alterasi hidrotermal dan mineralisasi logam berharga

advertisement
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI LOGAM
BERHARGA DI CEKUNGAN YOGYAKARTA :
Sebuah Pemikiran dari Kehadiran Sistem Hidrotermal daerah Godean
Okki Verdiansyah1, Hill Gendoet Hartono1
1 Staff
2
pengajar Jurusan Teknik Geologi, STTNAS Yogyakarta
Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta
Jl. Babarsari, Sleman, Yogyakarta
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian mengenai mineralisasi logam berharga belum banyak dilakukan pada daerah
Yogyakarta bagian tengah. Cekungan Yogyakarta dibatasi oleh Sesar Progo dan Sesar Opak. Pada
bagian tengah cekungan ini ditemukan adanya gejala magmatisme dan vulkanisme di daerah
Godean, Sleman. Kemungkinan keterdapatan endapan mineral logam berharga pada cekungan
Yogyakarta dapat dikaji berdasarkan faktor tatanan tektonik, geologi regional, karakter batuan beku,
keberadaan mineral sulfida dan kontrol cebakannya berdasarkan konsep endapan mineral.
Cekungan Yogyakarta memiliki 3 jenis litologi yaitu batan beku, yang nampak pada permukaan
seperti Godean, batuan sedimen Tersier seperti Formasi Nanggulan dan Sentolo, dan batuan pratersier, serta endapan Kuarter. Magmatisme pada Yogyakarta tengah atau cekungan Yogyakarta,
terlihat dari adanya kompleks batuan beku di daerah Godean berupa intrusi mikrodiorit – andesit
porfir, batuan subvulkanik – lava andesit sampai dasit, serta endapan piroklastika. Magma daerah
Godean bertipe menengah – asam, saturasi peralumina kuat, berupa andesit basaltik sampai dasit,
dengan afinitas low-medium K-Alkali, sebagai busur gunungapi (Magmatic Arc). Sistem hidrotermal
dikaji berdasarkan data magmatisme, litologi, struktur geologi, dan keberadaan hidrotermal. Sistem
hidrotermal dibuktikan adanya zonasi alterasi cukup luas berupa kaolinit-smektit, smektit-illit,
klorit-pirit, silika-kaolinit, dan kehadiran vein kuarsa berkadar 1.4 ppm Ag, 0.6% S, 482 ppm As,
0.24 ppm Bi, 13.1 ppm Sb. Magmatisme sebagai pembawa mineralisasi terdapat pada daerah
Godean yang ditandai dengan banyaknya tekstur khusus berupa lubang miarolitik, sheeted veins,
dan beberapa magnetite-hematite bleb, dan aplit monzonit. Sistem hidrotermal dibawah permukaan,
dimungkinkan mengikuti pola – pola struktur geologi pada Eosen-Miosen Akhir, terutama pada
daerah dekat dengan sistem gunung api. Litologi yang dapat menjadi hostrock mineralisasi
diinterpretasi adalah batuan beku dan vulkanik yang hadir pada sistem magmatisme di Yogyakarta,
ataupun pada batuan sedimen berumur Eosen - Miosen seperti Formasi Nanggulan, atau batuan
Pra-Tersier. Reaksi intrusi dasit dan batuan sedimen anggota Formasi Nanggulan terlihat dari
adanya proses pengisian dan replacement massif epidot-aktinolit yang berasosiasi dengan kuarsa,
hematit dan pirit. Perkiraan waktu mineralisasi, didsarakan adanya magmatisme di Godean dengan
umur perkiraan Oligo-Miosen dan Pliosen. Tipe endapan mineral kemungkinan berasosiasi dengan
busur magmatik (Magmatic Arc), berasosiasi dengan tubuh intrusi seperti porfiri Cu-Au, Skarn,
Sediment-hosted Au, dan beberapa tipe endapan epitermal. Pemikiran ini diharapkan menjadi awal
penelitian geologi dan yang terkait lainnya.
Kata Kunci : Mineralisasi, Cekungan, Yogyakarta, Magmatisme, Logam .
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
1. Pendahuluan
Penelitian geologi daerah Yogyakarta,
selama ini banyak menyangkut hal-hal
berkaitan dengan tektonik (Sudarno, 1999;
Syafrie, dkk., 2013; Smyth, et al., 2005;
Budiadi,
2008),
Sedimentologi
dan
Paleontologi (Pandita & Pambudi, 2009;
Barianto, dkk, 2009; Barianto, dkk., 2010;
Takahashi, 1982), analisis untuk minyak dan
gas bumi (Winardi, dkk., 2013; Smyht, et al.,
2003), serta untuk geohidrologi (Santosa,
2010; Hendrayana, 2013). Adapun penelitian
mengenai konsep mineralisasi secara regional
telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti
Setiadji, dkk. (2006); Setiadji & Marjono
(2012).
Penelitian mengenai mineralisasi dan
kandungan logam berharga belum banyak
dilakukan pada daerah Yogyakarta bagian
tengah, sehingga penulis mencoba mengawali
pemikiran adanya hal tersebut, berdasarkan
data-data mendukung seperti sumber panas
berupa magmatisme (intrusi dan gunung ai
purba), keberadaan kontrol tektonik, batuan
samping yang memungkinkan, geodinamika
dan kesamaan daerah dengan model yang ada.
Cekungan Yogyakarta secara konsep
berada pada bagian tengah Yogyakarta, yang
secara tektonik terbatasi oleh Sesar Progo dan
Sesar Opak. Pada bagian tengah cekungan ini
ditemukan adanya gejala magmatisme dan
vulkanisme di daerah Godean, Kabupaten
Sleman (Bronto, 1999; 2014, Verdiansyah,
2016), yang berumur Miosen yang
diinterpretasi
seumur
dengan
jajaran
Pegunungan Selatan bagian utara yang
berumur Oligo-Miosen. Vulkanisme dan
magmatisme daerah Godean diinterpretasi
serupa dengan Gajahmungkur (Wonogiri) dan
Menoreh (Magelang) yang berumur 11.3 –
17.2 Juta tahun lalu (jtl), yang disertai tahapan
mineralisasi
erupsinya.
pada
bagian
fasies
pusat
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif berdasarkan kajian data
sekunder, namun diikuti pemetaan geologi
dan geokimia pada batuan yang diinterpretasi
dapat membawa mineralisasi pada daerah
Godean, sebagai dasar pemikiran regional.
3. Hasil dan Analisis
Penelitian ini merupakan kajian
terhadap fenomena sistem hidrotermal pada
daerah Godean, dan dikaitkan dengan daerah
sekitarnya.
Kemungkinan keterdapatan
endapan mineral logam berharga pada
cekungan
Yogyakarta
dapat
dikaji
berdasarkan faktor tatanan tektonik, geologi
regional, karakter batuan beku, keberadaan
mineral sulfida dan kontrol cebakannya
berdasarkan konsep endapan mineral oleh
Hedenquist, et al. (2000), Einaudi et al.
(2003), Sillitoe (1999; 2010). Penjabaran
geologi regional dan cekungan Yogyakarta
menggunakan data sekunder yaitu Rahardjo,
dkk. (1997), Sudarno (1999), Barianto, dkk
(2009),
Winardi,
dkk.
(2013),
dan
Verdiansyah (2016).
3.1.
Cekungan Yogyakarta
Cekungan Yogyakarta, merupakan dataran
rendah yang dibatasi oleh Kali Progo pada sisi
Barat, Kali Opak pada sisi Timur, dan
Gunung Merapi pada bagian utara, sebagai
tempat pengendapan endapan fluvio-vulkanik
Merapi pada masa Kuarter. Cekungan
Yogyakarta
terbentuk
akibat
Graben
Yogyakarta (Asikin, 2006; Barianto dkk,
2010; Rahardjo, dkk., 1997) yang mengalami
penurunan sekitar 14 jtl berdasarkan data
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
pembandingan paleontologi pada
karbonat oleh Barianto, dkk (2009).
batuan
Saat ini Cekungan Yogyakarta sebagian besar
merupakan endapan fluvio-vulkanik Gunung
Merapi kuarter cukup tebal, dengan potensi
hidrogeologi yang baik. Endapan kuarter
dibatasi oleh perbukitan Sentolo dan
Jonggrangan pada daerah Selatan Yogyakarta.
Batasan pemikiran mineralisasi untuk daerah
Yogyakarta
bagian
tengah
adalah
kemungkinan terjadinya mineralisasi pada
batuan dasar di Cekungan Yogyakarta.
Batuan dasar cekungan Yogyakarta sendiri
banyak diinterpretasi sebagai batuan sedimen
berumur Eosen – Miosen yang identik dengan
formasi Nanggulan, atau bisa juga sebagai
satuan vulkanik berupa lava dan breksi serupa
dengan Formasi Andesit Tua di Kulon Progo.
Berdasarkan data bawah permukaan (Winardi,
dkk., 2013; Widiyanto, 2009 dalam Syafri,
dkk., 2013; Barianto, dkk., 2009) maka dapat
disimpulkan cekungan Yogyakarta memiliki 3
jenis litologi yaitu : (1). Batuan beku kristalin,
yang Nampak pada permukaan seperti
Godean, (2) Batuan sedimen Tersier seperti
Formasi Nanggulan dan Sentolo, (3). Batuan
pra-tersier, (4). Endapan Kuarter.
Gambar 1. Model geologi dibawah Cekungan Yogyakarta berdasarkan data bawah
permukaan. (a) oleh Widiyanto, 2013 dan (b) oleh Pertamina, 2008 (dalam Winardi,
2013).
3.2. Geologi daerah Yogyakarta bagian
tengah
Raharjo, dkk. (1997) menyebutkan Batuan
tertua dimasukkan ke dalam Formasi
Nanggulan (Teon), yang berumur Eosen.
Formasi ini terdiri atas batupasir dengan
sisipan lignit, napal pasiran, batulempung
dengan konkresi limonit, sisipan napal dan
batugamping, batupasir dan tuf. Di atas
Formasi Nanggulan diendapkan Formasi
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Kebobutak (Tmok), yang tersusun oleh breksi
andesit, tuf, tuf lapili, aglomeratdan sisipan
aliran lava andesit dan berumur OligoMiosen. Kedua satuan batuan tersebut
kemudian diterobos oleh diorit (dr) dan
andesit (a), yang berumur Miosen Bawah.
Lebih ke selatan dari Godean, yakni di daerah
Kabupaten Bantul, terdapat Formasi Sentolo
(Tmps), yang terdiri atas batugamping dan
batupasir napalan berumur Miosen - Pliosen.
Volkanisme Kuarter di daerah Yogyakarta
membentuk Gunung api Merapi, yang
materialnya dibagi menjadi Endapan Gunung
api Merapi Tua (Qmo) dan Endapan Gunung
api Merapi Muda (Qmi). Hanya Endapan
Gunung api Merapi Muda yang sampai di
daerah Godean dan Bantul.
Pada daerah Yogyakarta bagian tengah
terdapat morfologi perbukitan terisolir pada
daerah Godean terbentuk akibat pengaruh dari
kontrol denudasional pada batuan beku dan
gunungapi, sebagai sisa dari pelapukan dari
erosi permukaan sehingga tampak sebagai
tinggian. Morfologi dataran pada sekeliling
daerah Godean, dihasilkan oleh endapan
kuarter berupa endapan fluvio -vulkanik dan
longsoran raksasa dari Gunung Merapi
(Bronto, 2014), yang secara lokal terlihat
dataran yang sedikit bergelombang akibat
pengendapan material dalam sistem pekat.
Struktur geologi pada batuan berumur
Paleogen, dan utamanya pada daerah Godean
terlihat membentuk pola jajaran genjang,
sebagai gabungan struktur berarah barat –
timur dan utara-selatan yang membentuk
graben Yogyakarta – Bantul (Sudarno, 1999;
Barianto, 2009), dan dengan pola tektonik
beupa sesar berarah selatan-baratlaut dan
sesar turun berarah barat – timur (Widyanto,
2013 dalam Syafri, dkk., 2013) yang
mempengaruhi pola anomali pada Godean
dan Banguntapan yang dinterpretasi sebagai
perlapisan sedimen yang dipengaruhi adanya
intrusi (interpretasi dari data Barianto, dkk.,
2009; Winardi, dkk., 2013).
3.3.
Magmatisme dan vulkanisme
Indonesia merupakan bagian dari tatanan
tektonik Asia Tenggara, yang berumur
Cenozoic yang membentuk jalur magmatisme
dan gunungapi Tersier yang membentuk jalur
mineralisasi pada umur Tersier (Oligosen –
Pliosen), seperti pada sabuk – sabuk tektonik
Sunda – Banda. Pada daerah Jawa, evolusi
magmatisme selama Paleosen-Eosen masih
belum pasti ditentukan polanya, sehingga pola
magmatisme batu dapat diketahui mulai dari
Oligosen (Setiadji, et al., 2006; Setiadji dan
Maryono, 2013). Magmatisme di daerah
Kulon Progo merupakan seri magma kalkalkali dengan komposisi andesit basaltik
sampai dasit, yang terjadi dalam dua periode
yaitu Oligosen akhir – Miosen Awal (25.4 –
29.6 jtl) dan pada Miosen Akhir (8.1 ± 1.19
jtl) (Harjanto, 2011).
Pegunungan
selatan,
sebagian
besar
merupakan kompleks gunungapi yang
membentuk gumuk, khuluk dan bregada, serta
beberapa kaldera purba (Hartono, 2010).
Batuan beku dalam kompleks gunung api
tersebut mempunyai umur berkisar Oligosen –
Miosen, yang pada peta geologi regional
disebut sebagai Old Andesite Formation
(OAF) pada sisi barat seperti Kulonprogo dan
Godean, serta disebut Mandalika pada bagian
timurnnya. Magmatisme pegunungan selatan
yang kemungkinan serupa dengan Godean
adalah pada umur 11.3 – 17.2 Jtl seperti
Gajahmungkur (Wonogiri), Gunung Ijo
(Kulonprogo) dan Menoreh (Magelang), yang
disertai tahapan mineralisasi pada bagian
fasies pusat erupsinya.
Magmatisme pada Yogyakarta tengah atau
cekungan Yogyakarta, terlihat dari adanya
kompleks batuan beku di daerah Godean
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
berupa intrusi mikrodiorit – andesit porfir,
batuan subvulkanik – lava andesit sampai
dasit, serta setempat dijumpai endapan
piroklastika.
Pada
daerah
lainnya
diinterpretasi adanya vulkanisme yang
menghasilkan batuan andesit di daerah
Banguntapan (Bantul), namun belum ada data
penelitian detil pada daerah ini.
Tipe magmatisme pada daerah Godean inilah,
yang menjadikan faktor utama adanya
mineralisasi pada cekungan Yogyakarta yang
didasarkan pada karakter geokimia batuan,
petrologi, dan keberadaan mineral sekunder.
Geokimia batuan beku pada daerah Godean
ditunjukan dengan magma tipe menengah –
asam (55.0 – 66.9% SiO2), dengan afinitas
kapur alkali dan saturasi peralumina kuat.
Korelasi unsur oksida utama terlihat SiO2
positif terhadap K2O, Na2O, P2O5, dan MnO,
serta negatif terhadap TiO2, Al2O3, Fe2O3, dan
MgO. Batuan beku daerah Godean berupa
andesit basaltik sampai dasit, dengan afinitas
kapur alkali (TAS diagram), dengan
magmatisme sebagai busur gunungapi
(Magmatic Arc) dengan perkiraan kedalaman
benioff zone adalah 101 - 143 km berdasarkan
perhitungan Hutchison (1976) dari data SiO2,
Sr, Rb, dan K2O.
Gambar 2. Data geokimia Kulonprogo (elips merah) dan Godean (elips hijau), (a)
TAS Diagram oleh Le Bas, et al., 1986. dan (b) Diagram ternari diskriminan tataan
tektonik magmatisme oleh Mullen, 1983.
Vulkanisme
pada
daerah
Godean,
diinterpretasi sebagai hadirnya batuan
subvulkanik andesit – dasit dan kubah lava
dasitik pada Gunung Wungkal, yang diikuti
alterasi hidrotermal tipe asam. Interpretasi
berdasarkan kajian data sekunder (geofisika,
struktur, geologi, geokimia) menunjukan
kemungkinan adanya sistem kaldera di daerah
Godean dengan diameter sekitar 15 km,
dimana Kalisongo dan Mujil sebagai related
intrusion yang membentuk gunungapi pada
tepi kaldera, sedangkan Godean adalah bagian
dari gunungapi membentuk intrusi dan kubah
lava berada di dalam kaldera. Konsep kaldera
ini, tentunya masih sangat membutuhkan data
penunjang dan peneliian detil mengenai hal
ini.
Petrologi batuan beku daerah Godean,
menunjukan adanya kehadiran mineral kaya
potassium seperti sanidin dan biotit yang
hadir sebagai fenokris dalam andesit porfir
dan dasit. Hal ini menunjukan bahwa
batholith dari sistem magmatisme daerah
Godean dimungkinan adalah Monzonitik –
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Granodiorit dimana hal ini sedikit berbeda
dengan daerah pegunungan selatan lainnya
yang tidak memiliki komposisi K-Feldspar.
menunjukan adanya tekstur khusus dan
mineralogi penciri pembawa mineralisasi baik
pada batuan intrusi maupun pada batuan
subvulkanik.
Andesit porfir - mikrodiorit
Litologi ini diinterpretasi sebagai
batuan intrusi dangkal sekitar 0.5 – 1 km
dibawah permukaan purba, yang menembus
batuan beku lainnya
seperti diorit,
monzodiorit yang hanya dijumpai sebagai
senolit didalam andesit porfir.
Tekstur batuan ini adalah porfiritik,
dengan fenokris terdiri dari hornblenda,
plagioklas (An 37-45), dan beberapa sanidin
pada masa dasar kristal – kristal berukuran
halus 0.3 – 0.8 mm, yang terdiri dari
plagioklas dan hornblenda. Tekstur batuan ini
porfiritik sampai intersertal, dengan Kristal
tidak mengalami reaksi rim, sehingga
diperkirakan batuan ini merupakan intrusi
yang tidak mengalami pergerakan berarti.
Andesit, dasit hornblenda dan basal
Andesit hornblenda dengan fenokris
32.5% berupa plagioklas (andesin), sanidin,
hornblenda, kuarsa, biotit dan masa dasar
berupa kuarsa, dan kristalit, plagioklas,
hornblenda, gelas vulkanik, mikrolit, serta
terdapat beberapa mineral sekunder seperti
kalsit. Batuan daerah Wungkal sampai juring
telah banyak mengandung sanidin (KFeldspar) sebanyak 10 -15% sebagai fenokris
dan massadasar, yang jika dianalogikan
menjadi batuan plutonik identik dengan
komposisi dari monzodiorit. Keberadaan
biotit dan Fe-Hornblenda menandakan bahwa
magmatisme Wungkal – Juring telah
mengalami fraksinasi kristalisasi dengan ciri
pengkayaan potassium (K) dan terjadinya
reaksi pada pingiran kristal (rim reaction)
berupa pengkayaan sodium pada zoning
plagioklas, perubahan mineral pada kuarsa
dan sanidin, serta adanya retakan terisi
mineral opak. Pada fase akhir magmatisme,
hadir basal berupa terobosan vertikal pada
tubuh dasit. Karakter batuan ini sangat mirip
dengan batuan beku pada daerah Kalisongo,
Kulonprogo.
Pada perhitungan geokimia normatifCIPW, batuan dasit terlihat memiliki 26.10 %
kuarsa, 52.78% plagioklas, dan 11,2 % Kfeldspar, serta 8.4% mineral mafik.
3.4.
Sistem Hidrotermal
Sistem hidrotermal membutuhkan dua
parameter
utama
yaitu
pemanas
(magmatisme) dan sirkulasi air (meteorik,
magmatik)
yang
membentuk
larutan
hidrotermal pada kondisi tertentu. Bentuk dan
karakter cebakan dikontrol oleh 3 hal yaitu
litologi, struktur geologi (sesar), dan breksi
hidrotermal (Sillitoe, 1999). Parameter sistem
hidrotermal utama adalah pH, temperatur, dan
durasi interaksi hidrotermal (Corbett &
Leach, 1997) dimana hal ini akan
menghasilkan alterasi hidrotermal yang
kemudian diikuti sulfidasi mineral logam.
Sistem hidrotermal pada daerah Yogyakarta
bagian tengah, telah terlihat pada daerah
Godean dengan adanya alterasi hidrotermal
kuat pada Gunung Wungkal dan keberadaan
tekstur khusus pada tubuh intrusi, yang
diinterpretasi
sebagai
bagian
transisi
magmatik menuju hidrotermal. Pada daerah
G. Wungkal, alterasi tersebut membentuk
zonasi alterasi cukup luas yang terdiri dari
kaolinit-smektit, smektit-illit, klorit-pirit,
silika-kaolinit, dan kehadiran vein kuarsa
setempat dengan kadar 1.4 ppm Ag, 0.6% S,
482 ppm As, 0.24 ppm Bi, 13.1 ppm Sb,
(unsur Au tidak dilakukan analisa) yang
diinterpretasi sebagai sistem epitermal
sulfidasi rendah.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 3. Mikrofotograf dari mineralogi penyusun batuan dasit di Gunung Wungkal. (a)
Glomero-fenokris berupa sanidin dan plagioklas yang mengalami reaksi berupa pengisian
retakan mineral opak pada kristal sanidin. (b) kuarsa embayment, (c) oscilating-zoning pada
plagioklas. (d) Biotit yang sebagian terubah menjadi klorit, (e) Hornblenda dam k-feldspar
sebagai fenokris, (f) massa dasar berupa kuarsa, mikrolit, kristalit yang sebagian terubah menjadi
klorit – smektit.
Kehadiran sistem hidrotermal di permukaan,
merupakan
implikasi
adanya
sistem
hidrotermal lainnya yang kemunngkinan
tertutup oleh endapan kuarter yang cukup
tebal atau berada dibawah permukaan. Tipe
litologi batuan beku yang mempunyai tekstur
khusus dan mempunyai mineral kaya
potassium, biasanya akan menghasilkan
endapan – endapan mineral cukup baik, selain
faktor lainnya yang mendukung yaitu
keberadaan batuan sedimen yang diterobos
atau berada pada sistem hidrotermal ini.
[a]. Batuan pembawa mineralisasi
Batuan
pembawa
mineralisasi
diinterpretasi adalah batuan beku yang
memiliki satu sistem magmatisme sama
dengan
Godean,
dimana
Godean
diinterpretasi sebagai bagian dari Kaldera
besar di Yogyakarta. Tipe magma kalkalkali, terbentuk pada lingkungan busur
magmatik, dengan batuan beku memiliki
mineral kaya potassium, telah mengalami
fraksinasi kristalisasi mencapai batuan
asam berupa dasit menandakan sistem
magmatisme daerah Godean lebih baik
dibanding daerah regional lainnya di
Pegunungan
Selatan,
yang
telah
dibuktikan adanya endapan mineral tipe
porfiri Cu-Au di Selogiri, dan epitermal
Au di Salaman, Magelang serta Kompleks
vein epitermal di Kokap, Kulon Progo.
Geokimia batuan menunjukan rasio Sr/Y
21.3 dan Y : 11.7 ppm, yang merupakan
bagian dari sistem magma tipe adakitik
pada
normal
magmatisme
busur
kepulauan di jawa tengah (Setiadji, dkk.,
2000)
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Magmatisme
sebagai
pembawa
mineralisasi terdapat pada daerah Godean
yang ditandai dengan banyaknya tekstur
khusus berupa lubang miarolitik, sheeted
veins, dan beberapa magnetit-hematit bleb
serta diikuti dengan pembentukan aplit
monzonit pada beberapa tempat. Tekstur
miarolitik ini banyak dijumpai di dalam
batuan beku Berjo dan Butak, dengan
karakter terisi oleh epidot, kuarsa, dan
feldspar, mineral karbonat serta sedikit
apatit yang juga diikuti mineral opak
(hematit dan magnetit). Tekstur-tekstur
seperti ini merupakan tekstur yang banyak
berkembang pada batuan beku atau
magma yang mengandung banyak volatil
(gas dan larutan), dan biasanya akan
berasosiasi dengan sistem hidrotermal
(Candela, 1997; Johnson, 2014; Kirwin,
2006), yang kemungkinan juga bernilai
ekonomis (Kirwin, 2006). Magmatisme
pembentuk batuan intrusi andesit –
mikrodiorit ini mempunyai fase transisi
menuju hidrotermal dengan suhu 300ºC500ºC berdasarkan keberadaan mineral
epidot dan apatit.
Dengan kondisi magmatisme lebih
mendukung, tentunya mineralisasi akan
berkembang baik di daerah Yogyakarta
tengah, namun saat ini tidak terlihat
karena faktor pembentukan rendahan
Yogyakarta ini. Berdasarkan data
petrologi, maka kemungkinan tipe batuan
intrusi yang hadir sebagai batolit
diperkirakan adalah monzodiorit kuarsa
atau
granodiorit,
dimanan
pada
permukaan membentuk dasit porfir yang
kaya sanidin dan biotit.
Pada bagian selatan Godean dijumpai
batupasir berlaminasi yang diinterpretasi
lebih muda dari batuan intrusi, dan
mempunyai material asal dari Godean.
Analisa petrografi menunjukan batuan ini
berupa batupasir yang kaya mineral mafik
dan opak, dengan derajat kedewasaaan
immature. Jika dilihat dari material
penyusunya, memperlihatkan bahwa
sedimen ini berasal dari rombakan batuan
beku dan vulkanik, dengan mineral mafik
utamanya adalah hornblenda, feldspar
dominan adalah K-feldspar, hal ini
menandalkan bahwa daerah Godean
memang banyak terbentuk oleh batuan
kayak mineral pembawa potassium.
Gambar 3. Mikrograf dari sayatan tipis tekstur miarolitik pada andesit porfir.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 4. Model skematik intrusi dan keberadaan tekstur khasnya pada bagian
atas tubuh oleh Kirwin (2006) dan keterdapatan tekstur khusus di daerah Berjo dan
Butak seperti (a) aplit monzonit, (b) lubang miarolitik, dan (c-d) urat sheeted kuarsafeldspar-magnetit.
Gambar 5. Batuan sedimen yang diinterpretasi hasil rombakan dari batuan beku dan vulkanik
Godean. (a-b) terlihat litik batuan vulkanik yaitu trasitik (sanidin fenokris) dan glass tuff, mineral
biotit dan hornblenda, serta feldspar, (c) penjajaran mineral opak pada batupasir.
[b]. Kontrol struktur
Kontrol struktur geologi terhadap
hidrotermal masih terlihat lokal terdapat pada
sitem hidrotermal di Godean, berupa zonasi
alterasi dan pengarahan urat kuarsa.
Keberadaan
struktur
bawah
permukaan telah diinterpretasi oleh Sudarno
(1999), yang terbagi menjadi 4 pola struktur
di Pegunungan Selatan (Gunung Kidul) yaitu
sesar mengkiri Baratdaya – Timur laut akibat
kompresi oleh subduksi Indo-Australia
selama Eosen – Miosen akhir, pola Utara –
Selatan, sebagian besar berupa sesar
mengkiri, kecuali pada daerah parangtritis dan
bagian barat Pegunungan Selatan, Baratlaut –
Tenggara berupa sesar menganan, sebagai
hasil kompresi Utara Barat laut – Selatan
Tenggara yangberkembang pada Pliosen
akhir, pola Barat – Timur, berupa sesar
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
normal hasil gaya ekstensi utara – selatan
selama Pliosen akhir, dimana tahapan ini
menghasilkan reaktifasi beberapa sesar yang
ada menjadi sesar normal.
Pola sistem hidrotermal dibawah
permukaan, dimungkinkan mengikuti pola –
pola tersebut, terutama pada daerah dengan
sistem gunung api Godean, dan juga
kemungkinan pada sisa sisa gunung api purba
yang belum diketahui secara pasti seperti di
Banguntapan (Bantul).
[c]. Kontrol litologi
Litologi yang dapat menjadi hostrock
mineralisasi diinterpretasi adalah batuan beku
dan vulkanik yang hadir pada sistem
magmatisme di Yogyakarta, ataupun pada
batuan sedimen berumur Eosen - Miosen
seperti Formasi Nanggulan, atau batuan PraTersier yang belum diketahui secara fisik,
namun telah diinterpretasi oleh Winardi, dkk
(2013) terdapat pada kedalaman > 1 km.
Kontrol litologi pada sistem mineralisasi
biasanya terjadi pada batuan sedimen kaya
karbon dan karbonatan, seperti pada endapan
mineral logam emas daerah Messel (Sulawesi
Utara), Sihayo (Sumatera Selatan), dan
beberapa endapan sulfidasi tinggi. Endapan
ini sangat berhubungan dengan adanya intrusi
dibawah permukaan, yang dimungkinkan
hadir sebagai tubuh batolit dan intrusi di
bawah permukaan.
Karaketeristik batuan sedimen pada cekungan
Yogyakarta, diinterpretasi oleh Syafri, dkk.
(2013), dan Winardi, dkk. (2013) sebagai
batuan Paleogen atau Tersier yang setipe
dengan Formasi Nanggulan, yang terdiri dari
batu pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan
batu lempungan dengan konkresi limonit,
batu gamping dan tuff, kaya akan fosil
foraminifera dan moluska dengan ketebalan
300 m (Rahardjo, dkk., 1997), yang terbagi
menjadi Axinea Beds; batupasir, dan
batulempung dengan sisipan lignit yang
semuanya berfasies litoral, memiliki banyak
fosil pelecypoda, Yogyakarta beds : terdiri
dari batulempung yang mengkonkresi nodul,
napal, batulempung, dan batupasir, fosil
foraminifera
besar
dan
gastropoda.
Discocyclina beds terdiri dari batunapal yang
terinteklasi dengan batugamping dan tuf, serta
batuan arkose, dengan fosil discocyclina. Data
regional memperlihatkan hanya terdata
sebagai Formasi Nanggulan yang lebih muda
dari satuan terobosan dasit dan Formasi
Andesit tua (Sulianto, 1996; Rahardjo, dkk,
1995 dalam Winardi, dkk., 2013), yang
disebut sebagai sedimen Paleogen oleh
Pertamina (1998, dalam Winardi, dkk., 2013)
dengan umur perkiraan 58.4 jtl, dengan
ketebalan 1100 m, kedalaman mencapai 3600
m.
Batuan lainnya seperti karbonat (Formasi
Sentolo) tidak diasumsikan sebagai hostrock
karena mempunyai umur lebih muda dari
batuan beku, atau seiringan dengan
pembentukan fasies karbonat dan kegiatan
gunungapi masa lalu (Pandita & Pambudi,
2009), serta banyaknya dijumpai bongkah
batugamping fragmental di atas gunung
Wungkal.
Adapun Pertamina (1998, dalam Winardi,
dkk., 2013) menyebutkan adanya batuan
vulkaniklastik Neogen dan batuan karbonat
dibawah permukaan masih memungkinkan
jika dilakukan penelitian detil bawah
permukaan di sekitar Godean. Batuan
vulkaniklastik dibawah permukaan dapat saja
terbentuk sebagai bagian dari vulkanisme
Godean dan lainnya, yang banyak terpendam
di Yogyakarta.
Reaksi antara sedimen dan intrusi
Kontrol litologi pada sistem mineralisasi
tentunya tidak terlepas dari adanya reaksi
metasomatisme, yang dapat terjadi secara
prograde ataupun retrograde. Litologi batuan
sedimen yang dimungkinan bereaksi adalah
dari anggota Formasi Nanggulan, dimana
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Winardi, dkk. (2013) menyebutkan adanya
peningkatan suhu dengan kenaikan gradien
geotermal sekitar 3-4 ºC/100 m, akibatkan
intrusi Godean.
Reaksi
anggota
adanya
massif
intrusi dasit dan batuan sedimen
Formasi Nanggulan terlihat dari
proses pengisian dan replacement
epidot-aktinolit yang berasosiasi
dengan kuarsa, hematit dan pirit (Gambar 5)
pada beberapa tempat di Gunung Wungkal.
Reaksi metasomatisme ini menandakan
batuan samping bersifat aktif dan reaktif
terhadap magmatisme dan hidrotermal,
sehingga dapat diasumsikan aka nada
mineralisasi dibawah permukaan dengan
kontrol utama litologi.
Gambar 5. Kontak dasit dan batupasir anggota Fotmasi Nanggulan, dan terlihat beberapa proses
metasomatisme dan pembentukan mineral hidrotermal massif pada lubang dan retakan batuan.
Kondisi singkapan lapuk kuat dan merata. (a) Singkapan bentuk kontak batuan, (b) epidotaktinolit massif, (c-d) epidot-klorit pada lubang batuan, (e-f) petrografi sampel b, terlihat epidot
dominan, dan beberapa aktinolit, serta kuarsa hidrotermal, (g) petrogradi sampel b, terlihat
mineral opak, yang diinterpretasi hematit – pirit.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
[d]. Perkiraan umur dan kesamaan sistem
regional
Perkiraan waktu mineralisasi, didasarkan
adanya magmatisme di Godean dengan umur
perkiraan Oligo-Miosen seumur dengan
Formasi Andesit Tua (Rahardjo, dkk., 1997)
atau dengan umur intrusi 28.5 jtl (Pertamina,
1998
dalam
Winardi, dkk.,
2013).
Magmatisme regional daerah pegunungan
selatan memiliki karakteristik kisaran umur
yang berbeda pada setiap fase kristalisasi
magmanya seperti pada daerah Kulon Progo
tercatat adanya umur relatif 47.5 jtl – 8.1 jtl
atau di Gadjah Mungkur dari 21.7 jtl – 9.6 jtl
(Gambar 6). Kisaran umur Godean dan intrusi
lainnya di bagian Yogyakarta tengah belum
banyak data, namun dapat diinterpretasi
sebagai pola yang sama dengan lainnya.
Umur mineralisasi tipe hidrotermal pada
sabuk banda, menurut Setiadji, dkk., (2006)
berasosiasi dengan vulkanisme berumur
panjang di Jawa pada Oligosen - Miosen akhir
(59.1 %), dan Pliosen (29.1%), seperti Kubah
Bayah (Miosen - Pliosen), Ciemas (Miosen),
Kulon Progo (Oligosen – Miosen atas),
Pacitan (Oligosen- Miosen atas) dan
Merubetiri (Oligosen- Miosen atas). Pada
sector Jawa bagian barat mineralisasi emas
tipe epitermal terbentuk pada 1.7 jtl (Cirotan)
sampai 2.4 jtl (Cikidang).
Gambar 6. Peta interpretasi gunungapi purba daerah Pegunungan Selatan Jawa (modifikasi
dari Hartono, 2010; Bronto, 2010), dan umur relatif batuan beku (SoeriaAtmadja, et al.1994;
Sutanto, et al. 1994; Saefudin, 1994; Hartono, 2000; Soesilo, 2003; Smyth, et al. 2003;
Sutanto, 2004; Smyth, et al. 2005; Ngkoimani, 2005; Surono, 2006; Akmaluddin, et al. 2005;
Setijadji, et al. 2006; Surono, 2008; Harjanto, 2008; Smyth, et al. 2008; Setijadji &
Watanabe, 2009; dalam Hartono, 2010).
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
4.
Kesimpulan dan Diskusi
Tipe
endapan
yang
memungkinkan
bterbentuk pada daerah Yogyakarta bagian
tengah adalah yang berasosiasi dengan busur
magmatik (Magmatic Arc), yang berasosiasi
dengan tubuh intrusi seperti porfiri Cu-Au,
Skarn, Sediment-hosted Au, dan beberapa tipe
endapan epitermal. Hal ini didasarkan atas
karakteristik magma yang hadir pada daerah
Godean yang berafinitas low-medium KAlkali seperti magmatisme batuhijau (Idrus,
2005) dan Selogiri (Sutarto, dkk., 2014),
memiliki >10% mineral kaya potassium (seri
K-Feldspar, biotit), serta dengan rasio Sr/Y
sebesar 21.3, rasio Rb/K sebesar 1.93,
Na2O+K2O tinggi (< 6.01), dengan rasio
K2O/Na2O rendah (<0.4), yang umumnya
berpotensi membentuk tipe porfiri dan
asosiasinya (Setiadji, dkk., 2006)
5. Saran
Tulisan ini hanya ingin menunjukan adanya
potensi mineralisasi dari keterbatasan data
yang ada. Pemikiran awal ini diharapkan
dapat mengundang pemikiran lainnya yang
diikuti penelitian detil mengenai hal ini,
termasuk didalamnya adanya sebagai bahan
kekayaan
ilmu
pengetahuan
geologi,
khususnya magmatisme dan mineralisasi
masa lalu di Yogyakarta. Penelitian
permukaan dan bawah permukaan dibutuhkan
menjawab fenomena alam di Yogyakarta,
yang
juga
dapat
digunakan
untuk
kemaslahatan lingkungan dan sosial.
Ucapan Terimakasih
Tulisan ini merupakan buah pikir dari
perkerjaan bersama beberapa mahasiswa dan
dosen di lingkungan STTNAS, sehingga
penulis mengucapakan terimakasih kepada
Agung Romadhon, Irdan Syafaat, Mulyan
Pratama, Adri M Taher, Wirawan atas
kerjasama dan sampel, serta STTNAS atas
pendanaan
dilakukan.
atas
penelitian
yang
telah
Daftar Pustaka
Bronto, S., Ratdomopurbo, A., Asmoro, P.,
Adityarini, M., 2014, Longsoran
Raksasa
Gunung
Api
Merapi
Yogyakarta - Jawa Tengah Gigantic
Landslides Of Merapi Volcano,
Yogyakarta - Central Java, Jurnal
Geologi Sumberdaya Mineral, vol. 15,
hal 165 – 183, No.4.
Barianto, D., H., Aboud E., Setijadji, L., D.,
2009, Structural Analysis using
Landsat TM, Gravity Data, and
Paleontological Data from Tertiary
Rocks in Yogyakarta, Indonesia,
Memoirs
of
the
Faculty of
Engineering, Kyushu University,
Vol.69, No.2, June 2009
Einaudi, M. T., Hedenquist, J. W., & Inan, E.
E. (2003). Sulfidation state of fluids in
active and extinct hydrothermal
systems: transitions from porphyry to
epithermal environments. Special
Publication-Society of Economic
Geologists, 10, 285-314.
Grant, J., A., 2005, Isocon Analysis : A Brief
review of the method and applications,
Journal Physics and chemistry of the
earth 30 (2005), p. 997-1004.
Hartono, G., 2000, Studi Gunung api Tersier:
Sebaran Pusat erupsi dan Petrologi di
Pegunungan Selatan Yogyakarta.
Tesis S2, ITB, 168 p, tidak
diterbitkan.
Hedenquist, J. W., Arribas, A., & GonzalezUrien, E. (2000). Exploration for
epithermal gold deposits. Reviews in
Economic Geology, 13(2), 45-77.
Idrus, A. (2005) Petrology, geochemistry and
compositional changes of diagnostic
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
hydrothermal minerals within the Batu
Hijau porphyry copper-gold deposit.
Sumbawa island, Indonesia. Doctor
dissertation. RWTH Aachen. 352p.
Johnson, T., (2014). Mineralogy and Genesis
of Miarolitic Cavities in Altered
Andesitic Dikes on West S..panish
Peak, Colorado, USA, Undergraduate
Honors
Theses.
Paper
124.
http://scholar.colorado.edu/
Kirwin, D., J., (2006), Unidirectional
Solidification Solidification Textures,
Miarolitic Cavities And Orbicles :
Field Evidence For The Magmatic To
Hydrothermal Transition In Intrusion
In Intrusion Related Mineral Deposits,
SEEGF Conference 2006, SE Europe
Foundation.
Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen,
A. & Zanettin, B., 1986. A Chemical
Classification Of Volcanic Rocks
Based On The Total Alkali – Silica
Diagram. Journal Of Petrology.
Oxford. Vol.27, p.745–750.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi,
(1997),
Peta
Geologi
Lembar
Yogyakarta, PSG, Bandung
Sillitoe, R. H. (2010). Porphyry copper
systems. Economic Geology, 105(1),
3-41.
Sudarno, Ign., Kendali tektonik terhadap
pembentukan struktur pada batuan
Paleogen dan Neogen di Pegunungan
Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta
dan sekitarnya., Thesis S2, Intitut
Teknologi Bandung, 1999.
Setijadji, D.L., Kajino, S., Imai, A., dan
Watanabe, K., 2006, Cenozoic Island
Arc Magmatism in Java Island (Sunda
Arc,
Indonesia):
Clues
on
Relationships between Geodynamics
of Volcanic Centers and Ore
Mineralization, Journal of Resources
Geology vol.56, no.3, pp. 267-292
Setijadji, D.L., Maryono, A., 2012, Geology
and Arc Magmatism of the Eastern
Sunda Arc, Indonesia, Proceeding
BESA 2012, MGEI Convention.
Syafri, I., Budiadi, E., Sudrajat, A., 2013,
Geotectonic Configuration of Kulon
Progo Area, Yogyakarta. Indonesian
Journal of Geology, Vol. 8, No. 4, p
185-190.
Smyth, H., Hall, R., Hamilto, J., Kinny, P.,
2005, East Java Cenozoic Basins,
Volcanoes and Ancient Basement,
Proceeding, Indonesia Petroleum
Association
Winardi, S., Toha, B., Imron, M., Amijaya,
D., H., 2013, The Potential of Eocene
Shale of Nanggulan Formation as a
Hydrocarbon Source Rock,Indonesian
Journal of Geology, Vol. 8, No. 1, p
13-23.
Verdiansyah, O., Studi Karakteristik dan
Genesa Mineral Lempung Gunung
Wungkal,
Godean,
Yogyakarta,
Laporan penelitian STTNAS, 2016,
tidak dipublikasikan.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Download