BAB VI PANCASILA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEILMUAN Untuk memahami relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di masa kini maka berikut ini disajikan pemaparan Pancasila dari perspektif filsafat ilmu dengan tujuan agar Pancasila dapat dikaji secara kritis. Upaya ini dilakukan mengingat Pancasila sebagai suatu ideologi memiliki sifat futuristik (Sastrapratedja, 1993: 143). Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan, sementara nilai-nilai itu sendiri selalu bersifat umum dan abstrak, sehingga nilai selalu berupa patokan-patokan umum tentang sesuatu yang dicita-citakan (Andrain, 1992: 77). Nilai juga tidak selamanya realistis dalam arti dapat direalisasikan secara penuh dalam realitas sosial. Hal inilah yang seringkali bertentangan dengan harapan individu. Dengan demikian dialog terus menerus dengan kenyataan yang ada sangat diperlukan agar secara jernih kita dapat melihat bahwa sifat futuristik Pancasila tidak serta merta mengimplikasikan bahwa sistem politik, ekonomi dan budaya yang ada merupakan perwujudan yang telah tuntas. Apabila sistem yang telah ada dianggap perwujudan yang tuntas, maka fungsi ideologi hanya menjadi pembenar dari status quo (Sastrapratedja, 1993: 143). Sebaliknya, ideologi Pancasila harus mampu menyoroti kenyataan yang ada dan berfungsi kritis terhadap perwujudan yang selalu belum sempurna. Dengan kata lain ideologi Pancasila seharusnya menjadi acuan untuk melakukan kritik sosial, juga sebagai paradigma pembangunan nasional yang menentukan pola pikir bangsa Indonesia dalam menentukan kehidupan bernegara dan berbangsa. 6.1 PANCASILA DAN FILSAFAT ILMU 6.1.1 Pancasila dan Problem Epistemologis Filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan yang melihat tentang bagaimana kegiatan dan proses (cara kerja) ilmiah dan ciri ilmu pengetahuan secara kritis. Ini berarti dalam kegiatan filsafat ilmu akan bertumpu pada dua aspek, aspek pembenaran ilmiah (context of justification) dan aspek penemuan ilmu (context of discovery). Dua aspek tersebut, pembenaran ilmiah dan penemuan ilmu mengarahkan kita sebagai pelaku ilmu (mahasiswa, peneliti, ilmuwan) untuk memiliki sebuah “paspor” keilmuan (petunjuk atau pola berpikir) dalam berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan. “Paspor” itu berupa cara berpikir yang kritis, memiliki penalaran yang logis, mampu berdialog secara rasional dalam melihat berbagai persoalan ataupun fenomena yang ada di sekitar kehidupan kita baik itu kehidupan sehari-hari maupun kehidupan ilmiah. Aspek pembenaran ilmiah (context of justification) sangatlah memperhatikan keruntutan logis bagaimana sebuah ilmu pengetahuan itu ditampilkan, apakah ilmu pengetahuan itu memiliki objek untuk pengkajiannya, juga metodologi yang digunakan dalam kegiatan ilmu pengetahuan, serta teori kebenaran yang ada. Sejalan dengan analogi itu maka Pancasila ingin dikaji dari sudut pandang filsafat ilmu. Apabila hal itu diterapkan, maka Pancasila haruslah dikaji dan dipahami dari aspek pembenaran ilmiah (context of justification) secara epistemologis. Untuk itulah Pancasila harus dianggap sebagai sebuah fenomena yang di dalamnya berisi pengandaian atau asumsi tentang objek, metodologi atau metode atau pendekatan yang logis dalam melihat fenomena 84 tersebut. Pengandaian atau asumsi tersebut membawa pada kita suatu penalaran logis sehingga kita dapat memberikan suatu ulasan yang bersifat kritis, rasional terhadap Pancasila. Objek yang kita hadapi atau yang sedang diteliti selalu memiliki dua aspek, yaitu objek material dan objek formal (ini sejalan dengan yang kita pelajari dalam filsafat ketika melihat sesuatu atau fenomena sebagai objek). Objek material adalah bahan atau materi yang menjadi acuan suatu kajian kita, sedang objek formal adalah pokok perhatian atau fokus perhatian dari objek material tadi. Dengan demikian apabila kita sedang mempelajari Pancasila, maka Pancasila memiliki objek yang akan dikajinya, yaitu objek material dan objek formal. Objek material Pancasila adalah wacana dan pengetahuan yang dimiliki rakyat Indonesia yang bersumber pada berbagai pandangan hidupnya dan telah berakar pada kebudayaan dari berbagai suku di Indonesia. Wacana tersebut menjadi pengetahuan yang dimiliki oleh manusia Indonesia baik dalam kehidupan individual, sosial, berbangsa maupun bernegara. Bagaimana dengan objek formal Pancasila? Objek formal Pancasila adalah lima sila yang ada pada Pancasila dan termuat pada pembukaan UUD 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Kelima sila itu merupakan fokus perhatian dari objek formal Pancasila dan yang kemudian akan diteliti lebih dalam lagi. Kelima sila tersebut haruslah ditinjau dari kesesuaian perilaku manusia Indonesia yang memiliki kemajemukan, atau heterogenitas suku, pandangan hidup, nilai (value) seperti nilai religius, moral (etika), kebersamaan dan toleransi, kemanusiaan, pluralitas, keadilan intelektualitas, nasionalisme, kebangsaan. Tinjauan terhadap kesesuaian perilaku manusia Indonesia dengan beragam nilai tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti. Beragam nilai (value) yang pada Pancasila akan diuraikan lebih rinci pada bagian yang lain yaitu Pancasila sebagai sistem nilai. Kesesuaian persepsi dan perilaku dari butir Pancasila dengan misalnya nilai (value) yang telah disebutkan di atas dan menghasilkan perilaku individual atau perilaku kolektif yang baik sebenarnya telah menghasilkan sebuah kebenaran secara korespondensi dan koherensi (dalam sudut pandang epistemologi) dan sejalan dengan dasar etika secara deontologis dan utilitaristis. Sebenarnya itulah yang dikehendaki ketika kita melihat bahwa Pancasila harus dipahami secara kritis dan rasional. Persepsi manusia Indonesia baik sebagai mahluk individual maupun mahluk sosial haruslah beranjak dari kesadaran atau cara berpikirnya yang dimulai ketika dia belajar dalam pendidikan non formal dan formal (pendidikan dasar, menengah dan tinggi). Kekhususan manusia terletak pada cara berpikir atau akal budinya dan keinginannya, kehendaknya. Pendidikan tinggi membuat kita seharusnya lebih kritis dalam memahami dan memaknai Pancasila apabila itu dilakukan dengan tepat. Kita tidak boleh terjebak dalam fanatisme yang sempit dalam memaknai Pancasila, kita harus terbuka dalam memandang Pancasila. Pancasila harus dianggap sebagai “arena”, sebagai ajang untuk dikritisi, diinterpretasi, dimaknai dengan rasionalitas manusia Indonesia yang benar dewasa secara intelektual. Apa yang ada dalam benak kita melalui butir Pancasila itu harus diaplikasikan dengan tepat melalui perilaku yang tepat pula. Meminjam pandangan dalam filsafat ilmu, bahwa pengetahuan harus berada pada dua tataran, yaitu teoritis dan praktis, maka kita pun dapat mengatakan bahwa belajar dan memahami Pancasila dapat berada pada dua tataran, yaitu teoritis dan praktis. Sisi teoritis adalah ketika kita belajar tentang butir Pancasila dengan nilai dasar yang menyertainya serta dipahami dan dimaknai dengan arif dan sisi praktis pada perilaku konkret yang baik atau perilaku etis dalam segala kehidupan manusia. Untuk dapat menjaga antara 85 perilaku teoritis dan praksis yang seimbang, diperlukan juga metodologi dalam menerapkan nilai dasar tersebut. 6.1.2 Metodologi Pancasila Lalu bagaimanakah bentuk metodologi Pancasila itu? Untuk menjawab hal itu, perlulah kita melihat secara cermat, sebenarnya metodologi itu apa? Metodologi adalah upaya seseorang (ilmuwan, calon ilmuwan/mahasiswa) untuk mencari “jalan” atau cara yang tepat dalam suatu kegiatan ilmiah atau penelitian. Dengan analogi terhadap hal itu, maka kita pun dapat memiliki cara atau pendekatan yang dianggap tepat dan benar dalam memahami Pancasila khususnya yang berkaitan dengan nilai yang muncul dari Pancasila itu (nilai dasar dan nilai praksis). Berbagai pendekatan, atau metode dalam memahami Pancasila akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode itu antara lain, oberservasi (pengamatan), verstehen, interpretasi, teori kritis, dialog, pembauran multikultural, integrasi, adaptasi, sosialisasi, (dan seni budaya). Metode observasi digunakan untuk mengamati berbagai gejala yang dialami manusia, khususnya dalam melakukan berbagai tindakan dalam kapasitas dia sebagai mahluk individu, sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindakan praksis manusia yang dianggap sesuai atau tidak sesuai dengan butir sila Pancasila dapat diamati oleh kita terhadap perilaku orang lain, atau kita melakukan pengamatan terhadap diri sendiri. Metode verstehen atau metode pemahaman atau disebut juga sebagai understanding method adalah metode yang lazim digunakan dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Tujuan metode pemahaman adalah untuk mencari makna tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang humaniora, sosial, seperti perilaku manusia, peristiwa sejarah, interaksi masyarakat dengan lembaga, interaksi individu dengan individu lainnya, benda artefak (benda peninggalan atau warisan budaya suatu masyarakat) yang masih ada, ritual masyarakat, kehidupan beragama, dan sebagainya. Metode verstehen atau pemahaman ini bersifat subjektif, artinya keterarahan seorang pengamat (dianggap sebagai subjek) terhadap apa yang dihadapinya (objek) menggunakan rasa empatinya, kesadaran (rasionalitasnya) yang dipenuhi dengan berbagai nuansa yang menyertainya. Sebagai contoh, seorang pengamat atau mahasiswa ketika menyaksikan upacara bendera pada setiap tanggal 17 Agustus yang dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta akan tersentuh hatinya, ketika menyaksikan dan mendengarkan detik proklamasi itu dikumandangkan kembali. Pembacaan kembali teks Proklamasi itu sebenarnya ingin mengingatkan pada kita semua bahwa pada beberapa tahun yang lalu (17 Agustus 1945) bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan negaranya. Hal itu juga untuk mengingatkan pada kita, bahwa sejak detik itu bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka, bebas untuk menyongsong masa depannya. Pesan (message) itulah yang ingin disampaikan oleh para generasi lama kepada generasi baru melalui upacara 17 Agustus agar kita sekarang ini memaknainya dengan baik dan arif. Bagaimana hubungan metode verstehen dengan Pancasila? Pancasila sebagai pengetahuan yang bersumber pada pandangan hidup bangsa Indonesia harus dipahami dengan lebih objektif dan rasional. Artinya pemahaman itu harus dimulai dengan penelusuran secara historis atau mencari latar belakang mengapa pengetahuan tentang Pancasila itu muncul dan menjadi landasan Negara Indonesia. Latar belakang historis menjadi dasar lebih lanjut bagi kita untuk mengkaji butir Pancasila. Pesan (message) yang sebenarnya berasal dari akar pandangan hidup masyarakat Indonesia dan butir Pancasila itulah yang harus dicari dan dikembangkan dan menjadi tugas generasi muda untuk memahaminya dengan konteks yang lebih relevan terutama pada kondisi sekarang ini. 86 Metode interpretasi adalah metode untuk melakukan penaf-siran atau tafsir terhadap pemahaman suatu fenomena tertentu. Fenomena tersebut dapat berupa kehidupan masyarakat Indonesia dalam konteks bernegara dan berbangsa. Kehidupan bernegara dan berbangsa tersebut dipayungi oleh pandangan hidupnya yang kemudian pandangan hidup tersebut menjadi landasan negara, yaitu Pancasila. Tafsir terhadap Pancasila berarti seseorang melakukan pemahaman terhadap makna butir Pancasila untuk kemudian dimengerti dan direnungkannya (direfleksikan) dengan jelas. Seseorang yang melakukan penafsiran terhadap butir Pancasila (misal butir 1), maka ia mengerti dengan benar kata dalam butir 1 dan untuk kemudian apabila ia berperilaku tertentu, maka perilaku itu harus sejalan dengan pemahamannya terhadap butir sila 1. Bagaimana mungkin ketika seseorang meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dan sejalan dengan imannya, tetapi ia di sisi lain melakukan tindakan buruk yaitu membunuh seseorang dengan sadis. Teori Kritis yang dimaksudkan ini adalah upaya metodologis atau metode yang mencoba menggabungkan antara pemahaman filsafat dengan kehidupan sosial. Metode teori kritis ini berusaha melihat bahwa realitas sosial sebagai fakta sosiologis dapat dipahami sebagai kegiatan yang sifatnya konseptual. Kegiatan konseptual adalah kegiatan pemikiran kritis manusia dalam melihat, dan mencari makna sesuatu di balik fakta yang sifatnya empiris atau konkret. Dalam studi filsafat, maka kegiatan konseptual tersebut kadang disebut sebagai usaha manusia yang sifatnya transendental atau metafisis. Dengan demikian kegiatan konseptual adalah kegiatan rasionalitas seseorang dalam melihat di balik (di belakang) fenomena atau perilaku konkret. Ide atau gagasan apakah yang muncul ketika kita mengkaji misalnya Pancasila itu? Untuk itu ketika kita berusaha menggali Pancasila secara mendalam maka pendekatan teori kritis juga menawarkan atau memungkinkan melakukan upaya kritik (lazim disebut sebagai kritik ideologi). Kritik ideologi ada 2 macam: (1) melakukan kritik yang sifatnya transendental (konseptual) dengan menemukan syarat yang memungkinkan pengetahuan berada dalam diri subjek, dan (2) kritik imanen yang mencoba menemukan kondisi sosio historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia. Jadi dengan kata lain, kritik ideologi adalah pendekatan refleksif diri yang membebaskan pengetahuan manusia itu apabila jatuh dan membeku dalam aspek transendental dan imanen (Hardiman, 2003: 19). Bagaimana kita dapat mengerti kaitan antara teori kritis dengan Pancasila? Dalam konteks dengan Pancasila, teori kritis sebagai kritik ideologi yang memiliki (mengemban) tugas untuk “membuka” kedok ideologis dari pemikiran pengetahuan yang berasal dari kesadaran masyarakat dan mengatasi penindasan ideologis yang ditujukan pada tatanan mormatif dalam kehidupan sosial. Pemikiran pengetahuan yang berasal dari masyarakat dianggap sebagai cara berpikir masyarakat yang menekankan pola ideologis tertentu, yang belum tentu sesuai dengan relitas sosial masyarakat Indonesia. Kedok ideologis yang menekankan status quo masyarakatnya hendaknya dikritisi. Kedok ideologis semacam itu muncul dalam berbagai bentuk interaksi sosial. Dan atas nama Pancasila banyak berbagai kelompok menginginkan paradigma Pancasila diubah sesuai dengan keinginan kelompok tersebut. Untuk menghindari hal semacam itu perlu dipikirkan adanya teori kritis atau kritik ideologi yang mendorong praksis kehidupan politis manusia. Sebaiknya interaksi sosial baik dari pihak pemimpin negara terhadap masyarakat, maupun antar individu atau masyarakat berdasarkan pada cara berpikir kritis dengan menekankan unsur emansipatoris. Pada saatnya nanti unsur tersebut membawa misi emansipatoris yang mengarahkan masyarakat Indonesia lebih rasional melalui refleksi diri. Pancasila dapat menjadi media untuk merefleksi diri manusia Indonesia dalam menuju derap pembangunan di tengah masyarakatnya. Di tengah derap 87 pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi yang diakibatkan perubahan sosio kultural tidak hanya menghasilkan kemajuan tetapi juga ketimpangan. Situasi ketidakadilan sosial menjadi suatu tantangan untuk diperbaiki dengan paradigma kritik ideologi yang menekankan adanya realitas sosial sesungguhnya bukannya utopia. Dan itu menjadi tugas para ilmuwan sosial khususnya untuk membantu dan memberikan kontribusi intelektual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Metode Dialog adalah metode yang menekankan komunikasi atau alih informasi melalui sifat yang dinamis dan dua arah (two ways). Dalam komunikasi yang sifatnya dua arah itu sebenamya terdapat relasi antara si pembicara dengan si pendengar. Pada pembicaraan yang komunikatif, peran si pembicara dapat menjadi pendengar begitu sebaliknya, si pendengar dapat berperan sebagai pembicara. Pembicaraan yang komunikatif dengan topik tertentu itu sebenamya mengandung pesan (message) dari si pembicara terhadap lawan bicaranya. Dalam konteks dengan Pancasila, maka metode dialog dapat digunakan oleh seseorang untuk memberikan informasi dan pesan tentang isi atau makna Pancasila kepada pendengarnya. Agar pesan dapat diterima dengan baik, maka sosialisasi menjadi hal yang penting. Mengapa? Melalui penyebaran informasi terhadap masyarakat maka informasi Pancasila dapat diterima oleh banyak orang. Bentuk sosialisasi dapat berupa penyebaran informasi baik secara tertulis (misalnya buku tentang Pancasila yang ditulis oleh para pakar berbagai bidang) maupun lisan (misalnya dialog Pancasila di tengah para mahasiswa, masyarakat perkotaan atau perdesaan, masyarakat lndonesia di luar negeri dan sebagainya). Untuk itulah metode dialog Pancasila dengan sosialisasi yang tepat dapat diharapkan menjangkau masyarakat luas dan dipahami secara kritis dan dapat menjadi pedoman dalam berperilaku. Dialog tentang Pancasila yang dilakukan di tengah masyarakat dapat menumbuhkan dinamika cara berpikir manusianya, memunculkan perdebatan, berbagai argumen (pendapat) baik pro dan kontra. Dialog yang baik harus memunculkan semacam sintesis (kesimpulan) yang menampung dari berbagai pendapat tersebut. Dengan demikian tujuan dan cita-cita Pancasila serta memasyarakatkan Pancasila dapat tercapai sesuai yang diinginkan dengan benar apabila menggunakan metode dialog. Berbagai metodologi tersebut (observasi, verstehen, inter-pretasi, dialog, teori kritis) dapat menjadi "alat" untuk mencapai tujuan dan cita-cita Pancasila. Masyarakat lndonesia yang memiliki sifat heterogen baik dari bahasa, warna kulit, adat istiadat, agama maupun kehidupan sosialnya menjadi semacam wacana yang tidak mudah untuk dipahami atau dikaji. Untuk itulah perlunya adanya metodologi yang tepat dalam mengatasi heterogenitas masyarakat atau masyarakat multikultural. Hal yang menjadi nilai tambah, yaitu adanya Pancasila yang dianggap sebagai ideologi negara dan itu dapat digunakan untuk mengatasi berbagai sifat masyarakat lndonesia yang heterogen itu. Bagaimana caranya? Salah satu cara dengan metode pemahaman (verstehen). Metode pemahaman mengajak kita memahami bahwa setiap individu, masyarakat memiliki identitas tertentu, yang berasal dan dibentuk dari latar belakang budaya, pendidikan, agama, dan lingkungan. Setiap indentitas dari individu dan masyarakat akan membentuk atau melebur menjadi indentitas tertentu atau dengan kata lain identitas individual menjadi landasan bagi indentitas kolektif (masyarakat). Indentitas individu dan kolektif sebenamya dipayungi oleh pola pikir atau kesadaran masyarakatnya yaitu Pancasila. Apabila setiap individu atau masyarakat memahami betul tentang makna Pancasila, maka identitas individu dan kolektif akan sejalan dengan nilai (value) dalam Pancasila, seperti nilai kebangsaan, moral, keadilan, kejujuran, dan sebagainya (yang sebenamya termuat dalam butir Pancasila). Penghargaan terhadap identitas individu, kolektif melalui kehidupan yang layak secara ekonomis, kebebasan berpikir, keamanan dan perlindungan, pendidikan, kebebasan beragama, kesehatan, dapat mengangkat harkat martabat bangsa dan emansipatoris yang sesungguhnya. 88 Masyarakat akan belajar bagaimana sebenamya realitas sosial yang sebenarnya itu dijalaninya secara kritis. Metodologi yang tepat juga akan mengarahkan bagaimana Pancasila itu terintegrasi dengan baik. Artinya melalui masyarakat yang plural dan heterogen, juga generasi mudanya Pancasila dapat diterima, diadaptasi, disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Setiap warga masyarakat pasti memiliki cara atau model dalam melakukan adaptasi terhadap Pancasila dan cara itulah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Selama sesuai dengan cita-cita Pancasila maka hal itu tidak menimbulkan kecemasan. Pancasila dapat menjadi ideologi yang terbuka karena dianggap sebagai "arena" yang terbuka untuk didekati, diolah, diramu sehingga menjadi ideologi yang baik, tepat sesuai bagi bangsa Indonesia. "Payung besar" yang dapat menampung berbagai hal baik yang sifatnya memiliki nilai tambah maupun nilai kurang. Nilai kurang itulah (seperti kurangnya pembauran multi kultural dalam kehidupan masya-rakat, kurangnya toleransi beragama, kurangnya kebebasan akademis yang memberikan kontribusi kehidupan intelektual di kampus, dan sebagainya) yang menjadi ancaman sehingga tugas kita untuk melakukan refleksi dan kritik ideologi terhadap nilai kurang tersebut. 6.2 PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan kenyataan dan kebenaran yang berasal dari dirinya sendiri dan telah diterima sebagai filsafat dan pandangan hidup. Karena itu, bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan ukuran dalam seluruh kegiatan kemasyarakatan (modul, 2004: 102). Istilah Pancasila sebagai dasar negara, pertama kali diucapkan pada pidato Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Usulan Ir. Soekarno tersebut diterima secara bulat oleh seluruh anggota sidang BPUPKI. Sila-sila dalam Pancasila adalah merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sila dengan sila yang lainnya, oleh karena itu merupakan satu susunan organik bertingkat dan terstruktur berbentuk piramida. Sila-sila di dalam Pancasila pada hakekatnya dapat dibedakan atas, “hakekat Pancasila”, yang bersifat umum dan universal yang merupakan “substansi sila-sila Pancasila”, sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yang bersifat umum, kolektif serta pengamalan Pancasila yang bersifat khusus dan konkret (Kaelan, 2004: 72) Hakekat Pancasila adalah merupakan nilai-nilai yang terkandung di dalam silasila Pancasila, adapun sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat, Pancasila merupakan norma, sedangkan aktualisasi Pancasila adalah merupakan realisasi konkret. Realisasi Pancasila dalam ketiga undang-undang dasar/konstitusi tersebut hakekatnya merupakan penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan cita-cita dan harapan menuju masyarakat bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil makmur, aman sejahtera. Cita-cita yang harus tetap diperjuangkan setelah bangsa Indonesia melewati “jembatan emas” yaitu Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. 6.2.1 Struktur Pancasila Untuk mengetahui susunan Pancasila yang terstruktur berbentuk piramida, maka terlebih dahulu harus memahami suatu teori filsafat yang disebut Hylemorfisme. Hylemorfisme, yang dalam bahasa Inggris; hylomorphism, atau dalam bahasa Yunani: hyle (=materi) dan morphe (=bentuk, rupa). Diartikan sebagai segala sesuatu yang berlangsung terus di dalam setiap perubahan dan ia sendiri tidak berubah, olehnya 89 terjamin suatu kesinambungan dan identitas (Lorens Bagus, 1996: 284-285). Teori tersebut dipergunakan oleh Aristoteles sebagai landasan teori Kausalitas yang dikembangkannya. Intinya bahwa setiap perubahan (hylemorphe) atas segala sesuatu itu mempunyai empat macam sebab atau kausa, yaitu: kausa Materialis artinya sebab yang berhubungan dengan materi atau bahannya; kausa formalis, artinya sebab yang berhubungan dengan bentuknya; kausa efisien, artinya sebab yang berhubungan dengan efisiensinya; kausa finalis, artinya sebab yang berhubungan dengan tujuannya. Oleh karena itu, Hylemorfisme adalah teori tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan materi (hyle) dan bentuk (morphe). Beberapa ahli sudah mempergunakan teori ini, tetapi hanya melihat dari sejarah terbentuknya Pancasila yaitu Pidato Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 oleh Ir. Soekarno, sebagai kausa materialis; maksud dan tujuan pidato tersebut sebagai kausa finalis; sidang BPUPKI dan PPUPKI dalam merumuskan Pancasila, sebagai kausa efisien dan Rumusan Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 sebagai kausa formalis. (Notonagoro dalam Kaelan, 2004: 104). Pendekatan ini akan menjadi kabur, karena ternyata rumusan Pancasila mengalami beberapa kali perubahan, seperti rumusan dalam Pidato 1 Juni 1945 berbeda dengan Jakarta Charter 22 Juni 1945, pembukaan UUD 18-8-1945, Pembukaan Konstitusi RIS 1946, Pembukaan UUD (S) 1950. Karena apabila demikian halnya, maka apakah kausalitasnya akan berubah sesuai dengan perubahan rumusan Pancasila. Lain halnya, apabila kita konsekuen dalam mempergunakan teori kausalitas, yang kita mulai dengan mempelajari pemikiran Aristoteles tentang metafisika, di mana Aristoteles menganggap objek-objek partikular sebagai substansi yang nyata, yaitu bahwa: a) Materi mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi bentuk permulaan bersifat tetap dan tidak berubah; b) Materi (hyle) merupakan asas kebolehjadian; bentuk (morphe) merupakan asas kenyataan atau aktualitas. Dengan menyatukan materi dan bentuk dan memasukan sebab kedalam tindakan (entelechy) pendekatan bertahap kesatuan dari semua benda menjadi tujuan dari alam semesta. Alam semesta adalah dunia ideal, suatu keseluruhan organis yang saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forma) yang abadi dan tetap. Idea-idea memberikan bentuk dan kehidupan. Bentuk-bentuk adalah kekuatan yang bertujuan yang menciptakan oleh pikiran itu sendiri. Setiap organisme menjadi sesuatu hal melalui tindakan dari idea tujuan. c) Keseluruhan tersebut, diakibatkan oleh adanya empat sebab, sebagaimana teori kausalitas (Ali Modhofir, 2001: 27) Berdasarkan teori tersebut, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa Pancasila adalah ideal, di mana sila-sila dalam Pancasila adalah merupakan keseluruhan organis yang saling berhubungan. Sebagai ide filosofis bentuk penerapannya dapat berbedabeda, tetapi sebagai bentuk awal (rumusan Pancasila 1 Juni 1945) esensinya bersifat tetap dan tidak berubah. Rumusan Pancasila dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 yaitu: Kebangsaan (Nasionalisme), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Isi sila-sila dalam Pancasila pada hakekatnya merupakan satu kesatuan, yang bersifat umum dan universal, yang bersumber pada hakekat dasar ontologis, yaitu hakekat manusia yang “monopluralis”; Manusia sebagai individu memiliki susunan kodrat jasmani, dan memiliki sifat kodrat sebagai mahluk sosial dan memiliki kedudukan kodrat sebagai individu dan sosial sebagai mahluk Tuhan. Setiap unsur 90 memiliki fungsi sendiri-sendiri tetapi terikat dalam susunan satu kesatuan yang bersifat organis, sebagai penjelmaan hakekat manusia yang monopluralis. Susunan Pancasila adalah hierarkis dan berbentuk piramida, artinya tersusun dalam urutan luas (kuantitas) dan isi sifatnya (kausalitas), menunjukan suatu rangkaian tingkat dan luasnya serta isinya sifat yang merupakan pengkhususan sila-sila di mukanya. Oleh karena itu antara kelima sila tersebut saling mengikat, sehingga Pancasila merupakan kesatuan yang bulat. Dari sisi kausalitas, sila pertama Pancasila, yaitu kebangsaan, diartikan bangsa adalah sekumpulan manusia sebagai mahluk individu dan sosial yang bebas. Maka segala bentuk peng-halang kebebasan harus dihilangkan. Demikian halnya, perjuangan bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajahan adalah merupakan cara untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia dan atau bangsa yang bebas merdeka. Esensi sila pertama ini adalah kemanusiaan, asas yang menjadi bahan atau materi atau sebab materil (Causa Materialis). Adapun struktur di atas Kebangsaan adalah Internasionalisme atau peri kemanusiaan, sebagai pelaksana esensi sila pertama yaitu kemanusiaan, yang merupakan sebab yang berhubungan dengan bentuk (Causa Formalis); Asas kemanusiaan ini hanya dapat diberlakukan apabila seluruh aspek kehidupan dilaksa-nakan berdasarkan demokrasi atau mufakat, hal ini merupakan sebab efisien (Causa efisien). Secara keseluruhan adalah menuju Keadilan Sosial, yang menjadi sebab yang berhubungan dengan tujuan (Causa finalis). Struktur tersebut dijalankan dengan landasan Ketuhanan Yang Berkebudayaan, yang menghormati agama satu dengan lainnya, maka merupakan freedom of religious, dimana umat manusia diberi kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Berdasarkan kausalitas tersebut, dapat diketahui bahwa nilai-nilai Pancasila adalah bersifat objektif. Bersifat objektif karena dari hakekat yang terdalam, Pancasila menunjukan adanya sifat-sifat umum dan universal serta abstrak. Esensi nilai-nilai Pancasila akan tetap ada dalam kehidupan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu akan tetap berlaku bagi bangsa Indonesia dan dapat diberlakukan bagi bangsa-bangsa di dunia, karena mengandung makna yang dijadikan norma-norma dalam setiap aspek kehidupan yang terpancar dalam adat istiadat, seni budaya, religi dan lain-lainnya, dan sebagai filsafat negara Pancasila menjadi kaedah dan sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila juga bersifat subjektif, karena timbul dari “diri sendiri” bangsa Indonesia dan merupakan hasil pemikiran kritis dan reflektif filosofis. Di dalam nilai-nilai subjektif Pancasila, terkandung tujuh nilainilai kerohanian, yaitu nilai-nilai religius, moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kebersamaan dan toleransi, yang merupakan manifestasi dari budi nurani dan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk dapat menelusuri nilai-nilai tersebut, maka terlebih dahulu harus memahami susunan dan bentuk Pancasila 1 Juni 1945, dan perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 18-8-1945. yang merupakan realisasi konkret dari Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara. 6.3 NILAI PANCASILA Pada hakikatnya, segala sesuatu itu memiliki nilai, hanya saja nilai apa saja yang ada dan bagaimana hubungannya nilai tersebut dengan manusia, sebagai mahluk jasmani dan rohani. Para pemikir dan filsuf memiliki pandangan yang beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Max Scheler (1874-1928) seorang fenomenolog Jerman, menggolongkan nilai menurut tinggi rendahnya dalam empat tingkatan, yaitu: Nilai Kenikmatan, Nilai 91 Kehidupan, Nilai Kejiwaan, dan Nilai Kerohanian. Nilai-nilai semacam itu terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi (Driyarkara, 1978). Notonagoro, menggolongkan nilai dalam tiga tingkatan, yaitu Nilai Material, Nilai Vital, Nilai Kerohanian; Nilai Kerohanian dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu: Nilai Kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada rasio, akal budi, atau hasil cipta manusia; Nilai Religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak, yang bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila adalah termasuk nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai-nilai material dan nilai-nilai vital. (Notonagoro, 1980). Darmodihardjo menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila di dalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerohanian, yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis, dan nilai religius, yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa (Darmodihardjo, 1996). Irmayanti menyatakan nilai-nilai yang melandasi Pancasila adalah nilai religius, moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kebersamaan, dan toleransi (modul MPKT: Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila, 2005), nilai-nilai yang dimaksudkan di sini adalah nilai-nilai kerohanian. Untuk dapat memahami nilai-nilai kerohanian Pancasila, maka terlebih dahulu harus memahami pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, yang kemudian diterima sebagai Dasar Filosofi Negara dan direalisasikan secara konkret dalam Pembukaan UUD 1945. Adapun rumusan Pancasila di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 6.3.1 Nilai-nilai Religius Pengertian nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterikatan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung. Dalam kehidupan sosial dan budaya maka keterikatan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Pada dasarnya setiap orang akan selalu memiliki pandangan atau persepsi akan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan yang melebihi manusia. "Sesuatu" dalam pandangan orang yang beragama disebutnya sebagai Yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God dan sebagainya. Di dalam nilai religius akan muncul berbagai penilaian orang atau kita sendiri terhadap hubungannya dengan Yang Sakral itu, apakah hubungan itu berjalan dengan baik ataukah tidak baik, dan hal itu sejalan dengan yang diyakininya. Pada Pancasila keterkaitan nilai religius muncul dalam pembukaan UUD 1945 dan butir Pancasila, yaitu keterikatan terhadap Yang Sakral. Yang Maha Kuasa menjadi "kendali" bagi perilaku orang dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Nilai religius dimaknai sebagai keterikatan dan ketergantungan pada kekuasaan Ilahi yang dapat memberikan pedoman dan pencerahan bagi umat manusia. Di sisi lain, nilai religius dapat menjadi "penuntun" pada keragaman bangsa lndonesia yang multi agama dengan melihat bahwa religiositas (keterikatan terhadap yang sakral, agung) memiliki sifat yang universal (kesemestaan). Nilai religius selalu berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, Tuhan dianggap oleh manusia sebagai "kekuatan" yang melebihi manusia, sebagai Yang Maha Tahu, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia sangat tergantung dan menaruh hormat pada "kekuatan" itu. Sedang dalam hubungannya secara horizontal, nilai religius diungkapkan manusia melalui ekspresi atau perasaannya 92 terhadap kehidupan dan pengalaman beragama dengan saling menghargai, menghormati kebebasan agama masing-masing. Itulah sebabnya kita dapat mengatakan bahwa di mana dan kapan saja, oleh siapapun nilai religius memiliki sifat universal. Meskipun latar belakang agama berbeda satu sama lain, kita dapat menjalin hubungan yang akrab dengan orang yang berbeda agama dengan kita atas dasar nilai religiositas yang sifatnya universal. Bila nilai religius diyakini dan dipahami dengan benar oleh masyarakat, maka dapat menumbuhkan toleransi agama. Untuk itulah pentingnya memahami dan melaksanakan nilai religius yang baik (yang telah ada pada butir Pancasila) agar memunculkan kehidupan religiositas yang “sehat” jauh dari fanatisme sempit. Nilai religius muncul pada pembukaan UUD 1945 seperti yang tertera di bawah ini : Di dalam Alinea III Pembukaan UUD 1945 dinyatakan : “Atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa dan . . . . Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “ . . . . dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa . . . . “ Pernyataan dalam Alinea III dan IV UUD 1945, bermula dijelaskan dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dimana Ir. Soekarno menyatakan ; “Prinsip Ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia ber Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber Tuhan. . .............................................. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber Tuhan”. Dijelaskan selanjutnya bahwa prinsip-prinsip Kebangsaan, Perikemanusiaan, Mufakat dan Kesejahteraan Sosial adalah dilandasi oleh Ketuhanan. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah merupakan pengakuan “Nilai Religius”; hal ini mengandung makna bahwa negara Indonesia mengakui nilai-nilai religius, bahkan merupakan suatu dasar negara Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, secar filosofis, bangsa Indonesia mengakui bahwa manusia adalah mahluk Tuhan, sehingga kemerdekaan dan negara Indonesia di samping merupakan hasil perjuangan bangsa Indonesia juga yang terpenting adalah merupakan “berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. 6.3.2 Nilai Moral Nilai moral yang dimaksudkan adalah nilai tentang kebaikan yang muncul akibat perilaku orang baik dia sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain atau masyarakat. Ada beberapa pengertian tentang nilai moral yang bersumber pada etika. Pertama, nilai dan norma moral yang ada dapat menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam berperilaku. Kedua, nilai moral merupakan kumpulan asas tentang perilaku tertentu atau kegiatan sesuatu, misalnya kode etik. Kode etik dianggap sebagai kumpulan nilai moral yang memiliki prinsip kebaikan dalam suatu organisasi profesi seperti kode etik dokter, kode etik pengacara. kode etik dosen dan sebagainya. Ketiga, nilai moral yang bersumber pada etika atau filsafat moral yaitu suatu ilmu yang 93 mengkaji tentang prinsip" yang baik dan yang buruk. Bagian ini merupakan bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Bagaimana nilai moral itu berkaitan dengan Pancasila? Rupanya nilai moral yang dimaksud itu adalah nilai moral yang bersumber pada suatu prinsip kebaikan dan hal itu menjadi bahan untuk direfleksikan lebih lanjut, khususnya ketika kita mengkaji dan memahami Pancasila. Prinsip kebaikan pada filsafat moral bersumber pada hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, hak dan kewajiban. Sumber itu disebut juga sebagai kaidah moral (lihat Modul PDPT UI-MPKT, 2004, Modul I bab 5, hal 77-92) dapat menjadi pegangan seseorang dalam mengarahkan dirinya menjadi manusia yang baik. Manusia yang baik. diartikan sebagai Manusia lndonesia yang baik yang harus memiliki sikap etis yang mengarahkan pada etika kewajiban dan etika keutamaan (misalnya menjunjung kejujuran, keadilan dalam pengambilan keputusan, bekerja, berorganisasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagainya) dan berpegang pada norma dan prinsip moral. Norma dan prinsip moral dapat dicari melalui kehidupan beragama, bernegara, kehidupan yang menghargai perbedaan multikultural. dan juga pada butir Pancasila. Nilai moral dapat ditemukan dalam butir Pancasila seperti yang tertera di bawah ini : Di dalam Alinea III Pembukaan UUD 1945 dinyatakan : “ ... di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas ... Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “ ... Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab ... “ Sila kedua Pancasila adalah kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dijelaskan dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengatakan: “Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principle yang nomor dua, ...“ Prinsip kedua tersebut adalah Internasionalisme atau Peri kemanusiaan, yang di dalam Alinea IV UUD 1945 dirumuskan sebagai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila ini tidak menyebutkan secara eksplisit kata Indonesia, tetapi kata adil dan beradab merupakan ciri khusus dari kemanusiaan, dan sebagai kesatuan dari sila-sila Pancasila, maka kata kemanusiaan di sini berbeda dengan humanisme karena adanya ciri khusus tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa pokok pikiran keempat: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah merupakan nilai-nilai Dasar Moral Negara. Prinsip negara sebagaimana terkandung dalam pokok-pokok pikiran tersebut menunjukan kepada kita bahwa dalam kehidupan bernegara, meskipun didasarkan hukum perundang-undangan tetapi harus tetap berdasarkan pada moralitas, karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan kemanusiaan yang adil dan beradab dan bermartabat luhur. 6.3.3 Nilai Kebangsaan Nilai kebangsaan adalah nilai tentang manusia yang secara kodrat memiliki hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, serta identitas yang membentuk eksistensi manusia atau jati diri dalam kehidupan bernegara. Secara kodratiah setiap 94 orang memiliki nilai kemanusiaan seperti, hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab serta identitas tertentu. Dalam kehidupan bernegara, hal itu dipersatukan dengan tujuan dan pandangan hidupnya. Adanya persatuan antara nilai secara kodratiah dengan tujuan dan pandangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat, akan membentuk eksistensi dan jati diri suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia terutama generasi mudanya, jati dirinya akan tampil dengan baik apabila dapat menampilkan nilai kebangsaan (hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, identitas) dengan optimal dalam kehidupan bernegara. Orang akan bangga dengan nilai kebangsaan yang ada dan dimilikinya, bangga menjadi orang Indonesia dan itu harus “diisi” dengan sikap yang menjunjung nilai moral yang tinggi. Nilai-nilai kebangsaan adalah prinsip pertama dalam Pancasila 1 Juni 1945 yaitu kebangsaan. Prinsip pertama atau sila pertama ini kemudian direalisasikan secara konkret dalam pembukaan UUD 1945 dan dirumuskan sebagai sila Persatuan Indonesia. Di dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945, dinyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Di dalam Alinea III “ ... dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas ...” Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “... yang melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...................” ”... maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia ...“ Dijelaskan di dalam Pidato Lahirnya Pancasila, bahwa bangsa Indonesia adalah kesatuan antara manusia dan tanah airnya, di mana pada saat itu Ir. Soekarno juga menjelaskan mengenai bangsa dengan menunjuk teori geopolitik. Selanjutnya Ir. Soekarno mengatakan: “Pendek kata bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desire d’etre ensemble’. Di atas daerah kecil, seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian. Seluruhnya! karena sudah ada “le desire d’etre ensemble’, sudah terjadi charactergemein schaft, Natie Indonesia.” Selanjutnya dikatakan bahwa : “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.” Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik pengertian bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah sebagai mahluk Tuhan. Sebagai mahluk Tuhan pada hakekatnya memiliki sifat kodrat sebagai mahluk individu dan sosial. Oleh karena itu, bangsa pada hakekatnya merupakan penjelmaan dari sifat kodrat manusia tersebut dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaanya. Dalam usaha tersebut manusia tidak mungkin melakukannya sendiri. Bangsa Indonesia 95 terbentuk dalam proses sejarah yang panjang dan terdiri dari bermacam-macam kelompok suku bangsa. Perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia, yang dituangkan dalam suatu asas kerohanian yang merupakan satu kepribadian yang bersifat majemuk tunggal yang disimbolkan dalam Lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (vide: PP No. 66 tahun 1951. LN No. II/1951) 6.3.4 Nilai Keadilan Yang dimaksud dengan nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakan, keseimbangan, pemerataan terhadap sesuatu hal. Norma tersebut sebagai hal yang sangat manusiawi dan menjadi hak yang asazi dari manusia baik di manapun serta kapanpun. Sebagai sesuatu yang sangat manusiawi, maka nilai keadilan sering diarahkan pada kepentingan atau tujuan tertentu dalam kehidupan manusia. Nilai keadilan dapat dimiliki oleh individu, tetapi juga diberlakukan pada masyarakat. Sesuai asal katanya yaitu adil, maka keadilan dapat diartikan sebagai tuntutan yang seimbang antara hak dan kewajiban (Lihat modul PDPT, 2004: Bagian Akhlak dan Budi Pekerti, Bab III: 40-41). Dengan demikian dalam nilai keadilan juga membutuhkan berbagai pertimbangan dalam melaksanakan tuntutan yang tidak berpihak, seimbang, begitu juga pada hak dan kewajiban. Apabila nilai keadilan dihubungkan dengan Pancasila, maka nilai tersebut diarahkan pada kepentingan individu dan masyarakat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Apakah seseorang atau masyarakat memiliki haknya misalnya hak atas perlindungan keamanan sebagai warga masyarakat tanpa membedakan strata masyarakat? Sudahkah warga masyarakat melakukan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dengan membayar restribusi listrik sesuai dengan yang harus dibayarkan? Pertanyaan tersebut merupakan contoh tentang bagaimana dalam kehidupan sehari-hari, nilai keadilan itu tampil dalam perilaku manusia. Nilai keadilan dalam UUD 1945 dan Pancasila tertera berikut ini : Di dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “. . . . maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Di dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : . . . ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “. . . . dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . . . “ dan kalimat selanjutnya mengatakan : “. . . . dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia . . . .” Selanjutnya di dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyatakan : “Keadilan ialah sociale rechtvaardigheid rakyat ingin sejahtera, Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan . . . “ 96 Prinsip (sila) Kesejahteraan Sosial dalam rumusan Pancasila 1 Juni 1945, direalisasikan secara konkret dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai Keadilan yang terkandung dalam Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah di jiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia serta Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dalam sila kelima terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia satu dengan lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara serta hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum .... serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 6.3.5 Nilai Kebersamaan dan Toleransi Nilai kebersamaan dan toleransi adalah adalah dua nilai yang saling melengkapi. Untuk jelasnya maka akan diuraikan kedua nilai itu satu persatu. Nilai kebersamaan adalah nilai yang dimiliki oleh manusia dalam interaksinya dengan sesama yang berkaitan dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Sebagai mahluk sosial, manusia selalu membutuhkan teman, hidup berdampingan dengan orang lain dalam suatu situasi tertentu, misalnya bekerja, berorganisasi, melakukan ibadah, studi dan sebagainya. Dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan tertentu. Sedang nilai toleransi adalah nilai yang menghargai berbagai pendapat, keyakinan orang lain tentang sesuatu hal dan dalam suatu situasi tertentu. Menghargai pendapat atau keyakinan orang lain yang berbeda dengan diri kita menjadi hal yang penting dalam bertoleransi dengan orang lain. Itulah sebabnya dalam nilai kebersamaan dan toleransi, keduanya saling melengkapi. Kedua nilai tersebut diungkapkan dengan perilaku tertentu, perilaku yang terjadi dalam interaksi dengan sesama. Bagaimana nilai kebersamaan dan toleransi berkaitan dengan Pancasila? Nilai kebersamaan dan toleransi haruslah berada (dimiliki) pada setiap individu yang berinteraksi dengan individu yang lainnya dan berada dalam kehidupan berbangsa atau bernegara. Nilai kebersamaan dan toleransi menjadi milik individu secara rasional, artinya individu menghargai keber-samaan juga toleransi atas dasar kesadarannya dan pemahamannya tentang hal itu. Dengan kata lain, nilai kebersamaan dan toleransi bukanlah nilai yang harus dipaksakan, tetapi muncul melalui kesadaran diri sendiri. Untuk dapat mengetahui nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang terkandung di dalam Pancasila, terlebih dahulu harus dimengerti isi pembukaan UUD 1945. Di dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Di dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “. . . . ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Di dalam Alinea III Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “. . . . Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas . . . . “ 97 Di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dinyatakan : “. . . . dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . . . . “ .................................................................. “. . . . dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Dari pernyataan tersebut menunjukan pengakuan “nilai moral” dan hak kodrati manusia untuk hidup dalam kebersamaan dan toleransi yang menunjukan pada eksistensi manusia atau bangsa yang secara kodrati bebas dan merdeka, untuk bersamasama menjalin kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar saling menghormati, berdasarkan keadilan kemanusiaan, demi tercapainya tingkatan harkat dan martabat manusia dalam tingkat yang lebih tinggi yang meliputi seluruh unsur kodrat manusia atau kemakmuran. 6.4 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL 6.4.1 Pengertian Paradigma Dalam Kamus Besar Bahasa lndonesia, kata paradigma berarti kerangka berpikir, artinya sebuah kerangka atau asumsi dasar yang menjadi landasan suatu kegiatan pemikiran sehingga menentukan metode. Pola dan berbagai aspek yang berkaitan dengan objek kegiatan. Istilah paradigma ini pertama kali dikembangkan oleh Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (Kaelan, 2003: 226). Paradigma selalu berkaitan dengan gerak, perubahan dalam suatu aktivitas. Dan paradigma diperlukan agar aktivitas tersebut dapat berlangsung melalui gerak atau menimbulkan perubahan tertentu secara sistematis, terarah, menuju sasaran yang diinginkan. Dalam filsafat ilmu terdapat paham determinisme yang dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Faham ini menggambarkan sifat ilmu pengetahuan melalui pola tertentu (Jujun S. Suriasumantri, 1998: 75). Dalam sebuah kegiatan ilmiah, paradigma merupakan pilihan pada proses pikir atau metode tertentu, sehingga kebenaran yang ditemukan terbatas pada pola atau metode yang dipergunakannya tersebut. Irmayanti M. Budianto (2002: 81) menyebutkan bahwa paradigma ilmu mengenal adanya enam paradigma, yaitu: (I) Paradigma Kuantitatif; (2) Paradigma Kualitatif; (3) Paradigma Induktif-Deduktif; (4) Paradigma Piramida atau Limas Ilmu; (5) Paradigma Siklus Empiris; dan (6) Paradigma "Rekonstruksi Teori". Sekalipun dalam filsafat ilmu paradigma sering dipertentangkan dengan pilihan bebas karena telah membatasi kegiatan dengan metode atau pola pikir tertentu sehingga kebenaran yang ditemukannya pun dipengaruhi oleh metode atau pola pikir yang dipergunakannya tersebut, tetapi paradigma diperlukan agar kegiatan yang dilakukan lebih terarah atau terpola secara sistematis dan terdapat tolak ukur yang jelas terhadap kebenaran yang ditemukannya. Paradigma sebenarnya tidak membatasi pilihan bebas, karena pilihan bebas bukan berarti "semuanya", sehingga tidak ada arah, sistem, atau pola dalam berpikir. Pancasila menjadi paradigma bangsa Indonesia, artinya Pancasila menjadi pilihan bangsa Indonesia yang memberikan arah atau pola kehidupan berbangsa dan 98 bernegara dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari bidang yang sangat mendasar, yaitu berideologi sampai pada bidang yang sangat teknis, yaitu pembangunan. Pancasila oleh bangsa lndonesia melalui founding fathers dalam sidang-sidang BPUPKI dan kemudian oleh PPKI, karena diyakini mencerminkan karakter asli bangsa lndonesia melalui nilai luhur yang berlaku pada masyarakat Indonesia. 6.4.2 Pengertian Pembangunan Nasional Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat disebutkan bahwa: Pemerintah Negara lndonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa lndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perlindungan terhadap segenap bangsa lndonesia dan seterusnya... tersebut berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan lndonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dasar dalam melakukan perlindungan dan seterusnya.... oleh Pemerintah Negara lndonesia tersebut adalah Tujuan Nasional Indonesia Untuk mewujudkan tujuan nasional diperlukan kegiatan pembangunan secara nasional, yaitu pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Hakekat dari pembangunan nasional tersebut adalah pembangunan manusia lndonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedomannya (Elly M Setiadi, 2003: 173). Pembangunan mencerminkan rangkaian gerak perubahan menuju kepada kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Perubahan berarti pembaharuan, dan dalam kerangka pembangunan nasional. pembaharuan dilakukan dengan mengembangkan kepribadian bangsa Indonesia sendiri sehingga tidak kehilangan identitas diri bangsa dengan tetap membuka diri terhadap kemajuan yang positif dari bangsa lain terutama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan dalam beberapa hal, perubahan itu perlu dilakukan dengan melakukan perombakan dalam tatanan yang sangat mendasar (R. Soeprapto, 2004: 98). Dengan demikian, pembangunan nasional bertitik tolak pada kemampuan, kemandirian, kebersamaan, keadilan dan kemanfaatan bagi bangsa lndonesia. Kerjasama dengan bangsa atau negara lain dalam tatanan global tetap diperlukan sepanjang tidak menimbulkan ketergantungan dan tetap menjaga identitas diri bangsa, kebebasan dan kemandirian sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Dalam praktik, pelaksanaan Pembangunan Nasional dilakukan melalui sebuah kegiatan nasional yang mencerminkan program, pola, sasaran dalam tahapan tertentu dengan tetap konsisten menuju terwujudnya tujuan nasional. Pembangunan nasional menjadi kewajiban seluruh bangsa lndonesia, sekalipun Pemerintah Negara bersama lembaga Legislatif dan Eksekutif memegang peranan utama. Kesadaran akan tanggung jawab secara nasional untuk melakukan pembangunan oleh seluruh unsur masyarakat, bangsa dan negara, menjadi kunci keberhasilan pembangunan nasional. Insan akademik sebagai unsur masyarakat terdidik, baik secara individu maupun kolektif kelembagaan menjadi modal penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan nasional. 6.4.3 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ilmu pengetahuan lahir melalui konsep berpikir metodologis (lihat Modul MPKT 2005: 62-33), sedangkan teknologi adalah studi tentang ketrampilan atau membuat sesuatu yang membutuhkan sejumlah materi tertentu (alamiah dan buatan) disertai dengan aktivitas akal budi dan keinginan atau tujuan tertentu (Irmayanti M. 99 Budianto, 2002: 16). Ilmu penge-tahuan sebagai produk rohaniah manusia tentang realitas alam (termasuk manusia sendiri), diperlukan dalam kehidupan yang memberikan kepuasan batin (rasio), dan menjadi dasar pembangunan teknologi. Adapun teknologi diperlukan manusia untuk memberikan kemudahan, kesejahteraan, dengan terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder dalam kehidupannya. Dari aspek kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan wujud rasa syukur manusia kepada Tuhannya yang telah menciptakan manusia dengan potensi diri yang paling tinggi dibandingkan dengan mahluk lainnya. Dan menyedia- kan alam sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidupnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tolak ukur kemajuan peradaban suatu bangsa. Sesuai dengan fungsinya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tolok ukur tingkat kemajuan dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan. Produk teknologi tinggi bernilai ribuan kali lipat dibandingkan produk alamiah yang dihasilkan oleh tenaga alamiah manusia. Sebuah mobil dengan teknologi tinggi lebih mahal dari hasil panen padi petani seribu hektar yang dihasilkan dengan ribuan tenaga kerja, lahan pertanian yang luas, biaya yang besar dan dengan resiko kegagalan panen yang besar. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disamping akan memberikan keuntungan yang besar bagi manusia, seperti terpenuhinya kebutuhan hidup, baik primer maupun sekunder, juga dipengaruhi oleh keinginan, ego manusia yang kadangkadang tidak disadari dapat menimbulkan bencana, kerugian bagi manusia sendiri. Teknologi senjata nuklir misalnya, betapa ego manusia telah menguasai akal sehat dan nuraninya. Ledakan sebuah senjata nuklir dapat menimbulkan mala petaka kematian dan kesengsaraan hidup jutaan manusia dan kerusakan alam yang luar biasa. Padahal teknologi nuklir dapat dimanfaatkan untuk kepentingan damai, seperti sumber energi. Dalam skala yang terbatas, kerusakan lingkungan baik dalam bentuk pencemaran udara, terganggunya ekosistem, juga merupakan dampak negatif dari kemajuan dan teknologi dibidang transportasi, industri obat pembasmi hama, dan lain-lain. Karena itu diperlukan panduan, kerangka dasar, atau paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi bangsa Indonesia. Bentuk paradigma Pancasila tersebut teraplikasi melalui nilai Pancasila berikut: (1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Manusia adalah mahluk, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia harus menyadari bahwa Tuhan menciptakan alam sebagai sarana kehidupan dan menciptakan kemakmuran di alam kehidupan ini. Pemanfaatan alam harus dilakukan secara proporsional dan diimbangi dengan pelestariannya. Sebagai mahluk yang berTuhan, yang beragama, karunia Tuhan dalam bentuk kekayaan alam harus dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rangka berbakti kepada Tuhannya. Hal itu berarti manusia tidak boleh berbuat sekedar berdasar pada keinginan dan kepentingannya sendiri, tetapi terikat oleh norma-norma agama yang diberikan Tuhan kepadanya. (2) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Di hadapan Tuhan, manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada kelebihan satu orang dari orang yang lainnya kecuali dari tingkat taqwanya kepada Tuhan, baik dalam bentuk peribadahan secara langsung kepada Tuhan. melalui kontribusi kebaikan sesama, maupun perbaikan lingkungan hidupnya. 100 Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi harus meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk Tuhan tersebut. Dan dalam kontek kemanusiaan, tidak mengakibatkan terjadinya eksploitasi alam atau bahkan orang maupun kelompok orang lain. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang di kuasai. manusia seharusnya semakin bersyukur kepada Tuhan, semakin tinggi tingkat amal kebaikannya, dan tidak sombong atau lupa diri. Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin penting dalam pergaulan global. Hal ini dipicu oleh pandangan dan kepentingan yang sempit suatu bangsa yang memiliki kelebihan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mengeksploitasi bangsa lain. Penjajahan dalam abad ini berkembang melalui strategi penciptaan ketergantungan suatu bangsa terhadap bangsa lain. Sekalipun langkah ini sering dilakukan dengan alasan kemanusiaan, tetapi tidak jarang yang justru mengakibatkan kesengsaraan. Sejak tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meletakan landasan untuk mencagah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia melalui Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right). Deklarasi yang berisi penghormatan terhadap hak universal manusia ini menjadi acuan setiap negara untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam konteks bangsa dan negara yang bersangkutan. Bangsa lndonesia secara eksplisit melalui sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab pada tahun 1945 sekalipun tidak menyebut secara formal hak asasi manusia, telah menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Istilah yang sering disebut dalam pengembangan teknologi misalnya, teknologi tepat guna, teknologi ramah lingkungan, dan lain sebagainya. (3) Persatuan lndonesia Sejak awal masa kemerdekaan. bangsa lndonesia telah mengalami banyak cobaan yang bertentangan dengan sikap persatuan bangsa melalui berbagai pemberontakan atau gerakan separatis. Negara Indonesia lahir melalui komitmen bersama dari berbagai komponen bangsa yang plural, baik dari segi agama, etnis, bahasa, dan lainnya. Eksistensi bangsa dan negara Indonesia tergantung pada komitmen bersama untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang telah disepakati dan dijadikan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada alasan untuk mengingkari komitmen tersebut hanya karena aspirasi atau kepentingan sebagai anggota masyarakat belum terpenuhi, atau mungkin karena kebijakan pemerintah dalam melaksanakan fungsinya belum optimal. Kekurangan atau kesalahan kebijakan dalam mengelola negara tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan gerakan separatisasi. Kita harus berpikir secara rasional dan objektif, bahwa separatisasi hanya menuruti ego dan kepentingan anggota masyarakat yang justru akan menyengsarakan sebagian masyarakat lainnya. Bangsa dan negara Indonesia adalah satu kesatuan secara intergral. Konsep persatuan dan kesatuan harus menjadi landasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tahun 1928 para pemuda lndonesia telah berikrar melalui Sumpah Pemuda yang mengintegrasikan satu bangsa, satu bahasa, dan tanah air satu Indonesia. (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Prinsip kebersamaan dalam pluralitas untuk mencapai tujuan bersama dan mencari solusi problem bersama dengan cara musywarah yang dijiwai oleh sikap bijak menjadi tekad dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Sistem bermusyawarah 101 boleh saja berubah sesuai dengan kebutuhan pada masanya, begitu pula teori-teori di bidang politik, sosial budaya, dan yang lainnya, tetapi perubahan tersebut harus bertitik tolak pada kepentingan rakkyat dan hak-hak rakyat secara keseluruhan. Gerakan reformasi telah melahirkan perubahan-perubahan baru di bidang politik dan sosial budaya yang mendasar. Pemilihan presiden dan kepala-kepala daerah secara langsung misalnya, merupakan perubahan mendasar dalam sistem politik bangsa. Sistem itu tetap menghargai hak-hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dalam pengelolaan negara dengan penduduk yang besar (lebih dari 200 juta jiwa), sistem perwakilan tetap diperlukan sekalipun hak politik warga negara untuk memilih presiden dan kepala-kepala daerah telah dilakukan secara langsung. Dalam berbagai bidang, pembuatan undang-undang misalnya, tidak mungkin seluruh rakyat melakukannya secara langsung. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal ini perlu diarahkan guna menjamin hak-hak rakyat dan kemaslahatan. (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat lndonesia Unsur dominan dalam sila ini terletak pada keadilan hukum dan ekonomi, sekalipun tetap mencakup unsur-unsur lainnya. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai dan sila kelima ini dapat berupa pemerataan secara adil untuk memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperoleh kesejahteraan hidup, di samping aspek yang lainnya. Nilai sila kelima ini memberikan amanah bagi setiap orang yang memperoleh kepercayaan dalam bidang tertentu untuk menggunakan kewenangannya bagi kepen-tingan rakyat secara keseluruhan. Karena itu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan penyimpangan dari nilai-nilai luhur yang diamanatkan kepada para pemegang kekuasaan. Masyarakat lndonesia di berbagai daerah, harus mendapatkan perhatian yang sama. Masalah keadilan sosial ini sampai saat ini masih menjadi problem nasional yang belum terpecahkan, sehingga muncul tindakan deskriptif yang merugikan. 6.5 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM BIDANG POLEKSOSBUDHANKAM Pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV tercantum tujuan negara yang salah satu di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pengertian yang lebih rinci lagi tentang tujuan negara tersebut yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai masyarakat adil dan makmur tersebut, Republik ini harus membangun. Membangun dalam artian tidak hanya mem-bangun dari bentuk fisiknya saja, tetapi membangun secara keseluruhan yang dikenal dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu permasalahan yang paling dominan adalah rendahnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia. Hal itu dapat menimbulkan kesenjangan sosial di antara masyarakat Indonesia. Kesenjangan ini terlihat jelas pada masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Kesenjangan sosial juga terjadi di daerah perkotaan, yaitu antara masyarakat yang tinggal di daerah kumuh dengan masyarakat yang tinggal di daerah elit. Untuk menanggulangi masalah ini perlu dilakukan kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah perlu merumuskan dan melaksanakan kegiatan pengentasan kemiskinan di setiap daerah Indonesia guna mewujudkan program pembangunan nasional secara keseluruhan. 102 Secara filosofis hakekat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional harus men-dasarkan pada hakekat nilai-nilai silai-sila Pancasilaa. Oleh karena hakekat nilai sila-sila Pancasila mendasarkan diri pada dasar keberadaan manusia sebagai subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila, sekaligus sebagai pendukung pokok negara. Hal ini berdasarkan pada kenyataan objektif bahwa Pancasila dasar negara dan negara adalah organisasi persekutuan hidup) manusia. Oleh karena itu negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakekat manusia “monopluralis.” Unsur-unsur hakekat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, rokhani, (jiwa) dan raga, sifat kodrat manusia makhluk individu dan mahluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena pembangunan nasional sebagai upaya praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka pembangunan haruslah mendasarkan pada paradigma hakekat manusia “monopluralis” tersebut. Konsekuensinya dalam realisasi pembangunan nasional dalam berbagai bidang untuk mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten berdasarkan nilai-nilai hakekat kodrat manusia tersebut. Maka pembanguan nasional harus meliputi aspek jiwa (rohani) yang mencakup akal, rasa dan kehendak, aspek raga (jasmani), aspek individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi dan juga aspek kehidupan ketuhanannya. Kemudian pada gilirannya dijabarkan dalam berbagai bidang pembangunan antara lain, politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta bidang kehidupan agama. 6.5.1 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang politik Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus mendasarkan pada dasar ontologi manusia. Hal ini didasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah sebagai subjek negara. Oleh karena itu kehidupan politik dalam negara harus benarbenar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia. Dalam sistem politik negara harus didasarkan pada tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia. Hal ini sebagai perwujudan hak atas martabat kemanusiaan sehingga sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin atas hak-hak tersebut. Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada kekuasaan yang tersumber pada penjelmaan hakekat manusia sebagai individu-makhluk sosial yang terjelma sebagai rakyat. Maka kekuasaan negara harus mendasarkan pada asal mula dari rakyat untuk rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu kekuasaan negara harus berdasarkan kekuasaan rakyat bukannya kekuasaan perorangan atau kelompok. Selain sistem politik negara Pancasila memberikan dasar-dasar moralitas politik negara, dan telah diungkapkan oleh para pendiri negara, misalnya Drs. Moh . Hatta, yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini menurut Moh. Hatta agar memberikan dasar-dasar moral supaya negara tidak berdasarkan kekuasaan. Oleh karena itu dalam politik negara, para elit politik dan para penyelenggara negara harus memegang teguh budi pekerti kemanusiaan serta memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Dalam sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis, bahwa alam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (Sila IV). Adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral Ketuhanan (Sila I), moral kemanusiaan (Sila II) dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu 103 bangsa (Sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (Sila V). Dapat dikatakan bahwa pengembangan politik negara terutama dalam proses reformasi harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila sehingga praktek-praktek politik yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah, memprovokasi menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba harus segera diakhiri. 6.5.2 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Ekonomi Pada awalnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas dan akhirnya yang kuat yang menang. Hal ini sebagai implikasi dan perkembangan ilmu ekonomi pada akhir Abad ke-18, yang menumbuhkan ekonomi kapitalis. Atas dasar kenyataan objektif ini, maka Eropa pada awal abad ke-19 muncul pemikiran sebagai reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme komunisme yang memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum kapitalis. Sistem ekonomi yang berdasarkan sosialisme komunisme juga mengandung kelemahan tidak diakuinya kepemilikan individu, sehingga tidak mendorong lahirnya hak untuk berinisiatif dan berkompetisi. Oleh karena itu kiranya menjadi sangat penting bahkan mendesak untuk dikembangkan sistem ekonomi yang mendasarkan pada ekonomi humanistik, yang dikembangkan atas dasar kenyataan, yaitu yang dikembangkan atas dasar kesejahteraan rakyat secara luas. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan dan demi kesejahteraan seluruh bangsa. Pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilai moral kemanusiaan (Mubyarto, 1999). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu ekonomi harus mendasarkan pada kepentingan masyarakat umum, yaitu demi kesejahteraan masyarakat, ekonomi untuk kesejahteraan manusia sehingga kita harus menghindarkan diri dari pengembangan ekonomi yang hanya mendasarkan pada persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang menimbulkan, penderitaan pada manusia, menimbulkan penindasan atas manusia satu dengan lainnya. Dengan demikian perekonomian Indonesia berdasarkan kekeluargaan, yang menganut sistem nilai Pancasila, yang mengacu pada butir ke-5, yaitu keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Keadilan sosial dalam aspek ekonomi tersebut harus memenuhi kebutuhan hidup manusia secara layak. 6.5.3 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Budaya. Dalam pembangunan aspek sosial budaya hendaknya berdasarkan sistem nilai yang sesuai dengan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Nilai budaya tadi digunakan sebagai kerangka pikir bangsa Indonesa untuk melakukan reformasi di segala bidang. Sebagai anti klimaks proses reformasi, sering terlihat adanya stagnasi nilai sosial budaya dalam masyarakat. Hal ini tidak mengherankan kalau di berbagai wilayah Indonesia saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatikan antara lain amuk masa yang cenderung anarkis, bentrok antar kelompok masyarakat yang bermuara pada masalah politik. Oleh karena itu dalam pengembangan sosial budaya pada masa reformasi harus mengangkat nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika Pancasila pada hakekatnya bersifat humanistik, artinya nilai-nilai Pancasila mendasarkan pada nilai kebaikan yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Terdapat rumusan dalam sila kedua Pancasila yaitu: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila merupakan 104 sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Pancasila sebagai kerangka berpikir manusia Indonesia dapat menjadi (1) pendorong untuk bersikap dalam kehidupan berbangsa, yaitu melepaskan simbol budaya dari keterikatan struktur masyarakat, dan (2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemanusiaan dan kebebasan rohani. (Koentowijoyo, 1986). Dalam proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan gejolak masyarakat yang jauh dari nilai kemanusiaan yang beradab. Hal ini sebagai akibat perbenturan kepentingan politik demi kekuasaan, sehingga masyarakat melakukan aksi (demontrasi yang disertai dengan kekerasan, penjarahan dan lain-lain), sebagai akibat akumulasi persoalan politik. Suatu aksi yang tidak beradab, tidak manusiawi, tersebut senantisa mendapat afirmasi politis dari kalangan elit politik sebagai politik. Demikian pula meningkatnya fanatisme di berbagai daerah mengakibatkan lumpuhnya keberadaban di kalangan masyarakat. Oleh karena itu suatu tugas berat bagi bangsa Indonesia pada pasca reformasi dewasa ini untuk mengem-bangkan aspek sosial budaya dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang secara lebih terinci berdasarkan nilai Ketuhanan, nilai kemanusian, nilai persatuan dan nilai kerakyatan. 6.5.4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Hankam Negara pada hakekatnya merupakan masyarakat hukum. Demi tegaknya hak warga negara, maka diperlukan peraturan perundangan negara, baik dalam rangka mengatur ketertiban warga, maupun dalam rangka melindungi hak warganya. Oleh karena itu negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsanya. Atas dasar pengertian ini, maka keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya kesejahteraan warga negara. Demi tegaknya integritas seluruh masyarakat negara diperlukan suatu pertahanan negara. Untuk itu diperlukan aparat keamanan negara dan aparat penegak hukum negara. Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara dan mendasarkan diri pada hakekat kemanusiaan, maka pertahanan dan keamanan negara harus dikembalikan pada tercapainya harkat manusia sebagai pendukung pokok negara. Dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis pertahanan dan keamanan negara. Dengan demikian pertahanan dan kemanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi terjaminnya harkat dan martabat manusia, terutama secara rinci terjaminnya hak asasi manusia. Pertahanan dan keamanan bukanlah untuk kekuasaan sebab kalau demikiian sudah dapat dipastikan akan melanggar hak asasi manusia. Demikian pula pertahanan dan keamanan negara bukanlah hanya untuk sekelompok warga ataupun kelompok politik tertentu, sehingga berakibat negara menjadi totaliter dan otoriter. Oleh karena itu pertahanan dan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (Sila 1 dan 2). Pertahanan dan keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingaan warga dalam seluruh warga sebagai warga negara (Sila 3). Pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak dasar persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (Sila 4) dan akhirnya pertahanan dan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam hidup masyarakat (terwujudnya suatu keadilan sosial) agar negara meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan. 105 CATATAN KRITIS Perjalanan panjang bangsa Indonesia, Pancasila telah diakui sebagai ideologi yang membentuk identitas bersama sekaligus menjadi acuan untuk membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesadaran bahwa Pancasila yang didalamnya terkandung nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah mufakat dan keadilan sosial, merupakan nilai-nilai yang dipandang baik dan oleh karenanya menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia untuk mengejarnya. Sebagai mahluk sosial sekaligus individual manusia Indonesia terkait dengan berbagai fenomena dan latar belakang budaya yang berasal dari beragam suku yang ada di Indonesia. Meskipun berbeda ada yang mempersatukan mereka yaitu adanya cita-cita bersama menuju Indonesia Jaya dengan manusia Indonesia yang berkualitas dan memiliki kehidupan yang layak. Di sisi lain perilaku manusia yang baik juga menjadi inti tercapainya cita-cita itu. Dalam kehidupannya bernegara dan berbangsa hal itu menjadikan manusia senan-tiasa memiliki hak dan kewajibannya, baik hak individu dan sosial maupun kewajiban individu dan sosialnya. Dimensi sosial politis menekankan bagaimana norma dan kewajiban moral harus dipatuhi dalam hubungannya dengan sesama. Akibat dari rumusan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila merupakan sebuah peristiwa politik, tepatnya peristiwa politik yang mengandung unsur filsafat politik tentang dasar negara republik Indonesia. Apa artinya itu? Kehidupan politis suatu negara dapat dikaji secara kritis dengan melihat adanya norma dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupan bernegara misalnya, konsep Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kewenangan (authorithy), pembagian (distribution) serta alokasi. Norma dan kewajiban tersebut haruslah sesuai dengan tujuan tertentu bagi seluruh masyarakat (public goals). Selain itu, sebagai mahluk individu dan sosial, manusia juga memiliki kebebasan dan tanggung jawab dia sebagai mahluk yang hidup dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kebebasan yang dimilikinya tidak sepenuhnya mutlak, artinya sebagai manusia bebas berperilaku tanpa menghargai norma yang ada (misalnya norma agama, keluarga, negara, universitas, tempat ia bekerja dan sebagainya). Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia harus menghargai sesama baik yang memiliki pendapat yang sama maupun yang berbeda, menghargai bahwa norma atau hukum positif yang ada. Kebijakan yang berasal dari suatu lembaga sejauh semuanya itu diterapkan untuk masyarakat dan demi kebaikan bersama. 106