Prayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika 2013 Judul: Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pemilukada Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) vi+145 hlm.; 17x24 cm ISBN: 978-979-9052-88-9 Cetakan Pertama, 2013 Penulis: Prayudi Penyunting: A. Muchaddam Fahham Desain Sampul: Fery C. Syifa Tata Letak: Zaki Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia Gedung Nusantara I Lt. 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245 Bersama: Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/DIY/2012 Kantor Pusat: Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta Telp. +62 274-6882748 Perwakilan Jabodetabek: Graha Azza Grafika Perumahan Alam Asri B-1 No. 14 Serua Bojongsari Kota Depok 16520 Telp. +62 21-49116822 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). KATA PENGANTAR PENULIS Era otonomi daerah yang berkembang luas saat ini telah melahirkan optimisme bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Hal yang mendasar dari optimisme semacam ini tentu didasari oleh keinginan kuat dalam rangka mendorong partisipasi rakyat dalam proses pengambilan kebijakan yang lebih luas dibandingkan saat sistem sentralisasi pernah diterapkan di masa sebelumnya. Pemilukada menempatkan keinginan partisipasi rakyat tersebut menjadi hal yang paling menentukan dalam menggerakkan instrumen politik partisipasi rakyat lainnya dalam pemerintahan. Kekuatan mesin penggerak partisipasi politik dari pemilukada juga dituntut untuk bersinergi secara positif bagi kinerja birokrasi pemerintah daerah (pemda) yang dapat melaksanakan tugas dan kewenangan masing-masing unit organisasinya secara profesional. Kondisi birokrasi yang professional menjadi salah satu ciri dari kapasitas dan sekaligus kemampuan dari jajaran aparatnya dalam memberikan pelayanan publik secara maksimal serta berusaha steril dari segala macam intervensi politik kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Konteks tuntutan professional kinerja birokrasi dan posisinya yang netral dalam politik, tampaknya masih menjadi sesuatu yang rentan di kurun waktu penyelenggaraan pemilukada. Jaringan patronase politik dari para elit baik di pusat maupun di daerah masih menjadi faktor determinan dalam alokasi resources birokrasi yang seharusnya mampu berperilaku atas dasar bagi kepentingan seluruh elemen masyarakat lokal, tanpa kecuali. Ruang lingkup jaringan patronase politik tersebut bukan berjalan dalam poros yang tunggal, melainkan berkembang secara beragam, dan ini menjadi warna persaingan antar kekuatan politik dan masing-masing pasangan calon yang dijagokannya. Spektrum politik persaingan tidak saja berlangsung dalam tataran formal antar kekuatan politik partai atau gabunganpartai, maupun melalui jalur perseorangan, tetapi juga secara operasional politik dengan membawa serta para pendukung tim suksesnya yang berada dalam skala yang luas, Sebagai akibat dari campur tangan politisi ke dalam birokrasi, maka iklim persaingan di antara para birokrat pun menjadi tidak sehat. Bukan hal aneh, ketika usai pemilukada, berbagai pergeseran dan mobilitas karier antar aparat, serta bahkan tindakan emosi, terjadi di antara mereka yang sebelumnya dianggap pendukung atau sebaliknya sebagai bukan merupakan pendukung iii kepala daerah pemenang pilkada. Iklim persaingan semacam ini jelas dapat merusak jalur perjalanan karier pegawai negeri sipil (PNS) di daerah yang sudah di desain dalam format birokrasi secara profesional. Di samping itu, beban anggaran negara di APBD dan APBN juga menjadi persoalan tersendiri, ketika kepala daerah harus mengakomodasi paraloyalisnya untuk juga masuk ke birokrasi, menduduki pos-pos strategis, dan bahkan terbanyak adalah melalui jalur tenaga honor setempat. Pola pengisian formasi PNS sebagai akibat pemilukada yang sarat dengan potensi politik uang jelas tidak akan menempatkan birokrasi yang berperan sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Sebaliknya, birokrasi menjadi sangat berorientasi kepada kekuasaan dan biasanya mentransformasikan kepentingan rezim pengusaha-penguasa dalam proses pengambilan kebijakan. Hal ini tidak lain dari cerminan lemahnya fundamental politik kepartaian di Indonesia dan pola demokrasi lokal yang masih berada di tingkatan prosedural. Taruhan bagi peran birokrasi sebagai agent of society development yang gagal, adalah posisi kepentingan pelayanan publik menjadi sangat minim. Apalagi, dengan pendanaan politik pemilukada yang sarat dengan dugaan politik uang yang merupakan hasil korupsi, peran ini menjerumuskan otonomi daerah menjadi sekedar ajang bagi-bagi kekuasaan dan uang di antara aktor-aktor politik yang terlibat. Menyadari bahaya dari jebakan politik partisan tadi, maka sudah tentu reformasi pilkada melalui ketentuan perundang-undangan dan perilaku politik lokal yang kondusif bagi kematangan pemerintahan daerah, menjadi jawaban yang sangat bermakna strategis. Buku ini mencoba menguraikan aspek-aspek persoalanitu, dan sekaligus elaborasi lebih lanjut dari setiap halhal yang mendasar dari jawaban reformasi pemilukada dimaksud. Jakarta, 2013 Penulis, Prayudi iv DAFTAR ISI Kata Pengantar Penulis........................................................................................................... iii Daftar Isi..........................................................................................................................................v BAB IPENDAHULUAN................................................................................................. 1 1. Agenda Politik Pemilukada................................................................... 1 2. Potensi Pemanfaatan sebagai Instrumen Politik..................................................................... 2 3. Pemikiran Teoritis.................................................................................... 2 BAB II BAB III DINAMIKA POLITIK SAAT MEMASUKI ERA REFORMASI.................................................................... 7 1. Pengorganisasian Birokrasi Pemda.................................................. 7 2. Executive Ascedency dan Retorika Netralitas Politik...................................................................12 KELEMBAGAAN BIROKRASI PEMDA DAN KULTUR POLITIK YANG BERKEMBANG..................................23 1. Ketergantungan secara personal pada figur kepala daerah.....................................................................23 2. Warna Identitas Politik Komunal.....................................................29 3. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat..........................................................................37 BAB IVFUNDAMENTAL POLITIK KEPARTAIAN.............................................49 1. Penilaian Publik dan Oligarki Internal Partai.........................................................................49 2. Upaya Penggeseran Jabatan Birokrasi...........................................53 3. Fenomena Politik Dinasti....................................................................63 4. Lemahnya Pengawasan Publik..........................................................76 BAB V ANTARA PENYALAHGUNAAN WEWENANG BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK................................................79 1. Penyimpangan Yang Terjadi...............................................................79 2. Kontroversi Rangkap Jabatan dalam Figur Kepala Daerah dan Wakilnya.................................................90 v 3. Pembenahan Secara Kelembagaan dan Tantangannya..................................................................................97 BAB VIPENUTUP......................................................................................................... 129 1. Kesimpulan............................................................................................. 129 2. Rekomendasi......................................................................................... 130 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 133 INDEKS....................................................................................................................................... 140 vi BAB I PENDAHULUAN 1. AGENDA POLITIK PEMILUKADA Agenda pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara langsung oleh rakyat di berbagai daerah, telah menunjukkan pentingnya perhatian terhadap persoalan netralitas birokrasi. Sorotan terhadap masalah ini terkait dengan dugaan masih kuatnya intervensi kekuasaan terhadap birokrasi yang tidak lain merupakan konsekuensi dari posisi incumbent yang menominasikan dirinya kembali pada kurun waktu pemilukada berikutnya. Bahkan, tidak hanya itu, para kandidat non incumbent pun ikut mencoba untuk mempengaruhi aparat birokrasi setempat. Konstruksi intervensi, memang seringkali bukan melalui kandidat bersangkutan, tetapi terutama melalui para pendukung masingmasing yang tergabung dalam tim suksesnya. Adanya intervensi politik partisan dalam konteks pemilukada, membawa implikasi tersendiri pada konteks pelayanan publik yang seharusnya menjadi tugas utama pemerintahan daerah. Birokrasi sebagai wadah berhimpunnya aparat memang memiliki posisi strategis dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sehingga, wajar ketika terjadi persaingan antar pasangan calon dalam Pemilukada, posisi birokrasi demikian sangat diperebutkan pengaruh politiknya. Meskipun diakui, posisi strategis birokrasi demikian, biasanya lebih membawa keuntungan bagi incumbent yang akan maju lagi dalam persaingan Pemilukada, dibandingkan dengan pasangan calon lain yang menjadi penantangnya. Birokrasi yang mempunyai kewenangan dan aset ekonomi pemerintahan jelas menjadi penting bagi tidak saja dalam proses penyelenggaraan pemilukada, tetapi juga terkait perhitungan relasi antara administrasi pemerintahan terhadap kekuatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) nantinya pasca perolehan hasil Pemilukada. Rentang hubungan (span of relations) antara warga masyarakat yang sangat kuat dengan elit penguasa lokal, menyebabkan persoalan mobilisasi dukungan dan aset birokrasi memperoleh makna politik tersendiri di tingkat pemerintahan. Makna politik itu tidak saja terkait kapasitas kepala daerah untuk mendekati segmen aparat birokrasi dalam menyukseskan berbagai program pembangunan yang dijanjikannya saat kampanye pemilukada. Tetapi lebih dari itu, makna politik tersebut juga berkaitan dengan sikap kepala daerah itu sendiri terhadap peran 1 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada birokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilukada yang sangat signifikan. Signifikansi dari peran birokrasi ini, terutama mengenai fasilitasi bagi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)1 dan Komisi Penyelenggara Pemilu Daerah (KPUD) saat menjalankan tugas dan wewenangnya dalam Pemilukada. 2. POTENSI PEMANFAATAN SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK Birokrasi merupakan instrumen politik yang dituntut untuk bersikap netral dan profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tetapi, di Indonesia, seiring perjalanan sistem politik di setiap kurun waktu tertentu, menunjukkan selalu terdapat penetrasi politik tertentu yang dapat mempengaruhi netralitas birokrasi. Di tingkat lokal, momentum pemilukada tidak jarang menunjukkan usaha-usaha pemanfaatan posisi birokrasi dalam memobilisasi politik dukungan massa pemilih. Konotasi netralitas birokrasi sering menjadi bersifat normatif dan justru berbenturan dengan realitas di lapangan yang cenderung mengarah pada kepentingan dari pihak-pihak yang bersaing dalam pemilukada. Sehubungan dengan fenomena politik di atas, masalah yang perlu dilihat lebih lanjut, adalah, bagaimana posisi birokrasi terhadap kepentingan kandidat atau kelompok tertentu dalam rangka memenangkan proses persaingan yang terjadi dalam pemilukada? Mengapa politik pemilukada dapat mewarnai birokrasi agar bersikap netral, atau sebaliknya menjadi bersifat partisan menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara partisan dalam pemilukada? 3. PEMIKIRAN TEORITIS Salah satu hal yang belum tertata secara baik di era reformasi, adalah hubungan kerja antara pejabat politik pembuat kebijakan dengan pejabat birokrasi pelaksana dan pengontrol kebijakan. Miftah Thoha menyatakan, selama ini yang berlangsung adalah hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu antara penguasa dan pelaksana. Menurutnya, hubungan semacam ini membawa pengaruh fungsi birokrasi sebagai subordinasi, menjadi mesin politik, dan sebagai pelengkap, maka kehadiran birokrasi tidak ikut berperan menentukan dalam proses kebijakan publik. Model tata hubungan ini dalam teori disebut model executive ascedency, yaitu peran dan fungsi birokrasi sangat tergantung pada kekuasaan yang melekat pada jabatan politik pembuat 1 Di UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, antara lain disebutkan, untuk tingkat Provinsi, adalah Bawaslu Provinsi, ini berbeda dengan nomenklatur di UU No. 22 Tahun 2007, sebelumnya yang bernama Panwaslu Provinsi. Nomenklatur ini membawa implikasi hirarki birokratis pengawas pemilu dan pemilukada, serta keberadaannya sebagai lembaga yang permanen daripada sekedar ad hoc. 2 Prayudi kebijakan publik.2 Kalau pejabat politiknya secara posisionil kuat dan memahami sedikit saja seluk beluk kebijakan yang akan dibuat, kedudukan birokrasi berfungsi dan berperan sebagai mesin politik dan pelengkap tadi.3 Permasalahan model executive ascedency, di atas, sejalan dengan tantangan perwujudan democratic governance yang masih menjadi tantangan Indonesia setelah memasuk era reformasi. Democratic governance merupakan paradigma yang meliputi: (1) cara pandang baru terhadap pengelolaan tata pemerintahan maupun relasi negara-masyarakat-pasar; (2) dinamika empiris dan wacana akademis pengelolaan negara berhadapan dengan masyarakat dan pasar, dalam konteks globalisasi, demokratisasi dan desentralisasi; (3) isu-isu governance reform yang berkaitan dengan konsep good governance maupun reinventing governance yang kini sedang menjadi bahan perdebatan di Indonesia.4 Khusus tentang good governance, menurut definisi Bank Dunia, menuntut disuarakannya manajemen sektor publik (seperti halnya efisiensi, efektivitas, dan ekonomisasi), pertanggungjawaban, pertukaran, dan informasi yang mengalir bebas atau secara transparan, keadilan, menghargai hak-hak asasi manusia, dan kebebasan. Definisi yang ringkas dan tepat ditawarkan oleh Hirst (2000) yang mengemukakan bahwa: “it means creating an effective political framework conductive to private economic action: stable regimes, the rule of law and efficient state administration adapated to the roles that government can actually perform and strong society independent of the state.”5 Democratic governance secara prinsipil merupakan mekanisme baru dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan atas interaksi intens antara penyelenggara negara dengan berbagai pihak yang berada di luar lingkungan pemerintahan. Governance adalah proses interaksi di mana berbagai pihak secara kolektif memecahkan persoalan publik, serta mengindentifikasi persoalan-persoalan yang berkembang. Governance juga dapat diartikan sebagai pengelolaan struktur rezim dengan sebuah pandangan untuk memperkuat legitimasi penyelenggaraan kekuasaan atau pengelolaan pemerintahan yang benar-benar lebih berorientasi kepada kepentingan publik6, dibandingkan sekedar bersifat partisan. 2 3 4 5 6 Miftah Thoha, “Reformasi Birokrasi Yang Tidak Utuh”, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi No. 29 Tahun 2009, h, 53. Ibid. Lebih lanjut uraian tentang konteks sejarah pemunculan konsep democratic governance, diuraikan antara lain Gregorius Sahdan, “Tantangan dan Peluang Democratic Governance Pasca Pemilu 2004”, dalam Analisis CSIS, Vol. 33 No. 1 Maret 2004. Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana, Bureaucratic Reforms in Four Asean Countries, B Press, Depok, 2010, h. 2. Heyden (1992: 7) sebagaimana dikutip, Gregorius Sahdan, dalam Ibid. 3 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Sejak era reformasi, kepemimpinan birokrasi pemerintah daerah harus dijabat oleh kepala daerah yang proses pencalonannya melalui partai politik. Sehingga, birokrasi pemerintah daerah dipimpin oleh pejabat politik dari partai tertentu yang memperoleh mandat dari rakyat (konstituen partaigabungan partai atau melalui jalur perseorangan)7 berdasarkan hasil pemilukada. Keadaan semacam ini dapat menciptakan aspirasi dari partai politik kepala daerah terbawa dalam kepemimpinannya di pemerintahan daerah. Sementara itu, di dalam sistem pemerintahan daerah terdapat suatu sistem birokrasi setempat yang telah eksis terlebih dahulu. Kedudukan birokrasi pemerintahan secara organisatoris berada di bawah kekuasaan kepala daerah dari partai politik bersangkutan (the bureaucracy under the control of the Mayor or Regent ).8 Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara adalah apabila melalui birokrasi pemerintahan, negara dapat mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat. Kewenangan aparatur negara untuk membebankan kewajibankewajiban tertentu kepada rakyatnya dinilai absah hanya apabila mayoritas rakyat dapat merasakan peningkatan kesejahteraan yang merata. Sehingga, para pejabat birokrasi pemerintah harus memiliki komitmen tersebut bukan semata-mata karena mereka diberi amanat atau dibayar oleh negara. Dasar komitmen tersebut adalah tanggapan bagi pemenuhan kebutuhan pokok dan kesejahteraan warga negara pada umumnya.9 Pentingnya relasi perilaku aparat dengan komitmen semacam ini memiliki arti yang sangat mendasar. Apalagi, dalam kehidupan modern, birokrasi sangat terkait erat dengan kebijakan public (public policy) terkait pilihan yang diambil pemerintah untuk dilakukan atau justru sebaliknya untuk tidak melakukan suatu atau beberapa langkah tertentu. Posisi birokrasi sangat penting dalam kehidupan politik suatu negara, tidak terkecuali bagi negara yang demokratis maupun sebaliknya yang bersifat otoriter. Birokrasi dianggap merupakan instrumen kekuasaan yang paling utama, yaitu golongan yang mengendalikan aparat-aparat birokratis.10 Bahkan, ketika kualifikasi birokrasi rasional ala Weberian diterapkan secara konsisten, dapat menjadi faktor yang determinan bagi pembangunan ekonomi dan politik bagi negara bersangkutan. Hal ini tidak saja terkaitan dengan komitmen politik dari birokrasi untuk maksimalisasi melayani publik semata, 9 7 8 10 Ibid., h. 60. Ibid. Ali Maschan Moesa, Etika Birokrasi Dalam Perspektif Good Governance, Jenggala Pustaka Utama, Surabaya, 2013, h. 90-91. Peter M Blau & Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Penerbit Prestasi Pustakakarya, Jakarta, 2000, h. 1 4 Prayudi tetapi juga untuk pengembangan lebih lanjut kerja-kerja birokrasi itu sendiri dengan dukungan sumber daya aparatnya yang memiliki keterampilanketerampilan khusus. Perspektif birokrasi yang rasional membutuhkan individu-individunya yang bekerja dalam konteks setiap satuan organisasi dituntut untuk memiliki keterampilan-keterampilan khusus yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugasnya.11 Di negara demokrasi yang matang, seperti halnya Amerika Serikat yang menganut check and balances, posisi penting demikian diterjemahkan sebagai instrumen pelaksana kebijakan yang diputuskan oleh eksekutif dan legislatif. Sehingga, birokrasi tidak berjalan secara partisan dalam proses tarik menarik kepentingan politik.12 Berkaitan dengan posisi penting birokrasi dalam politik, konteks pengakuan atas posisi ini terkait dengan keterlibatannya yang sangat mendalam terhadap pembangunan politik. Hal ini dianggap merupakan sesuatu yang bersifat crusial tidak saja bagi netralitas birokrasi itu sendiri, tetapi juga bersentuhan dengan struktur kekuasaan, serta pertanggungjawaban terhadap netralitas yang diembannya. Tanggung jawab terhadap netralitas birokrasi adalah tidak memungkinkan untuk dilepaskan dari posisi statusnya yang higher civil service. Jika birokrasi bertindak dalam kepentingan publik, hal ini harus diserap oleh kesadaran baik secara legal maupun status sosial tersebut secara sistemik.13 Morstein Marx memandang netralitas birokrasi berasal dari status resmi administratif (officialdom) yang dilindungi oleh rasionalitas merit. Hal ini sejalan dengan pandangan Fred Riggs bahwa kematangan yang terbentuk adalah kemungkinan bagi tujuan pembangunan politik yang demokratis. Setiap proposisi yang berkembang tentang masalah ini tidak ada yang mendukung kalimat yang tidak dapat diterima bahwa netralitas birokrasi menyatakan secara tidak langsung kiasan burung unta (ostrich) semacam pengunduran diri dan isolasi dari pusat proses politik.14 Persoalan tentang birokrasi dan politik di Indonesia, ternyata memiliki arti yang sangat mendasar bagi kekuasaan regim. Di masa Orde Baru, misalnya, Karl D Jackson mengidentifikasinya sebagai konsep birokratik politik yang menunjukkan wilayah terbatas atau bahkan isolasionis dalam proses pembuatan kebijakan, di tengah masih lemahnya partispasi masyarakat dalam politik saat itu. Lebih lanjut disebutkan tentang ketiadaan 11 12 13 14 Ibid. h. 27 Untuk kasus birokrasi dan politik di AS, terutama di era perang dingin, antara lain dikaji oleh Francis E Rourke, Bureucracy, Politics, and Public Policy, Little Brown and Company, Boston-Toronto, 1992. Joseph Lapalombara (editor), Bureucracy and Political Development, New Jersey, Princenton Unibersity Press, 1963, h. 16. Ibid., h. 17. 5 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pertanggungjawaban terhadap kekuatan politik sipil, seperti halnya partai politik, kelompok kepentingan, maupun kelompok kepentingan komunal. Disebutkan oleh Karl D. Jackson: “Action designed to influence governmental decisions originate entirely within the elit itself without any need for mass participation or mobilization. Power does not result from articulation of interest from the social and geographic periphery of society. Bureucratic polities favor neither democratic nor totalitarian forms of mass participation. Parties, to the extent that they exist at all, neither control the central bureaucracy not effectively organize the masses at the local level. Essentially, bureaucratic polity is form of government in which there is no regular participation or mobilization of the people.”15 Posisi strategis birokrasi dalam pembangunan politik suatu negara sudah tentu menjadi sangat kuat relasinya dengan politik. Kasus-kasus pemilukada menunjukkan posisi strategis birokrasi dalam proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan publik, selalu dijadikan landasan bagi terjadinya politisasi secara personal elitnya yang berdampak pada kelembagaan birokrasi dalam menjalan berbagai kewenangan dan tugasnya. Pada konteks ini, terjadi hubungan kausal yang saling mempengaruhi antara politik pemilukada yang mempunyai peluang untuk mempengaruhi netralitas birokrasi pemda di satu pihak, dan di pihak lainnya, posisi strategis pemda itu terhadap fasilitasi penyelenggaraan pemilukada juga dapat memberikan pengaruh tersendiri bagi fenomena persaingan antar para kandidat yang bersaing. 15 Karl D. Jackson, “Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communications in Indonesia:”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, Political Power and Communications in Indonesia, University California Press, Berkeley, 1978, h. 4 6 BAB II DINAMIKA POLITIK SAAT MEMASUKI ERA REFORMASI 1. PENGORGANISASIAN BIROKRASI PEMDA Kelembagaan Pemda di era reformasi, berlandaskan pada undang-undang yang mengatur persoalan pemerintahan daerah, yaitu UU No. 32 Tahun 2004. Sebelum UU tersebut lahir, sempat diterapkan UU No. 22 Tahun 1999. Ketika masih berlaku UU No. 22 Tahun 1999, pemerintahan di bawah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Melalui keluarnya PP ini, setiap instansi pemerintah baik di pusat, provinsi, kabupaten, dan kota wajib melakukan penataan organisasi di lingkungannya masing-masing. PP No. 84 Tahun 2000 dianggap memberikan kekuasaan dan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah daerah dalam menyusun dan menetapkan perangkat daerahnya. Hal ini menegaskan tentang penyusunan kelembagaan perangkat daerah harus mempertimbangkan kewenangan yang dimiliki, karakteristik, potensi, dan kebutuhan daerah, serta kemampuan keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur, dan pengembangan pola kemitraan antardaerah serta dengan kerja sama dengan pihak ketiga. Namun, kewenangan dan keleluasaan yang diberikan ternyata dalam pelaksanaan diterjemahkan secara berbeda-beda oleh masing-masing daerah, karena lebih banyak bernuansa politik daripada pertimbangan rasional, obyektif, efisensi dan efektivitas.1 Pertimbangan demikian dan diperparah oleh substansi PP yang cenderung bersifat hanya sebagai pedoman menyebabkan terjadinya pembengkakkan perangkat daerah. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 23 Juli 2007, pemerintah mengeluarkan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, sebagai pedoman untuk pembentukan, penataan organisasi perangkat daerah. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, di pasal 2, ayat (2) dan (3), disebutkan bahwa pembentukan perangkat daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditetapkan dengan peraturan daerah yang berpedoman pada PP 1 Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di era Reformasi, Kencana Pradana Media Grup, Jakarta, 2008, h. 47 7 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada ini. Jumlah organisasi di lingkungan pemda ditetapkan oleh masing-masing pemda (provinsi, kabupaten, dan kota), berdasarkan kemampuan, kebutuhan, dan beban kerja, serta menetapkan besaran organisasi perangkat daerah. Berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007, pada Pasal 9, variabel pokok terkait pembentukan kelembagaan dimaksud, adalah: (a) jumlah penduduk; (b) luas wilayah, (c) jumlah APBD. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sebelum dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007, telah ada PP No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pada waktu pemberlakuan PP No. 84 Tahun 2000, daerah diberikan kebebasan untuk menentukan Satuan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK)nya sendiri, dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan daerah, namun dalam pelaksanaannya daerah cenderung masih berpikir dengan cara lama yang melakukan pemekaran organisasi perangkatnya. Akibatnya, berkembang luas jaringan perangkat organisasi daerah, padahal ketika penerapan PP No. 84 Tahun 2000, gejala pemekaran lembaga atau proliferasi dipicu oleh sebab tidak adanya kewajiban pemerintah daerah secara langsung membiayai personil setempat. Subsidi daerah otonom dari pemerintah pusat merupakan jaminan dan sekaligus insentif bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai aktivitas pemekaran organisasi perangkat daerah. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka segala pembiayaan terhadap Pemda dalam rangka desentralisasi dibiayai atas beban APBD. Akibat dari pemekaran organisasi perangkat daerah, menyebabkan pembiayaan yang tinggi dalam beban APBD terhadap birokrasi pemda.2 Pada sisi lain, dengan dikeluarkannya PP No. 84 Tahun 2000 menaikkan eselonisasi membengkaknya pembayaran gaji dan fasilitas yang harus disiapkan oleh Pemda. Melihat masalah-masalah atau berbagai konsekuensi yang muncul akibat penerapan PP No. 84 Tahun 2000, maka pemerintahan Presiden Megawati saat itu pada tanggal 17 Februari 2003 telah merevisi PP dimaksud dengan dikeluarkannya PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. PP No. 8 Tahun 2003 membatasi jumlah organisasi perangkat daerah, yaitu untuk jumlah dinas di provinsi dibatasi maksimal 10 dinas, kecuali Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang dapat mencapai jumlah sebesar 14 dinas. Sedangkan, untuk tingkat kabupaten/ kota masing-masing maksimal sebesar 8 dinas. Pembentukan dinas dan unit pelakana teknis di daerah juga harus berdasarkan kriteria yang ditetapkan 2 Udaya Madjid, Fathur Rodji, Darwis Arifin, Syaril Tanjung, dan Sarjiman Arianto, Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. XXXIV No. 3 Tahun 2008. h. 99-100. 8 Prayudi secara scoring. PP No. 8 Tahun 2003, juga membatasi jumlah jabatan baik di tingkat sekretariat daerah, dinas, lembaga teknis daerah, maupun jumlah jabatan di tingkat kecamatan dan kelurahan. Dalam perkembangan selanjutnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal Tamin, mengeluarkan Surat Keputusan (Keppmen) No. B/207/M.PAN/ 2005 yang berisi langkah penundaan atas pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2003, sampai dengan ditetapkannya peraturan pemerintah tentang pedoman organisasi perangkat daerah yang baru berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Dalam perkembangan kemudian, ketika diterapkan UU N0. 32 Tahun 2004, pemerintahan SBY-Jusuf Kalla mengeluarkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. PP No. 38 Tahun 2007 antara lain mengatur pula soal perangkat daerah, sebagaimana dinyataan dalam Pasal 12 ayat (2), berkaitan pembagian urusan pemerintahan, baik yang disebut bersifat wajib maupun pilihan menjadi dasar penyusunan bagi susunan organisasi dan tatakerja perangkat daerah. Terlepas dari semakin bengkaknya perangkat daerah, sebenarnya di tengah persoalan gaji yang rendah bagi PNS mengalami perubahan sejak dilaksanakannya kebijakan desentralisasi di Indonesia pada awal tahun 2001. Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana memandang bahwa bagi para pendukung desentralisasi, proses ini membuka ruang bagi: “enables more efficient allocation of resources, reduces information asymmetries, increases transparency, promotes citizen participation, and enhances accountability, thereby improving governance. Local governments are often more aware of and attuned to the needs of local populations than the central government, which means that local governments may have a clearer sense of which projects and policies people living in their jurisdictions would favor. This will have an impact on the duties of civil servants in different regions.” 3 Pendesentralisasian kepegawaian di era reformasi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 43 Tahun 1999, telah dilaksanakan dengan semangat yang dianggap menyimpang dari semangat desentralisasi itu sendiri. Sebenarnya, pembentukan PNS daerah pada UU No. 43 Tahun 1999 merupakan pendelegasian kewenangan kepada Pemda agar mampu menyesuaikan jumlah dan mutu pegawai dengan fungsi dan tugas Pemda. Tetapi, pada kenyataannya, setelah pelaksanaan desentralisasi kepegawaian sejak tahun 2000, dari 497 kabupaten/ kota dan 33 provinsi di seluruh tanah air, hampir tidak ada yang melaksanakan manajemen kepegawaian dengan semangat yang diharapkan, yaitu mengangkat pegawai 3 Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana, Op.cit., h. 99. 9 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada yang jumlah, komposisi dan kualifikasinya sesuai dengan beban tugas dan fungsi daerah. Sebaliknya, setiap tahun formasi calon PNS yang diberikan kepada kabupaten/kota mencapai jumlah 250 orang. Bahkan, untuk tingkat provinsi, dapat mencapai 2 kali jumlah bagi alokasi formasi untuk tingkatan kabupaten/kota.4 Salah satu unsur otonomi daerah yang ditetapkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah kewenangan dalam pengadaan, pembinaan, penggajian dan pemberhentian PNS. Sesuai dengan ketentuan ini, kepada daerah dianggap perlu diberikan kewenangan yang cukup memadai dalam bidang kepegawaian. Prinsip umum dalam kebijakan kepegawaian adalah sebagai berikut: pengangkatan PNS tetap (golongan II b ke atas) berada di pemerintah pusat dan dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sedangkan untuk pengangkatan tenaga pelaksana (Gol. I/a s.d II/ a) akan diserahkan kepada daerah. Sejalan dengan ini, kewenangan pengangkatan pejabat struktural dan fungsional ditetapkan sebagai berikut: Pejabat Eselon I dan II serta jabatan fungsional yang setara akan berada di tangan kewenangan Pusat, sedangkan Pejabat Eselon III dan jabatan fungsional setara diserahkan kepada provinsi. Adapun untuk pengangkatan pejabat Eselon IV dan V serta pejabat fungsional setara diserahkan kepada kabupaten/kota. Kewenangan pelatihan juga didesentralisasikan sesuai dengan kewenangan pengangkatan jabatan.5 Indonesia mempunyai jumlah PNS yang tergolong besar, sekitar 3,74 juta orang, atau 1.7 persen dari jumlah seluruh penduduk di tahun 2005. Figur ini mewakili penurunan dari di tahun 1974 selama awal kurun waktu sebelumnya, yaitu di masa Orde Baru, (1966-1998) ketika hal ini mencapai sekitar 2,1 persen dari jumlah penduduk. Persentase ini adalah serupa dengan beberapa negara lainnya seperti halnya India (1,2 persen), Pakistan (1,5 persen), Filipina (2,1 persen), dan Vietnam (3,2 persen).6 Tabel berikut menunjukkan bahwa, jumlah PNS yang ditugaskan di tingkat pemerintah daerah, adalah jauh lebih tinggi daripada jumlah PNS di pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap masyarakat, sejalan dengan usaha menggerakkan pemerintah untuk lebih dekat dengan masyarakat. Bahkan, tujuan utama dari reformasi 4 5 6 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Aparatur Sipil Negara (ASN),, Komisi II Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 2011, h. 2. Sofian Effendi, Reformasi Tata Pemerintahan- Menyiapkan Aparatur Negara Untuk Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi Terbuka, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2010,h. 131. Schiavo-Campo, 1998, sebagaimana dikutip Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari, Op.cit., h. 95. 10 Prayudi sektor publik seperti halnya di kebanyakan negara-negara di Asia memberikan warga negara dengan peningkatan pelayanan. Tabel 1. PNS di Pemerintahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota Local Government 1974 Number of Percentage of Civil Servants Civil Servants 2002 Number of Percentage of Civil Servants Civil Servants Central governments 1.312.254 78.3 915.660 24.0 Provincial governments Regency of municipality govenments Total 362.671 21.7 2.907.426 76.0 1.674.871 100.0 3.823.086 100.0 2 003 Number of Percentage of Civil Servants Civil Servants 840.007 23.1 311.047 8.5 2.541.561 68.4 3.648.005 100.0 2005 Number of Percentage of Civil Servants Civil Servants 896.211 24.0 303.724 8.3 2.541.560 67.9 3.741.495 100.0 Sumber: National Civil Servants, Selected Years, dalam Prijono Tjiptoherijanto dan Astrid Meilasari Sugiana, Ibid., h. 95 Hingga tahun 2012, secara nasional, PNS mencapai jumlah 4,7 juta orang dengan komposisi 246 ribu lebih merupakan pejabat struktural, 2 juta lebih aparat merupakan tenaga fungsional, terutama pendidik, tenaga kependidikan, tenaga medis, dan paramedik, serta 1,7 juta lebih pegawai tata usaha atau tenaga administrasi.7 Menurut Sofjan Effendi, untuk melayani rakyat Indonesia yang berjumlah sekitar 237 juta jiwa, diperlukan lebih kurang 4,6 juta orang pegawai, jika rasio antara pegawai per penduduk adalah 1:50. Sehingga, isu paling utama SDM aparatur negara bukan masalah kelebihan pegawai sebagaimana sering dikemukakan para pengamat, media, dan lembaga donor. Meskipun jumlah penerimaan PNS masih tergolong besar secara nasional, tetapi sebenarnya dari tahun ke tahun semakin menurun jumlah atau persentasenya. Misalnya, untuk tahun 2012 ini, penerimaan CPNS (calon pegawai negeri sipil) tahun 2012, hanya untuk 14.560 orang di 23 instansi pusat dan 25 instansi daerah. CPNS yang direkrut hanya untuk tenaga fungsional yang sangat diperlukan. Dari alokasi rekrutmen CPNS 7 “RUU ASN penting bagi Reformasi Birokrasi”, Parlementaria, Edisi 93, Th. XLII, 2012. 11 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada tahun 2012 dari jalur reguler sebanyak 61.560 orang, instansi hanya bisa menyerap 14.560 orang. Syarat merekrut CPNS adalah membuat analisis jabatan dan analisis beban kerja. Selain itu, daerah bisa menambah CPNS apabila belanja pegawainya tidak melebihi 50 persen APBD.8 Terlepas dinamika secara kuantitatif tersebut, isu pokok terkait PNS adalah SDM aparatur negara menyangkut komposisi dan distribusi yang tidak seimbang dengan beban tugas dan kondisi geografis. Kapasitas individual SDM aparatur negara rendah karena best practices dalam manajemen SDM aparatur negara belum diterapkan sebagaimana halnya di negara-negara maju. Tujuan renumerasi yang dikejar dan kurang berbasis kinerja, pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan, dan tidak adanya lembaga regulasi independen yang diperlukan pada sistem pemerintahan demokratis sangat mempengaruhi kinerja aparatur negara.9 Berlandaskan pada implikasi membengkaknya jurang komposisi PNS terhadap beban tugas dan kondisi geografis, serta sekaligus dalam rangka pembenahan organisasi birokrasi Pemda, maka dilakukan proses penyempurnaan terkait struktur perangkat Pemda, melalui antara lain PP No. 8 Tahun 2003 dan selanjutnya diperbarui pula melalui PP No. 41 Tahun 2007, yang lebih menekankan pada pedoman bersifat hal-hal pokok dan kriteria besaran organisasi perangkat daerah berdasarkan kewenangan penanganan urusan pemerintahan10, apakah bersifat wajib, delegatif, maupun bersifat pilihan bagi daerah. Rentang pengaturan semacam ini, menunjukkan masih adanya arahan tertentu dari pusat terkait kebijakan dan skala pengembangan organisasi di daerah. Sehingga, pusat dituntut memberikan kejelasan sikap atas pilihan kebijakan yang diambil daerah terkait urusan pemerintahan yang diembannya. Untuk kasus politik, sikap pusat juga dapat mewarnai pilihan dari daerah terkait proses penanganannya, dengan tidak terlepas peran dari kepala daerah itu sendiri sebagai elit daerah yang otonom pilihan pemilukada dan sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. 2. EXECUTIVE ASCEDENCY DAN RETORIKA NETRALITAS POLITIK Retorika politik regim terhadap netralitas birokrasi, sebenarnya sebelum reformasi, seringkali disampaikan kepada publik. Bahkan, retorika demikian diformulasikan dalam bentuk kebijakan tertentu yang coba diterapkan kepada birokrasi. Pandangan birokrasi yang harus netral secara politik, sudah disampaikan ketika masa pemerintahan Orde Baru. Para penguasa Orde Baru berpikiran, agar birokrasi dapat bekerja lebih baik lembaga ini harus 8 9 10 “Tahun ini hanya 14.560 calon PNS”, Kompas, 20 Juli 2012. Sofian Effendi, dalam Ibid. Ibid., h.48-49. 12 Prayudi dihindarkan dari pengotak-kotakan dukungan politik sebagaimana pernah terjadi pada masa sebelumnya. Pandangan tersebut diwujudkan dalam dua kebijakan politik yang secara khusus ditujukan kepada para pegawai di lingkungan Departemen Dalam Negeri saat itu, berupa Kepmendagri No. 12 Tahun 1969. Kedua, adalah kebijakan yang ditujukan kepada seluruh pegawai negeri, sebagaimana tertuang dalam PP No. 6 Tahun 1970. Inti dari kebijakan ini adalah pelarangan pegawai negeri menjadi anggota dan aktif dalam partai politik, serta keharusan memiliki monoloyalitas kepada pemerintah.11 Konsep monoloyalitas yang diperkenalkan oleh Jenderal Amir Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri saat Orde Baru bertujuan untuk menghindarkan konflik apapun dalam birokrasi berdasarkan perbedaan ideologi sebagaimana terjadi pada masa Soekarno. Untuk memperkuat upaya ini, pemerintah memperkuat l’esprit de corps dikalangan pegawai negeri. Mengingat bahwa Golkar dianggap sebagai salah satu kekuatan politik mewakili instrumen penguasa, maka para pendukung atau partai Islam atau partai lain kalangan nasionalis sekuler mengalami masalah ketika Korpri dibentuk. Mereka harus memilih antara mendukung partai pilihannya dan kewajiban untuk loyal kepada pemerintah, yang berarti mengarah pada dukungan bagi Golkar. Meskipun konsep ini tidak secara tegas melarang pegawai negeri untuk menjadi anggota partai politik tertentu, saat itu, konsep monoloyalitas tetap menimbulkan dampak psikologis. Hal ini karena pegawai negeri yang diorganisir Korpri secara tidak langsung menjadi anggota Golkar, apalagi Korpri sendiri merupakan salah satu pilar penyangga Golkar. Di samping itu, terdapat peraturan yang menekankan bahwa pegawai negeri harus mempunyai izin dari atasan mereka, jika dirinya ingin menjadi anggota partai politik dan kelompok-kelompok fungsional.12 Sebenarnya, upaya pemerintah Orde Baru untuk membangun stuktur yang hanya mengenal satu loyalitas bukan hal tersendiri, karena sebelum konsep ini digunakan secara formal, upaya ini telah dilakukan melalui Kokamendagri, Korps Fungsional Departemen Dalam Negeri. Lembaga ini diperkenalkan berdasarkan konsensus historis antara para ahli sipil dan pejabat tentara serta merupakan sikap puncak antipasti Orde Baru terhadap partai politik. Bedanya, Kokamendagri terbatas pada Departemen Dalam Negeri, sementara Korpri menyebarkan jaringan lebih luas dan meliputi semua pegawai negeri di Indonesia pada setiap tingkatan pemerintahan, dari struktur birokrasi di pusat hingga pada tingkatan birokrasi desa, serta pada setiap jenis badan, dari sekolah-sekolah umum hingga korporasi negara.13 11 12 13 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Penerbit Kencana, 2010, h. 217. Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKis, Yogyakarta, 2004, h.165-166. Ibid. 13 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Pasca turunnya Soeharto dari kekuasaan Orde Baru, masalah netralitas politik birokrasi juga masih menjadi sesuatu yang penting dan bahkan diangkat dalam formulasi kebijakan kepegawaian secara nasional. Usaha ini tampak pada netralitas pegawai negeri berupa larangan menjadi anggota dan aktif dalam partai tertentu, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 sebagai perubahan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Tetapi berbeda dengan TNI-Polri yang pada waktu pemilu 1999 dan 2004 dilarang menggunakan hak pilihnya, para pegawai negeri masih diberi kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya. Hanya saja, ini dibarengi oleh pelarangan ketika menggunakan simbol-simbol dan berbagai fasilitas pegawai negeri, misalnya, pegawai negeri dilarang ikut kampanye partai politik ketika masih menggunakan atribut pegawai negeri. Di samping itu, ketika hendak mencalonkan diri dalam memperebutkan jabatan-jabatan politik antara lain yaitu terkait pemilukada, misalnya saat pemilukada gubernur, bupati/walikota, pegawai negeri bersangkutan harus mengundurkan diri dari jabatan struktural yang dimilikinya.14 Dalam konteks yang lebih makro, Adam Schwartz menulis landasan stabilitas di atas dan sampai kemudian terjadi dinamika tertentu berupa dijalankannya politik akomodasi secara relatif lebih longgar bagi publik, sehubungan memudarnya kekuasaan Soeharto, bahwa: “The link between economic policy and politics is a complicated one in any society. So it is in Indonesia. Soeharto came in power determined in restrict the political process in a small elite in the belief that less politics was necessary precondition for the prolonged period of economic development. And, indeed, throughout the New Order economic policy has been formulated within a government progressively more insulated from social and political forces. Soeharto has relied at diffirent times on different policy advisers, but they have come always from within a limited circle. But as the president moves toward the end of what probably will be his last term, the political sphere is likely to widen again. There is a very real possibility that economic policy making in the 1990s will have to accommodate the political considerations of government preparing for a rate change at the top.”15 Sentralisasi birokrasi pemerintahan mendorong pemerintahan Orde Baru memang dapat mencipakan stabilitas politik dalam kurun waktu yang tergolong lama sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi, yaitu lebih dari 3 dasawarsa. Tetapi, ketika pembangunan ekonomi masih membawa penyakit “kesenjangan”, maka krisis dengan seketika dapat 14 15 Ibid., h. 219. Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia In The 1990’s, Allen & Unwin, St. Leonard, 1994, h. 72-73. 14 Prayudi menghancurkan regim yang berkuasa dengan topangan pendekatan represif dari kekuatan politik birokrasi hingga ke tingkat lokal. Adrianof A. Chaniago mengidentifikasi beberapa beberapa perangkap ketimpangan menjelang akhir regim Orde Baru, yaitu terkait antara lain mengenai kesenjangan antar wilayah. Pemberian dan pelaksanaan otonomi daerah semata-mata bergantung pada penilaian pusat yang lebih mengutamakan ukuran kemampuan ekonomi. Dasar kebijakan pemberian otonomi daerah dan penghargaan atas prestasi daerah tentu menjadi tidak adil, karena daerah-daerah yang dekat dengan pusat pertumbuhan saja yang mendapatkan pengakuan sebagai daerah berhasil dalam membangun dirinya. Model pembangunan ekonomi nasional didasari oleh menguatnya pragmatisme telah membuat semakin mengerasnya ketimpangan struktural yang berhimpitan dengan kesenjangan spasial.16 Pengalaman politisasi birokrasi di era sebelumnya menjadikan kelembagaan birokrasi tidak netral dan profesional. Upaya memberikan payung hukum yang dianggap memadai agar birokrasi dan PNS dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, juga belum dapat memberikan sesuatu hal yang positif.17 Kelima RUU yang diusahakan melalui kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yaitu berupa janji kebijakan, baru beberapa terpenuhi misalnya mengenai RUU yang kemudian menjadi UU No. 25 Tahun 1999 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan RUU Aparatur Sipil Negara yang sedang dibahas oleh Komisi II DPR dan pemerintah, tetapi yang lainnya masih berupa janji, misalnya mengenai RUU etika penyelenggara negara, dan RUU administrasi pemerintahan. Bias profesionalisme birokrasi, ditunjukkan antara lain oleh pemanfaatan posisi birokrasi pemerintahan daerah yang mempunyai peran penting dalam proses penyelenggaraan pemilukada yang dilakukan oleh KPUD. Meskipun setelah berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, keberadaan KPU dan Bawaslu, yang di tingkat daerah yaitu melalui KPUD dan Panwaslu, semakin diperkuat keberadaan tugas dan kewenangannya, tetapi realitas posisi birokrasi Pemda yang menentukan dalam tahapan proses alokasi logistik dan sumber daya anggaran terhadap pemilukada tidak dapat dinafikan. Pemerintah daerah melalui Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah, akan melakukan seleksi terlebih dahulu untuk menilai 16 17 Andrianof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, Jakarta, Penerbit LP3ES, 2012, h. 200. R. Siti Zuhro, “Good Governance dan Korupsi”, Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No. 1, 2010, h. 14. 15 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada mana yang dianggap perlu atau mana yang dinilai tidak diperlukan usulan anggaran terkait skala prioritas kebutuhan.18 Bahkan, keterlibatan unit Pemda itu sudah dilakukan sebelum rencana anggaran tersebut diajukan kepada DPRD untuk dibahas bersama. Setelah rencana anggaran Pemda yang sudah ditandatangani oleh bupati sebagai kepala daerah diajukan kepada DPRD untuk selanjutnya dibahas bersama dengan DPRD. Pada tahapan ini, DPRD biasanya mempertanyakan urgensi dari setiap alokasi anggaran dan ketika ada catatan khusus dari DPRD mengenai urgensi masing-masing kegiatan, maka rencana anggaran ini dapat dikembalikan kepada Badan Perencanaan Keuangan Daerah (BPKD). Demikian, seterusnya, sesudah direvisi oleh BPKD, rencana anggaran kembali diajukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan. Di samping peran dari birokrasi Pemda, posisi incumbent kepala daerah sangat menentukan bagi kecepatan atau lambatnya proses pencairan anggaran dan kebutuhan logistik kepada DPRD. Tidak ada ketentuan baku bahwa pemilukada harus menghabiskan anggaran dengan jumlah tertentu. Besar kecilnya anggaran sangat ditentukan oleh tingkat kebutuhan dan kemampuan daerah itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Penyelenggaraan pemilukada serapi apapun jika tidak didukung alokasi anggaran yang memadai tentu hasil yang diharapkan tidak akan maksimal. Sekurangnya terdapat tiga aliran dana yang turut meramaikan “pesta demokrasi” pemilukada. Aliran dana tersebut meliputi anggaran belanja KPU Daerah, Anggaran Belanja Panwas Pemilukada, dan Anggaran Belanja pasangan calon Kepala Daerah. Adapun sumber pendanaan tiga institusi tersebut meliputi APBN, APBD, dan anggaran non negara yang dikeluarkan oleh partai politik pengusul atau pasangan calon. KPUD selalu merancang anggaran untuk dua putaran (two round system) sebagai antisipasi jika tidak ada calon yang memperoleh jumlah suara dan persentase suara minimal sesuai ketentuan Pasal 107 UU No. 32 Tahun 2004.19 Sehingga, anggaran pemilukada menjadi membesar jumlahnya. Pos yang menyedot alokasi dana yang besar adalah KPPS. Sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004, jumlah pemilih di setiap TPS paling banyak 30 orang. Ketentuan itu memaksa KPUD di Kabupaten/Kota mengalokasikan dana yang besar bagi KPPS/TPS. Secara hitungan kasar sederhana, alokasi dana KPPS 18 19 Riris Katharina, “Studi Anggaran Pemilukada di Kota Dumai dan Kabupaten Indragiri Hulu”, dalam Indra Pahlevi (Editor), Politik Pemilukada 2010: Sebuah Kajian Terhadap Penyelenggaraan Pemilukada di Dumai dan Indragiri Hulu, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2011, h. 46. Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Rajawali Press, Jakarta, 2011, h. 162. 16 Prayudi mencapai 40 an persen dari total biaya pelaksanaan pemilukada. Apabila ketentuan ini lebih longgar, misalnya setiap TPS diperuntukkan bagi 10001200 pemilih, alokasi dana KPPS dapat berkurang cukup signifikan, antara 50-60 persen dari total dana KPPS. Pos lain yang alokasi dananya cukup besar adalah pengadaan logistik, yaitu pencetakan surat suara dan formulir berbagai model.20 Dengan dibukanya kemungkinan bagi pemilukada dalam sistem dua putaran, maka anggaran penyelenggaraannya bagi KPU Daerah akan semakin membengkak. Contohnya, sebagaimana kasus total anggaran yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemilukada Gubernur DKI tahun 2012 selama dua putaran adalah Rp258 miliar. Menurut Ketua Pokja Pendataan Pemilih KPU Provinsi DKI Jakarta, Aminullah, untuk putaran pertama, anggaran yang terpakai adalah Rp169 miliar, sedangkan sisanya Rp89 miliar digunakan untuk untuk penyelenggaraan putaran kedua.21 Salah satu aspek yang juga crusial, dalam hal pendanaan pemilukada, adalah terkait pengamanan. Kasus menjelang dilaksanakannya pemilukada gubernur Maluku, menunjukkan ketergantungannya yang sangat tinggi terhadap kebijakan pengalokasiannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kesepakatan yang dicapai antara pemerintah provinsi Maluku dan DPRD sebesar Rp32 Miliar yang berarti kurang dari Rp2 miliar dari usulan sebelumnya sebesar Rp34 miliar22, misalnya, menunjukkan sangat ditentukan oleh kebijakan pengalokasiannya melalui APBD, mengingat tidak adanya pendanaannya dari pemerintah pusat melalui APBN. Artinya, dana pengamanan pemilukada bukan berasal dari Mabes Polri. Hal ini mengingat belum adanya aturan yang mengatur penetapan besaran dana untuk pengamanan pemilukada. Padahal, Kapolri seharusnya dituntut untuk membuat standarisasi penetapan anggaran pengamanan pemilukada berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing daerah. Tujuannya agar tidak terkesan penentuan anggaran pengamanan pemilukada di daerah bersangkutan menjadi kurang terukur atau tidak berlandaskan perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Aturan yang ada lebih merupakan peraturan Kemdagri tentang biaya logistik KPU dan ketika itu sempat dirumuskan ketentuannya dalam draft RUU pemilukada berkenaan masalah pengamanan pemilukada. Kondisi ketergantungan pengamanan pemilukada pada APBD jelas tidak sehat dampaknya bagi kepentingan masyarakat dalam kebijakan alokasi pendanaan kebutuhannya agar APBD tidak terlalu dibebani dengan pendanaan pemilukada. 22 20 21 Ibid., h. 162. “Anggaran untuk Pemilihan Gubernur Jakarta Aman”, Koran Tempo, 31 Agustus 2012. “Aturan Dana Belum Ada”, Kompas, 27 April 2013. 17 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Sementara itu, ketidaksepahaman antara KPU dan Bawaslu juga dapat terjadi terkait kebutuhan anggaran pemilukada. Kasus Pemilukada Jatim, adalah salah satu di antaranya sebagai contoh. Bawaslu dan KPU Jatim sempat meminta agar Pemda Jatim menjelaskan persoalan pemangkasan anggaran pemilukada gubernur dan wakil gubernur Jatim yang saat itu direncanakan dilakukan pada tahun 2012, yaitu dari Rp943 miliar menjadi Rp663 miliar. Ketua Bawaslu Jatim, Sufyanto, mengatakan, Bawaslu Jatim mengajukan usulan kebutuhan anggaran Rp207 miliar, tetapi dalam kenyataannya justru dipangkas menjadi Rp96 miliar. Jumlah Panitia Pengawas Lapangan (PPL) juga dikurangi alokasi anggarannya, dari untuk dua orang di setiap desa, menjadi hanya satu orang. Bahkan, honor mereka pun menjadi hanya Rp400.000,- per bulan, dari usulan Rp750.000,-. Dari Rapat Koordinasi yang diusulkan Bawaslu Jatim dianggap mengacu dan sesuai dengan tahapan pelaksanaan pemilihan, seperti halnya penyusunan daftar pemilih tetap (DPT), pencalonan kampanye, serta beberapa tahapan lainnya. Tetapi, kemudian diubah oleh Pemda Jatim, menjadi Rapat Koordinasi Wilayah, yang setingkat eks Karesidenan. Bahkan, Ketua Divisi Anggaran KPU Jatim, Sayekti mengungkapkan, Pemerintah Daerah Provinsi Jatim menyusun sendiri anggaran. Studi banding yang mereka lakukan ke Jateng dan Jabar, dijadikan alasan pemangkasan yang tidak mengikutsertakan KPU Jatim. Anggaran KPU sendiri menyusut menjadi Rp501 miliar, dari semula usulan sebesar Rp646 miliar. Sementara itu, uang lembur Petugas Pemilih Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), serta Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) ditiadakan. Padahal mereka harus bekerja lembur demi kelancaran pemilihan hingga penghitungan suara. Demikian pula, jumlah pemilih berdasarkan laporan KPU kabupaten dan kota adalah 32 juta, tetapi kemudian diubah oleh Pemda Jatim menjadi 30 juta orang. Sedangkan, tempat pemungutan suara (TPS), dikurangi dari 72.611 menjadi hanya sebanyak 70.00023 Besarnya biaya pemilukada dalam setiap tahapan yang dilakukan oleh KPU daerah dan pendanaannya yang difasilitasi oleh proses administratif pemda, juga tampak pada pemeriksaan kesehatan setiap pasangan calon. Dalam kasus menuju Pemilukada Gubernur Jawa Barat tahun 2012, misalnya, menghabiskan anggaran hingga Rp180 juta. Dana ini bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat yang telah disiapkan sejak tahun 2012. Pemeriksaan kesehatan yang ditangani 24 dokter spesialis dan empat perawat senior ini meliputi pemeriksaan fisik hingga psikologi. Untuk kepentingan pemeriksaan masing-masing pasangan calon, menghabiskan Rp18 juta. 24 23 24 “Pemangkasan Anggaran Pigub Jawa Timur Dikeluhkan”, Koran Tempo 14 November 2012. “180 juta, untuk pemeriksaan Cagub Jabar”, dalam http//www.vivanews.com., diakses 26 November 2012. 18 Prayudi Melalui otoritas politiknya, kepala daerah dapat mempengaruhi birokrasi agar terjadi proses kelancaran atau sebaliknya hambatan tertentu terhadap sumber daya bagi proses penyelenggaraan tugas dan kewenangan KPUD dan Panwas Pemilukada. Aset birokrasi tidak saja penting dalam konteks ekonomi penganggaran pemilukada, tetapi juga terkait dengan sumber daya data dan aparat pelaksananya di lapangan. Hal ini seperti halnya terkait dengan kepemilikan aset data kependudukan yang dimilikinya, melalui kelembagaan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Padahal, kasus pemilukada seringkali muncul persoalan saat verifikasi KPU daerah terhadap data kependudukan versi pemda ini yang nantinya sebagai basis bagi Data Penduduk Potensial Pemilu (DP4) terkait kasus-kasus tertentu, misalnya meluasnya calon pemilih ganda. Ketidakakuratan pencatatan data kependudukan ini, sangat mudah menjadi kepentingan politik yang bersaing untuk memetakan dukungan pemilih agar menguntungkan dirinya, dan sebaliknya mengabaikan banyak pihak yang tidak tercatat sebagai pemilih. Di tengah gencarnya program e-KTP oleh pemerintah saat ini, semakin menunjukkan disparitas jumlah penduduk yang berhak memilih dengan mereka yang tercantum dalam DP4.25 Kegiatan pemutakhiran data pemilukada cenderung lebih singkat dibandingkan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden, berkaca dari pengalaman pemilu 2009. Jika pada pemilu legislatif waktu penyerahan DP4 dari pemerintah ke KPU adalah 12 bulan sebelum hari H, maka pada pemilukada hanya membutuhkan 6 bulan. Kegiatan pemutakhiran data pemilih di pemilukada, konversi data dari DP4 menjadi DPS sangat singkat waktunya, tidak diatur secara detail dalam regulasi pemutakhiran data pemilih. Dibandingkan pemilu legislatif, jangka watu konversi, penyediaan formulir dan bimbingan teknis (bintek) bagi PPK, PPS, dan PPDP, adalah selama 90 hari.26 Pemetaan dukungan dan sekaligus basis pemilih masing-masing kandidat yang 25 26 Di samping kasus Pilkada DKI,contoh lain Misalnya di kasus Jawa Timur. Di provinsi ini, ketika diumumkan realisasi program e KTP setempat tercatat hanya 470.977 dari 540. orang penduduk wajib KTP di Pamekasan, Madura yang terdaftar sebagai peserta program e-kTP. Sedangkan di Sampang, dari 662 ribu orang wajib KTP, hanya 367.894 orang yang terdaftar. Dalam pilgub Jatim yang 150 hasilnya diumumkan 2009, dituduh terjadi penggelembungan suara yang terjadi di Sampang dan Pamekasan. Sehingga, salah satu pasangan yang bukan pemenang, Khofifah Indarparawangsa-Mujiono mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Desember 2008. MK memerintahkan pemungutan suara ulang di Sampang dan Pamekasan, sehingga terjadi pilgub jatim berlangsung dalam 3 putaran hingga awal 2009. Lihat “Gus Ipul: Hasil Pilgub tidak perlu dipersoalkan lagi”, Koran Tempo, 12 April 2012. Eka Suaib, Problematika Pemutakhiran Data Pemilih di Indonesia, Penerbit Koekoesan, Depok, 2010, h. 115. 19 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada digenggam oleh birokrasi, masih sangat rawan untuk dimainkan terutama di kalangan incumbent. Kerawanan ini menjadi sisi tersendiri dari kesemrawutan DPT, yang pada gilirannya KPU daerah menjadi “korban” atas awal penyebab ketidakakuratan pencatatan dokumen kependudukan oleh pihak Pemda. Hal ini pada gilirannya menyebabkan antusiasme warga masyarakat cenderung menurun terhadap Pemilukada. Jajak pendapat Litbang harian Kompas, misalnya, menunjukkan, rata-rata tingkat partisipasi pemilih di Pemilukada mulai tahun 2010, menunjukkan persentase penurunan dibandingkan awal Pemilukada tahun 2005, yaitu dari rata-rata 75 persen, atau bahkan saat itu beberapa daerah ada yang lebih dari 90 persen, menjadi 71 persen. Dari 52 Pemilukada yang dihimpun datanya, tercatat rata-rata tingkat partisipasinya sebesar 67,9 persen.27 Pada kasus Pemilukada DKI Jakarta, menurut artikel yang ditulis oleh Ketua Panwaslu setempat, Ramdansyah, bahwa KPU menggunakan payung hukum UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Data DP 4 yang diserahkan Dinas Dukcapil kepada KPU DKI pada 6 Januari 2012, tentunya tidak bersumber pada data e-KTP. Hal ini, karena e-KTP masih dalam proses pereaeman e-KTP. Jumlah DP4 yang diserahkan Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta berjumoah 7.545.989 pemilih. Jika KPU DKI Jakarta menggunakan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka acuannya adalah data pemilih pemilu yang terakhir atau dalam konteks ini adalah DPT Pilpres per bulan Mei 2009 yang dikeluarkan oleh KPU DKI Jakarta saat itu, adalah 7.668.058 jiwa. Jika pertumbuhan penduduk DKI Jakarta adalah 1,5 persen per tahun, maka dalam tempo 2 tahun DPT pemilih DKI Jakarta meningkat sebesar 230.000 pemilih. DPS Pemilukada DKI Jakarta meningkat sebesar 230.000 pemilih. DPS Pemilukada DKI Jakarta, jika menggunakan patokan DPT Pilpres tahun 2009 sebagai dasar penghitungan KPU, maka seharusnya mencapai kisaran 7,9 juta pemilih, bukan justru menurun sebanyak 122.069 pemilih.28 Tidak saja terkait dengan pendataan pemilih, pemilukada juga berkaitan dengan proses pemekaran daerah, yang menjangkau perkembangan komplikasinya dengan keinginan pembentukan desa. Kasus di Provinsi NTB, membengkaknya jumlah desa yang ingin dibentuk berbanding lurus dengan kebutuhan anggaran bagi pemilukada setempat yang juga mengalami peningkatan. Di Provinsi NTB, pada tahun 2010 tercatat adanya 630 desa/ kelurahan dan pada tahun 2012 membengkak jumlahnya menjadi 1.119 desa/ kelurahan. Artinya, dalam dua tahun terdapat 480 desa/kelurahan tergolong baru. Jika dibagi dengan jumlah hari dalam setahun, setidaknya terdapat satu 27 28 “Antusiasme Publik Terus Turun”, Kompas, 9 Juli 2012. Ramadansyah, “Daftar Pemilih Bermasalah”, Suara Pembaruan , 29 Mei 2012. 20 Prayudi desa baru setiap harinya. Konsekuensinya, adalah membengkaknya anggaran pembangunan kabupaten/kota untuk membiayai roda pemerintahan desa. Dana itu berasal dari dekonsentrasi untuk pemerintah desa yang disebut sebagai Alokasi Dana Desa (ADD). Untuk Kabupaten Lombok Barat, dari 115 desa (4 desa belum definitif, 3 kelurahan versi Pemkab setempat), pada tahun 2012 memperoleh Rp20.106.923.000,00. Dari 15 desa itu, memperoleh ADD rata-rata Rp175 juta yang antara lain digunakan untuk honor aparat desa, pembelian alat tulis kantor (30 persen), selain untuk pembangunan sarana dan prasarana lainnya. Anggaran itu untuk kegiatan pelayanan rutin desa setiap hari. Namun, pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota akan melambung saat pemilukada sebagai efek domino dari banyaknya jumlah desa. Di NTB, misalnya, dalam kurun waktu 2013 akan dilakukan pemilukada gubernurwakil gubernur yang berlangsung serentak dengan pemilukada walikotawakil walikota Bima dan bupati-wakil bupati Lombok pada 13 Mei 2013. Penyusunan anggaran biaya oleh KPU Provinsi NTB menyusul munculnya desa-desa baru yang memerlukan petugas pelaksana selama proses pemilukada seperti halnya Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kegiatan ini memerlukan biaya besar, yang setelah dibahas eksekutif dan legislatif setempat memperoleh alokasi Rp10,5 miliar dari APBD NTB 2012 (8 miliar dan anggaran biaya tambahan (Rp2,5 miliar).29 Intervensi birokrasi terhadap kerja KPU di daerah juga sangat berpotensi untuk dijalankan untuk mendukung incumbent. Kasus KPU Pamekasan yang dianggap tidak profesional dan bertindak partisan, adalah menjadi contoh intervensi semacam itu. KPU Pamekasan tidak meloloskan salah satu pasangan Pemilukada Kabupaten Pamekasan tahun 2012, yaitu terhadap Achmad Syafii dan Halil. Pasangan ini dinilainya gagal karena terdapat surat pernyataan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bahwa KTP Halil diterbitkan secara tidak prosedural. Akibatnya, tindakan KPU daerah tersebut, semua anggota KPU Pamekasan, Jatim, diberhentikan secara tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketua dan anggota KPU Pamekasan dinilai tidak profesional, cacat hukum, berpihak, dan melanggar asas tertib dan kepastian hukum, dalam penetapan calon peserta Pemilukada Kabupaten Pamekasan.30 Sedangkan dalam pemilukada Gubernur Sulsel 2013, Panwas setempat menemukan 50 pelanggaran administrasi dan lima pelanggaran pidana yang seluruhnya dilakukan oleh PNS. Sehingga, PNS dianggap mendominasi 29 30 “Membaca Angka-Angka Pilkada NTB”, Kompas 6 Desember 2012. “KPU Pamekasan Diberhentikan”, Kompas 7 Desember 2012. 21 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pelanggaran selama masa kampanye Pemilukada Sulsel pada 5-18 Januari 2013. Kelima kasus pelanggaran terjadi di lima kabupaten/kota, yaitu Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu, Sidenreng, Rappang, dan Makasar. PNS melakukan pelanggaran, berupa keikutsertaannya dalam kampanye dua pasangan kandidat gubernur-wakil gubernur, yaitu pasangan Ilham Arief SirajuddinAbdul Azis Qahhar Mudzakar dan pasangan Syahrur Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang. PNS yang terlibat mulai dari para lurah, camat, hingga pejabatpejabat eselon. Pemilukada Sulsel diikuti pula oleh pasangan kandidat, Andi Radiyanto Asapa-Andi Nawir Pasinringi. Para PNS itu umumnya didapati mengerahkan simpatisan agar mendukung salah satu pasangan kandidat. Pelanggaran administrasi yang ditemukan, antara lain, berupa pemasangan atribut kampanye tidak pada tempatnya, dan pelaksanaan kampanye melampaui batas waktu yang telah ditetapkan.31 31 “Birokrat Melanggar”, Kompas, 19 Januari 2013. 22 BAB III KELEMBAGAAN BIROKRASI PEMDA DAN KULTUR POLITIK YANG BERKEMBANG 1. KETERGANTUNGAN SECARA PERSONAL PADA FIGUR KEPALA DAERAH Pentingnya netralitas birokrasi dalam pemilukada, biasanya sangat tergantung pada figur personal kepala daerah bersangkutan dalam melakukan langkah-langkah mencegah intervensi politik terhadap birokrasi. Hasil studi penelitian Siti Zuhro, di di Kabupaten Jember, menunjukkan pentingnya posisi dari figur personal kepala daerah setempat, meskipun berbagai kebijakan di tingkat pusat juga berperan di tingkat sekunder, yang menjadi sarana pendukung komitmen dan langkah-langkah di tingkat lokal. Hasil studi Siti Zuhro ini, antara lain menunjukkan bahwa isu netralitas birokrasi senantiasa muncul di setiap pemilu, tidak terkecuali dalam pemilukada. Pejabat Bupati Jember, Sjahrazad Masdar yang memimpin Jember sekitar tiga bulan saat itu (Mei-Agustus 2005) pernah membuat gebrakan tentang netralitas birokrasi. Gebrakan netralitas birokrasi dari pejabat bupati Jember ini, mewajibkan PNS Jember netral dan tidak terlibat dalam pemilukada serta tidak boleh mendukung atau menjadi tim sukses calon kepala daerah. Kebijakan Masdar tidak hanya didasarkan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang PokokPokok Kepegawaian, tetapi juga didukung oleh adanya Surat Edaran Menpan No. 08/2005 (SE/08.A/M.PAN/5/2005) tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Kepala Daerah. Berdasarkan legalitas kebijakan pusat dan komitmen yang dimiliki oleh Pejabat Bupati Jember ini, maka serangkaian langkah dijalankannya, termasuk melakukan proses penertiban beberapa camat dan kepala desa yang dinilai secara terang-terangan mendukung incumbent.1 Kultur politik paternalisme menciptakan kepatuhan dari masyarakat terhadap elit pemegang kekuasaan yang sukar dikontrol oleh publik terkait obyektivitas kepatuhan itu sendiri dalam konteks kepentingan publik. Sehingga, figur personalitas dalam birokrasi pemda menjadi faktor yang menentukan terhadap orientasi loyalitas yang terbentuk dengan mengacu pada kemungkinan terjadinya netralitas atau sebaliknya berupa sikap 1 R. Siti Zuhro, “Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam Pilkada Jember”, Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 6 No. 2, 2006, h. 67-69 23 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada partisan birokrasi dalam agenda politik tertentu, seperti halnya pemilukada. Politik partisan birokrasi semakin dibuka peluangnya, mengingat di Pasal 130 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan: “(1) Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur; (2) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur.” Kewenangan Gubernur/Bupati/Walikota terkait pengelolaan kepegawaian daerah, menjadi tersentralisasi secara ikatan loyalitas politik kepada kepala daerah, meskipun terdapat fungsi pertimbangan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyangkut mutasi PNS di daerah. Momentum Pemilukada yang rawan bagi terjadinya manipulasi dukungan aparat, menyebabkan netralitas birokrasi terhadap politik menjadi sangat rawan dipertaruhkan. Penanganan agenda netralitas itu kadangkala masih bertumpu pada figur secara individual di daerah bersangkutan, mengingat pergantian pejabat dapat menciptakan kondisi yang lain saat tahapan penyelenggaraan pemilukada semakin mendekat. Padahal, ini menunjukkan lemahnya rotasi jabatan sebagai hal rasional dan normal dalam lingkungan birokrasi yang profesional. Kasus menjelang Pemilukada Gubernur Jatim tahun 2013 misalnya, menunjukkan keperluan yang tinggi dalam proses rotasi pemilukada itu dengan tuntutan netralitas politik dari birokrasi. Sekretaris Daerah (Sekda), Rasiyo, yang seharusnya pada 17 Desember 2012 genap berusia 60 tahun, alias telah memasuki usia pensiun, akhirnya memperoleh kebijakan perpanjangan masa jabatannya. Presiden SBY, melalui surat Keputusan Presiden (Keppres) mengenai perpanjangan masa jabatan sekdaprov Jatim ini merupakan yang kedua kalinya. Alasan yang disampaikan Gubernur Jatim, Soekarwo, bahwa perpanjangan masa jabatan Rasiyo dinilai perlu, terutama menjelang Pemilukada Gubernur Jatim tahun 2013, yaitu dalam konteks netralitas dalam birokrasi yang membutuhkan orang yang professional, khususnya jabatan Sekda. 2 Semula santer disebut-sebut bakal menggantikan Rasiyo adalah Ahmad Sukardi (Asisten IV Sekdaprov Jatim), Akmal Boedianto (Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jatim, Moh Harun (Kepala Dinas Pendidikan Jatim, Harry Soegiri (Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan Jatim). Rasiyo yang saat ini menduduki kursi tersebut dilantik pada pada 21 April 2009 dan pensiun 20 Desember 2011. Namun faktanya, jabatan tersebut diperpanjang hingga akhir Desember 2012. Sebelumnya, Menseskab Dipo Alam menolak perpanjangan Rasiyo. Melalui surat Menseskab tertanggal 2 “Menjelang Pilkada, Masa Jabatan Sekda Diperpanjang”, Koran Tempo, 2 Januari 2013. 24 Prayudi 14 November 2012, perihal perpanjangan Batas Usia Pensiun (BUP), telah diuraikan alasan penolakan. Surat tersebut juga ditembuskan ke Presiden SBY sebagai laporan (dan pertimbangan).3 Pertimbangan penolakan BUP Rasiyo, tertera pada alenia ketiga diktum kedua, yakni: agar perpanjangan BUP tidak menjadi preseden dan kebiasaan, karena dapat mengganggu proses reformasi birokrasi dan (mengganggu) pembinaan karir PNS. Pertimbangan itu merupakan arahan Presiden, termasuk di dalamnya kepada menteri jajaran kabinet, agar tidak mengajukan perpanjangan BUP pejabat eselon I. Tetapi, kemudian, dengan alasan netralitas birokrasi, Presiden menyetujui usul perpanjangan BUP Rasiyo. Perpanjangan masa jabatan Sekda Jatim, Rasiyo, bersamaan dengan Direktur Jenderal (Dirjen) Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, yang jabatannya juga diperpanjang selama satu tahun. Pasal 122 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda antara lain, menyebutkan, tentang jabatan Sekretaris Daerah diisi oleh PNS yang diangkat untuk jabatan dimaksud dan telah memenuhi persyaratan. Untuk Sekda di tingkat Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kedudukannya sebagai Sekda, maka dirinya merupakan pembina pegawai negeri sipil di daerah. Adapun di Penjelasan ayat (4) Pasal 122 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “pembina” pegawai negeri sipil dalam ketentuan ini adalah pelaksanaan pengembangan profesionalisme dan karier pegawai negeri sipil di daerah dalam rangka peningkatan kinerja.” Di samping kasus di atas, di DKI Jakarta juga menghadapi masalah terkait persaingan politik dalam memperebutkan jabatan Sekda pasca Pemilukada Gubernur tahun 2012. Ketika jabatan Sekda yang semula dijabat oleh Fadjar Panjaitan, menjelang mamasuki masa pensiun, Gubernur Jokowi dan wakilnya, Basuki Tjahaya Purnama, sempat tidak menemukan kata sepakat dalam menentukan pejabat yang menggantikannya. Terbersit kabar adanya lima pejabat yang dinominasikan untuk menjadi Sekda Pemprov DKI. Mereka ditengarai sudah memasuki tes tahap pertama, saat itu, adalah Deputi Gubernur DKI Jakarta, Bidang Pengendalian Kependudukan dan Pemukiman, Syahrul Efendy, Walikota Jakarta Utara, Bambang Sugiyono, Kepala Inspektorat, Franky Panjaitan, Assisten Pembangunan, Wiriyatmoko, dan Asisten Pemerintahan, Silviana Murni. Hasil dari tes tahap pertama sudah menyebutkan, bahwa Wiriyatmoko dan Silviana Murni dinyatakan tidak lolos. Sementara tiga pejabat lainnya, diajukan kepada Kemendagri untuk mengikuti 3 “Jabatan Sekda Prov Jatim: Setelah Kontroversi akhirnya Resmi Diiperpanjang”. dalam http://www.wartapedia.com., diakses 2 Januari 2013.. 25 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada tes berikutnya. Di antara tiga pejabat yang maju ke tahapan 2 seleksi, dianggap terdapat dua pejabat yang didukung oleh partai politik masing-masing yang menjagokannya. Kemendagri dinilai lebih memilih Syahrul Efendy, karena dianggap berlatarbelakang birokrat, antara lain sebagai Walikota Jakarta Selatan. Sedangkan, pihak pendukung Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, lebih lebih menginginkan, Bambang Sugiyono, sebagai Sekda Pemprov DKI, dengan alasan tertentu terkait kapasitas dan kepribadian bersangkutan untuk mendukung kinerja pemerintahan setempat.4 Persoalan netralitas birokasi terhadap politik dalam konteks momentum pemilukada, juga terjadi di Provinsi Jateng. Menurut Pengajar FISIP, Undip, Semarang, M. Yulianto, pergeseran pejabat eselon II di Provinsi Jateng bulan Desember 2012, dianggap bermuatan politik. Hal ini merujuk pada kasus antara lain mengenai pergantian Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, dari Ihwan Sudarajat sebagai Staf Ahli Gubernur Provinsi Jateng, Bibit Waluyo.5 Di Provinsi Jateng, memang terjadi mutasi terhadap lebih dari 100 pejabat setempat pada kurun waktu akhir Desember 2012, dan kebijakan tersebut terkesan sangat kuat bernuansa politisasi birokrasi. Hal ini mengingat pemilukada Gubernur Jateng direncanakan saat itu akan dilakukan pada saat Mei 2013. Mendagri Gamawan Fauzi sudah mempertanyakan kebijakan mutasi pejabat di Provinsi Jateng, dan Pemda beralasan bahwa pihak Baperjakat-nya sudah melakukan persidangan untuk melakukan keputusan mutasi, justru sebelum surat edaran dari Mendagri selaku wakil pemerintah pusat diterima pihak Pemda Jateng. Alasan semacam ini dianggap tetap tepat, ketika pihak pemerintah pusat berkeinginan melarang mutasi menjelang pemilukada.6 Usaha mewaspadai terjadinya pergeseran birokrasi terkait netralitas secara politik yang sangat rawan dimainkan menjelang pemilukada, juga sekaligus merupakan dukungan bagi desentraliasi kebijakan kepegawaian yang dianut. Pasal 28 Huruf a Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat ketentuan yang melarang kepala daerah dan wakil kepala daerah membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain. Di samping itu, UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, juga ditegaskan mengenai masalah netralitas PNS. Sementara itu, melalui RUU ASN, kondisi demikian juga coba diperbaiki dengan melakukan sistem 6 4 5 Parpol Incar Sekda DKI, Suara Pembaruan, 15 Februari 2013. “Ribuan Surat Suara Rusak”, Kompas, 3 Januari 2012. “Dilarang Mutasi jelang Pilkada”, dalam Loc.cit. 26 Prayudi sentralisasi dalam manajemen kepegawaian oleh pemerintahan SBY-Boediono, sebagaimana diatur dalam draft RUU tentang Pemda, melalui Kemdagri (tahun 2011). Pasal 111 RUU Pemda dimaksud, tegas menyebutkan: “(1) Pemerintah Pusat melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil di Daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, kinerja, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, hak dan kewajiban, gaji, tunjangan, kesejahteraan, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, pengawasan dan pengendalian, dan penetapan pensiun; (3) Manajemen Pegawai Negeri Sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai satu kesatuan pengaturan dalam Undang-Undang mengenai kepegawaian.” Di tengah masih kuatnya pergeseran aparat di birokrasi terkait politik persaingan pemilukada, Mendagri Gamawan Fauzi pernah mengeluarkan Surat Edaran tentang pelaksanaan Mutasi Pejabat Struktural Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggal 27 Desember 2012. Surat Edaran Mendagri ini adalah ketentuan larangan bagi kepala daerah untuk melakukan mutasi pejabat struktural terhitung memasuki 6 bulan menjelang pemilukada. Larangan ini dianggap untuk menghilangkan politisasi PNS menjelang pemilukada. Surat Edaran Mendagri ini mencantumkan pula pengecualian tertentu, yaitu dalam konteks kepala daerah tetap dapat melakukan kebijakan mutasi pejabat struktural di masa menjelang pemilukada untuk pengisian jabatan lowong dengan tidak melakukan pemberhentian pejabat (non job), menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat struktural menjadi fungsional. Di samping itu, kepala daerah juga tetap dapat melaksanakan putusan pengadilan kepada PNS, apabila PNS yang bersangkutan terkena kasus pidana korupsi atau pidana lain. Fenomena politik lokal menunjukkan bahwa saat-saat menjelang pemilukada, jabatan struktural sering diberikan kepada para pendukung incumbent. Sementara itu, ganjaran mutasi justru diterapkan bagi mereka yang dianggap tidak mendukung kepala daerah. Mendagri Gamwan Fauzi menyatakan, politisasi PNS diharapkan dapat dihindari dan memang sudah semestinya posisi PNS merupakan pejabat karier. Sehingga, promosi diukur dari profesionalisme pegawai bersangkutan. Di samping itu, secara etika, mutasi pejabat struktural menjelang akhir masa jabatan juga dinilai sebaga langkah yang tidak patut.7 Selama ini dinilai memang tidak terdapat aturan yang secara eksplisit melarang mutasi dilakukan atas dasar kepentingan pemilukada. Tetapi, pada kenyataannya, menjelang pemilukada, seringkali 7 “Dilarang Mutasi Jelang Pilkada”, Kompas, 5 Januari 2013. 27 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada terjadi kebijakan mutasi di lingkungan birokrasi pemda. Bahkan, kepala daerah melakukan pelantikan pejabat baru hanya dalam momentum sehari menjelang pelantikan kepala daerah yang baru. Persoalan mutasi pegawai di daerah, juga memiliki dimensi konflik yang tidak saja terjadi di tingkat internal birokrasi bersangkutan, tetapi juga dengan kalangan pemerintah daerah lain, terutama yang berbatasan dengan daerahnya. Kasus mutasi pejabat di Kota Tangerang, misalnya, menunjukkan persoalan kepegawaian di lintas daerah tersebut. Hal ini sebagaimana ditunjukkan pada kasus pelantikan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang, Zainuddin, yang justru sebelumnya dirinya adalah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Kota Tangerang. Zainudin sendiri juga tercatat pernah selama 8 tahun menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kota Tanggerang. Kepindahan dan pelantikan Zainudin di Kabupaten Tangerang, bersama 19 pejabat eselon II lainnya, telah membuat Walikota Tangerang, Wahidin Halim menjadi gusar. Kegusaran Wahidin Halim didasari oleh anggapan dirinya yang merasa tidak dimintakan izin untuk kepindahan pejabat bersangkutan, sehingga dinilainya sebagai cacat hukum. Sebaliknya, bagi Bupati Tangerang, Ahmad Zaki Iskandar Zulkarnaen justru menilai, proses pelantikan Zaenudin dimaksud sudah memenuhi persyaratan dan prosedur yang berlaku.8 Sengketa mutasi pejabat di atas melibatkan Sekda Kota Tangerang Harry Mulya Zein yang mengakui, bahwa dirinyalah yang menandatangani surat pengantar mutasi untuk M. Zainudin. Hary menjelaskan bahwa surat pengantar mutasi itu ditandatangani pada 11 Maret 2013, meskipun tanpa sepengetahuan kepala daerahnya sendiri, dirinya merasa tidak melanggar aturan. Sebagai Sekda, Harry merasa memiliki kewenangan sebagai pembina PNS daerah setempat, sesuai UU No. 43 Tahun 1999. Padahal, sesuai dengan PP No. 54 Tahun 2003 tentang Formasi PNS, yang juga mengacu antara lain pada UU No. 43 Tahun 1999, di Pasal 1 angka 4 menyatakan: “Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”. Walikota Tangerang, Wahidin Halim mengadukan masalah mutasi pejabat ini kepada 8 “Bupati Tegaskan Kepindahan Pejabat Sah”, Koran Tempo, 2 Mei 2013. Kasus mutasi pejabat ini semakin memanaskan konflik antara Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Hal ini mengingat kedua daerah tersebut juga mempunyai sengketa terkait lahan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sengketa muncul setelah Pemerintah Kabupaten Tangerang mengklaim area seluas 320,6 hektar yang kini menjadi Terminal III dan sebagian Terminal II dianggap termasuk wilayahnya. Pemerintah Kabupaten Tangerang menuntut pembayaran aneka retribusi, seperti halnya parker, tetap dibayar pengelola bandara itu kepada pihaknya, sebagaimana dilakukan pada akhir 2011 dan awal 2012. Adapun Kota Tangerang sendiri menggugat, sampai kemudian bandara menghentikan pembayaran retribusi tersebut. 28 Prayudi Kemdagri dan meminta Zainudin dikembalikan ke Kota Tangerang. Bahkan, dirinya sempat mengancam untuk menonjobkan yang bersangkutan.9 Apabila mengacu pada Pasal 131 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, bahwa: “(2) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan Gubernur.” Artinya, pada kasus ini, seharusnya, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah menjadi pihak yang diajak berkonsultasi terlebih dahulu dalam rangka proses mutasi bersangkutan. Pada sisi yang lain, peran media massa di tingkat lokal yang lebih cenderung kurang berani secara frontal terhadap dugaan-dugaan penyimpangan kekuasaan dibandingkan kalangan pers di tingkat nasional, menunjukkan relasi lemahnya pengawasan publik bagi pemanfaatan jalur birokrasi dalam pemilukada menjadi hal yang sangat signifikan keberadaannya. Pemilukada sebagai bagian dari pengembangan kesadaran berpolitik rakyat ditingkat lokal, sudah tentu membutuhkan peran birokrasi yang juga terlibat secara intensif dalam pembangunan politik identitas kedaerahan dalam bingkai integrasi nasional. 2. WARNA IDENTITAS POLITIK KOMUNAL Peran birokrasi dalam pengembangan kesadaran identitas lokal di atas, sebenarnya sangat positif bagi penguatan pluralitas politik kesadaran bernegara. Tetapi, persoalannya adalah tanpa pengawasan masyarakat sipil yang sejalan dengan resources relatif besar dari birokrasi, maka figur kepala daerah menjadi terlampau dominan dalam mengarahkan peran birokrasi dimaksud. Itu sebabnya, ketika menjelang pemilukada, kekhawatiran di kalangan aparat terhadap pergeseran jabatan menjadi sedemikian menguat dan bahkan mengundang saling curiga antar satu sama lain personal aparat itu sendiri.10 Apalagi, dengan fenomena pemilukada yang sangat kuat diwarnai oleh penggunaan isu SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan), maka sikap kecurigaan ini akan menjadi api dalam sekam yang menciptakan konflik secara komunal yang membahayakan tidak saja bagi stabilitas pemerintahan daerah setempat, tetapi juga merusak ikatan kebangsaan secara nasional. 9 10 “Sekretaris Daerah Tangerang Bantah Mutasi Pejabat Langgar Aturan”, Koran Tempo, 3 Mei 2013. Kasus penggantian beberapa lurah yang menyerahkan berkas dukungan kepada pasangan Faisal Basri-Biem Benyamin dalam Pilkada Gubernur DKI 2012, misalnya salah satu di antara berbagai kasus pergeseran di tubuh pemda yang sangat kuat diduga terkait masalah politik partisan dalam Pilkada. Lihat “Faisal Basri Tak Takut Digembosi” Koran Tempo, 26 Maret 2012. 29 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Masyarakat sendiri masih mudah dibius oleh isu SARA, yang sebenarnya adalah usaha politik penyesatan elit secara tidak bertanggungjawab dalam rangka mengejar dan mempertahankan kekuasaan. Walaupun keunikan suatu daerah dengan karakteristik kosmopolitan, dapat mematahkan argumentasi kekuatan isu SARA dalam proses politik Pemilukada. Hal ini sudah dibuktikan oleh kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pemilukada DKI Jakarta, khususnya di putaran kedua, yang mengungguli pasangan Foke-Narowi Ramli. Berbagai lontaran bersifat rasial etnisitas dan isu agama justru menjadi boomerang bagi pasangan Fauzi Bowo-Narowi Ramli yang notabene didukung oleh antara lain PKS sebagai partai yang memiliki identitas politik keIslaman yang kuat. Padahal, otonomi atau federalisme dianggap dapat menurunkan konflik etnis, menaikkan tuntutan nasionalis, dan mencegah pembelotan. Ketika kelompok-kelompok etnis atau bangsa terkonsentrasi secara territorial, federasi menghilangkannya dari pusat dan membuka celah-celah baru di tingkat sub nasional. Ia memberikan sarana kepada kelompok etnis atau kebangsaan tertentu untuk memperoleh pengakuan budaya, jaminan tertentu, undang-undang, atau keuntungan untuk dirinya sendiri. Kekuasaan yang terlembaga melalui pemindahan kekuasaan atau federasi dapat memungkinkan kelompok, misalnya, untuk mengelola dan mengembangkan sistem pendidikan, lembaga-lembaga agama, atau undang-undang bahasa mereka sendiri. Hal ini juga dapat memperkenalkan kelenturan atau keragaman dalam kebijakan, program, dan alokasi sumber daya yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintahan yang terpusat.11 Meskipun demikian, menurut Jacques Bertrand, diperlukan beberapa kondisi agar otonomi bisa memiliki efek positif terhadap hubunganhubungan kelompok etnis. Pertama, unit-unit federal atau otonomi akan bisa berjalan dengan baik ketika batas-batas territorial mereka bersesuaian dengan kelompok yang relatif homogen. Tetapi juga diakui, bahwa di tengah keuntungan yang sama dapat diterapkan terhadap pemindahan kekuasaan bagi unit-unit yang heterogen, memang terdapat risikonya. Minoritas dapat menikmati status baru mereka sebagai mayoritas dalam wilayah otonom yang baru, tetapi minoritas yang baru terbentuk itu mungkin saja melakukan pembelahan kembali dirinya ke dalam kantong-kantong otonomi kedaerahan yang bahkan lebih kecil lagi. Federalisme berkemungkinan melibatkan amalgamasi unit-unit, di mana sebagian bersifat lebih homogen dari yang lain. Kedua, suatu lingkungan politik demokratis yang lebih kondusif bagi pemindahan kekuasaan politik yang berhasil. Demokrasi yang terbangun dengan baik dapat dengan lebih baik menjamin bahwa perundingan mengenai 11 Jacques Betrand, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012, h. 303. 30 Prayudi perubahan kelembagaan dilaksanakan sepenuhnya dan bahwa proses hukum dapat diakses untuk menyelesaikan pertikaian. Bahkan, pada masa pencapaian kompromi mengenai bentuk otonomi baru, partisipasi demokratis mungkin mempunyai arti penting. Solusi yang dipaksakan atau yang tidak dihasilkan dari permusyawaratan luas bisa gagal menghasilkan dukungan yang cukup untuk bisa dilaksanakan secara memadai. Para anggota kelompok yang mendapat keuntungan dari otonomi, misalnya, bisa menentang bentuk-bentuk kelembagaan yang baru dengan alasan, bawah, nantinya, otonomi bisa saja dibalik. Ketiga, terdapat peluang yang lebih baik untuk menurunkan ketegangan etnis ketika pembagian kekuasaan atau pemindahan kekuasaan, antara pusat dan berbagai unit-unitnya jelas. Federalisme kooperatif, hak pemerintah pusat untuk memveto atau memberikan keputusan kepada unit-unit otonom, bisa menurunkan keefektivan strategi demikian, khususnya dalam hubungan dengan kekuasaan yang terkait perlindungan identitas kelompok etnis. Keempat, desentralisasi keuangan mungkin sama pentingnya dengan pemindahan kekuasaan politik. Kekuasaan politik tanpa kendali atas sumbersumber keuangan bisa tidak berarti apa-apa. 12 Di tingkat internal birokrasi Pemda, dapat terjadi silang kepentingan bagi kebutuhan pengisian dan mobilitas jabatan para anggota tim sukses kepala daerah dalam Pemilukada dengan pertimbangan-pertimbangan yang bernuansa aspirasi komunal. Padahal, secara normatif, agar dapat dipromosikan ke dalam jabatan struktural di birokrasi, maka pegawai negeri harus memiliki Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) yang memiliki nilai baik. Pengangkatan dalam jabatan sudah diatur secara rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait kepegawaian, yang mensyaratkan pada masalah kepangkatan, pengalaman, pendidikan, dan kebutuhan organisasi. Tetapi dalam perkembangannya, sebagaimana banyak kasus terjadi sebagaimana pernah ditunjukkan kasus di Provinsi Sulawesi Tenggara, pengangkatan PNS dalam jabatan struktural yang lebih dominan didasarkan pada kepentingan politik yang sedang berkuasa. Dalam kasus ini, misalnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan jabatannya dilaksanakan oleh Wakil Gubernur sebagai Plt. Gubernur, maka saat itu Wakil Gubernur sebagai Plt. Gubernur, maka Wakil Gubernur Yusran Silondae mengadakan perubahan struktural jabatan birokrasi beberapa pejabat eselon II dan III yang diparkir setelah Gubernur Ali Mazi yang diaktifkan kembali sebagai Gubenur. Sehingga, semua pejabat eselon yang tadinya diangkat oleh Wakil Gubernur dikembalikan lagi dan bahkan di nonjobkan.13 12 13 Ibid., h. 304. Azhari, Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia: Studi perbandingan Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, h, 205 31 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Mutasi yang lebih spektakuler pernah dilakukan Gubernur Ali Mazi di saat terakhir kekuasaannya mengadakan mutasi jabatan eselon II, eselon III, eselon IV, di antaranya dua kepala dinas pejabat eselon II yang dinonjobkan. Mutasi yang dilakukan oleh Ali Mazi, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, di antaranya, Ridwan, Bupati Muna yang juga aktif sebagai ketua DPD II Partai Golkar di Kabupaten Muna, di mana Ali Mazi sebagai Ketua DPD Golkar, Sulawesi Tenggara. Ridwan merisaukan adanya tiga stafnya dari pemda Kabupaten Muna yang diangkat menduduki jabatan struktural di provinsi tanpa melalui mekanisme kepegawaian yang seharusnya. Di samping itu, langkah mutasi yang terkesan didasarkan pada balas dendam ini juga dikritik oleh Ridwan sebagai langkah yang keliru.14 Artinya, kelembagaan internal birokrasi, seperti halnya Baperjakat dan DP3 sama sekali diabaikan oleh kepentingan politik kekuasaan dan nilai-nilai profesionalisme justru dikorbankan keberadaannya. Pada kasus daerah lain, juga muncul pertanyaan terkait langkahlangkah pergeseran pejabat birokrasi secara besar-besaran, sebagaimana terjadi di Provinsi Aceh tidak lama setelah pemilukada dilakukan, termasuk setelah tampilnya Zaini Abdullah sebagai gubernur yang menggantikan Irwandi Yusuf. Pada 5 November 2012, Pemerintah Provinsi Aceh mendadak melakukan pergeseran besar-besaran terhadap 57 pejabat eselon II di Satuan Kerja Pemerintah Aceh. Pergeseran dilakukan terkait posisi kepala dinas, kepala badan, dan kepala biro, yang dalam perjalanan waktu saat itu adalah tergolong terbesar jumlahnya sejak tercapainya kurun waktu damai Aceh pasca penandatangan MOU Helsinki. Dari 57 pejabat eselon II yang ada, sebanyak 30 orang dimutasikan ke dinas dan badan yang lain, sedangkan sisanya diberhentikan dan dikembalikan ke posisinya, misalnya mengajar di perguruan di Aceh.15 Di satu pihak, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengatakan, pertimbangan mutasi besar-besaran ini adalah merupakan langkah pemda dalam melakukan sinkronisasi antara tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dengan keahlian dan pengalaman kerja pejabat tersebut. Di samping itu, langkah mutasi dianggapnya juga merupakan bagian dari tour of duty dan proses penyegaran di SKPA, berdasarkan hasil evaluasi kinerja dan integritas para pejabat eselon II dan dinilainya merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Tetapi, di lain pihak, menurut Koordinasi Masyarakat Transparansi Aceh, Alfian, skema pergeseran yang dilakukan justru bertolakbelakang dengan reformasi birokrasi. Rekrutmen dan pergantian yang tertutup serta muncul dugaan tekanan dari berbagai pihak terhadap 14 15 Ibid., h.206. “57 Pejabat di Aceh digeser”, dalam Kompas, 6 November 2012. 32 Prayudi Pemda sehingga pada gilirannya melakukan langkah pergeseran para pejabat dimaksud yang justru menguntungkan para elit pemburu rente setempat.16 Di samping mutasi dan pengangkatan, kepala daerah juga berwenang menetapkan kenaikan pangkat yang menjadi dasar pengangkatan CPNS Daerah di lingkungannya. PP No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS, dalam Pasal 7 disebutkan, pejabat pembina kepagawaian daerah, yaitu yang notabene dijabat oleh kepala daearah itu sendiri, di tingkat provinsi, menetapkan kenaikan pangkat PNS daerah provinsi dan PNS yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I Golongan Ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat golongan ruang IV b. Gubernur juga menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota untuk menjadi Pembina golongan ruang IVa dan Pembina Tingkat I golongan ruang IVb. Selain itu, Pasal 13 dari PP dimaksud menyebutkan, bahwa pengangkatan, pembinaan, dan pemberhentian dalam jabatan PNS daerah merupakan kewenangan penetapannya dari Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi. Penetapan Sekretaris Daerah juga menjadi kewenangan pejabat Pembina dimaksud setelah mendapat persetujuan dari DPRD Provinsi, demikian halnya sampai pada tingkatan pejabat eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemda Provinsi. Kondisi administrasi pemerintah daerah kadangkala membawa persoalan tersendiri bagi kepegawaian setempat. Sebagaimana halnya pernah terjadi di Provinsi Aceh, ditemukan kasus promosi bagi PNS-nya yang justru telah meninggal di tahun sebelumnya, tahun 2012, sebagai pejabat di jajaran eselon IVa di lingkungan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Aceh. Kesalahan promosi ini baru diketahui setelah pelantikan 442 pejabat eselon II, III, dan IV yang baru di lingkungan Pemerintah Aceh. Peristiwa melalui proses pelantikannya yang dilakukan oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. PNS yang meninggal ini diketahui bernama Rahmad Hidayat, yaitu salah seorang di antara 422 pejabat yang dilantik. Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor Peg-82122/001/2012, mempromosikan Rahmad sebagai Kepala Sub Bagian Pembinaan Produk Hukum Kabupaten dan Kota pada Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh. Rahmad sebelumnya adalah Kepala Sub Bagian Jaringan Dokumentasi, dan Informasi Hukum di Biro Hukum dan Humas Sekretariat Daerah Aceh Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan (BKPP) Aceh, Nasrullah, mengakui adanya kesalahan ini dan menduga pengangkatan almarhum sebagai pejabat eselon IVa karena pihak pengusul tidak mengetahui bahwa yang 16 Ibid. 33 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada bersangkutan telah meninggal. Kasus ini juga menjadi pertimbangan dari BKPP dan Tim Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan).17 Bahkan, dalam kasus promosi kepegawaian di Aceh, tidak saja kesalahan bagi pihak yang sudah meninggal, tetapi juga terjadi promosi bagi pihak yang pernah ditangkap dalam masalah khalwat atau mesum. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Aceh, ada nama tertentu dari PNS yang dipromosikan menjadi Kepala Bidang Sumber Daya Manusia pada Badan Dayah (Badan Urusan Pesantren) Aceh. Sebelumnya, oknum PNS bersangkutan adalah staf di Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Banda Aceh dam saat itu sempat ditangkap petugas Wilayatul Hisbah, kota Banda Aceh, berkaitan kasus khalwat dimaksud, yaitu pada tanggal 5 November 2012. 18 Belum lama berselang kontroversi peristiwa pelantikan di atas, Gubernur Aceh Zaini Abdullah kembali merombak jajaran dan struktur birokrasinya. Dalam hal ini, terdapat 26 pejabat eselon II dan III yang memperoleh promosi jabatan baru. Di samping itu, ada 10 pejabat yang dilantik sebagai pelaksana tugas di jajaran Sekretariat Pemerintah Aceh. Para pejabat yang dilantik itu merupakan beberapa kepala dinas hasil pemekaran yang dilakukan selama pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah. Di antara nama yang dilantik, terdapat nama TA Rasyid, yang menduduki Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Pemprov Aceh, menggantikan Nasrullah. Penggantian ini terkait kasus pelantikan PNS setempat yang sudah meninggal dan pejabat yang mesum pada 5 Februari 2013. Sedangkan di sisi lain, secara kelembagaan, sebagai hasil pemekaran, di antaranya terkait Dinas Pendapatan Kekayaan dan Keuangan Aceh yang dibagi dua menjadi dinas pendapatan dan kekayaan, serta dinas keuangan, dinas kehutanan dan perkebunan yang dipisah menjadi dinas kehutanan dan dinas perkebunan. Pemekaran birokrasi tersebut dianggap memperbesar beban APBD Aceh ke depan. Tercatat, bahwa untuk belanja pegawai Pemprov Aceh tahun 2013, pemerintahan setempat harus mengeluarkan dana Rp1,62 triliun dengan rincian belanja pegawai di pos belanja tidak langsung sebesar Rp974 miliar dan pos belanja langsung Rp674 miliar. Sementara itu, DAU Aceh hanya sebesar Rp1,09 triliun, sehingga terdapat kekurangan sekitar Rp519 miliar untuk menutupi belanja pegawai. Jika kekurangan ini diambil dari PAD, berarti 65,8 persen PAD akan habis untuk biaya PNS di pemerintahan Aceh.19 Kondisi serupa, terjadi dalam di DKI Jakarta, pasca Pemilukada tahun 2012, Gubernur Joko Widodo telah melakukan mutasi besar-besaran dan sekaligus melantik 20 pejabat eselon II baru setingkat kepala dinas. Bahkan, ketika 19 17 18 “Setahun Meninggal Masih Dapat Promosi”, Kompas, 8 Februari 2013. “Pegawai Pernah Tertangkap Juga Dipromosikan, Kompas, 9 Februari 2013. “Gubernur Aceh Kembali Rombak Birokrasi”, Kompas, 19 Januari 2013. 34 Prayudi mutasi di bulan Februari 2013, misalnya, di antara 20 pejabat ini, terdapat pergeseran Walikota Jakarta Selatan, Anas Efendi, yang digeser menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Pemprov DKI. Posisinya digantikan oleh wakilnya, yaitu, Syamsuddin Noor.20 Mutasi tidak saja berdimensi pergeseran para pejabat, tetapi juga mengingat adanya beberapa di antara mereka yang sudah memasuki masa pensiun dan bahkan mengundurkan diri. Misalnya, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, Paimin Napitupulu, Kepala Dinas Tata Ruang, Agus Subardono, dan Kepala Badan Penanaman Modal Provinsi, Terman Siregar yang memasuki masa pensiun. Sedangkan, jabatan Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI, Novisa memutuskan unuk mengundurkan diri secara pribadi dan digantikan oleh Yonathan Pasodung. Konteks mutasi pejabat dalam skala besar ini, tidak terlepas dari figur Gubernur/Wakil Gubernur, Jokowi-Ahok, yang terpilih dari hasil Pemilukada 2012, sangat disorot oleh publik skala nasional untuk semaksimal mungkin dituntut mampu melayani kebutuhan masyarakat Jakarta, dan berhadapan dengan persoalan kompleks di ibukota negara, terutama terkait banjir, kemacetan, dan akses terhadap penanganan kesehatan. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta berusaha mewujudkan gagasan untuk “melelang” posisi jabatan lurah dan camat yang dianggap kurang mampu bergerak maksimal terhadap pelayanan publik di wilayahnya. Sementara itu, dalam rekrutmen PNS daerah, peran kepala daerah juga sangat besar, bahkan tidak jarang perekrutan PNS menjadi komoditas. Hal ini diartikan sebagai ajang untuk mengumpulkan uang bagi kepala daerah.21 Caranya dengan menjual kursi CPNS dengan harga tertentu. Praktek ini mendorong lahirnya pegawai Pemda yang nantinya terpilih tidak memiliki kompetensi kerja sesuai dengan kebutuhan birokrasi setempat. Sehingga, terjadi penumpukan jumlah pegawai dalam unit kerja tertentu atau bahkan secara umum di setiap ruang lingkup pelayanan publik, tanpa disertai adanya beban pekerjaan yang jelas. Hal ini tentu mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara, karena dicerminkan oleh pemborosan anggaran, sementara pelayanan publik yang diselenggarakan tidak berjalan secara maksimal. Kondisi demikian sangat jamak terjadi tidak saja per kasus daerah, tetapi sudah menjadi kecenderungan yang meluas secara nasional sebagaimana dicerminkan oleh tinggi angaran rutin pembiayaan pegawai dalam APBD. Sementara itu, anggaran pembangunan daerah justru lebih kecil proporsi dan besaran anggarannya secara kuantitatif. Padahal, banyak daerah masih 20 21 “Walikota Jaksel Digeser”, Media Indonesia, 15 Februari 2013. Riris Katharina, “Pembinaan Pegawai Negeri Sipil Daerah oleh Kepala Daerah dan Masalah Netralitas (Studi di Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sulawesi Tenggara), dalam Jurnal Kajian Vol. 17, No. 2, Juni 2012, h 237. 35 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada mengalami keterisolasian dan kelangkaan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sebagai akibat dari minimnya pembangunan jaringan infrastruktur terkait sarana transportasi dan fasilitas pendukungnya. Loyalitas politik partisan menjadi hubungan antara kepala daeerah dan aparat menjadi ancaman tersendiri dalam konteks budaya politik pemerintahan daerah yang seharusnya netral. Bahkan, tidak jarang loyalitas ini dimanfaatkan ketika terjadi kasus kepala daerah bersangkutan mengalami kasus hukum tertentu. Misalnya, sebagaimana dialami di Medan, Sumut, Wali Kotanya, yaitu Rahudman Harahap yang non-aktif dan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Perkara Korupsi Medan. Rahudman Harahap yang merupakan mantan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Sumut, didakwa korupsi anggaran Tunjangan Perangkat Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) tahun 2005 senilai Rp2,07 miliar dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1,5 miliar. Saat itu, Rahmudan Harahap masih menjabat Sekda Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan. Salah satu kelompok yang berdemo pendukung walikota non-aktif ketika itu, Rahudman, adalah dari pegawai negeri Pemerintah Kota Medan. Para PNS yang menjadi pendukung kubu wali kota ini, berasalan, mereka diperintahkan datang ke Pengadilan Tipikor oleh atasanya.22 Bukan hanya soal pemanfaatan loyalitas partisan PNS dan terkait alokasi anggaran pembangunan dan rutin pembiayaan aparat yang timpang, dikeluhkan pula mengenai pelaksanaan proyek percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang menitikberatkan pada infrastruktur di seluruh provinsi justru terganjal birokrasi. Pemerintah mencetuskan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Konsepnya adalah membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru di seluruh provinsi dan kabupaten/kota dengan memanfaatkan potensi lokal. Setiap pusat pertumbuhan dihubungkan melalui infrastruktur transportasi lunak berupa teknologi informasi. Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung, pernah menyatakan, MP3EI bagus dari sisi konsep, namun terdapat masalah dalam implementasinya, yaitu kebijakan yang masih beragam dan belum sinkron, sementara pelaku usaha berkeinginan kebijakan yang tunggal dan jelas. Permasalahan ini berada pada tingkat birokrasi, sebagaimana terjadinya kondisi ego sektoralnya di setiap institusi kementerian yang sangat kuat. Sedangkan, di tingkat daerah, bupati/walikota cenderung memiliki kewenangan yang besar, sehingga gubernur sebagai koordinator wilayah tidak dapat memberikan arahan. Padahal, Komite MP3EI tidak mepunyai kewenangan yang memadai untuk melakukan terobosan terhadap berbagai kendala di tingkat lapangan. 22 “Sidang Ganjil Walikota Medan”, Tempo No. 4213/ 27 Mei-2 Juni 2013 , h. 92-93. 36 Prayudi Hal ini ditambah dengan terjadinya kondisi ketidakjelasan yang kadangkala ditemui terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) di sebagian provinsi, di samping munculnya orientasi pamrih yang berlebihan dari Pemda atau pihak otoritas daerah dalam merespons rencana investasi.23 3. KEBIJAKAN YANG DIAMBIL OLEH PEMERINTAH PUSAT Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar pernah mengatakan, perampingan jumlah pegawai di pemerintahan daerah diharapkan mampu menghemat anggaran belanja hingga 20 persen per tahun. Anggaran ini nantinya dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau program lainnya. Perampingan dapat mengubah struktur pegawai di setiap daerah. Jumlah pegawai diperkirakan akan menyusut sampai sekitar 11 persen.24 Setelah proses perampingan dianggap selesai, diharapkan Pemda akan fokus pada usaha peningkatan pendapatan PNS. Untuk menghitung jumlah penghematan yang dapat ditekan pemerintah pusat, pihak Kemdagri sedang menyusun kualifikasi pada setiap daerah. Kualifikasi tersebut nantinya akan menjadi patokan bagi proses perampingan yang dilakukan terhadap birokrasi secara nasional. Dalam nota keuangan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 2013, pemerintah menganggarkan gaji pegawai negeri sebesar Rp 24,1 triliun, atau 14 persen dari total RAPBN 2013 sebesar Rp1.675 triliun. Jumlah ini naik sebesar Rp28,9 triliun atau 13,6 persen dari pagu belanja pegawai dalam APBN P tahun anggaran 2012. Data menunjukkan bahwa jumlah pegawai dapat memakan porsi belanja yang sangat besar. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengemukakan, terdapat 183 kabupaten tertinggal yang menghabiskan 67,28 persen anggaran untuk belanja pegawai. Bahkan, terdapat kota otonom yang menghabiskan 100,59 persen dana alokasi umum (DAU) hanya untuk memenuhi kebutuhan belanja pegawainya.25 Dalam rangka menangani masalah beban anggaran belanja pegawai yang sangat berat bagi daerah, RUU Pemda yang diajukan oleh pemerintah ke DPR sejak tahun 2012, memformulasikan pengalihan belanja pegawai dari kabupaten/kota kepada provinsi. Tujuan pengalihan belanja pegawai ini adalah agar kabupaten dan kota lebih berkonsentrasi membangun daerahnya. Menurut anggota Pansus DPR tentang RUU Pemda, Ganjar Pranowo, anggaran yang harus dialokasikan pos belanja pegawai negeri begitu besar porsinya, sehingga daerah lambat tumbuh membangun daerahnya. Kondisi tersebut dianggap menjadi hambatan bagi upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Pengalihan belanja 25 23 24 “Birokrasi Ganjal Proyek”, dalam Loc.cit., h. 19 “Perampingan Pegawai Menghemat Anggaran 20 Persen”, Koran Tempo, 12 September 2012. Ibid. 37 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pegawai menjadi beban provinsi dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal provinsi yang jauh lebih besar dibandingkan kabupaten/kota. Rata-rata 50 persen pendapatan provinsi bersumber dari pendapatan asli (PAD). Di samping itu, provinsi memiliki kewenangan yang lebih sedikit dibandingkan kabupaten/ kota, karena tidak melayani publik secara langsung.26 RUU Pemda dalam rangka revisi UU No. 32 Tahun 2004 dianggap mengatur soal urusan wajib skala provinsi, urusan wajib skala kabupaten/kota, dan juga mengenai urusan pilihan kabupaten/kota yang berusaha untuk lebih difokuskan menjadi pengembangan potensi unggulan di daerah. Sebagaimana yang terjadi di Provinsi Jateng, di mana rata-rata porsinya di setiap kabupaten/ kota adalah 58,57 persen. Bahkan, di Klaten, porsi pos belanja pegawai mencapai 71,61 persen, Karanganyar 70,12 persen, Purworejo 68,58 persen, dan Temanggung sebesar 67,85 persen.27 Di samping itu, banyak daerah yang PAD nya terbatas yang berakibat munculnya ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat. Persentase dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah di sejumlah kota mencapai lebih dari 70 persen, misalnya Grobogan 79,11 persen, Brebes 78,49 persen, dan Solo 67,96 persen. Melalui pengalihan beban dan pengaturan fokus dan skala urusan, diharapkan terdapat kondisi yang dapat meminimalkan praktik penyalahgunaan keuangan negara. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2011, menunjukkan adanya empat profesi teratas yang terlibat kasus korupsi, yaitu pegawai negeri dengan 293 kasus, direktur swasta/rekanan kantor 190 kasus, anggota DPR/DPRD 99 kasus, dan kepala dinas 91 kasus. Campur tangan kepala daerah dalam birokrasi sangat kuat pasca pemilukada, dan pemetaan pendukung dan bukan pendukung dirinya saat kampanye pemilukada jelas dapat membahayakan kinerja birokrasi itu sendiri. Bahkan, langkah semena-mena dalam melakukan mutasi, promosi, demosi aparat dalam ruang lingkup jabatan strategis dan posisi “buangan” membawa konsekuensi bagi kinerja birokrasi yang dapat dipertaruhkan. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan, kepala daerah untuk tidak semena-mena terhadap aparat PNS. Jangan ada kekuasaan yang semenamena terhadap aparat. Semua mutasi ataupun pencopotan diatur dalam Undang-undang. Menurut dia, kasus mutasi atau pencopotan yang dilakukan oleh kepala daerah kerap terjadi usai pemilihan kepala daerah. Bahkan di suatu daerah, pernah terjadi terhadap sekitar 140 PNS yang di ‘nonjob’-kan. Mendagri mengaku bahwa pihaknya selalu mengingatkan, jika mutasi itu melanggar prinsip-prinsip kepegawaian maka harus dibatalkan. Menurutnya, 26 27 “RUU Pemda Alihkan Belanja Pegawai ke Provinsi”, Kompas, 31 Januari 2013. Ibid. 38 Prayudi kasus pencopotan dari jabatan adalah sanksi yang diberikan untuk kesalahan tergolong tingkatan sedang hingga pada tingkatan yang berat. Jangan ada PNS yang tidak bersalah, padahal PNS bersangkutan sudah menjalani Spamen dan Spama namun karena tidak sepaham lantas dicopot.28 Padahal, menurut Eko Prasojo, secara eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi dapat disebabkan oleh relasi antar berbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus korupsi birokrasi di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal ini bermula dari proses pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis hubungan afiliasi. Faktor eksternal lain adalah budaya masyarakat yang sangat permisif dan menjadikan suap/gratifikasi dalam proses pemerintahan dan pelayanan sebagai hal yang biasa. Artinya, terjadi penawaran dan permintaan antara birokrasi dan masyarakat untuk sebuah pelayanan.29 Kampanye pemilukada tidak saja berlangsung pada batasan waktu formal yang ditetapkan KPU daerah, tetapi biasanya sudah berlangsung jauh sebelumnya. Berbagai spanduk dan baliho misalnya, cenderung sudah beredar di kawasan transportasi dan fasilitas publik lainnya. Alasan sosialisasi para bakal calon dan sekedar testing the water tanggapan masyarakat sebelum resmi diajukan oleh jalur partai atau gabungan partai, biasanya masih dijadikan alasan agar tidak dianggap melanggar ketentuan kampanye. Sehingga, Panwas saat itu tidak dapat memberikan catatan peringatannya terkait dugaan pelanggaran terhadap model kampanye secara terselubung tersebut. Ketidakberdayaan Panwas masih terjadi, yang ironisnya pemilukada justru sudah ditempatkan pada domain atau rezim pemilu, sejak lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 lalu, yang kemudian diperkuat dalam konteks domain itu sebagai hasil revisinya di UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, setelah dalam kurun waktu lama Pemilukada masuk ke dalam rezim Pemda. Rentang waktu yang panjang pada kerangka waktu “kampanye”, semakin membuat ketegangan di internal birokrasi pemda mudah menciptakan perpecahan antar aparat. Sehingga, fungsi pelayanan publik dari birokrasi lebih banyak disibukkan dengan usaha mengeliminir dampak negatif ketegangan akibat Pemilukada dikalangan unit kerja dan para aparat. Sebaliknya, agenda pemda terhadap program pembangunan dapat saling tumpang tindih dengan muatan kampanye dari pihak kandidat, terutama yang berperan sebagai incumbent. Besarnya biaya dan potensi kejenuhan masyarakat terhadap agenda pemilu, termasuk pemilukada, mendorong usulan mengenai kemungkinan terjadinya pemilukada secara serentak. Pemilukada serentak dianggap dapat 28 29 Mendagri Minta Kepala Daerah Jangan Semena-mena”, Republika, 28 Agustus 2012. Eko Prasojo,“”Korupsi dan Reformasi Birokrasi”, Kompas, 9 Maret 2012. 39 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada menghemat biaya dan dengan konstruksi yang dilakukan secara bersamaan di setiap tingkatan secara nasional akan menempatkan isu-isu lokal dalam pemilu menjadi faktor yang signifikan bagi proses pengambilan kebijakan. Tetapi di sisi lain, Dirjen Kemdagri, Djohermansyah Djohan, menilai, pelaksanaan pemilukada secara serentak relatif sulit diawasi. Bahkan, pemilukada secara serentak dapat mengancam stabilitas keamanan nasional, jika terjadi kerusuhan akibat pemilukada dalam waktu bersamaan. Penanganannya jika terjadi kerusuhan akibat pemilukada akan sulit, karena membutuhkan biaya dan sumber daya yang sangat besar. Menurutnya, penyelesaian sengketa pemilukada juga relatif lebih relatif sulit karena penanganannya terbatas waktu. Sementara dengan penyelenggaraan secara serentak, kemungkinan besar pengajuan gugatan sengketa pemilukada juga akan dilakukan dalam waktu yang bersamaan.30 Terkait dengan besarnya beban dana kampanye bagi setiap kandidat pemilukada, sebenarnya forut Rapat Kerja Komisi II terkait pembahasan RUU Pemilukada31, yaitu ketika sejak di tingkat Panja (Panitia Kerja) sudah diwacanakan untuk melakukan pembatasan dana kampanye. Sebagaimana diusulkan oleh salah seorang anggota Komisi II DPR, A. Malik Haramain, besaran dana kampanye maksimal misalnya dapat mengambil alternatif berdasarkan jumlah penduduk yang ada di setiap daerah. Sejalan dengan ini, anggota Komisi II DPR lainnya, Yassona H. Laoly juga mengusulkan belanja kampanye harus dikurangi dan besarannya secara maksimal di setiap daerah dapat dihitung dari jumlah pemilih yang ada. Misalnya, diambil biaya Rp 1000,- per pemilih, sebagai ukuran idealnya, dan untuk daerah tergolong berpenduduk besar dengan jumlah pemilih yang banyak, seperti halnya Jabar, yang mencapai sekitar 30 juta orang, maka belanja kampanye dapat ditetapkan maksimal sebesar Rp30 miliar. Sementara itu, usul lainnya, dari anggota DPD, Farouk Muhammad, pengeluaran belanja kampanye yang dibatasi dapat ditetapkan besaran maksimalnya yaitu 1 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di setiap daerah.32 Bahkan, kalau perlu pemasangan alat peraga kampanye pun diperketat. Belanja kampanye dianggap penting untuk dibatasi karena diyakini menyebabkan biaya tinggi pemilu, termasuk pemilukada. Tingginya biaya pemilukada sangat kuat diduga mendorong lahirnya kasuskasus kepala daerah yang terjerat korupsi. 30 31 32 “Pemilihan Kepala Daerah Serentak Sulit Diawasi”, Kompas 15 September 2012. Orang masih sering menggunakan istilah RUU Pilkada, yang menjadi domain UU No.32 Tahun 2004 sebagai cermin bagian dari regim Pemda, padahal, sejak muncul UU No. 15 Tahun 2011 yang menggantikan UU No. 22 Tahun 2007, istilah yang lebih tepat adalah Pilkada, sebagai cerminan bagian dari regim Pemilukada. “Batasi Dana Kampanye”, Kompa,s 7 September 2013. 40 Prayudi Pada kasus tertentu, ketidakpastian birokrasi pemda sebagai akibat sengketa pemilukada secara berkepanjangan, juga menjadi masalah tersendiri, sebagaimana yang pernah dialami di Provinsi Papua. Pemilukada Gubernur Papua sudah tertunda lebih dari 1,5 tahun dan seharusnya sudah sejak Juli 2011 lalu, Papua memiliki Gubernur hasil pemilukada yang definitif. MK dalam sebuah putusan selanya menyatakan proses pemilihan gubernur Papua periode 2012-2017 untuk sementara dihentikan. Penghentian ini menyusul adanya pengajuan sengketa kewenangan pelaksana pemilihan gubernur oleh KPU. Sebelum sengketa itu diajukan, tahapan awal pemilihan gubernur telah diselenggarakan oleh DPR Papua. Selain didasarkan pada UndangUndang No. 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, langkah DPR Papua tersebut juga merupakan bagian dari amanat Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) No. 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Gubernur Papua. DPR Papua sudah membuka pendaftaran yang diikuti oleh tujuh pasangan bakal calon, yaitu pasangan Lukas Enembe-Klemen Tinal, MR Kambu-Blasius Pakage, Habel Melkias Suwae-Yop Kogoya, dan Alex Hasegem-Marthen Kayoi yang diusung oleh berbagai partai politik. Adapun pasangan Wellington Wenda-Weynand Watory, Noak Nawipa-Johannes Wob, serta John KarubbaWillem Magay yang maju melalui jalur independen. DPR Papua saat itu sudah melakukan verifikasi awal atas ketujuh bakal calon tersebut. Selain itu, DPR Papua juga telah menyerahkan ketujuh pasangan bakal calon tersebut kepada Majelis Rakyat Papua (MPRP) untuk verifikasi keaslian mereka sebagai orang Papua.33 Pemilukada Papua yang diselenggarakan pada tanggal 31 Juli 2011 di Kabupaten Puncak, Papua berlangsung ricuh dan menewaskan sekitar 23 orang. Isu, model mobilisasi massa dan akibat konflik kekerasan, menjadi warna dalam politik pemilukada di salah satu daerah di Papua tersebut. Pihak kepolisian, antara lain sebagaimana pernah disampaikan oleh Wakil Kepala Bareskrim, Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto, bahwa konflik dan kasus kekerasan di dalam pemilukada Papua tersebut, sudah biasa terjadi, mengingat masyarakat setempat yang bertemperamen tinggi. Sebenarnya, pihak kepolisian pun berpandangan, kasus kekerasan yang terjadi dapat diselesaikan melalui mekanisme adat, sebagaimana masyarakat Papua sudah biasa melakukannya. Sayang sekali, pernyataan kepolisian ini, tidak berbarengan dengan kesadaran fakta kolektivisme eksklusif yang seharusnya ditangani secara transformatif. Menurut Novri Susan, konflik kekerasan yang terjadi merupakan akibat negara yang tidak berhasil mencegah dan menanganinya, jatuh korban bukan merupakan kejadian biasa yang dapat dimaklumi begitu saja. Seharusnya, secara ideal, lembaga-lembaga resmi 33 “DPRP Siap Terima Apapun Putusan MK”, Kompas, 19 September 2012. 41 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pemerintahan memiliki kewenangan untuk melaksanakan transformasi kekerasan di tengah masyarakat menjadi konflik damai berbasis dialog dan mekanisme yudisial.34 Terpinggirkannya fungsi pelayanan publik dari birokrasi pemda, ketika menjelang pemilukada, menjadi keperihatinan tersendiri. Keperihatinan ini semakin diperkuat oleh paradoks perilaku boros pemda yang menggunakan sekitar separuh APBD untuk membiayai belanja pegawai. Padahal, kebiasaan ini semakin membuat kondisi keuangan semakin kritis. Temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), bahwa tahun 2012 terdapat 291 daerah yang memproyeksikan untuk belanja pegawai lebih dari 50 persen dari APBD nya. Jumlah tersebut meningkat sekitar 135 persen dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 124 daerah. Dari 291 daerah ini, terdapat 11 kabupaten/kota yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen dan tertinggi adalah di Kota Langsa, Provinsi Aceh.35 Inefisiensi birokrasi yang mengundang kritik publik, juga ditampilkan saat Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Kepatuhan terhadap Perundanganundangan tahun 2010, di awal Mei 2012, mengungkapkan sejumlah bukti yang mengindikasikan manipulasi dana perjalanan dinas PNS. Dalam laporan BPK tersebut, penyelewengan anggaran perjalanan dinas pada tahun 2010 mencapai 30-40 persen dari keseluruhan biaya perjalanan dinas PNS yang berjumlah 18 triliun. Padahal, biaya perjalanan dinas yang dialokasikan oleh negara melalui APBN setiap tahunnya selalu meningkat. Misalnya, sebagai perbandingan, pada APBN tahun 2009, dianggarkan perjalanan dinas PNS mencapai Rp2,9 triliun. Dalam APBN-Perubahan (APBN-P) justru menjadi Rp12,7 triliun, yang pada realisasinya meningkat tajam menjadi Rp15,2 triliun. Sementara itu, pada APBN tahun 2010, telah mencapai Rp19,5 triliun dan realisasinya sebesar Rp18 triliun. Sedangkan pada APBN 2011 dianggarkan Rp24,5 triliun dan pada APBN-P mencapai Rp23,9 triliun.36 Pada tahun anggaran 2013, anggaran perjalanan dinas berpotensi untuk meningkat dibandingkan dengan tahun anggaran 2012. Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, mengatakan, perjalanan dinas 2013 mencapai sebesar Rp20,9 triliun, yang berarti lebih besar dibandingkan tahun 2012 yang sebesar Rp18 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan oleh seluruh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, seperti halnya DPR dan BPK.37 34 35 36 37 Lihat Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia, Penerbit Kopi dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, h.168-171 “291 Daerah Habiskan APBD untuk pegawai”, Kompas 11 April 2012. Data-data dikutip dari Mohammad Ilham A. Jamudy, “Perjalanan Dinas PNS”, Suara Pembaruan, 25 Mei 2012. “Anggaran Perjalanan Dinas 2013 Membengkak”, Koran Tempo, 14 September 2012. 42 Prayudi APBN Rp 21 trilun Rp 24 triliun Rp 20,9 triliun Rp 16,2 triliun Rp 2,9 triliun Tabel 2. Anggaran Perjalanan Dinas Tahun 2013 APBN P -- 2012 Rp 18,9 triliun 2009 Rp 12,7 triliun 2011 2010 Rp 24,5 triliun Rp 19,5 triliun Sumber: Anggaran Perjalanan Dinas Membengkak, Koran Tempo, 14 September 2012. Secara nasional, hasil audit BPK terhadap perjalanan dinas senilai Rp18 triliun pada tahun 2011 menunjukkan adanya pemborosan sebesar 40 persen atau mencapai Rp7,2 triliun. Sementara itu, pada tahun 2010, BPK juga menemukan sejumlah penyimpangan dalam berbagai modus operandi pelakunya terkait perjalanan dinas. Sehubungan itu, sempat disuarakan agar dana Rp21 triliun untuk perjalanan dinas pemerintah pusat pada tahun 2013 mendatang agar dikurangi. Alasannya, terkait hasil pemeriksaan BPK terhadap pelaksanaan APBN pada 2010, yang menemukan banyak perjalanan dinas fiktif, duplikasi laporan, hingga bukti perjalanan dinas yang tidak valid. Biaya perjalanan dinas untuk semua kementerian dan lembaga pemerintah tahun 2013 dianggarkan sebesar Rp2,1 triliun, nilai itu jauh melampaui alokasi program-program peningkatan kesejahteraan rakyat, misalnya adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) senilai Rp7,3 triliun, bantuan siswa miskin senilai Rp10 triliun, dan subsidi benih senilai Rp0,1 triliun.38 Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Eko Sutrisno, mengatakan, dalam kurun waktu 3-4 tahun yang lalu (2009-2012), sebenarnya, tidak terlalu menarik bagi birokrat untuk mencari tambahan pendapatan. Hal ini disebabkan, biaya perjalanan dinas dihitung sesuai dengan uang yang dikeluarkan. Selain itu, sepulang dinas, pertanggungjawaban juga harus dilengkapi boarding pass, tiket, kuitansi hotel, dan bukti pembayaran lainnya. Audit juga dilakukan oleh inspektorat atau Badan Pemeriksa Keuangan. Tiket dan harga yang dibayarkan pun biasanya dicek ke maskapai penerbangan. Terkait temuan kasus penyimpangan anggaran perjalanan dinas justru tidak mudah dilakukan saat ini, sebab anggaran dikeluarkan sesuai biaya yang dikeluarkan. Di samping itu, perbaikan pengelolaan anggaran perjalanan dinas juga sangat bergantung pada komitmen pimpinan instansi.39 Pada konteks pemda, terlampau besarnya biaya perjalanan dinas dan anggaran belanja pegawai di tengah besarnya potensi terabaikannya pelayanan publik 38 39 “Perjalanan Dinas Menyimpang”, Kompas, 14 September 2012. “Kepala BKN: Perlu Komitmen Pimpinan”, Kompas, 15 September 2012. 43 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada birokrasi menjadi sesuatu yang memperihatinkan, sebagai akibat politik uang dan terseretnya kepala daerah dalam kasus korupsi. Kasus di Provinsi Bengkulu, cenderung menunjukkan implikasi politik uang pemilukada dimaksud. Bengkulu dinilai tidak berkembang potensi sosial ekonomi masyarakat dan kawasannya atau bahkan justru mengalami kemunduran. Kondisi mengenaskan tidak hanya terjadi di Ibukota Provinsi Bengkulu, yaitu Kota Bengkulu itu sendiri, tetapi juga menimpa beberapa kabupaten/kotanya. Misalnya, sebagaimana antara lain dialami dalam pengadaan seragam dan penyediaan infrastruktur perhubungan di Kabupaten Seluma. Otonomi dan pemilukada langsung yang seharusnya menjadi aktualisasi demokrasi lokal dan kedaulatan rakyat setempat, justru dianggap menimbulkan biaya tinggi dan menggilanya korupsi. Selain itu, daerah tersebut dinilai menjadi obyek keserakahan para elit yang menjadi para “raja-raja kecil”. 40 Sekretaris Tim Revisi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dari Kementerian Keuangan, Putut Hari Satyaka mengatakan, pihak Kemenkeu mengikuti konsep “uang mengikuti fungsi” (money follows function) dalam rangka menyalurkan uang di daerah. Artinya, anggaran dialokasikan berdasarkan fungsi atau urusan pemerintahan masing-masing tingkatan, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Sebanyak 31 urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah otonom, ternyata anggarannya tidak terlampau memadai bagi daerah untuk melaksanakan urusan sebanyak itu. Namun, urusan yang diserahkan kepada daerah tersebut biasanya terlampau normatif, tidak detail, sehingga sering menyebabkan munculnya wilayah abu-abu (grey area). Pengaturan urusan pada PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota juga dinilai belum terlampau detail. Sehingga, hal ini masih cenderung normatif, siapa yang berwenang mengelola dana menjadi abu-abu. Akibatnya, terjadi tumpang tindih pendanaan. 41 Besarnya belanja pegawai merupakan isu utama masalah keuangan daerah. Dari keseluruhan belanja APBD, rata-rata 46 persen dipakai untuk belanja pegawai. Rata-rata belanjanya lebih besar terjadi di tingkat kabupaten dan kota, yaitu 56 persen. Bahkan, ada daerah yang belanja pegawainya mencapai 75 persen dari keseluruhan alokasi belanja APBD, yaitu Kabupaten Klaten dan Karanganyar, di Jawa Tengah.42 Sebaliknya, belanja modal terkait penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang justru bersentuhan langsung 42 40 41 “Konsolidasi Demokrasi Bengkulu: “Korupsi pun Gila-gilaan”, Kompas, 12 Juli 2012. “Uang Mengikuti Fungsi”, Kompas, 27 November 2012. Ibid. 44 Prayudi dengan kepentingan masyarakat, daya serapnya oleh Pemda masih tergolong minim. Tercatat bahwa sekitar Rp800 miliar DAK pendidikan untuk berbagai daerah mengendap di akhir tahun 2012. Padahal, banyak daerah miskin masih membutuhkan anggaran terutama untuk infrastruktur pendidikan. Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Marwanto Harjowiryono, penyerapan dana transfer secara umum adalah baik, kecuali DAK di bidang pendidikan. Sampai akhir tahun 2012, realisasinya diperkirakan hanya 90-93 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 98 persen. Di tahun 2012, pemerintah pusat mengalokasikan DAK sebesar Rp26,1 triliun dan porsi terbesar adalah untuk pendidikan, yaitu mencapai 34 persen atau Rp8,874 triliun. Rendahnya penyerapan DAK pendidikan tahun 2012, disebabkan adanya perubahan petunjuk teknis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang baru terbit di bulan September-Oktober 2012. Usulan perubahan petunjuk teknis ini berasal dari pemda yang menilai petunjuk teknis lama terlampau sulit diterapkan. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng, pemda mengelola anggaran pendidikan dari sejumlah program. Program itu di antaranya bantuan operasional sekolah (BOS) serta dana dekonsentrasi dan pembantuan tugas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Total dana pendidikan melalui transfer ke daerah mencapai Rp 213 triliun. Dari berbagai program itu, pemda paling minim perhatiannya pada DAK pendidikan, karena tidak mau repot. DAK pendidikan mensyaratkan skema tertentu pula, sedangkan jika menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), justu lebih fleksibel. Sehingga, DAK pendidikan menjadi tidak optimal digunakan. Padahal, DAK pendidikan pada khususnya dan DAK pada umumnya lebih dari sekedar persoalan alokasi anggaran, tetapi hal ini juga membawa missi pemerataan. 43 Hasil survei yang dilakukan oleh Widiyanto menunjukkan, bahwa, perbedaan afiliasi politik antara kepala daerah dan mayoritas aspirasi kekuatan partai di DPRD menjadikan dinamika dalam pembahasan APBD seolah-olah hanya masalah protes terhadap alokasi politik penganggaran. Protes demikian dapat berkembang dan menjadikan anggaran sebagai medan konflik yang terbuka. Hal ini, sebagaimana pernah terjadi di Kabupaten Poso, Kabupaten Serang, dan Kota Balikpapan. Pada tahun 2007, Bupati Poso Piet Inkiriwang berpindah “perahu politik” dari Partai Damai Sejahtera (PDS), partai dengan kursi terbanyak di DPRD Poso yang digunakan oleh Piet Inkiriwang sebagai kendaraan politiknya, saat memenangkan pemilukada tahun 2005, kemudian pindah ke Partai Demokrat, partai yang justru 43 “800 miliar Anggaran Pendidikan Mengendap”, Kompas, 22 Desember 2012. 45 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada hanya memiliki satu wakil di DPRD. Konflik politik meruncing tajam selama beberapa bulan dan berimbas pada proses pembahasan anggaran. Dalam konflik ini, DPRD menjalin koneksi dengan para camat dalam “Forum Jaring Asmara” guna memperkuat upaya mengkritisi rancangan APBD dari pihak eksekutif. Sebagai respons atas jaringan koneksi politik ini, Bupati Poso Piet Inkiriwang pernah mengeluarkan Surat Edaran Bupati Poso No. 180/330/ Hukum tertanggal 12 Juni 2007 yang melarang seluruh SKPD Kabupaten Poso menghadiri undangan rapat dengan DPRD.44 Usaha meningkatkan kepemimpinan kepala daerah hasil pemilukada tampaknya masih belum sejalan dengan penanganan kebutuhan publik secara maksimal dan kinerja birokrasi setempat. Usaha ini masih sebatas secara seremonial atau bahkan terkait kepentinan proyek jangka pendek semata. Misalnya, ketika sebanyak 19 kepala daerah yang berangkat ke Amerika Serikat bersama kepala badan perencanaan pembangunan daerah masing-masing mulai 17 September sampai dengan 5 Oktober 2012. Mereka mengikuti executive education course on transforming leaders, di Kampus Harvard, University of Boston. Mereka adalah Bupati Padang Pariaman, Bupati Pasaman, Bupati Bangka Barat, Bupati Bangka Tengah, Bupati Belitung Timur, Bupati Sumenep, Bupati Badung, Bupati Klungkung, Bupati Dompu, Walikota Samarinda, Bupati Gorontalo, Bupati Sigi, Bupati Gowa, Bupati Minahasa Selatan, Bupati Mamuju Utara, Bupati Luwu Utara, Bupati Konawe Selatan, Bupati Seram Bagian Timur, dan Bupati Keerom.45 Sebelumnya, di tahun 2011, sebanyak 15 bupati dan 4 walikota juga pernah mengikuti program serupa untuk periode 6 September-13 Oktober 2011. Bahkan, sejak tahun 2010 hingga tahun 2012, sebenarnya sudah sebanyak 38 bupati dan walikota berikut pejabat tinggi di Bappeda di seluruh Indonesia telah mengikuti kursun intensif tersebut. Pihak Kementerian Dalam Negeri sendiri, sebagaimana menurut Kepala Badan Diklat, Harunata, bahwa program tersebut saat itu baru akan dievaluasi dengan meminta keterangan terkait kemajuan yang dicapai oleh para alumni atau sekedar masih di taraf mencari masukan. Dalam program ini, negara tidak menanggung seluruh biaya, karena terkait keperluan biaya sekolah dan akomodasi program ini ditanggung oleh pihak Harvard Kennedy School. Adapun biaya tiket pulang pergi dan uang saku ditanggung APBD masing-masing.46 Para kepala daerah diseleksi oleh Kementerian Dalam Negeri, dan para pesertanya diseleksi dari pejabat yang sudah mengikuti Orientasi 44 45 46 Widiayanto, “Keterwakilan Publik” dalam Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif”, dalam Prisma Vol. 29, No. 4, Oktober 2010, h. 107 “19 Bupati dan Walikota Berangka Lagi Ke Harvard”, Kompas 11 September 2012. Ibid. 46 Prayudi Kepemimpinan Kepala Daerah. Setiap bupati dan walikota yang terpilih berangkat bersama Kepala Bappeda atau petinggi Bappeda setempat. Namun ternyata tidak semua daerah dapat mengikuti program pendidikan dan latihan semacam ini, tercatat bahwa Provinsi Jawa Tengah, tidak ada bupati dan walikotanya yang mengikuti program tersebut, karena tidak memperoleh izin dari Gubernur Jateng, Bibit Waluyo.47 Program pelatihan kepemimpinan dan pengelolaan pemda, menjadi sangat mendasar artinya saat relasi pemilukada dan otonomi daerah justru dipertanyakan publik, yang seolah—olah hanya sekedar perjuangan memperoleh kekuasaan bagi elit dibandingkan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Paradoksnya, anggapan ini sering dianggap sebagai tuduhan yang justru akan menolak perluasan kebijakan otonomi daerah, khususnya ketika konsepsi otonomi secara luas diterapkan di tingkat daerah kabupaten/kota. Apalagi, ketika kewenangan kepala daerah yang dipilih dalam pemilukada, masih menjadi suatu perdebatan konstitusional tentang legitimasi politik yang harus dilalui melalui pesta demokrasi secara langsung dengan kewengan dirinya sendiri yang mengatur lebih lanjut kehidupan pemerintahan setempat. Desain pemilu di tingkat operasional kebijakan pemerintah, juga ikut memperkuat paradoks pemilukada dan pemerintahan daerah tersebut. Sebagaimana diketahui, Mendagri Gamawan Fauzi pernah mengatakan, pemerintah mengusulkan pemilukada yang sedianya dilaksanakan pada tahun 2014 ditunda, dan dilaksanakan pada tahun 2015. Hal ini agar pemilukada tidak relatif bersamaan waktunya dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Saat itu, usulan ini masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) revisi tentang pemerintahan daerah.48 Padahal, dari segi efisiensi sosial ekonomi dan perkuatan fundamental pemerintahan, sebenarnya keserentakan pemilukada dan pemilu nasional justru sangat positif bagi pembangunan politik. Bahkan, sebenarnya beberapa daerah sudah melaksanakan pemilukada Gubernur dan Bupati/Walikota-nya secara bersamaan melalui nota kesepahaman (MOU) antar mereka yang sudah dibuat sebelumnya. Paradoks pemilukada dalam konteks kesejalanan dengan pemilu nasional, juga terjadi saat RUU pemilukada memasukan ketentuan tentang pemilihan Gubernur yang dilakukan oleh DPRD. Alasan efisiensi dan posisi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, juga menjadi gagasan pengalihan ranah pemilihan gubernur tersebut, yang tidak lagi melalui pilihan langsung rakyat melalui pemilukada. Hal ini tentu membawa konsekuensi atas relasi DPRD dan eksekutif daerah, yang sangat kuat dengan dominasi kepentingan dan perilaku elit partai-partai politik. Di samping itu, terjadi dualisme sistem 47 48 “Tuntutlah ilmu sampai ke Harvard”, Kompas, 10 November 2012. “Pemerintah usul Pilkada 2014 ditunda”, Kompas, 1 Agustus 2012. 47 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pemerintahan daerah, yang ditandai oleh gaya parlementer diberlakukan di tingkat provinsi di satu pihak, dan di lain pihak, gaya presidensil berjalan di tingkat kabupaten/kota terkait warna politik hasil pemilukada bupati/ walikotanya. Ketika pemilukada dianggap membuka calon kepala daerah yang terlampau mengandalkan popularitas dan kurang mengenal seluk beluk birokrasi, seharusnya persyaratan terkait sisi tertentu pengalaman pemerintahan, kiranya dapat menjadi ketentuan dalam mempertahankan pemilukada tetap diberlakukan di semua daerah. Sebaliknya, ketika pemilihan gubernur diletakkan di DPRD dan bukan lagi secara pemilukada, maka kondisi partai politik yang belum kuat sebagai fundamental demokrasi, justru semakin rawan bagi perilakunya untuk memanfaatkan aset dan jaringan birokrasi. 48 BAB IV FUNDAMENTAL POLITIK KEPARTAIAN 1. PENILAIAN PUBLIK DAN OLIGARKI INTERNAL PARTAI Fundamental kepartaian yang rawan pada kasus-kasus tertentu dapat diimbangi oleh tahapan pemilukada yang membuka akses bagi publik untuk menilai secara kritis terkait dengan kapasitas dan integritas pasangan calon. Tahapan ini terutama pada saat pemaparan visi da misi dari pasangan calon dihadapan publik yaitu dalam acara debat publik yang diselenggarakan oleh KPU daerah setempat. `Pada tahapan ini publik biasanya tidak saja secara rasional menilai program dan rencana kerja pasangan calon, tetapi juga dapat menilai karakter pribadi dari calon kepala daerah dan calon kepala daerah. Bahkan, ketika pemilukada harus berlangsung dua putaran, peta suara dukungan dapat mengalami perubahan yang signifikan sebagai akibat persepsi publik yang berkembang dalam acara debat antar pasangan calon diselenggarakan. Persepsi politik yang terbentuk bukan hanya mengenai rasionalitas pengenalan kapasitas, tetapi juga pengenalan lebih jauh mengenai perasaan pemilih terhadap karakter pasangan calon. Meskipun disisi lain, serangan pribadi antar calon terkait kehidupan sehari-hari dan keluarganya tidak dikembangkan, apalagi mengenai pelemparan isu SARA yang dilakukan secara diskriminatif, yang juga turut diperkuat oleh sikap saling menjaga toleransi antar pasangan calon yang kuat antar mereka. Pemaparan pasangan calon dan gaya panggung yang disampaikannya, juga menjadi penilaian tentang bagainmana ketika sang pasangan calon terpilih dan dilantik menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah menjalankan roda birokrasi pemda. Posisi penilaian ini tampaknya akan berlomba dengan berbagai kewajiban yang biasanya merongrong bagi kinerja birokrasi pemda, di tengah kepala daerah dan wakilnya harus memenuhi janji-janji saat kampanye. Pengabaian atas aba-aba politik partai bagi pasangan calon pemilukada, atau terhadap kepala daerah pemegang kendali birokrasi pemda, dapat berakibat pada ancaman terjadinya pemakzulan bagi dirinya. Kekuatankekuatan politik fraksi sebagai kepanjangan tangan kepentingan partai dapat menggalang untuk mengajukan kewenangan kelembagaan DPRD, seperti halnya penggunaan hak meminta keterangan, angket, dan bahkan menyatakan pendapat terhadap kepala daerah. Pengalaman usaha pemakzulan oleh DPRD 49 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Kota Surabaya terhadap Walikota setempat, Tri Rismaharini, adalah salah satu contohnya. Semula, pasangan Tris Rismaharini-Bambang Dwihartono, didukung oleh PDI Perjuangan dalam pemilukada Kota Surabaya, tahun 2010. Pemilukada tahun 2010 adalah yang kedua kalinya, setelah Pemilukada tahun 2005 yang juga dimenangkan oleh pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan, Bambang DH-Arif Afandi. Luky Sandra Amalia menulis lebih lanjut, bahwa pemakzulan yang berawal dari saat Walikota Surabaya, Tri Rismaharini menaikkan pajak reklame hingga 100 persen melalui Peraturan Walikota No. 56 Tahun 2010 tentang Penghitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas pada Kawasan Khusus di Kota Surabaya yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 November 2010. Menanggapi kebijakan ini, DPRD mengajukan penggunaan hak interpelasi yang kontroversial dari pemahaman ketentuan bahwa hak interpelasi digunakan dalam rangka permintaan keterangan dari DPRD kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintahan kota yang dianggap penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana digariskan Pasal 349 ayat 2 Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPRD, DPD, dan DPRD. Padahal, persoalan kenaikan pajak reklame bukan isu yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebab, kenaikan pajak reklame hanya berpengaruh pada kepentingan segelintir orang yang terlibat usaha reklame.1 Bahkan, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, sempat meminta pemerintah kota Surabaya agar merivisi Peraturan Walikota Surabaya No. 56 dan 57 Tahun 2010 yang mendasari kenaikan pajak reklame. Hal ini sampai kemudian, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, merevisi usulannya dan menurunkan persentase kenaikan pajak reklame, melalui penerbitan Peraturan Walikota No. 70 dan 71. Tetapi, setelah revisi kebijakan pemerintah kota itupun, DPRD kota Surabaya tetap berhasrat untuk melakukan penyelidikan terkait persoalan kenaikan pajak reklame, melalui penggunaan hak angket. Dalam konteks peta politik DPRD, sebagaimana usulan hak interpelasi, hak angket juga didukung oleh berbagai fraksi, yaitu lima fraksi, kecuali dua fraksi yang ada, yaitu Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi PKS. Tetapi dalam perkembangan, adanya rekomendasi Pansus hak angket yang mengusulkan pemberhentian Tri Rismaharini sebagai walikota dan adanya tekanan dari sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Masyarakat Tegakkan Konstitusi Arek Surabaya (Matok Kon Asu), di mana sebagian besar massanya justru menggunakan atribut kaos “No The Others” sebagaimana saat kostum kampanye 1 Luky Sandra Amalia, “Politik Pengawasan DPRD Dalam Upaya Pemakzulan Kepala Daerah: Studi Kasus Walikota Surabaya”, dalam Jurnal Penelitian Politik Vol. 8, No. 1, 2011, h. 5759 50 Prayudi pemenangan pasangan Tri Rismaharini-Bambang DH dalam pemilukada 2010. Sebagian dari mereka adalah kader militant PDI Perjuangan, yang selebihnya merupakan relawan pendukung pasangan ini saat pemilukada tersebut. Meskipun dalam aksinya, mereka tidak mengatasnamakan partai, karena dilarang oleh DPP PDI Perjuangan, Dalam konteks ini, Fraksi PDI Perjuangan dan DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya melakukan perubahan sikap dari menolak hak angket menjadi pendukung pemakzulan Tri Rismaharini dari jabatan Walikota, dengan berbagai alasan mendasarinya, seperti halnya retorika dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil, tidak pernah berkomunikasi kepada partai pengusung dan dianggap lebih mempedulikan masukan dari staf ahlinya yang berasal dari luar partai dalam pembuatan kebijakan. Adanya rencana kebijakan umum anggaran (RKUA) dan rancangan prioritas plafon anggaran sementara (RPPAS) APBD Kota Surabaya tahun 2011 yang dianggap tidak berpihak masyarakat kalangan bawah, juga dijadikan alasan bagi perubahan sikap PDI Perjuangan terhadap Walikota Tri Rismaharini.2 Rangakian kasus ini, menunjukkan rawannya kendali pemerintahan dan birokrasi pemda melalui kepala daerah dan pasangannya yang diusung oleh kekuatan partai dan akses partai itu sendiri dalam penggunaan kewenangan DPRD bagi selera kekuasaan partai setempat. Goyahnya pemerintahan yang terjadi tidak terlepas dari persoalan kelembagaan politik, khususnya di tingkat partai politik. Kemenangan Partai Demokrat di Pemilu Anggota Legislatif tahun 2009 di Jatim tidak menjamin penguasaan dinamika polirik tingkat lokal. Hal ini terbukti saat pemilukada terutama di tingkat kabupaten/kota diselenggarakan, Partai Demokrat justru kurang signifikan perolehan kemenangannya dibandingkan PKB yang relatif sukses. Pada saat pemilukada langsung dilakukan di Jatim (2009-2012), misalnya, Partai Demokrat hanya meraih kemenangan di 4 Pemilukada dari keseluruhan 22 Pemilukada yang dilakukan. Kemenangan itupun diraih dengan berkoalisi bersama partai lainnya. Sebaliknya, PKB yang mengalami penurunan posisi dominannya di pemilu anggota legislatif tahun 2009 dibandingkan pemilu tahun 2004 dan tahun 1999, mampu meraih kemenangan dalam 11 Pemilukada dan bahkan 1 Pemilukada di antaranya dilakukan tanpa melalui koalisi. Di Jatim, pola koalisi yang terbangun di pemilukada cenderung tidak terlepas dari konstelasi politik di tingkat nasional yang diwarnai partai pemerintah dan partai disebut oposisi. Dari 22 Pemilukada selama 20102012, tercatat hanya satu Pemilukada, yaitu di Pemilukada Mojokerto, yang mempertemukan Partai Demokrat dan PDI Perjuangan mengajukan pasangan yang sama.3 Artinya, 21 pemilukada lainnya, antara kedua partai mengusung 2 3 Ibid., h. 62. “Demokrasi Minus Penguatan”, Kompas, 11 Desember 2012. 51 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pasangan calon yang saling berbeda. Tetapi, kelemahan kelembagaan partai yang menjadi persoalan dinamika politik agar berjalan secara terkonsolidasi, di Provinsi Jatim, adalah mengenai masih mengandalkan figur popular untuk ditampilkan secara instan dan belum mampu mengisi para kadernya sebagai calon pucuk pimpinan di setiap jenjang pemilukada yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis. Kewajiban pemenuhan kepengurusan dan organisasi kepartaian secara nasional meletakkan masalah beban anggaran dan berbagai perangkat pendukung partai menjadi sangat berat. Sesuai dengan salah satu ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, maka persyaratan kelembagaan partai ini sangat menunjukkan beratnya beban itu. Persyaratan bagi partai politik peserta pemilu antara lain, adalah keharusan partai politik memiliki kepengurusan di semua provinsi, memiliki kepengurusan di 75% kabupaten/kota di provinsi bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% kecamatan di kabupaten/kota bersangkutan. Persyaratan itu masih ditambah keharusan partai memiliki 1.000 anggota atau seperseribu dari jumlah penduduk di kabupaten/kota. Keanggotaan itu harus ditunjukkan dengan bukti kartu tanda anggota (KTA) partai politik tersebut. Pengalaman pemilukada selama ini, menunjukkan sebagian besar partaipartai yang memenangkan pertarungan dalam Pemilukada adalah partaipartai yang saling berkoalisi dalam mengusung kandidat. Namun demikian, hampir tidak ada pola koalisi atau kerjasama yang permanen di antara partaipartai yang mengajukan pasangan calon dalam pemilukada. Di satu pihak, hal ini tampak positif karena kerjasama yang dibangun adalah seolah-olah didasarkan pada kesamaan isu lokal yang hendak diusung, tetapi sebenarnya di pihak lain justru menunjukkan bahwa partai-partai tidak memiliki ideologi dan platform politik yang jelas. Di samping itu, pola kerjasama antar partai di tingkat nasional tidak sepenuhnya tidak terjadi di tingkat lokal.4 Partai-partai besar dapat saling berkoalisi dengan partai tergolong besar, partai sedang, atau bahkan dengan partai kecil. Begitu pula sebaliknya, partai kecil berkoalisi dengan sesama partai kecil atau dengan partai besar atau partai tegolong menengah. Hampir tidak terdapat suatu pola yang bersifat menetap antara daerah yang satu dengan lainnya, termasuk di antara suatu partai yang sama di kabupaten/kota yang berbeda, tetapi di dalam provinsi yang sama. Regulasi pemilukada tidak mengelola aturan mainnya secara jelas.5 4 5 Suharizal, Op,cit.h. 104. Ibid., h. 105. 52 Prayudi 2. UPAYA PENGGESERAN POSISI JABATAN BIROKRASI Dengan konstruksi politik daerah saat ini, usai pemilukada, biasa terjadi proses transformasi politik berdasarkan penentuan pemenang dan pihak yang kalah dalam pemilukada, tidak jarang diwarnai oleh tindakan saling menggeser jabatan birokrasi di antara aparat, baik berupa promosi, demosi, maupun mutasi dikalangan birokrasi pemda. Hal ini terutama berlaku bagi jabatan setingkat Sekretaris Daerah (Sekda) dan kalangan kepala-kepala dinas yang dianggap bersikap mendukung, netral atau sebaliknya menentang keberadaan incumbent yang maju kembali dalam pemilukada. Pragmatisme dalam proses pencalonan pemilukada, tidak jarang memicu persaingan antara kepala daerah dengan wakilnya yang saling bersaing atau pecah kongsi menjelang menghadapi pemilukada. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, pemerintah menyadari sistem pemilukada yang berlaku sekarang membuat “pecah kongsi” antara pasangan kepala daerah dan wakilnya, mudah terjadi. Menurut catatan pemerintah, hanya 6 persen dari keseluruhan pasangan kepala daerah dan wakilnya yang harmonis hingga periode jabatan mereka berakhir.6 Pemilukada yang mengusung calon kepala daerah/wakilnya secara berpasangan ternyata tidak sepenuhnya mampu menghadirkan pemimpin daerah yang kompak dan serasi dalam mewujudkan visi dan misi yang mereka janjikan selama kampanye. Dari 753 pasangan tersebut, hanya 21 pasangan yang masih tetap maju dengan pasangan yang sama untuk periode selanjutnya. Artinya, hanya 2,6 persen yang masih setia, sementara 97,4 persen pasangan kepala daerah dan wakilnya “pecah kongsi”. Dampak dari pecah kongsi ini tidak hanya menyebabkan bingungnya birokrasi, tetapi juga merupakan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat, karena tidak jarang mereka mengumbar konflik di depan publik.7 6 7 “Pecah Kongsi” Pilkada: Hanya 6 Persen yang berakhir harmonis”, Kompas,, 28 Maret 2012. Dari 6 persen pasangan kepala daerah yang bertahan harmonis ini untuk maju bersama kembali sebagai peserta pilkada berikutnya di tingkat provinsi, adalah Teras Narang-Achmad Diran, di Kalteng, dan Abraham O’Atururi-Rahimin Katjong di Papua. Kedua pasangan ini memenangkan pilkada tersebut di tahun 2011. Djohermansyah Djohan, “Menata Ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah”, Koran Tempo 13 Agustus 2012 dan . 53 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Tabel 3. Beberapa Sampel Contoh Kasus Pecah Kongsi dalam Pemilukada Kepala Daerah dan Wakilnya Ismeth AbdullahMuhammad Sani (Gubernur-Wakil Guebernur Kepulauan Riau 2005-2010) Bambang Dwi Hartono-Arif Afandi (Walikota-Wakil Walikota Surabaya 20052010) Fauzi Bowo-Prijanto (Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta 2007-2012) Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Gubernur Wakil Gubernur Jabar, 2008-2013. Pecah Kongsi Keterangan Di pemilukada 2010: Ismeth Abdullah terjerat kasus korupsi sehingga mendukung istrinya, Aida Ismeth, maju di pemilukada yang diusung Partai Golkar. Muhammad Sani maju sebagai calon gubernur yang diusung PDI-P, Hanura, PKNU Muhammad Sani memenangkan pemilukada 2010. Di Pemilukada 2012: Fauzi Bowo mendaftar sebagai calon gubernur berpasangan dengan Nachrowi Ramli yang diusung Partai Demokrat dan beberapa partai lainnya. Priyanto mundur dari jabatan wakil gubernur DKI, namun DPRD menolak pengunduran dirinya. Fauzi Bowo maju ke putaran kedua Pemilukada DKI 2012, tetapi dikalahkan pasangan Jokowi-Ahok. Di Pemilukada 2010: Bambang maju sebagai calon Wakil Walikota mendampingi Tri Rismaharini yang diusung PDI-P. Arif Afandi maju sebagai calon Walikota yang diusung Partai Demokrat. Pasangan Tri RismahariniBambang DH memenangkan pikada. Bambang DH sudah dua periode menjabat Walikota, sehingga di Pemilukada 2010 menjadi calon Walikota Ahmad Heryawan akhirnya berpasangan dengan aktris senior, Dedi Mizwar, ketika maju dalam Pemilukada Gubenur Jabar, 2013. Sedangkan Dede Yusuf berpasangan dengan Lex Laksamana, mantan Sekda Provinsi Jabar. Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar, diusung oleh koalisi PKS, PPP. Dam Hanura. Sedangkan, Dede Yusuf-Lex Laksamana, diusung oleh koalisi PD, PKB, PAN, dan Gerindra. 54 Prayudi Sutarmidji –Paryadi (Pemilukada Walikota Pontianak, Kalbar2013) Mardjoko-- Achamd Hussein (Pemilukada Banyumas, 2012). Sutarmidji, Ketua DPC PPP, Kota Pontianak, memutuskan untuk maju kembali dalam Pemilukada Walikota Pontianak, tetapi tanpa bersama wakilnya, yaitu Paryadi. Paryadi, merupakan kader Partai Demokrat. Incumbet Bupati, Marjoko berpasangan dengan Gempol Suwandono. Pasangan ini didukung oleh Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Gerindra. Sedangkan, Wakil Bupatinya, Achmad Hussein berpasangan dengan Budhi Setiawan. Pasangan ini diusung oleh PDI Perjuangan. Sutarmidji berpasangan dengan Kepala Dinas PU Kota Pontianak, Kalbar, Edi Rusdi Kamtono. Partai Demokrat mempunyai 8 kursi di DPRD Kota Pontianak, sehingga dapat mengajukan sendiri calonnya atau tanpa berkoaliasi. Pasangan Achmad Hussein- Budhi Setiawan mengalahkan pasangan Mardjoko-Gempol Suwandhono. Dalam Pemilukada Bupati Banyumas, 2013, juga terdapat pasangan lainnya yang kalah, yaitu Muksonuddin-Hendri Anggoro Budi yang diusung PD, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Sumber: “Rustriningsih Tinggalkan Bibit”, Kompas 6 September 2012, “Politik Uang di Banyumas, Kompas, 18 Februari 2013, dan “Pecah Kongsi di Kota Pontianak”, Kompas, 9 Februari 2013. Pola pemilihan kepemimpinan dalam satu paket tetapi berasal dari unsur terbukti menimbulkan rivalitas. Di tingkat daerah, rivalitas kepala daerah dan wakilnya tidak dapat dipungkiri bahwa banyak hubungan kepala daerah dan wakilnya tidak harmonis. Ketidakpastian penguasa provinsi sebagai akibat konflik pasangan kepala daerah dan wakilnya dapat berdampak pada kepemimpinan di kabupaten/kota. Misalnya, di Provinsi Gorontalo, Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, harus dua kali mengalami proses pelantikan bagi dirinya. Pertama, adalah ketika menggantikan Haris Nadjamuddin, Hamim Pou dilantik sebagai Bupati Bone Bolango, oleh Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo, Idris Rahim, pada tanggal 10 Mei 2013. Pelantikan saat itu tercatat sebagai berlangsung sangat meriah yang dihadiri 1000 warga setempat. Kedua, adalah pelantikan kembali Hamim Pou sebagai Bupati Bone Bolango, oleh Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie, pada tanggal 27 Mei 2013. Pelantikan yang kedua kalinya dilakukan di Gedung DPRD Kabupaten Bone Bolango, yang dihadiri 24 Anggota DPRD tersebut dan para pejabat kabupaten. Pelantikan kedua kalinya ini tercatat sebagai tidak semeriah dibandingkan pelantikan dirinya saat untuk pertama kali. Pelantikan sebanyak dua kali yang dilakukan tersebut dianggap sebagai indikator tidak kompaknya gubernur dan wakil 55 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada gubernur, di samping pemerintah provinsi yang tidak cermat menerjemahkan administrasi perundangan mengenai keabsahan pelantikan kepala daerah.8 Bahkan, pada kasus lainnya, terdapat salah seorang wakil kepala daerah di Jawa Barat tidak mau masuk kantor, karena tidak setuju dengan kebijakan bupati terkait dengan izin penggunaan genset oleh sebuah industri tekstil. Demikian juga dalam penentuan atau pengisian personalia perangkat daerah, terutama jabatan eselon II, sering muncul perebutan ntuk menempatkan “orang-orangnya” dalam jabatan yang dipandang strategis.9 Sejak masa awal bakal pencalonan, sebelum diajukan secara resmi ke KPU daerah, perpecahan antar pasangan kepala daerah dengan wakilnya dapat menjadi fenomena politik tersendiri. Di Provinsi Jateng, PDI Perjuangan yang menjadi kekuatan politik mayoritas di wilayah tersebut, terlihat sempat mengulur waktu dan sempat terkesan “ragu” dalam mendeklarasikan pasangan calonnya secara definitif. Sampai akhir tahun 2012, dalam menghadapi Pemilukada Gubernur Jateng di bulan Mei 2013, sebatas uji kelayakan dan kepatutan sejumlah calonnya di DPP PDI P. Bakal calon (balon) yang mengikuti test ini adalah Bupati Sumedang, Don Murdono, Bupati Klaten, Sunarna, Wakil Gubernur Jateng, Rustriningsih, serra beberapa tokoh lainnya. Menurut Direktur Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, FISIP Undip, Susilo Utomo, ketidak beranian partai politik untuk melakukan penjaringan internal, di antaranya karena pengalaman Pemilukada Jateng 2008. Waktu itu, pasangan cagub dan cawagub PDI P, Bibit Waluyo dan Rustriningsih, yang menang dan kemudian memimpin Jateng, dianggap justru tidak memiliki komitmen terhadap partai yang mengusungnya. Tidak pelak lagi, PDI P pun kemudian “menceraikan” dan lebih memilih penjaringan calon kembali, meskipun Bibit Waluyo masih bertekad untuk maju sebagai cagub periode kedua. Demikian pula, partai politik lainnya juga belum berani mengusung cagub petahanan. Pengalaman Bibit Waluyo yang maju melalui PDI Perjuangan dalam pemilukada Jateng tahun 2008, menjadi alasan kehati-hatian partai untuk mengajukan pasangan calon yang didukungnya. Jalur partai atau gabungan partai dalam proses nominasi pasangan calon Pemilukada Jateng, seolah “tersandera” pada figurfigur tertentu semata, seperti halnya Rustriningsih, Bibi Waluyo, dan Sekda Provinsi Jateng, Hadi Prabowo. Dalam estimasi Susilo Utomo, di tengah kemandekan pencalonan ini, calon perseorangan tampaknya sukar untuk direalisasikan untuk tampil, mengingat dibutuhkan minimal dukungan yang harus mencapai 3 persen dari sekitar 39 juta orang, atau sebesar 1, 17 juta orang. Dengan bukti dukungan KTP sebanyak 1,17 juta lembar, yang harus 8 9 “Bupati Bone Bolango di Gorontalo dilantik dua kali”, Kompas, 28 Mei 2013. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, h. 19. 56 Prayudi difoto copy membutuhkan biaya minimal Rp5.000 per lembar, maka calon perseorangan harus memiliki dana sejumlah Rp6 miliar.10 Rivalitas internal pasangan pemilukada ini terjadi karena, meskipun secara formal, wakil kepala daerah adalah “wakil” kepala daerah tersebut, namun secara riil wakil kepala daerah yang berasal dari partai yang berbeda, bukan atas dasar usulan atau pilihan kepala daerah terpilih atau kepala daerah incumbent. Dengan adanya rivalitas, fungsi dan tugas wakil kepala daerah yaitu membantu kepala daerah dalam menjalankan berbagai kebijakan yang dapat terbengkalai, karena alih-alih membantu, dirinya malahan sibuk “mengintip” berbagai momentum kelemahan dan kelengahan kepala daerah atau sengaja membiarkan kepala daerah menggali lubang sendiri terjerat hukum atau mendapatkan hukuman, yang mengharuskan dirinya diberhentikan. Dengan kondisi demikian, wakil kepala daerah dengan “lenggang kangkung” otomatis menjadi kepala daerah. Di samping masalah rivalitas, antara kepala daerah dan wakilnya juga bisa saja memiliki prefrerensi yang berbeda untuk suatu kebijakan atau pilihan tertentu baik yang didasarkan atas kepentingan atau pertimbangan subyektifnya. Perbedaan in iakan menjadi masalah manakala perbedaan itu muncul ke atas permukaan.11 Persoalan calon berpasangan berkaitan dengan pengaturan mengenai keberadaan jabatan kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara historis, dalam pemerintahan daerah di Indonesia, selalu dikenal adanya wakil kepala daerah. Tugas utama wakil kepala daerah adalah membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya. Namun dalam setiap undang-undang yang mengaturnya, terdapat variasi cara rekrutmen wakil kepala daerah tersebut. UU No. 22 Tahun 1948 mengatur bahwa wakil kepala daerah ditunjuk apabila kepala daerah berhalangan. Penunjukkan itu tidak berakibat lahirnya jabatan baru (Wakil Kepala Daerah) pada samping jabatan Wakil Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah ditunjuk dari anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Anggota DPD saat itu sebagai pihak yang ditunjuk menjadi wakil kepala daerah tetap menjadi anggota DPD. Sedangkan, UU No. 5 Tahun 1974 mengatur bahwa wakil kepala daerah sudah merupakan jabatan permanen dengan pejabatnya yang merupakan pejabat karier. Jumlah wakil kepala daerah menurut UU ini sesuai dengan kebutuhan daerah. Adapun ketika diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 diatur bahwa wakil kepala daerah dicalonkan berpasangan dengan calon kepala daerah dan dipilih melalui perwakilan (oleh DPRD). Selanjutnya, ketika memasuki era UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa wakil kepala daerah dicalonkan berpasangan dan dipilih secara langsung oleh rakyat (warga negara yang memiliki hak pilih).12 12 10 11 “Perseorangan Sulit Maju”, Kompas, 27 Desember 2012. Ibid. Ibid., h. 23. 57 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Dengan perkembangan pengaturan yang terakhir di atas, maka peran wakil kepala daerah selain untuk membantu pelaksanaan tugas kepala daerah, juga mempunyai dimensi politik tersendiri, yaitu memperluas basis dukungan politik kepala daerah. Untuk hal yang kedua ini, yaitu tentang perluasan basis dukungan politik kepala daerah, wakil kepala daerah secara politis juga mempunyai kedudukan yang sama dengan kepala daerah. Namun, keadaan yang normatif posisional struktural pemerintahan ini, pada kenyataannya tidak terjadi pada saat kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah dilantik untuk menduduki jabatan. Sejak saat pelantikan itulah, wakil kepala daerah merupakan pembantu atau bahkan “subordinate” dari kepala daerah. UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa wakil kepala daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah. Implikasinya, kedudukan keuangan dan kedudukan protokoler wakil kepala daerah seringkali dianggap tidak fair oleh wakil kepala daerah. Akibat lebih lanjut ketidakseimbangan kedudukan politik riil ini, terbangunnya kecenderungan hubungan kerja yang kurang harmonis dari pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.13 Menurut Dirjen Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan, pada konteks hubungan pemilukada dengan posisi wakil kepala daerah, kekhawatiran bahwa pemilihan wakil kepala daerah yang terpisah dari kepala daerah akan berdampak terhadap legitimasi sang wakil kepala daerah apabila kepala daerahnya berhalangan tetap, adalah tidak perlu dipersoalkan. Data dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan, dari 753 pasangan kepala daerah/ wakil terpilih, hanya terdapat 9 kepala daerah (1,19 persen) yang berhalangan tetap menggantikan kepala daerah, sebagaimana aturan berlaku selama ini. Jika kepala daerah itu berhalangan tetap, maka wakilnya ditugaskan untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang baru.14 Perpecahan pasangan calon antar incumbent kepala daerah dan wakilnya, seringkali merusak kinerja birokrasi pemda, baik sebelum, saat proses penyelenggaraan, maupun pasca penetapan hasil pemilukada. Kinerja pelaksanaan tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh instansi pemda, seringkali tidak maksimal, sebaliknya saling curiga dan kekhawatiran antar aparat serta upaya tim sukses pasangan calon yang bersaing justru berusaha memanfaatkan birokrasi sebagai salah satu kekuatan politiknya. Di samping terganggunya kinerja birokrasi, tanpa akuntabilitas publik antara kepala daerah sebagai pemimpin di daerah dan birokasi setempat yang menjalankan tugas dan kewenangannya, maka pemilukada dapat mendorong lahirnya dualisme loyalitas pasangan kepala daerah itu sendiri terhadap partai dan politik konstituennya di satu sisi dengan kebijakan pemerintah pusat yang seharus diimplementasikan secara 13 14 Ibid. Djohermansyah Djohan, dalam Loc.cit. 58 Prayudi tepat di daerah masing-masing. Kasus penentangan rencana kebijakan pusat untuk menaikkan bahan bakar minyak (BBM)15, misalnya, belum lama berselang, menunjukkan loyalitas politik pimpinan daerah hasil pemilukada tidak berjalan positif dengan keinginan dari pemerintah pusat. Di sini, birokrasi pemda, jelas berpotensi untuk mengalami terjadinya disorientasi pelayanan publik yang justru menjadi tugas utamanya terhadap kepentingan masyarakat setempat. Melalui draft RUU Pemda tahun 2012 dalam pasal 41, pemerintah mengusulkan antara lain bahwa: “(3) Wakil kepala daerah adalah jabatan negeri setingkat eselon I B untuk wakil gubernur dan setingkat eselon II A untuk bupati/walikota; (4) Wakil kepala daerah berhenti bersama-sama dengan berhentinya kepala daerah; Dalam pasal 42 RUU Pemda, ditegaskan mengenai kewenangan pengusulan yang berasal dari kepala daerah terkait calon-calon wakilnya kepada pemerintahan “atasan”, dan ini tampaknya memiliki implikasi bagi penguatan politik bangunan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya. Posisi kepemimpinan eksekutif daerah menjadi bukan lagi secara paket sebagaimana dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda selama ini, yang mengangkat pemilukada secara langsung oleh rakyat daerah. Selengkapnya, substansi pengusulan wakil kepala daerah dalam Pasal 42 RUU Pemda mempunyai potensi memperkuat bangunan politik dimaksud. Ketentuannya bahwa: “(1) Wakil gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) diangkat oleh Presiden dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan; (2) Gubernur mengajukan calon wakil gubernur 2 (dua) kali dari jumlah wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri; (3) Wakil bupati/ wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) diangkat oleh Menteri dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan; (4) Bupati/ 15 Ini dapat dilihat pada kasus beberapa kasus ikut bergabungnya beberapa kepala daerah tertentu, yaitu mereka yang berasal dari PDI Perjuangan yang ikut bergabung dalam aksi demonstrasi massa menentang rencana pemerintah pusat menaikkan BBM. Beberapa kepala daerah itu, antara lain adalah Walikota Malang Peni Suparto, Wakil Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo, Wakil Walikota Surabaya, Bambang DH, Bupati Magetan, Sumantri, Bupati dan Wakil Bupati Ngawi, Budi Sulistono-Ony Anwar, Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron, Bupati Ponorogo, Amin, dan Bupati Sukoharjo, Wardoyo Widodo, dan Wakil Bupati Jember non aktif, Kusen Andalas. Padahal, Mendagri Gamawan Fauzi sudah mengingatkan masalah ini, dan bagi kepala daerah yang menentang, Kemdagri mengaku dapat memberikan sanksi dari mulai peringatan (lisan atau tertulis), sampai pada yang kontroversial berupa pemecatan. “PDI P Mainkan Politik Jalanan”, Koran Tempo, 28 Maret 2012. Kenyataannya, Mendagri hanya memberikan teguran tertulis melalui surat kepada Wakil Walikota Solo, FX Rudiyatmo dan Wakil Walikota Surabaya, Bambang DH, dengan alasan pelanggaran terhadap etika pemerintahan. “Kepala Daerah Tak Melanggar”. Kompas 29 Maret 2012. 59 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada walikota mengajukan calon wakil bupati/wakil walikota 2 (dua) kali dari jumlah wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri melalui gubernur; (5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Menteri menolak usulan calon wakil gubernur yang diajukan; (6) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terpenuhi, gubernur menolak usulan calon wakil bupati/wakil walikota yang diajukan.” Demikian seterusnya, sejajar dengan ketentuan mekanisme pengusulan bagi gubernur, sedangkan bagi bupati/walikota juga berlaku hal serupa dengan kewenangan berada di bawah kendali gubernur yang selanjutnya ingin diatur oleh pemerintah melalui PP. Relasi hubungan pusat dan daerah yang masih perlu ditata lebih lanjut saat pemilukada dilakukan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota, adalah terkait kebijakan birokrasi pemda yang menimbulkan konsekuensi tertentu bagi biaya sosial ekonomi secara nasional dan bahkan terkait aspek politik bernegara konstitusi. Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengatakan, selama ini Pemda masih saja memberlakukan peraturan daerah (Perda), meskipun Perda itu telah dinyatakan bermasalah oleh Kemdagri.16 Tercatat bahwa sepanjang 2009-2012, Kemdagri telah mengevaluasi sekitar 13.000 Perda. Dari jumlah itu, sebanyak 824 Perda di antaranya diklarifikasi, dan dalam perda-perda ini ditemukan kesalahan karena tidak sesuai dengan aturan di atasnya, bertentangan dengan kepentingan umum, dianggap mengganggu ketenteraman dan ketertiban. Sebelum kurun waktu periode itu, sudah terdapat ribuan perda bermasalah yang sampai saat ini belum rampung ditangani dan KPPOD mencatat sejak awal otonomi daerah diberlakukan secara nasional (2001-2009), pemerintah menerima 13.622 Perda tentang pajak daerah/retribusi. Sebaliknya, Mendagri hanya membatalkan 1.843 perda. Ketika terbit Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka kewenangan untuk membatalkan Perda hanya dapat dilakukan oleh Presiden, padahal sampai tahun 2012, Presiden belum membatalkan satupun Perda yang bermasalah.17 Dalam RUU tentang Pemda yang diajukan oleh pemerintah dan kini di bahas bersama DPR, sudah dipersiapkan klausul pengembalian kewenangan tidak lagi sampai harus melalui Presiden, melainkan cukup dijalankan oleh Mendagri. Dalam RUU Pemda, disebutkan klausul yang dipersiapkan dua hal. Pertama, perda provinsi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundangan yang lebih tinggi dibatalkan Mendagri. Kedua, Perda 16 17 “Daerah Masih Bandel Memberlakukan”, Kompas 25 Agustus 2012. Ibid. 60 Prayudi kabupaten/kota dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Klausul ini memerlukan revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, khususnya Bab VIII tentang Pengawasan dan Pembatalan Perda tentang Pajak dan Retribusi yang masih menyebutkan kewenangan berada ditangan Presiden dengan rekomendasi dari Menkeu melalui Mendagri. Pemilukada tampaknya memberikan kejutan tertentu terkait disharmoni hubungan birokrasi pemda dengan pemerintah pusat, terkait kebijakan yang dikeluarkannya. Kejutan demikian semakin meluas peluangnya untuk muncul ke atas permukaan, seperti halnya terkait munculnya Perda yang dianggap bermasalah bagi pemerintah pusat dan sebaliknya isu kebijakan pemerintah pusat yang justru dianggap kontroversial bagi kepala daerah, sepertinya pengalaman kasus rencana kenaikan BBM di tahun 2012, dalam konteks partai penyokong kepala daerah dan kalangan independen sekalipun saling berbeda koalisi kekuatan politiknya. Saling berebut popularitas di tengah masih rawannya keterpinggiran pertimbangan kompetensi secara profesional melalui politik persaingan antar pasangan kandidat pemilukada, tidak saja mendorong disharmoni kebijakan birokrasi pusat dan daerah. Sementara itu, mekanisme pemilukada cenderung menghasilkan pada beberapa kasus daerah, terkait politik etnisititas yang berlatarbelakang aspirasi para bangsawan setempat. Ambil contoh, di Sulsel, kekerabatan politik berlatarbelakang bangsawan lokal tersebut sangat kuat mengikat ikatan birokrasinya. Menurut Muhtar Haboddin18, kemenangan golongan bangsawan dalam pemilukada menjadi pemicu terjadinya ledakan partisipasi golongan bangsawan dalam pemilukada. Dari sembilan kabupaten yang dimenangkan golongan bangsawan, sebanyak 74 calon bupati dan wakil bupati. 30 di antaranya berlatarbelakang golongan bangsawan.19 Bahkan, di daerah yang masih kental semangat kebangsawanannya pun, seperti halnya Kabupaten Bone, Wajo, Jenoponto, dan Soppeng, para bangsawan mendominasi bursa Bupati dan Wakil Bupati. Dominasi bangsawan di empat kabupaten ini dapat memaknai trah bangsawan tetap eksis dalam panggung politik lokal. Mereka merupakan figur-figur yang dapat memanfaatkan dan menguasai proses politik desentralisasi dan liberalisasi.20 Di Sulawesi Selatan, khususnya pada etnis Bugis dan Makasar, pertarungan elit baik pada ranah politik maupun ekonomi antar etnis tidak lepas dari dimensi sejarah. Meskipun demikian, persaingan yang kemudian berwujud dalam pertarungan politik maupun ekonomi memberikan gambaran bahwa 18 19 20 Direktur Utama Perusahaan Daerah Sulsel, rekan sepermainan Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa, Sulsel. “Mengokohkan Dinasti Politik”, Kompas 10 Agustus 2012. Ibid. 61 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pertarungan ini yang terjadi adalah pertarungan yang sepenuhnya dilakukan oleh lapisan atas (elit) antar etnis dalam menguasai sumber daya tertentu. Mengutip Ricklefs (1991) dan Hall (1988), Imam Mujahiddin Fahmid mengatakan, empat etnis terbesar di Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar, Mandar, dan Toraja), Bugis dan Makasar, merupakan dua etnis yang saling bersaing untuk menjadi yang paling berkuasa di Sulsel.21 Sebagai perbandingan, pemilihan Gubernur Sulsel dimasa Orde Baru banyak dipengaruhi oleh kondisi anggota DPRD yang didominasi etnis Bugis yang memiliki strategi menempatkan orang-orang Bugis mewakili etnis Makasar, Mandar, dan Toraja. Sehingga wakil-wakil rakyat di DPRD walaupun berasal dari daerah Makasar, Mandar, dan Toraja tetapi tidak mewakili etnis tersebut karena sebenarnya mereka berasal dari etnis Bugis. Dengan dukungan yang kuat dari anggotaanggota DPRD yang mayoritas etnis Bugis sehingga dominasi kepemimpinan orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan tidak bergeser. Secara historis, dominasi etnis Bugis ini disebabkan perkawinan politik yang dilakukan bangsawan-bangsawan Bugis untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan menikahi perempuan etnis lainnya dengan tujuan agar etnis Bugis bisa diterima dan menguasai wilayah etnis lainnya. Sehingga, sekarang dirinya berpengaruh pada posisi etnis Bugis di semua wilayah dan jabatan strategis di Sulawesi Selatan. Dominasi etnis Bugis di masa orde Baru, juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman, dan kemampuan yang merupakan kebangkitan etnis Bugis. Pemilihan Lanto Daeng Pasewang dari etnis Makasar menjadi Gubernur Sulsel di awal kemerdekaan karena waktu itu kecerdasan atau tingkat pendidikan masyarakat bagian selatan atau etnis Makasar yang mengecap pendidikan di Bantaeng dan Makasar jauh lebih baik dibandingkan masyarakat Bugis yang berada di daerah utara. Ini memacu orang-orang Bugis di daerah utara untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan bahkan menyekolahkan sampai ke Jawa. Sedangkan pada masa reformasi, khususnya ketika pemilihan gubernur tahun 2003, mulai memasuki babak baru yang menjadi transisi dari pola sentralisme kepada pola otonomi daerah. Di era ini, pemilihan gubernur tidak lagi berdasarkan keinginan pemerintah pusat, malainkan berdasarkan pemilihan anggota DPRD provinsi yang dianggap penyalur aspirasi masyarakat Sulsel. Keadaan ini disambut luas oleh berbagai kalangan, terutama oleh tokoh-tokoh dan kelompok yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan, yaitu melalui partai-partai politik di DPRD maupun melalui kelompok-kelompok kepentingan di luar DPRD.22 21 22 Imam Mujahidin Fahmid, Identitas dalam Kekuasaan, Ininnawa-IPSEI, Makasar, 2012, h. 1. Ibid., h. 243-244. 62 Prayudi 3. FENOMENA POLITIK DINASTI Kasus Pemilukada Sulsel menunjukkan tidak hanya peran dinasti politik dan ikatan komunalitas yang sangat kuat, tetapi juga tingginya biaya kampanye dalam persaingan antar masing-masing pasangan calon. Sejak menjelang kampanye Pemilukada Gubernur Sulsel 22 Januari 2013, sebelum memasuki pada kurun waktu kampanye selama 5-18 Januari 2013, masingmasing pasangan calon sudah menyiapkan dana miliaran rupiah. Dana itu digunakan untuk langkah sosialisasi ke berbagai daerah dan mendatangkan sejumlah artis ibukota. Menurut Haris Yasin Limpo, ketua tim kampanye Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang, mengakui bahwa, pihaknya saat itu menyiapkan Rp5 miliar untuk melakukan kampanye di 24 kabupaten/kota. Sedangkan, Mario David, coordinator kampanye pasangan calon Ilham Arief Siradjuddin-Abdul Azis Qahhar Mudzakkar, mengungkapkan, dana kampanye yang dialokasikan mencapai Rp10 miliar, dan bahkan berencana menyewa helikopter agar lebih efektif ketika harus menjangkau beberapa daerah dalam waktu singkat.23 Pemilukada Gubernur Sulsel ini juga diikuti oleh pasangan Andi Rudiyanto Asapa-Nawir Pasinrigi. Sedangkan di Provinsi Jatim, pemilukada juga tidak lepas dari pengaruh kultur politik komunal yang sangat kuat. Pemilukada Gubernur Jarim sepanjang 2008-2009 menunjukkan kuatnya sentiment cultural sebagai variabel penting dalam memperoleh dukungan politik masing-masing kontestan. Keragaman budaya yang ada di Jatim, menjadi pertimbangan tersendiri atas politik lokal yang berkembang di tingkat persaingan pemilukada. Harian Kompas mengutip pendapat antropolog Australia, Hartley (1984) dalam bukunya Mapping Cultural Regions of Java membagi wilayah Jatim ke dalam 4 pemetaan budaya, yaitu Jawa (Mataraman), Madura, Arek, dan Pandalungan. Di samping empat telatah yang dikemukakan Hartley, Ayu Sutarto (2004), juga menganalisis adanya telatah yang kecil, yaitu Jawa Panoragan, Osing, Tengger, Madura, Bawean, Madura Kangean, dan Samin (Sedulur Sikep). Ini sejalan dengan pengamatan dari Dwi Cahyono, terutama terkait dengan pembagian Mataraman dan Mataraman Pesisir. Mataraman dimaknai sebagai telatah yang mempunyai kedekatan dengan budaya Jawa yang sebagian besar berada di wilayah eks Karesidenan Madiun, seperti halnya, Madiun, Magetan, Nganjuk, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Tulungagung, Ngawi, Kediri dan Bojonegoro. Sebagian lagi kultur ini masuk ke wilayah Mataraman Pesisir, seperti halnya Tuban dan Lamongan. Sebelah timur Mataraman adalah telatah Arek, batasnya sisi timur Kali Berantas yang membentang dari Surabaya hingga Malang, Budaya Arek adalah sentuhan dari berbagai kultur baik lokal maupun asing yang membentuk komunitas Arek 23 “Siapkan Miliaran Rupiah untuk Kampanye”, Kompas, 4 Januari 2012. 63 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada yang relatif cair dan terbuka. Telatah besar lainnya adalah Madura yang berada di Pulau Madura dan telatah Pandalungan. Pandalungan diibaratkan oleh Ayu Sutarto (2004), masyarakat Hibrida, yaitu pertemuan antara budaya Madura dan Jawa di sepanjang wilayah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan sebagian Banyuwangi. Namun, khusus untuk Banyuwangi, juga terdapat telatah budaya Osing yang merupakan perpaduan budaya Jawa (kuno) dan Bali. Dalam Pemilukada Gubernur Jatim tahun 20082009, suara yang diraih pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf, lebih dari 36 persen di raih di wilayah Mataraman. Hal ini dianggap tidak terlepas dari figur Soekarwo yang lekat dengan kultur Mataraman. Sebaliknya, sumbangan suara terbesar pasangan Khofifah-Mujiono, lebih dari 21 persen, berasal dari wilayah Pandalungan. Hal ini dianggap tidak terlepas dari figur Khofifah yang berlatarbelakang sebagai kader NU, sekaligus sebagai pimpinan Muslimat NU.24 Peluang sikap oportunis semakin mengemuka dalam konstruksi politik pemilukada yang membuka ruang bagi dominasi kepemilikan popularitas sang calon, menempatkan birokrasi pemda dapat menjadi “korban” atas peluang sikap politik calon kepala daerah. Kemenangan pasangan calon Jokowi-Ahok di Pemilukada 2012 yang hanya didukung 2 partai, yaitu PDI P dan Gerindra, serta peritsiwa kemenangan Jalur Independen dalam beberapa pemilukada melawan pasangan calon yang didukung barisan partai-partai, termasuk partai tergolong besar, kiranya dapat “menjadi alternatif bagi jeratan politik oportunis ini. Karier birokrasi hingga sampai level terbawah misalnya, seperti halnya kelurahan sekalipun, dapat menjadi jenjang penting bagi seseorang untuk masuk nominasi partai atau gabungan partai agar dicalonkan dalam pemilukada. Sebaliknya, partai-partai dipaksa untuk tidak lagi menggunakan pengkaderan secara instan atau mengajak figur-figur yang sekedar popular, namun beresiko untuk menyebabkan kelemahan jalannya pemerintahan hasil pemilukada kelak. Di sini, seseorang kader diharapkan mampu memberikan keunggulan tersendiri terhadap tawaran politik yang yang dibahasakan sebagai “mahar” ketika partai-partai menyewakan perahu bagi kendaraan menuju pemilukada. Di samping itu, sikap politik dalam menempuh jalur yang dipilihnya apakah melalui kepartaian, atau melalui jalur independen, akan menempatkan politik persaingan berlangsung secara terkonsolidasi. Sehingga tidak perlu lagi seorang yang akan mencoba masuk ke persaingan pemilukada, harus menempuh lebih dari satu jalur dalam proses politik penjaringan, sebagaimana dicontohkan kader Partai Golkar, Daday Hudaya, dalam pemilukada Gubernur Jawa Barat, yang justru sampai harus mencoba masuk dalam bursa pencalonan Partai Demokrat dan sekaligus juga menjajal dirinya melalui jalur perseorangan. 24 “Telatah Budaya di Panggung Politik”, Kompas 8 Desember 2012. 64 Prayudi Dengan masih kuatnya kecenderungan sikap oportunis partai dalam proses politik penjaringan figur calon kepala daerah dan wakilnya sebagai pasangan, maka potensi politik konstruksi pemilukada akan berdampak buruk bagi birokrasi pemda. Bahkan, ketika sang kepala daerah telah dua kali menjabat dan habis periode proses pencalonannya, yaitu yang telah dua kali menjabat dan habis periode proses pencalonannya, sebagai akibat pembatasan masa jabatan Kepala Daerah selama dua periode sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, dirinya “rela” menurunkan martabatnya sebagai calon wakil kepala daerah agar dapat maju lagi dalam pemilukada. Setidaknya, pragmatisme ini juga tampak pada kasus ketika sang incumbent memang secara total tidak mengajukan dirinya lagi sebagai calon dalam pemilukada, tetapi kerabat dirinya, atau istri, dan anaknya mencoba peruntungan untuk mengajukan dirinya dalam proses pencaloanan pemilukada. Fenomena politik dinasti di tingkat kepala daerah berbanding lurus dengan pemanfaatan kekuatan politik birokrasi yang mengabdi secara personal bagi oligarki kepemimpinan lokal bersangkutan. Politik kekeluargaan yang ditandai dengan menguatnya pengaruh tokoh politik dan keluarganya, semakin menguat di beberapa daerah. Fenomena ini ditandai dengan semakin banyaknya kepala daerah digantikan oleh istri, anak, atau keluarganya. Mantan kepala daerah itu pun tetap membayangi keluarganya saat menjabat. Misalnya, Bupati Kendal, Jateng, Widya Kandi Susanti, mengatakan, dirinya menjadi bupati karena memang ingin meneruskan program pembangunan yang dirintis bupati yang digantikannya dan tidak lain merupakan suaminya sendiri, Hendy Boedoro, dianggap niatnya itu tidak melanggar hukum dan hasilnya baik untuk rakyat. Hendy Boedoro sendiri diberhentikan karena terbukti melakukan korupsi dan dirinya sempat digantikan oleh wakilnya, yaitu Siti Nurmakersi. Saat itu, Widya Kandi masih menjabat sebagai Bupati Kendal. Kemudian, pada pemilukada Kendal, 6 Juni 2010, Widya Kandi mengalahkan Siti Nurmakersi, yang juga mencalonkan dirinya dalam pemilukada tersebut. Menurut Widya Kandi, setelah dua tahun menjabat Bupati Kendal, dirinya mengaku menyadari rakyat melihat dirinya sebagai bupati seutuhnya. Rakyat tidak memilih dirinya karena ia adalah istri mantan bupati. Meskipun dari jelajah desa yang dilakukannya, dengan mengunjungi 236 desa di 17 kecamatan, rakyat setempat tampak mengingat suaminya termasuk janji yang disampaikan Hendy saat itu, Jelajah desa adalah program Widya Kandi.25 Kondisi bayangan dinasti politik keluarga juga antara lain tampak pada Kabupaten Indramayu. Bupati Anna Sophanah yang menggantikan suaminya sebagai Bupati setempat, Irian MS Syaifiuddin, atau dikenal dengan sebutan Pak Yance. 25 “Mantan Tetap Bayangi”, Kompas 13 November 2012. 65 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Banyak kasus dinasti politik dalam pemilukada, tidak saja terkait perolehan hasil dari pemenang yang tampil, tetapi juga saat persaingan di tingkat pencalonan. Salah satu kasus misalnya, terkait pencalonan Andi Irsan Idris Galigo, anak Bupati Bone Idris Galigo, yang menjadi calon Bupati Bone melalui jalur perseorangan. Sedangkan, di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Probolinggo, juga ikatan kekerabatan turut mewarnai politik dinasti dalam pemilukada. Di Bangkalan, Makmun Iman Fuad, putera Bupati Bangkalan Fuad Amin, juga menjadi calon bupati dalam Pemilukada Bangkalan, 12 Desember 2012. Fuad Amin sendiri, sebelumnya sudah dua periode menjabat sebagai bupati setempat. Tabel 4. Beberapa Kepala Daerah hasil Pemilukada Burnuansa Dinasti Keluarga Haryanti Sutrisno (istri Sutrisno Bupati Kediri sebelumnya) Sri Surya Widati (istri Idham Samawi, Bupati Bantul sebelumnya) Anna Sophana (istri Irianto MS Syafiuddin, Bupati Indramayu sebelumya) Atty Suhati (istri Itoc Tochija, Walikota Cimahi sejak 2001 saat masih sebagai pejabat sementara, setelah pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kemudian Itoc Tochija memenangkan pemilukada Kota Cimahi 2002-2007. Sumiyati (istri mantan Walikota Bekasi, Mochtar Mochammad) muncul sebagai salah seorang kandidat dalam Pemilukada Kota Bekasi, 6 Desember 2012. Iman Aryadi (anak kandung dari Walikota sebelumnya, Tubagus Aat Syafaat. Pemilukada Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 2010 (Partai Golkar, PDI P, PKNU, PPP, Hanura) Pemilukada Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, 2010 (PAN, Partai Golkar, PKPB) Pemilukada Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, 2010 (Partai Golkar) Pemilukada Kota Cimahi, Jawa Barat, 2012 (PPP, Partai Golkar, PKB, dan PBB). Ketika proses pencalonan istrinya, Mochtar Mohammad adalah tidak lagi sebagai incumbent. Mochtar Mohammad divonis penjara 6 tahun karena kasus korupsi. Mendagri Gamawan Fauzi telah memecat Mochtar Mohammad pada Maret 2012 setelah MA memvonisnya bersalah atas empat kasus korupsi yang merugikan negara Rp 5,5 miliar. Mochtar diganti oleh wakilnya, yaitu Rahman Effendi. Kota Cilegon 66 Prayudi Ahmad Zaki (putera bupati Tanggerang sebelumnya, Ismet Iskandar) Bupati Lampung Selatan: Rycko Mendoza (anak kandung Gubernur Lampung: Sjachroedin ZP) Ni Putu Eka Wiryastuti, Bupati Tabanan, merupakan anak kandung bupati setempat sebelumnya, N. Adi Wiryatama. Widya Kandi Susanti, Bupati Knedal, merupakan istri dari bupati setempat sebelumnya, Hendy Boedoro. Bupati Bandung, Dadang Naser yang menjabat periode 2010-2015, merupakan menantu dari bupati setempat sebelumnya, Obar Sobarna, yang tidak bisa mencalonkan lagi karena dirinya sudah menjabat selama dua periode. Aden Abdul Khalik, adik ipar Gubernur Banten, Ratut Atut Chosiah, tercatat dalam proses pencalonan Pemilukada Kabupaten Tanggerang 2013-2018. Pemilukada Kabupaten Tanggerang, 9 Desember 2012. Ahmad Zaki yang berpasangan dengan Hermansyah memenangkan pemilukada ini dengan mengalahkan 4 pasangan lainnya, dan salah satu di antaranya adalah pasangan Aden Abdul Khlak-Mukhlis, adapun Aden sendiri adalah adik ipar Gubernur Provinsi Banten, Ratut Atut Chosiyah. Provinsi Lampung Kabupaten Tabanan Kabupaten Kendal Kabupaten Bandung Kabupaten Tanggerang, Banten. Langkah pencalonan Aden Abdul Khalik telah memancing reaksi keras DPP Partai Golkar yang memecat dirinya dari keanggotaan DPRD Provinsi Banten. Alasan DPP Partai Golkar, Aden dinilai tidak taat pada mekansime partai ketika pencalonan dimaksud. Aden adalah Wakil Ketua DPD Golkar Kota Serang, tetapi mencalonkan dirinya melalui PPP dan Partai Nahdlatul Ulama Indonesia. Padahal, Partai Golkar mengusung pasangan Ahmad Zaki Iskandar-Hermansyah. 67 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Bupati Probolinggo, Jateng, Puput Tantriana Sari yang dilantik 20 Februari 2013, muncul sebagai pemenang dalam pemilukada setempat 8 November 2012. Puput Tantriana Sari adalah istri dan sekaligus pengganti dai suaminya sendiri, Hasan Aminudin, yang sebelumnya telah menjabat selama dua periode. Makmun Ibnu Fuad (putera Bupati Bangkalan, Jatim, Fuad Amin) yang menggantikan ayahnya setelah menang pemilukada Bangkalan, 12 Desember 2012. Dirinya berpasangan dengan Mondir Rofii, yang merupakan adik dari Wakil Bupati Bangkalan, Syafik Rofii. Pemilukada 23 Januari 2013 di Kota Pagar Alam, Sumsel, antara lain mencatat nama salah satu kandidatnya, yaitu Novriza sebagai wakil walikota setempat, yang adalah merupakan putera walikota incumbent Djazuli Kuris. Novriza berpasangan dengan Ida Fitriani, yang nota bene adalah wakil walikota Djazuli Kuris, sebagai calon walikota hasil Pemilukada 2013 tersebut. Berdasarkan rekapitulasi suara, KPU Probolinggo menyatakan Puput Tantriana Sari sebagai pemenang pemilukada 8 November 2012. Puput Tanriana Sari yang berpasangan dengan Prihanjoko meraih 40,72 persen suara, atau sebanyak 250.892. Sehingga, pasangan ini mengguli pasangan lainnya, yaitu Salim Quways (Wakil Bupati Probolinggo)-Agusetyawan yang meraih 190.702 suara (30,95 persen), pasangan Kusnadi (mantan Sekda Kabupaten Probolinggo)-Wahid Nurrachman (Wakil Ketua DPRD Probolinggo) yang mendapat 28,83 persen atau 174.996 suara. Pasangan ini diusung oleh PKB, PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PAN, Hanura, Gerindra, dan PDP. Dari hasil rekapitulasi KPU Kabupaten Bangkalan, pasangan Makmun Ibnu Fuad dan Mondir Rofii meraih 505.986 suara. Sedangkan, pasangan lainnya, yaitu Nizar Zahro-Zulkifli meraih 35.378 suara atau 6,86 persen. Pasangan Makmun dan Mondir mampu meraih kemenangan di 18 kecamatan di Kabupaten Bangkalan. Djazuli Kuris sendiri tiak dapat mencalonkan diri lagi, karena sudah menjabat dua periode. Latar belakang calon dalam pemilukada Pagar Alam, selain kepala daerah pertahanan dan dari daerah sekitarnya, juga merupakan tokoh atau keluarga tokoh masyarakat setempat. Misalnya, Sukadi Duadji saat mencalonkan adalah Wakil Bupati Lahat yang juga dekat lokasinya dengan Kota Pagar Alam. Sumber: “Istri Wali Kota Menang”, dalam Kompas, 14 September 2012, “Tantriana Gantikan Suaminya”, Kompas 16 November 2012, “Kemenangan Zaki Ubah Peta Politik Keluarga Atut”, Koran Tempo, 10 Desember 2012, dan “Mantan Tetap Bayangi”, Kompas 13 November 2012, “Kematangan Demokrasi di Kota Kecil….”, Kompas 30 Januari 2013. Fenomena menguatnya dinasti politik keluarga di daerah tidak hanya terlihat dari kepala daerah yang habis masa jabatannya diganti oleh istri atau anaknya, tetapi juga dari penguasaan jabatan publik oleh keluarga. Bahkan, terdapat pula di antaranya yang menyebarkan anggota keluarga, terutama kepala daerah. Di Jateng, fenomena keluarga yang menguasai panggung politik diperlihatkan oleh keluarga Ketua DPRD Jateng non-aktif, Murdoko. 68 Prayudi Kakak Murdoko, Hendy Boedoro pernah menjadi Bupati Kendal, yang kemudian digantikan oleh istrinya, Widya Kandi Adik dari Murdoko, yaitu Don Murdono (Bupati Sumedang 2003-2008, dan 2008-2013). Adiknya pula, yaitu R Yuwanto (anggota DPRD Kota Semarang 2004-2009), dan keponakan Murdoko, Assep Diamonde (anggota DPRD Kendal 2009-2014). Dominasi dinasti politik keluarga di pentas politik Jateng juga ditampilkan pengusaha dan pemilik Bus PO Dewi Sri, Rukayah, di Kota Tegal dan sekitarnya. Anak ketiga Rukayah, Ikmal Jaya, pada Maret 2009, dilantik sebagai Walikota Tegal. Adik dari Ikmal Jaya, yaitu Mukti Agung Wibowo, menjadi Wakil Bupati Pemalang. Sedangkan kakak dari Ikmal Jaya, yaitu Idza Priyanti, memenangkan pemilukada Kabupaten Brebes, pada Oktober 2012.26 Sedangkan di tempat lain, terjadi hal yang ironis dan sekaligus unik pula. Tampilnya Sumiyati, istri mantan Bupati Mochtar Mohammad, sebagai kandidat pemilukada setempat, 9 bulan, dinilai tidak pantas oleh beberapa pihak di tingkat publik. Apalagi, Mochtar berniat mengawal kemenangan istrinya dari balik penjara. Sumiyati sendiri menyampaikan janji meneruskan program sang suami---termasuk memerangi korupsi, yang dalam konteks kasus ini pula suaminya terjerat oleh hukum. Provinsi Sulut, Careig Naichel Runtu yang mencalonkan diri sebagai Bupati Minahasa 12 Desember 2012, merupakan anak dari Vreeke Runtu, yang menjabat sebagai Bupati Minahasa. Sedangkan di Kota Manado, Harley Mangindaan yang menjadi Wakil Walikota Manado, merupakan anak dari Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan, yang sekaligus pula merupakan mantan Gubernur Sulut. Di samping itu, terdapat Bupati Minahasa Selatan, Christianty Euginia “Teti” Paruntu, yang merupakan anak sulung dari Wakil Ketua DPRD Kabupaten Minahasa Selatan, Jenny Tumbuan Paruntu. Tercatat pula Ivan Sarundajang yang ikut mencalonkan diri sebagai wakil bupati dalam pemilukada Kabupaten Minahasa, adalah putera sulung Gubernur Sulut, SH Sarundajang. Ivan mempunyai adik, yaitu Vianda Sarundajang, yang menjadi Anggota Komisi VI DPR.27 Pada kasus Sulut, Gubernur SH Sarundajang menolak permohonan izin kampanye dari Bupati Minahasa Utara Vreeke Runtu dan Walikota Manado Vicky Lumentut. Alasan penolakan Gubernur Sulut, SH Sarundajang, adalah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, yang menyebutkan walikota dan bupati adalah pejabat negara yang dilarang berkampanye dalam pemilukada, kecuali mereka menjadi calon kepala daerah dan harus cuti di luar tanggungan negara.28 Dengan adanya larangan ini, berarti Bupati 28 26 27 “Anggota Keluarga Disebarkan”, Kompas, 14 November 2012. “Anak, Istri, dan Adik yang menjadi Kader”, Kompas 17 November 2012. “DPRD Sumatera Utara Sepakati Pengangkatan Gatot, Kompas 28 November 2012. 69 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Minahasa Utara Vreeke Runtu tidak dapat berkampanye bagi anaknya, Careig Nathail Runtu, yang menjadi calon Bupati Minahasa periode 2013-2018. Demikian halnya, bagi Walikota Manado Vicky Lumentut yang mengajukan izin berkampanye bagi calon wakil Bupati Denny Tombeng yang diusung Partai Demokrat. Careig dan Denny berpasangan sebagai calon kepala daerah Kabupaten Minahasa. Adapun di Provinsi Sumut, pemilukada Gubenurnya pada Maret 2013, juga diramaikan oleh nama-nama keturunan dari pejabat dan mantan pejabat di daerah setempat dan bahkan hingga di tingkat nasional. Di samping Tengku Ery Nuradi yang adalah adik gubernur sebelumnya Tengku Rizal Nurdin ikut mencalonkan diri sebagai wakil gubernur mendampingi Gatot Pujo Nugroho, juga ada nama Gus Irawan Pasaribu. Gus Irawan Pasaribu yang pernah menjabat sebagai Dirut PT Bank Sumut, adalah adik dari mantan Menaker Bomer Pasaribu. Dalam Pemilukada gubernur Sumut pula, terdapat nama Amri Tambunan yang mencalonkan dirinya, yang kini menjabat sebagai Bupati Deli Serdang. Amri Tambunan adalah mantan Bupati Labuhan Batu, Jamaluddin Tambunan.29 Di Provinsi Sulsel, Gubernur Syarul Yasin Limpo mempunyai kerabat yang memimpin daerah dan menjadi pejabat publik. Kakaknya, yaitu Tenri Olle (anggota DPRD Sulsel 2009-2014), sedangkan adik-adiknya, yaitu Ichsan Yasin Limpo (Bupati Gowa 2005-2010), Haris Yasin Limpo (anggota DPRD Kota Makasar 2004-2009). Sedangkan keponakan Syarul Yasin Limpo, yaitu Adnan Purichta (anggota DPRD Sulsel 2009-2014), dan Indira Thita Chunda (anggota DPR 2009-2014). 30 Adapun di Provinsi Banten, keluarga dari Gubernur Ratu Atut Chosiyah menjadi kepala daerah atau jabatan publik lainnya. Suaminya, Hikmat Tomet (anggota DPR 2009-2014), sedangkan anaknya, Andika Hazrumy (anggota DPD Kota Serang 2009-2014), kemudian menantunya, Ade Rossi Khaerunissa (Anggota DPRD Kota Serang 2009-2014), dan adik iparnya, Airin Rachmi Diany (Walikota Tanggerang Selatan 2010-2015). Adapun di Kabupaten Lebak, muncul pula dinasti keluarga yang lain dari Bupati setempat, Mulyadi Jayabaya (2004-2009 dan 2009-2014), melalui anaknya, yaitu Iti Octavia (anggota DPR 2009-2014), Mulyanah (anggota DPRD Kabupaten Lebak 20092014),dan adik iparnya, yaitu Agus R. Wisas (anggota DPRD Banten 20092014).31 Di Provinsi Bangka Belitung, istri Gubernur Babel, Eko Maulana Ali, yaitu Noorhari Astuti, adalah anggota DPD. Sedangkan di kabupaten Bangka 31 29 30 Ibid. Ibid. Ibid. 70 Prayudi Tengah, Bupati Erzaldi Rosman, adalah anak dari Rosman Djohan, yang pernah menjadi Walikota Pangkal Pinang dan anggota DPD, Sofyan Rebuin, mantan Walikota Pangkal Pinang, memiliki kakak, yaitu Ernawan Rebuin, yang menjadi Wakil Ketua DPRD Provinsi Babel. Sedangkan, di Provinsi Sumut, misalnya Bupati Serdang Bedagai, Tengku Erry Nuradi, adalah adik mantan Gubernur Sumut Tengku Rizal Nurdin yang wafat mengalami kecelakaan pesawat 5 September 2005. Kecelakaan pesawat tersebut juga membawa korban mantan Gubernur Sumut lainnya, yaitu Raja Inal Siregar (Gubernur Sumut 1988-1998) dan Anggota DPD, Abdul Halim Harahap. Dalam konteks Pemilukada Gubernur Sumut tahun 2012, Ery Nuradi sempat mencalonkan diri sebagai gubernur Sumut dan tidak segan untuk menulis kampanyenya sebagai adik dari Tengku Rizal Nurdin, di bawah fotonya.32 Sedangkan di Pulau Madura, Jatim, Pemilukada Bangkalan yang sempat diwarnai oleh aksi pendudukan KPUD Bangkalan dan ancaman memblokir pelabuhan Kamal dan Jembatan Tol Suramadu, terdapat nama Makmun Ibnu Fuad-Mondir A Rofii, yang merupakan anak dari Bupati Bangkalan, Fuad Amin. Sejarah dari pemerintahan setiap aras lokal tidak terlepas dari proses sentralisasi kerajaan yang menguasai aset atau berbagai sumber daya yang dimiliki daerah setempat. Mereka berperan sebagai “raja-raja kecil” yang menentukan pengembangan potensi lokal tersebut dengan segala jaringan yang dibangunnya secara kekerabatan. Artinya, pada titik penguasaan model pemerintahan semacam ini, kesan munculnya “raja-raja kecil” memang telah berkembang sangat jauh sebelum agenda pemilukada dijalankan di era reformasi. Pada titik penguasaan demikian, dinasti politik mempunyai peluang untuk berkembang luas. Sebagaimana ditunjukkan Mestika Zed, bahwa di kawasan Sumatera Selatan, atau khususnya di Palembang, ciri yang paling menyolok dari Kesultanan Palembang sejak zaman prakolonial di daerah kepungutan adalah berupa sentralisasi kekuasaan. Pengawasan politik, praktik perdagangan monopoli, dan hubunganhubungan sosial terpusat di tangan sultan dan para pembesar istana. Mengingat kekuasaan politik sampai tingkat tertentu harus mengawasi hubungan pertukaran, termasuk hubungan dagang pihak bawahan dengan dunia luar, maka keberadaan pelabuhan dagang kota Palembang cenderung semakin menguat. Kecenderungan sebaliknya berlangsung di daerah sindang. Penduduk dataran tinggi daerah sindang adalah kelompok masyarakat “kesukuan” yang hampir seluruhnya otonom. Pasemah, Rejang, Ampat Lawang, Kikim dan Kisam, serta beberapa daerah yang terletak di antara Lampung dan Palembang iliran masuk dalam kelompok Sindang Merdeka. 32 Ibid. 71 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Orang Pasemah (juga Rejang), misalnya tidak pernah mengaku tunduk pada kekuasaan kesultanan. Mereka memiliki peraturan tersendiri bernama undang-undang Sindang Merdeka. Berbagai pranata adat daerah kepungutan seperti jenang (wakil) sultan di daerah “pungutan” pajak dan praktek tiban tukon, dengan beberapa pengecualian, tidak dikenal di daerah sindang. Masyarakat kesukuan daerah sindang. Masyarakat kesukuan daerah sindang hanya tunduk kepada kepala suku yang posisinya berada di bawah “dewan jurai tua” yang dikepalai oleh seorang depati. Depati dan pasirah, kadangkadag pangeran, sering digunakan secara bergantian mengacu kepada kepala marga sejak zaman kolonial.33 Dalam RUU Pemilukada yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR di tahun 2012, antara lain memuat ketentuan yang dianggap dapat mencegah munculnya dinasti politik dalam pemilukada. Hal ini sebagaimana tampak pada persyaratan bagi warga negara yang dapat ditetapkan menjadi calon gubernur dalam Pasal 12 huruf (p) bahwa yang bersangkutan: “tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan;” Di bagian Penjelasan Pasal tersebut disebutkan: “Tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan, dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, kesamping dengan gubernur. Sejalan dengan ketentuan mengenai persyaratan calon gubernur, usaha mencegah dinasti politik dalam pemilukada juga tampak bagi persyaratan calon bupati/walikota, sebagaimana tampak dalam Pasal 70 RUU Pemilukada. Di samping munculnya fenomena politik dinasti dalam pemilukada, isu putera daerah juga merupakan hal yang tidak jarang muncul kuat ke atas permukaan. Isu putera daerah biasanya berkaitan erat dengan fenomena politik identitas yang dimasa lampau, sebelum reformasi, mengalami degradasi sampai ke tingkat minimal oleh kekuatan birokrasi secara terpusat. Tokoh-tokoh yang dimunculkan sebagai calon atau bahkan sekedar bakal calon dalam pemilihan kepala daerah saat itu sangat didukung oleh regim kekuasaan, yang pada konteks sejajar ditampilkan pula tokoh lain sebagai penggembira sebagai pendamping dari tokoh yang menjadi “jagoan” dari dan didukung oleh pusat. Sejak reformasi 1998, dan apalagi setelah dimulainya pemilukada secara langsung pasca tahun 2008, isu putera daerah memiliki ruang lebih luas untuk tampil ke permukaan politik lokal. Bahkan, isu putera 33 Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, Pengantar: Audrey Kahin, Jakarta, LP3ES, 2003, h. 43-44. 72 Prayudi daerah sukar dihindarkan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya pasca pemilukada, agar dukungan masyarakat di daerah tersebut dapat berlangsung signifikan. Misalnya sebagaimana ditunjukkan melalui hasil studi dari Kristianus, pengajar dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, bahwa di Provinsi Kalimatan Barat, dalam setiap Pemilukada, hal pertama yang akan kita dengar adalah, isu mengenai putera daerah. Sejauh mana sang calon pemimpin mempunyai “titisan daerah” sebagai putera daerah. Isu mengenai putera daerah muncul, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Bahkan, terdapat kalimat dalam salah satu pasal yang berbunyi kepala daerah adalah orang yang mengerti daerahnya. Kalimat itu diterjemahkan secara kasat mata menjadi orang yang berasal dari daerah itu.34 Isu putera daerah tidak saja berkembang dalam tingkatan persaingan pemilukada saat memperebutkan masa pemilih, tetapi sudah berkembang di tingkatan yang lebih awal, bahkan saat proses bakal nominasi pasangan calon masih berkembang di internal partai. Kasus Pemilukada Gubernur NTT adalah hanya salah satu di antaranya. DPD Partai Golkar NTT sempat keberatan dengan calon yang diajukan oleh pihak DPP Partai Golkar. Keberatan ini terkait dengan penetapan calon gubernur dari partai tersebut yaitu, Ibrahim Agustinus Medah, yang berpasangan dengan calon wakil gubernur Melki Lakalena. DPD Partai Golkar NTT menginginkan agar Ibrahim Agustinus Medah dipasangkan dengan Hugo Rehi Kalembu, anggota DPR asal Daerah Pemilihan Pulau Sumba, atau ingin wakilnya adalah “putera daerah”. Melki Lakalena adalah aktivis muda DPP Partai Golkar di Jakarta. Namun, penolakan DPD Partai Golkar NTT terhadap SK DPP Partai Golkar, yang menetapkan Medah dan Melki sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur NTT, dinyatakan secara halus. Caranya, DPD Partai Golkar setempat tidak mau menerima SK yang tandatangani oleh Ketua DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie dan Sekretaris Jenderal, Idrus Marham, dengan alasan Ketua DPRD NTT, Ibrahim Agustinus Medah, tidak berada di kantornya. SK tersebut diantar oleh utusan DPP Partai Golkar, Herman Hayon, di DPD Partai Golkar di Kupang dan Herman hanya diterima jajaran DPD Partai Golkar NTT, yang menitipkan pesan bahwa Medah sedang berada di Kabupatenb Timor Tengah Selatan. 35 Identitas lokal yang kuat ditampilkan dalam pemilukada, menempatkan persaingan yang terjadi sangat kuat dengan karakter emosional antar elit dan massa pendukungnya masing-masing yang sangat kuat. Hal ini jelas 34 35 Kristianus, “Nasionalisme di Kalimantan Barat, dalam Masyarakat Indonesia Edisi XXXVII, No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2011, h. 161. “Putusan DPP Golkar Ditolak”, Kompas 13 Desember 2012. 73 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada mendorong potensi terjadinya konflik secara fisik dan berkepanjangan di antara masing-masing kelompok tersebut yang saling bersaing untuk meraih aset birokrasi setempat. Montserrat Guibernau menyebutkan: “The defining criteria of identity are continuity overtime, and differentiation from others, both fundamental elements of national identity. Continuity springs from the conception of the nation as a historically rooted entity into the future.” 36 Selanjutnya, Guibernau juga mengatakan: “Identity fulfils there major functions: it helps to make choices, makes possible relationships with others, and gives strength and resiliences. First, to fuliy expressed and developed national identity requires that the people forming the nation enjoy the right to decide upon their common political destiny. Second, if we consider it at a personal level, national identity obviously makes relationships with other possible, since the nation appears as a common poll where individuals with a common culture live and work creating a world of meaning. But above and beyond this, the claim of nations to have a state is the claim to be recognized as “actiors” within the global system of nation states. Finally, national identity gives strength and resilience to individuals in so far as it reflects their own identification with an entity—the nation— that transcends them. Also, nationalist ideologies usually encourage the development of the nation and present it as worthwhile. Although on some occasions they focus upon past splendours, they always promise a better future and advocate regeneration.“37 Tidak saja saat pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat lokal menjadi agenda politik nasional di era reformasi, tetapi sebelum itupun, konsekuensi yang muncul dari isu putera daerah dan penghargaan birokrasi terhadap nilai-nilai lokal juga sudah berkembang kuat. Kasus lepasnya Timtim di tahun 1999, juga tidak lepas dari kuatnya fenomena korupsi dari birokrasi setempat. Kiki Syahnakri mengatakan, pada kasus Timor Timur (Timtim) dalam konteks ini, merupakan konsekuensi tersendiri atas perilaku aparat yang menganggap warga masyarakat sebagai lapisan kelas dua dalam tatanan masyarakat itu. Contohnya, ketika dalam acara-acara atau pesta-pesta publik, para pejabat (bahkan bupati) putera daerah sering ditempatkan di deretan kursi belakang. Sedangkan para pejabat pendatang, meskipun secara hirarkis pemerintahan statusnya di bawah bupati, menempati kursi paling depan Perilaku semacam ini yang mengabaikan tata norma kearifan lokal untuk menghargai sesepuh masyarakat putera daerah ini tanpa disadari lambat 36 37 Montserrat Guibernau, Nationalism: The Nation-State and Nationalism in Twentieth Century, Polity Press, Cambridge, 1996, h. 73. Ibid. 74 Prayudi atau cepat akan membuahkan sikap antipati masyarakat setempat. Sikap aparat birokrasi tadi melahirkan perilaku negatif lainnya, terutama korupsi. Banyak pejabat pendatang yang bergaya sewenang-wenang mengelola keuangan daerah. Dalam perkembangannya, perilaku korup itu, pada awalnya hanya merasuki pejabat pendatang, tetapi kemudian menjangkiti pula pejabat putra daerah. Timtim yang saat itu mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat mendapat limpahan dana yang sangat besar. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang secara geografis jauh lebih besar wilayahnya daripada Timtim, terkesan “dianaktirikan” dalam konteks pembiayaan negara. Kondisi tersebut turut berperan bagi suburnya praktekpraktek korupsi di Timtim.38 Pelajaran kasus Timtim, ini menunjukkan betapa posisi birokrasi sangat mendasar bagi rekat atau lemahnya fondasi integrasi teritorial suatu negara. Dengan ketentuan persyaratan Pemilukada yang longgar di dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, juga dijadikan kesempatan untuk terjadinya meraih jabatan kepala daerah secara simultan. Persyaratan yang longgar membuat ekses negatif mengejar kekuasaan semata, terkait terus bermunculannya secara mudah bagi setiap kepala daerah yang setelah terpilih dan belum menghabiskan masa jabatannya hingga lima tahun, dapat dengan enteng mencalonkan diri lagi untuk menjadi kepala daerah di daerah lain. Hal ini dianggap dapat terjadi karena memang tidak terdapat regulasi yang melarang hal tersebut, walaupun pada hakekatnya mencederai semangat demokrasi yang harus dijunjung tinggi.39 Pandangan kepala daerah terhadap netralitas aparat dalam pemilukada, masih berbanding terbalik dengan harapan dirinya untuk menjalankan peran birokrasi dalam kehidupan politik lokal dan proses penyelenggaraan secara administratif kebutuhan pemilukada. Sehingga, tidak jarang muncul keluhan dari kalangan KPU dan Bawaslu/Panwas daerah-daerah tentang masih lambatnya mobilisasi sumber daya dukungan kerja dari pemda bagi proses penyelenggaraan pemilukada. Sukses pemilukada lebih diletakkan pada jargon birokrasi pemda dan kepala daerah dibandingkan pada pemenuhan kebutuhan esensial dari KPU dan panwas daerah. Padahal, demokrasi pemerintahan lokal, tidak saja berkaitan dengan prosedural pemilu yang diselenggarakan secara terjadwal, tetapi juga menyangkut kemampuannya dalam konteks kontribusi substansi pemilu, tentu di sini termasuk pemilukada, adalah dalam tataran substansi politiknya bagi proses pendewasaan berbangsa. 38 39 Kiki Syahnakri, Timor Timur: The Untold Story, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2013, h. 346. Djohermansyah Djohan, “Skenario Pilkada Serentak”, dalam Suara Pembaruan, 10 September 2012. 75 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada 4. MASIH LEMAHNYA PENGAWASAN PUBLIK Lemahnya pengawasan publik dan kuatnya control partai melalui personal kepala daerah terhadap birokrasi pemerintahan daerah, menjadi tantangan tersendiri bagi desentralisasi yang dikembangkan dalam berbagai urusan pemerintahan agar tidak terjebak pada terjadinya desentralisasi korupsi. Melalui pembentukan sistem politik yang bersifat check and balances di tingkat pemerintahan daerah, terutama menyangkut hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah, sebenarnya berperan penting bagi berkembangnya iklim demokratisasi di tingkat lokal. Meskipun, sebagai bagian dari pemerintahan daerah, kedudukan DPRD cenderung bersifat check and balances. Sehingga, legitimasi kepala daerah yang kuat diperoleh melalui pemilukada, diimbangi dengan konstruksi pelaksanaan kewenangan DPRD secara kelembagaan yang kuat pula melalui mandat melalui pemilu nasional.40 Dirk Tomsa menyebutkan bahwa: “In the fight against corruption, political parties are primaly part of the problem rather than part of the solution. Closely related to the perpetual problem of corruption is the increasing commercialization of electoral politics. This trend has not only affected the image of Indonesia’s parties, but also transformed the role they play in the recruitment of political leaders. The need to mobilize huge amounts of money in order to run for parliament or local executive post such as governor, mayor or district head has made it ever more difficult for ordinary citizens to become involved in politics. Accordingly, more and more wealthy entrepreneurs have entered party politics in recent years, often at the expense of more professional and committed, but less well of, party cadres. 41 Selanjutnya disebutkan: “At the local level, this process has been accentuated by the introduction in 2005 of direct local election, which have frequently been won by the entrepreneurs and entrenched bureaucrats. As a result, the widespread public impression of parties are mere vehicles for power hungry and self interested elites has been further reinforced, as can be seen from the results of numerous public opinion surveys.”42 Hanya saja sayangnya, media massa yang seharusnya menjadi sarana pengawasan publik terhadap pemerintahan daerah dan proses politik 40 41 42 Andi Mallarangeng, “Decentralisation and Democratisation: Indonesian Regional Autonomy Policy”, dalam Uwe Johnson & Jamez Gomez (Editor), Democratic Transitions in Asia, Frederich-Naumann Stiftung, Singapore, 2001, h. 237. Dirk Tomsa, “The Indonesian Party System After The 2009 Elections: Towards Stability”, dalam Edward Aspinall and Marcus Meitzner, Problem of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions, and Society, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2010, h. 148. Ibid., h. 149 76 Prayudi pemilukada, ternyata cenderung lemah. Dibandingkan dengan euforia kebebasan media massa di tingkat nasional yang sangat kuat, maka di tingkat daerah media massa yang cenderung mudah ditaklukkan oleh regim. Media masaa setempat, baik cetak maupun elektronik, memiliki ketergantungan finansial, mudah dikooptasi dan sekedar digertak oleh elit birokrasi. Kalaupun, media massa setempat berani bersikap terlampau kritis terhadap penyimpangan dan temuan tertentu dari kasus-kasus pemilukada, kadangkala mereka mengalami ancaman tertentu, berupa budaya telepon aparat kepada pihak redaksinya. Masih kuatnya intervensi birokrasi di daerah terhadap pemberitaan media, semakin diperparah dengan pola dominasi kepemilikan media massa itu sendiri oleh kepentingan pemodal dan kalangan petinggi partai tertentu. Catatan dari Ardinanda Sinulingga, bahwa mengacu pada penelitian Nugroho (2012) di Indonesia terdapat 12 grup media yang mengontrol hampir semua saluran media massa, termasuk media penyiaran, media cetak, dan media on line. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Berita Satu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. Group MNC memiliki tiga saluran televisi gratis, merupakan yang terbesar dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran harian Seputar Indonesia. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk grup Radar. Sedangkan, Kompas yang terkenal sebagai salah satu surat kabar berpengaruh di Indonesia telah mengembangkan jaringan ke penyedia konten (content provider) televisi, dengan mendirikan Kompas TV, di samping 12 saluran radio di bawah anak perusahaan Sonora Radio Network dan 89 perusahaan media cetak lainnya, termasuk grup Tribun yang terdiri atas 27 jaringan surat kabar. Visi Media Asia berkembang menjadi dua saluran televise terrestrial (AN TV dan TV One) serta media online vivanews.com. Jaringan bisnis media dari masingmasing kelompok ini mengarah pada kondisi oligopoli media yang dianggap membahayakan hak warga terhadap informasi, karena industri media telah berorientasi mencari laba, dan mereka rentan untuk diintervensi oleh kepentingan pemiliknya, serta dimanfaatkan untuk mencapai kekuasaan.43 Menurut penelitian Nugroho (2012) yang dijadikan acuan oleh catatan dari Arnanda Sinulingga, bahwa kasus di atas terutama terjadi pada sejumlah pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Contohnya Visi Media Asia atau Viva Group, yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie 43 Arnanda Sinulingga, “Oligopoli Media dan Masa Depan Demokrasi”, Koran Tempo 7 Desember 2012. 77 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada (Ketua Umum DPP Partai Golkar), dan Group MNC (yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo), serta Media Group (yang dimiliki oleh Surya Paloh), yang keduanya merupakan figur petinggi di Partai Nasional Demokrat. 78 BAB V ANTARA PENYALAHGUNAAN WEWENANG BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK 1. PENYIMPANGAN YANG TERJADI Konstruksi pemerintahan lokal yang sangat diwarnai politik pemilukada, menyebabkan birokrasi setempat sangat mudah terjebak pada perilaku penyimpangan kewenangan atau bahkan dugaan korupsi. Mahalnya biaya pemilukada dalam memenangkan persaingan di antara para pesertanya, sangat mungkin membuka peluang untuk bersentuhan dengan pemanfaatan dana publik, yaitu melalui APBD, dalam kerangka pembiayaan kampanyenya. Pasca menjabat sebagai kepala daerah, juga rawan bagi tindakan mencari dana pengganti “balik modal” untuk mengganti dana yang sudah dikeluarkan. Hal ini juga terkait politik balas jasa dari kepala daerah pemenang untuk memberikan reward, berupa jabatan birokrasi atau berupa proyek yang dibiayai APBD, bagi para pendukung atau kalangan Tim Suksesnya. Proses pendanaan partai politik yang sangat membuka ruang bagi cara-cara illegal dan tidak transparan, sistem cukong dalam pendanaan tersebut, juga semakin memperluas pola politik bersifat koruptif yang muncul dari momentum pemilukada. Sehingga tidak heran, otonomi daerah justru diwarnai oleh semakin banyaknya kepala daerah hasil pemilukada yang berstatus sebagai narapidana. Kepala Pusat Penerangan Kemdagri, Reydonnizar Moenek, mengungkapkan, selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan, dengan status tersangka, dan terdakwa. Dari yang sudah diperiksa ini, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, sebanyak 155 kepala daerah tersangkut kasus korupsi, 17 di antaranya adalah gubernur. Dari 17 gubernur tersebut, 4 orang di antaranya, masih menjabat, yaitu Gubernur Bengkulu, Sumut, Kaltim, dan Kalbar.1 Fenomena jerat korupsi terhadap politik pemilukada tentu mempengaruhi berjalannya roda birokrasi pemerintahan daerah dalam melayani kebutuhan publik. Data tersebut bergerak secara dinamis, karena kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi hingga melampaui pertengahan tahun 2012, telah mencapai 213 orang. Angka tersebut merupakan hitungan dari para kepala 1 “Pemerintahan Tidak Maksimal”, Kompas, 17 April 2012. 79 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada daerah yang tersangkut perkara korupsi, baik sebagai saksi, tersangka, terdakwa, maupun terpidana. Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rizal Djalil, mengatakan, kecenderungan demikian merupakan bukti tentang pengawasan internal pemerintahan yang tidak berjalan baik. Kementerian Dalam Negeri dianggap juga seharusnya turut bertanggungjawab. Menurutnya, terdapat banyak bentuk pengawasan internal pemerintahan. Di tingkat kabupaten dibentuk inspektorat kabupaten, sedangkan di tingkat pemerintah provinsi ada inspektorat provinsi. Inspektorat provinsi cenderung tidak dapat mengawasi secara maksimal karena tidak mungkin dirinya yang berada dalam posisi subordinat secara struktural dari pemda, melakukan pengawsan terhadap gubernur.2 Wakil Ketua KPK, Busyro Muqodas, menyatakan, beberapa titik rawan korupsi oleh kepala daerah adalah masalah pengadaan barang dan jasa, penyimpangan anggaran, serta gratifikasi. Titik-titik rawan ini justru menjadi sasaran empuk dimanfaatkan untuk mengembalikan biaya politik yang tinggi sepanjang pemilukada.3 Ketergantungan partai politik dan kandidat pada pola pembiayaan tinggi untuk mendapatkan pemilih menunjukkan belum memadainya strategi untuk membangun konstituen.4 Di samping proses pengadaan barang dan jasa, ketidakjelasan status aset pemerintah daerah juga rawan bagi terjadinya manipulasi korupsi dan ini diduga berkorelasi dengan usaha pemupukan dana pemilukada. Kasus dugaan penjualan aset pemerintah Kota Balikpapan, adalah salah satu di antaranya. Dugaan ini muncul ketika Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) mensinyalir dugaan penjualan aset pemerintah Kota Balikpapan senilai Rp19 miliar, meskipun sudah dibantah oleh Wakil Walikota setempat, Heru Bambang. Tuduhan bagi Heru Bambang, didasari dugaan penjualan tanah seluas 5,3 hektar senilai Rp19 miliar, yang terletak di di belakang gedung Balikpapan Sport and Convention Center (Gedung Dome) di Jalan Syarifuddin Yoes. Tuduhan tersebut didasarkan atas foto copy perjanjian jual beli tanah pemerintah kota antara Heru Bambang dengan PT. Indonesia Merancang Bangun (PT. IMB) pada tahun 2012 yang dimiliki oleh dirinya.5 Sebaliknya Heru Bambang menilai, bahwa dirinya tidak pernah melakukan tindakan penjualan di atas, walaupun mengakui bahwa ia memang 4 5 2 3 “213 Kepala Daerah Terjerat Korupsi”. Dalam Kompas, 13 Juli 2012. “Pengadaan Rawan Korupsi”, Kompas 18 April 2012. Ummi Salamah, “Urgensi Pemasaran Politik” Kompas, 30 Juni 2012. “Aset Balikpapan Dijual”, Kompa,s 6 Februari 2013. Walikota Balikpapan, Rizal Efendi sudah memastikan tanah ini memang miliki dari Pemerintah Kota Balikpapan. Tanah ini semula dibeli dari Yayasan Pupuk Kalitim senilai Rp 10,9 miliar di tahun 2007, yang diperuntukan bagi fasilitas Pekan Olah Raga (PON) di tahun 2008. Namun Pemerintah Kota Balikpapan belum memiliki serifikat tanah dari BPN. 80 Prayudi pernah membeli tanah di lokasi tersebut dari seseorang bernama, Andi Malik Tadjoeddin pada tahun 2011. Persoalannya, kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Balikpapan dibulan September 2012 justru menyatakan, tanah ini merupakan milik dari pemerintah kota Balikpapan. Sementara di sisi lain terdapat bukti kepemilikan tanah ini oleh Andi Malik Tadjoedin, sebagaimana tertuang pada surat segel yang dikeluarkan pada tahun 1939 dan status tanah ini akhirnya berujung di Pengadilan Tata Usaha Negara, di Kota Samarinda.6 Di samping pengadaan barang dan jasa, hal yang juga sering disorot tentang potensi penyalahgunaan aset birokrasi bagi kepentingan pemilukada, adalah mengenai keberadaan program bantuan sosial (bansos). Ketentuan yang memagari bagi penggunaan dan mekanisme penyaluran bansos dinilai sangat rawan terjadi manipulasi dan mudah menguntungkan bagi sang petahana yang akan mencalonkan diri kembali dalam pemilukada. Anggota BPK, Rizal Jalil, mengharapkan agar pemerintah pusat dapat menghentikan penyaluran dan bantuan sosial dan hibah, terutama bagi daerah yang akan melaksanakan pemilukada. Penghentian sementara penyaluran dana tersebut perlu disertai pula dengan revisi atas ketentuan tentang pedoman pemberian dana bantuan dan hibah yang bersumber dari APBD sesuai dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2001 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD, termasuk perubahannya di Permendagri No. 39 Tahun 2012. Menurutnya, kalau tidak dihentikan, dana penyaluran bansos dan hibah, yang sejak tahun 2007 hingga 2012, sudah mencapai Rp400 triliun, akan semakin tidak jelas pertanggungjawabannya. Dengan penggunaan dana bansos dan mekanismenya seperti saat ini, maka dianggap incumbent akan diuntungkan untuk meraih dukungan suara pemilih pemilukada.7 Mendagri, Gamawan Fauzi justru menilai aturan yang diterbitkan terkait bansos bukan bersifat longgar, sehingga memudahkan terjadinya pelanggaran di tingkat penggunaannya. Pertanggungjawaban pemberian bansos dan hibah tetap harus jelas, namun aturan yang ada tetap perlu mengakomodasi kepala daerah yang wajib memberikan bantuan ketika terjadi bencana alam atau saat harus turun ke lapangan sebagai akibat peristiwa tertentu. Bahkan, sebenarnya aturan yang disusun berdasarkan masukan dari KPK, dan kalau masih ada kepala daerah yang menyalahgunakan dana bansos untuk kemenangannya di pemilukada, pihak berwenang, yaitu polisi, jaksa, maupun KPK dapat turun tangan menangani kasusnya.8 Sesuai persyaratan dan ketentuan bansos, maka bansos diberikan setelah prioritas bagi pemenuhan belanja urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat 8 6 7 Ibid. “Hentikan Dana Bansos”. Kompas, 13 Februari 2013. Ibid. 81 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada untuk masyarakat. Adapun sasarannya, meliputi individu, keluarga, dan/ atau masyarakat yang mengalami keadaan tidak stabil akibat krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam. Di samping itu, sasarannya juga dapat kepada lembaga non pemerintah bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/ atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Sedangkan, tujuan dari bansos adalah terkait dengan beberapa hal, yaitu: rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, dan penanggulangan bencana. Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho menulis, bahwa kasus dugaan korupsi dana Bansos di sejumlah pemda sudah diingatkan oleh KPK dalam kajian yang dibuat tahun 2011. Menurutnya, KPK menemukan persoalan dana bansos terletak pada aspek utama, yaitu regulasi dan tata laksana. Dari aspek regulasi, KPK menemukan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan Mendagri dan Permendagri terkait bansos. Di samping itu, tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang keadilan dalam pengelolaan dana bansos. Sedangkan, dari aspek tata laksana, ditemukan sejumlah persoalan dalam penganggaran, penyaluran, pertanggungjawaban dan pengawasan. Peruntukan dana bansos juga sangat bervariasi, mulai dari kepentingan pribadi dan atau keluarga, menyumbang tempat ibadah, membantu ormas atau lembaga keagamaan atau kepemudaan, tokoh agama, hingga membiayai klub sepakbola di daerah. Modus yang sering terjadi adalah pemberian bantuan tanpa pengajuan, pemberian bantuan melebihi alokasi, pemotongan bantuan, pemberian bantuan tanpa pertanggungjawaban penggunaan, dan proposal atau bantuan fiktif. 9 Beberapa sampel kasus Penyalagunaan Dana Bantuan Sosial Kurun waktu 9 Daerah 2012 Aceh 2008 Sumsel Materi Kasus Rp150 juta diberikan ke grup band di Lhoseumawe Rp3 miliar digunakan untuk pemilukada Kabupaten Ogan Komering Ulu, khususnya pembuatan stiker dan baliho, serta manjamu para tokoh. Keterangan Emerson Yuntho,” Dana Bantuan Koruptor”, Kompas 1 Maret 2013. Pemerintah setiap tahun mengeluarkan ana triliunan rupiah untuk dana bansos yang jumlahnya sungguh fantastis. Pada periode 2007-2011, anggaran bansos yang disiapkan pemerintah mencapai Rp300,94 triliun untuk tingkat daerah dan pusat. Tahun 2012, alokasi dana bansos sekitar Rp47 trilun dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp63,4 trilun. 82 Prayudi 2011 2010-2011 Jateng NTT 2013 Sulsel 2013 Jabar 2013 Sumbar Rp26,8 miliar diberikan kepada 208 Ormas. Rp74 miliar digunakan untuk biaya pameran di Cina, perjalanan dinas ke Jerman, carter pesawat ke Rote, Sumba, Timor Tengah Utara. Disalurkan kepada sekitar 2300 kepala desa yang sebelumnya diminta membuat proposal untuk mendapat dana Rp10 juta per desa. Dana bansos disalurkan menjelang Pemilukada, yang jumlahnya meningkat dari semula Rp173,2 miliar menjadi 4,8 triliun. Alokasi dana bansos di antaranya untuk bantuan 5.304 desa di Jabar, yang masing-masing desa menerima Rp100 juta. Hibah APBD safari dakwah PKS Setelah dicek hanya 2,5 persen yang benar-benar ormas terdaftar di pemerintah Isi proposal ternyata sama, dan diduga untuk kepentingan pemilukada. Terdapat proposal berkop DPP PKS yang ditandatangani Chairul Anwar, Ketua Wilayah Dakhwah Sumatera. Sumber: “Hentikan Dana Bansos”, Kompas, 13 Februari 2013 dan “Hikayat Proposal dari Tangan Tuhan”, Tempo 7 Maret 2013. Pada kasus di Sumbar, APBD provinsi itu menjadi kontroversi politik hukum tersendiri, ketika terdapat alokasi dana hibah untuk safari dakwah PKS. Dengan alasan terjadi kesalahan amanah bagi pejabat berwenang dari pimpinan terkait anggaran, Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, telah memberhentikan Kepala Biro Bina Sosial, Jefrinal Arifin. Kekhawatiran atas dana hibah ini, semakin kuat saat munculnya berita penetapan status tersangka oleh KPK bagi Lutfhi Hassan Ishaaq, Presiden PKS, dengan tuduhan suap dari kuota impor daging sapi. Tetapi, dalam kasus hibah safari dakwah ini, masalahnya, perubahan nomenklatur dalam APBD sudah dibahas bersama DPRD Provinsi Sumbar. Ketika Kepala Biro Bina Sosial, Jefrinal Arifin, menandatangani disposisi untuk diproses Kepala Bagian Agama pada 20 Desember 2012, proses permintaan dana berjalan lancar. Bahkan, 83 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pada 4 Januari 2013, Gubernur Irwan Prayitno, anggota Majelis Syura PKS, mengesahkan tiga jilid APBD Provinsi Sumbar yang disetujui oleh DPRD di bulan Desember 2012. Dalam buku ketiga Peraturan Gubernur No. 2 Tahun 2013 tercantum daftar penerima hibah. Pada lembar lampirannya, tercantum bantuan urutan ke-580 tertulis “safari dakwah Wilda III Sumatera PKS” sebesar Rp1.941.250.000,-. Munculnya nama PKS di daftar hibah membuat DPRD Provinsi Sumbar menjadi perbincangan kontroversial. Dalam rapat awal dan pembahasan teknis di Badan Anggaran DPRD, diakui tidak ada proposal dimaksud. Padahal, partai politik tidak diperkenankan menerima hibah dari kas daerah. Dalam Peraturan Mendagri No. 39 Tahun 2012 jelas diatur bahwa hanya lima kelompok yang boleh menerima dana hibah, yaitu: pemerintah, pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi masyarakat. Sebelum kontroversi ini meluas, pemerintah provinsi Sumbar menarik kembali tiga jilid perincian belanja daerah tersebut tanpa alasan yang jelas. Tetapi di lain pihak, DPRD Sumbar menganggap proposal PKS ini masalah serius, dan berniat mengajukan penggunaan hak angket yang direncanakan saat itu disahkan dalam rapat paripurna 13 Maret 2013.10 Kecenderungan Perlawanan Balik Usaha untuk menegakkan akuntabilitas pemerintahan daerah, seringkali terkendala ketika usaha pemerintah pusat dalam memberhentikan kepala daerah kurang dilakukan secara cermat dan tepat. Kasus gagalnya pemberhentian Gubernur nonaktif Bengkulu, Agusrin M. Najamuddin dan batalnya Junaedi Hamsyah sebagai gubernur setempat yang definitif, menunjukkan persoalan ketidakcermatan pemerintah pusat itu. Pada kasus ini, pemerintah pusat melalui Keppres No. 40/P/ Tahun 2012 dan Keppres No. 48/P/Tahun 2012 tanggal 2 Mei 2012 bermaksud memberhentikan Gubernur non aktif Agusrin M. Najamuddin dan melantik wakilnya sebagai pengganti yang bersangkutan, Junaidi Hamsyah. Namun, kedua Keppres itu tidak dapat dieksekusi karena pengadilan tata usaha negara (PTUN) Jakarta, dalam putusan sela, memerintahkan Presiden SBY menunda pemberhentian dan pelantikan kedua pejabat tersebut. Keppres tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh penasehat hukum Agusrin M Najamuddin, yaitu Yusril Ihza Mahendra, mengandung kesalahan administratif dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Padahal, sebagaimana dinilai oleh Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), bahwa Presiden memang berhak memberhentikan Agusrin dan mengangkat gubernur baru karena status terpidana Agusrin sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Artinya, berdasarkan Pasal 30 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, tindakan Presiden 10 “Hikayat Proposal dari Tangan Tuhan”, Tempo 17 Maret 2013. 84 Prayudi merupakan sesuatu yang sah menurut hukum.11 MA sendiri kemudian tegas memutuskan untuk menolak upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin M Najamuddin. Sehingga, Agusrin tetap di penjara selama empat tahun karena korupsi APBD senilai Rp20 miliar. melalui Putusan bernomor 126 PK/Pid.Sus/2012 dengan ketua Majelis Hakim Djoko Sarwoko. Akhirnya, Mendagri Gamawan Fauzi melantik Junaidi Hamzah sebagai Gubernur Bengkulu secara definitif, berdasarkan Keppres No. 48/P/2012 yang mengesahkan pemberhentian Junaidi Hamzah sebagai Wakil Gubernur dan mengesahkan pengangkatannya sebagai Gubernur Bengkulu dalam masa sisa jabatan 2010-2015. Mendagri Gamawan Fauzi menilai, bahwa Junaidi merupakan kepala daerah yang unik karena selama 2 tahun dilantik sebanyak 3 kali. Junaidi sebelumnya dilantik sebagai wakil gubernur, kemudian penjabat gubernur, dan akhirnya dilantik sebagai gubernur definitif dalam periode yang sama.12 Pelantikan gubernur ini sangat penting, mengingat Provinsi Bengkulu sempat tidak mempunyai gubernur definitif selama 2 tahun, karena gubernur non aktif Agusrin Maryono Najamuddin yang tersangkut perkara korupsi. Di samping kasus Agusrin, juga terjadi benturan keputusan hukum pengadilan dengan langkah administratif dari pemerintah terhadap kasus lainnya, yaitu mengenai posisi Bupati Padang Lawas. PTUN Jakarta dalam putusan selanya sempat memerintahkan penundaan pelantikan Pelaksana Tugas Bupati Padang lawas, Ali Sultan Harahap menjadi bupati definitif setempat. Putusan ini terkait gugatan mantan Bupati Padang Lawas, Basyrah Lubis atas pemberhentian dirinya oleh Mendagri. Dalam pandangan Mendagri, Gamawan Fauzi, seharusnya keputusannya memberhentikan Busyrah dan mengangkat Ali Sultan Harahap, sebagai bupati justru sudah tepat. Keputusan ini didasarkan pada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, menghukum Basyrah Lubis melalui hukuman percobaan enam bulan karena karena pemalsuan surat saat menjabat sebagai camat. SK Mendagri memberhentikan Basyrah Lubis dan pengangkatan Ali Sultan Harahap sebagai Penjabat Bupati Padang Lawas ditandatangani oleh Gamawan Fauzi pada awal April 2012. Setelah MA memvonis Basyrah dengan hukuman percobaan selama enam bulan, pada akhir Oktober 2012. Mendagri mengeluarkan SK pelantikan Ali Sultan sebagai bupati definitif dan menganggap Basyrah memenuhi syarat untuk diberhentikan karena pemalsuan surat dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Sehubungan terjadinya benturan putusan PTUN dan SK Mendagri, Mendagri Gamawan Fauzi menyerahkan masalah pelantikan Bupati Padang 11 12 “Putusan Sela Lindungi Koruptor”, Media Indonesia, 21 Mei 2012. “Gubernur Definitif Bengkulu Dilantik”, Koran Tempo, 18 Desember 2012. 85 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Lawas kepada Gubernur Sumut.13 Selanjutnya, ketika menjabat Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, melantik Pelaksana Tugas Bupati Padang Lawas, Ali Sultan Harahap, sebagai Bupati Padang Lawas secara defitif. Sehingga, Ali Sultan Harahap dianggap telah resmi menggantikan posisi Busyrah Lubis, sebagai bupati setempat. Di dalam kasus yang lain, komplikasi pemilukada Gubenur Sulawesi Tenggara juga mengalami benturan saat hasilnya disampaikan KPU dan putusan pengadilan setempat yang menerima pasangan calon yang gagal dalam nominasi pemilukada itu. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menerima gugatan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi terhadap KPU Sultra. Majelis Hakim PTUN Kendari menilai keputusan KPU Sultra yang tidak mengikutsertakan Ali Mazi dalam pemilukada Gubernur Sultra 2012, adalah tidak sah. Majelis hakim tersebut memerintahkan agar KPU Sultra yang menetapkan tiga pasangan calon pemilukada 12 Oktober 2012 dan menilai tidak sah keputusan nominasi para pasangan calon, karena hanya ditandatangani oleh hanya dua dari lima anggota KPU Sultra. Ketiga pasangan calon gubernur/wakil gubernur yang ditetapkan itu adalah Buhari Matta-Amirul Tamim, Nur Alam-Saleh Lasata, dan Ridwan BAE-Haerul Saleh. Sedangkan pasangan Ali Mazi-Bisman tidak dinyatakan lulus persyaratan sebagai peserta pemilukada. Keputusan ini ditandatangani Ketua KPU Sultra saat itu, Mas’udi dan Anggota KPU Sultra, Bosman. Tetapi, pasangan Ali MaziBisman justru dinyatakan lulus persyaratan oleh tiga anggota KPU Sultra lainnya, yaitu Eka Suaib, LM Ardin, dan Abdul Syahrir.14 Komplikasi dari tahapan pemilukada hingga proses pelantikan kepala daerah bukan mustahil terjadi, meskipun pemerintah pusat sudah mengambil kebijakan tertentu dalam penegasan dari hasil pemilukada itu sendiri. Komplikasi tahapan pemilukada semacam ini, misalnya terjadi di Kabupaten Aceh Tengah yang mengalami kurun waktu panjang sempat tidak mempunyai bupati. Ironisnya, Mendagri sudah menerbitkan keputusannya pada September 2012, terkait pasangan Nasaruddin-Khairul Asmara untuk dilantik oleh Gubernur Aceh agar nantinya dapat memimpin Aceh Tengah. Kasuistik gubernur yang memiliki cara pandang tersendiri justru menjadi aneh ketika prosedural dan substansi demokrasi pemilukada sudah dijalankan. DPR Kabupaten Aceh Tengah telah menyerahkan permohonan pengambilan sumpah jabatan pasangan kepala daerah dan wakilnya ini kepada Gubernur Aceh pada September 2012. Namun Gubernur Aceh belum memberikan tanggapan atas permohonan DPR Kabupaten Aceh Tengah. 13 14 “Tunda Pelantikan Bupati Padang Lawas”, Kompas, 11 November 2012. “PTUN Terima Gugatan Ali Mazi”, Kompas, 24 November 2012. 86 Prayudi Pilakda Kabupaten Aceh Tengah sendiri sudah dilakukan pada 9 April 2012, dengan keluarnya sebagai pemenang adalah Nasaruddin-Khairul yang diusung Partai Demokrat, PKNU, PKPI, dan Partai Patriot Pancasila. Mereka mengantongi jumlah suara terbanyak, yaitu dengan 35 persen suara. Pasangan ini mengungguli 9 pasangan lain, termasuk dari Partai Aceh, sebagai partai lokal terbesar di Aceh. Hasil penghitungan suara Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah sempat digugat sembilan pasangan yang kalah di Pemilukada ini kepada MK. MK sendiri sudah menolak dua gugatan itu dan Mendagri telah menerbitkan SK pengangkatan Nasaruddin-Khairul. Alasan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah tentang belum dilantiknya pasangan ini, adalah terkait pertimbangan kemungkinan hal-hal buruk yang bakal terjadi di wilayah ini, atau berkenaan soal keamanan.15 Alasan soal keamanan jelas tidak tepat dan sebagai bagian dari NKRI, Aceh harus tunduk pada kelembagaan negara yang absah dan harus menghormati hasil demorkasi kedaulatan rakyat melalui Pemilukada. Berlarut-larutnya belum dilantik pasangan pemenang hasil pemilukada Aceh Tengah, justru merugikan rakyat setempat dan terganggunya birokrasi pemda serta pembangunan di wilayah tersebut. Lowongnya posisi kepala daerah, kadangkala diwarnai dengan kesan perlawanan politik lokal terhadap kebijakan dari pemerintah pusat. Perlawanan ini jelas menjadi “duri dalam daging” terhadap proses penegakkan ketentuan pemerintahan dalam bentuk Negara Kesatuan RI. Hal ini setidaknya tampak pada kasus cukup lamanya kurun waktu ketertundaan pelantikan Bupati Dogiyai, Papua. Hingga tiga bulan setelah putusan MK, pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe, yang dinyatakan menang dalam Pemilukada Kabupaten Dogiyai, Papua, belum juga dilantik. Sebenarnya, sejak Agustus 2012 lalu, MK sudah memberikan putusannya dengan menenangkan Thomas Tigi-Herman Auwe dalam Pemilukada Kabupaten Dogiyai dengan jumlah suara 28.155 suara. Pasangan ini mengalahkan Natalis Degei-Esau Magay yang meraih 26.463 suara serta Anthon Iyowau-Clara Apapa Gobay dengan suara 21.952. Namun kemudian, massa setempat ada yang menolak putusan MK. Mereka tetap berpegang pada keputusan KPU Dogiyai yang memenangkan Natalis Degei-Esau Magay. Pasangan ini meraih 29.084 suara. Apalagi, setelah pemungutan ulang di Distrik Piyaiye, pasangan itu tetap juga meraih suara terbanyak, sehingga Sidang Pleno KPU Kabupaten Dogiyai menyatakan pasangan itu sebagai pemenangnya. Atas putusan KPU setempat, Thomas Tigi mengajukan gugatan, yang kemudian dikabulkan MK. Putusan ini sempat memicu kerusuhan, kantor KPU dan kantor Bupati Dogiyai ludes terbakar 15 “Aceh Tengah Tanpa Bupati”, Kompa,s 29 November 2012. 87 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada massa. Pada 26 September 2012, Mendagri Gamawan Fauzi mengeluarkan surat keputusan melantik Thomas Tigi-Herman Auwe. Namun hingga Desember 2012, surat keputusan itu belum juga ditindaklanjuti. Sempat muncul rencana pelantikan pada 8 Oktober 2012, tetapi hal ini kemudian menjadi tidak jelas perkembangannya.16 Kasus ini menunjukkan budaya sportivitas untuk menerima kemenangan atau sebaliknya kekalahan dan fundamental sendi-sendi integrasi nasional yang masih mudah digoyahkan pada konteks kebijakan-kebijakan yang sudah di keluarkan oleh struktur resmi pemerintahan. Kesulitan pengawasan publik semakin terjerat ketika mekanisme pemilukada yang ada masih belum mampu menghasilkan rotasi kepemimpinan secara terbuka dan terbebas dari oligarki kepentingan elit politik. Panwaslu secara kelembagaan tidak berdaya bukan saja mengenai lemahnya sanksi bagi pelanggar, tetapi juga teknis penanganan dan batas kadaluarsa masalah pelanggaran yang diungkap kepada publik. Ketika masyarakat melakukan pelaporan, maka seringkali Panwas tidak berani atau menimal terkesan gamang melakukan sanksi secara keras bagi pelaku yang sudah nyata-nyata melakukan pelanggaran. Bahkan, dengan kebiasaan tertentu dari kalangan politisi partai atau bahkan yang datang dari jalur independen sekalipun pasangan kepala daerah, ketika figur yang dicalonkan atau anggota tim sukses yang dilaporkan publik melakukan dugaan pelanggaran kampanye pemilukada, berusaha mengerahkan massa pendukung, atau pendampingan dari tokoh-tokoh politik organisasinya saat diperiksa panwas, maka panwas terlihat semakin terdesak. Hal ini akan menjadi potensi bagi masyarakat untuk bersikap apatis dan kecewa dengan performance panwas demikian. Masyarakat dapat berada pada kondisi psikologis yang semakin akumulasi apatis, ketika laporan yang disampaikannya tidak diproses tuntas atau keputusan pemberian sanksi tidak dilakukan dengan alasan tidak terdapat bukti pelanggaran. Artinya, kalaupun saat sekarang Panwas bukan lagi sebagai lembaga pengawas yang secara formal bukan lagi bersifat ad hoc, pada kenyataannya peran yang ditampilkan belum mampu dijalankan secara maksimal. Panwas belum mampu keluar dari anggapan sinisme publik tentang dirinya yang ditempatkan hanya sekedar sebagai asesoris pemilukada. Hal penting dalam konteks potensi penyimpangan politik terhadap netralitas birokrasi, adalah dorongan variabel biaya pemilu yang mahal. Demokrasi pasca Orde Baru di Indonesia dianggap melahirkan biaya politik pemilu, di mana Pemilukada termasuk di dalamnya, semakin mahal seiring dengan ketentuan yang membuka jalur perseorangan dan sistem pemilu 16 “Bupati Dogiyai Belum Juga Dilantik sejak Putusan MK”, Kompas, 4 Desember 2012. 88 Prayudi terbuka daftar calon. Ironisnya, ketentuan jalur perseorangan dan sistem pemilu terbuka daftar calon justru diharapkan akan memperkuat basis kedaulatan pilihan pemilih. Sementara itu, melalui jalur politik pencalonan dan sistem pemilu demikian seharusnya mendorong partai agar lebih memiliki komitmen akuntabilitas politik dalam proses seleksi calon-calonnya dalam pemilukada. Persoalannya, efek samping biaya politik pemilu yang tinggi justru memicu dorongan melakukan korupsi untuk mengembalikan biaya politik sang calon yang sudah dikeluarkan dalam jumlah sangat besar. Selama ini, berbagai cara dari partai dalam proses pendanaan politiknya, cenderung belum berinteraksi secara positif dengan komitmen pembentukan nilai keterbukaan dan akuntabilitas publik. Cara-cara demikian, misalnya ada partai yang mewajibkan para kadernya yang menjadi kepala daerah atau anggota DPR untuk memberikan kontribusi. Ada pula partai yang sangat mengharapkan peran sentral ketua umum partai untuk menggerakkan organisasi partainya dalam pemilu. Undang-undang pemilu sendiri sudah mengatur masalah pendanaan politik, yaitu dana itu berasal dari partai bersangkutan, calon anggota legislatif, sumbangan dari pihak lain, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sumbangan dari perseorangan (bukan anggota parpol) dibatasi Rp1 miliar dalam satu tahun anggaran, sedangkan sumbangan dari perusahaan dibatasi maksimal Rp7,5 miliar dalam satu tahun anggaran.17 Kewajiban anggota dan pengurus partai saat menjabat posisi di birokrasi yang sangat strategis sebagai pejabat publik, menyebabkan agar harapan dilepaskannya jabatan kepengurusan partai dan bahkan secara keanggotaan di saat bersamaan dapat diwujudkan. Hal ini terlepas pada kurun waktu yang dilakukan apakah akan dilakukan secara cepat atau adanya kurun waktu transisi, tetapi yang jelas momentum saat menjelang disahkannya RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana Sultan dan Paku Alam saat nantinya menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur setempat yang berjalan melalui proses pengangkatan dikenakan persyaratan antara lain tidak boleh menjadi pengurus dan anggota partai politik, tampaknya didesak untuk diterapkan secara nasional. Bahkan, wacana untuk melepaskan jabatan partisan kepartaian ini, tidak saja bagi tingkatan kepala daerah dan wakilnya, tetapi pada posisi jabatan publik pemerintahan di tingkat pusat, seperti halnya Presiden/Wakil Presiden, dan bahkan bagi pihak-pihak yang menjabat setingkat menteri. Ruang tarik ulur tampaknya masih coba dimainkan dengan berbagai alasannya, termasuk mengenai apakah tidak perlu sampai pelepasan baju partai hingga di tingkat hanya sebagai anggota, tetapi cukup 17 “Mahalnya Demokrasi Kita, Kompas, 19 Juni 2012. 89 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada dilakukan pembebasan saat menjabat pengurus di partai. Situasi kepartaian di Indonesia yag sangat personalistik elit secara oligarkis, tampaknya masih menjadi kendala tertentu bagi perwujudan netralitas kepala daerah dan kalangan pemerintahan di tingkat puncak yang berusaha mengayomi seluruh masyarakatnya, tanpa harus terjebak pada pemetaan dukungan politik. 2. KONTROVERSI RANGKAP JABATAN DALAM FIGUR KEPALA DAERAH DAN WAKILNYA Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo menyatakan, pejabat publik sebaiknya tidak merangkap jabatan di partai politik. Dengan posisi itu, pejabat justru dapat lebih adil dan lebih fokus bekerja untuk masyarakat. Para pejabat seperti halnya gubernur, siap melepaskan jabatan rangkap dipartai, jika ditetapkan oleh undang-undang. Pejabat yang tidak merangkap di partai sebagai pimpinan partai politik justru itulah yang benar. Saat maju dalam pemilukada, memang turut pencalonan melalui partai politik. Namun setelah terpilih, kepala daerah itu milik masyarakat, tanpa terkecuali. Tidak hanya milik salah satu partai politik.18 Sedangkan Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Longki Djanggola, menilai, rangkap jabatan sesungguhnya tidak mengganggu konsentrasi kerja sebagai kepala daerah. Di partai, pembagian tugas dan kewenangan cukup jelas, tetapi yang terpenting adalah harus mampu memilah mana yang menjadi tugas partai dan mana tugas pemerintahan. Menurutnya, sejauh ini dirinya dengan merangkap jabatan sebagai Ketua DPD Partai Gerindra di Provinsi Sulteng, tidak mengganggu kerja sebagai kepala daerah. 19 Adapun Gubernur Jawa Timur, Soekarwo mengatakan siap melepaskan jabatan pimpinan partai politik, jika memang ada regulasi yang melarang rangkap jabatan. Seseorang dapat menjabat publik, menurutnya, karena ditentukan partai politik. Kalau kemudian mereka menjadi apolitik adalah tidak mungkin dan kepastian tentang boleh atau tidaknya rangkap jabatan di birokrasi pemerintahan dan politik, sebaiknya menunggu saja dari apa yang nanti diputuskan.20 Ketentuan rangkap jabatan tampaknya berkembang cukup longgar di tingkat kepala daerah, meskipun secara nasional tentu masih tergantung dari apa yang terjadi terhadap tawar menawar proses pengambilan kebijakan ketika bersentuhan dengan tingkatan lebih tinggi di strata jabatan publik, yang disebut sebagai pejabat negara, terutama di level presiden, wakil presiden, ketua-ketua lembaga negara, anggota DPR, dan termasuk para menteri di kabinet. 20 18 19 “Pejabat Fokus Saja Urus Rakyat”, Kompas, 5 September 2012. Ibid. Ibid. 90 Prayudi Kelonggaran dari sikap politik yang berkembang di tingkat kepala daerah, merujuk pada dugaan tentang masih lemahnya rekrutmen partai dalam menseleksi para kadernya untuk duduk diseleksi dalam pemilu di jabatan pemerintahan. Hal ini tampak pada konteks pemilukada, ketika bangunan partai koalisi pengusung, maupun secara tunggal untuk menominasikan dan memasuki tahapan menyampaikan secara resmi pasangan calon yan didukungnya kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota, biasanya terjadi pada pola yang sangat pragmatis dan bahkan tidak jarang berlangsung justru di kurun waktu last minute tentang kepastian figurfigurnya. Sehingga, unsur popularitas dan bahkan kepemilikan aset sosial ekonomi menjadi pertimbangan utama dibandingkan perjalanan kariernya sebagai kader partai bersangkutan. Konsekuensi atas pertimbangan ekonomi dan popularitas kandidat ini, mendorong keterikatan pasangan calon yang menang pemilukada dan dilantik sebagai kepala daerah akan tidak terlampau kuat ikatan emosional dan kepentingan politik pribadinya dengan partai pengusung dirinya saat pemilukada dilakukan sebelumnya. Fenomena rangkap jabatan publik dan politik memang sudah terjadi sejak lama di Indonesia. Di zaman Orde Baru, rangkap jabatan justru “direstui” dan digunakan sebagai strategi untuk melanggengkan kekuasaan partai politik. Para pemegang jabatan publik dari presiden hingga kepala desa sekaligus merupakan fungsionaris partai. Memang tidak ada aturan yang melarang rangkap jabatan publik dan partai politik. Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, misalnya hanya melarang rangkap jabatan menjadi menteri dan pejabat negara lain, komisaris atau direksi perusahaan negara/swasta, serta sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Dimata publik, fenomena rangkap jabatan justru dirasakan lebih besar mudaratnya. Selain rentan melahirkan konflik kepentingan, perangkapan jabatan juga dapat mengaburkan batas pelaksanaan jabatan negara dan partai politik atau penyalahgunaan jabatan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan publik yang mengutamakan dibandingkan kepentingan politik atau golongannya berada secara terbalik berhadapan dengan kepentingan bangsa dan negara. Dampak lain adalah rawan bagi terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme. 21 Kasus dugaan suap DPRD kota Semarang, dengan terdakwa Walikota Semarang, Soemarmo Hadi Saputro, merupakan contoh tentang rentannya pendanaan politik pemilu yang mendorong perilaku korupsi. Seperti diketahui, dalam kasus ini terungkap asal uang suap dan lima fraksi yang menerimanya. Uang suap ternyata berasal dari patungan masing-masing satuan kerja 21 “Menyoal Rangkap Jabatan Publik dan Politik”, Kompas, 10 September 2012. 91 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada perangkat daerah (SKPD). Dari 10 miliar yang akan diserahkan kepada anggota DPRD kota Semarang setiap SKPD akan memberikan 13,5 persen dari tiaptiap anggaran belanja langsung, minus anggaran belanja rutin untuk listrik, telepon, dan air. Pemberian suap kepada anggota DPRD ini disamarkan dengan beberapa istilah seperti halnya “kaleng susu” dan “uang nyamnyam”.22 Bahkan bukan hanya, terkait dengan persaingan politik pemilukada dalam konteks momentum politiknya, di tingkat permainan untuk mengobyekkan kursi pasangan calon ketika sudah menjabat pun dapat terjadi. Hal ini, sebagaimana terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, misalnya, saat muncul kasus dugaan jual beli kursi wakil bupati, setelah pasangannya melalui jalur independen, yaitu artis Dicky Candra mengundurkan diri. Kasus ini mengemuka di publik setelah LSM Masyarakat Independen melaporkannya ke Kejaksaan Negeri Garut. Dalam laporannya disebutkan setiap calon dimintai uang sebagai syarat menjadi wakil bupati dan jumlah dananya mencapai sekitar Rp1,4-2,3 miliar. Bekas calon wakil bupati, Asep Kurniajaya, mengaku pernah dimintai uang oleh Bupati Aceng HM Fikri sebesar Rp1,4 miliar. Bahkan, dirinya mengaku sudah memberikan uang jaminan sebelumnya senilai 25 ribu Dollar AS di rumah pribadi Bupati Aceng H.M. Fikri di daerah Copong, Kecamatan Garut Kota. Asep Hermawan alias Asep Maher, dosen Musadadiyah, yang juga tercatat sebagai tim sukses bupati setempat, mengaku pernah menerima setoran uang dimaksud dari Asep Kurniajaya. Pada pemilihan wakil bupati ini, sedikitnya 48 orang melamar ke Bupati Aceng Fikri, untuk mengantikan posisi Dicky Candra, yang mengundurkan diri pada 5 Desember 2011. Namun dalam sidang paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Garut, pada 10 Mei 2012, Agus Hamdani, anggota DPRD setempat dari Fraksi PPP, justru terpilih menjadi Wakil Bupati Garut.23 Sedangkan pada kasus lain, KPK berusaha mengusut keterlibatan Gubernur Riau, Rusli Zainal dalam kasus suap lapangan tembak Pekan Olah Raga Nasional (PON). Rusli Zainal, yang juga Ketua Umum DPD Golkar Riau, yang disebut di persidangan oleh Lukman Abbas, mantan kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga Pemda Provinsi Riau yang sudah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus ini. Mereka diduga menerima suap terkait dengan perubahan peraturan daerah untuk menambah anggaran pembangunan lapangan tembak PON XVIII yang direncanakan saat itu akan dilakukan pada 9-20 September 2012. Dalam persidangan tersebut, Lukman Abbas mengaku diperintah oleh Rusli Zaenal untuk memberikan uang kepada anggota DPRD Provinsi Riau dalam kaitan dengan pembahasan anggaran tambahan. 22 23 “Lima Fraksi Terima Suap” dalam Ibid. “Bupati Garut Segera Diperiksa”, Koran Tempo., 6 Juli 2012. 92 Prayudi Lukman juga menyarakan Rusli Zaenal menerima uang Rp500 juta dari rekanan proyek. Seperti diketahui, pada 1 September 2010, Rapat Paripurna DPRD Provinsi Riau menyetujui anggaran tahun jamak untuk mempercepat pembangunan venue PON 2012. Rapat Paripurna DPRD tersebut menyetujui pembangunann tujuh venue senilai Rp383,2 miliar. Selanjutnya, Komisi X DPR menyetujui pelaksanaan PON tahun 2012 bagi Provinsi Riau sebesar Rp150 miliar, sedangkan Pemda Provinsi Riau mengajukan sebesar Rp290 miliar. Rusli Zaenal sendiri, dalam beberapa kesempatan telah membantah ketika disebut menerima dan memerintahkan pembagian suap.24 Pemilukada tampaknya berhadapan dengan sistem pendanaannya yang rawan bagi terjadinya money politics dalam skala yang sangat massif dan kadangkala pada kasus tertentu justru seolah-olah sukar dideteksi atau diberantas secara hukum. Jeratan politik uang ini sangat terbuka peluangnya untuk berkembang meluas, mengingat masyarakat sendiri cenderung baik secara sadar atau tidak sadar ikut mendukungnya. Apapun pola yang digunakan dalam proses jual beli suara politik pemilukada, kebiasaan untuk pemenuhan hidup dan bahkan tawar menawar untuk peningkatan kesejahteraan, misalnya dalam bentuk bantuan secara material tetentu, menempatkan politik uang pemilukada tampaknya sudah menjadi budaya politik di tengah masyarakat dan elit. Mereka diibaratkan di satu sisi saling bergandengan tangan untuk mengamankan politik uang, sembari di sisi lain bersikap munafik untuk menolak keras di hadapan publik mengenai politik uang itu sendiri yang dianggap barang haram. Proses nominasi pencalonan, sejak mulai mengkampanyekan diri secara personal, sampai pada tahapan bakal calon, dan terus bergulir hingga secara formal dianggap sebagai calon resmi yang dipasangkan dengan personal lain yang dianggap menguntungkan pada kekuatan politik pendukungnya, yaitu partai atau gabungan partai politik, hampir selalu didukung oleh para cukong yang menjadi landasan bagi akumulasi pendanaan. Itu sebabnya, betapapun hebat atau sebagus apapun calon kepala daerah, selama sistem penyelenggaraan pemilukada itu sendiri masih lemah bagi permainan politik uang melalui kekuatan para cukong, maka pemilukada hanya melahirkan korupsi bagi birokrasi, ketika pasangan calon pemenang mulai menjalankan pemerintahan daerah. Hal ini tampak ketika fenomena pemerintahan bayangan (shadow government) selalu muncul ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai pasangan politik pemilukada mulai menjalankan pemerintahan. Sudah tentu kelembagaan birokrasi pemda menjadi sangat rendah efektivitas kerjanya dalam menggerakkan program-program yang justru 24 “PON Dibuka, Gubernur Riau Tetap Dibidik”, Koran Tempo, 12 September 2012. 93 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada dibutuhkan bagi pembangunan daerah dan pengembangan potensi masyarakat setempat. Sebaliknya, program pemerintahan dan pembangunan justru selalu dibajak untuk mengarah pada pesan tertentu atau memenuhi spesifikasi kelangsungan proyek dari para cukong dalam kerangka bisnisnya. Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi pasca penyelenggaraan pemilukada, dan masyarakat kelas menengah yang memiliki literasi politik yang relatif baik akan kecewa. Masyarakat kelas menengah akan mudah bersikap golongan putih (golput) yang pada gilirannya menyebabkan angka partisipasi rakyat dalam pemberian suaranya saat pemilukada akan selalu tergolong rendah. Bahkan, ironisnya, semakin berkembang kosmopolitan suatu daerah dengan segala kemudahan akses informasi yang masuk ke wilayahnya, maka potensi untuk bersikap golput bagi masyrakatnya adalah akan meningkat jumlah atau persentasenya. Di tengah keprihatinan masih lemahnya pengawasan publik, pengungkapan kasus korupsi dan pemilukada sangat rentan bagi terjadinya perlawanan balik dari pihak yang bermasalah terhadap proses hukum yang dilakukan. Perlawanan ini mengarah pada tindakan kekerasan fisik dari pendukungnya di tingkat lapangan terhadap aparat hukum yang mencoba mengeksekusi pihak pelaku secara hukum. Kasus hukum yang terjadi pada Bupati Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng), adalah salah satu contoh perlawanan semacam itu di antaranya. Pihak bersangkutan ditangkap basah oleh penyidik, begitu pula rekannya yang diduga pimpinan perkebunan sawit besar di Sulteng. Kasus penyuapan terhadap Bupati Buol ini dikabarkan berkaitan dengan pengurusan izin perkebunan. Namun, ketika penyidik KPK akan menangkap Amran Batalipu, banyak sekali orang yang menghalanginya. Bahkan, beberapa orang di antaranya melakukan pemukulan terhadap penyidik dan mereka juga merusak mobil milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kondisi demikian, Amran Batalipu masih sempat tampil berkampanye di depan pendukungnya. Ia justru menuduh ada pihak yang tidak menginginkan memimpin kembali Kabupaten Buol. Retorika politik tersebut juga disampaikan oleh kalangan Partai Golkar, partai yangn mencalonkan Amran Batalipu sebagai kepala daerah setempat. Langkah KPK justru dianggapnya sebagai tidak etis karena Bupati sedang mencalonkan lagi sebagai Bupati dan tahapan Pemilukada pun sudah dimulai dilaksanakan. Sebelumnya, pada April 2007, masyarakat Buol pun tetap memilih, bahkan memenangkan Amran Batalipu ketika saat itu telah divonis bersalah oleh pengadilan negeri dalam kasus korupsi APBD. Ia dihukum satu tahun penjara dalam kasus yang terjadi ketika masih menjadi Ketua DPRD Buol. Vonis ini juga dikuatkan oleh pengadilan tinggi. Tetapi beberapa bulan kemudian, saat Amran sudah dilantik menjadi Bupati Buol, ia divonis bebas oleh MA, putusan 94 Prayudi sempat mengundang kontroversi terutama dikalangan yang menganggap dirinya sebagai penggiat anti korupsi.25 Setelah terjadi penangkapan dan ditetapkan statusnya sebagai tersangka, Mendagri Gamawan Fauzi sempat mengatakan meskipun Amran ditahan oleh KPK dalam operasi penangkapan yang cukup panjang, Amran tetap sah sebagai bupati dan kandidat dalam Pemilukada Buol, Sulawesi Tengah. Amran dinonaktifkan dari jabatan bupati dan tidak boleh mengikuti proses pemilukada jika status hukumnya ditingkatkan menjadi terdakwa.26 Amat Y. Entedaim, pengacara Bupati Buol Amran Batalipu, mengatakan bahwa Amran Batalipu menerima uang dari perusahaan milik Hartati Murdaya, yaitu dari PT Cipta Cakra Murdaya dan PT Hardaya Inti Plantations Hal ini merupakan sumbangan untuk pemenangan Amran dalam pemilihan Bupati Buol, Sulawesi Tengah.27 Dalam persidangan terungkap, bahwa Dirut PT Hardaya Inti Plantation, Hartati Murdaya ditemui oleh Amran dalam rangka permintaan dana bantuan dalam kampanye pemilukada Bupati Buol. Konteks ini, menjadi tawar menawar dengan proses penyelesaian terhadap aksi unjuk rasa yang disebut sebagai “kalangan preman” yang menduduki pabrik perusahan bersangkutan dan telah merugikan dalam jumlah dana yang tergolong besar. Penolakan atas sejumlah dana dalam rangka kemenangan Amran di Pemilukada, pada gilirannya lebih ditempatkan oleh perusahaan tersebut yang lebih memilih pola dana sebagai bagian dari corporate social responsibility yang digunakan untuk meredam unjuk rasa di perusahaan. Konteks demikian mengungkapkan adanya dugaan suap dalam pengurusan hak guna usaha lahan perkebunan sawit di Kabupaten Buol, dengan harapan kandidat dalam proses nominasi pencalonan dan kampanyenya saat pemilukada Bupati setempat dilakukan. Dalam perkembangan, di luar sepengetahuan Hartati Murdaya, sebagaimana diungkap di persidangan, Direktur HIP, Totok Listiyo dan Finance Controller perusahaan itu, Arim, melakukan pertemuan dengan Bupati Buol Amran dan Amran juga menyampaikan permitaan dana 3 miliar. Uang didapatkan Amran dengan dua kali pengiriman yang disebut Totok sebagai istilah “bantuan sembako untuk pemilukada” agar perusahaannya cepat aman.28 Di samping kasus Amran, kasus pemilukada yang juga terjadi belakangan ini, adalah yang menimpa Bupati Banyuwangi (2005-2010) di tahun 2007, yaitu Ratna Ani Lestari, yang ditahan KPK akibat dugaan kasus pengadaan tanah di Kabupaten Banyuwangi. Kasus itu mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp19 27 25 26 28 “lolosnya Bupati Buol”, dalam Koran Tempo, 29 Juni 2012. “Amran Laporkan Dugaan Politik Uang’, Kompas. 7 Juli 2012. “Duit Hartati Untuk Pemenangan Pilkada Buol”, http.www.tempo.co.id., dikutip 12 Juli 2012. “Hartati Akui alirkan Dana Bantuan Sosial”, Kompas 5 Oktober 2012. 95 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada miliar.29 Terkait kasus politik uang, Abdullah Dahlan dari Indonesia Corruption Watch menilai, dalam praktiknya hal ini tidak saja dilakukan melalui cara-cara pembagian uang atau barang secara konvensional. Ada modus lain seperti halnya memanfaatkan APBD untuk pemenangan pemilukada. Pemanfaatan anggaran biasanya dilakukan oleh petahana.30 Dicontohkan, mengenai pemanfaatan anggaran yang terjadi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang menjelang Pemilukada setempat, anggaran iklan layanan masyarakat ditahun anggaran 2012 meningkat menjadi Rp28 miliar. Padahal, tahun sebelumnya, yaitu di tahun 2011, anggaran iklan layanan masyarakat hanya mencapai Rp7,5 miliar. Demikian halnya, dengan alokasi dana hibah yang meningkat dari sekitar Rp800 miliar ditahun 2012 menjadi Rp1,3 triliun, ditahun 2012. Pemanfaatan anggaran dengan meningkatkan anggaran dana hibah menjelang pemilukada juga terjadi di provinsi Banten, saat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, kembali mencalonkan diri dalam pemilukada.31 Menghadapi perkembangan politik uang dalam pemilukada, RUU Pemilukada yang dibahas oleh DPR dan Pemerintah di tahun 2012, membuat ketentuan untuk alasan mencegahnya dengan memberikan sanksi hukum kepada pemberi dan penerima politik uang, selain dengan membatasi belanja kampanye. Hal yang juga menarik dikaji, adalah membuka peluang bagi dikembalikannya pemilukada Gubernur tidak lagi secara langsung oleh rakyat, tetapi melalui kelembagaan DPRD. Di Bojonegoro, mantan bupati setempat, yaitu Mohammad Santoso, menjadi terdakwa dalam kasus korupsi dana sosialisasi pembebasan lahan untuk lokasi pertambangan Blok Cepu, senilai Rp3,8 miliar. Selain Santoso, kasus tersebut juga menyeret mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bojonegoro, Bambang Santoso. M. Santoso, mantan Bupati Bojonegoro, adalah pensiunan TNI Angkatan Darat dengan pangkat terakhir kolonel. 32 Dirinya menjabat sebagai Bupati Bojonegoro periode 2002-2008, dan juga merupakan mantan Kepala Dolog Provinsi Bali, akhirnya meringkuk di sel lembaga pemasyarakatan (LP) Kabupaten Bojonegoro. Pada bulan September 2012, M. Santoso yang berambisi meraih kembali jabatan Bupati dalam pemilukada Bojonegoro, bahkan sempat mendaftarkan dirinya melalui jalur PDI Perjuangan. M. Santoso dijebloskan ke dalam LP setempat berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Sebelum kasus pembebasan lahan bagi Blok Cepu, M. Santoso juga terlibat dalam kasus korupsi APBD tahun 2007 senilai Rp 6 miliar dan diganjar hukuman 5 tahun penjara.33 31 32 33 29 30 “Antusiasme Publik terus turun”, dalam Loc.cit. “Hukum Pemberi dan Penerima Politik Uang”, Kompas 12 Juli 2012. Ibid. “Mantan Bupati Bojonegoro Segera Diadili”, Koran Tempo 10 Oktober 2012. Ibid. 96 Prayudi Pada kasus lain, misalnya juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yaitu tepatnya di Kabupaten Aceh Utara. Mantan Bupati Aceh Utara, Ilyas A. Hamid dan Wakil Bupati Aceh Utara Syarifuddin, terlibat dalam pemindahan dana sisa APBD Aceh Utara ditahun 2008 senilai Rp220 miliar ke Bank Mandiri Cabang Jelambar, Jakarta, yang kemudian terjadi pembobolan rekeningnya. Awalnya, dana itu disimpan di Bank Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe. Sebagai Bupati, saat itu, Ilyas mengizinkan Syarifuddin mendepositokan sebanyak Rp200 miliar di Bank Mandiri cabang Jelambar. Adapun dana sebanyak Rp200 miliar lainnya dimasukkan ke rekening PT Argo Sijantara. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh sudah memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menahan Ilyas A. Hamid dan Syarifuddin, sebagaimana tertuang dalam Putusan PT Tipokor Banda Aceh No.29/PID-TIPIKOR/2012, PT-BNA tanggal 9 Oktober 2012 yang ditandatangani Ketua Majelis Hakim PT Tipikor Banda Aceh, Mas’ud Halim dan dua hakim anggota, yaitu Amsar Yoenaga dan Sunardi.34 Yang juga tidak kalah dashyatnya kasus yang berkembang, adalah ketika Bupati Kepulauan Aru, Maluku, Theddy Tengko yang sempat kabur dari penjagaan Kejagung di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, karena adanya sekitar 50 orang pendukungnya yang mengancam untuk melepaskan bupati bersangkutan. Theddy Tengko yang dituduh korupsi APBD 2006-2007, dan para pendukungnya, termasuk pengacara yang sekaligus mantan Menkuham, Yusril Ihza Mahendra, menganggap bahwa dirinya telah diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak kejaksaan. Hal ini mengingat tidak adanya surat perintah penahanan ketika dilakukan penangkapan kepada Theddy Tengko. Theddy Tengko sendiri sempat disambut oleh ratusan massa kedatangannya di bandara kota Dobo, Kepulauan Aru, Kedatangan bupati ini melalui pesawat carteran dari Papua dan massa menggelar konvoi mengelili kota Dobo dan sekaligus mengawal Theddy.35 3. PEMBENAHAN SECARA KELEMBAGAAN DAN TANTANGANNYA Banyaknya kasus kepala daerah terseret dugaan korupsi, pada sisi yang lain juga menjadi kontroversi terkait batasan kebijakan yang dapat dilakukannya, sekaligus diskresi kewenangan yang dimiliki, dengan persoalan hukum yang dianggap harus dibedakan dengan tegas. Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Isran Noor, mengatakan, seharusnya kesalahan yang dilakukan kepala daerah dalam menjalankan kewenangan tidak dibawa ke ranah hukum.36 Bahkan, menurutnya, seharunya kepala 36 34 35 Mantan Bupati dan Wakil Bupati Diperintahkan Ditahan”, Kompas, 12 Oktober 2012. “Bupati Theddy Tengko Kabur”, Koran Tempo, 14 Desember 2012. “Kepala Daerah Protes Kirminalisasi Kebijakan”, Media Indonesia, 10 Juli 2012. 97 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada daerah tidak boleh dipidanakan dan justru mengherankan ketika penegak hukum tidak dapat membedakan batas penggunaan wewenang dan korupsi. Kalangan penegak hukum dianggap perlu menghindarkan agar jangan sampai kebijakan publik justru mengalami kriminalisasi. Padahal, kebijakan publik itu sendiri dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan fungsi pelayanan publik, Bahaya atas berlarutnya kriminalisasi kebijakan dianggap akan menyebabkan tidak berjalannya fungsi pelayanan publik dari birokrasi di daerah dan justru membawa kemunduran bagi kesejahteraan masyarakatnya itu sendiri. Mendagri Gamawan Fauzi tetap berharap agar kepala daerah melakukan langkah-langkah inovasi dalam memimpin daerah. Namun, ketika pelanggaran hukum itu disertai unsur memperkaya diri sendiri, proses hukum atas kejahatan korupsi tidak dapat dihindari. Hingga saat ini belum diatur secara tegas batasan antara diskresi dalam tataran administrasi negara dengan korupsi. Salah satu pembeda adalah niat melanggar hukum. Kejahatan dimulai dari niat, tetapi persoalannya bagaimana mengukur ada atau tidak adanya niat melakukan kejahatan dimaksud.37 Masalah keliru bisa saja masuk ranah hukum administrasi negara. Namun, ketika ada unsur suap, apapun alasannya, kepala daerah harus diproses secara pidana. Di sini, keberadaan peradilan menjadi faktor yang penting, terkait dengan dirinya yang bebas dari intervensi. Peradilan yang membebaskan terdakwa karena tidak terbukti bersalah jangan dianggap berkolusi. Sebaliknya, Ketua Asosiasi pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia, Isran Noor, mempertanyakan kriteria unsur memperkaya orang lain. Menurutnya, justru memperkaya orang lain adalah tugas kepala daerah. Ketika seorang pengusaha mendapatkan proyek, setidaknya dirinya mendapat keuntungan 10 persen.38 Visi pemerintah terkait perwujudan inovasi daerah, sangat jelas ditampilkan pada saat eksekutif mengajukan ke DPR terkait RUU Pemda yang diusahakan untuk menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 saat itu. Sebagaimana diatur antara lain terkait postur birokrasi pemda, dalam Pasal 110 RUU Pemda yang dikeluarkan draftnya melalui Kemdagri (tahun 2011), di Pasal 110: “(1) Jumlah pegawai negeri sipil di daerah didasarkan atas beban tugas untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan dalam rangka meningkatkan daya saing di daerah; (2) Kepala daerah dilarang mengangkat pegawai honorer yang pengadaannya tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan; (3) Kepala daerah yang mengangkat pegawai honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sementara selama 3 (tiga) bulan; (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pegawai negeri sipil di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” 37 38 “Penegakkan Hukum Yang Paling Penting”, Kompas, 14 Juli 2012. Ibid. 98 Prayudi Pada konteks yang lebih luas, birokrasi daerah juga kadangkala mengalami proses lemahnya akuntabilitas publik, yaitu terkait dengan dugaan korupsi. Berdasarkan penelusuran Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ditemukan 2.258 transaksi yang mencurigakan yang melibatkan antara lain kepala daerah, bendahara daerah, dan pejabat daerah lainnya. 39 Masalahnya, adalah Mendagri Gamawan Fauzi belum dapat menindaklanjuti informasi tentang transaksi mencurigakan pejabat di daerah. Penyebabnya, permintaan data transaksi yang diajukan Kemdagri ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan belum dipenuhi. Bagi Mendagri, hasil analisis keuangan PPATK memang terlebih dahulu ditujukan kepada lembaga penegak hukum. Namun, data itu dianggapnya tidak ada salahnya juga dikirim ke Kemdagri untuk keperluan pembinaan umum pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, laporan hasil analisis (LHA) transaksi keuangan mencurigakan yang terkait kepala daerah dari PPATK memang tidak menyampaikan ke Mendagri, melainkan langsung kepada instansi penegak hukum untuk ditindaklanjuti.40 Pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan korupsi, juga menjadi persoalan tersendiri dalam jalan panjang proses pemeriksaan aparat berwenang terhadap pelaku yang diduga tersebut. Untuk itu, pemerintah sudah memperbaiki mekanisme permintaan izin pemeriksaan kepala daerah oleh kejaksaan kepada presiden terus diperbaiki. Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan, kini mekanismenya tidak lagi berbelitbelit, sehingga penerbitan izin pemeriksaan dapat berjalan semakin cepat.41 Contohnya, dengan mekanisme yang berlaku bahwa permintaan izin langsung disampaikan kejaksaan di daerah (Kajati dan Kajari), tanpa ada penelitian terlebih dahulu oleh Kejaksaan Agung, bukti material yang diajukan seringkali kurang lengkap atau terlampau dipaksa untuk diajukan. Hal ini dianggap menciptakan kondisi proses pembuatan surat permintaan izin pemeriksaan menjadi tidak dapat diproses lebih lanjut. Sejalan dengan perbaikan mekanisme di atas, maka nantinya sebelum diajukan ke Presiden, dilakukan ekspose di Sekretaris Kabinet (Sekkab) dan setelah itu baru diajukan ke Presiden untuk dikeluarkan izin pemeriksaannya. Sebelum pemaparan di Sekkab, kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah diteliti terlebih dahulu oleh Kejaksaan Agung, apakah bukti-bukti material sudah lengkap atau dianggap belum lengkap. Bukti material yang harus dilengkapi antara lain pernyataan adanya kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan 41 39 40 “Presiden Perlisakan Diselidiki”, Kompas, 24 Juli 2012. “Menteri Tunggu Data Transaksi”, Kompas 25 Juli 2012. “Mekanisme Izin Pemeriksaan Diperbaiki”, Kompas, 31 Juli 2012. 99 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Pembangunan (BPKP) untuk kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. Setelah bukti material dianggap lengkap, selanjutnya berkas disampaikan kepada Sekkab. Dengan mekanisme yang telah diperbaiki, dalam waktu yang tergolong tidak terlampau lama, Presiden dapat menerbitkan izin pemeriksaan terhadap sejumlah kepala daerah. Bahkan, dari beberapa izin pemeriksaan yang sudah diterbitkan Presiden tersebut, pihak Kejaksaan dapat melanjutkan proses penyidikan kasus-kasus bersangkutan. Misalnya, di tahun 2012 ini, kasus-kasus yang mulai diperiksa dan disidik kejaksaan, antara lain adalah yang melibatkan Gubernur Kaltim, Awang Faroek, Bupati Kolaka, Sulawesi Tenggara, Buhari Matta, Bupati Ogan Komilir Ulu, Sumsel, Muhtadin Serai, dan Bupati Batang, Jateng, Bambang Bintoro. Di samping itu, juga izin pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang melibatkan Bupati Bulungan, Kaltim, Budiman Arifin, Wakil Bupati Purwakarta, Jabar, Dudung Bachtiar Supardi, Walikota Medan, Sumut, Ruhudman Harahap, dan Bupati Kepulauan Mentawai, Sumbar, Edison Saleleubaja.42 Sejauh ini, proses hukum bagi kepala daerah bermasalah diusahakan untuk tidak akan lagi mengalami jalur yang rumit. MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dua ayat yang dibatalkan adalah ayat 1 dan ayat 2, dan pada putusannya, MK menyatakan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah dapat dilakukan tanpa persetujuan Presiden. Anggota Majelis Hakim MK, Akil Mochtar, menjelaskan, pasal yang dibatalkan ini dinilai menghambat proses penyelidikan dan penyidikan. Persoalannya, Presiden diberikan waktu selama 60 hari untuk memberikan persetujuannya dan selama kurun waktu tersebut, kepala daerah atau wakil kepala daerah dapat melakukan langkah-langkah ke arah proses penghapusan jejak atau diistilahkan sebagai “penghilangan alat bukti tindak kejahatan. Uji materi oleh MK terhadap Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004, dilakukan atas dasar permintaan beberapa aktivis dan lembaga yang menamakan diri sebagai anti korupsi, seperti halnya Indonesia Corruption Watch (ICW), dosen Universitas Andalas, Feri Amsari, serta dosen Universitas Gajah Mada, Teten Masduki, dan Zainal Arifin Mochtar.43 Pemeriksaan terhadap kepala daerah hasil pemilukada bukan saja harus mereformulasi mekanismenya, tetapi juga pertimbangan atas gejolak massa secara lokal ketika pemeriksaan secara hukum dilakukan. Hal ini bukan mustahil, mengingat fanatisme pendukung kepala daerah bersangkutan, ketika dikenakan status hukum tertentu, seperti halnya tersangka, sudah memancing emosi pendukung kepala daerah bersangkutan. Bahkan, ketika kepala daerah 42 43 Ibid. “Penyelidikan Kepala Daerah Bermasalah”, Tempo, Edisi 1- 7 Oktober 2012. 100 Prayudi yang dikenakan status hukum tertentu atas kasus yang dihadapinya, dirinya dapat memobilisasi pegawai negeri sipil (PNS) Pemda setempat untuk memprotes tindakan aparat yang mengenakan status tersebut. Bahkan, opini publik lokal dapat diputarbalikkan dengan kesan terjadinya tindakan aparat yang mendzalimi atau menerapkan fitnah bagi kepala daerah yang terkena masalah hukum dimaksud. Kasus yang pernah dihadapi oleh Bupati Subang, Eep Hidayat saat dikenakan status sebagai tersangka oleh KPK saat itu dengan alasan dugaan penyalahgunaan pajak kehutanan, pertambangan, dan perkebunan dari tahun 2005-2008, menunjukkan fenomena mobilisasi PNS birokrasi Pemda atas kasus dugaan korupsi yang dihadapi kepala daerah setempat. Bahkan, ketika berdemonstrasi muncul pula ungkapan spanduk bertuliskan ”kalau Bupati Subang menjadi tersangka, Gubernur Jawa Barat juga harus menjadi tersangka”.44 Partai politik memiliki andil besar dalam menempatkan perilaku politik korupsi dalam persaingan pemilukada. Bahkan, mereka kadangkala tidak malu dalam menominasikan calon yang justru sedang terbelit masalah, ketika kepentingan strategis untuk meraih kekuasaan, mengharuskan pilihan kontroversial itu. Misalnya, sebagaimana saat menjelang pelaksanaaan Pemilukada Gubernur Kaltim tahun 2013. Sejak awal, DPP Golkar resmi mencalonkan Awang Farouk Ishak yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Kaltim, pada Pilgub Kaltim 2013 mendatang, meski yang Awang tersandung dugaan kasus korupsi. Kepastian pencalonan Awang tertuang dalam Surat DPP Partai Golkar bernomor: R.390/GOLKAR/X/2012 tertanggal 13 Oktober 2012 perihal Pengesahan Pasangan Calon Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Timur. Surat itu, ditandatangani Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Sekjend Idrus Marham. Alasan tentang hasil survey yang dikontrak lembaga surveynya oleh Golkar, menunjukkan figur Awang Farouk masih yang paling popular dibandingan calon-calon lainnya.45 Seperti diketahui, Awang Farouk Ishak ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, terkait kasus dugaan korupsi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal, tahun 2010 lalu. Hingga sekirar 2 tahun, sebelum masuk tanggal 7 Juli 2012, kejaksaan belum melakukan pemeriksaan terhadap bersangkutan. Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim sendiri ketika itu rencananya digelar oleh KPUD Kaltim pada September 2013 mendatang, bersamaan secara serentak dengan pemilukada Kota Tarakan dan pemilukada Penajam Paser Utara. Sebelum Awang Farouk, PKS juga secara resmi telah mengusung Hadi Mulyadi sebagai calon Gubernur Kaltim, yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kaltim. 44 45 KPK monitors graft trial after suspect acquitted”, The Jakarta Post ,17 Desember 2010. “Tersandung Korupsi, Awang Farouk Ishak tetap Maju di Pilgub Kaltim 2013”, http:// www.detik. com, diakses 16 Oktober 2012. 101 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Di samping ke arah dugaan korupsi, pemilukada juga dianggap menjadi ajang untuk mengobral pemberian izin usaha pertambangan dan perkebunan bagi calon kepala daerah. Kasus di Provinsi Bangka, menunjukkan bahwa aktor-aktor negara di tingkat lokal melakukan tingkah laku informal untuk mencari keuntungan, bahkan ikut terlibat dalam suatu mafia bisnis timah. Seberapa jauh keuntungan itu digunakan untuk keuntungan pribadi atau lembaga negara yang cenderung terbatas anggaran resminya, justru tidak diketahui. Kaburnya pemisahan antara pendapatan legal dan tidak legal, antara resmi dan tidak resmi dalam kasus pengelolaan timah di bawah sistem baru ini, tampaknya mengharuskan pemikiran kembali konsep negara, pasar dan masyarakat. Hal ini beranjak pada hubungan yang intim antara negara dan pasar, birokrat dan pebisnis.46 Dalam kasus Bangka, preman berperan penting untuk menggerakkan massa dalam mendukung kepentingan segelintir pejabat daerah pada khususnya, pebisnis dan aparat berwenang pada umumnya. Sehingga muncul peran negara bayangan yang berperan besar dalam pemerintahan dibandingkan peran negara yang secara formal hadir di tengah masyarakat setempat. Kalangan para penyelundup atau pengusaha timah di Bangka menyebut tentang besarnya peran capital atau diistilahkan sebagai uang (money politics) dalam meraih kekuasaan dan sekaligus mengontrol pengelolaan aset lokal, termasuk tentu saja terkait sumber alam seperti halnya kekayaan tambang timah.47 Deregulasi tata niaga timah yang mengikuti pelaksanaan otonomi daerah pada bulan Januari 2001, mencipatakan momentum tersendiri bagi sejarah pengelolaan penambangan timah di Indonesia. Respons daerah begitu cepat dan radikal dalam proses peralihan kekuasaan dari pusat ke daerah dalam pengelolaan timah dan guna mencari sumber-sumber pendapatan daerah. Otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya lebih merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan budaya atau politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil otonomi daerah ternyata adalah konflik bisnis.48 Efek samping dari nyatanya kolaborasi kekuasaan dan bisnis yang bergerak secara abu-abu dan sekaligus melahirkan dominasi peran negara bayangan, sudah tentu adalah kerusakan lingkungan dan destruksi sosial yang tidak terhindarkan atau justru tidak diperhitungkan oleh Bupati terpilih hasil Pemilukada. 46 47 48 Erwiza Erman “Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal: Studi Kasus Bangka”, dalam Henk Scuhulte Nordholt dan Gery van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2007,, h.264. Ibid., Erwiza Erman “Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal: Studi Kasus Bangka”, dalam Ibid., h. 225. 102 Prayudi Studi Erwiza Erman menunjukkan bahwa “terjadi persaingan antara gubernur dan bupati dalam pengelolaan timah sebagai sumber daya alam yang berharga dalam kurun watu berkelanjutan dan bahkan telah diintervensi oleh institusi kepolisian dari Jakarta. Sempat terjadi peristiwa “Oktober 2006”, di mana pada awal Oktober 2006, polisi menangkap enam manajer dari perusahaan dan peleburan timah yang dianggap merusak lingkungan dan merugikan negara, karena menyelundupkan pasir timah ke luar negeri, terutama ke Singapura dan Malaysia.”49 Studi Erwiza Erman juga menunjukkan bahwa: “Bupati Bangka yang menang dalam Pemilukada Gubernur Bangka Belitung di tahun 2007, menerima suntikan dana, tidak hanya dari pengusaha timah lokal, tetapi juga dari pengusaha nasional. Di sini gubernur dihadapkan untuk sebuah taruhan yang lebih besar. Bantuan keuangan dari pengusaha nasional ini bukan tanpa disertai politik balas budi oleh gubernur dalam bentuk penyediaan akses hukum untuk beberapa bisnis yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan timah Bangka. Kondisi ini dianggap sebagai “pulau Bangka yang telah digadaikan.” Kondisi ini juga tidak berbeda dengan para bupati. Pada dasarnya tidak satupun kampanye calon Bupati di Bangka Belitung dalam pemilukada langsung yang mengangkat isu kerusakan lingkungan akibat penambangan TI sebagai isu mutama. Kondisi tersebut memang berkaitan erat dengan “suntikan” dana kampanye mereka dari penambangan timah.”50 Beberapa urusan administrasi yang semula sulit bagi perambah hutan mendadak dipermudah dengan alasan tertentu. Hal ini terlihat dari kemudahan terbitnya bukti diri berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau surat keterangan tanah (SKT). Imbalan kemudahan ini biasanya para perambah hutan diminta memilih calon tertentu. Fenomena ini terjadi antara lain misalnya di Provinsi Riau, pada kasus ribuan keluarga perambah di 14 Desa yang menduduki 28.500 hektar Taman Nasional Tesso Nilo, Kabupaten Pelalawan, Riau, hampir semuanya memiliki KTP. Mereka terdaftar sebagai penduduk yang memiliki hak pilih saat pemilukada. Dimasa kampanye, calon kepala daerah berjanji, bahwa jika ia terpilih, maka akan memperjuangkan lahan yang dipersengketakan dilepas dari kawasan hutan negara. Sedangkan di Sumut, terdapat gejala meluasnya penerbitan izin pemanfaatan kayu tanah milik (IPKTM) dari birokrasi oleh bupati setelah dirinya terpilih.51 Perilaku politik birokrasi dan kepala daerah semacam ini, menyebabkan muncul 49 50 51 Erwiza Erman, “Aktor, Akses dan Politik Lingkungan di Pertambangan”, Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No. 2, 2010, h. 90. Ibid., h. 91. “Pilkada jadi ajang obral Perizinan”, dalam Kompas 18 April 2012 103 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada pendapat kontroversi mengenai kontribusi pemilukada bagi proses degradasi lingkungan di daerah. Sedangkan, di Provinsi Kalteng dan Kalsel, studi dari John Mc. Carthy sebagaimana dikutip oleh Kisno Hadi, bahwa sejak tahun 2004, terdapat sekitar 480 pos di Sungai Barito yaitu dari mulai Kota Puruk Cahu di hulu Sungai Barito sampai ke arah Banjarmasin di muara Sungai Barito yang memungut pajak dan rakit-rakit kayu gelondongan. Berbagai instansi pemerintahan, termasuk Polsek, Koramil, Dinas Kehutanan, Dispenda,Pos-pos desa, polisi sungai, polisi pelabuhan, dan angkatan laut mengelola pos-pos itu untuk memungut “pajak” atau kayu-kayu yang melintasi kawasan ini ke arah muara sungai. Masyarakat awam pun tahu bahwa praktik pemungutan pajak tersebut merupakan praktik korupsi dan manipulasi pemerintah lokal yang hendak memperkaya diri.52 Sementara itu, catatan sebelum pemilukada secara langsung oleh rakyat, di Kepulauan Mentawai, kebijakan otonomi daerah setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru Soeharto, mendorong penguatan peranan Bupati secara de facto terhadap sumber daya hutan, yang sebelumnya di bawah genggaman kekuasaan pusat Departemen Kehutanan. Untuk mendapatlan dukungan di tingkat lokal, pemerintah kabupaten mengartikulasikan ketidakadilan ekonomi dan politik yang dianggap dirasakan oleh orang Mentawai. Bupati setempat, terutama setelah akhir 2001, munculnya Edison Saleleubaja, memenangkan pemilukada melalui DPRD Kepulauan Mentawai, mengalahkan incumbent, Antonius Samangilailai, yang dianggap bukan mencerminkan figur Mentawai, karena beragama Islam dan terlampau mudah diintervensi Provinsi Sumatera Barat. Sebaliknya, Edison Saleleubaja, merupakan putera daerah Mentawai dan seorang pendeta Protestan, meskipun dirinya tidak memiliki pengalaman sebagai pemimpin politik. Edison memang pernah menjadi anggota DPRD Padang Pariaman, tetapi ini dianggap disebabkan perolehan kursinya atas UU Pemilu di masa Orde Baru yang mewajibkan kuota berdasarkan asal daerah pemilihan. Sebaliknya, Edison lebih banyak berkecimpung di Yayasan Kondisi, sebuah organisasi Injil yang memperjuangkan populasi Protestan di Kepulauan Mentawai. Ketika terpilihnya Edison yang bernuasa Mentawai secara kuat, akses perebutan kekuasaan terbuka bagi kerabat dekat, temanteman Edison, dan jaringan perjuangan otonomi kabupaten yang juga merapat pada kekuasaan. Persaingan antar jaringan ini menyebabkan perpecahan di antara mereka, misalnya ada yang bergabung dengan partai politik, menjadi PNS, atau ada pula yang mencoba menjadi pengusaha kayu.53 52 53 Kisno Hadi, “Korupsi Birokrasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 7, No. 1, 2010, h. 62-63. Dananto dan Abidah B. Setyohadi, Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi, Penerbit Kompas Gramedia dan Unesco, Jakarta, 2012, h. 288-289. 104 Prayudi Melalui kewenangan otonomi digenggam daerah pasca Pemilukada, izinizin pemanfaatan kayu meningkat pesat. Misalnya, melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) Bupati No. 110/SK/BKM/XII-2001 tanggal 28 September 2001 tentang tata cara penyelenggaraan pemberian izin dan pemanfaatan kayu. Melalui SK Bupati tersebut, IPK diberikan oleh Pemda Kepulauan Mentawai untuk menebang dan memanfaatkan kayu di kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk pembangunan nonkehutanan atau Area Penggunaan Lain (APL) dengan peruntukan lahan sebagai usaha perkebunan dan transmigrasi. Di samping itu, pada tahun 2002 diajukan Rancangan Perda tentang pajak dan pemungutan yang berhubungan sektor kehutanan, Melalui kebijakan ini, muncul lima Perda terkait kehutanan, yaitu: (1) izin usaha dibidang kehutanan dan perkebunan; (2) retribusi izin usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu; (3) retribusi izin usaha pemafaatan jasa lingkungan hutan produksi; (4) retribusi izin usaha pemanfaatan kawasan hutan produksi; (5) retribusi penyelenggaraan produksi pengolahan, pengendalian mutu, dan peredaran hasil hutan dan perkebunan. Perda ini banyak dikritik proses politiknya, mengingat tanpa uji publik saat pembahasannya dan dilakukan sosialisasi sebelum pelaksanaannya. Kenyataannya, banyak pelanggaran yang terjadi dan justru menyebabkan kerugian bagi Pemda, dan bahkan terjadi pembalakan secara liar. Beberapa pemilik IPK menebang kayu di luar konsesi mereka, termasuk dikawasan hutan lindung. Pelanggaran IPK diwarnai oleh kuatnya praktek korupsi dalam jaringan penebangan kayu. Proses perizinan yang tidak transparan merupakan salah satu cara bupati untuk mendapatkan penghasilan ekstra dari pengusaha kayu secara illegal.54 Ekslpoitasi hutan di kepulauan Mentawai melalui IPK dan Perda mengenai pajak dan retribusi di sektor kehutanan ternyata hanya berkontribusi kecil terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dokumen PAD Kabupaten Kepulauan Mentawai 2002-2003 menunjukkan, kontribusi sektor kehutanan terhadap struktur PAD hanya mencapai 0,08%. Angka tersebut berasal dari retribusi Izin Hasil Hutan sebesar Rp3,2 juta dan setoran dari Dinas Kehutanan sebesar Rp35.000.000,-. Rendahnya PAD ini juga terjadi untuk APBD 2004, di mana Kepulauan Mentawai menargetkan PAD sebesar Rp2.500.0000.000,- dari sektor kehutanan saat itu. Target PAD itu bersumber dari proyeksi produksi kayu bulat ditahun 2004 sebanyak 1,46 juta meter persegi. Berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2002, seharusnya Perda yang diterima Kabupaten Kepulauan Mentawai dari sektor kehutanan lebih dari Rp14 miliar. Hal ini belum termasuk retribusi untuk kayu campuran, limbah pembalakan, tempat penimbunan kayu, penggergajian, dan alat-alat berat sebagaimana diatur melalui Perda No. 54 Ibid., h. 294-296 105 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada 3, 6, 7, dan 8 Tahun 2002. Ternyata target PAD ini tidak mampu dipenuhi, dan bahkan PAD dari sektor kehutanan tidak mampu mencapai 1 persen.55 Nama Tabel 5. Contoh Beberapa Kasus Korupsi Kepala Daerah terkait Dugaan Pendanaan Pemilukada dan Kepala Daerah Yang Terlibat Kasus Kriminal Umum yang Berujung dengan Penangkapan oleh Aparat. Dugaan Kasus Status Jefferson Rumajar (Walikota Tomohon non aktif) Korupsi dana APBD Kota Tomohon periode 20062008 senilai Rp33,4 miliar Menjadi tersangka dan ditahan KPK (22/9/2010) Yusak Waluyo (Bupati Boven Digoel, Papua) Korupsi dana APBD Boven Digul senilai Rp 119 miliar. Divonis 4,5 tahun penjara (2/11/2010) Penyelewengan APBD Divonis 15 tahun (Kasasi MA 19/3/2012) Suap penyertaan dana APBD Tulang Bawang, 2006. Divonis satu tahun penjara (15/11/2011) Korupsi proyek mobil pemadam kebakaran senilai Rp 5,4 miliar. Divonis 2tahun penjara (23/8/2011) Satono ((Bupati Lampung Timur, non aktif) Ismail Ishak (Wakil Bupati Mesuji, Lampung) Ismeth Abdullah (mantan Gubernur Kepulauan Riau) 55 Ibid., h. 298-299. 106 Keterangan Dilantik di LP Cipinang, Jakarta (7/1/2011). Menang dalam pemilukada saat berstatus tersangka. Dilantik menjadi bupati (7/3/2011) Dilantik di Rumah Tahanan Manggala, Lampung (13/4/2011) Dilantik di Rumah Tahanan Manggala, Lampung (13/4/2012) Ditahan Prayudi Rusli Zainal (Gubernur Riau) Ismet Mile (mantan Bupati Bone Bolango, Gorontalo) Terdapat dua kasus: Pertama, Dugaan KPK terhadap dirinya yang mengesahkan penebangan hutan di Kabupaten Siak dan Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp334,7 miliar. Melalui pengesahannya terkait keputusan tentang Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman tahun 2004, maka 9 perusahaan berwenang menebangi kayu indah, meranti, dan rimba campuran dengan diameter pohon 10-30 sentimeter. Kebijakan Rusli Zaenal bertentangan dengan surat edaran Kementerian Kehutanan tentang Pembatalan Surat Keputusan Izin Penebangan Hutan di Riau, 5 Agustus, 2003. Kedua, adalah kasus dugaan korupsi PON Riau XVIII. Meskipun dirinya membantah, Diduga Rusli Zaenal memerintahkan Kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi Riau, menyuap anggota DPRD. Dirinya sendiri dituduh menerima uang Rp500 juta dan adanya aliran dana Rp9 miliar bagi beberapa politisi DPR. Pengadaan barang proyek pengendali banjir tahun 2008 senilai Rp 5,1 miliar 107 Tersangka. Ditahan Divonis 3,5 tahun penjara (29/9/2011) Ditahan Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Theddy Tengko (Bupati Kepulauan Aru, Maluku) Dituduh korupsi APBD 2006-2007 senilai Rp 42, 5 miliar. Agus Riyanto (mantan Bupati Tegal, Jateng) Pengadaan barang pembangunan jalan lingkar kota Slawi senilai 3,95 miliar. Fahuwusa Lala (mantan Bupati Nias Selatan, Sumut) Mochtar Mohammad (mantan Bupati Bekasi, Jabar) Soemarmo HS (Walikota Semarang, Jateng) Pengadaan barang yang terkait percobaan suap anggota KPU sebesar Rp 99,9 juta. Pengadaan barang terkait suap kepada anggota DPRD senilai Rp 1,6 miliar, suap untuk memenangkan piala Adipura senilai Rp 500 juta dan suap kepada anggota BPK senilai Rp 400 juta. Penyuapan terhadap anggota DPRD terkait penyusunan APBD 2012 sekitar Rp 5,2 miliar. 108 Di tingkat kasasi MA, diberikan vonis 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Theddy juga diwajibkan mengganti kerugian negara Rp 5, 3 miliar atau subsider 2 tahun penjara. Divonis 5,5 tahun penjara (24/11/2011) Sempat kabur saat tim Kejagung gagal mengawalnya di Bandara Soekarno Hatta, karena intimidasi 50 orang pendukungnya. Ditahan Divonis 2,5 tahun penjara (17/1/2011) Ditahan Divonis 6 tahun penjara (7/3/2012) Ditahan. Divonis KPK (30/3/2011). Ditahan. Prayudi Mohammad Santoso (mantan Bupati Bojonegoro 2003-2008) Tindak pidana korupsi dana APBD tahun 2007 senilai Rp 6 miliar dan diganjar hukuman 5 tahun penjara. 109 Berdasarkan putusan kasasi MA. Dilakukan pemanggilan kedua oleh Kajari Bojonegoro. Santoso sempat melayangkan surat permohonan kepada Kejaksaan Negeri setempat yang meminta penangguhan penahanan, dengan alasan sakit. Tetapi permohonan ini ditolak. Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Syamsul Arifin (mantan Gubernur Sumut dan mantan Bupati Langkat) Kasus korupsi APBD Kabupaten Langkat yang merugikan negara senilai Rp 98,7 miliar dalam penggunaan APBD 20002007 110 MA memvonisnya dengan hukuman enam tahun penjara Pada awal November 2012, Presiden SBY memberhentikan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Sumatera Utara (Sumut). Pemberhentian dilakukan menyusul keluarnya putusan Mahkamah Agung terkait kasus hukum Syamsul. Pemberhentian itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 95 /P tahun 2012 tanggal 12 Oktober 2012. Sedangkan pertimbangan hukum yang dijadikan landasan, yakni tindak lanjut Putusan MA No 472 /K/Pid. Sus/2012 tanggal 3 Mei 2012 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana korupsi. Prayudi John Manuel Manopo (Mantan Walikota Salatiga 2006-2011, Jateng) Penunjukkan langsung proyek pembangunan jalan lingkar selatan Salatiga, senilai Rpm 49,6 miliar. Agus Djunara (Mantan Bupati Tanggerang, Banten) Kasus penipuan uang dan perhiasan terhadap sejumlah orang dengan kerugian sedikitnya Rp 18 miliar Albert H Torey (Bupati Teluk Wondama, Papua Barat) Mengkonsumsi sabusabu seberat 0,89 gram di rumahnya. Status sebagai tersangka pada Juli 2012 dan sejak November 2012 ditahan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng. Proyek jalan lingkar itu berdasarkan audit dari Badan Pengawasan dan Pembangunan, temuannya adalah adanya kerugian negara senilai Rp12,2 miliar. Kasus ini juga menyeret istri walikota Salatiga setempat berikutnya, Yulianto, yaitu Titik Kurnianingsih yang telah divonis 5 tahun penjara. Akhirnya ditangkap polisi setelah sempat buron selama 2 tahun (2 Februari 2011). Ditangkap polisi pada 1 April 2011. Sumber: “Pemerintahan Tidak Maksimal”, Kompas, 17 April 2012, dan “Pengadaan Barang Rawan Korupsi”, Kompas, 18 April 2012 dan “John Manoppo Ditahan”, Kompas 14 November 2012. Khusus pada kasus dugaan korupsi Bupati Kepulauan Aru, Maluku, pemerintah pusat dianggap memiliki andil kesalahan, karena cenderung berteletele menyelesaikan masalah jabatan kepala daerah itu. Mendagri Gamawan Fauzi justru mengaktifkan kembali Theddy Tengko sebagai Bupati Kepulauan Aru, Maluku, bulan Oktober 2012, meskipun bupati bersangkutan sudah divonis bersalah. Pengaktifan ini berlandaskan pada penetapan Pengadilan Negeri Ambon yang menyatakan bahwa vonis kasasi Theddy Tengko tidak dapat dilaksanakan, karena tidak mencantumkan soal eksekusi dalam putusan itu. Keputusan Mendagri Gamawan Fauzi ini dapat dipersoalkan, karena MA sudah mengkoreksi penetapan Pengadilan Negeri Ambon, sepekan sebelum Theddy Tengko diaktifkan sebagai Bupati Kepulauan Aru. Dengan demikian, 111 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada vonis kasasi Theddy Tengko harus dieksekusi, meskipun dalam putusan kasasi tidak dinyatakan secara eksplisit. Dalam masalah korupsi yang melibatkan kepala daerah juga beberapa di antaranya, adalah kasus yang melibatkan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, yang dihentikan proses penyidikannya oleh pihak Kejaksaan Agung. Langkah ini diambil setelah selama hampir 3 tahun Kejaksaan Agung melakukan proses penyidikan, dan akhirnya mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), dengan alasan tidak terdapat bukti yang cukup mengenai keterlibatan Awang Farouk Ishak dalam kasus yang ditanganinya. Seperti diketahui, Kasus dugaan korupsi pada divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang merugikan keuangan negara Rp576 miliar, saat dirinya menjabat sebagai Bupati Kutai Timur (2002-2008). Awang Faouk Ishak ditetapkan sebagai tersangka sejak 6 Juli tahun 2010, tetapi baru diperiksa Kejagung pada tanggal 7 November 2012. Sempat berlarut-larutnya status tersangka yang bersangkutan, dengan alasan belum keluarnya izin pemeriksaan dari Presiden, sampai sebelum kemudian MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda, di mana syarat izin dari presiden dimaksud dinyatakan dibatalkan Di samping, Awang Faouk, beberapa kasus lainnya yang dihentikan proses penyidikannya dalam penanganan perkara korupsi, padahal sempat ditetapkan sebagai tersangka, adalah terhadap Ibrahim Agustinus Medah (Bupati Kupang), Sukawi Sutarip (mantan Walikota Semarang), dan Rudi Arifin (Gubernur Kalsel). Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah telah menyebabkan terhambatnya program-program pembangunan daerah dijalankan dan terganggunya birokrasi. Kondisi daerah mengalami kehilangan kendali dan berjalan tanpa arah, mengingat kepemimpinan daerah menjadi lowong. Meskipun terdapat pelaksana tugas gubernur, kebijakan strategis dan pembangunan di daerah tidak dapat berjalan secara baik. Bahkan tidak saja terkait kelembagaan dan aturan ketentuan yang menjadi kendala, kondisi psikologis pejabat yang mengisi lowongnya jabatan kepala daerah juga menjadi kendala tersendiri. Padahal, dalam kebijakan tertentu seperti halnya penanganan izin investasi dan mutasi pegawai, diperlukan keputusan definitif yang secara tepat dilakukan oleh pejabat berwenang. Misalnya antara lain kasus mutasi pegawai, ketentuan dalam PP No. 49 Tahun 2008 entang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pengganti Kepala Daerah Definitif. Dengan aturan itu, Plt. tidak dapat memutasi pegawai tanpa izin Mendagri. Di samping itu, Plt. juga tidak berwenang untuk membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, serta melakukan pembatalan izin. 112 Prayudi Ironi yang berkembang di tingkat pemda dalam konteks demokratisasi di daerah yang digerakkan, justru kadangkala membawa orang pada kilas balik saat pemahaman stabilitas politik di daerah yang sangat kuat dikembangkan dimasa sejarah awal kemerdekaan, terutama di era lima puluhan. Ruang keterlibatan militer dijadikan persepsi tersendiri berkenaan dengan kepentingan penegakkan stabilitas pemerintahan yang terjadi di tengah pengalaman gejolak pemberontakan di tingkat lokal yang terjadi secara cukup menyebar di Indonesia. Misalnya, saat diberlakukannya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera yang memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syarifuddin Prawiranegara, pelaksana atas kebijakan itu adalah Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dan Markas Besar Komando Sumatera (MBKS). Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Komando Jawa menyatakan berlakunya pemerintahan militer di seluruh Jawa dengan tujuan menyelamatkan Republik Indonesia. Dikeluarkan Instruksi MBKD No. 1/MBKD/1948 tentang “instruksi bekerja pemerintah militer seluruh Jawa” yang menetapkan landasan perjuangan: (1) Republik harus tetap berjuang sebagai negara; (2) Pemerintahan harus berjalan terus; (3) Pemerintahan militer adalah satu-satunya alat dan perjuangan, dengan susunan sebagai berikut: (a) Panglima Besar Angkatan Perang (PBAP) sebagai pimpinan tertinggi; (b) Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD) untuk pimpinan di Jawa dan Madura; (c) Gubernur Militer (GM) untuk Provinsi, di bawah Gubernur Militer itu ada sejumlah Sub Teritorium Militer (STM) yang berkedudukan pararel dengan residen sebagai Kepala Keresidenan. Di bawah STM ada Komando Distrik Militer (KDM), yang komandannya sejajar dengan Bupati yang mengepalai Kabupaten. Satu tingkat di bawah Kabupaten ada Komando Onder Distrik Militer (KODM) yang komandannya sejajar dengan Camat yang mengepalai kecamatan. Adapun tugas pokok setiap eselon adalah menyelenggarakan dan menghidupkan kembali seluruh aspek pemerintahan yang meliputi bidang-bidang: pemerintahan umum, ekonomi, kemasyarakatan, dan pertahanan. KODM sebagai eselon terendah merupakan sendi kedaulatan de facto Republik dan bertanggungjawab atas pertahanan semesta (total people’s defence) dengan tugas pokok: pertahanan de facto militer, pertahanan de facto pemerintahan, dan pelaksana dalam rangka pencapaian tujuan yang dibahasakan sebagai kesejahteraan rakyat.56 Di era reformasi dan pasca berjalannya pemerintahan daerah hasil pemilukada, maraknya berbagai kasus kepala daerah hasil Pemilukada terjerat dugaan korupsi, mengundang kritik dari berbagai kalangan justru di tengah usaha menggerakkan demokratisasi di tingkat lokal. Salah satu kritik 56 Syamsul Maarif, Militer dalam Parlemen 1960-2004, Prenada, Jakarta, cetakan pertama, 2011, h. 72-73. 113 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada yang cukup keras datang dari Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Sebagaimana diungkap oleh Rois Aam Syuriah Pengurus Besar (PB) NU, KH Sahal Mahfudz, dalam pembukaan acara Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU, di Pondok Pesantren (Ponpes) Kempek, Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu silam, bahwa sistem pelaksanaan pemilukada langsung yang tidak didahului dengan persiapan matang, telah menimbulkan berbagai konflik horizontal. Pemilukada langsung berimplikasi pada penggunaan politik uang (risywah siyasiyyah/money politics) yang sarat meracuni moralitas bangsa. Pemilukada langsung dianggap tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang menekankan pada sistem permusyawaratan dan perwakilan, bukan pada sistem one man one vote.57 Sebenarnya, pada beberapa kasus, Pemilukada tidak selalu berkorelasi dengan intervensi politik kepala daerah terpilih dan lahirnya birokrasi pemda yang korupsi. Kasus Kabupaten Kebumen, dengan Bupatinya saat itu yang dijabat tokoh PDI P yang popular dimata publik secara nasional, Rustriningsih, justru menekankan keterbukaan dan akuntabilitas dari birokrasi Pemda setempat dalam menerima berbagai kritik dan masukan dari masyarakat. Rustriningsih menjabat Bupati Kebumen hingga tahun 2005 dan terpilih kembali sebagai bupati untuk periode 2005-2010, yang kemudian sebelum selesai memimpin diperiode kepemimpinannya di Kebumen, mencalonkan diri sebagai wakil gubernur dan memenangkan pemilukada Jateng ditahun 2009. Pelaksanaan pertanggungjawaban Pemerintah Kabupaten Kebumen merupakan implementasi dari pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Kebumen sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Masyarakat.58 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD yang telah disetujui bersama dan Rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi. Proses evaluasi hanya selama 15 (lima belas) hari terhitung diterimanya rancangan dimaksud. Apabila hasil evaluasi tentang Raperda APBD dan Raper Bupati tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi, maka bupati dapat menetapkan rancangan Perda dan peraturan bupati. 57 58 “NU Dukung Kepala Daerah Dipilih DPRD”, Suara Pembaruan 17 September 2012. Amin Rahmannurasyid, “Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik di Daerah (Studi di Kabupaten Kebumen”, dalam http.www. udip.ac.id./ diakses 10 September 2012. 114 Prayudi Jika hasil evaluasi gubernur terhadap Raperda dan Raper Bupati dimaksud menunjukkan adanya anggapan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi, maka DPRD dan Bupati menyempurnakan paling lama 7 hari sejak diterima dan disampaikan lagi kepada gubernur. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti, maka gubernur dapat membatalkan perda dan peraturan bupati sekaligus menyatakan berlakunya APBD tahuh sebelumnya. Ketentuan ini batasan waktu dan prosedur yang harus lalui dalam proses pembahasan dan hingga persetujuan Raperda APBD hingga menjadi Perda, memang tergolong berat. Apalagi, dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan baru yang mengatur tata cara penyusunan APBD, seperti halnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintah dan Permendagri tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pada awalnya ternyata memunculkan masalah teknis yang tidak sederhana dalam penyusunan APBD. Pemda harus mengubah pendekatan dan cara dalam menyusun APBD yang sebelumnya selalu mendasarkan pada target dan penyusunan anggaran secara gelondongan tanpa perincian jelas, kepada cara atau sistem baru yang menggunakan pendekatan kinerja, dengan rincian yang detail.59 Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, mengatakan, pembangunan infrastruktur yang terganjal korupsi di sektor birokrasi dan administrasi menyebabkan kualitas pembangunan infrastruktur jalan buruk, cepat rusak, dan berujung rendahnya daya saing produk Indonesia. Indeks tata kelola daerah menunjukkan infrastruktur daerah menjadi kendala terbesar bagi aktivitas usaha.60 Sementara itu, dari analisis Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), tercatat bahwa pemerintah provinsi meningkatkan anggaran belanja di bidang infrastruktur. Ironisnya, peningkatan anggaran tidak diikuti dengan peningkatan proporsi anggaran secara signifikan bagi peningakatan infrastruktur. Beberapa kasus menunjukkan, adanya penyalahgunaan belanja pemerintah, khususnya pengadaan barang dan jasa, yang merupakan bentuk korupsi paling banyak di daerah yaitu sebesar 70 persen. Korupsi setidaknya menurunkan nilai proyek konstruksi pada kisaran 5-20%.61 Terkait masalah anggaran daerah pula, data Kementerian Keuangan, menunjukkan bahwa, APBD yang mengendap di Bank pada akhir tahun 2002 59 60 61 La Bakri, “Menelusuri Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota”, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 39, Tahun 2009, h. 101. “Infrastruktrur Terkendala Korupsi”, Kompas 18 September 2012. Ibid. 115 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada dan akhir tahun 2009 masing-masing senilai Rp22.18 triliun dan Rp59,81 triliun. Per akhir Desember 2011, nilainya meroket menjadi 80,4 triliun, dengan rincian Rp13,12 triliun, di simpanan berjangka, Rp45,77 triliun di rekening giro, dan Rp919 miliar di tabungan.62 Anggaran yang mengendap di bank sampai akhir tahun tersebut pada dasarnya adalah dana yang tidak terserap sehingga menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa). Pada umumnya, dana ini merupakan belanja modal yang mayoritas diperlukan untuk pembangunan infrastruktur di daerah. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, menilai, banyaknya dana yang mengendap di bank tidak merupakan cermin efisiensi pemerintah daerah, karena hal itu lebih disebabkan oleh rendahnya kapasitas penyerapan anggaran oleh birokrasi pemda. Berarti, sama sekali bukan kemampuan pemerintah daerah dalam mengefisienkan pengeluaran dengan bentuk output yang sama. Di samping faktor ketidakcakapan mengelola anggaran, bersarnya endapan anggaran di bank memang disengaja birokrasi pemda untuk memperoleh bunga bank. Persoalannya, bunga ini justru tidak jelas nasibnya, apakah nantinya akan kembali ke kas pemda, atau sebaliknya. Silpa, menurut Robert Endi Jaweng, adalah istilah yang menyesatkan karena bukan hasil efisiensi, tetapi lebih merupakan “penyunatan” atas hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik pada tahun berjalan.63 Dana pembangunan menjadi tertunda realisasi proyeknya, atau bahkan mungkin tidak akan pernah digunakan untuk pembangunan setempat. Sekjen Fitra, Yuna Farhan, menilai, anggaran daerah yang mengendap di bank menjadi alat subsidi birokrasi dan memangkas hak rakyat. Mayoritas anggaran daerah yang tidak terserap dan akhirnya mengendap di bank adalah belanja modal. Setelah menjadi sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) anggaran itu masuk ke dalam struktur pembiayaan pada APBD berikutnya. Persoalannya, anggaran itu umumnya digunakan untuk belanja operasional birokrasi. Artinya, terjadi pengalihan peruntukan dari yang awalnya untuk belanja modal menjadi belanja pegawai. Belanja pegawai tidak semuanya dapat dipenuhi melalui Dana Alokasi Umum (DAU), karena DAU hanya mampu menjawab kebutuhan gaji pegawai yang menjadi salah satu komponen belanja pegawai. Sehingga, komponen di luar gaji dimaksud, seperti halnya biaya operasional, akan menggunakan sumber dana lainnya. Dalam hal ini adalah Silpa.64 Terkait persoalan anggaran pula, kadangkala penanganan masalah di daerah justru terhambat program penanganan atau solusinya justru 64 62 63 “Dana Pembangunan di Bank”, Kompas, 8 Oktober 2012. Ibid. “Birokrasi Disubsidi”, Kompas, 9 Oktober 2012. 116 Prayudi oleh ketentuan yang berlaku. Hal ini bahkan, terjadi bagi DKI Jakarta yang dihadapkan pada persoalan pelik terkait penanganan banjir. Banjir di Jakarta akibat tersumbatnya sungai di sejumlah wilayah tidak dapat diatasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga akhir tahun 2012. Kondisi ini terjadi karena Pemprov DKI tersandera oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Sesuai aturan itu, Dinas Pekerjaan Umum Pemprov DKI menghentikan proyek pemeliharaan sungai sejak terjadi pergantian Gubernur DKI Jakarta. Padahal, pada saat bersamaan curah hujan di wilayah hulu mengalami peningkatan tajam. Terdapat beberapa ketetuan mengenai kontrak tahun jamak (multi years), sebagaimana tertuang dalam Pasal 54A Permendagri No. 21 Tahun 2011. Salah satu ketentuan yang menjadi hambatan penyelesaian kasus penanganan masalah di lapangan itu bagi Pemda, adalah mengenai jangka waktu penganggaran kegiatan tahun jamak yang tidak boleh melampaui akhir tahun masa jabatan kepala daerah saat berakhir. Khusus bagi DKI Jakarta, salah satu proyek tahun jamak yang harus terhenti adalah pemeliharaan layanan kebersihan sungai. Proyek ini tidak berlanjut sejak jabatan Gubernur Fauzi Bowo berakhir mulai 7 Oktober 2012.65 Proyek ini seharusnya dikerjakan mulai Juli 2012 sampai Juni 2013. Namun, Kepala Pusat Penerangan Kemdagri, Reydonnyzar Moenek menganggap Permendagri itu seharusnya ditafsirkan bahwa kasus DKI Jakarta yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada pertengahan tahun 2012, program tahun jamak berakhir tanggal 20 Desember saat tahun anggaran 2012 berakhir. Sehingga, hal ini tidak menjadi masalah, sisa program tahun jamak itu dapat dilanjutkan pada tahun anggaran berikut sebagai program tahun tunggal. Kelanjutan proyek tersebut masuk dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran Lanjutan Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPALSKPD). Permendagri ini justru dianggap sebagai langkah penting untuk mencegah kepala daerah yang menjabat lebih dulu menghabiskan anggaran. Dikhawatirkan anggaran sudah habis ketika kepala daerah berikut masih harus melanjutkan program tersebut. Terkait sejumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi, tampaknya pemerintah pusat masih menggunakan retorika politik semata dan belum mengambil langkah substansial atas kasus politik korupsi pemilukada yang dapat menyandera birokrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan publik sempat. Setidaknya, pernyataan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, menggambarkan penggunaan retorika politik yang jauh dari usaha penyelesaian potensi sandera pelayanan kebutuhan publik dimaksud di 65 “Solusi Banjir Tersandera Aturan’, Kompas, 28 November 2012. 117 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada tingkat lokal. Menurutnya, sikap Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan adalah tegas dan siapapun harus taat pada hukum. Presiden mempersilakan lembaga penegak hukum memproses siapapun yang dianggap perlu memenuhi kewajiban dalam proses hukum. Sebagaimana diketahui telah banyak izin yang dikeluarkan dan ditandatangani Presiden untuk pemeriksaan kepala daerah karena Presiden menghormati persamaan di depan hukum.66 Beberapa daerah, seringkali menunjukkan lemahnya dukungan kelembagaan kerja KPUD dan Panwas pemilukada yang ironisnya justru sebenarnya secara legalitas dan posisional kuat setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 20007 yang kemudian direvisi dengan UU No. 15 Tahun 2011.67 Realitas posisi kepala daerah dan jajaran birokrat pemerintahan lokal yang dapat menentukan proses penyelenggaraan Pemilukada diletakkan pada kewenangannya yang justru dapat menjangkau setiap segmen masyarakat di daerahnya. Berbagai organisasi kemasyarakatan dapat menjalin kegiatan dengan dukungan fasilitasi birokrasi pemda, yang tidak lain adalah kepanjangan tangan kepentingan kepala daerah bersangkutan. Meskipun, kadangkala antar kepala daerah dan wakilnya justru saling bersaing untuk memperoleh simpati dari organisasi kemasyarakatan dan bahkan wadah komunitas setempat, tetapi pada dasarnya birokrasi pemda sukar mengelak dari pemanfaatan kepentingan politik kekuasaan. Hal ini semakin diperkuat oleh kuatnya budaya paternalisme bagi masyarakat daerah yang memandang birokrasi menjadi segalanya bagi proses perbaikan kehidupannya. Kuatnya sentimen emosional etnisitas dan agama berjalin dengan kepentingan ekonomi dalam proses persaingan pemilukada. Konteks jalinan ikatan politik yang menjadi faktor-faktor terhadap warna persaingan pemilukada, tetap signifikan pengaruhnya ketika birokrasi harus menjalankan perannya dalam hal pelayanan publik. Signifikansi pengaruh ini tetap penting diperhatikan di tingkat lokal, meskipun di tingkat nasional dalam pemilu justru menunjukkan perkembangan yang sebaliknya. Hasil penelitian dari Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, misalnya, menunjukkan bahwa dengan 66 67 “Amran Laporkan Dugaan Politik Uang”, dalam Op.cit. Salah satu yang semakin diperkuat dalam struktur kelembagaan KPU dan Bawaslu demikian pula terhadap KPU Provinsi/Kabupaten/Kota dan Panwaslu adalah sifat hirarkisnya sebagai penyelenggara pemilu, melalui perubahan Undang-Undang ini. Hal ini dipertegas oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2011, bahwa: “KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota bersifat hirarkis.” Di samping itu, keberadaan Bawaslu di tingkat Provinsi, yang sebelumnya masih bersifat ad hoc, kini menjadi bersifat tetap atau permanen. Persoalan bahwa sifat permanen terhadap keberadaan Bawaslu di tingkat provinsi membawa konsekuensi semakin membengkaknya anggaran negara, adalah tentu menjadi persoalan lain di tengah keinginan memperkuat kelembagaan pengawas pemilu dan pilkada. 118 Prayudi mempertimbangan faktor-faktor religiusitas, efek variabel agama, etnis, dan suku bangsa cenderung kurang signifikan pengaruhnya bagi perilaku pemilih dalam pemilu anggota legislatif, dan semakin menurun pengaruhnya ketika pemilu presiden diselenggarakan pada tahun 2009.68 Padahal, disebutkan: “Dalam tradisi riset tentang perilaku memilih di Indonesia, agama merupakan faktor yang paling sering dibicarakan dalam hubungannya dengan pilihan politik. Agama dipercaya sebagai faktor yang penting dalam membentuk pilihan warga. Keyakinan ini mempunyai akar kesarjanaan sangat panjang, setidaknya sejak Indonesia masih dalam proses pembentukan pada awal abad ke 20. Pembelahan politik sering dikaitkan dengan perbedaan agama atau keberagamaan. Di awal gerakan kemerdekaan muncul sejumlah organisasi gerakan yang bertumpu pada agama versus yang secular atau kebangsaan. Serikat Dagang Islam (SDI) dan kemudian Sarekat Islam muncul di satu pihak tetapi di lain pihak lahir juga Boedi Oetomo dan Indische Partij yang sekuler. SI membesar tetapi kemudian pecah, dan perpecahan ini di antaranya dikarenakan perbedaan orientasi keagamaan di antara pemimpinnya.“69 Dalam rangka mengurangi terjadinya manipulasi pemilukada, Panwas melalui keinginan partisipasi publik sudah mencoba untuk mengatasinya. Salah satu di antaranya, ketika menjelang putaran kedua pemilukada DKI 20 September 2012. Saat itu, Panwas Pemilukada DKI Jakarta menggandeng Forum elektronik-Demokrasi Jakarta, yang menyelenggarakan tabulasi suara elektronik. Dengan sistem ini, partisipasi warga diperlukan untuk mengawal perolehan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Melalui sistem ini, setiap warga dapat memotret hasil penghitungan suara dan mengirimkan ke alamat situs www.fedjakarta.org. Bagi pengguna ponsel pintar, terdapat aplikasi khusus yang dapat diunduh dan memungkinkan pengiriman data secara langsung. Hal ini menjadi sumber data dalam bentuk e-TSP yang dapat dilihat melalui jaringan internet, televisi, ataupun aplikasi telepon genggam. Data e-TSP tidak dimaksudkan untuk mendahului hasil rekapitulasi suara KPU Jakarta. Sehingga di satu sisi, data dari TPS itu tidak dijumlahkan, tetapi di sisi lain, langkah ini dilakukan untuk mengindari kecurangan dan memastikan penghitungan suara pemilih tidak dimanipulasi.70 68 69 70 Satu hal penting dalam faktor yang dipertimbangkan adalah mengenai variable tingkat pendidikan, lihat lebih lanjut Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Mizan, Bandung, 2011, h. 188- 217. Ibid., h. 185. “Panwas dan Fed Adakan e-TSP”, Kompas, 3 September 2012. 119 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Setidaknya, akar yang tertanam kuat dari peran birokrasi dalam pembangunan politik, membawa persepsi bagi masyarakat daerah untuk memandang proses penyelesaian berbagai masalah publik lokal menjadi sangat bersifat personal hirarkis tingkat dependensinya terhadap birokrasi pemda. Sementara itu, inisiatif masyarakat sipil di tingkat lokal cenderung masih kurang mampu mengimbangi proses pemanfaatan birokrasi sebagai instrumen kekuasaan elitnya melalui keterlibatan dalam advokasi kebutuhan dan kegiatan kemasyarakatan. Pertimbangan atas peran birokrasi pemda terhadap masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di daerahnya, juga memformulasikan pemilukada hanya sekedar ajang untuk saling mencari peluang dalam membagi-bagi jatah ekonomi tertentu kepada masyarakat. Hal ini menyuburkan tumbuhnya politik uang (money politics) yang justru menguatkan ketergantungan posisional birokrasi terhadap dinamika pemilukada, di mana figur kepala daerah mempunyai peluang besar dalam mewarnai ketergantungan posisional birokrasi tersebut. Konsekuensi atas masih lemahnya kinerja birokrasi Pemda dalam menggerakkan pembangunan daerah setempat, semakin tampak ketika ukuran kesejahteraan rakyat diletakkan pada tingkat kemajuan di daerahdaerah hasil pemekaran. Momentum pemilukada yang digunakan untuk meraih kekuasaan bagi elit lokal tidak berjalan pararel dengan berbagai perbaikan atau pembenahan di daerahnya sebagaimana saat berkuasa dibandingkan dengan saat janji kampanye. Evaluasi Kemendagri terhadap 57 daerah pemekaran selama 1999-2010 menunjukkan sebanyak 78 persen gagal mensejahterakan rakyatnya. Evaluasi yang dilakukan pada tahun 2011 lalu, itu terutama difokuskan pada usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelayanan publik bagi daerah-daerah hasil pemekaran.71 Ranking Provinsi 1. 2. 3. Kabupaten 1. 71 Tabel 6. Penilaian terhadap Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011 Daerah Kesejahteraan Rakyat (30%) Maluku Utara 14,16 Dharmas Raya, Sumbar 20,59 Gorontalo Kep. Babel 19,76 18,20 Good Governance (25%) 13,82 Pelayanan Publik (25%) Total Skor 10,37 18,33 16, 67 55,88 19,28 9,64 59,3 16,20 7,34 51,30 49,64 “78% Daerah Pemekaran Gagal Sejahterakan Rakyat”. Media Indonesia 30 Agustus 2012. 120 Prayudi 2. 3. Kota 1. 2. 3. Bangka Tengah Kep Babel 19,60 19,47 14,40 59,18 Banjarbaru, Kalsel 21, 79 20,77 13,48 64,61 Samosir, Sumut Cimahi, Jabar Singkawang, Kalbar 19,38 20,72 21,42 13,94 15,85 15,44 15,56 16,07 16,08 58,52 60,43 58,12 Sumber: “78% Daerah Pemekaran Gagal Sejahterakan Rakyat”.” Media Indonesia, 30 Agustus 2012. Pemekaran daerah dijadikan ajang untuk test case dalam rangka memenuhi ambisi elit politik yang gagal mewujudkan keinginannya ketika suatu daerah belum dilakukan pemekaran. Dengan alasan tertentu, misalnya rentang kendali pemerintahan, bisa saja mendorong menjadi alasan bagi lahirnya daerah dimaksud sebagai hasil pemekaran. Kasus tersendatnya keinginan bagi pembentukan Provinsi Cirebon, misalnya, menunjukkan kesan ambisi selintir elit dan alasan kepentingan pelayanan publik, serta peningkatan kesejahteraan warganya. Menurut Ketua Umum Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon, Nana Sudiana, kajian untuk pembentukan Provinsi Cirebon pernah dilakukan oleh Kemdagri, dan hasilnya wilayah III Cirebon yang mencakup Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, telah dianggap memenuhi persyaratan bagi ke a rah pemekaran daerah atau terpisah dari Provinsi Jabar. Namun pemekaran ini masih terhambat karena belum memperoleh dukungan administratif dari provinsi induknya dimaksud, yaitu Provinsi Jabar. Di samping itu, dukungan dari wilayah yang akan digabung di Provinsi Cirebon sendiri belum ada. Misalnya, bupati di lima wilayah di Cirebon untuk mewujudkan Provinsi Cirebon. Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda dan Bupati Majalengka, Sutrisno pernah menolak usulan pembentukan Provinsi Cirebon. Sedangkan Bupati Indramayu, Anna Sophanah dianggap belum menyatakan sikap atas keinginan itu.72 Adapun suami dari Ana Sophanah, yang tidak lain juga mantan Bupati Indramayu dan menjadi kandidat Pemilukada Gubernur Jabar 2013, Irianto MS Syafiuddin, tampaknya menjadi jembatan dalam rangka percepatan terwujudnya pemekaran daerah bagi terbentuknya Provinsi Cirebon. Kalkukasinya saat itu, perwujudan keinginan politik ini menjadi penting saat Irianto MS Syaifuddin mampu memenangkan Pemilukada Gubernur Jabar. Irianto MS Syaifuddin (Yance) sendiri sempat dilaporkan oleh LSM Lumbung Informasi Rakyat (Lira) terkait dugaan ijazah palsu saat proses pencalonannya. Proses ini, terutama di tahapan pendaftaran, dianggap terjadi pemalsuan ijazah, dan Lira mengganggap perlu bagi Panwaslu Jabar agar 72 Pemekaran Daerah: Jangan Utamakan Kepentingan Politis”, Kompas, 3 Desember 2012. 121 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada memverifikasi keabsahan pendidikan Yance sejak sekolah dasar (SD), meskipun sebelumnya Yance dituding memiliki ijazah palsu mulai strata satu (S1) hingga strata tiga (S3). Pemekaran daerah dalam kerangka usulan pembentukan Provinsi Cirebon mengundang kontroversi, karena dianggap kurang memperhatikan prasyarat daya dukung lingkungan, terutama tata air dan kondisi kawasan lindung. Wilayah pantai utara Jabar, termasuk Cirebon dinilai tergolong kurang memiliki sumber air yang memadai dan minim dengan kepemilikan hutan lindung. Menurut Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiono, secara geografis, jika Cirebon dimekarkan menjadi Provinsi, dengan proyeksi lima daerah otonom, yaitu Kabupaten Indramayu, Majalengka, Kuningan dan Cirebon, maka wilayah ini akan mengalami kesulitan air. Kalau musim kemarau, sebaliknya, wilayah ini berpotensi terjadi defisit air. Sedangkan, di musim hujan akan mudah mengalami banjir. Apalagi Kabupaten Kuningan dan Majalengka, belum sepenuhnya mendukung pemekaran Cirebon. Pemerintah Kabupaten Kuningan menolak wacana pembentukan provinsi Cirebon, karena dianggap kalau daerah pemekaran ini dibentuk, maka Kuningan bersikukuh akan menjadi bagian dari Jabar. Bupati Majalengka, Sutrisno meminta para pemrakarsa pemekaran daerah ini tidak mengkaitkan keinginan pembentukan provinsi Cirebon dengan Majalengka.73 Sebagai akibat dari kasus-kasus kegagalan di beberapa daerah hasil pemekaran, cukup kuat desakan politik agar pemerintah melakukan penggabungan daerah-daerah tersebut. Kinerja pemerintahan setempat yang buruk mengakibatkan gagalnya tujuan pemekaran bagi upaya peningkataan kesejahteraan rakyat, daya saing, dan dukungan kualitas pelayanan publik. Langkah agar dilakukan penggabungan semacam ini, dianggap semacam hukuman bagi daerah otonom baru yang gagal mewujudkan janji kesejaheraan publiknya. Penghapusan dan penggabungan daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penggabungan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Otonom. Dalam Pasal 22 PP tersebut disebutkan, daerah otonom dapat dihapuskan jika dinyatakan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Setelah dihapus, daerah otonom itu dapat digabung dengan daerah otonom lainnya. Catatan Dirjen Otonomi Daerah, Kemdagri, Djohermansyah Djohan, menunjukkan bahwa, pembentukan daerah otonom baru secara massif dari tahun 1999 hingga akhir tahun 2009, telah menghadirkan 205 daerah otonom baru yang terdiri atas 7 provinsi (22 persen), 164 kabupaten (70 persen), dan 34 kota (57 persen). Dari hasil evaluasi kinerja daerah otonom 73 “Perhatikan Tata Air di Cirebon, Kompa,s 12 Desember 2012. 122 Prayudi baru tersebvut, tercatat sekitar 80 persen di antaranya adalah berkinerja buruk, serta beberapa daerah di antaranya dianggap gagal. Walaupun sejak akhir tahun 2009 diterapkan kebijakan moratorium pembentukan daerah otonom baru oleh pemerintah, namun hingga awal tahun 2012, kementerian Dalam Negeri kembali telah menerima sebanyak 183 usulan pembentukan daerah otonom baru, baik yang diusulkan oleh pemerintah daerah, maupun yang mengatasnamakan aspirasi masyarakat, meliputi terdiri dari 33 usulan provinsi baru, 133 kabupaten baru dan 17 kota baru. Otonomi daerah juga telah memberikan dorongan terhadap perkembangan perekonomian daerah, seiring dengan meningkatnya kewenangan pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah daerah, dari sebelumnya hanya 4 persen, pasca otonomi daerah telah meningkat hingga mencapai 20 persen. Menurut Djohermansyah Djohan pula, bahwa terdapat 1/3 dari alokasi jumlah keseluruhan dana APBN juga telah dikucurkan ke daerah melalui kebijakan dekonsentrasi atau artinya sekitar 2/3 dana APBN telah dikelola oleh pemerintah daerah.74 Birokrasi pemda menjadi tataran pemerintahan yang disorot oleh publik tidak saja terkait potensi politik kepala daerah atau wakilnya dalam menggunakan sebagai instrumen kekuasaan, tetapi juga berkenaan dengan kebijakan promosi aparatnya yang justru dianggap bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi. Kasus promosi Azirwan menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan adalah salah satu kontroversi bagi publik terhadap kebijakan birokrasi Pemda dalam titik perbenturan pemerintahan dan langkah pemberantasan korupsi dimaksud. Titik benturan pemerintahan tersebut tidak hanya dalam konteks penegakan hukum dalam arti menegakkan hukum pidana tapi juga penegakan hukum dalam ranah hukum administrasi. Azirwan, terpidana kasus korupsi, yang terbukti menyuap anggota DPR (waktu itu) Al-Amin Nasution dalam alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan Sumatra tahun 2008. Saat itu Azirwan menjabat Sekda Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana penjara 2 tahun 6 bulan, dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.` Setelah bebas, Azirwan dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Terkait sorotan banyak pihak, Azirman akhirnya memilih mundur dan sehari sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, bahwa Azirwan mundur dari jabatannya secara sukarela.75 Mendagri Gamawan Fauzi juga pernah menjanjikan saat itu bahwa dirinya akan mengeluarkan surat edaran berupa 74 75 Djohermansyah Djohan, “Arah RUU Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Yang Inklusif, Transparan, Berkelanjutan, dan Mencegah KKN”, makalah dalam Diskusi Pokja Otonomi Daerah di Harian Kompas, Jakarta 7 November 2012. Hifdzil Alim, Cara Menghargai PNS Bersih”, Suara Merdeka 25 Oktober 2012. 123 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada himbauan agar pejabat pemda yang pernah tersandung kasus hukum untuk nantinya tidak dipromosikan dalam jabatan birokrasi. Bahkan, Mendagri Gamawan Fauzi, berjanji mengusulkan penyempurnaan aturan promosi pejabat kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Syarat pengangkatan PNS dalam jabatan struktural akan ditambah etika dan moral. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 100 tahun 200 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, diatur beberapa syarat PNS yang akan dipromosikan. Selain memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan serta mempunyai kompetensi yang diperlukan calon pejabat juga harus memperoleh penilaian prestasi kerja baik setidaknya dalam dua tahun terakhir. Seorang pejabat yang dipenjara akibat dinyatakan terbukti korupsi jelas tidak memenuhi unsur prestasi dan penilaian baik.76 Dengan pengunduran pejabat itu, saat ini masih ada 8 bekas terpidana korupsi yang menjabat kepala dinas di Pemprov Kepulauan Riau. Terkait Azirwan, sebelumnya Gubernur HM Sani justru pernah mengatakan, Azirwan sosok yang memiliki kemampuan mengelola Dinas Kelautan dan Perikanan. Karo humas pemprov Riono menambahkan Azirwan dinilai berperilaku baik dan berprestasi oleh pimpinan.77 Padahal, ketentuan tentang Ketentuan hukum yang mengatur PNS, salah satunya adalah UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Perihal pemberhentian PNS diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 43 Tahun 1999. Pasal 23 terdiri atas lima ayat yang bernorma pilihan, wajib bersyarat, dan/ atau wajib. Sifat pilihan tertera dalam Ayat (2), (3), dan (4). Adapun Ayat (1) dan (5) bersifat wajib. Kasus-kasus pejabat yang bermasalah secara hukum, memang berkembang dibeberapa daerah. Misalnya, di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Tercatat bahwa di kabupaten tersebut ada lima bekas terpidana menjadi kepala dinas, kepala lembaga, dan kepala badan. Mereka adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN, Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Praja Togi Simanjuntak. Beberapa kepala daerah di Jawa Tengah menjadi tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Di samping Walikota Semarang, Soemarmo HS yang menjadi terdakwa kasus dugaan suap kepada DPRD Kota Semarang, juga Bupati Rembang M Salim menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Rembang. Menurut data Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Bupati Rembang M 76 77 Ibid. Ibid. 124 Salim saat ini adalah tersangka dalam kasus dugaan korupsi Penyimpangan Penyertaan Modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya dari APBD 2006 dan 2007 senilai Rp5,2 miliar dan pernah disidik oleh Polda Jateng. Kasus lainnya, adalah Wakil Bupati Jepara, Subroto yang terjerat masalah hukum, terkait jual beli tanah di kota Semarang dan pernah diproses hukum oleh Kepolisian Resor Kota Besar Semarang serta menjadi tersangka setelah dilaporkan Ketua Yayasan Pendidikan Kesatrian Semarang, H. A. Soetarto Hadiwinoto. 78 Demikian halnya, di Kota Surabaya, Provinsi Jatim, Sekretaris Kota Surabaya Sukamto Hadi dan Asisten II Pemerintah Kota Surabaya Muhlas Udin sempat aktif dijabatan masing-masing. Kedua orang ini bersama Wakil Ketua DPRD Surabaya, Musyafak Rouf dan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Surabaya, Purwito, diputus bebas oleh Pengadilan Surabaya, 21 Oktober 2009. Musyafak yang pernah menghuni LP Kelas 1 Porong sejak 29 Mei 2012, sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya. Menurut anggota DPRD Kota Surabaya, saat itu, Maduki Thoha dari FKB, perlakuan terhadap Musyafak cenderung diskriminatif, karena tiga tersangka lainnya tidak diutak atik. 79 Secara keseluruhan jumlah pejabat daerah yang bermasalah dengan kasus hukum adalah sangat fantastis. Tercatat ada 1091 pejabat yang sudah dilaporkan kepada Kemdagri. Semua pejabat birokrat ini berbeda-beda status hukumnya. Sebanyak 173 orang masih dinyatakan sebagai tersangka, 105 orang sudah diajukan ke persidangan sebagai terdakwa, 767 orang lainnya sudah menjadi terpidana. Adapun 46 orang masih berstatus sebagai saksi.80 Nama Beberapa Mantan Koruptor Yang Menjadi Pejabat Daerah Yan Indra Raja Faisal Yusuf Senagip Yusrizal 80 78 79 Kasus Hukum/Vonis Promosi Jabatan Korupsi pembangunan gedung serba guna Tanjung Pinang, divonis 2,5 tahun penjara. Kepala Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu, KotaTanjung Pinang Korupsi pembebasan lahan untuk PT Saipem Indonesia tahun 2007. Divonis 1,5 tahun penjara Korupsi dana bagi hasil migas Kedua divonis 30 bulan penjara. Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Karimun. Kepala Badan Keselamatan Bangsa, Kabupaten Natuna Kepala Dinas Pariwisata, Kabupaten Natuna. “Bersihkan Pemerintahan”, Kompas, 5 November 2012. Ibid. “Pejabat Bermasalah Terus Bertambah”, Kompas 28 November 2012. 125 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Iskandar Ideris Dedy ZN Togi Simanjuntak Jabar Ali Korupsi pembangunan dermaga Rejai Korupsi pencetakan sawah di Singkep Barat. Keduanya divonis 16 bulan penjara Korupsi pembangunan gedung di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga, Lingga, Divonis 20 bulan penjara. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan, Kabupaten Lingga Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan, Kabupaten Lingga. Kepala Satpol Pamong Praja, Kabupaten Lingga Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan, Kabupaten Lingga. Dipidana dalam kasus penyelewengan dana asuransi pegawai senilau Rp 860 juta pada tahun 2008. Kepala Bidang Tata Pemerintahan Sekretaris Daerah, Kabupaten Lingga. Imran Chalil Korupsi dana darurat sipil dan divonis 2 tahun penjara. Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Pemerintah Provinsi Maluku Utara Mansyur T Korupsi dana alokasi khusus di vonis 20 bulan penjara Arief Armayin Korupsi pembangunan keratin kesultanan Jailolo di Kabupaten Halmahera Barat, divonis 1 tahun penjara. Hakim Fatsey Korupsi dana alokasi khusus pendidikan 2006. Divonis 1 tahun penjara. Badoar Hery Rusdi Ruslan (telah mengundurkan diri) Korupsi pembangunan saluran air (drainase) di Nongsa, Batam) ketika menjabat Diangkat sebagai Kepala Bidang Perencanaan Fisik, dan Prasarana Bappeda Kota Batam) oleh Walikota Batam Diangkat oleh Bupati Majene Kalma Hatta sebagai Kepala Badan Daerah Kabupaten Majene Diangkat oleh Gubernur Maluku Utara Thaib Armayin menjadi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Maluku Utara. Ditunjuk oleh Bupati Buru Ramly Umasugi sebagai Pelaksana Tugas Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Buru. Sumber: “Rasa Malu Para Pejabat Menipis”, Kompas 25 Oktober 2012 dan “Bersihkan Pemerintahan”, Kompas, 5 November 2012. 126 Prayudi Usaha menciptakan pemerintah yang bersih ternyata menghadapi tantangan berat. Buktinya, sebagian dari ratusan PNS yang divonis bersalah karena kasus korupsi justru masih aktif sebagai PNS, bahkan dipromosikan menduduki jabatan eselon II di provinsi/kabupaten/kota. Bahkan, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, jumlah pejabat yang bekas terpidana korupsi jumlahnya sangat fantastis. Menurutnya, data sementara pihak Kemdagri, saat itu mencatat, 153 orang dalam lima tahun berjalan (2007-2012), PNS yang masuk penjara karena kasus korupsi dan dari jumlah ini pihaknya masih melakukan update terkait data-data terkait, termasuk apakah mereka mengalami promosi atau tidak.81 Padahal, terdapat beberapa ketentuan hukum dan larangan bagi para pejabat yang melakukan korupsi. Misalnya, mengenai di Pasal 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, bahwa: “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kemudian, di Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa: “PNS diberhentikan dengan hormat karena dihukum penjara yang ancaman hukumannya empat tahun atau lebih dan melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.” Selanjutnya, di Pasal 5 Undang-Undang No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, bahwa: “Persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural, antara lain prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik selama dua tahun terakhir.” Di samping itu, terdapat Surat Edaran Mendagri No. 800/4329/SJ tertanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural, bahwa: “Terhadap pegawai negeri sipil yang telah menjalani hukuman pidana disebabkan tindak pidana korupsi atau kejahatan jabatan lainnya agar tidak diangkat dalam jabatan struktural.” Pembajakan demokrasi pemilukada dan terlibatnya kasus-kasus korupsi oknum aparat Pemda dalam kekuasaan yang dimilikinya, menyebabkan terabaikan kesejahteraan rakyat setempat. Padahal, kekuasaan yang dimiliki merupakan mandat politik yang harus diabdikan bagi kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya. Ibnu Khaldun sebagaimana dijelaskan oleh A.Rahman Zaenuddin, bahwa konsep kekuasaan mempunyai nuansa dan manifestasi yang berbeda-beda. Ibnu Khaldun mengungkapkan konsep ini lebih dari suatu bentuk penamaan. Ia menggunakan istilah ar riasah, as su’dud, al jah, al wazi’, dan lain sebagainya. Keseluruhannya menunjukkan tingkat dan intensitas kekuasaan itu. Namun di atas segalanya, bentuk kekuasaan yang paling tinggi dalam pendapatnya adalah al mulk, yang dapat diterjemahkan dengan “kekuasaan negara”atau kekuasaan kenegaraan”.82 81 82 “153 PNS Bekas Terpidana”, Kompas, 6 November 2012. A.R. Zainuddin, Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah, dan Benturan Ideologi, Editor dan Pengantar: Hermawan Sulistyo, Jakarta, Pensil-324, 2004, h. 84. 127 BAB VI PENUTUP 1. KESIMPULAN Hubungan birokrasi terhadap politik di Indonesia, memiliki sejarah cukup panjang dan tidak jarang bersentuhan dengan perannya sebagai salah satu agen pembangunan politik nasional. Peranan ini memformulasikan suatu pasang surut tertentu dari kutub politik pembentukan pemerintahan yang demokratis (democratic governance). Hal ini sekaligus membuktikan masih kuatnya teori birokratik politik dari Karl D. Jackson dan perannya dalam pembangunan politik sebagaimana disebutkan oleh Joseph Lapalombara, karena pada kasus-kasus tertentu masih kuat dalam pengambilan kebijakan di daerah. Tentu saja di era keterbukaan reformasi saat ini, terjadi modifikasi kelembagaan yang menaungi kekuatan birokratik politik itu, karena kalangan partai politik cenderung mengambil alih peran kalangan militer di daerah yang pernah secara dominan berperan di era Orde Baru. Pada masa sebelum reformasi, sangat kental pemanfaatan posisi birokrasi sebagai kekuatan politik dalam rangka mendukung kebijakan rezim sebagai disebutkan oleh Miftah Thoha, Francis Rourke, Peter M. Blau, dan Heyden, atau bersifat executive ascedency. Sementara itu, kesan executive ascedency masih tampak pada masa pasca Orde Baru mulai 1998/1999 hingga kini. Meskipun kesan alat politik rezim ini, coba dihilangkan, melalui formulasi kebijakan bagi konteks pemerintahan yang demokratis secara lebih utuh melalui konsep netralitas dan peningkatan profesionalisme aparat. Di tengah kelemahan-kelemahan mendasar dalam proses pelaksanaannya, kata kunci reformasi birokrasi menjadi faktor penting untuk pemberdayaan fungsi pelayanan publik dari posisi birokrasi demikian. Artinya, pembentukan democratic governance sebagaimana diformulasikan oleh Heyden, masih menjadi agenda agar diperjuangkan secara konsisten di tingkat pelaksanaan, mengingat birokrasi Pemda masih menjadi persoalan tersendiri dalam pembangunan daerah dan menjadi arena politik elit yang bersaing dalam pemilukada. Ketidakmampuan pembentukan democratic governance telah mendorong terjadinya perilaku politik korupsi di kalangan elit kepala daerah hasil pemilukada yang menghambat kerja birokrasi dalam bekerja secara maksimal. Biaya politik nominasi dan persaingan antar129 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada kandidat beserta kekuatan politik partai pendukungnya yang sangat tinggi, menjadi crusial bagi jebakan keterlibatan perilaku korupsi politik yang memanfaatkan aset birokrasi. Posisi birokrasi pemda dalam pemilukada, cenderung bersifat sebagai instrumen mobilisasi dukungan berbagai tugas pemerintahan pada konteks yang luas. Secara politis, dimensi mobilisasi ini ditampilkan awalnya pada tataran yang memegang peran penting untuk mendukung secara teknis administratif dan sekaligus alokasi berbagai sumber daya terhadap proses penyelenggaraan Pemilukada. Di sini, birokrasi Pemda memiliki aset yang diperlukan dalam menggerakkan dimensi mobilisasi berbagai sumber daya tersebut. Pada tahap lanjutan, posisi struktural administratif tersebut menjadi kekuatan politik tersendiri yang dapat menjadi sarana tawar menawar kekuasaan, ketika kepala daerah sebagai figur pembina organisasi pemerintahan setempat menentukan keputusan untuk tingkatan netralitas yang ingin dibangunnya. Ketika kepala daerah menentukan tingkatan netralitas yang tinggi dari birokrasi, maka birokrasi dapat terlepas dari pemanfaatan politik partisan, terutama dari gerakan bawah tanah para tim sukses masing-masing kandidat yang bersaing dalam pemilukada. Sebaliknya, ketika kepala daerah sebagai incumbent yang ingin maju kembali dalam pemilukada kurang tegas atau bahkan memanfaatkan resources strategis birokrasi Pemda, maka netralitas birokrasi sebagai kekuatan politik menjadi lemah terhadap kepentingan politik partisan. Konsekuensi atas kelemahan posisional netralitas birokrasi ini biasanya mendorong kekhawatiran tertentu bagi para aparat, terutama mereka yang memegang jabatan tertentu, seperti halnya pihak Sekda, atau para kepala dinas, terhadap kemungkinan terjadinya proses pergeseran baik berupa promosi, mutasi, atau bahkan mutasi yang didasarkan ukuran loyalitas politik tertentu. 2. REKOMENDASI Mengingat posisi birokrasi sebagai kekuatan politik cenderung masih mengalami transisi bagi democratic governance di tingkat lokal daripada sekedar executive ascendancy atau alat politik kekuasaan, maka dalam kasus pemilukada diperlukan suatu komitmen dan dukungan yang kuat untuk konteks pembangunan politik. Sehingga, posisi birokrasi sebagai kekuatan politik benar-benar diorientasikan bagi pelayanan publik dan didasarkan pada nilai-nilai yang menjunjung profesionalisme kerja dan integritas dari para aparatnya. Komitmen ini dalam kasus penyelenggaraan Pemilukada, adalah meliputi dua bentuk. Pertama, adalah relasi yang positif antara kebijakan di tingkat nasional terkait reformasi birokrasi dan penataan hubungan antara birokrasi pemda 130 Prayudi dengan pihak kepala daerah sebagai pembina pemda setempat. Relasi yang positif itu tidak hanya diformulasikan dalam ketentuan perundang-undangan semata, tetapi juga harus mampu dilaksanakan secara menyeluruh terkait reformasi politik di tingkat infrastruktur kepartaian dan sistem pemilukada, yang dapat memisahkan antara jabatan publik birokrasi dengan pembebasan sementara dirinya di jabatan partai dan bahkan terhadap perkumpulan massa asal dirinya ketika awal mula akan mencalonkan diri sebagai pasangan calon pemilukada. Kedua, adalah perkuatan peran KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/ KPU Kota, serta keberadaan Bawaslu/Bawaslu provinsi/Panwas kabupaten/ Panwas Kota, bukan hanya di tingkat kebijakan nasional, berupa UU No. 15 Tahun 2011 dan ketika RUU Pemilukada sebagai UU nantinya, tetapi juga fasilitasi yang riil sebagai kewajiban bagi Pemda untuk memperlancar proses penyelenggaraan pemilukada di tingkat legislasi lokal dan pelaksanaannya di lapangan. Kelancaran proses ini berdasarkan landasan kewajiban Pemda, akan semakin mencegah kemungkinan penetrasi simbiosis mutualisme pemanfaatan jalur birokrasi bagi keuntungan tertentu dari masing-masing pasangan kandidat yang bersaing dalam pemilukada, terutama dari pihak incumbent. 131 DAFTAR PUSTAKA Buku Aspinall, Edward, et.al 2010. Problem of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions, and Society, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Azhari 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia: Studi Perbandingan Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Betrand, Jacques 2012. Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta. Blau, Peter M et.al. 2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Penerbit Prestasi Pustakakarya, Jakarta, 2000. Chaniago, Andrianof A. 2012. Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, Jakarta, Penerbit LP3ES. Dananto dan Setyohadi, Abidah B 2012. Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi, Penerbit Kompas Gramedia dan Unesco, Jakarta. Effendi, Sofian 2010. Reformasi Tata Pemerintahan-Menyiapkan Aparatur Negara Untuk Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi Terbuka, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Fahmid, Imam Mujahidin 2012. Identitas dalam Kekuasaan, Ininnawa-IPSEI, Makasar. Guibernau, Montserrat 1996. Nationalism: The Nation-State and Nationalism in Twentieth Century, Polity Press, Cambridge. Jackson, Karl D. et.al. 1978. Political Power and Communications in Indonesia, University California Press, Berkeley. Johnson, Uwe et.al. (Editor) 2001. Democratic Transitions in Asia, FrederichNaumann Stiftung, Singapore. 133 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Lapalombara, Joseph (editor) 1963. Bureucracy and Political Development, New Jersey, Princenton Unibersity Press. Marijan, Kacung 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Penerbit Kencana. Maarif, Syamsul 2011. Militer dalam Parlemen 1960-2004, Prenada, Jakarta, cetakan pertama. Mujani, Saiful, et.al 2011. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Mizan, Bandung. Moesa, Ali Maschan 2013. Etika Birokrasi Dalam Perspektif Good Governance, Jenggala Pustaka Utama, Surabaya. Scuhulte Henk et.al 2007. Politik Lokal di Indonesia, KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Schwarz, Adam, A Nation in Waiting : Indonesia In The 1990’s, Allen & Unwin, St. Leonard, 1994 Susan, Novri 2012. Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia, Penerbit Kopi dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Syahnakri, Kiki 2013. Timor Timur: The Untold Story, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Turmudi, Endang 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKis, Yogyakarta. Pahlevi, Indra (Editor) 2011. Politik Pemilukada 2010: Sebuah Kajian Terhadap Penyelenggaraan Pemilukada di Dumai dan Indragiri Hulu, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta. Rourke, Francis E 1992. Bureucracy, Politics, and Public Policy, Little Brown and Company, Boston-Toronto. Suharizal 2011. Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Rajawali Press, Jakarta. Suaib, Eka 2010. Problematika Pemutakhiran Data Pemilih di Indonesia, Penerbit Koekoesan, Depok. Thoha, Miftah 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di era Reformasi, Kencana Pradana Media Grup, Jakarta. Tjiptoherijanto Prijono, et.al. 2010. Bureaucratic Reforms in Four Asean Countries, B Press, Depok. 134 Prayudi Zainuddin, A.R 2004. Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah, dan Benturan Ideologi, Editor dan Pengantar: Hermawan Sulistyo, Jakarta, Pensil-324. Zed, Mestika 2003. Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, Jakarta, LP3ES. Jurnal Analisis CSIS, Vol. 33 No. 1 Maret 2004 Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 6 No. 2, 2006. Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No.1, 2010. __________________, Vol. 8, No. 1, 2011 Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi No. 29 Tahun 2009. ___________________, Edisi No. 30 Tahun 2009. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja Vol. XXXIV No. 3 Tahun 2008. Jurnal Kajian Vol. 17, No. 2, Juni 2012. Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No. 2, 2010. ________________,Edisi XXXVII, No. 2, 2011. Prisma Vol. 29, No. 4, Oktober 2010 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Komisi II Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 2011. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Nasional. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Draft Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, 2011. Draft Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah. 135 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada Makalah Tri Ratnawati, “Pembangunan Yang Inklusif, Transparan, Berkelanjutan, dan Mencegah KKN”, makalah dalam Diskusi Pokja Otonomi Daerah di Harian Kompas, Jakarta 7 November 2012. Media Massa Koran Tempo, 26 Maret 2012. _________, 28 Maret 2012. _________, 12 April 2012. _________, 29 Juni 2012. _________, 6 Juli 2012. _________, 13 Agustus 2012. _________, 31 Agustus 2012. __________, 12 September 2012. __________, 10 Oktober 2012. __________, 14 November 2012. _______, 7 Desember 2012. _______, 10 Desember 2012. _______, 14 Desember 2012. _______, 18 Desember 2012. _______, 2 Mei 2013. _______, 3 Mei 2013. _______, 2 Januari 2013. Kompas, 9 Maret 2012. Kompas, 28 Maret 2012. Kompas 11 April 2012. _____, 29 Maret 2012. ______, 17 April 2012. ______, 18 April 2012. ______, 30 Juni 2012. 136 Prayudi ______, 19 Juni 2012. ______, 20 Juni 2012. ______, 7 Juli 2012. ______, 9 Juli 2012. ______, 12 Juli 2012. ______, 13 Juli 2012. ______, 14 Juli 2012. ______, 20 Juli 2012. ______, 24 Juli 2012. ______, 25 Juli 2012. ______, 31 Juli 2012. ______, 5 November 2012. ______, 1 Agustus 2012. ______, 10 Agustus 2012. ______, 25 Agustus 2012. ______, 3 September 2012. ______, 5 September 2012. ______, 6 September 2012. ______, 10 September 2012. ______, 11 September 2012. ______, 14 September 2012. ______, 15 September 2012. ______, 18 September 2012. ______, 19 September 2012. ______, 5 Oktober 2012. ______, 8 Oktober 2012. ______, 9 Oktober 2012. ______, 12 Oktober 2012. 137 Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pilkada ______, 5 November 2012. ______, 6 November 2012. ______, 10 November 2012. ______, 11 November 2012. ______, 13 November 2012. ______, 14 November 2012. ______, 16 November 2012. ______, 17 November 2012. ______, 24 November 2012. ______, 28 November 2012. ______, 29 November 2012. ______, 3 Desember 2012. ______, 4 Desember 2012. ______, 8 Desember 2012. ______, 11 Desember 2012. ______, 12 Desember 2012. ______, 13 Desember 2012. ______, 22 Desember 2012. ______, 3 Januari 2013. ______, 4 Januari 2013. ______, 5 Januari 2013. ______, 19 Januari 2013. ______, 6 Februari 2013. ______, 7 Februari 2013. ______, 8 Februari 2013. ______, 9 Februari 2013. ______, 19 Februari 2013. ______, 1 Maret 2013. 138 Prayudi ______, 27 April 2013. ______, 28 Mei 2013. Tempo 17 Maret 2013. Suara Merdeka 25 Oktober 2012. Media Indonesia, 21 Mei 2012. ____________, 10 Juli 2012. ____________, 30 Agustus 2012. ____________, 15 Agustus 2013. Suara Pembaruan, 25 Mei 2012. _____________, 29 Mei 2012. _____________, 10 September 2012. _____________, 17 September 2012. _____________, 15 Februari 2013. Republika, 28 Agustus 2012 The Jakarta Post, 17 Desember 2010. Parlementaria, Edisi 93, Th. XLII, 2012. Majalah Tempo, Edisi 1- 7 Oktober 2012. Situs Internet http.www.tempo.co.id., dikutip 12 Juli 2012 http.www. udip.ac.id./ diakses 10 September 2012. http://www.detik. com, diakses 16 Oktober 2012. http//www.vivanews.com., diakses 26 November 2012. http://www.wartapwdia.com., diakses 2 Januri 2013, 139 INDEKS A Abdul Azis Qahhar Mudzakar, 22, 63 Aburizal Bakrie,73, 77 Achmad Syafii, 21 Aceh, 32, 33, 34, 42, 82, 86, 87, 97 Adriano A. Chaniago, 15 Administratif, 5, 18, 75, 84, 85, 98, 121, 130 Adam Schwartz, 14 Agus Arifin Nu’mang, 22, 63 Agus Subardono, 35 Agus Martowardojo, 42 Ahmad Sukardi, 24 A.H. Nasution, 113 Akil Mochtar, 100 Akmal Boedianto, 24 Alfian, 32 Ali Mazi, 31, 32, 86 Al-Amiin Nasution, 123 Amerika Serikat, 5, 46 Amir Machmud, 13 Aminullah, 17 Amran Batalipu, 94, 95 A. Malik Haramain, 40 Andi Nawir Pasinringi, 22 Anna Sophanah, 65, 66, 121 Arnanda Sinulingga, 77 APBD, 8, 12, 16, 17, 18, 21, 34, 35, 42, 44, 45, 46, 51, 79, 81, 83, 84, 85, 89, 91, 94, 96, 97, 105, 106, 108, 109, 110, 114, 115, 116, 124, 125 Aplikasi, 119 APL, 105 A. Rahman Zaenuddin, 127 Asia, 11, 77 Australia, 63 Ayu Sutarto, 63, 64 Azwar Abubakar, 37 B Badung, 46 Bambang Sugiyono, 25, 26 Balances, 5, 76 Balikpapan, 45, 80, 81 Banten, 29, 67, 70, 96, 111 Bangka, 46, 70, 102, 103, 121 Bansos, 81, 82, 83 Baperjakat, 26, 32, 34 Bappeda, 46, 47, 126 Basrie Arief, 99 Basuki Tjahaya Purnama, 25 Bawaslu, 15, 18, 75, 131 BBM, 59, 61 Belitung, 46, 70, 103 Bengkulu, 44, 79, 84, 85 Bekto Soeprapto, 41 Bibit Waluyo, 26, 47, 56, 90 Birokrasi, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 44, 46, 48, 49, 51, 53, 58, 59, 60, 61, 64, 65, 72, 74, 75, 76, 77, 79, 81, 87, 88, 89, 90, 93, 98, 99, 101, 103, 112, 114, 115, 116, 117, 118, 120, 123, 124, 129, 130, 131 BKN, 10, 24, 43 BOS, 45 BPK, 42, 43, 80, 81, 99, 108 Brebes, 38, 69 Bugis, 61, 62 140 Buol, 94, 95 Busyro Muqodas, 80 C Chairul Tanjung, 36 Check, 5, 76 D Daday Hudaya, 64 DAK, 44, 45 De facto, 104, 113 Definitif, 21, 41, 56, 84, 85, 112 Degradasi, 72, 104 Democratic governance, 3, 129, 130 Demosi, 27, 38, 53 Demokrat, 36, 45, 51, 54, 55, 64, 70, 78, 87 Desentralisasi, 3, 8, 9, 31, 61, 76 Djohermansyah Djohan, 40, 58, 122, 123 Dinas, 8, 9, 15, 19, 20, 21, 24, 26, 28, 32, 34, 35, 38, 42, 43, 53, 55, 83, 92, 104, 105, 107, 117, 123, 124, 125, 126, 130 Dipo Alam, 24 Disposis, 83 Dirk Tomsa, 76 DKI Jakarta, 17, 20, 25, 26, 30, 34, 35, 54, 96, 117, 119 Dompu, 46 Don Murdono, 56, 69 DPALSKPD, 117 DPKLTS, 122 DPR, 15, 37, 38, 40, 41, 42, 52, 60, 69, 70, 72, 73, 86, 89, 90, 93, 96, 98, 107, 123 E E.E. Mangindaan, 69 Eko Prasojo, 39 Eko Sutrisno, 43 Elit, 1, 6, 12, 23, 30, 33, 44, 47, 61, 62, 73, 77, 88, 90, 93, 120, 121, 129 Emerson Yuntho, 82 Erwiza Erman, 103 Eselon, 10, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 56, 59, 113, 127 Etnisititas, 61 e-TSP, 119 Evita Legowo, 25 Executive ascedency, 2, 3, 12, 129, 130 F Fadjar Panjaitan, 25 Farouk Muhammad, 40 Fasilitasi, 2, 6, 118, 131 Feri Amsari, 100 Filipina, 10 Fiskal, 38 Fitra, 42, 116 Francis Rourke, 129 Franky Panjaitan, 25 Fred Riggs, 5 G Gamawan Fauzi, 26, 27, 38, 47, 53, 66, 79, 81, 85, 88, 95, 98, 99, 111, 123, 124, 127 Ganjar Pranowo, 37 Genset, 56 Golkar, 13, 32, 54, 55, 64, 66, 67, 68, 73, 78, 92, 94, 101 Golput, 94 Gorontalo, 46, 55, 107, 120 Gowa, 46, 70 Gratifikasi, 39, 80 Grobogan, 38 Grey area, 44 H Halil, 21 Hall, 62 Hamim Pou, 55 Haris Nadjamuddin, 55 Harry Mulya Zein, 28 Harry Soegiri, 24 Hartati Murdaya, 95 Harunata, 46 Hartley, 63 141 Harvard, 46 H.A. Soetarto Hadiwinoto, 125 Hendy Boedoro, 65, 67, 69 Heyden, 129 Hibrida, 64 Hirst, 3 Jawa Tengah, 44, 47, 90, 124 Jefrinal Arifin, 83 Jember, 23, 64 Jokowi, 25, 26, 30, 35, 54, 64 J L K I Ibnu Khaldun, 127 ICW, 38, 82, 100 Ideologi, 13, 52 Idris Rahim, 55 Idrus Marham, 73, 101 Ihwan Sudarajat, 26 Ilham Arief Sirajuddin, 22, 63 Imam Mujahiddin Fahmid, 62 Incumbent, 1, 16, 20, 21, 23, 27, 39, 53, 57, 58, 65, 66, 68, 81, 104, 130, 131 Indonesia, 2, 3, 5, 9, 10, 11, 13, 14, 36, 38, 42, 46, 57, 67, 76, 77, 80, 88, 90, 91, 96, 97, 98, 100, 102, 113, 115, 119, 125, 129 India, 10 Inefisiensi, 42, Infrastruktur, 36, 37, 44, 45, 115, 116, 131 Intervensi, 1, 21, 23, 39, 77, 98, 114 Interaksi, 3 Irian MS Syaifuddin, 65 Irwandi Yusuf, 32 Islam, 13, 104, 119 Isran Noor, 97, 98 Jabar, 18, 40, 54, 83, 100, 108, 121, 122, 124, 126 Jacques Bertrand, 30 Jaksa Agung, 99 Jakarta Selatan, 26, 35 Jamkesmas, 43 Jatim, 18, 21, 24, 25, 51, 52, 63, 64, 68, 71, 125 Jateng, 18, 26, 38, 47, 56, 65, 68, 69, 83, 100, 108, 111, 114, 125 Kampanye, 1, 14, 18, 22, 38, 39, 40, 49, 50, 53, 63, 69, 88, 95, 96, 103, 120 Karanganyar, 38, 44 Karl D Jackson, 5, 6, 129 Keerom, 46 Kelompok, 2, 6, 26, 30, 31, 36, 62, 71, 74, 77, 82, 84 Kemenkeu, 44 Khalwat, 34 Khofifah, 64 KH Sahal Mahfudz, 114 KIP, 87 Kiki Syahnakri, 74 Klaten, 38, 44, 56 Klausul, 60, 61 Klungkung, 46 KODM, 113 Komunal, 6, 29, 31, 63 Kompas, 20, 63, 77 Korpri, 13 Kota Langsa, 42 Konawe, 46 KPPOD, 45, 60, 115, 116 KP2KKN, 124 KPPOD, 45, 60, 115, 116 KTA, 52 LAKI, 80 Lanto Daeng Pasewang, 62 LHA, 99 Lombok, 21 Longki Djanggola, 90 Lokal, 1, 2, 15, 23, 27, 29, 36, 40, 44, 51, 52, 61, 63, 65, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 87, 100, 101, 102, 103, 104, 113, 118, 120, 130, 131 Luky Sandra Amalia, 50 142 Luwu, 22, 46 Luwu Utara, 22, 46 M Mamuju, 46 Makasar, 22, 61, 62, 70 Marwanto Harjowiryono, 45 Matok Kon Asu, 50 MBKD, 113 MBKS, 113 Merit, 5 Menkeu, 44, 61 Menteri Kemakmuran, 113 Mendagri, 26, 27, 38, 47, 53, 60, 61, 66, 79, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 95, 98, 99, 111, 112, 123, 124, 127 Miftah Thoha, 2, 129 Minahasa, 46, 69, 70 Moh. Harun Mojokerto, 51 Montserrat Guibernau, 74 Monoloyalitas, 13 Morstein Marx, 5 MOU, 32, 47 MPRP, 41 Mr. Syarifuddin Prawiranegara, 113 Muhtar Haboddin, 61 Mutasi, 24, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 34, 35, 38, 53, 112, 130 M. Yulianto, 26 N Netralitas, 1, 2, 5, 6, 12, 14, 23, 24, 25, 26, 75, 88, 90, 129, 130 Nugroho, 70, 77, 86 Nomenklatur, 83 Novisa, 35 Novri Susan, 41 NTB, 20, 21 NU, 64 O Oligarki, 49, 65, 88, 90 Oligopoli, 77 Optimisme Organisasi, 5, 7, 8, 9, 12, 31, 52, 84, 89, 91, 104, 118, 119, 130 Orde Baru, 5, 10, 12, 13, 14, 15, 62, 88, 91, 104, 129 Otonomi, 10, 15, 30, 31, 41, 44, 47, 56, 58, 60, 62, 73, 79, 102, 104, 105, 114, 115, 116, 122, 123 Otoriter, 4 P Padang Pariaman, 46, 104 Paimin Napitupulu, 35 Pamekasan, 21 Panwas, 16, 19, 21, 39, 75, 88, 118, 119, 131 Panwaslu, 2, 15, 20, 88, 121 Pasaman, 46 Paku Alam, 89 Pakistan, 10 Palembang, 71 Parlementer, 48 Paternalisme, 23, 118 PBAP, 113 Pecah kongsi, 53, 54 Pemda, 6, 7, 8, 9, 12, 15, 16, 18, 19, 20, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 35, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 49, 51, 53, 58, 59, 60, 61, 64, 65, 69, 75, 80, 82, 84, 87, 92, 93, 98, 101, 105, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 123, 124, 127, 129, 130, 131 Pemilukada, 1, 2, 4, 6, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 127, 143 128, 129, 130, 131 Peter M. Blau, 129 PDI Perjuangan, 50, 51, 54, 55, 56, 68, 96, PDRI, 113 PDS, 45 Piet Inkiriwang, 45, 46 PKS, 30, 50, 54, 83, 84, 101 PPATK, 99 Presidensil, 48 Presidium, 121 Proliferasi, 8 Poso, 45, 46 PTTD, 113 PTUN, 84, 85, 86 Purworejo, 38 Putut Hari Setyaka, 44 R Radiyanto Asapa, 22 Rahmad Hidayat, 33 Rahudman, 36 Rappang, 22 Rasiyo, 24, 25 Ratu Atut Chosiyah, 29, 70, 96 Regulasi, 12, 19, 52, 75, 82, 90 Retribusi, 60, 61, 105 Renumerasi, 12 Retorika, 12, 51, 94, 117 Reydonnizar Moenek, 79 Ridwan, 32 Ricklefs, 62 Rivalitas, 55, 57 Rizal Djalil, 80 RKUA, 51 Robert Endi Jaweng, 45, 60, 116 RPPAS, 51 Rusli Habibie, 55 Rusli Zainal, 92, 93, 107 S Saifullah Yusuf, 64 Samarinda, 46, 81 SARA, 29, 30, 49 Sarekat Islam, 119 SDI, 119 Sekda, 24, 25, 26, 28, 36, 53, 56, 68, 96, 123, 130 Seluma, 44 Semarang, 26, 69, 91, 92, 108, 112, 124, 125 Sentiment cultural, 63 Sentralisasi, 14, 27, 71 Serang, 45, 67, 70 Seram, 46 SH Sarundajang, 69 Sidenreng, 22 Sigi, 46 Silpa, 116 Silviana Murni, 25 Sindang, 71, 72 Siti Zuhro, 23 Siti Nurmakersi, 65 Sjahrazad Masdar, 23 Soekarno, 13, 97, 108 Soekarwo, 24, 50, 64, 90 Soemarmo Hadi Saputro, 91, 108, 124 Sofjan Effendi, 11 Solo, 38 Subordinate, 58 Sufyanto, 18 Sulawesi Tenggara, 31, 32, 86, 100 Sulsel, 21, 22, 61, 62, 63, 70, 83 Sumenep, 46 Sunarna, 56 Surabaya, 50, 51, 54, 63, 125 Susilo Utomo, 56 Syahrur Yasin Limpo, 22 Syahrul Efendy, 25, 26 T Taman Nasional Tesso Nilo, 103 Tana Toraja, 22 Tangerang, 28, 29 TA Rasyid, 34 Temanggung, 38 Teten Masduki, 100 Theddy Tengko, 97, 108, 111, 112 144 Timtim, 74, 75 Trah, 61 Tri Rismaharini, 50, 51, 54 U University of Boston, 46 Universitas Tanjungpura, 73 Universitas Andalas, 100 Universitas Gajah Mada, 100 V Vietnam, 10 W Wahidin Halim, 28 Weberian, 4 Widya Kandi Susanti, 65, 67, 69 Wiriyatmoko, 25 Y Yassona H. Laoly, 40 Yonathan Pasodung, 35 Yusril Ihza Mahendra, 84, 97 Z Zaini Abdullah, 32, 33, 34, 87 Zainal Arifin Mochtar, 100 145