Review Materi Kuliah: KOSMOPOLITANISME & GLOBAL GOVERNANCE Reviewer: M. Qobidl ’Ainul Arif (07/ 260480/ PSP/ 3146) lobal governance sebagai gagasan dalam ilmu hubungan internasional mulai marak dibicarakan setelah berakhirnya perang dingin di awal abad ke dua puluh. Pendefinisian konsep global governance memang masih diperdebatkan oleh para ahli. Namun perdebatan seputar terminologi global governance tersebut paling tidak akan menghantarkan kita untuk dapat lebih memahami dinamika penting yang terjadi dalam politik internasional pasca perang dingin. Gagasan global governance muncul pertama kali sebagai sebuah konsekuensi dari fenomena globalisasi, khususnya dalam bidang ekonomi. Global governance menjawab tantangan-tantangan yang muncul akibat globalisasi terutama dengan adanya aktor-aktor baru non-negara yang memungkinkan berkembangnya pusat-pusat kekuasaan di luar kerangka negara-bangsa. Munculnya aktor-aktor baru dalam hubungan internasional sebagai dampak dari globalisasi pasca perang dingin tentu saja berdampak kepada berubahnya tatanan politik global. Hal ini mengakibatkan perlunya regulasi baru dalam hubugan internasional yang mengakomodasi aktoraktor baru tersebut. Dalam konteks inilah global governance diasumsikan sebagai pengambil alih peran regulasi yang tidak bisa dimainkan oleh negara-negara teritorial. Menurut Dirk Messner, global governance merupakan tatanan politik yang berkembang sebagai respon terhadap globalisasi dan merupakan mekanisme atau sarana institusional bagi kerjasama berbagai aktor baik negara maupun non-negara untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul sebagai konsekuensi dari globalisasi. Sebagai sebuah mekanisme bagi kerjasama antara aktor-aktor dalam politik internasional sebagaimana digambarkan oleh Messner diatas, maka konsep global governance kemudian lebih diartikan sebagai ‘governance without government’. Dengan demikian konsep tersebut merujuk pada terbentuknya sebuah tatanan global tanpa adanya hierarki maupun sub-ordinasi sebagaimana yang terdapat dalam sebuah institusi formal. Gagasan global governance seperti dimaksudkan diatas dapat dimengerti lebih mendalam lagi dengan cara membedakannya dari gagasan-gagasan pembentukan rezim. Dalam pembentukan rezim, hasil akhir dari kesepakatan-kesepakatan atau norma yang terjadi haruslah dilembagakan dalam bentuk institusi formal yang menuntut ketaatan (compliance) dari masingmasing pihak. Hal demikian menjadikan terjadinya struktur hierarkhis antara institusi rezim sebagai supra-ordinasi dan anggota-anggotanya sebagai sub-ordinasi atau dengan kata lain akan tercipta ‘governance with government’. Sebaliknya, gagasan global governance menghendaki ketaatan seluruh aktor – baik negara maupun non-negara – terhadap aturan-aturan yang berlaku secara internasional tanpa disertai paksaan (non-coercion). Global governance tetap memiliki semangat untuk menciptakan aturanaturan lintas negara namun aturan-aturan tersebut tidaklah harus ditegakkan dengan cara 1. Kosmopolitanisme & Global Governance paksaan, melainkan dapat dicapai melalui konsensus bersama. Bentuk-bentuk konsensus demikianlah yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keterdugaan terhadap perilaku aktor dalam hubungan internasional. Global governance: Apakah sebagai konsep yang kosmopolitan? Jika dilihat dari perdebatan yang mengemuka dalam pembahasan seputar global governance ini, maka akan terlihat pasti bahwa global governance lebih berorientasi kepada proses pembentukan maupun penerapan aturan-aturan serta norma-norma yang dapat diterima secara global daripada berorientasi kepada hasil akhir yang berupa institusi-institusi formal. Yang dikehendaki dalam global governance adalah munculnya keteraturan (order) maupun keterdugaan atas perilaku-perilaku aktor dalam hubungan internasional. Global governance mendasarkan asumsinya bahwa semua aktor baik negara maupun nonnegara (termasuk individu) harus diakomodasikan dalam penciptaan norma-norma internasional dengan sinergis dan tanpa paksaan. Publik internasional tanpa kecuali harus diikutsertakan dalam penciptaan policy bagi semua. Konsep yang demikian ini sangatl nampak bernuanasa kosmopolitan. Beberapa aspek dalam global governance berikut ini menunjukkan keterkaitan konsep tersebut sebagai gagasan yang kosmopolitan, yakni: 1) Global governance mengakomodasi semua aktor dalam hubungan internasional, baik itu aktor negara maupun non-negara. Baik individu maupun negara semuanya didudukkan dalam posisi yang sama (equality). 2) Global governance mengangkat isu-isu kemanusiaan, bukan negara. Dengan demikian global governence adalah konsep yang moral driven. 3) Proses pembentukan aturan-aturan dilaksanakan secara konsensus dengan tidak menggunakan paksaaan (non-coercion). 4) Global governance lebih berorientasi pada pelembagaan isu dan solusi, bukan kepada penciptaan fisik lembaganya atau institusi formal. 5) Global governance mempunyai semangat untuk menciptakan keteraturan dan keterdugaan terhadap perilaku aktor dalam hubungan internasional. Dalam sudut pandang kosmopolitanisme moral, konsep global governance akan dinilai dengan mutlak bahwa ia memanglah sebagai sebuah gagasan yang kosmopolitan. Moral kemanusiaan yang bersifat universal apabila dimengerti dan disadarkan dalam proses konsensus antara aktor-aktor dalam hubungan internasional, maka secara otomatis akan dapat menciptakan sebuah keteraturan dan keterdugaan perilaku-perilaku aktor hubungan internasional. Namun sebaliknya, bagi kosmopolitanisme budaya, konsep global governance tidaklah serta merta dapat diterima sebagai sebuah gagasan yang kosmopolitan. Orang-orang dari kosmopolitanisme budaya akan berpendapat bahwa order dan keterdugaan perilaku aktor sebagaimana yang dikehendaki dalam global governance tersebut pada hakekatnya juga merupakan sebuah konstruksi yang akan menegasikan perilaku aktor-aktor yang memiliki standar moralitas yang berbeda dengan konsensus yang ada. =o0o= 2. Kosmopolitanisme & Global Governance