BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI 2.1 Seismisitas Wilayah Indonesia Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan seismisitas tertinggi di muka bumi ini. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh gempa-gempa beberapa tahun terakhir ini yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa di Aceh, Padang, Yogyakarta, Pangandaran, Bengkulu dan masih banyak lagi. Banyak sekali definisi dari seismisitas antara lain sebagai (Iqbal, 2007): - Aktivitas gempa - Distribusi gempa secara global atau lokal pada suatu tempat dan waktu tertentu - Suatu studi tentang lokasi, frekuensi dan magnitudo gempa Untuk memahami seismisitas wilayah Indonesia, maka diperlukan pengetahuan mengenai tatanan tektoniknya dan sejarah kegempaan di wilayah Indonesia. 2.1.1 Tatanan Tektonik di Indonesia Dulunya bentuk wilayah Indonesia ini tidak berbentuk kepulauan seperti sekarang ini. Berdasarkan sejarahnya, wilayah Indonesia mengalami berbagai perubahan bentuk (geocities, 2003). Bagian barat Indonesia kira-kira 50 juta tahun yang lalu terbentuk karena ujung tenggara benua Eurasia yang tersesarkan lebih jauh ke arah tenggara sebagai akibat tumbukan antara benua kecil India dengan Himalaya, sedangkan Indonesia bagian timur masih berupa lautan. Pada saat itu pergerakan lempeng berupa penunjaman terjadi di sebelah barat Sumatera, menyambung ke selatan Jawa dan melingkar ke tenggara-timur. Berikutnya 40-20 7 juta tahun yang lalu, Sulawesi dan Laut Maluku mulai terbentuk sebagai akibat tumbukan benua-benua mikro. Perubahan bentuk tersebut diakibatkan karena penunjaman atau subduksi sehingga kepulauan Indonesia terbentuk karena proses pengangkatan. Lempeng yang berperan dalam penunjaman tersebut adalah lempeng Samudera Pasifik dan India-Australia yang bergerak 2-5 cm per tahun relatif terhadap lempeng Eurasia (oaseislam, 2003). Ketiga lempeng tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Lempeng Eurasia dan lempeng Australia bertumbukan di lepas pantai barat Sumatera, lepas pantai selatan Jawa, lepas pantai selatan kepulauan Nusa Tenggara dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Sedangkan tumbukkan antara lempeng Australia dan lempeng Pasifik di sekitar pulau Papua. Dan ketiga lempeng tersebut bertemu di sekitar Sulawesi. Interaksi antara ketiga lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya dua sabuk gunung api yang melewati Indonesia yaitu Sirkum Mediterania akibat penunjaman lempeng Australia ke dalam lempeng Eurasia dan Sirkum Pasifik akibat penunjaman lempeng Pasifik ke dalam lempeng Eurasia. Interaksi ketiga lempeng tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki aktivitas kegempaan tertinggi di dunia. Adapun zonasi aktivitas gempa bumi di Indonesia berdasarkan sejarah kekuatan sumber gempa (Pirba, 2006), dapat terbagi menjadi : • Daerah sangat aktif yaitu magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi antara lain di Halmahera dan pantai utara Irian. • Daerah aktif yaitu magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi antara lain di lepas pantai barat Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi tengah. • Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 bisa terjadi antara lain di Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi tengah. • Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 mungkin terjadi antara lain di pantai barat Sumatera, Jawa bagian utara dan Kalimantan bagian timur. 8 • Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 jarang terjadi antara lain di daerah pantai timur Sumatera dan Kalimantan tengah. • Daerah stabil, tidak ada catatan sejarah gempa yaitu di pantai selatan Irian dan Kalimantan bagian barat. Lokasi dari gempa-gempa yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut. Gambar 2.1 Lokasi-lokasi gempa di wilayah Indonesia (USGS, 2006) 2.1.2 Zona Subduksi Pangandaran Pada Gempa Pangandaran 2006, bentuk interaksi lempeng yang terjadi adalah bentuk konvergensi berupa subduksi atau penunjaman. Subduksi dapat terjadi ketika lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar bertumbukkan dengan lempeng benua yang lebih tebal dan stabil namun rapat massanya lebih kecil. Proses subduksi lempeng samudera akan berlangsung terus hingga lempeng samudera kembali mencair dan menjadi magma. Zona subduksi Pangandaran merupakan hasil tumbukan lempeng Australia yang bergerak dengan kecepatan 6-7 cm/tahun ke arah utara menumbuk lempeng Eurasia yang bergerak dengan kecepatan 2 cm/tahun ke arah timur sepanjang 5500 kilometer mulai dari Myanmar melewati pulau Sumatera, Jawa, dan menuju 9 Australia. Tumbukkan kedua lempeng ini bertemu pada kedalaman 5000 meter di bawah permukaan air laut dan membentuk Palung Jawa sehingga laut di daerah tumbukkan ini sangatlah dalam. Jalur palung Jawa ini membentang dari Aceh hingga Flores mendorong lempeng Eurasia dengan kecepatan yang berbeda. Minster dan Jordan (1978, dalam Ghose and Oike, 1988) memperkirakan kecepatan lempeng 6 cm/tahun dekat ujung utara Sumatra sampai 7,8 cm/tahun di dekat pulau Sumba. Selain kecepatan dorongannya, arah penunjamannya pun bervariasi. Yang paling mencolok adalah daerah yang dipisahkan oleh selat Sunda. Arah penunjaman yang hampir tegak lurus di bagian pulau Jawa ke arah timur menghasilkan ragam penunjaman lempeng yang lebih sederhana dibandingkan di bagian Sumatra. Hal tersebut berimplikasi pada letak kedalaman aktivitas gempa. Di sebelah barat selat Sunda, aktivitas gempa umumnya tidak melebihi kedalaman 200 km sedangkan di sebelah timur selat Sunda aktivitas gempa terletak pada kedalaman 350-500 km. Penampang fisiografi dari palung Jawa dapat dilihat dari gambar 2.2 di bawah ini. Gambar 2.2 Palung jawa dan proses subduksinya (Rovicky, 2006) 10 Di sebelah utara Palung Jawa terdapat sebuah busur kepulauan yang disebut sebagai busur sunda (Sunda Arc) yang juga merupakan hasil interaksi lempeng. Busur ini membentang dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai busur Banda di Timor dan pulau Jawa termasuk di dalamnya. Subduksi juga menghasilkan sepasang busur yaitu busur vulkanik dan busur non-vulkanik (Rovicky, 2006). Busur vulkanik terdiri dari rangkaian gunung berapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau busur samudera, sedangkan busur non-vulkanik terdiri dari rangkaian pulau-pulau yang terletak di samudera busur vulkaniknya. Di selatan Jawa busur non-vulkanik berada di bawah dasar laut. Di zona subduksi Pangandaran ini juga terdapat seismic gap atau “zona tenang” yaitu wilayah yang sepi gempa dalam waktu cukup lama tetapi mengakumulasi energi regangan sangat besar sehingga dapat terjadi gempa. Oleh karenanya fenomena ini perlu diamati lebih jauh karena memungkinkan terjadinya gempa besar di daerah tenang ini. Seismic gap selatan Jawa terletak pada garis bujur 110º BT dengan lebar sekitar 75 km berarah utara-selatan terhadap palung Jawa. 2.1.3 Sejarah Kegempaan di Sekitar Pantai Selatan Jawa Sejarah kegempaan yang terjadi di sekitar pantai selatan Jawa menunjukkan bahwa zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude dan waktu terjadinya kegempaan yang lebih kecil dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera (Natawidjaya, 2006). Hal itu salah satunya dimungkinkan karena lempeng Jawa yang sudah berusia lebih dari 150 juta tahun sehingga gerakan tektoniknya tidak terlalu mendorong pulau Jawa. Magnitude dan kedalaman kegempaan di sekitar pulau jawa dapat dilihat dari gambar 2.3 di bawah ini. 11 Gambar 2.3 Peta seismisitas Pulau Jawa 1973-2007 (USGS) Sejarah gempa yang terekam di pulau Jawa hanya tersedia dalam rentang waktu 1849-2000 (LIPI) atau sumber lain menyebutkan dalam selang waktu 18332003 telah terjadi 68 kali dengan kategori gempa yang merusak (BMG). Pada tahun 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Kemudian di Yogyakarta pernah terjadi gempa besar yang menewaskan 500 orang lebih pada tahun 1867. Dan dua gempa besar terakhir adalah gempa Jogja Mei 2006 lalu dengan magnitude 6,3 SR dan gempa Pangandaran Juli 2006 dengan magnitude 6,8 SR dengan pusat gempa yang berdekatan dengan gempa yang terjadi pada tahun 1921. Demikian juga dengan data sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami tidak tercatat secara alami dikarenakan di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Pesisir selatan Jawa memiliki topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan dangkal sehingga kecil kemungkinan tumbuhnya terumbu karang. Jika terdapat terumbu karang maka sejarah terjadinya gempa besar dapat diketahui. Ketika gempa akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik yang menyebabkan terumbu karang naik ke permukaan dan mati. Tetapi ketika pesisir tersebut tenggelam kembali akibat proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali atau 12 dengan kata lain periode naik turunnya permukaan pesisir dalam ratusan tahun dapat tercatat secara alami. Sedikitnya informasi kegempaan di sekitar pantai selatan jawa ini menyebabkan sulitnya memperkirakan potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini. 2.2 Gempa Bumi Gempa bumi dapat disebabkan oleh tumbukan antar lempeng, aktifitas gunung api, runtuhan batuan dan ledakan. Dalam kaitannya dengan gempa Pangandaran 2006, maka tumbukan antar lempeng adalah penyebabnya. Pada zona subduksi Pangandaran, lempeng samudera menumbuk hingga menyusup ke bawah lempeng benua. Kemudian gerakan terus-menerus tersebut akan mengalami perlambatan akibat gaya gesekan antar kedua lempeng yang menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona patahan. Pergerakan tersebut akan terus berlangsung hingga batas elastisitas tumbukan tersebut terlampaui, maka kedua lempeng akan melepaskan energi secara tiba-tiba dan menimbulkan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa bumi. Mekanisme tumbukkan yang menyebabkan gempa bumi dapat dilihat pada gambar 2.3 di atas. Gempa bumi dapat terjadi dimana pun namun para peneliti kegempaan berkesimpulan bahwa 95 % gempa bumi terjadi sekitar batas lempeng. Suatu titik di sepanjang bidang temu antar lempeng atau di sepanjang patahan tempat dimulainya gempa disebut fokus atau hiposenter, sedangkan titik di pemukaan bumi tepat di atas sumber gempa disebut episenter (Setyawan, 2007). Gambar dari kedua titik tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini. 13 Gambar 2.4 Fokus dan episenter (www.geocities.com/.../earthquake/fault) 2.2.1 Siklus Gempa Bumi Siklus gempa bumi atau earthquake cycle dapat didefinisikan sebagai perulangan gempa karena gempa bumi yang terjadi di suatu daerah akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Dalam satu siklus gempa bumi biasanya akan berulang dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan tahun. Periode perulangan gempa dapat ditunjukkan oleh gambar 2.5 di bawah ini. Gambar 2.5 Periode earthquake cycle (Vigny, 2005) 14 Untuk dapat melakukan analisis terhadap suatu siklus gempa bumi maka diperlukan data-data berupa penelitian dokumen sejarah gempa dan penelitianpenelitian geologi dan geofisika seperti stratigrafi batuan, terumbu karang dan paleo-tsunami untuk gempa yang terjadi di laut, likuifaksi dan lain-lain (Andreas et al, 2006). Dengan adanya data geologi batuan, diharapkan dapat memprediksi kejadian gempa yang telah lampau yaitu dengan cara mempelajari ketidakselarasan dan dengan adanya pola pertumbuhan terumbu karang, diharapkan dapat melihat dan menghitung kejadian serta perulangan gempa bumi. Dengan melakukan analisis terhadap fenomena earthquake cycle, diharapkan kita dapat melakukan prediksi waktu terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi. Namun prediksi tersebut hanya dapat menembus kisarannya saja dengan akurasi tahunan sampai puluhan tahun. Hal tersebut diakibatkan banyak faktor seperti sifat fisis batuan yang komplek. Prediksi terhadap perulangan gempa ini merupakan salah satu upaya dalam mitigasi bencana sehingga jika telah diketahui kisaran perulangannya, maka kita semua akan lebih bisa mempersiapkan diri menghadapinya sehingga dapat meminimalisir kerugian dari gempa bumi tersebut. 2.2.2 Tahapan Gempa Bumi Dalam satu siklus gempa bumi terdapat beberapa tahapan mekanisme terjadinya gempa bumi, yaitu tahapan interseismik, preseismik, coseismic, after slip, postseismik, dan slow slip event. Tahapan dari mekanisme gempa bumi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut ini. 15 Gambar 2.6 Tahapan Gempa bumi (Andreas, 2005) a) Interseismik Tahapan ini merupakan tahapan awal dari siklus gempa bumi, dimana energi di dalam bumi menggerakkan lempeng hingga bertemu pada suatu bidang temu. Kemudian dapat terjadi kuncian akibat gaya gesek antara kedua lempeng yang bertemu dan energi mulai terakumulasi di sekitar bidang temu lempeng tersebut. Akumulasi energi ini menyebabkan terjadinya akumulasi deformasi atau interseismic deformation. Pada kasus subduksi, arah dari laju interseismik ini searah dengan laju lempeng samudera yang menunjam lempeng benua. b) Preseismik Preseismik terjadi sesaat sebelum terjadinya gempa bumi. Sampai saat ini preseismik merupakan tahapan gempa bumi yang masih diperdebatkan oleh para ahli karena terkadang terdapat sinyal preseismik tapi lebih sering kejadian gempa bumi tidak menunjukkan sinyal apa-apa. Contoh sinyal preseismik yang terekam adalah pada gempa besar di Haiceng Cina ditemukan adanya perilaku anomali dari binatang, kemudian pada gempa Tonakai 1944 ditemukan adanya akselerasi deformasi sekitar 4 hari sebelum gempa utama. Contoh terakhir adanya anomali muka air tanah yang menurun secara drastis sebelum terjadinya gempa Chici di Taiwan tahun 1999. 16 c) Coseismik Tahapan coseismik terjadi ketika gempa utama atau mainshock, dimana getaran bumi paling kuat dirasakan pada tahapan ini. Gempa utama ini menyebabkan sebagian kerak bumi tergeser atau terdeformasi secara permanen sampai orde meter. Coseismik dapat terjadi secara vertikal maupun secara horisontal. Secara vertikal dapat berupa naiknya permukaan tanah (uplift) maupun penurunan tanah (subsidence). Laju dari arah pergerakan coseismik ini berlawanan arah dengan arah laju interseismik. d) After Slip After slip adalah tahapan ketika sisa-sisa energi gempa dilepaskan kembali melalui gempa-gempa susulan (aftershock) yang kekuatannya lebih kecil dari gempa utama. Jumlah gempa susulan yang terekam berkisar antara puluhan sampai dengan ratusan. Semakin lama waktu berlalu dari gempa utama, maka semakin lemah kekuatan yang dihasilkan dari gempa susulan ini. Contoh dari aftershock yang terjadi pada gempa Pangandaran 2006 dapat dilihat pada gambar 2.7. Gambar 2.7 Distribusi gempa bumi utama dan susulan di selatan Jawa Barat (BMG, 2006) 17 e) Postseismik Tahapan postseismik sebenarnya hampir sama dengan afterslip karena baik postseismik maupun after slip terjadi setelah gempa utama. Namun yang membedakan jika pada after slip masih terjadi gempa-gempa susulan sedangkan pada postseismik energi dilepaskan tanpa gempa atau bersifat aseismik. Jadi postseismik dapat didefinisikan sebagai tahapan setelah gempa terjadi dimana sisa-sisa energi dilepaskan secara perlahan dalam kurun waktu yang lama namun tetap menghasilkan deformasi secara permanen mencapai ukuran kurang dari satu meter atau bahkan untuk gempa berkekuatan besar dapat menghasilkan deformasi postseismik mencapai lebih dari satu meter. Contoh pergeseran dari deformasi postseismik yang terjadi pada gempa Parkfield tahun 2004 di California dapat dilihat pada gambar 2.8. Gambar 2.8 Pergeseran akibat coseismik dan postseismik pada gempa Parkfield 2004 (J. Langbein) Pergeseran dari deformasi postseismik ini biasanya kurang dari satu meter tetapi nilai deformasi postseismik dapat memberikan nilai deformasi hampir dua kali lipat dari deformasi coseismik. Hal tersebut terjadi pada gempa Mine Hector di Amerika (Herring, 2002). Untuk lama terjadinya deformasi ini tergantung banyak faktor salah satunya kekuatan gempa yang terjadi. Hasil penelitian di 18 Jepang menunjukkan sinyal postseismik gempa Sanriku 7 Mw (Momen Magnitude) berlangsung sampai dengan 3 tahun, kemudian gempa Tokachi 8 Mw berlangsung sekitar 6 tahun dan gempa Aceh 2004 9,2 Mw mengindikasikan terjadinya deformasi postseismik sampai sekitar 10 tahun dan memberikan nilai deformasi dalam fraksi meter (Kimata, 2005). Tujuan dari mempelajari deformasi postseismik adalah untuk mengenali deformasi kerak bumi setelah gempa utama sebagai acuan dalam mempelajari proses siklus gempa bumi. Deformasi ini memiliki berbagai macam mekanisme antara lain : Deep Afterslip Deformasi postseismik tipe ini diindikasikan dengan adanya pergeseran signifikan komponen horisontal dari titik-titik pengamatan GPS (Shen et al., 1994; Savage and Svarc, 1997; Bock et al., 1997). Deep afterslip terletak di bawah tumbukan antar lempeng dan dapat dilihat pada gambar 2.9 di bawah ini. Gambar 2.9 Lokasi dari Deep afterslip (topex.ucsd.edu/evelyn/thesis/chap_5) Viscoelastic Rebound Mekanisme dari viscoelastic dapat digunakan sebagai model postseismik. Contohnya adalah pada patahan Emerson and Camp diasumsikan terjadi pergeseran coseismik ke arah timur sebesar 0.7 meter sehingga dapat menyatakan bahwa patahan tersebut berupa normal fault. Berbeda dengan deep after slip, jika pada tipe Viscoelastic Rebound terletak pada seluruh daerah horisontal di lokasi yang sama dengan deep afterslip atau terletak di sepanjang kerak bumi bagian bawah. Letak dari postseismik tersebut menyebabkan daerah tumbukan 19 mengalami penurunan dan berbentuk bulat. Letak dari viscoelastic relaxation ditunjukkan pada gambar 2.10 di bawah ini : Gambar 2.10 Lokasi dari Viscoelastic Rebound (topex.ucsd.edu/evelyn/thesis/chap_5) Fault Zone Collapse Mekanisme dari fault zone collapse dijelaskan dengan pergeseran normal bidang tumbukan dikarenakan tertutupnya kerak bumi yang terbuka selama gempa bumi pada zona tumbukan yang terpenuhi fluida. Mekanisme ini diterangkan pertama kali oleh Massonet et al (1996) untuk menjelaskan berbagai macam dari tipe deformasi postseismik dengan mengkombinasikan interferogram. Manfaat lain dari mekanisme ini adalah dapat menghitung kekuatan dari zona patahan yang diikuti gempa bumi untuk menjelaskan pertambahan kecepatan seismik yang didapatkan dari survei seismik setelah gempa. Pore Fluid Pressure Re-Equilibration Pore fluid pressure re-equilibration setelah gempa bumi dapat menyebabkan deformasi poroelastic dikarenakan bertambahnya tekanan pada gradient daerah perpanjangan dan kompresi tumbukan patahan, retakan hidrolik coseismik dan mekanisme hidrotermal. Pada kasus pertama, aliran fluida mengalir disebabkan tekanan yang timbul karena deformasi coseismik. Retakan hidrolik coseismik dijelaskan oleh Wyatt et al (1994) untuk menggambarkan ketidaksesuaian antara regangan yang diukur dengan regangan tensor. Mekanisme hidrotermal dijelaskan oleh pertambahan panjang dari batuan setelah berinteraksi dengan aliran panas dari mantel. Reagangan yang diakibatkan mekanisme ini begitu kecil dan tidak dapat dideteksi kecuali dengan pengukuran geodetik. 20 Dalam kaitannya dengan mitigasi bencana alam, studi deformasi postseismik memegang peranan penting karena menjadi salah satu cara dalam memahami terjadinya gempa bumi. Dengan memahami postseismik dapat mengerti akan akumulasi deformasi dan kemudian dilepaskan di wilayah sekitar gempa. Seperti juga telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tahapan postseismik ini energi gempa masih dilepaskan secara perlahan dalam waktu yang sangat lama. Release energi ini dapat menghasilkan slip pada bidang sesar. Hasil slip ini kemudian membentuk geometri postseismik slip dan slip ini pun dapat menyebabkan stress transfer. Jika sebelumnya di daerah sekitar gempa stress transfer terjadi karena coseismik slip, maka daerah di sekitar gempa tersebut akan semakin meningkat potensi kegempaannya karena ditambah oleh stress transfer akibat deformasi postseismik. f) Slow Slip Event Slow slip event atau silent earthquake adalah fenomena pergerakan (slip) pada kerak bumi yang tidak menyebabkan gempa bumi atau bersifat aseismik. Tahapan ini berlangsung sangat lambat berkisar beberapa hari sampai beberapa minggu. Mekanisme tahapan ini terjadi ketika lempeng menunjam lempeng yang lainnya sehingga menghasilkan deformasi interseismik dengan arah vektor pergeseran menuju lempeng yang tertujam, namun pemantauan GPS kontinyu menunjukkan suatu waktu vektor pergeseran berubah arah ke sisi lempeng yang menunjam. Keenam tahapan gempa bumi tersebut dapat diamati dengan menggunakan ilmu dan teknologi seperti ilmu seismologi, geologi, geofisika, geodesi dinamis dan lain-lain. Data seismologi dapat merekam tahapan coseismik dan afterslip dengan mencatat ukuran dan lokasi gempa utama dan gempa susulan. Data geofisika dapat merekam tahapan interseismik melalui kajian penjalaran energi gelombang pada struktur bumi, dan tahapan preseismik seperti penelitian akselerasi deformasi dan penelitian anomali muka level air tanah. Dan data 21 geodetik dapat merekam hampir seluruh tahapan gempa bumi melalui penelitian deformasi (Andreas et al, 2006). 2.2.3 Gempa Bumi Pangandaran 2006 Pada tanggal 17 Juli 2006 tepatnya pukul 15.19 WIB telah terjadi gempa yang disertai gelombang tsunami di sebelah selatan pantai Pangandaran. Adapun kekuatan gempa ini adalah 6,8 skala Ritcher dengan pusat gempa berada pada kedalaman 33 km dengan koordinat Epicenter 9,46 LS – 107,19 BT (BMG,2006). Pusat gempa tersebut berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 150 km. Ilustrasi dari gempa tersebut ditunjukkan oleh gambar 2.11. Keterangan : Sumber BMG Sumber USGS Sumber Geofon Gambar 2.11 Pusat gempa Pangandaran 2006 (BMG, 2006) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gempa Pangandaran merupakan salah satu akibat dari aktivitas seismik di zona subduksi Pangandaran dan pusat gempa terletak 200 km dari daratan terdekat. Interaksi antara lempeng Australia yang menunjam ke dalam lempeng Eurasia menghasilkan gempa tersebut dan kemudian terjadi deformasi dasar laut sehingga gempa akan diikuti 22 tsunami. Berdasarkan hasil mekanisme terjadinya gempa, gempa di laut selatan pulau Jawa tersebut merupakan tipe reverse fault atau sesar naik dengan arah barat laut-tenggara dan kemiringan bidang sesar 7º. Mekanisme patahan tersebut dapat diperjelas oleh gambar 2.12 berikut ini. Gambar 2.12 Mekamisme patahan gempa utama (USGS, 2006) Pada gempa Pangandaran pun terjadi gempa susulan yang diamati mulai tanggal 17 hingga 23 Juli 2006 dari jaringan stasiun gempa Gunung Guntur dan stasiun gempa temporer Pangandaran dan Pameungpeuk. Sampai tanggal 21 Juli 2006 tercatat telah terjadi 77 kali gempa susulan dengan magnitude 4-6 Skala Ritcher dengan 3 kali gempa susulan berkekuatan cukup besar. Gempa Pangandaran ini kurang dirasakan getarannya oleh masyarakat di sekitar pantai Pangandaran, getaran cukup terasa oleh orang-orang yang berada di rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah, bahkan gempa dirasakan di gedung-gedung tinggi beberapa kota di Jawa Barat. Namun sama halnya seperti gempa Aceh bahwa bencana sesungguhnya adalah bukan gempa tersebut melainkan gelombang tsunami. Kira-kira 40 menit setelah gempa utama, masyarakat di sekitar pantai dikejutkan oleh datangnya gelombang air dengan tinggi maksimal 7 meter dan masuk hingga ke daratan sampai sejauh 500 meter. Gelombang tsunami ini menerjang hampir seluruh wilayah selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur dan Sukabumi serta pantai Cilacap, Kebumen, Kab. Bantul, dan Yogyakarta untuk bagian daerah Jawa Tengah. 23 Gempa yang diiringi gelombang tsunami ini telah menelan korban jiwa yang banyak yaitu 378 orang meninggal dan ratusan lainnya cedera serta puluhan jiwa dinyatakan hilang. Selain itu ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi, dan Cipatujah, Kab. Tasikmalaya hancur serta hotelhotel sepanjang daerah wisata Pangandaran bagian barat. Adapun peta kerusakan yang diakibatkan oleh gempa Pangandaran beserta tsunaminya dapat dilihat pada gambar 2.13 berikut ini. Gambar 2.13 Peta Kerusakan Akibat Gempa dan Tsunami Pangandaran 2006 (United Nation, 2006) 24 2.3 Survei GPS Sebagai Metode Pemantauan Deformasi Dalam kaitannya dengan potensi dan mitigasi bencana, metode deformasi merupakan salah satu metode yang saat ini sangat sering digunakan. Pada metode ini yang dipelajari adalah pola dan kecepatan deformasi yang terjadi pada sebuah blok kerak bumi. Dan untuk menghasilkan pola dan kecepatan deformasi tersebut diperlukan informasi posisi yang akurat dari titik-titik pengamatan deformasi. Salah satu teknologi yang dapat memberikan informasi posisi tersebut adalah GPS sehingga GPS dapat digunakan dalam upaya pemantauan deformasi, termasuk deformasi postseismik yang diakibatkan gempa Pangandaran 2006. 2.3.1 Global Positioning System GPS memiliki nama resmi NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System). Dengan mengamati satelit GPS, para pengguna GPS dapat memperoleh informasi mengenai posisi secara akurat di permukaan bumi. Informasi lainnya yang dapat diperoleh dari pengamatan GPS adalah informasi mengenai kecepatan, arah, jarak dan waktu. Pada dasarnya sinyal GPS terdiri dari 3 komponen (Abidin, 2000), yaitu : - Penginformasi Jarak (kode) berupa kode-P dan kode-C/A. - Pesan Navigasi yang berisi informasi mengenai satelit dan orbit. - Gelombang Pembawa (L1 dan L2) yang bertugas membawa data kode dan pesan navigasi. Dari ketiga komponen tersebut terdapat dua data pengamatan dasar GPS yaitu waktu tempuh dari kode-P dan kode-C/A dan fase dari gelombang L1 dan L2. Waktu tempuh tersebut akan menghasilkan jarak pseudorange, sedangkan fase (φ) adalah data pengamatan GPS berupa jumlah gelombang penuh yang terhitung sejak saat pengamatan dimulai dan data fase ini yang digunakan dalam aplikasiaplikasi yang menuntut ketelitian posisi yang sangat tinggi. 25 2.3.2 Survei GPS Teliti Dalam Pemantauan Deformasi Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu benda (Kuang, 1996). Berdasarkan definisi tersebut deformasi dapat diartikan sebagai perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu selang waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan deformasi akibat pergerakan kerak bumi, perubahan atau pergerakan yang dimaksud adalah perubahan atau pergerakan titik-titik pengamatan yang diletakkan di sekitar daerah yang terkena gempa bumi dalam suatu selang tertentu sehingga dapat menunjukkan adanya perubahan dalam suatu besaran tertentu. Oleh karena itu untuk mengetahui pola dan kecepatan deformasi, maka dilakukan pengamatan GPS terhadap titik-titik pantau baik secara episodik maupun kontinu. Dengan metode episodik maka pemantauan dilakukan secara berkala dalam selang waktu tertentu, sedangkan dengan metode kontinu maka pemantauan dilakukan terus-menerus secara otomatis. Dalam pemantauan deformasi kerak bumi atau pergeseran lempeng di wilayah Indonesia, GPS merupakan salah satu teknologi yang memegang peranan utama. Stasiun pengamatan GPS yang telah dibangun sejak tahun 1991 hingga 2006 berjumlah lebih dari 300 stasiun pemonitor (www.bakosurtanal.go.id). Dengan pemantauan deformasi menggunakan GPS ini, diharapkan akumulasi strain atau penumpukkan energi di wilayah Indonesia dengan seismisitas tinggi dapat termonitor dengan baik. Contoh dari survei GPS untuk pemantauan deformasi ditunjukkan oleh gambar 2.14. 26 Gambar 2.14 Penggunaan GPS dalam studi dinamika bumi secara episodik Pada studi deformasi kerak bumi ini, metode survei GPS memberikan beberapa keunggulan (Friedrik, 1999), antara lain : − GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran dalam tiga dimensi sehingga dapat memberikan informasi pergerakan titik-titik pantau baik dalam arah horisontal maupun dalam arah vertikal. − GPS memberikan nilai vektor pergeseran dalam suatu sistem referensi yang tunggal. − GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran yang teliti sampai dengan fraksi milimeter. 2.3.2.1 Mekanisme Pengolahan Data GPS Untuk Keperluan Deformasi Prinsip dasar penentuan posisi menggunakan GPS adalah dengan cara reseksi jarak (pengikatan ke belakang) yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit yang koordinatnya telah diketahui. Namun dalam pergerakannya, satelit mengalami beberapa gangguan seperti kesalahan ephemeris (orbit) dan kesalahan jam satelit sehingga informasi orbit yang terdapat pada pesan navigasi sinyal GPS (Broadcast ephemeris) masih mengandung kesalahan sehingga ketelitian informasi orbit tersebut kurang baik. Oleh karena itu, 27 diperlukan informasi orbit dengan ketelitian yang tinggi karena dalam pemantauan deformasi diperlukan hasil posisi yang menuntut tingkat ketelitian hasil yang tinggi (fraksi mm). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan data precise ephemeris yang memiliki tingkat ketelitian kurang dari 5 cm, sedangkan pada broadcast ephemeris memiliki ketelitian 2,6 m (Warren, 2002). Visualisasi dari proses pemilihan data fase dan informasi orbit untuk keperluan deformasi dapat ditunjukkan pada gambar 2.15 sebagai berikut. RINEX RINEX observation files RINEX navigation files Data Pengamatan Fase Data orbit satelit Diolah pada software Informasi Orbit (Precise ephemeris) Tidak digunakan Gambar 2.15 Ekstrak Data fase dan informasi orbit teliti Pada saat sinyal GPS dalam perjalanannya dari satelit sampai pengamat tidak terlepas dari berbagai kesalahan dan bias. Kesalahan dan bias tersebut dapat terkait karena satelit GPS, medium propagasi yang dilalui sinyal satelit, receiver GPS, data pengamatan dan lingkungan sekitar pengamat (Abidin, 2000) : a) Kesalahan Orbit (Ephemeris) Kesalahan ephemeris adalah kesalahan dimana orbit yang dilaporkan ephemeris orbit tidak sama dengan orbit yang sebenarnya sehingga dapat mempengaruhi ketelitian posisi titik-titik yang ditentukan. 28 b) Bias Ionosfer Radiasi matahari menyebabkan lapisan ionosfer mempunyai sejumlah elektron dan ion bebas yang bergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari serta densitas gas pada lapisan tersebut. Hal tersebut akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarosasi, dan kekuatan sinyal yang melaluinya. Dalam hal ini, ionosfer akan memperlambat data pseudorange dan mempercepat data fase. Oleh karenanya ukuran jarak yang dihasilkan menjadi kurang teliti. c) Bias Troposfer Pada saat sinyal satelit melewati lapisan troposfer, sinyal akan mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah sinyal sehingga dapat mempengaruhi hasil ukuran jarak. Lapisan troposfer ini memperlambat data pseudorange dan data fase. d) Multipath Multipath adalah fenomena yang terjadi karena sinyal dari satelit tiba di antena GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda (Abidin, 2000). Dalam hal ini satu sinyal merupakan sinyal yang sebenarnya dan sinyal yang lain merupakan sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh benda-benda di sekitar antena seperti gedung, pepohonan, mobil, dan lain-lain. Adanya lebih dari satu lintasan menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinteferensi. e) Cycle Slip Cycle slip adalah terputusnya jumlah gelombang penuh pada saat pengamatan berlangsung. Hal tersebut salah satunya bisa diakibatkan karena matinya receiver GPS. f) Ambiguitas Fase Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh berupa bilangan bulat dan merupakan kelipatan panjang gelombang yang tidak terukur oleh receiver pada saat pengamatan berlangsung (Zikra, 2004). Penentuan ambiguitas diperlukan pada saat pengubahan data fase menjadi hasil ukuran jarak sehingga dihasilkan ketelitian yang sangat presisi. Nilai ambiguitas fase akan selalu tetap selama pengamatan tidak terjadi cycle slip. Penentuan ambiguitas fase ini 29 dilakukan dengan cara pemberian koreksi terhadap nilai ambiguitas fase yang mengembang (float) sehingga didapat nilai ambiguitas fase yang integer. g) Kesalahan Jam Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan jam receiver. Bentuk kesalahan jam ini adalah dalam bentuk offset waktu atau offset frekuensi yang dapat mempengaruhi ukuran jarak. Ada beberapa macam cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi efek kesalahan dan bias pengamatan yaitu mengestimasi parameter dari kesalahan dan bias dalam proses hitung perataan, pengurangan data pengamatan (differencing), menghitung besar kesalahan dan bias secara langsung atau dari model, menggunakan strategi pengamatan dan pengolahan data yang tepat, dan mengabaikan kesalahan dan bias itu sendiri (Abidin, 2000). Secara umum, metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi menjadi dua, yaitu Metode Penentuan Posisi Absolut dan Metode Penentuan Posisi Relatif. Penentuan posisi absolut hanya membutuhkan satu receiver GPS saja, sedangkan pada penentuan posisi relatif atau diferensial membutuhkan minimal 2 buah receiver GPS. Dalam survei GPS yang menuntut ketelitian tinggi misalnya pada survei deformasi Pangandaran ini, metode yang digunakan adalah metode diferensial dengan moda Jaring artinya titik-titik pengamatan di sekitar Pangandaran diikatkan ke beberapa titik ikat atau referensi. Metode diferensial dengan moda jaring dapat didefinisikan sebagai proses penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang telah diketahui koordinatnya dengan menggunakan data pengamatan fase dari sinyal GPS (Abidin, 2002). Pada umumnya jenis survei yang dilakukan adalah survei statik. Titik-titik pengamatan deformasi diletakkan pada daerah sekitar patahan sehingga dapat dilihat pola pergerakannya. Selanjutnya titik-titik pengamatan tersebut diikatkan ke sebuah kerangka referensi yaitu ITRF (International Terrestrial Reference Frame). Kerangka ini terdiri dari 300 titik yang menyebar di seluruh permukaan bumi dan didapatkan dengan pengukuran secara kontinu 30 menggunakan metode-metode pengamatan VLBI, LLR, GPS, SLR dan DORIS. ITRF memiliki koordinat dengan ketelitian 1-3 cm dan kecepatan dengan ketelitian 2-8 mm/tahun (Abidin, 2000). Kerangka ITRF terdiri dari titik-titik yang disebut titik IGS (International GNSS Service) yang menyebar hampir di seluruh lempeng tektonik utama dan lempeng-lempeng kecil sehingga kerangka ini dapat digunakan sebagai referensi dalam studi pemantauan deformasi bumi. Pada realisasinya dalam pengolahan data GPS, titik-titik hasil pengamatan akan diikatkan (differensial) ke beberapa titik IGS sesuai dengan letak terdekat dan baik tidaknya kondisi titik ikat tersebut sehingga titik-titik pengamatan GPS dan titik IGS akan membentuk suatu jaring yang optimum atau observation-maximum (OBS-MAX). Parameter utama dari jaring optimum tersebut adalah jarak antar titik diusahakan yang pendek (baseline pendek). Adapun letak dari titik-titik IGS ini dapat dilihat pada gambar 2.16 di bawah ini. Gambar 2.16 Stasiun-stasiun ITRF/ IGS (igscb.jpl.nasa.gov) 31 Pada pengolahan jaring GPS dengan strategi OBS-MAX tersebut sama halnya dengan pengolahan jaring GPS pada umumnya, yaitu terdiri dari : 1) Pengolahan data dari setiap baseline dalam jaringan. 2) Perataan jaring yang melibatkan semua baseline untuk menentukan koordinat dari titik-titik dalam jaringan. 3) Transformasi koordinat titik-titik tersebut dari datum WGS 1984 ke datum yang diperlukan oleh pengguna. Pengolahan baseline bertujuan untuk menghitung vektor baseline (dX, dY, dZ) antara dua titik ujung baseline. Data yang digunakan untuk pengestimasian vektor tersebut adalah data double-difference yaitu data pengamatan pengamatsatelit dalam suatu epok tertentu. Data digunakan agar efek kesalahan jam satelit dan receiver dieliminasi, sehingga tersisa ambiguitas fase dan efek atmosfer. Proses pengolahan baseline digambarkan pada gambar 2.16 berikut ini. 32 Pemrosesan Awal (outlier detection) Penetapan/penentuan koordinat dari satu titik ujung baseline untuk berfungsi sebagai titik referensi Pendeteksian dan pengkoreksian cycle slips Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity float) Penentuan Ambiguitas Fase Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity-fixed) Solusi Baseline Definitif Gambar 2.17 Tahapan penentuan suatu baseline GPS (double-difference) Selanjutnya vektor-vektor baseline yang telah ditentukan diproses dalam suatu hitung perataan jaringan yang bertujuan untuk menentukan koordinat final dari titik-titik dalam jaringan. Pada umumnya metode perhitungan yang digunakan adalah metode perataan kuadrat terkecil. Ada dua tahapan dalam perataan jaringan GPS ini yaitu perataan jaring bebas dan perataan jaring terikat. Pada perataan jaring bebas menggunakan hanya satu titik ikat IGS untuk mengecek konsistensi vektor baseline, satu terhadap yang lainnya membentuk suatu jaring GPS yang optimal. Sedangkan pada perataan jaring terikat, semua 33 titik ikat IGS digunakan untuk menghasilkan koordinat final. Tujuan dari perataan jaring terikat adalah untuk memeriksa konsistensi data ukuran baseline dengan titik-titik IGS yang telah ada. Setelah solusi dari jaring didapat, semua titik-titik IGS yang digunakan dilakukan sebuah uji berdasarkan rata-rata dari 3 parameter translasi menggunakan transformasi Helmert. Jika ada titik IGS yang tidak sesuai maka titik tersebut harus dihilangkan dari proses pengolahan data dan proses perataan jaring kembali dilakukan. Jika semua koordinat final telah ditentukan maka para pengguna bisa melakukan transformasi dari datum WGS84 ke dalam datum tertentu yang diperlukan. 2.3.2.2 Pengaruh Pergerakan Lempeng Dalam Studi Deformasi Lempeng-lempeng di muka bumi ini yang berjumlah kurang lebih 20 lempeng utama dan lempeng-lempeng kecil lainnya mengalami pergerakan setiap tahunnya misalnya lempeng Eurasia yang bergerak 2 cm/tahun ke arah timur dan lempeng Australia yang bergerak 7 cm/tahun ke arah utara, demikian juga dengan lempeng-lempeng kecil. Titik-titik pengamatan deformasi terletak pada suatu lempeng atau blok yang bergerak sehingga hasil pengamatan data GPS saja tidak dapat dijadikan sebagai indikator pergeseran karena masih dipengaruhi pergerakan lempeng tersebut. Dalam kasus deformasi postseismik Pangandaran ini, titik-titik pengamatan GPS terletak pada Sunda block. Oleh karena itu, diperlukan sebuah perhitungan yang dapat memodelkan pergerakan lempeng atau blok di tempat titik pengamatan berada. Penentuan pergerakan lempeng tersebut dapat dijelaskan oleh Leonhard Euler (1776) melalui teorema Euler fixed point yang menyatakan bahwa setiap pergerakan pada permukaan bumi dapat direpresentasikan sebagai rotasi dari titik rotasi kutub yang dipilih yang disebut Euler Pole. Para ahli menggunakan teorema ini untuk memahami pergerakan dari tektonik lempeng. Euler pole menjelaskan pergerakan lempeng yang satu misal lempeng B relatif terhadap lempeng yang lainnya misal A maka pergerakan lempeng B akan 34 diletakan pada kerangka referensi lempeng A. Kecepatan rotasi suatu lempeng dinyatakan dengan, ω = dθ/dt dimana dθ adalah rotasi yang dialami lempeng. Kecepatan rotasi dari lempeng B relatif terhadap lempeng A dilambangkan dengan AωB. Dengan informasi itu dapat ditentukan kecepatan di suatu titik pada lempeng B relatif terhadap lempeng A dan diformulasikan dengan rumus : v = AωBRsin(α) dimana R adalah jari-jari bumi dan α adalah sudut antara titik dengan sumbu rotasi. Ilustrasi dari Euler pole ini dapat dilihat dari gambar 2.18 di bawah ini. Gambar 2.18 Ilustrasi Euler Pole (www.britannica.com) Dengan mengetahui kecepatan lempeng tersebut, maka hasil vektor pergeseran sudah tidak dipengaruhi pergerakan lempeng lagi karena hasil pengolahan data GPS telah dikurangi oleh kecepatan atau pergerakan suatu blok sehingga informasi mengenai deformasi di setiap titik dapat ditentukan. 35