rekonstruksi solidaritas sosial berbasis kelembagaan agama

advertisement
II
PANDANGAN TEORITIS
2.1. Keaslian Penelitian
Kajian tentang zakat sebagai pranata keagamaan, telah banyak mendapat
perhatian para ahli/ulama, mulai dari kitab-kitab fiqh klasik maupun kitab-kitab
fiqh kontemporer. Salah satu kitab fiqh zakat yang boleh dipandang lengkap,
dengan kajian komprehensif adalah Fiqh az-Zakât karya Yusuf Qaradawi (1994).
Sungguhpun karya ini dipandang lengkap akan tetapi pembahasannya sangat
diwarnai kajian ―normatif‖ (Idris, 1997). Zakat lebih dilihat dalam kerangka ajaran
agama yang menonjolkan dimensi normatif ketimbang dimensi sosialnya.
Keberadaan dan bekerjanya sebuah rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas
yang memberi warna bagaimana zakat dipahami atau dikonstruksi secara sosial
dalam masyarakat, belum banyak terlihat.
Beberapa kajian terdahulu pada level tesis yang mengkaji zakat, misalnya:
Khasanah (2001), mengkaji tentang Model Pengelolaan Dana Zakat di Indonesia,
yang menemukan dan menggambarkan empat model lembaga tatakelola zakat,
yaitu: model birokrasi (pemerintah), model organisasi swasta (industri), model
organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) dan model tradisional. Khasanah
(2001) menyatakan bahwa pengelolaan zakat model pertama, kedua dan ketiga
mengalami kemajuan dan mampu mengumpulkan dana zakat dalam jumlah
besar, sebaliknya lembaga model keempat
hanya mampu membuat kinerja
konstan. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan oleh perbedaan manajemen
tatakelola (negara, bisnis dan ormas berbasis sains modern sedangkan model
tradisional berbasis budaya dan pengetahuan lokal).
Palmawati (2002), yang meneliti ―Zakat dan Pengentasan Kemiskinan‖ di
Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, menemukan bahwa konstribusi
zakat terhadap pengentasan kemiskinan di Donggala masih sangat lemah.
Penyebab
utama
kelembagaan,
tidak
menurut
Palmawati
terlibatnya
tokoh
adalah
masyarakat
lemahnya
sehingga
manajemen
kurangnya
kepercayaan masyarakat. Tidak ada kepastian hukum karena pemerintah daerah
tidak terlibat. Palmawati merekomendasikan agar pemerintah daerah berperan
aktif mendukung lembaga zakat dan pengelolaan zakat. Dua penelitian ini
mengedepankan sains modern dengan logika politik, sehingga keterlibatan
19
pemerintah dianggap sebagai kunci utama untuk meningkatkan kepercayaan dan
partisipasi masyarakat.
Takidah (2001) meneliti tentang ―Pengaruh Kualitas Jasa Badan Amil Zakat
Nasional pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki‖, menemukan adanya
ketidakpuasan masyarakat terhadap Badan Amil Zakat Nasional. Hal ini
berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat. Temuan yang sama oleh
Hardianto (2003), terhadap BAZIS DKI, bahwa rendahnya kepercayaan
dikarenakan lemahnya sumber daya manusia pengelola dan kurangnya
dukungan negara. Berbeda dengan temuan Firdaus (2004) yang meneliti
Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam Oleh Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) tahun 2002-2003, menemukan bahwa BAZNAS menghadapi
persoalan kepercayaan masyarakat karena keterlibatan negara. Ini ditunjukkan
bahwa keterlibatan negara juga bisa membawa persoalan kepercayaan publik..
Indrijatiningrum (2005), dengan menggunakan analisis SWOT (Sthength,
Weakness, Opportunity, Threat) dan HAP (Hierarchy Analysis Process),
menemukan bahwa; ada gap yang sangat besar antara potensi dan realisasi
yang teridentifikasi disebabkan oleh masalah kelembagaan tatakelola zakat
berupa masalah kesadaran masyarakat dan masalah sistem manajemen zakat
yang belum terpadu. Oleh karena itu Indrijatiningrum (2005) merekomendasikan
kebijakan penerapan sanksi bagi muzakki yang tidak berzakat, meningkatkan
kualitas
SDM
pengelola,
profesionalitas,
kredibilitas,
akuntabilitas
dan
transparansi pangelolaan zakat dan mengintegralkan pelaksanaan sistem pajak
dan zakat secara nasional. Skenario terbaik menurut Indrijatiningrum adalah
dengan reformasi perundang-undangan.
Zuhraini (2004), mengelaborasi zakat menyangkut ―Konsepsi Kekuatan
Zakat dalam Pemberdayaan Umat‖, yang mencoba membongkar konsep-konsep
zakat terkait dengan pemberdayaan masyarakat miskin. Zuhraini menyimpulkan
bahwa; zakat bukanlah sekedar ibadah akan tetapi dalam perintah zakat
ditemukan konsep-konsep pemberdayaan yang tergambar dalam delapan
golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, yang kesemuanya orang yang
lemah (kecuali amil dan fisabilillah) yang butuh diberdayakan.
Khatimah (2006), yang mengkaji Community Development Circle (CDC)
Dompet Dhuafa Republika Tahun 2001-Maret 2004, menemukan bahwa; ada
pengaruh yang signifikan antara distribusi dana zakat dengan peningkatan
20
kesejahteraan mustahik. Hal yang sama ditemukan oleh Mufraini (2001) bahwa;
tingkat pendapatan dan konsumsi mustahik mengalami perubahan secara
signifikan sesudah menerima dana zakat. Hanya saja, belum terlihat perubahan
status dari mustahiq menjadi muzakki. Sementara Hidayat (2004), menemukan
bahwa masyarakat mandiri yang dikelola oleh Lembaga Amil Dompet Dhuafa di
Bekasi, menunjukkan bahwa bantuan pembiayaan meningkatkan pendapatan
mustahik. Berbeda dengan temuan Muslim (2005), dalam penelitiannya tentang
―Pengaruh Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) terhadap Peningkatan Penghasilan
Para Mustahik”
menemukan bahwa bantuan-bantuan dana yang disalurkan
ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
perekonomian mustahik. Hal ini dikarenakan kecilnya dana dan kurangnya
motivasi kerja para musthik penerima dana zakat.
Kajian-kajian di atas, meski memperlihatkan adanya perbedaan basis
pengetahuan antara model lembaga tatakelola, namun tidak sampai pada
pembahasan bagaimana pengetahuan bekerja dan membangun kekuasaan
dalam empat lembaga tersebut. Menemukan kurangnya kepercayaan publik,
para peneliti mengabaikan bekerjanya rezim pengetahuan sebagai basis
rasionalitas yang mampu membangun kepercayaan publik itu bisa dibangun,
padahal kepercayaan publik amat tergantung pada sebuah rezim pengetahuan
yang bekerja dalam aras kognitif yang mengarahkan logika publik. Para
penelitian di atas juga menemukan kegagalan lembaga zakat dalam mewujudkan
kesejahteraan dan rendahnya motivasi mustahik. Persoalan ini tidak dilihat
sebagai sebuah fenomena hasil dari konstruksi sosial masyarakat terhadap zakat
dan bantuan zakat.
Permono (1988) melalui disertasinya : ―Pendayagunaan Zakat di Samping
Pajak dalam Rangka Pembangunan Nasional”, yang mengkaji persamaan zakat
dan pajak, menyatakan zakat untuk pembangunan nasional, dan pemerintah
sebagai
amil
zakat.
Dengan
pendekatan
normatif,
Permono
mencoba
mengelaborasi unsur-unsur yang menghubungkan zakat dan pajak dalam
konteks pembangunan nasional, dan menekankan pentingnya zakat dan pajak
dalam konteks penguatan ekonomi dan politik negara menuju pembangunan
yang memberdayakan rakyat. Disertasi Permono tersebut
merupakan kajian
kepustakaan dengan fokus pada kitab-bitab zakat, undang-undang perpajakan
dan tulisan-tulisan lainnya yang membahas tentang zakat dan pajak. Permono di
21
sini mengabaikan subjektifitas masyarakat zakat, konstruksi sosial zakat dan
dinamika pengetahuan serta sistem rasionalitas masyarakat, makanya Permono
merekomendasikan negara sebagai pengelola tunggal zakat.
Qadir (1998) dalam disertasinya ― Zakat dalam Dimensi Ibadah Mahdhah
dan Sosial―, menelaah zakat dari konsep keadilan dengan menggunakan
pendekatan filosofis dan kontekstual. Dalam kajiannya, Qadir mencoba melihat
zakat dari dua dimensi, yaitu : dimensi Mahdhah dan Ghairu Mahdhah (Sosial)
yang dielaborasinya dengan menganalisis dimensi ibadah sebagai perintah
agama yang wajib dari Allah SWT dan dimensi sosial. Konsekuensi kehambaan
dan keberagamaan terwujud dalam bentuk ibadah yang merupakan bangunan
hubungan yang bersifat vertikal (hablun min-Allah). Sementara dari dimensi
sosial, Qadir mengelaborasi bagaimana fungsi-fungsi sosial zakat dalam
bangunan hubungan horzontal (hablun min-al-nas) sebagai bentuk solidaritas
sosial kepada kaum lemah (mustahik) dan perwujudan keadilan sosial bernuansa
spiritual. Qadir kemudian merumuskan beberapa fungsi sosial zakat, yaitu:
a. Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di
kalangan masyarakat Islam.
b. Menghindari kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat.
c. Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana
alam.
d. Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan
dan berbagai bentuk kekacauan dalam masyarakat.
e. Menyediakan dana teknis dan khusus dalam menanggulangi biaya hidup bagi
gelandangan, pengangguran, dan tuna sosial lainnya, termasuk dana untuk
membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana
untuk itu (Qadir, 1998 : 76).
Dasril (2000) dengan disertasinya : ―Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi
Kemiskinan di Jakarta Pusat ―, yang menfokuskan kajian pada pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BAZIS DKI Jakarta. Dasril mencoba melihat upaya apa saja
yang telah dilakukan berikut faktor-faktor pendukung dan penghambatnya.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, Dasril mencoba menganalisis
program-program aksi yang telah dilakukan dan menemukan berbagai kendala
sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh BASIZ DKI dalam pengelolaan
dana zakat, Infaq dan shadaqah (ZIS) menuju upaya pengentasan kemiskinan di
Jakarta Pusat. Sayangnya Dasril terlalu fokus pada program-program kerja
BASIZ DKI, akibatnya kurang memperhatikan bagaiaman konstruksi sosial
terhadap kelembagaan zakat. Padahal berbagai persoalan dan kendala yang
22
dihadapi dalam upaya pengentasan kemiskinan berbasis zakat, amat terkait
bagaimana zakat dikonstruksi secara sosial dan atas kuasa siapa.
Hafhidhuddin (2001) dengan disertasi berjudul ‖Zakat dalam Perekonomian
Modern―, menekankan masalah sumber-sumber zakat dalam perekonomian
modern dengan menggunakan pendekatan hukum dan ekonomi. Hafhidhuddin
mengelaborasi berbagai sumber-sumber dana zakat yang baru dalam konteks
ekonomi modern yang berpotensi menunjang pembangunan dan pengentasan
kemiskinan umat.
Disertasi ini sangat detil menjelaskan berbagai kegiatan
ekonomi modern yang bisa menjadi sumber-sumber dana zakat baru, namun di
sana beliau masih mengabaikan bagaimana konstruksi sosial zakat dan
kaitannya dengan rezim pengetahuan.
Hikam (2004), dengan disertasi yang berjudul: ―Pendayagunaan Zakat
untuk Usaha Produktif“, memfokuskan pembahasan pada
pandangan ulama
klasik dan kontemporer berkaitan dengan pendayagunaan zakat untuk usaha
produktif. Relevansi konsep pendayagunaan zakat dikaitkan dengan UU. No. 38
tahun 1999 dengan hukum Islam dan praktek pendayagunaan zakat di beberapa
lembaga zakat yang ada di Indonesia. Pendekatan yang digunakannya adalah
pendekatan filsafat hukum Islam yang bernuansa normatif (Hikam, 2004). Di sini
Hikam merekomendasikan transformasi zakat dari bantuan zakat konsumtif
menjadi
bantuan
zakat
produktif.
Penekanan
bantuan
zakat
produktif
menunjukkan kalau di sana rezim pengetahuan ekonomi bekerja dengan
penekanan pada pencapaian kesejahteraan dan stabilitas politik negara. Yang
terlupakan adalah ulasan tentang bagaimana rezim pengetahuan tersebut
dibangun dan bekerja membentuk pemahaman dan tindakan berzakat.
Miftah (2005) dengan disertasinya : ―Zakat dalam Perpektif Hukum Diyâni
dan Qadâ‘i‖ membahas
zakat sebagai hukum diyâni dan qadâ‟i, dan
mengkaitkannya dengan UU. Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Miftah menganalisis realitas zakat sebagai aturan/hukum agama (diyâni) dan
hukum negara (qadâ‘i). Dengan pendekatan normatif, Miftah berpandangan
bahwa zakat sebagai ketentuan agama yang harus ditangani oleh negara dalam
konteks kewarganegaraan terkait dengan kepentingan dan kemashlahatan
(kebaikan) ummat. Menurut Miftah zakat adalah ibadah yang memiliki tujuan
penegakan keadilan sosial dan ekonomi, dan untuk mewujudkannya, negara
penting hadir dalam pengelolaan zakat. Negara yang dibayangkan oleh Miftah
23
dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki
keberpihakan pada kemashlahatan masyarakat dan penegakan hukum secara
konsisten. Miftah lupa kalau sebuah negara selalu tunduk pada satu rezim
pengetahuan dan sistem rasionalitas. Rezim pengetahuan bekerja membentuk
kostruksi sosial zakat dan menggiring tindakan berzakat dan tatakelolanya pada
satu titik yang disertai oleh ragam kepentingan.
Selain beberapa tesis dan disertasi yang telah mengkaji zakat dalam
berbagai perspektif di atas, terdapat pula sejumlah tulisan terdahulu yang
memperbincangkan persoalan zakat. Seperti tulisan Idris (1997) dengan judul
―Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat‖, tulisan Ali (1988) dengan
judul ―Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf ―, tulisan Ash-Shidiqy (1976)
dengan judul ― Pedoman Zakat ―, tulisan Mas‘udi (1993) dengan judul ― Agama
Keadilan; Risalah Zakat (pajak) dalam Islam―,
tulisan Sofwan Idris (1997)
dengan judul: ―Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Islam, sebuah
pendekatan transformatif”, dan Bamualim dan Irfan Abu Bakar (2005) sebagai
editor buku berjudul : ―Revitalisasi Filantropi Islam”, dan (2006) ―Filantropi dan
Keadailan Sosial”. Keseluruhan karya-karya tersebut di atas begitu detil mengkaji
persoalan zakat, akan tetapi hampir belum terlihat secara nyata, ada yang
mengupas tentang konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dalam
kaitannya dengan sistim rasionalitas dan kepentingan (lihat tabel 2 dan 3).
Padahal pemahaman zakat dan sistem tatakelola zakat yang ada, merupakan
perwujudan dari konstruksi sosial zakat, sebagai hasil kerja kuasa pengetahuan,
sistem rasionalitas dan ragam kepentingan yang menyertainya.
Kehadiran
ragam
entitas
sosial
menyuarakan
tatakelola
zakat,
memunculkan berbagai benturan-benturan dan persaingan hingga pertarungan.
Akibatnya model relasi-relasi internal dan eksternal yang terbangunpun akan
bervariasi
dan
interdependensi,
mengarah
dominasi
pada
atau
terbangunnya
malah
kooptasi.
relasi
independensi,
Mengamati
fenomena
ragamanya entitas sosial mewacanakan tatakelola zakat dengan asumsi adanya
persaingan dan benturan, maka penelitian ini mencoba melihat konstruksi sosial
kuasa pengetahuan zakat dengan terlebih dahulu memetakan beberapa kajian
tentang zakat terkait, yang dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
24
Tabel 2 : Penelitian (Disertasi) tentang Wacana Zakat
INDIKATOR
LEMBAGA PENERBIT
UIN
Yogyakarta
IDENTITAS
Qadir (1998)
Permono (1988)
Dasril (2000)
Klasifikasi Kajian
Disertasi
Disertasi
Disertasi
Pendayagunaan
Zakat di Samping
Zakat dalam
Pajak dalam
Dimensi Ibadah
Rangka
Mahdhah dan Sosial
Pembangunan
Nasional
LADANSAN
KAJIAN
FOKUS KAJIAN
fungsi zakat
Landasan Etika
asketik, keadilan
& solidaritas
Landasan Teoritis
(Paradigma Teoritis)
modernisasi
Landasan Normatif
METODOLOG
I
Wilayah Penelitian
Metode Kajian
Pedekatan
REKOMEN
DASI
Analisis
Basis Kelembagaan
Manajemen
Landasan Politik
Kuasa Kelembagaan
TEMUAN
norma agama,
dan hukum
negera
hukum zakat
(agama)
pustaka
filsafat hukum
IPB Bogor
UIN Jakarta
Nama Penulis dan
Tahun
Judul
BIAS CIVIL
SOCIETY
PRO NEGARA
optimalisasi
zakat
keadilan sosial
modernisasi
Hikam (2004)
Miftah (2005)
Disertasi
Disertasi
Abd. Malik
(2008)
Disertasi
Upaya Bazis DKI
Zakat dalam
Jakarta Mengatasi
Perekonomian
Kemiskinan di
Modern
Jakarta Pusat
Pendayagunaan
Zakat dalam
Zakat untuk Usaha Perpektif Hukum
Produktif
Diyâni dan Qadâ‘i
Konstruksi Sosial
Kuasa
Pengetahuan
Zakat
fungsi zakat
inovasi zakat
potensi zakat
hukum zakat
zakat dan kuasa
pengetahuan zakat
pemerataan &
kesejahteraan
keadilan sosial
keadilan sosial
asketik dan
keadilan sosial
pembebasan dan
kemandirian
modernisasi
modernisasi
modernisasi
modernisasi
post-struktukral
agama dan
hukum negara
agama
agama dan
hukum negara
budaya dan
norma sosial
hukum zakat dan Jambi dan
UU zakat
Sumatera Barat
pustaka
lapangan
hukum dan politik
sosiologis
agama dan
hukum negara
hukum zakat
(agama)
pustaka
hukum
Hafhidhuddin
(2001)
Disertasi
kualitatif
kualitatif
Bazis DKI
Jakarta
lapangan
ekonomi
pemberdayaan
kualitatif
data sekunder
ekonomi
hukum agama
dan UU zakat
pustaka
filsafat hukum
kuantitatif
kualitatif
hermeneutik
Negara
Negara
Negara
Negara
Negara
Negara
modern
hukum agama
dan UU
negara
zakat berdimensi
ke-Tuhan-an dan
kemanusiaan
modern
modern
modern
modern
hukum agama
dan UU
negara
modern
hukum agama
komunitas masjid
dan UU
negara
jejaring masjid
efektifitas zakat konstruksi sosial
berdialetika dengan
harus dengan
intervensi negara kuasa pengetahuan
UU
UU
negara
negara
agama bersifat
dinamis terhadap
modernisasi
negara
konstruktifif
masjid
hibrid
25
Tabel 3: Penelitian (Thesis) Tentang Wacana Zakat Bias Negara dan Civil Society
BIAS NEGARA
BIAS CIVIL
SOCIETY
UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA
IPB Bogor
Tesis Magister (Hukum dan Ekonomi)
Disertasi
INDIKATOR
LEMBAGA
IDENTITAS
Nama Penulis dan
Tahun
Jenis Tulisan
Judul
Khasanah (2001)
Palmawati
(2002)
Model Pengelolaan Zakat dan
Dana Zakat di
Pengentasan
Indonesia
Kemiskinan
Fatahillah
(2001)
Takidah (2001) Hardianto (2003)
Indrijatiningrum
(2005
Khatimah (2006) Abd. Malik (2008)
Strategi
Kebijakan
Pengelolaan
Zakat di Bazis
DKI Jakarta
Analisis Pengaruh
pelayalan Baznas
pada Kepuasan
dan Kepercayaan
Muzakki‖,
Analisis Kebijakan
BAZIS DKI Jakarta
Meningkatkan
Kepercayaan
Masyarakat
Membayar Zakat
Zakat sebagai
Alternatif
Penggalangan Dana
Masyarakat untuk
Pembangunan
Pengaruh Zakat
Produktif Terhadap
Peningkatan
Kesejahteraan
Ekonomi Para
Mustahik
Konstruksi Sosial
Kuasa
Pengetahuan
Zakat
LADANSA
N KAJIAN
konstruksi sosial
zakat dan kuasa
pengetahuan
pembebasan dan
kemandirian
kelembagaan
fungsi ekonomi
zakat
stategi
kelembagaan
respon pelayanan
potensi zakat
fungsi sosial zakat
fungsi zakat
solidaritas
keadilan sosial
kesejahteraan
pemerataan
keadilan sosial
keadilan sosial
pemberdayaan
modernisasi
modrnisasi
modernisasi
modernisasi
modernisasi
modernisasi
modernisasi
post-struktukral
Agama dan hukum
negara
Lembaha zakat
Donggala
Lapangan
Agama dan UU
Agama dan hukum
Agama
negara
Hukum agama dan
negara
H. agama, negara &
norma
Yayasan DD
Republika
Metode Penelitian
Norma agama, dan
hukum negera
Kelemabagaan
Zakat Jakarta
Lapangan
Pedekatan
Manajemen
Sosial ekonomi
Analisis
Kualitatif
Basis Kelembagaan
Negara
Kualitatif
Komunitas dan
negara
Manajemen
Kelembagaan
Modern
FOKUS KAJIAN
Landasan Etika
Landasan Teoritis
(Paradigma)
Landasan Normatif
METODOLOGI
Wilayah Penelitian
REKOMENDASI
Landasan Politik
Kuasa Kelembagaan
KESIMPULAN
Modern
Hukum agama dan Hukum Agama &
UU
UU
Negara
Negara
Ada 4 model
lembaga zakat
-negara,
-bisnis
-kemsyarakatan
- tradisional
BAZIS DKI
Jakarta
Lapangan
Ekonomi
kelembagaan
AHP
Baznas Jakarta
BAZIS DKI Jakarta Kebijakan
Lapangan
Lapangan
Data sekunder
Budaya dan Norma
sosial
Jambi dan Sumatera
Barat
Lapangan
Manajemen
Manajemen
Ekonomi manajemen
Sosiologis
kuantitatif
AHP
SWOT DAN AHP
Kuantitatif
Konstruktivis
Negara
Berbasis Negara
Negara
Negara
Civil Society
Jejaring Masjid
Modern
Modern
Modern
Modern
Modern
Hibrid
Dukungan negara
Civil Society
Civil Society
Ada hubungan
signifikan antara
Jenis kelamin, pendidikan, jenis usaha
dan total skim
(pembiayaan dari
zakat)
Komunitas
Hukum Agama
& UU
Negara
Hukum agama dan Reformasi Hukum
UU
dan UU
Negara
Negara
Negara
Skenario terbaik
Perlu adanya
Pelayanan Baznas BAZIS DKI Jakarta meningkatkan
keterlibatan
Strategi
tidak berpengaruh menghadapi empat realisasi potensi
masyarakat dan
Penyaluran
terhadap
kendala yaitu SDM, zakat adalah
Pemerintah
Bazis Jkt kurang
kepercayaan
sarana, anggaran reformasi
Daerah agar tujuan tepat sasaran
masyarakat
dan peraturan
perundangzakat optimal.
undangan
Undang-Undang
Konstruksi sosial
berdialetika dengan
Kuasa Pengetahuan
Pada tabel 2 dan 3 terlihat pemetaan kajian terdahulu tentang zakat dan
tatakelolanya. Pada tabel 2,
semua kajian yang berlevel disertasi dengan
wacana kajian yang menonjolkan tatakekola zakat pro negara. Pemetaan kajian
pada tabel tersebut, menitikberatkan perhatian pada fokus kajian, landasan
kajian, metodologi dan rekomendasi serta temuan. Fokus kajian menunjukkan
bahwa penumpukan ada pada kajian fungsi dan optimalisasi serta inovasi
kelembagaan zakat. Landasan kajian menekankan pada kajian normatif meski
sudah terlihat mencoba menyentuh aspek sosial dengan menonjolkan konsep
―keadilan sosial‖ di bawah paradigma modernisasi yang sangat strukturalis.
Pada tabel 3, kumpulan kajian tesis tentang wacana zakat bias negara dan
civil society. Kajian-kajian zakat pada tabel 3 menitikberatkan pada pembahasan
zakat dalam konteks kelembagaan yang melihat fungsi zakat, strategi
kelembagaan dan respon masyarakat. Landasan kajian kesemuanya berada di
bawah payung modernisasi dengan pendekatan ekonomi dan manajemen
kelembagaan. Rekomendasi ketatakelolaan zakat, pada tabel 3 terlihat
mengarah pada penekanan kuasa tatakelola oleh negara, dengan manajemen
modern di bawah legitimasi hukum negara. Akhirnya kajian-kajian tersebut
menyimpulkan bahwa dibutuhkan keterlibatan negara dan pemerintah yang
disertai dengan kebijakan peraturan yang jelas dan berkekuatan hukum untuk
mengoptimalkan manajemen dan fungsi serta capaian tujuan zakat, dan
mengabaikan kuasa pengetahuan yang bekerja dalam aras kognitif umat.
Semua kajian di atas belum ditemukan satupun yang menekankan kajian
pada konstruksi sosial zakat terkait dengan kuasa pengetahuan. Bagaimana
zakat dikonstruksi dan bagaimana pengetahuan menjadi sebuah kekuatan yang
mengarahkan wacana zakat, tindakan berzakat hingga tatakelolanya, belum
terlihat sama sekali. Kajian yang menekankan pada aspek sosial dengan
menggunakan pendekatan sosiologi juga belum tampak di sana. Memunculkan
wacana jejaring masjid sebagai sebuah kekuatan sosial luas dan mengakar
dalam budaya zakat dan tatakelolanya, juga tidak muncul dan terkesan
terlupakan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi ruang kosong tersebut
dengan mengangkat kajian tatakelola zakat dengan fokus kajian: Konstruksi
Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat, dengan memfokuskan kajian pada tiga
lembaga tatakelola zakat di Propinsi Jambi dan Sumatera Barat.
27
2.2. Pandangan Filosofis
Secara filosofis, zakat memiliki dua dimensi (As-Shiddiqie, 1991),
yaitu:
pertama, sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT sebagai konsekuensi
logis atas makhluk yang percaya kepada Allah dan menganut agama Islam. Maka
zakat di sini menjelma dalam tindakan sebagai kepatuhan, penyerahan, dan
pengabdian kepada Allah SWT sebagai pencipta (tindakan asketik), tanpa
dicampuri oleh pertimbangan-pertimbangan dan pilihan-pilihan yang bersifat
duniawi (Idris, 1997). Pemahaman kedua, sebagai ajaran menuju lahirnya
kepedulian kepada sesama (khususnya kepada yang lemah/mustahiqin), menjalin
hubungan saling membantu dan melindungi secara sosial, ekonomi dan politik.
Oleh sebab itu, maka zakat dipahami sebagai ibadah sosial dalam wujud tindakan
kemanusiaan yang oleh Idris (1997) diistilahkan dengan paradigma trasformatif.
Zakat sebagai perintah agama melembaga karena
religious ethics dan
kemanusiaan yang di dalamnya bekerja sistem rasionalitas. Dalam pandangan ini
kelembagaan zakat menjadi dinamis dan sarat dengan pertimbangan ilmiah
dengan dimensi-dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi (Syâtibi, tt).
Gambar 2 : Pertemuan Teologisme dan Sekularisme
Ruang Diskursus
Pemahaman pertama (dimensi spiritual) (Syâtibi, tt) atau dimensi normatif
merupakan perwujudan pemahaman zakat dalam ranah teologi atau epistemogi
teologisme dengan basis etik teosentrisme yang memandang manusia sebagai
makhluk yang harus tunduk kepada ajaran agama. Sementara pemahaman kedua
(dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi) merupakan perwujudan
28
pemahaman berbasis epistemologi sekularisme yang melihat manusia sebagai
makhluk yang cerdas dan ivonatif. Paham ini berbasis etika Antroposentrisme.
Pemahaman pertama melihat zakat sebagai ajaran agama yang harus dalam
kemurnian sebagaimana diterjemahkan nabi atas firman Tuhan, yang disabdakan
kepada umat manusia dalam konteks ukhrawi. Pemahaman kedua, melihat zakat
sebagai fenomena duniawi yang sarat dengan dimensi kemanusiaan dan
pembebasan. Pemahaman kedua ini kemudian berkembang sehingga zakat yang
tadinya berwawasan normatif, bergeser menjadi berwawasan ilmiah (Idris, 1997)
yang terbuka dengan wacana pembangunan, kemanusian, dan keadilan (Mas‘udi,
1993).
Zakat sebagai ajaran agama Islam, dalam konteks ibadah ke-Tuhan-an
(ilahiyah) merupakan perintah tetap dan menyejarah, namun dalam konteks
kemanusiaan (muamalah), zakat dipandang sebagai fenomena pembebasan dan
instrumen keadilan. Di sini pemahaman zakat sangat dinamis dan terbuka
terhadap perubahan dan perkembangan untuk kepentingan perwujudan keadilan
dan pembebasan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan dan ketidak
berdayaan (Qadir, 1998).
Berawal dari pemahaman zakat sebagai ibadah yang memiliki misi
kemanusiaan dan pembebasan, maka lahir pemikiran tentang transformasi zakat
pada ranah pengetahuan (Kontowijoyo, 1991, Mas‘ud, 1991 dan Idris, 1997).
Kelembagaan zakat tak lepas dari bagaimana sistem pengetahuan dan
rasionalitas bekerja membentuk konstruksi sosial zakat dan melembagakan dalam
praktek sosial. Zakat digerakkan oleh semangat spiritualitas dan humanitas dan
amat erat kaitannya dengan budaya berderma, makanya zakat selain sebagai
ibadah
berdimensi
teosentrisme
di
sana
juga
terkandung
dimensi
antroposentrisme, sehingga sinergis antara pengetahuan berbasis teologisme dan
pengetahuan berbasis sekularisme terbuka untuk saling merajut dalam wacana
tatakelola zakat.
Melembaganya zakat dalam praktek kehidupan sosial, secara politis dan
ekonomi merupakan potensi yang besar bagi berbagai kalangan, dan melihat
zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan. Potensi tersebut
merupakan salah satu pendorong munculnya wacana pemberdayaan berbasis
zakat dari berbagai kalangan: mulai dari akademisi, politis hingga pengusaha.
Mereka mencoba ikut bicara dan menawarkan formula masing-masing, hingga
29
kemudian mengerucut pada wacana zakat berbasis negara, berbasis industri dan
berbasis komunitas dan memunculkan zakat sebagai instrumen pemberdayaan
ekonomi, politik dan sosial.
Persoalan kemudian adalah bahwa manusia memang makhluk sosial yang
butuh interaksi, makhluk ekonomi yang tergantung dengan orang lain, namun pada
saat yang bersamaan juga sebagai makhluk penuh konflik (Ritzer, 2005), haus
kekuasaan dan tindakannya penuh persaingan (Weber) dan pertarungan (Marx).
Oleh sebab itu, maka ragamnya wacana zakat membuka peluang lahirnya konflik
antar-aktor, apalagi ketika zakat dilihat sebagai sumber daya potensial secara
politik dan ekonomi. Wacana zakat bisa terjebak dalam arena kontestasi dan
pertarungan untuk saling menguasai dan mendominasi antara satu dengan
lainnya, atau paling tidak saling berupaya mencapai kepentingan masing-masing
dan menegasikan yang lain. Akibatnya zakat akan lebih dipandang sebagai
sumber daya dalam konteks perwujudan tujuan sepihak, ketimbang sebagai
mekanisme distribusi kesejahteraan umat.
Zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan berbasis agama,
memandang kaum lemah pada posisi yang harus diperhatikan, hal ini memiliki
kemiripan dengan teori pembangunan alternatif yang menyuarakan elit tradisional
yang terancam terasing oleh industrialisasi (ideologi Marxisme) (Hettne, 2001: 27).
Pandangan ini menekankan implikasi etis dan estetis yang negatif dari sebuah
perubahan sosial yang sedang berlangsung dan meminggirkan masyarakat
tertentu. Marx pada karya awalnya menggambarkan bahaya keterasingan sebagai
akibat dari cara produksi kapitalis, dan Weber menyatakan bahwa rasionalisasi
masyarakat modern yang tidak dapat diubah, membuat masyarakat itu
menjemukan karena kehilangan pesona (entzauberung) (Weber, dalam Albrow,
2005). Hal yang sama dinyatakan oleh Nisbet (1980) bahwa keyakinan terhadap
kemajuan sulit diharapkan dalam suatu peradaban, karena di sana semakin
banyak kelompok yang
mengalami kebosanan
terhadap dunia, negara,
masyarakat dan bahkan terhadap diri sendiri (Nisbet, 1980).
Escobar
(1992)
melihat
pentingnya
refleksi
pembangunan
dengan
menekankan pada pendekatan grass root dan pendekatan politik alternatif untuk
dunia ketiga. Pendekatan model pembangunan yang menekankan pada
pembelaan, perlindungan dan pemberdayaan komunitas lokal (Pieterse, 1998),
untuk membangun diri sendiri berdasarkan kemampuan dan karakteristik budaya
30
lokal, yang sebelumnya dianggap oleh kaum kelompok modernis sebagai hal yang
tidak penting dan bahkan diangggap sebagai penghambat pembangunan. Maka
dalam upaya memberdayakan dan melindung masyarakat lokal muncul teori
pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development), berwawasan etnis
(etno-development), berwawasan budaya (culture-development), dan berwawasan
agama (religion-development).
Perkembangan pemahaman tentang sosok agama, sains dan negara
senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagamaan yang lahir belasan abad
lalu mengalami perkembangan karena zaman berubah, meski semula agama
diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, namun pada urutannya lembagalembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya
(Hidayat, 2006) dan mengalami persentuhan dengan sains modern. Persentuhan
antara agama dan sains terus berlanjut sebagai wujud kebutuhan
manusia
terhadap dunia spiritual dan material secara bersamaan. Ini merupakan upaya
pencarian untuk menemukan format yang tepat bagi pembangunan yang bisa
memposisikan kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan dalam usaha
mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dominasi.
Proses konstruksi sosial manusia terhadap agama, terus mengalami
perubahan sejalan dengan perkembangan pengetahuannya. Agama yang
semula hanya dicerna dalam kerangka teologisme, perlahan bergeser dan
dicerna dalam kerangka sekularisme. Agama yang tadinya hanya dilihat sebagai
ajaran wahyu yang statis dan lebih diwarnai dengan orientasi ketuhanan,
belakangan banyak diwarnai dengan orientasi kemanusiaan. Hal ini terlihat
dalam konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat dalam masyarakat,
yang memunculkan wacana tatakelola zakat yang didominasi gagasan
meningkatkan kesadaran berzakat menuju pemberdayaan masyarakat. Hal ini
merupakan satu gejala yang menunjukkan bahwa, benturan-benturan antara
agama dan sains yang pernah ada dalam sejarah perlahan melunak dan
semakin cair. Namun perlu disadari bahwa untuk Indonesia, masyarakat muslim
berasal dari ragam budaya dengan ragam kearifan lokal, yang tentunya di sana
ada banyak sistem pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja. Akibatnya
zakat sebagai ajaran agama, dikonstruksi oleh umat secara berbeda
berdasarkan rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja pada aras
gagasan dengan kepentingan yang berbeda. Maka upaya untuk mewujudkan
31
kehidupan bertuhan, beragama dan bernegara dalam satu gagasan pada
konteks zakat, agaknya perlu diperhatikan keragaman sistem pengetahuan dan
rasionalitas termasuk di dalamnya keragaman kepentingan terhadap zakat.
Memandang zakat sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi
pemberdayaan masyarakat, hendaklah dalam konteks keragaman budaya
(pengetahuan, dan sistem rasionalitas). Memaksakan satu gagasan utuh
terhadap suatu komunitas sama halnya meniadakan komunitas itu, apalagi kalau
kemudian disertai dengan justifikasi dan menyalahkan yang lain. Agaknya ini
merupakan keangkuhan, karena manusia hanya mencari kebenaran dan
kebenaran yang ditemukan tidaklah pernah ditemukan secara sempurna,
kebenaran sempurna hanya ada pada Tuhan dan manusia hanya berusaha
untuk benar dan belum tentu benar. Oleh sebab itu, maka biarkanlah umat
beragama dan berzakat sesuai dengan konstruksi yang mereka bangun dalam
gagasan, dan biarlah zakat dikelola sesuai dengan konstruksi sosial dan
pengetahuan serta budaya dengan kearifan-lokal (local-wisdom) masing-masing.
Bagaimanapun mekanisme yang penting adalah kesadaran dan pemahaman
bahwa zakat merupakan mekanisme distribusi kesejahteraan masyarakat yang
bertujuan mendekatkan hubungan kaum kaya dan miskin dalam relasi yang
saling memanusiakan dengan penuh kehangatan. Sehingga kebertuhanan,
keberagamaan, dan kebernegaraan mewujudkan kehidupan damai, sejahtera
dan bebas dari dominasi.
2.3. Pandangan Teoritis
Berangkat dari asumsi bahwa tiga model lembaga zakat dikonstruksi oleh
aktor-aktornya secara berbeda dengan basis pengetahuan, rasionalitas dan
kepentingan yang berbeda. Zakat dilihat sebagai sumber daya yang memiliki
potensi, baik potensi politik, sosial budaya, maupun ekonomi. Maka kehadiran
negara, industri dan komunitas dalam ruang tatakelola zakat, membuat ruang
zakat diwarnai oleh kemungkinan berbagai macam relasi. Relasi antara aktor dari
tiga entitas sosial bisa bersifat
dominasi, kooptasi, kerjasama atau relasi
kemitraan, atau bisa jadi berupa negosisasi atau transaksi yang bisa bermuara
pada bangunan relasi berbentuk interdependensi atau trans-dependensi.
Semua relasi tersebut tergantung bagaimana kuasa pengetahuan zakat
dikonstruksi oleh masyarakat. Karena konstruksi sosial zakat sangat dipengaruhi
32
oleh bagaimana rezim pengetahuan bekerja membangun pemahaman zakat dan
rezim pengetahuan apa yang dianggap memiliki kuasa membentuk wacana zakat
dan tatakelolanya. Untuk bisa menjelaskan konstruksi sosial kuasa pengetahuan
zakat, maka perlu membahas tentangan Pengetahuan, Rasionalitas dan
Kepentingan dalam Tatakelola Zakat. Oleh karena itu diperlukan beberapa
landasan
teori
yang
mampu
membantu
menjelaskan,
menganalisa
dan
membongkar realitas di balik hadirnya wacana tatakelola zakat berbasis negara,
industri dan komunitas.
2.3.1. Konstruksi Sosial (Social Construction) atas Realitas
Peter L Berger adalah salah seorang sosiolog yang konsen bicara tentang
konstruksi sosial atas realitas. Gagasan Berger terlihat humanis (mengikuti
Weber dan Schutz) mudah diterima, mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan
konflik (dialektika Marx). Berger cenderung tidak melibatkan pertentangan antar
paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan
Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada historisitas.
Benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz)
yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan
subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang
terus berdialektika (Marx).
Berger dan Luchmann (1990) dalam bukunya yang berjudul; Konstruksi
Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, secara
tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik.
Hal ini senada dengan Poloma (1994) yang menempatkan teori konstruksi sosial
Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Tetapi Berger dan Luchmann
tidak menolak kekuatan struktur terhadap aktivitas manusia. Oleh karena itu
Berger dan Luchmann dianggap oleh Douglas dan Johnson sebagai Durkheimian
dan memberikan justifikasi pada gagasan (Samuel, 1993).
Beberapa tokoh yang mewarnai pemikiran sosiologi Berger adalah Max
Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead.
Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya tentang makna subyektif yang tak
bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala kemanusiaan. Dalam hubungan dialektik
antara masyarakat dan individu, Berger meminjam gagasan Marx. Sedangkan
masyarakat sebagai realitas obyektif–yang mempunyai kekuatan memaksa,
33
sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz lebih
mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan seharihari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, Mead menjadi
rujukan Berger (Poloma, 1994).
Teori
Berger
mendefinisi
pengetahuan, dengan
ulang
hakekat
dan
peranan
sosiologi
mendefinisikan kembali pengertian ―kenyataan‖ dan
―pengetahuan‖ dalam konteks sosial. Sosiologi menurutnya, harus mampu
menjelaskan dan memahami bagaimana kehidupan masyarakat itu terbentuk
dalam proses-proses yang terus-menerus, yang ditemukan dalam pengalaman
bermasyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, maka perhatian terarah pada bentukbentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh
dengan segala aspeknya (kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif).
Kenyataan sosial tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara
sosial lewat berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, dan
bekerja sama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial. Kenyataan sosial,
ditemukan dalam pengalaman intersubjektif (intersubjektivitas).
Lewat intersubjektivitas itu dapat dijelaskan bagaimana kehidupan
masyarakat tertentu dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubjektivitas
menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam
suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Berger
dan Luchmann (1990) memandang
masyarakat sebagai proses yang
berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi, serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif
dan normatif. Kenyataan sosial oleh Berger dan Luchmann, merupakan suatu
konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari
masa silam ke masa kini dan menuju masa depan.
Kehidupan sehari-hari menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus
pengetahuan
yang
membimbing
perilaku
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas objektif yang ditafsirkan oleh
individu, atau memiliki makna-makna subjektif. Pada sisi yang lain, kehidupan
sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan
tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu ‘yang nyata‘ oleh pikiran dan
tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan
(objektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subjektif dan
34
membentuk dunia akal-sehat intersubjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 29).
Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh
individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal
dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang,
karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya
menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan
konstruksi
sosial.
Konstruksi
sosial
merupakan
produk
manusia
yang
berlangsung terus menerus, sebagai keharusan antropologis yang berasal dari
biologis manusia. Konstruksi sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni;
pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam
aktivitas fisik maupun mentalnya (Berger dan Luchmann, 1990).
Masyarakat sebagai realitas objektif menyiratkan pelembagaan di
dalamnya.
Proses pelembagaan
(institusionalisasi)
diawali oleh
momen
eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang, yang kemudian menghasilkan
pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan
pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke
generasi sesudahnya melalui bahasa. Di sinilah terdapat peranan di dalam
konstruksi kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian
pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Peranan mempresentasikan
konstruksi kelembagaan; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri.
Pentradisian
sengaja dihadirkan, diformat, diinstitusionalisasikan, diritualkan,
dan dikonstruksi kembali untuk kepentingan tertentu sebagai bagian dari
pelegitimasian suatu perilaku sosial. Karena, masyarakat sebagai realitas objektif
juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan objektivasi makna
tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan
normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan, tetapi juga nilai-nilai.
Legitimasi berfungsi untuk membuat objektivasi yang sudah melembaga menjadi
masuk akal secara subjektif.
Masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas
objektif ditafsir secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsir itulah
berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia
untuk ―mengambil alih‖ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi
berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder.
35
Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang
lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut,
individu pun bukan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari
itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah,
individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah
masyarakat.
Menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan perlu ada
sebuah universum simbolik. Universum simbolik ini menduduki hierarki yang
tinggi, menunjukkan bahwa semua realitas memiliki makna bagi individu dan
individu bertindak sesuai dengan makna. Agar individu mematuhi makna itu,
maka organisasi sosial diperlukan sebagai pemelihara universum simbolik. Maka,
dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum
simbolik. Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan,
pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan
kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun
universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk
melegitimasi organisasi sosial. Proses ‖legitimasi lembaga sosial‖ menuju
‖lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi‖ terus berlangsung secara dialektik
dan ini berdampak pada perubahan sosial.
2.3.2. Pengetahuan dan Kekuasaan
Foucault (1980) adalah orang yang paling konsen berbicara tentang
hubungan pengetahuan dan kekuasaan, dan menyatakan bahwa pengetahuan
adalah kekuasaan. Dalam The Archaeology of Knowledge, konsep discourse
sebagai
gambaran
bagaimana
pengetahuan
bekerja
sebagai
kumpulan
pernyataan. Konsep discourse yang dimunculkan oleh Foucault dalam beberapa
tulisannya berada pada tema sentral yang disebutnya dengan énconcé (statemen).
Statemen yang dimaksud oleh Foucault, memiliki kemiripan dengan speech act
yang pernah dikemukan oleh Jon Austin (1962) dan John Searle (1979). Statmenstatmen yang terlontar pada dasarnya akan memberikan pengaruh sosial dan
pada gilirannya akan menjadi sebuah pengetahuan yang tersebar dan membuat
orang lain mengikutinya (Dreyfus and Rabinow, 1982).
36
Diskursus sebagai ide pokok dalam pemikiran Foucault, dipahami sebagai
penjelasan, pendifinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang,
pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran. Diskursus tidak terlepas dari relasi
kekuasaan, dan bertaut dengan pengetahuan. Oleh karenanya, Foucault berfikir
dan mengakui kalau kekuasaan tersebar di mana-mana dan datang dari manamana. Berbeda dengan Marx yang melihat kekuasaan hanya ada pada negara
(Haryatmoko, 2002). Konsep diskursus juga memberikan jalan pemikiran tentang
kebudayaan dan kekuasaan yang bebas dari kungkungan intelektual yang
berkaitan dengan ideologi.
Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktek-perktek yang
menghasilkan pernyataan-penyataan (statemen) yang bermakna pada satu
rentang sejarah tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme
pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan
profesionalisme. Diskursus mengisolasi, mendifinisikan dan memproduksi objek
pengetahuan yang sekaligus merupakan sebuah undang-undang sosial yang
menetapkan
aturan
tentang
tata
cara
yang
dapat
diterima
dalam
memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu.
Hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya
saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan
tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan . Subjek yang
mengetahui, objek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus
dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau
kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005).
Dengan demikian maka pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan
erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan
merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan
berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa
kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980).
Untuk
mengetahui
kekuasaan
dibutuhkan
penelitian
mengenai
produksi
pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun,
dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu.
Kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra
(2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan,
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan-
37
pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena
mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang
kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain
memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut
oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep
kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan
kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang
dikuasai.
Kekuasaan (power), oleh Adams (1977) dilihat dalam kerangka kemampuan
seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambilan
keputusan melalui kendali. Wolf (2001) menambahkan bahwa kekuasaan yang
disadari oleh kemampuan pelaku untuk mempengaruhi dan mengendalikan pelaku
lain, adalah kekuasaan taktis (tactical power) atau kekuasaan terorganisir
(organizational power). Kekuasaan model ini mengakibatkan pelaku lain terbatas
untuk
bertindak
sesuai
keadaan
yang
sudah
ditetapkan.
Hubungan
kekuatan/kekuasaan antar pelaku oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977)
dibedakan menjadi kekuasaan bebas (independent power) dan kekuasaan terikat
(dependent power).
Kekuasaan bebas merupakan hubungan dominasi berdasarkan atas
kemampuan dan pengendalian secara langsung oleh pelaku, sementara
kekuasaan terikat merupakan pelimpahan hak kekuasaan kepada orang untuk
membuat keputusan untuknya. Jenis kekuasaan kedua oleh Adam dan Raymond
D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu: Kekuasaan yang
dihibahkan (power granting), kekuasaan yang dialokasikan (power allocation), dan
pendelegasian kekuasaan (power delegation). Pada tiga jenis kekuasaan terakhir,
pelaku yang sedang melakukan kontrol kekuasaan tetap terlibat dalam setiap
proses pelaksanaan kekuasaan.
Hubungan-hubungan kekuasaan dalam perspektif Adam (1973), Bourdieu
(1979), dan Suparlan (2004), dilihat sebagai kekuasaan yang terjadi antara pelaku,
dan ditambah oleh Giddens (1984) dalam setiap ruang dan waktu. Kekuasaan oleh
Giddens (1984) merupakan kemampuan untuk mencapai hasil, bersifat dinamis,
dan dalam bekerjanya kekuasaan, ada struktur yang mendominasi dalam proses
reproduksi sosial. Struktur yang dimaksud Giddens (2003) terwujud dalam tiga
gugus yang saling terkait yaitu: pertama, struktur penanda (signification) yang
38
menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua,
struktur
penguasaan/dominasi
(domination),
yang
menyangkut
skemata
penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi). Ketiga, struktur
pembenaran/legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif
yang terungkap dalam hukum.
Menurut Giddens (1984 dan 2003), bahwa dalam ilmu sosial melihat
kekuasaan cenderung mencerminkan dualisme subjek dan objek. Makanya
kekuasaan seringkali didefinisikan berdasarkan tujuan atau kemauan, yakni
sebagai kemampuan mencapai hasil yang diinginkan dan dimaksudkan.
Sebaliknya Foucault (1984, 2002), memandang kekuasaan sebagai milik
masyarakat atau komunitas, dan tersebar di mana-mana di tengah-tengah
masyarakat. Sementara Marx (dalam Giddens, 1993) melihat kekuasaan selalu
terkait dengan ekonomi sebagai sebab lahirnya perbedaan kelas (proletar dan
borjuis), dan itu terlihat pada ―means of production”. Kekuasan diletakkan pada
kepemilikan alat-alat produksi, mulai dari sistem ekonomi feodalisme hingga
kapitalisme. Kemudian Weber (dalam (Giddens, 1993), pada sisi yang agak
berbeda, melihat kekuasaan tidak hanya ada pada kekuatan ekonomi semata,
tapi memasukkan unsur status dan partai (status and party). Jadi kekuasaan
menurut Weber bisa karena motif ekonomi dan juga motif lain, yang disebutnya
dengan prestise.
Meski pandangan Marx dan Weber berbeda tentang kekuasaan, namun
keduanya memiliki kesamaan pandang tentang pentingnya kekuasaan dalam
pengaturan kehidupan manusia sekaligus peradaban, sehingga orang selalu
terdorong untuk mencari kekuasaan dan memanfaatkan berbagai cara yang paling
efektif dan efisien untuk memperoleh kekuasaan. Salah satu cara yang paling
menonjol adalah, mengakumulasi potensi atau sumber daya yang dianggap
mempu membukakan jalan bagi perolehan kekuasaan. Namun karena terbatasnya
sumber daya potensial yang bisa memberikan peluang besar bagi perolehan
kekuasaan,
menyebabkan
seringkali terjadi perebutan,
pertikaian
hingga
pertarungan dalam proses upaya menguasai sumber-sumber potensial.
Kekuasaan bagi
Foucault (1980, 2002), merupakan dimensi kehidupan
sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami
transformasi sejalan dengan sejarah (Ritzer, 2005), mengalami perubahan dari
waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda. Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah
39
sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih merupakan strategi, sehingga
kekuasaan merupakan praktek yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu
yang di dalamnya ada banyak posisi yang terus mengalami pergeseran.
Kekuasaan bukan datang dari luar, akan tetapi menentukan susunan, aturanaturan dan hubungan-hubungan dari dalam. Kekuasaan selalu bertautan dengan
pengetahuan dan memproduksi pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang
kemudian membangun kekuasaan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan
tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Pernyataan ini menujukkan bahwa ada
korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, artinya bahwa pengetahuan
mengandung kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan mengandung pengetahuan.
Konsep terpenting Foucault
terkait dengan kekuasaan adalah
the
constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan
konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga ke konsep the concept of
govermentality, yang mengarah ada organisasi admisnitratif yang dibentuk untuk
mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang
diskursus, teknologi, pengawasan terait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan
Putranto, 2005). Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui
hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada
fenomena kelembagaan zakat formal dan informal, modern dan tradisional,
berbasis negara dan komunitas, yang ujung-ujungnya adalah penguasaan atas
wacana. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku
dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai bentuk restriksi.
Dengan demikian, model yang satu menjadi layak untuk mengalahkan dan
menguasai yang lainnya dengan alasan-alasan rasionalitas subjektif yang
dibangun melalui wacana, mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya
yang di dominasi oleh kelompok yang mendominasi arena pertarungan.
Strategi kuasa terjelma sebagai aparat, artinya mengasumsikan adanya
persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah
tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan
demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan
dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi
dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi
kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu
(Foucault, 2002).
40
Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada
dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan
manusia dalam masyarakat, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur
kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum
dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan
menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif
berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa
dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama
melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen, dan
bangunan
wacana.
Kegiatan-kegiatan
yang
di
atas-namakan
keilmiahan
membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran
itu membentuk individu.
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu
himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan
hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian
mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa
konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep
abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacanawacana yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (Eriyanto, 2001).
2.3.3. Wewenang (Authority)
Otoritas atau wewenang erat hubungannya dengan kekuasaan (power),
karena dengan wewenang maka orang mempunyai hak untuk melakukan dan
menetapkan sesuatu. Wewenang atau otoritas menekankan pada unsur hak,
bukan pada kekuasaanya, meskipun kekuasaan dan wewenang tidak dapat
dipisahkan. Wewenang merupakan suatu kekuatan yang sah untuk menjalankan
kekuasaan. Dalam pandangan Weber (1978), wewenang (authority) dikaitkan
dengan legitimasi, yang kemudian membagi otoritas menjadi tiga jenis, yaitu:
pertama, otoritas tradisional (traditional authority), jenis otoritas ini bersumber dari
budaya (custom)
sehingga otoritas lebih merupakan pelimpahan kekuasaan
berbasis budaya dan tradisi yang diwariskan dengan legitimasi tradisi. Kedua,
orotiras kharismatik (charismatic authority),
jenis ini merupakan otoritas yang
bersumber dari pengakuan orang atas keistimewaan seseorang (yang dianggap
luar biasa) sehingga ia dipatuhi, dan ini sangat peribadi sifatnya. Ketiga, otoritas
41
legal rasional (rational-legal authority), merupakan otoritas yang bersumber dari
aturan formal (hukum). Jenis otoritas inilah yang dimaksud oleh Weber ketika
membahas otoritas birokrasi (bureaucratic authority).
Otoritas rasional atau legal merupakan otoritas yang diperoleh seseorang
dengan batasan-batasan hukum formal yang berlaku. Ketika Otoritas tersebut
diterima oleh seseorang, maka otoritas tadi melekat dalam diri orang yang menjadi
pemimpin atau penguasa dan dengan otoritasnya ia menjalankan kekuasaan.
Orang lain mematuhi penguasa atas dasar kekuatan norma-norma hukum. Oleh
Weber kemudian dikatakan bahwa kekuasaan itu bisa berbentuk kekuasaan
ekonomi, kekuasaan politik, dan kekuasaan agama atau norma.
Makanya
kepatuhan orang terhadap kekuasaan dilandasi oleh tujuan yang bisa bersifat
ekonomi, politik dan juga agama.
2.3.4. Negara dan Kekuasaan: Pergulatan Kaum Elit.
Relasi segitiga antara negara, civil society dan industri swasta (kapitalis)
dalam
sejarah
menujukkan
berbagai
model.
Marx
misalnya
cenderung
memposisikan negara dan pihak kapitalis pada posisi yang sama dan berlawanan
dengan civil society, dan di sana ia menunjukkan bahwa kapitalis bersama-sama
negara selalu menduduki posisi superior (borjuis) dan civil society selalu pada
posisi inverior (proletar) (Ritzer, 2005).
Weber pada sisi lain melihat antara negara dan kapitalis pada posisi yang
berbeda dan masing-masing punya kepentingan. Dengan demikian bahwa tiga
entitas sosial (negara, kapitalis dan civil society) selalu pada posisi yang
berlawanan. Perlawanan itu secara empiris terlihat nyata, di balik negara dan
industri ada aktor-aktor individual yang menjalankan roda organisasi, sehingga
kalau melihat fenomena benturan-benturan kepentingan di mana negara dan
industri diletakkan pada satu sisi dan pada sisi yang lain ada civil society, maka
sebenarnya yang lebih nyata adalah adanya sekelompok aktor yang menghegemoni masyarakat untuk menguasai potensi-potensi politik, sosial dan ekonomi
yang melekat dalam dunia khalayak.
Negara bagi Weber (dalam Greth dan Mills, 1974) merupakan lembaga yang
memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.
Weber menunjukkan betapa sebuah negara memiliki kekuasaan yang sangat
besar untuk mengatur, merubah dan bahkan memaksakan kehendaknya. Plato
dan Aristoteles melihat negara memerlukan kekuasaan yang mutlak dan
42
kekuasaan itu untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional.
Pada zaman pertengahan, pandangan negara dan kekuasaan mengalami
perubahan, di mana pemikir ketika itu menyatakan bahwa negara harus tunduk
dengan Gereja, dan Gereja adalah wakil Tuhan yang menegakkan kehidupan
moral dunia (Martin, 1993).
Hobbes (dalam Budiman, 1996), melihat pentingnya kekuasaan negara
karena pertimbangan warganya, karena jika tidak, warga akan saling bertarung
dan memperjuangkan kepentingan masing-masing. Di sini
negara dianggap
sebagai wakil dari kepentingan publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili
kepentingan pribadi dan kelompok. Pandangan Hobbes (1588-1679) ini berawal
dari kondisi politik yang sedang terlibat perang saudara, sehingga pada saat itu
dibutuhkan kekuasaan negara yang sangat besar yang diwakili oleh seorang raja
yang berkuasa mutlak dan individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya
kepentinganya, keamanannya, dan perdamaian jangka panjang dapat terjamin.
Negara yang seperti inilah yang oleh Hobbes dinamai dengan leviathan.
Hegel dalam filsafat dialektikanya, berpendapat bahwa sejarah manusia
merupakan proses dari sebuah ide yang universal yang sedang merealisasikan
atau mengaktualisasikan dirinya. Ide dasar tersebut dapat disamakan dengan ide
Tuhan dalam menciptakan umat manusia yang tidak menjelma dalam waktu
singkat. Ide tersebut berperoses dengan apa yang dinamakan sejarah (Heidegger,
1989 dan 2002). Penghujung sebuah proses sejarah adalah menjelmanya ide
universal menjadi sebuah kenyataan dengan terbentuknya masyarakat ideal.
Bebeda dengan Hegel, Marx melihat sejarah adalah menuju terciptanya
masyarakat sosialis, bukan masyarakat ideal demokratis. Mengikuti Hegel, Marx
melihat sejarah manusia sebagai sejarah pertentangan kelas (borjuis dan proletar,
yang ditandai dengan hubungan eksploitatif) yang secara tidak langsung
mencerminkan dalam pembagian kerja, karena kepentingan antara penguasa dan
yang dikuasai. Pembagian kerja selalu diwarnai oleh konflik dan sering
menimbulkan perjuangan kelas6. Inilah yang menurut Marx sebagai motor utama
penggerak perkembangan sejarah (Giddens, 1987).
Menyangkut keberpihakan negara, Hobbes (dalam Budiman, 1996) melihat
bahwa keberpihakan negara berada pada kepentingan warga, dan di sinilah letak
perolehan kekuasaan negara mutlak. Oleh sebab itu menurut pandangan kaum
6
Kelas oleh Ferguson (1967) dan Millar digunakan semata-mata untuk membedakan strata sosial (kekayaan
dan kedudukan), Adam Smith menujukkan kelas miskin, dan Ricardo dan Ure, Sain Simon dan Fourier, apalagi
Marx dan Engel digunakan untuk menyatakan kelompok kaya dan miskin (kelas borjuis dan proletar)
(Dahrendorf, 1986: 4).
43
pluralis, negara itu netral
dengan persyaratan demokrasi. Kekuasaan politik
menurut kaum pluralis tidak boleh berada di tangan negara, tetapi berada di
tangan rakyat. Kekuasaan negara yang mutlak ditolak di sini, maka jika negara
ingin kuat dan di dukung oleh rakyat, maka harus memihak pada kepentingan
semua kelompok secara sama.
Bagi kaum Marxis, keberpihakan negara selalu berada pada kelas borjuis
secara menyeluruh dan mengenyampingkan kelas proletar. Kekuasaan negara
diabadikan untuk kepentingan kelas borjuis dan terus memperkuat kekuasaanya
dengan mengeksploitasi kaum proletar. Bahkan lebih jauh kaum Marxis
menganggap bahwa negara selalu menjadi alat dari kelas yang berkuasa. Sejalan
dengan itu, Mills (1974) yang dikutip oleh Budiman (1996:61) menyatakan bahwa
meskipun masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang pluralistis, namun
kelompok elit penguasa selalu datang dari kelompok masyarakat tertentu. Karena
itu, masyarakat akan selalu berusaha menciptakan negara yang kuasai oleh kaum
proletar (buruh) untuk membentuk masyarakat komunis.
Antonio Gramsci, Nicos Poulantzas, dan Ralph Miliband, melihat bahwa
negara melingkupi aparat-aparat individu dan organsiasi sosial lainnya yang
berada di luar negara. Oleh Garamsci (dalam Budiman, 1992) menjelaskan bahwa
negara tidak hanya mencakup unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif,
legislatif dan yudikatif) dan aparat pertahanan dan keamanan, namun juga
termasuk lembaga non-pemerintah atau organisasi politik, ekonomi, dan kultural
yang bisa menjadi sarana negara untuk menghegemoni. Makanya Poulantzas,
melihat negara sebagai wilayah berlangsungnya pergulatan politik antara kelas
(ekonomi, politik, dan ideologi), termasuk antar pejabat pemerintah. Selain negara
sebagai institusi kekuasaan yang mencerminkan relasi sosial yang sangat
kompleks, di sana juga tercermin struktur perjuangan kelas yang menghasilkan
dominasi kelas tertentu atas kelas lainnya. Negara adalah institusi yang relatif
mandiri, baik dalam menjalankan kebijakan maupun ketika mengamankan
kepentingannya terhadap tuntutan masyarakat (Culla, 2006).
Ragam teori tentang negara dan kekuasaan serta keberpihakannya, jika
dicermati kesemuanya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu:
a.
Teori yang menekankan negara sebagai lembaga yang mandiri dan punya
kepentingan dan kemauan sendiri. Teori ini dicetuskan oleh Hegel yang
kemudian dikenal dengan teori negara organis.
b.
Teori yang menyatakan bahwa negara bukan sebuah negara yang mandiri.
Kebijakan negara dihasilkan dan ditentukan oleh faktor eksternal. Negara
44
hanya sekedar arena kekuatan-kekuatan sosial tempat orang membangun
kekuasaan dan saling bertanding untuk menguasai.
Perkembangan berikut adalah adanya kecenderungan untuk mengebiri
kekuasaan yang berada di tangan negara, munculnya kekuatan eksternal berupa
kekuatan civil society, yang terus berusaha mengembangkan pemikirannya dan
memperjuangkan kekuatan di luar negara sebagai kekuatan penyeimbangan
kekuatan negara. Kekuatan civil society ini memperjuangkan hak-hak rakyat
secara umum, maupun komunitas dengan berusaha mengurangi kekuasaan
negara terhadap rakyat dan komunitas.
Fenomena ragamnya kelembagaan zakat, yang mencuat di permukaan,
merupakan salah satu contoh menarik dari perjuangan civil society. Meski
memang di sana ada dua kelompok besar yang selalu berbenturan gagasan dan
bahkan aksi, yaitu kelompok yang menolak campur tangan negara terhadap hak
tata kelola zakat dan berusaha mengelola sendiri dengan kelembagaan kultural
berbasis kekuasaan komunitas, berlawanan dengan kelompok yang mendukung
dan memperjuangkan agar kelembagaan zakat berada dalam penguasaan dan
pengaturan negara.
2.3.5. Kapitalisme dan Kekuasaan
Kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi, berbeda dengan sistem feodal
yang
mengedepankan
kepemilikan
modal
pribadi.
Kapitalisme
lebih
mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi pasar dalam organisasi
produksi. Rasionalitas di sini bermakna mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi
secara teknis untuk mencapai tujuan tertentu, dan pasar adalah metode yang
efektif untuk mencapai tujuan, melalui praktek tukar menukar yang diwarnai
dengan persaingan (Martin, 1993: 193). Faktor-faktor produksi dialokasikan sesuai
dengan prinsip pencarian keuntungan maksimal (utility maximization), tenaga kerja
harus menguntungkan, segala sumberdaya dimanfaatkan dengan maksimal
dengan tujuan utama ulititiy maximize. Maka mempertahankan kohesi sosial atau
malah mempertahankan keadaan krisis demi perolehan profit, merupakan hal yang
wajar dan rasional dalam dunia kapitalisme.
Kekuasaan dalam dunia kapitalisme bekerja dan menyebar dalam wilayah
yang luas. Pada wilayah sumber-sumber produksi dan alat-alat produksi,
kekuasaan atas alat dan sumber produksi menjadi sentral bagi perolehan
keuntungan ekonomis. Makanya kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam
45
kapitalisme, menjadi satu rajutan yang sulit untuk diurai, karena di sana ekonomi
dan kekuasaan menjadi dua sisi yang saling merajut dengan kuat, sulit untuk
dipilah mana yang melahirkan dan mana yang dilahirkan. Walau secara historis
perwajahan kapitalisme yang lebih menonjolkan adalah aspek ekonominya, namun
belakangan menjadi simpang siur antara kekuasaan dan ekonomi, di mana
keduanya saling melahirkan. Perjuangan kuasa atas sumber-sumber ekonomi dan
alat-alat produksi mewarnai perkembangan kapitalisme modern dewasa ini,
sehingga segala sumber-sumber yang mempu memberikan peluang ekonomi
yang besar serta merta menjadi perhatian untuk dikuasai. Fenomena ini
merambah masuk ke segala wilayah kehidupan, mulai dari wilayah politik, sosial
budaya dan bahkan agama.
Secara internal, hubungan-hubungan hierarkis dalam industri kapitalis lebih
sederhana dan sekaligus kompleks dibanding dengan hubungan-hubungan
hierarkis dalam pertanian feodal (lebih sederhana karena inklusif dan lebih
kompleks karena semakin kompleksnya hubungan pembagian kerja). Pola
hubungan di antara aneka ragam struktur dalam masyarakat industri kapitalis
berlangsung satu alur, yaitu hubungan langsung, namun hubungan tersebut
mengembangkan satu alur yang kompleks (pembagian kerja yang lebih kompleks).
Kompleksnya hubungan dalam industri kapitalis tergambar ketika melihat relasirelasi kuasa yang terjalin dalam berbagai strukturnya, yaitu: antar manajer, antara
menajer dengan pekerja, dan antara berbagai kelompok pekerja.
Bangungan hubungan eksternal yang terkait dengan sistem internal, terlihat
dalam bangunan hubungan dengan pihak-pihak luas, yaitu antara komunitas
industri (manajer, pekerja dan organisasi pekerja) dengan komunitas di sekeliling
industri. Bangunan hubungan semacam ini, dewasa ini menjadi fenomena yang
mencuat (meski bukan barang baru) dan menjadi perhatian banyak pihak, yang
salah satunya berwujud dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR), yang
di dalamnya terdapat berbagai upaya mendekati masyarakat di luar industri
sebagai
pertanggung-jawaban
sosial
korporasi
terhadap
lingkungan
dan
komunitas. Di sana secara bersamaan memainkan berbagai model bangunan
relasi yang diwarnai oleh kuasa dan dominasi, yang dikemas dalam satu kemasan
pertanggungjawaban sosial, kesetiakawanan sosial hingga pemberdayaan yang
entah murni untuk komunitas ataukah untuk keuntungan industri.
Sudah menjadi wataknya sejak lahir bahwa kaum aktor industri dalam dunia
kapitalisme haus akan penguasaan sumber-sumber produksi, sehingga apapun
sumberdaya yang menurut mereka memiliki potensi ekonomi atau bisa
46
mengamankan produksi, akan selalu ingin dikuasai secara sepihak demi
kelanggengan produksi. Tampilnya aktor industri dalam wacana dan gerakan
sadar zakat dengan membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ), bisa terbaca sebagai
fenomena sosial yang penampakannya sarat dengan gerakan kepedulian sosial
yang humanis, namun dibalik itu juga bisa terbaca sebagai strategi penguasaan
dan upaya pengutasan ekonomi.
Hadirnya aktor industri ikut angkat bicara dalam wacana dan aksi
kelembagaan zakat dan membentuk lembaga amil zakat sendiri, merupakan
fenomena yang menunjukkan kalau zakat telah dilirik dan dilihat sebagai sebuah
sumber daya atau malah komoditi yang memiliki potensi yang sangat berharga
secara ekonomi dalam dunia bisnis. Berbagai potensi (potensi ekonomi zakat,
potensi politik maupun potensi sosial) zakat dilihat dalam konteks bisnis.
Fenomena ini merupakan gejala yang mencoba membawa zakat ke arena pasar
dan menjadikannya sebagai komoditas pasar. Jika ini yang terjadi maka sama
halnya telah mengiring kelembagaan zakat ke ruang utilitarian yang didasari oleh
rasionalitas ekonomi dengan prinsip utility maximize.
2.3.6. Civil Society: Kemandirian dan Pemberdayaan.
Wacana Civil Society, sesungguhnya mengalami banyak polemik, terutama
oleh keragaman konseptual dan interpretasi yang diberikan oleh para ahli (Cohen
dan Arato: 1992). Civil society sebagai wilayah interaksi sosial yang mencakup
semua kelompok sosial, melingkupi rumah tangga, perkumpulan sukarela, gerakan
kemasyarakatan dan wadah-wadah komunikasi publik yang diciptakan melalui
mobilitas diri secara independen, baik dalam hal kelembagaan maupun kegiatan
(Culla, 2006). Andre Gorz mengartikan Civil Society sebagai jaringan hubungan
sosial yang dibangun orang per-orang, di antara mereka sendiri dalam konteks
kelompok atau komunitas, terlepas dari otoritas lembaga negara, yang oleh Ernes
Gellner (1995) melihat sebagai institusi non-pemerintah yang cukup kuat
mengimbangi negara. Relasi dibangun atas dasar kerelaan ketimbang atas dasar
kewajiban yuridis (Aditjondro, 1997). Diamon (1994) mendefinisikan civil society
sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting),
dan kemandirian (outonomy) yang tinggi saat berhadapan dengan negara dan
memiliki keterkaitan dengan norma yang dipatuhi dengan taat (Culla, 2006).
47
Pada sisi yang berbeda Gramsci (dalam Budiman, 1992), mendefinisikan civil
society sebagai sekumpulan organisme ―privat‖ yang berbeda dengan negara
yang oleh Gramsci disebut dengan political society. Civil society menurut Gramsci
merupakan wilayah institusi privat yang meliputi Gereja, serikat pekerja, dan
lembaga pendidikan (Gramsci, 1971 dalam Sparingga, 1997). Selanjutnyan oleh
Michael van Langenberg, memaknai civil society sebagai wilayah yang terdiri dari
kelompok-kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, partai politik,
organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, komunitas lokal,
keluarga, dan kumpulan kekerabatan.
Konsep civil society menggambarkan bekerjanya anggota masyarakat
secara bersama-sama dalam membina ikatan-ikatan sosial di luar lembaga resmi
untuk menggalang solidaritas kemanusiaan, mengejar kebaikan bersama (public
good), yang dilandasi oleh prinsip-prinsip egalitarianisme inklusif yang bersifat
universal. Di sana diwarnai oleh usaha membangun kreativitas serta upaya untuk
mengatur dan memobilisasi diri mereka sendiri tanpa melibatkan negara secara
nyata. Wacana Civil Society yang berasal dari Barat tersebut pada gilirannya
merambah masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1980-an dan akhir tahun 1990-an
dalam realitas berbeda dengan negara asalnya. Kehadirannya terkadang dianggap
barang jadi dan tak jarang dipahami sendiri dalam konteks ke-Indonesiaan. Wujud
dari gerakan civil society di Indonesia secara historis bukanlah barang baru, hal ini
tampak dalam berbagai gerakan perjuangan masyarakat yang menentang
kekuasaan otoriter yang menindas rakyat pada masa-masa kerajaan dan
penjajahan (Rahardjo, 1999:309), meski jika dielaborasi lebih jauh akan ditemukan
variasi aksi yang berbeda.
Gerakan civil society di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru (19661998) mengalami kebekuan dan kesulitan mengaktualisasikan peranannya
sebagaimana mestinya, dan baru kemudian bisa mendapatkan ruang sampai
berakhirnya kekuasaan orde baru dan memasuki orde reformasi. Hal ini ditandai
dengan menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), partai politik dan
bahkan gerakan-gerakan keagamaanpun turut hadir dalam kancah gerakan civil
society. Yang paling menarik dalam kontek ini adalah adanya fenomena
memunculkan wacana-wacana keagamaan dalam ruang perjuangan civil society.
Perjuangan
kemandirian
ekonomi
dan
pemberdayaan
misalnya,
memuncukan wacana zakat sebagai wahana pemberdayaan masyarakat lemah,
dan wacana di sini kemudian diakomodir dalam berbagi level yang bukan hanya
gerakan civil society, tapi juga oleh negara, dan bahkan oleh kapitalis/bisnis
48
swasta. Hingga seakan isu pemberdayaan masyarakat lemah menjadi wacana
dan bahkan perebutan antara negara, civil society dan kapitalis. Konsep
pemberdayaan yang sebelumnya hanya muncul dalam wacana gerakan civil
society, mendadak menjadi wacana publik yang tidak asing lagi dalam ruang
wilayah negara dan kapitalis, dan merupakan fenomena yang agak mengejutkan.
Gerakan civil society terkait dengan kelembagaan zakat, terlihat dari
fenomena kelembagaan zakat berbasis budaya lokal dan komunitas pedesaan di
bawah
naungan
kelembagaan
surau,
langgar,
masjid
dan
pesantren.
Kelembagaan semacam ini oleh masyarakat pedesaan merupakan bagian dari
struktur kelembagaan desa yang terbangun dari semangat spiritualitas dan
budaya. Berbasis semangat spiritualitas dan kolektifitas, tokoh agama dan adat
pedesaan yang berbasis kekuasaan kharismatik, membangun sumber kekuatan
ekonomi yang kemudian menjadi dasar kekuatan politik. Salah satu sumber
ekonomi yang telah terbukti dalam sejarah adalah kelembagaan zakat berbasis
budaya dan komunitas pedesaan.
Tabel 4 : Pertemuan Negara, Swasta dan Civil Society dalam Wacana
Tatakelola Zakat
Parameter
Negara
Swasta
Civil Society
Basis Kelembagaan
Berbasis negara
Berbasis Industri
Berbasis Komunitas
Kepentingan
Penguatan Negara
& Kekuasaan
Pengetahuan
Budaya
Justifikasi
Sains Modern
Modern
Hukum positif
Penguatan
Perusahaan &
maksimalisasi Profit
Sains Modern
Modern
Rasionalitas ekonomi
Penguatan lokal dan
kemadirian
masyarakat
Local Knowledge
Lokal
Norma (moral)
Belakangan tiga entitas sosial—negara, industri dan komunitas sebagai
wujud civil society—ikut bicara dalam wacana pengelolaan zakat. Pemberdayaan
menjadi isu penting mereka, namun bagaimana dengan basis rasionalitas yang
mendasari tindakan negara, industri dan komunitas jika dikaitkan dengan
kepentingan (interest). Negara karena kepentingan politik dan industri karena
kepentingan ekonomi, sementara komunitas dengan penguatan lokal. Jika
demikian maka zakat telah menjadi instrumen untuk mencapai tujuan. Negara
mengejar kekuasaan, industri mengejar profit
dan civil society mengejar
penguatan lokal dan kemandirian.
Pada tabel 4 menujukkan benturan-benturan kepentingan antara negara,
industri dan civil society dalam kuasa kelembagaan zakat.
Negara dengan
49
kepentingan penguatan negara dan kekuasaan berbasis pengetahuan sains
modern, budaya modern berlandaskan kekuatan hukum negara. Industri atas
kepentingan profit
berbasis pengetahuan modern, budaya pasar dengan
rasionalitas ekonomi dan maximize ulitility. Sedangkan civil society dengan
kepentingan penguatan lokal dan kemandirian komunitas berbasis tokoh,
memanfaatkan pengetahuan lokal, budaya lokal dengan semangat kolektifitas
berlandaskan kekuasaan kharismatik berbasis norma dan moral.
Benturan terjadi ketika negara dengan rezim pengetahuan politik modern
bertemu dengan Swasta dengan rezim pengetahuan ekonomi modern. Negara
dengan logika politik yang mengedepankan keamanan negara dan kekuasaan
pemerintahan,
bertemu
dengan
Swasta
dengan
logika
ekonomi
yang
mengedepankan keuntungan dan penguasaan sumberdaya produktif. Negara
dengan wacana pembangunan sementara swasta dengan wacana pemberdayaan.
Akan lebih memuncak benturan ketika bertemu dengan wacana zakat oleh civil
society, yang mengedepankan penguatan lokal dan kemandirian lokal. Dengan
rezim pengetahuan lokal, komunitas mewacanakan zakat dalam logika nirlai-nilai
tradisi yang cenderung diwarnai oleh oleh etika moral kebersamaan dan keadilan
berbagi.
2.3.7. Teori Pilihan Rasional (Rational Chioce Theory)
Dalam tulisan Coleman, dan juga Little (1991), menjelaskan bahwa teori
pilihan rasional dari ekonomi neo-klasik memiliki empat konsep, yaitu: Pertama,
individualisme metodologis (Methodological Individualism). Dalam menjelaskan
tindakan aktor, teori pilihan rasional dihubungankan dengan susunan sistem sosial
yang melingkupinya. Sistem sosial itulah yang kemudian mempengaruhi tindakan
aktor. Tindakan aktor dilihat dalam kerangka individual, dan aktor berperan secara
rasional, artinya bahwa tindakan seseorang itu mengarah pada satu tujuan dan
tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (preference) (Coleman, 1990) yang
dipilih dengan pertimbangan rasional. Analisis di tingkat individual lebih disukai
karena data biasanya dikumpulkan di tingkat individu dan kemudian disusun untuk
menghasilkan data di tingkat sistem sosial. Selain itu intervensi dilakukan untuk
menciptakan perubahan sosial.
Kedua, konsep maksimisasi atau optimisasi aktor. Di sini aktor dilihat atau
diasumsikan sebagai manusia yang dituntun oleh tujuan. Artinya manusia dalam
50
bertindak selalu didasari oleh tujuan tertentu, dan untuk meraihnya tujuan itu
manusia akan mencari cara yang paling efisien. Oleh sebab itu tujuan tersebut
menjadi hierarkis. Sejalan dengan itu maka aturan, cara, atau jalan untuk meraih
tujuan itupun kemudian bersifat hierarkis. Preferensi di antara kedua hierarki
tersebut menghasilkan tindakan ekonomis atau efisien (Polanyi, 2003).
Ketiga, konsep optimum sosial (terkadang disebut Pareto optimum).
Optimum sosial diterapkan pada level sistem (bukan lagi individual) merujuk
kepada keadaan di mana seseorang tidak bisa lagi memaksimalkan keuntungan
tanpa merugikan pihak lain. Dalam teori pengambilan keputusan rasional,
optimisasi ini berlangsung dalam interaksi dari tingkatan sistem ke tingkatan
individual, dan sebaliknya dari tingkatan individual ke tingkatan sistem sosial.
Keempat,
konsep
keseimbangan
sistem--membandingkan dengan
konsep
optimum sosial di atas masih memungkinkan peran aktor, sementara dalam
konsep keseimbangan sistem ini benar-benar tindakan aktor tidak bisa lagi
menentukan sistem. Hal ini disebabkan aktor tidak memiliki insentif dan dorongan
untuk berubah.
Coleman (1994) kemudian mencoba membaca teori pilihan rasional ke
dalam ruang pertimbangan sosial dengan empat elemen dari sosiologi, yaitu:
Pertama, meraih kegunaan dengan memberikan kontrol kepada aktor lain. Sumber
daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor.
Dalam kondisi informasi sangat langka, maka kepastian hasil suatu tindakan
menjadi minimal. Oleh karena itu aktor mempercayakan tindakan mengontrol ini
kepada pihak lain. Pada saat itulah ia percaya, atau tepatnya menciptakan
kepercayaan (trust), kepada pihak lain. Implikasinya terletak pada perubahan
otoritas.
Selanjutnva,
keefektifan
norma
tergantung
pada
kemampuan
melaksanakan konsensus itu. Konsensus antar aktor dan pelaksanaannyalah yang
mencegah tanda-tanda ketidakseimbangan perilaku kolektif. Namun, jika pemilik
otoritas (yang memperoleh kontrol) ternyata banyak, sistem sosial menjadi tidak
stabil. Massa akhirnya akan memilih kepada siapa kontrol akan dia berikan sesuai
dengan keuntungan tertinggi yang akan dia peroleh.
Kedua, modal sosial (social capital)--ialah aspek informal dari organisasi
sosial yang mampu mendukung seorang aktor atau kelompoknya untuk
memperoleh sumber daya produktif. Keberadaan modal sosial tergantung dari
kedekatan antar warga, kelangsungan suatu hubungan sosial yang sudah terjalin,
51
dan kemajemukan relasi (orang yang memiliki beragam status dan peranan, lalu
berinteraksi dengan orang lain yang juga memegang peranan majemuk, secara
tidak langsung akan memperoleh keuntungan yang majemuk atau berlipat pula).
Ketiga, lahirnya hak dari masyarakat. Sejauhmana suatu tindakan tergolong
rasional dalam suatu konteks sosial tergantung kepada distribusi hak di sana.
Dengan demikian hak tersebut diperoleh dari proses sosial lebih lanjut, sebagai
hasil tindakan yang menguntungkan atau untuk kepentingannya sendiri maupun
kelompoknya. Implikasinya akan muncul pula hierarki tindakan, yaitu sejauh mana
tindakan itu akan memberikan hak yang lebih besar. Jika distribusi hak tidak
merata, bisa terjadi proses sosial untuk memperoleh hak tersebut berwujud pada
konflik.
Keempat, kelembagaan--mengagregatkan tindakan-tindakan individu untuk
membentuk sistem sosial. Di samping itu, kelembagaan juga menerjemahkan
kebutuhan sistem sosial ke dalam tindakan-tindakan individu. Sesuai dengan
tingkat kesulitan perolehan sumber daya pada masing-masing masyarakat, maka
di sana akan ditemukan kelembagaan yang berbeda dalam rangka memperoleh
sumber daya tersebut.
Little (1991) mencoba mengajukan teori pilihan rasional yang radikal dengan
dilandasi pandangan normatif kulutralisme, yang membawa teori pilihan rasional
ke dalam penimbangan akar budaya lokal (culturally specific mode of behavior).
Menurut Litlle, bahwa rasionalitas individu merupakan hasil dari rekonstruksi sosial
(culturally constructed), oleh sebab itu maka, rasionalitas individu tidak dapat
terhindar dari jebakan etnosentrisme. Little mencoba mengembangkan perspektif
teori pilihan rasional dan memperluasnya pada tataran struktural atau kultural.
Dengan cara ini lingkup kajian pendekatan teori pilihan rasional mampu
menyediakan basis penjelasan sosial dalam ragam konteks kultural dan
mendukung generalisasi lintas kultural.
Paradigma pilihan rasional dalam perilaku individu terarah pada tujuan yang
dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kepentingan, biaya, keuntungan,
dan keyakinan, serta penjelasannya tergantung pada teori tindakan rasional meanend yang ditekankan pada utility maximization, oleh sebab itu dapat digambarkan
sebagai teori ‖thin‖ dari tindakan individu. Sementara itu teori interpretif dalam
postulatnya mencerminkan gambaran ”thick” dari tindakan manusia, yang secara
detil mempertimbangkan norma, nilai, kultur, metafor, keyakinan agama, dan
52
praktis. Pendekatan pilihan rasional di sini
memiliki kekurangan dalam
menjelaskan tentang tiga hal, yaitu: pertama, mengenai kepentingan yang dikejar
individu, apakah diarahkan pada kepentingan sendiri, orang lain atau kombinasi;
kedua, aturan (prosedur) yang digunakan untuk mengambil keputusan atas
tindakan yang akan dilakukan; ketiga, gambaran lingkungan pilihan, apakah dalam
konteks pasar atau institusi khusus di mana individu berfungsi.
Kekurangan pertama terkait dengan konsep narrow economic rationality yaitu
suatu model untuk memaksimumkan kepentingan diri sendiri (egoist). Berkaitan
dengan lingkungan pilihan di mana pertimbangan individu dilakukan, yang menurut
pendekatan pilihan rasional tertuju pada price dan income terkait dengan berbagai
alternatif pilihan. Terakhir, terkait dengan peranan norma dan nilai dalam
membentuk perilaku individu. Model ini membatasi banyaknya masalah yang
dapat diungkap oleh ilmu sosial terapan. Oleh karena itu Little mengajukan konsep
‖rasionalitas praktis yang diperluas‖ (broadened practical rationality). Dalam
konsep ini Little berasumsi bahwa individu (agents) memiliki seperangkat tujuan di
mana tindakannya diarahkan; separangkat keyakinan tentang lingkungan sosial
dan lingkungan alam yang khusus di mana dia berada; dan seperangkat norma
yang memainkan peranan dalam mempertimbangkan tindakan yang akan
dilakukan.
Teori pilihan rasional dari Little tersebut merupakan gabungan antara aspek
individual dan struktural, yang menurutnya dapat diterapkan dalam menganalisis
fenomena sosial khusus, dan tidak menolak konsep ‖aggregative explanation‖,
sebagaimana yang telah digunakan oleh Philip Huang (1985), Popkin (1979), dan
Brener (1976). Kesemuanya menunjukkan adanya perilaku individu rasional
sebagai respon terhadap seperangkat insentif dan tekanan-tekanan khusus, dan
bagaimana pola perilaku individu tersebut bersifat aggregate di dalam tataran pola
makro.
Little (1991) menolak pandangan bahwa tindakan manusia terarah pada
tujuan, tetapi dia juga menekankan bahwa tindakan yang dilakukan individu
tersebut selalu berada pada ranah sosial yang konkrit, mengandung unsur
normatif, ada pada lingkungan politik, dan perbedaan lingkungan tersebut
mempengaruhi perbedaan perilaku individu. Dengan mengutip Scott (1979), Little
menjelaskan adanya terketerkaitan erat antara tindakan individu dalam mencapai
tujuan peribadi yang tidak terlepas dari pertimbangan kondisi lingkungan
53
masyarakatnya. Pada tataran individual agency terkait dengan motivasi, kalkulasi
kepentingan diri, sedangkan pada tataran struktural terkait dengan lingkungan
sosial yang menentukan pilihan-pilihan dalam tindakan.
Little (1991) juga memberikan contoh penerapan analisis pilihan rasional
radikal dalam karya
(interpretive),
di
Polanyi (expressve vs instrumental) dan karya Geertz
mana
keduanya
menggambarkan
model
perilaku
yang
dikendalikan oleh kepentingan diri sendiri secara kultural merupakan bentuk
perilaku yang spesifik dalam kultur tertentu. Rasionalitas individu di sini lebih
merupakan konstruksi kultural, sehingga merupakan etnosentrisme. Hafner (1983),
juga mencoba menunjukkan bahwa rasionalitas dalam ekonomi terlalu sempit dan
mengabaikan faktor-faktor nilai dan budaya. Hefner menunjukkan
bagaimana
rasionalitas masyarakat Tengger yang selalu diwarnai dengan pertimbangan nilai
kultural dan agama yang terlihat dalam organisasi ekonomi ritual (economic
organization of ritual).
Feeny (1983), dengan mengutip karya James C. Scott (1984) tentang moral
ekonomi petani,
melihat kaum petani enggan mengambil resiko dan untuk
mengamankan diri mereka membangun mekanisme yang bisa menciptakan rasa
aman dengan jaminan keamanan sosial dalam bentuk Patron Client dan etika
subsisten dan resiprositas. Asuransi sosial petani dapat dipahami sebagai
jaminan-jaminan sosial bersifat informal namun penting bagi kehidupan petani
miskin. Jaminan-jaminan tersebut menggambarkan semacam model normatif yang
hidup, berisi tentang kewajaran-kewajaran dan keadilan-keadilan sosial dan
ekonomi (Scot, 1981). Jaminan sosial tersebut selanjutnya sangat mewarnai relasi
sosial dan ekonomi dalam sistem sewa, dan bagi hasil petani miskin pedesaan.
Feeny juga mengutip Popkin (1979) tentang gambaran rasionalitas kaum petani.
Feeny menggambarkan pentingnya politik interpreneurship dalam tindakan
organisasi kolektif dan pemaknaan kepentingan ekonomi dalam tindakan politik.
Feeny menambahkan dengan pentingnya peran supply
dalam perubahan
kelembagaan sosial dan pengaruhnya terhadap sifat dan langkah perubahan
kelembagaan.
Rasionalitas tindakan individu yang digambarkan oleh Little bahwa di sana
dalam pertimbangan-pertimbangan rasional sangat kental dengan nilai-nilai dan
norma yang berasal dari agama dan budaya. Hefner dalam melihat rasionalitas
masyarakat Tengger menujukkan kalau di sana rasionalitas yang bermain dalam
54
masyarakat petani adalah rasionalitas yang diwarnai oleh etika subsistensi dan
resiprositas yang berlandaskan pada nilai-nilai kewajaran secara sosial dan hakhak subsisten. Sementara Feeny dalam melihat masyarakat petani dengan
rasionalitas yang lebih diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan sosial yang
berasal dari norma-norma, nilai-nilai budaya, dan semangt kolektifitas.
2.3.8. Teori Jaringan (Networking Theory)
Teori jaringan telah banyak digunakan oleh White (1992), Wasserman dan
Faust (1994) Wellman dan Berkowitz (1998). Mereka ini mencoba membangun
pendekatan sosiologis yang menekankan perhatian pada ciri peribadi aktor
(Wellman, 1993 dalam Ritzer, 2005). Namun pakar teori jaringan lainnya,
menekankan pendekatan normatif/atomis yang memusatkan perhatian pada kultur
dan proses sosialisasi sebagai proses internalisasi norma dan nilai ke diri aktor.
Maka menurut pendekatan ini; yang mempersatukan orang secara bersama
adalah sekumpulan gagasan bersama (Ritzer, 2005).
Teori jaringan, memusatkan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro
dan menekankan kajian pada aktor, bisa sebagai individu (Wellman dan Worley,
1990), sebagai kelompok, atau malah perusahaan (Baker, 1990; Clawson,
Neustadtl, dan Barden, 1986; Mizruchi dan Koenig, 1986) dan bahkan bisa juga
sebagai masyarakat. Hubungan dapat terjadi pada struktur sosial skala makro
maupun di tingkat mikro. Seperti
yang pernah digambarkan oleh Granovetter
(1985) dalam penjelasannya tentang tindakan melekat (embeddedness) dalam
relasi pada tingkat mikro, bahwa tindakan itu melekat dalam hubungan pribadi
secara konkret, sehingga jaringan ada dalam struktur hubungan yang melekat
dalam diri para aktor. Hubungan ini berlandaskan pada gagasan bahwa setiap
aktor (individu atau kolektif) mempunyai akses yang berbeda terhadap sumber
daya yang bernilai (kekuasaan, kekayaan, informasi), akibatnya, sistem yang
terstruktur cenderung terstratifikasi, dan komponen yang satu cenderung
tergantung dengan komponen lainnya (Ritzers, 2005).
Wellman (dalam Ritzer, 2005) menyatakan bahwa teori jaringan disandarkan
pada sekumpulan prinsip yang terkait secara logis, yaitu: Pertama, ikatan antar
aktor bisanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling
memasok sesuatu yang berbeda dan berbuat dengan intensitas yang dinamis.
Kedua, ikatan antar invidu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan yang
lebih luas. Ketiga, terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan
non-acak. Keempat, adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya
55
hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu. Kelima, ada
ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan yang
mengkibatkan sumber daya terbatas akan terdistribusi secara tak merata.
Keenam, distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan
kerjasama atau kompetisi. Oleh karena itu, maka kelompok akan bergabung untuk
mendapatkan sumber daya terbatas dengan bekerjasama, sedangkan kelompok
lainnya akan bersaing dan memperebutkan (Ritzer, 2005).
Menyangkut kelangkaan sumberdaya di era modern, maka munculnya
wacana zakat, merupakan gejala bahwa zakat telah dipandang sebagai sebuah
sumber daya. Mejamurnya lembaga amil zakat, bisa dianalisis dengan teori
jaringan dengan asumsi bahwa dengan lahirnya berbagai macam lembaga
pengelola zakat akan melahirkan persaingan, perebutan dan pertarungan dalam
upaya merebut semaksimal mungkin potensi zakat (politik, ekonomi dan sosial).
Jaringan bisa muncul dari motif-motif individual maupun kelompok yang
memungkinan akan membangun kolaborasi dengan jaringan lainnya yang memiliki
kesamaan motif, dan akan terjadi pertarungan dengan jaringan lainnya yang
bebeda motif, apalagi jika motif-motif itu malah berbenturan dan merugikan yang
lainnya. Hadirnya negara, industri dan civil society dalam wacana pemberdayaan
berbasis zakat, ketiganya bisa berbenturan, bersaing, bertarung atau malah
berkolaborasi. Pada aras aktor memungkinkan terbangunnya jejaring sosial yang
rumit, baik secara internal maupun ekternal karena adanya kesamaan motif.
Kepentingan aktor
3
2
Strukutur sosial sebagai
konteks tindakan
1
3
Tindakan
4
Gambar 3 : Model Jaringan Intergarif Ronald Burt
Teori jaringan bisa muncul dengan analisis yang sangat mikro hingga
jaringan lebih dilihat sebagai hubungan yang menyatukan aktor pada aras individu,
namun pada saat yang lain juga bisa tampil makro dengan bangunan jaringan
yang melibatkan aktor-aktor pada aras struktur yang luas. Namun terlepas dari
jaringan pada aras makro atau mikro, yang jelas di sana akan membuka peluang
56
terjadinya dialektika jaringan mikro ke makro atau sebaliknya. Terkait dengan ini
Roland Burt (1982) mencoba menggambarkan model jaringan integratif dalam satu
model gambar (lihat gambar 3) yang saling mengaitkan antara struktur sosial
sebagai tindakan, yang mempengaruhi tindakan aktor, sehingga aktor akan
melakukan tindakan yang akhirnya juga memberikan pengaruh terhadap struktur
sosial. Jadi, yang ingin dikatakan Burt sebenarnya adalah bahwa antara struktur
sosial, kepentingan aktor dan tindakan aktor akan saling mempengaruhi secara
terus menerus.
2.4. Konseptualisasi
2.4.1. Konstruksi Sosial (Social Construction) Berger
Konsep konstruksi sosial ala Berger dan Luckmann (1990) mensyaratkan
penekunan pada ―realitas‖ dan ―pengetahuan‖. Dua istilah ini menjadi kunci
penting. Realitas atau kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam
fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung
kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya
dengan angan-angan), dan ―pengetahuan‖ adalah kepastian bahwa fenomenfenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.
Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi, internalisasi dan objektivasi
manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara
sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan
pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi
dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat). Common sense
adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya
dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam
kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990).
2.4.2. Kekuasaan (Power)
Foucault, dalam menggunakan konsep kuasa (power), merujuk pada
―totalitas struktur tindakan‖ untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu
yang merdeka (Latif, 2005). Penggunaan kuasa berlangsung dan bekerja dalam
ruang pilihan-pilihan bagi mereka yang berada dalam posisi untuk memilih.
Kuasa bekerja bertujuan untuk mempengaruhi pilihan-pilihan atas beberapa
kemungkinan pilihan. Wujud bekerjanya kuasa berupa pemunculan dan pelibatan
―permainan-permainan strategis‖ di antara pihak-pihak yang memiliki kebebasan
57
memilih (strategi games between libraries) (Foucault, 1980; Hindess, 1996).
Permainan-permainan strategis bekerja dalam segala tempat dan waktu, hingga
pada
ruang
bawah
sadar
yang
selanjutnya
sangat
mempengaruhi
kecenderungan terhadap pilihan-pilihan. Permainan-permainan strategi oleh
kuasa (power) menyebar di mana-mana, dijalankan oleh siapapun dan tumbuh
dalam segala level, sehingga hampir tidak ada ruang sosial yang bebas dari
bekerjanya kuasa dan permainan-permainan strategis.
Foucault membedakan antara relasi kuasa sebagai permainan strategis, di
antara pihak-pihak yang merdeka (strategic games between liberties) dan dua
tipe kuasa lainnya, yaitu ―dominasi‖ (domination) dan ―pemerintah‖ (government)
(Foucault, 1988). Konsepsi ―kuasa‖ sebagai permainan strategis antara pihakpihak yang merdeka merupakan inti dari cara Foucault memahami ―kuasa‖
secara umum. Kuasa ―menentukan relasi antar-mitra‖ dalam suatu esemble
tindakan-tindakan (Foucault, 2000). Kuasa di sini mengandaikan adanya
kebebasan untuk memilih dan dijalankan terhadap subjek-subjek bebas, yang
memiliki kebebasan untuk memilih dan mempengaruhi. Artinya, di mana tidak
ada kemungkinan untuk melakukan resistensi, tidak ada pula relasi kuasa di
sana. Oleh karena itu relasi kuasa sering kali bersifat tak stabil, ambigu, dan
timbal balik (Hindess, 1996). Ketika kuasa terkonsolidasi menjadi ―dominasi‖, dan
merujuk pada relasi kuasa yang bersifat asimetris yang di dalamnya ada orangorang yang tersubordinasi, memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena
―ruang kebebasan mereka untuk bertindak sangat terbatas‖ sebagai efek dari
kuasa (Foucault, 1988).
Kuasa yang bekerja dalam ―pemerintahan‖ berada di antara ―dominasi‖
dan ―permainan-permainan strategis‖ antara pihak-pihak yang merdeka. Konsep
―pemerintahan‖ terutama berasosiasi dengan konsep-konsep ―memimpin‖
(conducting) dalam artian mengarahkan dan mengontrol serangkaian tindakan.
Konsep ini merujuk pada pelaksanaan kuasa atas pihak-pihak lain yang kurang
bersifat spontan (dengan cara yang lebih diperhitungkan dan dipertimbangkan
secara cermat), terutama sekali pada penggunaan dan pembentukan cara-cara
untuk mengatur perilaku. Menurut Foucault (dalam Hindess, 1996), ada berbagai
bentuk pemerintahan yang terentang, mulai dari yang menjalankan dominasi
secara nyata, hingga dengan menjalankan relasi-relasi kuasa yang bersifat tak
stabil dan bersifat timbal-balik (riversible).
58
Foucault, melihat kekuasaan sebagai seluruh tindakan yang menekan dan
mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga
dengan melalui paksaan dan larangan. Lebih jauh Foucault mengatakan bahwa
kekuasaan mencakup semua hal dan datang dari mana-mana. Dengan demikian
kekuasaan dapat diartikan sebagai upaya seseorang ataupun kelompok untuk
menguasai orang lain dalam berbagai bentuk, yang karenanya terjadi
pertentangan antara keduanya, di mana salah satunya dapat menguasai yang
lain sehingga terjadi dominasi pada pihak lain.
Konsepsi kuasa sebagai suatu yang bisa diperebutkan (contestable) dan
timbal-balik (riversible) memungkinkan studi penelitian ini untuk melihat adanya
ruang bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk melawan kuasa negara
dan kapitalisme bersifat hegemonik dan ketergantungan. Pergumulan (interplay)
dan interpenetrasi kuasa ada di antara tiga kekuatan sosial (negara, Industri dan
civil society). Tidak ada kekuatan hegemonik yang sedemikian kuatnya mampu
menguras habis sumber-sumber daya untuk melakukan perlawanan. Menurut
Foucault setiap relasi kuasa mengimplikasikan paling tidak secara potensi, ada
suatu strategi perjuangan, ketika dua atau lebih kekuatan yang berhadapan tidak
saling membayangi, tidak kehilangan sifatnya yang spesifik, atau akhirnya tidak
pula menjadi kabur. Setiap pihak menjadi semacam batas permanen bagi pihak
lain, atau sebuah titik yang mungkin melakukan gerak balik (a poin of possible
reversal) (Foucault, 2000).
Cara Foucault memahami kekuasaan sangatlah orisinil. Kuasa bukanlah
definisi yang dikemukakan oleh paradigma Weberian sebagai kemampuan
subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Ia juga bukan pemaknaan yang
diyakini oleh kaum Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan
digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas lain dan
bukan pula institusi, struktur atau kekuatan dalam masyarakat. Kuasa tidak
dimiliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi
yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami
pergeseran.
2.4.3. Pengetahuan (Knowledge)
Kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan
selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu
59
memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan
merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan
berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan
dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada
pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan.
Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan
dibutuhkan
penelitian
mengenai
produksi
pengetahuan
yang
melandasi
kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan
lewat pengetahuan dan wacana tertentu.
Prinsip penataan ini, oleh Foucault diberi julukan teknis: episteme (Adian,
2002 22). Episteme ini tidak bisa dijamah, kerjanya sangat halus menguasai pola
pikir orang pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja
episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan,
didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif yang
sekaligus menjadi komponen penting dari kekuasaan/pengetahuan, yaitu: disiplin
ilmu, institusi, dan tokoh. Ketiganya berdialektika dalam sebuah sistem regulasi
yang mengatur dan menormalisir. Mekanisme kekuasaan berjalan melaui sistem
regulasi. Agar dapat berjalan dengan baik, maka pengawasan (surveillance)
harus dilakukan. Dalam suatu sistem sosial, pengawasan dilakukan oleh aparat.
Foucault sebenarnya memberi penekanan (salah satunya) pada pengawasan
sebagai upaya menstabilkan atau memapankan suatu konstruksi kebenaran.
Konsep panoptikon adalah salah satu cermatan yang dia kemukakan. Ketiganya
adalah pihak-pihak yang menguasai modal simbolik, kultural, maupun ekonomi.
Modal inilah yang berguna untuk memapankan diri, meletakkan pihak-pihak
tertentu di atas pihak lain. Menentukan mana yang ordinat dan sub-ordinat,
menentukan mana yang mendominasi dan terdominasi.
Sebuah kelompok minoritas tidak dengan sendirinya menjadi pihak yang
kalah dalam semua dimensi relasi kuasa, karena dunia politik dan masyarakat
tersusun atas sebuah keseimbangan kekuatan-kekuatan yang seringkali bersifat
kompleks, dan kesimbangan itu tak bisa direduksi ke dalam kerangka
penggunaan kekuatan absah (legitimate force) semata. Oleh itu maka sangat
memungkinkan munculnya upaya-upaya menegosiasikan kebijakan sosial,
ekonomi dan politik dengan kelompok subordinat (Eickelman dan Piscatori,
1996).
60
2.4.4.Rasionalitas (Rationality)
Menurut Weber (Hindess, 1977), perilaku sosial terbagi dalam empat
klasifikasi, yaitu: pertama, perilaku sosial yang berorientasi pada tujuan, yang
kemudian disebutnya dengan rasionalitas tujuan. Sebuah tindakan dipilih atas
pertimbangan tujuan akhir yang ingin dicapai. Kedua, perilaku sosial dipilih atas
pertimbangan dan kepercayaan terhadap nilai tertentu secara sadar. Tindakah ini
lebih pada orientasi nilai (etika, estetika atau agama), oleh Weber ini disebut
dengan perilaku sosial berdasarkan rasionalitas nilai. Ketiga, perilaku sosial yang
bersifat afektif atau emosional, yang merupakan hasil dari konfigurasi khusus dari
perasaan pribadi, yang kemudian disebutnya dengan rasionalitas afective.
Keempat, adalah perilaku sosial yang merupakan reaksi serta merta yang
merupakan perilaku rutin dari tradisi, atau adat istiadat, yang oleh Weber disebut
dengan tindakan tradisional. Meski Weber (1978) mengkalisifikasikan tindakan
dalam empat kategori, namun menurutnya jarang sekali ada perilaku sosial yang
berorientasi tunggal, sehingga mungkin saja ada perilaku sosial berorientasi
ganda atau lebih pada saat yang sama.
Foucault (dalam Sarup, 2008) ketika membahas tentang kesadaran subjek
dalam masyarakat borjuis, mengikuti Weber, karena subjek dipandang sebagai
makhluk rasional, otonom dan mampu memprakarsai tindakan, sama halnya
ketika Weber (dalam Hindess, 1977) menyatakan bahwa tindakan dapat bersifat
rasional, baik dalam sarana maupun tujuan. Makanya birokrasi menekankan
efisiensi sarana dan organisasi yang birokrasitis dan impersonal penalaran
dibentuk oleh rasionalitas ilmiah. Tujuan rasionalitas ilmiah adalah mendapatkan
penguasaan atas lingkungan fisik dan sosial. Mengikuti Nietzsche, Weber (dalam
Sarup, 2008) mengatakan bahwa rasionalitas ilmiah
memusatkan perhatian
pada sarana dan bukan pada tujuan.
Foucault mengkhawatirkan produktivitas dan efisiensi instrumental-rasional
yang dilihat Weber dalam birokrasi modern, karena menurutnya, kekuasaan
dalam masyarakat modern tidak bergantung pada kecakapan dan wibawa
individu, tetapi dilaksanakan melalui mesin administrasi impersonal dan
peraturan-peraturan yang abstrak. Di sinilah letak kerja pengetahuan yang
mengarahkan perilaku sosial manusia melalui sistem rasionalitas ilmiahnya.
Kesadaran subjek dalam tindakan sosialnya selalu diarahkan oleh sistem
61
rasionalitas yang bekerja secara abstrak bersama dengan sistem pengetahuan.
Di sana kemudian kekuasaan menjelma dan menguasai manusia dengan
rasionalitas teknis.
2.4.5. Kepentingan (Interest)
Konsep kepentingan (interest) merupakan konsep yang tidak asing dalam
literatur sosiologi. Konsep ini digunakan untuk menunjukkan motivasi individu,
organisasi atau kelompok dan strukturnya dalam suatu tindakan sosial. Artinya
bahwa pengalaman manusia diorganisasikan dalam term kepentingan kognitif
apriori. Secara umum konsep interest dimaknai sebagai ciri yang stabil dari aktor
yang memberikan aktor tersebut alasan potensial atau aktual untuk bertindak.
Konsep kepentingan (interest) banyak digunakan oleh Weber ketika
membahas agama dan ekonomi atau kapitalisme terkait dengan kekuatankekuatan sosial. Oleh Weber, konsep kepentingan (interest) dilihat sebagai
sesuatu yang menjadi pendorong tindakan manusia, dan pendorong ini akan
menentukan arah tindakan yang akan diambil oleh aktor (Sumarti, 2007).
Kepentingan bukanlah hanya ide (gagasan) tapi juga pada materi, yang
mengatur secara langsung tindakan manusia. Gagasan memang bisa bekerja di
sini, namun hanya sebagai pengarah tindakan yang kemudian menjadi
pendorong dalam dinamika kepentingan. Weber membahas kepentingan
―material‖ dan ―values‖ sebagai sumber yang berbeda dari motivasi, dan ini
memberikan alasan yang berbeda dan bertentangan
untuk suatu tindakan.
Namun persoalannya bahwa perbedaan alasan bisa jadi karena ada upaya
menyembunyikan sumber tindakan yang sesungguhnya.
Swedberg (2003) mengikuti Weber, juga mencoba membahas tentang
kepentingan dalam sosiologi dan melihatnya sebagai motivasi. Oleh Swedberg,
kepentingan dilihat sebagai pendorong tindakan aktor, namun elemen sosial
menentukan ekspresi dan arah tindakan yang akan diambil. Kepentingan dilihat
Swedberg bisa berupa gagasan maupun materi (Sumarti, 2007). Kepentingan
merupakan kekuatan pendorong yang mampu memberikan energi yang besar
bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan tanpa kenal lelah dan
menyerah, hingga kepentingan yang mendorong tercapai. Makanya tak jarang
kepentingan berujung pada lahirnya konflik ketika dua atau lebih kepentingan
berbenturan pada satu waktu atau tempat. Kepentingan memang merupakan
62
pendorong yang kuat bagi lahirnya semangat juang yang tinggi bagi aktor,
namun pada saat tertentu kepentingan bisa menjadi penghalang dan
melumpuhkan aktor lain, atau menguatkan satu sama lain (Sumarti, 2007).
Konsep kepentingan bekerja lintas aras dan ruang, bekerja pada aras
gagasan dan sekaligus pada aras materi (bisa subjektif sekaligus objektif),
bekerja pada ruang politik, ekonomi, sosial hingga agama, kepentingan
terekspresi dalam relasi sosial. Kepentingan aktor dalam perilaku sosial selalu
mempertimbangkan aktor lain sehingga tindakan untuk mengejar kepentingan
selalu terkait dengan orang lain. Tindakan yang ditentukan oleh kepentingan
merupakan tindakan instrumental dan ber-orientasi pada harapan yang identik,
sehingga mensyaratkan setting sosial di mana aktor lain berfikir dengan cara
yang sama (Sumarti, 2007). Dengan demikian, maka kepentingan bisa
membentuk jejaring sosial sebagaimana jaringan kapitalisme yang dilihat Weber
sebagai organisasi yang penuh dengan kepentingan ekonomi. Jaringan
kepentingan bisa menjelma dalam berbagai organisasi sosial, politik, ekonomi
bahkan agama.
2.4.6. Konsep Kelembagaan
Hayami dan Ruran (1984) melihat kelembagaan (institusi) sebagai aturan
di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi
koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan, di mana
setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain, untuk
mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom (1985) melihat sebagai
aturan dan rambu-rambu panduan yang dipakai oleh para anggota suatu
kelompok masyarakat, untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau
saling ketergantungan satu sama lain.
Uphoff (1986), melihat lembaga sebagai suatu himpunan atau tatanan
norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu
untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi
ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat,
sedangkan Nabli dan Nugent (1989), melihat sebagai sekumpulan batasan atau
faktor pengendali yang mengatur hubungan perilaku antar anggota atau antar
kelompok. Nort (1990), melihat institusi sebagai aturan main di dalam suatu
kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan
63
politik. Institusi bisa berupa aturan formal atau kode etik informal yang disepakati
bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan
bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya.
Williamson (1985) dalam perspektif ekonomi melihat institusi mencakup
penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan
institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit
ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau
berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah menyangkut aktor atau
pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dengan
tujuan utama adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985).
Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan sebelumnya,
maka yang dimaksud kelembagaan di sini adalah: suatu tatanan dan pola
hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang
dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang
diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor
pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal
untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan
mencapai tujuan bersama.
Artinya bahwa institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur
aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat antar
anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa
berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan
penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan
penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan
institusi. Tidak ada manusia atau organisasi yang bisa hidup tanpa interaksi
dengan masyarakat atau organisasi lain yang saling mengikat.
Menurut Shaffer dan Schmid (dalam Pakpahan: 1989), kelembagaan
ditinjau dari sudut organisasi merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap
sumber daya. Di pandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus
kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan
aktivitasnya. Dibutuhkan adanya nilai-nilai sosial yang mampu sebagai dasar
relasi-relasi sosial, menuju bangunan solidaritas antara anggota yang bersifat
lintas struktur sebagai pemicu dan pendorong semangat kewirausahaan yang
akan menghasilkan daya inovasi dan kreasi tinggi. Nilai agama dan budaya lokal
64
yang telah mengakar, menjadi bagian penting yang dapat digunakan dalam
konteks
pemberdayaan
kelembagaan
menuju
pemberdayaan
ekonomi
pedesaan.
Pakpahan (1989) mengemukakan bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh
tiga hal utama: (1) Batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary); (2) Hak
kepemilikan (property right); dan (3) Aturan representasi (rule of representation).
Batas yurisdiksi berarti hak hukum atas (batas wilayah kekuasaan) atau (batas
otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna keduaduanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau
masyarakat
ditentukan
oleh
batas
yuridiksi.
Oleh
karena
itu
dalam
mengembangkan kelembagaan dalam rangka upaya pemberdayaan harus jelas
batas yuridiksinya.
2.4.7. Konsep Zakat.
Secara terminologis, para ulama memberikan definisi yang berbeda terhadap
zakat. Ulama malikiyyah mendefinisikan zakat dengan pengeluaran bagian tertentu
dari harta tertentu yang telah mencapai nisab untuk mustahik jika telah sempurna
kepemilikan dan haul kecuali barang tambang dan pertanian tidak ada haulnya.
Ulama hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik bagian harta
tertentu dari harta tertentu untuk orang tertentu yang telah ditentukan oleh syâr‘i
karena Allah. Ulama syafi‟iyyah mendefinisikan zakat dengan nama bagi sesuatu
yang dikeluarkan dari harta atau badan atas jalan tertentu, sedangkan ulama
hanabilah mendefinisikan zakat dengan hak yang wajib dalam harta tertentu bagi
kelompok tertentu pada waktu tertentu (az-Zuhaili, 1989: juz II).
Zakat seperti tertulis dalam surat At-Taubah ayat 103 mengandung
pengertian bahwa setiap muslim yang mempunyai harta benda yang telah cukup
nisab wajib membersihkan harta bendanya dengan memberikan sebahagian
hartanya kepada orang-orang yang berhak. Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60
ada delapan golongan umat yang berhak menerima zakat, yaitu: fakir, miskin, amil,
muallaf, rikab, ghorimin (orang yang berhutang), fii sabilillah (orang yang berjuang
karena Allah) dan ibnu sabil (orang yang dalam perantauan).
Menurut Al-Shawkani (Saud, 1976), zakat secara linguistic memiliki makna
ganda yaitu pertumbuhan (growth) dan juga pembersihan (purification). Makna
yang pertama mengandung pengertian bahwa zakat akan membawa pertumbuhan
65
kekayaan (wealth) dan juga membawa pahala (reward) bagi yang melakukannya.
Secara singkat zakat tidak akan menurunkan kekayaan, sedangkan makna yang
kedua, zakat akan membersihkan jiwa manusia dari keinginan memiliki kekayaan
yang berlebihan.
Saud (1976), berpendapat bahwa zakat dikenakan pada semua kekayaan
yang memiliki nilai (market value). Menurutnya zakat berfungsi sebagai satu cara
untuk mencegah penimbunan (hoarding) harta yang dapat mengakibatkan adanya
idle wealth. Oleh sebab itu dianjurkan untuk menempatkan resources-nya dalam
bentuk aset yang produktif yaitu dana yang ditempatkan di bank atau institusi yang
dikontrol pemerintah. Kahf (1976), dan Faridi (1976), berpendapat bahwa yang
dikenakan zakat adalah harta bersih atau networth atau harta setelah dikurangi
kewajiban (aset setelah dikurangi liabilitas). Pada dasarnya kedua ahli tersebut
melihat fungsi zakat sama dengan yang diajukan oleh Saud, di mana zakat
diharapkan akan meningkatkan investasi atau financial resourses (assets) atau
harta produktif. Bila seseorang menabung dalam bentuk perhiasan
(precious
metal), tabungan ini tidak produktif, maka zakat secara berangsur-angsur akan
mengurangi neet saving atau networth yang bersangkutan, sehingga zakat akan
men-discourage seseorang untuk menimbun harta yang tidak produktif, namun
akan merangsang orang untuk memutarkan hartanya pada kegiatan produktif atau
menabung dalam bentuk harta yang produktif. Zakat akan merangsang orang
untuk giat bekerja, karena kalau tidak, lambat laun networthnya akan mengecil
karena dipergunakan untuk membayar zakat. Dengan giat bekerja dan
mengkonsumsi secara bijaksana akan menghasilkan pertumbuhan networth,
sejalan dengan pendapat Al-Shawkani bahwa zakat dapat memiliki arti
pertumbuhan.
Merujuk kepada beberapa definisi para ulama di atas, maka konsep zakat
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan pengeluaran sejumlah harta
orang tertentu untuk diberikan kepada hak orang lain, sebagai sebuah pemenuhan
kewajiban penganut agama Islam (rukum Islam ke-tiga). Zakat dilihat sebagai
mekanisme perpindahan kepemilikan harta dari kelompok tertentu yang dalam hal
66
ini adalah orang kaya kepada kepada kelompok lain yang dianggap pantas dan
berhak menerima7.
Konsepsi zakat, secara umum di kalangan ulama dimaknai sebagai
ibadah yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Artinya, zakat
merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT (vertical) dan sebagai kewajiban
kepada sesama manusia (horizontal), atau sebagai ibadah maaliyah ijtihadiyah.
Zakat sebagai salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, ia merupakan salah satu
implementasi azas keadilan yang menurut Mannan (1993) mempunyai enam
prinsip yaitu: 1). prinsip keyakinan keagamaan; 2). prinsip pemerataan dan
keadilan; 3) prinsip produktifitas; 4) prinsip nalar; 5) prinsip kebebasan; 6) prinsip
etika dan kewajaran; yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena.
Prinsip keadilan sosial ekonomi merupakan tujuan utama diwajibkannya zakat,
dan sekaligus merupakan mekanisme transfer sederhana dari sebagian harta
orang-orang kaya untuk dialokasikan kepada si miskin dengan bagian dan ukuran
tertentu (Kahf,1999). Selanjutnya Ali (1988), menyatakan bahwa tujuan zakat
adalah : (1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah
para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina
tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4)
menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat
dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6) menjembatani
jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat; (7) mengembangkan
rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8)
mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak
orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan
sosial (Ali, 1988).
Zakat sebagi bagian dari sistem ekonomi Islam, di dalamnya ditemukan
beberapa unsur yang membedakan dengan sistem ekonomi lain, yang terlihat
dengan adanya ketentuan yang mengatur unsur-unsur zakat, yaitu: harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya, kategori orang yang wajib mengeluarkan zakat,
kategori orang yang berhak menerima zakat. Ketiga unsur zakat ini ditetapkan
secara tegas dalam al-Qur'an dan al-Haditś. Ketiga unsur tersebut menunjukkan
7
Mereka yang berhak menerima zakat ini diterangkan secara langsung dalam al-Qur'an
surat al-Taubat ayat 60, yaitu sebanyak delapan asnaf:: fakir, miskin, amil, mu'allaf,
budak, orang yang dililit hutang, fi sabilillah, dan ibn sabil.
67
bahwa zakat adalah lembaga pengalihan harta kekayaan dari satu pihak (muzakki)
kepada pihak lain (mustahiq). Pengalihan harta merupakan keharusan, dan
mengeluarkan zakat bagi muzakki merupakan kewajiban mutlak, suka atau tidak
suka, setiap orang yang memenuhi unsur muzakki wajib mengeluarkan zakat, dan
yang memenuhi unsur mustahik, berhak menerima harta zakat.
Melembaganya zakat dalam masyarakat, menggiring zakat tidak hanya
menjadi realitas keagamaan yang berdimensi ibadah ketuhanan semata
(asceticism), namun telah menjadi realitas sosial dan budaya yang sangat erat
dengan kehidupan bermasyarakat (politik, ekonomi dan budaya). Oleh sebab itu,
maka zakat telah menjadi fenomena sosial budaya, ekonomi, dan bahkan politik
dan telah hadir dalam diskursus kemandirian, pemberdayaan, dan pembangunan.
Download