Tersedia Bibit Sidat dan Sidat Konsumsi

advertisement
HP Kepala Balai Tambak Pandu Krawang bapak I Made Suitha 085924045477,
Dan Ini No tlp Tambak Pandu Krawang, 0267 7011258.
Mohon dapat digunakan untuk kepentingan para sidaters di forum ini.
Kami Java Aquatic, menjual sidat marmorata asal sumatera, harga per kilo gram Rp
400.000,- bagi peminat yang serius harap hubungi Bapak Fauzi. Nasution di :
+6281311132667
Tommy
Email: [email protected]
Phone: 087836283124
Tersedia Bibit Sidat dan Sidat Konsumsi
Bagi rekan2 yang membutuhkan bibit/benih sidat maupun sidat konsumsi, berikut daftar dan
jenis sidat yang tersedia. Untuk melakukan pemesanan, silahkan hubungi Ibu Yusmelia (021
7199660, 0813-9832-9632) atau SMS ke 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9.
(1) Benih Sidat Marmorata (Ukuran Elver Fingerling)
Ukuran: Elver/Fingerling (Ukuran 15 - 40 cm), 1 Kg sekitar 20 – 40 ekor
Jenis: Marmorata
Asal Sidat: Poso (Sulawesi Tengah)
Tempat Terima: Kantor Agromania Jakarta
HARGA: Rp 550.000 /Kg
Minimal Pemesanan 30 kg (bisa kolektif)
Pengemasan: Plastik diisi oksigen dimasukkan di dalam kotak stereoam Garuda.
(2) Benih Sidat Marmorata (Ukuran Glass Eel)
Ukuran: Glass eel (ukuran kurang 5 cm), 1 Kg sekitar 5.000 – 6.000 ekor
Jenis: Marmorata
Asal Sidat: Poso (Sulawesi Tengah)
Tempat Terima: Kantor Agromania Jakarta.
HARGA: Rp 900.000 /Kg
Minimal Pemesanan 10 kg (bisa kolektif)
Pengemasan: Plastik diisi oksigen dimasukkan di dalam kotak stereoam Garuda.
(3) Ikan Sidat Ukuran Konsumsi
Ukuran: Konsumsi (ukuran sesuai pesanan)
Jenis: Marmorata dan Bicolor (sesuai pesanan)
Asal Sidat: Poso dan Jawa Barat
Tempat Terima: Kantor Agromania Jakarta.
Minimal Pemesanan 50 kg
HARGA: Silahkan hubungi Sekretariat
Pengemasan: Plastik diisi oksigen dimasukkan di dalam kotak stereoam Garuda.
*DP 50 %
*Pesanan ke luar jakarta dapat dilayani dengan tambahan ongkos kirim
*Harga dapat berubah sewaktu-waktu
AGROMANIA
Jl.Jambu No.53, Pejaten Barat 2, Jaksel 12510
Telp/Fax: ( 0 2 1 ) 7 1 9 9 6 6 0
Email: [email protected]
Info: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9 (SMS Only)
Penelitian Ikan: Calon Spesies Baru Sidat
Jakarta, Kompas - Sedikitnya lima karakter genetik baru ikan sidat ditemukan dalam studi
keragaman, distribusi, dan kelimpahan di perairan Indonesia periode 2004-2006. Temuan itu
berpeluang menjadi spesies baru atau variasi intra-spesies. Untuk sementara, temuan itu diberi
nama Anguilla sp. Yang sudah bias dipastikan, tujuh dari 18 jenis sidat di dunia ada di perairan
Indonesia.
"Dari tujuh jenis itu, ada kemungkinan yang endemik, tetapi masih harus dikaji lagi," kata Hagi
Yulia Sugeha, peneliti sidat pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, pekan lalu di Jakarta.
Ikan sidat tergolong jenis ikan yang kurang populer di Indonesia. Secara fisik, sidat mirip belut.
Bedanya, sidat bertubuh seperti pipa. Di dekat kepala ada sejenis telinga, dan ada sirip pada
bagian atas tubuhnya. Keunikan lain, sidat dapat menentukan jenis kelamin sesuai kondisi
lingkungan. Sebelum berwarna keperakan di saat dewasa, sidat melalui fase transparan (ketika
memasuki perairan tawar) dan berubah menjadi kuning. Umumnya, ketika sidat dalam fase
kuning itulah banyak terjerat pancing. Sidat sering tertangkap di saluran-saluran air, anak
sungai, sungai, dan danau.
Siklus hidup sidat berbalik dengan ikan salmon. Sidat dewasa (bias berusia belasan tahun)
memijah di laut berkedalaman 200-1.000 meter, sebelum kemudian bertumbuh dewasa
mencari perairan tawar. Adapun salmon memijah di hulu sungai kemudian dewasa di laut.
Keduanya akan mati setelah bertelur. "Hasil penelitian menunjukkan, perairan laut Sulawesi
menjadi pusat pemijahan sidat tropis," kata peneliti yang pernah menangkap jenis
sidat (Anguilla marmorata) sepanjang 1,72 meter seberat 11 kilogram (2002) di Danau Poso.
Temuan itu diperkuat dua kali penelitian menggunakan kapal riset Baruna Jaya VII. "Perairan
laut di wilayah tengah Indonesia memang melimpah," kata Sam Wouthuyzen, rekan satu
tim dengan Yulia.
Populasi terancam
Menurut Yulia, seiring dengan tingginya permintaan konsumsi sidat di negara-negara maju,
seperti Amerika, negara-negara Eropa, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan China, populasi sidat
tropis pun terancam. Menyusul penangkapan berlebihan di alam negara nontropis, permintaan
impor sidat tropis meningkat. Padahal, hingga saat ini sidat belum dapat dibudidayakan dari
telur. Yang terjadi, sidat-sidat anakan ditangkap dari laut atau sungai lalu dibesarkan di kolam
budidaya. Sidat-sidat itu kemudian diolah di restoran-restoran mewah bertarif mahal.
Meskipun mahal, seperti hidangan kabayaki di restoran jepang yang satu porsinya dijual sekitar
Rp 400.000, permintaan sidat tidak pernah menurun. "Di Jepang ada hari khusus mengonsumsi
sidat," kata Yulia, doktor lulusan Universitas Tokyo.
Hingga kini para ahli dan peneliti sidat belum mampu membesarkan sidat dari ukuran larva di
laboratorium. Untuk mencegah kepunahan sidat, disepakati agar ada kuota penangkapan dan
harus selektif.
MARI IKUT BERGABUNG BERSAMA KAMI UNTUK BUDIDAYA SIDAT (ANGUILLA
BICOLOR, ANGUILLA MARMORATA)
Kami berhasil mengembangkan teknik budidaya Sidat yang merupakan makanan Ekslusif di Jepang dan
Eropa. Kami Mengundang Investor. Biaya Investasi Rp 135,5 juta, Operasional 110,5 juta Total Investasi
Rp 250 juta. Hasil Panen 10 bulan 40.000 ekor sidat = 10.000kg @Rp 25.000 Total Hasil 250 juta, return
117,64% Berikutnya tinggal meraup untung.
A. Pengantar
Pertambahan penduduk dunia meningkatan kebutuhan akan sumber protein makanan daging dan ikan .
Penangkapan ikan yang hampir tidak terkendali dan dampak pencemaran laut oleh limbah rumah
tangga, industri atau tumpahan minyak yang semakin meluas, mengurangi dan memutus siklus
kehidupan ikan diperairan diseluruh dunia sehingga menjadikan perbandingan antara kebutuhan dan
ketersediaan semakin besar dan tajam.
Pada sisi lain manfaat ikan semakin disadari sebagai pemacu pertumbuhan tubuh manusia, peningkatan
kemampuan otak manusia, mencegah penyakit kolestrol /penyakit jantung, serta manfaat lain bagi
kesehatan manusia, sehingga kebutuhan ikan semakin bertambah tambah. Salah satu jenis ikan yang
dianggap sangat bermanfaat bagi manusia (Jepang dan Korea) adalah ikan belut atau sidat atau eel
(anguilla bicolor) karena dengan mengkonsumsi ikan secara teratur bangsa Jepang dan Korea disamping
memacu pertumbuhan tinggi badan juga menstimulasi intelektual bangsa dan menjadi mereka sebagai
negara industri dan modern. Jepang mengimport ikan sidat dari China dan Vietnam hampir 500.000 ton
pertahun dan permintaan tetap bertambah, namun sukar dipenuhi karena pencemaran lingkungan di
kedua negara ini pun telah semakin parah akibat pertumbuhan industri. Negara negara Eropah juga
merupakan pasaraan yang berpotensi tinggi karena mereka juga banyak mengkonsumsi ikan.
Makan ikan sidat atau dikenal dengan Unagi, bukanlah makanan biasa, tetapi termasuk termahal di
resetoran Jepang sehingga bila kita dijamu dengan hidangan makanan tersebut, menunjukkan kita
sebagai tamu terhormat. Unagi merupakan suguhan makanan bagi pertemuan pembisnis besar dan
terkenal atau tokoh tokoh penting . Karenanya yang terlibat dalam bisnis sidat disana adalah
perusahaan besar multi nasional seperti Mitsui, Marubeni, Ssasakawa dan lainnya dan perusahaan ini
baru mau bekerjasama bila kita mampu memasok kontrak diatas 5.000 ton pertahun .
Indonesia hingga saat ini belum mampu berbuat, walau ada 3 wilayah khusus di perairan kita sebagai
tempat pengembangan telur ikan sidat yaitu Teluk Toli Toli, Sorong Barat dan Pelabuhan Ratu. Ciri khas
ikan sidat adalah bertelur dilaut dalam, menetas di muara muara sungai dan membesar di air tawar.
Penangkapan yang ada saat ini sangat terbatas dalam jumlah kecil, sehingga harus dikembangkan
melalui pengembangan budi daya bilamana hendak dijadikan komoditi ekspor yang potensil.
Karena tingginya permintaan ekspor ikan sidat serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya mengkonsumsi ikan, khususnya ikan sidat, kami mengundang para pensiunan maupun yang
di pension dini atau yang di PHK, para artis serta investor lainnya ikut dalam program kami
"Membudidayakan ikan ditengah perkotaan/pemukiman guna memenuhi kebutuhan komoditi ekspor
serta mencerdaskan bangsa dengan keuntungan pasti".
B. Methode Pengembangan.
Keberhasilan pengembangan budidaya ikan sangat ditentukan oleh 3 (tiga) faktor yaitu : Benih ikan , Air
serta Pakan atau Makanan ikan.
1. Benih ikan sidat ukuran 8-15 cm (fingerling) akan dipasok oleh perusahaan pembibitan/hatchery
(lokasi di Pelabuhan Ratu, Jabar). Pada skala ukuran bibit seperti ini, tingkat kematian/mortalitas di
pembesaran maksimal 2%, sedang di pembibitan mencapai 30%.
2. Air sebagai media pembesaran sidat ditempatkan dalam fibreglaas bulat, lebar 300 cm tinggi 75 cm
per unit dengan sistem MSWPS (Multi Stage Water Purification Sysstem) berdasarkan konsep
"menciptakan lingkungan yang sehat untuk ikan" sehingga ikan bebas dari predator pemangsa, virus,
bakteri dan cemaran (polutan), temperatur dan pH yang stabil, sekaligus secara otomatis menyaring
kotoran ikan dan sisa makanan dan mengalirkan kembali air kedalam kontainer.
3. Pakan dengan formula khusus akan dipasok perusahaan dan konsentratnya disesuaikan dengan umur
dan tingkat pertumbuhan sidat atau jenis ikan lainnya yang dibudi dayakan.(tidak ada dipasar)
Jangka waktu pembesaran ikan sidat antara 10 � 12 bulan dengan populasi bibit 4.000 ekor per
kontainer atau rata rata 1.000 kg setiap di panen.
C. Pemasaran.
Seluruh hasil pembesaran para investor akan dibeli dan ditampung oleh Perusahaan untuk diproses
sebagai bahan makanan jadi bersertifikat sesuai standar dan keinginan pembeli di luar negeri maupun
kebutuhan lokal
D. Paket Investasi Proyek Pembesaran Sidat
1. Investasi Peralatan dan Perlengkapan. (dalam 000 rupiah)
a. 10 bak type 1.000 fibreglaas (3mx75cm) a. Rp. 5.000. = Rp. 50.000.
b. 2 unit M. S Waste Water Recycling System a. Rp. 7.000. = Rp. 14.000.
c. 3 unit Tangki air Plastik size 1.500 l a. Rp. 1.000. = Rp. 3.000.
d. 1 unit Tangki air stainless steel size 1.200 l a. Rp. 2.500. = Rp. 2.500.
e. 1 unit instalasi air dan listrik a. Rp. 5.000. = Rp. 5.000.
f. 160 m2 rangka besi dan atap seng a. Rp. 350. = Rp. 56.000.
g. Biaya penyambungan baru PLN 6.600 watt - = Rp. 5.000.
---------------------------------
Total
= Rp.135.500.
2. Biaya Operasional (10 bulan)
a. Pasta/Pakan 10.000 kg a. Rp. 0.75 = Rp. 75.000.
b. 2 unit Perawatan MSWWRS a. Rp. 9.000. = Rp. 18.000.
c. Biaya listrik PLN a. Rp. 1.750. = Rp. 17.500.
---------------------------------Total
= Rp.110.500.
---------------------------------Grand Total
= Rp.250.000.
(Dua ratus lima puluh juta rupiah)
E. Hasil Panen (10 bulan/10 bak).
4 (empat) ekor per kg atau 40.000 ekor/10 bak tahun, panen pertama menghasilkan 10.000kg sidat a Rp.
25.000. = Rp. 250.000.
Panen pertama hasilnya telah dapat mengembalikan investasi (0) sedang untuk panen kedua dan
berikutnya dengan jangka waktu penghapusan instalasi 15 tahun (Rp. 135.000.000. � Rp, 5.000.000
(penyambungan PLN) = Rp. 130.000.000.) menghasilkan Rp.130.000.000./panen. atau 117.64%.
F. Penutup.
Indonesia memiliki pantai 81.000 km, luas perairan lebih 6.000.000 km2 dan potensi ikan cukup besar
namun terkendala dengan masalah pencurian ikan, kurangnya peralatan kapal, tiadanya industry
pengolahan, ancaman pencemaran dilaut Jawa dan permasalahan lainnya.
Budidaya ikan dalam kontainer, terkendali dan terprogram dan dapat dilakukan di rumah/pekarangan
maupun lahan lainnya dengan modal yang relatif kecil .Kami memberikan bimbingan dan pengawasan
sepenuhnya sehingga risiko ditekan seminimal mungkin, bahkan kami bersedia memberi ganti rugi bila
investasi anda gagal. Harga akan semakin baik dari waktu kewaktu sehingga tingkat keuntungan akan
bertambah , disamping meningkatnya mutu intelegensia anak anak dengan membiasakan
mengkonsumsi ikan (sidat) yang dihasilkan sendiri. Pembudidayaan ikan dengan sistim ini dapat
dilakukan secara bersama di komplek perumahan dengan memiliki 1 (satu) unit produksi (10
kontainer) secara patungan . Investasi ini sangat menenangkan karena perkembangan setiap hari,
minggu dan bulan dapat dimonitor sekaligus menghilangkan stress dan ancaman sakit jantung yang
semakin meluas diderita masyarakat.
Peluang Ekspor Sidat ke Cina
Cina membutuhkan ikan sidat sekitar 70.000 ton per tahun, sementara
yang bisa dipenuhi hanya 20.000 ton. Ini merupakan peluang Indonesia
yang memiliki potensi ikan sidat untuk diekspor ke Cina. In-formasi
itu disampaikan tim dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
yang mengujungi Cina, beberapa waktu lalu.
Demikian diungkapkan Kepala Pusat Informasi dan Pelayanan Masyarakat
DKP, Aji Sularso, di Jakarta, Senin (27/6). Dikatakan, peluang itu
menjadi perhatian DKP yang langsung merintis upaya pengembangan
budidaya ikan sidat di sejumlah Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) yang
menjadi unit pelaksana teknis (UPT) di berbagai daerah.
Dia mengemukakan, DKP antara lain telah merintis dempond budidaya
sidat oleh Balai Riset Budidaya Air Tawar Sukabumi, Jawa Barat,
melalui pencarian lokasi yang tepat dan mengimpor pakan serta
melakukan riset pakan agar bisa mengadakanna secara mandiri.
Kawasan Budidaya
DKP, tambahnya, membangun kawasan budidaya ikan sidat sampai taraf
layak untuk dibangun pabrik pakan yang menjadi awal investasi
perusahaan mitra kerja. Salah satu pertimbangan, pembangunan kawasan
ini akan dikaji lokasinya di Waduk Jatigede Sumedang, Jawa Barat.
DKP juga telah mengintegrasikan program pembangunan kawasan budidaya
dengan pembangunan Waduk Jatigede, dan bekerja sama dengan
Departemen Pekerjaan Umum agar terjamin suplai air ke kawasan
tersebut.
''Tim dari Cina juga akan datang ke Indoneia untuk mencari komoditas
lain yang bisa dipasarkan di negara itu, dan mencari peluang kerja
sama dalam pengembangan perikanan budidaya,'' ujarnya.
Lima spesies sidat ( Anguilla )
Jakarta --- Lima spesies sidat ( Anguilla ) atau belut laut berhasil ditemukan pakar sidat dari Jepang,
bersama ilmuwan Indonesia, di perairan Indonesia timur, dalam serangkaian penelitian ilmiah
September lalu. Kelima spesies sidat yang ditemukan itu adalah Anguilla Borneonsis , Anguilla Selebensis
, Angullia Marmorata , Anguilla Bicolor dan Anguilla Interioris .
"Hasil temuan itu cukup menggembirakan," kata pakar kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Sam Wouthuyzen, pimpinan tim penelitian itu, kemarin di Jakarta.
Menurut dia, kegiatan penelitian yang berlangsung 23 hari di perairan Indonesia timur itu menggunakan
kapal Baruna Jaya VII.
Melalui hasil penelitian itu, diharapkan dapat diperoleh data dan informasi yang lebih rinci kearah
pengembangan budidaya Sidat di masa mendatang. Menurut Sam, pasaran Sidat di Jepang cukup mahal.
Ia mencontohkan, di restoran di Jepang, satu porsi sidat panggang yang dikenal dengan Kabeyaki dapat
mencapai nilai 6.000 Yen.
Kegemaran masyarakat Jepang mengkonsumsi sidat karena jenis ikan ini diduga mengandung hormon
yang merangsang sifat kejantanan lelaki. Diduga, nenek moyang sidat yang dikenal dengan belut laut ini
berasal dari perairan Sulawesi dan Maluku. Kemudian, kata Sam, menyebar ke seluruh dunia, terutama
Jepang. Antara
Mintak Sidat

Pengetahuan dasar teori gizi
Ikan sidat disebut juga ikan moa, dan nama ilmiahnya adalah Anguilla japonica. Ikan sidat adalah
sejenis ikan yang mempunyai nilai gizi sangat tinggi, kaya akan protein serta vitamin D dan E, serta
mempunyai mucoprotein yang kaya, disebut sebagai asam amino lemak ganggang dan asam
ribonukleat. Ikan sidat sangat berharga, sejak zaman kuno telah mendapat nama harum seperti
"ginseng air", "emas lunak" dan lain lain, terdapat catatan rincinya pada "Kitab Obat-Obatan Herbal
China", "Kumpulan Obat Ajaib China" dan catatan-catatan kuno lainnya. Ikan sidat dapat
meninggalkan hidup di air, daya adaptasinya sangat kuat, dapat hidup di laut, juga dapat hidup di
sungai, maupun air tawar.
Sampai sekarang, ikan sidat tak dapat dibudidaya oleh manusia, oleh karena itu nilainya sangat
tinggi. Penelitian kedokteran moderen menemukan bahwa kandungan vitamin dan mikronutrien
dalam ikan sidat sangat tinggi, di antaranya kandungan vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin A
masing-masing adalah 25 kali lipat, 5 kali lipat dan 45 kali lipat susu sapi, kandungan zinc (emas
otak) merupakan 9 kali lipat susu sapi. Terutama beberapa tahun belakangan ini ditemukan bahwa
ikan sidat mengandung berbagai asam lemak tak jenuh yang tinggi yang tak ada pada hewan
lainnya, sehingga dapat merupakan makanan utama yang memenuhi napsu makan manusia, tanpa
perlu kuatir badan akan menjadi gemuk. Rasa ikan sidat harum dan enak, disebut sebagai "ginseng
air", fungsinya dalam memperpanjang umur dan melawan kelemahan dan penuaan tak ternilai.
Sumber ikan sidat tersebar di berbagai daerah di dunia, pembiakan dengan penangkapan tunas ikan
sidat alami dan menjadi ikan sidat air tawar sangat jarang, sedangkan keistimewaan ikan sidat air
tawar mempunyai masa pertumbuhan yang pendek dan tak terpolusi zat logam.
Teknologi menemukan bahwa daya hidup ikan sidat yang ajaib bersumber dari tulang sum-sumnya
yang besar dan kuat. Penelitian modern menunjukkan bahwa tulang sum-sum ikan sidat mengadung
beratus-ratus jenis zat bergizi, gizi dan nilai farmakologinya yang istimewa telah mendapat perhatian
yang luas dari para pakar.
II. Komposisi utama dan khasiat produk:
(I)
Komposisi minyak ikan sidat
Minyak Ikan sidat dibuat dari ekstrak sum-sum ikan sidat segar, mengandung tiga jenis pusaka yaitu:
DHA, EPA dan AKG. DHA dan EPA secara nyata dapat menurunkan lemak darah dalam tubuh manusia,
sedangkan AKG merupakan anti-oksidan ajaib.
(II) Keistimewaan
(I) Keistimewaan DHA dan EPA
Pertama, tubuh manusia tidak hanya terdiri dari asam lemak tak jenuh, dengan menggunakan pasokan
makanan, oleh karena asam lemak tak jenuh disebut sebagai asam lemak yang penting. DHA dan EPA
merupakan asam lemak tak jenuh, struktur molekulnya hampir sama, oleh karenanya EPA sangat mudah
diubah menjadi HDL di dalam tubuh dan mengembangkan fungsi fisiologinya. DHA merupakan
komposisi pembentukan membran penglihatan yang penting, menduduki kira-kira 40 � 50%. DHA
dapat memberikan gizi yang diperlukan oleh syaraf penglihatan, untuk menghindar terjadinya gangguan
penglihatan.
Kedua, apabila kekentalan lemak dalam darah (kolesterol, trigliserida, dll) terlalu tinggi, merupakan
dasar terjadinya penyakit aterosklerosis, sedangkan kolesterol yang mengangkut lemak di dalam darah
mempunyai fungsi yang menentukan. Kolesterol dibagi menjadi HDLC dan LDLC, semakin rendah
kepekatan lipid, semakin besar butirannya. Sedangkan LDLC mudah menyatu dengan komposisi lain
dalam pembuluh darah ditambah dengan pengendapan di dinding pembuluh darah, oleh karenanya
disebut "lipid buruk". Sedangkan HDLC dapat membantu menurunkan kolesterol dalam darah, sehingga
disebut "lipid baik". EPA dalam minyak ikan dapat menghambat fungsi lipid buruk, mengurangi endapan
di dinding pembuluh darah, dan dapat membantu HDL menjernihkan kelebihan lemak di dinding
pembuluh darah, oleh karenanya minyak ikan disebut sebagai "pembersih" dalam pembuluh
darah. Jadi, mengkonsumsi minyak ikan tak hanya dapat menurunkan lemak darah, tetapi juga dapat
mencegah timbulnya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak.
Ketiga, sel imunitas dengan mekanisme normal mempunyai fungsi untuk mengawasi dan membunuh sel
tumor. Tetapi pada kondisi abnormal, tubuh menghasilkan hormon prostat E2 dalam jumlah besar, ini
merupakan salah satu inhibitor sel imunitas, mempunyai fungsi nyata untuk menghambat berbagai jenis
sel imunitas di dalam system imunitas, oleh karenanya membuat fungsi pengawasan dan kemampuan
membasmi sel tumor pada sistem imunitas terhambat, dan menyebabkan timbulnya tumor. Sedangkan
DHA dan EPA dapat mengurangi produksi hormone prostat E2, menghilangkan fungsi penghambatan
hormon prostat E2 terhadap berbagai sel imunitas, memperkuat kemampuan pengawasan dan
pembasmian sel tumor pada sistem imunitas. Selain itu, DHA dan EPA dapat meningkatkan pelunakan
membran sel, sehingga aktivitas sel imunitas bertambah, bermanfaat untuk penyampaian pesan sel
imunitas dan membasmi sel tumor.
Keempat, ilmu kedokteran moderen beranggapan bahwa radang sendi, rematik, bronchitis dan diabetes
berkaitan dengan gangguan fungsi imunitas tubuh, sedangkan EPA dan DHA dapat mengurangi
perpindahan sel darah putih dan sel berinti-tunggal, sehingga merubah proses penyakit radang, dengan
demikian mencapai fungsi pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut di atas.
Kelima, DHA dan EPA adalah zat gizi yang tak boleh diabaikan manula. DHA dan EPA dapat
memperlambat penyusutan otak besar, mencegah kemunduran fungsi otak besar dan timbulnya
dimensia. Diperkirakan persentase timbulnya dimensia pada manula di abad ke-21 ini bertambah 3 kali
lipat dari sekarang, pada waktunya DHA dan EPA akan menjadi salah satu cara yang berkhasiat untuk
mencegah timbulnya dimensia pada manula.
Keenam, DHA merupakan zat yang diperlukan untuk perkembangan otak bayi, terutama mempunyai
fungsi sangat penting untuk pertumbuhan syaraf otak. Perpecahan dan perkembangan sel otak manusia
adalah 70 � 80% yang selesai dalam 3 bulan sebelum kelahiran, sisanya diselesaikan beberapa hari
setelah kelahiran, oleh karena itu pada tahap ini wanita hamil perlu mengkonsumsi cukup DHA untuk
menjamin pertumbuhan sistem syaraf yang baik.
(2) Keunggulan AKGs
AKGs merupakan anti-oksidan yang ajaib. Keunggulannya adalah dapat merangsang terbentuknya sel
imunitas, meningkatkan jumlah sel darah putih, sel limpa dan keeping darah, serta meningkatkan
aktivitas sel imunitas, memperkuat fungsi imunitas tubuh, dan mempunyai khasiat istimewa untuk
membersihkan radikal bebas di dalam sel. Anti-oksidan tradisional kebanyakan membersihkan radikal
bebas dari luar sel, dan sedikit sekali yang dapat menembus membrane sel dan mengembangkan
khasiatnya di dalam sel, sedangkan AKGs benar- benar merupakan salah satu dari sedikit anti-oksidan
dalam sel, yang dapat menghapus sama sekali radikal bebas di dalam sel. AKGs disebut sebagai "sumber
imunitas" dalam ilmu sains, AKGs dapat meningkatkan aktivitas sel imunitas, mendorong terbentuknya
sel imunitas di dalam tubuh, merupakan pusaka kesehatan abad ke-21.
Khasiat produk:
1. Menurunkan kandungan lemak tak baik di dalam darah, menghindari penyakit aterosklerosis.
2. Memperbaiki sirkulasi kapiler, mempertahankan tekanan darah normal, mengobati penyakit
pembuluh darah otak.
3. Mengurangi keletihan.
4. Sebagai anti-oksidan, menghilangkan racun, memperlambat penuaan.
5. Mengatur imunitas.
6. Berfungsi nyata untuk penyakit rabun jauh, rabun dekat, glukoma, dan penyakit mata kering yang
disebabkan karena mata terlalu lelah.
7. Mendorong terbentuknya lemak fosfat dan perkembangan otak besar, bermanfaat untuk
meningkatkan daya ingat, memperlambat penyusutan sel syaraf otak besar, dan menghindari penyakit
dimensia.
8. Membantu pengobatan rematik dan radang sendi rematik.
9. Mempunyai fungsi nyata untuk mengobati liver berlemak, sembelit, rambut rontok dan radang
pembuluh darah.
10. Meningkatkan imunitas tubuh, mendorong pemulihan asma.
Teknik Produksi:
Sumber utama Minyak Ikan sidat adalah ikan sidat air tawar dari Propinsi Fujian, China, diekstrak dengan
teknologi biologis moderen menjadi menjadi sejenis suplemen tingkat atas alami (produk ini tidak
mengandung aditif apapun).
IV. Konsumen target dan cara penggunaan:
1. Bagi kelompok berusia 40 tahun ke atas.
2. Bagi mereka yang mempunyai lemak darah terlalu tinggi.
3. Mereka yang sering mengkonsumi makanan berlemak dan berprotein tinggi.
4. Mereka yang mempunyai tekanan darah terlalu tinggi.
5. Pasien penyakit jantung koroner, dan mereka yang pasokan darah ke otot jantungnya tak mencukupi.
6. Mereka yang terlalu banyak menggunakan otak dan sering lelah.
7. Mereka yang penglihatannya letih karena terlalu lama mendapat radiasi komputer, telpon genggam,
dan televisi.
8. Mereka yang stres dalam pekerjaan, dan tak tidak memperhatika pemeliharaan kesehatan.
Cara Pengunaan:
2 x sehari, 3 butir per kali, diminum dengan air hangat.
V. Perbandingan dengan Produk Bersaing Sejenis:
VI. Titik jual produk:
1. Bahan alami dan tak tercemar; 2. Teknologi maju; 3. Mengandung anti-oksidan AKGs yang kuat.
VII. Cerita produk:
Pada tahun 1945 bom atom Amerika pertama kali meledak di Pulau Hiroshima Jepang, pulau ini
dihancurkan sampai rata tanah, manusia dan hewan mati semua, satu-satunya yang hidup adalah ikan
sidat yang mempunyai kehidupan yang gaib. Melalui penelitian mendalam dari para ilmuwan,
didapatkan bahwa ikan sidat tak hanya mempunyai keistimewaan hidup di siang hari dan di malam air,
juga mempunyai cara pernapasan yang istimewa dan daya tahan terhadap kekurangan oksigen, serta
mempunyai cirri khas fisiologis berupa indera pencium yang sensitif, dengan demikian membentuk
keistimewaannya untuk tahan hidup. Selain itu, ikan sidat juga sensitif terhadap zat berbahaya,
persyaratan kualitas air tempat hidupnya sangat tinggi, di perairan sering secara gaib terbentuk selapis
cadar ajaib yang menutupinya.
Ikan Unggulan
Ikan sidat, dengan nama latin Anguilla Marmorata, merupakan ikan yang hidup di danau dan air bersih.
Ikan yang sekilas mirip belut ini, banyak terdapat di wilayah perairan Poso dan Manado, Sulawesi,
serta di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Ikan ini banyak dicari karena merupakan bahan makanan yang
sangat diminati masyarakat di Asia Timur, khususnya Jepang, China, Korea dan Taiwan.
Ikan sidat memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harganya mahal. Untuk ikan dengan ukuran 15
centimeter, dijual seharga 300 hingga 400 ratus ribu rupiah per kilogram.
Inilah salah satu tempat budidaya ikan sidat di tambak Pandu Karawang, Jawa Barat. Tambak seluas 330
hektar ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Ikan sidat yang dibudidayakan disini diekspor ke berbagai negara, seperti Jepang, Korea, Cina, dan
Taiwan.
Selain ikan sidat jenis Anguilla Marmorata, ditambak ini juga dibudidayakan jenis Anguilla Reinhard yang
khusus didatangkan dari Australia. Ikan ini diimpor saat berukuran 20 centimeter. Upaya
pembesarannya membutuhkan waktu 4 bulan.
Pertumbuhan ikan sidat tergolong lamban. Untuk membesarkan ikan ini hingga mencapai berat 50
gram, membutuhkan waktu 6 sampai 7 bulan. Namun setelah itu, ikan sidat akan tumbuh cepat. Dalam
waktu 6 bulan kemudian, beratnya bisa mencapai 1 hingga 2 kilogram.
Untuk membudidayakan ikan sidat ini dibutuhkan bak air dengan ukuran 3 kali 10 meter. Setelah bibit
ikan ditebar, bak harus dibersihkan setiap 2 hari sekali. Sirkulasi air harus dijaga agar tetap bersih.
Menurut Made Suita, kepala tambak Pandu Karawang, ikan sidat merupakan spesies baru yang sedang
dikembangkan menjadi komoditi unggulan sektor perikanan.
Ikan sidat biasanya diberi makan palet pasta, yang diolah sendiri oleh petani ikan. Biaya pembuatan
pakan ini, sekitar 20 ribu rupiah, yang bisa dikonsumsi untuk 25 ribu ekor benih ikan.
Di pasaran Internasional, ikan sidat tergolong ikan kualitas satu. Karena itu ikan ini dikembangkan
menjadi komoditi perikanan unggulan. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup petani.
EELS Marketability
More than 130,000 tonne/yr of eels is produced worldwide; the main producers being China, Japan and
Taiwan. Over 70% of this product is produced for the Japanese 'Kabayaki' market. Kabayaki is a style of
serving eels, where eels of around 150-200g are butterflied, placed on skewers, basted in a thick soy
based sauce, and steamed or grilled. More than 90% of eels consumed in Japan are served this way,
with eel being the most widely consumed freshwater fish in Japan. However, the quality of eel for this
market is highly prescriptive and investigation should be undertaken to determine the potential of this
market.
The Australian shortfin eel is very similar in appearance to the species of eel favoured by the Japanese
market (Anguilla japonica). As such the shortfin eel is well accepted in Japan and attracts similar prices
to A. There is potential for Australian producers to export shortfin eels to Japan for this market. The
longfin eel is different in appearance to the species A japonica and as such is not as well accepted in
Japan, leading to lower prices. However, the longfin eel is similar to the species favoured in China
(Anguilla mamorata), and as such there is some potential to export this species.
For eels, it is hard to evaluate the size of any potential markets for Australian producers. Certainly the
export markets are present and active, however the very nature of eel farming (i.e. reliance on glass eels
for seedstock, seasonal nature of glass eel collection, limited technical know-how etc) has restricted
development. Declining eels stocks overseas may work to the advantage of Australian producers.
Australia and in particular NSW are fortunate to have avoided most of the problems experienced by
other countries, such as waterway pollution, subsidence of land from excess bore water extraction,
disease and particularly excessive over-harvesting of glass eels.
There is excellent potential to promote the 'clean green' image of Australian aquaculture produce, while
we ensure that the activity is conducted in a sustainable manner. It is anticipated that there will be great
potential for Australian producers to step in and replace some of the shortfall in supply that may arise
overseas. Furthermore, as Australia's multicultural population increases, there may be opportunity for a
small domestic market for eels to develop.
SIDATKU MAHAL, SIDAQTKU TERANCAM
"Kami sudah membuat banyak publikasinya dalam jurnal ilmiah internasional. Sayang, di Indonesia tidak
banyak yang tertarik." Banyak yang spontan terkekeh ketika Yulia mengungkapkan belum ada yang
pernah bisa menyaksikan bagaimana sidat kawin dan memijahkan telurnya di laut. Seorang teman
wartawan berceletuk, "Apa pentingnya menonton ikan kawin?" Tapi Yulia bergeming. Wanita bernama
lengkap Hagi Yulia Sugeha, yang juga peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, melanjutkan, "Sensei saya penasaran sekali ingin bisa melihatnya." Yulia
menerangkan, sidat (Anguilla spp.) tidak sebatas lezat disantap. "Siklus hidupnya juga sangat unik,"
katanya. Yulia menjelaskan, sidat hidup di dua alam: ia berpijah di laut, lalu bayi- bayi sidat akan mencari
air tawar untuk melanjutkan hidupnya sebelum belasan tahun kemudian--ketika sudah dewasa--kembali
lagi ke laut.
Siklus hidup itu mirip salmon, yang berpijah di perairan tawar dan tumbuh dewasa di laut. Bedanya, kata
Yulia, "Kita sudah mengenal dan mengeksploitasi salmon, sedangkan sidat? No body knows." Nah,
rupanya, di sinilah yang terpenting yang membuat Yulia ikut penasaran sama seperti sensei-nya-Katsumi Tsukamoto, profesor di Institut Penelitian Laut Universitas Tokyo. Apalagi belakangan Yulia
mengetahui bahwa tujuh dari 18 spesies ikan itu yang pernah dilaporkan endemik perairan tropis.
Yulia jadi sangat tertarik untuk memetakan lokasi-lokasi pemijahan itu khusus untuk perairan tropis di
Indonesia. Dia pun sempat berlayar tiga tahun, tapi tidak tuntas karena faktor biaya. Yulia memutuskan
sedikit banting setir. Dia memilih pertanyaan yang lebih spesifik dengan kebutuhan dana yang lebih
kecil: apakah proses masuknya bayi-bayi sidat itu ke perairan tawar (recruitment) yang terjadi di setiap
perairan di Indonesia sama. Hasil penelitiannya yang sudah berjalan tiga tahun dan masih setengah
matang—karena dijadwalkan baru selesai tahun depan--itulah yang dipaparkannya kepada wartawan
dari berbagai media di kantor LIPI, Kamis pecan lalu.
Tepat sepuluh tahun lalu, Yulia, yang saat ini berusia 33 tahun, berkenalan dengan sidat. Saat itu Yulia
masih asisten dosen di kampusnya, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Tsukamoto datang untuk
meneliti sidat di Sulawesi Utara. "Kebetulan lokasinya itu adalah daerah kelahiran saya di Kabupaten
Bolaang Mongondow, yakni di muara Sungai Koidar. Saya ditugasi menemani beliau dan timnya," dia
mengenang. Berawal dari ditanya-tanyai, Yulia akhirnya ditawari terlibat langsung dalam penelitian jenis
ikan yang sering disangka ular atau belut itu. Pucuk di cinta, belakangan Yulia malah bisa mengambil
master dan doktor lewat proyek itu.
Sejak perkenalannya itu, Yulia rajin mengikuti sidat. Dia menangkap di alam dan mengikuti siklus
hidupnya. "Kalau larvanya ada di laut, ya nangkap di laut. Juvenile-nya di muara, saya pergi dan nangkap
di sana. Yellow eel-nya (sidat muda) ada di sungai, danau, dan rawa, saya pergi ke sana," urainya
panjang lebar. Sekali sesar, metode transeknya mampu menjala hingga ribuan ekor. Dari jumlah itu, dia
mengoleksi seratusan saja. Sisanya dilepas kembali. Langkah selanjutnya adalah identifikasi dan
konfirmasi spesies. Pendekatan penghitungan tulang dengan teknik pewarnaan diperbantukan untuk
upaya itu. Lepas dari pengamatan morfologi, Yulia juga melangkah lebih jauh kepada uji genetik lewat
pemotongan fragmen-fragmen DNA. Dari situ saja, sebenarnya dia sudah bisa menelusuri perbedaan
spesies. Tapi, ternyata, banyak didapatkannya potongan-potongan baru berisi kode yang belum pernah
dilaporkan. "Ini berpeluang spesies baru," katanya. Kode-kode itu sebenarnya bisa dipastikannya lewat
uji lanjutan, sequencing. Setengah bersedih, Yulia harus menerima kenyataan bahwa uji itu belum bisa
dilakukannya karena lebih mahal ketimbang sebatas pemotongan fragmen DNA.
Meski begitu, Yulia mengatakan sudah banyak hasil penelitiannya yang bisa disimpulkan tentang sidat
Indonesia. Banyak pula publikasi yang sudah dibuat dan dimuat dalam jurnal ilmiah internasional.
"Sayang, di Indonesia tidak banyak yang tertarik," katanya. Bukan tanpa alasan Yulia mengeluh. Harga
makanan olahannya yang mahal (seporsi kabayaki--makanan olahan dari sidat di Jepang—hampir Rp 400
ribu) mendorong terus berlangsungnya eksploitasi besar- besaran sidat di luar perairan tropis. Padahal,
katanya lagi, negara sekaliber Jepang belum berhasil mengembangkan teknik pembiakannya. Di
laboratorium, larva sidat hanya bertahan tiga hari, lalu mati. "Otomatis stok benih sidat di alam akan
terancam, dan mereka mereka mulai mencarinya ke perairan tropis," kata Yulia. Dan kita di sini (tropis)
bisa tidak menyadarinya sama sekali.
wuragil
Sumber : Koran Tempo (13 September 2006)
Pembesaran Sidat Australi
Selama 2000-2001, NIWA membesarkan Sidat Australia yang mendekati ukuran komersial sebagai pilot
project. Fokus utama adalah meminimumkan biaya untuk membesarkan sidat dengan menggunakan
system kolam yang ada, dan menentukan makanan yang mudah didapat dan tidak mahal. Penelitian
memilih sidat betina dan makanan suplemennya untuk meningkatkan produksi dari tangkapan alam.
Hasil dari pembesaran percobaan dalam kolam budidaya dari limbah ternak juga dicoba. Didapatkan
sidat betina yang tumbuh lebih besar dari jantan dapat diseleksi. Ukuran sidat minimum untuk
pembesaran dan stok alam dalam kondisi jelek tidak mempengaruhi pertumbuhan sidat menjadi besar.
Proporsi sidat ini dapat dengan cepat dibesarkan baik itu dalam kolam pembesaran ataupun sidat yang
dialiri air limbah dari ternak, pertumbuhan 50 kali lebih cepat dari yang ada di sungai Waikato.
Dalam jangka pendek pemberian suplemen level rendah dari stok budidaya, pertumbuhan sidat dapat
mencapai 14 kali dari pertumbuhan di sumber air asal dan stok awal. Bahkan budi daya jangka pendek
dari sidat dalam kolam budi daya yang berkualitas bagus dengan kerapatan lebih rendah dari kondisi
alamiah dan tanpa tambahan pakan ekstra juga dicapai pada kolam dengan air dari limbah ternak (dairy
farm) dan dapat mencapai ukuran dan kondisi siap pasar. Pertumbuhan jangka pendek cepat (220g ke
550 g dalam 2 bulan), dan peningkatan kondisi juga dalam kolam yang dialiri limbah peternakan tanpa
pakan suplement.
pertumbuhan sidat individu berubah ubah baik itu dalam kolam pembesaran atau kolam dengan air
limbah, dan akibatnya formulasi pakan yang merangsang pertumbuhan sidat secara cepat akan menjadi
faktor krusial untuk sukses usaha pembesaran sidat.
Perusahaan komersial dengan sistem filtrasi sirkuler dengan teknologi tinggi, mendapatkan eel dari 300
g tumbuh menjadi 800 gr hanya dalam 50 hari. NIWA telah menyelidiki tipe dari pakan yang memicu
pertumbuhan pemberian pakan tingkat tinggi untuk kedua spesies sidat sehingga dapat diadopsi oleh
usaha intensif dan ekstensif budidaya sidat.
(Sumber NIWA)
Sidat Lau Segara Anakan
ORANG Jepang menyebut binatang yang menyerupai belut sawah ini unagi. Orang Cina menamainya
moa atau linang yai. Warga Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), menyebutnya sidat laut
(Anguilla sp) atau lubang kata orang Sunda.
Dalam daftar potensi perikanan laut perairan Cilacap, jenis sidat laut masih kalah populer dibanding
udang, kakap merah, lobster, belanak atau bawal yang sudah terbukti menghasilkan banyak uang untuk
nelayan, KUD Mino Saroyo, maupun Pemerintah Kabupaten Cilacap dan Puskud Mina Baruna Jateng
yang menghimpun sebagian retribusi dan uang asuransi dari hasil lelang ikan di tempat pelelangan ikan
seluruh Jateng.
"Tak banyak, malah tidak ada nelayan yang tertarik membudidayakan sidat laut. Untuk menjual atau
mengonsumsi pun orang belum biasa. Padahal, sidat laut mempunyai potensi yang amat menjanjikan,"
ujar Kepala Dinas Perikanan Cilacap Ir Gunawan.
Hanyalah Eman Sukiman (52) warga Kawunganten yang mencoba berbisnis sidat laut. Tapi laki-laki asal
Banjar, Ciamis, itu hanya menampung hasil tangkapan nelayan dan menjualnya ke pengusaha restoran
Jepang, Korea, dan para eksportir.
"Saya tak bisa langsung menjual kepada mereka, tetapi masih melalui perantara. Ini memang kelemahan
orang seperti saya,"ujar Eman di rumahnya.
Di belakang rumah tembok sederhana itu, terdapat tiga bak penampungan sidat. Ribuan sidat laut
berbagai ukuran berdesak- desakan dalam bak berukuran satu meter kubik yang sudah diisi air.
"Asal air diganti pagi sore, sidat tahan hidup selama satu tahun di dalam bak. Makanannya udang,
kepiting, daging keong cincang, atau usus ayam dirajang (diiris-iris)," tutur Eman.
HARI begitu panas di Kawunganten. Eman sedang menunggu nelayan yang melaut memancing sidat.
"Biasanya mereka baru pulang lewat tengah malam. Tapi ada juga yang sore hari," ujarnya.
Nelayan yang ditunggu adalah teman bisnis Eman. Ia tengah menangkap sidat laut di perairan Laguna
Segara Anakan dan kawasan hutan mangrove.
Eman membeli sidat dari nelayan Rp 18.000 per kilogram dan menjualnya dalam keadaan hidup kepada
pengusaha restoran Korea, Jepang, Singapura, Cina, dan beberapa Eropa di Jakarta dengan harga Rp
30.000 sampai Rp 35.000 per kilogram, tergantung ukuran. Padahal, sepotong unagi di restoran Jepang
yang biasa-biasa saja, harganya Rp 45.000.
Setiap minggu ia bisa mengirim satu sampai dua ton sidat hidup ke Jakarta. Eman yang sudah menekuni
bisnis sidat laut sejak masih bujangan, sekitar tahun 1968, mengaku tak berminat membudidayakan
hasil laut yang harganya menjanjikan itu. "Wah susah mas kalau disuruh membudidayakan. Begini saja
sudah repot," ujarnya.
Eman-paling tidak saat ini-memang belum merasa perlu membudidayakan sidat laut. Selama Laguna
Segara Anakan dan hutan mangrove masih ada, belut laut ini masih melimpah. Apalagi tidak banyak
yang berminat terjun ke bisnis sidat.
Saat ini merupakan musim sidat laut bermigrasi dari samudra ke perairan Segara Anakan dan kemudian
ke muara sungai untuk berkembang biak. Migrasi besar-besaran biasanya berlangsung selama musim
hujan Oktober-April.
Menangkap sidat laut ternyata cukup unik. Bukan jaring atau pancing alatnya, tetapi dengan cacing yang
dironce. Cacing yang sudah dironce melingkar diletakkan di permukaan air yang dekat bibir perahu.
Sidat laut berama-ramai berusaha mencaplok roncean cacing tersebut.
Eman yang pernah membantu pengusaha restoran Cina di Jakarta mengatakan, daging sidat laut
dipercaya berkhasiat bagi kebugaran, kosmetik, obat darah tinggi, dan juga kencing manis.
Orang Sunda menikmatinya dalam bentuk pepes. Tapi di restoran Jepang, Korea, atau Cina, daging sidat
laut disajikan dalam bentuk daging asap setelah kepala dan ekornya dibuang. Mungkin karena lemaknya
tebal, jika digoreng daging sidat laut sulit mengering.
Eman, yang menggantungkan mata pencahariannya pada bisnis sidat laut, tak tahu sampai kapan dapat
bertahan menggeluti bisnis ini. "Sekarang Segara Anakan semakin dangkal dan menyempit. Jika
aguna berubah jadi daratan, saya tak bisa lagi berbinis sidat L aut,"ujar Eman.
(Sumber Kompas)
DKP Techno Aqua Park
KARAWANG (Antara): Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengembangkan "Aqua TechnoPark"
atau Taman Budidaya untuk menghadapi kecurigaan oleh negara-negara importir seperti AS dan Uni
Eropa (UE) terhadap hasil perikanan Indonesia. Kepala Tambak Pandu Karawang, I Made Suitha di
Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mengatakan, selama ini AS dan UE sering meluncurkan isu negatif
terhadap produk perikanan Indonesia yang diekspor ke Negara tersebut. "Untuk memproteksi isu-isu
negatif terhadap kebijakan penerapan teknologi perikanan itu kita mengembangkan aqua techno park
ini" katanya usai menyaksikan panen udang di kawasan Tambak Pandu Karawang di Desa Pusaka Jaya,
Kecamatan Cilebar. Menurut dia, sejumlah isu negatif yang sering dihembuskan Negara importir
terhadap ekspor hasil perikanan Indonesia diantaranya pengrusakan lingkungan dalam pengembangan
tambak udang. Oleh karena itu, tambahnya, melalui Taman Budidaya yang terintegrasi dengan Tambak
Pandu Karawang tersebut ditampilkan teknologi pemeliharaan udang yang ramah lingkungan dan bisa
diserap masyarakat.
Selain itu, juga diterapkan konsep "traceability" yang mengacu pada sertifikasi dan standarisasi terhadap
produk perikanan hasil budidaya rakyat. "Dengan demikian jangan sampai muncul tuduhan bahwa
pemerintah memberikan rekomendasi terhadap pengembangan tambak yang tidak sesuai standar yang
dilakukan sebagaian masyarakat," katanya. Made menyatakan, Taman Budidaya yang menyatu dengan
Tambak Pandu Karawang tersebut berada pada lahan seluas 338 hektar yang mana 150 ha untuk
tambak inti dan 151 ha sebagai tambak plasma. Sedangkan sisanya, tambahnya, dimanfaatkan untuk
pengembangan sarana pendukung seperti perkantoran, perumahan maupun fasilitas umum lainnya.
Pada kesempatan itu dia mengatakan, di kawasan tersebut saat ini dikembangkan empat jenis tambak
udang yakni vaname secara intensif, vaname semi intesif, vaname tradisional plus serta budidaya
organik. Selain itu juga dikembangkan beberapa jenis komoditas perikanan lainnya sebagai pendukung
seperti ikan nila, ikan sidat, ikan mas dan ikan bandeng pengumpan.
Ikan Sidat Tembus Pasar Asia Timur
Laporan Wartawan Kompas Haryo Damardono
KARAWANG, KOMPAS- Direktorat Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, untuk
pertama kalinya mengekspor 30 ton ikan sidat atau anguilla sp, menuju negara-negara di Asia Timur,
yakni Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.
Ekspor perdana tersebut dilepas dari Tambak Pandu di Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten Karawang,
Jawa Barat, oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dan Wakil Gubernur Jawa Barat
Wagub Jabar Nu'man A.Hakim, Senin (27/8).
"Kami membutuhkan waktu dua tahun, untuk menemukan formula tepat bagi pembesaran ikan sidat.
Ternyata, ikan ini tumbuh baik pada suhu 29-31 derajat Celsius, dengan tingkat salinitas lima per mil,"
kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya DKP, Made L Nurjana.
Made mengatakan karena teknologi pembesaran ikan sidat telah dikuasai, maka secepatnya DKP akan
mengembangkan ikan sidat di beberapa daerah. "Telah ada dia kawasan yang dibidik investor Jepang,
untuk membudidayakan ikan sidat, yakni di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan Likupang, Sulawesi
Selatan," ujar Made.
Ditemui di Karawang, Presiden Presiden Asama Industry, Yoshinori Ito, optimistis membudidayakan ikan
sidat di Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan Jepang atas ikan sidat sebagai bahan baku makanan
seharga per kilogram antara 4.000-6.000 yen, setara Rp 350.000 – Rp 450.000.
Dalam setahun, Jepang membutuhkan ikan sidat sebanyak 100.000 ton, dengan hanya sekitar 20.000
ton yang diproduksi dari dalam negeri Jepang. "Tiap tahunnya, kami mengimpor 80.000 ton ikan sidat,
dengan 60.000 ton diantaranya diimpor dari China," kata Ito.
Ito berhadap Indonesia dapat menyubtitusi China sebagai eksportir ikan sidat, karena ikan sidat produksi
China seringkali ada bercak-bercak akibat jamur. Padahal, konsumen Jepang menginginkan produk
yang sempurna.
Di Indonesia, penyebaran ikan sidat banyak terdapat di perairan barat Sumatera, selatan Pulau Jawa,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, pantai timur Kalimantan, Maluku, dan Papua.
Ikan sidat, vertebrata dengan genus Anguilla ini, makan dan tumbuh di perairan tawar, namun untuk
memijah atau bertelur, mereka kembali ke laut. Bahkan proses pemijahan berlangsung di laut
berkedalaman 400-500 meter.
Penelitian Ikan Calon Spesies Baru Sidat
Jakarta, Kompas - Sedikitnya lima karakter genetik baru ikan sidat ditemukan dalam studi keragaman,
distribusi, dan kelimpahan di perairan Indonesia periode 2004-2006. Temuan itu berpeluang menjadi
spesies baru atau variasi intra-spesies. Untuk sementara, temuan itu diberi nama Anguilla sp. Yang
sudah bisa dipastikan, tujuh dari 18 jenis sidat di dunia ada di perairan Indonesia. "Dari tujuh jenis itu,
ada kemungkinan yang endemik, tetapi masih harus dikaji lagi," kata Hagi Yulia Sugeha, peneliti sidat
pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pekan lalu di Jakarta.
Ikan sidat tergolong jenis ikan yang kurang populer di Indonesia. Secara fisik, sidat mirip belut. Bedanya,
sidat bertubuh seperti pipa. Di dekat kepala ada sejenis telinga, dan ada sirip pada bagian
atas tubuhnya. Keunikan lain, sidat dapat menentukan jenis kelamin sesuai kondisi lingkungan. Sebelum
berwarna keperakan di saat dewasa, sidat melalui fase transparan (ketika memasuki perairan tawar) dan
berubah menjadi kuning. Umumnya, ketika sidat dalam fase kuning itulah banyak terjerat
pancing. Sidat sering tertangkap di saluran-saluran air, anak sungai, sungai, dan danau.
Siklus hidup sidat berbalik dengan ikan salmon. Sidat dewasa (bisa berusia belasan tahun) memijah di
laut berkedalaman 200-1.000 meter, sebelum kemudian bertumbuh dewasa mencari perairan tawar.
Adapun salmon memijah di hulu sungai kemudian dewasa di laut. Keduanya akan mati setelah bertelur.
"Hasil penelitian menunjukkan, perairan laut Sulawesi menjadi pusat pemijahan sidat tropis," kata
peneliti yang pernah menangkap jenis sidat (Anguilla marmorata) sepanjang 1,72 meter seberat 11
kilogram (2002) di Danau Poso. Temuan itu diperkuat dua kali penelitian menggunakan kapal riset
Baruna Jaya VII. "Perairan laut di wilayah tengah Indonesia memang melimpah," kata Sam Wouthuyzen,
rekan satu tim dengan Yulia.
Populasi terancam
Menurut Yulia, seiring dengan tingginya permintaan konsumsi sidat di negara-negara maju, seperti
Amerika, negara-negara Eropa, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan China, populasi sidat tropis pun
terancam. Menyusul penangkapan berlebihan di alam negara nontropis, permintaan impor sidat tropis
meningkat. Padahal, hingga saat ini sidat belum dapat dibudidayakan dari telur. Yang terjadi, sidat-sidat
anakan ditangkap dari laut atau sungai lalu dibesarkan di kolam budidaya. Sidat-sidat itu kemudian
diolah di restoran-restoran mewah bertarif mahal. Meskipun mahal, seperti hidangan kabayaki di
restoran jepang yang satu porsinya dijual sekitar Rp 400.000, permintaan sidat tidak pernah menurun.
"Di Jepang ada hari khusus mengonsumsi sidat," kata Yulia, doktor lulusan Universitas Tokyo.
Hingga kini para ahli dan peneliti sidat belum mampu membesarkan sidat dari ukuran larva di
laboratorium. Untuk mencegah kepunahan sidat, disepakati agar ada kuota penangkapan dan harus
selektif. (GSA)
Sidat Poso
Perairan Sulawesi merupakan daerah potensial distribusi sidat tropis, dan di Muara Sungai Poso minimal
ditemukan lima spesies ikan sidat, yaitu A. marmorata, A. bicolor pasific, A. celebensis, A. borneensis,
dan A. interioris (Sugeha, 2005). Perairan Teluk Tomini, yang berada di muka Muara Poso, berdasarkan
tingkat kelimpahan larvanya (Leptocephale), memiliki kelimpahan tertinggi dibanding perairan lainnya
(Wouthuyzen, et al., 2003). Tingginya potensi larva sidat yang bermigrasi ditunjukkan dengan tingkat
rekrutmen yang mencapai 260-1069 ekor/lima detik di muara Sungai Poso (Haryuni et al., 2002)
Berdasarkan data tersebut estimasi rekruitmen elver yang memasuki Sungai Poso dapat mencapai
187.200 - 769.920 ekor per malam.
Perairan Danau dan Sungai Poso telah lama diketahui merupakan daerah penangkapan sidat. Estimasi
produksi sidat pada tahun 1970-an minimal mencapai 22 ton per tahun, yang didasarkan pada jumlah
alat tangkap terpasang di Sungai Poso yang mencapai 20 - 25 unit dan hasil tangkapan per alat per
malam (Sarnita, 1973).
Sidat-sidat yang tertangkap adalah sidat yang beruaya ke laut, hal ini karena alat tangkap yang
digunakan yaitu berupa perangkap `Waya Masappi" yang diarahkan ke hulu sungai (Sutardjo &
Machfudz, 1974). Sedangkan berdasarkan data tahun 1990- 1995, produksi rata-rata sidat di perairan
ini, pada puncak musim penangkapan yaitu antara Januari- Juni (musim hujan) berkisar antara 1,75 -9,83
ton/bulan, atau rata-rata 5,50 ton/bulan. Produksi sidat pada tahun 1990 mencapai 41,5 ton sementara
pada tahun 1998 sekitar 30,5 ton
Produksi sidat saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan, perlu dipikirkan teknologi yang sesuai
untuk membesarkan sidat muda (elver) karena potensi rekrut yang besar. Estimasi perhitungan produksi
sidat dapat mencapai 1000 ton/tahun bila berhasil dibesarkan sebanyak 20% dari sidat muda yang
masuk keperairan Poso, degan rata-rata berat per ekor 3 kg dengan masa pemeliharaan 3tahun.
(Lukman dan Triyanto)
Laut Bengkulu Banyak Sidat
Bengkulu, (ANTARA) - Laut Bengkulu, terutama di sekitar kawasan perairan Pulau Enggano, kaya akan
ikan sidat (sejenis belut), bahkan menjadi habitat ikan berbadan panjang itu. "Informasi yang saya dapat,
nelayan Enggano bisa mendapatkan 6 ton sidat dalam setiap minggu, jika sedang musim," kata Kepala
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu, Maman Hermawan di Bengkulu.
Selama ini, sidat hasil tangkapan nelayan hanya dioleh menjadi ikan asin dan dijual di sekitar Provinsi
Bengkulu. Padahal itu, merupakan salah satu komiditi ekspor nasional dan banyak diminati terutama
pasar di Jepang. "Saya sedang menginventarisir berapa banyak sidat hasil tangkapan nelayan,
rencananya kita akan mengupayakan agar bisa diekspor terutama ke Jepang," katanya.
Menurut dia, sidat merupakan jenis ikan berkualitas ekspor namun tidak terlalu laku dipasarkan di
dalam negeri. Selain di perairan Enggano, sidat juga banyak terdapat di perairan pantai Kabupaten Kaur.
Ikan itu hanya terdapat di beberapa perairan di Indonesia, dan Bengkulu merupakan salah satunya.
Ikan itu, kata dia, sebenarnya merupakan ikan air tawar tapi bertelur di dasar laut yang dalam."Di
Bengkulu banyak sungai besar yang bermuara ke laut, sehingga ikan sidat pada saat musim bertelur
turun ke laut," katanya.
Mengenai bididaya sidat, menurut dia, hingga kini di Indonesia belum ada yang membudidayakan ikan
itu. Yang ada hanya pembesaran yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat. "Belum ada budidaya, yang
ada hanya pembesaran, yakni mengambil bibit sidat dari laut kemudian dibesarkan di penangkaran,"
katanya. Maman juga memprogramkan untuk membangun tempat pembesaran ikan sidat di Bengkulu.
Terkait dengan rencanan itu pihaknya telah melakukan studi banding ke Karawang.
Sidat di selatan jawa dan selatan sumatra biasanya anguilla bicolor, marmorata umumnya di sulawesi.
Sidat biasanya masuk sungai atau teluk yg berbentuk estuaria, masuk sungai banyumas, cimandiri,
cilacap dari samudera Indonesia, dan masuk ke danau poso dari samudera Facific.
Toleransi Sidat atas Lingkungan
Posted Wed, 11/12/2008 - 20:20
Studi tentang toleransi ikan sidat tleh banyak dilakukan dan dapat ditemui dalam beberapa literatur
atau jurnal. kami mencoba meringkasnya agar lebih mudah dipahami dan semoga bermanfaat bagi
praktisi, peneliti dan mahasiswa yang berkeingginan mengetahui lebih jauh tentang ikan sidat yang
potensial untuk di ekspor tetapi masih menjadi misteri.
Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dapat menyebabkan terjadinya stress pada ikan sidat, baik
yang hidup di alam maupun di kolam budidaya. Perubahan lingkungan yang berada diluar batas toleransi
ikan sidat dapat menimbulkan terjadinya gangguan pertumbuhan, reproduksi dan bahkan
mengakibatkan kematian yang bersifat massal. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh besar
terhadap ikan sidat adalah kelarutan gas (oksigen dan karbondioksida), temperatur, salinitas dan parasit.
A. Gas-gas terlarut
Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan
dengan jenis ikan lainnya (misal: ikan mas, ikan tawes, ikan nilem). Pada kondisi "apnoea", yaitu keadaan
dimana otot-otot pernapasan dan alat pernapasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat,
elver (benih sidat ) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya
menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil oksigen dari luar. Kemampuan
ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekerangan oksigen). Selain
itu, sidat juga mampu bernapas melalui kulitnya, meskipun tidak menyumbang oksigen yang tinggi.
Sidat berukuran 100g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan
terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi (hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap
hypoxia pada sidat ukuran 100g diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan
pada sidat berukuran 100-300g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan
kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Konsentrasi C02 yang tinggi pada air tawar
kemungkinan disebabkan oleh aktivitas metabolisme mikroba dan pertukaran gas di permukaan air.
Oksigen terlarut (DO) pada malam hari akan menurun secara tajam di perairan eutrofik. Hal ini
disebabkan terhentinya proses fotosintesis oleh fitoplankton atau kematian massal alga pasca terjadinya
"blooming". Kombinasi antara temperatur air yang tinggi pada siang hari dengan oksigen terlarut yang
rendah di malam hari dapat menyebabkan terjadinya kematian massal ikan sidat.
B. Kejenuhan gas
Kejenuhan gas yang terlalu tinggi (gas supersaturation) di perairan dapat mengakibatkan terjadinya
penyakit gelembung gas (gas bubble disease). Perairan dengan kandungan gas super jenuh
menyebabkan cairan dalam tubuh ikan mengalami hal yang sama, sehingga timbul gas (terutama N dan
O2) dalam pembuluh darah dan jaringan tubuh dan menyebabkan "emboli". Emboli akan mengganggu
transportasi oksigen, ikan akan mengalami hypoxia dan kerusakan jaringan, akibat lebih jauh akan
menyebabkan kematian massal. Kondisi gas super jenuh di perairan dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
- pemanasan air pada kolam budidaya atau danau
- fotosintesis berlebihan
- tekanan udara rendah (biasa terjadi jika akan ada badai atau angin putting beliung)
- produksi gas O2, N dan metana akibat adanya aktivitas bakteri
- pemanasan oleh matahari dalam waktu yang lama dan angin dalam kondisi tenang (misalnya pada musim kemarau di daerah pengunungan/lembah)
C. De-stratifikasi Suhu
Stratifikasi suhu biasa terjadi pada perairan eutrofik dimana proses fotosintesis menghasilkan osigen
terlarut yang tinggi di zona epilimnion, tetapi menyebabkan kondisi anaerob pada zona hypolimnion.
Pada perairan dangkal, stratifikasi suhu terjadi pada siang hari. Pada malam hari akan terjadi destratifikasi suhu yang diakibatkan kehilangan panas di permukaan air. Dalam kondisi de-stratifikasi, air
pada zona hypolimnion yang miskin O2 akan bercampur dengan air di zona epilimnion yang kaya
oksigen. Proses percampuran ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi O2 yang tajam dan
dapat menyebabkan kematian massal ikan.
D. Temperatur/Suhu
Ikan sidat mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu, daya toleransi terhadap suhu juga akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla
australis mampu hidup pada suhu 28C, elver 30,5-38,1C dan sidat dewasa 39,7C. Ikan sidat tropis (A.
bicolor, A. marmorata) kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A.
australis.
Mucus atau lendir yang terdapat pada kulit ikan sidat memiliki zat anti bakteri yang sangat kuat, salah
satunya adalah antibacteri kelompok protease seperti cathepsins L dan B. Suhu yang tinggi (30C) dan
rendah (10C) dapat meningkatkan sensitifitas ikan sidat terhadap bakteri cathepsin yang ditularkan
melalui kulit. Kemampuan bertahan terhadap serangan bakteri dapat ditingkatkan melalui perlakuan
suhu (thermal stress).
E. Salinitas (kadar garam dalam air)
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel
(larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang
sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar.
Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respon ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass
eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada
salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu
meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang
bermetamorfose ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan tawar daripada
periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam
melakukan proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme.
F. Ammonia
Ammonia merupakan polutan yang masuk ke perairan melalui saluran limbah. Ammonia dalam keadaan
tak ter-ionisasi NH3 lebih beracun bagi ikan. Daya toksik akan meningkat sebanding dengan peningkatan
pH air. Konsentrasi NH3 pada pH yang sama akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu.
Selanjutanya, toksisitas NH3 akan meningkat jika kelarutan oksigen (DO) menurun. A. australis dan A.
dieffenbachii mampu bertahan hidup pada perairan dengan kadar ammonia lebih dari 2mb/l.
Pakan Sidat
Pakan ikan sidat itu yg alami dikasih cacahan keong emas, kalau masih fingerling dikasih cacing sutera.
Ada juga yg ngasih indomie (tapi si Ikan dibikin lapar dulu) ada yg kasih makan telor rebus, tapi biasanya
yang di makan kuning telornya.
Untuk pakan komersial (pasta) bapak bisa kontak bapak Dany Tarigan di flexi
021-70921207.
Berharap Swasta Terpikat Sidat
Meski menguntungkan, bisnis sidat belum berkembang di tanah air. TPK berupaya menginisiasi
pengembangan budidayanya.
Suitha susah payah menangkap indukan sidat dalam kotak styrofoam. Berkali-kali tangannya berhasil
memegangi tubuh sidat, tapi berkali-kali pula hewan yang berbentuk seperti ular dan berlendir itu
berhasil meloloskan diri. Selang beberapa waktu, dia akhirnya berhasil memegang indukan sidat cukup
lama. Momen yang hanya sekejap ini pun langsung disambar oleh juru foto dan para wartawan yang
siang itu tengah mengunjungi Tambak Pandu Karawang (TPK).
Bukan sedang unjuk kebolehan menangkap sidat, tapi lelaki bernama lengkap Made Suitha ini tengah
menunjukkan hasil proyek percontohan budidaya sidat yang dimulai sejak 5 tahun terakhir di TPK yang
dipimpinnya. Dalam hal ini, TPK adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) yang bertugas menginisiasi pengembangan bisnis perikanan budidaya. Sidat hanya
satu dari beberapa komoditas unggulan lain yang dikembangkan di TPK.
Budidaya Belum Berkembang
Untuk pengembangan sidat, Indonesia memang masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lain
meski sumber daya perairannya lebih melimpah. Bahkan untuk hasil maksimal, mereka tak segan
menggunakan teknologi canggih. Jepang umpamanya. Dengan memanfaatkan teknologi, budidaya sidat
di sana bisa mencapai angka produksi 80 ton per hektar. Beberapa negara lain yang menyusul Jepang
dalam hal produksi sidat adalah Taiwan dan China. "Padahal, sidat yang dikembangkan besar-besaran di
luar negeri, benihnya justru berasal dari Indonesia," ungkap Suitha. Benih tersebut secara sembunyisembunyi diselundupkan ke luar negeri dan dikembangkan di sana. Dari sini timbul keprihatinan,
mengapa sidat tidak dikembangkan sendiri?
Namun untuk mengembangkan sidat bukan hal yang mudah. Pasalnya, teknik budidayanya sampai saat
ini belum mapan dan membutuhkan biaya produksi yang tinggi. Sementara untuk pemasarannya di
dalam negeri masih terbatas karena masyarakat belum familiar mengonsumsi sidat. Sedangkan untuk
permintaan luar negeri justru sulit dipenuhi karena terbatasnya produksi. "Tingkat konsumsi sidat di
Indonesia masih rendah karena masyarakat belum terbiasa, padahal nilai gizi ikan ini cukup tinggi," jelas
Suitha. Beberapa daerah yang sudah terbiasa mengonsumsi sidat antara lain di Indonesia bagian timur
seperti Sulawesi, Bali dan Manado.
Menurut Suitha, kendala dalam pengembangan sidat adalah kesediaan pakan alami. Hal inilah yang
menyebabkan pengembangan sidat di UPT-UPT lain nyaris tak membuahkan hasil. "Kalau di TPK, sumber
makanan alami sidat cukup banyak," kata Suitha berpromosi. Makanannya antara lain ikan, gastropoda
(bekicot), insect (serangga), cacing oligochaeta dan crutasea (udang-udangan). Tak cuma itu, suhu di
sana juga cocok bagi tumbuh kembang sidat dan survival rate-nya (SR) bisa di atas 90%.
Ajak Swasta
Kendati demikian, Suitha mengaku pihaknya baru bisa memproduksi 1 ton sidat per hektar. Jenis yang
dikembangkan antara lain Anguilla marmorata, A. bicolor dan A. renhardti. Untuk A. bicolor merupakan
jenis yang paling banyak dikembangkan di tanah air. Dia menambahkan, pengembangan masih
berorientasi pada aspek teknologi. "Kami tidak menguasai peta bisnis sidat. Untuk itulah kami mengajak
swasta untuk masuk ke pengembangan bisnis sidat."
Hal ini menurut Suitha karena pihak swasta mempunyai insting bisnis yang lebih kuat. "Tugas kami
hanya pendampingan dan kami akan berusaha menginisiasinya," ujarnya. Dia menyayangkan, masih
sedikitnya pihak swasta yang mau menggeluti bisnis sidat karena terkendala teknologinya."Hanya ada
beberapa gelintir pelaku usaha, itu pun belum serius."
Suitha meyakinkan bahwa bisnis sidat sesungguhnya menguntungkan. Sebagai gambaran, untuk jenis A.
marmorata yang berukuran konsumsi (15 cm) harganya bisa mencapai Rp 350.000/kg. Pasar utamanya
adalah Jepang, Korea. Sedangkan kalau di tingkat lokal, sidat bisa dikonsumsi pada ukuran berapapun.
"Di Sulawesi, sidat yang kecil juga dimakan," katanya. Tapi, katanya lagi, kalau untuk ekspor ukuran
minimalnya di atas 100 gr atau 4 ekor/kg. (Sumber majalah Trobos)
Waroeng Unagi
Senin, 13 April 2009 | 05:56 WIB (Bondan Winarno)
Ada satu kesukaan saya yang sangat dibenci istri saya, yaitu belut asap (smoked eels). Makanan ini
cukup populer di Negeri Belanda dengan sebutan gerookte paling. Belut yang masih panjang utuh dalam
kulitnya dipanggang dengan asap, dan banyak dijual di beberapa tempat tertentu di Negeri Belanda. Bila
sedang berkunjung ke negeri itu, saya sering membeli sebungkus dan memakannya sambil mengemudi.
Istri saya selalu kesal karena aroma belut panggang yang memenuhi mobil sungguh memuakkan
baginya. Padahal, bagi saya, justru aroma itulah yang menambah kenikmatan menyantap belut asap.
Dalam keisengan saya, pada suatu ketika di sebuah rumah makan Jepang, saya memesankan unadon
atau unagi kabayaki yang disajikan di atas semangkuk nasi. “Apa ini?” tanyanya. Saya jawab: “Ikan. Enak.
Coba saja.” Dia menyantapnya dan menyukainya. Lama kemudian, setelah saya yakin bahwa dia
sungguh-sungguh menyukai unagi kabayaki, saya beritahu dia bahwa ikan itu sesungguhnya adalah belut
panggang yang diasap.
Tentu saja, sekalipun dia sudah terlanjur sayang dengan unagi, tetap saja saya kena semprot. Yah, itulah
– paling tidak – gunanya suami: untuk diomeli! He he he … Saya pahami kejengkelannya, karena secara
teknis unagi memang tidak beda dengan gerookte paling yang sangat dibencinya – sekalipun belum
pernah dicicipinya. Bedanya, unagi kabayaki dipanggang lagi dengan madu atau gula, sehingga rasanya
manis, dan aromanya pun tidak setajam gerookte paling.
Sungguh, saya tidak membohonginya. Sama dengan bila saya mengatakan kepadanya bahwa burung
dara adalah sejenis ayam kecil. Belut memang adalah ikan. Dalam bahasa Inggris, penjelasan teknis
untuk belut adalah: elongated fish. Nggak bo’ong, kan?
Ada dua jenis belut yang umum dimakan manusia, yaitu belut air tawar dan belut laut. Di Jepang, belut
air tawar disebut unagi, sedang belut laut disebut anago. Belut laut berukuran lebih besar, taringnya
masuk ke dalam seperti ular, dan sangat berlemak. Di Jepang, biasanya belut laut dimasak dengan cara
mengukusnya, agar lemaknya tidak hancur. Dibanding unagi, hidangan anago lebih jarang dijumpai.
Belut sangat tinggi protein, vitamin A, kalsium, kolesterol, dan lemak jenuh. Di Jepang, belut adalah
masakan kesukaan semua kalangan masyarakat. Umumnya disajikan dalam bentuk donburi, yaitu seiris
besar belut panggang di atas nasi. Sajian donburi dengan unagi di atasnya disebut unadon. Bila porsi
unagi-nya lebih banyak, sajiannya disebut unajuu. Harganya sangat mahal, sesuai dengan citarasanya
yang memang mak nyuss! Karena itu, bila Anda di Jepang, berhati-hatilah ketika memesan. Unajuu tidak
sama porsi maupun harganya dengan unadon.
Orang Korea juga sangat menyukai belut. Kaum pria Korea sangat percaya bahwa belut adalah makanan
yang memberi stamina seksual bagi mereka. Tetapi, justru di negeri ini saya tidak berani menyantap
belut. Ini sebetulnya hanya merupakan hambatan psikologis secara teritorial. Soalnya, di pasar-pasar
tradisional di Seoul kita selalu melihat banyak penjual belut hidup di dalam ember. Bila ada pembeli,
penjual mengambil seekor belut dan menancapkan kepala belut pada paku yang memang sudah
disiapkan pada sebuah tiang. Belutnya masih menggeliat ketika penjualnya memakai sebuah catut untuk
mengulitinya. Sungguh, pemandangan yang sadis untuk dipertontonkan secara terbuka. Maaf bila
penggambaran hal ini secara tulisan pun sudah sangat mengerikan bagi Anda.
Orang-orang Tionghoa – khususnya di kawasan Shanghai, Kanton, dan Hong Kong – juga sangat
menyukai belut. Di Indonesia, masakan belut di rumah makan Tionghoa yang populer adalah lindung cah
fumak, yaitu belut goreng garing yang ditumis dengan sayur pahit fumak. Favorit saya untuk sajian ini
adalah RM “Sinar Abadi” (dulu “Cahaya Abadi”) di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Di RM “Gunung
Mas” di Sentul City – tidak jauh dari rumah saya – juga ada belut goreng bawang putih yang sungguh
renyah dan gurih.
Hampir semua restoran Jepang di Indonesia menyajikan unagi yang diimpor dari Jepang. Beberapa chef
yang saya tanya selalu mengatakan bahwa belut lokal tidak memenuhi syarat untuk diolah menjadi
unagi. Tetapi, beberapa tahun yang lalu saya pernah diajari Oom Kwik dari sebuah restoran seafood di
Pantai Mutiara untuk memasak unagi dari belut lokal dengan memanggangnya di atas griddle
(pemanggang dari besi datar) yang dialasi daun pisang. Hasilnya cukup bagus. Bagi saya, belut lokal
punya charm-nya sendiri.
Di Yogyakarta, belum lama ini, saya menemukan sebuah warung sederhana, “Pak Sabar”, yang hidangan
utamanya adalah belut. Warungnya memang sangat sederhana. Belut gorengnya tampak besar-besar
dan gendut-gendut. Tidak tampak sisa-sisa lebihan minyak yang menempel pada warna coklat garing si
kulit belut. Rasa dan teksturnya pun menakjubkan. Mantap!
Tetapi, yang lebih dicari orang di warung ini justru sambal belutnya. Dua tahun yang lalu, ketika di
Yogyakarta sedang bermunculan cabang-cabang warung “SS” (Spesial Sambal) di mana-mana, saya
terpesona dengan sambal belut “SS”, yaitu belut kecil-kecil goreng kering yang dilumat dengan cabe
keriting, bawang putih, dan minyak jelantah. Top markotop!
Di warung “Pak Sabar”, sambal belutnya tampil beda. Belut berukuran besar goreng, diambil dagingnya
saja. Daging belut bertekstur lembut ini kemudian dilumat dengan sambal kencur yang membuat aroma
maupun citarasanya sungguh membuat saya termimpi-mimpi dibuatnya. Huaduh, sungguh mak nyuss!!
Sisa-sisa bagian tulang/durinya digoreng lagi dengan tepung sampai garing – disebut rempeyek belut.
Hwarakadah, rempeyek belut inipun tampil penuh pesona. Yogyakarta memang selalu menampilkan
kejutan-kejutan menyenangkan di ranah kulinernya.
Di Bandung saya juga baru saja menemukan “Waroong Unagi” di Dago dengan hidangan dari belut
panggang yang mak nyuss! Warungnya cukup memenuhi syarat untuk disebut kafe. Tetapi, karena
lokasinya di dekat kampus Stikom dan tempat kos mahasiswa, pemiliknya memilih agar harga maupun
penamaannya lebih akrab dengan komunitas di lingkungannya.
Salah satu hidangan andalan di warung ini adalah unagi burger. Burger bun (roti) dibuat dari nasi yang
dibentuk memiripi roti, dipanggang sebentar di atas griddle hingga sedikit gosong, lalu ditaburi rajangan
nori (rumput laut panggang). Di antara dua lapisan roti-nasi itulah disisipkan seiris unagi kabayaki. Hmm,
terbayang, kan? Sajian seperti ini sangat mirip dengan yang disajikan Moss Burger – sebuah chain
restaurant yang populer di Jepang – tetapi dengan harga mahasiswa. Patut dicoba!
Menurut Seafood Watch, sebuah lembaga yang selalu menerbitkan daftar hasil laut yang terancam
kepunahan, menyarankan agar umat dunia sebaiknya mengurangi konsumsi unagi atau belut. Soalnya,
ketersediaan belut dunia saat ini mengalami laju penyusutan yang sangat serius. Sekalipun belut sudah
dibudidayakan dengan jumlah produksi yang cukup besar, volume konsumsinya pun terus membengkak.
Selain itu, belut adalah jenis karnivora yang dalam pembudidayaannya diberi umpan ikan hidup yang
lain. Dengan kata lain, budidaya belut bukan jawaban untuk kesinambungan (sustainability) spesies ini.
Jadi, selain ajaran agama yang melarang kita semua agar tidak makan berlebihan, sekarang juga
ditambah imbauan “Go Green” agar kita membatasi konsumsi spesies alam yang terancam kepunahan.
__________
Merespon pertanyaan pembaca tentang alamat warung unagi dan sambel welut, berikut jawaban dari
Bondan Winarno yang dikirim ke redaksi kompas.com:
Waroeng Unagi
Jl. Terusan Bukit Dago Selatan 4
dekat Kampus Fikom Unpad (maaf, bukan Stikom)
022 82520134
Di Balik Ekspor Sidat Budidaya
Sepuluh hari usai peringatan HUT RI ke-62, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi melepas
ekspor perdana sidat hasil budidaya ke Taiwan. Benarkah sidat bisa dibudidayakan dan bagaimana
pasarnya? Meskipun budidaya sidat di Indonesia relatif belum berkembang, belut berkuping ini cukup
berhasil dikembangkan di Tiang Zhen, 100 km dari Guangzhou, China. Pembesaran sidat di wilayah
tersebut dikerjakan oleh petani dan hasilnya di ekspor ke Jepang. Teknik perkembangbiakan sidat
memang belum diketahui sehingga pasokan benihnya masih mengandalkan tangkapan dari alam. Begitu
juga China, para pembudidayanya mengimpor benih sidat jenis Anguilla japonicus dan Anguilla
anguilla dari Kanada dan Eropa.
Di Indonesia sumberdaya benih cukup berlimpah. Setidaknya, terdapat empat jenis sidat, yaitu Anguilla
bicolor, Anguilla marmorata, Anguilla nebulosa, dan Anguilla celebesensis. Ekspor sidat dari Indonesia
sebelumnya berasal dari tangkapan alam, misalnya dari perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi (Jabar) dan
Cilacap (Jateng).
Menurut J. Soetanto, Corporate Development Manager Aquaculture Division PT Suri Tani Pemuka (STP),
konsumen sidat terbesar adalah Jepang, Eropa, dan China. "Pasar Jepang umumnya menghendaki sidat
berbentuk fillet yang berasal dari jenis A. bicolor atau A. japonicus ukuran 300-400 gram," ungkapnya.
Lain halnya dengan konsumen Eropa, mereka menyukai sidat dalam bentuk asap (smoked) dari spesies
A. anguilla atau A. japonicus. Sedangkan konsumen sidat di Asia Timur, yaitu China, Korea, Hongkong,
dan Taiwan menghendaki sidat segar ukuran 800-3.000 gram per ekor dari spesies Anguilla reinhardtii
yang benihnya banyak terdapat di perairan Australia.
Sidat asal Australia inilah yang diresmikan ekspor perdananya oleh Freddy Numberi (29/8) sebanyak 300
kg ke Taiwan dari Tambak Pandu Karawang. Masih menurut Soetanto, "Harga jual belut segar ke China
berkisar AUD$10-20 per kg, bergantung size-nya. Makin besar ukuran sidat, makin mahal harganya. Jadi,
harganya berjenjang."
Di China sidat dikonsumsi sebagai makanan kesehatan sehingga nilainya cukup tinggi dan tergolong
hidangan spesial. Dengan populasi penduduk yang besar dan kebiasaan makan sidat warga setempat,
wilayah Asia Timur, terutama China, bias dibilang menjadi pasar baru sidat yang potensial selain Jepang
dan Eropa.
Betina Lebih Besar
Untuk mengembangkan sidat, sejak Desember 2006 STP menggandeng Tambak Pandu Karawang dan
importir sidat asal Australia. Benih sidat yang belum berpigmen (glass eel) dari perairan Australia
dideder selama setahun sampai berukuran 60-150 gram. Anakan sidat tersebut kemudian dikirim dan
dibesarkan di Indonesia. Soetanto mengakui bahwa pembesaran sidatnya masih bersifat ujicoba. "Iklim
di sini `kan panas sepanjang tahun, harapannya sidat tumbuh lebih cepat," ujarnya.
Sebelum dimasukkan dalam bak pemeliharaan, benih sidat yang baru tiba diaklimatisasi selama 12-24
jam. Sidat selanjutnya dimasukkan ke dalam bak beton dan dipelihara selama 7 bulan. Sidat jantan
mampu mencapai ukuran 700 gram dalam waktu 7 bulan. Sayangnya, pertumbuhan individu jantan
berhenti sampai di situ. Sedangkan sidat betina bisa mencapai bobot 3 kg per ekor dalam waktu 15
bulan. Selama pemeliharaan, sidat diberi pakan pellet pada pagi dan sore hari.
Sortasi alias grading merupakan salah satu kunci budidaya sidat karena sifatnya yang kanibal. "Grading
sangat bergantung pada umur dan ukuran. Kalau masih kecil ya tidak usah terlalu sering, tapi semakin
besar ukuran sidat harus semakin rutin," ujar Soetanto. Pemilihan lokasi juga menjadi sangat penting
lantaran berkaitan dengan standar kualitas air yang diinginkan oleh sidat.
Perlu Sosialisasi
Menurut Ridwan Affandy, peneliti dan dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB,
parameter air kunci yang penting dalam budidaya ikan, khususnya sidat adalah suhu, pH, oksigen
terlarut, alkalinitas, dan salinitas yang berfungsi untuk memacu metabolisme. "Jika faktor basic-nya
sudah terpenuhi, berikutnya baru teknis budidaya, seperti pakan, kepadatan tebar, kedalaman, dan
sebagainya," ujar Ridwan.
Senada dengan Soetanto, Ridwan juga menyarankan pembudidaya untuk menyortasi sidat yang
dipelihara, minimal sebulan sekali. "Dalam satu populasi, pasti ada sidat yang slow, middle, dan fast
growth. Harus ada perlakuan khusus bagi sidat yang slow growth," katanya lebih lanjut. Jika yang
tumbuh lambat ini diteruskan, akan membuang waktu, tempat, dan biaya.
Menanggapi belum populernya sidat di kalangan petani, Ridwan menyarankan agar budidaya sidat
disegmentasi seperti halnya ikan mas. Dengan begitu, waktu yang diperlukan tidak terlalu lama dan
biaya produksinya pun terjangkau. Untuk menyiasati pasar, ia menegaskan perlunya sosialisasi sidat di
kalangan masyarakat seperti pada lele yang awalnya kurang disukai masyarakat Jawa Barat.
Kalau kebutuhan sidat masyarakat sudah sebanyak lele, pembudidayanya tentu akan meningkat. "Jika
harga sidat di dalam negeri lebih rendah dari harga ekspor, pelaku usaha pasti akan mengarahkan
orientasi pasarnya ke luar negeri," tambah Ridwan.
Sebaran Anguilla Bicolor
Anguilla bicolor adalah spesies ikan sidat yang dominan di pulau jawa.
Habitat dari ikan sidat di Indonesia ditemukan di pantai, estuaria, sungai-sungai yang mengarah ke
samudera, pematang sawah, dan danau.
Distribusi ikan sidat di Indonesia, dilihat dari tempat ditemukannya pada sungai-sungai, bahkan
pematang sawah, dan danau, yang terhubung dengan Samudera (atau laut dalam), maka sebarannya
ada di selatan dan barat pulau Sumatera, selatan pulau Jawa, Bali dan selatan tataran Sunda yang
berhadapan dengan Samudera Indonesia. Juga di wilayah pantai timur kalimantan, utara dan timur
laut Sulawesi yang berhadapan dengan samudera Fasifik.
Di pulau jawa Sidat ditemukan di daerah kabupaten, dan kotamadya:
- Pelabuhan Ratu: Cimaja, Citepus, Cihaur.
- Serang : Cibanten.
- Tasikmalaya : Citanduy, Ciwulan.
- Ciamis : Citanduy.
- Pagelaran : Cijampang.
- Garut : Cikaengan, Cisanggiri, Cibeluk, Cilaki, Cilaju, Cirancong, Cikandung.
- Bandjarnegara : Sungai Serayu dan anak sungainya.
- Joyakarta : Kali Progo, Kali Opak dan Oja.
- Kaloran : Kali Progo, dan Kali Tinggal.
- Pacitan : Kali Grindu dan anak sungainya. Kali Lorok dan Sukoredjo. (disebut LUMBON dan GATENG)
- Temanggung : Kali Progo.
Peluang Usaha Budidaya Ikan Sidat Untuk Ekspor
Ikan sidat atau unagi banyak dikonsumsi sebagai makanan mewah di Jepang, Hongkong, dan
Korea karena kandungan tinggi protein dan omega-3 yang berkhasiat untuk kesehatan tubuh.
Namun, benih ikan sidat yang banyak di perairan Indonesia belum banyak dimanfaatkan di
negeri sendiri.
Di Indonesia, paling sedikit ada enam jenis ikan sidat (Anguilla sp), yaitu Anguilla marmorata,
Anguilla celebensis, Anguilla ancentralis, Anguilla borneensis, Anguilla bicolor bicolor, dan
Anguilla bicolor pacifica.
Melihat peluang pasar yang besar, Syaiful Hanif (32) dan sepuluh rekannya yang tergabung
dalam Paguyuban Patra Gesit di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mulai menjajaki usaha
budidaya ikan sidat pada akhir tahun 2008.
Teknik pembesaran ikan sidat awalnya dipelajari Syaiful di Balai Layanan Umum Pandu
Karawang, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Segmentasi ikan sidat bicolor dipilih dengan
benih yang didapat dari hasil tangkapan alam.
Bermodal sedikit pengalaman, paguyuban yang dipimpin Syaiful itu lantas mengajukan kredit
lunak pada Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT Pertamina Tbk Rp 1,2 miliar untuk
jangka waktu 3 tahun.
Kemudian, dana sebesar itu digunakan untuk membeli lahan seluas 2 hektar di Desa Lamaran
Tarum, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu.
Selain itu, dana itu untuk membangun 10 petak kolam ikan berukuran masing-masing 20 x 30
meter persegi, pembelian benih ikan sidat, serta persiapan sarana dan prasarana produksi. Di
antaranya peralatan diesel mengingat di wilayah itu belum ada jaringan listrik yang memadai.
Setelah lahan disiapkan, Syaiful dan rekan-rekannya mencoba mempraktikkan pembesaran ikan
sidat bicolor di lahan mereka. Namun, usaha pembesaran ikan sidat bicolor ternyata tidak mudah.
Bicolor yang biasa hidup di arus pertemuan air sungai dan air laut sulit beradaptasi di kolam air
tawar.
Negara tujuan ekspor
Ikan sidat adalah jenis karnivora (pemakan ikan) yang memiliki sifat katadromos, yaitu awalnya
berkembang biak di laut dan selanjutnya mencari perairan umum (air tawar) untuk membesarkan
diri.
Sifat itu membuat ikan sidat sulit beradaptasi dan mengubah pola makan di habitat baru kolam
air tawar. Tingkat pertumbuhan ikan bicolor juga tidak merata karena ukuran benih yang ditebar
tidak seragam. Usaha mereka pun berada di ambang kehancuran.
Namun, Syaiful tidak menyerah. Ia lantas menekuni riset pembesaran ikan sidat selama hampir
setahun. Proses aklimatisasi diterapkan berupa penyesuaian lingkungan, temperatur, serta sortir
benih ikan sebelum disimpan di kolam.
Dengan perlakuan khusus, ikan sidat bicolor yang biasanya makan ikan lain itu berubah
kebiasaan menjadi rakus makan pelet. Berpijak dari hasil riset tersebut, Syaiful dan temantemannya melanjutkan usaha. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung beralih dengan
membidik segmentasi ikan sidat marmorata yang permintaan dan harganya di pasar internasional
jauh lebih tinggi.
Ikan sidat marmorata terbukti tumbuh subur dengan tingkat hidup (SR) 80 persen. Jika dalam
kurun 6 bulan pertumbuhan benih sidat hanya dari ukuran 0,2 gram menjadi 40 gram per ekor,
dalam bulan ke-7 sampai ke-10 benih tumbuh pesat dari ukuran 40 gram ke 1 kilogram (kg) per
ekor.
Pada panen perdana bulan Januari 2010, paguyuban itu menghasilkan panen sidat sebanyak 500
kg dan seluruhnya diekspor. Ekspor ikan hidup dengan bobot lebih dari 500 gram per ekor, harga
jualnya berkisar Rp 120.000-Rp 160.000 per kg. Harganya akan semakin mahal jika bobot ikan
lebih dari 1 kg per ekor, yakni Rp 120.000-Rp 180.000 per kg.
Pasar utama ekspor ikan sidat adalah Hongkong, China, dan Taiwan. ”Minat pasar ekspor yang
tinggi terhadap ikan sidat membuat hasil produksi selalu terserap pasar, berapa pun jumlahnya,”
ungkap Syaiful.
Ia mengakui tidak sulit mencari benih ikan. Beberapa kawasan perairan yang banyak terdapat
benih ikan sidat di antaranya di pesisir Sumatera bagian barat, Sulawesi, dan pantai selatan Jawa
yang berbatasan dengan laut dalam. Harga benih sidat marmorata Rp 120.000 per kg dengan
ukuran benih 25 gram per ekor.
Sayangnya, seiring maraknya permintaan di pasar internasional, penyelundupan benih ikan sidat
ke negara lain terus terjadi, di antaranya ke Jepang.
Penyelundupan di beberapa tempat itu mendongkrak harga benih marmorata hingga mencapai
Rp 2,5 juta per kg.
Syaiful mengaku khawatir, dengan teknologi budidaya sidat di Tanah Air yang belum
berkembang luas, bukan tidak mungkin masyarakat Jepang kelak akan mencuri start dalam
pembudidayaan ikan sidat secara luas.
”Indonesia adalah negeri produsen benih ikan yang besar dan kaya. Tetapi, jika potensi itu tidak
dimanfaatkan optimal, bisa dipastikan rakyat Indonesia sulit memperoleh nilai tambah dari
perikanan,” ujar pria yang sebelumnya menekuni bisnis penjualan pulsa itu.
Salah satu ambisinya dalam waktu dekat adalah memperluas pemasaran ikan sidat ke pasar-pasar
dalam negeri. ”Kalau pasar ekspor dengan mudah bisa ditembus, kenapa pasar dalam negeri
justru tidak melihat potensi ini,” papar Syaiful.
Ia menargetkan produksi ikan sidat pada panen kedua bulan Juli 2010 bisa mencapai 1 ton. Ia
pun berencana memberdayakan masyarakat sekitar dengan menularkan teknik pembesaran ikan
sidat ke warga Indramayu.
Caranya, melepas benih ikan sidat berukuran 100 gram kepada warga untuk dibesarkan sampai
ukuran 500 gram, kemudian ditampung kembali untuk dipasarkan.
Pria lulusan politeknik Jurusan Mesin ITB angkatan 1996 ini berharap pemerintah memiliki
regulasi yang tegas untuk mengembangkan benih ikan sidat, memperluas teknologi budidaya
lewat pemberdayaan masyarakat, serta menekan penyelundupan benih yang merugikan
perikanan budidaya.
DELAPANBELAS. ITULAH JUMLAH SPESIES SIDAT AIR TAWAR YANG SUDAH
TERIDENTIFIKASI DI DUNIA. DARI JUMLAH ITU, 7 JENIS DI ANTARANYA HIDUP DI
PERAIRAN DI INDONESIA DAN POTENSIAL DIBUDIDAYAKAN.
Meski memiliki hampir separuh jenis sidat dunia, tetapi yang paling banyak diekspor dari
Indonesia adalah Anguilla bicolor bicolor. Maklum, penangkapan- penangkapan sidat untuk
tujuan ekspor masih terkonsentrasi di Pulau Jawa yang notabene habitat bicolor. Sejauh ini,
sumber utama glass eel-fase awal sidat-bicolor yang biasa ditangkap ada di Pelabuhanratu, Jawa
Barat, dan perairan di Cilacap, Jawa Tengah, untuk fingerling-bibit sidat seukuran jari.
Sejatinya di luar Pulau Jawa terdapat jenis-jenis yang potensial dikembangkan. Pulau Sulawesi,
misalnya, memiliki jenis A. celebesensis, A. bicolor pacifica, A. ancentralis, dan A. marmorata.
Pantai barat Sumatera memiliki A. bicolor bicolor dan A. mauritinia, sedangkan di pantai timur
Kalimantan ditemukan A. borneoensis. Sayang, minimnya penelitian tentang pemanfaatan sidat
di daerah-daerah itu membuat kemajuan budidaya sidat terhambat.
Incar Indonesia
Kondisi itu berbanding terbalik dengan di negara-negara lain yang justru minim sumberdaya.
Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia sudah mapan dengan produksi sidat eropa A. anguilla.
Negara-negara Asia seperti Jepang, China, Taiwan, Korea, dan Malaysia berhasil
membudidayakan intensif sidat jepang A. japonica. Menurut data Food and Agriculture
Organization (FAO), pada 2005 diproduksi sekitar 8.000 ton sidat eropa dan 230.000 ton sidat
jepang hasil budidaya. Budidaya sidat australia A. australis dan A. reinhardtii pun berkembang
pesat di Victoria, Tasmania, New South Wales, dan Queensland-seluruhn ya negara bagian di
Australia.
Tingginya angka produksi sidat mencerminkan tangkapan glass eel berlebihan sehingga
mengancam populasi sidat di alam. Akibatnya diberlakukan pembatasan pasokan bibit sidat.
Data peneliti asal Belanda, Van Ginneken dan Maes, menunjukkan populasi sidat eropa dan sidat
jepang di alam anjlok hingga 99% sejak 1980-an. Hal serupa terjadi pada sidat amerika. Sebab
itu sidat eropa kini masuk dalam daftar CITES Appendix II, sehingga perdagangannya harus
melalui sertifikasi dan perizinan ketat.
Di sisi lain konsumsi sidat dunia cukup tinggi. Masyarakat Jepang, misalnya mengkonsumsi
sekitar 100.000 ton sidat per tahun. Dari volume itu hanya 20% yang diproduksi sendiri.
Sisanya? Mereka berebut bersama importir dari Eropa dan China mencari sumber sidat lain.
Indonesia yang kaya jenis sidat menjadi lokasi favorit 'perburuan' mereka.
Indonesia sebetulnya melarang ekspor glass eel atau elver. Meski demikian iming-iming harga
tinggi dapat merangsang para pengusaha oportunis alias dadakan untuk melakukan ekspor secara
tidak wajar. Bila kondisi ini dibiarkan terjadi, populasi sidat Indonesia akan turun tanpa nilai
tambah yang bisa diraih. Lain halnya jika yang diekspor dalam bentuk dewasa yaitu sidat hasil
budidaya.
Teknologi lokal
Agar dapat memberi manfaat bagi masyarakat, pengembangan budidaya sidat lokal perlu
didorong. Dari segi teknologi, penerapan hasil penelitian dalam negeri yang menggunakan sidat
lokal lebih realistis dibanding mengadopsi teknologi budidaya dari luar negeri yang belum tentu
cocok dengan sifat sidat lokal.
Untuk membudidayakan sidat, peternak harus selektif memilih jenis. Di Jawa dan Sumatera jenis
sidat yang didapat 90-95% A. bicolor bicolor. Sementara di daerah Samudera Pasifik, misalnya
Sulawesi, ditemukan setidaknya 3 jenis sidat sehingga perlu dipilih salah satu jenis yang layak
dibudidayakan. Sebab bila sidat yang dibudidayakan beragam jenis, pertumbuhannya pun
beragam.
Skala budidaya bisa besar atau kecil tergantung ketersediaan lahan. Di lahan luas, sidat dapat
dibudidayakan dengan memanfaatkan bekas tambak udang atau di karamba jaring apung (KJA).
Pada skala lebih kecil, sidat dapat dipelihara di bak tembok atau hapa di kolam. Meski jumlah
yang dihasilkan terbatas, pemeliharaan di bak tembok lebih terkontrol karena dipelihara dengan
sistem air bersih.
Untuk budidaya di KJA, sidat dapat dipelihara dengan kepadatan 3 kg/m3 dengan pemberian
pakan apung komersial mengandung 47% protein. Rasio konversi pakan (FCR) sidat di KJA 2-3
dengan laju pertumbuhan harian sekitar 1 - 1,1%. Dari ukuran fingerling (30 g/ekor), sidat
mencapai ukuran 3-5 ekor/kg setelah 5-6 bulan. Dibandingkan di kolam tanah, pemeliharaan di
hapa memberi keuntungan karena kemungkinan lolosnya sidat dari wadah pemeliharaan dapat
dicegah.
Dengan berbagai potensi yang ada, sudah saatnya usaha budidaya sidat dikembangkan lebih
serius. Pada tahap awal, perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut mengenai jenis dan ketersediaan
glass eel di berbagai pantai Indonesia. Tujuannya untuk menentukan tingkat eksploitasi sehingga
sumberdaya di alam tetap lestari.
Selanjutnya, dikembangkan segmentasi budidaya yang terintegrasi di lokasi yang sesuai.
Pemetaan kapasitas produksi juga diperlukan karena pasar ekspor biasanya butuh dalam jumlah
besar. Untuk meningkatkan nilai tambah, dapat dikembangkan teknologi pengolahan produk
sidat sehingga suatu saat ekspor bukan lagi berupa produk segar tetapi olahannya. (Ade
Sunarma MSi, Perekayasa di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi)
Gertak? Penuhi Permintaan Sidat
Pasar dunia mulai kewalahan memenuhi permintaan sidat. Peluang budidaya dan ekspor Indonesia kian
menganga. Hasil riset membuktikan, dari 18 jenis yang teridentifikasi, 6 diantaranya ada di Indonesia
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Made L Nurdjana menyatakan tekadnya untuk menjadikan
Indonesia sebagai produsen dan pengengkspor sidat terbesar. Demi mempercepat realisasinya, dia pun
menginstruksikan kepada UPT (Unit Pelaksana Teknis) air tawar (BBPBAT Sukabumi, BBAT Jambi,
BBAT Mandiangin dan BBAT Tatelu) untuk mengembangkan budidaya sidat. ?Dengan ?gertak? atau
gerakan serentak ini, diharapkan hasil teknologi yang diperoleh lebih signifikan dan cepat,? ujarnya
mantap. Selain itu, juga akan dibentuk Satgas Sidat dengan melibatkan para ahli di luar DKP, seperti
Perguruan Tinggi dan LIPI.
Negeri Tirai Bambu, China, setiap tahunnya membutuhkan pasokan ikan sidat tak kurang dari 70.000 ton.
Padahal, saat ini mereka baru bisa memenuhi sekitar 20.000 ton saja. Sementara kebutuhan konsumen
Jepang akan sidat mencapai 300.000 ton/tahun, Korea 15.000 ton/tahun dan Taiwan 5000 ton/tahun. Tak
ayal, pengembangan budidaya ikan sidat mutlak diperlukan. Sebab, selama ini pasokan sidat hanya
mengandalkan hasil tangkapan dari laut. Selain itu, baru beberapa negara saja yang telah berhasil
membudidayakannya.
Peluang ekspor pun masih terbuka lebar. Bagaimana tidak, di negara-negara penikmat ikan seperti
Jepang, Taiwan dan China, harga sidat segar bisa mencapai Rp 60.000,-/Kg. Sementara yang bentuk
olahan harganya lebih melambung lagi yaitu Rp 100.000,-/Kg hingga Rp 125.000,-/Kg. Untuk jenis
Anguila marmorata, harga jualnya di Taiwan dan China bahkan bisa mengalahkan harga primadona
ekspor Indonesia, udang yaitu US$ 20/kg. Untuk elver (Gloss eel), di China harganya mencapai US$ 7US$ 8/Kg. Sedangkan harga panen ukuran 5 Kg/ekor setelah 7 bulan pemeliharaan sekitar US$ 9- US$
11/Kg. Selain itu, pasar Hongkong dan Singapura juga mencari pemasok sidat untuk kebutuhan mereka.
Tak hanya merajai pasar Asia, ikan yang bentuknya menyerupai ular ini ternyata juga digandrungi pasar
UE dan AS. China bahkan sangat menantikan pasokan sidat dari Indonesia. Dilansir dari Demersal,
minat China ini karena sidat asal Indonesia memiliki beragam jenis. Maka, DKP kini mulai giat
mengembangkan budidaya sidat di tanah air.
Indonesia, Potensi Budidaya
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Made L Nurdjana dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa
waktu lalu menyampaikan, budidaya sidat sangat berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia.
Pernyataan ini tak sekadar omong kosong. Hasil riset membuktikan, dari 18 jenis sidat yang telah
teridentifikasi, 6 diantaranya terdapat di Indonesia yaitu Anguila marmorata, A. celebensis, A.ancentrallis,
A.borneensis, A. bicolor bicolor dan A. bicolor pacifika. Sedangkan potensi sidat yang berada di sungaisungai yang bermuara di laut ada sekitar 13 spesies.
Menurut peneliti dari Insitut Pertanian Bogor, Ridwan Affandi pada kesempatan itu pula, sidat merupakan
ikan yang spesifik. Yakni, pada saat bertelur sidat beruaya (pindah tempat) ke laut dalam dan kemudian
mati, benih sidat yang dihasilkan akan beruaya ke pantai dan sungai hingga sidat besar. Dari daur hidup
sidat itu, Ridwan berkeyakinan jika Indonesia merupakan wilayah yang sangat potensial sebagai
penghasil sidat, terutama di pantai selatan Jawa, pantai barat Sumatera, pantai selatan Bali, Lombok,
Sulawesi dan Sumbawa karena diwilayah tersebut banyak muara sungai yang berbatasan dengan laut
dalam.
Untuk lahan juga bukan masalah karena pembudidayaan bisa dilakukan di kolam air tawar, asal sumber
airnya bersih. Tetapi untuk pakan, masih harus mendatangkan dari China. Pakan sidat yang digunakan
pada pembudidayaan di sana seperti pasta dengan waktu pemberian saat pagi sekitar jam 5. Pemberian
pakan saat masih gelap ternyata lebih efektif. Ini juga sesuai dengan sifat sidat yang nocturnal yaitu aktif
pada malam hari. Kini, BBAT Sukabumi tengah berusaha mengembangkan formula pakan buatan untuk
sidat, namun masih menemui kegagalan dalam kulitas gel strength-nya.
Indonesia yang beriklim tropis juga sangat cocok untuk pertumbuhan sidat. Ikan yang termasuk karnivora
(pemakan daging) ini sangat peka dan hanya bisa hidup pada kisaran suhu 24-290C. Jika dibandingkan
dengan pertumbuhan Anguila anguila secara alami di Eropa, berat badan sidat pada tahun pertama
hanya mencapai 7,5 g, tahun kedua 36 g dan tahun ketiga 150 g. Beda jauh dengan pertumbuhan sidat
di Indonesia yang melesat yaitu mencapai 10-20 g hanya dalam waktu 2-3 bulan. Selanjutnya, masa
pembesaran hingga mencapai ukuran konsumsi (150 g/ekor) hanya makan waktu 7-9 bulan.
Begitu pula dengan persediaan benih alam yang cukup melimpah. Di Indonesia tersebar mulai dari pantai
barat Sumatera, pantai selatan Jawa hingga ke pantai selatan NTT. Ridwan menyatakan, untuk elver,
benihnya tersedia di Pelabuhan Ratu, Cilacap, Purworejo dan Jember. Sedangkan untuk sidat muda,
benih bisa diperoleh dari Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Purworejo dan daerah lain di pantai selatan
pulau Jawa.
TROBOS/Rida W
Resep Unagi (sidat) Donburi
Bahan :



200 gram nasi putih
100 gram unagi, cuci bersih
1 butir telur, dadar
Bahan saus :







200 ml kikkoman soyu
1 sendok makan sake (kalo tidak suka boleh tidak pake)
3 sendok makan mirin
3 sendok makan gula pasir
2 sendok makan madu
1 sendok teh jahe, parut
75 ml air
Cara membuat unagi (sidat) donburi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Panaskan mirin hingga terbakar, tunggu hingga api redup.
Masukkan sake, gula pasir, kikkoman soyu, jahe parut dan madu.
Tambahkan air, masak dengan api kecil hingga saus sedikit berkurang dan agak kental.
Matikan api, ambil unagi, poles dengan saus sedikit demi sedikit.
Panggang dengan api sedang sambil dipoles berulang-ulang hingga unagi matang.
Sajikan bersama nasi putih dan telur dadar.
Misteri Sidat, Sogili, Pelus (Anguilla spp.) di Indonesia
Di wilayah Pasifik Barat (sekitar perairan Indonesia) dikenal ada tujuh spesies ikan sidat yaitu :
Anguilla celebensis dan Anguilla borneensis, yang merupakan jenis endemik di perairan sekitar
pulau Kalimantan dan Sulawesi, Anguilla interioris dan Anguilla obscura yang berada di
perairan sebelah utara Pulau Papua, Anguilla bicolor pasifica yang dijumpai di perairan
Indonesia bagian utara (Samudra Pasifik), Anguilla bicolor pasifica yang berada di sekitar
Samudra Hindia (di sebelah barat Pulau Sumatra dan selatan Pulau Jawa), sedangkan Anguilla
marmorata merupakan jenis sidat kosmopolitan yang memiliki sebaran sangat luas di seluruh
perairan tropis (Sarwono, 2000).
Ikan sidat termasuk dalam kategori ikan katadromus, ikan sidat dewasa akan melakukan migrasi
kelaut untuk melakukan pemijahan, sedangkan anakan ikan sidat hasil pemijahan akan kembali
lagi ke perairan tawar hingga mencapai dewasa. Sejak awal tahun 1980, jumlah glass eel yang
memasuki sungai-sungai di Eropa mengalami penurunan hingga tinggal 1% dari jumlah semula
(Dekker dalam Dannewitz, 2003). Menurunnya jumlah glass eel yang memasuki suatu wilayah
perairan menunjukkan kemungkinan adanya penurunan kualitas lingkungan yang mengancam
populasi sidat.
Ikan sidat termasuk dalam genus Anguilla, famili Anguillidae, seluruhnya berjumlah 19
spesies. Wilayah penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik, Atlantik dan Hindia. Ikan sidat
merupakan ikan nokturnal, sehingga keberadaannya lebih mudah ditemukan pada malam hari,
terutama pada bulan gelap. Bleeker dalam Liviawaty dan Afrianto (1998), mengatakan bahwa
ikan sidat mempunyai klasifikasi sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Class
: Pisces
Ordo
: Apodes
Famili
: Anguillidae
Genus
: Anguilla
Spesies
: Anguilla sp.
Jenis-jenis ikan sidat (Anguila spp.)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Valid Name
Anguilla anguilla
Anguilla australis australis
Anguilla australis schmidti
Anguilla bengalensis bengalensis
Anguilla bengalensis labiata
Anguilla bicolor bicolor
Anguilla bicolor pacifica
Anguilla breviceps
Anguilla celebesensis
Anguilla dieffenbachii
Anguilla interioris
Anguilla japonica
Anguilla malgumora
Anguilla marmorata
Anguilla megastoma
Anguilla mossambica
Anguilla nebulosa
Anguilla nigricans
Anguilla obscura
Anguilla reinhardtii
Anguilla rostrata
Author
English Name
(Linnaeus, 1758)
European eel
Richardson, 1841
Shortfin eel
Philipps, 1925
(Gray, 1831)
Indian mottled eel
(Peters, 1852)
African mottled eel
McClelland, 1844
Indonesian shortfin eel
Schmidt, 1928
Indian short-finned eel
Chu & Jin, 1984
Kaup, 1856
Celebes longfin eel
Gray, 1842
New Zealand longfin eel
Whitley, 1938
Highlands long-finned eel
Temminck & Schlegel
Japanese eel
Kaup, 1856
Indonesian longfinned eel
Quoy & Gaimard, 1824 Giant mottled eel
Kaup, 1856
Polynesian longfinned eel
(Peters, 1852)
African longfin eel
McClelland, 1844
Mottled eel
Chu & Wu, 1984
Günther, 1872
Pacific shortfinned eel
Steindachner, 1867
Speckled longfin eel
(Lesueur, 1817)
American eel
Sumber: www.fishbase.org
Ikan sidat betina lebih menyukai perairan esturia, danau dan sungai-sungai besar yang produktif,
sedangkan ikan sidat jantan menghuni perairan berarus deras dengan produktifitas perairan yang
lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan produktifitas suatu perairan dapat
mempengaruhi distribusi jenis kelamin dan rasio kelamin ikan sidat. Perubahan produktifitas
juga sering dihubungkan dengan perubahan pertumbuhan dan fekunditas pada ikan
(EIFAC/ICES, 2000). Helfman et al. (1997) mengatakan bahwa ikan sidat jantan tumbuh tidak
lebih dari 44 cm dan matang gonad setelah berumur 3-10 tahun. Anguilla sp. tergolong
gonokhoris yang tidak berdiferensiasi, yaitu kondisi seksual berganda yang keadaannya tidak
stabil dan dapat terjadi intersex yang spontan (Effendi,2000).
Stadia perkembangan ikan sidat baik tropik maupun subtropik (temperate) umumnya sama, yaitu
stadia leptochephalus, stadia metamorphosis, stadia glass eel atau elver, yellow eel dan silver eel
(sidat dewasa atau matang gonad). Setelah tumbuh dan berkembang di perairan tawar, sidat
dewasa (yellow eel) akan berubah menjadi silver eel (sidat matang gonad), dan selanjutnya akan
bermigrasi ke laut untuk berpijah. Lokasi pemijahan sidat tropis diduga berada di perairan
Samudra Indonesia, tepatnya di perairan barat pulau Sumatera (Setiawan et al., 2003).
Juvenil ikan sidat hidup selama beberapa tahun di sungai-sungai dan danau untuk melengkapi
siklus reproduksinya (Helfman et al, 1997). Selama melakukan ruaya pemijahan, induk sidat
mengalami percepatan pematangan gonad dari tekanan hidrostatik air laut, kematangan gonad
maksimal dicapai pada saat induk mencapai daerah pemijahan. Proses pemijahan berlangsung
pada kedalaman 400 m, induk sidat mati setelah proses pemijahan (Elie, P., 1979 dalam
Budimawan, 2003).
Waktu berpijah sidat di perairan Samudra Hindia berlangsung sepanjang tahun dengan puncak
pemijahan terjadi pada bulan Mei dan Desember untuk Anguilla bicolor bicolor, Oktober untuk
Anguilla marmorata, dan Mei untuk Anguilla nebulosa nebulosa (Setiawan et al., 2003). Di
perairan Segara Anakan, Anguilla bicolor dapat ditemukan pada bulan September dan Oktober,
dengan kelimpahan tertinggi pada bulan September (Setijanto et al., 2003).Makanan utama larva
sidat adalah plankton, sedangkan sidat dewasa menyukai cacing, serangga, moluska, udang dan
ikan lain. Sidat dapat diberi pakan buatan ketika dibudidayakan (Liviawaty dan Afrianto,
1998). Tanaka et al.(2001) mengatakan bahwa pakan terbaik untuk sidat pada stadia
preleptochepali adalah tepung telur ikan hiu, dengan pakan ini sidat stadia preleptochepali
mampu bertahan hidup hingga mencapai stadia leptochepali.
Kedatangan juvenil sidat di estuaria dipengaruhi oleh beberapa factor lingkungan, terutama
salinitas, debit air sungai, ‘odeur’ air tawar dan suhu. Elver yang sedang beruaya anadromous
menunjukkan kadar thyroid hyperaktif yang tinggi, sehingga bersifat reotropis (ruaya melawan
arus). Elver juga bersifat haphobi (menghindari massa air bersalinitas tinggi) sehingga
memungkinkan ruaya melawan arus ke arah datangnya air tawar (Budimawan, 2003).
Aktivitas sidat akan meningkat pada malam hari, sehingga jumlah elver yang tertangkap pada
malam hari lebih banyak daripada yang tertangkap pada siang hari (Setijanto et al., 2003). Hasil
penelitian Sriati (2003) di di muara sungai Cimandiri menunjukkan bahwa elver cenderung
memilih habitat yang memiliki salinitas rendah dengan turbiditas tinggi. Salinitas dan turbiditas
merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan. Kelimpahan elver yang
paling tinggi terjadi pada saat bulan gelap.
Ikan sidat mampu beradaptasi pada kisaran suhu 12oC-31oC, sidat mengalami peurunan nafsu
makan pada suhu lebih rendah dari 12oC. Salinitas yang bisa ditoleransi berkisar 0-35
ppm. Sidat mempunyai kemampuan mengambil oksigen langsung dari udara dan mampu
bernapas melalui kulit diseluruh tubuhnya (Liviawaty dan Afrianto, 1998).
http://www.musida.web.id
BUDIDAYA SIDAT PADA JARING APUNG
1. PENDAHULUAN
Ikan Sidat (anguilla bicolor), termasuk famili Anguillidae, ordo Apodes. Di Indonesia
diperkirakan paling sedikit terdapat 5 (lima) jenis Ikan Sidat, yaitu : Anguilla encentralis, A.
bicolor bicolor, A. borneonsis, A. Bicolor Pacifica, dan A. celebensis.
Ikan Sidat tumbuh di perairan tawar (sungai dan danau) hingga mencapai dewasa, setelah itu
Ikan Sidat dewasa beruaya ke laut dalam untuk melakukan reproduksi. Larva hasil pemijahan
akan berkembang, dan secara berangsur-angsur terbawa arus ke perairan pantai. Ikan Sidat yang
telah mencapai stadia elver (glass eel) akan beruaya dari perairan laut ke perairan tawar melalui
muara sungai.
Ruaya anadromus larva Sidat (elver) berhubungan dengan musim. Diperkirakan ruaya larva Ikan
Sidat dimulai pada awal musim hujan, akan tetapi pada musim tersebut faktor arus sungai dan
keadaan bulan sangat mempengaruhi intensitas ruayanya.
Ikan Sidat termasuk ikan karnivora. Di perairan umum Ikan Sidat memakan berbagai jenis
hewan, khususnya organisme benthik seperti crustacea (udang dan kepiting), polichatea (cacing,
larva chironomus dan bivalva serta gastropods). Aktivitas makan Ikan Sidat umumnya pada
malam hari (nokturnal).
Ikan Sidat telah dibudidayakan secara intensif di Eropa khususnya di Norwegia, Jerman dan
Belanda serta Asia, yaitu : Jepang, Taiwan dan China daratan. Di negara-negara lain seperti
Australia, Indonesia dan beberapa negara Eropa dan Afrika Barat umumnya produksi Ikan Sidat
masih mengandalkan dari hasil penangkapan di alam.. Ikan Sidat dapat dibudidayakan di dalam
ruangan tertutup (indoor) dan di luar ruangan (outdoor). Di Indonesia dengan suhu lingkungan
yang relatif konstan sepanjang tahun maka pemeliharaan Ikan Sidat dapat dilakukan di luar
ruangan (out door).
Secara praktis Ikan Sidat dapat dibudidayakan di kolam tanah berdinding bambu, kolam beton
(bak beton), pen dan keramba faring apung. Apa pun jenis wadah yang digunakan dalam
budidaya Ikan Sidat yang hamus diperhatikan adalah bagaimana mencegah lolosnya ikan dari
media budidaya.
2. LINGKUNGAN PERAIRAN YANG DIKEHENDAKI UNTUK BUDIDAYA IKAN
SIDAT
a. Suhu.
Pada pemeliharaan benih Ikan Sidat lokal, A. bicolor bicolor, suhu terbaik untuk memacu
pertumbuhan adalah 29°C.
b. Salinitas.
Pada pemeliharaan Ikan Sidat lokal.,, A. bicolor bicolor (elver), salinitas yang dapat memberikan
pertumbuhan yang baik adalah 6 – 7 ppt.
c. Oksigen Terlarut.
Kandungan oksigen minimal yang dapat ditolelir oleh Ikan Sidat berkisar antara 0,5 – 2,5 ppm.
d. pH.
pH optimal untuk pertumbuhan Ikan Sidat adalah 7 – 8.
e. Amonia (N H3- N) dan Nitrit (NO2-N)
Pada konsentrasi amonia 20 ppm sebagian Ikan Sidat yang dipelihara mengalami
methemoglobinemie dan pada konsentrasi 30 – 40 ppm seluruh Ikan Sidat mengalami
methemoglobinemie.
3. KEBUTUHAN NUTRIEN
Seperti halnya jenis ikan-ikan lain, Ikan Sidat membutuhkan zat gizi berupa protein, lemak,
karbohidrat, vitamin dan mineral.
Kadar protein pakan optimal adalah 45% untuk ikan bestir (juvenil) dan sekitar 50% untuk ikan
kecil (fingerling).
4. BUDIDAYA IKAN SIDAT PADA JARING APUNG
a. Jaring Apung.
Satu unit jaring apung memiliki empat kolam berukuran 7 x 7 m, dengan jaring berukuran 7 x 7
x 2,5 m dan mata jaring 2,5 inchi. Untuk menghindari lolosnya ikan, disekeliling tepian kolam
bagian atas diberi penutup dari hapa dengan lebar 60 cm.
b. Benih Ikan Sidat.
Benih Ikan Sidat (Anguilla bicolor) berbobot 15 – 20 gram per ekor dengan panjang 20-30 cm.
c. Padat Penebaran.
Setiap kolam ditebar 100 kg benih Ikan Sidat.
d. Pakan.
Pakan yang diberikan adalah pakan buatan berbentuk pasta dengan kandungan :
■ Protein 47,93%
■ Lemak 10,03%
■ Seratkasar 8,00%
■ BETN 8,32%
■ Abu 25,71%
Pakan diberikan sebanyak 3% dari berat total ikan Konvensi pakan sebesar 1,96.
Dengan konvensi tersebut akan diperoleh laju perturnbuhan
rata-rata 1,46`% dengan mortalitas 9,64 %.
e. Masa Pemeliharaan dan Panen.
Pemeliharaan Ikan Sidat pada kolam keramba jaring apung selama 7 – 8 bulan, dan masa. panen
secara bertahap dapat dimulai pada masa pemeliharaan 4 bulan.
Ukuran Ikan Sidat yang, dipanen dapat – mencapai ukuran. konsumsi yaitu 180 – 200 gram per
ekor.
Pemeliharaan ikan Sidat pada kolam keramba jaring apung merupakan salah satu alternatif dalam
rangka penganekaragaman budidaya ikan pada kolam keramba jaring apung. Namun dalam
penerapannya masih perlu diperhatikan kondisi serta kualitas perairan umum yang dipergunakan.
sumber :”dinas Perikanan Provinsi Jabar, 2008
Budi Daya Ikan Sidat Peluang Ekspor yang Sangat Menggiurkan
Jakarta – Ikan sidat (Anguilla sp) mungkin tidak dikenal oleh banyak orang di sini. Tapi, di
berbagai negara ikan sidat jadi makanan primadona yang harganya sangat mahal.
Ikan sidat adalah sejenis belut, namun bentuknya lebih panjang dan besar. Ada yang mencapai
50 cm. Memang tidak enak dilihat. Tapi siapa sangka, konsumen asing menganggap cita rasa
ikan sidat enak dan memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kalau di restoran Jepang, ikan ini
sebutannya Unagi.
Kandungan vitamin A mencapai 4.700 IU/100 gram, sedangkan hati ikan sidat lebih tinggi lagi,
yaitu15.000 IU/100 gram. Lebih tinggi dari kandungan vitamin A mentega yang hanya mencapai
1.900 IU/100 gram.
Bahkan kandungan DHA ikan sidat 1.337 mg/100 gram mengalahkan ikan salmon yang hanya
tercatat 820 mg/100 gram atau tenggiri 748 mg/100 gram.
Sementara kandungan EPA ikan sidat mencapai 742 mg/100 gram, jauh di atas ikan salmon yang
hanya 492 mg/100 gram dan tenggiri yang hanya 409 mg/100 gram.
Teknologi budi daya masih baru di Indonesia. Budi daya ikan sidat di Indonesia baru ditemukan
sekitar tahun 2007 oleh Satuan Kerja Tambak Pandu Karawang, yang merupakan UPT Ditjen
Perikanan Budi Daya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Padahal ikan sidat sudah cukup lama
dibudidayakan di Jepang dan Thailand. Asal tahu saja, pengembangan budi daya kedua negara
menggunakan benih dari Indonesia.
“Melihat permintaan pasar dunia yang sangat besar mendorong kami untuk melakukan penelitian
budi daya ikan sidat,” kata Kepala Satuan Kerja Tambak Pandu Karawang Made Suitha.
Sidat kini menjadi salah satu peluang bisnis yang sangat besar. Ekspor ikan sidat terutama ke
Macau, Taiwan, Jepang, China dan Hongkong. Potensi pasar negara lain yang belum digarap
antara lain Singapura, Jerman, Italia, Belanda dan Amerika Serikat.
Peluang ekspor dari Indonesia kian terbuka lebar. Produksi ikan sidat dari Jepang dan Taiwan
mulai terbatas karena kekurangan bahan. Kedua negara otomatis mengurangi ekspor, sedangkan
produksi ikan sidat dari China diketahui menggunakan zat kimia.
Negara produsen ikan sidat akhirnya mencari alternatif pasar benih, termasuk dari Indonesia.
“Tapi Indonesia tidak akan menjual benih, lebih baik dikembangkan di sini sehingga investor
dari luar juga datang,” tegas Made.
Harga ikan memang sangat menggiurkan. Harga di tingkat petani ikan sidat untuk elver dengan
harga jual antara Rp. 250.000/kg. Untuk ukuran 10-20 gram berkisar antara Rp 20.000-Rp
40.000/kg, sedangkan ukuran konsumsi >500 gram untuk jenis Anguilla bicolor pada pasar lokal
rata-rata Rp 75.000/kg; jenis Anguilla marmorata Rp 125.000-Rp 175.000/kg.
Bantuan Teknologi
Pengembangan budi daya ikan sidat di Pandu Karawang sangat berhasil. Made mengungkapkan
bahwa harga ikan yang cukup tinggi menarik masyarakat untuk membudidayakan ikan sidat.
Bahkan Pandu Karawang siap memberikan bantuan dalam bentuk teknologi budi daya bagi
masyarakat yang ingin berwirausaha. Saat ini, beberapa kelompok masyarakat melakukan
pembudidayaan ikan sidat di tambak Pandu Karawang, namun juga ada yang perorangan.
“Kami menyediakan lahan yang bisa disewa maksimal dua tahun. Setelah itu mereka harus
mandiri, untuk memberi kesempatan pada masyarakat lain yang ingin belajar budi daya ikan
sidat,” jelas Made.
Budi daya ikan sidat relatif tidak sulit. Apalagi rasio hidup sangat tinggi, sekitar 90 persen,
karena punya data tahan kuat terhadap penyakit.
Made mengemukakan, lamanya budi daya ikan sidat tergantung ukuran benih. Dia mengatakan,
paling banyak yang dibudidayakan adalah ukuran 200 gram untuk menghasilkan panen ukuran >
500 gram. Lama budi daya maksimal lima bulan.
Tingkat produktivitasnya juga cukup bagus. Untuk satu ton benih, diperkirakan bisa
menghasilkan 5 ton ikan sidat. Sekarang, semakin banyak investor yang berkeinginan
membudidayakan ikan sidat, sebab, budi daya ikan sidat dipastikan menguntungkan. Tertarik?
Oleh
Naomi Siagian
Sinar Harapan
Ikan Sidat atau Moa
Sidat atau Moa (ordo Anguilliformes) kelompok ikan berbentuk tubuh mirip ular. Ordo
Anguilliformes terdiri atas 4 subordo, 19 famili, 110 genera, dan 400 spesies. Kebanyakan hidup
di laut namun ada pula yang hidup di air tawar.
Bentuk tubuh menyerupai ular, panjang dapat mencapai 50-125 cm, sirip punggung dan sirip
dubur menyatu dengan sirip ekor, sisik sangat kecil yang terletak di dalam kulit, kepala lebih
panjang dibandingkan jarak antara sirip punggung dengan anal. Sidat mempunyai sifat
katadromus yaitu masa menjelang dewasa ikan sidat hidup di air tawar kemudian bermigrasi
untuk bertelur atau berkembang biak di air laut. Ikan ini toleran terhadap salinitas, temperatur
dan tekanan yang berbeda-beda.
Diluar negeri sidat ini banyak dikonsumsi sebagai makanan mewah, karena kandungan
proteinnya yang tinggi. Masyarakat jepang banyak yang menkonsumsinya, jika di jepang disebut
unagi. Selama ini bibit sidat hanya bisa diperoleh dari alam, karena sistem pemijahannya yang
unik seperti ikan salmon. Dia akan berkembang biak di laut, bertelor dan menetas, setelah
menginjak menetasfase “glass ell” masih berada dilaut dan mampu berenang mencari air tawar,
sampai dewasa untuk siap memijah lagi.
Glass eels (anakan/bibit sidat)
Sidat atau Moa (remaja)
Sidat atau Moa dewasa (elver) siap konsumsi
Untuk memeliharanya tidaklah sulit, tinggal sediakan kolam, seperti kolam ikan biasa,
sebenarnya hampir mirip lobster bagi yang sudah pernah liat, kita tinggal menambahkan paralon
atau apa sajayang bisa digunakan untuk sembunyi. Karena ikan ini selama hidupnya menyukai
tempat gelap.Makanan sebenarnya sidat termasuk ikan Carnivora, pemakan daging, cacing,
cacahan keong, cacahan bekicot, pelet, kalau ini butuh adaptasi lama, dan sidat lebih suka
makan makan didasar kolam, bukan terapung.
Perubahan Iklim Ubah Pola Migrasi Sidat Tropis
Perubahan iklim telah mengubah pola migrasi ikan sidat di perairan laut Kepulauan Indonesia.
Jika biasanya ikan ini hanya bisa dilihat di laut selama setengah tahun, namun saat ini belut laut
ini muncul sepanjang tahun.
Bentuknya seperti ular. Namun secara biologis karena memiliki insang dan sirip dia masuk
kelompok ikan. Orang Indonesia biasa menyebutnya ikan sidat (belut laut tropis) atau bahasa
latinnya anguilla sp. Jarang sekali ikan ini dikonsumsi oleh orang pribumi. Meski demikian,
jangan remehkan ikan ini dari bentuknya. Sebab kandungan nutrisi ikan ini berada di atas ratarata semua jenis ikan. Bahkan, di Eropa, Amerika, dan Jepang ikan ini laris manis dan menjadi
konsumsi dari kalangan menengah ke atas karena harganya cukup mahal.
Bahkan sebagian orang Jepang percaya bahwa dengan mengonsumsi ikan ini bisa menambah
stamina dan memperpanjang umur. Meskipun terkesan hanya sebagai mitos, namun secara medis
ikan ini memang memiliki kandungan nutrisi protein, karbohidrat, serta omega 3 yang tinggi.
Sehingga menguatkan fungsi otak dan memperlambat terjadinya kepikunan. Indonesia memiliki
potensi sebagai penghasil ikan sidat jenis tropis yang melimpah.
Menurut Peneliti Bidang Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hagi Yulia Sugeha menyatakan RI berpotensi menjadi penghasil
ikan sidat terbesar di dunia. Sebab, ikan sidat jenis tropis yang ada di perairan laut Indonesia
memiliki karakter yang unik. Sidat betina tropis memiliki kemampuan reproduksi sembilan kali
lebih banyak ketimbang jenis ikan sidat dari lintang tinggi. Ini bisa dilihat dari jumlah telur yang
dibawa dalam perutnya. Selain itu kemampuan memijahnya pun sepanjang tahun. Dengan
kemampuan bertelur mencapai ratusan ribu bahkan jutaan telur, maka ikan ini sangat potensial
untuk dibudidayakan.
“Ikan sidat merupakan menu paling mahal di Jepang disebut sebagai unagi tahun 2000-an harga
ikan ini di pasar 700 yen per ekor (saat itu sekira Rp.490 ribu per ekor). Tapi kalau sudah
diolah yang siap makan di restoran harganya 5.000 yen per porsi. Itu hanya orang kaya yang beli
padahal hanya 1 potong,” katanya.
Meski demikian, kata dia, ikan sidat kini mulai menunjukkan pola hidup yang berbeda. Menurut
Yulia, ini bisa disebabkan oleh perubahan iklim atau kondisi air yang tercemar. Selama ini
dilaporkan ikan ini akan muncul di lautan hanya setengah tahun. Namun ternyata berdasarkan
penelitian yang dia lakukan di Muara Sungai Poigar sebelah utara pulau Sulawesi, ikan ini bisa
muncul sepanjang tahun. Selain itu, komposisi spesies ikan sidat yang masuk ke perairan laut
Indonesia pun bisa berbeda. Dalam satu tahun bisa dominan sidat jenis spesies celebesensis,
sedang tahun berikutnya bisa dominan marmorata.
Pengamatan yang dilakukan Yulia bersama empat peneliti dari Jepang selama kurun 1997-1999,
terungkap bahwa pola migrasi sidat Muara Sungai Poigar Sulawesi tercatat ada tiga karakter
spesies sidat yang melimpah. Yakni, jenis anguilla celebesensis, marmorata, dan bicolor pacifica.
Selama tiga tahun penelitian celebesensis merupakan spesies paling melimpah dengan angka
73,5 persen, 79,5 persen, dan 81,9 persen. Marmorata merupakan spesies dengan kelimpahan
nomor dua dengang persentase 23,8 persen, 18,8 persen, dan 17,7 persen. Sedangan bicolor
pasifika hanya 2,7 persen, 1,7 persen, dan 0,3 persen.
“Selama awal bulan, belut laut ini tampak lebih melimpah saat laut pasang ketimbang saat surut.
Dari hasil penelitian ini menemukan bahwa ikan sidat akan menjadi melimpah saat awal bulan
dan saat laut pasang,” katanya.
Namun selama empat tahun terakhir penelitian yang dilakukan Yulia bersama tim peneliti LIPI,
ditemukan pola migrasi yang berbeda dari ikan ini.
Menurut dia, ikan sidat telah mengubah tingkah laku migrasi. Dia bersama tim peneliti baru saja
melaporkan tentang perubahan dominasi spesies. Celebesensis yang sebelumnya tampak
melimpah kini telah digantikan oleh marmorata. Toh meskipun, kata dia, dalam bermigrasi
celebesensis memang lebih dekat ke Indonesia dibandingkan marmorata dan bicolor pasifika.
“Kami menduga perubahan siklus ini karena dia mengikuti siklus perubahan iklim. Jadi mungkin
10 tahun kemudian bisa jadi celebesensis akan dominan lagi. Lha kalau dipengaruhi lagi oleh
perubahan iklim itu bisa berubah sebab spesies yang bermigrasi sangat erat kaitannya dengan
perubahan iklim atau lingkungan. Jadi apabila lingkungan berubah, maka pola migrasinya juga
akan berubah. Misalnya sungainya rusak, tercemar dan lainnya,” paparnya.
Para ilmuwan memang sudah terlanjur khawatir. Bahwa pada 2030 mendatang diperkirakan
banyak spesies akan punah. Namun kenyataannya dilaporkan bahwa Indonesia merupakan
tempat bagi tujuh dari 18 spesies ikan sidat yang ada di dunia.
Bahkan hasil penelitian yang dilakukan Yulia dan Tim LIPI menemukan lima jenis spesies baru
yang karakternya belum pernah di laporkan ada di dunia. Sehingga berpeluang menjadi spesies
baru di luar angka 18 spesies yang telah tercatat tersebut. Selain itu, dia menemukan bahwa
Indonesia tidak hanya menjadi tempat tinggal tujuh spesies sidat, namun juga ditemukan dua
spesies lainnya yang termasuk bagian dari 18 spesies tersebut. Artinya Indonesia berpeluang
ditempati sembilan spesies sidat yang pernah dikenal di dunia.
Tidak hanya itu, spesies moyang dari sidat yakni anguilla borneensis merupakan spesies yang
hanya ada di Indonesia dan statusnya sudah endemis atau terancam punah. Wilayah Indonesia
memang sangat memungkinkan sebagai tempat favorit sidat, karena karakter ikan sidat yang
suka bertelur di wilayah gugusan pulau. Selain itu banyaknya gunung dan danau merupakan
surga bagi ikan ini. Yulia bersama Tim peneliti sempat menemukan ikan sidat yang sudah
berumur 15 tahun dengan ukuran panjang 1,72 meter dan berat 15 kg. Tingkat pertumbuhannya
memang tinggi di daerah tropis.
“Curiga saya jangan-jangan 18 spesies dunia awal penyebarannya dari Indonesia kemudian
menyebar ke daerah lain,” katanya.
Mempelajari pola karakter hidup ikan sidat memang unik. Ikan ini bisa hidup di air tawar
maupun asin, dipercaya inilah yang menyebabkan metabolisme dan daya tahan tubuh ikan ini
menjadi tinggi sehingga kandungan nutrisinya pun tinggi. Ikan sidat dewasa akan bereproduksi
di laut. Sementara jutaan anakan-anakan ikan ini akan bermigrasi mencari muara dan menuju air
tawar dan tinggal di sana selama bertahun-tahun.
Setelah dewasa sidat akan kembali mencari laut untuk bereproduksi begitu terus siklusnya. Ini
terbalik dari ikan salmon yang justru mencari air tawar untuk melakukan reproduksi, dan anakanaknya yang akan bermigrasi mencari laut.
Namun menurut Yulia, memang ada yang berubah dari pola migrasi sidat. Temuan lain yang dia
dapatkan bersama tim peneliti adalah pola migrasi yang tidak sama antara Indonesia bagian
barat, tengah, dan timur.
Penelitian yang dilakukan secara serentak di tiga wilayah tersebut dengan melibatkan banyak
anggota tim peneliti menemukan bahwa musim kemarau merupakan puncak kelimpahan sidat di
Indonesia bagian tengah yakni pada bulan April – Oktober. Namun kebalikannya, justru
Indonesia bagian barat dan timur kelimpahannya rendah saat musim kemarau.
“Jadi kemungkinan ketemu kelimpahannya di musim penghujan. Nah implikasinya buat
pengelolaannya tidak boleh sama. Kebiasaan di Indonesia, jika satu budi dayanya seperti ini
maka yang lainnya juga sama. Padahal musimnya saja beda,” paparnya.
Hingga saat ini, memang eksploitasi ikan sidat masih mengandalkan hasil tangkapan alam.
Biasanya ikan sidat ditangkap saat anakan untuk kemudian diekspor atau pada ukuran yang
sudah besar. Meskipun di Indonesia potensinya memang melimpah dan belum tergali, namun
menurut Yulia hingga saat ini belum ditemukan lokasi di mana ikan sidat ini bertelur dan
bereproduksi. Jika sudah ditemukan lokasi dan karakternya, tentu akan sangat membantu
pengembangan budi dayanya.
Selain itu, dia mengkhawatirkan masih ada spesies lain ikan sidat di negeri ini yang belum
ditemukan. Kekhawatirannya spesies tersebut sudah punah lebih dulu sebelum dilakukan
pencatatan akibat eksploitasi yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan ikan ini.
(Abdul Malik/Sindo/mbs)
http://techno.okezone.com
Ditulis dalam Artikel | Kaitkata: Ikan sidat, pola migrasi
Unagi (sidat) panggang cah paprika
Bahan-bahan:
2 Potong UNAGI (sidat) (kira2 250 gr)
4 buah Paprika Hijau
4 Siung bawang putih
2 cm jahe, keprek
2 sdm Shoyu (Japanese Light Soy Sauce)
1/2 sdt lada bubuk
2 sdm Minyak untuk menumis
75ml air
Saus:
sake, mirin, kecap Jepang, gula pasir.
Cara membuat:
Bersihkan belut, kemudian masak bersama saus.sampai kuah agak mengering, kemudian di
panggang selama 3 menit bolak balik .
1. Tumis bawang putih dan jahe sampai harum
2. Masukkan Unagi panggang.
3. Tambahkan sedikit air, shoyu dan lada bubuk
4. Masukkan Paprika, aduk sebentar
5. Masak hingga kuah mengering, angkat dan sajikan
(The Food of Japan by TAKAYUKI KOSASI).
Resep Unagi (sidat) Donburi
Bahan :



200 gram nasi putih
100 gram unagi, cuci bersih
1 butir telur, dadar
Bahan saus :







200 ml kikkoman soyu
1 sendok makan sake (kalo tidak suka boleh tidak pake)
3 sendok makan mirin
3 sendok makan gula pasir
2 sendok makan madu
1 sendok teh jahe, parut
75 ml air
Cara membuat unagi (sidat) donburi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Panaskan mirin hingga terbakar, tunggu hingga api redup.
Masukkan sake, gula pasir, kikkoman soyu, jahe parut dan madu.
Tambahkan air, masak dengan api kecil hingga saus sedikit berkurang dan agak kental.
Matikan api, ambil unagi, poles dengan saus sedikit demi sedikit.
Panggang dengan api sedang sambil dipoles berulang-ulang hingga unagi matang.
Sajikan bersama nasi putih dan telur dadar.
Ditulis dalam Resep | Kaitkata: Donburi, Resep Unagi
Desa Panikel Cilacap Jadi Percontohan Budidaya Sidat
Selasa, 18 Mei 2010 | 20:06 WIB


Share
Sumber/flickr/cyprinoid
Ikan Sidat (anguilla), bentuknya hampir mirip dengan belut
Cilacap – Ikan sidat ternyata banyak diminati oleh masyarakat luar, khususnya Jepang.
Indonesia sangat berpotensial sekali menjadi salah satu pemasok terbesar ikan sidat, Pemkab
Cilacap berupaya menjadikan desa Panikel, Cilacap menjadi salah satu lokasi percontohan
pemeliharaan benih ikan sidat
Potensi ini menjadi satu pemikiran yang perlu dikaji lebih dalam, saat ini ikan sidat menjadi
pasar terbesar di negara lain, hingga mencapai ratusan ribu ton pertahun pengiriman ikan di luar.
Potensi besar itu karena ikan sidat (Anguilla) membutuhkan lokasi laut dalam untuk bertelur, di
sisi lain juga membutuhkan air payau dan tawar ketika tumbuh dewasa sehingga sangat cocok
dengan kondisi alam maritim Indonesia.
“Potensial tapi belum dikenal masyarakat,” kata peneliti kelautan dari BPPT Iwan Eka Setiawan
pada sosialisasi Kegiatan Program Difusi Teknologi Pemeliharaan Benih Ikan Sidat Teradaptasi
di Cilacap, seperti dikutip dari antarajateng.com.
”Khususnya di sepanjang pantai selatan Jawa, pantai barat Sumatra, pesisir Sulawesi dan
perairan Ambon, tempat penyebaran 12 dari 18 spesies ikan sidat yang ada di dunia,” katanya.
Salah satu lokasi yang dinilai cocok dijadikan kawasan budidaya ikan sidat, menurut dia, adalah
kawasan laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap dengan jenis unggulan Anguilla bicolor
yang mirip dengan spesies Anguilla japonica yang sangat disukai di Jepang. Jepang merupakan
konsumen ikan sidat terbesar dunia, setiap tahunnya membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton
kebutuhan dunia, padahal produksi negara sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun.
Sementara itu peneliti biologi BPPT Dr. Odilia Rovara menambahkan, budidaya ikan sidat perlu
digencarkan, mulai dari pendederan hingga pembesaran, untuk mengembangkan potensi daerah
dan menambah pendapatan nelayan.
(Diolah dari antara.com)
TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN SIDAT BPPT AKAN DITERAPKAN DI
MASYARAKAT
Senin, 05 April 2010 15:02
Indonesia merupakan tempat asal usul beragam spesies Ikan sidat (Anguilla sp.) yang tersebar
di seluruh dunia. Belum banyak nelayan di Indonesia yang mengetahui dan mengembangkan
ikan ini, padahal ikan ini sangat diminati di pasar internasional khususnya Cina dan Jepang.
Masyarakat Jepang menyadari banyaknya manfaat yang terkandung di dalam ikan sidat.
Kandungan energi ikan sidat lebih besar dari telur ayam yang mencapai 270 kkal/100 g,
sementara vitamin A yang terkandung di dalamnya tujuh kali lipat lebih banyak dari yang
terkandung dalam telur ayam hingga mencapai 4700 IU/100 g.
Sejak tahun 1994 BPPT mencoba untuk memetakan dan mencari spawning ground ikan sidat
jenis Anguilla bicolor bicolor yang masih berupa glass eel dan elver. Siklus hidup ikan sidat ini
berbanding terbalik dengan ikan salmon. Ikan sidat dewasa akan mengeluarkan telurnya di laut
dalam, kemudian setelah menjadi glass eel dan elver, akan berpindah ke air tawar atau payau.
Baru setelah menjadi dewasa ikan ini akan bermigrasi kembali ke laut dalam untuk melakukan
proses pemijahan, tutur Perekayasa Bidang Teknologi Pengelolaan Pengembangan Wilayah dan
Pengembangan Kawasan, BPPT Odilia Rovara, Senin (5/04).
Selama ini, menurut Odilia, belum ada pihak yang mampu melakukan budidaya dan pemijahan
ikan sidat. Di Jepang sendiri dengan tingkat konsumsi ikan sidat yang tinggi belum berhasil
melakukan pemijahan buatan. Dalam proses pemetaan spawning ground, kita berhasil
memetakan glass eel dan betinanya saja, tetapi kami kesulitan dalam menemukan ikan sidat
jantan yang akan membuahi. Kondisi itulah yang menyebabkan mengapa hingga saat ini belum
ada pihak yang berhasil melakukan pemijahan.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa daerah spawning ground
terkonsentrasi di Perairan Mentawai, Sumatera Barat. Melalui arus laut, larva ikan sidat tersebut
diketahui banyak ditemukan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan di Segara Anakan, Cilacap.
Kenapa di kedua daerah tersebut? Karena daerah-daerah tersebut memiliki perairan mangrove
yang memang merupakan habitat ikan sidat sebelum menjadi dewasa dan siap kembali
bermigrasi ke laut dalam jelas Odilia.
Mulai dari tahun 2007, Tim BPPT yang terdiri dari Odilia Rovara, Iwan Eka Setiawan, Husni
Amarullah dan Dedi Yaniharto bekerjasama dengan Kantor Pengelola Sumberdaya Konservasi
Segara Anakan (KPSKSA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Balai Besar Pengembangan Budidaya
Air Tawar (BBPBAT) di Sukabumi dan mitra industri lainnya, mencoba membudidayakan benih
ikan sidat teradaptasi di Desa Panikel, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap.
Dikarenakan kami tidak bisa menemukan ikan sidat jantan untuk melakukan pembuahan,
akhirnya kami mencoba menjantankan benih-benih ikan sidat dengan mengkondisikan benih
ikan sidat, selain juga melakukan penambahan hormon metiltestosteron. Hasilnya, kami berhasil
melakukan penjantanan ikan sidat yang nantinya akan menjadi induk, katanya.
Berbicara tentang kualitas, Odilia mengatakan bahwa masyarakat Jepang sangat mengutamakan
faktor kualitas. Pada umumnya yang mereka inginkan adalah ikan sidat ukuran 50 gram.
Selanjutnya mereka lah yang akan membesarkan ikan sidat tersebut hingga ukuran yang mereka
inginkan. Dengan itu, rasa dan kualitas daging ikan sidat akan terjaga dengan baik.
Ketidaktahuan masyarakat terhadap potensi ikan sidat menyebabkan harga ikan sidat dipasaran
dalam negeri sangatlah murah. Untuk satu kilogram, hanya dibutuhkan uang sebesar Rp. 300
ribu, padahal di Jepang satu ekor benih ikan sidat dihargai sebesar ¥ 3. Hal ini menunjukkan
bahwa pasar ikan sidat internasional terutama Jepang sangat menjanjikan.
Tahun 2010 ini BPPT akan mencoba untuk melakukan alih teknologi pemeliharaan ikan sidat
teradaptasi. Jadi, benih ikan sidat yang berhasil dibiakkan akan disosialisasikan kepada
masyarakat, terutama nelayan. Setelah sosialisasi, kemudian kami juga akan mengadakan
pelatihan bagi instruktur dan nelayan itu sendiri. Diharapkan setelah itu masyarakat dan nelayan
Segara Anakan dapat mengembangbiakkan sendiri benih ikan sidat hingga ukuran 50 gram dan
dapat diekspor ke negara-negara konsumen ikan sidat. Hal ini tentunya akan meningkatkan nilai
tambah produk dalam negeri yang nantinya juga dapat berimbas pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat, kata Odilia. (YRA/humas)
Sidat Bengkulu Komoditi yang Belum Tergarap
TPG Images
Sidat
Sabtu, 15/11/2008 | 16:25 WIB
BENGKULU, SABTU - Ikan sidat yang banyak terdapat di sungai, muara, dan laut Bengkulu
memiliki kualitas ekspor yang hingga kini belum dimanfaatkan, kata Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bengkulu, Maman Hermawan.
"Kita memiliki potensi ikan sidat yang sangat besar, namun selama ini belum dimanfaatkan,"
katanya di Bengkulu, Sabtu.
Informasi dari nelayan setempat, mereka bisa menangkap sidat sebanyak 60 ton per minggu, jika
sedang musim bertelur, saat ikan itu berada di laut. Sidat merupakan ikan berbadan panjang,
sejenis belut namun memiliki kuping, bisa hidup di laut dan air tawar.
Habitat asli ikan tesebut berada di sungai dan muara, namun ketika akan bertelur turun ke laut
yang paling dalam. Setelah menetas, anak sidat akan kembali naik ke sungai dan muara sampai
besar.
Selama ini, sidat hasil tangkapan nelayan hanya dioleh menjadi ikan asin dan dijual di sekitar
Provinsi Bengkulu. Padahal itu, merupakan salah satu komiditas ekspor dan banyak diminati
terutama pasar di Jepang.
"Saya sedang menginventarisasi berapa banyak sidat hasil tangkapan nelayan, rencananya kita
akan mengupayakan agar bisa diekspor terutama ke Jepang," katanya.
Untuk tempat bertelur, kata dia, kebanyakan di wilayah perairan Enggano, yang memang lautnya
sangat dalam, namun habibat ketika tidak sedang bertelur berada di hampir seluruh sungai dan
muara yang ada di Provinsi Bengkulu.
"Di Bengkulu banyak sungai besar yang bermuara ke laut, sehingga ikan sidat pada saat musim
bertelur turun ke laut," katanya.
Mengenai budidaya sidat, menurut dia, hingga kini di Indonesia belum ada yang
membudidayakan ikan itu. Yang ada hanya pembesaran yang berlokasi di Karawang, Jawa
Barat.
"Belum ada budidaya, yang ada hanya pembesaran, yakni mengambil bibit sidat dari laut
kemudian dibesarkan di penangkaran," katanya.
Maman juga memprogramkan untuk membangun tempat pembesaran ikan sidat di Bengkulu.
Terkait dengan rencanan itu pihaknya telah melakukan studi banding ke Karawang.
"Saya juga akan membawa contoh ikan sidat ke Departemen Kelautan dan Perikanan, sekalian
mengusulkan agar pusat membangun tempat pembersaran ikan tersebut di Bengkulu," katanya.
Related documents
Download