posisi birokrasi dalam persaingan politik pemilukada

advertisement
Prayudi
POSISI BIROKRASI DALAM
PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA
Diterbitkan oleh:
P3DI Setjen DPR Republik Indonesia
dan Azza Grafika
2013
Judul:
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pemilukada
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
vi+145 hlm.; 17x24 cm
ISBN: 978-979-9052-88-9
Cetakan Pertama, 2013
Penulis:
Prayudi
Penyunting:
A. Muchaddam Fahham
Desain Sampul:
Fery C. Syifa
Tata Letak:
Zaki
Diterbitkan oleh:
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia
Gedung Nusantara I Lt. 2
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270
Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245
Bersama:
Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/DIY/2012
Kantor Pusat:
Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta
Telp. +62 274-6882748
Perwakilan Jabodetabek:
Graha Azza Grafika Perumahan Alam Asri
B-1 No. 14 Serua Bojongsari Kota Depok 16520
Telp. +62 21-49116822
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
KATA PENGANTAR PENULIS
Era otonomi daerah yang berkembang luas saat ini telah melahirkan
optimisme bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Hal yang mendasar dari
optimisme semacam ini tentu didasari oleh keinginan kuat dalam rangka
mendorong partisipasi rakyat dalam proses pengambilan kebijakan yang
lebih luas dibandingkan saat sistem sentralisasi pernah diterapkan di masa
sebelumnya. Pemilukada menempatkan keinginan partisipasi rakyat tersebut
menjadi hal yang paling menentukan dalam menggerakkan instrumen politik
partisipasi rakyat lainnya dalam pemerintahan. Kekuatan mesin penggerak
partisipasi politik dari pemilukada juga dituntut untuk bersinergi secara positif
bagi kinerja birokrasi pemerintah daerah (pemda) yang dapat melaksanakan
tugas dan kewenangan masing-masing unit organisasinya secara profesional.
Kondisi birokrasi yang professional menjadi salah satu ciri dari kapasitas dan
sekaligus kemampuan dari jajaran aparatnya dalam memberikan pelayanan
publik secara maksimal serta berusaha steril dari segala macam intervensi
politik kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Konteks tuntutan professional kinerja birokrasi dan posisinya yang netral
dalam politik, tampaknya masih menjadi sesuatu yang rentan di kurun waktu
penyelenggaraan pemilukada. Jaringan patronase politik dari para elit baik
di pusat maupun di daerah masih menjadi faktor determinan dalam alokasi
resources birokrasi yang seharusnya mampu berperilaku atas dasar bagi
kepentingan seluruh elemen masyarakat lokal, tanpa kecuali. Ruang lingkup
jaringan patronase politik tersebut bukan berjalan dalam poros yang tunggal,
melainkan berkembang secara beragam, dan ini menjadi warna persaingan
antar kekuatan politik dan masing-masing pasangan calon yang dijagokannya.
Spektrum politik persaingan tidak saja berlangsung dalam tataran formal
antar kekuatan politik partai atau gabunganpartai, maupun melalui jalur
perseorangan, tetapi juga secara operasional politik dengan membawa serta
para pendukung tim suksesnya yang berada dalam skala yang luas,
Sebagai akibat dari campur tangan politisi ke dalam birokrasi, maka iklim
persaingan di antara para birokrat pun menjadi tidak sehat. Bukan hal aneh,
ketika usai pemilukada, berbagai pergeseran dan mobilitas karier antar aparat,
serta bahkan tindakan emosi, terjadi di antara mereka yang sebelumnya
dianggap pendukung atau sebaliknya sebagai bukan merupakan pendukung
iii
kepala daerah pemenang pilkada. Iklim persaingan semacam ini jelas dapat
merusak jalur perjalanan karier pegawai negeri sipil (PNS) di daerah yang
sudah di desain dalam format birokrasi secara profesional. Di samping itu,
beban anggaran negara di APBD dan APBN juga menjadi persoalan tersendiri,
ketika kepala daerah harus mengakomodasi paraloyalisnya untuk juga masuk
ke birokrasi, menduduki pos-pos strategis, dan bahkan terbanyak adalah
melalui jalur tenaga honor setempat.
Pola pengisian formasi PNS sebagai akibat pemilukada yang sarat dengan
potensi politik uang jelas tidak akan menempatkan birokrasi yang berperan
sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Sebaliknya, birokrasi menjadi
sangat berorientasi kepada kekuasaan dan biasanya mentransformasikan
kepentingan rezim pengusaha-penguasa dalam proses pengambilan kebijakan.
Hal ini tidak lain dari cerminan lemahnya fundamental politik kepartaian di
Indonesia dan pola demokrasi lokal yang masih berada di tingkatan prosedural.
Taruhan bagi peran birokrasi sebagai agent of society development yang gagal,
adalah posisi kepentingan pelayanan publik menjadi sangat minim. Apalagi,
dengan pendanaan politik pemilukada yang sarat dengan dugaan politik uang
yang merupakan hasil korupsi, peran ini menjerumuskan otonomi daerah
menjadi sekedar ajang bagi-bagi kekuasaan dan uang di antara aktor-aktor
politik yang terlibat.
Menyadari bahaya dari jebakan politik partisan tadi, maka sudah tentu
reformasi pilkada melalui ketentuan perundang-undangan dan perilaku
politik lokal yang kondusif bagi kematangan pemerintahan daerah, menjadi
jawaban yang sangat bermakna strategis. Buku ini mencoba menguraikan
aspek-aspek persoalanitu, dan sekaligus elaborasi lebih lanjut dari setiap halhal yang mendasar dari jawaban reformasi pemilukada dimaksud.
Jakarta, 2013
Penulis,
Prayudi
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Penulis........................................................................................................... iii
Daftar Isi..........................................................................................................................................v
BAB IPENDAHULUAN................................................................................................. 1
1. Agenda Politik Pemilukada................................................................... 1
2. Potensi Pemanfaatan
sebagai Instrumen Politik..................................................................... 2
3. Pemikiran Teoritis.................................................................................... 2
BAB II
BAB III
DINAMIKA POLITIK SAAT
MEMASUKI ERA REFORMASI.................................................................... 7
1. Pengorganisasian Birokrasi Pemda.................................................. 7
2. Executive Ascedency dan
Retorika Netralitas Politik...................................................................12
KELEMBAGAAN BIROKRASI PEMDA
DAN KULTUR POLITIK YANG BERKEMBANG..................................23
1. Ketergantungan secara personal
pada figur kepala daerah.....................................................................23
2. Warna Identitas Politik Komunal.....................................................29
3. Kebijakan yang diambil
oleh Pemerintah Pusat..........................................................................37
BAB IVFUNDAMENTAL POLITIK KEPARTAIAN.............................................49
1. Penilaian Publik dan
Oligarki Internal Partai.........................................................................49
2. Upaya Penggeseran Jabatan Birokrasi...........................................53
3. Fenomena Politik Dinasti....................................................................63
4. Lemahnya Pengawasan Publik..........................................................76
BAB V
ANTARA PENYALAHGUNAAN WEWENANG
BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK................................................79
1. Penyimpangan Yang Terjadi...............................................................79
2. Kontroversi Rangkap Jabatan dalam
Figur Kepala Daerah dan Wakilnya.................................................90
v
3. Pembenahan Secara Kelembagaan
dan Tantangannya..................................................................................97
BAB VIPENUTUP......................................................................................................... 129
1. Kesimpulan............................................................................................. 129
2. Rekomendasi......................................................................................... 130
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 133
INDEKS....................................................................................................................................... 140
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1. AGENDA POLITIK PEMILUKADA
Agenda pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara langsung oleh
rakyat di berbagai daerah, telah menunjukkan pentingnya perhatian terhadap
persoalan netralitas birokrasi. Sorotan terhadap masalah ini terkait dengan
dugaan masih kuatnya intervensi kekuasaan terhadap birokrasi yang tidak lain
merupakan konsekuensi dari posisi incumbent yang menominasikan dirinya
kembali pada kurun waktu pemilukada berikutnya. Bahkan, tidak hanya itu,
para kandidat non incumbent pun ikut mencoba untuk mempengaruhi aparat
birokrasi setempat. Konstruksi intervensi, memang seringkali bukan melalui
kandidat bersangkutan, tetapi terutama melalui para pendukung masingmasing yang tergabung dalam tim suksesnya. Adanya intervensi politik partisan
dalam konteks pemilukada, membawa implikasi tersendiri pada konteks
pelayanan publik yang seharusnya menjadi tugas utama pemerintahan daerah.
Birokrasi sebagai wadah berhimpunnya aparat memang memiliki posisi
strategis dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sehingga, wajar ketika
terjadi persaingan antar pasangan calon dalam Pemilukada, posisi birokrasi
demikian sangat diperebutkan pengaruh politiknya. Meskipun diakui, posisi
strategis birokrasi demikian, biasanya lebih membawa keuntungan bagi
incumbent yang akan maju lagi dalam persaingan Pemilukada, dibandingkan
dengan pasangan calon lain yang menjadi penantangnya. Birokrasi yang
mempunyai kewenangan dan aset ekonomi pemerintahan jelas menjadi
penting bagi tidak saja dalam proses penyelenggaraan pemilukada, tetapi
juga terkait perhitungan relasi antara administrasi pemerintahan terhadap
kekuatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) nantinya pasca
perolehan hasil Pemilukada.
Rentang hubungan (span of relations) antara warga masyarakat yang sangat
kuat dengan elit penguasa lokal, menyebabkan persoalan mobilisasi dukungan
dan aset birokrasi memperoleh makna politik tersendiri di tingkat pemerintahan.
Makna politik itu tidak saja terkait kapasitas kepala daerah untuk mendekati
segmen aparat birokrasi dalam menyukseskan berbagai program pembangunan
yang dijanjikannya saat kampanye pemilukada. Tetapi lebih dari itu, makna politik
tersebut juga berkaitan dengan sikap kepala daerah itu sendiri terhadap peran
1
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
birokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilukada yang sangat signifikan.
Signifikansi dari peran birokrasi ini, terutama mengenai fasilitasi bagi Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu)1 dan Komisi Penyelenggara Pemilu Daerah (KPUD)
saat menjalankan tugas dan wewenangnya dalam Pemilukada.
2. POTENSI PEMANFAATAN SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK
Birokrasi merupakan instrumen politik yang dituntut untuk bersikap
netral dan profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tetapi, di
Indonesia, seiring perjalanan sistem politik di setiap kurun waktu tertentu,
menunjukkan selalu terdapat penetrasi politik tertentu yang dapat
mempengaruhi netralitas birokrasi. Di tingkat lokal, momentum pemilukada
tidak jarang menunjukkan usaha-usaha pemanfaatan posisi birokrasi dalam
memobilisasi politik dukungan massa pemilih. Konotasi netralitas birokrasi
sering menjadi bersifat normatif dan justru berbenturan dengan realitas di
lapangan yang cenderung mengarah pada kepentingan dari pihak-pihak yang
bersaing dalam pemilukada.
Sehubungan dengan fenomena politik di atas, masalah yang perlu dilihat
lebih lanjut, adalah, bagaimana posisi birokrasi terhadap kepentingan kandidat
atau kelompok tertentu dalam rangka memenangkan proses persaingan yang
terjadi dalam pemilukada? Mengapa politik pemilukada dapat mewarnai
birokrasi agar bersikap netral, atau sebaliknya menjadi bersifat partisan
menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara partisan dalam
pemilukada?
3. PEMIKIRAN TEORITIS
Salah satu hal yang belum tertata secara baik di era reformasi, adalah
hubungan kerja antara pejabat politik pembuat kebijakan dengan pejabat
birokrasi pelaksana dan pengontrol kebijakan. Miftah Thoha menyatakan,
selama ini yang berlangsung adalah hubungan antara atasan dan bawahan,
yaitu antara penguasa dan pelaksana. Menurutnya, hubungan semacam ini
membawa pengaruh fungsi birokrasi sebagai subordinasi, menjadi mesin
politik, dan sebagai pelengkap, maka kehadiran birokrasi tidak ikut berperan
menentukan dalam proses kebijakan publik. Model tata hubungan ini dalam
teori disebut model executive ascedency, yaitu peran dan fungsi birokrasi
sangat tergantung pada kekuasaan yang melekat pada jabatan politik pembuat
1
Di UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, antara lain disebutkan, untuk
tingkat Provinsi, adalah Bawaslu Provinsi, ini berbeda dengan nomenklatur di UU No. 22
Tahun 2007, sebelumnya yang bernama Panwaslu Provinsi. Nomenklatur ini membawa
implikasi hirarki birokratis pengawas pemilu dan pemilukada, serta keberadaannya
sebagai lembaga yang permanen daripada sekedar ad hoc.
2
Prayudi
kebijakan publik.2 Kalau pejabat politiknya secara posisionil kuat dan
memahami sedikit saja seluk beluk kebijakan yang akan dibuat, kedudukan
birokrasi berfungsi dan berperan sebagai mesin politik dan pelengkap tadi.3
Permasalahan model executive ascedency, di atas, sejalan dengan
tantangan perwujudan democratic governance yang masih menjadi tantangan
Indonesia setelah memasuk era reformasi. Democratic governance merupakan
paradigma yang meliputi: (1) cara pandang baru terhadap pengelolaan tata
pemerintahan maupun relasi negara-masyarakat-pasar; (2) dinamika empiris
dan wacana akademis pengelolaan negara berhadapan dengan masyarakat
dan pasar, dalam konteks globalisasi, demokratisasi dan desentralisasi; (3)
isu-isu governance reform yang berkaitan dengan konsep good governance
maupun reinventing governance yang kini sedang menjadi bahan perdebatan
di Indonesia.4 Khusus tentang good governance, menurut definisi Bank Dunia,
menuntut disuarakannya manajemen sektor publik (seperti halnya efisiensi,
efektivitas, dan ekonomisasi), pertanggungjawaban, pertukaran, dan
informasi yang mengalir bebas atau secara transparan, keadilan, menghargai
hak-hak asasi manusia, dan kebebasan. Definisi yang ringkas dan tepat
ditawarkan oleh Hirst (2000) yang mengemukakan bahwa: “it means creating
an effective political framework conductive to private economic action: stable
regimes, the rule of law and efficient state administration adapated to the roles
that government can actually perform and strong society independent of the
state.”5
Democratic governance secara prinsipil merupakan mekanisme baru
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan atas interaksi
intens antara penyelenggara negara dengan berbagai pihak yang berada
di luar lingkungan pemerintahan. Governance adalah proses interaksi di
mana berbagai pihak secara kolektif memecahkan persoalan publik, serta
mengindentifikasi persoalan-persoalan yang berkembang. Governance juga
dapat diartikan sebagai pengelolaan struktur rezim dengan sebuah pandangan
untuk memperkuat legitimasi penyelenggaraan kekuasaan atau pengelolaan
pemerintahan yang benar-benar lebih berorientasi kepada kepentingan
publik6, dibandingkan sekedar bersifat partisan.
2
3
4
5
6
Miftah Thoha, “Reformasi Birokrasi Yang Tidak Utuh”, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan
Edisi No. 29 Tahun 2009, h, 53.
Ibid.
Lebih lanjut uraian tentang konteks sejarah pemunculan konsep democratic governance,
diuraikan antara lain Gregorius Sahdan, “Tantangan dan Peluang Democratic Governance
Pasca Pemilu 2004”, dalam Analisis CSIS, Vol. 33 No. 1 Maret 2004.
Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana, Bureaucratic Reforms in Four Asean
Countries, B Press, Depok, 2010, h. 2.
Heyden (1992: 7) sebagaimana dikutip, Gregorius Sahdan, dalam Ibid.
3
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Sejak era reformasi, kepemimpinan birokrasi pemerintah daerah harus
dijabat oleh kepala daerah yang proses pencalonannya melalui partai politik.
Sehingga, birokrasi pemerintah daerah dipimpin oleh pejabat politik dari
partai tertentu yang memperoleh mandat dari rakyat (konstituen partaigabungan partai atau melalui jalur perseorangan)7 berdasarkan hasil
pemilukada. Keadaan semacam ini dapat menciptakan aspirasi dari partai
politik kepala daerah terbawa dalam kepemimpinannya di pemerintahan
daerah. Sementara itu, di dalam sistem pemerintahan daerah terdapat suatu
sistem birokrasi setempat yang telah eksis terlebih dahulu. Kedudukan
birokrasi pemerintahan secara organisatoris berada di bawah kekuasaan
kepala daerah dari partai politik bersangkutan (the bureaucracy under the
control of the Mayor or Regent ).8
Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara adalah apabila melalui
birokrasi pemerintahan, negara dapat mewujudkan kesejahteraan umum bagi
seluruh rakyat. Kewenangan aparatur negara untuk membebankan kewajibankewajiban tertentu kepada rakyatnya dinilai absah hanya apabila mayoritas
rakyat dapat merasakan peningkatan kesejahteraan yang merata. Sehingga,
para pejabat birokrasi pemerintah harus memiliki komitmen tersebut bukan
semata-mata karena mereka diberi amanat atau dibayar oleh negara. Dasar
komitmen tersebut adalah tanggapan bagi pemenuhan kebutuhan pokok
dan kesejahteraan warga negara pada umumnya.9 Pentingnya relasi perilaku
aparat dengan komitmen semacam ini memiliki arti yang sangat mendasar.
Apalagi, dalam kehidupan modern, birokrasi sangat terkait erat dengan
kebijakan public (public policy) terkait pilihan yang diambil pemerintah untuk
dilakukan atau justru sebaliknya untuk tidak melakukan suatu atau beberapa
langkah tertentu.
Posisi birokrasi sangat penting dalam kehidupan politik suatu negara,
tidak terkecuali bagi negara yang demokratis maupun sebaliknya yang
bersifat otoriter. Birokrasi dianggap merupakan instrumen kekuasaan yang
paling utama, yaitu golongan yang mengendalikan aparat-aparat birokratis.10
Bahkan, ketika kualifikasi birokrasi rasional ala Weberian diterapkan secara
konsisten, dapat menjadi faktor yang determinan bagi pembangunan ekonomi
dan politik bagi negara bersangkutan. Hal ini tidak saja terkaitan dengan
komitmen politik dari birokrasi untuk maksimalisasi melayani publik semata,
9
7
8
10
Ibid., h. 60.
Ibid.
Ali Maschan Moesa, Etika Birokrasi Dalam Perspektif Good Governance, Jenggala Pustaka
Utama, Surabaya, 2013, h. 90-91.
Peter M Blau & Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Penerbit Prestasi
Pustakakarya, Jakarta, 2000, h. 1
4
Prayudi
tetapi juga untuk pengembangan lebih lanjut kerja-kerja birokrasi itu sendiri
dengan dukungan sumber daya aparatnya yang memiliki keterampilanketerampilan khusus. Perspektif birokrasi yang rasional membutuhkan
individu-individunya yang bekerja dalam konteks setiap satuan organisasi
dituntut untuk memiliki keterampilan-keterampilan khusus yang dibutuhkan
untuk melaksanakan tugas-tugasnya.11 Di negara demokrasi yang matang,
seperti halnya Amerika Serikat yang menganut check and balances, posisi
penting demikian diterjemahkan sebagai instrumen pelaksana kebijakan yang
diputuskan oleh eksekutif dan legislatif. Sehingga, birokrasi tidak berjalan
secara partisan dalam proses tarik menarik kepentingan politik.12
Berkaitan dengan posisi penting birokrasi dalam politik, konteks
pengakuan atas posisi ini terkait dengan keterlibatannya yang sangat
mendalam terhadap pembangunan politik. Hal ini dianggap merupakan sesuatu
yang bersifat crusial tidak saja bagi netralitas birokrasi itu sendiri, tetapi
juga bersentuhan dengan struktur kekuasaan, serta pertanggungjawaban
terhadap netralitas yang diembannya. Tanggung jawab terhadap netralitas
birokrasi adalah tidak memungkinkan untuk dilepaskan dari posisi statusnya
yang higher civil service. Jika birokrasi bertindak dalam kepentingan publik,
hal ini harus diserap oleh kesadaran baik secara legal maupun status sosial
tersebut secara sistemik.13 Morstein Marx memandang netralitas birokrasi
berasal dari status resmi administratif (officialdom) yang dilindungi oleh
rasionalitas merit. Hal ini sejalan dengan pandangan Fred Riggs bahwa
kematangan yang terbentuk adalah kemungkinan bagi tujuan pembangunan
politik yang demokratis. Setiap proposisi yang berkembang tentang masalah
ini tidak ada yang mendukung kalimat yang tidak dapat diterima bahwa
netralitas birokrasi menyatakan secara tidak langsung kiasan burung unta
(ostrich) semacam pengunduran diri dan isolasi dari pusat proses politik.14
Persoalan tentang birokrasi dan politik di Indonesia, ternyata memiliki
arti yang sangat mendasar bagi kekuasaan regim. Di masa Orde Baru,
misalnya, Karl D Jackson mengidentifikasinya sebagai konsep birokratik
politik yang menunjukkan wilayah terbatas atau bahkan isolasionis
dalam proses pembuatan kebijakan, di tengah masih lemahnya partispasi
masyarakat dalam politik saat itu. Lebih lanjut disebutkan tentang ketiadaan
11
12
13
14
Ibid. h. 27
Untuk kasus birokrasi dan politik di AS, terutama di era perang dingin, antara lain dikaji
oleh Francis E Rourke, Bureucracy, Politics, and Public Policy, Little Brown and Company,
Boston-Toronto, 1992.
Joseph Lapalombara (editor), Bureucracy and Political Development, New Jersey, Princenton
Unibersity Press, 1963, h. 16.
Ibid., h. 17.
5
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pertanggungjawaban terhadap kekuatan politik sipil, seperti halnya partai
politik, kelompok kepentingan, maupun kelompok kepentingan komunal.
Disebutkan oleh Karl D. Jackson:
“Action designed to influence governmental decisions originate entirely within
the elit itself without any need for mass participation or mobilization. Power
does not result from articulation of interest from the social and geographic
periphery of society. Bureucratic polities favor neither democratic nor
totalitarian forms of mass participation. Parties, to the extent that they exist
at all, neither control the central bureaucracy not effectively organize the
masses at the local level. Essentially, bureaucratic polity is form of government
in which there is no regular participation or mobilization of the people.”15
Posisi strategis birokrasi dalam pembangunan politik suatu negara sudah
tentu menjadi sangat kuat relasinya dengan politik. Kasus-kasus pemilukada
menunjukkan posisi strategis birokrasi dalam proses pengambilan dan
pelaksanaan kebijakan publik, selalu dijadikan landasan bagi terjadinya
politisasi secara personal elitnya yang berdampak pada kelembagaan birokrasi
dalam menjalan berbagai kewenangan dan tugasnya. Pada konteks ini, terjadi
hubungan kausal yang saling mempengaruhi antara politik pemilukada yang
mempunyai peluang untuk mempengaruhi netralitas birokrasi pemda di
satu pihak, dan di pihak lainnya, posisi strategis pemda itu terhadap fasilitasi
penyelenggaraan pemilukada juga dapat memberikan pengaruh tersendiri
bagi fenomena persaingan antar para kandidat yang bersaing.
15
Karl D. Jackson, “Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power
and Communications in Indonesia:”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, Political
Power and Communications in Indonesia, University California Press, Berkeley, 1978, h. 4
6
BAB II
DINAMIKA POLITIK SAAT MEMASUKI
ERA REFORMASI
1. PENGORGANISASIAN BIROKRASI PEMDA
Kelembagaan Pemda di era reformasi, berlandaskan pada undang-undang
yang mengatur persoalan pemerintahan daerah, yaitu UU No. 32 Tahun 2004.
Sebelum UU tersebut lahir, sempat diterapkan UU No. 22 Tahun 1999. Ketika
masih berlaku UU No. 22 Tahun 1999, pemerintahan di bawah Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Melalui keluarnya PP ini, setiap instansi pemerintah baik di pusat, provinsi,
kabupaten, dan kota wajib melakukan penataan organisasi di lingkungannya
masing-masing.
PP No. 84 Tahun 2000 dianggap memberikan kekuasaan dan keleluasaan
yang sangat besar kepada pemerintah daerah dalam menyusun dan
menetapkan perangkat daerahnya. Hal ini menegaskan tentang penyusunan
kelembagaan perangkat daerah harus mempertimbangkan kewenangan yang
dimiliki, karakteristik, potensi, dan kebutuhan daerah, serta kemampuan
keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur, dan pengembangan pola
kemitraan antardaerah serta dengan kerja sama dengan pihak ketiga. Namun,
kewenangan dan keleluasaan yang diberikan ternyata dalam pelaksanaan
diterjemahkan secara berbeda-beda oleh masing-masing daerah, karena lebih
banyak bernuansa politik daripada pertimbangan rasional, obyektif, efisensi
dan efektivitas.1 Pertimbangan demikian dan diperparah oleh substansi PP
yang cenderung bersifat hanya sebagai pedoman menyebabkan terjadinya
pembengkakkan perangkat daerah.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 23 Juli 2007, pemerintah
mengeluarkan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,
sebagai pedoman untuk pembentukan, penataan organisasi perangkat
daerah. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, di pasal 2, ayat (2) dan
(3), disebutkan bahwa pembentukan perangkat daerah (provinsi, kabupaten,
dan kota) ditetapkan dengan peraturan daerah yang berpedoman pada PP
1
Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di era Reformasi, Kencana Pradana Media
Grup, Jakarta, 2008, h. 47
7
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
ini. Jumlah organisasi di lingkungan pemda ditetapkan oleh masing-masing
pemda (provinsi, kabupaten, dan kota), berdasarkan kemampuan, kebutuhan,
dan beban kerja, serta menetapkan besaran organisasi perangkat daerah.
Berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007, pada Pasal 9, variabel pokok terkait
pembentukan kelembagaan dimaksud, adalah: (a) jumlah penduduk; (b) luas
wilayah, (c) jumlah APBD.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sebelum dikeluarkannya PP No.
41 Tahun 2007, telah ada PP No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah dan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat
Daerah. Pada waktu pemberlakuan PP No. 84 Tahun 2000, daerah diberikan
kebebasan untuk menentukan Satuan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK)nya sendiri, dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan daerah,
namun dalam pelaksanaannya daerah cenderung masih berpikir dengan
cara lama yang melakukan pemekaran organisasi perangkatnya. Akibatnya,
berkembang luas jaringan perangkat organisasi daerah, padahal ketika
penerapan PP No. 84 Tahun 2000, gejala pemekaran lembaga atau proliferasi
dipicu oleh sebab tidak adanya kewajiban pemerintah daerah secara langsung
membiayai personil setempat. Subsidi daerah otonom dari pemerintah pusat
merupakan jaminan dan sekaligus insentif bagi pemerintah daerah untuk
melakukan berbagai aktivitas pemekaran organisasi perangkat daerah.
Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, maka segala pembiayaan terhadap Pemda dalam rangka
desentralisasi dibiayai atas beban APBD. Akibat dari pemekaran organisasi
perangkat daerah, menyebabkan pembiayaan yang tinggi dalam beban APBD
terhadap birokrasi pemda.2
Pada sisi lain, dengan dikeluarkannya PP No. 84 Tahun 2000 menaikkan
eselonisasi membengkaknya pembayaran gaji dan fasilitas yang harus
disiapkan oleh Pemda. Melihat masalah-masalah atau berbagai konsekuensi
yang muncul akibat penerapan PP No. 84 Tahun 2000, maka pemerintahan
Presiden Megawati saat itu pada tanggal 17 Februari 2003 telah merevisi PP
dimaksud dengan dikeluarkannya PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah. PP No. 8 Tahun 2003 membatasi jumlah
organisasi perangkat daerah, yaitu untuk jumlah dinas di provinsi dibatasi
maksimal 10 dinas, kecuali Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang dapat
mencapai jumlah sebesar 14 dinas. Sedangkan, untuk tingkat kabupaten/
kota masing-masing maksimal sebesar 8 dinas. Pembentukan dinas dan unit
pelakana teknis di daerah juga harus berdasarkan kriteria yang ditetapkan
2
Udaya Madjid, Fathur Rodji, Darwis Arifin, Syaril Tanjung, dan Sarjiman Arianto, Jurnal
Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. XXXIV No. 3
Tahun 2008. h. 99-100.
8
Prayudi
secara scoring. PP No. 8 Tahun 2003, juga membatasi jumlah jabatan
baik di tingkat sekretariat daerah, dinas, lembaga teknis daerah, maupun
jumlah jabatan di tingkat kecamatan dan kelurahan. Dalam perkembangan
selanjutnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal Tamin,
mengeluarkan Surat Keputusan (Keppmen) No. B/207/M.PAN/ 2005 yang
berisi langkah penundaan atas pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2003, sampai
dengan ditetapkannya peraturan pemerintah tentang pedoman organisasi
perangkat daerah yang baru berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemda. Dalam perkembangan kemudian, ketika diterapkan UU N0. 32 Tahun
2004, pemerintahan SBY-Jusuf Kalla mengeluarkan PP No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. PP No. 38 Tahun 2007 antara lain
mengatur pula soal perangkat daerah, sebagaimana dinyataan dalam Pasal
12 ayat (2), berkaitan pembagian urusan pemerintahan, baik yang disebut
bersifat wajib maupun pilihan menjadi dasar penyusunan bagi susunan
organisasi dan tatakerja perangkat daerah.
Terlepas dari semakin bengkaknya perangkat daerah, sebenarnya di
tengah persoalan gaji yang rendah bagi PNS mengalami perubahan sejak
dilaksanakannya kebijakan desentralisasi di Indonesia pada awal tahun 2001.
Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana memandang bahwa bagi
para pendukung desentralisasi, proses ini membuka ruang bagi:
“enables more efficient allocation of resources, reduces information
asymmetries, increases transparency, promotes citizen participation, and
enhances accountability, thereby improving governance. Local governments
are often more aware of and attuned to the needs of local populations than
the central government, which means that local governments may have a
clearer sense of which projects and policies people living in their jurisdictions
would favor. This will have an impact on the duties of civil servants in different
regions.” 3
Pendesentralisasian kepegawaian di era reformasi sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 43 Tahun 1999, telah
dilaksanakan dengan semangat yang dianggap menyimpang dari semangat
desentralisasi itu sendiri. Sebenarnya, pembentukan PNS daerah pada UU
No. 43 Tahun 1999 merupakan pendelegasian kewenangan kepada Pemda
agar mampu menyesuaikan jumlah dan mutu pegawai dengan fungsi dan
tugas Pemda. Tetapi, pada kenyataannya, setelah pelaksanaan desentralisasi
kepegawaian sejak tahun 2000, dari 497 kabupaten/ kota dan 33 provinsi
di seluruh tanah air, hampir tidak ada yang melaksanakan manajemen
kepegawaian dengan semangat yang diharapkan, yaitu mengangkat pegawai
3
Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana, Op.cit., h. 99.
9
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
yang jumlah, komposisi dan kualifikasinya sesuai dengan beban tugas dan
fungsi daerah. Sebaliknya, setiap tahun formasi calon PNS yang diberikan
kepada kabupaten/kota mencapai jumlah 250 orang. Bahkan, untuk tingkat
provinsi, dapat mencapai 2 kali jumlah bagi alokasi formasi untuk tingkatan
kabupaten/kota.4
Salah satu unsur otonomi daerah yang ditetapkan oleh UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah kewenangan dalam pengadaan,
pembinaan, penggajian dan pemberhentian PNS. Sesuai dengan ketentuan ini,
kepada daerah dianggap perlu diberikan kewenangan yang cukup memadai
dalam bidang kepegawaian. Prinsip umum dalam kebijakan kepegawaian
adalah sebagai berikut: pengangkatan PNS tetap (golongan II b ke atas) berada
di pemerintah pusat dan dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Sedangkan untuk pengangkatan tenaga pelaksana (Gol. I/a s.d II/ a) akan
diserahkan kepada daerah. Sejalan dengan ini, kewenangan pengangkatan
pejabat struktural dan fungsional ditetapkan sebagai berikut: Pejabat Eselon I
dan II serta jabatan fungsional yang setara akan berada di tangan kewenangan
Pusat, sedangkan Pejabat Eselon III dan jabatan fungsional setara diserahkan
kepada provinsi. Adapun untuk pengangkatan pejabat Eselon IV dan V serta
pejabat fungsional setara diserahkan kepada kabupaten/kota. Kewenangan
pelatihan juga didesentralisasikan sesuai dengan kewenangan pengangkatan
jabatan.5
Indonesia mempunyai jumlah PNS yang tergolong besar, sekitar 3,74
juta orang, atau 1.7 persen dari jumlah seluruh penduduk di tahun 2005.
Figur ini mewakili penurunan dari di tahun 1974 selama awal kurun waktu
sebelumnya, yaitu di masa Orde Baru, (1966-1998) ketika hal ini mencapai
sekitar 2,1 persen dari jumlah penduduk. Persentase ini adalah serupa
dengan beberapa negara lainnya seperti halnya India (1,2 persen), Pakistan
(1,5 persen), Filipina (2,1 persen), dan Vietnam (3,2 persen).6 Tabel berikut
menunjukkan bahwa, jumlah PNS yang ditugaskan di tingkat pemerintah
daerah, adalah jauh lebih tinggi daripada jumlah PNS di pemerintah pusat.
Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah memberikan pelayanan yang lebih
baik terhadap masyarakat, sejalan dengan usaha menggerakkan pemerintah
untuk lebih dekat dengan masyarakat. Bahkan, tujuan utama dari reformasi
4
5
6
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN),, Komisi II Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 2011, h. 2.
Sofian Effendi, Reformasi Tata Pemerintahan- Menyiapkan Aparatur Negara Untuk
Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi Terbuka, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2010,h. 131.
Schiavo-Campo, 1998, sebagaimana dikutip Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari,
Op.cit., h. 95.
10
Prayudi
sektor publik seperti halnya di kebanyakan negara-negara di Asia memberikan
warga negara dengan peningkatan pelayanan.
Tabel 1.
PNS di Pemerintahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
Local
Government
1974
Number of
Percentage of
Civil Servants
Civil Servants
2002
Number of
Percentage of
Civil Servants Civil
Servants
Central
governments
1.312.254
78.3
915.660
24.0
Provincial
governments
Regency of
municipality
govenments
Total
362.671
21.7
2.907.426
76.0
1.674.871
100.0
3.823.086
100.0
2 003
Number of
Percentage of
Civil Servants
Civil Servants
840.007
23.1
311.047
8.5
2.541.561
68.4
3.648.005
100.0
2005
Number of
Percentage
of
Civil
Servants
Civil
Servants
896.211
24.0
303.724
8.3
2.541.560
67.9
3.741.495
100.0
Sumber: National Civil Servants, Selected Years, dalam Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana,
Ibid., h. 95
Hingga tahun 2012, secara nasional, PNS mencapai jumlah 4,7 juta
orang dengan komposisi 246 ribu lebih merupakan pejabat struktural, 2
juta lebih aparat merupakan tenaga fungsional, terutama pendidik, tenaga
kependidikan, tenaga medis, dan paramedik, serta 1,7 juta lebih pegawai
tata usaha atau tenaga administrasi.7 Menurut Sofjan Effendi, untuk melayani
rakyat Indonesia yang berjumlah sekitar 237 juta jiwa, diperlukan lebih
kurang 4,6 juta orang pegawai, jika rasio antara pegawai per penduduk
adalah 1:50. Sehingga, isu paling utama SDM aparatur negara bukan masalah
kelebihan pegawai sebagaimana sering dikemukakan para pengamat, media,
dan lembaga donor. Meskipun jumlah penerimaan PNS masih tergolong besar
secara nasional, tetapi sebenarnya dari tahun ke tahun semakin menurun
jumlah atau persentasenya. Misalnya, untuk tahun 2012 ini, penerimaan
CPNS (calon pegawai negeri sipil) tahun 2012, hanya untuk 14.560 orang di
23 instansi pusat dan 25 instansi daerah. CPNS yang direkrut hanya untuk
tenaga fungsional yang sangat diperlukan. Dari alokasi rekrutmen CPNS
7
“RUU ASN penting bagi Reformasi Birokrasi”, Parlementaria, Edisi 93, Th. XLII, 2012.
11
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
tahun 2012 dari jalur reguler sebanyak 61.560 orang, instansi hanya bisa
menyerap 14.560 orang. Syarat merekrut CPNS adalah membuat analisis
jabatan dan analisis beban kerja. Selain itu, daerah bisa menambah CPNS
apabila belanja pegawainya tidak melebihi 50 persen APBD.8 Terlepas
dinamika secara kuantitatif tersebut, isu pokok terkait PNS adalah SDM
aparatur negara menyangkut komposisi dan distribusi yang tidak seimbang
dengan beban tugas dan kondisi geografis. Kapasitas individual SDM aparatur
negara rendah karena best practices dalam manajemen SDM aparatur negara
belum diterapkan sebagaimana halnya di negara-negara maju. Tujuan
renumerasi yang dikejar dan kurang berbasis kinerja, pensiun yang kurang
menjamin kesejahteraan, dan tidak adanya lembaga regulasi independen yang
diperlukan pada sistem pemerintahan demokratis sangat mempengaruhi
kinerja aparatur negara.9
Berlandaskan pada implikasi membengkaknya jurang komposisi
PNS terhadap beban tugas dan kondisi geografis, serta sekaligus dalam
rangka pembenahan organisasi birokrasi Pemda, maka dilakukan proses
penyempurnaan terkait struktur perangkat Pemda, melalui antara lain PP No.
8 Tahun 2003 dan selanjutnya diperbarui pula melalui PP No. 41 Tahun 2007,
yang lebih menekankan pada pedoman bersifat hal-hal pokok dan kriteria
besaran organisasi perangkat daerah berdasarkan kewenangan penanganan
urusan pemerintahan10, apakah bersifat wajib, delegatif, maupun bersifat
pilihan bagi daerah. Rentang pengaturan semacam ini, menunjukkan masih
adanya arahan tertentu dari pusat terkait kebijakan dan skala pengembangan
organisasi di daerah. Sehingga, pusat dituntut memberikan kejelasan sikap
atas pilihan kebijakan yang diambil daerah terkait urusan pemerintahan yang
diembannya. Untuk kasus politik, sikap pusat juga dapat mewarnai pilihan
dari daerah terkait proses penanganannya, dengan tidak terlepas peran dari
kepala daerah itu sendiri sebagai elit daerah yang otonom pilihan pemilukada
dan sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah.
2. EXECUTIVE ASCEDENCY DAN RETORIKA NETRALITAS POLITIK
Retorika politik regim terhadap netralitas birokrasi, sebenarnya sebelum
reformasi, seringkali disampaikan kepada publik. Bahkan, retorika demikian
diformulasikan dalam bentuk kebijakan tertentu yang coba diterapkan
kepada birokrasi. Pandangan birokrasi yang harus netral secara politik, sudah
disampaikan ketika masa pemerintahan Orde Baru. Para penguasa Orde
Baru berpikiran, agar birokrasi dapat bekerja lebih baik lembaga ini harus
8
9
10
“Tahun ini hanya 14.560 calon PNS”, Kompas, 20 Juli 2012.
Sofian Effendi, dalam Ibid.
Ibid., h.48-49.
12
Prayudi
dihindarkan dari pengotak-kotakan dukungan politik sebagaimana pernah
terjadi pada masa sebelumnya. Pandangan tersebut diwujudkan dalam dua
kebijakan politik yang secara khusus ditujukan kepada para pegawai di
lingkungan Departemen Dalam Negeri saat itu, berupa Kepmendagri No. 12
Tahun 1969. Kedua, adalah kebijakan yang ditujukan kepada seluruh pegawai
negeri, sebagaimana tertuang dalam PP No. 6 Tahun 1970. Inti dari kebijakan
ini adalah pelarangan pegawai negeri menjadi anggota dan aktif dalam partai
politik, serta keharusan memiliki monoloyalitas kepada pemerintah.11
Konsep monoloyalitas yang diperkenalkan oleh Jenderal Amir Machmud
sebagai Menteri Dalam Negeri saat Orde Baru bertujuan untuk menghindarkan
konflik apapun dalam birokrasi berdasarkan perbedaan ideologi sebagaimana
terjadi pada masa Soekarno. Untuk memperkuat upaya ini, pemerintah
memperkuat l’esprit de corps dikalangan pegawai negeri. Mengingat bahwa Golkar
dianggap sebagai salah satu kekuatan politik mewakili instrumen penguasa,
maka para pendukung atau partai Islam atau partai lain kalangan nasionalis
sekuler mengalami masalah ketika Korpri dibentuk. Mereka harus memilih antara
mendukung partai pilihannya dan kewajiban untuk loyal kepada pemerintah, yang
berarti mengarah pada dukungan bagi Golkar. Meskipun konsep ini tidak secara
tegas melarang pegawai negeri untuk menjadi anggota partai politik tertentu, saat
itu, konsep monoloyalitas tetap menimbulkan dampak psikologis. Hal ini karena
pegawai negeri yang diorganisir Korpri secara tidak langsung menjadi anggota
Golkar, apalagi Korpri sendiri merupakan salah satu pilar penyangga Golkar. Di
samping itu, terdapat peraturan yang menekankan bahwa pegawai negeri harus
mempunyai izin dari atasan mereka, jika dirinya ingin menjadi anggota partai
politik dan kelompok-kelompok fungsional.12
Sebenarnya, upaya pemerintah Orde Baru untuk membangun stuktur yang
hanya mengenal satu loyalitas bukan hal tersendiri, karena sebelum konsep
ini digunakan secara formal, upaya ini telah dilakukan melalui Kokamendagri,
Korps Fungsional Departemen Dalam Negeri. Lembaga ini diperkenalkan
berdasarkan konsensus historis antara para ahli sipil dan pejabat tentara
serta merupakan sikap puncak antipasti Orde Baru terhadap partai politik.
Bedanya, Kokamendagri terbatas pada Departemen Dalam Negeri, sementara
Korpri menyebarkan jaringan lebih luas dan meliputi semua pegawai negeri
di Indonesia pada setiap tingkatan pemerintahan, dari struktur birokrasi di
pusat hingga pada tingkatan birokrasi desa, serta pada setiap jenis badan,
dari sekolah-sekolah umum hingga korporasi negara.13
11
12
13
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Penerbit
Kencana, 2010, h. 217.
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKis, Yogyakarta, 2004, h.165-166.
Ibid.
13
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Pasca turunnya Soeharto dari kekuasaan Orde Baru, masalah netralitas
politik birokrasi juga masih menjadi sesuatu yang penting dan bahkan
diangkat dalam formulasi kebijakan kepegawaian secara nasional. Usaha ini
tampak pada netralitas pegawai negeri berupa larangan menjadi anggota dan
aktif dalam partai tertentu, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 43 Tahun 1999 sebagai perubahan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Tetapi berbeda dengan TNI-Polri yang
pada waktu pemilu 1999 dan 2004 dilarang menggunakan hak pilihnya, para
pegawai negeri masih diberi kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya.
Hanya saja, ini dibarengi oleh pelarangan ketika menggunakan simbol-simbol
dan berbagai fasilitas pegawai negeri, misalnya, pegawai negeri dilarang ikut
kampanye partai politik ketika masih menggunakan atribut pegawai negeri.
Di samping itu, ketika hendak mencalonkan diri dalam memperebutkan
jabatan-jabatan politik antara lain yaitu terkait pemilukada, misalnya saat
pemilukada gubernur, bupati/walikota, pegawai negeri bersangkutan harus
mengundurkan diri dari jabatan struktural yang dimilikinya.14
Dalam konteks yang lebih makro, Adam Schwartz menulis landasan
stabilitas di atas dan sampai kemudian terjadi dinamika tertentu berupa
dijalankannya politik akomodasi secara relatif lebih longgar bagi publik,
sehubungan memudarnya kekuasaan Soeharto, bahwa:
“The link between economic policy and politics is a complicated one in any
society. So it is in Indonesia. Soeharto came in power determined in restrict
the political process in a small elite in the belief that less politics was necessary
precondition for the prolonged period of economic development. And, indeed,
throughout the New Order economic policy has been formulated within a
government progressively more insulated from social and political forces.
Soeharto has relied at diffirent times on different policy advisers, but they
have come always from within a limited circle. But as the president moves
toward the end of what probably will be his last term, the political sphere
is likely to widen again. There is a very real possibility that economic policy
making in the 1990s will have to accommodate the political considerations of
government preparing for a rate change at the top.”15
Sentralisasi birokrasi pemerintahan mendorong pemerintahan Orde
Baru memang dapat mencipakan stabilitas politik dalam kurun waktu yang
tergolong lama sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi,
yaitu lebih dari 3 dasawarsa. Tetapi, ketika pembangunan ekonomi masih
membawa penyakit “kesenjangan”, maka krisis dengan seketika dapat
14
15
Ibid., h. 219.
Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia In The 1990’s, Allen & Unwin, St. Leonard,
1994, h. 72-73.
14
Prayudi
menghancurkan regim yang berkuasa dengan topangan pendekatan represif
dari kekuatan politik birokrasi hingga ke tingkat lokal. Adrianof A. Chaniago
mengidentifikasi beberapa beberapa perangkap ketimpangan menjelang akhir
regim Orde Baru, yaitu terkait antara lain mengenai kesenjangan antar wilayah.
Pemberian dan pelaksanaan otonomi daerah semata-mata bergantung pada
penilaian pusat yang lebih mengutamakan ukuran kemampuan ekonomi.
Dasar kebijakan pemberian otonomi daerah dan penghargaan atas prestasi
daerah tentu menjadi tidak adil, karena daerah-daerah yang dekat dengan
pusat pertumbuhan saja yang mendapatkan pengakuan sebagai daerah
berhasil dalam membangun dirinya. Model pembangunan ekonomi nasional
didasari oleh menguatnya pragmatisme telah membuat semakin mengerasnya
ketimpangan struktural yang berhimpitan dengan kesenjangan spasial.16
Pengalaman politisasi birokrasi di era sebelumnya menjadikan
kelembagaan birokrasi tidak netral dan profesional. Upaya memberikan
payung hukum yang dianggap memadai agar birokrasi dan PNS dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, juga belum dapat memberikan sesuatu
hal yang positif.17 Kelima RUU yang diusahakan melalui kantor Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yaitu berupa janji
kebijakan, baru beberapa terpenuhi misalnya mengenai RUU yang kemudian
menjadi UU No. 25 Tahun 1999 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan RUU Aparatur Sipil Negara
yang sedang dibahas oleh Komisi II DPR dan pemerintah, tetapi yang lainnya
masih berupa janji, misalnya mengenai RUU etika penyelenggara negara, dan
RUU administrasi pemerintahan.
Bias profesionalisme birokrasi, ditunjukkan antara lain oleh pemanfaatan
posisi birokrasi pemerintahan daerah yang mempunyai peran penting dalam
proses penyelenggaraan pemilukada yang dilakukan oleh KPUD. Meskipun
setelah berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu,
keberadaan KPU dan Bawaslu, yang di tingkat daerah yaitu melalui KPUD dan
Panwaslu, semakin diperkuat keberadaan tugas dan kewenangannya, tetapi
realitas posisi birokrasi Pemda yang menentukan dalam tahapan proses
alokasi logistik dan sumber daya anggaran terhadap pemilukada tidak dapat
dinafikan. Pemerintah daerah melalui Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Daerah, akan melakukan seleksi terlebih dahulu untuk menilai
16
17
Andrianof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru,
Jakarta, Penerbit LP3ES, 2012, h. 200.
R. Siti Zuhro, “Good Governance dan Korupsi”, Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No. 1, 2010,
h. 14.
15
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
mana yang dianggap perlu atau mana yang dinilai tidak diperlukan usulan
anggaran terkait skala prioritas kebutuhan.18
Bahkan, keterlibatan unit Pemda itu sudah dilakukan sebelum rencana
anggaran tersebut diajukan kepada DPRD untuk dibahas bersama. Setelah
rencana anggaran Pemda yang sudah ditandatangani oleh bupati sebagai
kepala daerah diajukan kepada DPRD untuk selanjutnya dibahas bersama
dengan DPRD. Pada tahapan ini, DPRD biasanya mempertanyakan urgensi
dari setiap alokasi anggaran dan ketika ada catatan khusus dari DPRD
mengenai urgensi masing-masing kegiatan, maka rencana anggaran ini
dapat dikembalikan kepada Badan Perencanaan Keuangan Daerah (BPKD).
Demikian, seterusnya, sesudah direvisi oleh BPKD, rencana anggaran kembali
diajukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan. Di
samping peran dari birokrasi Pemda, posisi incumbent kepala daerah sangat
menentukan bagi kecepatan atau lambatnya proses pencairan anggaran dan
kebutuhan logistik kepada DPRD.
Tidak ada ketentuan baku bahwa pemilukada harus menghabiskan
anggaran dengan jumlah tertentu. Besar kecilnya anggaran sangat ditentukan
oleh tingkat kebutuhan dan kemampuan daerah itu sendiri untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Penyelenggaraan pemilukada serapi apapun jika tidak
didukung alokasi anggaran yang memadai tentu hasil yang diharapkan
tidak akan maksimal. Sekurangnya terdapat tiga aliran dana yang turut
meramaikan “pesta demokrasi” pemilukada. Aliran dana tersebut meliputi
anggaran belanja KPU Daerah, Anggaran Belanja Panwas Pemilukada, dan
Anggaran Belanja pasangan calon Kepala Daerah. Adapun sumber pendanaan
tiga institusi tersebut meliputi APBN, APBD, dan anggaran non negara
yang dikeluarkan oleh partai politik pengusul atau pasangan calon. KPUD
selalu merancang anggaran untuk dua putaran (two round system) sebagai
antisipasi jika tidak ada calon yang memperoleh jumlah suara dan persentase
suara minimal sesuai ketentuan Pasal 107 UU No. 32 Tahun 2004.19 Sehingga,
anggaran pemilukada menjadi membesar jumlahnya. Pos yang menyedot
alokasi dana yang besar adalah KPPS. Sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU
No. 32 tahun 2004, jumlah pemilih di setiap TPS paling banyak 30 orang.
Ketentuan itu memaksa KPUD di Kabupaten/Kota mengalokasikan dana yang
besar bagi KPPS/TPS. Secara hitungan kasar sederhana, alokasi dana KPPS
18
19
Riris Katharina, “Studi Anggaran Pemilukada di Kota Dumai dan Kabupaten Indragiri
Hulu”, dalam Indra Pahlevi (Editor), Politik Pemilukada 2010: Sebuah Kajian Terhadap
Penyelenggaraan Pemilukada di Dumai dan Indragiri Hulu, Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2011, h. 46.
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Rajawali Press, Jakarta,
2011, h. 162.
16
Prayudi
mencapai 40 an persen dari total biaya pelaksanaan pemilukada. Apabila
ketentuan ini lebih longgar, misalnya setiap TPS diperuntukkan bagi 10001200 pemilih, alokasi dana KPPS dapat berkurang cukup signifikan, antara
50-60 persen dari total dana KPPS. Pos lain yang alokasi dananya cukup besar
adalah pengadaan logistik, yaitu pencetakan surat suara dan formulir berbagai
model.20 Dengan dibukanya kemungkinan bagi pemilukada dalam sistem dua
putaran, maka anggaran penyelenggaraannya bagi KPU Daerah akan semakin
membengkak. Contohnya, sebagaimana kasus total anggaran yang dibutuhkan
untuk menyelenggarakan pemilukada Gubernur DKI tahun 2012 selama dua
putaran adalah Rp258 miliar. Menurut Ketua Pokja Pendataan Pemilih KPU
Provinsi DKI Jakarta, Aminullah, untuk putaran pertama, anggaran yang
terpakai adalah Rp169 miliar, sedangkan sisanya Rp89 miliar digunakan
untuk untuk penyelenggaraan putaran kedua.21
Salah satu aspek yang juga crusial, dalam hal pendanaan pemilukada,
adalah terkait pengamanan. Kasus menjelang dilaksanakannya pemilukada
gubernur Maluku, menunjukkan ketergantungannya yang sangat tinggi
terhadap kebijakan pengalokasiannya melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Kesepakatan yang dicapai antara pemerintah
provinsi Maluku dan DPRD sebesar Rp32 Miliar yang berarti kurang dari Rp2
miliar dari usulan sebelumnya sebesar Rp34 miliar22, misalnya, menunjukkan
sangat ditentukan oleh kebijakan pengalokasiannya melalui APBD, mengingat
tidak adanya pendanaannya dari pemerintah pusat melalui APBN. Artinya,
dana pengamanan pemilukada bukan berasal dari Mabes Polri. Hal ini
mengingat belum adanya aturan yang mengatur penetapan besaran dana
untuk pengamanan pemilukada. Padahal, Kapolri seharusnya dituntut
untuk membuat standarisasi penetapan anggaran pengamanan pemilukada
berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing daerah. Tujuannya agar
tidak terkesan penentuan anggaran pengamanan pemilukada di daerah
bersangkutan menjadi kurang terukur atau tidak berlandaskan perhitungan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Aturan yang ada lebih merupakan
peraturan Kemdagri tentang biaya logistik KPU dan ketika itu sempat
dirumuskan ketentuannya dalam draft RUU pemilukada berkenaan masalah
pengamanan pemilukada. Kondisi ketergantungan pengamanan pemilukada
pada APBD jelas tidak sehat dampaknya bagi kepentingan masyarakat dalam
kebijakan alokasi pendanaan kebutuhannya agar APBD tidak terlalu dibebani
dengan pendanaan pemilukada.
22
20
21
Ibid., h. 162.
“Anggaran untuk Pemilihan Gubernur Jakarta Aman”, Koran Tempo, 31 Agustus 2012.
“Aturan Dana Belum Ada”, Kompas, 27 April 2013.
17
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Sementara itu, ketidaksepahaman antara KPU dan Bawaslu juga dapat
terjadi terkait kebutuhan anggaran pemilukada. Kasus Pemilukada Jatim,
adalah salah satu di antaranya sebagai contoh. Bawaslu dan KPU Jatim sempat
meminta agar Pemda Jatim menjelaskan persoalan pemangkasan anggaran
pemilukada gubernur dan wakil gubernur Jatim yang saat itu direncanakan
dilakukan pada tahun 2012, yaitu dari Rp943 miliar menjadi Rp663 miliar.
Ketua Bawaslu Jatim, Sufyanto, mengatakan, Bawaslu Jatim mengajukan
usulan kebutuhan anggaran Rp207 miliar, tetapi dalam kenyataannya justru
dipangkas menjadi Rp96 miliar. Jumlah Panitia Pengawas Lapangan (PPL) juga
dikurangi alokasi anggarannya, dari untuk dua orang di setiap desa, menjadi
hanya satu orang. Bahkan, honor mereka pun menjadi hanya Rp400.000,- per
bulan, dari usulan Rp750.000,-. Dari Rapat Koordinasi yang diusulkan Bawaslu
Jatim dianggap mengacu dan sesuai dengan tahapan pelaksanaan pemilihan,
seperti halnya penyusunan daftar pemilih tetap (DPT), pencalonan kampanye,
serta beberapa tahapan lainnya. Tetapi, kemudian diubah oleh Pemda Jatim,
menjadi Rapat Koordinasi Wilayah, yang setingkat eks Karesidenan. Bahkan,
Ketua Divisi Anggaran KPU Jatim, Sayekti mengungkapkan, Pemerintah
Daerah Provinsi Jatim menyusun sendiri anggaran. Studi banding yang
mereka lakukan ke Jateng dan Jabar, dijadikan alasan pemangkasan yang
tidak mengikutsertakan KPU Jatim. Anggaran KPU sendiri menyusut menjadi
Rp501 miliar, dari semula usulan sebesar Rp646 miliar. Sementara itu, uang
lembur Petugas Pemilih Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS),
serta Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) ditiadakan. Padahal mereka
harus bekerja lembur demi kelancaran pemilihan hingga penghitungan suara.
Demikian pula, jumlah pemilih berdasarkan laporan KPU kabupaten dan kota
adalah 32 juta, tetapi kemudian diubah oleh Pemda Jatim menjadi 30 juta
orang. Sedangkan, tempat pemungutan suara (TPS), dikurangi dari 72.611
menjadi hanya sebanyak 70.00023
Besarnya biaya pemilukada dalam setiap tahapan yang dilakukan oleh
KPU daerah dan pendanaannya yang difasilitasi oleh proses administratif
pemda, juga tampak pada pemeriksaan kesehatan setiap pasangan calon.
Dalam kasus menuju Pemilukada Gubernur Jawa Barat tahun 2012, misalnya,
menghabiskan anggaran hingga Rp180 juta. Dana ini bersumber dari APBD
Provinsi Jawa Barat yang telah disiapkan sejak tahun 2012. Pemeriksaan
kesehatan yang ditangani 24 dokter spesialis dan empat perawat senior ini
meliputi pemeriksaan fisik hingga psikologi. Untuk kepentingan pemeriksaan
masing-masing pasangan calon, menghabiskan Rp18 juta. 24
23
24
“Pemangkasan Anggaran Pigub Jawa Timur Dikeluhkan”, Koran Tempo 14 November 2012.
“180 juta, untuk pemeriksaan Cagub Jabar”, dalam http//www.vivanews.com., diakses 26
November 2012.
18
Prayudi
Melalui otoritas politiknya, kepala daerah dapat mempengaruhi birokrasi
agar terjadi proses kelancaran atau sebaliknya hambatan tertentu terhadap
sumber daya bagi proses penyelenggaraan tugas dan kewenangan KPUD
dan Panwas Pemilukada. Aset birokrasi tidak saja penting dalam konteks
ekonomi penganggaran pemilukada, tetapi juga terkait dengan sumber daya
data dan aparat pelaksananya di lapangan. Hal ini seperti halnya terkait
dengan kepemilikan aset data kependudukan yang dimilikinya, melalui
kelembagaan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Padahal,
kasus pemilukada seringkali muncul persoalan saat verifikasi KPU daerah
terhadap data kependudukan versi pemda ini yang nantinya sebagai basis
bagi Data Penduduk Potensial Pemilu (DP4) terkait kasus-kasus tertentu,
misalnya meluasnya calon pemilih ganda. Ketidakakuratan pencatatan data
kependudukan ini, sangat mudah menjadi kepentingan politik yang bersaing
untuk memetakan dukungan pemilih agar menguntungkan dirinya, dan
sebaliknya mengabaikan banyak pihak yang tidak tercatat sebagai pemilih.
Di tengah gencarnya program e-KTP oleh pemerintah saat ini, semakin
menunjukkan disparitas jumlah penduduk yang berhak memilih dengan
mereka yang tercantum dalam DP4.25
Kegiatan pemutakhiran data pemilukada cenderung lebih singkat
dibandingkan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden, berkaca dari
pengalaman pemilu 2009. Jika pada pemilu legislatif waktu penyerahan
DP4 dari pemerintah ke KPU adalah 12 bulan sebelum hari H, maka pada
pemilukada hanya membutuhkan 6 bulan. Kegiatan pemutakhiran data
pemilih di pemilukada, konversi data dari DP4 menjadi DPS sangat singkat
waktunya, tidak diatur secara detail dalam regulasi pemutakhiran data pemilih.
Dibandingkan pemilu legislatif, jangka watu konversi, penyediaan formulir
dan bimbingan teknis (bintek) bagi PPK, PPS, dan PPDP, adalah selama 90 hari.26
Pemetaan dukungan dan sekaligus basis pemilih masing-masing kandidat yang
25
26
Di samping kasus Pilkada DKI,contoh lain Misalnya di kasus Jawa Timur. Di provinsi
ini, ketika diumumkan realisasi program e KTP setempat tercatat hanya 470.977 dari
540. orang penduduk wajib KTP di Pamekasan, Madura yang terdaftar sebagai peserta
program e-kTP. Sedangkan di Sampang, dari 662 ribu orang wajib KTP, hanya 367.894
orang yang terdaftar. Dalam pilgub Jatim yang 150 hasilnya diumumkan 2009, dituduh
terjadi penggelembungan suara yang terjadi di Sampang dan Pamekasan. Sehingga, salah
satu pasangan yang bukan pemenang, Khofifah Indarparawangsa-Mujiono mengajukan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Desember 2008. MK memerintahkan pemungutan
suara ulang di Sampang dan Pamekasan, sehingga terjadi pilgub jatim berlangsung dalam
3 putaran hingga awal 2009. Lihat “Gus Ipul: Hasil Pilgub tidak perlu dipersoalkan lagi”,
Koran Tempo, 12 April 2012.
Eka Suaib, Problematika Pemutakhiran Data Pemilih di Indonesia, Penerbit Koekoesan,
Depok, 2010, h. 115.
19
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
digenggam oleh birokrasi, masih sangat rawan untuk dimainkan terutama di
kalangan incumbent. Kerawanan ini menjadi sisi tersendiri dari kesemrawutan
DPT, yang pada gilirannya KPU daerah menjadi “korban” atas awal penyebab
ketidakakuratan pencatatan dokumen kependudukan oleh pihak Pemda. Hal
ini pada gilirannya menyebabkan antusiasme warga masyarakat cenderung
menurun terhadap Pemilukada. Jajak pendapat Litbang harian Kompas,
misalnya, menunjukkan, rata-rata tingkat partisipasi pemilih di Pemilukada
mulai tahun 2010, menunjukkan persentase penurunan dibandingkan awal
Pemilukada tahun 2005, yaitu dari rata-rata 75 persen, atau bahkan saat itu
beberapa daerah ada yang lebih dari 90 persen, menjadi 71 persen. Dari 52
Pemilukada yang dihimpun datanya, tercatat rata-rata tingkat partisipasinya
sebesar 67,9 persen.27
Pada kasus Pemilukada DKI Jakarta, menurut artikel yang ditulis oleh
Ketua Panwaslu setempat, Ramdansyah, bahwa KPU menggunakan payung
hukum UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Data DP 4 yang
diserahkan Dinas Dukcapil kepada KPU DKI pada 6 Januari 2012, tentunya
tidak bersumber pada data e-KTP. Hal ini, karena e-KTP masih dalam proses
pereaeman e-KTP. Jumlah DP4 yang diserahkan Dinas Dukcapil Provinsi DKI
Jakarta berjumoah 7.545.989 pemilih. Jika KPU DKI Jakarta menggunakan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka acuannya adalah
data pemilih pemilu yang terakhir atau dalam konteks ini adalah DPT Pilpres
per bulan Mei 2009 yang dikeluarkan oleh KPU DKI Jakarta saat itu, adalah
7.668.058 jiwa. Jika pertumbuhan penduduk DKI Jakarta adalah 1,5 persen
per tahun, maka dalam tempo 2 tahun DPT pemilih DKI Jakarta meningkat
sebesar 230.000 pemilih. DPS Pemilukada DKI Jakarta meningkat sebesar
230.000 pemilih. DPS Pemilukada DKI Jakarta, jika menggunakan patokan
DPT Pilpres tahun 2009 sebagai dasar penghitungan KPU, maka seharusnya
mencapai kisaran 7,9 juta pemilih, bukan justru menurun sebanyak 122.069
pemilih.28
Tidak saja terkait dengan pendataan pemilih, pemilukada juga berkaitan
dengan proses pemekaran daerah, yang menjangkau perkembangan
komplikasinya dengan keinginan pembentukan desa. Kasus di Provinsi
NTB, membengkaknya jumlah desa yang ingin dibentuk berbanding lurus
dengan kebutuhan anggaran bagi pemilukada setempat yang juga mengalami
peningkatan. Di Provinsi NTB, pada tahun 2010 tercatat adanya 630 desa/
kelurahan dan pada tahun 2012 membengkak jumlahnya menjadi 1.119 desa/
kelurahan. Artinya, dalam dua tahun terdapat 480 desa/kelurahan tergolong
baru. Jika dibagi dengan jumlah hari dalam setahun, setidaknya terdapat satu
27
28
“Antusiasme Publik Terus Turun”, Kompas, 9 Juli 2012.
Ramadansyah, “Daftar Pemilih Bermasalah”, Suara Pembaruan , 29 Mei 2012.
20
Prayudi
desa baru setiap harinya. Konsekuensinya, adalah membengkaknya anggaran
pembangunan kabupaten/kota untuk membiayai roda pemerintahan desa.
Dana itu berasal dari dekonsentrasi untuk pemerintah desa yang disebut
sebagai Alokasi Dana Desa (ADD).
Untuk Kabupaten Lombok Barat, dari 115 desa (4 desa belum definitif,
3 kelurahan versi Pemkab setempat), pada tahun 2012 memperoleh
Rp20.106.923.000,00. Dari 15 desa itu, memperoleh ADD rata-rata Rp175
juta yang antara lain digunakan untuk honor aparat desa, pembelian alat
tulis kantor (30 persen), selain untuk pembangunan sarana dan prasarana
lainnya. Anggaran itu untuk kegiatan pelayanan rutin desa setiap hari.
Namun, pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota akan melambung
saat pemilukada sebagai efek domino dari banyaknya jumlah desa. Di NTB,
misalnya, dalam kurun waktu 2013 akan dilakukan pemilukada gubernurwakil gubernur yang berlangsung serentak dengan pemilukada walikotawakil walikota Bima dan bupati-wakil bupati Lombok pada 13 Mei 2013.
Penyusunan anggaran biaya oleh KPU Provinsi NTB menyusul munculnya
desa-desa baru yang memerlukan petugas pelaksana selama proses
pemilukada seperti halnya Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa
dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kegiatan ini memerlukan biaya besar,
yang setelah dibahas eksekutif dan legislatif setempat memperoleh alokasi
Rp10,5 miliar dari APBD NTB 2012 (8 miliar dan anggaran biaya tambahan
(Rp2,5 miliar).29
Intervensi birokrasi terhadap kerja KPU di daerah juga sangat berpotensi
untuk dijalankan untuk mendukung incumbent. Kasus KPU Pamekasan
yang dianggap tidak profesional dan bertindak partisan, adalah menjadi
contoh intervensi semacam itu. KPU Pamekasan tidak meloloskan salah satu
pasangan Pemilukada Kabupaten Pamekasan tahun 2012, yaitu terhadap
Achmad Syafii dan Halil. Pasangan ini dinilainya gagal karena terdapat surat
pernyataan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bahwa KTP
Halil diterbitkan secara tidak prosedural. Akibatnya, tindakan KPU daerah
tersebut, semua anggota KPU Pamekasan, Jatim, diberhentikan secara tetap
oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketua dan anggota
KPU Pamekasan dinilai tidak profesional, cacat hukum, berpihak, dan
melanggar asas tertib dan kepastian hukum, dalam penetapan calon peserta
Pemilukada Kabupaten Pamekasan.30
Sedangkan dalam pemilukada Gubernur Sulsel 2013, Panwas setempat
menemukan 50 pelanggaran administrasi dan lima pelanggaran pidana
yang seluruhnya dilakukan oleh PNS. Sehingga, PNS dianggap mendominasi
29
30
“Membaca Angka-Angka Pilkada NTB”, Kompas 6 Desember 2012.
“KPU Pamekasan Diberhentikan”, Kompas 7 Desember 2012.
21
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pelanggaran selama masa kampanye Pemilukada Sulsel pada 5-18 Januari
2013. Kelima kasus pelanggaran terjadi di lima kabupaten/kota, yaitu Tana
Toraja, Luwu Utara, Luwu, Sidenreng, Rappang, dan Makasar. PNS melakukan
pelanggaran, berupa keikutsertaannya dalam kampanye dua pasangan
kandidat gubernur-wakil gubernur, yaitu pasangan Ilham Arief SirajuddinAbdul Azis Qahhar Mudzakar dan pasangan Syahrur Yasin Limpo-Agus Arifin
Nu’mang. PNS yang terlibat mulai dari para lurah, camat, hingga pejabatpejabat eselon. Pemilukada Sulsel diikuti pula oleh pasangan kandidat, Andi
Radiyanto Asapa-Andi Nawir Pasinringi. Para PNS itu umumnya didapati
mengerahkan simpatisan agar mendukung salah satu pasangan kandidat.
Pelanggaran administrasi yang ditemukan, antara lain, berupa pemasangan
atribut kampanye tidak pada tempatnya, dan pelaksanaan kampanye
melampaui batas waktu yang telah ditetapkan.31
31
“Birokrat Melanggar”, Kompas, 19 Januari 2013.
22
BAB III
KELEMBAGAAN BIROKRASI PEMDA
DAN KULTUR POLITIK YANG BERKEMBANG
1. KETERGANTUNGAN SECARA PERSONAL PADA FIGUR KEPALA DAERAH
Pentingnya netralitas birokrasi dalam pemilukada, biasanya sangat
tergantung pada figur personal kepala daerah bersangkutan dalam melakukan
langkah-langkah mencegah intervensi politik terhadap birokrasi. Hasil studi
penelitian Siti Zuhro, di di Kabupaten Jember, menunjukkan pentingnya posisi
dari figur personal kepala daerah setempat, meskipun berbagai kebijakan
di tingkat pusat juga berperan di tingkat sekunder, yang menjadi sarana
pendukung komitmen dan langkah-langkah di tingkat lokal. Hasil studi Siti
Zuhro ini, antara lain menunjukkan bahwa isu netralitas birokrasi senantiasa
muncul di setiap pemilu, tidak terkecuali dalam pemilukada. Pejabat Bupati
Jember, Sjahrazad Masdar yang memimpin Jember sekitar tiga bulan saat itu
(Mei-Agustus 2005) pernah membuat gebrakan tentang netralitas birokrasi.
Gebrakan netralitas birokrasi dari pejabat bupati Jember ini, mewajibkan
PNS Jember netral dan tidak terlibat dalam pemilukada serta tidak boleh
mendukung atau menjadi tim sukses calon kepala daerah. Kebijakan Masdar
tidak hanya didasarkan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang PokokPokok Kepegawaian, tetapi juga didukung oleh adanya Surat Edaran Menpan
No. 08/2005 (SE/08.A/M.PAN/5/2005) tentang Netralitas Pegawai Negeri
Sipil dalam Pemilihan Kepala Daerah. Berdasarkan legalitas kebijakan pusat
dan komitmen yang dimiliki oleh Pejabat Bupati Jember ini, maka serangkaian
langkah dijalankannya, termasuk melakukan proses penertiban beberapa
camat dan kepala desa yang dinilai secara terang-terangan mendukung
incumbent.1
Kultur politik paternalisme menciptakan kepatuhan dari masyarakat
terhadap elit pemegang kekuasaan yang sukar dikontrol oleh publik terkait
obyektivitas kepatuhan itu sendiri dalam konteks kepentingan publik.
Sehingga, figur personalitas dalam birokrasi pemda menjadi faktor yang
menentukan terhadap orientasi loyalitas yang terbentuk dengan mengacu
pada kemungkinan terjadinya netralitas atau sebaliknya berupa sikap
1
R. Siti Zuhro, “Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam Pilkada Jember”, Jurnal Demokrasi
& HAM Vol. 6 No. 2, 2006, h. 67-69
23
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
partisan birokrasi dalam agenda politik tertentu, seperti halnya pemilukada.
Politik partisan birokrasi semakin dibuka peluangnya, mengingat di Pasal
130 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan: “(1) Pengangkatan, pemindahan
dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah
provinsi ditetapkan oleh Gubernur; (2) Pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah
kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada
Gubernur.” Kewenangan Gubernur/Bupati/Walikota terkait pengelolaan
kepegawaian daerah, menjadi tersentralisasi secara ikatan loyalitas politik
kepada kepala daerah, meskipun terdapat fungsi pertimbangan dari Badan
Kepegawaian Negara (BKN) menyangkut mutasi PNS di daerah.
Momentum Pemilukada yang rawan bagi terjadinya manipulasi dukungan
aparat, menyebabkan netralitas birokrasi terhadap politik menjadi sangat
rawan dipertaruhkan. Penanganan agenda netralitas itu kadangkala masih
bertumpu pada figur secara individual di daerah bersangkutan, mengingat
pergantian pejabat dapat menciptakan kondisi yang lain saat tahapan
penyelenggaraan pemilukada semakin mendekat. Padahal, ini menunjukkan
lemahnya rotasi jabatan sebagai hal rasional dan normal dalam lingkungan
birokrasi yang profesional. Kasus menjelang Pemilukada Gubernur Jatim
tahun 2013 misalnya, menunjukkan keperluan yang tinggi dalam proses
rotasi pemilukada itu dengan tuntutan netralitas politik dari birokrasi.
Sekretaris Daerah (Sekda), Rasiyo, yang seharusnya pada 17 Desember
2012 genap berusia 60 tahun, alias telah memasuki usia pensiun, akhirnya
memperoleh kebijakan perpanjangan masa jabatannya. Presiden SBY, melalui
surat Keputusan Presiden (Keppres) mengenai perpanjangan masa jabatan sekdaprov Jatim ini merupakan yang kedua kalinya. Alasan yang disampaikan
Gubernur Jatim, Soekarwo, bahwa perpanjangan masa jabatan Rasiyo dinilai
perlu, terutama menjelang Pemilukada Gubernur Jatim tahun 2013, yaitu
dalam konteks netralitas dalam birokrasi yang membutuhkan orang yang
professional, khususnya jabatan Sekda. 2
Semula santer disebut-sebut bakal menggantikan Rasiyo adalah Ahmad
Sukardi (Asisten IV Sekdaprov Jatim), Akmal Boedianto (Kepala Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) Jatim, Moh Harun (Kepala Dinas Pendidikan Jatim,
Harry Soegiri (Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan
Jatim). Rasiyo yang saat ini menduduki kursi tersebut dilantik pada pada 21
April 2009 dan pensiun 20 Desember 2011. Namun faktanya, jabatan tersebut
diperpanjang hingga akhir Desember 2012. Sebelumnya, Menseskab Dipo
Alam menolak perpanjangan Rasiyo. Melalui surat Menseskab tertanggal
2
“Menjelang Pilkada, Masa Jabatan Sekda Diperpanjang”, Koran Tempo, 2 Januari 2013.
24
Prayudi
14 November 2012, perihal perpanjangan Batas Usia Pensiun (BUP), telah
diuraikan alasan penolakan. Surat tersebut juga ditembuskan ke Presiden SBY
sebagai laporan (dan pertimbangan).3 Pertimbangan penolakan BUP Rasiyo,
tertera pada alenia ketiga diktum kedua, yakni: agar perpanjangan BUP tidak
menjadi preseden dan kebiasaan, karena dapat mengganggu proses reformasi
birokrasi dan (mengganggu) pembinaan karir PNS.
Pertimbangan itu merupakan arahan Presiden, termasuk di dalamnya
kepada menteri jajaran kabinet, agar tidak mengajukan perpanjangan
BUP pejabat eselon I. Tetapi, kemudian, dengan alasan netralitas birokrasi,
Presiden menyetujui usul perpanjangan BUP Rasiyo. Perpanjangan masa
jabatan Sekda Jatim, Rasiyo, bersamaan dengan Direktur Jenderal (Dirjen)
Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, yang jabatannya juga
diperpanjang selama satu tahun. Pasal 122 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemda antara lain, menyebutkan, tentang jabatan Sekretaris Daerah diisi oleh
PNS yang diangkat untuk jabatan dimaksud dan telah memenuhi persyaratan.
Untuk Sekda di tingkat Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan
kedudukannya sebagai Sekda, maka dirinya merupakan pembina pegawai
negeri sipil di daerah. Adapun di Penjelasan ayat (4) Pasal 122 Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “pembina”
pegawai negeri sipil dalam ketentuan ini adalah pelaksanaan pengembangan
profesionalisme dan karier pegawai negeri sipil di daerah dalam rangka
peningkatan kinerja.”
Di samping kasus di atas, di DKI Jakarta juga menghadapi masalah
terkait persaingan politik dalam memperebutkan jabatan Sekda pasca
Pemilukada Gubernur tahun 2012. Ketika jabatan Sekda yang semula dijabat
oleh Fadjar Panjaitan, menjelang mamasuki masa pensiun, Gubernur Jokowi
dan wakilnya, Basuki Tjahaya Purnama, sempat tidak menemukan kata
sepakat dalam menentukan pejabat yang menggantikannya. Terbersit kabar
adanya lima pejabat yang dinominasikan untuk menjadi Sekda Pemprov
DKI. Mereka ditengarai sudah memasuki tes tahap pertama, saat itu, adalah
Deputi Gubernur DKI Jakarta, Bidang Pengendalian Kependudukan dan
Pemukiman, Syahrul Efendy, Walikota Jakarta Utara, Bambang Sugiyono,
Kepala Inspektorat, Franky Panjaitan, Assisten Pembangunan, Wiriyatmoko,
dan Asisten Pemerintahan, Silviana Murni. Hasil dari tes tahap pertama sudah
menyebutkan, bahwa Wiriyatmoko dan Silviana Murni dinyatakan tidak lolos.
Sementara tiga pejabat lainnya, diajukan kepada Kemendagri untuk mengikuti
3
“Jabatan Sekda Prov Jatim: Setelah Kontroversi akhirnya Resmi Diiperpanjang”. dalam
http://www.wartapedia.com., diakses 2 Januari 2013..
25
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
tes berikutnya. Di antara tiga pejabat yang maju ke tahapan 2 seleksi, dianggap
terdapat dua pejabat yang didukung oleh partai politik masing-masing yang
menjagokannya. Kemendagri dinilai lebih memilih Syahrul Efendy, karena
dianggap berlatarbelakang birokrat, antara lain sebagai Walikota Jakarta
Selatan. Sedangkan, pihak pendukung Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, lebih
lebih menginginkan, Bambang Sugiyono, sebagai Sekda Pemprov DKI, dengan
alasan tertentu terkait kapasitas dan kepribadian bersangkutan untuk
mendukung kinerja pemerintahan setempat.4
Persoalan netralitas birokasi terhadap politik dalam konteks momentum
pemilukada, juga terjadi di Provinsi Jateng. Menurut Pengajar FISIP, Undip,
Semarang, M. Yulianto, pergeseran pejabat eselon II di Provinsi Jateng bulan
Desember 2012, dianggap bermuatan politik. Hal ini merujuk pada kasus
antara lain mengenai pergantian Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
setempat, dari Ihwan Sudarajat sebagai Staf Ahli Gubernur Provinsi Jateng,
Bibit Waluyo.5 Di Provinsi Jateng, memang terjadi mutasi terhadap lebih dari
100 pejabat setempat pada kurun waktu akhir Desember 2012, dan kebijakan
tersebut terkesan sangat kuat bernuansa politisasi birokrasi. Hal ini mengingat
pemilukada Gubernur Jateng direncanakan saat itu akan dilakukan pada saat
Mei 2013. Mendagri Gamawan Fauzi sudah mempertanyakan kebijakan mutasi
pejabat di Provinsi Jateng, dan Pemda beralasan bahwa pihak Baperjakat-nya
sudah melakukan persidangan untuk melakukan keputusan mutasi, justru
sebelum surat edaran dari Mendagri selaku wakil pemerintah pusat diterima
pihak Pemda Jateng. Alasan semacam ini dianggap tetap tepat, ketika pihak
pemerintah pusat berkeinginan melarang mutasi menjelang pemilukada.6
Usaha mewaspadai terjadinya pergeseran birokrasi terkait netralitas
secara politik yang sangat rawan dimainkan menjelang pemilukada, juga
sekaligus merupakan dukungan bagi desentraliasi kebijakan kepegawaian
yang dianut. Pasal 28 Huruf a Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terdapat ketentuan yang melarang kepala daerah dan
wakil kepala daerah membuat keputusan yang secara khusus memberikan
keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau
kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundangan,
merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat,
atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain.
Di samping itu, UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian,
juga ditegaskan mengenai masalah netralitas PNS. Sementara itu, melalui
RUU ASN, kondisi demikian juga coba diperbaiki dengan melakukan sistem
6
4
5
Parpol Incar Sekda DKI, Suara Pembaruan, 15 Februari 2013.
“Ribuan Surat Suara Rusak”, Kompas, 3 Januari 2012.
“Dilarang Mutasi jelang Pilkada”, dalam Loc.cit.
26
Prayudi
sentralisasi dalam manajemen kepegawaian oleh pemerintahan SBY-Boediono,
sebagaimana diatur dalam draft RUU tentang Pemda, melalui Kemdagri (tahun
2011). Pasal 111 RUU Pemda dimaksud, tegas menyebutkan: “(1) Pemerintah
Pusat melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil di Daerah
dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil di
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi,
pengadaan, kinerja, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, hak dan
kewajiban, gaji, tunjangan, kesejahteraan, kedudukan hukum, pengembangan
kompetensi, pengawasan dan pengendalian, dan penetapan pensiun; (3)
Manajemen Pegawai Negeri Sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sebagai satu kesatuan pengaturan dalam Undang-Undang mengenai
kepegawaian.”
Di tengah masih kuatnya pergeseran aparat di birokrasi terkait politik
persaingan pemilukada, Mendagri Gamawan Fauzi pernah mengeluarkan
Surat Edaran tentang pelaksanaan Mutasi Pejabat Struktural Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggal 27 Desember 2012. Surat
Edaran Mendagri ini adalah ketentuan larangan bagi kepala daerah untuk
melakukan mutasi pejabat struktural terhitung memasuki 6 bulan menjelang
pemilukada. Larangan ini dianggap untuk menghilangkan politisasi PNS
menjelang pemilukada. Surat Edaran Mendagri ini mencantumkan pula
pengecualian tertentu, yaitu dalam konteks kepala daerah tetap dapat
melakukan kebijakan mutasi pejabat struktural di masa menjelang pemilukada
untuk pengisian jabatan lowong dengan tidak melakukan pemberhentian
pejabat (non job), menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat
struktural menjadi fungsional. Di samping itu, kepala daerah juga tetap
dapat melaksanakan putusan pengadilan kepada PNS, apabila PNS yang
bersangkutan terkena kasus pidana korupsi atau pidana lain.
Fenomena politik lokal menunjukkan bahwa saat-saat menjelang
pemilukada, jabatan struktural sering diberikan kepada para pendukung
incumbent. Sementara itu, ganjaran mutasi justru diterapkan bagi mereka
yang dianggap tidak mendukung kepala daerah. Mendagri Gamwan Fauzi
menyatakan, politisasi PNS diharapkan dapat dihindari dan memang sudah
semestinya posisi PNS merupakan pejabat karier. Sehingga, promosi diukur
dari profesionalisme pegawai bersangkutan. Di samping itu, secara etika,
mutasi pejabat struktural menjelang akhir masa jabatan juga dinilai sebaga
langkah yang tidak patut.7 Selama ini dinilai memang tidak terdapat aturan
yang secara eksplisit melarang mutasi dilakukan atas dasar kepentingan
pemilukada. Tetapi, pada kenyataannya, menjelang pemilukada, seringkali
7
“Dilarang Mutasi Jelang Pilkada”, Kompas, 5 Januari 2013.
27
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
terjadi kebijakan mutasi di lingkungan birokrasi pemda. Bahkan, kepala
daerah melakukan pelantikan pejabat baru hanya dalam momentum sehari
menjelang pelantikan kepala daerah yang baru.
Persoalan mutasi pegawai di daerah, juga memiliki dimensi konflik
yang tidak saja terjadi di tingkat internal birokrasi bersangkutan, tetapi juga
dengan kalangan pemerintah daerah lain, terutama yang berbatasan dengan
daerahnya. Kasus mutasi pejabat di Kota Tangerang, misalnya, menunjukkan
persoalan kepegawaian di lintas daerah tersebut. Hal ini sebagaimana
ditunjukkan pada kasus pelantikan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
Tangerang, Zainuddin, yang justru sebelumnya dirinya adalah menjabat
sebagai Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Kota Tangerang.
Zainudin sendiri juga tercatat pernah selama 8 tahun menjabat sebagai Kepala
Dinas Pendidikan Kota Tanggerang. Kepindahan dan pelantikan Zainudin di
Kabupaten Tangerang, bersama 19 pejabat eselon II lainnya, telah membuat
Walikota Tangerang, Wahidin Halim menjadi gusar. Kegusaran Wahidin Halim
didasari oleh anggapan dirinya yang merasa tidak dimintakan izin untuk
kepindahan pejabat bersangkutan, sehingga dinilainya sebagai cacat hukum.
Sebaliknya, bagi Bupati Tangerang, Ahmad Zaki Iskandar Zulkarnaen justru
menilai, proses pelantikan Zaenudin dimaksud sudah memenuhi persyaratan
dan prosedur yang berlaku.8
Sengketa mutasi pejabat di atas melibatkan Sekda Kota Tangerang
Harry Mulya Zein yang mengakui, bahwa dirinyalah yang menandatangani
surat pengantar mutasi untuk M. Zainudin. Hary menjelaskan bahwa surat
pengantar mutasi itu ditandatangani pada 11 Maret 2013, meskipun tanpa
sepengetahuan kepala daerahnya sendiri, dirinya merasa tidak melanggar
aturan. Sebagai Sekda, Harry merasa memiliki kewenangan sebagai pembina
PNS daerah setempat, sesuai UU No. 43 Tahun 1999. Padahal, sesuai dengan
PP No. 54 Tahun 2003 tentang Formasi PNS, yang juga mengacu antara lain
pada UU No. 43 Tahun 1999, di Pasal 1 angka 4 menyatakan: “Pejabat Pembina
Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”. Walikota
Tangerang, Wahidin Halim mengadukan masalah mutasi pejabat ini kepada
8
“Bupati Tegaskan Kepindahan Pejabat Sah”, Koran Tempo, 2 Mei 2013. Kasus mutasi pejabat
ini semakin memanaskan konflik antara Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Hal ini
mengingat kedua daerah tersebut juga mempunyai sengketa terkait lahan Bandar Udara
Soekarno-Hatta. Sengketa muncul setelah Pemerintah Kabupaten Tangerang mengklaim
area seluas 320,6 hektar yang kini menjadi Terminal III dan sebagian Terminal II dianggap
termasuk wilayahnya. Pemerintah Kabupaten Tangerang menuntut pembayaran aneka
retribusi, seperti halnya parker, tetap dibayar pengelola bandara itu kepada pihaknya,
sebagaimana dilakukan pada akhir 2011 dan awal 2012. Adapun Kota Tangerang sendiri
menggugat, sampai kemudian bandara menghentikan pembayaran retribusi tersebut.
28
Prayudi
Kemdagri dan meminta Zainudin dikembalikan ke Kota Tangerang. Bahkan,
dirinya sempat mengancam untuk menonjobkan yang bersangkutan.9 Apabila
mengacu pada Pasal 131 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, bahwa: “(2)
Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan
eselon II pada pemerintah daerah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh
Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan Gubernur.” Artinya, pada
kasus ini, seharusnya, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah menjadi pihak
yang diajak berkonsultasi terlebih dahulu dalam rangka proses mutasi
bersangkutan.
Pada sisi yang lain, peran media massa di tingkat lokal yang lebih cenderung
kurang berani secara frontal terhadap dugaan-dugaan penyimpangan
kekuasaan dibandingkan kalangan pers di tingkat nasional, menunjukkan
relasi lemahnya pengawasan publik bagi pemanfaatan jalur birokrasi dalam
pemilukada menjadi hal yang sangat signifikan keberadaannya. Pemilukada
sebagai bagian dari pengembangan kesadaran berpolitik rakyat ditingkat
lokal, sudah tentu membutuhkan peran birokrasi yang juga terlibat secara
intensif dalam pembangunan politik identitas kedaerahan dalam bingkai
integrasi nasional.
2. WARNA IDENTITAS POLITIK KOMUNAL
Peran birokrasi dalam pengembangan kesadaran identitas lokal di
atas, sebenarnya sangat positif bagi penguatan pluralitas politik kesadaran
bernegara. Tetapi, persoalannya adalah tanpa pengawasan masyarakat sipil
yang sejalan dengan resources relatif besar dari birokrasi, maka figur kepala
daerah menjadi terlampau dominan dalam mengarahkan peran birokrasi
dimaksud. Itu sebabnya, ketika menjelang pemilukada, kekhawatiran di
kalangan aparat terhadap pergeseran jabatan menjadi sedemikian menguat
dan bahkan mengundang saling curiga antar satu sama lain personal aparat
itu sendiri.10 Apalagi, dengan fenomena pemilukada yang sangat kuat diwarnai
oleh penggunaan isu SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan), maka
sikap kecurigaan ini akan menjadi api dalam sekam yang menciptakan konflik
secara komunal yang membahayakan tidak saja bagi stabilitas pemerintahan
daerah setempat, tetapi juga merusak ikatan kebangsaan secara nasional.
9
10
“Sekretaris Daerah Tangerang Bantah Mutasi Pejabat Langgar Aturan”, Koran Tempo, 3
Mei 2013.
Kasus penggantian beberapa lurah yang menyerahkan berkas dukungan kepada pasangan
Faisal Basri-Biem Benyamin dalam Pilkada Gubernur DKI 2012, misalnya salah satu di
antara berbagai kasus pergeseran di tubuh pemda yang sangat kuat diduga terkait
masalah politik partisan dalam Pilkada. Lihat “Faisal Basri Tak Takut Digembosi” Koran
Tempo, 26 Maret 2012.
29
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Masyarakat sendiri masih mudah dibius oleh isu SARA, yang sebenarnya
adalah usaha politik penyesatan elit secara tidak bertanggungjawab dalam
rangka mengejar dan mempertahankan kekuasaan. Walaupun keunikan suatu
daerah dengan karakteristik kosmopolitan, dapat mematahkan argumentasi
kekuatan isu SARA dalam proses politik Pemilukada. Hal ini sudah dibuktikan
oleh kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pemilukada DKI Jakarta, khususnya di
putaran kedua, yang mengungguli pasangan Foke-Narowi Ramli. Berbagai
lontaran bersifat rasial etnisitas dan isu agama justru menjadi boomerang
bagi pasangan Fauzi Bowo-Narowi Ramli yang notabene didukung oleh antara
lain PKS sebagai partai yang memiliki identitas politik keIslaman yang kuat.
Padahal, otonomi atau federalisme dianggap dapat menurunkan konflik
etnis, menaikkan tuntutan nasionalis, dan mencegah pembelotan. Ketika
kelompok-kelompok etnis atau bangsa terkonsentrasi secara territorial,
federasi menghilangkannya dari pusat dan membuka celah-celah baru di
tingkat sub nasional. Ia memberikan sarana kepada kelompok etnis atau
kebangsaan tertentu untuk memperoleh pengakuan budaya, jaminan
tertentu, undang-undang, atau keuntungan untuk dirinya sendiri. Kekuasaan
yang terlembaga melalui pemindahan kekuasaan atau federasi dapat
memungkinkan kelompok, misalnya, untuk mengelola dan mengembangkan
sistem pendidikan, lembaga-lembaga agama, atau undang-undang bahasa
mereka sendiri. Hal ini juga dapat memperkenalkan kelenturan atau
keragaman dalam kebijakan, program, dan alokasi sumber daya yang tidak
dapat dilakukan oleh pemerintahan yang terpusat.11
Meskipun demikian, menurut Jacques Bertrand, diperlukan beberapa
kondisi agar otonomi bisa memiliki efek positif terhadap hubunganhubungan kelompok etnis. Pertama, unit-unit federal atau otonomi akan
bisa berjalan dengan baik ketika batas-batas territorial mereka bersesuaian
dengan kelompok yang relatif homogen. Tetapi juga diakui, bahwa di tengah
keuntungan yang sama dapat diterapkan terhadap pemindahan kekuasaan
bagi unit-unit yang heterogen, memang terdapat risikonya. Minoritas dapat
menikmati status baru mereka sebagai mayoritas dalam wilayah otonom
yang baru, tetapi minoritas yang baru terbentuk itu mungkin saja melakukan
pembelahan kembali dirinya ke dalam kantong-kantong otonomi kedaerahan
yang bahkan lebih kecil lagi. Federalisme berkemungkinan melibatkan
amalgamasi unit-unit, di mana sebagian bersifat lebih homogen dari yang lain.
Kedua, suatu lingkungan politik demokratis yang lebih kondusif bagi
pemindahan kekuasaan politik yang berhasil. Demokrasi yang terbangun
dengan baik dapat dengan lebih baik menjamin bahwa perundingan mengenai
11
Jacques Betrand, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta,
2012, h. 303.
30
Prayudi
perubahan kelembagaan dilaksanakan sepenuhnya dan bahwa proses hukum
dapat diakses untuk menyelesaikan pertikaian. Bahkan, pada masa pencapaian
kompromi mengenai bentuk otonomi baru, partisipasi demokratis mungkin
mempunyai arti penting. Solusi yang dipaksakan atau yang tidak dihasilkan dari
permusyawaratan luas bisa gagal menghasilkan dukungan yang cukup untuk
bisa dilaksanakan secara memadai. Para anggota kelompok yang mendapat
keuntungan dari otonomi, misalnya, bisa menentang bentuk-bentuk kelembagaan
yang baru dengan alasan, bawah, nantinya, otonomi bisa saja dibalik.
Ketiga, terdapat peluang yang lebih baik untuk menurunkan ketegangan
etnis ketika pembagian kekuasaan atau pemindahan kekuasaan, antara pusat
dan berbagai unit-unitnya jelas. Federalisme kooperatif, hak pemerintah
pusat untuk memveto atau memberikan keputusan kepada unit-unit otonom,
bisa menurunkan keefektivan strategi demikian, khususnya dalam hubungan
dengan kekuasaan yang terkait perlindungan identitas kelompok etnis.
Keempat, desentralisasi keuangan mungkin sama pentingnya dengan
pemindahan kekuasaan politik. Kekuasaan politik tanpa kendali atas sumbersumber keuangan bisa tidak berarti apa-apa. 12
Di tingkat internal birokrasi Pemda, dapat terjadi silang kepentingan bagi
kebutuhan pengisian dan mobilitas jabatan para anggota tim sukses kepala
daerah dalam Pemilukada dengan pertimbangan-pertimbangan yang bernuansa
aspirasi komunal. Padahal, secara normatif, agar dapat dipromosikan ke dalam
jabatan struktural di birokrasi, maka pegawai negeri harus memiliki Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) yang memiliki nilai baik. Pengangkatan
dalam jabatan sudah diatur secara rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait kepegawaian, yang mensyaratkan pada masalah
kepangkatan, pengalaman, pendidikan, dan kebutuhan organisasi. Tetapi dalam
perkembangannya, sebagaimana banyak kasus terjadi sebagaimana pernah
ditunjukkan kasus di Provinsi Sulawesi Tenggara, pengangkatan PNS dalam
jabatan struktural yang lebih dominan didasarkan pada kepentingan politik yang
sedang berkuasa. Dalam kasus ini, misalnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali
Mazi dan jabatannya dilaksanakan oleh Wakil Gubernur sebagai Plt. Gubernur,
maka saat itu Wakil Gubernur sebagai Plt. Gubernur, maka Wakil Gubernur
Yusran Silondae mengadakan perubahan struktural jabatan birokrasi beberapa
pejabat eselon II dan III yang diparkir setelah Gubernur Ali Mazi yang diaktifkan
kembali sebagai Gubenur. Sehingga, semua pejabat eselon yang tadinya diangkat
oleh Wakil Gubernur dikembalikan lagi dan bahkan di nonjobkan.13
12
13
Ibid., h. 304.
Azhari, Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia: Studi perbandingan Intervensi Pejabat
Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2011, h, 205
31
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Mutasi yang lebih spektakuler pernah dilakukan Gubernur Ali Mazi di
saat terakhir kekuasaannya mengadakan mutasi jabatan eselon II, eselon III,
eselon IV, di antaranya dua kepala dinas pejabat eselon II yang dinonjobkan.
Mutasi yang dilakukan oleh Ali Mazi, menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat, di antaranya, Ridwan, Bupati Muna yang juga aktif sebagai ketua
DPD II Partai Golkar di Kabupaten Muna, di mana Ali Mazi sebagai Ketua
DPD Golkar, Sulawesi Tenggara. Ridwan merisaukan adanya tiga stafnya dari
pemda Kabupaten Muna yang diangkat menduduki jabatan struktural di
provinsi tanpa melalui mekanisme kepegawaian yang seharusnya. Di samping
itu, langkah mutasi yang terkesan didasarkan pada balas dendam ini juga
dikritik oleh Ridwan sebagai langkah yang keliru.14 Artinya, kelembagaan
internal birokrasi, seperti halnya Baperjakat dan DP3 sama sekali diabaikan
oleh kepentingan politik kekuasaan dan nilai-nilai profesionalisme justru
dikorbankan keberadaannya.
Pada kasus daerah lain, juga muncul pertanyaan terkait langkahlangkah pergeseran pejabat birokrasi secara besar-besaran, sebagaimana
terjadi di Provinsi Aceh tidak lama setelah pemilukada dilakukan, termasuk
setelah tampilnya Zaini Abdullah sebagai gubernur yang menggantikan
Irwandi Yusuf. Pada 5 November 2012, Pemerintah Provinsi Aceh mendadak
melakukan pergeseran besar-besaran terhadap 57 pejabat eselon II di
Satuan Kerja Pemerintah Aceh. Pergeseran dilakukan terkait posisi kepala
dinas, kepala badan, dan kepala biro, yang dalam perjalanan waktu saat itu
adalah tergolong terbesar jumlahnya sejak tercapainya kurun waktu damai
Aceh pasca penandatangan MOU Helsinki. Dari 57 pejabat eselon II yang ada,
sebanyak 30 orang dimutasikan ke dinas dan badan yang lain, sedangkan
sisanya diberhentikan dan dikembalikan ke posisinya, misalnya mengajar di
perguruan di Aceh.15 Di satu pihak, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengatakan,
pertimbangan mutasi besar-besaran ini adalah merupakan langkah pemda
dalam melakukan sinkronisasi antara tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja
Pemerintah Aceh (SKPA) dengan keahlian dan pengalaman kerja pejabat
tersebut. Di samping itu, langkah mutasi dianggapnya juga merupakan bagian
dari tour of duty dan proses penyegaran di SKPA, berdasarkan hasil evaluasi
kinerja dan integritas para pejabat eselon II dan dinilainya merupakan bagian
dari reformasi birokrasi. Tetapi, di lain pihak, menurut Koordinasi Masyarakat
Transparansi Aceh, Alfian, skema pergeseran yang dilakukan justru
bertolakbelakang dengan reformasi birokrasi. Rekrutmen dan pergantian
yang tertutup serta muncul dugaan tekanan dari berbagai pihak terhadap
14
15
Ibid., h.206.
“57 Pejabat di Aceh digeser”, dalam Kompas, 6 November 2012.
32
Prayudi
Pemda sehingga pada gilirannya melakukan langkah pergeseran para pejabat
dimaksud yang justru menguntungkan para elit pemburu rente setempat.16
Di samping mutasi dan pengangkatan, kepala daerah juga berwenang
menetapkan kenaikan pangkat yang menjadi dasar pengangkatan CPNS Daerah
di lingkungannya. PP No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, dan Pemberhentian PNS, dalam Pasal 7 disebutkan, pejabat
pembina kepagawaian daerah, yaitu yang notabene dijabat oleh kepala
daearah itu sendiri, di tingkat provinsi, menetapkan kenaikan pangkat
PNS daerah provinsi dan PNS yang diperbantukan di lingkungannya untuk
menjadi Juru Muda Tingkat I Golongan Ruang I/b sampai dengan Pembina
Tingkat golongan ruang IV b. Gubernur juga menetapkan kenaikan pangkat
Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota untuk menjadi Pembina
golongan ruang IVa dan Pembina Tingkat I golongan ruang IVb. Selain itu,
Pasal 13 dari PP dimaksud menyebutkan, bahwa pengangkatan, pembinaan,
dan pemberhentian dalam jabatan PNS daerah merupakan kewenangan
penetapannya dari Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi. Penetapan
Sekretaris Daerah juga menjadi kewenangan pejabat Pembina dimaksud
setelah mendapat persetujuan dari DPRD Provinsi, demikian halnya sampai
pada tingkatan pejabat eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang
jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemda Provinsi.
Kondisi administrasi pemerintah daerah kadangkala membawa persoalan
tersendiri bagi kepegawaian setempat. Sebagaimana halnya pernah terjadi
di Provinsi Aceh, ditemukan kasus promosi bagi PNS-nya yang justru telah
meninggal di tahun sebelumnya, tahun 2012, sebagai pejabat di jajaran eselon
IVa di lingkungan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Aceh. Kesalahan
promosi ini baru diketahui setelah pelantikan 442 pejabat eselon II, III,
dan IV yang baru di lingkungan Pemerintah Aceh. Peristiwa melalui proses
pelantikannya yang dilakukan oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. PNS yang
meninggal ini diketahui bernama Rahmad Hidayat, yaitu salah seorang di antara
422 pejabat yang dilantik. Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor Peg-82122/001/2012, mempromosikan Rahmad sebagai Kepala Sub Bagian Pembinaan
Produk Hukum Kabupaten dan Kota pada Biro Hukum Sekretariat Daerah
Aceh. Rahmad sebelumnya adalah Kepala Sub Bagian Jaringan Dokumentasi,
dan Informasi Hukum di Biro Hukum dan Humas Sekretariat Daerah Aceh
Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan (BKPP) Aceh, Nasrullah,
mengakui adanya kesalahan ini dan menduga pengangkatan almarhum sebagai
pejabat eselon IVa karena pihak pengusul tidak mengetahui bahwa yang
16
Ibid.
33
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
bersangkutan telah meninggal. Kasus ini juga menjadi pertimbangan dari BKPP
dan Tim Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan).17
Bahkan, dalam kasus promosi kepegawaian di Aceh, tidak saja kesalahan
bagi pihak yang sudah meninggal, tetapi juga terjadi promosi bagi pihak
yang pernah ditangkap dalam masalah khalwat atau mesum. Sesuai dengan
Keputusan Gubernur Aceh, ada nama tertentu dari PNS yang dipromosikan
menjadi Kepala Bidang Sumber Daya Manusia pada Badan Dayah (Badan
Urusan Pesantren) Aceh. Sebelumnya, oknum PNS bersangkutan adalah
staf di Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Banda Aceh dam saat itu sempat
ditangkap petugas Wilayatul Hisbah, kota Banda Aceh, berkaitan kasus
khalwat dimaksud, yaitu pada tanggal 5 November 2012. 18
Belum lama berselang kontroversi peristiwa pelantikan di atas, Gubernur
Aceh Zaini Abdullah kembali merombak jajaran dan struktur birokrasinya.
Dalam hal ini, terdapat 26 pejabat eselon II dan III yang memperoleh promosi
jabatan baru. Di samping itu, ada 10 pejabat yang dilantik sebagai pelaksana
tugas di jajaran Sekretariat Pemerintah Aceh. Para pejabat yang dilantik itu
merupakan beberapa kepala dinas hasil pemekaran yang dilakukan selama
pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah. Di antara nama yang dilantik, terdapat
nama TA Rasyid, yang menduduki Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan
Pelatihan Pemprov Aceh, menggantikan Nasrullah. Penggantian ini terkait
kasus pelantikan PNS setempat yang sudah meninggal dan pejabat yang
mesum pada 5 Februari 2013. Sedangkan di sisi lain, secara kelembagaan,
sebagai hasil pemekaran, di antaranya terkait Dinas Pendapatan Kekayaan
dan Keuangan Aceh yang dibagi dua menjadi dinas pendapatan dan kekayaan,
serta dinas keuangan, dinas kehutanan dan perkebunan yang dipisah menjadi
dinas kehutanan dan dinas perkebunan. Pemekaran birokrasi tersebut
dianggap memperbesar beban APBD Aceh ke depan. Tercatat, bahwa untuk
belanja pegawai Pemprov Aceh tahun 2013, pemerintahan setempat harus
mengeluarkan dana Rp1,62 triliun dengan rincian belanja pegawai di pos
belanja tidak langsung sebesar Rp974 miliar dan pos belanja langsung Rp674
miliar. Sementara itu, DAU Aceh hanya sebesar Rp1,09 triliun, sehingga
terdapat kekurangan sekitar Rp519 miliar untuk menutupi belanja pegawai.
Jika kekurangan ini diambil dari PAD, berarti 65,8 persen PAD akan habis
untuk biaya PNS di pemerintahan Aceh.19
Kondisi serupa, terjadi dalam di DKI Jakarta, pasca Pemilukada tahun 2012,
Gubernur Joko Widodo telah melakukan mutasi besar-besaran dan sekaligus
melantik 20 pejabat eselon II baru setingkat kepala dinas. Bahkan, ketika
19
17
18
“Setahun Meninggal Masih Dapat Promosi”, Kompas, 8 Februari 2013.
“Pegawai Pernah Tertangkap Juga Dipromosikan, Kompas, 9 Februari 2013.
“Gubernur Aceh Kembali Rombak Birokrasi”, Kompas, 19 Januari 2013.
34
Prayudi
mutasi di bulan Februari 2013, misalnya, di antara 20 pejabat ini, terdapat
pergeseran Walikota Jakarta Selatan, Anas Efendi, yang digeser menjadi Kepala
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Pemprov DKI. Posisinya digantikan oleh
wakilnya, yaitu, Syamsuddin Noor.20 Mutasi tidak saja berdimensi pergeseran
para pejabat, tetapi juga mengingat adanya beberapa di antara mereka yang
sudah memasuki masa pensiun dan bahkan mengundurkan diri. Misalnya,
Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, Paimin
Napitupulu, Kepala Dinas Tata Ruang, Agus Subardono, dan Kepala Badan
Penanaman Modal Provinsi, Terman Siregar yang memasuki masa pensiun.
Sedangkan, jabatan Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI,
Novisa memutuskan unuk mengundurkan diri secara pribadi dan digantikan
oleh Yonathan Pasodung. Konteks mutasi pejabat dalam skala besar ini, tidak
terlepas dari figur Gubernur/Wakil Gubernur, Jokowi-Ahok, yang terpilih
dari hasil Pemilukada 2012, sangat disorot oleh publik skala nasional untuk
semaksimal mungkin dituntut mampu melayani kebutuhan masyarakat Jakarta,
dan berhadapan dengan persoalan kompleks di ibukota negara, terutama
terkait banjir, kemacetan, dan akses terhadap penanganan kesehatan. Bahkan,
Gubernur DKI Jakarta berusaha mewujudkan gagasan untuk “melelang” posisi
jabatan lurah dan camat yang dianggap kurang mampu bergerak maksimal
terhadap pelayanan publik di wilayahnya.
Sementara itu, dalam rekrutmen PNS daerah, peran kepala daerah juga
sangat besar, bahkan tidak jarang perekrutan PNS menjadi komoditas. Hal
ini diartikan sebagai ajang untuk mengumpulkan uang bagi kepala daerah.21
Caranya dengan menjual kursi CPNS dengan harga tertentu. Praktek ini
mendorong lahirnya pegawai Pemda yang nantinya terpilih tidak memiliki
kompetensi kerja sesuai dengan kebutuhan birokrasi setempat. Sehingga,
terjadi penumpukan jumlah pegawai dalam unit kerja tertentu atau bahkan
secara umum di setiap ruang lingkup pelayanan publik, tanpa disertai adanya
beban pekerjaan yang jelas. Hal ini tentu mengakibatkan kerugian bagi
keuangan negara, karena dicerminkan oleh pemborosan anggaran, sementara
pelayanan publik yang diselenggarakan tidak berjalan secara maksimal.
Kondisi demikian sangat jamak terjadi tidak saja per kasus daerah, tetapi
sudah menjadi kecenderungan yang meluas secara nasional sebagaimana
dicerminkan oleh tinggi angaran rutin pembiayaan pegawai dalam APBD.
Sementara itu, anggaran pembangunan daerah justru lebih kecil proporsi
dan besaran anggarannya secara kuantitatif. Padahal, banyak daerah masih
20
21
“Walikota Jaksel Digeser”, Media Indonesia, 15 Februari 2013.
Riris Katharina, “Pembinaan Pegawai Negeri Sipil Daerah oleh Kepala Daerah dan Masalah
Netralitas (Studi di Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sulawesi Tenggara), dalam
Jurnal Kajian Vol. 17, No. 2, Juni 2012, h 237.
35
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
mengalami keterisolasian dan kelangkaan pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
sebagai akibat dari minimnya pembangunan jaringan infrastruktur terkait
sarana transportasi dan fasilitas pendukungnya.
Loyalitas politik partisan menjadi hubungan antara kepala daeerah
dan aparat menjadi ancaman tersendiri dalam konteks budaya politik
pemerintahan daerah yang seharusnya netral. Bahkan, tidak jarang loyalitas
ini dimanfaatkan ketika terjadi kasus kepala daerah bersangkutan mengalami
kasus hukum tertentu. Misalnya, sebagaimana dialami di Medan, Sumut, Wali
Kotanya, yaitu Rahudman Harahap yang non-aktif dan diadili di Pengadilan
Tindak Pidana Perkara Korupsi Medan. Rahudman Harahap yang merupakan
mantan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Sumut, didakwa
korupsi anggaran Tunjangan Perangkat Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD)
tahun 2005 senilai Rp2,07 miliar dengan potensi kerugian negara mencapai
Rp1,5 miliar. Saat itu, Rahmudan Harahap masih menjabat Sekda Pemerintah
Kabupaten Tapanuli Selatan. Salah satu kelompok yang berdemo pendukung
walikota non-aktif ketika itu, Rahudman, adalah dari pegawai negeri
Pemerintah Kota Medan. Para PNS yang menjadi pendukung kubu wali kota
ini, berasalan, mereka diperintahkan datang ke Pengadilan Tipikor oleh
atasanya.22
Bukan hanya soal pemanfaatan loyalitas partisan PNS dan terkait
alokasi anggaran pembangunan dan rutin pembiayaan aparat yang timpang,
dikeluhkan pula mengenai pelaksanaan proyek percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia yang menitikberatkan pada infrastruktur di
seluruh provinsi justru terganjal birokrasi. Pemerintah mencetuskan Rencana
Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Konsepnya adalah membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru di seluruh
provinsi dan kabupaten/kota dengan memanfaatkan potensi lokal. Setiap pusat
pertumbuhan dihubungkan melalui infrastruktur transportasi lunak berupa
teknologi informasi. Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung, pernah
menyatakan, MP3EI bagus dari sisi konsep, namun terdapat masalah dalam
implementasinya, yaitu kebijakan yang masih beragam dan belum sinkron,
sementara pelaku usaha berkeinginan kebijakan yang tunggal dan jelas.
Permasalahan ini berada pada tingkat birokrasi, sebagaimana terjadinya kondisi
ego sektoralnya di setiap institusi kementerian yang sangat kuat. Sedangkan, di
tingkat daerah, bupati/walikota cenderung memiliki kewenangan yang besar,
sehingga gubernur sebagai koordinator wilayah tidak dapat memberikan
arahan. Padahal, Komite MP3EI tidak mepunyai kewenangan yang memadai
untuk melakukan terobosan terhadap berbagai kendala di tingkat lapangan.
22
“Sidang Ganjil Walikota Medan”, Tempo No. 4213/ 27 Mei-2 Juni 2013 , h. 92-93.
36
Prayudi
Hal ini ditambah dengan terjadinya kondisi ketidakjelasan yang kadangkala
ditemui terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) di sebagian provinsi, di
samping munculnya orientasi pamrih yang berlebihan dari Pemda atau pihak
otoritas daerah dalam merespons rencana investasi.23
3. KEBIJAKAN YANG DIAMBIL OLEH PEMERINTAH PUSAT
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar
Abubakar pernah mengatakan, perampingan jumlah pegawai di pemerintahan
daerah diharapkan mampu menghemat anggaran belanja hingga 20 persen
per tahun. Anggaran ini nantinya dapat dialihkan untuk pembangunan
infrastruktur atau program lainnya. Perampingan dapat mengubah struktur
pegawai di setiap daerah. Jumlah pegawai diperkirakan akan menyusut
sampai sekitar 11 persen.24 Setelah proses perampingan dianggap selesai,
diharapkan Pemda akan fokus pada usaha peningkatan pendapatan PNS.
Untuk menghitung jumlah penghematan yang dapat ditekan pemerintah
pusat, pihak Kemdagri sedang menyusun kualifikasi pada setiap daerah.
Kualifikasi tersebut nantinya akan menjadi patokan bagi proses perampingan
yang dilakukan terhadap birokrasi secara nasional. Dalam nota keuangan
Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 2013,
pemerintah menganggarkan gaji pegawai negeri sebesar Rp 24,1 triliun, atau
14 persen dari total RAPBN 2013 sebesar Rp1.675 triliun. Jumlah ini naik
sebesar Rp28,9 triliun atau 13,6 persen dari pagu belanja pegawai dalam
APBN P tahun anggaran 2012. Data menunjukkan bahwa jumlah pegawai
dapat memakan porsi belanja yang sangat besar. Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengemukakan, terdapat 183 kabupaten
tertinggal yang menghabiskan 67,28 persen anggaran untuk belanja pegawai.
Bahkan, terdapat kota otonom yang menghabiskan 100,59 persen dana alokasi
umum (DAU) hanya untuk memenuhi kebutuhan belanja pegawainya.25
Dalam rangka menangani masalah beban anggaran belanja pegawai yang
sangat berat bagi daerah, RUU Pemda yang diajukan oleh pemerintah ke DPR sejak
tahun 2012, memformulasikan pengalihan belanja pegawai dari kabupaten/kota
kepada provinsi. Tujuan pengalihan belanja pegawai ini adalah agar kabupaten
dan kota lebih berkonsentrasi membangun daerahnya. Menurut anggota Pansus
DPR tentang RUU Pemda, Ganjar Pranowo, anggaran yang harus dialokasikan pos
belanja pegawai negeri begitu besar porsinya, sehingga daerah lambat tumbuh
membangun daerahnya. Kondisi tersebut dianggap menjadi hambatan bagi
upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Pengalihan belanja
25
23
24
“Birokrasi Ganjal Proyek”, dalam Loc.cit., h. 19
“Perampingan Pegawai Menghemat Anggaran 20 Persen”, Koran Tempo, 12 September 2012.
Ibid.
37
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pegawai menjadi beban provinsi dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal
provinsi yang jauh lebih besar dibandingkan kabupaten/kota. Rata-rata 50
persen pendapatan provinsi bersumber dari pendapatan asli (PAD). Di samping
itu, provinsi memiliki kewenangan yang lebih sedikit dibandingkan kabupaten/
kota, karena tidak melayani publik secara langsung.26
RUU Pemda dalam rangka revisi UU No. 32 Tahun 2004 dianggap mengatur
soal urusan wajib skala provinsi, urusan wajib skala kabupaten/kota, dan
juga mengenai urusan pilihan kabupaten/kota yang berusaha untuk lebih
difokuskan menjadi pengembangan potensi unggulan di daerah. Sebagaimana
yang terjadi di Provinsi Jateng, di mana rata-rata porsinya di setiap kabupaten/
kota adalah 58,57 persen. Bahkan, di Klaten, porsi pos belanja pegawai
mencapai 71,61 persen, Karanganyar 70,12 persen, Purworejo 68,58 persen,
dan Temanggung sebesar 67,85 persen.27 Di samping itu, banyak daerah
yang PAD nya terbatas yang berakibat munculnya ketergantungan terhadap
bantuan pemerintah pusat. Persentase dana perimbangan terhadap total
pendapatan daerah di sejumlah kota mencapai lebih dari 70 persen, misalnya
Grobogan 79,11 persen, Brebes 78,49 persen, dan Solo 67,96 persen.
Melalui pengalihan beban dan pengaturan fokus dan skala urusan,
diharapkan terdapat kondisi yang dapat meminimalkan praktik penyalahgunaan
keuangan negara. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2011,
menunjukkan adanya empat profesi teratas yang terlibat kasus korupsi, yaitu
pegawai negeri dengan 293 kasus, direktur swasta/rekanan kantor 190 kasus,
anggota DPR/DPRD 99 kasus, dan kepala dinas 91 kasus.
Campur tangan kepala daerah dalam birokrasi sangat kuat pasca
pemilukada, dan pemetaan pendukung dan bukan pendukung dirinya saat
kampanye pemilukada jelas dapat membahayakan kinerja birokrasi itu
sendiri. Bahkan, langkah semena-mena dalam melakukan mutasi, promosi,
demosi aparat dalam ruang lingkup jabatan strategis dan posisi “buangan”
membawa konsekuensi bagi kinerja birokrasi yang dapat dipertaruhkan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan, kepala daerah untuk
tidak semena-mena terhadap aparat PNS. Jangan ada kekuasaan yang semenamena terhadap aparat. Semua mutasi ataupun pencopotan diatur dalam
Undang-undang. Menurut dia, kasus mutasi atau pencopotan yang dilakukan
oleh kepala daerah kerap terjadi usai pemilihan kepala daerah. Bahkan di
suatu daerah, pernah terjadi terhadap sekitar 140 PNS yang di ‘nonjob’-kan.
Mendagri mengaku bahwa pihaknya selalu mengingatkan, jika mutasi itu
melanggar prinsip-prinsip kepegawaian maka harus dibatalkan. Menurutnya,
26
27
“RUU Pemda Alihkan Belanja Pegawai ke Provinsi”, Kompas, 31 Januari 2013.
Ibid.
38
Prayudi
kasus pencopotan dari jabatan adalah sanksi yang diberikan untuk kesalahan
tergolong tingkatan sedang hingga pada tingkatan yang berat. Jangan ada PNS
yang tidak bersalah, padahal PNS bersangkutan sudah menjalani Spamen dan
Spama namun karena tidak sepaham lantas dicopot.28
Padahal, menurut Eko Prasojo, secara eksternal, penyakit korupsi dalam
birokrasi dapat disebabkan oleh relasi antar berbagai sistem yang terkait,
misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus korupsi
birokrasi di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal
ini bermula dari proses pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis
hubungan afiliasi. Faktor eksternal lain adalah budaya masyarakat yang sangat
permisif dan menjadikan suap/gratifikasi dalam proses pemerintahan dan
pelayanan sebagai hal yang biasa. Artinya, terjadi penawaran dan permintaan
antara birokrasi dan masyarakat untuk sebuah pelayanan.29
Kampanye pemilukada tidak saja berlangsung pada batasan waktu
formal yang ditetapkan KPU daerah, tetapi biasanya sudah berlangsung
jauh sebelumnya. Berbagai spanduk dan baliho misalnya, cenderung sudah
beredar di kawasan transportasi dan fasilitas publik lainnya. Alasan sosialisasi
para bakal calon dan sekedar testing the water tanggapan masyarakat
sebelum resmi diajukan oleh jalur partai atau gabungan partai, biasanya
masih dijadikan alasan agar tidak dianggap melanggar ketentuan kampanye.
Sehingga, Panwas saat itu tidak dapat memberikan catatan peringatannya
terkait dugaan pelanggaran terhadap model kampanye secara terselubung
tersebut. Ketidakberdayaan Panwas masih terjadi, yang ironisnya pemilukada
justru sudah ditempatkan pada domain atau rezim pemilu, sejak lahirnya
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 lalu, yang kemudian diperkuat dalam
konteks domain itu sebagai hasil revisinya di UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, setelah dalam kurun waktu lama Pemilukada masuk
ke dalam rezim Pemda. Rentang waktu yang panjang pada kerangka waktu
“kampanye”, semakin membuat ketegangan di internal birokrasi pemda
mudah menciptakan perpecahan antar aparat. Sehingga, fungsi pelayanan
publik dari birokrasi lebih banyak disibukkan dengan usaha mengeliminir
dampak negatif ketegangan akibat Pemilukada dikalangan unit kerja dan
para aparat. Sebaliknya, agenda pemda terhadap program pembangunan
dapat saling tumpang tindih dengan muatan kampanye dari pihak kandidat,
terutama yang berperan sebagai incumbent.
Besarnya biaya dan potensi kejenuhan masyarakat terhadap agenda
pemilu, termasuk pemilukada, mendorong usulan mengenai kemungkinan
terjadinya pemilukada secara serentak. Pemilukada serentak dianggap dapat
28
29
Mendagri Minta Kepala Daerah Jangan Semena-mena”, Republika, 28 Agustus 2012.
Eko Prasojo,“”Korupsi dan Reformasi Birokrasi”, Kompas, 9 Maret 2012.
39
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
menghemat biaya dan dengan konstruksi yang dilakukan secara bersamaan di
setiap tingkatan secara nasional akan menempatkan isu-isu lokal dalam pemilu
menjadi faktor yang signifikan bagi proses pengambilan kebijakan. Tetapi
di sisi lain, Dirjen Kemdagri, Djohermansyah Djohan, menilai, pelaksanaan
pemilukada secara serentak relatif sulit diawasi. Bahkan, pemilukada
secara serentak dapat mengancam stabilitas keamanan nasional, jika terjadi
kerusuhan akibat pemilukada dalam waktu bersamaan. Penanganannya jika
terjadi kerusuhan akibat pemilukada akan sulit, karena membutuhkan biaya
dan sumber daya yang sangat besar. Menurutnya, penyelesaian sengketa
pemilukada juga relatif lebih relatif sulit karena penanganannya terbatas
waktu. Sementara dengan penyelenggaraan secara serentak, kemungkinan
besar pengajuan gugatan sengketa pemilukada juga akan dilakukan dalam
waktu yang bersamaan.30
Terkait dengan besarnya beban dana kampanye bagi setiap kandidat
pemilukada, sebenarnya forut Rapat Kerja Komisi II terkait pembahasan
RUU Pemilukada31, yaitu ketika sejak di tingkat Panja (Panitia Kerja) sudah
diwacanakan untuk melakukan pembatasan dana kampanye. Sebagaimana
diusulkan oleh salah seorang anggota Komisi II DPR, A. Malik Haramain,
besaran dana kampanye maksimal misalnya dapat mengambil alternatif
berdasarkan jumlah penduduk yang ada di setiap daerah. Sejalan dengan ini,
anggota Komisi II DPR lainnya, Yassona H. Laoly juga mengusulkan belanja
kampanye harus dikurangi dan besarannya secara maksimal di setiap daerah
dapat dihitung dari jumlah pemilih yang ada. Misalnya, diambil biaya Rp
1000,- per pemilih, sebagai ukuran idealnya, dan untuk daerah tergolong
berpenduduk besar dengan jumlah pemilih yang banyak, seperti halnya Jabar,
yang mencapai sekitar 30 juta orang, maka belanja kampanye dapat ditetapkan
maksimal sebesar Rp30 miliar. Sementara itu, usul lainnya, dari anggota
DPD, Farouk Muhammad, pengeluaran belanja kampanye yang dibatasi
dapat ditetapkan besaran maksimalnya yaitu 1 persen dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD) di setiap daerah.32 Bahkan, kalau perlu pemasangan alat peraga
kampanye pun diperketat. Belanja kampanye dianggap penting untuk dibatasi
karena diyakini menyebabkan biaya tinggi pemilu, termasuk pemilukada.
Tingginya biaya pemilukada sangat kuat diduga mendorong lahirnya kasuskasus kepala daerah yang terjerat korupsi.
30
31
32
“Pemilihan Kepala Daerah Serentak Sulit Diawasi”, Kompas 15 September 2012.
Orang masih sering menggunakan istilah RUU Pilkada, yang menjadi domain UU No.32
Tahun 2004 sebagai cermin bagian dari regim Pemda, padahal, sejak muncul UU No. 15
Tahun 2011 yang menggantikan UU No. 22 Tahun 2007, istilah yang lebih tepat adalah
Pilkada, sebagai cerminan bagian dari regim Pemilukada.
“Batasi Dana Kampanye”, Kompa,s 7 September 2013.
40
Prayudi
Pada kasus tertentu, ketidakpastian birokrasi pemda sebagai akibat
sengketa pemilukada secara berkepanjangan, juga menjadi masalah tersendiri,
sebagaimana yang pernah dialami di Provinsi Papua. Pemilukada Gubernur
Papua sudah tertunda lebih dari 1,5 tahun dan seharusnya sudah sejak Juli
2011 lalu, Papua memiliki Gubernur hasil pemilukada yang definitif. MK
dalam sebuah putusan selanya menyatakan proses pemilihan gubernur Papua
periode 2012-2017 untuk sementara dihentikan. Penghentian ini menyusul
adanya pengajuan sengketa kewenangan pelaksana pemilihan gubernur
oleh KPU. Sebelum sengketa itu diajukan, tahapan awal pemilihan gubernur
telah diselenggarakan oleh DPR Papua. Selain didasarkan pada UndangUndang No. 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, langkah
DPR Papua tersebut juga merupakan bagian dari amanat Peraturan Daerah
Khusus (Perdasus) No. 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Gubernur Papua.
DPR Papua sudah membuka pendaftaran yang diikuti oleh tujuh pasangan
bakal calon, yaitu pasangan Lukas Enembe-Klemen Tinal, MR Kambu-Blasius
Pakage, Habel Melkias Suwae-Yop Kogoya, dan Alex Hasegem-Marthen Kayoi
yang diusung oleh berbagai partai politik. Adapun pasangan Wellington
Wenda-Weynand Watory, Noak Nawipa-Johannes Wob, serta John KarubbaWillem Magay yang maju melalui jalur independen. DPR Papua saat itu sudah
melakukan verifikasi awal atas ketujuh bakal calon tersebut. Selain itu, DPR
Papua juga telah menyerahkan ketujuh pasangan bakal calon tersebut kepada
Majelis Rakyat Papua (MPRP) untuk verifikasi keaslian mereka sebagai orang
Papua.33
Pemilukada Papua yang diselenggarakan pada tanggal 31 Juli 2011 di
Kabupaten Puncak, Papua berlangsung ricuh dan menewaskan sekitar 23
orang. Isu, model mobilisasi massa dan akibat konflik kekerasan, menjadi
warna dalam politik pemilukada di salah satu daerah di Papua tersebut.
Pihak kepolisian, antara lain sebagaimana pernah disampaikan oleh Wakil
Kepala Bareskrim, Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto, bahwa konflik dan
kasus kekerasan di dalam pemilukada Papua tersebut, sudah biasa terjadi,
mengingat masyarakat setempat yang bertemperamen tinggi. Sebenarnya,
pihak kepolisian pun berpandangan, kasus kekerasan yang terjadi dapat
diselesaikan melalui mekanisme adat, sebagaimana masyarakat Papua
sudah biasa melakukannya. Sayang sekali, pernyataan kepolisian ini, tidak
berbarengan dengan kesadaran fakta kolektivisme eksklusif yang seharusnya
ditangani secara transformatif. Menurut Novri Susan, konflik kekerasan
yang terjadi merupakan akibat negara yang tidak berhasil mencegah dan
menanganinya, jatuh korban bukan merupakan kejadian biasa yang dapat
dimaklumi begitu saja. Seharusnya, secara ideal, lembaga-lembaga resmi
33
“DPRP Siap Terima Apapun Putusan MK”, Kompas, 19 September 2012.
41
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pemerintahan memiliki kewenangan untuk melaksanakan transformasi
kekerasan di tengah masyarakat menjadi konflik damai berbasis dialog dan
mekanisme yudisial.34
Terpinggirkannya fungsi pelayanan publik dari birokrasi pemda, ketika
menjelang pemilukada, menjadi keperihatinan tersendiri. Keperihatinan ini
semakin diperkuat oleh paradoks perilaku boros pemda yang menggunakan
sekitar separuh APBD untuk membiayai belanja pegawai. Padahal, kebiasaan
ini semakin membuat kondisi keuangan semakin kritis. Temuan Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), bahwa tahun 2012 terdapat
291 daerah yang memproyeksikan untuk belanja pegawai lebih dari 50 persen
dari APBD nya. Jumlah tersebut meningkat sekitar 135 persen dibandingkan
dengan tahun 2011 yang mencapai 124 daerah. Dari 291 daerah ini, terdapat
11 kabupaten/kota yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen dan
tertinggi adalah di Kota Langsa, Provinsi Aceh.35 Inefisiensi birokrasi yang
mengundang kritik publik, juga ditampilkan saat Laporan Hasil Pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Kepatuhan terhadap Perundanganundangan tahun 2010, di awal Mei 2012, mengungkapkan sejumlah bukti
yang mengindikasikan manipulasi dana perjalanan dinas PNS. Dalam laporan
BPK tersebut, penyelewengan anggaran perjalanan dinas pada tahun 2010
mencapai 30-40 persen dari keseluruhan biaya perjalanan dinas PNS yang
berjumlah 18 triliun. Padahal, biaya perjalanan dinas yang dialokasikan oleh
negara melalui APBN setiap tahunnya selalu meningkat. Misalnya, sebagai
perbandingan, pada APBN tahun 2009, dianggarkan perjalanan dinas PNS
mencapai Rp2,9 triliun. Dalam APBN-Perubahan (APBN-P) justru menjadi
Rp12,7 triliun, yang pada realisasinya meningkat tajam menjadi Rp15,2 triliun.
Sementara itu, pada APBN tahun 2010, telah mencapai Rp19,5 triliun dan
realisasinya sebesar Rp18 triliun. Sedangkan pada APBN 2011 dianggarkan
Rp24,5 triliun dan pada APBN-P mencapai Rp23,9 triliun.36
Pada tahun anggaran 2013, anggaran perjalanan dinas berpotensi untuk
meningkat dibandingkan dengan tahun anggaran 2012. Menteri Keuangan,
Agus Martowardojo, mengatakan, perjalanan dinas 2013 mencapai sebesar
Rp20,9 triliun, yang berarti lebih besar dibandingkan tahun 2012 yang
sebesar Rp18 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan
oleh seluruh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, seperti
halnya DPR dan BPK.37
34
35
36
37
Lihat Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di
Indonesia, Penerbit Kopi dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, h.168-171
“291 Daerah Habiskan APBD untuk pegawai”, Kompas 11 April 2012.
Data-data dikutip dari Mohammad Ilham A. Jamudy, “Perjalanan Dinas PNS”, Suara
Pembaruan, 25 Mei 2012.
“Anggaran Perjalanan Dinas 2013 Membengkak”, Koran Tempo, 14 September 2012.
42
Prayudi
APBN
Rp 21 trilun
Rp 24 triliun
Rp 20,9 triliun
Rp 16,2 triliun
Rp 2,9 triliun
Tabel 2.
Anggaran Perjalanan Dinas
Tahun
2013
APBN P
--
2012
Rp 18,9 triliun
2009
Rp 12,7 triliun
2011
2010
Rp 24,5 triliun
Rp 19,5 triliun
Sumber: Anggaran Perjalanan Dinas Membengkak, Koran Tempo, 14 September 2012.
Secara nasional, hasil audit BPK terhadap perjalanan dinas senilai Rp18
triliun pada tahun 2011 menunjukkan adanya pemborosan sebesar 40
persen atau mencapai Rp7,2 triliun. Sementara itu, pada tahun 2010, BPK
juga menemukan sejumlah penyimpangan dalam berbagai modus operandi
pelakunya terkait perjalanan dinas. Sehubungan itu, sempat disuarakan
agar dana Rp21 triliun untuk perjalanan dinas pemerintah pusat pada tahun
2013 mendatang agar dikurangi. Alasannya, terkait hasil pemeriksaan BPK
terhadap pelaksanaan APBN pada 2010, yang menemukan banyak perjalanan
dinas fiktif, duplikasi laporan, hingga bukti perjalanan dinas yang tidak valid.
Biaya perjalanan dinas untuk semua kementerian dan lembaga pemerintah
tahun 2013 dianggarkan sebesar Rp2,1 triliun, nilai itu jauh melampaui
alokasi program-program peningkatan kesejahteraan rakyat, misalnya adalah
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) senilai Rp7,3 triliun, bantuan
siswa miskin senilai Rp10 triliun, dan subsidi benih senilai Rp0,1 triliun.38
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Eko Sutrisno, mengatakan,
dalam kurun waktu 3-4 tahun yang lalu (2009-2012), sebenarnya, tidak
terlalu menarik bagi birokrat untuk mencari tambahan pendapatan. Hal
ini disebabkan, biaya perjalanan dinas dihitung sesuai dengan uang yang
dikeluarkan. Selain itu, sepulang dinas, pertanggungjawaban juga harus
dilengkapi boarding pass, tiket, kuitansi hotel, dan bukti pembayaran lainnya.
Audit juga dilakukan oleh inspektorat atau Badan Pemeriksa Keuangan. Tiket
dan harga yang dibayarkan pun biasanya dicek ke maskapai penerbangan.
Terkait temuan kasus penyimpangan anggaran perjalanan dinas justru tidak
mudah dilakukan saat ini, sebab anggaran dikeluarkan sesuai biaya yang
dikeluarkan. Di samping itu, perbaikan pengelolaan anggaran perjalanan
dinas juga sangat bergantung pada komitmen pimpinan instansi.39 Pada
konteks pemda, terlampau besarnya biaya perjalanan dinas dan anggaran
belanja pegawai di tengah besarnya potensi terabaikannya pelayanan publik
38
39
“Perjalanan Dinas Menyimpang”, Kompas, 14 September 2012.
“Kepala BKN: Perlu Komitmen Pimpinan”, Kompas, 15 September 2012.
43
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
birokrasi menjadi sesuatu yang memperihatinkan, sebagai akibat politik
uang dan terseretnya kepala daerah dalam kasus korupsi. Kasus di Provinsi
Bengkulu, cenderung menunjukkan implikasi politik uang pemilukada
dimaksud. Bengkulu dinilai tidak berkembang potensi sosial ekonomi
masyarakat dan kawasannya atau bahkan justru mengalami kemunduran.
Kondisi mengenaskan tidak hanya terjadi di Ibukota Provinsi Bengkulu, yaitu
Kota Bengkulu itu sendiri, tetapi juga menimpa beberapa kabupaten/kotanya.
Misalnya, sebagaimana antara lain dialami dalam pengadaan seragam dan
penyediaan infrastruktur perhubungan di Kabupaten Seluma. Otonomi dan
pemilukada langsung yang seharusnya menjadi aktualisasi demokrasi lokal
dan kedaulatan rakyat setempat, justru dianggap menimbulkan biaya tinggi
dan menggilanya korupsi. Selain itu, daerah tersebut dinilai menjadi obyek
keserakahan para elit yang menjadi para “raja-raja kecil”. 40
Sekretaris Tim Revisi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dari
Kementerian Keuangan, Putut Hari Satyaka mengatakan, pihak Kemenkeu
mengikuti konsep “uang mengikuti fungsi” (money follows function) dalam
rangka menyalurkan uang di daerah. Artinya, anggaran dialokasikan
berdasarkan fungsi atau urusan pemerintahan masing-masing tingkatan,
sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Sebanyak
31 urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah otonom, ternyata
anggarannya tidak terlampau memadai bagi daerah untuk melaksanakan
urusan sebanyak itu. Namun, urusan yang diserahkan kepada daerah tersebut
biasanya terlampau normatif, tidak detail, sehingga sering menyebabkan
munculnya wilayah abu-abu (grey area). Pengaturan urusan pada PP No.
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota juga dinilai belum
terlampau detail. Sehingga, hal ini masih cenderung normatif, siapa yang
berwenang mengelola dana menjadi abu-abu. Akibatnya, terjadi tumpang
tindih pendanaan. 41
Besarnya belanja pegawai merupakan isu utama masalah keuangan
daerah. Dari keseluruhan belanja APBD, rata-rata 46 persen dipakai untuk
belanja pegawai. Rata-rata belanjanya lebih besar terjadi di tingkat kabupaten
dan kota, yaitu 56 persen. Bahkan, ada daerah yang belanja pegawainya
mencapai 75 persen dari keseluruhan alokasi belanja APBD, yaitu Kabupaten
Klaten dan Karanganyar, di Jawa Tengah.42 Sebaliknya, belanja modal terkait
penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang justru bersentuhan langsung
42
40
41
“Konsolidasi Demokrasi Bengkulu: “Korupsi pun Gila-gilaan”, Kompas, 12 Juli 2012.
“Uang Mengikuti Fungsi”, Kompas, 27 November 2012.
Ibid.
44
Prayudi
dengan kepentingan masyarakat, daya serapnya oleh Pemda masih tergolong
minim. Tercatat bahwa sekitar Rp800 miliar DAK pendidikan untuk berbagai
daerah mengendap di akhir tahun 2012. Padahal, banyak daerah miskin
masih membutuhkan anggaran terutama untuk infrastruktur pendidikan.
Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Marwanto
Harjowiryono, penyerapan dana transfer secara umum adalah baik,
kecuali DAK di bidang pendidikan. Sampai akhir tahun 2012, realisasinya
diperkirakan hanya 90-93 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan
tahun 2011 yang mencapai 98 persen. Di tahun 2012, pemerintah pusat
mengalokasikan DAK sebesar Rp26,1 triliun dan porsi terbesar adalah untuk
pendidikan, yaitu mencapai 34 persen atau Rp8,874 triliun. Rendahnya
penyerapan DAK pendidikan tahun 2012, disebabkan adanya perubahan
petunjuk teknis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang baru
terbit di bulan September-Oktober 2012. Usulan perubahan petunjuk teknis
ini berasal dari pemda yang menilai petunjuk teknis lama terlampau sulit
diterapkan. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng, pemda
mengelola anggaran pendidikan dari sejumlah program. Program itu di
antaranya bantuan operasional sekolah (BOS) serta dana dekonsentrasi dan
pembantuan tugas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Total dana
pendidikan melalui transfer ke daerah mencapai Rp 213 triliun. Dari berbagai
program itu, pemda paling minim perhatiannya pada DAK pendidikan,
karena tidak mau repot. DAK pendidikan mensyaratkan skema tertentu pula,
sedangkan jika menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), justu
lebih fleksibel. Sehingga, DAK pendidikan menjadi tidak optimal digunakan.
Padahal, DAK pendidikan pada khususnya dan DAK pada umumnya lebih
dari sekedar persoalan alokasi anggaran, tetapi hal ini juga membawa missi
pemerataan. 43
Hasil survei yang dilakukan oleh Widiyanto menunjukkan, bahwa,
perbedaan afiliasi politik antara kepala daerah dan mayoritas aspirasi
kekuatan partai di DPRD menjadikan dinamika dalam pembahasan APBD
seolah-olah hanya masalah protes terhadap alokasi politik penganggaran.
Protes demikian dapat berkembang dan menjadikan anggaran sebagai medan
konflik yang terbuka. Hal ini, sebagaimana pernah terjadi di Kabupaten Poso,
Kabupaten Serang, dan Kota Balikpapan. Pada tahun 2007, Bupati Poso Piet
Inkiriwang berpindah “perahu politik” dari Partai Damai Sejahtera (PDS),
partai dengan kursi terbanyak di DPRD Poso yang digunakan oleh Piet
Inkiriwang sebagai kendaraan politiknya, saat memenangkan pemilukada
tahun 2005, kemudian pindah ke Partai Demokrat, partai yang justru
43
“800 miliar Anggaran Pendidikan Mengendap”, Kompas, 22 Desember 2012.
45
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
hanya memiliki satu wakil di DPRD. Konflik politik meruncing tajam selama
beberapa bulan dan berimbas pada proses pembahasan anggaran. Dalam
konflik ini, DPRD menjalin koneksi dengan para camat dalam “Forum Jaring
Asmara” guna memperkuat upaya mengkritisi rancangan APBD dari pihak
eksekutif. Sebagai respons atas jaringan koneksi politik ini, Bupati Poso Piet
Inkiriwang pernah mengeluarkan Surat Edaran Bupati Poso No. 180/330/
Hukum tertanggal 12 Juni 2007 yang melarang seluruh SKPD Kabupaten Poso
menghadiri undangan rapat dengan DPRD.44
Usaha meningkatkan kepemimpinan kepala daerah hasil pemilukada
tampaknya masih belum sejalan dengan penanganan kebutuhan publik
secara maksimal dan kinerja birokrasi setempat. Usaha ini masih sebatas
secara seremonial atau bahkan terkait kepentinan proyek jangka pendek
semata. Misalnya, ketika sebanyak 19 kepala daerah yang berangkat ke
Amerika Serikat bersama kepala badan perencanaan pembangunan daerah
masing-masing mulai 17 September sampai dengan 5 Oktober 2012. Mereka
mengikuti executive education course on transforming leaders, di Kampus
Harvard, University of Boston. Mereka adalah Bupati Padang Pariaman, Bupati
Pasaman, Bupati Bangka Barat, Bupati Bangka Tengah, Bupati Belitung Timur,
Bupati Sumenep, Bupati Badung, Bupati Klungkung, Bupati Dompu, Walikota
Samarinda, Bupati Gorontalo, Bupati Sigi, Bupati Gowa, Bupati Minahasa
Selatan, Bupati Mamuju Utara, Bupati Luwu Utara, Bupati Konawe Selatan,
Bupati Seram Bagian Timur, dan Bupati Keerom.45 Sebelumnya, di tahun
2011, sebanyak 15 bupati dan 4 walikota juga pernah mengikuti program
serupa untuk periode 6 September-13 Oktober 2011. Bahkan, sejak tahun
2010 hingga tahun 2012, sebenarnya sudah sebanyak 38 bupati dan walikota
berikut pejabat tinggi di Bappeda di seluruh Indonesia telah mengikuti kursun
intensif tersebut. Pihak Kementerian Dalam Negeri sendiri, sebagaimana
menurut Kepala Badan Diklat, Harunata, bahwa program tersebut saat itu
baru akan dievaluasi dengan meminta keterangan terkait kemajuan yang
dicapai oleh para alumni atau sekedar masih di taraf mencari masukan.
Dalam program ini, negara tidak menanggung seluruh biaya, karena terkait
keperluan biaya sekolah dan akomodasi program ini ditanggung oleh pihak
Harvard Kennedy School. Adapun biaya tiket pulang pergi dan uang saku
ditanggung APBD masing-masing.46
Para kepala daerah diseleksi oleh Kementerian Dalam Negeri, dan
para pesertanya diseleksi dari pejabat yang sudah mengikuti Orientasi
44
45
46
Widiayanto, “Keterwakilan Publik” dalam Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif”,
dalam Prisma Vol. 29, No. 4, Oktober 2010, h. 107
“19 Bupati dan Walikota Berangka Lagi Ke Harvard”, Kompas 11 September 2012.
Ibid.
46
Prayudi
Kepemimpinan Kepala Daerah. Setiap bupati dan walikota yang terpilih
berangkat bersama Kepala Bappeda atau petinggi Bappeda setempat. Namun
ternyata tidak semua daerah dapat mengikuti program pendidikan dan latihan
semacam ini, tercatat bahwa Provinsi Jawa Tengah, tidak ada bupati dan
walikotanya yang mengikuti program tersebut, karena tidak memperoleh izin
dari Gubernur Jateng, Bibit Waluyo.47 Program pelatihan kepemimpinan dan
pengelolaan pemda, menjadi sangat mendasar artinya saat relasi pemilukada
dan otonomi daerah justru dipertanyakan publik, yang seolah—olah hanya
sekedar perjuangan memperoleh kekuasaan bagi elit dibandingkan usaha
peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Paradoksnya, anggapan ini sering dianggap sebagai tuduhan yang justru
akan menolak perluasan kebijakan otonomi daerah, khususnya ketika konsepsi
otonomi secara luas diterapkan di tingkat daerah kabupaten/kota. Apalagi,
ketika kewenangan kepala daerah yang dipilih dalam pemilukada, masih
menjadi suatu perdebatan konstitusional tentang legitimasi politik yang harus
dilalui melalui pesta demokrasi secara langsung dengan kewengan dirinya
sendiri yang mengatur lebih lanjut kehidupan pemerintahan setempat. Desain
pemilu di tingkat operasional kebijakan pemerintah, juga ikut memperkuat
paradoks pemilukada dan pemerintahan daerah tersebut. Sebagaimana
diketahui, Mendagri Gamawan Fauzi pernah mengatakan, pemerintah
mengusulkan pemilukada yang sedianya dilaksanakan pada tahun 2014
ditunda, dan dilaksanakan pada tahun 2015. Hal ini agar pemilukada tidak
relatif bersamaan waktunya dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Saat itu, usulan ini masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) revisi
tentang pemerintahan daerah.48 Padahal, dari segi efisiensi sosial ekonomi dan
perkuatan fundamental pemerintahan, sebenarnya keserentakan pemilukada
dan pemilu nasional justru sangat positif bagi pembangunan politik. Bahkan,
sebenarnya beberapa daerah sudah melaksanakan pemilukada Gubernur dan
Bupati/Walikota-nya secara bersamaan melalui nota kesepahaman (MOU)
antar mereka yang sudah dibuat sebelumnya.
Paradoks pemilukada dalam konteks kesejalanan dengan pemilu
nasional, juga terjadi saat RUU pemilukada memasukan ketentuan tentang
pemilihan Gubernur yang dilakukan oleh DPRD. Alasan efisiensi dan posisi
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, juga menjadi gagasan pengalihan
ranah pemilihan gubernur tersebut, yang tidak lagi melalui pilihan langsung
rakyat melalui pemilukada. Hal ini tentu membawa konsekuensi atas relasi
DPRD dan eksekutif daerah, yang sangat kuat dengan dominasi kepentingan
dan perilaku elit partai-partai politik. Di samping itu, terjadi dualisme sistem
47
48
“Tuntutlah ilmu sampai ke Harvard”, Kompas, 10 November 2012.
“Pemerintah usul Pilkada 2014 ditunda”, Kompas, 1 Agustus 2012.
47
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pemerintahan daerah, yang ditandai oleh gaya parlementer diberlakukan di
tingkat provinsi di satu pihak, dan di lain pihak, gaya presidensil berjalan
di tingkat kabupaten/kota terkait warna politik hasil pemilukada bupati/
walikotanya. Ketika pemilukada dianggap membuka calon kepala daerah
yang terlampau mengandalkan popularitas dan kurang mengenal seluk
beluk birokrasi, seharusnya persyaratan terkait sisi tertentu pengalaman
pemerintahan, kiranya dapat menjadi ketentuan dalam mempertahankan
pemilukada tetap diberlakukan di semua daerah. Sebaliknya, ketika pemilihan
gubernur diletakkan di DPRD dan bukan lagi secara pemilukada, maka kondisi
partai politik yang belum kuat sebagai fundamental demokrasi, justru semakin
rawan bagi perilakunya untuk memanfaatkan aset dan jaringan birokrasi.
48
BAB IV
FUNDAMENTAL POLITIK KEPARTAIAN
1. PENILAIAN PUBLIK DAN OLIGARKI INTERNAL PARTAI
Fundamental kepartaian yang rawan pada kasus-kasus tertentu dapat
diimbangi oleh tahapan pemilukada yang membuka akses bagi publik untuk
menilai secara kritis terkait dengan kapasitas dan integritas pasangan calon.
Tahapan ini terutama pada saat pemaparan visi da misi dari pasangan calon
dihadapan publik yaitu dalam acara debat publik yang diselenggarakan oleh
KPU daerah setempat. `Pada tahapan ini publik biasanya tidak saja secara
rasional menilai program dan rencana kerja pasangan calon, tetapi juga
dapat menilai karakter pribadi dari calon kepala daerah dan calon kepala
daerah. Bahkan, ketika pemilukada harus berlangsung dua putaran, peta
suara dukungan dapat mengalami perubahan yang signifikan sebagai akibat
persepsi publik yang berkembang dalam acara debat antar pasangan calon
diselenggarakan. Persepsi politik yang terbentuk bukan hanya mengenai
rasionalitas pengenalan kapasitas, tetapi juga pengenalan lebih jauh mengenai
perasaan pemilih terhadap karakter pasangan calon. Meskipun disisi lain,
serangan pribadi antar calon terkait kehidupan sehari-hari dan keluarganya
tidak dikembangkan, apalagi mengenai pelemparan isu SARA yang dilakukan
secara diskriminatif, yang juga turut diperkuat oleh sikap saling menjaga
toleransi antar pasangan calon yang kuat antar mereka. Pemaparan pasangan
calon dan gaya panggung yang disampaikannya, juga menjadi penilaian
tentang bagainmana ketika sang pasangan calon terpilih dan dilantik menjadi
kepala daerah dan wakil kepala daerah menjalankan roda birokrasi pemda.
Posisi penilaian ini tampaknya akan berlomba dengan berbagai kewajiban
yang biasanya merongrong bagi kinerja birokrasi pemda, di tengah kepala
daerah dan wakilnya harus memenuhi janji-janji saat kampanye.
Pengabaian atas aba-aba politik partai bagi pasangan calon pemilukada,
atau terhadap kepala daerah pemegang kendali birokrasi pemda, dapat
berakibat pada ancaman terjadinya pemakzulan bagi dirinya. Kekuatankekuatan politik fraksi sebagai kepanjangan tangan kepentingan partai dapat
menggalang untuk mengajukan kewenangan kelembagaan DPRD, seperti
halnya penggunaan hak meminta keterangan, angket, dan bahkan menyatakan
pendapat terhadap kepala daerah. Pengalaman usaha pemakzulan oleh DPRD
49
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Kota Surabaya terhadap Walikota setempat, Tri Rismaharini, adalah salah
satu contohnya. Semula, pasangan Tris Rismaharini-Bambang Dwihartono,
didukung oleh PDI Perjuangan dalam pemilukada Kota Surabaya, tahun 2010.
Pemilukada tahun 2010 adalah yang kedua kalinya, setelah Pemilukada
tahun 2005 yang juga dimenangkan oleh pasangan yang diusung oleh PDI
Perjuangan, Bambang DH-Arif Afandi. Luky Sandra Amalia menulis lebih
lanjut, bahwa pemakzulan yang berawal dari saat Walikota Surabaya, Tri
Rismaharini menaikkan pajak reklame hingga 100 persen melalui Peraturan
Walikota No. 56 Tahun 2010 tentang Penghitungan Nilai Sewa Reklame
Terbatas pada Kawasan Khusus di Kota Surabaya yang mulai diberlakukan
sejak tanggal 1 November 2010. Menanggapi kebijakan ini, DPRD mengajukan
penggunaan hak interpelasi yang kontroversial dari pemahaman ketentuan
bahwa hak interpelasi digunakan dalam rangka permintaan keterangan
dari DPRD kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintahan kota
yang dianggap penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana digariskan Pasal 349 ayat 2
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPRD, DPD, dan DPRD.
Padahal, persoalan kenaikan pajak reklame bukan isu yang berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebab, kenaikan pajak
reklame hanya berpengaruh pada kepentingan segelintir orang yang terlibat
usaha reklame.1
Bahkan, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, sempat meminta pemerintah
kota Surabaya agar merivisi Peraturan Walikota Surabaya No. 56 dan 57 Tahun
2010 yang mendasari kenaikan pajak reklame. Hal ini sampai kemudian,
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, merevisi usulannya dan menurunkan
persentase kenaikan pajak reklame, melalui penerbitan Peraturan Walikota
No. 70 dan 71. Tetapi, setelah revisi kebijakan pemerintah kota itupun,
DPRD kota Surabaya tetap berhasrat untuk melakukan penyelidikan terkait
persoalan kenaikan pajak reklame, melalui penggunaan hak angket. Dalam
konteks peta politik DPRD, sebagaimana usulan hak interpelasi, hak angket
juga didukung oleh berbagai fraksi, yaitu lima fraksi, kecuali dua fraksi yang
ada, yaitu Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi PKS. Tetapi dalam perkembangan,
adanya rekomendasi Pansus hak angket yang mengusulkan pemberhentian
Tri Rismaharini sebagai walikota dan adanya tekanan dari sekelompok
masyarakat yang mengatasnamakan Masyarakat Tegakkan Konstitusi
Arek Surabaya (Matok Kon Asu), di mana sebagian besar massanya justru
menggunakan atribut kaos “No The Others” sebagaimana saat kostum kampanye
1
Luky Sandra Amalia, “Politik Pengawasan DPRD Dalam Upaya Pemakzulan Kepala Daerah:
Studi Kasus Walikota Surabaya”, dalam Jurnal Penelitian Politik Vol. 8, No. 1, 2011, h. 5759
50
Prayudi
pemenangan pasangan Tri Rismaharini-Bambang DH dalam pemilukada 2010.
Sebagian dari mereka adalah kader militant PDI Perjuangan, yang selebihnya
merupakan relawan pendukung pasangan ini saat pemilukada tersebut.
Meskipun dalam aksinya, mereka tidak mengatasnamakan partai, karena
dilarang oleh DPP PDI Perjuangan, Dalam konteks ini, Fraksi PDI Perjuangan
dan DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya melakukan perubahan sikap dari
menolak hak angket menjadi pendukung pemakzulan Tri Rismaharini dari
jabatan Walikota, dengan berbagai alasan mendasarinya, seperti halnya
retorika dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil, tidak pernah berkomunikasi
kepada partai pengusung dan dianggap lebih mempedulikan masukan
dari staf ahlinya yang berasal dari luar partai dalam pembuatan kebijakan.
Adanya rencana kebijakan umum anggaran (RKUA) dan rancangan prioritas
plafon anggaran sementara (RPPAS) APBD Kota Surabaya tahun 2011 yang
dianggap tidak berpihak masyarakat kalangan bawah, juga dijadikan alasan
bagi perubahan sikap PDI Perjuangan terhadap Walikota Tri Rismaharini.2
Rangakian kasus ini, menunjukkan rawannya kendali pemerintahan dan
birokrasi pemda melalui kepala daerah dan pasangannya yang diusung oleh
kekuatan partai dan akses partai itu sendiri dalam penggunaan kewenangan
DPRD bagi selera kekuasaan partai setempat.
Goyahnya pemerintahan yang terjadi tidak terlepas dari persoalan
kelembagaan politik, khususnya di tingkat partai politik. Kemenangan Partai
Demokrat di Pemilu Anggota Legislatif tahun 2009 di Jatim tidak menjamin
penguasaan dinamika polirik tingkat lokal. Hal ini terbukti saat pemilukada
terutama di tingkat kabupaten/kota diselenggarakan, Partai Demokrat justru
kurang signifikan perolehan kemenangannya dibandingkan PKB yang relatif
sukses. Pada saat pemilukada langsung dilakukan di Jatim (2009-2012),
misalnya, Partai Demokrat hanya meraih kemenangan di 4 Pemilukada dari
keseluruhan 22 Pemilukada yang dilakukan. Kemenangan itupun diraih
dengan berkoalisi bersama partai lainnya. Sebaliknya, PKB yang mengalami
penurunan posisi dominannya di pemilu anggota legislatif tahun 2009
dibandingkan pemilu tahun 2004 dan tahun 1999, mampu meraih kemenangan
dalam 11 Pemilukada dan bahkan 1 Pemilukada di antaranya dilakukan tanpa
melalui koalisi. Di Jatim, pola koalisi yang terbangun di pemilukada cenderung
tidak terlepas dari konstelasi politik di tingkat nasional yang diwarnai partai
pemerintah dan partai disebut oposisi. Dari 22 Pemilukada selama 20102012, tercatat hanya satu Pemilukada, yaitu di Pemilukada Mojokerto, yang
mempertemukan Partai Demokrat dan PDI Perjuangan mengajukan pasangan
yang sama.3 Artinya, 21 pemilukada lainnya, antara kedua partai mengusung
2
3
Ibid., h. 62.
“Demokrasi Minus Penguatan”, Kompas, 11 Desember 2012.
51
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pasangan calon yang saling berbeda. Tetapi, kelemahan kelembagaan partai
yang menjadi persoalan dinamika politik agar berjalan secara terkonsolidasi,
di Provinsi Jatim, adalah mengenai masih mengandalkan figur popular untuk
ditampilkan secara instan dan belum mampu mengisi para kadernya sebagai
calon pucuk pimpinan di setiap jenjang pemilukada yang dipilih langsung
oleh rakyat secara demokratis.
Kewajiban pemenuhan kepengurusan dan organisasi kepartaian secara
nasional meletakkan masalah beban anggaran dan berbagai perangkat
pendukung partai menjadi sangat berat. Sesuai dengan salah satu ketentuan
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD, maka persyaratan kelembagaan partai ini sangat menunjukkan
beratnya beban itu. Persyaratan bagi partai politik peserta pemilu antara lain,
adalah keharusan partai politik memiliki kepengurusan di semua provinsi,
memiliki kepengurusan di 75% kabupaten/kota di provinsi bersangkutan,
memiliki kepengurusan di 50% kecamatan di kabupaten/kota bersangkutan.
Persyaratan itu masih ditambah keharusan partai memiliki 1.000 anggota
atau seperseribu dari jumlah penduduk di kabupaten/kota. Keanggotaan
itu harus ditunjukkan dengan bukti kartu tanda anggota (KTA) partai politik
tersebut.
Pengalaman pemilukada selama ini, menunjukkan sebagian besar partaipartai yang memenangkan pertarungan dalam Pemilukada adalah partaipartai yang saling berkoalisi dalam mengusung kandidat. Namun demikian,
hampir tidak ada pola koalisi atau kerjasama yang permanen di antara partaipartai yang mengajukan pasangan calon dalam pemilukada. Di satu pihak,
hal ini tampak positif karena kerjasama yang dibangun adalah seolah-olah
didasarkan pada kesamaan isu lokal yang hendak diusung, tetapi sebenarnya
di pihak lain justru menunjukkan bahwa partai-partai tidak memiliki ideologi
dan platform politik yang jelas. Di samping itu, pola kerjasama antar partai di
tingkat nasional tidak sepenuhnya tidak terjadi di tingkat lokal.4 Partai-partai
besar dapat saling berkoalisi dengan partai tergolong besar, partai sedang,
atau bahkan dengan partai kecil. Begitu pula sebaliknya, partai kecil berkoalisi
dengan sesama partai kecil atau dengan partai besar atau partai tegolong
menengah. Hampir tidak terdapat suatu pola yang bersifat menetap antara
daerah yang satu dengan lainnya, termasuk di antara suatu partai yang sama
di kabupaten/kota yang berbeda, tetapi di dalam provinsi yang sama. Regulasi
pemilukada tidak mengelola aturan mainnya secara jelas.5
4
5
Suharizal, Op,cit.h. 104.
Ibid., h. 105.
52
Prayudi
2. UPAYA PENGGESERAN POSISI JABATAN BIROKRASI
Dengan konstruksi politik daerah saat ini, usai pemilukada, biasa terjadi
proses transformasi politik berdasarkan penentuan pemenang dan pihak
yang kalah dalam pemilukada, tidak jarang diwarnai oleh tindakan saling
menggeser jabatan birokrasi di antara aparat, baik berupa promosi, demosi,
maupun mutasi dikalangan birokrasi pemda. Hal ini terutama berlaku bagi
jabatan setingkat Sekretaris Daerah (Sekda) dan kalangan kepala-kepala
dinas yang dianggap bersikap mendukung, netral atau sebaliknya menentang
keberadaan incumbent yang maju kembali dalam pemilukada. Pragmatisme
dalam proses pencalonan pemilukada, tidak jarang memicu persaingan
antara kepala daerah dengan wakilnya yang saling bersaing atau pecah kongsi
menjelang menghadapi pemilukada. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan,
pemerintah menyadari sistem pemilukada yang berlaku sekarang membuat
“pecah kongsi” antara pasangan kepala daerah dan wakilnya, mudah terjadi.
Menurut catatan pemerintah, hanya 6 persen dari keseluruhan pasangan
kepala daerah dan wakilnya yang harmonis hingga periode jabatan mereka
berakhir.6 Pemilukada yang mengusung calon kepala daerah/wakilnya secara
berpasangan ternyata tidak sepenuhnya mampu menghadirkan pemimpin
daerah yang kompak dan serasi dalam mewujudkan visi dan misi yang
mereka janjikan selama kampanye. Dari 753 pasangan tersebut, hanya 21
pasangan yang masih tetap maju dengan pasangan yang sama untuk periode
selanjutnya. Artinya, hanya 2,6 persen yang masih setia, sementara 97,4
persen pasangan kepala daerah dan wakilnya “pecah kongsi”. Dampak dari
pecah kongsi ini tidak hanya menyebabkan bingungnya birokrasi, tetapi juga
merupakan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat, karena tidak
jarang mereka mengumbar konflik di depan publik.7
6
7
“Pecah Kongsi” Pilkada: Hanya 6 Persen yang berakhir harmonis”, Kompas,, 28 Maret
2012. Dari 6 persen pasangan kepala daerah yang bertahan harmonis ini untuk maju
bersama kembali sebagai peserta pilkada berikutnya di tingkat provinsi, adalah Teras
Narang-Achmad Diran, di Kalteng, dan Abraham O’Atururi-Rahimin Katjong di Papua.
Kedua pasangan ini memenangkan pilkada tersebut di tahun 2011.
Djohermansyah Djohan, “Menata Ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah”, Koran Tempo 13
Agustus 2012 dan .
53
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Tabel 3.
Beberapa Sampel Contoh Kasus Pecah Kongsi dalam Pemilukada
Kepala Daerah dan
Wakilnya
Ismeth AbdullahMuhammad Sani
(Gubernur-Wakil Guebernur
Kepulauan Riau 2005-2010)
Bambang Dwi Hartono-Arif
Afandi (Walikota-Wakil
Walikota Surabaya 20052010)
Fauzi Bowo-Prijanto
(Gubernur-Wakil Gubernur
DKI Jakarta 2007-2012)
Ahmad Heryawan-Dede
Yusuf (Gubernur Wakil
Gubernur Jabar, 2008-2013.
Pecah Kongsi
Keterangan
Di pemilukada 2010:
Ismeth Abdullah terjerat
kasus korupsi sehingga
mendukung istrinya, Aida
Ismeth, maju di pemilukada
yang diusung Partai Golkar.
Muhammad Sani maju
sebagai calon gubernur
yang diusung PDI-P, Hanura,
PKNU
Muhammad Sani
memenangkan pemilukada
2010.
Di Pemilukada 2012:
Fauzi Bowo mendaftar
sebagai calon gubernur
berpasangan dengan
Nachrowi Ramli yang
diusung Partai Demokrat
dan beberapa partai lainnya.
Priyanto mundur dari
jabatan wakil gubernur
DKI, namun DPRD menolak
pengunduran dirinya.
Fauzi Bowo maju ke putaran
kedua Pemilukada DKI
2012, tetapi dikalahkan
pasangan Jokowi-Ahok.
Di Pemilukada 2010:
Bambang maju sebagai
calon Wakil Walikota
mendampingi Tri
Rismaharini yang diusung
PDI-P.
Arif Afandi maju sebagai
calon Walikota yang
diusung Partai Demokrat.
Pasangan Tri RismahariniBambang DH memenangkan
pikada.
Bambang DH sudah dua
periode menjabat Walikota,
sehingga di Pemilukada
2010 menjadi calon
Walikota
Ahmad Heryawan akhirnya
berpasangan dengan aktris
senior, Dedi Mizwar, ketika
maju dalam Pemilukada
Gubenur Jabar, 2013.
Sedangkan Dede Yusuf
berpasangan dengan Lex
Laksamana, mantan Sekda
Provinsi Jabar.
Ahmad Heryawan-Dedi
Mizwar, diusung oleh koalisi
PKS, PPP. Dam Hanura.
Sedangkan, Dede Yusuf-Lex
Laksamana, diusung oleh
koalisi PD, PKB, PAN, dan
Gerindra.
54
Prayudi
Sutarmidji –Paryadi
(Pemilukada Walikota
Pontianak, Kalbar2013)
Mardjoko-- Achamd Hussein
(Pemilukada Banyumas,
2012).
Sutarmidji, Ketua DPC
PPP, Kota Pontianak,
memutuskan untuk maju
kembali dalam Pemilukada
Walikota Pontianak, tetapi
tanpa bersama wakilnya,
yaitu Paryadi. Paryadi,
merupakan kader Partai
Demokrat.
Incumbet Bupati, Marjoko
berpasangan dengan
Gempol Suwandono.
Pasangan ini didukung
oleh Partai Golkar,
Partai Hanura, dan Partai
Gerindra. Sedangkan, Wakil
Bupatinya, Achmad Hussein
berpasangan dengan
Budhi Setiawan. Pasangan
ini diusung oleh PDI
Perjuangan.
Sutarmidji berpasangan
dengan Kepala Dinas PU
Kota Pontianak, Kalbar,
Edi Rusdi Kamtono. Partai
Demokrat mempunyai
8 kursi di DPRD Kota
Pontianak, sehingga
dapat mengajukan sendiri
calonnya atau tanpa
berkoaliasi.
Pasangan Achmad
Hussein- Budhi Setiawan
mengalahkan pasangan
Mardjoko-Gempol
Suwandhono. Dalam
Pemilukada Bupati
Banyumas, 2013, juga
terdapat pasangan
lainnya yang kalah, yaitu
Muksonuddin-Hendri
Anggoro Budi yang diusung
PD, dan Partai Karya Peduli
Bangsa (PKPB).
Sumber: “Rustriningsih Tinggalkan Bibit”, Kompas 6 September 2012, “Politik Uang di Banyumas, Kompas,
18 Februari 2013, dan “Pecah Kongsi di Kota Pontianak”, Kompas, 9 Februari 2013.
Pola pemilihan kepemimpinan dalam satu paket tetapi berasal dari unsur
terbukti menimbulkan rivalitas. Di tingkat daerah, rivalitas kepala daerah
dan wakilnya tidak dapat dipungkiri bahwa banyak hubungan kepala daerah
dan wakilnya tidak harmonis. Ketidakpastian penguasa provinsi sebagai
akibat konflik pasangan kepala daerah dan wakilnya dapat berdampak pada
kepemimpinan di kabupaten/kota. Misalnya, di Provinsi Gorontalo, Bupati
Bone Bolango, Hamim Pou, harus dua kali mengalami proses pelantikan bagi
dirinya. Pertama, adalah ketika menggantikan Haris Nadjamuddin, Hamim
Pou dilantik sebagai Bupati Bone Bolango, oleh Wakil Gubernur Provinsi
Gorontalo, Idris Rahim, pada tanggal 10 Mei 2013. Pelantikan saat itu tercatat
sebagai berlangsung sangat meriah yang dihadiri 1000 warga setempat.
Kedua, adalah pelantikan kembali Hamim Pou sebagai Bupati Bone Bolango,
oleh Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie, pada tanggal 27 Mei 2013. Pelantikan
yang kedua kalinya dilakukan di Gedung DPRD Kabupaten Bone Bolango, yang
dihadiri 24 Anggota DPRD tersebut dan para pejabat kabupaten. Pelantikan
kedua kalinya ini tercatat sebagai tidak semeriah dibandingkan pelantikan
dirinya saat untuk pertama kali. Pelantikan sebanyak dua kali yang dilakukan
tersebut dianggap sebagai indikator tidak kompaknya gubernur dan wakil
55
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
gubernur, di samping pemerintah provinsi yang tidak cermat menerjemahkan
administrasi perundangan mengenai keabsahan pelantikan kepala daerah.8
Bahkan, pada kasus lainnya, terdapat salah seorang wakil kepala daerah
di Jawa Barat tidak mau masuk kantor, karena tidak setuju dengan kebijakan
bupati terkait dengan izin penggunaan genset oleh sebuah industri tekstil.
Demikian juga dalam penentuan atau pengisian personalia perangkat daerah,
terutama jabatan eselon II, sering muncul perebutan ntuk menempatkan
“orang-orangnya” dalam jabatan yang dipandang strategis.9 Sejak masa awal
bakal pencalonan, sebelum diajukan secara resmi ke KPU daerah, perpecahan
antar pasangan kepala daerah dengan wakilnya dapat menjadi fenomena
politik tersendiri. Di Provinsi Jateng, PDI Perjuangan yang menjadi kekuatan
politik mayoritas di wilayah tersebut, terlihat sempat mengulur waktu dan
sempat terkesan “ragu” dalam mendeklarasikan pasangan calonnya secara
definitif. Sampai akhir tahun 2012, dalam menghadapi Pemilukada Gubernur
Jateng di bulan Mei 2013, sebatas uji kelayakan dan kepatutan sejumlah
calonnya di DPP PDI P. Bakal calon (balon) yang mengikuti test ini adalah Bupati
Sumedang, Don Murdono, Bupati Klaten, Sunarna, Wakil Gubernur Jateng,
Rustriningsih, serra beberapa tokoh lainnya. Menurut Direktur Pusat Kajian
Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, FISIP Undip, Susilo Utomo, ketidak
beranian partai politik untuk melakukan penjaringan internal, di antaranya
karena pengalaman Pemilukada Jateng 2008. Waktu itu, pasangan cagub dan
cawagub PDI P, Bibit Waluyo dan Rustriningsih, yang menang dan kemudian
memimpin Jateng, dianggap justru tidak memiliki komitmen terhadap partai
yang mengusungnya. Tidak pelak lagi, PDI P pun kemudian “menceraikan”
dan lebih memilih penjaringan calon kembali, meskipun Bibit Waluyo masih
bertekad untuk maju sebagai cagub periode kedua. Demikian pula, partai
politik lainnya juga belum berani mengusung cagub petahanan. Pengalaman
Bibit Waluyo yang maju melalui PDI Perjuangan dalam pemilukada Jateng
tahun 2008, menjadi alasan kehati-hatian partai untuk mengajukan pasangan
calon yang didukungnya. Jalur partai atau gabungan partai dalam proses
nominasi pasangan calon Pemilukada Jateng, seolah “tersandera” pada figurfigur tertentu semata, seperti halnya Rustriningsih, Bibi Waluyo, dan Sekda
Provinsi Jateng, Hadi Prabowo. Dalam estimasi Susilo Utomo, di tengah
kemandekan pencalonan ini, calon perseorangan tampaknya sukar untuk
direalisasikan untuk tampil, mengingat dibutuhkan minimal dukungan yang
harus mencapai 3 persen dari sekitar 39 juta orang, atau sebesar 1, 17 juta
orang. Dengan bukti dukungan KTP sebanyak 1,17 juta lembar, yang harus
8
9
“Bupati Bone Bolango di Gorontalo dilantik dua kali”, Kompas, 28 Mei 2013.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, h. 19.
56
Prayudi
difoto copy membutuhkan biaya minimal Rp5.000 per lembar, maka calon
perseorangan harus memiliki dana sejumlah Rp6 miliar.10
Rivalitas internal pasangan pemilukada ini terjadi karena, meskipun secara
formal, wakil kepala daerah adalah “wakil” kepala daerah tersebut, namun secara
riil wakil kepala daerah yang berasal dari partai yang berbeda, bukan atas dasar
usulan atau pilihan kepala daerah terpilih atau kepala daerah incumbent. Dengan
adanya rivalitas, fungsi dan tugas wakil kepala daerah yaitu membantu kepala
daerah dalam menjalankan berbagai kebijakan yang dapat terbengkalai, karena
alih-alih membantu, dirinya malahan sibuk “mengintip” berbagai momentum
kelemahan dan kelengahan kepala daerah atau sengaja membiarkan kepala
daerah menggali lubang sendiri terjerat hukum atau mendapatkan hukuman, yang
mengharuskan dirinya diberhentikan. Dengan kondisi demikian, wakil kepala
daerah dengan “lenggang kangkung” otomatis menjadi kepala daerah. Di samping
masalah rivalitas, antara kepala daerah dan wakilnya juga bisa saja memiliki
prefrerensi yang berbeda untuk suatu kebijakan atau pilihan tertentu baik yang
didasarkan atas kepentingan atau pertimbangan subyektifnya. Perbedaan in iakan
menjadi masalah manakala perbedaan itu muncul ke atas permukaan.11
Persoalan calon berpasangan berkaitan dengan pengaturan mengenai
keberadaan jabatan kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Secara historis, dalam pemerintahan daerah di Indonesia, selalu
dikenal adanya wakil kepala daerah. Tugas utama wakil kepala daerah adalah
membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya. Namun dalam setiap
undang-undang yang mengaturnya, terdapat variasi cara rekrutmen wakil
kepala daerah tersebut. UU No. 22 Tahun 1948 mengatur bahwa wakil kepala
daerah ditunjuk apabila kepala daerah berhalangan. Penunjukkan itu tidak
berakibat lahirnya jabatan baru (Wakil Kepala Daerah) pada samping jabatan
Wakil Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah ditunjuk dari anggota Dewan
Pemerintah Daerah (DPD). Anggota DPD saat itu sebagai pihak yang ditunjuk
menjadi wakil kepala daerah tetap menjadi anggota DPD. Sedangkan, UU No. 5
Tahun 1974 mengatur bahwa wakil kepala daerah sudah merupakan jabatan
permanen dengan pejabatnya yang merupakan pejabat karier. Jumlah wakil
kepala daerah menurut UU ini sesuai dengan kebutuhan daerah. Adapun
ketika diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 diatur bahwa wakil kepala daerah
dicalonkan berpasangan dengan calon kepala daerah dan dipilih melalui
perwakilan (oleh DPRD). Selanjutnya, ketika memasuki era UU No. 32 Tahun
2004 mengatur bahwa wakil kepala daerah dicalonkan berpasangan dan
dipilih secara langsung oleh rakyat (warga negara yang memiliki hak pilih).12
12
10
11
“Perseorangan Sulit Maju”, Kompas, 27 Desember 2012.
Ibid.
Ibid., h. 23.
57
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Dengan perkembangan pengaturan yang terakhir di atas, maka peran
wakil kepala daerah selain untuk membantu pelaksanaan tugas kepala daerah,
juga mempunyai dimensi politik tersendiri, yaitu memperluas basis dukungan
politik kepala daerah. Untuk hal yang kedua ini, yaitu tentang perluasan basis
dukungan politik kepala daerah, wakil kepala daerah secara politis juga
mempunyai kedudukan yang sama dengan kepala daerah. Namun, keadaan
yang normatif posisional struktural pemerintahan ini, pada kenyataannya
tidak terjadi pada saat kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah dilantik
untuk menduduki jabatan. Sejak saat pelantikan itulah, wakil kepala daerah
merupakan pembantu atau bahkan “subordinate” dari kepala daerah. UU No.
32 Tahun 2004 menentukan bahwa wakil kepala daerah bertanggungjawab
kepada kepala daerah. Implikasinya, kedudukan keuangan dan kedudukan
protokoler wakil kepala daerah seringkali dianggap tidak fair oleh wakil
kepala daerah. Akibat lebih lanjut ketidakseimbangan kedudukan politik riil
ini, terbangunnya kecenderungan hubungan kerja yang kurang harmonis dari
pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.13
Menurut Dirjen Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan, pada konteks
hubungan pemilukada dengan posisi wakil kepala daerah, kekhawatiran
bahwa pemilihan wakil kepala daerah yang terpisah dari kepala daerah akan
berdampak terhadap legitimasi sang wakil kepala daerah apabila kepala
daerahnya berhalangan tetap, adalah tidak perlu dipersoalkan. Data dari tahun
2005 hingga tahun 2011 menunjukkan, dari 753 pasangan kepala daerah/
wakil terpilih, hanya terdapat 9 kepala daerah (1,19 persen) yang berhalangan
tetap menggantikan kepala daerah, sebagaimana aturan berlaku selama ini.
Jika kepala daerah itu berhalangan tetap, maka wakilnya ditugaskan untuk
melaksanakan pemilihan kepala daerah yang baru.14 Perpecahan pasangan
calon antar incumbent kepala daerah dan wakilnya, seringkali merusak kinerja
birokrasi pemda, baik sebelum, saat proses penyelenggaraan, maupun pasca
penetapan hasil pemilukada. Kinerja pelaksanaan tugas dan kewenangan
yang dimiliki oleh instansi pemda, seringkali tidak maksimal, sebaliknya
saling curiga dan kekhawatiran antar aparat serta upaya tim sukses pasangan
calon yang bersaing justru berusaha memanfaatkan birokrasi sebagai salah
satu kekuatan politiknya. Di samping terganggunya kinerja birokrasi, tanpa
akuntabilitas publik antara kepala daerah sebagai pemimpin di daerah
dan birokasi setempat yang menjalankan tugas dan kewenangannya, maka
pemilukada dapat mendorong lahirnya dualisme loyalitas pasangan kepala
daerah itu sendiri terhadap partai dan politik konstituennya di satu sisi
dengan kebijakan pemerintah pusat yang seharus diimplementasikan secara
13
14
Ibid.
Djohermansyah Djohan, dalam Loc.cit.
58
Prayudi
tepat di daerah masing-masing. Kasus penentangan rencana kebijakan
pusat untuk menaikkan bahan bakar minyak (BBM)15, misalnya, belum lama
berselang, menunjukkan loyalitas politik pimpinan daerah hasil pemilukada
tidak berjalan positif dengan keinginan dari pemerintah pusat. Di sini,
birokrasi pemda, jelas berpotensi untuk mengalami terjadinya disorientasi
pelayanan publik yang justru menjadi tugas utamanya terhadap kepentingan
masyarakat setempat.
Melalui draft RUU Pemda tahun 2012 dalam pasal 41, pemerintah
mengusulkan antara lain bahwa: “(3) Wakil kepala daerah adalah jabatan
negeri setingkat eselon I B untuk wakil gubernur dan setingkat eselon II A
untuk bupati/walikota; (4) Wakil kepala daerah berhenti bersama-sama
dengan berhentinya kepala daerah;
Dalam pasal 42 RUU Pemda, ditegaskan mengenai kewenangan
pengusulan yang berasal dari kepala daerah terkait calon-calon wakilnya
kepada pemerintahan “atasan”, dan ini tampaknya memiliki implikasi bagi
penguatan politik bangunan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya.
Posisi kepemimpinan eksekutif daerah menjadi bukan lagi secara paket
sebagaimana dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda
selama ini, yang mengangkat pemilukada secara langsung oleh rakyat daerah.
Selengkapnya, substansi pengusulan wakil kepala daerah dalam Pasal 42
RUU Pemda mempunyai potensi memperkuat bangunan politik dimaksud.
Ketentuannya bahwa: “(1) Wakil gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (2) diangkat oleh Presiden dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan; (2) Gubernur mengajukan calon wakil gubernur 2 (dua) kali dari
jumlah wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri; (3) Wakil bupati/
wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) diangkat oleh
Menteri dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan; (4) Bupati/
15
Ini dapat dilihat pada kasus beberapa kasus ikut bergabungnya beberapa kepala daerah
tertentu, yaitu mereka yang berasal dari PDI Perjuangan yang ikut bergabung dalam aksi
demonstrasi massa menentang rencana pemerintah pusat menaikkan BBM. Beberapa
kepala daerah itu, antara lain adalah Walikota Malang Peni Suparto, Wakil Walikota Solo FX
Hadi Rudyatmo, Wakil Walikota Surabaya, Bambang DH, Bupati Magetan, Sumantri, Bupati
dan Wakil Bupati Ngawi, Budi Sulistono-Ony Anwar, Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron,
Bupati Ponorogo, Amin, dan Bupati Sukoharjo, Wardoyo Widodo, dan Wakil Bupati Jember
non aktif, Kusen Andalas. Padahal, Mendagri Gamawan Fauzi sudah mengingatkan masalah
ini, dan bagi kepala daerah yang menentang, Kemdagri mengaku dapat memberikan
sanksi dari mulai peringatan (lisan atau tertulis), sampai pada yang kontroversial berupa
pemecatan. “PDI P Mainkan Politik Jalanan”, Koran Tempo, 28 Maret 2012. Kenyataannya,
Mendagri hanya memberikan teguran tertulis melalui surat kepada Wakil Walikota Solo,
FX Rudiyatmo dan Wakil Walikota Surabaya, Bambang DH, dengan alasan pelanggaran
terhadap etika pemerintahan. “Kepala Daerah Tak Melanggar”. Kompas 29 Maret 2012.
59
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
walikota mengajukan calon wakil bupati/wakil walikota 2 (dua) kali dari
jumlah wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri melalui gubernur; (5)
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi,
Menteri menolak usulan calon wakil gubernur yang diajukan; (6) Dalam hal
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terpenuhi, gubernur
menolak usulan calon wakil bupati/wakil walikota yang diajukan.” Demikian
seterusnya, sejajar dengan ketentuan mekanisme pengusulan bagi gubernur,
sedangkan bagi bupati/walikota juga berlaku hal serupa dengan kewenangan
berada di bawah kendali gubernur yang selanjutnya ingin diatur oleh
pemerintah melalui PP.
Relasi hubungan pusat dan daerah yang masih perlu ditata lebih lanjut
saat pemilukada dilakukan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota,
adalah terkait kebijakan birokrasi pemda yang menimbulkan konsekuensi
tertentu bagi biaya sosial ekonomi secara nasional dan bahkan terkait
aspek politik bernegara konstitusi. Manajer Hubungan Eksternal Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng,
mengatakan, selama ini Pemda masih saja memberlakukan peraturan daerah
(Perda), meskipun Perda itu telah dinyatakan bermasalah oleh Kemdagri.16
Tercatat bahwa sepanjang 2009-2012, Kemdagri telah mengevaluasi sekitar
13.000 Perda. Dari jumlah itu, sebanyak 824 Perda di antaranya diklarifikasi,
dan dalam perda-perda ini ditemukan kesalahan karena tidak sesuai dengan
aturan di atasnya, bertentangan dengan kepentingan umum, dianggap
mengganggu ketenteraman dan ketertiban. Sebelum kurun waktu periode itu,
sudah terdapat ribuan perda bermasalah yang sampai saat ini belum rampung
ditangani dan KPPOD mencatat sejak awal otonomi daerah diberlakukan
secara nasional (2001-2009), pemerintah menerima 13.622 Perda tentang
pajak daerah/retribusi. Sebaliknya, Mendagri hanya membatalkan 1.843
perda. Ketika terbit Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, maka kewenangan untuk membatalkan Perda
hanya dapat dilakukan oleh Presiden, padahal sampai tahun 2012, Presiden
belum membatalkan satupun Perda yang bermasalah.17 Dalam RUU tentang
Pemda yang diajukan oleh pemerintah dan kini di bahas bersama DPR,
sudah dipersiapkan klausul pengembalian kewenangan tidak lagi sampai
harus melalui Presiden, melainkan cukup dijalankan oleh Mendagri. Dalam
RUU Pemda, disebutkan klausul yang dipersiapkan dua hal. Pertama, perda
provinsi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan/atau
peraturan perundangan yang lebih tinggi dibatalkan Mendagri. Kedua, Perda
16
17
“Daerah Masih Bandel Memberlakukan”, Kompas 25 Agustus 2012.
Ibid.
60
Prayudi
kabupaten/kota dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat. Klausul ini memerlukan revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun
2009, khususnya Bab VIII tentang Pengawasan dan Pembatalan Perda tentang
Pajak dan Retribusi yang masih menyebutkan kewenangan berada ditangan
Presiden dengan rekomendasi dari Menkeu melalui Mendagri.
Pemilukada tampaknya memberikan kejutan tertentu terkait disharmoni
hubungan birokrasi pemda dengan pemerintah pusat, terkait kebijakan yang
dikeluarkannya. Kejutan demikian semakin meluas peluangnya untuk muncul
ke atas permukaan, seperti halnya terkait munculnya Perda yang dianggap
bermasalah bagi pemerintah pusat dan sebaliknya isu kebijakan pemerintah
pusat yang justru dianggap kontroversial bagi kepala daerah, sepertinya
pengalaman kasus rencana kenaikan BBM di tahun 2012, dalam konteks
partai penyokong kepala daerah dan kalangan independen sekalipun saling
berbeda koalisi kekuatan politiknya. Saling berebut popularitas di tengah
masih rawannya keterpinggiran pertimbangan kompetensi secara profesional
melalui politik persaingan antar pasangan kandidat pemilukada, tidak saja
mendorong disharmoni kebijakan birokrasi pusat dan daerah.
Sementara itu, mekanisme pemilukada cenderung menghasilkan pada
beberapa kasus daerah, terkait politik etnisititas yang berlatarbelakang
aspirasi para bangsawan setempat. Ambil contoh, di Sulsel, kekerabatan
politik berlatarbelakang bangsawan lokal tersebut sangat kuat mengikat
ikatan birokrasinya. Menurut Muhtar Haboddin18, kemenangan golongan
bangsawan dalam pemilukada menjadi pemicu terjadinya ledakan partisipasi
golongan bangsawan dalam pemilukada. Dari sembilan kabupaten yang
dimenangkan golongan bangsawan, sebanyak 74 calon bupati dan wakil
bupati. 30 di antaranya berlatarbelakang golongan bangsawan.19 Bahkan,
di daerah yang masih kental semangat kebangsawanannya pun, seperti
halnya Kabupaten Bone, Wajo, Jenoponto, dan Soppeng, para bangsawan
mendominasi bursa Bupati dan Wakil Bupati. Dominasi bangsawan di empat
kabupaten ini dapat memaknai trah bangsawan tetap eksis dalam panggung
politik lokal. Mereka merupakan figur-figur yang dapat memanfaatkan dan
menguasai proses politik desentralisasi dan liberalisasi.20
Di Sulawesi Selatan, khususnya pada etnis Bugis dan Makasar, pertarungan
elit baik pada ranah politik maupun ekonomi antar etnis tidak lepas dari
dimensi sejarah. Meskipun demikian, persaingan yang kemudian berwujud
dalam pertarungan politik maupun ekonomi memberikan gambaran bahwa
18
19
20
Direktur Utama Perusahaan Daerah Sulsel, rekan sepermainan Ichsan Yasin Limpo, Bupati
Gowa, Sulsel.
“Mengokohkan Dinasti Politik”, Kompas 10 Agustus 2012.
Ibid.
61
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pertarungan ini yang terjadi adalah pertarungan yang sepenuhnya dilakukan
oleh lapisan atas (elit) antar etnis dalam menguasai sumber daya tertentu.
Mengutip Ricklefs (1991) dan Hall (1988), Imam Mujahiddin Fahmid
mengatakan, empat etnis terbesar di Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar, Mandar,
dan Toraja), Bugis dan Makasar, merupakan dua etnis yang saling bersaing
untuk menjadi yang paling berkuasa di Sulsel.21 Sebagai perbandingan,
pemilihan Gubernur Sulsel dimasa Orde Baru banyak dipengaruhi oleh
kondisi anggota DPRD yang didominasi etnis Bugis yang memiliki strategi
menempatkan orang-orang Bugis mewakili etnis Makasar, Mandar, dan Toraja.
Sehingga wakil-wakil rakyat di DPRD walaupun berasal dari daerah Makasar,
Mandar, dan Toraja tetapi tidak mewakili etnis tersebut karena sebenarnya
mereka berasal dari etnis Bugis. Dengan dukungan yang kuat dari anggotaanggota DPRD yang mayoritas etnis Bugis sehingga dominasi kepemimpinan
orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan tidak bergeser.
Secara historis, dominasi etnis Bugis ini disebabkan perkawinan politik
yang dilakukan bangsawan-bangsawan Bugis untuk memperluas daerah
kekuasaannya dengan menikahi perempuan etnis lainnya dengan tujuan agar
etnis Bugis bisa diterima dan menguasai wilayah etnis lainnya. Sehingga,
sekarang dirinya berpengaruh pada posisi etnis Bugis di semua wilayah dan
jabatan strategis di Sulawesi Selatan. Dominasi etnis Bugis di masa orde Baru,
juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman, dan kemampuan yang
merupakan kebangkitan etnis Bugis. Pemilihan Lanto Daeng Pasewang dari
etnis Makasar menjadi Gubernur Sulsel di awal kemerdekaan karena waktu
itu kecerdasan atau tingkat pendidikan masyarakat bagian selatan atau
etnis Makasar yang mengecap pendidikan di Bantaeng dan Makasar jauh
lebih baik dibandingkan masyarakat Bugis yang berada di daerah utara. Ini
memacu orang-orang Bugis di daerah utara untuk menyekolahkan anaknya
hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan bahkan menyekolahkan
sampai ke Jawa. Sedangkan pada masa reformasi, khususnya ketika pemilihan
gubernur tahun 2003, mulai memasuki babak baru yang menjadi transisi
dari pola sentralisme kepada pola otonomi daerah. Di era ini, pemilihan
gubernur tidak lagi berdasarkan keinginan pemerintah pusat, malainkan
berdasarkan pemilihan anggota DPRD provinsi yang dianggap penyalur
aspirasi masyarakat Sulsel. Keadaan ini disambut luas oleh berbagai kalangan,
terutama oleh tokoh-tokoh dan kelompok yang memiliki pengaruh dalam
proses pengambilan keputusan, yaitu melalui partai-partai politik di DPRD
maupun melalui kelompok-kelompok kepentingan di luar DPRD.22
21
22
Imam Mujahidin Fahmid, Identitas dalam Kekuasaan, Ininnawa-IPSEI, Makasar, 2012, h. 1.
Ibid., h. 243-244.
62
Prayudi
3. FENOMENA POLITIK DINASTI
Kasus Pemilukada Sulsel menunjukkan tidak hanya peran dinasti
politik dan ikatan komunalitas yang sangat kuat, tetapi juga tingginya biaya
kampanye dalam persaingan antar masing-masing pasangan calon. Sejak
menjelang kampanye Pemilukada Gubernur Sulsel 22 Januari 2013, sebelum
memasuki pada kurun waktu kampanye selama 5-18 Januari 2013, masingmasing pasangan calon sudah menyiapkan dana miliaran rupiah. Dana itu
digunakan untuk langkah sosialisasi ke berbagai daerah dan mendatangkan
sejumlah artis ibukota. Menurut Haris Yasin Limpo, ketua tim kampanye
Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang, mengakui bahwa, pihaknya saat itu
menyiapkan Rp5 miliar untuk melakukan kampanye di 24 kabupaten/kota.
Sedangkan, Mario David, coordinator kampanye pasangan calon Ilham Arief
Siradjuddin-Abdul Azis Qahhar Mudzakkar, mengungkapkan, dana kampanye
yang dialokasikan mencapai Rp10 miliar, dan bahkan berencana menyewa
helikopter agar lebih efektif ketika harus menjangkau beberapa daerah dalam
waktu singkat.23 Pemilukada Gubernur Sulsel ini juga diikuti oleh pasangan
Andi Rudiyanto Asapa-Nawir Pasinrigi.
Sedangkan di Provinsi Jatim, pemilukada juga tidak lepas dari pengaruh
kultur politik komunal yang sangat kuat. Pemilukada Gubernur Jarim sepanjang
2008-2009 menunjukkan kuatnya sentiment cultural sebagai variabel penting
dalam memperoleh dukungan politik masing-masing kontestan. Keragaman
budaya yang ada di Jatim, menjadi pertimbangan tersendiri atas politik lokal
yang berkembang di tingkat persaingan pemilukada. Harian Kompas mengutip
pendapat antropolog Australia, Hartley (1984) dalam bukunya Mapping Cultural
Regions of Java membagi wilayah Jatim ke dalam 4 pemetaan budaya, yaitu Jawa
(Mataraman), Madura, Arek, dan Pandalungan. Di samping empat telatah yang
dikemukakan Hartley, Ayu Sutarto (2004), juga menganalisis adanya telatah
yang kecil, yaitu Jawa Panoragan, Osing, Tengger, Madura, Bawean, Madura
Kangean, dan Samin (Sedulur Sikep). Ini sejalan dengan pengamatan dari Dwi
Cahyono, terutama terkait dengan pembagian Mataraman dan Mataraman
Pesisir. Mataraman dimaknai sebagai telatah yang mempunyai kedekatan dengan
budaya Jawa yang sebagian besar berada di wilayah eks Karesidenan Madiun,
seperti halnya, Madiun, Magetan, Nganjuk, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan,
Tulungagung, Ngawi, Kediri dan Bojonegoro. Sebagian lagi kultur ini masuk
ke wilayah Mataraman Pesisir, seperti halnya Tuban dan Lamongan. Sebelah
timur Mataraman adalah telatah Arek, batasnya sisi timur Kali Berantas yang
membentang dari Surabaya hingga Malang, Budaya Arek adalah sentuhan dari
berbagai kultur baik lokal maupun asing yang membentuk komunitas Arek
23
“Siapkan Miliaran Rupiah untuk Kampanye”, Kompas, 4 Januari 2012.
63
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
yang relatif cair dan terbuka. Telatah besar lainnya adalah Madura yang berada
di Pulau Madura dan telatah Pandalungan. Pandalungan diibaratkan oleh Ayu
Sutarto (2004), masyarakat Hibrida, yaitu pertemuan antara budaya Madura
dan Jawa di sepanjang wilayah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember,
Situbondo, Bondowoso, dan sebagian Banyuwangi. Namun, khusus untuk
Banyuwangi, juga terdapat telatah budaya Osing yang merupakan perpaduan
budaya Jawa (kuno) dan Bali. Dalam Pemilukada Gubernur Jatim tahun 20082009, suara yang diraih pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf, lebih dari 36
persen di raih di wilayah Mataraman. Hal ini dianggap tidak terlepas dari
figur Soekarwo yang lekat dengan kultur Mataraman. Sebaliknya, sumbangan
suara terbesar pasangan Khofifah-Mujiono, lebih dari 21 persen, berasal dari
wilayah Pandalungan. Hal ini dianggap tidak terlepas dari figur Khofifah yang
berlatarbelakang sebagai kader NU, sekaligus sebagai pimpinan Muslimat NU.24
Peluang sikap oportunis semakin mengemuka dalam konstruksi politik
pemilukada yang membuka ruang bagi dominasi kepemilikan popularitas sang
calon, menempatkan birokrasi pemda dapat menjadi “korban” atas peluang
sikap politik calon kepala daerah. Kemenangan pasangan calon Jokowi-Ahok di
Pemilukada 2012 yang hanya didukung 2 partai, yaitu PDI P dan Gerindra, serta
peritsiwa kemenangan Jalur Independen dalam beberapa pemilukada melawan
pasangan calon yang didukung barisan partai-partai, termasuk partai tergolong
besar, kiranya dapat “menjadi alternatif bagi jeratan politik oportunis ini. Karier
birokrasi hingga sampai level terbawah misalnya, seperti halnya kelurahan
sekalipun, dapat menjadi jenjang penting bagi seseorang untuk masuk
nominasi partai atau gabungan partai agar dicalonkan dalam pemilukada.
Sebaliknya, partai-partai dipaksa untuk tidak lagi menggunakan pengkaderan
secara instan atau mengajak figur-figur yang sekedar popular, namun beresiko
untuk menyebabkan kelemahan jalannya pemerintahan hasil pemilukada
kelak. Di sini, seseorang kader diharapkan mampu memberikan keunggulan
tersendiri terhadap tawaran politik yang yang dibahasakan sebagai “mahar”
ketika partai-partai menyewakan perahu bagi kendaraan menuju pemilukada.
Di samping itu, sikap politik dalam menempuh jalur yang dipilihnya apakah
melalui kepartaian, atau melalui jalur independen, akan menempatkan politik
persaingan berlangsung secara terkonsolidasi. Sehingga tidak perlu lagi seorang
yang akan mencoba masuk ke persaingan pemilukada, harus menempuh lebih
dari satu jalur dalam proses politik penjaringan, sebagaimana dicontohkan
kader Partai Golkar, Daday Hudaya, dalam pemilukada Gubernur Jawa Barat,
yang justru sampai harus mencoba masuk dalam bursa pencalonan Partai
Demokrat dan sekaligus juga menjajal dirinya melalui jalur perseorangan.
24
“Telatah Budaya di Panggung Politik”, Kompas 8 Desember 2012.
64
Prayudi
Dengan masih kuatnya kecenderungan sikap oportunis partai dalam
proses politik penjaringan figur calon kepala daerah dan wakilnya sebagai
pasangan, maka potensi politik konstruksi pemilukada akan berdampak
buruk bagi birokrasi pemda. Bahkan, ketika sang kepala daerah telah
dua kali menjabat dan habis periode proses pencalonannya, yaitu yang
telah dua kali menjabat dan habis periode proses pencalonannya, sebagai
akibat pembatasan masa jabatan Kepala Daerah selama dua periode sesuai
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, dirinya “rela” menurunkan
martabatnya sebagai calon wakil kepala daerah agar dapat maju lagi dalam
pemilukada. Setidaknya, pragmatisme ini juga tampak pada kasus ketika
sang incumbent memang secara total tidak mengajukan dirinya lagi sebagai
calon dalam pemilukada, tetapi kerabat dirinya, atau istri, dan anaknya
mencoba peruntungan untuk mengajukan dirinya dalam proses pencaloanan
pemilukada. Fenomena politik dinasti di tingkat kepala daerah berbanding
lurus dengan pemanfaatan kekuatan politik birokrasi yang mengabdi secara
personal bagi oligarki kepemimpinan lokal bersangkutan.
Politik kekeluargaan yang ditandai dengan menguatnya pengaruh tokoh
politik dan keluarganya, semakin menguat di beberapa daerah. Fenomena
ini ditandai dengan semakin banyaknya kepala daerah digantikan oleh istri,
anak, atau keluarganya. Mantan kepala daerah itu pun tetap membayangi
keluarganya saat menjabat. Misalnya, Bupati Kendal, Jateng, Widya Kandi
Susanti, mengatakan, dirinya menjadi bupati karena memang ingin
meneruskan program pembangunan yang dirintis bupati yang digantikannya
dan tidak lain merupakan suaminya sendiri, Hendy Boedoro, dianggap niatnya
itu tidak melanggar hukum dan hasilnya baik untuk rakyat. Hendy Boedoro
sendiri diberhentikan karena terbukti melakukan korupsi dan dirinya sempat
digantikan oleh wakilnya, yaitu Siti Nurmakersi. Saat itu, Widya Kandi masih
menjabat sebagai Bupati Kendal. Kemudian, pada pemilukada Kendal, 6 Juni
2010, Widya Kandi mengalahkan Siti Nurmakersi, yang juga mencalonkan
dirinya dalam pemilukada tersebut. Menurut Widya Kandi, setelah dua tahun
menjabat Bupati Kendal, dirinya mengaku menyadari rakyat melihat dirinya
sebagai bupati seutuhnya. Rakyat tidak memilih dirinya karena ia adalah
istri mantan bupati. Meskipun dari jelajah desa yang dilakukannya, dengan
mengunjungi 236 desa di 17 kecamatan, rakyat setempat tampak mengingat
suaminya termasuk janji yang disampaikan Hendy saat itu, Jelajah desa adalah
program Widya Kandi.25 Kondisi bayangan dinasti politik keluarga juga antara lain
tampak pada Kabupaten Indramayu. Bupati Anna Sophanah yang menggantikan
suaminya sebagai Bupati setempat, Irian MS Syaifiuddin, atau dikenal dengan
sebutan Pak Yance.
25
“Mantan Tetap Bayangi”, Kompas 13 November 2012.
65
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Banyak kasus dinasti politik dalam pemilukada, tidak saja terkait
perolehan hasil dari pemenang yang tampil, tetapi juga saat persaingan
di tingkat pencalonan. Salah satu kasus misalnya, terkait pencalonan Andi
Irsan Idris Galigo, anak Bupati Bone Idris Galigo, yang menjadi calon Bupati
Bone melalui jalur perseorangan. Sedangkan, di Kabupaten Bangkalan dan
Kabupaten Probolinggo, juga ikatan kekerabatan turut mewarnai politik
dinasti dalam pemilukada. Di Bangkalan, Makmun Iman Fuad, putera
Bupati Bangkalan Fuad Amin, juga menjadi calon bupati dalam Pemilukada
Bangkalan, 12 Desember 2012. Fuad Amin sendiri, sebelumnya sudah dua
periode menjabat sebagai bupati setempat.
Tabel 4.
Beberapa Kepala Daerah hasil Pemilukada Burnuansa Dinasti Keluarga
Haryanti Sutrisno (istri Sutrisno Bupati
Kediri sebelumnya)
Sri Surya Widati (istri Idham Samawi,
Bupati Bantul sebelumnya)
Anna Sophana (istri Irianto MS Syafiuddin,
Bupati Indramayu sebelumya)
Atty Suhati (istri Itoc Tochija, Walikota
Cimahi sejak 2001 saat masih sebagai
pejabat sementara, setelah pemekaran dari
Kabupaten Bandung. Kemudian Itoc Tochija
memenangkan pemilukada Kota Cimahi
2002-2007.
Sumiyati (istri mantan Walikota Bekasi,
Mochtar Mochammad) muncul sebagai
salah seorang kandidat dalam Pemilukada
Kota Bekasi, 6 Desember 2012.
Iman Aryadi (anak kandung dari Walikota
sebelumnya, Tubagus Aat Syafaat.
Pemilukada Kabupaten Kediri, Jawa Timur,
2010 (Partai Golkar, PDI P, PKNU, PPP,
Hanura)
Pemilukada Kabupaten Bantul, DI
Yogyakarta, 2010 (PAN, Partai Golkar,
PKPB)
Pemilukada Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat, 2010 (Partai Golkar)
Pemilukada Kota Cimahi, Jawa Barat, 2012
(PPP, Partai Golkar, PKB, dan PBB).
Ketika proses pencalonan istrinya, Mochtar
Mohammad adalah tidak lagi sebagai
incumbent. Mochtar Mohammad divonis
penjara 6 tahun karena kasus korupsi.
Mendagri Gamawan Fauzi telah memecat
Mochtar Mohammad pada Maret 2012
setelah MA memvonisnya bersalah atas
empat kasus korupsi yang merugikan
negara Rp 5,5 miliar. Mochtar diganti oleh
wakilnya, yaitu Rahman Effendi.
Kota Cilegon
66
Prayudi
Ahmad Zaki (putera bupati Tanggerang
sebelumnya, Ismet Iskandar)
Bupati Lampung Selatan: Rycko Mendoza
(anak kandung Gubernur Lampung:
Sjachroedin ZP)
Ni Putu Eka Wiryastuti, Bupati Tabanan,
merupakan anak kandung bupati setempat
sebelumnya, N. Adi Wiryatama.
Widya Kandi Susanti, Bupati Knedal,
merupakan istri dari bupati setempat
sebelumnya, Hendy Boedoro.
Bupati Bandung, Dadang Naser yang
menjabat periode 2010-2015, merupakan
menantu dari bupati setempat sebelumnya,
Obar Sobarna, yang tidak bisa mencalonkan
lagi karena dirinya sudah menjabat selama
dua periode.
Aden Abdul Khalik, adik ipar Gubernur
Banten, Ratut Atut Chosiah, tercatat dalam
proses pencalonan Pemilukada Kabupaten
Tanggerang 2013-2018.
Pemilukada Kabupaten Tanggerang,
9 Desember 2012. Ahmad Zaki yang
berpasangan dengan Hermansyah
memenangkan pemilukada ini dengan
mengalahkan 4 pasangan lainnya, dan salah
satu di antaranya adalah pasangan Aden
Abdul Khlak-Mukhlis, adapun Aden sendiri
adalah adik ipar Gubernur Provinsi Banten,
Ratut Atut Chosiyah.
Provinsi Lampung
Kabupaten Tabanan
Kabupaten Kendal
Kabupaten Bandung
Kabupaten Tanggerang, Banten. Langkah
pencalonan Aden Abdul Khalik telah
memancing reaksi keras DPP Partai Golkar
yang memecat dirinya dari keanggotaan
DPRD Provinsi Banten. Alasan DPP Partai
Golkar, Aden dinilai tidak taat pada
mekansime partai ketika pencalonan
dimaksud. Aden adalah Wakil Ketua DPD
Golkar Kota Serang, tetapi mencalonkan
dirinya melalui PPP dan Partai Nahdlatul
Ulama Indonesia. Padahal, Partai Golkar
mengusung pasangan Ahmad Zaki
Iskandar-Hermansyah.
67
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Bupati Probolinggo, Jateng, Puput
Tantriana Sari yang dilantik 20 Februari
2013, muncul sebagai pemenang dalam
pemilukada setempat 8 November 2012.
Puput Tantriana Sari adalah istri dan
sekaligus pengganti dai suaminya sendiri,
Hasan Aminudin, yang sebelumnya telah
menjabat selama dua periode.
Makmun Ibnu Fuad (putera Bupati
Bangkalan, Jatim, Fuad Amin) yang
menggantikan ayahnya setelah menang
pemilukada Bangkalan, 12 Desember 2012.
Dirinya berpasangan dengan Mondir Rofii,
yang merupakan adik dari Wakil Bupati
Bangkalan, Syafik Rofii.
Pemilukada 23 Januari 2013 di Kota Pagar
Alam, Sumsel, antara lain mencatat nama
salah satu kandidatnya, yaitu Novriza
sebagai wakil walikota setempat, yang
adalah merupakan putera walikota
incumbent Djazuli Kuris. Novriza
berpasangan dengan Ida Fitriani, yang nota
bene adalah wakil walikota Djazuli Kuris,
sebagai calon walikota hasil Pemilukada
2013 tersebut.
Berdasarkan rekapitulasi suara, KPU
Probolinggo menyatakan Puput Tantriana
Sari sebagai pemenang pemilukada 8
November 2012. Puput Tanriana Sari yang
berpasangan dengan Prihanjoko meraih
40,72 persen suara, atau sebanyak 250.892.
Sehingga, pasangan ini mengguli pasangan
lainnya, yaitu Salim Quways (Wakil Bupati
Probolinggo)-Agusetyawan yang meraih
190.702 suara (30,95 persen), pasangan
Kusnadi (mantan Sekda Kabupaten
Probolinggo)-Wahid Nurrachman (Wakil
Ketua DPRD Probolinggo) yang mendapat
28,83 persen atau 174.996 suara.
Pasangan ini diusung oleh PKB, PDI
Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PAN,
Hanura, Gerindra, dan PDP. Dari hasil
rekapitulasi KPU Kabupaten Bangkalan,
pasangan Makmun Ibnu Fuad dan Mondir
Rofii meraih 505.986 suara. Sedangkan,
pasangan lainnya, yaitu Nizar Zahro-Zulkifli
meraih 35.378 suara atau 6,86 persen.
Pasangan Makmun dan Mondir mampu
meraih kemenangan di 18 kecamatan di
Kabupaten Bangkalan.
Djazuli Kuris sendiri tiak dapat
mencalonkan diri lagi, karena sudah
menjabat dua periode. Latar belakang
calon dalam pemilukada Pagar Alam,
selain kepala daerah pertahanan dan dari
daerah sekitarnya, juga merupakan tokoh
atau keluarga tokoh masyarakat setempat.
Misalnya, Sukadi Duadji saat mencalonkan
adalah Wakil Bupati Lahat yang juga dekat
lokasinya dengan Kota Pagar Alam.
Sumber: “Istri Wali Kota Menang”, dalam Kompas, 14 September 2012, “Tantriana Gantikan Suaminya”,
Kompas 16 November 2012, “Kemenangan Zaki Ubah Peta Politik Keluarga Atut”, Koran Tempo,
10 Desember 2012, dan “Mantan Tetap Bayangi”, Kompas 13 November 2012, “Kematangan
Demokrasi di Kota Kecil….”, Kompas 30 Januari 2013.
Fenomena menguatnya dinasti politik keluarga di daerah tidak hanya
terlihat dari kepala daerah yang habis masa jabatannya diganti oleh istri atau
anaknya, tetapi juga dari penguasaan jabatan publik oleh keluarga. Bahkan,
terdapat pula di antaranya yang menyebarkan anggota keluarga, terutama
kepala daerah. Di Jateng, fenomena keluarga yang menguasai panggung
politik diperlihatkan oleh keluarga Ketua DPRD Jateng non-aktif, Murdoko.
68
Prayudi
Kakak Murdoko, Hendy Boedoro pernah menjadi Bupati Kendal, yang
kemudian digantikan oleh istrinya, Widya Kandi Adik dari Murdoko, yaitu
Don Murdono (Bupati Sumedang 2003-2008, dan 2008-2013). Adiknya pula,
yaitu R Yuwanto (anggota DPRD Kota Semarang 2004-2009), dan keponakan
Murdoko, Assep Diamonde (anggota DPRD Kendal 2009-2014). Dominasi
dinasti politik keluarga di pentas politik Jateng juga ditampilkan pengusaha
dan pemilik Bus PO Dewi Sri, Rukayah, di Kota Tegal dan sekitarnya. Anak
ketiga Rukayah, Ikmal Jaya, pada Maret 2009, dilantik sebagai Walikota Tegal.
Adik dari Ikmal Jaya, yaitu Mukti Agung Wibowo, menjadi Wakil Bupati
Pemalang. Sedangkan kakak dari Ikmal Jaya, yaitu Idza Priyanti, memenangkan
pemilukada Kabupaten Brebes, pada Oktober 2012.26 Sedangkan di tempat
lain, terjadi hal yang ironis dan sekaligus unik pula. Tampilnya Sumiyati, istri
mantan Bupati Mochtar Mohammad, sebagai kandidat pemilukada setempat,
9 bulan, dinilai tidak pantas oleh beberapa pihak di tingkat publik. Apalagi,
Mochtar berniat mengawal kemenangan istrinya dari balik penjara. Sumiyati
sendiri menyampaikan janji meneruskan program sang suami---termasuk
memerangi korupsi, yang dalam konteks kasus ini pula suaminya terjerat oleh
hukum.
Provinsi Sulut, Careig Naichel Runtu yang mencalonkan diri sebagai
Bupati Minahasa 12 Desember 2012, merupakan anak dari Vreeke Runtu,
yang menjabat sebagai Bupati Minahasa. Sedangkan di Kota Manado, Harley
Mangindaan yang menjadi Wakil Walikota Manado, merupakan anak dari
Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan, yang sekaligus pula merupakan
mantan Gubernur Sulut. Di samping itu, terdapat Bupati Minahasa Selatan,
Christianty Euginia “Teti” Paruntu, yang merupakan anak sulung dari Wakil
Ketua DPRD Kabupaten Minahasa Selatan, Jenny Tumbuan Paruntu. Tercatat
pula Ivan Sarundajang yang ikut mencalonkan diri sebagai wakil bupati dalam
pemilukada Kabupaten Minahasa, adalah putera sulung Gubernur Sulut, SH
Sarundajang. Ivan mempunyai adik, yaitu Vianda Sarundajang, yang menjadi
Anggota Komisi VI DPR.27
Pada kasus Sulut, Gubernur SH Sarundajang menolak permohonan izin
kampanye dari Bupati Minahasa Utara Vreeke Runtu dan Walikota Manado
Vicky Lumentut. Alasan penolakan Gubernur Sulut, SH Sarundajang, adalah
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, yang menyebutkan
walikota dan bupati adalah pejabat negara yang dilarang berkampanye
dalam pemilukada, kecuali mereka menjadi calon kepala daerah dan harus
cuti di luar tanggungan negara.28 Dengan adanya larangan ini, berarti Bupati
28
26
27
“Anggota Keluarga Disebarkan”, Kompas, 14 November 2012.
“Anak, Istri, dan Adik yang menjadi Kader”, Kompas 17 November 2012.
“DPRD Sumatera Utara Sepakati Pengangkatan Gatot, Kompas 28 November 2012.
69
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Minahasa Utara Vreeke Runtu tidak dapat berkampanye bagi anaknya, Careig
Nathail Runtu, yang menjadi calon Bupati Minahasa periode 2013-2018.
Demikian halnya, bagi Walikota Manado Vicky Lumentut yang mengajukan
izin berkampanye bagi calon wakil Bupati Denny Tombeng yang diusung
Partai Demokrat. Careig dan Denny berpasangan sebagai calon kepala daerah
Kabupaten Minahasa.
Adapun di Provinsi Sumut, pemilukada Gubenurnya pada Maret 2013,
juga diramaikan oleh nama-nama keturunan dari pejabat dan mantan pejabat
di daerah setempat dan bahkan hingga di tingkat nasional. Di samping Tengku
Ery Nuradi yang adalah adik gubernur sebelumnya Tengku Rizal Nurdin ikut
mencalonkan diri sebagai wakil gubernur mendampingi Gatot Pujo Nugroho,
juga ada nama Gus Irawan Pasaribu. Gus Irawan Pasaribu yang pernah
menjabat sebagai Dirut PT Bank Sumut, adalah adik dari mantan Menaker
Bomer Pasaribu. Dalam Pemilukada gubernur Sumut pula, terdapat nama
Amri Tambunan yang mencalonkan dirinya, yang kini menjabat sebagai
Bupati Deli Serdang. Amri Tambunan adalah mantan Bupati Labuhan Batu,
Jamaluddin Tambunan.29
Di Provinsi Sulsel, Gubernur Syarul Yasin Limpo mempunyai kerabat
yang memimpin daerah dan menjadi pejabat publik. Kakaknya, yaitu Tenri
Olle (anggota DPRD Sulsel 2009-2014), sedangkan adik-adiknya, yaitu Ichsan
Yasin Limpo (Bupati Gowa 2005-2010), Haris Yasin Limpo (anggota DPRD
Kota Makasar 2004-2009). Sedangkan keponakan Syarul Yasin Limpo, yaitu
Adnan Purichta (anggota DPRD Sulsel 2009-2014), dan Indira Thita Chunda
(anggota DPR 2009-2014). 30
Adapun di Provinsi Banten, keluarga dari Gubernur Ratu Atut Chosiyah
menjadi kepala daerah atau jabatan publik lainnya. Suaminya, Hikmat Tomet
(anggota DPR 2009-2014), sedangkan anaknya, Andika Hazrumy (anggota
DPD Kota Serang 2009-2014), kemudian menantunya, Ade Rossi Khaerunissa
(Anggota DPRD Kota Serang 2009-2014), dan adik iparnya, Airin Rachmi
Diany (Walikota Tanggerang Selatan 2010-2015). Adapun di Kabupaten
Lebak, muncul pula dinasti keluarga yang lain dari Bupati setempat, Mulyadi
Jayabaya (2004-2009 dan 2009-2014), melalui anaknya, yaitu Iti Octavia
(anggota DPR 2009-2014), Mulyanah (anggota DPRD Kabupaten Lebak 20092014),dan adik iparnya, yaitu Agus R. Wisas (anggota DPRD Banten 20092014).31
Di Provinsi Bangka Belitung, istri Gubernur Babel, Eko Maulana Ali,
yaitu Noorhari Astuti, adalah anggota DPD. Sedangkan di kabupaten Bangka
31
29
30
Ibid.
Ibid.
Ibid.
70
Prayudi
Tengah, Bupati Erzaldi Rosman, adalah anak dari Rosman Djohan, yang
pernah menjadi Walikota Pangkal Pinang dan anggota DPD, Sofyan Rebuin,
mantan Walikota Pangkal Pinang, memiliki kakak, yaitu Ernawan Rebuin, yang
menjadi Wakil Ketua DPRD Provinsi Babel. Sedangkan, di Provinsi Sumut,
misalnya Bupati Serdang Bedagai, Tengku Erry Nuradi, adalah adik mantan
Gubernur Sumut Tengku Rizal Nurdin yang wafat mengalami kecelakaan
pesawat 5 September 2005. Kecelakaan pesawat tersebut juga membawa
korban mantan Gubernur Sumut lainnya, yaitu Raja Inal Siregar (Gubernur
Sumut 1988-1998) dan Anggota DPD, Abdul Halim Harahap. Dalam konteks
Pemilukada Gubernur Sumut tahun 2012, Ery Nuradi sempat mencalonkan
diri sebagai gubernur Sumut dan tidak segan untuk menulis kampanyenya
sebagai adik dari Tengku Rizal Nurdin, di bawah fotonya.32 Sedangkan di
Pulau Madura, Jatim, Pemilukada Bangkalan yang sempat diwarnai oleh aksi
pendudukan KPUD Bangkalan dan ancaman memblokir pelabuhan Kamal dan
Jembatan Tol Suramadu, terdapat nama Makmun Ibnu Fuad-Mondir A Rofii,
yang merupakan anak dari Bupati Bangkalan, Fuad Amin.
Sejarah dari pemerintahan setiap aras lokal tidak terlepas dari proses
sentralisasi kerajaan yang menguasai aset atau berbagai sumber daya yang
dimiliki daerah setempat. Mereka berperan sebagai “raja-raja kecil” yang
menentukan pengembangan potensi lokal tersebut dengan segala jaringan
yang dibangunnya secara kekerabatan. Artinya, pada titik penguasaan model
pemerintahan semacam ini, kesan munculnya “raja-raja kecil” memang
telah berkembang sangat jauh sebelum agenda pemilukada dijalankan di
era reformasi. Pada titik penguasaan demikian, dinasti politik mempunyai
peluang untuk berkembang luas. Sebagaimana ditunjukkan Mestika Zed,
bahwa di kawasan Sumatera Selatan, atau khususnya di Palembang, ciri yang
paling menyolok dari Kesultanan Palembang sejak zaman prakolonial di
daerah kepungutan adalah berupa sentralisasi kekuasaan.
Pengawasan politik, praktik perdagangan monopoli, dan hubunganhubungan sosial terpusat di tangan sultan dan para pembesar istana.
Mengingat kekuasaan politik sampai tingkat tertentu harus mengawasi
hubungan pertukaran, termasuk hubungan dagang pihak bawahan dengan
dunia luar, maka keberadaan pelabuhan dagang kota Palembang cenderung
semakin menguat. Kecenderungan sebaliknya berlangsung di daerah sindang.
Penduduk dataran tinggi daerah sindang adalah kelompok masyarakat
“kesukuan” yang hampir seluruhnya otonom. Pasemah, Rejang, Ampat
Lawang, Kikim dan Kisam, serta beberapa daerah yang terletak di antara
Lampung dan Palembang iliran masuk dalam kelompok Sindang Merdeka.
32
Ibid.
71
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Orang Pasemah (juga Rejang), misalnya tidak pernah mengaku tunduk pada
kekuasaan kesultanan. Mereka memiliki peraturan tersendiri bernama
undang-undang Sindang Merdeka. Berbagai pranata adat daerah kepungutan
seperti jenang (wakil) sultan di daerah “pungutan” pajak dan praktek tiban
tukon, dengan beberapa pengecualian, tidak dikenal di daerah sindang.
Masyarakat kesukuan daerah sindang. Masyarakat kesukuan daerah sindang
hanya tunduk kepada kepala suku yang posisinya berada di bawah “dewan
jurai tua” yang dikepalai oleh seorang depati. Depati dan pasirah, kadangkadag pangeran, sering digunakan secara bergantian mengacu kepada kepala
marga sejak zaman kolonial.33
Dalam RUU Pemilukada yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR di
tahun 2012, antara lain memuat ketentuan yang dianggap dapat mencegah
munculnya dinasti politik dalam pemilukada. Hal ini sebagaimana tampak
pada persyaratan bagi warga negara yang dapat ditetapkan menjadi calon
gubernur dalam Pasal 12 huruf (p) bahwa yang bersangkutan: “tidak
mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan
ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa
jabatan;” Di bagian Penjelasan Pasal tersebut disebutkan: “Tidak mempunyai
ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping
dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan,
dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan
bahwa tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas,
ke bawah, kesamping dengan gubernur. Sejalan dengan ketentuan mengenai
persyaratan calon gubernur, usaha mencegah dinasti politik dalam pemilukada
juga tampak bagi persyaratan calon bupati/walikota, sebagaimana tampak
dalam Pasal 70 RUU Pemilukada.
Di samping munculnya fenomena politik dinasti dalam pemilukada, isu
putera daerah juga merupakan hal yang tidak jarang muncul kuat ke atas
permukaan. Isu putera daerah biasanya berkaitan erat dengan fenomena
politik identitas yang dimasa lampau, sebelum reformasi, mengalami
degradasi sampai ke tingkat minimal oleh kekuatan birokrasi secara terpusat.
Tokoh-tokoh yang dimunculkan sebagai calon atau bahkan sekedar bakal
calon dalam pemilihan kepala daerah saat itu sangat didukung oleh regim
kekuasaan, yang pada konteks sejajar ditampilkan pula tokoh lain sebagai
penggembira sebagai pendamping dari tokoh yang menjadi “jagoan” dari dan
didukung oleh pusat. Sejak reformasi 1998, dan apalagi setelah dimulainya
pemilukada secara langsung pasca tahun 2008, isu putera daerah memiliki
ruang lebih luas untuk tampil ke permukaan politik lokal. Bahkan, isu putera
33
Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, Pengantar: Audrey
Kahin, Jakarta, LP3ES, 2003, h. 43-44.
72
Prayudi
daerah sukar dihindarkan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya pasca pemilukada, agar dukungan masyarakat di daerah
tersebut dapat berlangsung signifikan.
Misalnya sebagaimana ditunjukkan melalui hasil studi dari Kristianus,
pengajar dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, bahwa di Provinsi Kalimatan
Barat, dalam setiap Pemilukada, hal pertama yang akan kita dengar adalah,
isu mengenai putera daerah. Sejauh mana sang calon pemimpin mempunyai
“titisan daerah” sebagai putera daerah. Isu mengenai putera daerah muncul,
seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Bahkan, terdapat kalimat dalam
salah satu pasal yang berbunyi kepala daerah adalah orang yang mengerti
daerahnya. Kalimat itu diterjemahkan secara kasat mata menjadi orang yang
berasal dari daerah itu.34
Isu putera daerah tidak saja berkembang dalam tingkatan persaingan
pemilukada saat memperebutkan masa pemilih, tetapi sudah berkembang
di tingkatan yang lebih awal, bahkan saat proses bakal nominasi pasangan
calon masih berkembang di internal partai. Kasus Pemilukada Gubernur
NTT adalah hanya salah satu di antaranya. DPD Partai Golkar NTT sempat
keberatan dengan calon yang diajukan oleh pihak DPP Partai Golkar.
Keberatan ini terkait dengan penetapan calon gubernur dari partai tersebut
yaitu, Ibrahim Agustinus Medah, yang berpasangan dengan calon wakil
gubernur Melki Lakalena. DPD Partai Golkar NTT menginginkan agar Ibrahim
Agustinus Medah dipasangkan dengan Hugo Rehi Kalembu, anggota DPR
asal Daerah Pemilihan Pulau Sumba, atau ingin wakilnya adalah “putera
daerah”. Melki Lakalena adalah aktivis muda DPP Partai Golkar di Jakarta.
Namun, penolakan DPD Partai Golkar NTT terhadap SK DPP Partai Golkar,
yang menetapkan Medah dan Melki sebagai calon gubernur dan calon wakil
gubernur NTT, dinyatakan secara halus. Caranya, DPD Partai Golkar setempat
tidak mau menerima SK yang tandatangani oleh Ketua DPP Partai Golkar,
Aburizal Bakrie dan Sekretaris Jenderal, Idrus Marham, dengan alasan Ketua
DPRD NTT, Ibrahim Agustinus Medah, tidak berada di kantornya. SK tersebut
diantar oleh utusan DPP Partai Golkar, Herman Hayon, di DPD Partai Golkar
di Kupang dan Herman hanya diterima jajaran DPD Partai Golkar NTT, yang
menitipkan pesan bahwa Medah sedang berada di Kabupatenb Timor Tengah
Selatan. 35
Identitas lokal yang kuat ditampilkan dalam pemilukada, menempatkan
persaingan yang terjadi sangat kuat dengan karakter emosional antar elit
dan massa pendukungnya masing-masing yang sangat kuat. Hal ini jelas
34
35
Kristianus, “Nasionalisme di Kalimantan Barat, dalam Masyarakat Indonesia Edisi XXXVII,
No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2011, h. 161.
“Putusan DPP Golkar Ditolak”, Kompas 13 Desember 2012.
73
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
mendorong potensi terjadinya konflik secara fisik dan berkepanjangan di
antara masing-masing kelompok tersebut yang saling bersaing untuk meraih
aset birokrasi setempat. Montserrat Guibernau menyebutkan:
“The defining criteria of identity are continuity overtime, and differentiation
from others, both fundamental elements of national identity. Continuity
springs from the conception of the nation as a historically rooted entity into
the future.” 36
Selanjutnya, Guibernau juga mengatakan:
“Identity fulfils there major functions: it helps to make choices, makes possible
relationships with others, and gives strength and resiliences. First, to fuliy
expressed and developed national identity requires that the people forming
the nation enjoy the right to decide upon their common political destiny.
Second, if we consider it at a personal level, national identity obviously makes
relationships with other possible, since the nation appears as a common poll
where individuals with a common culture live and work creating a world
of meaning. But above and beyond this, the claim of nations to have a state
is the claim to be recognized as “actiors” within the global system of nation
states. Finally, national identity gives strength and resilience to individuals
in so far as it reflects their own identification with an entity—the nation—
that transcends them. Also, nationalist ideologies usually encourage the
development of the nation and present it as worthwhile. Although on some
occasions they focus upon past splendours, they always promise a better future
and advocate regeneration.“37
Tidak saja saat pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat
lokal menjadi agenda politik nasional di era reformasi, tetapi sebelum itupun,
konsekuensi yang muncul dari isu putera daerah dan penghargaan birokrasi
terhadap nilai-nilai lokal juga sudah berkembang kuat. Kasus lepasnya Timtim
di tahun 1999, juga tidak lepas dari kuatnya fenomena korupsi dari birokrasi
setempat. Kiki Syahnakri mengatakan, pada kasus Timor Timur (Timtim)
dalam konteks ini, merupakan konsekuensi tersendiri atas perilaku aparat
yang menganggap warga masyarakat sebagai lapisan kelas dua dalam tatanan
masyarakat itu. Contohnya, ketika dalam acara-acara atau pesta-pesta publik,
para pejabat (bahkan bupati) putera daerah sering ditempatkan di deretan
kursi belakang. Sedangkan para pejabat pendatang, meskipun secara hirarkis
pemerintahan statusnya di bawah bupati, menempati kursi paling depan
Perilaku semacam ini yang mengabaikan tata norma kearifan lokal untuk
menghargai sesepuh masyarakat putera daerah ini tanpa disadari lambat
36
37
Montserrat Guibernau, Nationalism: The Nation-State and Nationalism in Twentieth
Century, Polity Press, Cambridge, 1996, h. 73.
Ibid.
74
Prayudi
atau cepat akan membuahkan sikap antipati masyarakat setempat. Sikap
aparat birokrasi tadi melahirkan perilaku negatif lainnya, terutama korupsi.
Banyak pejabat pendatang yang bergaya sewenang-wenang mengelola
keuangan daerah. Dalam perkembangannya, perilaku korup itu, pada awalnya
hanya merasuki pejabat pendatang, tetapi kemudian menjangkiti pula
pejabat putra daerah. Timtim yang saat itu mendapat perhatian khusus dari
pemerintah pusat mendapat limpahan dana yang sangat besar. Sementara
itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang secara geografis jauh lebih
besar wilayahnya daripada Timtim, terkesan “dianaktirikan” dalam konteks
pembiayaan negara. Kondisi tersebut turut berperan bagi suburnya praktekpraktek korupsi di Timtim.38 Pelajaran kasus Timtim, ini menunjukkan betapa
posisi birokrasi sangat mendasar bagi rekat atau lemahnya fondasi integrasi
teritorial suatu negara.
Dengan ketentuan persyaratan Pemilukada yang longgar di dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.
12 Tahun 2008, juga dijadikan kesempatan untuk terjadinya meraih jabatan
kepala daerah secara simultan. Persyaratan yang longgar membuat ekses negatif
mengejar kekuasaan semata, terkait terus bermunculannya secara mudah bagi
setiap kepala daerah yang setelah terpilih dan belum menghabiskan masa
jabatannya hingga lima tahun, dapat dengan enteng mencalonkan diri lagi untuk
menjadi kepala daerah di daerah lain. Hal ini dianggap dapat terjadi karena
memang tidak terdapat regulasi yang melarang hal tersebut, walaupun pada
hakekatnya mencederai semangat demokrasi yang harus dijunjung tinggi.39
Pandangan kepala daerah terhadap netralitas aparat dalam pemilukada,
masih berbanding terbalik dengan harapan dirinya untuk menjalankan peran
birokrasi dalam kehidupan politik lokal dan proses penyelenggaraan secara
administratif kebutuhan pemilukada. Sehingga, tidak jarang muncul keluhan
dari kalangan KPU dan Bawaslu/Panwas daerah-daerah tentang masih
lambatnya mobilisasi sumber daya dukungan kerja dari pemda bagi proses
penyelenggaraan pemilukada. Sukses pemilukada lebih diletakkan pada jargon
birokrasi pemda dan kepala daerah dibandingkan pada pemenuhan kebutuhan
esensial dari KPU dan panwas daerah. Padahal, demokrasi pemerintahan lokal,
tidak saja berkaitan dengan prosedural pemilu yang diselenggarakan secara
terjadwal, tetapi juga menyangkut kemampuannya dalam konteks kontribusi
substansi pemilu, tentu di sini termasuk pemilukada, adalah dalam tataran
substansi politiknya bagi proses pendewasaan berbangsa.
38
39
Kiki Syahnakri, Timor Timur: The Untold Story, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2013, h.
346.
Djohermansyah Djohan, “Skenario Pilkada Serentak”, dalam Suara Pembaruan, 10
September 2012.
75
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
4. MASIH LEMAHNYA PENGAWASAN PUBLIK
Lemahnya pengawasan publik dan kuatnya control partai melalui personal
kepala daerah terhadap birokrasi pemerintahan daerah, menjadi tantangan
tersendiri bagi desentralisasi yang dikembangkan dalam berbagai urusan
pemerintahan agar tidak terjebak pada terjadinya desentralisasi korupsi.
Melalui pembentukan sistem politik yang bersifat check and balances di
tingkat pemerintahan daerah, terutama menyangkut hubungan antara DPRD
dan Kepala Daerah, sebenarnya berperan penting bagi berkembangnya iklim
demokratisasi di tingkat lokal. Meskipun, sebagai bagian dari pemerintahan
daerah, kedudukan DPRD cenderung bersifat check and balances. Sehingga,
legitimasi kepala daerah yang kuat diperoleh melalui pemilukada, diimbangi
dengan konstruksi pelaksanaan kewenangan DPRD secara kelembagaan yang
kuat pula melalui mandat melalui pemilu nasional.40
Dirk Tomsa menyebutkan bahwa:
“In the fight against corruption, political parties are primaly part of the problem
rather than part of the solution. Closely related to the perpetual problem of
corruption is the increasing commercialization of electoral politics. This trend
has not only affected the image of Indonesia’s parties, but also transformed
the role they play in the recruitment of political leaders. The need to mobilize
huge amounts of money in order to run for parliament or local executive post
such as governor, mayor or district head has made it ever more difficult for
ordinary citizens to become involved in politics. Accordingly, more and more
wealthy entrepreneurs have entered party politics in recent years, often at the
expense of more professional and committed, but less well of, party cadres. 41
Selanjutnya disebutkan:
“At the local level, this process has been accentuated by the introduction in 2005
of direct local election, which have frequently been won by the entrepreneurs
and entrenched bureaucrats. As a result, the widespread public impression of
parties are mere vehicles for power hungry and self interested elites has been
further reinforced, as can be seen from the results of numerous public opinion
surveys.”42
Hanya saja sayangnya, media massa yang seharusnya menjadi sarana
pengawasan publik terhadap pemerintahan daerah dan proses politik
40
41
42
Andi Mallarangeng, “Decentralisation and Democratisation: Indonesian Regional
Autonomy Policy”, dalam Uwe Johnson & Jamez Gomez (Editor), Democratic Transitions
in Asia, Frederich-Naumann Stiftung, Singapore, 2001, h. 237.
Dirk Tomsa, “The Indonesian Party System After The 2009 Elections: Towards Stability”,
dalam Edward Aspinall and Marcus Meitzner, Problem of Democratisation in Indonesia:
Elections, Institutions, and Society, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2010,
h. 148.
Ibid., h. 149
76
Prayudi
pemilukada, ternyata cenderung lemah. Dibandingkan dengan euforia
kebebasan media massa di tingkat nasional yang sangat kuat, maka di tingkat
daerah media massa yang cenderung mudah ditaklukkan oleh regim. Media
masaa setempat, baik cetak maupun elektronik, memiliki ketergantungan
finansial, mudah dikooptasi dan sekedar digertak oleh elit birokrasi.
Kalaupun, media massa setempat berani bersikap terlampau kritis terhadap
penyimpangan dan temuan tertentu dari kasus-kasus pemilukada, kadangkala
mereka mengalami ancaman tertentu, berupa budaya telepon aparat kepada
pihak redaksinya.
Masih kuatnya intervensi birokrasi di daerah terhadap pemberitaan
media, semakin diperparah dengan pola dominasi kepemilikan media massa
itu sendiri oleh kepentingan pemodal dan kalangan petinggi partai tertentu.
Catatan dari Ardinanda Sinulingga, bahwa mengacu pada penelitian Nugroho
(2012) di Indonesia terdapat 12 grup media yang mengontrol hampir semua
saluran media massa, termasuk media penyiaran, media cetak, dan media
on line. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota
Teknologi, Visi Media Asia Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Berita
Satu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo
Inti Media. Group MNC memiliki tiga saluran televisi gratis, merupakan yang
terbesar dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak
perusahaan Sindo Radio, serta koran harian Seputar Indonesia. Grup Jawa
Pos memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk grup Radar. Sedangkan,
Kompas yang terkenal sebagai salah satu surat kabar berpengaruh di Indonesia
telah mengembangkan jaringan ke penyedia konten (content provider)
televisi, dengan mendirikan Kompas TV, di samping 12 saluran radio di bawah
anak perusahaan Sonora Radio Network dan 89 perusahaan media cetak
lainnya, termasuk grup Tribun yang terdiri atas 27 jaringan surat kabar. Visi
Media Asia berkembang menjadi dua saluran televise terrestrial (AN TV dan
TV One) serta media online vivanews.com. Jaringan bisnis media dari masingmasing kelompok ini mengarah pada kondisi oligopoli media yang dianggap
membahayakan hak warga terhadap informasi, karena industri media telah
berorientasi mencari laba, dan mereka rentan untuk diintervensi oleh
kepentingan pemiliknya, serta dimanfaatkan untuk mencapai kekuasaan.43
Menurut penelitian Nugroho (2012) yang dijadikan acuan oleh catatan dari
Arnanda Sinulingga, bahwa kasus di atas terutama terjadi pada sejumlah
pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Contohnya Visi
Media Asia atau Viva Group, yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie
43
Arnanda Sinulingga, “Oligopoli Media dan Masa Depan Demokrasi”, Koran Tempo 7 Desember
2012.
77
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
(Ketua Umum DPP Partai Golkar), dan Group MNC (yang dimiliki oleh Hary
Tanoesoedibjo), serta Media Group (yang dimiliki oleh Surya Paloh), yang
keduanya merupakan figur petinggi di Partai Nasional Demokrat.
78
BAB V
ANTARA PENYALAHGUNAAN WEWENANG BIROKRASI
DAN PELAYANAN PUBLIK
1. PENYIMPANGAN YANG TERJADI
Konstruksi pemerintahan lokal yang sangat diwarnai politik pemilukada,
menyebabkan birokrasi setempat sangat mudah terjebak pada perilaku
penyimpangan kewenangan atau bahkan dugaan korupsi. Mahalnya biaya
pemilukada dalam memenangkan persaingan di antara para pesertanya,
sangat mungkin membuka peluang untuk bersentuhan dengan pemanfaatan
dana publik, yaitu melalui APBD, dalam kerangka pembiayaan kampanyenya.
Pasca menjabat sebagai kepala daerah, juga rawan bagi tindakan mencari
dana pengganti “balik modal” untuk mengganti dana yang sudah dikeluarkan.
Hal ini juga terkait politik balas jasa dari kepala daerah pemenang untuk
memberikan reward, berupa jabatan birokrasi atau berupa proyek yang
dibiayai APBD, bagi para pendukung atau kalangan Tim Suksesnya. Proses
pendanaan partai politik yang sangat membuka ruang bagi cara-cara illegal
dan tidak transparan, sistem cukong dalam pendanaan tersebut, juga semakin
memperluas pola politik bersifat koruptif yang muncul dari momentum
pemilukada. Sehingga tidak heran, otonomi daerah justru diwarnai oleh
semakin banyaknya kepala daerah hasil pemilukada yang berstatus sebagai
narapidana. Kepala Pusat Penerangan Kemdagri, Reydonnizar Moenek,
mengungkapkan, selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah
menjalani pemeriksaan, dengan status tersangka, dan terdakwa. Dari yang
sudah diperiksa ini, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, sebanyak 155
kepala daerah tersangkut kasus korupsi, 17 di antaranya adalah gubernur.
Dari 17 gubernur tersebut, 4 orang di antaranya, masih menjabat, yaitu
Gubernur Bengkulu, Sumut, Kaltim, dan Kalbar.1
Fenomena jerat korupsi terhadap politik pemilukada tentu mempengaruhi
berjalannya roda birokrasi pemerintahan daerah dalam melayani kebutuhan
publik. Data tersebut bergerak secara dinamis, karena kepala daerah yang
tersangkut kasus korupsi hingga melampaui pertengahan tahun 2012, telah
mencapai 213 orang. Angka tersebut merupakan hitungan dari para kepala
1
“Pemerintahan Tidak Maksimal”, Kompas, 17 April 2012.
79
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
daerah yang tersangkut perkara korupsi, baik sebagai saksi, tersangka,
terdakwa, maupun terpidana. Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Rizal Djalil, mengatakan, kecenderungan demikian merupakan bukti tentang
pengawasan internal pemerintahan yang tidak berjalan baik. Kementerian
Dalam Negeri dianggap juga seharusnya turut bertanggungjawab. Menurutnya,
terdapat banyak bentuk pengawasan internal pemerintahan. Di tingkat
kabupaten dibentuk inspektorat kabupaten, sedangkan di tingkat pemerintah
provinsi ada inspektorat provinsi. Inspektorat provinsi cenderung tidak
dapat mengawasi secara maksimal karena tidak mungkin dirinya yang berada
dalam posisi subordinat secara struktural dari pemda, melakukan pengawsan
terhadap gubernur.2
Wakil Ketua KPK, Busyro Muqodas, menyatakan, beberapa titik rawan
korupsi oleh kepala daerah adalah masalah pengadaan barang dan jasa,
penyimpangan anggaran, serta gratifikasi. Titik-titik rawan ini justru menjadi
sasaran empuk dimanfaatkan untuk mengembalikan biaya politik yang tinggi
sepanjang pemilukada.3 Ketergantungan partai politik dan kandidat pada
pola pembiayaan tinggi untuk mendapatkan pemilih menunjukkan belum
memadainya strategi untuk membangun konstituen.4
Di samping proses pengadaan barang dan jasa, ketidakjelasan status
aset pemerintah daerah juga rawan bagi terjadinya manipulasi korupsi dan
ini diduga berkorelasi dengan usaha pemupukan dana pemilukada. Kasus
dugaan penjualan aset pemerintah Kota Balikpapan, adalah salah satu di
antaranya. Dugaan ini muncul ketika Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI)
mensinyalir dugaan penjualan aset pemerintah Kota Balikpapan senilai
Rp19 miliar, meskipun sudah dibantah oleh Wakil Walikota setempat, Heru
Bambang. Tuduhan bagi Heru Bambang, didasari dugaan penjualan tanah
seluas 5,3 hektar senilai Rp19 miliar, yang terletak di di belakang gedung
Balikpapan Sport and Convention Center (Gedung Dome) di Jalan Syarifuddin
Yoes. Tuduhan tersebut didasarkan atas foto copy perjanjian jual beli tanah
pemerintah kota antara Heru Bambang dengan PT. Indonesia Merancang
Bangun (PT. IMB) pada tahun 2012 yang dimiliki oleh dirinya.5
Sebaliknya Heru Bambang menilai, bahwa dirinya tidak pernah
melakukan tindakan penjualan di atas, walaupun mengakui bahwa ia memang
4
5
2
3
“213 Kepala Daerah Terjerat Korupsi”. Dalam Kompas, 13 Juli 2012.
“Pengadaan Rawan Korupsi”, Kompas 18 April 2012.
Ummi Salamah, “Urgensi Pemasaran Politik” Kompas, 30 Juni 2012.
“Aset Balikpapan Dijual”, Kompa,s 6 Februari 2013. Walikota Balikpapan, Rizal Efendi
sudah memastikan tanah ini memang miliki dari Pemerintah Kota Balikpapan. Tanah
ini semula dibeli dari Yayasan Pupuk Kalitim senilai Rp 10,9 miliar di tahun 2007, yang
diperuntukan bagi fasilitas Pekan Olah Raga (PON) di tahun 2008. Namun Pemerintah
Kota Balikpapan belum memiliki serifikat tanah dari BPN.
80
Prayudi
pernah membeli tanah di lokasi tersebut dari seseorang bernama, Andi Malik
Tadjoeddin pada tahun 2011. Persoalannya, kantor BPN (Badan Pertanahan
Nasional) Kota Balikpapan dibulan September 2012 justru menyatakan, tanah
ini merupakan milik dari pemerintah kota Balikpapan. Sementara di sisi lain
terdapat bukti kepemilikan tanah ini oleh Andi Malik Tadjoedin, sebagaimana
tertuang pada surat segel yang dikeluarkan pada tahun 1939 dan status tanah
ini akhirnya berujung di Pengadilan Tata Usaha Negara, di Kota Samarinda.6
Di samping pengadaan barang dan jasa, hal yang juga sering disorot tentang
potensi penyalahgunaan aset birokrasi bagi kepentingan pemilukada, adalah
mengenai keberadaan program bantuan sosial (bansos). Ketentuan yang
memagari bagi penggunaan dan mekanisme penyaluran bansos dinilai sangat
rawan terjadi manipulasi dan mudah menguntungkan bagi sang petahana
yang akan mencalonkan diri kembali dalam pemilukada. Anggota BPK, Rizal
Jalil, mengharapkan agar pemerintah pusat dapat menghentikan penyaluran
dan bantuan sosial dan hibah, terutama bagi daerah yang akan melaksanakan
pemilukada. Penghentian sementara penyaluran dana tersebut perlu disertai
pula dengan revisi atas ketentuan tentang pedoman pemberian dana bantuan
dan hibah yang bersumber dari APBD sesuai dengan Permendagri Nomor 32
Tahun 2001 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber
dari APBD, termasuk perubahannya di Permendagri No. 39 Tahun 2012.
Menurutnya, kalau tidak dihentikan, dana penyaluran bansos dan hibah, yang
sejak tahun 2007 hingga 2012, sudah mencapai Rp400 triliun, akan semakin
tidak jelas pertanggungjawabannya. Dengan penggunaan dana bansos dan
mekanismenya seperti saat ini, maka dianggap incumbent akan diuntungkan
untuk meraih dukungan suara pemilih pemilukada.7
Mendagri, Gamawan Fauzi justru menilai aturan yang diterbitkan terkait
bansos bukan bersifat longgar, sehingga memudahkan terjadinya pelanggaran di
tingkat penggunaannya. Pertanggungjawaban pemberian bansos dan hibah
tetap harus jelas, namun aturan yang ada tetap perlu mengakomodasi kepala
daerah yang wajib memberikan bantuan ketika terjadi bencana alam atau saat
harus turun ke lapangan sebagai akibat peristiwa tertentu. Bahkan, sebenarnya
aturan yang disusun berdasarkan masukan dari KPK, dan kalau masih ada
kepala daerah yang menyalahgunakan dana bansos untuk kemenangannya di
pemilukada, pihak berwenang, yaitu polisi, jaksa, maupun KPK dapat turun
tangan menangani kasusnya.8 Sesuai persyaratan dan ketentuan bansos, maka
bansos diberikan setelah prioritas bagi pemenuhan belanja urusan wajib
dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat
8
6
7
Ibid.
“Hentikan Dana Bansos”. Kompas, 13 Februari 2013.
Ibid.
81
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
untuk masyarakat. Adapun sasarannya, meliputi individu, keluarga, dan/
atau masyarakat yang mengalami keadaan tidak stabil akibat krisis sosial,
ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam. Di samping itu, sasarannya
juga dapat kepada lembaga non pemerintah bidang pendidikan, keagamaan,
dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/
atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Sedangkan, tujuan
dari bansos adalah terkait dengan beberapa hal, yaitu: rehabilitasi sosial,
perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan
kemiskinan, dan penanggulangan bencana.
Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho menulis, bahwa kasus
dugaan korupsi dana Bansos di sejumlah pemda sudah diingatkan oleh
KPK dalam kajian yang dibuat tahun 2011. Menurutnya, KPK menemukan
persoalan dana bansos terletak pada aspek utama, yaitu regulasi dan tata
laksana. Dari aspek regulasi, KPK menemukan adanya ketidaksinkronan antara
kebijakan Mendagri dan Permendagri terkait bansos. Di samping itu, tidak
terdapat ketentuan yang mengatur tentang keadilan dalam pengelolaan dana
bansos. Sedangkan, dari aspek tata laksana, ditemukan sejumlah persoalan
dalam penganggaran, penyaluran, pertanggungjawaban dan pengawasan.
Peruntukan dana bansos juga sangat bervariasi, mulai dari kepentingan
pribadi dan atau keluarga, menyumbang tempat ibadah, membantu ormas
atau lembaga keagamaan atau kepemudaan, tokoh agama, hingga membiayai
klub sepakbola di daerah. Modus yang sering terjadi adalah pemberian
bantuan tanpa pengajuan, pemberian bantuan melebihi alokasi, pemotongan
bantuan, pemberian bantuan tanpa pertanggungjawaban penggunaan, dan
proposal atau bantuan fiktif. 9
Beberapa sampel kasus Penyalagunaan Dana Bantuan Sosial
Kurun waktu
9
Daerah
2012
Aceh
2008
Sumsel
Materi Kasus
Rp150 juta diberikan ke grup
band di Lhoseumawe
Rp3 miliar digunakan untuk
pemilukada Kabupaten Ogan
Komering Ulu, khususnya
pembuatan stiker dan baliho,
serta manjamu para tokoh.
Keterangan
Emerson Yuntho,” Dana Bantuan Koruptor”, Kompas 1 Maret 2013. Pemerintah setiap
tahun mengeluarkan ana triliunan rupiah untuk dana bansos yang jumlahnya sungguh
fantastis. Pada periode 2007-2011, anggaran bansos yang disiapkan pemerintah mencapai
Rp300,94 triliun untuk tingkat daerah dan pusat. Tahun 2012, alokasi dana bansos sekitar
Rp47 trilun dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp63,4 trilun.
82
Prayudi
2011
2010-2011
Jateng
NTT
2013
Sulsel
2013
Jabar
2013
Sumbar
Rp26,8 miliar diberikan
kepada 208 Ormas.
Rp74 miliar digunakan
untuk biaya pameran di Cina,
perjalanan dinas ke Jerman,
carter pesawat ke Rote, Sumba,
Timor Tengah Utara.
Disalurkan kepada sekitar 2300
kepala desa yang sebelumnya
diminta membuat proposal
untuk mendapat dana Rp10
juta per desa.
Dana bansos disalurkan
menjelang Pemilukada, yang
jumlahnya meningkat dari
semula Rp173,2 miliar menjadi
4,8 triliun. Alokasi dana bansos
di antaranya untuk bantuan
5.304 desa di Jabar, yang
masing-masing desa menerima
Rp100 juta.
Hibah APBD safari dakwah PKS
Setelah dicek
hanya 2,5 persen
yang benar-benar
ormas terdaftar di
pemerintah
Isi proposal ternyata
sama, dan diduga
untuk kepentingan
pemilukada.
Terdapat proposal
berkop DPP PKS
yang ditandatangani
Chairul Anwar,
Ketua Wilayah
Dakhwah Sumatera.
Sumber: “Hentikan Dana Bansos”, Kompas, 13 Februari 2013 dan “Hikayat Proposal dari Tangan Tuhan”,
Tempo 7 Maret 2013.
Pada kasus di Sumbar, APBD provinsi itu menjadi kontroversi politik
hukum tersendiri, ketika terdapat alokasi dana hibah untuk safari dakwah
PKS. Dengan alasan terjadi kesalahan amanah bagi pejabat berwenang
dari pimpinan terkait anggaran, Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, telah
memberhentikan Kepala Biro Bina Sosial, Jefrinal Arifin. Kekhawatiran
atas dana hibah ini, semakin kuat saat munculnya berita penetapan status
tersangka oleh KPK bagi Lutfhi Hassan Ishaaq, Presiden PKS, dengan tuduhan
suap dari kuota impor daging sapi. Tetapi, dalam kasus hibah safari dakwah
ini, masalahnya, perubahan nomenklatur dalam APBD sudah dibahas
bersama DPRD Provinsi Sumbar. Ketika Kepala Biro Bina Sosial, Jefrinal
Arifin, menandatangani disposisi untuk diproses Kepala Bagian Agama
pada 20 Desember 2012, proses permintaan dana berjalan lancar. Bahkan,
83
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pada 4 Januari 2013, Gubernur Irwan Prayitno, anggota Majelis Syura PKS,
mengesahkan tiga jilid APBD Provinsi Sumbar yang disetujui oleh DPRD di
bulan Desember 2012. Dalam buku ketiga Peraturan Gubernur No. 2 Tahun
2013 tercantum daftar penerima hibah. Pada lembar lampirannya, tercantum
bantuan urutan ke-580 tertulis “safari dakwah Wilda III Sumatera PKS”
sebesar Rp1.941.250.000,-. Munculnya nama PKS di daftar hibah membuat
DPRD Provinsi Sumbar menjadi perbincangan kontroversial. Dalam rapat
awal dan pembahasan teknis di Badan Anggaran DPRD, diakui tidak ada
proposal dimaksud. Padahal, partai politik tidak diperkenankan menerima
hibah dari kas daerah. Dalam Peraturan Mendagri No. 39 Tahun 2012 jelas
diatur bahwa hanya lima kelompok yang boleh menerima dana hibah, yaitu:
pemerintah, pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan
organisasi masyarakat. Sebelum kontroversi ini meluas, pemerintah provinsi
Sumbar menarik kembali tiga jilid perincian belanja daerah tersebut tanpa
alasan yang jelas. Tetapi di lain pihak, DPRD Sumbar menganggap proposal
PKS ini masalah serius, dan berniat mengajukan penggunaan hak angket yang
direncanakan saat itu disahkan dalam rapat paripurna 13 Maret 2013.10
Kecenderungan Perlawanan Balik
Usaha untuk menegakkan akuntabilitas pemerintahan daerah, seringkali
terkendala ketika usaha pemerintah pusat dalam memberhentikan
kepala daerah kurang dilakukan secara cermat dan tepat. Kasus gagalnya
pemberhentian Gubernur nonaktif Bengkulu, Agusrin M. Najamuddin
dan batalnya Junaedi Hamsyah sebagai gubernur setempat yang definitif,
menunjukkan persoalan ketidakcermatan pemerintah pusat itu. Pada kasus
ini, pemerintah pusat melalui Keppres No. 40/P/ Tahun 2012 dan Keppres
No. 48/P/Tahun 2012 tanggal 2 Mei 2012 bermaksud memberhentikan
Gubernur non aktif Agusrin M. Najamuddin dan melantik wakilnya sebagai
pengganti yang bersangkutan, Junaidi Hamsyah. Namun, kedua Keppres itu
tidak dapat dieksekusi karena pengadilan tata usaha negara (PTUN) Jakarta,
dalam putusan sela, memerintahkan Presiden SBY menunda pemberhentian
dan pelantikan kedua pejabat tersebut. Keppres tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh penasehat hukum Agusrin M Najamuddin, yaitu Yusril
Ihza Mahendra, mengandung kesalahan administratif dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Padahal, sebagaimana dinilai oleh Juru Bicara
Mahkamah Agung (MA), bahwa Presiden memang berhak memberhentikan
Agusrin dan mengangkat gubernur baru karena status terpidana Agusrin
sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Artinya, berdasarkan
Pasal 30 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, tindakan Presiden
10
“Hikayat Proposal dari Tangan Tuhan”, Tempo 17 Maret 2013.
84
Prayudi
merupakan sesuatu yang sah menurut hukum.11 MA sendiri kemudian tegas
memutuskan untuk menolak upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali
(PK) Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin M Najamuddin. Sehingga, Agusrin
tetap di penjara selama empat tahun karena korupsi APBD senilai Rp20
miliar. melalui Putusan bernomor 126 PK/Pid.Sus/2012 dengan ketua Majelis
Hakim Djoko Sarwoko. Akhirnya, Mendagri Gamawan Fauzi melantik Junaidi
Hamzah sebagai Gubernur Bengkulu secara definitif, berdasarkan Keppres No.
48/P/2012 yang mengesahkan pemberhentian Junaidi Hamzah sebagai Wakil
Gubernur dan mengesahkan pengangkatannya sebagai Gubernur Bengkulu
dalam masa sisa jabatan 2010-2015. Mendagri Gamawan Fauzi menilai,
bahwa Junaidi merupakan kepala daerah yang unik karena selama 2 tahun
dilantik sebanyak 3 kali. Junaidi sebelumnya dilantik sebagai wakil gubernur,
kemudian penjabat gubernur, dan akhirnya dilantik sebagai gubernur
definitif dalam periode yang sama.12 Pelantikan gubernur ini sangat penting,
mengingat Provinsi Bengkulu sempat tidak mempunyai gubernur definitif
selama 2 tahun, karena gubernur non aktif Agusrin Maryono Najamuddin
yang tersangkut perkara korupsi.
Di samping kasus Agusrin, juga terjadi benturan keputusan hukum
pengadilan dengan langkah administratif dari pemerintah terhadap kasus
lainnya, yaitu mengenai posisi Bupati Padang Lawas. PTUN Jakarta dalam
putusan selanya sempat memerintahkan penundaan pelantikan Pelaksana
Tugas Bupati Padang lawas, Ali Sultan Harahap menjadi bupati definitif
setempat. Putusan ini terkait gugatan mantan Bupati Padang Lawas,
Basyrah Lubis atas pemberhentian dirinya oleh Mendagri. Dalam pandangan
Mendagri, Gamawan Fauzi, seharusnya keputusannya memberhentikan
Busyrah dan mengangkat Ali Sultan Harahap, sebagai bupati justru sudah
tepat. Keputusan ini didasarkan pada putusan hukum yang berkekuatan
hukum tetap. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, menghukum Basyrah
Lubis melalui hukuman percobaan enam bulan karena karena pemalsuan
surat saat menjabat sebagai camat. SK Mendagri memberhentikan Basyrah
Lubis dan pengangkatan Ali Sultan Harahap sebagai Penjabat Bupati Padang
Lawas ditandatangani oleh Gamawan Fauzi pada awal April 2012. Setelah
MA memvonis Basyrah dengan hukuman percobaan selama enam bulan,
pada akhir Oktober 2012. Mendagri mengeluarkan SK pelantikan Ali Sultan
sebagai bupati definitif dan menganggap Basyrah memenuhi syarat untuk
diberhentikan karena pemalsuan surat dengan ancaman hukuman di atas
lima tahun. Sehubungan terjadinya benturan putusan PTUN dan SK Mendagri,
Mendagri Gamawan Fauzi menyerahkan masalah pelantikan Bupati Padang
11
12
“Putusan Sela Lindungi Koruptor”, Media Indonesia, 21 Mei 2012.
“Gubernur Definitif Bengkulu Dilantik”, Koran Tempo, 18 Desember 2012.
85
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Lawas kepada Gubernur Sumut.13 Selanjutnya, ketika menjabat Pelaksana
Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, melantik Pelaksana Tugas Bupati
Padang Lawas, Ali Sultan Harahap, sebagai Bupati Padang Lawas secara
defitif. Sehingga, Ali Sultan Harahap dianggap telah resmi menggantikan
posisi Busyrah Lubis, sebagai bupati setempat.
Di dalam kasus yang lain, komplikasi pemilukada Gubenur Sulawesi
Tenggara juga mengalami benturan saat hasilnya disampaikan KPU dan
putusan pengadilan setempat yang menerima pasangan calon yang gagal
dalam nominasi pemilukada itu. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
menerima gugatan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi
terhadap KPU Sultra. Majelis Hakim PTUN Kendari menilai keputusan KPU
Sultra yang tidak mengikutsertakan Ali Mazi dalam pemilukada Gubernur
Sultra 2012, adalah tidak sah. Majelis hakim tersebut memerintahkan agar
KPU Sultra yang menetapkan tiga pasangan calon pemilukada 12 Oktober
2012 dan menilai tidak sah keputusan nominasi para pasangan calon, karena
hanya ditandatangani oleh hanya dua dari lima anggota KPU Sultra. Ketiga
pasangan calon gubernur/wakil gubernur yang ditetapkan itu adalah Buhari
Matta-Amirul Tamim, Nur Alam-Saleh Lasata, dan Ridwan BAE-Haerul Saleh.
Sedangkan pasangan Ali Mazi-Bisman tidak dinyatakan lulus persyaratan
sebagai peserta pemilukada. Keputusan ini ditandatangani Ketua KPU Sultra
saat itu, Mas’udi dan Anggota KPU Sultra, Bosman. Tetapi, pasangan Ali MaziBisman justru dinyatakan lulus persyaratan oleh tiga anggota KPU Sultra
lainnya, yaitu Eka Suaib, LM Ardin, dan Abdul Syahrir.14
Komplikasi dari tahapan pemilukada hingga proses pelantikan
kepala daerah bukan mustahil terjadi, meskipun pemerintah pusat sudah
mengambil kebijakan tertentu dalam penegasan dari hasil pemilukada itu
sendiri. Komplikasi tahapan pemilukada semacam ini, misalnya terjadi di
Kabupaten Aceh Tengah yang mengalami kurun waktu panjang sempat tidak
mempunyai bupati. Ironisnya, Mendagri sudah menerbitkan keputusannya
pada September 2012, terkait pasangan Nasaruddin-Khairul Asmara untuk
dilantik oleh Gubernur Aceh agar nantinya dapat memimpin Aceh Tengah.
Kasuistik gubernur yang memiliki cara pandang tersendiri justru menjadi aneh
ketika prosedural dan substansi demokrasi pemilukada sudah dijalankan.
DPR Kabupaten Aceh Tengah telah menyerahkan permohonan pengambilan
sumpah jabatan pasangan kepala daerah dan wakilnya ini kepada Gubernur
Aceh pada September 2012. Namun Gubernur Aceh belum memberikan
tanggapan atas permohonan DPR Kabupaten Aceh Tengah.
13
14
“Tunda Pelantikan Bupati Padang Lawas”, Kompas, 11 November 2012.
“PTUN Terima Gugatan Ali Mazi”, Kompas, 24 November 2012.
86
Prayudi
Pilakda Kabupaten Aceh Tengah sendiri sudah dilakukan pada 9 April
2012, dengan keluarnya sebagai pemenang adalah Nasaruddin-Khairul
yang diusung Partai Demokrat, PKNU, PKPI, dan Partai Patriot Pancasila.
Mereka mengantongi jumlah suara terbanyak, yaitu dengan 35 persen suara.
Pasangan ini mengungguli 9 pasangan lain, termasuk dari Partai Aceh, sebagai
partai lokal terbesar di Aceh. Hasil penghitungan suara Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh Tengah sempat digugat sembilan pasangan yang kalah
di Pemilukada ini kepada MK. MK sendiri sudah menolak dua gugatan itu
dan Mendagri telah menerbitkan SK pengangkatan Nasaruddin-Khairul.
Alasan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah tentang belum dilantiknya pasangan
ini, adalah terkait pertimbangan kemungkinan hal-hal buruk yang bakal
terjadi di wilayah ini, atau berkenaan soal keamanan.15 Alasan soal keamanan
jelas tidak tepat dan sebagai bagian dari NKRI, Aceh harus tunduk pada
kelembagaan negara yang absah dan harus menghormati hasil demorkasi
kedaulatan rakyat melalui Pemilukada. Berlarut-larutnya belum dilantik
pasangan pemenang hasil pemilukada Aceh Tengah, justru merugikan rakyat
setempat dan terganggunya birokrasi pemda serta pembangunan di wilayah
tersebut.
Lowongnya posisi kepala daerah, kadangkala diwarnai dengan kesan
perlawanan politik lokal terhadap kebijakan dari pemerintah pusat.
Perlawanan ini jelas menjadi “duri dalam daging” terhadap proses penegakkan
ketentuan pemerintahan dalam bentuk Negara Kesatuan RI. Hal ini setidaknya
tampak pada kasus cukup lamanya kurun waktu ketertundaan pelantikan
Bupati Dogiyai, Papua. Hingga tiga bulan setelah putusan MK, pasangan
Thomas Tigi-Herman Auwe, yang dinyatakan menang dalam Pemilukada
Kabupaten Dogiyai, Papua, belum juga dilantik. Sebenarnya, sejak Agustus
2012 lalu, MK sudah memberikan putusannya dengan menenangkan Thomas
Tigi-Herman Auwe dalam Pemilukada Kabupaten Dogiyai dengan jumlah
suara 28.155 suara. Pasangan ini mengalahkan Natalis Degei-Esau Magay yang
meraih 26.463 suara serta Anthon Iyowau-Clara Apapa Gobay dengan suara
21.952. Namun kemudian, massa setempat ada yang menolak putusan MK.
Mereka tetap berpegang pada keputusan KPU Dogiyai yang memenangkan
Natalis Degei-Esau Magay. Pasangan ini meraih 29.084 suara. Apalagi, setelah
pemungutan ulang di Distrik Piyaiye, pasangan itu tetap juga meraih suara
terbanyak, sehingga Sidang Pleno KPU Kabupaten Dogiyai menyatakan
pasangan itu sebagai pemenangnya. Atas putusan KPU setempat, Thomas
Tigi mengajukan gugatan, yang kemudian dikabulkan MK. Putusan ini sempat
memicu kerusuhan, kantor KPU dan kantor Bupati Dogiyai ludes terbakar
15
“Aceh Tengah Tanpa Bupati”, Kompa,s 29 November 2012.
87
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
massa. Pada 26 September 2012, Mendagri Gamawan Fauzi mengeluarkan
surat keputusan melantik Thomas Tigi-Herman Auwe. Namun hingga
Desember 2012, surat keputusan itu belum juga ditindaklanjuti. Sempat
muncul rencana pelantikan pada 8 Oktober 2012, tetapi hal ini kemudian
menjadi tidak jelas perkembangannya.16 Kasus ini menunjukkan budaya
sportivitas untuk menerima kemenangan atau sebaliknya kekalahan dan
fundamental sendi-sendi integrasi nasional yang masih mudah digoyahkan
pada konteks kebijakan-kebijakan yang sudah di keluarkan oleh struktur
resmi pemerintahan.
Kesulitan pengawasan publik semakin terjerat ketika mekanisme
pemilukada yang ada masih belum mampu menghasilkan rotasi kepemimpinan
secara terbuka dan terbebas dari oligarki kepentingan elit politik. Panwaslu
secara kelembagaan tidak berdaya bukan saja mengenai lemahnya sanksi
bagi pelanggar, tetapi juga teknis penanganan dan batas kadaluarsa masalah
pelanggaran yang diungkap kepada publik. Ketika masyarakat melakukan
pelaporan, maka seringkali Panwas tidak berani atau menimal terkesan
gamang melakukan sanksi secara keras bagi pelaku yang sudah nyata-nyata
melakukan pelanggaran. Bahkan, dengan kebiasaan tertentu dari kalangan
politisi partai atau bahkan yang datang dari jalur independen sekalipun
pasangan kepala daerah, ketika figur yang dicalonkan atau anggota tim
sukses yang dilaporkan publik melakukan dugaan pelanggaran kampanye
pemilukada, berusaha mengerahkan massa pendukung, atau pendampingan
dari tokoh-tokoh politik organisasinya saat diperiksa panwas, maka panwas
terlihat semakin terdesak. Hal ini akan menjadi potensi bagi masyarakat
untuk bersikap apatis dan kecewa dengan performance panwas demikian.
Masyarakat dapat berada pada kondisi psikologis yang semakin akumulasi
apatis, ketika laporan yang disampaikannya tidak diproses tuntas atau
keputusan pemberian sanksi tidak dilakukan dengan alasan tidak terdapat
bukti pelanggaran. Artinya, kalaupun saat sekarang Panwas bukan lagi
sebagai lembaga pengawas yang secara formal bukan lagi bersifat ad hoc,
pada kenyataannya peran yang ditampilkan belum mampu dijalankan secara
maksimal. Panwas belum mampu keluar dari anggapan sinisme publik tentang
dirinya yang ditempatkan hanya sekedar sebagai asesoris pemilukada.
Hal penting dalam konteks potensi penyimpangan politik terhadap
netralitas birokrasi, adalah dorongan variabel biaya pemilu yang mahal.
Demokrasi pasca Orde Baru di Indonesia dianggap melahirkan biaya politik
pemilu, di mana Pemilukada termasuk di dalamnya, semakin mahal seiring
dengan ketentuan yang membuka jalur perseorangan dan sistem pemilu
16
“Bupati Dogiyai Belum Juga Dilantik sejak Putusan MK”, Kompas, 4 Desember 2012.
88
Prayudi
terbuka daftar calon. Ironisnya, ketentuan jalur perseorangan dan sistem
pemilu terbuka daftar calon justru diharapkan akan memperkuat basis
kedaulatan pilihan pemilih. Sementara itu, melalui jalur politik pencalonan
dan sistem pemilu demikian seharusnya mendorong partai agar lebih
memiliki komitmen akuntabilitas politik dalam proses seleksi calon-calonnya
dalam pemilukada. Persoalannya, efek samping biaya politik pemilu yang
tinggi justru memicu dorongan melakukan korupsi untuk mengembalikan
biaya politik sang calon yang sudah dikeluarkan dalam jumlah sangat besar.
Selama ini, berbagai cara dari partai dalam proses pendanaan politiknya,
cenderung belum berinteraksi secara positif dengan komitmen pembentukan
nilai keterbukaan dan akuntabilitas publik. Cara-cara demikian, misalnya
ada partai yang mewajibkan para kadernya yang menjadi kepala daerah atau
anggota DPR untuk memberikan kontribusi. Ada pula partai yang sangat
mengharapkan peran sentral ketua umum partai untuk menggerakkan
organisasi partainya dalam pemilu. Undang-undang pemilu sendiri sudah
mengatur masalah pendanaan politik, yaitu dana itu berasal dari partai
bersangkutan, calon anggota legislatif, sumbangan dari pihak lain, dan
bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sumbangan dari perseorangan (bukan
anggota parpol) dibatasi Rp1 miliar dalam satu tahun anggaran, sedangkan
sumbangan dari perusahaan dibatasi maksimal Rp7,5 miliar dalam satu
tahun anggaran.17
Kewajiban anggota dan pengurus partai saat menjabat posisi di birokrasi
yang sangat strategis sebagai pejabat publik, menyebabkan agar harapan
dilepaskannya jabatan kepengurusan partai dan bahkan secara keanggotaan
di saat bersamaan dapat diwujudkan. Hal ini terlepas pada kurun waktu
yang dilakukan apakah akan dilakukan secara cepat atau adanya kurun
waktu transisi, tetapi yang jelas momentum saat menjelang disahkannya
RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana Sultan dan Paku
Alam saat nantinya menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur setempat yang
berjalan melalui proses pengangkatan dikenakan persyaratan antara lain
tidak boleh menjadi pengurus dan anggota partai politik, tampaknya didesak
untuk diterapkan secara nasional. Bahkan, wacana untuk melepaskan jabatan
partisan kepartaian ini, tidak saja bagi tingkatan kepala daerah dan wakilnya,
tetapi pada posisi jabatan publik pemerintahan di tingkat pusat, seperti
halnya Presiden/Wakil Presiden, dan bahkan bagi pihak-pihak yang menjabat
setingkat menteri. Ruang tarik ulur tampaknya masih coba dimainkan
dengan berbagai alasannya, termasuk mengenai apakah tidak perlu sampai
pelepasan baju partai hingga di tingkat hanya sebagai anggota, tetapi cukup
17
“Mahalnya Demokrasi Kita, Kompas, 19 Juni 2012.
89
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
dilakukan pembebasan saat menjabat pengurus di partai. Situasi kepartaian
di Indonesia yag sangat personalistik elit secara oligarkis, tampaknya masih
menjadi kendala tertentu bagi perwujudan netralitas kepala daerah dan
kalangan pemerintahan di tingkat puncak yang berusaha mengayomi seluruh
masyarakatnya, tanpa harus terjebak pada pemetaan dukungan politik.
2. KONTROVERSI RANGKAP JABATAN DALAM FIGUR KEPALA DAERAH
DAN WAKILNYA
Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo menyatakan, pejabat publik
sebaiknya tidak merangkap jabatan di partai politik. Dengan posisi itu,
pejabat justru dapat lebih adil dan lebih fokus bekerja untuk masyarakat.
Para pejabat seperti halnya gubernur, siap melepaskan jabatan rangkap
dipartai, jika ditetapkan oleh undang-undang. Pejabat yang tidak merangkap
di partai sebagai pimpinan partai politik justru itulah yang benar. Saat maju
dalam pemilukada, memang turut pencalonan melalui partai politik. Namun
setelah terpilih, kepala daerah itu milik masyarakat, tanpa terkecuali. Tidak
hanya milik salah satu partai politik.18 Sedangkan Gubernur Sulawesi Tengah
(Sulteng), Longki Djanggola, menilai, rangkap jabatan sesungguhnya tidak
mengganggu konsentrasi kerja sebagai kepala daerah. Di partai, pembagian
tugas dan kewenangan cukup jelas, tetapi yang terpenting adalah harus mampu
memilah mana yang menjadi tugas partai dan mana tugas pemerintahan.
Menurutnya, sejauh ini dirinya dengan merangkap jabatan sebagai Ketua DPD
Partai Gerindra di Provinsi Sulteng, tidak mengganggu kerja sebagai kepala
daerah. 19
Adapun Gubernur Jawa Timur, Soekarwo mengatakan siap melepaskan
jabatan pimpinan partai politik, jika memang ada regulasi yang melarang
rangkap jabatan. Seseorang dapat menjabat publik, menurutnya, karena
ditentukan partai politik. Kalau kemudian mereka menjadi apolitik adalah
tidak mungkin dan kepastian tentang boleh atau tidaknya rangkap jabatan
di birokrasi pemerintahan dan politik, sebaiknya menunggu saja dari apa
yang nanti diputuskan.20 Ketentuan rangkap jabatan tampaknya berkembang
cukup longgar di tingkat kepala daerah, meskipun secara nasional tentu
masih tergantung dari apa yang terjadi terhadap tawar menawar proses
pengambilan kebijakan ketika bersentuhan dengan tingkatan lebih tinggi di
strata jabatan publik, yang disebut sebagai pejabat negara, terutama di level
presiden, wakil presiden, ketua-ketua lembaga negara, anggota DPR, dan
termasuk para menteri di kabinet.
20
18
19
“Pejabat Fokus Saja Urus Rakyat”, Kompas, 5 September 2012.
Ibid.
Ibid.
90
Prayudi
Kelonggaran dari sikap politik yang berkembang di tingkat kepala
daerah, merujuk pada dugaan tentang masih lemahnya rekrutmen partai
dalam menseleksi para kadernya untuk duduk diseleksi dalam pemilu
di jabatan pemerintahan. Hal ini tampak pada konteks pemilukada,
ketika bangunan partai koalisi pengusung, maupun secara tunggal untuk
menominasikan dan memasuki tahapan menyampaikan secara resmi
pasangan calon yan didukungnya kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota,
biasanya terjadi pada pola yang sangat pragmatis dan bahkan tidak jarang
berlangsung justru di kurun waktu last minute tentang kepastian figurfigurnya. Sehingga, unsur popularitas dan bahkan kepemilikan aset sosial
ekonomi menjadi pertimbangan utama dibandingkan perjalanan kariernya
sebagai kader partai bersangkutan. Konsekuensi atas pertimbangan ekonomi
dan popularitas kandidat ini, mendorong keterikatan pasangan calon yang
menang pemilukada dan dilantik sebagai kepala daerah akan tidak terlampau
kuat ikatan emosional dan kepentingan politik pribadinya dengan partai
pengusung dirinya saat pemilukada dilakukan sebelumnya.
Fenomena rangkap jabatan publik dan politik memang sudah terjadi sejak
lama di Indonesia. Di zaman Orde Baru, rangkap jabatan justru “direstui” dan
digunakan sebagai strategi untuk melanggengkan kekuasaan partai politik.
Para pemegang jabatan publik dari presiden hingga kepala desa sekaligus
merupakan fungsionaris partai. Memang tidak ada aturan yang melarang
rangkap jabatan publik dan partai politik. Undang-Undang No. 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara, misalnya hanya melarang rangkap jabatan
menjadi menteri dan pejabat negara lain, komisaris atau direksi perusahaan
negara/swasta, serta sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN
dan/atau APBD. Dimata publik, fenomena rangkap jabatan justru dirasakan
lebih besar mudaratnya. Selain rentan melahirkan konflik kepentingan,
perangkapan jabatan juga dapat mengaburkan batas pelaksanaan jabatan
negara dan partai politik atau penyalahgunaan jabatan. Bahkan, tidak tertutup
kemungkinan publik yang mengutamakan dibandingkan kepentingan politik
atau golongannya berada secara terbalik berhadapan dengan kepentingan
bangsa dan negara. Dampak lain adalah rawan bagi terjadi korupsi, kolusi,
dan nepotisme. 21
Kasus dugaan suap DPRD kota Semarang, dengan terdakwa Walikota
Semarang, Soemarmo Hadi Saputro, merupakan contoh tentang rentannya
pendanaan politik pemilu yang mendorong perilaku korupsi. Seperti diketahui,
dalam kasus ini terungkap asal uang suap dan lima fraksi yang menerimanya.
Uang suap ternyata berasal dari patungan masing-masing satuan kerja
21
“Menyoal Rangkap Jabatan Publik dan Politik”, Kompas, 10 September 2012.
91
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
perangkat daerah (SKPD). Dari 10 miliar yang akan diserahkan kepada anggota
DPRD kota Semarang setiap SKPD akan memberikan 13,5 persen dari tiaptiap anggaran belanja langsung, minus anggaran belanja rutin untuk listrik,
telepon, dan air. Pemberian suap kepada anggota DPRD ini disamarkan dengan
beberapa istilah seperti halnya “kaleng susu” dan “uang nyamnyam”.22 Bahkan
bukan hanya, terkait dengan persaingan politik pemilukada dalam konteks
momentum politiknya, di tingkat permainan untuk mengobyekkan kursi
pasangan calon ketika sudah menjabat pun dapat terjadi. Hal ini, sebagaimana
terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, misalnya, saat muncul kasus dugaan
jual beli kursi wakil bupati, setelah pasangannya melalui jalur independen,
yaitu artis Dicky Candra mengundurkan diri. Kasus ini mengemuka di publik
setelah LSM Masyarakat Independen melaporkannya ke Kejaksaan Negeri
Garut. Dalam laporannya disebutkan setiap calon dimintai uang sebagai
syarat menjadi wakil bupati dan jumlah dananya mencapai sekitar Rp1,4-2,3
miliar. Bekas calon wakil bupati, Asep Kurniajaya, mengaku pernah dimintai
uang oleh Bupati Aceng HM Fikri sebesar Rp1,4 miliar. Bahkan, dirinya
mengaku sudah memberikan uang jaminan sebelumnya senilai 25 ribu Dollar
AS di rumah pribadi Bupati Aceng H.M. Fikri di daerah Copong, Kecamatan
Garut Kota. Asep Hermawan alias Asep Maher, dosen Musadadiyah, yang juga
tercatat sebagai tim sukses bupati setempat, mengaku pernah menerima
setoran uang dimaksud dari Asep Kurniajaya. Pada pemilihan wakil bupati
ini, sedikitnya 48 orang melamar ke Bupati Aceng Fikri, untuk mengantikan
posisi Dicky Candra, yang mengundurkan diri pada 5 Desember 2011. Namun
dalam sidang paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Garut, pada 10 Mei
2012, Agus Hamdani, anggota DPRD setempat dari Fraksi PPP, justru terpilih
menjadi Wakil Bupati Garut.23
Sedangkan pada kasus lain, KPK berusaha mengusut keterlibatan
Gubernur Riau, Rusli Zainal dalam kasus suap lapangan tembak Pekan Olah
Raga Nasional (PON). Rusli Zainal, yang juga Ketua Umum DPD Golkar Riau,
yang disebut di persidangan oleh Lukman Abbas, mantan kepala Dinas
Pemuda dan Olah Raga Pemda Provinsi Riau yang sudah ditetapkan menjadi
tersangka dalam kasus ini. Mereka diduga menerima suap terkait dengan
perubahan peraturan daerah untuk menambah anggaran pembangunan
lapangan tembak PON XVIII yang direncanakan saat itu akan dilakukan pada
9-20 September 2012. Dalam persidangan tersebut, Lukman Abbas mengaku
diperintah oleh Rusli Zaenal untuk memberikan uang kepada anggota
DPRD Provinsi Riau dalam kaitan dengan pembahasan anggaran tambahan.
22
23
“Lima Fraksi Terima Suap” dalam Ibid.
“Bupati Garut Segera Diperiksa”, Koran Tempo., 6 Juli 2012.
92
Prayudi
Lukman juga menyarakan Rusli Zaenal menerima uang Rp500 juta dari
rekanan proyek. Seperti diketahui, pada 1 September 2010, Rapat Paripurna
DPRD Provinsi Riau menyetujui anggaran tahun jamak untuk mempercepat
pembangunan venue PON 2012. Rapat Paripurna DPRD tersebut menyetujui
pembangunann tujuh venue senilai Rp383,2 miliar. Selanjutnya, Komisi X DPR
menyetujui pelaksanaan PON tahun 2012 bagi Provinsi Riau sebesar Rp150
miliar, sedangkan Pemda Provinsi Riau mengajukan sebesar Rp290 miliar.
Rusli Zaenal sendiri, dalam beberapa kesempatan telah membantah ketika
disebut menerima dan memerintahkan pembagian suap.24
Pemilukada tampaknya berhadapan dengan sistem pendanaannya yang
rawan bagi terjadinya money politics dalam skala yang sangat massif dan
kadangkala pada kasus tertentu justru seolah-olah sukar dideteksi atau
diberantas secara hukum. Jeratan politik uang ini sangat terbuka peluangnya
untuk berkembang meluas, mengingat masyarakat sendiri cenderung
baik secara sadar atau tidak sadar ikut mendukungnya. Apapun pola yang
digunakan dalam proses jual beli suara politik pemilukada, kebiasaan
untuk pemenuhan hidup dan bahkan tawar menawar untuk peningkatan
kesejahteraan, misalnya dalam bentuk bantuan secara material tetentu,
menempatkan politik uang pemilukada tampaknya sudah menjadi budaya
politik di tengah masyarakat dan elit. Mereka diibaratkan di satu sisi saling
bergandengan tangan untuk mengamankan politik uang, sembari di sisi lain
bersikap munafik untuk menolak keras di hadapan publik mengenai politik
uang itu sendiri yang dianggap barang haram. Proses nominasi pencalonan,
sejak mulai mengkampanyekan diri secara personal, sampai pada tahapan
bakal calon, dan terus bergulir hingga secara formal dianggap sebagai calon
resmi yang dipasangkan dengan personal lain yang dianggap menguntungkan
pada kekuatan politik pendukungnya, yaitu partai atau gabungan partai
politik, hampir selalu didukung oleh para cukong yang menjadi landasan bagi
akumulasi pendanaan. Itu sebabnya, betapapun hebat atau sebagus apapun
calon kepala daerah, selama sistem penyelenggaraan pemilukada itu sendiri
masih lemah bagi permainan politik uang melalui kekuatan para cukong, maka
pemilukada hanya melahirkan korupsi bagi birokrasi, ketika pasangan calon
pemenang mulai menjalankan pemerintahan daerah. Hal ini tampak ketika
fenomena pemerintahan bayangan (shadow government) selalu muncul ketika
kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai pasangan politik pemilukada
mulai menjalankan pemerintahan.
Sudah tentu kelembagaan birokrasi pemda menjadi sangat rendah
efektivitas kerjanya dalam menggerakkan program-program yang justru
24
“PON Dibuka, Gubernur Riau Tetap Dibidik”, Koran Tempo, 12 September 2012.
93
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
dibutuhkan bagi pembangunan daerah dan pengembangan potensi
masyarakat setempat. Sebaliknya, program pemerintahan dan pembangunan
justru selalu dibajak untuk mengarah pada pesan tertentu atau memenuhi
spesifikasi kelangsungan proyek dari para cukong dalam kerangka bisnisnya.
Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi pasca
penyelenggaraan pemilukada, dan masyarakat kelas menengah yang memiliki
literasi politik yang relatif baik akan kecewa. Masyarakat kelas menengah akan
mudah bersikap golongan putih (golput) yang pada gilirannya menyebabkan
angka partisipasi rakyat dalam pemberian suaranya saat pemilukada
akan selalu tergolong rendah. Bahkan, ironisnya, semakin berkembang
kosmopolitan suatu daerah dengan segala kemudahan akses informasi yang
masuk ke wilayahnya, maka potensi untuk bersikap golput bagi masyrakatnya
adalah akan meningkat jumlah atau persentasenya.
Di tengah keprihatinan masih lemahnya pengawasan publik,
pengungkapan kasus korupsi dan pemilukada sangat rentan bagi terjadinya
perlawanan balik dari pihak yang bermasalah terhadap proses hukum yang
dilakukan. Perlawanan ini mengarah pada tindakan kekerasan fisik dari
pendukungnya di tingkat lapangan terhadap aparat hukum yang mencoba
mengeksekusi pihak pelaku secara hukum. Kasus hukum yang terjadi pada
Bupati Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng), adalah salah satu contoh perlawanan
semacam itu di antaranya. Pihak bersangkutan ditangkap basah oleh
penyidik, begitu pula rekannya yang diduga pimpinan perkebunan sawit
besar di Sulteng. Kasus penyuapan terhadap Bupati Buol ini dikabarkan
berkaitan dengan pengurusan izin perkebunan. Namun, ketika penyidik KPK
akan menangkap Amran Batalipu, banyak sekali orang yang menghalanginya.
Bahkan, beberapa orang di antaranya melakukan pemukulan terhadap
penyidik dan mereka juga merusak mobil milik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Dalam kondisi demikian, Amran Batalipu masih sempat
tampil berkampanye di depan pendukungnya. Ia justru menuduh ada pihak
yang tidak menginginkan memimpin kembali Kabupaten Buol. Retorika
politik tersebut juga disampaikan oleh kalangan Partai Golkar, partai yangn
mencalonkan Amran Batalipu sebagai kepala daerah setempat. Langkah KPK
justru dianggapnya sebagai tidak etis karena Bupati sedang mencalonkan lagi
sebagai Bupati dan tahapan Pemilukada pun sudah dimulai dilaksanakan.
Sebelumnya, pada April 2007, masyarakat Buol pun tetap memilih, bahkan
memenangkan Amran Batalipu ketika saat itu telah divonis bersalah oleh
pengadilan negeri dalam kasus korupsi APBD. Ia dihukum satu tahun penjara
dalam kasus yang terjadi ketika masih menjadi Ketua DPRD Buol. Vonis ini
juga dikuatkan oleh pengadilan tinggi. Tetapi beberapa bulan kemudian, saat
Amran sudah dilantik menjadi Bupati Buol, ia divonis bebas oleh MA, putusan
94
Prayudi
sempat mengundang kontroversi terutama dikalangan yang menganggap
dirinya sebagai penggiat anti korupsi.25 Setelah terjadi penangkapan dan
ditetapkan statusnya sebagai tersangka, Mendagri Gamawan Fauzi sempat
mengatakan meskipun Amran ditahan oleh KPK dalam operasi penangkapan
yang cukup panjang, Amran tetap sah sebagai bupati dan kandidat dalam
Pemilukada Buol, Sulawesi Tengah. Amran dinonaktifkan dari jabatan
bupati dan tidak boleh mengikuti proses pemilukada jika status hukumnya
ditingkatkan menjadi terdakwa.26 Amat Y. Entedaim, pengacara Bupati Buol
Amran Batalipu, mengatakan bahwa Amran Batalipu menerima uang dari
perusahaan milik Hartati Murdaya, yaitu dari PT Cipta Cakra Murdaya dan PT
Hardaya Inti Plantations Hal ini merupakan sumbangan untuk pemenangan
Amran dalam pemilihan Bupati Buol, Sulawesi Tengah.27
Dalam persidangan terungkap, bahwa Dirut PT Hardaya Inti Plantation,
Hartati Murdaya ditemui oleh Amran dalam rangka permintaan dana bantuan
dalam kampanye pemilukada Bupati Buol. Konteks ini, menjadi tawar menawar
dengan proses penyelesaian terhadap aksi unjuk rasa yang disebut sebagai
“kalangan preman” yang menduduki pabrik perusahan bersangkutan dan telah
merugikan dalam jumlah dana yang tergolong besar. Penolakan atas sejumlah
dana dalam rangka kemenangan Amran di Pemilukada, pada gilirannya lebih
ditempatkan oleh perusahaan tersebut yang lebih memilih pola dana sebagai
bagian dari corporate social responsibility yang digunakan untuk meredam unjuk
rasa di perusahaan. Konteks demikian mengungkapkan adanya dugaan suap
dalam pengurusan hak guna usaha lahan perkebunan sawit di Kabupaten Buol,
dengan harapan kandidat dalam proses nominasi pencalonan dan kampanyenya
saat pemilukada Bupati setempat dilakukan. Dalam perkembangan, di luar
sepengetahuan Hartati Murdaya, sebagaimana diungkap di persidangan, Direktur
HIP, Totok Listiyo dan Finance Controller perusahaan itu, Arim, melakukan
pertemuan dengan Bupati Buol Amran dan Amran juga menyampaikan permitaan
dana 3 miliar. Uang didapatkan Amran dengan dua kali pengiriman yang disebut
Totok sebagai istilah “bantuan sembako untuk pemilukada” agar perusahaannya
cepat aman.28
Di samping kasus Amran, kasus pemilukada yang juga terjadi belakangan
ini, adalah yang menimpa Bupati Banyuwangi (2005-2010) di tahun 2007, yaitu
Ratna Ani Lestari, yang ditahan KPK akibat dugaan kasus pengadaan tanah di
Kabupaten Banyuwangi. Kasus itu mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp19
27
25
26
28
“lolosnya Bupati Buol”, dalam Koran Tempo, 29 Juni 2012.
“Amran Laporkan Dugaan Politik Uang’, Kompas. 7 Juli 2012.
“Duit Hartati Untuk Pemenangan Pilkada Buol”, http.www.tempo.co.id., dikutip 12 Juli
2012.
“Hartati Akui alirkan Dana Bantuan Sosial”, Kompas 5 Oktober 2012.
95
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
miliar.29 Terkait kasus politik uang, Abdullah Dahlan dari Indonesia Corruption
Watch menilai, dalam praktiknya hal ini tidak saja dilakukan melalui cara-cara
pembagian uang atau barang secara konvensional. Ada modus lain seperti
halnya memanfaatkan APBD untuk pemenangan pemilukada. Pemanfaatan
anggaran biasanya dilakukan oleh petahana.30 Dicontohkan, mengenai
pemanfaatan anggaran yang terjadi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang
menjelang Pemilukada setempat, anggaran iklan layanan masyarakat ditahun
anggaran 2012 meningkat menjadi Rp28 miliar. Padahal, tahun sebelumnya,
yaitu di tahun 2011, anggaran iklan layanan masyarakat hanya mencapai Rp7,5
miliar. Demikian halnya, dengan alokasi dana hibah yang meningkat dari sekitar
Rp800 miliar ditahun 2012 menjadi Rp1,3 triliun, ditahun 2012. Pemanfaatan
anggaran dengan meningkatkan anggaran dana hibah menjelang pemilukada
juga terjadi di provinsi Banten, saat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah,
kembali mencalonkan diri dalam pemilukada.31 Menghadapi perkembangan
politik uang dalam pemilukada, RUU Pemilukada yang dibahas oleh DPR dan
Pemerintah di tahun 2012, membuat ketentuan untuk alasan mencegahnya
dengan memberikan sanksi hukum kepada pemberi dan penerima politik uang,
selain dengan membatasi belanja kampanye. Hal yang juga menarik dikaji,
adalah membuka peluang bagi dikembalikannya pemilukada Gubernur tidak
lagi secara langsung oleh rakyat, tetapi melalui kelembagaan DPRD.
Di Bojonegoro, mantan bupati setempat, yaitu Mohammad Santoso,
menjadi terdakwa dalam kasus korupsi dana sosialisasi pembebasan lahan
untuk lokasi pertambangan Blok Cepu, senilai Rp3,8 miliar. Selain Santoso,
kasus tersebut juga menyeret mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten
Bojonegoro, Bambang Santoso. M. Santoso, mantan Bupati Bojonegoro,
adalah pensiunan TNI Angkatan Darat dengan pangkat terakhir kolonel.
32
Dirinya menjabat sebagai Bupati Bojonegoro periode 2002-2008, dan juga
merupakan mantan Kepala Dolog Provinsi Bali, akhirnya meringkuk di sel
lembaga pemasyarakatan (LP) Kabupaten Bojonegoro. Pada bulan September
2012, M. Santoso yang berambisi meraih kembali jabatan Bupati dalam
pemilukada Bojonegoro, bahkan sempat mendaftarkan dirinya melalui jalur
PDI Perjuangan. M. Santoso dijebloskan ke dalam LP setempat berdasarkan
putusan Mahkamah Agung. Sebelum kasus pembebasan lahan bagi Blok Cepu,
M. Santoso juga terlibat dalam kasus korupsi APBD tahun 2007 senilai Rp 6
miliar dan diganjar hukuman 5 tahun penjara.33
31
32
33
29
30
“Antusiasme Publik terus turun”, dalam Loc.cit.
“Hukum Pemberi dan Penerima Politik Uang”, Kompas 12 Juli 2012.
Ibid.
“Mantan Bupati Bojonegoro Segera Diadili”, Koran Tempo 10 Oktober 2012.
Ibid.
96
Prayudi
Pada kasus lain, misalnya juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), yaitu tepatnya di Kabupaten Aceh Utara. Mantan Bupati
Aceh Utara, Ilyas A. Hamid dan Wakil Bupati Aceh Utara Syarifuddin, terlibat
dalam pemindahan dana sisa APBD Aceh Utara ditahun 2008 senilai Rp220
miliar ke Bank Mandiri Cabang Jelambar, Jakarta, yang kemudian terjadi
pembobolan rekeningnya. Awalnya, dana itu disimpan di Bank Mandiri
Cabang Kota Lhokseumawe. Sebagai Bupati, saat itu, Ilyas mengizinkan
Syarifuddin mendepositokan sebanyak Rp200 miliar di Bank Mandiri
cabang Jelambar. Adapun dana sebanyak Rp200 miliar lainnya dimasukkan
ke rekening PT Argo Sijantara. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda
Aceh sudah memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menahan Ilyas A.
Hamid dan Syarifuddin, sebagaimana tertuang dalam Putusan PT Tipokor
Banda Aceh No.29/PID-TIPIKOR/2012, PT-BNA tanggal 9 Oktober 2012 yang
ditandatangani Ketua Majelis Hakim PT Tipikor Banda Aceh, Mas’ud Halim
dan dua hakim anggota, yaitu Amsar Yoenaga dan Sunardi.34
Yang juga tidak kalah dashyatnya kasus yang berkembang, adalah ketika
Bupati Kepulauan Aru, Maluku, Theddy Tengko yang sempat kabur dari
penjagaan Kejagung di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, karena adanya
sekitar 50 orang pendukungnya yang mengancam untuk melepaskan bupati
bersangkutan. Theddy Tengko yang dituduh korupsi APBD 2006-2007, dan
para pendukungnya, termasuk pengacara yang sekaligus mantan Menkuham,
Yusril Ihza Mahendra, menganggap bahwa dirinya telah diperlakukan
sewenang-wenang oleh pihak kejaksaan. Hal ini mengingat tidak adanya surat
perintah penahanan ketika dilakukan penangkapan kepada Theddy Tengko.
Theddy Tengko sendiri sempat disambut oleh ratusan massa kedatangannya
di bandara kota Dobo, Kepulauan Aru, Kedatangan bupati ini melalui pesawat
carteran dari Papua dan massa menggelar konvoi mengelili kota Dobo dan
sekaligus mengawal Theddy.35
3. PEMBENAHAN SECARA KELEMBAGAAN DAN TANTANGANNYA
Banyaknya kasus kepala daerah terseret dugaan korupsi, pada sisi yang lain
juga menjadi kontroversi terkait batasan kebijakan yang dapat dilakukannya,
sekaligus diskresi kewenangan yang dimiliki, dengan persoalan hukum
yang dianggap harus dibedakan dengan tegas. Ketua Asosiasi Pemerintah
Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Isran Noor, mengatakan, seharusnya
kesalahan yang dilakukan kepala daerah dalam menjalankan kewenangan
tidak dibawa ke ranah hukum.36 Bahkan, menurutnya, seharunya kepala
36
34
35
Mantan Bupati dan Wakil Bupati Diperintahkan Ditahan”, Kompas, 12 Oktober 2012.
“Bupati Theddy Tengko Kabur”, Koran Tempo, 14 Desember 2012.
“Kepala Daerah Protes Kirminalisasi Kebijakan”, Media Indonesia, 10 Juli 2012.
97
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
daerah tidak boleh dipidanakan dan justru mengherankan ketika penegak
hukum tidak dapat membedakan batas penggunaan wewenang dan korupsi.
Kalangan penegak hukum dianggap perlu menghindarkan agar jangan sampai
kebijakan publik justru mengalami kriminalisasi. Padahal, kebijakan publik
itu sendiri dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan fungsi pelayanan publik,
Bahaya atas berlarutnya kriminalisasi kebijakan dianggap akan menyebabkan
tidak berjalannya fungsi pelayanan publik dari birokrasi di daerah dan justru
membawa kemunduran bagi kesejahteraan masyarakatnya itu sendiri.
Mendagri Gamawan Fauzi tetap berharap agar kepala daerah melakukan
langkah-langkah inovasi dalam memimpin daerah. Namun, ketika pelanggaran
hukum itu disertai unsur memperkaya diri sendiri, proses hukum atas
kejahatan korupsi tidak dapat dihindari. Hingga saat ini belum diatur secara
tegas batasan antara diskresi dalam tataran administrasi negara dengan
korupsi. Salah satu pembeda adalah niat melanggar hukum. Kejahatan
dimulai dari niat, tetapi persoalannya bagaimana mengukur ada atau tidak
adanya niat melakukan kejahatan dimaksud.37 Masalah keliru bisa saja masuk
ranah hukum administrasi negara. Namun, ketika ada unsur suap, apapun
alasannya, kepala daerah harus diproses secara pidana. Di sini, keberadaan
peradilan menjadi faktor yang penting, terkait dengan dirinya yang bebas
dari intervensi. Peradilan yang membebaskan terdakwa karena tidak terbukti
bersalah jangan dianggap berkolusi. Sebaliknya, Ketua Asosiasi pemerintahan
Kabupaten Seluruh Indonesia, Isran Noor, mempertanyakan kriteria unsur
memperkaya orang lain. Menurutnya, justru memperkaya orang lain adalah
tugas kepala daerah. Ketika seorang pengusaha mendapatkan proyek,
setidaknya dirinya mendapat keuntungan 10 persen.38
Visi pemerintah terkait perwujudan inovasi daerah, sangat jelas
ditampilkan pada saat eksekutif mengajukan ke DPR terkait RUU Pemda yang
diusahakan untuk menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 saat itu. Sebagaimana
diatur antara lain terkait postur birokrasi pemda, dalam Pasal 110 RUU
Pemda yang dikeluarkan draftnya melalui Kemdagri (tahun 2011), di Pasal
110: “(1) Jumlah pegawai negeri sipil di daerah didasarkan atas beban tugas
untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan dalam rangka meningkatkan daya
saing di daerah; (2) Kepala daerah dilarang mengangkat pegawai honorer
yang pengadaannya tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan;
(3) Kepala daerah yang mengangkat pegawai honorer sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sementara selama 3 (tiga) bulan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pegawai negeri sipil di daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
37
38
“Penegakkan Hukum Yang Paling Penting”, Kompas, 14 Juli 2012.
Ibid.
98
Prayudi
Pada konteks yang lebih luas, birokrasi daerah juga kadangkala mengalami
proses lemahnya akuntabilitas publik, yaitu terkait dengan dugaan korupsi.
Berdasarkan penelusuran Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), ditemukan 2.258 transaksi yang mencurigakan yang melibatkan
antara lain kepala daerah, bendahara daerah, dan pejabat daerah lainnya. 39
Masalahnya, adalah Mendagri Gamawan Fauzi belum dapat menindaklanjuti
informasi tentang transaksi mencurigakan pejabat di daerah. Penyebabnya,
permintaan data transaksi yang diajukan Kemdagri ke Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan belum dipenuhi. Bagi Mendagri, hasil analisis
keuangan PPATK memang terlebih dahulu ditujukan kepada lembaga penegak
hukum. Namun, data itu dianggapnya tidak ada salahnya juga dikirim ke
Kemdagri untuk keperluan pembinaan umum pemerintah daerah. Berdasarkan
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
laporan hasil analisis (LHA) transaksi keuangan mencurigakan yang terkait
kepala daerah dari PPATK memang tidak menyampaikan ke Mendagri,
melainkan langsung kepada instansi penegak hukum untuk ditindaklanjuti.40
Pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan korupsi,
juga menjadi persoalan tersendiri dalam jalan panjang proses pemeriksaan
aparat berwenang terhadap pelaku yang diduga tersebut. Untuk itu,
pemerintah sudah memperbaiki mekanisme permintaan izin pemeriksaan
kepala daerah oleh kejaksaan kepada presiden terus diperbaiki. Jaksa
Agung Basrief Arief menyatakan, kini mekanismenya tidak lagi berbelitbelit, sehingga penerbitan izin pemeriksaan dapat berjalan semakin cepat.41
Contohnya, dengan mekanisme yang berlaku bahwa permintaan izin langsung
disampaikan kejaksaan di daerah (Kajati dan Kajari), tanpa ada penelitian
terlebih dahulu oleh Kejaksaan Agung, bukti material yang diajukan seringkali
kurang lengkap atau terlampau dipaksa untuk diajukan. Hal ini dianggap
menciptakan kondisi proses pembuatan surat permintaan izin pemeriksaan
menjadi tidak dapat diproses lebih lanjut.
Sejalan dengan perbaikan mekanisme di atas, maka nantinya sebelum
diajukan ke Presiden, dilakukan ekspose di Sekretaris Kabinet (Sekkab) dan
setelah itu baru diajukan ke Presiden untuk dikeluarkan izin pemeriksaannya.
Sebelum pemaparan di Sekkab, kasus-kasus yang melibatkan kepala
daerah diteliti terlebih dahulu oleh Kejaksaan Agung, apakah bukti-bukti
material sudah lengkap atau dianggap belum lengkap. Bukti material
yang harus dilengkapi antara lain pernyataan adanya kerugian negara dari
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan
41
39
40
“Presiden Perlisakan Diselidiki”, Kompas, 24 Juli 2012.
“Menteri Tunggu Data Transaksi”, Kompas 25 Juli 2012.
“Mekanisme Izin Pemeriksaan Diperbaiki”, Kompas, 31 Juli 2012.
99
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Pembangunan (BPKP) untuk kasus korupsi yang merugikan keuangan negara.
Setelah bukti material dianggap lengkap, selanjutnya berkas disampaikan
kepada Sekkab. Dengan mekanisme yang telah diperbaiki, dalam waktu
yang tergolong tidak terlampau lama, Presiden dapat menerbitkan izin
pemeriksaan terhadap sejumlah kepala daerah. Bahkan, dari beberapa izin
pemeriksaan yang sudah diterbitkan Presiden tersebut, pihak Kejaksaan
dapat melanjutkan proses penyidikan kasus-kasus bersangkutan. Misalnya,
di tahun 2012 ini, kasus-kasus yang mulai diperiksa dan disidik kejaksaan,
antara lain adalah yang melibatkan Gubernur Kaltim, Awang Faroek, Bupati
Kolaka, Sulawesi Tenggara, Buhari Matta, Bupati Ogan Komilir Ulu, Sumsel,
Muhtadin Serai, dan Bupati Batang, Jateng, Bambang Bintoro. Di samping
itu, juga izin pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang melibatkan Bupati
Bulungan, Kaltim, Budiman Arifin, Wakil Bupati Purwakarta, Jabar, Dudung
Bachtiar Supardi, Walikota Medan, Sumut, Ruhudman Harahap, dan Bupati
Kepulauan Mentawai, Sumbar, Edison Saleleubaja.42
Sejauh ini, proses hukum bagi kepala daerah bermasalah diusahakan
untuk tidak akan lagi mengalami jalur yang rumit. MK mengabulkan gugatan
uji materi Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dua ayat yang dibatalkan adalah ayat 1 dan ayat 2, dan pada putusannya, MK
menyatakan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah
atau wakil kepala daerah dapat dilakukan tanpa persetujuan Presiden.
Anggota Majelis Hakim MK, Akil Mochtar, menjelaskan, pasal yang dibatalkan
ini dinilai menghambat proses penyelidikan dan penyidikan. Persoalannya,
Presiden diberikan waktu selama 60 hari untuk memberikan persetujuannya
dan selama kurun waktu tersebut, kepala daerah atau wakil kepala daerah
dapat melakukan langkah-langkah ke arah proses penghapusan jejak atau
diistilahkan sebagai “penghilangan alat bukti tindak kejahatan. Uji materi
oleh MK terhadap Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004, dilakukan
atas dasar permintaan beberapa aktivis dan lembaga yang menamakan diri
sebagai anti korupsi, seperti halnya Indonesia Corruption Watch (ICW), dosen
Universitas Andalas, Feri Amsari, serta dosen Universitas Gajah Mada, Teten
Masduki, dan Zainal Arifin Mochtar.43
Pemeriksaan terhadap kepala daerah hasil pemilukada bukan saja harus
mereformulasi mekanismenya, tetapi juga pertimbangan atas gejolak massa
secara lokal ketika pemeriksaan secara hukum dilakukan. Hal ini bukan
mustahil, mengingat fanatisme pendukung kepala daerah bersangkutan, ketika
dikenakan status hukum tertentu, seperti halnya tersangka, sudah memancing
emosi pendukung kepala daerah bersangkutan. Bahkan, ketika kepala daerah
42
43
Ibid.
“Penyelidikan Kepala Daerah Bermasalah”, Tempo, Edisi 1- 7 Oktober 2012.
100
Prayudi
yang dikenakan status hukum tertentu atas kasus yang dihadapinya, dirinya
dapat memobilisasi pegawai negeri sipil (PNS) Pemda setempat untuk
memprotes tindakan aparat yang mengenakan status tersebut. Bahkan,
opini publik lokal dapat diputarbalikkan dengan kesan terjadinya tindakan
aparat yang mendzalimi atau menerapkan fitnah bagi kepala daerah yang
terkena masalah hukum dimaksud. Kasus yang pernah dihadapi oleh Bupati
Subang, Eep Hidayat saat dikenakan status sebagai tersangka oleh KPK saat
itu dengan alasan dugaan penyalahgunaan pajak kehutanan, pertambangan,
dan perkebunan dari tahun 2005-2008, menunjukkan fenomena mobilisasi
PNS birokrasi Pemda atas kasus dugaan korupsi yang dihadapi kepala daerah
setempat. Bahkan, ketika berdemonstrasi muncul pula ungkapan spanduk
bertuliskan ”kalau Bupati Subang menjadi tersangka, Gubernur Jawa Barat
juga harus menjadi tersangka”.44
Partai politik memiliki andil besar dalam menempatkan perilaku politik
korupsi dalam persaingan pemilukada. Bahkan, mereka kadangkala tidak
malu dalam menominasikan calon yang justru sedang terbelit masalah,
ketika kepentingan strategis untuk meraih kekuasaan, mengharuskan pilihan
kontroversial itu. Misalnya, sebagaimana saat menjelang pelaksanaaan
Pemilukada Gubernur Kaltim tahun 2013. Sejak awal, DPP Golkar resmi
mencalonkan Awang Farouk Ishak yang saat ini menjabat sebagai Gubernur
Kaltim, pada Pilgub Kaltim 2013 mendatang, meski yang Awang tersandung
dugaan kasus korupsi. Kepastian pencalonan Awang tertuang dalam Surat
DPP Partai Golkar bernomor: R.390/GOLKAR/X/2012 tertanggal 13 Oktober
2012 perihal Pengesahan Pasangan Calon Kepala Daerah Provinsi Kalimantan
Timur. Surat itu, ditandatangani Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan
Sekjend Idrus Marham. Alasan tentang hasil survey yang dikontrak lembaga
surveynya oleh Golkar, menunjukkan figur Awang Farouk masih yang paling
popular dibandingan calon-calon lainnya.45 Seperti diketahui, Awang Farouk
Ishak ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, terkait kasus dugaan
korupsi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal, tahun 2010 lalu. Hingga sekirar
2 tahun, sebelum masuk tanggal 7 Juli 2012, kejaksaan belum melakukan
pemeriksaan terhadap bersangkutan. Pemilukada Gubernur dan Wakil
Gubernur Kaltim sendiri ketika itu rencananya digelar oleh KPUD Kaltim pada
September 2013 mendatang, bersamaan secara serentak dengan pemilukada
Kota Tarakan dan pemilukada Penajam Paser Utara. Sebelum Awang Farouk,
PKS juga secara resmi telah mengusung Hadi Mulyadi sebagai calon Gubernur
Kaltim, yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kaltim.
44
45
KPK monitors graft trial after suspect acquitted”, The Jakarta Post ,17 Desember 2010.
“Tersandung Korupsi, Awang Farouk Ishak tetap Maju di Pilgub Kaltim 2013”, http://
www.detik. com, diakses 16 Oktober 2012.
101
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Di samping ke arah dugaan korupsi, pemilukada juga dianggap menjadi
ajang untuk mengobral pemberian izin usaha pertambangan dan perkebunan
bagi calon kepala daerah. Kasus di Provinsi Bangka, menunjukkan bahwa
aktor-aktor negara di tingkat lokal melakukan tingkah laku informal untuk
mencari keuntungan, bahkan ikut terlibat dalam suatu mafia bisnis timah.
Seberapa jauh keuntungan itu digunakan untuk keuntungan pribadi atau
lembaga negara yang cenderung terbatas anggaran resminya, justru tidak
diketahui. Kaburnya pemisahan antara pendapatan legal dan tidak legal,
antara resmi dan tidak resmi dalam kasus pengelolaan timah di bawah
sistem baru ini, tampaknya mengharuskan pemikiran kembali konsep
negara, pasar dan masyarakat. Hal ini beranjak pada hubungan yang intim
antara negara dan pasar, birokrat dan pebisnis.46 Dalam kasus Bangka,
preman berperan penting untuk menggerakkan massa dalam mendukung
kepentingan segelintir pejabat daerah pada khususnya, pebisnis dan aparat
berwenang pada umumnya. Sehingga muncul peran negara bayangan yang
berperan besar dalam pemerintahan dibandingkan peran negara yang secara
formal hadir di tengah masyarakat setempat. Kalangan para penyelundup
atau pengusaha timah di Bangka menyebut tentang besarnya peran capital
atau diistilahkan sebagai uang (money politics) dalam meraih kekuasaan dan
sekaligus mengontrol pengelolaan aset lokal, termasuk tentu saja terkait
sumber alam seperti halnya kekayaan tambang timah.47 Deregulasi tata niaga
timah yang mengikuti pelaksanaan otonomi daerah pada bulan Januari 2001,
mencipatakan momentum tersendiri bagi sejarah pengelolaan penambangan
timah di Indonesia. Respons daerah begitu cepat dan radikal dalam proses
peralihan kekuasaan dari pusat ke daerah dalam pengelolaan timah
dan guna mencari sumber-sumber pendapatan daerah. Otonomi daerah
ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya lebih merupakan
pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan budaya atau
politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil otonomi
daerah ternyata adalah konflik bisnis.48 Efek samping dari nyatanya kolaborasi
kekuasaan dan bisnis yang bergerak secara abu-abu dan sekaligus melahirkan
dominasi peran negara bayangan, sudah tentu adalah kerusakan lingkungan
dan destruksi sosial yang tidak terhindarkan atau justru tidak diperhitungkan
oleh Bupati terpilih hasil Pemilukada.
46
47
48
Erwiza Erman “Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal:
Studi Kasus Bangka”, dalam Henk Scuhulte Nordholt dan Gery van Klinken, Politik Lokal
di Indonesia, KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2007,, h.264.
Ibid.,
Erwiza Erman “Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal:
Studi Kasus Bangka”, dalam Ibid., h. 225.
102
Prayudi
Studi Erwiza Erman menunjukkan bahwa “terjadi persaingan antara
gubernur dan bupati dalam pengelolaan timah sebagai sumber daya alam
yang berharga dalam kurun watu berkelanjutan dan bahkan telah diintervensi
oleh institusi kepolisian dari Jakarta. Sempat terjadi peristiwa “Oktober
2006”, di mana pada awal Oktober 2006, polisi menangkap enam manajer
dari perusahaan dan peleburan timah yang dianggap merusak lingkungan
dan merugikan negara, karena menyelundupkan pasir timah ke luar negeri,
terutama ke Singapura dan Malaysia.”49
Studi Erwiza Erman juga menunjukkan bahwa:
“Bupati Bangka yang menang dalam Pemilukada Gubernur Bangka Belitung
di tahun 2007, menerima suntikan dana, tidak hanya dari pengusaha timah
lokal, tetapi juga dari pengusaha nasional. Di sini gubernur dihadapkan
untuk sebuah taruhan yang lebih besar. Bantuan keuangan dari pengusaha
nasional ini bukan tanpa disertai politik balas budi oleh gubernur dalam
bentuk penyediaan akses hukum untuk beberapa bisnis yang langsung atau
tidak langsung berhubungan dengan timah Bangka. Kondisi ini dianggap
sebagai “pulau Bangka yang telah digadaikan.” Kondisi ini juga tidak
berbeda dengan para bupati. Pada dasarnya tidak satupun kampanye calon
Bupati di Bangka Belitung dalam pemilukada langsung yang mengangkat isu
kerusakan lingkungan akibat penambangan TI sebagai isu mutama. Kondisi
tersebut memang berkaitan erat dengan “suntikan” dana kampanye mereka
dari penambangan timah.”50
Beberapa urusan administrasi yang semula sulit bagi perambah
hutan mendadak dipermudah dengan alasan tertentu. Hal ini terlihat
dari kemudahan terbitnya bukti diri berupa kartu tanda penduduk (KTP)
atau surat keterangan tanah (SKT). Imbalan kemudahan ini biasanya para
perambah hutan diminta memilih calon tertentu. Fenomena ini terjadi antara
lain misalnya di Provinsi Riau, pada kasus ribuan keluarga perambah di 14
Desa yang menduduki 28.500 hektar Taman Nasional Tesso Nilo, Kabupaten
Pelalawan, Riau, hampir semuanya memiliki KTP. Mereka terdaftar sebagai
penduduk yang memiliki hak pilih saat pemilukada. Dimasa kampanye, calon
kepala daerah berjanji, bahwa jika ia terpilih, maka akan memperjuangkan
lahan yang dipersengketakan dilepas dari kawasan hutan negara. Sedangkan
di Sumut, terdapat gejala meluasnya penerbitan izin pemanfaatan kayu tanah
milik (IPKTM) dari birokrasi oleh bupati setelah dirinya terpilih.51 Perilaku
politik birokrasi dan kepala daerah semacam ini, menyebabkan muncul
49
50
51
Erwiza Erman, “Aktor, Akses dan Politik Lingkungan di Pertambangan”, Masyarakat
Indonesia Edisi XXXVI, No. 2, 2010, h. 90.
Ibid., h. 91.
“Pilkada jadi ajang obral Perizinan”, dalam Kompas 18 April 2012
103
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
pendapat kontroversi mengenai kontribusi pemilukada bagi proses degradasi
lingkungan di daerah.
Sedangkan, di Provinsi Kalteng dan Kalsel, studi dari John Mc. Carthy
sebagaimana dikutip oleh Kisno Hadi, bahwa sejak tahun 2004, terdapat sekitar
480 pos di Sungai Barito yaitu dari mulai Kota Puruk Cahu di hulu Sungai Barito
sampai ke arah Banjarmasin di muara Sungai Barito yang memungut pajak
dan rakit-rakit kayu gelondongan. Berbagai instansi pemerintahan, termasuk
Polsek, Koramil, Dinas Kehutanan, Dispenda,Pos-pos desa, polisi sungai, polisi
pelabuhan, dan angkatan laut mengelola pos-pos itu untuk memungut “pajak”
atau kayu-kayu yang melintasi kawasan ini ke arah muara sungai. Masyarakat
awam pun tahu bahwa praktik pemungutan pajak tersebut merupakan praktik
korupsi dan manipulasi pemerintah lokal yang hendak memperkaya diri.52
Sementara itu, catatan sebelum pemilukada secara langsung oleh rakyat,
di Kepulauan Mentawai, kebijakan otonomi daerah setelah runtuhnya
kekuasaan Orde Baru Soeharto, mendorong penguatan peranan Bupati secara
de facto terhadap sumber daya hutan, yang sebelumnya di bawah genggaman
kekuasaan pusat Departemen Kehutanan. Untuk mendapatlan dukungan di
tingkat lokal, pemerintah kabupaten mengartikulasikan ketidakadilan ekonomi
dan politik yang dianggap dirasakan oleh orang Mentawai. Bupati setempat,
terutama setelah akhir 2001, munculnya Edison Saleleubaja, memenangkan
pemilukada melalui DPRD Kepulauan Mentawai, mengalahkan incumbent,
Antonius Samangilailai, yang dianggap bukan mencerminkan figur Mentawai,
karena beragama Islam dan terlampau mudah diintervensi Provinsi Sumatera
Barat. Sebaliknya, Edison Saleleubaja, merupakan putera daerah Mentawai
dan seorang pendeta Protestan, meskipun dirinya tidak memiliki pengalaman
sebagai pemimpin politik. Edison memang pernah menjadi anggota DPRD
Padang Pariaman, tetapi ini dianggap disebabkan perolehan kursinya atas
UU Pemilu di masa Orde Baru yang mewajibkan kuota berdasarkan asal
daerah pemilihan. Sebaliknya, Edison lebih banyak berkecimpung di Yayasan
Kondisi, sebuah organisasi Injil yang memperjuangkan populasi Protestan
di Kepulauan Mentawai. Ketika terpilihnya Edison yang bernuasa Mentawai
secara kuat, akses perebutan kekuasaan terbuka bagi kerabat dekat, temanteman Edison, dan jaringan perjuangan otonomi kabupaten yang juga merapat
pada kekuasaan. Persaingan antar jaringan ini menyebabkan perpecahan di
antara mereka, misalnya ada yang bergabung dengan partai politik, menjadi
PNS, atau ada pula yang mencoba menjadi pengusaha kayu.53
52
53
Kisno Hadi, “Korupsi Birokrasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah”, Jurnal Penelitian
Politik, Vol. 7, No. 1, 2010, h. 62-63.
Dananto dan Abidah B. Setyohadi, Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan,
dan Politik Ekologi, Penerbit Kompas Gramedia dan Unesco, Jakarta, 2012, h. 288-289.
104
Prayudi
Melalui kewenangan otonomi digenggam daerah pasca Pemilukada, izinizin pemanfaatan kayu meningkat pesat. Misalnya, melalui penerbitan Surat
Keputusan (SK) Bupati No. 110/SK/BKM/XII-2001 tanggal 28 September 2001
tentang tata cara penyelenggaraan pemberian izin dan pemanfaatan kayu.
Melalui SK Bupati tersebut, IPK diberikan oleh Pemda Kepulauan Mentawai
untuk menebang dan memanfaatkan kayu di kawasan hutan yang telah
dilepaskan untuk pembangunan nonkehutanan atau Area Penggunaan Lain
(APL) dengan peruntukan lahan sebagai usaha perkebunan dan transmigrasi.
Di samping itu, pada tahun 2002 diajukan Rancangan Perda tentang pajak
dan pemungutan yang berhubungan sektor kehutanan, Melalui kebijakan ini,
muncul lima Perda terkait kehutanan, yaitu: (1) izin usaha dibidang kehutanan
dan perkebunan; (2) retribusi izin usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil
hutan kayu dan non kayu; (3) retribusi izin usaha pemafaatan jasa lingkungan
hutan produksi; (4) retribusi izin usaha pemanfaatan kawasan hutan produksi;
(5) retribusi penyelenggaraan produksi pengolahan, pengendalian mutu,
dan peredaran hasil hutan dan perkebunan. Perda ini banyak dikritik proses
politiknya, mengingat tanpa uji publik saat pembahasannya dan dilakukan
sosialisasi sebelum pelaksanaannya. Kenyataannya, banyak pelanggaran yang
terjadi dan justru menyebabkan kerugian bagi Pemda, dan bahkan terjadi
pembalakan secara liar. Beberapa pemilik IPK menebang kayu di luar konsesi
mereka, termasuk dikawasan hutan lindung. Pelanggaran IPK diwarnai oleh
kuatnya praktek korupsi dalam jaringan penebangan kayu. Proses perizinan
yang tidak transparan merupakan salah satu cara bupati untuk mendapatkan
penghasilan ekstra dari pengusaha kayu secara illegal.54
Ekslpoitasi hutan di kepulauan Mentawai melalui IPK dan Perda mengenai
pajak dan retribusi di sektor kehutanan ternyata hanya berkontribusi kecil
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dokumen PAD Kabupaten Kepulauan
Mentawai 2002-2003 menunjukkan, kontribusi sektor kehutanan terhadap
struktur PAD hanya mencapai 0,08%. Angka tersebut berasal dari retribusi
Izin Hasil Hutan sebesar Rp3,2 juta dan setoran dari Dinas Kehutanan sebesar
Rp35.000.000,-. Rendahnya PAD ini juga terjadi untuk APBD 2004, di mana
Kepulauan Mentawai menargetkan PAD sebesar Rp2.500.0000.000,- dari
sektor kehutanan saat itu. Target PAD itu bersumber dari proyeksi produksi
kayu bulat ditahun 2004 sebanyak 1,46 juta meter persegi. Berdasarkan Perda
No. 2 Tahun 2002, seharusnya Perda yang diterima Kabupaten Kepulauan
Mentawai dari sektor kehutanan lebih dari Rp14 miliar. Hal ini belum termasuk
retribusi untuk kayu campuran, limbah pembalakan, tempat penimbunan
kayu, penggergajian, dan alat-alat berat sebagaimana diatur melalui Perda No.
54
Ibid., h. 294-296
105
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
3, 6, 7, dan 8 Tahun 2002. Ternyata target PAD ini tidak mampu dipenuhi, dan
bahkan PAD dari sektor kehutanan tidak mampu mencapai 1 persen.55
Nama
Tabel 5.
Contoh Beberapa Kasus Korupsi Kepala Daerah terkait
Dugaan Pendanaan Pemilukada dan Kepala Daerah
Yang Terlibat Kasus Kriminal Umum yang Berujung
dengan Penangkapan oleh Aparat.
Dugaan Kasus
Status
Jefferson Rumajar
(Walikota
Tomohon non
aktif)
Korupsi dana APBD Kota
Tomohon periode 20062008 senilai Rp33,4 miliar
Menjadi
tersangka dan
ditahan KPK
(22/9/2010)
Yusak Waluyo
(Bupati Boven
Digoel, Papua)
Korupsi dana APBD Boven
Digul senilai Rp 119 miliar.
Divonis 4,5
tahun penjara
(2/11/2010)
Penyelewengan APBD
Divonis 15 tahun
(Kasasi MA
19/3/2012)
Suap penyertaan dana
APBD Tulang Bawang,
2006.
Divonis satu
tahun penjara
(15/11/2011)
Korupsi proyek mobil
pemadam kebakaran senilai
Rp 5,4 miliar.
Divonis 2tahun
penjara
(23/8/2011)
Satono ((Bupati
Lampung Timur,
non aktif)
Ismail Ishak
(Wakil Bupati
Mesuji, Lampung)
Ismeth Abdullah
(mantan
Gubernur
Kepulauan Riau)
55
Ibid., h. 298-299.
106
Keterangan
Dilantik di LP
Cipinang, Jakarta
(7/1/2011).
Menang dalam
pemilukada
saat berstatus
tersangka.
Dilantik
menjadi bupati
(7/3/2011)
Dilantik di
Rumah Tahanan
Manggala,
Lampung
(13/4/2011)
Dilantik di
Rumah Tahanan
Manggala,
Lampung
(13/4/2012)
Ditahan
Prayudi
Rusli Zainal
(Gubernur Riau)
Ismet Mile
(mantan Bupati
Bone Bolango,
Gorontalo)
Terdapat dua kasus:
Pertama, Dugaan KPK
terhadap dirinya yang
mengesahkan penebangan
hutan di Kabupaten Siak
dan Pelalawan, sehingga
merugikan negara
Rp334,7 miliar. Melalui
pengesahannya terkait
keputusan tentang Bagan
Kerja Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman tahun 2004,
maka 9 perusahaan
berwenang menebangi
kayu indah, meranti, dan
rimba campuran dengan
diameter pohon 10-30
sentimeter. Kebijakan
Rusli Zaenal bertentangan
dengan surat edaran
Kementerian Kehutanan
tentang Pembatalan Surat
Keputusan Izin Penebangan
Hutan di Riau, 5 Agustus,
2003.
Kedua, adalah kasus
dugaan korupsi PON Riau
XVIII. Meskipun dirinya
membantah, Diduga Rusli
Zaenal memerintahkan
Kepala Dinas Pemuda dan
Olah Raga Provinsi Riau,
menyuap anggota DPRD.
Dirinya sendiri dituduh
menerima uang Rp500 juta
dan adanya aliran dana Rp9
miliar bagi beberapa politisi
DPR.
Pengadaan barang proyek
pengendali banjir tahun
2008 senilai Rp 5,1 miliar
107
Tersangka.
Ditahan
Divonis 3,5
tahun penjara
(29/9/2011)
Ditahan
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Theddy
Tengko (Bupati
Kepulauan Aru,
Maluku)
Dituduh korupsi APBD
2006-2007 senilai Rp 42, 5
miliar.
Agus Riyanto
(mantan Bupati
Tegal, Jateng)
Pengadaan barang
pembangunan jalan lingkar
kota Slawi senilai 3,95
miliar.
Fahuwusa Lala
(mantan Bupati
Nias Selatan,
Sumut)
Mochtar
Mohammad
(mantan Bupati
Bekasi, Jabar)
Soemarmo
HS (Walikota
Semarang, Jateng)
Pengadaan barang yang
terkait percobaan suap
anggota KPU sebesar Rp
99,9 juta.
Pengadaan barang terkait
suap kepada anggota DPRD
senilai Rp 1,6 miliar, suap
untuk memenangkan piala
Adipura senilai Rp 500 juta
dan suap kepada anggota
BPK senilai Rp 400 juta.
Penyuapan terhadap
anggota DPRD terkait
penyusunan APBD 2012
sekitar Rp 5,2 miliar.
108
Di tingkat kasasi
MA, diberikan
vonis 4 tahun
penjara dan
denda sebesar
Rp 500 juta
subsider 6
bulan kurungan.
Theddy juga
diwajibkan
mengganti
kerugian negara
Rp 5, 3 miliar
atau subsider 2
tahun penjara.
Divonis 5,5
tahun penjara
(24/11/2011)
Sempat kabur
saat tim
Kejagung gagal
mengawalnya
di Bandara
Soekarno
Hatta, karena
intimidasi
50 orang
pendukungnya.
Ditahan
Divonis 2,5
tahun penjara
(17/1/2011)
Ditahan
Divonis 6
tahun penjara
(7/3/2012)
Ditahan.
Divonis KPK
(30/3/2011).
Ditahan.
Prayudi
Mohammad
Santoso (mantan
Bupati Bojonegoro
2003-2008)
Tindak pidana korupsi dana
APBD tahun 2007 senilai
Rp 6 miliar dan diganjar
hukuman 5 tahun penjara.
109
Berdasarkan
putusan kasasi
MA.
Dilakukan
pemanggilan
kedua oleh Kajari
Bojonegoro.
Santoso sempat
melayangkan
surat
permohonan
kepada Kejaksaan
Negeri setempat
yang meminta
penangguhan
penahanan,
dengan alasan
sakit. Tetapi
permohonan ini
ditolak.
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Syamsul Arifin
(mantan
Gubernur Sumut
dan mantan
Bupati Langkat)
Kasus korupsi APBD
Kabupaten Langkat yang
merugikan negara senilai
Rp 98,7 miliar dalam
penggunaan APBD 20002007
110
MA memvonisnya
dengan hukuman
enam tahun
penjara
Pada awal
November 2012,
Presiden SBY
memberhentikan
Syamsul Arifin
sebagai Gubernur
Sumatera
Utara (Sumut).
Pemberhentian
dilakukan
menyusul
keluarnya
putusan
Mahkamah
Agung terkait
kasus hukum
Syamsul.
Pemberhentian
itu tertuang
dalam Keputusan
Presiden
(Keppres) No
95 /P tahun
2012 tanggal 12
Oktober 2012.
Sedangkan
pertimbangan
hukum yang
dijadikan
landasan, yakni
tindak lanjut
Putusan MA
No 472 /K/Pid.
Sus/2012 tanggal
3 Mei 2012 yang
telah mempunyai
kekuatan hukum
tetap atas tindak
pidana korupsi.
Prayudi
John Manuel
Manopo (Mantan
Walikota Salatiga
2006-2011,
Jateng)
Penunjukkan langsung
proyek pembangunan jalan
lingkar selatan Salatiga,
senilai Rpm 49,6 miliar.
Agus Djunara
(Mantan Bupati
Tanggerang,
Banten)
Kasus penipuan uang
dan perhiasan terhadap
sejumlah orang dengan
kerugian sedikitnya Rp 18
miliar
Albert H Torey
(Bupati Teluk
Wondama, Papua
Barat)
Mengkonsumsi sabusabu seberat 0,89 gram di
rumahnya.
Status sebagai
tersangka pada
Juli 2012 dan
sejak November
2012 ditahan
Direktorat
Reserse Kriminal
Khusus Polda
Jateng.
Proyek jalan
lingkar itu
berdasarkan
audit dari Badan
Pengawasan dan
Pembangunan,
temuannya
adalah adanya
kerugian negara
senilai Rp12,2
miliar. Kasus ini
juga menyeret
istri walikota
Salatiga setempat
berikutnya,
Yulianto,
yaitu Titik
Kurnianingsih
yang telah
divonis 5 tahun
penjara.
Akhirnya
ditangkap polisi
setelah sempat
buron selama 2
tahun (2 Februari
2011).
Ditangkap polisi
pada 1 April
2011.
Sumber: “Pemerintahan Tidak Maksimal”, Kompas, 17 April 2012, dan “Pengadaan Barang Rawan Korupsi”,
Kompas, 18 April 2012 dan “John Manoppo Ditahan”, Kompas 14 November 2012.
Khusus pada kasus dugaan korupsi Bupati Kepulauan Aru, Maluku,
pemerintah pusat dianggap memiliki andil kesalahan, karena cenderung berteletele menyelesaikan masalah jabatan kepala daerah itu. Mendagri Gamawan
Fauzi justru mengaktifkan kembali Theddy Tengko sebagai Bupati Kepulauan
Aru, Maluku, bulan Oktober 2012, meskipun bupati bersangkutan sudah
divonis bersalah. Pengaktifan ini berlandaskan pada penetapan Pengadilan
Negeri Ambon yang menyatakan bahwa vonis kasasi Theddy Tengko tidak
dapat dilaksanakan, karena tidak mencantumkan soal eksekusi dalam putusan
itu. Keputusan Mendagri Gamawan Fauzi ini dapat dipersoalkan, karena MA
sudah mengkoreksi penetapan Pengadilan Negeri Ambon, sepekan sebelum
Theddy Tengko diaktifkan sebagai Bupati Kepulauan Aru. Dengan demikian,
111
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
vonis kasasi Theddy Tengko harus dieksekusi, meskipun dalam putusan kasasi
tidak dinyatakan secara eksplisit.
Dalam masalah korupsi yang melibatkan kepala daerah juga beberapa di
antaranya, adalah kasus yang melibatkan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak,
yang dihentikan proses penyidikannya oleh pihak Kejaksaan Agung. Langkah
ini diambil setelah selama hampir 3 tahun Kejaksaan Agung melakukan
proses penyidikan, dan akhirnya mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan
Perkara (SP3), dengan alasan tidak terdapat bukti yang cukup mengenai
keterlibatan Awang Farouk Ishak dalam kasus yang ditanganinya. Seperti
diketahui, Kasus dugaan korupsi pada divestasi saham PT Kaltim Prima Coal
(KPC) yang merugikan keuangan negara Rp576 miliar, saat dirinya menjabat
sebagai Bupati Kutai Timur (2002-2008). Awang Faouk Ishak ditetapkan
sebagai tersangka sejak 6 Juli tahun 2010, tetapi baru diperiksa Kejagung pada
tanggal 7 November 2012. Sempat berlarut-larutnya status tersangka yang
bersangkutan, dengan alasan belum keluarnya izin pemeriksaan dari Presiden,
sampai sebelum kemudian MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi
atas UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda, di mana syarat izin dari presiden
dimaksud dinyatakan dibatalkan Di samping, Awang Faouk, beberapa kasus
lainnya yang dihentikan proses penyidikannya dalam penanganan perkara
korupsi, padahal sempat ditetapkan sebagai tersangka, adalah terhadap
Ibrahim Agustinus Medah (Bupati Kupang), Sukawi Sutarip (mantan Walikota
Semarang), dan Rudi Arifin (Gubernur Kalsel).
Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah telah menyebabkan
terhambatnya program-program pembangunan daerah dijalankan dan
terganggunya birokrasi. Kondisi daerah mengalami kehilangan kendali dan
berjalan tanpa arah, mengingat kepemimpinan daerah menjadi lowong.
Meskipun terdapat pelaksana tugas gubernur, kebijakan strategis dan
pembangunan di daerah tidak dapat berjalan secara baik. Bahkan tidak
saja terkait kelembagaan dan aturan ketentuan yang menjadi kendala,
kondisi psikologis pejabat yang mengisi lowongnya jabatan kepala daerah
juga menjadi kendala tersendiri. Padahal, dalam kebijakan tertentu seperti
halnya penanganan izin investasi dan mutasi pegawai, diperlukan keputusan
definitif yang secara tepat dilakukan oleh pejabat berwenang. Misalnya antara
lain kasus mutasi pegawai, ketentuan dalam PP No. 49 Tahun 2008 entang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Pengganti Kepala Daerah Definitif. Dengan aturan itu, Plt. tidak
dapat memutasi pegawai tanpa izin Mendagri. Di samping itu, Plt. juga tidak
berwenang untuk membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan
pejabat sebelumnya, serta melakukan pembatalan izin.
112
Prayudi
Ironi yang berkembang di tingkat pemda dalam konteks demokratisasi di
daerah yang digerakkan, justru kadangkala membawa orang pada kilas balik
saat pemahaman stabilitas politik di daerah yang sangat kuat dikembangkan
dimasa sejarah awal kemerdekaan, terutama di era lima puluhan. Ruang
keterlibatan militer dijadikan persepsi tersendiri berkenaan dengan
kepentingan penegakkan stabilitas pemerintahan yang terjadi di tengah
pengalaman gejolak pemberontakan di tingkat lokal yang terjadi secara
cukup menyebar di Indonesia. Misalnya, saat diberlakukannya Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera yang memberikan mandat
kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syarifuddin Prawiranegara, pelaksana atas
kebijakan itu adalah Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dan Markas
Besar Komando Sumatera (MBKS). Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima
Komando Jawa menyatakan berlakunya pemerintahan militer di seluruh Jawa
dengan tujuan menyelamatkan Republik Indonesia. Dikeluarkan Instruksi
MBKD No. 1/MBKD/1948 tentang “instruksi bekerja pemerintah militer
seluruh Jawa” yang menetapkan landasan perjuangan: (1) Republik harus
tetap berjuang sebagai negara; (2) Pemerintahan harus berjalan terus; (3)
Pemerintahan militer adalah satu-satunya alat dan perjuangan, dengan
susunan sebagai berikut: (a) Panglima Besar Angkatan Perang (PBAP) sebagai
pimpinan tertinggi; (b) Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD) untuk
pimpinan di Jawa dan Madura; (c) Gubernur Militer (GM) untuk Provinsi,
di bawah Gubernur Militer itu ada sejumlah Sub Teritorium Militer (STM)
yang berkedudukan pararel dengan residen sebagai Kepala Keresidenan. Di
bawah STM ada Komando Distrik Militer (KDM), yang komandannya sejajar
dengan Bupati yang mengepalai Kabupaten. Satu tingkat di bawah Kabupaten
ada Komando Onder Distrik Militer (KODM) yang komandannya sejajar
dengan Camat yang mengepalai kecamatan. Adapun tugas pokok setiap
eselon adalah menyelenggarakan dan menghidupkan kembali seluruh aspek
pemerintahan yang meliputi bidang-bidang: pemerintahan umum, ekonomi,
kemasyarakatan, dan pertahanan. KODM sebagai eselon terendah merupakan
sendi kedaulatan de facto Republik dan bertanggungjawab atas pertahanan
semesta (total people’s defence) dengan tugas pokok: pertahanan de facto
militer, pertahanan de facto pemerintahan, dan pelaksana dalam rangka
pencapaian tujuan yang dibahasakan sebagai kesejahteraan rakyat.56
Di era reformasi dan pasca berjalannya pemerintahan daerah hasil
pemilukada, maraknya berbagai kasus kepala daerah hasil Pemilukada
terjerat dugaan korupsi, mengundang kritik dari berbagai kalangan justru di
tengah usaha menggerakkan demokratisasi di tingkat lokal. Salah satu kritik
56
Syamsul Maarif, Militer dalam Parlemen 1960-2004, Prenada, Jakarta, cetakan pertama,
2011, h. 72-73.
113
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
yang cukup keras datang dari Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Sebagaimana
diungkap oleh Rois Aam Syuriah Pengurus Besar (PB) NU, KH Sahal Mahfudz,
dalam pembukaan acara Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan
Konferensi Besar (Konbes) NU, di Pondok Pesantren (Ponpes) Kempek,
Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu silam, bahwa sistem pelaksanaan
pemilukada langsung yang tidak didahului dengan persiapan matang, telah
menimbulkan berbagai konflik horizontal. Pemilukada langsung berimplikasi
pada penggunaan politik uang (risywah siyasiyyah/money politics) yang sarat
meracuni moralitas bangsa. Pemilukada langsung dianggap tidak sesuai
dengan demokrasi Pancasila yang menekankan pada sistem permusyawaratan
dan perwakilan, bukan pada sistem one man one vote.57
Sebenarnya, pada beberapa kasus, Pemilukada tidak selalu berkorelasi
dengan intervensi politik kepala daerah terpilih dan lahirnya birokrasi pemda
yang korupsi. Kasus Kabupaten Kebumen, dengan Bupatinya saat itu yang
dijabat tokoh PDI P yang popular dimata publik secara nasional, Rustriningsih,
justru menekankan keterbukaan dan akuntabilitas dari birokrasi Pemda
setempat dalam menerima berbagai kritik dan masukan dari masyarakat.
Rustriningsih menjabat Bupati Kebumen hingga tahun 2005 dan terpilih
kembali sebagai bupati untuk periode 2005-2010, yang kemudian sebelum
selesai memimpin diperiode kepemimpinannya di Kebumen, mencalonkan diri
sebagai wakil gubernur dan memenangkan pemilukada Jateng ditahun 2009.
Pelaksanaan pertanggungjawaban Pemerintah Kabupaten Kebumen merupakan
implementasi dari pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Kebumen
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada
Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah kepada Masyarakat.58
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD yang telah
disetujui bersama dan Rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD
disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi. Proses evaluasi hanya selama
15 (lima belas) hari terhitung diterimanya rancangan dimaksud. Apabila hasil
evaluasi tentang Raperda APBD dan Raper Bupati tentang Penjabaran APBD
sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi,
maka bupati dapat menetapkan rancangan Perda dan peraturan bupati.
57
58
“NU Dukung Kepala Daerah Dipilih DPRD”, Suara Pembaruan 17 September 2012.
Amin Rahmannurasyid, “Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pertanggungjawaban
Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik di Daerah (Studi di
Kabupaten Kebumen”, dalam http.www. udip.ac.id./ diakses 10 September 2012.
114
Prayudi
Jika hasil evaluasi gubernur terhadap Raperda dan Raper Bupati dimaksud
menunjukkan adanya anggapan bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan yang lebih tinggi, maka DPRD dan Bupati menyempurnakan paling
lama 7 hari sejak diterima dan disampaikan lagi kepada gubernur. Apabila
hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti, maka gubernur dapat membatalkan
perda dan peraturan bupati sekaligus menyatakan berlakunya APBD tahuh
sebelumnya. Ketentuan ini batasan waktu dan prosedur yang harus lalui dalam
proses pembahasan dan hingga persetujuan Raperda APBD hingga menjadi
Perda, memang tergolong berat. Apalagi, dengan dikeluarkannya sejumlah
ketentuan baru yang mengatur tata cara penyusunan APBD, seperti halnya
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 yang kemudian diperkuat
dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP
No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintah dan Permendagri
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pada awalnya ternyata
memunculkan masalah teknis yang tidak sederhana dalam penyusunan
APBD. Pemda harus mengubah pendekatan dan cara dalam menyusun APBD
yang sebelumnya selalu mendasarkan pada target dan penyusunan anggaran
secara gelondongan tanpa perincian jelas, kepada cara atau sistem baru yang
menggunakan pendekatan kinerja, dengan rincian yang detail.59
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi,
mengatakan, pembangunan infrastruktur yang terganjal korupsi di sektor
birokrasi dan administrasi menyebabkan kualitas pembangunan infrastruktur
jalan buruk, cepat rusak, dan berujung rendahnya daya saing produk
Indonesia. Indeks tata kelola daerah menunjukkan infrastruktur daerah
menjadi kendala terbesar bagi aktivitas usaha.60 Sementara itu, dari analisis
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), tercatat bahwa
pemerintah provinsi meningkatkan anggaran belanja di bidang infrastruktur.
Ironisnya, peningkatan anggaran tidak diikuti dengan peningkatan proporsi
anggaran secara signifikan bagi peningakatan infrastruktur. Beberapa kasus
menunjukkan, adanya penyalahgunaan belanja pemerintah, khususnya
pengadaan barang dan jasa, yang merupakan bentuk korupsi paling banyak di
daerah yaitu sebesar 70 persen. Korupsi setidaknya menurunkan nilai proyek
konstruksi pada kisaran 5-20%.61
Terkait masalah anggaran daerah pula, data Kementerian Keuangan,
menunjukkan bahwa, APBD yang mengendap di Bank pada akhir tahun 2002
59
60
61
La Bakri, “Menelusuri Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Penetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota”, Jurnal Ilmu Pemerintahan
Edisi 39, Tahun 2009, h. 101.
“Infrastruktrur Terkendala Korupsi”, Kompas 18 September 2012.
Ibid.
115
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
dan akhir tahun 2009 masing-masing senilai Rp22.18 triliun dan Rp59,81
triliun. Per akhir Desember 2011, nilainya meroket menjadi 80,4 triliun,
dengan rincian Rp13,12 triliun, di simpanan berjangka, Rp45,77 triliun di
rekening giro, dan Rp919 miliar di tabungan.62 Anggaran yang mengendap
di bank sampai akhir tahun tersebut pada dasarnya adalah dana yang tidak
terserap sehingga menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa). Pada
umumnya, dana ini merupakan belanja modal yang mayoritas diperlukan
untuk pembangunan infrastruktur di daerah. Direktur Eksekutif Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng,
menilai, banyaknya dana yang mengendap di bank tidak merupakan cermin
efisiensi pemerintah daerah, karena hal itu lebih disebabkan oleh rendahnya
kapasitas penyerapan anggaran oleh birokrasi pemda. Berarti, sama sekali
bukan kemampuan pemerintah daerah dalam mengefisienkan pengeluaran
dengan bentuk output yang sama. Di samping faktor ketidakcakapan mengelola
anggaran, bersarnya endapan anggaran di bank memang disengaja birokrasi
pemda untuk memperoleh bunga bank. Persoalannya, bunga ini justru tidak
jelas nasibnya, apakah nantinya akan kembali ke kas pemda, atau sebaliknya.
Silpa, menurut Robert Endi Jaweng, adalah istilah yang menyesatkan
karena bukan hasil efisiensi, tetapi lebih merupakan “penyunatan” atas hak
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik pada tahun berjalan.63
Dana pembangunan menjadi tertunda realisasi proyeknya, atau bahkan
mungkin tidak akan pernah digunakan untuk pembangunan setempat.
Sekjen Fitra, Yuna Farhan, menilai, anggaran daerah yang mengendap di
bank menjadi alat subsidi birokrasi dan memangkas hak rakyat. Mayoritas
anggaran daerah yang tidak terserap dan akhirnya mengendap di bank adalah
belanja modal. Setelah menjadi sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa)
anggaran itu masuk ke dalam struktur pembiayaan pada APBD berikutnya.
Persoalannya, anggaran itu umumnya digunakan untuk belanja operasional
birokrasi. Artinya, terjadi pengalihan peruntukan dari yang awalnya untuk
belanja modal menjadi belanja pegawai. Belanja pegawai tidak semuanya
dapat dipenuhi melalui Dana Alokasi Umum (DAU), karena DAU hanya mampu
menjawab kebutuhan gaji pegawai yang menjadi salah satu komponen belanja
pegawai. Sehingga, komponen di luar gaji dimaksud, seperti halnya biaya
operasional, akan menggunakan sumber dana lainnya. Dalam hal ini adalah
Silpa.64
Terkait persoalan anggaran pula, kadangkala penanganan masalah
di daerah justru terhambat program penanganan atau solusinya justru
64
62
63
“Dana Pembangunan di Bank”, Kompas, 8 Oktober 2012.
Ibid.
“Birokrasi Disubsidi”, Kompas, 9 Oktober 2012.
116
Prayudi
oleh ketentuan yang berlaku. Hal ini bahkan, terjadi bagi DKI Jakarta yang
dihadapkan pada persoalan pelik terkait penanganan banjir. Banjir di Jakarta
akibat tersumbatnya sungai di sejumlah wilayah tidak dapat diatasi oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga akhir tahun 2012. Kondisi ini terjadi
karena Pemprov DKI tersandera oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Sesuai aturan itu, Dinas
Pekerjaan Umum Pemprov DKI menghentikan proyek pemeliharaan sungai
sejak terjadi pergantian Gubernur DKI Jakarta. Padahal, pada saat bersamaan
curah hujan di wilayah hulu mengalami peningkatan tajam.
Terdapat beberapa ketetuan mengenai kontrak tahun jamak (multi
years), sebagaimana tertuang dalam Pasal 54A Permendagri No. 21 Tahun
2011. Salah satu ketentuan yang menjadi hambatan penyelesaian kasus
penanganan masalah di lapangan itu bagi Pemda, adalah mengenai jangka
waktu penganggaran kegiatan tahun jamak yang tidak boleh melampaui akhir
tahun masa jabatan kepala daerah saat berakhir. Khusus bagi DKI Jakarta, salah
satu proyek tahun jamak yang harus terhenti adalah pemeliharaan layanan
kebersihan sungai. Proyek ini tidak berlanjut sejak jabatan Gubernur Fauzi
Bowo berakhir mulai 7 Oktober 2012.65 Proyek ini seharusnya dikerjakan
mulai Juli 2012 sampai Juni 2013. Namun, Kepala Pusat Penerangan Kemdagri,
Reydonnyzar Moenek menganggap Permendagri itu seharusnya ditafsirkan
bahwa kasus DKI Jakarta yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada
pertengahan tahun 2012, program tahun jamak berakhir tanggal 20 Desember
saat tahun anggaran 2012 berakhir. Sehingga, hal ini tidak menjadi masalah,
sisa program tahun jamak itu dapat dilanjutkan pada tahun anggaran berikut
sebagai program tahun tunggal. Kelanjutan proyek tersebut masuk dalam
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Lanjutan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(DPALSKPD). Permendagri ini justru dianggap sebagai langkah penting untuk
mencegah kepala daerah yang menjabat lebih dulu menghabiskan anggaran.
Dikhawatirkan anggaran sudah habis ketika kepala daerah berikut masih
harus melanjutkan program tersebut.
Terkait sejumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi, tampaknya
pemerintah pusat masih menggunakan retorika politik semata dan belum
mengambil langkah substansial atas kasus politik korupsi pemilukada yang
dapat menyandera birokrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan publik
sempat. Setidaknya, pernyataan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin
Pasha, menggambarkan penggunaan retorika politik yang jauh dari usaha
penyelesaian potensi sandera pelayanan kebutuhan publik dimaksud di
65
“Solusi Banjir Tersandera Aturan’, Kompas, 28 November 2012.
117
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
tingkat lokal. Menurutnya, sikap Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan
adalah tegas dan siapapun harus taat pada hukum. Presiden mempersilakan
lembaga penegak hukum memproses siapapun yang dianggap perlu memenuhi
kewajiban dalam proses hukum. Sebagaimana diketahui telah banyak izin
yang dikeluarkan dan ditandatangani Presiden untuk pemeriksaan kepala
daerah karena Presiden menghormati persamaan di depan hukum.66
Beberapa daerah, seringkali menunjukkan lemahnya dukungan
kelembagaan kerja KPUD dan Panwas pemilukada yang ironisnya justru
sebenarnya secara legalitas dan posisional kuat setelah lahirnya UU No.
22 Tahun 20007 yang kemudian direvisi dengan UU No. 15 Tahun 2011.67
Realitas posisi kepala daerah dan jajaran birokrat pemerintahan lokal yang
dapat menentukan proses penyelenggaraan Pemilukada diletakkan pada
kewenangannya yang justru dapat menjangkau setiap segmen masyarakat
di daerahnya. Berbagai organisasi kemasyarakatan dapat menjalin kegiatan
dengan dukungan fasilitasi birokrasi pemda, yang tidak lain adalah
kepanjangan tangan kepentingan kepala daerah bersangkutan. Meskipun,
kadangkala antar kepala daerah dan wakilnya justru saling bersaing untuk
memperoleh simpati dari organisasi kemasyarakatan dan bahkan wadah
komunitas setempat, tetapi pada dasarnya birokrasi pemda sukar mengelak
dari pemanfaatan kepentingan politik kekuasaan. Hal ini semakin diperkuat
oleh kuatnya budaya paternalisme bagi masyarakat daerah yang memandang
birokrasi menjadi segalanya bagi proses perbaikan kehidupannya. Kuatnya
sentimen emosional etnisitas dan agama berjalin dengan kepentingan
ekonomi dalam proses persaingan pemilukada. Konteks jalinan ikatan politik
yang menjadi faktor-faktor terhadap warna persaingan pemilukada, tetap
signifikan pengaruhnya ketika birokrasi harus menjalankan perannya dalam
hal pelayanan publik. Signifikansi pengaruh ini tetap penting diperhatikan di
tingkat lokal, meskipun di tingkat nasional dalam pemilu justru menunjukkan
perkembangan yang sebaliknya. Hasil penelitian dari Saiful Mujani, R. William
Liddle, dan Kuskridho Ambardi, misalnya, menunjukkan bahwa dengan
66
67
“Amran Laporkan Dugaan Politik Uang”, dalam Op.cit.
Salah satu yang semakin diperkuat dalam struktur kelembagaan KPU dan Bawaslu
demikian pula terhadap KPU Provinsi/Kabupaten/Kota dan Panwaslu adalah sifat
hirarkisnya sebagai penyelenggara pemilu, melalui perubahan Undang-Undang ini. Hal
ini dipertegas oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2011, bahwa: “KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota bersifat hirarkis.” Di samping itu, keberadaan Bawaslu di
tingkat Provinsi, yang sebelumnya masih bersifat ad hoc, kini menjadi bersifat tetap atau
permanen. Persoalan bahwa sifat permanen terhadap keberadaan Bawaslu di tingkat
provinsi membawa konsekuensi semakin membengkaknya anggaran negara, adalah tentu
menjadi persoalan lain di tengah keinginan memperkuat kelembagaan pengawas pemilu
dan pilkada.
118
Prayudi
mempertimbangan faktor-faktor religiusitas, efek variabel agama, etnis, dan
suku bangsa cenderung kurang signifikan pengaruhnya bagi perilaku pemilih
dalam pemilu anggota legislatif, dan semakin menurun pengaruhnya ketika
pemilu presiden diselenggarakan pada tahun 2009.68
Padahal, disebutkan:
“Dalam tradisi riset tentang perilaku memilih di Indonesia, agama merupakan
faktor yang paling sering dibicarakan dalam hubungannya dengan pilihan
politik. Agama dipercaya sebagai faktor yang penting dalam membentuk
pilihan warga. Keyakinan ini mempunyai akar kesarjanaan sangat panjang,
setidaknya sejak Indonesia masih dalam proses pembentukan pada awal
abad ke 20. Pembelahan politik sering dikaitkan dengan perbedaan agama
atau keberagamaan. Di awal gerakan kemerdekaan muncul sejumlah
organisasi gerakan yang bertumpu pada agama versus yang secular atau
kebangsaan. Serikat Dagang Islam (SDI) dan kemudian Sarekat Islam muncul
di satu pihak tetapi di lain pihak lahir juga Boedi Oetomo dan Indische
Partij yang sekuler. SI membesar tetapi kemudian pecah, dan perpecahan
ini di antaranya dikarenakan perbedaan orientasi keagamaan di antara
pemimpinnya.“69
Dalam rangka mengurangi terjadinya manipulasi pemilukada, Panwas
melalui keinginan partisipasi publik sudah mencoba untuk mengatasinya.
Salah satu di antaranya, ketika menjelang putaran kedua pemilukada DKI
20 September 2012. Saat itu, Panwas Pemilukada DKI Jakarta menggandeng
Forum elektronik-Demokrasi Jakarta, yang menyelenggarakan tabulasi suara
elektronik. Dengan sistem ini, partisipasi warga diperlukan untuk mengawal
perolehan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Melalui sistem ini, setiap
warga dapat memotret hasil penghitungan suara dan mengirimkan ke alamat
situs www.fedjakarta.org. Bagi pengguna ponsel pintar, terdapat aplikasi
khusus yang dapat diunduh dan memungkinkan pengiriman data secara
langsung. Hal ini menjadi sumber data dalam bentuk e-TSP yang dapat dilihat
melalui jaringan internet, televisi, ataupun aplikasi telepon genggam. Data
e-TSP tidak dimaksudkan untuk mendahului hasil rekapitulasi suara KPU
Jakarta. Sehingga di satu sisi, data dari TPS itu tidak dijumlahkan, tetapi di sisi
lain, langkah ini dilakukan untuk mengindari kecurangan dan memastikan
penghitungan suara pemilih tidak dimanipulasi.70
68
69
70
Satu hal penting dalam faktor yang dipertimbangkan adalah mengenai variable tingkat
pendidikan, lihat lebih lanjut Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi,
Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden
Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Mizan, Bandung, 2011, h. 188- 217.
Ibid., h. 185.
“Panwas dan Fed Adakan e-TSP”, Kompas, 3 September 2012.
119
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Setidaknya, akar yang tertanam kuat dari peran birokrasi dalam
pembangunan politik, membawa persepsi bagi masyarakat daerah untuk
memandang proses penyelesaian berbagai masalah publik lokal menjadi
sangat bersifat personal hirarkis tingkat dependensinya terhadap birokrasi
pemda. Sementara itu, inisiatif masyarakat sipil di tingkat lokal cenderung
masih kurang mampu mengimbangi proses pemanfaatan birokrasi sebagai
instrumen kekuasaan elitnya melalui keterlibatan dalam advokasi kebutuhan
dan kegiatan kemasyarakatan.
Pertimbangan atas peran birokrasi pemda terhadap masih tingginya angka
kemiskinan dan pengangguran di daerahnya, juga memformulasikan pemilukada
hanya sekedar ajang untuk saling mencari peluang dalam membagi-bagi
jatah ekonomi tertentu kepada masyarakat. Hal ini menyuburkan tumbuhnya
politik uang (money politics) yang justru menguatkan ketergantungan
posisional birokrasi terhadap dinamika pemilukada, di mana figur kepala
daerah mempunyai peluang besar dalam mewarnai ketergantungan posisional
birokrasi tersebut.
Konsekuensi atas masih lemahnya kinerja birokrasi Pemda dalam
menggerakkan pembangunan daerah setempat, semakin tampak ketika
ukuran kesejahteraan rakyat diletakkan pada tingkat kemajuan di daerahdaerah hasil pemekaran. Momentum pemilukada yang digunakan untuk
meraih kekuasaan bagi elit lokal tidak berjalan pararel dengan berbagai
perbaikan atau pembenahan di daerahnya sebagaimana saat berkuasa
dibandingkan dengan saat janji kampanye. Evaluasi Kemendagri terhadap 57
daerah pemekaran selama 1999-2010 menunjukkan sebanyak 78 persen gagal
mensejahterakan rakyatnya. Evaluasi yang dilakukan pada tahun 2011 lalu,
itu terutama difokuskan pada usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan
kualitas hidup dan pelayanan publik bagi daerah-daerah hasil pemekaran.71
Ranking
Provinsi
1.
2.
3.
Kabupaten
1.
71
Tabel 6.
Penilaian terhadap Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Daerah
Kesejahteraan
Rakyat (30%)
Maluku Utara
14,16
Dharmas Raya,
Sumbar
20,59
Gorontalo
Kep. Babel
19,76
18,20
Good
Governance
(25%)
13,82
Pelayanan
Publik
(25%)
Total Skor
10,37
18,33
16, 67
55,88
19,28
9,64
59,3
16,20
7,34
51,30
49,64
“78% Daerah Pemekaran Gagal Sejahterakan Rakyat”. Media Indonesia 30 Agustus 2012.
120
Prayudi
2.
3.
Kota
1.
2.
3.
Bangka Tengah
Kep Babel
19,60
19,47
14,40
59,18
Banjarbaru, Kalsel
21, 79
20,77
13,48
64,61
Samosir, Sumut
Cimahi, Jabar
Singkawang,
Kalbar
19,38
20,72
21,42
13,94
15,85
15,44
15,56
16,07
16,08
58,52
60,43
58,12
Sumber: “78% Daerah Pemekaran Gagal Sejahterakan Rakyat”.” Media Indonesia, 30 Agustus 2012.
Pemekaran daerah dijadikan ajang untuk test case dalam rangka memenuhi
ambisi elit politik yang gagal mewujudkan keinginannya ketika suatu daerah
belum dilakukan pemekaran. Dengan alasan tertentu, misalnya rentang
kendali pemerintahan, bisa saja mendorong menjadi alasan bagi lahirnya
daerah dimaksud sebagai hasil pemekaran. Kasus tersendatnya keinginan bagi
pembentukan Provinsi Cirebon, misalnya, menunjukkan kesan ambisi selintir
elit dan alasan kepentingan pelayanan publik, serta peningkatan kesejahteraan
warganya. Menurut Ketua Umum Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon,
Nana Sudiana, kajian untuk pembentukan Provinsi Cirebon pernah dilakukan
oleh Kemdagri, dan hasilnya wilayah III Cirebon yang mencakup Kota dan
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, telah
dianggap memenuhi persyaratan bagi ke a rah pemekaran daerah atau terpisah
dari Provinsi Jabar. Namun pemekaran ini masih terhambat karena belum
memperoleh dukungan administratif dari provinsi induknya dimaksud, yaitu
Provinsi Jabar. Di samping itu, dukungan dari wilayah yang akan digabung di
Provinsi Cirebon sendiri belum ada. Misalnya, bupati di lima wilayah di Cirebon
untuk mewujudkan Provinsi Cirebon. Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda
dan Bupati Majalengka, Sutrisno pernah menolak usulan pembentukan Provinsi
Cirebon. Sedangkan Bupati Indramayu, Anna Sophanah dianggap belum
menyatakan sikap atas keinginan itu.72 Adapun suami dari Ana Sophanah, yang
tidak lain juga mantan Bupati Indramayu dan menjadi kandidat Pemilukada
Gubernur Jabar 2013, Irianto MS Syafiuddin, tampaknya menjadi jembatan
dalam rangka percepatan terwujudnya pemekaran daerah bagi terbentuknya
Provinsi Cirebon. Kalkukasinya saat itu, perwujudan keinginan politik ini
menjadi penting saat Irianto MS Syaifuddin mampu memenangkan Pemilukada
Gubernur Jabar. Irianto MS Syaifuddin (Yance) sendiri sempat dilaporkan oleh
LSM Lumbung Informasi Rakyat (Lira) terkait dugaan ijazah palsu saat proses
pencalonannya. Proses ini, terutama di tahapan pendaftaran, dianggap terjadi
pemalsuan ijazah, dan Lira mengganggap perlu bagi Panwaslu Jabar agar
72
Pemekaran Daerah: Jangan Utamakan Kepentingan Politis”, Kompas, 3 Desember 2012.
121
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
memverifikasi keabsahan pendidikan Yance sejak sekolah dasar (SD), meskipun
sebelumnya Yance dituding memiliki ijazah palsu mulai strata satu (S1) hingga
strata tiga (S3).
Pemekaran daerah dalam kerangka usulan pembentukan Provinsi Cirebon
mengundang kontroversi, karena dianggap kurang memperhatikan prasyarat
daya dukung lingkungan, terutama tata air dan kondisi kawasan lindung.
Wilayah pantai utara Jabar, termasuk Cirebon dinilai tergolong kurang memiliki
sumber air yang memadai dan minim dengan kepemilikan hutan lindung.
Menurut Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS),
Sobirin Supardiono, secara geografis, jika Cirebon dimekarkan menjadi
Provinsi, dengan proyeksi lima daerah otonom, yaitu Kabupaten Indramayu,
Majalengka, Kuningan dan Cirebon, maka wilayah ini akan mengalami
kesulitan air. Kalau musim kemarau, sebaliknya, wilayah ini berpotensi
terjadi defisit air. Sedangkan, di musim hujan akan mudah mengalami banjir.
Apalagi Kabupaten Kuningan dan Majalengka, belum sepenuhnya mendukung
pemekaran Cirebon. Pemerintah Kabupaten Kuningan menolak wacana
pembentukan provinsi Cirebon, karena dianggap kalau daerah pemekaran ini
dibentuk, maka Kuningan bersikukuh akan menjadi bagian dari Jabar. Bupati
Majalengka, Sutrisno meminta para pemrakarsa pemekaran daerah ini tidak
mengkaitkan keinginan pembentukan provinsi Cirebon dengan Majalengka.73
Sebagai akibat dari kasus-kasus kegagalan di beberapa daerah hasil
pemekaran, cukup kuat desakan politik agar pemerintah melakukan
penggabungan daerah-daerah tersebut. Kinerja pemerintahan setempat yang
buruk mengakibatkan gagalnya tujuan pemekaran bagi upaya peningkataan
kesejahteraan rakyat, daya saing, dan dukungan kualitas pelayanan
publik. Langkah agar dilakukan penggabungan semacam ini, dianggap
semacam hukuman bagi daerah otonom baru yang gagal mewujudkan janji
kesejaheraan publiknya. Penghapusan dan penggabungan daerah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penggabungan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Otonom. Dalam Pasal 22 PP
tersebut disebutkan, daerah otonom dapat dihapuskan jika dinyatakan tidak
mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Setelah dihapus, daerah otonom
itu dapat digabung dengan daerah otonom lainnya.
Catatan Dirjen Otonomi Daerah, Kemdagri, Djohermansyah Djohan,
menunjukkan bahwa, pembentukan daerah otonom baru secara massif
dari tahun 1999 hingga akhir tahun 2009, telah menghadirkan 205 daerah
otonom baru yang terdiri atas 7 provinsi (22 persen), 164 kabupaten (70
persen), dan 34 kota (57 persen). Dari hasil evaluasi kinerja daerah otonom
73
“Perhatikan Tata Air di Cirebon, Kompa,s 12 Desember 2012.
122
Prayudi
baru tersebvut, tercatat sekitar 80 persen di antaranya adalah berkinerja
buruk, serta beberapa daerah di antaranya dianggap gagal. Walaupun sejak
akhir tahun 2009 diterapkan kebijakan moratorium pembentukan daerah
otonom baru oleh pemerintah, namun hingga awal tahun 2012, kementerian
Dalam Negeri kembali telah menerima sebanyak 183 usulan pembentukan
daerah otonom baru, baik yang diusulkan oleh pemerintah daerah, maupun
yang mengatasnamakan aspirasi masyarakat, meliputi terdiri dari 33 usulan
provinsi baru, 133 kabupaten baru dan 17 kota baru. Otonomi daerah juga
telah memberikan dorongan terhadap perkembangan perekonomian daerah,
seiring dengan meningkatnya kewenangan pengelolaan keuangan negara
oleh pemerintah daerah, dari sebelumnya hanya 4 persen, pasca otonomi
daerah telah meningkat hingga mencapai 20 persen. Menurut Djohermansyah
Djohan pula, bahwa terdapat 1/3 dari alokasi jumlah keseluruhan dana APBN
juga telah dikucurkan ke daerah melalui kebijakan dekonsentrasi atau artinya
sekitar 2/3 dana APBN telah dikelola oleh pemerintah daerah.74
Birokrasi pemda menjadi tataran pemerintahan yang disorot oleh
publik tidak saja terkait potensi politik kepala daerah atau wakilnya
dalam menggunakan sebagai instrumen kekuasaan, tetapi juga berkenaan
dengan kebijakan promosi aparatnya yang justru dianggap bertentangan
dengan upaya pemberantasan korupsi. Kasus promosi Azirwan menjadi
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan adalah salah satu kontroversi bagi
publik terhadap kebijakan birokrasi Pemda dalam titik perbenturan
pemerintahan dan langkah pemberantasan korupsi dimaksud. Titik benturan
pemerintahan tersebut tidak hanya dalam konteks penegakan hukum
dalam arti menegakkan hukum pidana tapi juga penegakan hukum dalam
ranah hukum administrasi. Azirwan, terpidana kasus korupsi, yang terbukti
menyuap anggota DPR (waktu itu) Al-Amin Nasution dalam alih fungsi hutan
lindung di Pulau Bintan Sumatra tahun 2008. Saat itu Azirwan menjabat
Sekda Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Majelis hakim Pengadilan
Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana penjara 2 tahun 6 bulan, dan denda Rp
100 juta subsider 3 bulan kurungan.` Setelah bebas, Azirwan dipromosikan
menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.
Terkait sorotan banyak pihak, Azirman akhirnya memilih mundur dan sehari
sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, bahwa Azirwan mundur
dari jabatannya secara sukarela.75 Mendagri Gamawan Fauzi juga pernah
menjanjikan saat itu bahwa dirinya akan mengeluarkan surat edaran berupa
74
75
Djohermansyah Djohan, “Arah RUU Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Mewujudkan
Pembangunan Yang Inklusif, Transparan, Berkelanjutan, dan Mencegah KKN”, makalah
dalam Diskusi Pokja Otonomi Daerah di Harian Kompas, Jakarta 7 November 2012.
Hifdzil Alim, Cara Menghargai PNS Bersih”, Suara Merdeka 25 Oktober 2012.
123
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
himbauan agar pejabat pemda yang pernah tersandung kasus hukum untuk
nantinya tidak dipromosikan dalam jabatan birokrasi. Bahkan, Mendagri
Gamawan Fauzi, berjanji mengusulkan penyempurnaan aturan promosi
pejabat kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi. Syarat pengangkatan PNS dalam jabatan struktural akan ditambah
etika dan moral. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 100 tahun 200 tentang
Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, diatur beberapa syarat PNS yang
akan dipromosikan. Selain memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang
ditentukan serta mempunyai kompetensi yang diperlukan calon pejabat juga
harus memperoleh penilaian prestasi kerja baik setidaknya dalam dua tahun
terakhir. Seorang pejabat yang dipenjara akibat dinyatakan terbukti korupsi
jelas tidak memenuhi unsur prestasi dan penilaian baik.76
Dengan pengunduran pejabat itu, saat ini masih ada 8 bekas terpidana
korupsi yang menjabat kepala dinas di Pemprov Kepulauan Riau. Terkait
Azirwan, sebelumnya Gubernur HM Sani justru pernah mengatakan, Azirwan
sosok yang memiliki kemampuan mengelola Dinas Kelautan dan Perikanan.
Karo humas pemprov Riono menambahkan Azirwan dinilai berperilaku
baik dan berprestasi oleh pimpinan.77 Padahal, ketentuan tentang Ketentuan
hukum yang mengatur PNS, salah satunya adalah UU Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Perihal pemberhentian PNS diatur dalam Pasal 23 UU Nomor
43 Tahun 1999. Pasal 23 terdiri atas lima ayat yang bernorma pilihan, wajib
bersyarat, dan/ atau wajib. Sifat pilihan tertera dalam Ayat (2), (3), dan (4).
Adapun Ayat (1) dan (5) bersifat wajib.
Kasus-kasus pejabat yang bermasalah secara hukum, memang berkembang
dibeberapa daerah. Misalnya, di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.
Tercatat bahwa di kabupaten tersebut ada lima bekas terpidana menjadi
kepala dinas, kepala lembaga, dan kepala badan. Mereka adalah Kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Dinas Pertanian
dan Perkebunan Dedy ZN, Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dan
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Praja Togi Simanjuntak.
Beberapa kepala daerah di Jawa Tengah menjadi tersangka dan terdakwa
kasus korupsi. Di samping Walikota Semarang, Soemarmo HS yang menjadi
terdakwa kasus dugaan suap kepada DPRD Kota Semarang, juga Bupati
Rembang M Salim menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD
Kabupaten Rembang. Menurut data Komite Penyelidikan dan Pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Bupati Rembang M
76
77
Ibid.
Ibid.
124
Salim saat ini adalah tersangka dalam kasus dugaan korupsi Penyimpangan
Penyertaan Modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya dari APBD 2006 dan
2007 senilai Rp5,2 miliar dan pernah disidik oleh Polda Jateng. Kasus lainnya,
adalah Wakil Bupati Jepara, Subroto yang terjerat masalah hukum, terkait
jual beli tanah di kota Semarang dan pernah diproses hukum oleh Kepolisian
Resor Kota Besar Semarang serta menjadi tersangka setelah dilaporkan Ketua
Yayasan Pendidikan Kesatrian Semarang, H. A. Soetarto Hadiwinoto. 78
Demikian halnya, di Kota Surabaya, Provinsi Jatim, Sekretaris Kota
Surabaya Sukamto Hadi dan Asisten II Pemerintah Kota Surabaya Muhlas
Udin sempat aktif dijabatan masing-masing. Kedua orang ini bersama Wakil
Ketua DPRD Surabaya, Musyafak Rouf dan Kepala Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Surabaya, Purwito, diputus
bebas oleh Pengadilan Surabaya, 21 Oktober 2009. Musyafak yang pernah
menghuni LP Kelas 1 Porong sejak 29 Mei 2012, sempat menjabat sebagai
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya. Menurut anggota DPRD Kota Surabaya,
saat itu, Maduki Thoha dari FKB, perlakuan terhadap Musyafak cenderung
diskriminatif, karena tiga tersangka lainnya tidak diutak atik. 79
Secara keseluruhan jumlah pejabat daerah yang bermasalah dengan
kasus hukum adalah sangat fantastis. Tercatat ada 1091 pejabat yang sudah
dilaporkan kepada Kemdagri. Semua pejabat birokrat ini berbeda-beda status
hukumnya. Sebanyak 173 orang masih dinyatakan sebagai tersangka, 105
orang sudah diajukan ke persidangan sebagai terdakwa, 767 orang lainnya
sudah menjadi terpidana. Adapun 46 orang masih berstatus sebagai saksi.80
Nama
Beberapa Mantan Koruptor Yang Menjadi Pejabat Daerah
Yan Indra
Raja Faisal Yusuf
Senagip
Yusrizal
80
78
79
Kasus Hukum/Vonis
Promosi Jabatan
Korupsi pembangunan
gedung serba guna Tanjung
Pinang, divonis 2,5 tahun
penjara.
Kepala Badan Pelayanan
dan Perizinan Terpadu,
KotaTanjung Pinang
Korupsi pembebasan lahan
untuk PT Saipem Indonesia
tahun 2007. Divonis 1,5
tahun penjara
Korupsi dana bagi hasil
migas Kedua divonis 30
bulan penjara.
Kepala Dinas Pemuda
dan Olahraga, Kabupaten
Karimun.
Kepala Badan Keselamatan
Bangsa, Kabupaten Natuna
Kepala Dinas Pariwisata,
Kabupaten Natuna.
“Bersihkan Pemerintahan”, Kompas, 5 November 2012.
Ibid.
“Pejabat Bermasalah Terus Bertambah”, Kompas 28 November 2012.
125
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Iskandar Ideris
Dedy ZN
Togi Simanjuntak
Jabar Ali
Korupsi pembangunan
dermaga Rejai
Korupsi pencetakan sawah
di Singkep Barat. Keduanya
divonis 16 bulan penjara
Korupsi pembangunan
gedung di Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olahraga,
Lingga, Divonis 20 bulan
penjara.
Kepala Dinas Pekerjaan
Umum dan Perhubungan,
Kabupaten Lingga
Kepala Dinas Pertanian dan
Perkebunan, Kabupaten
Lingga.
Kepala Satpol Pamong Praja,
Kabupaten Lingga
Kepala Badan Arsip dan
Perpustakaan, Kabupaten
Lingga.
Dipidana dalam kasus
penyelewengan dana
asuransi pegawai senilau Rp
860 juta pada tahun 2008.
Kepala Bidang Tata
Pemerintahan Sekretaris
Daerah, Kabupaten Lingga.
Imran Chalil
Korupsi dana darurat sipil
dan divonis 2 tahun penjara.
Kepala Biro Umum dan
Perlengkapan Pemerintah
Provinsi Maluku Utara
Mansyur T
Korupsi dana alokasi khusus
di vonis 20 bulan penjara
Arief Armayin
Korupsi pembangunan
keratin kesultanan Jailolo di
Kabupaten Halmahera Barat,
divonis 1 tahun penjara.
Hakim Fatsey
Korupsi dana alokasi khusus
pendidikan 2006. Divonis 1
tahun penjara.
Badoar Hery
Rusdi Ruslan (telah
mengundurkan diri)
Korupsi pembangunan
saluran air (drainase) di
Nongsa, Batam) ketika
menjabat
Diangkat sebagai Kepala
Bidang Perencanaan Fisik,
dan Prasarana Bappeda Kota
Batam) oleh Walikota Batam
Diangkat oleh Bupati Majene
Kalma Hatta sebagai Kepala
Badan Daerah Kabupaten
Majene
Diangkat oleh Gubernur
Maluku Utara Thaib Armayin
menjadi Kepala Badan
Penanggulangan Bencana
Maluku Utara.
Ditunjuk oleh Bupati Buru
Ramly Umasugi sebagai
Pelaksana Tugas Kepala
Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Buru.
Sumber: “Rasa Malu Para Pejabat Menipis”, Kompas 25 Oktober 2012 dan “Bersihkan Pemerintahan”,
Kompas, 5 November 2012.
126
Prayudi
Usaha menciptakan pemerintah yang bersih ternyata menghadapi tantangan
berat. Buktinya, sebagian dari ratusan PNS yang divonis bersalah karena kasus
korupsi justru masih aktif sebagai PNS, bahkan dipromosikan menduduki
jabatan eselon II di provinsi/kabupaten/kota. Bahkan, Mendagri Gamawan Fauzi
mengatakan, jumlah pejabat yang bekas terpidana korupsi jumlahnya sangat
fantastis. Menurutnya, data sementara pihak Kemdagri, saat itu mencatat, 153
orang dalam lima tahun berjalan (2007-2012), PNS yang masuk penjara karena
kasus korupsi dan dari jumlah ini pihaknya masih melakukan update terkait
data-data terkait, termasuk apakah mereka mengalami promosi atau tidak.81
Padahal, terdapat beberapa ketentuan hukum dan larangan bagi para pejabat yang
melakukan korupsi. Misalnya, mengenai di Pasal 5 Undang-Undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, bahwa: “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak
melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kemudian, di Pasal 23 ayat
(4) Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa: “PNS diberhentikan dengan
hormat karena dihukum penjara yang ancaman hukumannya empat tahun atau
lebih dan melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.” Selanjutnya, di Pasal 5
Undang-Undang No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan
Struktural, bahwa: “Persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural,
antara lain prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik selama dua tahun
terakhir.” Di samping itu, terdapat Surat Edaran Mendagri No. 800/4329/SJ
tertanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan
Struktural, bahwa: “Terhadap pegawai negeri sipil yang telah menjalani hukuman
pidana disebabkan tindak pidana korupsi atau kejahatan jabatan lainnya agar tidak
diangkat dalam jabatan struktural.”
Pembajakan demokrasi pemilukada dan terlibatnya kasus-kasus korupsi
oknum aparat Pemda dalam kekuasaan yang dimilikinya, menyebabkan terabaikan
kesejahteraan rakyat setempat. Padahal, kekuasaan yang dimiliki merupakan
mandat politik yang harus diabdikan bagi kepentingan rakyat sebagai pemilik
kedaulatan yang sebenarnya. Ibnu Khaldun sebagaimana dijelaskan oleh A.Rahman
Zaenuddin, bahwa konsep kekuasaan mempunyai nuansa dan manifestasi yang
berbeda-beda. Ibnu Khaldun mengungkapkan konsep ini lebih dari suatu bentuk
penamaan. Ia menggunakan istilah ar riasah, as su’dud, al jah, al wazi’, dan lain
sebagainya. Keseluruhannya menunjukkan tingkat dan intensitas kekuasaan itu.
Namun di atas segalanya, bentuk kekuasaan yang paling tinggi dalam pendapatnya
adalah al mulk, yang dapat diterjemahkan dengan “kekuasaan negara”atau
kekuasaan kenegaraan”.82
81
82
“153 PNS Bekas Terpidana”, Kompas, 6 November 2012.
A.R. Zainuddin, Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah, dan Benturan Ideologi, Editor
dan Pengantar: Hermawan Sulistyo, Jakarta, Pensil-324, 2004, h. 84.
127
BAB VI
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Hubungan birokrasi terhadap politik di Indonesia, memiliki sejarah
cukup panjang dan tidak jarang bersentuhan dengan perannya sebagai salah
satu agen pembangunan politik nasional. Peranan ini memformulasikan suatu
pasang surut tertentu dari kutub politik pembentukan pemerintahan yang
demokratis (democratic governance). Hal ini sekaligus membuktikan masih
kuatnya teori birokratik politik dari Karl D. Jackson dan perannya dalam
pembangunan politik sebagaimana disebutkan oleh Joseph Lapalombara,
karena pada kasus-kasus tertentu masih kuat dalam pengambilan kebijakan
di daerah. Tentu saja di era keterbukaan reformasi saat ini, terjadi modifikasi
kelembagaan yang menaungi kekuatan birokratik politik itu, karena kalangan
partai politik cenderung mengambil alih peran kalangan militer di daerah
yang pernah secara dominan berperan di era Orde Baru. Pada masa sebelum
reformasi, sangat kental pemanfaatan posisi birokrasi sebagai kekuatan
politik dalam rangka mendukung kebijakan rezim sebagai disebutkan oleh
Miftah Thoha, Francis Rourke, Peter M. Blau, dan Heyden, atau bersifat
executive ascedency.
Sementara itu, kesan executive ascedency masih tampak pada masa pasca
Orde Baru mulai 1998/1999 hingga kini. Meskipun kesan alat politik rezim
ini, coba dihilangkan, melalui formulasi kebijakan bagi konteks pemerintahan
yang demokratis secara lebih utuh melalui konsep netralitas dan peningkatan
profesionalisme aparat. Di tengah kelemahan-kelemahan mendasar dalam
proses pelaksanaannya, kata kunci reformasi birokrasi menjadi faktor penting
untuk pemberdayaan fungsi pelayanan publik dari posisi birokrasi demikian.
Artinya, pembentukan democratic governance sebagaimana diformulasikan
oleh Heyden, masih menjadi agenda agar diperjuangkan secara konsisten di
tingkat pelaksanaan, mengingat birokrasi Pemda masih menjadi persoalan
tersendiri dalam pembangunan daerah dan menjadi arena politik elit yang
bersaing dalam pemilukada. Ketidakmampuan pembentukan democratic
governance telah mendorong terjadinya perilaku politik korupsi di kalangan
elit kepala daerah hasil pemilukada yang menghambat kerja birokrasi dalam
bekerja secara maksimal. Biaya politik nominasi dan persaingan antar129
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
kandidat beserta kekuatan politik partai pendukungnya yang sangat tinggi,
menjadi crusial bagi jebakan keterlibatan perilaku korupsi politik yang
memanfaatkan aset birokrasi.
Posisi birokrasi pemda dalam pemilukada, cenderung bersifat sebagai
instrumen mobilisasi dukungan berbagai tugas pemerintahan pada konteks
yang luas. Secara politis, dimensi mobilisasi ini ditampilkan awalnya pada
tataran yang memegang peran penting untuk mendukung secara teknis
administratif dan sekaligus alokasi berbagai sumber daya terhadap proses
penyelenggaraan Pemilukada. Di sini, birokrasi Pemda memiliki aset yang
diperlukan dalam menggerakkan dimensi mobilisasi berbagai sumber
daya tersebut. Pada tahap lanjutan, posisi struktural administratif tersebut
menjadi kekuatan politik tersendiri yang dapat menjadi sarana tawar
menawar kekuasaan, ketika kepala daerah sebagai figur pembina organisasi
pemerintahan setempat menentukan keputusan untuk tingkatan netralitas
yang ingin dibangunnya. Ketika kepala daerah menentukan tingkatan
netralitas yang tinggi dari birokrasi, maka birokrasi dapat terlepas dari
pemanfaatan politik partisan, terutama dari gerakan bawah tanah para tim
sukses masing-masing kandidat yang bersaing dalam pemilukada. Sebaliknya,
ketika kepala daerah sebagai incumbent yang ingin maju kembali dalam
pemilukada kurang tegas atau bahkan memanfaatkan resources strategis
birokrasi Pemda, maka netralitas birokrasi sebagai kekuatan politik menjadi
lemah terhadap kepentingan politik partisan. Konsekuensi atas kelemahan
posisional netralitas birokrasi ini biasanya mendorong kekhawatiran tertentu
bagi para aparat, terutama mereka yang memegang jabatan tertentu, seperti
halnya pihak Sekda, atau para kepala dinas, terhadap kemungkinan terjadinya
proses pergeseran baik berupa promosi, mutasi, atau bahkan mutasi yang
didasarkan ukuran loyalitas politik tertentu.
2. REKOMENDASI
Mengingat posisi birokrasi sebagai kekuatan politik cenderung masih
mengalami transisi bagi democratic governance di tingkat lokal daripada
sekedar executive ascendancy atau alat politik kekuasaan, maka dalam kasus
pemilukada diperlukan suatu komitmen dan dukungan yang kuat untuk
konteks pembangunan politik. Sehingga, posisi birokrasi sebagai kekuatan
politik benar-benar diorientasikan bagi pelayanan publik dan didasarkan
pada nilai-nilai yang menjunjung profesionalisme kerja dan integritas dari
para aparatnya. Komitmen ini dalam kasus penyelenggaraan Pemilukada,
adalah meliputi dua bentuk.
Pertama, adalah relasi yang positif antara kebijakan di tingkat nasional
terkait reformasi birokrasi dan penataan hubungan antara birokrasi pemda
130
Prayudi
dengan pihak kepala daerah sebagai pembina pemda setempat. Relasi yang
positif itu tidak hanya diformulasikan dalam ketentuan perundang-undangan
semata, tetapi juga harus mampu dilaksanakan secara menyeluruh terkait
reformasi politik di tingkat infrastruktur kepartaian dan sistem pemilukada,
yang dapat memisahkan antara jabatan publik birokrasi dengan pembebasan
sementara dirinya di jabatan partai dan bahkan terhadap perkumpulan massa
asal dirinya ketika awal mula akan mencalonkan diri sebagai pasangan calon
pemilukada.
Kedua, adalah perkuatan peran KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/
KPU Kota, serta keberadaan Bawaslu/Bawaslu provinsi/Panwas kabupaten/
Panwas Kota, bukan hanya di tingkat kebijakan nasional, berupa UU No. 15
Tahun 2011 dan ketika RUU Pemilukada sebagai UU nantinya, tetapi juga
fasilitasi yang riil sebagai kewajiban bagi Pemda untuk memperlancar proses
penyelenggaraan pemilukada di tingkat legislasi lokal dan pelaksanaannya
di lapangan. Kelancaran proses ini berdasarkan landasan kewajiban Pemda,
akan semakin mencegah kemungkinan penetrasi simbiosis mutualisme
pemanfaatan jalur birokrasi bagi keuntungan tertentu dari masing-masing
pasangan kandidat yang bersaing dalam pemilukada, terutama dari pihak
incumbent.
131
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aspinall, Edward, et.al 2010. Problem of Democratisation in Indonesia:
Elections, Institutions, and Society, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapore.
Azhari 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia: Studi Perbandingan
Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan
Malaysia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Betrand, Jacques 2012. Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, Penerbit
Ombak, Yogyakarta.
Blau, Peter M et.al. 2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Penerbit
Prestasi Pustakakarya, Jakarta, 2000.
Chaniago, Andrianof A. 2012. Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang
Keruntuhan Orde Baru, Jakarta, Penerbit LP3ES.
Dananto dan Setyohadi, Abidah B 2012. Berebut Hutan Siberut: Orang
Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi, Penerbit Kompas Gramedia
dan Unesco, Jakarta.
Effendi, Sofian 2010. Reformasi Tata Pemerintahan-Menyiapkan Aparatur
Negara Untuk Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi Terbuka,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Fahmid, Imam Mujahidin 2012. Identitas dalam Kekuasaan, Ininnawa-IPSEI,
Makasar.
Guibernau, Montserrat 1996. Nationalism: The Nation-State and Nationalism
in Twentieth Century, Polity Press, Cambridge.
Jackson, Karl D. et.al. 1978. Political Power and Communications in Indonesia,
University California Press, Berkeley.
Johnson, Uwe et.al. (Editor) 2001. Democratic Transitions in Asia, FrederichNaumann Stiftung, Singapore.
133
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Lapalombara, Joseph (editor) 1963. Bureucracy and Political Development,
New Jersey, Princenton Unibersity Press.
Marijan, Kacung 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru, Penerbit Kencana.
Maarif, Syamsul 2011. Militer dalam Parlemen 1960-2004, Prenada, Jakarta,
cetakan pertama.
Mujani, Saiful, et.al 2011. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih
dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru,
Penerbit Mizan, Bandung.
Moesa, Ali Maschan 2013. Etika Birokrasi Dalam Perspektif Good Governance,
Jenggala Pustaka Utama, Surabaya.
Scuhulte Henk et.al 2007. Politik Lokal di Indonesia, KITLV Jakarta dan Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Schwarz, Adam, A Nation in Waiting : Indonesia In The 1990’s, Allen & Unwin,
St. Leonard, 1994
Susan, Novri 2012. Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata
Kelola Konflik di Indonesia, Penerbit Kopi dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Syahnakri, Kiki 2013. Timor Timur: The Untold Story, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Turmudi, Endang 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKis, Yogyakarta.
Pahlevi, Indra (Editor) 2011. Politik Pemilukada 2010: Sebuah Kajian Terhadap
Penyelenggaraan Pemilukada di Dumai dan Indragiri Hulu, Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal
DPR RI, Jakarta.
Rourke, Francis E 1992. Bureucracy, Politics, and Public Policy, Little Brown
and Company, Boston-Toronto.
Suharizal 2011. Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang,
Rajawali Press, Jakarta.
Suaib, Eka 2010. Problematika Pemutakhiran Data Pemilih di Indonesia,
Penerbit Koekoesan, Depok.
Thoha, Miftah 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di era Reformasi, Kencana
Pradana Media Grup, Jakarta.
Tjiptoherijanto Prijono, et.al. 2010. Bureaucratic Reforms in Four Asean
Countries, B Press, Depok.
134
Prayudi
Zainuddin, A.R 2004. Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah, dan
Benturan Ideologi, Editor dan Pengantar: Hermawan Sulistyo, Jakarta,
Pensil-324.
Zed, Mestika 2003. Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950,
Jakarta, LP3ES.
Jurnal
Analisis CSIS, Vol. 33 No. 1 Maret 2004
Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 6 No. 2, 2006.
Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No.1, 2010.
__________________, Vol. 8, No. 1, 2011
Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi No. 29 Tahun 2009.
___________________, Edisi No. 30 Tahun 2009.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja Vol. XXXIV No. 3 Tahun 2008.
Jurnal Kajian Vol. 17, No. 2, Juni 2012.
Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No. 2, 2010.
________________,Edisi XXXVII, No. 2, 2011.
Prisma Vol. 29, No. 4, Oktober 2010
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN), Komisi II Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia,
Jakarta, 2011.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Nasional.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Draft Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Kementerian
Dalam Negeri, 2011.
Draft Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah.
135
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
Makalah
Tri Ratnawati, “Pembangunan Yang Inklusif, Transparan, Berkelanjutan, dan
Mencegah KKN”, makalah dalam Diskusi Pokja Otonomi Daerah di Harian
Kompas, Jakarta 7 November 2012.
Media Massa
Koran Tempo, 26 Maret 2012.
_________, 28 Maret 2012.
_________, 12 April 2012.
_________, 29 Juni 2012.
_________, 6 Juli 2012.
_________, 13 Agustus 2012.
_________, 31 Agustus 2012.
__________, 12 September 2012.
__________, 10 Oktober 2012.
__________, 14 November 2012.
_______, 7 Desember 2012.
_______, 10 Desember 2012.
_______, 14 Desember 2012.
_______, 18 Desember 2012.
_______, 2 Mei 2013.
_______, 3 Mei 2013.
_______, 2 Januari 2013.
Kompas, 9 Maret 2012.
Kompas, 28 Maret 2012.
Kompas 11 April 2012.
_____, 29 Maret 2012.
______, 17 April 2012.
______, 18 April 2012.
______, 30 Juni 2012.
136
Prayudi
______, 19 Juni 2012.
______, 20 Juni 2012.
______, 7 Juli 2012.
______, 9 Juli 2012.
______, 12 Juli 2012.
______, 13 Juli 2012.
______, 14 Juli 2012.
______, 20 Juli 2012.
______, 24 Juli 2012.
______, 25 Juli 2012.
______, 31 Juli 2012.
______, 5 November 2012.
______, 1 Agustus 2012.
______, 10 Agustus 2012.
______, 25 Agustus 2012.
______, 3 September 2012.
______, 5 September 2012.
______, 6 September 2012.
______, 10 September 2012.
______, 11 September 2012.
______, 14 September 2012.
______, 15 September 2012.
______, 18 September 2012.
______, 19 September 2012.
______, 5 Oktober 2012.
______, 8 Oktober 2012.
______, 9 Oktober 2012.
______, 12 Oktober 2012.
137
Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada
______, 5 November 2012.
______, 6 November 2012.
______, 10 November 2012.
______, 11 November 2012.
______, 13 November 2012.
______, 14 November 2012.
______, 16 November 2012.
______, 17 November 2012.
______, 24 November 2012.
______, 28 November 2012.
______, 29 November 2012.
______, 3 Desember 2012.
______, 4 Desember 2012.
______, 8 Desember 2012.
______, 11 Desember 2012.
______, 12 Desember 2012.
______, 13 Desember 2012.
______, 22 Desember 2012.
______, 3 Januari 2013.
______, 4 Januari 2013.
______, 5 Januari 2013.
______, 19 Januari 2013.
______, 6 Februari 2013.
______, 7 Februari 2013.
______, 8 Februari 2013.
______, 9 Februari 2013.
______, 19 Februari 2013.
______, 1 Maret 2013.
138
Prayudi
______, 27 April 2013.
______, 28 Mei 2013.
Tempo 17 Maret 2013.
Suara Merdeka 25 Oktober 2012.
Media Indonesia, 21 Mei 2012.
____________, 10 Juli 2012.
____________, 30 Agustus 2012.
____________, 15 Agustus 2013.
Suara Pembaruan, 25 Mei 2012.
_____________, 29 Mei 2012.
_____________, 10 September 2012.
_____________, 17 September 2012.
_____________, 15 Februari 2013.
Republika, 28 Agustus 2012
The Jakarta Post, 17 Desember 2010.
Parlementaria, Edisi 93, Th. XLII, 2012.
Majalah Tempo, Edisi 1- 7 Oktober 2012.
Situs Internet
http.www.tempo.co.id., dikutip 12 Juli 2012
http.www. udip.ac.id./ diakses 10 September 2012.
http://www.detik. com, diakses 16 Oktober 2012.
http//www.vivanews.com., diakses 26 November 2012.
http://www.wartapwdia.com., diakses 2 Januri 2013,
139
INDEKS
A
Abdul Azis Qahhar Mudzakar, 22, 63
Aburizal Bakrie,73, 77
Achmad Syafii, 21
Aceh, 32, 33, 34, 42, 82, 86, 87, 97
Adriano A. Chaniago, 15
Administratif, 5, 18, 75, 84, 85, 98, 121,
130
Adam Schwartz, 14
Agus Arifin Nu’mang, 22, 63
Agus Subardono, 35
Agus Martowardojo, 42
Ahmad Sukardi, 24
A.H. Nasution, 113
Akil Mochtar, 100
Akmal Boedianto, 24
Alfian, 32
Ali Mazi, 31, 32, 86
Al-Amiin Nasution, 123
Amerika Serikat, 5, 46
Amir Machmud, 13
Aminullah, 17
Amran Batalipu, 94, 95
A. Malik Haramain, 40
Andi Nawir Pasinringi, 22
Anna Sophanah, 65, 66, 121
Arnanda Sinulingga, 77
APBD, 8, 12, 16, 17, 18, 21, 34, 35, 42, 44,
45, 46, 51, 79, 81, 83, 84, 85, 89, 91,
94, 96, 97, 105, 106, 108, 109, 110,
114, 115, 116, 124, 125
Aplikasi, 119
APL, 105
A. Rahman Zaenuddin, 127
Asia, 11, 77
Australia, 63
Ayu Sutarto, 63, 64
Azwar Abubakar, 37
B
Badung, 46
Bambang Sugiyono, 25, 26
Balances, 5, 76
Balikpapan, 45, 80, 81
Banten, 29, 67, 70, 96, 111
Bangka, 46, 70, 102, 103, 121
Bansos, 81, 82, 83
Baperjakat, 26, 32, 34
Bappeda, 46, 47, 126
Basrie Arief, 99
Basuki Tjahaya Purnama, 25
Bawaslu, 15, 18, 75, 131
BBM, 59, 61
Belitung, 46, 70, 103
Bengkulu, 44, 79, 84, 85
Bekto Soeprapto, 41
Bibit Waluyo, 26, 47, 56, 90
Birokrasi, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 14,
15, 16, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
41, 42, 44, 46, 48, 49, 51, 53, 58, 59,
60, 61, 64, 65, 72, 74, 75, 76, 77, 79,
81, 87, 88, 89, 90, 93, 98, 99, 101,
103, 112, 114, 115, 116, 117, 118,
120, 123, 124, 129, 130, 131
BKN, 10, 24, 43
BOS, 45
BPK, 42, 43, 80, 81, 99, 108
Brebes, 38, 69
Bugis, 61, 62
140
Buol, 94, 95
Busyro Muqodas, 80
C
Chairul Tanjung, 36
Check, 5, 76
D
Daday Hudaya, 64
DAK, 44, 45
De facto, 104, 113
Definitif, 21, 41, 56, 84, 85, 112
Degradasi, 72, 104
Democratic governance, 3, 129, 130
Demosi, 27, 38, 53
Demokrat, 36, 45, 51, 54, 55, 64, 70, 78,
87
Desentralisasi, 3, 8, 9, 31, 61, 76
Djohermansyah Djohan, 40, 58, 122, 123
Dinas, 8, 9, 15, 19, 20, 21, 24, 26, 28, 32,
34, 35, 38, 42, 43, 53, 55, 83, 92, 104,
105, 107, 117, 123, 124, 125, 126,
130
Dipo Alam, 24
Disposis, 83
Dirk Tomsa, 76
DKI Jakarta, 17, 20, 25, 26, 30, 34, 35, 54,
96, 117, 119
Dompu, 46
Don Murdono, 56, 69
DPALSKPD, 117
DPKLTS, 122
DPR, 15, 37, 38, 40, 41, 42, 52, 60, 69, 70,
72, 73, 86, 89, 90, 93, 96, 98, 107,
123
E
E.E. Mangindaan, 69
Eko Prasojo, 39
Eko Sutrisno, 43
Elit, 1, 6, 12, 23, 30, 33, 44, 47, 61, 62, 73,
77, 88, 90, 93, 120, 121, 129
Emerson Yuntho, 82
Erwiza Erman, 103
Eselon, 10, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 32,
33, 34, 56, 59, 113, 127
Etnisititas, 61
e-TSP, 119
Evita Legowo, 25
Executive ascedency, 2, 3, 12, 129, 130
F
Fadjar Panjaitan, 25
Farouk Muhammad, 40
Fasilitasi, 2, 6, 118, 131
Feri Amsari, 100
Filipina, 10
Fiskal, 38
Fitra, 42, 116
Francis Rourke, 129
Franky Panjaitan, 25
Fred Riggs, 5
G
Gamawan Fauzi, 26, 27, 38, 47, 53, 66, 79,
81, 85, 88, 95, 98, 99, 111, 123, 124,
127
Ganjar Pranowo, 37
Genset, 56
Golkar, 13, 32, 54, 55, 64, 66, 67, 68, 73,
78, 92, 94, 101
Golput, 94
Gorontalo, 46, 55, 107, 120
Gowa, 46, 70
Gratifikasi, 39, 80
Grobogan, 38
Grey area, 44
H
Halil, 21
Hall, 62
Hamim Pou, 55
Haris Nadjamuddin, 55
Harry Mulya Zein, 28
Harry Soegiri, 24
Hartati Murdaya, 95
Harunata, 46
Hartley, 63
141
Harvard, 46
H.A. Soetarto Hadiwinoto, 125
Hendy Boedoro, 65, 67, 69
Heyden, 129
Hibrida, 64
Hirst, 3
Jawa Tengah, 44, 47, 90, 124
Jefrinal Arifin, 83
Jember, 23, 64
Jokowi, 25, 26, 30, 35, 54, 64
J
L
K
I
Ibnu Khaldun, 127
ICW, 38, 82, 100
Ideologi, 13, 52
Idris Rahim, 55
Idrus Marham, 73, 101
Ihwan Sudarajat, 26
Ilham Arief Sirajuddin, 22, 63
Imam Mujahiddin Fahmid, 62
Incumbent, 1, 16, 20, 21, 23, 27, 39, 53,
57, 58, 65, 66, 68, 81, 104, 130, 131
Indonesia, 2, 3, 5, 9, 10, 11, 13, 14, 36, 38,
42, 46, 57, 67, 76, 77, 80, 88, 90, 91,
96, 97, 98, 100, 102, 113, 115, 119,
125, 129
India, 10
Inefisiensi, 42,
Infrastruktur, 36, 37, 44, 45, 115, 116,
131
Intervensi, 1, 21, 23, 39, 77, 98, 114
Interaksi, 3
Irian MS Syaifuddin, 65
Irwandi Yusuf, 32
Islam, 13, 104, 119
Isran Noor, 97, 98
Jabar, 18, 40, 54, 83, 100, 108, 121, 122,
124, 126
Jacques Bertrand, 30
Jaksa Agung, 99
Jakarta Selatan, 26, 35
Jamkesmas, 43
Jatim, 18, 21, 24, 25, 51, 52, 63, 64, 68,
71, 125
Jateng, 18, 26, 38, 47, 56, 65, 68, 69, 83,
100, 108, 111, 114, 125
Kampanye, 1, 14, 18, 22, 38, 39, 40, 49,
50, 53, 63, 69, 88, 95, 96, 103, 120
Karanganyar, 38, 44
Karl D Jackson, 5, 6, 129
Keerom, 46
Kelompok, 2, 6, 26, 30, 31, 36, 62, 71, 74,
77, 82, 84
Kemenkeu, 44
Khalwat, 34
Khofifah, 64
KH Sahal Mahfudz, 114
KIP, 87
Kiki Syahnakri, 74
Klaten, 38, 44, 56
Klausul, 60, 61
Klungkung, 46
KODM, 113
Komunal, 6, 29, 31, 63
Kompas, 20, 63, 77
Korpri, 13
Kota Langsa, 42
Konawe, 46
KPPOD, 45, 60, 115, 116
KP2KKN, 124
KPPOD, 45, 60, 115, 116
KTA, 52
LAKI, 80
Lanto Daeng Pasewang, 62
LHA, 99
Lombok, 21
Longki Djanggola, 90
Lokal, 1, 2, 15, 23, 27, 29, 36, 40, 44, 51,
52, 61, 63, 65, 71, 72, 73, 74, 75, 76,
77, 79, 87, 100, 101, 102, 103, 104,
113, 118, 120, 130, 131
Luky Sandra Amalia, 50
142
Luwu, 22, 46
Luwu Utara, 22, 46
M
Mamuju, 46
Makasar, 22, 61, 62, 70
Marwanto Harjowiryono, 45
Matok Kon Asu, 50
MBKD, 113
MBKS, 113
Merit, 5
Menkeu, 44, 61
Menteri Kemakmuran, 113
Mendagri, 26, 27, 38, 47, 53, 60, 61, 66,
79, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 95, 98,
99, 111, 112, 123, 124, 127
Miftah Thoha, 2, 129
Minahasa, 46, 69, 70
Moh. Harun
Mojokerto, 51
Montserrat Guibernau, 74
Monoloyalitas, 13
Morstein Marx, 5
MOU, 32, 47
MPRP, 41
Mr. Syarifuddin Prawiranegara, 113
Muhtar Haboddin, 61
Mutasi, 24, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 34, 35,
38, 53, 112, 130
M. Yulianto, 26
N
Netralitas, 1, 2, 5, 6, 12, 14, 23, 24, 25, 26,
75, 88, 90, 129, 130
Nugroho, 70, 77, 86
Nomenklatur, 83
Novisa, 35
Novri Susan, 41
NTB, 20, 21
NU, 64
O
Oligarki, 49, 65, 88, 90
Oligopoli, 77
Optimisme
Organisasi, 5, 7, 8, 9, 12, 31, 52, 84, 89, 91,
104, 118, 119, 130
Orde Baru, 5, 10, 12, 13, 14, 15, 62, 88,
91, 104, 129
Otonomi, 10, 15, 30, 31, 41, 44, 47, 56, 58,
60, 62, 73, 79, 102, 104, 105, 114,
115, 116, 122, 123
Otoriter, 4
P
Padang Pariaman, 46, 104
Paimin Napitupulu, 35
Pamekasan, 21
Panwas, 16, 19, 21, 39, 75, 88, 118, 119,
131
Panwaslu, 2, 15, 20, 88, 121
Pasaman, 46
Paku Alam, 89
Pakistan, 10
Palembang, 71
Parlementer, 48
Paternalisme, 23, 118
PBAP, 113
Pecah kongsi, 53, 54
Pemda, 6, 7, 8, 9, 12, 15, 16, 18, 19, 20, 23,
25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 35, 37,
38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 49, 51,
53, 58, 59, 60, 61, 64, 65, 69, 75, 80,
82, 84, 87, 92, 93, 98, 101, 105, 112,
113, 114, 115, 116, 117, 118, 119,
120, 123, 124, 127, 129, 130, 131
Pemilukada, 1, 2, 4, 6, 12, 14, 15, 16, 17,
18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
29, 30, 31, 32, 34, 35, 38, 39, 40, 41,
42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51,
52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71,
72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 87, 88, 89, 90,
91, 92, 93, 94, 95, 96, 100, 101, 102,
103, 104, 105, 106, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 119, 120, 121, 127,
143
128, 129, 130, 131
Peter M. Blau, 129
PDI Perjuangan, 50, 51, 54, 55, 56, 68, 96,
PDRI, 113
PDS, 45
Piet Inkiriwang, 45, 46
PKS, 30, 50, 54, 83, 84, 101
PPATK, 99
Presidensil, 48
Presidium, 121
Proliferasi, 8
Poso, 45, 46
PTTD, 113
PTUN, 84, 85, 86
Purworejo, 38
Putut Hari Setyaka, 44
R
Radiyanto Asapa, 22
Rahmad Hidayat, 33
Rahudman, 36
Rappang, 22
Rasiyo, 24, 25
Ratu Atut Chosiyah, 29, 70, 96
Regulasi, 12, 19, 52, 75, 82, 90
Retribusi, 60, 61, 105
Renumerasi, 12
Retorika, 12, 51, 94, 117
Reydonnizar Moenek, 79
Ridwan, 32
Ricklefs, 62
Rivalitas, 55, 57
Rizal Djalil, 80
RKUA, 51
Robert Endi Jaweng, 45, 60, 116
RPPAS, 51
Rusli Habibie, 55
Rusli Zainal, 92, 93, 107
S
Saifullah Yusuf, 64
Samarinda, 46, 81
SARA, 29, 30, 49
Sarekat Islam, 119
SDI, 119
Sekda, 24, 25, 26, 28, 36, 53, 56, 68, 96,
123, 130
Seluma, 44
Semarang, 26, 69, 91, 92, 108, 112, 124,
125
Sentiment cultural, 63
Sentralisasi, 14, 27, 71
Serang, 45, 67, 70
Seram, 46
SH Sarundajang, 69
Sidenreng, 22
Sigi, 46
Silpa, 116
Silviana Murni, 25
Sindang, 71, 72
Siti Zuhro, 23
Siti Nurmakersi, 65
Sjahrazad Masdar, 23
Soekarno, 13, 97, 108
Soekarwo, 24, 50, 64, 90
Soemarmo Hadi Saputro, 91, 108, 124
Sofjan Effendi, 11
Solo, 38
Subordinate, 58
Sufyanto, 18
Sulawesi Tenggara, 31, 32, 86, 100
Sulsel, 21, 22, 61, 62, 63, 70, 83
Sumenep, 46
Sunarna, 56
Surabaya, 50, 51, 54, 63, 125
Susilo Utomo, 56
Syahrur Yasin Limpo, 22
Syahrul Efendy, 25, 26
T
Taman Nasional Tesso Nilo, 103
Tana Toraja, 22
Tangerang, 28, 29
TA Rasyid, 34
Temanggung, 38
Teten Masduki, 100
Theddy Tengko, 97, 108, 111, 112
144
Timtim, 74, 75
Trah, 61
Tri Rismaharini, 50, 51, 54
U
University of Boston, 46
Universitas Tanjungpura, 73
Universitas Andalas, 100
Universitas Gajah Mada, 100
V
Vietnam, 10
W
Wahidin Halim, 28
Weberian, 4
Widya Kandi Susanti, 65, 67, 69
Wiriyatmoko, 25
Y
Yassona H. Laoly, 40
Yonathan Pasodung, 35
Yusril Ihza Mahendra, 84, 97
Z
Zaini Abdullah, 32, 33, 34, 87
Zainal Arifin Mochtar, 100
145
Download