CDM laut Indonesia

advertisement
KAJIAN POTENSI KELAUTAN INDONESIA
SEBAGAI PENYERAP CO2
Oleh: Armi Susandi
1. Pendahuluan
Sejak 16 Februari 2005 yang lalu Protokol Kyoto sudah diimplementasikan.
Indonesia juga telah meratifikasi Protokol Kyoto yang undang-undangnya telah
ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada akhir masa jabatannya, 19
Oktober 2004.
Dalam rangka memenuhi target tersebut negara-negara penanda tangan bersamasama mengurunkan kadar-emisi gas-gas rumah kaca. Negara maju bisa melakukan
program mitigasi dengan cara Join Implemantation (JI), atau Emission Trade, namun
untuk negara berkembang proyek yang dapat dilaksanakan untuk membantu
menurunkan jumlah emisi negara maju adalah dengan Mekanisme Pembangunan
Bersih –Clean Development Mechanism (CDM). Negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia diharapkan dapat memperoleh keuntungan dalam penurunan
gas-emisi global melalui proyek CDM ini.
2. Clean Development Mechanism
Clean Development Mechanism, atau lebih dikenal dengan CDM, adalah salah satu
mekanisme pada Kyoto Protokol yang mengatur negara maju yang tergabung dalam
Annex I dalam upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme CDM atau
diistilahkan sebagai Mekanisme Pembangunan Bersih ini merupakan satu-satunya
mekanisme yang terdapat pada Protokol Kyoto yang mengikutsertakan negara
berkembang dalam upaya membantu negara maju dalam menurunkan emisinya.
Selain membantu negara maju, sebaliknya diharapkan melalui mekanisme CDM ini
akan memungkinkan adanya bantuan keuangan, transfer teknologi, dan
pembangunan berkelanjutan dari negara maju ke negara berkembang.
Adapun tujuan mekanisme CDM (Protokol Kyoto artikel 12), adalah:
1. Membantu negara yang tidak termasuk sebagai negara Annex I, yaitu negara
berkembang, dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk
berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
2. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi
target penurunan emisi negaranya.
Jadi mekanisme CDM memberikan kesempatan bagi negara maju (Annex I) dalam
memenuhi target penurunan emisi secara fleksibel dan dengan biaya yang tidak
terlalu mahal. Tentunya kegiatan CDM memungkinkan pemerintah dan pihak swasta
di negara Annex I untuk bisa mengembangkan proyek yang dapat menurunkan emisi
gas rumah kaca di negara berkembang.
CER atau "certified emissions reduction" akan didapatkan oleh negara maju sebagai
sebuah kredit apabila proyek yang dilakukan di Negara berkembang telah terbukti
menurunkan emisi gas rumah kaca. Kredit yang dihasilkan dari CER ini kemudian
akan dihitung sebagai emisi yang berhasil diturunkan oleh negara Annex I melalui
mekanisme CDM, yang dapat digunakan untuk memenuhi target mereka di dalam
Protokol Kyoto.
Saat ini proyek yang dapat dilakukan dalam hubungan mekanisme CDM ini adalah
proyek dalam bidang energi dan kehutanan. Indonesia mempunyai peluang cukup
besar dalam proyek CDM dari sektor kehutanan. Tetapi batasan pendefenisian
reforestasi dan aforestasi yang diberikan dalam proyek ini membuat Indonesia
tidaklah mudah untuk dapat meraih keuntungan dari proyek CDM ini.
Selanjutnya, salah satu potensi CDM yang belum banyak terkuantifikasi di sebagian
besar wilayah dunia termasuk Indonesia adalah kemampuan laut dalam menyerap
CO2. Penelitian ini akan mengkaji secara kuantitatif potensi laut Indonesia dalam
menyerap, memindahkan dan menyimpan CO2 di laut. Diharapkan pengkajian ini
akan ikut mendorong dimasukkannya sektor laut dalam mekanisme CDM.
Selanjutntya pengkajian potensi laut sebagai penyerap emisi CO2 diharapkan akan
memperkuat posisi negosiasi Indonesida dalam perundingan internasional tentang
kebijakan iklim.
3. Peranan lautan sebagai penyerap CO2
Dalam skala global, pertukaran CO2 antara amosfer dan laut mendekati
kesetimbangan, sementara itu ketidaksetimbangan yang besar dapat muncul dalam
skala loKal dan regional. Aliran pertukaran bersih (net exchange flux) di suatu lokasi
tergantung kepada tingkat kejenuhan CO2 di permukaan air, dan dapat di jelaskan
melalui persamaan berikut:
Fnet = k(pCO2ocean – pCO2atm)
(3.1)
Dimana pCO2at menunjukkan tekanan parsial CO2 di udara dan pCO2ocean menunjukkan
kesetimbangan tekanan parsial CO2 di permukaan laut, nilainya akan tergantung
faktor suhu dan aktifitas biologi lautan, sedangkan k adalah koefisien pertukaran
meningkat sebanding dengan pertambahan kecepatan angina (turbulen) di
pertemuan antarmuka udara-laut.
Catatan: Aliran bersih (net flux) bernilai positif apabila aliran tersebut bergerak dari
laut ke dalam atmosfer.
Sementara itu proses pemutusan CO2 di dalam air laut di peroleh melalui reaksi
berikut:
CO2(g) Æ CO2(aq)
CO2(aq) + H2O ‹—› H2CO3
H2CO3 ‹—› HCO3- + H+
HCO3- ‹—› CO32- + H+
Kelimpahan relatif dari CO2(aq), CO32-, dan HCO3- ditentukan dari konsentrasi ion
hydrogen (pH) di air dan konstanta kesetimbangan dari persamaan di atas, yang
akan berubah terhadap suhu, salinitas air, dan tekanan.
4. Penyerapan CO2 oleh lautan
Karbon dioksida (CO2) dapat larut di dalam air, dan lauatn menyediakan tempat
penyimpanan yang sangat besar. Sementara, terdapat siklus yang kontinu di lautan
dunia yang menjaga keseimbangan CO2 di dalam lautan dengan CO2 di atmosfer.
Sekitar 90 Gt karbon per tahun dilepaskan dari permukaan lautan di seluruh dunia,
sementara penyerapan tahunan oleh lautan sebesar 92 Gt. Jadi terdapat penyerapan
bersih (net uptake) terhadap CO2 oleh laut sekitar 2 Gt setiap tahunnya.
CO2 yang larut dalam laut terdapat dalam tiga bentuk utama yaitu: pertama;
disamping dalam bentuk CO2itu sendiri, kedua; CO2 juga ditemukan sebagai
bikarbonat terlarut (CO32-) dan ketiga; sebagai ion karbonat (HCO3-). Sekitar 90%
CO2 di simpan dalam bentuk bikarbonat (CO32-) di lautan. Sedangkan ion karbonat
terbentuk sebagai reaksi antara karbon dioksida dengan bikarbonat. Jika konsentrasi
CO2 di atmosfer meningkat, dan persediaan ion karbonat di laut terbatas, maka
kemampuan lautan untuk menyerap CO2 dari atmosfer akan semakin berkurang.
Penyimpanan karbon terbesar di lautan adalah di dalam sediment, dan sebagian
besar dijumpai dalam bentuk kalsium karbonat (CaCO3). Selanjutnya penyimpan
terbesar kedua adalah di kedalaman laut dimana karbon terdapat dalam bentuk
karbonat terlarut (CO3-) dan ion hydrogen karbonat (HCO3-). Karbon dapat di simpan
selama lebih dari 1000 tahun di dalam laut.
5. Perkiraan awal potensi CDM laut Indonesia
Luas lautan Indonesia 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,8 juta km2 laut territorial, 2,3
juta km2 laut nusantara, dan 2,7 juta km2 laut Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE). Luas
wilayah laut Indonesia ini adalah sebesar 17% dari total wilayah laut dunia.
Dari hasil simulasi model MERGE -Model for Evaluating the Regional and Global
Effects of Greenhouse Gas Reduction Policies, (Manne dkk, 1995), Susandi (2004)
telah memprediksi harga karbon akan meningkat secara ekponensial dari US$ 3 per
ton karbon pada tahun 2010 mencapai sekitar US$ 500 per ton karbon pada tahun
2100. Diasumsikan bahwa kemampuan laut Indonesia menyerap CO2 adalah 17%
dari total kemampun laut menyerap CO2 pertahun. Apabila nilai harga karbon ini di
kalikan dengan perkiraan kemampuan laut Indonesia menyerap CO2 maka akan di
dapatkan kemampuan ekonomi atau keuntungan dari penjualan kredit emisi lautan
Indonesia yang meningkat dari US$ 4000 pada tahun 2010 sampai US$ 200.000 juta
per tahun pada tahun 2100, seperti di perlihatkan pada Gambar 1. Potensi CDM laut
ini jauh lebih besar di banding potensi CDM kehutanan yang telah di hitung oleh
Susandi (2004).
Tentunya perkiraan awal potensi kredit emisi tersebut membutuhkan pengkajian
lebih lanjut dan pembuktian nilai ekonomisnya serta mengkoreksinya. Penelitian ini
membutuhkan pendekatan komprehensif, baik dari sisi kelautan, proses fisis
atmosfer laut maupun aspek ekonomisnya. Penelitian ini akan mencoba mengkaji
potensi laut Indonesia lebih lanjut dalam menyerap CO2 dan perkiraan potensi kredit
emisi dari CDM laut Indonesia.
250,000
Juta US$
200,000
150,000
CDM laut?
100,000
50,000
CDM hutan
0
2010
2030
2050
2070
2090
Tahun
Gambar 1. Potensi kredit emisi dari lautan Indonesia
Daftar pustaka:
Manne, A. S., R. O. Mendelsohn, and R. G. Richels, 1995: MERGE – A model for
Evaluating Regional dan Global Effect of GHG Reduction Policies, Energy Policy
23(1):17-34.
Susandi, A, 2004: The impact of international greenhouse gas emissions reduction
on Indonesia, Report on Earth System Science, Max Planck Institute for Meteorology,
Jerman.
Download