Perang Romawi–Persia adalah serangkaian konflik antara Romawi

advertisement
Perang Romawi-Persia
Perang Romawi–Persia
Kameo yang menggambarkan kaisar Romawi,
Valerianus, melawan raja Persia Sassaniyah, Shapur I.
Tanggal
Lokasi
Hasil
92 M – 628 M
Mesopotamia, Transkaukasus,
Atropatene, Asia Kecil, Suriah,
Palestina, Mesir
Status quo ante bellum
Pihak yang terlibat
Republik Romawi,
diteruskan oleh
Kekaisaran Romawi dan
Kekaisaran Romawi
Timur serta sekutusekutu mereka1
Kekaisaran Parthia,
diteruskan oleh
Kekaisaran Sassaniyah,
serta sekutu-sekutu
mereka2
Komandan
Lucullus,
Pompeius,
Crassus- †,
Markus Antonius,
Ventidius,
Corbulo,
Trajanus,
Avidius Cassius,
Statius Priscus,
Septimius Severus,
Caracalla,
Macrinus,
Alexander Severus,
Timesitheus,
Gordianus III- †,
Valerianus #,
Ballista,
Odaenathus,
Phraates III,
Surena,
Pacorus I- †,
Quintus Labienus- †,
Artabanus II,
Vologases I,
Vologases IV,
Ardashir I,
Shapur I,
Narseh,
Shapur II,
Narseh- †,
Narseh,
Bahram V,
Yazdegerd II,
Kavadh I,
Mihran,
Mihr-Mihroe #,
Carus,
Galerius,
Constantius II,
Julianus- †,
Jovian,
Ardaburius,
Hypatius,
Patricius,
Areobindus,
Celer,
Belisarius,
Sittas,
Al-Harits BI Jabalah,
Dagistheus,
Bessas,
Marcianus,
Justinianus,
Al-Mundhir bin alHarits,
Maurice,
Yohanes Mystaconus,
Philippicus,
Comentiolus,
Narses
Germanus- †,
Leontius,
Domentziolus,
Priscus,
Heraclius,
Theodore
Azarethes,
Khosrau I,
Al-Mundhir IV ibn alMundhir- †,
Khorianes- †,
Adarmahan,
Tamkhusro- †,
Varaz Vzur,
Mahbodh,
Kardarigan,
Bahram Chobin,
Zatsparham- †,
Khosrau II,
Shahrbaraz,
Kardarigan,
Shahin,
Shahraplakan- †,
Rhahzadh- †
1
Sekutu Romawi: Armenia, Iberia, Albania,
Commagene, Nabataea, Osroene, Palmyra, Ghassaniyah,
Lazika, Kekaisaran Aksum, Khazars, Göktürks
2
Sekutu Parthia/Sassaniyah: Osroene, Armenia, Iberia,
Albania, Lakhmiyah, Lazika, Avars
Perang Romawi–Persia adalah serangkaian konflik antara Romawi melawan dua kekaisaran
Iranik yang berturut-turut; Parthia dan Sassaniyah. Hubungan antara Kekaisaran Parthia dan
Republik Romawi dimulai pada tahun 92 SM; peperangan dimulai ketika masa akhir Republik
Romawi dan terus berlanjut ketika Kekaisaran Romawi melawan Kekaisaran Sassaniyah.
Konflik ini berakhir ketika munculnya invasi Muslim Arab, yang menghantam Sassaniyah serta
Kekaisaran Romawi Timur dengan dampak yang sangat menghancurkan tidak lama setelah
Romawi dan Sassaniyah berhenti berperang.
Meskipun peperangan antara Romawi dan Parthia/Sassaniyah berlangsung selama tujuh abad,
garis depan kedua pihak cenderung tetap stabil. Tarik-menarik berlangsung: kota, benteng, dan
provinsi terus-menerus diserang, ditaklukan, dihancurkan, dan dipindahtangankan. Kedua belah
pihak tidak memiliki kekuatan logistik dan tenaga manusia untuk menghadapi kampanye yang
panjang dan jauh di luar perbatasan mereka, dan kedua belah pihak tidak mampu melaju terlalu
jauh tanpa mengambil resko membuat garis depan menjadi terlalu tipis. Kedua pihak memang
melakukan penaklukan di luar perbatasan masing-masing, namun keseimbangan selalu kembali
seperti semula. Garus kebuntuan bergeser pada abad ke-2 M: batasnya awalnya adalah di
sepanjang Efrat; batas baru ada di timur, atau kemudian di timur laut, di seberang Mesopotamia
sampai Tigris utara. Ada pula beberapa pergeseran penting lebih jauh di utara, yakni di Armenia
dan Kaukasus.
Penghabisan sumber daya selama Perang Romawi–Persia pada akhirnya berujung bencana pada
kedua Kekaisaran itu. Peperangan yang berkepanjangan dan meningkat pada abad ke-7 dan ke-6
SM menyebabkan kedua pihak menjadi lemah dan rentan ketika terjadi kebangkitan dan ekspansi
yang tiba-tiba dari Kekhalifahan Muslim Arab, yang pasukannya menginvasi kedua kekaisaran
itu hanya beberapa tahun setelah Perang Romawi–Persia berakhir. Memanfaatkan keadaan
mereka yang melemah, pasukan Muslim Arab dengan cepat menaklukan keseluruhan Kekaisaran
Sassaniyah. Pasukan Arab juga merampas wilayah Kekaisaran Romawi Timur yang ada di
Levant, Kaukasus, Mesir, dan Afrika Utara. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar
Kekaisaran Romawi Timur berhasil dikuasai oleh Muslim.
Latar belakang
Romawi (ungu), Parthia (kuning) dan Seleukia (biru) pada 200 SM. Romawi dan Parthia menginvasi
wilayah kekuasaan Seleukia, dan keduanya kemudian menjadi negara terkuat di Asia barat.
Menurut James Howard-Johnston, "sejak abad ke-3 SM hingga abad ke-7 M, pemain yang
bersaing [di Timur] adalah pihak yang kuat dengan ambisi besar, yang mampu mendirikan dan
mengamankan wilayah yang melampaui daerah-daerah yang terbagi-bagi".[1] Romawi dan
Parthia mulai melakukan kontak melalui penaklukan masing-masing terhadap Kekaisaran
Seleukia. Selama abad ke-3 SM, orang-orang Parthia mulai bermigrasi dari stepa Asia Tengah ke
Iran utara. Meskipun dikuasai untuk sementara waktu oleh Seleukia, pada abad ke-2 SM mereka
berhasil bebas dan mendirikan negara merdeka yang secara perlahan-lahan meluas, menaklukan
Persia dan Mesopotamia. Dipimpin oleh Dinasti Arcasiyah, Parthia menghalau beberapa usaha
Seleukia untuk merebut kembali bekas wilayah kekausaan mereka, dan Parthia malah terus
memperluas kekuasaan mereka sampai ke India (lihat Kerajaan India-Parthia).[2][3] Sementara itu
Romawi mengusir Seleukia dari wilayah kekuasaan mereka di Anatolia pada awal abad ke-2 SM,
setelah mengalahkan Antiokhos III yang Agung pada Pertempuran Thermopylae dan
Pertempuran Magnesia. Pada akhirnya, pada tahun 64 SM Pompeius menaklukan sisa-sisa
kekuasaan Seleukia di Suriah, memusnahkan negara tersebut dan memajukan batas timur
Romawi sampai ke Efrat, yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Parthia.[2]
Perang Romawi–Parthia
Republik Romawi vs. Parthia
Hubungan Parthia dengan Barat dimulai pada masa Mithridates I dan dilakukan kembali oleh
Mithridates II, yang melakukan negosiasi dengan Lucius Cornelius Sulla mengenai kemungkinan
persekutuan Romawi–Parthia (sek. 105 SM) meski akhirnya gagal.[4][5] Ketika Lucullus
menginvasi Armenia Selatan dan memimpin sebuah serangan terhadap Tigranes pada 69 SM, dia
menghubungi Phraates III guna memintanya supaya tidak ikut campur. Meskipun Parthia
bersikap netral, Lucullus sempat mempertimbangkan untuk menyerang mereka.[6] Pada 66–
65 SM, Pompeius mencapai kesepakatan dengan Phraates, dan pasukan Romawi–Parthia
menginvasi Armenia, namun kemudian muncul percekcokan di perbatasan Efrat. Akhirnya,
Phraates menegaskan kekuasaannya atas Mesopotamia, kecuali untuk distrik barat Osroene, yang
menjadi tanah jajahan Romawi.[7]
Jenderal Romawi Marcus Licinius Crassus memimpin sebuah invasi ke Mesopotamia pada
53 SM yang berakhir dengan bencana; dia dan putranya Publius dibunuh pada Pertempuran
Carrhae oleh pasukan Parthia di bawah Jenderal Surena; ini adalah kekalahan pertama Romawi
sejak Pertempuran Cannae.[8] Parthia menggempur Suriah setahun kemudian, dan melakukan
invasi besar pada 51 SM, tetapi pasukan mereka disergap di dekat Antigonea oleh Romawi, dan
mereka pun dipukul mundur.[9]
Armenia pada masa pemerintahan Tigranes.
Parthia tetap bersikap netral selama perang saudara Caesar, yang berlangsung antara pasukan
pendukung Julius Caesar dan pasukan pendukung Pompeius dan faksi tradisional di Senat
Romawi. Akan tetapi, Parthia tetap menjaga hubungan baik dengan Pompeius, dan setelah
kekalahan serta kematian Pompeius, pasukan Parthia di bawah Pacorus I menolong jenderal
Pompeius, Q. Caecilius Bassus, yang sedang dikepung di Lembah Apamea oleh pasukan Caesar.
Setelah memenangkan perang saudara, Julius Caesar mempersiapkan kampanye melawan
Parthia, namun dia keburu meninggal akibat dibunuh sehingga rencananya tidak jadi
dilaksanakan. Parthia mendukung Brutus dan Cassius selama perang saudara Liberator dan
mengirim satu kontingen untuk bertempur dalam Pertempuran Philippi pada 42 SM.[10] Setelah
kekalahan para Liberator, Parthia menginvasi wilayah Romawi pada 40 SM bekerja sama dengan
Quintus Labienus, orang Romawi mantan pendukung Brutus dan Cassius. Mereka dengan cepat
menguasai provinsi Romawi Suriah dan bergerak menuju Yudea, mengalahkan klien Romawi
Hyrcanus II dan menempatkan keponakannya Antigonus. Untuk sesaat, seluruh bagian timur
Romawi nampaknya telah diambil oleh Parthia atau akan jatuh ke tangan mereka. Namun, hasil
dari perang saudara Romawi dengan segera memulihkan kekuatan Romawi di Asia.[11] Markus
Antonius mengirim Ventidius untuk menghadang Labienus, yang telah menginvasi Anatolia.
Labienus dengan cepat dipukul mundur ke Suriah oleh pasukan Romawi, dan, meskipun dibantu
oleh Parthia, dia dikalahkan, ditawan, dan dibunuh. Setelah kembali mengalami kekalahan di
dekat Gerbang Suriah, Parthia menarik pasukannya dari Suriah. Mereka kembali pada 38 SM
namun secara telak dikalahkan oleh Ventidius, dan Pacorus terbunuh. Di Yudaea, Antigonus
digulingkan dengan bantuan Romawi oleh Herod pada 37 SM.[12][13][14] Setelah Romawi kembali
menguasai Suriah dan Yudea, Markus Antonius memimpin pasukan besar menuju Atropatene
(Azerbaijan modern), namun kereta kepung dan pasukan pengiringnya diisolir dan disapu habis,
sementara sekutu Armenianya meninggalkannya. Gagal memperoleh perkembangan berarti
melawan posisi Parthia, Romawi akhirnya mundur dengan kerugian yang besar. Antonius
kembali ke Armenia pada 33 SM untuk bergabung dengan raja Media melawan Octavianus dan
Parthia. Dia pada akhirnya terpaksa harus mundur dan keseluruhan wilayah itu dikuasai oleh
Parthia.[15]
Kekaisaran Romawi vs. Parthia
Parthia, subkerajaan, dan negara tetangganya pada 1 M.
Karena ketegangan antara kedua pihak dapat berujung pada perang lagi, maka Gaius Caesar dan
Phraates berusaha melakukan perundingan pada 1 M. Berdasarkan perjanjian yang mereka
sepakati, Parthia bersedia menarik pasukannya dari Armenia dan mengakui protektorat de facto
Romawi di sana. Meskipun demikian, persaingan Romawi–Persia atas kendali dan pengaruh di
Armenia terus berlangsung selama beberapa dekade berikutnya.[16] Keputusan raja Parthia
Artabanus II untuk menempatkan putranya pada tahta Armenia yang kosong, memiu perang
dengan Romawi pada 36 M, yang berakhir setelah Artabanus melepaskan pengaruh Parthia di
Armenia.[17] Perang kembali meletus pada 58 M, setelah raja Parthia Vologases I memaksa
menempatkan saudaranya Tiridates di tahta Armenia.[18][19] Pasukan Romawi menggulingkan
Tiridates dan menggantikannya dengan seorang pangeran Kappadokia, memicu perang yang
inkonklusif. Perang ini berakhir pada 63 M setelah Romawi setuju untuk membiarkan Tiridates
dan keturunannyan untuk memerintah Armenia dengan syarat bahwa mereka menerima hak
meraja dari kaisar Romawi.[20][21]
Serangkaian konflik baru terjadi pada abad ke-2 SM, ketika itu Romawi terus-menerus menang
melawan Parthia. Kaisar Trajanus menginvasi Armenia dan Mesopotamia pada 114 dan 115 M.
Dia menjadikan kedua wilayah itu sebagai provinsi Romawi. Dia juga menaklukan ibukota
Parthia, Ktesiphon, sebelum akhirnya berlayar ke Teluk Persia.[22] Akan tetapi, pemberontakan
meletus pada 115 M di tanah Parthia yang terjajah, ketika pemberontakan Yahudi yang besar
terjadi di wilayah Romawi, sangat menguras sumber daya Romawi. Pasukan Parthia menyerang
posisi-posisi kunci Romawi, dan garnisun Romawi di Seleukia, Nisibis dan Edessa diusir oleh
penduduk lokal. Trajanus berhasil memadamkan pemberontakan di Mesopotamia, namun setelah
menempatkan pangeran Parthia Parthamaspates di tahta Parthia sebagai penguasa klien Romawi,
Trajanus pun menarik mundur pasukannya dan kembali ke Suriah. Trajanus meninggal pada 117
M, sebelum dia sempat mengatur ulang dan mengkonsolidasi kendali Romawi di provinsiprovinsi Parthia.[23][24]
Reruntuhan Ktesiphon, salah satu ibukota Parthia dan Sassaniyah.
Perang Parthia Trajanus menandai "pergeseran penekanan dalam 'strategi utama Kekaisaran
Romawi' ", namun penerusnya, Hadrianus, memutuskan bahwa Romawi harus kembali
menjadikan Efrat sebagai batas kekuasaan langsungnya. Hadrianus kembali pada keadaan status
quo ante, dan menyerahkan wilayah Armenia, Mesopotamia, dan Adiabene, masing-masing
kepada para penguasa dan raja di wilayah itu sebelumnya.[25][26]
Perang memperebutkan Armenia kembali pecah pada 161 M, ketika Vologases IV mengalahkan
pasukan Romawi di sana, menaklukan Edessa dan menggempur Suriah. Pada 163 M, serangan
balik Romawi di bawah Statius Priscus mengalahkan Parthia di Armenia dan menempatkan
kandidat yang didukung Romawi di tahta Armenia. Setahun kemudian Avidius Cassius
menginvasi Mesopotamia, memenangkan pertempuran di Dura-Europos dan Seleukia, serta
menjarah Ktesiphon pada 165 M. Sebuah epidemik di Parthia ketika itu, kemungkinan cacar,
menular ke pasukan Romawi dan memaksa mereka untuk mundur;[27] Ini adalah asal mula
Wabah Antoninus yang menjangkiti Kekaisaran Romawi selama satu generasi. Pada 195–197 M,
Romawi melakukan serangan di bawah kaisar Septimius Severus dan berujung pada penguasaan
Romawi atas Mesopotamia utara sampai sejauh daerah sekitar Nisibis, Singara. Romawi juga
berhasil menaklukan Ktesiphon untuk kedua kalinya.[28][29][30] Perang terakhir melawan Parthia
dilancarkan oleh kaisar Caracalla, yang berhasil menaklukan Arbela pada 216 M. Setelah dia
dibunuh, penerusnya, Macrinus, dikalahkan oleh Parthia pada Pertempuran Nisibis. Supaya dapat
memperoleh perdamaian, dia terpaksa harus membayar segala kerugian yang disebabkan oleh
Caracalla kepada Parthia.[31][32]
Perang Romawi–Sasaniyah
Relief batu di Naqsh-e Rustam yang menggambarkan raja Sassaniyah, Shapur I (menunggang kuda),
menangkap kaisar Romawi, Valerianus (berlutu), dan Philippus si Arab (berdiri).
Konflik berlanjut tidak lama setelah penggulingan kekuasaan Parthia dan pendirian Kekaisaran
Sassaniyah oleh Ardashir I. Ardashir menggempur Mesopotamia dan Suriah pada 230 M lalu
menuntut penyerahan seluruh wilayah bekas kekuasaan Kekaisaran Akhemeniyah.[33][34][35]
Setelah perundingan yang tanpa hasil, Alexander Severus menyerang Ardashir pada 232 M dan
berhasil memkul mundurnya.[36][37][38] Pada 238–240 M, menjelang akhir masakekuasaannya,
Ardashir menyerang lagi, menaklukan beberapa kota di Suriah dan Mesopotamia, termasuk
Carrhae dan Nisibis.[39][40] Peperangan terus berlanjut dan semakin keras di bawah penerus
Ardashir, Shapur I, yang menginvasi Mesopotamia. Pasukannya dikalahkan pada Pertempuran
Resaen pada 243 M sehingga Romawi dapat merebut kembali Carrhae dan Nisibis.[41] terdorong
oleh kemenangan ini, kaisar Romawi Gordianus III bergerak menuju Efrat namun malah dipukul
mundur di dekat Ktesiphon dalam Pertempuran Misiche pada 244 M.[42][43][44][45]
Pada awal 250-an M, kaisar Philippus si Arab terlibat dalam perebutan kekuasaan atas Armenia.
Shapur membunuh raja Armenia dan akibatnya perang melawan Romawi kembali terjadi. Shapur
mengalahkan Romawi pada Pertempuran Barbalissos, dan kemudian barangkali dia menaklukan
dan menjarah Antiokia.[46][47] Antara 258 dan 260 M, Shapur menangkap kaisar Valerianus I
setelah mengalahkan pasukan Romawi pada Pertempuran Edessa. Shapur lalu bergerak ke
Anatolia, namun dia dikalahkan oleh pasukan Romawi di sana, selain itu dia juga diserang oleh
Odaenathus dari Palmyra sehingga pasukan Persia terpaksa harus mundur dari wilayah
kekuasaan Romawi.[48][49][50][51]
Kampanye Julianus yang gagal pada 363 M mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Romawi yang
pernah diperoleh melalui kesepakatan damai 299 M.
Kaisar Carus melancarkan invasi yang sukses terhadap Persia pada 283 M. Dia menjarah
Ktesiphon, ibukota Sassaniyah. Ini adalah kali ketiga Ktesiphon dijarah. Romawi bisa saja
meneruskan penaklukan mereka namun Carus keburu meninggal pada bulan Desember tahun
tersebut.[52][53][54][55] Setelah perjanjian damai yang singkat pada masa pemerintahan
Diocletianus, Persia kembali menyulut permusuhan ketika mereka menginvasi Armenia dan
mengalahkan pasukan Romawi di dekat Carrhae pada 296 atau 297 SM.[56][57] Namun, Galerius
manghancurkan pasukan Persia dalam Pertempuran Satala pada 298. Dia berhasil menguasai
baitulmal dan harem kerajaan. Tindakan ini sangat memalukan bagi pihak Persia. Perjanjian
damai yang disepakati berikutnya membuat Romawi memperoleh daerah yang terbentang antara
Tigris dan Greater Zab. Ini adalah kemenangan Romawi paling telak selama puluhan tahun,
karena Romawi berhasil menguasai kembali seluruh wilayah mereka yang pernah hilang,
ditambah dengan seluruh wilayah yang diperebutkan, serta seluruh wilayah Armenia.[58][59][60][61]
Perdamaian pada 299 M berlangsung sampai pertengahan 330-an M, ketika Shapur II memulai
serangkaian serangan terhadap Romawi. Meskipun memperoleh beberapa kemenangan dalam
pertempuran, kampanyenya tidak memberikan pengaruh jangka panjang: tiga pengepungan
Persia atas Nisibis berhasil dipukul mundur, dan meskipun Shapur sempat menaklukan Amida
dan Singara, kedua kota itu dengan cepat direbut kembali oleh Romawi.[56] Shapur sibuk
memerangi serangan kaum nomad terhadap Persia pada 350-an M sehingga tidak mengurusi
Romawi, namun setelah itu dia melancarkan kampanye baru lagi pada 359 Ma dan lagi-lagi
menaklukan Amida. Tindakan ini memicu serangan balasan oleh kaisar Romaw, Julianus, yang
menyusuri Efrat sampai ke Ktesiphon.[62] Julianus memenangkan Pertempuran Ktesiphon namun
tidak dapat merebut ibukota Persia itu dan mundur sampai ke Tigris. Diserang ole Persia,
Julianus terbunuh dalam sebuah pertempuran kecil. Dengan terjebaknya pasukan Romawi di
pesisir barat Efrat, penerus Julianus, Jovianus menyepakati perjanjian dengan Persia. Dia
menyerahkan beberapa wilayah dengan syarat pasukan Romawi diizinkan keluar dari wilayah
Sassaniyah dengan selamat. Romawi menyerahkan wilayah kekuasaan mereka di sebelah timur
Tigris, selain juga Nisibis dan Singara. Setelah itu Shapur dengan cepat menaklukan Armenia.[63]
Pada 384 atau 387 M, perjanjian damai disepakati oleh Shapur III dan Theodosius I, yang
membagi Armenia menjadi dua, masing-masing untuk Romawi dan Persia. Sementara itu,
wilayah utara Romawi diserang oleh suku Hun, Alan, dan Jermanik, sedangkan wiayah utara
Persia terancam pertama oleh suku Hun dan kemudian oleh orang-orang Heftalit. Karena kedua
kekaisaran menghadapi ancaman masing-masing, akhirnya keduanya tidak saling menyerang
selama beberapa waktu. Periode damai ini hanya diselingi oleh dua perang singkat, yang pertama
pada 421–422 M dan yang kedua pada 440 M.[64][65][66]
Perang Bizantium–Sassaniyah
Perang Anastasius
Peta perbatasan Romawi–Persia setelah pembagian Amenia pada 384 M. Garis depan relatif stabil
sepanjang abad k-5M.
Perang pecah ketika raja Persia Kavadh I berusaha memperoleh dukungan keuangan secara
paksa dari Kaisar Romawi Bizantium, Anastasius I.[67][68][69] Pada 502 M, dia dengan cepat
menaklukan kota Theodosiopolis yang tidak siap diserang[70][71] dan kemudian mengepung
Amida. Pengepungan kota-benteng itu terbukti jauh lebih sulit daripada yang Kavadh perkirakan;
pasukan bertahan berhasil menahan serangan Persia selama tiga bulan sebelum akhirnya
dikalahkan.[72][73] Pada 503 M, Romawi berupaya merebut kembali Amida namun gagal.
Sementara itu Kavadh menginvasi Osroene, dan kemudian mengepung Edessa yang berujung
kegagalan.[74] Akhirnya pada 504 M, Romawi merebut Amida melalui investasi militer. Pada
tahun tersebut, gencatan senjata tercapai sebagai akibat dari invasi Armenia oleh suku Hun dari
Kaukasus. Meskipun kedua pihak bernegosiasi, baru pada bulan November 506 M perjanjian
tersebut disetujui.[75][76] Pada 505 M, Anastasius memerintahkan pembangunan kota berbenteng
besar di Dara. Pada saat yang sama, perbentengan yang rusak juga diperbaharui di Edessa,
Batnae dan Amida.[77][78] Meskipun tidak ada lagi konflik berskala besar yang terjadi selama sisa
masa pemerintahan Anastasius, namun ketegangan terus berlanjut, khususnya ketika
pembangunan berlangsung di Dara. Ini karena pembangunan perbentengan baru di zona
perbatasan oleh kedua kekaisaran sebenarnya telah dilarang melalui perjanjian yang telah
disepakati beberapa dekade sebelumya. Akan tetapi Anastasius terus melanjutkan proyek ini
meskipun Persia merasa keberatan. Tembok pertahanannya sendiri selesai dibangun pada 507–
508 M.[79][80]
Kekaisaran Romawi dan Persia pada 477 M, serta negara-negara tetangga merea, yang banyak
diantaranya ikut terseret dalam perang antara dua kekuatan besar itu.
Perang Iberia
Pada 524–525 M, Kavadh mengusulkan pada Justinus I untuk mengadopsi putranya, Khosrau,
namun perundingan mereka berakhir dengan kegagalan.[81][82][83] Ketegangan antara kedua pihak
berujung kepada konflik ketika Iberia Kaukasus di bawah Gourgen membelot dan berpihak
kepada Romawi pada 524–525 M.[84] Pertempuran terbuka Romawi–Persia pecah di daerah
Transkaukasus dan Mesopotamia hulu pada 526–527 M.[85] Pada tahun-tahun awal dalam perang
tersebut, Persia lebih unggul: pada 527 M, pemberontakan Iberia berhasil dipadamkan, serangan
Romawi ke Nisibis dan Thebetha pada tahun tersebut juga berhasil dipukul mundur, selain itu
pasukan Romawi yang dikerahkan untuk melindungi Thannuris dan Melabasa juga berhasil
dihalau oleh Persia.[86][87] Berupaya memperbaiki kekurangan yang telah dimanfaatkan oleh
Persia, kaisar Romawi yang baru, Justinianus I, mengatur ulang pasukan Romawi.[88]
Skema Pertempuran Dara.
Pada 530 M, sebuah serangan besar Persia di Mesopotamia dikalahkan oleh pasukan Romawi di
bawah Belisarius pada Pertempuran Dara, sedangkan serangan kedua Persia ke Kaukasus
dikalahkan oleh Sittas di Satala. Belisarius dikalahkan oleh pasukan Persia dan Lakhmid dalam
Pertempuran Callinicum pada 531 M. Pada tahun yang sama Romawi merebut beberapa benteng
di Armenia, sementara Persia menaklukan dua benteng di Lazika timur.[89] Tidak lama setelah
kegagalan di Callinicum, Romawi dan Persia berunding tanpa hasil.[90] Kedua pihak kembali
berunding pada musim semi 532 M dan akhirnya menyepakati Perdamaian Abadi pada bulan
September 532 M, yang hanya bertahan kurang dari delapan tahun. Kedua pihak setuju untuk
mengembalkan semua wilayah yang mereka rebut, dan Romawi bersedia membayar sejumlah
110 centenaria (11,000 pon emas). Iberia tetap berada di tangan Persia, dan orang-orang Iberia
yang telah meninggalkan negeri mereka diberi pilihan untuk tetap tinggal di wilayah Romawi
atau kembali ke tempat asal mereka.[91][92]
Kekaisaran Romawi dan Sassaniyah pada masa pemerintahan Justinianus:
██ Kekaisaran Romawi (Bizantium) ██ Wilayah yang direbut
oleh Justinianus
██ Kekaisaran Sassaniyah ██ Negara vasal
Sassaniyah
Justinianus vs. Khosrau I
Persia melanggar "Kesepakatan Perdamaian Abadi" pada 540 M, kemungkinan sebagai
tanggapan akibat penaklukan ulang Romawi di banyak bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat,
yang ikut dibantu dengan berhentinya perang di Timur. Khosrau I menginvasi dan
meluluhlantakkan Suriah, merampas sejumlah besar uang dari kota-kota di Suriah dan
Mesopotamia, dan secara sistematis menjarah kota-kota lainnya termasuk Antiokhia, yang
penduduknya dikirim ke wilayah Persia.[93][94] Belisarius, dipanggil dari kampanye di Barat
untuk menghadapi ancaman Persia, melancarkan kampanye terhadap Nisibis pada 541 M yang
berakhir inkonklusif. Khosrau melancarkan serangan lainnya di Mesopotamia pada 542 M ketika
dia berupaya menaklukan Sergiopolis.[95][96] Dia mundur dengan cepat ketika menghadapi
pasukan Romawi di bawah Belisarius, menjarah dan merusak kota Callinicum dalam
perjalannya.[97][98] Serangan terhadap sejumlah kota Romawi berhasil dipukul mundur, dan
pasukan Persia dikalahkan di Dara.[99][100] Pada 543 M, Romawi melancarkan serangan ke Dvin
namun dikalahkan oleh sejumlah kecil pasukan Persia di Anglon. Khosrau mengepung Edessa
pada 544 M namun gagal dan akhirnya disuap oleh pasukan bertahan.[101] Setelah penarikan
mundur pasukan Persia, utusan dari Romawi datang ke Ktesiphon untuk melakukan
perundingan.[102][103][104] Perjanjian damai selama lima disepakati pada 545 M, dan dijamin
dengan pembayaran Romawi kepada Persia.[105][106]
Perbatasan timur Romawi Romawi–Persia pada saat kematian Justinianus pada tahun 565 M, dengan
Lazika berada di tangan Romawi (Bizantium).
Pada awal 548 M, raja Gubazes dari Lazika mendapati bahwa negerinya ditindas oleh Persia. Dia
pun meminta kaisar Justinianus untuk mengembalikan protektorat Romawi di sana. Justinianus
mengambil kesempatan itu, dan pada 548–549 M pasukan gabungan Romawi dan Lazika
berhasil meraih serangkaian kemenangan atas pasukan Persia, meskipun mereka gagal merebut
garnisun kunci di Petra. Kota tersebut pada akhirnya diduduki pada 551 M, namun pada tahun
yang sama, serangan Persia di bawah Mihr-Mihroe berhasil menduduki Lazika timur.[107]
Gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya pada 545 SM kembali diperbaharui di dekat
Lazika untuk lima tahun berikutnya dengan ketentuan bahwa Romawi harus memabayr
2,000 pon emas tiap tahun.[108] Di Lazika perang berlangsung inkonklusif selama beberapa tahun,
dan kedua pihak tidak mampu memperoleh kesuksesan yang berarti.[109] Khosrau, yang kini
harus berurusan dengan Suku Hun Putih, memperbaharui gencatan senjata pada 557 SM, kali ini
tanpa meliputi Lazika; negosiasi berlangsung untuk perjanjian damai tanpa batasan yang
jelas.[110][111] Pada akhirnya, pada 561 M, utusan Justinianus dan Khosrau menyepakati
perdamaian selama lima puluh tahun. Persia sepakat untuk mengevakuasi Lazika sedangkan
Romawi diharuskan membayar 30,000 nomismata (solidi) tiap tahun.[112] Kedua pihak juga
sepakat untuk tidak membangun perbentengan baru di dekat perbatasan dan melonggarkan
pembatasan dalam hal diplomasi dan perdagangan.[113]
Perang Kaukasus
Perang kembali pecah ketika Armenia dan Iberia memberontak terhadap pemerintahan
Sassaniyah pada 571 M, menyusul bentrokan yang melibatkan proksi Romawi dan Persia di
gurun Yaman dan Suriah, dan perundinagn Romawi untuk bersekutu dengan Suku Turk
melawan Persia.[114] Justinus II menjadikan Armenia di bawah perlindungannya, sementara
pasukan Romawi di bawah keponakan Justinus, Marcianus menggempur Arzanene dan
menginvasi Mespotamia Persia, mereka mengalahkan pasukan lokal di sana.[115] Pemberhentian
Marciaus yang mendadak serta kedatangan pasukan Persia di bawah Khosrau berujung pada
penggempuran Suriah oleh Persia, serta gagalnya kepungan Romawi di Nisibis dan jatuhnya
Dara ke tangan Persia.[116] Romawi bersedia membayar 45,000 solidi dan gencatan senjata
selama satu tahun akhirnya disepakati di Mesopotamia (kemudian diperpanjang sampai lima
tahun).[117][118] Akan tetapi di Kaukasus dan di perbatasan gurun lainnya peperangan terus
berlanjut.[119][120] Pada 575 M, Khosrau I berupaya untuk menggabungkan agresi di Armenia
dengan diskusi terkait perdamaian permanen. Dia menginvasi Anatolia dan menjarah Sebasteia,
namun setelah bentrokan di dekat Melitene, pasukan Persia menderita kerugian yang besar ketika
berusaha mundur menyeberangi Efrat di bawah serangan Romawi.[121][122]
Kekaisaran Sassaniyah dan negara-negara tetangganya (termasuk Kekaisaran Romawi Timur) pada
tahun 600 M.
Romawi memanfaatkan kekacauan Persia, dan jenderal Justinianus menginvasi wilayah Persia
dan menyerang Atropatene.[121] Khosrau awalnya meminta berdamai, namun mengabaikan
inisiatif ini setelah Tamkhusro meraih kemenangan di Armenia, di sana tindakan Romawi tidak
mendapat dukungan dari penduduk lokal.[123][124] Pada musim semi 578 M perang di
Mesopotamia berlanjut dengan serangan Persia terhadap wilayah Romawi. Jenderal Romawi
Mauricius membalas dengan menyerang Mesopotamia Persia, merebut benteng Aphumon, dan
menjarah Singara. Khosrau sekali lagi meminta perundingan damai namun dia keburu meninggal
pada 579 M dan penerusnya Hormizd IV lebih suka melajutkan peperangan.[125][126]
Perbatasan Romawi-Persia pada abad ke-4 dan ke-7 M.
Selama tahun 580-an M, perang berlanjut inkonklusif dengan kemenangan di kedua pihak. Pada
582 M, Mauricius memenangkan pertempuran di Konstantia atas Adarmahan dan Tamkhusro,
yang terbunuh, namun jenderal Romawi itu tidak menindaklanjuti kemenangannya; dia harus
cepat-cepat pergi ke Konstantinopel untuk mengejar ambisi menjadi penguasa
Romawi.[127][128][129] Kemenangan Romawi lainnya dalam Pertempuran Solakhon pada 586 M
juga tidak berhasil memecah kebuntuan.[130]
Persia merebut Martyropolis melalui pengkhianatan pada 589 M, namun tahun tersebut
kebuntuan hancur ketika jenderal Persia Bahram Chobin, setelah dipecat dan dan dihina oleh
Hormizd IV, bangkit memimpin pemberontakan. Hormizd digulingkan dalam sebuah kudeta di
istana pada 590 M dan digantikan oleh putranya Khosrau II, namun Bahram tetap saja
meneruskan pemberontakannya dan mengalahkan Khosrau, yang terpaksa harus menyelamatkan
diri ke wilayah Romawi, sementara Bahram merebut tahta dengan gelar Bahram VI. Dengan
dukungan dari Mauricius, Khosrau memimpin pemberontakan melawan Bahram, dan pada 591
M, pasukan gabungan Romawi dan Khosrau berhasil mengalahkan Bahram dan dengan demikian
Khosrau dapat kembali bertahta. Sebagai imbalan karena telah membantunya, Khosrau tidak
hanya mengembalikan Dara dan Martyrooplis, namun dia juga menyerahkan paruh barat Iberia
dan lebih dari setengah Armenia Persia kepada Romawi.[131][132][133]
Klimaks
Pada 602 M pasukan Romawi yang sedang melakukan kampanye militer di Balkan memberontak
di bawah pimpinan Phocas, yang kemudian berhasil merebut tahta dan membunuh Mauricius
beserta keluarganya. Khosrau II memanfaatkan pembunuhan itu sebagai pembenaran untuk dapat
kembali menyerang Romawi.[134] Pada awal perang, Persia menikmati kesuksesan yang luar
biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dibantu oleh siasat Khosrau yang
menggunakan seseorang yang berpura-pura sebagai putra Mauricius, juga oleh pemberontakan
terhadap Phocas yang dipimpin oleh seorang jenderal Romawi, Narses.[135][136] Pada 603 M
Khosrau mengalahkan dan membunuh jenderal Romawi, Germanus, di Mesopotamia dan
kemudian mengepung Dara. Meskipun pasukan bantuan Romawi datang dari Eropa, Khosrau
kembali memperoleh kemenangan lainnya pada 604 M, sementara Dara takluk setelah dikepung
selama sembilan bulan. Selama tahun-tahun berikutnya, satu demi satu kota-kota benteng di
Mesopotamia takluk setelah dikepung oleh Persia.[137][138] Pada saat yang sama, Persia juga
meraih kemenangan di Armenia dan secara sistematis menguasai garnisun Romawi di
Kaukasus.[139]
Koin perak Romawi akhir yang bertuliskan kata-kata Deus adiuta Romanis.
Phocas digulingkan pada 610 M oleh Heraclius, yang berlayar ke Konstantinopel dari
Karthago.[140] Pada saat yang sama Persia telah menyelesaikan penaklukan mereka di
Mesopotamia dan Kaukasus, dan pada 611 M mereka menyerbu Suriah dan memasuki Anatolia,
serta menduduki Caesarea.[141] Setelah mengusir Persia dari Anatolia pada 612 M, Heraclis
melancarkan serangan balasan ke Suriah pada 613 M. Dia secara telak dikalahkan di dekat
Antiokhia oleh Shahrbaraz dan Shahin dan dengan demikian posisi Romawi pun semakin
rawan.[142] Selama beberapa dekade berikutnya, Persia berhasil menaklukan Palestina dan
Mesir,[143] serta meluluhlantakkan Anatolia.[144] Sementara itu, suku Avar dan bangsa Slav
mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menyerbu Balkan, yang pada gilirannya ikut
menambah kehancuran pada Kekaisaran Romawi.[145]
Selama masa tersebut, Heraclius berusaha membangun kembali pasukan Romawi. Dia
memotong pengeluaran nonmiliter yang tidak penting, mendevaluasi mata uang dan melebur
lempeng gereja, dengan dukungan Patriark Sergius, untuk memperoleh dana yang dibutuhkan
untuk melanjutkan peperangan.[146] Pada 622 M, Heraclius berangkat dari Konstantinopel,
mempercayakan kota kepada Sergius dan jenderal Bonus sebagai wali anaknya. Dia
menghimpun pasukannya di Asia Kecil dan, setelah melakukan latihan untuk meningkatkan
moral mereka, dia melancarkan serangan balasan, yang mengambil ciri perang suci.[147][148] Di
Kaukasus dia mengalahkan pasukan Arab sekutu Persia, dan kemudian meraih kemenangan atas
Persia di bawah Shahrbaraz.[149][150] Menyusul masa tenang pada 623 M, ketika Heraclius
merundingkan kesepakatan damai dengan suku Avar, dia melanjutkan kampanyenya di Timur
pada 624 M dan mengusir pasukan pimpinan Khosrau di Ganzak, Atropatene.[151][152] Pada 625
M, dia mengalahkan jenderal Shahrbaraz, Shahin dan Shahraplakan di Armenia, dan dalam
sebuah serangan kejutan pada musim dingin pada tahun yang sama dia menggempur markas
Shahrbaraz dan menyerang pasukannya dalam bilet musim dingin mereka.[153][154] Didukung oleh
pasukan Persia pimpinan Shahrbaraz, suku Avar dan Slav mencoba mengepung Konstantinopel
pada 626 namun gagal,[155][156] sementara pasukan Persia kedua di bawah Shahin kembali
menderita kekalahan di tangan saudara Heraclius, Theodore.[157][158]
Ilustrasi pembunuhan Khosrau II dalam sebuah manuskrip Mughal dari sekitar tahun 1535. Sajak
Persianya berasal dari Shahnameh karya Ferdowsi.
Sementara itu, Heraclius membentuk persekutuan dengan suku Turk, yang mengambil
keuntungan ketika kekuatan Persia melemah. Suku Turk memorak-perandakan wilayah Persia di
Kaukasus.[159] Pada akhir 627 M, Heraclius melancarkan serangan musim dingin ke
Mesopotamia, di sana, meskipun kontingen Turk tidak mau ikut menyerang, Heraclius tetap
dapat mengalahkan Persia dalam Pertempuran Nineweh. Dia terus bergerak ke selatan di
sepanjang Tigris dan menjarah istana agung Khosrau di Dastagird. Dia sebenarnya hendak
menyerang Ktesiphon juga namun gagal karena jembatan di Kanal Nahrawan dihancurkan.
Karena terus mengalami kekalahan, Khosrau digulingkan dan dibunuh dalam sebuah kudeta oleh
putranya sendiri Kavadh II, yang langsung saja meminta perdamaian. Supaya dapat berdamai,
Kavadh bersedia menarik pasukan Persia dari semua wilayah yang sebelumnya mereka
rebut.[160][161] Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem dengan perayaan yang megah
pada 629.[162][163][164]
Akibat
Dampak yang menghancurkan dari perang terakhir ini, menambah efek kumulatif dari konflik
seabad yang hampir tanpa hanti, membuat kedua kekaisaran menjadi sangat lemah. Ketika
Kavadh II meninggal hanya beberapa bulan setelah naik tahta, Persia dilanda kekacauan dinasti
dan perang saudara selama beberapa tahun. Sassaniyah menjadi makin lemah dengan adanya
penurunan dalam bidang ekonomi, pajak yang berat untuk membiayai kamppanye Khosrau II,
kerusuhan agama, dan meningkatnya kekuasaan tuan tanah provinsi.[165] Kekaisaran Romawi
juga sangat terpengaruh, dengan cadangan keuangannya terkuras oleh perang, dan Balkan kini
sebagian besar dikuasai oleh bangsa Slav.[166] Selain itu, Anatolia juga porak-poranda akibat
invasi berulang oleh Persia; kekuasaan Romawi di wilayah yang baru saja diperolehnya di
Kaukasus, Suriah, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir mulai goyah akibat pendudukan Persia
selama bertahun-tahun.[167]
Kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri, karena hanya beberapa tahun
kemudian mereka diserbu oleh oleh orang Arab, yang telah disatukan oleh Islam. Menurut
Howard-Johnston, serbuan orang Arab itu "hanya dapat disamakan dengan tsunami
manusia".[168][169] Menurut George Liska, "Konflik panjang yang tidak perlu antara Bizantium
dan Persia telah memberi jalan bagi Islam".[170] Kekaisaran Sassaniyah dengan cepat menyerah
terhadap serangan ini dan pada akhirnya benar-benar takluk. Selama Perang Bizantium–Arab,
wilayah provinsi timur dan selatan Kekaisaran Romawi, yang sudah lemah, yang baru saja
diperoleh kembali oleh Romawi, yaitu Suriah, Armenia, Mesir dan Afrika Utara, pada akhirnya
lepas kembali, mengurangi wilayah Romawi menjadi tinggal sebagian Anatolia serta daerahdaerah dan pulau-pulau yang terpencar-pencar di Balkan dan Italia.[171] Wilayah Romawi yang
tersisa itu juga terus-menerus diserang, menandai peralihan dari peradaban perkotaan klasik ke
bentuk masyarakat abad pertengahan yang lebih bersifat pedesaan. Akan tetapi, tidak seperti
Persia, Kekaisaran Romawi (dalam bentuk Kekaisaran Bizantium) berhasil bertahan dari
gelombang serangan Arab. Romawi bertahan di sisa-sisa wilayahnya dan dua kali secara telak
berhasil memukul mundur pengepungan Arab atas ibukotanya, yaitu pada 674–678 M dan 717–
718 M.[172][173] Kekaisaran Romawi juga kehilangan wilayahnya di Kreta dan Italia selatan akibat
direbut oleh Arab dalam konflik berikutnya, meskipun wilayah-wilayah tersebut berhasil diambil
kembali oleh Romawi.
Strategi dan siasat militer
Garis waktu Perang Romawi-Persia
Perang Romawi–Parthia
69 SM
Kontak pertama Romawi-Parthia, ketika Lucullus menginasi
Armenia Selatan.
66–65 SM
Pertikaian antara Pompeius dan Phraates III terkait perbatasan
Efrat.
53 SM
Romawi dikalahkan pada Pertempuran Carrhae
42–37 SM
Sebuah invasi besar Parthia terhadap Suriah dan wilayah
Romawi lainnya dengan telak dikalahkan oleh Markus
Antonius dan Ventidius
36–33 SM
Kampanye Markus Antonius melawan Persia yang berakhir
dengan kegagalan. Kampanye berikutnya di Armenia berhasil,
namun diikuti dengan penarikan mundur pasukan - seluruh
wilayah direbut oleh Parthia.
20 SM
Gencatan senjata dengan Parthia oleh Augustus dan Tiberius
— Pengembalian wilayah yang direbut pada Pertempuran
Carrhae.
36 M
Dikalahkan oleh Romawi, Artabanus II melepaskan klaimnya
atas Armenia.
58–63 M
Invasi Romawi ke Armenia — kesepakatan dengan Parthia
terkait raja Armenia.
114–117 M
Kampanye utama Trajanus melawan Parthia — penaklukan
Trajanus kemudian diabaikan oleh Hadrianus.
161–165 M
Perang memperebutkan Armenia (161–163 M) berakhir
dengan kemenangan Romawi setelah pada awalnya Parthia
mengalami kesuksesan.
Avidius Cassius menjarah Ktesiphon pada 165 M.
195–197 M
Sebuah serangan di bawah kaisar Septimius Severus membuat
Romawi menguasai Mesopotamia utara,
216–217 M
Caracalla melancarkan perang baru melawan Parthia Penerusnya Macrinus dikalahkan oleh Parthia dalam
Pertempuran Nisibis.
Perang Romawi–Sassaniyah
230–232 M
Ardashir I menggempur Mesopotamia dan Suriah, namun
dipukul mundur oleh Alexander Severus.
238–244 M
Invasi Ardashir ke Mesopotamia, dan kekalahan Persia pada
Pertempuran Resaena.
Gordianus III bergerak di sepanjang Efrat namun dihalau di
dekat Ctesiphon dalam Pertempuran Misiche pada 244 M.
253 M
sek. 258–260 M
283 M
296–298 M
Romawi dikalahkan pada Pertempuran Barbalissos.
Shapur I mengalahkan dan menangkap kaisar Romawi,
Valerianus I, pada Pertempuran Edessa.
Carus menjarah Ktesiphon.
Romawi dikalahkan di Carrhae pada 296 atau 297 M.
Pada 298 M Galerius mengalahkan Persia.
363 M
Setelah kemenangan awal pada Pertempuran Ktesiphon,
Julianus terbunuh pada Pertempuran Samarra.
384 M
Shapur III dan Theodosius I membagi Armenia menjadi dua
negara.
421–422 M
440 M
Tanggapan Romawi atas penyiksaan yang dilakukan oleh
Bahram terhadap orang Kristen Persia.
Yazdegerd II menggempur Armenia Romawi.
502–506 M
Perang Anastasius: konflik ini pecah ketika Anastasius I
menolak memberi dukungan keuangan kepada Persia, dan
berakhir dengan gencatan senjata untuk jangka waktu 7 tahun.
526–532 M
Perang Iberian: kemenangan Romawi di Dara dan Satala, serta
kekalahan di Callinicum — perang berakhir dengan
"Kesepakatan Perdamaian Abadi".
540–561 M
Perang Lazika: konflik ini pecah ketika Persia melanggar
"Kesepakatan Perdamaian Abadi" dan menginvasi Suriah perang berakhir pada 561 M dengan disepakatinya gencatan
senjata untuk tempo 50 tahun, sementara Romawi memperoleh
Lazika.
572–591 M
Perang Kaukasus: konflik ini pecah ketika bansga Armenia
memberontak terhadap kekuasaan Sassaniyah.
Pada 589 M, jenderal Persia, Bahram Chobin, memimpin
pemberontakan melawan Hormizd IV.
Dikembalikannya Khosrau II, putra Hormizd, ke tahta Persia
oleh Romawi dan pasukan Persia — Romawi kembali
menguasai Mesopotamia utara (Dara, Martyropolis) dan
memperluasnya sampai ke Iberia dan Armenia.
602 M
Setelah kaisar Mauricius dibunuh, Khosrau II menaklukan
Mesopotamia.
611–623 M
Persia menaklukan Suriah, Palestina, Mesir, Rhodos, dan
memasuki Anatolia.
626 M
Persia dan suku Avar mengepung Konstantinopel namun
gagal.
627 M
Persia dikalahkan pada Pertempuran Nineveh.
629 M
Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem, setelah
Persias bersedia menarik pasukan dari seluruh wilayah yang
direbutnya.
Atas: Prajurit legiuner Romawi abad ke-2 M.
Bawah: Prajurit katafrakt Sassaniyah
Ketika Kekaisaran Romawi dan Parthia bentrok untuk pertama kali, nampak bahwa Parthia
memiliki potensi untuk mendorong garis depannya sampai ke Aigea dan Mediterania. Namun, di
bawah Pacorus dan Labienus, Romawi menghalau invasi besar terhadap Suriah dan secara
perlahan-lahan mampu mengambil keuntungan dari lemahnya sistem militer Parthia, yang,
menurut George Rawlinson, sesuai untuk pertahanan nasional namun kurang cocok untuk
penaklukan. Romawi, di lain pihak, terus-menerus memodifikasi dan memperbaharui "siasat
utama" mereka sejak masa Trajanus, dan pada akhirnya Pacorus dapat melancarkan serangan
terhadap Parthia.[174][175] Seperti halnya Sassaniyah pada akhir abad ke-3 dan ke-4 M, Parthia
secara umum menghindari pertahanan berkelanjutan atas Mesopotamia dalam menghadapi
Roamwi. Akan tetapi, dataran tinggi Iran tidak pernah berhasil ditaklukan oleh Romawi. Ini
disebabkan ekspedisi Romawi selalu sudah mengalami kelelahan ketika mencapai Mesopotamia
hilir, dan jalur komunikasi mereka yang sangat panjang melalui wilayah yang tidak cukup
bersahabat menjadikan pasukan Romawi rawan terhadap adanya pemberontakan dan serangan
balik.[176]
Sejak abad ke-4 M, Sassaniyah Persia tumbuh kuat dan mengambil alih peran sebagai agresor.
Mereka merasa bahwa banyak daerah yang diperoleh Romawi pada masa Parthia dan masa awal
Sassaniyah sebenarnya merupakan wilayah milik Persia.[177] Everett Wheeler berpendapat bahwa
"Sassaniyah, secara administratif lebih terpusat daripada Parthia, secara formal mengatur
pertahanan wilayah mereka, meskipun mereka kekurangan pasukan tempur sampai masa
Khosrau I".[176] Secara umum, Romawi mengakui bahwa Sassaniyah merupakan ancaman yang
lebih serius daripada Parthia, sementara Sassaniyah menganggap Kekaisaran Romawi sebagai
musuh terkuat.[178][179]
Secara militer, seperti halnya Parthia, Sassaniyah amat sangat tergantung pada pemanah berkuda
ringan dan katafrakt, kavaleri berbaju zirah berat yang disediakan oleh aristokrasi. Mereka
menambahkan kontingen gajah perang yang didapat dari Lembah Sungai Indus, namun kualitas
infantri mereka kalah bagus jika dibandingkan dengan prajurit Romawi.[180] Kavaleri berat Persia
menimbulkan beberapa kekalahan terhadap prajurit pejalan kaki Romawi, termasuk terhadap
pasukan pimpinan Crassus pada 53 SM,[181] Markus Antonius pada 36 SM, dan Valerianus pada
260 M. Kebutuhan untuk mengatasi ancaman ini berujung pada diperkenalkannya cataphractarii
ke dalam pasukan Romawi;[182][183] akibatnya, kavaleri berbaju zirah berat menjadi semakin
penting baik bagi pasukan Romawi maupun Persia setelah abad ke-3 M, dan sampai akhir
perang.[177] Romawi telah meraih dan mempertahankan kecanggihan tingkat tinggi dalam hal
peperangan kepung, dan telah mengembangkan berbagai macam mesin kepung. Di lain pihak,
Parthia kurang ahli dalam mengepung; pasukan kavaleri mereka lebih cocok untuk siasat serang
dan kabur yang mampu menghancurkan kereta kepung Antonius pada 36 SM. Situasi ini berubah
dengan bangkitnya Sassaniyah. Dengan berdirinya Sassaniyah, Romawi kini berhadapan dengan
musuh yang memiliki kemampuan yang setara dalam hal kepung-mengepung. Sassaniyah
mampu memanfaatkan artileri, mesin-mesin yang dirampas dari Romawi, tanggul, dan menara
kepung.[184][185]
Menjelang akhir abad ke-1 M, Romawi mengatur ulang perlindungan perbatasan timurnya
dengan suatu garis perbentengan, yaitu sistem limes, yang bertahan sampai datangnya
penaklukan Muslim pada abad ke-7 M setelah perbaikan oleh Diocletianus.[186][187] Seperti
halnya Romawi, Sassaniyah juga membangun dinding pertahanan yang menghadap ke wilayah
musuh mereka. Menurut R. N. Frye, pada masa pemerintahan Shapur II, sistem Persia
dikembangkan, kemungkinan meniru Diocletianus yang membangun limes di perbatasan Suriah
dan Mesopotamia di Kekaisaran Romawi. Unit perbatasan Romawi dikenal sebagai limitanei,
dan mereka berhadapan dengan Lakhmid di Irak, yang sering membantu Persia menyerang
Romawi. Shapur menginginkan adanya kekuatan pertahanan permanen melawan suku-suku Arab
lainnya di gurun, khususnya suku-suku yang bersekutu dengan Romawi. Shapur juga
membangun garis perbentengan di barat yang meniru sistem limes Romawi, yang membuat
orang-orang Sassaniyah terkesan.[188][189]
Pada masa awal kekuasaan Sassaniyah, sejumah negara oenyangga ada antara kedua kekaisaran.
Seiring waktu, negara-negara penyangga itu dikuasai oleh kedua kekaisaran, dan pada abad ke-7
M negara penyangga terakhir, Lakhmid Arab Al-Hirah, dikuasai oleh Kekaisaran Sassaniyah.
Frye mengamati bahwa pada abad ke-3 M negara klien semacam itu memainkan peranan penting
dalam hubungan Romawi–Sassaniyah, namun kedua kekaisaran secara berangsur-angsur
mengganti negara macam itu dengan sistem pertahanan yang terorganisir yang diatur oleh
pemerintah pusat, dan didasarkan pada limes serta kota-kota berbenteng di perbatasan, misalnya
Dara.[190] Studi dan penelitian terkni yang membandingkan Sassaniyah dan Parthia menunjukkan
bahwa Sassaniyah memang lebih unggul dalam teknik pengepungan serta organisasi dan
rekayasa militer,[191][192] selain juga kemampuan untuk membangun pertahanan.[193]
Tanggapan
Perang Romawi–Persia disebut sebagai konflik yang "sia-sia" dan terlalu "menekan dan
melelahkan untuk dipikirkan".[194] Secara profetis, Kassios Dio mengamati "siklus konfrontasi
bersenjata tanpa akhir" ini dan berpendapat bahwa "telah diperlihatkan sendiri oleh fakta-fakta
bahwa penaklukan [Severus] merupakan sumber perang dan pengeluaran yang besar dan konstan
bagi kita. Karena konflik ini hanya menghasilkan sedikit dan menyedot sejumlah banyak; dan
kini kita telah mencapai bangsa-bangsa yang merupakan tetangga orang Medes dan Parthia
bukannya tetangga kita sendiri, kita selalu, jika boleh dibilang, melakukan pertempuran yang
seharusnya dilakukan oleh orang-orang itu."[195][196] Dalam rangkaian panjang perang antara dua
kekuatan besar itu, garis depan di Mesopotamia hulu cenderung tidak berubah. Para sejarawan
mengamati bahwa kestabilan garis depan selama berabad-abad itu luar biasa, meskipun Nisibis,
Singara, Dara dan kota-kota lainnya di Mesopotamia hulu berpindah tangan seiring waktu, dan
kepemilikian kota-kota perbatasan ini membuat kekaisaran yang memilikinya memperoleh
keuntungan dalam hal perdagangan atas musuhnya. Seperti yang Frye sebutkan:[190]
“
Orang akan merasa bahwa darah yang ditumpahkan dalam peperangan antara dua
negara itu hanya memberikan sedikit hasil bagi satu pihak ataupun pihak lainnya
seperti beberapa meter tanah yang diperoleh dengan pengorbanan yang mahal dalam
peperangan parit pada Perang Dunia Pertama.
”
"Bagaimana mungkin itu menjadi sesuatu yang baik ketika menyerahkan kepemilikan
yang terbaik kepada orang asing, orang barbar, pimpinan musuh, orang yang iman dan
keadilannya belum teruji, dan terlebih lagi, orang yang menganut iman yang asing dan
kafir?"
Agathias (Sejarah, 4.26.6, diterjemahkan oleh Averil Cameron) tentang orang Persia,
penilaian tipikal menurut pandangan Romawi.[197]
Kedua belah pihak berupaya untuk membenarkan tujuan militer mereka dengan cara yang aktif
dan reaktif. Cita-cita Romawi untuk menguasai dunia ditambah dengan dengan rasa kebanggaan
dalam peradaban barat, serta diperkuat dengana danya ambisi untuk menjadi penjaga perdamaian
dan keteraturan. Sumber-sumber dari Romawi memperlihatkan prasangka lama berkaitan dengan
adat, struktur agama, bahasa, dan bentuk pemerintahan negara-negara di Timur. John F. Haldon
menggarisbawahi bahwa "meskipun konflik antara Persia dan Romawi Timur berkutat di sekitar
isu mengenai kendali strategis di sekitar perbatasan timur, namun selalu ada unsur ideologi dan
agama yang muncul". Sejak masa Konstantinus, kaisar Romawi mengangkat diri mereka sendiri
sebagai pelindung orang-orang Kristen di Persia.[198] Sikap ini menciptakan kecurigaan yang
besar terhadap kesetiaan orang Kristen yang tinggal di Iran Sassaniyah, dan seringkali berujung
pada ketegangan Romawi–Persia atau bahkan konfrontasi militer.[199][200] Satu ciri dari fase final
konflik ini, ketika apa yang telah dimulai pada 611–612 M sebagai perang penyergapan dengan
segera berubah menjadi perang penaklukan, adalah penggunaan Salib sebagai simbol kejayaan
imperial, dan juga unsur keagamaan yang kuat dalam propaganda imperial Romaw; Heraclius
menegcam Khosrau sebagai musuh Tuhan, dan para penulis pada abad ke-6 dan ke-7 M sangat
memusuhi Persia.[201][202] Trradisi pemikiran bersejarah "pro-Romawi" ini bertahan selama
berabad-abad, dan baru pada zaman sekarang para sejarawan mengadopsi pendekatan yang lebih
luas, dan berusaha untuk memperjelas posisi Persia yang kurang diketahui.[203]
Historiografi
Pelecehan yang dilakukan terhadap kaisar Romawi, Valerianus, oleh raja Parthia, Shapur, (Hans
Holbein the Younger, 1521, pena dan tinta hitam pada sketsa kapur, Kunstmuseum Basel)
Sumber untuk sejarah Parthia dan perang melawan Romawi hanya ada sedikit dan tidak lengkap.
Bangsa Parthia mengikuti tradisi Akhemenyah dan lebih menyukai historiografi lisan.
Akibatnya, ketika bangsa Persia ditaklukan, sejarah mereka banyak yang hilang. Dengan
demikian sumber utama untuk periode ini berasal dari sejarawan Romawi (Tacitus, Marius
Maximus, dan Justiusn) dan Yunani (Herodianosos, Kassios Dio dan Plutarkhos). Buku ketiga
belas Orakel Sibyl menceritakan pengaruh Perang Romawi–Persia di Suriah sejak masa
pemerintahan Gordianus III sampai dominasi provinsi oleh Odaenathus dari Palmyra. Dengan
berakhirnya catatan Herodianosos, semua naratif kronologis kontemporer mengenai sejarah
Romawi pun hilang, sampai munculnya naratif karya Lactantius dan Eusebius pada awal abad
ke-4 M, keduanya dari sudut pandang Kristen.[204][205]
Sumber utama untuk periode Sassaniyah awal tidaklah sezaman. Di antaranya yang paling
penting adalah orang Agathias dan Malalas dari Yunani, Tabari dan Ferdowsi dari Persia,
Agathangelos dari Armenia, dan Kronik Suryani tentang Edessa dan Arbela, sebagian besar dari
mereka bersumber pada sumber-sumber Sasaniyah akhir, khususnya Khwaday-Namag. Sejarah
Augustus tidak sezaman dan tidak terpercaya, namun itu merupakan sumber naratif utama bagi
Severus dan Carus. Inskripsi tiga bahasa (Yunani, Parthia, dan Persia Pertangahan) Shapur
merupakan sumber primer.[206][207] Akan tetapi semua itu merupakan upaya terisolasi dalam
mendekati historiografi tulisan dan tidak menjelaskan banyak hal mengenai sejarah Persia, bhkan
ada akhir abad ke-4 M, praktik mengukir relief batu dan menuliskan inskripsi pendek telah
ditinggalkan oleh orang Sassaniyah.[208]
Untuk periode antara 353 dan 378 M, ada sumber saksi mata mengenai peristiwa utama di
perbatasan timur dalam Res Gestae karya Ammianus Marcellinus. Untuk peristiwa-peristiwa
selama periode antara abad ke-4 dan ke-6 M, karya-karya Sozomenus, Zosimus, Priscus, dan
Zonaras adalah sangat bernilai.[209] Sumber tunggal paling penting untuk perang Persia
Justinianus sampai tahun 533 M adalah Procopius. Penerusnya Agathias dan Menander Protector
juga memberikan banyak rincian penting. Theophylact Simocatta adalah sumber utama untuk
masa pemerintahan Mauricius,[210] sedangkan Theophanes, Chronicon Paschale dan puisi-puisi
karya George dari Pisidia adalah sumber yang berguna untuk masa akhir perang Romawi–Persia.
Selain sumber Bizantium, dua sejarawan Armenia, Sebeos dan Movses, ikut berkontibusi dalam
menceritakan naratif perang Heraclius dan oleh Howard-Johnston disebut sebagai "sumber nonMuslim terpenting yang masih tersisa".[211]
Catatan kaki
1.
2.
3.
4.
^ Howard-Johnston (2006), 1
^ a b Ball (2000), 12–13
^ Dignas–Winter (2007), 9 (PDF)
^ Plutarkhos, Sulla, 5. 3–6
Mackay (2004), 149
5. ^ Sherwin-White (1994), 262
6. ^ Bivar (1993), 46
Sherwin-White (1994), 262–263
7. ^ Sherwin-White (1994), 264
8. ^ Plutarkhos, Crassus, 23–32
Mackay (2004), 150
9. ^ Bivar (1993), 56
10. ^ Justinus, Historiarum Philippicarum, XLII.4
Bivar (1993), 56–57
11. ^ Bivar (1993), 57
12. ^ Justinus, Historiarum Philippicarum, XLII.4
13. ^ Plutarkhos, Antonius,
[http://penelope.uchicago.edu/Thayer/E/Roman/Texts/Plutarkhos/Lives/Antony*.html
33–34
14. ^ Bivar (1993), 57–58
15. ^ Kassios Dio, Sejarah Romawi, XLIX, 27–33
* Bivar (1993), 58–65
16. ^ Sicker (2000), 162
17. ^ Sicker (2000), 162–163
18. ^ Tacitus, Annals, XII.50–51
19. ^ Sicker (2000), 163
20. ^ Tacitus, Annals, XV.27–29
21. ^ Rawlinson (2007), 286–287
22. ^ Sicker (2000), 167
23. ^ Kassios Dio, Roman History, LXVIII, 33
24. ^ Sicker (2000), 167–168
25. ^ Lightfoot (1990), 115: "Trajan succeeded in acquiring territory in these lands with a
view to annexation, something which had not seriously been attempted before ...
Although Hadrian abandoned all of Trajan's conquests ... the trend was not to be
reversed. Further wars of annexation followed under Lucius Verus and Septimius
Severus."
26. ^ Sicker (2000), 167–168
27. ^ Sicker (2000), 169
28. ^ Herodianosus, Sejarah Romawi, III, 9.1–12
29. ^ Campbell (2005), 6–7
30. ^ Rawlinson (2007), 337–338
31. ^ Herodianosus, Sejarah Roamwi, IV, 10.1–15.9
32. ^ Campbell (2005), 20
33. ^ Herodianos, Sejarah Romawi, VI, 2.1–6
34. ^ Kassios Dio, Sejarah Romawi, LXXX, 4.1–2
35. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 16
36. ^ Herodianos, Sejarah Romawi, VI, 5.1–6
37. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 24–28
38. ^ Frye (1993), 124
39. ^ Frye (1993), 124–125
40. ^ Southern (2001), 234–235
41. ^ Frye (1993), 125
42. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 27.7–8
43. ^ Orakel Sybil, XIII, 13–20
44. ^ Frye (1993), 125
45. ^ Southern (2001), 235
46. ^ Frye (1993), 125
47. ^ Southern (2001), 235–236
48. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum, 5
49. ^ Orakel Sybil, XIII, 155–171
50. ^ Frye (1993), 126
51. ^ Southern (2001), 238
52. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 38.2–4
53. ^ Eutropius, Abridgment of Roman History, IX, 18.1
54. ^ Frye (1993), 128
55. ^ Southern (2001), 241
56. ^ a b Frye (1993), 130
57. ^ Southern (2001), 242
58. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 39.33–36
59. ^ Eutropius, Ikhtiar Sejarah Romawi, IX, 24–25.1
60. ^ Frye (1993), 130–131
61. ^ Southern (2001), 243
62. ^ Frye (1993), 137
63. ^ Frye (1993), 138
64. ^ Bury (1923), XIV.1
65. ^ Frye (1993), 145
66. ^ Greatrex-Lieu (2002), II, 37–51
67. ^ Procopius, Perang, I.7.1–2
68. ^ Greatrex&ndash
69. ^ Lieu (2002), II, 62
70. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XLIII
71. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 62
72. ^ Zacharias Rhetor, Historia Ecclesiastica, VII, 3–4
73. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 63
74. ^ Greatrex–Lieu (2002), I I, 69–71
75. ^ Procopius, Wars, I.9.24
76. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 77
77. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XC
78. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 74
79. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XCIII–XCIV
80. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 77
81. ^ Procopius, Perang, I.11.23–30
82. ^ Greatrex (2005), 487
83. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 81–82
84. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 82
85. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 84
86. ^ Zacharias Rhetor, Historia Ecclesiastica, IX, 2
87. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 83, 86
88. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 85
89. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 92–96
90. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 93
91. ^ Evans (2000), 118
92. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 96–97
93. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 102
94. ^ H. Börm, "Der Perserkönig im Imperium Romanum", Chiron 36 (2006), 299ff.
95. ^ Procopius, Perang, II.20.17–19
96. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 109–110
97. ^ Procopius, Perang, II.21.30–32
98. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 110
99. ^ Corripus, Johannidos, I.68–98
100.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 111
101.
^ Greatrex-Lieu (2002), II, 113
102.
^ Procopius, Perang, 28.7–11
103.
^ Greatrex (2005), 489
104.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 113
105.
^ Procopius, Perang, 28.7–11
106.
^ Evans, Justinian (527–565 AD); Greatrex–Lieu (2002), II, 113
107.
^ Treadgold (1997), 204–207
108.
^ Treadgold (1997), 209
109.
^ Farrokh (2007), 236
110.
^ Greatrex (2005), 489
111.
^ Treadgold (1997), 211
112.
^ Menander Protector, History, frag. 6.1. Menurut Greatrex (2005), 489, bagi
banyak orang Romawi kesepakatan ini "nampak berbahaya dan menunjukkan
kelehaman".
113.
^ Evans, Justinian (527–565 AD)
114.
^ John of Epiphania, History, 2 AncientSites.com gives an additional reason for
the outbreak of the war: "[The Medians'] contentiousness increased even further ... when
Justin did not deem to pay the Medians the five hundred pounds of gold each year
previously agreed to under the peace treaties and let the Roman State remain forever a
tributary of the Persians." See also, Greatrex (2005), 503–504
115.
^ Treadgold (1997), 222
116.
^ The great bastion of the Roman frontier was in Persian hands for the first time
(Whitby [2000], 92–94).
117.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 152
118.
^ Louth (2005), 113
119.
^ Theophanes, Chronicle, 246.11–27
120.
^ Whitby (2000), 92–94
121.
^ a b Theophylact, History, I, 9.4 (PDF)
Treadgold (1997), 224
122.
^ Whitby (2000), 95
123.
^ Treadgold (1997), 224
124.
^ Whitby (2000), 95–96
125.
^ Soward, Theophylact Simocatta and the Persians (PDF); Treadgold (1997), 225;
126.
^ Whitby (2000), 96
127.
^ Soward, Theophylact Simocatta and the Persians (PDF)
128.
^ Treadgold (1997), 226
129.
^ Whitby (2000), 96
130.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 168-169
131.
^ Theophylact, V, Sejarah, I, 3.11 (PDF) and 15.1 (PDF)
132.
^ Louth (2005), 115
133.
^ Treadgold (1997), 231–232
134.
^ Foss (1975), 722
135.
^ Theophanes, Kronik, 290–293
136.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 183–184
137.
^ Theophanes, Kronik, 292–293
138.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 185–186
139.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 186–187
140.
^ Haldon (1997), 41; Speck (1984), 178.
141.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 188–189
142.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 189–190
143.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 190–193, 196
144.
^ The mint of Nicomedia ceased operating in 613, and Rhodes fell to the invaders
in 622–623 (Greatrex-Lieu (2002), II, 193–197).
145.
^ Howard-Johnston (2006), 85
146.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 196
147.
^ Theophanes, Kronik, 303–304, 307
148.
^ Cameron (1979), 23; Grabar (1984), 37
149.
^ Theophanes, Chronicle, 304.25–306.7
150.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 199
151.
^ Theophanes, Kronik, 306–308
152.
^ reatrex–Lieu (2002), II, 199–202
153.
^ Theophanes, Kronik, 308–31
154.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 202–205
155.
^ Theophanes, Chronicle, 316
156.
^ Cameron (1979), 5–6, 20–22
157.
^ Theophanes, Kronik, 315–316
158.
^ Farrokh–McBride (2005), 56
159.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 209–212
160.
^ Theophanes, Kronik, 317–327
161.
^ Greatrex–Lieu (2002), II, 217–227
162.
^ Haldon (1997), 46
163.
^ Baynes (1912), passim
164.
^ Speck (1984), 178
165.
^ Howard-Johnston (2006), 9: "[Heraclius'] victories in the field over the
following years and its political repercussions ... saved the main bastion of Christianity in
the Near East and gravely weakened its old Zoroastrian rival."
166.
^ Haldon (1997), 43–45, 66, 71, 114–15
167.
^ Ambivalence toward Byzantine rule on the part of miaphysites may have
lessened local resistance to the Arab expansion (Haldon [1997], 49–50).
168.
^ Foss (1975), 746–47
169.
^ Howard-Johnston (2006), xv
170.
^ Liska (1998), 170
171.
^ Haldon (1997), 49–50
172.
^ Haldon (1997), 61–62
173.
^ Howard-Johnston (2006), 9
174.
^ Rawlinson (2007), 199: "The Parthian military system had not the elasticity of
the Romans ... However loose and seemingly flexible, it was rigid in its uniformity; it
never altered; it remained under the thirtieth Arsaces such as it had been under the first,
improved in details perhaps, but essentially the same system."
175.
^ Michael Whitby (2000), 310, "the eastern armies preserved the Roman military
reputation through to the end of the 6th century by capitalizing on available resources and
showing a capacity to adapt to a variety of challenges".
176.
^ a b Wheeler (2007), 259
177.
^ a b Frye (2005), 473
178.
^ Greatrex (2005), 478
179.
^ Frye (2005), 472
180.
^ Cornuelle, An Overview of the Sassanian Persian Military; Sidnell (2006), 273
181.
^ According to Reno E. Gabba, the Roman army was reorganized over time after
the impact of the Battle of Carrhae (Gabba [1966], 51–73).
182.
^ Vegetius, III, Epitoma Rei Militaris, 26
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
^ Verbruggen–Willard–Southern (1997), 4–5
^ Campbell–Hook (2005), 57–59
^ Gabba (1966), 51–73
^ Shahîd (1984), 24–25
^ Wagstaff (1985), 123–125
^ Frye (1993), 139
^ Levi (1994), 192
^ a b Frye (1993), 139
^ Excavations In Iran Unravel Mystery Of "Red Snake", Science Daily
^ Levi (1994), 192
^ Rekavandi–Sauer–Wilkinson–Nokandeh, The Enigma of the Red Snake
^ Brazier (2001), 42
^ Kassios Dio, Sejarah Romawi, LXXV, 3.2–3
^ Garnsey–Saller (1987), 8
^ Greatrex (2005), 477–478
^ Barnes (1985), 126
^ Sozomen, Ecclesiastical History, II, 15
^ McDonough (2006), 73
^ Haldon (1999), 20
^ Isaak (1998), 441
^ Dignas–Winter (2007), 1–3(PDF)
^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 5
^ Potter (2004), 232–233
^ Frye (2005), 461–463
^ Shahbazi, Historiography
^ Shahbazi, Historiography
^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 7
^ Boyd (1999), 160
^ Howard-Johnston (2006), 42–43
Referensi
Sumber primer









Agathias, Histories. Book 4.
Aurelius Victor, Liber de Caesaribus. See original text in the Latin Library.[1]
Kassios Dio, Roman History. Book LXXX. Translated by Earnest Cary.[2]
Chronicon Paschale. See the original text in Google books[3]
Corippus, Johannis[4] Book I.
Eutropius, Abridgment of Roman History. Book IX. Translated by the Rev. John
Selby Watson.[5]
Herodianos, History of the Roman Empire. Book VI. Translated by Edward C.
Echols.[6]
John of Epiphania. History[7]
Joshua the Stylite, Chronicle. Translated by William Wright.[8]













Justin, Historiarum Philippicarum. Book XLI. See original text in the Latin
Library.[9]
Lactantius, De Mortibus Persecutorum. See original text in the Latin Library.[10]
Plutarkhos, Antony. Translated by John Dryden.
Plutarkhos, Crassus. Translated by John Dryden.
Plutarkhos, Sylla. Translated by John Dryden.
Procopius, History of the Wars, Book II. Translated by H. B. Dewing.
Sibylline Oracles. Book XIII. Translated by Milton S. Terry.
Sozomen, Ecclesiastical History, Book II. Translated by Chester D. Hartranft, Philip
Schaff and Henry Wace.[11]
Tacitus, The Annals. Translation based on Alfred John Church and William
Jackson Brodribb.
Theophanes the Confessor. Chronicle. See original text in Documenta Catholica
Omnia. (PDF)[12]
Theophylact Simocatta. History. Books I and V. Translated by Michael and Mary
Whitby. (PDF)[13]
Vegetius. Epitoma Rei Militaris. Book III. See original text in the Latin Library.[14]
Zacharias Rhetor. Historia Ecclesiastica.
1. ^ TheLatinLibrary.com
2. ^ Uchicago.edu
3. ^ Books.Google.gr
4. ^ Books.Google.com
5. ^ ForumRomanum.org
6. ^ Livius.org
7. ^ AncientSites.com
8. ^ Tertullian.org
9. ^ TheLatinLibrary.com
10. ^ TheLatinLibrary.com
11. ^ Freewebs.com
12. ^ DocumentaCatholicaOmnia.eu
13. ^ Humanities.uci.edu
14. ^ TheLatinLibrary.com
Sumber sekunder




Ball, Warwick (2000). Rome in the East: The Transformation of an Empire.
Routledge. ISBN 0-415-24357-2.
Barnes, T. D (1985). "Constantine and the Christians of Persia". The Journal of
Roman Studies (The Journal of Roman Studies, Vol. 75) 75: 126–136. ISSN 00138266.
Baynes, Norman H. (1912). "The restoration of the Cross at Jerusalem". The English
Historical Review 27 (106): 287–299. doi:10.1093/ehr/XXVII.CVI.287. ISSN 00138266.
Bivar, H. D. H (1993). "The Political History of Iran under the Arsacids". di dalam
Bayne Fisher, William; Gershevitch, Ilya; Yarshater, Ehsan; Frye, R. N.; Boyle, J. A.;



















Jackson, Peter; Lockhart, Laurence; Avery, Peter; Hambly, Gavin; Melville, Charles.
The Cambridge History of Iran. Cambridge University Press. ISBN 0-521-20092-X.
Boyd, Kelly (2004). "Byzantium". Encyclopedia of Historians and Historical
Writing. Taylor & Francis. ISBN 1-884-96433-8.
Brazier, Chris (2001). "The Rise and Rise of Religion". The No-Nonsense Guide to
World History. Verso. ISBN 1-859-84355-7.
Bury, John Bagnall (1923). History of the Later Roman Empire. Macmillan & Co.,
Ltd..
Cameron, Averil (1979). "Images of Authority: Elites and Icons in Late Sixth-century
Byzantium". Past and Present 84: 3. doi:10.1093/past/84.1.3.
Campbell, Brian (2005). "The Severan Dynasty". di dalam Iorwerth Eiddon, Stephen
Edwards. The Cambridge Ancient History (XII, The Crisis of Empire). Cambridge
University Press. ISBN 0-521-30199-8.
Cornuelle, Chris. "An Overview of the Sassanian Persian Military". Derafsh
Kaviyani. Diakses pada 6 Juli 2008.
Dignas, Beate (2007). Rome and Persia in Late Antiquity. Neighbours and rivals.
Cambridge University Press. ISBN 9-783-515-09052-0.
Dodgeon, Michael H. (2002). The Roman Eastern Frontier and the Persian Wars
(Part I, 226–363 AD). Routledge. ISBN 0-415-003423.
Evans, James Allan. "Justinian (AD 527–565)". Online Encyclopedia of Roman
Emperors. Diakses pada 19 Mei 2007.
"Excavations In Iran Unravel Mystery Of "Red Snake" ", Science News, (Science
Daily), 26 Februari 2008. Diakses pada 3 Juni 2008.
Farrokh, Kaveh (2007). "Khosrau I, Renaissance and Revival". Shadows in the
Desert: Ancient Persia at War. Osprey Publishing. ISBN 1-846-03108-7.
Farrokh, Kaveh (2005). "The Savaran in Battle". Sassanian Elite Cavalry AD 224–
642. Osprey Publishing. ISBN 1-84176-713-1.
Foss, Clive (1975). "The Persians in Asia Minor and the End of Antiquity". The
English Historical Review 90: 721–47. doi:10.1093/ehr/XC.CCCLVII.721.
Frye, R. N. (1993). "The Political History of Iran under the Sassanians". di dalam
Bayne Fisher, William; Gershevitch, Ilya; Yarshater, Ehsan; Frye, R. N.; Boyle, J. A.;
Jackson, Peter; Lockhart, Laurence; Avery, Peter; Hambly, Gavin; Melville, Charles.
The Cambridge History of Iran. Cambridge University Press. ISBN 0-521-20092-X.
Frye, R. N. (2005). "The Sassanians". di dalam Iorwerth Eiddon, Stephen Edwards.
The Cambridge Ancient History – XII – The Crisis of Empire. Cambridge University
Press. ISBN 0-521-30199-8.
Gabba, Reno E. (1965). "Sulle Influenze Reciproche Degli Ordinamenti de Parti e
Dei Romani". Atti del Convegno sul Terma: la Persia e il Mondo Greco-Romano.
Accademia Nazionale del Lincei.
Garnsey, Peter (1987). "The Roman Empire". The Roman Empire: Economy, Society
and Culture. University of California Press. ISBN 0-52-006067-9.
Grabar, André (1984). L'Iconoclasme Byzantin: le Dossier Archéologique.
Flammarion. ISBN 2-08-081634-9.
Greatrex, Geoffrey (2002). The Roman Eastern Frontier and the Persian Wars (Part
II, 363–630 AD). Routledge. ISBN 0-415-14687-9.

















Haldon, John (1997). Byzantium in the Seventh Century: the Transformation of a
Culture. Cambridge. ISBN 0-521-31917-X.
Haldon, John (1999). "Fighting for Peace: Attitudes to Warfare in Byzantium".
Warfare, State and Society in the Byzantine World, 565–1204. Routledge. ISBN 1857-28495-X.
Howard-Johnston, James (2006). East Rome, Sasanian Persia And the End of
Antiquity: Historiographical And Historical Studies. Ashgate Publishing. ISBN 0860-78992-6.
Isaak, Benjamin H. (1998). "The Army in the Late Roman East: The Persian Wars
and the Defense of the Byzantine Provinces". The Near East Under Roman Rule:
Selected Papers. Brill. ISBN 9-004-10736-3.
Levi, A. H. T. (1994). "Ctesiphon". di dalam Ring, Trudy; Salkin, Robert M.; La
Boda, Sharon. International Dictionary of Historic Places. Taylor & Francis. ISBN
1-884-96403-6.
Lightfoot, C. S. (1990). "Trajan's Parthian War and the Fourth-Century Perspective".
The Journal of Roman Studies (The Journal of Roman Studies, Vol. 80) 80: 115–116.
doi:10.2307/300283.
Liska, George (1998). "Projection contra Prediction: Alternative Futures and
Options". Expanding Realism: The Historical Dimension of World Politics. Rowman
& Littlefield. ISBN 0-847-68680-9.
Louth, Andrew (2005). "The Eastern Empire in the Sixth Century". di dalam
McKitterick, Rosamond; Fouracre, Paul; Reuter, Timothy; Luscombe, David Edward;
Abulafia, David; Simon, Jonathan; Riley-Smith, Christopher; Allmand, C. T.; Jones,
Michael. The New Cambridge Medieval History (I, c.500–c.700). Cambridge
University Press. ISBN 0-521-36291-1.
Greatrex, Geoffrey B. (2005). "Byzantium and the East in the Sixth Century". di
dalam Maas, Michael. The Cambridge Companion to the Age of Justinian. Cambridge
University Press. ISBN 0-521-81746-3.
Mackay, Christopher S. (2004). "Ceasar and the End of Republican Government".
Ancient Rome: A Military and Political History. Cambridge University Press. ISBN
0-521-80918-5.
McDonough, S. J. (2006). "Persecutions in the Sasanian Empire". di dalam Drake,
Harold Allen. Violence in Late Antiquity: Perceptions and Practices. Ashgate
Publishing, Ltd. ISBN 0-754-65498-2.
Potter, David Stone (2004). "The Failure of the Severan Empire". The Roman Empire
at Bay: Ad 180–395. Routledge. ISBN 0-415-10057-7.
Rawlinson, George (2007) [1893]. Parthia. Cosimo, Inc. ISBN 1-602-06136-X.
Rekavandi, Hamrid Omrani. "The Enigma of the Red Snake". World Archaeology.
current archaeology.co.uk. Diakses pada 27 Mei 2008.
Shahbazi, A. SH. (1996–2007). "Historiography – Pre-Islamic Period".
Encyclopaedia Iranica. Ed. Yarshater, Ehsan.
Shahîd, Irfan (1984). "Arab-Roman Relations". Rome and the Arabs. Dumbarton
Oaks. ISBN 0-884-02115-7.
Sherwin-White, A. N. (1994). "Lucullus, Pompey and the East". di dalam Crook,
John Anthony; Rawson, Elizabeth. The Cambridge Ancient History (IX, The Last Age
of the Roman Republic). Cambridge University Press. ISBN 0-521-25603-8.












Sicker, Martin (2000). "The Struggle over the Euphrates Frontier". The Pre-Islamic
Middle East. Greenwood Publishing Group. ISBN 0-275-96890-1.
Sidnell, Philip (2006). "Imperial Rome". Warhorse, Cavalry in the Ancient World.
Continuum International Publishing Group. ISBN 1-852-85374-3.
Southern, Pat (2001). "Beyond the Eastern Frontiers". The Roman Empire from
Severus to Constantine. Routledge. ISBN 0-415-239435.
Soward, Warren. "Theophylact Simocatta and the Persians" (PDF). Sasanika. Diakses
pada 27 April 2008.
Speck, Paul (1984). "Ikonoklasmus und die Anfänge der Makedonischen
Renaissance". Varia 1 (Poikila Byzantina 4). Rudolf Halbelt. hlm. 175–210.
Treadgold, Warren (1997). A History of the Byzantine State and Society. Stanford
University Press. ISBN 0-8047-2630-2.
Verbruggen, J. F. (1997). "Historiographical Problems". The Art of Warfare in
Western Europe During the Middle Ages. Boydell & Brewer. ISBN 0-851-15570-7.
Wagstaff, John (1985). "Hellenistic West and Persian East". The Evolution of Middle
Eastern Landscapes: An Outline to A.D. 1840. Rowman & Littlefield. ISBN 0-38920577-X.
Wheeler, Everett (2007). "The Army and the Limes in the East". di dalam Erdkamp,
Paul. A Companion to the Roman Army. Blackwell Publishing. ISBN 1-405-12153-X.
Whitby, Michael (2000). "The Army, c. 420–602". di dalam Cameron, Averil; WardPerkins, Bryan; Whitby, Michael. The Cambridge Ancient History (volume XIV).
Cambridge University Press. ISBN 0-521-32591-9.
Whitby, Michael (2000). "The Successors of Justinian". di dalam Cameron, Averil;
Ward-Perkins, Bryan; Whitby, Michael. The Cambridge Ancient History (volume
XIV). Cambridge University Press. ISBN 0-521-32591-9.
Williams, Stephen (1999). "Imperial Wealth and Expenditure". The Rome that Did
Not Fall: The Survival of the East in the Fifth Century. Routledge. ISBN 0-41515403-0.
Bacaan lanjutan





Blockley, Roger C. (1992). East Roman Foreign Policy. Formation and Conduct
from Diocletian to Anastasius (ARCA 30). Leeds: Francis Cairns. ISBN 0-905-205839.
Börm, Henning (2007). Prokop und die Perser. Untersuchungen zu den RömischSasanidischen Kontakten in der ausgehenden Spätantike. Stuttgart: Franz Steiner.
ISBN 9-783-515-09052-0.
Börm, Henning (2008). ""Es war allerdings nicht so, dass sie es im Sinne eines
Tributes erhielten, wie viele meinten ..." Anlässe und Funktion der persischen
Geldforderungen an die Römer" (dalam bahasa German). Historia 57: 327–346.
Greatrex, Geoffrey B. (1998). Rome and Persia at War, 502–532. Rome: Francis
Cairns. ISBN 0-905-20593-6.
Isaac, Benjamin (1998). "The Eastern Frontier". di dalam Cameron, Averil; Garnsey,
Peter. The Cambridge Ancient History: The Late Empire, A.D. 337–425 XIII.
Cambridge University Press. ISBN 0-521-30200-5.






Kaegi, Walter E. (2003). Heraclius, Emperor of Byzantium. Cambridge University
Press. ISBN 0-521-81459-6.
Kettenhofen, Erich (1982). Die Römisch-persischen Kriege des 3. Jahrhunderts. n.
Chr. Nach der Inschrift Sāhpuhrs I. an der Ka'be-ye Zartošt (ŠKZ). Beihefte zum
Tübinger Atlas des Vorderen Orients B 55. Wiesbaden.
Millar, Fergus (1982). The Roman Near East, 31 B.C.-A.D. 337. Cambridge: Harvard
University Press.
Mitchell, Stephen B. (2006). A History of the Later Roman Empire, AD 284–641.
Blackwell Publishing. ISBN 1-405-10857-6.
Potter, David S. (2004). The Roman Empire at Bay: Ad 180–395. London und New
York: Routledge. ISBN 0-415-10058-5.
Whitby, Michael (1988). The Emperor Maurice and his Historian. Oxford University
Press. ISBN 0-198-22945-3.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Romawi-Persia
Download