BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini tidak lepas dari peran serta aktivitas manusia dengan lingkungan. Peran manusia dalam permasalahan lingkungan tersebut diantaranya dapat mengubah keadaan atmosfer bumi. Atmosfer bumi mengalami perubahan dikarenakan tiga faktor utama yaitu aktivitas manusia mengubah sifat permukaan bumi, menambah energi ke dalam atmosfer bumi dari sumber buatan dan menambahkan zat kedalamnya. Perubahan permukaan bumi berpengaruh pada cara sinar matahari diserap dan dipancarkan kembali ke atmosfer, dan mengubah tahanan gesek terhdap angin (Neiburger, 1995). Faktor utama yang sangat berpengaruh yaitu sifat permukaan bumi yang berubah dikarenakan perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Karena kebutuhan manusia yang begitu mendesak, banyak terjadi perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi 1 transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah. Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah penduduk setiap tahun menyebabkan kota menjadi padat. Akhirnya, kedua faktor tersebut dapat menimbulkan kekumuhan kota. Aktivitas kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan perkotaan. Kota dengan kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang intensif akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Kompetisi penggunaan lahan yang terjadi antara guna lahan dengan fungsi ekonomis, seperti perdagangan dan jasa, industri serta pemukiman, mendesak keberadaan ruang terbuka bervegetasi. Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, seiring dengan semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk baik secara alami maupun migrasi, dan beragamnya tuntutan kebutuhan akan sarana dan prasarana. Disisi lain luas lahan dan potensi lahan adalah tetap (statis) yang dibatasi oleh wilayah kepemilikan baik secara administratif maupun fungsional, yang sebenarnya tidak semua bagian wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara ideal sebagai lahan terbangun. Intervensi penggunaan lahan kawasan pada kawasan lain yang dilakukan tanpa pertimbangan atau perencanaan yang baik akan mengganggu atau mengurangi keseimbangan kegiatan sektor-sektor pembangunan secara keseluruhan. Keterbatasan luas lahan yang ada di kota menyebabkan kota akan mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang mengalami dinamika dalam perkembangannya, terutama dinamika dalam penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan 2 kebutuhan lahan untuk permukiman dan menampung fungsi-fungsi atau prasarana kegiatan yang ada. Perkembangan fisik kota mengandung dua macam konsekuensi, yaitu adanya intensifikasi penggunaan tanah dalam kota dan ekstensifikasi penggunaan lahan ke pinggiran kota (Sujarto, 1976). Laju perkembangan fisik kota yang terjadi saat ini, sangat dipengaruhi oleh laju perkembangan kota yang mengalami proses pergeseran penggunaan lahan dari pusat ke pinggiran. Hal tersebut timbul sebagai akibat dari keterbatasan lahan dan tingkat kompetisi penggunaan lahan di pusat kota. Sehingga mengakibatkan bergesernya penggunaan lahan permukiman ke daerah pinggiran. Dilihat dari morfologi kota, penampakan perkotaan tersebut dapat teridentifikasi melalui perubahan penggunaan lahan dari non terbangun menjadi terbangun, terintegrasinya bangunan-bangunan (architectural building) dan pola jaringan jalan (Smailes dan Conzen dalam Yunus, 2004). Fakta di lapangan menunjukan bahwa laju perubahan penggunaan lahan di daerah pinggiran telah memunculkan kantong-kantong aktivitas baru yang sebelumnya tidak dijabarkan atau diantisipasi dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota. Kondisi demikian menyebabkan pembangunan fisik di daerah pinggiran kota terbangun secara sporadis dan mengalami perluasan areal perkotaan atau urban sprawl (Yunus, 1982). 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan lingkungan hidup di kota begitu kompleks. Permasalahan tidak terbatas pada kondisi sosialnya, namun juga pada komponen lingkungan lainnya. Permasalahan yang ada mulai dari ketersedian air bersih, sanitasi, polusi, kemacetan, sampai kepada berkurangnya ruang terbuka hijau. Daerah perkotaan dengan jumlah penduduk yang padat menyebabkan berkurangnya lahan untuk vegetasi. Lahan bervegetasi diganti dengan permukiman, gedung-gedung, dan industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota. Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan peningkatan suhu udara kota. Suhu udara rata-rata tahunan di Kota Yogyakarta meningkat dari 3 26,2°C pada tahun 2000 menjadi 26,6°C pada tahun 2006 (Dinas Perhubungan DIY 2006, dalam BPS, 2007). Bahan bangunan seperti aspal, semen dan beton menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Kenaikan suhu udara juga diakibatkan oleh kegiatan industri, transportasi, dan rumah tangga yang menggunakan bahan CO, Nox, Sox, dan HC yang menimbulkan efek rumah kaca. Kota Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan identitas dan daya tariknya sebagai kota pendidikan dan kota parawisata membuat aktivitas penduduk semakin padat sehingga aktivitas penduduk yang padat ini menyebabkan proses perubahan yang cepat dalam struktur penggunaan lahan. Aktivitas penduduk ini bisa mencakup aktivitas pekerjaan seperti di bidang pemerintahan, industri, perdagangan dan lainnya yang menyebabkan kebutuhan terhadap fasilitas publik meningkat.Aktivitas penduduk yang tinggi ini dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah penduduk terutama dari tahun 1980 hingga tahun 2002. Tahun 2003 hingga 2010 jumlah penduduk Kota Yogyakarta mengalami fluktuasi dikarenakan Kota Yogyakarta perlahan serasa ditinggal penghuninya tidak lain adalah bencana alam yang melanda kota ini. Mulai dari gempa bumi hingga gunung merapi yang meletus. Karakteristik kota yang sudah jenuh ini akan menyebabkan sulitnya kenaikan jumlah penduduk, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah penurunan jumlah penduduk. Selain itu faktor lapangan usaha yang dirasa sudah sangat banyak di kota ini dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat beberapa orang berpikir untuk mencari lapangan usaha di daerah lain. Meski begitu, tingkat kepadatan penduduk Yogyakarta masih sangat tinggi, yakni mencapai rata-rata 11.941 penduduk setiap satu kilometer persegi. Tabel berikut menunjukkan jumlah penduduk Kota Yogyakarta mulai tahun 1981 sampai dengan tahun 2010. Data yang disajikan adalah data sensus pada tahun 1990, 2000 dan 2010 sedangkan yang lainnya merupakan data jumlah penduduk yang didapat dari perhitungan BPS dalam Kota Yogyakarta dalam angka. Data jumlah penduduk merupakan perhitungan jumlah penduduk (menurut komposisis umur dan jenis kelamin) yang dipengaruhi oleh aktivitas keluar masuknya penduduk dalam suatu tempat yaitu kelahiran, kematian, imigrasi 4 maupun emigrasi. Kota Yogyakarta merupakan daerah yang cukup mempunyai nilai fluktuasi penduduk yang bervariasi dikarenakan salah satu faktor penariknya yaitu merupakan kota pelajar yaitu banyak pendatang yang berimigrasi tetapi tidak menjadi penduduk tetap, sedangkan untuk penduduk aslinya sebagian besar memanfaatnya areanya untuk disewakan dan mereka memilih tinggal bukan di kota melainkan pedesaan. Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta. Jumlah Jumlah Jumlah Tahun Penduduk Tahun Penduduk Tahun Penduduk 1981 380.548 1991 448.808 2001 503.954 1982 395.916 1992 452.866 2002 510.909 1983 404.250 1993 459.417 2003 392.239 1984 412.280 1994 464.946 2004 398.004 1985 416.549 1995 469.193 2005 435.236 1986 426.342 1996 474.461 2006 443.118 1987 432.410 1997 478.752 2007 391821 1988 430.066 1998 483.760 2008 390782 1989 435.061 1999 490.433 2009 389682 1990 439.528 2000 497.699 2010 387.086 Sumber: BPS : Kota Yogyakarta dalam Angka & Sensus Penduduk Padatnya aktivitas penduduk ini berkorelasi positif dengan peningkatan kendaraan bermotor, terutama kendaraan bus dan sepeda motor. Berdasarkan data tahun 2000-2006, terjadi peningkatan jumlah bus dan sepeda motor masingmasing sebesar 45,7 persen dan 50,7 persen (Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2007). Tabel 1.2 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun kebutuhan aktivitas manusia terhadap transportasi juga meningkat. Peningkatan suhu udara di perkotaan terjadi akibat meluasnya areal terbangun sebagai hasil dari proses urbanisasi yang intensif. Kota akan menyimpan dan melepaskan panas di siang hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih panas dibanding daerah sekitarnya dan terjadi efek pulau bahang atau urban heat island. 5 Tabel 1.2 Jumlah Kendaraan di Kota Yogyakarta Jenis Kendaraan 1991 1992 1993 1994 Sedan dan Station 16724 17977 19349 21792 Truck 8205 8676 9751 10104 Bus 1706 1706 1646 1354 Sepeda Motor 83429 103259 106908 111787 110064 131618 137654 145037 Jumlah Jenis Kendaraan 1999 2000 2001 2002 Sedan dan Station 29091 29797 30284 30234 Truck 10385 11441 11638 11992 Bus 1178 959 932 1272 Sepeda Motor 152800 159259 168468 179813 193454 201456 211322 223311 Jumlah Jenis Kendaraan 2006 2007 2008 2009 Sedan dan Station 32332 32667 32873 33056 Truck 12730 12827 12701 12831 Bus 5329 6528 8266 9572 Sepeda Motor 240075 256224 273538 288619 290466 308246 327378 344078 Jumlah Sumber : Samsat Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 1994, 2002 dan 2009 Efek pulau bahang ini juga disebabkan adanya perubahan penggunaan lahan dari penggunaan lahan vegetasi menjadi penggunaan lahan non vegetasi. Penggunaan lahan vegetasi di Kota Yogyakarta pada tahun 1994 sebanyak 8,34 persen dari bagian wilayah Kota Yogyakarta dan pada tahun 2009 tersisa 2,8 persen. Kurun tersebut perubahan penggunaan lahan dari lahan vegetasi menjadi lahan non vegetasi sebesar 5,54 persen. Tabel berikut menunjukkan adanya pengurangan penggunaan lahan vegetasi kurun waktu 1994-2009. Tabel 1.3 Tabel Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1994-2009 Penggunaan Lahan 1994 2002 2009 Ha % Ha % Ha % Sawah Irigasi 254 8% 138 4.25% 87 3% Tegalan & Kebun 17 1% 4 0.12% 4 0% Lahan Terbangun 2663 82% 2792 85.91% 2872 88% Lain-Lain 316 10% 316 9.72% 287 9% Jumlah 3250 100% 3250 1 3250 1 Sumber : Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 1994,2002 dan 2009 Perubahan Lahan Ha % -167 -5% -13 0% 209 6% -29 -1% 6 Unsur iklim mikro udara merupakan elemen utama yang mempengaruhi iklim mikro perkotaan. Perubahan penggunaan lahan inilah yang menjadi salah satu faktor utama meningkatnya suhu permukaan di Kota Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka dihasilkan tiga pertanyaan penelitian yang akan dijawab dari hasil penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana pola persebaran penggunaan lahan di Kota Yogyakarta? 2. Bagaimana pola pesebaran suhu permukaan sesaat di Kota Yogyakarta? 3. Bagaimana hubungan antara kerapatan vegetasi dengan suhu permukaan sesaat di Kota Yogyakarta? Oleh karena itu, pada penelitian ini diajukan judul berupa “Hubungan Penggunaan Lahan Terhadap Pengaruh Iklim Mikro Kota Yogyakarta”. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Mengkaji sebaran penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2009. 2. Mengkaji sebaran suhu permukaan sesaat di Kota Yogyakarta pada tahun 2009. 3. Mengkaji hubungan variabel kerapatan vegetasi dengan ikllim mikro yaitu suhu permukaan sesaat pada tahun 2009. 1.4 1. Kegunaan Penelitian Memberikan data tentang distribusi penggunaan lahan dan suhu permukaan di Kota Yogyakarta. 2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk pembangunan penggunaan lahan di Kota Yogyakarta. 7 1.5 Tinjuan Pustaka Dalam uraian tinjauan pustaka ini dibagi menjadi tinjauan teoritis dan kajian empiris. Dalam paparannya lebih lanjut tinjauan teoritis lebih menekankan kepada teori-teori yang terkait dengan tema dan kajian penelitian. Sedangkan kajian empiris lebih menekankan kepada aplikasi dari teori-teori tersebut yang diwujudkan dengan penelitian-penelitian sejenis. Berikut uraian dari kedua tinjauan tersebut : 1.5.1 Tinjauan Teoritis 1.5.1.1 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Beberapa pengertian mengenai penggunaan lahan pada dasarnya sama, yakni mengenai kegiatan manusia di muka bumi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa definisi penggunaan lahan ditunjukkan sebagai berikut : Penggunaan lahan adalah suatu bentuk atau alternatif kegiatan usaha atau pemanfaatan lahan (contoh pertanian, perkebunan, padang rumput). Penggunaan lahan adalah usaha manusia memanfaatkan lingkungan alamnya. Penggunaan lahan adalah interaksi manusiadan lingkungannya, dimana fokus lingkungan adalah lahan, sedangkan sikap dan tanggapan kebijakan manusia terhadap lahan akan membentuk langkah-langkah aktivitasnya, sehingga akan menginggalkan bekas di atas sebagai bentuk penggunaan lahan. Penggunaan lahan pada umumnya digunakan untuk mengacu pemanfaatan lahan masa kini, karena aktivitas manusia bersifat dinamis, sehingga perhatian kajian sering kali diarahkan pada perubahan-perubahan penggunaan lahan (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) atau segala yang berpengaruh pada lahan. Penggunaan lahan merupakan salah satu perwujudan lingkungan binaan, yang merupakan hasil hubungan komponen lingkungan budaya (manusia) dengan komponen lingkungan alami. Oleh karena itu, prinsip pendekatan 8 inventarisasi adalah pendekatan secara terpadu, yang bertitik tolak dari sudut pandang pengamata tunggal terhadap lingkungan, karena segala sesuatu di lingkungan pada tingkat tertentu saling bergantung antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pendekatan untuk inventariasi dan analisis data harus memungkinkan untuk memberikan gambaran tentang sumberdaya dalam kurun satu waktu dan ruang waktu dengan cara yang mencerminkan adanya daya saling mempengaruhi (interaksi) atau memungkinkan untuk menaksir hasil-hasil dari adanya interaksi-interaksi tersebut. Di dalam hubungan seperti ini, penggunaan lahan menjadi pusat perhatian yang penting. Penggunaan lahan di Indonesia secara umum merupakan akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap keseimbangan dan dinamis, antara aktivitas-aktivitas penduduk di atas lahan, dan keterbatasanketerbatasan di dalam lingkungan tempat hidup mereka. Proses penyelarasan antara kebutuhan-kebutuhan manusia dengan potensi alam untuk memenuhinya telah berakibat pada sistem-sistem yang lebih kurang stabil. Berbagai perubahan di dalam hubungan antara berbagai unsur dari sistem alami biasanya berjalan lambat, sehingga dapat memberikan waktu bagi berbagai komponen untuk mengadakan penyesuaian. Oleh karena itu dengan sendirinya terbentuk suatu keseimbangan baru tanpa menimbulkan gangguan yang berarti. Proses inventarisasi data penggunaan lahan, perlu dibedakan antara penggunaan lahan pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan. Hal ini mengingat adanya perbedaan prinsip, dari aspek jenis kegiatan di pedesaan lebih sedikit sehingga jumlah penggunaan lahan lebih sedikit. Lain halnya dengan perkotaan jumlah jenis kegiatan lebih banyak dibandingkan pedesaan, sehingga jumlah bentuk penggunaan lahan sebagai tempat aktivitas lebih banyak. Untuk memenuhi kebutuhan dasar dari bidang cocok tanam di pedesaan, paling sedikit diperlukan lahan pertanian seluas satu hektar untuk satu keluarga dengan jumlah anak tiga jiwa, dengan bentuk penggunaan lahan paling banyak dua jenis yaitu sawah atau tegal. Sebaliknya tanah seluas satu hektar di daerah perkotaan mampu menampung berbagai jenis kegiatan non pertanian, memungkinkan bentuk-bentuk 9 penggunaan lahan lebih dari dua jenis, lahan tempat tinggal, lahan jasa, lahan industri, lahan perdagangan dan lahan lain non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Pola perubahan penggunaan lahan ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan transmigrasi serta faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang sangat penting dalam fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang pada akhirnya meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya. Konsekwensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan yang berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin. Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Perubahan penggunaan lahan ini berpengaruh pada setiap komponen iklim mikro yaitu yaitu suhu udara, kelembaban udara, suhu permukaan, kecepatan angin dan sebaran keawanan serta curah hujan. Iklim mikro adalah iklim yang mempunyai ukuran terkecil, untuk jarak horizontal 14 meter dan jarak vertikal 14 meter di permukaan bumi (Linarce, 1992). Perubahan yang terjadi dalam penggunaan lahan berarti juga telah terjadi perubahan pada manusia dalam hal yang berhubungan dengan lahan. Untuk melihat intensitas perubahan penggunaan lahan digunakan rumus : 10 Intensitas perubahan=(A1 (akhir)- A1 (awal)Ha)/(Luas Wilayah (Ha)) x 100% dimana : A1 = luas tiap jenis penggunaan lahan pada suatu wilayah pada tahun (periode) berbeda. 1.5.1.2 Klasifikasi Lahan Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau, 1978). Pengelompokan objek-objek ke dalam klas-klas berdasarkan persamaan dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi. Menurut Malingreau (1978), klasifikasi adalah penetapan objek-objek kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang sederhana dan mudah dipahami. Sistem klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreau dan Christiani, 1981. Contoh klasifikasi adalah sebagai berikut: 11 Tabel 1.4 Klasifikasi Liputan Lahan/ Penggunaan Lahan Menurut Malingreau Jenjang I 1. Daerah Bervegetasi Jenjang II A. Daerah Pertanian B. Bukan Daerah Pertanian 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Perkebunaan Campuran 8. Tanaman Campuran 1. Huatan lahan kering 2. II. Daerah bervegetasi tak C. Bukan daerah pertanian III. Permukiman dan lahan bukan pertanian D. Daerah tanpa liputan vegetasi IV. Perairan E. Tubuh perairan Jenjang III Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Sawah Lebak Sawah pasang surut Ladang/Tegal Perkebunan Hutan lahan basah 3. Belukar 4. Semak 5. Padang Rumput 6. Savana 7. Padang alang-alang 8. Rumput rawa 1. Lahan terbuka 2. Lahar dan Lava 3. Beting Pantai 4. Gosong sungai 5. Gumuk pasir 1. Permukiman 2. Industri 3. Jaringan jalan 4. Jaringan jalan KA 5. Jaringan listrik tegangan tinggi 6. Pelabuhan udara 7. Pelabuhan laut 1. Danau 2. Waduk 3. Tambak ikan 4. Tambak garam 5. Rawa 6. Sungai 7. Anjir pelayaran 8. Saluran irigasi 9. Terumbu karang 10. Gosong pantai Jenjang IV - Cengkeh Coklat Karet Kelapa Kelapa Sawit Kopi Panili Tebu Teh Tembakau - Hutan bambu Hutan campuran Hutan jati Hutan pinus Hutan lainnya Hutan bakau Hutan campuran Hutan nipah Hutan sagu Simbol Si St Sl Sp L C Co K Ke Ks Ko P T Te Tm Kc Te Hb Hc Hj Hp Hl Hm Hc Hn Hs B S Pr Sa Pa Rr Lb Ll Bp Gs Gp Kp In D W Ti Tg R Sumber: Malingreau, J.P. Rosalia Christiani, 1981 (A Land Cover; Land Use Classification for Indonesia 12 1.5.1.3 Iklim Mikro Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu tempat atau pada suatu wilayah. Sintesis tersebut dapat diartikan pula sebagai nilai statistik yang meliputi nilai rata-rata, maksimum, minimum, frekuensi kejadian nilai unsur cuaca tertentu dan penyimpangannya. Iklim di Indonesia mempunyai arti yang cukup luas,meliputi unsur-unsur. (1) hujan dan air, (2) suhu udara dan sinar matahari, (3) angin, (4) kelembaban udara. Daerah-daerah yang mempunyai hujan banyak, dan lebat dengan musim kering yang pendek ditandai dengan hutan-hutan lebat dan tanah yang kurus. Kondisi iklim di perkotaan dapat berubah total akibat kegiatan pembangunan yang demikian pesat dan penduduk yang padat, seperti : bergantinya lahan pertanian menjadi gedung-gedung bertingkat, pabrik, industri, perumahan, jalan raya dan lain-lain yang dapat mengubah albedo permukaan. Jumlah penduduk serta aktivitas penduduk kota akan menghasilkan bahang, sehingga suhu udara di perkotaan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di pinggiran kota. Selain itu, adanya larian air yang cepat akibat permukaan tanah tertutup oleh bangunan/beton, menyebabkan terjadinya penurunan kelembaban nisbi (relatif) udara. Polutian yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang intensif, akan menambah partikel higroskopis di atmosfer. Akibatnya jumlah dan hari hujan meningkat, terutama di pusat-pusat kota (industri). Keberadaan bangunan fisik (buatan manusia) dan benda-benda alami pada suatu lingkungan juga berpengaruh pada unsur iklim setempat, misalnya : suhu udara, kecepatan dan arah angin, intensitas lama penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan kelembaban udara. Bangunan-bangunan di perkotaan mengakibatkan terjadinya perubahan kekasapan permukaan, sehingga kecepatan dan arah angin di pusat kota menurun dan berubah. Modifikasi iklim dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi manusia atau untuk menciptakan lingkungan yang lebih optimal. Cuaca dan iklim mikro dikendalikan oleh fluktuasi dan transformasi energi radiasi di atas permukaan bumi. Besarnya fluktuasi dan transformasi energi 13 bergantung pada perubahan energi yang datang, kejernihan udara di atas permukaan, jenis permukaan serta faktor-faktor lain yang tidak termasuk faktor udara dan permukaan. Energi radiasi yang datang dari matahari menuju ke permukaan bumi sebagian digunakan untuk penguapan, sebagian untuk gerakan udara, sebagian dipantulkan kembali, sebagian diserap oleh bumi dan udara, dan untuk pemanasan bumi dan udara. Landsberg (1981) menyatakan bahwa menurut hukum keseimbangan, seluruh jumlah energi tersebut harus tetap, sesuai dengan persamaan berikut ini : QN = QS↓– QS↑ ± QH ± QE ± QP di mana : QN = energi netto QS↓ = energi yang masuk QS↑ = energi yang keluar QH = energi yang digunakan untuk pemanasan /pendinginan bumi QE = energi yang digunakan untuk perubahan fase (penguapan, kondensasi, sublimasi dan lain sebagainya) QP = energi yang langsung dimasukkan atau dihilangkan oleh manusia, misalnya : pembakaran AC, metabolisme, dan lain sebagainya. Persamaan di atas disebut neraca energi, mengandung pengertian bahwa perubahan dari salah satu unsur memberikan konsekuensi terjadinya perubahan unsur-unsur yang lain. Corak cuaca dan iklim ditentukan oleh besarnya masingmasing unsur tersebut. Sebagai contoh, perubahan permukaan dari permukaan hutan menjadi permukaan beraspal. Permukaan hutan mempunyai albedo yang besar, sehingga suhu di permukaan tidak terlalu besar. Akan tetapi hutan dapat menyimpan energi, sehingga suhu di permukaan tidak terlalu besar. Apabila permukaan diubah menjadi beraspal yang mempunyai sifat banyak menyerap energi dari radiasi matahari yang jatuh padanya menimbulkan terjadinya suhu yang tinggi di atasnya pada siang hari. Sebaliknya pada malam hari, permukaan ini memancarkan banyak energi, sehingga suhu di atas permukaan tersebut turun dengan cepat. 14 1.5.1.4 Suhu Udara Suhu didefinisikan sebagai tingkatan gerakan molekul benda, makin cepat gerakan molekul maka makin tinggi suhunya. Suhu dapat didefinisikan juga sebagai tingkat panas suatu benda. Panas bergerak dari benda yang mempunyai suhu tinggi ke benda yang mempunya suhu rendah. (Tjasjono, 1999) Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi matahari, tinggi tempat, curah hujan, dan jarak dari laut. Semakin rendah tingginya dan dekat jaraknya dari laut, suhu udara relatif lebih tinggi, dan fluktuasi suhu hariannya semakin kecil. Suhu udara berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikelpartikel pada yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari ini akan menyebabkan suhu udara meningkat. Di daerah tropika, fluktuasi suhu udara ratarata harian relatif konstan sepanjang tahun (Lakitan, 1994). Suhu menunjukkan gambaran umum energi kinetik suatu obyek, demikian juga dengan suhu udara. Oleh karena itu, tidak semua bentuk energi yang dikandung suatu obyek dapat diwakili oleh suhu. Sebagai contoh adalah energi panas laten udara. Suhu udara hanya menunjukkan kondisi atau manifestasi dari panas terasa. Energi panas terasa tergantung dari perbedaan suhu permukaan dan suhu udara, kerapatan udara, kapasitas panas udara, dan hambatan tahanan aerodinamisnya. Hal ini menggambarkan bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi oleh beberapa hal tersebut. Suhu permukaan akan ditransfer ke udara dengan proses konveksi melalui media yang bernama udara. Jumlah energi yang ditransfer dipengaruhi oleh media yang dilaluinya. Sifat fisik permukaan suatu obyek menentukan keadaan suhu permukaan dan suhu udara diatasnya, sehingga jenis tanah dan penggunaan lahan akan sangat mempengaruhi nilainya. Demikian juga jika pada kedua jenis lahan tersebut mengalami perubahan tutupan lahan, maka respon perubahannya juga akan berbeda. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan sifat fisik dari lahan dalam penerimaan radiasi matahari, dan kemampuan untuk melepaskan panas yang diterimanya dari radiasi matahari tersebut. kondisi suhu di wilayah tersebut 15 dengan proporsi dan interaksi yang berbeda. Biasanya perbedaan suhu adalah fungsi dari jumlah populasi. Semakin besar populasi, maka tingkat perbedaan suhu akan semakin besar (Landsberg, 1981). 1.5.1.5 UHI (Urban Heat Island) Urban Heat Island yaitu fenomena dimana suatu kota bersuhu lebih panas dari kondisi daerah sekitarnya atau dikelilingi oleh daerah pedesaan yang bersuhu lebih rendah. (Neiburger, 1995) Wilayah perkotaan sering disebut sebagai pulau panas (heat island), karena suhu udara di perkotaan lebih tinggi dari wilayah di sekitarnya. Penggunaan istilah pulau panas ini dilandaskan atas adanya garis kontur suhu (garis isotherm) yang melingkar pada daerah perkotaan dengan titik suhu tertinggi terletak di tengah lingkaran tersebut. Jika dalam suatu sistem pola cuaca yang sama terdapat garis kontur suhu yang melingkar, maka daerah di dalam lingkaran kontur suhu ini disebut pulau panas (heat island). Lakitan (1994) Menurut Tursilowati (2008) bahan bangunan seperti aspal, semen, dan beton menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Ditambah lagi dengan penggunaan alat pemanas, pendingin udara, dan pembangkit listrik yang menghasilkan buangan panas. Pada siang hari energi itu dengan gampangnya mengenai jalan, dinding dan atap-atap gedung. Karena sebagian besar air hujan masuk ke parit-parit, dan karena di kawasan perkotaan umumnya tidak banyak vegetasi, maka unsur evaorasi dalam persamaan bujet energi tersbut biasanya kecil. Jadi sebagian besar energi yang diterima pada siang hari dikonduksikan ke permukaan atau digunakan untuk memanaskan udara. Pada malam hari, panas yang tersimpan di jalan atau gedung-gedung dikonduksikan ke permukaan dan sebagai hasilnya, pendinginan pada malam hari sangat kurang. Selanjutnya, panas dalam jumlah besar juga ditimbulkan oleh kendaraan yang lalu lalang, oleh industri, serta oleh sistem-sistem pemanasan komersial maupun rumah-rumah penduduk. 16 1.5.1.6 Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah Ilmu, teknik dan seni untuk mendapatkan informasi tentang obyek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan langsung dengan obyek, wilayah atau gejala yang sedang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994) Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik (Purwadhi, 2001). Penginderaan jauh sangat tergantung dari energi gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik dapat berasal dari banyak hal, akan tetapi gelombang elektromagnetik yang terpenting pada penginderaan jauh adalah sinar matahari. Banyak sensor menggunakan energi pantulan sinar matahari sebagai sumber gelombang elektromagnetik, akan tetapi ada beberapa sensor penginderaan jauh yang menggunakan energi yang dipancarkan oleh bumi dan yang dipancarkan oleh sensor itu sendiri. Sensor yang memanfaatkan energi dari pantulan cahaya matahari atau energi bumi dinamakan sensor pasif, sedangkan yang memanfaatkan energi dari sensor itu sendiri dinamakan sensor aktif. Analisa data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapangan. Hasil nalisa yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumberdaya lokasi. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut. Keseluruhan proses pmulai dari pengambilan data, analisis data hingga penggunaan data tersebut disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001) Penginderaan jauh merupakan aktivitas penyadapan informasi tentang obyek atau gejala di permukaan bumi (atau permukaan bumi) tanpa melalui kontak langsung. Karena tanpa kontak langsung, diperlukan media supaya obyek atau gejala tersebut dapat diamati dan ‘didekati’ oleh si penafsir. Media ini berupa citra (image atau gambar). Citra adalah gambaran rekaman suatu obyek (biasanya 17 berupa gambaran pada foto) yang dibuahkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau elektronik. Pada umumnya ia digunakan bila radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu obyek tidak langsung direkam pada film. Pengenalan pola spektral obyek dapat menjadi pemandu yang sangat bermanfaat dalam upaya mengenali obyek pada citra. Secara garis besar dapat di katakan bahwa air jernih cenderung memberikan pantulan yang lebih rendah dari pada air keruh pada semua wilayah panjang gelombang. Vegetasi memberikan pantulan yang sangat rendah pada spectrum biru, meningkat agak tinggi pada spektrum hijau (oleh karena itu daun tampak hijau di mata manusia), menurun lagi di spectrum merah (karena serapan kuat oleh pigmen daun), dan meningkat sangat tajam di spectrum Inframerah dekat, sebagai akibat dari pantulan oleh ruang antar sel pada jaringan spongi daun. Vegetasi kembali memberikan pantulan yang rendah pada saluran inframerah tengah I dan inframerah II karena pengaruh kandungan lengas (kelembaban) yang tinggi. Tanah bertekstur relatif kasar (pasiran) ataupun relatif lembab memberikan pantulan yang cenderung meningkat dari sprektrum biru ke inframerah dekat, kemudian sedikit turun pada spectrum inframerah tengah I dan II karena pengaruh serapan oleh lengas tanah. Tanah bertekstur relatif halus ataupun yang berona cerah di lapangan dan sangat tipis cenderung memberikan pantulan yang tinggi pada semua spectra. Dedaunan yang kering akan memberikan pantulan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya panjang gelombang. Meskipun demikian gejala ini cenderung ideal pada laboraturium, sedangkan kombinasi berbagai faktor di lapangan kadangkadang mengaburkan pola teoritis semacam ini. Lillesand dan Kiefer (1994) menyebutkan 8 unsur interpretasi yang di gunakan secara konvergen untuk dapat mengenali suatu obyek yang ada pada citra, kedelapan unsur tersebut ialah warna/rona, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs dan asosiasi. Diantara ke delapan unsur tersebut, warna/rona merupakan hal yang paling dominan dan langsung mempengaruhi pengguna citra dalam memulai interpretasi. Sebenarnya seluruh unsur interpretasi ini dapat di kelompokkan ke dalam 3 jenjang dalam piramida unsur-unsur interpretasi. Pada 18 jenjang paling bawah terdapat unsur-unsur elementer yang dengan mudah dapat dikenali pada citra, yaitu warna/rona, bentuk, dan bayangan. Pada jenjang berikutnya terletak ukuran, tekstur dan pola, yang membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang konfigurasi obyek dalam ruang. Pada jenjang paling atas terdapat situs dan asosiasi, yang merupakan unsur-unsur pengenal utama dan seringkali menjadi faktor kunci dalam interpretasi, namun sekaligus paling sulit untuk dideskripsikan. 1.5.1.7 Landsat ETM+ Kenampakan bumi disediakan dalam misi satelit berawak dan pada awalnya satelit meteorology mendorong perkembangan program Satelit teknologi sumber-daya bumi atau ERTS (Earth Resources Technology Satellites). Program ini dikembangkan oleh NASA di Amerika, dan secara resmi diubah menjadi program Landsat pada tahun 1975 untuk membedakannya dari program satelit kelautan Seasat. Landsat merupakan satelit tak berawak pertama yang dirancang secara spesifik untuk memperoleh data sumber daya bumi dalam basis yang sistematik dan berulang. Landsat 7 dikontrol oleh USGS, yang telah mengambil alih dari EOSAT. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 Desember 1998. Landsat 7 dilengkapi dengan sensor Enhanced Thematic Mapper Plus. Satelit Landsat 7 diluncurkan dengan ketinggian orbit 705 km. Orbit yang rendah ini dipilih untuk membuat satelit secara potensial dapat dicari oleh pesawat ruang angkasa dan untuk meningkatkan resolusi tanah pada sensor. Setiap orbit membutuhkan kirakira 99 menit dengan lebih dari 14,5 orbit dilengkapi setiap hari. Orbit ini menghasilkan putaran berulang selama 16 hari, yang berarti suatu lokasi di permukaan bumi bisa direkam setiap 16 hari. Landsat 7 tidak memiliki kenampakan off-nadir sehingga tidak bisa menghasilkan cakupan yang meliputi seluruh dunia secara harian. Citra Landsat 7 ETM+ tampak sama seperti data Landsat TM, yang keduanya memiliki resolusi 25 meter. Satu layar penuh mencakup luasan 185 km2, sehingga sensor dapat mencakup daerah yang besar di permukaan bumi. 19 Citra Landsat TM dan Landsat ETM+ memiliki persamaan, dimana keduanya memiliki ukuran piksel sebesar 25 meter. Bagaimanapun juga citra Landsat ETM+ memiliki band pankromatik yang mampu menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi 12,5 meter. Hal ini memungkinkan untuk menghasilkan citra multispektral pankromatik yang dipertajam (citra gabungan pankromatik dan multispektral dengan resolusi spectral 7 band dan resolusi spasial 12,5 meter) tanpa merektifikasi citra yang satu ke citra lainnya. Hal ini disebabkan citra pankromatik dan multispektral direkam dengan sensor yang sama sehingga bisa diregister secara otomatis. Citra Landsat 7 juga memiliki band thermal yang dipertajam. Sensor ETM+ menggunakan panjang gelombang dari spectrum tampak mata sampai spectrum infra merah. Secara radiometric, sensor ETM+ memiliki 256 angka digital (8 bit) yang memungkinkan pengamatan terhadap perubahan kecil pada besaran radiometric dan peka terhadap perubahan hubungan antar band. Band-band ETM+ berguna untuk mengkaji air, pemilihan jenis vegetasi, pengukuran kelembaban tanah dan tanaman, pembedaan awan, salju, dan es, serta mengidentifikasi jenis batuan. Sama dengan Landsat TM, Landsat ETM+ bisa digunakan untuk penerapan daerah perkotaan, akan tetapi dengan resolusi spektral yang tinggi akan lebih sesuai jika digunakan untuk membuat karakteristik alami suatu bentang alam. Spesifikasi Teknis ETM+ dirancang untuk mengumpulkan, menyaring, dan mendeteksi radiasi dari bumi dalam petak seluas 185 km yang melewatinya. Viewing swan dihasilkan oleh rata-rata system oscillating mirror yang menyapu melewati jalur sebagaimana bidang pandang sensor bergerak maju sepanjang jalur yang disebabkan pergerakan satelit. Data dari ETM+ merupakan output dalam dua channel yang masing-masing pada 75 Mbps. Setiap channel berisi data dari beberapa detector bersama-sama dengan data koreksi satelit (Payload Correction Data/PCD), time stamp, dan status instrument. Data tiap channel berisi : Channel 1 = band 1-3 (visible), band 4 (VNIR), Band 5 (SWIR), Band 6 (LWIR), waktu, PCD, data status. Channel 2 = band 6 (LWIR), band 7 (SWIR) dan band 8 (pankromatik), waktu, PCD, data status. Data dari tiap band bisa dipilih untuk menghasilkan output yang lebih tinggi atau lebih rendah, com- 20 mandable setting untuk mengatur tegangan referensi mul-tiplexor. Band 6 muncul dikedua channel, dengan data di channel 1 berada dalam high gain dan data di channel 2 berada dalam low gain. Ciri khas dari citra Landsat 7 dengan sensor ETM+ adalah jumlah band yang terdiri dari delapan band. Band-band yang terdapat pada sensor ETM+ mempunyai kemampuan dan karakteristik yang berbeda-beda dalam menangkap gelombang elektromagnetik dan dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi seperti pada tabel. Masih banyak kegunaan lainnya dari penggunaan Landsat 7 seperti pada tabel. Tiap band pada Landsat 7 ETM + memiliki ukuran tersendiri. Tapi Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat ini mengalami kerusakan sejak 2003. Sistem sensor mengalami kerusakan berupa kegagalan pengoreksi baris pemindai (scan line corecction, SLC). Akibat kegagalan ini, data hasil pemindaian pun banyak data yang hilang. Melalui operasi sistem sensor yang menggunakan metode SLC-off ini, diperoleh citra digital yang menampakkan baris-baris pemindaian yang melompat-lompat. Tim gabungan NASA dan USGS mencoba memperbaiki hal ini dengan cara mengisi baris-baris yang kosong melalui proses akuisi data yang berurutan. Meskipun upaya ini telah banyak membantu dalam akuisi data, bagaimanapun sering terlihat adanya hasil yang menganggu pengamatan visual, terutama ketika data yang digunakan untuk mengompensasi baris-baris kosong pada tanggal perekaman sebelumnya berbeda dalam hal posisi dan persentase liputan awan (Danoedoro, 2012) 1.5.1.8 NDVI NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah suatu algoritma yang diterapkan pada citra multisaluran untuk mengidentifikasikan kerapatan vegetasi. (Iswanto, 2008). NDVI biasanya diaplikasikan untuk mengetahuikerapatan vegetasi, kapasitas fotosintesis, absorpsi energi oleh kanopi tumbuhan dan lain-lain. Rasional pemakain NDVI untuk mengetahui kerapatan vegetasi dalah sebgai berikut. NDVI digunakan untuk mengetahui kondisi vegetasi yang ada pada suatu wilayah. NDVI pada dasarnya menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Nilai 21 NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal inframerah dekat dan kanal cahaya tampak (merah). Untuk menghitung NDVI digunakan persamaan : NDVI = (NIR – VIS)/(NIR+VIS) Keterangan : NIR = Reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared (Band 4) VIS = Reflektansi kanal cahaya tampak/ infrared (Band 3) 1.5.1.9 Derivasi Suhu Permukaan Suhu Permukaan Tanah didefinisikan sebagai suhu di permukaan bumi yang masih terpengaruh oleh atmosfer sehingga ada variabel-variabel meteorologi, hidrologi dan siklus energi yang mempengaruhi interaksi antara permukaan bumi dan atmosfer (Niclòs et al, 2009 di Valiente et al, 2010). Suhu permukaan ditangkap sebagai sistem thermal dalam penginderaan jauh, suhu pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi dan mencapai sensor thermal direkam oleh sensor tersebut. Setiap objek di permukaan bumi akan menyerap energi, suhu objek akan meningkat dan meradiasikan REM (Radiasi Elektromagnetik) gelombang panjang ke atmosfer. Landsat dapat mengangkap gambar inframerah gelombang panjang dapat mengukur energi objek dan merekamnya dalam nilai digital. Sesmua zat pada temperatur yang lebih besar dari 0 absolut (0 Kelvin, -273,15ºC, atau 459,69ºF), mengeluarkan REM secara terus menerus (Iswanto, 2008) Pengukuran suhu permukaan dan udara dapat dilakukan secara langsung dan dapat diduga dari citra satelit. Pemanfaatan data pengideraan jauh untuk mendeteksi suhu permukaan wilayah perkotaan telah dilakukan di banyak tempat dan wilayah. Dasar utama pemanfaatan data penginderaan jauh adalah kemampuannya dalam menyediakan data suhu permukaan lahan (land surface temperature) untuk wilayah yang luas dan dengan tingkat kerapan data yang tinggi (1200 m2). Keadaan ini hanya dapat dilakukan oleh data penginderaan jauh. Akan tetapi yang dideteksi oleh data penginderaan jauh adalah suhu permukaan lahan (objek yang ada dipermukaan lahan) dan bukan suhu udara di permukaan (As-syakur, 2012). 22 1.5.2 Tinjauan Empiris Konversi lahan dari ekosistem alami ke penggunaan lahan lainnya akan memberikan efek yang besar dengan adanya emisi gas rumah kaca dan albedo, dan perubahan iklim itu sendiri. Cuaca dan iklim bisa saja berubah secara drastis dikarenakan perubahan kecil yang mempengaruhi komponen-komponen yang ada di atmosfer. Konversi lahan dari ekosistem alami ke penggunaan lahan lainnya akan memberikan efek yang besar dengan adanya emisi gas rumah kaca dan albedo, dan perubahan iklim itu sendiri. Dari beberapa penelitian di lapangan, dengan analisis komputasi menggunakan model sirkulasi yang umum menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang berbeda akan mempengaruhi iklim secara global. (Charney et al 1977) Setelah penelitian-penelitian tersebut, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan wilayah UHI terus berkembang. Dengan adanya data-data penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang lebih detail seperti Landsat dan Aster menyebabkan pendeteksian wilayah UHI semakin detail. Liu and Zhang (2011) menggunakan Landsat dan Aster untuk melihat UHI di Hongkong, Streutker (2002) hanya memanfaatkan NOAA Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) dalam mempelajari UHI di Houston, Texas; dan Chen et al. (2006) memanfaatkan data Landsat 5 dan Landsat ETM+ untuk mendeteksi efek perubahan penggunaan lahan terhadap UHI dengan mengkorelasikannya dengan indeks-indeks penginderaan jauh. Di Indonesia, Tusilowati (2005) mencoba mengkaji perubahan penggunaan lahan dengan perubahan suhu perkotaan di Bandung dan Bogor. Selain itu, Tursilowati (2007) juga mengkaji UHI di tiga kota besar lainnya yaitu Bandung, Semarang dan Surabaya. Nurjani (1999) melakukan pengukuran suhu udara dan kelembaban untuk mengetahui intensitas pulau bahan (urban heat island) di Kota Yogyakarta. Hasil pengukuran menunjukkan terdapat perbedaan suhu di dua lokasi pengukuran yaitu di daerah pinggiran dan di daerah pusat kota berkisar 2,5-6ºC. Puncak perbedaan terjadi pulau bahang ideal pada malam hari yang tidak berawan dan tidak berangin serta selama musim kemarau. 23 Irma (2003) melakuakan penelitian mengkaji pengaruh struktur vegetasi kota terhadap iklim mikro (suhu udara kelembaban udara dan angin). Ardiansyah (2004) melakukan penelitian mengkaji variasi spasial dan temporal dari unsur iklim mikro yaitu suhu udara, kelembaban udara dan suhu permukaan. Hasil pengukuran memperlihatkan terlihat variasi spasial dan temporal dari suhu udara, kelembaban udara dan suhu udara antara pusat kota Yogyakarta dan daerah di pinggiran kota. Fenomena urban heat island telah terjadi di kota Yogyakarta saat malam hari, dengan suhu rata-rata pada bulan Februari 2004 (pada musim penghujan) sebesar 30ºC dengan intensitas heat island berkisar 2-6ºC, sedangkan pada bulan April 2004 (awal muslim kemarau) berkisar 30-32ºC dengan intersitas heat island rata-rata 3ºC. Lestiana (2006) melakukan penelitian perubahan lahan dan Ppngaruhnya pada Iklim Mikro di Kota Bandung dengan analisis perubahan lahan citra satelit Landsat MSS akuisisi 1976 dan citra satelit Landsat TM 2001. Analisis perubahan dan prediksi iklim dengan analisis data meteorologi secara observasi dari tahun 1971-2000. Berdasarkan hasil penelitian yaitu perbandingan antara konversi lahan dengan kecendrungan perubahan elemen iklim (antara lain kecenderungan kenaikan suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu minimum dan jumlah hari hujan serta kecenderungan penurunan radiasi matahari, kelembaban, jumlah curah hujan dan intensitas curah hujan) di Kota Bandung dalam kurun waktu 30 tahun, maka disimpulkan bahwa konversi lahan mempengaruhi kondisi iklim di Kota Bandung. Penelitian di luar negeri lainnya sangat banyak yang menggunakan metode penginderaan jauh untuk mengetahui korelasi atau hubungan pengaruh variabel penggunaan lahan dengan parameter iklim mikro terutama suhu permukaan, karena metode penginderaan jauh ini memudahkan peneliti untung mengestimasi nilai suhu permukaan dengan mempertimbangkan faktor posisi matahari pada tanggal pengambilan Landsat, jarak bumi dan matahari pada saat tanggal pengambilan Landsat dan faktor signifikan lainnya yang bisa mempengaruhi nilai suhu permukaan sesaat tersebut. Berikut tabel yang berisi hasil penelitian yang hubungan antara penutup lahan dan iklim yang telah dilakukan oleh penelitipeneliti sebelumnya. 24 Tabel.1.5 Keaslian Penelitian NO 1. Judul dan Peneliti Pengaruh Perubahan Penutup Lahan terhadap Iklim Mikro (Studi Kasus Kecamatan Cangkringan Sleman) Dwi Nowo Martono (1996) 2. Remote Sensing Image-Analysis of the Relationship Between Urban Heat Island and Land Use/Land Changes Xiao-Ling Chen, Hong-Mei Zhao, Ping-Xiang Li, dan Zhi-Yong Yin (2005) Metode Analisis deskriptif parameter iklim (temperatur maksimum, rata-rata kelengasan udara nisbi (RH), Curah hujan total (CH), Prosentase sinar matahari (SM), dan kecepatan angin (KA) tahun 1985 dan 1990 Lokasi Kecamatan Cangkringan, Sleman Hasil Penelitian Berdasarkan analisis deskriptif dan uji signifikansi terhadap perubahan parameter iklim, menunjukkan bahwa perubahan penutup lahan,semak belukar dan tegalan menjadi taman rekreasi di daerah penelitian mempunyai pengaruh berarti terhadap kondisi klimatologis. Pengaruh ini akan semakin nyata sejalan dengan perkembangan deaerah, kepadatan penduduk dan sarana transportasi yang mempunyai andil cukup besar terhadap kondisi klimatologis. Interpretasi citra Landsat TM dan ETM+ dari tahun 1990 hingga tahun 2000 dan pendekatan kuantitatif untuk mengeksplorasi hubungan antara temperatur dan NDVI. Pearl River Delda di Provinsi Guangdong, Cina bagian Selatan Distribusi spasial pulau-pulau panas telah menyebar dengan berbagai penggunaan lahan dari penggunaan lahan campuran,lahan kosong, lahan semi-urban dan tanah ini lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Selain itu ditemukan bahwa ada korelasi negatif antara NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), NDWI (Normalized Difference Water Index), NDBaI (Normalized Difference Bareness Index) dan suhu dan korelasi positif ditunjukkan antara NDBI (Normalized Difference Built-up Index) dan suhu. 25 Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian NO Judul dan Peneliti 3 Perubahan Iklim Mikro Akibat Perubahan Fungsi Lahan di Sekitar Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado Rolles N. Palilingan, Martina Pungus, Jeane Rende dan, Arnold Turang. (2005) 4 Perubahan Lahan dan Pengaruhnya pada Iklim Mikro di Kota Bandung Hilda Lestiana (2006) Metode Penelitian menggunakan metode deskripsi dan eksperimental. Metode deskripsi untuk membandingkan data suhu dan kelembaban sebelum dan setelah perubahan fungsi lahan dan metode eksperimental digunakan untuk membandingkan suhu dan kelembaban di pemukiman dan di hutan. Analisis perubahan lahan citra satelit Landsat MSS akuisisi 1976 dan citra satelit Landsat TM 2001. Analisis perubahan dan prediksi iklim dengan analisis data meteorologi secara observasi dari tahun 1971-2000. Lokasi Kota Manado Kota Bandung Hasil Penelitian Nilai rata-rata suhu udara menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara suhu udara permukaan pada saat belum terjadi perombakan hutan/daerah perkebunan (tahun 2001) dengan suhu udara pada saat telah terjadi perombakan hutan (tahun 2004), tetapi sebagaimana deskripsi data yang telah dikemukakan bahwa berubahnya fungsi lahan di sekitar stasiun klimatologi Kayuwatu-Paniki Manado telah menyebabkan adanya perubahan pola perubahan suhu udara permukaan, dan perbedaan dalam nilai rata-rata kelembaban udara. Berdasarkan hasil penelitian yaitu perbandingan antara konversi lahan dengan kecendrungan perubahan elemen iklim (antara lain kecenderungan kenaikan suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu minimum dan jumlah hari hujan serta kecenderungan penurunan radiasi matahari, kelembaban, jumlah curah hujan dan intensitas curah hujan) di Kota Bandung dalam kurun waktu 30 tahun, maka disimpulkan bahwa konversi lahan mempengaruhi kondisi iklim di Kota Bandung. 26 Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian NO Judul dan Peneliti 5 Studi Pengaruh Kualitas Vegetasi pada Lingkungan Termal Kawasan Kota di Bandung Menggunakan Data Citra Satelit Surjamanto Wonorahardjo, Suwardi Tedja dan Benedictus Edward (2007) 6 Urban Heat Island dan Kontribusinya Pada Perubahan Iklim Dan Hubungannya Dengan Perubahan Lahan Laras Tursilowati (2008) Metode Penelitian menggunakan data satelit Landsat ETM yang mengambil citranya dalam 7 band termasuk di dalamnya citra termal. Pendataan suhu udara lingkungan juga dilakukan dengan pengukuran lapangan untuk pembanding data citra satelit tersebut. Lokasi Kota Bandung Menghitung neraca energi dan membuat Peta Persebaran UHI di Kota Bandung, Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota Bandung, Kota Semarang dan Kota Surabaya Hasil Penelitian Sebagai hasil penelitian didapatkan bahwa vegetasi berupa pohon sangat berpengaruh positif terhadap lingkungan termalnya dalam hal laju penurunan temperatur udara dan Prediction Profiler. Semakin besar volume pohon di kawasan, rata-rata temperatur udara juga semakin rendah. Pohon juga mempengaruhi laju naik dan turun. Sedangkan penutup tanah seperti jalan aspal berperan negatif terhadap temperatur udara, dengan pengertian bahwa semakin besar luas jalan. Penelitian tentang UHI di beberapa kota besar di Indonesia dengan data satelit menunjukkan adanya perubahan temperatur yang merupakan salah satu indikasi adanya perubahan iklim, hal ini ada hubungannya dengan perubahan lahan yang terjadi akibat urbanisasi. Di Bandung teramati perluasan UHI (daerah dengan suhu tinggi 30-35ºC yang terletak pada kawasan terbangun di pusat kota per tahun kira-kira 12606 ha atau 4.47%, di Semarang 12174 ha atau 8,4%, di Surabaya 1512 ha atau 4,8%. Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih 1029 ha (0,36%), Semarang 1200 ha (0,83%), dan Surabaya 531,28 ha (1,69%). Daerah Penyebaran Urban Heat Island 27 terletak di pusat kota Bandung, Surabaya maupun Surabaya. Urban Heat Island di pusat Kota Bandung (2001), Surabaya (2002) maupun Surabaya (2002) semakin melebar dibandingkan dengan tahun 1994. Tingginya laju urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya lahan terbangun (pemukiman dan industri) menjadi salah satu penyebab meluasnya Urban Heat Island yaitu bertambah luasnya area yang bersuhu tinggi (diatas 30ºC) . 28 Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian NO Judul dan Peneliti 7 Analysis of Land Surface Temperature and Land Use / Land Cover Types Using Remote Sensing Imagery - A Case in Chennai City, India. Metode Analisis perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan dengan membandingkan Landsat TM dan Landsat ETM + data tahun 1991 dan 2000. Lokasi Kota Chennai, India Hasil Penelitian Berdasarkan hasil klasifikasi Landsar TM dan ETM+ pada tahun 1991 dan 2000, area dengan kepadatan tinggi dan area dengan kepadatan sedang mengalami peningkatan yang sangat drastis dan tinggi. Sehingga Penggunaan Lahan sangat berpengaruh pada Suhu Permukaan di Chennai, India. Kabupaten Bandung Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah suhu udara tinggi dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan berupa lahan terbangun, sedangkan suhu udara rendah dipengaruhi oleh ruang terbuka hijau. Semakin tinggi persentase lahan terbangun di suatu area, maka akan semakin tinggi juga suhu udara di area tersebut. Sebaliknya semakin tinggi persentase ruang terbuka hijau, maka semakin rendah suhu udaranya. Pengembangan dan pembangunan ruang terbuka hijau akan efisien dan efektif jika dilakukan di area dengan suhu udara tinggi. Lilly Rose A, Monsingh D dan Devadas (2009) 8 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan di Kabupaten Bandung Siti Badriyah Rushayati, Hadi S. Alikodra, Endes N. Dahlan, dan Herry Purnomo (2011) Analisis penutup lahan dengan menggunakan citra Landsat tahun 2003 dan tahun 2008 dengan membuat peta distribusi suhu tahun 2003 dan tahun 2008. 29 Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian NO Judul dan Peneliti 9 Urban Heat Island Analysis Using the Landsat TM Data and ASTER Data : A Case Study in Hongkong Lin Liu dan Yuanzhi Zhang (2011) 10 Estimating Temporal Land Surface Temperature Using Remote Sensing : A Study of Vadodara Urban Area, Gujarat Janak P, Joshidan Bindu Batt (2012) Metode Analisis Landsat TM dan ASTER tahun 2005 Lokasi Hong Kong Interpretasi Landsat TM 5 tahun 1990-2009 dan pembuatan Peta Suhu Permukaan Gujarat, India Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan data hasil interpretasi Landsat TM dan ASTER. Dari perolehan data suhu menunjukkan nilai tertinggi dari UHI (Urban Heat Island) terdapat di 3 lokasi yaitu Kowloon, Hongkong bagian utara dan Bandara Internasional Hongkong. Ditemukan korelasi negatif antara suhu permukaan dengan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan korelasi positif dengan NDBI (Normalized Difference Build-up Index). NDVI yang tinggi bisa mengurangi UHI sedangkan NDBI dapat memperbesar UHI. Hasil interpretasi Citra Landsat TM 5 tahun 1990 hingga tahun 2009 menunjukkan perbedaan nilai suhu permukaan terutama di daerah perkotaan dan daerah pinggiran yang dapat dilihat dari adanya efek UHI. Terlihat peningkatan suhu permukaan yang signifikan dari tahun 1990 hingga 2009. Penelitian ini membuktikan bahwa perubahaan penggunaan lahan sangat memberikan pengaruh dalam perubahan suhu permukaan terutama berubahnya lahan vegetasi menjadi lahan terbangun. Zona dengan suhu permukaan yang tinggi terdapat lahan terbangun. 30 Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian NO Judul dan Peneliti 11 Land Surface Temperature Analysis in an Urbanising Landscape through MultiResolution data Ramachandra T.V , Bharath H. Aithal dan Durgappa Sanna D. (2012) Metode Interpretasi Landsat TM tahun 1989, Landsat ETM tahun 2000 dan Landsat ETM+ tahun 2005 dengan membuat Peta NDVI dan Peta Suhu Permukaan Lokasi Himachal Pradesh, India Hasil Penelitian Analisis Peta Perubahan Penggunaan Lahan tahun 1989-2000 menunjukkan bahwa terjadi perubahan sebanyak 55% yaitu penggunaan lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun, pada tahun 2000-2005 terjadi perubahan 39% dari vegetasi menjadi lahan terbangun dan pada tahun 2006-2006 terjadi perubahan 18,92%. Nilai suhu minimun dan suhu maksimum yang paling ekstrem yaitu -2ºC dan 31ºC. Terjadi peningkatan suhu rata-rata 3ºC hingga 4ºC rentang waktu tahun 1989 hingga 2010. 31 1.6 Kerangka Pemikiran Perubahan penggunaan lahan di kota dan meningkatnya penggunaan lahan non-vegetasi akan mempengaruhi kondisi iklim mikro. Jenis penggunaan lahan akan menentukan besarnya kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan indikator iklim mikro lainnya, karena jenis-jenis penggunaan lahan ini akan memberikan efek keseimbangan energi yang berbeda pula. Perubahan penggunaan lahan yang paling berpengaruh yaitu lahan yang awalnya merupakan lahan vegetasi menjadi lahan non vegetasi. Perubahan penggunaan lahan ini secara tidak langsung mempengaruhi iklim mikro daerah setempat terutama suhu dan berimplikasi terjadinya pulau bahang kota atau Urban Heat Island (Rushayati, dkk. 2011). Daerah pedesaan merupakan daerah yang penggunaan lahannya masih banyak terdiri dari vegetasi sehingga memiliki nilai albedo yang besar. Albedo yang besar maka besar radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali akan lebih banyak. Dengan demikian akan mengurangi simpanan panas di daerah ini. Semakin tinggi nilai albedo berarti semakin banyak radiasi yang dipantulkan. Sebaliknya semakin tinggi penyerapan radiasi maka semakin tinggi radiasi yang dipancarkan kembali ke atmosfer sehingga akan terjadi pemanasan udara dan peningkatan suhu udara (Rushayati, dkk. 2011). Meningkatnya aktivitas manusia di lingkungan perkotaan seperti tingginya tingkat imigrasi atau banyaknya penduduk yang datang, bertambahnya jumlah kendaraan bermitir, menyebabkan meningkat pula kebutuhan terhadap fasilitas publik. Kebutuhan terhadap fasilitas publik inlah yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan vegetasi menjadi non-vegetasi. Penggunaan lahan vegetasi berupa sawah irigasi, tegalan dan tanaman campuran sedangkan non-vegetasi berupa lahan terbangun dan lahan kosong. Untuk mengetahui korelasi apakah perubahan penggunaan lahan mempengaruhi iklim mikro terutama suhu permukaan sesaat dilakukan interpretasi citra sehingga bisa dihasilkan nilai suhu permukaan (land surface temperature) dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Karena sebaran vegetasi merupakan salah satu faktor utama tinggi dan rendahnya suhu permukaan di suatu daerah. 32 Aktivitas Penduduk Meningkat Luas Wilayah Kota Kebutuhan terhadap Lahan Meningkat Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Vegetasi Penggunaan Lahan Non-Vegetasi Terjadi Perubahan Iklim Mikro Rekomendasi Gambar 1.1 Diagram Alir Pemikiran 33 1.7 Batasan Operasional Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Iklim Mikro Iklim mikro merupakan gambaran akhir dari kondisi akhir pada suatu ruangan yang terbatas dan terjadi karena hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekosistem (Lakitan, 1994 ; Wisnubroto, 1978). Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah Ilmu, teknik dan seni untuk mendapatkan informasi tentang obyek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan langsung dengan obyek, wilayah atau gejala yang sedang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994) NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Normalized Difference Vegetation Index didefinisikan suatu algoritma yang diterapkan pada citra multi saluran untuk mengidentifikasikan kerapatan vegetasi. (Iswanto, 2008) Suhu Permukaan Suhu Permukaan Tanah (Land Surface Temperature) didefinisikan sebagai suhu di permukaan bumi yang masih terpengaruh oleh atmosfer sehingga ada variabel-variabel meteorologi, hidrologi dan siklus energi yang mempengaruhi interaksi antara permukaan bumi dan atmosfer (Niclòs et al, 2009 di Valiente et al, 2010). 34