SEBUAH ULASAN : INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI INDONESIA Sudarisman (Balai Penelitian Veteriner, Bogor) PENDAHULUAN IBR merupakan penyakit viral yang manifestasi penyakitnya pada saluran pernafasan, gangguan pada penglihatan, gangguan pada sistem reproduksi, gangguan syaraf, gangguan pencernaan dan kelainan pada kulit. Penyakit ini secara serologik telah disidik di Indonesia dan merupakan penyakit viral penting yang mengganggu dalam sistem peternakan dan telah menyebar di beberapa propinsi di Indonesia . Kejadian outbreak yang menyertai diare ganas pada sapi ternyata secara serologi menunjukkan IBR sebagai agen penyebab yang dominan . Hal ini tentu perlu diwaspadai agar tidak terjadi lagi kasus serupa dimasa mendatang . Disamping itu adanya kasus balanopostitis yang menyerang seekor sapi di salah satu BIB (Balai Inseminasi Buatan) yang ada dan menunjukkan positif IBR, lebih menggambarkan pada kita akan pentingnya penyakit tersebut. Seperti diketahui IBR pada suatu lembaga seperti BIB yang memproduksi semen beku untuk didistribusikan keseluruh Indonesia sangat tabu adanya penyakit tersebut . Artinya BIB harus bebas dari IBR, balk secara serologi maupun melalui isolasi agen penyebab penyakit . Karena dapat menularkan penyakit pada akseptor IB (inseminasi buatan) . Tulisan ini bermaksud mengulas tentang peran penyakit IBR di Indonesia dan usaha penanggulangannya berdasarkan sifat agen penyebab dan pengalaman negara-negara maju untuk mengatasi penyakit ini di negaranya. DISTRIBUSI PENYAKIT Penyakit ini dilaporkan kejadiannya pertama kali di benua Amerika, yaitu di negara-negara bagian Colorado dan California, Amerika Serikat . Pertama kali di identifikasi pada tahun 1950 pada sapi perah. Kini penyakit tersebut telah menyebar di seluruh Amerika Serikat (di 24 negara bagian), bahkan sampai di Canada . Penyakit ini pertama kali ditemukan pada hewan menyerang pada saluran pernafasan, sesuai dengan namanya yang disebut penyakit "Infectious laryngotracheitis" . Akan tetapi gejala klinis penyakit ternyata tidak hanya pada saluran pernafasan, selain itu ada juga pada saluran pencernaan, saluran reproduksi dan gejala syaraf berupa encephalitis, seperti halnya yang ditemui di Inggris . Di benua Eropa pertama kali kejadiannya di Inggris dan dilaporkan pada tahun 1958 . Di benua Australia pertama kali dilaporkan pada tahun 1962 dengan gejala encephalitis pada anak sapi dan di Selandia baru pada tahun 1959 . Di benua Afrika pertama kali dilaporkan pada tahun 1961 dengan gejala kemajiran . Di Amerika Selatan pertama kali dilaporkan pada tahun 1972, berupa kejadian abortus dan ocular carcinoma pada sapi di Argentina. Sedangkan di benua Asia laporan kejadian baru ada pada tahun 1972, yaitu di Jepang, tahun 1973 di Korea dan tahun 1974 di Iran . Tabel 1 . Hasil uji serum netralisasi terhadap antibodi virus IBR dalam serum sapi dan kerbau Propinsi Jumlah Serum Positif Jenis Ternak Jawa Barat Jawa Tengah D .I . Jogyakarta Jawa Timur NTB Kupang Kalbar Bali Sumut Aceh BIB Lembang 485 179 28 112 328 70 74 46 85 44 70 65 9 14 21 31 9 54 1 14 0 22 BIB Singosari 23 13 Pet .Tri S . 57 18 FH,PO,Kerbau FH,PO,Kerbau Kerbau PO,Kerbau, S .Madura S .Bali S .Bali S .Bali, S .Lokal S .Bali FH, Kerbau S . Lokal FH,Brahman, 0ngole Kerbau, Limousine, Siemental,Brangus, Taurindicus Brahman, Brangus, Taurindicus,Ongole S .Bali FH,Brangus Jumlah 1601 256 15 .99 Di Indonesia, dengan berkembangnya peternakan, ternyata perkembangan penyakit ikut juga mencuat . Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jenis penyakit yang ditemukan pada akhir-akhir ini . Demikian pula IBR, telah disidik secara serologik 25 SUDARISMAN: Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Di Indonesia dan reaksi positif tidak hanya terdapat pada hewan asal import, tetapi terdapat juga pada hewan asli Indonesia. Penyakit ini secara serologik telah ada pads sapi perah, sapi potong dan kerbau dari beberapa propinsi (Tabel 1) . Kejadian abortus di Indonesia selama ini masih merupakan masalah dalam pelaporannya . Hal ini disebabkan masih belum banyak peternak yang menganggap penting arti sebuah laporan kasus . Banyak hal yang membuat peternak mengabaikan masalah pelaporan . Padahal kejadian penyakit yang dini akan memudahkan penanggulangan penyakit secara tuntas dan akan banyak mengurangi biaya penanggulangannya . Terutama pada penyakit-penyakit yang cepat menular. Sebagai gambaran yang baik untuk pelaporan kejadian abortus, penulis dapatkan hasilnya dari seorang dokter hewan yang praktek di KUD, Lembang, Jawa Barat, pada tahun 1993 (Tabel 2) . Tabel 2 . Kejadian abortus pada sapi perah di kecamatan Lembang kabupaten Bandung, Jawa Barat, Tahun 1993 . Bulan Jumlah hewan Abortus Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah 17 13 17 14 17 18 33 21 26 23 24 22 245 Laporan kejadian abortus didapat setelah adanya kasus Brucellosis pada tahun 1992 di salah satu peternakan dan memberikan gambaran pada kita akan pentingnya penanggulangan kejadian abortus di Indonesia. Terutama, apabila kita melihat pertambahan populasi ternak tiap tahunnya masih sangat kecil (Tabel .3). Tabel 3 . Pertambahan populasi ternak besar di Indonesia (1988-1992) (x1000 ekor) Jenis ternak 1988 1989 1990 1991 1992 Sapi Perah 263 Sapi Potong 9 .776 Kerbau 3 .190 288 10 .094 3 .224 294 10 .410 3 .335 306 10 .667 3 .311 325 10 .887 3 .409 Sumber Buku Statistik Peternakan, 1992 . 26 AGEN PENYEBAB PENYAKIT IBR merupakan penyakit viral pada ruminansia yang disebabkan oleh virus herpes Alphaherpesvirinae dari type 1 (BHV-1) . Sebenarnya ada tiga strain penting dari BHV-1 yang manifestasi awal penyakitnya dibedakan dalam tiga bentuk yaitu IBR (Infectioous Bovine Rhinotracheitis), IPV (Infectious Pustular vulvovaginitis) dan Bovine Encephalitis . Penggolongan bovine herpesvirus baru dilakukan pada tahun 1973 . Komisi internasional taksonomi virus pernah bersidang pada tahun 1973 dan mengelompokkan bovine herpesvirus menjadi 4 type . Keempat type tersebut adalah Bovine Herpes Virus type 1 (BHV-1) adalah untuk IBR/IPV, BHV-2 untuk Bovine Herpes Mammilitis, BHV-3 untuk WA-MCF dan BHV-4 untuk Bovine Pulmonary Adenomatosis . Klasifikasi Bovine Herpes Virus lalu berkembang dan diusulkan penggolongan Herpesvirus dengan klasifikasi famili menurut induk semangnya . Berdasarkan ketentuan ini WHO/FAO pads tahun 1976 mengklasifikasikan bovine herpesvirus menjadi empat type yang berbeda dari sebelumnya, yaitu BHV-1 untuk IBR/IPV, BHV-2 untuk Bovine Mammilitis, BHV-3 untuk MCF dan BHV-4 untuk Movar-Group . BHV-1 memiliki G + C (guanosine plus cytosine) sebanyak 72 % molekul dan mirip dengan pseudorabies serta equid herpesvirus-1, bouyant density sekitar 1 .730 g/cm 3, melting point sebesar 85 .6 0 C, berat molekul DNA sebesar 88 x 10 6 dalton, polipeptida spesifl'k sebanyak 48 macam dan 33 macam darinya berada dalam virion . Sedangkan 11 macam dari polipeptida ini adalah glikosida . Satu dari glikoprotein "envelope" (pembungkus) memiliki berat molekul 71 .500 dan glikoprotein ini penting dalam menentukan keganasan dari virus. Ada 4 macam glikopeptida dari BHV-1 pada envelop dengan berat molekul masing-masing 77 .000 dalton ; 82 .000 dalton ; 69 .000 dalton ; dan 108 .000 dalton . Keseluruhannya berperan dalam netralisasi kekebalan . BHV-1 diekskresikan lewat lokasi yang sama dengan masuknya virus kedalam tubuh hewan . BHV-1 dapat memasuki sistem syaraf dan sangat suka pada mukosa trachea dan menginfeksi mukosa tersebut . Demikian pula mukosa saluran pencernaan . BHV-1 dapat bersifat latent . Hal ini disebabkan oleh 1 . Lambatnya berkembang virus dalam tubuh dan tidak mampu merusak sel target, 2 . Terjadi penyakit yang kronis, berkembangnya lambat, infeksi bersifat sub klinis, dengan sedikit merusak organ, dan WARTAZOA Vol. 4 No . 1-2, Pebruari 1995 3. Virus tidak berkembang dab sulit dideteksi, karena perkembangannya sedikit demi sedikit dan tidak terus menerus . BHV-1 merupakan virus dengan "double stranded" DNA, kapsid berbentuk ikosahedral yang terdiri dari 162 kapsomer . Envelopenya menutupi seluruh nukleokapsid . Virus sensitif terhadap ether, tidak tahan asam dan peka terhadap pangs. Nukleokapsid berkembang dalam inti dari sel induk semang . Virus memproduksi badan intra nuklear"cow dry type A" pada sel yang diinfeksi . Berat molekul virus adalah 54 .000 .000 . Envelop terdiri dari dug membran yang secara morfologi mirip dengan membran sel induk semang . Diameternya lebih kurang 200 nanometer. KEKEBALAN INDUK SEMANG TERHADAP PENYAKIT Secara serologik zat kebal terhadap penyakit ini ada pada darah dari hewan yang sembuh dari penyakit . Sistem kekebalan telah dapat dideteksi 12 hari setelah terinfeksi oleh virus BHV-1 dab bertahan selama lebih kurang selama 14 bulan. Kenaikan titer kekebalan terus meningkat hingga 10 bulan setelah infeksi. Respons kekebalan sebenarnya dibagi kedalam dug katagori . Pertama adalah respons humoral/respons bentuk cair (humoral mediated immunity) dan kedua adalah respons selular/respo-ws bentuk . sel (cellular mediated immunity) . Respons selular pada induk semang yang terinfeksi oleh BHV-1 ternyata lebih berperan dalam status infeksi. Respons ini berupa respons blastogenik, direct cytotoxicity dan produksi lymphokine . BHV-1 merangsang limfosit induk semang setelah lima hari terjadi infeksi dab mencapai puncaknya sekitar 8 - 10 hari setelah terjadi infeksi . Limfosit dapat menghambat perbanyakan dari virus BHV-1 . Produksi interferon sangat berperan dalam hambatan ini . Produksi lymphokine dihasilkan oleh gabungan antara makrofag dan sel T yang dirangsang oleh adanya virus BHV-1 . Disamping itu sistem kekebalan terhadap infeksi BHV-1 dapat pula dalam bentuk lokal (local immunity) . Sistem ini dapat berbentuk mekan isme non spesifik (bentuk anatomis, mukus/lendir, silia/bulu getar, interferon, dab makrofag) dab dapat pula berupa imunitas selular yang diproduksi secara lokal bekerja sama dengan imunitas humoral yang bekerja pada membran mukosa . Sistem kekebalan ini dapat dideteksi pada epitel saluran pernafasan dan saluran reproduksi . Disamping merangsang kekebalan, ternyata BHV1 juga menekan fungsi kekebalan yang mengakibatkan kepekaan tubuh terhadap infeksi bakteri . BHV-1 juga menekan neutrofil, imunitas selular dan menekan limfosit terhadap rangsangan mitogen . Terutama dari infeksi yang bersifat latent . Pada prinsipnya respons kekebalan humoral terhadap BHV-1 dimulai dengan meningkatnya IgM pada serum induk semang dab IgG i . Res pons ini merupakan respons tahap pertama bila terjadi infeksi pada induk semang oleh BHV-1 . Respons tahap kedua adalah terbentuknya IgG~ dab IgG2. Respons tahap kedua ini juga terjadi pada keadaan penyakit yang bersifat latent yang dirangsang dengan preparat kortikosteroid . IgM juga dapat muncul sebagai respons tahap kedua dari kekebalan tubuh induk semang . Respons tahap kedua akan terjadi juga apabila terjadi abortus pada hewan induk semang yang terinfeksi . Respons tahap pertama akan muncul 7 hari setelah hewan terinfeksi . IgG akan mencapai puncaknya 35 hari setelah hewan terinfeksi dab 14 hari pada hewan bunting . DIAGNOSIS PENYAKIT Diagnosis adanya penyakit IBR bukanlah merupakan problem, bila telah ada gejala yang jelas secara khas . Terutama didaerah dimana penyakit pernah terjadi dan berulang kali kejadiannya. Gejala klinis yang dikonfirmasi dengan uji serologis dan isolasi agen penyebab penyakit merupakan diagnosis yang pasti dalam menentukan terjadinya penyakit . a . Gejala klinis : Secara umum akan terjadi kenaikan temperatur hingga 40- 42 0 C, nafsu makan yang menurun, berat badan menurun dan produksi susu juga menurun . Kadar leukosit dalam darah meningkat serta respirasi menjadi cepat disertai batuk dan sesak nafas . Kejadian diare terkadang tidak muncul . Diare terjadi pada gejala klinis yang sangat parah. Gangguan saluran pencernaan pada hewan muda merupakan penyebab dari kematian . Gejalanya sulit dibedakan dengan BVD (Bvine Viral Diarrhoea) dan sering merupakan infeksi campuran diantara keduanya . Secara lokal akan terjadi keratokonjungtifitis (pink eye), keluarnya cairan mata yang berlebih, rhinitis dan keluar ingus yang berlebih yang bersifat encer dan makin kental dengan berkembangnya penyakit . Keluarnya saliva tanpa adanya gangguan pada rongga mulut . Larynx terkadang normal, 27 SUDARISMAN: Infectious Bovine Rhinotracheitis UBR/ Di Indonesia tetapi dapat juga terjadi laryngitis dan tracheitis . Paru-paru umumnya normal, demikian pula pleura . Tidak terlihat suatu predisposisi tertentu untuk terjadinya penyakit . Di daerah yang mempunyai 4 musim akan lebih sering terlihat pada musim gugur dan musim dingin . Morbid itasnya/tingkat penyebarannya rendah hanya kurang lebih 18% . Umur yang sering terserang mulai dari 6 bulan hingga dewasa . Mor talitasnya juga rendah, kurang lebih 3% . Kematian terjadi pada saat wabah dan biasanya terlihat adanya nekrose pada saluran pernafasan bagian depan dan pneumonia . Penularan biasanya melalui udara dan bekas muntah . Masa inkubasinya bervariasi dan biasanya 2 - 4 hari . Abortus dapat terjadi karena adanya kematian pada kandungan . Pada pemeriksaan pasca kematian akan' terlihat rongga hidung terjadi rhinitis dan sinusitis. Demikian pula larynx dan Trakhea akan terlihat peradangan katarhalis hingga diphteritis . Pada penyakit yang mengarah kepada sistem reproduksi, penyakit akan ditandai dengan granular vulvovaginitis/radang vulva dan vagina mulai oedematous/penggembungan hingga hiperemik/kemerahan dan nekrose focal . Pada sapi secara umum kejadiannya selalu pada hewan yang catatan reproduksinya sangat jelek . Abortus dapat terjadi pada sapi clan kerbau biasanya pada umur 5 bulan kebuntingan. Pada hewan yang dilakukan inseminasi buatan dari semen yang terkontaminasi BHV-1 biasanya non return rate nya sangat rendah dan mencapai 13,4% . Kadar progesteron pada hewan yang bunting menjadi rendah. Mastitis dapat juga terjadi pada hewan yang terinfeksi oleh BHV-1 . b. Diagnosis Laboratorium : Penggunaan "pair sera" untuk tujuan diagnosis serologik sangatlah dibutuhkan . Setelah adanya gejala klinis muncul/adanya outbreak sera diambil pada kelompok hewan tersebut dan pengambilan ulang dilakukan minimum empat minggu setelah pengambilan pertama akan memudahkan diagnosis penyakit . Biasanya hasil titrasi dari serum yang ada akan memperlihatkan peningkatan. Isolasi agen penyakit pada biakan sel melalui sampel yang diambil dari organ hewan yang terinfeksi tentu membutuhkan teknik laboratorium yang baik dan dengan tenaga yang berpengalaman . Isolasi virus dapat dilakukan pada sel lestari maupun sel yang dibuat segar dari organ foetus sapi . Organ/sel yang baik untuk tujuan isolasi adalah sel ginjal, sel paru-paru, sel otak/ganglia, sel testis, dll . Sel segar (primary cell) merupakan 28 biakan sel yang terpilih untuk tujuan isolasi . Sedangkan organ/sel yang digunakan sebagai sampel dari hewan yang sakit adalah mukosa hidung, sinus, mulut, vagina, semen, susu, otak/ganglia dan sel foetus dari hewan yang abortus . Isolasi agen penyakit pada biakan sel akan memberikan perubahan berupa cytophatic effect (CPE) . BHV-1 akan memperlihatkan perubahan biakan sel dari bentuk pipih memanjang menjadi bundar serta membentuk buah anggur dan akhirnya mengelupas sehingga lapisan sel akan menjadi berlubang . Pewarnaan H & E (haematoxylin dan Eosine) dari sel yang terinfeksi BHV-1 akan memperlihatkan "cow dry type A" pada inti selnya dan merupakan badan inklusi . Ini merupakan ciri khas dari BHV-1 . Secara serologi di laboratorium dapat dilakukan beberapa uji . Uji yang utama adalah serum netralisasi . Disamping itu uji serologi yang dapat digunakan adalah ELISA (enzyme linked immunosorbent assay), RIA (radio immuno assay), FAT (indirect fluorescence antibody technique), Tuberkulin type-skin test dan passive haemagglutination . Uji serum netralisasi dapat menggunakan mikroplat dengan virus standard yang digunakan adalah isolat BHV-1 yang berasal dari penyakit gangguan pernafasan dan dapat pula isolat BHV1 yang berasal dari penyakit gangguan reproduksi ataupun penyakit encephalomyelitis . Isolat ini dikembangkan pada sel lestari (cell line) berupa sel turbinate, sel MDBK, maupun sel VERO . Perkembangbiakan virus baru dipanen setelah CPE mencapai 80 % . Panen dilakukan dengan "freeze and thaw" sebanyak tiga kali dan virus disimpan pada ampul pada suhu - 70 0C ataupun pada nitrogen cair . Titrasi dilakukan sebelum uji dengan melihat titer virus tersebut pada biakan sel . Virus yang digunakan dalam uji adalah sebesar 100 TCID-50 . Serum yang diuji harus steril diencerkan setengah kali dan diinaktifasi pada waterbath dengan suhu 60 °C . ELISA dapat dilakukan melalui prosedur yang dikembangkan oleh Collins dkk .(1984) . Demikian pula RIA (radio immuno assay) . Uji serologi dengan RIA harus melengkapi laboratoriumnya dengan scintilation counter, karena menggunakan bahan radioaktif . " Passive haemagglutination" dapat juga dikembangkan dengan merujuk kepada metoda yang diperkenalkan oleh Edwards dan Gitao (1987) . Uji ini perlu standardisasi yang matang dengan butir darah merah asal domba . "Tuberkulin type-skin test" yang dikembangkan oleh Brown dkk . (1990) dapat juga sebagai alternatif untuk melakukan "screening" WARTAZOA Vol. 4 No . 1-2, Pebruari 1995 terhadap kemungkinan kejadian infeksi oleh BHV 1 . Uji ini menggunakan suspensi virus sebanyak 16 6 pfu yang diinaktifasi melalui pemanasan. Penyuntikan dilakukan intradermal di bagian lipatan pangkal ekor dan pembacaan dilakukan setelah 24 jam inokulasi . PENCEGAHAN DAN PENGAWASAN PENYAKIT Diagnosa yang sensitif dan mudah pelaksanaannya merupakan kebutuhan untuk keberhasilan pengawasan penyakit IBR. Uji serum netralilasi dan isolasi virus biasanya digunakan untuk mengetahui adanya hewan yang terinfeksi dan hewan yang bersifat pembawa penyakit . Akan tetapi kedua uji tersebut sangatlah muluk dan membutuhkan persyaratan laboratorium yang tinggi dengan peralatan memadai dan petugas yang telah terampil . Deteksi virus pada hewan yang terinfeksi secara latent, harus diawali dengan pemberian kortikosteroid agar hewan menjadi stress . Sehingga kita dapat melakukan isolasi virus dengan baik . ELISA dan RIA merupakan cars uji yang praktis untuk digunakan pada sejumlah besar sampel . Walaupun spesifisitasnya lebih rendah, keuntung annya adalah sangat sensitif . Uji hipersensitifity mungkin sangat berguna untuk mendeteksi adanya infeksi latent dan sekali lagi hal ini masih bersifat percobaan. Keberhasilan pengawasan penyakit akan dapat dicapai melalui beberapa tahapan seperti berikut 1 . Hindarkan faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan, pisahkan hewan yang positif dan yang negatif, hambat import hewan yang positif, embryo dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1 . ternak yang bebas 2 . Pertahankan kelompok BHV-1, lakukan uji dua kali setahun, keluarkan hewan yang positif BHV-1 dan 3. Kelompok hewan yang positif dapat dilakukan vaksinasi terutama dengan vaksin mati guna mencegah infeksi laten. Hindarkan penggu naan vaksin hidup . Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih ketat. 4 . Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologi positif terhadap BHV-1 pada Balai Inseminasi Buatan . Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang dihasilkan . Reputasi Balai Inseminasi Buatan sangat tergantuno dari bebasnya pejantan dari penyakit menular . Ada dua jenis vaksin yang kini diproduksi di killed/inactivated vaccine, merudunia, yaitu pakan vaksin mati yang dibunuh dengan formalin dan dapat juga dengan beta-propiolactone yang dikombinasi dengan alumunium hidroksida ataupun saponin sebagai adjuvant . Vaksin yang disebut kedua lebih efektif, karena campuran ini mengandung adjuvant . Vaksin jenis kedua adalah live/attenuated vaccine. Vaksin ini dibuat pada biakan sel ginjal sapi ataupun sel ginjal babi/anjing . Vaksin ini avirulent untuk sapi dengan pemberian intramuskular maupun intranasal (aerosol) dan dapat merangsang kekebalan dengan baik . Vaksin jenis ini pertama kali diproduksi tahun 1956 dan berhasil mengendalikan IBR pada .feedlot di peternakan sapi di Amerika Serikat . Pada awalnya vaksin ini diberikan secara intramuskular saja dengan dosis MID 3.7 log TCID 50 . Akhirnya berkembang menjadi MID 4.2 log TCID 50 per dosis untuk yang dipasarkan di Amerika Serikat. Pendekatan terakhir dan dengan berkembangnya IBR sebagai penyakit pernafasan maka vaksinasi dilakukan secara aerosol . Hal ini akan merangsang immunitas lokal lebih baik, yaitu pada saluran pernafasan . Program vaksinasi IBR ternyata harus memperhitungkan adanya antibodi bawaan dari kolostrum . Hal ini disebabkan oleh adanya program vaksinasi pada anak . Oleh sebab itu program vaksinasi pada anak wajib memperhitungkan adanya titer antibodi anak terhadap BHV-1 . Sebaiknya dilakukan setelah titer antibodi anak terhadap BHV-1 menurun ataupun hilang . Dapat juga dilakukan program dengan metoda revaksinasi (vaksinasi ulang) pada anak . Revaksinasi dilakukan setelah dua minggu dari vaksinasi pertama . Hal ini akan banyak meningkatkan respons kekebalan pada anak tersebut dimasa mendatang . Kejadian ini terlihat dengan meningkatnya secara drastis titer antibodi terhadap BHV>1 pada anak yang mendapat vaksinasi ulang . DAFTAR PUSTAKA Brown, G .A ., L. Patridge, H .J . Field, 1990 . Cellmediated immunity in calves experimentally infected with BHV-1 . Vet.Reck127 :454-455 . Collins, J .K ., G .A . Bulla, C .A . Riegel, and A.C . Butcher, 1984 . A single dilution enzymelinked immunosorbent assay for the qualita tive detection of antibodies to bovine herpesvirus type 1 . Vet.Microb . 10 :133-147 . Edward, S., and G .C . Gitao, 1987 . Highly sensitive antigen detection procedures for the diagnosis of infectious bovine rhinotracheitis : Amplified ELISA and Reverse Passive Haemagglutination . Vet .Microb. 13 :135-141 . 29