II PANDANGAN TEORITIS 2.1. Keaslian Penelitian Kajian tentang zakat sebagai pranata keagamaan, telah banyak mendapat perhatian para ahli/ulama, mulai dari kitab-kitab fiqh klasik maupun kitab-kitab fiqh kontemporer. Salah satu kitab fiqh zakat yang boleh dipandang lengkap, dengan kajian komprehensif adalah Fiqh az-Zakât karya Yusuf Qaradawi (1994). Sungguhpun karya ini dipandang lengkap akan tetapi pembahasannya sangat diwarnai kajian ―normatif‖ (Idris, 1997). Zakat lebih dilihat dalam kerangka ajaran agama yang menonjolkan dimensi normatif ketimbang dimensi sosialnya. Keberadaan dan bekerjanya sebuah rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang memberi warna bagaimana zakat dipahami atau dikonstruksi secara sosial dalam masyarakat, belum banyak terlihat. Beberapa kajian terdahulu pada level tesis yang mengkaji zakat, misalnya: Khasanah (2001), mengkaji tentang Model Pengelolaan Dana Zakat di Indonesia, yang menemukan dan menggambarkan empat model lembaga tatakelola zakat, yaitu: model birokrasi (pemerintah), model organisasi swasta (industri), model organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) dan model tradisional. Khasanah (2001) menyatakan bahwa pengelolaan zakat model pertama, kedua dan ketiga mengalami kemajuan dan mampu mengumpulkan dana zakat dalam jumlah besar, sebaliknya lembaga model keempat hanya mampu membuat kinerja konstan. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan oleh perbedaan manajemen tatakelola (negara, bisnis dan ormas berbasis sains modern sedangkan model tradisional berbasis budaya dan pengetahuan lokal). Palmawati (2002), yang meneliti ―Zakat dan Pengentasan Kemiskinan‖ di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, menemukan bahwa konstribusi zakat terhadap pengentasan kemiskinan di Donggala masih sangat lemah. Penyebab utama kelembagaan, tidak menurut Palmawati terlibatnya tokoh adalah masyarakat lemahnya sehingga manajemen kurangnya kepercayaan masyarakat. Tidak ada kepastian hukum karena pemerintah daerah tidak terlibat. Palmawati merekomendasikan agar pemerintah daerah berperan aktif mendukung lembaga zakat dan pengelolaan zakat. Dua penelitian ini mengedepankan sains modern dengan logika politik, sehingga keterlibatan 19 pemerintah dianggap sebagai kunci utama untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat. Takidah (2001) meneliti tentang ―Pengaruh Kualitas Jasa Badan Amil Zakat Nasional pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki‖, menemukan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap Badan Amil Zakat Nasional. Hal ini berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat. Temuan yang sama oleh Hardianto (2003), terhadap BAZIS DKI, bahwa rendahnya kepercayaan dikarenakan lemahnya sumber daya manusia pengelola dan kurangnya dukungan negara. Berbeda dengan temuan Firdaus (2004) yang meneliti Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam Oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tahun 2002-2003, menemukan bahwa BAZNAS menghadapi persoalan kepercayaan masyarakat karena keterlibatan negara. Ini ditunjukkan bahwa keterlibatan negara juga bisa membawa persoalan kepercayaan publik.. Indrijatiningrum (2005), dengan menggunakan analisis SWOT (Sthength, Weakness, Opportunity, Threat) dan HAP (Hierarchy Analysis Process), menemukan bahwa; ada gap yang sangat besar antara potensi dan realisasi yang teridentifikasi disebabkan oleh masalah kelembagaan tatakelola zakat berupa masalah kesadaran masyarakat dan masalah sistem manajemen zakat yang belum terpadu. Oleh karena itu Indrijatiningrum (2005) merekomendasikan kebijakan penerapan sanksi bagi muzakki yang tidak berzakat, meningkatkan kualitas SDM pengelola, profesionalitas, kredibilitas, akuntabilitas dan transparansi pangelolaan zakat dan mengintegralkan pelaksanaan sistem pajak dan zakat secara nasional. Skenario terbaik menurut Indrijatiningrum adalah dengan reformasi perundang-undangan. Zuhraini (2004), mengelaborasi zakat menyangkut ―Konsepsi Kekuatan Zakat dalam Pemberdayaan Umat‖, yang mencoba membongkar konsep-konsep zakat terkait dengan pemberdayaan masyarakat miskin. Zuhraini menyimpulkan bahwa; zakat bukanlah sekedar ibadah akan tetapi dalam perintah zakat ditemukan konsep-konsep pemberdayaan yang tergambar dalam delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, yang kesemuanya orang yang lemah (kecuali amil dan fisabilillah) yang butuh diberdayakan. Khatimah (2006), yang mengkaji Community Development Circle (CDC) Dompet Dhuafa Republika Tahun 2001-Maret 2004, menemukan bahwa; ada pengaruh yang signifikan antara distribusi dana zakat dengan peningkatan 20 kesejahteraan mustahik. Hal yang sama ditemukan oleh Mufraini (2001) bahwa; tingkat pendapatan dan konsumsi mustahik mengalami perubahan secara signifikan sesudah menerima dana zakat. Hanya saja, belum terlihat perubahan status dari mustahiq menjadi muzakki. Sementara Hidayat (2004), menemukan bahwa masyarakat mandiri yang dikelola oleh Lembaga Amil Dompet Dhuafa di Bekasi, menunjukkan bahwa bantuan pembiayaan meningkatkan pendapatan mustahik. Berbeda dengan temuan Muslim (2005), dalam penelitiannya tentang ―Pengaruh Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) terhadap Peningkatan Penghasilan Para Mustahik” menemukan bahwa bantuan-bantuan dana yang disalurkan ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan perekonomian mustahik. Hal ini dikarenakan kecilnya dana dan kurangnya motivasi kerja para musthik penerima dana zakat. Kajian-kajian di atas, meski memperlihatkan adanya perbedaan basis pengetahuan antara model lembaga tatakelola, namun tidak sampai pada pembahasan bagaimana pengetahuan bekerja dan membangun kekuasaan dalam empat lembaga tersebut. Menemukan kurangnya kepercayaan publik, para peneliti mengabaikan bekerjanya rezim pengetahuan sebagai basis rasionalitas yang mampu membangun kepercayaan publik itu bisa dibangun, padahal kepercayaan publik amat tergantung pada sebuah rezim pengetahuan yang bekerja dalam aras kognitif yang mengarahkan logika publik. Para penelitian di atas juga menemukan kegagalan lembaga zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan rendahnya motivasi mustahik. Persoalan ini tidak dilihat sebagai sebuah fenomena hasil dari konstruksi sosial masyarakat terhadap zakat dan bantuan zakat. Permono (1988) melalui disertasinya : ―Pendayagunaan Zakat di Samping Pajak dalam Rangka Pembangunan Nasional”, yang mengkaji persamaan zakat dan pajak, menyatakan zakat untuk pembangunan nasional, dan pemerintah sebagai amil zakat. Dengan pendekatan normatif, Permono mencoba mengelaborasi unsur-unsur yang menghubungkan zakat dan pajak dalam konteks pembangunan nasional, dan menekankan pentingnya zakat dan pajak dalam konteks penguatan ekonomi dan politik negara menuju pembangunan yang memberdayakan rakyat. Disertasi Permono tersebut merupakan kajian kepustakaan dengan fokus pada kitab-bitab zakat, undang-undang perpajakan dan tulisan-tulisan lainnya yang membahas tentang zakat dan pajak. Permono di 21 sini mengabaikan subjektifitas masyarakat zakat, konstruksi sosial zakat dan dinamika pengetahuan serta sistem rasionalitas masyarakat, makanya Permono merekomendasikan negara sebagai pengelola tunggal zakat. Qadir (1998) dalam disertasinya ― Zakat dalam Dimensi Ibadah Mahdhah dan Sosial―, menelaah zakat dari konsep keadilan dengan menggunakan pendekatan filosofis dan kontekstual. Dalam kajiannya, Qadir mencoba melihat zakat dari dua dimensi, yaitu : dimensi Mahdhah dan Ghairu Mahdhah (Sosial) yang dielaborasinya dengan menganalisis dimensi ibadah sebagai perintah agama yang wajib dari Allah SWT dan dimensi sosial. Konsekuensi kehambaan dan keberagamaan terwujud dalam bentuk ibadah yang merupakan bangunan hubungan yang bersifat vertikal (hablun min-Allah). Sementara dari dimensi sosial, Qadir mengelaborasi bagaimana fungsi-fungsi sosial zakat dalam bangunan hubungan horzontal (hablun min-al-nas) sebagai bentuk solidaritas sosial kepada kaum lemah (mustahik) dan perwujudan keadilan sosial bernuansa spiritual. Qadir kemudian merumuskan beberapa fungsi sosial zakat, yaitu: a. Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam. b. Menghindari kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat. c. Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana alam. d. Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekacauan dalam masyarakat. e. Menyediakan dana teknis dan khusus dalam menanggulangi biaya hidup bagi gelandangan, pengangguran, dan tuna sosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu (Qadir, 1998 : 76). Dasril (2000) dengan disertasinya : ―Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi Kemiskinan di Jakarta Pusat ―, yang menfokuskan kajian pada pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZIS DKI Jakarta. Dasril mencoba melihat upaya apa saja yang telah dilakukan berikut faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, Dasril mencoba menganalisis program-program aksi yang telah dilakukan dan menemukan berbagai kendala sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh BASIZ DKI dalam pengelolaan dana zakat, Infaq dan shadaqah (ZIS) menuju upaya pengentasan kemiskinan di Jakarta Pusat. Sayangnya Dasril terlalu fokus pada program-program kerja BASIZ DKI, akibatnya kurang memperhatikan bagaiaman konstruksi sosial terhadap kelembagaan zakat. Padahal berbagai persoalan dan kendala yang 22 dihadapi dalam upaya pengentasan kemiskinan berbasis zakat, amat terkait bagaimana zakat dikonstruksi secara sosial dan atas kuasa siapa. Hafhidhuddin (2001) dengan disertasi berjudul ‖Zakat dalam Perekonomian Modern―, menekankan masalah sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern dengan menggunakan pendekatan hukum dan ekonomi. Hafhidhuddin mengelaborasi berbagai sumber-sumber dana zakat yang baru dalam konteks ekonomi modern yang berpotensi menunjang pembangunan dan pengentasan kemiskinan umat. Disertasi ini sangat detil menjelaskan berbagai kegiatan ekonomi modern yang bisa menjadi sumber-sumber dana zakat baru, namun di sana beliau masih mengabaikan bagaimana konstruksi sosial zakat dan kaitannya dengan rezim pengetahuan. Hikam (2004), dengan disertasi yang berjudul: ―Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif“, memfokuskan pembahasan pada pandangan ulama klasik dan kontemporer berkaitan dengan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif. Relevansi konsep pendayagunaan zakat dikaitkan dengan UU. No. 38 tahun 1999 dengan hukum Islam dan praktek pendayagunaan zakat di beberapa lembaga zakat yang ada di Indonesia. Pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan filsafat hukum Islam yang bernuansa normatif (Hikam, 2004). Di sini Hikam merekomendasikan transformasi zakat dari bantuan zakat konsumtif menjadi bantuan zakat produktif. Penekanan bantuan zakat produktif menunjukkan kalau di sana rezim pengetahuan ekonomi bekerja dengan penekanan pada pencapaian kesejahteraan dan stabilitas politik negara. Yang terlupakan adalah ulasan tentang bagaimana rezim pengetahuan tersebut dibangun dan bekerja membentuk pemahaman dan tindakan berzakat. Miftah (2005) dengan disertasinya : ―Zakat dalam Perpektif Hukum Diyâni dan Qadâ‘i‖ membahas zakat sebagai hukum diyâni dan qadâ‟i, dan mengkaitkannya dengan UU. Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Miftah menganalisis realitas zakat sebagai aturan/hukum agama (diyâni) dan hukum negara (qadâ‘i). Dengan pendekatan normatif, Miftah berpandangan bahwa zakat sebagai ketentuan agama yang harus ditangani oleh negara dalam konteks kewarganegaraan terkait dengan kepentingan dan kemashlahatan (kebaikan) ummat. Menurut Miftah zakat adalah ibadah yang memiliki tujuan penegakan keadilan sosial dan ekonomi, dan untuk mewujudkannya, negara penting hadir dalam pengelolaan zakat. Negara yang dibayangkan oleh Miftah 23 dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki keberpihakan pada kemashlahatan masyarakat dan penegakan hukum secara konsisten. Miftah lupa kalau sebuah negara selalu tunduk pada satu rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas. Rezim pengetahuan bekerja membentuk kostruksi sosial zakat dan menggiring tindakan berzakat dan tatakelolanya pada satu titik yang disertai oleh ragam kepentingan. Selain beberapa tesis dan disertasi yang telah mengkaji zakat dalam berbagai perspektif di atas, terdapat pula sejumlah tulisan terdahulu yang memperbincangkan persoalan zakat. Seperti tulisan Idris (1997) dengan judul ―Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat‖, tulisan Ali (1988) dengan judul ―Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf ―, tulisan Ash-Shidiqy (1976) dengan judul ― Pedoman Zakat ―, tulisan Mas‘udi (1993) dengan judul ― Agama Keadilan; Risalah Zakat (pajak) dalam Islam―, tulisan Sofwan Idris (1997) dengan judul: ―Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Islam, sebuah pendekatan transformatif”, dan Bamualim dan Irfan Abu Bakar (2005) sebagai editor buku berjudul : ―Revitalisasi Filantropi Islam”, dan (2006) ―Filantropi dan Keadailan Sosial”. Keseluruhan karya-karya tersebut di atas begitu detil mengkaji persoalan zakat, akan tetapi hampir belum terlihat secara nyata, ada yang mengupas tentang konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dalam kaitannya dengan sistim rasionalitas dan kepentingan (lihat tabel 2 dan 3). Padahal pemahaman zakat dan sistem tatakelola zakat yang ada, merupakan perwujudan dari konstruksi sosial zakat, sebagai hasil kerja kuasa pengetahuan, sistem rasionalitas dan ragam kepentingan yang menyertainya. Kehadiran ragam entitas sosial menyuarakan tatakelola zakat, memunculkan berbagai benturan-benturan dan persaingan hingga pertarungan. Akibatnya model relasi-relasi internal dan eksternal yang terbangunpun akan bervariasi dan interdependensi, mengarah dominasi pada atau terbangunnya malah kooptasi. relasi independensi, Mengamati fenomena ragamanya entitas sosial mewacanakan tatakelola zakat dengan asumsi adanya persaingan dan benturan, maka penelitian ini mencoba melihat konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dengan terlebih dahulu memetakan beberapa kajian tentang zakat terkait, yang dapat dilihat pada tabel 2 dan 3. 24 Tabel 2 : Penelitian (Disertasi) tentang Wacana Zakat INDIKATOR LEMBAGA PENERBIT UIN Yogyakarta IDENTITAS Qadir (1998) Permono (1988) Dasril (2000) Klasifikasi Kajian Disertasi Disertasi Disertasi Pendayagunaan Zakat di Samping Zakat dalam Pajak dalam Dimensi Ibadah Rangka Mahdhah dan Sosial Pembangunan Nasional LADANSAN KAJIAN FOKUS KAJIAN fungsi zakat Landasan Etika asketik, keadilan & solidaritas Landasan Teoritis (Paradigma Teoritis) modernisasi Landasan Normatif METODOLOG I Wilayah Penelitian Metode Kajian Pedekatan REKOMEN DASI Analisis Basis Kelembagaan Manajemen Landasan Politik Kuasa Kelembagaan TEMUAN norma agama, dan hukum negera hukum zakat (agama) pustaka filsafat hukum IPB Bogor UIN Jakarta Nama Penulis dan Tahun Judul BIAS CIVIL SOCIETY PRO NEGARA optimalisasi zakat keadilan sosial modernisasi Hikam (2004) Miftah (2005) Disertasi Disertasi Abd. Malik (2008) Disertasi Upaya Bazis DKI Zakat dalam Jakarta Mengatasi Perekonomian Kemiskinan di Modern Jakarta Pusat Pendayagunaan Zakat dalam Zakat untuk Usaha Perpektif Hukum Produktif Diyâni dan Qadâ‘i Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat fungsi zakat inovasi zakat potensi zakat hukum zakat zakat dan kuasa pengetahuan zakat pemerataan & kesejahteraan keadilan sosial keadilan sosial asketik dan keadilan sosial pembebasan dan kemandirian modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi post-struktukral agama dan hukum negara agama agama dan hukum negara budaya dan norma sosial hukum zakat dan Jambi dan UU zakat Sumatera Barat pustaka lapangan hukum dan politik sosiologis agama dan hukum negara hukum zakat (agama) pustaka hukum Hafhidhuddin (2001) Disertasi kualitatif kualitatif Bazis DKI Jakarta lapangan ekonomi pemberdayaan kualitatif data sekunder ekonomi hukum agama dan UU zakat pustaka filsafat hukum kuantitatif kualitatif hermeneutik Negara Negara Negara Negara Negara Negara modern hukum agama dan UU negara zakat berdimensi ke-Tuhan-an dan kemanusiaan modern modern modern modern hukum agama dan UU negara modern hukum agama komunitas masjid dan UU negara jejaring masjid efektifitas zakat konstruksi sosial berdialetika dengan harus dengan intervensi negara kuasa pengetahuan UU UU negara negara agama bersifat dinamis terhadap modernisasi negara konstruktifif masjid hibrid 25 Tabel 3: Penelitian (Thesis) Tentang Wacana Zakat Bias Negara dan Civil Society BIAS NEGARA BIAS CIVIL SOCIETY UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA IPB Bogor Tesis Magister (Hukum dan Ekonomi) Disertasi INDIKATOR LEMBAGA IDENTITAS Nama Penulis dan Tahun Jenis Tulisan Judul Khasanah (2001) Palmawati (2002) Model Pengelolaan Zakat dan Dana Zakat di Pengentasan Indonesia Kemiskinan Fatahillah (2001) Takidah (2001) Hardianto (2003) Indrijatiningrum (2005 Khatimah (2006) Abd. Malik (2008) Strategi Kebijakan Pengelolaan Zakat di Bazis DKI Jakarta Analisis Pengaruh pelayalan Baznas pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki‖, Analisis Kebijakan BAZIS DKI Jakarta Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Membayar Zakat Zakat sebagai Alternatif Penggalangan Dana Masyarakat untuk Pembangunan Pengaruh Zakat Produktif Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Para Mustahik Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LADANSA N KAJIAN konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan pembebasan dan kemandirian kelembagaan fungsi ekonomi zakat stategi kelembagaan respon pelayanan potensi zakat fungsi sosial zakat fungsi zakat solidaritas keadilan sosial kesejahteraan pemerataan keadilan sosial keadilan sosial pemberdayaan modernisasi modrnisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi post-struktukral Agama dan hukum negara Lembaha zakat Donggala Lapangan Agama dan UU Agama dan hukum Agama negara Hukum agama dan negara H. agama, negara & norma Yayasan DD Republika Metode Penelitian Norma agama, dan hukum negera Kelemabagaan Zakat Jakarta Lapangan Pedekatan Manajemen Sosial ekonomi Analisis Kualitatif Basis Kelembagaan Negara Kualitatif Komunitas dan negara Manajemen Kelembagaan Modern FOKUS KAJIAN Landasan Etika Landasan Teoritis (Paradigma) Landasan Normatif METODOLOGI Wilayah Penelitian REKOMENDASI Landasan Politik Kuasa Kelembagaan KESIMPULAN Modern Hukum agama dan Hukum Agama & UU UU Negara Negara Ada 4 model lembaga zakat -negara, -bisnis -kemsyarakatan - tradisional BAZIS DKI Jakarta Lapangan Ekonomi kelembagaan AHP Baznas Jakarta BAZIS DKI Jakarta Kebijakan Lapangan Lapangan Data sekunder Budaya dan Norma sosial Jambi dan Sumatera Barat Lapangan Manajemen Manajemen Ekonomi manajemen Sosiologis kuantitatif AHP SWOT DAN AHP Kuantitatif Konstruktivis Negara Berbasis Negara Negara Negara Civil Society Jejaring Masjid Modern Modern Modern Modern Modern Hibrid Dukungan negara Civil Society Civil Society Ada hubungan signifikan antara Jenis kelamin, pendidikan, jenis usaha dan total skim (pembiayaan dari zakat) Komunitas Hukum Agama & UU Negara Hukum agama dan Reformasi Hukum UU dan UU Negara Negara Negara Skenario terbaik Perlu adanya Pelayanan Baznas BAZIS DKI Jakarta meningkatkan keterlibatan Strategi tidak berpengaruh menghadapi empat realisasi potensi masyarakat dan Penyaluran terhadap kendala yaitu SDM, zakat adalah Pemerintah Bazis Jkt kurang kepercayaan sarana, anggaran reformasi Daerah agar tujuan tepat sasaran masyarakat dan peraturan perundangzakat optimal. undangan Undang-Undang Konstruksi sosial berdialetika dengan Kuasa Pengetahuan Pada tabel 2 dan 3 terlihat pemetaan kajian terdahulu tentang zakat dan tatakelolanya. Pada tabel 2, semua kajian yang berlevel disertasi dengan wacana kajian yang menonjolkan tatakekola zakat pro negara. Pemetaan kajian pada tabel tersebut, menitikberatkan perhatian pada fokus kajian, landasan kajian, metodologi dan rekomendasi serta temuan. Fokus kajian menunjukkan bahwa penumpukan ada pada kajian fungsi dan optimalisasi serta inovasi kelembagaan zakat. Landasan kajian menekankan pada kajian normatif meski sudah terlihat mencoba menyentuh aspek sosial dengan menonjolkan konsep ―keadilan sosial‖ di bawah paradigma modernisasi yang sangat strukturalis. Pada tabel 3, kumpulan kajian tesis tentang wacana zakat bias negara dan civil society. Kajian-kajian zakat pada tabel 3 menitikberatkan pada pembahasan zakat dalam konteks kelembagaan yang melihat fungsi zakat, strategi kelembagaan dan respon masyarakat. Landasan kajian kesemuanya berada di bawah payung modernisasi dengan pendekatan ekonomi dan manajemen kelembagaan. Rekomendasi ketatakelolaan zakat, pada tabel 3 terlihat mengarah pada penekanan kuasa tatakelola oleh negara, dengan manajemen modern di bawah legitimasi hukum negara. Akhirnya kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa dibutuhkan keterlibatan negara dan pemerintah yang disertai dengan kebijakan peraturan yang jelas dan berkekuatan hukum untuk mengoptimalkan manajemen dan fungsi serta capaian tujuan zakat, dan mengabaikan kuasa pengetahuan yang bekerja dalam aras kognitif umat. Semua kajian di atas belum ditemukan satupun yang menekankan kajian pada konstruksi sosial zakat terkait dengan kuasa pengetahuan. Bagaimana zakat dikonstruksi dan bagaimana pengetahuan menjadi sebuah kekuatan yang mengarahkan wacana zakat, tindakan berzakat hingga tatakelolanya, belum terlihat sama sekali. Kajian yang menekankan pada aspek sosial dengan menggunakan pendekatan sosiologi juga belum tampak di sana. Memunculkan wacana jejaring masjid sebagai sebuah kekuatan sosial luas dan mengakar dalam budaya zakat dan tatakelolanya, juga tidak muncul dan terkesan terlupakan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi ruang kosong tersebut dengan mengangkat kajian tatakelola zakat dengan fokus kajian: Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat, dengan memfokuskan kajian pada tiga lembaga tatakelola zakat di Propinsi Jambi dan Sumatera Barat. 27 2.2. Pandangan Filosofis Secara filosofis, zakat memiliki dua dimensi (As-Shiddiqie, 1991), yaitu: pertama, sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT sebagai konsekuensi logis atas makhluk yang percaya kepada Allah dan menganut agama Islam. Maka zakat di sini menjelma dalam tindakan sebagai kepatuhan, penyerahan, dan pengabdian kepada Allah SWT sebagai pencipta (tindakan asketik), tanpa dicampuri oleh pertimbangan-pertimbangan dan pilihan-pilihan yang bersifat duniawi (Idris, 1997). Pemahaman kedua, sebagai ajaran menuju lahirnya kepedulian kepada sesama (khususnya kepada yang lemah/mustahiqin), menjalin hubungan saling membantu dan melindungi secara sosial, ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, maka zakat dipahami sebagai ibadah sosial dalam wujud tindakan kemanusiaan yang oleh Idris (1997) diistilahkan dengan paradigma trasformatif. Zakat sebagai perintah agama melembaga karena religious ethics dan kemanusiaan yang di dalamnya bekerja sistem rasionalitas. Dalam pandangan ini kelembagaan zakat menjadi dinamis dan sarat dengan pertimbangan ilmiah dengan dimensi-dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi (Syâtibi, tt). Gambar 2 : Pertemuan Teologisme dan Sekularisme Ruang Diskursus Pemahaman pertama (dimensi spiritual) (Syâtibi, tt) atau dimensi normatif merupakan perwujudan pemahaman zakat dalam ranah teologi atau epistemogi teologisme dengan basis etik teosentrisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang harus tunduk kepada ajaran agama. Sementara pemahaman kedua (dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi) merupakan perwujudan 28 pemahaman berbasis epistemologi sekularisme yang melihat manusia sebagai makhluk yang cerdas dan ivonatif. Paham ini berbasis etika Antroposentrisme. Pemahaman pertama melihat zakat sebagai ajaran agama yang harus dalam kemurnian sebagaimana diterjemahkan nabi atas firman Tuhan, yang disabdakan kepada umat manusia dalam konteks ukhrawi. Pemahaman kedua, melihat zakat sebagai fenomena duniawi yang sarat dengan dimensi kemanusiaan dan pembebasan. Pemahaman kedua ini kemudian berkembang sehingga zakat yang tadinya berwawasan normatif, bergeser menjadi berwawasan ilmiah (Idris, 1997) yang terbuka dengan wacana pembangunan, kemanusian, dan keadilan (Mas‘udi, 1993). Zakat sebagai ajaran agama Islam, dalam konteks ibadah ke-Tuhan-an (ilahiyah) merupakan perintah tetap dan menyejarah, namun dalam konteks kemanusiaan (muamalah), zakat dipandang sebagai fenomena pembebasan dan instrumen keadilan. Di sini pemahaman zakat sangat dinamis dan terbuka terhadap perubahan dan perkembangan untuk kepentingan perwujudan keadilan dan pembebasan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan dan ketidak berdayaan (Qadir, 1998). Berawal dari pemahaman zakat sebagai ibadah yang memiliki misi kemanusiaan dan pembebasan, maka lahir pemikiran tentang transformasi zakat pada ranah pengetahuan (Kontowijoyo, 1991, Mas‘ud, 1991 dan Idris, 1997). Kelembagaan zakat tak lepas dari bagaimana sistem pengetahuan dan rasionalitas bekerja membentuk konstruksi sosial zakat dan melembagakan dalam praktek sosial. Zakat digerakkan oleh semangat spiritualitas dan humanitas dan amat erat kaitannya dengan budaya berderma, makanya zakat selain sebagai ibadah berdimensi teosentrisme di sana juga terkandung dimensi antroposentrisme, sehingga sinergis antara pengetahuan berbasis teologisme dan pengetahuan berbasis sekularisme terbuka untuk saling merajut dalam wacana tatakelola zakat. Melembaganya zakat dalam praktek kehidupan sosial, secara politis dan ekonomi merupakan potensi yang besar bagi berbagai kalangan, dan melihat zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan. Potensi tersebut merupakan salah satu pendorong munculnya wacana pemberdayaan berbasis zakat dari berbagai kalangan: mulai dari akademisi, politis hingga pengusaha. Mereka mencoba ikut bicara dan menawarkan formula masing-masing, hingga 29 kemudian mengerucut pada wacana zakat berbasis negara, berbasis industri dan berbasis komunitas dan memunculkan zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial. Persoalan kemudian adalah bahwa manusia memang makhluk sosial yang butuh interaksi, makhluk ekonomi yang tergantung dengan orang lain, namun pada saat yang bersamaan juga sebagai makhluk penuh konflik (Ritzer, 2005), haus kekuasaan dan tindakannya penuh persaingan (Weber) dan pertarungan (Marx). Oleh sebab itu, maka ragamnya wacana zakat membuka peluang lahirnya konflik antar-aktor, apalagi ketika zakat dilihat sebagai sumber daya potensial secara politik dan ekonomi. Wacana zakat bisa terjebak dalam arena kontestasi dan pertarungan untuk saling menguasai dan mendominasi antara satu dengan lainnya, atau paling tidak saling berupaya mencapai kepentingan masing-masing dan menegasikan yang lain. Akibatnya zakat akan lebih dipandang sebagai sumber daya dalam konteks perwujudan tujuan sepihak, ketimbang sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan umat. Zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan berbasis agama, memandang kaum lemah pada posisi yang harus diperhatikan, hal ini memiliki kemiripan dengan teori pembangunan alternatif yang menyuarakan elit tradisional yang terancam terasing oleh industrialisasi (ideologi Marxisme) (Hettne, 2001: 27). Pandangan ini menekankan implikasi etis dan estetis yang negatif dari sebuah perubahan sosial yang sedang berlangsung dan meminggirkan masyarakat tertentu. Marx pada karya awalnya menggambarkan bahaya keterasingan sebagai akibat dari cara produksi kapitalis, dan Weber menyatakan bahwa rasionalisasi masyarakat modern yang tidak dapat diubah, membuat masyarakat itu menjemukan karena kehilangan pesona (entzauberung) (Weber, dalam Albrow, 2005). Hal yang sama dinyatakan oleh Nisbet (1980) bahwa keyakinan terhadap kemajuan sulit diharapkan dalam suatu peradaban, karena di sana semakin banyak kelompok yang mengalami kebosanan terhadap dunia, negara, masyarakat dan bahkan terhadap diri sendiri (Nisbet, 1980). Escobar (1992) melihat pentingnya refleksi pembangunan dengan menekankan pada pendekatan grass root dan pendekatan politik alternatif untuk dunia ketiga. Pendekatan model pembangunan yang menekankan pada pembelaan, perlindungan dan pemberdayaan komunitas lokal (Pieterse, 1998), untuk membangun diri sendiri berdasarkan kemampuan dan karakteristik budaya 30 lokal, yang sebelumnya dianggap oleh kaum kelompok modernis sebagai hal yang tidak penting dan bahkan diangggap sebagai penghambat pembangunan. Maka dalam upaya memberdayakan dan melindung masyarakat lokal muncul teori pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development), berwawasan etnis (etno-development), berwawasan budaya (culture-development), dan berwawasan agama (religion-development). Perkembangan pemahaman tentang sosok agama, sains dan negara senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagamaan yang lahir belasan abad lalu mengalami perkembangan karena zaman berubah, meski semula agama diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, namun pada urutannya lembagalembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya (Hidayat, 2006) dan mengalami persentuhan dengan sains modern. Persentuhan antara agama dan sains terus berlanjut sebagai wujud kebutuhan manusia terhadap dunia spiritual dan material secara bersamaan. Ini merupakan upaya pencarian untuk menemukan format yang tepat bagi pembangunan yang bisa memposisikan kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan dalam usaha mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dominasi. Proses konstruksi sosial manusia terhadap agama, terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan pengetahuannya. Agama yang semula hanya dicerna dalam kerangka teologisme, perlahan bergeser dan dicerna dalam kerangka sekularisme. Agama yang tadinya hanya dilihat sebagai ajaran wahyu yang statis dan lebih diwarnai dengan orientasi ketuhanan, belakangan banyak diwarnai dengan orientasi kemanusiaan. Hal ini terlihat dalam konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat dalam masyarakat, yang memunculkan wacana tatakelola zakat yang didominasi gagasan meningkatkan kesadaran berzakat menuju pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan satu gejala yang menunjukkan bahwa, benturan-benturan antara agama dan sains yang pernah ada dalam sejarah perlahan melunak dan semakin cair. Namun perlu disadari bahwa untuk Indonesia, masyarakat muslim berasal dari ragam budaya dengan ragam kearifan lokal, yang tentunya di sana ada banyak sistem pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja. Akibatnya zakat sebagai ajaran agama, dikonstruksi oleh umat secara berbeda berdasarkan rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja pada aras gagasan dengan kepentingan yang berbeda. Maka upaya untuk mewujudkan 31 kehidupan bertuhan, beragama dan bernegara dalam satu gagasan pada konteks zakat, agaknya perlu diperhatikan keragaman sistem pengetahuan dan rasionalitas termasuk di dalamnya keragaman kepentingan terhadap zakat. Memandang zakat sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi pemberdayaan masyarakat, hendaklah dalam konteks keragaman budaya (pengetahuan, dan sistem rasionalitas). Memaksakan satu gagasan utuh terhadap suatu komunitas sama halnya meniadakan komunitas itu, apalagi kalau kemudian disertai dengan justifikasi dan menyalahkan yang lain. Agaknya ini merupakan keangkuhan, karena manusia hanya mencari kebenaran dan kebenaran yang ditemukan tidaklah pernah ditemukan secara sempurna, kebenaran sempurna hanya ada pada Tuhan dan manusia hanya berusaha untuk benar dan belum tentu benar. Oleh sebab itu, maka biarkanlah umat beragama dan berzakat sesuai dengan konstruksi yang mereka bangun dalam gagasan, dan biarlah zakat dikelola sesuai dengan konstruksi sosial dan pengetahuan serta budaya dengan kearifan-lokal (local-wisdom) masing-masing. Bagaimanapun mekanisme yang penting adalah kesadaran dan pemahaman bahwa zakat merupakan mekanisme distribusi kesejahteraan masyarakat yang bertujuan mendekatkan hubungan kaum kaya dan miskin dalam relasi yang saling memanusiakan dengan penuh kehangatan. Sehingga kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dari dominasi. 2.3. Pandangan Teoritis Berangkat dari asumsi bahwa tiga model lembaga zakat dikonstruksi oleh aktor-aktornya secara berbeda dengan basis pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan yang berbeda. Zakat dilihat sebagai sumber daya yang memiliki potensi, baik potensi politik, sosial budaya, maupun ekonomi. Maka kehadiran negara, industri dan komunitas dalam ruang tatakelola zakat, membuat ruang zakat diwarnai oleh kemungkinan berbagai macam relasi. Relasi antara aktor dari tiga entitas sosial bisa bersifat dominasi, kooptasi, kerjasama atau relasi kemitraan, atau bisa jadi berupa negosisasi atau transaksi yang bisa bermuara pada bangunan relasi berbentuk interdependensi atau trans-dependensi. Semua relasi tersebut tergantung bagaimana kuasa pengetahuan zakat dikonstruksi oleh masyarakat. Karena konstruksi sosial zakat sangat dipengaruhi 32 oleh bagaimana rezim pengetahuan bekerja membangun pemahaman zakat dan rezim pengetahuan apa yang dianggap memiliki kuasa membentuk wacana zakat dan tatakelolanya. Untuk bisa menjelaskan konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat, maka perlu membahas tentangan Pengetahuan, Rasionalitas dan Kepentingan dalam Tatakelola Zakat. Oleh karena itu diperlukan beberapa landasan teori yang mampu membantu menjelaskan, menganalisa dan membongkar realitas di balik hadirnya wacana tatakelola zakat berbasis negara, industri dan komunitas. 2.3.1. Konstruksi Sosial (Social Construction) atas Realitas Peter L Berger adalah salah seorang sosiolog yang konsen bicara tentang konstruksi sosial atas realitas. Gagasan Berger terlihat humanis (mengikuti Weber dan Schutz) mudah diterima, mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger cenderung tidak melibatkan pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada historisitas. Benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx). Berger dan Luchmann (1990) dalam bukunya yang berjudul; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma (1994) yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Tetapi Berger dan Luchmann tidak menolak kekuatan struktur terhadap aktivitas manusia. Oleh karena itu Berger dan Luchmann dianggap oleh Douglas dan Johnson sebagai Durkheimian dan memberikan justifikasi pada gagasan (Samuel, 1993). Beberapa tokoh yang mewarnai pemikiran sosiologi Berger adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya tentang makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala kemanusiaan. Dalam hubungan dialektik antara masyarakat dan individu, Berger meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif–yang mempunyai kekuatan memaksa, 33 sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan seharihari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, Mead menjadi rujukan Berger (Poloma, 1994). Teori Berger mendefinisi pengetahuan, dengan ulang hakekat dan peranan sosiologi mendefinisikan kembali pengertian ―kenyataan‖ dan ―pengetahuan‖ dalam konteks sosial. Sosiologi menurutnya, harus mampu menjelaskan dan memahami bagaimana kehidupan masyarakat itu terbentuk dalam proses-proses yang terus-menerus, yang ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, maka perhatian terarah pada bentukbentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif). Kenyataan sosial tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial lewat berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, dan bekerja sama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial. Kenyataan sosial, ditemukan dalam pengalaman intersubjektif (intersubjektivitas). Lewat intersubjektivitas itu dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubjektivitas menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Berger dan Luchmann (1990) memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi, serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif. Kenyataan sosial oleh Berger dan Luchmann, merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini dan menuju masa depan. Kehidupan sehari-hari menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas objektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subjektif. Pada sisi yang lain, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu ‘yang nyata‘ oleh pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan (objektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subjektif dan 34 membentuk dunia akal-sehat intersubjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 29). Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan konstruksi sosial. Konstruksi sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus, sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Konstruksi sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya (Berger dan Luchmann, 1990). Masyarakat sebagai realitas objektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh momen eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang, yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Di sinilah terdapat peranan di dalam konstruksi kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Peranan mempresentasikan konstruksi kelembagaan; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Pentradisian sengaja dihadirkan, diformat, diinstitusionalisasikan, diritualkan, dan dikonstruksi kembali untuk kepentingan tertentu sebagai bagian dari pelegitimasian suatu perilaku sosial. Karena, masyarakat sebagai realitas objektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan objektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan, tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat objektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subjektif. Masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas objektif ditafsir secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsir itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ―mengambil alih‖ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. 35 Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bukan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat. Menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan perlu ada sebuah universum simbolik. Universum simbolik ini menduduki hierarki yang tinggi, menunjukkan bahwa semua realitas memiliki makna bagi individu dan individu bertindak sesuai dengan makna. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik. Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ‖legitimasi lembaga sosial‖ menuju ‖lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi‖ terus berlangsung secara dialektik dan ini berdampak pada perubahan sosial. 2.3.2. Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault (1980) adalah orang yang paling konsen berbicara tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan, dan menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam The Archaeology of Knowledge, konsep discourse sebagai gambaran bagaimana pengetahuan bekerja sebagai kumpulan pernyataan. Konsep discourse yang dimunculkan oleh Foucault dalam beberapa tulisannya berada pada tema sentral yang disebutnya dengan énconcé (statemen). Statemen yang dimaksud oleh Foucault, memiliki kemiripan dengan speech act yang pernah dikemukan oleh Jon Austin (1962) dan John Searle (1979). Statmenstatmen yang terlontar pada dasarnya akan memberikan pengaruh sosial dan pada gilirannya akan menjadi sebuah pengetahuan yang tersebar dan membuat orang lain mengikutinya (Dreyfus and Rabinow, 1982). 36 Diskursus sebagai ide pokok dalam pemikiran Foucault, dipahami sebagai penjelasan, pendifinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran. Diskursus tidak terlepas dari relasi kekuasaan, dan bertaut dengan pengetahuan. Oleh karenanya, Foucault berfikir dan mengakui kalau kekuasaan tersebar di mana-mana dan datang dari manamana. Berbeda dengan Marx yang melihat kekuasaan hanya ada pada negara (Haryatmoko, 2002). Konsep diskursus juga memberikan jalan pemikiran tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bebas dari kungkungan intelektual yang berkaitan dengan ideologi. Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktek-perktek yang menghasilkan pernyataan-penyataan (statemen) yang bermakna pada satu rentang sejarah tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Diskursus mengisolasi, mendifinisikan dan memproduksi objek pengetahuan yang sekaligus merupakan sebuah undang-undang sosial yang menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu. Hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan . Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005). Dengan demikian maka pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980). Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan- 37 pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai. Kekuasaan (power), oleh Adams (1977) dilihat dalam kerangka kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan melalui kendali. Wolf (2001) menambahkan bahwa kekuasaan yang disadari oleh kemampuan pelaku untuk mempengaruhi dan mengendalikan pelaku lain, adalah kekuasaan taktis (tactical power) atau kekuasaan terorganisir (organizational power). Kekuasaan model ini mengakibatkan pelaku lain terbatas untuk bertindak sesuai keadaan yang sudah ditetapkan. Hubungan kekuatan/kekuasaan antar pelaku oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi kekuasaan bebas (independent power) dan kekuasaan terikat (dependent power). Kekuasaan bebas merupakan hubungan dominasi berdasarkan atas kemampuan dan pengendalian secara langsung oleh pelaku, sementara kekuasaan terikat merupakan pelimpahan hak kekuasaan kepada orang untuk membuat keputusan untuknya. Jenis kekuasaan kedua oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: Kekuasaan yang dihibahkan (power granting), kekuasaan yang dialokasikan (power allocation), dan pendelegasian kekuasaan (power delegation). Pada tiga jenis kekuasaan terakhir, pelaku yang sedang melakukan kontrol kekuasaan tetap terlibat dalam setiap proses pelaksanaan kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam perspektif Adam (1973), Bourdieu (1979), dan Suparlan (2004), dilihat sebagai kekuasaan yang terjadi antara pelaku, dan ditambah oleh Giddens (1984) dalam setiap ruang dan waktu. Kekuasaan oleh Giddens (1984) merupakan kemampuan untuk mencapai hasil, bersifat dinamis, dan dalam bekerjanya kekuasaan, ada struktur yang mendominasi dalam proses reproduksi sosial. Struktur yang dimaksud Giddens (2003) terwujud dalam tiga gugus yang saling terkait yaitu: pertama, struktur penanda (signification) yang 38 menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan/dominasi (domination), yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran/legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam hukum. Menurut Giddens (1984 dan 2003), bahwa dalam ilmu sosial melihat kekuasaan cenderung mencerminkan dualisme subjek dan objek. Makanya kekuasaan seringkali didefinisikan berdasarkan tujuan atau kemauan, yakni sebagai kemampuan mencapai hasil yang diinginkan dan dimaksudkan. Sebaliknya Foucault (1984, 2002), memandang kekuasaan sebagai milik masyarakat atau komunitas, dan tersebar di mana-mana di tengah-tengah masyarakat. Sementara Marx (dalam Giddens, 1993) melihat kekuasaan selalu terkait dengan ekonomi sebagai sebab lahirnya perbedaan kelas (proletar dan borjuis), dan itu terlihat pada ―means of production”. Kekuasan diletakkan pada kepemilikan alat-alat produksi, mulai dari sistem ekonomi feodalisme hingga kapitalisme. Kemudian Weber (dalam (Giddens, 1993), pada sisi yang agak berbeda, melihat kekuasaan tidak hanya ada pada kekuatan ekonomi semata, tapi memasukkan unsur status dan partai (status and party). Jadi kekuasaan menurut Weber bisa karena motif ekonomi dan juga motif lain, yang disebutnya dengan prestise. Meski pandangan Marx dan Weber berbeda tentang kekuasaan, namun keduanya memiliki kesamaan pandang tentang pentingnya kekuasaan dalam pengaturan kehidupan manusia sekaligus peradaban, sehingga orang selalu terdorong untuk mencari kekuasaan dan memanfaatkan berbagai cara yang paling efektif dan efisien untuk memperoleh kekuasaan. Salah satu cara yang paling menonjol adalah, mengakumulasi potensi atau sumber daya yang dianggap mempu membukakan jalan bagi perolehan kekuasaan. Namun karena terbatasnya sumber daya potensial yang bisa memberikan peluang besar bagi perolehan kekuasaan, menyebabkan seringkali terjadi perebutan, pertikaian hingga pertarungan dalam proses upaya menguasai sumber-sumber potensial. Kekuasaan bagi Foucault (1980, 2002), merupakan dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan sejarah (Ritzer, 2005), mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda. Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah 39 sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih merupakan strategi, sehingga kekuasaan merupakan praktek yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu yang di dalamnya ada banyak posisi yang terus mengalami pergeseran. Kekuasaan bukan datang dari luar, akan tetapi menentukan susunan, aturanaturan dan hubungan-hubungan dari dalam. Kekuasaan selalu bertautan dengan pengetahuan dan memproduksi pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang kemudian membangun kekuasaan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Pernyataan ini menujukkan bahwa ada korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, artinya bahwa pengetahuan mengandung kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan mengandung pengetahuan. Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga ke konsep the concept of govermentality, yang mengarah ada organisasi admisnitratif yang dibentuk untuk mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi, pengawasan terait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto, 2005). Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena kelembagaan zakat formal dan informal, modern dan tradisional, berbasis negara dan komunitas, yang ujung-ujungnya adalah penguasaan atas wacana. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai bentuk restriksi. Dengan demikian, model yang satu menjadi layak untuk mengalahkan dan menguasai yang lainnya dengan alasan-alasan rasionalitas subjektif yang dibangun melalui wacana, mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya yang di dominasi oleh kelompok yang mendominasi arena pertarungan. Strategi kuasa terjelma sebagai aparat, artinya mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu (Foucault, 2002). 40 Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen, dan bangunan wacana. Kegiatan-kegiatan yang di atas-namakan keilmiahan membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu. Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacanawacana yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (Eriyanto, 2001). 2.3.3. Wewenang (Authority) Otoritas atau wewenang erat hubungannya dengan kekuasaan (power), karena dengan wewenang maka orang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Wewenang atau otoritas menekankan pada unsur hak, bukan pada kekuasaanya, meskipun kekuasaan dan wewenang tidak dapat dipisahkan. Wewenang merupakan suatu kekuatan yang sah untuk menjalankan kekuasaan. Dalam pandangan Weber (1978), wewenang (authority) dikaitkan dengan legitimasi, yang kemudian membagi otoritas menjadi tiga jenis, yaitu: pertama, otoritas tradisional (traditional authority), jenis otoritas ini bersumber dari budaya (custom) sehingga otoritas lebih merupakan pelimpahan kekuasaan berbasis budaya dan tradisi yang diwariskan dengan legitimasi tradisi. Kedua, orotiras kharismatik (charismatic authority), jenis ini merupakan otoritas yang bersumber dari pengakuan orang atas keistimewaan seseorang (yang dianggap luar biasa) sehingga ia dipatuhi, dan ini sangat peribadi sifatnya. Ketiga, otoritas 41 legal rasional (rational-legal authority), merupakan otoritas yang bersumber dari aturan formal (hukum). Jenis otoritas inilah yang dimaksud oleh Weber ketika membahas otoritas birokrasi (bureaucratic authority). Otoritas rasional atau legal merupakan otoritas yang diperoleh seseorang dengan batasan-batasan hukum formal yang berlaku. Ketika Otoritas tersebut diterima oleh seseorang, maka otoritas tadi melekat dalam diri orang yang menjadi pemimpin atau penguasa dan dengan otoritasnya ia menjalankan kekuasaan. Orang lain mematuhi penguasa atas dasar kekuatan norma-norma hukum. Oleh Weber kemudian dikatakan bahwa kekuasaan itu bisa berbentuk kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, dan kekuasaan agama atau norma. Makanya kepatuhan orang terhadap kekuasaan dilandasi oleh tujuan yang bisa bersifat ekonomi, politik dan juga agama. 2.3.4. Negara dan Kekuasaan: Pergulatan Kaum Elit. Relasi segitiga antara negara, civil society dan industri swasta (kapitalis) dalam sejarah menujukkan berbagai model. Marx misalnya cenderung memposisikan negara dan pihak kapitalis pada posisi yang sama dan berlawanan dengan civil society, dan di sana ia menunjukkan bahwa kapitalis bersama-sama negara selalu menduduki posisi superior (borjuis) dan civil society selalu pada posisi inverior (proletar) (Ritzer, 2005). Weber pada sisi lain melihat antara negara dan kapitalis pada posisi yang berbeda dan masing-masing punya kepentingan. Dengan demikian bahwa tiga entitas sosial (negara, kapitalis dan civil society) selalu pada posisi yang berlawanan. Perlawanan itu secara empiris terlihat nyata, di balik negara dan industri ada aktor-aktor individual yang menjalankan roda organisasi, sehingga kalau melihat fenomena benturan-benturan kepentingan di mana negara dan industri diletakkan pada satu sisi dan pada sisi yang lain ada civil society, maka sebenarnya yang lebih nyata adalah adanya sekelompok aktor yang menghegemoni masyarakat untuk menguasai potensi-potensi politik, sosial dan ekonomi yang melekat dalam dunia khalayak. Negara bagi Weber (dalam Greth dan Mills, 1974) merupakan lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Weber menunjukkan betapa sebuah negara memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur, merubah dan bahkan memaksakan kehendaknya. Plato dan Aristoteles melihat negara memerlukan kekuasaan yang mutlak dan 42 kekuasaan itu untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Pada zaman pertengahan, pandangan negara dan kekuasaan mengalami perubahan, di mana pemikir ketika itu menyatakan bahwa negara harus tunduk dengan Gereja, dan Gereja adalah wakil Tuhan yang menegakkan kehidupan moral dunia (Martin, 1993). Hobbes (dalam Budiman, 1996), melihat pentingnya kekuasaan negara karena pertimbangan warganya, karena jika tidak, warga akan saling bertarung dan memperjuangkan kepentingan masing-masing. Di sini negara dianggap sebagai wakil dari kepentingan publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompok. Pandangan Hobbes (1588-1679) ini berawal dari kondisi politik yang sedang terlibat perang saudara, sehingga pada saat itu dibutuhkan kekuasaan negara yang sangat besar yang diwakili oleh seorang raja yang berkuasa mutlak dan individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya kepentinganya, keamanannya, dan perdamaian jangka panjang dapat terjamin. Negara yang seperti inilah yang oleh Hobbes dinamai dengan leviathan. Hegel dalam filsafat dialektikanya, berpendapat bahwa sejarah manusia merupakan proses dari sebuah ide yang universal yang sedang merealisasikan atau mengaktualisasikan dirinya. Ide dasar tersebut dapat disamakan dengan ide Tuhan dalam menciptakan umat manusia yang tidak menjelma dalam waktu singkat. Ide tersebut berperoses dengan apa yang dinamakan sejarah (Heidegger, 1989 dan 2002). Penghujung sebuah proses sejarah adalah menjelmanya ide universal menjadi sebuah kenyataan dengan terbentuknya masyarakat ideal. Bebeda dengan Hegel, Marx melihat sejarah adalah menuju terciptanya masyarakat sosialis, bukan masyarakat ideal demokratis. Mengikuti Hegel, Marx melihat sejarah manusia sebagai sejarah pertentangan kelas (borjuis dan proletar, yang ditandai dengan hubungan eksploitatif) yang secara tidak langsung mencerminkan dalam pembagian kerja, karena kepentingan antara penguasa dan yang dikuasai. Pembagian kerja selalu diwarnai oleh konflik dan sering menimbulkan perjuangan kelas6. Inilah yang menurut Marx sebagai motor utama penggerak perkembangan sejarah (Giddens, 1987). Menyangkut keberpihakan negara, Hobbes (dalam Budiman, 1996) melihat bahwa keberpihakan negara berada pada kepentingan warga, dan di sinilah letak perolehan kekuasaan negara mutlak. Oleh sebab itu menurut pandangan kaum 6 Kelas oleh Ferguson (1967) dan Millar digunakan semata-mata untuk membedakan strata sosial (kekayaan dan kedudukan), Adam Smith menujukkan kelas miskin, dan Ricardo dan Ure, Sain Simon dan Fourier, apalagi Marx dan Engel digunakan untuk menyatakan kelompok kaya dan miskin (kelas borjuis dan proletar) (Dahrendorf, 1986: 4). 43 pluralis, negara itu netral dengan persyaratan demokrasi. Kekuasaan politik menurut kaum pluralis tidak boleh berada di tangan negara, tetapi berada di tangan rakyat. Kekuasaan negara yang mutlak ditolak di sini, maka jika negara ingin kuat dan di dukung oleh rakyat, maka harus memihak pada kepentingan semua kelompok secara sama. Bagi kaum Marxis, keberpihakan negara selalu berada pada kelas borjuis secara menyeluruh dan mengenyampingkan kelas proletar. Kekuasaan negara diabadikan untuk kepentingan kelas borjuis dan terus memperkuat kekuasaanya dengan mengeksploitasi kaum proletar. Bahkan lebih jauh kaum Marxis menganggap bahwa negara selalu menjadi alat dari kelas yang berkuasa. Sejalan dengan itu, Mills (1974) yang dikutip oleh Budiman (1996:61) menyatakan bahwa meskipun masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang pluralistis, namun kelompok elit penguasa selalu datang dari kelompok masyarakat tertentu. Karena itu, masyarakat akan selalu berusaha menciptakan negara yang kuasai oleh kaum proletar (buruh) untuk membentuk masyarakat komunis. Antonio Gramsci, Nicos Poulantzas, dan Ralph Miliband, melihat bahwa negara melingkupi aparat-aparat individu dan organsiasi sosial lainnya yang berada di luar negara. Oleh Garamsci (dalam Budiman, 1992) menjelaskan bahwa negara tidak hanya mencakup unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan aparat pertahanan dan keamanan, namun juga termasuk lembaga non-pemerintah atau organisasi politik, ekonomi, dan kultural yang bisa menjadi sarana negara untuk menghegemoni. Makanya Poulantzas, melihat negara sebagai wilayah berlangsungnya pergulatan politik antara kelas (ekonomi, politik, dan ideologi), termasuk antar pejabat pemerintah. Selain negara sebagai institusi kekuasaan yang mencerminkan relasi sosial yang sangat kompleks, di sana juga tercermin struktur perjuangan kelas yang menghasilkan dominasi kelas tertentu atas kelas lainnya. Negara adalah institusi yang relatif mandiri, baik dalam menjalankan kebijakan maupun ketika mengamankan kepentingannya terhadap tuntutan masyarakat (Culla, 2006). Ragam teori tentang negara dan kekuasaan serta keberpihakannya, jika dicermati kesemuanya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: a. Teori yang menekankan negara sebagai lembaga yang mandiri dan punya kepentingan dan kemauan sendiri. Teori ini dicetuskan oleh Hegel yang kemudian dikenal dengan teori negara organis. b. Teori yang menyatakan bahwa negara bukan sebuah negara yang mandiri. Kebijakan negara dihasilkan dan ditentukan oleh faktor eksternal. Negara 44 hanya sekedar arena kekuatan-kekuatan sosial tempat orang membangun kekuasaan dan saling bertanding untuk menguasai. Perkembangan berikut adalah adanya kecenderungan untuk mengebiri kekuasaan yang berada di tangan negara, munculnya kekuatan eksternal berupa kekuatan civil society, yang terus berusaha mengembangkan pemikirannya dan memperjuangkan kekuatan di luar negara sebagai kekuatan penyeimbangan kekuatan negara. Kekuatan civil society ini memperjuangkan hak-hak rakyat secara umum, maupun komunitas dengan berusaha mengurangi kekuasaan negara terhadap rakyat dan komunitas. Fenomena ragamnya kelembagaan zakat, yang mencuat di permukaan, merupakan salah satu contoh menarik dari perjuangan civil society. Meski memang di sana ada dua kelompok besar yang selalu berbenturan gagasan dan bahkan aksi, yaitu kelompok yang menolak campur tangan negara terhadap hak tata kelola zakat dan berusaha mengelola sendiri dengan kelembagaan kultural berbasis kekuasaan komunitas, berlawanan dengan kelompok yang mendukung dan memperjuangkan agar kelembagaan zakat berada dalam penguasaan dan pengaturan negara. 2.3.5. Kapitalisme dan Kekuasaan Kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi, berbeda dengan sistem feodal yang mengedepankan kepemilikan modal pribadi. Kapitalisme lebih mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi pasar dalam organisasi produksi. Rasionalitas di sini bermakna mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi secara teknis untuk mencapai tujuan tertentu, dan pasar adalah metode yang efektif untuk mencapai tujuan, melalui praktek tukar menukar yang diwarnai dengan persaingan (Martin, 1993: 193). Faktor-faktor produksi dialokasikan sesuai dengan prinsip pencarian keuntungan maksimal (utility maximization), tenaga kerja harus menguntungkan, segala sumberdaya dimanfaatkan dengan maksimal dengan tujuan utama ulititiy maximize. Maka mempertahankan kohesi sosial atau malah mempertahankan keadaan krisis demi perolehan profit, merupakan hal yang wajar dan rasional dalam dunia kapitalisme. Kekuasaan dalam dunia kapitalisme bekerja dan menyebar dalam wilayah yang luas. Pada wilayah sumber-sumber produksi dan alat-alat produksi, kekuasaan atas alat dan sumber produksi menjadi sentral bagi perolehan keuntungan ekonomis. Makanya kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam 45 kapitalisme, menjadi satu rajutan yang sulit untuk diurai, karena di sana ekonomi dan kekuasaan menjadi dua sisi yang saling merajut dengan kuat, sulit untuk dipilah mana yang melahirkan dan mana yang dilahirkan. Walau secara historis perwajahan kapitalisme yang lebih menonjolkan adalah aspek ekonominya, namun belakangan menjadi simpang siur antara kekuasaan dan ekonomi, di mana keduanya saling melahirkan. Perjuangan kuasa atas sumber-sumber ekonomi dan alat-alat produksi mewarnai perkembangan kapitalisme modern dewasa ini, sehingga segala sumber-sumber yang mempu memberikan peluang ekonomi yang besar serta merta menjadi perhatian untuk dikuasai. Fenomena ini merambah masuk ke segala wilayah kehidupan, mulai dari wilayah politik, sosial budaya dan bahkan agama. Secara internal, hubungan-hubungan hierarkis dalam industri kapitalis lebih sederhana dan sekaligus kompleks dibanding dengan hubungan-hubungan hierarkis dalam pertanian feodal (lebih sederhana karena inklusif dan lebih kompleks karena semakin kompleksnya hubungan pembagian kerja). Pola hubungan di antara aneka ragam struktur dalam masyarakat industri kapitalis berlangsung satu alur, yaitu hubungan langsung, namun hubungan tersebut mengembangkan satu alur yang kompleks (pembagian kerja yang lebih kompleks). Kompleksnya hubungan dalam industri kapitalis tergambar ketika melihat relasirelasi kuasa yang terjalin dalam berbagai strukturnya, yaitu: antar manajer, antara menajer dengan pekerja, dan antara berbagai kelompok pekerja. Bangungan hubungan eksternal yang terkait dengan sistem internal, terlihat dalam bangunan hubungan dengan pihak-pihak luas, yaitu antara komunitas industri (manajer, pekerja dan organisasi pekerja) dengan komunitas di sekeliling industri. Bangunan hubungan semacam ini, dewasa ini menjadi fenomena yang mencuat (meski bukan barang baru) dan menjadi perhatian banyak pihak, yang salah satunya berwujud dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR), yang di dalamnya terdapat berbagai upaya mendekati masyarakat di luar industri sebagai pertanggung-jawaban sosial korporasi terhadap lingkungan dan komunitas. Di sana secara bersamaan memainkan berbagai model bangunan relasi yang diwarnai oleh kuasa dan dominasi, yang dikemas dalam satu kemasan pertanggungjawaban sosial, kesetiakawanan sosial hingga pemberdayaan yang entah murni untuk komunitas ataukah untuk keuntungan industri. Sudah menjadi wataknya sejak lahir bahwa kaum aktor industri dalam dunia kapitalisme haus akan penguasaan sumber-sumber produksi, sehingga apapun sumberdaya yang menurut mereka memiliki potensi ekonomi atau bisa 46 mengamankan produksi, akan selalu ingin dikuasai secara sepihak demi kelanggengan produksi. Tampilnya aktor industri dalam wacana dan gerakan sadar zakat dengan membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ), bisa terbaca sebagai fenomena sosial yang penampakannya sarat dengan gerakan kepedulian sosial yang humanis, namun dibalik itu juga bisa terbaca sebagai strategi penguasaan dan upaya pengutasan ekonomi. Hadirnya aktor industri ikut angkat bicara dalam wacana dan aksi kelembagaan zakat dan membentuk lembaga amil zakat sendiri, merupakan fenomena yang menunjukkan kalau zakat telah dilirik dan dilihat sebagai sebuah sumber daya atau malah komoditi yang memiliki potensi yang sangat berharga secara ekonomi dalam dunia bisnis. Berbagai potensi (potensi ekonomi zakat, potensi politik maupun potensi sosial) zakat dilihat dalam konteks bisnis. Fenomena ini merupakan gejala yang mencoba membawa zakat ke arena pasar dan menjadikannya sebagai komoditas pasar. Jika ini yang terjadi maka sama halnya telah mengiring kelembagaan zakat ke ruang utilitarian yang didasari oleh rasionalitas ekonomi dengan prinsip utility maximize. 2.3.6. Civil Society: Kemandirian dan Pemberdayaan. Wacana Civil Society, sesungguhnya mengalami banyak polemik, terutama oleh keragaman konseptual dan interpretasi yang diberikan oleh para ahli (Cohen dan Arato: 1992). Civil society sebagai wilayah interaksi sosial yang mencakup semua kelompok sosial, melingkupi rumah tangga, perkumpulan sukarela, gerakan kemasyarakatan dan wadah-wadah komunikasi publik yang diciptakan melalui mobilitas diri secara independen, baik dalam hal kelembagaan maupun kegiatan (Culla, 2006). Andre Gorz mengartikan Civil Society sebagai jaringan hubungan sosial yang dibangun orang per-orang, di antara mereka sendiri dalam konteks kelompok atau komunitas, terlepas dari otoritas lembaga negara, yang oleh Ernes Gellner (1995) melihat sebagai institusi non-pemerintah yang cukup kuat mengimbangi negara. Relasi dibangun atas dasar kerelaan ketimbang atas dasar kewajiban yuridis (Aditjondro, 1997). Diamon (1994) mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), dan kemandirian (outonomy) yang tinggi saat berhadapan dengan negara dan memiliki keterkaitan dengan norma yang dipatuhi dengan taat (Culla, 2006). 47 Pada sisi yang berbeda Gramsci (dalam Budiman, 1992), mendefinisikan civil society sebagai sekumpulan organisme ―privat‖ yang berbeda dengan negara yang oleh Gramsci disebut dengan political society. Civil society menurut Gramsci merupakan wilayah institusi privat yang meliputi Gereja, serikat pekerja, dan lembaga pendidikan (Gramsci, 1971 dalam Sparingga, 1997). Selanjutnyan oleh Michael van Langenberg, memaknai civil society sebagai wilayah yang terdiri dari kelompok-kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, partai politik, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, komunitas lokal, keluarga, dan kumpulan kekerabatan. Konsep civil society menggambarkan bekerjanya anggota masyarakat secara bersama-sama dalam membina ikatan-ikatan sosial di luar lembaga resmi untuk menggalang solidaritas kemanusiaan, mengejar kebaikan bersama (public good), yang dilandasi oleh prinsip-prinsip egalitarianisme inklusif yang bersifat universal. Di sana diwarnai oleh usaha membangun kreativitas serta upaya untuk mengatur dan memobilisasi diri mereka sendiri tanpa melibatkan negara secara nyata. Wacana Civil Society yang berasal dari Barat tersebut pada gilirannya merambah masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1980-an dan akhir tahun 1990-an dalam realitas berbeda dengan negara asalnya. Kehadirannya terkadang dianggap barang jadi dan tak jarang dipahami sendiri dalam konteks ke-Indonesiaan. Wujud dari gerakan civil society di Indonesia secara historis bukanlah barang baru, hal ini tampak dalam berbagai gerakan perjuangan masyarakat yang menentang kekuasaan otoriter yang menindas rakyat pada masa-masa kerajaan dan penjajahan (Rahardjo, 1999:309), meski jika dielaborasi lebih jauh akan ditemukan variasi aksi yang berbeda. Gerakan civil society di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru (19661998) mengalami kebekuan dan kesulitan mengaktualisasikan peranannya sebagaimana mestinya, dan baru kemudian bisa mendapatkan ruang sampai berakhirnya kekuasaan orde baru dan memasuki orde reformasi. Hal ini ditandai dengan menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), partai politik dan bahkan gerakan-gerakan keagamaanpun turut hadir dalam kancah gerakan civil society. Yang paling menarik dalam kontek ini adalah adanya fenomena memunculkan wacana-wacana keagamaan dalam ruang perjuangan civil society. Perjuangan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan misalnya, memuncukan wacana zakat sebagai wahana pemberdayaan masyarakat lemah, dan wacana di sini kemudian diakomodir dalam berbagi level yang bukan hanya gerakan civil society, tapi juga oleh negara, dan bahkan oleh kapitalis/bisnis 48 swasta. Hingga seakan isu pemberdayaan masyarakat lemah menjadi wacana dan bahkan perebutan antara negara, civil society dan kapitalis. Konsep pemberdayaan yang sebelumnya hanya muncul dalam wacana gerakan civil society, mendadak menjadi wacana publik yang tidak asing lagi dalam ruang wilayah negara dan kapitalis, dan merupakan fenomena yang agak mengejutkan. Gerakan civil society terkait dengan kelembagaan zakat, terlihat dari fenomena kelembagaan zakat berbasis budaya lokal dan komunitas pedesaan di bawah naungan kelembagaan surau, langgar, masjid dan pesantren. Kelembagaan semacam ini oleh masyarakat pedesaan merupakan bagian dari struktur kelembagaan desa yang terbangun dari semangat spiritualitas dan budaya. Berbasis semangat spiritualitas dan kolektifitas, tokoh agama dan adat pedesaan yang berbasis kekuasaan kharismatik, membangun sumber kekuatan ekonomi yang kemudian menjadi dasar kekuatan politik. Salah satu sumber ekonomi yang telah terbukti dalam sejarah adalah kelembagaan zakat berbasis budaya dan komunitas pedesaan. Tabel 4 : Pertemuan Negara, Swasta dan Civil Society dalam Wacana Tatakelola Zakat Parameter Negara Swasta Civil Society Basis Kelembagaan Berbasis negara Berbasis Industri Berbasis Komunitas Kepentingan Penguatan Negara & Kekuasaan Pengetahuan Budaya Justifikasi Sains Modern Modern Hukum positif Penguatan Perusahaan & maksimalisasi Profit Sains Modern Modern Rasionalitas ekonomi Penguatan lokal dan kemadirian masyarakat Local Knowledge Lokal Norma (moral) Belakangan tiga entitas sosial—negara, industri dan komunitas sebagai wujud civil society—ikut bicara dalam wacana pengelolaan zakat. Pemberdayaan menjadi isu penting mereka, namun bagaimana dengan basis rasionalitas yang mendasari tindakan negara, industri dan komunitas jika dikaitkan dengan kepentingan (interest). Negara karena kepentingan politik dan industri karena kepentingan ekonomi, sementara komunitas dengan penguatan lokal. Jika demikian maka zakat telah menjadi instrumen untuk mencapai tujuan. Negara mengejar kekuasaan, industri mengejar profit dan civil society mengejar penguatan lokal dan kemandirian. Pada tabel 4 menujukkan benturan-benturan kepentingan antara negara, industri dan civil society dalam kuasa kelembagaan zakat. Negara dengan 49 kepentingan penguatan negara dan kekuasaan berbasis pengetahuan sains modern, budaya modern berlandaskan kekuatan hukum negara. Industri atas kepentingan profit berbasis pengetahuan modern, budaya pasar dengan rasionalitas ekonomi dan maximize ulitility. Sedangkan civil society dengan kepentingan penguatan lokal dan kemandirian komunitas berbasis tokoh, memanfaatkan pengetahuan lokal, budaya lokal dengan semangat kolektifitas berlandaskan kekuasaan kharismatik berbasis norma dan moral. Benturan terjadi ketika negara dengan rezim pengetahuan politik modern bertemu dengan Swasta dengan rezim pengetahuan ekonomi modern. Negara dengan logika politik yang mengedepankan keamanan negara dan kekuasaan pemerintahan, bertemu dengan Swasta dengan logika ekonomi yang mengedepankan keuntungan dan penguasaan sumberdaya produktif. Negara dengan wacana pembangunan sementara swasta dengan wacana pemberdayaan. Akan lebih memuncak benturan ketika bertemu dengan wacana zakat oleh civil society, yang mengedepankan penguatan lokal dan kemandirian lokal. Dengan rezim pengetahuan lokal, komunitas mewacanakan zakat dalam logika nirlai-nilai tradisi yang cenderung diwarnai oleh oleh etika moral kebersamaan dan keadilan berbagi. 2.3.7. Teori Pilihan Rasional (Rational Chioce Theory) Dalam tulisan Coleman, dan juga Little (1991), menjelaskan bahwa teori pilihan rasional dari ekonomi neo-klasik memiliki empat konsep, yaitu: Pertama, individualisme metodologis (Methodological Individualism). Dalam menjelaskan tindakan aktor, teori pilihan rasional dihubungankan dengan susunan sistem sosial yang melingkupinya. Sistem sosial itulah yang kemudian mempengaruhi tindakan aktor. Tindakan aktor dilihat dalam kerangka individual, dan aktor berperan secara rasional, artinya bahwa tindakan seseorang itu mengarah pada satu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (preference) (Coleman, 1990) yang dipilih dengan pertimbangan rasional. Analisis di tingkat individual lebih disukai karena data biasanya dikumpulkan di tingkat individu dan kemudian disusun untuk menghasilkan data di tingkat sistem sosial. Selain itu intervensi dilakukan untuk menciptakan perubahan sosial. Kedua, konsep maksimisasi atau optimisasi aktor. Di sini aktor dilihat atau diasumsikan sebagai manusia yang dituntun oleh tujuan. Artinya manusia dalam 50 bertindak selalu didasari oleh tujuan tertentu, dan untuk meraihnya tujuan itu manusia akan mencari cara yang paling efisien. Oleh sebab itu tujuan tersebut menjadi hierarkis. Sejalan dengan itu maka aturan, cara, atau jalan untuk meraih tujuan itupun kemudian bersifat hierarkis. Preferensi di antara kedua hierarki tersebut menghasilkan tindakan ekonomis atau efisien (Polanyi, 2003). Ketiga, konsep optimum sosial (terkadang disebut Pareto optimum). Optimum sosial diterapkan pada level sistem (bukan lagi individual) merujuk kepada keadaan di mana seseorang tidak bisa lagi memaksimalkan keuntungan tanpa merugikan pihak lain. Dalam teori pengambilan keputusan rasional, optimisasi ini berlangsung dalam interaksi dari tingkatan sistem ke tingkatan individual, dan sebaliknya dari tingkatan individual ke tingkatan sistem sosial. Keempat, konsep keseimbangan sistem--membandingkan dengan konsep optimum sosial di atas masih memungkinkan peran aktor, sementara dalam konsep keseimbangan sistem ini benar-benar tindakan aktor tidak bisa lagi menentukan sistem. Hal ini disebabkan aktor tidak memiliki insentif dan dorongan untuk berubah. Coleman (1994) kemudian mencoba membaca teori pilihan rasional ke dalam ruang pertimbangan sosial dengan empat elemen dari sosiologi, yaitu: Pertama, meraih kegunaan dengan memberikan kontrol kepada aktor lain. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Dalam kondisi informasi sangat langka, maka kepastian hasil suatu tindakan menjadi minimal. Oleh karena itu aktor mempercayakan tindakan mengontrol ini kepada pihak lain. Pada saat itulah ia percaya, atau tepatnya menciptakan kepercayaan (trust), kepada pihak lain. Implikasinya terletak pada perubahan otoritas. Selanjutnva, keefektifan norma tergantung pada kemampuan melaksanakan konsensus itu. Konsensus antar aktor dan pelaksanaannyalah yang mencegah tanda-tanda ketidakseimbangan perilaku kolektif. Namun, jika pemilik otoritas (yang memperoleh kontrol) ternyata banyak, sistem sosial menjadi tidak stabil. Massa akhirnya akan memilih kepada siapa kontrol akan dia berikan sesuai dengan keuntungan tertinggi yang akan dia peroleh. Kedua, modal sosial (social capital)--ialah aspek informal dari organisasi sosial yang mampu mendukung seorang aktor atau kelompoknya untuk memperoleh sumber daya produktif. Keberadaan modal sosial tergantung dari kedekatan antar warga, kelangsungan suatu hubungan sosial yang sudah terjalin, 51 dan kemajemukan relasi (orang yang memiliki beragam status dan peranan, lalu berinteraksi dengan orang lain yang juga memegang peranan majemuk, secara tidak langsung akan memperoleh keuntungan yang majemuk atau berlipat pula). Ketiga, lahirnya hak dari masyarakat. Sejauhmana suatu tindakan tergolong rasional dalam suatu konteks sosial tergantung kepada distribusi hak di sana. Dengan demikian hak tersebut diperoleh dari proses sosial lebih lanjut, sebagai hasil tindakan yang menguntungkan atau untuk kepentingannya sendiri maupun kelompoknya. Implikasinya akan muncul pula hierarki tindakan, yaitu sejauh mana tindakan itu akan memberikan hak yang lebih besar. Jika distribusi hak tidak merata, bisa terjadi proses sosial untuk memperoleh hak tersebut berwujud pada konflik. Keempat, kelembagaan--mengagregatkan tindakan-tindakan individu untuk membentuk sistem sosial. Di samping itu, kelembagaan juga menerjemahkan kebutuhan sistem sosial ke dalam tindakan-tindakan individu. Sesuai dengan tingkat kesulitan perolehan sumber daya pada masing-masing masyarakat, maka di sana akan ditemukan kelembagaan yang berbeda dalam rangka memperoleh sumber daya tersebut. Little (1991) mencoba mengajukan teori pilihan rasional yang radikal dengan dilandasi pandangan normatif kulutralisme, yang membawa teori pilihan rasional ke dalam penimbangan akar budaya lokal (culturally specific mode of behavior). Menurut Litlle, bahwa rasionalitas individu merupakan hasil dari rekonstruksi sosial (culturally constructed), oleh sebab itu maka, rasionalitas individu tidak dapat terhindar dari jebakan etnosentrisme. Little mencoba mengembangkan perspektif teori pilihan rasional dan memperluasnya pada tataran struktural atau kultural. Dengan cara ini lingkup kajian pendekatan teori pilihan rasional mampu menyediakan basis penjelasan sosial dalam ragam konteks kultural dan mendukung generalisasi lintas kultural. Paradigma pilihan rasional dalam perilaku individu terarah pada tujuan yang dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kepentingan, biaya, keuntungan, dan keyakinan, serta penjelasannya tergantung pada teori tindakan rasional meanend yang ditekankan pada utility maximization, oleh sebab itu dapat digambarkan sebagai teori ‖thin‖ dari tindakan individu. Sementara itu teori interpretif dalam postulatnya mencerminkan gambaran ”thick” dari tindakan manusia, yang secara detil mempertimbangkan norma, nilai, kultur, metafor, keyakinan agama, dan 52 praktis. Pendekatan pilihan rasional di sini memiliki kekurangan dalam menjelaskan tentang tiga hal, yaitu: pertama, mengenai kepentingan yang dikejar individu, apakah diarahkan pada kepentingan sendiri, orang lain atau kombinasi; kedua, aturan (prosedur) yang digunakan untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan; ketiga, gambaran lingkungan pilihan, apakah dalam konteks pasar atau institusi khusus di mana individu berfungsi. Kekurangan pertama terkait dengan konsep narrow economic rationality yaitu suatu model untuk memaksimumkan kepentingan diri sendiri (egoist). Berkaitan dengan lingkungan pilihan di mana pertimbangan individu dilakukan, yang menurut pendekatan pilihan rasional tertuju pada price dan income terkait dengan berbagai alternatif pilihan. Terakhir, terkait dengan peranan norma dan nilai dalam membentuk perilaku individu. Model ini membatasi banyaknya masalah yang dapat diungkap oleh ilmu sosial terapan. Oleh karena itu Little mengajukan konsep ‖rasionalitas praktis yang diperluas‖ (broadened practical rationality). Dalam konsep ini Little berasumsi bahwa individu (agents) memiliki seperangkat tujuan di mana tindakannya diarahkan; separangkat keyakinan tentang lingkungan sosial dan lingkungan alam yang khusus di mana dia berada; dan seperangkat norma yang memainkan peranan dalam mempertimbangkan tindakan yang akan dilakukan. Teori pilihan rasional dari Little tersebut merupakan gabungan antara aspek individual dan struktural, yang menurutnya dapat diterapkan dalam menganalisis fenomena sosial khusus, dan tidak menolak konsep ‖aggregative explanation‖, sebagaimana yang telah digunakan oleh Philip Huang (1985), Popkin (1979), dan Brener (1976). Kesemuanya menunjukkan adanya perilaku individu rasional sebagai respon terhadap seperangkat insentif dan tekanan-tekanan khusus, dan bagaimana pola perilaku individu tersebut bersifat aggregate di dalam tataran pola makro. Little (1991) menolak pandangan bahwa tindakan manusia terarah pada tujuan, tetapi dia juga menekankan bahwa tindakan yang dilakukan individu tersebut selalu berada pada ranah sosial yang konkrit, mengandung unsur normatif, ada pada lingkungan politik, dan perbedaan lingkungan tersebut mempengaruhi perbedaan perilaku individu. Dengan mengutip Scott (1979), Little menjelaskan adanya terketerkaitan erat antara tindakan individu dalam mencapai tujuan peribadi yang tidak terlepas dari pertimbangan kondisi lingkungan 53 masyarakatnya. Pada tataran individual agency terkait dengan motivasi, kalkulasi kepentingan diri, sedangkan pada tataran struktural terkait dengan lingkungan sosial yang menentukan pilihan-pilihan dalam tindakan. Little (1991) juga memberikan contoh penerapan analisis pilihan rasional radikal dalam karya (interpretive), di Polanyi (expressve vs instrumental) dan karya Geertz mana keduanya menggambarkan model perilaku yang dikendalikan oleh kepentingan diri sendiri secara kultural merupakan bentuk perilaku yang spesifik dalam kultur tertentu. Rasionalitas individu di sini lebih merupakan konstruksi kultural, sehingga merupakan etnosentrisme. Hafner (1983), juga mencoba menunjukkan bahwa rasionalitas dalam ekonomi terlalu sempit dan mengabaikan faktor-faktor nilai dan budaya. Hefner menunjukkan bagaimana rasionalitas masyarakat Tengger yang selalu diwarnai dengan pertimbangan nilai kultural dan agama yang terlihat dalam organisasi ekonomi ritual (economic organization of ritual). Feeny (1983), dengan mengutip karya James C. Scott (1984) tentang moral ekonomi petani, melihat kaum petani enggan mengambil resiko dan untuk mengamankan diri mereka membangun mekanisme yang bisa menciptakan rasa aman dengan jaminan keamanan sosial dalam bentuk Patron Client dan etika subsisten dan resiprositas. Asuransi sosial petani dapat dipahami sebagai jaminan-jaminan sosial bersifat informal namun penting bagi kehidupan petani miskin. Jaminan-jaminan tersebut menggambarkan semacam model normatif yang hidup, berisi tentang kewajaran-kewajaran dan keadilan-keadilan sosial dan ekonomi (Scot, 1981). Jaminan sosial tersebut selanjutnya sangat mewarnai relasi sosial dan ekonomi dalam sistem sewa, dan bagi hasil petani miskin pedesaan. Feeny juga mengutip Popkin (1979) tentang gambaran rasionalitas kaum petani. Feeny menggambarkan pentingnya politik interpreneurship dalam tindakan organisasi kolektif dan pemaknaan kepentingan ekonomi dalam tindakan politik. Feeny menambahkan dengan pentingnya peran supply dalam perubahan kelembagaan sosial dan pengaruhnya terhadap sifat dan langkah perubahan kelembagaan. Rasionalitas tindakan individu yang digambarkan oleh Little bahwa di sana dalam pertimbangan-pertimbangan rasional sangat kental dengan nilai-nilai dan norma yang berasal dari agama dan budaya. Hefner dalam melihat rasionalitas masyarakat Tengger menujukkan kalau di sana rasionalitas yang bermain dalam 54 masyarakat petani adalah rasionalitas yang diwarnai oleh etika subsistensi dan resiprositas yang berlandaskan pada nilai-nilai kewajaran secara sosial dan hakhak subsisten. Sementara Feeny dalam melihat masyarakat petani dengan rasionalitas yang lebih diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan sosial yang berasal dari norma-norma, nilai-nilai budaya, dan semangt kolektifitas. 2.3.8. Teori Jaringan (Networking Theory) Teori jaringan telah banyak digunakan oleh White (1992), Wasserman dan Faust (1994) Wellman dan Berkowitz (1998). Mereka ini mencoba membangun pendekatan sosiologis yang menekankan perhatian pada ciri peribadi aktor (Wellman, 1993 dalam Ritzer, 2005). Namun pakar teori jaringan lainnya, menekankan pendekatan normatif/atomis yang memusatkan perhatian pada kultur dan proses sosialisasi sebagai proses internalisasi norma dan nilai ke diri aktor. Maka menurut pendekatan ini; yang mempersatukan orang secara bersama adalah sekumpulan gagasan bersama (Ritzer, 2005). Teori jaringan, memusatkan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro dan menekankan kajian pada aktor, bisa sebagai individu (Wellman dan Worley, 1990), sebagai kelompok, atau malah perusahaan (Baker, 1990; Clawson, Neustadtl, dan Barden, 1986; Mizruchi dan Koenig, 1986) dan bahkan bisa juga sebagai masyarakat. Hubungan dapat terjadi pada struktur sosial skala makro maupun di tingkat mikro. Seperti yang pernah digambarkan oleh Granovetter (1985) dalam penjelasannya tentang tindakan melekat (embeddedness) dalam relasi pada tingkat mikro, bahwa tindakan itu melekat dalam hubungan pribadi secara konkret, sehingga jaringan ada dalam struktur hubungan yang melekat dalam diri para aktor. Hubungan ini berlandaskan pada gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektif) mempunyai akses yang berbeda terhadap sumber daya yang bernilai (kekuasaan, kekayaan, informasi), akibatnya, sistem yang terstruktur cenderung terstratifikasi, dan komponen yang satu cenderung tergantung dengan komponen lainnya (Ritzers, 2005). Wellman (dalam Ritzer, 2005) menyatakan bahwa teori jaringan disandarkan pada sekumpulan prinsip yang terkait secara logis, yaitu: Pertama, ikatan antar aktor bisanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok sesuatu yang berbeda dan berbuat dengan intensitas yang dinamis. Kedua, ikatan antar invidu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan yang lebih luas. Ketiga, terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non-acak. Keempat, adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya 55 hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu. Kelima, ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan yang mengkibatkan sumber daya terbatas akan terdistribusi secara tak merata. Keenam, distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan kerjasama atau kompetisi. Oleh karena itu, maka kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya terbatas dengan bekerjasama, sedangkan kelompok lainnya akan bersaing dan memperebutkan (Ritzer, 2005). Menyangkut kelangkaan sumberdaya di era modern, maka munculnya wacana zakat, merupakan gejala bahwa zakat telah dipandang sebagai sebuah sumber daya. Mejamurnya lembaga amil zakat, bisa dianalisis dengan teori jaringan dengan asumsi bahwa dengan lahirnya berbagai macam lembaga pengelola zakat akan melahirkan persaingan, perebutan dan pertarungan dalam upaya merebut semaksimal mungkin potensi zakat (politik, ekonomi dan sosial). Jaringan bisa muncul dari motif-motif individual maupun kelompok yang memungkinan akan membangun kolaborasi dengan jaringan lainnya yang memiliki kesamaan motif, dan akan terjadi pertarungan dengan jaringan lainnya yang bebeda motif, apalagi jika motif-motif itu malah berbenturan dan merugikan yang lainnya. Hadirnya negara, industri dan civil society dalam wacana pemberdayaan berbasis zakat, ketiganya bisa berbenturan, bersaing, bertarung atau malah berkolaborasi. Pada aras aktor memungkinkan terbangunnya jejaring sosial yang rumit, baik secara internal maupun ekternal karena adanya kesamaan motif. Kepentingan aktor 3 2 Strukutur sosial sebagai konteks tindakan 1 3 Tindakan 4 Gambar 3 : Model Jaringan Intergarif Ronald Burt Teori jaringan bisa muncul dengan analisis yang sangat mikro hingga jaringan lebih dilihat sebagai hubungan yang menyatukan aktor pada aras individu, namun pada saat yang lain juga bisa tampil makro dengan bangunan jaringan yang melibatkan aktor-aktor pada aras struktur yang luas. Namun terlepas dari jaringan pada aras makro atau mikro, yang jelas di sana akan membuka peluang 56 terjadinya dialektika jaringan mikro ke makro atau sebaliknya. Terkait dengan ini Roland Burt (1982) mencoba menggambarkan model jaringan integratif dalam satu model gambar (lihat gambar 3) yang saling mengaitkan antara struktur sosial sebagai tindakan, yang mempengaruhi tindakan aktor, sehingga aktor akan melakukan tindakan yang akhirnya juga memberikan pengaruh terhadap struktur sosial. Jadi, yang ingin dikatakan Burt sebenarnya adalah bahwa antara struktur sosial, kepentingan aktor dan tindakan aktor akan saling mempengaruhi secara terus menerus. 2.4. Konseptualisasi 2.4.1. Konstruksi Sosial (Social Construction) Berger Konsep konstruksi sosial ala Berger dan Luckmann (1990) mensyaratkan penekunan pada ―realitas‖ dan ―pengetahuan‖. Dua istilah ini menjadi kunci penting. Realitas atau kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan), dan ―pengetahuan‖ adalah kepastian bahwa fenomenfenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi, internalisasi dan objektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990). 2.4.2. Kekuasaan (Power) Foucault, dalam menggunakan konsep kuasa (power), merujuk pada ―totalitas struktur tindakan‖ untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu yang merdeka (Latif, 2005). Penggunaan kuasa berlangsung dan bekerja dalam ruang pilihan-pilihan bagi mereka yang berada dalam posisi untuk memilih. Kuasa bekerja bertujuan untuk mempengaruhi pilihan-pilihan atas beberapa kemungkinan pilihan. Wujud bekerjanya kuasa berupa pemunculan dan pelibatan ―permainan-permainan strategis‖ di antara pihak-pihak yang memiliki kebebasan 57 memilih (strategi games between libraries) (Foucault, 1980; Hindess, 1996). Permainan-permainan strategis bekerja dalam segala tempat dan waktu, hingga pada ruang bawah sadar yang selanjutnya sangat mempengaruhi kecenderungan terhadap pilihan-pilihan. Permainan-permainan strategi oleh kuasa (power) menyebar di mana-mana, dijalankan oleh siapapun dan tumbuh dalam segala level, sehingga hampir tidak ada ruang sosial yang bebas dari bekerjanya kuasa dan permainan-permainan strategis. Foucault membedakan antara relasi kuasa sebagai permainan strategis, di antara pihak-pihak yang merdeka (strategic games between liberties) dan dua tipe kuasa lainnya, yaitu ―dominasi‖ (domination) dan ―pemerintah‖ (government) (Foucault, 1988). Konsepsi ―kuasa‖ sebagai permainan strategis antara pihakpihak yang merdeka merupakan inti dari cara Foucault memahami ―kuasa‖ secara umum. Kuasa ―menentukan relasi antar-mitra‖ dalam suatu esemble tindakan-tindakan (Foucault, 2000). Kuasa di sini mengandaikan adanya kebebasan untuk memilih dan dijalankan terhadap subjek-subjek bebas, yang memiliki kebebasan untuk memilih dan mempengaruhi. Artinya, di mana tidak ada kemungkinan untuk melakukan resistensi, tidak ada pula relasi kuasa di sana. Oleh karena itu relasi kuasa sering kali bersifat tak stabil, ambigu, dan timbal balik (Hindess, 1996). Ketika kuasa terkonsolidasi menjadi ―dominasi‖, dan merujuk pada relasi kuasa yang bersifat asimetris yang di dalamnya ada orangorang yang tersubordinasi, memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena ―ruang kebebasan mereka untuk bertindak sangat terbatas‖ sebagai efek dari kuasa (Foucault, 1988). Kuasa yang bekerja dalam ―pemerintahan‖ berada di antara ―dominasi‖ dan ―permainan-permainan strategis‖ antara pihak-pihak yang merdeka. Konsep ―pemerintahan‖ terutama berasosiasi dengan konsep-konsep ―memimpin‖ (conducting) dalam artian mengarahkan dan mengontrol serangkaian tindakan. Konsep ini merujuk pada pelaksanaan kuasa atas pihak-pihak lain yang kurang bersifat spontan (dengan cara yang lebih diperhitungkan dan dipertimbangkan secara cermat), terutama sekali pada penggunaan dan pembentukan cara-cara untuk mengatur perilaku. Menurut Foucault (dalam Hindess, 1996), ada berbagai bentuk pemerintahan yang terentang, mulai dari yang menjalankan dominasi secara nyata, hingga dengan menjalankan relasi-relasi kuasa yang bersifat tak stabil dan bersifat timbal-balik (riversible). 58 Foucault, melihat kekuasaan sebagai seluruh tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga dengan melalui paksaan dan larangan. Lebih jauh Foucault mengatakan bahwa kekuasaan mencakup semua hal dan datang dari mana-mana. Dengan demikian kekuasaan dapat diartikan sebagai upaya seseorang ataupun kelompok untuk menguasai orang lain dalam berbagai bentuk, yang karenanya terjadi pertentangan antara keduanya, di mana salah satunya dapat menguasai yang lain sehingga terjadi dominasi pada pihak lain. Konsepsi kuasa sebagai suatu yang bisa diperebutkan (contestable) dan timbal-balik (riversible) memungkinkan studi penelitian ini untuk melihat adanya ruang bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk melawan kuasa negara dan kapitalisme bersifat hegemonik dan ketergantungan. Pergumulan (interplay) dan interpenetrasi kuasa ada di antara tiga kekuatan sosial (negara, Industri dan civil society). Tidak ada kekuatan hegemonik yang sedemikian kuatnya mampu menguras habis sumber-sumber daya untuk melakukan perlawanan. Menurut Foucault setiap relasi kuasa mengimplikasikan paling tidak secara potensi, ada suatu strategi perjuangan, ketika dua atau lebih kekuatan yang berhadapan tidak saling membayangi, tidak kehilangan sifatnya yang spesifik, atau akhirnya tidak pula menjadi kabur. Setiap pihak menjadi semacam batas permanen bagi pihak lain, atau sebuah titik yang mungkin melakukan gerak balik (a poin of possible reversal) (Foucault, 2000). Cara Foucault memahami kekuasaan sangatlah orisinil. Kuasa bukanlah definisi yang dikemukakan oleh paradigma Weberian sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Ia juga bukan pemaknaan yang diyakini oleh kaum Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas lain dan bukan pula institusi, struktur atau kekuatan dalam masyarakat. Kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran. 2.4.3. Pengetahuan (Knowledge) Kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu 59 memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Prinsip penataan ini, oleh Foucault diberi julukan teknis: episteme (Adian, 2002 22). Episteme ini tidak bisa dijamah, kerjanya sangat halus menguasai pola pikir orang pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif yang sekaligus menjadi komponen penting dari kekuasaan/pengetahuan, yaitu: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Ketiganya berdialektika dalam sebuah sistem regulasi yang mengatur dan menormalisir. Mekanisme kekuasaan berjalan melaui sistem regulasi. Agar dapat berjalan dengan baik, maka pengawasan (surveillance) harus dilakukan. Dalam suatu sistem sosial, pengawasan dilakukan oleh aparat. Foucault sebenarnya memberi penekanan (salah satunya) pada pengawasan sebagai upaya menstabilkan atau memapankan suatu konstruksi kebenaran. Konsep panoptikon adalah salah satu cermatan yang dia kemukakan. Ketiganya adalah pihak-pihak yang menguasai modal simbolik, kultural, maupun ekonomi. Modal inilah yang berguna untuk memapankan diri, meletakkan pihak-pihak tertentu di atas pihak lain. Menentukan mana yang ordinat dan sub-ordinat, menentukan mana yang mendominasi dan terdominasi. Sebuah kelompok minoritas tidak dengan sendirinya menjadi pihak yang kalah dalam semua dimensi relasi kuasa, karena dunia politik dan masyarakat tersusun atas sebuah keseimbangan kekuatan-kekuatan yang seringkali bersifat kompleks, dan kesimbangan itu tak bisa direduksi ke dalam kerangka penggunaan kekuatan absah (legitimate force) semata. Oleh itu maka sangat memungkinkan munculnya upaya-upaya menegosiasikan kebijakan sosial, ekonomi dan politik dengan kelompok subordinat (Eickelman dan Piscatori, 1996). 60 2.4.4.Rasionalitas (Rationality) Menurut Weber (Hindess, 1977), perilaku sosial terbagi dalam empat klasifikasi, yaitu: pertama, perilaku sosial yang berorientasi pada tujuan, yang kemudian disebutnya dengan rasionalitas tujuan. Sebuah tindakan dipilih atas pertimbangan tujuan akhir yang ingin dicapai. Kedua, perilaku sosial dipilih atas pertimbangan dan kepercayaan terhadap nilai tertentu secara sadar. Tindakah ini lebih pada orientasi nilai (etika, estetika atau agama), oleh Weber ini disebut dengan perilaku sosial berdasarkan rasionalitas nilai. Ketiga, perilaku sosial yang bersifat afektif atau emosional, yang merupakan hasil dari konfigurasi khusus dari perasaan pribadi, yang kemudian disebutnya dengan rasionalitas afective. Keempat, adalah perilaku sosial yang merupakan reaksi serta merta yang merupakan perilaku rutin dari tradisi, atau adat istiadat, yang oleh Weber disebut dengan tindakan tradisional. Meski Weber (1978) mengkalisifikasikan tindakan dalam empat kategori, namun menurutnya jarang sekali ada perilaku sosial yang berorientasi tunggal, sehingga mungkin saja ada perilaku sosial berorientasi ganda atau lebih pada saat yang sama. Foucault (dalam Sarup, 2008) ketika membahas tentang kesadaran subjek dalam masyarakat borjuis, mengikuti Weber, karena subjek dipandang sebagai makhluk rasional, otonom dan mampu memprakarsai tindakan, sama halnya ketika Weber (dalam Hindess, 1977) menyatakan bahwa tindakan dapat bersifat rasional, baik dalam sarana maupun tujuan. Makanya birokrasi menekankan efisiensi sarana dan organisasi yang birokrasitis dan impersonal penalaran dibentuk oleh rasionalitas ilmiah. Tujuan rasionalitas ilmiah adalah mendapatkan penguasaan atas lingkungan fisik dan sosial. Mengikuti Nietzsche, Weber (dalam Sarup, 2008) mengatakan bahwa rasionalitas ilmiah memusatkan perhatian pada sarana dan bukan pada tujuan. Foucault mengkhawatirkan produktivitas dan efisiensi instrumental-rasional yang dilihat Weber dalam birokrasi modern, karena menurutnya, kekuasaan dalam masyarakat modern tidak bergantung pada kecakapan dan wibawa individu, tetapi dilaksanakan melalui mesin administrasi impersonal dan peraturan-peraturan yang abstrak. Di sinilah letak kerja pengetahuan yang mengarahkan perilaku sosial manusia melalui sistem rasionalitas ilmiahnya. Kesadaran subjek dalam tindakan sosialnya selalu diarahkan oleh sistem 61 rasionalitas yang bekerja secara abstrak bersama dengan sistem pengetahuan. Di sana kemudian kekuasaan menjelma dan menguasai manusia dengan rasionalitas teknis. 2.4.5. Kepentingan (Interest) Konsep kepentingan (interest) merupakan konsep yang tidak asing dalam literatur sosiologi. Konsep ini digunakan untuk menunjukkan motivasi individu, organisasi atau kelompok dan strukturnya dalam suatu tindakan sosial. Artinya bahwa pengalaman manusia diorganisasikan dalam term kepentingan kognitif apriori. Secara umum konsep interest dimaknai sebagai ciri yang stabil dari aktor yang memberikan aktor tersebut alasan potensial atau aktual untuk bertindak. Konsep kepentingan (interest) banyak digunakan oleh Weber ketika membahas agama dan ekonomi atau kapitalisme terkait dengan kekuatankekuatan sosial. Oleh Weber, konsep kepentingan (interest) dilihat sebagai sesuatu yang menjadi pendorong tindakan manusia, dan pendorong ini akan menentukan arah tindakan yang akan diambil oleh aktor (Sumarti, 2007). Kepentingan bukanlah hanya ide (gagasan) tapi juga pada materi, yang mengatur secara langsung tindakan manusia. Gagasan memang bisa bekerja di sini, namun hanya sebagai pengarah tindakan yang kemudian menjadi pendorong dalam dinamika kepentingan. Weber membahas kepentingan ―material‖ dan ―values‖ sebagai sumber yang berbeda dari motivasi, dan ini memberikan alasan yang berbeda dan bertentangan untuk suatu tindakan. Namun persoalannya bahwa perbedaan alasan bisa jadi karena ada upaya menyembunyikan sumber tindakan yang sesungguhnya. Swedberg (2003) mengikuti Weber, juga mencoba membahas tentang kepentingan dalam sosiologi dan melihatnya sebagai motivasi. Oleh Swedberg, kepentingan dilihat sebagai pendorong tindakan aktor, namun elemen sosial menentukan ekspresi dan arah tindakan yang akan diambil. Kepentingan dilihat Swedberg bisa berupa gagasan maupun materi (Sumarti, 2007). Kepentingan merupakan kekuatan pendorong yang mampu memberikan energi yang besar bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan tanpa kenal lelah dan menyerah, hingga kepentingan yang mendorong tercapai. Makanya tak jarang kepentingan berujung pada lahirnya konflik ketika dua atau lebih kepentingan berbenturan pada satu waktu atau tempat. Kepentingan memang merupakan 62 pendorong yang kuat bagi lahirnya semangat juang yang tinggi bagi aktor, namun pada saat tertentu kepentingan bisa menjadi penghalang dan melumpuhkan aktor lain, atau menguatkan satu sama lain (Sumarti, 2007). Konsep kepentingan bekerja lintas aras dan ruang, bekerja pada aras gagasan dan sekaligus pada aras materi (bisa subjektif sekaligus objektif), bekerja pada ruang politik, ekonomi, sosial hingga agama, kepentingan terekspresi dalam relasi sosial. Kepentingan aktor dalam perilaku sosial selalu mempertimbangkan aktor lain sehingga tindakan untuk mengejar kepentingan selalu terkait dengan orang lain. Tindakan yang ditentukan oleh kepentingan merupakan tindakan instrumental dan ber-orientasi pada harapan yang identik, sehingga mensyaratkan setting sosial di mana aktor lain berfikir dengan cara yang sama (Sumarti, 2007). Dengan demikian, maka kepentingan bisa membentuk jejaring sosial sebagaimana jaringan kapitalisme yang dilihat Weber sebagai organisasi yang penuh dengan kepentingan ekonomi. Jaringan kepentingan bisa menjelma dalam berbagai organisasi sosial, politik, ekonomi bahkan agama. 2.4.6. Konsep Kelembagaan Hayami dan Ruran (1984) melihat kelembagaan (institusi) sebagai aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan, di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain, untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom (1985) melihat sebagai aturan dan rambu-rambu panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat, untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling ketergantungan satu sama lain. Uphoff (1986), melihat lembaga sebagai suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat, sedangkan Nabli dan Nugent (1989), melihat sebagai sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan perilaku antar anggota atau antar kelompok. Nort (1990), melihat institusi sebagai aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan 63 politik. Institusi bisa berupa aturan formal atau kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya. Williamson (1985) dalam perspektif ekonomi melihat institusi mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah menyangkut aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dengan tujuan utama adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985). Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan di sini adalah: suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Artinya bahwa institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi. Tidak ada manusia atau organisasi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan masyarakat atau organisasi lain yang saling mengikat. Menurut Shaffer dan Schmid (dalam Pakpahan: 1989), kelembagaan ditinjau dari sudut organisasi merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Di pandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Dibutuhkan adanya nilai-nilai sosial yang mampu sebagai dasar relasi-relasi sosial, menuju bangunan solidaritas antara anggota yang bersifat lintas struktur sebagai pemicu dan pendorong semangat kewirausahaan yang akan menghasilkan daya inovasi dan kreasi tinggi. Nilai agama dan budaya lokal 64 yang telah mengakar, menjadi bagian penting yang dapat digunakan dalam konteks pemberdayaan kelembagaan menuju pemberdayaan ekonomi pedesaan. Pakpahan (1989) mengemukakan bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama: (1) Batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary); (2) Hak kepemilikan (property right); dan (3) Aturan representasi (rule of representation). Batas yurisdiksi berarti hak hukum atas (batas wilayah kekuasaan) atau (batas otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna keduaduanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat ditentukan oleh batas yuridiksi. Oleh karena itu dalam mengembangkan kelembagaan dalam rangka upaya pemberdayaan harus jelas batas yuridiksinya. 2.4.7. Konsep Zakat. Secara terminologis, para ulama memberikan definisi yang berbeda terhadap zakat. Ulama malikiyyah mendefinisikan zakat dengan pengeluaran bagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai nisab untuk mustahik jika telah sempurna kepemilikan dan haul kecuali barang tambang dan pertanian tidak ada haulnya. Ulama hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik bagian harta tertentu dari harta tertentu untuk orang tertentu yang telah ditentukan oleh syâr‘i karena Allah. Ulama syafi‟iyyah mendefinisikan zakat dengan nama bagi sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan atas jalan tertentu, sedangkan ulama hanabilah mendefinisikan zakat dengan hak yang wajib dalam harta tertentu bagi kelompok tertentu pada waktu tertentu (az-Zuhaili, 1989: juz II). Zakat seperti tertulis dalam surat At-Taubah ayat 103 mengandung pengertian bahwa setiap muslim yang mempunyai harta benda yang telah cukup nisab wajib membersihkan harta bendanya dengan memberikan sebahagian hartanya kepada orang-orang yang berhak. Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 ada delapan golongan umat yang berhak menerima zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, rikab, ghorimin (orang yang berhutang), fii sabilillah (orang yang berjuang karena Allah) dan ibnu sabil (orang yang dalam perantauan). Menurut Al-Shawkani (Saud, 1976), zakat secara linguistic memiliki makna ganda yaitu pertumbuhan (growth) dan juga pembersihan (purification). Makna yang pertama mengandung pengertian bahwa zakat akan membawa pertumbuhan 65 kekayaan (wealth) dan juga membawa pahala (reward) bagi yang melakukannya. Secara singkat zakat tidak akan menurunkan kekayaan, sedangkan makna yang kedua, zakat akan membersihkan jiwa manusia dari keinginan memiliki kekayaan yang berlebihan. Saud (1976), berpendapat bahwa zakat dikenakan pada semua kekayaan yang memiliki nilai (market value). Menurutnya zakat berfungsi sebagai satu cara untuk mencegah penimbunan (hoarding) harta yang dapat mengakibatkan adanya idle wealth. Oleh sebab itu dianjurkan untuk menempatkan resources-nya dalam bentuk aset yang produktif yaitu dana yang ditempatkan di bank atau institusi yang dikontrol pemerintah. Kahf (1976), dan Faridi (1976), berpendapat bahwa yang dikenakan zakat adalah harta bersih atau networth atau harta setelah dikurangi kewajiban (aset setelah dikurangi liabilitas). Pada dasarnya kedua ahli tersebut melihat fungsi zakat sama dengan yang diajukan oleh Saud, di mana zakat diharapkan akan meningkatkan investasi atau financial resourses (assets) atau harta produktif. Bila seseorang menabung dalam bentuk perhiasan (precious metal), tabungan ini tidak produktif, maka zakat secara berangsur-angsur akan mengurangi neet saving atau networth yang bersangkutan, sehingga zakat akan men-discourage seseorang untuk menimbun harta yang tidak produktif, namun akan merangsang orang untuk memutarkan hartanya pada kegiatan produktif atau menabung dalam bentuk harta yang produktif. Zakat akan merangsang orang untuk giat bekerja, karena kalau tidak, lambat laun networthnya akan mengecil karena dipergunakan untuk membayar zakat. Dengan giat bekerja dan mengkonsumsi secara bijaksana akan menghasilkan pertumbuhan networth, sejalan dengan pendapat Al-Shawkani bahwa zakat dapat memiliki arti pertumbuhan. Merujuk kepada beberapa definisi para ulama di atas, maka konsep zakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan pengeluaran sejumlah harta orang tertentu untuk diberikan kepada hak orang lain, sebagai sebuah pemenuhan kewajiban penganut agama Islam (rukum Islam ke-tiga). Zakat dilihat sebagai mekanisme perpindahan kepemilikan harta dari kelompok tertentu yang dalam hal 66 ini adalah orang kaya kepada kepada kelompok lain yang dianggap pantas dan berhak menerima7. Konsepsi zakat, secara umum di kalangan ulama dimaknai sebagai ibadah yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Artinya, zakat merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT (vertical) dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (horizontal), atau sebagai ibadah maaliyah ijtihadiyah. Zakat sebagai salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, ia merupakan salah satu implementasi azas keadilan yang menurut Mannan (1993) mempunyai enam prinsip yaitu: 1). prinsip keyakinan keagamaan; 2). prinsip pemerataan dan keadilan; 3) prinsip produktifitas; 4) prinsip nalar; 5) prinsip kebebasan; 6) prinsip etika dan kewajaran; yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena. Prinsip keadilan sosial ekonomi merupakan tujuan utama diwajibkannya zakat, dan sekaligus merupakan mekanisme transfer sederhana dari sebagian harta orang-orang kaya untuk dialokasikan kepada si miskin dengan bagian dan ukuran tertentu (Kahf,1999). Selanjutnya Ali (1988), menyatakan bahwa tujuan zakat adalah : (1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6) menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8) mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial (Ali, 1988). Zakat sebagi bagian dari sistem ekonomi Islam, di dalamnya ditemukan beberapa unsur yang membedakan dengan sistem ekonomi lain, yang terlihat dengan adanya ketentuan yang mengatur unsur-unsur zakat, yaitu: harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, kategori orang yang wajib mengeluarkan zakat, kategori orang yang berhak menerima zakat. Ketiga unsur zakat ini ditetapkan secara tegas dalam al-Qur'an dan al-Haditś. Ketiga unsur tersebut menunjukkan 7 Mereka yang berhak menerima zakat ini diterangkan secara langsung dalam al-Qur'an surat al-Taubat ayat 60, yaitu sebanyak delapan asnaf:: fakir, miskin, amil, mu'allaf, budak, orang yang dililit hutang, fi sabilillah, dan ibn sabil. 67 bahwa zakat adalah lembaga pengalihan harta kekayaan dari satu pihak (muzakki) kepada pihak lain (mustahiq). Pengalihan harta merupakan keharusan, dan mengeluarkan zakat bagi muzakki merupakan kewajiban mutlak, suka atau tidak suka, setiap orang yang memenuhi unsur muzakki wajib mengeluarkan zakat, dan yang memenuhi unsur mustahik, berhak menerima harta zakat. Melembaganya zakat dalam masyarakat, menggiring zakat tidak hanya menjadi realitas keagamaan yang berdimensi ibadah ketuhanan semata (asceticism), namun telah menjadi realitas sosial dan budaya yang sangat erat dengan kehidupan bermasyarakat (politik, ekonomi dan budaya). Oleh sebab itu, maka zakat telah menjadi fenomena sosial budaya, ekonomi, dan bahkan politik dan telah hadir dalam diskursus kemandirian, pemberdayaan, dan pembangunan.