Model Tatakelola Dan Pemanfaatan Corporate Social Responsibilty (CSR) Perusahaan Pada Usaha Ternak Sapi Bali/Potong Di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan Oleh : Ikrar Mohammad Saleh, H5A 00900, Prof. Dr. Ir. C. Imam Sutrisno*), Prof. Dra. Indah Susilowati, M.Sc. PhD**, Prof. Dr. Ir. Sunarso, MS*** Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: mengevaluasi kinerja usaha ternak sapi Bali/potong atau pemanfaatan CSR institusi/perusahaan pada usaha peternakan sapi Bali/potong dalam peningkatan produktivitas di daerah/kluster sapi Bali/potong; merumuskan model penguatan kelembagaan CSR perusahaan sebagai mandatori berbasis pemberdayaan masyarakat pada usaha ternak sapi Bali/potong dan; mengestimasi biaya transaksi (transaction cost) yang diperlukan untuk menyusun model kelembagaan CSR yang layak untuk usaha ternak sapi Bali/potong. Penelitian ini akan dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap di Kota Makassar dan Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, dari April s/d September 2014, dengan menggunakan mixed-method. Data primer diperoleh melalui wawancara responden dan key-persons. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan profil responden, kinerja CSR perusahaan, dan kapasitas kelembangaan CSR perusahaan. Transaction cost digunakan untuk mengestimasi nilai biaya transaksi yang diperlukan untuk merancang skenario kelembagaan CSR perusahaan berbasis pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan kinerja usaha ternak sapi potong. Data sekunder time series yang relevan dan data sekunder lainnya berasal dari jurnal, buku, dan hasil penelitian terdahulu dipakai untuk memperkaya penelitian ini. KATA KUNCI: Corporate Sosial responsibily (CSR), Sapi Bali, Sapi Potong, Barru 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kajian mengenai corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial meliputi aspek yang sangat luas, antara lain; pengangguran, ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, dan penangulangan bencana alam. Fokus aktivitas CSR perusahaan masih sangat sederhana berkisar: donasi filantropis pada acara yang dilaksanakan oleh suatu komunitas. Definisi CSR yang sederhana ini disempurnakan dengan pengertian yang lebih luas mencakup semua cara berbisnis; produk, layanan interaksi dengan masyarakat dan lingkungan. Keterlibatan semua komponen organisasi; stakeholder-karyawan, pelanggan, pemilik, investor, pemasok dan kelompok komunitas tertentu telah sesuai pendapat Hind (2004). CSR didefinisikan sebagai integrasi suatu operasi bisnis dan nilai-nilai dimana kepentingan semua pemangku kepentingan termasuk investor, pelanggan, karyawan, masyarakat dan lingkungan tercermin dalam kebijakan perusahaan (Ganzi, 2006). Sejalan dengan pendapat tersebut Levy (2010) menjelaskan CSR adalah titik-kunci dari perjuangan politik-bisnis-ekonomi. CSR perusahaan adalah harmonisasi antara kepentingan finansial dan lingkungan sosial perusahaan. CSR perusahaan memperoleh peran penting dalam manajemen agribisnis (de Baker dan Hind. 2005), diperoleh banyak ketidakpastian tentang bagaimana cara menentukan hubungan kerjasama antara perusahaan dengan komunitas dalam jangka waktu yang tertentu. Tidak kurang dari 25 definisi CSR berbeda sebagai mana yang diidentifikasi (Caroll, 1999; Dahlsrud, 2006). Istilah ini sering dipakai bercampuraduk dengan istilah sejenis misalnya; corporate governance, corporate citizenship (Spiller and Schramm, 2004). Heyder dan Theuvsen (2009) dalam studinya di Jerman melaporkan dalam bidang agribisnis, skandal terbaru informasi yang tidak seimbang/asimetris mengenai 2 produksi pangan, menyebabkan terjadinya tekanan eksternal dari publik pada perusahaan agribisnis. Heyder dan Theuvsen (2009) dalam studi tersebut menemukan dan memberikan wawasan mendalam tentang persepsi tekanan eksternal dalam berbagai bidang terkait dengan produksi pangan, misalnya susu. “Teori Triple Bottom Line” akan dipakai sebagai suatu kerangka, konseptual, dan yang menyediakan wawasan mengenai faktor-faktor penentu implementasi CSR perusahaan yang meliputi; legitimasi, reputasi, dan kinerja perusahaan agribisnis peternakan. Porter dan Kramer (2006) dalam Harvard Business Review (HBR) edisi Desember 2006 ; mempublikasikan tulisan: “ Strategy and Society; The Link between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility”, bahwa filantropi yang dilakukan perusahaan sebagai cara untuk memenangi persaingan dari kompetitor, dilaksanakan secara sembarangan sehingga tidak menguntungkan perusahaan. Inisiatif perusahaan untuk melaksanakan CSR terlampau meluas dan menghamburkan sumber daya yang tidak menguntungkan, hanya sekelompok kecil pihak eskternal yang memperoleh keuntungan. Dalam konteks ini, Porter dan Kramer (2006) menyarankan ide memanfaatkan CSR perusahaan untuk memperoleh keuntungan kompetitif? Pemangku kepentingan tidak lagi mempercayai perusahaan, maka perubahan mendasar diperlukan untuk memulihkan kepercayaan para stakeholder tersebut terhadap perusahaan. Perbaikan itu bernama penciptaan nilai bersama atau Creating Shared Value (CSV). Pengertian CSV adalah salah satu cara implementasi CSR, dengan asumsi kepatuhan pada hukum, etika dan meminimalkan dampak negatif. Perbedaannya juga jelas, CSR memiliki nilai untuk melakukan kebaikan sosial sementara CSV berupaya meningkatkan keuntungan ekonomi dan sosial relatif terhadap biaya dan strategi untuk bersaing. CSV menekankan penciptaaan nilai bersama antara perusahaan dan masyarakat. CSR merupakan bentuk discretionary atau tanggapan atas tekanan eksternal. 3 Chapple, Moon dan Sullivan (2005), menunjukkan hasil studinya pada negara-negara Asia, saat ini masih paling kuat dalam parameter keterlibatan masyarakat. Ditemukan bahwa hanya seperempat atau sekitar 25% perusahaan Indonesia yang mempraktekkan CSR bandingkan dengan Thailand (42%), Malaysia (32%), dan Filipina (30%) jadi diantara negara-negara ASEAN Indonesia yang paling rendah sebagaimana yang dilaporkan Chapple, Moon (2005) juga menyimpulkan bahwa evolusi CSR di Asia cenderung terjadi tiga gelombang: pertama dengan keterlibatan sebagian besar masyarakat, berpindah ke gelombang kedua dengan produksi yang bertanggungjawab, dan gelombang ketiga proses tanggungjawab sosial dan hubungan dengan karyawannya. Sejalan dengan studi tersebut di atas, studi yang dilakukan oleh Hofstede (1991) menjelaskan masyarakat kolektif seperti masyarakat Asia, mengakui tanggungjawab interpersonal-komunal lebih besar daripada individualistis dari nilainilai yang berlaku. Jadi kebijakan dan peraturan CSR lebih memungkinkan untuk diterapkan sesuai invidu yang memiliki hubungan dengan orang-orang dengan siapa mereka berurusan. Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Soeharto (2008) menyimpulkan dengan merujuk pada konsep CSR memberikan gambaran bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya terbatas pada shareholder tetapi lebih luas bertanggungjawab juga kepada stakeholder saja bahkan bertanggungjawab pada pembangunan sumber daya alam yang berkesinambungan (sustainability development) yaitu kebutuhan pembangunan sesuai kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi masa yang akan datang. Secara umum CSR dimaknai atas nama perusahaan berupaya mencapai kesimbangan antara tujuan ekonomi, lingkungan dan sosial kemasyarakatan, seraya merespon harapan shareholders dan stakeholders. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan faktor-faktor apakah sebenarnya yang diperlukan dalam model tatakelola 4 strategi pemanfaatan CSR perusahan pada usaha sapi Bali/potong di Kabupaten Barru provinsi Sulawesi Selatan. Dalam penelitian ini akan diteliti model untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan CSR institusi/perusahaan pada usaha sapi Bali/potong dengan pendekatan prinsip-prinsip: Creativity, Responsibilty, dengan 5 prinsip dasar Creativity (C), Scalability (S), Responsibility (R), Glocality (2), dan Circularity (0). Yang oleh Visser (2013) disebut CSR 2.0. Menurut laporan tahunan PT Telkom Indonesia (2014 ), melalui program “dana kemitraan” (PKL dan CSR) telah melaksanakan CSR yang dikategorikan 8 sektor; industri, perdagangan, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, jasa dan usaha kecil menengah. Dana yang telah disalurkan pada program kemitraan dari tahun 2002 hingga oktober 2010 lebih dari Rp 2,5 Trilyun. Forum komunikasi CSR provinsi Sulawesi Selatan mencatat untuk wilayah Sulawesi Selatan dana CSR yang sudah digulirkan Rp 62,3 Milyar sedangkan untuk dana kemitraan lingkungan PT Telkom telah menyalurkan Rp 6,5 Milyar khususnya di Kabupaten Maros Rp 1,5 Milyar dan Kabupaten Soppeng Rp 1,0 Milyar. Mengantisipasi penyaluran dana CSR di wilayah provinsi Sulawesi Selatan, pemerintah Provinsi menerbitkan Peraturan Gubernur nomor: 2666/XI/Tahun 2012 tentang pembentukan Forum Komunikasi CSR Provinsi Sulawesi Selatan, mendasari Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun 2012, yang merupakan penjabaran dari Undang Undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, dimana pada pasal 73 tercantum kewajiban Perseroan Terbatas melaksanakan CSR terhitung sejak diberlakukannya Undang Udang tersebut. 2. Overview Sapi Potong Nasional Sejak tahun 2005, pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang konsepnya disajikan tahun 2000 sampai dengan akhir 2004 sebagaimana yang dilaporkan Sudardjat (2004). Kebijakan PSDS dilanjutkan pada tahun 2010 hingga sekarang. PSDS menjadi program prioritas dan diantara 15 5 komoditas pangan strategis (Ditjennak, 2009). Penguatan program PSDS diperkuat pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa Indonesia masih kekurangan daging sapi dan kedelai pada kunjungan kerjanya di Bila River Ranch, Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan. Usaha sapi potong mempunyai prospek yang bagus (Bisnis.com, 22 pebruari 2014). Swasembada daging sapi dikatakan tercapai jika produksi daging dalam negeri mampu menyuplai minimal 90% dari jumlah kebutuhan daging nasional (blue print Program Swasembada Daging sapi/PSDS, 2014) Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik 2011, melaporkan hasil awal PSPK, Populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, dimana Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan jumlah populasi terbesar ketiga yaitu sebanyak 983.985 ekor (984 ribu ekor) atau 6,65 persen dari total populasi sapi potong di Indonesia, setelah Jawa Timur sebanyak 4,7 juta ekor (31,93 persen) dan Jawa Tengah sebanyak 1,9 juta ekor (13,09 persen). Dengan jumlah populasi sapi di Sulawesi Selatan saat ini sebanyak 984 ribu ekor, maka tidaklah berlebihan jika program Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Gerakan Pencapaian Populasi Sapi Sejuta Ekor Tahun 2013 akan dapat tercapai sejalan dengan hal tersebut. Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan melalui pengembangan kelembagaan petani-peternak, optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam lokal, dan pengembangan teknologi tepat guna. Langkah untuk membangun program perbaikan peternakan sapi potong/daging berkelanjutan membutuhkan kajian mengenai sistim produksi sapi potong dan hambatan. Dokumentasi karakteristik sistim produksi peternakan sapi potong bersama capaian produktivitasnya pada masing-masing daerah sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pengembangannya di pedesaan (Sudardjat, 2004). 6 Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2013) memberikan gambaran tentang keadaan umum kebijakan Sapi potong di sulawesi Selatan, yang merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Kebijakan pengembangan peternakan melalui ekstensifikasi (Pengadaan dan peningkatan mutu bibit, pakan, pengendalian penyakit, kredit, dan pemasaran). Intensifikasi (Peningkatan produksi secara ekonomis, Penggunaan bibit unggul, pakan dan manajemen) Pengembangan usaha ternak sapi potong melalui program Pemerintah lainnya serta pola kemitraan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi kesejahteraan peternak Pada tahun 2013, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mencanangkan program peningkatan populasi sapi potong 1 (satu) juta ekor sebagai aksi mendukung Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Untuk mewujudkan Program Gerakan Pencapaian Populasi Sapi 2 juta ekor pada tahun 2016 di Sulawesi Selatan dan P2SDS 2014 dengan mengembangkan peternakan mandiri secara berkelanjutan melalui implementasi kebijakan yang tepat. Teridentifikasinya faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi kebijakan pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi Selatan yang melibatkan peran dan fungsi pemangku kepentingan (stakeholders) yang mempengaruhi efektivitas proses perencanaan; Mampu merealisasikan program gerakan pencapaian populasi sapi 1 juta Ekor tahun 2013 di Sulawesi Selatan dan implikasinya terhadap peternak sapi potong ke depan (Ahmad, 2013). Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan peternakan, bahkan pernah dikenal sebagai lumbung ternak dengan kemampuan ekspor ke luar negeri pada tahun 1960 sampai tahun 1970. Dan mempunyai kemampuan memasok ternak potong ke daerah lain dalam rangka pengadaan ternak nasional. 7 Sapi Bali (bos sondaicus) adalah salah satu jenis sapi potong yang digemari dan berkembang secara luas di Sulawesi Selatan. Sapi Bali memiliki keunggulan sebagai ternak kerja, daya reproduksi tinggi, tahan dan berkembang pada kondisi lingkungan yang yang kurang mendukung, tahan caplak, presentase karkas tinggi, kadar lemak rendah, merupakan tabungan atau modal bagi masyarakat, bernilai ekonomis tinggi. Petani-peternak menganggap ternak ini sebagai tabungan yang dapat diuangkan sewaktu-waktu diperlukan. Sapi sebagai tabungan baru dijual jika mereka membutuhkan biaya. Walaupun umur sapi sudah waktunya dijual, tetapi peternak masih mempertahankannya karena belum membutuhkan biaya menyebabkan sehingga usaha ternaknya menjadi tidak efisien. Kondisi ini berpengaruh terhadap populasi ternak sapi, pertumbuhannya menjadi lebih lambat, diperparah lagi dengan tingginya angka pengeluaran ternak dan pemotongan sehingga populasi ternak sapi potong Sulawesi Selatan menjadi tidak seimbang. Hasil Sensus Pertanian 2013 memberikan gambaran tentang perkembangan sapi potong di Sulawesi Selatan. Jumlah Sapi dan Kerbau Berdasarkan Hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 dan Sensus Pertanian 2013 Menurut Kab/Kota (ekor) sebagaimana Tabel 1 di bawah ini. 8 Tabel 1 Perkembangan Sapi Potong dan Kerbau Provinsi Sulawesi Selatan , 2013 No Kab/Kota (1) 2011 2013 Pertumbuhan 2011-2013 Absolut % (6) (2) (3) (4) (5) 1 Kep. Selayar 17.142 19.286 2.144 1 2 Bulukumba 54.922 55.662 740 1.35 3 Bantaeng 19.139 20.359 1.220 6.37 4 Jeneponto 22.471 23.367 896 3.99 5 Takalar 38.584 39.439 855 2.22 6 Gowa 90.193 88.573 -1.620 -1.80 7 Sinjai 75.403 71.04 -4.379 -5.81 8 Maros 60.063 61.373 1310 2.18 9 Pangkajene dan Kep 35.841 35.752 -89 -0.25 10 Barru 53.549 51.649 -1.900 -3.55 11 Bone 279.217 262.415 -16.802 -.601 12 Soppeng 27.020 27.304 284 1.05 13 Wajo 76.538 79.505 2.967 3.88 14 Sidenreng Rappang 36.077 32.729 -3.348 -9.28 15 Pinrang 23.283 25.092 1.809 7.77 16 Enrekang 46.958 48.351 1.393 2.97 17 Luwu 19.544 21.671 2.127 10.88 18 Tana Toraja 27.684 28.533 849 3.07 19 Luwu Utara 34.419 33.210 -1.209 -3.51 20 Luwu Timur 15.342 14.915 -427 -2.78 21 Toraja Utara 19.572 19.613 41 0.21 22 Kota Makassar 3.107 3.427 320 10.03 23 Kota Parepare 3.605 4.130 525 14.56 24 Kota Palopo 2.507 3.092 585 23.33 1.070.471 -11.709 -1.08 Sulawesi Selatan 1.082.180 Sumber: Sensus Pertanian 2013 9 Data PSPK di kabupaten Barru kondisi 1 Juni 2011 menunjukkan jumlah populasi sapi potong dan kerbau mencapai 53.549 ekor. Sementara itu, dari hasil sensus pertanian 2013, populasi sapi dan kerbau hanya mencapai 51.610 ekor artinya ada penurunan populasi sebanyak -3,55%. Salah satu faktor penunjang keberhasilan pembangunan peternakan di Sulawesi Selatan adalah ketersediaan sumberdaya pakan untuk ternak. Namun demikian, padang penggembalaan sebagai penyedia pakan hijauan cenderung berkurang setiap tahun. Luas padang penggembalaan di Sulawesi Selatan tahun 2003 adalah 235.542 ha dan mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 1999 yang seluas 290.184 ha (BPS, 2004). Di lain pihak, telah terjadi perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai penyedia sumber pakan menjadi lahan sawah/pertanian untuk memenuhi tuntutan penyediaan pangan akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk. Disamping itu penyediaan pakan juga memiliki keterbatasan akibat adanya persaingan kebutuhan penyediaan pangan untuk konsumsi manusia, belum lagi untuk keperluan real estate, industri dan infrastruktur. Ketersediaan pakan tidak diikuti dengan perbaikan genetik dan reproduksi untuk performa sapi agar tetap bagus dan siklus reproduksinya lebih pendek. Proses inbreeding yang berlangsung sekian lama dan rekording yang tidak ada mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas sapi yang ada sekarang dan mengakibatkan susahnya mencari pejantan yang betul-betul unggul karena kesulitan mendeteksi asal bibit tersebut. Pemeliharaan dilakukan peternak masih tradisional dimana peternak hanya melepaskan ternaknya di kebun atau sawah selepas panen dan membiarkan ternaknya mencari makanan sendiri. Ternak yang dikelola secara semiintensif, masih dalam skala kecil. Perhatian pemerintah, stakeholder dan peternak seharusnya terfokus pada usaha perbaikan bibit atau pejantan unggul. 10 Pengembangan sapi Bali harus menjadi perhatian yang serius dengan mengembangkan sentra sapi Bali/potong yang berorientasi bisnis dengan tetap memperhatikan peningkatan kualitas dan mutu bibit. Model pengembangan yang dilakukan harus sesuai dengan karakteristik dan kapasitas kelompok-kelompok taniternak yang ada di Sulawesi Selatan. Untuk menjaga kelestarian pengembangbiakan sapi Bali ditetapkan wilayah pemurnian sapi Bali, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Peraturan Pemerintah daerah Sulawesi selatan (1975) sebagai sentra/kluster pengembangan sapi Bali adalah Kabupaten Barru, Kabupaten Bone dan Kabupaten Enrekang khususnya kecamatan Alla, Anggeraja, Barakka dan Enrekang. Daerah tersebut dilarang mengadakan persilangan dengan sapi lain (Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi selatan, 1976). Kondisi saat ini, kualitas sapi Bali cenderung mulai menurun sebagai akibat dari inbreeding. Untuk mencegah keberlanjutan inbreeding ini maka perlu adanya sentra pengembangan sapi Bali khususnya bibit yang berbasis kelompok/komunitas dengan keterlibatan stakeholder. Implikasi dari program ini adalah diharapkan tumbuhnya kelembagaan/kelompok peternak yang mampu menyesuaikan dirinya dengan perubahan-perubahan untuk kesinambungannya. Untuk pengembangbiakan sapi Bali murni telah ditetapkan daerah sumber bibit sapi Bali untuk menjaga kemurnian ras dan sumber produksinya. Di luar daerah yang ditetapkan diperbolehkan mengadakan persilangan dengan sapi unggul lainnya untuk mendapatkan sapi potong yang menguntungkan (Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 1975). Daerah yang menjadi sumber bibit sapi Bali adalah: Kabupaten Bone, Kabupatan Barru, Kabupaten Enrekang (Kecamatan Alla, Anggeraja, Barakka dan Enrekang) wilayah tersebut dilarang mengadakan 11 persilangan dengan sapi lainnya (Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 1976). Sapi Bali asal Sulawesi Selatan memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sapi asal daerah lain, terutama dari segi keragaan dan ketahanan tubuh (Handiwirawan dan Subandyo, 2004: Masykuri, 2013). Di sisi lain sapi Bali memiliki juga kekurangan tersendiri antara lain, laju pertumbuhan, pertambahan bobot badan, dan bobot sapi Bali dewasa masih rendah jika dibandingkan dengan hasil sapi persilangan. Sapi Bali mempunyai pertambahan berat badan berkisar 0,4 Kg/hari, maka sapi Bali hasil persilangan dengan Simental dapat mencapai 0,56 Kg/hari pada umur 0- tahun ( Sariubang, et al, 2001: Hadiwirawan, 1998: Masykuri, 2013). PSPK 2011 menunjukkan populasi sapi potong betina lebih banyak dibanding sapi potong jantan. Secara nasional, populasi sapi potong betina adalah 68,15 persen, sedangkan untuk sapi potong jantan 31,85 persen dari total populasi. Jika angka ini digunakan untuk mengestimasi distribusi sapi potong di Sulawesi selatan berdasarkan jenis kelamin, maka rasio sapi potong betina di Sul Sel sekitar 671 ribu ekor dan sapi potong jantan 313 ribu ekor. Dilain pihak, secara nasional berdasarkan kategori umurnya, sebanyak 66.09 persen adalah sapi potong betina dewasa (>2 tahun), muda (1-2 tahun) 19.88 persen, dan anak (< 1 tahun) 14.03 persen dari total populasi sapi potong betina. Untuk populasi sapi potong jantan, persentase dewasa adalah 30,80 persen, muda 38.52 persen, serta anak 30.68 persen dari total populasi sapi potong jantan (Syamsu, 2013). Selanjutnya Syamsu (2013) menyatakan persentase populasi sapi potong menurut jenis kelamin dan umur khususnya untuk regional Sulawesi adalah jenis kelamin jantan dengan persentase anak 33,46 persen, muda 32,47 persen, dan dewasa 34,07 persen. Untuk jenis kelamin betina dengan persentase anak 14,26 persen, muda 17,16 persen, serta dewasa 68,58 persen. Dengan hasil persentase populasi menurut 12 umur dari jenis kelamin jantan dan betina yang diperoleh dari PSPK 2011 di atas memberikan gambaran awal struktur populasi sapi potong di Sulawesi Selatan. Untuk menjaga kecenderungan menurunnnyap opulasi sapi potong maka perlu adanya kebijakan untuk melindungi wilayah sentra-sentra ternak sapi potong, khususnya penataan tata ruang ternak, sehubungan terjadinya pengalihan fungsi lahan yang selama ini menjadi basis ekologis atau lahan penyangga bagi pemeliharaan sapi potong. Regulasi yang ketat diperlukan dalam pengaturan pengeluaran ternak yang hanya memenuhi tuntutan permintaan sapi dari luar provinsi. Regulasi ini penting untuk mencegah terjadinya pengurasan sumberdaya ternak secara tidak terkendali. Dilain pihak, program pengadaan ternak bibit atau induk, tentunya masih perlu diupayakan secara terbatas yang hanya untuk menjaga keseimbangan populasi ternak (stok populasi) sapi potong. Berkaitan dengan regulasi tersbut, pemerintah seharusnya mendorong pihak swasta melalui pemanfaatan dana-dana CSR untuk mengembangkan kelembagaan peternakan dengan mengembangkan model usaha sapi potong guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging untuk lokal dan nasional. Peternakan rakyat di pedesaan masih membutuhkan perbaikan manajemen pemeliharaan, inovasi teknologi, permodalan, dan dukungan kebijakan dan keberpihakan pemerintah. (Harian Fajar Makassar, 11 Nopember 2011) Banyak kendala yang dihadapi pengembangan usaha ternak potong apalagi sapi lokal. Sulawesi Selatan yang mempunyai satu jenis ternak sapi lokal yaitu sapi bali juga menghadapi kendala yang banyak dalam perkembangannya. Kendala yang dialami peternak sapi lokal diantaranya adalah rendahnya pertambahan berat badan sapi, tingkat pertumbuhan sapi yang lambat, panjangnya jarak beranak pada sapi. 13 Selain kelemahan tersebut sapi Bali memiliki kelebihan yang luar biasa dibandingkan dengan jenis sapi lainnya yaitu daya adaptasinya sangat baik dengan lingkungan pemeliharaanya (Darma, 1997). Aspek teknis telah banyak dibahas oleh peneliti sebelumnya, sumbangsih perbaikan pada aspek kelembangan tampaknya akan menyempurnaan sapi Bali di wilayah ini. Tabel 2: Populasi sapi Bali/potong di Kabupaten Barru No Kecamatan (1) 2011 2013 Pertumbuhan 2011-2013 Absolut % (5) (6) (2) (3) (4) 1 Tanete Riaja 10.247 10.035 -212 -2,07 2 Pujananting 9.636 9.827 191 1,98 3 Tanete Rilau 6.508 5.992 -516 -7,93 4 Barru 10.463 9.374 -1.089 -10,41 5 Soppeng Riaja 5.313 4.929 -384 -7,23 6 Balusu 5.000 5.008 8 0,16 7 Mallusetasi 6.382 6.445 63 0,98 Barru 53.549 51.610 -1.939 -3,62 Sumber: Sensus Pertanian 2013 3. Perumusan Masalah Di Indonesia, diskusi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) semakin memuncak setelah berlaku UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kalau di negara lain, CSR perusahaan umumnya bersifat voluntary. Satu-satunya negara yang memberlakukan CSR perusahaan secara mandatory adalah Indonesia. Masih banyak perusahaan belum menjalankan program CSR sekalipun Undang-Undangnya telah diberlakukan sejak tahun 2007. Undang undang tersebut mewajibkan Perseroan 14 Terbatas yang bidang usahanya terkait sumber daya alam wajib melaksanakan CSR dan lingkungan, bahkan mewajibkan semua Perseroan Terbatas wajib melaporkan pelaksanaan CSR dalam laporan tahunan. Sekalipun Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Lingkungan Perseroaan Terbatas telah tercatat pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5305 tertanggal 4 April 2012 telah diberlakukan. Berbagai pihak belum sejalan dalam memahami Peraturan Pemerintah tersebut (standar ganda). Kejelihan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengambil inisiatif menerbitkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 45 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/Corporate Social Responsibility di Sulawesi Selatan tertanggal 12 Nopember 2014. Untuk mengimplementasikan Peraturan Gubernur tersebut, kemudian diterbitkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2666/XI/Tahun 2012 tertanggal 12 Nopember 2012, tentang Pembentukan Forum Komunikasi Penyelenggaraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Sulawesi Selatan. Kepengurusan dan tugas sebagai berikut: Struktur Kepengurusan merupakan gabungan antara pihak Pemerintah dan Pihak Swasta dengan tugas pokok memfasilitasi penyelenggaraan program kegiatan CSR Perusahaan, kemitraan dan Bina Lingkungan di Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya mensinergikan program kegiatan perusahaan dengan program dan kegiatan Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang lebih efektif dan terpadu. Pada bagian keenam pasal 15 ayat 1 Peraturan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tersebut memerintahkan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota untuk membentuk Forum Komunikasi dengan berpedoman pada Peraturan Gubernur 15 ini. Pada pasal 16 bagian ketujuh dijelaskan tentang pengendalian CSR dilakukan oleh Forum Komunikasi CSR yang dibentuk pemerintah Provinsi. Sampai saat ini, pemerintah kabupaten dan kota belum menindaklanjuti Peraturan Gubernur tersebut. Berkaitan dengan sumber dan pengendalian pendanaan Forum Komunikasi CSR ini tercantum dalam Bab VIII dari Peraturan Gubernur ini sebagai berikut “Pembiayaan untuk pelaksanaan program tanggung jawab sosial, kemitraan dan bina lingkungan perusahaan menjadi lingkup tanggung jawabnya dibebankan pada dana tanggung jawab sosial, kemitraan dan bina lingkungan perusahaan yang bersangkutan”. Seharusnya stakeholder co-sharing, tidak semata-mata dibebankan ke sektor swasta? Di sisi lain, tingkat Pemerintah Pusat masih diwarnai perbedaan pendapat antara Kementerian. Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik dam masih tarik-menarik antara: Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Sosial). Kalangan dunia usaha dan industri sendiri juga belum menemukan formulasi yang tepat untuk mengimplentasikannya. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia membentuk Komite Tetap CSR beranggapan pemerintah terlibat terlalu jauh ke dalam mencampuri urusan sektor swasta. Belum lagi terbentuk banyak organisasi non pemerintah seperti Indonesia Bisnis Link, CSR Plus dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan lain lain. Kenyataannya setiap perusahaan membuat penafsiran program CSRnya masing-masing, sebagai bukti kurangnya sosialisasi. Di sisi lain, sebagai respon atas intervensi pemerintah yang terlalu jauh memasuki sendi-sendi kehidupan sektor swasta. Meskipun demikian, sektor swasta memiliki semangat sinergitik dengan multistakeholder dalam menciptakan nilai bersama “value shared”, sesuai pendapat 16 Porter dan Kramer (2010). Di Provinsi Sulawesi Selatan, inisiatif perusahaan melaksanakan CSR terlampau tertekan sebagai akibat adanya tekanan eksternal sebagai akibat diberlakukan kedua aturan Gubernur tersebut secara masif melalui hampir semua dinas terkait yang dikoordinatori oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Mayoritas perusahaan menghamburkan dana CSR untuk sesuatu yang kurang bermanfaat dan berkelanjutan, selain hanya menguntungkan sekelompok kecil pihak eskternal yang kerap kali melakukan tekanan atau hal-hal yang bersifat kontigensi sebagaimana yang dilaporkan Indonesia Bisnis Link (IBL, 2010) memberikan gambaran overview mengenai penggunaan dana CSR melalui pollingnya sebagai berikut: berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Dana CSR yang telah dimanfaatkan oleh stakeholder mampu mendukung dan meningkatkan kesejahteraan: 36,36% responden menyatakan setuju; 36,30 menyatakan setuju dengan beberapa perbaikan: 18,18% menyatakan tidak setuju, dan hanya 9,09% tidak memberikan pendapat. Belajar dari pengalaman salah satu perusahaan industri susu terbesar di dunia “Nestle”, yang sejak satu dekade belakangan ini menerapkan model CSR Perusahaan agribinis yang oleh Porter dan Kramer (2010) disebut “Corporate Shared Value (CSV)”. CSV sebetulnya merupakan metamorfosis dari CSR, oleh Visser (2010) disebut era pemasaran dalam CSR 1.0. Persamaan antara CSR dan CSV sama-sama mempercayai patuh pada hukum, etika dan meminimalkan dampak negatif. Ketidaksamaannya, CSR memiliki nilai untuk melakukan kebaikan filantrofi dan charity, sementara CSV berupaya meningkatkan keuntungan ekonomi dan sosial relatif dari biaya dan strategi bersaing. CSV menekankan penciptaaan nilai bersama antara perusahaan dan stakeholder, sedangkan CSR merupakan discretionary atau respon dari tekanan eksternal. 17 Model tatakelola dan strategi pemanfaatan dana CSR untuk perberdayaan ekonomi lokal pada bidang peternakan menjadi tuntutan ditemukannya kebutuhan model CSR Perusahaan pada agribisnis peternakan yang berkelanjutan. Sejalan dengan pemikiran Visser (2010) model CSR 1.0 mengalami masalah yang berkembang luas dan tanpa kendali ke seluruh bidang kehidupan, perubahan yang terjadi sebagai akibatnya hanya bersifat inkremental, sukarela dan periferik, tidak terintegrasi ke dalam core business sesuai prinsip-prinsip CSR 2.0. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam menumbuhkan pandangan kritis terhadap strategi dan implementasi pemanfaatan CSR perusahaan pada usaha ternak sapi Bali/potong di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Dari berbagai kelemahan strategi dan implementasi CSR perusahaan pada agribisnis peternakan dan terbatasnya “best practice” , maka menjadi sangat relevan untuk mengkaji model kelembagaan CSR perusahaan di Indonesia. Kinerja implementasi CSR perusahaan yang akan menjadi kebutuhan di masa yang akan datang walaupun kenyataannya kinerja CSR perusahaan masih banyak kelemahan. Model kelembagaan CSR perusahaan masih belum sesuai dengan ketersedian potensi CSR di Indonesia, perlu alternatif pemecahan pemanfaatannya. Biaya trasaksi yang dikeluarkan oleh sektor swasta pada kelembagaan CSR seperti Forum Komunikasi CSR Provinsi Sulawesi Selatan harus dihitung untuk mengestimasi biaya-biaya yang diperlukan dalam men-set-up model ini ke seluruh wilayah provinsi Sulawesi Selatan, jika model ini dianggap sebagai model yang sesuai dan implementatif. Penguatan model kelembagaan CSR perusahaan dalam meningkatkan kinerja CSR dan skenario biaya transaksi CSR sangat diperlukan. Oleh karena itu 18 yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana model strategi dan implementasi CSR pada perusahaan agribisnis peternakan. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah mengevaluasi kinerja usaha ternak sapi Bali/potong atau pemanfaatan CSR insitusi/perusahaan dalam meningkatkan produksi sapi Bali/potong di daerah atau kluster sapi Bali di Sulawesi Selatan. 2. Bagaimanakah merumuskan model kelembagaan tata kelola CSR institusi/perusahaan sebagai mandatori pada usaha ternak sapi Bali/potong di Sulawesi Selatan. 3. Bagaimana mengestimasi biaya transaksi (transaction cost) yang diperlukan untuk meng-set up kegiatan usaha ternak sapi guna mencapai penguatan kelembagaan CSR institusi/perusahaan di daerah penelitian. 4. Orisinalitas Penelitian Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang potensi pendistribusian dana CSR terbesar dan terpenting di Kawasan Timur Indonesia. Sampai saat ini, belum ditemukan satupun penelitian atau kajian mendalam tentang strategi dan implementasi CSR perusahaan pada agribinis peternakan di Indonesia, khususnya penguatan kelembagaan ditinjau dari kinerja CSR perusahaan dan stakeholder (Visser 2010). Studi empiris ini diharapkan mendapatkan temuan yang baru di lapangan guna merancang skenario penguatan kelembagaan CSR perusahaan untuk meningkatkan kinerja produktivitas agribisnis peternakan. Dari penelitian terdahulu dilaporkan bahwa faktor-faktor yang mempengahuhi peningkatan kinerja CSR perusahaan relatif tidak sama antara wilayah kerja yang satu dengan yang lainnya. Sebagian peneliti (Visser, 2010) mempertanyakan mengapa CSR gagal mengatasi masalah yang diklaim paling prihatin yaitu bertahap, periferal 19 dan tidak ekonomis. Selanjutnya diterangkan oleh Visser bahwa mutlak diperlukan perubahan cara menelaah praktek CSR perusahaan disebut era transformative atau responsiveness, dan akhirnya cara melakukan kelembagaan bisnis pada transformasi pada masa atau era CSR 2.0. Dari penelitian terdahulu dapat dirangkum tiga aliran pemikiran mengenai corporate responsibility (CSR) perusahaan. Yang pertama mewakili oleh golongan yang tidak setuju dengan CSR, menyatakan bahwa perusahaan hanya bertanggungjawab kepada shareholder. Pemikiran ini diwakili oleh Friedman (1970), Riyadi (2008). Golongan kedua mewakili konfromistis antara Lorenzo (2004), Heyder dan Theuvsen (2008), Udayasamber (2007) mewakili golongan yang dikenal dengan penganut atau golongan pendukung “lisence to operate”, golongan pendukung CSR: Porter dan Kramer (2002: Blowfield dan Frynas (2005) a. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yaitu: 1. Mengevaluasi kinerja usaha ternak sapi Bali/potong atau pemanfaatan CSR insitusi/perusahaan dalam meningkatkan produksi sapi Bali/potong di daerah atau kluster sapi Bali di Sulawesi Selatan. 2. Merumuskan model kelembagaan tata kelola CSR institusi/perusahaan sebagai mandatori tata usaha ternak sapi Bali/potong di Sulawesi Selatan. 3. Mengestimasi biaya transaksi (transaction cost) yang diperlukan untuk meng-set up kegiatan usaha ternak sapi guna mencapai penguatan kelembagaan CSR institusi/perusahaan di daerah penelitian. 20 b. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat: 1. Menjadi guideline best practices bagi pemanfaatan CSR perusahaan pada peternakan sapi potong. 2. Manfaat teoritis yaitu memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan mengenai strategi dan implementasi tatakelola dan perumusan model CSR perusahaan pada agribisnis peternakan. 3. Manfaat praktis yaitu memberikan pedoman atau referensi kepada pemerintah dan dunia usaha sebagai pengaturan pelaksanaan implementasi corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaaan dalam menerapkan model CSR yang benar. 21 METODE PENELITIAN 1. Kerangka Pemikiran Teori Penelitian ini, menggunakan metode gabungan/mixed method yaitu penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif. Denzin (1978: Creswell et al., 2007) menggunakan istilah triangulasi untuk mengkomfilasi penggunaan metode gabungan dalam suatu penelitian. Metode gabungan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif sebegai metode utama dan metode kualtitatif sebagai metode pengayaannya. Metode kuantitatif digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang kinerja CSR perusahaan dan estimasi biaya transaksi untuk merumuskan kelembagaan baru di lokasi penelitian. Namun, untuk mengukur semua jawaban tidak semuanya dapat dikuantitatifkan sehingga perlu dikonformasi atau diperbandingkan dengan pendekatan kualitatif atau dikualitatifkan. Oleh sebab itu, maka kedua metode ini diadopsi secara kontektual. Metode kualitatif digunakan atas beberapa pertimbangan yaitu, diantaranya untuk memahami kenyataan atau ketika berhadapan dengan kenyataan ganda (Creswell et al., 2007). Metode kualitatif digunakan dalam kaitannya dengan kebutuhan menjawab pertanyaan tentang karakteristik CSR perusahaan secara ekonomi maupun sosial, dan kelembagaan sesuai fokus di daerah penelitian. 2. Definisi Variabel dan Pengukuran Data Variabel yang digunakan dalam penelitian tertera dalam tabel 3 berikut: 22 Tabel 3. Variabel, Dimensi dan Indikator Instrumen Peneltian No. 1. Variabel Kinerja CSR Dimensi dan Indikator Faktor CSR 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Referensi Visser et al., (2012) Creativity Scalabity Responsibility Glocabilty Circularity 2. Merumuskan institusi Jumlah Kualifikasi kompetensi Pembiayaan Dukungan Pemda Dukungan Organisasi Bisnis Konsistensi Kebijakan 3. Biaya Transaksi Pengumpulan informasi: KelembagaanCSR a) Pasar b) Teknologi baru c) Mitra Produksi d) Petani Visser et al., (2013) Abdullah, et al 1998, Williamson, 1998, Sucihatiningsih 2010 Pembuatan Keputusan 1) 2) 3) 4) Kesepakatan program CSR Partisipasi pada aktivitas Komunikasi keputusan Koordinasi pusat dan daerah Biaya Operasional 1) Pelaksanaan program CSR 2) Monitoring & Evaluasi 3) Operasional Kelembagaan Sumber: diolah dari sumber: Sucihatiningsih 2010, Deptan, 2008: Rahim M. Sail, 2008; Abdullah, et al, 1998; Williamson 1998 23 3. Penentuan Lokasi dan Sampel Penelitian Sampel penelitian meliputi petani-peternak, petugas lapangan CSR, divisi CSR atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap akvitas CSR. Penentuan sampel dipilih dengan metode multiple stage sampling yaitu sampel ditarik dari kelompok populasi tetapi tidak semua anggota populasi menjadi anggota sample (Zikmund, 1994: Kuncoro, 2003). Tahap-tahap penentuan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tahap pertama, pemilihan institusi atau perusahaan model yang merupakan representasi pionir aktivitas CSR di Provinsi Sulawesi Selatan. Insitusi perusahaan dipilih sebagai unit analisis atau responden dipilih berdasarkan kriteria bahwa perusahaan tersebut secara aktif melaksanakan dan mempromosikan CSR. Sesuai pendapat Sedarmayanti dan Hidayat (2002) yang mendifinisikan populasi adalah himpunan keseluruhan karakteristik dari objek yang di teliti, dan pengertian lain dari populasi adalah keseluruhan atau totalitas objek psikologis yang dibatasi oleh kriteria tertentu. Dipilih BI sebagai pionir pelaksana CSR di Sulawesi Selatan. Dipilih satu institusi yang merupakan representatif-koordinatif dari lembaga jasa keuangan yaitu Bank Indonesia. Tahap kedua, menentukan program CSR yang merupakan representasi kluster pada bidang usaha peternakan. Pemilihan aktivitas CSR representatif terkait dilakukan secara purposive, didasarkan pada proyek-proyek CSR yang dilaksanakan. Tahap ketiga, memilih sampel petani-peternak, petugas lapangan CSR, responden dan informan. Sampel petani-peternak dipilih secara purposif dengan pertimbangan bahwa petani-peternak yang mengelola usaha peternakan di lokasi penelitian: dapat mewakili semua golongan petani-peternak yang ikut dalam aktivitas CSR perusahaan dalam kluster tersebut . Untuk petugas lapangan CSR dipilih secara purposif dengan alasan petugas tersebut mempunyai komitmen dalam melaksanakan aktivitas CSR institusi/perusahaan yang representasi. 24 4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara, observasi, data sekunder, dan FGD (Focus Group Discusssion). 4.1 Wawancara Metode ini dipersiapkan melalui beberapa tahapan meliputi: pembuatan rancangan kuesioner/angket, ujicoba dan pelaksanaan di lapangan dengan menyebarkan langsung kepada responden. Pada tahap awal, peneliti membuat draft kuesioner yang akan disebarkan di lapangan dengan bantuan enumerator. Pembuatan rancangan kuisioner ini disesuaikan dengan kondisi responden di lapangan sehingga memudahkan tingkat pemahaman responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Selanjutnya, kuisioner diuji coba ke beberapa responden. Sebelum uji coba enumerator diberikan latihan perbekalan (coaching) terlebih dahulu sebagai cara mengantisipasi kesalahan ketika terjun ke lapangan nanti. Pelatihan ini berisi tentang bagaimana cara melakukan penyebaran kuesioner dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Tahap berikutnya adalah pengumpulan data oleh enumerator melaluii pengisian kuesioner oleh responden. Enumerator bertugas sebagai pendamping dalam proses pengisian kuesioner. Jika ada responden yang kurang paham tentang isi kuesioner, maka dapat diantisipasi langsung oleh enumerator. Wawancara atau interview, mencakup cara yang dipergunakan seseorang, untuk tujuan mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu (Sekaran, 2002: Arikunto, 2006). Subjek penelitian ini adalah petani-peternak dan petugas lapangan CSR di wilayah kluster sapi potong. Sedangkan informan mencakup beberapa pihak seperti tokoh pemerintahan Desa atau tokoh masyarakat, dinas-dinas terkait, dan lain sebagainya. Informan digunakan untuk mendukung pencarian data di lapangan. Wawancara ini 25 dilakukan dengan mendalam “ indepth interview”, menanyakan tentang beberapa hal yang secara kuantitatif tidak dapat terungkap, antara lain: karakteristik petanipeternak secara sosial dan budaya, kemampuan petani-peternak dalam menjaga eksistensinya di dalam usaha ternak potong, hubungan atau interaksi petani-peternak dengan petugas lapangan CSR, proses beternak dan strategi adaptasi petani-peternak dalam mengantisipasi masalah-masalah peternakan, dan sebagainya. Wawancara dilakukan dengan dua model, yaitu model wawancara personal dengan indepth interview dan wawancara dengan sistem Focus Group Discussion (FGD). Wawancara personal dilakukan dengan petani-peternak dan petugas lapangan CSR di rumah masing-masing dan di tempat kerja secara tatap muka secara pribadi dan mendalam, wawancara dengan sistem FGD dilakukan secara serentak atau simultan dalam satu tempat dan kondisi dimana di dalamnya terdapat petani-peternak, petugas lapangan CSR dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya. 4.2 Observasi Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap fenomena yang akan dikaji, dalam hal ini berarti peneliti terjun langsung dalam lingkungan masyarakat. Menurut Arikunto (2006) observasi langsung adalah pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap obyek di tempat kejadian atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observasi bersama objek yang diselidiki. Observasi digunakan untuk lebih mendapatkan gambaran nyata di lapangan dilakukan dengan cara: observasi non partisipan, observasi semi partisipan, dan observasi partisipan. Kegiatan oservasi ini digunakan untuk pengumpulan bahan/data mengenai kinerja CSR Perusahaan terpilih dan hubungannya dengan petani-peternak. Observasi dilakukan dalam beberapa aspek, yaitu: 26 1) Kondisi dan geografis dan keadaan alam di lokasi penelitian 2) Kondisi lahan pertanian-peternakan di masing-masing daerah penelitian. 3) Kondisi sosial, budaya dan ekonomi di masyarakat sasaran penelitian 4) Cara kerja petani-peternak dalam usaha peternakan serta strategi produksi di masing-masing lokasi penelitian 5) Hubungan sosial antara satu peternak dengan peternak lainnya, peternak dengan petugas lapangan CSR perusahaan. 6) Proses panen dan pemasaran hasil produknya. 7) Pola kerja petugas lapangan CSR perusahaan di kantor maupun di lapangan. 8) Kebiasaan-kebiasaan atau perilaku yang dilakukan oleh petani-peternak dalam menghadapi masalah produksi dan pemasaran. 4.3 Data Sekunder Data sekunder berupa dokumentasi. Dokumentasi merupakan cara mengumpulkan data melalui penanggalan tertulis, seperti dokumen, arsip-arsip, bukubuku tentang pendapat teori, hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian (Arikunto, 2006). Dokumentasi/studi literatur dilakukan dengan mengambil data dari dinas instansi terkait seperti Biro Pusat Statistik, Laporan Institusi/Perusahaan, Forum komunikasi CSR, KADIN, dan IBL, Dinas terkait lainnya serta dari jurnal dan atau bahan publikasi lainnya yang relevan. Studi literatur digunakan untuk penggalian bukti-bukti historis dan studi kebijakan lokal, regional, nasional dan global. Data sekunder dalam penelitian meliputi antara lain; (1) Jumlah perusahaan yang melaksanakan CSR di Provinsi Sulawesi Selatan, (2) Data APBN dan APBD Provinsi Sulawesi Selatan, (3) Program CSR perusahaan pada usaha peternakan maupun yang bukan atau agribisnis, (4) Profil masing-masing perusahaan yang dipilih. 27 Studi literatur juga digunakan untuk menjawab latar belakang penelitian tentang kinerja usaha peternakan sapi Bali/potong di lokasi penelitian. Data kinerja CSR agribisnis menggunakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heyder dan Teuvsen (2009) dan Visser (2012) di beberapa negara di Eropa. 4.4 Focuss Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion (FGD) dan/sharing pendapat, yakni melakukan brainstorming dan dialog dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dengan masalah-masalah penelitian dengan unsur akademisi (A), bisnis (B), pemerintahan (G) dan masyarakat terkait (C). FGD bermanfaat untuk mengetahui kebenaran data pada orang-orang di luar responden, seperti petugas lapangan CSR bukan responden dan para punggawa atau leader CSR. Melalui sistem FGD ini, ditanyakan beberapa hal yang terkait dengan fokus penelitian sehingga dalam satu waktu tersebut peneliti langsung mendapatkan data dengan cepat, akurat dan efektif. Selain itu, penggunaan FGD ini akan mampu memberikan solusi kepada pihak petani-peternak maupun petugas lapangan guna meningkatkan produktivitas usaha peternakannya di lokasi masing-masing. 5. Analisis data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif kuantitatif-kualitatif. Sebelum menjawab tujuan penelitian pertama dilakukan adopsi penelitian terdahulu mengkaji kinerja CSR perusahaan pada agribisnis peternakan di tiga perusahaan atau institusi penelitian. Sebagai latar belakang penelitian ini dikaji kinerja CSR perusahaan pada agribisnis peternakan, dilihat dari model dari hasil penelitian dilakukan Susilowati et al (2008) dan Sucihatiningsih (2010) kinerja penyuluh pertanian di Jawa Tengah. 28 5.1 Analisis Statistik Deskriptif Pendekatan analisis statistik deskriptif digunakan untuk menjawab tujuan kedua dengan dilakukan survei dan didukung oleh FGD serta indepth interview dengan keyperson pada institusi/perusahaan terpilih. Pendekatan mixed method digunakan untuk mengevaluasi kinerja CSR dalam peningkatan produktivitas usaha peternakan sapi potong. Untuk menjawab tujuan ketiga yaitu merancang model penguatan kapasitas kelembagaan CSR usaha peternakan sapi potong dilakukan dengan melakukan analisis temuan-temuan di lapangan melalui beberapa skenario. 5.2 Analisis Deskriptif Kualitatif Pendekatan analisis kualitatif digunakan untuk melengkapi dan mendukung kekayaan data pada analisis kuantitatif. Untuk mendapatkan informasi dalam analisis kualitatif dilakukan melalui FGD dan indepth interview. FGD dikuti oleh petanipeternak, petugas lapangan CSR, representatif dari perusahaan pelaksana CSR, dinas terkait, sedangkan indepth interview dilakukan dengan keyperson petani-peternak dan petugas lapangan CSR. Analisis ini digunakan untuk mempertajam deskripsi tentang peran petugas lapangan CSR hubungannya dengan materi dan respon petani-peternak partisipannya? 6. Analisis Biaya Transaksi Analisis ini digunakan untuk mencari besaran biaya transaksi kelembagaan CSR usaha ternak sapi potong pada tujuan penelitian ketiga. Biaya transaksi diidentifikasi berdasarkan model CSR yang eksis di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Untuk mengestimasi nilai biaya transaksi dalam membangun model CSR usaha ternak sapi Bali/potong penelitian ini mengadopsi model dari teknik transaction 29 costs dari Abdullah et al (1998) dan Sucihatiningsih (2010). Biaya transaksi dari suatu pertukaran merupakan karakteristik biaya transaksi kelembagaan. Secara rinci kategorisasi biaya transaksi kelembagaan penyuluh pertanian dalam penelitian ini tersaji dalam tabel 3 tersebut di atas. Biaya transaksi terdiri dari biaya informasi, biaya pembuatan keputusan, dan biaya operasional (Tabel 3). Biaya informasi adalah biaya pengumpulan informasi yang diperlukan dalam mengelola suatu sistem agar dihasilkan keputusan yang efisien. Biaya pembuatan keputusan adalah biaya yang ditimbulkan dalam pembuatyan kesepakatan antara stakeholder kelembagaan CSR. Biaya operasional adalah biaya yang digunakan untuk melaksanakan dan memonitor kegiatan-kegiatan kelembagaan penyuluhan (Abdullah 1998: Sucihatiningsih, 2010). 30 Roadmap Penelitian = Kinerja Kelembagaan CSR Tujuan Penelitian: 1. Mengevaluasi Kinerja / Compliance CSR sebagai mandatori di Indonesia Kinerja Kelembagaan CSR Jawa Timur or Jawa Tengah CSR Perusahaan Berbasis Sumber Daya Alam UU No.40 Tahun 2007 ayat 72 • • Penelitian Terdahulu : • • By secondary data Perusahaan Berbasis Agrobisnis Perusahaan Berbasis Tambang dan Migas Perusahaan Berbasis Jasa Keuangan Perusahaan Berbasis Industri Jasa Lainnya Fakta 25 – 30% • • • • • Sedikit Perusahaan ………………………….. ………………………….. ………………………..… ………………………..… CSR coverage Efektif (% ?) Kriteria CSR • • • • Standar CSR Dunia Standart Code of Conduct Model Cache (Standart Accountability 2000 Model Kinerja PRISM Victorial Project Analysis (IFS Keberhasilan) 2. Mengetahui intensitas Pelaksanaan CSR di Perusahaan Agribisnis Umum CROPPING Jangka Pendek Peternakan Agribisnis Referensi khusus dalam bidang agribisnis % …………… Ukuran intensitas Data Sekunder Profil User …………………………………. ..……………………………….. …………………………………. …………………………………. …………………………………. …………………………………. Rujukan Profil CSR …………………………………. ..……………………………….. …………………………………. …………………………………. …………………………………. …………………………………. Atribut …………………………………. ..……………………………….. …………………………………. …………………………………. …………………………………. …………………………………. Intensitas Pelaksanaan Tingkat Kegagalan Tinggi Model Proche < 50% Manageable Berhasil Tidak manageable Tinggalkan / Stop CSR Mengidentifikasi kesempatan untuk perbaikan Revisi/Improved Pertahankan Keberlanjutannya Company Benchmark / ISO 26000 Quality Assurance Prospek ke depan Kelembagaan Management Governance Compliance 3. Merumuskan Model CSR Agribusiness Existing Model 1. 2. 3. …………………….………. ..……………….……….. ………………….…………. Skema Baru 1. 2. 3. How to improved Model Improved Stop …………………….………. ..………………….…….. ………………….…………. Success Strategy of the Model Mempertahankan Keberlanjutannya Model X FGD + indepth interview + AHP 4. Memformulasi Strategi dan Implementasi Keberhasilan Model CSR STRATEGI KEBERHASILAN IMPLEMENTASI CSR 31 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Carrol, A.B. 2004. Managing Ethically With Global Stakeholders: A Present and Future Challenge. Academy of Management Executive: 18(2), pp.114-120. Chambers, E, W. Chapple, J. And M. Sullivan. 2003. Corporate Social Responsibility in Asia: A seven country study of CSR website reporting, retrieved on August 15, 2004. Available at www.nottingham.ac.uk/business/ICCSR/09-2003.PDF.L. Creswell, John W.,Clark, Vicky L. Plano. 2007. Designing and Conducting Mixed Metodes Reasearch America. University Nebraska=Lincoln De Bakker, F.G, P. Groenewegen, and F. Den Hond, 2005. A Bibliometric Analysis of 30 Years of Research and Theory on Corporate Social Responsibility and Corporate Social Performance, in: Business and Society, 44 (3), pp. 283-317. Elkington, J. 1997. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st century business. Capstone: Oxford. ___________. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Gabriola Island, BC, Canada: New Society Publishers. Fajar, M.N.D. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan Corporate Social Responsibilty pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Friedman, M. 1970. The Social Responsibility of Business is to Increase Its Profits. The New York Times Magazine: September 13. Ganzi, J. 2006. Sustainable Agriculture, Corporate Social Responsibility (CSR) & the Private Sector of the Financial Services Industry. Public Private Partnerships for Sustainable Development in the Americas. Organization of American States. Handy. C. 2003. What’s a Business For ? Harvard Business Review on Corporate Responsibility. Boston, Harvard Business School Publishing Corporation. 32 Hess, D. 1999. Social Reporting: A Reflexive Law Approach to Corporate Social Responsiveness. Journal of Corporation Law, 25(1): 41-84. Heyder, M, and L. Theuvsen. 2009. Legitimating Business Activities Using Corporate Social Responsibility: Is there a Need for Corporate Social Responsibility In Agribusiness. In, : Fritz, M., U.Rickert, and G. Schiefer. (eds.): System Dynamics and Innovation in Food Networks 2008, ILB, Bonn, pp. 175-188. Hill, C.W.L. 2000. International Business: Competing in the Global Marketplace. The McGraw-Hill Higher Education Press. Hind, P. 2004. The Impact of Corporate Social Responsibility Strategy on the Real Practice of Management: A Cross Cultural Study, IAMB Conference, Las Vegas, November Hofstede, G. 1980. Culture's Consequences: International Differences in Work Related Values, Sage Publications, Beverley Hills, California. Hofstede, G. 1991. Cultures and Organizations: Software of The Mind: Intercultural cooperation and Its Importance for Survival. New York: McGraw-Hill. Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2666/XI/Tahun 2012. Tentang Fokum komunikasi Corporate Social Responsibity perusahaan di wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Kotler, P and N. Lee. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons.Inc, New Jersey. Levy, D.L. 2011. Private Sector Governance for a Sustainable Economy: A Strategic Approach. Review of Policy Research 28(5), 487-493 Maignan, I. and 0.C. Ferrell. 2004. Corporate Social Responsibility and Marketing: An Integrative Framework. Journal of Academy of Marketing Science, 32:1, pp. 3-19. Mohan, A. 2001. Corporate Citizenship: Perspectives from India. Journal of Corporate Citizenship, Spring, pp 107-117. Moon, J. 2002. ‘Business Social Responsibility and New Governance’ Government and Opposition 37: 3 385 – 408. 33 Moon, J. 2002. Government As A Driver of Corporate Social Responsibility. Research Paper Series of ICCSR ________. 2006. Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility. Harvard Business Review. Available at www.hbr.org Munier.N. 2007 Introduction to Sustainability: Road to a Better Future, Ontario, Springer. Munthe.M.G. 2007. Pemberdayaan Usaha Kecil Swasta. Harian Bisnis Indonesia. Jakarta. Nindita, R.M. 2008. Corporate Social Responsibilty Untuk Pemberdayaan Ekonomi Lokal”. Jakarta: Indonesia Business Links. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam lingkungan Perseroan Terbatas. Dala, lembaran negara nomor 89 tahun 2012. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan nomor 45 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan tertanggal 12 Nopember 2014-02-09. Porter. M.E. and M.R. Kramer 2003. The Competitive Advantage of Corporate Philanthrophy. Harvard Business Review on Corporate Responsibility. Boston, Harvard Business School Press. Prahalad. C.K. and A. Hammond 2003. Serving the World’s Poor, Profitability. Harvard Business Review on Corporate Responsibility. Boston, Harvard Business School Publishing Corporation. Priyanto. A, T.S. Permana, E. Wahono, A. D. Purwandari, A.D. Adipurna, A. Aminullah dan A. Sutrisna. 2007. Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah Tahun 2007. Jurnal SM-21, 5. Raynard, P, and M. Forstater. 2002. Corporate Social Responsibility: Implications for Small and Medium Enterprises in Developing Countries, United Nations Industrial Development Organization, Retrieved on August 11, 2004. Availbale at www.unido.org/userfiles/BethkeK/csr.pdf. 34 RSW. 1993. Cause Related Marketing: A Survey of American Customers’ Attitude. Roper Starch Worldwide, RSW Inc., New York. Sach, J.D. 2005. The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time, London, The Penguin Press. Slater, A. 2004. GRI’s Economic Performance Indicators: Measuring Impacts One Stakeholder at a Time. Accountability Forum. Susanto, A.B. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility: Pendekatan Strategic Management dalam Corporate Social Responsibility. Jakarta: Erlangga. Soeharto, E. 2008. Corporate Social Responsibility : What is and benefits for Corporate. Jakarta : Majalah Bisnis dan CSR Vol 1 No 4. Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Spiller, A. and J.G. Schramm. 2004. Trust in Certification Procedures: An Institutional Economics Approach Investigating the Quality of Audits Within Food Chains. Paper presented at 14th IAMA Conference, June 12-15, 2004, Montreux, Switzerland. Sucihatiningsih, D.W.P. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyuluh Pertanian Dalam Meningkatkan Kinerja Usahatani: Studi Empiris Di Provinsi Jawa Tengah. Universitas Diponegoro Semarang. Disertasi Doktor. Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Visser, Wayne. 2012. The Age of Responsibilty: CSR 2.0 and the New DNA of Business. Journal of Business Systems, Governance and Ethics. Volume 5 No.3. P.7-22 Warhust, A. 2001. Corporate Citizenship and Corporate Social Investment: Drivers of Tri-Sector Partnerships”, Journal of Corporate Citizenship, Spring, pp 57-73. Definition of Emerging Economies, Global Economic Prospects and the Developing Countries, World Bank, (2002), Retrieved on August 13, 2004. Available at www.sustainability.com/ developing-value/definitionemerging.asp 35 WBCSD. 2002. The Business Case for Sustainable Development: Making a Difference Towards the Johannesburg Summit 2002 and Beyond. World Business Council for Sustainable Development, Geneva, Switzerland. World Bank. 2002. Public Sector Roles in Strengthening Corporate Social Responsibility. Baseline Study, Washington D.C. 36