Model Tatakelola Dan Pemanfaatan Corporate Social Responsibilty

advertisement
Model Tatakelola Dan Pemanfaatan Corporate Social Responsibilty (CSR)
Perusahaan Pada Usaha Ternak Sapi Bali/Potong Di Kabupaten Barru Sulawesi
Selatan
Oleh : Ikrar Mohammad Saleh, H5A 00900, Prof. Dr. Ir. C. Imam Sutrisno*), Prof.
Dra. Indah Susilowati, M.Sc. PhD**, Prof. Dr. Ir. Sunarso, MS***
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: mengevaluasi kinerja usaha ternak sapi Bali/potong
atau pemanfaatan CSR institusi/perusahaan pada usaha peternakan sapi Bali/potong
dalam peningkatan produktivitas di daerah/kluster sapi Bali/potong; merumuskan
model penguatan kelembagaan CSR perusahaan sebagai mandatori berbasis
pemberdayaan masyarakat pada usaha ternak sapi Bali/potong dan; mengestimasi
biaya transaksi (transaction cost) yang diperlukan untuk menyusun model
kelembagaan CSR yang layak untuk usaha ternak sapi Bali/potong.
Penelitian ini akan dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap di Kota Makassar dan
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, dari April s/d September 2014, dengan
menggunakan mixed-method. Data primer diperoleh melalui wawancara responden
dan key-persons. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan profil
responden, kinerja CSR perusahaan, dan kapasitas kelembangaan CSR perusahaan.
Transaction cost digunakan untuk mengestimasi nilai biaya transaksi yang
diperlukan untuk merancang skenario kelembagaan CSR perusahaan berbasis
pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan kinerja usaha ternak sapi potong. Data
sekunder time series yang relevan dan data sekunder lainnya berasal dari jurnal, buku,
dan hasil penelitian terdahulu dipakai untuk memperkaya penelitian ini.
KATA KUNCI: Corporate Sosial responsibily (CSR), Sapi Bali, Sapi Potong, Barru
1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kajian mengenai corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab
sosial meliputi aspek yang sangat luas, antara lain; pengangguran, ketahanan pangan,
kesehatan, pendidikan, dan penangulangan bencana alam.
Fokus aktivitas CSR
perusahaan masih sangat sederhana berkisar: donasi filantropis pada acara yang
dilaksanakan oleh suatu komunitas. Definisi CSR yang sederhana ini disempurnakan
dengan pengertian yang lebih luas mencakup semua cara berbisnis; produk, layanan
interaksi dengan masyarakat dan lingkungan. Keterlibatan semua komponen
organisasi; stakeholder-karyawan, pelanggan, pemilik, investor, pemasok dan
kelompok komunitas tertentu telah sesuai pendapat Hind (2004).
CSR didefinisikan sebagai integrasi suatu operasi bisnis dan nilai-nilai dimana
kepentingan semua pemangku kepentingan termasuk investor, pelanggan, karyawan,
masyarakat dan lingkungan tercermin dalam kebijakan perusahaan (Ganzi, 2006).
Sejalan dengan pendapat tersebut Levy (2010) menjelaskan CSR adalah titik-kunci
dari perjuangan politik-bisnis-ekonomi. CSR perusahaan adalah harmonisasi antara
kepentingan finansial dan lingkungan sosial perusahaan.
CSR perusahaan memperoleh peran penting dalam manajemen agribisnis (de
Baker dan Hind. 2005), diperoleh banyak ketidakpastian tentang bagaimana cara
menentukan hubungan kerjasama antara perusahaan dengan komunitas dalam jangka
waktu yang tertentu. Tidak kurang dari 25 definisi CSR berbeda sebagai mana yang
diidentifikasi (Caroll, 1999; Dahlsrud, 2006). Istilah ini sering dipakai bercampuraduk dengan istilah sejenis misalnya; corporate governance, corporate citizenship
(Spiller and Schramm, 2004).
Heyder dan Theuvsen (2009) dalam studinya di Jerman melaporkan dalam
bidang agribisnis, skandal terbaru informasi yang tidak seimbang/asimetris mengenai
2
produksi pangan, menyebabkan terjadinya tekanan eksternal dari publik pada
perusahaan agribisnis. Heyder dan Theuvsen (2009) dalam studi tersebut menemukan
dan memberikan wawasan mendalam tentang persepsi tekanan eksternal dalam
berbagai bidang terkait dengan produksi pangan, misalnya susu. “Teori Triple Bottom
Line” akan dipakai sebagai suatu kerangka, konseptual, dan yang menyediakan
wawasan mengenai faktor-faktor penentu implementasi CSR perusahaan yang
meliputi; legitimasi, reputasi, dan kinerja perusahaan agribisnis peternakan.
Porter dan Kramer (2006) dalam Harvard Business Review (HBR) edisi
Desember 2006 ; mempublikasikan tulisan: “ Strategy and Society; The Link between
Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility”, bahwa filantropi yang
dilakukan perusahaan sebagai cara untuk memenangi persaingan dari kompetitor,
dilaksanakan secara sembarangan sehingga tidak menguntungkan perusahaan.
Inisiatif perusahaan untuk melaksanakan CSR terlampau meluas dan menghamburkan
sumber daya yang tidak menguntungkan, hanya sekelompok kecil pihak eskternal
yang memperoleh keuntungan. Dalam konteks ini, Porter dan Kramer (2006)
menyarankan ide memanfaatkan CSR perusahaan untuk memperoleh keuntungan
kompetitif? Pemangku kepentingan tidak lagi mempercayai perusahaan, maka
perubahan mendasar diperlukan untuk memulihkan kepercayaan para stakeholder
tersebut terhadap perusahaan. Perbaikan itu bernama penciptaan nilai bersama atau
Creating Shared Value (CSV). Pengertian CSV adalah salah satu cara implementasi
CSR, dengan asumsi kepatuhan pada hukum, etika dan meminimalkan dampak
negatif. Perbedaannya juga jelas, CSR memiliki nilai untuk melakukan kebaikan
sosial sementara CSV berupaya meningkatkan keuntungan ekonomi dan sosial relatif
terhadap biaya dan strategi untuk bersaing. CSV menekankan penciptaaan nilai
bersama antara perusahaan dan masyarakat. CSR merupakan bentuk discretionary
atau tanggapan atas tekanan eksternal.
3
Chapple, Moon dan Sullivan (2005), menunjukkan hasil studinya pada
negara-negara Asia, saat ini masih paling kuat dalam parameter keterlibatan
masyarakat. Ditemukan bahwa hanya seperempat atau sekitar 25% perusahaan
Indonesia yang mempraktekkan CSR bandingkan dengan Thailand (42%), Malaysia
(32%), dan Filipina (30%) jadi diantara negara-negara ASEAN Indonesia yang paling
rendah sebagaimana yang dilaporkan Chapple, Moon (2005) juga menyimpulkan
bahwa evolusi CSR di Asia cenderung terjadi tiga gelombang: pertama dengan
keterlibatan sebagian besar masyarakat, berpindah ke gelombang kedua dengan
produksi yang bertanggungjawab, dan gelombang ketiga proses tanggungjawab sosial
dan hubungan dengan karyawannya.
Sejalan dengan studi tersebut di atas, studi yang dilakukan oleh Hofstede
(1991) menjelaskan masyarakat kolektif seperti masyarakat Asia, mengakui
tanggungjawab interpersonal-komunal lebih besar daripada individualistis dari nilainilai yang berlaku. Jadi kebijakan dan peraturan CSR lebih memungkinkan untuk
diterapkan sesuai invidu yang memiliki hubungan dengan orang-orang dengan siapa
mereka berurusan.
Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Soeharto (2008) menyimpulkan
dengan merujuk pada konsep CSR memberikan gambaran bahwa tanggung jawab
perusahaan tidak hanya terbatas pada shareholder tetapi lebih luas bertanggungjawab
juga kepada stakeholder saja bahkan bertanggungjawab pada pembangunan sumber
daya alam yang berkesinambungan (sustainability development) yaitu kebutuhan
pembangunan sesuai kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan
generasi masa yang akan datang. Secara umum CSR dimaknai atas nama perusahaan
berupaya mencapai kesimbangan antara tujuan ekonomi, lingkungan dan sosial
kemasyarakatan, seraya merespon harapan shareholders dan stakeholders.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka penelitian ini akan menjawab
pertanyaan faktor-faktor apakah sebenarnya yang diperlukan dalam model tatakelola
4
strategi pemanfaatan CSR perusahan pada usaha sapi Bali/potong di Kabupaten Barru
provinsi Sulawesi Selatan. Dalam penelitian ini akan diteliti model untuk
meningkatkan kapasitas kelembagaan CSR institusi/perusahaan pada usaha sapi
Bali/potong dengan pendekatan prinsip-prinsip: Creativity, Responsibilty, dengan 5
prinsip dasar Creativity (C), Scalability (S), Responsibility (R), Glocality (2), dan
Circularity (0). Yang oleh Visser (2013) disebut CSR 2.0.
Menurut laporan tahunan PT Telkom Indonesia (2014 ), melalui program
“dana kemitraan” (PKL dan CSR) telah melaksanakan CSR yang dikategorikan 8
sektor; industri, perdagangan, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, jasa dan
usaha kecil menengah. Dana yang telah disalurkan pada program kemitraan dari
tahun 2002 hingga oktober 2010 lebih dari Rp 2,5 Trilyun. Forum komunikasi CSR
provinsi Sulawesi Selatan mencatat untuk wilayah Sulawesi Selatan dana CSR yang
sudah digulirkan Rp 62,3 Milyar sedangkan untuk dana kemitraan lingkungan PT
Telkom telah menyalurkan Rp 6,5 Milyar khususnya di Kabupaten Maros Rp 1,5
Milyar dan Kabupaten Soppeng Rp 1,0 Milyar. Mengantisipasi penyaluran dana CSR
di wilayah provinsi Sulawesi Selatan, pemerintah Provinsi menerbitkan Peraturan
Gubernur nomor: 2666/XI/Tahun 2012 tentang pembentukan Forum Komunikasi
CSR Provinsi Sulawesi Selatan, mendasari Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun
2012, yang merupakan penjabaran dari Undang Undang nomor 40 tahun 2007 tentang
perseroan terbatas, dimana pada pasal 73 tercantum kewajiban Perseroan Terbatas
melaksanakan CSR terhitung sejak diberlakukannya Undang Udang tersebut.
2. Overview Sapi Potong Nasional
Sejak tahun 2005, pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging
Sapi (PSDS) yang konsepnya disajikan tahun 2000 sampai dengan akhir 2004
sebagaimana yang dilaporkan Sudardjat (2004). Kebijakan PSDS dilanjutkan pada
tahun 2010 hingga sekarang. PSDS menjadi program prioritas dan diantara 15
5
komoditas pangan strategis (Ditjennak, 2009). Penguatan program PSDS diperkuat
pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa Indonesia
masih kekurangan daging sapi dan kedelai pada kunjungan kerjanya di Bila River
Ranch, Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan. Usaha sapi potong
mempunyai prospek yang bagus (Bisnis.com, 22 pebruari 2014).
Swasembada
daging sapi dikatakan tercapai jika produksi daging dalam negeri mampu menyuplai
minimal 90% dari jumlah kebutuhan daging nasional (blue print Program
Swasembada Daging sapi/PSDS, 2014)
Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik 2011, melaporkan hasil awal
PSPK, Populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, dimana Sulawesi Selatan
merupakan provinsi dengan jumlah populasi terbesar ketiga yaitu sebanyak 983.985
ekor (984 ribu ekor) atau 6,65 persen dari total populasi sapi potong di Indonesia,
setelah Jawa Timur sebanyak 4,7 juta ekor (31,93 persen) dan Jawa Tengah sebanyak
1,9 juta ekor (13,09 persen). Dengan jumlah populasi sapi di Sulawesi Selatan saat
ini sebanyak 984 ribu ekor, maka tidaklah berlebihan jika program Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Gerakan Pencapaian Populasi Sapi Sejuta Ekor
Tahun 2013 akan dapat tercapai sejalan dengan hal tersebut.
Pemerintah menetapkan beberapa
kebijakan
melalui pengembangan
kelembagaan petani-peternak, optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam lokal,
dan pengembangan teknologi tepat guna. Langkah untuk membangun program
perbaikan peternakan sapi potong/daging berkelanjutan membutuhkan kajian
mengenai sistim produksi sapi potong dan hambatan. Dokumentasi karakteristik
sistim produksi peternakan sapi potong bersama capaian produktivitasnya
pada masing-masing daerah sangat bermanfaat dalam menentukan strategi
pengembangannya di pedesaan (Sudardjat, 2004).
6
Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2013) memberikan gambaran tentang
keadaan umum kebijakan Sapi potong di sulawesi Selatan, yang merupakan salah
satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk
dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Kebijakan pengembangan
peternakan melalui ekstensifikasi (Pengadaan dan peningkatan mutu bibit, pakan,
pengendalian penyakit, kredit, dan pemasaran). Intensifikasi (Peningkatan produksi
secara ekonomis, Penggunaan bibit unggul, pakan dan manajemen) Pengembangan
usaha ternak sapi potong melalui program Pemerintah lainnya serta pola kemitraan
yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi kesejahteraan
peternak
Pada tahun 2013, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mencanangkan
program peningkatan populasi sapi potong 1 (satu) juta ekor sebagai aksi mendukung
Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Untuk
mewujudkan Program Gerakan Pencapaian Populasi Sapi 2 juta ekor pada tahun 2016
di Sulawesi Selatan dan P2SDS 2014 dengan mengembangkan peternakan mandiri
secara berkelanjutan melalui implementasi kebijakan yang tepat. Teridentifikasinya
faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi kebijakan pengembangan peternakan
sapi potong di Sulawesi Selatan yang melibatkan peran dan fungsi pemangku
kepentingan (stakeholders) yang mempengaruhi efektivitas proses perencanaan;
Mampu merealisasikan program gerakan pencapaian populasi sapi 1 juta Ekor tahun
2013 di Sulawesi Selatan dan implikasinya terhadap peternak sapi potong ke depan
(Ahmad, 2013).
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan
peternakan, bahkan pernah dikenal sebagai lumbung ternak dengan kemampuan
ekspor ke luar negeri pada tahun 1960 sampai tahun 1970. Dan mempunyai
kemampuan memasok ternak potong ke daerah lain dalam rangka pengadaan ternak
nasional.
7
Sapi Bali (bos sondaicus) adalah salah satu jenis sapi potong yang digemari
dan berkembang secara luas di Sulawesi Selatan. Sapi Bali memiliki keunggulan
sebagai ternak kerja, daya reproduksi tinggi, tahan dan berkembang pada kondisi
lingkungan yang yang kurang mendukung, tahan caplak, presentase karkas tinggi,
kadar lemak rendah, merupakan tabungan atau modal bagi masyarakat, bernilai
ekonomis tinggi. Petani-peternak menganggap ternak ini sebagai tabungan yang dapat
diuangkan sewaktu-waktu diperlukan.
Sapi sebagai tabungan baru dijual jika mereka membutuhkan biaya. Walaupun
umur sapi sudah waktunya dijual, tetapi peternak masih mempertahankannya karena
belum membutuhkan biaya menyebabkan sehingga usaha ternaknya menjadi tidak
efisien. Kondisi ini berpengaruh terhadap populasi ternak sapi, pertumbuhannya
menjadi lebih lambat, diperparah lagi dengan tingginya angka pengeluaran ternak dan
pemotongan sehingga populasi ternak sapi potong Sulawesi Selatan menjadi tidak
seimbang.
Hasil Sensus Pertanian 2013 memberikan gambaran tentang perkembangan
sapi potong di Sulawesi Selatan. Jumlah Sapi dan Kerbau Berdasarkan Hasil
Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 dan Sensus Pertanian
2013 Menurut Kab/Kota (ekor) sebagaimana Tabel 1 di bawah ini.
8
Tabel 1
Perkembangan Sapi Potong dan Kerbau Provinsi Sulawesi Selatan , 2013
No
Kab/Kota
(1)
2011
2013
Pertumbuhan 2011-2013
Absolut
%
(6)
(2)
(3)
(4)
(5)
1
Kep. Selayar
17.142
19.286
2.144
1
2
Bulukumba
54.922
55.662
740
1.35
3
Bantaeng
19.139
20.359
1.220
6.37
4
Jeneponto
22.471
23.367
896
3.99
5
Takalar
38.584
39.439
855
2.22
6
Gowa
90.193
88.573
-1.620
-1.80
7
Sinjai
75.403
71.04
-4.379
-5.81
8
Maros
60.063
61.373
1310
2.18
9
Pangkajene dan Kep
35.841
35.752
-89
-0.25
10
Barru
53.549
51.649
-1.900
-3.55
11
Bone
279.217
262.415
-16.802
-.601
12
Soppeng
27.020
27.304
284
1.05
13
Wajo
76.538
79.505
2.967
3.88
14
Sidenreng Rappang
36.077
32.729
-3.348
-9.28
15
Pinrang
23.283
25.092
1.809
7.77
16
Enrekang
46.958
48.351
1.393
2.97
17
Luwu
19.544
21.671
2.127
10.88
18
Tana Toraja
27.684
28.533
849
3.07
19
Luwu Utara
34.419
33.210
-1.209
-3.51
20
Luwu Timur
15.342
14.915
-427
-2.78
21
Toraja Utara
19.572
19.613
41
0.21
22
Kota Makassar
3.107
3.427
320
10.03
23
Kota Parepare
3.605
4.130
525
14.56
24
Kota Palopo
2.507
3.092
585
23.33
1.070.471
-11.709
-1.08
Sulawesi Selatan
1.082.180
Sumber: Sensus Pertanian 2013
9
Data PSPK di kabupaten Barru kondisi 1 Juni 2011 menunjukkan jumlah
populasi sapi potong dan kerbau mencapai 53.549 ekor. Sementara itu, dari hasil
sensus pertanian 2013, populasi sapi dan kerbau hanya mencapai 51.610 ekor artinya
ada penurunan populasi sebanyak -3,55%.
Salah satu faktor penunjang keberhasilan pembangunan peternakan di
Sulawesi Selatan adalah ketersediaan sumberdaya pakan untuk ternak. Namun
demikian, padang penggembalaan sebagai penyedia pakan hijauan cenderung
berkurang setiap tahun. Luas padang penggembalaan di Sulawesi Selatan tahun 2003
adalah 235.542 ha dan mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 1999 yang
seluas 290.184 ha (BPS, 2004). Di lain pihak, telah terjadi perubahan fungsi lahan
yang sebelumnya sebagai penyedia sumber pakan menjadi lahan sawah/pertanian
untuk memenuhi tuntutan penyediaan pangan akibat semakin meningkatnya jumlah
penduduk. Disamping itu penyediaan pakan juga memiliki keterbatasan akibat adanya
persaingan kebutuhan penyediaan pangan untuk konsumsi manusia, belum lagi untuk
keperluan real estate, industri dan infrastruktur.
Ketersediaan pakan tidak diikuti dengan perbaikan genetik dan reproduksi
untuk performa sapi agar tetap bagus dan siklus reproduksinya lebih pendek. Proses
inbreeding yang berlangsung sekian lama dan rekording yang tidak ada
mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas sapi yang ada sekarang dan
mengakibatkan susahnya mencari pejantan yang betul-betul unggul karena kesulitan
mendeteksi asal bibit tersebut. Pemeliharaan dilakukan peternak masih tradisional
dimana peternak hanya melepaskan ternaknya di kebun atau sawah selepas panen dan
membiarkan ternaknya mencari makanan sendiri. Ternak yang dikelola secara
semiintensif, masih dalam skala kecil. Perhatian pemerintah, stakeholder dan
peternak seharusnya terfokus pada usaha perbaikan bibit atau pejantan unggul.
10
Pengembangan sapi Bali harus menjadi perhatian yang serius dengan
mengembangkan sentra sapi Bali/potong yang berorientasi bisnis dengan tetap
memperhatikan peningkatan kualitas dan mutu bibit. Model pengembangan yang
dilakukan harus sesuai dengan karakteristik dan kapasitas kelompok-kelompok taniternak yang ada di Sulawesi Selatan.
Untuk menjaga kelestarian pengembangbiakan sapi Bali ditetapkan wilayah
pemurnian sapi Bali, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan
Sulawesi Selatan. Peraturan Pemerintah daerah Sulawesi selatan (1975) sebagai
sentra/kluster pengembangan sapi Bali adalah Kabupaten Barru, Kabupaten Bone dan
Kabupaten Enrekang khususnya kecamatan Alla, Anggeraja, Barakka dan Enrekang.
Daerah tersebut dilarang mengadakan persilangan dengan sapi lain (Pemerintah
Daerah Tingkat I Sulawesi selatan, 1976).
Kondisi saat ini, kualitas sapi Bali cenderung mulai menurun sebagai akibat
dari inbreeding. Untuk mencegah keberlanjutan inbreeding ini maka perlu adanya
sentra pengembangan sapi Bali khususnya bibit yang berbasis kelompok/komunitas
dengan keterlibatan stakeholder. Implikasi dari program ini adalah diharapkan
tumbuhnya kelembagaan/kelompok peternak yang mampu menyesuaikan dirinya
dengan perubahan-perubahan untuk kesinambungannya.
Untuk pengembangbiakan sapi Bali murni telah ditetapkan daerah sumber
bibit sapi Bali untuk menjaga kemurnian ras dan sumber produksinya. Di luar daerah
yang ditetapkan diperbolehkan mengadakan persilangan dengan sapi unggul lainnya
untuk mendapatkan sapi potong yang menguntungkan (Pemerintah Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan, 1975). Daerah yang menjadi sumber bibit sapi Bali adalah:
Kabupaten Bone, Kabupatan Barru, Kabupaten Enrekang (Kecamatan Alla,
Anggeraja, Barakka dan Enrekang) wilayah tersebut dilarang mengadakan
11
persilangan dengan sapi lainnya (Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan,
1976).
Sapi Bali asal Sulawesi Selatan memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan
dengan sapi asal daerah lain, terutama dari segi keragaan dan ketahanan tubuh
(Handiwirawan dan Subandyo, 2004: Masykuri, 2013). Di sisi lain sapi Bali memiliki
juga kekurangan tersendiri antara lain, laju pertumbuhan, pertambahan bobot badan,
dan bobot sapi Bali dewasa masih rendah jika dibandingkan dengan hasil sapi
persilangan. Sapi Bali mempunyai pertambahan berat badan berkisar 0,4 Kg/hari,
maka sapi Bali hasil persilangan dengan Simental dapat mencapai 0,56 Kg/hari pada
umur 0- tahun ( Sariubang, et al, 2001: Hadiwirawan, 1998: Masykuri, 2013).
PSPK 2011 menunjukkan populasi sapi potong betina lebih banyak dibanding
sapi potong jantan. Secara nasional, populasi sapi potong betina adalah 68,15 persen,
sedangkan untuk sapi potong jantan 31,85 persen dari total populasi. Jika angka ini
digunakan untuk mengestimasi distribusi sapi potong di Sulawesi selatan berdasarkan
jenis kelamin, maka rasio sapi potong betina di Sul Sel sekitar 671 ribu ekor dan sapi
potong jantan 313 ribu ekor. Dilain pihak, secara nasional berdasarkan kategori
umurnya, sebanyak 66.09 persen adalah sapi potong betina dewasa (>2 tahun), muda
(1-2 tahun) 19.88 persen, dan anak (< 1 tahun) 14.03 persen dari total populasi sapi
potong betina. Untuk populasi sapi potong jantan, persentase dewasa adalah 30,80
persen, muda 38.52 persen, serta anak 30.68 persen dari total populasi sapi potong
jantan (Syamsu, 2013).
Selanjutnya Syamsu (2013) menyatakan persentase populasi sapi potong
menurut jenis kelamin dan umur khususnya untuk regional Sulawesi adalah jenis
kelamin jantan dengan persentase anak 33,46 persen, muda 32,47 persen, dan dewasa
34,07 persen. Untuk jenis kelamin betina dengan persentase anak 14,26 persen, muda
17,16 persen, serta dewasa 68,58 persen. Dengan hasil persentase populasi menurut
12
umur dari jenis kelamin jantan dan betina yang diperoleh dari PSPK 2011 di atas
memberikan gambaran awal struktur populasi sapi potong di Sulawesi Selatan.
Untuk menjaga kecenderungan menurunnnyap opulasi sapi potong maka perlu
adanya kebijakan untuk melindungi wilayah sentra-sentra ternak sapi potong,
khususnya penataan tata ruang ternak, sehubungan terjadinya pengalihan fungsi lahan
yang selama ini menjadi basis ekologis atau lahan penyangga bagi pemeliharaan sapi
potong.
Regulasi yang ketat diperlukan dalam pengaturan pengeluaran ternak yang
hanya memenuhi tuntutan permintaan sapi dari luar provinsi. Regulasi ini penting
untuk mencegah terjadinya pengurasan sumberdaya ternak secara tidak terkendali.
Dilain pihak, program pengadaan ternak bibit atau induk, tentunya masih perlu
diupayakan secara terbatas yang hanya untuk menjaga keseimbangan populasi ternak
(stok populasi) sapi potong.
Berkaitan dengan regulasi tersbut, pemerintah seharusnya mendorong pihak
swasta melalui pemanfaatan dana-dana CSR untuk mengembangkan kelembagaan
peternakan dengan mengembangkan model usaha sapi potong guna memenuhi
kebutuhan konsumsi daging untuk lokal dan nasional. Peternakan rakyat di pedesaan
masih membutuhkan perbaikan manajemen pemeliharaan, inovasi teknologi,
permodalan, dan dukungan kebijakan dan keberpihakan pemerintah. (Harian Fajar
Makassar, 11 Nopember 2011)
Banyak kendala yang dihadapi pengembangan usaha ternak potong apalagi
sapi lokal. Sulawesi Selatan yang mempunyai satu jenis ternak sapi lokal yaitu sapi
bali juga menghadapi kendala yang banyak dalam perkembangannya. Kendala yang
dialami peternak sapi lokal diantaranya adalah rendahnya pertambahan berat badan
sapi, tingkat pertumbuhan sapi yang lambat, panjangnya jarak beranak pada sapi.
13
Selain kelemahan tersebut sapi Bali memiliki kelebihan yang luar biasa dibandingkan
dengan jenis sapi lainnya yaitu daya adaptasinya sangat baik dengan lingkungan
pemeliharaanya (Darma, 1997).
Aspek teknis telah banyak dibahas oleh peneliti sebelumnya, sumbangsih
perbaikan pada aspek kelembangan tampaknya akan menyempurnaan sapi Bali di
wilayah ini.
Tabel 2: Populasi sapi Bali/potong di Kabupaten Barru
No
Kecamatan
(1)
2011
2013
Pertumbuhan 2011-2013
Absolut
%
(5)
(6)
(2)
(3)
(4)
1
Tanete Riaja
10.247
10.035
-212
-2,07
2
Pujananting
9.636
9.827
191
1,98
3
Tanete Rilau
6.508
5.992
-516
-7,93
4
Barru
10.463
9.374
-1.089
-10,41
5
Soppeng Riaja
5.313
4.929
-384
-7,23
6
Balusu
5.000
5.008
8
0,16
7
Mallusetasi
6.382
6.445
63
0,98
Barru
53.549
51.610
-1.939
-3,62
Sumber: Sensus Pertanian 2013
3. Perumusan Masalah
Di Indonesia, diskusi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau
corporate social responsibility (CSR) semakin memuncak setelah berlaku UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kalau di negara lain,
CSR
perusahaan
umumnya
bersifat
voluntary.
Satu-satunya
negara
yang
memberlakukan CSR perusahaan secara mandatory adalah Indonesia. Masih banyak
perusahaan belum menjalankan program CSR sekalipun Undang-Undangnya telah
diberlakukan sejak tahun 2007. Undang undang tersebut mewajibkan Perseroan
14
Terbatas yang bidang usahanya terkait sumber daya alam wajib melaksanakan CSR
dan lingkungan, bahkan mewajibkan semua Perseroan Terbatas wajib melaporkan
pelaksanaan CSR dalam laporan tahunan.
Sekalipun Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan dan Lingkungan Perseroaan Terbatas telah tercatat pada
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2012, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5305 tertanggal 4 April 2012 telah diberlakukan.
Berbagai pihak belum sejalan dalam memahami Peraturan Pemerintah tersebut
(standar ganda). Kejelihan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengambil inisiatif
menerbitkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 45 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/Corporate Social Responsibility
di Sulawesi Selatan tertanggal 12 Nopember 2014.
Untuk mengimplementasikan Peraturan Gubernur tersebut, kemudian
diterbitkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2666/XI/Tahun 2012
tertanggal
12
Nopember
2012,
tentang
Pembentukan
Forum
Komunikasi
Penyelenggaraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Sulawesi Selatan.
Kepengurusan dan tugas sebagai berikut: Struktur Kepengurusan merupakan
gabungan antara pihak Pemerintah dan Pihak Swasta dengan tugas pokok
memfasilitasi penyelenggaraan program kegiatan CSR Perusahaan, kemitraan dan
Bina Lingkungan di Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya mensinergikan program
kegiatan perusahaan dengan program dan kegiatan Pemerintah Daerah dalam rangka
pelaksanaan pembangunan daerah yang lebih efektif dan terpadu.
Pada bagian keenam pasal 15 ayat 1 Peraturan Gubernur Provinsi Sulawesi
Selatan tersebut memerintahkan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota
untuk membentuk Forum Komunikasi dengan berpedoman pada Peraturan Gubernur
15
ini. Pada pasal 16 bagian ketujuh dijelaskan tentang pengendalian CSR dilakukan
oleh Forum Komunikasi CSR yang dibentuk pemerintah Provinsi. Sampai saat ini,
pemerintah kabupaten dan kota belum menindaklanjuti Peraturan Gubernur tersebut.
Berkaitan dengan sumber dan pengendalian pendanaan Forum Komunikasi
CSR ini tercantum dalam Bab VIII dari Peraturan Gubernur ini sebagai berikut
“Pembiayaan untuk pelaksanaan program tanggung jawab sosial, kemitraan dan bina
lingkungan perusahaan menjadi lingkup tanggung jawabnya dibebankan pada dana
tanggung jawab sosial, kemitraan dan bina lingkungan perusahaan yang
bersangkutan”. Seharusnya stakeholder co-sharing, tidak semata-mata dibebankan ke
sektor swasta?
Di sisi lain, tingkat Pemerintah Pusat masih diwarnai perbedaan pendapat
antara Kementerian. Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik dam masih
tarik-menarik antara: Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Sosial).
Kalangan dunia usaha dan industri sendiri juga belum menemukan formulasi yang
tepat untuk mengimplentasikannya. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia
membentuk Komite Tetap CSR beranggapan pemerintah terlibat terlalu jauh ke
dalam mencampuri urusan sektor swasta. Belum lagi terbentuk banyak organisasi non
pemerintah seperti
Indonesia Bisnis Link, CSR Plus dan Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO) dan lain lain.
Kenyataannya setiap perusahaan membuat penafsiran program CSRnya
masing-masing, sebagai bukti kurangnya sosialisasi. Di sisi lain, sebagai respon atas
intervensi pemerintah yang terlalu jauh memasuki sendi-sendi kehidupan sektor
swasta. Meskipun demikian, sektor swasta memiliki semangat sinergitik dengan
multistakeholder dalam menciptakan nilai bersama “value shared”, sesuai pendapat
16
Porter dan Kramer (2010). Di Provinsi Sulawesi Selatan, inisiatif perusahaan
melaksanakan CSR terlampau tertekan sebagai akibat adanya tekanan eksternal
sebagai akibat diberlakukan kedua aturan Gubernur tersebut secara masif melalui
hampir semua dinas terkait yang dikoordinatori oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal Daerah.
Mayoritas perusahaan menghamburkan dana CSR untuk sesuatu yang kurang
bermanfaat dan berkelanjutan, selain hanya menguntungkan sekelompok kecil pihak
eskternal yang kerap kali melakukan tekanan atau hal-hal yang bersifat kontigensi
sebagaimana yang dilaporkan Indonesia Bisnis Link (IBL, 2010) memberikan
gambaran overview mengenai penggunaan dana CSR melalui pollingnya sebagai
berikut: berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Dana CSR yang telah
dimanfaatkan oleh stakeholder mampu mendukung dan meningkatkan kesejahteraan:
36,36% responden menyatakan setuju; 36,30 menyatakan setuju dengan beberapa
perbaikan: 18,18% menyatakan tidak setuju, dan hanya 9,09% tidak memberikan
pendapat.
Belajar dari pengalaman salah satu perusahaan industri susu terbesar di dunia
“Nestle”, yang sejak satu dekade belakangan ini menerapkan model CSR Perusahaan
agribinis yang oleh Porter dan Kramer (2010) disebut “Corporate Shared Value
(CSV)”. CSV sebetulnya merupakan metamorfosis dari CSR, oleh Visser (2010)
disebut era pemasaran dalam CSR 1.0. Persamaan antara CSR dan CSV sama-sama
mempercayai patuh pada hukum, etika dan meminimalkan dampak negatif.
Ketidaksamaannya, CSR memiliki nilai untuk melakukan kebaikan filantrofi dan
charity, sementara CSV berupaya meningkatkan keuntungan ekonomi dan sosial
relatif dari biaya dan strategi bersaing. CSV menekankan penciptaaan nilai bersama
antara perusahaan dan stakeholder, sedangkan CSR merupakan discretionary atau
respon dari tekanan eksternal.
17
Model tatakelola dan strategi pemanfaatan dana CSR untuk perberdayaan
ekonomi lokal pada bidang peternakan menjadi tuntutan ditemukannya kebutuhan
model CSR Perusahaan pada agribisnis peternakan yang berkelanjutan.
Sejalan
dengan pemikiran Visser (2010) model CSR 1.0 mengalami masalah yang
berkembang luas dan tanpa kendali ke seluruh bidang kehidupan, perubahan yang
terjadi sebagai akibatnya hanya bersifat inkremental, sukarela dan periferik, tidak
terintegrasi ke dalam core business sesuai prinsip-prinsip CSR 2.0.
Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
kontribusi
dalam
menumbuhkan pandangan kritis terhadap strategi dan implementasi pemanfaatan
CSR perusahaan pada usaha ternak sapi Bali/potong di Kabupaten Barru Provinsi
Sulawesi Selatan.
Dari berbagai kelemahan strategi dan implementasi CSR perusahaan pada
agribisnis peternakan dan terbatasnya “best practice” , maka menjadi sangat relevan
untuk mengkaji model kelembagaan CSR perusahaan di Indonesia. Kinerja
implementasi CSR perusahaan yang akan menjadi kebutuhan di masa yang akan
datang walaupun kenyataannya kinerja CSR perusahaan masih banyak kelemahan.
Model kelembagaan CSR perusahaan masih belum sesuai dengan ketersedian
potensi
CSR di Indonesia, perlu alternatif pemecahan pemanfaatannya. Biaya
trasaksi yang dikeluarkan oleh sektor swasta pada kelembagaan CSR seperti Forum
Komunikasi CSR Provinsi Sulawesi Selatan harus dihitung untuk mengestimasi
biaya-biaya yang diperlukan dalam men-set-up model ini ke seluruh wilayah provinsi
Sulawesi Selatan, jika model ini dianggap sebagai model yang sesuai dan
implementatif. Penguatan model kelembagaan CSR perusahaan dalam meningkatkan
kinerja CSR dan skenario biaya transaksi CSR sangat diperlukan. Oleh karena itu
18
yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana model strategi dan implementasi
CSR pada perusahaan agribisnis peternakan.
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah mengevaluasi kinerja usaha ternak sapi Bali/potong atau
pemanfaatan CSR insitusi/perusahaan dalam meningkatkan produksi sapi
Bali/potong di daerah atau kluster sapi Bali di Sulawesi Selatan.
2. Bagaimanakah
merumuskan
model
kelembagaan
tata
kelola
CSR
institusi/perusahaan sebagai mandatori pada usaha ternak sapi Bali/potong di
Sulawesi Selatan.
3. Bagaimana mengestimasi biaya transaksi (transaction cost) yang diperlukan untuk
meng-set up kegiatan usaha ternak sapi guna mencapai penguatan kelembagaan
CSR institusi/perusahaan di daerah penelitian.
4. Orisinalitas Penelitian
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang potensi
pendistribusian dana CSR terbesar dan terpenting di Kawasan Timur Indonesia.
Sampai saat ini, belum ditemukan satupun penelitian atau kajian mendalam tentang
strategi dan implementasi CSR perusahaan pada agribinis peternakan di Indonesia,
khususnya penguatan kelembagaan ditinjau dari kinerja CSR perusahaan dan
stakeholder (Visser 2010). Studi empiris ini diharapkan mendapatkan temuan yang
baru di lapangan guna merancang skenario penguatan kelembagaan CSR perusahaan
untuk meningkatkan kinerja produktivitas agribisnis peternakan.
Dari penelitian terdahulu dilaporkan bahwa faktor-faktor yang mempengahuhi
peningkatan kinerja CSR perusahaan relatif tidak sama antara wilayah kerja yang satu
dengan yang lainnya. Sebagian peneliti (Visser, 2010) mempertanyakan mengapa
CSR gagal mengatasi masalah yang diklaim paling prihatin yaitu bertahap, periferal
19
dan tidak ekonomis. Selanjutnya diterangkan oleh Visser bahwa mutlak diperlukan
perubahan cara menelaah praktek CSR perusahaan disebut era transformative atau
responsiveness, dan akhirnya cara melakukan kelembagaan bisnis pada transformasi
pada masa atau era CSR 2.0.
Dari penelitian terdahulu dapat dirangkum tiga aliran pemikiran mengenai
corporate responsibility (CSR) perusahaan. Yang pertama mewakili oleh golongan
yang
tidak
setuju
dengan
CSR,
menyatakan
bahwa
perusahaan
hanya
bertanggungjawab kepada shareholder. Pemikiran ini diwakili oleh Friedman (1970),
Riyadi (2008). Golongan kedua mewakili konfromistis antara Lorenzo (2004),
Heyder dan Theuvsen (2008), Udayasamber (2007) mewakili golongan yang dikenal
dengan penganut atau golongan pendukung “lisence to operate”, golongan
pendukung CSR: Porter dan Kramer (2002: Blowfield dan Frynas (2005)
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yaitu:
1. Mengevaluasi kinerja usaha ternak sapi Bali/potong atau pemanfaatan CSR
insitusi/perusahaan dalam meningkatkan produksi sapi Bali/potong di daerah atau
kluster sapi Bali di Sulawesi Selatan.
2. Merumuskan model kelembagaan tata kelola CSR institusi/perusahaan sebagai
mandatori tata usaha ternak sapi Bali/potong di Sulawesi Selatan.
3. Mengestimasi biaya transaksi (transaction cost) yang diperlukan untuk meng-set
up kegiatan usaha ternak sapi guna mencapai penguatan kelembagaan CSR
institusi/perusahaan di daerah penelitian.
20
b. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Menjadi guideline best practices bagi pemanfaatan CSR perusahaan pada
peternakan sapi potong.
2. Manfaat teoritis yaitu memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan mengenai
strategi dan implementasi tatakelola dan perumusan model CSR perusahaan pada
agribisnis peternakan.
3. Manfaat praktis yaitu memberikan pedoman atau referensi kepada pemerintah dan
dunia usaha sebagai pengaturan pelaksanaan implementasi corporate social
responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaaan dalam menerapkan model
CSR yang benar.
21
METODE PENELITIAN
1. Kerangka Pemikiran Teori
Penelitian
ini,
menggunakan
metode
gabungan/mixed
method
yaitu
penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif. Denzin (1978: Creswell et al., 2007)
menggunakan istilah triangulasi untuk mengkomfilasi penggunaan metode gabungan
dalam suatu penelitian. Metode gabungan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif sebegai metode utama dan metode kualtitatif sebagai metode
pengayaannya.
Metode kuantitatif digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang kinerja
CSR perusahaan dan estimasi biaya transaksi untuk merumuskan kelembagaan baru
di lokasi penelitian. Namun, untuk mengukur semua jawaban tidak semuanya dapat
dikuantitatifkan sehingga perlu dikonformasi atau diperbandingkan dengan
pendekatan kualitatif atau dikualitatifkan. Oleh sebab itu, maka kedua metode ini
diadopsi secara kontektual. Metode kualitatif digunakan atas beberapa pertimbangan
yaitu, diantaranya untuk memahami kenyataan atau ketika berhadapan dengan
kenyataan ganda (Creswell et al., 2007).
Metode kualitatif digunakan dalam kaitannya dengan kebutuhan menjawab
pertanyaan tentang karakteristik CSR perusahaan secara ekonomi maupun sosial, dan
kelembagaan sesuai fokus di daerah penelitian.
2. Definisi Variabel dan Pengukuran Data
Variabel yang digunakan dalam penelitian tertera dalam tabel 3 berikut:
22
Tabel 3. Variabel, Dimensi dan Indikator Instrumen Peneltian
No.
1.
Variabel
Kinerja CSR
Dimensi dan Indikator
Faktor CSR
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Referensi
Visser et al., (2012)
Creativity
Scalabity
Responsibility
Glocabilty
Circularity
2.
Merumuskan
institusi
Jumlah
Kualifikasi kompetensi
Pembiayaan
Dukungan Pemda
Dukungan Organisasi Bisnis
Konsistensi Kebijakan
3.
Biaya Transaksi
 Pengumpulan informasi:
KelembagaanCSR
a) Pasar
b) Teknologi baru
c) Mitra Produksi
d) Petani
Visser et al., (2013)
Abdullah, et al
1998, Williamson,
1998,
Sucihatiningsih
2010
 Pembuatan Keputusan
1)
2)
3)
4)
Kesepakatan program CSR
Partisipasi pada aktivitas
Komunikasi keputusan
Koordinasi pusat dan daerah
 Biaya Operasional
1) Pelaksanaan program CSR
2) Monitoring & Evaluasi
3) Operasional Kelembagaan
Sumber: diolah dari sumber: Sucihatiningsih 2010, Deptan, 2008: Rahim M. Sail, 2008;
Abdullah, et al, 1998; Williamson 1998
23
3. Penentuan Lokasi dan Sampel Penelitian
Sampel penelitian meliputi petani-peternak, petugas lapangan CSR, divisi
CSR atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap akvitas CSR. Penentuan sampel
dipilih dengan metode multiple stage sampling yaitu sampel ditarik dari kelompok
populasi tetapi tidak semua anggota populasi menjadi anggota sample (Zikmund,
1994: Kuncoro, 2003). Tahap-tahap penentuan sampel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: Tahap pertama, pemilihan institusi atau perusahaan model yang
merupakan representasi pionir aktivitas CSR di Provinsi Sulawesi Selatan. Insitusi
perusahaan dipilih sebagai unit analisis atau responden dipilih berdasarkan kriteria
bahwa perusahaan tersebut secara aktif melaksanakan dan mempromosikan CSR.
Sesuai pendapat Sedarmayanti dan Hidayat (2002) yang mendifinisikan populasi
adalah himpunan keseluruhan karakteristik dari objek yang di teliti, dan pengertian
lain dari populasi adalah keseluruhan atau totalitas objek psikologis yang dibatasi
oleh kriteria tertentu. Dipilih BI sebagai pionir pelaksana CSR di Sulawesi Selatan.
Dipilih satu institusi yang merupakan representatif-koordinatif dari lembaga jasa
keuangan yaitu Bank Indonesia.
Tahap kedua, menentukan program CSR yang merupakan representasi kluster
pada bidang usaha peternakan. Pemilihan aktivitas CSR representatif terkait
dilakukan secara purposive, didasarkan pada proyek-proyek CSR yang dilaksanakan.
Tahap ketiga, memilih sampel petani-peternak, petugas lapangan CSR,
responden dan informan. Sampel petani-peternak dipilih secara purposif dengan
pertimbangan bahwa petani-peternak yang mengelola usaha peternakan di lokasi
penelitian: dapat mewakili semua golongan petani-peternak yang ikut dalam aktivitas
CSR perusahaan dalam kluster tersebut . Untuk petugas lapangan CSR dipilih secara
purposif dengan alasan petugas tersebut mempunyai komitmen dalam melaksanakan
aktivitas CSR institusi/perusahaan yang representasi.
24
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara, observasi, data sekunder, dan FGD (Focus Group Discusssion).
4.1 Wawancara
Metode ini dipersiapkan melalui beberapa tahapan meliputi: pembuatan
rancangan kuesioner/angket, ujicoba dan pelaksanaan di lapangan dengan
menyebarkan langsung kepada responden. Pada tahap awal, peneliti membuat draft
kuesioner yang akan disebarkan di lapangan dengan bantuan enumerator. Pembuatan
rancangan kuisioner ini disesuaikan dengan kondisi responden di lapangan sehingga
memudahkan tingkat pemahaman responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dalam kuisioner. Selanjutnya, kuisioner diuji coba ke beberapa responden.
Sebelum uji coba enumerator diberikan latihan perbekalan (coaching) terlebih dahulu
sebagai cara mengantisipasi kesalahan ketika terjun ke lapangan nanti. Pelatihan ini
berisi tentang bagaimana cara melakukan penyebaran kuesioner dan menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner.
Tahap berikutnya adalah pengumpulan data oleh enumerator melaluii
pengisian kuesioner oleh responden. Enumerator bertugas sebagai pendamping dalam
proses pengisian kuesioner. Jika ada
responden yang kurang paham tentang isi
kuesioner, maka dapat diantisipasi langsung oleh enumerator. Wawancara atau
interview, mencakup cara yang dipergunakan seseorang, untuk tujuan mencoba
mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan
bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu (Sekaran, 2002: Arikunto, 2006).
Subjek penelitian ini adalah petani-peternak dan petugas lapangan CSR di wilayah
kluster sapi potong. Sedangkan informan mencakup beberapa pihak seperti tokoh
pemerintahan Desa atau tokoh masyarakat, dinas-dinas terkait, dan lain sebagainya.
Informan digunakan untuk mendukung pencarian data di lapangan. Wawancara ini
25
dilakukan dengan mendalam “ indepth interview”, menanyakan tentang beberapa hal
yang secara kuantitatif tidak dapat terungkap, antara lain: karakteristik petanipeternak secara sosial dan budaya, kemampuan petani-peternak dalam menjaga
eksistensinya di dalam usaha ternak potong, hubungan atau interaksi petani-peternak
dengan petugas lapangan CSR, proses beternak dan strategi adaptasi petani-peternak
dalam mengantisipasi masalah-masalah peternakan, dan sebagainya.
Wawancara dilakukan dengan dua model, yaitu model wawancara personal
dengan indepth interview dan wawancara dengan sistem Focus Group Discussion
(FGD). Wawancara personal dilakukan dengan petani-peternak dan petugas lapangan
CSR di rumah masing-masing dan di tempat kerja secara tatap muka secara pribadi
dan mendalam, wawancara dengan sistem FGD dilakukan secara serentak atau
simultan dalam satu tempat dan kondisi dimana di dalamnya terdapat petani-peternak,
petugas lapangan CSR dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya.
4.2 Observasi
Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap fenomena yang akan
dikaji, dalam hal ini berarti peneliti terjun langsung dalam lingkungan masyarakat.
Menurut Arikunto (2006) observasi langsung adalah pengamatan dan pencatatan yang
dilakukan terhadap obyek di tempat kejadian atau berlangsungnya peristiwa, sehingga
observasi bersama objek yang diselidiki. Observasi digunakan untuk lebih
mendapatkan gambaran nyata di lapangan dilakukan dengan cara: observasi non
partisipan, observasi semi partisipan, dan observasi partisipan.
Kegiatan oservasi ini digunakan untuk pengumpulan bahan/data mengenai
kinerja CSR Perusahaan terpilih dan hubungannya dengan petani-peternak. Observasi
dilakukan dalam beberapa aspek, yaitu:
26
1) Kondisi dan geografis dan keadaan alam di lokasi penelitian
2) Kondisi lahan pertanian-peternakan di masing-masing daerah penelitian.
3) Kondisi sosial, budaya dan ekonomi di masyarakat sasaran penelitian
4) Cara kerja petani-peternak dalam usaha peternakan serta strategi produksi di
masing-masing lokasi penelitian
5) Hubungan sosial antara satu peternak dengan peternak lainnya, peternak dengan
petugas lapangan CSR perusahaan.
6) Proses panen dan pemasaran hasil produknya.
7) Pola kerja petugas lapangan CSR perusahaan di kantor maupun di lapangan.
8) Kebiasaan-kebiasaan atau perilaku yang dilakukan oleh petani-peternak dalam
menghadapi masalah produksi dan pemasaran.
4.3 Data Sekunder
Data
sekunder
berupa
dokumentasi.
Dokumentasi
merupakan
cara
mengumpulkan data melalui penanggalan tertulis, seperti dokumen, arsip-arsip, bukubuku tentang pendapat teori, hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah
penelitian
(Arikunto,
2006).
Dokumentasi/studi
literatur
dilakukan
dengan
mengambil data dari dinas instansi terkait seperti Biro Pusat Statistik, Laporan
Institusi/Perusahaan, Forum komunikasi CSR, KADIN, dan IBL, Dinas terkait
lainnya serta dari jurnal dan atau bahan publikasi lainnya yang relevan. Studi literatur
digunakan untuk penggalian bukti-bukti historis dan studi kebijakan lokal, regional,
nasional dan global.
Data sekunder dalam penelitian meliputi antara lain; (1) Jumlah perusahaan
yang melaksanakan CSR di Provinsi Sulawesi Selatan, (2) Data APBN dan APBD
Provinsi Sulawesi Selatan, (3) Program CSR perusahaan pada usaha peternakan
maupun yang bukan atau agribisnis, (4) Profil masing-masing perusahaan yang
dipilih.
27
Studi literatur juga digunakan untuk menjawab latar belakang penelitian
tentang kinerja usaha peternakan sapi Bali/potong di lokasi penelitian. Data kinerja
CSR agribisnis menggunakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heyder dan
Teuvsen (2009) dan Visser (2012) di beberapa negara di Eropa.
4.4 Focuss Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) dan/sharing pendapat, yakni melakukan
brainstorming dan dialog dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dengan
masalah-masalah penelitian dengan unsur akademisi (A), bisnis (B), pemerintahan
(G) dan masyarakat terkait (C). FGD bermanfaat untuk mengetahui kebenaran data
pada orang-orang di luar responden, seperti petugas lapangan CSR bukan responden
dan para punggawa atau leader CSR. Melalui sistem FGD ini, ditanyakan beberapa
hal yang terkait dengan fokus penelitian sehingga dalam satu waktu tersebut peneliti
langsung mendapatkan data dengan cepat, akurat dan efektif. Selain itu, penggunaan
FGD ini akan mampu memberikan solusi kepada pihak petani-peternak maupun
petugas lapangan guna meningkatkan produktivitas usaha peternakannya di lokasi
masing-masing.
5. Analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif
kuantitatif-kualitatif. Sebelum menjawab tujuan penelitian pertama dilakukan adopsi
penelitian terdahulu mengkaji kinerja CSR perusahaan pada agribisnis peternakan di
tiga perusahaan atau institusi penelitian. Sebagai latar belakang penelitian ini dikaji
kinerja CSR perusahaan pada agribisnis peternakan, dilihat dari model dari hasil
penelitian dilakukan Susilowati et al (2008) dan Sucihatiningsih (2010) kinerja
penyuluh pertanian di Jawa Tengah.
28
5.1 Analisis Statistik Deskriptif
Pendekatan analisis statistik deskriptif digunakan untuk menjawab tujuan
kedua dengan dilakukan survei dan didukung oleh FGD serta indepth interview
dengan keyperson pada institusi/perusahaan terpilih. Pendekatan mixed method
digunakan untuk mengevaluasi kinerja CSR dalam peningkatan produktivitas usaha
peternakan sapi potong. Untuk menjawab tujuan ketiga yaitu merancang model
penguatan kapasitas kelembagaan CSR usaha peternakan sapi potong dilakukan
dengan melakukan analisis temuan-temuan di lapangan melalui beberapa skenario.
5.2 Analisis Deskriptif Kualitatif
Pendekatan analisis kualitatif digunakan untuk melengkapi dan mendukung
kekayaan data pada analisis kuantitatif. Untuk mendapatkan informasi dalam analisis
kualitatif dilakukan melalui FGD dan indepth interview. FGD dikuti oleh petanipeternak, petugas lapangan CSR, representatif dari perusahaan pelaksana CSR, dinas
terkait, sedangkan indepth interview dilakukan dengan keyperson petani-peternak dan
petugas lapangan CSR. Analisis ini digunakan untuk mempertajam deskripsi tentang
peran petugas lapangan CSR hubungannya dengan materi dan respon petani-peternak
partisipannya?
6. Analisis Biaya Transaksi
Analisis ini digunakan untuk mencari besaran biaya transaksi kelembagaan
CSR usaha ternak sapi potong pada tujuan penelitian ketiga. Biaya transaksi
diidentifikasi
berdasarkan
model
CSR
yang
eksis
di
Indonesia
pasca
diberlakukannya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.
Untuk mengestimasi nilai biaya transaksi dalam membangun model CSR usaha
ternak sapi Bali/potong penelitian ini mengadopsi model dari teknik transaction
29
costs dari Abdullah et al (1998) dan Sucihatiningsih (2010). Biaya transaksi dari
suatu pertukaran merupakan karakteristik biaya transaksi kelembagaan. Secara rinci
kategorisasi biaya transaksi kelembagaan penyuluh pertanian dalam penelitian ini
tersaji dalam tabel 3 tersebut di atas.
Biaya transaksi terdiri dari biaya informasi, biaya pembuatan keputusan, dan
biaya operasional (Tabel 3). Biaya informasi adalah biaya pengumpulan informasi
yang diperlukan dalam mengelola suatu sistem agar dihasilkan keputusan yang
efisien. Biaya pembuatan keputusan adalah biaya yang ditimbulkan dalam
pembuatyan kesepakatan antara stakeholder kelembagaan CSR. Biaya operasional
adalah biaya yang digunakan untuk melaksanakan dan memonitor kegiatan-kegiatan
kelembagaan penyuluhan (Abdullah 1998: Sucihatiningsih, 2010).
30
Roadmap Penelitian = Kinerja
Kelembagaan CSR
Tujuan Penelitian:
1. Mengevaluasi Kinerja / Compliance CSR sebagai
mandatori di Indonesia
Kinerja Kelembagaan CSR
Jawa Timur or Jawa Tengah
CSR Perusahaan Berbasis
Sumber Daya Alam
UU No.40 Tahun 2007 ayat 72
•
•
Penelitian Terdahulu :
•
•
By secondary
data
Perusahaan Berbasis Agrobisnis
Perusahaan Berbasis Tambang dan
Migas
Perusahaan Berbasis Jasa Keuangan
Perusahaan Berbasis Industri Jasa
Lainnya
Fakta
25 – 30%
•
•
•
•
•
Sedikit Perusahaan
…………………………..
…………………………..
………………………..…
………………………..…
CSR coverage
Efektif (% ?)
Kriteria
CSR
•
•
•
•
Standar CSR
Dunia
Standart Code of Conduct
Model Cache (Standart Accountability 2000
Model Kinerja PRISM
Victorial Project Analysis (IFS Keberhasilan)
2. Mengetahui intensitas Pelaksanaan CSR di
Perusahaan Agribisnis
Umum
CROPPING
Jangka Pendek
Peternakan Agribisnis
Referensi khusus dalam
bidang agribisnis
% ……………
Ukuran intensitas
Data
Sekunder
Profil User
 ………………………………….
 ..………………………………..
 ………………………………….
 ………………………………….
 ………………………………….
 ………………………………….
Rujukan
Profil CSR
 ………………………………….
 ..………………………………..
 ………………………………….
 ………………………………….
 ………………………………….
 ………………………………….
Atribut
 ………………………………….
 ..………………………………..
 ………………………………….
 ………………………………….
 ………………………………….
 ………………………………….
Intensitas
Pelaksanaan
Tingkat Kegagalan
Tinggi
Model
Proche
< 50%
Manageable
Berhasil
Tidak
manageable
Tinggalkan / Stop
CSR
Mengidentifikasi
kesempatan untuk
perbaikan
Revisi/Improved
Pertahankan
Keberlanjutannya
Company Benchmark /
ISO 26000
Quality Assurance
Prospek ke depan
Kelembagaan
Management
Governance
Compliance
3. Merumuskan Model CSR
Agribusiness
Existing Model
1.
2.
3.
…………………….……….
..……………….………..
………………….………….
Skema Baru
1.
2.
3.
How to improved
Model Improved
Stop
…………………….……….
..………………….……..
………………….………….
Success Strategy of
the Model
Mempertahankan
Keberlanjutannya
Model X
FGD + indepth interview + AHP
4. Memformulasi Strategi dan Implementasi
Keberhasilan Model CSR
STRATEGI KEBERHASILAN IMPLEMENTASI CSR
31
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Carrol, A.B. 2004. Managing Ethically With Global Stakeholders: A Present and
Future Challenge. Academy of Management Executive: 18(2), pp.114-120.
Chambers, E, W. Chapple, J. And M. Sullivan.
2003. Corporate Social
Responsibility in Asia: A seven country study of CSR website reporting,
retrieved
on
August
15,
2004.
Available
at
www.nottingham.ac.uk/business/ICCSR/09-2003.PDF.L.
Creswell, John W.,Clark, Vicky L. Plano. 2007. Designing and Conducting Mixed
Metodes Reasearch America. University Nebraska=Lincoln
De Bakker, F.G, P. Groenewegen, and F. Den Hond, 2005. A Bibliometric Analysis
of 30 Years of Research and Theory on Corporate Social Responsibility and
Corporate Social Performance, in: Business and Society, 44 (3), pp. 283-317.
Elkington, J. 1997. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st century
business. Capstone: Oxford.
___________. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business. Gabriola Island, BC, Canada: New Society Publishers.
Fajar, M.N.D. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia: Studi tentang
Penerapan Ketentuan Corporate Social Responsibilty pada Perusahaan
Multinasional, Swasta Nasional dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Friedman, M. 1970. The Social Responsibility of Business is to Increase Its Profits.
The New York Times Magazine: September 13.
Ganzi, J. 2006. Sustainable Agriculture, Corporate Social Responsibility (CSR) & the
Private Sector of the Financial Services Industry. Public Private Partnerships
for Sustainable Development in the Americas. Organization of American
States.
Handy. C. 2003. What’s a Business For ? Harvard Business Review on Corporate
Responsibility. Boston, Harvard Business School Publishing Corporation.
32
Hess, D. 1999. Social Reporting: A Reflexive Law Approach to Corporate Social
Responsiveness. Journal of Corporation Law, 25(1): 41-84.
Heyder, M, and L. Theuvsen. 2009. Legitimating Business Activities Using
Corporate Social Responsibility: Is there a Need for Corporate Social
Responsibility In Agribusiness. In, : Fritz, M., U.Rickert, and G. Schiefer.
(eds.): System Dynamics and Innovation in Food Networks 2008, ILB, Bonn,
pp. 175-188.
Hill, C.W.L. 2000. International Business: Competing in the Global Marketplace. The
McGraw-Hill Higher Education Press.
Hind, P. 2004. The Impact of Corporate Social Responsibility Strategy on the Real
Practice of Management: A Cross Cultural Study, IAMB Conference, Las
Vegas, November
Hofstede, G. 1980. Culture's Consequences: International Differences in Work
Related Values, Sage Publications, Beverley Hills, California.
Hofstede, G. 1991. Cultures and Organizations: Software of The Mind: Intercultural
cooperation and Its Importance for Survival. New York: McGraw-Hill.
Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2666/XI/Tahun 2012. Tentang Fokum
komunikasi Corporate Social Responsibity perusahaan di wilayah provinsi
Sulawesi Selatan.
Kotler, P and N. Lee. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good
for Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons.Inc, New Jersey.
Levy, D.L. 2011. Private Sector Governance for a Sustainable Economy: A Strategic
Approach. Review of Policy Research 28(5), 487-493
Maignan, I. and 0.C. Ferrell. 2004. Corporate Social Responsibility and Marketing:
An Integrative Framework. Journal of Academy of Marketing Science, 32:1,
pp. 3-19.
Mohan, A. 2001. Corporate Citizenship: Perspectives from India. Journal of
Corporate Citizenship, Spring, pp 107-117.
Moon, J. 2002. ‘Business Social Responsibility and New Governance’ Government
and Opposition 37: 3 385 – 408.
33
Moon, J. 2002. Government As A Driver of Corporate Social Responsibility.
Research Paper Series of ICCSR
________. 2006. Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage
and Corporate Social Responsibility. Harvard Business Review. Available at
www.hbr.org
Munier.N. 2007 Introduction to Sustainability: Road to a Better Future, Ontario,
Springer.
Munthe.M.G. 2007. Pemberdayaan Usaha Kecil Swasta. Harian Bisnis Indonesia.
Jakarta.
Nindita, R.M. 2008. Corporate Social Responsibilty Untuk Pemberdayaan Ekonomi
Lokal”. Jakarta: Indonesia Business Links.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan dalam lingkungan Perseroan Terbatas. Dala, lembaran negara
nomor 89 tahun 2012.
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan nomor 45 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan tertanggal 12 Nopember
2014-02-09.
Porter. M.E. and M.R. Kramer 2003. The Competitive Advantage of Corporate
Philanthrophy. Harvard Business Review on Corporate Responsibility.
Boston, Harvard Business School Press.
Prahalad. C.K. and A. Hammond 2003. Serving the World’s Poor, Profitability.
Harvard Business Review on Corporate Responsibility. Boston, Harvard
Business School Publishing Corporation.
Priyanto. A, T.S. Permana, E. Wahono, A. D. Purwandari, A.D. Adipurna, A.
Aminullah dan A. Sutrisna. 2007. Perkembangan Indikator Makro Usaha
Kecil Menengah Tahun 2007. Jurnal SM-21, 5.
Raynard, P, and M. Forstater. 2002. Corporate Social Responsibility: Implications for
Small and Medium Enterprises in Developing Countries, United Nations
Industrial Development Organization, Retrieved on August 11, 2004.
Availbale at www.unido.org/userfiles/BethkeK/csr.pdf.
34
RSW. 1993. Cause Related Marketing: A Survey of American Customers’ Attitude.
Roper Starch Worldwide, RSW Inc., New York.
Sach, J.D. 2005. The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time, London,
The Penguin Press.
Slater, A. 2004. GRI’s Economic Performance Indicators: Measuring Impacts One
Stakeholder at a Time. Accountability Forum.
Susanto, A.B. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility: Pendekatan
Strategic Management dalam Corporate Social Responsibility. Jakarta:
Erlangga.
Soeharto, E. 2008. Corporate Social Responsibility : What is and benefits for
Corporate. Jakarta : Majalah Bisnis dan CSR Vol 1 No 4.
Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Spiller, A. and J.G. Schramm. 2004. Trust in Certification Procedures: An
Institutional Economics Approach Investigating the Quality of Audits Within
Food Chains. Paper presented at 14th IAMA Conference, June 12-15, 2004,
Montreux, Switzerland.
Sucihatiningsih, D.W.P. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyuluh
Pertanian Dalam Meningkatkan Kinerja Usahatani: Studi Empiris Di Provinsi
Jawa Tengah. Universitas Diponegoro Semarang. Disertasi Doktor.
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Visser, Wayne. 2012. The Age of Responsibilty: CSR 2.0 and the New DNA of
Business. Journal of Business Systems, Governance and Ethics. Volume 5
No.3. P.7-22
Warhust, A. 2001. Corporate Citizenship and Corporate Social Investment: Drivers of
Tri-Sector Partnerships”, Journal of Corporate Citizenship, Spring, pp 57-73.
Definition of Emerging Economies, Global Economic Prospects and the
Developing Countries, World Bank, (2002), Retrieved on August 13, 2004.
Available
at
www.sustainability.com/
developing-value/definitionemerging.asp
35
WBCSD. 2002. The Business Case for Sustainable Development: Making a
Difference Towards the Johannesburg Summit 2002 and Beyond. World
Business Council for Sustainable Development, Geneva, Switzerland.
World Bank. 2002. Public Sector Roles in Strengthening Corporate Social
Responsibility. Baseline Study, Washington D.C.
36
Download