hasil dan pembahasan

advertisement
21 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman
mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam
ringer laktat, kemudian dilanjutkan perekaman yang kedua dan ketiga dengan
penambahan ATP cair 1 ml berturut-turut ke dalam ringer. Besar rangsangan sub
maksimal disesuaikan dengan kondisi atau kekuatan masing-masing otot sehingga
didapatkan gambar/hasil perekaman yang utuh. Hasil perekaman adalah sebagai
berikut :
Gambar 10 Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat
22 Hasil perekaman rata-rata dari rasio antara tinggi gelombang (amplitudo)
awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari gelombang kontraksi tunggal
sebelum stimulasi tetani diberikan ketika otot direndam dalam ringer laktat adalah
sebesar 0,7+0,22 cm.
Gambar 11 Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat dengan ATP 1 ml
Hasil perekaman rata-rata dari rasio antara tinggi gelombang (amplitudo)
awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari gelombang kontraksi tunggal
sebelum stimulasi tetani diberikan ketika otot direndam dalam ringer laktat
dengan ATP 1 ml (0,001 gr/cc) adalah sebesar 0,57+0,23 cm.
23 Gambar 12 Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat dengan ATP 2 ml
Hasil perekaman rata-rata dari rasio antara tinggi gelombang (amplitudo)
awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari gelombang kontraksi tunggal
sebelum stimulasi tetani diberikan ketika otot direndam dalam ringer laktat
dengan ATP 2 ml (0,002 gr/cc) adalah sebesar 0,61+0,28 cm.
Amplitudo adalah tinggi dari gelombang-gelombang yang terekam pada
kertas mekanomiogram, yang merupakan kontraksi maksimum yang berlangsung
selama satu siklus getaran (Bueche dan Hecht 2006). Pada frekuensi perangsangan
yang rendah (stimulasi tunggal), terlihat masing-masing kontraksi sebagai
kontraksi tunggal yang terjadi satu setelah yang lain. Pada kondisi ini, sediaan otot
masih bisa mencapai amplitudo tertingginya. Kemudian ketika ditingkatkan
frekuensi rangsangannya, sampailah pada suatu titik dimana akan timbul kontraksi
yang baru sebelum kontraksi yang terdahulu berakhir. Bila frekuensi mencapai
24 titik kritis, kontraksi berikutnya terjadi begitu cepat sehingga mereka benar-benar
bersatu bersama-sama, dan kontraksi secara keseluruhan nampak lancar dan
berlangsung terus menerus. Peristiwa ini disebut tetanasi (Guyton dan Hall 1997).
Tetanasi dihentikan sebelum kekuatan kontraksi mencapai tingkat maksimumnya,
sehingga sediaan otot masih dapat digunakan untuk perekaman kedua dan ketiga.
Untuk mengetahui normalitas sebaran data, selanjutnya dilakukan uji
normalitas data. Jumlah sampel dalam penelitian ini kurang dari 50 maka uji
normalitas data yang digunakan adalah uji Shapiro Wilk. Hasil uji normalitas data
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2 Nilai uji normalitas data
No.
Variabel
Ratan
SD
P Value
1
Ringer
0,7
0,22249
0,738
2
3
ATP 1 ml
ATP 2 ml
0,57
0,61
0,23721
0,28057
0,66
0,701
Keterangan : p > 0,05 = bermakna (s)
n=5
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa data berdistribusi normal (p > 0,05),
maka uji statistik lanjutan yang digunakan adalah ANOVA. Hasilnya adalah
sebagai berikut:
Tabel 3 Perbandingan amplitudo kontraksi otot dengan pemberian ringer dan ATP
Perlakuan
Amplitudo Kontraksi Otot (cm)
P value
Ringer
0,7 + 0,22
0,685405
ATP 1 ml
0,57 + 0,23
0,842842
ATP 2 ml
0,61 + 0,28
0,957694
Keterangan : p > 0,05 = tidak bermakna (n.s)
n=5
Pada tabel di atas terlihat bahwa hasil uji ANOVA menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna antara derajat kontraksi otot baik ringer terhadap ATP 1 ml
(P value = 0,685405), ringer terhadap ATP 2 ml (P value = 0,842842), maupun
ATP 1 ml terhadap ATP 2 ml (P value = 0,957694), sehingga dapat disimpulkan
25 bahwa pemberian ATP dari luar tidak berpengaruh terhadap pemulihan kelelahan
otot rangka.
Otot yang digunakan dalam penelitian ini adalah otot gastrocnemius.
Berdasarkan kapasitas biokimiawinya, terdapat tiga tipe serat otot, yaitu; serat
oksidatif lambat, serat oksidatif cepat (slow twitch), dan serat glikolitk cepat (fast
twitch). Tipe fast twitch memiliki aktivitas ATPase miosin yang lebih tinggi dari
pada tipe slow twitch. Semakin tinggi aktivitas ATPase, semakin cepat ATP
diuraikan, dan semakin cepat ketersediaan ATP untuk siklus titian silang. Hal ini
menyebabkan kontraksi otot tipe fast twitch terjadi lebih cepat dibandingkan tipe
slow twitch. Metabolisme energi yang dominan digunakan oleh tipe fast twitch
adalah glikolisis anaerobik (Guyton dan Hall 1997). Otot gastrocnemius dari
Rana sp memiliki tipe serat otot fast twitch sehingga dapat digunakan dalam
penelitian ini.
Rangsangan sub maksimal pada preparat in vitro otot gastrocnemius
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan ATP yang berasal dari glikolisis
anaerob. Pada kondisi ini, sejumlah energi masih dapat dibebaskan ke sel oleh
tahap glikolisis dari degradasi karbohidrat karena reaksi kimia dalam pemecahan
glukosa secara glikolitik menjadi asam piruvat tidak memerlukan oksigen.
Semakin hebat kerja yang dilakukan oleh otot semakin besar pula jumlah ATP
yang dipecahkan (Guyton dan Hall 1997). Sehingga ketika otot diberi rangsangan
dengan frekuensi tinggi (tetani), maka kebutuhan ATP meningkat karena
kontraksi yang berlangsung terus menerus dan sangat cepat.
Proses kejadian kontraksi tersebut secara fisiologis diatur oleh keberadaan
2+
Ca dengan protein pengaturnya yaitu tropomiosin dan kompleks troponin. Pada
proses ini, potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan
sejumlah besar ion Ca2+ yang telah disimpan di dalam retikulum ke dalam
miofibril. Ion Ca2+ menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan
miosin, yang menyebabkannya bergerak bersama-sama dan menghasilkan proses
konraksi (Guyton dan Hall 1997). Interaksi aktin dan miosin dihambat oleh
kompleks troponin dan tropomiosin bila kadar Ca2+ rendah. Rangsang saraf yang
memicu kontraksi akan membebaskan Ca2+ sehingga konsentrasi Ca2+ di dalam
sarkoplasma meningkat dengan cepat. Pengikatan Ca2+ ke troponin, mengubah
26 interaksi tropomiosin dengan aktin, sehingga miosin dapat mengikat aktin dan
menghasilkan gaya kontraksi (Fox 2004). Pemberian ATP dari luar diharapkan
dapat membantu mempercepat pemompaan kembali ion Ca2+ ke dalam retikulum
sarkoplasma, tempat ion-ion tersebut disimpan, sampai potensial aksi otot yang
baru datang lagi. ATP memberikan tenaga bagi transpor aktif Ca2+ ke dalam
retikulum sarkoplasma. Karena itu, ATP tidak hanya dibutuhkan untuk kontraksi
saja, tetapi juga untuk relaksasi otot (Ganong 1995).
Ketika otot dirangsang dengan frekuensi tinggi berdurasi singkat, otot
memperoleh energi dari cadangan glikogen yang disimpan dalam otot. Glikogen
merupakan salah satu bentuk simpanan energi di dalam tubuh yang dapat
dihasilkan melalui konsumsi karbohidrat harian dan merupakan salah satu sumber
energi utama yang digunakan oleh tubuh pada saat berolahraga (Irawan 2007).
Konversi glikogen menjadi energi terjadi melalui proses glikolisis. Glikolisis
merupakan jalur yang bersifat oksidatif anaerobik. Hasil akhir dari jalur glikolisis
ini adalah asam piruvat. Pada kondisi anaerob, piruvat akan dikonversi menjadi
laktat. Dua molekul ATP dibentuk secara langsung dari setiap molekul glukosa
yang terlibat. Reaksi kimia dari glikolisis anaerob adalah sebagai berikut; Glukosa
+ 2ADP + 2Pi
2Laktat + 2 ATP + 2H2O (Vander et al. 2001).
Pada kondisi anaerobik, sebagian besar asam piruvat yang diubah menjadi
asam laktat akan segera berdifusi keluar dari sel masuk ke dalam cairan
ekstraseluler, dan ke dalam cairan intraseluler dari sel lain yang kurang aktif.
Sehingga glikolisis dapat berlangsung jauh lebih lama. Glikolisis dapat
berlangsung selama beberapa menit, mensuplai tubuh dengan jumlah ATP yang
cukup banyak bahkan dalam keadaan tanpa oksigen pernafasan. Kelelahan otot
meningkat hampir berbanding langsung dengan kecepatan penurunan glkogen otot
(Guyton dan Hall 1997).
Kapasitas penyimpanan glikogen dalam tubuh sekitar 350-500 gram, atau
setara dengan energi sebesar 1.200-2.000 kkal (Irawan 2007). Satu molekul ATP
dengan berat molekul 300 gram dapat menyediakan energi sebesar 10 kkal setiap
harinya. Sehingga berdasarkan kapasitas penyimpanan glikogen yang sampai
dengan 500 gram (setara energi 2.000 kkal) maka ATP yang dapat dihasilkan
adalah 2.000 kkal : 10 kkal per molekul ATP, yaitu 200 molekul ATP. Dengan
27 berat molekul 200 x 300 gram, yaitu 60.000 gram ATP. Sementara rata-rata
kandungan ATP pada produk ATP yang beredar di pasaran adalah sebesar 20-100
mg atau sama dengan 0,02-0,1 gram. Jumlah yang sangat kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlah yang mampu dihasilkan secara mandiri oleh tubuh.
Klon (2005) menyebutkan bahwa ATP tidak dapat berdifusi bebas melintasi
membran plasma sel. Bentuk molekul polarnya menjadi penghalang besar untuk
melintasi bagian hidrofobik membran plasma. Secara umum, molekul polar
seperti asam amino dan nukleotida (termasuk adenosin) tidak bebas permeabel
untuk membran plasma. Hal ini menjelaskan bahwa aktivitas dan atau fungsi ATP
hanya berlangsung di dalam sel (intraseluler) saja serta tidak dapat diintervensi
dengan penambahan ATP dari luar karena bagian hidrofobik membran plasma sel
dengan sifat non polarnya tidak bisa ditembus begitu saja.
Struktur dasar dari membran plasma sel adalah sebuah lapisan lipid ganda
yang terdiri atas molekul-molekul fosfolipid. Salah satu bagian dari setiap
molekul fosfolipid ini larut dalam air, yaitu hidrofilik. Bagian lain hanya larut
dalam lemak, disebut hidrofobik. Gugus fosfat dari fosfolipid bersifat hidrofilik
(polar), gugus asam lemaknya bersifat hidrofobik (non polar). Di dalam sel, ATP
diproduksi dan diangkut keluar dari mitokondria kemudian berdifusi ke seluruh
sel untuk membebaskan energinya dimana saja dibutuhkan sehingga sel dapat
menjalankan fungsinya (Guyton dan Hall 1997). Hal ini menjelaskan bahwa unit
hidup yang melakukan fungsi kehidupan adalah sel dengan bahan bakarnya yaitu
ATP.
Di sisi lain, ringer laktat dapat masuk ke dalam membran plasma sel otot
dengan cara difusi fasilitasi. Difusi fasilitasi atau difusi yang dipermudah
didefinisikan sebagai gerakan kinetik molekuler ataupun ion yang butuh interaksi
antara molekul maupun ion tersebut dengan protein pembawa dalam membran
(Guyton dan Hall 1997). Ringer laktat merupakan larutan garam yang terdiri dari
natrium, kalium, laktat, dan klorida, yang merupakan ion-ion yang dibutuhkan
otot untuk menjaga kondisi fisiologis sel dan berguna untuk kontraksi otot.
Larutan ini bersifat isotonis sehingga sering digunakan pada resusitasi cairan pada
kondisi kekurangan cairan tubuh (Farhan 2009).
28 Beberapa hal yang dapat diperhatikan atau dilakukan sebagai tindak
alternatif yang dinilai efektif untuk memulihkan kelelahan, sederhana, dan wajar
dilakukan, antara lain; meningkatkan konsumsi oksigen
(Sherwood 2001).
Oksigen diperlukan untuk pemulihan sistem-sistem energi. Ketika hutang oksigen
dilunasi ketika itu juga sistem kreatin fosfat dipulihkan, asam laktat dibersihkan,
dan simpanan glikogen paling tidak sebagian diganti. Tindak alternatif lainnya
adalah konsumsi cairan yang cukup atau berimbang. Ketika panas di dalam tubuh
meningkat entah karena aktivitas yang tinggi, suhu lingkungan, atau oksidasi
biologis, maka cairan tubuh akan dikeluarkan dalam bentuk keringat sebagai
respon dari hal-hal tersebut. Jika tidak diimbangi dengan konsumsi cairan yang
cukup maka konsentrasi cairan ekstraseluler akan meningkat sehingga cairan
intraseluler tertarik ke ekstraseluler dan sel mengalami dehidrasi. Dehidrasi
menyebabkan proton di dalam mitokondria mengalami gangguan sehingga laju
produksi dari ATP terganggu, dan relaksasi otot tidak dapat terjadi (Guyton dan
Hall 1997).
Konsumsi karbohidrat juga merupakan tindak alternatif lain yang dapat
dilakukan untuk memulihkan kelelahan dan kembali mendapatkan energi atau
tenaga yang hilang karena beraktivitas atau berolah raga. Karbohidrat merupakan
senyawa yang terbentuk dari molekul karbon, hidrogen, dan oksigen. Sebagai
salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat adalah sebagai penghasil energi
di dalam tubuh. Selain itu, karbohidrat yang dikonsumsi juga dapat tersimpan
sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati (Irawan
2007). Glikogen pada tingkat aktivitas yang tinggi dan atau lama akan berkurang
sejalan dengan kelelahan otot. Daya tahan atau endurance akan meningkat jika
kapasitas penyimpanan glikogen di dalam otot ditingkatkan dengan peningkatan
konsumsi karbohidrat (Guyton dan Hall 1997). Sebagai tambahan, kadang
diperlukan cairan intravena dan atau infus glukosa pada tingkat kelelahan yang
tinggi.
Download