Keterampilan Pekerjaan Sosial Dasar-dasar

advertisement
PENGANTAR
PEKERJAAN SOSIAL
Budhi Wibhawa
Santoso T. Raharjo
Meilany Budiarti S.
ISBN: 978-602-9238-48-8
Judul Buku:
PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL
Penulis:
BUDHI WIBHAWA
SANTOSO T RAHARJO
MEILANY BUDIARTI S.
2015
Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang
Tlp. (022) 843 88812
Website: lppm.unpad.ac.id
Email: [email protected]
Bandung 45363
1 Jilid, B5 (JIS); 303 hlm,
Cetakan pertama 2013
Cetakan kedua 2015
ISBN: 978-602-9238-48-8
ISBN:
9 7 8
978-602-9238-48-8
- 6 0
2 - 9 2 3 8
Kata Pengantar
Sekali lagi, langkanya buku-buku teks profesi pekerjaan sosial dan bidang
praktek kesejahteraan sosial dalam bahasa Indonesia merupakan
persoalan tersendiri dalam dunia pendidikan pekerjaan sosial di negeri
ini. Sehingga penulisan buku ini merupakan bagian dari upaya
memperkaya bahan-bahan bacaan mengenai bidang kesejahteraan sosial
dan profesi pekerjaan sosial.
Penerbitan buku ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’ diharapkan dapat
menjadi oase di tengah kelangkaan buku-buku pekerjaan sosial. Semoga
buku ini dapat menjadi awal atau pengantar untuk rujukan, pembanding,
atau kajian pustaka bagi siapapun yang concerns terhadap bidang praktek
pekerjaan sosial, termasuk para mahasiswa, dosen, pemerhati dan
masyarakat pembaca pada umumnya. Dalam cetakan kedua ini telah
ditambahkan sekilas tentang penelitian pekerjaan sosial dan perencanaan
sosial untuk melengkapi buku pengantar pekerjaan sosial ini.
Namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan
ini buku ini masih jauh dari memadai, sehingga kritik dan saran dalam
rangka perbaikan kami terima dengan tangan terbuka.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para kolega di
Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD, yang selalu
membantu dan mendukung penulisan buku ini.
Jatinangor, September 2015
BW, STR, MBS
DAFTAR ISI
TOPIK 1:
MASALAH SOSIAL DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL 1
Kegiatan Belajar 1:
1. Masalah Sosial dan Perubahan Sosial .................................. 2
2. Praktik Pekerjaan Sosial dalam Mengatasi Masalah Sosial 11
Kegiatan Belajar 2:
1. Kewirausahaan Sosial........................................................ 12
2. Kewirausahaan Sosial dalam Mengatasi Masalah
Sosial ................................................................................. 16
3. Capaian dalam Kewirausahaan Sosial ............................... 21
TOPIK 2:
KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL
27
Kegiatan Belajar 1:
1. Kesejahteraan Sosial........................................................... 28
2. Sumber-sumber kesejahteraan sosial .................................. 37
3. Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial ...................................... 45
Kegiatan Belajar 2:
Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial ............................. 48
Kegiatan Belajar 3:
Pekerjaan Sosial Generalis......................................................... 59
TOPIK 3:
LANDASAN PENGETAHUAN DALAM PROFESI
PEKERJAAN SOSIAL
67
Kegiatan Belajar 1:
Keilmuan profesi pekerjaan sosial dan profesi
Pertolongan lainnya.................................................................. 68
Kegiatan Belajar 2:
Dasar pengetahuan pekerjaan sosial......................................... 81
Kegiatan Belajar 3:
Kebutuhan pengetahuan pekerja sosial saat ini ....................... 87
TOPIK 4:
FOKUS PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
Kegiatan Belajar :
Keberfungsian Sosial ..............................................................
TOPIK 5:
PROSES PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
Kegiatan Belajar 1:
97
98
109
Pergeseran klien bagi Pekerja Sosial ...................................... 110
Kegiatan Belajar 2:
Peranan Pekerja Sosial dalam Menangani Masalah ..............
114
Kegiatan Belajar 3:
1. Proses Praktik Pekerjaan Sosial ...................................
122
2. Kerangka Model Analisis dan Pemecahan Masalah Sosial 126
TOPIK 6 :
NILAI-NILAI DASAR PEKERJAAN SOSIAL
131
Kegiatan Belajar 1:
Antara hubungan personal dengan hubungan profesional
132
Kegiatan Belajar 2:
Prinsip praktik pekerjaan sosial ............................................... 136
TOPIK 7:
Kegiatan Belajar 3:
Klasifikasi Pekerja Sosial .......................................................
141
Kegiatan Belajar 4:
Kerangka profesi pekerjaan sosial ..........................................
152
METODE PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
161
Kegiatan Belajar 1:
Social Casework ....................................................................... 162
Kegiatan Belajar 2:
Social Groupwork .................................................................... 172
Kegiatan Belajar 3:
Community Development ......................................................... 187
Kegiatan Belajar 4:
1. Administrasi Pekerjaan Sosial, ...........................................
2. Organisasi Pelayanan Manusia, ..........................................
3. Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial ...........................
4. Penelitian Pekerjaan Sosial.................................................
5. Perencanaan Sosial..............................................................
TOPIK 8:
PELAYANAN SOSIAL
201
205
214
219
228
233
Kegiatan Belajar 1:
Keadaan, Kecenderungan, dan Masalah dalam Penyelenggaraan
Pelayanan Sosial..................................................................... 234
Kegiatan Belajar 2:
Bidang-bidang Pelayanan Sosial ............................................
Kegiatan Belajar 3:
iv
241
Strategi Pelayanan Sosial dan Organisasi (Badan)
Pelayanan Sosial ...................................................................... 253
TOPIK 9:
STRENGTH BASED PERSPECTIVE
267
Kegiatan Belajar 1:
Strength Based Perspective ....................................................
268
Kegiatan Belajar 2:
Strength Based Assessment .....................................................
273
-----------------------
v
TOPIK 1
MASALAH
KEWIRAUSAHAAN
SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1 : Masalah sosial dan perubahan sosial,
praktik pekerjaan sosial dalam
mengatasi masalah sosial
KEGIATAN BELAJAR 2 : Pengertian kewirausahaan sosial,
kewirausahaan sosial dalam
mengatasi masalah sosial, capaian
dalam kewirausahaan sosial
1
KEGIATAN BELAJAR 1
1. MASALAH SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL
Masyarakat adalah konsep abstrak, wujud nyatanya adalah
manusia dan perilakunya. Manusialah yang ’menciptakan’ masyarakat
dengan nalurinya sebagai makhluk sosial; maka manusia pulalah yang
membuat perubahan-perubahan terhadap masyarakat melalui hasratnya
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, setidaknya menurut
keinginan manusia itu sendiri. Dalam beberapa peristiwa di dalam
sejarah dunia dan sejarah manusia tercatat orang-orang besar yang
karena kelebihan kapasitasnya mengakibatkan terjadinya perubahan
sosial.
Sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, masyarakat Indonesia
bersentuhan dengan berbagai masyarakat luar; dan hasil sentuhan itu
kemudian diterima dengan nilai budayanya sendiri. Namun demikian,
dalam sebuah proses difusi kebudayaan berlaku dalil (Parsudi Suparlan,
1982:113): ”Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang
berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya
daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih
sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat
yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya”.
Pembahasan tentang isu-isu dan masalah sosial di Indonesia,
tidak dapat dilepaskan dengan kondisi kehidupan masyarakatnya.
Bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan
budaya atau dikenal dengan masyarakat majemuk atau multikultur.
Kondisi ini di satu sisi merupakan potensi dan sumber daya serta
kekayaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain,
2
kondisi ini juga merupakan faktor yang dapat memicu dan memacu
terganggunya ketahanan sosial masyarakat karena rawan terjadi konflik
sosial horizontal maupun vertikal. Terjadinya konflik sosial di beberapa
wilayah di Indonesia, seperti yang dikenal dengan kasus Sambas,
Sampit, Poso, Ambon dan Papua, merupakan bukti dari sisi negatif
kesukubangsaan Indonesia yang bercorak multikultur. Hal ini terjadi
disebabkan oleh belum dihayatinya kehidupan multikultur ini oleh
segenap elemen masyarakat.
Kondisi multikultur yang masih menimbulkan rawan konflik
sosial ini, kemudian ditambah dengan terjadinya transformasi sosial
budaya yang berlangsung sangat cepat dewasa ini. Disadari ataupun
tidak, transformasi sosial budaya ini membawa dampak yang tidak
menguntungkan bagi sebagian kehidupan individu, keluarga maupun
masyarakat Indonesia. Konsumerisme, hedonisme, individualism dan
materialisme sebagai ekses globalisasi, kini mulai dirasakan memasuki
berbagai aspek kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat.
Ekses lainnya yaitu terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat
tentang keluarga, rumah tangga dan pola interaksi sosial, baik dengan
sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Hawari, 1995). Fenomena
sosial ini, kini sudah terjadi secara luas pada semua lapisan masyarakat,
baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Memang salah satu dalil dalam perubahan sosial menyebutkan
bahwa perubahan terjadi tidak serempak pada semua aspek kehidupan
masyarakat, melainkan pada sebagian aspek kehidupan, dan aspekaspek kehidupan lainnya akan harus menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi; atau menolak perubahan tersebut.
3
Persoalannya, adalah masyarakat Indonesia ini sangat mudah
menerima rembesan dari luar masyarakat, dan mengubah dirinya demi
menyesuaikan diri dengan rembesan tersebut (adaptasi). Masyarakat ini
sangat adaptif, bahkan dalam banyak hal sangat adoptif; apa yang ada
di negara lain, langsung diterapkan. Situasi ini ditambah lagi dengan
’pemaksaan’ dari negara lain yang posisinya dan kondisinya lebih kuat;
yang memandang Indonesia dengan luas wilayah dan besarnya jumlah
penduduk sebagai pasar yang bagus untuk segala produk mereka mulai
dari barang sampai kepada ide dan nilai-nilai. Politik luar negeri yang
terjadi dewasa ini (Bay Suryawikarta): ”...tidak lain adalah rangkaian
manuver politik untuk membuka pasar, mencari (dan mencuri)
teknologi, dan menggali sumber dana (modal)”.
Untuk Indonesia, ditambah lagi dengan keinginan untuk segera
mensejajarkan diri dengan kemajuan, berkonsekuensi terjadinya
perubahan yang lebih tidak terkendali, karena, seperti dikemukakan To
Thi Anh (1984:97), masyarakat negara-negara berkembang: ”...lebih
mudah meniru Barat daripada menemukan cara sendiri”. Gagasan yang
serupa juga dikemukakan oleh Aritonang (1999) bahwa Indonesia
bukan negara agraris, bukan pula negara industri..; melainkan negara
pasar produk agaris dan industri...”
Seperti hukum dunia yang bersifat umum yaitu selalu berubah,
masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan; namun lebih banyak
karena ’kekalahan’ dalam difusi kebudayaan, bukan atas kesadarannya
sendiri.
Sebutlah negara-negara yang maju, baik dari belahan Barat
maupun dari belahan Timur; benang merahnya sama, yaitu mereka
membangun dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai dan filsafat sosio4
budaya dan agamanya, dan itu dimulai dengan pengenalan serta
penegasan tentang jati dirinya sendiri. Jika masih bingung dengan jati
dirinya sendiri, bagaimana orang atau masyarakat akan dapat
mengembangkan dirinya? Inilah masalah mendasar masyarakat
Indonesia, terlalu mudah mengadopsi perubahan tanpa berpegang kuat
kepada nilai-nilai dasarnya, sehingga dengan mudah tercerabut dari jati
dirinya sendiri. Jadi, perkembangan masyarakat Indonesia haruslah
dimulai dari aktualisasi nilai-nilai dasar yang tetap dipegang teguh
sebagai jati dirinya sendiri.
Menjadi aneh jika masyarakat yang memandang dirinya
religius, justru etos kerjanya rendah, tidak produktif malah konsumtif;
padahal tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan
pemborosan seperti itu. Jika seseorang atau sebuah masyarakat tidak
berpijak kepada karakternya sendiri ketika ia berhadapan dengan
perubahan-perubahan
eksternal
dan
harus
menyesuaikan
diri
dengannya, maka orang itu akan menjadi ’abdi’ orang lain, masyarakat
itu akan didominasi masyarakat lain, seperti dimaksudkan dalam
pengertian konsep difusi kebudayaan. Inilah tampaknya yang terjadi
pada masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan jika Prof. Mar’at (1986),
dan Yesmil Anwar (2007) menyebut masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang sakit (the sick society).
Telah dikemukakan terdahulu beberapa ilustrasi kondisi
masyarakat yang menunjukkan terjadinya perubahan sosial. Secara
formal akademik, istilah perubahan sosial berarti ’pergeseran pada
struktur dan fungsi masyarakat (sistem sosial)’. Brinkerhoff & White,
(1985:554) mendefinisikan perubahan sosial sebagai pergeseran terus
menerus dalam pola-pola budaya baik materil maupun nonmateril.
5
Perubahan sosial dapat bersifat ‘alamiah’ dalam arti sebagai hasil
interaksi di antara elemen-elemen penyebabnya (unplanned social
change); dapat pula direncanakan sebagai sebuah rekayasa sosial
(planned social change) (Zaltman, Kotler, Kaufman, 1982:27).
Pertanyaannya adalah apa yang berubah, secepat apa perubahan terjadi,
dan ke mana arah perubahan tersebut?
Johnson (1986:5) menegaskan hubungan antara perubahan
sosial dengan masalah sosial, dalam pernyataannya sebagai berikut:
”...since many social problems result from change and because
it is human to have such problems, the idea that any of us may
be potential users of social services is made more acceptable.
Any of us then might have occasion to need a social worker, not
just the “poor”, the people from the “wrong side of the tracks”,
or of some particular age, ethnic, or other group. This concept
of social work may tend to bring about more humility and
realism in our thinking, for troubles can, indeed, “happen to
any of us”
Dari tulisan Johnson tersebut dapat ditarik beberapa catatan
pokok, sebagai berikut:
1. Masalah sosial bersumber dari –dan muncul seiring dengan–
perubahan sosial; padahal sudah menjadi aksioma bahwa tidak
ada masyarakat yang sungguh-sungguh statis, melainkan selalu
mengalami perubahan. Jaman teknologi yang semakin canggih,
globalisasi; menghasilkan percepatan perubahan sosial yang
luar biasa karena akses informasi dan transportasi yang semakin
baik; artinya sangat produktif menghasilkan masalah sosial
sebagai dampaknya. Namun, seperti dikatakan Ralf Dahredorf
(dalam Khasali, 2004), “The trouble with change in human
affairs is that it is so hard to pin down. It happens all the time.
6
But while it happens it eludes our grasp, and once we feel able
to come to grips with it, it has become past history”.
2. Setiap orang berpotensi mengalami masalah sosial, terlepas dari
tingkat pendidikan, kekayaan, status sosial, atau karakteristik
apapun.
3. Para Pekerja Sosial (Social Worker) memiliki kewenangan
keahlian untuk menangani masalah-masalah sosial.
4. Dibutuhkan ide-ide, strategi, metode, serta badan-badan
pelayanan yang dapat mengupayakan penanganan masalahmasalah sosial yang selalu berkembang.
Substansinya sesungguhnya bukan terletak pada apa masalahnya,
karena salah satu hakikat kehidupan adalah masalah, dan semua orang,
semua masyarakat mengalami masalah; melainkan terletak pada
bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan situasi masalah
tersebut, untuk kemudian mencari apa dan bagaimana solusinya.
Terdapat
tiga
kemungkinan
hasil
relatif
yang
dialami
masyarakat dari perubahan sosial, yaitu (1) kemajuan; (2) kemunduran;
dan (3) fluktuatif. Ukuran kemajuan dan kemunduran tergantung dari
visi masyarakat tentang apa yang diinginkan dalam kehidupannya.
Tidak dapat dihindarkan lagi bahwa berbagai kemajuan dalam
berbagai bidang kehidupan lain telah mengubah sistem sosial
masyarakat Indonesia. Terjadi kemudian perubahan-perubahan dalam
fungsi dan struktur institusi sosial yang menyebabkan timbulnya
berbagai masalah sosial. Horton dan Hunt (1964:126) menyatakan,
bahwa:
”Suatu
masyarakat
yang
mengalami
perubahan
pasti
melahirkan masalah. ... Masalah sosial merupakan bagian dari
konsekuensi perubahan sosial”. Selaras dengan pandangan itulah, maka
7
Johnson (1986:7) mendefinsikan Pekerjaan Sosial, sebagai: ”...upaya
pemberian bantuan kepada orang untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan...“. Dengan definisi tersebut maka tampak bahwa masalahmasalah sosial timbul sebagai akibat perubahan sosial, dan karenanya
setiap warga masyarakat merupakan pengguna potensial bagi
pelayanan-pelayanan sosial.
Holil
Soelaiman
(1993:12-13)
telah
mengidentifikasikan
delapan kecenderungan permasalahan sosial, sebagai berikut:
1. Semakin melemahnya nilai-nilai dasar kesejahteraan sosial
seperti
kemanusiaan,
kekeluargaan,
kasih
sayang
kegotongroyongan,
terhadap
pengabdian,
sesama,
solidaritas
sosial, kepekaan sosial, dan kepedulian sosial; tergeser oleh
nilai-nilai baru seperti ke-aku-an, kebendaan, keserakahan,
keduniawian, efisiensi, dan persaingan serta konflik.
2. Meningkatnya jumlah penyandang berbagai kecacatan (fisik
dan mental) baik sebagai sertaan pertumbuhan penduduk
maupun sebagai akibat dari pelecehan lalu lintas, kecelakaan
kerja, serta gangguan mental akibat ketegangan jiwa.
3. Meningkatnya permasalahan ketelantaran (terutama psikis dan
sosial)
anak
yang
disebabkan
semakin
meningkatnya
keterlibatan kerja (labour participation) pria dan terutama
wanita dalam pekerjaan di luar rumah tangga, karier, serta
kepemimpinan di dalam masyarakat.
4. Meningkatnya jumlah penyandang permasalahan tuna sosial
dan penyimpangan perilaku, sebagai sertaan dari peningkatan
arus wisatawan, sebagai akibat dari perubahan gaya hidup,
urbanisasi, dan globalisasi.
8
5. Meningkatnya jumlah dan proporsi kelompok penduduk usia
lanjut, yang disebabkan oleh transisi demografik serta semakin
tingginya rata-rata harapan hidup; yang berpadu dengan
memudarnya nilai-nilai kekeluargaan serta meningkatnya
tuntutan kegiatan, yang mengakibatkan ketelantaran penduduk
usia lanjut.
6. Timbulnya akibat sampingan yang tidak diharapkan dari proses
dan keberhasilan pembangunan seperti peluberan biaya sosial
(social cost spill over), kesenjangan sosial, keresahan sosial,
pergeseran nilai-nilai sosial.
7. Prevalensi bencana yang bersumber pada kondisi geografik,
geologik, dan geofisik Indonesia; demikian pula pada mentalita
masyarakat (fatalisme, keteledoran, kurang kewaspadaan, dan
kesiapsiagaan).
8. Masalah kemiskinan, yang menyangkut bukan semata-mata
penguasaan asset/sumber penghasilan dan tingkat penghasilan
yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
layak,
melainkan
kepasrahan,
juga
menyangkut
ketergantungan,
dan
mentalita
ketidakberdayaan
seperti
yang
bersumber pada budaya kemiskinan.
Dengan mencermati definisi Johnson tentang Pekerjaan Sosial,
serta identifikasi kecenderungan masalah sosial seperti dikemukakan
oleh Holil Soelaiman tersebut tampak bahwa masalah sosial yang di
masa lampau diartikan sebagai masalah ‘sosial ekonomi’ yang bersifat
patologis, kini telah bergeser dan meluas ke arah masalah-masalah
disfungsi, disorganisasi sosial.
9
Isu global masalah sosial tersebut di atas merupakan landasan
utama
dalam
membangun
kerangka
kebijakan
dan
program
pembangunan sosial di Indonesia. Masalah sosial yang semakin
kompleks, kini perlu didekati dengan berbagai disiplin, dan disiplin
ilmu yang utama adalah ilmu pekerjaan sosial. Pendekatan disipliner
dalam memahami masalah sosial sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan dan dinamika masyarakat dewasa ini. Hal ini didasarkan
pada kondisi obyektif, bahwa masalah sosial bersifat kompleks atau
multidimensional (multiple face of sosial problems).
Satu masalah sosial tertentu memiliki dimensi sosiologi,
psikologi, antropologi, ekonomi dan politik. Bahkan kompleksitas
masalah sosial terjadi disebabkan adanya interaksi yang kuat antar
masalah sosial itu sendiri. Dalam kehidupan nyata tidak sedikit masalah
sosial disebabkan oleh masalah sosial yang lain, atau mengakibatkan
terjadinya masalah sosial yang lain. Oleh sebab itu, seringkali
ditemukan pola jejaring masalah sosial yang sangat rumit dan tidak
mudah menemukan dari mana dimulai pemecahannya.
Pemahaman terhadap dimensi-dimensi masalah sosial ini sangat
penting dalam upaya menemukan akar masalah dan model-model
intervensi sosial yang tepat. Sebagaimana disampaikan oleh Profesor
Takahashi dari Jepang pada uraian sebelumnya, kalau dalam kehidupan
riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha
menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk dapat memecahkan masalah
tersebut.
10
2. PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DALAM
MENGATASI MASALAH SOSIAL
Dalam pemecahan masalah sosial, pekerjaan sosial merupakan
disiplin ilmu utama yang dikonstruksikan dari kehidupan nyata
masyarakat. Oleh karena itu, dewasa ini sudah tidak relevan lagi
mempermasalahkan peranan ilmu pekerjaan sosial dalam pembangunan
sosial. Sebaliknya, keberadaan ilmu pekerjaan sosial justru sangat
diperlukan karena memiliki relevansi dengan kondisi obyektif dinamika
masyarakat dengan segala akibatnya. Lebih lanjut ilmu pekerjaan sosial
akan memberikan kontribusi yang sangat nyata mulai dari analisis
masalah sampai pada menemukan kebutuhan strategis yang diperlukan
oleh masyarakat dalam mengatasi masalahnya.
Berbeda dengan ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial
mengajarkan bagaimana mengembangkan art atau skill dalam
membangun relasi sosial dengan penyandang masalah maupun dengan
pemilik sumber daya sosial. Hal ini tentu tidak ditemukan oleh ilmu
sosial lain, karena mereka tidak berorientasi pada pemecahan masalah.
Adanya art atau skill ini menjadikan ilmu pekerjaan sosial sangat
dinamis
dalam
mengikuti
perkembangan
pemikiran-pemikiran,
perubahan sosial, dan dinamika masyarakat pada tingkat lokal,
nasional, regional maupun global.
Dengan demikian, sebagai ilmu terapan, ilmu pekerjaan sosial
memberikan jalan keluar yang realisitis dalam pemecahan masalah
sosial. Bersama-sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan
sosial
dapat
menemukenali
masalah,
kebutuhan
dan
potensi
kesejahteraan sosial secara tepat sebagai dasar dalam pemecahan
11
masalah. Meskipun peran dan kontribusinya cukup nyata, namun ilmu
pekerjaan sosial masih belum sepenuhnya menjadi referensi dalam
penyelenggaraan program kesejahteraan sosial. Hal ini akan menjadi
persoalan jangka panjang, karena apabila hal ini terus berlanjut maka
pada saatnya nanti program kesejahteraan sosial akan kehilangan jati
diri dan fokus sasarannya.
KEGIATAN BELAJAR 2
1. KEWIRAUSAHAAN SOSIAL
Bagaimana agar kinerja wirausaha yang dijalankan semakin
memiliki dampak sosial yang besar, karena baik Muhammad Yunus
maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial lainnya tidak akan mengingkari,
bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens
dengan kemiskinan.
Di sisi lain, dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat
nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan
telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong
royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira
(toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilainilai religi yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai
kearifan lokal ini semakin melekat pada diri masyarakat. Tidak
mengherankan apabila nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tidak
semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia
saja, melainkan juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang
Pencipta.
12
Modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai
sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi, dan
kerekatan hubungan dalam jaringan yang lebih luas tumbuh di antara
sesama pelaku ekonomi. Dengan kata lain, modal sosial yang ada dapat
ditingkatkan menjadi kegiatan kewirausahaan sosial. Seseorang dapat
termotivasi oleh permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat (social
problem), hingga muncullah inisiatif untuk menciptakan kegiatan yang
mendatangkan manfaat sosial (social benefit) yang kemudian turut
menumbuhkan
manfaat
ekonomi
(economic
benefit)
sehingga
berdirilah Social Enterprise atau lembaga kewirausahaan sosial.
Seorang wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang
untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi
pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan
keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan bagaimana
gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi
masyarakat.
Dua setengah dekade lalu, Bill Drayton, pendiri dan CEO
Ashoka, memprakarsai konsep kewirausahaan sosial. Prinsipnya tidak
berbeda dengan kewirausahaan bisnis, bedanya kewirausahaan sosial
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Bagi Drayton ada dua
hal kunci dalam kewirausahaan sosial. Pertama, adanya inovasi sosial
yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Kedua,
hadirnya individu bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha (entrepreneurial),
dan beretika di belakang gagasan inovatif tersebut. Jadi wirausaha
sosial adalah individu yang bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha, dan
beretika, yang mampu menciptakan inovasi sosial dan mampu
mengubah sistem yang ada di masyarakat. Inovasi sosial yang
13
dimaksud Bill adalah yang mampu menciptakan atau mengubah pola di
masyarakat sehingga dapat mengakar dan karenanya, hal itu dapat
berkesinambungan.
Gregory Dees, seorang professor di Stanford University dan
pakar
di
bidang
kewirausahaan
sosial
menyatakan
bahwa
kewirausahaan sosial merupakan kombinasi dari semangat besar dalam
misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang lazim
berlaku di dunia bisnis. Kegiatan kewirausahaan sosial dapat meliputi
kegiatan: a) Yang tidak bertujuan mencari laba, b) Melakukan bisnis
untuk tujuan sosial, dan c) Campuran dari kedua tujuan sebelumnya,
yakni tidak untuk mencari laba, dan mencari laba, namun untuk tujuan
sosial.
Menjalankan kewirausahaan sosial sangat bergantung kepada
bagaimana isi dari gagasan yang ditawarkan, pada dasarnya agar
gagasan serta ide yang ditawarkan dapat diterima oleh masyarakat,
maka gagasan tersebut harus memiliki misi sosial di dalamnya sematamata hanya untuk membuat masyarakat dapat terbebaskan dari
permasalahan yang terjadi.
Arah dan jalur pengembangan kewirausahaan sosial yang
semakin berkembang, kemudian coba dipetakan oleh Bornstein (2004,
dalam Nicholls, 2008:14) seperti tergambar sebagai berikut:
a. Pengurangan kemiskinan melalui pemberdayaan, sebagai
contoh gerakan keuangan mikro
b. Penyediaan layanan kesehatan, mulai dari dukungan skala kecil
untuk mereka yang sakit mental sampai pada skala komunitas
c. Pendidikan dan pelatihan, seperti usaha melebarkan partisipasi
dan demokratisasi transfer pengetahuan
14
d. Preservasi lingkungan dan kesinambungan pembangunan,
seperti projek energi hijau
e. Regenerasi komunitas, seperti asosiasi perumahan
f. Projek kesejahteraan, seperti pembukaan lapangan kerja bagi
pengangguran
atau
gelandangan
serta
proyek-proyek
penanganan alkohol dan obat terlarang
g. Kampanye dan advokasi, seperti promosi perdagangan yang
adil dan promosi hak asasi manusia
Contoh gemilang tentang kerja wirausahawan sosial adalah
bagaimana Muhamad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006, yang
dengan sistem kredit mikro yang lebih dikenal sebagai “Grameen
Bank”, telah membantu jutaan kaum miskin di Bangladesh, terutama
perempuan dan anak-anak, untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih
baik.
Selain buah kerja brilian Muhammad Yunus, David Bornstein
juga menceritakan puluhan kisah wirausahawan sosial lain, seperti
Fabio Rosa (Brasil) yang menciptakan sistem listrik tenaga surya yang
mampu menjangkau puluhan ribu orang miskin di pedesaan, Jeroo
Billimoria
(India)
yang
bekerja
keras
membangun
jaringan
perlindungan anak-anak telantar, Veronika Khosa (Afrika Selatan)
yang membangun model perawatan yang berbasis rumah (home-based
care model) untuk para penderita AIDS yang telah mengubah kebijakan
pemerintah tentang kesehatan di negara tersebut, dan banyak lagi tokoh
yang buah tangannya telah terasa langsung manfaatnya oleh
masyarakat.
Contoh praktik kewirausahaan sosial di Indonesia adalah upaya
yang dilakukan oleh Tri Mumpuni yang telah mendirikan PLTMH
15
(Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang bila memang
diterapkan dan dijadikan suatu terobosan besar bagi bangsa ini untuk
menciptakan
kemakmuran,
sangat
mungkin
bahkan
sangat
menjanjikan. Indonesia dengan keadaan geografis dan topografi yang
memang sangat potensial untuk melakukan pembangunan PLTMH
secara masif. Dengan adanya PLTMH, masyarakat tidak disibukkan
dengan rumitnya maintenance untuk turbin, saluran, dan sebagainya
yang lebih terkait teknis. Adapun manfaat yang luar biasa didapatkan
oleh masyarakat adalah bahwa mereka tidak perlu bergantung lagi pada
pemenuhan kebutuhan tenaga listrik dari PLN, juga terutama
pendapatan ekonomi masyarakat dapat terangkat.
2. KEWIRAUSAHAAN SOSIAL DALAM
MENGATASI MASALAH SOSIAL
Mengingat banyaknya masalah sosial, sebagai akibat dari
ketimpangan pembangunan ekonomi dan keterbatasan kemampuan
pemerintah mengatasi masalah sosial, merupakan tantangan yang
sangat nyata bagi dunia akademi, praktisi dan rohaniwan untuk
meningkatkan keterlibatan dalam mencari jalan keluar masalah sosial
yang terjadi di sekitar kita.
Demikian pun keadaannya dengan kewirausahaan, keberhasilan
berwirausaha sosial tidaklah identik dengan seberapa berhasil
seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena
kekayaan dapat diperoleh dengan berbagai cara, termasuk melalui
perbuatan negatif. Tetapi esensinya adalah bagaimana memunculkan
16
mental berusaha dengan tujuan sebesar-besarnya untuk mengatasi
masalah sosial yang terjadi, karena kewirausahaan sejatinya adalah
sebuah nilai (entrepreneurship value) yang perwujudannya harus
didukung oleh semangat kewirausahaan (entrepreneurship spirit).
Proses kewirausahaan sosial, secara umum tidak banyak
berbeda dengan kewirausahaan biasa, namun demikian, terdapat
beberapa perbedaan yang membuat proses ini menjadi khas dan unik.
Berikut ini adalah penjelasannnya:
Diagram 2.1
Kerangka Kerja Proses
Kewirausahaan Sosial
Antecendent
Outcomes
Entrepreneurial
Orintatation
• Motivasi sosial/misi
• Indentifikasi
Peluang
• Akses
permodalan/funding
• Banyaknya
kuantitas pihakpihak yang
bersentuhan
Keinovasioan
Keproaktivan
Pengambilan resiko
Potensi agresi dalam
kompetisi
• Otonomi
•
•
•
•
• Penciptaan nilai
sosial
• Kesinambungan
solusi
• Tingkat kepuasan
pihak-pihak yang
bersentuhan
Sumber: Lumpkin, dkk (2010:4)
Berdasarkan tabel dimuka tampak sebuah kerangka kerja dari
kewirausahaan
sosial.
Salah
satu
pembeda
utama
dengan
kewirausahaan biasa (bisnis) adalah penyebab/penggeraknya. Pada
diagram di muka, terlihat bahwa kewirausahaan sosial antara lain
digerakkan oleh misi sosial, identifikasi peluang, adanya usaha ekstra
17
untuk memperjelas kemungkinan akses kapital dan pihak-pihak
bersentuhan yang berpotensi saling mempengaruhi.
Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Motivasi sosial/misi
Ini adalah pembeda utama, dimana pada umumnya, sebuah
gerakan kewirausahaan dilakukan untuk hal-hal yang ditujukan pada
diri sendiri, seperti upaya untuk mensejahterakan pribadi maupun
aktualisasi diri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Lumpkin, dkk (2010:4)
yang menyatakan bahwa pertama, dan mungkin sebagai hal yang paling
signifikan, kewirausahaan komersial digerakkan oleh dorongan fokus
pribadi
untuk
peningkatan
kesejahteraan
diri
atau
usaha
mempekerjakan diri sendiri, di mana kewirausahaan sosial cenderung
untuk mulai dari fokus pihak lain atau aspirasi kolektif seperti
peningakatan
kesejahteraan
bersama,
berbagi
bersama
atau
usaha
untuk
pengembangan masyarakat
Selanjutnya,
perbedaan
terletak
pada
mengidentifikasi ‘masalah’ yang memiliki potensi untuk ‘diselesaikan’.
Pada kewirausahaan biasa, identifikasi biasanya lebih ditujukan pada
apa keinginan dari pasar, seperti produk yang bergensi, barang-barang
yang memudahkan dalam menjalankan kehidupan dan lain sebagainya.
Namun, dalam kewirausahaan sosial, identifikasi ‘sesuatu dalam
masyarakat yang dapat ditindaklanjuti’ menjadi sesuatu yang penting.
Artinya, inilah sesuatu yang unik, di mana suatu aktivitas
dimulai tidak dari jumlah profit yang ingin dikejar, melainkan identifasi
masalah yang dapat dipecahkan, ataupun potensi yang dapat
dikembangkan. Austin (2006, dalam Lumpkin, 2010:5) menyatakan
bahwa kebanyakan misi sosial berfokus pada masalah sosial dasar dan
18
bertahan lama serta berbagai kebutuhan umum seperti kemiskinan,
kelaparan,
air
yang
tidak
bersih,
pengangguran,
transportasi,
pendidikan, hak asasi manusia dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa salah
satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah kemampuannya untuk
melihat ‘masalah’ sebagai ‘peluang’. Mereka melihat hal-hal yang
menurut kebanyakan pihak harus dijauhi, dalam konteks berwirausaha
sosial, hal tersebut justru dijadikan sebagai sesuatu yang mampu
digerakkan, dioptimalkan dan didayagunakan untuk manfaat sosial
yang besar. Ini seperti gerakan yang menantang arus umum, di mana
biasanya sebuah kewirausahaan digerakkan oleh aspek-aspek seperti
profitabilitas dan peningkatan perekenomian. Swedberg (2006:1)
menyatakan:
One of the most intersting advances in recent entrepreneurial
thought is the idea that the notion of innovative or
entrepreneurial behaviour, which was originally invented to
deal exclusively with economic phenomena, is today also used
to explain what happens in social or non-economic areas of
society.
Berdasarkan uraian di muka, semakin jelas bahwa penggerak
utama kewirausahaan sosial, salah satunya adalah untuk mengatasi
permasalahan sosial.
2. Identifikasi peluang
Salah satu langkah yang krusial dalam kewirausahaan sosial
adalah identifikasi peluang. Brook (2009, dalam Lumpkin, 2010:5)
menyatakan bahwa agar sebuah kesempatan dapat diidentifikasi dalam
sebuah konteks sosial, maka perlu ada dua hal yang diperhatikan: (a)
Pemecahan masalah harus dianggap sebagai domain yang resmi/legal
19
untuk aktivitas kewirausahaan dan (b) Usaha yang ditujukan pada
masalah dan penyakit sosial harus dipertimbangkan sebagai sesuatu
yang bermanfaat bagi masyarakat. Artinya, bahwa usaha atau aktivitas
kewirausahaan sosial tidak dapat dilakukan secara serampangan dan
tanpa perencanaan yang baik. Adalah menjadi sebuah kebutuhan
bersama, di mana identifkasi masalah yang bertujuan untuk manfaat
sosial diselenggarakan dengan baik.
3. Akses permodalan/funding
Akses permodalan adalah sebuah masalah klasik bagi konteks
kegiatan atau keorganisasian, karena sangat sulit bagi sebuah aktivitas
atau organisasi dapat menjalankan misinya tanpa didukung oleh kapital
finansial. Oleh sebab itu, aspek ini dijadikan antesenden yang ketiga, di
mana sebagaimana layaknya kewirausahaan bisnis, kewirausahaan
sosial juga membutuhkan kapital finansial.
Pada faktanya, dalam tiga dekade terakhir ini, sektor non profit
telah semakin bergantung pada aktivitas komersial untuk membiayai
operasi mereka, dan juga mereka semakin tergantung pada kontribusi
yang bersifat caritas (Salamon, 2002 dalam Lumpkin 2010:6).
4. Pihak-pihak yang terkait (multiple stakeholders)
Stakeholder adalah individu atau organisasi yang dapat
dipengaruhi
atau
mempengaruhi
kemampuan
organisasi
dalam
mencapai tujuan-tujuannya (Freeman, 1984; Jones, 1995 dalam
Lumpkin 2010). Ada perbedaan antara stakeholder kewirausahaan
sosial dan kewirausahaan bisnis atau pada konteks komersial dan
sosial. Pada konteks komersial, yang dapat dianggap sebagai
stakeholder adalah pemasok, pelanggan produk atau jasa yang
disediakan, karyawan, investor dan lain-lain. Pada kewirausahaan
20
sosial jumlah stakeholder meliputi seperti yang dimiliki pada
kewirausahaan bisnis, ditambah beberapa pihak lain, yaitu anggota
masyarakat yang terlibat, perangkat desa yang mendukung, kelompokkelompok yang menjadi sasaran program dan yang berpotensi menjadi
stakeholder bagi aktivitas kewirausahaan sosial. Artinya, lingkaran
stakeholder kewirausahaan sosial, jauh lebih luas dan bervariasi
dibandingkan kewirausahaan bisnis.
3. CAPAIAN DARI KEWIRAUSAHAAN SOSIAL
Berikut ini adalah beberapa capaian dari kewirausahaan sosial
seperti digambarkan oleh diagram di muka:
1. Nilai sosial (social value)
Nilai sosial dalam hal ini merupakan satu terminologi yang agak
sukar untuk didefinisikan. Dewey (1939, dalam Lumpkin 2011:5)
menyatakan bahwa secara umum penciptaan nilai sosial adalah hal-hal
yang dapat meningkatkan kesejahteraan secara umum. Istilah nilai
sosial digunakan untuk membedakannya dengan istilah peningkatan
nilai ekonomi (economic value creation), yang cenderung membatasi
diri pada ukuran pendapatan finansial.
2. Usaha pemuasan beragam stakeholder
Salah satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah bahwa
aktivitas ini memiliki banyak stakeholder. Stakeholder-nya tidak hanya
pelanggan, pemasok, karyawan namun jauh lebih luas dari itu. Gerakan
kewirausahaan sosial dalam hal ini, juga memiliki anggota masyarakat,
pengurus organisasi pedesaan/perkotaan, volunteer yang terlibat juga
21
sebagai stakeholder. Artinya, karena memiliki tujuan sosial yang lebih
luas, maka sangat wajar jika kemudian gerakan ini memiliki jumlah
stakeholder yang lebih banyak. Hal ini tentu menuntut konsentrasi dan
perhatian penuh dalam upaya peningkatan kepuasan stakeholder
tersebut.
3. Kesinambungan solusi
Berdasarkan berbagai uraian di muka, tampak bahwa salah satu
tantangan terbesar bagi kewirausahaan sosial adalah kesinambungan
solusi. Wirausaha sosial (Prasojo dalam Bornstein, 2006) oleh Bill
Drayton digambarkan sebagai manusia yang tidak hanya puas memberi
‘ikan’ bagi si miskin, atau puas mengajari mereka ‘cara memancing’,
tetapi orang-orang yang terus berjuang, tanpa mengenal lelah,
melakukan perubahan sistemik –tidak sekedar memberi ‘ikan’ atau
‘pancing’, tetapi mengubah sistem ‘industri perikanan’ untuk
terciptanya keadilan dan kemakmuran lebih luas. Artinya bahwa,
semangat
dari
kewirausahaan
sosial
adalah
solusi
yang
ada
dua
berkesinambungan.
Lumpkin
(2011:7)
menyatakan
bahwa
argumen/penjelasan terkait pentingnya kesinambungan yang perlu
diperhatikan, yaitu kesinambungan aktivitas dari perspektif sumber
daya (Dees dan Anderson 2003) dan institualisasi dari solusi perubahan
sosial
(Mair
kesinambungan
and
Marti,
berarti
2006).
tidak
hanya
Artinya,
berbicara
memberi
perhatian
tentang
pada
keberlanjutan solusi, namun juga sumber dayanya. David McClellan
(dalam
Borstein,
2006:18)
menyatakan
bahwa
mereka
lebih
menghargai pertimbangan jangka panjang di atas perolehan jangka
pendek.
22
Terkait dengan praktik Pekerjaan Sosial dalam wujud
pelayanan-pelayanan sosial yang dapat diberikan, sudah semakin
dibutuhkan keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial dalam
masyarakat baik dalam keadaan masyarakat saat ini ataupun untuk arah
perkembangan situasi dan kondisi masyarakat pada masa yang akan
datang. Masyarakat membutuhkannya, namun tidak mengetahui
kemana mencarinya. Saatnyalah para Pekerja Sosial menunjukkan jati
dirinya dengan karya-karya nyata dalam bentuk-bentuk pelayanan
sosial; tidak hanya untuk membantu pemecahan masalah, melainkan
menata sistem sosial masyarakat itu sendiri agar kondusif untuk
pengembangan diri warganya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, kewirausahaan sosial sebagai
suatu metode bagi seorang Pekerja Sosial memiliki keunikan dalam hal
penerapannya
guna
menyelesaikan
masalah
sosial,
yaitu:
kewirausahaan sosial menggabungkan Social Objectives, Demokrasi,
Enterpreuneurship, dan Business yang keempat hal tersebut menjadi
suatu roda siklus prosedur pelaksanaan social enterprise. Ketika ada
suatu permasalahan sosial, objektifikasi dilakukan guna melakukan
assessment terhadap masyarakat yang sedang dilanda masalah sosial.
Demokrasi dilakukan ketika sampai pada tahap planning dan pretreatment, segala bentuk masukan dan gagasan-gagasan mutakhir untuk
melakukan pemecahan terhadap masalah sosial digabungkan.
Setelah itu ada enterpreuneurship, aspek ini digunakan lebih
kepada tatanan mental para pengelola lembaga serta tahapan
pemecahan masalah sosial hingga bagaimana aspek kewirausahaan
terasimilasi ke dalam masyarakat yang memiliki masalah sosial tadi,
dan ketika tidak ada lagi lembaga yang “menyuapi” dan membimbing
23
masyarakat yang memiliki masalah tadi, para wirausahawan sosial bisa
menggali potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian
dilakukan empowerment. Terakhir, aspek business, aspek ini digunakan
ketika dalam tatanan teknis prosedur pengelolaan lembaga, pengelolaan
value
added
untuk
potensi-potensi
lingkungan
serta
proses
pembentukan mental disiplin pada lembaga yang dibentuk.
Jika masalah sosial sudah dipandang sebagai komoditas,
sehingga perlu ditumbuhkembangkan kata sebagian orang yang
diuntungkan karenanya, maka Pekerja Sosial harus mengajarkan
kepada semua orang bahwa upaya penanganan masalah sosial adalah
juga komoditas yang harus ditumbuhkembangkan. Dengan globalisasi
dunia dewasa ini, masalah sosial tidak hanya bersifat lokal, regional,
dan nasional; melainkan berskala internasional. Lebih jauh lagi,
sesungguhnya pemecahan masalah hanyalah bagian kecil dari praktik
Pekerjaan Sosial karena tujuan sesungguhnya adalah pengembangan
diri manusia (human investment).
Dalam kewirausahaan sosial hal yang paling penting dilakukan
adalah dalam hal pelaksanaan pengembangan diri dari masyarakat itu
sendiri, yaitu sikap mental para pelaksana dan bagaimana caranya agar
mental berusaha dan berjuang dapat embodied ke dalam objek sasaran
program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Terlepas dari
betapa peliknya penyelesaian masalah bangsa ini, mudah-mudahan
kewirausahaan sosial dapat menjadi solusi alternatif yang dapat lebih
bermanfaat bagi bangsa ini kelak.
24
DAFTAR PUSTAKA
Bornstein, David, 2006, Mengubah Dunia; Kewirausahaan Sosial dan
Kekuatan Gagasan Baru, Jakarta : Kerjasama Yayasan Nurani
Dunia dengan INSIST Press
Boyer, Robert, “Menanam Kembali Ekonomi ke Dalam Proses Sosial”,
Jakarta: KOMPAS, Jumat, 14 Juli 2006.
Braun, Karen, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an
Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2.
British
Council,
Skills
www.britishcouncil.or.id
for
Social
Entrepreneurs,
C. Korten, David, 1982, Pembangunan Berpusat pada Manusia,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
John Elkington & Pamela Hartigan, The Power of Unreasonable
People: How Social Entrepreneurs Create Markets That
Change the World Chapter 1: Creating Successful Business
Models. USA: Harvard business school press.
Karen Braun, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an
Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2.
Kirdt – Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr, 1993,
Understanding generalist Practice, Nelson-Hall Publishers:
Chicago, USA.
Matin, Roger L. & Sally Osberg, 2007, Social Entrepreneurship: The
Case for Definition, Leland Stanford Jr. University
Pincus, Allan dan Anne Minahan, 1973, Sosial Work Pratice: Model
and Methode, Illinois – USA : FE Peacock Phubliser Inc.
Suradi, 2001, “Model Generalis dalam Praktek Pekerjaan Sosial:
Intervensi Sosial Berpusat pada Masalah”, Informasi Kajian
25
Permasalahan dan Usaha Kesejahteraan Keluarga, Vol 6 Nomor
2, Puslitbang Kesejahteraan Keluarga, Jakarta.
V. Winarto, 2008, Membangun Kewirausahaan Sosial: Meruntuhkan
dan Menciptakan Sistem secara Kreatif, Pascasarjana
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
26
TOPIK 2
KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Kesejahteraan
Sosial,
Sumbersumber
Kesejahteraan Sosial,
fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial
KEGIATAN BELAJAR 2: Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja
Sosial
KEGIATAN BELAJAR 3: Praktik Pekerjaan Sosial Generalis
27
KEGIATAN BELAJAR 1
Konsep
merupakan
satu
atau
sekumpulan
kata
yang
mengandung satu gagasan. Beberapa konsep dasar akan dikemukakan
dalam bagian ini mengingat pengertian konsep-konsep tersebut dalam
lingkup bidang kesejahteraan sosial di Indonesia masih sangat beragam
tergantung sudut pandang yang merumuskannya.
1. KESEJAHTERAAN SOSIAL
Dengan menggunakan pengertian dasar dari konsep ‘sosial’
yang merupakan kata kunci dari konsep kesejahteraan sosial, yaitu
‘hubungan antar manusia’, maka konsep Kesejahteraan Sosial dapat
dipandang dari empat sisi, sebagai berikut:
1) Sebagai Suatu ‘Sistem Pelayanan Sosial’.
Elizabeth
Wickenden
(dalam
Friedlander,
1974:4)
mendefinisikan Kesejahteraan Sosial, sebagai :” a system of
laws, programs, benefits, and services which strengthen or
assure provision for meeting social needs recognized as basic
for the welfare of the population and for the functioning of the
social order”.
(suatu
sistem
perundang-undangan,
kebijakan,
program,
pelayanan, dan bantuan; untuk menjamin pemenuhan kebutuhan
sosial yang dikenal sebagai kebutuhan dasar bagi kesejahteraan
manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial secara lebih
baik)”. Dari definisi tersebut dapat difahami tiga hal, sebagai
berikut:
28
a. Konsep pelayanan sosial (bidang praktik Pekerjaan Sosial)
mencakup aktivitas yang sangat luas, mulai dari perundangundangan
sosial
sampai
kepada
tindakan
langsung
Sosial’
berbeda
dengan
kebutuhan
sosial
pemberian bantuan.
b. Konsep
‘Kesejahteraan
‘kesejahteraan’.
Terpenuhinya
(kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar
bagi terciptanya ‘kesejahteraan’ (sebagai keadaan yang baik
dalam semua aspek kehidupan manusia).
c. Pada tingkat masyarakat, kesejahteraan sosial berarti
terdapatnya ketertiban sosial (social order) yang lebih baik.
Walter A. Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan
sosial adalah: “Sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan
lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu
maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang
dapat
memungkinkan
kemampuan
mereka
mereka
mengembangkan
secara penuh,
serta untuk
kemampuanmempertinggi
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga
dan masyarakat.” (Walter A. Friedlander, Introduction to Social
Walfare, 2nd.ed., Prentice-Hall of India (private) Limited, New Delhi,
1967)
Bahkan
karena
begitu
pentingnya
upaya
mewujudkan
kesejahteraan sosial, maka negara kitapun memiliki Undang-undang
yang secara khusus mengatur hal ini, yaitu Undang-undang nomor 6
Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahtearan Sosial
yang memaparkan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata
29
kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang
diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan
batin,
yang memungkinkan
bagi
setiap
warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga, serta masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia
sesuai dengan falsafah negara kita, yaitu Pancasila.
Berdasar pada kedua pengertian kesejahteraan sosial tersebut di
atas, maka tak salah dan tak heran jika semua orang ingin hidupnya
sejahtera, dan bahkan salah satu tujuan penyelenggaraan negarapun
adalah ingin menyejahterakan rakyatnya.
Dengan
melihat
kondisi
tersebut,
maka
upaya
untuk
mewujudkan kesejahteraan sosialpun sejatinya dilakukan oleh semua
pihak, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society, hal ini
bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui
kebijakan dan program yang bermitra pelayanan sosial, penyembuhan
sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
Gerakan
membangun
dan
memberdayakan
masyarakat
memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan isu-isu lokal
dan global. Istilah pembangunan kesejahteraan sosial yang dimaksud
secara sektoral merupakan bagian dari konsep pembangunan sosial
yang di Indonesia mencakup bidang pendidikan, kesehatan, perumahan
dalam arti luas.
Pembangunan
kesejahteraan
sosial
didefinisikan
sebagai
pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup masyarakat melalui peningkatan modal ekonomi (economic
capital), manusia (human capital), kemasyarakatan (societal capital),
30
dan
perlindungan
berkesinambungan.
(security
Kata
capital)
kunci
secara
peningkatan
terintegrasi
modal
dan
ekonomi
masyarakat adalah tumbuhnya mata pencaharian (livelihood) yang
memungkinkan mereka mampu memperoleh dan mengelola aset-aset
finansial dan material. Dengan demikian, pada gilirannya, mereka
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar
kemanusiaan yang layak dan berkelanjutan.
2) Sebagai Suatu Disiplin Keilmuan.
Sebagai suatu disiplin keilmuan, kesejahteraan sosial tidak
dapat (dan tidak mungkin) mengkaji semua aspek kehidupan manusia,
melainkan harus menentukan dan membatasi kajian (focus of interest)
pada (hanya) satu aspek kehidupan manusia. Sebutan konsep ‘sosial’
dengan sendirinya telah membatasi sisi kajian ‘Ilmu Kesejahteraan
Sosial’ hanya terhadap aspek kehidupan sosial manusia dengan segala
perangkat sistem sosial dan dinamikanya.
Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan betapa mendasar
dan rumitnya masalah-masalah sosial di Indonesia dan betapa tidak
mungkinnya masalah-masalah tersebut ditanggulangi dengan sekedar
berbekal ’niat-baik’ di antara sesama warga masyarakat. Untuk
mengoperasionalkan ’niat-baik’ tersebut dibutuhkan suatu bidang
kajian keilmuan (ilmiah) yang akan mendasari suatu bidang keahlian
dalam praktiknya. Dari sudut ini, maka konsep kesejahteraan sosial
dipandang sebagai sebuah bidang kajian keilmuan yang ditujukan
untuk mengkaji, mengantisipasi keadaan dan perubahan kehidupan
sosial, serta merumuskan alternatif tindakan guna menciptakan situasi
31
kehidupan sosial yang kondusif bagi upaya warga masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri.
Sebagai sebuah cabang disiplin keilmuan, maka kesejahteraan
sosial harus memiliki satu sudut kajian ---yang merupakan ’domain’
(wilayah) keilmuannya--- terhadap manusia sebagai objek kajiannya;
dalam perbandingan dengan cabang-cabang ilmu yang juga mengkaji
dan ’melayani’ manusia seperti psikologi, kedokteran, ekonomi,
hukum. Adapun sudut kajian yang membedakan bidang kesejahteraan
sosial dari bidang-bidang keilmuan lainnya terletak pada konsep
”sosial”, yang pengertian dasarnya adalah hubungan (interaksi)
antarmanusia.
3) Sebagai Suatu Keadaan Hidup.
Pengertian konsep kesejahteraan sosial yang telah digunakan
selama ini telah menjadikan batasan konsep tersebut menjadi rancu dan
kabur (out of focus) karena diartikan terlalu luas. Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) mendefinisikan kesejahteraan sosial, sebagai berikut:
”Kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan yang sejahtera, baik secara
fisik, mental, maupun sosial; dan tidak hanya perbaikan-perbaikan dari
penyakit-penyakit sosial tertentu saja”.
Apabila dikaji, definisi tersebut di atas memiliki dua
kelemahan, yaitu:
a. Definisi konsep lebih luas daripada konsep yang didefinisikan.
Aspek sosial hanyalah salah satu bidang kehidupan manusia,
tetapi didefinisikan mencakup seluruh aspek kehidupan.
b. Karena tidak fokus, maka menimbulkan kesulitan/ kerancuan
pemahaman tentang kesejahteraan sosial beserta perangkat
32
keahlian dan pendidikannya, seperti Pekerjaan Sosial, Pekerja
Sosial, pelayanan sosial, dan seterusnya.
Jika diajukan pertanyaan kepada orang sekarang, bagaimana
menggambarkan kesejahteraan sosial; rasanya banyak yang akan
menjawab dengan gambaran ’orang kaya’. Kesejahteraan (sosial)
dengan kemakmuran merupakan dua konsep yang sangat berbeda. Jika
keduanya dipandang sebagai kondisi kehidupan, misalnya; lalu
diajukan pertanyaan, menurut dokter (ilmu kedokteran), orang yang
sejahtera itu yang bagaimana? Jawabannya sering tersirat dalam tulisan
di meja resepsionis praktik dokter: ”Health is not everything, but
without it, everything is nothing”. Ada lagi peribahasa jaman dulu
“men zana in corpore sano” (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa
yang sehat). Tidak pelak lagi, bagi dokter, orang yang sejahtera adalah
orang yang sehat badannya (walaupun untuk jaman sekarang, sangat
tidak pasti sehat pula jiwanya).
Jika pertanyaan serupa diajukan kepada ahli ekonomi, maka
jawabannya, orang yang sejahtera adalah yang dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya, memiliki tabungan (saving), dan mungkin
ditambah, memiliki utang (karena hanya yang memiliki jaminanlah
yang bisa berutang), makin besar utangnya makin sejahtera (seharusnya
makin
besar
zakatnya,
makin
sejahtera);
dalam
konteks
ini
kesejahteraan dipertukargunakan dengan kemakmuran. Jika ditanyakan
pertanyaan yang sama kepada psikolog, maka jawabannya, orang
sejahtera itu adalah orang yang tidak mengalami gangguan mental
(jiwa).
Nah, jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Pekerja Sosial,
apa jawabannya? Kata kunci dalam kesejahteraan sosial dan Pekerjaan
33
Sosial adalah “sosial”. Secara mendasar dan sederhana, kata sosial
berarti hubungan antarmanusia. Inilah fokus kajian dan penanganan
Pekerjaan Sosial, sebagai bidang keahlian primer dalam bidang
kesejahteraan sosial. Bagaimanapun sebuah ilmu, sebuah keahlian
harus memiliki fokus pada salah satu aspek tentang manusia; walaupun
dalam kenyataannya, manusia merupakan sebuah sistem yang sangat
sempurna yang tidak bisa dipilah-pilah, dipisah-pisah elemen-elemen
yang menjadikannya.
Skidmore and Thackeray (1988:21) sepakat dengan pandangan
tersebut: ”All profession take cognizance of the wholeness of
individuals. However, because life is complex and science is
specialized, each profession must confine itself to some aspect of
human functioning as a focus of its efforts and activities”. Maka bagi
para Pekerja Sosial, tidak bisa tidak, manusia yang sejahtera adalah
manusia yang mempunyai kemampuan menjalin interaksi yang baik
dengan sesamanya; artinya kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia
terletak pada kualitas hubungannya dengan manusia-manusia lain;
bukan dilihat dari kekayaan, kesehatan, dan keadaan lain. Inilah esensi
dari kehidupan sosial yang terkandung dalam konsep silaturahmi.
Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
”Barangsiapa
yang
ingin
untuk
dilapangkan
rejekinya
dan
dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia suka bersilaturahmi”
(Riwayat Bukhari dan Muslim, dalam Ryadhus Shalihin, 1981:181)
artinya memutuskan silaturahmi akan menyulitkan dan mempersedikit
rejeki dan memendekkan umur.
Di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama
Islam, dalam nilai sosio-kultural yang bersumber pada ajaran agama
34
inilah praktik pemberian bantuan mulai tumbuh (dengan ajaran zakat
dan shodaqoh). Ini pula yang kemudian menjadikan pengertian kata
sosial cenderung berarti shodaqoh, atau dalam istilah umum, derma.
Seorang yang berjiwa sosial artinya dermawan, suka bagi-bagi rejeki.
Maka dalam konteks masyarakat yang semakin lebih suka menerima
daripada memberi, mengambil daripada menyerahkan, dan ukuran
kesejahteraan adalah pemilikan harta; kata sosial menjadi semakin
tidak populer, menjadi bahkan menyebalkan, karena berarti ’tidak
kaya’. Diterapkan sebagai karakteristik sebutan sebuah profesi,
menyebabkan profesi berlabel kata sosial susah populer. Cape-cape,
jauh-jauh, mahal-mahal sekolah sampai ke perguruan tinggi, ujungnya
kok cuma jadi tukang derma? Kapan kayanya?
Mengacu kepada pengertian konsep sosial seperti telah
dikemukakan terdahulu, maka kesejahteraan sosial mengacu kepada
“keadaan antar hubungan manusia yang baik, artinya yang kondusif
bagi manusia untuk melakukan upaya guna memenuhi kebutuhan
hidupnya secara mandiri”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan
beberapa hal, sebagai berikut :
a. Konsep ‘baik’ dalam antarhubungan manusia diukur dari
standar nilai-nilai sosial (social values) dan norma-norma
(norms) yang melandasi tatanan kehidupan bermasyarakat dan
perilaku warga masyarakat itu sendiri.
b. Konsep manusia, ditujukan baik kepada individu-individu,
maupun unit-unit sosial (kelompok, organisasi, maupun
masyarakat itu sendiri).
c. Bersifat kondusif, artinya bahwa hubungan sosial tersebut
berwujud dalam tatanan atau ketertiban sosial (social order)
35
yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
warga masyarakat untuk berusaha mencapai kesejahteraan
hidupnya.
d. Memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, artinya setiap
warga masyarakat dimungkinkan untuk melakukan upaya
dengan kemampuannya sendiri untuk dapat memenuhi berbagai
kebutuhannya sendiri, tanpa ketergantungan kepada pemberian
dari manusia lain; jadi bukan berarti setiap warga masyarakat
hidup sendiri-sendiri, melainkan hidup dalam keadaan saling
membantu (saling mendukung) upaya warga masyarakatnya
sesuai dengan posisi dan peran masing-masing di dalam
masyarakat.
4) Sebagai Suatu Tatanan atau Ketertiban Sosial (Social
Order).
Selaras dengan definisi Kesejahteraan Sosial pada point c)
terdahulu sebagai suatu tatanan atau ketertiban sosial, Kesejahteraan
Sosial didefinisikan dalam Undang Undang Republik Indonesia nomor
6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
pasal 1 ayat 1, sebagai berikut :
“‘Kesejahteraan Sosial’ ialah suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial, materiil, maupun spirituil, yang diliputi
oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin,
yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan
usaha
pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri,
keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak
asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.
Beberapa hal dapat disimpulkan dari definisi tersebut, antara lain:
36
a. Kesejahteraan
Sosial
dipandang
sebagai
suatu
tatanan
masyarakat.
b. Tatanan masyarakat tersebut bersifat kondusif bagi setiap warga
negara untuk melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidup
mereka.
c. Adanya interaksi yang tidak terpisahkan dan saling mendukung
di
antara
setiap
individu
warga
masyarakat
dengan
masyarakatnya.
d. Landasan nilai bagi tatanan masyarakat adalah nilai-nilai dasar
sosial budaya masyarakat itu sendiri (untuk masyarakat
Indonesia, dirumuskan dalam sila-sila Pancasila).
Dengan demikian, fokus kajian Kesejahteraan Sosial sebagai
suatu disiplin ilmu adalah komponen sosial dari kehidupan manusia
(interaksi sosial). Karena itu, dilihat dari perspektif tersebut, maka
dalam tingkat makro, hubungan antarmanusia ini berwujud dalam
hubungan antargolongan atau antarkelompok, atau antarmasyarakat itu
sendiri. Wujud konsep Kesejahteraan Sosial adalah pengadaan dan
penataan berbagai kebijakan sosial, perencanaan sosial, programprogram, dan penyelenggaraan berbagai pelayanan sosial; dalam rangka
penataan masyarakat itu sendiri yang bersifat saling mendukung
dengan upaya warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya.
2. SUMBER-SUMBER KESEJAHTERAAN SOSIAL
Kehidupan masnusia memiliki beragam kebutuhan yang mesti
dipenuhi agar mereka dapat hidup fungsional, kehidupan yang
37
memuaskan. Kebutuhan-kebutuhan itu terdiri dari tempat tinggal,
perawatan kesehatan, keamanan, kesempatan untuk tumbuh kembang
secara emosional dan intelektual, hubungan dengan lainnya, dan
pemenuhan kebutuhan spiritual. Biasanya, beberapa kebutuhan tersebut
bisa dipenuhi melalui sumber-sumber personal, atau dalam keluarga dan
jaringan pertemanan. Tetapi ketika sumber-sumber tersebut tidak sesuai
(tidak diperoleh), kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi melalui
mekanisme kemasyarakatan.
Sistem kesejahteraan sosial adalah mekanisme pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kurangnya dan atau bahkan tidak adannya
sumber-sumber keuangan untuk menyediakan kebutuhan dasar tersebut
dikenal dengan kemiskinan. Pada tulisan ini akan melihat sumber-sumber
dan pelayanan-pelayanan yang tidak diarahkan lengsung kepada
penyediaan keuangan yang menjadi sumber individu-individu dan
keluarga agar mereka memfungsikan anggota masyarakat.
Hal tersebut akan berkaitan dengan dengan dua konsep, social
support dan prevention. Pada tulisan ini juga akan mengungkapkan cara
mengklasfikasi sumber-sumber tersebut secara berbeda melalui fungsi dan
kerangka kehidupan. Hal ini akan berkaitan dengan kondisi dan sikap yang
mempengaruhi ketersediaan dan yang menghambat pemanfaatan sumbersumber dan pelayanan bagi mereka yang membutuhkan. Isyu daya
jangkau (accessibility) dan daya terima (acceptability) serta daya pakai
(usability) oleh kelompok-kelompok dengan berbagai karakteristik yang
berbeda juga akan dibicarakan.
38
1) Kebutuhan sumber-sumber
Dalam masyarakat kontemporer mekanismen yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Personal: diri sendiri, keluarga, teman, kolega kerja
b. Informal: penolong alami dalam masyarakat, kelampok
kemandirian (self-help groups), kelompok masyarakat arus
bawah (community grass-root groups), klub, dan kelompok
lainnya yang berfungsi secara informal
c. Institusional: sekolah, rumah sakit, dan organisasi formal
lainnya.
d. Kemasyarakatan: pelayanan, badan-badan, dan lembagalemabaga yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan khusus
masyarakat tertentu
Umumnya, orang pertama kali berupaya memenuhi kebutuhannya
dalam sistem sumber personal dan, jika hal tersebut tidak memungkinkan,
bergerak ke sistem sumber informal, institusional, dan akhirnya sistem
sumber kemasyarakatan (society). Sebagai contoh, jika seorang ayah
mencari informasi mengenai bagaimana mengatasi disiplin anaknya, dia
pertama-tama mungkin akan membicarakan permasalahan tersebut dengan
anggota keluarga atau teman. Jika tidak memperoleh solusi atas masalah,
dia mungkin akan mencari pada suatu sumber informasi seperti halnya
suatu kelompok orang tua yang sama-sama memikirkan hal tersebut. Jika
hal tersebut tidak mungkin atau tidak juga memperoleh solusi, dia
mungkin kemudian membicarakan hal tersebut dengan seorang guru atau
ahli agama. Akhirnya, setelah semua upaya tersebut gagal, dia mungkin
akan mencari badan sosial yang menyediakan pelayanan konseling bagi
orangtua.
39
Perubahan sosial menggerakkan masyarakat kita dari ekonomi
subsisten pada suatu ketergantungan yang sangat tinggi pada uang untuk
membeli makanan, tempat tinggal, pakainan, dan keperluan lainnya.
Perubahan dalam hal bagaimana orang memenuhi kebutuhannya untuk
kepentingan sosialisasi, intelektual, dan pertumbuhan emosional, dan juga
untuk kepentingan kepuasan hubungan, dari ketergantungan terhadap diri
dan keluarga (kebersamaan) terhadap ketergantungan pada jaringan sosial
yang lebih luas dan pada provisi kemasyarakatan. Misalkan, satu keluarga
memiliki tanggung jawab yang besar akan sosialisasi dan pendidikan
anak-anak mereka; sekarang mereka tergantung tidak hanya pada provisi
pendidikan umum kemasyarakatan tetapi juga pada beberapa sumber
masyarakat informal dan formal untuk melakukan fungsi tersebut. Studi
antropologi mengungkapkan bagaimana individu-individu tergantung pada
keluarga dan dengan perkumpulan untuk memperoleh bantuan, dukungan
dan sumber-sumber lain. Studi tersebut juga memperlihatkan bagaimana
perubahan tersebut akan mengganggu pola-pola ketahanan dan kelemahan
kapasitas penyesuian diri individu.
Dengan perubahan-perubahan tersebut memunculkan kebutuhankebutuhan atau pelayanan-pelayanan untuk membantu orang menghadapi
masalah keberfungsian sosial. Resources adalah apa yang individuindividu dan keluarga-keluarga butuhkan sehingga mereka mampu
melakukan peran dan tugas dibebankan terhadapnya oleh masyarakat dan
dapat mencapai kepuasan hidup secara layak. Services adalah sumbersumber yang menuntut aktivitas yang dilakukan seseorang dalam sistem
kesejahteraan sosial.
Salah satu faktor meningkatnya kebutuhan akan pelayanan
tersebut adalah mobilitas penduduk dan runtuhnya jaringan sumber40
sumber personal. Contoh, sebuah keluarga dengan dua orang anak yang
pindah sejauh seribu mil ke kota besar, di mana orang hanya mengenal
kolega-kolega kerjanya suami dan istri, tidak ada diantara mereka yang
memiliki anak-anak yang masih kecil. Salah seorang anaknya mulai sakit
parah dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Keluarga tidak hanya
dihadapkan dengan masalah anak sakit tetapi juga kebutuhan akan
perawatan tambahan anak lainnya. Keluarga tersebut mungkin belum
mengembangkan jaringan pertemanan (persahabatan) personal melalui
tetangga, klub, atau perkumpulan agama kepada siapa mereka dapat
membutuhkan dukungan bantuan. Kedua orang tua tersebut telah
mengalami tekanan emosional dalam penyesuaian dengan pekerjaan dan
kehidupan barunya. Keluarga ini membutuhkan bantuan dari suatu badan
sosial dalam menghadapai situasi tersebut, karena mereka mengalami
ketidaksesuaian jaringan personal dan minim akan kontak dengan dengan
sumber-sumber informal dan sumber-sumber lainnya.
Karena sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan yang sesuai
tidak tersedia untuk keluarga tersebut, hal tersebut membahayakan
keberfungsian sosial mereka yang akan timbul. Hal tersebut mungkin
berbentuk ketidaksesuaian peran orang tua, disfungsi perkawinan, atau
ketidakmampuan untuk berfungsi di tempat kerja, makin menyurut.
Penurunan keberfungsian kemudian dapat mengarah pada kebutuhan akan
sumber-sumber yang mahal, seperti halnya biaya pemeliharaan, konseling
psikologi, atau pelayanan-pelayanan berjangka panjang. Permasalahan
tersebut dapat menimbulkan kemerosotan lebih jauh lagi baik
keberfungsian individu dan keluarga.
41
2) Rentang Sumber
Suatu rentang pelayanan dan sumber yang banyak adalah
dibutuhkan bagi seseorang atau keluarga untuk memperoleh level
keberfungsian sosial yang optimal dalam masyarakat Indonesia.
Perubahan kebutuhan-kebutuhan khusus dari waktu ke waktu dari suatu
masyarakat ke masyarakat lainnya, tergantung pada luasnya rentang
lingkupannya. Rentang kebutuhan terdiri dari:
a. Economic: Wilayah kebutuhan ini termasuk pelatihan kerja,
konseling karier dan pencarian pekerjaan, konseling masalahmasalah yang berkaitan dengan pekerjaan, pelatihan dalam
mengelola keuangan dan perencanaan pensiun, serta informasi
mengenai di mana dan bagaimana memperoleh bantuan
keuangan. Dengan kata lain, dalam wilayah ini mencakup
pelayanan-pelayanan dan sumber-sumber tersebut yang juga
memungkinkan individu mampu secara ekonomi memenuhi
kebutuhannnya sendiri atau memberdayakan mereka untuk
menemukan
dan
memanfaatkan
cara-cara
alternatif
memperoleh kebutuhan ekonomi.
b. Parenting: Wilayah ini terdiri dari konseling orang tua – anak;
pelayanan dukungan bagi orang tua anak-anak dengan
kebutuhan khusus atau bagi orang tua yang tidak mampu untuk
melakukan peran orang tua secara mandiri; pelayanan
pendidikan difokuskan pada peran orang tua; dan perawatan
pengganti anak (day care atau foster care) bagi anak-anak
yang membutuhkan secara paruh waktu atau penuh waktu di
luar seting perawatan keluarga. Dengan kata lain, wilayah ini
mencakup semua pelayanan tersebut yang membantu orang
42
memenuhi kebutuhan tanggung jawab keorang-tuaan atau
yang menyedian alternatif perawatan anak.
c. Marital Relationship. Wilayah ini terdiri dari konseling
pranikah, konseling pernikahan, dan pelayanan bagi pasangan
yang akan bercerai. Pelayanan-pelayanan dalam wilayah ini
termasuk semua hal yang ditujukan untuk memperkuat
hubungan pernikahan atau hubungan orang mengatasi akibat
negatif dari putusnya hubungan perkawinan.
d. Interpersonal and community relationship: Wilayah ini terdiri
dari sumber-sumber yang memungkinkan orang berpartisipasi
secara bermakna di dalam kegiatan kelompok; pelayananpelayanan untuk membantu para pendatang baru menjadi
bagian bersama dengan masyarakat; aktivitas-aktivitas yang
menyediakan peluang atau kesempatan dalam kegiatan
religius, budaya, politik, dan kependidikan; serta aktivitasaktivitas sosial bagi anak-anak dan remaja. Hal tadi pelayananpelayanan yang menyedikan pendidikan dan pengalaman
dalam bekerja bersama satu sama lain, dalam suatu aktivitas
yang memuaskan secara personal dan juga meningkatkan
keberfungsian lingkungan.
e. Physically and mentally disabled persons: Wilayah ini terdiri
dari
pelayanan-pelayanan
pendukung,
sarana
latihan,
transportasi, rumah khusus, dan pelayanan perawatan dan
kesehatan khusus. Hal tersebut merupakan pelayananpelayanan yang memungkinkan orang cacat (tuna daksa)
memperoleh kepuasan hidup serta turut berperan serta
sebanyak mungkin dalam aktivitas kehidupan.
43
f. Schools, hopitals, and institutions: Pelayanan-pelayanan sosial
dalam institusi tersebut memungkinkan individu-individu
memanfaatkan secara maksimal lembaga, fasilitasnya, dan
personilnya. Pelayanan-pelayanan tersebut termasuk pelayanan
konseling dalam sekolah dan pekerja sosial sekolah dalam
seting medis. Hal tadi merupakan pelayanan-pelayanan
pendukung terhadap pelayanan utama lembaga dimana mereka
masuki.
g. Community organization: Hal tersebut merupakan pelayananpelayanan tidak langsung terhadap badan-badan, seperti halnya
penggalangan
dana,
mengkoordinasikan
keberadaan
pelayanan, memodifikasi pelayanan-pelayanan yang tidak
merespon secara efektif terhadap kebutuhan-kebutuhan yang
menjadi
tanggung
jawabnya,
serta
mengembangkan
pelayanan-pelayanan baru jika diperlukan.
h. Other services: Hal ini terdiri dari pelayanan-pelayanan
infromasi dan rujukan yang menghubungkan orang dengan
beragam sumber yang lebih luas, pelayanan-pelayanan
dukunga, pelayanan-pelayanan pemecahan-masalah untuk
menghadapi masalah pribadi dan lingkungan, pelayananpelayanan krisis (segera), dan konseling serta terapi bagi orang
yang mengalami kesulitan keberfungsian sosial. Pelayananpelayanan tersebut bertujuan pada kebutuhan pencegahan
terhadap pelayanan-pelayanan yang lebih mahal legi, seperti
pemeliharaan keuangan, institusionaliasasi, atau intervensi
terapis jangka panjang.
44
3. FUNGSI-FUNGSI KESEJAHTERAAN SOSIAL;
Sesungguhnya dalam definisi terakhir yang memancang
kesejahteraan sosial sebagai sebuah bidang kajian keilmuan, telah
terungkapkan fungsi-fungsi utamanya, yaitu :
a. Mengkaji keadaan sosial masyarakat
b. Mengantisipasi perubahan sosial masyarakat, dengan prediksi
terhadap chain-effectnya
c. Mengendalikan (mendorong atau menahan) perubahan sosial
pada masyarakat
Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, maka bidang kesejahteraan
sosial mempunyai tugas-tugas untuk :
a. Pengembangan ilmunya sendiri
b. Perumusan kebijakan-kebijakan sosial
c. Pengembangan pelayanan-pelayanan sosial
Sebagai profesi pemberian bantuan, maka makna Pekerjaan
Sosial untuk melakukan kegiatan bantuan sosial bukanlah Pekerjaan
Sosial sebagai kegiatan amal, melainkan menunjuk pada sebuah
disiplin dan pendekatan profesional. Pekerjaan Sosial diartikulasikan
sebagai profesi atau keahlian di bidang pertolongan kemanusiaan yang
didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang melalui
pendidikan formal dan pengalaman praktik aktual.
Sebagaimana peran dokter dalam sistem pelayanan kesehatan,
guru dalam sistem pelayanan pendidikan, maka Pekerja Sosial memiliki
peran sentral dalam sistem pelayanan sosial. Sebagai sebuah profesi
kemanusiaan, Pekerja Sosial memiliki seperangkat ilmu pengetahuan
(body of knowledge), keterampilan (body of skills), dan nilai (body of
45
values) yang diperolehnya melalui pendidikan formal dan pengalaman
profesional.
Ketiga perangkat
tersebut
membentuk
pendekatan
Pekerjaan Sosial dalam membantu kliennya.
Dalam garis besar, ada empat peran profesi Pekerjaan Sosial
dalam hal ini, yaitu:
1. Meningkatkan kapasitas orang dalam mengatasi masalah
yang dihadapinya. Dalam menjalankan peran ini, Pekerja
Sosial
mengidentifikasi
hambatan-hambatan
klien
dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pekerja Sosial juga
menggali kekuatan-kekuatan yang ada pada diri klien guna
mengembangkan solusi dan rencana pertolongan.
2. Menggali
dan
menghubungkan
sumber-sumber
yang
tersedia di sekitar klien. Beberapa tugas Pekerja Sosial yang
terkait dengan peran ini antara lain: (a). Membantu klien
menjangkau
sumber-sumber
yang
diperlukannya;
(b).
Mengembangkan program pelayanan sosial yang mempu
memberikan manfaat optimal bagi klien; (c). Meningkatkan
komunikasi diantara para petugas kemanusiaan; dan (d).
Mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pelayanan sosial
bagi klien
3. Meningkatkan jaringan pelayanan sosial. Tujuan utama dari
peran ini adalah untuk menjamin bahwa sistem kesejahteraan
sosial berjalan secara manusiawi, sensitif terhadap kebutuhan
warga setempat dan efektif dalam memberikan pelayanan sosial
terhadap masyarakat.
46
4. Mengoptimalkan keadilan sosial melalui pengembangan
kebijakan sosial. Dalam menjalankan peran ini, Pekerja Sosial
mengidentifikasi isu-isu sosial dan implikasinya bagi kehidupan
masyarakat. Kemudian, Pekerja Sosial membuat naskah
kebijakan
(policy
paper)
yang
memuat
rekomendasi-
rekomendasi bagi pengembangan kebijakan-kebijakan baru
maupun perbaikan atau pergantian kebijakan-kebijakan lama
yang tidak berjalan efektif. Selain itu, dalam melaksanakan
peran ini, Pekerja Sosial juga dapat menterjemahkan kebijakankebijakan publik ke dalam program dan pelayanan sosial yang
dibutuhkan klien (Brenda DuBois dan Karla Krogsrud Miley,
Social Work: An Empowering Profession, Boston : Pearson,
2005)
47
KEGIATAN BELAJAR 2
PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DAN PEKERJA
SOSIAL
Seperti bidang kehidupan lain, semuanya ada ahlinya sendirisendiri, misalnya kesehatan dengan dokter; teknologi dengan insinyur;
ekonomi dengan ekonom, psikologi dengan psikolog dan Psikiater;
maka bidang kesejahteraan sosial dengan Pekerjaan Sosial sebagai
profesi yang memiliki kewenangan keahliannya; dan Pekerja Sosial
sebagai
Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi dikembangkan sebagai
komponen praktis dari Kesejahteraan Sosial, yang menerapkan hasilhasil kajian Kesejahteraan Sosial tentang kehidupan sosial manusia.
Secara sederhana, Pekerjaan Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu
“Bidang keahlian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan
berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam
melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui proses interaksi; agar
orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara
memuaskan”. “The major focus is on reducing problems in human
relationships and on enriching living through improved human
interaction” (Skidmore and Thackeray, 1988:8).
Dari definisi tersebut, dapat ditarik makna sebagai berikut:
a. Pekerjaan Sosial dipandang sebagai sebuah bidang keahlian
(profesi), yang berarti memiliki landasan keilmuan dan seni
dalam praktik (dicirikan dengan penyelenggaraan pendidikan
tinggi). Dengan demikian, Pekerjaan Sosial dalam konteks ini
48
harus
dibedakan
dengan
‘kegiatan
sosial’
(charity/philanthrophy) yang dapat dilaksanakan oleh siapapun
yang memiliki keinginan untuk berbuat baik kepada sesamanya.
b. Para penyandang profesi Pekerjaan Sosial memilki kewenangan
sebagai akibat sosial dari pendidikan keahliannya, untuk
menyelenggaraan pelayanan sosial dalam semua bentuk dan
tingkatnya.
c. Keahlian khusus dalam profesi Pekerjaan Sosial adalah
manipulasi perilaku manusia (secara individual maupun dalam
unit sosial), yang ditujukan untuk meningkatkan keberfungsian
sosial manusia sebagai makhluk sosial.
Satu hal perlu digarisbawahi bahwa bidang garapan praktik
Pekerjaan Sosial adalah aspek sosial dari kehidupan manusia. Sebagai
konsekuensi logisnya, Pekerjaan Sosial menjadi sebuah profesi yang
syarat nilai, karena kata sosial dalam kehidupan manusia tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai (values) yang pasti ada dalam pergaulan
antarmanusia.
Pekerja Sosial, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
“orang
yang
memiliki
kewenangan
keahlian
dalam
menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial”. Dengan melihat
beberapa makna definisi Pekerjaan Sosial, maka dapat diketahui pula
bahwa kekhasan keahlian Pekerja Sosial adalah pemahaman dan
keterampilan dalam memanipulasikan perilaku manusia sebagai
makhluk sosial. Kata manipulasi, dalam penggunaan umum pada
masyarakat Indonesia telah diberi konotasi yang negatif karena
memang biasa digunakan untuk menunjuk kepada perbuatan negatif,
seperti manipulasi uang (korupsi), manipulasi sembako (penimbunan).
49
Sesungguhnya kata manipulasi berarti ‘menggunakan sesuatu sesuai
dengan kehendak pelaku (manipulator)’. Dalam konteks praktik
Pekerjaan Sosial, maka manipulasi tingkah laku manusia, berarti
mengubah perilaku manusia dalam kerangka tujuan praktik Pekerjaan
Sosial itu sendiri yaitu membantu orang untuk meningkatkan
keberfungsian sosialnya.
Kembali ke persoalan Pekerja Sosial sebagai profesi. Banyak
faktor yang menyebabkan orang belum mau menjadikan Pekerja Sosial
sebagai profesinya. Pertama, soal bonafiditas. Sebagian besar masih
menempatkan pekerjaan lain, misalnya Engineer, Banker, atau bahkan
Guru, jauh lebih bergengsi tinimbang menjadi Pekerja Sosial. Kedua,
alasan benefit. Salary yang didapat sebagai Pekerja Sosial tidaklah
besar, itu pun tergantung seberapa besar lembaga sosial tersebut.
Alasan ketiga, dan ini yang paling banyak mempengaruhi adalah soal
masa depan. Masa depan para Pekerja Sosial dianggap tidak jelas,
sangat tergantung dengan kontinuitas lembaga itu sendiri. Berakhirnya
lembaga itu, berakhir pula masa depannya.
Cobalah telisik, benarkah mereka yang bekerja sebagai Pekerja
Sosial itu orang-orang yang kalah bersaing dan tidak mendapatkan
tempat dalam pekerjaan lain? Ada anggapan seperti ini yang beredar di
masyarakat. Sesungguhnya tidak demikian, Pekerjaan Sosial adalah
sebuah profesi pilihan, seperti halnya orang lain memilih untuk menjadi
banker, engineer, dokter, arsitek, pengusaha dan lain sebagainya.
Selalu ada alasan bagi setiap individu untuk menentukan di mana dan
sebagai apa ia berkarir, begitu pula ketika seseorang memilih Pekerja
Sosial sebagai profesinya. Cobalah datangi langsung lembaga-lembaga
tersebut, orang-orang di dalamnya bukan sekadar lulusan SMA,
50
melainkan jebolan S1, S2 dan S3 dari perguruan tinggi terkenal dalam
dan luar negeri, dan kini menghuni lembaga sosial, sama halnya dengan
mereka yang bekerja di perusahaan besar dan menjalani profesi lainnya.
Padahal, ada nilai kemuliaan yang diusung oleh orang-orang
yang terjun langsung di lembaga sosial. Bahwa ada sebagian orang
yang tidak berorientasi nilai salary (upah) ketika ia mantap memilih
profesinya. Ketika kebutuhan untuk mengaplikasikan diri jauh lebih
tinggi dari kebutuhan dasar dan status sosial, dan disaat kesadaran
penuh keyakinan bahwa manusia yang paling baik adalah mereka yang
bermanfaat bagi orang lain.
Setelah berbicara panjang lebar mengenai keberadaan fenomena
Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi, mungkin muncul pertanyaan
dalam benak kita; makhluk apakah sebenarnya yang disebut-sebut
dengan Pekerjaan Sosial? Berikut akan dipaparkan beberapa konsep
mengenai pengertian Pekerjaan Sosial – yang dikemukakan oleh para
ahli – yang diharapkan dapat menjadi pegangan bagi kita dalam
memahami profesi Pekerjaan Sosial itu sendiri;
Allen Pincus dan Anne Minahan, mengemukakan definisi
Pekerjaan Sosial sebagai:
Social Work is concerned with the interactions between people
and their social environment which affect the abilility of people
to accomplish their life task, alleviate distress and realize their
aspirations and values.
Pekerjaan Sosial berurusan dengan interaksi antara orangorang dan lingkungan sosial, sehingga mereka mampu
melaksanakan
tugas-tugas
kehidupannya,
mengurangi
ketegangan, dan mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.
51
(Allen Pincus dan Anne Minahan Social Work
Practice:
Model and Methode, 1973:9 Itasca, Illinois: Peacock
Publishers)
Council on Social Work Education
in Curriculum Study,
mengemukakan pengertian Pekerjaan Sosial sebagai:
Social work seeks to enhance the social functioning of
individuals, singly and in groups, by activities focused upon
their social relationship which constitute the interaction
between man and his environment.
Pekerjaan Sosial bertujuan untuk meningkatkan keberfungsian
sosial individu-individu, baik secara individual maupun
kelompok, dimana kegiatannya difokuskan kepada relasi sosial
mereka
khususnya
interaksi
orang-orang
dengan
lingkungannya.
(dalam Rex A. Skidmore, Milton Thackeray, dan O William
Farley, Introduction to Social Work, 1988:6, New Jersey:
Simon & Scuster Englewood Cliffs).
Siporin, Max, menjelaskan pengertian Pekerjaan Sosial sebagai:
Social work is defined as a social institutional method of
helping people to prevent and resolve their social problems, to
restore and enhance their social functioning.
Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode institusi sosial
untuk
membantu
orang-orang
guna
mencegah
dan
menyelesaikan masalah sosial dengan cara memperbaiki dan
meningkatkan keberfungsian sosialnya.
(Siporin, Max Introduction to Social Work Practice, 1975:3)
52
Friedlander, Walter A. Dan Apte, Robert Z., memaparkan
definisi Pekerjaan Sosial sebagai:
Social Work is a professional service, based
on scientific
knowledge and skill in human relation, which help individuals,
groups, or communities obtain social or personal satisfaction
and interdependence.
Pekerjaan Sosial adalah pelayanan profesional yang didasarkan
pada pengetahuan dan keterampilan ilmiah guna membantu
individu, kelompok-, maupun masyarakat agar tercapainya
kepuasan pribadi dan sosial serta kebebasan.
(Friedlander, Walter A. Dan Apte, Robert Z, A Concepts and
Methods of Social Work, 1980:4)
Zastrow, Charles, menjelaskan definisi Pekerjaan Sosial sebagai
berikut:
Social work is the profesional activity of helping individuals,
groups, or communities to enhance or restore their capacity
for social functioning and to create societal conditions
favorable to their goals.
Pekerjaan Sosial adalah aktivitas profesional untuk membantu
individu, kelompok atau komunitas guna meningkatkan atau
memperbaiki
kapasitasnya
untuk
berfungsi
sosial
menciptakan kondisi masyarakat guna mencapai
dan
tujuan-
tujuannya.
(Charles Zastrow, Introduction to Social Welfare Institutions:
Social Problems, Service, and Current Issues. 1982 : 12)
Leonora
Scrafica-de
Guzman,
Pekerjaan Sosial sebagai:
53
memaparkan
pengertian
Social work is the profesion which is primaly concerned with
organized social service activity aimed to facilitate and
strengthen basic relationship in the mutual adjusment between
individual, and their social environment for the good of the
individual and society, by the use of social work method.
Pekerjaan Sosial adalah profesi yang bidang utamanya
berkecimpung
dalam
kegiatan
pelayanan
sosial
yang
terorganisasi, dimana tujuannya untuk memfasilitasi dan
memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara timbal balik
dan saling menguntungkan antar individu dengan lingkungan
sosialnya , melalui penggunaan metode-metode Pekerjaan
Sosial.
(Leonora Scrafica-de Guzman, Fundamentals of social work,
1983:3)
Berbagai pengertian Pekerjaan Sosial telah dikemuakakan di
atas secara beraneka ragam, tergantung dari sudut tinjauannya masingmasing. Namun demikian, dari keseluruhan definisi yang dikemukakan
mengenai Pekerjaan Sosial tersebut, dapat dikelompokkan secara garis
besar bahwa Pekerjaan Sosial dapat dipandang sebagai:
1.
Pekerjaan Sosial sebagai suatu seni dalam praktik, karena
dalam praktiknya Pekerjaan Sosial memerlukan keterampilanketerampilan yang tinggi guna memahami orang-orang lain
dan dalam membantu mereka agar memiliki kemampuan
untuk menolong diri mereka sendiri
2.
Pekerjaan Sosial sebagai suatu ilmu, karena memiliki metodemetode pemecahan masalah, dan karena dilakukan secara
objektif dalam menemukan dan memahami fakta-fakta, serta
54
dalam mengembangkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep
operasional
3.
Pekerjaan Sosial sebagai suatu profesi, karena pada masa
dewasa ini telah memiliki dan memenuhi syarat-syarat suatu
profesi.
Namun, Pekerjaan Sosial pun bukanlah “obat antiseptik” yang
bertujuan untuk membuat hidup ini menjadi “steril”, bebas sama sekali
dari tekanan dan ketegangan yang menimbulkan masalah-masalah, juga
tidak bertujuan untuk membebaskan orang dari tanggung jawabnya
terhadap masalah-masalah yang dialaminya, sehingga persoalannya
bukan terletak pada apakah orang mengalami masalah atau tidak,
melainkan terletak pada bagaimana cara yang digunakan orang tersebut
untuk mengatasi masalah-masalah yang dialaminya.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa karakteristik yang
membedakan Pekerjaan Sosial dengan profesi-profesi pemberian
bantuan lainnya adalah bahwa bidang kegiatan profesi Pekerjaan Sosial
terletak pada ruang lingkup segi sosial dari kehidupan manusia
(Katherine A. Kendall, Feflections on Social Work Education, IASSW,
New York, 1978)
Dengan berbekal berbagai definisi dan pengertian mengenai
profesi Pekerjaan Sosial tersebut di atas, maka profesi ini dapat kita
bedakan dengan kegiatan pemberian bantuan lainnya dan berbagai
kegiatan sosial lainnya yang dapat dilakukan kapan saja, oleh siapa
saja, dan di mana saja.
55
Untuk dapat lebih memahami keberadaan dan praktik profesi
pekerjaan
sosial
dalam
masyarakat,
berikut
akan
dipaparkan
perkembangan pengetahuan pekerjaan sosial dari masa ke masa:
Awal tahun 1920-an; Mary Richmond ‘social diagnosis’
perkembangan
sosiologi
sangat
mempengaruhi
praktik
pekerjaan sosial. Dikenal dengan masa scientific philanthropy.
Konsep assessment dan diagnosis mulai digunakan (medical
model)
1921-1930;
pengaruh
psikologi
sangat
kuat
khususnya
mengenai tahap perkembangan manusia. Konsep intervention
mulai menggantikan konsep treament.
1931-1945;
Gordon
Hamilton,
mengklarifikasi
konsep
diagnosis yang mengarah pada pada people in situation. Muncul
diagnostic approach dan functional approach dimana kedua
saling berbeda pendapat. Pengakuan group work dan community
organization sebagai metode pekerjaan sosial. Psikoanalisis
berpengaruh kuat.
1946-1960; Konsep psikoanalisis masih tetap dipakai. Helen
Harris Perlman dalam Social Casework: A Problem Solving
Process dengan konsepnya ‘a person with a problem comes to
place where a professional representatative helps him by a
given
process’.
Relationship)
1957,
Felix
menjelaskan
Biestex
hubungan
(The
Casework
bimbingan
sosial
perseorangan sebagai “the dinamic interaction of attitudes and
emotions between the caseworker and the client, with the
purpose of helping the client achieve a better adjusment
56
between himself and his environment”, ia juga mengidentifikasi
tujuh prinsip hubungan:
1. Individualization
2. Purposeful expression of feeling
3. Controlled emotional environment
4. Acceptance
5. Nonjudgmental attitude
6. Client self-determination
7. Confidentiality
1961-1975; pada masa ini sangat kaya dengan perkembangan
teori, makin banyaknya kemungkinan akan pelayanan baru,
bidang permasalahahan baru dan kelompok klien baru, serta
dengan menggunakan dengan cara yang baru. Tiga cara melihat
teori yang digunakan:
1. Kelanjutan perkembangan dari metode tradisional;
2. Perkembangan asli atau paduan pendekatan terpadu
dalam praktik
3. Perkembangan pendekatan baru dalam praktik, dengan
menggunakan asumsi baru atau pelayanan baru bagi
kelompok klien khusus.
1975-1990; merupakan era kekecewaan masyarakat terhadap
sistem kesejahteraan sosial.
1991-19…; paradigma generalist practice makin menguat
dengan diterbitkannya beberapa referensi mengenai paradigma
ini. Namun nampaknya masih mencerminkan turunan dari
profesi:
1. Assessment;
57
2. Person in situation
3. Process
4. Relationship; and
5. Intervention
Namun demikian terdapat tekanan yang begitu kuat bahwa
assessment berkenaan untuk intervensi berkerja bersama dengan
(with) daripada melakukan untuk (to) atau bagi (for) klien,
tekanan
akan orang dalam lingkungannnya,
pentingnya
hubungan, dan perhatian akan proses pada seluruh bidang
praktik sebagai jantungnya praktik pekerjaan sosial.
58
KEGIATAN BELAJAR 3
PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS
Persepsi tradisional pekerja sosial yang telah ada yaitu
caseworker, group worker, atau community organizer. Praktiknya para
pekerja sosial mengetahui bahwa peran-peran mereka lebih kompleks
daripada hal tadi; setiap pekerja sosial terlibat sebagai agen perubahan
(seseorang yang membantu dalam menyokong perubahan positif)
dalam bekerja dengan perseorangan, kelompok-kelompok, keluargakeluarga, organisasi, dan masyarakat yang lebih besar. Banyak waktu
yang dibutuhkan untuk beragam level tersebut dari pekerja sosial ke
pekerja sosial berikutnya. Tetapi setiap pekerja sosial, pada waktunya,
ditugaskan dan diharapkan berfungsi secara efektif pada semua level
dan dengan demikian membutuhkan pelatihan dalam hal itu semua.
Dewan Pendidikan Pekerjaan Sosial Amerika Serikat (CSWE,
The Council on Social Work Education)---lembaga akreditasi nasional
AS untuk program sarjana dan master dalam pekerjaan sosial--menuntut semua program sarjana dan master untuk melatih semua
mahasiswanya dalam praktik generalis. (Program MSW, selanjutnya,
biasanya menuntut mahasiswa untuk memilih dan mengkaji dalam area
konsentrasinya. Program tersebut umumnya menawarkan beberapa
konsentrasi, seperti terapi keluarga, administrasi, corrections, dan
pekerjaan sosial klinis.)
D. Brieland, L. B. Costin, dan C. R. Atherton menjelaskan dan
menggambarkan praktik generalis sebagai berikut:
The generalist social worker, the equivalent of the
general practitioner in medicine, is characterized by wide
59
repertoire of skills to deal with basic conditions, backed up by
specialists to whom referrals are made. This role is a fitting one
for entry-level social worker.
The generalist model involves identifying and analyzing
the interventive behaviors appropriate to social work. The
worker must perform a wide range of task related to the
provision and management of direct service, the development of
social policy, and the facilitation of social change. The
generalist should be well grounded in systems theory that
emphasizes interaction and independence. The major system
that will be used is the local network services...
The public welfare worker in a small county may be the
classic example of the generalist. He or she knows the reources
of the county, is acquainted with the key people, and may have
considerable influence to accomplish service goals, including
obtaining jobs, different housing, or emergency food and
clothing. The activities of the urban generalist are more
complex, and more effort must be expended to use the array of
resources.
(Praktik pekerjaan sosial sosial mirip dengan praktik
dokter umum, yang dicirikan dengan keluasan keterampilan
timbal balik untuk menghadapi kondisi dasar, dengan didukung
oleh spesialis malalui rujukan yang dibuat. Peran ini sangat
cocok untuk level awal pekerjaan sosial.
Model generalis meliputi mengidentifikasi dan
menganalisi perilaku intervensi yang sesuai untuk pekerjaan
sosial. Pekerja sosial harus menunjukkan seluas mungkin tugas
yang berkaitan dengan provisi dan pengelolaan pelayanan
langsung, pengembangan kebijakan sosial, dan menfasilitasi
perubahan sosial. Ahli generalis sebaiknya menempatkan teori
sistem yang menekankan interaksi dan ketergantungan. Sistem
utama yang akan digunkana adalah jaringan pelayanan lokal.....
Pekerja kesejahteraan umum di desa kecil mungkin
merupakan contoh klasik dari generalis. Dia yang mengetahui
sumber-sumber desa, mengetahui dan kenal dekat dengan
tokoh-tokoh kunci, dan yang mungkin perlu dipertimbangkan
pengaruhnya terhadap pemenuhan tujuan-tujuan pelayanan,
termasuk penciptaan pekerjaan, perumahan, atau tanggap
darurat makanan dan pakaian. Aktivitas dari generalis perkotaan
60
lebih kompleks lagi, dan makin banyak lagi usaha yang harus
dilakukan untuk mengurai sumber-sumber yang ada.)
G. Hull menjelaskan praktik generalis sebgai berikut:
The basic principle of generalist practice is that baccalaureate
social workers are able to utilize the problems solving process
to intervene with various size systems including individuals,
families, groups, organizations, and communities. The
generalist operates within a systems and person –inenvironment framework (sometimes referred to as an ecological
model). The generalist expects that many problems will require
intervention with ore than one system (e.g., individual work with
a delinquent adolescent plus work with the family or school)
and that single explanations of problem situations are
frequently unhelpful. Generalist may play several roles
simultaneously or sequentially, depending upon the needs of the
client (e. g., faciltator, advocate, educator, broker, enabler,
case manager, an/ or mediator). They may serve as leader/
facilitators of task groups, socializations groups, information
groups, and self-help groups. They are capable of conducting
needs assessments and evaluating their own practice and the
programs with which they are associated. They make referrals
clients when clients problems so dictate and know when to
utilize supervision from more experienced staff. Generalist
operate within the ethical guideilines prescribed by the NASW
Code Ethics and must be able to work with the clients,
coworkers, and colleagues from diferrent ethnic, cultural, and
professional orientations. The knowledge and skills of the
generalist are transferable from one setting to another and from
one problem to another.
(Prinsip dasar praktik generalis adalah bahawa para pekerja
sosial tingkat sarjana mampu menggunakan proses pemecahan
masalah untuk mengintervensi beragam ukuran sistem termasuk
individu-individu, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi, dan masyarakat. Ahli generalis beroperasi
dalam sebuah sistem dan kerangka person –in-environment
(seringkali merujuk pada sebuah model ekologis). Generalis
berharap bahwa banyak permasalahan akan menuntut intervensi
61
dengan satu atau banyak sistem (contoh, seseorang yang bekerja
dengan kenakalan anak ditambah dengan keluarga atau sekolah)
dan bahwa penjelasan tunggal dari situasi masalah seringkali
tidak membantu. Ahli generalis kemungkinan memainkan
sejumlah peran berbeda secara simultan atau per bagian,
tergantung kepada kebutuhan klien (misal, fasilitator,
pendamping, pendidik, broker, enabler, manajer kasus, atau
sebagai mediator). Mereka bertindak sebagai pemimpin/
fasilitator kelompok satuan tugas, kelompok sosialisasi,
kelompok informasi, dan kelompok bantu-diri. Mereka mampu
melakukan asesmen kebutuhan dan mengevaluasi praktiknya
sendiri dan program-program yang berkaitan dengannya.
Mereka membuat rujukan kepada klien ketika permasalahan
klien ingin bicara dan diketahui melalui supervisi dari staf yang
lebih berpengalaman. Ahli generalis bergerak dalam koridor etik
dan harus mampu bekerja dengan klien, pendukung, dan kolega
dari beragam etnik, budaya, dan profesi lainnya.)
Barker menjelaskan seorang pekerja sosial generalis sebagai berikut:
In social work, a practitioner whose knowledge and skills
encompass a broad spectrum and who assesses problems and
their solutions comprehensively. The generalist often
coordinates the efforts of specialists by facilitating
comunication between them, thereby fostering continuity of
care.
Dalam pekerjaan sosial, seorang praktisi yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan dengan spektrum yang luas dan
yang mengkaji masalah dan solusinya secara komprehensif.
Ahli generalis seringkali mengupayakan koordinasi dari
spesialis dengan memfasilitasi komunikasi diantara mereka,
sehingga memastikan keberlanjutan pemeliharaan / perawatan.
Direktur
Program
Sarjana
(The
Baccalaurate
Program
Director’s) telah menjelaskan praktik generalis yaitu:
Praktisi pekerjaan sosial generalis bekerja bersama individual,
keluarga, kelompok, masyarakat, dan organisasi dalam
beragam pekerjaan sosial dan setting rumahnya. Praktisi
62
generalis memandang klien dan sistem klien dari perspektif
kekuatan dalam rangka mengakui, mendukung, dan
membangun berdasarkan kapabilitas kehidupan manusia.
Mereka menggunakan proses pemecahan masalah profesional
untuk membangun hubungan,mengkaji, layanan broker,
mengadvokasi, membimbing, mendidik, dan mengelola bersama
dengan klien dan sistem klien. Kemudian, praktisi generalis
menciptakan hubungan dengan masyarakat dan pengembangan
keorganisasian. Akhirnya, praktisi generalis mengevaluasi hasil
pelayanan dalam rangka memperbaiki kelanjutan provisi dan
kualitas pelayanan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien.
Dewan Pendidikan Pekerjaan Sosial AS (CSWE) dalam Educational
Policy and Accreditation Standards telah menjelaskan praktik generalis
sebagai:
Generalist practice is grounded in the liberal arts and the
person and environment construct. To promote human and
social well-being, generalist practitioners use a range of
prevention and intervention methods in their practice with
individuals, families, groups, organizations, and communities.
The generalist practitioner identifies with the social work
profession and applies ethical principles and critical thinking in
practice. Generalist practitioners incorporate diversity in their
practice and advocate for human right and social and economic
justice. They recognize, support, an build on strenghts and
resilience of all human beings. They enggage in researchinformed practice and are proactive in responding to the impact
of context on professional practice.
Jantungnya praktik generalis meliputi (a) memandang situasi
permasalahan dalam lingkup konseptual the person-in-environment dan
(b) menyadari dan mampu mengintervensi pada beberapa level
berbeda, jika diperlukan, mengasumsikan sejumlah peran.
63
Proses Perubahan
Seorang pekerja sosial memanfaatkan a change process dalam
bekerja bersama klien, baik inividual, kelompok, keluarga, organisasi
dan masyarakat. Dewan pendidikan pekerjaan sosial AS (CSWE, 2008)
dalam Kebijakan Pendidikan dan Standar Akreditasi menjelaskan
praktik pekerjaan sosial sebagai berikut:
Praktik
pekerjaan
sosial
meliputi
proses
dinamis
dan
interaksional dari proses kesepakatan, asesmen, intervensi, dan
evaluasi pada setiap level. Para pekerja sosial memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk praktik bersama klien,
keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Pengetahuan
praktik
termasuk
mengidentifikasi,
menganalisa,
dan
mengimplementasi intervensi berbasis-bukti yang didisain
untuk mencapai tujuan-tujuan klien; memanfaatkan penelitian
dan kemajuan teknologi; mengevaluasi efektivitas hasil dan
praktik
program;
mengembangkan,
mengevaluasi,
mengadvokasi, dan menyediakan kepemimpinan bagi kebijkaan
dan pelayanan; serta mempromosikan keadilan dan sosial dan
ekonomi.
64
Daftar Pustaka
Allen Pincus dan Anne Minahan. 1973. Social Work Practice: Model
and Methode. Itasca, Illinois: Peacock Publishers.
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley. 2005. Social Work: An
Empowering Profession, Boston : Pearson.
Friedlander, Walter A. Dan Apte, Robert Z. 1980. A Concepts and
Methods of Social Work.
-----------. 1967. Introduction to Social Walfare, 2nd.ed., Prentice-Hall
of India (private) Limited, New Delhi.
Guzman, Leonora Scrafica-de. 1983. Fundamentals of social work
Kendall, Katherine A. 1978. Feflections on Social Work Education,
IASSW, New York.
Siporin, Max. 1975. Introduction to Social Work Practice. Prentice
Hall International Ed., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Skidmore, Rex A., Milton Thackeray, dan O William Farley. 1988.
Introduction to Social Work. New Jersey: Simon & Scuster
Englewood Cliffs
Zastrow, Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institutions:
Social Problems, Service, and Current Issues.
-----------. 2010. Introduction to Social Work and Social Welfare,
Empowering People. 10th Edition, Brooks/Cole.
65
66
TOPIK 3
LANDASAN PENGETAHUAN DALAM
PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1:
Keilmuan profesi pekerjaan sosial
dan profesi pertolongan lainnya
KEGIATAN BELAJAR 2:
Dasar pengetahuan pekerjaan sosial
KEGIATAN BELAJAR 3:
Kebutuhan pengetahuan
sosial saat ini
67
pekerja
KEGIATAN BELAJAR 1
1. KEILMUAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DAN
PROFESI PERTOLONGAN LAINNYA
Profesor Takahashi dari Jepang sebagaimana dikutip oleh
Robert M. Z. Lawang (2005) mengatakan bahwa:”pendekatan
disipliner seperti sosiologi, politik, psikologi, ekonomi, antropologi
atau apapun lainnya, sudah tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini.
Sebaliknya,
pendekatan
yang
berbasis
masalah
lebih
banyak
digunakan”. Artinya, kalau dalam kehidupan riil ada masalah, maka
konsentrasi kita harus tertuju pada usaha menggunakan ilmu apa saja.
Kalau saja yang merasa terusik dalam menata jalan pikirannya
tidak hanya seorang sosiolog, tetapi juga antropolog, psikolog, ekonom,
ahli politik dan ahli-ahli lainnya, dan semuanya sepakat bahwa ilmu
dan keahliannya berorientasi pada pemecahan masalah, maka ilmuilmu yang dikuasainya itu akan lebih memberikan sumbangan nyata
dan bermakna dalam pemecahan masalah. Tidak ada lagi batas hitam
putih antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lain.
Sebaliknya yang terjadi bahwa antar disiplin ilmu saling bersinggungan
dan berinteraksi secara sinergis, sehingga menghilangkan garis batas
yang ekstrem antar disiplin ilmu-ilmu tersebut.
Ilmu pekerjaan sosial tetap sebagai disiplin ilmu yang berdiri
sendiri karena memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan ilmuilmu sosial lainnya, yaitu pada art atau skill. Namun demikian pada
prakteknya, tidak dapat dipungkiri ilmu pekerjaan sosial masih
“meminjam” ilmu-ilmu sosial lain, seperti sosiologi, antropologi,
68
psikologi, ekonomi, dan politik dalam melakukan analisis secara
obyektif dan mendalam tentang hakikat masalah sosial.
Sebagai contoh, pekerja sosial yang akan memberikan
intervensi sosial kepada wanita tuna sosial, dimulai dengan melakukan
asesmen. Pada kegiatan asesmen ini akan dilakukan pengkajian dan
pemahaman masalah wanita tuna susila tersebut dari berbagai
perspektif. Sosiologi digunakan untuk memahami bagaimana interaksi
sosial didalam keluarga dan lingkungan sosialnya; antropologi
digunakan untuk memahami pola kebudayaan pada masyarakat dimana
wanita tuna sosial tinggal; ekonomi digunakan untuk memahamai
bagaimana kondisi ekonomi rumah tangga dan aksesibilitas terhadap
lembaga ekonomi; psikologi digunakan untuk memahami bagaimana
kondisi psikologis dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
tekanan pada aspek psikologis; serta politik digunakan untuk
memahami aspirasi politik dan tekanan politik si wanita tuna susila
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Namun demikian, diingatkan oleh Shulman (Tangdilintin,
1998), bahwa meminjam atau mengaplikasikan ilmu lain banyak
menolong, tetapi semakin lama semakin terasa, bahwa pada tingkat
aplikasi tertentu “meminjam” dapat menimbulkan kesulitan, dan juga
kadang-kadang teori atau konsep yang dipinjam itu tidak sesuai dengan
masalah yang menjadi prioritas.
Oleh karena ilmu pekerjaan sosial berorientasi pada pemecahan
masalah, maka ilmu pekerjaan sosial menjadi disiplin ilmu utama pada
lembaga yang menyelenggarakan pelayanan sosial. Sementara itu,
ilmu-ilmu sosial lainnya mendukung ilmu pekerjaan sosial tersebut,
terutama didalam melakukan assessment terhadap klien (individu,
69
kelompok, masyarakat) dan aspek-aspek yang mempengaruhi peran
sosial klien. Apa yang dimaksud oleh seorang Profesor Takahashi dari
Jepang sudah terjawab, bahwa ilmu pekerjaan sosial merupakan ilmu
yang relevan dengan situasi saat ini, karena ilmu pekerjaan sosial
berorientasi pada upaya pemecahan masalah.
Ilmu pekerjaan sosial adalah jawabanya, karena disiplin ilmu ini
menawarkan pendekatan yang berbasis masalah dengan dukungan
ilmu-ilmu sosial lainnya. Karena itu di kalangan akademisi, ilmu
pekerjaan sosial dikenal dengan disiplin ilmu terapan. Ilmu pekerjaan
sosial ada untuk kepentingan pemecahan masalah sosial pada saat ini,
dan mengantisipasi terjadinya atau kecenderungan terjadinya masalah
sosial di masa depan.
Perhatian profesi Pekerjaan Sosial adalah pada upaya pemberian
bantuan kepada orang untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam
melaksanakan fungsi sosial, kemampuan untuk mengadakan interaksi
dan berhubungan dengan orang lain. Namun demikian, terdapat pula
profesi-profesi lain yang juga bergerak dalam upaya pemberian bantuan
untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan akibat adanya
interaksi di antara orang yang satu dengan yang lainnya.
Profesi Pekerjaan Sosial mempunyai tujuan, fungsi, serta
kegiatan-kegiatan yang kadang-kadang tumpang tindih dengan profesiprofesi lainnya, yang juga bergerak dalam upaya pemberian bantuan
kepada orang (helping professions). Oleh karenanya, guna memberikan
kejelasan pemahaman mengenai profesi Pekerjaan Sosial, perlu
dilakukan tinjauan dari sisi lain pada profesi Pekerjaan Sosial, yakni
hubungan dan perbedaannya dengan profesi-profesi lain yang
70
seringkali tumpang tindih dengan profesi Pekerjaan Sosial dalam
pelaksanaan kegiatan profesionalnya.
Berikut ini akan dipaparkan perbedaan praktik yang dilakukan
oleh seorang Pekerja Sosial dengan profesi lainnya dalam memberikan
pertolongan:
1. Pekerja Sosial – Sosiolog
Bagaimana bidang keilmuan sosiologi dan Pekerjaan Sosial
berhubungan satu sama lain? Tidak dapat disangkal lagi, bahwa kedua
bidang keilmuan tersebut memiliki banyak persamaan dan perbedaan
dalam berbagai hal. Sosiologi telah didefinisikan oleh para ahli
sosiologi di Amerika Serikat, sebagai berikut: L.F. Ward menyatakan
bahwa sosiologi adalah ‘ilmu tentang masyarakat’, F.H. Giddings
mendefinisikan
sosiologi
sebagai
‘penelaahan
ilmiah
tentang
masyarakat’, A.W. Small mengatakan bahwa sosiologi adalah ‘suatu
penelaahan mengenai manusia yang mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh pergaulannya dengan manusia lain’. Cuber menjelaskan bahwa
‘sosiologi dapat didefinisikan sebagai suatu susunan pengetahuan
ilmiah
mengenai
antarhubungan
manusia’.
Gillin
dan
Gillin
menyatakan bahwa ‘sosiologi dalam pengertiannya yang luas dapat
dikatakan
sebagai
suatu
penelaahan
mengenai
interaksi
yang
ditimbulkan oleh adanya pergaulan di dalam kehidupan manusia’
(dalam Skidmore and Theckeray, Introduction to Social Work, 1964,
hlm.12 dan dalam Renny Sekarningsih, Pengantar Pekerjaan Sosial,
1992, hlm.55).
Sosiologi dan Pekerjaan Sosial keduanya menaruh perhatian
pada manusia, interaksi di antara manusia, serta pemahaman terhadap
71
interaksi tersebut. Berikut dipaparkan beberapa aspek yang dapat
membedakan antara profesi Pekerja Sosial dengan seorang sosiolog:
Tabel 1
Perbedaan antara Pekerja Sosial dengan Sosiolog
Bidang
profesi
Aspek Perbedaan
Perhatian dan Minat
Tujuan
Kegiatan yang
Dilakukan
Sosiolog
Pekerja Sosial
Para sosiolog terutama
menaruh perhatian pada
bagaimana, kapan, dan
mengapa manusia
bertingkah laku seperti yang
mereka lakukan di dalam
pergaulan dengan manusia
lain. Dengan kata lain,
seorang sosiolog terutama
menaruh minatnya pada
latar belakang interaksi
manusia.
Sosiolog mempunyai tujuan
untuk dapat menunjukkan
masalah-masalah sosial,
mengadakan penelitian,
serta melaksanakan segala
kegiatan yang mungkin
dilakukan untuk dapat
memahami interaksi di
dalam pergaulan manusia.
Sosiolog secara umum
menghabiskan seluruh
waktunya guna
mengadakan penelaahan,
pencarian, serta penemuan
fakta-fakta
Seorang Pekerja Sosial menaruh
minat pada pemahaman tentang
manusia, bagaimana mereka
bertingkah laku di dalam
pergaulan dengan manusiamanusia lain.
Pekerja Sosial terutama
bertujuan untuk melaksanakan
kegiatan guna membantu orang
untuk memecahkan masalahmasalah yang mereka alami,
untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam
melaksanakan fungsi sosialnya.
Pekerja Sosial berusaha untuk
dapat memahami klien,
membuat assesment setepat
mungkin, serta melaksanakan
kegiatan penyembuhan, yakni
membantu memecahkan
masalah-masalah yang dialami
klien dan mengadakan
perubahan situasi-situasi dengan
tujuan untuk menciptakan
penyesuaian yang lebih baik di
antara individu dengan individu
lain, dan di antara individu
dengan lingkungannya
Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa di dalam
melaksanakan kegiatan profesionalnya, Pekerja Sosial menggunakan
72
hasil-hasil penelaahan, penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh
sosiolog sebagai dasar pemahamannya terhadap manusia, terutama
dalam hal interaksi di antara manusia. Mengenai hal ini, Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa; “Sosiologi menyelidiki persoalanpersoalan umum dalam masyarakat, dengan maksud untuk menemukan
dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan,
sedangkan usaha-usaha perbaikannya merupakan bagian dari Pekerjaan
Sosial (social work)” (Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar,
UI-Press, Jakarta, 1981)
2. Pekerja Sosial – Psikolog
Tabel 2
Perbedaan antara Profesi Pekerja Sosial dengan Psikolog
Bidang Profesi
Aspek Perbedaan
Pusat Perhatian
Lapangan
Penyelidikan
Psikolog
Pekerja Sosial
Psikolog memusatkan
perhatiannya pada tingkah laku
manusia, terutama menaruh
minat pada ciri-ciri individual
(keunikan secara individu) dari
manusia, dan bertujuan untuk
memahami ciri-ciri khas
mereka serta tingkah laku
mereka
Lapangan penyelidikan
Psikolog hanya sampai kepada
diri klien sendiri dalam bidang
pengetesan dan pengukuran,
mempelajari faktor-faktor
biologis serta faktor-faktor
sosial yang berhubungan
dengan tingkah laku klien
sebagai seorang individu
Pekerja Sosial meletakkan pusat
perhatiannya pada kemampuan
orang untuk melaksanakan
fungsi sosialnya
73
Lapangan penyelidikan Pekerja
Sosial bukan hanya pada diri
klien dalam melaksanakan
fungsi sosialnya saja, tetapi juga
pada hubungan klien serta
penggalian dan penggunaan
sumber-sumber yang terdapat di
dalam masyarakat, guna
mengatasi masalah-masalah
pribadi dan masalah-masalah
sosial yang dialami kliennya
Psikolog dengan Pekerja Sosial seringkali bersama-sama
menjadi anggota suatu tim profesional, khususnya di dalam klinikklinik penyembuhan masalah-masalah sosial-psikologis serta lembagalembaga lain yang berkaitan dengannya. Namun demikian, banyak
orang bertanya-tanya mengenai tumpang tindih dan perbedaan di antara
kedua profesi tersebut. La Piere dan Fransworth menyatakan bahwa:
”Psikolog secara holistik menaruh minat pada sifat-sifat manusia secara
individual dan berusaha untuk menemukan proses-proses yang
terkandung di dalam penyesuaiannya dengan lingkungannya, unsurunsur penggerak dan proses-proses belajar, dan sebagainya” (Richard
T. La Piere and Paul R. Fransworth, Social Psychology, dalam
Skidmore and Thackeray, Introduction to Social Work, 1964, hlm.14).
3. Pekerja Sosial – Dokter / Paramedik
Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi pemberian bantuan,
salah satu bidang kajiannya adalah dalam hal kesehatan (Pekerjaan
Sosial Medis). Fokus Pekerjaan Sosial Medis adalah faktor-faktor
sosial yang dapat membantu penyembuhan klien (pasien) atau masalahmasalah sosial yang menyebabkan orang-orang menjadi sakit atau yang
menghambat seseorang menggunakan perawatan yang diberikan
kepadanya.
Dalam hal ini, seorang Pekerja Sosial dapat mengisi lapangan
pekerjaan dengan setting Rumah Sakit, yaitu sebagai seorang Pekerja
Sosial Medis. Pelayanan sosial yang diberikan oleh Pekerja Sosial di
Rumah Sakit bertujuan membantu mengatasi tekanan-tekanan yang
datang dari dalam dan dari luar diri pasien, baik yang berasal dari
kenyataan-kenyataan yang datang dari lingkungan tempat tinggal
74
pasien maupun yang disebabkan oleh sakit/penyakit dan perasaan
pasien sendiri. Tujuan dari bantuan tersebut adalah untuk membantu
orang-orang yang sakit dalam mengembangkan kemampuannya sendiri
dalam menggunakan perawatan medis, tidak hanya dalam proses
penyembuhannya saja, tetapi juga dalam proses pencegahan terhadap
penyakit dan dalam mempertahankan serta meningkatkan cara-cara
hidup yang sehat.
Adapun peranan seorang Pekerja Sosial Medis di Rumah Sakit
adalah
membantu
dokter
dalam
mendiagnosa
dan
proses
penyembuhan/pengobatan dengan cara meneliti pasien dan kondisi
sosialnya serta menganalisis tingkah laku pasien dan kondisi dalam
lingkungannya. Selain itu, Pekerja Sosial Medis pun membantu dokter
dengan mengorganisir sumber-sumber yang dapat dipergunakan di
dalam Rumah Sakit, lingkungan keluarga, dan masyarakatnya dalam
proses
penyembuhan,
agar
proses
pengobatan
medis
dapat
dilaksanakan secara efektif.
Berbicara mengenai proses pertolongan yang dilakukan oleh
seorang Pekerja Sosial Medis, maka salah satu hal yang menarik dan
perlu dipahami di sini adalah penggunaan istilah “diagnosis”. Adapun
proses
yang
dilakukan
oleh
seorang
Pekerja
Sosial
dalam
mengumpulkan, menilai dan mengkaji data yang diperoleh untuk
melakukan
proses
pertolongan
adalah
menggunakan
istilah
“assesment”. Berikut akan dipaparkan perbedaan antara istilah
“diagnosis” dan istilah “assesment”.
Diagnosis lebih mengarah kepada medical model yang
menganggap klien adalah pasien. Maka konsekuensinya dalah bahwa
segala masalah klien adalah berasal dari ‘dalam’ diri klien itu sendiri.
75
Tahun 1960-an, para Pekerja Sosial mulai mempertanyakan model ini,
mereka beranggapan bahwa faktor luar juga memiliki pengaruh yang
sama besar dengan faktor dalam. Pekerja Sosial mulai meng-asses
masalah dengan melihat klien dalam situasi mereka daripada
mendiagnosis apa yang terjadi di dalam klien itu sendiri.
Mengenai perbedaan antara istilah “diagnosis” dan istilah
“assesment”, minimal terdapat empat perbedaan di antara kedua istilah
tersebut, yaitu;
a. Lingkungan mikro (diri klien sendiri) dan lingkungan mezzo
(keluarga dan orang-orang terdekat) dari diri klien memiliki
pengaruh yang sama kuatnya dengan lingkungan aspek
mikronya, ketika mencoba memahami situasi klien
b. Ketika didapatkan bahwa masalah berasal dari luar klien, bisa
saja target perubahannya adalah hal yang berada di luar diri
klien tersebut, sehingga usaha yang dilakukan adalah untuk
mengubah faktor yang berada di luar diri klien tersebut.
c. Pada istilah diagnosis, klien adalah target perubahan, sedangkan
pada istilah assesment, para Pekerja Sosial Medis bekerja
dengan klien bukan untuk/pada klien (working with, not on
client), sehingga dalam proses pertolongannya, Pekerja Sosial
bekerja sama dengan klien, dan peran serta klien amat
dibutuhkan serta dapat menentukan proses kesembuhan diri
klien sendiri.
d. Diagnosis cenderung hanya melihat pada masalah yang ada
dalam diri klien, sedangkan pada assesment, selain melihat pada
masalahnya, juga menekankan pada apa kekuatan klien.
76
4. Pekerja Sosial – Konselor
Banyak orang mencampuradukkan peranan dan fungsi-fungsi
konselor
dengan
peranan
dan
fungsi-fungsi
Pekerja
Sosial,
sebagaimana terdapat banyak sekali macam konselor, namun di sini
hanya akan dikemukakan tiga macam konselor, yakni konselor di
sekolah, konselor perkawinan, dan konselor dalam rehabilitasi, serta
perbedaannya dengan peran dan fungsi seorang Pekerja Sosial.
Tabel 3
Perbedaan antara Profesi Pekerja Sosial dengan Konselor
Bidang Profesi
Aspek
Perbedaan
Pendidikan dan
Keilmuan
Konselor
Pekerja Sosial
Konselor Sekolah :
- Mendapat latihan atau
pendidikan dalam bidang
psikologi pendidikan
- Bekerja menghadapi para
pelajar dalam jangka waktu
yang singkat, membantu siswa
terutama dalam hal pemilihan
lapangan pekerjaan serta dalam
memecahkan masalah-masalah
yang berhubungan dengan
persoalan akademis
- Konselor di sekolah juga dapat
menggunakan pengetesan untuk
memperoleh manfaat dari
berbagai situasi yang
dihadapinya
Konselor di bidang perkawinan :
- Menerima latihan dasar dari
sepuluh bidang studi pokok,
yang salah satu di antaranya
adalah Pekerjaan Sosial, ia
kemudian memerlukan
pengalaman klinis secara
terbimbing
- Konselor biasanya melakukan
konsultasi singkat dengan
kliennya.
- Konselor menaruh minat
terutama pada faktor-faktor
Pekerja Sosial cenderung
bekerja secara lebih intensif,
menghadapi klien dalam jangka
waktu yang lebih lama, lebih
memusatkan perhatiannya pada
antarhubungan keluarga, serta
menggunakan sumber-sumber
yang terdapat di dalam
masyarakat
77
- Di satu pihak dapat
dikatakan bahwa Pekerjaan
Sosial merupakan suatu
bagian dari konseling
masalah-masalah
perkawinan. Di lain pihak,
konseling masalah-masalah
perkawinan merupakan
salah satu bagian penting
dalam Pekerjaan Sosial.
Perbedaan di antara
keduanya timbul pada
variasi di dalam latihan dan
yang menyangkut pekerjaan
(lapangan pekerjaan)
Konselor dalam upaya rehabilitasi :
- Mendapat latihan dan/atau
pendidikan dalam bidang
psikologi pendidikan
- Memiliki keterampilan dalam
menggunakan atau melakukan
pengetesan
- Memfokuskan perhatian serta
kemampuannya pada individu
- Konselor biasanya melakukan
konsultasi singkat dengan
kliennya.
pendidikan, serta
pengalaman-pengalaman
profesional.
- Pekerja Sosial biasanya
memberikan bantuan
terhadap pemecahan
masalah-masalah keluarga,
dengan kasus yang lebih
sedikit, dan bekerja dengan
klien-klien secara lebih
intensif
Pekerja Sosial khususnya
memberikan bantuan dengan
sentuhan perasaan-perasaan
terhadap pemecahan masalahmasalah pribadi, sosial, dan
emosional.
5. Pekerja Sosial – Psikiater
Seorang Pekerja Sosial bukanlah seorang Psikiater tanggung.
Peranan-peranan Pekerja Sosial dan Psikiater tentunya berbeda.
Namun, keduanya dapat bekerja sama. Seorang Psikiater dan seorang
Pekerja Sosial seringkali harus bersama-sama menjadi anggota suatu
tim profesional, dan keduanya memberikan sumbangan yang berbeda
sesuai dengan bidang keahlian masing-masing, sehingga menghasilkan
suatu kegiatan profesional secara terkoordinasi.
Noyes dan Kolb mendefinisikan Psikiater sebagai suatu cabang
dari ilmu kedokteran yang berhubungan dengan hal-hal yang
menyangkut keturunan, dinamika-dinamika, manifestasi-manifestasi,
pengobatan
terhadap
penyakit
serta
pelaksanaan
fungsi-fungsi
kepribadian yang tidak diinginkan yang mengganggu kehidupan pribadi
78
individu atau mengganggu hubungannya dengan orang lain atau
hubungannya dengan masyarakat” (Arthur P. Noyes and Lawrence C.
Kolb, Modern Clinical Psychiatry, 1961, hlm.1)
Seorang Psikiater dan Pekerja Sosial mempunyai banyak
persamaan. Keduanya bekerja dengan orang-orang yang mengalami
masalah-masalah pribadi dan sosial. Keduanya membantu orang untuk
meningkatkan kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain.
Keduanya menaruh perhatian kepada kepekaan, dan kemampuan orang
untuk memahami dan mengarahkan perasaan-perasaan dan emosiemosinya.
Berikut dipaparkan beberapa aspek yang dapat membedakan
antara profesi Pekerja Sosial dengan seorang Psikiater:
Tabel 4
Perbedaan antara Profesi Pekerja Sosial dengan Psikiater
Bidang Profesi
Aspek Perbedaan
Cara Memandang
Permasalahan
Klien
Fokus Penanganan
Permasalahan
Penggunaan
Sumber di Luar
Diri Klien
Cakupan Klien
yang Dihadapi
Psikiater
Pekerja Sosial
Psikiater terutama
berhubungan dengan kedalam-an masalah-masalah
pribadi dan sosial
Psikiater menyelidiki dan
menangani motivasi bawah
sadar dan faktor-faktor di
dalam pribadi klien, terutama
bekerja guna mengadakan
reorganisasi kepribadian
secara individual.
Psikiater berhubungan dengan
pasien-pasien dengan dasar
ilmu kedokteran, memberikan
resep dan mengirimkan pasien
ke rumah sakit – jika
diperlukan –
Pekerja Sosial terutama
berhubungan dengan ke-luas-an
masalah-masalah pribadi dan
sosial
Pekerja Sosial mendayagunakan
sumber-sumber lingkungan dan
biasanya beroperasi di dalam
atau dengan tingkah laku yang
disadari oleh klien
Seorang Psikiater biasanya
menghadapi gangguangangguan mental perorangan.
79
Pekerja Sosial cenderung untuk
menggunakan keseluruhan
sumber-sumber di masyarakat,
kadangkala menggunakan
berbagai sumber materiil,
ekonomi, dalam memperbaiki
antarhubungan sosial
Pekerja Sosial lebih sering
bekerja menghadapi lembaga
perkawinan atau keluarga
sebagai suatu kesatuan daripada
Fokus Praktik
Psikiater menekankan kepada
dinamika-dinamika internal di
dalam pribadi orang dari
tingkah laku individu,
biasanya berupa gangguangangguan mental
menghadapi orang secara
perseorangan.
Pekerja Sosial terutama
menaruh minat pada
kemampuan orang untuk
melaksanakan fungsi sosialnya
yang mencakup faktor-faktor
sosial dan lingkungan
masyarakat, serta interaksiinteraksi di antara orang dengan
orang-orang lain, dan di antara
orang dengan lingkungannya.
Untuk lebih mudah memahami Pekerjaan Sosial dalam
kaitannya dengan bidang-bidang disiplin lain, kiranya perlu selalu
diingat bahwa Pekerjaan Sosial adalah suatu profesi, dan salah satu
karakteristik profesi adalah adanya suatu kerangka pengetahuan yang
mendasari praktiknya. Pekerjaan Sosial mengambil berbagai konsep,
dalil, hukum, maupun teori dari berbagai disiplin ilmu yang
mempunyai objek penelaahan atas manusia. Dengan dasar-dasar
pemahamannya terhadap manusia yang diperolehnya dari berbagai
disiplin ilmu yang lain, serta pertimbangannya terhadap nilai-nilai
sosial budaya yang berlaku ditempatnya melaksanakan praktik, dan
pemahamannya
terhadap
diri
sendiri;
maka
Pekerja
Sosial
melaksanakan praktik profesionalnya, yang seringkali dilakukan
melalui kerjasama, bahkan tumpang tindih dengan praktik-praktik
profesi-profesi lain.
80
KEGIATAN BELAJAR 2
DASAR PENGETAHUAN PEKERJAAN SOSIAL
Menurut Johnson & Schwartz (19951), dasar pengetahuan
(knowledge base) pengetahuan pekerjaan sosial umumnya terdiri dari:
1. Pengetahuan yang diperoleh dari ilmu alam, sosial, dan
perilaku;
2. Pengetahuan yang dikembangkan dari para pekerja sosial
sendiri
berdasarkan
pengalaman
dalam
melakukan
dan
membantu orang, dikatakan sebagai “pactice wisdom”;
3. Pengetahuan
yang
dikembangkan
melalui
upaya-upaya
penelitian.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut akan tidak ada relevansinya
kecuali kalau jika menggabungkannya dalam usaha pertolongan.
Selanjutnya Siporin (1975) menyatakan bahwa dasar pengetahuan
dapat dibagi menjadi dua bagian komponen praktik, pengetahuan
assessment dan pengetahuan intervensi. Pengetahuan assessment
memungkinkan pekerja sosial untuk menilai dan memahami perhatian
(urusan), kebutuhan, dan masalah-masalah manusia sesuai dengan
situasi
yang
mereka
hadapi.
Pengetahuan
intervensi
adalah
pengetahuan yang digunakan oleh pekerja sosial untuk melakukan
proses pemecahan masalah, yaitu membantu perseorangan, kelompokkelompok, atau masyarakat agar secara efektif mampu manghaapi
permasalahan.
Pengetahuan
intervensi
biasanya
spesifik
pada
permasalahan klien, seting lembaga, dan bidang praktik khusus.
Lebih lanjut Johnson & Schwartz menyatakan , seorang pekerja
sosial harus memperluas dasar pengetahuan namun tetap dengan
batasan pengetahuan sebagai berikut:
81
1. Pengetahuan mengenai perkembangan dan perilaku manusia,
yang menekankan suatu pandangan holistik manusia dan
dengan timbalbalik pengaruh lingkungan, termasuk pengaruhpengaruh sosial, psikologis, ekonomik, politik dan budaya.
Sumber utama dari bagian dasar pengetahuan ini diperoleh dari
kekuatan dan keluasan pendidikan yang ada. Hal ini termasuk:
a. Pengetahuan yang diperoleh dari ilmu-ilmu sosial dan
perilaku: sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, ilmu
politik, dan ekonomi
b. Pengetahuan yang diperoleh dari ilmu alam guna memahami
aspek-aspek fisik keberfungsian manusia; dan
c. Pengetahuan
yang
diperoleh
kemanusiaan
yang
membantu
melalui
studi
menjelaskan
dalam
kondisi
kemanusiaan dengan menjelaskan budaya filofosi, dan caracara berfikir dan berekspresi kondisi manusia.
2. Pengetahuan mengenai hubungan dan interkasi manusia. Di
sisni termasuk pengetahuan komunikasi manusia, pemahaman
orang-per-orang, keluarga, kelompok kecil, dan hubungan dan
interaksi kelompok-per-kelompok, sebagaimana juga hubungan
dan interaksi antara individu-individu, kelompok-kelompok,
dan organisasi dan kelembagaan masyarakat.
3. Pengetahuan mengenai teori-teori praktik pekerjaan sosial yang
sesuai (siap digunakan) dalam interaksi, proses pertolongan ,
serta metode dan strategi intervensi yang tepat untuk berbagai
situasi praktik.
4. Pengetahuan mengenai kebijakan dan pelayanan sosial,
termasuk pengetahuan profesional dan struktur kelembagaan
82
yang
menyediakan
pelayanan
terhadap
orang
yang
membutuhkan pertolongan, dan pengetahuan sejarah pergerakan
yang telah mempengaruhi kebijakan, dampak kebijakan sosial
terhadap keberfungsian manusia, dan peran pekerja sosial dalam
pengembangan kebijakan sosial.
5. Self-knowledge (pengetahuan diri), yang membuat sadar para
pekerja sosial dan melakukan tanggungjawab terhadap emosi,
nilai-nilai, sikap-sikap dan tindakan sendiri, ketika mereka
melakukan praktik profesional.
6. Pengetahuan khusus yang memungkinkan pekerja sosial bekerja
dengan kelompok populasi tertentu atau situasi praktik tertentu.
Pengetahuan ini termasuk klien, seting praktik, dan badan
pelayanan khusus.
Sedangkan Morales & Sheafor (1980) mengidentifikasi terdapat
lima jenis pengetahuan yang dibutuhkan oleh pekerja sosial, yaitu dasar
pengetahuan pekerjaan sosial umum, pengetahuan mengenai seting
praktik khusus, pengetahuan mengenai badan pelayanan khusus,
pengetahuan mengenai klien khusus, dan pengetahuan mengenai
kontak khusus. Sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
83
Luas
Pengetahuan Pekerjaan Sosial Umum
Pengetahuan Mengenai Seting Praktik Khusus
Pengetahuan mengenai
Klien Khusus
Pengetahuan
Ttg. kontak
Khusus
Mendalam
Gambar: Kebutuhan Pengetahuan Pekerjaan Sosial, Morales & Sheafor (1980)
84
Pengetahuan Dasar
Dari Umum ke Khusu
Pengetahuan Mengenai Badan
Pelayanan Khusus
Fungsi Kemasyarakatan
dan Tugas Sosial
Filosofi
Pengetahuan Dasar
Ideologi
Ilmu Terapan
Teori Praktik
Etika
Praktik
Prinsip-Prinsip
Basic
Model Pertolongan
dan Teori
Pendekatan
Teori
Khusus
Kegiatan
Teknikal
Praktik
Prinsip-Prinsip
Intervensi
Metode, Proses, Peran pertolongan
Keterampilan dan Gaya dalam
Assessment
Perencanaan
Intervensi
Evaluasi
Gambar 2. Model Praktik Pekerjaan Sosial Profesional, Siporin (1975)
Model praktik pekerjaan sosial profesional yang dikembangkan
oleh Max Siporin tidak terlepas dari pengertian pekerjaan sosial sebagai
‘constelltion of value, purpose, sanction, knowledge and methode’.
Praktik pekerjaan sosial secara umum mengacu pada pengetahuanpengetahuan berikut:
1. Perkembangan manusia dan karakteristik tingkah laku yang
menekankan pada kesatuan individu dan pengaruh timbal balik
85
dari manusia dan lingkungan totalnya – manusia, sosial,
ekonomi dan budaya.
2. Psikologi memberi dan menerima bantuan dari orang lain atau
sumber di luar individu.
3. Cara-cara dimana orang-orang berkomunikasi satu dengan yang
lainnya dan memberikan tanggapan terhadap perasaan terdalam,
seperti kata-kata, sikap dan kegiatan.
4. Proses kelompok dan efek dari proses kelompok terhadap
individu dan pengaruh timbal balik dari individu terhadap
kelompok.
5. Arti dan efek terhadap individu, kelompok dan masyarakat dari
warisan budaya termasuk agama, nilai spiritual, hukum-hukum
dan institusi sosial lainnya.
6. Hubungan, yaitu proses interaksional antara individu, antara
individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan
kelompok.
7. Masyarakat,
proses
internal,
mode
perkembangan
dan
perubahan, pelayanan sosial dan sumber dayanya.
8. Pelayanan sosial, struktur, organisasi dan metode-metodenya.
9. Diri sendiri, yang membuat seorang praktisi secara individual
mampu menyadari dan mengambil tindakan dan bertanggung
jawab terhadap emosi dan sikapnya sendiri sebagaimana kedua
hal tersebut mempengaruhi fungsi profesional pekerja sosial.
Tentu saja, kemampuan untuk berubah pada seseorang, tidak
termasuk lingkungannya, memerlukan penerapan pengetahuan yang
fleksibel. Karena ilmu pengetahuan mengenai manusia tidak pernah
86
usai atau pasti, pekerja sosial disarankan untuk mempertimbangkan
keadaan umum dan untuk
menyadari dan bersiap untuk berurusan
dengan tingkah laku manusia yang spontan dan tidak dapat
diperkirakan.
KEGIATAN BELAJAR 3
KEBUTUHAN PENGETAHUAN PEKERJA SOSIAL SAAT INI
Untuk menggambarkan pengetahuan dasar yang seharusnya
dimiliki seorang pekerja sosial saat ini, modifikasi rumus konseptual
yang dikembangkan oleh Kadushin cukup membantu. Rumusan ini
mengidentifikasi lima tingkat pengetahuan pekerja sosial yang harus
digunakan dalam proses pemberian bantuan. Pengetahuan ini berkisar
dari pengetahuan umum digunakan oleh semua profesi hingga
pengetahuan spesifik yang digunakan dalam berhubungan dengan
kelayan secara individual.
Dengan menggunakan kerangka dasar konseptual tersebut,
memungkinkan para pekerja sosial menguji pengetahuan dasar yang
digunakan oleh seorang praktisi pekerja sosial dalam sebuah setting
‘koreksi’ pada saat ia bekerja dengan kelayan tertentu. Analisis kasus
ini membantu mengidentifikasi pengetahuan dasar umum pekerjaan
sosial, pengetahuan mengenai setting praktik yang spesifik (koreksi),
pengetahuan mengenai
institusi tertentu (fasilitas penangkapan
tunasusila yang selalu siap), pengetahuan mengenai kelayan tertentu
(kejahatan pada anak perempuan), dan pengetahuan mengenai kontak
khusus/spesifik (wawancara awal).
87
1) Pengetahuan Umum Pekerjaan Sosial
Para pekerja sosial yang secara profesional dilatih / dididik
mungkin mendapatkan pengetahuan umum dasar pekerjaan sosial dari
program pendidikan pekerjaan sosial dikhususkan untuk memasuki
bidang garapan ‘koreksional’. Mata kuliah kurikulum di sekolah
pekerjaan sosial didapat dari lapangan, sebagaimana pula dengan
profesi dan bidang ilmu lainnya, untuk memberi siswa informasi halhal yang membentuk pengetahuan umum pekerjaan sosial. Pengetahuan
ini dikategorikan kedalam 3 daerah:
1. Kebijakan dan pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk mata
kuliah mengenai masalah sosial; pengembangan program dan
institusi untuk mencegah, menangani dan mengawasi masalah;
kekuatan dan pergerakan yang telah mempengaruhi tujuantujuan kesejahteraan sosial; akibat dari kebijakan sosial, dan
peranan pekerja sosial dalam menyusun kebijakan.
2. Tingkah laku manusia dan lingkungan sosial, termasuk mata
kuliah mengenai pertumbuhan manusia dan pengembangan
kepribadian (baik normal maupun abnormal); penyakit dan
kecacatan; norma dan nilai budaya, proses masyarakat dan
aspek-aspek lain dari fungsi sosial individu dan kelompok.
3. Metode-metode praktik pekerjaan sosial, termasuk metode
pelayanan
langsung
–
bimbingan
sosial
perseorangan,
bimbingann sosial kelompok dan pengorganisasian masyarakat
– dan metode-metode penelitian dan administrasi.
88
2) Pengetahuan Mengenai Bidang Praktik Spesifik
Pekerja sosial dipekerjakan di bidang ‘koreksional’ – probasi,
penjara atau parole (pengawas) – harus disatukan dengan tujuan-tujuan,
filosofi dan fungsi dari bidang tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Seseorang perlu mengetahui bahwa fungsi ‘koreksi’ adalah hukuman
pelaku kejahatan. Tipe hukuman mungkin hanya yang telah diatur oleh
hukum; penjara (pengurangan hak kebebasan), denda (pengurangan
kekayaan) dan kematian dan hukuman tertentu lainnya yang ada dan
diterima oleh masyarakat. Seseorang juga harus mengetahui keyakinan
umum dalam filosofi ‘koreksional’, hingga hukum yang tegas dan
penanganan ‘koreksional’ memiliki dua tujuan: penanganan terhadap
pelaku kejahatan dan perlindungan masyarakat. Kepercayaan umum
lainnya adalah bahwa penanganan pelaku kejahatan seharusnya di
individualisasikan, yaitu yang sesuai dengan pelaku kejahatan tertentu
saja.
Pekerja sosial juga seharusnya cukup mengenal teori-teori
krimonologi, yang mungkin dapat disatukan ke dalam 3 kategori: (1).
Teori biologikal dan konstitusional, seringkali disebut sekolah
kejahatan biologi, yang mencari alasan utama kejahatan dalam warisan
fisik dan mental manusia; (2) teori psikogenik, yang mencari karakter
antisosial sampai hubungan yang salah dalam keluarga dalam tahuntahun pertama kehidupan; dan (3) teori sosiologikal, yang berargumen
bahwa tekanan dan tarikan dari lingkungan sosial menghasilkan
kejahatan dan tingkah laku kejahatan. Teori-teori tersebut merupakan
teori yang dihasilkan pada awal abad 19, sementara, Cloward dan Ohlin
menyatakan bahwa anak laki-laki dari daerah kumuh kita tertarik
kepada budaya kejahatan pada saat mereka menyadari bahwa mereka
89
tidak memiliki akses untuk berhasil secara sah. Karena pekerja sosial
ditempatkan di bidang praktik tertentu – probasi – ia sudah seharusnya
memiliki pengetahuan lebih mengenai bidang tersebut daripada bidang
lainnya seperti sistem parole atau penjara.
3) Pengetahuan Mengenai Institusi Tertentu
Bagian probasi bertanggung jawab untuk pelayanan probasi
bagi orang dewasa dan anak-anak seperti yang diminta oleh pengadilan
atau pihak berwenang di suatu tempat. Institusi ini terhubung dengan
pengadilan
tapi
bukan
merupakan
cabang
dari
pemerintah;
pelayanannya termasuk mempelajari, menangani dan mengawasi para
tahanan yang mendapat probasi. Melalui institusi ini, masyarakat
mencoba memberikan bantuan ‘koreksi’ kepada para ‘tahanan’dan
melindungi
masyarakat
pada
saat
yang
bersamaan.
Karena
memenjarakan semua pelaku kriminal dipandang tidak ekonomis, tidak
sosial, probasi berperan untuk merehabilitasi orang-orang yang dituduh
melakukan
kejahatan
dengan
mengembalikan
mereka
kepada
lingkungan masyarakat untuk beberapa waktu dengan mendapatkan
pengawasan.
Kebanyakan pelaku tindak kejahatan dapat dibimbing ke arah
kehidupan yang lebih berguna tanpa harus dikeluarkan dari keluarga,
pekerjaan atau masyarakat. Pekerja sosial seharusnya mengetahui dan
memahami undang-undang yang mengatur probasi dan pelayananpelayanan yang diberikan oleh bidang probasi. Fungsi pelayanan di
lapangan termasuk juga investigasi untuk membantu pengadilan
memutuskan hukuman yang sesuai pada tertuduh dan pengawasan
90
anak-anak dan orang dewasa yang ditempatkan di probasi oleh
pengadilan. Sebagai tambahannya, pekerja sosial harus memahami
fungsi pelayanan lain dari bidang probasi, seperti: (1) membantu para
anak-anak terlantar yang tidak dapat tinggal di rumah mereka masingmasing; (2) mengatur kelengkapan penahanan sementara; (3)
menyediakan fasilitas penanganan rehabilitasi institusional bagi remaja
nakal yang memerlukan penanganan di luar rumah.
Seperti dapat dilihat, ada sub unit khusus di bidang probasi yang
memerlukan pengetahuan khusus tambahan dari pekerja sosial. Pekerja
sosial pada contoh kasus berikut ini adalah dipekerjakan di pusat
pelayanan penempatan anak perempuan usia 13-17 tahun. Para anak
perempuan ini telah dituduh bersalah dan telah diperintahkan untuk
ditempatkan di ‘institusi’. Pekerja sosial mengetahui bahwa psikotis,
penggunaan obat terlarang dan perempuan lesbi tidak diakui di institusi
tersebut dan banyak anak perempuan yang ditempatkan di institusi
tersebut memiliki karakter dan tingkah laku menyimpang.
Karakter menyimpang dapat bervariasi mulai dari yang neurotic
hingga pembatasan tingkah laku karena sosiopatis. Dengan berbagai
tingkah laku tersebut, pekerja sosial harus memiliki pengetahuan
mengenai masalah tingkah laku (gejala) yang ditampilkan oleh para
anak
perempuan
tersebut,
seperti
kabur,
kenakalan
seks,
ketidakbiasaan, pengutil, pencuri mobil, dan penyerangan.
Pekerja sosial juga harus memahami fasilitas fisik, kebijakankebijakan, prosedur-prosedur program. Semua yang terlibat dalam
program ini mengadakan pertemuan rutin untuk membahas:
1. Jenis tingkah laku yang diharapkan dari tiap anak perempuan
dan cara mengatasinya
91
2. Setting tujuan prestasi selama tiap anak perempuan tersebut
mengikuti program
3. Pemilihan rencana penanganan untuk tiap anak perempuan
4. Cara terbaik bekerja dengan keluarga tiap anak perempuan
tersebut
5. Program sekolah yang diikuti, apakah akademis, pengulangan
atau kegiatan
Pekerja sosial harus tahu tentang rencana penanganan dan
sumber-sumber yang ditawarkan oleh institusi tersebut. Dalam contoh
kasus yang disebutkan, rencanan penanganan oleh institusi dibagi
kedalam 3 kategori luas, yaitu individu, kelompok dan terapi keluarga.
Mode-mode penanganan sering dikenal sebagai praktik pekerjaan sosial
langsung, yaitu pekerja sosial bekerja langsung pada perseorangan,
keluarga atau kelompok. Praktik pekerjaan sosial tidak langsung, yaitu
pekerja sosial bekerja secara tidak langsung membantu orang,
misalnya, dengan menyediakan konsultasi bagi orang-orang yang
terlibat secara langsung dalam membantu kelayan, dengan mengatur
institusi sosial, atau dengan membantu masyarakat mengembangkan
pelayanan sosial yang dibutuhkan.
Rencana penanganan alternatif yang ada dalam contoh kasus bisa jadi
individual, yaitu:
1. Bimbingan Sosial Perseorangan Intensif – berbagai pendekatan
penanganan diadopsi oleh pekerja sosial, dengan perubahan
pada intensitas dan frekuensi pertemuan.
92
2. Bimbingan Sosial Perseorangan dengan konsultasi pada
psikiatri – dalam beberapa kasus, pekerja sosial berkonsultasi
kepada seorang psikiatri jika ada kasus yang sulit.
3. Penanganan individual oleh seorang dokter – pada beberapa
contoh, banyak anak perempuan yang ditemui oleh seorang
psikiatri atau psikolog klinis, dengan peran pekerja sosial dalam
‘secondary setting’.
Tiga tipe penanganan kelompok yang juga ada dalam institusi tersebut
adalah:
1. Bimbingan Sosial Kelompok – sebuah kelompok yang terdiri
dari 8 hingga 10 anak perempuan yang fokus utamanya adalah
pada kegiatan yang membangun tanggung jawab dan hubungan
yang lebih baik diantara mereka dengan orang dewasa.
2. Penanganan kelompok – sebuah kelompok yang terdiri dari 6
hingga 8 anak perempuan, dibimbing oleh seorang konselor dan
pekerja sosial, yang mana tujuan utamanya adalah untuk
membantu para anak perempuan tersebut meraih kesadaran diri
yang lebih besar dan sebuah pemahaman mengenai tingkah laku
menyimpang mereka.
3. Terapi kelompok – kelompok terdiri dari 6 hingga 8 anak
perempuan, dibimbing oleh seorang psikiatri, psikolog klinis
atau seorang pekerja sosial, yang penekanan utamanya adalah
psikoterapi.
Sehubungan dengan terapi keluarga, seorang pekerja sosial harus tahu
bahwa keluarga adalah faktor kunci dalam proses penanganan masalah
dan setiap usaha seharusnya dibuat untuk melibatkan keluarga secara
aktif
dalam
program
penanganan
93
masalah.
Keluarga
dapat
berpartisipasi seminggu atau dua minggu sekali. Sehingga untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai keaktifan keluarga, struktur
keluarga dan jika kelayan berasal dari kelompok minoritas atau
kelompok etnis tertentu, merupakan suatu keharusan dan penting
diketahui oleh setiap pekerja sosial.
4) Pengetahuan Mengenai Kelayan Tertentu
Disaat segala hal yang berhubungan dengan praktik pekerjaan
sosial menjadi lebih spesifik, pekerja sosial sekarang perlu untuk
mengetahui lebih dekat kelayan yang diberikan kepadanya. Laporan
berikut ini yang digunakan sebagai contoh (nama, tanggal dan tempat
disamarkan) merupakan sebuah pengakuan yang cukup umum dan
laporan evaluasi intake ditulis oleh intake probation officer. Pekerja
sosial memerlukan laporan ini terutama pada saat kontak pertama kali
dengan kelayannya agar cukup siap dan mengetahui pelayanan apa
yang sesuai dengan kasusnya. Kontak pertama dengan pekerja sosial
tidak selamanya berarti merupakan permulaan penanganan masalah.
Sebenarnya, penanganan masalah dapat dimulai pada saat intake, ketika
institusi melalui pekerja intake nya, mencoba untuk membangun
sebuah hubungan kerja yang kooperatif dan positif dengan kelayan,
untuk memperkenalkan kelayan dengan peran ‘kelayan’ dan untuk
memberika intervensi bantuan yang sesuai dengan situasi intake.
5) Keterampilan-Keterampilan Pekerjaan Sosial
Harriet M. Barlett menunjukkan bahwa komponen skills sebagai
“alat intervensi” – “sebuah tas besar untuk bepergian”, untuk mampu
berbicara, yang memberi cara-cara pekerja sosial melakukan fasilitasi
94
perubahan. Keterampilan-keterampilan yang digunakan oleh pekerja
sosial dalam dikelompokkan menjadi tiga ketarmpilan umum, yaitu:
1. Keterampilan-keterampilan pertolongan interpersonal;
2. Keterampilan-keterampilan proses pekerjaan sosial; dan
3. Keterampilan evaluasi dan akuntabilitas
Diantara
berbagai
keterampilan
tersebut
keterampilan-
keterampilan pertolongan interpersonal merupakan salah satu dasar
keterampilan penting dari semua upaya pertolongan profesional.
Keterampilan pertolongan interpersonal tersebut antara lain:
1. Keterampilan komunikasi dan mendengarkan; didalmnya
termasuk kemampuan pekerja sosial untuk berkomunikasi
secara jelas kepada klien, memahami dan mengiterpretasikan
komunikasi verbal dan nonverbal klien; membantu klien
menjadi (menyadari) sadar dalam berkomunikasi; mampu
mendengarkan secara aktif terhadap kebutuhan, persoalan dan
masalah-masalah yang diungkapkan oleh klien dan memahami
realitas dalam situasinya, dan mampu mentransformasikan
pemahaman tersebut kedalam kegiatan bersama klien, serta
membantunya
meningkatan/
memperbaiki
keberfungsian
sosialnya.
2. Keterampilan-keterampilan hubungan pertolongan; diantaranya
termasuk kemampuan membangun hubungan kerja dengan
klien. Kesadaran diri pekerja sosial, sikap-sikap dan nilai-nilai,
kejujuran, keterbukaan, harga diri, dan sikap-sikap lainnya yang
mendukung terbangunnya hubungan pertolongan yang baik.
95
DAFTAR PUSTAKA
La Piere, Richard T. and Paul R. Fransworth. 1964. Social Psychology.
dalam Skidmore and Thackeray. Introduction to Social Work.
Lawang, R.M.Z, 2005, Kapital Sosial: dalam Perspektif Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Noyes, Arthur P. and Lawrence C. Kolb. 1961. Modern Clinical
Psychiatry.
Skidmore and Theckeray. 1964. Introduction to Social Work. New
Jersey: Simon & Scuster Englewood Cliffs
Soerjono Soekanto. 1981. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: UIPress.
Tangdilingtin, Paulus, 1998, “Kesejahteraan Sosial: Ilmu yang
Terdistorsi”, Makalah disampaikan pada Kuliah Perdana
Program Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas
Indonesia, Depok.
96
TOPIK 4
FOKUS PRAKTEK PEKERJAAN
SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR:
Keberfungsian Sosial
97
KEGIATAN BELAJAR
KEBERFUNGSIAN SOSIAL
Terdapat banyak profesi pemberian bantuan kepada manusia
yang masing-masing menggarap satu aspek khusus dari manusia itu
sendiri. Aspek kehidupan manusia yang menjadi bidang garapan
pekerjaan sosial adalah aspek kehidupan sosialnya. Manusia secara
kodratiah merupakan makhluk sosial, sehingga Aristoteles menyatakan,
bahwa: ”Tidak ada manusia normal yang hidup sendiri... Manusia
adalah suatu hewan sosial (Zoon Politicon)” (dalam Bierstedt,
1970:272).
Dengan sifat dasarnya tersebut, maka manusia tidak dapat
bertahan sendiri, seperti dikemukakan oleh Bertrand (1975:1), bahwa:
”...manusia harus mengorganisasikan dirinya, yaitu belajar untuk
berperilaku dalam antarhubungan dengan manusia lain, agar ia dapat
bertahan hidup”. Manusia membentuk unit-unit sosial dalam berbagai
tingkatannya, dan setiap anggotanya kemudian menempati posisi sosial
di dalamnya yang disertai dengan peranan sosial yang disandangnya
sebagai konsekuensi posisinya tersebut; demikianlah terbentuk sistem
sosial yang disebut keluarga, kelompok, golongan, dan masyarakat itu
sendiri. Pekerjaan sosial akan selalu menemukan perannya selama di
dunia ini ada dua atau lebih manusia yang karenanya terjadi interaksi
sosial dalam berbagai bentuknya, mulai dari harmonis sampai konflik.
Ketika terdapat interaksi sosial, akan muncul pula posisi dan peran
sosial.
Sudah bertahun-tahun Indonesia dilanda bencana, mulai dari
tsunami di Aceh, kenaikan harga BBM yang dalam waktu singkat
98
memaksa banyak warganya untuk menjadi miskin, kecelakaan
angkutan darat, laut, udara, plus rangkaian ’kecelakaan’ tembakan di
kepolisian, kekerasan di dalam kampus yang membawa kematian
puluhan mahasiswa. Jika hanya terjadi satu atau dua kali dalam kurun
waktu yang panjang, maka sebuah peristiwa seperti itu adalah
’kecelakaan’, tetapi jika terjadi berulangkali dalam kurun waktu dekat,
berarti ada faktor lain selain kecelakaan. Berhamburanlah komentar,
analisis, mulai dari teknis sampai agamis, yang lebih banyak tidak ada
kesimpulan, bahkan lebih sedikit lagi tidak ada penanganan. Bencana
terbesar yang melanda masyarakat ini sesungguhnya adalah bencana
perilaku yang tentu saja mencerminkan kualitas pikir dan sikap. Ada
yang salah dengan masyarakat ini, mulai dari moral sampai manajemen
dalam berbagai level dan aspek kehidupannya. Masyarakat ini tidak
dapat melaksanakan peran sosialnya untuk mensejahterakan warganya;
masyarakat ini mengalami masalah disfungsi sosial.
Demikian masyarakatnya, demikian pula kelompok-kelompok,
golongan-golongan, keluarga-keluarga, dan individu-individu sebagai
bagian-bagian dari sistem masyarakat itu sendiri. Sudahkah masyarakat
mengadakan sistem pelayanan sosial yang dibutuhkan oleh warga?
Sudahkah para pemimpin melaksanakan peran sebagai pengayom dan
pelayan warganya? Sudahkah para warga biasa melaksanakan peran
sebagai
pengabdi
masyarakat?
Sudahkah
para
mahasiswa
melaksanakan peran sebagai calon-calon perintis, pelopor pembaharuan
ide-ide untuk kesejahteraan masyarakat? Sudahkah para dosen
melaksanakan peran sebagai fasilitator ilmu dan teknologi yang
mendorong para mahasiswanya untuk mandiri dan kreatif? Sudahkah
para mahasiswa melaksanakan aktivitas belajar mandiri? Sudahkah
99
para ayah dan para suami melaksanakan perannya sebagai pemimpin
dan pendidik anggota keluarganya? Sudahkah para istri melaksanakan
perannya sebagai kepala rumah tangga keluarganya, pendidik bagi
anak-anaknya?; WOW! sejuta satu sudahkah, yang jawabannya rasanya
semakin sayup, beluuum....
Jika
jawabannya
demikian,
maka
masyarakat,
golongan/kelompok di dalam masyarakat, dan individu-individu
warganya belum berfungsi sosial.
Secara
sederhana,
ketidakberfungsian
sosial
berarti
ketidakmampuan melaksanakan peran sosial seperti diamanahkan oleh
nilai-nilai masyarakat. Peranan merupakan seperangkat harapan tentang
tindakan yang seharusnya dilakukan seseorang, kelompok, atau
masyarakat
pada
posisi
(status)
tertentu.
Veeger
(1992:60)
mengemukakan :”Sering orang mempunyai pelbagai status sekaligus
dan akibatnya pelbagai peranan. ... Masing-masing status menimbulkan
hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sendiri. Hak-hak dan kewajibankewajiban (tanggung jawab) itu disebut peranan (role) dan menyangkut
perilaku orang ...”.
Dengan demikian, keberfungsian sosial secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan
fungsi sosialnya atau kapasitas seseorang dalam menjalankan tugastugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya. Seorang ayah
misalnya, dikatakan dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik,
jika ia mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mampu
menjadi pendidik, pelindung, dan pembimbing segenap anggota
keluarganya. Sebaliknya, jika seorang ayah yang karena suatu sebab
tidak mampu menjalankan peranannya, ia dikatakan tidak berfungsi
100
sosial atau mengalami disfungsi sosial. (Abu Huraerah, Pekerjaan
Sosial Dalam Menangani Kemiskinan, Pikiran Rakyat, 2005).
Empat masalah dalam bidang kehidupan yang terkait erat dan
langsung
sebagai
penyebab
maupun
sebagai
akibat
social
disfunctioning, yaitu: kemiskinan, rendahnya pendidikan (kebodohan
dalam artinya yang luas), rendahnya taraf kesehatan, dan buruknya
pemeliharaan lingkungan. Skidmore and Thackeray (1988:36): ”In
general, problems can be classified as personal, family, or community.
Social work has the challenge to understand these problems and too
help to prevent and reduce them”.
Dalam konteks praktik Pekerjaan Sosial, persoalannya bukan
masalah sosialnya itu sendiri, melainkan masalah keberfungsian
sosialnya. Skidmore and Thackeray (1988:20-21), mengemukakan:
...that social work is concerned with the interaction between people and
their environment with the consequences that (1) affect the ability of
people to cope with life’s problems and tasks, (2) eliminate or lessen
the negative consequences of stress, (3) contribute to achievement of
personal aspiration and goals, (4) embrace those values that promote
the general welfare and social justice.
Pekerjaan
Sosial
adalah
profesi
pemberian
bantuan
kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugasnya
sesuai dengan peranannya. Dengan kata lain, nilai, pengetahuan dan
keterampilan profesional yang digunakan Pekerjaan Sosial pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social
functioning) klien yang dibantunya (Siporin, 1975; Zastrow, 1982;
1985; Morales dan Sheafor 1989; Skidmore, Thackeray dan Farley,
101
1991). Sebagaimana dinyatakan Skidmore, Thackeray dan Farley
(1991:19): ‘Social functioning to be a central purpose of social work
and intervention was seen as the enhancement of social functioning.’
Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi Pekerjaan
Sosial. Ia merupakan pembeda antara profesi Pekerjaan Sosial dengan
profesi lainnya
Keberfungsian sosial mengacu pada cara yang dilakukan
individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan
dan memenuhi kebutuhannya (Siporin, 1975:17). Pendapat ini sejalan
dengan Baker, Dubois, dan Miley (1992:14) yang juga menyatakan
bahwa
keberfungsian
sosial
berkaitan
dengan
pemenuhan
tanggungjawab seseorang terhadap masyarakat secara umum, terhadap
lingkungan terdekat dan terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab
tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan dasar dirinya, pemenuhan
kebutuhan dasar anggota keluarga yang menjadi tanggungannya, dan
pemberian kontribusi positif terhadap masyarakat.
Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada
“kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam
menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini
mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek dari segenap proses
dan aktivitas kehidupannya; bahwa klien memiliki kemampuan dan
potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; bahwa
klien memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan
memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.
Mengenai fokus praktik profesi Pekerjaan Sosial, Harriet
Bartlett mengemukakan bahwa fokus Pekerja Sosial adalah pada
fungsionalitas sosial. Bartlett menyatakan bahwa fokus profesi
102
Pekerjaan Sosial adalah hubungan di antara aktivitas orang untuk
menghadapi tuntutan-tuntutan dari lingkungan; dengan tuntutantuntutan dari lingkungan itu sendiri (Bartlett, Harriet M., The Common
Base of Social Work Practice, Social Work, April).
Bagi Bartlett, konsep fungsionalitas sosial tidak diartikan
sebagai fungsionalitas individu-individu ataupun kelompok-kelompok,
namun perhatian ditujukan terutama terhadap apa yang terjadi di antara
orang dengan lingkungan, melalui hubungan saling mempengaruhi di
antara keduanya. Fokus ganda ini mengikat keduanya menjadi satu.
Dengan demikian, orang dengan situasi, orang dengan lingkungan;
dicakup dalam suatu konsep tunggal, yang berarti bahwa keduanya
harus selalu dipandang secara bersamaan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Morales dan Sheafor, yang menyatakan bahwa; “Penelaahan tentang
Pekerjaan Sosial adalah suatu penelaahan tentang orang-orang yang
dipersiapkan untuk membantu orang-orang lain dalam upaya untuk
mencegah timbulnya atau untuk memecahkan masalah-masalah dalam
fungsionalitas sosial” (Armando Morales, Bradford W. Sheafor, Social
Work: A Profession of Many Faces, 1977).
Ide dasar dari uraian tentang fungsionalitas sosial ini adalah
bahwa dalam konteks perubahan masyarakat yang semakin lama
semakin cepat, terjadi pergeseran norma-norma sosial di dalam
masyarakat karena proses interaksi dengan masyarakat-masyarakat lain;
sementara di sisi lain masyarakat tersebut memegang nilai-nilai sosiobudayanya sendiri yang memang seharusnya dipertahankannya sebagai
fondasi kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Dalam dinamika sosial
tersebut, banyak terjadi kesulitan penyesuaian diri pada warga
103
masyarakat yang mengakibatkan masalah bagi mereka untuk dapat
melaksanakan peran (perilaku yang seharusnya) sesuai dengan status
sosial yang disandangnya. Terjadilah kesenjangan antara apa yang
seharusnya dilakukan seseorang atau sebuah institusi dengan apa yang
dilakukannya.
Inilah
inti
pengertian
ketidakberfungsian
sosial.
Pekerjaan sosial merupakan sebuah bidang keahlian yang didisain
untuk membantu warga masyarakat meningkatkan kemampuan untuk
melaksanakan peran sosialnya, artinya menghilangkan kesenjangan
antara peran dengan perilaku sosial warga masyarakat tersebut.
Dalam setiap sistuasi pertolongan, pekerja sosial concern
dengan berbagai atau masalah potensial dalam social functioning
(keberfungsian sosial). Setiap pekerja sosial membantu fungsi orang,
kelompok, keluarga dan masyarakat lebih efektif melalui interaksinya
dengan sejumlah bagian lingkungan. Secara lebih jelas lagi William
Gordon menggambarkan fokus praktiknya sebagai berikut:
The central social work focus is placed at interface between or
the meeting place of person and environment—at the point
where there is or is not matching with all its good and bad
consequences for the person and environment. The phenomenon
of concern at this interface is the “transaction” between person
and environment. Transaction is “exchange in the context of
action or activity”. The action or activity is a blend of personactivity and impinging environment-activity.
Sentral fokus pekerjaan sosial ditempatkan diantara batasan atau
pertemuan antara orang dan lingkungan – yaitu pada titik
dimana ada atau tidaknya kesesuaian dengan semua akibat baik
dan buruk dari fokus tersebut bagi orang dan lingkungan.
Fenomena perhatian pada batasan ini adalah ‘transaksi’ diantara
orang dan lingkungan. Transaksi adalah ‘pertukaran di dalam
konteks kegiatan atau aktifitas’. Kegiatan atau aktifitas ini
104
merupakan paduan antara aktifitas-orang dan kemunculan
aktifitas–lingkungan.
Dalam
bentuk
yang
sedikit
berbeda,
Herbert
Bisno
menggambarkan fokus pekerjaan sosial ketika dia mengidentifikasikan
pekerja sosial sebagai seseorang yang menghadapi “permasalahan
dalam keberfungsian sosial, aktual atau potensial, dengan tujuan
memantapkan atau meningkatkan keberfungsian seseorang, secara
perorangan atau unit kolektif”.
Keberfungsian sosial merupakan
konsep yang berguna karena melingkupi dampak-dampak baik
karakteristik perkembangan orang dan kekuatan yang berasal dari
lingkungan sosial. Hal ini berarti bahwa seseorang dengan seperangkat
perilaku,
kebutuhan,
dan
keyakinannya
merupakan
hasil
dari
pengalaman individu yang unik yang berkembang dari sejak lahir
hingga kini. Juga mengakui bahwa apapun yang melekat pada situasi
yang harus berkaitan dengan dunia yang mesti dihadapi seseorang.
Tidak tepat bagi pekerja sosial yang hanya membatasi
praktiknya terhadap individu sementara sumber permasalahan diketahui
ada di dalam masyarakat. Keterampilan pekerja sosial harus
dipersiapkan untuk dapat bekerja baik dengan orang maupun
lingkungan. Inilah yang merefleksikan keunikan fokus pekerjaan sosial.
Sebaliknya, dokter dipersiapkan untuk membantu individu, dan
pengacara secara lebih leluasa bergerak pada sistem hukum, yang
merupakan satu aspek lingkungan (meskipun demikian baik dokter dan
pengacara juga perlu memberikan perhatian sekunder kepada sistem
lainnya). Pekerja sosial, yang tidak ahli dalam kedua bidang tersebut,
adalah ahli dalam membantu manusia yang mengalami permasalahan
105
diantara kedua bidang tersebut. Dengan kata lain, pakerja sosial
bergerak dalam memfasilitasi transaksi diantara orang dan lingkungan.
Jadi tugas utama bagi pekerja sosial adalah membantu orang
mengatasi masalah yang ada atau potensial dalam keberfungsian sosial,
dengan melakukan perubahan baik individu ataupun lingkungan.
Dalam gambar berikut diperlihatkan contoh pekerja sosial
dalam kegiatan, person mungkin seorang individu, atau orang-orang
dalam konteks keluarga, kelompok kecil, organisasi, masyarakat, atau
lebih besar lagi, yaitu suatu struktur masyarakat. dalam setiap
kasusnya, ‘person’ terlibat dalam upaya mengatasi atau mencegah
timbulnya permasalahan dalam keberfungsian sosial atau menciptakan
kondisi kemasyarakatan yang ‘terbaik’ untuk mencapai interaksi yang
memuaskan anatar person dan lingkungan. Dalam gambar berikut akan
terlihat keunikan intervensi pekerjaan sosial pada sasaran praktiknya.
Environment
Problem
Social
worker
social work
Intervention
Gambar: Fokal Poin Intervensi Pekerjaan Sosial
106
Dalam upaya membantu orang meraih tujuan peningkatan
keberfungsian sosial, pekerja sosial perlu mempersiapkan adanya
jaminan sumber-sumber yang diperlukan dalam rangka memenuhi
tujuan klien tersebut. Jika sumber-sumber tersebut tidak tepat atau tidak
tersedia, pekerja sosial perlu mempersiapkan upaya-upaya peningkatan
keberfungsian sosial atau berupaya menciptakannya. Minahan dan
Pincuss memberikan gambaran sumber sebgai berikut.
Suatu sumber adalah segala sesuatu yang digunakan untuk
memenuhi tujuan, pemecahan masalah, mengurangi tekanan,
memenuhi tugas kehidupan, atau merealisasikan aspirasi dan
nilai-nilai. Sumber-sumber tersebut mungkin tangible, seperti
halnya uang, makanan, rumah, perawatan; atau intangible,
sepertihalnya pengetahuan, semangat, harapan, cinta, status.
Dalam konsepsi pekerjaan sosial sebagai suatu profesi yang
membantu orang memenuhi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk
meningkatkan keberfungsian sosial, dimungkinkan untuk melihat secar
lebih jelas apa yang pekerja sosial lakukan. Satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk menguji aktifitas yang dilakukan oleh pekerja sosial,
yaitu:
1. Membantu mengembangkan sistem sumber baru;
2. Memantapkan hubungan yang telah terjalin antara orang dan
sistem sumber dan diantara berbagai sistem sumber;
3. Menfasilitasi interaksi diantara individu dalam sistem sumber;
4. Memfasilitasi berjalannya interaksi diantara sistem sumber; dan
5. Membantu orang mengembangkan dan mengatasi pemecahanmasalah dan menghadapi sumber internalnya sendiri
107
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, Pekerjaan Sosial Dalam Menangani Kemiskinan,
Pikiran Rakyat, 2005
Armando Morales, Bradford W. Sheafor, Social Work: A Profession of
Many Faces, 1977
Dobuis & Miley, 1992. Social Work, An Empowering Profession. Allyn
and Bacon, Massachusetts.
Siporin, Max. 1975. Introduction to Social Work Practice. Prentice
Hall International Ed., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Skidmore, Rex A., Milton Thackeray, dan O William Farley. 1988.
Introduction to Social Work. New Jersey: Simon & Scuster
Englewood Cliffs
108
TOPIK 5
PROSES PRAKTEK PEKERJAAN
SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Pergeseran klien bagi Pekerja Sosial
KEGIATAN BELAJAR 2: Peranan Pekerja Sosial dalam
Menangani Masalah
KEGIATAN BELAJAR 3: Proses Praktik Pekerjaan Sosial,
Kerangka Model Analisis dan
Pemecahan Masalah Sosial
109
KEGIATAN BELAJAR 1
PERGESERAN KLIEN BAGI PEKERJA SOSIAL
Tahun 1912 orang-orang yang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian kepada budaya baru atau hidup dalam kemiskinan:
mengkaji situasinya, menentukan penyebab masalah dan menyediakan
sumber-sumber yang akan membudayakan klien kepada norma-norma
kelas menengah. Tahun 1927 orang-orang yang penyesuaiannya kepada
masyarakat tidak normal: mengkaji klien dari perspektif psikoanalisis,
mengembangkan hubungan baik dalam menolong klien dan mendapat
pemahaman yang baik tentang dirinya.
Tahun 1933 orang-orang yang menghadapi kemiskinan:
memberikan bantuan sumber-sumber ekonomi dan bila ada waktu juga
memberikan pemikiran tentang bagaimana inefisiensi ekonomi
memenganuhi kehidupan seseorang. Tahun 1943, orang-orang dari
kelas menengah yang mengalami ketidaknyamanan psikologis: karena
hidup dalam keluarga normal merupakan impian, maka penanganannya
adalah menciptakan hubungan yang memungkinkan penjelajahan siapa
orang yang berfungsi dalam situasi.
Tahun 1963 orang yang mengalami multi problem hidup dalam
kemiskinan: bagaimana menangani orang yang tidak bersemangat,
korban lingkungan buruk, dan budaya kelompok minoritas. Tahun 1990
seseorang, keluarga, atau komunitas yang memerlukan salah satu aspek
keberfungsian sosial: pendekatan generalis, mengadakan assessment
tentang the person in the situation. Tahun 2000an seseorang, keluarga,
atau komunitas yang memerlukan salah satu aspek keberfungsian
110
sosial, organisasi, kelembagaan, struktur sosial dan kebijakan sosial
yang mengancam atau mengganggu keberfungsian sosial orang-orang:
membela dan memberdayakan mereka.
Selectivity Vs Eclecticism
Ada beberapa teori praktik yang ditulis dan dikembangkan
secara begitu melebar dan dengan demikian akan mampu mencukupi
dirinya sendiri (Self Sufficient), dan bersifat komprehensif. Akan tetapi,
pemilihan
satu
pendekatan
teoritik
saja
akan
mengakibatkan
penyederhanaan yang berlebihan (over simplifies) terhadap penerapan
teori tersebut dalam praktik pertolongan.
Semenjak permasalahan sosial yang dihadapi oleh manusia
berasal dan berada pada pengalaman manusia serta situasi yang sangat
beragam, maka variasi praktik pekerjaan sosial yang dibutuhkan juga
menjadi sangat beragam. Berbagai kemungkinan maupun model
intervensi pekerjaan sosial, dengan demikian, harus dikembangkan
secara lebih luas. Hal inilah yang mendorong pekerjaan sosial untuk
mengembangkan "eclecticism", yaitu memanfaatkan berbagai aspek
dari teori yang berbeda secara bersamaan.
BEBERAPA KOMPONEN TINDAKAN PROFESIONAL
"GUIDELINES" BAGI PEKERJA SOSIAL
Tindakan Pekerjaan Sosial
Profesional
Memandang pekerjaan sosial
sebagai suatu komitmen kuat
terhadap suatu tindakan dan nilainilai pengembangan masyarakat.
Tindakan Nonprofesional
Memandang pekerjaan sosial
semata-mata sebagai suatu
pekerjaan yang dapat dengan mudah
kita tinggalkan jika ada tawaran
kerja lain yang lebih baik.
111
Tindakan Pekerjaan Sosial
Profesional
Melandasi praktik yang
dilakukannya dengan kerangka
pengetahuan yang dipelajari
melalui proses pendidikan dan
pelatihan secara formal.
Melandasi keputusan-keputusan
yang diambilnya dengan fakta,
analisis mendalam, serta
pemikiranpemikiran kritis.
Mengikuti prinsip-prinsip dalam
praktik yang baik, walaupun
mendapat tekanan dari luar.
Menggunakan prinsip, nilai, serta
etik profesi dalam mengenali
serta memahami persoalanpersoalan etik.
Tindakan Nonprofesional
Melandasi praktik yang
dilakukannya dengan pandangan
pribadi serta aturan-aturan lembaga
secara sempit.
Melandasi keputusan-keputusan
yang diambilnya dengan perasaan
serta kebiasaan.
Didikte oleh tekanan-tekanan politik
sempit serta tekanan-tekanan fiskal
/anggaran
Mengabaikan persoalan etik tanpa
pertimbangan matang, hanya
menggunakan pertimbangan moral
pribadi maupun pilihan-pilihan
personal secara sempit.
Mempelajari hanya yang penting
untuk melaksanakan pekerjaan.
Secara terus menerus
meningkatkan pengetahuan serta
ketrampilan yang dimiliki
sehingga pelayanan juga selalu
meningkat.
Secara terns menerus berbagi pengetahuan, ketrampilan, serta
pengalaman dengan kolega.
Pengetahuan, dan pengalaman
hanya untuk kepentingan pribadi,
tidak untuk disebarkan kepada
orang lain (exclusivism).
Sekedar melaksanakan tugas dan
tidak bertanggung jawab terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan.
Mengabaikan review kolega.
Bertanggung jawab untuk selalu
mengevaluasi kualitas pelayanan
yang diberikan.
Terus menerus melibatkan kolega
untuk memberikan review
terhadap kinerja pribadi.
Selalu menyusun pencatatan atas
kegiatan yang dilakukan secara
akurat dan lengkap
Mengabaikan pencatatan, atau
pencatatan dilakukan secara tidak
lengkap & tidak akurat
112
Tindakan Pekerjaan Sosial
Profesional
Menempatkan kesejahteraan atau
terpenuhinya kebutuhan
masyarakat sebagai misi utama di
atas misi-misi pribadi
Mengembangkan relasi
pertolongan yang berorientasi
pada tujuan pelayanan.
Tindakan Nonprofesional
Misi pribadi merupakan perhatian
utama.
Mengembangkan relasi dengan
tujuan tidak terarah pada tujuan
pelayanan, melainkan pada tujuan
pribadi.
Menanggapi frustasi serta
kemarahan-kemarahan masyarakat
secara pribadi, melibatkan emosi
pribadi pada aksi yang dilakukan.
Tidak menanggapi ekspresi emosi
negatif masyarakat secara pribadi,
selalu mencari pemahaman atas
alasan dibalik kemarahan ataupun
frustrasi masyarakat
113
KEGIATAN BELAJAR 2
PERANAN PEKERJA SOSIAL DALAM MENANGANI
MASALAH
Peranan adalah sekumpulan kegiatan altruistis yang dilakukan
guna tercapainya tujuan yang telah ditentukan bersama antara penyedia
dan penerima pelayanan. Peranan merupakan cara yang dilakukan oleh
seseorang untuk menggunakan kemampuannya dalam situasi tertentu.
Peranan dalam profesi apa pun tidak ditentukan dalam kevakuman,
namun terkait dengan aneka ragam variabel. Peranan juga tidak berdiri
sendiri namun terkait dengan peranan-peranan lain. Dengan demikian,
peranan bersifat dinamis dan interaksional, dalam pengertian dapat
berubah sesuai dengan variabel dan peranan-peranan lain yang
dilaksanakan oleh pekerja sosial.
Beberapa variabel yang menentukan peranan pekerja sosial
profesional ialah: 1) pendekatan dulaistis dalam pekerjaan sosial, yaitu
perubahan
dan
pengembangan
personal
serta
perubahan
dan
pengembangan social sebagai satu kesatuan, 2) fungsi-fungsi praktik
pekerjaan sosial yang saling berkaitan yaitu pencegahan, dengan
peranan-peranan penelitian, analisis, penyusunan dan pengembangan
kebijakan, program dan pelayanan kesejahteraan sosial. Peredaman
dampak, dengan peranan-peranan pemberdayaan individu, keluarga,
kelompok,
organisasi
dan
masyarakat,
motivasi/
penyuluhan/
kampanye sosial, pengajaran/ pelatihan, advokasi sosial, mobilisasi dan
alokasi sumber, asistensi sosial dan lain-lain.
114
Pengembangan atau pemberdayaan,dengan peranan-peranan
perubahan
dan
pengembangan
sikap
dan
perilaku,
motivasi/
penyuluhan/ kampanye sosial, bimbingan/ pendampingan sosial,
pengajaran/ pelatihan, mobilisasi dan alokasi sumber, asistensi sosial,
dan lain-lain. Perlindungan, dengan peranan-peranan penanganan krisis
dan stigma, motivasi/ penyuluhan/ kampanye sosial, bimbingan/
pendampingan
sosial,
asistensi
sosial,
rujukan,
dan
lain-lain.
Penyembuhan, dengan peranan-peranan konseling klinis, penyembuhan
kelompok dan keluarga, perubahan dan pengembangan status dan
peranan, asistensi sosial, dan lain-lain. Rehabilitasi, dengan perananperanan penyembuhan individu, kelompok dan keluarga, perubahan
dan pengembangan status dan peranan, pengajaran/ pelatihan,
mobilisasi dan alokasi sumber, asistensi sosial, dan lain-lain.
Peranan yang ditampilkan oleh pekerja sosial di dalam
masyarakat/ badan/ lembaga/panti sosial akan bervariasi tergantung
pada permasalahan yang dihadapinya. Pernyataan itu diperkuat dan
dipertegas oleh Bradford W. Sheafor dan Charles R. Horejsi, (2003:55),
peranan yang ditampilkan pekerja sosial antara lain: 1) Peranan sebagai
perantara (broker roles), 2) Peranan sebagai pemungkin (enabler role),
3) Peranan sebagai penghubung (mediator role), 4) Peranan sebagai
advokasi (advocator role), 5) Peranan sebagai perunding (conferee
role), 6) Peranan sebagai pelindung (guardian role), 7) Peranan sebagai
fasilitasi (facilitator role), 8) Peranan sebagai inisiator (inisiator role),
dan 9) Peranan sebagai negosiator (negotiator role).
Peranan sebagai perantara, pekerja sosial bertindak di antara
klien atau penerima pelayanan dengan sistem sumber (bantuan materi
dan non materi tentang pelayanan) yang ada di badan/ lembaga/panti
115
sosial. Selain sebagai perantara, pekerja sosial juga berupaya
membentuk jaringan kerja dengan organisasi pelayanan sosial untuk
mengontrol kualitas pelayanan sosial tersebut. Peranan sebagai broker
muncul akibat banyaknya orang yang tidak mampu menjangkau sistem
pelayanan sosial yang biasanya memiliki aturan penggunaannya yang
kompleks dan kurang responsif terhadap kebutuhan klien atau penerima
pelayanan. Sebagai contoh, membantu klien atau penerima pelayanan
untuk memperoleh keringanan biaya rehabilitasi di badan/lembaga/
panti sosial karena ketidakmampuan dan keterbatasan keluarga,
membantu keluarga untuk mendapatkan subsidi rehabilitasi bagi klien
atau penerima pelayanan, membantu menentukan konselor dan
pembimbing yang profesional.
Pengetahuan yang diperlukan oleh seorang broker dalam hal ini
meliputi pengetahuan tentang sumber pelayanan, dana rehabilitasi dan
kualitas petugas. Dalam melaksanakan peranannya sebagai broker,
pekerja sosial perlu melakukan assessment kebutuhan klien atau
penerima pelayanan, yaitu untuk mengetahui tingkat dan jenis
kebutuhan, pendistribusian kebutuhan, prosedur untuk mengakses
pelayanan, pola-pola pelayanan yang dibutuhkan serta hambatanhambatan yang akan ditemui dalam menggunakan pelayanan, juga data
tentang biaya yang diperlukan untuk bisa menjangkau kebutuhankebutuhan tersebut (Parson et. al, 1994: 227). Pekerja sosial dapat
berperan sebagai broker untuk menghubungkan keluarga dengan
pelayanan dan sistem sumber yang ada. Fungsi pekerja sosial adalah
untuk memahami situasi keluarga, memahami sumber, melakukan
rujukan, menghubungkan sistem pelayanan, dan memberikan informasi
116
yang benar tentang masalah klien atau penerima pelayanan kepada
keluarga.
Peranan sebagai pemungkin (enabler role) adalah peranan yang
paling sering digunakan dalarn profesi pekerjaan sosial karena peranan
ini diilhami oleh konsep pernberdayaan dan difokuskan pada
kemampuan, kapasitas, dan kompetensi klien atau penerima pelayanan
untuk menolong dirinya sendiri. Parsons et. al, (1994:188) mengatakan
bahwa enabler role adalah:
"the responsibility to help the client become capable of coping
with situational or transitional stress. Specific skills use
achieving this objectives include conveying hope, reducing
resistant and ambivalence, recognizing and managing feelings,
identifying and supporting personal strenghts and social assets,
breaking down problem into parts that can be solved more
readily, and maintaining a focus on goals and the means for
achieving them.”
Oleh sebab itu, klien atau penerima pelayanan melakukan
sesuatu dengan kemampuan yang dimilikinya dan bertanggung jawab
terhadap perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungannya.
Sedangkan pekerja sosial hanya berperan membantu untuk menentukan
kekuatan dan unsur yang ada dalam diri korban sendiri termasuk untuk
menghasilkan perubahan yang diinginkan atau untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki korban. Jadi peranan pekerja sosial adalah berusaha
untuk memberikan peluang agar kepentingan dan kebutuhan klien atau
penerima pelayanan tidak terhambat.
Tujuan sebagai enabler, diungkapkan oleh Zastrow, (2000:74):
"... helps individuals or groups to articulate their needs, to
clarify and identify their problems, to explore resolution
strategies, to select and apply a strategy and to develop their
capacities to deal with their own problems more effectively"
117
Oleh karena itu, cara yang dilakukan oleh pekerja sosial adalah
mengidentifikasi
tujuan,
memfasilitasi
untuk
berkomunikasi,
mengkohesifkan dan mensinerjikan suatu hubungan, dan memberikan
peluang untuk pemecahan masalah/ menyelesaikan konflik. Pendekatan
yang sering digunakan sebagai pemungkin (enabler) adalah konseling
dengan korban, kelompok ataupun keluarga, mengatasi masalah yang
berkaitan
dengan
lingkungan,
berupaya
memberikan
peluang/pemungkin agar meningkat partisipasi dan keterlibatan
keluarga.
Peranan sebagai penghubung (mediator role) akan menggunakan teknik-teknik tertentu yang disesuaikan dengan nilai-nilai
yang ada. Pekerja sosial bertindak untuk mencari kesepakatan,
meningkatkan rekonsiliasasi berbagai perbedaan, untuk mencapai
kesepakatan yang memuaskan, dan untuk berintervensi pada bagianbagian yang sedang konflik, ter-masuk di dalamnya membicarakan
segala persoalan dengan cara kompromi dan persuasif. Peranan yang
dilakukan oleh pekerja sosial adalah membantu menyelesaikan konflik
di antara dua sistem atau lebih, menyelesaikan pertikaian antara
keluarga dan klien atau penerima pelayanan, dan memperoleh hak-hak
korban.
Dalam hal ini, perilaku pekerja sosial tetap memelihara posisi
netral, tidak memihak pada salah satu pihak dan menjaga nilai-nilai
profesional sehingga apabila mampu menemukan solusi akhir konflik
diharapkan terjadi kerja sama di antara keduanya (win-win solution).
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Zastrow, (2000:75) bahwa,
"mediators remain neutral, not siding with either party, and make sure
118
they understand the position of both parties" .Tindakan yang dapat
dilakukan oleh pekerja sosial adalah membantu untuk mengklarifikasi
posisi kedua belah pihak yang bertentangan, mengidentifikasi penyebab
miskomunikasi
dan
membantu
mereka
untuk
terlibat
dalam
penyelesaian masalah sehingga mereka paham akan permasalahan yang
sebenarnya.
Peranan sebagai advokasi (advocator role). Istilah advokat
berasal dari profesi hukum, akan tetapi telah diambil sebagai ciri yang
unik dalam pekerjaan sosial. Oleh karena itu, peranan advokat hukum
dan advokat dalam pekerjaan sosial tidak sama. Advokat hukum
dituntun melalui keinginan hukum, tetapi untuk advokat pekerjaan
sosial dibatasi oleh kepentingan yang timbul dari klien atau penerima
pelayanan. Peranan sebagai advokat terlihat biasanya sebagai juru
bicara klien atau penerima pelayanan, memaparkan dan berargumentasi
tentang masalah klien atau penerima pelayanan apabila diperlukan,
membela kepentingan korban untuk menjamin sistem sumber,
memberikan pelayanan yang dibutuhkan atau merubah kebijakan
sistem yang tidak responsif terhadap kepentingan korban. Kegiatan lain
dari peranan pekerja sosial sebagai advokat adalah dalam hal
menyediakan pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan
program.
Peranan sebagai perunding (conferee role) adalah peranan yang
diasumsikan ketika pekerja sosial dan klien atau penerima pelayanan
mulai bekerja sama. Peranan ini dilakukan pada saat pencarian data,
pemberian gambaran pada korban penyalahguna narkoba tentang hal
apa yang harus dilakukan, dan melaksanakan kontrak pada tahap
berikutnya. Kerangka pikir dari peranan sebagai perunding berasal dari
119
model pemecahan masalah. Ini merupakan kolaborasi di antara klien
atau penerima pelayanan dan pekerja sosial yang menggunakan
pendekatan pemecahan masalah. Pendekatan ini termasuk di dalamnya
eksplorasi dan pengertian yang jelas tentang masalah, menghubungkan
dan menekankan assessment yang merupakan kesatuan dari masalah,
merancang tujuan untuk mengurangi tekanan, membuat strategi
alternatif yang umum, evaluasi hasil, implementasi strategi dan
terminasi atau pengakhiran pelayanan. Keterampilan yang diperlukan
pada peranan perunding adalah keterampilan umum yang digunakan
dalam pekerjaan sosial, seperti keterampilan mendengarkan, probing,
penguatan/refleksi dan lain-lain.
Peranan sebagai pelindung (guardian role) biasanya dilakukan
oleh bidang aparat, tetapi profesi pekerjaan sosial dapat mengambil
peran seperti melindungi klien atau penerima pelayanan, dan orang
yang berisiko tinggi terhadap kehidupan sosial. Korban merasa nyaman
untuk mengutarakan masalahnya, beban dalam pikirannya terlepas, dan
merasa bahwa masalahnya dapat dirahasiakan pekerja sosial.
Peranan sebagai fasilitasi (facilitator role) dilakukan untuk
membantu korban berpartisipasi, berkontribusi, mengikuti keterampilan
baru dan menyimpulkan apa yang telah dicapai oleh korban (Friesen
dan Parson, 1994:12). Dalam hal ini pekerja sosial harus bervariasi
dalam memberikan pelayanannya tergantung pada kebutuhan korban
dan masalah-masalah yang dihadapinya agar mampu berpikir secara
jelas tentang apa yang dibutuhkan di setiap waktu dalam proses
rehabilitasi. Di samping itu, peranan ini sangat penting membantu
meningkatkan keberfungsian korban khususnya berkaitan dengan
kebutuhan, dan tujuan yang ingin dicapai.
120
Peranan sebagai inisiator (initiator role), Zastrow, (2000:75)
menyebut sebagai "peranan yang memberikan perhatian pada masalah
atau hal-hal yang berpotensi untuk jadi masalah". Oleh karena itu,
sebagai seorang inisiator, pekerja sosial berupaya memberikan
perhatian pada isu-isu seperti masalah-masalah korban yang ada di
badan/lembaga/panti sosial, dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan.
Isi isu ini tidak akan muncul atau menarik perhatian petugas lain
sebelum ada yang memunculkannya. Di sinilah peranan pekerja sosial
sebagai inisiator untuk menyadarkan badan/lembaga/ panti sosial
bahwa ada permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka.
Peranan sebagai negosiator (negotiator role), ditujukan pada
para klien atau penerima pelayanan yang mengalami konflik dari
mencari
penyelesaiannya
dengan
kompromi
sehingga
tercapai
kesepakatan di antara kedua belah pihak. Posisi seorang negosiator
berbeda dengan mediator yang berposisi netral. Seorang negosiator
berada pada salah satu posisi yang sedang konflik.
121
KEGIATAN BELAJAR 3
1. PROSES PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL
Secara mendasar proses pekerjaan sosial beranjak dari suatu
paradigma atau cara pandang yang pertama kali dikemukakan oleh
Mary Richmond (1918) yang meminjam istilah medis dalam
menangani suatu masalah (penyakit), yaitu suatu tahapan dari
assessment, diagnosis and treatment sehingga dikenal dengan istilah
medical model; yang kemudian ditambahkan evaluation & termination.
Sejak itulah mulai suatu proses pekerjaan sosial secara ilmiah
dilakukan.
Setiap ahli memiliki pandangan yang beragam mengenai proses
pekerjaan sosial. Latar belakang budaya, bidang garapan dan objek
pekerjaan sosial yang berbeda diantara para ahli tersebut sehingga
menghasilkan proses pekerjaan sosial yang berbeda pula. Seperti pada
matrik berikut:
Dean H. Hepworth &
Jo Ann Larsen (1982)
1. Exploration,
Assessment &
Planning
2. Implementation &
Goal Attainment
3. Termination &
Evaluation
Max Siporin
(1975)
1. Engagement, Intake &
Contract
2. Assessment
3. Planning
4. Intervention
5. Evaluation &
Termination
122
Lawrence M.
Bremmer
(1998)
1. Building Relationship:
Entry, Clarification,
Structure,
Relationship
2. Facilitating positive
action: Exploration,
Consolidation,
Planning, Termination
James K. Whitaker
(1974)
Intake
Assessment & Social
Diagnosis
Determination of Goals
Selection of social
treatment plan
Establishment of working
agreement
Sustaining social
treatment
Evaluation
Terminantion and after
care
Charles Zastrow
(1995)
Identify as precisely as
possible the problem (s)
Generate possible
alternative solutions
Evaluate the alternative
solutions
Select a solution (s) to be
used, and set goals
Implement the solutions
Follow up to evaluate
how the solution(s)
worked
Leonora Serafica de
Guzman
(1983)
Data gathering (fact
finding)
Identification &
definition of problem
Planning the intervention
Plan Implementation
Evaluation
Termination or
Continuation
Karen K. KirstAshman & Graftorn
H. Hull, JR
(1993)
Assessment
Planning
The Intervention
Evaluation
Termination
Follow up
123
Beulah Robert
Compton &Burt
Galaway
(1983)
The contact phase:
problem identification,
initial goal setting & data
collection
The contract phase: Join
assessment, goal setting
& planning
Interventive roles:
Implementation of the
roles
Evaluation
Mary Richmond
(1918)
Study
Diagnosis
Treatment
Evaluation of treatment
Brenda Dubois &
Karla Krogsrud Miley
Louise Johnson (1995)
Naomi I. Brill (1978)
(1992)
1. Builds profesional
relationship
2. Identifies and
defines the problem,
issue, or need that
the client present
3. Assesses the
problem, issue, or
need presented
4. Sets goals for
intervention
5. Gathers and
analyzes relevant
information
6. Explores alternative
solutions
7. Formulates the
intervention plan
8. Implements and
monitor the plan
intervention
9. Evaluates the effort
and results of
intervention
10. Ends the
intervention
1. Preliminary
statement of the
problem
2. Statement of
preliminary
assumptions about
the nature of the
problem
3. Selection and
collection of
information
4. Analysis of
information
available
5. Development of a
plan
6. Implementation of
the plan
7. Evaluatioan of the
plan
124
1. Engagement
2. Assessment
3. Definition of the
problem
4. Setting of goals
5. Selection of
alternative methodes
& an initial mode of
intervention
6. Establishment of a
contract
7. Action leading
towarth the desired
goal
8. Evaluation
9. Continuation of
working plan,
abandonment of
unsuccesful
intervention and
selection of a
difference approach;
or termination
Kalau digambarkan secara sederhana maka proses pemecahan masalah
sosial adalah sebagai berikut:
Assesment
Plan of
Treatment
Evaluasi &
Treatment
Action
Terminasi
Atau mungkin suatu bentuk lainnya yang menunjukkan suatu
tahapan (proses) yang mesti dilalui dalam mengatasi suatu persoalan
sosial tertentu. Sementara itu suatu permasalahan atau persoalan sosial
yang akan ditangani pun umumnya tidak muncul secara tiba-tiba pula,
tetapi melalui suatu tahapan tertentu, sebagaimana terlihat pada bagan
berikut:
Cause (s)
Social Problems
Effect
suatu masalah sosial timbul beserta akibat-kibat yang ditimbulkannya
pun tidak pernah sederhana dan bersifat tunggal (single problem) tetapi
saling terkait dengan berbagai permasalahan lainnya; sehingga dalam
menangani permasalahan dan akibat yang ditimbulkannnya perlu
dipahami secara sistemik.
125
2. KERANGKA MODEL ANALISIS DAN
PEMECAHAN MASALAH SOSIAL
Apabila kerangka proses pemecahan masalah dan proses timbulnya
permasalah dibuat dalam dalam sebuah matrik maka akan terlihat sebagai
berikut:
Matrik : Kerangka Model Analisis & Pemecahan Masalah
Proses
Permasalahan
Proses Pemecahan Masalah
Cause (s)
Social
Problems
Effect
Studi (sosial)
Assessment
(diagnosis)
Treatment
1
2
4
5
7
8
3
6
9
Evaluasi Kembali
Apabila kita melihat berdasarkan pada matrik tersebut maka
akan terdapat ‘sembilan sel’ yang merupakan paduan dari kedua proses
permasalahan dan pemecahan masalah sosial. Dan setiap akan berisikan
statement yang masing-masing berbeda dengan isi dari sel lainnya.
Dengan demikian (paling sedikit) terdapat sembilan isyu
(persoalan) yang perlu ditelaah yaitu:
1. Studi sosial --- Cause (s); pada bagian ini mengkaji mengenai
penyebab-penyebab
timbulnya
permasalahan
dengan
menyediakan data dan fakta yang memperjelas penyebab
permasalahan.
126
2. Studi sosial --- Social Problems; merupakan tahap pemahaman
terhadap permasalahan yang timbul –kedalaman dan keluasan
permasalahan – dari sebab-sebab yang ditimbulkan sebelumnya
dengan menyediakan data dan fakta mengenai permasalahan
sosial.
3. Studi sosial --- Effect; merupakan tahapan penkajian terhadap
akibat-akibat yang timbul dari permasalahan sosial, akibat ini
dapat berupa data dan fakta mengenai akibat-akibat baik sosial,
kejiwaan,
atau
fisik
yang
merusak
atau
mengganggu
fungsionalitas manusia.
4. Assessment (diagnosis) --- Cause (s); pada tahap ini lebih dalam
mengkaji dan menilai mengapa penyebab-penyebab persoalan
tersebut
muncul.
Kemudian
langkah-langkah
apa
yang
sebaiknya dilakukan dalam mengatasi penyebab-penyebab
tersebut.
5. Assessment (diagnosis) --- Social Problems; adalah tahap untuk
mengkaji dan menilai, kemudian menentukan langkah-langkah
apa sehingga persoalan tersebut tidak meluas atau menyebar
pada setiap lapisan masyarakat.
6. Assessment (diagnosis) --- Effect; Menilai, mengkaji dan
menentukan langkah-langkah apa saja dalam rangka mengatasi
efek atau akibat-akibat yang ditimbulkan dari permasalahan
sosial. Serta menentukan apa dan siapa saja yang akan
dilibatkan dalam mengatasi akibat-akibat sosial, mental dan
fisik yang telah menggangu fungsionalitas manusia.
7. Treatment
---
Cause
(s);
Mengatasi
penyebab
berarti
menyediakan langkah-langkah cara-cara apa saja, baik formal
127
maupun
informal,
baik
perorangan,
kelompok
atau
kemasyarakatan, atau secara kelembagaan yang mencegah
(preventive) timbulnya lagi permasalahan.
8. Treatment --- Social Problems; berarti menyediakan langkahlangkah atau cara baik formal maupun informal, baik
perorangan, kelompok atau kemasyarakatan, atau secara
kelembagaan yang menghambat perluasan permasalahan sosial
yang telah terjadi timbulnya lagi permasalahan. Pada bagian ini
kegiatan-kegiatan
(developmental),
dapat
sokongan
bersifat
(supportive),
pengembangan
atau
penguatan
/pemberdayaan (empowerment)
9. Treatment --- Effect; berarti menyediakan langkah-langkah atau
cara baik formal maupun informal, baik perorangan, kelompok
atau kemasyarakatan, atau secara kelembagaan yang dapat
mengatasi atau memperbaiki akibat-akibat atau kerusakan
secara sosial, mental fisik yang telah mengganggu kemampuan
manusia mewujudkan fungsionalitasnya. Pada tahap ini
kegiatan-kegiatan lebih bersifat penyembuhan (curative) dan
perbaikan (rehabilitative).
Pemisahan dan kategorisasi tersebut hanya untuk memudahkan
dalam melakukan analisis. Kesembilan bagian tersebut merupakan
bagian yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga dalam proses
analisis perlu mempertimbangkan berbagai sel lain yang berpengaruh.
Ketajaman analisis akan ditentukan oleh penguasaan pengetahuan dan
kepekaan dalam membaca persoalan.
128
DAFTAR PUSTAKA
Parsons, J. Ruth, James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez, The
Integration of Social Work Practice, Pacific Grove: Brooks/
Cole, 1994.
Zastrow, Charles, Introduction to Social Work and Social Welfare,
Pacific Grove: Brooks/Cole Publishing Company, 2000.
129
130
TOPIK 6
NILAI-NILAI DASAR PEKERJAAN
SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Antara hubungan personal dengan
hubungan profesional
KEGIATAN BELAJAR 2: Prinsip praktik pekerjaan sosial
KEGIATAN BELAJAR 3: Klasifikasi pekerja social
KEGIATAN BELAJAR 4: Kerangka profesi pekerjaan sosial
131
KEGIATAN BELAJAR 1
ANTARA HUBUNGAN PERSONAL DENGAN
HUBUNGAN PROFESIONAL
Pekerjaan Sosial berawal dari kepedulian sosial antar warga
masyarakat. Seluruh sistem praktik Pekerjaan Sosial telah mengalami
perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan
masalah sosial, namun nilai dasarnya tetap: keperdulian sosial. Hepner
(1962:....) menulis:”Jika anda ingin memiliki lebih banyak lagi teman,
atau ingin bisa bergaul secara lebih menyenangkan, maka anda harus
belajar seni tentang melupakan diri sendiri. Anda harus memperkecil
kesadaran akan diri sendiri dengan cara berusaha untuk memperbesar
kesadaran akan adanya orang-orang lain dan mencurahkan pikiran dan
perhatian anda kepada mereka”.
Itu ungkapan dari bangsa yang berperibahasa take and give,
yang berpikir imbalan langsung sebelum melakukan kebajikan, tetapi
ada nilai baik ”lupakan diri sendiri”. Begitulah karakter seseorang yang
berjiwa sosial. Semakin besar perhatiannya kepada orang lain, semakin
tinggi jiwa sosialnya; dan sebaliknya. Sayyidina Ali b. Abi Thalib
(babul ulum – pintu ilmu), dengan sangat arif memberi nasehat:
”lupakan diri sendiri ... lengkapi”. Sangat arif karena nasehat itu
mengandung hikmah yang sangat dalam sampai kepada aqidah.
Lupakan diri sendiri, perhatikan, bantu orang lain; biarkan Allah SWT
membantu kita. Bayangkan semua orang berpikir demikian, maka
Allah SWT akan benar-benar mutlak di qalbu setiap orang. Pasti semua
orang, keluarga, dan masyarakatnya dilimpahi barokah, karena
132
semuanya langsung dibantu oleh Allah SWT. Demikianlah masyarakat:
”Baldatun toyyibatun warobbun ghafur”.
Seorang Pekerja Sosial memiliki karakter dan instink terlatih
untuk selalu memperhatikan orang lain, bersimpati dan berempati
kepada penderitaan sesama, dan tergerak untuk membantu. Dalam
prosesnya, terutama jika bantuan tersebut berlevel mikro dalam bentuk
konseling misalnya, terdapat jebakan terutama bagi para pemula. Dia
merasa dirinya seorang Pekerja Sosial profesional, kemudian berusaha
membantu menangani masalah pribadi seseorang, dan kemudian tidak
terasa tumbuh hubungan emosi yang mungkin dipicu oleh klien,
mungkin
juga
karena
dalil
kedekatan.
Munculah
masalah
ketidakjelasan hubungan keduanya: pribadi atau profesional ?.
Tono memandang dirinya sendiri sebagai pemberi bantuan
karena memang ia biasa menjadi tempat curhat dan memberi nasehat
kepada teman-temannya. Suatu hari Tini, seorang teman perempuannya
menemuinya dan curhat tentang pacarnya yang menurutnya terlalu
posesif. Tono mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati,
kemudian memberi Tini saran tindakan. Beberapa hari kemudian Tini
menemuinya lagi, dan Tono sebagai ’konsultan’ menanggapi
curhatnya, ngobrol. Semakin sering mereka bertemu, berbicara; lama
kelamaan tumbuh rasa suka di hati Tini, ia mulai tidak berbicara
tentang pacarnya, melainkan menemui Tono karena memang ingin
bertemu dan ngobrol. Tono menanggapinya; keduanya kemudian mulai
jalan bersama. Ketika sudah menjalin hubungan secara pribadi,
munculah masalah-masalah pribadi di antara mereka. Dalam posisi
pencari nasehat, Tini sangat kagum melihat betapa banyaknya temanteman yang lain, termasuk para gadis yang meminta nasehat Tono.
133
Namun dalam posisi ’pacar’, ia merasa terganggu, cemburu, cemas,
melihat Tono ngobrol berdua dengan para pencari nasehat.
Dari kisah sangat singkat itu dapat ditarik beberapa hal:
1. Terjadi perubahan hubungan, dari hubungan pemberian bantuan
kepada hubungan pribadi.
2. Terlepas dari hak individu untuk menjalin hubungan pribadi
dengan siapapun yang disukai, cara Tono telah melanggar etika
hubungan pemberian bantuan.
3. Seorang pemberi bantuan selalu berhadapan dengan resiko
disukai secara pribadi oleh yang diberi bantuan karena terkesan
sebagai sosok yang memiliki stabilitas, integritas, dan
kematangan pribadi. Persoalannya adalah bahwa pemberi
bantuan harus tetap di jalurnya. Ia harus menegaskan batasbatas pemberian bantuan.
4. Seorang pemberi bantuan menghadapi resiko menerima
perlakuan agresif baik dari yang diberi bantuan, dari fihak
lingkungan yang diberi bantuan, maupun dari fihak lingkungan
pemberi bantuan itu sendiri.
Hal-hal tersebut tidak hanya berlaku dalam kasus-kasus masalah
individual semata-mata, melainkan dapat terjadi pada penanganan
masalah-masalah dan pemberian bantuan yang berskala lebih luas;
misalnya dalam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap golongan
atau masyarakat tertentu karena simpati pemberi bantuan kepada
golongan atau masyarakat tertentu lainnya, atau terhadap individuindividu di dalam masyarakat tersebut. Intinya adalah adanya
pencampuradukan
antara
hubungan
134
pemberian
bantuan
yang
seharusnya didasarkan kepada kebutuhan penerima bantuan dengan
hubungan pribadi yang didasarkan emosi atau sentimen pemberi
bantuan; dan untuk pemberi bantuan.
Seperti juga rocker, para Pekerja Sosial juga adalah manusia biasa
namun dididik dan dilatih untuk memberi bantuan kepada sesamanya.
Pendidikan dan latihan serta etika profesional tidak lantas membuatnya
menjadi manusia yang tidak berperasaan. Dalam praktik Pekerjaan
Sosial, perasaan (simpati, iba, kasihan, cinta) menjadi bagian penting.
Bagaimana seseorang dapat menaruh perhatian kepada sesamanya
tanpa memiliki perasaan-perasaan tersebut ?. Mengapa bunga dibubuhi
madu dan indah ? dengan itulah kupu-kupu dan kumbang tertarik.
Tanpa daya tarik tersebut, bunga akan layu tanpa sempat terjadi
pembuahan. Kecantikan, ketampanan (betapapun relatif) sangat
diperlukan untuk menjadi daya tarik bagi lawan jenis. Tanpa rasa suka,
kecantikan dan ketampanan akan sia-sia.
Sebagai bagian dari kelengkapan profesional, Pekerja Sosial
sangat perlu memiliki kepekaan rasa terhadap situasi orang-orang lain
(individu, kelompok, masyarakat). Namun ketika proses pemberian
bantuan berlangsung, ia harus menjaga agar perasaan, kepentingan,
kecenderungan pribadinya tidak mencampuri proses pemberian bantuan
tersebut. Orientasinya tetap kepada pemenuhan kebutuhan klien, bukan
pemuasan kepentingannya. Ia tidak boleh membunuh perasaannya
sehingga menjadi robot, tetapi ia harus mengendalikan perasaan
pribadinya sehingga tidak mempengaruhi hubungan profesionalnya.
Oleh karena itu sejak awal ia harus menegaskan batas-batas hubungan
dan pemberian bantuannya (tahap kontak dan kontrak dalam praktik
Pekerjaan Sosial).
135
KEGIATAN BELAJAR 2
PRINSIP PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL
Prinsip-prinsip praktik Pekerja Sosial dan etika praktik
merupakan landasan bagi seorang Pekerja Sosial dalam melakukan
hubungan pertolongan dengan klien. Sikap yang harus dikembangkan
oleh Pekerja Sosial saat melakukan hubungan dengan klien diantaranya
adalah:
1. Acceptance merupakan prinsip Pekerja Sosial yang fundamental,
yaitu dengan menunjukan sikap toleran terhadap keseluruhan
dimensi klien (Plant, 1970). Hal ini berarti Pekerja Sosial dapat
memahmai
jalan
berpikir
klien,
niai-nilainya,
berbagai
kebutuhannya, dan perasan-perasaannya. Pekerja Sosial menerima
otentisitas klien dengan segala kelemahan dan kekuatan perilakunya
secara bermartabat dan penuh penghargaan. Acceptance terhadap
klien berimplikasi pada terbangunnya kekuatan klien serta
memunculkan potensi untuk tumbuh dan berkembang (Biestek,
1975)
2. Nonjudgemental, berarti Pekerja Sosial menerima klien dengan apa
adanya tanpa disertai prasangka atau penilaian. Hal tersebut bukan
berarti Pekerja Sosial sepakat atau menerima nilai-nilai klien untuk
diri Pekerja Sosial sendiri, melainkan menerima klien dengan
segala keadaannya, menilai klien sebagai manusia dengan latar
belakang sejarahnya sendiri, tidak menilai perilakunya, dan tidak
memaksakan nilai-nilai yang dimiliki oleh Pekerja Sosial terhadap
klien. Sikap Pekerja Sosial seperti ini akan memunculkan perasaan
136
bebas dari klien untuk membuka dirinya tanpa merasa takut
diinterupsi atau dikritisi, sehingga klien memiliki kesempatan
mengembangkan kesadaran dirinya untuk merekonstruksi sikapnya.
Terdapat
beberapa
langkah
untuk
mewujudkan
sikap
nonjudgemental, yaitu:
a. Langkah pertama untuk menghindari proses penilaian
(judgement), yaitu mencoba melihat ”dunia” dari kacamata
klien. Dengan melakukan hal ini, maka Pekerja Sosial akan
dapat mengerti motivasi-motivasi klien atau latar belakang
klien dalam berperilaku. Setelah Pekerja Sosial mengenal
dunia kien dengan pernak-pernik kehidupannya, kita akan
mengerti penyebab klien menampilkan perilakunya.
b. Untuk bersikap non judgemental tidaklah mudah terutama
bagi Pekerja Sosial pemula. Hal ini disebabkan karena
kemungkinan munculnya konflik nilai yang dialami oleh
Pekerja Sosial ketika berhadapan dengan nilai-nilai yang
dimiliki oleh klien. Ada resiko ketika konflik ini terjadi,
yaitu Pekerja Sosial mengalami kebingungan, sehingga
fokus Pekerja Sosial terhadap persoalan klien terganggu.
Apabila kurang hati-hati hubungan yang terjadi antara
Pekerja Sosial dengan klien akan digunakan untuk
menyelesaikan konflik-konflik nilai yang dialami Pekerja
Sosial daripada menyelesaikan persoalan klien.
c. Untuk menghindari terjadinya konflik nilai, Pekerja Sosial
harus terlebih dahulu mengerti diri dan nilai-nilai apa saja
yang dimilikinya. Melalui pemahaman sistem nilai yang
diyakininya, mengerti diri dengan lebih baik, serta
137
menyadari
keniscayaan
relativitas
perspektif,
maka
seseorang tidak akan merasa terancam oleh pandangan
orang lain yang berbeda dengan dirinya, serta dengan
mengakui adanya perbedaan antarmanusia, maka sikap
nonjudgemental akan lebih mudah untuk dilakukan.
d. Menjalankan prinsip nonjudgemental bukan berarti Pekerja
Sosial tidak dapat membuat keputusan apapun. Prinsip ini
hanya ditujukan agar Pekerja Sosial tidak berprasangka,
menyetujui ataupun tidak menyetujui sikap serta perilaku
klien. Pada pekerjaannya Pekerja Sosial tetap membuat
penilaian profesional mengenai solusi alternatif dan
pendekatan pemecahan masalah yang tepat (DuBois &
Miley, 1992).
3. Individualisasi, berarti memandang dan mengapresiasi sifat
unik dari klien (Biestek, 1957). Setiap klien memiliki
karakteristik kepribadian dan permasalahan yang unik, yang
berbeda dengan setiap individu yang lain. Masing-masing dari
mereka dibentuk oleh pengalaman, kebutuhan, situasi, dan
pengetahuannya. Dengan demikian Pekerja Sosial tidak dapat
menggeneralisasi persoalan yang sama pada klien yang berbeda.
Mulailah dengan memandang klien “yang saat ini dan di sini”
(here and now).
4. Self Determination, ialah memberikan kebebasan mengambil
keputusan oleh klien. Penting bagi kien untuk memilih
keputusan yang tepat menurut dirinya sendiri. Ia kemudian
dapat
menguji
keputusan
138
tersebut
dan
belajar
dari
pengalamannya
sendiri
daripada
belajar
mempercayai
“kebijaksanaan” Pekerja Sosial.
5. Genuine/congruence, berarti Pekerja Sosial sebagai seorang
manusia yang berperan apa adanya, alami, tidak memakai
topeng, pribadi yang asli dengan segala kekurangan dan
kelebihannya. Misalnya seperti contoh berikut ini: hanya ada
seorang Mia meskipun ia memiliki banyak peran; ia seorang
ibu, Pekerja Sosial, dosen, juga sebagai teman, kakak,
pelanggan, penulis, dan sebagainya. Perilaku Mia akan berbeda
pada setiap situsi dan peranan di atas. Ketika Mia melakukan
hubungan person to person dengan klien dalam peranannya
sebagai seorang Pekerja Sosial, maka ia adalah bagian dari
keseluruhan dirinya tersebut. Tidak perlu berpikir bahwa
hubungan Anda sebagai seorang Pekerja Sosial dengan klien
merupakan pekerjaan yang luar biasa serius, berat, dan kaku.
Jadilah diri Anda yang asli dan alami, sertakan semua bagian
diri Anda yang otentik dalam berhubungan dengan klien, sepeti
humor,
suka
bersenang-senang,
sifat
kekanak-kanakan
disamping sifat serius. Bagian-bagian kepribadian Anda akan
memperkaya proses terapi melalui hubungan Anda dengan
klien. Selain itu Anda tidak perlu
repot-repot
merekayasa
perilaku Anda (merekayasa citra), sehingga konsentrasi dan
perhatian Anda sebagai seorang Pekerja Sosial menjadi
teralihkan ke dalam urusan diri Anda sendiri daripada
memandang persoalan yang dihadapi oleh klien.
6. Mengontrol keterlibatan emosional, berarti Pekerja Sosial
mampu bersikap objektif dan netral. Pekerja Sosial harus dapat
139
membedakan mana tanggung jawab dirinya dan mana tanggung
jawab klien dalam memecahkan masalahnya. Mengontrol
respon emosional dapat dilakukan dengan menghindari sikap
simpati, serta mengedepankan sikap empati. Biestek (1957)
menyarankan tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang
Pekerja Sosial dalam mengontrol respon emosional terhadp
klien, sebagai berikut: pertama, kepekaan terhadap perasaan
yang terekspresikan maupun yang tidak. Tetaplah waspada dan
mengontrol penuh perasaan-perasaan Anda. Kedua, memahami
pengetahuan tentang perilaku manusia, dan ketiga, respon
emosional harus dikendalikan oleh tujuan-tujuan rasional serta
pengetahuan. Memahami keadaan serta respon-respon klien
sebagai hal yang wajar akibat dari situasi yang dialaminya, juga
dapat membantu menghindari keterlibatan secara emosional.
7. Kerahasiaan (confidentiality), Pekerja Sosial harus menjaga
kerahasiaan informasi seputar identitas, isi pembicaraan dengan
klien, pendapat professional lain atau catatan-catatan kasus
mengenai diri klien. Dengan demikian, klien akan merasa
nyaman
mengungkapkan
masalahnya.
Kerahasiaan
merupakan bagian dari etika dalam praktik Pekerjaan Sosial.
140
ini
KEGIATAN BELAJAR 3
KLASIFIKASI PEKERJA SOSIAL
Terkait dengan situasi dan kondisi bangsa ini, di mana bencana
alam, kemiskinan dengan berbagai derivasinya, atau konflik bisa hadir
kapan saja. Kadang menimpa orang-orang yang jauh dan sangat tidak
kita kenal. Meski suatu saat dan sangat mungkin mendatangi orangorang terdekat, sanak famili, kerabat, sahabat, bahkan diri kita sendiri.
Yang pasti, butuh penanganan cepat, serius, tidak setengah-setengah,
profesional, serta tidak menunggu akhir pekan.
Mengingat begitu banyaknya masalah-masalah sosial yang terus
terjadi, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, masyarakat
dan lembaga sosial. Pemerintah sebagai penentu kebijakan, masyarakat
sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar yang turut memberikan
sumbangsihnya, dan lembaga sosial sebagai eksekutor di lapangan yang
mendapat mandat dan kepercayaan penuh, baik dari pemerintah
maupun masyarakat luas. Idealnya seperti ini.
Siapakah yang dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Apakah
mereka para pemberi pertolongan pada para korban bencana alam,
korban banjir, korban konflik dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Atau
para donatur yang memberikan sumbangan dan aktif dalam berbagai
kegiatan sosial itu dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Lalu apakah setiap
orang dapat dikatakan dan menjadi seorang Pekerja Sosial?
Mungkin kita masih belum dapat menjawab pertanyaan di atas,
karena pada kenyataannya setiap orang yang mengulurkan tangannya
untuk menolong orang lain, mereka inilah yang menyebut dirinya
141
sebagai Pekerja Sosial. Namun demikian, marilah kita pahami, siapa
sebenarnya yang dikatakan sebagai seorang Pekerja Sosial itu.
Jika Pekerjaan Sosial menunjuk pada sebuah profesi, maka
Pekerja
Sosial
(Social
Worker)
menunjuk
pada
orang
yang
menyandang profesi tersebut. Secara sederhana, Pekerja Sosial
didefinisikan sebagai “orang yang memiliki kewenangan keahlian
dalam menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial”.
Dengan mengacu pada perkembangan kebutuhan masyarakat
yang semakin besar akan pelayanan sosial beserta perangkat
keahliannya, dan seiring pula dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri, maka peran Pekerja Sosial sebagai ahli, bukan hanya pada
tingkat pelayanan langsung (direct social services), melainkan akan
harus sampai kepada tingkat kebijakan/ perundang-undangan dan
perencanaan sosial.
Dengan perkataan lain, Pekerja Sosial bukan hanya ahli dalam
menangani penyandang masalah sosial, melainkan juga ahli dalam
penataan masyarakat sebagai sebuah sistem sosial. Sesuai dengan
karakter profesi Pekerjaan Sosial yang telah dikemukakan terdahulu
yaitu profesi yang sangat sarat nilai, maka penataan masyarakat (social
engineering)
berarti
menata
dan
mengarahkan
perkembangan
masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu
sendiri, sehingga terbentuk masyarakat yang berakar pada budaya
masyarakat itu sendiri. Khinduka & Coughin (dalam the Encyclopedia
of Social Work, 1978:683) menyatakan, bahwa: ”Komitmen terhadap
perubahan institusional merupakan karakteristik khusus lainnya dari
Pekerjaan Sosial”.
142
Tampak dari pernyataan tersebut bahwa garapan Pekerja Sosial
bukan hanya penyandang masalah sosial melalui pelayanan langsung,
melainkan juga institusi sosial. Penataan institusi sosial ini tidak hanya
mencakup wilayah lokal, melainkan dapat pula berskala nasional
maupun regional. Dengan demikian, secara garis besar, posisi-peran
yang dapat disandang Pekerja Sosial dalam skala wilayah tersebut,
antara lain :
a. Perencana Sosial (social planner)
b. Peneliti (researcher)
c. Pendidik (educator)
d. Penyembuh (therapist)
Selanjutnya, karena posisi-perannya yang meliputi skala mikro
maupun makro dalam perubahan (penataan) kehidupan sosial di dalam
masyarakat; maka praktik Pekerjaan Sosial sangat terkait dengan --dan
harus dilandasi oleh-- nilai-nilai sosial-budaya di dalam masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian, para Pekerja Sosial sebagai penyandang
keahlian Pekerjaan Sosial, harus memiliki kualifikasi, sebagai berikut:
1. Memahami, menguasai, dan menghayati serta menjadi figur
pemegang nilai-nilai sosio-kultural dan filsafat masyarakat.
2. Menguasai sebanyak dan sebaik mungkin berbagai perspektif
teoritis tentang manusia, khususnya sebagai makhluk sosial,
lebih khusus lagi perilaku interaktif manusia beserta wadah
kelembagaannya
dalam
keanekaragaman
bentuk
beserta
perubahan-perubahannya.
3. Menguasai dan secara kreatif menciptakan berbagai metode
pelaksanaan tugas profesionalnya.
143
4. Memiliki mental wirausaha, yang mencakup :
a. Kepekaan terhadap perkembangan masyarakat beserta
kebutuhan-kebutuhan sosial yang menjadi konsekuensi
perkembangan tersebut.
b. Keberanian untuk memprakarsai tindakan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat akan pelayanan sosial institusional.
c. Kemandirian dalam berpikir dan bersikap serta kemampuan
merumuskan
dan
mengungkapkan
pandangan
dan
menemukan
dan
mewujudkannya dalam tindakan nyata.
d. Kreativitas
dalam
upaya
untuk
mengembangkan ide-ide baru dalam pelaksanaan tugas
profesinya.
Orang Amerika sering dengan bangganya menyebut negaranya
sebagai ’negara bebas’ (free-country); sebenarnya orang Indonesia
tanpa banyak gembar-gembor soal kebebasan, ternyata lebih ‘bebas’.
Jika di Amerika orang sekolah, dan bekerja (berkarier) sesuai bakatnya,
maka di Indonesia, bakatnya apa, sekolah di mana, bekerja apapun bisa.
Itu tadi sekedar canda sedih tentang masyarakat sendiri. Tapi point-nya
adalah bahwa di Indonesia banyak sekali terjadi salah kaprah karena
persepsi tentang kebebasan yang berarti ‘gimana gue aja’ tanpa melihat
sekeliling bahwa ada tatanan keteraturan di lingkungan apapun.
Begitupun tentang Pekerja Sosial, yang difahami sebagai para
pelaku kegiatan sosial. Pekerjaan Sosial identik dengan kegiatan sosial,
sehingga Pekerja Sosial identik dengan pelaku kegiatan sosial. Padahal
jika Pekerjaan Sosial dipandang sebagai sebuah profesi, maka Pekerja
Sosial adalah seorang profesional.
144
Dengan perkataan lain, istilah Pekerja Sosial ditujukan kepada
lulusan-lulusan sekolah-sekolah Pekerjaan Sosial yang dipekerjakan
pada lembaga kesejahteraan sosial. Seorang Pekerja Sosial adalah
seorang agen atau pelaksana perubahan (change agent). Sebagai
seorang pelaksana perubahan Pekerja Sosial dipersyaratkan untuk
memiliki keterampilan-keterampilan dalam bekerja dengan individuindividu, kelompok-kelompok dan keluarga-keluarga serta melakukan
perubahan-perubahan dalam masyarakat (Charles Zastrow, The
Practice of Social Work, The Dorsey Press, Illionis, 1981)
Ernest Greenwood (1957) mengidentifikasikan terdapat lima
atribut keprofesian, yaitu :
1. A systematic body of theory;
2. Profesional authority;
3. Sanction of the community;
4. A regulative code of ethics; dan
5. A professional culture.
Dengan melihat kesimpangsiuran mengenai siapa sebenarnya
yang
dikatakan
sebagai
Pekerja
Sosial,
dan
bagaimana
penggolongannya, maka apabila kita mengacu pada National
Associaton of Social Workers (NASW), Pekerja Sosial dapat
dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
1. Pekerja Sosial Tingkat Profesional Dasar (Basic Professional)
Tingkatan ini mensyaratkan kualifikasi pendidikan dari tingkat
diploma/bachelor dari keilmuan Pekerjaan Sosial, yang
mendasarkan pada konsep-konsep, teori, dan pengetahuan
tentang manusia dalam interaksi sosialnya serta secara inisiatif
145
melatih Pekerja Sosial agar dapat menggunakan dirinya sendiri
(use of self) dalam relasinya dengan klien.
2. Pekerja Sosial Tingkat Spesialis
Pada tingkat ini kualifikasi pendidikan Pekerja Sosial yang
dipersyaratkan adalah Tingkat Magister atau Master di bidang
keilmuan Pekerjaan Sosial. Pada tingkatan ini, Pekerja Sosial
dituntut mampu menguasai dan dapat mendemonstrasikan
sekurang-kurangnya satu teknik terapi. Kemampuan tersebut
harus pula didukung oleh pengetahuan tentang kepribadian
manusia, dan kemampuan untuk menggunakan diri sendiri
dalam kaitannya dengan relasi pertolongan terhadap individu
dan kelompok. Selain itu Master Pekerjaan Sosial dituntut pula
untuk menguasai pengetahuan tentang penelitian, administrasi,
metode perencanaan, dan masalah sosial.
3. Pekerja Sosial Tingkat Independen (Mandiri)
Pekerja Sosial Independen adalah Pekerja Sosial setingkat
Master yang telah memiliki pengalaman praktik sekurangkurangnya selama dua tahun di bawah supervisi profesional.
Tingkatan
ini
membutuhkan
pencapaian
praktik
yang
didasarkan pada pelatihan khusus, selain dapat mengembangkan
dan mendemonstrasikan keterampilannya di bawah supervisi
yang profesional. Persyaratan tersebut berlaku baik untuk
Pekerja Sosial yang bekerja secara independen maupun bagi
mereka yang bekerja pada organisasi tertentu
4. Pekerja Sosial Tingkat Ahli (Advance)
Pada tingkat ini, kualifikasi pendidikan Pekerja Sosial yang
dipersyaratkan adalah tingkat Doktor/Ph.D. Pada tingkatan ini,
146
penerapan keilmuan Pekerjaan Sosial lebih bersifat “advance”
karena praktik Pekerjaan Sosial menuntut tanggung jawab
organisasi dan sosial yang sangat tinggi dalam rangka
pengembangan profesi, analisis, penelitian, serta implementasi
kebijakan. (Mach, M.W., Quam, J.K., and Seidl, F.W., 1986)
Sedangkan
Morales
&
Sheafor
mengklasifikasi
profesi
pekerjaan sosial ke dalam dua level utama, yaitu :
A. Level Paraprofesional
1. Bantuan Pelayanan Sosial
Penilaian akan kematangan individu, pengalaman hidup,
motivasi dan keterampilan yang dibutuhkan dengan tugas dan
fungsi tertentu.
2. Teknisi Pelayanan Sosial
Telah mengikuti program kependidikan selama dua tahun
dalam satu atau pelayanan sosial lainnya, biasanya keahlian
seni tertentu
B. Level Profesional
1. Pekerja Sosial
Tingkat Sarjana dengan akreditasi program pekerjaan sosial.
2. Lulusan Pekerja Sosial
Lulusan
dari
program
Master
Pekerjaan
Sosial
yang
terakreditasi.
3. Pekerja Sosial Bersertifikat
a. sertifikasi dengan Akademi Pekerja Sosial sehingga mampu
secara otonomi, praktik mandiri, atau
147
b. Lisensi menurut peraturan pemerintah
4. Social Worker Fellow
yaitu yang memenuhi program doktor atau praktik substansial
dalam bidang atau spesialisasi menurut Asosiasi Sertifikasi
Pekerja Sosial.
Seorang pakar Pekerjaan Sosial, Makmur Sunusi, Ph.D.,
mengatakan (1995): ”Bahwa ijazah pendidikan tinggi Pekerjaan Sosial
adalah lisensi praktik bagi para Pekerja Sosial”. Namun demikian, jika
perhimpunan profesional pekerja sosial telah berfungsi seperti Ikatan
Dokter Indonesia, maka dimungkinkan lisensi praktik tersebut juga
dikeluarkan oleh perhimpunan profesional.
PERBEDAAN PEKERJA SOSIAL,
PEGAWAI SOSIAL DAN RELAWAN SOSIAL
DITINTAU DAN BERBAGAI ASPEK
ASPEK
PENGER
TIAN
PEKERJA
SOSIAL
Seorang yang
melaksanakan
tugas pelayanan
mendasarkan pada
ilmu pekerjaan
sosial, seni dan
keterampilan
teknik
PEGAWAI
SOSIAL
Seorang yang
melaksanakan
tugas pelayanan
mendasarkan
Pada Tupoksi
instansi tempat
bekerja
148
RELAWAN SOSIAL
Seorang yang
melaksanakan tugas
pelayanan mendasarkan
atas keterpanggilan jiwa
Pendidikan Profesi
Pekerjaan Sosial
Surat Keputusan
sebagai Pegawai
Instansi Sosial
Kemauan/AD/ ART
ORSOS tempat mengabdikan diri
LEGALIT Ijazah / Sertifikat
Kompetensi
AS
Lulusan Pekerjaan
Sosial
Surat Tugas dari
Instansi tempat
bekerja
Pengakuan masyarakat/
Surat Tugas dari
ORSOS
Menyesuaikan
tujuan yang
tertuang pada
program
Menolong sesarna untuk
kepuasan batin
PENDEKATAN
METODE,
TEKNIK
PROSES
TUJUAN
LANDAS
AN
OPERASI
ONAL
Menolong klien
supaya dapat
menolong dirinya
sendiri
Proses baku Peker- Tergantung
jaan Sosial
Rencana Anggaran Program
Sesuai kemauan
Menggunakan
Metoda dan
Teknik Pekerjaan
Sosial
Menurut Jukiak /
Juknis / Pola
Operasional
Partisipatory
Prinsip Dasar
Pekerjaan Sosial
Program Oriented
Kemanusiaan / Religi
149
TARGET
TANGGUNG
JAWAB
VISI
MISI
PROGRAM
AKSI
MOTIVASI
Kesepakatan
sesuai kontrak
Tergantung tahun
anggaran
Tidak terbatas
Lembaga Pekerja
Sosial kerja dan
Kode Etik Pekerjaan Sosial
Laporan Teknik
dan Administratif
Keuangan
Diri sendiri/ORSOS/
Religi
Sesuai lembaga
tempat bekerja
Instansi / Dinas
tempat bekerja
Hubungan yang
harmonis
Merobah perilaku
dan pola pikir
Sesuai tugas dinas Kepercayaan/
ia bekerja
Keagamaan
Kegiatan Pertolongan (helping
activity), Kegiatan
Sosial (Social
Activity), Kegiatan
Perantara (Liaison
Activity)
Pengembangan
Kompetensi
Sesuai Renstra
Instansi / Dinas
tempat bekerja
Tergantung sarana dan
prasarana (Kemampuan
SDM dan Dana yang
dimiliki )
Penunjang Karier
Keterpanggilan
Prosedural
Philanthropy / Charity
BENTUK
LAYANAN
Profesional
150
SASARAN
FUNGSI
PELAYANAN
DASAR
PELAYANAN
LEMBAGA
PENDUKUNG
SISTEMATIKA
GERAK
Kelompok
Pathologis dan
Nonpathologis
Menyesuaikan
kebijakan
dinas/instansi
tempat bekerja
Kelompok yang
mengalami penderitaan
Kuratif/ Rehabilitatif, Preventif,
Promotif/Developmental, Supportif
Sesuai Job
Description
Dinas/ Instansi
tempat bekerja
Rehabilitatif
Hasil penelitian
(research)
Menyesuaikan
kebijakan / Hasil
Keputusan
rakorbang
Inisiatif (Aktivitas dan
kreativitas)
Lembaga
Research,
Organisasi Profesi,
Lembaga Pendidikan
Stakeholders/
ORSOS/ LSM
Lembaga Keagamaan/
ORSOS
Research, Diagnosis, Treatment,
After Care, Termination.
Pendataan dan
pelaksanaan
Sesuai kemauan dan
kesempatan
151
KEGIATAN BELAJAR 4
KERANGKA PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
1. Kriteria Profesi
Pembahasan kreteria profesi merupakan pembahasan yang
cukup penting, karena dengan mengetahui kreteria profesi kita dapat
mengukur sampai sejauhmana suatu bidang keahlian dapat dikatakan
sebagai profesi. Dengan mengtahui kedudukan profesi kita dapat
mengetahui kekurangan-kekurangan dan pemasalahan-permasalahan
yang dihadapi oleh suatu profesi.
William Wickenden menyatakan bahwa suatu bidang keahlian
dapat dikatakan sebagai profesi bila memenuhi syarat-syarat : 1. Body
of knowledge (science) and art (skill), 2. Proses pendidikan, 3. Kode
etik, 4. Pengakuan status dan, 5. Wadah atau organisasi.
Werner Boehm menyatakan bahwa yang membedakan suatu
profesi dengan yang bukan profesi, yaitu : 1. Suatu profesi mempunyai
tanggung jawab terhadap masyarakat atau kepentingan umum dan
mempunyai
sumbangan
pelayanan
yang
ditunjukkan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 2. Mempunyai body of
knowledge, 3. Body of value dan Body of skill, 4. Anggota profesi harus
diorganisasikan dan menyadari bahwa dirinya merupakan kelompok
yang mempunyai pengetahuan, nilai dan sikap serta keterampilan yang
perlu dijunjung tinggi dan dikembangkan.
Sementara itu Leonora Serafica-de Gusman menyatakan bahwa
kreteria profesi adalah: 1. Mempunyai pengetahuan yang sistematis
(systematic body of knowledge), 2. Mempunyai otoritas profesional
152
(profesional authority), 3. Ada sanksi dari masyarakat (sanction of the
comunity), 4. Mempunyai kode etik (code of etics) dan 5. Mempunyai
kebudayaan profesional (professional culture).
Dari ketiga pendapat tersebut diatas, suatu profesi pada
dasarnya mempunyai kerangka pengetahuan, kerangka nilai dan
kerangka keterampilan yang sistematis. Kerangka pengetahuan, nilai
dan keterampilan tersebut diajarkan melalui pendidikan formal.
2. Kerangka Pengetahuan, Nilai dan Pengetahuan Pekerjaan
Sosial.
a. Kerangka Pengetahuan (Body of Knowledge)
Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada klien harus
mempergunakan pengetahuan-pengetahuan ilimiah yang sudah teruji
kevaliditasannya. Pengetahuan (Knowledge) adalah : “Knowledge may
be generally definied as the acquantance with or theoretical or
practical understanding of some branch or science, art, learnnig or
otherare involving study, research, or practical and the acquisition of
skills” (morales dan sheafor, 1983). Pengetahuan pada umumnya
dihasiakan dari research atau praktek yang sudah teruji ketepatannya
dan
kebenarannya.
Marry
Richmod
(1917),
Mengelompokkan
pengetahuan pekerjaan sosial ke dalam tiga golongan, yaitu :
1)Pengetahuan tentang klien ,2) Pengetahuan tentang lingkungan
sosial, 3) Pengetahuan tentang profesi.
Elemen pengetahuan pekerjaan sosial menurut asosiasi sekolahsekolah pekerja sosial di Amerika serikat (1944), adalah social
casework, Social groupwork, comunity organization, social research
153
and statistic, social welfare administration, public welfare and child
welfare, medical information dan psychiatric information.
Alfred kadusin merumuskan bahwa pengetahuan pekerjaan
sosial pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 5 tingkat, yaitu: 1)
Pengetahuan pekerjaan umum (pelayanan dan kebijakan sosial, HBSE
dan metoda pekerjaan sosial), 2) Pengetahuan spesifik tentang bidang
praktek, 3) Pengetahuan spesifik tentang badan-badan sosial, 4)
Pengetahuan spesifik tentang klien dan 5) Pengetahuan spesifik
tentang kontak.
b. Kerangka Nilai (Body of Value)
Konsep nilai banyak dibahas dalam literatur pekerjaan sosial,
karena nilai mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam
melaksanakan praktek pekerjaan sosial. Pekerjaan sosial dalam
melaksanakan tugas-tugasnya dopengaruhi oleh nilainilai: a. Nilai
pribadi pekerja sosial, b. Nilai profesi pekerjaan sosial, c. Nilai klien
atau kelompok klien, d. Nilai masyarakat.
Armado Morales mengelompokkan elemen nilai dalam praktek
pekerjaan sosial sebagai berikut : 1) nilai pekerjaan sosial (nilai persona
dan nilai profesi), 2) Nilai pribadi, 3) nilai lembaga, 4) nilai masyarakat
tempat praktek pekerjaan social dilaksanakan.
Sumber
nilai
pekerjaan
sosial
pada
dasarnya
dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
a. Nilai masyarakat (societal values), praktek pekerjaan sosial
selalu berdasarkan kepada nilai-nilai masyarakat, karena profesi
pekerjaan social mendapatkan misi untuk melaksanakan
sebagian dari fungsi masyarakat. Oleh sebab itu praktek
154
pekerjaan sosial akan mengambil dan dipengaruhi oleh nilai
masyarakat. Jadi profesi pekerjaan sosial harus selaras dengan
nilai-nilai masyarakat.
b. Kode etik, kode etik merupakan rumusan tuntunan tentang
prilaku yang dianggap baik dan yang perlu ditunjukkan oleh
anggota profesi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tujuan
dan fungsi kode etik adalah : 1) melindungi reputasi profesi
dengan jalan memberikan kreteria yang dapat diikuti untuk
mengatur
tingkah
laku
anggotanya,2)
Meningkatkan
kompentensi dan kesadaran tanggung jawab bagi para anggota
dalam melaksanakan praktek, 3) melindungi masyarakat dari
praktek yang tidak kompeten. Kode etik pada dasarnya
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan proses pertolongan
pekerjaan sosial yang mencakup pekerja sosial, klien, teman
sejawat, badan sosial tempat pekerja sosial bekerja, profesi
pekerja sosial dan masyarakat tempat proses pertolongan
diberikan.
c. Agency Purpose (tujuan lembaga dimana pekerja sosial
bekerja), Pekerja sosial harus mengikuti aturan-aturan yang
berlaku dalam lembaga dimana pekerja sosial tersebut bekerja.
d. Teori, teori dianggap baik jika dapat berfungsi sebagai nilai.
Setiap teori dari suatu profesi mempunyai nilai. Nilai teori
pekerjaan sosial dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) nilai
tentang konsepsi orang, 2) nilai tentang masyarakat, 3) nilai
yang berkaitan dengan interaksi antar orang.
155
Literatur pekerjaan sosial menyatakan bahwa pekerja sosial
yang berinteraksi dengan kliennya harus didasarkan kapada prinsipprinsip: individualization, purposeful expression of feeling, controlled
emotional involvement, acceptance, nonjudgmental attitude dan self
determination.
c. Kerangka Keterampilan (Body of skill)
Profesi tidak hanya membahas teori saja, tetapi berkaitan
dengan penerapan atau praktek. Penerapan suatu teori atau knoledge
memburuhkan skills, sehingga setiap profesi perlu menuntut skill. Skill
merupakan perpaduan antara Body of knowledge dan Body of value.
Keterampilan merupakan komponen penting dalam rangka referensi
pekerjaan sosial. Sebab keterampilan pada perinsipnya merupakan alat
untuk mamadukan karangka pengetahuandan kerangka nilai.
Naomi I. Brill, menyatakan bahwa keterampilan-keterampilan
pekerjaan sosial adalah : 1) Differential diagnosis, 2) Timing, 3)
Partialization, 4) Focus, 5) Estabilishing partnership, 6) strukture.
Differential diagnosis, manusia pada dasarnya unik, artinya
manusia satu berbeda dengan yang lainnya. Oleh karena itu
permasalahan manusia yang satu berbeda dengan yang lain. Pekerja
sosial
diharapkan
mampu
mendiagnosa
perbedaan
tersebut.
Keterampilan Differential Diagnosis (DD) adalah keterampilan
ataukemampuan pekerja sosial untuk memahami keunikan klien,
masalah dan situasi sosial.
Timing, Disini berarti pekerja sosial harus mempunyai
keterampilan untuk merencanakan dan menggunakan waktu secara
tepat. Timing mengacu kepada dua hal, yaitu : 1) The personal Tempo,
156
dan 2) Tide in the affair of men. Partialization, pekerja sosial harus
mempunyai
keterampilan
untuk
memisahmisahkan,
yaitu
mengelompokkan, mengklasifikasikan, merealisasikan, menganalisis
dan menginteprestasikanmasalah termasuk didalamnya kemampuan
menentukan prioritas utama tentang kebutuhan klien.
Focus, masalah sosial mempunyai banyak dimensi dan masingmasing saling berinteraksi. Untuk itu pekerja sosial harus mampu
memfokuskan salah satu dimensi sebagai point of entery. Keterampilan
ini juga berkaitan dengan kemampuan pekerja sosial dan klien
mengkonsentrasikan
kegiatannya
terhadap
aspek-aspek
yang
berpengaruh terhadap permasalahan dan situasi klien.
Estabilishing partnership, kemampuan ini menunjukkan kepada
kemanpuan pekerja sosial dalam mengajak klien maupaun orang-orang
atau sistem sosial yang terkaitdalam usaha pemecahan masalah. Pihakpihak yang terkait tersebut adalah: 1) sistem klien, 2) sistem sasaran, 3)
sistem kegiatan dan 4) sistem pelaksana perubahan.
Structure, structure berkaitan dengan setting dan batas-batas
pelayanan, disini ditentukan dapat tidaknya suatu kegiatan dilakukan,
kapan dan dimana dilakukan. Keterampilan structure juga menyangkut
kemampuan pekerja social dalam mengkaitkan peranan berbagai pihak
yang terlibat dalam kegiatan pertolongan. Kemampuan didalam me
laksanakan prinsip pembagian habis tugas dan prinsip penempatan
orang sesuai dengan keahliannya.
Sementara itu menurut Baer dan Federico, keterampilan pekerja
sosial yang perlu dikuasai dalam melaksanakan tugasnya adalah
keterampilan-keterampilan berikut ini:
1.
Observasi situasi dan kegiatan
157
2.
Pengumpulan data
3.
Analisa data
4.
Identifikasi permasalahan sosial
5.
Mendengarkan
6.
Berkomunikasi dengan efektif
7.
Wawancara
8.
Memberikan informasi
9.
Berinteraksi dengan orang lain
10.
Penjelasan mengenai perasaan dan sikap
11.
Penjelasan mengenai implikasi yang disiplin
12.
Dorongan dan bimbingan
13.
Motivasi-motivasi lain
14.
Mengajarkan hal-hal lain
15.
Memilih strategi intervensi
16.
Memonitor penyebaran pelayanan
17.
Mengadakan kontrak
18.
Mengadakan advokasi
19.
Mengadakan kontak dengan sejawat
20.
Mencatat kasus
21.
Mengassesment kegiaran intervensi (Zastrow, 1982).
158
DAFTAR PUSTAKA
Compton, Beullah R & Bud Galaway. 1979. Social Work Processes.
Illinois : The
Dorsey Press
Hardy, Jean.1981. Values in Social Policy : Nine Contradiction.
London: Routledge &Kegan Paul
Klenck, Robert (ed).1977. Social Work Practice. New York : Prentice
Hall
Levy, Charles S. 1993. Social Work Ethics on the Line. New York :
The Haworth Press
159
160
TOPIK 7
METODE PRAKTEK PEKERJAAN
SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Social Casework
KEGIATAN BELAJAR 2: Social Groupwork
KEGIATAN BELAJAR 3: Community Development
KEGIATAN BELAJAR 4: Administrasi Pekerjaan Sosial,
Organisasi Pelayanan Manusia,
Manajemen Organisasi Pelayanan
Sosial, Penelitian Pekerjaan Sosial,
Perencanaan Sosial
161
KEGIATAN BELAJAR 1:
Social Case Work
Indonesia
sebagai
bangsa
yang
sedang
dalam
proses
pembangunan, maka pembangunan di bidang sumber daya manusia
(SDM) adalah salah satu fokus yang tidak kalah pentingnya dibanding
dengan berbagai bidang pembangunan lainnya.
Sebagai konsekuensi logis dari proses pembangunan yang
dilakukan, selain pencapaian dari tujuan pembangunan itu sendiri, hal
yang tidak dapat dikesampingkan adalah permasalahan yang muncul
akibat dari proses pembangunan yang sedang dilakukan. Menanggapi
berbagai permasalahan dan fenomena sosial yang terjadi, Pekerjaan
Sosial sebagai sebuah ilmu yang memiliki berbagai metode pemecahan
masalah dan dalam praktiknya berfokus pada hubungan antarindividu,
kelompok, atau masyarakat; dengan lingkungan sosial mereka, serta
mengingat Pekerjaan Sosial pun merupakan suatu profesi pemberian
bantuan yang berusaha membantu individu-individu yang mengalami
masalah pribadi serta masalah dalam hubungannya dengan individuindividu lainnya; maka Pekerjaan Sosial memiliki kompetensi yang
diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi melalui
metode-metode praktiknya.
Berkaitan dengan bidang pembangunan sumber daya manusia,
kajian keilmuan Pekerjaan Sosial dalam praktiknya mencakup bidang
kajian mikro, mezzo, dan makro. Yang termasuk dalam bidang kajian
mikro (social case work); fokus pada kebiasaan individu dan dampak
yang dapat menimpa individu yang bersangkutan, bidang kajian mezzo
162
(social group work) melihat pada interaksi individu dengan kelompok
atau lingkungannya, dan dengan orang-orang terdekatnya, dan bidang
kajian makro (community organization/community development) lebih
melihat pada kebijakan negara, lingkungan masyarakat di mana saja
individu menghadapi masalahnya, mengkaji ada tidaknya peraturan
perundang-undangan
yang
melindungi
atau
berkaitan
dengan
permasalahan yang dihadapi, dan bidang-bidang yang berkaitan dengan
pembangunan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan bidang
community development (ComDev).
Metode social case work atau yang dikenal juga dengan
Bimbingan Sosial Perseorangan merupakan suatu metode pemberian
bantuan kepada orang yang didasarkan atas pengetahuan, pemahaman,
serta penggunaan teknik-teknik secara terampil yang diterapkan untuk
membantu
orang-orang
guna
memecahkan
masalahnya,
dan
mengembangkan dirinya.
Metode social case work bersifat individual –karenanya
dikatakan pendekatan mikro-, yaitu membantu individu-individu yang
memiliki masalah, baik yang bersifat eksternal, artinya memiliki
masalah yang bersumber dari lingkungan sosialnya maupun individuindividu yang mengalami masalah yang bersumber dari dalam dirinya
sendiri.
Dalam
mengkombinasikan
praktiknya,
metode
elemen-elemen
social
psikologis
dan
case
sosial;
work
dan
karenanya metode social case work mempunyai sifat-sifat psikososial.
Berbicara mengenai pendekatan mikro (metode social case
work) dalam profesi Pekerjaan Sosial, maka kajiannya dapat dibagi
menjadi dua bagian, yang pertama adalah bidang-bidang yang bersifat
penyembuhan (problem solving) dan konseling (therapy) yaitu bagi
163
orang-orang yang memiliki masalah dan yang kedua adalah kajian
yang bersifat pengembangan diri (personal development) yaitu bagi
orang-orang yang tidak memiliki masalah, namun menginginkan
adanya upaya pengembangan diri, baik dalam meningkatkan aspek
pengetahuan, sikap maupun dalam bidang keterampilan.
Berbicara mengenai kajian praktik mikro dari Profesi Pekerjaan
Sosial (atau yang biasa disebut dengan social case work), berikut akan
dipaparkan berbagai hal yang terkait di dalamnya, yaitu:
1. Memulai hubungan dengan klien
Salah satu keahlian yang perlu dimiliki oleh seorang
Caseworker
(Pekerja
Sosial
dalam
praktik
mikro)
adalah
berkomunikasi. Dalam hal lingkup mikro, komunikasi yang dibutuhkan
adalah ketika memulai hubungan dengan klien dan kemudian untuk
bekerja pada tingkat individu.
Beberapa tingkah laku yang juga mempengaruhi proses komunikasi
adalah tingkah laku nonverbal. Beberapa tingkah laku non verbal yang
perlu mendapat perhatian adalah
a. Kontak mata
b. Ekspresi wajah
c. Posisi tubuh
2. Kehangatan, Empati dan Keaslian
Kehangatan
Kehangatan adalah bersikap sebaik mungkin dengan orang lain,
memberikan kenyamana dan perhatian yang tulus. Berikut beberapa
contoh komunikasi verbal yang menyiratkan kehangatan:
164
“Halo, senang bertemu dengan Anda”
“Saya, senang sekali
Anda tentang hal ini”
dapat
berbicara
kepada
“Senang sekali ngobrol dengan kamu”
“Senang bertemu Anda kembali”
“Silakan
kopi?”
duduk,
boleh
saya
ambilkan
segelas
Empati
Empati mengacu kepada bagaimana kita dapat memahami perasaan
orang lain. Berikut adalah contohnya, seorang klien bercerita kepada
Anda tentang bagaimana ia diperlakukan sangat buruk oleh suaminya,
Anda dapat mengatakan:
“Satu tahun kebelakang Anda pasti merasa sangat
berat”
“Satu tahun adalah waktu yang sangat lama untuk
hidup bersama dengan suami Anda yang seperti itu”
Empati dapat juga menunjukkan bahwa kita berada
dipihak mereka, berikut beberapa contoh lainnya
“Kesan saya..................”
“Apakah yang kamu katakan..........”
“”Yang kamu maksudkan............”
“Kamu kelihatannya................”
“Apakah kamu merasa..............”
“Kamu terlihat..................Apa yang
sebenarnya terjadi?”
”Kedengarannya
kamu.........................Maukah kamu
menceritakannya?”
165
Keaslian
Berbagi cerita dengan keaslian kita, dengan spontanitas yang tidak
dibuat-buat serta alamiah. Ketika berhubungan dengan klien, kita tidak
menjadi orang lain, melainkan total menjadi diri sendiri.
3. Menjalankan wawancara
Komunikasi adalah suatu bidang yang sangat luas. Berbagai
jenis dan tehnik komunikasi telah banyak dikembangkan oleh para ahli.
Salah satu tehnik komunikasi yang perlu dikuasai oleh seorang
Caseworker adalah menjalankan/memimpin wawancara, yaitu dalam
tahap pengumpulan data dan juga dalam proses pertolongannya;
Respon Verbal Pada Klien
1. Penguatan sederhana
Menjaga kontak mata dengan klien adalah sebuah penguatan
sederhana yang dapat membuat klien terus melanjutkan
ceritanya kepada Caseworker.
2. Rephrasing
Secara sederhana rephrasing adalah mengucapkan kembali apa
yang telah diutarakan oleh klien dengan bahasa yang berbeda.
3. Respon reflektif
Ini adalah kegiatan menterjemahkan apa yang kita pikir
dirasakan oleh klien dengan kata-kata. Respon reflektif dapat
digunakan pada klien yang bercerita panjang lebar mengenai
masalahnya, tetapi ia tidak merasakan masalah tersebut.
4. Klarifikasi
166
Inti dari klarifikasi adalah membuat pernyataan tertentu untuk
menunjukkan
bahwa
kita sudah
menangkap
apa
yang
dikemukakan klien.
5. Interpretasi
Ini adalah sebuah aktivitas mencari makna dibalik yang
terkandung dalam klarifikasi.
6. Memberikan Informasi
Terkadang perlu bagi kita untuk memberikan informasi, karena
sering kali masalah klien bermula dari kurangnya informasi
yang dia miliki mengenai berbagai hal.
7. Menekankan pada kekuatan klien
Pekerja Sosial berhadapan dengan masalah manusia yang paling
sulit. Terkadang mereka tidak bisa berpikir hal-hal yang lain
kecuali masalah mereka sendiri.
8. Penyingkapan diri
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Caseworker
adalah bahwa mereka perlu mengetahui sejauh mana mereka
dapat membuka diri kepada klien.
9. Mendapatkan informasi
Secara sederhana ada dua cara dalam mendapatkan informasi,
yaitu pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan
tertutup contohnya adalah;
“Apakah Anda akan datang besok?”
“Anda bekerja di restroan atau di hotel?”
167
Sedangkan
pertanyaan
memungkinkan
terbuka
penjawab
adalah
menjawab
pertanyaan
pertanyaan
yang
dengan
panjang lebar, seperti:
“Apa alasan kamu sehingga meninggalkan rumah
begitu lama?”
“Bagaimana
ini?”
perasaan
kamu
tentang
situasi
10. Penggunaan “mengapa?”
Berhati-hatilah jika menggunakan kata tanya mengapa, karena
seakan-akan
hal
tersebut
sudah
‘menyudutkan’
atau
menempatkan klien di tempat yang salah, sehingga ia dapat
merasa terancam.
Menekankan pada kekuatan klien:
Tingkah laku klien
‘Kamu telah melakukan aktivitas tersebut dengan
sangat baik, sesuai dengan yang disarankan.
Lihatlah, apa yang telah kamu berhasil
capai...’
Kualitas personal
‘Saya pikir kamu sangat termotivasi di
pekerjaan ini’
‘Kamu sangat ceria kalo sedang gembira, membuat
seluruh orang lain ikut senang’
Sumber-sumber klien
‘Sangat baik sekali kamu mempunyai teman untuk
diajak bicara, itu sangat membantu
168
11. Menangani Sikap Bermusuhan
Kadang kala klien tidak selalu menjadi anak manis ketika
berhadapan dengan kita. Mereka mungkin berteriak-teriak atau
melakukan tingkah laku yang agresif. Johnson 1986, menyatakan
bahwa walaupun konflik adalah sebuah situasi yang tidak enak dan
perlu dihindari, namun terdapat beberapa aspek positif dari konflik.
Misalnya, daripada rasa permusuhan tersebut dipendam, terkadang
akan lebih baik jika klien mengungkapkannya. Namun Caseworker pun
dapat meraih beberapa informasi tersembunyi dibalik sikapnya
tersebut. Berikut beberapa tips untuk berhubungan dengan rasa
permusuhan dari klien:
a. Jangan marah atau defensive. Kenali reaksi pribadi kita, ingat
bahwa ini adalaha wacana profesional bukan personal
b. Fokus pada tingkah laku permusuhan klien bukan mencap
bahwa klien adalah orang yang selalu bermusuhan
c. Biarkan klien melepaskan kemarahannya. Berempatilah
d. Tekankan pada kekuatan pribadi dari klien, jangan serang balik
e. Pahami faktanya berdasarkan situasi yang dialami oleh klien
f. Fokus pada saat ini dan masa depan, jadi tidak terus menerus
tenggelam di masa lalu
g. Lihat berbagai kemungkina alternatif dan konsekuensinya
h. Jangan sok bermoral
i. Ringkaskan
apa
yang
telah
berlangsung
169
terjadi
selama wawancara
j. Segera buat tujuan-tujuan jangka pendek dengan klien,
misalnya
membuat
persetujuan-persetujuan
kecil,
atau
perjanjian selanjutnya
Assessment
Assesment adalah tahap pertama dari proses penyelesaian
masalah. Termasuk di dalamnya adalah, mendapatkan pemahaman
tentang masalah tersebut, apa yang menyebabkannya dan apa yang bisa
diubah untuk meminimalisasi atau menyelesaikannya (Barker, 1987).
Para Caseworker mengevaluasi masalah dalam sebuah perspektif
lingkungan. Sebuah masalah tidak hanya menyangkut individu dan
keluarga tetapi juga tingkat masyarakat yang lebih besar dan sistem di
sekitar orang tersebut tinggal.
Manusia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh orang,
kelompok dan organisasi di sekitarnya. Banyak sedikitnya dukungan
sosial dari rekan sekerja bisa membuat seseorang membenci atau
menyukai pekerjaannya. Bahkan terpilihnya presiden baru di suatu
negara dapat menentukan seberapa besar tingkat kebebasan bertingkah
laku rakyatnya.
Sebelum menyelami assesment lebih lanjut ada empat hal yang
perlu dipahami terlebih dahulu tentang assesment, yaitu:
1. Pelibatan klien adalah sesuatu yang sangat esensial. Hal ini
untuk menghindari pernyataan masalah yang terlalu dini,
sehingga tidak akurat. Pelibatan klien akan meminimalisir hal
tersebut.
2. Assesment selalu melibatkan pengambilan keputusan
170
Tidak satu kamus yang memuat jawaban dari setiap masalah
yang ditemui, anda harus membuat keputusan untuk tiap
masalah
3. Assesment selalu mempertimbkan kekuatan/potensi klien
Pengetahuan
akan
kekuatan
atau
potensi
klien
akan
mempermudah untuk pencarian solusi
4. Dalam assesment, tidak selalu ditemukan sebuah definisi
masalah yang jelas dan tunggal. Jadi, buatlah identifikasi dan
prioritas yang terbaik dari masalah.
5. Assesment perlu merupakan suatu proses yang berkelanjutan.
Karena segala situasi, potensi dan kekuatan klien bukanlah
sesuatu yang statis melainkan selalu berubah secara dinamis.
Tujuan Assesment:
Ketika seorang Caseworker melakukan proses assesment, maka
hal ini ditujukan untuk :
1. Para Caseworker perlu membuat pernyataan masalah secara
jelas
2. Para Caseworker perlu memformulasikan deskripsi yang jelas
dari sistem yang melingkupi klien tersebut
3. Para Caseworker perlu mengilustrasikan bagaiaman sistem
klien berinteraksi dengan sistem lainnya, apakah sistem
keluarga klien misalnya terisolasi dari keluarga-keluarga yang
lain?
4. Para Caseworker perlu mengumpulkan seluruh informasi ini
disatu tempat, agar segera dapat dianalisis dan diambil langkahlangkah yang diperlukan.
171
KEGIATAN BELAJAR 2
Social Group Work
Manusia adalah makhluk yang hidup berkelompok, dan
semakin jauh ia mengenal dirinya, maka akan semakin jauh pula ia
mengenal masyarakat. Manusia tidak dapat hidup sendiri, ia bukanlah
sebuah pulau di tengah lautan. Kesejahteraan dan kebahagiaan
hidupnya,
dalam
kenyataannya,
sangat
erat
berkaitan
dengan
keberhasilan dan ketidakberhasilan manusia yang lain.
Ilmu pengetahuan telah menemukan bahwa bayi yang
diisolasikan dari manusia lainnya –-walaupun diberi makanan yang
baik-– tetap akan mati karena ia kurang perhatian. Anak-anak
merasakan bahwa rasa kesedihan tersebut tidak tertahankan, dan para
ahli psikologi telah mengobservasi bahwa proses belajar dapat
ditingkatkan dengan pergaulan bersama orang lain.
Kenyataan lain menyebutkan bahwa individu tidak dapat
dipisahkan dari kelompok, bahwa individu-individu hanya akan dapat
mencapai pengembangan potensi mereka yang setinggi-tingginya serta
perasaan harga diri yang kuat, melalui partisipasi mereka dalam
kehidupan kelompok; juga bahwa mereka dapat memperoleh rasa aman
dan tentram dengan adanya perasaan keterlibatan dan rasa memiliki
suatu kelompok yang mempunyai arti bagi mereka, serta bahwa mereka
memikul tanggung jawab terhadap orang lain di dalam dan melalui
antarhubungan tersebut.
Dengan dasar kenyataan-kenyataan seperti telah dikemukakan
di
atas,
maka
dalam
perkembangannya,
172
Pekerjaan
Sosial
mengembangkan metode Bimbingan Sosial Kelompok (Social Group
Work)
Social group work adalah suatu metode untuk bekerja dengan,
dan menghadapi orang-orang di dalam suatu kelompok, guna
peningkatan kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosial; serta guna
pencapaian tujuan-tujuan yang secara sosial dianggap baik (Soetarso,
Pengantar Kesejahteraan Sosial, 1976, hlm.72).
Bimbingan Sosial Kelompok didasarkan atas pengetahuan
mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia untuk berhubungan satu sama
lain, dan adanya saling ketergantungan di antara mereka. Bimbingan
Sosial Kelompok merupakan suatu metode untuk memperkecil atau
menghilangkan hambatan-hambatan dalam berinteraksi sosial, dan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang diterima secara sosial (dianggap
baik oleh masyarakat).
Kelompok dalam perspektif Pekerjaan Sosial dipandang sebagai
sekumpulan orang yang saling berinteraksi satu sama lain dan
membentuk suatu kesatuan yang terpisah dan berbeda dari kesatuankesatuan lainnya. Group Worker (Pekerja Sosial dengan fokus
perhatian pada kelompok) bekerja terutama dengan kelompokkelompok, yang didalamnya terdapat interaksi dan memungkinkan
adanya individualisasi (perbedaan satu kelompok dengan kelompok
yang lainnya).
Dalam kajian Bimbingan Sosial Kelompok, sejumlah orang
yang berkumpul dan dapat dikatakan sebagai suatu kelompok adalah
apabila memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Adanya sekumpulan orang
2. Adanya interaksi psikis di antara anggota-anggotanya
173
3. Adanya saling ketergantungan di antara para anggota kelompok
4. Merupakan suatu kesatuan yang berbeda dan terpisah dari
kelompok-kelompok lainnya
5. Individu tidak melebur di dalam kesatuan kelompok, melainkan
tetap
mempunyai
keunikan
masing-masing
yang
dapat
disumbangkan untuk kepentingan bersama
6. Adanya
tujuan,
nilai-nilai,
norma-norma,
dan
struktur
kelompok itu sendiri
Tipe-tipe kelompok:
1. Kelompok-kelompok tugas (task groups)
Kelompok yang berorientasi pada pencapaian seperangkat tujuan
atau penyelesaian tugas-tugas. Tujuan yang ditentukan dalam
kelompok ini menjadi alat untuk menentukan bagaimana kelompok
bekerja dan peran-peran apa yang dimainkan oleh anggota
kelompoknya. Kelompok tugas ini juga mempunyai beberapa tipe
yang lebih spesifik yang masing-masingnya menggambarkan peranperan yang mungkin dimainkan oleh para Pekerja Sosial, antara
lain:
a. Dewan direksi (Boards of directors)
Merupakan kelompok administratif yang bertanggungjawab
untuk menyusun kebijakan dalam mengatur program-program
agen. Dewan ini menggaji dan mengawasi pemimpin agen dan
menentukan kebijakan yang harus dijalankan oleh agen, dan
kebijakan tersebut mempengaruhi secara langsung apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para praktisi agen dalam
menghadapi klien-kliennya. Dewan direksi ini tidak saja orang174
orang yang ahli dalam mengelola agen tetapi juga orang-orang
yang dipilih berdasarkan kontribusi yang telah diberikan.
Karena dewan direksi ini berperan menyediakan hubungan yang
kuat dengan komunitasnya dan seringkali menjadi penolong
dalam pengumpulan dana, maka anggota dewan direksi ini
merupakan aset yang tidak dapat tergantikan bagi agen.
b. Tenaga tugas (task forces)
Merupakan kelompok yang dibentuk untuk tujuan tertentu dan
biasanya tidak terikat lagi dengan agen setelah mereka
menyelesaikan tugasnya. Tenaga tugas ini diangkat karena
keahlian khusus yang mereka miliki atau karena ketertarikan
mereka terhadap topik yang sedang menjadi perhatian. Tenaga
tugas ini diharapkan untuk mempelajari ide atau masalah,
mempertimbangkan berbagai alternatif pemecahan masalah, dan
menyiapkan laporan pertanggungjawaban.
c. Komite dan komisi (Committees and commissions)
Komite merupakan kelompok yang dibentuk oleh dewan
direksi suatu agen yang bertugas menyelesaikan tugas atau
masalah-masalah spesifik. Anggota komite ini bisa diseleksi
atau dipilih tergantung pada jenis komite itu sendiri. Komite
biasa bekerja pada area atau bidang yang khusus dan bisa juga
berupa panitia kerja (standing commitee) atau panitia khusus
(ad hoc committee). Panitia kerja biasanya bekerja secara terusmenerus pada satu bidang tertentu misalnya komite pelaksana,
komite keuangan. Atau bisa juga didirikan oleh suatu agen,
misalnya komite pembicara (speakers committee).
175
Sedangkan panitia khusus, sama halnya dengan tenaga tugas,
diatur sedemikian rupa untuk tujuan tertentu dan berhenti
bekerja setelah menyelasaikan tugasnya. Anggota panitia
khusus bisa dipilih karena ketertarikan pada tugas komite atau
karena keahlian mereka.
Komisi mempunyai kesamaan dengan komite dalam hal
tanggungjawabnya terhadap tugas khusus. Suatu komunitas atau
negara atau juga kota, biasanya memiliki komisi yang
membantu pekerjaan rutin kota dalam tugas-tugas khusus,
misalnya komisi perencanaan kota, komisi anti diskriminasi,
dan lain sebagainya. Anggota komisi bisa dipilih, tapi biasanya
diangkat oleh administrator negara dengan persetujan dewan
yang memiliki kewenangan. Misalnya Komisi Akreditasi dari
The Council on Social Work Education (CWSE) diangkat oleh
Presiden CWSE setelah melakukan konsultasi dengan dewan
direksinya.
d. Badan legislatif
Badan legislatif ini terdiri dari paa representatif yang dipilih,
dimana badan ini memunyai tanggung jawab menetapkan
hukum
dan
mencukupi
dana
untuk
program-program
berdasarkan hukum yang berlaku. Interaksi para Pekerja Sosial
dengan badan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara.
Pekerja Sosial bisa menjadi anggota yang dari badan legislatif.
Pekerja Sosial juga bisa sewaktu-waktu dipanggil utnuk
memberikan kesaksiannya sebelum badan legislatif menetapkan
hukum yang akan mempengaruhi para klien dari Pekerja Sosial.
Misalnya dalam hal pendanaan untuk program Women, Infant,
176
Children
(WIC),
kebijakna keamanan
sosial,
dan
lain
sebagainya. Pekerja Sosial kadang membantu para staff dari
badan legislatif untuk mengurus penjadwalan, menetapkan
lokasi meeting, dan juga memastikan bahwa tugas-tugas yang
dijalankan terselenggara dengan baik. Karena badan legislatif
ini menetapkan hukum atau kebijakan yang mempengaruhi
penyelenggaraan dan pendanaan program-program sosial, maka
sangat penting bagi para Pekerja Sosial untuk mengetahui lebih
dalam mengenai bagaimana badan legislatif ini bekerja. Para
Pekerja Sosial juga harus bersiap-siap jika diminta memberikan
kesaksian atau pendapatnya mengenai program-progaram
sosial, dan juga dalam bekerja sama dengan anggota badan
legislatif untuk mencapai tujuan-tujuan Pekerjaan Sosial.
e. Pertemuan para staff
Pertemuan para staff ini terdiri dari anggota staff agen yang
berkumpul secara periodik untuk mengidentifikasi tujuan yang
akan dicapai. Beberapa agen melaksanakan pertemuan ini
dengan hanya terdiri dari beberapa orang supervisor saja.
Pertemuan para staff ini bertujuan untuk menjelaskan kebijakan
baru, mendiskusikan kebijakan yang akan ditetapkan dan para
staff memiliki kesempatan untuk mnegemukakan ide dan
pendapatnya, menjaga agar para staff terus mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi dalam agen, atau juga untuk
memperkenalkan staff baru. Kadang pertemuan ini memiliki
faktor sosial atau emosional dalam rangka membangun
kebersamaan antar sesama staff.
f. Tim multidisiplin
177
Biasa disebut dengan istilah “M teams”, terdiri atas beberapa
profesionalis dari berbagai disiplin. Mereka sering mengadakan
pertemuan untuk mendiskusikan klien-klien atau pasien-pasien
tertentu yang mereka tangani. Dalam lembaga kenegaraan yang
menangani pasien dengan keterbelakangan mental yang berat,
tim ini bisa terdiri dari Pekerja Sosial, perawat, dokter,
psikolog, dan pembantu. Pada program kesehatan rumah sakit,
tim multidisiplin ini bisa terdiri dari perawat yang terdaftar,
Pekerja Sosial, ahli diet, dan psikolog. Salah satu anggota dari
tim tersebut berperan sebagai pemimpin, tapi semua anggota
bertanggung
jawab
terhadap
area
yang
sesuai
dengan
keahliannya. Tim ini biasanya mengadakan pertemuan dalam
jadwal yang teratur.
g. Case conference
Case conferense yang juga disebut dengan staffings, memiliki
kesamaan dengan tim multidisiplin. Yang membedakannya
adalah, tidak seperti tim multidisiplin, para anggota dari yang
membentuk case conference ini tidak bisa dianggap atau
menganggap dirinya sebagai bagian dari tim. Berdasarkan dari
jenis tipe agen, para anggota yang berpartisipasi dalam case
conference atau staffings ini tidak mewaili berbagai disiplin
yang berbeda. Kadang kala klien akan ditempatkan oleh
departemen Pekerjaan Sosial. Semua anggota bisa memberikan
kontribusinya dalam pengambilan keputusan. Contoh, salah satu
departemen yang mengurus orang terhukum yang sedang
mengalami masa percobaan menempatkan semua kasus atau
178
perkara dan petugas pengawas orang-orang yang sedang dalam
masa percobaan membuat rekomendasi untuk penahanan
h. Kelompok aksi sosial
Tujuan dari kelompok aksi sosial adalah untuk mengubah
lingkungan fisik atau sosial (Toseland & Rivas, 1984).
Pencapaian tujuan tersebut dapat menguntungkan baik bagi
anggota maupun bagi yang bukan anggota dari kelompok aksi
sosial tersebut. Salah satu contoh tujuan dari gerakan kelompok
ini adalah meningkatkan kesehatan masyarakat, memodifikasi
kebijakan atau hukum yang menunjukkan adanya diskriminasi
terhadap kelas sosial, dan lain sebagainya. Dalam kelompok ini
seorang Pekerja Sosial bisa menjadi anggota maupun menjadi
pemimpin dari kelompok tersebut. Peran lainnya yang
memungkinkan adalah menyalurkan tenaga kerja untuk
kelompok aksi sosial tersebut. Dalam peran ini Pekerja Sosial
bisa membantu mempertemukan antara calon tenaga kerja
dengan pihak agen, menyediakan nama-nama contact person
dari berbagai macam agen atau organisasi yang ada, atau
membantu kelompok aksi sosial dalam hal apapun pada saat
dibutuhkan. Sangat penting bagi para Pekerja Sosial untuk
mempunyai keterampilan dalam membantu kelompok aksi
sosial mencapai tujuannya dan memastikan stabilitas yang
cukup dari kelompok aksi sosial sampai pada penyelesaian
tugas (Toseland & Rivas, 1984). Contohnya, Pekerja Sosial
dapat membantu kelompok aksi sosial untuk bangkit kembali
setelah mengalami kegagalan dengan mendukung setiap usaha
mereka. Pekerja Sosial dapat menindaklanjuti keputusan yang
179
diambil oleh kelompok aksi sosial agar dapat dipastikan bahwa
harapan-harapan kelompok telah memasuki proses pencapaian.
2. Treatment group
Istilah treatment group memiliki arti yang luas dan mencakup
beberapa kelompok yang satu sama lain memiliki kemiripan tujuan.
Toseland & Rivas mengemukakan 5 tipe treatment group, antara
lain:
a. Growth groups
Growth groups didesain untuk mendorong dan mendukung
perkembangan individual anggota kelompok. Anggapannya
adalah bahwa individu dapat berkembang dengan cara
membantu mereka mencapai pemahaman akan dirinya yang
lebih mendalam. Pengalaman yang terjadi dalam growth groups
ini terdiri dari berbagai macam aktivitas yang didesain untuk
membantu para partisipan meraih tujuannya. Misalnya, growth
group yang mefokuskan kegiatannya untuk membantu para
pasangan agar bisa berkomunikasi lebih baik satu sama lainnya.
Pendekatan latihan yang dilakukan bisa berupa mendengarkan
keterampilan masing-masing, klasrifikasi nilai yang ada di
antara pasangan, dan saling mengirimkan pesan yang jelas.
Growth groups berfokus pada membantu individu meraih
potensinya dan tanpa anggapan bahwa partisipan orang yang
ikut serta didalamnya adalah mereka yang selalu mempunyai
masalah.
b. Remedial groups
Remedial group kadang dianggap sebagai kelompok terapi,
yaitu kelompok yang berupaya membantu klien dan bertujuan
180
mengubah beberapa aspek dari perilaku klien. Istilah dari
remedial group ini diartikan sebagai kelompok yang memiliki
tujuan
untuk
menyembuhkan
klien
dari
problematika
pengalaman hidupnya. Fokus dari jenis kelompok ini adalah
memperbaiki masalah yang dirasakan secara intrapersonal
maupun
interpersonal
atau
pada pembelajaran
terhadap
pemecahan masalah yang lebih baik dan terhadap gaya
mengatasi masalah. Peran Pekerja Sosial memiliki visibilitas
yang sangat tinggi di kelompok jenis ini. Pekerja Sosial bisa
memulai perannya dengan menjadi direktur, menjadi tenaga
ahli, tergantung pada kebutuhan dari kelompok itu sendiri, dan
mungkin saja Pekerja Sosial bisa menjadi fasilitator kemajuan
dari kelompok ini.
c. Educational groups
Merupakan
sejumlah
kelompok
yang
didesain
untuk
menyediakan informasi bagi para anggotanya tentang diri
mereka sendiri ataupun tentang orang lain. Tujuannya adalah
untuk mendidik atau mengajari anggota kelompok tentang
beberapa isu atau topik. Hal tersebut bisa dilakukan melalui
bermain peran, presentasi yang mendidik, aktivitas-aktivitas,
dan diskusi. Contohnya kelompok orangtua pengadopsi yang
prospektif, kelompok wanita dengan minat melahirkan dengan
cara normal, kelompok praktik parenting. Sama dengan growth
groups, educational groups ini bekerja dengan tanpa anggapan
bahwa mereka yang menjadi anggota adalah mereka yang
mempunyai masalah. Para Pekerja Sosial, sama seperti pada
remedial group, bisa menjadi pemimpin kelompok ini. Pekerja
181
Sosial bisa melakukan banyak presentasi yang menyajikan
informasi-informasi baru dan menjadai tenaga ahli dari
kelompok tersebut.
d. Socialization group
Kelompok
ini
membantu
partisipan
dalam
menjadikan
kebutuhan akan keterampilan menjadi hal yang tersosialisasi di
masyarakat. Anggapannya adalah bahwa anggota kelompok
adalah orang-orang yang memiliki sedikit jenis keterampilan
sosial. Contohnya, kelompok yang dikembangkan untuk remaja
yang pernah mengalami perilaku menyimpang. Program
konseling yang berbasis petualangan adalah salah satu contoh
kegiatan
yang
dilakukan
kelompok
ini.
Program
ini
menitikberatkan pada keterampilan fisik, uji keberanian,
membangun kerjasama tim dan kepercayaan diri yang
diharapkan dapat meningkatkan keterampilan sosial mereka dan
menyalurkan energi mereka kepada aktivitas sosial yang diakui
masyarakat. Visibilitas peran Pekerja Sosial dalam kelompok
ini termasuk dalam kategori tinggi. Pekerja Sosial bisa menjadi
seorang direktur atau tim ahli yang mendesain program dan
memimpin anggota kelompok melewati setiap proses dan
latihan.
e. Mutual aid groups
Mutual aid groups merupakan sekelompok orang yang terdiri
dari berbagi karakteristik tertentu untuk mendukung satu sama
lain dengan saran, dukungan emosional, informasi, dan bantuan
lainnya (Barker, 1991). Kelompok ini memiliki pemimpin yang
profesional dan terorganisasi secara formal amupun informal.
182
Istilah mutual aid group ini sering ditukarbalikan dengan istilah
“self-help group” karena keduanya bertujuan menjadikan
anggota-anggotanya saling mendukung satu sama lain. Tapi
yang paling penting adalah istilah mutual aid group ini
digunakan
dalam
Pekerjaan
Sosial
untuk
menerangkan
kelompok dengan pendekatan saling mendukung yang kuat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
peran Pekerja Sosial dalam setiap jenis dari treatment group ini
memiliki kesamaan dan perbedaan satu sama lainnya. Singkatnya,
peran sebagai pemimpin memiliki visibilitas yang tinggi dalam
educational groups, remedial groups, maupun socialization groups.
Dalam setiap kasus, Pekerja Sosial bisa menjadi direktur, tenaga ahli,
atau tokoh pemimpin.
Dalam Growth groups dan beberapa remedial groups Pekerja
Sosial yang menjadi pemimpin dalam kelompok tersebut bisa menjadi
fasilitator, yang secara sederhana membantu anggota kelompok
mencapai tujuannya. Biasanya Pekerja Sosial akan bekerja lebih aktif
pada tahap pertama perkembangan setiap jenis kelompok. Untuk tahap
perkembangan yang lebih lanjut, peran Pekerja Sosial mengarah pada
konsultan, tenaga ahli, dan peran panutan. Kebutuhan setiap jenis
kelompok menentukan peran yang akan dimainkan oleh Pekerja Sosial.
Jadi, Pekerja Sosial harus bisa “melueskan” atau membuat
fleksibel dan memodifikasi tipe dan tingkat keterlibatan mereka dalam
kelompok sesuai dengan kebutuhan. Para Pekerja Sosial juga perlu
menggunakan keterampilan yang bervariasi tergantung pada tahap
perkembangan kelompok, keterampilan para anggotanya, dan jenis dari
kelompok itu sendiri.
183
Peran Pekerja Sosial dalam Kelompok diantaranya adalah
sebagai:
1. Broker, yaitu semacam penghubung antara klien dengan pihakpihak yang dapat membantunya
2. Mediator, yaitu Pekerja Sosial yang membantu menyelesaikan
konflik, pertikaian ataupun perselisihan anggota kelompok
3. Educator, yaitu sebagai guru, Pekerja Sosial memberikan
informasi baru, model-model untuk membantu partisipan
mempelajari keterampilan baru
4. Fasilitator, yaitu sebagai orang yang akan mempermudah dan
meringankan jalan partisipan
Dasar Dinamika Kelompok
Setiap kelompok mengalami tahapan perkembangan, adapun
tahapan perkembangan sebuah kelompok adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama, dalam tahapan ini semua anggota sangat
bergantung dan mengharapkan arahan dari pimpinan
2. Tahap kedua, anggota mulai fokus pada dirinya sendiri, dan
mulai mengambil tanggung jawab yang lebih besar
3. Tahap ketiga adalah tahap bekerja, dalam tahapan ini, anggota
mulai menyukai berada dalam kelompok, dan memiliki gairah
yang tinggi untuk bekerja
4. Tahap keempat adalah tahapan yang menunjukkan bahwa
kelompok sudah mencapai tujuannya dan para anggota
kelompok mulai terpisah secara emosi
184
Budaya Kelompok, Norma dan Kekuasaan
Setiap kelompok akan mengembangkan budayanya sendiri,
termasuk didalamnya tradisi, kebiasaan dan nilai/kepercayaan yang
dianut bersama oleh para anggotanya. Budaya ini akan menentukan
bagaimana para anggota bereaksi dan berinteraksi satu dengan yang
lainnya dan juga dengan pimpinannya.
Ukuran Kelompok, Komposisi dan Durasi
Beberapa hal ini perlu dipahami oleh Pekerja Sosial karena ada
beberapa kelompok yang tidak bisa diganggu gugat (seperti keluarga;
kita tidak bisa mengubah ukuran ataupun komposisinya), dan ada juga
yang bisa diubah serta bersifat fleksibel.
Pengambilan Keputusan dalam Kelompok
Proses pengambilan keputusan dalam sebuah kelompok dapat
dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah:
1. Pengambilan keputusan dengan konsesus
Yaitu sebuah proses dengan jalan individu dan kelompok
mencapai persetujuan umum tentang tujuan bersama dan cara
untuk mencapainya
2. Pengambilan keputusan dengan kompromi
Kelompok mencari satu solusi yang hampir/sebagian besar
anggota dapat mendukungnya, atau suatu keadaan yang
mengharuskan seseorang berkata “dalam situasi ini, inilah yang
bisa kita sepakati”
3. Pengambilan keputusan dengan Mayoritas
Keputusan diambil bila lebih dari setengah anggota setuju.
185
4. Diputuskan/keputusan tergantung oleh individu
Hal ini terjadi bila ada satu orang yang sangat dihargai
(ditakuti), sehingga seluruh anggota menyerahkan pengambilan
keputusan ke satu orang tersebut
5. Persuasi/keputusan mempertimbangkan pendapat ahli
Jika anggota tim terdiri dari multi disiplin, maka masing-masing
disiplin akan mendapat kehormatan untuk pengambilan
keputusan di bidang yang dikuasainya
6. Rata-rata pendapat anggota
Keputusan dibuat berdasarkan rata-rata pendapat anggota; hal
ini lebih mudah jika keputusan yang ingin dibuat sifatnya
rangking angka
7. Ditentukan oleh minoritas
Ini terjadi ketika sekelompok minoritas memiliki perasaan yang
sangat kuat terhadap putusan tertentu. Keputusan ini dapat
terjadi ketika kelompok minoritas tersebut memiliki sikap yang
kuat atau konsentrasi terhadap isu tertentu
8. Teknik Nominal kelompok
Tujuan dari teknik ini adalah untuk meng-assess masalah,
kebutuhan, minat dan tujuan yang ada (Barker 1987). Diawali
dengan
setiap
anggota
menuliskan
ide-idenya
tentang
permasalahan. Kemudian pimpinan mempersilakan satu demi
satu diungkapkan dan ditulis di papan yang besar. Setiap
anggota juga bebas untuk menambahkan idenya ketika ia
mendengarkan ide orang lain, begitu selanjutnya.
9. Brainstorming
186
Seluruh peserta mengemukakan idenya dalam waktu singkat
tanpa boleh ada sanggahan, dan pemimpin menuliskannya di
papan yang besar
KEGIATAN BELAJAR 3
Community Development
Berbicara mengenai Profesi Pekerjaan Sosial, dari awal
pertumbuhannya telah melewati perjalanan yang panjang. Para almoner
yang berkerja di rumah sakit-rumah sakit di Inggris, telah memberikan
aspirasi pada seorang wanita pamikir pada zaman itu (Mary Richmond)
untuk membidani lahirnya sebuah profesi baru yang dikenal dengan
sebutan “Case Work”. Kelahiran profesi ini didesak oleh kesadaran
akan perlunya peningkatan mutu pelayanan-pelayanan sosial untuk
menangani
masalah-masalah
anak
dan
keluarga,
kemiskinan,
kecacatan, dan jompo, yang semula ditangani secara “trial and error”
melalui kegiatan-kegiatan amal saja.
Pada perkembangan selanjutnya, kemudian disadari bahwa
penggunaan metode perorangan (Case Work) saja dirasa terlalu berat,
jika harus diarahkan pada penanganan masalah-masalah sosial yang
kuantitas maupun kualitasnya terus meningkat. Metode Pekerjaan
Sosial dengan Kelompok (Group Work), Pengorganisasian Masyarakat
(Community Organization), Pengembangan Masyarakat (Community
Development),
disusul
dengan
pendekatan-pendekatan
lainnya,
termasuk Administrasi Pekerjaan Sosial dan Penelitian Pekerjaan
187
Sosial, kemudian bermunculan dan memperkaya khasanah pendekatan
profesi baru yang selanjutnya dikenal dengan Profesi Pekerjaan Sosial.
Perkembangan profesi baru ini tidak hanya berhenti sampai di
situ saja, seiring dengan perkembangan masyarakat dan berbagai
penemuan teknologi baru dalam bidang-bidang lain, profesi Pekerjaan
Sosial pun terus sibuk memoles dan memperbaiki diri. Pada tahap
perkembangan selanjutnya, Perencanaan Sosial mulai diakui sebagian
orang sebagai metode Pekerjaan Sosial tersendiri. Selain itu, aliran
generalist, kemudian lahir dan mendeklarasikan bahwa “intervensi
multi level” merupakan pendekatan yang perlu ditempuh agar
penanganan masalah dapat lebih komprehensif dan tuntas. Aliran
generalist kemudian merebak tanpa dapat dibendung, kemudian disusul
dengan bermunculannya berbagai pendekatan baru, walau tidak selalu
berasal dari penemuan teori baru. Pendekatan-pendekatan tersebut
diantaranya, pendekatan ekologi, pendekatan sistem, pendekatan
pengubahan perilaku, pendekatan ekitensialis dan banyak lagi.
Dalam perkembangan terakhir, seperti dikemukakan David Cox
(1993), pendekatan “Social Development” cenderung menjadi idola
para Pekerja Sosial yang bekerja dengan masyarakat, yang banyak
bergelut dengan pengentasan kemiskinan, peningkatan partisipasi
masyarakat, dan upaya pemerataan keadilan di dalam suatu masyarakat.
Hal ini seiring dengan munculnya aliran terbaru dalam Pekerjaan Sosial
yang dikenal dengan aliran radikal, yang memandang bahwa setiap
permasalahan sosial yang timbul berkaitan erat dengan distribusi
kekuasaan (power). Pada era sekarang ini, teknik “empowerment”
kemudian menjadi suatu teknik idaman para Pekerja Sosial.
188
Asal konsep Pengembangan Masyarakat (terjemahan dari
Community
Development)
Masyarakat
(Community
sebenarnya
adalah
Organization);
Pengorganisasian
yang
bermakna
mengorganisasikan masyarakat sebagai sebuah sistem untuk melayani
warganya dalam setting kondisi yang terus berubah. Dengan demikian
inti pengertiannya adalah mendorong warga masyarakat untuk
mengorganisasikan diri untuk melaksanakan kegiatan guna mencapai
kesejahteraannya sendiri. Di tingkat nasional, aktor-aktor institusinya
adalah pemerintah, kalangan cendekiawan, kalangan bisnis, LSM, dan
masyarakat biasa. Semuanya harus terorganisasi dalam sebuah kesatuan
sistem untuk membangun masyarakat secara sinergis.
Pengertian Community Organization itu sendiri dapat dibagi ke
dalam dua, yaitu:
1. Dalam arti sempit dan operasional, berarti pengorganisasian
kegiatan masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana warga
masyarakat akan melakukan kegiatan bersama ?
2. Dalam arti luas, berarti penataan masyarakat itu sendiri sebagai
sebuah sistem sosial. Pertanyaannya adalah masyarakat yang
bagaimana yang ingin dicapai ?
Pada level mikro dan langsung, setiap institusi dan kegiatan
industri harus menjalankan fungsi sosialnya melalui program-program
kerjasama dengan masyarakat setempat, sehingga terjalin keserasian
sosial. Masalahnya terletak pada pemahaman dan penerapan konsep
partisipasi itu sendiri. Setelah puluhan tahun partisipasi diartikan
sekedar melibatkan masyarakat dalam program atau kegiatan yang telah
ditetapkan
dan
kemandiriannya,
dibawakan
melainkan
fihak
luar,
bersikap
189
masyarakat
menunggu
kehilangan
bantuan
(charity/philanthrophy).
Bahkan
setelah
era
reformasi
bergulir
mengubah paradigma program top-down menjadi bottom-up, people
centered development, pemberdayaan; prosesnya masih membutuhkan
curahan waktu, tenaga, dan upaya yang panjang.
Sebagai sebuah proses, pengembangan masyarakat berarti
sebuah proses tindakan sosial yang mendorong warga suatu
masyarakat, untuk:
a. Mengorganisasikan diri mereka sendiri untuk menyusun rencana
dan melaksanakan tindakan bersama.
b. Merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah bersama
c. Menyusun rencana kelompok dan individu untuk memenuhi
kebutuhan dan memecahkan masalah mereka sendiri.
d. Melaksanakan
rencana
tersebut
dengan
sebanyak
mungkin
mengandalkan sumber-sumber yang ada.
e. Menjangkau akses ke sumber-sumber di luar masyarakat baik dari
badan-badan pemerintah maupun swasta guna mendukung sumbersumber yang ada.
Untuk keperluan praktis, dapat dikemukakan bahwa dalam ilmu
sosial banyak terdapat istilah-istilah yang berbeda dengan pengertian
yang sama. Istilah pengembangan masyarakat sesungguhnya bersumber
pada istilah community development, yang kemudian oleh Jack
Rothman (1979), disamakan pula dengan locality development. Dengan
demikian jika dalam tulisan ini disebutkan ke tiga istilah tersebut,
sesungguhnya pengertiannya sama.
Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai :”sebuah
model pengembangan masyarakat yang menekankan pada partisipasi
190
penuh seluruh warga masyarakat”.
PBB (1955) mendefinisikan
pengembangan masyarakat sebagai berikut :
”Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu
proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi
ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan
partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa
masyarakat itu sendiri”.
Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa :
” …locality development merupakan suatu cara untuk
memperkuat warga masyarakat dan untuk mendidik mereka
melalui pengalaman yang terarah agar mampu melakukan
kegiatan
berdasarkan
kemampuan
sendiri
untuk
meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri pula”.
Dari ke dua definisi tersebut dapat difahami dua hal :
a. Masalah utama dalam CD/LD adalah sosial ekonomi.
b. Mensyaratkan partisipasi penuh warga masyarakat di dalam
seluruh proses kegiatan(mulai dari gagasan sampai kepada
pemanfaatan).
Konsep ini diterapkan pada sebuah lingkungan masyarakat
setempat (locality/community), yang biasanya masih memiliki normanorma sosial tentang konsensus, homogenitas, dan harmoni (identik
dengan masyarakat perdesaan).
1. Tujuan :
a. Tujuan antara :
membangkitkan
partisipasi
penuh
warga
masyarakat.
b. Tujuan akhir
: perwujudan kemampuan dan integrasi
masyarakat untuk dapat membangun dirinya sendiri.
2. Pendekatan :
191
Dengan bertumpu pada inisiatif dan partisipasi penuh warga
masyarakat, maka penerapan CD/LD lebih ditekankan kepada
upaya untuk mengembangkan kapasitas warga masyarakat (clientcentered) daripada pemecahan masalah demi masalah (problemcentered).
Bagi
para
perancang
program
pengembangan
masyarakat, locality development berarti program pendidikan bagi
masyarakat untuk mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri dalam
program-program pembangunan.
3. Kandungan operasional dalam Community Development.
a. Kepemimpinan lokal
Dengan system kemasyarakatan local yang relative masih
bersifat organis dengan pola interaksi harmonis, maka dalam
perencanaan
dan
implementasi
program
pengembangan
masyarakat perlu dipertimbangkan, bahwa pemimpin-pemimpin
masyarakat masih menempati posisi kunci baik dalam
pembuatan keputusan maupun sebagai representasi masyarakat
lokal itu sendiri.
b. Jaringan Hubungan antar Kelompok (Intergroup relations)
Masyarakat merupakan suatu system sosial yang besar, yang di
dalamnya berisikan unit-unit sosial yang lebih kecil yang
disebut kelompok. Dalam praktik pengembangan masyarakat,
sesungguhnya yang dihadapi dan dikembangkan adalah
kelompok-kelompok warga masyarakat sehingga menjadi
sebuah jaringan kerja yang sinergis. Demikianlah mengapa
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (community
organization and community development), sering pula disebut
sebagai ‘intergroup relations’.
192
Sesuai dengan prinsip dasar yang digunakan dan menjadi
gagasan inti locality development yaitu partisipasi klien, maka setiap
langkah dalam proses locality development haruslah dilakukan oleh
warga masyarakat itu sendiri dengan bantuan keahlian dan teknis dari
system pelaksana dan system kegiatan.
1. Assessment
Assessment merupakan langkah terpenting dari seluruh proses
locality development, karena hasil assessment ini akan menentukan
ketepatan serta efektivitas program locality development itu sendiri.
Assessment mencakup needs assessment, identifikasi masalah,
analisis masalah, dan resources assessment.
Asesmen mencakup tidak hanya masalah klien, melainkan juga
sumber-sumber,
kekuatan-kekuatan,
motivasi,
komponen-
komponen fungsional, dan faktor-faktor yang positif lainnya yang
dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan klien, dalam
meningkatkan keberfungsian, dan dalam mendukung pertumbuhan.
2. Plan of Treatment
Planning, menurut Meryl Ruoss (1970) adalah organized foresight.
Plan of Treatment merupakan sebuah proses insight dalam
mengidentifikasi,
memilah,
menghubungkan
masalah
atau
kebutuhan dengan sumber-sumber yang dapat didayagunakan untuk
memecahkan masalah dan atau memenuhi kebutuhan melalui
serangkaian kegiatan (program dan proyek).
3. Treatment
Tahap
ini
merupakan
implementasi
development, monitoring, dan evaluasi.
193
dari
strategi
locality
Dalam tahap implementasi, maka perlu diperhitungkan situasi
actual yang akan menentukan tindakan yang perlu dilakukan.
Monitoring memberikan dua manfaat utama, yaitu :
a. Memberikan informasi untuk pegangan sementara program
masih sedang berlangsung.
b. Memberikan informasi bagi evaluasi berkala
Evaluasi ditujukan baik kepada pelaksanaan program (proses
dan hasil), maupun kepada kerjasama di antara semua pelaku.
4. Terminasi
Terminasi merupakan langkah penghentian sementara (sekuensi)
kegiatan locality development; yang mungkin kelak ditindaklanjuti
dengan rangkaian kegiatan berikutnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin
kompleks, sasaran, bidang garapan dan intervensi profesi Pekerjaan
Sosial juga semakin luas. Globalisasi dan industrialisasi membuka
kesempatan bagi Pekerjaan Sosial untuk terlibat dalam bidang yang
relatif baru, yakni dunia industri. Seperti halnya Pekerja Sosial medik
(medical social worker) yang bekerja di rumah sakit, para Pekerja
Sosial industri (industrial social worker) ini bekerja di perusahaanperusahaan,
baik
negeri
maupun
swasta,
untuk
menangani
kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja, relasi buruh dan
majikan, atau perekrutan dan pengembangan pegawai (lihat Friedlander
dan Thackeray, 1982; Payne, 1991; Johnson, 1984; DuBois dan Miley,
1992; Suharto, 1997).
Di Indonesia sendiri, dunia bisnis dan industri merupakan sektor
yang masih jarang melibatkan Pekerjaan Sosial. Namun demikian, di
negara-negara maju seperti AS, Inggris, Australia dan New Zealand,
194
pemberian pelayanan sosial dalam perusahaan telah meningkat secara
dramatis selama tiga dekade belakangan ini. Pekerjaan Sosial industri
atau Pekerjaan Sosial di perusahaan (occupational social work)
merupakan profesi yang sangat penting dalam pemberian pelayanan
sosial, baik yang bersifat pencegahan, penyembuhan maupun
pengembangan. Pekerjaan Sosial industri muncul di Amerika Serikat
satu abad lalu. Di Eropa, bidang ini muncul pada tahun 1920an.
Pekerjaan Sosial memang terlahir dalam konteks pertumbuhan
masyarakat industri.
Pekerjaan Sosial Industri dapat didefinisikan sebagai lapangan
praktik Pekerjaan Sosial yang secara khusus menangani kebutuhankebutuhan kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai
intervensi dan penerapan metode pertolongan yang bertujuan untuk
memelihara adaptasi optimal antara individu dengan lingkungannya,
terutama
lingkungan
kerja.
Istilah
Pekerjaan
Sosial
Industri
sesungguhnya memiliki beberapa nama lain, seperti Pekerjaan Sosial
Kepegawaian (Occupational Social Worker), Pekrjaan Sosial di tempat
kerja (Social Work in the Workplace), atau bantuan/pelayanan bagi
pegawai
(Employee
Assisstance).
(Straussner,
Shulamith
Lala
Ashenberg, Occupational Social Work Today: An Overview, dalam
Shulamith Lala Ashenberg Straussner (editor), Occupational Social
Work, New York: The Hepworth Press, 1989)
Mekanisasi dan otomatisasi melahirkan rutinitas pekerjaan dan
membuat tenaga manusia tampak semakin tidak penting. Para pekerja
kerah biru maupun kerah putih merasa tidak bermakna dan terancam
karena kapan saja dapat digantikan oleh saingannya, yakni mesin.
Perubahan teknologi, pergantian tenaga kerja (shift), dan pemutusan
195
hubungan kerja yang semakin menjadi fenomena sehari-hari, sering
menimbulkan kecemasan bagi para pekerja.
Proses otomatisasi di AS menggantikan sekitar 2 juta pekerjaan
setiap tahunnya. Para pekerja yang yang merasa tidak berguna dan
tidak berdaya dalam pekerjaannya seringkali membawanya ke rumah
dan masyarakat. (Johnson, The Social Services: An introduction, New
York:
FE
Peacock,
1984)
mengklasifikasikan
akibat-akibat
industrialisasi yang bersifat negatif terhadap kesejahteraan manusia
kedalam 5A, yaitu:
1. Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga dan
kelompok sosial yang dapat menimbulkan apatis, marah, dan
kecemasan.
2. Alcoholism atau Addiction: ketergantungan terhadap alkohol,
obat-obat terlarang atau rokok yang dapat menurunkan
produktifitas, merusak kesehatan pisik dan psikis, dan
kehidupan sosial seseorang.
3. Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos kerja
dikarenakan rendahnya motivasi pekerja, perasaan-perasaan
malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki perusahaan, atau
sakit pisik dan psikis lainnya.
4. Accidents: kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh menurunnya
konsentrasi pekerja atau oleh lemahnya sistem keselamatan dan
kesehatan lingkungan kerja.
5. Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak atau
pasangan dalam keluarga (istri/suami), seperti memukul dan
menghardik secara berlebihan yang ditimbulkan oleh frustrasi,
kebosanan dan kelelahan di tempat pekerjaannya.
196
Beberapa permasalahan sosial lainnya yang terkait dengan
industrialisasi adalah: diskriminasi di tempat kerja atau tindakantindakan tidak adil terhadap wanita, kaum minoritas, imigran, remaja,
pensiunan, dan para penyandang cacat. Beberapa industri dan
perusahaan juga kerap menimbulkan dampak negatif
terhadap
masyarakat di sekitarnya, seperti polusi (udara, air, suara) dan
kerusakan-keusakan pisik dan psikis bagi para pekerjanya. Para Pekerja
Sosial industri dapat membantu dunia industri untuk mengidentifikasi
dan mengatasi berbagai biaya sosial (social costs) yang ditimbulkan
oleh perusahaan.
Dalam situasi dan kondisi yang demikian, Pekerja Sosial
memiliki tugas dan peranan yang cukup penting, khususnya bagi para
Pekerja Sosial Industri. Berikut akan dipaparkan Tugas dari para
Pekerja Sosial Industri tersebut, antara lain seperti yang dikemukakan
oleh Johnson (1984), di mana ada tiga bidang tugas Pekerja Sosial yang
bekerja di perusahaan, yaitu:
1. Kebijakan, perencanaan dan administrasi. Bidang ini umumnya
tidak melibatkan pelayanan sosial secara langsung. Sebagai
contoh,
perumusan
pengadministrasian
kebijakan
untuk
program-program
peningkatan
tindakan
karir,
afirmatif.
pengkoordinasian program-program jaminan sosial dan bantuan
sosial bagi para pekerja, atau perencanaan kegiatan-kegiatan
sosial dalam departemen-departemen perusahaan.
2. Praktik langsung dengan individu, keluarga dan populasi
khusus. Tugas Pekerja Sosial dalam bidang ini meliputi
intervensi krisis (crisis intervention), asesmen (penggalian)
masalah-masalah personal dan pelayanan rujukan, pemberian
197
konseling bagi pecandu alkohol dan obat-obatan terlarang,
pelayanan dan perawatan sosial bagi anak-anak pekerja dalam
perusahaan atau organisasi serikat kerja, dan pemberian
konseling bagi para pensiunan atau pekerja yang menjelang
pensiun.
3. Praktik yang mengkombinasikan pelayanan sosial langsung dan
perumusan kebijakan sosial bagi perusahaan.
Para Pekerja Sosial telah memberikan kontribusi penting dalam
memanusiawikan dunia kerja. Mereka umumnya terlibat dalam
pemberian
konseling
pengorganisasian
di
dalam
program-program
maupun
di
personal,
luar
perusahaan,
konsultasi
dengan
manajemen dan serikat-serikat kerja mengenai konsekuensi kebijakankebijakan perusahaan terhadap pekerja, serta bekerja dengan bagian
kesehatan dan kepegawaian untuk meningkatkan kondisi lingkungan
kerja dan kualitas tenaga kerja (Johnson, 1994; Suharto, 1997).
Merujuk pada Saidi dan Abidin (2004), sedikitnya terdapat
empat model atau pola sebuah perusahaan melakukan kegiatan CSRnya, yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu :
1. Keterlibatan langsung
Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan
sumbangan
pada
masyarakat
tanpa
perantara.
Untuk
menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan
salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau
public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat
public relation.
198
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan
atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang
lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju.
Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau
dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan
yayasan.
Beberapa
yayasan
yang
didirikan
perusahaan
diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Rio
Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti
Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund.
3. Bermitra dengan pihak lain
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan
lembaga sosial/organisasi non-pemerintah, instansi pemerintah,
universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana
maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa
lembaga sosial yang bekerjasama dengan perusahaan dalam
menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia
(PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI),
Dompet
Dhuafa;
instansi
pemerintah
(Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos);
universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita
Peduli Indosiar)
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung
suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu.
Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi
pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah
199
pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu
yang
dipercayai
oleh
perusahaan-perusahaan
yang
mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari
kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan
program yang disepakati bersama.
Dalam pelaksanaannya, konsep CSR seringkali diidentikkan
dengan metode Pengembangan Masyarakat (Community Development)
yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh perusahaan dengan istilah
ComDev. Bila ditelaah secara sederhana, maka tujuan utama
pendekatan ComDev adalah bukan sekedar membantu atau memberi
barang kepada si penerima, melainkan lebih berusaha agar si penerima
memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong dirinya
sendiri. Dengan kata lain, semangat ComDev adalah pemberdayaan
masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan ComDev biasanya diarahkan
pada proses pemberikuasaan, peningkatan kekuasaan, atau penguatan
kemampuan para penerima pelayanan.
Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan
kegiatan terencana dan kolektif dalam memperbaiki kehidupan
masyarakat yang dilakukan melalui program peningkatan kapasitas
orang,
terutama
kelompok
lemah
atau
kurang
beruntung
(disadvantaged groups) agar mereka memiliki kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya, mengemukakan gagasan; melakukan
pilihan-pilihan hidup; melaksanakan kegiatan ekonomi; menjangkau
dan memobilisasi sumber; berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
200
KEGIATAN BELAJAR 4
1. Administrasi Pekerjaan Sosial
Metodologi tradisional dalam pekerjaan sosial menekankan tiga
proses, pekerjaan sosial perseorangan, pekerjaan sosial kelompok dan
pekerjaan sosial masyarakat. penekanan ini dilakukan oleh sejumlah
praktisi dan pengajar pekerjaan sosial saat ini, namun banyak juga yang
mengatakan tentang satu metode dasar pekerjaan sosial---yaitu
pemecahan masalah dalam menyediakan dan pemberian pelayanan
sosial.
Sejumlah sekolah pekerjaan sosial mengemukakan administrasi
sebagai metode utama. Sekolah lainnya menempatkan administrasi
sebagai bagian umum dari praktik makro, artinya bahwa para pekerja
sosial yang berkonsentrasi dalam wiwilayah ini akan menjadi
perencana dan administrator program-program pekerjaan sosial
daripada bekerja dengan klien perseorangan. Sebagian besar sekolah
mengakui pentingnya administrasi serta pengajaran prinsip-prinsip
dasar dan keterampilan baik dalam kelas maupun lapangan praktik
dengan berbagai pola.
a. Administrasi
John Kidneigh menyatakan bahwa administrasi pekerjaan sosial
adalah “ proses transformasi kebijakan sosial ke dalam pelayananpelayanan sosial…melalui proses dua cara : (1)…transformasi
kebijakan ke dalam pelayanan-pelayanan sosial konkrit (nyata), dan (2)
menggunakan pengalaman dengan merekomendasikan modifikasi
201
kebijakan”. Batasan ini tentunya menekankan pada gagasan bahwa
administrasi adalah proses implementasi, penerjemahan kebijakan ke
dalam program-program aksi. Stein menjelaskan konsep administrasi
sebagai suatu “ proses penentuan dan pencapaian sasaran-sasaran
organisasi melalui suatu sistem yang terkoordinasi dan upaya-upaya
kerjasama”.
Skidmore
menyimpulkan
berbagai
definisi
administrasi
sebagaia berikut”…administrasi pekerjaan sosial mungkin dapat
dikatakan sebagai aksi para anggota staf yang memanfaatkan prosesproses sosial untuk mentransformasi kebijakan-kebijakan badan-badan
sosial ke dalam penyediaan pelayanan sosial. Termasuk para eksekutif--pimpinan---dan semua anggota staf lain---para pengikut atau anggota
team.
Proses
dasarnya
seringkali
menggunakan
perencanaan,
pemrograman, penyusunan staf, dan pengendalian….”
b. Asumsi dan Prinsip dasar
Salah satu prinsip dasar dalam administrasi adalah semua level
staf turut serta dalam proses administrasi. Spencer (1959), mengajukan
beberapa asumsi dasar yang melekat pada hubungan administrasi:
1. Adminitistrasi badan-badan sosial adalah proses memastikan
dan mentransformasi sumber-sumber masyarakat (manusia dan
finansial) ke dalam program-program pelayanan masyarakat.
Proses ini melibatkan partisipasi aktif dari dewan, eksekutif,
staf, dan para relawan atau konstituen dalam berbagai tingkatan.
2. Administrasi dalam pekerjaan sosial memperhatikan cara-cara
penting dalam menentukan kegiatan, termasuk penentuan
tujuannya. Artinya bahwa badan sosial itu sendiri memiliki
202
tanggungjawab utama dalam berkreasi dan mengendalikan
nasib dan badan-badan perencanaan masyarakat hanya berperan
skunder.
3.
Administrasi dalam pekerjaan sosial mengutamakan cara-cara
‘penyediaan’
pelayanan.
Hal
harus
dilakukan
dengan
penyediaan program-program dan aktivitas badan-badan sosial
tertentu.
4. Eksekutif bukan agen netral. Artinya kepemimpinan yang
kreatif dibutuhkan dalam semua fase kegiatan badan tersebut.
5. Fungsi eksekutif dalam badan sosial mengkombinasikan hal-hal
berikut:
a. menyediakan, mengupayakan kegiatan-kegiatan yang
berkualitas secara menyeluruh,
b. berpartisipasi dalam kapasitas kepemimpinan dan
pembuatan kebijakan,
c. mendelegasikan,
mengendalikan
mengkoordinasikan
pekerjaan
kepada
lainnya
dan
untuk
mendukung dan meningkatkan pekerjaan dewan dan
staf,
d. menunjukkan terhadap dewan, staf, dan eksekutif
masyarakat dengan sikap-sikap pribadi, kemampuan dan
aktivitas sebagai seseorang yang berlaku positif.
6. Administrasi
meliputi
upaya-upaya
kreatif
pemanfaatan
sumber-sumber manusia---dewan, staf, dan relawan. Badan
sosial adalah usaha kelompok.
7. Bagian-bagian usaha adalah saling terkait dan berinteraksi.
Prinsip-prinsip ini adalah dasar kegiatan suatu badan sosial dan
203
merupakan
bagian
memantapakan
dari
peran,
cara
fungsi
hubungan,
eksekutif
untuk
regulasi
yang
dan
menghasilkan efek baik optimum dan akibat jelek yang
minimum.
8. Tidak
melakukan
juga
memiliki
akibat
sepertihalnya
melakukan.
c. Supervisi
Supervisi, bagian penting dari administrasi pekerjaan sosial,
berkaitan dengan bantuan staf dengan menggunakan pengetahuan dan
keterampilan sehingga melakukan pekerjaan secara efektif dan baik.
Tanggung jawab yang dibebankan pada supervisor administrasi
“
adalah
memastikan
pelayanan
organisasi
kepada
pasien,
meningkatnya efektivitas pembelajar, dan kesesuaian penilaian
berkaitan dengan keberhasilan, kelengkapan, penugasan kembali, atau
kesalahan kelengkapan tugas”
Peran
supervisor
adalah
dukungan,
dorongan,
berbagi
informasi, dan mendengarkan pekerja, khususnya berkaitan dngan
pengalaman baru dan tidak dialami oleh staf.
d. Konsultasi
Konsultasi adalah suatu interaksi antara orang-orang profesional
yang mengeksplorasi suatu permasalahan untuk mencari suatu solusi
terbaik yang dibutuhkan klien. Sebagai proses, konsultasi adalah suatu
teknik untuk meningkatkan dan memperluas pelayanan; atau suatu
proses bantuan yang melibatkan pemanfaatan pengetahuan teknis dan
hubungan profesional diantara dua orang atau lebih. Metode ini
204
menyediakan bantuan khusus dan informasi teknis dari orang-orang
yang kompeten dengan berbagai disiplin secara bersama saling
menukar informasi, sedapat mungkin menyediakan pelayanan yang
lebih baik bagi keluarga atau individu yang membutuhkannya. Orang
yang memberikan pelayanan ini disebut konsultan, sedangkan yang
memperoleh pelayanan disebut konsulti.
e. Kolaborasi
Kolaborasi merupakan pembagian upaya pengangan secara total
dan seefektif mungkin dengan memperluas dan membedakan
pemanfaatan
sumber-sumber,
dan
dengan
mengkombinasikan
kompetensi profesional. Dengan kata lain, collaboration adalah suatu
orkestra badan-badan pelayanan, para profesional berbakat, dan
kebutuhan klien.
Kolaborasi dalam sistem pelayanan sosial merupakan upaya berbagi
pengalaman dalam hal pengetahuan dari profesional-profesional,
paraprofesional-paraprofesional, dan pekerja asli (relawan) dalam
berbagai proses penyediaan pelayanan.
2. Organisasi Pelayanan Manusia (Human Service
Organization)
Manajemen dalam seting pelayanan manusia merupakan
tantangan tersendiri, khususnya berkaitan dengan faktor-faktor yang
membedakan organisasi non profit dengan perusahaan profit making
yang terkadang menyulitkan manajemen. Masalah adminitratif selalu
205
ada dalam organisasi pelayanan manusia. Sejumlah permasalahan
tersebut umumnya amat terkait dengan sifat yang melekat dalam
pelayanan sosial.
Namun demikian badan-badan pelayanan sosial/ manusia bukan
berarti di masa depan selalu terkait dengan mismanagement
dan
inefficiency. Banyak masalah tersebut yang dapat diatasi atau paling
tidak dikurangi ukurannya sehingga dapat dikendalikan melalui
perencanaan yang lebih efektif. Selanjutnya Hasenfeld (1983:9-10)
mengemukakan karakteristik dari organisasi pelayanan sosial atau
manusia, sebagai berikut:
1. Fakta bahwa material dasarnya (raw material) adalah terdiri
dari orang-orang dengan sejumlah nilai-nilai moral yang
mempengaruhi aktifitas organisasi sosial.
2. Tujuan dari organisasi pelayanan manusia adalah samarsamar (vague), berarti-dua (ambiguous), dan bermasalah
(problematic).
3. Moral ambigu yang mengitari pelayanan manusia juga
menunjukkan organisasi pelayanan sosial bergerak dalam
lingkungan bergolak, artinya lingkungan tersebut terdiri dari
banyak kepentingan kelompok yang berbeda-beda.
4. Organisasi pelayanan manusia harus beroperasi dengan
teknologi
yang
menyediakan
tidak
pengetahuan
menentukan
yang
dengan
lengkap
tidak
mengenai
bagaimana mencapai hasil yang diharapkan.
5. Aktivitas utama dalam organisasi pelayanan manusia terdiri
dari hubungan antara staff dan klien. Tidak menutup
kemungkinan para staf dalam organisasi sosial lebih banyak
206
terdiri dari para relawan yang harus berhubungan dengan
kliennya.
6. Karena keutamaan hubungan staf dan klien, maka posisi dan
peral staff lini (staf profesional) secara khusus adalah
penting dalam organisasi pelayanan manusia.
7. Organisasi pelayanan manusia miskin pengukuran mengenai
efektivitas yang reliabel dan valid, dan mungkin, lebih
mampu bertahan terhadap perubahan dan inovasi.
Pendapat lainnya mengenai karakteristik organisasi pelayanan
manusia dikemukakan oleh Martin (1985:2), bahwa :
1. The purpose of human service organisations is to meet the
socially recognised needs of people. (Tujuan organisasi
pelayanan manusia adalah memenuhi kebutuhan orang yang
diakui secara sosial)
2. Human service organisations are based on values accepted
by all or a subtantial part of the society in which they
operate. (Organisasi pelayanan manusia didasarkan pada
nilai-nilai yang diterima oleh semua atau sebagian penting
anggota masyarakat dimana mereka beroperasi)
3. Human service organisations are committed to protecting
and promoting the wellbeing both of the direct consumers of
their services and of society generally. (Organisasi
pelayanan manusia memiliki tanggung jawab untuk
melindungi dan mendukung kesejahteraan baik kepada
pengguna jasa langsung dan masyarakat pada umumnya)
207
4. Human service organisations are mandated and resourced
by all or a substantial part of the public, through statutory
resources or donations, and operate without a profit-making
purpose. (Organisasi pelayanan manusia memperoleh
kewenangan dan sumber oleh semua atau sebagian penting
masyarakat umum, yaitu sumber-sumber dan donasi
menurut undang-undang dan bergerak tanpa tujuan mencari
keuntungan)
5. Human service organisations are therefore accountable to
all or a substantial part of the public as well as to their
consumers.
(Organisasi
pelayanan
manusia
dengan
demikian dapat dipertanggung-jawabkan kepada semua atau
sebagian penting masyarakat umum demikian pula kepada
para pengguna jasanya)
6. Access to and usage of human services are wholly or
predominantly controlled by the providers rather than
consumers of services. (Akses dan penggunaan pelayanan
manusia secara keseluruhan atau terutama dikendalikan oleh
penyedia pelayanan daripada penggunanya)
7. Human service organisations provide services that may
operate with imprecise methodes. (Organisasi pelayanan
manusia
menyediakan
pelayanan
yang
mungkin
menggunakan metode yang tidak tepat).
8. The outcomes of human services may be uncertain and
unpredictable. (Hasil dari pelayanan manusia mungkin tidak
pasti atau sulit diprediksi).
208
9. Human
services
are
generally
provided
through
professional relationship between staff and client within a
formal
organisational
structure.
(Pelayanan
manusia
umumnya disediakan melalui hubungan profesional antara
staf dan klien dalam suatu struktur organisasi formal).
Sejumlah permasalahan yang seringkali terkait erat dengan kesulitan
administratif dan lemahnya perencanaan antara lain:
1. Human service management have under, “fuzzy” goals.
Artinya organisasi pelayanan manusia tidak memiliki tujuan
yang benar-benar jelas.
2. There are conflicts in values and expectations among the
groups involved in human service delivery. Artinya terdapat
konflik-konflik nilai dan harapan diantara kelompokkelompok yang terlibat dalam penyediaan pelayanan sosial/
manusia.
3. Human service agencies tend to demonstrate more concern
for means than for ends. Artinya badan-badan pelayanan
manusia cenderung untuk menunjukkan perhatiannya pada
cara-cara pertolongan daripada pencapaian tujuan.
4. It is difficult to measure the outputs human service agencies.
Artinya sulit untuk mengukur hasil-hasil dari badan
pelayanan manusia.
5. The connections between agencies effectiveness and
resource alocation are tenuous or nonexistent. Hubungan
antara efektivitas badan-badan sosial dan alokasi sumber
yang seringkali tidak ada dan sulit diperoleh.
209
Edi Suharto (1997), mengemukakan tentang karakteristik dan
permasalahan organisasi pelayanan sosial yang umumnya ada di
Indonesia, dalam tabel berikut:
Tabel 1. Karakteristik dan Permasalahan Organisasi Pelayanan Sosial
Karakteristik
No.
1.
Orientasi bukan mencari
keuntungan (nir-laba)
2.
Produknya bukan barang,
melainkan
pelayanan
sosial
3.
4.
Permasalahan
Kekurangan dana. Sangat tergantung
pada dukungan dana dari luar
Kurang
mampu
memenuhi
kebutuhan anggota dan masyarakat.
Manfaat produknyakurang dapat
dirasakan oleh masyarakat
Para pengurusnya bekerja Rendahnya motivasi dan unjuk kerja
atas dasar sukarela (amal pengurus dalam melaksanakan tugas
soleh, tidak dibayar)
Tidak memiliki indikator Sulit mengukur pengaruh atau
atau kriteria keberhasilan dampak pelayanan. Masyarakat dan
pelayanan yang jelas
lembaga donor kurang percaya
dalam
memberikan
dukungan
finansial.
Jenis Organisasi Pelayanan Manusia
Terdapat banyak jenis organisasi pelayanan manusia yang dapat
dikategorikan berdasarkan kegiatan (bidang lingkup garapan), jenis
penanganan, dan berdasarkan wilayah atau juga berdasarkan teknologi
yang dipergunakan dalam mengolah “raw material” oleh badan
pelayanan sosial. Jika berdasarkan wilayah tentunya ada organisasi
pelayanan manusia tingkat daerah, organisasi pelayanan manusia
tingkat nasional dan organisasi tingkat internasional.
210
Kemudian jika organisasi berdasarkan proses penanganannya
maka akan dikenal jenis organisasi berdasarkan kuratif/penyembuhan,
berdasarkan proses, dan organisasi perubahan. Tipologi organisasi
seperti ini dapat dilihat pada kebutuhan manusia yang sedang dihadapi,
misalkan rumah sakit dan penjara adalah organisasi sosial yang
berfungsi sebagai perbaikan/penyembuhan. Sedangkan sekolah lebih
cenderung dikategorikan dalam organisasi sosial yang berfungsi
perubahan (changing) perilaku manusia.
Sebagaimana dikemukakan oleh Yeheskel Hasenfeld (1983:47) bahwa organisasi pelayanan manusia dilihat berdasarkan ‘materi
atau bahas dasar’-nya dan penggunaan teknologi transformasi yang
digunakan. Berdasarkan jenis bahan dasarnya yang dilayani yaitu
manusia, terdiri dari dua dimensi yaitu manusia yang berfungsi normal
(normal functioning) dan yang tidak berfungsi secara normal
(malfunctioning). Ketidaknormalan tersebut dapat dilihat bersarkan
fisik, psikologis dan sosial.
Selanjutnya
Yeheskel
juga
mengemukakan
klasifikasi
berdasarkan dimensi teknologi pelayanan yang diberikan oleh organsasi
pelayanan, maka terdapat tiga jenis penggunaan teknologi yaitu:
a. Pemrosesan-manusia
(people-processing
technologies);
tujuannya memberikan status atau label sosial tertentu terhadap
klien sehingga dapat ditentukan jenis pelayanan apa yang
diperlukan selanjutnya.
b. Pemeliharaan-manusia (people-sustaining technologies). Pada
jenis
ini
berupaya
untuk
mencegah,
memelihara
dan
memperhatankan kesejehteraan klien, tetapi tidak berupa
merubah secara langsung atribut atau perilaku klien.
211
c. Perubahan-manusia (people-changing technologies); teknologi
ini adalah untuk merubah atribut atau sikap serta perileku klien
agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Apabila digambarkan dalam suatu matrik antara kedua dimensi
yaitu bahan dasar manusia atau tipe kliennya yang berfungsi normal
dan tidak normal, dan penggunaan teknologi dalam pelayanan manusia,
maka didapat enam jenis tipologi organisasi pelayanan manusia,
sebagai berikut:
Tabel 2. Tipologi Organisasi Pelayanan Manusia
Perubahan
Manusia
Jenis III
Jenis V
Fungsional
Jaminan Sosial
Sekolah
Rumah
Umum
Peristirahan
Pramuka
PKBI
Jenis II
Jenis IV
Jenis VI
Malfunctioning
Klinik
Rumah
Rumah sakit
diagnostik
Perawatan
Pusat
Pengadilan
Panti asuhan
rehabilitasi
anak
Korban
narkotik
Sumber: Yeheskel Hasenfeld, 1983. Human service Organization, p. 47.
Jenis Klien
Pemrosesan
Manusia
Jenis I
BPS
Badan
Akreditasi
Pemeliharaan
Manusia
Kemudian beberapa tipologi lainnya yang lebih mudah dilihat
adalah berdasarkan jenis lingkup dan bidang garapan pelayanan dari
organisasi sosial. Friedlander (Concept and Methodes of Social Work;
1980:5-10) mengemukakan beberapa jenis pelayanan sosial yang
diusahakan melalui organisasi sosial yaitu:
212
1. Bantuan sosial (public assistance);
2. Asuransi sosial (social insurance);
3. Pelayanan kesejahteraan keluarga (family welfare services);
4. Pelayanan kesejahteraan anak (child welfare services);
5. Pelayanan kesehatan dan pengobatan (health and medical
services);
6. Pelayanan kesejahteraan jiwa (mental hygiene services);
7. Pelayanan koreksional (correctional services);
8. Pelayanan kesejahteraan pemuda pengisian waktu luang (youth
leissure-time services);
9. Pelayanan kesejahteraan bagi veteran (veteran services);
10. Pelayanan ketenagakerjaan (employment services);
11. Pelayanan bidang perumahan (housing services);
12. Pelayanan sosial inetrnasional (international social services)
13. Pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat (community social
services)
Banyaknya jenis pelayanan sosial yang ada dimasyarakat akan
sangat tergantung pada ragam permasalahan dan struktur masyarakat
itu sendiri dalam menanggapi berbagai masalah yang berkembang.
Demikian pula dengan berbagai perspektif mengenai jenis pelayanan
sosial akan memperjelas dalam memahami proses kegiatan atau
penyelenggaraan pelayanan sosial oleh organisasi tersebut. Dalam
penyelenggaraan pelayanan sosial maka kebijakan-kebijakan yang
dibuat dalam organisasi pelayanan manusia tidak mungkin dapat
diterapkan
tanpa
manajemen
pelayanan
dikemukakan oleh Ginsberg (1995: 2), bahwa
213
sosial.
Sebagaimana
“Without management, it is doubtful that services could be
provided. In many cases, the nature and quality of the services
would be even more heavily influenced by the nature and
quality management than by the laws (in public program) or
board decisions (in voluntary program) that create the
services”.
Tanpa manajemen, maka diragukan sebuah pelayanan sosial
dapat tersedia dengan baik, bahkan sifat dan kualitas pelayanan sosial
akan sangat dipengaruhi oleh sifat dan kualitas manajemen daripada
aturan yang dibuat atau oleh keputusan para anggota dewan. Dengan
demikian suatu organisasi pelayanan sosial sudah semestinya dikelola
secara profesional. Artinya berbagai aspek manajemen merupakan
syarat tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu
organisasi pelayanan.
3. Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial
Manajemen organisasi pelayanan sosial merupakan suatu proses
kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam bidang sosial dengan
menggunakan sumber daya yang terdapat di lingkungan masyarkat
secara efisien dan efektif. Berbicara mengenai manajemen maka akan
membawa serta fungsi manajemen yang antara lain dikemukakan oleh
Weinbach (1994), yaitu :
1. Perumusan tujuan
2. Pengorganisasian usaha-usaha kesejahteraan sosial
3. Komunikasi baik vertikal maupun horizontal, formal atau
informal, internal maupun eksternal
214
4. Penyediaan fasilitas
5. Mencari,
menggali
memobilisasi
dan
memanfaatkan
sumber/potensi
6. Evaluasi kegiatan usaha kesejahteraan sosial
Manajemen seringkali diartikan secara berbeda dalam berbagai
level dan bidang kegiatan. Manajemen dapat diartikan sebagai
seperangkat fungsi khusus yang dijalankan oleh orang dalam seting
pekerjaan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan
pencapaian tujuan organisasi (Weinbach, 1994:11). Dalam seting
pekerjaan sosial berarti bahwa para pekerja sosial yang berfungsi
sebagai manajer berupaya untuk membangun dan mencapai suatu
lingkungan kerja optimal yang kondusif bagi efisiensi penyediaan
pelayanan yang efektif bagi klien. Dengan demikian pemahaman akan
manajemen dari suatu organisasi pelayanan menjadi begitu penting,
dalam rangka mencapai efektifitas pelayanan sosial yag diberikan.
Dalam dekade terakhir ini, khususnya dalam dua puluh lima
tahun terakhir, banyak perkembangan secara administratif dalam
bidang bisnis dan pekerjaan sosial yang saling-silang. Tantangan terkini
dalam pekerjaan sosial adalah memadukan prinsip-prinsip efisiensi
manajemen bersama dengan hubungan manusia dalam memberikan
pelayanan manusia yang efektif. Manajemen berorientasi bisnis
menekankan
proses
perencanaan
(planning),
pengorganisasian
(organizing), dan pengarahan (directing) dalam rangka meningkatkan
dana memperbaiki pelaksanaan dan hasil suatu organisasi. Dalam
pekerjaan sosial, proses yang sama tersebut dapat digunakan untuk
215
memperkuat pelaksanaan badan pelayanan dan untuk meningkatkan
pelayanan. (Skidmore, p.17).
Sedangkan proses manajemen dalam organisasi pelayanan
sosial tidak jauh berbeda dengan proses yang dilakukan oleh organisasi
lainnya. George Tery mengemukakan fungsi-fungsi manajemen yang
terkenal dengan sebutan POAC (Planing, Organizing, Actuating and
Controlling). Sedangkan para penulis manajemen lainnya ada yang
hanya menggunakan planning, organizing dan controling saja. Namun
begitu, sebagaimana dikemukakan oleh Robert Weinbach (p. 17)
bahwa “all the list suggest the effort of a manager take a active role in
shaping various aspect of the work environment”. Artinya kesemua
fungsi managemen tersebut ditujukan agar manajer memiliki peran
aktif dalam mempengaruhi lingkungan kerjanya.
Selanjutnya menurut Thomas Wolf (1990:289-297) organisasi
non-profit atau organisasi pelayanan manusia diatur dan dikelola
dengan baik secara sungguh-sungguh pada berbagai bidang. Sebagian
dari keberhasilan yang diperoleh dewan dan stafnya yaitu komitmennya
terhadap
suatu
proses
untuk
mengevaluasi
permasalahan
dan
mengembangkan secara sistematis untuk berbuat yang lebih baik lagi.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperkirakan kekuatan
(strengths), kelemahan (Weaknesses), permasalahan (problemsI) dan
peluang (opportunities)
Diagnosis kekuatan, kelemahan, permasalahn dan peluang suatu
organisasi saat ini meliputi asesmen yang dilakukan pada berbagai
wilayah dan mengevaluasi organisasi dari berbagai sudut pandang.
Proses tersebut meliputi ajuan pertanyaan mengenai bagaimana
216
sebaiknya mengukur organisasi pada taraf yang ideal. Cecklist berikut
ini akan merupakan titik awal yang baik bagi penelahaan (assessment)
proses keorganisasian. Menurut Thomas Wolf paling tidak terdapat
lima aspek utama dalam penelaahan sebuah organisasi pelayanan
manusia (human service organizations) yaitu :
a. Misi, Imej, dan Dukungan
b. Isu Sumberdaya Manusia : Dewan, Staf, dan Relawan
c. Keuangan
d. Aktifitas dan Program
e. Perencanaan dan Evaluasi
Secara rinci ia menguraikan masing-masing aspek utama
tersebut menjadi bagian-bagian yang perlu diperhatikan dalam
mengelola organisasi pelayanan manusia, yaitu sebagai berikut;
a. Misi, Imej, dan Dukungan Kasus (Mission, image, and Case for
Support)
i.
Misi. Sebuah organisasi yang kuat salah satunya
tujuannya adalah relevansi kebutuhan masyarakat yang
dilayani sekarang ini serta keperluan (kebututuhan)
dewan serta konstituen yang diketahuinya dengan baik.
ii.
Imej. Organisasi sebaiknya terkenal dan dihargai dengan
dalam masyarakatnya dan diantara para konstituennya.
iii.
Dukungan Kasus. Organisasi sebaiknya menampilkan
suatu sodoran kasus yang mendukung baik bagi klien
dan kepada kontributornya.
b. Isu
Sumberdaya Manusia:
Dewan,
Staf,
(Manpower Issues: Board, Staff, and Volunteers)
217
dan
Relawan
i.
Dewan. Anggota dewan sebaiknya aktif, memikirkan
keseluruhan
urusan-urusan
organisasi,
bertanggung
jawab terhadap pengumpulan dana, dan mengikuti
perkembangan para stafnya dalam melakukan kegiatan
sehari-hari terhadap organisasi.
ii.
Staf.
Organisasi
sebaiknya
memiliki
staf
yang
berkualitas dan terlatih baik yang mampu melakukan
tugas kegiatan yang cukup luas. Organisasi seharunya
memaksimalkan kekuatan kerta dan sebaiknya kebijakan
personalia didokumentasikan yang mencerminkan rasa
kejujuran terhadap moral yang baik.
iii.
Sukarelawan.
Dalam
organisasi
membutuhkan
sukarelawan,
setiap
yang
sangat
individu
harus
sungguh-sungguh atau dapat dipercaya (be committed),
berikan tugas yang jelas, dan perhargaan atas pekerjaan
yang dilakukannya.
c. Keuangan (Finances)
i.
Manajemen keuangan. Keuangan organisasi seharusnya
menunjukkan
manajemen
yang
bijak
(hati-hati),
penyesuaian kelalaian dan pengendalian, dan sistem yang
tepat untuk memprediksi dan jalur-jalur penhasilan dan
pembiayaan.
ii.
Pendapatan dan pengeluaran. Terkecuali berada pada
lingkaran
yang
tidak
biasa,
organisasi
sebaiknya
memperoleh dan menambah uang yang cukup setiap
tahunnya untuk membiayai operasi kegiatan.
d. Aktifitas dan Program (Activities and Programs)
218
i.
Audit
sumber
daya.
Program-program
organisasi
sebaiknya memenuhi kebutuhan para konstituen dan
masyarakat. Mereka seharusnya teradministrasi dengan
baik.
ii.
Posisi.
Organisasi
sebaiknya
menunjukkan
akan
keuntungan uniknya dengan memanfaat program dan
pelayanan-pelayanannya. Hal tersebut sebaiknya dihargai
dengan baik pada persaingan yang ada.
e. Perencanaan dan Evaluasi (planning and Evaluation)
i.
Perencanaan. Dewan dan staf organisasi sebaiknya
terlibat dalam perencanaan jangka pendek dan jangka
panjang setiap saat.
ii.
Evaluasi.
Sistem
evaluasi
seharusnya
mengukur
penampilan sasaran dan standar yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Dari waktu-ke waktu, evaluasi sebaiknya
menggunakan objektifitas dan profesional ahli dari luar.
4. Penelitian Pekerjaan Sosial
Salah satu kemampuan penting bagi dalam profesi pekerjaan
sosial adalah meneliti. Kemampuan meneliti dalam bidang pekerjaan
sosial dan kesejahteraan sosial akan sangat menunjang efektifitas dan
efisiensi dari proses pelayanan sosial. Untuk memahami secara dasar
mengenai penelitian pekerjaan sosial dalam bagian berikut terdapat
beberapa asumsi dasar yang melandasi penelitian pekerjaan sosial,
yaitu:
219
•
Penelitian pekerjaan sosial adalah salah satu metode dalam
praktek pekerjaan sosial.
•
Penelitian
pekerjaan
sosial
berfungsi
membantu
mengoptimalkan praktek pekerjaan sosial.
•
Penelitian pekerjaan sosial pada hakekatnya adalah penerapan
konsep-konsep pekerjaan sosial, metode penelitian sosial, serta
ilmu pengetahuan lain di dalam mengkaji atau memahami suatu
persoalan.
•
Penelitian Pekerjaan Sosial bukan saja dibutuhkan dalam
praktek pekerjaan sosial, akan tetapi juga merupakan tuntutan
bagi setiap pekerja sosial.
•
Penelitian pekerjaan sosial juga merupakan salah satu tuntutan
yang
harus
dipenuhi
oleh
setiap
mahasiswa
dalam
menyelesaikan studinya dalam bentuk skripsi, tesis atau
disertasi.
Berdasar pada asumsi-asumsi tersebut kemampuan meneliti merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam profesi pekerjaan sosial dengan
bidang garapannya yaitu kesejahteraan sosial. Sebab suatu proses
pelayanan sosial tentunya akan dan harus diawali dengan proses
asesmen yang benar. Proses asesmen yang benar akan menghasilkan
olah
data
dan
kajian
analisis
yang
benar
dan
sehingga
dipertanggungjawabkan, untuk selanjutnya hasil olah dan analisis data
tersebut akan dipergunakan dalam penyusunan rancangan pemecahan
masalah (plan of treatment). Dengan demikian proses asesment tersebut
juga akan menentukan keberhasilan suatu rencana kegiatan atau plan of
treatment (rencana tindakan) yang akan disusun, serta treatment atau
220
pemecahan masalah yang akan dilakukan. Dalam proses berikutnya
juga sudah mulai dapat ditentukan jenis evaluasi serta monitoring, yang
juga melibatkan penelitian pekerjaan sosial. Keseluruhan proses
pekerjaan sososial tersebut, dari mulai asesmen (pengumpulan data dan
pengolahan data) hingga evaluasi-monitoring dan terminasi-after care
akan banyak melibatkan penelitian pekerjaan sosial.
Berdasarkan uraian tersebut, tiak dapat dipungkiri bahwa
penelitian pekerjaan sosial merupakan salah kompetensi yang harus
dikuasasi dalam profesi pekerjaan sosial. Seorang pekerja sosial
diharapkan memiliki kompetensi meneliti, sebagai upaya mengatasi
berbagai permasalahan sosial secara sistematis dan terukur. Oleh
karena itu penelitian pekerjaan sosial akan sangat terkait erat dengan
praktek pekerjaan sosial. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
bahwa proses pemecahan sosial yang terdiri dari asesmen (diagnosis),
rencana tindakan (plan of treatment), monitoring dan evaluasi, hingga
terminasi. Kesemua proses tersebut, dalam konteks penelitian pekerjaan
sosial memerlukan akan menuntut keakuratan data, asumsi-asumsi,
metode dan teknik yang benar.
Setiap profesi pertolongan tentunya (pekerjaan sosial, dokter,
psikolog, perawat, psikiater, dll) akan mengembangkan model
penelitiannya masing-masing. Hal ini akan sangat terkait dengan
konteks dan fokus masing-masing profesi tersebut. Demikian pula
dengan profesi pekerjaan sosial, yang diharapkan juga mampu
mengembangkan model penelitian yang sesuai dengan bidang
garapannya. Hal ini penting agar penerapan model penelitian tersebut
dapat fungsional atau berguna dalam proses pemecahan masalah.
221
Penelitian merupakan bahasa universal, yang tidak mengenal
strata dan proses. Pembeda penelitian adalah tujuan, kedalaman serta
fokus atau bidang dari masing-masing penelitian itu sendiri. Namun
demikian penelitian tetap saja merupakan keterampilan umum yang
didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu. Demikian pula halnya dalam
penelitian pekerjaan sosial. Tujuan penelitian pekerjaan sosial itu
sendiri sangat khas, yang tentunya berkait serta dengan bidang praktek
pekerjaan sosial dan bidang garapan kesejahteraan sosial.
Orientasi penelitian pekerjaan sosial adalah penelitian terapan.
Artinya penelitian ini seyogyanya berorientasi pada tindakan yang
memiliki manfaat menyelesaikan suatu masalah sosial tertentu, baik
masalah kebijakan, program ataupun kegiatan operasional. Hasil dari
penelitian
rekomendasi
pekerjaan
(referensi
sosial
seharusnya
praktis)
tentang
memberikan
bagaimana
sebuah
seharusnya
mengimplementasikan hasil penelitian dan kesimpulan dari penelitian
tersebut. Oleh karena itu seorang peneliti pekerjaan sosial, dalam
benaknya, perlu memikirkan sumbangan apa yang dapat diberikan bagi
pengembangan model-model praktek pekerjaan sosial, pengembangan
solusi pemecahan masalah, dan peningkatan efektifitas-efisiensi
pemecahaan masalah; baik mikro-makro, baik kebijakan-programproyek.
Obyek dari penelitian pekerjaan sosial adalah 1) praktek
pekerjaan sosial (baik dalam seting praktek primer maupun sekunder);
2) masalah sosial, 3) fenomena atau isu-isu yang menjadi kajian ilmu
lain yang dapat dijadikan asumsi dalam praktek pekerjaan sosial.
Oleh karena itu tujuan penelitian pekerjaan sosial ditujukan
untuk pengembangan praktek pekerjaan sosial, baik konsep-konsep,
222
asumsi-asumsi,
strategi-strategi,
metode-metode,
teknik-teknik,
pendekatan-pendekatan, dan seterusnya sebagaimana uraian berikut ini.
Tujuan Penelitian Pekerjaan Sosial
Secara umum maksud dan tujuan dari penelitian pekerjaan sosial dapat
Secara definisi tujuan penelitian pekerjaan sosial adalah:
•
Untuk menjawab permasalahan dalam praktek pekerjaan
sosial
•
Memperluas atau menjeneralisasi pengetahuan dan konsepkonsep pekerjaan sosial
•
Menentukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah sosial
•
Menguji asumsi-asumsi dalam praktek pekerjaan sosial
•
Menjelaskan efektifitas dan efisiensi suatu pendekatan,
metode, teknik atau keterampilan dalam praktek pekerjaan
sosial.
Sedangkan menurut Philip Klein, tujuan penelitian pekerjaan sosial
adalah:
- Menetapkan, mengenal, mengukur kebutuhan pelayanan
- Mengukur, mengkaji pelaksanaan pelayanan
- Mengkaji, mengukur, menilai hasil-hasil praktek pekerjaan
sosial
- Mengkaji ketepatan teknik atau metode pelayanan
- Menguji, mengembangkan metode penelitian
223
Lebih lanjut, menurut Friedlander (dalam Concepts and Methods of
Social Work,p.226) menguraikan tujuan penelitian pekerjaan sosial
sebagai berikut:
1. Mengukur faktor-faktor penyebab masalah sosial dan pelayanan
sosial apa saja yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah sosial
tersebut
2. Penelitian tentang lembaga-lembaga pelayanan sosial, dewandewan kesejahteraan sosial dan konsep-konsep pekerjaan sosial.
3. Meneliti tantang harapan, persepsi, serta evaluasi tentang
situasi-situasi bidang praktek pekerjaan sosial
4. Mengukur intensitas, tujuan, kinerja para pekerja sosial
5. Mengkaji hubungan antara harapan, intensitas dan tindakan para
pekerja sosial tersebut.
6. Meneliti tentang isi atau materi proses pekerjaan sosial
7. Menguji kegunaan pelayanan sosial, dalam kaitannya dengan
kebutuhan individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
8. Mengukur,
mengevaluasi
pengaruh
pelaksanaan
praktek
pekerjaan sosial serta kebutuhannya bagi praktek pekerjaan
sosial
9. Meneliti tentang harapan-harapan, persepsi, dan evaluasi
tentang situasi klien
10. Meneliti tetang tingkah laku klien sebagai respon terhadap
pelayanan yang diberikan oleh para pekerja sosial
11. Mencari batasan formal dan informal tentang peranan,
hubungan, pola kerja pekerja sosial dengan lembaga-lembaga
pelayanan social.
224
12. Meneliti tentang nilai-nilai dan kecenderungan utama suatu
kelompok sosial dalam suatu masyarakat tempat pelayanan
sosial
berada,
untuk
mendorong
dan
mengembangkan
pemanfaatannya.
13. Meneliti tentang pola-pola interaksi antara unsur yang beragam
dalam setting lembaga sosial dan pengaruhnya terhadap klien
dan pengelola lembaga.
14. Studi tentang metodologi penelitian Pekerjaan Sosial itu sendiri.
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan penelitian pekerjaan sosial
tersebut, jelas terlihat adanya objek dari penelitian pekerjaan sosial.
Setidaknya obyek penelitian pekerjaan sosial itu terbagi menjadi 3
(tiga) bagian, yaitu 1) masalah atau isyu-isyu kesejahteraan sosial, 2)
praktek pekerjaan sosial, dan 3) perspektif pekerjaan sosial.
Penelitian pekerjaan sosial secara sederhana dimulai dengan
memiliki topik penelitian yang manageable, menentukan obyek
penelitian, menentukan judul, dan membuat rumusan masalah
penelitian,
pemerintah,
penelitian,
menentukan
dan
manfaat
pemangku
menganalisis
dan
penelitian
kepentingan),
(bagi
masyarakat,
menentukan
menyimpulkan
hasil
metode
penelitian,
selanjutnya saran atau rekomendasi atas kesimpulan yang diperoleh.
Topik penelitian yang manageable berarti peneititian tersebut
dapat dilaksanakan dan penting untuk diteliti. Beberapa pertimbangan
dalam memilih topik penelitian, baik pertimbangan obyektif dan
pertimbangan subyektif. Petimbangan obyektif menyangkut:
225
•
Ada referensi teoritisnya. Makin banyak referensi maka makin
mudah untuk pengelolaannya
•
Merupakan persoalan yang aktual. Makin aktual makin
manageable.
•
Merupakan permasalahan atau persoalan yang penting. Penting
artnya mempunyai nilai guna teoritis dan praktis. Makin penting
persoalannya maka makin manageable.
•
Dapat diperoleh datanya. Maka mudah data itu diperoleh, maka
makin muda pengelolaannya.
Selanjutnya terdapat pula pertimbangan subyektif yang juga perlu
dipertimbangkan dalam memulai penelitian, antara lain:
•
Peneliti memiliki minat atas obyek penelitian, makin besar
minatnya maka makin memudahkan.
•
Peneliti mempunyai bekal teoritis tetang obyek yang diteliti.
Sebab makin besar pemahamannya maka makin memudahkan
pula.
•
Peneliti mampu mengelola persoalan waktu, tenaga, dan biaya
sebagai konsekuensi dari kegiatan penelitian tersebut.
Selanjutnya mengenai topik-topik penelitian pekerjaan sosial dan
kesejahteraan sosial dapat didasarkan pada isu atau topik sebagai
berikut:
A. Berdasarkan isyu atau masalah
•
•
Anak jalanan
Kekerasan domestik atau publik
226
•
•
•
•
•
Bencana (alam, sosial)
Konflik sosial
Pengungsi dan migrant internasional
Lingkungan
Perilaku sosial, dan lain-lain
B. Berdasarkan program
•
•
•
•
•
•
•
Rumah sakit bersalin gratis
Pengembangan masyarakat
BPJS
Penanganan pengungsi
Penanganan traficking
CSR
Pengelolaan sampah, dan lainnya
C. Berdasarkan kelompok usia
•
•
•
•
Anak : anak jalanan, pekerja anak, anak korban kekerasan, dst
Remaja: geng motor, peer educator, pergaulan bebes remaja,
perilaku asosial remaja
Dewasa: buruh, singel parent, kekerasan dalam rumah tangga,
Lansia: panti jompo, lansia di keluarga, organisasi lansia, dan
lainnya
D. Berdasarkan unit analisis
•
•
•
•
Individu
Keluarga
Kelompok/organisasi/instansi/perusahaan
Masyarakat
E. Berdasarkan bidang
•
•
•
•
Kesehatan
Pendidikan
Industri
Keagamaan
227
•
•
•
•
Kependudukan
Politik
Budaya
Lingkungan
F. Berdasarkan pendekatan, metode, teknik, dan keterampilan dalam
pekerjaan sosial
•
•
•
•
•
•
•
Proses pengembangan masyarakat
Cognitive behavior therapy (CBT)
Assertiveness training
Reunifikasi anak
Person in environment (PIE)
Konseling
Penanganan berbasis institusi, dan seterusnya masih banyak lagi
G. Berdasarkan setting
•
•
•
•
•
•
Keluarga
Sekolah
Industri
Rumah sakit
Organisasi sosial
Masyarakat
5. Perencanaan Sosial
Perencanaan sosial, dibatasi dan diterapkan secara berbeda-beda
dalam berbagai konteks. Berdasarkan penerapannya di berbagai negara,
Alan Walker (1983) menempatkan perencanaan pada dua kutub. Kutub
yang pertama, bahwa perencanaan sosial sebagai unsur yang
menggerakkan perubahan sosial dan pencapaian pembangunan sosial
(Migdley, 1978; PBB, 1970; Conyers, 1983). Sedangkan kutub kedua,
228
menempatkan
perencanaan
sosial
sebagai
bagian
dari
sistem
kesejahteraan sosial yang berlaku pada masyarakat kapitalis (AbelSmith, 1967; Mayer, 1972; Glennester, 1975). Para ahli tersebut
melihat hubungan dari tiga unsur dalam masyarakat, yaitu pemerintah
sebagai pengatur dan pengelola lalu lintas sumber daya, swasta dan
masyarakat luas pada umumnya sebagai penyumbang pajak maupun
pendonor, dan para klien sebagai penerima bantuan sosial.
Sedangkan apabila melihat berdasarkan aktifitas dan bidangnya,
secara garis besar Piachaud dan Midgley (1984) membagi perencanaan
sosial ke dalam lima kategori sebagai berikut:
1. Perencanaan sosia, perubahan sosial dan sosiologi terapan.
2. Perencanaan sosial, pekerjaan sosial dan pengembangan
masyarakat.
3. Perencanaan sosial dan pengembangan kota
4. Perencanaan
sosial,
kebijakan
sosial
dan
pelayanan
kesejahteraan sosial.
5. Perencanaan sosial dan perencanaan pembanguann di dunia
ketiga.
Aspek ‘sosial’ dari suatu perencanaan menjadi begitu sangat
penting, khususnya berkaitan dengan perencanaan pembangunan di era
tahun 1970-an. Di Indonesia sendiri perencanaan sosial mulai menjadi
bagian penting dalam pembangunan nasional pada era tersebut hingga
kini. Bahkan di berbagai lembaga pendidikan tinggi, perencanaan sosial
menjadi bagian dari mata kuliah menjadi tersendiri, dari suatu program
studi, seperti halnya dalam program studi kesejahteraan sosial, atau
pada program studi pembangunan sosial. Bahkan pada beberapa
229
perguruan tinggi terdapat program studi perencanaan atau perencanaan
sosial.
Conyers (1984) mencatat bahwa istilah perencanaan sosial
mulai muncul pertama kali di negara-negara maju Eropa Barat dan
Amerika Utara, yang pada dasarnya berhubungan erat dengan
perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan
sosial. Sedemikian erat hubungannya, bahkan sebagian orang
menganggap hubungannya adalah mutlak. Berdasarkan hal tersebut
sebagian besar orang Barat menganggap bahwa perencanaan sosial
mempunyai
kaitan
yang
erat
dengan
masalah
perencanaan
kesejahteraan sosial.
Selanjutnya Conyers (1984) mengemukakan tiga bidang besar
dalam perencanaan sosial yaitu:
1) Perencanaan pelayanan-pelayanan sosial
2) Memperhitungkan
skala
mempertimbangkannnya
prioritas
dalam
sosial
dan
perencanaan
pembangunan; dan
3) Jaminan terhadap adanya partisipasi yang luas dalam
perencamnaan
Perencanaan sosial pada tipe pertama, dalam arti sempit, adalah
jenis perencanaan yang ditujukan untuk pada penyediaan pelayananpelayanan pokok di bidang sosial. Pelayanan ini berkaitan dengan jenis
pelayanan penyediaan dukungan terhadap kesejahteraan sosial (social
well being) penduduk. Awalnya pengertian perencanaan sosial lebih
sempit, hanya mencakup pelayanan kesejahteraan sosial tanpa
berkaitan dengan sifat ekonominya. Namun dalam perkembangannya,
230
perencaan sosial juga mencakup bidang-bidang pendidikan dan
kesehatan, perumahan, pengadaan air bersih, penyediaan sarana-sarana
rekreasi.
Tipe kedua adalah suatu bentuk perencanaan sosial yang tidak
saja tertuju secara langsung pada faktor-faktor sosial dan ekonomi yang
sedemikian rumit hubungannya dalam proses pembangunan, lebih
khusus lagi perlunya perhatian yang lebih mendalam kembali mengenai
pertimbangan-pertimbangan sosial dan pencapaian tujuan-tujuan sosial.
Perencanaan semacam ini telah menjadi suatu kebutuhan penting,
sebagai suatu refleksi atas realisasi faktor-faktor sosial yang
diperhitungkan dalam setiap program pembangunan, dan bahwa
pembangunan sosial mempunyai mempunyai tujuan penting tersendiri.
Bidang ketiga dari perencanaan sosial adalah sebagai respon
atau
menjawab
kegagalan-kegagalan
pembangunan
yang
tidak
memperhatikan partisipasi masyarakat. Ini merupakan bukti dari
kegagalan pembangunan yang tidak memperhatikan faktor sosial.
Sebab salah satu unsur penting dalam pembangunan adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam
kegiatan pembangunan yang menyangkut langsung kehidupan mereka.
Umumnya para perencana sosial menyadari bahwa masyarakat
seharusnya berperan serta dalam menentukan prioritas permasalahan,
dan untuk selanjutnya merumuskan bentuk-bentuk pemecahannya
secara bersama masyarakat pula. Self belonging
terhadap suatu
program akan muncul, manakala masyarakat dilibatkan dalam suatu
proses pembangunan, sehingga pemeliharaan dari masyarakat terhadap
suatu program pembangunan akan berjalan.
231
DAFTAR PUSTAKA
Conyers, Diana. 1984. An Intriduction to Social Planning in the Third
World. Wiley & Son. Terjemahan oleh Susetiawan,
Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, 1991. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Friedlander W., 1980. Introduction to Social Welfare. Prentice-Hall,
Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Ginsberg & Key, 1995. New Management in Human Services. 2nd Ed.
NASW Press, Washinton DC.
Johnson, Norman. 1981. Voluntary Social Services. Basil Blackwell &
Martin Robertson-Oxford.
Robert W. Weinbach. 1994. The Social Worker as Manager, Theory
and Practice. 2nd Edition Allyn and Bacon.
Skidmore, Rex A. 1995. Social Work Administration, Dinamic
Management and Human Relationships. 3rd Edition: Allyn &
Bacon.
Thomas Wolf. 1990. Managing a Nonprofit Orgnization. Prentie Hall
Press. New York.
Weinbach, Robert W. The Social Worker as Manager, Theory and
Practice. 2nd. Ed. Allyn & Bacon.
232
TOPIK 8
PELAYANAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Keadaan, Kecenderungan, dan
Masalah dalam Penyelenggaraan
Pelayanan Sosial
KEGIATAN BELAJAR 2: Bidang-bidang Pelayanan Sosial
KEGIATAN BELAJAR 3: Strategi Pelayanan Sosial
KEGIATAN BELAJAR 4: Organisasi (Badan) Pelayanan Sosial
233
KEGIATAN BELAJAR 1
KEADAAN, KECENDERUNGAN DAN MASALAH
DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN
SOSIAL
Ada
tiga
komponen
yang
dibutuhkan
untuk
menumbuhkembangkan sebuah profesi, yaitu lembaga pendidikan
profesi, organisasi profesi, dan badan pelayanan (praktik); yang
merupakan segitiga sama kaki. Dalam hubungan dengan Pekerjaan
Sosial, di Indonesia lembaga pendidikan Pekerjaan Sosial telah
menunjukkan kelengkapan jenjang program pendidikan, namun masih
sangat mengalami kekurangan dalam penerapan konsep ‘link and
match’ dengan kondisi nyata masyarakat sehingga belum begitu
terdengar gaung kiprahnya. Kekurangan ini bersumber antara lain pada
kurangnya tenaga pengajar baik dalam kuantitas maupun dalam
pengalaman praktik, kurang tepatnya sistem kurikulum, khususnya
berkaitan dengan metode dan teknik pembelajaran; sangat kurangnya
badan pelayanan sosial yang memadai untuk dijadikan tempat praktik.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Kesejahteraan Sosial (Bab
I Pasal 2 Ayat (2)), dirumuskan pengertian ‘Usaha-usaha Kesejahteraan
Sosial’, sebagai: ”... semua upaya, program, dan kegiatan yang
ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan, dan
mengembangkan kesejahteraan sosial”.
Secara tradisional masalah-masalah sosial ditangani melalui
lembaga-lembaga kemasyarakatan, khususnya keluarga dan model-
234
model usaha kesejahteraan sosial seperti lumbung desa, ‘beas perelek’
(urunan beras); namun dengan pandangan bahwa sumber penyebab
masalah sosial adalah perubahan sosial, dan dengan melihat
perkembangan masalah sosial dewasa ini serta kemungkinannya di
masa mendatang, maka lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut
sudah mengalami pula pergeseran fungsi dan strukturnya sehingga
tidak lagi dapat mengimbangi perubahan pada sub-sistem masyarakat
yang
lain.
Dengan
demikian
dibutuhkan
penataan
kembali
kelembagaan pelayanan sosial yang diadakan untuk memperkuat dan
atau menggantikan fungsi-fungsi institusi kemasyarakatan tradisional.
Di Indonesia dalam kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang
ke I, proporsi sasaran pelayanan dan usaha kesejahteraan sosial yang
dapat dijangkau oleh pemerintah masih sangat kecil dibandingkan
dengan populasi penyandang masalah. Dengan tekanan pengertian
masalah sosial pada masalah ketelantaran ekonomi (masalah sosialekonomi), maka jangkauan penanganan hanya berkisar antara 2-19
persen (Holil Soelaiman, 1993:8). Di Jawa Barat, keadaannya tidak
banyak berbeda: dari keseluruhan populasi penyandang masalah
sebanyak 1.184.498 orang, baru tertangani sebanyak 115.691 orang
(9,76%).
Namun demikian ternyata partisipasi masyarakat dalam
penanganan masalah sosial cukup tinggi: ” ... pada akhir Pelita IV di
Jawa Barat terdapat badan pelayanan sosial sebanyak 201 buah, terdiri
atas 27 badan pelayanan sosial pemerintah dan 174 badan pelayanan
sosial swasta. Pada akhir Pelita V jumlah badan pelayanan sosial telah
menjadi 695 buah, terdiri atas 27 badan pelayanan sosial pemerintah
dan 668 badan pelayanan swasta” (Dinas Sosial Jawa Barat, 1993;
235
perlu diperbaharui, dibandingkan dengan data terakhir). Data
tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun, badan
pelayanan sosial swasta telah bertambah sebanyak 594 buah atau
341,38%, yang mencerminkan tingginya peningkatan partisipasi
masyarakat dalam penanganan masalah sosial. Keadaan tersebut
tampaknya sesuai dengan pengamatan Holil Soelaiman (1993:9),
bahwa: ”Perlu diakui peranan masyarakat dalam pelayanan dan usaha
kesejahteraan sosial, cukup besar”. Masalahnya adalah bahwa
partisipasi masyarakat masih belum merata pada seluruh masalah
sosial, dan masih banyak yang harus dibenahi dalam pengelolaan
penyelenggaraan pelayanan sosial tersebut.
Dari sudut pengembangan praktik Pekerjaan Sosial, maka data
tersebut beserta keadaan masalah dan penanganan yang dilakukan oleh
pemerintah menjadi isyarat bahwa pengembangan praktik Pekerjaan
Sosial harus diarahkan pada sektor pelayanan sosial swasta (voluntary
social services). Pemilihan arah pengembangan tersebut mempunyai
beberapa alasan, antara lain:
a. Kenyataan menunjukkan bahwa perhatian dan kemampuan
pemerintah untuk menangani sendiri masalah-masalah sosial,
sangat kecil. Data tentang badan pelayanan sosial di Jawa Barat
menunjukkan bahwa lembaga pelayanan sosial pemerintah
berjumlah tetap (sedikit) selama lima tahun. Data lain yang
diperoleh dari Dinas Sosial Jawa Barat menunjukkan bahwa
penanganan masalah-masalah sosial-psikologis oleh badan
pelayanan sosial pemerintah masih nol, walaupun kenyataan
menunjukkan bahwa jumlah penyandang masalah-masalah
sosial psikologis mengalami peningkatan yang tinggi. Dengan
236
perkataan lain, lingkup penanganan masalah sosial oleh
lembaga pelayanan sosial pemerintah masih sangat terbatas.
b. Kenyataan menunjukkan pula bahwa partisipasi masyarakat
(swasta) dalam penanganan masalah-masalah sosial mengalami
peningkatan yang besar; dan keadaan itu sangat baik karena
merupakan indikator bahwa kepedulian sosial warga masyarakat
masih tinggi, yang sesungguhnya merupakan modal besar bagi
pengembangan bidang Kesejahteraan Sosial.
c. Praktik di badan pelayanan sosial swasta lebih memberikan
keleluasaan kepada para Pekerja Sosial untuk mengembangkan
diri dan aktivitas profesionalnya secara lebih kreatif dan
responsif terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian dalam praktiknya sampai saat ini, terdapat
beberapa permasalahan yang melekat pada penyelenggaraan pelayanan
sosial itu sendiri, antara lain:
a. Masih sangat besarnya kesenjangan antara kebutuhan akan
pelayanan sosial dengan ketersediaan kelembagaan pelayanan
sosial itu sendiri.
b. Masih cukup kuatnya pandangan (masyarakat umum, aparat
pemerintah, bahkan para penyelenggara pelayanan sosial itu
sendiri) terhadap pelayanan sosial sebagai kegiatan pemberian
bantuan sosial (derma/ charity/philanthrophy), atau kegiatan
yang bersifat residual (tambal-sulam).
c. Belum profesionalnya penyelenggaraan pelayanan sosial baik
melalui badan-badan pelayanan sosial pemerintah maupun
bukan pemerintah, sehingga badan-badan pelayanan tersebut
237
belum menyatu menjadi bagian dari masyarakat yang sedang
mengalami industrialisasi.
d. Manajemen badan-badan pelayanan sosial masih tergantung
kepada orang bukan kepada struktur organisasi, dan bersifat
primordial, sehingga tidak dapat mengembangkan pelayanannya
untuk dapat memperluas jangkauan pelayanan, juga tidak dapat
menjadi tempat para Pekerja Sosial profesional untuk meniti
karier profesionalnya.
Dengan melihat perkembangan masyarakat yang semakin
membutuhkan sistem pelayanan sosial yang melekat sebagai bagian
dari sistem masyarakat itu sendiri, serta tuntutan profesionalisme para
Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial; maka dapatlah
dikemukakan beberapa karakteristik yang seharusnya melekat pada
pelayanan sosial dewasa ini, yaitu:
a. Didasarkan pada nilai sosio-budaya dan agama masyarakat.
b. Adaptif terhadap perubahan masyarakat.
c. Berfungsi memperkuat, mendukung, dan/atau menggantikan
fungsi dan struktur lembaga sosial tradisional.
d. Ditekankan pada upaya pencegahan (preventif) timbulnya
masalah dan pengembangan (developmental) kemampuan orang
untuk mengatasi masalahnya sendiri; daripada kepada upaya
penyembuhan (kuratif, represif, rehabilitatif).
e. Voluntary, artinya dibentuk dan diselenggarakan dari dan oleh
masyarakat; tanpa mengandalkan lembaga-lembaga pemerintah
(public social service).
Pelayanan sosial merupakan wujud praktik Pekerjaan Sosial
yang diwadahi dalam badan pelayanan sosial (social service agencies).
238
Di badan-badan pelayanan sosial inilah para Pekerja Sosial dapat
meniti karier profesinya. Pada awal pertumbuhannya Pekerjaan Sosial
dimanapun di seluruh dunia ini, filosofi charity/ philanthrophy
(kebajikan) menjadi landasan dan karenanya identik dengan palayanan
sosial; yang diselenggarakan dalam bentuk bantuan sosial (derma).
Dampak yang ditimbulkannya adalah bahwa Pekerja Sosial identik
dengan pekerja “amal soleh” (tukang pengumpul dan pembagi derma).
Pendekatan filosofi charity/philanthrophy tersebut telah gagal
mengatasi masalah sosial, bahkan menciptakan masalah sosial yang
lebih mendasar, yaitu ketergantungan, kehilangan harga diri, dan
lenyapnya daya juang para penyandang masalah.
Dengan cara berpikir demikian, dan kenyataan bahwa
pemberian bantuan sosial telah menimbulkan masalah yang lebih berat;
maka paradigma pelayanan sosial tidak lagi bertumpu pada filosofi
charity/philanthrophy,
melainkan
kepada
“pemberdayaan”
(empowerment). Dengan paradigma baru tersebut, maka masalah
mendasar yang mengemuka bukan lagi kemiskinan, melainkan
kebodohan. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat pada dasarnya
adalah pemberantasan kebodohan; dengan demikian, visi pelayanan
sosial sesungguhnya adalah pendidikan kepada masyarakat dalam arti
yang luas dan mendalam, yaitu mengubah sikap masyarakat:
menghilangkan sikap ingin diberi, dan menggantikannya dengan
menumbuhkan
sikap
mandiri
untuk
mengerahkan
segala
kemampuannya dalam meraih kesejahteraan dengan usaha sendiri
(prinsip partisipasi dalam Pekerjaan Sosial)
Dengan cara pandang tersebut, maka masalah yang dihadapi
mungkin saja masih sama, namun pengertian dan wujud tindakan
239
penanganannya akan harus menjadi lebih luas, lebih komprehensif,
tidak selesai sekedar ramai-ramai memberi bantuan derma. Sebagai
contoh akan dikemukakan situasi masalah sebagai berikut:
Katakanlah data dari masyarakat menunjukkan bahwa masalah
anak terlantar mengalami peningkatan secara signifikan; dalam
pengertian anak-anak yang tidak memiliki keluarga utuh yang
dapat merawatnya (sebagai contoh ekstrim, banyaknya
kelahiran anak di luar nikah). Secara tradisional, masalah
tersebut diatasi dengan pengadaan pelayanan foster
(institusional) care (panti asuhan). Dengan semakin banyaknya
jumlah anak terlantar, maka konsekuensinya harus diperbanyak
panti-panti asuhan; yang dengan isyu HAM dan sebagainya,
panti-panti tersebut harus bagus kualitas dan fasilitas
pelayanannya. Pertanyaannya adalah, apakah dengan
dipantikannya anak-anak tersebut persoalan anak terlantar akan
terpecahkan atau sedikitnya diminimalisasi? Sangat belum
tentu. Dengan semakin melonggarnya kontrol masyarakat
terhadap perilaku seksual warganya, dengan bagusnya
perawatan panti; sangat memungkinkan secara tidak langsung
justru mendorong kelahiran bayi-bayi di luar nikah lebih banyak
lagi. Jika demikian, masalahnya merembet ke arah bagaimana
mencegah kelahiran di luar nikah, lebih jauh lagi adalah
bagaimana mencegah hubungan seksual di luar nikah (tidak
boleh sekedar bagaimana melakukan hubungan seks “aman”
saja).
Demikianlah tampak bahwa masalah anak terlantar dengan fokus pada
anak-anak di luar nikah berkaitan dengan berbagai masalah yang lain.
Jelaslah bahwa penanganan satu masalah tunggal harus melibatkan
serangkaian rantai pelayanan sosial, yang artinya juga membutuhkan
sederet badan pelayanan sosial.
Pertanyaannya adalah : sudah adakah badan-badan pelayanan
sosial yang dibutuhkan untuk rangkaian masalah sosial tersebut?
240
KEGIATAN BELAJAR 2
BIDANG-BIDANG PELAYANAN SOSIAL.
Pelayanan sosial merupakan wujud aktivitas Pekerja Sosial
dalam praktik profesionalnya. Pelayanan sosial merupakan jawaban
terhadap tuntutan kebutuhan dan masalah yang dialami masyarakat
sebagai akibat perubahan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian
bidang-bidang pelayanan sosial akan tergantung pada bagaimana
Pekerja Sosial memandang dan mengidentifikasikan masalah-masalah
sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Jika cakupan masalah sosial
dipandang telah mengalami perluasan dari masalah sosial-ekonomi
kepada masalah sosial-psikologis, maka cakupan pelayanan sosial juga
harus demikian. Jika masalah sosial dikategorikan menjadi masalah
disorganisasi sosial dan penyimpangan perilaku (Merton & Nisbet,
1976), maka bidang-bidang pelayanan sosial harus pula mencakup
pelayanan klinis sampai ke penataan sistem masyarakat itu sendiri.
Merton dan Nisbet merinci masalah-masalah sosial, sebagai berikut :
a. Perilaku Menyimpang (Deviant Behavior) :
1) Tindakan Kejahatan dan Kenakalan Remaja (crime and
juvenille delinquency).
2) Gangguan-gangguan mental (mental disorders)
3) Penggunaan obat-obat terlarang (drugs use)
4) Kecanduan alkohol dan permabukan (alcoholism and problem
drinking)
5) Perilaku Seksual (sexual behavior)
b. Disorganisasi Sosial (Social Disorganization).
241
1)
Krisis Kependudukan Dunia (The World’s Population Crisis)
2)
Kesetaraan dan Ketidaksetaraan (Equality and Inequality)
3)
Lansia (Age and Aging)
4)
Peranan-peranan seksual (Sex Roles)
5)
Ras dan antar hubungan kelompok di dalam masyarakat (Race
and Intergroup Relations)
6)
Disorganisasi Keluarga (Family Disorganization)
7)
Disorganisasi komunitas dan masalah-masalah perkotaan
(Community Disorganization and Urban Problems)
8)
Dunia Pekerjaan (The World of Work)
9)
Kemiskinan dan proletariat (Poverty and Proletariat)
10) Kekerasan kolektif (Collective Violence)
Masalah sosial pada suatu masyarakat akan terkait dengan nilainilai dan norma-norma sosial budaya masyarakat itu sendiri. Karena
itu, jenis-jenis, variasi, serta penilaian tentang masalah sosial mungkin
tidak sama pada berbagai masyarakat. Namun demikian, untuk
kepentingan identifikasi masalah sosial, hal yang penting adalah adanya
kesamaan tentang pengertian konsep masalah sosial tersebut.
Keanekaragaman jenis, variasi, serta urgensi tentang masalah
sosial yang ditentukan oleh standar nilai dan norma masyarakat,
berlaku pula bagi jenis-jenis, serta keanekaragaman pelayanan sosial.
Pelayanan
sosial
diselenggarakan
untuk
menjawab
tantangan
kebutuhan dan masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Sebagai sebuah contoh, berikut ini akan dikemukakan rincian bidangbidang pelayanan sosial yang dikemukakan oleh Johnson (1986),
sebagai berikut :
242
a. Kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan pendapatan (Public
Welfare and Income Maintenance)
b. Pelayanan bagi keluarga dan anak-anak di rumah (Services to
Families and Children in the Home)
c. Pelayanan bagi keluarga dan anak-anak di luar rumah (Services
to Families and Children Outside the Home)
d. Praktik Pekerjaan Sosial di sekolah (Social Work in the Schools)
e. Pelayanan sosial di bidang kesehatan (The Health Field and
Social Services)
f. Pekerjaan Sosial di bidang kesehatan mental (Mental Health
and Social Work)
g. Pelayanan Sosial dan tindakan pelecehan/kesewenangan (Social
Services and Substance Abuse)
h. Peradilan kejahatan dan kenakalan (Criminal and Juvenile
Justice)
i. Pelayanan Sosial bagi Lansia (Social Work and Older Persons)
j. Pelayanan Sosial di tempat bekerja (Social Work in the
Workplace)
k. Bidang-bidang praktik Pekerjaan Sosial non tradisional (nontraditio- nal Settings of Social Work Practice).
Di Indonesia, sampai saat ini karena pencampuradukan
pengertian konsep masalah sosial dengan masalah ekonomi, maka
rincian masalah (kesejahteraan) sosial yang disusun dan ditangani oleh
badan pelayanan pemerintah (public social services), dalam hal ini
Departemen Sosial dan Dinas Sosial; masih sangat bernuansa
kemiskinan. Sementara itu, perubahan-perubahan masyarakat telah
243
mengembangkan masalah-masalah sosial yang mengarah kepada
masalah sosial-psikologis dan sistem masyarakat itu sendiri. Untuk
memperjelas bidang-bidang garapan Pekerjaan Sosial di Indonesia,
maka para Pekerja Sosial pertama-tama harus mengidentifikasi
masalah-masalah sosial itu sendiri dalam konteks perubahan sosial.
Menurut Ensiklopedia Pekerjaan Sosial, terdapat 31 bidang
praktik Pekerjaan Sosial yang secara umum menjadi bidang garapan
lembaga kesejahteraan sosial pada berbagai negara. Bidang-bidang
tersebut adalah:
1. Addiction
Meliputi ketergantungan pada alkohol dan ketergantungan pada
obat (narkotika)
2. Child Welfare
Meliputi adooption, foster care, day care of children, pre
school programs, residential treatment
3. Community Welfare Council
4. Crime and Deliquence
Meliputi institution, parole and probation
5. Disability and Physical Handicap
Meliputi pelayanan bagi eks penderita penyakit kronis, orangorang
yang
mengalami
gangguan
bicara,
gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, dan pemberian pelayanan
rehabilitasi vokasional
6. Pendidikan Pekerjaan Sosial
7. Perencanaan sosial dan lingkungan
8. Penduduk dan keluarga berencana
9. Pelayanan-pelayanan pada keluarga
244
10. Halfway House
11. Pelayanan kesehatan
Meliputi pelayanan kesehatan mental masyarakat, konseling
genetika, perencanaan rumah sakit dan kesehatan, program
kesehatan ibu dan anak, serta program kesehatan masyarakat
12. Pelayanan home maker dan bantuan kesehatan keluarga (home
health aide services)
13. Perumahan (housing)
Meliputi
program
bantuan
pemukinan
bagi
masyarakat
berpenghasilan rendah
14. Pelayanan kesehatan mental dan pelayanan bagi orang yang
mengalami retardasi mental
15. Pelayanan bagi para petani migran
16. Pelayanan migrasi dan resettlement
17. Pelayanan perlindungan
18. Public assistance and supplemental security income
19. Pelayanan rekreasi dalam perencanaan lingkungan
20. Penelitian Pekerjaan Sosial
21. Pekerjaan Sosial Pedesaan
22. Pekerjaan Sosial di sekolah
23. Pemberian pelayanan kepada kelompok agar dapat menolong
dirinya sendiri (self halp groups)
24. Pusat-pusat masyarakat atau penduduk (community and
settlement centers)
25. Kebijakan Sosial
26. Unwed Parrents (orang tua yang punya anak tanpa nikah)
27. Pelayanan terhadap para veteran
245
28. Mengelola pelayanan-pelayanan/bantuan sukarela
29. Lembaga-lembaga pelayanan bagi pemuda
30. Pekerjaan Sosial dalam kemiliteran
31. Pelayanan-pelayanan ketetanggaan (neigborhood)
Seperti juga perkembangan masalah sosial yang dalam era
globalisasi
dewasa
ini
telah
menjadi
masalah
lintas
negara
(internasional); maka demikian pula pelayanan sosial dalam arti model
tindakan, strategi, serta jangkauan pelayanan harus sampai ke tingkat
internasional. Di segmen ini tampaknya praktik pekerjaan sosial dalam
level internasional masih sangat asing baik bagi para pekerja sosial itu
sendiri, apalagi masyarakat awam. Persoalan lain adalah, bahwa
kalaupun
sudah
mengetahui
tentang
adanya
lembaga-lembaga
pelayanan sosial tingkat internasional, namun persepsi tentang posisiperan para pekerja sosial seringkali lebih menempatkannya sebagai
tenaga-tenaga relawan di lapangan (volunteers). Perlu diingat bahwa
masalah sosial yang bersifat lintas negara sering membutuhkan
koordinasi antar negara yang sering berarti proses diplomasi.
Kolumbia terkenal sebagai negara yang menjadi sarang mafia
narkoba, negara-negara afrika banyak dikenal sebagai negara-negara
transit jalur penyebaran narkoba. Dibutuhkan upaya diplomasi antar
negara untuk menciptakan koordinasi dalam upaya bersama untuk
menangani masalah sosial bersama ini. Diplomat-diplomat masalah
sosial internasional ini seharusnya ditempati para pekerja sosial baik
sebagai ahli bidang masalah sosial internasional di lingkungan
departemen luar negeri atau kedubes-kedubes, maupun –mengapa
246
tidak- mengomandani atase yang dibentuk khusus berkenaan dengan
masalah-masalah sosial internasional.
Setting praktik Pekerjaan Sosial meliputi bidang yang sangat
luas
dan
sangat
bervariasi,
baik
dalam
ukurannya
maupun
kedalamannya. Yang bisa menjadi bidang garapan Pekerja Sosial
meliputi semua masyarakat. Pekerja Sosial bisa bekerja di setiap tempat
apabila dibutuhkan.
Secara umum Pekerja Sosial dapat melakukan kegiatan
praktiknya dalam praktik-praktik perorangan/pribadi secara swasta,
atau bekerja pada lembaga-lembaga pelayanan sosial, baik milik
pemerintah maupun swasta. Lembaga-lembaga tempat Pekerja Sosial
bekerja bisa meliputi: rumah sakit, sekolah, organisasi pelayanan
masyarakat, militer atau lembaga-lembaga lain yang membutuhkan
tenaga Pekerja Sosial.
Dengan banyak dan bervariasinya setting praktik Pekerjaan
Sosial, maka dalam membuat ketentuan-ketentuan praktik Pekerjaan
Sosial tidak hanya didasarkan pada jenis sistem klien yang dihadapi
dan metode yang digunakan saja, melainkan juga didasarkan pada
setting praktik Pekerjaan Sosial itu sendiri. Oleh karena itulah, maka
kemudian kita mengenal berbagai jenis Pekerjaan Sosial, seperti
Pekerjaan Sosial Medis, Pekerjaan Sosial Koreksional, Pekerjaan Sosial
Sekolah, Pekerjaan Sosial Kelompok, Pekerjaan Sosial Psikiatrik, dan
lain sebagainya.
Secara
umum
setting
praktik
Pekerjaan
Sosial
dapat
digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu setting primer dan setting
sekunder. Penggolongan ini didasarkan pada bidang garapan pokok
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial. Penggolongan setting seperti ini
247
sering mengakibatkan kebingungan, karena penggolongan pada setiap
negara akan berbeda-beda, sejalan dengan perbedaan bidang garapan
pokok lembaga kesejahteraan di masing-masing negara.
Pekerja Sosial dalam berbagai bidang praktik ini dapat berperan dalam
berbagai kategori peranan. Menurut Armando Morales terhadap tiga
kategori peranan Pekerjaan Sosial dalam berbagai bidang ini, yaitu :
A. Sebagai Primary Disciplines
Sebagai primary diciplines meliputi pelayanan-pelayanan berupa:
1. Pelayanan kesejahteraan anak, terdapat 5 tipe dasar pelayanan
kesejahteraan anak, yaitu :
a. Adopsi dan pelayanan terhadap orang tua tanpa nikah
Pelayanan adopsi merupakan pelayanan kesejahteraan anak
yang bersifat permanen. Anak yang diberi pelayanan tidak
mungkin
lagi
dapat
berhubungan
dengan
keluarga
permanennya (keluarga asli)
b. Foster Care
Pelayanan ini tidak bersifat permanen seperti pada adopsi.
Anak yang diberi pelayanan masih dimungkinkan untuk
berhubungan dengan keluarga aslinya
c. Residential Care
Pelayanan residential adalah pelayanan yang diberikan pada
anak yang menunjukkan penyimpangan perilaku dan
memerlukan penanganan khusus yang bersifat intensif.
Pelayanan diberikan pada suatu tempat tertentu secara
khusus dalam jangka waktu tertentu pula, sampai anak yang
diberi pelayanan dinyatakan sembuh secara sosial
248
Ada dua macam pelayanan residential, yaitu :
1) Group Home
2) Residential Treatment Centers
d. Support in Own Home
Pelayanan diberikan kapada anak yang tetap tinggal
bersama keluarganya sendiri, berupa konseling atau
menghubungkan klien dengan sistem sumber yang ada di
luar keluarganya
e. Pelayanan protektif
Pelayanan
protektif
diberikan
kepada
anak
yang
diterlantarkan atau yang diperlakukan sewenang-wengan.
Pelayanan ini diberikan kepada anak tanpa melanggar hakhak orang tua
2. Pelayanan bagi Keluarga (Family Services)
Pelayanan
ini
adalah
usaha
untuk
memahami,
menginterpretasikan dan memberikan pelayanan-pelayanan
yang dibutuhkan keluarga yang mengalami perubahan.
Pelayanan keluarga ini meliputi :
a. Pelayanan Konseling Keluarga (Family Counselling)
Pelayanan ini bertujuan untuk membantu penyesuaian
keluarga terhadap peranan-peranan dan dalam menghadapi
berbagai
masalah.
Pelayanan
ini
dilakukan
dengan
menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu:
i.
Pendekatan Family Case Work yang diarahkan pada
individu-individu anggota keluarga itu sendiri
249
ii.
Pendekatan Family Group Work, yaitu pelayanan yang
diarahkan
pada
relasi-relasi
keluarga
secara
keseluruhan
b. Family Life Education (Pendidikan Kehidupan Keluarga)
Dalam jenis pelayanan ini, keluarga yang mempunyai
masalah dan tekanan-tekanan, diberi kemampuan untuk
mengantisipasi berbagai masalah dan untuk mencegah
kehancuran keluarga. Dalam pelayanan ini juga keluarga
diperkenalkan dengan berbagai krisis yang mungkin
menimpa sebuah keluarga, sehingga keluarga tersebut
mempunyai kesiapan dan kemampuan untuk mengatasi
berbagai masalah yang suatu waktu dapat menimpa
keluarganya
c. Keluarga Berencana
Pelayanan ini diberikan kepada keluarga-keluarga agar
dapat mengendalikan dan merencanakan jumlah anak yang
dikehendaki, sehingga kesejahteraan keluarga dapat lebih
terjamin
3. Income Maintenance
Pelayanan ini berupa pemeliharaan terhadap standar minimum
penghasilan. Terhadap dua macam Income Maintenance yang
banyak dikenal, yaitu :
a. Public Assistance (Asistensi Sosial)
b. Asuransi Sosial, dan program-program lainnya
250
B. Pekerjaan Sosial sebagai Equal Partner
Sebagai Equal Partner Disciplines, Pekerjaan Sosial meliputi
pelayanan terhadap orang-orang lanjut usia, yaitu :
1. Bantuan yang diberikan kepada para lanjut usia yang tinggal di
rumahnya. Pelayanan ini diberikan kepada para lanjut usia
selama mereka menganggap bahwa tinggal di rumah sendiri
merupakan pengalaman yang memuaskan. Pekerja Sosial
memberikan bantuan dengan menghubungkan klien pada
berbagai program masyarakat.
2. Pemberian bantuan berupa pemberian fasilitas pemeliharaan
dalam jangka waktu lama. Pekerja Sosial bisa melakukan
bantuan berupa memilih fasilitas yang dibutuhkan, atau
memindahkan klien ke tempat lain yang dianggap lebih baik,
atau bisa juga Pekerja Sosial menjadi anggota dari fasilitas
pelayanan itu sendiri.
C. Pekerja Sosial sebagai Disiplin Sekunder
Dalam kategori ini Pekerja Sosial tidak menduduki posisi utama.
Peranan Pekerja Sosial dalam memecahkan masalah hanya bersifat
memberikan bantuan terhadap disiplin lain yang mempunyai posisi
utama. Beberapa setting di mana Pekerja Sosial mempunyai peranan
sebagai disiplin sekunder adalah:
1. Pekerjaan Sosial dalam pelayanan koreksional
Dalam setting ini, Pekerjaan Sosial bersifat membantu terhadap
disiplin ilmu hukum dan usaha-usaha hukum
2. Pekerjaan Sosial dalam industri
251
Pekerjaan Sosial memberikan sokongan terhadap usaha-usaha
industrialisasi agar dapat mencapai keuntungan yang sebesarbesarnya
tanpa
melupakan
kemanusiawian
relasi-relasi
antarorang yang terlibat di dalam industri tersebut.
Usaha ini bisa diarahkan pada manajer perusahaan dengan
memberikan berbagai bantuan dan dukungan yang diperlukan,
dan bisa juga diarahkan kepada penyediaan sumber-sumber
sosial dan emosional yang dibutuhkan para pekerja
3. Pekerjaan Sosial dalam pemeliharaan medis dan kesehatan
4. Pekerjaan Sosial di sekolah
252
KEGIATAN BELAJAR 3
STRATEGI PELAYANAN SOSIAL DAN ORGANISASI
PELAYANAN SOSIAL
Terdapat beberapa strategi pelayanan sosial yang dapat
dilakukan, antara lain:
1. Child/Individual Based Services
Yaitu pelayanan yang menempatkan individu sebagai basis
penerima pelayanan; misalnya konseling
2. Institutional Based Services
Dalam pelayanan ini, individu yang mengalami masalah
ditempatkan dalam lembaga pelayanan sosial; misalnya dalam
hal pendidikan dan pelatihan
3. Family Based Services
Dalam pelayanan ini, keluarga dijadikan sebagai sasaran dan
media utama dalam pemberian pelayanan; dalam hal ini,
kegiatan diarahkan pada pembinaan keluarga agar memiliki
kemampuan
ekonomi,
psikologis,
dan
sosial
dalam
sebagai
pusat
memecahkan masalahnya
4. Community Based Services
Pelayanan
ini
menggunakan
masyarakat
penanganan, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani
masalah. Dalam hal ini, peran Pekerja Sosial adalah bersama
masyarakat merancang dan melaksanakan program Community
253
Development, bimbingan dan penyuluhan, ataupun melakukan
kampanye sosial
5. Location Based Services
Dalam strategi pelayanan ini, pelayanan diberikan di lokasi
individu yang mengalami masalah
6. Half-Way House Services
Yaitu berbentuk strategi semi panti
7. State Based Services
Pelayanan ini bersifat makro, tidak langsung (macro-indirect
services), para Pekerja Sosial mengusahakan situasi dan kondisi
yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial
bagi anak atau individu. Perumusan kebijakan kesejahteraan
merupakan bentuk program dalam strategi pelayanan ini.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan sosial secara profesional,
seorang Pekerja Sosial umumnya tergabung dalam wadah organisasi
pelayanan sosial, karenanya mereka harus memiliki dasar pengetahuan
tentang organisasi. Ulberth Silalahi (1993) membagi pengertian
organisasi ke dalam dua sudut pandang, antara lain:
1. Organisasi sebagai wadah, yakni tempat kegiatan-kegiatan
administrasi dan manajemen dijalankan dan sifatnya relatif
statis.
2. Organisasi sebagai proses, yakni interaksi antara orang-orang
yang menjadi anggota organisasi dan sifatnya dinamis.
Organisasi sosial atau sering diartikan sebagai organisasi
pelayanan sosial merupakan organisasi formal yang fungsi utamanya
menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang ditujukan
254
untuk
memecahkan
masalah
dan
atau
memenuhi
kebutuhan
masyarakat.
Pengertian Organisasi Sosial
Organisasi Sosial dalam pengertian sosiologi atau sama dengan
organisasi pelayanan sosial (social services organization)
1. Sosiologis :
a) Jaringan hubungan antar manusia
b) Wadah aktivitas manusia yang bergerak di bidang sosial,
dalam perbandingan dengan organisasi ekonomi, organisasi
politik, organisasi militer, dan seterusnya.
2. Organisasi Pelayanan Sosial :
a) Melakukan pelayanan langsung kepada klien
b) ”Bahan mentah” nya adalah klien itu sendiri
c) Proses produksi intinya adalah hubungan antara pelaksana
dan penerima pelayanan
d) Tujuannya
bukan
’stakeholders’,
menghasilkan
keuntungan
kepada
melainkan meningkatkan kesejahteraan
orang-orang yang dilayani.
e) Hampir semua Organisasi Pelayanan Sosial merupakan
lembaga non-profit yang didanai baik
maupun
oleh
donatur
swasta;
oleh pemerintah
walaupun
dalam
perkembangannya sudah mulai banyak praktik private
seperti praktik dokter dan pengacara.
Catatan : di USA, semua badan pelayanan merupakan
organisasi formal. (The Encyclopedia of Social
Work, 1995:1787)
255
Karakteristik dari organisasi pelayanan sosial atau manusia
yang dikemukakan oleh Hasenfeld (1983) yang patut diketahui oleh
para Pekerja Sosial adalah sebagai berikut:
1. Fakta bahwa material dasarnya (raw material) adalah terdiri
dari orang-orang dengan sejumlah nilai-nilai moral yang
mempengaruhi aktivitas organisasi sosial.
2. Tujuan dari organisasi pelayanan sosial adalah samar-samar
(vague),
berarti
dua
(ambiguous),
dan
bermasalah
(problematic).
3. Moral
ambigu
yang
mengitari
pelayanan
sosial
juga
menunjukkan organisasi pelayanan sosial bergerak dalam
lingkungan bergolak, artinya lingkungan tersebut terdiri dari
banyak kepentingan kelompok yang berbeda-beda.
4. Organisasi pelayanan
manusia harus beroperasi dengan
teknologi yang tidak menentukan dengan tidak menyediakan
pengetahuan yang lengkap mengenai bagaimana mancari hasil
yang diharapkan.
5. Aktivitas utama dalam organisasi pelayanan sosial terdiri dari
hubungan antara staf dan klien. Tidak menutup kemungkinan
para staf dalam organisasi sosial lebih banyak terdiri dari para
relawan yang harus berhubungan dengan kliennya.
6. Karena keutamaan hubungan staf dan klien, maka posisi dan
peran staf lini (staf profesional) secara khusus adalah penting
dalam organisasi pelayanan manusia.
7. Organisasi pelayanan sosial miskin pengukuran mengenai
efektivitas yang reliabel dan valid, dan mungkin, lebih mampu
bertahan terhadap perubahan dan inovasi.
256
Dokter identik dengan tempat praktik penyembuhan medis,
dengan klinik, dengan rumah sakit, praktik pribadi. Para pengacara
identik
dengan
kantor-kantor
pengacara,
dengan
badan-badan
peradilan. Di badan-badan itulah mereka mempraktikkan keahlian
mereka dan meniti karier profesional mereka. Mereka menjadi
representasi badan tempat mereka bekerja, dan karenanya badan
tersebut menjadi bagian dari identitas mereka. Pekerja Sosial identik
dengan badan-badan pelayanan sosial tempat seharusnya mereka
bekerja dan meniti karier profesional mereka. Badan-badan pelayanan
sosial secara garis besar dapat dibagi ke dalam badan pelayanan sosial
yang diselenggarakan oleh pemerintah (public social agency) dan
badan pelayanan yang diselenggarakan oleh masyarakat/swasta
(voluntary social agency). Badan pelayanan swasta ini terbagi lagi ke
dalam dua bagian menurut afiliasi organisasi induknya, yaitu badan
pelayanan swasta yang berafilisasi kepada organisasi agama (dalam
literatur Barat disebut dengan ‘sectarian’), dan yang tidak berafiliasi
kepada organisasi keagamaan (nonsectarian).
Badan-badan pelayanan sosial dibentuk berdasarkan nilai-nilai
budaya, sistem kepercayaan masyarakat, dan pengetahuan keilmuan.
Badan pelayanan sosial dapat dipandang sebagai birokrasi administratif
maupun sebagai sistem sosial. Badan pelayanan sosial disebut birokrasi
administratif, karena memiliki tujuan-tujuan khusus yang telah
ditetapkan; struktur internal, teknologi, dan prosedur di dalam badan
tersebut dirancang untuk upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Sifat
khusus dari tujuan-tujuan sebuah badan pelayanan sosial diarahkan
untuk mendefinisikan antar hubungan di antara badan tersebut dengan
lingkungan sosialnya; sifat tersebut akan mempengaruhi pemilihan
257
teknologi yang digunakan, personil yang dipekerjakan, serta menjadi
pedoman bagi koordinasi di antara para anggota organisasi. Dengan
demikian, badan-badan pelayanan sosial merupakan kolektivitas yang
direncanakan secara rasional, dengan struktur formal dan kebijakankebijakan yang eksplisit serta perangkat aturan yang mengatur aktivitas
badan tersebut.
Namun demikian, badan pelayanan sosial juga merupakan
sistem sosial yang merespon terhadap tekanan-tekanan eksternal
maupun internal dan memiliki pola-pola informal untuk mempermudah
dan mewadahi upaya pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Terdapat beberapa ciri khas badan pelayanan sosial dibandingkan
dengan organisasi-organisasi birokrasi yang lain, yang harus dipandang
sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagai berikut :
a. Tujuan-tujuan khusus yang mendasar dari organisasi adalah
untuk memproses dan mengubah orang sebagai sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial. Lebih jauh, klien yang diberi
pelayanan merupakan input maupun output utama dari
organisasi. Masalah-masalah dalam pencapaian tujuan-tujuan
muncul karena tujuan-tujuan tersebut mungkin tidak selaras
dengan tujuan-tujuan masyarakat yang lebih besar.
b. Ketergantungan
yang
besar
kepada
teknologi-teknologi
hubungan manusia dan pemanfaatan tenaga-tenaga profesional
yang memiliki kemandirian dalam pengelolaan teknologi
tersebut.
c. Ketidakterpakuan pada rutinitas pekerjaan yang tinggi, karena
klien merupakan objek-objek sosial yang perilakunya sering
mengganggu dan tidak dapat diramalkan.
258
Sebagai penutup uraian ringkas mengenai badan pelayanan
sosial ini, berikut akan dikemukakan gambaran umum mengenai
komponen-komponen utama struktur badan pelayanan sosial, sebagai
berikut :
a. Tingkat Institusional atau Administratif.
Tingkat ini mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan administratif dalam menerjemahkan dan
menerapkan tujuan-tujuan sosial ke dalam tindakan sosial.
Perhatian harus pula dicurahkan kepada aspek-aspek politis
karena nilai-nilai sosial selalu terlibat pada tingkat ini. Para
administrator diharapkan untuk mempersonifikasikan tujuantujuan organisasional dan memberikan arahan kepada dewan,
staf, dan klien dalam perumusan kebijakan. Penentuan masalahmasalah sosial khusus yang akan ditangani oleh organisasi serta
penetapan lingkup kegiatan organisasi juga merupakan fungsi
administrasi pada tingkat institusional ini.
b. Tingkat Manajerial.
Aktivitas-aktivitas manajerial menempati posisi ke dua dan
meliputi kegiatan perantaraan di antara konsumen (klien)
dengan sb-organisasi teknis. Tercakup dalam kegiatan tersebut
adalah tugas-tugas untuk mengarahkan kegiatan perantaraan
dan alokasi sumber-sumber, rancangan struktural, koordinasi,
dan pengarahan kepada staf untuk meningkatkan efektivitas dan
produktivitas. Rekruitmen pegawai, pemilihan, pelatihan, dan
supervisi kepada staf juga tercakup dalam aktivitas manajerial.
Dilandasi --dan dalam kerangka-- tujuan-tujuan dan lingkup
kegiatan organisasi --, maka aktivitas-aktivitas pada tingkat
259
manajenrial mencakup pembuatan keputusan tentang berbagai
alternatif cara yang dapat digunakan untuk upaya pencapaian
tujuan.
c. Tingkat Teknis.
Tingkat ini meliputi suborganisasi yang berhubungan dengan
pelaksanaan aktivitas-aktivitas teknis --konseling bagi klien,
perujukan,
material.
pengajaran,
Pemilihan,
atau
pengadaan
penerapan,
sumber-sumber
pengintegrasian,
dan
pemeliharaan perangkat teknologi yang digunakan; juga
termasuk di dalamnya. Selain itu kegiatan-kegiatan penyusunan
program jangka panjang dan jangka pendek dalam kaitan
dengan masalah-masalah standardisasi, rutinisasi, pengkajian
secara berkala terhadap pencapaian tujuan sebuah program serta
efektivitas kinerja personil; juga merupakan bagian dari fungsi
tingkat teknis ini.
Walaupun setiap tingkat memiliki fungsi-fungsi yang berlainan
dalam administrasi, namun terdapat pula suatu timpang tindih dan
interpenetrasi di antara tingkat-tingkat tersebut. Selain itu, hierarkhi
struktural yang telah dikemukakan tersebut merupakan tingkat-tingkat
posisi yang mendasar, yang dapat dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan organisasi pelayanan sosial dalam upaya mencapai tujuantujuannya.
Keberadaan karakteristik organisasi pelayanan sosial saling
bersinggungan dengan permasalahan yang sering muncul, antara lain:
1. Sangat besarnya kesenjangan antara kebutuhan pelayanan sosial
dengan ketersediaan kelembagaan pelayanan sosial itu sendiri
260
2. Masih cukup kuatnya pandangan (masyarakat umum, aparat
pemerintah, bahkan para penyelenggara pelayanan sosial itu
sendiri) terhadap pelayanan sosial sebagai kegiatan pemberian
bantuan sosial (derma/charity/philanthropy), atau kegiatan yang
bersifat residual
3. Belum profesionalnya penyelenggaraan pelayanan sosial
4. Kekurangan dana, dan sangat bergantung dukungan dana dari
luar
5. Kurang
mampu
memenuhi
kebutuhan
anggotanya
dan
masyarakat. Manfaat produknya kurang dapat dirasakan
masyarakat.
6. Rendahnya
motivasi
dan
minat
kerja
pengurus
dalam
melaksanakan tugas.
7. Sulit mengukur pengaruh atau dampak pelayanan, sehingga
masyarakat dan lembaga donor kurang percaya dalam
memberikan dukungan finansial.
Jika melihat pengertian Organisasi Sosial (ORSOS) berdasarkan
Kepmensos RI No. 40/HUK/KEP/IX/1980, yaitu suatu perkumpulan
sosial yang dibentuk oleh masyarakat baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana
partisipasi
masyarakat
dalam
melaksanakan
kegiatan
usaha
kesejahteraan sosial (UKS).
Organisasi pelayanan sosial merupakan wadah memberikan pelayanan
kepada klien. Dalam melaksanakan pemberian pelayanan terdapat
tujuan yang harus dicapai. Maka diperlukan langkah penting yang akan
261
dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut. Perencanaan menjadi kunci
penting untuk membuka gerbang untuk menacpai tujuan tersebut.
Dalam mengelola sebuah organisasi pelayanan sosial, seorang
pekerja sosial harus memperhatikan proses perencanaan. dalam
organisasi pelayanan sosial khususnya perencanaan strategis menjadi
suatu komponen yang melibatkan stakeholder dan mengoptimalkan
sumber daya yang dimiliki oleh organisasi tersebut.
Fenomena yang berkembang, organisasi pelayanan sosial selalu
mengalami kekurangan dalam berbagai hal hingga pelayanan yang
diberikan kurang optimal. Mulai dari kurangnya dana, kurangnya staf
yang kompeten, atau kurangnya motivasi, volunter tidak punya, bahkan
kegiatan/program hanya berjalan apa adanya. Melihat kondisi
organisasi yang serba kekurangan sumber daya ditambah keadaan
lingkungan yang terus berubah atau dinamis, maka organisasi
pelayanan sosial dituntut untuk dapat mengantisipasinya dengan
menyusun perencanaan yang dapat melihat perubahan-perubahan yang
terjadi atau tidak pada masa depan.
Organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki tujuan
(goals) jelas berdasarkan visi dan misi yang disepakati oleh para
pendirinya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan cara untuk
mencapainya, yang lazim disebut strategi. Sekanjutnya disusun rencana
(plan), seperangkat kebijakan (policies), tahap-tahap pencapaian,
organisasi dan personalia yang mengisinya, anggaran, dan progam aksi
(Basri, 2005:xv).
Perencanaan merupakan suatu alat yang penting di dalam
organisasi pelayanan sosial, sebab dalam pemberian suatu pelayanan
262
dibutuhkan perencanaan yang baik, hal itu dapat dilihat dari beberapa
alasan yaitu:
1. Efesiensi
Efesiensi merupakan hal yang sangat diperlukan dalam setiap
pelaksanaan administrasi, baik itu dalam bisnis maupun
pekerjaan sosial. Tujuannya adalah untuk mencapai hasil yang
baik dengan biaya dan usaha yang seminimum mungkin. Dalam
pekerjaan sosial, staf dan sumberdaya sangat tebatas, maka
menjadi hal utama untuk memberikan pelayanan yang dinilai
lebih efisiensi.
2. Efektifitas
Efektifitas juga merupakan hal yang sangat penting, jika segala
aktivitas tidak direncanakan, maka hasil yang diinginkan akan
sulit dicapai. Tujuan utama dalam pekerjaan sosial adalah untuk
menolong orang yang membutuhkan. Jika usaha staf dan
sumber-sumber organisasi sudah tersebar dan perencanan
bertujuan untuk kesatuan dan integrasi yang usahanya tidak
terjadi. Maka menyebabkan penghargaan tetap rendah.
3. Tanggung jawab
Perencanaan diperlukan evaluasi dan pertanggungjawaban.
Administrasi
pekerjaan
sosial
seharusnya
mempunyai
perencanaan yang baik dalam hubungan yang obyektif yang
spesifik dan evaluasi prosedur yang jelas dalam suatu lembaga
untuk
ukuran
Perencanaan
program
dan
pelayanan
yang
pelayanan
tepat
kepada
klien.
memungkinkan
menyelesaikan riset yang objektif dan evaluasi tentang
263
demonstrasi yang eksperimental terdapat dalam pelayanan
reguler.
4. Moril
Perencanaan yang hati-hati merupakan hal yang sangat penting
untuk moral suatu lembaga. Anggota staf memerlukan perasaan
tentang prestasi dan kepuasan untuk melakukan hal yang
terbaik, perasaan dapat timbul ketika eksekutif dan anggota staff
bersama merencanakan total operasi perusahaan.
Proses Perencanaan
Perencanan adalah proses antisipasi terhadap hasil target dan
juga dalam membuat sebuah rencana. Schaffer (Skidmore, 1995:51)
membuat daftar tentang empat langkah mengenai perencaan, yaitu:
1. Riset, dimaksudkan untuk menganalisis kekuatan-kekuatan
lembaga, kekurangan kelemahan serta menentukan resiko yang
ditimbulkan oleh faktor eksternal
2. Formula objektif, untuk mendefinisikan apa yang akan terjadi
dimasa yang akan datang
3. Perencanaan yang strategis, untuk membangun sebuah sistem
kerja yang mengarah pada tujuan
4. Perencanaan oprasional, untuk menciptakan langkah setiap
departemen dan fungsi.
Perencanan strategis adalah sebuah alat manajemen, dan sama
dengan setiap alat manajemen, alat itu hanya digunakan untuk satu
maksud saja – menolong organisasi melakukan tugasnya dengan lebih
baik. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi memfokuskan
264
visi dan prioritasnya sebagai jawaban terhadap lingkungan yang
berubah dan untuk memastikan agar anggota-anggota organisasi itu
bekerja ke arah tujuan yang sama (Kaye & Allison, 2005:1).
265
DAFTAR PUSTAKA
Hasenfeld, Y., 1983. Human Service Organizations.s Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Kaye dan Allison. 2005. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba
Pedoman Praktis dan Buku Kerja. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Skidmore,Rex A., 1995. Social WorkerAdministration. Allyn And
Bacon: Boston-London, Sydney-Toronto.
Skidmore, Rex A., 1995. Social Work Administration, Dinamic Management
and Human Relationships. 3rd Ed. Allyn & Bacon.
266
TOPIK 9
STRENGTH BASED PERSPECTIVE
KEGIATAN BELAJAR 1: STRENGTH BASED PERSPECTIVE
KEGIATAN BELAJAR 2: STRENGTH BASED ASSESSMENT
267
KEGIATAN BELAJAR 1
STRENGTH BASED PERSPECTIVE
Selama beberapa dekade sebelumnya, pekerjaan sosial dan
profesi pertolonganya lainnya telah memiliki sebuah fokus utama pada
diagnosa patologi, menyalahkan dan disfungsi kien. Salah satu alasan
mungkin penggunaan teori utama psikologi Freudian yang digunakan
dalam menganalisa perilaku manusia. Psikologi Freudian berbasis pada
model medis dan oleh karena itu memiliki konsep yang kuat untuk
mengidentifikasi penyakit atau patologi. Sedikit sekali konsep untuk
mengidentifikasi kekuatan. Saat ini pekerjaan sosial begerak ke arah
model system. Model ini fokus pada pengidentifikasian baik kekuatan
dan kelemahan.
Hal esensial bahwa pekerja sosial memasukan kekuatan klien
dalam proses assessment. Dalam bekerja dengan klien, pekerja sosial
fokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien untuk membantu
kesulitannya. Untuk memanfaatkan kekuatan secara efektif, pertamatama pekerja sosial harus mengidentifikasi kekuatan-kekuatan tersebut.
Bahaya yang akan muncul apabila fokus utamanya pada
kelemahan, yaitu akan merusak kapasitas seorang pekerja sosial untuk
mengidentifikasi pertumbuhan klien potensial. Para pekerja sosial
memiliki keyakinan yang kuat bahwa klien mempunyai hak (dan
seharusnya dibangkitkan) untuk membangun potensinya secara penuh.
Terlalu fokus pada patologi seringkali mengabaikan komitmen nilai
tersebut.
268
Alasan lain untuk menghadirkan kekuatan klien adalah bahwa
banyak klien butuh pertolongan dalam meningkatkan harga dirinya.
Banyaknya perasaan tidak dihormati dan tidak nyaman, perasaan
disalahkan , dan kurang percaya diri serta harga diri. Glaser mencatat
bahwa rendahnya harga diri mengarah pada kesulitan emosional,
menarik diri, atau kejahatan. Untuk membantu klien memandang
dirinya secara positif, pertama-tama para pekerja sosial harus
memandang
mereka
patut
dipertimbangkan
kekuatan
dan
kompetensinya.
The
strengths
perspective
berkait
erat
dengan
konsep
“empowerment”. Empowerment sebagaimana didefinisikan oleh Barker
yaitu “proses pertolongan individual, keluarga, kelompok, dan
komunitas untuk meningkatkan personal, interpersonal, sosioekonomi,
dan kekuatan politik mereka serta untuk membangun pengaruh ke arah
perbaikan lingkungan mereka”. Perspektif kekuatan berguna sepanjang
lingkaran kehidupan melalui tahap assessment, intervention, dan
evaluasi dari proses pertolongan. Tekanannya pada kemampuan, nilainilai, kepentingan, keyakinan, sumber-sumber, kelengkapan, dan
aspirasi orang.
Menurut Saleebey, lima pedoman prinsipil perspektif kekuatan:
1. Every individual, group, family, and community has strengths.
2. Trauma and abuse, illness and struggle may be injurious, but
they also be sources of challenge and opportunity
269
3. Assume ths you do not know the upper limits of the capacity to
grow and change and take individual, group, and community
aspirations seriously.
4. We best serve clients by collaborating with them.
5. Every environment is full of resources
Perspektif
kekuatan
mengakui
bahwa
individu-individu,
kelompok, keluarga, organisasi dan masyarakat mempunyai tantangan,
masalah, dan kesulitan-kesulitan. Salah satu manfaat besar dari
perspektif kekuatan adalah fokus perhatiannya pada sumber-sumber
dan assets yang individu-individu, kelompok, keluarga, organisasi dan
masyarakat miliki untuk menghadapi tantangan mereka.
Perspektif
kemampuan
untuk
kekuatan
mengakui
mengatasi
masalah,
kekuatan
dan
individu
kesadaran
dan
dalam
penggunaan kekuatan klien adalah bagian dari dasar teori dan praktek
pekerjaan sosial. Dimana menurut NASW (2005) strength perspective
adalah:
“The strengths perspective recognizes an individual’s strengths
and abilities to cope with problems; and awareness and use of
the client’s strengths is part of the foundation of social work
theory and practice.”
Strength based perspective merupakan dasar yang baik untuk
praktek pekerjaan sosial, dimana menurut Saleebey (1992) dalam
Cowger (1994: 263) berpendapat mengenai relevansi dari perspektif
kekuatan merupakan “good basic social work practice”.
270
Dikatakan sebagai dasar yang baik dalam praktek pekerjaan
sosial dikarenakan strength based perspective membuat klien percaya
bahwa dirinya memiliki kekuatan. Seperti yang diungkapkan oleh
Saleebey:
“The strengths approach obligates us to understand—to
believe—that everybody (no exceptions here) has external and
internal assets, competencies, and resources.”
Perspektif kekuatan mewajibkan kita untuk memahami atau
percaya bahwa semua orang (tidak ada pengecualian disini) memiliki
aset eksternal dan internal, kompetensi, dan sumber daya.
Pedro Rankin (2006:10) melakukan identifikasi mengenai tiga
kecenderungan praktisi untuk focus pada kekuatan :
1. To tap client strengths effectively, practitioners must be
sensitive to them and skillful in utilizing them in the service of
accomplishing case goals.
2. Selectively attending to pathology impairs a social worker's
ability to discern clients' potential for growth. Although social
workers fervently espouse the belief that human beings have the
right and opportunity to develop their potentialities, the
tendency to focus on pathology undermines that very value
commitment.
3. A large proportion of clients need help in enhancing their selfesteem as a result of excessive attendance to pathology.
Troubled by self-doubts, feelings of inadequacy, and even
feelings of worthlessness, their lack of self-confidence and self
respect underlies so many dysfunctional, cognitive, emotional
and behavioral patterns, including a fear of failure, depression,
social withdrawal, alcoholism, and hypersensitivity to criticism,
to name just a few.”
271
Strength based perspective ditekankan pada kekuatan yang
paling efektif yang dimiliki oleh klien, dimana praktisi pekerja sosial
harus peka terhadap mereka dan terampil dalam memanfaatkanya untuk
pencapaian tujuan. Selektif dalam memperhatikan kelemahan dapat
mengganggu pekerja sosial dalam membedakan potensi yang dapat
tumbuh pada klien. Walaupun pekerja sosial mendukung keyakinan
bahwa
setiap
manusia
memiliki
hak
dan
kesempatan
untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya, dimana fokus pada patologi
dapat menggali komitmen yang sangat bernilai. Dimana sebagian besar
klien membutuhkan bantuan dalam meningkatkan harga diri yang
mereka miliki akibat dari kehadiran banyaknya kelemahan. Gangguan
yang datang dari keraguan diri, perasaan tidak mampu, dan bahkan
perasaan tidak berharga, kurang percaya diri dan harga diri sehingga
membentuk pola disfungsional, kognitif, emosi dan perilaku, termasuk
rasa takut gagal.
Cowger (1994: 265) menyatakan:
a strength perspective of assessment provides structure and
content for examination of realizable alternatives, for the
mobilization of competencies that can make things different,
and for the building of self-confidence that stimulates hope
Assessmen
struktur
dan
berdasarkan
konten
untuk
perspektif
kekuatan
memberikan
memeriksa
alternatif
yang
dapat
direalisasikan, untuk pengerahan kompetensi yang dapat membuat hal
yang berbeda, dan untuk membangun kepercayaan diri yang mampu
merangsang harapan yang dimiliki oleh klien.
272
KEGIATAN BELAJAR 2
STRENGTH BASED ASSESSMENT
Hepworth (2002) dalam Pedro Rankin (2006:10):
“Point out that changes in practice have lagged far behind the
change in terms from diagnosis to assessment, for social
workers persistence in formulating assessments that emphasize
the pathology and dysfunction of clients - despite the timehonored social work platitude that social workers work with
strengths and not with weaknesses”.
Perubahan dalam praktek pekerja sosial telah tertinggal jauh di
belakang dibandingkan dengan perubahan dalam istilah diagnosis untuk
penilaian, untuk ketekunan pekerja sosial dalam merumuskan penilaian
yang menekankan patologi dan disfungsi klien, waktu yang sudah
digunakan dalam kerja sosial dimana pekerja sosial bekerja dengan
menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh klien dan tidak dengan
kelemahan.
Di mana dalam sebuah assessment dibutuhkan sebuah pedoman
untuk melakukan assessment, Cowger & Snively (2001) dalam Pedro
Rankin (2006: 14) mengusulkan pedoman berikut untuk penilaian
kekuatan
1. Preeminence should be given to the client's understanding of the
facts
2. The client should be believed
3. It should be discovered what the client wants
4. The assessment should be moved towards client and
environmental strengths
273
5.
6.
7.
8.
An assessment of strengths should be multidimensional
The assessment should be used to discover uniqueness
The client's words should be used
Assessment should be made a joint activity between the worker
and client
9. A mutual agreement on assessment should be reached
10. Blame and blaming should be avoidedCause-and-effect thinking
should be avoided
11. An assessment and not a diagnosis should be made.
Selain itu ada pendapat lain tentang assessment kekuatan klien
yang disebutkan oleh Saleebey (2001) dalam Pedro Rankin (2006:11)
membagi penilaian kekuatan menjadi dua bagian yaitu:
“Stresses the multidimensionality of assessment by
distinguishing between the internal and external strengths of
the client. The internal strengths come from the client's
interpersonal skills, motivation, emotional strengths, and ability
to think clearly. The client's external strengths come from
family networks, significant others, voluntary organizations,
community groups, and public institutions all of which support
and provide opportunities for clients to act on their own behalf
and institutional services that have the potential to provide
resources.”
Saleebey menekankan multidimensionalitas penilaian dengan
membedakan antara kekuatan internal dan eksternal klien. Kekuatan
internal yang datang dari kemampuan interpersonal klien, motivasi,
kekuatan emosional, dan kemampuan untuk berpikir jernih. Kekuatan
eksternal klien berasal dari jaringan keluarga, orang dekat, organisasi
sukarela, kelompok masyarakat, dan lembaga-lembaga publik yang
274
semuanya mendukung dan memberikan kesempatan bagi klien untuk
bertindak atas nama mereka sendiri dan layanan kelembagaan yang
memiliki potensi untuk menyediakan sumber daya.
1. KEKUATAN INTERNAL
Saleebey menyebutkan kekuatan internal yang dimikili klien
datang dari kemampuan interpersonal, motivasi, dan kekuatan
emosional. Kekuatan internal tersebut berasal dari dalam diri klien.
1) Kemampuan Interpersonal dan Motivasi
Hayes (1991:4) “People will be motivated in ways that will
bring about a desired state of affairs irrespective of whether
they have acquired their repertoire of interpersonal skills and
behavioural responses unconsciously, through experience, or
via a deliberate and conscious process of self-development. The
person who has People will be motivated in ways that will bring
about a desired state of affairs irrespective of whether they
have acquired their repertoire of interpersonal skills and
behavioural responses unconsciously, through experience, or
via a deliberate and conscious process of self-development. The
person who has learned through experience that she can satisfy
her needs by behaving aggressively towards others might
achieve her goals by using others for her own ends and by
denying them their rights. On the other hand, somebody who
attempts to satisfy her needs by consciously applying assertion
skills that she has learned intentionally may also achieve her
goals, but do so in a way that respects the right of others.”
Setiap
orang
memiliki
motivasi
yang
akan
membawakannya pada hal yang diinginkannya, walaupun dia
275
belum tentu memiliki kemampuan interpersonal dalam dirinya.
Ada orang yang biasa secara agresif tidak menghormati hak
orang lain untuk mencapai tujuannya dengan memanfaatkan
orang lain untuk mendapatkan tujuan pribadi. Namun ada juga
orang yang menggunakan keterampilannya, dan sengaja belajar
mencapai tujuan pribadi dengan menghormati hak-hak yang
dimiliki orang lain. Keterampilan tersebut adalah keterampilan
interpersonal yang mengarahkan perilaku untuk mendapatkan
tujuan dengan menggunakan interaksi tatap muka yang efektif
dalam mewujudkan keadaan yang diinginkan.
“Your destiny is shaped by the decisions you take in life. Decide
to become one of the few who do, rather than one of the many
who talk.” (Haddon, 1993: 11)
Takdir kita ditentukan oleh keputusan yang kita ambil
dari hidup kita. Memilih untuk menjadi satu dari beberapa yang
melakukannya
dibandingkan
satu
dari
banyaknya
yang
berbicara. Oleh karena itu kesuksesan yang akan terjadi dimasa
depan, berhasil atau tidak kita dalam mencapai tujuan
bergantung pada kemampuan diri sendiri. Beberapa cara untuk
memperoleh kekuatan interpersonal yang dapat membantu
mencapai kesuksesan adalah dengan: (Haddon, 1993:11)
1. Menggunakan Apa Yang Menjadi Potensi
a. Keinginan
“However, there is one overriding characteristic of
successful people which, if not present, would not
276
give rise to these other qualities. This is desire. You
will never go higher than the genuine desires that you
hold. This means that when setting goals and
developing plans to attain them you need to have very
strong, compelling reasons for these goals. If the
desire is not strong enough, sooner or later you will
find ways to sabotage your own action steps.”
(Haddon, 1999:16)
Ada satu karakteristik utama dari orang-orang sukses,
jika tidak terdapat hal tersebut, maka tidak akan menimbulkan
sifat-sifat lainnya. Hal tersebut adalah keinginan. Anda tidak
akan pernah lebih tinggi dari keinginan asli yang Anda pegang.
Ini
berarti
bahwa
ketika
menetapkan
tujuan
dan
mengembangkan rencana untuk mencapainya Anda harus
memiliki keinginan yang sangat kuat, alasan kuat untuk tujuan
ini. Jika keinginan tidak cukup kuat, cepat atau lambat Anda
akan menemukan cara untuk menyabotase langkah Anda
sendiri.
b. Kebiasaan
Haddon menyatakan the only one responsible for your
succes in life is you. (Haddon, 1993: 11). Satu-satunya
tanggung jawab terhadap kesuksesan diri dalam hidup
dipegang oleh diri sendiri. Kesuksesan yang kamu inginkan
adalah tanggung jawab yang dimiliki oleh diri sendiri. Oleh
karena itu jika kesuksesan tersebut tidak tergapai seluruhnya
277
maka diri sendiri lah faktor terbesar sebagai pengaruh paling
kuat dalam pencapaian tujuan tersebut.
“For the circumstances in your life to change,
YOU must change.” (Haddon, 1999:17)
Jika ingin mencapai sebuah tujuan atau sebuah
kesuksesan, kita tidak dapat mempertahankan perilaku lama
yang
tidak
mendukung
tercapainya
tujuan
ataupun
kesuksesan tersebut. Oleh karena itu kebiasaan lama yang
tidak mendukung kita, dapat digantikan secara perlahan
dengan kebiasaan baru. Seperti menghilangkan pikiran kita
akan kegagalan, dan menggantikannya dengan memikirkan
kesuksesan yang akan kita capai nantinya. Maka dari itu
dibutuhkan sebuah perilaku yang mendorong potensi kita agar
mencapai tujuan kita. Jika kita mempunyai berbagai potensi
dalam diri kita namun kita tidak melakukan tindakan apapun
maka tidak akan menghasilkan hal yang kita inginkan.
2. Mengatur Tujuan Hidup
George Bernard Shaw dalam Haddon (1999:32)
mengatakan:
“Anyone who doesn’t know what he wants in life will have
to be satisfied with what he gets.’ That statement is as true
today as it was then. You can’t get what you want unless
you know what you want. And, strange as it may seem,
most people do not know what they want. They may think
278
that they do but these usually turn out to be vague notions
of dreamy utopian situations which, deep down, they know
will never materialise. They have never sat down and
written out exactly what they will be, do or have in the
future or, if they ever did attempt such an exercise, it
probably resulted in fuzzy generalisations rather than
detailed specifics.”
Siapa pun yang tidak mengetahui apa yang mereka
inginkan dalam hidup harus puas dengan apa yang
didapatnya”. Kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita
inginkan jika kita tidak mengetahui yang sebenarnya kita
inginkan. Jadi ketika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita
ketahui mengapa bisa mendapatkannya tersebut, kita harus
puas terhadap hal itu dikarenakan tujuan kita yang tidak jelas.
Maka untuk mencapai tujuan
yang diinginkan
semestinya kita membuat penetapan tujuan yang efektif agar
kita mengetahui secara jelas apa yang kita inginkan untuk
mendapatkan apa yang sesungguhnya kita inginkan. Namun
dalam mencapai tujuan yang kita inginkan, kita tidak boleh
meninggalkan nilai-nilai yang sudah kita pegang sebelumnya.
Jika kita meninggalkan nilai tersebut maka cepat atau lambat
kita akan menyadari bahswa kita tidak bersikap jujur kepada
diri kita sendiri dan keberhasilan yang kita dapat adalah
lubang yang tidak akan pernah memberikan rasa puas dalam
diri kita. Mungkin bagi orang lain kita berhasil jika penialian
mereka berdasarkan pada atribut materi dari keberhasilan.
279
Langkah awal dalam membuat hidup kamu lebih
sukses dengan menjawab pertanyaan simpel berikut ini:
“kenapa saya disini?”, “dimana saya?”, “dimana saya akan
menjadi?”, dan “bagaimana saya dapat kesana?”
a. “Kenapa saya disini?”
b. “Dimana saya?”
c.
“Dimana saya akan menjadi?”
3. Merencanakan Untuk Mencapai Tujuan
“Bagaimana saya dapat kesana?” Setiap orang
memiliki kemampuan untuk menguasai masa depannya
sendiri, dengan cara menentukan apa yang ingin ia tuju
nantinya. Penetapan tujuan yang jelas akan membantunya
dalam mencapai tujuannya kelak.
4. Mengatur Waktu Diri
“Now that you have set your goals and started to
establish a plan of action for achieving them, you will
need to know how to manage your time more effectively,
as this forms the basis of meaningful planning. Time is a
resource. But, unlike other resources, it cannot be saved,
borrowed or exchanged. It can only be spent. And yet,
surprisingly, most of us tend to look for ways of saving it
rather than spending it more productively.” (Haddon,
1999:75)
280
Diperlukan
manajemen
waktu
yang
baik
agar
penggunaan waktu yang diperoleh seefektif mungkin dengan
perencanaan
yang
matang.
Pemanfaatan
waktu
juga
berpengaruh pada semakin capetnya anda memperoleh apa
yang menjadi tujuan anda jika semakin baik anda dalam
mengatur waktu yang anda gunakan. Menggunakan waktu
dengan baik adalah keterempilan yang dapat memberikan sisa
waktu yang tersedia kepada hal lain yang membuat anda
menjadi orang yang jauh lebih produktif.
5. Meningkatkan Citra Diri Dan Kepercayaan Diri
Setiap perubahan permanen dalam kepribadian atau
perilaku harus didahului dengan perubahan citra diri Anda. jauh
lebih produktif untuk fokus pada menggunakan lebih dari
kekuatan Anda. Jelas, di mana kelemahan merupakan hambatan
yang besar untuk kemajuan masa depan Anda, itu memerlukan
perhatian, tapi pada umumnya, kelemahan yang paling bisa dan
harus didelegasikan kepada orang lain dengan kekuatan di
daerah tersebut
Citra diri penting adanya bagi setiap orang. Citra diri
yang positif akan membuat orang tersebut juga dipandang
positif oleh orang lain. Orang akan memandangnya positif jika
ia sendiri memandang dirinya dengan positif. Maka dari itu
pandangan untuk kekuatan yang ada pada diri kamu dapat
membantu kamu meningkatkan citra diri yang positif.
281
Hidup ini penuh dengan orang-orang yang memiliki
semua pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menjadi
sukses, namun untuk satu alasan atau lainnya, tidak pernah
menerapkan pengetahuan ini dan, akibatnya, tidak pernah
menjadi keberhasilan mereka seharusnya. Setiap orang memiliki
kualitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan mereka benarbenar diinginkan tetapi, sayangnya, sebagian besar tidak
percaya ini terjadi. Mereka memiliki lebih dari kekuatan yang
cukup memilih untuk fokus, melebihi pada kelemahan mereka.
Setiap manusia mempunyai kemampuan masing-masing
untuk mencapai tujuannya. Fokus pada kekuatan akan
membantu anda untuk mencapai tujuan. Jika fokus pada
kelemahan, maka yang ada anda hanya semakin takut untuk
maju, dan semakin tertinggal.
Mencoba untuk fokus pada tujuan akan menyebabkan
kebiasaan anda akan berubah mengikuti tujuan anda tersebut.
citra diri dan percaya diri anda akan meningkat jika perlahan
tujuan anda semakin mendekat pada anda.
Meningkatkan rasa percaya diri pada remaja dengan cara
sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi penyebab dari rendahnya rasa percaya
diri dan domain-domain kompetensi diri yang penting
b. Dukungan emosional dan penerimaan sosial
c. Prestasi
282
d. Mengatasi masalah (coping). Dimana remaja berusaha
mengatasi masalahnya bukan menghindarinya.
6.
Motivasi Diri
Santrock (2003: 473) motivasi adalah mengapa individu
bertingkah laku, berpikir, dan memiliki perasaan dengan cara
yang mereka lakukan, dengan penekanan pada aktivasi dan arah
dari tingkah lakunya.
Bob Richards “Self-motivation is based on the scientific
principle that you become the product of your dominant
thinking. You must, therefore, see how tremendously
vital it is for you to control the thoughts that enter your
mind. That emphasises the significance of setting and
striving for goals. It is impossible for you to become
truly self motivated without having written, challenging,
specific, measurable and prioritised goals.”
Motivasi diri didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah
yang menjadi produk pemikiran dominan Anda. oleh karena itu,
sangat penting bagi Anda untuk mengendalikan pikiran-pikiran
yang masuk ke dalam pikiran Anda. Pentingnya pengaturan dan
berjuang untuk tujuan anda. Tidak mungkin bagi Anda untuk
menjadi benar-benar termotivasi diri jika tanpa ditulis,
tertantang, spesifik, target yang dapat terukur dan tujuan yang
diprioritaskan.
Motivasi dasar mencakup siklus tiga fase.
283
Self motivation
need
Goal directed
behaviour
Goal
Untuk menggapai kesuksesan ada beberapa karakteristik
untuk memotivasi manusia. Haddon P. membagi sifat/ perilaku
tersebut menjadi 6 karakterisitik dari memotivasi manusia:
(Haddon P, 1999: 176)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Visi
Percaya Diri
Sikap Mental yang Positif
Harapan Sukses
Disiplin Diri
Ketekunan
7. Mengembangkan Dan Mempertahankan Sikap Mental Yang
Positif
Seseorang dapat mengubah hidupnya sendiri dengan
mengubah sikap yang dimilikinya terlebih dahulu. Sikap lebih
penting dari fakta. Anda akan selalu menerima dari kehidupan
apa yang Anda pilih untuk fokus pada dan karena itu terusmenerus berfokus pada apa yang tidak Anda inginkan akan
memastikan Anda memiliki lebih dari itu. Hasil Peningkatan
284
terjadi melalui tindakan positif yang pada gilirannya tergantung
pada sikap mental positif. Dan prasyarat untuk sikap mental
yang positif, tentu saja, berpikir positif.
Apa yang kita pikirkan itu yang kita dapatkan nantinya.
Oleh karena itu pentingnya untuk berpikir positif akan
menghasilkan hasil yang positif pula dalam kehidupannya.
Pikiran positif akan menghasilkan tindakan positif yang akan
membantunya untuk mencapai tujuannya.
2) Kecerdasan Emosi
“Emotions are activated when we encounter occurrences that
bear on our goals” (Frijda, 1986; Greenberg & Safran, 1987;
Klinger, 1996; Lazarus, 1991) dalam Berlin Sharon (2002:112)
Emosi akan timbul ketika kita menghadapi sesuatu kejadian
tertentu yang berulang pada tujuan yang kita capai. Demikian pula,
menurut teori dari Burgoon (1993) dalam Laura K. Guerrero dan
Kory Floyd (2006:108) menyatakan emosi sebagai:
Similarly, according to expectancy violations theory
(Burgoon, 1993) and the social expectation model (Levitt,
1991; Levitt, Coffman, Guacci-Franco, & Loveless,
1994),emotions occur in response to deviations from
expected behavior. When expectancies are not met, negative
emotion follows; when expectancies are exceeded, positive
emotion follows. Specifically, Burgoon (1993) theorized that
positive violations of expectancies (e.g., someone you like
unexpectedly gives you attention), lead to emotions such as
285
joy, relief, and pride, as well as nonverbal behaviors such
as affection and involvement.
Teori pelanggaran harapan dan harapan sosial mengatakan
dimana emosi terjadi sebagai tanggapan terhadap penyimpangan
dari perilaku yang diharapkan. Ketika harapan tidak terpenuhi,
emosi negatif dapat muncul, ketika harapan tercapai, emosi positif
yang dapat muncul. Secara khusus burgoon (1993) berteori bahwa
pelanggaran positif harapan (misalnya, seseorang yang anda sukai
tiba-tiba memberikan perhatian), menyebabkan emosi seperti
sukacita, lega, dan kebanggaan, serta perilaku nonverbal seperti
kasih sayang dan keterlibatan.
“Emotions have evolved to give us immediate access to
automatic, non deliberate action patterns that prepare us to
take care of ourselves” (Frijda, 1987) dalam Berlin Sharon
(2002:113)
Emosi telah berevolusi untuk memberikan akses langsung
secara otomatis pada pola tindakan yang tidak disengaja kita
persiapkan untuk mengurus diri kita sendiri.
3) Introspeksi Afirmatif
“Affirmative Introspection is the dimension of the
Emotional Intelligence and Diversity Model that brings
awareness and understanding of yourself and helps you
choose more effective responses and paths. Affirmative
286
Introspection is the ability to take an honest look inward,
with curiosity in a nonjudgmental way. It involves the
ability to gain insights into themultiple layers of your
experiences and to accept what you see, both your
strengths and your vulnerabilities. Affirmation describes
the process of developing acceptance of self and others. It
requires a suspension of judgment, with none of the
customary denial, shame, or guilt that accompanies new
self-awareness—particularly when this awareness involves
seeing aspects that you don’t like. Striving for
selfacceptance opens the road for new possibilities.
Introspection refers to the skill of exploring who you are,
how you became that way, and what values, norms, and
principles account for the way you interpret behavior and
respond to others.” (Gardenswartz, 2008:44)
Introspeksi afirmatif adalah dimensi dari Emotional
Intelligence dan Model Keanekaragaman yang membawa kesadaran
dan pemahaman tentang diri Anda dan membantu Anda memilih
tanggapan dan jalan yang lebih efektif. Ini adalah sifat manusia
untuk mencoba untuk menyembunyikan beberapa kebenaran keras
dari diri sendiri dan orang lain. Introspeksi afirmatif adalah
kemampuan untuk mengambil tampilan jujur ke dalam, dengan rasa
ingin tahu dengan cara tidak menghakimi. Ini melibatkan
kemampuan untuk memperoleh wawasan kedalam beberapa lapisan
pengalaman Anda dan untuk menerima apa yang Anda lihat, baik
kekuatan dan kelemahan Anda.
Filosofi di balik dimensi ini adalah bahwa Anda dapat
memperluas kesadaran introspektif diri tanpa penghakiman.
287
Penegasan menggambarkan proses pengembangan penerimaan diri
dan orang lain. Hal ini membutuhkan suspensi penghakiman,
dengan tidak ada rasa malu, penolakan adat, atau rasa bersalah yang
menyertai kesadaran diri baru-terutama ketika kesadaran ini
melibatkan melihat aspek yang tidak Anda sukai. Berjuang untuk
penerimanaan diri membuka jalan bagi kemungkinan-kemungkinan
baru.
Setelah anda menerima ini, anda dapat memahami bahwa itu
adalah anda yang bertanggung jawab atas perasaan anda. Hal ini
juga benar bahwa anda mampu memodifikasi pemikiran anda dan
sebagai hasilnya anda dapat mengubah respons emosional anda.
Dengan demikian, itu adalah pilihan yang terdapat pada diri anda
bagaimana anda berfungsi di dunia anda.
Once you accept this you can understand that it is you who
are responsible for your feelings. It is also true that you are
capable of modifying your thinking and, as a result,
modifying your emotional responses. Thus, it is your choice
how you function in the world. ( Bill Sullatmann, 2003:19)
Untuk lebih efektif dengan yang lainnya, langkah pertama
yang harus kamu terima, menilai, dan menghargai adalah diri kamu
sendiri. Maksudnya adalah menerimah tidak hanya kekuatankekuatan saja namun aspek lain yang perlu disukai dan mungkin
mempunyai pengharapan berbeda. Membuat bagian dari aspek
tersebut merupakan ujian yang sebenarnya untuk memberikan
kenyamanan pada diri anda. Hal tersebut adalah:
288
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Take a risk
Learn to say no
Be strategic in seeking feedback
Check out your reflection
See with compassionate eyes
Know what is magical about you.
Mampu mengambil resiko maksudnya adalah kamu
mungkin dapat membuat diri kamu berada pada wilayah yang tidak
kamu kenali. Selanjutnya adalah belajar untuk berkata tidak adalah
menerima resiko menolak seseorang dengan berkata tidak kepada
orang lain adalah cara untuk memperhatikan diri sendiri. Kamu
akan lihat bagaimana hal tersebut dapat membuat diri kamu merasa
baik.
Strategi dalam melihat umpan balik. Menambah gambaran
yang lengkap terhadap diri sendiri dapat membantu kamu
mengetahui dan menerima diri kamu sepenuhnya.mengidentifikasi
seseorng yang kamu hormati dan percaya.
Melihat cerminan diri anda. Kebanyakan orang, walaupun
cantik
atau
tampan,
dapat
dengan
mudah
menyebutkan
kekurangannya. Lakukan hal tersebut untuk lebih menerima diri
anda. Melihat dengan mata yang berbelas kasih maksudnya adalah
penerimaan diri membutuhkan kamu harus baik terhadap diri kamu
sendiri. Selanjutnya adalah mengetahui keajaiban yang kamu
miliki. Mengenali pengaruh dari orang lain adalah elemen kunci
dari penerimaan diri.
289
4) Memimpin Diri Sendiri, Mengatur Perasaan Diri
Membangun ketahanan dan menjaga sikap positif dalam
masa ketidakpastian adalah salah satu keunggulan dari pemimpin
yang cerdas mengatur emosinya. Para pemimpin memiliki
kemampuan untuk mengatur emosi bukannya emosi yang
mengendalikan mereka.
Menurut Gardenswartz (2008:71),
“Building resilience and keeping a positive attitude in times
of uncertainty is one of the hallmarks of emotionally
intelligent leaders.”
Membangun ketahanan dan tetap menggunakan sikap yang
positif pada waktu yang tidak ditentukan adalah salah satu tanda
dimana dapat memimpin emosional diri dengan baik.
Penerimaan bahwa apa yang kita pikirkan dan kemudian
berkata kepada diri kita sendiri adalah penentu utama emosi dan
perilaku yang memberikan kita pemahaman bahwa kita dapat
mengendalikan emosi dan perilaku kita daripada membiarkan
mereka untuk mengendalikan kita. Ini berarti bahwa kita memiliki
pilihan dan dapat membuat perubahan yang akan membantu untuk
memodifikasi emosi kita.
The acceptance that cognition (what we think and then say
to ourselves) is the major determinant of emotion and
behaviour provides us with the understanding that we can
control our emotions and behaviours rather than allow
them to control us. This implies that we have choice and can
290
make changes that will help to modify our emotions.( Bill
Sullatmann, 2003:12)
Dengan memandang diri seperti yang kita inginkan, kita
akan menjalani perubahan menuju tujuan yang kita inginkan
dengan senang hati. Terdapat beberapa keuntungan jika kita
mengikuti
perubahan
seperti
yang
di
inginkan
adalah:
(Gardenswartz, 2008: 81)
“Helping people develop a new vision for themselves leads
to empowerment, which helps individuals build resiliency.”
Membantu orang mengembangkan visi baru untuk diri
mereka sendiri mengarah kepada pemberdayaan, yang membantu
individu membangun ketahanan.
“By controlling your emotional reaction to change, you
become your own change master, allowing you to use
creative solutions to everyday challenges and to cope
withminimal anger and stress.” (Gardenswartz, 2008: 84)
Dengan mengkontrol reaksi perubahan emosi kamu, kamu
menjadi ahli dalam perubahan tersebut, mengijinkan kamu
menggunakan solusi kreatif untuk menghadapi tantangan setiap
harinya dengan menggunakan sedikit kemarahan dan stres.
Ketika orang atau organisasi selaras kedalam inti positif
pada diri mereka, mereka tidak hanya berhubungan dengan
kekuatan dan bakat dalam diri mereka saja nemun mereka juga
291
memicu emosi positif dalam diri mereka dan memperluas
pemikiran mereka dan tindakan mereka untuk memasukkan
kemungkinan-kemungkinan baru. Dimana menurut Robyn Stratton
(2010:24)
“When people or organizations tune into their
positive core, they not only connect with their
strengths and talents, they also ignite their positive
emotions and expand their thinking and their
actions to include new possibilities”
2. KEKUATAN EKSTERNAL
Kekuatan eksternal klien berasal dari jaringan keluarga,
orang dekat, organisasi sukarela dari kelompok masyarakat, dan
lembaga-lembaga
publik
yang
semuanya
mendukung
dan
memberikan kesempatan pada klien untuk bertindak atas namanya
dirinya sendiri dan layanan kelembagaan memiliki potensi untuk
menyediakan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan oleh
klien.
1. Keluarga
Dalam perkembangan remaja, keluarga mempunyai arti
penting didalamnya. Seperti yang disebutkan oleh Singgih G
(2001:108) arti keluarga dalam masa remaja adalah:
a. Keluarga dapat memenuhi kebutuhan remaja akan
keakraban dan kehangatan yang memang perlu baginya
292
b. Keluarga dapat memupuk kepercayaan diri anak dan
perasaan aman untuk dapat berdiri dan bergaul dengan
orang lain. Tanpa kemesraan dan perlakuan kasih
sayang dari orangtua mereka tidak mampu membentuk
hubungan-hubungan yang berarti dengan orang lain.
c. Supaya remaja dapat belajar berdiri-sendiri baik fisik
maupun spirituil dalam arti dapat bertindak sendiri, ia
harus mengalami proses ini secara bertahap. Dalam hal
ini keluarga bisa memegang peranan besar, yakni
dengan
memberikan
kesempatan
untuk
memperkembangkan kemampuan-kemampuan yang
diperlukan. Faktor yang harus diperhatikan ialah
kesempatan untuk mengambil inisiatif secara bertahap
dan melakukan tindakan sesuai dengan inisiatif tersebut.
keluarga harus mempersiapkan anggota keluarganya
supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan
bertindak sendiri, sehingga dengan demikian mengalami
perubahan dari keadaan tergantung pada keluarga
menjadi beridir secara otonom.
Dalam perkembangan remaja, keluarga memiliki arti
sangat kuat terhadap proses perkembangan dan tugas-tugas
perkembangan yang dijalani oleh para remaja. Dampak yang
diberikan oleh keluarga terhadap pemenuhan tugas-tugas
perkembangannya juga akan terlihat pada remaja.
“We believe that the concept of resilience defines a
process of parenting that is essential if we are to
prepare our children for success in all areas of their
future lives. Given this belief, a guiding principle in all
of our interactions with children should be to strengthen
their ability to be resilient and to meet life’s challenges
with thoughtfulness, confidence, purpose, and empathy”
(Robert Brooks and Sam Goldstein, Raising Resilient
Children, 2001.)
293
Proses pengasuhan penting jika kita mempersiapkan
anak-anak untuk sukses dalam segala bidang untuk masa depan
hidup mereka. mengingat keyakinan ini, sebuah prinsip dalam
sebuah interaksi orang tua dengan anak-anak harus memperkuat
kemampuan mereka untuk menjadi tangguh dan untuk
memenuhi tantangan hidup mereka dengan menggunakan
perhatian, keyakinan, tujuan, dan empati.
Pilihan orang tua atas lingkungan tempat tinggalnya juga
dapat mempengaruhi remaja dalam memilih-milih teman
sebayanya. Orang tua dapat memberikan contoh atau petunjuk
kepada anak remaja mengenai cara-cara mereka berhubungan
dengan teman sebaya mereka.
Dalam suatu penelitian, peneliti menemukan bahwa
ikatan yang aman antara anak dengan orang tuanya juga
memiliki ikatan yang aman antara anak dan teman sebayanya.
Seorang remaja yang sudah mempunyai keberanian
untuk menolak apa yang tidak disukainya dalam peraturan yang
dibuat oleh orang tuanya, menyebabkan seringnya konflik yang
timbul antara remaja dan orang tua. Pengasuhan yang benar
akan mengurangi konflik yang biasanya terjadi antara orang tua
dan remaja. Diana Baumrind dalam Santrock (2003: 185)
Berikut ini macam-macam pengasuhan yang diterapkan oleh
orang tua kepada anak remajanya:
294
a. Pengasuhan autoritarian: gaya yang membatasi dan
bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk
mengikuti petunjuk orang tua dan untuk
menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang
bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali
yang tegas terhadap remaja dan hanya akan
melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan
autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial yang
tidak cakap.
b. Pengasuhan autoritatif: mendorong remaja untuk
bebas tetapi tetap memberikan batasan dan
mengendalikan
tindakan-tindakan
mereka.
komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung
dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan
bersifat membesarkan hati remaja. Pengasuhan
autoriteratif berkaitan dengan perilaku sosial remaja
yang kompeten.
c. Pengasuhan permisif tidak peduli: suatu pola di
mana si orang tua sangat tidak ikut campur dalam
kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan
perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama
kurangnya pengendalian diri.
d. Pengasuhan permisif-memanjakan: suatu pola
dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja
tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan
mereka.
pengasuhan
permisif
memanjakan
berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja,
terutama kurangnya pengendalian diri.
Tidak orang tua saja yang dapat mempengaruhi
perkembangan remaja, namun saudara kandung dapat menjadi
pengaruh kuat lainnya setelah orang tua. Vandell (1987) dalam
Santrock (2003: 195) menjelaskan hubungan suadara kandung
remaja meliputi menolong, berbagi, mengajar bertengkar, dan
295
bermain, dan saudara kandung remaja bisa bertindak sebagai
pendukung emosi, lawan, dan teman berkomunikasi.
2. Orang dekat
Santrock (2003 : 219) Bagi remaja bagaimana ia
dipandang oleh teman sebayanya merupakan aspek yang
terpenting dalam kehidupan mereka. Salah satu fungsi utama
dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan
berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari
kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik
mengenai kemampuan mereka. remaja belajar tentang apakah
apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya, atau bahkan
lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain.
Pertemanan penting adanya bagi perkembangan remaja.
Penolakan yang dibuat oleh teman sebaya dapat membuat
remaja menjadi mempunyai masalah dalam perkembangannya.
Pentingnya persahabatan bagi remaja dilihat dari 6 fungsi:
a. Kebersamaan. Persahabatan memberikan para
remaja teman akrab, seseorang yang bersedia
menghabiskan waktu dengan mereka dan bersamasama dalam aktivitas.
b. Stimulasi. Persahabatan memberikan para remaja
informasi-informasi yang menarik, kegembiraan,
dan hiburan.
c. Dukungan fisik. Persahabatan memberikan waktu,
kemampuan-kemampuan, dan pertolongan.
296
d. Dukungan ego. Persahabatan menyediakan harapan
atas dukungan, dorongan dan umpan balik yang
dapat membantu remaja untuk mempertahankan
kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu,
menarik dan berharga.
e. Perbandingan sosial. Persahabatan menyediakan
informasi tentang bagaimana cara berhubungan
dengan orang lain dan apakah para remaja baik-baik
saja.
f. Keakraban
atau
perhatian.
Persahabatan
memberikan hubungan yang hangat, dekat, dan
saling percaya dengan individu yang lain, hubungan
yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri.
(gottman & parker dalam Santrock, 2003: 227)
Selain teman sebaya, faktor penting lainnya yang
mempengaruhi perkembangan remaja adalah kekasih. Erikson
dalam Santrock (2003: 239) pengalaman romantis pada masa
remaja dipercaya memainkan peran yang penting dalam
perkembangan identitas dan keakraban. Kencan ini dapat
membantu individu dalam membentuk hubungan romantis pada
masa dewasa. Fungsi kencan bagi remaja menurut (Padgham &
Blyth, 1991; Paul& White, 1990; Roscoe, Dian & Brooks, 1987;
Skipper & Nass, 1966 dalam Santrock (2003: 239) adalah:
a. Kencan merupakan suatu bentuk rekreasi. Remaja yang
berkencan terlihat sangat menikmatingan dan meilhat
kencan sebagai sumber dari kesenangan dan rekreasi.
b. Kencan merupakan sumber dari status dan keberhasilan.
Sebagai bagian dari proses perbandingan sosial yang juga
melibatkan proses pengevaluasian atas status seseorang
yang mereka kencani, apakah mereka memiliki
297
c.
d.
e.
f.
g.
penampilan terbaik? Termasuk orang-orang yang populer?
Dan seterusnya.
Kencan merupakan bagian dari proses sosialisasi pada
masa remaja, menolong para remaja untuk belajar
bagaimana cara untuk berteman dengan orang lain dan
membantu dalam pembelajaran atas sikap dan tingkah
laku yang sesuai dengan sosial.
Kencan meliputi proses belajar tentang keakraban dan
merupakan sebuah kesempatan untuk menciptakan
hubungan yang uni dan berarti dengan seseorang dari lain
jenis kelamin.
Kencan dapat memberikan kebersamaan dalam
berinteraksi dan melakukan aktivitas versama-sama dalam
hubungan dengan jenis kelamin yang berlainan.
Pengalaman kencan memberi kontribusi untuk mengenali
proses pembentukan dan perkembangan identitas, kencan
membantu para remaja untuk memperjelas perkembangan
identitas mereka dan untuk membedakan mereka dari
keluarga mereka.
Kencan dapat menjadi alat untuk memilih dan menyeleksi
pasangan, sehingga juga tetap memainkan fungsi awalnya
sebagai masa perkenalan untuk hubungan yang lebih jauh.
298
DAFTAR PUSTAKA
Cowger Charles D. Assessing Client Strengths: Clinical Assessment for Client
Empowerment.
Gardenswartz, Lee 2008. Emotional Intelegence for Managing Results in a
Diverse World: the Hard Truth about Soft Skills in the Workplace.
California: Davies-Black Publishing
Guerrero, Laura K 2006. Nonverbal Communication in Close Relationships.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Gunarsa, Singgih. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
Haddon, P 1999. Mastering Personal and Interpersonal Skills. London:
Thorogood Ltd
Hayes, John 2002. Interpersonal Skills Goals-Directed Behaviour At Work.
USA: HarperCollin Academic
Rankin Pedro 2006. Jurnal edisi 14 “Exploring and Describing the
Strength/Empowerment Perspective in Social Work”. South Africa
Santrock, J. W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga
Saleebey, D 2006. Strength Perspective in Social Work Practice. Boston.
Stratton, Robyn 2010. Appreciative Inquiry for Collaborative Solutions 21
Strength-Based Workshops. San Francisco: Pfeiffer.
Sultmann, Bill 2003. People Skills Guiding You to Effective Interpersonal
Behaviour. Australia: Australian Academic Press.
299
Download