Oseana, Volume XIX, Nomor 4: 13-21 ISSN 0216

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XIX, Nomor 4: 13-21
ISSN 0216-1877
USAHA PEMBENIHAN UNTUK PELESTARIAN SUMBERDAYA TERIPANG
1)
Oleh
Prapto Darsono 2)
ABSTRACT
EFFORT ON HATCHERY REARED JUVENILES FOR SUSTAINABLE RESOURCES OF TREPANG. Trepang fishery has been practiced in Indonesia for many years
intensively. Trepang is a potential comodity for export. Fishermen collected such product
from natural stock. The way how they exploit trepang is causing depleted resources.
Effort on growing out of collected juvenile trepang in pen-culture has been done. This
method is still facing problem, of availability the juvenile. To anticipate this problem, to keep
continous production, and to sustain the resources, hatchery reared juveniles of trepang is
needed. Trepang hatchery has been initiated, but some problems have to be solved in
advanced in order to produce juveniles quantitatively and qualitatively. The problems
such as sexual dimorphism, size at first maturity, fecundity of broodstock have not been
clearly identified yet, besides the rearing technique that still needs further study.
PENDAHULUAN
Produk teripang merupakan salah satu
hasil laut yang telah lama menjadi komoditas
perdagangan internasional (SLOAN 1985;
EYS 1986; AZIZ 1987; CONAND & SLOAN
1989). Kebutuhan akan produk ini cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Sampai saat
ini produksi tergantung dari hasil pemungutan/
penangkapan stok alami oleh para nelayan.
Meningkatnya permintaan mendorong
peningkatan upaya eksploitasinya. Pengumpulan tidak terbatas pada jenis-jenis berkualitas
"baik". bahkan sudah pada tingkat
"sembarang" jenis dan juga ukurannya.
Keadaan ini telah mengakibatkan penurunan
stok populasi yang ditandai dengan makin
sulitnya upaya pengumpulan. Teripang di alam
semakin langka dan sulit ditemukan.
Dikhawatirkan pada suatu saat sumberdaya
teripang ini bisa mengalami kepunahan. Salah
satu usaha pengelolaan perikanan teripang ini
secara lestari yaitu dengan pengayaan stok
(stok enhancement) dengan menebarkan "bibit"
ke habitat tempat hidupnya. Untuk tujuan
tersebut diperlukan usaha pembenihan.
Upaya pembenihan telah dilakukan di
beberapa negara seperti Cina, India dan Jepang
(JAMES 1988; UNDP & FAO 1991). Upaya
pembenihan, meski masih pada tahap awal,
1) Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis bidang Peternakan dan Perikanan
pada Pelita VI, Semarang, 1 September 1994.
2) Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sudah dirintis di Indonesia (NOTOWINARTO & PUTRO 1991, 1992;
MAKATUTU et al. 1993; DARSONO et al
1994). Sampai tingkat tertentu usaha
pemeliharaan larva sudah bisa dilakukan dan
menghasilkan "benih". Namun usaha ini
masih perlu dikembangkan untuk mencapai
target kuantitas dan kualitas. Pada tahap
awal sasaran pembenihan adalah untuk
tercapainya penyediaan benih teripang untuk
pengayaan stok alami.
PERIKANAN TERIPANG DI
INDONESIA
Informasi perikanan teripang di Indonesia yang umumnya berskala kecil, sering
tidak akurat. Produk ini dikategorikan sebagai
produk "miscellaneous". Perkiraan produksi
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
diragukan oleh banyaknya hasil tangkapan
yang tidak tercatat/dilaporkan (DARSONO
1993). Produk teripang meskipun berfluktuasi
namun cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Daerah penghasil teripang yang
memberi kontribusi besar dalam statistik
perikanannya yaitu Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya
(DIT. JEN. PERIKANAN 1993).
Jenis-jenis teripang komersil utama
yang dieksploitasi di Indonesia umumnya dari
suku Holothuriidae dan Stichopodidae, meliputi
marga Holothuria, Actinopyga, dan Thelenota
(Tabel 1.) (SLOAN 1985; AZIZ 1987).
Pada waktu akhir-akhir ini pengumpulan
juga dilakukan terhadap jenis-jenis yang
berkualitas
rendah
seperti
Stichopus
variegatus, S. chlorontus, Bohadschia argus,
dan B. marmorata (DARSONO 1993).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pemasaran utama produk teripang
adalah sebagai komoditas ekspor dengan pasar
utama ke Hongkong, Singapura, dan Taiwan
(EYS 1986; CONAND & SLOAN 1989).
Data statistik yang dihimpun oleh TUWO &
CONAND (1992) menunjukkan bahwa
produksi tahunan meningkat lima kali antara
tahun 1981 dan 1987. Sesudah itu produksi
tetap stabil sekitar 4700 ton per tahun.
Berdasarkan sumber informasi tersebut, maka
puncak produksi terjadi pada tahun 1988,
sebagian besar produk diekspor ke Hongkong.
Data perkiraan jumlah stok belum
pernah terdokumentasikan secara baik, dan
tidak ada satu jenis teripang yang sudah
dikelola. Perikanan dengan pengusahaan yang
mudah, menyebabkan penurunan stok alami
akan terjadi dengan cepat. Hal ini bisa
mematikan usaha perikanan sumberdaya
tersebut, kecuali panenan betul-betul
terkontrol. Sementara itu pertumbuhan
teripang saat ini dipelajari dengan baik.
Keadaan perikanan teripang saat ini tidak
memperlihatkan potensi produksi maupun
nilai ekonominya. Pengelolaan sumberdaya
teripang perlu dilakukan, untuk pemanfaatan
secara optimal dan lestari. Pengelolaan tersebut
seperti penutupan wilayah penangkapan pada
waktu/musim tertentu (musim pijah) yang
berkaitan dengan siklus hisup jenis teripang
tersebut, dan pembatasan ukuran maupun
jumlah hasil tangkap, seta penggunaan jenis
dan ukuran alat tangkap (RACHMANSYAH
& HANAFI 1992).
Perikanan teripang di Indonesia, seperti
di daerah tropik pada umumnya, adalah
"multispecies" dan bersifat tradisional.
Pengetahuan kita tentang populasinya masih
menjadi kendala untuk
mendasari
pengelolaannya. Panenan tidak bisa diprediksi
tanpa estimasi pertumbuhan, rekruitmen dan
mortalitas. Pengelolaan sumberdaya teripang
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
perlu dipikirkan sebagai bagian dalam program pengelolaan terumbu karang secara
menyeluruh (CONAND & SLOAN 1989).
Dalam pada itu perlu dipelajari sifat biologi
dan siklus hidup jenis-jenis yang komersil
(dieksploitasi)
(DARSONO
1988;
SIPAHUTAR et al 1989; RONDO 1991).
Usaha pembesaran "bibit" teripang
yang masih berukuran kecil, yang
dikumpulkan dari alam telah banyak
dilakukan. Pembesaran dilakukan didalam
wadah "hampang" atau kurung tancap (pen
culture). Usaha budidaya ini masih
menghadapi berbagai kendala, seperti aspek
kontruksi hampang itu sendiri, tersedianya
pasok benih, makanan/ransum dan
pengeloaannya, maupun mortalitas atau
kehilangan
yang
cukup
tinggi
(RACHMANSYAH & HANAFI 1992).
PEMBENIHAN DAN
PERMASALAHANNYA
Sifat perikanan teripang di Indonesia yang
"multispecies", perlu diberikan perhatian
terhadap beberapa jenis utama. Jenis utama
ini umumnya mempunyai harga yang tinggi
dan sudah sulit ditemukan. Teripang pasir,
Holothuria scabra Jaeger, merupakan jenis
yang diburu dan berharga tinggi
(SIPAHUTAR et al 1989; RONDO 1991).
Jenis ini dipilih oleh beberapa peneliti untuk
melakukan
percobaan
pembenihan
(NOTOWINARTO & PUTRO 1991, 1992;
MAKATUTU et al 1993; DARSONO et al
1994). Pembenihan jenis ini telah berhasil
dilakukan di India (JAMES et al 1988),
sehingga memberikan kepastian industri
teripang disana secara berlanjut. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian dan pengamatan
tersebut, berikut ini dikemukakan tehnik dan
kendala usaha pembenihannya
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pemilihan dan Pemeliharaan Induk
Pemilihan induk (broodstock)
merupakan langkah pertama untuk
keberhasilan pemijahan. Kendala utama dalam
pemilihan induk teripang ini pada ukuran
berapa induk tersebut sudah "matang gonad"
(mature), disamping belum ada kepastian
mana yang jantan dan mana yang betina.
Teripang bersifat "gonochoristic1" ada individu
jantan dan individu betina, meski tidak terlihat
adanya dimorfisma kelamin. Sementara ini
untuk jenis teripang pasir tersebut, dipilih
individu dengan ukuran berat total lebih dari
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
400 gram sebagai stok induk. Untuk pemijahan
didasarkan pada asumsi bahwa sekelompok
individu teripang selalu ada jantan dan betina
(NOTOWINARTO & PUTRO 1991;
DARSONO et al. 1994).
Spesimen induk (Gambar 1) yang
dikumpulkan dari alam ditampung dalam
wadah penampungan sebelum perlakuan
pemijahan. Dalam penampungan untuk
dipijahkan, induk-induk tersebut hams dijaga
jangan sampai terluka maupun terkena
penyakit, dan digunakan air yang berkualitas
baik (UNDP & FAO 1991).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pemijahan.
Secara alami bila gonad telah matang
(mature), teripang jantan dan betina akan
memijah tanpa adanya rangsangan. Pemijahan
buatan (artificial breeding/ induced spawning) bisa dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain "stripping1" "thermal shock" dan
"desication and flowing water" (UNDP &
FAO 1991).
Cara yang dilakukan oleh NOTOWINARTO & PUTRO (1991, 1992) maupun
DARSONO (1994) adalah modifikasi cara
thermal shock.Metode ini disebut sebagai
"manipulasi lingkungan"' yang pada prinsipnya
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
adalah "menjemur" teripang pada siang hari.
Induk teripang ditempatkan pada nampan
(tray) yang digantung sebatas permukaan air
kolam/laut sehingga terbuka terhadap terik
matahari. Pada sore harinya induk-induk
tersebut diangkat ditempatkan pada wadah
(waskom 60 liter) yang dialiri air laut dengan
keadaan suhu alami setempat (ambient).
Cara ini telah menunjukkan keberhasilan
pemijahan dan terjadi pembuahan yang
selanjutnya berkembang menjadi larva. Pada
Tabel 2 disajikan hasil pemijahan yang
dilakukan oleh DARSONO et al. (1994).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pemeliharaan larva.
Pemeliharaan larva adalah fase berikut
setelah berhasil pemijahan. Telur-telur yang
telah dibuahi "dicuci" untuk menghindari
polispermi. Telur yang telah dibuahi akan
berkembang melalui gastrulasi menjadi larva
Auricularia. Ada empat fase perkembangan
dari telur menjadi burayak (juvenile) teripang
(CHEN & CHAN 1990; NOTOWINARTO
& PUTRO 1992; DARSONO et al. 1994).
Setelah fase Auricularia, metamorfose kefase
Doliolaria, fase Pentactula, kemudian
berkembang menjadi burayak teripang muda.
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
Perkembangan dari telur yang dibuahi menjadi
burayak teripang, (Gambar 2) untuk jenis
teripang pasir (Holothuria scabra), diperlukan
waktu + 50 sampai 60 hari. Waktu dan fase
perkembangan telur dan larva teripang pasir
di laboratorium diiktisarkan pada Tabel 3
(DARSONO et al. 1994). Karena ukurannya
yang mikroskopis pemeliharaan larva menjadi
sangat sulit. Mortalitas ditemukan masih
sangat tinggi, untuk ini diperlukan kajian
yang berlanjut untuk meningkatkan kelulusan
hidup (survival rate) rate menjadi burayak.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 3. Waktu dan fase perkembangan telur dan larva teripang pasir (H. scabra)
di laboratorium (DARSONO et al 1994)
Larva Auricularia dan Doliolaria
bersifat planktonik, sedang larva Pentactula
mulai mengendap (settling) menempel pada
suatu substrat, burayak teripang sudah bersifat
bentik. Pakan yang diberikan untuk
pemeliharaan larva tersebut adalah pakan
hidup algae sel tunggal seperti Dunaliella
sp., Chaetoceros sp., Isochrysis sp.,
Nannochloropsis sp. dan Tetraselmis sp.
(NOTOWINARTO & PUTRO 1992;
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
MAKATUTU et al. 1993; DARSONO et al.
1994). Penyiapan dan penyediaan pakan ini
merupakan pekerjaan tersendiri yang
merupakan bagian dari rangkaian pengelolaan
pemeliharaan larva. Pemeliharaan larva dapat
dilakukan dalam berbagai ukuran volume
wadah/bak pemeliharaan, tergantung
keperluan, dengan kepadatan tebar antara 400
sampai 700 individu/liter.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Permasalahan Umum
Belum diketahuinya dimorfisma
kelamin pada teripang masih menjadi kendala
untuk memperoleh kepastian induk jantan
dan betina dalam usaha pemijahan.
Pengetahuan aspek biologi suatu jenis teripang
target perlu dipelajari untuk mengetahui kapan
dan pada ukuran berapa sudah matang gonad,
maupun bagaimana periodisitas pijahnya di
alam. Hal ini penting menyangkut ihwal
pemilihan induk.
Tehnik pemeliharaan larva masih perlu
terus menerus dikembangkan agar diperoleh
teknologi pembenihan yang tepat dan
ekonomis. Tehnik tersebut harus
menghasilkan kelulusan hidup yang tinggi
dalam pemeliharaan larva menjadi burayak.
Pengkajian dan penelitian perlu dilakukan
menyangkut aspek metode, jenis pakan dan
cara pemberiannya, maupun lingkungan
pemeliharaan (kualitas air) dsb.
DAFTAR PUSTAKA
AZIZ, A. 1987. Beberapa catatan tentang
perikanan teripang di Indonesia dan
kawasan Indo-Pasifik Barat. Oseana
12 (2) : 68 - 78.
CHEN, C.P. and C.S. CHIAN 1990. Larval
development of the sea cucumber,
Actinopyga echinites, (Echinodermata,
Holothuroidea). Bull. Inst. Zoo I.
Academica Sinica 29 (2) : 127 - 133.
CONAND, C. and N.A. SLOAN 1989. World
fisheries for echinoderm. In : Marine
Invertebrate Fisheries, their assessment and management. (J.F. Caddy,
ed.). John Wiley & Sons, Inc. : 647 663.
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
DARSONO, P. 1988. Pengamatan
pendahuluan terhadap teripang lotong,
Actinopyga
miliaris
(Quoy
&
Gaimard), di Pulau Pari. Dalam :
Teluk Jakarta - Biologi, Budidaya,
Oseanografi, Geologi, dan Kondisi
Perairan. Proy. Lit. Bang. Sumberdaya
Laut, Puslitbang. Oseanologi - LIPI,
Jakarta : 43 - 47.
DARSONO, P. 1993. Status perikanan
teripang di Indonesia. Makalah
disampaikan pada Simposium
Perikanan Indonesia I, Jakarta, 25 - 27
Agustus 1993.
DARSONO, P.; SUTOMO dan SOEKARNO
1994. Penelitian budidaya teripang
Holothuria scabra Jaeger. Laporan
teknis,
Kerjasama
Puslitbang
Oseanologi - LIPI dan BBL - Lampung,
Ditjen. Perik., Dept. Pertanian. 62 hal.
(tidak diterbitkan).
DIREKTORAT JENDRAL PERIKANAN
1993. Statistik Perikanan Indonesia
no. 21, 1991. Dit. Jen. Perikanan,
Dept. Pertanian, Jakarta.
EYS, E. Van 1986. The international market
for sea cucumber. Infofish, . 5/86 : 41
- 44.
JAMES, D.B.; M.E. RAJAPOMDIAN; B.K.
BASKAR and C.P. GOPINATHAN
1988. Succesful induced spawning and
rearing of the holothurian Holothuria
(Metriatyla) scabra Jaeger at Tuhcorin.
Mar. Fish. Inform. Service 87 : 20 -23.
MAKATUTU, D.; YUNUS dan I. RUSDI
1993. Penggunaan beberapa jenis
makanan alami terhadap pertumbuhan
dan kelangsungan hidup larva teripang
pasir, Holothuria scabra. J. Penel.
Budidaya Pantai 9 (3) : 97 - 103.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
NOTOWINARTO dan D.H. PUTRO 1991.
Tehnik pembenihan teripang. Bull.
Budidaya Laut, : 33 - 36.
NOTOWINARTO dan D.H. PUTRO 1992.
Pengamatan
pendahuluan
perkembangan larva teripang putih
(Holothuria scabra). Bull. Budidaya
Laut 5 : 15 - 19.
RACHMANSYAH dan A. HANAFI 1992.
Review perikanan teripang di
kabupaten Pangkep, Kolaka, dan
Maluku Utara. Prosiding Lokakarya
Ilmiah Potensi Sumberdaya Perikanan
Maluku, Balit. Perik. & Budidaya
Pantai, Maros : 134 - 146.
RONDO, M. 1991. Pertumbuhan dan produksi
teripang pasir (Holothuria scabra)
dalam petakan jaring di perairan pantai
pulau Mantehage, Sulawesi Utara. J.
Fak. Perik. Unsrat 1 (4) : 1 - 5.
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
SIPAHUTAR, D.; KUSDIARTI dan
SOEHARMOKO 1989. Pengamatan
pendahuluan teripang pasir (Holothuria
scabra) di perairan Bintan Selatan,
Kepulauan Riau. J. Penel. Budidaya
Pantai 5 (1) : 13 - 18.
SLOAN, N.A. 1985. Echinoderm fisheries of
the world : A review. Proceed. Fifth
Internat. Echinoderm Conference,
Galway 24 - 29 September 1984 : 109 124.
TUWO, A. and C. CONAND 1992. Development in Beche-de-mer production in
Indonesia
during the last decade.
Beche-de-mer, Inform. Bull. 4, July
1992 : 2 - 3.
UNDP & FAO 1991. Training manual on
Breeding and Culture of Scallop and Sea
Cucumber in China. Yellow Sea
Fisheries Research Institute in Qingdao,
People's Republic of China, training
manual 9 : 83 pp. (Unpublished).
Download