1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini tidak lepas dari peran serta
aktivitas manusia dengan lingkungan. Peran manusia dalam permasalahan
lingkungan tersebut diantaranya dapat mengubah keadaan atmosfer bumi.
Atmosfer bumi mengalami perubahan dikarenakan tiga faktor utama yaitu
aktivitas manusia mengubah sifat permukaan bumi, menambah energi ke dalam
atmosfer bumi dari sumber buatan dan menambahkan zat kedalamnya. Perubahan
permukaan bumi berpengaruh pada cara sinar matahari diserap dan dipancarkan
kembali ke atmosfer, dan mengubah tahanan gesek terhdap angin (Neiburger,
1995). Faktor utama yang sangat berpengaruh yaitu sifat permukaan bumi yang
berubah dikarenakan perubahan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan
(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Karena kebutuhan manusia yang
begitu mendesak, banyak terjadi perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan
pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan
pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,
pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan
mutu kehidupan yang lebih baik.
Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi
juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh,
meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat
rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga
berperan dalam menggeser fungsi lahan. Ada tiga hal bagaimana teknologi
mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah
membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas
lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi
1
transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam
meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat
meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah. Perubahan penggunan lahan di
suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan
berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya.
Keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah penduduk setiap tahun
menyebabkan kota menjadi padat. Akhirnya, kedua faktor tersebut dapat
menimbulkan kekumuhan kota. Aktivitas kota akan mempengaruhi kualitas
lingkungan perkotaan. Kota dengan kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang
intensif akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Kompetisi penggunaan
lahan yang terjadi antara guna lahan dengan fungsi ekonomis, seperti perdagangan
dan jasa, industri serta pemukiman, mendesak keberadaan ruang terbuka
bervegetasi.
Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan
aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini
ditunjukan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,
seiring dengan semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk baik secara alami
maupun migrasi, dan beragamnya tuntutan kebutuhan akan sarana dan prasarana.
Disisi lain luas lahan dan potensi lahan adalah tetap (statis) yang dibatasi oleh
wilayah kepemilikan baik secara administratif maupun fungsional, yang
sebenarnya tidak semua bagian wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara ideal
sebagai lahan terbangun.
Intervensi penggunaan lahan kawasan pada kawasan lain yang dilakukan
tanpa pertimbangan atau perencanaan yang baik akan mengganggu atau
mengurangi
keseimbangan
kegiatan
sektor-sektor
pembangunan
secara
keseluruhan. Keterbatasan luas lahan yang ada di kota menyebabkan kota akan
mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota
merupakan daerah yang mengalami dinamika dalam perkembangannya, terutama
dinamika dalam penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan
2
kebutuhan lahan untuk permukiman dan menampung fungsi-fungsi atau prasarana
kegiatan yang ada.
Perkembangan fisik kota mengandung dua macam konsekuensi, yaitu
adanya intensifikasi penggunaan tanah dalam kota dan ekstensifikasi penggunaan
lahan ke pinggiran kota (Sujarto, 1976). Laju perkembangan fisik kota yang
terjadi saat ini, sangat dipengaruhi oleh laju perkembangan kota yang mengalami
proses pergeseran penggunaan lahan dari pusat ke pinggiran. Hal tersebut timbul
sebagai akibat dari keterbatasan lahan dan tingkat kompetisi penggunaan lahan di
pusat kota. Sehingga mengakibatkan bergesernya penggunaan lahan permukiman
ke daerah pinggiran. Dilihat dari morfologi kota, penampakan perkotaan tersebut
dapat teridentifikasi melalui perubahan penggunaan lahan dari non terbangun
menjadi terbangun, terintegrasinya bangunan-bangunan (architectural building)
dan pola jaringan jalan (Smailes dan Conzen dalam Yunus, 2004).
Fakta di lapangan menunjukan bahwa laju perubahan penggunaan lahan
di daerah pinggiran telah memunculkan kantong-kantong aktivitas baru yang
sebelumnya tidak dijabarkan atau diantisipasi dalam Rencana Umum Tata Ruang
Kota. Kondisi demikian menyebabkan pembangunan fisik di daerah pinggiran
kota terbangun secara sporadis dan mengalami perluasan areal perkotaan atau
urban sprawl (Yunus, 1982).
1.2
Perumusan Masalah
Permasalahan lingkungan hidup di kota begitu kompleks. Permasalahan
tidak terbatas pada kondisi sosialnya, namun juga pada komponen lingkungan
lainnya. Permasalahan yang ada mulai dari ketersedian air bersih, sanitasi, polusi,
kemacetan, sampai kepada berkurangnya ruang terbuka hijau. Daerah perkotaan
dengan jumlah penduduk yang padat menyebabkan berkurangnya lahan untuk
vegetasi. Lahan bervegetasi diganti dengan permukiman, gedung-gedung, dan
industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota.
Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan peningkatan suhu
udara kota. Suhu udara rata-rata tahunan di Kota Yogyakarta meningkat dari
3
26,2°C pada tahun 2000 menjadi 26,6°C pada tahun 2006 (Dinas Perhubungan
DIY 2006, dalam BPS, 2007). Bahan bangunan seperti aspal, semen dan beton
menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Kenaikan suhu udara juga
diakibatkan oleh kegiatan industri, transportasi, dan rumah tangga yang
menggunakan bahan CO, Nox, Sox, dan HC yang menimbulkan efek rumah kaca.
Kota Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan
identitas dan daya tariknya sebagai kota pendidikan dan kota parawisata membuat
aktivitas penduduk semakin padat sehingga aktivitas penduduk yang padat ini
menyebabkan proses perubahan yang cepat dalam struktur penggunaan lahan.
Aktivitas penduduk ini bisa mencakup aktivitas pekerjaan seperti di bidang
pemerintahan, industri, perdagangan dan lainnya yang menyebabkan kebutuhan
terhadap fasilitas publik meningkat.Aktivitas penduduk yang tinggi ini
dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah penduduk terutama dari tahun 1980
hingga tahun 2002.
Tahun 2003 hingga 2010 jumlah penduduk Kota Yogyakarta mengalami
fluktuasi dikarenakan Kota Yogyakarta perlahan serasa ditinggal penghuninya
tidak lain adalah bencana alam yang melanda kota ini. Mulai dari gempa bumi
hingga gunung merapi yang meletus. Karakteristik kota yang sudah jenuh ini akan
menyebabkan sulitnya kenaikan jumlah penduduk, sehingga kecenderungan yang
terjadi adalah penurunan jumlah penduduk. Selain itu faktor lapangan usaha yang
dirasa sudah sangat banyak di kota ini dianggap sebagai salah satu faktor yang
membuat beberapa orang berpikir untuk mencari lapangan usaha di daerah lain.
Meski begitu, tingkat kepadatan penduduk Yogyakarta masih sangat tinggi, yakni
mencapai rata-rata 11.941 penduduk setiap satu kilometer persegi.
Tabel berikut menunjukkan jumlah penduduk Kota Yogyakarta mulai
tahun 1981 sampai dengan tahun 2010. Data yang disajikan adalah data sensus
pada tahun 1990, 2000 dan 2010 sedangkan yang lainnya merupakan data jumlah
penduduk yang didapat dari perhitungan BPS dalam Kota Yogyakarta dalam
angka. Data jumlah penduduk merupakan perhitungan jumlah penduduk (menurut
komposisis umur dan jenis kelamin) yang dipengaruhi oleh aktivitas keluar
masuknya penduduk dalam suatu tempat yaitu kelahiran, kematian, imigrasi
4
maupun emigrasi. Kota Yogyakarta merupakan daerah yang cukup mempunyai
nilai fluktuasi penduduk yang bervariasi dikarenakan salah satu faktor penariknya
yaitu merupakan kota pelajar yaitu banyak pendatang yang berimigrasi tetapi
tidak menjadi penduduk tetap, sedangkan untuk penduduk aslinya sebagian besar
memanfaatnya areanya untuk disewakan dan mereka memilih tinggal bukan di
kota melainkan pedesaan.
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta.
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Tahun Penduduk Tahun Penduduk Tahun Penduduk
1981
380.548
1991
448.808
2001
503.954
1982
395.916
1992
452.866
2002
510.909
1983
404.250
1993
459.417
2003
392.239
1984
412.280
1994
464.946
2004
398.004
1985
416.549
1995
469.193
2005
435.236
1986
426.342
1996
474.461
2006
443.118
1987
432.410
1997
478.752
2007
391821
1988
430.066
1998
483.760
2008
390782
1989
435.061
1999
490.433
2009
389682
1990
439.528
2000
497.699
2010
387.086
Sumber: BPS : Kota Yogyakarta dalam Angka & Sensus Penduduk
Padatnya aktivitas penduduk ini berkorelasi positif dengan peningkatan
kendaraan bermotor, terutama kendaraan bus dan sepeda motor. Berdasarkan data
tahun 2000-2006, terjadi peningkatan jumlah bus dan sepeda motor masingmasing sebesar 45,7 persen dan 50,7 persen (Kota Yogyakarta dalam Angka
Tahun 2007). Tabel 1.2 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun kebutuhan
aktivitas manusia terhadap transportasi juga meningkat. Peningkatan suhu udara
di perkotaan terjadi akibat meluasnya areal terbangun sebagai hasil dari proses
urbanisasi yang intensif. Kota akan menyimpan dan melepaskan panas di siang
hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih panas dibanding daerah
sekitarnya dan terjadi efek pulau bahang atau urban heat island.
5
Tabel 1.2 Jumlah Kendaraan di Kota Yogyakarta
Jenis Kendaraan
1991
1992
1993
1994
Sedan dan Station
16724 17977 19349 21792
Truck
8205
8676
9751
10104
Bus
1706
1706
1646
1354
Sepeda Motor
83429 103259 106908 111787
110064 131618 137654 145037
Jumlah
Jenis Kendaraan
1999
2000
2001
2002
Sedan dan Station
29091 29797 30284 30234
Truck
10385 11441 11638 11992
Bus
1178
959
932
1272
Sepeda Motor
152800 159259 168468 179813
193454 201456 211322 223311
Jumlah
Jenis Kendaraan
2006
2007
2008
2009
Sedan dan Station
32332 32667 32873 33056
Truck
12730 12827 12701 12831
Bus
5329
6528
8266
9572
Sepeda Motor
240075 256224 273538 288619
290466 308246 327378 344078
Jumlah
Sumber : Samsat Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta dalam Angka
Tahun 1994, 2002 dan 2009
Efek pulau bahang ini juga disebabkan adanya perubahan penggunaan
lahan dari penggunaan lahan vegetasi menjadi penggunaan lahan non vegetasi.
Penggunaan lahan vegetasi di Kota Yogyakarta pada tahun 1994 sebanyak 8,34
persen dari bagian wilayah Kota Yogyakarta dan pada tahun 2009 tersisa 2,8
persen. Kurun tersebut perubahan penggunaan lahan dari lahan vegetasi menjadi
lahan non vegetasi sebesar 5,54 persen. Tabel berikut menunjukkan adanya
pengurangan penggunaan lahan vegetasi kurun waktu 1994-2009.
Tabel 1.3 Tabel Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1994-2009
Penggunaan
Lahan
1994
2002
2009
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Sawah Irigasi
254
8%
138
4.25%
87
3%
Tegalan & Kebun
17
1%
4
0.12%
4
0%
Lahan Terbangun
2663 82%
2792 85.91% 2872 88%
Lain-Lain
316
10%
316
9.72%
287
9%
Jumlah
3250 100% 3250
1
3250
1
Sumber : Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 1994,2002 dan 2009
Perubahan
Lahan
Ha
%
-167
-5%
-13
0%
209
6%
-29
-1%
6
Unsur iklim mikro udara merupakan elemen utama yang mempengaruhi
iklim mikro perkotaan. Perubahan penggunaan lahan inilah yang menjadi salah
satu faktor utama meningkatnya suhu permukaan di Kota Yogyakarta.
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka dihasilkan tiga
pertanyaan penelitian yang akan dijawab dari hasil penelitian ini, yaitu :
1.
Bagaimana pola persebaran penggunaan lahan di Kota Yogyakarta?
2.
Bagaimana pola pesebaran suhu permukaan sesaat di Kota Yogyakarta?
3.
Bagaimana hubungan antara kerapatan vegetasi dengan suhu permukaan
sesaat di Kota Yogyakarta?
Oleh karena itu, pada penelitian ini diajukan judul berupa “Hubungan
Penggunaan Lahan Terhadap Pengaruh Iklim Mikro Kota Yogyakarta”.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini dilaksanakan dengan
tujuan sebagai berikut :
1.
Mengkaji sebaran penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2009.
2.
Mengkaji sebaran suhu permukaan sesaat di Kota Yogyakarta pada tahun
2009.
3.
Mengkaji hubungan variabel kerapatan vegetasi dengan ikllim mikro yaitu
suhu permukaan sesaat pada tahun 2009.
1.4
1.
Kegunaan Penelitian
Memberikan data tentang distribusi penggunaan lahan dan suhu permukaan
di Kota Yogyakarta.
2.
Sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk pembangunan penggunaan
lahan di Kota Yogyakarta.
7
1.5
Tinjuan Pustaka
Dalam uraian tinjauan pustaka ini dibagi menjadi tinjauan teoritis dan
kajian empiris. Dalam paparannya lebih lanjut tinjauan teoritis lebih menekankan
kepada teori-teori yang terkait dengan tema dan kajian penelitian. Sedangkan
kajian empiris lebih menekankan kepada aplikasi dari teori-teori tersebut yang
diwujudkan dengan penelitian-penelitian sejenis. Berikut uraian dari kedua
tinjauan tersebut :
1.5.1
Tinjauan Teoritis
1.5.1.1 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan
(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Beberapa pengertian mengenai
penggunaan lahan pada dasarnya sama, yakni mengenai kegiatan manusia di muka
bumi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa definisi penggunaan lahan
ditunjukkan sebagai berikut : Penggunaan lahan adalah suatu bentuk atau
alternatif kegiatan usaha atau pemanfaatan lahan (contoh pertanian, perkebunan,
padang rumput). Penggunaan lahan adalah usaha manusia memanfaatkan
lingkungan
alamnya.
Penggunaan
lahan
adalah
interaksi
manusiadan
lingkungannya, dimana fokus lingkungan adalah lahan, sedangkan sikap dan
tanggapan kebijakan manusia terhadap lahan akan membentuk langkah-langkah
aktivitasnya, sehingga akan menginggalkan bekas di atas sebagai bentuk
penggunaan lahan.
Penggunaan
lahan
pada
umumnya
digunakan
untuk
mengacu
pemanfaatan lahan masa kini, karena aktivitas manusia bersifat dinamis, sehingga
perhatian kajian sering kali diarahkan pada perubahan-perubahan penggunaan
lahan (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) atau segala yang berpengaruh
pada lahan. Penggunaan lahan merupakan salah satu perwujudan lingkungan
binaan, yang merupakan hasil hubungan komponen lingkungan budaya (manusia)
dengan komponen lingkungan alami. Oleh karena itu, prinsip pendekatan
8
inventarisasi adalah pendekatan secara terpadu, yang bertitik tolak dari sudut
pandang pengamata tunggal terhadap lingkungan, karena segala sesuatu di
lingkungan pada tingkat tertentu saling bergantung antara satu dengan yang lain.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pendekatan untuk inventariasi dan
analisis data harus memungkinkan untuk memberikan gambaran tentang
sumberdaya dalam kurun satu waktu dan ruang waktu dengan cara yang
mencerminkan adanya daya saling mempengaruhi (interaksi) atau memungkinkan
untuk menaksir hasil-hasil dari adanya interaksi-interaksi tersebut. Di dalam
hubungan seperti ini, penggunaan lahan menjadi pusat perhatian yang penting.
Penggunaan lahan di Indonesia secara umum merupakan akibat nyata
dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap keseimbangan dan
dinamis, antara aktivitas-aktivitas penduduk di atas lahan, dan keterbatasanketerbatasan di dalam lingkungan tempat hidup mereka. Proses penyelarasan
antara kebutuhan-kebutuhan manusia dengan potensi alam untuk memenuhinya
telah berakibat pada sistem-sistem yang lebih kurang stabil. Berbagai perubahan
di dalam hubungan antara berbagai unsur dari sistem alami biasanya berjalan
lambat, sehingga dapat memberikan waktu bagi berbagai komponen untuk
mengadakan penyesuaian. Oleh karena itu dengan sendirinya terbentuk suatu
keseimbangan baru tanpa menimbulkan gangguan yang berarti.
Proses inventarisasi data penggunaan lahan, perlu dibedakan antara
penggunaan lahan pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan. Hal ini mengingat
adanya perbedaan prinsip, dari aspek jenis kegiatan di pedesaan lebih sedikit
sehingga jumlah penggunaan lahan lebih sedikit. Lain halnya dengan perkotaan
jumlah jenis kegiatan lebih banyak dibandingkan pedesaan, sehingga jumlah
bentuk penggunaan lahan sebagai tempat aktivitas lebih banyak. Untuk memenuhi
kebutuhan dasar dari bidang cocok tanam di pedesaan, paling sedikit diperlukan
lahan pertanian seluas satu hektar untuk satu keluarga dengan jumlah anak tiga
jiwa, dengan bentuk penggunaan lahan paling banyak dua jenis yaitu sawah atau
tegal. Sebaliknya tanah seluas satu hektar di daerah perkotaan mampu
menampung berbagai jenis kegiatan non pertanian, memungkinkan bentuk-bentuk
9
penggunaan lahan lebih dari dua jenis, lahan tempat tinggal, lahan jasa, lahan
industri, lahan perdagangan dan lahan lain non pertanian.
Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak
dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat
jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu
kehidupan yang lebih baik. Pola perubahan penggunaan lahan ini disebabkan
karena pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan
transmigrasi serta faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang
sangat penting dalam fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang
pada akhirnya meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan
lainnya. Konsekwensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan
yang berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin.
Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan
upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan
penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi
lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan
dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro,
pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap
kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri
pemukiman,
penduduk,
pola
lapangan
kerja
dan
pola
pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada.
Perubahan penggunaan lahan ini berpengaruh pada setiap komponen
iklim mikro yaitu yaitu suhu udara, kelembaban udara, suhu permukaan,
kecepatan angin dan sebaran keawanan serta curah hujan. Iklim mikro adalah
iklim yang mempunyai ukuran terkecil, untuk jarak horizontal 14 meter dan jarak
vertikal 14 meter di permukaan bumi (Linarce, 1992). Perubahan yang terjadi
dalam penggunaan lahan berarti juga telah terjadi perubahan pada manusia dalam
hal yang berhubungan dengan lahan. Untuk melihat intensitas perubahan
penggunaan lahan digunakan rumus :
10
Intensitas perubahan=(A1 (akhir)- A1 (awal)Ha)/(Luas Wilayah (Ha)) x 100%
dimana :
A1 = luas tiap jenis penggunaan lahan pada suatu wilayah pada tahun
(periode) berbeda.
1.5.1.2
Klasifikasi Lahan
Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam
proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra
penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang
sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan
lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun
berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi
kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau,
1978).
Pengelompokan objek-objek ke dalam klas-klas berdasarkan persamaan
dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi.
Menurut
Malingreau
(1978),
klasifikasi
adalah
penetapan
objek-objek
kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem
pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan
kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan
dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan
citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi
yang sederhana dan mudah dipahami.
Sistem klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi penggunaan lahan
menurut Malingreau dan Christiani, 1981. Contoh klasifikasi adalah sebagai
berikut:
11
Tabel 1.4 Klasifikasi Liputan Lahan/ Penggunaan Lahan Menurut Malingreau
Jenjang I
1. Daerah
Bervegetasi
Jenjang II
A. Daerah Pertanian
B. Bukan Daerah
Pertanian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Perkebunaan Campuran
8. Tanaman Campuran
1. Huatan lahan kering
2.
II.
Daerah
bervegetasi
tak
C. Bukan daerah
pertanian
III. Permukiman dan
lahan
bukan
pertanian
D. Daerah tanpa
liputan vegetasi
IV. Perairan
E. Tubuh perairan
Jenjang III
Sawah Irigasi
Sawah Tadah Hujan
Sawah Lebak
Sawah pasang surut
Ladang/Tegal
Perkebunan
Hutan lahan basah
3. Belukar
4. Semak
5. Padang Rumput
6. Savana
7. Padang alang-alang
8. Rumput rawa
1. Lahan terbuka
2. Lahar dan Lava
3. Beting Pantai
4. Gosong sungai
5. Gumuk pasir
1. Permukiman
2. Industri
3. Jaringan jalan
4. Jaringan jalan KA
5. Jaringan listrik tegangan tinggi
6. Pelabuhan udara
7. Pelabuhan laut
1. Danau
2. Waduk
3. Tambak ikan
4. Tambak garam
5. Rawa
6. Sungai
7. Anjir pelayaran
8. Saluran irigasi
9. Terumbu karang
10. Gosong pantai
Jenjang IV
-
Cengkeh
Coklat
Karet
Kelapa
Kelapa Sawit
Kopi
Panili
Tebu
Teh
Tembakau
-
Hutan bambu
Hutan campuran
Hutan jati
Hutan pinus
Hutan lainnya
Hutan bakau
Hutan campuran
Hutan nipah
Hutan sagu
Simbol
Si
St
Sl
Sp
L
C
Co
K
Ke
Ks
Ko
P
T
Te
Tm
Kc
Te
Hb
Hc
Hj
Hp
Hl
Hm
Hc
Hn
Hs
B
S
Pr
Sa
Pa
Rr
Lb
Ll
Bp
Gs
Gp
Kp
In
D
W
Ti
Tg
R
Sumber: Malingreau, J.P. Rosalia Christiani, 1981 (A Land Cover; Land
Use Classification for Indonesia
12
1.5.1.3 Iklim Mikro
Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur
cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu tempat
atau pada suatu wilayah. Sintesis tersebut dapat diartikan pula sebagai nilai
statistik yang meliputi nilai rata-rata, maksimum, minimum, frekuensi kejadian
nilai unsur cuaca tertentu dan penyimpangannya. Iklim di Indonesia mempunyai
arti yang cukup luas,meliputi unsur-unsur. (1) hujan dan air, (2) suhu udara dan
sinar matahari, (3) angin, (4) kelembaban udara. Daerah-daerah yang mempunyai
hujan banyak, dan lebat dengan musim kering yang pendek ditandai dengan
hutan-hutan lebat dan tanah yang kurus.
Kondisi iklim di perkotaan dapat berubah total akibat kegiatan
pembangunan yang demikian pesat dan penduduk yang padat, seperti :
bergantinya lahan pertanian menjadi gedung-gedung bertingkat, pabrik, industri,
perumahan, jalan raya dan lain-lain yang dapat mengubah albedo permukaan.
Jumlah penduduk serta aktivitas penduduk kota akan menghasilkan bahang,
sehingga suhu udara di perkotaan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di
pinggiran kota. Selain itu, adanya larian air yang cepat akibat permukaan tanah
tertutup oleh bangunan/beton, menyebabkan terjadinya penurunan kelembaban
nisbi (relatif) udara. Polutian yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang intensif,
akan menambah partikel higroskopis di atmosfer. Akibatnya jumlah dan hari
hujan meningkat, terutama di pusat-pusat kota (industri). Keberadaan bangunan
fisik (buatan manusia) dan benda-benda alami pada suatu lingkungan juga
berpengaruh pada unsur iklim setempat, misalnya : suhu udara, kecepatan dan
arah angin, intensitas lama penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan
kelembaban udara. Bangunan-bangunan di perkotaan mengakibatkan terjadinya
perubahan kekasapan permukaan, sehingga kecepatan dan arah angin di pusat kota
menurun dan berubah. Modifikasi iklim dilakukan dengan tujuan untuk
menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi manusia atau untuk menciptakan
lingkungan yang lebih optimal.
Cuaca dan iklim mikro dikendalikan oleh fluktuasi dan transformasi
energi radiasi di atas permukaan bumi. Besarnya fluktuasi dan transformasi energi
13
bergantung pada perubahan energi yang datang, kejernihan udara di atas
permukaan, jenis permukaan serta faktor-faktor lain yang tidak termasuk faktor
udara dan permukaan. Energi radiasi yang datang dari matahari menuju ke
permukaan bumi sebagian digunakan untuk penguapan, sebagian untuk gerakan
udara, sebagian dipantulkan kembali, sebagian diserap oleh bumi dan udara, dan
untuk pemanasan bumi dan udara. Landsberg (1981) menyatakan bahwa menurut
hukum keseimbangan, seluruh jumlah energi tersebut harus tetap, sesuai dengan
persamaan berikut ini :
QN = QS↓– QS↑
±
QH ± QE ± QP
di mana :
QN
= energi netto
QS↓
= energi yang masuk
QS↑
= energi yang keluar
QH
= energi yang digunakan untuk pemanasan /pendinginan bumi
QE
= energi yang digunakan untuk perubahan fase (penguapan,
kondensasi, sublimasi dan lain sebagainya)
QP
= energi yang langsung dimasukkan atau dihilangkan oleh manusia,
misalnya : pembakaran AC, metabolisme, dan lain sebagainya.
Persamaan di atas disebut neraca energi, mengandung pengertian bahwa
perubahan dari salah satu unsur memberikan konsekuensi terjadinya perubahan
unsur-unsur yang lain. Corak cuaca dan iklim ditentukan oleh besarnya masingmasing unsur tersebut. Sebagai contoh, perubahan permukaan dari permukaan
hutan menjadi permukaan beraspal. Permukaan hutan mempunyai albedo yang
besar, sehingga suhu di permukaan tidak terlalu besar. Akan tetapi hutan dapat
menyimpan energi, sehingga suhu di permukaan tidak terlalu besar. Apabila
permukaan diubah menjadi beraspal yang mempunyai sifat banyak menyerap
energi dari radiasi matahari yang jatuh padanya menimbulkan terjadinya suhu
yang tinggi di atasnya pada siang hari. Sebaliknya pada malam hari, permukaan
ini memancarkan banyak energi, sehingga suhu di atas permukaan tersebut turun
dengan cepat.
14
1.5.1.4 Suhu Udara
Suhu didefinisikan sebagai tingkatan gerakan molekul benda, makin
cepat gerakan molekul maka makin tinggi suhunya. Suhu dapat didefinisikan juga
sebagai tingkat panas suatu benda. Panas bergerak dari benda yang mempunyai
suhu tinggi ke benda yang mempunya suhu rendah. (Tjasjono, 1999) Suhu udara
dipengaruhi oleh radiasi matahari, tinggi tempat, curah hujan, dan jarak dari laut.
Semakin rendah tingginya dan dekat jaraknya dari laut, suhu udara relatif lebih
tinggi, dan fluktuasi suhu hariannya semakin kecil. Suhu udara berfluktuasi
dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat
dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari,
sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikelpartikel pada yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari ini akan
menyebabkan suhu udara meningkat. Di daerah tropika, fluktuasi suhu udara ratarata harian relatif konstan sepanjang tahun (Lakitan, 1994).
Suhu menunjukkan gambaran umum energi kinetik suatu obyek,
demikian juga dengan suhu udara. Oleh karena itu, tidak semua bentuk energi
yang dikandung suatu obyek dapat diwakili oleh suhu. Sebagai contoh adalah
energi panas laten udara. Suhu udara hanya menunjukkan kondisi atau manifestasi
dari panas terasa. Energi panas terasa tergantung dari perbedaan suhu permukaan
dan suhu udara, kerapatan udara, kapasitas panas udara, dan hambatan tahanan
aerodinamisnya. Hal ini menggambarkan bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi
oleh beberapa hal tersebut. Suhu permukaan akan ditransfer ke udara dengan
proses konveksi melalui media yang bernama udara. Jumlah energi yang
ditransfer dipengaruhi oleh media yang dilaluinya.
Sifat fisik permukaan suatu obyek menentukan keadaan suhu permukaan
dan suhu udara diatasnya, sehingga jenis tanah dan penggunaan lahan akan sangat
mempengaruhi nilainya. Demikian juga jika pada kedua jenis lahan tersebut
mengalami perubahan tutupan lahan, maka respon perubahannya juga akan
berbeda. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan sifat fisik dari lahan dalam
penerimaan radiasi matahari, dan kemampuan untuk melepaskan panas yang
diterimanya dari radiasi matahari tersebut. kondisi suhu di wilayah tersebut
15
dengan proporsi dan interaksi yang berbeda. Biasanya perbedaan suhu adalah
fungsi dari jumlah populasi. Semakin besar populasi, maka tingkat perbedaan
suhu akan semakin besar (Landsberg, 1981).
1.5.1.5 UHI (Urban Heat Island)
Urban Heat Island yaitu fenomena dimana suatu kota bersuhu lebih
panas dari kondisi daerah sekitarnya atau dikelilingi oleh daerah pedesaan yang
bersuhu lebih rendah. (Neiburger, 1995) Wilayah perkotaan sering disebut sebagai
pulau panas (heat island), karena suhu udara di perkotaan lebih tinggi dari
wilayah di sekitarnya. Penggunaan istilah pulau panas ini dilandaskan atas adanya
garis kontur suhu (garis isotherm) yang melingkar pada daerah perkotaan dengan
titik suhu tertinggi terletak di tengah lingkaran tersebut. Jika dalam suatu sistem
pola cuaca yang sama terdapat garis kontur suhu yang melingkar, maka daerah di
dalam lingkaran kontur suhu ini disebut pulau panas (heat island). Lakitan (1994)
Menurut Tursilowati (2008) bahan bangunan seperti aspal, semen, dan
beton menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Ditambah lagi dengan
penggunaan alat pemanas, pendingin udara, dan pembangkit listrik yang
menghasilkan buangan panas. Pada siang hari energi itu dengan gampangnya
mengenai jalan, dinding dan atap-atap gedung. Karena sebagian besar air hujan
masuk ke parit-parit, dan karena di kawasan perkotaan umumnya tidak banyak
vegetasi, maka unsur evaorasi dalam persamaan bujet energi tersbut biasanya
kecil. Jadi sebagian besar energi yang diterima pada siang hari dikonduksikan ke
permukaan atau digunakan untuk memanaskan udara. Pada malam hari, panas
yang tersimpan di jalan atau gedung-gedung dikonduksikan ke permukaan dan
sebagai hasilnya, pendinginan pada malam hari sangat kurang. Selanjutnya, panas
dalam jumlah besar juga ditimbulkan oleh kendaraan yang lalu lalang, oleh
industri, serta oleh sistem-sistem pemanasan komersial maupun rumah-rumah
penduduk.
16
1.5.1.6 Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah Ilmu, teknik dan seni untuk
mendapatkan informasi tentang obyek, wilayah atau gejala dengan cara
menganalisis data yang diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan langsung
dengan obyek, wilayah atau gejala yang sedang dikaji (Lillesand dan Kiefer,
1994) Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai
bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat
berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi
elektromagnetik (Purwadhi, 2001).
Penginderaan
jauh
sangat
tergantung
dari
energi
gelombang
elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik dapat berasal dari banyak hal, akan
tetapi gelombang elektromagnetik yang terpenting pada penginderaan jauh adalah
sinar matahari. Banyak sensor menggunakan energi pantulan sinar matahari
sebagai sumber gelombang elektromagnetik, akan tetapi ada beberapa sensor
penginderaan jauh yang menggunakan energi yang dipancarkan oleh bumi dan
yang dipancarkan oleh sensor itu sendiri. Sensor yang memanfaatkan energi dari
pantulan cahaya matahari atau energi bumi dinamakan sensor pasif, sedangkan
yang memanfaatkan energi dari sensor itu sendiri dinamakan sensor aktif.
Analisa data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta
tematik, data statistik dan data lapangan. Hasil nalisa yang diperoleh berupa
informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi
sumberdaya lokasi. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan
untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan
daerah tersebut. Keseluruhan proses pmulai dari pengambilan data, analisis data
hingga penggunaan data tersebut disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi,
2001)
Penginderaan jauh merupakan aktivitas penyadapan informasi tentang
obyek atau gejala di permukaan bumi (atau permukaan bumi) tanpa melalui
kontak langsung. Karena tanpa kontak langsung, diperlukan media supaya obyek
atau gejala tersebut dapat diamati dan ‘didekati’ oleh si penafsir. Media ini berupa
citra (image atau gambar). Citra adalah gambaran rekaman suatu obyek (biasanya
17
berupa gambaran pada foto) yang dibuahkan dengan cara optik, elektro-optik,
optik mekanik, atau elektronik. Pada umumnya ia digunakan bila radiasi
elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu obyek tidak
langsung direkam pada film.
Pengenalan pola spektral obyek dapat menjadi pemandu yang sangat
bermanfaat dalam upaya mengenali obyek pada citra. Secara garis besar dapat di
katakan bahwa air jernih cenderung memberikan pantulan yang lebih rendah dari
pada air keruh pada semua wilayah panjang gelombang. Vegetasi memberikan
pantulan yang sangat rendah pada spectrum biru, meningkat agak tinggi pada
spektrum hijau (oleh karena itu daun tampak hijau di mata manusia), menurun lagi
di spectrum merah (karena serapan kuat oleh pigmen daun), dan meningkat sangat
tajam di spectrum Inframerah dekat, sebagai akibat dari pantulan oleh ruang antar
sel pada jaringan spongi daun. Vegetasi kembali memberikan pantulan yang
rendah pada saluran inframerah tengah I dan inframerah II karena pengaruh
kandungan lengas (kelembaban) yang tinggi. Tanah bertekstur relatif kasar
(pasiran) ataupun relatif lembab memberikan pantulan yang cenderung meningkat
dari sprektrum biru ke inframerah dekat, kemudian sedikit turun pada spectrum
inframerah tengah I dan II karena pengaruh serapan oleh lengas tanah. Tanah
bertekstur relatif halus ataupun yang berona cerah di lapangan dan sangat tipis
cenderung memberikan pantulan yang tinggi pada semua spectra. Dedaunan yang
kering akan memberikan pantulan yang terus meningkat seiring dengan
meningkatnya panjang gelombang. Meskipun demikian gejala ini cenderung ideal
pada laboraturium, sedangkan kombinasi berbagai faktor di lapangan kadangkadang mengaburkan pola teoritis semacam ini.
Lillesand dan Kiefer (1994) menyebutkan 8 unsur interpretasi yang di
gunakan secara konvergen untuk dapat mengenali suatu obyek yang ada pada
citra, kedelapan unsur tersebut ialah warna/rona, bentuk, ukuran, bayangan,
tekstur, pola, situs dan asosiasi. Diantara ke delapan unsur tersebut, warna/rona
merupakan hal yang paling dominan dan langsung mempengaruhi pengguna citra
dalam memulai interpretasi. Sebenarnya seluruh unsur interpretasi ini dapat di
kelompokkan ke dalam 3 jenjang dalam piramida unsur-unsur interpretasi. Pada
18
jenjang paling bawah terdapat unsur-unsur elementer yang dengan mudah dapat
dikenali pada citra, yaitu warna/rona, bentuk, dan bayangan. Pada jenjang
berikutnya terletak ukuran, tekstur dan pola, yang membutuhkan pemahaman
lebih mendalam tentang konfigurasi obyek dalam ruang. Pada jenjang paling atas
terdapat situs dan asosiasi, yang merupakan unsur-unsur pengenal utama dan
seringkali menjadi faktor kunci dalam interpretasi, namun sekaligus paling sulit
untuk dideskripsikan.
1.5.1.7 Landsat ETM+
Kenampakan bumi disediakan dalam misi satelit berawak dan pada
awalnya satelit meteorology mendorong perkembangan program Satelit teknologi
sumber-daya bumi atau ERTS (Earth Resources Technology Satellites). Program
ini dikembangkan oleh NASA di Amerika, dan secara resmi diubah menjadi
program Landsat pada tahun 1975 untuk membedakannya dari program satelit
kelautan Seasat. Landsat merupakan satelit tak berawak pertama yang dirancang
secara spesifik untuk memperoleh data sumber daya bumi dalam basis yang
sistematik dan berulang. Landsat 7 dikontrol oleh USGS, yang telah mengambil
alih dari EOSAT.
Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 Desember 1998. Landsat 7
dilengkapi dengan sensor Enhanced Thematic Mapper Plus. Satelit Landsat 7
diluncurkan dengan ketinggian orbit 705 km. Orbit yang rendah ini dipilih untuk
membuat satelit secara potensial dapat dicari oleh pesawat ruang angkasa dan
untuk meningkatkan resolusi tanah pada sensor. Setiap orbit membutuhkan kirakira 99 menit dengan lebih dari 14,5 orbit dilengkapi setiap hari. Orbit ini
menghasilkan putaran berulang selama 16 hari, yang berarti suatu lokasi di
permukaan bumi bisa direkam setiap 16 hari. Landsat 7 tidak memiliki
kenampakan off-nadir sehingga tidak bisa menghasilkan cakupan yang meliputi
seluruh dunia secara harian. Citra Landsat 7 ETM+ tampak sama seperti data
Landsat TM, yang keduanya memiliki resolusi 25 meter. Satu layar penuh
mencakup luasan 185 km2, sehingga sensor dapat mencakup daerah yang besar di
permukaan bumi.
19
Citra Landsat TM dan Landsat ETM+ memiliki persamaan, dimana
keduanya memiliki ukuran piksel sebesar 25 meter. Bagaimanapun juga citra
Landsat ETM+ memiliki band pankromatik yang mampu menghasilkan citra
pankromatik dengan resolusi 12,5 meter. Hal ini memungkinkan untuk
menghasilkan citra multispektral pankromatik yang dipertajam (citra gabungan
pankromatik dan multispektral dengan resolusi spectral 7 band dan resolusi
spasial 12,5 meter) tanpa merektifikasi citra yang satu ke citra lainnya. Hal ini
disebabkan citra pankromatik dan multispektral direkam dengan sensor yang sama
sehingga bisa diregister secara otomatis. Citra Landsat 7 juga memiliki band
thermal yang dipertajam. Sensor ETM+ menggunakan panjang gelombang dari
spectrum tampak mata sampai spectrum infra merah. Secara radiometric, sensor
ETM+ memiliki 256 angka digital (8 bit) yang memungkinkan pengamatan
terhadap perubahan kecil pada besaran radiometric dan peka terhadap perubahan
hubungan antar band.
Band-band ETM+ berguna untuk mengkaji air, pemilihan jenis vegetasi,
pengukuran kelembaban tanah dan tanaman, pembedaan awan, salju, dan es, serta
mengidentifikasi jenis batuan. Sama dengan Landsat TM, Landsat ETM+ bisa
digunakan untuk penerapan daerah perkotaan, akan tetapi dengan resolusi spektral
yang tinggi akan lebih sesuai jika digunakan untuk membuat karakteristik alami
suatu bentang alam. Spesifikasi Teknis ETM+ dirancang untuk mengumpulkan,
menyaring, dan mendeteksi radiasi dari bumi dalam petak seluas 185 km yang
melewatinya. Viewing swan dihasilkan oleh rata-rata system oscillating mirror
yang menyapu melewati jalur sebagaimana bidang pandang sensor bergerak maju
sepanjang jalur yang disebabkan pergerakan satelit. Data dari ETM+ merupakan
output dalam dua channel yang masing-masing pada 75 Mbps. Setiap channel
berisi data dari beberapa detector bersama-sama dengan data koreksi satelit
(Payload Correction Data/PCD), time stamp, dan status instrument. Data tiap
channel berisi : Channel 1 = band 1-3 (visible), band 4 (VNIR), Band 5 (SWIR),
Band 6 (LWIR), waktu, PCD, data status. Channel 2 = band 6 (LWIR), band 7
(SWIR) dan band 8 (pankromatik), waktu, PCD, data status. Data dari tiap band
bisa dipilih untuk menghasilkan output yang lebih tinggi atau lebih rendah, com-
20
mandable setting untuk mengatur tegangan referensi mul-tiplexor. Band 6 muncul
dikedua channel, dengan data di channel 1 berada dalam high gain dan data di
channel 2 berada dalam low gain.
Ciri khas dari citra Landsat 7 dengan sensor ETM+ adalah jumlah band
yang terdiri dari delapan band. Band-band yang terdapat pada sensor ETM+
mempunyai kemampuan dan karakteristik yang berbeda-beda dalam menangkap
gelombang elektromagnetik dan dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi
seperti pada tabel. Masih banyak kegunaan lainnya dari penggunaan Landsat 7
seperti pada tabel. Tiap band pada Landsat 7 ETM + memiliki ukuran tersendiri.
Tapi Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat ini mengalami kerusakan sejak
2003. Sistem sensor mengalami kerusakan berupa kegagalan pengoreksi baris
pemindai (scan line corecction, SLC). Akibat kegagalan ini, data hasil pemindaian
pun banyak data yang hilang. Melalui operasi sistem sensor yang menggunakan
metode SLC-off ini, diperoleh citra digital yang menampakkan baris-baris
pemindaian yang melompat-lompat. Tim gabungan NASA dan USGS mencoba
memperbaiki hal ini dengan cara mengisi baris-baris yang kosong melalui proses
akuisi data yang berurutan. Meskipun upaya ini telah banyak membantu dalam
akuisi data, bagaimanapun sering terlihat adanya hasil yang menganggu
pengamatan visual, terutama ketika data yang digunakan untuk mengompensasi
baris-baris kosong pada tanggal perekaman sebelumnya berbeda dalam hal posisi
dan persentase liputan awan (Danoedoro, 2012)
1.5.1.8
NDVI
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah suatu algoritma
yang diterapkan pada citra multisaluran untuk mengidentifikasikan kerapatan
vegetasi.
(Iswanto,
2008).
NDVI
biasanya
diaplikasikan
untuk
mengetahuikerapatan vegetasi, kapasitas fotosintesis, absorpsi energi oleh kanopi
tumbuhan dan lain-lain. Rasional pemakain NDVI untuk mengetahui kerapatan
vegetasi dalah sebgai berikut. NDVI digunakan untuk mengetahui kondisi
vegetasi yang ada pada suatu wilayah. NDVI pada dasarnya menghitung seberapa
besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Nilai
21
NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal inframerah dekat dan kanal
cahaya tampak (merah). Untuk menghitung NDVI digunakan persamaan :
NDVI = (NIR – VIS)/(NIR+VIS)
Keterangan :
NIR = Reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared (Band 4)
VIS = Reflektansi kanal cahaya tampak/ infrared (Band 3)
1.5.1.9 Derivasi Suhu Permukaan
Suhu Permukaan Tanah didefinisikan sebagai suhu di permukaan bumi
yang masih
terpengaruh oleh
atmosfer
sehingga
ada
variabel-variabel
meteorologi, hidrologi dan siklus energi yang mempengaruhi interaksi antara
permukaan bumi dan atmosfer (Niclòs et al, 2009 di Valiente et al, 2010). Suhu
permukaan ditangkap sebagai sistem thermal dalam penginderaan jauh, suhu
pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi dan mencapai sensor thermal
direkam oleh sensor tersebut.
Setiap objek di permukaan bumi akan menyerap energi, suhu objek akan
meningkat dan meradiasikan REM (Radiasi Elektromagnetik) gelombang panjang
ke atmosfer. Landsat dapat mengangkap gambar inframerah gelombang panjang
dapat mengukur energi objek dan merekamnya dalam nilai digital. Sesmua zat
pada temperatur yang lebih besar dari 0 absolut (0 Kelvin, -273,15ºC, atau 459,69ºF), mengeluarkan REM secara terus menerus (Iswanto, 2008)
Pengukuran suhu permukaan dan udara dapat dilakukan secara langsung
dan dapat diduga dari citra satelit. Pemanfaatan data pengideraan jauh untuk
mendeteksi suhu permukaan wilayah perkotaan telah dilakukan di banyak tempat
dan wilayah. Dasar utama pemanfaatan data penginderaan jauh adalah
kemampuannya dalam menyediakan data suhu permukaan lahan (land surface
temperature) untuk wilayah yang luas dan dengan tingkat kerapan data yang
tinggi (1200 m2). Keadaan ini hanya dapat dilakukan oleh data penginderaan jauh.
Akan tetapi yang dideteksi oleh data penginderaan jauh adalah suhu permukaan
lahan (objek yang ada dipermukaan lahan) dan bukan suhu udara di permukaan
(As-syakur, 2012).
22
1.5.2
Tinjauan Empiris
Konversi lahan dari ekosistem alami ke penggunaan lahan lainnya akan
memberikan efek yang besar dengan adanya emisi gas rumah kaca dan albedo,
dan perubahan iklim itu sendiri. Cuaca dan iklim bisa saja berubah secara drastis
dikarenakan perubahan kecil yang mempengaruhi komponen-komponen yang ada
di atmosfer. Konversi lahan dari ekosistem alami ke penggunaan lahan lainnya
akan memberikan efek yang besar dengan adanya emisi gas rumah kaca dan
albedo, dan perubahan iklim itu sendiri. Dari beberapa penelitian di lapangan,
dengan
analisis
komputasi
menggunakan
model sirkulasi
yang umum
menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang berbeda akan mempengaruhi iklim
secara global. (Charney et al 1977)
Setelah penelitian-penelitian tersebut, pemanfaatan data penginderaan
jauh untuk pemetaan wilayah UHI terus berkembang. Dengan adanya data-data
penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang lebih detail seperti Landsat dan
Aster menyebabkan pendeteksian wilayah UHI semakin detail. Liu and Zhang
(2011) menggunakan Landsat dan Aster untuk melihat UHI di Hongkong,
Streutker (2002) hanya memanfaatkan NOAA Advanced Very High Resolution
Radiometer (AVHRR) dalam mempelajari UHI di Houston, Texas; dan Chen et
al. (2006) memanfaatkan data Landsat 5 dan Landsat ETM+ untuk mendeteksi
efek perubahan penggunaan lahan terhadap UHI dengan mengkorelasikannya
dengan indeks-indeks penginderaan jauh. Di Indonesia, Tusilowati (2005)
mencoba mengkaji perubahan penggunaan lahan dengan perubahan suhu
perkotaan di Bandung dan Bogor. Selain itu, Tursilowati (2007) juga mengkaji
UHI di tiga kota besar lainnya yaitu Bandung, Semarang dan Surabaya.
Nurjani (1999) melakukan pengukuran suhu udara dan kelembaban untuk
mengetahui intensitas pulau bahan (urban heat island) di Kota Yogyakarta. Hasil
pengukuran menunjukkan terdapat perbedaan suhu di dua lokasi pengukuran yaitu
di daerah pinggiran dan di daerah pusat kota berkisar 2,5-6ºC. Puncak perbedaan
terjadi pulau bahang ideal pada malam hari yang tidak berawan dan tidak berangin
serta selama musim kemarau.
23
Irma (2003) melakuakan penelitian mengkaji pengaruh struktur vegetasi
kota terhadap iklim mikro (suhu udara kelembaban udara dan angin). Ardiansyah
(2004) melakukan penelitian mengkaji variasi spasial dan temporal dari unsur
iklim mikro yaitu suhu udara, kelembaban udara dan suhu permukaan. Hasil
pengukuran memperlihatkan terlihat variasi spasial dan temporal dari suhu udara,
kelembaban udara dan suhu udara antara pusat kota Yogyakarta dan daerah di
pinggiran kota. Fenomena urban heat island telah terjadi di kota Yogyakarta saat
malam hari, dengan suhu rata-rata pada bulan Februari 2004 (pada musim
penghujan) sebesar 30ºC dengan intensitas heat island berkisar 2-6ºC, sedangkan
pada bulan April 2004 (awal muslim kemarau) berkisar 30-32ºC dengan intersitas
heat island rata-rata 3ºC.
Lestiana (2006) melakukan penelitian perubahan lahan dan Ppngaruhnya
pada Iklim Mikro di Kota Bandung dengan analisis perubahan lahan citra satelit
Landsat MSS akuisisi 1976 dan citra satelit Landsat TM 2001. Analisis perubahan
dan prediksi iklim dengan analisis data meteorologi secara observasi dari tahun
1971-2000. Berdasarkan hasil penelitian yaitu perbandingan antara konversi lahan
dengan kecendrungan perubahan elemen iklim (antara lain kecenderungan
kenaikan suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu minimum dan jumlah hari hujan
serta kecenderungan penurunan radiasi matahari, kelembaban, jumlah curah hujan
dan intensitas curah hujan) di Kota Bandung dalam kurun waktu 30 tahun, maka
disimpulkan bahwa konversi lahan mempengaruhi kondisi iklim di Kota Bandung.
Penelitian di luar negeri lainnya sangat banyak yang menggunakan metode
penginderaan jauh untuk mengetahui korelasi atau hubungan pengaruh variabel
penggunaan lahan dengan parameter iklim mikro terutama suhu permukaan,
karena metode penginderaan jauh ini memudahkan peneliti untung mengestimasi
nilai suhu permukaan dengan mempertimbangkan faktor posisi matahari pada
tanggal pengambilan Landsat, jarak bumi dan matahari pada saat tanggal
pengambilan Landsat dan faktor signifikan lainnya yang bisa mempengaruhi nilai
suhu permukaan sesaat tersebut. Berikut tabel yang berisi hasil penelitian yang
hubungan antara penutup lahan dan iklim yang telah dilakukan oleh penelitipeneliti sebelumnya.
24
Tabel.1.5 Keaslian Penelitian
NO
1.
Judul dan Peneliti
Pengaruh Perubahan Penutup
Lahan terhadap Iklim Mikro (Studi
Kasus Kecamatan Cangkringan
Sleman)
Dwi Nowo Martono (1996)
2.
Remote Sensing Image-Analysis of
the Relationship Between Urban
Heat Island and Land Use/Land
Changes
Xiao-Ling Chen, Hong-Mei Zhao,
Ping-Xiang Li, dan Zhi-Yong Yin
(2005)
Metode
Analisis
deskriptif
parameter iklim (temperatur
maksimum,
rata-rata
kelengasan udara nisbi
(RH), Curah hujan total
(CH), Prosentase sinar
matahari
(SM),
dan
kecepatan angin (KA) tahun
1985 dan 1990
Lokasi
Kecamatan
Cangkringan,
Sleman
Hasil Penelitian
Berdasarkan analisis deskriptif dan uji
signifikansi terhadap perubahan parameter iklim,
menunjukkan bahwa perubahan penutup
lahan,semak belukar dan tegalan menjadi taman
rekreasi di daerah penelitian mempunyai
pengaruh berarti terhadap kondisi klimatologis.
Pengaruh ini akan semakin nyata sejalan dengan
perkembangan deaerah, kepadatan penduduk dan
sarana transportasi yang mempunyai andil cukup
besar terhadap kondisi klimatologis.
Interpretasi citra Landsat
TM dan ETM+ dari tahun
1990 hingga tahun 2000 dan
pendekatan kuantitatif untuk
mengeksplorasi hubungan
antara
temperatur
dan
NDVI.
Pearl River Delda
di Provinsi
Guangdong, Cina
bagian Selatan
Distribusi spasial pulau-pulau panas telah
menyebar dengan berbagai penggunaan lahan
dari penggunaan lahan campuran,lahan kosong,
lahan semi-urban dan tanah ini lebih tinggi
dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Selain
itu ditemukan bahwa ada korelasi negatif antara
NDVI (Normalized Difference Vegetation
Index), NDWI (Normalized Difference Water
Index), NDBaI (Normalized Difference Bareness
Index) dan suhu dan korelasi positif ditunjukkan
antara NDBI (Normalized Difference Built-up
Index) dan suhu.
25
Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian
NO
Judul dan Peneliti
3
Perubahan Iklim Mikro Akibat
Perubahan Fungsi Lahan di Sekitar
Stasiun Klimatologi Kayuwatu
Manado
Rolles N. Palilingan, Martina
Pungus, Jeane Rende dan, Arnold
Turang. (2005)
4
Perubahan Lahan dan Pengaruhnya
pada Iklim Mikro di Kota Bandung
Hilda Lestiana (2006)
Metode
Penelitian menggunakan
metode
deskripsi
dan
eksperimental.
Metode
deskripsi
untuk
membandingkan data suhu
dan kelembaban sebelum
dan
setelah
perubahan
fungsi lahan dan metode
eksperimental
digunakan
untuk membandingkan suhu
dan
kelembaban
di
pemukiman dan di hutan.
Analisis perubahan lahan
citra satelit Landsat MSS
akuisisi 1976 dan citra
satelit Landsat TM 2001.
Analisis perubahan dan
prediksi
iklim
dengan
analisis data meteorologi
secara observasi dari tahun
1971-2000.
Lokasi
Kota Manado
Kota Bandung
Hasil Penelitian
Nilai rata-rata suhu udara menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara suhu udara
permukaan pada saat belum terjadi perombakan
hutan/daerah perkebunan (tahun 2001) dengan
suhu udara pada saat telah terjadi perombakan
hutan (tahun 2004), tetapi sebagaimana deskripsi
data yang telah dikemukakan bahwa berubahnya
fungsi lahan di sekitar stasiun klimatologi
Kayuwatu-Paniki Manado telah menyebabkan
adanya perubahan pola perubahan suhu udara
permukaan, dan perbedaan dalam nilai rata-rata
kelembaban udara.
Berdasarkan hasil penelitian yaitu perbandingan
antara konversi lahan dengan kecendrungan
perubahan
elemen
iklim
(antara
lain
kecenderungan kenaikan suhu rata-rata, suhu
maksimum, suhu minimum dan jumlah hari
hujan serta kecenderungan penurunan radiasi
matahari, kelembaban, jumlah curah hujan dan
intensitas curah hujan) di Kota Bandung dalam
kurun waktu 30 tahun, maka disimpulkan bahwa
konversi lahan mempengaruhi kondisi iklim di
Kota Bandung.
26
Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian
NO
Judul dan Peneliti
5
Studi Pengaruh Kualitas Vegetasi
pada Lingkungan Termal Kawasan
Kota di Bandung Menggunakan
Data Citra Satelit
Surjamanto Wonorahardjo,
Suwardi Tedja dan Benedictus
Edward (2007)
6
Urban Heat Island dan
Kontribusinya Pada Perubahan
Iklim Dan Hubungannya Dengan
Perubahan Lahan
Laras Tursilowati (2008)
Metode
Penelitian
menggunakan
data satelit Landsat ETM
yang mengambil citranya
dalam 7 band termasuk di
dalamnya citra termal.
Pendataan
suhu
udara
lingkungan juga dilakukan
dengan
pengukuran
lapangan untuk pembanding
data citra satelit tersebut.
Lokasi
Kota Bandung
Menghitung neraca energi
dan
membuat
Peta
Persebaran UHI di Kota
Bandung, Kota Semarang
dan Kota Surabaya.
Kota Bandung,
Kota Semarang
dan Kota
Surabaya
Hasil Penelitian
Sebagai hasil penelitian didapatkan bahwa
vegetasi berupa pohon sangat berpengaruh
positif terhadap lingkungan termalnya dalam hal
laju penurunan temperatur udara dan Prediction
Profiler. Semakin besar volume pohon di
kawasan, rata-rata temperatur udara juga
semakin rendah. Pohon juga mempengaruhi laju
naik dan turun. Sedangkan penutup tanah seperti
jalan aspal berperan negatif terhadap temperatur
udara, dengan pengertian bahwa semakin besar
luas jalan.
Penelitian tentang UHI di beberapa kota besar di
Indonesia dengan data satelit menunjukkan
adanya perubahan temperatur yang merupakan
salah satu indikasi adanya perubahan iklim, hal
ini ada hubungannya dengan perubahan lahan
yang terjadi akibat urbanisasi. Di Bandung
teramati perluasan UHI (daerah dengan suhu
tinggi 30-35ºC yang terletak pada kawasan
terbangun di pusat kota per tahun kira-kira
12606 ha atau 4.47%, di Semarang 12174 ha
atau 8,4%, di Surabaya 1512 ha atau 4,8%.
Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per
tahun kurang lebih 1029 ha (0,36%), Semarang
1200 ha (0,83%), dan Surabaya 531,28 ha
(1,69%). Daerah Penyebaran Urban Heat Island
27
terletak di pusat kota Bandung, Surabaya
maupun Surabaya. Urban Heat Island di pusat
Kota Bandung (2001), Surabaya (2002) maupun
Surabaya (2002) semakin melebar dibandingkan
dengan tahun 1994. Tingginya laju urbanisasi
yang ditandai dengan meningkatnya lahan
terbangun (pemukiman dan industri) menjadi
salah satu penyebab meluasnya Urban Heat
Island yaitu bertambah luasnya area yang
bersuhu tinggi (diatas 30ºC) .
28
Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian
NO
Judul dan Peneliti
7
Analysis of Land Surface
Temperature and Land Use / Land
Cover Types Using Remote
Sensing Imagery - A Case in
Chennai City, India.
Metode
Analisis
perubahan
penggunaan
lahan
dan
penutup
lahan
dengan
membandingkan
Landsat
TM dan Landsat ETM +
data tahun 1991 dan 2000.
Lokasi
Kota Chennai,
India
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil klasifikasi Landsar TM dan
ETM+ pada tahun 1991 dan 2000, area dengan
kepadatan tinggi dan area dengan kepadatan
sedang mengalami peningkatan yang sangat
drastis dan tinggi. Sehingga Penggunaan Lahan
sangat berpengaruh pada Suhu Permukaan di
Chennai, India.
Kabupaten
Bandung
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini
adalah suhu udara tinggi dipengaruhi oleh jenis
penutupan lahan berupa lahan terbangun,
sedangkan suhu udara rendah dipengaruhi oleh
ruang terbuka hijau. Semakin tinggi persentase
lahan terbangun di suatu area, maka akan
semakin tinggi juga suhu udara di area tersebut.
Sebaliknya semakin tinggi persentase ruang
terbuka hijau, maka semakin rendah suhu
udaranya. Pengembangan dan pembangunan
ruang terbuka hijau akan efisien dan efektif jika
dilakukan di area dengan suhu udara tinggi.
Lilly Rose A, Monsingh D dan
Devadas (2009)
8
Pengembangan Ruang Terbuka
Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu
Permukaan di Kabupaten Bandung
Siti Badriyah Rushayati, Hadi S.
Alikodra, Endes N. Dahlan,
dan Herry Purnomo (2011)
Analisis penutup lahan
dengan menggunakan citra
Landsat tahun 2003 dan
tahun
2008
dengan
membuat peta distribusi
suhu tahun 2003 dan tahun
2008.
29
Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian
NO
Judul dan Peneliti
9
Urban Heat Island Analysis Using
the Landsat TM Data and ASTER
Data : A Case Study in Hongkong
Lin Liu dan Yuanzhi Zhang (2011)
10
Estimating Temporal Land Surface
Temperature Using Remote
Sensing : A Study of Vadodara
Urban Area, Gujarat
Janak P, Joshidan Bindu Batt
(2012)
Metode
Analisis Landsat TM dan
ASTER tahun 2005
Lokasi
Hong Kong
Interpretasi Landsat TM 5
tahun
1990-2009
dan
pembuatan
Peta
Suhu
Permukaan
Gujarat, India
Hasil Penelitian
Penelitian ini menggunakan data hasil
interpretasi Landsat TM dan ASTER. Dari
perolehan data suhu menunjukkan nilai tertinggi
dari UHI (Urban Heat Island) terdapat di 3
lokasi yaitu Kowloon, Hongkong bagian utara
dan
Bandara
Internasional
Hongkong.
Ditemukan korelasi negatif antara suhu
permukaan
dengan
NDVI
(Normalized
Difference Vegetation Index) dan korelasi positif
dengan NDBI (Normalized Difference Build-up
Index). NDVI yang tinggi bisa mengurangi UHI
sedangkan NDBI dapat memperbesar UHI.
Hasil interpretasi Citra Landsat TM 5 tahun 1990
hingga tahun 2009 menunjukkan perbedaan nilai
suhu permukaan terutama di daerah perkotaan
dan daerah pinggiran yang dapat dilihat dari
adanya efek UHI. Terlihat peningkatan suhu
permukaan yang signifikan dari tahun 1990
hingga 2009. Penelitian ini membuktikan bahwa
perubahaan
penggunaan
lahan
sangat
memberikan pengaruh dalam perubahan suhu
permukaan terutama berubahnya lahan vegetasi
menjadi lahan terbangun. Zona dengan suhu
permukaan yang tinggi terdapat lahan terbangun.
30
Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian
NO
Judul dan Peneliti
11
Land Surface Temperature
Analysis in an Urbanising
Landscape through MultiResolution data
Ramachandra T.V , Bharath H.
Aithal dan Durgappa Sanna D.
(2012)
Metode
Interpretasi Landsat TM
tahun 1989, Landsat ETM
tahun 2000 dan Landsat
ETM+ tahun 2005 dengan
membuat Peta NDVI dan
Peta Suhu Permukaan
Lokasi
Himachal
Pradesh, India
Hasil Penelitian
Analisis Peta Perubahan Penggunaan Lahan
tahun 1989-2000 menunjukkan bahwa terjadi
perubahan sebanyak 55% yaitu penggunaan
lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun,
pada tahun 2000-2005 terjadi perubahan 39%
dari vegetasi menjadi lahan terbangun dan pada
tahun 2006-2006 terjadi perubahan 18,92%.
Nilai suhu minimun dan suhu maksimum yang
paling ekstrem yaitu -2ºC dan 31ºC. Terjadi
peningkatan suhu rata-rata 3ºC hingga 4ºC
rentang waktu tahun 1989 hingga 2010.
31
1.6
Kerangka Pemikiran
Perubahan penggunaan lahan di kota dan meningkatnya penggunaan
lahan non-vegetasi akan mempengaruhi kondisi iklim mikro. Jenis penggunaan
lahan akan menentukan besarnya kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin
dan indikator iklim mikro lainnya, karena jenis-jenis penggunaan lahan ini akan
memberikan efek keseimbangan energi yang berbeda pula. Perubahan penggunaan
lahan yang paling berpengaruh yaitu lahan yang awalnya merupakan lahan
vegetasi menjadi lahan non vegetasi. Perubahan penggunaan lahan ini secara tidak
langsung mempengaruhi iklim mikro daerah setempat terutama suhu dan
berimplikasi terjadinya pulau bahang kota atau Urban Heat Island (Rushayati,
dkk. 2011).
Daerah pedesaan merupakan daerah yang penggunaan lahannya masih
banyak terdiri dari vegetasi sehingga memiliki nilai albedo yang besar. Albedo
yang besar maka besar radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali akan
lebih banyak. Dengan demikian akan mengurangi simpanan panas di daerah ini.
Semakin tinggi nilai albedo berarti semakin banyak radiasi yang dipantulkan.
Sebaliknya semakin tinggi penyerapan radiasi maka semakin tinggi radiasi yang
dipancarkan kembali ke atmosfer sehingga akan terjadi pemanasan udara dan
peningkatan suhu udara (Rushayati, dkk. 2011).
Meningkatnya aktivitas manusia di lingkungan perkotaan seperti
tingginya tingkat imigrasi atau banyaknya penduduk yang datang, bertambahnya
jumlah kendaraan bermitir, menyebabkan meningkat pula kebutuhan terhadap
fasilitas publik. Kebutuhan terhadap fasilitas publik inlah yang menyebabkan
terjadinya
perubahan
penggunaan
lahan
vegetasi
menjadi
non-vegetasi.
Penggunaan lahan vegetasi berupa sawah irigasi, tegalan dan tanaman campuran
sedangkan non-vegetasi berupa lahan terbangun dan lahan kosong. Untuk
mengetahui korelasi apakah perubahan penggunaan lahan mempengaruhi iklim
mikro terutama suhu permukaan sesaat dilakukan interpretasi citra sehingga bisa
dihasilkan
nilai suhu permukaan (land surface temperature) dan NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index). Karena sebaran vegetasi merupakan
salah satu faktor utama tinggi dan rendahnya suhu permukaan di suatu daerah.
32
Aktivitas Penduduk
Meningkat
Luas Wilayah Kota
Kebutuhan terhadap Lahan
Meningkat
Perubahan Penggunaan
Lahan
Penggunaan Lahan
Vegetasi
Penggunaan Lahan
Non-Vegetasi
Terjadi Perubahan
Iklim Mikro
Rekomendasi
Gambar 1.1 Diagram Alir Pemikiran
33
1.7
Batasan Operasional
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan
(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975).
Iklim Mikro
Iklim mikro merupakan gambaran akhir dari kondisi akhir pada suatu
ruangan yang terbatas dan terjadi karena hubungan timbal balik antara
faktor-faktor ekosistem (Lakitan, 1994 ; Wisnubroto, 1978).
Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah Ilmu, teknik dan seni untuk
mendapatkan informasi tentang obyek, wilayah atau gejala dengan cara
menganalisis data yang diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan
langsung dengan obyek, wilayah atau gejala yang sedang dikaji (Lillesand
dan Kiefer, 1994)
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Normalized Difference Vegetation Index
didefinisikan suatu algoritma
yang diterapkan pada citra multi saluran untuk mengidentifikasikan
kerapatan vegetasi. (Iswanto, 2008)
Suhu Permukaan
Suhu Permukaan Tanah
(Land Surface Temperature) didefinisikan
sebagai suhu di permukaan bumi yang masih terpengaruh oleh atmosfer
sehingga ada variabel-variabel meteorologi, hidrologi dan siklus energi
yang mempengaruhi interaksi antara permukaan bumi dan atmosfer
(Niclòs et al, 2009 di Valiente et al, 2010).
34
Download