27 BAB II DARI PORTUGIS KE NUSANTARA

advertisement
BAB II
DARI PORTUGIS KE NUSANTARA HINGGA
MENJADI KERONCONG TUGU
Pada Bab II ini akan dikaji keberadaan musik Keroncong Tugu. Kajian
ini dilatarbelakangi oleh sejarah lahirnya musik keroncong di Indonesia, yakni
ketika Portugis mulai melakukan pelayaran ke wilayah Timur. Musik Keroncong
yang dimaksudkan penulis dalam pembahasan ini adalah musik Keroncong Tugu
yang juga menjadi awal lahirnya musik keroncong pertama di Indonesia yang
masih tetap hidup dan mempertahankan ciri khasnya sehingga musik Keroncong
Tugu djadikan sebagai identitas bagi kebudayaan orang-orang keturunan
Portugis di Kampung Tugu yang tetap mempertahankan keaslian musiknya serta
menjadi kelompok musik keroncong tertua yang tetap eksis dalam kancah musik
populer Indonesia hingga sekarang.
2.1 Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia
Lahirnya musik keroncong di tanah air Indonesia sangat berkaitan erat
dengan sebuah nilai sejarah yang diawali sejak datangnya bangsa Portugis ke
Nusantara, yakni ke bagian Timur wilayah Indonesia. Kedatangan bangsa
Portugis diperkirakan kurang lebih sekitar abad ke lima belas yang mana hal itu
didasari oleh rasa keingintahuan mereka akan kesuburan tanah Indonesia serta
melimpahnya hasil bumi Indonesia khususnya rempah-rempah yang sangat
dibutuhkan bangsa Eropa terlebih ketika terjadi musim dingin. Selama musim
27
dingin di Eropa, tidak ada salah satu cara pun yang dapat dijalankan untuk
mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap hidup. Kerena itu
banyak hewan ternak yang disembelih dan dagingnya kemudian harus di
awetkan. Untuk itulah diperlukan sekali banyak garam dan rempah-rempah.
Cengkeh dari Indonesia Timur adalah yang paling berharga. Indonesia
juga menghasilkan lada, buah pala, dan bunga pala. Kekayaan alam Indonesia
yang begitu melimpah termasuk dalam tanaman rempah-rempah menjadi alasan
Portugis ingin menguasai daerah Indonesia sekaligus menguasai pasaran Eropa.
Hal serupa juga dikatakan oleh seorang ahli sejarah dan arkeologi Islam
Uka Tjandrasasmita dalam bukunya Indonesia-Portugal: Five Hundred Years Of
Historical Relationship (Capessa 2002), mengutip sejumlah ahli sejarah,
menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi kerajaan Portugis datang ke Asia.
Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dengan tiga kata bahasa Portugis, yakni
Feitoria, Furtaleza, dan Igreja yang arti harafiahnya adalah emas, kejayaan, dan
gereja atau perdagangan, dominasi militer dan penyebaran agama Katolik.
Pendeta Francisan bernama John dari Monte Corvino dapat dikatakan
sebagai orang pertama yang menginjakkan kakinya di Asia sebelum Marcopolo
melakukan perjalanannya. Dia dan juga beberapa orang temannya mamou
mencapai daerah Asia melalui laut, dari India dan Teluk Persia dan melewati
Asia Tenggara. Sejak saat itu akhirnya beberapa misionasris melakukan
perjalanan pulang-pergi melalui jalur laut. Sekitar tahun 1342, pendeta
misionaris lain yang bernama John Mariggnolli dari Florencia datang ke Cina
dengan menggunakan jalur darat dan kemudian kembalai lagi ke rumahnya pada
28
bulan Desember 1346, melewati Asia Tenggara. Berdasarkan pengalaman
perjalanannya melewati Asia Tenggara ia kemudian menggambarkan “Saba”
(Jawa atau Sumatera) adalah sebuah daerah pedalaman yang tidak ada
bandingannya serta cerita lain yang dinilai Hall sebagai “kisah fantastik” (Hall,
ibid, hal.232)
Kemudian menyusul pula sebuah keluarga terhormat bernama Nicole de’
Contian yang juga adalah orang Eropa untuk melakukan perjalanan ke Asia
Tenggara. Dia adalah seorang yang mencari peluang dagang dan menghabiskan
waktu kurang lebih 25 tahun mengembara di daerah Timur, berkunjung ke pulau
Sumatera dan Jawa dan kembali pulang pada tahun 1444. Ia melukiskan pulau
Sumatera sebagai pulau yang kaya akan merica dan emas.
Setelah itu menyusul pula seorang Italia yang bernama Hieronomo de
Santo Stefano datang berkunjung juga ke pulau Sumatera pada tahun 1496 dan
ia menggambarkan pula bahwa pulau Sumatera adalah sebuah tempat tumbuh
suburnya merica, sutera, lada, kapur barus, kayu cendana,dan banyak hasil bumi
melimpah lainnya. Tidak lama berselang Santo Stefano diikuti oleh perantau
lainnya dari Bologna, Ludovico di Varthema, pada tahun 1502 dan merupakan
orang pertama yang mengenalkan Selat Melaka kepada orang Eropa. Dia
menggambarkan Melaka adalah sebagai sebuah selat yang bisa dijadikan sebagai
jalan perdagangan besar dengan memanfaatkan pelabuhan yang ada, terutama
perdagangan rempah-rempah. Singkatnya, pelabuhan yang dibuat oleh Stefano
kemudian direbut oleh Alfonso de Albuquerque ketika memimpin pelayaran
Portugis pada tahun 1511.
29
Keberhasilan Portugis merebut pelabuhan di Melaka merupakan sebuah
kesuksesan yang termahal dari semua usaha yang pernah dilakukan oleh
Portugis untuk menguasai Asia dan Afrika (Massarella 1990:19). Manuel, yang
ketika itu adalah Raja Portugis merasa sangat bangga dengan pencapaian yang
dilakukan Alfonso, sehingga dia menceritakan kesuksesaan itu kepada paus Leo
X di Roma melalui sebuah surat. Setelah memberikan selamat kepada Raja
Manuel, kemudian Paus mengeluarkan ‘Maklumat Pengakuan‘ pada tanggal 3
November 1514. Isi maklumat itu adalah “ia melarang orang Kristen ikut
campur atau masuk tanpa izin ke wilayah yang berhasil dikuasi oleh Raja
Manuel tersebut. Dengan adanya pengakuan itu, Portugis pun merasa semakin
kuat dan yakin untuk memperluas dan memperkuat kekuasaannya di Melaka
sehingga
Portugis
membangun
sebuah
benteng
untuk
dapat
terus
mempertahankan kekuatan dan kekuasaannya dari setiap interupsi atau serangan.
Berhasilnya Portugis menguasai Melaka yang kaya dengan rempahrempah tidaklah membuat Portugis puas dan behenti sampai pada titik itu.
Meskipun keberhasilan Portugis menguasai Melaka pada waktu itu merupakan
kesuksesan terbesar mereka, namun mereka masih menyadari bahwa Melaka
bukanlah penghasil rempah-rempah terbanyak, melainkan ada daerah lain yakni
Maluku yang masih memiliki rempah-rempah lebih berlimpah dibandingkan
Melaka. Akhirnya, Albuqerqeu mengirimkan pasukannya ke pulau Jawa untuk
meminta izin berlayar di laut Jawa sebelum mereka tiba di Maluku yaitu tempat
di mana sumber rempah-rempah yang mereka cari. Pada Desember 1511,
mereka mendarat di pelabuhan Jawa di Banten yang mayoritas beragama Islam.
30
Karena kondisi kapal mereka yang sudah tua dan tidak layak pakai, akhirnya
kepala navigator yakni Fransisco Serrao memerintahkan mereka untuk
membakar semua kapal mereka dan kemudian membeli kapal bekas milik
nelayan lokal lalu melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju pulau-pulau
Banda.
Setelah mereka pulang dari Banda, sekitar tahun 1512, kapal mereka
yang sudah penuh dengan rempah-rempah yakni cengkeh, pala, dan bunga pala
mengalami kecelakaan dan akhirnya karam setelah dihantam hebat oleh badai.
Dari semua pasukan yang berangkat, hanya tersisa tujuh orang yang berhasil
diselamatkan oleh penduduk setempat. Ketujuh orang ini kemudian dilaporkan
kepada Sultan Abu Lais di Ternate. Sultan Abu Lais adalah seorang yang bisa
meramalkan sesuatu dan dia percaya dengan ramalannya itu kehadiran ketujuh
orang Portugis ini dapat membantunya untuk memperluas kekuasaannya di
Maluku, dan oleh karena itu beliau menyambut dengan ramah dan hangat ke
tujuh orang Portugis tersebut. Pucuk di cinta ulam pun tiba, itulah yang dapat
menggambarkan keberadaan orang Portugis pada waktu itu. Kini mereka ada di
tempat yang tepat yakni tempat di mana berlimpahnya rempah-rempah yang
mereka cari selama ini.
Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Portugis. Selain mereka kini
ada di tempat yang tepat, mereka juga bersahabat baik dengan Sultan Ternate
sehingga muncul ide mereka untuk memonopoli rempah-rempah yang dapat
mereka jual dengan harga tinggi di Eropa. Bagi Sultan Ternate sendiri yaitu Abu
Lais, kehadiran orang Portuguis juga merupakan sebuah keuntungan yang dapat
31
membantunya untuk memperkokoh kekuasaannya. Oleh karena hal itu dia
sangat antusias dan bahkan memohon kepada Serrao sebagai kepala navigator
mengirimkan surat kepada Raja Dom Manuel untuk mengirimkan pasukan dari
Portugis dan meminta Portugis membangun sebuah pabrik di Ternate dengan
imabalan yaitu memberikan izin kepada Portugis untuk membangun sebuah
benteng di Ternate dan ia berjanji akan mengirimkan cengkeh ke Portugis.
Pada tahun 1513 Melaka mengirimkan ekspedisi cengkeh dalam jumlah
yang banyak untuk kedua kalinya, namun pada saat itu lawan dari Sultan Abu
Lais yaitu Sultan Mansyur dari Tidore juga mengirimkan hal serupa kepada
Portugis dengan tujuan yang sama yakni untuk meminta dukungan militer dari
Portugis. Alhasil kedua Sultan yang salilng bermusuhan itu pun sama-sama
meminta bantuan militer dari Portugis, dan itu membuat keadaan di seluruh
pulau itu semakin rumit.
Pada bulan November 1521 kapal ekspedisi milik Spanyol, Victoria
akhirnya berlabuh di Tidore. Kehadiran mereka disambut hangat oleh Sultan
Mansyur karena hal itu sudah diramalkannya lewat mimpi, bahwa
dalam
mimpinya dia melihat akan datang kapal-kapal besar dari tempat yang jauh, dan
ternyata itu adalah Spanyol. Kehadiran Spanyol ini membuat Portugis sesegera
mungkin memperkokoh posisinya dengan memaksa membuat sebuah perjanjian
dengan Ternate agar Portugis memonopoli perdagangan cengkeh. Dengan ini
akhirnya Portugis benar-benar menguasai daerah itu dan dibangunlah benteng
pertama milik Portugis pada tanggal 15 februari 1523 dengan nama Sao Jao
Bautista (St John the Baptist) untuk memperkuat kekuasaan Portugis.
32
Semakin lama situasi pun semakin memburuk, hal itu dikarenakan
pertarungan antara Portugis yang beraliansi dengan Ternate yang pada waktu itu
dipimpin oleh anak dari Sultan Abu Lais yaitu Sultan Abu Hayat yang pada
waktu itu berusia tujuh tahun melawan Spanyol yang beraliansi dengan Tidore.
Kepada Tidore Spanyol berjanji menyediakan kapal, pasukan, dan amunisi untuk
dapat melawan semua musuhnya, termasuk Portugis. Namun pada kenyataannya
usaha perlawanan yang dilakukan oleh Spanyol tidak pernah berhasil, dengan
kata lain mereka selalu kalah dengan Portugis dan itu membuat Spanyol mundur
meninggalkan Maluku.
Di sisi yang lain juga hubungan antara Portugis dengan Ternate semakin
memburuk. Hal ini diawali sejak orang-orang ternate menyadari bahwa Portugis
berusaha memonopoli rempah-rempah di Ternate dan menjadi lebih buruk lagi
sejak Kapten Portugis yang kala itu dipimpin oleh Kapten Portugis Dom Jorge
de Menese menyandera Sultan Abu Hayat di benteng milik Portugis hingga dia
meninggal dunia yang kemudian digantikan dengan saudaranya Dayali yang
juga disandera oleh Portugis di benteng mereka.
Peristiwa ini membangkitkan amarah masyarakat Ternate, hingga
akhirnya mereka melakukan perlawanan terhadap Portugis. Selain masyarakat
Ternate, muncul juga perlawanan dari daerah lain seperti Maluku yang
menantang keras usaha monopoli yang dilakukan oleh Portugis. Selain itu
kerajaan Islam Demak juga ikut serta melakukan perlawanan terhadap kegiatan
misionaris yang dilakukan oleh Portugis. Benteng Portugis yang terletak di
Sunda Kelapa (sekarang menjadi Jakarta) berhasil dikalahkan oleh Sultan
33
Fatahilah bekerjasama dengan kerajaan Sunda-Hindu, Pajajaran pada tahun
1572.
2.2 Kampung Tugu
Kampung Tugu adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara
kota Jakarta, tepatnya di kawasan pantai utara Jakarta, di sebelah timur wilayah
Tanjung Priok yang ditetapkan menjadi pelabuhan kota Jakarta sejak tahun 1883
menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa atau Jayakarta. Wilayah Kampung Tugu
ini termasuk ke dalam kategori daerah terpencil yang cukup jauh dari
kemegahan
kota Jakarta, dan jauh tertinggal dari hiruk pikuk kebijakan
pemerintah yang ingin mengedepankan budaya sebagai upaya pendekatan
kepada masyarakat yang multilateral. Bahkan sekarang ini terlihat suasana yang
sangat tidak nyaman apabila kita melewati daerah ini. Sepanjang jalan di
kawasan ini kini menjadi daerah yang tingkat polusinya cukup tinggi karena
dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah yang berasal dari pelabuhan
Tanjung Priok, sangat padat dan macet yang disebabkan oleh melintasnya mobil
truk peti kemas, meskipun wilayah ini dijadikan sebagai cagar budaya yang
menjadi pewaris kebudayaan Portugis dan juga karena adanya sebuah gereja
bersejarah yang terletak di pinggir jalan Raya Tugu, yakni Gereja Protestan
Indonesia Bagian Barat (GPIB) yang kala itu dihadiahi oleh Belanda kepada
Portugis yang sebelumnya memeluk agama Katolik menjadi agama Protestan,
serta
makam para bagi para orang Tugu yang dianggap sebagai orang
berpengaruh di kawasan tersebut.
34
Gambar 1:
Peta Kampung Tugu
(sumber: https://www.google.com/maps/search/jalan+raya+
tugu+no+28/@-6.129578,106.91975)
Gambar 2.
Gereja Tugu
(sumber:http://www.google.com/search?q=gereja+tugu+semper&
biw=931&bih)
35
Terkait dengan nama wilayah ini yang disebut dengan nama Kampung
Tugu, dilatarbelakangi oleh dua pendapat. Pendapat pertama adalah dikarenakan
pada tahun 1879 ditemukan sebuah Prasasti Tugu yang diperkirakan sudah ada
sejak abad ke lima, yang kemudian pada tahun 1911 dipindahkan ke sebuah
museum yang bernama Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen yang kini dikenal dengan Museum Nasional. Pendapat kedua
terkait pemberian nama wilayah ini menjadi Kampung Tugu diambil dari kata
“Portuguese”, hal ini karena wilayah ini pertama kali dihuni oleh orang-orang
yang merupakan keturunan Portugis.
Kedatangan Portugis pada abad ke 15 merupakan pertemuan Eropa
pertama kali di pulau Jawa yang berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa dalam
perjalanan mereka menuju ke daerah penghasil rempah-rempah yaitu Melaka
dan Maluku. Seperti yang sudah ditulis pada tulisan sebelumnya, akhirnya
kedatangan Portugis mendapat sambutan baik oleh Sultan di kedua wilayah itu,
hingga akhirnya wilayah itu berada di bawah kendali Portugis dan menguasai
serta memonopoli rempah-rempahnya sejak tahun 1511–1641, namun pada
tahun 1648 armada Belanda berhasil menguasai dan mengambil alih Melaka.
Kehadiran Portugis ke wilayah Asia Tenggara menetapkan adanya Kreol
Mestizo (keturunan) yakni peranakan campuran Portugis dengan wanita pribumi
sejak kedatangan mereka ke Sunda Kelapa pada abad 15, dan juga kelompok
mardijkers (harafiah bebas pajak), yaitu laskar Portugis yang dibawa dari
Melaka oleh VOC ke Batavia sejak tahun 1641.
36
Inilah yang menjadi awal lahirnya Kampung Tugu, yakni ketika
sekelompok pelaut Portugis Goa yang melarikan diri dari Bandaneira, setelah
Gubernur Jenderal Jan Pieter Soen Coen memberlakukan pembersihan etnis oleh
militer Belanda di Pulau Banda selama tahun 1620. Para pelaut Goa membuat
pelabuhan darurat ketika kapal mereka karam di teluk Batavia. Di bawah
intervensi Batavia Portugis Church (Portugeesche Binnenkerk), pada tahun
1661 oleh Belanda dibebaskan dan dikirim para pelaut ini ke desa Tugu bersama
dengan keluarga mereka asal Bandaneira yang berjumlah sekitar 23 kepala
keluarga.
Mereka kemudian dipaksa oleh Belanda untuk memeluk agama Kristen
Protestan dan dihadiahi sebuah gereja sebagai tempat ibadah yang lokasinya
tidak jauh dari Kampung Tugu oleh tuan tanah Belanda Yustinus Van Der Vinc
pada tahun 1747, beserta sebidang tanah untuk pemakaman yang bersebelahan
dengan gereja.
Ketika wilayah Kampung Tugu ini dihuni oleh para mestizo untuk yang
pertama kalinya, wilayah ini dapat dikatakan tidak layak huni, karena lokasi ini
pada waktu itu merupakan kawasan hutan lebat yang berawa sehingga daerah ini
menjadi tempat bersarangnya nyamuk malaria. Tepatnya pada tahun 1661, ke
hutan yang berawa inilah Belanda membawa sekitar 23 kepala keluarga mestizo
untuk hidup, berkembang dan menetap bersama kleuarga mereka. Dalam upaya
mereka mempertahankan kelangsungan hidup, mereka memanfaatkan potensi
alam sekitar yang cukup subur untuk diolah sebagai lahan pertanian, dan ada
juga yang menjadi nelayan karena di kawasan tersebut juga mengalir sebuah
37
sungai yang di sebut dengan Kali Cilincing. Di sini mereka tinggal secara
eksklusif dengan mempertahankan bahasa mereka bahasa Portugis Cristao lisan,
namun seiring berjalannya waktu kedatangan penduduk dari luar wilayah Tugu
membuat mereka akhirnya melebur dan membaur dengan situasi dan keadaan
pada saat itu sehingga Pada pergantian abad ke-19, kelompok ini terpisah-pisah
dan secara perlahan berasimilasi dengan masyarakat kota Batavia yang sangat
besar.
Kini usia Kampung Tugu diperkirakan sudah 3,5 abad dan dalam kurun
waktu yang terhitung cukup panjang tersebut pasti ada banyak hal yang berubah,
baik dari situasi di lingkungan itu bahkan juga pengaruh dari luar. Tingginya
minat masyrakat Indonesia untuk mencari rezeki di Jakarta juga menjadi salah
satu faktor. Kini mereka yang merupakan penduduk pertama di Kampung Tugu
justru menjadi penduduk minoritas di kawasan Kampung Tugu, dan didominasi
penduduk pendatang dari luar daerah Jakarta. Kehadiran masyarakat pendatang
dari luar Jakarta, Kampung Tugu khususnya membuat sedikit Perubahan dan
hal itu dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan dalam keseharian mereka,
yang mana awalnya menggunakan bahasa Cristao Lisan berganti dengan
menggunakan bahasa Melayu, Belanda, hingga akhirnya kini menggunakan
bahasa Indonesia dengan logat Betawi untuk bahasa sehari-hari. Untuk tetap
menjaga keutuhan dari keluarga Portugis mereka, diadakan rutin setiap tahunnya
acara tradisi tahunan “Rabo-Rabo” dan “Mandi-Mandi” untuk mengakhiri
minggu Tahun Baru, yang masih dilakukan oleh masyarakat Tugu hingga
sekarang.
38
2.3 Lahirnya Musik Keroncong Tugu
Keberadaan musik Keroncong Tugu yang kita kenal sekarang sebenarnya
mendapat pengaruh yang cukup kuat dari Portugis sehingga menjadi seperti
yang sekarang, yakni sejak kehadiran Portugis untuk pertama kalinya di
Indonesia pada abad 15. Musik keroncong Tugu kini telah berusia 3,5 abad.
Masuknya Portugis ke Indonesia diawali dengan sebuah tujuan untuk
menguasai rempah-rempah dan menyebarkan agama Katolik. Akan tetapi dalam
perjalanan pelayaran mereka secara tidak sengaja ternyata mereka juga
membawa musik mereka untuk membuat suasana selama perjalanan terasa lebih
membahagiakan, menghibur dan melepaskan penat.
Portugis memiliki tiga jenis lagu rakyat, yaitu: (1) ballada, (2) fado, dan
(3) lagu-lagu lirik. Dari ketiga jenis lagu rakyat Portugis ini salah satunya
dianggap sebagai alasan lahirmya musik Keroncong Tugu Cafrinho, yakni Fado.
Fado sendiri berasal dari istilah Latin fatum yang berarti takdir atau nasib. Fado
awalnya merupakan sebuah musik rakyat yang kemudian berkembang menjadi
sebuah musik pengiring tarian yang hanya dipertunjukkan untuk para kalangan
elit dan orang-orang terpandang di Portugis.
Ada beberapa pendapat yang menceritakan bagaimana lahirmya musik
Fado di Portugis. Pinto de Cavalho menganggap bahwa Fado berasal dari
nyanyian para pelaut Portugis abad keenambelas yang kemudian menjadi
populer sepanjang abad kesembilanbelas khususnya di Alfama, salah satu sudut
kota Lisbon. Sedangakan menurut Braga, Fado berasal dari tradisi orang Moor
39
dan Arab, dan bahkan Luís Moita dan Alberto Pimental yakin adanya pengaruh
lagu tarian Lundum dari dari Afrika Selatan terhadap Fado. Antonio Pinta da
Franca (1985:22) mengatakan bahwa Fado adalah nyanyian rakyat Portugis yang
dibawa oleh para budak negro dari Afrika Barat pada abad ke 15 yang kemudian
berkembang menjadi lagu perkotaan dan lagu untuk mengiringi tarian Portugis.
Gaya Fado yang khas sebagai hiburan yang cukup dikenal di kota Lisbon
dan Coimbra adalah merupakan hasil dari perkembangan gaya fado kerakyatan
yang disebut dengan desafio, yang merupupakan sebuah nyanyian tantangan
atau nyanyian berduel yang pada masa itu paling sangat dikenal di wilayah
Minho dan Azores. Akan tetapi berbeda halnya dengan gaya fado yang
berkembang di perkotaan. Gaya fado di perkotaan lebih terlihat seperti sebuah
nyanyian solo dengan bentuk sajak, metrum dan tema dari syairnya literatura de
cordel yang adalah sbeuah bentuk sastra dengan attack yang kuat secara verbal
atau tertulis.penyusunan fado dibuat dalam bentuk bait dengan menggunakan
tonalitas mayor dan minor dan iringan istrumen musik dalam harmoni triadic
yang sederhana berupa akor I, IV, dan V7 dan selingan yang dimainkan dengan
akord dominan sekunder menuju dominan V7/V. Instrumennya sendiri
menggunakan alat-alat musik diantaranya adalah biola, sebuah gitar yang
berdawai empat atau lima dan guitara Portuguesa yaitu sebuah lut panjang yang
menyerupai instrumen citern dan pandora di Inggris.
Musik
dan
tarian
rakyat
Portugis
merupakan
kesenian
yang
perkembangannya paling pesat di Eropa, dan bahkan menjadi bagian dari tradisi
kerakyatan di Asia, Afrika, dan Amerika. Bentuk dari tradisi tarian dan nyanyian
40
ini dapat dilihat dan ditemukan di Goa, Cape Verde, dan Brazil. Namun jauh
sebelum itu musik dan tari rakyat Portugis itu sendiri juga sebagian telah
berasimilasi dengan budaya Moor dari Afrika Utara (Marokko) ketika Portugis
mendapat pengaruh dan asupan budaya Moor dari abad kedelapan hingga abad
ketiga belas.
Gitar dari Portugis yang disebut cavaquinho, merupakan sebuah
instrumen yang memiliki arti penting dalam sejarah musik Keroncong Tugu.
Cavaquinho ini adalah sebuah gitar yang berukuran kecil dengan panjang 50 cm
dan memiliki 4 dawai atau senar. Cavaquinho ini terdapat di seluruh wilayah
Portugis terutama di wilayah barat laut. Instrumen cavaquinho inilah yang
kemudian senantiasa dibawa oleh para pelaut Portugis kemanapun mereka pergi
melakukan pelayaran. Oleh karena itulah instrumen cavaquinho ini tersebar ke
berbagai daerah dan memperoleh sebutan yang beragam. Di wilayah Portugal di
samudera Atlantik seperti di Madeira instrumen ini disebut braguinha, di Azores
dan Brazilia disebut dengan machete, di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia
disebut cuatro. Melalui Afrika Barat dan Goa India, pada abad keenambelas
tibalah cavaquinho di Melaka dan Maluku. Dari Maluku kemudian cavaquinho
dilahirkan kembali di Kampung Tugu dan kemudian diberikan sebutan
Keroncong. Kepopuleran alat ini mulai mencuat sekitar abad kesembilan belas
setelah mencapai Hawaii, yang dikenal dengan ukulele. Fado inilah yang
merupakan musik Moresco yang diwariskan Portugis dan menjadi awal lahirnya
musik Keroncong di Indonesia, suatu jenis musik dansa asal Portugis Moor yang
masuk dibawa oleh Lusitania (nama mantan orang Portugal) pada abad ke 8.
41
Gambar 3.
Gitar Portugis yang disebut Cavaquinho
(sumber: google)
Terisolasi dari kehidupan perkotaan Batavia, komunitas Tugu sangat
membutuhkan suatu seni atau hiburan yang dapat melepaskan mereka dari
kepenatan mereka dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, apalagi pada waktu
itu Kampung Tugu adalah area hutan lebat dan rawa, yang semakin mempersulit
mereka untuk melakukan akses keluar wilayah Kampung Tugu. Sementara,
sebelum mereka diasingkan ke wilayah Tugu, mereka selalu memainkan musik
Moresco kebanggaan mereka di mana pun dan dalam aktivitas apapun dalam
keseharian mereka. Situasi inilah yang membuat para mestizo ini kemudian
melakukan kembali musik Moresco yang biasa mereka lakukan sebelumnya.
42
Bermodalkan ingatan dan kemampuan mereka memainkan instrumen
cavaquinho yang kini dikenal dengan istilah Keroncong, mereka menciptakan
dan menghidupkan kembali musik yang biasa mereka lakukan dahulu sebelum
akhirnya mereka diasingkan ke Kampung Tugu. Ditambah lagi keberadaan alam
di Kampung Tugu sangat mendukung karena wilayahnya merupakan hutan yang
subur dan banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon kembang kenanga, yang
kayunya dimanfaatkan mereka untuk membuat alat musik.
Leonidas Salomons adalah orang Tugu keturunan Portugis yang membuat
alat musik cavaquinho di Kampung Tugu. Cavaquinho buatan para mestizo
inilah yang kemudian berkembang dan dibuat dalam tiga ukuran: Macina (kecil),
Frunga (menengah), dan Jitera (besar). Cavaquinho yang dibuat di Kampung
Tugu ini yang kemudian dinamakan sebagai Keroncong, istilah itu sendiri
mungkin berasal dari onomatope crong, suara khas alat musik tugu, atau nama
etimologis diambil dari kerincing rebana (suara gemerincing), bagian dari
ensemble perkusi generik yang menyertai tarian Moresco.
Kemudian muncul beberapa nama seperti Piet Tentua, Jacobus Quiko dan
Samuel Quiko, untuk melakukan hal yang sama namun hanya untuk kepentingan
kelompok. Samuel Quiko di tahun 1983 pernah membuat sebanyak 50 buah
Macina dari batang pohon kayu kembang kenanga atas pesanan Mr. Shaki
seorang budayawan asal Jepang.
Dalam perkembangan selanjutnya, keroncong menjadi cuk (ukulele
pertama tiga senar), cak (ukulele kedua empat senar) dan gitar enam senar
sebagai adaptasi dari mandolin yang berfungsi sebagai melodi berjalan.
43
Kegiatan keseharian para mestizo ini beragam. Namun karena kawasan ini
merupakan daerah hutan yang subur dan dialiiri sebuah sungai, banyak dari
antara mereka yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian, menjadi nelayan
dan juga berburu ke hutan. Biasanya, Selepas melakukan aktivitas kesehariannya
itu, para pemuda mestizo ini berkumpul bersama anggota keluarga lain untuk
bermain musik, bernyanyi dan menghibur hati dengan memainkan alat musik
yang dibuat sendiri oleh mereka seperti macina, frunga dan jitera. Alat musik ini
kemudian dikenal sebagai keroncong karena apabila dimainkan suaranya
berbunyi “crong-crong”. Inilah Moresco, pada gilirannya menyebabkan lahirnya
musik keroncong di Kampung Tugu, dan genre musik Keroncong di Indonesia
hingga sekarang. Elemen Moresco Portugis di keroncong tugu ditemukan dalam
ekspresi repertoar musik dan keahlian organologi masyarakat pengrajin alat
musik Tugu. Repertoar Moresco Portugis hanyalah iringan musik gaya untuk
tarian, dengan pola ritmis gemetar dan bebas ekspresi (cambiata atau nota
melodi), dinyanyikan jelas dengan suara sengau yang meniru falsetto wanita.
Lagu Portugis Moresco hampir mirip dengan fado yang dinyanyikan dari
hati tanpa ornamen atau vibrato. Iringan alat musik perkusi dan chordal jelas
didengar, seperti rebana (adaptasi dari pandeiro Portugis, sejenis rebana) dan
gitar lima-string berdasarkan cavaquinho Portugis, dan yang dikembangkan
kemudian oleh pengrajin Tugu menjadi tiga ukuran: Macina (kecil), Frunga
(menengah), dan Jitera (besar).
Musik asal Tugu atau yang orang sebut keroncong tugu telah bertahan
selama lebih dari tiga setengah abad karena faktor kualitas sebagai nova ars
44
egaliter yang tidak dimiliki musik klasik Barat atau musik gamelan adat.
Penampilan reguler di Batavia Pasar Gambir Festival, menghasilkan pendapatan
untuk memproduksi instrumen musik pasar khas di awal abad 19 pada Toko
Musik Batavia 'Thio Tek Cu' Passer Baroe (Pasar Baru sekarang), sekaligus
membuka apresiasi baru dan bukti adanya perkembangan budaya musik yang
berjalan di Kampung Tugu dengan bentuk ornamennya.
Dukungan komunal oleh masyarakat Batavia, sebuah repertoar lagu
Belanda dan Melayu untuk mengakomodasi selera musik Tugu, keahlian
masyarakat Tugu dalam bercocok tanam dengan sistem kekerabatan kolektif,
dan komitmen primordial mereka dalam melestarikan dua acara tradisi tahunan
“Rabo-Rabo” dan “Mandi-Mandi” untuk mengakhiri minggu Tahun Baru, yang
masih dilakukan oleh masyarakat tugu hingga sekarang, adalah cermin tumbuh
makin berkembangnya budaya Kampung Tugu hingga saat ini dan tetap
dilakukan seperti sedia kala.
45
Gambar 4:
Acara Rabo-Rabo dan Mandi-Mandi
Pada pergantian abad ke-19, Keroncong Tugu berkembang menjadi seni
akulturasi yang ditiru oleh masyarakat Hindia di Batavia, dan memunculkan
gaya seperti keroncong Kemayoran oleh De Krokodilen kelompok di
Kemayoran yang terkenal dengan buaya keroncongnya, Lief Java oleh musisi
lokal Jawa, dan Langgam Keroncong dalam gaya gelijkgesteld dari Tin Pan
Alley di Amerika oleh musisi Indonesia Timur, sebelum keroncong menyebar ke
kota-kota lain di Jawa, termasuk Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta,
dan Surabaya.
Pada tahun 1925 (Moresco I) dibentuklah sebuah kelompok secara
terorganisasi oleh seorang putra tugu keturunan Portugis Joseph Quiko dengan
nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe - anno 1661 sebagai komitmen
mereka untuk terus mempertahankan dan mengidentitaskan musik Keroncong
Tugu Cafrinho sebagai sebuah kebudayaan musikal.
Mereka menyanyikan lagu-lagu berbahasa kreol Portugis, melayu dan
lagu berbahasa Belanda. Lagu Moresco sendiri merupakan lagu yang pertama
46
kali dipopulerkan di Kampung Tugu yang kemudian dijadikan sebagai dasar
lagu-lagu keroncong yang tercipta sekarang. Tercatat juga ada 4 lagu berbahasa
kreol Portugis yang masih dinyanyikan hingga sekarang Nina Bobo, lagu
kebiasaan untuk menimang anak untuk tidur, Gatu Matu, Cafrinho, dan Yan
Kaga Leti.
Kemudian
secara
turun
temurun
kelompok
Moresco
berlanjut
melalui Jacobus Quiko pada tahun 1935 (Moresco II), Samuel Quiko, 1978
(Moresco III), Samuel Quiko, 1992 (Cafrinho I), dan tahun 2006 hingga
sekarang dipimpin oleh Guido Quiko (Cafrinho II) yang juga adalah anak dari
Samuel Quiko. Sejak terbentuknya organisasi kelompok Keroncong Tugu tahun
1925 inilah ‘’Dendang Sejarah’’ Musik Keroncong Tugu bergema dimanamana dan masyarakat luas hanya menyebutnya dengan Keroncong Tugu.
Gambar 05
Para pimpinan Keroncong Tugu Cafrinho dari Generasi I-IV.
Sejak tanggal 12 Desember 1991 Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe
berubah nama menjadi Keroncong Tugu Cafrinho yang diprakarsai oleh Samuel
dikarenakan ada seorang anggota Moresco (non aktif sejak 1978) : Arend
47
J. Michiels, membentuk sebuah kelompok baru di tugu dan memisahkan diri
dari moresco pada akhir tahun 1990. Pergantian nama itu merupakan kelanjutan
dari Orkes Poesaka Krontjong Moresco Tugu–Anno 1661, dan berkembang
hingga sekarang dengan tetap mempertahankan bentuk khas permainan dan alatalat musiknya.
Tahun 1935, tercatat Kusbini yang adalah seorang musisi keroncong
menulis syair lagu keroncong Moresco, sebuah adaptasi dari varian Moresco
oleh Manusama, yang kemudian memunculkan Genre Keroncong Asli dalam
perkembangan musik keroncong pada saat itu. Pada tahun 1940, seorang musisi
keroncong, Gesang, menciptakan lagu Bengawan Solo, yang merupakan bentuk
lagu strophic yang membedakan keroncong asli dengan keroncong Langgam
(permainan bebas), yang keduanya sekarang dianggap masyarakat Indonesia
sebagai pengembangan musik keroncong modern.
Pada tahun 1971, UNESCO memberikan sebuah kesempatan sebagai
bentuk pengahargaan kepada Moresco Tugu Ensemble, di hari jadinya yang ke
30, yang mana UNESCO mensponsori pembuatan album rekaman “Kroncong
De Tugu” dengan repertoar Hindia mereka yang termasuk lagu-lagu seperti
Schoon ver van jou dan Oud Batavia, dinyanyikan oleh seorang penyanyi yang
berumur tujuh puluh tahun yakni Om Waash dan Oma Christine. Pada saat itu
keroncong tugu dipimpin oleh Jacobus Quiko yang juga adalah seorang pemain
biola. Turut serta pimpinan pertama Joseph Quiko pada gitar melodi, Frans
Abrahams pada gitar rhytm, Arends Michiels di pizzicato cello, Samuel Quiko
pada macina, Marthen Sopaheluwakan pada frunga, Fernando Quiko pada
48
rebana, Elpido Quiko pada triangle dan Om Dudung dari kemayoran pada
mandolin.
Kelompok Keroncong Moresco Tugu generasi ke 3 (Samuel Quiko)
tahun 1889, juga telah diundang untuk tampil setiap tahunnya di Bazaar Pasar
Malam Besar Tong Tong Fair Festival di Den Haag, Belanda hingga tahun 2002.
Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan oleh keroncong Tugu adalah kerap
tampil di program televisi nasional dan swasta dalam apresiasi seni budaya baik
pementasan dan wawancara, serta mendapatkan dukungan yang sangat besar dari
masyarakat Indonesia bahkan negara lain.
Sama halnya seperti apa yang sudah dilakukan oleh para pendahulu
mereka yaitu berusaha mempertahankan selama berabad-abad, alunan musik dan
juga sejarah dari Keroncong Tugu dengan keunikannya, bagaimana kemampuan
beradaptasi, karakter asimilatif dan relevansi sejarah, serta upaya untuk selalu
berkumandang ke masa depan, demikian jugalah yang dilakukan oleh Guido
Quiko sebagai pemegang warisan budaya sekaligus pimpinan Keroncong Tugu
generasi ke-4 yang kini disebut dengan nama Keroncong Tugu Cafrinho. Guido
mengatakan penerus Keroncong Tugu adalah penerus warisan budaya musik
Kampung Tugu yang harus tetap menjaga dan melestaraikan kemurnian serta
keasliannya, agar keberadaannya tetap diakui hingga tongkat estafet budaya ini
bergulir pada anak cucu di Kampung Tugu, dan di masa yang akan datang
keroncong tugu tidak rusak oleh peradaban warna musik luar yang semakin
mewabah di Negara Indonesia.
49
Hal itu dia buktikan dengan membuat semakin harum nama Keroncong
Tugu Cafrinho yang dia lakukan dengan cara mengisi acara-acara pementasan
yang dilaksanakan baik di televisi ataupun di ruang terbuka, mengisi acara
pemerintahan ataupun swasta, mendidik serta membimbing para junior yang
dipersiapkan sebagai penerus dari Keroncong Tugu Cafrinho, merekam kembali
lagu-lagu Keroncong Tugu yang lama, dan membangun kerjasama dengan
banyak pihak baik pemerintah, swasta bahkan internasional.
Hal lain yang dilakukan Guido adalah latihan rutin pada selasa malam
sebagai upaya membangun kekompakan dan penguasaan terhadap lagu-lagu
yang ikut berkembang di jaman sekarang, ini dimaksudkan agar pendewasaan
musik keroncong tugu terhadap perkembangan musik jaman sekarang dapat
berjalan seirama atas dasar selera masyarakat yang mendengarnya.
2.4 Seniman dan Masyarakat Pendukung Keroncong Tugu
Di generasi Keroncong Tugu Cafrinho yang ke-4 ini, keanggotan yang
terdaftar sebagai musisi Keroncong Tugu Cafrinho ada sebanyak 31 orang yang
dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah merupakan para
musisi Keroncong Tugu Cafrinho senior yang jumlahnya ada sebanyak 22 orang,
yakni sebagai berikut.
Senior:
1. Yunus Cornelis Yulianto
2. Santana Immanuel Manurung
3. Rosmario Quiko
50
4. Rosdiana Broune
5. Sesar Cornelis
6. Nining Yatmin
7. Ahmad
8. Helmi Irawan
9. Lupita Glory Quiko Cornelis
10. Avand Michiels
11. Wandi
12. Nicolaus Payong Ola
13. Sesya Damiyati
14. Ferina Panduinata
15. Winarno
16. Alexander Sebastian
17. Ervina Simarmata
18. Yando Quiko
19. Tetty Supangat
20. Surjaya
21. Arie Wibowo
22. Cecep Sumarlin
Untuk kategori musisi Keroncong Tugu Cafrinho yang terdaftar sebagai
musisi junior, terdiri dari 9 orang, yakni:
1. Evi Carrela
2. Zhagio Augusto
51
3. Marcel
4. Grace
5. Bena Alexandra
6. Ariel Tegar Armanda
7. Rafael
8. Chelsea
9. Vito Stefanus
Di bawah ini juga dituliskan daftar Badan Pengurus Harian dari Kelompok
Keroncong Tugu Cafrinho.
KERONCONG TUGU CAFRINHO
Penasehat
:
Prof. Edward Quiko
Gathtut Dwi Hastoro
Pembina
:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta
Walikota Jakarta Utara
Pimpinan
:
Guido Quiko
Sekretaris
:
Johan Soppaheluawakan
Bendahara
:
Ida Yanti Ratna Putri
Asisten
:
Eugeniana Quiko
Sekretariat
:
Jl. Raya Tugu (Gg.Bhineka 1) No.28 Rt 003 / Rw 014
52
Tugu Utara - Koja - Jakarta Utara 14260. INDONESIA
Telp. +62214412282 - Mobile. +628174974414
Dari total 31 orang yang terdaftar sebagai anggota kelompok Keroncong
Tugu Cafrinho, tidaklah semua anggota yang merupakan keturunan Portugis.
Hanya 80% yang merupakan keturanan Portugis. Kemudian 20% lagi adalah
mereka yang tertarik dan memiliki komiten yang sama dengan para keturunan
Portugis untuk tetap mempertahankan dan membuat musik Keroncong Tugu
tetap berkumandang hingga saat ini.
Dari persentasi ini jelas terlihat bahwa musik Keroncong Tugu Cafrinho
mendapat tempat dan perhatian dari pencinta musik tanah air, khususnya dari
mereka yang masih memiliki darah Portugis. Hal ini tentu jelas telihat dari
banyaknya anggota yang terdaftar dalam keanggotaan kelompok ini yang
didominasi oleh mereka yang masih keturunan Portugis. Sekalipun mungkin
tidak semua dari seluruh keturunan Portugis yang ada saat ini menjadi anggota
kelompok dalam grup musik tersebut. Hal itu mungkin saja dikarenakan tidak
semua dari keturunan Portugis memiliki telanta untuk bermain musik atau
bernyanyi seperti anggota kelompok yang lain. Akan tetapi dukungan dan
partisipasi mereka tentunya sangat besar, baik dukungan moral dan bahkan
finansial untuk membuat warisan budaya yaitu Musik Keroncong Tugu tetap
hidup dan bertahan.
53
Dukungan dan perhatian masyarakat tentu saja tidak hanya datang dari
mereka yang berasal dari keluarga keturunan Portugis, akan tetapi dari berbagai
lapisan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Hal itu jelas terbukti dari
beberapa anggota kelompok Keroncong Tugu Cafrinho yang terdaftar adalah
sama sekali tidak ada hubungannya dengan “unsur Portugis,” tetapi ada yang
suku Jawa, Batak Toba. Namun, loyalitas dan komitmen mereka untuk
mempertahankan musik Keroncong Tugu tentu tidak diragukan lagi. Musik
Keroncong Tugu sudah melekat dan menjadi bagian yang penting dalam hidup
mereka.
Selain dari mereka yang mendukung serta terlibat langsung dengan cara
ikut bersama-sama anggota kelompok lain memainkan musik Keroncong Tugu
Cafrinho agar tetap terdengar, banyak juga dukungan dari pihak lain baik
pemerintah maupun swasta. Dukungan itu terlihat dari peranan pemerintah DKI
Jakarta dan juga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Jakarta, dan bahkan
juga Walikota Jakarta Utara yang terlibat secara langsung untuk menjadi
pembina bagi kelompok Keroncong Tugu Cafrinho ini. Perhatian itu tentu tidak
hanya sebatas perkataan saja, akan tetapi kini Musik Keroncong Tugu Cafrinho
telah dilegalkan sebagai salah satu kekayaan Kebudaayan Provinsi DKI Jakarta.
Perhatian itu juga tidak berhenti sampai pada tahapan itu saja. Pemerintah DKI
Jakarta juga terus berupaya membuat musik Keroncong Tugu ini dikenal
masyarakat luas. Oleh karena itu dalam setiap kegiatan atau acara yang
diselengarakan oleh Pemerintah DKI Jakarta atau juga dari Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata DKI Jakarta, kelompok Keroncong Tugu Cafrinho selalu
54
diundang untuk tampil mempersembahakan karya-karya mereka pada acara
tersebut.
Selain itu, ada juga pemerintah Timor Leste memberikan kesempatan
kepada Keroncong Tugu Cafrinho untuk tampil di Timor Leste sebagai bentuk
apresiasi.
Dukungan dari berbagai pihak pun terus berdatangan kepada Keroncong
Tugu Cafrinho. Salah satunya adalah dari Yayasan Kesetiakawanan dan
Kepedulian (YKDK) yang memberikan sumbangan pada tahun 2010 berupa
alat-alat musik dan membangun pendopo di halaman kediaman Guido Quiko
sebagai tempat untuk latihan. Ada lagi dukungan yang datang dari Prof. Edo
Quiko dan isterinya ibu Lily yang rutin menyumbangkan kostum lengkap, dan
juga memberikan bantuan dana.
Belum lama ini, dukungan juga datang dari CSR JICT Tanjung Priok
memberikan bantuan berupa dana sejumlah Rp. 55.000.000 untuk membantu
program pembinaan dan pelestarian Keroncong Tugu serta untuk peremajaan
alat musik.
Televisi juga menjadi pihak yang mendukung Keroncong Tugu Cafrinho
sehingga semakin dikenal masyarakt luas. Mereka kerap kali diundang untuk
memainkan musik mereka atau memberikan materi tentang Keroncong Tugu
Cafrinho dalam berbagai-bagai acara di berbagai stasiun tv, baik Nasional dan
swasta. Pada tahun 2014 lalu, Keroncong Tugu Cafrinho juga diminta untuk
menjadi “home band” atau band pengiring pada salah acara di televisi swasta
tanah air yaitu acara “Tatap Mata” di Trans7.
55
Sejak masa kepemimpinan bapak Samuel Quiko (Kelompok Keroncong
Moresco Tugu generasi ke 3) tahun 1889, kelompok ini telah diundang untuk
tampil setiap tahunnya di Bazaar Pasar Malam Besar Tong Tong Fair Festival di
Den Haag, Belanda hingga tahun 2002.
Dari penjelasan di atas, penulis dapat melihat dengan sangat jelas bahwa
Keroncong Tugu mendapat perhatian dan dukungan yang sungguh luar biasa
dari banyak pihak, baik pemerintah, swasta, berbagai lapisan masyarakat, dan
bahkan dukungan dari luar wilayah Indonesia. Hal ini menjadi sebuah bukti
bahwa hingga masa sekarang ini musik Keroncong Tugu masih melekat erat di
hati para pencinta musik ini. Tentu saja hal ini bisa terjadi karena komitmen
yang sungguh luar biasa dari para pendukung dan semua orang yang memilih
untuk tetap mencintai musik Keroncong Tugu sehingga meskipun kemunculan
genre musik baru sangat marak terjadi, namun musik Keroncong Tugu tetap
eksis di blantika musik Indonesia dan tetap memiliki tempat di hati para
penggemarnya.
56
Download