Penambahan materi modul Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila

advertisement
BAB VI
PANCASILA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEILMUAN
Untuk memahami relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di masa kini
maka berikut ini disajikan pemaparan Pancasila dari perspektif filsafat ilmu dengan
tujuan agar Pancasila dapat dikaji secara kritis. Upaya ini dilakukan mengingat
Pancasila sebagai suatu ideologi memiliki sifat futuristik (Sastrapratedja, 1993: 143).
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan,
sementara nilai-nilai itu sendiri selalu bersifat umum dan abstrak, sehingga nilai selalu
berupa patokan-patokan umum tentang sesuatu yang dicita-citakan (Andrain, 1992: 77).
Nilai juga tidak selamanya realistis dalam arti dapat direalisasikan secara penuh dalam
realitas sosial. Hal inilah yang seringkali bertentangan dengan harapan individu. Dengan
demikian dialog terus menerus dengan kenyataan yang ada sangat diperlukan agar
secara jernih kita dapat melihat bahwa sifat futuristik Pancasila tidak serta merta
mengimplikasikan bahwa sistem politik, ekonomi dan budaya yang ada merupakan
perwujudan yang telah tuntas.
Apabila sistem yang telah ada dianggap perwujudan yang tuntas, maka fungsi
ideologi hanya menjadi pembenar dari status quo (Sastrapratedja, 1993: 143).
Sebaliknya, ideologi Pancasila harus mampu menyoroti kenyataan yang ada dan
berfungsi kritis terhadap perwujudan yang selalu belum sempurna. Dengan kata lain
ideologi Pancasila seharusnya menjadi acuan untuk melakukan kritik sosial, juga
sebagai paradigma pembangunan nasional yang menentukan pola pikir bangsa
Indonesia dalam menentukan kehidupan bernegara dan berbangsa.
6.1 PANCASILA DAN FILSAFAT ILMU
6.1.1 Pancasila dan Problem Epistemologis
Filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan yang melihat tentang bagaimana kegiatan
dan proses (cara kerja) ilmiah dan ciri ilmu pengetahuan secara kritis. Ini berarti dalam
kegiatan filsafat ilmu akan bertumpu pada dua aspek, aspek pembenaran ilmiah (context
of justification) dan aspek penemuan ilmu (context of discovery). Dua aspek tersebut,
pembenaran ilmiah dan penemuan ilmu mengarahkan kita sebagai pelaku ilmu
(mahasiswa, peneliti, ilmuwan) untuk memiliki sebuah “paspor” keilmuan (petunjuk
atau pola berpikir) dalam berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan. “Paspor” itu berupa
cara berpikir yang kritis, memiliki penalaran yang logis, mampu berdialog secara
rasional dalam melihat berbagai persoalan ataupun fenomena yang ada di sekitar
kehidupan kita baik itu kehidupan sehari-hari maupun kehidupan ilmiah.
Aspek pembenaran ilmiah (context of justification) sangatlah memperhatikan
keruntutan logis bagaimana sebuah ilmu pengetahuan itu ditampilkan, apakah ilmu
pengetahuan itu memiliki objek untuk pengkajiannya, juga metodologi yang digunakan
dalam kegiatan ilmu pengetahuan, serta teori kebenaran yang ada. Sejalan dengan
analogi itu maka Pancasila ingin dikaji dari sudut pandang filsafat ilmu. Apabila hal itu
diterapkan, maka Pancasila haruslah dikaji dan dipahami dari aspek pembenaran ilmiah
(context of justification) secara epistemologis. Untuk itulah Pancasila harus dianggap
sebagai sebuah fenomena yang di dalamnya berisi pengandaian atau asumsi tentang
objek, metodologi atau metode atau pendekatan yang logis dalam melihat fenomena
84
tersebut. Pengandaian atau asumsi tersebut membawa pada kita suatu penalaran logis
sehingga kita dapat memberikan suatu ulasan yang bersifat kritis, rasional terhadap
Pancasila.
Objek yang kita hadapi atau yang sedang diteliti selalu memiliki dua aspek,
yaitu objek material dan objek formal (ini sejalan dengan yang kita pelajari dalam
filsafat ketika melihat sesuatu atau fenomena sebagai objek). Objek material adalah
bahan atau materi yang menjadi acuan suatu kajian kita, sedang objek formal adalah
pokok perhatian atau fokus perhatian dari objek material tadi. Dengan demikian apabila
kita sedang mempelajari Pancasila, maka Pancasila memiliki objek yang akan dikajinya,
yaitu objek material dan objek formal. Objek material Pancasila adalah wacana dan
pengetahuan yang dimiliki rakyat Indonesia yang bersumber pada berbagai pandangan
hidupnya dan telah berakar pada kebudayaan dari berbagai suku di Indonesia. Wacana
tersebut menjadi pengetahuan yang dimiliki oleh manusia Indonesia baik dalam
kehidupan individual, sosial, berbangsa maupun bernegara. Bagaimana dengan objek
formal Pancasila? Objek formal Pancasila adalah lima sila yang ada pada Pancasila dan
termuat pada pembukaan UUD 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh bangsa
Indonesia. Kelima sila itu merupakan fokus perhatian dari objek formal Pancasila dan
yang kemudian akan diteliti lebih dalam lagi. Kelima sila tersebut haruslah ditinjau dari
kesesuaian perilaku manusia Indonesia yang memiliki kemajemukan, atau heterogenitas
suku, pandangan hidup, nilai (value) seperti nilai religius, moral (etika), kebersamaan
dan toleransi, kemanusiaan, pluralitas, keadilan intelektualitas, nasionalisme,
kebangsaan.
Tinjauan terhadap kesesuaian perilaku manusia Indonesia dengan beragam nilai
tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti. Beragam nilai (value) yang pada
Pancasila akan diuraikan lebih rinci pada bagian yang lain yaitu Pancasila sebagai
sistem nilai. Kesesuaian persepsi dan perilaku dari butir Pancasila dengan misalnya nilai
(value) yang telah disebutkan di atas dan menghasilkan perilaku individual atau perilaku
kolektif yang baik sebenarnya telah menghasilkan sebuah kebenaran secara
korespondensi dan koherensi (dalam sudut pandang epistemologi) dan sejalan dengan
dasar etika secara deontologis dan utilitaristis. Sebenarnya itulah yang dikehendaki
ketika kita melihat bahwa Pancasila harus dipahami secara kritis dan rasional.
Persepsi manusia Indonesia baik sebagai mahluk individual maupun mahluk
sosial haruslah beranjak dari kesadaran atau cara berpikirnya yang dimulai ketika dia
belajar dalam pendidikan non formal dan formal (pendidikan dasar, menengah dan
tinggi). Kekhususan manusia terletak pada cara berpikir atau akal budinya dan
keinginannya, kehendaknya.
Pendidikan tinggi membuat kita seharusnya lebih kritis dalam memahami dan
memaknai Pancasila apabila itu dilakukan dengan tepat. Kita tidak boleh terjebak dalam
fanatisme yang sempit dalam memaknai Pancasila, kita harus terbuka dalam
memandang Pancasila. Pancasila harus dianggap sebagai “arena”, sebagai ajang untuk
dikritisi, diinterpretasi, dimaknai dengan rasionalitas manusia Indonesia yang benar
dewasa secara intelektual. Apa yang ada dalam benak kita melalui butir Pancasila itu
harus diaplikasikan dengan tepat melalui perilaku yang tepat pula. Meminjam
pandangan dalam filsafat ilmu, bahwa pengetahuan harus berada pada dua tataran, yaitu
teoritis dan praktis, maka kita pun dapat mengatakan bahwa belajar dan memahami
Pancasila dapat berada pada dua tataran, yaitu teoritis dan praktis. Sisi teoritis adalah
ketika kita belajar tentang butir Pancasila dengan nilai dasar yang menyertainya serta
dipahami dan dimaknai dengan arif dan sisi praktis pada perilaku konkret yang baik
atau perilaku etis dalam segala kehidupan manusia. Untuk dapat menjaga antara
85
perilaku teoritis dan praksis yang seimbang, diperlukan juga metodologi dalam
menerapkan nilai dasar tersebut.
6.1.2 Metodologi Pancasila
Lalu bagaimanakah bentuk metodologi Pancasila itu? Untuk menjawab hal itu,
perlulah kita melihat secara cermat, sebenarnya metodologi itu apa? Metodologi adalah
upaya seseorang (ilmuwan, calon ilmuwan/mahasiswa) untuk mencari “jalan” atau cara
yang tepat dalam suatu kegiatan ilmiah atau penelitian. Dengan analogi terhadap hal itu,
maka kita pun dapat memiliki cara atau pendekatan yang dianggap tepat dan benar
dalam memahami Pancasila khususnya yang berkaitan dengan nilai yang muncul dari
Pancasila itu (nilai dasar dan nilai praksis). Berbagai pendekatan, atau metode dalam
memahami Pancasila akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode itu antara lain,
oberservasi (pengamatan), verstehen, interpretasi, teori kritis, dialog, pembauran
multikultural, integrasi, adaptasi, sosialisasi, (dan seni budaya).
Metode observasi digunakan untuk mengamati berbagai gejala yang dialami
manusia, khususnya dalam melakukan berbagai tindakan dalam kapasitas dia sebagai
mahluk individu, sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindakan praksis
manusia yang dianggap sesuai atau tidak sesuai dengan butir sila Pancasila dapat
diamati oleh kita terhadap perilaku orang lain, atau kita melakukan pengamatan
terhadap diri sendiri.
Metode verstehen atau metode pemahaman atau disebut juga sebagai
understanding method adalah metode yang lazim digunakan dalam bidang humaniora
dan ilmu sosial. Tujuan metode pemahaman adalah untuk mencari makna tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan bidang humaniora, sosial, seperti perilaku manusia,
peristiwa sejarah, interaksi masyarakat dengan lembaga, interaksi individu dengan
individu lainnya, benda artefak (benda peninggalan atau warisan budaya suatu
masyarakat) yang masih ada, ritual masyarakat, kehidupan beragama, dan sebagainya.
Metode verstehen atau pemahaman ini bersifat subjektif, artinya keterarahan seorang
pengamat (dianggap sebagai subjek) terhadap apa yang dihadapinya (objek)
menggunakan rasa empatinya, kesadaran (rasionalitasnya) yang dipenuhi dengan
berbagai nuansa yang menyertainya. Sebagai contoh, seorang pengamat atau mahasiswa
ketika menyaksikan upacara bendera pada setiap tanggal 17 Agustus yang dilaksanakan
di Istana Merdeka Jakarta akan tersentuh hatinya, ketika menyaksikan dan
mendengarkan detik proklamasi itu dikumandangkan kembali. Pembacaan kembali teks
Proklamasi itu sebenarnya ingin mengingatkan pada kita semua bahwa pada beberapa
tahun yang lalu (17 Agustus 1945) bangsa Indonesia telah memproklamirkan
kemerdekaan negaranya. Hal itu juga untuk mengingatkan pada kita, bahwa sejak detik
itu bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka, bebas untuk menyongsong
masa depannya. Pesan (message) itulah yang ingin disampaikan oleh para generasi lama
kepada generasi baru melalui upacara 17 Agustus agar kita sekarang ini memaknainya
dengan baik dan arif.
Bagaimana hubungan metode verstehen dengan Pancasila? Pancasila sebagai
pengetahuan yang bersumber pada pandangan hidup bangsa Indonesia harus dipahami
dengan lebih objektif dan rasional. Artinya pemahaman itu harus dimulai dengan
penelusuran secara historis atau mencari latar belakang mengapa pengetahuan tentang
Pancasila itu muncul dan menjadi landasan Negara Indonesia. Latar belakang historis
menjadi dasar lebih lanjut bagi kita untuk mengkaji butir Pancasila. Pesan (message)
yang sebenarnya berasal dari akar pandangan hidup masyarakat Indonesia dan butir
Pancasila itulah yang harus dicari dan dikembangkan dan menjadi tugas generasi muda
untuk memahaminya dengan konteks yang lebih relevan terutama pada kondisi sekarang
ini.
86
Metode interpretasi adalah metode untuk melakukan penaf-siran atau tafsir
terhadap pemahaman suatu fenomena tertentu. Fenomena tersebut dapat berupa
kehidupan masyarakat Indonesia dalam konteks bernegara dan berbangsa. Kehidupan
bernegara dan berbangsa tersebut dipayungi oleh pandangan hidupnya yang kemudian
pandangan hidup tersebut menjadi landasan negara, yaitu Pancasila. Tafsir terhadap
Pancasila berarti seseorang melakukan pemahaman terhadap makna butir Pancasila
untuk kemudian dimengerti dan direnungkannya (direfleksikan) dengan jelas. Seseorang
yang melakukan penafsiran terhadap butir Pancasila (misal butir 1), maka ia mengerti
dengan benar kata dalam butir 1 dan untuk kemudian apabila ia berperilaku tertentu,
maka perilaku itu harus sejalan dengan pemahamannya terhadap butir sila 1. Bagaimana
mungkin ketika seseorang meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dan sejalan dengan
imannya, tetapi ia di sisi lain melakukan tindakan buruk yaitu membunuh seseorang
dengan sadis.
Teori Kritis yang dimaksudkan ini adalah upaya metodologis atau metode yang
mencoba menggabungkan antara pemahaman filsafat dengan kehidupan sosial. Metode
teori kritis ini berusaha melihat bahwa realitas sosial sebagai fakta sosiologis dapat
dipahami sebagai kegiatan yang sifatnya konseptual. Kegiatan konseptual adalah
kegiatan pemikiran kritis manusia dalam melihat, dan mencari makna sesuatu di balik
fakta yang sifatnya empiris atau konkret. Dalam studi filsafat, maka kegiatan konseptual
tersebut kadang disebut sebagai usaha manusia yang sifatnya transendental atau
metafisis. Dengan demikian kegiatan konseptual adalah kegiatan rasionalitas seseorang
dalam melihat di balik (di belakang) fenomena atau perilaku konkret. Ide atau gagasan
apakah yang muncul ketika kita mengkaji misalnya Pancasila itu? Untuk itu ketika kita
berusaha menggali Pancasila secara mendalam maka pendekatan teori kritis juga
menawarkan atau memungkinkan melakukan upaya kritik (lazim disebut sebagai kritik
ideologi). Kritik ideologi ada 2 macam: (1) melakukan kritik yang sifatnya
transendental (konseptual) dengan menemukan syarat yang memungkinkan
pengetahuan berada dalam diri subjek, dan (2) kritik imanen yang mencoba menemukan
kondisi sosio historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia.
Jadi dengan kata lain, kritik ideologi adalah pendekatan refleksif diri yang
membebaskan pengetahuan manusia itu apabila jatuh dan membeku dalam aspek
transendental dan imanen (Hardiman, 2003: 19).
Bagaimana kita dapat mengerti kaitan antara teori kritis dengan Pancasila?
Dalam konteks dengan Pancasila, teori kritis sebagai kritik ideologi yang memiliki
(mengemban) tugas untuk “membuka” kedok ideologis dari pemikiran pengetahuan
yang berasal dari kesadaran masyarakat dan mengatasi penindasan ideologis yang
ditujukan pada tatanan mormatif dalam kehidupan sosial. Pemikiran pengetahuan yang
berasal dari masyarakat dianggap sebagai cara berpikir masyarakat yang menekankan
pola ideologis tertentu, yang belum tentu sesuai dengan relitas sosial masyarakat
Indonesia. Kedok ideologis yang menekankan status quo masyarakatnya hendaknya
dikritisi. Kedok ideologis semacam itu muncul dalam berbagai bentuk interaksi sosial.
Dan atas nama Pancasila banyak berbagai kelompok menginginkan paradigma
Pancasila diubah sesuai dengan keinginan kelompok tersebut. Untuk menghindari hal
semacam itu perlu dipikirkan adanya teori kritis atau kritik ideologi yang mendorong
praksis kehidupan politis manusia.
Sebaiknya interaksi sosial baik dari pihak pemimpin negara terhadap
masyarakat, maupun antar individu atau masyarakat berdasarkan pada cara berpikir
kritis dengan menekankan unsur emansipatoris. Pada saatnya nanti unsur tersebut
membawa misi emansipatoris yang mengarahkan masyarakat Indonesia lebih rasional
melalui refleksi diri. Pancasila dapat menjadi media untuk merefleksi diri manusia
Indonesia dalam menuju derap pembangunan di tengah masyarakatnya. Di tengah derap
87
pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi yang diakibatkan perubahan sosio
kultural tidak hanya menghasilkan kemajuan tetapi juga ketimpangan. Situasi
ketidakadilan sosial menjadi suatu tantangan untuk diperbaiki dengan paradigma kritik
ideologi yang menekankan adanya realitas sosial sesungguhnya bukannya utopia. Dan
itu menjadi tugas para ilmuwan sosial khususnya untuk membantu dan memberikan
kontribusi intelektual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Metode Dialog adalah metode yang menekankan komunikasi atau alih informasi
melalui sifat yang dinamis dan dua arah (two ways). Dalam komunikasi yang sifatnya
dua arah itu sebenamya terdapat relasi antara si pembicara dengan si pendengar. Pada
pembicaraan yang komunikatif, peran si pembicara dapat menjadi pendengar begitu
sebaliknya, si pendengar dapat berperan sebagai pembicara. Pembicaraan yang
komunikatif dengan topik tertentu itu sebenamya mengandung pesan (message) dari si
pembicara terhadap lawan bicaranya. Dalam konteks dengan Pancasila, maka metode
dialog dapat digunakan oleh seseorang untuk memberikan informasi dan pesan tentang
isi atau makna Pancasila kepada pendengarnya. Agar pesan dapat diterima dengan baik,
maka sosialisasi menjadi hal yang penting. Mengapa? Melalui penyebaran informasi
terhadap masyarakat maka informasi Pancasila dapat diterima oleh banyak orang.
Bentuk sosialisasi dapat berupa penyebaran informasi baik secara tertulis (misalnya
buku tentang Pancasila yang ditulis oleh para pakar berbagai bidang) maupun lisan
(misalnya dialog Pancasila di tengah para mahasiswa, masyarakat perkotaan atau
perdesaan, masyarakat lndonesia di luar negeri dan sebagainya). Untuk itulah metode
dialog Pancasila dengan sosialisasi yang tepat dapat diharapkan menjangkau masyarakat
luas dan dipahami secara kritis dan dapat menjadi pedoman dalam berperilaku.
Dialog tentang Pancasila yang dilakukan di tengah masyarakat dapat
menumbuhkan dinamika cara berpikir manusianya, memunculkan perdebatan, berbagai
argumen (pendapat) baik pro dan kontra. Dialog yang baik harus memunculkan
semacam sintesis (kesimpulan) yang menampung dari berbagai pendapat tersebut.
Dengan demikian tujuan dan cita-cita Pancasila serta memasyarakatkan Pancasila dapat
tercapai sesuai yang diinginkan dengan benar apabila menggunakan metode dialog.
Berbagai metodologi tersebut (observasi, verstehen, inter-pretasi, dialog, teori
kritis) dapat menjadi "alat" untuk mencapai tujuan dan cita-cita Pancasila. Masyarakat
lndonesia yang memiliki sifat heterogen baik dari bahasa, warna kulit, adat istiadat,
agama maupun kehidupan sosialnya menjadi semacam wacana yang tidak mudah untuk
dipahami atau dikaji. Untuk itulah perlunya adanya metodologi yang tepat dalam
mengatasi heterogenitas masyarakat atau masyarakat multikultural. Hal yang menjadi
nilai tambah, yaitu adanya Pancasila yang dianggap sebagai ideologi negara dan itu
dapat digunakan untuk mengatasi berbagai sifat masyarakat lndonesia yang heterogen
itu. Bagaimana caranya? Salah satu cara dengan metode pemahaman (verstehen).
Metode pemahaman mengajak kita memahami bahwa setiap individu,
masyarakat memiliki identitas tertentu, yang berasal dan dibentuk dari latar belakang
budaya, pendidikan, agama, dan lingkungan. Setiap indentitas dari individu dan
masyarakat akan membentuk atau melebur menjadi indentitas tertentu atau dengan kata
lain identitas individual menjadi landasan bagi indentitas kolektif (masyarakat).
Indentitas individu dan kolektif sebenamya dipayungi oleh pola pikir atau kesadaran
masyarakatnya yaitu Pancasila. Apabila setiap individu atau masyarakat memahami
betul tentang makna Pancasila, maka identitas individu dan kolektif akan sejalan dengan
nilai (value) dalam Pancasila, seperti nilai kebangsaan, moral, keadilan, kejujuran, dan
sebagainya (yang sebenamya termuat dalam butir Pancasila). Penghargaan terhadap
identitas individu, kolektif melalui kehidupan yang layak secara ekonomis, kebebasan
berpikir, keamanan dan perlindungan, pendidikan, kebebasan beragama, kesehatan,
dapat mengangkat harkat martabat bangsa dan emansipatoris yang sesungguhnya.
88
Masyarakat akan belajar bagaimana sebenamya realitas sosial yang sebenarnya itu
dijalaninya secara kritis.
Metodologi yang tepat juga akan mengarahkan bagaimana Pancasila itu
terintegrasi dengan baik. Artinya melalui masyarakat yang plural dan heterogen, juga
generasi mudanya Pancasila dapat diterima, diadaptasi, disesuaikan dengan kebutuhan
yang ada. Setiap warga masyarakat pasti memiliki cara atau model dalam melakukan
adaptasi terhadap Pancasila dan cara itulah yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Selama sesuai dengan cita-cita Pancasila maka hal itu tidak
menimbulkan kecemasan. Pancasila dapat menjadi ideologi yang terbuka karena
dianggap sebagai "arena" yang terbuka untuk didekati, diolah, diramu sehingga menjadi
ideologi yang baik, tepat sesuai bagi bangsa Indonesia. "Payung besar" yang dapat
menampung berbagai hal baik yang sifatnya memiliki nilai tambah maupun nilai
kurang. Nilai kurang itulah (seperti kurangnya pembauran multi kultural dalam
kehidupan masya-rakat, kurangnya toleransi beragama, kurangnya kebebasan akademis
yang memberikan kontribusi kehidupan intelektual di kampus, dan sebagainya) yang
menjadi ancaman sehingga tugas kita untuk melakukan refleksi dan kritik ideologi
terhadap nilai kurang tersebut.
6.2 PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan kenyataan dan kebenaran yang
berasal dari dirinya sendiri dan telah diterima sebagai filsafat dan pandangan hidup.
Karena itu, bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan ukuran dalam seluruh kegiatan
kemasyarakatan (modul, 2004: 102). Istilah Pancasila sebagai dasar negara, pertama
kali diucapkan pada pidato Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni
1945. Usulan Ir. Soekarno tersebut diterima secara bulat oleh seluruh anggota sidang
BPUPKI. Sila-sila dalam Pancasila adalah merupakan satu kesatuan yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sila dengan sila yang lainnya, oleh karena itu
merupakan satu susunan organik bertingkat dan terstruktur berbentuk piramida.
Sila-sila di dalam Pancasila pada hakekatnya dapat dibedakan atas, “hakekat
Pancasila”, yang bersifat umum dan universal yang merupakan “substansi sila-sila
Pancasila”, sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai
dasar negara yang bersifat umum, kolektif serta pengamalan Pancasila yang bersifat
khusus dan konkret (Kaelan, 2004: 72)
Hakekat Pancasila adalah merupakan nilai-nilai yang terkandung di dalam silasila Pancasila, adapun sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat, Pancasila
merupakan norma, sedangkan aktualisasi Pancasila adalah merupakan realisasi konkret.
Realisasi Pancasila dalam ketiga undang-undang dasar/konstitusi tersebut
hakekatnya merupakan penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang
merupakan cita-cita dan harapan menuju masyarakat bangsa Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil makmur, aman sejahtera. Cita-cita yang harus tetap diperjuangkan
setelah bangsa Indonesia melewati “jembatan emas” yaitu Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945.
6.2.1 Struktur Pancasila
Untuk mengetahui susunan Pancasila yang terstruktur berbentuk piramida, maka
terlebih dahulu harus memahami suatu teori filsafat yang disebut Hylemorfisme.
Hylemorfisme, yang dalam bahasa Inggris; hylomorphism, atau dalam bahasa Yunani:
hyle (=materi) dan morphe (=bentuk, rupa). Diartikan sebagai segala sesuatu yang
berlangsung terus di dalam setiap perubahan dan ia sendiri tidak berubah, olehnya
89
terjamin suatu kesinambungan dan identitas (Lorens Bagus, 1996: 284-285). Teori
tersebut dipergunakan oleh Aristoteles sebagai landasan teori Kausalitas yang
dikembangkannya. Intinya bahwa setiap perubahan (hylemorphe) atas segala sesuatu itu
mempunyai empat macam sebab atau kausa, yaitu: kausa Materialis artinya sebab yang
berhubungan dengan materi atau bahannya; kausa formalis, artinya sebab yang
berhubungan dengan bentuknya; kausa efisien, artinya sebab yang berhubungan dengan
efisiensinya; kausa finalis, artinya sebab yang berhubungan dengan tujuannya. Oleh
karena itu, Hylemorfisme adalah teori tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
materi (hyle) dan bentuk (morphe).
Beberapa ahli sudah mempergunakan teori ini, tetapi hanya melihat dari sejarah
terbentuknya Pancasila yaitu Pidato Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 oleh Ir.
Soekarno, sebagai kausa materialis; maksud dan tujuan pidato tersebut sebagai kausa
finalis; sidang BPUPKI dan PPUPKI dalam merumuskan Pancasila, sebagai kausa
efisien dan Rumusan Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 sebagai kausa formalis.
(Notonagoro dalam Kaelan, 2004: 104).
Pendekatan ini akan menjadi kabur, karena ternyata rumusan Pancasila
mengalami beberapa kali perubahan, seperti rumusan dalam Pidato 1 Juni 1945 berbeda
dengan Jakarta Charter 22 Juni 1945, pembukaan UUD 18-8-1945, Pembukaan
Konstitusi RIS 1946, Pembukaan UUD (S) 1950. Karena apabila demikian halnya,
maka apakah kausalitasnya akan berubah sesuai dengan perubahan rumusan Pancasila.
Lain halnya, apabila kita konsekuen dalam mempergunakan teori kausalitas,
yang kita mulai dengan mempelajari pemikiran Aristoteles tentang metafisika, di mana
Aristoteles menganggap objek-objek partikular sebagai substansi yang nyata, yaitu
bahwa:
a) Materi mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi bentuk permulaan bersifat
tetap dan tidak berubah;
b) Materi (hyle) merupakan asas kebolehjadian; bentuk (morphe) merupakan asas
kenyataan atau aktualitas. Dengan menyatukan materi dan bentuk dan memasukan
sebab kedalam tindakan (entelechy) pendekatan bertahap kesatuan dari semua benda
menjadi tujuan dari alam semesta. Alam semesta adalah dunia ideal, suatu
keseluruhan organis yang saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forma) yang
abadi dan tetap. Idea-idea memberikan bentuk dan kehidupan. Bentuk-bentuk adalah
kekuatan yang bertujuan yang menciptakan oleh pikiran itu sendiri. Setiap
organisme menjadi sesuatu hal melalui tindakan dari idea tujuan.
c) Keseluruhan tersebut, diakibatkan oleh adanya empat sebab, sebagaimana teori
kausalitas (Ali Modhofir, 2001: 27)
Berdasarkan teori tersebut, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa Pancasila
adalah ideal, di mana sila-sila dalam Pancasila adalah merupakan keseluruhan organis
yang saling berhubungan. Sebagai ide filosofis bentuk penerapannya dapat berbedabeda, tetapi sebagai bentuk awal (rumusan Pancasila 1 Juni 1945) esensinya bersifat
tetap dan tidak berubah.
Rumusan Pancasila dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 yaitu:
Kebangsaan (Nasionalisme), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat
(Demokrasi), Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Isi sila-sila dalam Pancasila pada hakekatnya merupakan satu kesatuan, yang
bersifat umum dan universal, yang bersumber pada hakekat dasar ontologis, yaitu
hakekat manusia yang “monopluralis”; Manusia sebagai individu memiliki susunan
kodrat jasmani, dan memiliki sifat kodrat sebagai mahluk sosial dan memiliki
kedudukan kodrat sebagai individu dan sosial sebagai mahluk Tuhan. Setiap unsur
90
memiliki fungsi sendiri-sendiri tetapi terikat dalam susunan satu kesatuan yang bersifat
organis, sebagai penjelmaan hakekat manusia yang monopluralis.
Susunan Pancasila adalah hierarkis dan berbentuk piramida, artinya tersusun
dalam urutan luas (kuantitas) dan isi sifatnya (kausalitas), menunjukan suatu rangkaian
tingkat dan luasnya serta isinya sifat yang merupakan pengkhususan sila-sila di
mukanya. Oleh karena itu antara kelima sila tersebut saling mengikat, sehingga
Pancasila merupakan kesatuan yang bulat.
Dari sisi kausalitas, sila pertama Pancasila, yaitu kebangsaan, diartikan bangsa
adalah sekumpulan manusia sebagai mahluk individu dan sosial yang bebas. Maka
segala bentuk peng-halang kebebasan harus dihilangkan. Demikian halnya, perjuangan
bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajahan adalah merupakan cara untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai manusia dan atau bangsa yang bebas merdeka.
Esensi sila pertama ini adalah kemanusiaan, asas yang menjadi bahan atau materi atau
sebab materil (Causa Materialis). Adapun struktur di atas Kebangsaan adalah
Internasionalisme atau peri kemanusiaan, sebagai pelaksana esensi sila pertama yaitu
kemanusiaan, yang merupakan sebab yang berhubungan dengan bentuk (Causa
Formalis); Asas kemanusiaan ini hanya dapat diberlakukan apabila seluruh aspek
kehidupan dilaksa-nakan berdasarkan demokrasi atau mufakat, hal ini merupakan sebab
efisien (Causa efisien). Secara keseluruhan adalah menuju Keadilan Sosial, yang
menjadi sebab yang berhubungan dengan tujuan (Causa finalis). Struktur tersebut
dijalankan dengan landasan Ketuhanan Yang Berkebudayaan, yang menghormati agama
satu dengan lainnya, maka merupakan freedom of religious, dimana umat manusia
diberi kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Berdasarkan kausalitas tersebut, dapat diketahui bahwa nilai-nilai Pancasila
adalah bersifat objektif. Bersifat objektif karena dari hakekat yang terdalam, Pancasila
menunjukan adanya sifat-sifat umum dan universal serta abstrak. Esensi nilai-nilai
Pancasila akan tetap ada dalam kehidupan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Oleh karena itu akan tetap berlaku bagi bangsa Indonesia dan dapat
diberlakukan bagi bangsa-bangsa di dunia, karena mengandung makna yang dijadikan
norma-norma dalam setiap aspek kehidupan yang terpancar dalam adat istiadat, seni
budaya, religi dan lain-lainnya, dan sebagai filsafat negara Pancasila menjadi kaedah
dan sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila juga bersifat subjektif,
karena timbul dari “diri sendiri” bangsa Indonesia dan merupakan hasil pemikiran kritis
dan reflektif filosofis. Di dalam nilai-nilai subjektif Pancasila, terkandung tujuh nilainilai kerohanian, yaitu nilai-nilai religius, moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan,
kebersamaan dan toleransi, yang merupakan manifestasi dari budi nurani dan
kepribadian bangsa Indonesia.
Untuk dapat menelusuri nilai-nilai tersebut, maka terlebih dahulu harus
memahami susunan dan bentuk Pancasila 1 Juni 1945, dan perumusan Pancasila sebagai
Dasar Negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 18-8-1945. yang
merupakan realisasi konkret dari Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara.
6.3 NILAI PANCASILA
Pada hakikatnya, segala sesuatu itu memiliki nilai, hanya saja nilai apa saja yang
ada dan bagaimana hubungannya nilai tersebut dengan manusia, sebagai mahluk
jasmani dan rohani. Para pemikir dan filsuf memiliki pandangan yang beragam sesuai
dengan sudut pandang masing-masing.
Max Scheler (1874-1928) seorang fenomenolog Jerman, menggolongkan nilai
menurut tinggi rendahnya dalam empat tingkatan, yaitu: Nilai Kenikmatan, Nilai
91
Kehidupan, Nilai Kejiwaan, dan Nilai Kerohanian. Nilai-nilai semacam itu terutama
terdiri dari nilai-nilai pribadi (Driyarkara, 1978). Notonagoro, menggolongkan nilai
dalam tiga tingkatan, yaitu Nilai Material, Nilai Vital, Nilai Kerohanian; Nilai
Kerohanian dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu: Nilai Kebenaran, yaitu nilai yang
bersumber pada rasio, akal budi, atau hasil cipta manusia; Nilai Religius yang
merupakan nilai kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak, yang bersumber pada Tuhan
Yang Maha Esa. Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila adalah termasuk nilai-nilai
kerohanian yang mengakui nilai-nilai material dan nilai-nilai vital. (Notonagoro, 1980).
Darmodihardjo menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila di dalamnya terkandung
ketujuh nilai-nilai kerohanian, yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan,
etis, estetis, dan nilai religius, yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa
Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa (Darmodihardjo, 1996).
Irmayanti menyatakan nilai-nilai yang melandasi Pancasila adalah nilai religius,
moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kebersamaan, dan toleransi (modul MPKT:
Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila, 2005), nilai-nilai yang dimaksudkan di sini adalah
nilai-nilai kerohanian.
Untuk dapat memahami nilai-nilai kerohanian Pancasila, maka terlebih dahulu
harus memahami pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, yang kemudian diterima
sebagai Dasar Filosofi Negara dan direalisasikan secara konkret dalam Pembukaan
UUD 1945.
Adapun rumusan Pancasila di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai berikut, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
6.3.1 Nilai-nilai Religius
Pengertian nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterikatan individu
dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung. Dalam
kehidupan sosial dan budaya maka keterikatan seseorang dihubungkan dengan
pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Pada dasarnya setiap
orang akan selalu memiliki pandangan atau persepsi akan sesuatu yang dianggapnya
memiliki kekuatan yang melebihi manusia. "Sesuatu" dalam pandangan orang yang
beragama disebutnya sebagai Yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God
dan sebagainya. Di dalam nilai religius akan muncul berbagai penilaian orang atau kita
sendiri terhadap hubungannya dengan Yang Sakral itu, apakah hubungan itu berjalan
dengan baik ataukah tidak baik, dan hal itu sejalan dengan yang diyakininya. Pada
Pancasila keterkaitan nilai religius muncul dalam pembukaan UUD 1945 dan butir
Pancasila, yaitu keterikatan terhadap Yang Sakral. Yang Maha Kuasa menjadi "kendali"
bagi perilaku orang dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Nilai
religius dimaknai sebagai keterikatan dan ketergantungan pada kekuasaan Ilahi yang
dapat memberikan pedoman dan pencerahan bagi umat manusia. Di sisi lain, nilai
religius dapat menjadi "penuntun" pada keragaman bangsa lndonesia yang multi agama
dengan melihat bahwa religiositas (keterikatan terhadap yang sakral, agung) memiliki
sifat yang universal (kesemestaan). Nilai religius selalu berbicara tentang hubungan
manusia dengan Tuhan, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, Tuhan
dianggap oleh manusia sebagai "kekuatan" yang melebihi manusia, sebagai Yang Maha
Tahu, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia sangat
tergantung dan menaruh hormat pada "kekuatan" itu. Sedang dalam hubungannya
secara horizontal, nilai religius diungkapkan manusia melalui ekspresi atau perasaannya
92
terhadap kehidupan dan pengalaman beragama dengan saling menghargai, menghormati
kebebasan agama masing-masing.
Itulah sebabnya kita dapat mengatakan bahwa di mana dan kapan saja, oleh
siapapun nilai religius memiliki sifat universal. Meskipun latar belakang agama berbeda
satu sama lain, kita dapat menjalin hubungan yang akrab dengan orang yang berbeda
agama dengan kita atas dasar nilai religiositas yang sifatnya universal. Bila nilai religius
diyakini dan dipahami dengan benar oleh masyarakat, maka dapat menumbuhkan
toleransi agama. Untuk itulah pentingnya memahami dan melaksanakan nilai religius
yang baik (yang telah ada pada butir Pancasila) agar memunculkan kehidupan
religiositas yang “sehat” jauh dari fanatisme sempit.
Nilai religius muncul pada pembukaan UUD 1945 seperti yang tertera di bawah ini :
Di dalam Alinea III Pembukaan UUD 1945 dinyatakan :
“Atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa dan . . . .
Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“ . . . . dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa . . . . “
Pernyataan dalam Alinea III dan IV UUD 1945, bermula dijelaskan dalam Pidato
Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dimana Ir. Soekarno menyatakan ;
“Prinsip Ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia ber Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber Tuhan.
. ..............................................
Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiadanya “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu negara yang ber Tuhan”.
Dijelaskan selanjutnya bahwa prinsip-prinsip Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Mufakat dan Kesejahteraan Sosial adalah dilandasi oleh Ketuhanan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah merupakan pengakuan “Nilai
Religius”; hal ini mengandung makna bahwa negara Indonesia mengakui nilai-nilai
religius, bahkan merupakan suatu dasar negara Pancasila, dengan sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa, secar filosofis, bangsa Indonesia mengakui bahwa manusia
adalah mahluk Tuhan, sehingga kemerdekaan dan negara Indonesia di samping
merupakan hasil perjuangan bangsa Indonesia juga yang terpenting adalah merupakan
“berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.
6.3.2 Nilai Moral
Nilai moral yang dimaksudkan adalah nilai tentang kebaikan yang muncul akibat
perilaku orang baik dia sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain
atau masyarakat. Ada beberapa pengertian tentang nilai moral yang bersumber pada
etika. Pertama, nilai dan norma moral yang ada dapat menjadi pegangan bagi seseorang
atau kelompok dalam berperilaku. Kedua, nilai moral merupakan kumpulan asas tentang
perilaku tertentu atau kegiatan sesuatu, misalnya kode etik. Kode etik dianggap sebagai
kumpulan nilai moral yang memiliki prinsip kebaikan dalam suatu organisasi profesi
seperti kode etik dokter, kode etik pengacara. kode etik dosen dan sebagainya. Ketiga,
nilai moral yang bersumber pada etika atau filsafat moral yaitu suatu ilmu yang
93
mengkaji tentang prinsip" yang baik dan yang buruk. Bagian ini merupakan bahan
refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Bagaimana nilai moral itu
berkaitan dengan Pancasila? Rupanya nilai moral yang dimaksud itu adalah nilai moral
yang bersumber pada suatu prinsip kebaikan dan hal itu menjadi bahan untuk
direfleksikan lebih lanjut, khususnya ketika kita mengkaji dan memahami Pancasila.
Prinsip kebaikan pada filsafat moral bersumber pada hati nurani, kebebasan dan
tanggung jawab, hak dan kewajiban. Sumber itu disebut juga sebagai kaidah moral
(lihat Modul PDPT UI-MPKT, 2004, Modul I bab 5, hal 77-92) dapat menjadi
pegangan seseorang dalam mengarahkan dirinya menjadi manusia yang baik. Manusia
yang baik. diartikan sebagai Manusia lndonesia yang baik yang harus memiliki sikap
etis yang mengarahkan pada etika kewajiban dan etika keutamaan (misalnya
menjunjung kejujuran, keadilan dalam pengambilan keputusan, bekerja, berorganisasi
dalam kehidupan masyarakat dan sebagainya) dan berpegang pada norma dan prinsip
moral. Norma dan prinsip moral dapat dicari melalui kehidupan beragama, bernegara,
kehidupan yang menghargai perbedaan multikultural. dan juga pada butir Pancasila.
Nilai moral dapat ditemukan dalam butir Pancasila seperti yang tertera di bawah ini :
Di dalam Alinea III Pembukaan UUD 1945 dinyatakan :
“ ... di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas
...
Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“ ... Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab ... “
Sila kedua Pancasila adalah kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Dijelaskan dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengatakan:
“Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus
menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang
kedua. Inilah filosofisch principle yang nomor dua, ...“
Prinsip kedua tersebut adalah Internasionalisme atau Peri kemanusiaan, yang di
dalam Alinea IV UUD 1945 dirumuskan sebagai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Sila ini tidak menyebutkan secara eksplisit kata Indonesia, tetapi kata adil dan
beradab merupakan ciri khusus dari kemanusiaan, dan sebagai kesatuan dari sila-sila
Pancasila, maka kata kemanusiaan di sini berbeda dengan humanisme karena adanya
ciri khusus tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa pokok pikiran keempat: Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab adalah merupakan nilai-nilai Dasar Moral Negara. Prinsip negara sebagaimana
terkandung dalam pokok-pokok pikiran tersebut menunjukan kepada kita bahwa dalam
kehidupan bernegara, meskipun didasarkan hukum perundang-undangan tetapi harus
tetap berdasarkan pada moralitas, karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan kemanusiaan yang adil dan beradab dan
bermartabat luhur.
6.3.3 Nilai Kebangsaan
Nilai kebangsaan adalah nilai tentang manusia yang secara kodrat memiliki hak
dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, serta identitas yang membentuk
eksistensi manusia atau jati diri dalam kehidupan bernegara. Secara kodratiah setiap
94
orang memiliki nilai kemanusiaan seperti, hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung
jawab serta identitas tertentu. Dalam kehidupan bernegara, hal itu dipersatukan dengan
tujuan dan pandangan hidupnya. Adanya persatuan antara nilai secara kodratiah dengan
tujuan dan pandangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat, akan membentuk
eksistensi dan jati diri suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia terutama generasi mudanya,
jati dirinya akan tampil dengan baik apabila dapat menampilkan nilai kebangsaan (hak
dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, identitas) dengan optimal dalam
kehidupan bernegara. Orang akan bangga dengan nilai kebangsaan yang ada dan
dimilikinya, bangga menjadi orang Indonesia dan itu harus “diisi” dengan sikap yang
menjunjung nilai moral yang tinggi.
Nilai-nilai kebangsaan adalah prinsip pertama dalam Pancasila 1 Juni 1945 yaitu
kebangsaan. Prinsip pertama atau sila pertama ini kemudian direalisasikan secara
konkret dalam pembukaan UUD 1945 dan dirumuskan sebagai sila Persatuan Indonesia.
Di dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945, dinyatakan:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Di dalam Alinea III
“ ... dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas ...”
Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“... yang melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
...................”
”... maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia ...“
Dijelaskan di dalam Pidato Lahirnya Pancasila, bahwa bangsa Indonesia adalah
kesatuan antara manusia dan tanah airnya, di mana pada saat itu Ir. Soekarno juga
menjelaskan mengenai bangsa dengan menunjuk teori geopolitik. Selanjutnya Ir.
Soekarno mengatakan:
“Pendek kata bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan
orang yang hidup dengan “le desire d’etre ensemble’. Di atas daerah kecil, seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa
Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah
ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia
dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian. Seluruhnya! karena sudah ada “le desire
d’etre ensemble’, sudah terjadi charactergemein schaft, Natie Indonesia.”
Selanjutnya dikatakan bahwa :
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman
sarinya internasionalisme.”
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik pengertian bangsa Indonesia
sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah sebagai mahluk Tuhan. Sebagai
mahluk Tuhan pada hakekatnya memiliki sifat kodrat sebagai mahluk individu dan
sosial. Oleh karena itu, bangsa pada hakekatnya merupakan penjelmaan dari sifat kodrat
manusia tersebut dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaanya. Dalam
usaha tersebut manusia tidak mungkin melakukannya sendiri. Bangsa Indonesia
95
terbentuk dalam proses sejarah yang panjang dan terdiri dari bermacam-macam
kelompok suku bangsa. Perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru
dijadikan persatuan Indonesia, yang dituangkan dalam suatu asas kerohanian yang
merupakan satu kepribadian yang bersifat majemuk tunggal yang disimbolkan dalam
Lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (vide: PP No. 66
tahun 1951. LN No. II/1951)
6.3.4 Nilai Keadilan
Yang dimaksud dengan nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma
berdasarkan ketidak berpihakan, keseimbangan, pemerataan terhadap sesuatu hal.
Norma tersebut sebagai hal yang sangat manusiawi dan menjadi hak yang asazi dari
manusia baik di manapun serta kapanpun. Sebagai sesuatu yang sangat manusiawi,
maka nilai keadilan sering diarahkan pada kepentingan atau tujuan tertentu dalam
kehidupan manusia. Nilai keadilan dapat dimiliki oleh individu, tetapi juga diberlakukan
pada masyarakat. Sesuai asal katanya yaitu adil, maka keadilan dapat diartikan sebagai
tuntutan yang seimbang antara hak dan kewajiban (Lihat modul PDPT, 2004: Bagian
Akhlak dan Budi Pekerti, Bab III: 40-41). Dengan demikian dalam nilai keadilan juga
membutuhkan berbagai pertimbangan dalam melaksanakan tuntutan yang tidak
berpihak, seimbang, begitu juga pada hak dan kewajiban. Apabila nilai keadilan
dihubungkan dengan Pancasila, maka nilai tersebut diarahkan pada kepentingan
individu dan masyarakat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Apakah seseorang
atau masyarakat memiliki haknya misalnya hak atas perlindungan keamanan sebagai
warga masyarakat tanpa membedakan strata masyarakat? Sudahkah warga masyarakat
melakukan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dengan membayar restribusi
listrik sesuai dengan yang harus dibayarkan? Pertanyaan tersebut merupakan contoh
tentang bagaimana dalam kehidupan sehari-hari, nilai keadilan itu tampil dalam perilaku
manusia.
Nilai keadilan dalam UUD 1945 dan Pancasila tertera berikut ini :
Di dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“. . . . maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Di dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
. . . ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang Merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.”
Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“. . . . dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial . . . “
dan kalimat selanjutnya mengatakan :
“. . . . dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia . . . .”
Selanjutnya di dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyatakan :
“Keadilan ialah sociale rechtvaardigheid rakyat ingin sejahtera, Rakyat yang
tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru
yang di dalamnya ada keadilan . . . “
96
Prinsip (sila) Kesejahteraan Sosial dalam rumusan Pancasila 1 Juni 1945,
direalisasikan secara konkret dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai Keadilan yang terkandung dalam Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah di jiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia serta Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dalam sila
kelima terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama
(kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan
kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia
satu dengan lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara serta hubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan tujuan negara yaitu melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum .... serta
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6.3.5 Nilai Kebersamaan dan Toleransi
Nilai kebersamaan dan toleransi adalah adalah dua nilai yang saling melengkapi.
Untuk jelasnya maka akan diuraikan kedua nilai itu satu persatu. Nilai kebersamaan
adalah nilai yang dimiliki oleh manusia dalam interaksinya dengan sesama yang
berkaitan dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Sebagai mahluk sosial, manusia
selalu membutuhkan teman, hidup berdampingan dengan orang lain dalam suatu situasi
tertentu, misalnya bekerja, berorganisasi, melakukan ibadah, studi dan sebagainya.
Dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain
atas dasar tujuan dan kepentingan tertentu. Sedang nilai toleransi adalah nilai yang
menghargai berbagai pendapat, keyakinan orang lain tentang sesuatu hal dan dalam
suatu situasi tertentu. Menghargai pendapat atau keyakinan orang lain yang berbeda
dengan diri kita menjadi hal yang penting dalam bertoleransi dengan orang lain. Itulah
sebabnya dalam nilai kebersamaan dan toleransi, keduanya saling melengkapi. Kedua
nilai tersebut diungkapkan dengan perilaku tertentu, perilaku yang terjadi dalam
interaksi dengan sesama.
Bagaimana nilai kebersamaan dan toleransi berkaitan dengan Pancasila? Nilai
kebersamaan dan toleransi haruslah berada (dimiliki) pada setiap individu yang
berinteraksi dengan individu yang lainnya dan berada dalam kehidupan berbangsa atau
bernegara. Nilai kebersamaan dan toleransi menjadi milik individu secara rasional,
artinya individu menghargai keber-samaan juga toleransi atas dasar kesadarannya dan
pemahamannya tentang hal itu. Dengan kata lain, nilai kebersamaan dan toleransi
bukanlah nilai yang harus dipaksakan, tetapi muncul melalui kesadaran diri sendiri.
Untuk dapat mengetahui nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang terkandung
di dalam Pancasila, terlebih dahulu harus dimengerti isi pembukaan UUD 1945.
Di dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Di dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“. . . . ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Di dalam Alinea III Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“. . . . Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas . . . . “
97
Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan :
“. . . . dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial . . . . “
..................................................................
“. . . . dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”
Dari pernyataan tersebut menunjukan pengakuan “nilai moral” dan hak kodrati
manusia untuk hidup dalam kebersamaan dan toleransi yang menunjukan pada
eksistensi manusia atau bangsa yang secara kodrati bebas dan merdeka, untuk bersamasama menjalin kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar saling menghormati,
berdasarkan keadilan kemanusiaan, demi tercapainya tingkatan harkat dan martabat
manusia dalam tingkat yang lebih tinggi yang meliputi seluruh unsur kodrat manusia
atau kemakmuran.
6.4 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL
6.4.1 Pengertian Paradigma
Dalam Kamus Besar Bahasa lndonesia, kata paradigma berarti kerangka
berpikir, artinya sebuah kerangka atau asumsi dasar yang menjadi landasan suatu
kegiatan pemikiran sehingga menentukan metode. Pola dan berbagai aspek yang
berkaitan dengan objek kegiatan. Istilah paradigma ini pertama kali dikembangkan oleh
Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution
(Kaelan, 2003: 226). Paradigma selalu berkaitan dengan gerak, perubahan dalam suatu
aktivitas. Dan paradigma diperlukan agar aktivitas tersebut dapat berlangsung melalui
gerak atau menimbulkan perubahan tertentu secara sistematis, terarah, menuju sasaran
yang diinginkan.
Dalam filsafat ilmu terdapat paham determinisme yang dikembangkan oleh
William Hamilton dari doktrin Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Faham ini
menggambarkan sifat ilmu pengetahuan melalui pola tertentu (Jujun S. Suriasumantri,
1998: 75). Dalam sebuah kegiatan ilmiah, paradigma merupakan pilihan pada proses
pikir atau metode tertentu, sehingga kebenaran yang ditemukan terbatas pada pola atau
metode yang dipergunakannya tersebut. Irmayanti M. Budianto (2002: 81)
menyebutkan bahwa paradigma ilmu mengenal adanya enam paradigma, yaitu: (I)
Paradigma Kuantitatif; (2) Paradigma Kualitatif; (3) Paradigma Induktif-Deduktif; (4)
Paradigma Piramida atau Limas Ilmu; (5) Paradigma Siklus Empiris; dan (6) Paradigma
"Rekonstruksi Teori". Sekalipun dalam filsafat ilmu paradigma sering dipertentangkan
dengan pilihan bebas karena telah membatasi kegiatan dengan metode atau pola pikir
tertentu sehingga kebenaran yang ditemukannya pun dipengaruhi oleh metode atau pola
pikir yang dipergunakannya tersebut, tetapi paradigma diperlukan agar kegiatan yang
dilakukan lebih terarah atau terpola secara sistematis dan terdapat tolak ukur yang jelas
terhadap kebenaran yang ditemukannya. Paradigma sebenarnya tidak membatasi pilihan
bebas, karena pilihan bebas bukan berarti "semuanya", sehingga tidak ada arah, sistem,
atau pola dalam berpikir.
Pancasila menjadi paradigma bangsa Indonesia, artinya Pancasila menjadi
pilihan bangsa Indonesia yang memberikan arah atau pola kehidupan berbangsa dan
98
bernegara dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari bidang yang sangat mendasar,
yaitu berideologi sampai pada bidang yang sangat teknis, yaitu pembangunan. Pancasila
oleh bangsa lndonesia melalui founding fathers dalam sidang-sidang BPUPKI dan
kemudian oleh PPKI, karena diyakini mencerminkan karakter asli bangsa lndonesia
melalui nilai luhur yang berlaku pada masyarakat Indonesia.
6.4.2 Pengertian Pembangunan Nasional
Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat disebutkan bahwa: Pemerintah
Negara lndonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa lndonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perlindungan terhadap segenap
bangsa lndonesia dan seterusnya... tersebut berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan lndonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta
mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dasar dalam
melakukan perlindungan dan seterusnya.... oleh Pemerintah Negara lndonesia tersebut
adalah Tujuan Nasional Indonesia
Untuk mewujudkan tujuan nasional diperlukan kegiatan pembangunan secara
nasional, yaitu pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara. Hakekat dari pembangunan nasional tersebut adalah
pembangunan manusia lndonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedomannya (Elly M Setiadi,
2003: 173). Pembangunan mencerminkan rangkaian gerak perubahan menuju kepada
kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Perubahan berarti pembaharuan, dan dalam
kerangka pembangunan nasional. pembaharuan dilakukan dengan mengembangkan
kepribadian bangsa Indonesia sendiri sehingga tidak kehilangan identitas diri bangsa
dengan tetap membuka diri terhadap kemajuan yang positif dari bangsa lain terutama
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan dalam beberapa hal, perubahan itu
perlu dilakukan dengan melakukan perombakan dalam tatanan yang sangat mendasar
(R. Soeprapto, 2004: 98). Dengan demikian, pembangunan nasional bertitik tolak pada
kemampuan, kemandirian, kebersamaan, keadilan dan kemanfaatan bagi bangsa
lndonesia. Kerjasama dengan bangsa atau negara lain dalam tatanan global tetap
diperlukan sepanjang tidak menimbulkan ketergantungan dan tetap menjaga identitas
diri bangsa, kebebasan dan kemandirian sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Dalam praktik, pelaksanaan Pembangunan Nasional dilakukan melalui sebuah
kegiatan nasional yang mencerminkan program, pola, sasaran dalam tahapan tertentu
dengan tetap konsisten menuju terwujudnya tujuan nasional. Pembangunan nasional
menjadi kewajiban seluruh bangsa lndonesia, sekalipun Pemerintah Negara bersama
lembaga Legislatif dan Eksekutif memegang peranan utama. Kesadaran akan tanggung
jawab secara nasional untuk melakukan pembangunan oleh seluruh unsur masyarakat,
bangsa dan negara, menjadi kunci keberhasilan pembangunan nasional. Insan akademik
sebagai unsur masyarakat terdidik, baik secara individu maupun kolektif kelembagaan
menjadi modal penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan nasional.
6.4.3 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Ilmu pengetahuan lahir melalui konsep berpikir metodologis (lihat Modul
MPKT 2005: 62-33), sedangkan teknologi adalah studi tentang ketrampilan atau
membuat sesuatu yang membutuhkan sejumlah materi tertentu (alamiah dan buatan)
disertai dengan aktivitas akal budi dan keinginan atau tujuan tertentu (Irmayanti M.
99
Budianto, 2002: 16). Ilmu penge-tahuan sebagai produk rohaniah manusia tentang
realitas alam (termasuk manusia sendiri), diperlukan dalam kehidupan yang
memberikan kepuasan batin (rasio), dan menjadi dasar pembangunan teknologi. Adapun
teknologi diperlukan manusia untuk memberikan kemudahan, kesejahteraan, dengan
terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder dalam kehidupannya. Dari aspek
kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan wujud rasa syukur manusia kepada Tuhannya yang telah
menciptakan manusia dengan potensi diri yang paling tinggi dibandingkan dengan
mahluk lainnya. Dan menyedia- kan alam sebagai sarana memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tolak ukur kemajuan peradaban suatu
bangsa. Sesuai dengan fungsinya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi
tolok ukur tingkat kemajuan dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan. Produk
teknologi tinggi bernilai ribuan kali lipat dibandingkan produk alamiah yang dihasilkan
oleh tenaga alamiah manusia. Sebuah mobil dengan teknologi tinggi lebih mahal dari
hasil panen padi petani seribu hektar yang dihasilkan dengan ribuan tenaga kerja, lahan
pertanian yang luas, biaya yang besar dan dengan resiko kegagalan panen yang besar.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disamping akan memberikan
keuntungan yang besar bagi manusia, seperti terpenuhinya kebutuhan hidup, baik
primer maupun sekunder, juga dipengaruhi oleh keinginan, ego manusia yang kadangkadang tidak disadari dapat menimbulkan bencana, kerugian bagi manusia sendiri.
Teknologi senjata nuklir misalnya, betapa ego manusia telah menguasai akal sehat dan
nuraninya. Ledakan sebuah senjata nuklir dapat menimbulkan mala petaka kematian
dan kesengsaraan hidup jutaan manusia dan kerusakan alam yang luar biasa. Padahal
teknologi nuklir dapat dimanfaatkan untuk kepentingan damai, seperti sumber energi.
Dalam skala yang terbatas, kerusakan lingkungan baik dalam bentuk pencemaran udara,
terganggunya ekosistem, juga merupakan dampak negatif dari kemajuan dan teknologi
dibidang transportasi, industri obat pembasmi hama, dan lain-lain. Karena itu
diperlukan panduan, kerangka dasar, atau paradigma dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi
paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi bangsa
Indonesia. Bentuk paradigma Pancasila tersebut teraplikasi melalui nilai Pancasila
berikut:
(1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Manusia adalah mahluk, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia harus menyadari
bahwa Tuhan menciptakan alam sebagai sarana kehidupan dan menciptakan
kemakmuran di alam kehidupan ini. Pemanfaatan alam harus dilakukan secara
proporsional dan diimbangi dengan pelestariannya. Sebagai mahluk yang berTuhan, yang beragama, karunia Tuhan dalam bentuk kekayaan alam harus
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rangka berbakti kepada
Tuhannya. Hal itu berarti manusia tidak boleh berbuat sekedar berdasar pada
keinginan dan kepentingannya sendiri, tetapi terikat oleh norma-norma agama yang
diberikan Tuhan kepadanya.
(2) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Di hadapan Tuhan, manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada
kelebihan satu orang dari orang yang lainnya kecuali dari tingkat taqwanya kepada
Tuhan, baik dalam bentuk peribadahan secara langsung kepada Tuhan. melalui
kontribusi kebaikan sesama, maupun perbaikan lingkungan hidupnya.
100
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk Tuhan tersebut. Dan
dalam kontek kemanusiaan, tidak mengakibatkan terjadinya eksploitasi alam atau
bahkan orang maupun kelompok orang lain. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang
di kuasai. manusia seharusnya semakin bersyukur kepada Tuhan, semakin tinggi
tingkat amal kebaikannya, dan tidak sombong atau lupa diri.
Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin penting dalam
pergaulan global. Hal ini dipicu oleh pandangan dan kepentingan yang sempit suatu
bangsa yang memiliki kelebihan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang mengeksploitasi bangsa lain. Penjajahan dalam abad ini
berkembang melalui strategi penciptaan ketergantungan suatu bangsa terhadap
bangsa lain. Sekalipun langkah ini sering dilakukan dengan alasan kemanusiaan,
tetapi tidak jarang yang justru mengakibatkan kesengsaraan.
Sejak tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meletakan landasan untuk
mencagah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia melalui Deklarasi
Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right). Deklarasi yang berisi
penghormatan terhadap hak universal manusia ini menjadi acuan setiap negara
untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam konteks bangsa dan negara yang
bersangkutan. Bangsa lndonesia secara eksplisit melalui sila kedua, Kemanusiaan
Yang Adil Dan Beradab pada tahun 1945 sekalipun tidak menyebut secara formal
hak asasi manusia, telah menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Istilah yang sering disebut
dalam pengembangan teknologi misalnya, teknologi tepat guna, teknologi ramah
lingkungan, dan lain sebagainya.
(3) Persatuan lndonesia
Sejak awal masa kemerdekaan. bangsa lndonesia telah mengalami banyak cobaan
yang bertentangan dengan sikap persatuan bangsa melalui berbagai pemberontakan
atau gerakan separatis. Negara Indonesia lahir melalui komitmen bersama dari
berbagai komponen bangsa yang plural, baik dari segi agama, etnis, bahasa, dan
lainnya. Eksistensi bangsa dan negara Indonesia tergantung pada komitmen
bersama untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang telah disepakati dan
dijadikan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada alasan untuk
mengingkari komitmen tersebut hanya karena aspirasi atau kepentingan sebagai
anggota masyarakat belum terpenuhi, atau mungkin karena kebijakan pemerintah
dalam melaksanakan fungsinya belum optimal. Kekurangan atau kesalahan
kebijakan dalam mengelola negara tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan
gerakan separatisasi. Kita harus berpikir secara rasional dan objektif, bahwa
separatisasi hanya menuruti ego dan kepentingan anggota masyarakat yang justru
akan menyengsarakan sebagian masyarakat lainnya.
Bangsa dan negara Indonesia adalah satu kesatuan secara intergral. Konsep
persatuan dan kesatuan harus menjadi landasan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tahun 1928 para pemuda lndonesia telah berikrar
melalui Sumpah Pemuda yang mengintegrasikan satu bangsa, satu bahasa, dan
tanah air satu Indonesia.
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Prinsip kebersamaan dalam pluralitas untuk mencapai tujuan bersama dan mencari
solusi problem bersama dengan cara musywarah yang dijiwai oleh sikap bijak
menjadi tekad dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Sistem bermusyawarah
101
boleh saja berubah sesuai dengan kebutuhan pada masanya, begitu pula teori-teori
di bidang politik, sosial budaya, dan yang lainnya, tetapi perubahan tersebut harus
bertitik tolak pada kepentingan rakkyat dan hak-hak rakyat secara keseluruhan.
Gerakan reformasi telah melahirkan perubahan-perubahan baru di bidang politik
dan sosial budaya yang mendasar. Pemilihan presiden dan kepala-kepala daerah
secara langsung misalnya, merupakan perubahan mendasar dalam sistem politik
bangsa. Sistem itu tetap menghargai hak-hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Dalam pengelolaan negara dengan penduduk yang besar (lebih dari 200 juta jiwa),
sistem perwakilan tetap diperlukan sekalipun hak politik warga negara untuk
memilih presiden dan kepala-kepala daerah telah dilakukan secara langsung. Dalam
berbagai bidang, pembuatan undang-undang misalnya, tidak mungkin seluruh
rakyat melakukannya secara langsung. Pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam hal ini perlu diarahkan guna menjamin hak-hak rakyat dan
kemaslahatan.
(5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat lndonesia
Unsur dominan dalam sila ini terletak pada keadilan hukum dan ekonomi, sekalipun
tetap mencakup unsur-unsur lainnya. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, nilai-nilai dan sila kelima ini dapat berupa pemerataan secara adil untuk
memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memperoleh kesejahteraan hidup, di samping aspek yang lainnya.
Nilai sila kelima ini memberikan amanah bagi setiap orang yang memperoleh
kepercayaan dalam bidang tertentu untuk menggunakan kewenangannya bagi
kepen-tingan rakyat secara keseluruhan. Karena itu korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) merupakan penyimpangan dari nilai-nilai luhur yang diamanatkan kepada
para pemegang kekuasaan. Masyarakat lndonesia di berbagai daerah, harus
mendapatkan perhatian yang sama. Masalah keadilan sosial ini sampai saat ini
masih menjadi problem nasional yang belum terpecahkan, sehingga muncul
tindakan deskriptif yang merugikan.
6.5 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL
DALAM BIDANG POLEKSOSBUDHANKAM
Pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV tercantum tujuan negara yang salah
satu di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pengertian yang lebih
rinci lagi tentang tujuan negara tersebut yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
Untuk mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai masyarakat adil dan
makmur tersebut, Republik ini harus membangun. Membangun dalam artian tidak
hanya mem-bangun dari bentuk fisiknya saja, tetapi membangun secara keseluruhan
yang dikenal dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dalam
membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu permasalahan yang paling
dominan adalah rendahnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal itu dapat menimbulkan kesenjangan sosial di antara masyarakat Indonesia.
Kesenjangan ini terlihat jelas pada masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan
masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Kesenjangan sosial juga terjadi di daerah
perkotaan, yaitu antara masyarakat yang tinggal di daerah kumuh dengan masyarakat
yang tinggal di daerah elit. Untuk menanggulangi masalah ini perlu dilakukan
kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah perlu
merumuskan dan melaksanakan kegiatan pengentasan kemiskinan di setiap daerah
Indonesia guna mewujudkan program pembangunan nasional secara keseluruhan.
102
Secara filosofis hakekat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan
nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan
nasional harus men-dasarkan pada hakekat nilai-nilai silai-sila Pancasilaa. Oleh karena
hakekat nilai sila-sila Pancasila mendasarkan diri pada dasar keberadaan manusia
sebagai subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila, sekaligus sebagai pendukung
pokok negara. Hal ini berdasarkan pada kenyataan objektif bahwa Pancasila dasar
negara dan negara adalah organisasi persekutuan hidup) manusia. Oleh karena itu
negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui pembangunan nasional untuk
mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakekat
manusia “monopluralis.” Unsur-unsur hakekat manusia “monopluralis” meliputi
susunan kodrat manusia, rokhani, (jiwa) dan raga, sifat kodrat manusia makhluk
individu dan mahluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena pembangunan
nasional sebagai upaya praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka pembangunan
haruslah mendasarkan pada paradigma hakekat manusia “monopluralis” tersebut.
Konsekuensinya dalam realisasi pembangunan nasional dalam berbagai bidang
untuk mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten
berdasarkan nilai-nilai hakekat kodrat manusia tersebut. Maka pembanguan nasional
harus meliputi aspek jiwa (rohani) yang mencakup akal, rasa dan kehendak, aspek raga
(jasmani), aspek individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi dan juga aspek
kehidupan ketuhanannya. Kemudian pada gilirannya dijabarkan dalam berbagai bidang
pembangunan antara lain, politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial budaya, ilmu
pengetahuan, dan teknologi serta bidang kehidupan agama.
6.5.1 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang politik
Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus mendasarkan pada dasar
ontologi manusia. Hal ini didasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah
sebagai subjek negara. Oleh karena itu kehidupan politik dalam negara harus benarbenar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia.
Dalam sistem politik negara harus didasarkan pada tuntutan hak dasar
kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi
manusia. Hal ini sebagai perwujudan hak atas martabat kemanusiaan sehingga sistem
politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin atas hak-hak tersebut.
Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada kekuasaan yang tersumber
pada penjelmaan hakekat manusia sebagai individu-makhluk sosial yang terjelma
sebagai rakyat. Maka kekuasaan negara harus mendasarkan pada asal mula dari rakyat
untuk rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu
kekuasaan negara harus berdasarkan kekuasaan rakyat bukannya kekuasaan perorangan
atau kelompok.
Selain sistem politik negara Pancasila memberikan dasar-dasar moralitas politik
negara, dan telah diungkapkan oleh para pendiri negara, misalnya Drs. Moh . Hatta,
yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini menurut Moh. Hatta agar memberikan
dasar-dasar moral supaya negara tidak berdasarkan kekuasaan. Oleh karena itu dalam
politik negara, para elit politik dan para penyelenggara negara harus memegang teguh
budi pekerti kemanusiaan serta memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Dalam sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis, bahwa alam politik negara
harus mendasarkan pada kerakyatan (Sila IV). Adapun pengembangan dan aktualisasi
politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral Ketuhanan (Sila I),
moral kemanusiaan (Sila II) dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu
103
bangsa (Sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi
tercapainya keadilan dalam hidup bersama (Sila V).
Dapat dikatakan bahwa pengembangan politik negara terutama dalam proses
reformasi harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila
Pancasila sehingga praktek-praktek politik yang menghalalkan segala cara dengan
memfitnah, memprovokasi menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba
harus segera diakhiri.
6.5.2 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Ekonomi
Pada awalnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas dan
akhirnya yang kuat yang menang. Hal ini sebagai implikasi dan perkembangan ilmu
ekonomi pada akhir Abad ke-18, yang menumbuhkan ekonomi kapitalis. Atas dasar
kenyataan objektif ini, maka Eropa pada awal abad ke-19 muncul pemikiran sebagai
reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme komunisme yang
memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum kapitalis. Sistem
ekonomi yang berdasarkan sosialisme komunisme juga mengandung kelemahan tidak
diakuinya kepemilikan individu, sehingga tidak mendorong lahirnya hak untuk
berinisiatif dan berkompetisi. Oleh karena itu kiranya menjadi sangat penting bahkan
mendesak untuk dikembangkan sistem ekonomi yang mendasarkan pada ekonomi
humanistik, yang dikembangkan atas dasar kenyataan, yaitu yang dikembangkan atas
dasar kesejahteraan rakyat secara luas. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar
pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan dan demi kesejahteraan seluruh bangsa.
Pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilai moral kemanusiaan
(Mubyarto, 1999). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan ekonomi itu sendiri
adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera. Oleh
karena itu ekonomi harus mendasarkan pada kepentingan masyarakat umum, yaitu demi
kesejahteraan masyarakat, ekonomi untuk kesejahteraan manusia sehingga kita harus
menghindarkan diri dari pengembangan ekonomi yang hanya mendasarkan pada
persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang menimbulkan, penderitaan pada manusia,
menimbulkan penindasan atas manusia satu dengan lainnya.
Dengan demikian perekonomian Indonesia berdasarkan kekeluargaan, yang
menganut sistem nilai Pancasila, yang mengacu pada butir ke-5, yaitu keadilan sosial
bagi seluruh bangsa Indonesia. Keadilan sosial dalam aspek ekonomi tersebut harus
memenuhi kebutuhan hidup manusia secara layak.
6.5.3 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Budaya.
Dalam pembangunan aspek sosial budaya hendaknya berdasarkan sistem nilai
yang sesuai dengan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Nilai budaya tadi
digunakan sebagai kerangka pikir bangsa Indonesa untuk melakukan reformasi di segala
bidang. Sebagai anti klimaks proses reformasi, sering terlihat adanya stagnasi nilai
sosial budaya dalam masyarakat. Hal ini tidak mengherankan kalau di berbagai wilayah
Indonesia saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatikan antara
lain amuk masa yang cenderung anarkis, bentrok antar kelompok masyarakat yang
bermuara pada masalah politik.
Oleh karena itu dalam pengembangan sosial budaya pada masa reformasi harus
mengangkat nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika Pancasila pada
hakekatnya bersifat humanistik, artinya nilai-nilai Pancasila mendasarkan pada nilai
kebaikan yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
berbudaya. Terdapat rumusan dalam sila kedua Pancasila yaitu: “Kemanusiaan yang
adil dan beradab.” Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila merupakan
104
sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Pancasila
sebagai kerangka berpikir manusia Indonesia dapat menjadi (1) pendorong untuk
bersikap dalam kehidupan berbangsa, yaitu melepaskan simbol budaya dari keterikatan
struktur masyarakat, dan (2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat
kemanusiaan dan kebebasan rohani. (Koentowijoyo, 1986).
Dalam proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan gejolak masyarakat yang
jauh dari nilai kemanusiaan yang beradab. Hal ini sebagai akibat perbenturan
kepentingan politik demi kekuasaan, sehingga masyarakat melakukan aksi (demontrasi
yang disertai dengan kekerasan, penjarahan dan lain-lain), sebagai akibat akumulasi
persoalan politik. Suatu aksi yang tidak beradab, tidak manusiawi, tersebut senantisa
mendapat afirmasi politis dari kalangan elit politik sebagai politik. Demikian pula
meningkatnya fanatisme di berbagai daerah mengakibatkan lumpuhnya keberadaban di
kalangan masyarakat. Oleh karena itu suatu tugas berat bagi bangsa Indonesia pada
pasca reformasi dewasa ini untuk mengem-bangkan aspek sosial budaya dengan
berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang secara lebih terinci berdasarkan nilai Ketuhanan,
nilai kemanusian, nilai persatuan dan nilai kerakyatan.
6.5.4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Hankam
Negara pada hakekatnya merupakan masyarakat hukum. Demi tegaknya hak
warga negara, maka diperlukan peraturan perundangan negara, baik dalam rangka
mengatur ketertiban warga, maupun dalam rangka melindungi hak warganya. Oleh
karena itu negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsanya. Atas
dasar pengertian ini, maka keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya
kesejahteraan warga negara. Demi tegaknya integritas seluruh masyarakat negara
diperlukan suatu pertahanan negara. Untuk itu diperlukan aparat keamanan negara dan
aparat penegak hukum negara. Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara dan
mendasarkan diri pada hakekat kemanusiaan, maka pertahanan dan keamanan negara
harus dikembalikan pada tercapainya harkat manusia sebagai pendukung pokok negara.
Dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis pertahanan dan keamanan negara.
Dengan demikian pertahanan dan kemanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi
terjaminnya harkat dan martabat manusia, terutama secara rinci terjaminnya hak asasi
manusia. Pertahanan dan keamanan bukanlah untuk kekuasaan sebab kalau demikiian
sudah dapat dipastikan akan melanggar hak asasi manusia.
Demikian pula pertahanan dan keamanan negara bukanlah hanya untuk
sekelompok warga ataupun kelompok politik tertentu, sehingga berakibat negara
menjadi totaliter dan otoriter. Oleh karena itu pertahanan dan keamanan negara harus
dikembangkan berdasarkan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pertahanan dan
keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup
manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (Sila 1 dan 2). Pertahanan dan
keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingaan warga dalam
seluruh warga sebagai warga negara (Sila 3). Pertahanan dan keamanan harus mampu
menjamin hak dasar persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (Sila 4) dan
akhirnya pertahanan dan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya keadilan
dalam hidup masyarakat (terwujudnya suatu keadilan sosial) agar negara meletakkan
pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara
yang berdasarkan atas kekuasaan.
105
CATATAN KRITIS
Perjalanan panjang bangsa Indonesia, Pancasila telah diakui sebagai ideologi
yang membentuk identitas bersama sekaligus menjadi acuan untuk membangun tatanan
masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional
merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena
adanya kesadaran bahwa Pancasila yang didalamnya terkandung nilai ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah mufakat dan
keadilan sosial, merupakan nilai-nilai yang dipandang baik dan oleh karenanya menjadi
tujuan setiap warga negara Indonesia untuk mengejarnya.
Sebagai mahluk sosial sekaligus individual manusia Indonesia terkait dengan
berbagai fenomena dan latar belakang budaya yang berasal dari beragam suku yang ada
di Indonesia. Meskipun berbeda ada yang mempersatukan mereka yaitu adanya cita-cita
bersama menuju Indonesia Jaya dengan manusia Indonesia yang berkualitas dan
memiliki kehidupan yang layak. Di sisi lain perilaku manusia yang baik juga menjadi
inti tercapainya cita-cita itu. Dalam kehidupannya bernegara dan berbangsa hal itu
menjadikan manusia senan-tiasa memiliki hak dan kewajibannya, baik hak individu dan
sosial maupun kewajiban individu dan sosialnya. Dimensi sosial politis menekankan
bagaimana norma dan kewajiban moral harus dipatuhi dalam hubungannya dengan
sesama.
Akibat dari rumusan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila merupakan
sebuah peristiwa politik, tepatnya peristiwa politik yang mengandung unsur filsafat
politik tentang dasar negara republik Indonesia. Apa artinya itu? Kehidupan politis
suatu negara dapat dikaji secara kritis dengan melihat adanya norma dan kewajiban
yang berkaitan dengan kehidupan bernegara misalnya, konsep Negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kewenangan
(authorithy), pembagian (distribution) serta alokasi.
Norma dan kewajiban tersebut haruslah sesuai dengan tujuan tertentu bagi
seluruh masyarakat (public goals).
Selain itu, sebagai mahluk individu dan sosial, manusia juga memiliki
kebebasan dan tanggung jawab dia sebagai mahluk yang hidup dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa. Kebebasan yang dimilikinya tidak sepenuhnya mutlak, artinya
sebagai manusia bebas berperilaku tanpa menghargai norma yang ada (misalnya norma
agama, keluarga, negara, universitas, tempat ia bekerja dan sebagainya). Dalam
kehidupan bermasyarakat, manusia harus menghargai sesama baik yang memiliki
pendapat yang sama maupun yang berbeda, menghargai bahwa norma atau hukum
positif yang ada. Kebijakan yang berasal dari suatu lembaga sejauh semuanya itu
diterapkan untuk masyarakat dan demi kebaikan bersama.
106
Download