185 Tindak Pidana Lingkungan Prof. Dr. Daud Silalahi, S.H., M.H. Tindak Pidana Lingkungan Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia A. Pendahuluan Sistem hukum lingkungan mencakup rejim hukum administrasi negara, hukum perdata, hukum pidana dan hukum internasional melalui perjanjian internasional yang telah diratifikasi pemerintah dari negara yang bersangkutan. Secara ekologis berdasarkan prinsip-prinsip hukum pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat holistik, dalam praktek tidak dengan mudah memisahkan aspek hukum yang satu dengan aspek hukum lainnya berdasarkan lokasi kejadian yang tunduk pada hukum alam berdasarkan konsep ekoregion yang tidak bertindih secara bersamaan. Oleh karena itu, ukuran secara wajar (reasonable) mengenai lingkup terjadinya dampak lingkungan baik positif maupun negatif sangat tergantung pada peran ilmu sebagai model analisis ilmiah seperti penerapan AMDAL dalam sistem perizinan, penetapan kriteria ilmiah tentang baku kerusakan lingkungan dan baku mutu lingkungan, analisis risiko lingkungan (ecological risk assessment atau ERA). PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 186 Dampak lingkungan dapat berupa penurunan kualitas lingkungan (mutu lingkungan pada saat terjadinya peristiwa) yang menjadi dasar pembentukan baku mutu lingkungan, sehingga dampaknya secara hukum disebut pencemaran lingkungan dan perusakan fungsi lingkunga atau perusakan lingkungan diukur dari dapat kembali (reversible) atau tidak dapat kembali (irreversible) fungsi lingkungan hidupnya sesuai dengan peruntukannya. Pada tahap ini dampaknya secara hukum disebut ‘perusakan lingkungan’ atau ‘eco-crime’. Dari sudut pandang keahlian, perusakan fungsi lingkungan yang masih dapat dipulihkan (reversible) seperti: hutan bakau (mangrove) dan terumbu karang (coralreefs) yang tercemar sehingga fungsinya dalam budidaya perikanan terganggu, bilamana masih dapat dipulihkan masih dikategorikan sebagai pencemaran dan dapat dikenakan hukum perdata. Besarnya pengaruh ilmu dan teknologi disertai dengan makin majunya model analisis risiko lingkungan membawa pengaruh pada peran hakim sebagai pembentuk hukum baru, termasuk pengertian tindak pidana lingkungan dilihat dari makin pentingnya peran ahli untuk memberikan argumentasi kausa yang cermat secara ilmiah untuk mengukur dampak atau perusakan lingkungan dibidang hukum pidana lingkungan. Berdasarkan laporan berbagai lembaga penelitian dan kajian para ahli serta pengalaman para pengusaha di bidang angkutan dan industri meningkatnya risiko lingkungan sebagai ongkos produksi merupakan pengaruh yang sangat signifikan pula dari perubahan iklim terhadap kegiatan usaha dalam pembentukan hukum pidana baru. Atas dasar PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 187 ini, kesadaran akan pentingnya difahami implikasi dari perubahan iklim terhadap risiko lingkungan, termasuk pidana lingkungan perlu mendapat perhatian. B. Tindak Pidana Lingkungan Dalam Sistem Hukum Lingkungan Uraian tentang tindak pidana lingkungan dilihat dari berbagai sudut pandang ilmu hukum. Pertama: dari sudut prinsip hukum, khususnya hukum lingkungan terkait dengan penerapan asas subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum pidana dalam sengketa lingkungan wajib memberikan jurisdiksi primer (primary jurisdiction) pada hukum administrasi negara dengan alasan (legal reasoning) bahwa terjadi tidaknya perusakan lingkungan sangat tergantung pada alat ukur teknis dan ilmiah (syarat-syarat) pemberian izin kegiatan oleh instansi yang berwenang yang memiliki keahlian menilai secara teknis dan ilmiah kelayakan lingkungan SPLH’ yang pada kegiatan yang berdampak penting didasarkan pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL; Kedua: apakah dampak lingkungan bersifat dapat dipulihkan (reversible) atau tidak dapat dipulihkan (irreversible) seperti contoh di atas tentang pencemaran hutan bakau dari tumpahan minyak dari kapal. Bilamana fungsi lingkungan ekosistem mangrove seperti tempat pembiakan ikan tidak dapat lagi berfungsi sebagai lazimnya, maka dapat dikategorikan telah terjadi perusakan (fungsi) lingkungan dan oleh karenannya dapat diartikan sebagai tindak pidana lingkungan (eco-crime); Ketiga: karena tindak pidana umumnya dilakukan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 188 oleh perusahaan besar, termasuk perusahaan multinasional, tindak pidana lingkungan dapat mengancam keberlanjutan peran pelaku bisnis dalam pembangunan/pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, di berbagai negara, terutama negara yang mulai tumbuh menjadi negara maju, sanksi pidana yang maksimum 5 tahun dapat diselesaikan dengan mekanisme negosiasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi. Atas alasan di atas makin maju suatu negara, dan makin tinggi kesadaran lingkungan masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung mengurangi peran tindak pidana dalam sistem penegakan hukum lingkungan. Keempat: keterlibatan ilmu lingkungan dan teknis lingkungan pada proses pembuktian, pengetahuan hakim diharapkan tidak terbatas pada ilmu hukum, juga memperhatikan pengertian ilmu-ilmu lain seperti: ekonomi, kimia, geologi terhadap longsor akibat pembalakan liar (illegal logging). Rusaknya hutan bakau (mangrove) yang menyebabkan rusaknya fungsi mangrove sebagai tempat budidaya ikan, dan risiko lingkungan karena perubahan iklim, seperti rusaknya produksi pertanian dan sebagainya. Kelima: proyek-proyek pembangunan yang tidak sesuai dengan studi kelayakan serta mutu konstruksi bangunan (engineering design) yang menimbulkan risiko lingkungan pada pihak ketiga telah membawa perkembangan baru dibidang pidana lingkungan dilihat dari tingkat bahayanya pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan uraian di atas telah dapat diperlihatkan dengan jelas, bahwa dengan meningkatnya peran ilmu dan teknologi dalam pembentukan hukum baru, maka peran undang-undang sebagai sumber hukum utama akan menghadapi tantangan terhadap PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 189 kebutuhan hukum baru, sehingga pembentukan hukum baru melalui putusan pengadilan (case law), termasuk hukum pidana lingkungan didasarkan makin penting. Agar hal ini dapat dilakukan secara sistematis dan menyeluruh, peran hakim dibidang tindak pidana lingkungan juga harus didukung oleh proses penyidikan yang baik dan profesional dalam sistem penegakan hukum lingkungan terpadu (one roof of integrated crimal law enforcement system) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang penyidikan, yaitu POLRI dan Kejaksaan Agung, dan Kementerian Lingkungan yang bertanggung jawab terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dibidang sengketa lingkungan (lihat, “Pedoman Teknis Yudisial Penanganan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup”, oleh Kejaksaan Agung RI dan Kementerian Lingkungan Hidup tentang model spesifik sistem segi-tiga Terpadu Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup (Triangle integrated environmental Criminal Justice System), Tahun 2003). C. Masalah Tanggung Jawab Dan Pemulihan Lingkungan Secara hukum bentuk tanggung jawab lingkungan dapat digolongkan kedalam tanggung jawab perdata (civil liability) dan tanggung jawab publik (state responsibility). Meskipun dalam prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional lebih menekankan tanggung jawab negara (state responsibility), namun dalam pelaksanaan hukum, tanggung jawab publik (negara) tidak mudah dirumuskan secara operasional, sehingga dalam praktek prinsip tanggung jawab negara yang walaupun doktrinnya PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 190 secara hukum kuat, tanggung jawab negara ini cenderung ditransformasikan menjadi tangggung jawab korporasi melalui instrumen ekonomi yang mudah dirumuskan secara hukum keperdataan. Dilihat dari bentuk tanggung jawab perdata (civil law liability) atas tiga tipe, yaitu: 1. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based ), seperti pasal 1365 KUH Perdata/BW; 2. Tangggung jawab mutlak (strict liability) seperti yang dianut pada pasal 88 UU no. 32 Tahun 2009 dan tanggung jawab penuh (absolute liability), seperti pada pencemaran laut dalam hal “accident occurred as a result of the actual fault or privity of the owner” (Komar Kantaatmadja, 1981). Dilihat dari perusakan fungsi lingkungan secara hukum publik, dalam arti besarnya ganti rugi diterjemahkan ke dalam biaya pemulihan lingkungan, yang meliputi: biaya penelitian, tenaga ahli, penggunaan bahan-bahan kimia, seperti: dispersant, penyewaan alat-alat penanggulangan pencemaran (boom), dan analisis laboratorium terhadap sampel hukum sebagai alat bukti ilmiah (Showa Maru Case, 1975). Masalah lingkungan dan sumberdaya alam secara internasional lebih menekankan tanggung jawab negara (public law), sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. Sebagaimana dijelaskan di atas dengan terdapatnya kesulitan dalam praktek, tanggung jawab publik atau tanggung jawab negara ini umumnya diterjemahkan kedalam rumusan yang bersifat operasional. Oleh karena itu, terdapat kecenderungan dalam sistem hukum lingkungan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 191 tanggung jawab ini didelegasikan menjadi tanggung jawab korporasi, termasuk pidana korporasi (corporate crime) Hal ini telah diatur dengan tegas pada psl 114-120 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. D. Peran Hukum Alam Dan Ilmu Dalam Pembentukan Ketentuan Hukum Lingkungan Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar hukum lingkungan di berbagai negara, sumber hukum lingkungan terutama berasal dari hukum alam (the rule of nature), seperti: hukum termodinamika terhadap pencemaran dari penggunaan energi, hukum gravitasi terhadap terjadinya longsor, banjir, dan sebagainya) dan ilmu yang menjadi alat ukur dampaknya, seperti: penerapan AMDAL sebagai analisis ongkos dan manfaat suatu rencana kegiatan. Sebagai konsekwensi peran ilmu dalam kajian dampak secara hukum maka proses pembuktian terhadap peristiwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan sangat sulit dibuktikan tanpa klarifikasi atau verifikasi ilmiah (scientific verification, Minamata case, Jepang, 1971) dari para ahli yang bersangkutan. Hal ini merupakan alasan dikeluarkannya keputusan bersama tentang prosedur pelaksanaan penyidikan kasus lingkungan berdasarkan prinsip keterpaduan tiga lembaga proses penyidikan tindak pidana lingkungan oleh Kepolisian RI, kejaksaan Agung, dan Kementerian Lingkungan pada tahun 2004, yaitu meliputi unsur kepolisian sebagai penyidik, unsur keahlian/ahli untuk melakukan verifikasi ilmiah alat bukti ilmiah (sampel hukum) dan instansi PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 192 teknis melakukan veifikasi persyaratan teknis dalam sistem perizinan lingkungan, seperti: peran AMDAL dalam sistem perizinan. Banyak kasus lingkungan terjadi dengan mempersoalkan AMDAL sebagai dasar izin kegiatan, yang dalam proses pembuktiannya melibatkan berbagai ahli terkait dengan berbagai ilmu lain, seperti: hidrologi, geologi, ekologi dan teknologi lingkungan. E. Peran Hakim Dalam Pembentukan Ketentuan Hukum Lingkungan Baru Implikasi dari pengaruh analisis ilmiah dari sistem perizinan, seperti: studi AMDAL, dan verifikasi ilmiah dari saksi ahli di pengadilan terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Pada kegiatan pembangunan dan bisnis yang menggunakan teknologi tinggi, pengertian hukum dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya telah dirasakan ketinggalan jauh dari pengertian ilmu pengetahuan baru yang menyertainya. Akibatnya, terdapat jurang yang makin besar di antara pengertian hukum tertulis (UU, PP dan Perda) dengan pengertian yang berkembang dalam praktek tentang arti dan bentuk hak kebendaan (property rights) terkait dengan disain, standar dan unsur-unsur lainnya dari konstruksi, bangunan, kemasan barang dagang yang dipersoalkan dari peristiwa perbuatan melawan hukum yang terjadi pada kasus lingkungan, seperti pencemaran oleh limbah B3 sebagai hasil proses produksi termasuk angkutan, pengumpulan dan penyimpanan yang mengandung bahan-bahan kimia yang bersifat toksis dan risiko tinggi serta penggunaan alatalat baru yang berkembang dipasar. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 193 Oleh karena itu, sesuai dengan klausula dalam undangundang tentang kekuasaan kehakiman yang memberikan wewenang pada hakim melakukan pembentukan hukum baru (case law) berdasarkan perkembangan ilmu dan teknologi, maka peran hakim dalam pembentukan hukum baru yang paling aseptabel dan sesuai dengan tuntutan pasar dalam perspektif ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan sangat penting. Model kajian ilmiah terhadap hubungan kausal antara tindak pidana lingkungan karena pencemaran dan akibatnya yang menyebabkan bahaya pada pihak lain (korban) hanya dapat difahami secara ilmiah yang membutuhkan verifikasi ilmiah oleh ahli dihadapan hakim. Hal ini untuk memperkuat ‘legal reasoning’ bagi pertimbangan hakim dengan argumentasi yang meyakinkan. Hal ini membawa kita pada pernyataan Holmes, bahwa “The life of the law has not been logic; it has been experience”. Oleh karena itu, “a legal system should make some adjustment to the orders of reason and reality”. Meskiupun demikian suatu putusan hakim dikatakan haruslah logis, dapat diterima akal sehat. (logical decision, O.W. Holmes, “The common law”, 1963). F. Penegakan Hukum Lingkungan Dan Proses Pelaksanaannya Berdasarkan kepustakaan hukum lingkungan modern, sistem penegakan hukum lingkungan meliputi: a) rejim hukum administrasi negara pada tahap pemantauan penaatan hukum (compliance monitoring) dan b) rejim hukum penegakan hukum lingkungan dari segi hukum PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 194 perdata danpidana lingkungan melalui proses peradilan (rex judicat, court proceeding) pada ‘law enforecement procedure’. Sistem hukum lingkungan menyebutnya sebagai yurisdiksi primer (primary jurisdiction) mendahului jurisdiksi peradilan (rex judicata). Doktrin inilah yang mengharuskan diterapkannya asas subsidiaritas pada penegakan hukum lingkungan yang dianut dalam UULH Amerika Serikat, tahun 1970 (EPA-USA, 1970). Artinya, dalam penyelesaian sengketa lingkungan, terdapat keharusan untuk memberikan peran utama dan pertama pada fungsi hukum administrasi negara kepada instansi yang memberikan izin kegiatan bertalian dengan syaratsyarat teknis-ilmiah (a.l. a)berdasarkan AMDAL, BML, AMRIL/ERA dan Proper, dsb) yang ditetapkan oleh instansi tersebut, sebelum tahap penyidikan dan proses pembuktian dalam sistem peradilan dilakukan. b)Pada tahap proses pembuktian dalam sistem peradilan juga mengharuskan adanya tahap verifikasi ilmiah terhadap alat-alat bukti teknis dan ilmiah, meliputi tingkat akurasi pengambilan, pengemasan dan penyimpanan sampel hukum (legal sample) yang diambil dari peristiwa pencemaran. Agar ‘legal sample’ ini dianggap sahih (valid) sebagai alat bukti pada proses ‘penelitian dan penyidikan’. Juga dilakukan analisis ilmiah melalui pengujian laboratorium hukum (legal laboratory) oleh ahli yang berkompeten, sesuai dengan Panduan Teknis (Protocol, EPA-USA) berdasarkan ,a.l. Peraturan/Keputusan Menteri Lingkungan Hidup atau Peraturan/Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota. Dengan asas subsidiaritas sebagaimana telah diadopsi melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 195 Lingkungan Hidup, kegiatan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakan tindakan hukum sebagai berikut: 1. Aparat yang berwenang menjatuhkan sanksi administratif sudah menindak pelaku dengan menjatuhkan suatu sanksi administratif, tetapi tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau, 2. Antara perusahaanyang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah/perdamaian/ negosiasi/mediasi, namun upaya yang dilakukan jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan dapat dimulai/instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup dapat digunakan. Kedua syarat asas subsidiariatas dalam bentuk upaya tersebut diatas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi syarat/kondisi tersebut di bawah ini: 1. Tingkat kesalahan pelaku relatif berat; 2. Akibat perbuatannya relatif besar; 3. Perbuatan pelanggaran menimbulkan keresahan masyarakat Untuk mencegah tindakan sepihak terhadap syarat/ kondisi yang mengecualikan asas subsidiaritas (unfairness), diperlukan kesepakatan diantara pihak penyidik/Penuntut Umum, pernyataan pejabat instansi teknis/sektoral tentang tindakan sanksi administratif dan pimpinan pemerintah daerah. Demikian pula halnya dengan kualifikasi saksi PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 196 ahli dalam proses pembuktian agar memenuhi fungsinya sebagai yang berkompeten melakukan verifiksi ilmiah terhadap sampel hukum dan analisis laboratorium hukum berdasarkkan prinsip-prinsip dan metode ilmiah yang sahih (valid).Dengan uraian di atas, prinsip ultimum remedium pada tindak pidana lingkungan dianut secara tegas. G. Beberapa Komentar Dan Pokok Bahasan Dalam Diskusi Kasus Pengertian tindak pidana lingkungan berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan (case law), dilakukan melalui proses pembuktian dengan verifikasi ilmiah, peran dan kualifikasi saksi akhli (expert witness) di pengadilan dalam memberikan paparan sampel hukum dan hasil pengujian oleh laboratorim hukum untuk mendukung dalil hukum; membangun logika dalam putusan di pengadilan (model simulasi, model deskripsi ke preskripsi dalam perkembangnya): daya artikulasi saksi ahli menerjemahkan hasil analisis untuk membantu argumentasi hukum kepada majelis hakim di pengadilan (dalam proses pembuktian berdasarkan verifikasi ilmiah agar menjamin validitas alat bukti secara ilmiah). Bedah kasus sengketa lingkungan lingkungan atas Putusan PN Manado tentang PT Newmont MNR pada Tahun 2006 tentang tindak pidana lingkungan meliputi: 1. Keterkaitan antara pidana lingkungan dengan hukum administrasi negara terhadap pelaksanaan asas subsidiaritas di pengadilan; 2. Penerapan delik korporasi atau pidana korporasi (corporate crime); PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 3. 4. 5. 197 Masalah perizinan terkait dengan surat Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal no. B-1456/ BAPEDAL/o7/2000 tanggal 11 Juli 2000 ditujukan kepada PT NMR perihal Pembuangan Limbah Tailing ke Teluk Buyat dalam bentuk surat izin deklartif, dimana tidak ada sanksi bilamana surat tersebut tidak dilaksanakan dengan bunyi, antara lain, “diperkenankan PT NMR membuang....”. Artinya diperkenankan membuang limbah meskipun sebenarnya dilarang membuang ke laut tanpa izin. Pertanyaannya, apakah ‘surat izin deklaratif’ tanpa disertai sanksi dapat dikenakan pidana lingkungan? Surat izin deklaratif dengan tujuan a.l. melakukan ‘ecological risk assessment’ (ERA) yang pada saat kasus diajukan mengadilan belum mempunyai landasan hukum. ERA diatur sebagai instrumen ‘analisis Risiko Lingkungan Hidup’ pada pasal 47 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memuat: 1) pengkajian risiko; 2) pengelolaan risiko; dan/atau komunikasi risiko. Selain itu, pada saat kasus ini diajukan ke Pengadilan Negeri di Manado, dokumen laporan PROPER PT NMR dinyatakan memperoleh kualifikasi sertifikat hijau. Keterkaitan di antara UU LH no. 4 Tahun 1982, UU No. 23 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH beserta ketentuan pelaksanaannya dan peran ketentuan peralihannya. Pendapat para pakar: a.l. 1) prosedur pidana sebagai prosedur pamungkas (ultimum remedium); 2) sanksi PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 198 6. 7. 8. 9. pidana sebagai sanksi alternatif (tidak perlu terlebih dahulu menjatuhkan sanksi-sanksi lain); 3)sanksi pidana sebagai sanksi kumulatif (dengan sanksi-sanksi lain); 4) sanksi pidana sebagai sanksi alternatif yang berdiri sendiri, artnya penggunaan prosedur sanksi pidana tidak dihubungkan dengan dengan sanksi cabang hukum yang lain. Tetapi ditambahkan bahwa prosedur pidana ditempuh apabila memenuhi syarat baik alternatif maupun kumulatif terkait dengan tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatan pelaku relatif besar dan/atau perbuatan pelaku menimbulkan keresahan masyarakat. Prof. Muladi, dengan meningkatnya kualitas kejahatan lingkungann hidup tindak pidana lingkungan bersifat independen sesuai dengan pasal 41-42 dan tindak pidana dependent pada ketentuan administratif berdasarkan pasal 43-44 UU No. 23 Tahun 1997 Prof. Dr. Indriyanto Senoadji, SH, Prof. Dr. Kusnadi Hardjasoemantri dan Prof. Dr. M. Daud Silalahi lebih berpegang pada asas subsidiaritas dalam sistem hukum lingkungann hidup sebagaimana dianut dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang PPLH Pendapat Majelis hakim PN Menado Tahun 2006: tidak terbukti secara sah bersalah melakukan tindakm pidana lingkungan. Pokok bahasan tentang dipenuhinya syarat/kondisi tentang: a. tingkat kesalahan pelaku relatif berat; b. akibat perbuatannya relatif berat; dan c. perbuatan pelanggaran menimbulkanm PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 10. 199 keresahan masyarakat. Sistem hukum lingkungan AS (EPA_USA) juga menggunakaan pengertian lain, seperti: risiko atau bahaya tinggi, nilai ekonominya sangat besar dan menyangkut kepentingan masyarakat yang sangat luas, sebagai dasar penyimpangan dari asas subsidiaritas. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN 201 PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA A. Pendahuluan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dalam tulisan ini mencakup penaatan dan penindakan (compliance and enforcement) yang mencakup bidang Hukum Administrasi Negara, bidang Hukum Perdata, dan bidang Hukum Pidana.1 Pengertian peningkatan kesadaran masyarakat mencakup kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi dan pendidikan baik formil maupun non-formil tentang hukum dan lingkungan. Pendekatan yang saya lakukan untuk memaparkan sistem penegakan hukum lingkungan demikian adalah pendekatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu baik non hukum maupun hukum dalam sistem hukum lingkungan Indonesia berdasarkan UULH-82 yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, selanjutnya disebut UULH saja. Sejak repelita II 1974-1979, pembangunan Indonesia menganut konsep pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development) yang antara lain menyebutkan: “Dalam pelaksanaan pembangunan, sumbersumber alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang 1 Progran Penegakan Hukum Lingkungan Nasional mencakup: Pengembangan sistem penegakan hukum; penentuan kasus-kasus prioritas yang perlu diselesaikan secara hukum; peningkatan kemampuan aparat penegakan hukum; peninjauan kembali undang-undang gangguan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 202 menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.” Konsep pembangunan berwawasan lingkungan (ecodevelopment) ini kemudian diadopsi sebagai rumusan hukum lingkungan Indonesia melalui pasal 1 Ayat (3) UULH-97, yang bebunyi sebagai berikut: “Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Disamping pengaruhnya pada konsep pembangunan dengan masuknya pertimbangan lingkungan dalam setiap keputusan rencana pembangunan, juga membawa pengaruh pada konsep pendidikan tinggi yang menyebabkan ilmu lingkungan dan hukum lingkungan masuk dalam berbagai kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan terbentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), sekarang Kantor Menteri Negara KLH, pada tahun 1978, di beberapa perguruan tinggi dibentuk Pusat Studi Lingkungan (PSL) sebagai mitra kerja kantor MENEG PPLH/KLH. Keterlibatan para pakar perguruan tinggi melalui PSLPSL, seperti disebut di atas merupakan peristiwa penting dalam pengembangan konsep pengaturan hukum dan penegakan hukum di Indonesia saat ini. Sebab pengalaman di negara maju memperlihatkan bahwa pengembangan hukum lingkungan termasuk penegakan hukumnya, tidak mungkin berjalan baik dan efektif tanpa keterlibatan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 203 para ahli di berbagai bidang. Hal ini jelas diperlihatkan dalam proses pembentukannya sejak naskah akademis, hingga pembahasan rancangan pasal-pasalnya di DPR, dan kemudian diuji melalui keterangan saksi ahli di depan hakim sebagai dasar pertimbangan hakim dalam proses pembuktian kausa fakta (factual causae). Dengan berlakunya UU Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982 UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, perhatian dan kesadaran lingkungan berdasarkan hukum yang berlaku meningkat. Hal ini diperlihatkan oleh pemberitaan yang luas di media massa tentang masalah lingkungan di Indonesia. hampir setiap hari terdapat berita tentang masalah atau kasus lingkungan. Bahkan beberapa kasus telah diajukan ke pengadilan dan disidangkan. Apabila diperhatikan pemberitaan media massa tentang masalah yang dipersoalkan, argumentasi yang dikemukakan berbagai pihak atas pokok gugatan dan sanggahan, alat bukti dan keterangan saksi, serta hasil penelitian yang dijadikan bahan bukti atau pertimbangan hakim, terdapat keanekaragaman pendapat yang tidak berdasarkan pemahaman yang baik atas UULH dan ketentuan perundang-undangan yang terkait. Keadaan ini dapat menyebabkan UULH dengan ketentuan hukum yang menyertainya menjadi tidak efektif dan ditafsirkan lain dari apa yang dikehendaki oleh pembuat UU sendiri. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut, antara lain meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan latihan (singkat) bagi para penegak hukum dan aparatur pemerintah yang akan melaksanakan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 204 UULH ini, serta anggota masyarakat yang tugas pokoknya di bidang hukum. Pendidikan dan pelatihan singkat telah dilakukan, antara lain oleh Diklat MA, Diklat Kejagung, dan para penyidik kepolisian sebagai bagian dari peningkatan penegakan hukum lingkungan. Sebagai bidang hukum yang baru yang asas dan sistemnya sangat dipengaruhi oleh ilmu lingkungan dan teknis lingkungan, penyebarluasan dan pengembangannya harus dilakukan secara sistematis pula disertai dengan pengetahuan dasar akan prinsip-prinsip ekologi dan tehnik lingkungan. B. Beberapa Masalah dalam Kasus-Kasus Lingkungan 1. Masalah Lingkungan secara umum Masalah lingkungan yang dipersoalkan dalam perundang-undangan kita menyangkut masalah yang luas. Dalam tulisan ini, masalah tersebut menyangkut pencemaran dan perusakan lingkungan yang akan menjadi fokus pembahasan kita. Meskipun kedua masalah di atas lazimnya saling terkait, pendekatan dan pembahasan atas masing-masing masalah dalam proses pembuktiannya mengandung perbedaan tertentu. Hal ini dapat diterangkan dengan memperlihatkan perbedaan rumusan hukum kedua pengertian tersebut, Pasal 1 butir 12 berbunyi: “Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 205 sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannya.” Pasal 1 butir 14: “Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.” Apabila rumusan hukum tersebut diatas diperhatikan penerapannya dalam kasus-kasus lingkungan di Indonesia, terdapat kesulitan dalam penerapannya untuk melakukan proses membuktikan. Hal ini antara lain diperlihatkan dalam kasus lingkungan antara WALHI yang menggugat BKPM dan beberapa departemen terhadap kerusakan akibat penebangan sebagian dari hutan di Sibatuloteng di Sumatera Utara untuk tanaman hutan industri. Kemudian kesulitan ini makin signifikan dalam kasuskasus perindustrian tahun 1990-an, pertambangan dan MIGAS yang terjadi sejak tahun 2000 Penebangan hutan tersebut sifatnya sementara sebagai tindakan antara untuk kemudian ditanami lagi dengan tanaman hutan, seperti halnya penebangan hutan untuk kemudian ditanami perkebunan. Sejauh mana penebangan sebagian hutan tersebut mempunyai akibat terhadap berfungsi atau tidaknya hutan, jelas tidak mudah untuk membuktikannya dan memerlukan penelitian yang PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 206 lama. 2. Apabila kemudian dalam selang waktu 1 bulan sudah mulai ditanami lagi dengan tanaman hutan industri. Dari sebagian kecil contoh diatas tersebut, maka untuk menentukan bentuk dan jenis kerugian perusakan dan pencemaran lingkungan hidup adalah tindakan yang tidak mudah. Masalah hukum yang dijadikan pokok perdebatan pada umunya menyangkut masalah isu standi, masalah pembuktian yang terkait dengan verifikasi ilmiah untuk menjelaskan hubungan kausal, asas ganti rugi, cakupan dan luas (magnitude) isu lingkungan untuk menetapkan jumlah gantirugi, kriteria pemulihan lingkungan, tindak pidana lingkungan, kesaksian ahli, peranan lab dan metoda analisis zat pencemar untuk menetapkan ada tidaknya pencemaran dalam arti hukum dan pertimbangan yang didasarkan pada perkembangan ilmu dan teknologi. Masalah ini tidak saja menjadi pokok perdebatan yang menarik di kalangan ahli hukum (diluar maupun dalam negeri), tetapi juga telah mempengaruhi secara mendasar konsep hukum yang berlaku, khususnya pada konsep dan teori penafsiran dalam praktek hukum di Indonesia akhir-akhir ini yang memberikan pandangan penafsiran yang tidak seragam atas ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat ekologis. Masalah Hukum Lingkungan Masalah hak menggugat (ius standi) Perkembangan baru yang penting dikemukakan dalam kaitannya dengan pembentukan hukum PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 207 lingkungan nasional adalah peranan hakim untuk melakukan pembaharuan hukum melalui penafsiran hukum, pengembangan doktrin sebagai sumber hukum baru, peran serta masyarakat sebagai refleksi kesadaran hukum masyarakat terutama untuk mengatasi kelambanan pembentukan hukum baru melalui perundang-undangan. Pembentukan hukum lingkungan baru yang demikian akan diuraikan berdasarkan beberapa putusan hakim (baik nasional maupun hukum asing) yang mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan nasional salah satu perkembangan tentang konsep Penegakan Hukum Lingkungan ialah hak menggugat masyarakat (ius standi/standing to sue) atau gugatan perwakilan kelompok (class-action) dalam perkara lingkungan. Masalah ius standi atau lazim disebut sebagai standing to sue di negara-negara yang menganut sistem common law merupakan salah satu pokok perdebatan yang mempengaruhi tata peradilan (court system) di bidang hukum lingkungan, seperti di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Persoalan ius standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam kasus lingkungan terjadi pula di Negara kita pada tahun 1980-an, saat undang-undang kita menghadapi ujian dalam praktek dalam berbagai kasus lingkungan. Perbedaan penafsiran yang disebabkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi, terutama konsep lingkungan atau ekologi membawa pengaruh yang sangat mendasar pada teori penafsiran yang lazim dalam praktek, termasuk di Indonesia. Hal ini akan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 208 diuraikan lebih lanjut di bawah ini. Menurut sistem hukum lingkungan Amerika Serikat Kasus LSM Sierra Club v. Morton (USA, 1972) merupakan salah satu contoh kasus penting yang banyak dibahas karena mempersoalkan keterlibatan LSM. Persoalan yangmenjadi fokus adalah apakah suatu organisasi yang kegiatannya bertujuan melindungi lingkungan dapat memiliki ius standi atau tidak. Secara garis besar kasus ini dapat diterangkan sebagai berikut: Walt Disney Enterprises, Inc, yang memenangkan tawaran (bid) dalam suatu proyek, diberikan izin 3 tahun mengadakan survey dan eksplorasi untuk menyusun Master Plan rencana pembangunannya. Rancangan final Walt Disney disetujui pada tahun 1969, dan diperkirakan akan menelan biaya sekitar 35 juta dolar Amerika untuk pembangunan daerah motel, restoran, kolam renang, tempat parkir serta bangunan-bangunan lainnya sehingga kompleks ini dapat menampung 14.000 tamu setiap hari. Konstruksi bangunan akan memerlukan tanah seluas 80 ha di lembah ini, dengan hak pakai (use permit) selama 30 tahun dari Dinas Kehutanan. Semua kegiatan di atas dipantau dengan cermat oleh Sierra Club. Sejak rencana ini dibuat pada tahun 1965, Sierra Club tidak melihat adanya proses public hearing. Surat menyurat mereka dengan Dinas Kehutanan dan Deparetemen Dalam Negeri tentang keberatan atas rencana ini secara keseluruhan dan halhal tertetu dari proyek ternyata tidak membawa hasil. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 209 Atas dasar ini, pada tahun 1969, Sierra Club, dengan kegiatan (a special interest) di bidang konservasi dan pertaanan (national parks), game refuges, dan hutan lindung negara telah mengajukan keberatan atas pembangunan Taman Rekreasi Disneyland oleh Walt Disney Enterprises, Inc. antara lain mengatakan bahwa pembangunan ini: “would destroy or otherwise adversely affect the scenery, natural, and historic objects and wild life of the park and would impair the enjoyment of the park for future generation.” Hal ini dikategorikan banyak pengamat hukum dan lingkungan sebagai an organizational interest in the problem of environmental protection. Kemudian, Sierra Club mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri (District Court) di wilayah Utara California. Materi gugatan antara lain menyatakan keberatan atas berbagai aspek dari usul pembangunan yang dianggap bertentangan dengan undang-undang Federal dan peraturan yang bertalian dengan the preservation of national parks, forest, and game refuges, juga menuntut diambilnya suatu keputusan sela yang menolak pejabat federal memberikan persetujuan atas usulan dan dikeluarkannya izin proyek Mineral King. Sierra Club menggugat atas alasan bahwa organisasi ini sebagai badan hukum mempunyai: “a special interest in the conservation and the sound maintenance of the national parks, game refuges, and forest of the country” Dalam sidang pertama di Pengadilan Negeri, PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 210 permohonan Penggugat terhadap putusan sela dikabulkan kemudian Tergugat mengajukan banding pada Pengadilan Banding. Sebaliknya Pengadilan Banding dalam putusannya justru menolak ius standi dari Penggugat, Sierra Club, yang antara lain menyatakan bahwa: “no allegation in the complaint that members of the Sierra Club would be affected by the actions of [the respondent] other than the fact that he actions are personally displeasing or distateful to them.” Selanjutnya mengatakan: “We do not believe such club concern without showing of more direct interest can constitute standing in the legal sense sufficient to challenge the exercise of responsibilities on behalf of all the citizens by two cabinet level officials of the government acting under conressional and constitutional authority.” Dengan pernyataan di atas, Pengadilan Banding berpendapat bahwa: “The Sierra Club had not made an adequate showing of irreparable injury and likelihood of success on the merits to justify issuence of a preliminary injuction.” Dengan demikian putusan sela dibatalkan. Dengan uraian di atas, persoalan pokok yang ingin dijawab adalah tentang apakah Sierra Club mempunyai hak menuntut di pengadilan atau tidak? Gugatan Sierra Club didasarkan pada $10 of the Administrative Procedure Act (APA), 5 USCA $702 PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 211 yang menyatakan bahwa: “A person suffering legal wrong because of agency action, or adversely affected of aggrieved by agency action within the meaning of a relevant statute, is entitled to judicial review thereof.” Terhadap ketentuan ini, beberapa putusan hakim terdahulu telah memberikan interpretasi yang tidak seragam dalam rumusan legal interest dan legal wrong. Dalam kasus Association of Data Processing Service Organization, Inc. v. Camp (USA) diambil keputusan yang menetapkan bahwa setiap orang mempunyai standing untuk menggugat Pemerintah (agency) di pengadilan berdasarkan $10 APA di atas, apabila tindakannya menyebabkan “injury in fact” terhadap kepentigan yang berada dalam lingkup zone of interest si penggugat yang dilindungi oleh undangundang. Kasus-kasus diatas, seperti halnya kasus Data Processing atau Barlow telah menampilkan serangkaian pertanyaan tentang apa yang harus dijadikan dasar tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang tidak bersifat ekonomis yang dimiliki oleh banyak orang (noneconomic nature to interest that are widely shared). Kecenderungan dari penyelesaian kasus-kasus yang berdasarkan APA dan statute telah memberikan wewenang untuk menggugat aparat federal dan telah mengakui teori bahwa pokok gugatan tidak lagi terbatas pada kerugian ekonomis (economic injury). Sehingga dalam kasus Data Processing (USA) PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 212 misalnya gugatannya dapat meliputi: aspek aesthetic, conservational, and recreational as well as economic value. Bahkan dalam beberapa putusan pengadilan telah dapat diperlihatkan kesediaan untuk menerima teori bahwa organisasi dapat memiliki standing apabila ia memperlihatkan an organizational interest in the problem of environmental or consumer protection. Saya katakan dapat, karena dengan adanya insterest in a problem saja belum merupakan adversely affected atau aggrieved menurut APA, USA. Terhadap kasus diatas terdapat berbagai komentar yang penting. Dalam komentarnya secara terpisah, Hakim Brennan dan Hakim Blackmun masing-masing sampai pada kesimpulan – meskipun dengan argumentasi dan teori yang berbeda – dapat disimpulkan bahwa LSM Lingkungan seperti Sierra Club mempunyai Ius Standi. Di dalam mengomentari kasus ini secara pribadi (dissenting), Hakim Blackmun telah memberikan pernyataan yang sangat menarik – dan sangat diperhatikan oleh hakim kemudian – yang mengatakan antara lain: “Bilamana kita menghargai lingkungan hidup, terhadap mana ada ancaman, bahaya, dan pemburukannya yang akan mengakibatkan kerusakan ekologis”, maka patut dipertanyakan, “Must our law be so rigid and our procedural concepts so inflexoble that the render ourselves helpless when the existing methods and the PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 213 traditional concepts do not quite fit and do not prove to be entirely adequate for new issues.” Menurut sistem hukum lingkungan Indonesia Teori tentang ius standi dari suatu LSM Lingkungan di Indonesia dalam masalah lingkungan juga mendapat perhatian yang besar dan cenderung meningkat pada akhir-akhir ini. Perkembangan ini dicatat sebagai suatu hal yang menarik dan patut diperhatikan bagi penegak hukum lingkungan di Indonesia di masa yang akan datang. Untuk kepentingan analisis masalah konkrit kasus lingkungan di Indonesia, di bawah ini disajikan beberapa bagian dari argumentasi hukum dalam keputusan hakim tentang Kasus WALHI v. Pemerintah (BKPM/ KLH/Pem. Dan PTIU, 1990), dan kasus-kasus lain yang relevan bagi pengujian ketentuan-ketentuan hukum UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997 dalam kasus-kasus lingkungan di Indonesia. Kasus WALHI v. PTIU (Porsea, Sumatera Utara). Suatu perkembangan yang menarik dalam praktek hukum lingkungan Indonesia adalah pengaruh putusan hakim tentang masalah ius standi LSM (dalam hal ini WALHI) yang mengingatkan kita pada persoalan yang sama dalam kasus Sierra Club v. Morton (proyek Disney Land, Los Angeles, California, USA, 1971). Meskipun produk sengketa tentang rusaknya lingkungan tidak dapat dibuktikan atau lemahnya argumentasi penggugat pada waktu itu, disertai PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 214 dengan kurangnya atau kurang memadainya upaya atau data ilmiah yang ditampilkan untuk meyakinkan tim hakim dan instansi terkait termasuk LSM, namun pengakuan atas ius standi LSM merupakan langkah maju bagi pengadilan Indonesia dilihat dari sudut teori interpretasi hukum lingkungan di Indonesia. Sangat disayangkan, perkembangan baru ini kurang mendapat perhatian dari hakim-hakim yang menangani perkara lingkungan yang terjadi kemudian. Hal ini dapat dilihat dari penolakan Pengadilan Negeri Medan atas gugatan masyarakat melalui kuasa hukum mereka, Lembaga Bantuan Hukum melawan PTIU, 1989, dengan alasan antara lain dalil delatoir exeptie atau penggugat belum waktunya mengajukan perkara ini disebabkan belum ada peraturan perundangundangan untuk melaksanakannya, dan belum terbentuk tim peneliti dan yang akan menetapkan jenis dan besarnya ganti rugi akibat pencemaran. Menurut pendapat saya, penolakan ini tidak beralasan disebabkan Pasal 23 UULH-82 memberikan jalan penyelesaian melalui ketentuan perundangundangan yang sudah ada sebelum UULH-82 disahkan. Disamping itu, bentuk tim sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UULH-82 sudah berkembang dalam praktek, dan prosedur ini bukanlah hal baru dalam praktek pengadilan di Indonesia, dan dapat dilakukan dalam praktek tanpa menunggu peraturan perundang-undangannya. Praktek semacam ini telah dijadikan sebagaimana pertimbangan hukum pada kasus WALHI v. PTIU pada tahun 1989 sehubungan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 215 dengan masalah ius standi LSM. Diterimanya ius standi LSM menurut UULH di Indonesia dalam praktek dapat diuraikan sebagai berikut: Persyaratan formal dalam suatu gugatan perkara perdata adalah keharusan adanya kepentingan hukum (rechtsbelangen) bagi seseorang untuk mengajukan gugatan, sebagaimana yang telah digariskan dalam doktrin ilmu hukum, hanya tuntutan hak yang mempunyai kepentingan hukum yang cukup dapat diterima oleh pengadilan. Pokok pemikiran yang demikian itu menimbulkan ungkapan hukum yang tidak asing lagi dalam hukum acara perdata, yaitu “Tiada gugatan dalam kepentingan hukum”. Dalam pertimbangan Majelis, menurut hemat Majelis yang harus dikaji lebih lanjut khususnya dalam perkara ini, ialah kepentingan peggugat dalam pengajukan gugatan ini. Atas kualitas apakah penggugat bertindak dan untuk mempertahankan hak apa ia mengajukan gugatan ini? Bertitik tolak dari isi surat gugatan Penggugat, maka jelaslah bahwa penggugat menggugat para tergugat I s/d V atas dasar dalil-dalilnya bahwa para tergugat pada pokoknya telah tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam UULH-82, yang telah (diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, didalam mengeluarkan surat-surat keputusan atau memberikan persetujuan bagi pembangunan pabrik milik tergugat VI dan pihak PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 216 tergugat VI telah melaksanakan keputusan-keputusan dari tergugat I s/d V tersebut, keputusan-keputusan mana bertentangan dengan UULH-82, yang telah diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997 dihubungkan dengan Pasal 38 dan Pasal 39 PP No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (PP-AMDAL); Oleh karenanya pokok persengketaan dalam perkara ini adalah mengenai penerbitan keputusan-keputusan Penguasa (Pemerintah) dan pelaksanaannya, yang menyangkut masalah lingkungan hidup, dengan berdasarkan pada UULH82, yang telah diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997 dan PP-AMDAL tersebut; Dalam penjelasan umum UULH-82, yang telah diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, disebutkan pada pokoknya bahwa terpeliharanya lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem yang baik dan sehat, merupakan tanggung jawab yang menuntut peran serta setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan; Secara tegas dalam Pasal 5 UULH-82, yang dibaharui dan disempunakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, disebutkan bahwa: ayat (1) Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; ayat (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 217 Bahwa selanjutnya pasal 6 menentukan bahwa: ayat (1) Setiap orang mempunyai berkewajiban memelihara pelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ayat (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar anakurat mengenai pengelolaan linkungan hidup. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak informasi sebagai konsekuensi logis dari hukum, berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup yang belandaskan pada asas keterbukaan. Hal ini bertalian dengan keterbukaan terhadap akses masyarakat pada dokumen AMDAL, sistem pengelolaan lingkungan, sistem pelaporan dalam kerangka sistem pemantauan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagai pertangung jawaban kepada publik. Sedangkan penjelasan dari ayat (2) menyatakan bahwa kewajiban setiap orang sebagaimana tersebut dalam ayat ini tidak terlepas dari kedudukan sebagai anggota masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan mahluk sosial. Dengan mekanisme ini diharapkan masyarakat dapat memberikan umpan balik terhadap informasi lingkungan dan pelaksanaan analisisi dampak linkungan sebagai dokumen hukum. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan adanya kedudukan yang penting dari manusia sebagai seseorang yang mandiri dan sekaligus juga sebagai PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 218 mahluk sosial yang tidak terlepas dari lingkungan dan mempunyai kewajiban-kewajiban sesama manusia lainnya di dalam ikatan kemasyarakatan (asas kemitraan). Oleh karenanya, sebagaimana yang ditulis oleh sarjana Heinhard Steiger cs, bahwa hakhak subjektif (subjective rights) untuk perlindungan seseorang, memberikan kepada yang mempunyai suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum dengan perlindungan hukum oleh Pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya. Tidaklah disangkal bahwa penegakan peraturan perundangundangan adalah perlu sekali bagi perlindungan hukum lingkungan hidup seseorang. Penggugat sebagai kelompok orang yang tergabung dalam Yayasan LSM Indonesia harus dilihat dalam konteks tersebut di atas, yang memang berdasarkan anggaran dasarnya mempunyai maksud dan tujuan: Mendorong peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam usaha pengembangan lingkungan hidup, serta menyalurkan aspirasinya dalam lingkungan nasional. Meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai pembina lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana (vide bukti P.1 Anggaran Dasar LSM Indonesia Pasal 5). Menarik untuk dibahas dari sisi keputusan ini PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 219 adalah bahwa memang benar, peran serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud oleh pasal b ayat (1) tersebut, menurut ayat (2) masih akan diatur dengan peraturan perundangundangan, namun hal itu tidaklah berarti bahwa penggugat tidak mempunyai kepentingan sehingga tidak ada dasarnya untuk mengajukan suatu gugatan. Sebab yang akan diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan adalah mengenai bentuk peran sertanya dan tata caranya, tetapi hal tersebut harus dibedakan dengan kriterium “kepentingan” untuk menggugat, yang harus dikaitkan dengan hak-hak subjektif seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum, sehubungan dengan hak dan kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup; Bahwa bentuk peran serta dalam kenyataannya sekarang sudah tampak dalam berbagai bentuk, antara lain juga dalam bentuk pusat studi lingkungan hidup di universitas-universitas, ataupun juga seperti Yayasan LSM Indonesia (Penggugat) dan sebagainya, sebagai salah satu bentuk lembaga swadaya masyarakat yang dimaksud oleh Pasal 19 UULH-82, yang telah diubah dan disempurnakan dengan pasal 37 dan 38 UULH NO 23 Tahun 1997 tentang gugatan perwakilan (classaction) dan peran organisasi lingkungan sebagai perwakilan lingkungan. Ditinjau dari segi Ilmu Perbandingan Hukum (comparative law study), apalagi dilihat pada beberapa ketentuan yang berlaku di berbagai negara dalam masalah lingkungan hidup maka oleh karena PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 220 pengelolaan lingkungan hidup itu berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap orang, dimungkinkan atau dibuka kemungkinan bagi setiap orang untuk mengajukan gugatan (ius standi) karena sehat dan bersihnya lingkungan hidup adalah merupakan kepentingan umum dan juga kepentingan setiap orang. Menimbang, bahwa oleh karena masalah pengelolaan lingkungan hidup juga banyak berkaitan dengan Hukum Tata Usaha Negara (Administratiefrecht), terutama dalam kasus perkara ini yang pokok sengketanya adalah mengenai penerbitan surat-surat Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Pemerintah (Administratief beschikking), maka dalam hal-hal tertentu dikenal adanya prosedur actio popularis dimana undangundang memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk mengajukan gugatan, karena kepentingan yang hendak dilindungi itu menyangkut setiap orang. Atas dasar hal tersebut undang-undang memberikan kriteria yang sangat luas tentang siapa yang berhak mengajukan suatu gugatan sehingga masalah tentang dapat diterima atau tidaknya gugatan ditinjau dari kualitas penggugat tidak dipersoalkan lagi. Bahwa atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang terurai di atas, Majelis berpendapat bahwa dalam kasus ini WALHI (LSM Indonesia) dapat bertindak sebagai penggugat untuk melindungi kepentingan setiap orang dalam pengelolaan lingkungan hidup PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 221 yang ketentuan pokoknya tertuang dalam Pasal 5 UULH-82 (sekarang pasal 5 sd 7 UULH-97); Sebagaimana terurai dalam kedua kasus di atas, salah satu masalah pokok yang diperdebatkan dalam kasus lingkungan ialah tentang ada atau tidaknya hak menuntut/menggugat (ius standi) dari Sierra Club (LSM) sebagai badan hukum yang memiliki kepeduliannya terhadap lingkungan yang terancam oleh suatu proyek atau kegiatan pembangunan dan sekaligus merupakan perwujudan peran serta masyarakat sebagian diatur masyarakat tersebut. Di sini terjadi perkembangan istilah dan penafsiran interest, public interest, zone of interest, organizational interest in the problem of environmental, special interest, dan sebagainya sebagai dasar pertimbangan ada atau tidaknya ius standi untuk menggugat pemerintah sebagaui manager sumber daya dan lingkungan.2 Selain itu, tindakan ini harus menimbulkan injury in fact, baik bersifat ekonomi (economic loss or economic injury, maupun kepentingan yang bersifat non-economic, seperti perubahan estetika dan ekologi alam, yang dimiliki oleh orang banyak. Injury in fact dalam arti tradisional (economic loss atau direct damages) sudah ditinggalkan. Sebab aesthetic and environmental well-being, like economic well-being, are important ingredients of the quality of life in our society, and the fact that particular environmental 2 Lihat Peradilan Tata Usaha Negara PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 222 interest are shared by the many rather than the few does not make them less deserving of legal protection through the judicial process. Tetapi alat penguji injury in fact memerlukan penafsiran lebih luas daripada yang lazim dipergunakan, agar dapat berfungsi secara layak bagi kepentingan umum dalam masalah estetika, konservasi, dan aspek-aspek wisata yang dapat terancam. C. Masalah Beban Pembuktian (Burden of Proof) Salah satu masalah yang diperdebatkan dalam kasuskasus lingkungan ialah mengenai beban pembuktian dan masalahnya lazim disebut sebagai problems of proof tentang ada tidaknya unsur kesalahan (fault), kelalaian (negligence), ketidakhati-hatian (careless), apakah ada kesengajaan (intentionality), apakah ada perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad; tort), kerusakan (damages), injury, apakah ada hubungan kausal (causality; the burden of proving a cause and effect relationship), dan sebagainya. Meskipun nuisance theory telah digunakan untuk membuktikan terjadinya personal injury atau property damages pada pencemaran udara, namun kesukaran penggugat untuk menerangkan berbagai aspek dari masalah ini ke dalam bahasa hukum yang dapat dipahami oleh hakim tetap menjadi suatu hambatan (WALHI v. BKPM/KLH/ Pem.). Sumber pencemaran mana yang paling berbahaya bagi si penggugat dari berbagai sumber di suatu kawasan industri mungkin tidak dapat dibuktikannya. Oleh karena itu beban pembuktian yang dipikul oleh si korban untuk mengatakan bahwa pelaku telah lalai, atau dilakukan dengan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 223 sengaja atau melalaikan suatu upaya yang tidak memadai (unreasonable) merupakan sebagian dari persoalan yang ada. Karena seorang komentator mengatakan bahwa suatu kesulitan mendasar dari proses peradilan untuk menangani pencemaran adalah: “The inherent inability of courts to deal efficiently with issues of a scientifically complex nature. The chemical, biological, physiological, and other scientific evidence required to prove the causal connection between the alleged polluter’s discharge and the plaintiff’s harm is often highly technicaland next to impossible for even the most conscientious and alert judge or layman to assimilate and evaluate.” Pernyataan ini membuktikan perlunya sumber daya manusia yang berkualitas, berpendidikan akademis atau latihan khusus tentang hukum dan lingkungan. Karena itu, masalah pembuktian dalam kasus pencemaran/perusakan lingkungan akan tetap menjadi perhatian dan pokok pembahasan yang menarik kalangan akademis. Sementara itu, ilmu dan teknologi akan terus berkembang, hal baru akan muncul dan diperdebatkan. Dapatkah hukum berpacu dengan disiplin ilmu lain seperti teknologi, ekonomi, dan sebagainya? Dalam kajian ini, pertimbangan hukum yang menarik untuk dijadikan alasan dari sudut pengaruh perkembangan ilmu dan teknologi pada pembentukan kaidah hukum baru adalah pendapat hakim yang memutuskan perkara Trail Smelter, antara USA v. Canada (1941), yang antara lain mengatakan: “Great progress in the control of fumes has been made by science in the last few years and this progress PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 224 should be taken into account.” Atas dasar pertimbangan perkembangan ilmu dan teknologi itu: “constitute an adequate basis for its conclusions, namely, that , under the principles of international law, as well as of the law of the United States, no State has the right to use or permit the use of its territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another or the properties or persons therein, when the case is of serious consequence and the injury is established by dlear and convincing evidence.” Dengan alasan pertimbangan teknologi diatas, suatu kegiatan yang diduga masih akan menimbulkan bahaya, gangguan atau kerugian, kecuali suatu upaya dapat dilakukan untuk mencegahnya atau modifikasi dapat dilakukan untuk mengatasinya. Suatu Tim yang melakukan pemantauan agar keputusan itu dipatuhi dapat dibentuk. Fasilitas yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya kewajiban itu dapat diadakan. Dalam sistem yang berlaku sekarang, sebagaimana diatur antara lain dalam BW, penggugat (plaintiff) (umumnya masyarakat berpenghasilan rendah) masih tetap memikul beban pembuktian, suatu tugas yang paling berat dari keseluruhan proses pembuktian dalam kasus pencemaran. Kaum miskin kurang mempunyai kemampuan melindungi lingkungan ke arah yang lebih baik karena masih terpusat pada soal makan, sandang, dan papan). Masalah pembuktian adanya hubungan kausal Salah satu masalah penting dalam kasus lingkungan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 225 seperti dalam hal terjadinya pidana lingkungan ialah untuk membuktikan ada (atau) tidaknya hubungan kausal (cause and effect relationship) dengan bantuan ilmu medis. Penyakit itai-itai dalam kasus Komatsu v. Mitsui Kinzoku Kogyo .K.K., Jepang, 1972, disebabkan oleh kandungan cadmium, timah hitam, senyawa zinc dalam konsentrasi yang tinggi pada tanaman padi di sekitar korban. Limbah ini berasal dari Kamioka Mining Facility Mitsui Metal Mining K.K. melalui air minum atau produksi pangan di kawasan ini masyarakat sekitarnya menderita penyakit itai-itai. Dalam kasus ini epidemicological proof of causality telah dianggap memadai untuk melaksanakan tuntutan penggugat. Menurut hakim dalam keadaan demikian tidak diperlukan unsur kelalaian atau kesalahan si pelaku, dan karenanya bagi si pelaku atau pemilik industri dianggap strictly liable berdasarkan UU Pertambangan (Mining Law). Kasus ini juga memberikan bukti yang jelas pada kita bahwa asas tanggung jawab mutlak yang dianut oleh Pasal 21 UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dalam pasal 35 UULH NO 23 Tahun 1997, yang dirumskan sebagai berikut: “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan”. (ayat 1) PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 226 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibe-baskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu di bawah ini: Adanya bencana alam atau peperangan; Adanya keadaan tepaksa di luar kemampuan manusia atau Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. (Ayat 2) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Ayat (3)” Penjelasan umum pasal 35 Ayat (1) menyatakan bahwa pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yaitu unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Batas tertentu yang dimaksud adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Dari rumusan pasal 35 dengan penjelasan umumnya memberikan pengertian tanggung jawab mutlak (strict liability) yang terbatas pada sistem hukum lingkungan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 227 Indonesia, baik luasnya (magnitude) maupun pengertiannya. Pertama pasal 35 membatasi kegiatan atau usaha yang wajib AMDAL dan/atau yang menggunakan B3 yang jatuh dibawah asas tanggung jawab mutlak. Masalah kesaksian ahli (expert witness) Menarik untuk dibahas dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah kesaksian ahli/ ilmuwan sebagai alat bukti ilmiah untuk menerangkan adanya hubungan kausal antara sumber penyebab dan akibatnya. Menurut sistem hukum lingkungan Jepang Sebagaimana diketahui bahwa dalam kasus Ono v. Showa Denko K.K. timbulnya penyakit disebabkan oleh limbah industri kimia yang mengandung senyawa methyl mercury yang telah merusak sistim syarat pusat manusia, melalui ikan yang dimakan dari hasil tangkapan di Sungai Agano. Dalil tergugat yang mengatakan bahwa: “No causal relation between the metyhl mercury released and the injury sustained by the plaintiffs and that the defendant had not acted with any willful negligance.” telah ditolak oleh hakim. Sebab dalam kasus ini tidak diperlukan point by ponit scientific verification in order to establish causality. Hal itu dapat menimbulkan hambatan bagi pemulihan hak-hak perorangan (civil relief). Yang diperlukan di sini adalah mengenai dapat atau tidaknya… “… characteristic symptoms of the disease dan route PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 228 by which pathogenic substances were transmitted to the victims could be explained by an accumulation of circumstantial evidence, supported by accumulation of circumstantial evidence, supported by the relevant fields of science, which traced the source of pollution to the ‘doorstep of the enterprise’, then proof of legal causality would be considered to have been made unless the injuring business should prove that in discharging causal substances, its plant could not in discharging causal substances, its plant could not have been the source of pollution.” Selanjutnya dikatakan bahwa “In cases where there is the possibility of danger, even with equipment of the highest technological quality; partial or even total suspension of operation is required.” Sebab menurut putusan ini, pada prinsipnya suatu industri hanya diperkenankan berproduksi apabila kegiatan ini in harmony with the integrity of the environment of the area’s resident. Dikatakan bahwa: “There is no reason to protect business interest to the point of sacrificing human health and life, which can be rightfully said to be the most fundamental rights of the residents.” Dari argumentasi ilmiah diatas, telah dapat diperlihatkan pentingnya ilmu dalam masalah pembuktian, terutama dalam masalah pencemaran/perusakan lingkungan. Untuk memberikan gambaran perkembangan pengertian hubungan kausal dalam arti kerusakan ekologis PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 229 atau pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh bahan berbahaya dan beracun (B3), di Indonesia, putusan Hakim Tanjung Pinang atas perkara pencemaran lingkungan/ kerusakan ekologis karena B3, 1989, merupakan kasus lingkungan yang pertama di Indonesia yang menjadikan pencemaran/kerusakan lingkungan (kerusakan ekologis) sebagai argumentasi yuridis bagi putusan hakim, dan diakui sebagai tindakan pidana lingkungan. Dalam kasus ini tidak saja kesaksian ahli digunakan secara luas dan mendasar, tetapi juga keterlibatan laboratorium untuk membuktikan terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan. Hal ini mengingatkan kita para peristiwa kandasnya kapal tangki Showa Maru, di Selat Malaka/ Selat Singapura pada tahun 1975 yang mendorong perhatian dan kepedulian masyarakat pada masalah lingkungan di Indonesia pada saat itu. Sumbangan dari kasus ini pada referensi hukum internasional adalah kemajuan dan kesediaan para ahli hukum dan lingkungan untuk menerima kerusakan ekologis sebagai bagian dari tuntutan ganti rugi. Dari uraian diatas, disimpulkan bahwa kebutuhan akan pengetahuan yang lebih dari sekedar hukum, seperti ilmu kimia, biologi, fisika, dan ekonomi serta sosial dan sebagainya bagi jaksa, hakim, dan para penegak hukum lainnya untuk menyelesaikan kasus pencemaran lingkungan tidak dapat disangkal lagi. Dengan demikian suatu kegiatan pemantauan akan dapat memberikan kualitas dan kuantitas limbah atau emisi, efek atau dampaknya, serta kecenderungannya (forseeable) di masa yang akan datang. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 230 D. Asas Tanggung Jawab (Liability Principle) Dari sudut hukum perdata sistem dan asas tanggung jawab dalam kasus lingkungan (terutama pencemaran atau perusakan lingkungan yang disebabkan oleh bahan berbahaya atau beresiko tinggi) merupakan perkembangan baru yang patut diperhatikan. Hal ini dianggap penting karena hingga sekarang asa tanggung jawab (asas ganti rugi) yang dianut masih didasarkan pada KUH Perdata (BW) suatu asas ganti rugi yang dibentuk jauh sebelum teknologi berkembang seperti sekarang. Karena letak geografis industri dan arah angin yang membawa zat pencemar, menurut teori biologi, hubungan sebab akibat ini dapat diterangkan berdasarkan penelitian epidemologis. Satu hal menarik dari putusan pengadilan di Jepang mengenai hal ini ialah dalil yang memungkinkan tanggung jawab bersama antar beberapa pelaku (the joint liability of the defendants) berdasarkan anggapan bahwa: “even where activities of any one aprty alone may not have produced the effect in question, the effects was produced in combination with activities of the other parties, and thus it woul be sufficient to establish that had it not been for the activities of one party. … it would be sufficient, according to the decision, to prove the existence of other activities and the predictability of the effect of these activities when combined with such single activity. … joint, not separate liability would stand even when the amount of smoke and soot emitted was small, even if there was no obligation to take precautions in locating plants so as not to PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 231 endanger the lives and health of residents in the area, and even if there was no effective methods to remove all sulfur, one could not claim that it was impossible to avoid pollution.” Dalil tergugat bahwa: “The industry was for good of community; it was socially approproate; sulfure dioxide emissions were neglible in amount; the companies had observed authorized emission levels; the victims were hypersensitive; and so forth” Kasus ini merupakan kasus pertama di Jepang yang mengakui joint liability of industrial firms for atmospheric pollution. Sehingga putusan ini membawa pengaruh besar bagi pembangunan masyarakat serta kebijakan mengenai lokasi industri. Meningkatnya kegiatan industri yang mempunyai dampak penting pada lingkungan telah ikut mendorong pembentukan konsep tata ruang dalam masalah peruntukkan tanah (tata guna tanah) pada masa pembangunan. Dalam pada itu, konsep tata ruang telah diakui sebagai salah satu alat pengendalian dan perencanaan pembangunan. Atas dasar hal diatas, maka: “Land use planning is the process of conscieously exercising rational control over the development of the physical environment, and of certain aspect of the social environmenbt, in the light of a common scheme of values, goals, and assumption.” Perlunya ditingkatkan kemampuan sumber daya manusia untuk melaksanakan hukum lingkungan dalam arti di atas sudah jelas. Hal ini dibuktikan pula oleh argumentasi PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 232 hakim dalam putusan di bawah ini. Dalam kasus ini ilmu dan teknologi harus dapat membantu meramalkan aspek futuris dari pengaturan hukum lingkungan.3 Dalam kasus Watanabe v. Chisso K.K. mengenai kasus the Kumamoto Minamata Disease, 1973, pada tahun 1953 telah diperdebatkan timbulnya gejala peracunan syaraf otak manusia (central nerves system of a toxic type) di kawasan Teluk Minamata dan sekitarnya. Kucing yang mati di kawasan ini ternyata akibat makan ikan mati yang terdampar di tepi pantai. Penyakit Minamata penduduk yang tinggal di kawasan ini ternyata juga disebabkan makan ikan yang berasal dari kawasan tersebut. setelah penelitian dilakukan terhadap limbah industri Chisso Company’s Minamata Plant, terbukti air limbah mengandung mangan, selenium, thalium, kimia, kemudian berakumulasi pada tubuh ikan dan lalu dimakan oleh manusia yang tinggal di daerah ini. Dari hasil penelitian Kumamoto University dan keterangan aparatur pemerintah setempat, dapat dipastikan bahwa senyawa methyl mercury yang digunakan oleh Pabrik Acetaldehyde merupakan penyebab pathogenic penyakit Minamata dan hal ini telah dibuktikan dengan memperlihatkan hubungan kausal antara limbah buangan dan penyakit yang terjadi. Pengadilan menyatakan bahwa: “To ensure safety, the waste water should have been tested to see if it was toxic, and the defendant’s negligence lay in its failure to foresee injury to human beings.” 3 Lihat konsep AMDAL PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 233 Selanjutnya dikatakan bahwa: “The residents of the area were ignorant as to what products were being produced in the factory and in what manner, and since they were not informed of these matters, the factory had the duty to ensuring the safety of life and health of the residents.” Oleh karena itu, konsep kawasan industri yang berlaku sekarang dikaitkan pula dengan ketentuan AMDAL yang mengharuskan penyajian informasi lingkungan (PIL) diajukan sebelum rencana kegiatan (eg. Izin lokasi) disetujui. Sebagaimana diketahui dokumen AMDAL suatu rencana kegiatan wajib diumumkan oleh pemrakarsa kegiatan dan dinyatakan terbuka untuk umum.4 Peranan ilmu dan saksi ahli dalam proses pembuktian Salah satu unsur pendukung penting dalam penyelesaian kasus-kasus lingkungan di atas, ialah peranan saksi ahli dari disiplin ilmu tertentu sesuai dengan sifat kasusnya. Agar peranannya efektif diperlukan persyaratan tertentu. Praktek dalam kasus lingkungan di negara maju menunjukkan bahwa untuk menetapkan saksi ahli dalam kasus lingkungan setidak-tidaknya ada 4 hal yang harus diperhatikan: tingkat pendidikannya; spesialisasinya; pengalamannya; dan pengakuan dari asosiasi keahlian yang sejenis. Kesaksian ahli dan persyaratan yang dituntut daripadanya makin mempengaruhi kasus-kasus 4 Lihat Pasal 31 PP No. 29 Tahun 1986 tentang AMDAL PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 234 pencemaran/perusakan lingkungan dalam masalah pembuktian.5 Telah diuraikan di atas, karena masalah pencemaran/ perusakan lingkungan mengandung pengertian teknis dan ilmiah yang sangat mendasar, maka kesulitan utama yang dihadapi para hakim, jaksa, polisi, dan pengacara dalam proses pengadilan ialah untuk merumuskan pengertian dan teknis dan ilmiah itu ke dalam rumusan-rumusan hukum yang mudah dipahami. Tidak semua ahli dapat menerangkan bahasa ilmiah ini ke dalam “bahasa hukum praktis”, sehingga diperlukan keahlian khusus untuk mengalih bahasakan istilah-istilah teknis/ilmiah tersebut ke dalam “bahasa hukum” menurut sistem hukum yang berlaku di pengadilan. Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap tingkat kesadaran/ perhatian terhadap hukum dan lingkungan. Menurut sistem hukum lingkungan Amerika Serikat Dalam perkara Martin v. Reynolds metals Comp, 1952, dikemukakan argumentasi bahwa: “It is stipulated by the parties that in the course of defendant’s legitimate use of property, that gases, fumes, and particulates emanate into the atmosphere from said plant, consisting primarily of hydrogen fluoride, cryolite, calcium fluoride, iron fluoride, and silicon tetrafluoride, which are in the form of gases, liquids, and solids, and are immediately diffused into the air, and that portions thereof have settled at various times upon the lands occupied 5 Vide kasus Pulau Bintan, Riau PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 235 by the plaintiffs. Furthermore, it is agreed by all the experts who appeared here that the majority of these compounds are toxic or poisonous, but debate between the experts and the question the jury is going to have to determine, is at what point or quantity do these compounds become poisonous or are likely to become poisonous and harmful to humans. It is a matter of quantity of degree as they point out.” Dalam kesaksian ahli kasus Martin di atas, diterangkan bahwa: One of the expert witness, the British doctor who had some prior experience with similar etching of glass located near industrial plants abroad, testified that the glass from the Martin window which he was shown during the testimony was an indication of excessive quantities of fluoride contamination in the atmosphere. Kesaksian ahli medis ini telah banyak membantu menerangkan sebab dari kelumpuhan, cacat yang terjadi akibat gas fluoride dari pabrik. Sehingga dikatakan pula bahwa: “Their qualification to testify was not only adequate but their experience with the subject upon which they testified was outstanding.” (Krier, 1971) Dalam kasus penyakit Minamata di Jepang (1973), Guru Besar Tomohei Taniguchi mengomentari bahwa “untuk memperoleh keadilan pada saat ini, dengan tidak adanya bantuan bahasa ilmiah (kesaksian ahli) tidak lagi memuaskan”. Peranan laboratorium dalam kasus lingkungan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 236 Masalah lain yang makin penting dalam kasuskasus lingkungan adalah peranan laboratorium sebagai laboratorium rujukan untuk menetapkan terjadi tidaknya pencemaran dalam arti hukum. Beberapa kasus pencemaran di Indonesia6 telah memperlihatkan pentingnya laboratorium rujukan ini, agar terdapat persepsi dan penafsiran yang sama tentang terjadi tidaknya pencemaran. Belum dipahaminya peranan laboratorium dan implikasinya pada proses pembuktian terjadinya pencemaran lingkungan menyebabkan kasus ini dijadikan contoh keterlambatan sistem hukum mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Menurut sistem hukum lingkungan Amerika Serikat Sebenarnya peranan laboratorium ini pernah digunakan dalam kasus New York v. new Jersey pada tahun 1921, jauh sebelum masalah lingkungan dikenal seperti sekarang. Diantara pernyataan Hakim Clark dalam kasus tersebut bahwa: “Only one point upon which all the experts called for the opposing parties agree, viz.; that in the present state of learning upon the subject the amount of dissolved oxygen (DO) in water is the best index or measure of the degree to which it is polluted by organic substances, it seemingly being accepted by them all tat upon the oxygen content of water depends its capacity for digesting sewage – that is, for converting organic matters into inorganic and harmless substances by direct oxygen and substaining bacteria which assist in such conversation.” 6 Lihat kasus Sidoarjo, Jawa Timur PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 237 Dengan memperhatikan putusan hakim tentang kasus-kasus lingkungan yang terjadi di negara-negara penganut common law system, sebagai salah satu sarana pembentukan hukum baru seperti di Amerika Serikat dan Inggris sebagaimana diuraikan di atas, meskipun proses ini terjadi jauh sebelum ilmu dan teknologi berkembang seperti sekarang, telah membuktikan peranannya yang efektif. Dari sudut ilmu hukum perbandingan, apa yang terjadi di negara ini membuktikan pada kita bahwa peranan putusan hakim dalam proses pembentukan hukum modern, meskipun telah dibantu dengan ilmu-ilmu lainnya, termasuk laboratorium masih kurang diberikan peranan. Akibatnya, hukum tertulis sebagai sumber hukum utama dan sarana pembangunan/ pembaharuan telah melampaui kemampuannya yang wajar dalam sistem pembentukan hukum nasional. Tingkat perkembangan ini menempatkan para ahli hukum dan para penegak hukum sebagai penjaga gawang saja. Menurut sistem hukum lingkungan Indonesia Peranan laboratorium dalam kasus lingkungan barulah mendapat tempat yang tegas melalui PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Dengan dikeluarkannya PP tersebut, wewenang untuk menetapkan laboratorium rujukan baik di tingkat pusat maupun di daerah tidak dipersoalkan lagi. Hal ini telah diatur dalam Pasal 34 yang menyatakan: Menteri menunjuk laboratorium tingkat pusat dalam rangka pengendalian pencemaran air; Kepala Daerah Tingkat I menunjuk laboratorium di daerah untuk melakukan analisis kualitas air dan kualitas limbah cair dalam rangka pengawasan dan pemantauan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 238 pencemaran air. Jelaslah bahwa ketentuan diatas mengharuskan tingkat pendidikan yang mampu melakukan analisis laboratoris yang diawasi oleh seorang pendidik akademis. Menurut Gordon Thompson, ahli dari Kanada yang membantu Kantor Meneg KLH untuk mengembangkan peranan laboratorium dalam sistem peradilan di Indonesia menyatakan bahwa: “Alat bukti yang paling vital adalah surat dari laboratorium yang memeriksa sampel limbah. Sebelum sampai ke laboratorium, sampel harus terlebih dahulu melalui proses pengambilan sampel yang cermat.”7 Sampel dalam arti ini disebut sebagai sampel hukum (legal sample, UULH-AS, 1969). 1. Masalah analisis data dan interpretasi hukum lingkungan Telah saya jelaskan diatas, teori mengenai interpretasi akan tetap memainkan peranan penting untuk menyesuaikan kaidah hukum lama dengan perkembangan hukum baru, terutama pengaruh dari prinsip-prinsip ekologi. Masalah interpretasi perlu dan telah dilakukan dengan memperhatikan perkembangan hukum lingkungan di negara-negara lain berdasarkan putusan hakim. Ilmu dan teknologi tidak lagi dipandang sebagai hal yang netral dalam perkembangan hukum dewasa 7 Lokakarya Penegakan Hukum Lingkungan, Batu Malang, 1990 PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 239 ini. Pendapat para pakar terkenal (doktrin) telah ikut pula mempengaruhi pembentukan hukum baru. Pengaruh dari kerumitan teknologi pada hukum lingkungan pada saat ini dikemukakan pula oleh seorang pakar hukum perminyakan lepas pantai (offshore drilling technology law) yang antara lain mengatakan: “The increasing complexity of the technology involved together with the more hostile settings from which the oil will be produced, inevitably lead to greater risk and hazards. The minimization of these risk is very expensive. Just as the technology has become more sophisticated, so too have the legal relations become more important and more intricate.” Diatas telah dikemukakan bahwa masalah tanggung jawab pencemar/perusak lingkungan dan masalah ganti kerugian merupakan salah satu perkembangan baru dalam hukum lingkungan. Masalah pembuktian dan teori dasar yang mendukungnya akan mempengaruhi sifat, bentuk dan besarnya tanggung jawab dan ganti kerugian yang dibebankan kepada si pencemar/perusak lingkungan. Setelah memberikan uraian tentang peranan hakim dalam pembentukan hukum lingkungan, terutama di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (common law system), harus dicatat bahwa hukum lingkungan Indonesia terutama didasarkan pada ketentuan perundang-undangan meskipun tidak dapat disangkal bahwa keputusan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 240 pengadilan serta komentar para hakim yang berpengaruh, tetap merupakan sumber hukum penting. Hal ini terlihat jelas dalam UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997. Berdasarkan Pasal 20 UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan pasal 34 UULH NO 23 Tahun 1997, diatur mengenai tanggung jawab atas akibat pencemaran/perusakan lingkungan: Lingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan yang baik dan sehat. Tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara penelitian oleh tim ahli tentang bentuk, jenis, dan besarnya kerugian, serta tata cara penuntutan ganti kerugian diatur dengan peraturan perundangundangan. Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara. Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup diatur dengan peraturan perundang-undangan. Konsep hukum tanggung jawab disini merupakan konsekuensi dari kewajiban setiap orang untuk melestarikan kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 241 (sustainable development).8 Konsep hukum tanggung jawab membayar ganti kerugian dan biaya pemulihan di atas masih tergantung pada pertanyaan berapa permissible levels of injury yang diperkenankan. Menurut penjelasan UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, bentuk dan jenis kerugian akan menentukan besarnya kerugian. Bentuk, jenis, dan besarnya kerugian ini ditetapkan berdasarkan hasil penelitian dari suatu tim yang dibentuk khusus untuk ini. Penelitian bersifat interdisipliner dari ilmu medis, ekologi, sosial budaya, dan lain-lainnya. Tim ini terdiri dari pihak/kuasa penderita, pihak/kuasa pencemar dan unsur pemerintah. Apabila tidak diperoleh kesepakatan dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan negeri.9 Konsep hukum tanggung jawab diatas, apabila ditelusuri lebih jauh menurut perundang-undangan, termasuk UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, memberikan beban tanggung jawab yang makin besar kepada Pemerintah sebagai manager kekayaan alam dan pengelola lingkungan hidup. Sebab pencemaran lingkungan oleh proses alam dimasukkan dalam kewajiban negara (UULH-82),yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997. Karena itu, pada waktu 8 Penjelasan Pasal 20 UULH-82. 9 Penjelasan UULH-82. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 242 Rancangan Deklarasi Stocholm dirumuskan, konsep tanggung jawab baik oleh individu (perdata) maupun oleh negara (publik) dengan jelas nampak dalam rumusan berikut: “Everyone has a responsibility to protect the environment.” Kemudian prinsip ini diambil alih dalam Pasal 5 ayat (2) UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan pasal 7 UULH NO 23 Tahun 1997: “Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya.” Di samping tanggung jawab yang bersifat perdata, negara mempunyai tanggung jawab publik (state responsibility) sebagai pengelola kepentingan umum (public interest). “State shall carefully husband their natural resources and shall hold in trust for present and future generations the air,water,land, plants, and animals on which all life depends;” dan selanjutnya: “Each state has the responsibilty to compensate for damage to the environment caused by activities carried on within its territory”. Prinsip ini kemudian menjadi Principle 21 dari Deklarasi Stockholm dan menjadi Pasal 4 huruf e UULH-82, diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997. Hal lain yang penting dikemukakan dalam PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 243 masalah tanggung jawab adalah perubahan dari asas tanggung jawab dari liability based on fault ke asas tanggung jawab mutlak atau lazim disebut sebagai strict liability principle10. “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.” Tanggung jawab secara mutlak dalam pasal ini merupakan asas tanggung jawab yang berbeda dari apa yang dianut oleh ketentuan perundang-undangan seperti Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Asas ini disebut sebagai liability based on fault. Sebaliknya dengan tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan pasal 35 UULH NO 23 Tahun 1997 dengan rumusan sebagai berikut: “Tanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan 10 Pasal 21 UULH-82 PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 244 hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan bebahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak (strict liability catatan dari penulis) atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Dengan rumusan ini si pencemar segera memikul tanggung jawab membayar kerugian tanpa mempersoalkan ada tidaknya unsur kesalahan (lihat, penjelasan pasal 35 UULH-97). Sebagaimana diuraikan diatas, dalam masalah pencemaran (air, udara, dsb) sulit memperoleh data yang akurat dan memadai, sehingga sulit pula menganalisanya apalagi membuktikannya. Hal lain yang penting diketahui ialah lingkup (magnitude) dan sifat kerusakan (damages) yang dipertanggung jawabkan kepada si pencemar. Kerugian yang disebabkan oleh pencemaran dan atau perusakan lingkungan dapat meliputi kerusakan langsung (direct damages), kerusakan ekologis (ecological damages), biaya pencegahan, dan penanggulangan pencemarannya termasuk pemulihan lingkungan. Apabila dianut pengertian pencemaran/ kerusakan dalam arti luas seperti diatas, makin luas masalah yang harus diperdebatkan, makin sulit pula menghitung kerugian yang tepat. Kesulitan ini juga disebabkan oleh tidak adanya keseragaman dari para PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 245 ahli tentang model analisis ilmiah akibat biologis (scientific analysis) dari beberapa jenis pencemaran seperti minyak di laut, limbah yang bersifat toksis dan aspek geo-bio-fisik lainnya. Pengaruh konsep lingkungan (ecology) terhadap konsep hukum sejak tahun 1960-an sangat dominan dan bersifat global. Pengaruh ini kemudian mencapai klimaksnya pada konferensi Stockholm-72. sebagaiman diketahui, Deklarasi Stockholm-72 yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang bersifat ekologis telah menjadi model bagi konsep perundang-undangan lingkungan nasional di berbagai negara. Karena itu, Maurice Strong yang menjadi Sekjen Konferensi PBB tentang Linkungan Hidup di Stockholm mengatakan bahwa Dekalrasi Stockholm-72 menjadi: “a new important – indeed and dispensible – beginning of an attempt to articulate a code of international conduct for the age of environment.” Banyak perundang-undangan lingkungan nasional, termasuk Indonesia telah menjadikan Deklarasi sebagai acuan pembinaan hukum lingkungan nasional, yang bersifat ekologis. Banyak pakar lingkungan (environmentalists) mempromo-sikan konsep ecocentric ethic karena keterbatasan konsep homocentric ethics menjawab tantangan pembangunan. Dengan meletakkan peranan sentral pada fungsi ekosistem dalam sistem pendukung kehidupan, maka pengaruhnya pada PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 246 perlindungan ada tidaknya pengauh langsung pada manusia. Dalam pengertian ini, hak lingkungan (environmental right) dapat mempengaruhi hukum, termasuk hukum pidana (sekarang dikenal pidana lingkungan atau eco-crime). Apabila masalah lingkungan ini dikaitkan dengan konsep pembangunan yang sedang dilaksanakan di seluruh dunia, maka hukum cenderung makin bersifat futuris mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Menanggapi hal ini Cry California, yang dipublisir tahun 1976 antara lain mengatakan: “Government must seek always to deal with the future consequences of actions – and not only plan, but plan comprehensively, recognizing that the divisions between agencies do not reflect any equally distinct demarcations in the world they deal with. Transportation planning is land-use planning, water planning is agriculture planning, waste-management planning is energy planning. The boundary lines are crossed in so many ways that, sooner or later, we have to admit that they simply don’t work very well. They may have some administrative convenience, but when we come to grappling with the question of what we want to do with our present and our future, we have to think in broader terms.” Terbentuknya konsep hukum mengenai AMDAL berdasarkan PP No. 29 Tahun 1986, diperbaharui dan dikembangkan berturut-turut dengan PP PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 247 No. 51 Tahun 1993 dan PP No. 27 Tahun 1999 dan di Indonesia merupakan perkembangan yang revolusioner dilihat dari sistem hukum administasi Indonesia. Pengaruhnya pada hukum lingkungan nasional, meskipun dipersoalkan kasus per kasus, secara menyeluruh baru dapat diketahui pada masa yang akan datang. Pengaruh dari ilmu lingkungan/ekologi pada konsep hukum baru telah dikemukakan pula oleh Ketua Commision on Environmental Policy, Law, and Administration dari IUCN, antara lain mengatakan: “International policies relating to the nature environment were not initially based upon environmental concept perse. Most international, and all global, policies relating to the protection of nature, of nature resources, and of the environment have been developed in the twentieth century. The earlier attempts at international cooperation on behalf of environmental issues were shaped more by legal rather than ecological consideration. In the earlier treaties, arbitrations, and adjudifications involving environment related disputes, established principles of international law were extended to environmental related issues rather than legal concepts being modified or enlarged by environmental concepts.” Dengan uraian diatas telah diperlihatkan pergeseran dari pendekatan hukum yang lebih mengedepankan pertimbangan lingkungan sebelum PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 248 pertimbangan hukum diberikan (eco-ethics). Sistem penaatan dan penegakan hukum lingkungan Indonesia: Asas subsidiaritas dan peran saksi ahli dalam pembentukan hukum baru. a. Sistem penaatan dan penegakan hukum lingkungan (compliance and enforcement legal system) Sistem penaatan dan penegakan hukum lingkungan menurut UULH-97 diatur dalam sistem hukum lingkungan secara sistematis, menyeluruh, meliputi rejim hukum administrasi negara yang diatur dalam pasal 25 sd 29 tentang, rejim hukum perdata diatur dalam pasal 30 sd 39 dan rejim hukum pidana lingkungan termasuk penyidikan tindak pidana lingkungan dalam pasal 40 sd 48 tindak pidana lingkungan. Sistem hukum lingkungan dalam sistematika diatas, terkait dengan asas subsidiaritas yang akan dijelaskan dibawah ini. Untuk memaham sistem penaatan dan penegakan hukum lingkungan Indonesia dalam arti diatas, perlu dipahami doktrin ilmu hukum lingkungan yang menjadi dasar pembentukan kaidah hukum ini secara konseptual, yang secara ekologis mempunyai persamaan diseluruh dunia. Dalam buku Eva H. Hanks, A.D. Tarlock dan John L. Hanks, yang berjudul “Environmental law and policy, Cases and Materials, 1974 hal. 812-813 tentang primary jurisdiction, Doktrin primary juisdiction mengharuskan kasus lingkungan yang sarat dengan masalah PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 249 kriteria dan baku mutu lingkungan (a.l. pasal 14 UULH-97 tentang kewajiban menjamin pelestarian fungsi lingkungan berdasarkan baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup) memperhatikan peran utama “lead agency” atau expertise agency yang mengatur tentang baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan sebagai regulator. Proses AMDAL sebagai instrumen penting dalam analisis dapak lingkungan merupakan kajian keahlian dengan model analisis ilmiah (scientific analysis) (Konsultan AMDAL dan Komisi AMDAL) di bawah pengawasan dan penetapan instansi teknis yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang dalam proses pengambilan keputusan tentang kegiatan yang dianggap layak lingkungan dan dapat diterima secara sosial (socially acceptable) Sistem penaatan dan penegakan hukum lingkungan dalam UULH-97 secara sistematis dirancang dengan mengutamakan pendekatan hukum administratif (sanksi administrasi) dalam pasal 25 sd 27didukung dengan pendekatan quasi administratif berdasarkan pasal 28 dan 29, yang dikenal sebagai audit lingkungan Disebut quasi administratif, sebab tindakan pemerintah untuk mewajibkan audit lingkungan baru dilakukan bilamana pada tingkat keadaan tertentu, perilaku penanggung jawab kegiatan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam UULH, dan yang bersangkutan tidak PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 250 berupaya melakukan audit lingkungan secara sukarela, sesuai dengan pasal 28 (management audit). Dalam keadaan tersebut, Menteri berwenang memerintahkan penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan, sesuai dengan pasal 29 (compliance audit). Secara konseptual, rancangan ini harus dilihat dari doktrin primary jurisdiction, yang dalam sistem hukum lingkungan Indonesia dikembangkan dengan apa yang disebut sebagai asas subsidiaritas. Deskripsi dari teori ini menyatakan bahwa dalam kasus ini hukum lingkungan memberikan administrative agency terlebih dahulu menetapkan status kausa fakta (factual causae) atau status hukum (legal determination) in the first instance (E.H.Hanks at al, 1974) Atas dasar pikiran diatas, maka dikeluarkanlah pedoman penyidikan tindak pidana lingkungan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung Muda bidang pidana umum No.:B-60/E/ Ejp/01/2002 pada tahu 2002 yang memberikan interpretasi proses penyidikan sesuai dengan pasal 40 UULH-97, bahwa penyidikan tindak pidana lingkungan baru dapat dimulai bila telah dilaksanakan tindakan hukum tersebut dibawah ini: Aparat yang berwenang menjatuhkan sanksi administratif sudah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi adminisratif tersebut PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 251 tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi atau; Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akbat tejadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah/ perdamaian/ negosiasi/ mediasi namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan dapat dimulai/instrumen penagakan hukum pidana lingkungan hidup dapat digunakan. Kedua syarat asas subsidiaritas dalam bentuk upaya tersebut diatas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi tiga syarat/ kondisi tersebut di bawah ini: 1) tingkat kesalahan relatif berat; 2) akibat perbuatannya relatif besar; 3) perbuatan pelanggaran menimbulkan keresahan masyarakat. Penjelasan dari tiga syarat/kondisi diatas menyatakan bahwa pengecualian ini seyogianya tidak ditentukan secara sepihak oleh penyidik atau Penuntut Umum, namun harus diupayakan adanya statement tertulis dari pejabat instansi teknis sektoral dan pimpinan pemerintah daerah yang berwenang melalui suatu hubungan konsultasi dan koordinasi. Disini ditegaskan perlunya koordinas/konsultasi antara penegak PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 252 2. hukum dengan aparat teknis sekoral dan aarat pemerintah daerah yang berkompeten. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang pentingnya memahami peran doktrin pimary jurisdiction UULH Amerika Serikat sebagaimana saya uraikan diatas terhadap asas subsidiaritas UULH-97 di Indoneia. Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) Penyelesaian sengketa lingkungan dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam pasal 30 sd 39 UULH-97 juga merupakan bagian dari asas subsidiasritas. Pasal 30 diawali dengan ketentuan yang mengutamakan pendekatan sukarela untuk memilih forum diluar pengadilan atau melalui pengadilan. Pasal 31 sd 33 dimulai dengan forum diluar pengadilan (ADR), setelah itu, diatur mekanisme pengadilan bertalian dengan masalah ganti rugi dengan prinsip pencemar membayar (ps. 34) dan tanggung jawab mutlak (strict lability) dalam pasal 35. Asas tangung jawab mulak dalam pasal 35 tersebut meliputi kegiatan yang wajib AMDAL dan kegiatan yang menggunakan B3 saja. Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) menurut UULH Amerika Serikat lebih luas dari pasal 35 UULH-97. Dengan pengertian secara gramatikal (dianut oleh sistem hukum Eropa kontinental, termasuk Indonesia) pasal 35 UULH-97, maka kegiatan Kuasa Pertambangan pada tahap KP Eksplorasi dalam sistem hukum pertambangan dan MIGAS tidak dapat dikenakan asas tanggung jawab PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 253 mutlak, karena kegiatan ini termasuk non-AMDAL atau SOP dengan kewajiban melakukan UKL & UPL saja. Oleh karena ketentuan tentang asas tanggung jawab mutlak diatur dalam rejim hukum perdata, maka asas ini juga tidak dapat diberlakukan tehadap rejim hukum lain, termasuk rejim hukum pidana. Hukum acara sengketa linkungan dalam sistem hukum lingkungan Indonesia (ps. 39 UULH-97) Masalah lain yang dapat timbul dalam praktek, bertalian dengan hukum acara yang berlaku pada sengketa perdata lingkungan. Sesuai dengan pasal 39, tatacara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/ atau organisasi lngkungan hidup mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku. Dengan ketentuan ini, pasal 163 HIR tentang prosedur pembuktian dalam sengketa perdata wajib membuktikan adanya kesalahan pencemar untuk memperoleh gantirugi. Dalam pada itu, pasal 35 UULH-97 berdasarkan asas tanggung jawab mutlak, yang menetapkan bahwa prosedur pembuktian tentang perbuatan melanggar hukum tidak perlu membuktikan adanya kesalahan pencemar. Oleh karena itu, dengan adanya pasal 39 ini terbuka peluang perdebatan tentang hukum acara yang berlaku pada sengketa perdata masalah lingkungan menurut sistem hukum lingkungan Indonesia. Tindak pidana korporasi dalam sistem hukum lingkungan Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 45 sd 47 terkait dengan konsep perusakan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 254 lingkungan, sebagaimana diatur dalam pasal 14 tentang kewajiban menjamin pelestarian fungsi pelestarian lingkungan berdasarkan baku mutu dan kritaria baku kerusakan linkungan hidup. Apakah tindak pidana korporasi telah terjadi, selain didasarkan pada pasal 14 tentang pelestarian fungi lingkungan hidup, juga memperhatikan ketentuan dalam pasal 38 tentang gugatan oganisasi lingkungan terhadap isu pelestarian fungsi lingkungan hidup. Gugatan organisasi lngkungan tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan terhadap tindakkan hukum tertentu bertalian dengan tujuan pelestarian fungsi lingkungan hidup, menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak linkungan hidup dan/atau memerintahkan seseorang yang melakukan usaha atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit pengolahan limbah dengan biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup. Organisasi lingkungan secara selektif diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atasnama lingkungan. Apabila ketentuan dalam pasal 14 jo pasal 38 dan memperhatikan peran ahli memberikan analisis ilmiah, dengan antara lain melalui proses AMDAL, maka pencemaran dan/atau perusakan linkungan baru dianggap terjadi bilamana verifikasi ilmiah telah dilakukan berdasarkan: Adanya pelanggaran terhadap baku mutu, sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 12 dan/atau PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 255 kriteria baku kerusakan lingkungan, sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 14 dengan mempehatikan pasal 14 UULH-97. Dengan demikian kawasan kegiatan terlebih dahulu ditetapkan peruntukannya berdasarkan hukum tataruang (Perda tentang RTRW); Analisis ilmiah (verifikasi ilmiah, kasus Minamata, Jepang, 1973) yang menjadi dasar proses pembuktian kausa fakta (hubungan kausal) antara pelaku dengan sumber terjadinya pencemar, sehingga prinsip pencemar membayar (pasal 35) dapat dikenakan. tindak pidana lingkungan dan/atau pidana korporasi baru dapat dikenakan, bilamana analisis ilmiah telah membuktikan adanya hubungan kausal diantara pencemar (kegiatan/usaha) dengan akibat atau korban, dan akibat dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, termasuk kategori tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible) sebagaimana diatur dalam pasal 5 PP-AMDAL/99 yang memberikan kriteria mengenai dampak besaran penting tehadap lingkungan hidup yang tidak dapat dipulihkan kembali. Berdasarkan ketiga butir diatas, pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup berdasarkan ketentuan pasal 41 dan/atau pasal 42 dijadikan dasar pembuktian tindak pidana lingkungan dalam UULH97. Apabila telah dibuktikan telah terjadi tindak pidana lingkungan dengan proses pembuktian ilmiah diatas, barulah gugatan tindak pidana korporasi dapat dilakukan. Dengan uraian diatas, telah PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 256 3. dapat dijelaskan bahwa tindak pidana lingkungan, termasuk pidana korporasi sangat berbeda dengan sistem hukum konvensional (pidana umum) yang bersifat antroposentris. Hal ini telah diuraikan dalam Pedoman Teknis Yustisial penanganan perkara tindak pidana lingkungan hidup, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No.:B-60/E/Ejp/01/2002. Peran saksi ahli dalam pembentukan model analisis ilmiah. Peran saksi ahli dalam pengembangan model deskripsi kausa fakta (factual causae) dan model analisis ilmiah terhadap data (sampel dan lab) sebagai sarana untuk menyesuaikan interpretasi hukum sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Praktek pengadilan Indonesia terhadap saksi ahli dalam kasus lingkungan hidup masih jauh dari memuaskan. Hal ini terutama disebabkan: kriteria tentang saksi ahli, khususnya lingkungan hidup tidak mudah dilakukan, karena terbatasnya ahliahli yang dapat memberikan pemahaman keterkaitan hukum dengan ilmu-ilmu lingkungan dan/atau ilmuilmu terkait lainnya, sehingga hakim dapat diyakinkan dengan keterangan saksi ahli tersebut; dalam praktek, saksi ahli umumnya memenuhi syarat-syarat minimal, yaitu pendidikan khusus dibidang ilmu terkait (ekologi, geologi, hidrologi, konservasi air, kimia, dsb.), mempunyai pengalaman yang cukup sehingga keterangannya dapat menggambarkan keadaan nyata dilapangan secara terukur, membantu hakim memahami kausa fakta PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 257 yang menimbulkan akibat, dan seberapa mungkin pakar dibidangnya dengan tulisannya yang dapat pengakuan umum dibidang tersebut. saksi ahli tidak boleh menilai fakta, seperti seseorang yang menyaksikan kejadian atau fakta, tetapi keterangannya dalam perspektif ilmu terkait yang diuraikan secara ilmu pengetahuan; Para pihak atau pengacaranya dan hakim harus menguji keahlian yang bersangkutan, terutama dari perspektif pengalaman profesionalnya. Sebab, seorang ahli tehnik industri, mungkin tidak pernah bekerja di bidang industri, karena sejak lulus telah bekerja di bank sebagai evaluator proyek. pengalamannya harus konsisten, dan sebagai ahli pada dasarnya tidak berpihak, sebab informasi seorang ahli terbatas pada kajian ilmiah (scientific verificaion). Pelajaran yang diperoleh dalam kasus-kasus lingkungan dalam pengembangan hukum lingkungan Indonesia. Kasus PT IIU, Porsea, Sumatra Utara Pengalaman dari kasus ini pada sistem hukum lingkungan Indonesia, bahwa pengertian pencemaran atau perusakan lingkngan tidak mudah dilakukan tanpa bantuan para saksi ahli yang berkompeten, dan memadainya kajian aspek sosial-budaya dalam studi AMDAL. Pada kasus ini kajian kelayakan AMDAL dipersoalkan untuk pertamakalinya; Putusan pengadilan tentang ius standi Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM pada saat itu, dalam PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 258 UULH-97 disebut sebagai organisasi lingkungan telah membawa pengaruh penting dalam sistem hukum lingkungan Indonesia dalam praktek. Banyak kasus-kasus lingkungan Indonesia diangkat ke forum pengadilan berkat peran organisasi lingkungan Indonesia. Pelajaran yang diperoleh dari peran LSM atau organisasi lingkungan dalam kasus-kasus lingkungan, selain membantu menerjemahkan informasi lingkungan dan kepentingan kelompk masyarakat ke dalam pengertian hukum melalui model model konsultasi publik secara praktis, juga memperkuat posisi organsasi lngkungan ini sebagai perwakilan lingkungan untuk menjamin pelestaran fungsi lingkungan, sebagaimana diatur dalam pasal 14 UULH-97. Pelaksanaan Audit lingkungan PTIIU telah diadopsi dan dijadikan pengalaman menyusun rumusan hukum model Audit lingkungan dalam rangka Penaatan (compliance audit) sebagaimana diatur dalam pasal 29 UULH-97; Dengan pengalaman dari kasus lingkungan PTIIU, dibuktikan bahwa kajian kelayakan lingkungan harus terintegrasi dengan kajian aseptibilitas sosial, sebagai faktor yang sangat signifikan dalam kajian AMDAL. Perkembangan ini juga mempengaruhi perumusan hukum berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang meliputi pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan. Kasus lingkungan Laut Teluk Buyat, Sulawesi Utara. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 259 Kasus lingkungan Laut Teluk Buyat, Menado, memberikan pengalaman tentang pentingnya peran laboratorium hukum (legal laboratory) dan saksi ahli didalam melakukan analisis kausa fakta (legal sample analysis) sebagai alat bukti bagi hakim di pengadilan dalam pembentukan hukum sebagai dasar keputusan. Hal ini dapat diuraikan lebih lanjut sebagai beikut: analisis ilmiah atau lazim disebut sebagai verifikas ilmiah, menurut versi hakim Jepang dalam kasus Minamata, 1973, telah mermberikan pelajaran yang sangat berharga bagi para ahli hukum lingkungan laut di Indonesia. Prinsip dan metoda pengambilan sampel dan analisis ilmiah tehadap hasil laboratorium hukum merupakan kunci keberhasilan proses pembuktian. Analisis ekologi laut dalam perspektif ilmu kelautan, seperti model analisis hubungan kausal diantara sumber pencemar, zat pencemar, media lingkungan laut dan akibat (atau korban), akurasi analisis laboratorium hukum terhadap sampel hukum sebagai salah satu mata rantai hubungan kausal proses pembuktian sangat signifikan. Transformasi deskripsi teknis lingkungan laut, terkait dengan syarat-syarat buangan limbah ke laut, dengan daya dukung lingkungan laut, dan cermatnya evaluasi terhadap laporan RKL & RPL secara berkala oleh instansi yang bertanggung jawab, merupakan sebagian dari peluang keberhasilan pembuktian kausa fakta di pengadilan. Peran ahli hukum terkait menerjemahkan data dan infromasi ilmu kelautan, sampel hukum dan hasil analisis laboratorium hukum, PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 260 sangat membantu hakim memahami dan memberikan keyakinan untuk menimpulkan terjadinya perbuatan melanggar hukum pencemar. Pelatihan hakim sesuai dengan UULH Indonesia dan dokumen kasus-kasus lingkungan, termasuk lingkungan laut sangat diperlukan. Bahkan pelatihan penyegaran (refreshing course) sesuai dengan perkembangan ilmu lingkungan dan teknis lingkungan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus lingkungan di Indonesia. Kasus lingkungan pengeboran minyak (WKP) di Indonesia. Kasus lingkungan dalam kegiatan MIGAS terjadi sejak eksplorasi s.d. pengangkutan. Pada setiap tahapan, sesuai dengan UU MIGAS no. 22 tahun 2001, berlaku sistem penaatan dan penegakan hukum yang bebeda pula. tahap eksplorasi kegiatan berdasarkan KP eksplorasi tidak diwajibkan melakukan AMAL. Sistem pengelolaan lingkungan didasakan pada UKL & UPL atau Standard of Procedure (SOP) dalam sistem hukum pertambangan, temasuk MIGAS di Indonesia. Oleh karena itu, tanggung jawab gantirugi hanya didasarkan tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) sesuai dengan pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Per definisi, eksplorasi termasuk kategori penelitian yang ditujukan untuk mengetahui besanya kandungan minyak, aspek-aspek geologis, planologi, PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 261 serta aspk-aspek teknis sesuai dengan SOP atau panduan teknis perminyakan. Karena kegiatan ini termasuk penelitian, sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk perencanaan kegiatan, termasuk kemungkinan kegiatan usaha, maka kegiatan ini tidak lazim dikenakan ketentuan pidana lingkungan. Kegiatan ini lebih bersifat akademis (LIPI dan Lembaga penelitian Perguruan Tinggi) dan kegiatan profesional untuk mengembangkan sistem informasi dan kajian geografis untuk merencanakan rencana strategis tindakan aksi yang sangat bemanfaat bagi kalangan profesional. Apabila hal ini diancam dengan pidana orang (kecuali pidana denda), maka program penelitian dan pengembangan sebagai sarana akademis meningkatkan kapasitas akademis para ahli terancam dan perkembangan ilmu dan pengetahuan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengalaman dari kasus-kasus lingkungan perminyakan, membeikan pengalaman yang menarik tentang pentingnya difahami peran ahli dan analisis ilmiah kasus-kasus lingkungannya. Kasus Santa Barbara di Negara Bagian California, USA Pengalaman kasus semburan minyak yang terjadi di Santa Barbara, California, USA, 1969 memberikan pelajaran yang berharga bahwa kegagalan pemasangan casing selalu bisa terjadi dengan berbagai faktor terkait (distributing factors), baik aspek geologis, seismik, dan aspek teknis pemasangan casing. Oleh karena hal sangat erat terkait dengan analisis ilmiah, pengujian PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 262 terhadap aspk-aspek atau formasi geologis, pengaruh seismik, gempa, dan tekanan dari gas yang ada, dan keahlian serta pengalaman dalam pemasangan casing perlu diberikan prioritas. Tindakan ini dilakukan untuk, tanpa mengurangi tanggung jawab publik pada orang atau kelompok orang yang terkena akibat semburan, dan upaya untuk melakukan pencegahan atau penanggulangan pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Terhadap kasus ini dikenakan sanksi pdana denda, bukan pidana orang atau pidana korporasi, sebab peristiwa ini lebih terkait dengan kompetensi keahlian, dan tim pengeboran sebagai kelompok E. Beberapa Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem penegakan hukum lingkungan Indonesia, dilihat dari peningkatan kualitas sumber daya manusia menghadapi berbagai tantangan. Pertama, pengakuan ius standi lembaga Swadaya Masyarakat (LSM-UULH-82) atau organisasi lingkungan (UULH-97) yang tujuan dan bidang kegiatannya khusus mengenai perlindungan lingkungan dan memperlihatkan kepeduliannya pada lingkungan merupakan mitra kerja pemerintah yang dapat berlangsung langgeng, karena didasarkan pada idealisme sebagai pembina lingkungan dan mempunyai landasan hukum yang kuat baik perundangundangan maupun putusan hakim harus disertai dengan pembinaan kualitas sumber daya manusianya. Perkembangan organisasi lingkungan atau LSM yang makin PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 263 bersifat lintas batas nergara membawa perkembangan baru dalam persoalan ius standi. Kedua, masalah pembuktian akan tetap menjadi pokok bahasan yang menarik, karena mempersoalkan berbagai kepentingan dan telah merupakan salah satu masalah pokok dan mendasar dalam pelaksanaan hukum lingkungan yang baru. Masalah ini terkait dengan sifat teknis yang rumit, ragam disiplin ilmu yang terlibat terkait dengan pembuktian hubungan kausal secara ilmiah (scientific verification) dan syarat-syarat sahnya suatu alat bukti (mis. Sampel hukum) dan kesaksian ahli serta peranan laboratorium (laboratorium hukum). Ketiga, asas tanggung jawab mutlak (strict liability), meskipun telah diterima sebagai asas ganti rugi yang luas di berbabagi negara dan telah diterima dalam perundang-undangan Indonesia, karena pemahaman yang kurang terhadap sejarah dan tujuan diberlakukannya asas ini pada pencemaran/perusakan lingkungan, apabila tidak diberlakukan secara tegas, penegakan hukumnya akan lebih banyak menguntungkan pihak yang ekonominya kuat. Rumusan hukum tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur dalam pasal 35 ULH-97 masih menganut kriteria terbatas, yaitu hanya kegiatan yang wajib AMDAL, menggunakan B3 dan/atau limbahnya B3. Keempat, masalah interpretasi kaidah hukum lingkungan masih tetap menjadi perdebatan di antara para pakar dan penegak hukum. Atas dasar hasil penafsirannya harus tetap memperhatikan ilmu lingkungan sebagai dasar penilaian dan penyeragaman persepsinya. Selain itu perlu dipahami bahwa konsep hukum yang bersifat ekologis, PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 264 bukan lagi sistem atau konsep hukum yang lazim dianut oleh penegak hukum sebelum tahun 1970-an, karena konsep hukumnya yang bersifat ekologis mmenganut budaya atau etika lingkungan secara mendasar, termasuk proses pembuktiannya. Kelima, sesuai dengan pola pembangunan/ pembinaan hukum nasional (lihat REPELITA II, 1974), pembentukan hukum lingkungan di samping melalui ketentuan perundang-undangan berdasarkan UULH-82, yang diubah dan disempurnakan dengan UULH NO 23 Tahun 1997, perlu dikembangkan pembentukan hukum lingkungan berdasarkan putusan hakim dengan melibatkan saksi ahli dan laboratorium hukum (rujukan). Keenam, untuk melaksanakan kaidah hukum lingkungan secara baik dan efektif perlu pendidikan atau latihan (training di bidang lingkungan & tehnik lingkungan) dan meningkatkan penyuluhan serta penyebarluasan pengetahuan, informasi dibidang hukum dan lingkungan secara berkala. Ketujuh, keterbatasan saksi ahli dalam proses pembentukkan dan penegakan hukum lingkungan dapat diatasi, antara lain, melibatkan para pakar/ahli perguruan tinggi dan asosiasi disiplin ilmu sejenis, seperti asosiasi ahli toksikologi Indonesia, termasuk melalui lembaga internasioal. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN 265 BEDAH KASUS : PT Newmont MR (no.284/ Pid.B/2005/PN.Mdo) A. Fakta Tempat Buangan Tailing ke Laut Proses pembuangan tailing ke laut dengan tehnik pertambangan Standar kedalaman buangan tailing kedasar laut terkait dengan thermoclin Kandungan Hg dan Ars sebagai produk ikutan secara alami dalam limbah Moonsoon type climate Penerapan AMDAL dalam proses ijin Laporan RKL/RPL sebagai alat evaluasi terhadap ketaatan pada peraturan Pemeriksaan sampling buangan tailing oleh laboratorium hukum (legal laboratory) Sertifikasi PROPER hijau berdasarkan laporan RKL/RPL setiap tahun Penggunaan ERA sebagai ijin penetapan thermoclin buangan ke laut Masalah Pengelolaan B3 Kandungan Hg, Ar sebagai indikator kualitas buangan limbah yang berbahaya Perlu pengujian karakteristik sebelum ditetapkan sebagai B3 dalam arti hukum Terdapatnya PETI yang menggunakan Hg dalam proses pemurnian emas oleh masy Peranan Laboratorium dlm Proses Pembuktian PMH PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 266 Lembaga WHO, Minimata Jepang, Australia yang bersifat internasional membuktikan idak terjadi pencemaran Lembaga PT (UNSRAT) membuktikan tidak melampaui ambang batas yang diperkenankan. Verifikasi kajian bersama Tim Ahli yang anggotanya berasal, a.l. UGM, UI, IPB, ITB, dan UNPAD menunjukkan tidak meyakinkan adanya pencemaran. Laboratorium MABES POLRI menyatakan terjadi pencemaran B. Isu Lingkungan Pencemaran laut dari buangan tailing ke laut pasti terjadi sampai tingkat tertentu. Apakah dimungkinkan Sertifikasi RKL & RPL peringkat hijau melampaui ambang batas? Indikasi, dugaan dan sangkaan terjadinya pencemaran oleh masyarakat dikawasan Pantai ikan mati dan kejanggalan lain yang dipersoalkan masyarakat. Isu lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat Tuntutan JPU Tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai dalil tuntutan Jaksa (UULH sbg dasar) Alat-alat bukti (sampling, hasil laboratorium/POLRI, dan bukti-bukti lain) Terdakwa I PT NMR dinyatakan sah dan meyakinkan Pres.Dir sbg terdakwa II dituntut dengan 3 (tiga) tahun pidana penjara Putusan PN Menado Tahun 2006 Dengan pertimbangan: pemeriksaan terhadap terdakwa, keterangan para saksi, hasil laporan laboratorium dan saksi PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN 267 ahli, alat-alat bukti yang diajukan keduabelah pihak Dengan mengingat UU No. 23 tahun 1997 dan pasal 191 ayat (1) KUHAP serta peraturan lainnya yang bersangkutan Putusan Hakim: 1. Terdakwa I PTNMR dan Terdakwa II RBN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana lingkungan dst; 2. Menyatakan membebaskan Terdakwa I PT NMR dan Terdakwa II RBN dari seluruh dakwaan dan tuntutan JPU; dan 3. Memulihkan Hak Terdakwa I PT NMR dan Terdakwa II RBN dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; 4. Membebankan biaya perkara kepada Negara. (Menado, 17/11/2006). PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN