Abstarksi Perubahan merupakan sesuatu yang niscaya terjadi pada sebuah masyarakat, baik perubahan itu terjadi secara perlahan atau cepat, dan dikehendaki atau tidak. Tak terkecuali bagi masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing seperti halnya masyarakat Suku Laut yang ada di Pulau Air Mas, salah satu pulau di wilayah Kota Batam. Mereka hidup di tengah-tengah lingkungan dan masyarakat dimana perubahan itu terjadi sangat cepat. Hal ini dikarenakan Kota Batam yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau ini merupakan kawasan yang sangat strategis dan memiliki potensi besar dalam pengembangan dan pembangunan daerah dalam bidang perdagangan, industri, dan pariwisata. Sehingga berbagai upaya pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta tersebut memberikan dampak bagi masyarakat Suku Laut dan mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Lalu kemudian sejauh mana hal tersebut berdampak pada masyarakat Suku Laut dan bagaimana masyarakat Suku Laut merespon berbagai perubahan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan besar tentang bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan observasi dan wawancara mendalam terhadap aktor-aktor atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut. Pihak-pihak seperti Suku Laut, Lembaga Amil Zakat Masjid Raya Batam (LAZ MRB), pemerintah setempat, serta para aktivis atau pemerhati masyarakat Suku Laut menjadi aktor penting untuk diamati dan diwawancara lebih lanjut guna mendapatkan penjelasan serta pemahaman secara menyeluruh dan detail. Selain itu, masyarakat diluar kelompok Suku Luat juga perlu dicermati agar kita bisa mengetahui bagaimana pola relasi antara mereka. Tak hanya itu, data-data dokumen berupa gambar, tulisan, dan semacamnya juga penting dalam penelitian ini untuk mendukung data yang dihasilkan dari observasi dan wawancara. Masyarakat Suku Laut ini merupakan suku asli di Kepulauan Riau yang memiliki tradisi dan kepercayaan cenderung berbeda dari masyarakat disekitarnya. Mereka dianggap tidak berpendidikan karena pola hidup mereka mengembara di lautan dan tidak beragama karena menganut kepercayaan animisme. Dengan berbagai alasan tersebut, mereka dikategorikan sebagai masyarakat suku terasing sehingga harus dikonversi agar sejalan dengan upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru melalui PELITA (Pembangunan Lima Tahun). Meraka dirumahkan dan terpaksa memilih salah satu agama yang disahkan oleh negara, sehingga terpilihlah Islam sebagai identitas mereka di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah karena masyarakat Suku Laut sejak zaman kerajaan Melayu dahulu sudah mengenal Agama Islam, sehingga Islam bukanlah hal yang asing, bahkan beberapa tradisi atau kultur mereka juga mendapat pengaruh dari Agama Islam. Akan tetapi, upaya tersebut gagal dikarenakan masyarakat Suku Laut sendiri belum siap untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut, sehingga mereka lebih memilih untuk kembali ke kehidupan mereka sebelumnya, yaitu mengembara dilautan. Upaya konversi tersebut kemudian dilanjutkan oleh aktor-aktor diluar pemerintah seperti aktivis atau pemerhati masyarakat Suku Laut serta Lembaga Amil Zakat Masjid Raya Batam (LAZ MRB) dengan pendekatan berbeda yaitu melaui pembinaan dan pendampingan dalam berbagai hal, termasuk agama. Cara ini dianggap berhasil, terbukti dengan semakin bertambahnya jumlah Suku Laut yang hidup menetap dan memeluk Agama Islam maupun non-Islam. Dengan demikian, perubahan besar yang dialami oleh masyarakat Suku Laut mulai dari wilayah kultural, tradisi, bahkan kepercayaan atau agama merupakan proses panjang yang telah berjalan secara perlahan dan tidak bisa dihindari. Mereka hidup ditengah-tengah lingkungan yang terus melakukan pembangunan dan modernisasi, sehingga mau tidak mau mereka juga harus menerima konversi tersebut agar mereka bisa diakui dan hidup setara dengan warga negara lainnya serta bisa mengakses berbagai sumber daya dan hak-hak mereka sebagaimana mestinya. xv Abstract Change is something that certainly happens in a society, whether its occur gradually or rapidly, and desired or not. Invariably for people who are classified as isolated communities as well as Suku Laut society located in Air Mas island, one of the islands in the area of Batam. They live in the midst of the environment and the communities in which the change occurs very quickly. This is because the Batam city located in the province of Kepulauan Riau is a very strategic area and has great potential in the development and regional development in the fields of trade, industry, and tourism. So that the development efforts undertaken by both government and the private sector have an impact on their communities and they are forced to adapt to these changes. And then what extents it affects to Suku Laut society and how Suku Laut society response to these changes. Therefore, this study was conducted to answer the big questions about how the process of social change that occurs in the Suku Laut society in Air Mas island. This research was conducted qualitatively by observation and depth interviews with actors or parties involved in the process of social change that occurred in the Suku Laut society. Parties such as the Suku Laut, Lembaga Amil Zakat of Masjid Raya Batam (LAZ MRB), local governments, and society activists or observers of the Suku Laut become an important actor to be observed and interviewed to obtain further explanations and thorough understanding and detail. Furthermore, groups of people outside the Suku Luat also needs to be observed so that we can know how the pattern of relations between them. Not only that, documents such as images, article and so on are also important in this study to support the data obtained from observations and interviews. Suku Laut society is a native tribe in the Riau Islands that have traditions and beliefs tend to be different from the surrounding society. They are considered uneducated because of their wandering lifestyle in the ocean and have no religion because they beliefs as animism. With such a variety of reasons, they are categorized as a tribal society that must be converted to align with the development efforts undertaken by the government, especially during the Order Baru government through Pelita (Pembangunan Lima Tahun). With a variety of considerations, they had laid off and forced to choose one religion that is approved by the state, and Islam was choosed as religion field in their identity card (KTP). One is because of since the Age of Malay kingdoms Suku Laut society already know Islam, so Islam is not a stranger, even some their traditions or cultures are also influenced by Islam. However, the attempt failed because the Suku Laut people themselves are not ready to adapt to these changes, so they prefer to return to their previous lives, which is wandering in the ocean. The attempt of conversion was followed by non-government actors such as activists or observers of Suku Laut as well as the Lembaga Amil Zakat of Masjid Raya Batam (LAZ MRB) with a different approach through coaching and mentoring in a variety of things, including religion. This method is considered successful, as evidenced by the increasing number of Suku Laut settled and take Islam nor other islam as their religion. Thus, major changes faced by the Suku Laut including the cultural, traditional, even religious belief is a long process that has been run slowly and can not be avoided. They live in the midst of an environment that continues in the development and modernization, so inevitably they also have to accept the conversion so that they can be recognized and live as equals with other citizens and be able to access various resources and their rights properly. xvi