2 2.1 Tinjauan Pustaka Hidrasi dan Hidrolisis Ion dalam Pelarut Di alam ini tidak semua elemen selalu terdapat dalam bentuk bebas. Ada juga yang terdapat sebagai apa yang disebut dengan ion. Sama halnya dengan elemen dalam bentuk yang lebih kompleks (senyawa), ion ini juga memiliki sifat fisik dan kimia di mana karakteristik tersebut akan menentukan bagaimana interaksi yang terjadi antara ion dengan pelarutnya, terutama terhadap air dan komponen senyawa lainnya. Salah satu bentuk ion yang ada dalam senyawa adalah kation di mana spesi ini memiliki muatan parsial positif. Kation tersebut dapat berinteraksi dengan pelarut melalui berbagai mekanisme, bergantung kepada sifat fisik dan sifat-sifat lainnya. Interaksi tersebut bisa rumit, bisa juga sederhana. Pada umumnya yang paling banyak disoroti adalah interaksi dengan pelarut air. Bagaimana mekanisme interaksi dengan pelarut air ini berlangsung secara tidak langsung dapat digunakan sebagai acuan dasar mekanisme interaksi kation dengan pelarut bukan air. 2.1.1 Hidrasi Kation Hidrasi merupakan proses bergabungnya molekul air disertai dengan bergabungnya molekulmolekul tersebut membentuk solut. Secara termodinamika, kalor hidrasi selalu bernilai negatif karena energi yang dibutuhkan untuk memisahkan molekul air tersebut jauh melampaui energi yang dilepas ketika ion bergabung dengan molekul air. Reaksi yang terjadi antara ion dan pelarut air ini akan menghasilkan ion hidrat. Ion hidrat ini merupakan hasil konsekuensi dari sifat polar molekul air. Karena atom oksigen pada molekul air lebih elektronegatif dibanding dengan atom hidrogen maka tiap ikatan H-O akan lebih kovalen polar dimana ikatan elektron yang terlibat menjadi lebih dekat ke arah atom oksigen daripada atom hidrogen sehingga atom oksigen akan sangat negatif oleh awan elektron yang mendekat sedangkan atom hidrogen sebaliknya akan sangat positif. Hal inilah yang menyebabkan mengapa bentuk molekul air tidak linear karena disebabkan adanya tarikan elektron (muatan parsial) ke arah oksigen dan ke arah hidrogen. 4 Gambar 2.1 Kulit hidrasi pada larutan ion Adanya perbedaan orientasi awan elektron mengakibatkan muatan yang berlawanan tanda akan saling tarik menarik sehingga spesi kation akan dikelilingi oleh spesi air, dengan atom oksigen menghapit kation ke arah dalam. Sebaliknya, spesi anion akan dikelilingi oleh molekul hidrogen ke arah dalam. Kedua jenis ion yang dikelilingi inilah yang disebut dengan ion hidrat. Gambar 2.2 Hidrat kation Adanya antaraksi dari muatan yang berbeda disebabkan oleh tarikan yang kuat. Besarnya antaraksi ini dapat kita deskripsikan sebagai suatu besaran energi yang sering disebut dengan energi hidrasi kation. Besarnya energi hidrasi ini bergantung pada muatan, jari-jari kation (berdasarkan hukum Coulomb) serta keelektronegatifan dari spesi tersebut. Latimer memberikan suatu perumusan untuk menggambarkan seberapa besar energi hidrasi ini (15) Persamaan 2.1 Dengan Z adalah besarnya muatan kation dan r jari-jari kation (pm). Parameter keelektronegatifan memang tidak masuk ke dalam rumusan diatas akan tetapi menurut azas Pauling nilai keelektronegatifan yang lebih besar dari 1.5 (sebelah kanan tabel periodik) 5 menunjukkan nilai energi hidrasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ion yang ada disebelah kiri tabel periodik. Selain faktor di atas (muatan, jari-jari dan keelektronegatifan) ada juga faktor lainnya seperti formasi dari ikatan kovalen yang terjadi akibat adanya pasangan elektron yang tidak tersebar merata oleh molekul air tetapi oleh spesi ion menjadi tersebar. 2.1.2 Hidrolisis Kation Adanya interaksi antara ion logam dengan ujung negatif dari molekul air yang sangat kuat akan mempengaruhi molekul air secara langsung karena pasangan elektron yang tidak tersebar dari molekul air akan tertarik mendekat ke arah ion logam sedangkan ikatan H-O akan lebih tertarik ke arah atom oksigen sebagai akibat adanya pengurangan densitas elektron. Akibatnya ujung hidrogen pada salah satu molekul air yang terikat ke ion logam akan putus. Hal ini dapat berlangsung secara terus menerus sedemikian sehingga spesi H2O yang lepas akan bergabung dengan molekul pelarut membentuk ion hidronium dan menghasilkan spesi hidroksi untuk berikatan dengan logam (hidroksi kation). Secara singkat dapat dituliskan sebagai : [ M ( H 2 O)]Z + + H 2O → [ M ( H 2 ) 5 (OH )]Z −1 + H 3O + Spesi hidroksi kation ini dapat terbentuk dengan cara polimerisasi melalui pengurangan dua atau lebih molekul H2O sekaligus menghasilkan spesi okso kation. z[ M ( aq ) (OH ) ( z −1)+ → M (OH ) z ( S ) + ( z − 1)[ M ( aq ) ] z + Pada umumnya nilai tetapan kesetimbangan untuk persamaan reaksi diatas bernilai sekitar 10-5.6 (hal ini menunjukkan bahwa rentang nilai pH untuk spesi M(OH)z tidak begitu besar sehingga akan mempercepat pembentukan hidroksi logam). Persamaan nya dapat dituliskan sebagai : 5.6 ⎛1⎞ pH = pKa − ⎜ ⎟ log[ M z + ] − z ⎝z⎠ di mana semakin kecil nilai pKa ion logam maka semakin sedikit jumlah basa yang diperlukan hidroksi logam untuk terpresipitasi. Hal ini menyebabkan besarnya konsentrasi dari ion logam memiliki efek yang sama seperti hal nya pH pada asam basa. Pada kasus tertentu hidroksi logam ini dapat mengalami pengurangan spesi air menghasilkan oksida yang tidak larut. z M (OH ) z ( S ) → MOz / 2( S ) + H 2 O 2 6 Namun terbentuknya spesi MO (metal oksida) ini sangat sulit diperkirakan kapan terjadinya karena dalam prakteknya sulit untuk membedakan mana yang merupakan hidroksida dan mana yang hidroksida yang mengendap. Akan tetapi jika interaksi antara logam dengan pasangan elektron oksigen kuat, spesi hidroksi akan yang terikat pada logam akan kembali kehilangan atom H membentuk ion hidronium. Demikian juga dengan hidroksi logam yang terbentuk, spesi ini akan bersifat asam okso lemah yang selanjutnya dapat terionisasi membentuk okso anion. Rumitnya proses hidrolisis tersebut memberi gambaran bahwa interaksi antara muatan positif logam dengan molekul air selama proses pembentukan oksida berlangsung akan menghasilkan beberapa spesi lain sebagai produk. Ringkasan mekanisme reaksi hidrolisis di atas dapat dilihat dari gambar 2.3 di bawah ini. Gambar 2.3 Mekanisme hidrolisis kation(15) 2.2 Struktur dan Sifat Fisik Kristal Titanium Dioksida Strutur kristal TiO2 dapat terdiri dari anatase, rutil, dan brookite. Di alam anatase bentuk fisiknya berupa bongkahan kecil dan cenderung terisolasi serta jumlahnya sangat minim jika dibandingkan dengan struktur rutil dan brookite. Simetrinya berupa delapan simetri tetragonal dipiramida di mana hal ini cukup bisa digunakan sebagai patokan untuk membedakan antara stuktur anatase dengan struktur lainnya. Sepintas bongkahan kristalnya kelihatan seperti piramida ganda yang ujungnya runcing di kedua sisi. Pada temperatur yang tinggi struktur anatase akan berubah menjadi struktur rutil. Struktur rutil sedikit berbeda dengan anatase di mana rutil memiliki beberapa simetri oktahedral yang saling berikatan 7 membentuk rantai yang tersusun menjadi empat lipatan simetri. Untuk beberapa aplikasi, rutil paling banyak digunakan karena memiliki sifat fisik yang unik, misalnya berkilau, keras dan tahan terhadap fenomena korosi. Lain halnya dengan brookite, srtuktur ini memiliki simetri yang polimorf dan akan berubah menjadi rutil pada temperatur sekitar 750 0C. Secara umum struktur ini tidak jauh berbeda dengan rutil dan anatase dalam hal massa jenis dan tingkat kekerasan. 2.2.1 Struktur Rutil Sebagian besar dioksida logam transisi mengkristal dengan struktur rutil walaupun dalam beberapa bahan struktur ini mengalami distorsi. Struktur rutil digambarkan pada gambar 2.4, sel satuan rutil adalah tetragonal dengan atom-atom logam terletak pada sudut-sudutnya dan sel satuannya bersifat primitif. Koordinasi sekitar ion logam mendekati oktahedral tetapi jarak logam terhadap 4 ion oksida berbeda dengan jarak logam terhadap 2 ion oksida lainnya yang digambarkan sebagai unit sel tetragonal dengan nilai a = 4,594; c = 2,958 Ǻ, grup ruang: P42/ mnm (1 3 6) dengan koordinat atom terdiri dari Ti di 2(a) pada (0,0,0), (1/2,1/2,1/2) dan O di 4(f) pada (x,x,0), (1/2+x, 1/2-x,1/2), (1/2-x, 1/2+x,1/2). Seperti halnya pada struktur perovskit, posisi Ti biasanya sudah hampir pasti terletak di sudut-sudut dan pusat badan sedangkan atom O memiliki beberapa kemungkinan variabel parameter, di mana nilai x ditentukan melalui eksperimen. Nilai x berkisar 0,3 untuk TiO2. Struktur rutil dari TiO2 ini juga pada umumnya dapat digambarkan sebagai suatu distorsi barisan oksida heksagonal tertutup dengan setengah dari oktahedral diduduki oleh atom Ti. Sedangkan panjang ikatan TiO2 dapat dihitung secara grafik berdasarkan geometrinya. Misal untuk ikatan Ti-O dengan Ti pada (1/2,1/2,1/2) dan oksigen pada (0.3, 0.3,0). Adanya perbedaan perlakuan temperatur atau parameter lain tentu saja akan menghasilkan struktur dan morfologi yang berbeda-beda pula. Selanjutnya penentuan bilangan koordinasi dari atom-atom, yaitu pusat badan Ti pada (1/2, 1/2,1/2) akan terkoordinasi secara oktahedral dengan 6 atom oksigen di mana 4 di antaranya adalah : 2 atom pada 0 dan 2 pada 1 dan di atasnya 2 pada 0, yang keseluruhannya koplanar terhadap atom Ti. 2 oksigen pada z = ½ kolinier dengan Ti dan akan membentuk aksis yang oktahedron. Ti yang di sudut juga kohedral tetapi punya orientasi yang berbeda. Untuk atom oksigen terkoordinasi trigonal dengan 3 atom Ti yang ada di sudut, pusat badan, dan pusat badan dari sel yang ada di bawahnya. Di alam rutil merupakan bentuk TiO2 yang bisa ditemukan dengan mudah di mana komposisinya dapat mengandung unsur besi hingga 100 %. Rutil diserap dari bahasa Latin yaitu rutilus yang berarti “merah” di mana dalam bentuk bebasnya TiO2 ini berwarna agak 8 kemerahan yang menyala. Itulah sebabnya struktur ini memiliki sifat bias dan dispersi yang tinggi. Secara struktur, rutil TiO2 berbentuk polimorf yang memiliki volume molekular paling kecil dari kedua bentuk polimorf lainnya, yaitu anatase dan brookit. Tabel 2.1 Sifat kristalografi dan fisik struktur rutil TiO2(16) KRISTALOGRAFI NILAI Rasio Aksial A : c = 1: 0,634 Dimensi Sel a = 4,594; c = 2,958; Z = 2; V = 62,43 Sistem Kristal Tetragonal - Ditetragonal Dipiramida Difrakasi Sinar - X I/Io = 3,245 (1); 1,687 (0,5); 2,489 (0,41) SIFAT FISIK KETERANGAN Bidang Kristal [110] jelas merah, kebiru-biruan, kuning kecoklatan, Warna ungu Kerapatan 4,25 Tingkat kekerasan, Hardness 6 - 6,5 Ortoklase-pirit Tingkat Kilauan, Luster adamantine Warna Lapisan, streak abu Sifat Luminisens tidak ada 9 Gambar 2.4 Struktur rutil kristal TiO2 (a) oktahedral, (b) ball and stick Berkaitan dengan kestabilan permukaan, secara termodinamika, rutil memiliki kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan anatase (ΔG0f untuk rutil adalah -212,6 kkal mol-1 sedangkan ΔG0f untuk anatase adalah -211,4 kkal mol-1)(9). Bentuk rutil memiliki perbedaan celah energi sebesar 3,05 eV. 2.2.2 Struktur Anatase Anatase merupakan salah satu bentuk dari kristal TiO2 di alam. Jenis ini terdapat dalam bentuk padatan kecil yang secara struktur berbentuk tetragonal dengan simetri yang hampir sama seperti rutil. Meskipun demikian, antara kedua jenis mineral ini besar sudut antarmukanya tidak sama kecuali untuk zona prisma pada daerah 450 dan 900. Sifat kristal anatase ini membentuk delapan tetragonal dipiramid berpusat badan. Pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 915 0C) akan berubah secara otomatis menjadi struktur yang rutil(7). Tabel 2.2 Sifat kristalografi dan fisik struktur anatase TiO2(17) KRISTALOGRAFI NILAI Rasio Aksial a : c = 1 : 2,50725 Dimensi Sel a = 3,793; c = 9,52; Z = 4; V = 136,82 Sistem Kristal teragonal - ditetragonal dipiramida Difrakasi Sinar - X I/Io = 3,51 (1); 1,891 (0,33), 2,379 (0,22) 10 SIFAT FISIK KETERANGAN Bidang Kristal [101] sempurna, [001] nyata Warna hitam, kuning, biru gelap, abu-abu Kerapatan 3,9 Tingkat kekerasan, Hardness 5,5 - 6 knife blade-orthoclase Tingkat Kilauan, Luster adamantine - resinous Warna Lapisan, streak putih kuning Sifat Luminisens tidak ada Gambar 2.5 Struktur rutil kristal TiO2 (a) oktahedral, (b) ball and stick 2.2.3 Sifat Fotokatalis Oksida Logam Sifat fotokatalis merupakan salah satu sifat penting yang terdapat pada senyawa oksida logam seperti. Suatu oksida logam yang berfungsi sebagai fotokatalis dapat berperan sebagai reduktor ataupun oksidator bergantung pada besarnya energi celah yang dimiliki oleh oksida itu sendiri. Peran sebagai oksidator atau reduktor suatu fotokatalis inilah yang nantinya dapat diaplikasikan kepada beberapa hal seperti proses degradasi senyawa berwarna atau senyawa organik sebagai polutan. Mekanisme fotokatalis dari oksida logam pada umumnya berlangsung dalam beberapa tahap bergantung kepada jenis oksida logam yang digunakan. 11 2.2.3.1 Fotokatalisis Katalis merupakan suatu zat yang dapat mempengaruhi laju reaksi tanpa muncul sebagai produk reaksi. Selain itu juga, katalis adalah sejumlah kecil sistem yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu rute reaksi alternatif yang memberikan laju reaksi yang lebih cepat. Berdasarkan kesamaan fasanya dengan reaktan, katalis dibagi menjadi dua kelas, yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen memiliki fasa yang sama dengan reaktan. Pada umumnya, katalis ini berupa larutan atau campuran. Sedangkan katalis heterogen memiliki fasa yang berbeda dengan reaktan. Contohnya adalah TiO2 yang pada saat ini banyak digunakan sebagai katalis dalam pengolahan limbah warna. Fotokatalis merupakan salah satu katalis yang bekerja apabila diberi cahaya tertentu. Pada umumnya, fotokatalis merupakan suatu semikonduktor yang memiliki pita valensi penuh dan pita konduksi kosong. Contohnya adalah TiO2, CdS, ZnS, SrTiO3, MoS2, dan Fe2O3. Bila semikonduktor tersebut disinari dengan panjang gelombang tertentu, maka elektron (e-) dari pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi dan menghasilkan suatu lubang positif (h+) pada pita valensi. Setelah itu akan dapat terjadi dua langkah lanjutan akibat terbentuknya pasangan lubang-elektron tersebut, yaitu terjadi transformasi energi termal atau reaksi dengan akseptor elektron atau donor elektron, yakni terjadi reaksi dari sebagian pasangan elektron dan lubang tadi dengan zat kimia lain pada permukaan. 2.2.3.2 Mekanisme Fotokatalisis dengan Menggunakan TiO2 Titanium dioksida dapat digunakan sebagai fotokatalis karena merupakan semikonduktor yang memiliki celah energi yang cocok untuk membantu beberapa reaksi kimia. Salah satunya adalah untuk mendegradasi limbah organik. Celah energi pada TiO2 dapat mengakibatkan padatan ini mengabsorpsi radiasi elektromagnet pada daerah ultraviolet (UV). Ketika TiO2 menerima radiasi energi yang lebih besar daripada celah energinya, yaitu 3,2 eV untuk anatase dan 3,0 eV untuk rutil, maka elektron pada pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi sehingga dihasilkan lubang positif (h+) pada pita valensi. Pada awalnya fotokatalis TiO2 akan tereksitasi ketika dikenai cahaya dengan panjang gelombang sekitar 380 nm dan selanjutnya zat berwarna akan tereksitasi dalam suatu proses yang dikenal dengan fotosensitivitasi bila dikenai cahaya di sekitar daerah sinar tampak dan kemudian mendonorkan elektronnya pada fotokatalis TiO2 sebagai proses awal dalam degradasi. Pada mekanisme pertama, foton dengan energi sebesar hv melampaui celah energi dari semikonduktor TiO2 (~3,2 eV) atau di sekitar panjang gelombang antara 380-400 nm menyebabkan sebuah elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi dan 12 meninggalkan sebuah lubang hvb pada pita valensi. Elektron yang tereksitasi pada pita konduksi dan lubang yang terdapat pada pita valensi dapat bergabung kembali dan mengubah input energi menjadi panas atau terperangkap pada permukaan metastabil. Atau bisa pula gabungan elektron yang diadsorpsi pada permukaan semikonduktor atau di sekitar medan listrik muatan partikel. Pada gambar 2.6 diberikan beberapa tahap mekanisme fotokimia(18), yaitu : Absorpsi foton dan pasangan elektron – lubang serta migrasi elektron dan lubang, (1) dan (2) merupakan proses rekombinasi elektron – lubang pada permukaan, (3) reduksi akseptor elektron, (4) oksidasi donor elektron. Absorpsi energi foton sebesar hv mengakibatkan elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi sehingga mengakibatkan transfer elektron ke molekul oksigen membentuk ion radikal superoksida (*O2-) dan transfer elektron dari molekul air ke lubang pita valensi membentuk radikal hidroksil (*OH). Gambar 2.6 Mekanisme awal kerja oksida logam sebagai fotokatalis Bila elektron yang cocok atau lubang scavanger tidak tersedia, penyimpanan energi tidak terjadi dan akan terjadi penggabungan lubang – elektron dalam waktu sekitar nanodetik. Jika scavanger ini cocok atau permukaan cacatnya memungkinkan untuk menjebak elektron atau lubang, maka penggabungan dapat dicegah dan reaksi redoks dapat terjadi. Kekuatan oksidasi dari lubang pada pita valensi dimanfaatkan untuk mengoksidasi senyawa organik, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk mencegah kenaikan muatan elektron yang akan mereduksi spesi yang kemudian akan tereduksi di lingkungannya. Selain digunakan untuk mendegradasi senyawa berwarna pada limbah organik, TiO2 juga dapat digunakan untuk memproduksi gas hidrogen dari metanol(10). Laju pembentukan hidrogen akan meningkat ketika permukaan TiO2 di-doping oleh suatu logam yang berfungsi sebagai katoda. Dalam beberapa penelitian, permukaan TiO2 akan di-doping oleh Ag sebagai katoda. Siklus reaksi produksi hidrogen melalui fotokatalitik metanol oleh TiO2 yang didoping oleh katoda Ag. Metanol yang terserap pada permukaan Ag akan terdehidrogenasi menghasilkan gas hidrogen dan karbon monoksida yang terserap dengan kuat pada permukaan katalis. Hal tersebut menyebabkan reaksi berhenti. Namun, energi yang diserap 13 oleh fotokatalis TiO2 cukup untuk menghasilkan spesi oksigen yang reaktif yang dapat mengoksidasi gas CO menjadi gas CO2 yang tidak teradsorp oleh permukaan katalis. Dengan tersedianya kembali permukaan tersebut, maka reaksi akan terulang kembali. Reaksi ini akan terus terjadi membentuk siklus seperti pada gambar 2.7 berikut ini : Gambar 2.7 Siklus reaksi fotokatalitik metanol menjadi gas hidrogen 2.2.4 Struktur dan Energi Celah pada Semikonduktor Suatu fotokatalis dapat berperan sebagai reduktor maupun sebagai oksidator. Hal ini bergantung pada besarnya celah energi yang dimiliki semikonduktor tersebut dan jenis spesi yang akan dioksidasi atau direduksi(9). Pada gambar berikut diberikan celah energi berbagai semikonduktor dan hubungannya dengan potensial reduksi terhadap elektroda hidrogen standar. Terlihat beberapa semikonduktor mampu mereduksi H+ ataupun mengoksidasi H2O pada kondisi standar. -2,0 ZnS -1,0 0,0 1,0 2,0 CdS CdTe CdSe SrTiO3TiO2 3,6 3,2 3,0 eV eV eV 2, 4e 1,4 eV Si MoS2 1,7 1,3 WO 3 Fe2O3 eV eV 1,7 5e 2,8 2,3 eV eV 3,0 Gambar 2.8 Besarnya energi celah pada suatu semikonduktor(10) 14 Apabila inti atom dianggap sebagai matahari dalam pusat tata surya kita, maka dapat kita analogikan bahwa elektron akan berputar mengelilingi inti atom. Hal ini sesuai dengan Hukum Niels Bohr yang mengatakan bahwa inti elektron akan bergerak mengelilingi inti dengan lintasan (orbit) yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat energi masing-masing elektron. Seberapa banyak elektron yang dapat mengelilingi inti atom adalah terbatas. Elektron yang terletak pada orbital paling luar disebut elektron valensi yang nantinya berperan dalam pembentukan ikatan antar atom. Apabila terdapat beberapa elektron yang akan saling bergabung, maka besarnya energi elektron pada masing-masing orbital akan berbaur. Namun bila beberapa ikatan atom bertambah maka besarnya energi elektron tersebut akan kontiniu dengan interval yang tidak terbatas. Interval ini menunjukkan adanya suatu besaran yang disebut dengan pita energi di mana daerah di antara dua pita energi tertentu tidak terdapat energi elektron sama sekali yang sering disebut sebagai “forbidden band” atau pita terlarang. Di antara pita energi yang terisi elektron (biasanya orbital elektron yang paling jauh dari inti atom) tingkat energi paling tinggi mengacu kepada pita valensi dan pita yang berada di luar itu disebut dengan pita konduksi. Perbedaan energi pada pita terlarang antara pita konduksi dan pita valensi disebut dengan celah energi atau “band gap”. Celah energi dapat dianalogikan sebagai sebuah tembok dimana elektron harus terlebih dahulu loncat melewati tembok tersebut untuk dapat bebas. Seberapa besar energi yang dibutuhkan disebut dengan energi celah pita di mana hanya elektron yang mampu menembus dinding dan dapat masuk ke dalam pita konduksi yang dapat bergerak bebas. Gambar 2.9 Struktur pita energi celah TiO2 Bila dilakukan penyinaran pada TiO2 yang rutil dan anatase pada panjang gelombang dibawah 318 dan 413 nm maka elektron pada pita valensi akan naik ke pita konduksi. Pada 15 waktu yang bersamaan dengan itu pula lubang-lubang positif terbentuk sebanyak jumlah elektron dapat berpindah ke pita konduksi. 2.2.5 Energi dan Sifat Cahaya Efek Cahaya pada TiO2 Semikonduktor yang terdiri dari atom yang berbeda, bentuk pita valensi dan pita konduksi sangat rumit tapi pada prinsipnya adalah sama. Sebagai contoh pita valensi untuk TiO2 yang terbentuk dari orbital 2p atom oksigen (O) sedangkan pita konduksi dibentuk oleh orbital 3d dari atom Ti. Semikonduktor yang memiliki celah energi yang besar menyebabkan elektron tidak dapat berpindah ke pita konduksi. Namun hal ini bisa terjadi bila ada tambahan energi dari luar sistem. Proses ini sering disebut dengan eksitasi elektron. Akibatnya akan terbentuk lubang-lubang elektron sebanyak elektron yang tereksitasi ke pita konduksi pada pita valensi. Hal ini sejalan dengan perpindahan elektron dari orbital ikatan ke orbital anti ikatan. Dengan kata lain tingkat fotoeksitasi pada semikonduktor secara umum dapat dikatakan tidak stabil dan ada kemungkinan untuk gagal ditengah-tengah. Untuk TiO2 hal ini bisa diminimalkan karena kristal TiO2 ini relatif stabil meskipun loncatan elektron terjadi. Sifat inilah yang menyebabkan mengapa TiO2 memiliki sifat fotokatalis yang baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana dan seberapa besar struktur pita dapat mempengaruhi reaksi fotokatalitik pada semikonduktor : 1. Besarnya energi celah pita 2. Posisi elektron paling rendah pada pita konduksi 3. Posisi elektron paling tinggi pada pita valensi Pada reaksi fotokatalitik, seberapa besar energi celah dan posisi elektron tertinggi pada pita valensi akan sangat menentukan bagaimana reaksi fotokatalitik tersebut berlangsung. Dan hal ini bisa digunakan untuk menentukan seberapa besar kekuatan dekomposisi oksidasi dari TiO2 yang digunakan sebagai fotokatalis. 2.3 Metode Sintesis Padatan Oksida Metode yang paling banyak digunakan untuk sintesis bahan anorganik mengikuti rute yang hampir universal dimana sintesis melibatkan pemanasan berbagai komponen pada temperatur tinggi selama periode yang relatif lama. Reaksi ini melibatkan pemanasan campuran dua atau lebih padatan untuk membentuk produk yang juga berupa padatan. Dalam prakteknya banyak hal yang harus diperhatikan sebelum memilih metode yang tepat untuk melakukan sintesis. 16 Salah satu faktor yang bisa dijadikan dasar pemilihan sintesis adalah laju difusi. Ketika berbicara mengenai laju berarti mengacu kepada kecepatan reaksi atau laju reaksi. Biasanya orang lebih memilih metode yang bisa menghasilkan laju yang besar. Untuk mendapatkan laju yang besar diperlukan suatu konstanta difusi yang bernilai lebih besar dari 10-12 cm2/s dimana konstanta ini akan naik dengan bertambahnya nilai temperatur. Selain mempertimbangkan faktor-faktor di atas, teknik preparasi juga berperan penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Misalnya pemilihan pereaksi yang tepat, pengubahan terlebih dahulu campuran reaksi menjadi pelet atau memilih wadah yang tepat untuk berlangsungnya reaksi. 2.3.1 Sintesis dengan Metode Hidrotermal Metode hidrotermal adalah metode sintesis dengan memanaskan larutan yang bereaksi dalam ruang tertutup di atas titik didihnya(10). Pada umumnya, proses kristalisasi berjalan lambat, namun dapat dipercepat dengan menggunakan metode hidrotermal. Metode hidrotermal juga dapat digunakan untuk mengatasi rendahnya tingkat kelarutan beberapa garam anorganik. Tetapi tidak semua garam anorganik dapat larut di dalam air atau pelarut organik lainnya. Dengan menggunakan tekanan yang lebih tinggi, masalah kelarutan ini biasanya dapat diatasi. Istilah hidrotermal berasal dari bidang ilmu geologi dan pertama kali digunakan oleh seorang ahli geologi berkebangsaan Inggris bernama Sir Roderick Murchison (1792-1871). Istilah ini menggambarkan perilaku air pada temperatur dan tekanan tinggi yang membawa perubahan pada lapisan kerak bumi dan mengarah pada pembentukan berbagai macam batuan dan mineral. Maka, reaksi hidrotermal dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi kimia heterogen dalam suatu larutan (air/non air) di atas temperatur ruangan dan tekanan 1 atm dalam suatu sistem tertutup. Keadaan hidrotermal memiliki sifat fisik yang spesifik, solvasi yang tinggi, tekanan yang tinggi, dan transpor massa pelarut. Oleh karena itu, pada keadaan ini dapat diharapkan terjadinya beberapa reaksi yang sukar terjadi pada keadaan biasa. Teknik hidrotermal memberikan beberapa keuntungan, antara lain: 1. Cakupan daerah kerja temperatur dan tekanan yang luas. 2. Memungkinkan dilakukannya sintesis berbagai senyawa yang memiliki bilangan oksidasi yang sulit diperoleh. 3. Memungkinkan dilakukannya sintesis senyawa metastabil. 17 4. Sistem yang tertutup dan gradien temperatur yang rendah pada teknik hidrotermal menyebabkan senyawa yang diperoleh memiliki kemurnian yang tinggi, ukuran yang besar, dan dislokasi yang minimum. 5. Memungkinkan dilakukannya sintesis berbagai fasa senyawa pada temperatur rendah. 6. Dapat digunakan beragam sumber senyawa dalam berbagai fasa sebagai reaktan. Untuk skala laboratorium, sistem ini dibuat dengan menggunakan suatu bom/autoclave yang terbuat dari baja tahan karat untuk menahan tekanan dan temperatur tinggi, sedangkan tempat terjadinya reaksi digunakan suatu wadah yang terbuat dari teflon yang bersifat inert. 2.3.2 Sintesis dengan Metode Temperatur Rendah Metode sintesis pada dengan cara hidrotermal diaplikasikan untuk sebagian besar reaksi padatan dalam hal pembentukan struktur baru dari reaktan-reaktannya. Pembentukan susunan ion atau ikatan akan membutuhkan energi yang besar untuk memutuskan ikatan sehingga memerlukan temperatur yang relatif tinggi seperti umumnya reaksi kimia padatan. Oleh karena itu dikembangkan suatu metode yang hampir sama hanya temperatur sintesis dapat ditekan serendah mungkin atau berada sedikit di atas temperatur kamar yang melibatkan modifikasi struktur suatu material. Adapun reaksi yang terjadi akan mengakibatkan perubahan dalam hal interkalasi insersi yakni suatu ion atau molekul ditambahkan pada suatu senyawa namun struktur awal dari senyawa yang dimasukan tidak mengalami perubahan atau penukaran ion. Reaksi temperatur rendah sering disebut juga dengan reaksi Chimie Douce dilakukan pada kondisi temperatur yang moderat yaitu sekitar 500 0C(10). Reaksi jenis ini termasuk ke dalam reaksi topotaktik dimana struktur unsur-unsur reaktan dipertahankan dalam produknya. Contoh teknik yang sering dilakukan adalah interkalasi dan pertukaran ion. Interkalasi melibatkan penyisipan ion-ion ke dalam struktur yang telah ada dan akan menyebabkan reduksi pada senyawa awal naik itu dengan penambahan anion (mengakibatkan oksidasi) atau penambahan kation (mengakibatkan reduksi). Biasanya teknik ini dilakukan pada padatan yang strukturnya berlapis-lapis (memiliki ikatan kovalen atau Van der Waals). Sebagai contoh yang mudah ditemui adalah lempung, grafit dan dikalkogen. Reaksi interkalasi dapat dilakukan secara elektrokimia atau melalui reaksi kimia menggunakan teknik n-butyl Li TiS2 + n-Bu-Li → LiTiS2 18 Reaksi pertukaran ion melibatkan pertukaran muatan sebagai akibat dari kation-kation yang terikat secara ionik. Pertukaran ion yang paling mudah terjadi adalah pada kation-kation monovalen. Contoh : LiNbWO6 + H3O+ → HnbWO6 + Li+ Cubic-KSbO3 + Na+ → Cubic-NaSbO3 + K+ Metode temperatur rendah ini berguna untuk memodifikasi struktur elektronik dari padatan, merancang senyawa metastabil baru, dan membuat bahan-bahan reaktif yang memiliki luas permukaan yang relatif besar yang dapat diaplikasikan sebagai katalis heterogen, baterai, dan sensor. Namun dari keseluruhan metode sintesis temperatur rendah ini terdapat beberapa kekurangan yaitu sukar mencari prekursor yang sesuai dan produk metastabil sering tidak stabil dan dalam praktek aplikasinya membutuhkan temperatur yang tinggi atau kristal tunggal. 2.4 Efek Medan Listrik dalam Proses Pertumbuhan Kristal Oksida Logam Dalam beberapa penelitian telah dilakukan suatu pengembangan metode baru dalam hal pemberian efek medan listrik terhadap permukaan oksida logam. Dari teori yang telah ada dikatakan bahwa pemberian arus listrik dapat mengakibatkan perubahan dalam hal energi bebas dari suatu sistem kristal dalam fasa larutan(6). Efek ini akan lebih kelihatan jika diaplikasikan pada molekul dengan ukuran yang lebih besar. Perubahan lain yang juga sangat mendasar adalah terjadinya transformasi fasa, pembentukan inti ataupun orientasi pertumbuhan kristal. Pemberian arus sebesar 1 kV pada permukaan kabel logam yang tipis (sekitar 1 mm diatas substrat sepanjang 14 mm) akan menghasilkan suatu distribusi listrik pada permukaan sebesar 4500 V cm-1 pada bagian kabel sebelah kiri dan sekitar 50 V cm-1 pada bagian kabel yang sebelah kanan dari substrat. Kristalinitas dari oksida logam juga akan mempengaruhi secara luar biasa apabila selama film tipis oksida logam tersebut dideposisi dan diberikan tambahan medan listrik sebesar + 100 V cm-1. Biasanya efek penambahan medan listrik ini akan mendapat respon yang baik apabila struktur dari oksida logam yang bersangkutan berbentuk asimetris sehingga memungkinkan adanya suatu polarisasi yang kuat sepanjang sumbu c. Hal ini sudah diteliti pada kristal ZnO di mana dari struktur tersebut adanya pemisahan antara bagian polar dan non polar mengakibatkan apabila kristal ZnO ini mudah untuk mengalami perubahan posisi atom-atom nya akibat penambahan medan listrik. 19 Gambar 2.10 Skematik struktur kristal ZnO dalam keadaan terpolarisasi Namun efek penambahan medan listrik ini bergantung kepada beberapa hal yang berkaitan dengan sifat fisik dan kimia oksida logam yang bersangkutan, misalnya pada oksida logam ZnO, apakah atom Zn atau atom O yang berada di atas suatu permukaan akan mempengaruhi efek medan listrik yang diberikan. Secara sederhana bagaimana medan listrik dapat diberikan pada permukaan oksida logam adalah sebagai berikut : Penambahan medan listrik ini dilakukan pada saat proses deposisi dilakukan. Kabel logam tipis diletakkan diatas suatu substrat yang kesemuanya berada dalam suatu sistem pembangkit laser deposisi. Karena plasma yang dihasilkan dari sumber laser sangat konduktif, maka kabel logam tadi diselubungi dengan alumina terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya hubungan singkat arus listrik antara kabel dengan substrat dalam lingkungan plasma tersebut. Selanjutnya, karena kabel listrik tipis tersebut diletakkan di atas sebelah kiri dari substrat, maka medan listrik yang diberikan akan berkurang dari sebelah kiri ke kanan. Oleh karena itu suatu struktur tertentu dari oksida logam yang terbentuk dalam pengaruh medan listrik akan terjadi. Dari penelitian dalam oksida logam ZnO didapatkan hasil di mana dengan pemberian tegangan tinggi sebesar 1 kV ke permukaan kabel logam tipis tersebut akan memberikan rentang medan listrik/area sebesar 4500 V cm-1 di sebelah kiri kabel dan 50V cm-1 di sebelah kanan kabel. Skema alat dan rentang medan listrik yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 2.11. 20 Gambar 2.11 Skema alat PLD (Plasma Laser Deposition) beserta sumber medan listrik Gambar 2.12 Efek medan listrik pada substrat ZnO (4500-50 V cm-1 sepanjang c-aksis) 2.5 Karakterisasi dengan Menggunakan Difraksi Sinar-X Analisis struktur suatu padatan dapat dilakukan dengan menggunakan metode difraksi sinarX, dengan mengacu kepada fakta bahwa gelombang dapat mengalami fenomena difraksi pada saat berinteraksi dengan sistem yang mempunyai kisi atau celah sesuai dengan panjang gelombang sinar yang ditembakkan. Panjang gelombang sinar-X sekitar 10-10 m, serupa dengan jarak antar atom dalam padatan kristalin, sehingga, sinar-X dapat digunakan untuk menentukan struktur padatan kristalin. Hubungan antara panjang gelombang (λ), orde difraksi (n), jarak antar bidang kisi (d) dan sudut difraksi (θ) diungkapkan dalam persamaan Bragg berikut: nλ = 2d sinθ (2.2) 21 2.6 Penentuan Morfologi Permukaan Padatan Oksida dengan Menggunakan Metode Scanning Electron Microscopy (SEM) Sanning Electron Microscopy atau SEM merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan untuk melihat partikel-partikel yang berukuran mikro. Biasanya mikroskop ini menggunakan rangkaian untuk membelokkan gelombang cahaya dan menghasilkan suatu gambaran yang diperbesar dengan perbesaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mikroskop biasa karena alat ini menggunakan elektron berenergi tinggi sebagai pengganti gelombang cahaya. Gambaran yang diperoleh dari instrumen ini berupa gambaran hitam-putih karena tidak adanya gelombang cahaya. Sampel ditembakkan dengan berkas elektron berenergi tinggi sehingga menghasilkan pantulan elektron dengan energi yang lebih rendah. Elektron inilah yang akan menentukan gambaran morfologi permukaan sampel. Sebelum proses penembakan elektron dilakukan, biasanya sampel dilapisi dengan emas tipis menggunakan alat sputtering guna mencegah terjadinya kerusakan struktur akibat penembakan dengan elektron berenergi tinggi 2.7 Penentuan Absorbansi dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet Pengukuran absorbansi atau serapan pada rentang daerah ultraviolet dan sinar tampak secara umum digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dari suatu spesi kimia. Mekanisme yang terjadi berlangsung dalam dua tahap yaitu eksitasi elektron akibat adanya absorpsi foton ( M + hv = M* ) dan dilanjutkan dengan relaksasi yang merubah M* menjadi spesi baru dengan reaksi fotokimia(12). Proses absorpsi dalam daerah ultraviolet dan sinar tampak ini menyebabkan eksitasi elektron pada ikatan dalam suatu molekul, di mana puncak absorbansi (pada panjang gelombang maksimum) dipengaruhi secara langsung oleh jenis ikatan yang ada dalam spesi tertentu. Dalam keperluan analisis kualitatif spektroskopi absorpsi ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi gugus fungsi dalam suatu molekul, sedangkan analisis kuantitatif besarnya asorbansi dapat digunakan untuk menentukan besarnya konsentrasi spesi di dalam suatu sistem. Spesi yang dapat melakukan absorpsi biasanya meliputi elektron phi (π), sigma (σ), dan n pada golongan s (dalam sistem periodik unsur), elektron d dan f, dan transfer muatan elektron. Untuk elektron phi (π), sigma (σ), dan n-elektron, jenis transisi yang terjadi meliputi molekul-molekul organik dan sebagian kecil anion anorganik. Eektron dari molekul-molekul yang akan mengabsorpsi meliputi elektron yang digunakan pada ikatan antara atom-atom dan elektron non-bonding atau elektron yang tidak berpasangan yang pada umumnya terdelokalisasi. Molekul ini mengabsorpsi energi radiasi karena adanya eksitasi dari elektron valensi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Proses absorpsi ini biasanya berlangsung pada 22 panjang gelombang 180-185 nm. Untuk senyawa tertentu jenis transisinya pun akan spesifik sesuai dengan jenis transisi yang terjadi dalam molekul tersebut. Absorpsi yang melibatkan elektron d dan f pada unsur-unsur golongan logam transisi akan mengabsorpsi pada daerah panjang gelombang sinar tampak. Spesi dari golongan d akan mengalami transisi dari orbital 3d dan 4d yang memiliki pita yang lebar dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang mengelilinya. Transisi logam golongan f memiliki puncak yang sempit karena interaksi elektron-elektron pada orbital 4f ataupun 5f (untuk golongan lantanida dan aktanida) mengalami efek screening orbital dalam dari pengaruh luar. Khusus untuk logam transisi, sifat spektrum yang teramati sangat dipengaruhi oleh transisi elekronik antara tingkat-tingkat energi pada orbital d. Hal ini dapat dipelajari lebih lanjut dengan menggunakan Teori Medan Kristal (Crystal Field Theory, CFT) di mana dalam teori ini dijelaskan bagaimanan splitting dalam orbital d logam transisi dapat terjadi. Besarnya splitting ini sangat dipengaruhi oleh spesi kimia lain yang terikat pada atom pusat. Nantinya didapat suatu deret gugus fungsi yang menggambarkan posisi puncak absorpsi untuk berbagai jenis kompleks. Selain kedua jenis transisi yang telah disebutkan sebelumnya, ada juga spektrum absorpsi muncul akibat transfer muatan. Proses transfer muatan ini dapat terjadi apabila suatu senyawa terdiri dari elektron donor dan elektron akseptor sehingga transfer elektron dapat terjadi dan menghasilkan suatu absorpsi radiasi. Karena transfer elektron memerlukan energi yang lebih kecil, maka suatu senyawa akan mengabsorpsi pada panjang gelombang yang lebih kecil. Dalam kompleks logam transisi, setiap atom pusat akan bertindak sebagai akseptor elektron. Setiap keadaan yang mengakibatkan perpidahan elektron dari suatu orbital ke orbital lainnya dalam suatu senyawa merupakan indikasi penting dalam melakukan karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet. 23