua Dewan
Sesepuh.
Model struktur organisasi MAPANBUMI adalah Ketua
Kehormatan yang diiisi oleh Maha Sesepuh; Ketua yang
biasanya juga Maha Sesepuh dan kemudian para anggota
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
193
yang terdiri dari para sesepuh dan Maha Pandita. Dalam
aktifitas sehari-hari, dewan pimpinan ini dikendalikan oleh
pelaksana harian yang terdiri dari Penasehat; Ketua Umum;
Ketua Bid. Hukum dan Humas; Ketua Bid. Pengawasan
Keuangan; Ketua Bid. Kader dan Organisasi; Ketua Bid.
Litbang; Sekjen; Wakil Sekjen; Bendahara dan Wakil; Korda;
Korbid Dana; Korbid Dharma; Korbid Kitab Suci; dan Korbid
Generasi Muda.57
Tujuan Organsiasi
MAPANBUMI berasaskan Pancasila dan sifat dari
organisasinya sebagai organisasi keagamaan Buddha..
MAPANBUMI bertujuan, pertama, Menyebarluaskan dan
mengembangkan agama Buddha Maitreya; Kedua, Membina
umat Buddha Maitreya menjadi umat Buddha yang beriman
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Buddha
dan Bodhisatva serta mempunyai kesadaran beragama yang
tinggi, memiliki mental dan spiritual serta budi pekerti yang
luhur; Keempat, Membina umat Buddha sebagai warga negara
Indonesia untuk dapat menjadi umat Buddha yang dapat
menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara
dan falsafah hidup bangsa Indonesia; Kelima, Membina dan
meningkatkan, penghayatan dan pengamalan para Pandita
Buddha Maitreya mengenai Buddha serta keterampilannya
sehingga dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya
dengan baik dan penuh tanggung jawab dalam membimbing
umat Buddha Maitreya sesuai dengan ajaran para Buddha dan
Bodhisatva; Keenam, Membina persaudaraan sesama umat
Selebaran tentang struktur Organisasi DPP Mapanbumu,
diambil April 2015
57
194
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
manusia tanpa membedakan agama, suku, warna kulit, demi
terwujudnya kerukunan dan kerjasama yang sebaik-baiknya.
Berusaha menciptakan dunia yang Mahaterang, yang disebut
dunia damai sentausa, bumi suci Maitreya, negeri Buddhata,
taman sukacita semesta yang mahasejati, mahabajik dan
mahaindah.58
Usaha Organisasi
Untuk mencapai tujuan itu, maka usaha yang dilakukan
adalah; Pertama, Melakukan pengangkatan pandita dan dhiksa
umat Buddha Maitreya, mendirikan dan memelihara viharavihara, cetya-cetya Buddha Maitreya; Kedua, Mengadakan
persembahyangan, khotbah-khotbah dan ceramah-ceramah
agama Buddha; Ketiga, Menterjemahkan kitab suci agama
Buddha, menyusun buku-buku dan menerbitkan kitab suci
dan buku agama serta majalah, brosur dan menyebarkannya;
dan keempat, Mengadakan penataran untuk Pandita dan umat
Buddha
Maitreya,
mendirikan
sekolah-sekolah,
menyelenggarakan diklat dan kursus-kursus. Menjaga
kelestarian, kerukunan intern umat beragama Buddha,
kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat
beragama dengan pemerintah.
DPP MAPANBUMI, berkantor pusat di Vihara Mahavira
Maitreya Kota Medan yang memang sangat representatif.
Kantor DPD MAPANBUMI Sumatra Utara-pun juga berada di
vihara ini, dengan mengambil bagian ruangan yang lain dari
gedung vihara Mahatera yag secara keseluruhan bangunan
terdiri dari 1,5 ha. dan berdiri diatas lahan seluas 5 ha.
58
Lihat Ad/ART DPP Mapanbumi, Diambil April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
195
Stuktur Organisasi MAPANBUMI
Majelis agama Buddha ini bernama Majelis Pandita
Buddha Maitreya Indonesia disingkat MAPANBUMI.
MAPANBUMI didirikan pada tanggal 07 Agustus 1975 di
Malang untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya. Dewan
Pengurus Pusat MAPANBUMI berkedudukan di Ibukota
Negara Republik Indonesia. Tetapi pada saat ini atas berbagai
pertimbangan, maka kantor pusat Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) ada di vihara Mahavira Maitreya Kota Medan. Bahkan
kantor DPD MAPANBUMI-pun juga berada di vihara ini.
DPP MAPANBUMI pada saat ini telah memiliki perwakilan
18 buah DPD dari 33 provinsi yang ada di seluruh Indonesia.
Khusus di Sumatra Utara DPD MAPANBUMI ini memiliki 18
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di 18 buah kabupaten/kota.59
Simbol Buddha Maitreya yag tampak di zaman
sekarang adalah wujud dari pratina (patung) Bhiksu
Berkantong (perut gendut). Senyumanya selalu memenuhi
wajahnya, daun telinga yang terkulai ke bawah, perut yang
bulat dan besar, leher dan perut tampak terbuka lebar, tangan
menggenggam kantong, sikapnya lugu, polos dan jujur.
Agama Buddha Maitreya ini di Kota Medan berkembang baik,
hingga memiliki umat sebanyak sekitar 150.000 orang, yang
umumnya dari kalangan saudara kita yang beretnis Tionghoa.
Jumlah umat sebanyak itu dibina secara berkala di berbagai
vihara dan cetiya di Kota Medan yang jumlahnya mencapai 52
buah.60
Lihat Booklet 2 terbitan DPP MAPANBUMI 2014
Lihat Laporan smesteran kegiatan DPP Mapanbumi dan DPD
Mapanbumi Kota Medan, diambil 2015
59
60
196
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Dana dan Sarana Keagamaan Umat Buddha Maitreya
Kota Medan hampir 25% adalah etnis Tionghoa dan
sebagian besar beragama Buddha. Penyumbang utama jumlah
umat Buddha secara statistik di Sumatra Utara adalah umat
Buddha Maitreya. Banyaknya umat Buddha Maitreya yang
melaksanakan ibadah minggu, memerlukan lahan parkir
sangat luas dan pedagang makanan yang banyak, pedagang
mainan dan juru parkir menjadi bentuk simbiosis mutualisme
antara kaum Buddhis dengan masyarakat. Di sini uang
berputar kencang di tingkat akar rumput yang sangat
berpengaruh terhadap perekonomian penduduk setempat.
Seperti dikenal, etnis Tionghoa adalah kampiun
ekonomi Indonesia, akibat diskriminasi sepanjang sejarah
kolonial dan Indonesia merdeka. Dana, sarana dan prasarana
bagi umat Buddha Maitreya bukan masalah. Seluruh
kebutuhan keuangan dapat dipenuhi sendiri dari para
dermawan ummat Buddha Maitreya, bahkan secara berkala
memberi bantuan kepada umat lain tanpa melihat latar
belakang agama dan etnisnya.Vihara Mahavira Maitreya
misalnya, setiap bulan mendapatkan uang kas dari donatur
rata-rata 1 milyar (ditanya senyum-senyum saja). Gedung
vihara dan kelengkapanya mewah bak hotel bintang lima dan
merupakan vihara terbesar di Asia Tenggara. Organisasi umat
Buddha Maitreya sangat kaya di Kota Medan, yang kemudian
menebar kasih bagi semua umat, apapun latar belakang
agamanya.
Menurut semua informan yang bertempat tinggal
sekitar berbagai vihara Maitreya di Kota Medan, dinyatakan
bahwa seluruh Vihara Buddha Maitreya selalu memberi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
197
bingkisan Ramdhan atau Idzul Fitri bagi kaum miskin (kere)
di Kota Medan, tanpa melihat latar belakang agama, berupa
kebutuhan pokok. Tentu saja penerima terbanyak adalah
kaum muslim. Sejak masuk bulan Puasa, pihak pengurus
vihara selalu sudah memberitahukan kepada kelurahan
setempat agar mendata kaum miskin kota yang akan diberi
bingkisan bahan kebutuhan pokok Ramadan dan Idul Fitri.
Para calon penerima dibagi kartu untuk pengambilan
bingkisan oleh petugas Linmas kelurahan setempat, sehingga
pembagian bingkisan terjadi secara tertib.
Dalam hal rumah ibadah atau vihara dan cetia, umat
Buddha Maitreya memperlihatkan sebagai sekte Buddha yag
memiliki vihara dan cetia terbesar di antara semua sekte dan
majelis umat Buddhis di Kota Medan. Vihara dan Cetia yang
dimiliki umat Buddha Maitreya sebanyak 62 buah, diantara
jumlah vihara dan cetia sebanyak 192 buah yang dimiliki
umat Buddhis di Kota Medan. Umat Buddha Meitreya di
Kota Medan memiliki 13 buah lembaga dan yayasan umat
buddhis sebanyak 19 buah. Umat Buddha Maitreya memiliki
lembaga yaitu Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(MAPANBUMI) dan beberapa yayasan yang bergerak di
bidang pendidikan, rumah sakit, perabuan (rumah
duka/kremasi) dan usaha amal di Kota Medan. Pada saat ini
umat Buddha Maitreya sedang membangun gedung sekolah
yang mirip hotel bintang lima bernama sekolah Maitrawira
lima lantai, posisiya di seberang vihara Mahavira Maitreya.
Sementara dibangun, asrama siswa sekolah Maitrawira
sebanyak 450 siswa ditampung di gedung vihara Mahavira
Maitreya. Menurut rencana tahun ajaran baru 2015 nanti akan
198
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
segera digunakan untuk menampung seluruh siswa sekolah
Maitrawira dari tingkat SD hingga SLA.
Dalam gedung vihara Mahavira ini terdapat Kantor
informasi, Perpustakaan, genta Kebahagiaan, Teko Healthy
Resto (restoran vegetarian yang sehat dan bergizi), Souvenir
Shop, Sky Covention Hall, Sky Room, auditorium dengan
kapasitas 130 orang, taman bermain anak-anak. Kemudian
terdapat pula Graha Maitreya, yang berada di lantai II dengan
ukuran 96 x 38 meter yang disebut dengan gedung Baktisala
Maitreya, sekaligus ruang bakti puja utama yang berkapasitas
2.500 orang. Di depan terdapat arca atau Pratima Buddha
Maitreya berkantong setinggi 6,8 mater yang sedang tertawa
lebar tanpa beban.
Di samping itu terdapat Graha Sakyamuni yang
terletak di lantai dasar (1) denga ukuran ruangan 56 x 28
meter. Di dalamnya terdapat rupang Buddha Sakyamuni,
Bodhisatva Avalokitesvara dan Bodhisatva Satyakalama,
denga kapasitas kebaktian 1.500 orang. Di dua sisi gedung
terdapat lukisan pahatan batu yag mengisahkan pembinaann
dan perjalanan hidup Buddha dan Bodhisatva serta kisah
bersejarah tentang bakti terhadap orang tua. Jadi umat
Buddha Maitreya Kota Medan telah memiliki sarana yang
sangat memadai, lux dan lengkap karena didukung oleh
pendanaan yang tak terbatas dari umatnya. Jika umat lain
sering mendatangkan uang dari luar egeri, maka Buddha
maitreya malah mengirim sebagian uang ke Taiwan (tanah
suci Buddha Maitreya)61.
Lihat Brosur tentang lembaga pendidikan dan yayasan yang
dimiliki DPP Mapanbumi
61
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
199
Pembinaan Keagamaan dan Relasinya dengan Umat Buddha
Non Maitreya
Buddha Maitreya di Kota Medan dan sekitarnya
berkembang sangat baik, hingga memiliki umat sebanyak
sekitar 150.000 orang, yang umumnya dari kalangan etnis
Tionghoa. Jumlah umat sebanyak itu dibina secara berkala di
berbagai vihara dan cetiya di Kota Medan yang jumlahnya
mencapai 52 buah. Bentuk pembinaanya adalah sekolah
minggu, bagi anak-anak, remaja dan orang dewasa, serta
kaum outri dan ibu-ibu. Setiap minggu semua vihara Buddha
Maitreya penuh dengan umat Buddha Maitreya yang akan
sembahyang, puja bhakti dan belajar agama.
Umat Buddha Maitreya yang biasa berpuja bhakti di
vihara Mahavira Maitreya memiliki jumlah Pandita 38 yang
terdiri dari calon Pandita, Pandita Muda, Pandita Madya dan
Pandita Utama. Seluruh biaya hidup dari para pandita tu
dicukupi oleh umat Buddha vihara Mahavera Maitreya.
Vihara Mahavira yang sekaligus menjadi kantor pusat DPP
MAPANBUMI dan DPD MAPANBUMI Sumatra Utara ini
memiliki dana yang hamper tak terbatas dari umatnya.
Menurut informasi yang akurat, ada sekitar 1 milyar setiap
bulan dana yang masuk dari umat Buddha Maitreya. Itulah
sebabnya, Buddha Maitreya Kota Medan membangun
gedung-gedung sekolah dengan model dan kontruksi hotel
berbintang. Penataan halaman parkir yang sangat luas juga
memperlihatkan betapa besar dana yang di miliki oleh umat
Buddha yang bernaung di bawah MAPANBUMI ini. Seluruh
asesoris ruangan di vihara Mahavera terlihat sebagai sangat
mahal. Misalnya beberapa pratina (patung) kecil, harganya
200
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
per unit mencapai 80 jt rupiah. Di toko yang dikelolanya (di
lantai 1) juga dijual beberapa pratina yang harganya mencapai
250 jt perbuah. Konon katanya sudah terjual sebanyak 90
buah. Jadi banyak cara umat Buddha Maitreya
mempertahankan eksistensinya di Indonesia, khususnya di
Kota Medan. Melalui lembaga, yayasan, sekolah minggu,
sekolah umum dengan ekstra kurikuler Buddhis, rumah sakit,
balai pengobatan, berderma kepada masyarakat lingkungan
secara berkala dan sebagainya.62
Laporan smesteran DPP Mapanbumi dan laporan kegiatan
mingguan DPP Mapanbumi.
62
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
201
202
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
V
PENUTUP
Pada mulanya Buddha itu hanya satu, tetapi akibat
provokasi Bikhu tua bernama Subadha paska paribhananya
Sanga Buddha, kepada para bikhu lainya agar tidak merasa
sengsara, telah memulai keraguan awal dari para Bikhu akan
keharusan Dharma dan Vinaya, atau setidaknya agar dhrama
dan Vinaya cukup menjadi spirit saja dalam mencapai
kebuddhaan. Bikhu yang concern terhadap ajaran Sang
Buddhapun bereaksi keras agar para bikhu tetap pada vinaya
aslinya. Dari sanalah kemudian muncul beberapa aliran, dan
dengan seiring perjalanan waktu dan penyebaranya
keberbagai penjuru dunia, maka lahirlah ribuan sekte yang
mengatasnamakan ajaran Sang Buddha, termasuk Buddha
Maitreya.
Buddha Maitreya yang lahir dari I Kuan Tao dan
berkembang di Taiwan ini menemukan lahanya yang subur di
Indonesia, dengan wilayah Malang sebagai tanah pijakanya
yang pertama, terus tumbuh dan berkembang secara baik di
seluruh Indonesia. Buddha Maitreyapun sampai di Sumatra
Utara dengan berbagai fasilitas keagamaan yang sangat
sempurna, dharma yang tiada henti kepada seluruh
masyarakat Medan tidak pandang bulu asal agama, etnis dan
strata sosial. Membagi dharma secara rutin setiap tahun,
melakukan vinaya tiada henti dengan dukungan dana tak
terbatas dari umat Buddha Meitreya yang sadar. Dana dan
saranapun sedemikian mewah, semewah mereka berderma
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
203
kepada sesama umat manusia di seluruh dunia, dimanapun
umat Buddha Maitreya berada.
Seluruh aspek yang dikembangkan, diajarkan,
dipertahankan adalah untuk menuju manusia yang maitreyani
dalam segala aspek kehidupan, dengan kasih tiada putus
kepada semua mahluk, dan berusaha mencapai kebuddhaan
dengan caranya sendiri yang sering dinyatakan kalangan luar
sebagai tidak ada hubunganya dengan Buddha. Apapun kata
orang, Buddha Maitreya dengan segala kekurangan dan
kelebihanya telah menjadikan agama Buddha menjadi lebih
bermakna bagi semua mahluk, tidak suka kekerasan, tidak
suka membunuh manusia dan hewan apapun, yang katanya
untuk mempercepat tercapainya kebuddhaan. Umat Buddha
Maitreyapun telah menjadikan agama Buddha sangat
fungsional untuk memperbaiki kehidupan umat manusia,
dengan berbagai program kemanusiaan, membantu si miskin,
derma dan kasih tiada tara, mengalahkan semua praktek
keagamaan yang ada saat ini.
Ketika umat agama lain masih sedang bertengkar antar
sesamanya yang saling menghancurkan (lihat di Timur
Tengah, dan percik-percik kekerasan intern agama di
Indonesia), saling menyesatkan, umat Buddha Maitreyani
sudah sibuk mengembangkan dharma dan kasih kepada
semua mahluk, membangun kesadaran bahwa umat manusia
adalah satu keluarga yang harus saling membantu, saling
menjaga dan mendorong seluruh umat manusia mencapai
kesejahteraan, kedamaian, dan nirwana.
Simbol Buddha Maitreya yang tampak di semua vihara
Buddha Maitreya adalah wujud dari pratina (patung) Bhiksu
204
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Berkantong (perut gendut). Senyumanya selalu memenuhi
wajahnya, daun telinga yang terkulai ke bawah, perut yang
bulat dan besar, leher dan perut tampak terbuka lebar, tangan
menggenggam kantong, sikapnya lugu, polos dan jujur yang
selalu tertawa lebar. Semua mengisyaratkan bahwa Buddha
Maitreya siap membantu sebisamungkin bagi siapapun untuk
perdamaian, keluhuran budhi, kesucian hati, kebahagiaan,
kesejahteraan dan penyadaran bahwa umat manusia adalah
satu keluarga.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
205
206
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi,
Penerbit Obor, Jakarta, Januari 2013
Buddhism in Indonesia. Buddha Dharma Education Association.
Buddha Dharma Education Association. 2005.
Diunduh 30 Februari 2015
Daisetz Teitaro Suzuki, dalam Pendahluan buku “ Agama
Buddha Mahayana” yang ditulis oleh Beatrice Lane
Suzuki (1939), Penerbit Karania Dharma Universal
Untuk Semua, Terj. Hastiati, Cet. I, Agustus 2009
Azyumardi Azra, Jaringan
Bandung, 2004.
Ulama
Nusantara,
Mizan,
Dirjen Bimas Buddha, dalam Brain Storming Penyusunan
Desain Penelitian tentang Keragaman Sekte dan
Majelis di Kalangan Umat Buddha, 2015
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut. Sensus
Penduduk 2010. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat
Statistik. 2010.
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/
Diunduh 23 maret 2015
Wang Chi Biu, The Scientific Outlook of Buddhism, Terj. Oleh
Hendy Hanusia, Pandangan Ilmiah dalam Agama
Buddha, Yayasan Penerbit Karaniya, Jakarta, 2002.
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha,
Maret 2015
Diunduh
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
30
207
Jo Pristiana, Brain Storming untuk bahan penyusunan desain
penelitian, Maret 2015
Ibid, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, Diunduh
30 Januari 2015; Dalam konsep teologi Islam disebut
dengan janji dan ancaman. Demikian pula penjelasan
dari, Peter Lim dan Ling Ling
Nahar Nahrawi, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan
Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam
(dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di
Indonesia), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta,
2006 hal 200 – 201.
Cornelis Wowor (mantan Direktur Urusan Agama Buddha
Kementerian Agama) dan Jo Pristiana dalam diskusi
untuk penyempurnaan desain penelitian dijadikan
pegangan dalam penelitian ini, Maret - April 2015
Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30
Feburari 2015
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia Diunduh
23 Maret 2015
Abdul
Azis, Varian-Varian Fundamentalisme
Indonesia, Pen Dian, 1998, Jakarta.
Islam
di
Basyaruddin, Peta Dakwah Kota Medan, Bank Muamalat
Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia Kota Medan,
Perdana Publising, Medan, 2012, hal. 49
O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba, Migran Batak Toba di Luar
Tapanuli Utara: Suatu Deskripsi, Penerbit Monora,
Medan, 1998, hal. 102.
208
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Chalida Fachruddin, Labuhan Deli: Organisasi sebuah Komuniti
Melayu di Sumatra Utara, Indonesia, Fakultas Sain
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan Universitas
Kebangsaan Malaysia, Bangi, 1998, hal. 33
Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Medan,
2015;
http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resumeke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4
Mei 2015;
http://id.wikipedia.org/wiki/Sutta_Pi%E1%B9%ADaka
DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya
Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015
http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resumeke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4
Mei 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha,
Januari 2015
Diunduh
30
http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30 Feburari
2015
DPP Mapanbumi, Booklet Majelis Pandita Buddha Maitreya
Indonesia (Mapanbumi) I, Medan, 2015
Booklet DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(Mapanbumi) II, DPP Mapanbumi, Medan, 2015
Hendy
Tazali, Sejarah Buddha Maitreya di dalam
http://sejarahbudhamaitreya.blogspot.com,
diunduh
April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
209
http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resumeke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, diunduh 20
Agutus 2015.
Booklet dan Brosur yang diterbitkan DPP Mapanbumi 2015.
Sebagaimana juga dijelaskan pula oleh Sucipto (Sekjen
Mapanbumi) di Kota Medan, April 2015
Majalah Mapanbumi, Januari 2015, Booklet dan Brosur yang
diterbitkan DPP Mapanbumi 2015. Sebagaimana juga
dijelaskan oleh Sucipti (Sekjen Mapanbumi) di Kota
Medan, April 2015
Selebaran tentang struktur Organisasi DPP Mapanbumu,
diambil April 2015
Ad/ART DPP Mapanbumi, Diambil April 2015
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta Jalan Pintu
Besar Selatan, 1995.
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Budha).
Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta,
2011).
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha).
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press. Cet, I, 1988.
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar.
Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995.
210
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
5
BUDDHISME NICIREN DI INDONESIA:
STUDI KASUS NICIREN SYOSYU INDONESIA
Oleh:
Muhammad Adlin Sila
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
211
212
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi orang Indonesia, terlepas agama apa yang
dianutnya, pasti mengenal Candi Borobudur. Para sejarahwan
sepakat bahwa candi ini dibangun pada periode kerajaan
Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa Tengah
sekarang: Sebuah kerajaan yang berdiri antara tahun 775-850.
Kerajaan ini meninggalkan beberapa candi Buddha lain yang
masih berdiri hingga sekarang seperti Candi Mendut dan
Candi Pawon. Candi-candi ini adalah simbol kebesaran agama
Buddha yang masih berdiri tegak dan menjadi tujuan wisata
bagi turis domestik dan asing.
Dari catatan sejarah, sebagaimana ditulis oleh George
Cœdès (1975: 82), misalnya, kerajaan Buddha yang pertama
kali berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang
berdiri pada abad ke-7 (tahun 683 M). Oleh Cœdès lagi,
kekuasaan kerajaan maritim yang berlokasi di Palembang ini,
tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan
lainnya.
Sebenarnya, Kerajaan Sriwijaya sempat dilupakan dalam
sejarah. Tapi setelah dikenalkan kembali oleh George Cœdès,
seorang sarjana Perancis ini, pada tahun 1920-an, Kerajaan
Sriwijaya kembali dikenal dunia. Temuan George Cœdès
dalam bentuk prasasti dan berita dari Cina dimuat dalam
koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Dan sejak saat itu
Kerajaan Sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
213
Meskipun begitu, pemerintah Belanda waktu itu secara formal
belum mengakui Buddha sebagai agama yang formal dianut
oleh penduduk Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tapi
hanya sebagai agama kuno atau budaya masa lalu.
Selain sarjana dari Perancis itu, beberapa orang juga
berupaya melestarikan agama Buddha di Indonesia, seperti
seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama
Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia
Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada.
Kedatangannya sebagai Bhikkhu pertama Buddha ini berhasil
menumbuhkan minat masyarakat untuk mempelajari
Buddhisme di Hindia Belanda. Sejak itu, agama Buddha
berkembang hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Untuk
menyesuaikan dengan Sila Pertama Pancasila, maka
digagaslah ketuhanan dalam agama Buddha di Indonesia
dengan sebutan "Sang Hyang Adi Buddha". Setelah percobaan
kudeta 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gagal
tersebut, semua warga negara Indonesia diharuskan untuk
mendaftar dengan denominasi agama tertentu. Pada tahun
1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan
Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu:
Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan,
Maitreya, dan Niciren.
Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang
pengikut Buddha, dengan 1 juta dari jumlah tersebut
berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta
dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita.
Nanti pada tahun 2008, jumlah penganut agama Buddha
diperkirakan sekitar 1.3 juta penduduk dari 217,346,140
penduduk Indonesia atau sekitar 0.6%. Jumlah umat Buddha
ini termasuk penganut Konfusianisme atau Khonghucu yang
214
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
mayoritas berasal dari etnis Cina. Menurut Laporan Tahunan
Kehidupan Keagamaan di Indonesia (LAPTAH) (2015: 16),
terjadi fluktuasi penganut Buddha antara Sensus BPS tahun
2000 dengan Sensus BPS tahun 2010 terutama setelah
Khonghucu diakui sebagai agama pada masa Presiden
Abdurrahman Whaid (Gusdur). Sensus tahun 2000
menunjukkan jumlah penganut Buddha adalah 2,162,409
(1,10%). Sementara Sensus tahun 2010, jumlah penganut
Buddha menjadi 1,703,254 orang (0,725). Agama Buddha di
Indonesia paling banyak dianut oleh masyarakat Cina dan
beberapa kelompok asli Indonesia, dengan persentase jumlah
1% (Buddhisme saja) sampai 2,3% (termasuk Taoisme dan
Konfusianisme).
Ketidakpastian jumlah umat Buddha ini karena Agama
Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil
dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologiideologi agama Timur, budaya adat etnis Cina, dan kebijakan
politik pemerinta Orde Baru. Secara tradisional, Taoisme Cina,
Konfusianisme ("Khonghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan
Buddhisme, semua memiliki pengikut di komunitas etnis
Cina, atau Tionghoa, yang umumnya berdomisili di daerah
perkotaan, terutama di Jakarta. Ada juga umat Buddha di
provinsi lain seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan
Barat. Namun, jumlah tersebut belum final karena pada saat
itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai
agama resmi di Indonesia sehingga mereka disensuskan
sebagai penganut agama Buddha.
Studi ini menganggap bahwa data statistik jumlah umat
Buddha ini mengindikasikan kompleksitas dan dinamika
perkembangan penganut Agama Buddha. Artinya, meski data
BPS menunjukkan jumlah penganut Buddha dibawah 1 %,
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
215
penganut Agama Buddha berkembang sangat dinamis dan
terbagi dalam beberapa aliran atau sekte. Untuk mengungkap
dinamika Agama Buddha saat ini, studi ini memilih untuk
menggambarkan keberadaan sekte Niciren di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
1. Menggambarkan sejarah perkembangan aliran Niciren di
Indonesia;
2. Menggambarkan manajemen organisasi aliran Niciren di
Indonesia;
3. Menjelaskan ajaran pokok dan praktek keagamaan Niciren
di Indonesia;
4. Mengeksplorasi dinamika penganut Niciren dalam
berinteraksi dengan sesama penganut Niciren dan
penganut agama lainnya;
5. Menelusuri persoalan internal dan konflik yang pernah
terjadi dalam aliran Niciren di Indonesia.
C. Kajian Pustaka
Tidak hanya dalam Kristen dan Islam, dua agama besar
yang dikenal sebagai agama Samawi, yang memiliki banyak
sekte. Dalam agama Buddha juga identik dengan banyaknya
sekte. Banyak kasus di lapangan dimana vihara-vihara
menolak Bhikkhu-Bhikkhu melakukan pembabaran atau
mengajarkan meditasi hanya karena mereka tidak termasuk di
dalam sekte vihara tersebut. Namun, para penganut Buddha
aliran manapun berpedoman pada Kitab Tripitaka. Dalam
kitab ini tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama yang
216
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
teridiri dari 3 (tiga) buku yaitu; 1) Sutta Pitaka (khutbahkhutbah Sang Buddha), 2) Vinaya Pitaka (peraturan atau tata
tertib para Bhikkhu), dan 3) Abdidhamma Pitaka (ajaran
hukum metafisika dan psikologi). Ketiga buku ini disebut
Tripitaka: tri artinya tiga dan pitaka artinya keranjang
(Nahrawi, 2006: 200-201).
Pada awal kemerdekaan, terdapat tujuh aliran agama
Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha
Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana,
Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Niciren.
Namun sebenarnya, hanya ada tiga sekte besar dalam
Buddha, yaitu: Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Hanya
saja, di dalam ketiga sekte itu terdapat banyak aliran lagi yang
memiliki ajaran yang berbeda satu sama lain. Kecenderungan
lahirnya banyak aliran dalam satu atau dua sekte yang
berbeda ini terkait dengan kebangkitan agama Buddha di
Indonesia (Iem, 2004: 45-55). Sejak tahun 1998, berdiri
Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), yang mewadahi
tiga majelis yaitu: 1) Majelis Agama Buddha, 2) Majelis
Budayana Indonesia, dan 3) Majelis Agama Buddha
Tridharma.
Iem (1990) sebelumnya mencatat bahwa sebuah sekte
yang cukup menggemparkan umat Buddha adalah sekte
Maitreya. Sekte ini mengklaim kehadiran seseorang yang
dianggap akan menjadi penyelamat umat manusia. Bagi umat
Buddha kebanyakan, kedatangan Maitreya ini sebenarnya
belum diketahui waktunya. Masih menjadi misteri. Dengan
mengutip Saddharma Pundarika Sutra 94, Steenbrink (2013:
25) bahkan mengklaim bahwa yang dimaksud sosok Maitreya
itu adalah Nabi Muhammad. Apa yang ditemukan oleh
Steenbrink dari sutra atau petuah-petuah sang Buddha yang
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
217
diwajibkan dibaca oleh sekte Niciren Syosyu ini tentunya
tidak menjadi pemahaman umum di kalangan umat Buddha
kebanyakan. Intinya, Maitreya adalah sosok Ratu Adil yang
yang diramalkan akan datang di kemudian hari. Kapan itu?
Tidak diketahui dengan pasti.
Dalam Islam, sosok Sang Buddha ditenggarai sebagai
salah satu nabi yang bernama Zulkifli (Dhu al-Kifli).
Ajarannya yang mengutamakan cinta dan perbuatan baik
(dharma) dianggap sebagai buah dari pencerahan ilahiyah
(divine enlightenment) seperti yang diperoleh Nabi Muhammad
di Gua Hira (Sttenbrink (2013: 25). Ritual-ritual agama Buddha
seperti meditasi agar memperoleh ketenangan bathin untuk
menjadi manusia yang paripurna (Wahyono, 2002), adalah
sebuah konsep yang mirip dengan ritual zikir di kalangan
pelaku tarekat dalam Islam untuk menjadi insan kamil atau
manusia yang sempurna. Ajaran tentang karma dalam
Buddha juga mirip dengan konsep bencana atau musibah
dalam Islam yaitu bahwa setiap musibah yang menimpa
seseorang atau masyarakat adalah akibat dari perbuatan
buruknya di masa lalu.
Meskipun begitu, para sarjana lebih banyak mengaitkan
Buddha dengan Hindu apabila berbicara tentang agama di
Indonesia kaitannya dengan diskusi mengenai agama-agama
pra Islam di Nusantara. Studi lain juga lebih berbicara
bagaimana hubungan yang tidak harmonis antara umat
Muslim dengan umat Buddha (Muzakki, 2010). Hanya sedikit
sekali sarjana yang menghubungkan antara Islam dengan
Buddha dari segi teologis. Diantara yang sedikit itu adalah
Steenbrink, yang menulis artikel berjudul “Buddhism in
Muslim Indonesia” (2013).
218
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Studi ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai
hubungan Buddha dengan Islam. Tapi studi ini ingin
menggarisbawahi bahwa perbedaan sekte dalam Buddha
adalah sesuatu yang alamiah. Persoalan itu juga terdapat di
setiap agama. Perbedaannya adalah pada aspek bagaimana
umat beragama pada agama yang bersangkutan mengelola
perbedaan itu menjadi sesuatu yang positif. Pada bagianbagian selanjutnya, penulis akan membahas alasan studi ini
memilih sekte Niciren: Sebuah sekte yang mengalami
dinamika sehingga menimbulkan juga perselisihan di dalam
sejarah perkembangannya di Indonesia.
D. Mengapa Niciren Syosyu?
Foto diatas memperlihatkan sebuah momen dimana
Bapak Menteri Agama RI, Suryadarma Ali memberikan
sambutan di kalangan pengikut sekte Niciren versi Buddha
Dharma Indonesia di Semarang, tahun 2013. Kehadiran
Menteri Agama dalam sebuah perhelatan sekte Niciren ini
mengindikasikan vitalnya peran sekte ini dalam Agama
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
219
Buddha. Sejak 1993, ketika Senosoenoto (pembawa sekte ini ke
Indonesia) wafat, sekte ini terbelah menjadi dua: Niciren
Syosyu Indonesia (NSI) dan Yayasan Pandita Sabha Buddha
Dharma Indonesia (YPSBDI).
Menurut sejarahnya, sekte Niciren masuk ke Indonesia
tahun 1950. Namun nanti pada 28 Oktober 1964, almarhum
Senosoenoto bersama istrinya Keiko (asal Jepang) mendirikan
Niciren Syosyu Indonesia (NSI). Tahun 1986, muncul usulan
dan tuntutan dari beberapa orang pengikut NSI untuk
membuat AD dan ART NSI. Draft AD ART disusun dan
dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto, yang
dikemudian hari dikenal sebagai Kelompok Sembilan. Karena
AD ART NSI tak kunjung terwujud, Kelompok Sembilan lalu
membuat Yayasan Visistacaritra pada tgl 16 Februari 1987.
Selanjutnya, Kelompok Sembilan ini mengambil sikap untuk
mempertahankan nama NSI dengan mengangkat Suhadi
Sendjaja sebagai ketuanya.
Sementara
istri
almarhum
Senosoenoto,
Keiko
Senosoenoto, memilih untuk mengambil nama baru dengan
mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma
Indonesia (YPSBDI), dan mengangkat anak perempuannya,
Herwindra Aiko Senosoenoto (atau Aiko) sebagai ketua
umum sampai sekarang ini dengan menguasai seluruh asetaset NSI peninggalan almarhum Senosoenoto. Publik tidak
banyak mengetahui alasan perpecahan sekte Niciren ini
menjadi dua kelompok, dan apa yang membuat keduanya
bisa eksis hingga sekaramg ini. Pertanyaan penelitian yang
kemudian muncul adalah: Adakah perbedaan dan persamaan
dari berbagai sekte Niciren di Indonesia selain persoalan
politik yang mengitari perpecahan di antara mereka?
220
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Penelitian ini mengurai beberapa ajaran dari sekte Niciren
yang bercorak puritan pada satu sisi, tapi memiliki warna
nasionalisme di sisi lainnya.
E. Pendekatan dan Metode Penelitian
Meneliti sebuah agama memiliki strategi tertentu karena
terkait masalah yang sakral dan sensitif. Namun demikian,
meski agama lebih menyentuh aspek spiritual atau immateri,
tapi ia bisa didekati dengan mengamati para penganutnya,
simbol-simbol agama yang digunakan penganutnya dan juga
praktek ritual yang diamalkannya. Dari segi pendekatan,
penelitian ini memilih pendekatan kualitatif, yaitu memahami
unit analisis yang diteliti sebagai subyek dan bukan obyek
layaknya benda mati. Salah satu ciri penelitian kualitatif
adalah penelitian lapangan atau field research dengan
mengeksplor manusia sebagai subyek yang memiliki
pemahaman atas sesuatu seperti agama yang dianutnya
sebagi hasil pilihan sendiri, dan bukan semata-mata
dipaksakan oleh struktur di luar dirinya. Yang diteliti adalah
konstruksi dari realitas sosial manusia dan apa makna atau
meaning dari segala perilaku mereka yang terbangun dalam
proses interaksi sehari-hari (Newman, 2003: 14)
Dari segi pendekatan, penelitian ini memilih pendekatan
Max Weber (1864-1920) (baca: paradigma interpretif) melihat
manusia mendefinisikan situasi yang mengelilinginya dan
memberikan makna (meaning) pada perilakunya dan yang
lainnya, karena manusia tidak hanya bereaksi terhadap
rangsangan luar (eksternal stimuli) tapi juga menginterpretasi
rangsangan itu lalu bertindak sesuai dengan interpretasi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
221
tersebut. Pendekatan Weberian ini menunjuk pada tindakan
sosial (social action) yang digerakkan oleh motivasi internal.
Dengan pilihan pendekatan ini, peneliti berusaha
memahami agama sama dengan pemahaman yang dianut oleh
para penganut sekte Niciren yang diteliti. Aspek pemahaman
ini tidak linear dan mudah ditebak alurnya. Oleh karena itu,
dari segi metode pengumpulan data, peneliti memilih terjun
langsung ke komunitas sekte yang diteliti dengan
membenamkan diri (self-immersion) dalam proses interaksi
sosial keseharian penganutnya. Dalam proses itu, peneliti
melakukan pengamatan secara terlibat (participant observation)
dengan hadir dalam kegiatan-kegiatan ritual yang
dilaksanakan oleh penganut sekte ini. Dari awal penelitian,
peneliti setiap hari berkunjung ke kuil sekte ini baik yang
berlokasi di Jakarta maupun di daerah Megamendung, Bogor.
Bahkan, peneliti menginap beberapa malam di komplek
perumahan kuil sekte ini yang berlokasi di Bogor.
Kesempatan berada beberapa hari di Megamendung itu
membantu peneliti untuk memahami (understanding) perasaan
lebih dalam dari para penganut Niciren (Lihat Neuman, 2003:
376). Dalam proses pengamatan itu, peneliti kemudian
berhasil membangun hubungan-hubungan sosial yang cair
(rapport), sehingga tercipta kepercayaan (trust) antara peneliti
dengan beberapa informan kunci (key informants) di lapangan
seperti beberapa penganut sekte, pengurus bahkan ketua
sekte. Karena cairnya hubungan yang terbangun, peneliti
berhasil melakukan beberapa kali wawancara secara
mendalam (in-depth interview) dengan para informan. Hasil
dari pengamatan terlibat dan wawancara mendalam ini
222
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kemudian dinterpretasi menjadi sebuah data yang memiliki
informasi yang disampaikan dalam laporan penelitian ini.
F. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini memilih lokasi di Jakarta untuk
mengeksplorasi keberadaan sekte Niciren. Waktu penelitian
dilakukan selama bulan April dan Mei 2015, di Jakarta dan
Bogor. Sebagaimana ditemukan studi ini, sekte Niciren
berkantor di Jl. Minangkabau, Manggarai Jakarta Pusat. Di
halaman kantornya, terpampang sebuah billboard atau papan
nama yang bertuliskan Niciren Syosyu di Indonesia (NSI).
Sepeninggal pendiri sekte ini, Senosoenoto, NSI terpecah
menjadi dua kelompok majelis agama: satu diketuai oleh
Suhadi Sendjaja dan satunya lagi diketuai oleh Keiko
Senosoenoto (istri almarhum Senosoenoto). Yang pertama
berkantor di Jl. Minangkabau, dan satunya lagi berkantor di Jl.
Padang, keduanya berlokasi di halaman yang sama, hanya
beda jalan.
Dengan alasan metodologis dan waktu, peneliti memilih
untuk fokus pada penggambaran sekte Niciren yang berlokasi
di Jl. Padang, yang saat ini diketuai oleh Keiko Senosoenoto,
anak almarhum Senosoenoto. Penelitian terhadap sekte
Niciren yang diketuai oleh Suhadi Sendjaja sudah pernah
dilakukan oleh Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun
2006 (Nahrawi, 2006). Sementara yang diketuai oleh Keiko
Senosoenoto belum dilakukan secara komprehensif. Dengan
alasan teoretis dan metodologis tadi, peneliti memutuskan
untuk memilih Niciren Syosyu versi Keiko Senosoenoto
sebagai sasaran penelitian.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
223
Foto 2. Kantor BDI dalam satu kompleks
dengan Kuil Hosei-ji di Jl. Padang No.30.
Foto 4. Kuil Myogan – Ji milik BDI di
Megamendung, Bogor.
224
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
BUDDHISME NICIREN
SEBAGAI SEBUAH SEKTE
A. Sejarah Niciren Syosyu di Indonesia
Niciren Syosyu adalah sebuah aliran agama Buddha yang
berasal dari Jepang pada abad ke-13. Dipelopori oleh Bhikkhu
Niciren Daishonin pada 28 April 1253. Sekte ini berpusat di
Taisekiji, Fujinomina, propinsi Shizouka, Jepang. Sekte
Buddha ini menyebar dari India ke Cina, lalu ke Korea, dan
dari Korea kemudian masuk ke Jepang.
Niciren Syosyu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra
versi terjemahan dari Kumarajiva, Sasta Ichinen Sanzen,
Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, sebuah karya
Mahaguru Tien Tai, Mahaguru Mio Lo, dan Mahaguru
Dengyo. Di negeri Cina, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan
Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa, disebut
dengan Miao Hua Lien Hwa Cing, dan Myohorengekyo,
dalam bahasa Jepang. Sutra Saddharma Pundarika berakar
pada mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, lalu disebarluaskan
ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Niciren adalah salah satu sekte Buddha yang berasal dari
Jepang. Sekte ini menekankan pada pembacaan secara
berulang mantra Nam-myoho-renge-kyo untuk memperoleh
kesehatan, kebahagiaan dan pencerahan (health, happiness and
enlightenment). Niciren terbelah menjadi beberapa cabang,
yaitu: Niciren Shu, Niciren Syosyu, dan Soka Gokkai
Internasional.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
225
Niciren berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi
terjemahan dari Kumarajiva, Sasta Ichinen Sanzen, Hokke
Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, sebuah karya Mahaguru Tien
Tai, Mahaguru Mio Lo, dan Mahaguru Dengyo. Di Cina,
Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Sutra Saddharma
Pundarika. Dalam bahasa Cina atau Tionghoa, disebut dengan
Miao Hua Lien Hwa Cing, dan Myohorengekyo, dalam
bahasa Jepang. Sutra Saddharma Pundarika berakar pada
mazhab Mahayana: Sebuah mazhab yang didasarkan pada
spirit Buddha yaitu kasih sayang pada sesama.63
Sekte Niciren Syosyu masuk ke Indonesia tahun 1950,
dibawa oleh beberapa orang Jepang yang bermukim di
Jakarta. Pada 28 Oktober 1964, almarhum Senosoenoto
bersama istrinya Keiko (asal Jepang) mendirikan Nirichen
Syosyu Indonesia (NSI). Tahun 1986 muncul usulan dan
tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI. Draf AD ART
disusun dan dibuat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto,
yang dikemudian hari dikenal sebagai Kelompok 9. AD ART
NSI tak kunjung terwujud, Kelompok 9 lalu membuat
Yayasan Visistacaritra pada tgl 16 Februari 1987. Saat ini,
Visistacaritra berorientasi pada Sangha Niciren Syosyu.
Sepeninggl Senosoenoto pada 6 Januari 1993, NSI terpecah
dua: 1) Kubu wakil ketua umum Johan Nataprawira dan
sekjen Suhadi Sendjaja; dan 2) Kubu Ibu Keiko Senosoenoto.
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya dicapai
kesepakatan sebagai berikut:
Kubu Johan Nataprawira dan Suhadi Sendjaja mengambil
sikap untuk mempertahankan nama NSI dengan mengangkat
Suhadi Sendjaja sebagai ketuanya. Kubu Keiko Senosoenoto
Daisetz Teitaro Suzuki, dalam “Pendahuluan”. Lihat Beatrice
Lane Suzuki (1939).
63
226
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
memilih untuk mengambil nama baru dengan mendirikan
Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI),
dan mengangkat anak perempuannya, Herwindra Aiko
Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini dengan
menguasai seluruh aset-aset NSI peninggalan almarhum
Senosoenoto.
Tahun 2000, Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum
Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI),
atau BDI saja, berafiliasi dengan Sangha Niciren Syosyu
Indonesia yang diketuai oleh Rusdy Rukmarata (suami Aiko).
Yayasan sangha ini memiliki dua buah kuil, yaitu Myogan-ji
terletak di Mega Mendung, dan Hosei-ji terletak di Jakarta
(Lih. Foto).
Pada tahun 1992 terjadi pertikaian antara Sangha Niciren
Syosyu (di Jepang) dengan Soka Gakkai Internasional (SGI),
dan berakibat SGI membentuk sekte tersendiri dan diberi
nama Niciren Sekai Shu. Kejadian ini juga berimbas ke
Indonesia, sebagian umat Niciren yang ada membentuk
kelompok baru bernama Soka Gakkai Indonesia yang
berpusat di Kemayoran Jakarta, dan menjadi penganut sekte
Niciren Sekai Shu, yang tentu saja didukung oleh Soka Gakkai
internasional dan Shintaro Noda. Pada 1 Juni 1995, Sangha
Kuil Pusat Niciren Syosyu di Jepang menunjuk YPSBDI (Aiko
Senosoenoto) sebagai satu-satunya wadah penganut Niciren
Syosyu di Indonesia. Ternyata, pemilihan nama YPSBDI atau
BDI saja, memiliki sejarah yang panjang. Tabel berikut
menunjukkan itu.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
227
1964
1986
1992
1993
1995
1996
1997
Berdiri Yayasan Buddhist Niciren Syosyu
Berdiri Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu
Indonesia (MABNSI)
MABNSI berubah nama menjadi Parisadha Buddha
Dharma Niciren Syosyu Indonesia (PBDNSI)
Ketua NSI, Senosoenoto wafat, kemudian Ibu Keiko
Senosoenoto diangkat menjadi penanggunjawab
tertinggi Niciren Syosyu di Indonesia oleh Bhiksu
Tertinggi di Jepang.
Sangha Kuil Pusat di Jepang mencabut pengakuan
terhadap PBDNSI.
Ibu Keiko Senosoenoto mendirikan Yayasan Pandita
Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI)
Sangha Kuil Pusat di Jepang memutuskan hubungan
kepercayaan dengan NSI yang diketuai Suhadi
Sendjaja dan Djohan Nataprawira. Lalu melalui Dirjen
Bimas Hindu dan Buddha Dep. Agama RI,
menetapkan bahwa YPSBDI adalah satu-satunya
lembaga keagamaan Buddha Niciren Syosyu di
Indonesia.
Pada 1 Juni 1995, Sangha Kuil Pusat Niciren Syosyu di
Jepang menunjuk YPSBDI (Ketua, Aiko Senosoenoto) sebagai
satu-satunya wadah penganut Niciren Syosyu di Indonesia.
Saat ini, Ketua Pembina YPSBDI adalah Rusdy Rukmarat,
Ketua Pengurus YPSBDI adalah Aiko Senosoenoto dan
Sekretaris adalah Alim Sudio. Jumlah staf di YPSBDI saat
penelitian ini dilakukan adalah 229 orang yang tersebar dari
pusat hingga daerah.
228
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Jumlah Penganut Niciren Syosyu YPSBDI 2015
(Sumber: Kantor YPSBDI, Jl. Padang No. 30, Jakarta)64
B.
Buddha Niciren Syosyu
Sebagai bagian dari agama Buddha Mahayana, Kitab Suci
umat Niciren adalah Tri Pitaka – Saddharmapundarika Sutra.
Menurut Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, bahwa Buddha Niciren
Daisyonin adalah Buddha masa akhir Dharma yang
mengaktualisasikan ajaran Buddha Sakayumi untuk manusia
akhir Dharma yang keruh dan buruk. Penganut Niciren wajib
patuh pada Triratna, yaitu: Buddha Niciren Daisyonin,
Dharma Namyohorengekyo, dan 3) Sangha Bhiksu Tertinggi
Niciren Syosyu turun temurun. ‘Bhiksu saat ini adalah yang
ke 68’, tambah Alim Sudio kepada peneliti. Obyek
penyembahan atau pemujaan umat Niciren Syosyu bukanlah
patung Sang Buddha Gautama, tapi objek yang namanya
Gohonzon (Lihat foto). Di dalam Gohonzon itu tertulis surat
yang ditulis oleh Bhiksu tertinggi, sebagai pewaris langsung
Data diperoleh dari Agustina, staf Bidang Hukum BDI, di Kantor
BDI, Jl. Padang No. 30, Jakarta.
64
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
229
hubungan darah kepercayaan dharma dengan Buddha
Niciren Daisyonin. Menurut Alim Sudio: ‘Gohonzon ini
diletakkan di sebuah altar. Bentuknya seperti lemari yang
memiliki dua pintu. Bukan patung atau lukisan, karena tidak
semua Bhiksu bisa membuat patung atau melukis. Siapapun
yang tidak mengikuti bimbingan hati kepercayaan dari Bhiksu
tertinggi ini maka akan tergolong sebagai pemfitnah
dharma’.65 Sambil mencontohkan, Alim Sudio menyebut Soka
Gakkai Internasional (SGI) semula adalah organisasi yang
dipercayai oleh Sangha Kuil Pusat di Jepang untuk
mengkoordinir dan mengontrol organisasi-organisasi umat
Niciren Syosyu di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tapi
karena SGI pernah melakukan pelanggaran besar seperti
menentang Bhiksu tertinggi dan melakukan fitnah dharma
besar, maka SGI dikeluarkan dari sekte Nichiren Syosyu pada
tahun 1991.
Sejak didirikan oleh Senosoenoto dan Keiko Senosoenoto
di Indonesia, NSI adalah organisasi mandiri yang tidak
pernah berada di bawah kontrol SGI. Prinsip untuk tidak
berada di bawah pengaruh asing menjadi dasar dari pendirian
NSI dari awal berdirinya. Apalagi pada masa Orde Baru,
semua organisasi keagamaan harus berpedoman pada
Pancasila dan tidak dikendalikan oleh pengaruh asing.
Menurut Alim Sudio, bukan hanya pengaruh asing yang tidak
ada, tapi juga dana atau pembiayaan organisasi. ‘Semua
kegiatan dibiayai oleh dana umat Niciren sendiri’, imbuh
Alim Sudio.
65
Wawancara dengan Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, tanggal 24 April
2015.
230
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
C. Puritanisme Sekte Niciren
Mahaguru Tien Tai menyimpulkan bahwa hanya
Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan ajaran pokok
dari Buddha Sakyamuni yang dapat menyelamatkan manusia
dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sehingga, sejak
saat itu mahaguru ini menyebut dirinya dengan sebutan
“Niciren”. Tujuan atau misi yang dibawanya adalah untuk
mengembalikan ajaran Buddha kepada bentuk yang murni
yang menjadi dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan
melawan ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci,
patriotis, namun eksklusif. Tien Tai mengajarkan bahwa
keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata
suci.
Dari hasil studi dalam mempelajari agama-agama
Buddha, ia menyadari bahwa agama Buddha sudah terpecahpecah dengan bermunculan beraneka ragam sekte dan
beranggapan bahwa semua sekte itu telah menyimpang dari
ajaran Sakyamuni yang asli. Oleh karena itu, tujuan utama
sekte ini adalah mengembalikan agama Buddha kepada
bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar perbaikan
masyarakat (puritanisme). Niciren Daishonin melakukan
pembaharuan yang radikal terhadap ajaran-ajaran dari
seluruh sekte yang ada, kecuali pada sekte Tendai. Ia tidak
menolak ajarannya secara keseluruhan. Karena alirannya
memang berdasar dari ajaran Buddha Sakyamuni melalui
jalur sekte Tientai.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
231
Gohonzon di Kuil Hosei-Ji (kiri) di Jakarta dan Kuil
Myogan-Ji (kanan) di Bogor
Foto 5. Aksara Myo di depan Gohonzon
Sebagaimana
dikatakan
diawal
bahwa
objek
penyembahan umat Niciren adalah Gohonzon. Pada foto
diatas terlihat bahwa Gohonzon adalah sesuatu yang menjadi
pusat pemujaan sekte Niciren Syosyu. Menurut Alim Sudio
lagi, pemujaan terhadap Gohonzon ini telah diajarkan Niciren
Doisyonin yang diamanatkan kepada setiap orang yang
percaya kepada Niciren Doisyonin. Yang mengucapkan Nammyoho-renge-kyo, maka ia akan merasa roh individunya akan
menyatu dengan alam semesta. Makna filosofis dari ucapan
suci itu adalah, sebagaimana diutarakan oleh ibu Aiko: ‘aku
mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang
tak terkatakan ke dalam dan keindahannya yang dijelaskan di
232
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddha yang
paling luhur’.
Itu dari segi teologi. Ada juga beberapa jemaat yang
datang ke kuil Niciren karena alasan kesehatan. Ada seorang
pengikut sekte ini mengaku kepada penulis sembuh dari
penyakit setelah beberapa kali ikut sembahyang di kuil
Myogan-Ji yang berlokasi di Megamendung. Namanya
Turiyah, usia 56 tahun, berasal dari Salatiga, Jawa Timur.
Awalnya dia ikut suami yang sudah almarhum. Dia menderita
sakit kulit yang parah selama bertahun-tahun. Tapi setelah
mengikuti beberapa kali sembahyang, dia beransur-ansur
sembuh. Dia akhirnya mengikuti ajaran sekte ini sampai
sekarang ini. Faktor kesehatan ini yang juga menjadi daya
tarik sekte ini bagi masyarakat setempat.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
233
234
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
AJARAN INTI NICIREN SYOSYU
A. Inti Ajaran Niciren Syosyu
Pada dasarnya, umat Niciren Syosyu berbasis pada kuil
karena mereka adalah penganut kuil setempat yang disebut
Hokkeko. Niciren sangat merasakan bahwa Buddhisme
seharusnya memungkinkan orang-orang yang hidup dalam
dunia nyata dan yang sedang menghadapi masalah nyata
memperoleh kekuatan untuk mengubah hidup mereka
menjadi lebih baik. Buddhisme Niciren menekankan
hubungan yang mendalam di antara kebahagiaan diri sendiri
dengan kebahagiaan orang lain. Kepuasan dan pencapaian
terbesar dalam kehidupan diri sendiri diwujudkan melalui
perjuangan untuk kebahagiaan orang lain.
Filsafat Niciren berasal dari ajaran Sakyamuni, yakni
pendiri Buddhisme yang berdasarkan catatan sejarah hidup di
India sekitar 2,500 tahun lalu. Niciren menemukan bahwa
Sutra BungaTeratai mengandung inti ajaran Buddha dan
kebenaran
yang
disadari
Sakyamuni.
Sutra
ini
mengungkapkan bahwa sebuah asas universal yang disebut
sifat Buddha terdapat di dalam semua kehidupan. Asas ini
menegaskan bahwa semua orang bisa mencapai pencerahan.
Niciren mengajarkan bahwa kata-kata dari judul Sutra
Bunga Teratai, yakni Myoho-Renge- Kyo, yang mengandung
kebenaran universal yang disadari Sakyamuni. Dengan
menyebut Nam-myoho-renge-kyo dan mengarahkan diri
dalam kepercayaan dan pelaksanaannya, maka setiap orang
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
235
dapat merasakan dan mewujudkan sifat Buddha dalam
kehidupannya sendiri. Bhiksu YPSBDI menganjurkan
umatnya untuk bersembahyang minimal dua kali sehari, yaitu
pagi dan sore selama masing-masing satu hingga dua jam.
Yang dibaca dalam sembahyang adalah Nam-myoho-renge-kyo
secara berulang dengan menggunakan biji “tasbih” yang
mirip dengan kalung tasbih di kalngan Muslim. Nam-MyohoRenge-Kyo berarti “aku mengabdikan diriku terhadap
kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan ke dalam dan
keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang
mengandung ajaran Buddha yang paling luhur”. Menurut Ibu
Aiko, hanya dengan menyatu dengan alam semesta, akan
mencapai kebahagiaan yang mutlak.
Dari pembahasan tentang garis besar pandangan spiritual
Buddhisme Niciren, inti dari semua ajaran Buddha terletak
pada kalimat Nam-myoho-renge-kyo. Kalimat ini merupakan
bahasa Jepang dari judul salah satu Kitab Tripitaka,
Saddharma Pundarika Sutra atau "Sutra Bunga Teratai
Hukum yang Luar Biasa". Dengan demikian, kalimat Nammyoho-renge-kyo merupakan judul (daimoku) yang sekaligus
menggambarkan intisari ajaran dan realitas hakiki yang
diajarkan oleh Saddharma Pundarika Sutra. Pemikiran Niciren
tentang Nam-myoho-renge-kyo sekaligus menandai perbedaan
ajaran sekaligus kitab sucinya dari para guru besar Buddha
terutama Sakyamuni.
Beberapa initi ajaran Niciren Syisyu adalah sebagai berikut:
1. Nam-myoho-renge-kyo merujuk pada pengabdian atas
hukum mistik yang mewakili semua nilai dalam
Saddharma Pundarika Sutra sekaligus realitas absolut
236
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
yang ada di dalamnya. Kalimat ini merupakan gabungan
antara kata Sansekerta Namu, dan bahasa Cina, MyohoRenge-Kyo. Kata namu berarti pengabdian, baik kepada
hukum maupun orang yang merepresentasikan hukum
tersebut, yakni Buddha Sakyamuni maupun Niciren
Daishonin. Ketika kata namu bertemu dengan kata
berawalan 'm' (myoho), ia menjadi 'nam'. Sedangkan
myoho berarti hukum mistik. Hukum (ho) atau realitas
hakiki digambarkan sebagai mistik (myo), karena berada
di luar konsepsi dan formulasi akal manusia. Realitas ini
mendalam tak terhingga. Di sisi lain, myo menunjukkan
sifat dasar pencerahan (kebuddhaan), sedangkan ho
menunjukkan kegelapan atau khayalan yang berada pada
sembilan dunia sebelum dunia kebuddhaan. Kesatuan
khayalan dan pencerahan disebut myoho atau hukum
mistik.
Dalam praktiknya, ketika peneliti mewawancarai Alim
Sudio, Sekjen YPSBDI, kalimat Nam-myoho-renge-kyo
dilantunkan pada saat melaksanakan ritual di hadapan
Gohonzon (Sebuah altar pemujaan yang di dalamnya
terdapat satu kertas bertulis Nam-myoho-renge-kyo oleh
Bhikkhu tertinggi). Pelaksanaan ritual ini tidak memiliki
penjadwalan baku, hanya secara umum dilakukan setiap
pagi dan malam. Ritual BDI juga merujuk pada
pembacaan dua bab dari Saddarma Pundarika Sutra, yakni
Bab Upaya Kausalya yang berisi potensi kebuddhaan pada
setiap manusia dan makhluk. Serta Bab Panjang Usia Sang
Tathagata yang berisi keabadian jiwa manusia.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
237
2. Dai-Gohonzon
Dai-Gohonzon adalah sesuatu yang menjadi pusat
pemujaan yang telah diajarkan Niciren Doisyonin yang
diamanatkan kepada setiap orang yang percaya kepada
Niciren Doisyonin. Yang mengucapkan Nam-myohorenge-kyo, maka ia akan merasa roh individunya akan
menyatu dengan alam semesta.
3. Teori Kaidan
Kaidan adalah suatu tempat bagi para calon Bhiksu atau
Bhikkhu untuk bernazar dan menyatakan diri akan
mengabdi sebagai bhikkhu atau bhikkhuni.
B.
Model Ritual atau Sembahyang
Model sembahyang penganut Niciren Syosyu disebut
dengan Gongyo yang artinya membaca Sutra. Menurut
wawancara saya dengan Ibu Aiko Senosoenoto, Sutra yang
dibaca adalah Saddharmapundarika pada Bab ke -2 dan Bab
ke-16. Bab 2 yang dibaca ada di halaman 1-5 dan Bab 16
halaman 6-26. Pembacaan ini dilakukan sebanyak dua kali
dalam sehari: pagi hari sekitar jam 8 dan sore hari sekitar jam
4. Sambil sembahyang, para penganut memegang di kedua
tangannya layaknya sebuah tasbih dalam Islam, yang disebut
dengan nama jujue, yang berisi 114 biji batu (lihat foto). Pada
setiap sembahyang itu, seperti yang peneliti amati, waktu
yang digunakan adalah sekitar satu jam, baik pagi maupun
sore hari.
238
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Foto “Tasbih” Jujue ala BDI
Foto 6. Jujue atau kalung Tasbih ala Niciren Syosyu
Sebagaimana yang peneliti amati, para pengunjung kuil
ketika melakukan sembahyang atau gongyo memberikan
penghormatan yang penuh dan khidmat terhadap Gohonzon
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
239
dimulai dari ketika memasuki pintu gerbang kuil. Setelah
berada di dalam kuil, mereka ada yang duduk bersimpuh,
bersila, atau duduk di atas kursi bagi yang sudah sepuh atau
sedang sakit. Yang peneliti saksikan, posisi duduk mereka
tegak, dan tangan bersikap anjali (mengatupkan kedua belah
telapak tangan di depan dada). Bagi yang duduk di kursipun,
mereka duduk dengan sopan dengan kaki menyentuh di
lantai. Mereka memusatkan perhatian pada aksara “Myo”
yang terletak di tengah-tengah Gohonzon (Lihat Foto 5). Suara
yang dikeluarkan juga tidak keras, sewajarnya saja dengan
kecepatan yang seirama dengan nafas. Ketika membaca dalam
hatipun, mereka terlihat sepenuh hati (khusyu’ dalam Bahasa
Islam).
“Pada saat melaksanakan Gongyo terkadang pikiran kita
kacau atau menyimpang. Namun demikian, janganlah
digoyahkan oleh pikiran seperti itu. Milikilah keyakinan
bahwa dengan melaksanakan pertapaan kepada Gohonzon
yang agung yang didasarkan pada hati kepercayaan yang
benar, kita pasti dapat mewujudkan karunia kebajikan yang
agung dalam kehidupan”.
Nasehat disampaikan Aiko Senosoenoto ketika peneliti
menanyakan metode agar yang melakukan Gongyo bisa
berkonsentrasi penuh dalam ibadahnya. Tambah Aiko, dia
memberikan sebuah buku yang menjadi pedoman
pelaksanaan sembahyan penganut Niciren Syosyu yang
diterbitkan oleh Yayasan Sangha Niciren Syosyu Indonesia.66
66 Buku Sembahyang Agama Buddha Niciren Syosyu. Jakarta:
Yayasan Sangha Niciren Syosyu Indonesia, 2013. Saya mengucapkan terima
kasih kepada Alim Sudio, Nanang dan Agustina yang telah
mempersembahkan buku ini kepada saya selama penelitian berlangsung
240
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Di dalam buku itu juga dijelaskan tentang beberapa doa
yang wajib dibaca selama pelaksanaan Gongyo. Kelima
macam doa itu adalah: 1) Doa pertama kepada Dewa Dewi, 2)
Doa kedua kepada Dai Gohonzon (oyek pemujaan), 3) Doa
ketiga kepada pusaka Buddha Niciren Daisyonin, pusaka
Sangha, Nicimoku Syosyu dan seluruh Bhiksu Tertinggi
Niciren Syosyu, 4) Doa keempat agar tujuan agung
tersebarnya dharma tercapai, terhapusnya fitnah dan
tercapainya kesadaran Buddha, dan 5) Doa kelima merupakan
doa untuk seluruh leluhur keluarga dan keselamatan untuk
seluruh makhluk.
C. Nama-Nama Bhiksu (Bhikkhu) Niciren
Kebanyakan Bhiksu Niciren Syosyu di Indonesia berasal
dari Jepang. Alasannya karena hanya mereka yang disahkan
oleh Kuil Pusat di Jepang yang berhak menjadi Bhiksu.
Menurut pengakuan Aiko Senosoenoto, Ketua Badan
Pengurus YPSBDI dan Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, bahwa
saat ini baru ada satu Bhiksu yang asli Indonesia dan sekarang
sedang mengabdi di Kuil Pusat Jepang. Kalau masa
pengabdiannya sudah selesai, dia diharapkan akan kembali ke
Tanah Air. Oleh karena itu, level tertinggi dalam sistem keBhiksu-an Niciren Syosyu yang diperoleh di Indonesia adalah
Pandita Muda, Pandita dan Pandita Utama. Saat ini, yang
menjadi Pandita Utama adalah Keiko Senosoenoto
(almarhumah), sedangkan Aiko Senosoenoto dan Rusdy
Rumarata (suami Aiko) masih berstatus Pandita. Yang
menarik adalah Bhiksu Niciren Syosyu boleh menikah dan
dan menemani saya selama mengikuti kegiatan di Kuil Myo-Gan,
Megamendung pada awal Mei 2015.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
241
makan daging. Kebolehan menikah dan makan daging ini
tidak ditemui di kalangan penganut Buddha lainnya.
Dalam Gongyo atau sembahyang, yang berhak
memimpin adalah Bhiksu, sementara Pandita Utama dan
Pandita hanya boleh memberikan pembabaran atau ceramah
biasa kepada umat Niciren Syosyu. Dalam beberapa kali
Gongyo yang peneliti ikuti, Bhiksu Yang Arya Shojo Sakabe
yang memimpin Gongyo di Kuil sementara para pandita dan
umat Niciren Syosyu lainnya mengikuti saja. Dibawah ini
adalah nama-nama para Bhiksu Tertinggi Niciren Syosyu
sesuai urutan periode kepemimpinan, mulai dari Bhiksu
pertama Niciren yaitu Niciren Daisyonin.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
242
Niciren Daisyonin
Nikko Syonin
Nicimoku Syonin
Nicido Syonin
Nicigyo Syonin
Niciji Syonin
Nicia Syonin
Niciei Syonin
Niciu Syonin
Nicijo Syonin
Nittei Syonin
Nitcin Syonin
Niciin Syonin
Nissyu Syonin
Nissyo Syonin
Niciju Syonin
Nissei Syonin
Niciei Syonin
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
Nicion Syonin
Nikken Syonin
Nippo Syonin
Nittai Syonin
Nicijun Syonin
Nicinin Syonin
Nicimon Syonin
Nicigon Syonin
Nisso Syonin
Nissen Syonin
Nicirei Syonin
Nitcio Syonin
Nissyu Syonin
Niciryo Syonin
Nisso Syonin
Nicijo Syonin
Nicieo Syonin
Niciden Syonin
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
Nissyun Syonin
Nitten Syonin
Nicinin Syonin
Nissyun Syonin
Nikkei Syonin
Niciei Syonin
Niciyu Syonin
Nicikan Syonin
Niciyo Syonin
Nissyo Syonin
Nitto Syonin
Nitciu Syonin
Niciin Syonin
Nikkyo Syonin
Nicigen Syonin
Nissyin Syonin
Foto 7. Bersama Bhiksu
Yang Arya Shoju Sakabe di
Kuil
Myogan
–
Ji,
Megamendung.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
Nicijo Syonin
Niciin Syonin
Nippu Syonin
Nicio Syonin
Nissyo Syonin
Nitciu Syonin
Niciko Syonin
Nicikai Syonin
Niciryu Syonin
Nikkyo Syonin
Niciman Syonin
Nissyo Syonin
Nicijun Syonin
Nittace Syonin
Nikken Syonin
Nichinyo Syonin
Foto 8. Salah satu penganut
Niciren
Syosyu
memberi
hormat sebelum memasuki
Kuil Myogan-Ji.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
243
244
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
IV
ANTARA PURITANISME DAN
NASIONALISME
A. Upaya Mengindonesiakan Niciren: YPSBDI
Beberapa tokoh Niciren Syosyu YPSBDI menolak
menyebut kalau Niciren Syosyu di Indonesia dianggap
sebagai agama Jepang. Mereka lebih cocok menyebut Niciren
sebagai bagian agama Buddha dari mazhab Mahayana
berdasarkan Tripitaka dan bersifat nasionalis. Niciren Syosyu
di Indonesia menegaskan bahwa Niciren Syhoshu bukanlah
suatu agama yang bersifat eksklusif untuk golongan tertentu
saja, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat berdasarkan
prinsip “Icien Bodai Soyo” dan bersifat universal.
Menurut Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, Niciren Syosyu di
Indonesia memiliki prinsip “Esyo Funi” yang berarti manusia
dan lingkungan tidak dapat terpisahkan. Buktinya adalah
penggunaan bahasa Indonesia saat pertemuan-pertemuan
yang diselenggarakan oleh YPSBDI.
Menurut pengakuan Aiko juga, pengikut YPSBDI tidak
merayakan Imlek, tapi merayakan Waisak. Alasannya, Imlek
adalah budaya suku Tionghoa (Cina), dan bukan perayaan
agama Buddha. Mereka juga tidak wajib menyembah patung
Buddha. Yang ada adalah Dai-Gohonzon atau Gohonzon,
yaitu obyek pemujaan yang berisi tulisan Sangha atau
Bhikkhu. Mereka lebih mengutamakan kesadaran bukan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
245
peraturan. Bhikkhu boleh menikah, termasuk boleh makan
daging. Niciren Syosyu di Indonesia memiliki prinsip “Esyo
Funi” yang berarti manusia dan lingkungan tidak dapat
terpisahkan. Ajaran ini dibuktikan dengan semangat Cinta
Tanah Air dan penggunaan bahasa Indonesia di setiap
pertemuan.
B.
Surat-Surat Bhiksu (Bhikkhu)
Para Bhikkhu sekte Niciren menyampaikan pemikiran-
pemikirannya melalui surat yang disebut dengan Gosyo.
Surat-surat ini ditulis oleh Bhikkhu Tertinggi secara turun
temurun. Beberapa surat yang ditulis yang berkaitan dengan
cinta tanah air adalah: 1) Surat Membuka Mata: “Aku adalah
mata dari bangsaku, Aku adalah tiang dari bangsaku, Aku
adalah bahtera dari bangsaku.” Surat ini juga selalu dibacakan
di setiap upacara-upacara penting di Niciren
Syosyu
Indonesia, misalnya saat Upacara Tahun Baru, 2) WAR
(Wahana Negara Raharja) untuk setiap kelompok umur, dan
3) REACH (ready to take the challenge) untuk anak muda.
Maitri Karuna: “Dengan membahagiakan orang lain, maka
kita akan bahagia”. Menurut Alim Sudio, Wakil Sekjen
YPSBDI, “Orang akan bahagia jika cinta Tanah Air”.
246
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Suasana Kegiatan Cinta Air di Megamendung, Bogor Mei 2015
Foto 9. Suasana Pembabaran Foto 10. Bersama Ketua Panitia
(Baca:
ceramah
agama) Kegiatan Cinta Tanah Air.
dalam Kegiatan Cinta Tanah
Air
di
Aula
YPSBDI,
Megamendung, Bogor, 3-5
Mei 2015.
Kegiatan REACH focus pada pembinaan generasi muda
sebagai penerus masa depan bangsa. REACH menjadi
perhatian utama Pandita Aiko Senosoenoto. Di bawah
kepemimpinannya, dinamika anak muda YPSBDI mendapat
tempat yang sangat pantas. Sejak tahun 1986, berbagai
kegiatan nasional anak muda yang terarah dan terpadu
dijalankan secara berkesinambungan dan terus menerus.
Diawali dengan Temu Pelajar dan Mahasiswa (TPM) pertama
di Sumatera Utara hingga TPM ketujuh di Megamendung.
TPM ini dilaksanakan setiap tahun secara rutin di berbagai
tempat di Tanah Air. Selain Sumatera Utara dan
Megamendung - Jawa Barat, Bromo - Jawa Timur, Bedugul –
Bali, Yogyakarta, Tanjung Pinang – Kepulauan Riau juga
pernah menjadi tuan rumah TPM.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
247
Pelaksanaan kegiatan di berbagai tempat di Indonesia
juga bertujuan untuk meletakan dasar cinta Tanah Air di
dalam jiwa setiap generasi muda YPSBDI. Dengan mengenal
kebesaran dan keberagaman Indonesia, diharapkan akan
muncul perasaan cinta terhadap Tanah Air mereka.Pembinaan
generasi muda tahap kedua adalah (Pendidikan Agama dan
Susila Teruna Indonesia (PASTI). Pembinaan tahap kedua ini
juga dilangsungkan setiap tahun tanpa terhenti di kompleks
Sadapaributha Buddhis Centre, Megamendung. Atas
undangan Alim Sudio, Sekjen YPSBDI, peneliti menghadiri
PASTI yang diselenggarakan pada bulan Mei 2015 di
Megamendung. Dari PASTI pertama hingga ketujuh, kalangan
muda YPSBDI dilatih untuk memiliki sikap berkompetisi
secara sportif dan fair.
Memasuki
tahap tujuh
tahunan
yang ketiga,
diselenggarakanlah Menggapai Inspirasi Merdeka Putra
Indonesia (MIMPI). Kegiatan ini menekankan pada
pengembangan sikap disiplin, tekun dan mau belajar pada
anak-anak muda. Berbagai pelatihan dan workshop diberikan
kepada mereka dalam kegiatan yang dipusatkan di kompleks
Kuil Myogan-ji, Megamendung ini. Mulai dari kelas tari,
musik, hingga teater menjadi sarana mereka untuk menempa
diri menjadi anak muda Indonesia yang tangguh. Maksud dan
tujuan dari berbagai kegiatan tersebut adalah untuk
mendekatkan umat dengan lingkungan dan masyarakat
sekitar dimanapun mereka berada.
248
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
V
PENUTUP
Kesimpulan
Agama Buddha memiliki banyak sekte karena Sang
Buddha memiliki banyak murid dari berbagai kalangan yang
berbeda. Masing-masing murid ini kemudian memberikan
penasiran yang berbeda-beda terhadap ajaran Sang Buddha.
Sekte Niciren berasal dari salah satu pembaca ajaran Sang
Buddha yaitu Niciren Daisyonin, yang memiliki penafsiran
yang berbeda dengan penganut Buddha lainnya. Sebagai
contoh dalam perbedaan penafsiran masing aliran dan sekte
dalam Buddha adalah dalam memahami Hari Waisak, atau
hari besar agama Buddha. Alira Mahayana memahami Waisak
sebagai hari kelahiran Pangeran Sidharta atau Sang Buddha
pada 623 SM, atau yaitu pada 8 April. Sementara Aliran
Teravada memperingati kelahiran Sang Buddha pada 2 Juni.
Dalam kenyataannya, aliran Mahayana yang popular di
Jepang adalah Niciren Syosyu. Dan adalah seorang
Senosoenoto, asli Indonesia, yang mendirikan dan sekaligus
menyebarkan sekte ini ke masyarakat Indonesia.
Sebagaimana diutarakan di dalam laporan penelitian ini
adalah bahwa inti ajaran sekte Niciren Syosyu adalah
pembacaan Sutra Saddharma Pundarika. Dalam bahasa Cina
atau Tionghoa, disebut Sutra itu disebut dengan Miao Hua
Lien Hwa Cing, sedangkan dalam Bahasa Jepang adalah NamMyoho-Renge-Kyo. Pembacaan Sutra ini adalah wajib dalam
ritual sembahyang atau disebut Gongyo bagi umat Niciren
Syosyu. Bahkan oleh Bhiksu Tertinggi ke 68 Niciren Syosyu,
Nichinyo Syonin, pembacaan Sutra yang memiliki lima aksara
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
249
ini dianggap sebagai aksara Hukum Gaib, dan simbol
kemanunggalan antara manusia dan Hukum. Dalam catatan
ajaran Niciren Daisyonin mengajarkan bahwa: ‘…Tidak
diragukan lagi bahwa ‘akar’ kesesatan pokok seluruh
makhluk hidup dapat sepenuhnya disembuhkan dengan
“obat mujarab” Hukum Gaib Myoho-Renge-Kyo’.
Pembacaan Sutra ini adalah ciri khas Niciren Syosyu yang
tidak ditemui pada penganut aliran Mahayana lainnya. Oleh
karena itu, wajarlah kalau dikatakan bahwa Niciren ini adalah
sebuah sekte yang merupakan pecahan dari Mahayana
sebagai aliran induk. Beberapa ciri dan perbedaan sekte
Niciren dibanding sekte lain dalam aliran Mahayana atau
aliran lainnya adalah; 1) pusat pemujaan bukan patung
Buddha tapi Gohonzon, 2) yang dibaca dalam sembahyang
(Gongyo) adalah Sutra atau Nam-Myoho-Renge-Kyo, 3) Bhiksu
atau Bhikkhu hanya dilantik di Kuil Pusat di Jepang dan
berhak memimpin Gongyo, dan 4) Bhiksu boleh menikah
tanpa meninggalkan statusnya sebagai Bhiksu atau Bhikkhu.
Hingga sekarang, gerakan cinta Tanah Air umat Buddha
Niciren Syosyu di Indonesia secara konsisten dijaga dan
dikembangkan penerapannya sesuai jaman oleh Pandita Aiko
Senosoenoto dan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia
dan juga SGI. Ternyata kecenderungan untuk selalu memiliki
sikap Cinta Tanah Air ini, menurut Aiko, sudah sejak awal
dianjurkan oleh almarhum Senosoenoto. Beliau selalu
mendengungkan ajaran Cinta Tanah Air dari Buddha Niciren
Daisyonin kepada umatnya.
Prinsip Menjadi Mata, Tiang dan Bahtera Bangsa benarbenar diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Umat didorong
untuk bisa berbahasa Indonesia. Aksi-aksi kemanusiaan
seperti donor darah, menjadi calon donor mata, kebersihan
250
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
lingkungan, reboisasi dan penghijauan, penanggulangan
banjir dan menolong korban berbagai bencana lainnya juga
dilakukan oleh umat Niciren Syosyu ini.
Sebagai wujud dari cinta Tanah Air itu, pengikut YPSBDI
terus didorong untuk bekerja sama dengan berbagai unsur
masyarakat dalam membangun daerah sekitarnya. Aiko
menutup wawancaranya dengan ucapan bijak dari salah satu
sutra sebagai berikut: “Dengan membahagiakan orang lain,
maka kita akan bahagia. Orang akan bahagia jika cinta Tanah
Air”. Konsep Cinta Tanah Air ini menjadi bukti bahwa
kecenderungan menjadi puritan tidak menjadikan YPSBDI
sebagai sekte yang ekskulusif dan cenderung men-kafir-kan
sekte lain sebagai sesat. Sikap ini juga menjadi pegangan bagi
SGI. Justru dengan memisahkan diri dari Niciren Syosyu
Indonesia (NSI), YPSBDI dan SGI semakin berbaur dengan
berbagai kalangan baik politisi maupun rakyat jelata demi
menyampaikan pesan-pesan ajaran Buddha Niciren yang
universal. Sepertinya, sikap merangkul segala lapisan
masyarakat ini harus ditempuh oleh sekte ini untuk
memberikan image ke masyarakat bahwa puritanisme tidak
selalu berwajah negatif. Aspek yang masih harus digali lebih
jauh.
Rekomendasi
Rekomendasi ini ditujukan
masyarakat dan pemerintah:
kepada
dua
pihak,
1. Masyarakat diharapkan bersikap dewasa dan mengambil
tindakan yang arif dalam menyikapi keberadaan berbagai
sekte dalam agama Buddha.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
251
2. Pemerintah dalam hal ini Dirjen Bimas Buddha harus
mewadahi dan memberikan pelayanan yang selayaknya
kepada umat Niciren Syosyu tanpa membeda-bedakannya
dengan penganut Buddha dari aliran lainnya.
3. Meskipun aspek puritanisme mengemuka di awal
kelahirannya sebagai sebuah sekte dalam aliran
Mahayana, upaya pendiri Niciren Syosyu di Indonesia,
almarhum Senosoenoto, dalam men-Indonesia-kan
Niciren Syosyu layak untuk diapresiasi.
252
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2010.
Brown, Liem, 1990. ‘Agama Buddha Maitreya: A Modern
Buddhist Sect in Indonesia’. Contribution to
Southeast Asian Ethnography, vol. 9.
Brown, Liem, 2004. ‘The Revival of Buddhism in modern
Indonesia’, in Martin Ramstedt (ed), Hinduism
in Modern Indonesia, Routledge and Curzon,
London and New York.
Cœdès, George. 1975. The Indianized States of Southeast Asia.
Edited bu Water F. Vella, Translated by Susan
Brown Cowing. Canberra: The Australian
National University (ANU).
Laporan
Tahunan (LAPTAH), Puslitbang Kehidupan
Keagamaan di Indonesia Tahun 2015.
Muzakki, Akh, 2010. ‘Ethnic Chinese Muslims in Indonesia:
An Unfinished Anti-Discrimination Project’, in
Journal of Muslim Minority Affairs, Vol. 30, No. 1,
March 2010.
Nahrawi, Muh Nahar 2006. ‘Studi tentang Niciren Syosyu
pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma
Indonesia di Kota Batam’. Dalam Kelompok
Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
253
Neuman, W. Lawrence (2003). Social Research Methods:
Qualitative and Quantitative Approaches. (5th
edition). Pearson Education Inc.
Senosoenoto, Aiko. Kuil Untuk Rakyat. Jakarta: YPSBDI, 2006.
Steenbrink, Karel, 2013. ‘Buddhism in Muslim Indonesia’.
Studia Islamika, Vol. 20, Number 1, 2013.
Suzuki, Beatrice Lane 1939. Agama Buddha Mahayana. Penerbit
Karani Dharma.
Wahyono, Mulyadi, 2002. Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha.
Jakarta: Departemen Agama.
254
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
6
MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA
INDONESIA (MAGABUDHI)
DI PROVINSI RIAU
Oleh:
Reslawati
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
255
256
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Sejarah Perkembangan Agama Buddha dan Maga Buddhi
di Prov. Riau
a. Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Prov. Riau
Dari penelusuran peneliti melalui literatur dan hasil
wawancara dengan berbagai tokoh agama Buddha,
akademisi/cendikiawan Agama Buddha serta umat Buddha
yang ada di Provinsi Riau tidak di ketahui kapan agama
Buddha masuk ke Provinsi Riau dan juga tidak diketahui
kapan aliran Theravada masuk dan berkembang di
Riau.Namun dalam literatur disebutkan bahwa di Kepulauan
Riau berkembang agama Buddha, karena dulu Kepulauan
Riau merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya. Imperium
Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya.
Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683
dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah
Sumatera Tengah dan Selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula
pada penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada penghujung
abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari Kerajaan
Bintan Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki
periode Melayu Riau yaitu zaman Melaka abad 14-15 M,
zaman Johor-Kampar abad 16-17 M, zaman Riau-Lingga abad
18-19 M. Bukti adanya agama Buddha yang disinyalir pada
masa kerajaan Sriwijaya ini dengan adanya Candi Muara
Takus, Candi Mahligai, Candi Tua, Candi Bungsu dan Candi
Palangka. Candi-candi ini merupakan bangunan suci agama
Budha yang ada di Riau. Bangunan agama Buddha yang
terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto,
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
257
Kabupaten Kampar, Riau, ini berjarak kurang lebih 135
kilometer dari Kota Pekanbaru. Adapun aliran agama Buddha
yang datang pada masa kerajaan Sriwijaya adalah Mahayana
dan Hinayana. Tidak diketahui aliran apa yang datang dan
berkembang di Riau pada masa kerajaan Sriwijaya tersebut.
Menurut Sonika (Dosen Sekolah Matreyah dan Dewan
Pakar Agama Tionghoa Prov. Riau), bahwa tidak diketahui
dengan pasti kapan agama Buddha masuk ke Provinsi Riau, di
duga dibawa oleh para leluhur mereka yang berasal dari Cina
melalui jalur perdagangan dan sekaligus dengan tidak secara
sengaja artinya secara natural dalam kehidupannya
melaksanakan ajaran Buddha Gautama dan lambat laun
berkembang di masyarakat Riau.Hal senada juga di
sampaikan oleh Darmadji (Ketua Walubi Prov. Riau) bahwa
tidak diketahui secara pasti kapan agama Buddha masuk ke
Riau.Terkait dengan Magabudhi pun belum begitu banyak
mengetahuinya di Riau ini jelas Sonika.Namun Ketua Walubi
menyampaikan bahwa Magabudhi di Riau baru saja berdiri
lebih kurang 2 (dua) tahun dan selalu melakukan kerjasama
dengan Walubi.
b. Sejarah Perkembangan Magabudhi di Prov. Riau
Belum diketahui sejak kapan umat Buddha aliran
Theravada berada di Riau, namun sebelum tahun 2012 di
bentuknya Magabudhi di Riau umat Buddha khususnya aliran
Theravada yang ada di Riau melakukan ibadah di rumah
masing-masing dan di Vihara-vihara lain. Pada Tahun 2007,
Susmoro yang berasal dari Jambi pergi ke `Riau.Di Jambi
beliau bergabung dengan Magabudhi Jambi.Selama di Riau
beliau melakukan ibadah di vihara milik Maju Buthi.Pada
258
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Tahun 2011, Banthe/Bikhu Pembina yaitu Atimodo Mahatera
dari Shanga Theravada dari Jambi yang sering datang ke
Riau.Kemudian meminta Susmoro untuk ikut membina umat
Buddha khususnya aliran Theravada dan membentuk serta
mengembangkan Magabudhi di Riau.Bersama Ingersah yang
juga penganut Buddha Theravada, Susmoro membina umat
Buddha di Riau.
Pada tahun 2011 jumlah umat Buddha Theravada yang
dapat di data saat itu di Pekan Baru sebanyak 10-15 orang
yang terdiri dari keluarga Ingersah, Keluarga Sumujan,
Keluarga Susmoro dan Keluarga Johson. Pada saat itu mereka
tidak ada tempat untuk melakukan ibadah, sehingga ibadah
dilakukan di rumah pasangan suami isteri (Johnson dan
Suniah).Di rumah inilah awal mulanya kegiatan umat Buddha
Theravada di mulai, yang merupakan cikal bakal lahirnya
Magbudhi di Riau.Kegiatan dilakukan seminggu sekali
dengan melakukan Puja Bakti dan diskusi. Dari sering
diadakannya kegiatan ini sehingga terdengar oleh yang
lain,maka mulai bertambahlah keluarga lain untuk mengikuti.
Selain itu jika diketahui ada penganut Buddha aliran
Theravada maka akan di sampaikan melalui sms dan media
lainnya.
Tahun 2012, umat bertambah menjadi 30 orang.Karena
umat bertambah banyak dan dirasa cukup untuk membentuk
pengurus Magabudhi di Riau. Pada tanggal 4 November 2012,
bertempat di rumah Johson, Jln. Riau Ujung No. 305-307,
Kelurahan Air Hitam,Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekan
Baru Prov. Riau diadakanlah Pasamuan Pengurus Daerah
Magabudhi Provinsi Riau. Karena umat semakin banyak, pada
tahun 2013 berjumlah 75 orang, maka pengurus mendapatkan
pinjaman tempat di ruko milik Suryati (Aling) dan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
259
keluarganya yang saat ini menjadi tempat ibadah umat
Buddha Theravada Provinsi Riau. Ruko berukuran 5 X 18
meter tersebut terdiri dari 3 lantai.Lantai pertama, tempat
ibadaha anak-anak.Lantai kedua, tempat ibadah umum/
dewasa dan lantai ketiga, untuk tempat ibadah remaja. Ruko
berada tidak jauh dari pemukiman penduduk dan 50 meter
dari sana terdapat masjid al Muttaqin.
Adapun pengesahan kepengurusan Magabudhi Prov.
Riau Periode 2013-2018 ditetapkan, berdasarkan Surat
Keputusan Pengurus Pusat Magabudhi pada 4 Februari 2013.
Magabudhi Provinsi Riau terdaftar di Kanwil Kemenag Prov.
Riau pada tanggal 20 November 2014 sampai 20 November
2017 dengan Nomor: Kw.04.10/BA.04/456/2014, dengan
alamat: Jln. Riau Ujung Komp. Ruko Mas Blok C No. 07 Kota
Pekan Baru Riau. Sedangkan nama tempat ibadahnya juga di
Ruko tersebut diberi nama Vihara Pubba Mangala Arama,
terdaftar dengan Nomor: KW.04.10/BA.04/340/2013.
Lebih lanjut Susmoro menyampaikan awalnya ruko
tersebut adalah rumah tinggal, setelah kosong dipinjamkan
keluarga Suryanti untuk tempat ibadah, dan kegiatan lain.Saat
ini Magabudhi sudah memiliki tanah kosong seluas 3 hektar. 2
hektar terletak di jalan Dharma Bakti Ujung, rencananya akan
dibangun Vihara Pubba Manggala Arama. Satu (1) hektarnya
di jalan Riau Ujung dijadikan sarana umum dan meditasi.
Dalam waktu dekat vihara akan dibangun,karena panitia
sudah dibentuk. Sekarang dalam proses pembentukan gambar
vihara yang dibantu arsitek dari Jakarta. Untuk membangun
Vihara dengan luas 2 hektar tersebut dibutuhkan dana 10
milyar. Saat ini sedang mengumpulkan dana, baik dari umat
Buddha yang ada di Riau dan dari Vihara-vihara Theravada
yang ada diseluruh Indonesia serta dari bantuan lainnya yang
260
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
tidak mengikat. Adapun Yayasan Pubba Manggala didirikan
di Pekan Baru Riau pada tanggal 11 Agustus 2014, dengan
akta notaris Pritta Melanie, Nomor: 109/NOT/VIII/2014 dan
telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan
HAM Nomor: AHU-04868.50.10.2014, pada tanggal 22
Agustus 2014. Terdaftar di Dirjen Bimas Buddha Kemenag
pada tanggal 17 November 2014 dengan Nomor: DJ.
VI/BA.01.1/04/656/2014.
Umat Buddha yang tergabung di Magabudhi berasal
dari berbagai etnis dan suku seperti Jawa, Bali, Tionghoa
(Cina), Banjar dan belum ada dari orang Melayu.Kebanyakan
dari mereka adalah orang-orang Tionghoa (Cina).
2. Manajemen
Organisasi
Magabudhi
(struktur,
keanggotaan, pembinaan, dana dan sarananya)
Menurut Romo Susumoro, penganut Magabudhi di
Provinsi Riau sebanyak 75 orang, namun jika mengadakan
kegiatan dapat dihadiri oleh umat Buddha sebanyak 300-500
orang. Adapun setiap kebaktian pada hariminggu umat yang
datang tidak lebih dari 70 orang, bisa lebih, bisa kurang.Untuk
umat di luar Magabudhi belum ada yang datang beribadah ke
Vihara Pubba Manggala Arama milik Magabudhi.Di
Magabudhi belum ada bikkhu.Bikkhu ditunjuk dari pusat,
sehingga bikkhunya di datangkan dari Jakarta, Medan dan
Jambi. Dalam 1 bulan ada bikkhu yang datang 1-2 bikkhu.
Untuk semua fasilitas bikkhu selama di Riau, pengurus vihara
yang memfasilitasinya. Di kantorMagabudhi (ruko)
disediakan dua (2) kamar untuk bikkhu, jika mereka datang
ke Riau. Letaknya di lantai 3. Ukuraun kamarnya 2 X 3 M.
adapun tempat tidur bikkhu tidak boleh lebih dari 60 cm dari
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
261
lantai. Kamar bikkhu disiapkan sesederhana mungkin dan
layak untuk tidur.Di Magabudhi ada 5 pandita yaitu: Romo
Ingersah, Romo Susmoro, Romo I Ketut Sukarsa, Romo
Sumijan dan Romo Edi Wijaya. Adapun yang menentukan
pandita/Romo adalah dari pusat.Magabudhi daerah
mengajukan ke pusat.Pusat melakukan verifikasi setelah itu
baru di SK-kan dan dilantik.
Sekretariat Magabudhi/Vihara Pubba Manggala di Ruko
Jln. Riau Ujung Komplek Pertokoan Riau Mas Blok C-1 No.
7 Pekan Baru Riau
262
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Tempat Tidur Untuk Bhikku tidak boleh lebih tinggi dari 60
cm di Magabudhi
Adapun untuk mencapai tujuan dan jalannya roda
organisasi sebagaimana mestinya, maka Magabudhi Provinsi
Riau mempunyai kepengurusan organisasi Magabudhi,
Kepengurusan Yayasan Pubba Manggala Arama, dan
Pengurus Pemuda Theravada Indonesa. Adapun susunan
kepengurusannya sebagai berikut:
a. Susunan Pengurus Yayasan Pubba Manggala Arama
berdasarkan Keputusan Kementrian Hukum dan HAM
Nomor: AHU-04868.50.10.2014, adalah sebagai berikut:
Pengurus Yayasan Pubba Manggala Arama
NO
1
2
JABATAN
Pendiri Yayasan
Susunan Organisasi Yayasan
Ketua Pembina
Anggota Pembina
1
2
NAMA
Ingersah
Anton Teguh Atmaja
1
2
3
4
5
Husodo Pannavaro
Dharma Putra Aris Wardoyo
Martoyo Atimedho
Misbah Cittagutto
Slamet
Abhayanando
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
263
3
4
Pengurus Harian
Ketua Umum
Wakil Ketua
Sekretaris Umum
Sekretaris
Bendahara Umum
Bendahara
Anggota Pengawas
6
7
Ingersah
Anton Teguh Atmaja
1
2
1
2
1
2
1
2
3
4
Herman
Johson
Siti
Rosita
Suniah
Suryanti
Susmoro
Edy
Susanto Rimba
Antony
b. Susunan Pengurus Daerah Magabudhi Prov. Riau Periode
2013-2018, Berdasarkan SK Pengurus Pusat Magabudhi,
Nomor:
069/MGBD-PP/KUSU/II/2013,adalah sebagai
berikut:
NO
1
2
JABATAN
Dewan Penasehat
Dewan Pembina
3
Dewan Penyantun
4
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris 1
Sekretaris 2
Bendahara 1
Bendahara 2
Anggota
5
6
7
264
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
3
4
5
6
NAMA
Sangha TheravadaIndonesia
Pembimas
Buddha
Kanwil
Kemenag Prov.Riau
Upc. Siti
Upc. Suniah
PMd. Susmoro
Upc. I Ketut Sukarsa
Upc.Sukriyanto
Upc. Sumijan
Upc. Suryati
Upc. Edi Wijaya
Upc. Nurjanah
Upc. Suniah
Upc. Bintorowati
Upc. Henny
Upc. Samir
Upc. Johson
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
c. Susunan Dewan Pengurus Daerah Riau Pemuda
Theravada Indonesia masa bakti 2012-2015, berdasarkan
SK Dewan Pengurus Pusat Pemuda Theravada Indonesia
Nomor: 021/SK/DPP-PATRIA/I/2013, adalah sebagai
berikut:
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
JABATAN
Dewan Pembina
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Biro Organisasi dan SDM
Biro Kemandirian
Biro Social, Budaya dan Olah
Raga
Biro Informasi
NAMA
I Ketut Sukarsa
Suhendrik
Yuli Fitari Nigsih
Fanny Petrina
Ricky Fernando
Yulius Kurniawan
Ariefin
Dewi Diana
Berikut ini kegiatan rutin dan kegiatan lainnya yang
dilakukan oleh Vihara Pubba Manggala Arama antara lain:
1.
2
3
4.
Melakukan Puja Bakti Setiap Hari Minggu
:
1 Sekolah minggu anak di Lantai 1
: Pkl. 09.30- Selesai
2 Kebaktian remaja di lantai 3
: Pkl. 09.30- Selesai
3 Kebaktian umum/dewasa di lantai 2
: Pkl. 09.30- Selesai
Meditasi setiap hari jumat
: Pkl. 19.30-Selesai
Puja baktidi Hari Uposatha (Che it dan Cap :
Go)
1 Che it dilaksanakan di Vihara Pubba Manggala Arama
2 Cap Go dilaksanakan di Rumah umat (bergantian)
Melakukan Perayaan Keagamaan Lainnya, dalam keyakinan umat
Buddha Buddhi Maga ada 4 ibadah suci yaitu:
1 Asadha Puja (memperingati Buddha membabarkan ajarannya
kepada 5 pertapa
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
265
2
5
Waisyak Puja (memperingati lahirnya
sidarta Gautama dan menjadi Buddha
(sempurna)
3 Khatina Puja (memperingati hari persembahan bikhu
Sangha,karena sudah 3 bulan tidak keluar dari vihara),
persembahan yang diberikan berupa obat-obatan, jubah, tempat
tinggal dan 4 kebutuhan pokok.
4 Pattidana (sembahyang kematian, untuk orang yang meninggal,
artinya setelah melaksanakan kebajikan maka kebijakan tersebut
dilimpahkan kepada sanak saudara yang sudah meninggal)
Kegiatan Sosial lainnya:
1 Talk Show dan Dhamma Talk
2 Donor Dana
3 Bakti Sosial
4 Kunjungan Kasih
5 Fangsen
Selain itu Magabudhi juga aktif berperan serta dalam
kegiatan sosial keagamaan diluar kegiatan Magabudhi (Pubba
Manggala Arema), seperti membantu dan menjadi panitia
acara vihara dan organisasi lainnya, menjadi panitia rangkaian
acara prosesi dan Dhammasanti Waisak untuk Provinsi Riau,
menghadiri undangan acara Pembimas Buddha Kanwil
Kementerian Agama Prov. Riau.
Magabudhi melakukan pembinaan dengan cara
mengadakan kegiatan, mengikuti pelatihan yang di adakan
Sangha Theravada Indonesia, saling silaturrahmi ke umat, dll.
Adapun dana Magabudhi berasal dari umat Buddha yang ada
di Magabudhi, sumbangan dari Magabudhi lainnya yang ada
di Indonesia, umat Buddha pada umumnya serta bantuan
yang tidak mengikat dari pihak lainnya.
266
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Adapun Lambang Magabudhi adalah sebagai berikut:
a. Stupa melambangkan
Nibbana
(Kebebasan)
yang
merupakan dasar utama dari seluruh rasa Dhamma yang
diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama dan menjadi
tujuan setiap umat Buddha. Stupa yang menjadi lambang
Magabudhi ini diambil dari stupa induk di puncak Candi
Borobudur.
b. Dhammacakka (Roda Dhamma) dengan jari-jari delapan
di tengah-tengah stupa melambangkan Ariya Atthangika
Magga (Jalan Ariya Berunsur Delapan) yang merupakan
Jalan untuk mencapai Kebebasan.
c. Empat lingkaran ditengah-tengah Roda Dhamma
melambangkan Empat Tingkat Kesucian dalam menuju
Pencapaian Kebebasan: Sotapatti, Sakadagami, Anagami,
Arahat.
3. Kitab sucinya, ajaran pokoknya (teologi), ritual (sistem
peribadatan), etika dan tradisi keagamaanya
Umat Buddha di Maghabudhi Provinsi Riau dalam
menjalankan aktivitasnya sama dengan umat Buddha
Theravada pada umumnya, demikian disampaikan Romo
Susmoro (Ketua Magabuddi sekaligus Pandita), hal senada
juga diungkapkan Budi Pujianto (Ketua Majubuthi (Ketua
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
267
Vihara Dhamma Metta Arama). Pengurus Magabudhi dalam
melakukan aktivitas keagamaan berdasarkan panduan
keagamaan yang telah digariskan oleh Sangha Theravada
Indonesia serta menjalankan visi dan misi yang telah
ditetapkan dalam AD/ART Magabudhi. Mereka menggunakan
kitab suci Tipitaka Pali.Adapun ajaran pokok Magabudhi
tertuang di dalam Kitab Tipitaka yang di sarikan ke dalam
buku Paritta Suci sebagai buku panduan umat Buddha dalam
melakukan
puja
bakti
dan
membabarkan
ajaran
Buddha.Ritual keagaman (ibadat) berupa puja bakti dilakukan
dalam rangka untuk meningkatkan kualitas keyakinan
(saddha), moral (sila), kedermawanan (caga) dan kebijaksanaan
(panna). Umat Magabudhi Prov. Riau menggunakan buku
panduan Paritta Suci, yang terbitkan oleh Sangha Theravada
Indonesia, demikian disampaikan Romo Herman selaku
Ketua Vihara Pubba Manggala Amarata milik Magabudhi.
Paritta Suci memuat panduan hidup umat Buddha Theravada,
seperti Puja Bakti, upacara perkawinan, kematian, menempati
rumah baru, tujuh bulan kandungan, menjelang kelahiran,
menempati rumah baru, ulang tahun, turun rumah, potong
rambut, menempati rumah baru, pengukuhan janji jabatan,
tanam disawah, pengukuhan janji di Pengadilan, wisuda
Upasaka/upasika, dll.
Umat Buddha Theravada yang terdapat di Magabudhi
dalam mejalankan ajaran agamanya tidak ada perbedaan
dengan umat Buddha yang ada di Majubuthi hanya
perbedaan majelisnya saja.Dimana Magabudhi bergabung di
dalam Kasi sedangkan Majubuthi bergabung di dalam
Walubi. Untuk Sanghanya juga sama. Bikkhu-bikkhu
Majubuthi kebanyakan dari Tahiland, sedangkan Bikkhubikkhu Magabudhi dari Sangha Theravada Indonesia.Namun
jika ada kegiatan Sangha selalu bersama-sama.Namun untuk
268
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
umat Buddha yang ada di klenteng (vihara lainnya), berbeda
dengan umat Buddha Theravada yang ada di Magabudhi dan
di Majubuthi.Di Klenteng (vihara lainnya) tidak ada bikkhu
karena tidak ada sangha, namun mereka memiliki pandita
dari Tri Dharma.Mereka juga tidak menggunakan Paritta Suci
dalam ibadahnya, sedangkan Magabudhi dan Majubuthi
memakai Paritta Suci.
Bagi Magabudhi dan Majubuthi hanya menyembah
Buddha Gautama (hanya ada Patung Buddha), sedangkan di
Klenteng mereka menyembah banyak dewa dan juga pada
Buddha (patung dewa-dewa dan patung Buddha),
demikiandiungkapkan Budi Pujianto dari Majubuthi. Selain
itu di Magabudhi dan Majubuthi tidak ada ritual loncat,
sedangkan di Vihara lain ada ritual loncat (kemasukan roh
dewa) yang dianggap mendapatkan petunjuk dari dewa
tersebut untuk umat Buddha yang ada di Vihara tersebut. Di
Magabudhi patung arhat (orang yang telah mencapai tingkat
kesucian yang tinggi) murid-murid Buddha berjumlah 1200
orang di pajang di dinding lantai 3 Vihara Pubba Manggala
Arama (di Ruko), hal ini sangat penting untuk mengenang,
menghormati murid-murid arhat sang Buddha Gautama dan
sebagai motivasi umat Buddha Magabudhi membabarkan
ajaran Sang Buddha. Umat Buddha Theravada yang ada di
Vihara milik Magabudhi, sembahyang puja bakti bersama
setiap hari minggu. Begitu juga umat Theravada di Majubuthi
melakukan hal yang sama. Namun jika di Magabudhi hanya
ada patung Budha Gautama, di Majubthi selain patung
Buddha Gautama, ada juga patung dewa berwajah empat
(Brahmana) yang terletak di lingkungan gedung Majubuthi.
Sedangkan umat Buddha yang ada di Tri Dharma tidak ada
secara bersama-sama melainkan secara individu (datang dan
pergi), beribadah kapanpun mereka mau datang.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
269
Selain ke Magabudhi dan Majubuthi, peneliti juga ke
vihara Tri Dharma untuk melihat tatacara peribadatan
mereka. Peneliti sempat menghadiri kebaktian di Magabudhi.
Dari penelusuran wawancara peneliti kepada Romo Susmoro
(Ketua Magabudhi), Budi Pujianto (Ketua Vihara Dhamma
Metta Arama/Majubuthi) dan Alex Sidiq (Pembina Vihara
Surya Dharma dan Ketua Tri Dharma Komda Riau) dan
pengamatan peneliti, ternyata ada perbedaan ritual umat
Buddha yang ada di Vihara Magabudhi/Majubuthi dengan
yang ada di Vihara Tri Dharma. Untuk magabudhi dan
majubuthi tidak ada perbedaan, sedangkan dengan Tri
Dharma ada perbedaan mendasar.
270
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Ada beberapa perbedaan Tatacara peribadatan
(sembahyang) umat Buddha yang ada di Magabudhi/
Majubuthi dan Tri Dharma saat di Vihara:
Magabudhi/Majubuthi
Tri Dharma
1 Saat semua umat sudah 1 Saat datang ke vihara
datang di vihara, maka 2
langsung sembahyang
langit/menghadap ke langit
orang memimpin untuk
(sembayang pada
sembahyang
mengajak
Tien/Tuhan di langit)
umat
memberikan
penghormatan
awal
kepada Sang Buddha,
Sang Bhagava
2 Membuka Buku Paritta 2 Sembahyang dewa utama
Suci pada halaman 23
(sesuai dengan vihara
masing-masing), termasuk
dan memimpin membaca
kepada dewa-dewa
kalimat
perlindungan
(leluhur) lainnya yang ada
(saranagamana
patha)
di dalam vihara tersebut.
secara
bersama-sama
Setiap vihara beda-beda
dengan umat.
dewanya sesuai dengan
keinginan pengurus vihara
2 Membaca Pancasila (lima 3 Sembahyang ke Buddha
sila)
yang
ada
bagi umat Buddha
dalamParitta
suci
(menghindari:
pembunuhan,
pengambilan
barang
yang tidak diberikan,
perbuatan
asusila,
ucapan
bohong
dan
minuman
memabukan
yang
menyebabkan
lemahnya kesadaran)
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
271
3
Perenungan
terhadap 4 Sembahyang ke Khonghucu
Buddha (Buddhanussati)
jika ada patung Khonghucu
bagi umat Khonghucu, jika
tidak ada pada dewa lain,
misalnya To Pe Kong
4 Perenungan
terhadap 5 Sembahyang Dewa
dhamma
Harimau, bagi umat Tao
(dhammanussanti)
5 Perenungan
terhadap 6 Sembahyang ke Ngo Thian
Sangha (Sanghanussati)
Kun (yang menjaga
keamanan)
6 Pernyataan
kebenaran 7 Setelah sembahyang umat
(Saccakiriya gatha)
menyumbang untuk vihara,
tapi tidak ada kewajiban.
Besarnya sumbangan tidak
di tentukan.
7 Perenungan-perenungan 8 Sembahyang pada dewa
dan permohonan lainnya
empat muka (Shien Bien
sebanyak 20 perenungan
Puk Choo) bagi agama
dan permohonan lainnya
Buddha
8 Ceramah/Pandita
9 Selesai
(Romo Susmoro) atau
pemberkahan
oleh
bikkhu/samanera
9 Membaca
Ettavatatiadipattidannad
an
ditutup
dengan
namakara
10 Selesai
Bagi penganut Tri Dharma (Khonghucu, Tao dan
Buddha) mereka sembahyang ke semua dewa yang ada di
dalam vihara Tri Dharma.
272
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Patung Buddha di
Vihara Magabudhi
Patung Buddha di Majubuthi
(gedung lama)
Latar belakangnya Patung
Buddha di Majubuthi
(gedung baru)
Patung Buddha di
Tridharma
4. Dinamika atau konflik-konflik intern yang pernah terjadi
dan cara penyelesaianya
Keberadaan Magbudhi di Provinsi Riau terbilang baru
(2 tahun) berdasarkan SK PP Magbudhi yang diterbitkan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
273
tahun 2013, walaupun kegiatan mereka sudah ada sejak tahun
2011. Selain itu umatnya belum terbilang banyak, sehingga
konflik internal pun belum nampak. Saat ini umat Buddha di
Magbuddhi lebih banyak melakukan penguatan dan
pembinaan umat secara internal. Mengadakan kegiatan secara
bersama-sama, dan melakukan kegiatan bergantian di rumah
umat Buddha yang tergabung dalamMagabudhi.
5. Relasi sosialnya dengan penganut Buddha lainya, dan
masyarakat sekitar
Tidak banyak orang mengetahui adanya Magabudhi di
Riau, hanya tokoh agama tertentu saja yang suka hadir dalam
kegiatan organisasi umat Buddha yang ada di Riau yang
mengetahui adanya Magabudhi di Provinsi Riau.Adapun
Magabudhi kepada pihak eksternal tidak mempunyai
persoalan, karena mereka terbilang baru, maka mereka lebih
banyak bersosialisasi diri dan masih butuh belajar dari umat
Buddha lainnya terutama dalam mengelolah organisasi dan
viharanya. Menurut Darmaji (Ketua Walubi Prov. Riau),
hubungan Magabudhi dengan majelis lainnya terjalin secara
baik. Magabudhi baru di Provinsi Riau, mereka ikut terlibat
dalam kegiatan Waisyak secara bersama-sama dengan majelis
lainnya.
Menurut Syahril Indra (imam Masjid Al Mutaqin
sekaligus Ketua Rt 4 Rw 6, Kelurahan Tampan Kec. Payung
Sekaki Kota Pekan Baru), dimana Kantor Magabudhi berada.
Magabudhi jika ingin mengadakan kegiatan selalu
memberitahu dan minta izin padanya. Dan masyarakat sekitar
tidak mempersoalkan keberadaan Magabudhi di ruko
tersebut. Bahkan Syahril menyatakan jika ada warga yang
274
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
tidak setuju dengan keberadaan Magabudhi maka harus
berhadapan dulu dengannya. Menurutnya masak orang mau
beribadah dilarang. Selama ini belum ada masyarakat yang
mempermasalahkan keberadaan Magabudhi di sekitar sini,
walaupun masyarakat nya terdiri dari umat Hindu, thingoa
(Konghucu), Buddha dan Islam mayoritas.
Menurut Mulyadi (sopir warga Pekanbaru beragama
Islam), tidak pernah mendengarkan keributan umat Buddha
di Riau. Kebanyakan mereka adalah orang-orang Cina dan
mereka kebanyakan pengusaha dan kaya-kaya hidupnya.
Mereka mempunyai vihara besar-besar di Riau ini.Namun
agama Islam tetap mayoritas di sini.Masyarakat Riau hidup
rukun berdampingan.
6. Pandangan sekte lainya dan pemerintah (Kemenag)
Menurut Budi Pujianto (Ketua Vihara Dhamma Metta
Arama/Majubuthi) dan Alex Sidiq (Pembina Vihara Surya
dharma dan Wakil Ketua Tri Dharma Komda Riau) serta
Maria (Pimpinan Vihara Dewi Sakti/Ketua Umum Tri Dharma
Prov.Riau) dan Jalius (Sekertaris Matakin Prov. Riau), mereka
senada menanggapi hadirnya Magabudhi di Provinsi Riau
dan tidak mempermasalahkannya. Bahkan dengan adanya
Magabudhi, umat Budha Theravada bisa beribadah sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. Mereka bisa ikut
kegiatan umat Budha di Riau secara bersama-sama dengan
umat Buddha lainnya, seperti kegiatan Waisyak yang akan
diadakan dalam waktu dekat ini.
Sedangkan menurut Tarmizi Thohor (Kepala Kanwil
Kemenag Prov. Riau), pada prinsipnya secara umum umat
Buddha di Riau baik-baik saja, dan terjalin kerukunan umat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
275
beragama secara lintas agama. Namun diakui ada beberapa
kejadian di internal vihara Tri Dharma dengan umat
Khonghucu setelah berpisah dari Buddha. Mereka berebut
Vihara. Namun dapat diselesaikan. Dimana kedua belah pihak
(Buddha dan Khonghucu) di pertemukan oleh KaKanwil
Kemenag Prov. Riau. Disepakati kedua belah pihak solusi
yang ditawarkan KaKanwil yaitu umat Khonghucu
dipersilahkan membangun vihara untuk mereka, dimana ada
umatnya dan kanwil Kemenag yang memfasilitasinya.Untuk
Vihara-vihara yang sudah ada sebelumnya biarlah menjadi
milik umat Budha yang selama ini sudah memakainya (Tri
Dharma). Dan kedua belah pihak menerima solusi tersebut,
demikian diungkapkan Tarmizi. Selanjutnya Tarmizi
menyampaikan saat ini Kemenag Pusat telah memberikan
bantuan 600 juta untuk pendirian rumah ibadat umat
Khonghucu tersebut, sehingga keadaannya sudah menjadi
tenang kembali.
Sementara itu menurut Tarjoko (Pembimas Agama
Buddha Kanwil Kemenag Prov. Riau) bahwa hubungan umat
Buddha Magabudhi dengan Kanwil dan sekte serta majelismajelis lainyayang ada di bawah pembinaannya terjalin
dengan baik. Bahkan Kemenag melalui Pembimas Agama
Buddha memberikan bantuan untuk rumah ibadat umat
Buddha yang ada di Provinsi Riau. Untuk Magabudhi sudah
dibantu alas tempat duduk untuk ibadah sebanyak 200 buah,
bantuan guru non honorer 300.000/orang/tahun dan untuk
tahun berikutnya harus diajukan lagi ke Kanwil Kemenag.Dan
juga memberikan bantuan untuk pembangunan rumah ibadat
umat Buddha lainnya di Prov. Riau.
Sedangkan menurut Hermansnya (Kabid Ketahanan
Ekonomi, Budaya, Agama dan Masyarakat Kesbangpol)
276
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
bahwa Agama Buddha yang ada di Prov. Riau tidak
mempunyai masalah.Yang bermasalah justru yang Kristen,
Islam dan Khonghucu. Namun dapat diatasi. Umat Buddha di
Riau mampu beradaptasi dan berakulturasi dengan
masyarakat Riau yang notabenenya orang Melayu. Lebih
lanjut Hermansyah mengungkapkan bahwa Kesbangpol
melakukan pembinaan kepada ormas keagamaan melalui
koordinasi, memfasilitasi dan kerjasama kegiatan dengan
FKUB serta tokoh lintas agama dalam rangka penguatan rasa
berbangsa
dan
bernegara.Dulu
ormas
melaporkan
keberadaannya kepada kesbangpol dengan mengisi Surat
Keterangan Terdaftar (SKT). Namun sejak adanya UU No. 17
tahun 2013 tentang Ormas, mereka tidak perlu melapor lagi.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
277
278
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dari deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa ajaran
agama Buddha khususnya aliran Theravada tidak diketahui
secara pasti kapan mulai datang ke Provinsi Riau.Namun ada
dugaan bahwa ajaran Buddha tersebut dibawa oleh pedagang
di zaman Kerajaan Sriwijaya dan juga dari leluhur mereka
yang berasal dari Cina.Bukti adanya agama Buddha di Riau
dengan adanya candi Muara Takus dan candi lainnya yang
ada di Riau.Namun agama Buddha di Riau dalam
perkembangannya tidak dapat dideteksi sejauh mana
mengalami perubahan perkembangan yang cukup siknifikan,
hal ini dilihat banyaknya jumlah Vihara yang bertebaran di
Riau.
Terkait dengan adanya aliran Theravada di Prov. Riau,
juga tidak dapat diketahui kapan masuknya di Riau.Namun
pada perkembangannya aliran ini muncul hidup rukun
bersama aliran dalam agama Buddha lainnya yang ada di
Riau.Begitu juga dengan aliran Theravada yang tergabung
dalam Magabudhi. Karena Magabudhi baru berdiri maka
yang dapat dilakukan adalah konsolidasi internal untuk
penguatan umat dan penguatan Magabudhi baik secara
spiritualitas maupun secara fhisik bangunan.Umat Buddha
Theravada yang berada di Magabuddhi dalam melaksanakan
ibadah tidak ada bedanya dengan umat Buddha Theravada
yang ada di Majubuthi. Mereka melakukan Puja bakti
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
279
Uposatha, meditasi, serta perayaan keagamaan lainnya
seperti: hari asadha puja, wiasyak, khatina puja dan pattidana,
serta kegiatan sosial lainnya. Namun tatacara ibadah umat
yang tergabung dalam Magabudhi berbeda dengan umat
Buddha yang ada di Kelenteng.Di karenakan umat Buddha
yang di kelenteng saat sembahyang menyembah banyak dewa
selain Sang Buddha.
Dikarenakan Magabudhi baru berusia 2 (dua) tahun
berdiri di prov. Riau dan kehadirannya pun di Prov. Riau
belum banyak dikenal umat Buddha, majelis-majelis yang ada
di Prov. Riau serta masyarakat Riau pada umumnya, maka
belum muncul konflik baik internal maupun eksternal yang
terjadi. Mereka bahkan saat ini membangun relasi sosial
dengan masyarakat dan aliran agama Buddha lainnya yang
ada di Prov. Riau sebagai bentuk sosialisasi diri keberadaan
mereka, dalam bentuk ikut serta terlibat dalam kegiatankegiatan yang diadakan secara bersama, serta menjalin
komunikasi dengan berbagai pihak yang ada di Prov. Riau.
Dengan adanya komunikasi yang baik kehadiran Magabudhi
di Prov. Riau dapat diterima dengan baik pula oleh majelis
agama Buddha lainnya yang kebetulan mengetahui adanya
Magabudhi di Provinsi Riau.Begitu juga hubungannya dengan
pemerintah (Kanwil Kemenag Prov. Riau) terjalin dengan
baik, karna magabudhhi masuk dalam pembinaan Kemenag.
Rekomendasi:
Dari
penelitian
yang
dilakukan
dapat
direkomendasikan bahwa hubungan yang sudah baik selama
ini antara Magabudhi yang tidak memiliki konflik baik
280
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
internal maupun eksternal, maka sebaiknya Kanwil
Kementrian Agama Prov. Riau, khususnya Pembimas Agama
Buddha untuk terus meningkatkan pembinaan dan
melibatkan Magabudhi dalam forum-forum dialog yang
melibatkan majelis agama Buddha lainnya yang ada di Prov.
Riau, agar tetap terjalin hubungan yang baik antara
Magabudhi dan pihak eksternal, sehingga tercipta kerukunan
intern umat Buddha yang ada di Prov. Riau.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
281
282
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR RUJUKAN
Azis, Abdul, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di
Indonesia, Pen Dian, 1998, Jakarta.
Buddha
Dharma Education Association. Buddha Dharma
Education Association. 2005. Diunduh 30 Februari 2015
Jo Pristiana, Brain Storming untuk bahan penyusunan desain
penelitian, Maret 2015
Nahrawi, Nahar, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan
Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam
(dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di
Indonesia),
Puslitbang
Kehidupan
Keagamaan,
BadanLitbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2006
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia
http://study-budhisme.blogspot.com/p/blog-page_5576.html
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
283
284
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
7
MAJELIS UMAT BUDDHA MAHAYANA
INDONESIA (MAJUBUMI)
DI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh:
Achmad Rosidi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
285
286
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
PENDAHULUAN
1. Sekte Mahayana
Setelah Buddha Gautama mencapai Pari-Nibbana,
diadakanlah Sidang Agung (Sanghasamaya) yang pertama di
kota Rajagaha (543 S.M.) dan dihadiri oleh 500 orang bhikkhu
yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.67 Kemudian
Sidang Agung ke-dua diadakan di kota Vesali lebih kurang
100 tahun kemudian (l.k. 443 S.M.). Sidang ini diadakan untuk
membicarakan tuntutan segolongan bhikkhu (golongan
Mahasangika), yang menghendaki agar beberapa peraturan
tertentu dari Vinaya, yang dianggap terlalu keras, dirobah
atau diperlunak. Dalam sidang ini golongan Mahasangika
dikalahkan dan sidang memutuskan untuk tidak merobah
Vinaya yang sudah ada.
Kemudian Sidang Agung ke tiga diadakan lebih
kurang 230 tahun setelah Sidang Agung pertama (l.k. 313
S.M.), di ibu kota kerajaan Asoka, yaitu Pataliputta.68
67 Maksud dari sidang ini ialah untuk menghimpun ajaran-ajaran
dari Buddha Gautama yang diberikan di tempat-tempat yang berlainan,
kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula
selama 45 tahun. Dalam sidang tersebut diantaranya disampaikan khotbahkhotbah (Sutta) dari Buddha Gautama yang merupakan ajaran dari Sang
Buddha. Ajaran-ajaran ini dihafalkan di luar kepala dan diajarkan lagi
kepada orang lain dari mulut ke mulut.
68 Sidang ini memiliki tujuan menertibkan beberapa perbedaan
pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu
sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali.
Di Sidang Agung ke-tiga ini Ajaran Abidhamma diulang secara tersendiri,
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
287
Kemudian Sidang Agung ke empat diadakan di Srilangka
pada 400 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia
dan dipimpin oleh seorang anak dari Raja Asoka, yaitu
Mahinda. Sidang ini berhasil untuk secara resmi menulis
Ajaran-Ajaran Buddha Gautama di daun-daun lontar yang
kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam bahasa Pali. Sidang
Agung ke lima diadakan di Kanishka oleh Raja Kanishka pada
kurang lebih 600 tahun setelah Buddha Gautama meninggal
dunia.69
Dari konvensi sidang yang dilakukan beberapa kali ini
akhirnya memunculkan perbedaan antara dua aliran besar,
yakni Theravada dan Mahayana. Mahayana yang mengusung
dekat dengan tradisi berkembang di daratan Tionghoa. Di
Indonesia, sekte Mahayana pernah berkembang pesat pada
masa kejayaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan setelahnya
yang berkolaborasi dengan Hindu Siwa. Tentu saja pada saat
itu, sekte ini lekat dengan tradisi Jawa Kuno. Sekte Mahayana
yang berkembang sekarang di Indonesia diadopsi dari
Mahayana
yang berkembang di Tiongkok. Ciri khas
Mahayana adalah keterbukaan yang amat besar terhadap
tradisi setempat dan kebebasan mencari jalan sendiri menuju
sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri dari
tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab
dan masih dihafal di luar kepala. Golongan bhikkhu-bhikkhu yang terkena
penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada (pendahulu dari golongan
yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara.
69 Pandita S. Widyadharma, Inti Sari Agama Buddha. Lihat:
http://www.samaggi-phala.or.id. Sidang ini diadakan oleh mereka yang
memisahkan diri dari golongan Sthaviravada dan di sidang ini buku
Tipitaka menurut pandangan golongan Mahayana secara resmi ditulis
dalam bahasa Sansekerta.
288
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kebuddhaan, karena setiap orang memiliki potensi mencapai
kebuddhaan.70
2. Perkembangan Agama Buddha di Indonesia
a. Awal Mula
Sebelum kedatangan agama Buddha di Indonesia,
penduduk Indonesia telah memiliki kepercayaan akan adanya
kekuatan adi kodrati di luar kekuatan manusia. Kepercayaan
itu mengantarkan kepada penyembahan dan penghormatan,
diantaranya kepada roh leluhur karena dianggap memiliki
jasa pada kehidupan manusia. Roh itu memiliki kekuatan gaib
yang dapat dijadikan sebaga sandaran hidup bagi manusia
yang masih hidup untuk menyelesaikan tugas-tugas
pentingnya. Selain itu juga ada kepercayaan kepada adanya
roh dan kekuatan yang dimiliki oleh pohon, batu besar,
gunung dan sejenis senjata-senjata yang dimiliki manusia.
Pemujaan berupa persembahan kemudian diatur sedemikian
rupa dan sekhidmad mungkin.
Kondisi tersebut terjadi dalam masa yang lama, sampai
kemudian datanglah agama Buddha ke Nusantara.
Keberadaan agama Buddha di Indonesia ditandai dengan
adanya pemerintahan yang pernah memerintah. Bukti tertua
secara tertulis ditemukan di Kalimantan Timur bertanda
tahun 400M, berupa situs-situs agama Buddha di lembahlembah Sungai Kapus dan Mahakam.
70
Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 12 Mei
2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
289
Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Di zaman
Sriwijaya itu terdapat banyak Bhikkhu dan banyak vihara
yang melayani umat dalam melakukan peribadatan. Pada
masa itu, kerajaan Sriwijaya menjadi mercusuar bagi
perkembangan agama Buddha di Indonesia. Sebagaimana
dalam catatan perjalanan I-Tsing, sarjana Buddha dari
Tiongkok yang menceritakan bahwa pada tahun 672 yang
melakukan kunjungan ziarah ke Sriwijaya. Dalam waktu yang
relatif lama I-Tsing tinggal di Sriwijaya dan tulisannya
menjadi bukti akan prestasi yang diperoleh oleh Sriwijaya
dalam menyebarkan agama Buddha. Setelah kerajaan
Sriwijaya, muncul pula kerajaan Buddha di Mataram yang
dikenal dengan Mataram.71
b. Eksistensi Agama Buddha di Jepara
Pasang surut Agama dan umat Buddha di Jepara
diketahui bermula era Kerajaan Kalingga di Jepara yang
pernah mengalami kemajuan. Kerajaan tersebut pernah
dipimpin Ratu Sima, dengan kekuasaan di daerah Jepara Pati
dan Kudus terasa sirna dan tidak terdengar kabar lagi tentang
keberadaan agama Buddha. Berapa literature menyebutkan
surutnya agama Buddha seiring dengan masuknya Islam di
Nusantara dengan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang
pernah memerintah.
Kerajaan Kalingga berada di wilayah sekarang Jepara.
Dalam berita Cina kerajaan ini disebiut Holing. Di sana
71
Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 12 Mei
2015
290
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dijelaskan bahwa pada abad ke 7 di Jawa Tengah bagian utara
sudah berdiri satu kerajaan. Rakyat dari kerajaan tersebut
hidupnya makmur dari hasil bercocok tanam serta
mempunyai sumber air asin. Hidup mereka tenteram, karena
tidak ada kejahatan dan kebohongan. Ilmu perbintangan
sudah dikenal dan dimanfaat dalam bercocok tanam. Raja
yang terkemuka dari kerajaan ini adalah Ratu Sima.72 Namun
setelah itu, tidak ada berita yang pasti mengenai kerajaan
tersebut karena tidak ada situs yang dapat menceritakannya.
c. Agama Buddha Jepara
Awal mula agama Buddha bagkit kembali di Jepara
adalah seorang yang bernama Kalam Wiryo Atmojo beliau
sebelumnya adalah Muslim sejati. Ayahnya bernama Marjo
Ahmad dan ibu bernama Kasifah. Ayah dari Kalam Wiryo
Atmojo adalah Modin (penghulu). Sejak kecil Kalam Wiryo
Atmojo didik dengan didikan Islam. Dan menurut sumber
dari anak-anaknya Kalam Wiryo Atmojo juga pernah di
besarkan di salah satu di Pondok Pesantren di daerah Pati.
Kalam Wiryo Atmojo di karunai 4 (empat) orang anak
adapun anak-anak itu bernama (1) Listyo Arini, (2) Ris
Budiyani (3) Tuty Diyan Karunatuti dan (4) Yoyok Liswidya
dan saat ini semua beragama Buddha.Sebelum menjadi Bhiku
Kalam Wiryo Atmojo pernah menjabat sebagai Kepaka Desa
Kunir dari tahun 1977-1988 dana beliau juga pernah menjadi
Ketua MAPANBUMI yang saat ini berganti MAGHABUDHI
https://edumania.files.wordpress.com/2009/01/kuitaitarumanegara-kalingga1.pdf
72
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
291
Awal mula Kalam Wiryo Atmojo mengenal agama Buddha
belajar dari seorang yang bernama TOYO, Toyo adalah dalang
Kondang Asal Pati. Disinilah Kalam Wiryo Atmojo banyak
belajar agama Buddha dan setelah itu Kalam Wiryo Atmojo
karena ingin memperdalam ajaran Buddha oleh Toyo di kirim
ke Kab Kudus. Dari Kabupaten Kudus ini Kalam di beri buku
oleh Tokoh Agama Buddha Kudus buku yang berjudul
Buddha Jayanti. Dari sinilah beliau tertarik ajaran Buddha dan
setelah itu memperdalam di Thailand menjadi saramanera
(Calon Bhikhu dan akhirnya di Upasampada menjadi Bhikhu
pada tanggal 25 Januari 2001 di Thailand berubah nama
menjadi Bhikhu Kalannyuta. Setelah menjadi Bhkhu beliau
membabarkan agama Buddha di pelosok pelosok wilayah
Jepara dan Pati juga wilayah Kab Kudusa dan bahkan wilayah
yang lain. Disinilah peran Bhiku Kalannyuta sangat besar bagi
perkembangan Agama Buddha di wilayah ini dan akhirnnya
agama Buddha berkembangn dengan pesat di bawah binaan
Bhiku Kalannyuta.
292
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
UMAT BUDDHA MAHAYANA TANJUNG
PAKISAJI JEPARA
Sentral kegiatan umat Buddha Mahayana di Dusun
Gronggong Desa Tanjung Pakisaji Jepara. Vihara Muriantoro
berdiri tahun 1969 atas prakarsa Bp. Ngateni seorang
rohaniawan. Tahun 1980an dia pindah agama menjadi
seorang Hindu. Sekarang sudah meninggal tetap dalam
agama Hindu. Awal mula Ngateni yang bukan orang tanjung,
tapi orang Plajan tetangga kampong Tanjung. Ia pernah
didatangi oleh Rohaniwan Keling (Bhante Kalanyuta) atau
mbah Kalam dan kawan-kawan sebagaimana dipaparkan di
atas. Mereka datang ke desa Plajan untuk mensyiarkan agama
Buddha. Saat itu yang menguasai pengajaran tentang Buddha
adalah pak Ngateni tersebut. Sejak saat itu Ngateni secara
intensif menyampaikan Buddha kepada masyarakat di Dukuh
Nggrongong dan Tanjung.
Sejak tahun 1969 di desa Tanjung berdiri 2 vihara
Buddha Mahayana, yaitu Vihara Muriantoro dan Perti
Wanggono. Vihara Muriantoro terletak di dukuh Ngronggo
sementara Vihara Perti Wanggono di Dukuh Botohan Desa
Tanjung Pakis Aji. Penamaan Vihara Perti Wanggono karena
ketika masyarakat hendak membangun vihara tersebut, ada
seseorang yang dipercaya untuk merancang dan memegang
dana pembangunannya. Namun kepercayaan tersebut
dicedarai oleh orang tersebut. Ia kabur dan dana yang telah
diberikan kepadanya pun lenyap. Setelah kejadian tersebut,
masyarakat Buddhis Tanjung kedatangan rohaniwan Buddha
Mahayana dari Salatiga yang bernama Prawiro Wirono. Atas
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
293
dorongan beliau, masyarakat kemudian mendirikan vihara
meskipun dalam bentuk yang sederhana. Untuk mengingat
kejadian penipuan yang memalukan tersebut kemudian Pak
Prawiro Wirono menamai vihara tersebut dengan Perti
Wanggono. Perti artinya seperti, dan Wanggono artinya Kera.
Jadi Perti Wanggono memiliki arti Seperti Kera yang
dinisbahkan pada kejadian yang menciderai masyarakat
Buddhis di Desa Tanjung. Sejak tahun 1998 nama vihara
tersebut kemudian berubah nama menjadi Vihara Virya
Manggala. Virya memiliki arti semangat, sedangkan Manggala
berarti sosok prajurit yang gagah berani atau memiliki
semangat juang yang luar biasa dalam medan juang
peperangan untuk memperoleh kemenangan.
Selain kedua vihara tersebut, terdapat Cetiya yang
terletak di Dukuh Nggronggong yang bernama Puspe Dwi
Dana. Dinamai demikian karena terdapat dua orang yang
mencurahkan atau mengeluarkan dana untuk mendirikan
Cetiya tersebut. Sampai sekarang tempat ibadat tersebut
masih termanfaatkan dengan baik dan dapat menampung 50
orang umat.
Vihara Muriantoro sejak awal berdiri tahun 1969 telah
beberapa kali dilakukan pembongkaran (renovasi). Pada
permulaan pendirian, material bangunan terdiri dari tiang dan
bilik terbuat dari bambu dengan beratap rumbia, dengan
ukuran bangunan utamanya 5x7m. Pengerjaan pendirian awal
bangunan tersebut dilakukan secara swadaya dan gotong
royong antar warga di dusun Nggronggong. Setelah
bangunan berdiri belum dinamakan vihara, tetapi disebut
dengan sanggar dengan dalih pada saat itu belum mengenal
nama vihara. Bangunan sanggar tersebut pada saat
294
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dilaksanakannya peribadatan dapat menampung kurang lebih
sebanyak 50 kepala keluarga atau sekitar 200-an orang umat.
Adalah Kaspari, seorang guru PNS yang mengajar
materi pelajaran umum sekaligus sebagai guru agama
dipercaya oleh pemerintah untuk mengabdi di SDN Tanjung
III yang terletak di Dukuh Nggronggong Desa Tanjung
Kecamatan Pakisaji sejak tahun 1998. Pada saat itu Kaspari
merintis renovasi bangunan tempat ibadat tersebut. Setelah
dirasa cukup dana untuk melakukan renovasi, pada tahun
2003 dimulailah pengerjaannya sedikit demi sedikit secara
bertahap dan masih berlanjut hingga saat ini.
Tradisi Buddha yang berjalan sejak muncul dan masamasa berkembangnya Buddha di Nggronggong adalah
Mahayana. Orang Nggronggong menyebutnya dengan
Mohoyono (Jawa, red). Bahasa pengantar dalam peribadatan
adalah bahasa Jawa, bukan bahasa Sansekerta ataupun bahasa
Pali. Di sinilah Buddha dan umatnya di Nggrongong pada
masa itu masih belum menunjukkan geliatnya berupa
pertambahan umat atau kegiatan spiritualnya sampai datang
seorang pandita Buddha Mahayana yang bernama Suhu
Sahlan Hidayat, rohaniwan Buddha keturunan China berasal
dari Jakarta. Sejak kedatangan Sahlan Hidayat itulah mulai
digunakan bahasa Sansekerta dalam acara-acara ritual di
vihara Nggrongong. Penggunaan bahasa Sansekerta secara
intensif kemudian digunakan sebagai bahasa dalam
pelaksanaan ritual di Vihara.
Langkah tersebut disambut baik oleh masyarakat
Nggronggong yang selama ini ini menjadi umat Buddha
Mahayana. Untuk kaderisasi, sekitar tahun 1990-an itu
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
295
kemudian direkrutlah 15 orang pemuda dan dikirim ke
Jakarta untuk khusus mempelajari dan mendalami bahasa
Sansekerta. Mereka tidak berapa lama tinggal di Jakarta dan
kemudian semuanya kembali ke Nggronggong. Semenjak
itulah dalam kegiatan peribadatan atau acara ritual di vihara
Nggronggong penggunaan bahasa Sansekerta benar-benar
sudah berjalan efektif hingga saat ini. Sementara bahasa Jawa
tetap digunakan sebagai bahasa pengantar dalam ceramahceramah yang disampaikan oleh rohaniwan. Akan tetapi,
bukan berarti bahasa Jawa sama sekali tidak digunakan dalam
acara ritual. Penggunaan bahasa Jawa pada saat acara ritual
biasanya pada malam Rabu Wage dan momen perayaan 1
Syuro atau tahun baru Saka.73
Selama ini secara kuantitas perkembangan umat Buddha
di Nggronggong menurut penuturan Kaspari berjalan lambat.
Dalam agama Buddha tidak ada misi mengajak orang untuk
memeluk (konversi) ke agama Buddha. Masuknya seseorang
ke dalam agama Buddha berdasarkan kesadaran individu
tersebut. Selama ini kebanyakan orang yang masuk ke agama
Buddha disebabkan oleh faktor perkawinan. Jumlah umat
yang dilayani dan melakukan ibadah di Vihara Muriantoro
Dusun Nggronggong hingga saat ini adalah 80. Sementara itu,
jumlah umat di vihara Virya Manggala pada tahun 1988
sebanyak 24 KK, dan sekarang berjumlah 43 KK.74
73 Tahun baru Saka tersebut sering disebut dengan tahun baru
Jawa. umat Buddha Mahayana Nggrongong meyakini bahwa agama
Buddha Mahayana datang dan masuk di Indonesia khususnya tanah Jawa
terjadi pada tahun baru Saka tersebut.
74 Wawancara dengan Kaspari, Pembina Yayasan
296
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Sekolah Minggu
Bangunan Vihara Muriantoro kini memiliki luas 160m2,
dengan ukuran bangunan utamanya panjang 20 meter dan
lebar 8 meter. Perluasan tersebut tepatnya dimulai pada tahun
1991 dan hingga saat ini masih berlanjut. Di dekat bangunan
vihara adalah gedung berlantai 3. Lantai pertama digunakan
untuk dapur dan gudang, lantai 2 adalah ruang tamu dan
untuk sekolah minggu. Sementara lantai 3 masih dalam tahap
penggarapan yang direncanakan untuk Kuti, yakni ruangan
untuk istirahat para Suhu yang singgah di Gronggong untuk
melayani umat.
Dedikasi untuk Umat
Sekolah Minggu vihara Muriantoro diberi nama sekolah
Minggu Buddha Sekar Teratai. Pengelolaan sekolah Minggu
ini secara organisatoris di bawah pengelolaan Yayasan Vajra
Virya Viryatara. Saat ini yang menjadi kepala Sekolah adalah
Sukamto dan wakilnya Sutrisno. Di bawahnya terdapat
formatur seksi atau bagian yang terdiri dari seksi kurikulum,
seksi sarana prasarana, seksi kesiswaan, seksi humas, seksi
guru kelas dan kesiswaan. Seluruh penyelenggara kegiatan
tersebut tidak memperoleh gaji dari yayasan, justru sebaliknya
memberikan kontribusi yang lebih besar untuk kemajuan dari
yayasan dan sekolah minggu Buddha tersebut. Para guru atau
mentor sekolah tersebut adalah umat yang mengikuti
peribadatan di Vihara Muriantoro. Mereka memiliki
kepedulian dan keterpanggilan untuk kemajuan umat Buddha
di Gronggong. Rata-rata pendidikan mereka adalah sekolah
menengah atas (SMA).
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
297
Sekolah Minggu telah berjalan sejak tahun 1988 meski
mengalami pasang surut seiring dengan keterbatasan sarana
prasarana yang dimiliki oleh lembaga ini. Dalam Sekolah
Minggu diajarkan diantaranya ilmu-ilmu agama Buddha,
pendalaman Tri Pitaka, baca tulis bagi anak-anak usia prasekolah, aneka ragam ketrampilan dan keputrian melibatkan
para remaja dan ibu-ibu.75
Sebagaimana dipaparkan di atas, Kaspari adalah
seorang guru yang ditugaskan di SDN Tanjung. Sebagai tugas
tambahan, ia dipercaya menjadi Kepala Sekolah di SDN Plajan
5 Kecamatan Pakisaji. Di sekolah tersebut guru-guru dan para
siswanya tidak ada yang beragama Buddha, semuanya
muslim. Meski sebagai seorang Buddhis, ternyata hal tersebut
tidak menjadi masalah bagi Kaspari dalam mengemban
amanah tersebut dan beradaptasi dengan lingkungan
kerjanya. Pada awal mula memimpin sekolah tersebut, dia
memperoleh sambutan yang hangat dari segenap guru dan
murid. Mereka tidak khawatir dengan perbedaan keyakinnya
yang dimiliki oleh pimpinan barunya.
Tenaga pemeliharaan gedung dipercayakan kepada
Pasit yang juga umat di Vihara Muriantoro. Pasit
dipercayakan melakukan tugas ini yang sebelumnya
dipercayakan kepada ayahnya (alm) Sucipto yang meninggal
dunia pada tahun 2012.
75
298
Wawancara dengan Sukamto, Kepala Sekolah Minggu.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Upacara Puja Bhakti
Sebagai pengikut tradisi Mahayana, vihara Muriantoro
dalam acara ritual tidak berbeda dengan aliran-aliran
Mahayana. Bahasa yang digunakan dalam acara ritual adalah
bahasa Sansekerta. Puja Bhakti di Vihara Muriantoro
dilakukan dengan cara membaca ulang berkali-kali Sutra
agama Buddha Mahayana. Puja bhakti mingguan dilakukan
setiap Malam Rabu setelah pukul 20.00 WIB sampai selesai.
Puja bhakti dilakukan dengan kesungguhan niat yang
kuat, dengan pengantar bacaan-bacaan sebagaimana yang
diatur dalam kitab suci, penuh keyakinan dihadapan Buddha
Ruphang dan Bodisattva Ruphang. Sajian yang diberikan di
atas altar tidak ada yang mengandung dari benda bernyawa.
Umumnya sebagai berikut :
a. Buah-buahan yang bermakna jangan membunuh mahluk
hidup.
b. Air bersih atau air mineral. Air yang telah dimasak,
bermakna agar pikiran, ucapan, dan perbuatan baik,
membersihkan batin dari ketidaktahuan juga kebodohan.
c. Bunga, melambangkan keindahan dan ketidak kekalan.
d. Lilin merah atau penerangan dari minyak kelapa. Lilin
merah lebih awal di nyalakan sebelum Dupa, bermakna
kita selalu diberikan penerangan dalam jalan kehidupan di
waktu sekarang.
e. Dupa, bermakna wangi khasnya guna membersihkan
udara dan lingkungan, mengundang langsung secara batin
atau hati nurani ke hadapan Hyang Thagatha, Tuhan Yang
Maha Esa.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
299
Selain yang lima di atas ada juga yang menambahkan
bunga atau bubuk cendana dan makanan sayuran, kue,
manisan dan lain-lain untuk persembahan sembahyang
terhadap orang yang meninggal. Makna dari sajian tersebut
sangat berbeda sesuai sekte nya masing-masing. Upacara ini
dianggap sangat sakral.
300
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
PENUTUP
Kesimpulan
Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun,
untuk memberikan arti dari uraian di atas kiranya dapat
diperoleh kesimpulan, diantaranya bahwa pertumbuhan dan
dinamika umat Buddha di Jepara dari era awal
pembentukannya dapat mengarahkan pada pemikiran adanya
perubahan identitas secara sosial. Akibat tekanan dari luar diri
kelompok mereka. Umat Buddha di daerah ini mencoba untuk
berupaya mencari relevansi dengan makna baru yang
disodorkan. Perubahan idnentitas itu paling mencolok dapat
dilihat pada kelompok Sam Kauw Hwee dan Buddha Jawi
Wisnu ke dalam Agama Buddha (Buddhisme) yang lebih
universal.
Demikian halnya umat Buddha di Jepara dalam
perjalanan sejarah umat Buddha sejak awal mula sejarah
bangsa Indonesia di daerah ini mengalami stagnasi yang
cukup lama. Terlebih pada rezim orde baru dan suasana
perpolitikan di tanah air, kondisi umat Buddha turut larut
dalam pasang surutnya.
Perkembangan umat Buddha dalam suasana
perbedaan menjadi berbagai sekte dan majelis agama, di
Jepara sejauh ini tidak terjadi gejolak berarti. Komunikasi dan
jalinan antarmajelis terus dijaga, terutama oleh elite MBI dan
Majubumi dengan pemerintah (Bimas Buddha Kantor
Kementrian Agama). Inisiatif dari majelis direspon dengan
mendatangi undangan supaya menyambung dengan umat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
301
satu majelis lain. Begitu pula belum pernah terjadi konflik
uamt Buddha dengan agama lain. Umat Buddha cukup
terwadahi dalam FKUB kedua wilayah tersebut.
Rekomendasi
Sebagai
bahan
pertimbangan,
beberapa
hal
dikemukakan di sini sebagai rekomendasi bagi pemangku
kebijakan:
1.
Perlu pembinaan yang lebih terkoordinasi dengan baik.
Pemerintah perlu memberi fasilitasi terhadap persoalan
yang dihadapi umat Buddha di Jepara. Walaupun
Pembimas hanya ada di tingkat provinsi, pemkot/pemda
juga seharusnya lebih peduli dengan pembinaan umat
Buddha, misalnya bantuan untuk perayaan hari besar,
pendidikan, kegiatan keagamaan, maupun perbaikan
infrastruktur.
2.
Optimalisasi penyuluh non-PNS dari kalangan umat
Buddha yang SK-nya dikeluarkan oleh Kanwil Kemenag
Provinsi dan memperhatikan sarana dan prasarananya
untuk meningkatkan pelayanan bagi umat Buddha di
level akar rumput. Selain itu juga perlu meningkatkan
kerjasama antar majelis dan dengan pemerintah untuk
terciptanya dinamika yang positif.
3.
Perlunya
segera
diwujudkan
perbaikan
sarana
infrastruktur untuk pengembangan ekonomi dan
pendidikan umat Buddha di kedua daerah tersebut.
302
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur
Abdul Azis, Varian-Varian Fundamentalisme
Indonesia, Penerbit Dian, 1998, Jakarta.
Azyumardi Azra, Jaringan
Bandung, 2004.
Ulama
Islam
Nusantara,
di
Mizan,
Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi,
Penerbit Obor, Jakarta, Januari 2013.
Burke, Peter J. & Stet, Jan E.. Identity Theory. Oxford: Oxford
University Press. 2009.
Buddisme in Indonesia. Buddha Dharma Education Association.
Buddha Dharma Education Association. 2005. Diakses
2006-10-03.
Daisetz Teitaro Suzuki, dalam Pendahluan buku “ Agama
Buddha Mahayana” yang ditulis oleh Beatrice Lane
Suzuki (1939), Penerbit Karania Dharma Universal
Untuk Semua, Terj. Hastiati, Cet. I, Agustus 2009
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut. Sensus
Penduduk 2010. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik.
Dirjen Bimas Agama Buddha, Bahan pengayaan dalam rangka
penyusunan Desain Operasinal Penelitian oleh
Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2015.
Nahar Nahrawi, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan
Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
303
(dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di
Indonesia), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta,
2006.
Sumber: http://www.geocities.com/budicentre, Diunduh 30
Feburari 2015
Sumber Online:
"Buddhism in Indonesia". Buddha Dharma Education
Association. Buddha Dharma Education Association.
2005. Diunduh 30 Februari 2015
http://study-budhisme.blogspot.com/p/blog-page_5576.html
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia Diunduh
23 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha,
Januari 2015
Diunduh
30
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/ Diunduh
23 maret 2015
http://ekacarya.org/ekacarya/buddhayana/. Didownload
tanggal 29 Juni 2015 pukul 09.30 WIB.
http://buddhayana-sby.blogspot.com/2010/01/viharabuddhayana-surabaya.html
304
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/buddhismetheravada-dan-mahayana/
http://karefin.blogspot.com/2014/02/pengertian-dan-tata-carasembahang.html
http://artikelbuddhist.com/2011/06/etika-buddha-membentukpribadi-bersusila-yang-mandiri-dan-peduli.html
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
305
306
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
8
MAJELIS KASOGATAN
DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Oleh:
M. Taufik Hidayatulloh
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
307
308
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
BAB I
GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Gambaran Umum Kehidupan Agama di Kalimantan
Barat
Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu
provinsi yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian
Sarawak, Malaysia Timur. Sehingga memiliki akses jalan
masuk dan keluar dari negara asing dengan rute PontianakEntikong-Kuching sepanjang 400 km. Batas-batas wilayah
sebelah utara adalah Sarawak, sebelah selatan adalah Laut
Jawa dan Kalimantan Tengah, sebelah timur adalah
Kalimantan Timur dan sebelah barat adalah Laut Natuna dan
Selat Karimata76.
Sebagian besar wilayah merupakan daratan berdataran
rendah dengan luas 146.807 km2. Dilihat dari besarnya
wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk provinsi terbesar
keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah. Kalimantan Barat dijuluki provinsi seribu
sungai karena mempunyai ratusan sungai besar dan kecil
yang sering dilayari. Kalimantan Barat terdiri atas 12
Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Sambas, Kabupaten
Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak,
Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten
Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau,
Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten
Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013. Indeks
Pembangunan Manusia 2013. [katalog]
76
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
309
Kubu Raya, Kota Pontianak, Kota Singkawang,
kecamatan, 1.881 desa dan 89 kelurahan77.
176
Jumlah penduduk Kalimantan Barat menurut data
sensus tahun 2013 mencapai 4,641 juta jiwa (BPS 2014).
Sebagian besar penduduk adalah suku Dayak, Melayu dan
Tionghoa serta sejumlah suku-suku minoritas lainnya seperti
Madura, Jawa, Sunda dan suku asli Kalimantan. Umat
beragama di Kalimantan Barat terkenal dapat saling
bekerjasama dalam memajukan wilayahnya. Kondisi
kerukunan hidup beragama ini dipandang relatif kondusif di
tengah beragamnya kehidupan keagamaaan yang diwakili
oleh keragaman penganut agama di mana agama mayoritas
adalah Islam (54,76%), diikuti dengan Kristen (13,81%),
Katholik (24,01%), Buddha (6,8%), Hindu (2,3%) dan Kong Hu
Chu (3,6%). Keragaman juga dillihat dari banyaknya tempattempat ibadah seperti 4.203 mesjid, 5.118 gereja, 20 pura, 312
vihara dan 124 klenteng/cetya78.
77
Biro Pusat Statistik 2013 a Indeks Pembangunan Manusia 2013.
[katalog]
Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013 b. Statistik
Politik 2013. [katalog]
78
310
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
TEMUAN PENELITIAN
Majelis Agama Buddha Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan
Indonesia Kalimantan Barat
1. Pendiri Aliran Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan
Pendiri aliran Tantrayana Zhenfo Zong bernama
Liansheng Huo Fo atau disebut juga dengan Lu Sheng Yen. Ia
adalah seorang warga Amerika keturunan Tionghoa. Ia
dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1945 di tepi sungai Niuzhou,
Jiayi, Taiwan. Lu Sheng Yen kecil hidup dalam kemiskinan
sehingga badannya kurus dan lemah. Sejak kecil ia telah turut
menanggung beban keluarga. Beberapa pekerjaan dilakoninya
sebagai penjual permen labu, es lilin dan gula kapas di
jalanan. Menjelang dewasa ia bekerja sebagai operator mesin
bubut dan bekerja di pabrik cor. Ia melakukan pekerjaan kasar
dan membahyakan, bahkan beberapa kali hampir kehilangan
nyawanya.
Ketertarikannya
pada
masalah
teknis
mengantarkannya pada perkuliahan di Fakultas Geodesi
Akademi Sains Zhongzheng dengan beasiswa.
Pengalamannya yang luar biasa di Kuil Yuhuang Gong
pada saat usianya menginjak 26 tahun menjadikannya mampu
melihat yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, alam yang
tidak
diketahui
orang
biasa.
Untuk
melengkapi
pengetahuannya dia bersarana pada Bhiksu Yinshun dari
sekte Esoterik, Bhiksu Leguo, Bhiksu Dao-an, Bhiksu Xiandun
yang menasbihkan Sila Bodhisattva pada tahun 1972, Bhiksu
Huisan, Bhiksu Jueguang sebagai Guru Sila serta Bhiksu
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
311
Shanglin dan Bhiksu Shanci sebagai Guru Ritual di Vihara
Bishan Yan, Nantou.
Sejak saat itu (era tahun 60-an) namanya mulai dikenal
terutama setelah menerbitkan buku Ling Yu Wo Zhijian; Ling
Ji Shen Suan Man Tan, dan beberapa buku lainnya yang
menggemparkan. Ia sering diundang berceramah mengenai
Ling Xue Mian Mian Guan. Bahkan ramalan jitu Lu Sheng Yen
tersebar melalui mulut dan telinga massa, menjadikanya
sebagai medan magnet bagi ratusan orang datang untuk
bertemu.
Ketika itu tidak hanya mendapat inspirasi dari ajaran
Buddha eksoterik dan spiritual, juga mengikuti guru spiritual
yang tak berwujud. “Mister Shanshan Jiuhou” melatih
Sadhana Tantra selama 3 tahun dan menjalankan sila
Bodhisattva. Kemudian ia bertolak ke Gunung Jiji, Nantou,
untuk berguru pada Pewaris XIV Taoisme Qingcheng
Daozhang (Bhiksu Liao Ming) mempelajari ilmu Tao, Danding
Fulu, Jiuxing Dili Dafa, Mahasadhana Sekte Nyingmapa versi
Tantra Cina dan Tantra Tibet, lima macam pengetahuan dan
lain-lain dari aliran besar Sekte Merah Tibet beserta dharma
agung lainnya. Lu Sheng Yen pun menjadi Pewaris XV
Taoisme Qingcheng dengan nama Taois ”Xuanhong
Daozang”.
Pada masa itu Lu Sheng Yen telah menguasai tataritual
Sadhana Tantra yang lengkap. Kunci utama mencapai
pencerahan ke-Buddhaan serta mahasadana rahasia dari
sekte-sekte utama Tibet yang tidak diwariskan selama ribuan
tahun pun telah dikuasai semuanya. Pada tahun 1981 Lu
Sheng Yen mendapat kesempatan bertemu dengan Raja
312
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Dharma XVI dari Sekte Putih aliran Tantrayana, bahkan
menerima abhiseka dari Acarya Kargyupa. Menyadari bahwa
karma dirinya sebagai silsilah penyatu dharma, sejak itu ia
mulai meneliti dan menjalankan Tantrayana Sekte Merah,
Sekte Putih, Sekte Kuning, Sekte Kembang dan berbagai aliran
dharma lainnya.
Ajaran yang dikembangkan oleh Lu Sheng Yen di
Taiwan mendapat tekanan dari berbagai aliran agama
Buddha. Maka dari itu, pada tahun 1982 ketika dia berusia 38
tahun Lu Sheng Yen dan keluarganya pindah ke Seattle,
Amerika Serikat. Di sana Ia mendalami Sadhana Tantra di
Paviliun Lingxian selama tiga tahun. Lu Sheng Yen saat itu
juga berhasil mempelajari seluruh kunci utama empat
tingkatan yaitu ‘ Krya Tantra, ‘Charya Tantra’, ‘Yoga Tantra’,
dan Anuttarayoga Tantra’, lalu melebur dalam Samudra
Kesadaran Vairocana dan berhasil dalam ‘Asta-sadhana
Eksternal’ dan Asta-sadhana Internal’. Semua riwayat sadhana
ini berserta pemahaman mantra dicantumkan di antara dua
ratusan buku karya pribadinya.
2. Setting Sosial yang Melatarbelakangi Berdirinya Majelis
Agama Buddha Kasogatan di Kalimantan Barat
Kasogatan adalah penamaan aliran pada kelompok
Tantrayana yang lahir dari sebuah harapan akan kebangkitan
kembali agama Buddha di Indonesia (yakni pada zaman
keprabuan Majapahit, zaman kedatuan Sriwijaya, serta pada
zaman Mataram purba). Aliran ini dipelopori oleh mendiang
Bhikkhu Ashin Jinnarakitta Mahathera pada tahun 1953.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
313
Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong
Kasogatan Indonesia (Zhenfo Zong Kasogatan) terdiri dari
dua embrio organisasi. Pertama, Majelis Dharma Duta
Kasogatan Indonesia (Kasogatan) yang didirikan di Vihara
Dharma Darsana Ambarawa, Semarang pada tanggal 23 Juli
1975 oleh mendiang Romo Giriputra Soemarsono dan Romo
Dharmesvara Oka Diputhera. Kedua, Yayasan Satya Dharma
Surya Indonesia yang didirikan tahun 1987 oleh Vajracarya
Harsono yang menekuni ajaran Tantrayana melalui upaya
bersarana kepada Maha Acarya Lian Sheng sejak tahun 1985.
Setelah melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada
satu vihara ke vihara lain (karena tidak tersedianya fasilitas
bersembahyang yang tetap), maka Vajracarya Harsono
mengajak beberapa umat untuk mendirikan Yayasan Satya
Dharma Surya Indonesia pada tahun 1987, dan membangun
sebuah vihara di daerah Muara Karang, Jakarta Utara yang
diberi nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta (Foguangtang)
sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia.
Adanya persamaan aliran antara Majelis Dharma Duta
Kasogatan Indonesia dan Yayasan Satya Dharma Surya
Indonesia yang sama-sama menganut Tantrayana menjadikan
sebuah kesempatan untuk menyatukan diri dan saling
bersinergi satu sama lain sejak tahun 1988. Penyatuan secara
de facto tersebut dikokohkan secara de jure dengan
menggabungkan ke dua organisasi tersebut menjadi Majelis
Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia di tahun
1994. Majelis ini kemudian berganti nama lagi menjadi Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan
Indonesia pada tahun 2001. Seiring dengan metamorfosis
organisasi Kasogatan, secara ajaran aliran ini mulai diterima
314
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
di masyarakat Buddha sampai ke pelosok nusantara. Salah
satunya diterima di Kalimantan Barat.
Di Kalimantan Barat, berdirinya Majelis Agama Buddha
Kasogatan sekitar tahun 1985-an ke Singkawang dan
kemudian ke Pontianak di tahun 1987-an. Masuknya aliran
Tantrayana Kasogatan di Kalimantan Barat terjadi karena
beberapa jalur. Pertama, beberapa umat Buddha ada yang
membaca buku tulisan Maha Acarya Lian Sheng, kemudian
mengangkat guru bersama (bersarana) kepadanya. Kedua,
adanya hubungan antara Majelis Kasogatan pusat dengan
beberapa umat Buddha di Kalimantan Barat, dan Ketiga,
melihat beberapa aliran lain mendirikan majelis, maka ada
inisiatif (lebih dekat dengan ikut-ikutan) dari beberapa tokoh
agama Buddha yang telah bersarana kepada Maha Acarya
Lian Sheng untuk mendirikan juga majelis agama yang akan
menaungi dan membina umat yang telah menganut aliran
Kasogatan79.
Sebagaimana pada umumnya aliran yang baru masuk
ke sebuah daerah, mula-mula umat Buddha mengadakan puja
bakti di rumah-rumah, kemudian menyelenggarakan ritual
sendiri dengan cara meminjam Vihara Sakyamuni tahun sejak
tahun 1987 selama kurang lebih dari 20 tahun. Setelah itu sejak
tahun 1999 mulai membangun sebuah vihara besar di Jalan
Ahmad Yani II dan selesai tahun 2004. Vihara tersebut
bernama Vihara Vajra Bumi Kertayuga (penuh dengan pahala
sejati laksana intan) seluas 1.800 meter persegi yang
mengadopsi bentuk Vihara Tibet.
Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai Pandita
Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 21 April 2015
79
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
315
Sejak masuknya Majelis Agama Buddha Kasogatan ke
Kalimantan Barat tahun 1985-an, maka organisasi majelis solid
dalam mengatur dan membina umat Buddha aliran
Tantrayana Kasogatan. Namun memasuki tahun 1998, akibat
konflik kepengurusan, ada sebagian anggota Majelis Agama
Buddha Kasogatan Kalimantan Barat yang memisahkan diri
dan membentuk organsiasi baru dengan nama Majelis Agama
Buddha Tantrayana Indonesia (Madhatantri)80. Tempat
ibadahpun berpisah ketika tahun 1991 didirikan Vihara
Buddha Vajra, yang beralamat di Jalan Siam Gang Kelantan IV
No162 Pontianak dalam rangka mewadahi kepentingan
beribadah umatnya. Dengan demikian, di Kalimantan Barat
terdapat dua organisasi yang menjadi wadah dari umat
Buddha aliran Tantrayana, yaitu Majelis Agama Buddha
Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia (lebih dikenal
dengan nama Kasogatan) dan Majelis Agama Buddha
Tantrayana Indonesia (lebih dikenal dengan nama
Madhatantri).
3. Perkembangan Tempat Ibadah dan Ummat dalam Lingkup
Majelis Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan
Indonesia
Jumlah vihara yang menjadi tempat ibadah umat
Buddha Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan Indonesia
(selanjutnya
untuk
memudahkan
penyebutan
akan
menggunakan nama Kasogatan) bisa dikatakan masih sedikit.
80 Nuhrison M Nuh. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham
Keagamaan Kontemporer di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2012, Jakarta, hal. 23
316
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Saat ini di seluruh wilayah Kalimantan Barat baru terdapat 6
buah vihara, yang tersebar di empat kabupaten/kota, yaitu 1
vihara di Kabupaten Kubu Raya—ini merupakan vihara
paling besar, 3 vihara di Kabupaten Landak, 1 vihara di Kota
Singkawang dan 1 vihara di Kabupaten Sambas. Jumlah
keseluruhan vihara di bawah naungan aliran Buddha
Kasogatan di Kalimantan Barat sebanyak 6 buah vihara.
Ummat yang menjadi anggota dari aliran Kasogatan di
Kalimantan Barat sejauh ini tidak dapat diketahui jumlahnya.
Beberapa faktor menjadi penyebabnya. Selain karena tidak
adanya data81, juga disebabkan oleh jumlah umat yang
beribadah di vihara tidak mewakili jumlah keseluruhan umat
Buddha Kasogatan82. Untuk anggota Vihara Vajra Bumi
Kertayuga di Kubu Raya, diperoleh informasi ada 200 orang
anggota yang aktif ibadah setiap hari minggu. Jumlah anggota
yang hadir saat ibadah tahunan cenderung meningkat
terutama menjelang imlek hingga mencapai 1.000 orang.
Dilihat dari sisi etnis, bahwa umat Buddha Kasogatan beretnis
Tionghoa sebanyak 89 %, Dayak 10 % dan etnis lainnya 1 %83.
Dilihat secara umum bahwa aliran Kasogatan di
Kalimantan Barat diperkirakan menempati peringkat ke tiga
pemeluk terbesar setelah peringkat pertama diduduki oleh
Majelis Mapanbumi (yang menganut aliran Maitreya) dan
81 Wawancara dengan Eddo sebagai Pengurus Muda Mudi Vihara
Vajra Bhumi Kertayuga, 20 April 2015
82 Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai Pandita
Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 21 April 2015
83 Wawancara dengan Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan
Barat, 16 April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
317
kedua oleh Majelis Magabuthi (yang beraliran Theravada)84.
Baik Maitreya, Theravada maupun Tantrayana termasuk ke
dalam aliran besar Mahayana yang ternyata menjadi ummat
Buddha yang mayoritas. Hal ini disebabkan oleh kemudahan
cara mempraktekkannya85 dan pengajaran (pembabaran
darma) menggunakan bahasa Indonesia86. Secara lebih khusus
lagi bahwa ummat Buddha aliran Kasogatan dipandang cepat
perkembangnnya karena didukung oleh kemampuan
pengurus Majelis Kasogatan karena dikelola oleh pengurus
yang rata-rata memahami manajemen87.
4. Situasi Masalah Keagamaan Saat Sekarang
Keragaman agama di Kalimantan Barat meniscayakan
potensi persinggungan di berbagai lapangan. Maka dari itu,
hubungan sosial menjadi salah satu hal penting dalam agama
Buddha. Hubungan manusia dengan sesamanya harus
didasari dengan cinta kasih yang murni sehingga tercipta
kerukunan di antara umat manusia. Untuk menuju
terciptanya kerukunan tersebut, maka agama Buddha
menyerukan agar ummat bertindak berdasarkan kepada
ajaran dharma.
84 Wawancara dengan Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan
Barat, 16 April 2015
85 Wawancara dengan Rakiman, S.Thi sebagai Penyelenggara Bimas
Buddha Kabupaten Kubu Raya, 25 April 2015
86 Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama
Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015
87 Wawancara dengan Rakiman, S.Thi sebagai Penyelenggara Bimas
Buddha Kabupaten Kubu Raya,25 April 2015
318
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Beranjak pada keinginan untuk ikut mewujudkan
kehidupan yang rukun dengaan seluruh pemeluk agama lain,
maka kerukunan hidup antar umat beragama menjadi salah
satu hal yang diprioritaskan. Kerukunan internal ummat
Buddha di Kalimantan Barat sejauh ini dapat tercipta dengan
baik di tengah beragamnya aliran agama Buddha. Sedikitnya
ada 9 majelis abama Buddha di Kalimantan Barat, yaitu ;
Kasogatan, Budayana, Lembaga Keagamaan Buddha
Indonesia, Magabudhi, Madhatantri, Buddha Dharma
Indonesia, Maitreya, Nichiren Syonsu Indonesia, dan
Tridharma88. Secara internal berbagai aliran tersebut nampak
hubungan yang harmonis saling menghormati keyakinannya
masing-masing.
Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas Agama
Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat, 15 April 2015
88
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
319
320
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
AJARAN DAN PERIBADATAN DALAM
ALIRAN TANTRAYANA ZENFO ZONG
KASOGATAN INDONESIA
Ajaran Pokok
Aliran
Tantrayana
Zhenfo
Zong
Kasogatan
memadukan empat unsur, yaitu ; Tao, Tantra, Mahayana dan
Theravada. Berbagai unsur tersebut diambil dalam bentuk
simbol, ritual maupun ajaran. Dalam konsep ke-Tuhan-an,
umat Buddha Tantrayana Kasogatan percaya pada Tuhan
Yang Maha Esa. Mereka menyebut nama Tuhan sebagai Sang
Adi Buddha89.
Tabel 1. Unsur dalam Aliran Tantrayana Kasogatan
No
1
Unsur
Tao
Bentuk
Klasifik
asi
- Thai Sui (Dewa tahunan berada di Simbol
sebelah kanan altar sebanyak 60
petugas) yang bertugas mengurus
seluruh bumi
- Dewa bumi yang berada disebelah kiri
altar
- Chaiam shi (memohon petunjuk kepada Ritual
Dewa, berisi kayu berangka untuk
meramal hari baik),
- Bakar kertas lotus
Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai Pandita
Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 21 April 2015
89
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
321
2
3
4
Tantrayana Mahayana -
Theravada
Sumber :
-
Meditasi,
Kebaktian,
Upacara,
Do’a arwah dan
Viambara
Ceramah,
Samadhi,
Pradnya paramita (kebijaksanaan),
Jalan bodisattva (pengorbanan yang
dilakukan seorang sadaka)
Sadha paramitha (6 kesempurnaan),
Jaranama buddha,
Sila paramita
Trilaksana,
Catur kesunyataan mulia,
8 jalan utama,
12 hukum sebab akibat yang saling
bergantungan
Ritual
Ritual
Ajaran
Ajaran
Diolah dari hasil wawancara dengan Biksu Lian
Yang
Tuhan merupakan hakikat yang tak dapat diketahui,
keberadaannya Suci. Selain itu, ummat Buddha yakin
terhadap Triratna (Khusus bagi pemeluk Tantrayana
Kasogatan ada penambahan berupa yakin dengan guru),
yakin terhadap Bodhisatva, Arahat dan Para Buddha, yakni
terhadap hukum kesunyataan, yakin terhadap kitab suci dan
yakin terhadap Nibbana90.
Ritual Puja Bakti
Ibadah dalam agama Buddha, khususnya menurut
aliran Tantrayana Kasogatan di antaranya kebaktian/
Virana dan Tjeng Ing, Ensiklopedia Buddha Dharma. Jakarta :
Santusita, hal. 17-45
90
322
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
sembahyang baik di vihara maupun di rumah. Selain itu juga
melakukan do’a arwah kepada leluhur. Dalam hal puja bakti,
aliran Buddha Kasogatan mempraktekkan beberapa
kebaktian, yaitu; Pujaan dupa, Pujaan para Buddha dan
Bodhisattva, Sadhana vajrasattva, Sadhana vajra yoga padma
kumara, Sadhana Amithaba Buddha, Sadhana Avolikiteswara
Bodhisattva, Sadhana ksitigarbha Bodhisattva, Sadhana maha
chundi Bodhisattva, Sadhana jambhala kuning, Sadhana
Padmasambhava Bodhisattva, Sadhana bhaisajya guru
Buddha, dan Maha Karuna Dharani.
Tabel 2. Jenis Puja Bakti Aliran Tantrayana Kasogatan
No Nama kebaktian
1 Pujaan dupa
2 Pujian
para
Buddha
dan
Bodhisattva
3 Maha
karuna
dharani
4 Sadhana
vajrasattva
Jenis
Mantra
Mantra
Tahapan kebaktian
Pemujaan
Pujian
Mantra
Pembukaan sutra
Mantra,
sutra,
visualisasi,
samadhi
mengucap
mantra
pembersihan,
mengucap mantra pengundangan,
maha namaskara, maha persembahan,
mengucap mantra 4 perlindungan,
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
mengucap mantra hati maha mula
vajra acharya 108 kali, sadhana
vajrasattva, memanjatkan mantra sata
aksara 21 atau 49 kali, memasuki
samadhi,
memanjatkan
sajak,
mengucap mantra hati, mengucap
amithaba vandana 3 kali, parinamana
(penyaluran jasa), maha namaskara,
mengucap mantra kesempurnaan.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
323
5
6
7
324
Sadhana
yoga
kumara
vajra Mantra,
padma sutra,
do’a
kepada
guru,
visualisasi,
samadhi
mengucap
mantra
pembersihan,
mengucap mantra pengundangan,
maha namaskara, maha persembahan,
mengucap mantra 4 perlindungan,
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
mengundang
kehadiran
padma
kumar, memanjatkan mantra hati
padma kumara, memasuki samadhi,
memanjatkan sajak, mengucap mantra
hati, mengucapkan amithaba vandana
3 kali, parinamana (penyaluran jasa),
maha namaskara, mengucap mantra
kesempurnaan.
Sadhana
Mantra,
mengucap
mantra
pembersihan,
amithaba Buddha sutra,
mengucap mantra pengundangan,
visualisasi, maha namaskara, maha persembahan,
samadhi
mengucap mantra 4 perlindungan,
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
memvisualisasikan
3
sinar
memberkati, memanjatkan mantra
hati amithaba buddha 108 kali,
memasuki samadhi, memanjatkan
sajak,
mengucap
mantra
hati,
mengucapkan amithaba vandana 3
kali, parinamana (penyaluran jasa),
memanjatkan mantra sata akasara 3
kali, maha namaskara, mengucap
mantra kesempurnaan.
Sadhana
Mantra,
mengucap
mantra
pembersihan,
avolikiteswara
sutra,
mengucap mantra pengundangan,
Bodhisattva
visualisasi, maha namaskara, maha persembahan,
mengucap mantra 4 perlindungan,
samadhi
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
memvisualisasikan
3
sinar
memberkati, memanjatkan mantra
hati avalokiteswara bodhisatvva 108
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
8
9
kali, memasuki samdhi, memanjatkan
sajak,
mengucap
mantra
hati,
mengucapkan amithaba vandana 3
kali, parinamana (penyaluran jasa),
memanjatkan mantra sata akasara 3
kali.
Sadhana
Mantra,
mengucapkan mantra pembersihan,
ksitigarbha
sutra,
mengucap mantra pengundangan,
Bodhisattva
visualisas, maha namaskara, maha persembahan,
mengucap mantra 4 perlindungan,
samadhi
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
memvisualisasikan
3
sinar
memberkati, memanjatkan mantra
hati ksitigarbha boddhisatvva 108 kali,
memasuki samadhi, memanjatkan
sajak,
mengucap
mantra
hati,
mengucapkan amithaba vandana 3
kali, parinamana (penyaluran jasa),
memanjatkan mantra sata aksara 3
kali, maha namaskara, mengucapkan
mantra kesempurnaan.
Sadhana
maha Mantra,
mengucapkan mantra pembersihan,
chundi
sutra,
mengucap mantra pengundangan,
Bodhisattva
visualisasi, maha namaskara, maha persembahan,
samadhi
mengucap mantra 4 perlindungan,
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
memvisualisasikan
3
sinar
memberkati, memanjatkan mantra
hati chundi boddhisatvva 108 kali,
memasuki samadhi, memanjatkan
sajak,
mengucap
mantra
hati,
mengucapkan amithaba vandana 3
kali, parinamana (penyaluran jasa),
memanjatkan mantra sata aksara 3
kali, maha namaskara, mengucapkan
mantra kesempurnaan.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
325
10
11
12
326
Sadhana
jambhala kuning
Mantra,
sutra,
visualisasi,
samadhi
mengucapkan mantra pembersihan,
mengucap mantra pengundangan,
maha namaskara, maha persembahan,
mengucap mantra 4 perlindungan,
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
memvisualisasikan
3
sinar
memberkati, memanjatkan mantra
hati jambhala kuning 108 kali,
memasuki samadhi, memanjatkan
sajak,
mengucap
mantra
hati,
mengucapkan amithaba vandana 3
kali, parinamana (penyaluran jasa),
memanjatkan mantra sata aksara 3
kali, maha namaskara, mengucapkan
mantra kesempurnaan.
Sadhana
Mantra,
mengucapkan mantra pembersihan,
padmasambhava sutra,
mengucap mantra mengundang, maha
maha
persembahan,
Bodhisattva
visualisasi, namaskara,
mengucap mantra 4 perlindungan,
samadhi
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Bodhisattva, puja catur apramana,
memvisualisasikan
3
sinar
memberkati, memanjatkan mantra
hati padma sambhava boddhisatvva
108
kali,
memasuki
samadhi,
memanjatkan sajak, mengucap mantra
hati, mengucapkan amithaba vandana
3 kali, parinamana (penyaluran jasa),
memanjatkan mantra sata aksara 3
kali, maha namaskara, mengucapkan
mantra kesempurnaan.
Sadhana
mengucapkan mantra pembersihan,
bhaisajya
guru
mengucap mantra pengundangan,
Buddha
maha namaskara, maha persembahan,
mengucap mantra 4 perlindungan,
melaksanakan
simabhandana,
mengucap
sutra
avolekiteswara
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Bodhisattva, puja catur apramana,
memvisualisasikan
3
sinar
memberkati, memanjatkan mantra
hati bhaisajya guru buddha 108 kali,
memasuki samadhi, memanjatkan
sajak,
mengucap
mantra
hati,
mengucapkan amithaba vandana 3
kali, parinamana (penyaluran jasa),
memanjatkan mantra sata aksara 3
kali, maha namaskara, mengucapkan
mantra kesempurnaan.
Sumber : Buku Pedoman Ibadah Vihara Vajra Bumi Kertayuga
Dilihat dari sisi upacara yang dilakukan, aliran
Tantrayana Kasogatan mengenal beberapa upacara seperti ;
upacara pemberkahan, upacara penyeberangan, upacara
pertobatan, perayaan ulang tahun Buddha Bodisattva, upacara
api homa, upacara pelepasan satwa, maupun ulambana. Tiap
upacara tersebut setidaknya ada yang dilakukan mulai dari
tiga bulan sekali hingga setahun sekali. Untuk mengurangi
tingkat keseringan pelaksanaan upacara selanjutnya disiasati
dengan melakukan penggabungan upacara.
Sarana ibadah umat Buddha Kasogatan terlihat dari
fasilitas yang dimiliki oleh Vihara. Sarana ibadah tersebut
dapat berupa meja sembahyang, persembahan, alat upacara,
maupun upacara yang dilaksanakan. Banyaknya ummat
Buddha Kasogatan yang beribadah di vihara karena adanya
fasilitas, prosesinya lengkap dan lebih hikmat91 serta dalam
kondisi waktu yang lapang92.
91 Wawancara dengan Eddo sebagai Pengurus Muda Mudi Vihara
Vajra Bhumi Kertayuga, 20 April 2015
92 Wawancara dengan Pandita Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris
Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia
Kalimantan Barat, 16 April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
327
Tabel 3.
Jenis-Jenis Upacara dalam Aliran Tantrayana Kasogatan
No
Jenis Ibadah
1 Pemberkahan
2
3
4
5
6
7
8
Keterangan
Agar
ummat
dapat
mentranformasikan
diri
menjadi sempurna
Penyebrangan
Tiap tahun Bulan ke Menyingkirkan rintangan
2 lunar
karma hewan agar terbebas
dari duka
Pertobatan
Tiap Bulan Bulan ke Melakukan visualisasi dan
7 lunar
mengeluarkan
rintangan
karma agar tubuh menjadi
bersih dan terang
Perayaan ulang Tiap Bulan Fleksibel Mengingatkan
kembali
tahun Buddha
upaya
mencapai
Bodisattva
kebuddhaan
Api Homa
2-3 bulan Fleksibel Mengundang para Buddha
sekali
dan
Bodisatvva
untuk
berkenan
menerima
persembahan
sekaligus
membanttu membersihkan
karma buruk
Pelepasan satwa Tiap tahun Fleksibel Melepaskan satwa seperti
mocana
ikan, kura-kura, kodok
ataupun burung
Ulambana
Tiap tahun Bulan ke Merupakan
upacara
7 lunar
membantu
makhluk
menderita
Tolak bala
Temporer Fleksibel Berdo’a agar dijauhkan
dari kedukaan
Sumber:
Frekwensi Waktu
Tiap tahun Setelah
imlek
Diolah dari hasil wawancara dengan Pandita
Hendra, ST
Dalam aliran Tantrayana Kasogatan, altar (atau biasa
juga disebut sebagai meja persembahan) di Vihara terdiri atas
tiga tingkatan yang mewakili alam Buddha, alam arahat dan
alam dewa yang diisi oleh masing-masing dewa tiap
tingkatnya. Masing-masing dewa di tiap tingkatan tersebut
328
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
memiliki fungsi sendiri sebagaimana
sebagaimana pada tampilan Tabel 4.
dapat
dilihat
Di meja sembahyang/altar terdapat 8 persembahan,
yaitu ; air sabun (bermakna ; pembersihan diri), air minum
(bermakna ; persembahan buat dewa), dupa (bermakna ;
kebajikan akan sampai ke alam dewa), bunga (bermakna ;
ketidakkekalan karena dapat layu), buah (bermakna ; buah
karma), minyak/kayu cendana (bermakna ; kebajikan akan
sampai ke alam dewa), keong laut (bermakna ; suara darma
menyebar ke segala penjuru), dan lilin (bermakna ; penerang
kebajikan).
Tabel 4. Struktur Rupang
Kasogatan
Tempat
I
bawah
II
tengah
dalam
Tema
Nama patung
Dewa
Acalanata Ucusma
pelindung
darma
Catur
maha
rajika
(destrarata,
wirudaka,
wirupaksa, waisramana)
Dewa
jambala
(putih,
kuning, merah)
Vajra pertiwi
Ragawidya raja
Bodisattva Awalokiteswara 2 tangan
dalam
berbagai
Maitreya
bentuk
wujud
dan nama Manjusri
Mahacundi
Vajrasattva
Ksitigarba
Aliran
Tantrayana
Sifat
Pelindung dari
roh jahat dan
siluman
Pelindung ajaran
Keterangan
Dengan cinta
kasih
dan
murka (sisi
lembut dan
keras)
Pemberi rejeki
Pelindung bumi
Pemberi
keharmonisan
Menolong
penderitaan
Mengajarkan
kesadaran
pikiran
Kebijaksanaan
Mendapatkan
sitdi
Melenyapkan
karma buruk
Terbebas
dari
neraka
Pelindung
makhluk
alam
dari
samsara
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
329
Padmasambawa
III
atas
Buddha
Penakluk ajaran
sesat
Awalokiteswara
1000 Menolong
tangan dan 1000 mata
penderitaan
semua makhluk
Usnisawijaya
Terbebas
reinkarnasi
Marici
Melindungi
nyawa dan harta
Yaotze
Terbebas
dari
penyakit
Baisaja raja guru
Pengobatan
Amogasidhi
Duduk di utara
Amithaba
Barat
Wairocana
Tengah
Aksobya
Timur
Ranasambawa
Selatan
Sakyamuni
Buddha
masa
sekarang
Menyadarka
n
umat
untuk
mencapai
pencerahan
sempurna
Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Biksu Lian
Ling Fashi dan Biksu Lian Yang
Alat upacara yang digunakan berupa ; vajra
genta/lonceng bel (bermakna ; welas asih), vajra dorje/lonceng
bentuk vajra (bermakna ; pelimpahan jasa), botol abiseka dari
perak (bermakna ; permberkahan), muk’ih/kentongan kayu
(fungsi ; pengatur tempo), gong (fungsi ; pemberitahu
pemberhentian ketukan), tambur biasa, Cina dan Tibet (fungsi
; pelengkap variasi), javamala/tasbih (fungsi ; menghitung
banyak mantra), Liu ing dari tembaga (fungsi ; pemberi
tanda).
Aspek Ibadah
Ritual dalam aliran Tantrayana Kasogatan dikenal
dengan nama Sadhana. Sadhana sejatinya berusaha melatih
diri untuk mencapai hidup kebudhaan. Logika yang
digunakan adalah setiap manusia memiliki benih kebudhaan,
330
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
jika melatih diri seseorang dapat mencapai kehidupan Buddha
sekarang ini.
Terdapat berbagai jenis sadhana. Beberapa di
antaranya adalah : Sadhana Vajra Sattva (sadhana dasar);
Sadhana Guru Yoga (Padma Kumara Putih/Lu Sheng Yen);
dan Yi Dam yang delapan (tinggal mana yang dipilih), inilah
kebaktian/sadhana yang dianjurkan.
Ritual terkait dengan upaya bersarana. Hal pertama
dipandang penting visualisasi sebagai upaya membersihkan
pikiran, ucapan dan perbuatan. Visualisasi berarti
membayangkan fisik (wujud) dari guru, Buddha, cahaya dan
Dharmapala. Selain hal tersebut juga sangat penting praktek
sebagaimana ajaran guru. Beranjak dari hal itulah, maka
betapa penting peran seorang guru dalam aliran Tantrayana
Kasogatan. Dalam aliran Tantrayana Kasogatan dikenal catur
sarana, terdiri atas ; Berlindung pada guru, Berlindung pada
Buddha, Berlindung pada Dharma, dan Berlindung pada
Sangha.
Ajaran Etika/Moral
Pokok-Pokok Ajaran Tantrayana Kasogatan adalah ;
Tripitaka, Pancasila Buddhis, Empat Belas Sila Dasar Tantra,
Abdiguru Pancasika, serta Bodhisattva Sila, Enam
Kesempurnaan, Trilaksana, Empat Kesunyataan Mulia,
Delapan Jalan Utama, Dua Belas Hukum Sebab Akibat93.
Setelah pemeluk Buddha mengamalkan ajaran
etika/moral inilah, maka diharapkan akan mencapai taraf
Wawancara dengan Biksu Lian Yang dan Biksu Lian Ling Fashi
sebagai Biksu Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 19 April 2015
93
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
331
kebuddhaan. Dalam aliran Tantrayana Kasogatan, mengakui
adanya Buddha Hidup. Yang dimaksud dengan Buddha
Hidup adalah orang yang tercerahkan, tapi dia masih hidup.
Sejauh ini hanya ada seorang Buddha Hidup, tidak lain adalah
Lu Sheng Yen (Liangsheng Huo Fo), sebagai Maha Mula Vajra
Acharya.
Kitab Suci
Kitab yang dianggap suci terdiri atas empat kelompok
besar sebagaimana unsur serapannya yang mengambil dari
Theravada, Mahayana, Tao dan Tantrayana. Terdiri dari;
Tripitaka (Theravada), Pradnya paramita, vajra cedika, sad
dharma pundarika, sutra altar, awsamtaka, lanka watara
(Mahayana), Sutra Yao Che (Tao), dan Sutra tantrayana yang
terdiri atas ; sutra wairocana, Usnisa vajra, susidi sutra
(Tantrayana).
Hari Suci
Hari yang dianggap suci oleh penganut agama Buddha
aliran Tantrayana Kasogatan di antarannya adalah ; Waisak,
Kathina (berdo’a untuk Sangha), Hari ulang tahun Buddha
Bodisatvva, dan perayaan Ulambana.
332
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
IV
KEGIATAN MAJELIS TANTRAYANA ZENFO
ZONG KASOGATAN INDONESIA
KALIMANTAN BARAT
Struktur Kepengurusan
Sebagaimana surat keputusan DPP (Dewan Pimpinan
Pusat) Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong
Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat Nomor :
002/SP/DPD/ZFZK/2013, susunan pengurus DPD Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan
Indonesia Tingkat Provinsi Kalimantan Barat dapat
disebutkan sebagaimana berikut ini :
Dewan Penasehat
:
Firmanto, SH, Lie Mei Fung,
Lim Yam Song
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris Jenderal
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
Bidang Humas
Bidang Publikasi
Bidang Sosial
Bidang Usaha Dana
Bidang Wanita
Bidang Pembabaran Dharma
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Bidang Perlengkapan
:
Herman Kora
Iwan Suwito
Agus Tjandra
Hendra, ST
Siskawaty, SE
Evi Setiana
Lim Jong Hwa, Eko
Eddy Lasmin, Efendy
Dju Teng, Suhardi Lo
Ratnasari, Siau Ling
Tan Kek Pue, Santi Tansari
Rudy Cahyadi, Bhikkulama
Lian Yang
Tansil Halim, Yulianto
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
333
Selain itu, dalam struktur DPP Majelis Agama Buddha
Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Provinsi
Kalimantan Barat tersebut terdapat beberapa organ organisasi
yang terdiri atas ; Yayasan Vajra Bumi Kertayuga dipimpin
Lie Min Fhung sebagai ketua dan Firmanto, SH sebagai
sekretaris, Vihara Vajra Bumi Kertayuga pimpinan Yo Sai
Heng, Lotus Light Charity dipimpin oleh Tansil Halim dan
Pandita Rudy Cahyadi, dan Sekolah minggu Vihara Vajra
Bumi Kertayuga dengan Eddo sebagai kepala sekolah minggu.
Melihat lampiran surat keputusan DPD Majelis Agama
Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia
Provinsi Kalimantan Barat tentang susunan pengurus Vihara
Vajra Bumi Kertayuga terdiri atas ;
Ketua Vihara
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara I
Wakil Bendahara II
Koordinator Kebaktian
Koordinator Muda Mudi
Koordinator Sosial
Koordinator Dokumentasi
Koordinator Konsumsi
Koordinator Pendidikan
Koordinator Humas
334
: Yo Sai Heng
: Lie Mei Fung
: Iwan Suwito
: Siskawaty, SE
: Hendra, ST
: Bong Jun Ngo
: Ratnasari
: The Ai Suan
: Bhikkulama Lian Yang
: Eddo
: Tamsil Halim
: Efendi, Suriawati
: Ng Hun Hwa
: Youky, Siska Kumara
: Rudy Cahyadi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Berdasarkan susunan pengurus organisasi di
lingkungan Kasogatan baik dilihat dari pengurus Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan
Indonesia Provinsi Kalimantan Barat dan pengurus Vihara
Vajra Bhumi Kertayuga ternyata banyak kepengurusan yang
dirangkap, hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya
manusia yang memiliki kemauan dan kemampuan
berorganisasi memajukan pembinaan umat Buddha
Kasogatan.
Adanya
organisasi
dan
organ
pelengkapnya
meniscayakan adanya umat dari aliran Tantrayana Kasogatan.
Berbicara tentang persebaran umat Buddha Tantrayana Zenfo
Zong Kasogatan di seluruh wilayah Kalimantan Barat baru
sejauh ini masih terbatas pada beberapa Kabupaten/Kota,
yang tersebar di empat daerah, yaitu Kabupaten Kubu Raya,
Kabupaten Landak, Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas.
Rekrutmen anggota yang dijalankan oleh Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan
Indonesia Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 4 cara, yaitu ;
Merekrut anggota baru pada upacara tahunan karena umat
membawa relasi dan manfaatnya karena ada testimoni
sebanyak 50 %-an, Darma duta pada saat sembahyang duka
sebanyak 30 %-an, Buku karangan Mahaacarya 20 %-an dan
Sekolah minggu sebanyak 1 %-an.
Kegiatan Pembinaan
Untuk meningkatkan kualitas beragama umat, kegiatan
pembinaan mutlak dilakukan. Berkaitan dengan pembinaan
yang selama ini dilakukan oleh Majelis Agama Buddha
Tantrayana Kasogatan dengan cara ; pertama, Konsultasi, baik
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
335
kepada Acarya—tergantung kedatangan minimal 4 kali dalam
setahun maupun kepada Bikkulama. Tema yang diusung
ketika konsultasi ke Acarya adalah tentang usaha, kesehatan
ataupun perjodohan. Adapun tema konsultasi Bikkulama
berkisar pada tata cara ibadah, Ceramah dharma seminggu
dua kali setelah selesai kebaktian, dan Kelas Dharma oleh
Acarya. Kedua, Pembabaran darma yang dilakukan secara
reguler dalam peribadatan di lingkungan vihara.
Pendanaan
Roda organisasi Majelis Agama Budha Tantrayana
Kasogatan Indonesia Provinsi Kalimantan Barat beserta
dengan
organ-organnya
memerlukan
dana
untuk
menggerakkannya. Sejumlah cara ditempuh Majelis
Kasogatan untuk membiayai berbagai aktivitas kegiatan.
Pengumpulan dana secara umum terbagi menjadi dua bagaian
yaitu kegiatan fundrising yang berorieantasi profit dan
fundrising yang berorientasi non profit. Sebagaimana terlihat
pada tabel 5 ternyata asal dana lebih banyak dikontribusikan
melalui kegiatan upacara.
Tabel 5. Pendanaan pada Aliran Tantrayana Kasogatan
No
1
Kategori
Fundrising
Profit
Bentuk
Koperasi
Sewa
336
Aktifitas
Jual beli peralatan ibadah
Menyewakan tempat abu
Menyewakan
stand
saat
pasar imlek
Menyewakan stand iklan saat
pasar imlek
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
2
Non profit
Sumber:
Menjadi peserta upacara
Pendaftran dewa tahunan
Upacara
Peringatan dewi Kwan Im
Pemasangan
lampion
di
vihara
Derma tahunan sebesar Rp.
25.000,Kesukarelaan Sumbangan sukarela
Dana paramitha
Diolah dari hasil wawancara dengan Pandita
Hendra, ST
Pendanaan yang sifatnya profit secara langsung
diwakili oleh kegiatan koperasi pengadaan alat-alat keperluan
beribadah. Secara lengkap berikut ini merupakan berbagai
aktifitas pendanaan pada Majelis Kasogatan, yaitu ; Upacara,
Koperasi, Penyewaan tempat abu, Sumbangan sukarela,
Pendaftaran dewa tahunan, Peringatan Dewi Kwan Im,
Pemasangan lampion di vihara, Menyewakan stand atau
space iklan di pasar imlek, Derma tahunan sebesar Rp. 25.000,yang diberikan pada bendahara vihara, dan Dana paramitha.
Sarana dan Prasarana
Selain sarana berbagai organ organisasi majelis, Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zenfo Zong Kasogatan Indonesia
juga dilengkapi oleh vihara pusat bernama Vihara Vajra
Bhumi Kertayuga, juga vihara yang tersebar di berbagai
kabupaten dan kota, di antaranya ; 3 vihara di Kabupaten
Landak, 1 vihara di Kota Singkawang dan 1 vihara di
Kabupaten Sambas.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
337
Relasi Sosial Inter dan Antar Agama
Pengurus Majelis Tantrayana Kasogatan sebagaimana
organisasi pada umumnya terdiri atas berbagai jabatan seperti
unsur ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan berbagai
unsur ketua bidang. Semua jabatan tersebut diadakan dalam
rangka memudahkan pembagian kerja di antara pengurus
bersangkutan. Hubungan antar anggota pengurus majelis
Kasogatan diluar penyelenggaraan musyawarah bersifat
kembali seperti biasa tanpa ada perbedaan. Artinya, sesama
pengurus dapat melakukan hubungan informal.
Relasi sosial Majelis Tantrayana Kasogatan dengan
majelis agama Buddha lainnya berjalan cukup baik.
Hubungan antar majelis tersebut terjadi saat ulang tahun
vihara tertentu. Dalam kegiatan ulang tahun ini biasanya ada
undangan kepada berbagai majelis agama Buddha lainnya
untuk dapat menghadiri acara tersebut94. Hubungan antar
aliran juga terjadi saat memperingati hari WAISAK, di mana
seluruh aliran dalam agama Buddha diminta untuk masuk
menjadi panitia perayaan WAISAK bersama95. Belum lagi
tentang perwakilan agama Buddha dalam masalah kerukunan
hidup beragama yang tergabung dalam FKUB ternyata
seluruh aliran satu suara dan mempercayakan sepenuhnya
kepada perwakilan umat Buddha apapun alirannya. Meski
94 Wawancara dengan Hendra, ST sebagai Wakil Sekretaris Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan
Barat, 16 April 2015
95 Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua WALUBI
Kalimantan Barat, 18 April 2015
338
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
demikian, masing-masing aliran sangat tertutup sehingga
mereduksi kemungkinan interaksi ajaran dengan aliran lain96.
Menyangkut pergaulan di antara masyarakat luas
(antar penganut agama), penganut agama Buddha Tantrayana
Kasogatan tidak terlalu terbuka. Ummat Buddha yang
kebanyakan beretnis Tionghoa kurang dapat bergaul dengan
non Tionghoa, kalau ada orang asing yang masuk ke sebuah
gang contohnya, maka mereka cenderung curiga dan
tertutup97. Namun demikian dikecualikan bila pergaulannya
berbentuk kerjasama usaha98, ketika merayakan hari raya99
dan melakukan ngembun dalam pergaulan kewargaan100.
Secara eksternal, saling menghormati antar pemeluk
agama terjadi terutama dengan penduduk Tionghoa saat
malam tahun baru imlek yang dilakukan oleh kaum Kristiani
dengan cara melaksanakan ibadah syukur malam menjelang
imlek. Sementara itu, hubungan dengan kalangan Muslim
sejauh ini masih kondusif di tengah adanya kekhawatiran
akan efek tindakan ummat Buddha di Myanmar yang
melakukan diskriminasi terhadap umat minoritas dapat
mempengaruhi relasi sosial (aksi balasan) di Kalimantan
Barat.
96 Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua WALUBI
Kalimantan Barat, April 2015
97 Wawancara dengan Pendeta Ir. Iwan Luwuk sebagai Wakil
Sekretaris FKUB Kota Pontianak/Pendeta Gereja Pantekosta Indonesia Barat
Kota Pontianak, 24 April 2015
98 Wawancara dengan Rakiman, S.Thi sebagai Penyelenggara Bimas
Buddha Kabupaten Kubu Raya, 25 April 2015
99 Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama
Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015
100 Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama
Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
339
Relasi sosial antara aliran Kasogatan yang diwakili oleh
Majelis Tantrayana Kasogatan dengan pemerintah juga
berjalan dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan
kehadiran perwakilan pemerintah baik dari pemerintah
daerah maupun Kemenag (baik kabupaten/kota maupun dari
kantor wilayah provinsi) dalam berbagai acara seperti
pelantikan pengurus WALUBI ataupun kegiatan lainnya.
Pandangan Pemuka Agama Majelis Lain terhadap Ajaran
dan Tata Cara Peribadatan dalan Aliran Buddha Tantrayana
Kasogatan Indonesia
Secara umum, tidak ada perbedaan antara aliran
Tantrayana Kasogatan dengan berbagai aliran lainnya.
Perbedaan yang terlihat dipermukaan hanya sebatas pada tata
cara ibadahnya saja101 yang diakibatkan perbedaan guru102.
Perbedaan yang mencolok bila dibandingkan dengan ajaran
pada aliran lainnya menyangkut Buddha hidup yang diyakini
aliran Tantrayana Kasogatan dapat dilihat perilaku hidup
Maha Acarya Lin Shen Yen.
Jelas pandangan ini berbeda dan sangat tidak bisa
diterima oleh aliran lainnya karena masih ada Buddha
Sakyamuni. Bila dikategorikan menyimpang bisa disebutkan
demikian. Meski demikian tidak ada kewenangan dalam
101 Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua
WALUBI Kalimantan Barat, 18 April 2015
102 Wawancara dengan Yanto, SE sebagai
Penyelenggara Bimas
Buddha Kota Pontianak, 25 April 2015
340
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
majelis untuk menyatakan suatu aliran itu menyimpang atau
tidak103.
Kegiatan Sosial Keagamaan
Adanya dana yang terkumpul memungkinkan
dilakukannya
pendistribusian
kepada
umat
yang
membutuhkan. Tercatat beberapa kegiatan telah dilaksanakan
sejak beberapa tahun yang lalu. Salah satu kinerja organisasi
majelis yang cukup menonjol adalah bantuan sosial kepada
masyarakat yang membutuhkan.
Tabel 6.
Bantuan Sosial terhadap Umat Kasogatan di Kalimantan
Barat
No Bentuk bantuan
1 Pemberian
Sembako
2 Pemberian
Sembako
3
4
5
Kunjungan
rumah
Pengobatan
Pelaksana
Mejelis
Vihara
ke Lotus
Charity
Lotus
Charity
Kebaktian singkat Lotus
/ do’a
Charity
Sasaran
Masyarakat
umum
Panti jompo
dan
panti
yatim piatu
Light Umat Buddha
Intensitas
Rutin
tahunan
Rutin
bulanan
Temporer
Light Umat Buddha Temporer
Light Umat Buddha Temporer
Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Pandita
Hendra, ST
Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama
Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015
103
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
341
Beberapa bentuk bantuan sosial ini adalah ; (1) bantuan
sembako pada hari Waisak yang dilakukan majelis rutin per
tahunnya, (2) bantuan sembako kepada panti jompo dan
yatim piatu secara rutin dilakukan oleh vihara setiap bulan,
(3) bantuan sosial kunjungan ke rumah umat, pengobatan juga
kebaktian singkat dan do’a oleh Lotus Light Charity.
D. Konflik yang Pernah Terjadi
Sejauh ini belum ada konflik yang memasuki tahapan
agresi (yaitu kekerasan yang berhadapan dengan kekerasan)
baik antar aliran dalam agama Buddha maupun antar agama
Buddha dengan berbagai agama lainnya. Meskipun demikian,
tercatat beberapa gesekan yang terjadi utamanya antara umat
Buddha dengan ummat Kristiani. Pertama, terkait dengan
perilaku oknum pendeta yang pernah melakukan upaya
pembakaran rupang dari salah satu vihara aliran
Mapanbumi/LKBI/BDI sekitar tahun 2010, akibat adanya
anggapan bahwa rupang adalah berhala yang harus
dilenyapkan dengan cara dibakar.
Kedua, konflik dalam bidang pendidikan. Pernah ada
kasus di SD Mulia Dharma Jl. WR. Supratman di mana kepala
sekolah beragama Katolik namun mengajak siswa beragama
Buddha untuk belajar agama Katolik meski di sana ada juga
guru agama Buddha. Kasus lainnya terjadi di SMPN 3 Kubu
Raya siswa diminta mengisi surat pernyataan untuk
mengikuti pelajaran agama Kristen/Katolik padahal menurut
UU Sisdiknas bahwa bila tidak ada guru agama di sekolah
yang sama dengan agama siswa, maka siswa dapat dididik
342
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
oleh guru agama yang berada di luar sekolah104. Upaya
konversi agama Buddha ke Kristen/Katolik lebih banyak
terjadi lewat media pendidikan. Hal ini terjadi karenaa di
sekolah negeri hampir tidak ada guru agama Buddha,
sehingga siswa ikut ke ajaran lain105.
104 Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas Agama
Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat, 25 April 2015; Pendeta
Ir. Iwan Luwuk sebagai Wakil Sekretaris FKUB Kota Pontianak/Pendeta
Gereja Pantekosta Indonesia Barat Kota Pontianak, 24 April 2015
105 Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas Agama
Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat, 25 April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
343
344
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
V
ANALISA
Temuan Aspek Aliran
Agama Buddha merupakan termasuk agama yang
keberadaanya sudah lebih dahulu eksistensinya bila
dibandingkan dengan agama lainnya. Keberbedaan agama ini
terlihat dari adanya sistem keyakinannya dan berbagai ritual
keagamaan tersendiri meliputi keimanan dan eskatologis,
ajaran dan ibadah, relasi sosial dan kemasyarakatan. Penganut
agama Buddha dengan adanya ajaran tersebut telah mewarnai
perilaku sehari-harinya dengan perilaku keagamaan yang
mendapat pengaruh langsung dari agamanya tersebut.
Sebagai sebuah agama, Agama Buddha aliran
Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan memiliki sistem
keyakinan akan ke-Tuhan-an dan masalah eskatologis
(keakhiratan), sistem ajaran dan peribadatan yang bersumber
dari kitab suci, sistem sosial dan kemasyarakatan. Terkait
dengan aspek aliran, terdapat beberapa temuan, yaitu :
1. Aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan memadukan
empat unsur, yaitu ; Tao, Tantra, Mahayana dan
Theravada. Berbagai unsur tersebut diambil dalam bentuk
simbol, ritual maupun ajaran. Sebagai akibatnya, maka
kitab yang dianggap suci terdiri atas empat kelompok
besar sebagaimana unsur serapannya yang mengambil
dari Theravada, Mahayana, Tao dan Tantrayana.
2. Agama Buddha aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan
yakin terhadap Caturratna (padahal pada umumnya aliran
yang lain hanya yakin dengan Triratna yaitu ; yakin
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
345
terhadap Bodhisatva, Arahat dan Para Buddha). Sehingga
bertambahlah dengan unsur Guru sebagai Ratna yang ke
empat. Aliran ini memandang sangat penting pada
praktek peribadatan sehingga benar atau salahnya harus
senantiasa sesuai dengan ajaran dari guru. Beranjak dari
hal itulah, maka betapa penting peran seorang guru dalam
aliran Tantrayana Kasogatan.
3. Struktur keorganisasian Majelis Agama Buddha
Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan sudah dirasa memiliki
kecukupan sarana maupun prasarnanya baik berkaitan
dengan tempat ibadah (melalui keberadaan vihara),
pembinaan umat Buddha (melalui peran para Bhikulama,
Acarya maupun Maha Acarya) dan pembinaan anak-anak
(melalui sekolah minggu) dan kesejahteraan umat Buddha
(melalui peran lembaga otonom charity).
4. Masalah pendanaan merupakan hal yang dianggap
penting bagi kelangsungan organisasi majelis beserta
dengan beragam kegiatan pembinaan umat. Oleh sebab
itu, aliran Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan sejauh ini
dianggap berhasil dalam upaya mereka
menggali
beragam pendanaan baik yang bersifat usaha profit
maupun non profit (dana paramitha). Cara yang
digunakannya pun sangat sesuai dengan kebutuhan umat
sehingga relatif tidak menghadapi kendala yang berarti.
5. Perbedaan yang mencolok pada aliran Tantrayana Zenfo
Zong Kasogatan bila dibandingkan dengan ajaran agama
buddha pada umumnya menyangkut Buddha hidup yang
diyakini aliran Tantrayana Kasogatan dapat dilihat
perilaku hidup Maha Acarya Lin Shen Yen. Ajaran ini
linier dengan keyakinan Caturratna yang memasukkan
satu unsur tambahan yaitu yakin kepada guru. Guru
346
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
sejatinya bukan saja menjadi tempat bersarana bagi para
umatnya, namun juga menuntut untuk mengikuti teladan
dari figur tertentu. Karena figur ini dianggap mewakili
perilaku ideal kebudhaan, sehingga dimunculkanlah
ajaran Buddha hidup ini.
Temuan Aspek Potensi Konflik dan Penyelesaiannya
Relasi sosial ummat Buddha dengan non Buddha
paling dekat terhadap umat Kristiani dan paling jauh dengan
kalangan Muslim. Hal ini disebabkan oleh ; masalah makanan
yang linier dengan keserbasalahan atau tidaknya bila
melakukan perjamuan, tingkat kekhawatiran kehilangan
identitas ketionghoannya yang dipersepsikan hilang, tidak
setuju dengan sikap kekerasan.
Eksistensi Majelis agama Buddha Tantrayana Zhenfo
Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat ditunjukkan oleh
tumbuh dan berkembangnya aliran ini di daerah penelitian.
Masuknya aliran Kasogatan di Kalimantan Barat sampai
sejauh ini masih mengikuti (dipengaruhi) perkembangan di
tingkat pusat. Artinya bila perpecahan majelis terjadi di
tingkat pusat maka akan mengakibatkan besarnya potensi
terjadinya
perpecahan
juga
di
tingkat
provinsi,
Kabupaten/Kota.
Beberapa konflik yang rawan muncul, yaitu ; efek dari
konversi agama yang tidak disetujui orang tua yang
berpindah agama, kegiatan misionari (agama non Buddha)
yang tidak didukung dengan etika dan masalah dalam
pengajaran terhadap siswa beragama Buddha di sekolah yang
tidak ada pengajar beragama Buddha..
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
347
Selama ini potensi konflik yang diakibatkan oleh
perbedaan aliran dalam agama Buddha dapat diredam.
Beberapa faktor penyebabnya, di antaranya ; percaya karma
dan percaya reinkarnasi sehingga masih ada kemungkinan
terjadi perbaikan di masa kelahiran yang akan datang.
Adanya konflik dalam hal pengajaran maupun konflik
terkait konversi agama selama ini belum terselesaikan dengan
baik sehingga rawan terjadinya tingkat eskalasi yang lebih
tinggi di masa yang akan datang. Adapun masalah yang
sudah tertangani hanya terkait kegiatan missionari yang tidak
didukung etika yang penyelesaiannya dapat diselesaikan
melalui musyawarah melibatkan tokoh dan pemerintah
setempat.
348
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
VI
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan paparan sebagaimana di atas dapat
disebutkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendiri aliran Tantrayana Zhenfo Zong global bernama
Liansheng Huo Fo atau disebut juga dengan Lu Sheng
Yen. Secara umum kelahiran aliran Kasogatan merupakan
sebuah harapan akan kebangkitan kembali agama Buddha
di Indonesia (yakni pada zaman keprabuan Majapahit,
zaman kedatuan Sriwijaya, serta pada zaman Mataram
purba). Aliran ini di Indonesia dipelopori oleh mendiang
Bhikkhu Ashin Jinnarakitta Mahathera pada tahun 1953.
Pimpinan aliran Kasogatan di Kalimantan Barat bernama
Herman Kora yang memimpin sejumlah manpower
dengan berbagai fungsi dan tugas dan dukungan sejumlah
dana yang berasal dari donasi ummat maupun usaha
otonom. Jumlah pemeluk aliran Kasogatan sampai sejauh
ini tidak dapat dikuantifikasi secara pasti.
2. Kitab yang dianggap suci terdiri atas empat kelompok
besar sebagaimana unsur serapannya yang mengambil
dari Theravada, Mahayana, Tao dan Tantrayana. Terdiri
dari; Tripitaka (Theravada), Pradnya paramita, vajra
cedika, sad dharma pundarika, sutra altar, awsamtaka,
lanka watara (Mahayana), Sutra Yao Che (Tao), dan Sutra
tantrayana yang terdiri atas ; sutra wairocana, Usnisa
vajra, susidi sutra (Tantrayana). Pokok-Pokok Ajaran
Tantrayana Kasogatan adalah ; Catur Arya Satyani, TriKeragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
349
Lakshana, Pratitya Samutpada, Hukum Karma dan
Tumimbal Lahir, Tri-Kaya, Bodhisattva, Upaya Kausalya
dan Sunyata. Ajaran Esoterik Tantrayana Satya Buddha
meliputi Kriya Tantra, Carya Tantra, Yoga Tantra, dan
Anuttara Tantra. Hari yang dianggap suci di antarannya
adalah ; Waisak, Kathina (berdo’a untuk Sangha), Hari
ulang tahun Buddha Bodisatvva, dan perayaan Ulambana.
3. Penelitian ini tidak menemukan adanya konflik atau
gesekan di antara majelis yang ada di Kalimantan Barat.
Namun dalam hubungan ke luar, tercatat beberapa
gesekan / konflik yang terjadi yaitu ; gesekan dengan
oknum pendeta yang membakar rupang dari salah satu
vihara aliran Mapanbumi/LKBI/BDI sekitar tahun 2010.
Konflik dalam bidang pendidikan dan konflik akibat
konversi agama. Relasi sosial ummat Buddha dengan
masyarakat masih terbatas pada bidang-bidang tertentu.
Sedangkan relasi dengan pemerintah menunjukkan
hubungan yang erat.
A. Saran
Penelitian ini sudah berupaya menjawab pertanyaan
penelitian dengan semaksimal mungkin. Maka dari itu saran
peneliti adalah :
1. Hasil penelitian ini secara umum kiranya dapat digunakan
oleh Kementerian Agama RI, khususnya Dirjen Agama
Buddha, sebagai bahan dalam menyusun kebijakan yang
terkait dengan pembinaan keorganisasian lingkup agama
Buddha.
350
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
2. Menyangkut hubungan antar agama, di Kalimantan Barat
khususnya pemeluk agama Buddha aliran Kasogatan
dengan Kristiani mengalami konflik (meskipun masih
dalam tahap prasangka) di pada aktifitas efek konversi
agama, pendidikan keagamaan Buddha dan kegiatan
misionari (agama) yang tidak didukung dengan etika.
Maka dari itu perlu dilakukan pengawasan dan
pembinaan di daerah melalui perangkat penyelenggara
bimbingan masyarakat Buddha dan Pembimas Buddha.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
351
352
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 2009. “Sekte-Sekte dalam Agama Buddha”. Dalam
http://jayalah-indonesiakutercinta.blogspot.com/2009/09/sekte-sekte-dalamagama-buddha.htm?m=1 [Diunduh 30 Feburari 2015]
Azis, Abdul. Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia,
(Jakarta : Penerbit Dian, 1998)
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Nusantara, (Mizan :
Bandung, 2004)
Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013 b. Statistik
Politik 2013. [katalog]
Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013 a. Indeks
Pembangunan Manusia 2013. [katalog]
Biro Pusat Statistik. Sensus Penduduk 2010 : Penduduk Menurut
Wilayah dan Agama yang dianut, (Jakarta, 2010)
Biro
Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat.
Kalimantan Barat dalam Angka Tahun 2014
2015.
Buddha Dharma Education Association. 2008. "Buddhism in
Indonesia". dalam http:// www.buddhanet.net/elearrning/buddhistworld/indo-txt.htm [Diunduh 23
April 2015]
Nahrawi, Nahar, Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan
Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam
(dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di
Indonesia), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta,
2006 hal 200 – 201.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
353
Nuh. Nuhrison M. 2012. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan
Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia. Jakarta :
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan
Diklat, Kementerian Agama RI
Priastana, Jo. 2014. Buddhism and Religious Tolerance in
Indonesia. [makalah]
Rofiqoh, Ifa Nur, 2014. Kitab Suci Tipitaka.
http://study-budhisme.blogspot.com/p/blogpage_5576.html [Diunduh 23 Maret 2015]
Dalam
Suzuki, Beatrice Lane. Agama Buddha Mahayana, (Jakarta :
Karaniya, 2009)
SVD, Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta :
Penerbit Obor, 2013)
Virana dan Tjeng Ing, Ensiklopedia Buddha Dharma, (Jakarta :
Santusita, 2008)
Widyadharma, Sumedha, 1995. “Agama Buddha dan
Perkembangannya
di
Indonesia”.
Dalam
http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdhamma/agama-buddha-dan-perkembangannya-diindonesia/ [Diunduh 23 Maret 2015]
Wikipedia.
2015.
“Agama
Buddha”.
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha,
[Diunduh 30 Januari 2015]
Dalam
Daftar Wawancara :
Wawancara dengan Pandita Hendra, ST sebagai Wakil
Sekretaris Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo
Zong Kasogatan Indonesia Kalimantan Barat, 16 April
2015
354
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Wawancara dengan Bhiksu Lian Ling Fashi sebagai Biksu
Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 17 April 2015 dan 19
April 2015
Wawancara dengan Pandita Edy Tansuri sebagai Ketua
WALUBI Kalimantan Barat, 18 April 2015
Wawancara dengan Bhiksu Lian Yang sebagai Biksu Vihara
Vajra Bhumi Kertayuga, 19 April 2015
Wawancara dengan Eddo sebagai Pengurus Muda Mudi
Vihara Vajra Bhumi Kertayuga, 20 April 2015
Wawancara dengan Pandita Rudy Cahyadi Lim sebagai
Pandita Lokapalasraya Vihara Vajra Bhumi Kertayuga,
21 April 2015
Wawancara dengan Budi sebagai Pengurus Majelis agama
Buddha Mapanbumi Kota Pontianak, 22 April 2015
Wawancara dengan Pendeta Ir. Iwan Luwuk sebagai Wakil
Sekretaris FKUB Kota Pontianak/Pendeta Gereja
Pantekosta Indonesia Barat Kota Pontianak, 24 April
2015
Wawancara dengan Drs. Sarjono, MM sebagai Pembimas
Agama Buddha Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan
Barat, 15 April 2015 dan 25 April 2015
Wawancara dengan Yanto sebagai Penyelenggara Bimas
Buddha Kota Pontianak, 25 April 2015
Wawancara dengan Rakiman sebagai Penyelenggara Bimas
Buddha Kabupaten Kubu Raya, 25 April 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
355
356
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
9
MAJELIS UMAT BUDDHA THERAVADA INDONESIA
DI KOTA TANGERANG
Oleh:
Achmad Ubaidillah & Adang Nofandi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
357
358
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Sekilas Kota Tangerang
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976,
Tangerang termasuk ke dalam wilayah pengembangan
Jabotabek. Kedudukan dan peranan Kota Tangerang sebagai
daerah penyangga DKI Jakarta menyebabkan Kota Tangerang
menjadi konsentrasi wilayah pemukiman penduduk dan
menjadi tempat kegiatan perdagangan terutama pada sektor
industri. Perkembangan sektor perdagangan dan industri di
kawasan ini memancing derasnya arus imigrasi sirkuler
penduduk. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya lonjakan
pertumbuhan penduduk Kota Tangerang yang terus
mengalami pertumbuhan. (http://www.tangerangkota.go.id. 8
Mei 2015).
Berdasarkan data kependudukan tahun 2015, penduduk
Kota Tangerang telah mencapai 2.043.432 jiwa. Adapun
komposisi penduduk Kota Tangerang berdasarkan agama
terdiri atas: Islam (1.786.638 jiwa), Kristen (112.952 jiwa),
Katolik (54.508 jiwa), Hindu (3.704 jiwa), Buddha (84.724 jiwa),
Konghucu (698 jiwa) dan lain-lain (208 jiwa). (Data
Kementerian Agama Kota Tangerang Tahun 2015). Dari data
tersebut terlihat jelas bahwa Kota Tangerang merupakan salah
satu kota di Indonesia yang begitu plural masyarakatnya
khususnya dalam hal keragaman agama. Sebagai kota yang
dihuni oleh penganut agama yang beragam, wilayah Kota
Tangerang juga tidak sepi dari problem yang menyertainya.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
359
Kasus-kasus yang muncul terkait hubungan antarumat
beragama di Kota Tangerang yang paling sering timbul ke
permukaan adalah terkait pendirian rumah ibadah, atau
penggunaan bangunan tertentu untuk beribadah. Beberapa
kasus yang pernah terjadi di antaranya protes warga terhadap
rumah yang dijadikan tempat ibadah Gereja Bethel Indonesia
(GBI) Pondok Bahar, yang berada di wilayah Ciledug; kasus
renovasi gereja HKBP di kawasan Tanah Tinggi; kasus
perluasan komplek pendidikan Strada; kasus Sang Timur yang
termasuk
dalam
kategori
pelarangan
warga
atas
pembangunan gereja. (Prof. Dr. Marzani Anwar, 2011 dalam
https://marzanianwar.wordpress.com. 8 Mei 2015)
Selain kasus di atas, di Kota Tangerang pernah terjadi
kasus lain seputar penolakan pendirian rumah ibadah di
antaranya: penolakan atas rencana pembangunan Gereja
Paroki Santa Bernadet; penolakan atas pembangunan rumah
ibadah umat Sikh, Kuil Gurdwara Dharma Khalsa di
Kecamatan Karang Tengah (Drs.H. Arief Fahruddin, Kasubag
TU Kemenag Kota Tangerang. Wawancara. 4 Mei 2015).
Namun demikian, kasus-kasus keagamaan tersebut pada
umumnya tidak berujung pada aksi-aksi kekerasan. Hal ini
dikemukakan oleh Drs. KH. Amin, MA, Ketua FKUB Kota
Tangerang yang menyebutkan bahwa faktanya memang ada
riak-riak di masyarakat dalam merespon keberagaman namun
pada umumnya dapat diselesaikan dengan baik tanpa
menimbulkan aksi-aksi kekerasan. (Drs. KH. Amin, MA,
Ketua FKUB Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015).
Keterangan ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. Marzani
Anwar (2011), bahwa keberadaan Forum Kerukunan Antar
360
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Umat Beragama (FKUB) di Kota Tangerang relatif telah
berhasil mengurangi ketegangan antarumat beragama.
Keberhasilan tersebut salah satunya dikarenakan FKUB
Kota Tangerang secara intensif bekerjasama dengan semua
unsur terkait seperti pemerintah daerah, TNI, Polri dan tokoh
tokoh agama, bersinergi dalam membangun dan merawat
kerukunan umat beragama. Modal utama dalam membangun
dan menjaga kerukunan, FKUB Kota Tangerang senantiasa
membangun kebersamaan antar pemimpin agama yang ada di
FKUB, juga sering berkomunikasi dengan masyarakat untuk
menjaring informasi dari masyarakat serta sering
mengundang
para
tokoh
agama
dalam
rangka
menyosialisasikan program untuk menyebarkan spirit
kerukunan antar umat (Drs. KH. Amin, MA, Ketua FKUB
Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015).
Di samping itu, modal lainnya yang mendorong upayaupaya peace keeping tersebut yaitu adanya realitas yang tidak
dapat dimungkiri bahwa kerukunan umat di Kota Tangerang
sesungguhnnya sudah lama ada sejak dahulu. Hal semacam
ini telah menjadi salah satu modal sekaligus faktor penting
dalam upaya membangun dan merawat kerukunan antarumat
beragama di Kota Tangerang yang begitu plural dalam hal
etnisitas dan agama. (Ahmad Kahfi, Pengurus PCNU Kota
Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015).
Perkembangan Agama Buddha di Kota Tangerang
Perkembangan agama Buddha saat ini kian pesat di
Indonesia, salah satu kota yang mengalami perkembangan
agama Buddha yang pesat adalah kota Tangerang. Umat
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
361
Buddha menyebar di kota sampai ke pelosok kota Tangerang.
Diiringi dengan pembangunan vihara/cetiya hingga ke
pelosok guna memudahkan umat untuk beribadah di
Vihara/Cetiya. Gambaran perkembangan pesat ini dapat
dilihat dari data komposisi penduduk berdasarkan agama dari
Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang sebagaimana
uraian di atas yang menyebutkan jumlah populasi umat
Buddha di Kota Tangerang adalah sebesar 84.724 jiwa.
Terlebih jika mengacu pada data populasi umat Buddha
yang dikeluarkan oleh Pembimas Buddha Kantor
Kementerian Agama Wilayah Provinsi Banten yang
menyebutkan bahwa jumlah umat Buddha di Kota Tangerang
adalah sebanyak 165.905 jiwa. (Data Pembimas Buddha
Kementerian Agama Provinsi Banten Tahun 2015). Data
tersebut memang berbeda jauh dengan data populasi umat
Buddha dari Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang,
dan bahkan selisih jumlah tersebut hampir dua kali lipat lebih
besar dari jumlah populasi umat Buddha yang diperoleh dari
Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang. Kondisi
semacam ini tentu perlu menjadi perhatian segenap pihak
untuk melakukan pemutakhiran data berdasarkan pada
sensus yang dilakukan secara periodik sehingga akan
ditemukan jumlah populasi yang akurat.
Selanjutnya, berdasarkan data Pembimas Buddha
Kementerian Agama Provinsi Banten Tahun 2015, secara
terperinci data keberadaan Agama Buddha di Kota Tangerang
adalah berikut: 8 Bikhhu/Bikkhuni, 78 Juru Penerang, 90
Dharmaduta, 26 Pandita, 90 Penyuluh non-PNS, 86 Guru, 1
Pengawas Pendidikan, 49 Vihara, 29 Sekolah Minggu Buddha,
12 Yayasan dan 19 Sekolah Bercirikan Buddha. Sedangkan
362
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
majelis yang ada di Kota Tangerang antara lain: Majelis Umat
Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi), Majelis Agama
Buddha Indonesia (Magabudhi), Majelis Agama Buddha Tri
Dharma Indonesia, Majelis Buddhayana Indonesia, Majelis
Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), Majelis
Agama Buddha Tantrayana ZFZ Kasogatan Indonesia.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
363
364
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
TEMUAN PENELITIAN
Sejarah Majelis
(Majubuthi)
Umat
Buddha
Theravada
Indonesia
Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia disingkat
Majubuthi, dideklarasikan pada tanggal 19 April 2000 di
Bandung. Majubuthi merupakan Majelis Agama Buddha yang
bersumber pada kitab Suci Tipitaka (Pali) dan berasaskan
pada Buddha Dhamma dan Pancasila Negara. Sebagai majelis
yang menaungi umat Buddha Theravada di Indonesia,
Majubuthi merupakan organisasi yang bersifat kerukunan
yang menjalankan fungsi memberikan bimbingan, tuntunan
dan menghimpun serta mengarahkan kehidupan beragama
untuk umat Buddha Theravada sesuai ajaran Agama Buddha
dengan
kepribadian
Indonesia.
(http://www.walubi.or.id/majelis/majelis_majubuthi.shtml. 9
Mei 2015).
Sebelum terbentuknya Majubuthi, telah ada satu
organisasi berbentuk LSM yang dinamakan Pervitubhi atau
Persaudaraan Vihara Umat Buddha Indonesia yang lahir pada
tanggal 30 November 1999 dan merupakan cikal bakal
Majubuthi. Pervitubhi didirikan oleh para tokoh agama
Buddha dari mazhab Theravada yang berkeinginan untuk
tetap berada dalam tubuh Walubi pasca keluarnya Magabudhi
atau Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia dari
Walubi. Kekosongan majelis Theravada dalam organisasi
Walubi tersebut mendorong para tokoh agama Buddha
mazhab Theravada yang tetap ingin berada dalam Walubi
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
365
melahirkan keputusan untuk melebur Pervibuthi menjadi
Majubuthi pada tanggal 19 April tahun 2000 di Bandung.
Perubahan nama ini selain disebabkan oleh kedudukan
Pervitubhi sebagai LSM juga disebabkan adanya persyaratan
keanggotaan Walubi bahwa anggota Walubi harus merupakan
majelis-majelis agama Buddha (Romo Rubi Santamoko, Wakil
Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Penjelasan
mengenai syarat keanggotaan Walubi tersebut sebagaimana
termaktub dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga
Walubi yang berbunyi: “Anggota WALUBI terdiri dari
Majelis-Majelis Agama Buddha dan Lembaga Keagamaan
Buddha yang bertaraf nasional.” (AD-ART Walubi Bab VII
Pasal 12).
Dalam pendirian Majubuthi, tokoh tokoh agama
Buddha yang berperan dalam pendirian tersebut antara lain:
Romo Soedjito Kusumo Kartiko, Romo Anton Setiawan,
Murdaya Widyawimarta Poo dan beberapa tokoh agama
Buddha Theravada perwakilan dari daerah Jakarta,
Pekanbaru, Jambi, Manado, Tangerang dan Bandung.
Pertemuan di Bandung pada tanggal 19 April 2000 tersebut
dalam sejarah pendirian Majubuthi dikenal dengan sebutan
Konsensus yakni sebuah kesepakatan peleburan nama
Pervitubhi menjadi Majubuthi sekaligus memutuskan Romo
Soedjito Kusumo Kartiko sebagai ketua umum DPP
Majubuthi. Sedangkan tokoh-tokoh yang menjadi tim
perumus selama Konsensus itu berlangsung antara lain Romo
Rubi Santamoko, Leo Kristi, Eeng, Antonio dan beberapa
tokoh lain dalam mazhab Buddha Theravada di Indonesia.
(Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi.
Wawancara. 5 Mei 2015).
366
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Selain faktor-faktor di atas, pendirian Majubuthi
merupakan imbas dari adanya keputusan Ibu Hartati
Murdaya selaku ketua umum Walubi mengubah kata
“perwalian” dalam akronim Walubi menjadi “perwakilan”
(Romo Yura, Ketua DPC Walubi Kota Tangerang. Wawancara.
8 Mei 2015). Perubahan kata “perwalian” menjadi
“perwakilan” tersebut telah membuka kesempatan kepada
orang biasa untuk menjadi pengurus Walubi. Adapun konflik
Walubi dengan KASI dikarenakan ada kelompok di Sangha
yang menginginkan kepimpinan Walubi (Romo Rubi
Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei
2015). Adanya peristiwa ini menyebabkan Majelis Agama
Buddha Theravada Indonesia atau Magabudhi keluar dari
keanggotaan Walubi dan bergabung dengan Konferensi
Agung Sangha Indonesia. Dengan keluarnya Magabuthi yang
bermazhab Theravada, maka terjadi kekosongan representasi
Theravada dalam organisasi Walubi yang pada akhirnya
mendorong para tokoh Buddha Theravada di Indoonesia yang
masih ingin bergabung dalam Walubi membentuk Majubuthi
atau Majelis Umat Buddha Theravada di Indonesia serta
mengisi kekosongan tersebut dengan masuk dalam
keanggotaan Walubi (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi
Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015).
Perubahan kata “perwalian” menjadi “perwakilan”
memang menjadi hal yang sangat kontroversial dalam internal
Buddha di Indonesia. Perwakilan Umat Buddha Indonesia
(Walubi) yang dibentuk di era reformasi, tidaklah sama
dengan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi),
walaupun menggunakan singkatan yang sama. Perwalian
Umat Buddha Indonesia yang didirikan pada bulan Mei tahun
1979 oleh 3 (tiga) Sangha dan 7 (tujuh) majelis agama Buddha
(organisasi umat Buddha awam) merupakan wadah tunggal
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
367
yang didesign mencakup semua organisasi umat Buddha
Indonesia, tetapi Perwakilan Umat Buddha Indonesia yang
didirikan pada bulan Desember tahun 1998 hanyalah
organisasi umat Buddha awam. Karena itu kemunculan
Dewan Sangha dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia
tidak dapat dibenarkan, sebab tidak sejalan dengan ketentuan
dalam Kitab Suci Tripitaka. Kemunculan Dewan Sangha
Walubi di samping telah melanggar aturan Kitab Suci, juga
telah menjadikan adanya bhiksu dan bhiksuni di luar KASI,
walaupun mayoritas bhiksu dan bhiksuni Indonesia (95 %)
tergabung dalam KASI. Sebaliknya pembubaran Walubi
(Perwalian) dan pembentukan Walubi (Perwakilan) yang
penuh kontroversi serta sikap Walubi (Perwakilan) yang tidak
menghormati keberadaan KASI, telah mengakibatkan Walubi
(Perwakilan) dianggap tidak mendapat dukungan dari
mayoritas umat Buddha kendati Walubi (Perwakilan)
beranggotakan
banyak
majelis
agama
Buddha
(http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8212.15.
14
Mei 2015).
Selanjutnya terkait dengan perkembangan Majubuthi
di Indonesia dan Kota Tangerang, sejak didirikan pada tahun
2000, perkembangan Majubuthi relatif kurang berkembang
dengan baik dan bahkan dalam hal kepemimpinan pun Romo
Sujito terlalu lama memimpin organisasi Majubuthi. Namun
demikian, kondisi ini – sebagimana diungkapkan oleh Romo
Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi, lamanya masa
kepemimpinan tersebut bukan karena tidak ingin melakukan
regenerasi tetapi lebih pada alasan pembenahan di internal
dan pilihan para elit Majubuthi untuk fokus mendirikan
yayasan pendidikan Dharma Widya sebagai yayasan yang
mengelola TK, SD, SMP, SMK dan Sekolah Tinggi Agama
Buddha Dharma Widya di Tangerang.
368
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Perkembangan dan kemajuan ini merupakan dampak
positif dari reformasi yang terjadi di tubuh Majubuthi yang
dimulai pada tahun 2012. Pada tahun ini, Majubuthi
melakukan reformasi diri setelah mengalami masa vakum
yang cukup panjang. Bahkan tahun 2012 dianggap oleh
kalangan internal Majubuthi sebagai tahun kebangkitan
Majubuthi secara organisasi. Kemajuan ini kemudian
berdampak pula pada pengembangan keorganisasian yakni
dengan adanya pembentukan kepengurusan di 14 Provinsi
yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY
Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bangka
Belitung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Di 14 provinsi
tersebut juga sudah terbentuk kepengurusan cabang di Kota
Kabupaten.
Di samping itu, saat ini Majubuthi memiliki 387
Romo/Pandita di seluruh Indonesia, dan paling banyak
terdapat di Propinsi Banten yakni 52 Romo/Pandita dan
sebagian besar ada di Kota Tangerang. Adapun jumlah Vihara
Majubuthi di Kota Tangerang ada sekitar 10 vihara dan ada 60
Vihara yang dibina Majubuthi di wilayah Tangerang Raya.
Namun, terkait dengan jumlah Umat Buddha yang tergabung
ke dalam Majubuthi, hingga saat ini tidak pernah ada data
valid mengenai jumlah tersebut dan ini diakui merupakan
kelemahan umat Buddha secara keseluruhan termasuk di
Majubuthi yang tidak mempunyai data valid mengenai
keanggotaan. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya
melakukan pendataan tersebut dikarenakan umat Buddha
yang mengikuti peribadatan di Vihara yang dimiliki dan
dibina oleh Majubuthi tidak selalu merupakan anggota
Majubuthi, melainkan dari kalangan mazhab yang berbeda
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
369
pun seringkali beribadah di vihara Majubuthi (Romo Rubi
Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei
2015)
Ajaran dan Peribadatan
Ajaran Pokok umat Buddha Majubuthi tidak berbeda
dengan sebagian besar pemeluk agama Buddha yang
menjadikan Tripitaka sebagai sumber ajaran pokok. Ajaran
utama dari kitab Tripitaka meliputi 3 inti ajaran sang Buddha
yaitu tidak berbuat jahat, memperbanyak perbuatan baik,
menyucikan hati dan fikiran.
Ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga
ajaran pokok, yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Ajaran
tentang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan
asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup
pada perkembangan. Ajaran tentang Buddha berkaitan pula
dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu ciri ajaran
semua agama. Ajaran tentang Damma banyak membicarakan
tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam
hidupnya baik yang berkaitan dengan ciri manusia itu sendiri
maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan
alam semesta dengan segala isinya. Ajaran tentang Sangha
sebagai pasamuan para bikshu juga berkaitan dengan umat
yang menjadi tempat para bikshu menjalankan dhammanya.
Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan
dan kesetiaan mereka kepada Buddha, dhamma, Sangha, dan
dalam satu rumusan kuno yang sederhana namun menyentuh
hati, yang terkenal dengan nama Tiratana yang berasal dari
bahasa Pali yang artinya satu bagian terpenting dan yang
370
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
menjadi dasar agama Buddha. Tiratana berasal dari dua
kata Ti yang berarti tiga dan Ratana yang berarti permata arti
keseluruhannya adalah tiga permata mulia, yang maksudnya
adalah tiga Perlindungan, rumusan tersebut berbunyi:
Buddha Saranam Gaccami – Aku berlindung kepada
Buddha; Dhamma Saranam Gaccami – Aku berlindung
kepada Dhamma; Sangha Saranam Gaccami – Aku
berlindung kepada Sangha
Permata yang pertama adalah Buddha yaitu seseorang
yang mencapai penerapan yang sempurna dengan
kemampuan sendiri tanpa bantuan dari makhluk-makhluk
lain. Ia mempunyai kemampuan untuk menguraikan dan
membabarkan penyatuan kepada makhluk-makhluknya.
Permata yang kedua adalah Dhamma yaitu ajaran-ajaran yang
diberikan
dan
dibabarkan
Sang
Buddha
untuk
mencapai Nibbana. Permata yang ketiga adalah Ariya Sangha
yaitu persaudaraan para pengikut sang Buddha yang telah
melaksanakan dhamma dengan sempurna dan yang telah
mencapai magga (jalan) dan phala (hasil) dapat juga dikatakan
persaudaraan para pengikut sang Buddha yang telah
mencapai tingkatan tingkatan kesucian baik tingkatan
pertama (sota panna) orang yang telah mencapai tujuh kali
kelahiran, kedua (saka dagami) orang yang telah mencapai lima
kali kelahiran, ketiga (anagani) orang yang telah mencapai satu
kali kelahiran, maupun yang keempat (arahat) orang yang
tidak sama sekali mengalami kelahiran (Romo Andreas, Ketua
DPW Majubuthi Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015).
Dalam hal peribadatan, umat Buddha Majubuthi
melaksanakan peribadatan di Vihara: Membaca Parita
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
371
(membaca doa Tripitaka), Meditasi (menyucikan hati dan
fikiran), berdana/beramal. Selain aktifitas peribadatan
tersebut, dilaksanakan pula kebaktian umum untuk semua
usia, sekolah minggu untuk anak anak, kebaktian remaja,
meditasi pagi dan pujabhakti, pujabhakti sore dan meditasi
sore. Peribadatan ini tidak hanya dilakukan di vihara tetapi
juga terdapat peribadatan doa pagi, doa malam yang
dilakukan di rumah serta melakukan ibadah pujabhakti untuk
pemberkatan rumah, kelahiran, kematian dan pada saat akan
membuka usaha.
Secara runut peribadatan di Vihara terdiri atas: 1).
Menghormat kepada Buddha Dharma dan Sangha; 2).
Mengukuhkan keyakinan dengan membaca Parita; 3).
Mengulang ikrar bertekad melaksanakan Pancasila (tidak
membunuh, tidak mengambil barang yang tidak diberikan,
melatih diri menghindari perbuatan asusila, menghindari
ucapan tidak benar/ berbohong, tidak mengonsumsi minuman
atau makanan yang melemahkan kesadaran); 4). Membaca
Parita tentang 9 keagungan Buddha; 5). Membaca Parita
keagungan Dhamma; 6). Membaca Parita para Sangha (para
bikkhu); 7). Membaca Parita pernyataan kebenaran; 8).
Membaca tentang Manggalasuta tentang berkah utama; 9).
Membaca aturan tentang cinta kasih termasuk terhadap
mahluk setan; 10). Membaca Parita tentang pelimpahan jasa
(Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten;
Romo Nanda, Pengurus Vihara Shidarta Milik Majubuthi dan
Ketua Majubuthi Kota Tangerang Selatan. Wawancara. 2 Mei
2015).
Simbol simbol yang terdapat dalam keyakinan mazhab
Majubuthi antara lain: bendera warna warni sebagai
372
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
perlambang bahwa umat Buddha Majubuthi siap
melaksanakan dhamma/ajaran. Warna tersebut terdiri atas
warna biru bermakna bakti; kuning bermakna bijaksana;
merah bermakna cinta kasih; putih bermakna suci dan jingga
bermakna semangat (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi
Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015). Di samping itu, di
vihara vihara Majubuthi pada umumnya terdapat rupang
Brahma dan rupang Dewi Kwan Im. Adanya rupang Dewa
Brahma tersebut bukan dalam rangka memuja melainkan
menghormati Brahma karena telah berjasa dalam
menerangkan ajaran Buddha yang menjadi ajaran yang
dijalankan oleh umat Buddha. Dasar argumentasi
penghormatan tersebut mengacu pada Kitab Tripitaka Parita
Manggalasuta Bait ke-4 yang berbunyi: “Hormatilah siapapun
yang patut dihormati” (Romo Sriyono, Sekretaris DPW
Majubuthi Propinsi Banten; Romo Nanda, Pengurus Vihara
Shidarta Milik Majubuthi dan Ketua Majubuthi Kota
Tangerang Selatan. Wawancara. 2 Mei 2015). Perbedaan
lainnya yang nampak adalah pada warna seragam yang
dipakai oleh para romo yaitu cokelat muda yang awalnya
berwarna cokelat tua. Perubahan warna tersebut didasari oleh
semangat era kebangkitan Majubuthi.
Adapun hari raya suci yang dirayakan oleh Umat
Buddha Majubuthi kurang lebih sama dengan mazhab lainnya
dalam agama Buddha yaitu merayakan Hari Raya Suci
Waisak, Magapuja, Khatina, Asadha. Upacara Keagamaan
lainnya yaitu acara pelimpahan jasa kepada leluhur lewat
Patidana sebuah upacara menggabungkan tradisi dengan
agama serta menyajikan sesaji makanan untuk leluhur
kemudian didoakan Bikkhu.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
373
Selanjutnya mengenai perbedaan dengan mazhab
lainnya, terdapat beberapa perbedaan di antaranya:
Theravada dan Mahayana berbeda dalam perayaan hari suci
Waisak. Untuk Mahayana misalnya diperingati dengan
memandikan rupang Shidahrta Kecil (patung). Selain itu,
Majubuthi memberikan kelonggaran bagi mereka yang ingin
bergabung sebagai romo, sedangkan di mazhab lain ada
kriteria yang ketat untuk menjadi romo yaitu harus menjadi
Upacarika lalu di test untuk menjadi romo/Pandita.
Sedangkan di Majubuthi hal tersebut tidak dilakukan
karena para pengurus Majubuthi berpikir bahwa setelah
mereka memiliki keinginan maka pengurus Majubuthi akan
melakukan pembekalan dan pendidikan. Oleh karena itu,
Majubuthi merupakan era baru dalam rekrutmen rohaniwan
dan bahkan dianggap terlalu mudah dalam melakukan proses
rekrutmen. Hal semacam ini di Magabudhi pun tidak
dilakukan padahal notabene sesama mazhab Theravada. Apa
yang dilakukan oleh Majubuthi ini membawa haluan baru dan
ketertarikan baru di kalangan generasi muda yang ingin
menjadi romo/pandita (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua
DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015).
Perbedaan lainnya adalah dari segi tata cara kebaktian
meskipun tidak berbeda dengan mazhab lainnya dalam
Buddha, namun intonasi dan pelafalan pembacaan doa
terdapat sedikit perbedaan. Selain itu ada beberapa peraturan
khusus untuk setiap Sanghanya: Untuk Theravada termasuk
Majubuthi ada 227 Peraturan kehidupan, sedangkan mazhab
Mahayana ada 356 aturan yang harus dipegang dan
dilaksanakan oleh para Sangha (Romo Sriyono, Sekretaris
DPW Majubuthi Propinsi Banten. Wawancara. 2 Mei 2015).
374
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Kegiatan Majubuthi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Majelis
Umat Buddha Theravada Indonesia atau Majubuthi sejak
tahun 2000 mulai melakukan reformasi melalui upaya
pembenahan internal organisasi dan pembentukan perwakilan
di wilayah wilayah dan cabang di beberapa provinsi,
kota/kabupaten di Indonesia termasuk di Kota Tangerang.
Oleh karena itu, di Kota Tangerang pun telah dibentuk
kepengurusan yang diketuai oleh Romo Ridwan selaku tokoh
yang dianggap sesepuh bagi umat Buddha Majubuthi
khususnya di Provinsi Banten.
Hal yang menarik dalam proses pergantian
kepemimpinan di organisasi Majubuthi adalah pergantian
kepemimpinan melalui mekanisme pembentukan yang
hampir tidak menimbulkan gesekan sama sekali di internal
Majubuthi. Hal ini berbeda dengan organisasi lain di mana
proses suksesi kepemimpinan melalui mekanisme pemilihan
yang relatif berlangsung dinamis dan kompetitif. Peneliti
berpandangan bahwa proses ini terjadi dikarenakan
minimnya ketertarikan umat Buddha Majubuthi untuk terlibat
aktif dalam struktur organisasi. Selanjutnya, secara struktur
organisasi, selain Majubuthi merupakan bagian dari
organisasi Walubi, juga berkiblat pada Organisasi Sangha
Thervada Thailand. Ini berbeda dengan sesama majelis
bermazhab Theravada lainnya yaitu Magabudhi yang
berkiblat pada Sangha Theravada Indonesia.
Dalam hal keanggotaan, meskipun ada etnis Jawa yang
menjadi umat Buddha Majubuthi, tetapi sebagian besar adalah
berlatar belakang Tionghoa. Adapun kegiatan pembinaan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
375
yang rutin dilakukan oleh Majubuthi adalah melalui kegiatan
sekolah Minggu dan kebaktian anak-anak dan remaja. Selain
itu secara rutin dilakukan kegiatan upgrading untuk para
romo/pandita yang mengabdi di vihara vihara yang dimiliki
dan dibina oleh Majubuthi. Kegiatan pembinaan pun tidak
sebatas itu, Majubuthi juga terus melakukan pembinaan
dengan cara mendorong umat untuk terlibat aktif dalam
setiap upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh Majubuthi
sebagai bagian dari penanaman dan penguatan nilai-nilai dan
ajaran Buddha (Romo Taram, Ketua Majubuthi Kabupaten
Tangerang/Plt
Pembimas
Buddha
Kota
Tangerang.
Wawancara. 8 Mei 2015).
Sedangkan dalam hal pendanaan, pada umumnya
dalam setiap kegiatan termasuk honor para pandita, sebagian
besar diperoleh dari umat dan pengurus Majubuthi yang
memberikan donasi kepada Vihara yang dimiliki dan dibina
oleh Majubuthi yang statusnya otonom tidak bersifat hierarkis
di bawah struktur Majubuthi. Namun demikian, pemerintah
juga tetap memberikan perhatian dalam bentuk bantuan dana
untuk kegiatan upacara keagamaan yang diselenggarakan
oleh Majubuthi meskipun bantuan tersebut tidak bersifat rutin
dan periodik (Romo Yura, Ketua DPC Walubi Kota
Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Untuk kegiatan sosial,
Majubuthi rutin menyelenggarakan kegiatan sosial dalam
bentuk bakti sosial dan santunan.
Selanjutnya dalam hal relasi umat Buddha Majubuthi
dengan mazhab yang berbeda dan umat pemeluk agama lain
termasuk dengan masyarakat berlangsung baik dan harmonis.
Sejauh ini dengan majelis lain tidak ada masalah dan hidup
saling hormat menghormati. Bahkan untuk pembangunan
376
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
vihara pun tidak menemui kendala berarti. Kasubag TU
Kementerian Agama Kota Tangerang. Wawancara. 4 Mei
2015).
Relasi yang tidak harmonis justeru berlangsung di
internal, terutama dengan sesama mazhab Theravada yaitu
Magabudhi.
Magabudhi
bahkan
pernah
memasang
label/plang Sangha dari Magabudhi di vihara vihara yang
diklaim sebagai binaan Magabudhi meskipun sekarang sudah
berubah. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan
eksistensi mereka dan untuk menutup Majubuthi masuk ke
dalam vihara mereka. Saat itu bahkan Majubuthi dicap
sebagai kelompok sempalan. Selain pemasangan plang
tersebut, juga pernah terjadi pelarangan kepada romo/pandita
Majubuthi untuk melakukan pembabaran Dharma di vihara
yang dibina oleh Magabudhi (Romo Rubi Santamoko, Wakil
Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Hal yang
sama juga dialami Romo Taram, Ketua Majubuthi Kabupaten
Tangerang/Plt
Pembimas
Buddha
Kota
Tangerang
(Wawancara. 8 Mei 2015).
Analisis
Dari uraian di atas jelas bahwa relasi antar umat
beragama khususnya kalangan pemeluk agama Buddha
dengan umat agama lain berlangsung baik dan hampir tidak
pernah terjadi gesekan maupun konflik terbuka. Begitupun
halnya dalam intern Buddha antara Majubuthi yang
bermazhab Theravada dengan mazhab lain yang berbeda.
Justeru yang terjadi adalah relasi yang kurang harmonis
terjadi di internal mazhab Theravada di Indonesia yakni
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
377
antara umat Buddha Majubuthi dengan Magabudhi meskipun
relasi yang kurang harmonis ini hanya terjadi di level elit
mengingat di level akar rumput hampir tidak memikirkan
soal perbedaan mazhab terlebih lagi perbedaan organisasi.
Gambaran potensi konflik semacam ini tentu penting
untuk menjadi informasi yang bisa menguatkan hipotesis
bahwa tidak mesti konflik terjadi disebabkan oleh perbedaan
agama maupun perbedaan mazhab, karena faktanya terjadi
bahwa di internal mazhab/aliran tertentu pun potensi konflik
terjadi akibat adanya perbedaan cara pandang dan penafsiran
misalnya dalam hal dihadirkannya rupang Brahma dan Dewi
Kwan Im di Vihara Majubuthi yang mendapat respon kurang
positif dari kalangan Magabudhi (Irwan, Umat Buddha
Magabudhi. Wawancara. 8 Mei 2015). Peristiwa kurang
harmonisnya elit Majubuthi dengan Magabudhi yang tidak
bisa dilepaskan dari peristiwa perpecahan di internal agama
Buddha di Indonesia antara tokoh tokoh Walubi dengan
Konferensi Agung Sangha Indonesia.
Sedangkan potensi konflik di internal Majubuthi,
berdasarkan hasil observasi dan wawancara, dapat
dikemukakan bahwa potensi konflik di internal Majubuthi
nyaris tidak ada dan bahkan justeru sebaliknya, mereka satu
sama lain bekerjasama membangun dan menguatkan
organisasi dan kiprah Majubuthi di kalangan umat Buddha
dan masyarakat pada umumnya. Hal menarik yang dapat
dijadikan sebagai referensi untuk menguatkan hal tersebut
adalah pada peristiwa suksesi kepemimpinan di Majubuthi
baik di tingkat Dewan Pimpinan Pusat maupun Wilayah dan
Cabang. Tidak ada proses pemilihan yang dinamis dan
kompetitif sebagaimana terjadi di organisasi pada umumnya
378
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
di Indonesia. Tentu akan berbeda apabila Majubuthi sudah
menjelma menjadi organisasi yang relatif besar dalam arti
pengaruh dan posisi tawar politik di hadapan publik
meskipun Majubuthi bukan merupakan organisasi politik
maupun organisasi keagamaan yang terstigma sebagai
organisasi keagamaan yang cenderung politis. Oleh karena
itu, perlu dilakukan kegiatan kegiatan yang lebih menguatkan
kebersamaan di internal mazhab Theravada antara Majubuthi
dan Magabudhi meskipun saat ini konflik konflik semacam itu
tidak terjadi dan masih bersifat laten dan tidak bersifat
terbuka. Inisiatif itu perlu dilakukan oleh pemerintah dalam
hal ini adalah Kementerian Agama melalui Pembimas
Buddha.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
379
380
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut: Pertama, lahirnya Majubuthi merupakan implikasi
perpecahan di internal Walubi. Kedua, potensi konflik di
kalangan umat Buddha sesungguhnya terjadi tidak seperti
asumsi yang berkembang selama ini bahwa pemeluk agama
Buddha kecil kemungkinannya terlibat dalam konflik
meskipun berlangsung diam diam dan tidak bersifat konflik
terbuka khususnya di kalangan internal mazhab Theravada
yakni Magabudhi dan Majubuthi. Ketiga, ajaran pokok dan
tata cara peribadatan semua mazhab pada umumnya sama,
yang membedakan hanyalah intonasi, tata cara pelafalan,
simbol simbol dan perlakuan terhadap tradisi Tionghoa dan
Hinduisme. Keempat, dalam penelusuran jumlah anggota
majelis termasuk jumlah pemeluk agama Buddha selain
terkendala oleh tidak adanya data base yang akurat di
pembimas Buddha juga disebabkan oleh perilaku beribadat
umat Buddha yang tidak terpaku pada satu vihara dan
mazhab tertentu.
Atas dasar kesimpulan tersebut maka penelitian ini
menghasilkan beberapa rekomendasi antara lain: Pertama,
Ditjen Bimas Buddha perlu melakukan pendataan dan
pemutakhiran data umat Buddha dan jika mungkin pendataan
anggota majelis agama Buddha secara baik dan akurat agar
diperoleh keterangan jumlah umat. Kedua, pemerintah perlu
membuat program yang lebih menekankan pada dukungan
pemerintah terhadap kegiatan keagamaan umat Buddha dan
kepada para rohaniwan yang telah berbakti bagi umat Buddha
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
381
yang pada umumnya lebih berorientasi pada kepedulian
membabarkan Dharma Buddha. Ketiga, perlu diselenggarakan
kegiatan kegiatan yang intensif untuk membangun
kebersamaan di kalangan umat Buddha baik di internal
mazhab maupun dari berbagai mazhab yang berbeda.
382
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul. Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia.
Jakarta: Pen Dian, 1998.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Nusantara. Bandung: Mizan,
2004.
Buddisme in Indonesia”. Buddha
Association, 2005. Diakses
“
Dharma Education
2006-10-03.
Nahrawi, Nahar. Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan
Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam
(dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di
Indonesia). Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2006.
“
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut.”
Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2010.
Raho, Bernard Raho SVD. Agama dalam Perspektif Sosiologi.
Jakarta: Penerbit Obor, 2013.
"Buddhism in Indonesia". Buddha Dharma Education
Association. Buddha Dharma Teitaro Suzuki, Daisetz.
“Agama Buddha Mahayana.” Terj. Hastiati. Beatrice
Lane. Jakarta: Karania Dharma Universal Untuk
Semua, 2009.
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/.
maret 2015
23
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha. 30 Januari 2015
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
383
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha. 30 Januari 2015.
http://www.geocities.com/budicentre. 30 Februari 2015.
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia. 23 Maret
2015
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agamabuddha-dan-perkembangannya-di-indonesia
http://study-budhisme.blogspot.com/p/blog-page_5576.html
384
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
10
MAJELIS BUDDHA SOKA GAKKAI
DI INDONESIA
Oleh:
Syaiful Arif
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
385
386
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
PENDAHULUAN
Soka Gakkai Indonesia (SGI) adalah cabang dari Soka
Gakkai Internasional. Ia merupakan perkumpulan umat
Buddha Jepang yang mengembangkan ajaran Buddhisme
Nichiren dan pemikiran serta gerakan perdamaian dari
Presiden Ke-3 Soka Gakkai Internasional, Daisaku Ikeda.
Nama Soka Gakkai berarti perkumpulan pencipta nilai.
Awalnya ia merupakan perkumpulan pendidikan pencipta
nilai yang didirikan oleh Tsunesaburo Makiguchi (1871-1944)
pada 1930 di Jepang. Perkumpulan ini mengembangkan
pendidikan bagi para guru agar menggunakan pendekatan
pengajaran pencipta nilai (soka) sebagai alternatif bagi
pendidikan indoktrinasi yang dipaksakan oleh kekaisaran
Jepang. Perkenalan Makiguchi dengan ajaran Buddhisme
Bikhu Nichiren membuat ia menggeser arah perkumpulan ini
dari pendidikan kepada penyebaran agama Budhha.
Ajaran Nichiren sendiri merupakan upaya reformatif
sebagai bagian dari kontekstualisasi Buddhisme Sakyamuni ke
kehidupan modern. Aspek reformatifnya terletak pada
pemahamannya atas keinginan, yang dalam Buddha
konvensional dimaknai sebagai penyakit yang harus
dihilangkan. Namun dalam pandangan Nichiren, ia
merupakan potensi bagi pencerahan. Sebab praktik spiritual
yang baik tidak terletak pada penghapusan keinginan yang
merupakan sifat dasar manusia. Melainkan mengolahnya
menjadi energi positif yang bermanfaat bagi sesama.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
387
SGI merupakan perkumpulan umat dan tidak memiliki
struktur kebikhuan. Ini merupakan kritik mereka atas peran
sentral bikhu di dalam agama Buddha yang telah
menciptakan struktur hirarkis. Ini juga berdampak pada
penempatan Sakyamuni yang dipahami sebagai guru, bukan
dewa yang disakralkan. Inti ajaran mistiknya terdapat pada
kalimat Nam Myoho Renge Kyo, yang merupakan alih bahasa
Jepang dari judul kitab Buddha, Saddhama Pundarika Sutra
(Sutra Bunga Teratai). Makna dari kalimat tersebut berarti
ketaatan terhadap hukum mistik. Kalimat ini menjadi mantra
suci yang dilafadzkan ketika sembahyang di hadapan
Gohonzon, sebuah objek suci tempat peribadatan.
Sebagai perkumpulan umat, SGI mengembangkan tiga
program yang telah dipraktikkan secara global. Yakni
perdamaian, kebudayaan dan pendidikan. Pada ranah
perdamaian, gerakan SGI merujuk pada Proposal Perdamaian
(Peace Proposal) yang ditulis Daisaku Ikeda dan disampaikan
kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setiap tanggal 26
Januari, tanggal kelahiran Soka Gakkai Internasional. Dalam
kaitan ini, gagasan perdamaian Ikeda memuat tiga tawaran;
transformasi internal yang bersifat psikis, dari pribadi
konfliktual menjadi pribadi yang damai, dialog peradaban
lintas agama, bangsa dan ideologi, serta kewargaan global
yang lahir dari kesadaran global akan urgensi perdamaian
dunia. Sedangkan untuk kebudayaan dan pendidikan, SGI
mengembangkan apresiasi budaya lokal serta pendidikan
berbasis perdamaian.
Dengan demikian, SGI merupakan perkumpulan
Buddhis yang mengedepankan tindakan aktif bagi penciptaan
perdamaian, kebudayaan dan pendidikan. Ia tidak hanya
388
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
perkumpulan ibadah, melainkan gerakan
berbasis nilai-nilai spiritual Buddhisme.
kemanusiaan
Penelitian tentang Soka Gakkai Indonesia ini merupakan
bagian dari penelitian tentang Majelis-majelis Agama Buddha
di Indonesia yang diadakan oleh Puslitbang Kehidupan
Kegamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia pada tahun 2015. Ruang lingkupnya di
DKI Jakarta sebagai representasi kepengurusan pusat SGI.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
389
390
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah Soka Gakkai
Soka Gakkai Indonesia (SGI) merupakan organisasi umat
awam Buddhisme Nichiren Daishonin. Ia merupakan anggota
dari Soka Gakkai Internasional yang lahir di Jepang.
Secara historis, Soka Gakkai bermula pada tahun 1930
sebagai sebuah kelompok studi para pendidik reformis. Sang
pendiri Tsunesaburo Makiguchi (1871-1944) adalah seorang
penulis dan pendidik, terinspirasi oleh Buddhisme Nichiren
Daishonin dan sepenuh hati mendedikasikan diri untuk
mengubah sistem pendidikan Jepang. Teorinya tentang
pendidikan penciptaan nilai yang kemudian ia terbitkan
dalam bentuk sebuah buku pada tahun 1930, dipusatkan pada
kepercayaan akan potensi tak terhingga dari setiap individu
dan menganggap pendidikan sebagai pencarian seumur
hidup akan kesadaran diri, kearifan dan perkembangan.
Penekanan Makiguchi tentang cara berpikir yang
mandiri daripada cara belajar tanpa berpikir, dan motivasi diri
daripada kepatuhan yang membabi buta, secara langsung
telah menantang penguasa di Jepang saat itu yang
menganggap
peranan
pendidikan
hanyalah
untuk
membentuk orang-orang yang patuh terhadap negara.
Tahun 1930-an adalah masa bangkitnya nasionalisme
militeristik di Jepang yang kemudian memuncak pada
keterlibatannya dalam Perang Dunia II. Pemerintah militer
Jepang memaksa seluruh warganya untuk memeluk Shinto
sebagai cara untuk memuliakan perang agresinya, dan
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
391
mengambil tindakan keras terhadap segala bentuk
penentangan. Makiguchi dan rekan terdekatnya Josei Toda
(1900-1958), menolak untuk mengkompromikan kepercayaan
maupun memberikan dukungan kepada rezim militer.
Akibatnya, mereka ditangkap dan dipenjara pada tahun 1943
sebagai "penjahat pemikiran."
Meskipun berbagai upaya dilakukan untuk membujuk
agar ia melepaskan prinsipnya, Makiguchi tetap berpegang
teguh pada keyakinannya dan meninggal dalam penjara pada
tahun 1944. Josei Toda selamat dari siksaan penjara dan
dibebaskan beberapa minggu sebelum perang berakhir. Di
tengah-tengah kebingungan pasca perang Jepang, ia memulai
pembangunan kembali Soka Gakkai dan memperluas misinya
dari bidang pendidikan ke perbaikan masyarakat secara
keseluruhan. Ia mempromosikan sebuah bentuk Buddhisme
yang aktif dan bergerak dalam masyarakat sebagai cara
pemberdayaan diri, yakni sebuah cara untuk mengatasi
rintangan-rintangan dalam kehidupan dan membuka
harapan, keyakinan, keberanian dan kebijaksanaan dalam diri
seseorang. Pesan ini bergema terutama di masyarakat Jepang
yang telah kehilangan hak bersuara. Sebelum Toda wafat pada
tahun 1958, organisasi ini memiliki sekitar satu juta anggota.
Penerus Toda, Daisaku Ikeda, berusia 32 tahun sewaktu
ia menjadi presiden Soka Gakkai ketiga pada tahun 1960. Di
bawah kepemimpinan Ikeda, organisasi ini terus berkernbang
dan memperluas visinya. Untuk menanggapi keperluan akan
semakin meningkatnya keanggotaan internasional, Soka
Gakkai Internasional (SGI) didirikan pada tahun 1975. Atas
dukungan semua anggota, pada tahun 1979, SGI menjadi
anggota NGO (non-governmental organization) di Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB),
berusaha
sekuat
tenaga
392
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
mempromosikan berbagai kegiatan perdamaian, kebudayaan
dan pendidikan, dan karenanya mendapatkan perhatian dan
pujian besar dari banyak kalangan di dunia. Sejak tahun 1983,
PBB
menganugerahkan
“Penghargaan
Perdamaian,"
"Penghargaan Kemanusiaan," dan gelar "Duta Perdamaian"
kepada Presiden SGI Daisaku Ikeda atas kontribusinya dalam
mempromosikan perdamaian.
Sebagai seorang aktivis dan filsuf Buddhis, Presiden SGI
Daisaku Ikeda telah mengadakan diskusi-diskusi mengenai
perdamaian, hak asasi manusia, peran agarna dalam
masyarakat, astronomi, hingga kekuatan budaya dengan
tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai negara. Antara lain
sejarawan Inggris (Arnold J.Toynbee)106, penerima dua hadiah
Nobel (Dr. Linus Pauling), mantan presiden Rusia (Mikhail
Gorbachev), pendiri Klub Roma(Aurelio Peccei), sastrawan
China (Jin Yong), direktur pertama Institut Toda untuk
Penelitian Kebijakan dan Perdamaian Dunia (Dr. Majid
Tehranian)107, dan mantan presiden ke-4 Republik Indonesia
(KH Abdurrahman Wahid)108. Dialog-dialog tersebut beserta
karya lainnya telah diterbitkan dalam lebih dari 32 bahasa di
seluruh dunia dan banyak digunakan sebagai buku pelajaran
ataupun bahan penelitian di berbagai tingkat institusi
pendidikan.
Untuk memperingati hari berdirinya SGI, setiap tahun
pada 26 Januari, Presiden Ikeda memberikan proposal yang
106 Arnold Toynbee dan Daisaku Ikeda, Choose Life, A Dialogue,
Oxford University Press, 1976.
107 Daisaku Ikeda dan Majid Tehranian, Jalan Sutra Baru, Dialog
Kreatif Islam-Buddha, Jakarta: Mizan, 2010.
108 Daisaku Ikeda dan Abdurrahman Wahid, Dialog Peradaban untuk
Toleransi dan Perdamaian, Jakarta: Gramedia, 2010
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
393
menyoroti inisiatif-inisiatif perdamaian kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa.109 Pada tanggal 1 Januari 2005, Dekade
Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Program
Dunia untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia dari PBB
dimulai.Kedua tema tersebut merupakan proposal yang
dibuat oleh Presiden Ikeda.
Kini, SGI merupakan sebuah jaringan global dengan 90
organisasi konstituen dan anggota di 192 negara dan wilayah
yang berbagi sebuah visi bersama, yakni sebuah dunia yang
lebih baik. Gelombang humanisme dan pasifisme yang
ditimbulkan SGI sedang mengalir menuju dunia yang luas
dengan penuh optimisme.
Sokka Gakkai Indonesia
Di Indonesia, Soka Gakkai Indonesia (SGI) didirikan
pada tanggal 13 Juli 2004. Ia memiliki tujuan mempraksiskan
nilai-nilai Buddhisme dalam kehidupan modern, terutama
dalam konteks penguatan nilai-nilai kemanusiaan pada level
nasional dan global. Organisasi ini mendasarkan paham
teologisnya pada pemikiran dan praktik Budhisme Nichiren
Daishonin (1222-1282).
SGI merupakan anggota Soka Gakkai Internasional yang
kini dipimpin oleh Daisaku Ikeda, presiden ketiga SGI setelah
presiden pertama, Tsunesaburo Makiguchi (1871-1944) dan
kedua, Josei Toda (1990-1958). Soka Gakkai Internasional
109 Salah dua dari proposal perdamaian tersebut ialah; (1) A Shared
Pledge for A More Human Future: to Eliminate Misery from the Earth, 26 Januari
2015; (2) Penciptaan Nilai untuk Perubahan Global: Membangun Masyarakat yang
Berdaya Lenting dan Berkelanjutan, 26 Januari 2014.
394
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
sendiri didirikan pada 1975 di bawah kepemimpinan Daisaku
Ikeda.
SGI bukan majelis Buddha, melainkan organisasi umat
awam Buddha yang lahir dari pemberontakan Nichiren atas
sistem kebhikuan Buddha. Tanah kelahirannya di Jepang, dan
merupakan salah satu sekte atau aliran dari Buddha
Mahayana. Sebagai organisasi awam, SGI konsen dengan tiga
pilar gerakan, yakni perdamaian, kebudayaan, dan
pendidikan.
Prinsip yang melatari gerakan SGI ini tidak jauh beda
dengan tradisi Mahayana. Yakni, pertama, keyakinan akan
adanya potensi kebuddhaan di setiap manusia. Dalam hal ini,
SGI menolak sistem kebhikuan karena telah mengasingkan
Buddhisme dari masyarakat. Kedua, pemahaman akan
pencerahan Buddhis yang harus bersifat sosial kemanusiaan.
Ini memang merupakan perdebatan lama antara aliran
Teravada dan Mahayana, di mana Mahayana memahami
proses kembalinya Sang Buddha ke tengah masyarakat,
setelah mengalami pencerahan di bawah Pohon Bodhi,
sebagai tugas Buddhisme yang sejati. Maka konsen SGI tidak
semata penyebaran agama, perawatan umat, pelaksanaan
ritual, melainkan kerja kemanusiaan secara global, lintas
agama, etnis dan bangsa.
Organisasi ini berkantor pusat di Jalan Angkasa Blok B
15 Kav. 5 Bandar Kemayoran, Jakarta, dengan nama Pusat
Kebudayaan Soka Gakkai. Saat ini SGI dipimpin oleh Peter
Nurhan (Ketua Umum), Kurniawan Sugiarto (Sekretaris
Jenderal), L. Teddy Wijaya (Bendahara), Magalena Polim
(Kabid. Organisasi) dan Tetsuji Taguchi (Kabid.Penelitian dan
Pengembangan). Ini merupakan jajaran pengurus periode
2012-2015.Di dalam struktur organisasi, terdapat enam macam
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
395
divisi yang mewakili empat unsur keanggotaan serta
pendidikan, yakni Divisi Ibu, Divisi Bapak, Divisi Pemuda,
Divisi Pemudi, Divisi Mahasiswa dan Divisi Pelajar.
Organisasi ini juga memiliki dewan pembina, meliputi; Bikhu
Yang Arya Bhiku Satushi Watanabe, Toen Pontoh, Shinji
Ushioda, Makoto Tsusumi dan Gouw Sok Hun. Di sini terlihat
bahwa meskipun SGI menolak sistem kebhikuan, namun ia
tetap menempatkan Bikhu Watanabe sebagai Dewan Pembina.
Ini merupakan peraturan Direktorat Jenderal Bimas Buddha
Kementerian Agama RI yang harus dipatuhi.110
Pembumian Buddhisme ke dalam kerja kemanusiaan
global ini didasarkan pada Tiga Hukum Rahasia Agung yang
tersirat di dalam Bab ke-16 Saddarma Pundarika Sutra, yakni
Mandala Agung dari Ajaran Pokok, Mantra Agung dari
Ajaran Pokok, Altar Sila dari Ajaran Pokok harus
disebarluaskan dalam masa Mutakhir Dharma, di mana tugas
penyebarluasan Dharma “Tiga Hukum Rahasia Agung”
diserahkan kepada Bodhisatva Visistakarita seperti yang
tertera dalam Bab ke-21 Saddharma Pundarika Sutra. Dalam Bab
ke-23 juga dinyatakan, “Memasuki 500 tahun kelima setelah
kemoksaan Sang Buddha, laksanakanlah penyebarluasan
Dharma dan jangan membiarkan aliran penyebarluasan ini
terhenti.
Sumber ajaran atau kitab suci SGI ialah Gosho, yang
ditulis oleh Buddha Pokok Nichiren, yang tertuang dalam
kumpulan lengkap Gosho. Kumpulan ini dihimpun oleh Soka
Gakkai dan diedit oleh Nichiko Hori, Bhikku tertinggi ke-59
yang merupakan sejarawan terkemuka Buddhisme Nichiren
Daishonin.
Wawancara dengan Antonius Polim, Ketua DPP SGI DKI Jakarta
pada 19 April 2015
110
396
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Komunitas penganut Buddhisme Nichiren yang
tergabung dalam jaringan SGI saat ini telah mencapai lebih
dari 12 juta anggota di 192 negara dan wilayah. Bagi anggota
SGI, Buddhisme adalah suatu filsafat praktis tentang
pemberdayaan diri dan perubahan internal seseorang yang
memungkinkan orang tersebut rnengembangkan diri dan
bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.111
Buddhisme Nichiren sendiri diperkenalkan ke Indonesia
di tahun 1960-an. Kata "Soka" yang berarti "mencipta nilai"
secara tepat memperkenalkan nilai dasar dan prinsip Buddhis
tentang pengarahan kehidupan seseorang ke arah yang baik
dan positif. Pada skala yang lebih besar, kata "Soka"
mencerminkan komitmen organisasi untuk menyumbang
pada kebaikan masyarakat.
Gerakan Soka Gakkai Indonesia berakar pada filsafat
penguat jiwa yang diajarkan oleh Nichiren. Ajaran Nichiren
menegaskan bahwa setiap individu, tidak peduli apapun ras,
jenis kelamin, kapasitas atau kedudukan sosialnya, memiliki
kekuatan untuk mengatasi tantangan yang tak terelakkan
dalam kehidupan, kekuatan untuk mengembangkan
kehidupan yang berdaya cipta dan bernilai tinggi, dan
kekuatan untuk memberikan pengaruh positif pada
komunitas, masyarakat dan dunia.
Filsafat Nichiren berasal dari ajaran Sakyamuni, yakni
pendiri Buddhisme yang berdasarkan catatan sejarah hidup di
India sekitar 2,500 tahun lalu. Nichiren menemukan bahwa
Sutra BungaTeratai mengandung inti ajaran Buddha dan
kebenaran yang disadari Sakyamuni. Sutra ini mengungkapkan
Wawancara
Organisasi 22 April 2015
111
dengan
Magdalena
Polim,
Kepala
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Bidang
397
bahwa sebuah asas universal yang disebut sifat Buddha
terdapat di dalam semua kehidupan. Asas ini menegaskan
bahwa semua orang bisa mencapai pencerahan.
Nichiren sangat merasakan bahwa Buddhisme seharusnya
memungkinkan orang-orang yang hidup dalam dunia nyata
dan yang sedang menghadapi masalah nyata memperoleh
kekuatan untuk mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.
Buddhisme Nichiren menekankan hubungan yang mendalam
di antara kebahagiaan diri sendiri dengan kebahagiaan orang
lain. Kepuasan dan pencapaian terbesar dalam kehidupan diri
sendiri diwujudkan melalui perjuangan untuk kebahagiaan
orang lain.
Nichiren mengajarkan bahwa kata-kata dari judul Sutra
Bunga Teratai, yakni Myoho-Renge- Kyo, yang mengandung
kebenaran universal yang disadari Sakyamuni. Dengan
menyebut Nam-myoho-renge-kyo dan mengarahkan diri
dalam kepercayaan dan pelaksanaannya, maka setiap orang
dapat merasakan dan mewujudkan sifat Buddha dalam
kehidupannya sendiri.112
Saat ini, penyebutan Nam-myoho-renge-kyo dan
pembacaan bagian dari Sutra BungaTeratai serta pembelajaran
ajaran Buddha merupakan pelaksanaan dasar atau ritual bagi
anggota SGI di seluruh dunia. Pada pertemuan diskusi rutin,
teman-teman dan para tamu saling bertukar pikiran, harapan,
masalah, dan pengalaman dari kepercayaan dan pelaksanaan
Buddhis diri masing-masing. Mereka juga mempelajari
prinsip-prinsip Buddhisme dan bagairnana menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
112
Wawancara dengan Peter Nurhan, Ketua Umum SGI pada 14
April 2015
398
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Konsep-konsep
rneliputi;
kunci
dalam
Buddhisme
Nichiren

Martabat bawaan dan saling keterkaitan antar semua
kehidupan.

Kekekalan jiwa.

Kesatuan antara kehidupan dan lingkungannya.

Pengembangan potensi tak terbatas dari setiap individu
melalui sebuah proses reformasi atas motivasi diri sendiri
atau yang disebut dengan "revolusi manusia" baru.
Filsafat inti dari SGI dapat disimpulkan dengan konsep
"revolusi manusia" yang berarti perubahan dalam diri
seseorang atas motivasinya sendiri akan memberikan
pengaruh positif terhadap jaringan kehidupan yang lebih
besar.113 Proses reformasi diri yang dinamis; dari ketakutan
menjadi keyakinan, dari penghancuran menjadi daya cipta,
dari kebencian menjadi welas asih; dan peremajaan
masyarakat yang dihasilkan inilah yang membentuk inti dari
visi SGI akan sebuah dunia yanq damai.
Tujuan akhir dari Buddhisme dan SGI adalah
terciptanya sebuah dunia yang damai. Untuk itu, Soka Gakkai
Indonesia aktif sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan
113 Buku Revolusi Manusia Baru memiliki 22 Jilid dan diterjemahkan
oleh Soka Gakkai Indonesia pada 2012. Meliputi: Bab 1, Matahari Terbit, Bab
2, Dunia Baru, Bab 3, Musim Gugur Keemasan, Bab 4, Cahaya Welas Asih, Bab 5,
Para Pelopor, Bab 6, Barisan Depan, Bab 7, Pelatihan, Bab 8, Upaya Penuh
Keberanian, Bab 9, Panji-panji Rakyat, Bab 10, Penyebaran Ke Arah Barat, Bab
11, India, Bab 12, Sang Buddha, Bab 13, CahayaPerdamaian, Bab 14,
BadaiMusimSemi, Bab 15, Kemenangan, Bab 16, Daun-daun Baru, Bab 17, Rissho
Ankoku, Bab 18, Cahaya Agung, Bab 19, Membuka Jalan, Bab 20, Kegembiraan,
Bab 21, Kemenangan Nan Jaya, dan Bab 22, Singa.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
399
yang mempromosikan perdamaian, kebudayaan dan
pendidikan.Kegiatan yang diadakan berbeda-beda sesuai
dengan kebutuhan dan prioritas daerah setempat serta
budaya dan keadaan masyarakatnya.
Gerakan perdamaian, kebudayaan dan pendidikan SGI
didasarkan pada asas penghormatan terhadap martabat
kehidupan yang merupakan ajaran kunci dalam filosofi
Buddhisme. Konsep perdamaian yang dianut SGI bukanlah
sekedar tidak adanya konflik bersenjata. Perdamaian adalah
sebuah proses yang dinamis dan interaktif di mana
kecenderungan perusakan diri yang mengakar diarahkan
pada tujuan yang kreatif dan konstruktif. Untuk mencapai
tujuan ini, SGI mempromosikan pertukaran di bidang
pendidikan dan kebudayaan.
Presiden SGI Daisaku Ikeda melibatkan dirinya dalam
pertukaran persahabatan, bertemu dengan para pemimpin
dunia, ilrnuwan dan sarjana untuk membahas berbagai isu
mendesak yang berkaitan dengan perdamaian dan umat
manusia. Upaya untuk mencapai visi SGI akan sebuah dunia
yang damai tetah mendorongnya untuk mendirikan beberapa
institusi yang didedikasikan pada pertukaran perdamaian,
kebudayaan dan pendidikan.
Institusi-institusi yang didirikan Presiden SGI untuk
tujuan dialog lintas budaya dan perdamaian di antaranya
adalah: Pusat Penelitian Boston untuk Abad 21 (1993), yang
berubah menjadi Pusat Ikeda untuk Perdamaian,
Pernbelajaran, dan Dialog pada tahun 2009, dengan tujuan
memajukan dialog antar ilmuwan dan aktivis mengenai nilai
universal dari semua budaya dan agama untuk mendukung
pengembangan etika global demi perdamaian abad 21; dan
Institut Toda untuk Penelitian Kebijakan dan Perdamaian
400
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Dunia (1996) yang focus pada dialog internasional dalam
empat tema utama, yakni Keamanan Umat Manusia dan
Sistem Pemerintahan Global, Hak Asasi Manusia dan Etika
Global, Keadilan Sosial dan Ekonomi Global, serta Identitas
Budaya dan Warga Dunia.
Institusi kebudayaan yang didirikan Ikeda antara lain
Asosiasi Konser Min-On (1963) yang merupakan salah satu
promotor musik terbesar di Jepang dengan pertukaran musik,
tari, dan seni pertunjukan bersama kelompok-kelompok dari
80 negara termasuk Indonesia, dan Museum Seni Fuji di
Tokyo (1983) yang memamerkan berbagai harta warisan
budaya dunia pada publik selain koleksinya sendiri yang
berjumlah lebih dari 25.000 karya seni.
Di bidang pendidikan, Ikeda mendirikan Sistem
Pendidikan Soka yang mencakup taman kanak-kanak hingga
program pascasarjana.Taman kanak-kanak Soka juga telah
dibuka di Singapura, Malaysia, Hong Kong, Korea Selatan dan
Brasil. Universitas Soka yang didirikan pada tahun 1971 di
Jepang memiliki program pertukaran dengan lebih dari 90
institusi pendidikan tinggi di seluruh dunia termasuk
Universitas Indonesia.Universitas Soka Amerika yang
memiliki dua kampus di Amerika Serikat, rnemberikan
program bahasa dan seni liberal yang berfokus pada studi
masalah global dan kondisi umat rnanusia. Selain itu, Ikeda
juga mendirikan Institut Filosofi Oriental (1962) dengan
cabang-cabangnya di Inggris, Perancis, Rusia, Hongkong dan
India, bertujuan memperkenalkan warisan kekayaan filosofi
Asia ke seluruh dunia.114
Profil Soka Gakkai Indonesia, Mengejar Perdamaian, Jakarta: SGI,
2013, h., 5-15
114
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
401
Ajaran Pokok
Sebagai bagian dari Soka Gakkai Internasional, SGI
mendasarkan pemikiran dan praktik keagamaannya dari
Buddhisme Nichiren Daisonin yang mengacu pada
Buddhisme aktif dalam kerangka Buddhisme awam. Ini
merupakan prinsip utama Buddha Mahayana yang berbeda
dengan tradisi Teravada.
Hal ini nampak jelas dari tujuan akhir pencerahan
spiritual yang berbeda. Bagi Buddhisme Teravada atau
tradisional,
pencerahan
Buddhistik
merujuk
pada
ketidakmelekatan atas dunia. Ini merujuk pada hilangnya
keinginan (tanha) yang merupakan sumber penderitaan
(dukha). Sedangkan bagi SGI, pencerahan Buddhistik merujuk
pada kebahagiaan sebagai pemutarbalikan penderitaan. Ini
merupakan sikap optimis dalam memandang dunia,
keinginan dan penderitaan, karena selayak Bunga Teratai
yang menjadi simbol spiritualitasnya: kebaikan bisa lahir dari
keburukan. Bunga Teratai yang indah itu, tumbuh di atas
lumpur.
Untuk menjelaskan hal ini, perlulah kiranya berangkat
dari doktrin awal Buddha yang merupakan pusat dari semua
ajarannya, yakni kebenaran tentang penderitaan atau yang
terkenal dengan empat penderitaan universal; kelahiran, usia
tua, penyakit dan kematian. Ini empat fenomena yang ditemui
oleh Buddha Sakyamuni ketika keluar dari istana. Inti dari
empat penderitaan universal ini ialah, bahwa penderitaan
telah melekat begitu manusia lahir. Ketika semua kebahagiaan
ternyata bersifat sementara; usia muda, kesehatan dan hidup
itu sendiri, manusia mengalami penderitaan akibat keinginan
yang bertentangan dengan kesementaraan kebahagiaan. Di
teks lain, penderitaan atau dukha tidak hanya merujuk pada
402
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
penderitaan fisik atau emosional, melainkan penderitaan
spiritual akibat tertutupinya potensi pencerahan manusia.
Artinya, setiap manusia sebenarnya memiliki potensi untuk
tercerahkan (kebuddhaan). Namun akibat dominasi
keinginan, ia berada dalam kegelapan.
Dari sini Buddha kemudian menetapkan empat
kebenaran mulia sebagai obat bagi empat penderitaan
universal. Pertama, kebenaran penderitaan, yakni kebenaran
akan penderitaan yang inheren di dalam setiap keberadaan
atau eksistensi sebagaimana dijelaskan oleh doktrin empat
penderitaan universal. Kedua, kebenaran asal penderitaan,
yang merujuk pada keinginan mementingkan diri sendiri
demi kebahagiaan duniawi yang bersifat sementara. Ketiga,
kebenaran lenyapnya penderitaan, yakni pemadaman
keinginan yang mementingkan diri sendiri akan berujung
pada lenyapnya penderitaan. Keempat, kebenaran jalan menuju
lenyapnya penderitaan.
Jalan pelenyapan penderitaan ini memuat delapan jalan
Buddha yang meliputi; (1) pengertian benar, yang didasarkan
pada empat kebenaran mulia serta pemahaman Buddhisme
yang tepat, (2) pikiran benar atau penguasaan akal, (3) ucapan
benar, (4) perbuatan benar, (5) penghidupan benar yang
didasarkan pada pemurnian pikiran, ucapan dan perbuatan,
(6) usaha benar untuk menuntut Dharma sejati, (7) perhatian
benar, selalu menyimpan pandangan yang benar dalam akal,
dan (8) konsentrasi yang benar.
Hanya saja bagi SGI, empat kebenaran mulia dan
delapan jalan Buddha hanya bisa dilakukan melalui
asketisisme keras dengan menjadi biksu. Ini disebabkan oleh
penempatan dunia dan keinginan sebagai hal buruk yang
harus dihilangkan. Artinya, pencerahan dan keinginan beradu
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
403
secara biner. Dari sini Buddhisme tradisional mensyaratkan
pelenyapan sama sekali keinginan melalui praktik asketik
kebikhuan.
Ini yang tidak bisa diterima oleh SGI berdasarkan
pemikiran Nichiren. Sebab penghapusan sama sekali
keinginan, bukan hanya mustahil tapi juga meniadakan sifat
dasar manusia sekaligus potensi kebijaksanaan yang ada di
dalamnya.115 Dalam tradisi Buddhisme Madhyamika yang
digagas oleh filsuf Buddhis India, Nagarjuna, asketisisme
keras dipahami sebagai ekstrimitas yang sebenarnya telah
dilampaui oleh Sakyamuni sendiri. Dari sini lahirlah prinsip
jalan tengah (the middle way) yang berada di antara ekstrim
asketisisme dan hedonisme. Ini ditemukan oleh Sakyamuni
ketika melihat senar dawai, yang bisa berbunyi dalam
keadaan pertengahan antara ketegangan dan kelenturan.116
Di sisi lain, praktik asketik yang mensyaratkan
kebikhuan dinilai tidak sesuai dengan kehidupan umat awam
yang hidup dalam keseharian duniawi. Dus, SGI, sebagaimana
tradisi Mahayana lain, mengritik praktik kebikhuan yang
memisahkan Buddhisme dari masyarakat. Oleh karena SGI
mendefinisikan diri sebagai organisasi Buddha umat awam,
maka para pemimpinannya membumikan nilai-nilai
Buddhisme agar aplikatif bagi umat awam. Dari sinilah lahir
doktrin teologis yang berbeda dengan Buddhisme tradisional,
termasuk ajaran original Sakyamuni. Perbedaan ini bersumber
dari ijtihad Nichiren Daisonin yang telah merevisi Buddhisme
115 Daisaku Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, Jakarta: Ufuk
Publishing, 2011, h., xi-xxxiv
116 Hsueh-Li Cheng, Empty Logic, Madhymika Buddhism from Chinese
Sources, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers PUT.LTD, 1991, h., 33-35
404
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
agar kontekstual di dalam apa yang mereka sebut, masa
Dharma Akhir.
C.1. Sepuluh Dunia
Inti dari ajaran keagamaan SGI dalam rangka
Buddhisme aktif ialah sistem filsafat "tiga ribu fenomena
dalam sekejap". Sistem ini dikembangkan oleh teoritikus
Buddha Cina abad keenam, T'ien-t'ai yang didasarkan pada
Sutra Bunga Teratai. Dalam bahasa Jepang, "tiga ribu
fenomena dalam sekejap" dikenal sebagai ichinen sanzen.
Ichinen merujuk pada pikiran sekejap atau sekejap hidup yang
menunjukkan sifat atau realitas hakiki yang muncul pada
setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sanzen
berarti tiga ribu yang mengacu pada banyaknya hukum yang
mengatur berbagai fenomena yang menjadi jalan bagi
terwujudnya realitas hakiki tersebut. Dalam konteks inilah
Sakyamuni disebut juga sebagai Tathagata (Ia yang Datang).
Artinya, Ia yang muncul dari kebenaran saat demi saat.
Angka tiga ribu diambil dari pengalian prinsip-prinsip
pembentuk ichinen sanzen, yang meliputi: Sepuluh Dunia, atau
kondisi hati di mana setiap dunia memiliki sembilan faktor
selain dunia itu sendiri sehingga secara keseluruhan menjadi
seratus; sepuluh faktor yang dianugerahkan kepada masingmasing dari seratus dunia ini, sehingga secara keseluruhan
menjadi seribu faktor; dan tiga alam eksistensi tempat masingmasing seribu faktor bergerak sehingga mencapai total tiga
ribu. Berikut deskripsi pengaliannya:
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
405
Tiga Ribu Fenomena
Berasal dari perhitungan berikut:
10 (Sepuluh Dunia) x 10 (Sepuluh Dunia) x 10 (Sepuluh Faktor)
x (Tiga Alam) = 3000 Fenomena
Hidup pada setiap saat mewujudkan salah satu dari Sepuluh Dunia. Tiap-tiap dunia ini
menyimpan potensi kesepuluh-puluhnya di dalam dirinya sendiri atau saling mencakupi,
sehingga menghasilkan seratus kemungkinan dunia. Masing-masing dari seratus dunia
memiliki sepuluh faktor, sehingga menghasilkan seribu faktor atau potensi.
Dan keseribunya bekerja dalam tiga alam eksistensi sehingga menghasilkan tiga ribu
fenomena dalam sekejap.
Dalam kaitan ini, Sepuluh Dunia yang sebenarnya
merupakan sepuluh tahapan kondisi dan kualitas jiwa secara
rinci bisa dipahami sebagai berikut: (1) Dunia Neraka, yakni
dunia yang paling bawah dan gelap. Kata neraka berasal dari
Sansekerta, naraku yang berarti penjara bawah tanah. Ia
melambangkan kondisi hati yang berisi kemarahan yang
merupakan salah satu dari Tiga Racun. Dalam dunia ini,
manusia mengalami penderitaan yang sangat akut. (2) Dunia
Kelaparan atau arwah kelaparan, berasal dari kata Sansekerta,
preta yang berarti si mati yang senantiasa mengalami
kelaparan. Manusia yang berada di dunia ini mengalami
penderitaan karena dikuasai oleh keserakahan yang
merupakan salah satu dari Tiga Racun.
(3) Kebinatangan atau dunia binatang. Sebuah kondisi di
mana manusia hanya menuruti naluri karena tidak memiliki
akal budi dan moralitas. Dunia kebinatangan berisi
kebodohan yang merupakan salah satu dari Tiga Racun.
Dengan demikian, terdapat Tiga Racun jiwa yang
menempatkan manusia berada di tiga dunia terbawah;
406
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kemarahan, kerakusan dan kebodohan. Dunia neraka,
kelaparan dan kebinatangan dikenal sebagai tiga jalan
kejahatan. (4) Dunia kemarahan, berasal dari kata Sansekerta,
asura. Awalnya di India kuno, asura melambangkan dewadewa pengasih. Namun dalam mitologi selanjutnya, dewadewa tersebut dipandang sebagai iblis-iblis yang
berpenampilan manis namun berhati busuk.
Lalu berturut-turut; (5) Dunia kemanausiaan yang telah
mampu mengendalikan keinginan melalui nalar; (6) Surga, di
mana manusia telah mendapatkan kenikmatan material dan
spiritual; (7) Pendengar ajaran, di mana seorang murid
Buddha telah menyadari kefanaan segala sesuatu serta
ketidakstabilan keenam jalan; (8) Kesadaran, di mana murid
Buddha telah menyadari sebab musabab kehidupan melalui
pemahamannya sendiri; (9) Bodhisattva, ketika seorang murid
telah memiliki welas asih dan sikap alturisme, dan akhirnya
(10) Kebuddhaan yang merupakan puncak dari prestasi
spiritual, di mana seorang manusia telah mengalami
kebahagiaan absolut dan tidak terpengaruh oleh perubahan
keadaaan.
Secara umum, kondisi kebuddhaan ini merujuk pada:
"Keadaan welas asih tak terhingga, suatu kemurnian hidup
yang menyeluruh dan abadi, serta kebebasan absolut di mana
manusia memiliki kearifan untuk mengenali kebenaran hakiki
kehidupan. Manusia mencapai kondisi ini dengan
mewujudkan sifat Buddha yang inheren di dalam diri".117
117
Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, h., 139-167
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
407
Nam-Myoho-Renge-Kyo
Dari pembahasan tentang garis besar pandangan
spiritual Buddhisme Nichiren yang dianut oleh SGI, kita
sampai pada inti dari doktrin spiritual yang sekaligus
menggambarkan praktik ritual dan kitab sucinya. Inti dari
semua itu terletak pada kalimat Nam-myoho-renge-kyo.
Kalimat di atas merupakan bahasa Jepang dari judul
salah satu Kitab Tripitaka, Saddharma Pundarika Sutra atau
"Sutra Bunga Teratai Hukum yang Luar Biasa". Dengan
demikian, kalimat Nam-myoho-renge-kyo merupakan judul
(daimoku) yang sekaligus menggambarkan intisari ajaran dan
realitas hakiki yang diajarkan oleh Saddharma Pundarika Sutra.
Pemikiran Nichiren tentang Nam-myoho-renge-kyo
sekaligus menandai perbedaan ajaran sekaligus kitab sucinya
dari para guru besar Buddha terutama Sakyamuni. Sebab
sebagaimana dijelaskan oleh presiden kedua Soka Gakkai,
Josei Toda, terdapat tiga macam Saddharma Pundarika Sutra
yang mewakili tiga guru dan tiga masa. Pertama, Saddharma
Pundarika Sutra dari Sakyamuni yang berisi 28 bab dan
diajarkan di masa kehidupan Sakyamuni serta menandai
zaman Awal Dharma. Kedua, Saddharma Pundarika Sutra dari
Tien Tai, yakni Maka Shikan yang diajarkan pada masa
Pertengahan Dharma.
Ketiga, Saddharma Pundarika Sutra Nichiren Daishonin
yang diajarkan untuk masa Akhir Dharma. Dalam masa Akhir
Dharma ini, Nichiren telah membuang "yang umum" dan
"yang besar" dari Saddharma Pundarika Sutra karena telah
menemukan intisari dari Saddharma yang merupakan judul
dari kitab suci itu sendiri, yakni Myoho-Renge-Kyo. Sebenarnya
408
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kalimat ini terdapat dalam bab "Panjang Usia Sang Tathagata",
salah satu bab dari Saddharma Pundarika Sutra.118
Dalam kaitan ini, Nam-myoho-renge-kyo merujuk pada
pengabdian atas hukum mistik yang mewakili semua nilai
dalam Saddharma Pundarika Sutra sekaligus realitas absolut
yang ada di dalamnya. Kalimat ini merupakan gabungan
antara kata Sansekerta Namu, dan bahasa Cina, Myoho-RengeKyo. Kata namu berarti pengabdian, baik kepada hukum
maupun orang yang merepresentasikan hukum tersebut,
yakni Buddha Sakyamuni maupun Nichiren Daishonin.
Ketika kata namu bertemu dengan kata berawalan 'm' (myoho),
ia menjadi 'nam'.
Sedangkan myoho berarti hukum mistik. Hukum (ho)
atau realitas hakiki digambarkan sebagai mistik (myo), karena
berada di luar konsepsi dan formulasi akal manusia. Realitas
ini mendalam tak terhingga. Di sisi lain, myo menunjukkan
sifat dasar pencerahan (kebuddhaan), sedangkan ho
menunjukkan kegelapan atau khayalan yang berada pada
sembilan dunia sebelum dunia kebuddhaan. Kesatuan
khayalan dan pencerahan disebut myoho atau hukum mistik.
Sementara itu, renge berarti bunga teratai. Ada dua
makna kenapa SGI dan Sang Buddha menjadikan teratai
sebagai simbol bagi intisari ajarannya. Pertama, bunga teratai
tumbuh di atas lumpur. Ini menunjukkan prinsip utama
Buddhisme Nichiren bahwa sifat buruk manusia bisa diolah
menjadi sifat-sifat baik. Pencerahan bisa lahir tidak dari
118 Daisaku Ikeda, Ceramah Bab Upaya Kausalya dan Bab Panjang Usia
Sang Tathagata dari Saddharma Pundarika Sutra, Jakarta: Yayasan Buddhis
Saddarma Pundarika Indonesia, 2001, h., 8-10
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
409
peniadaan keinginan, namun justru berangkat darinya melalui
pengolahan-pengolahan spiritual. Kedua, teratai ialah bunga
yang berbuah dan berbunga pada saat yang sama. Berbeda
dengan tanaman lain yang berbuah dan berbunga secara
bergantian. Ini menggambarkan prinsip Buddha bahwa sebab
dan akibat hadir bersamaan dalam kebenaran Buddhisme.
Dijelaskan bahwa bila sebuah tangan menyentuh Sutra Bunga
Teratai, pada saat itu juga ia menjadi seorang Buddha.
Demikian pula jika seseorang melantunkan Nam-myoho-rengekyo, mulut itu sendiri ialah Buddha. Sedangkan kyo ialah sutra
atau suara. Karena Sakyamuni mengajarkan ajarannya melalui
suara (berkhotbah), maka kyo berarti kata, ujaran, bunyi dan
suara semua makhluk hidup.119
Dalam
praktiknya,
kalimat
Nam-myoho-renge-kyo
dilantunkan pada saat melaksanakan ritual di hadapan
Gohonzon. Sebuah altar pemujaan yang di dalamnya terdapat
satu kertas bertulis nam myoho renge kyo. Pelaksanaan ritual
ini tidak memiliki penjadwalan baku, hanya secara umum
dilakukan setiap pagi dan malam atau ketika anggota SGI
datang ke kantor SGI. Selain pelantunan nam myoho renge
kyo dengan menggunakan tasbih, ritual SGI juga merujuk
pada pembacaan dua bab dari Saddarma Pundarika Sutra,
yakni Bab Upaya Kausalya yang berisi potensi kebuddhaan
pada setiap manusia dan makhluk. Serta Bab Panjang Usia
Sang Tathagata yang berisi keabadian jiwa manusia.120
119
Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, h., 235-259
Wawancara dengan Kurniawan Sugiarto, Sekretaris Jenderal SGI
pada 22 April 2015
120
410
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Kegiatan-kegiatan
Rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan oleh SGI
antara lain: Pameran Lukisan Anak-anak Sedunia, Peluncuran
Piagam Bumi di Indonesia dalam Rangka Konferensi Komite
Persiapan Ke-4 untuk KTT Bumi tentang Pembangunan PBB
di Bali, Festival Kebudayaan Asia Pertama untuk Perdamaian,
Youth Concert for Peace sekaligus pengumpulan dana untuk
korban Tsunami Aceh, pameran foto Dialogue with Nature,
Religious Art Festival for Peace yang bekerjasama dengan
Nahdlatul Ulama (NU) dan KNPI, Festival Kebudayaan untuk
Perdamaian di Jambi, Batam, Tangerang dan Karawang.
Selain kegiatan di atas, sejak tahun 2006, Divisi Ibu SGI
secara rutin mengadakan Konferensi Perdamaian Wanita
setiap tahun baik di tingkat nasional maupun lokal. Divisi
Mahasiswa juga telah melaksanakan Pameran Tokoh-tokoh
Perdamaian Dunia dan juga Pameran Benih-benih Harapan
bagi generasi muda.
Dalam kalaedoskop kegiatan SGI, beberapa kegiatan lain
meliputi:
1.
Kursus pelatihan dengan tema, Matahari Kebahagiaan
Menuju Josho Indonesia" pada tanggal 1516 September
2012 di Jakarta. Pelatihan yang diikuti oleh 222 pemudi
dari 10 daerah ini bertujuan memperkuat persaudaraan di
antara Divisi Pemudi SGI seindonesia, disamping
memperdalam
pemahaman
terhadap
Buddhisme
Nichiren Daishonin dan tugas jiwa anggota grup Ikeda
Kayokai.
2.
Perayaan Tahun Baru 2012 oleh seluruh anggota SGI.
Perayaan ini diadakan di Bali, Chiku Cisarua-Bogor,
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
411
Batam, Bekasi, Jakarta, Karawang, Jambi, Palembang,
Pontianak, Surabaya, Semarang, Pematang Siantar,
Tanjung Balai Karimun, Tangerang dan Yogyakarta.
Lokasi perayaan ini juga menggambarkan wilayah
persebaran SGI di Indonesia.
3.
Pertemuan Hari Guru dan Murid pada 3 Juli 2013 di
kaikan Tanjung Pinang. Pertemuan ini merupakan
konsolidasi SGI seluruh Indonesia dan dihadiri oleh
perwakilan Soka Gakkai International, Singapore Soka
Association (SSA), Soka Gakkai Malaysia, dan perwakilan
shibu-shibu di Indonesia.
4.
Penyelenggaraan Soka Anak Wilayah Puncak pada 30
Juni 2013 di Mall Bekasi Square. Acara ini merupakan
peringatan Hari Anak Nasional. Acara dihadiri oleh 383
orang, 147 diantaranya anak-anak.
5.
Festival Kebudayaan dan Pameran Edukatif untuk
Perdamaian pada 12 Oktober 2014 di Gedung Istora
Senayan, Jakarta. Festival ini menyajikan karya seni
anggota SGI berbasis ragam kesenian di Indonesia dengan
melibatkan para pekerja seni dan lembaga seni budaya di
luar agama Buddha. Aksi kesenian tersebut meliputi;
Persatuan Insan Kolintang Nasional, Paduan Suara SGI,
Tari Kipas Gagah Perkasa (Divisi Bapak SGI), Group
Angklung Bugenvil (Divisi Ibu SGI), Tari KontemporerTitik Harapan (Generasi SGI dan Institut Seni Indonesia),
Tari Lenggang Nyai (Lembaga Kebudayaan Betawi), Tari
Merak (SGI), Tarian Pelangi Harapan (Divisi Anak SGI),
Tari Jaipong Kelangan (Institut Seni Budaya IndonesiaBandung), Tari Tradisional Papua (Generasi Muda SGI-
412
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Semarang), Tari Kolaborasi Melayu (SGI-Kepulauan
Riau), Genderang Langit (Divisi Pelajar SGI), Young Lion
Gymnastic (Divisi Pemuda SGI), serta Dinamic Dance
(Divisi Pemudi SGI).
6.
Banten Youth Culture Festival for Peace pada 20 Oktober
2013 di Banten. Acara dihadiri 2100 pengunjung dan 300
panitia. Menampilkan Kolaborasi Musik Koto dari Soka
Gakkai International dan musik tradisional Kolintang,
Rampak Bedhug, Lenggang Cisadane, Kalangkangan,
modern dance, Dynamic Dance dan Kumitaiso.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
413
414
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Soka Gakkai Indonesia merupakan organisasi keumatan
dan bukan kebikhuan Buddha. Hal ini sebagai kritik atas
sistem kebikhuan yang dianggap menciptakan struktur
umat hirarkis. Kritik ini juga menandai ciri utama dari
Buddha Mahayana yang lebih mengedepankan pelayanan
umat dan kemanusiaan, daripada praktik asketik terisolasi
berbasis otoritas bikhu.
2. Soka Gakkai Indonesia sebagai cabang dari Soka Gakkai
Internasional mengembangkan tiga gerakan Buddhisme
untuk dunia. Pertama, perdamaian berbasis gerakan
perdamaian yang diprakarsai oleh Daisaku Ikeda di
kancah global. Kedua, dialog lintas agama, suku dan
peradaban demi menjalin toleransi serta perdamaian.
Ketiga, pendidikan yang merupakan program awal
pendirian Soka Gakkai. Di Indonesia, Soka Gakkai belum
mendirikan lembaga pendidikan sebagaimana terjadi di
Jepang dan AS yang telah mendirikan Soka University.
3. Gerakan perdamaian Soka Gakkai Indonesia strategis bagi
pengembangan kerukunan umat beragama. Apalagi
gerakan ini telah dikembangkan pada level internasional,
sehingga memiliki modal besar untuk diterapkan di
Indonesia.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
415
B.
Rekomendasi
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pemikiran
Buddhisme
yang
mengembangkan
kemanusiaan,
perdamaian, kebangsaan dan toleransi. Ini akan
melahirkan visi Buddhisme tentang kerukunan agama di
Indonesia. Posisi Daisaku Ikeda sebagai pemikir dan
penulis produktif tentang tema-tema perdamaian, strategis
bagi pengembangan penelitian ini.
2. Kalangan agamawan non-Buddhis perlu menjalin
hubungan dengan Soka Gakkai Indonesia mengingat
organisasi ini memiliki jaringan internasional kuat.
Organisasi yang mengedepankan paham keagamaan
moderat ini tentu strategis bagi moderasi kehidupan
keagamaan di Indonesia secara umum.
3. Pemerintah perlu menyambut baik agenda perdamaian
yang dikembangkan Soka Gakkai, karena secara umum,
kalangan Buddhis di Indonesia belum begitu nampak di
ruang publik kebangsaan dan keumatan di republik ini.
416
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
11
PAHAM BUDDHAYANA DAN TANTANGANNYA
DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh:
Zaenal Abidin Eko Putro
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
417
418
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
I
PENDAHULUAN
Umat Buddha di Lampung ternyata telah mengalami
transformasi dari identitas sebelumnya. Hal ini tentu sebuah
fakta yang wajar dalam ranah kehidupan social ketika
identitas ternyata sangat dibutuhkan demi kelangsungan
hidup dan masa depan. Identitas individu terkadang tidak
lebih penting dari identitas kelompok. Tidak terlalu
berlebihan jika umat Buddha di Lampung mengalami
penguatan identitas kelompok atau identitas social pada era
ketika tekanan dari luar kelompok begitu gencar.
Identitas sosial (social identity) berpatokan pada
individu-individu
yang
berangkat
dan
mempunyai
pandangan yang sama bahwa mereka berada dalam kesamaan
kategori sosial. Melalui perbandingan sosial dan proses
kategorisasi, orang-orang yang sama dikategorikan dalam
kesamaan kelompok (ingroup). Sebaliknya, orang yang
berbeda dikategorikan outgroup. Mempunyai identitas sosial
tertentu bermakna menjadi sama dengan yang lain dalam
kelompok dan memahami persolan dari perspektif kelompok
mereka. Oleh sebab itu dapat diasumsikan bahwa individuindividu yang tergabung dalam keanggotaan akan berpikir
dan bertindak serupa. Di sini terdapat keseragaman dalam
pikiran dan tindakan sebagai sama-sama anggota kelompok.121
Identitas sosial dalam kenyataannya juga terbangun
atas kesepakatan makna (meaning). Ketika makna baru hadir
Burke, Peter J. & Stet, Jan E.. Identity Theory. Oxford: Oxford
University Press. 2009. hal. 118.
121
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
419
dan berpotensi akan mengganti atau menguatkan makna
sosial yang telah ada sebelumnya, maka sontak dilakukan
verifikasi. Jika makna baru hadir, maka terjadilah proses
verifikasi identitas, yaitu sebuah proses di balik perilaku
orang untuk merubah makna yang relevant dalam situasi
yang membuatnya sesuai dengan makna yang dituntut oleh
standar identitas mereka. Dalam teori identitas, makna-makna
(meanings) identitas adalah selalu berubah. 122
Memahami umat Buddha di Lampung dari era awal
pembentukannya dapat menggunakan kerangka berpikir
tersebut. Akibat tekanan dari luar diri kelompok mereka,
mereka kemudian mencoba untuk berupaya mencari relevansi
dengan makna baru yang disodorkan. Perubahan paling
mencolok dapat dilihat pada kelompok Sam Kauw Hwee dan
Buddha Jawi Wisnu ke dalam Agama Buddha (Buddhisme)
yang lebih universal.
Kondisi Kekinian Umat Buddha di Lampung
Menurut data statistik Keagamaan Kementerian
Agama Provinsi Lampung tahun 2013, jumlah umat Buddha
sebesar 133.332 jiwa, atau sekitar 1,7 persen dari total
penduduk Lampung keseluruhan yang tercatat sebesar
7.933.003 jiwa.123 Umat Buddhis paling banyak berdomisili di
Kota Bandar Lampung yang berjumlah hingga 34 ribu umat
lebih. Data dari Bimas Buddha Kakanwil Lampung tahun 2015
menyebutkan, total vihara di Provinsi Lampung sebanyak 181
buah.
Burke, Peter J. And Stets, Jan E. Ibid. hal. 175
Kementerian Agama Provinsi Lampung Dalam Angka. Data
Statistik Keagamaan Tahun 2013. hal. 45
122
123
420
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Dipandang dari sisi jumlah vihara, umat Buddha di
Lampung paling besar bernaung di bawah pembinaan Sangha
Agung Indonesia (Sagin). Sangha ini menjadi tempat
berkumpulnya para bhikkhu Buddhayana. Di dalam sangha
ini terdapat unsur Theravada, Mahayana dan Tantrayana.
Sangha Agung Indonesia (Sagin) dikembangkan oleh Bhikkhu
Ashin. Pembinaan umat dalam sangha ini dikoordinasi oleh
Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).
MBI merupakan majelis umat Buddha yang terbesar di
Lampung. Pengurus MBI di Provinsi Lampung cukup eksis
baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Jumlah
vihara yang dibina majelis ini mencapai lebih kurang 145
buah, yang tersebar di 14 kabupaten/kota di Provinsi
Lampung. Vihara-vihara lain dibina oleh enam majelis lain
yang tersebar di berbagai wilayah di Lampung yaitu,
Tantrayana Kasogatan Zen Fo Zhong, Pandita Buddha
Maitreya Indonesia, Parisada Buddha Dharma Nichiren
Indonesia
(PBDNSI),
Majels
Tri
Dharma,
dan
Magabudhi/Sangha Theravada Indonesia (STI).
Tabel 1
Jumlah Tempat Ibadah (Vihara/Cetiya) Berdasarkan Majelis
Umat Buddha di Provinsi Lampung
No
Kab/Kota
1. Bandar
Lampung
2. Pesawaran
3. Way Kanan
4. Lampung
Barat
5. Lampung
Utara
6. Lampung
Kaso
gatan
4
1
MBI STI TITD NSI BDNSIMaitreya
35
2
12
4
9
1
2
1
2
1
13
5
9
5
28
Jumlah
47
5
4
32
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
421
Tengah
7. Lampung
Timur
8. Lampung
Selatan
9. Tanggamus
10. Pringsewu
11. Mesuji
12. Tulang
Bawang
13. Tulang
Bawang Barat
14. Metro
Jumlah
22
3
25
14
14
2
4
2
11
2
4
4
13
2
2
4
1
2
5
1
3
181
Kondisi saat ini menyatakan, umat Buddha di
Lampung paling banyak menetap di pedesaan dan bermata
pencaharian sebagai petani. Mereka mayoritas bergabung
dalam MBI. Namun sayangnya, hingga saat ini, MBI provinsi
belum mempunyai program untuk membantu mencari jalan
keluar atas kesulitan para umat yang berprofesi sebagai petani
ini. Problem yang paling nyata dihadapi umat yang sekaligus
petani
ini
berupa
rusaknya
infrastruktur
jalan
untuk
menjangkau antar desa. Jalan untuk menuju desa-desa tempat
umat Buddha, dan juga rata-rata jalan di pelosok Lampung,
kondisinya rusak parah. Jalanan sempit dan bergelombang
sehingga cukup merepotkan pengangkutan barang-barang
hasil pertanian. Di samping itu, masalah irigasi juga belum
diperbaiki,
sebab
pengairan
untuk
persawahan
hanya
mengandalkan tadah hujan. Pengurus MBI Provinsi Lampung
pun mengakui, programnya hanya sebatas pembinaan umat
yang berpusat di vihara, dan belum sampai menyentuh
422
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
problem ekonomi.124 Para pengurus MBI provinsi Lampung
rata-rata berprofesi sebagai wiraswasta.
Dilihat dari tingkat pendidikan, umat Buddha di
Lampung juga masih terbilang menengah ke bawah. Data dari
Bimas Buddha Provinsi Lampung tahun 2013 menyebutkan
dari total 93 guru Agama Buddha, hanya 2 orang
berpendidikan S-2.125 Lebih tidak menggembirakan melihat
latar belakang para pandita (romo) yang berperan dalam
menikahkan, memimpin puja bhakti, memimpin upacara
kematian, serta menyampaikan pesan dhamma. Peran pandita
adalah menggantikan posisi bhikkhu mengingat jumlah
bhikkhu yang terbatas. Rata-rata pendidikan pandita ini
menyebar dari jenjang SD-SMA. Di Lampung baru terdapat
satu Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB), yaitu STAB
Jinarakkhita yang dikelola oleh Sagin Lampung. STAB ini
mendapatkan status akreditasi B berada di bawah
Wawancara dengan Gunawan Chandra, Ketua MBI Provinsi
Lampung, tanggal 16 April 2015 dan juga Wawancara dengan Cucuh
Maytriratna serta Jumiatin, pengurus Wanita Buddhayana Indonesia (WBI)
Provinsi Lampung, tanggal 19 April 2015. Gunawan Chandra, Ketua
Provinsi Lampung, juga adalah Ketua REI Provinsi Lampung dan menjadi
pengurus Perkumpulan Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI)
Lampung. Oleh karena kemampuan financial dan kedermawanannya, ia
begitu mudah diminta partisipasinnya untuk kegiatan pembinaan umat
Buddha, walau seringkali hanya meminjamkan mobil land cruiser serta
dengan sopirnya. Mobilnya ini amat membantu transportasi para pimpinan
umat Buddha, termasuk dari Kementerian Agama, untuk menjumpai umat
Buddha yang berdiam di pelosok-pelosok desa dengan kondisi jalan yang
berlubang.
125 Kementerian Agama Provinsi Lampung Dalam Angka. Ibid. hal.
48.
124
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
423
pengawasan Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI.126 Saat ini,
sedang dibangun sebuah bangunan kampus yang terletak di
pinggir Teluk Panjang yang telah menghabiskan miliaran
rupiah, walau belum selesai.
Untuk masalah tingkat pendidikan dan ekonomi,
dapat dikatakan terdapat dua tipologi umat Buddha di
Lampung, yaitu masyarakat yang tinggal di perkotaan dan
masyarakat Buddhis di pedesaan. Masyarakat Budhis yang
menetap di perkotaan, rata-rata mereka mempunyai
kemampuan ekonomi dan pendidikan mulai tingkat
menengah ke atas. Mereka ini berdomisili seperti di di Bandar
Lampung dan sekitarnya. Kedua, masyarakat yang tinggal di
pelosok, seperti di pedalaman Mesuji, Lampung Timur dan
sebagainya, umat Buddha rata-rata berpendidikan hanya
sampai tingkat SD. Jenjang SMP sudah paling tinggi. Hal ini
terutama untuk generasi tuanya.
“Namun, untuk generasi mudanya, sudah
mulai banyak yang mengenyam pendidikan sampai
tingkat S-1. Sayangnya, mereka ini kemudian pergi ke
luar daerah. Dari Papua sampai Aceh, baik guru-guru
baik yang PNS maupun honorer, dan juga penyuluh
pasti ada orang Lampung. Karena itu sekarang ini
mencari generasi muda Buddhis berpendidkan di
kampung-kampung amatlah susah. Kebanyakan
mereka pergi ke luar Lampung.”127
Salah satu bukti kendala terkait dengan rendahnya
tingkat pendidikan, dijumpai yang berdampak pada misalnya
126 Wawancara dengan Suhu Badra Surya (Tejo), bagian Akademik
STAB Jinarakkhita, tanggal 21 April 2015.
127 Wawancara dengan Bambang Supeno, Pembimas Buddha
Kemenag Lampung, tanggal 20 April 2015.
424
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kekurangmengertian terhadap tata cara pembuatan proposal
misalnya. Setelah dijelaskan oleh pihak Bimas Buddha untuk
penyusunan proposal pembangunan atau rehab vihara
misalnya, kadang-kadang mereka datang hanya membawa
stempel saja. Di sisi lain, Bimas Buddha Kemenag Provinsi
Lampung hanya terdiri dari 5 personel dengan anggaran
terbatas. Diakui pula, sejauh ini masih ada juga vihara yang
belum sempat dikunjungi. “Yang pasti dalam satu tahun tidak
bisa berkeliling ke 16 kabupaten/kota, karena anggaran dan
jarak tempuh.” 128
Faktor perpindahan elit terdirik umat Buddha di
Lampung seperti disebutkan sebelumnya juga berpengaruh.
Diperoleh informasi bahwa tingkat perpindahan umat yang
bergelar sarjana ke luar Lampung cukup tinggi. Kebanyakan
dari mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah tinggi Agama
Buddha di Jawa tidak lagi kembali ke Lampung. Mereka
memilih mengisi formasi PNS di bimas Buddha dan juga
guru-guru Agama Buddha di provinsi yang tersebar di
seluruh Tanah Air. Hal ini berdampak, hingga hari ini belum
ditemukan pula tokoh Buddhis lokal yang aktif dalam bidang
politik dengan menjadi anggota dewan misalnya. Begitu pula
untuk jabatan di birokrasi lokal. Umat Hindu di Bali
dipandang lebih maju dalam hal ini ketimbang umat Buddha.
128
Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
425
426
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
II
SEKILAS TENTANG BUDDHAYANA
Ajaran Pokok
Ajaran pokok Buddhayana antara lain mengacu pada
Saddharma Pundarika Sutra yang menjelaskan bahwa sekalipun
terdapat banyak metode, Buddha mengajarkan Hukum
Kebenaran yang sama. Beliau menunjukkan Jalan Agung
dengan ajaran Tiga Kendaraan (Triyana), yaitu Srawakayana,
Pratyekabuddhayana, dan Boddhisattwaya. Namun akhirnya
hanya ada Satu Kendaraan (Ekayana), yaitu Buddhayana.
Selanjutnya dalam Satipatthana Sutta, apa yang dimaksud
dengan Ekayana atau Jalan Tunggal dijelaskan. Ekayana
magga sebagai satu-satunya jalan pembebasan adalah hidup
dengan berkesadaran (eling).129
Dalam Buddhayana berkembang pemikiran bahwa inti
Agama Buddha atau jalan tunggal dalam agama Buddha
adalah perhatian penuh berkesadaran (sati), yang akan
menghasilkan konsentrasi (Samadhi), sehingga seseorang akan
mampu melihat secara mendalam, melihat segala sesuatu
sebagaimana apa adanya, dan memperoleh insight (panna)
untuk pada akhirnya mencapai pembebasan (vimutti).130
Untuk dapat memiliki pandangan Buddhayana secara
lengkap, terdapat 5 (lima) nilai yang perlu didalami
pengertian dan harus dijalani, yaitu non sectarian,
129 Dharmawimala, Buddhayana dan Kontekstualisasi Agama Buddha di
Indonsia, dalam Dharmawimala, et. al. Buddhayana Values. Jakarta: Keluarga
Buddhayana Indonesia. 2012. Hal. 3.
130 Ibid. hal. 4
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
427
inclusivisme, pluralism, universalisme dan keyakinan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa (Sang Hyang Adi Buddha/
Dharmakaya.131
Peribadatan/Puja Bhakti
Di lingkungan keseharian umat, kegiatan peribadatan
bersama difokuskan di vihara masing-masing. Untuk kegiatan
bersama di vihara, terutama untuk puja bhakti dan
mendengarkan ceramah dharma, dilakukan setiap hari
Minggu.
Tabel 2
Kegiatan rutin vihara (versi MBI)
Hari
Minggu
Waktu
Pagi
Siang
Sore-malam
Selasa/Rabu
Harian
Malam
Kegiatan
Sekolah Minggu Buddhis (SMB)
untuk anak-anak dan remaja (TKSD-SMP-SMA)
Ritual Pemuda (sembahyang,
membaca paritta) dan
Pembabaran dhamma.
Ritual umum (sembahyang,
membaca paritta)
Anjangsana dari rumah ke rumah
(sembahyang, membaca paritta
dan Pembabaran dhamma)
Duduk dan membaca paritta;
visualisasi rupang/gambar
131 Sudhamek, Eksplorasi Nilai-Nilai Buddhayana (Sebuah Telaah dari
Perspektif Transformatif-Liberatif), dalam Dharmawimala, et. al. Buddhayana
Values. Jakarta: Keluarga Buddhayana Indonesia. 2012. Hal. 41.
428
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Kepengurusan MBI Lampung dan Pembinaan Umat
Seperti disebutkan di muka, bahwa para pengurus
MBI provinsi didominasi oleh etnis Tionghoa, sementara di
tingkat kabupaten lebih banyak dihiasi etnis Jawa. Sekalipun
tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, namun cukup
meyakinkan untuk tampil memimpin MBI tingkat kabupaten.
Hal ini seperti ditunjukkan oleh Sumarsono yang juga aktif di
FKUB Kabupaten Pesawaran.
Untuk level provinsi, kepengurusan didominasi etnis
Tionghoa. Umat Buddha dari etnis Jawa belum bisa
menembus level provinsi karena terkendala faktor ekonomi
dan tingkat pendidikan. Barangkali muncul pertanyaan, sejak
kapan pergeseran peran tokoh dilatari perbedaan etnis ini
terjadi. Jika para figur awal terbentuknya umat Buddhayana
di Lampung seperti sekarang ini kebanyakan orang Jawa,
walaupun beberapa juga berasal dari Tionghoa, namun
belakangan justru tokoh dari latar belakang Jawa menyusut.
Terkait hal ini diduga, bahwa pergeseran tampuk
kekuasaan dari orang Jawa ke orang China ini terjadi di tahun
1980an hingga 1990an, seiring dengan pergeseran peran tokoh.
Tokoh-tokoh lama telah tidak aktif lagi, sementara tokohtokoh baru belum bermunculan karena terhadang masalah
ekonomi dan pendidikan. Akhirnya di situlah etnis Tionghoa
tampil sebagai pengurus di tingkat provinsi, bahkan hingga di
kepengurusan pusat MBI. Berbeda dengan tingkat kabupaten,
pengurusnya masih banyak dari etnis Jawa, walaupun
beberapa berlatar belakang Tionghoa, seperti contohnya Ketua
MBI Lampung Selatan.
Pengurus MBI Provinsi Lampung melakukan
pembinaan melalui program Darma Keliling (Darling).
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
429
Program ini dilakukan secara bergantian di setiap kabupaten.
Program rutin berupa program Perayaan Hari Tri Suci Waisak
dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah.
Diakui oleh pengurus MBI Provinsi Lampung, bahwa
secara organisasi, MBI provinsi sangat jarang melakukan
program pembinaan langsung kepada pengurus MBI tingkat
kabupaten. Salah satu contohnya pengurus MBI Kabupaten
Pesawaran yang mengaku lebih bergerak atas inisiatif
pengurus kabupaten sendiri.
Meski diserahkan ke setiap pengurus MBI kabupaten,
namun karena terkendala rendahnya kualitas pendidikan
SDM dan tingkat ekonomi, dua hal itu dirasakan menjadi
penghambat. Terlebih dana paramita, walau ada, namun tidak
kontinu jumlahnya. Hanya diberikan pada waktu puja bakti
dengan jumlah tidak ditentukan minimalnya. Terkadang dana
paramita habis untuk operasional vihara. Mengharapkan
kepedulian pengurus provinsi juga susah karena mereka juga
memikirkan kelangsungan vihara mereka.
“Saya kepingin agar donatur itu lari ke daerah.
Ada yang mau sumbang pemugaran vihara, namun
tidak mau disebut namanya. Akhirnya dipugar sampai
selesai, tapi tetap saja nama donatur tersebut tidak
mau dipublikasikan. Vihara di kampung jauh sekali
kondisinya dengan vihara di kota.” 132
Karena aktifnya gerakan pengurus MBI Pesawaran,
mereka mendapatkan bantuan gedung Dammaseka dari
Kemenag RI yang didirikan di Dusun Sri Nusabangsa, Desa
Poncokresno, Kecamatan Negrikaton, Kabupaten. Bantuan
tersebut senilai Rp. 500 juta.
132
430
Bambang Supeno, Ibid.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
“Hal ini karena di Pesawaran penggeraknya
banyak. Termasuk pengurus MBInya. Di daerah lain
tidak sama gerakannya. Perayaan Waisak di
Pesawaran ini bisa menghadirkan ribuan orang,
dengan biaya ditanggung masing-masing KK. Dengan
ditanggung masing-masing KK, maka akan terasa
keadilannya. Namun hal serupa mash belum bisa
diterima di daerah lain yang biaya untuk Perayaan
Waisak masih berdasarkan vihara.”
Di Pesawaran para tokoh umat Buddha-nya juga aktif
dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dengan
berusaha selain di pertanian juga di bidang peternakan.
Mereka beternak sapi dan juga menerapkan energi terbarukan
berupa biogas dari kotoran sapi tersebut. Mereka kini telah
dipantau oleh kementerian ESDM mengenai penggunaan
renewable energy ini. Namun inisiatif ini di luar program
MBI, melainkan inisiatif tokoh-tokoh Buddha di Pesawaran.
Belum ada juga modal bergulir yang diberikan MBI. 133
Pemerintah juga telah membantu pembangunan
gedung serbaguna Dhammaseka yang terletak di Desa
Poncokresno, Kecamatan Negerikaton, Kabupaten Pesawaran.
Gedung tersebut merupakan bangunan seperti bangunan
sekolah yang terbagi dalam beberapa kelas. Dana
pembangunan gedung ini diperoleh dari Dirjen Bimas Buddha
Kemenag RI sebesar Rp. 500 juta. Di gedung ini telah
diselenggarakan program Dhamma Camp 2013 dan 2014 yang
dijalankan oleh Bimas Buddha Kemenag Lampung.
133
Wawancara dengan Bambang Supeno.Ibid.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
431
Donor darah dilakukan setahun 3 kali, seperti
diselenggarakan oleh WBI. Mereka juga mengadakan baksos
dan pengobatan massal dengan melibatkan Yayasan Buddha
Tzu Chi.
Latar Belakang Munculnya Buddhayana di Lampung
Cikal bakal perkembangan Agama Buddha di
Lampung tidak dapat dipisahkan dari sebuah bangunan
rumah ibadah sederhana, yang berdiri di tepi sungai kecil
Kampung Bugis, Teluk Betung yang telah berdiri sejak jaman
Jepang. Rumah ibadah yang dinamakan Ban Tek Yan tersebut
didirikan atas ijin pemerintahan Guncho (setingkat Wedana)
di Tanjung Karang tertanggal 4 September 1942 dan berdiri di
atas sebidang tanah seluas 2.667 meter persegi. Saat itu, di
dalamnya telah ditempatkan rupang Dewi Kwan
Im/Avalokiteswara yang dibawa oleh seorang perempuan
bernama Lie Kim Nio atau Lie Kim Njuk dari Serang,
Banten.134
Kini, tempat ibadah ini telah berubah bentuk menjadi
bangunan modern dengan gaya khas oriental-nya. Warna
merah mendominasi bagian atas disertai berbagai bentuk
rupang di lantai bawah. Di bagian atas, tidak banyak rupang,
hanya tiga rupang yang dominan di atas altar. Warga Buddhis
Lampung lebih mengenalnya sebagai Vihara Banten. Tercatat,
vihara ini berdiri paling awal di Lampung. Vihara ini saat ini
dikelola Yayasan Boddhisatwa Bandar Lampung. Yayasan ini
juga membuka layanan pendidikan dari jenjang PAUD hingga
134 Liong, Tjia Jun. Edisi Khusus Kenangan Purna Pugar Ban Tek
Yan (D/H Wihara Banten Yayasan Boddhisttva Bandar Lampung, 2011. hal.
7
432
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
SD. Bermula dari vihara inilah, tokoh sentral perkembangan
Agama Buddha pasca kemerdekaan RI Ashin Jinarakkhita
(1923-2002, selanjutnya disebut Bhikkhu Ashin) dari Sangha
Agung Indonesia (Sagin) yang bernafaskan paham
Buddhayana, membabarkan dharma dan menancapkan roda
pembinaan umat Buddha di Provinsi Lampung.135
Bhikkhu Ashin tercatat sebagai bhikkhu asli Indonesia
paling awal waktu itu yang melakukan pembinaan terhadap
umat Buddha di Lampung.136 Sejak sekitar tahun 1950-an,
Wawancara dengan Suwarnatha (Tjong Fuk), tokoh Buddhis
senior Lampung dan mantan Ketua MBI Lampung, tanggal 17 April 2015.
136 Bhikku ini dikenal sebagai sosok bhikkhu yang mengundang
kontroversi di kalangan Buddhis sendiri. Di sisi lain, ia sangat akomodatif
dan tampak ingin menancapkan Agama Buddha yang bernafaskan
Indonesia. The Boan An (belakangan menjadi Bhikkhu Ashin) semasa muda
ternyata aktivis Sam Kauw Hwee (berubah menjadi Tridharma pada tahun
1963). Bahkan The Boan An pernah menjabat sebagai kepala Komite sentral
Gabungan Sam Kauw Hwee. Terlahir di Bogor tahun 1923, sempat
mengenyam pendidikan Belanda sebelum melanjutkan ke negeri Belanda
untuk kuliah selama lima tahun. Di negeri Belanda ini ia mulai tertarik
dengan teosofi dan Buddhisme. Mejadi deputi presiden asosiasi teosofi
kaum muda membawanya keliling Eropa. Saat itu ia diketahui memelihara
jenggot, berambut panjang dan mengenakan jubah putih. Kembali pulang
ke Indonesia tahun 1951, lantas menjadi guru di sekolah. Tidak lama
kemudian memutuskan menjadi anagarika (pelayan Buddha dan tidak
menikah). Aktivitas di teosofi masih berlanjut dan terpilih menjadi ketua
Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) yang membawanya sering
bepergian dan bertemu dengan banyak kolega baik kalangan Tionghoa
maupun non Tionghoa. Di saat bersamaan, ia tertarik dengan Mahayana
dan berguru pada Mahabhikkhu Pen Ching di Vihara Kong Hoa Sie di
Jakata. Namun keinginannya menjadi bhikkhu malah membawanya ke
Burma yang bertradisi Theravada. Pada Desember 1953, ia pergi ke Burma
untuk menjadi bhikkhu dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Ia kembali ke
Indonesia pada Januari 1955 dan mulai menyebarkan Buddhisme. Lantas,
kedekatan Bhikkhu Ashin dengan Sam Kauw Hwee melemah dan malah
belakangan meninggalkan Sam Kauw Hwee dan memilih Buddhisme yang
135
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
433
Bhikkhu Ashin yang juga akrab dipanggil Sukong, telah
merambah wilayah Lampung. Di era itu pulalah, Bhikkhu
Ashin bertemu dan membimbing Lie Kim Njuk, pengelola
rumah ibadah Ban Tek Yan dan bahkan selanjutnya memvisudhi-nya menjadi upasika dengan nama “Yuan Ming”.137
Lie Kim Njuk dan kebanyakan tokoh Tionghoa yang
ditemui Bhikkhu Ashin adalah para penganut agama tradisi
Tionghoa, agama Sam Kaw (Sam Kaw Hwee). Diperkirakan,
perkenalan Lie Kim Njuk denga Bhikkhu Ashin telah
terbangun sejak sama-sama aktif dalam Sam Kauw Hwee.
Agama atau kepercayaan ini berkembang di kalangan
Tionghoa peranakan setelah diperkenalkan oleh Kwee Tek
Hoay di tahun 1934.138 Perkenalan ini membawa perwakilan
umat Buddha (Sam Kauw) dari Lampung diundang dalam
perayaan Buddha Jayanti tahun 1956 di Candi Borobudur,
termasuk Lie Kim Njuk. Saat ini, cucu Lie Kim Njuk yang
bernama Surwarnatha (Tjong Fuk) meneruskan pengelolaan
vihara tersebut.
tidak eksklusif untuk kalangan TIonghoa. Kontroversi Ashin Jinarakkhita
menguat setelah ia mengenalkan konsep ketuhanan dalam Buddhisme
dengan mengenalkan istilah “Adhi Buddha”. Istilah ini diambil dari teks
Buddha Jawa di abad ke-10, Sang Hyang Kamahayanikan. Konsep ini
ditentang kalangan Theravada. Kontroversi Bhikkhu Ashin berlanjut ketika
ia mulai berusaha memadukan Mahayana dan Theravada, yaitu dengan
menggunakan jubah a la Theravada namun memanjangan jenggot seperti
dalam gaya Mahayana. Ia juga dikenal pengagum Sai Baba dan juga Dalai
Lama. Akibatnya, gerakannya mulai tidak disukai pemerintah saat itu,
karena dianggap terlalu liberal, dan juga membuat Walubi mengambil sikap
untuk mengeluarkan Bhikkhu Ashin dan pengikutnya (Sangha Agung
Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia) dari keanggotaan Walubi
pada tahun 1995. Lih. Suryadinata, Leo. The Cultureof the Chinese Minority in
Indonesia. Singapore: Times Books International. 1997. Hal. 163 & 175-184.
137 Liong, Ibid.
138 Suryadinata, Ibid. hal. 168
434
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Ditelusuri dari sisi latar belakang etnis dan orientasi
keagamaan, saat itu umat Buddha di Lampung dapat
disederhanakan berasal dari etnis Tionghoa dan etnis Jawa.
Kalangan Tionghoa berpedoman pada Sam Kauw Hwee, yang
terorganisir dalam Gabungan Sam Kaw Indonesia (GSKI). Di
lain pihak, orang-orang Jawa, terutama dari Jawa Timur dan
Jawa Tengah yang berdatangan ke berbagai penjuru
Lampung, mempertahankan ajaran Buddha Jawi Wisnu
mereka.139 Kondisi serupa dapat dijumpai di Kasembon,
Malang, Jawa Timur yang mana Buddha Jawi Wisnu melatari
terlembaganya Agama Buddha seperti sekarang ini.140
Di saat perubahan Bhikkhu Ashin dari Sam Kauw ke
Agama Buddha dan membina pengikutnya di Lampung,
secara kebetulan, setelah pecahnya peristiwa G 30 S tahun
1965 berbuntut pada kecurigaan dan penangkapan terhadap
beberapa tokoh penganut Buddha Jawi Wisnu karena dituduh
pengikut paham komunisme. Kebanyakan mereka beretnis
Jawa dan memang ada yang aktif dalam organisasi underbow
PKI. Penahanan tanpa didahului persidangan yang memadai.
Didapatkan informasi bahwa salah satu tokoh yang datang ke
Lampung yang menyertai Bhikkhu Ashin ternyata seorang
militer bernama Sudibyo Dharma Murti. Bhikkhu Ashin yang
datang dengan membawa dhamma disambut dengan tangan
terbuka oleh kalangan Tionghoa yang sebelumnya hanya
melakukan persembahan ke kelenteng, namun dhamma atau
ajarannya masih dangkal.
Wawancara dengan Suwarnatha (Tjong Fuk), Ibid.
Ekoputro, Zaenal Abidin. Berpeluh Berselaras. Buddhis dan
Muslim Barakan Membangun Harmoni. Dalam Ekoputro, Zaenal Abidin
(ed.). Berpeluh Berselaras. Buddhis-Muslim Meniti Harmoni. Jakarta: Centre
of Asian Studies (Cenas), Kepik Ungu & Hivos. Hal. Hal 192-194.
139
140
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
435
“Romo Sudibyo yang berlatar belakang militer,
membebaskan para pemeluk Buddha Jawi Wisnu yang
ditahan di Rutan Wates, Bandar Lampung akhir tahun
1960-an hingga awal 1970-an. Entah apakah karena
kebetulan atau memang sepaham, mereka yang
dibebaskan ini kemudian juga bergabung dalam
Buddhayana.”141
Bhikkhu Ashin (Sukong) menjadi figur sentral yang
aktif membabarkan dhamma dengan mempopulerkan konsep
ketuhanan Sang Hyang Adhi Buddha. Dalam penyebarluasan
doktrin Buddhayana, para pandita (romo) turut pula
berkontribusi hingga masuk ke pelosok-pelosok desa dengan
berjalan kaki ataupun menggunakan pedati yang ditarik sapi.
Sepeda hanya digunakan secara terbatas. Para bhikkhu yang
datang ke Lampung saat itu diangkut dengan moda
transportasi semacam itu.
Memasuki era tahun 1960an hingga 1970an,
kedatangan Bhikku Ashin terkadang disertai bhikkhu yang
lain seperti Bhikkhu Girirakhito (alm) dan Bhikkhu Jinaratana
(Pandit J Kaharuddin).142 Para bhikkhu ini berkilo-kilo meter
menggunakan transportasi seadanya, memasuki daerah
pedalaman Lampung yang jalannya belum bagus. Bhikkhu
Ashin selama hidupnya juga bahkan sampai tiga kali
mengunjungi umat Buddha di Dusun Kampung Baru,
Kelurahan Sidosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung
Selatan. Warga Buddhis mengingat, Bhikkhu Ashin pertama
141 Wawancara dengan Eka Tjandra, panditaBuddhis Magabudhi,
tanggal 18 April 2015.
142
Kaharuddin, Pandit. Catatan Hidup Pejuang Dhamma.
Otobiografi Singkat Pandit Kaharuddin. Jakarta: Persatuan Pariyati
Abhidhammad. 2015. Hal. 67.
436
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
kali datang ke Lampung Selatan tepatnya setelah tahun
1965.143
Umat Buddha di Dusun Kampung Baru, Kelurahan
Sidosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan
merupakan bagian dari tipikal sejarah “terbentuknya” umat
Buddha di Lampung. Seorang pelaku sejarah terbentuknya
umat Buddha di Lampung yang menetap di dusun tersebut
menuturkan, bahwa jejak-jejak terbentuknya umat Buddha di
desanya muncul sejak tahun 1964. Tercetusnya benar-benar
setelah peresmian tahun 1966 dipelopori oleh Sudibyo Darma
Murti. Selain Sudibyo, tokoh lain adalah Sutrisno (ayahanda
Pembimas Buddha Kanwil Kemenag Lampung saat ini,
Bambang Supeno), Suladi, Sumitro, Lakip dan masih banyak
lagi.144
Tokoh-tokoh dibalik terbentuknya umat Buddha di
Lampung seperti disebutkan di atas secara rutin membina
umat. Di mana di situ ada umat, segeralah diprogramkan
pendirian vihara. Terkenang oleh Dadi, para tokoh itu hanya
berjalan kaki untuk masuk ke desa-desa dan bermalam di
rumah-rumah umat.
“Dari sini (Dusun Kampung Baru, Sidosari,
Natar) ke Poncokresno Negerikaton di Pesawaran yang
berjarak puluhan kilometer, kita jalan kaki. Sepeda itu
baru ada tahun 1967/1968. Ke Metro (yang berjarak 40
143 Wawancara dengan Dadi, tokoh Buddhis senior Lampung,
tanggal 20 April 2015.
144 Wawancara dengan Dadi, tokoh senior Buddhis Lampung, Ibid.
Dadi Mengikuti pasang surutnya dari majelis Persatuan Upasaka Upasika
Indonesia (PUUI) hingga menjadi MBI, dan juga terbentuknya Bimas
Buddha yang pertama dijabat oleh Sudibyana. Dadi kelahiran Gedong
Tataan, tahun 1944, tamatan SR tahun 1958.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
437
kilometer) juga jalan kaki. Untuk di Lampung ini, tidak
ada yang membandingi Banthe Nyanasuttha yang
menjumpai umat-umat Buddha di desa-desa di
Lampung sekitar tahun 1970an.”
Sebagai seorang penganut Buddha Jawi Wisnu yang
kebetulan aktif di Pemuda Rakyat, Dadi termasuk orang yang
diintrogasi tentara setelah pecahnya peristiwa G 30 S. Dia
dipanggil di Kodim untuk dimintai keterangan disertai
ancaman. Setelah diintrograsi terkait dengan keyakinannya,
ia berpikir untuk mencari perlindungan. Ia juga sempat
ditahan tanpa proses pengadilan karena bergerak di
organisasi yang diduga berasosiasi dengan komunisme.
Melalui Sudibyo Darma Murti yang militer itu, ia
mendapatkan buku yang membahas tentang petunjuk
pancasila Buddhis, yang berisi tentang larangan membunuh,
mencuri, berzina (main perempuan), berbohong, dan mabukmabukan. Di situlah ia merasakan apa yang dicarinya selama
ini dan timbullah kesesuaian hatinya. Ketika berpegang pada
Buddha Jawi Wisnu, awalnya ia berpegang pada falsafah
Jawa, sapa sing nandur, bakale ngunduh (siapa yang menanam,
ia akan memanen) dan becik ketitik, ala ketara (baik diingat,
jelek diketahui).145
Merunut pada dokumen yang ada, Buddha Jawi
Wisnu yang dianut orang Jawa di Lampung saat itu
diperkenalkan oleh Bhiksu Dewadharmaputra yang berasal
145 Sebelum tahun 1964 saat bersentuhan mendalam dengan
Buddha Jawi Wisnu, pedoman hatinya adalah Islam seperti kebanyakan
umat Islam saat itu, yang hanya sebagai identitas saja, Islam nominal. Sholat
lima waktu merupakan hal yang jarang dilakukan. Segenerasinya dan
generasi orangtuanya, mereka yang melakukan sholat hanya yang dekat
dengan masjid saja. Secara kebetulan, waktu itu bangunan masjid masih
sangat jarang. Dadi, Ibid.
438
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
dari Jember, Jawa Timur. Bhikkhu ini ternyata tercatat aktif di
Sagin.146 Bhikkhu ini juga merambah ke banyak wilayah lain
dengan mengajarkan Buddha Jawi Wisnu, dengan ciri
khasnya menggunakan mantra Hong Wilaheng.147 Bahkan,
Bhikkhu ini juga datang ke Kampung Baru, membina umat
Buddha di kampung itu.
Konsep tentang Jawa yang bercorakkan Majapahit ini
masih bersemayam dalam pengetahuan sehari-hari terutama
umat Buddha yang tergolong berusia paruh baya. Faktor
keyakinan bahwa orang Jawa yang pernah jaya dalam
imperium Majapahit yang disangga oleh kekuatan SyiwaBuddha berandil besar dalam terlembaganya keyakinan
terhadap Agama Buddha, khususnya Buddhayana bagi umat
Buddha di Lampung.148
Akan tetapi, ajaran Buddha Jawi Wisnu tidak
terdokumentasikan secara rapi, termasuk juga mantra yang
rutin diucapkan. Orang Buddha di pedalaman Lampung
mengenalnya dengan mantra Hong Wilaheng saja. Hanya
berdasarkan mantra, lalu dikatakan Buddha. Sayangnya,
Agama Buddha Jawi Wisnu ini belakangan “diserang”
eksistensinya karena dinyatakan tidak mempunyai kitab suci.
Saat itu juga belum ada lembaga yang cukup kuat untuk
mengayomi umat Buddha Jawi Wisnu. Sementara banyak
orang Jawa saat itu bukan hanya berpedoman satu sumber
146 Lih. Susunan Pimpinan Sangha Agung Indonesia berdasarkan
Keputusan Samaya No. III/1978, tertanggal 27 September 1978.
147 Agak lengkapnya, Mantra Buddha Jawi Wisnu (mantra
pembuka dan penutup ritual) :
Hong wilaheng awigenam sekaring bawana langgeng
Luputo sarik lan sandikala
Luputo dendang tawang-tawang jagad dewa bathara langgeng
148 Wawancara dengan Suwarnatha, Ibid.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
439
kebenaran saja, seperti orangtua Dadi sendiri adalah seorang
penganut Ilmu Sejati, ngelmu yang berkembang di banyak
orang Jawa saat itu, selain Jawi Wisnu.
Orang seperti Dadi yang hanya tamatan SR, tidak tahu
menahu tentang keberadaan Kitab dan teks-teks kitab suci
Agama Buddha, seperti waktu itu disodorkan padanya akan
teks Sang Hyang Kamahanikan. Kitab ini dipandang sebagai
landasan keberadaan Tuhan dalam Agama Buddha, seperti
diyakini oleh penganut Buddhayana. Baginya, teks-teks itu
sulit sekali dipahami.
Pembacaan paritta dengan lafal Namo Tassa149 itu
muncul dibawa oleh Bhikkhu Ashin. Sementara, mantra Hong
Wilaheng itu sejak sebelumnya sudah ada. Buddha Jawi Wisnu
ini juga sangat dipahami oleh warga di sekitar Kampung Baru,
di mana banyak umat seperti Dadi tinggal. Tatkala Buddha
Jawi Wisnu dilarang sejak tahun 1965, karena dituntut untuk
menginduk pada agama universal, maka Agama Buddha Jawi
Wisnu berlindung ke dalam Agama Buddha yang memiliki
kitab suci dan juga, Tuhan. Jawi Wisnu tidak mempunyai
kitab suci dan hanyalah mantra yang diucapkan saja.
Sekarang ini mantra Hong Wilaheng masih dipraktikkan
oleh sebagian kalangan tua, selain membaca paritta Namo
Tassa. Ditambah lagi sedikit perubahan, jika dahulu di Buddha
Jawi Wisnu, ketika bersemadi menggunakan kemenyan yang
disebut dupo arum, maka sekarang setelah menginduk kepada
Buddhayana, jika bermeditasi di depan altar menggunakan
hio yang disebut sekar arum.
149 Teks lengkapnya, Namo Tassa Bhagavato Arahatto Samma
Sambuddhassa! (Pujilah Sang Buddha, Yang telah mencapai penerangan dan
Kebijaksanaan sempurna).
440
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Munculnya majelis umat Buddha Persaudaraan
Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), yang diperkirakan berdiri
tahun 1955, turut mempopulerkan paritta Namo Tassa yang
berdasarkan kitab suci Tripitaka. Saat itu, Buddha Jawi Wisnu
memang juga belum terlembaga secara kuat seperti
dibentuknya oganisasi atau majelis. Bentuk pengorganisasian
Buddha Jawi Wisnu masih sangat sederhana, yaitu tersentral
pada figur guru. Lembaga yang ada hanya guru dan
cantriknya saja. Dewadharmaputra misalnya, memiliki cantrik
satu saja bernama Ki Kusumo Dewa. 150
Diterimanya Buddhayana secara meluas di Lampung
bisa dibaca karena terakomodasinya dengan baik keyakinan
lokal yang telah ada sebelumnya. Di samping dikenalkannya
paritta dan kitab suci dalam Bahasa Pali, unsur local yang
telah ada sebelumnya juga dapat tetap dipertahankan. Para
tokohnya pun juga dapat bersanding dan bekerja sama
walaupun pemahamannya sedikit berbeda. Hal ini seperti
diterimanya Bhikkhu Dewadharmaputra yang tidak lain
adalah tokoh Buddha Jawi Wisnu, duduk sebagai pengurus
Sangha Agung Indonesia (Sagin) yang diketuai oleh Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita yang dikenal sangat akomodatif dalam
bertradisi.
Dalam pembinaan umat selanjutnya, Bhikkhu Ashin
juga mengenalkan bhikkhu-bhikkhu lain pada umat
Buddhayana Lampung, seperti Bhikkhu Ugadhammo
bersama Bhante Jinamitto dari Sangha Agung Indonesia
(Sagin). Disebutkan, bahwa saat kedatangan mereka ini
banyak anak membuntuti terus dan sambil menyanyikan lagu
“gundul-gundul pacul” sembari disambut senyum dan tawa
150
Wawancara dengan Dadi, tokoh senior Buddhis Lampung,
tanggal
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
441
para bhikkhu tersebut. Bagi masyarakat Jawa Buddhis
terutama di Lampung, Bhante Uggadhammo bersama Bhante
Agga Jinamitto dan Bhante Khemasarano merupakan tiga
bhikkhu yang tekun mengumandangkan dharma ke desa desa
dan di daerah transmigran untuk melestarikan agama Buddha
sebagai peninggalan orang “Jowo Kuno” yang erat dengan
budaya Majapahit.151
Buddhayana Yang Menguat dan Melemah
Seperti disebutkan di muka, tokoh generasi pertama
setelah Buddhayana masuk ke Lampung antara lain Sudibyo
Dharma Murti (militer), Suladi (Polisi), Sumitro (PNS
Gubernuran), Sutrisno (Ulu-ulu/pengairan) dan Sukarama
(wiraswasta/Tionghoa). Mereka inilah tokoh-tokoh awal yang
dikenal menyebarluaskan Buddha berfaham Buddhayana di
Lampung dan jejaknya masih terasakan hingga sekarang.
Setelah generasi pertama tersebut, kemudian menyusul
generasi kedua, seperti Dadi, Eka Tjandra, dan juga Haryoto.
Generasi penerusnya antara lain Suwarnatha (Tjong Fuk),
serta Sudibyana (Pembimas Buddha pertama di Kemenag
Provinsi Lampung).
Jejak para aktivis terbentuknya Buddha bernafaskan
Buddhayana itu menyebar hingga ke pedalaman Lampung
yang banyak dihuni orang-orang Jawa. Budhayana kemudian
kebanyakan dipeluk oleh etnis Jawa yang berdiam di wilayah
pedesaan di Lampung. Diperkirakan, di seluruh Provinsi
Lampung, sekitar 20 persen umat Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI) berasal dari etnis Tionghoa, sementara 80
http://dhammacitta.org/forum/index.php?action=profile; diakses
taggal 1 Mei 2015.
151
442
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
persen berlatar belakang etnis Jawa. Namun demikian,
pengurus MBI di tingkat Povinsi Lampung didominasi oleh
etnis Cina. Hal ini lebih karena faktor domisili semata. Lain
halnya dengan pengurus MBI di tingkat kabupaten yang
banyak didominasi orang bersuku Jawa.
Petaka menimpa umat Buddhayana Lampung
manakala MBI dikeluarkan dari Walubi tahun 1995. Akibat
dikeluarkannya MBI dari Walubi pusat lebih karena konflik
elite itu, umat MBI Lampung merasakan imbasnya dengan
mendapatkan intimidasi dari militer. Saat itu, para tokoh umat
Buddha di desa-desa dibawa ke markas militer (korem)
Bandar Lampung untuk mengikuti suatu pertemuan yang
difasilitasi oleh Walubi. Para tokohnya diberi ceramah tentang
Walubi agar mereka tetap berada dalam walubi. Massa yang
mengikuti pertemuan tersebut, bertempat di lapangan dan
diindoktrinasi agar tetap bertahan dalam Walubi. Walaupun
di bawah ancaman, mereka tetap bertahan dengan
Buddhayana. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya
penyekapan tiga orang tokoh Buddhis di Jakarta yang
menentang Walubi. Konon, tiga orang tersebut diintimidasi
hingga disiksa secara fisik.152
Kondisi ini seperti mengulang kembali kisah heroik
yang ditunjukkan para pimpinan umat Buddha Lampung
setelah pecahnya G 30 S. Ketika tokoh-tokoh Buddhis di desadesa diintimidasi di tahanan, para pemimpin merekalah yang
bersedia menjadi jaminan. Majelis umat Buddha yang eksis
hanyalah MBI, belum muncul majelis lain seperti sekarang.
152 Salah satu korban penyiksaan tersebut adalah Tjoetjoe Ali
Hartonodari MBI. Lih. Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti. Kisah Spiritual
Anak Madura. Jakarta Centre of Asian Studies (Cenas). 2012. Hal. 165
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
443
Hal inilah yang tidak dipungkiri menjadi semacam
kebanggaan menjadi umat MBI, khususnya untuk
membingkai umat MBI Lampung, karena sejak dulunya yang
eksis hanyalah MBI. Ditambah kenangan heroisme para tokoh
waktu awal melakukan pembinaan. Nama-nama figur
tersebut di atas masih melegenda di hati para umat Buddha
secara merata di Lampung, termasuk bagi umat Buddha di
Mesuji yang ditempuh selama 8 jam perjalanan dari Bandar
Lampung.
Kebanggaan sebagai kekuatan yang melapisi identitas
keagamaan itu disulut juga atas kenangan umat sewaktu para
figur itu berhadapan dengan aparat, terutama setelah
peristiwa G 3 S.
“Saat itu, setiap orang yang mengaku beragama
Buddha ditangkapi aparat sebab dikatakan tidak
bertuhan. Para tokoh itu kemudian bersiap pasang
badan, lebih baik mereka yang diambil ketimbang
mengambil warga. Dua puluh sampai tiga puluh orang
di dalam ruang tahanan, digantikan oleh para tokoh
ini. Mereka merasa dibela oleh pimpinannya.
Kenangan seperti ini masih melekat di hati umat
Buddha Lampung sampai sekarang.”153
Akan tetapi, perjuangan para tokoh awal dalam
membentuk umat Buddha ini cukup menyisakan getir pada
akhirnya. Hal ini persisnya setelah diketahui menurunnya
jumlah vihara sejak jaman awal terbentuknya umat Buddha di
Lampung hingga jaman sekarang. Pada era setelah G 30 S,
153
444
Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
jumlah vihara mencapai 350 buah, sekarang menyusut tinggal
181 buah.154
Hal ini ditengarai karena seiring dengan lemahnya
pembinaan yang dilakukan majelis. Pelaku sejarah seperti
Dadi menyampaikan, sejak terbentuknya MBI Lampung,
baginya hanya tahu organisasi MBI saja. Namun saat itu hinga
jauh ke depan, tidak pernah ada apa yang sekarang disebut
pengurus melakukan blusukan. Padahal, pengurus MBI selalu
ada dari tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten, termasuk
kabupaten Lampung Selatan. Sampai sekarang pun diakuinya,
pengurus MBI Tingkat provinsi belum pernah datang ke
daerahnya walaupun sejak tiga tahun belakangan ini, justru
perhatian datang dari pengurus MBI tingat kabupaten.155
Dari sisi umat sendiri, timbul semacam anggapan
bahwa pembinaan dilakukan bhikkhu lebih mengena
ketimbang para pandita. Padahal, realitasnya menyatakan
jumlah bhikkhu tidaklah seimbang denan jumlah vihara yang
ada di Lampung. Walaupun sebenarnya pimpinan vihara juga
terus memberikan ceramah, dan motivasi namun lama-lama
sering dirasakan membosankan.156
Jumlah bhikku Sagin di Lampung sendiri belum
sebanding dengan jumlah umat dan vihara. Jumlah bhikku
yang bernaung di Sagin dan siap diterjunkan ke umat di
Lampung sebanyak 32 orang. Mereka ini sudah dijadwal
untuk melakukan kegiatan di tempat-tempat yang ditentukan.
Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid.
Wawancara dengan Dadi, Ibid.
156 Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid.
154
155
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
445
Namun karena memang jumlahnya tidak sebanding denan
umatnya, maka tidak semua umat dapat dilayani bhikkhu.157
Intra Relasi Dan Inter Relasi Dengan Pemerintah dan
Agama Lain
Majelis terbesar seperti MBI diakui belum mempunyai
langkah pembinaan yang terjadwal, misalnya sebulan sekali.
Namun begitu, hubungan antar majelis tetaplah baik. Karena
memang mayoritas dari segi jumlah, pengurus MBI tergolong
lebih dekat dengan pemerintah. Kalau majelis lain,
masalahnya juga tidak semua kabupaten sudah berdiri
cabangnya. Seperti Kasogatan umpamanya, hanya di dua
kabupaten. Lain halnya dengan MBI yang telah berdiri di
seluruh kabupaten. Namun semua majelis pernah
berkomunikasi dengan Pembimas. Termasuk ketua Walubi
yang berasal dari Maitreya.
Untuk menjaga hubungan harmonis antarmajelis
tersebut, diberikanlah perhatian yang sama terhadap semua
majelis oleh Pembimas Buddha. Pembimas Lampung diserahi
tugas mengisi program siaran di TVRI Bandar Lampung
untuk siaran Agama Buddha. Oleh Pembimas diserahkan
kepada majelis-majelis tersebut. Ditawarkanlah kepada
keenam majelis, tapi ada juga ketidaksiapan dari majelis lain.
Akhirnya MBI jadi tumpuan lagi, karena SDM-nya paling
banyak. Program ini rutin berjalan setiap bulan. Program lain
sifatnya incidental, dengan mengumpulkan seluruh majelis.
Wawancara dengan Bhikkhu Nyana….., Ketua Sagin Lampung,
tanggal 21 April 2015.
157
446
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Namun untuk koordinasi langsung agak susah, karena
mereka harus berkomunikasi dulu dengan pihak pusat.158
Seringkali ditarik-tarik dalam pusaran politik local,
paling mutakhir saat pemilihian gubernur digelar. Akhirnya
dicoblos semua. Ketua MBI Lampung juga sekaligus sebagai
Ketua REI Lampung, aktif di organisasi Tionghoa PSMTI.
Cukup dekat dengan Walubi. Ketika Walubi mengundangnya,
ia hadir. Begitu pula diundang oleh Majelis Tridharma.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat, hal ditonjolkan
adalah ajaran cinta kasih.
Dukungan gubernur tahun ini mendapat jatah juru
nikah (P4B) dari Gubernur sebanyak 6 orang.
Kawin mawin lebih sering terjadi dengan orang
berbeda agama, misalnya Islam. Namun biasanya yang
Buddhis mengalah untuk mengikuti agama pasangannya.
Apalagi jika perkawinan dilangsungkan di KUA. Perkawinan
dengan orang China walaupun seagama, masih langka. Ada
anggapan bahwa jika nikah dengan orang di luar etnis, orang
China menganggap cucu luar. Tidak diakui oleh keluarga
besarnya, karena mereka tidak mempunyai marga.159
Minimnya pembinaan terhadap umat Buddha disertai
dengan kekhawatiran akan semakin berkurangnya jumlah
umat Buddha disebabkan berpindah keyakinan. Hal ini
menyebabkan tokoh seperti Eka Tjandra lebih melihat
pentingnya pembinaan umat melalui penyampaian dhamma.
Karena dirasa kurangnya pembinaan di MBI, ia memutuskan
untuk bergabung ke Theravada sejak tahun 1983 dan lantas
aktif dalam Magabudhi.
158
159
Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid.
Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
447
Konfik Antarmajelis
Sesuai dengan visi misi Kementerian Agama yaitu
menciptakan kesejahteraan dan kerukunan. Disosialisasikan
ke bawah dengan bahasa umat. Melakukan pembinaan
dengan menekankan pentingnya kerukunan antarumat
beragama, intern umat beragama dan hubungan yang baik
dengan pemerintah.
Sejauh ini di Lampung tidak terjadi gejolak. Dengan
cara kalau ada pertemuan, dialog yang ditekankan masalah
itu. Inisiatif dari majelis direspon dengan mendatangi
undangan supaya dapat menyambung silaturahmi dengan
umat majelis lain.160
Sejauh ini belum pernah terjadi konflik karena
perbedaan majelis. Para tokoh MBI mengetahui pula bahwa
para tokoh di majelis lain itu dulunya juga umat di MBI.
Begitu pula belum pernah terjadi konflik dengan agama lain.
Umat Buddha cukup terwadahi dalam FKUB Provinsi
Lampung. Salah satu anggotanya yang berasal dari Walubi
didudukkan menjadi bendahara dalam FKPT yang dibentuk
oleh BNPT. Pimpinan Walubi ini dikenal dekat dengan
pimpinan MBI.
Justu untuk di Lampung ini yang menggelisahkan
bukanlah relasi antaragama, melainkan relasi antaretnis
seperti terjadinya kerusuhan Balinuraga. Itu bukan masalah
agama, antaretnis tapi masalah ekonomi. Rata-rata pendatang
lebih rajin, daripada penduduk local. Akhirnya timbullah
kecemburuan social.
160
448
Wawancara dengan Bambang Supeno, Ibid.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
Jika disebutkan Umat MBI berkurang karena
berpindah ke majelis lain. Namun, hal ini tidak sepenuhnya
kerugian, tapi juga akibat kesalahan sendiri. SDM mereka
banyak, tapi jarang melakukan pembinaan ke daerah-daerah.
Apakah seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan
sekali. Atau berapa waktu sekali lah. Nah, para tokoh
termasuk para bhikkhu yang jumlahnya dua puluhan itu juga
kurang intensif melakukan pembinaan ke daerah-daerah.
Makanya, terjadilan perpindahan ke majelis lain. Karena
merasa puas besarnya anggota, dan jarang dilakukan
pembinaan, maka banyak berpindah ke majelis lain dan
bahkan agama lain. Umat Buddha di kampung-kampung
jarang tersentuh. Padahal mereka adalah ujung tombaknya.161
Seperti telah dipaparkan di muka, umat Buddha di
Lampung terbagi dalam beberapa majelis. Namun sebenarnya
pada awalnya majelis yang berdiri hanyalah MBI di bawah
pembinaan Sangha Agung Indonesia (Sagin). Munculya
majelis-majelis lain itu dipengaruhi factor ketidakpusaan
terhadap kinerja pengurus MBI seperti disampaikan Eka
Tjandra, tokoh senior yang sering blusukan sewaktu muda ke
desa-desa bertemu dengan umat Buddha.
Karena terdapat beberapa majelis, maka tidak
terhindarkan terselip adanya selisih pendapat. Namun, sejauh
ini selisih pendapat dalam batas kewajaran, dan perselisihan
itu tidak sampai terekspose media. Misalnya hanya dalam
kegiatan rapat saja terjadi perdebatan. Kemudian selesai saja.
161
Wawancara dengan Bambang Supeno
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
449
450
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
III
PENUTUP
Kesimpulan
Mencoba memahami umat Buddha di Lampung dari
era awal pembentukannya dapat mengarahkan pada
pemikiran adanya perubahan identitas secara sosial. Akibat
tekanan dari luar diri kelompok mereka, mereka kemudian
mencoba untuk berupaya mencari relevansi dengan makna
baru yang disodorkan. Perubahan idnentitas itu paling
mencolok dapat dilihat pada kelompok Sam Kauw Hwee dan
Buddha Jawi Wisnu ke dalam Agama Buddha (Buddhisme)
yang lebih universal.
Sejauh ini di internal umat Buddha di Lampung tidak
terjadi gejolak berarti. Reunikasi dan jalinan antarmajelis terus
dijaga, terutama oleh elite MBI dan juga Penmas Buddha
Kemenag Provinsi Lampung. Inisiatif dari majelis direspon
dengan mendatangi undangan supaya dengan menyambung
hubungan dengan umat dari majelis lain. Begitu pula belum
pernah terjadi konflik uamt Buddha dengan agama lain. Umat
Buddha cukup terwadahi dalam FKUB Provinsi Lampung.
Salah satu anggotanya yang berasal dari Walubi menempati
jabatan menjadi bendahara dalam FKPT yang dibentuk oleh
BNPT bekerja sama dengan MUI Lampung. Bahkan, pimpinan
Walubi ini dikenal dekat dengan pimpinan MBI.
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
451
Rekomendasi
Untuk bahan pertimbangan, terdapat beberapa hal
yang perlu dilakukan terkait dengan fasilitasi umat Buddha
khususnya di Lampung ini antara lain :
1.
Perlunya pembinaan yang lebih terkoordinasi dengan
baik. Pemerintah perlu memberi fasilitasi terhadap
persoalan yang dihadapi umat Buddha di Lampung.
Walaupun Pembimas hanya ada di tingkat provinsi,
pemkot/pemda juga seharusnya lebih peduli dengan
pembinaan umat Buddha, misalnya bantuan untuk
perayaan hari besar, pendidikan, kegiatan keagamaan,
maupun perbaikan infrastruktur.
2.
Perlunya untuk segera diangkat penyuluh Non PNS dari
kalangan umat Buddha yang SK-nya dikeluarkan oleh
Kanwil Kemenag Provinsi. Selama ini SK menjadi pandita
dikeluarkan oleh majelis dan tidak disertai honorarium.
3.
Perlunya
segera
diwujudkan
perbaikan
sarana
infrastruktur untuk pengembangan ekonomi dan
pendidikan umat Buddha di Lampung.
452
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Burke, Peter J. & Stet, Jan E.. Identity Theory. Oxford: Oxford
University Press. 2009.
Dharmawimala, et. al. Buddhayana Values. Jakarta: Keluarga
Buddhayana Indonesia. 2012.
Ekoputro, Zaenal Abidin (ed.). Berpeluh Berselaras. BuddhisMuslim Meniti Harmoni. Jakarta: Centre of Asian
Studies (Cenas), Kepik Ungu & Hivos.
Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti. Kisah Spiritual Anak
Madura. Jakarta: Centre of Asian Studies (Cenas). 2012.
Kaharuddin, Pandit. Catatan Hidup Pejuang Dhamma.
Otobiografi Singkat Pandit Kaharuddin. Jakarta:
Persatuan Pariyati Abhidhammad. 2015.
Kementerian Agama Provinsi Lampung Dalam Angka. Data
Statistik Keagamaan Tahun 2013.
Liong, Tjia Jun. Edisi Khusus Kenangan Purna Pugar Ban Tek
Yan (D/H Wihara Banten Yayasan Boddhisttva Bandar
Lampung, 2011.
Suryadinata, Leo. The Culture of the Chinese Minority in
Indonesia. Singapore: Times Books International. 1997.
Hal. 163 & 175-184.
Internet :
http://dhammacitta.org/forum/index.php?action=profile;
diakses taggal 1 Mei 2015.
***
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
453
454
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
EPILOG
Buku yang berjudul Keragaman Majelis di Kalangan
Umat Buddha Indonesia ini memuat 11 artikel atau tulisan hasil
penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Badan Litbag dan
Diklat Puslitbang Kehidupan Keagaman pada tahun 2015.
Mereka ini sudah terbiasa melakukan penelitian dalam
kehidupan keagamaan di Indonesia dan melahirkan berbagai
karya ilmiah. Jasa mereka patut dihargai, karena melalui hasil
penelitian mereka pengetahuan kita tentang perkembangan
kehidupan keagamaan di Indonesia semakin bertambah dari
masa ke masa.
Tulisan pertama dari buku ini berjudul Lembaga
Keagamaan Buddha di Indonesia (LKBI) Propinsi Kalimantan
Barat. Inti dari tulisan ini menjelaskan bahwa hubungan umat
Buddha dengan sesama umat Buddha lainnya berjalan dengan
baik, begitu juga hubungan mereka dengan pemerintah juga
berjalan dengan baik. Meskipun hubungan umat Buddha yang
satu dengan lainnya berjalan baik, namun ajaran-ajaran LKBI
agak sedikit berbeda dengan majelis yang lainnya. Salah satu
yang menarik adalah mereka mengakui adanya lima orang
nabi yang mengajarkan ajaran Tuhan, yaitu: Buddha
Gautama, Khonghucu, Lao Tse, Yesus dan Muhammad.
Artikel kedua dari buku ini menjelaskan tentang
Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar,
Jawa Timur. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa sebelum
masuknya sekte Theravada di Blitar, masyarakat Blitar masih
menganut kepercayaan kejawen. Setelah masuknya sekter
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
455
Theravada di sana, masyarakat sedikit demi sedikit pindah ke
sekte agama Theravada ini. Pada masa lalu di Blitar hanya ada
kelenteng-kelenteng masyarakat China, maka melalui
kelenteng itulah sekte Theravada ini berkembang. Dalam segi
ritualnya, sekte ini juga memiliki perbedaan dengan sektesekte lain dalam agama Buddha.
Artikel ke tiga dari buku ini menjelaskan tentang
Rohaniawan Tri Dharma Seluruh Indonesia (Martrisia) di
propinsi Riau. Martrisia adalah salah satu dari organisasi
keagamaan yang menggabungkan tiga ajaran agama
(Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme). Taoisme dan
Konfusianisme berasal dari Tiongkok dan Buddhisme berasal
dari India. Ketiganya ini menyatu dalam kehidupan orang
China dan mereka jadikan pedoman dalam kehidupan
keagamaan mereka. Dalam praktek keagamaannya sulit untuk
kita memisahkan mana yang berasal dari Taoisme,
Konghucuisme
dan
Buddhisme.
Mereka
umumnya
melakukan ibadah dalam klenteng dan menyatu dalam
kebudayaan orang China.
Artikel ke empat dari buku ini menjelaskan tentang
Majelis Pandeta Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi).
Dalam artikel ini dikatakan bahawa Buddha Maitreya lahir di
I kuan Tao dan berkembang di Taiwan. Dalam
perkembangannya sekte ini menemukan tempat yang subur di
Indonesia. Tidak hanya di propinsi-propinsi lain di Indonesia,
Buddha Maitreya juga berkembang pesat di Medan Sumatera
Utara. Para pengikutnya umumnya dari kalangan masyarakat
Indonesia keturunan China. Mereka dapat mengumpulkan
dana yang cukup besar dan memungkinkan mereka untuk
memberikan
derma
kepada
orang
lain
yang
456
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
membutuhkannya. Mereka tidak hanya menanamkan kasih
sayang pada sesamanya, namun juga menanamkan kasih
sayang sesama manusia tanpa melihat dari mana mereka
berasal. Ciri khas dari tempat ibadahnya adalah menyerupai
kelenteng dan di dalamnya diletakkan patung Buddha
Maitreya yang memiliki perut gendut. Meskipun berperut
gendut, namun dia selalu mengumbar senyum kepada semua
orang. Ini artinya bahawa Buddha Maitreya selalu siap
membantu semua orang untuk perdamaian, keluhuran
buddhi, dan kesucian.
Artikel terakhir dari buku ini menjelaskan tentang
Buddhayana dengan lokasi penelitian di propinsi Lampung.
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa umat Buddhayana di
Lampung dapat menjaga keharmonisan satu dengan yang
lainnya. Tidak ditemukan konflik antara aliran satu dengan
lainnya dalam agama Buddha dan juga tidak ditemukan
konflik antara umat Buddhayana dengan umat-umat
beragama lain. Peranan FKUB di Lampung cukup besar dalam
menyatukan antara umat beragama, termasuk agama Buddha
yang benaung dalam sekte Buddhayana.
Tentu saja dalam bagian ini tidak dapat kita
ringkaskan untuk semua artikel yang ditulis dalam buku ini,
namun pada intinya bahwa buku ini telah menjelaskan
kepada pembaca bahwa meskipun agama Buddha di
Indonesia masuk dalam kelompok agama yang memiliki
pengikut lebih sedikit dari agama Islam, tapi juga memiliki
berbagai aliran yang selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Setiap aliran dalam agama Buddha mempunya cara pandang
tersendiri tentang konsep ketuhanan dan ajaran-ajaran
lainnya. Perbedaan antara satu aliran dengan aliran lain dalam
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
457
agama Buddha, memberikan khasanah yang luar biasa bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Cukup
menarik untuk kita simak di sini bahwa meskipun aliranaliran dalam agama Buddha memiliki cara pandang yang
berbeda satu dengan yang lainnya, namun di antara para
penganutnya tetap selalu menjaga keharmonisan satu dengan
yang lainnya.
458
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
INDEKS
Adi Buddha, 7, 141, 143, 187,
214, 321, 428
Altar, 24, 29, 39, 99, 396
Anjali, 63
Asadha, 29, 61, 189, 190, 265,
373
BDNSI, 15, 421
Bhikku, 143, 263, 396, 433, 436
Bimas Buddha, 3, 4, 14, 15, 35,
72, 138, 207, 252, 261, 301,
318, 339, 340, 355, 381, 396,
420, 423, 425, 431, 437
Boddhisatwa, 24, 25, 26, 100,
432
Buddha Gautama, 7, 40, 48,
64, 69, 132, 133, 135, 143,
146, 168, 185, 216, 230, 258,
269, 287, 288, 370
Catur Paramita, 157, 183
Dasa Sila Paramita, 27, 28, 39
Dewi, 79, 85, 86, 87, 89, 90, 91,
92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 107, 108, 112,
155, 241, 265, 275, 337, 373,
378, 432
FKUB, 36, 68, 277, 302, 338,
339, 343, 355, 360, 361, 429,
448, 451
Gohonzon, 230, 232, 237, 238,
239, 240, 241, 245, 250, 388,
410
I Kuan Tao, 152, 153, 154, 155,
156, 203
KASI, 4, 17, 19, 39, 217, 367,
368
Kasogatan, 4, 10, 16, 17, 18, 22,
39, 126, 214, 217, 311, 313,
314, 315, 316, 317, 318, 319,
321, 322, 323, 327, 328, 329,
330, 331, 332, 333, 334, 335,
336, 337, 338, 339, 340, 341,
345, 346, 347, 349, 351, 354,
363, 421, 446
Kathina, 29, 53, 54, 61, 95, 188,
332, 350
Kerukunan, 37, 111, 319, 360
Madha Tantri, 15, 16, 18
Magabudhi, 4, 10, 18, 19, 37,
53, 65, 71, 72, 105, 109, 258,
259, 260, 261, 262, 263, 264,
266, 267, 268, 269, 270, 271,
273, 274, 275, 276, 279, 280,
319, 363, 365, 367, 374, 375,
377, 378, 379, 381, 421, 436,
447
Mahayana, 2, 4, 8, 10, 17, 18,
29, 62, 73, 92, 107, 127, 136,
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
459
139, 140, 145, 146, 207, 210,
214, 217, 225, 226, 229, 245,
249, 250, 252, 254, 258, 287,
288, 293, 295, 296, 299, 303,
318, 321, 322, 332, 345, 349,
354, 374, 383, 395, 402, 404,
415, 421, 433
Majelis Agama Buddha, 5, 8,
10, 15, 16, 18, 19, 22, 50, 65,
73, 126, 217, 228, 311, 313,
314, 315, 316, 317, 318, 327,
333, 334, 335, 337, 338, 346,
354, 363, 365, 367
Majubumi, 18, 301
Majubuthi, 18, 105, 267, 268,
269, 270, 271, 273, 275, 279,
363, 365, 366, 367, 368, 369,
370, 371, 372, 373, 374, 375,
376, 377, 378, 381
MBI, 4, 5, 10, 18, 19, 126, 127,
301, 421, 422, 423, 428, 429,
430, 431, 433, 437, 442, 443,
444, 445, 446, 447, 448, 449,
451
Meditasi, 56, 188, 189, 265,
322, 372
Pali, 49, 60, 64, 65, 71, 131, 136,
143, 144, 174, 177, 187, 268,
287, 288, 295, 365, 370, 441
Puja bhakti, 25, 26, 101, 102,
299
460
Relasi sosial, 35, 105, 109, 110,
274, 338, 340, 347, 350
Rupang, 98, 329
Sadhana, 312, 313, 323, 324,
325, 326, 330, 331
Saka Gakkai, 10
Sam Kaw Hwe, 434
Sradha, 24, 39
STAB, 423, 424
Sutra, 29, 30, 134, 147, 151,
157, 158, 159, 160, 161, 162,
163, 217, 225, 226, 229, 231,
233, 235, 236, 237, 238, 249,
250, 299, 332, 349, 388, 393,
396, 397, 398, 405, 408, 409,
410, 427
Tantrayana, 4, 5, 8, 15, 16, 18,
22, 126, 136, 140, 217, 311,
313, 314, 315, 316, 317, 318,
321, 322, 323, 327, 328, 329,
330, 331, 332, 333, 334, 335,
336, 337, 338, 339, 340, 345,
346, 347, 349, 354, 363, 421
Thian, 79, 80, 85, 86, 87, 93, 94,
96, 97, 98, 100, 101, 107, 108,
109, 272
Tri Pitaka, 25, 29, 30, 36, 40,
229, 298
Tri Ratna, 24, 39
Trisuci Waisak, 187
Vihara, 21, 23, 31, 32, 33, 34,
35, 39, 44, 45, 46, 48, 50, 52,
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 74,
87, 89, 90, 91, 93, 95, 96, 97,
98, 99, 100, 104, 108, 127,
128, 129, 130, 138, 191, 195,
197, 198, 200, 258, 260, 261,
262, 265, 268, 269, 270, 271,
273, 275, 276, 279, 293, 294,
295, 296, 297, 298, 299, 312,
314, 315, 316, 317, 321, 327,
328, 331, 334, 335, 337, 341,
355, 362, 365, 369, 371, 372,
373, 376, 378, 421, 430, 432,
433
Vinaya, 7, 50, 60, 135, 177, 178,
180, 181, 203, 217, 287
Waisak, 29, 37, 53, 54, 61, 67,
68, 72, 95, 187, 189, 245, 249,
266, 332, 342, 350, 373, 374,
430, 431
WALUBI, 4, 9, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 22, 29, 35, 36, 37, 39,
92, 126, 338, 339, 340, 355,
366
YPSBDI, 15, 220, 227, 228, 229,
230, 236, 237, 241, 245, 246,
247, 248, 251, 254
Zen Fo Zong, 18
Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha di Indonesia
461
Download