IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU (UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN KEJAHATAN INTERNASIONAL SKRIPSI Disusun Oleh : IKBAL TAUFIK E1A010219 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU (UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN KEJAHATAN INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun Oleh : IKBAL TAUFIK E1A010219 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 LEMBAR PENGESAHAN IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU (UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN KEJAHATAN INTERNASIONAL Disusun Oleh : IKBAL TAUFIK E1A010219 Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Isi dan Format telah diterima dan disetujui pada tanggal 24 Februari 2015 Para Penguji/Pembimbing Penguji I, Pembimbing I, Penguji II, Pembimbing II, Penguji III, Prof. Dr. Ade Maman S., S.H., M.Sc. NIP. 19670711 199512 1 001 Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum NIP. 19600426 198702 2 001 Aryuni Yuliantiningasih, S.H., M.H. NIP. 19710702 199802 2 001 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum, Dr. Angkasa, S.H., M.Hum NIP. 19640923 198901 1 001 ii LEMBAR PERNYATAAN Saya, yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : IKBAL TAUFIK NIM : E1A010219 JUDUL : IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP (UNWILLING) DAN TIDAK DALAM PENYELESAIAN TIDAK MAMPU MAU (UNABLE) KEJAHATAN INTERNASIONAL. : Menyatakan bahwa skripsi yang saya susun adalah hasil karya saya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain. Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia bertanggungjawab sesuai ketentuan yang berlaku. Purwokerto, 24 Februari 2015 IKBAL TAUFIK NIM. E1A010219 iii ABSTRAK Penegakan hukum atas kejahatan internasional, pada dasarnya menjadi tanggungjawab dari negara yang bersangkutan. Negara ada kalanya dianggap tidak mau (unwilling), bahkan dianggap tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kriteria suatu negara dapat dianggap tidak mau dan tidak mampu, dalam penyelesaian kejahatan internasional. Penelitian ini juga untuk mengetahui bagaimana implementasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, terhadap negara yang dianggap tidak mau dan tidak mampu. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan historis. Hasil penelitian, bahwa negara yang dianggap tidak mau adalah negara yang pada dasarnya mampu, tetapi ada upaya untuk melindungi pelaku, penangguhan tidak dibenarkan, dan tidak independen. Negara yang dianggap tidak mampu adalah negara yang mengalami keruntuhan sistem hukum nasionalnya baik secara penuh ataupun substansial. Implementasi Statuta Roma 1998 terhadap Negara Pihak, bisa atas inisiatif Negara Pihak, Penuntut Umum, dan Dewan Keamanan PBB, sedangkan terhadap negara bukan pihak dalam Statuta Roma 1998, dapat dengan inisiatif negara yang bukan pihak dan Dewan Keamanan PBB. Kata Kunci: Statuta Roma 1998, Kejahatan Internasional, Mahkamah Pidana Internasional. iv ABSTRACT Enforcement of international crimes, basically be the responsibility of the state concerned. States are sometimes considered unwilling, even considered unable in the settlement of international crimes. The purpose of this study to determine the criteria in which a state can be considered unwilling and unable, in the settlement of international crimes. This study was also aimed to find out how the implementation of the Rome Statute of the International Criminal Court in 1998, against a state that is considered unwilling and unable. The approach used in this research was normative juridical, with the statute approach, case approach, and historical approaches. The results of the study showed that the state that was considered unwilling was actually a state that was basically were able, however there was not an effort to protect the perpetrators, the suspension was not justified, and not independent. States that were regarded unable were the states that had collapsed in the national legal system either in completely or substantially. Implementation of the Rome Statute in 1998 against the State Party can be initiated by the State Party, the Prosecutor, and the UN Security Council, while, on the other hand, if implemented against non-Party states in the Rome Statute of 1998, can be initiated by other non-Party states and also UN Security Council. Keywords: Rome Statute of 1998, International Crimes, International Criminal Court. v KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahim Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang memberikan keselamatan kepada umatnya sampai akhir zaman, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) berjudul: IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU (UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN KEJAHATAN INTERNASIONAL. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, arahan, saran dan kritik dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyusun pada kesempatan ini akan menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, dan Dosen Pembimbing Akademik; 2. Prof. Dr. Ade Maman S., S.H., M.Sc., selaku Kepala Bagian Hukum Internasional, dan Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini; 3. Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan bimbingan, arahan, bertukar pikiran dalam penyusunan skripsi ini; vi 4. Aryuni Yuliantiningasih, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan demi penyempurnaan dalam penyusunan skripsi ini; 5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah berkontribusi dalam perkembangan pemikiran penyusun; 6. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Seodirman; 7. Staf Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, dan Staf United Nations Information Centre Jakarta, yang telah membantu dalam pengumpulan data untuk penyusunan skripsi; 8. Kedua orang tua dan saudara-saudara penyusun yang In Shaa Allah selalu dalam kasih sayang Allah SWT, yang selalu memberikan kepercayaan, dorongan, dan kesabaran dalam setiap keputusan yang diambil oleh penyusun. 9. Seluruh Aktivis UKI (Unit Kerohanian Islam) Fakultas Hukum, UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Jenderal Soedirman, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), Tarbiyah Holic, dan aktivis dakwah kampus pada umumnya, yang telah berproses bersama. 10. Rekan seperjuangan dalam penyusunan skripsi; 11. Rekan-rekan penyusun yang selalu memberikan motivasi dan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung; 12. Pihak-pihak lainnya yang oleh penyusun tidak bisa disebutkan satu persatu; vii Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan yang dimiliki penyusun. Penyusun berharap semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua. Purwokerto, 24 Februari 2015 Penyusun, IKBAL TAUFIK viii DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL ....................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………….. ii LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………. iii ABSTRAK ………………………………………………………… vi ABSTRACT v ………………………………………………………. KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ……………………………………………. vi .................................................................................... ix BAB I. PENDAHULAUAN A. Latar Belakang ………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah ............................................................ 12 C. Tujuan Penelitian ………………………………………. 12 D. Kegunaan Penelitian …………………………………… 12 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional ……… 14 B. Kejahatan Internasional/Tindak Pidana Internasional …... 49 C. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) ……………………………………………… ix 56 BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan …………………………………… 62 ………………………………….. 62 ………………………………………. 63 D. Sumber Data ……………………………………………. 63 E. Metode Pengumpulan Data ……………………………. 64 F. Metode Penyajian Data ………………………………… 65 G. Metode Analisis Data 65 B. Spesifikasi Penelitian C. Lokasi Penelitian ………………………………….. BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kriteria Suatu Negara Dianggap Tidak Mau (Unwilling) atau Tidak Mampu (Unable) Dalam Penyelesaian Terhadap Kejahatan Internasional …………………….. 66 B. Implementasi Statuta Roma 1998 Terhadap Negara Yang Dianggap Tidak Mau (unwilling) atau Tidak Mampu (unable) ………………………………………………… 108 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………. 124 B. Saran ……………………………………………………. 125 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fokus hukum internasional tertuju pada hukum internasional publik bukan hukum perdata internasional, dimana hukum internasional publik merupakan kaidah-kaidah atau asas-asas yang mengatur hubungan antar-negara, bukan hubungan perdata. Perkembangan hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar-negara, tapi mengatur pula hubungan negara dengan subjek hukum bukan negara, pun subjek hukum bukan negara dengan subjek hukum bukan negara, sehingga hubungan internasional yang diatur dalam hukum internasional dalam perkembangannya tidak hanya dimonopoli oleh negara, tapi oleh subjek hukum bukan negara. Seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja: Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: (1) negara dengan negara (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.1 Subjek hukum bukan negara yang dimaksud bisa berbentuk Non Government Organization (NGO’s), International Government Organization (IGO’s), Vatikan/Tahta Suci, International Committee of 1 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Edisi kedua, Alumni, Bandung, hlm. 4. 2 Red Cross (ICRC), Organisasi Pembebasan suatu Bangsa, Individu dan lain-lain. Perkembangan praktik kontemporer, subjek hukum internasional yaitu individu, tidak kalah perannya dengan negara berdaulat untuk mengikatkan diri dan perannya dalam hukum internasional, sehingga sangat perlu diatur dalam yurisdiksi hukum internasional. Pemberlakuan hukum internasional jelas akan berdampingan bahkan bisa menyebabkan benturan dengan hukum nasional suatu negara, tentunya keadaan seperti ini dapat dijelaskan dengan meninjau kembali titik awal pandangan voluntaire dan objektif mengenai hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan voluntaire menjelaskan bahwa berlakunya hukum internasional atas keinginan suatu negara sehingga melahirkan teori dualisme dan pandangan objektif bertolak bahwa berlakunya hukum internasional tidak perlu ada kehendak dari negara sehingga melahirkan teori monisme. Kedua teori atau faham tersebut sama kuatnya, dan kedua faham itu tidak luput pula dari kelemahan yang ada. Perkembangan faham monisme dengan primat hukum internasional misalnya, khususnya dalam bentuk perjanjian internasional multilateral yang dibentuk di bawah Perserikatan Bangsabangsa, ketika suatu negara sudah meratifikasi. Ini menjadi hal yang menarik dimana terbentuk hierarki antara hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasional harus menjadi titik acuan pengaturan dan penerapan hukum nasional. 3 Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional, bukan hanya mengatur subjek-subjek hukum dalam keadaan damai, tetapi juga saat terjadi guncangan dalam hubungan internasional, sehingga dengan banyak dan semakin kompleksnya kejadian-kejadian terutama setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II maka masyarakat internasional merasakan sangat perlu dibentuknya perjanjian internasional yang menjadi salah satu manifestasi asa dan cita untuk terwujudnya perdamaian dalam hubungan di ranah nasional dan internasional. Banyak ilmuwan hukum yang sudah mencoba merumuskan kaidah-kaidah yang bisa ditaati oleh semua masyarakat internasional, diawali dengan perumusan perjanjian-perjanjian internasional sebelum Perang Dunia I. Perjanjian-perjanjian itu tereduksi dengan pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, dengan pengalaman ini dibentuklah LBB dengan convenant atas prakarsa Presiden Amerika Serikat, tapi yang disayangkan pada saat itu dua kutub kekuatan dunia tidak ikut bergabung, meski Presiden Amerika sendiri yang menggagas pembentukan Liga Bangsa-Bangsa.2 Pecahnya Perang Dunia II merupakan simbol kegagalan LBB dalam menjaga perdamaian dunia, sehingga pada tahun 1946 LBB resmi bubar. Periode berikutnya yaitu setelah pecahnya Perang Dunia II, terutama perkembangannya yang difokuskan pada Hukum dan Hak Asasi Manusia dari tahap preventif dan represif. 2 Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI-Press, Jakarta, hlm. 244. 4 Pelanggaran terhadap hukum terutama Pasca Perang Dunia II cukup memperlihatkan bahwa penghormatan terhadap kadah-kaidah hukum internasional sangatlah kurang, terutama yang dicontohkan oleh negara-negara yang memiliki posisi sentral atau negara-negara yang bisa diminta pertanggungjawaban pada saat pecahnya Perang Dunia II. Secara garis besar, negara yang terlibat dalam peperangan tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kubu, yaitu pertama, kubu yang memiliki faham fasis dalam praktik berdasarkan tujuh ide pokok, seperti Negara Jerman, Italia dan Jepang. Ketujuh ide pokok tersebut adalah: irrasionalisme, darwinisme sosial, nasionalisme, negara, prinsip kepemimpinan, rasialisme (lebih penting dalam sosialisme nasional dibanding dalam fasisme), anti komunisme. 3 Kedua, kubu negara non fasis. Negara-negara sekutu yang memiliki faham non fasis adalah Negara Amerika Serikat, Uni Soviet, Perancis, Inggris dan negara sekutu lainnya. Dinamika Perang Dunia II bukan hanya berhenti pada saat negara-negara penganut faham fasis jatuh dalam kekalahan. Kekalahan Jepang ditandai secara simbolik dengan dijatuhkannya bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki, sedangkan kekalahan NAZI Jerman ditandai dengan Jerman menyerah tanpa syarat, berakhirnya perang di Eropa dan pembebasan Ghetto Theresienstadt4 pada 7 Mei 1945. Dinamika peristiwa yang paling bersejarah dan menjadi titik balik dan awal lahirnya prinsip-prinsip hukum 3 Lyment Tower Sargent, Henry Sitanggung (penerjemah), 1984, Ideology-ideologi Politik Kontemporer: Sebuah Analisis Komparatif, Erlangga, Jakarta, hlm. 156. 4 Stephane Downing, Dwi Ekasari Ariani (penerjemah), 2007, Holocaust; Fakta atau Fiksi, Media Pressindo, Yogyakarta, hlm. 172. 5 internasional yang baru, sempat menjadi pertentangan di kalangan masyarakat internasional, yaitu: 1. Munculnya konsep victor’s justice; dimana negara-negara yang kalah dalam peperangan akan diadili berdasarkan rasa keadilan negaranegara yang menang dalam Perang Dunia II. 2. Mengesampingkan kedaulatan negara untuk melindungi pejabatpejabat yang sedang melaksanakan tugas negara; sehingga timbul asas pertanggung jawaban individu. Pertanggungjawaban individu sebelum berakhirnya Perang Dunia II, tidaklah patut dibenarkan, karena peran individu dalam peristiwa perang hanya pelaksanaan atas perintah negara, sehingga atas fundamen kedaulatan negara untuk melindungi individu yang menjalankan tugas negara, maka individu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, sehingga konsep ketika antar-negara berperang dan berakhir dengan salah satu pihak negara kalah, maka tidak ada upaya hukum untuk menuntut salah satu negara tentang tindakannya saat perang berlangsung. Ketentuan tentang pembedaan combatan dan non combatan sudah lama terdapat dalam ajaran Agama Islam bahwa dalam keadaan berperang, seorang pasukan Muslim (combatan) tidak boleh menyerang non combatan dan tidak boleh merusak bangunan dan tumbuhan. Pada Agama Yahudi terdapat ketentuan sebagai berikut: Orang Yahudi sebagaimana yang terbukti dari buku-buku kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, sudah mengenal ketentuan mengenai perjanjian perlakuan terhadap orang asing dan 6 cara melakukan perang. Akan tetapi, dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini) perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bubuyutan. Terhadap musuh yang demikian diperbolehkan diadakan penyimpangan dari ketentuan hukum perang.5 Tindakan yang cukup monumental setelah Perang Dunia II yang dilakukan oleh Sekutu adalah menghilangkan konsep kedaulatan negara, tentang perlindungan individu yang sedang menjalankan tugas negara; dalam hal ini immunitas individu ditanggalkan, sehingga individu dianggap mampu untuk bertanggung jawab, atas segala tindakan. Tindakan tersebut atas perintah negara, individu hanya akan dapat sedikit pengurangan hukuman. Tindakan untuk meminta pertanggungjawaban individu sangat dirasakan kurang adil bagi negara yang kalah dalam berperang, sekaligus mematahkan asas umum yang sudah lama diterima oleh negara-negara berdaulat. Perubahan prinsip atau asas yang cukup fundamental ini direpresentasikan dengan pendirian Pengadilan Internasional Nuremberg dan Pengadilan Internasional Tokyo. Pengadilan Internasional Nuremberg ini dibentuk untuk mengadili petinggi NAZI Jerman atas dasar crimes against peace:6 Pada musim panas Tahun 1945, empat negara pemenang perang dunia yaitu Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Uni Soviet melakukan konferensi di London untuk memutuskan dengan cara apa mereka akan menghukum petinggi NAZI, pelaku kejahatan perang. Pada akhirnya Negara-negara tersebut membuat 5 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 27. Yustina Trihoni Nalesti Dewi, 2013, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 139. 6 7 kesepakatan yang dituangkan dalam London Agreement of 8 Agust 1945 untuk mengadili mereka pada Pengadilan Internasional Militer melalui ‘the Agreement for the Prosecution and Punistment of Major War Criminal of the European Axis, and Establishing the Charter of the Internasional Millitary Tribunal’.7 Pengadilan Internasional Tokyo (Tokyo Tribunal), pada tanggal 19 Januari 1946, berdasarkan pengumuman Jenderal McArthur mengumumkan pendirian International Military Tribunal for the Far East, dengan komposisi hakim 11 orang, ditunjuk oleh Amerika Serikat. Sebagai akibat: Perang Asia Timur Raya, 1941-1945 M, menjadikan Jepang berhadapan dengan ABCD Front atau dengan Amerika, Bristish, Cina, Dutch-Amerika, Inggris, Cina, Belanda dan Australia.8 Victor’s justice yang diusung oleh sekutu setelah Perang Dunia II berakhir, dan peperangan tersebut dimenangkan oleh Amerika Serikat dan sekutu. Hal ini cukup membawa tatanan baru atau membentuk precedent, terhadap praktik internasional, terutama prinsip-prinsip atau asas-asas hubungan internasional, seperti: 1. Munculnya asas pertanggungjawaban individu (individual criminal responbility); 2. Penyimpangan asas legalitas (retroaktif). Asas pertanggungjawaban individu sudah cukup jelas, sedangkan untuk penyimpangan asas legalitas adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan atau yang terjadi sebelum adanya kaidah yang mengaturnya, 7 Idem., hlm. 138. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2010, Api Sejarah 2; Buku yang akan Menuntaskan Kepenasaranan Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia, Salamadani, Bandung, hlm. 12. 8 8 ketika suatu kaidah terkristalisasi dalam bentuk peraturan formal, maka perbuatan atau tindakan tersebut bisa diadili. Inilah yang menjadi anti tesis dari asas legalitas, sehingga asas-asas yang lahir dari semangat victor’s justice, merupakan kehendak dari pemenang Perang Dunia II, bukan suatu kehendak dari masyarakat internasional. Abad 20 terjadi suatu peristiwa yang cukup membawa perkembangan pada hukum internasional dan mendorong lahirnya suatu lembaga yang bersifat mandiri, permanen dan komplementer. Peristiwa yang dimaksud adalah: Pertama, dibentuknya The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, berdasarkan ketentuan Bab VII yang terdiri dari 13 pasal. Pada esensinya dalam ketentuan tersebut Dewan Keamanan mempunyai kewenangan secara preventif dan represif untuk menjaga keamanan dunia, sehingga pembentukan The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) semata-mata pelaksanaan tugas Dewan Keamanan PBB untuk menjaga keamanan dunia. Hal ini atas tindakan mantan Presiden Slobodan Milosevic yang dilakukan di dalam wilayah bekas Yugoslavia, di Republik Krosia, Republik Slovenia, Republik BosniaHerzegovina, dan Republik Serbia, khususnya Provinsi Kosovo yang berada didaerah Serbia sejak tahun 1991, berupa genoside, crimes against humanity dan lain-lain. Penegakan hukum atas peristiwa ini dilakukan sejak tahun 1993 sampai tahun 2008, dimulai dengan investigasi. 9 Pemberlakuan ini cukup lama dikarenakan atas pertimbangan perlunya restorasi korban-korban yang selamat, dan kesulitan dalam penangkapan pelaku yang akan diadili di ICTY.9 Kedua, dibentuknya The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), pembentukannya sama dengan The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dibentuk dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB, yang berkedudukan di Arusha, Tanzania. Peristiwa terjadi pada tahun 1994 dimana kelompok mayoritas etnik Hutu melakukan pembantaian terhadap kelompok minoritas etnik Tutsi yang menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang. Penyelesaian ini pun menghabiskan waktu yang cukup lama sampai tahun 2008, dengan dijatuhi hukuman penjara selama 80 tahun pada Jean Paul Akayesu, mantan Walikota Taba.10 Kedua peristiwa tersebut memperluas jangkauan (yurisdiksi territorial) hukum humaniter, dimana pertanggungjawaban tidak hanya terbatas pada konflik antar negara, tetapi berlaku pula pada konflik internal (internal conflict). Hal ini sekaligus mendorong Sekjen PBB Kofi Annan, untuk membentuk lembaga pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen. Di bawah Komisi Hukum Internasional PBB, pada Konferensi di Roma yang dihadiri 160 negara dan sejumlah organisasi 9 internasional non governmental organization, maka Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional; Pengantar Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi kedua, Alumni, Bandung, hlm. 282-289. 10 Ibid. 10 ditandatanganilah Statuta Roma 1998 Tentang International Criminal Court (ICC). Negara-negara yang hadir menandatangani statuta, dan terdapat pula negara-negara yang menolak menandatangani, termasuk Amerika Serikat. Pada akhirnya Amerika Serikat menandatangani pada saat terakhir penutupan yaitu pada 31 Desember 2000, tapi sampai saat ini Amerika Serikat termasuk negara yang belum meratifikasi Statuta Roma 1998. Mahkamah Court/ICC), dalam Pidana Internasional ketentuan Statuta (International Roma 1998 Criminal menyebutkan, International Criminal Court adalah suatu lembaga pengadilan pidana internasional yang bersifat permanent, independent, dan complementeir. Mahkamah ini merupakan manipestasi atas perjuangan masyarakat internasional untuk mewujudkan suatu mahkamah yang bersifat permanen, yang dapat mengadili kejahatan-kejahatan yang dianggap berat oleh masyarakat internasional, atas pengalaman victor’s justice. Pengadilan ad hoc yang didirikan oleh negara yang menang dalam peperangan atau negara The Big Five, masih kurang memberikan keadilan dan rasa kepastian, sehingga dengan dibentuknya International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) ditujukan untuk memenuhi akan keadilan dan kepastian. Namun demikian berdasarkan ketentuan Article 1 Rome Statute of The International Criminal Court 1998, International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) hanya sebagai pelengkap yurisdiksi kriminal nasional dari suatu negara. Sehingga 11 International Criminal Court yang diatur dalam Statuta Roma 1998 tidak melaksanakan yurisdiksinya atas tindak kejahatan internasional yang dilakukan oleh individu atau warga negara dari suatu negara, ketika instrumen hukum nasional dari suatu negara tersebut telah ditegakkan. Penegakan hukum atas kejahatan internasional yang dilaksanakan oleh suatu negara, ada kalanya negara dianggap tidak mau (unwilling), bahkan tidak mampu (unable), padahal dalam penegakan hukum atas kejahatan ini haruslah akuntabel. Dewasa ini International Criminal Court merupakan suatu mahkamah yang memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan internasional tetap menjadi perhatian dan pengharapan masyarakat internasional, ketika suatu negara mengalami keadaan negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable).11 Terbentuknya International Criminal Court pada tahun 1998 dengan Rome Statute of The International Criminal Court 1998, dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 tidak semata-mata menghentikan pelanggaran kejahatan internasional. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk menulis persoalan mengenai negara yang dianggap tidak mampu, tidak mau, dan implementasi Statuta Roma 1998. Adapun judul yang dirumuskan Implementasi untuk Statuta membahas Roma 1998 persoalan Tentang tersebut adalah: Mahkamah Pidana Internasional Terhadap Negara Yang Dianggap Tidak Mau (Unwilling) 11 Idem., hlm. 297. 12 Dan Tidak Mampu (Unable) Dalam Penyelesaian Kejahatan Internasional. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah kriteria suatu negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional? 2. Bagaimana implementasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional terhadap negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable)? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian hukum ini adalah: 1. Mengetahui kriteria suatu negara bisa dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional. 2. Mengetahui implementasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional terhadap negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable). D. Kegunaan Penelitian Terdapat dua kegunaan dalam penelitian hukum ini, yaitu: 1. Kegunaan Teoritis a. Meningkatkan wawasan peneliti mengenai perkembangan teori pertanggungjawaban dalam hukum internasional, khususnya 13 pertanggungjawaban individu yang masih memiliki hubungan integral dengan kedaulatan hukum negara. b. Mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum internasional, pada masa mendatang ketika menjalin hubungan lintas negara. 2. Kegunaan Praktis a. Sebagai acuan dan perkembangan wacana bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dikalangan akademisi, khususnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. b. Sebagai tambahan kepustakaan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Unit Pelayanan Terpadu Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman. 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional 1. Pengertian Hukum Internasional Pengertian hukum internasional apabila dicermati dalam literatur memiliki dua arti, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Hukum internasional dalam arti luas meliputi hukum internasional publik dan hukum internasional privat, sedangkan dalam arti sempit hukum internasional hanya diartikan sebagai hukum internasional publik. Hukum internasional publik dalam penyebutannya sering menggunakan redaksi hukum internasional, sedangkan hukum internasional privat biasa disebut dengan hukum perdata internasional.12 Sugeng Istanto pun berpendapat bahwa hukum internasional dalam arti luas terbagi menjadi dua, yaitu hukum internasional dan hukum perdata internasional. Beliau tidak menyebutkan hukum internasional publik, tapi langsung menyebutnya dengan istilah hukum internasional, tapi secara esensi memiliki kesamaan maksud.13 Pendapat Mochtar Kusumaatmadja memiliki perbedaan dari pendapat sebelumnya, yaitu tidak membagi secara tegas hukum internasional 12 H. M. Isplancius Ismail, 2011, Konsep Dasar Hukum Internasional, UPT. Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm. 1. 13 Sugeng Istanto, 2010, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 4. 15 dalam arti sempit dan dalam arti luas, tapi apa yang dimaksud dengan hukum internasional adalah hukum internasional publik, yang harus dibedakan dengan hukum perdata internasional.14 Mochtar Kusumaatmadja memberikan pengertian hukum perdata internasional: Hukum perdata internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sugeng Istanto memberikan pengertian bahwa hukum perdata internasional adalah kumpulan peraturan atau ketentuan hukum untuk menyelesaikan masalah antar individu yang pada saat yang sama tunduk pada yurisdiksi dua sistem hukum atau lebih yang berbeda.15 Selanjutnya menjelaskan bahwa: Hukum perdata internasional adalah juga bagian dari hukum antar tata hukum, yakni kumpulan ketentuan hukum yang menunjuk ketentuan hukum yang berlaku dalam hal suatu masalah tunduk pada yurisdiksi dua sistem hukum atau lebih yang berbeda.16 Selain itu sarjana-sarjana hukum juga memberikan pengertian mengenai apa yang dinamakan dengan hukum internasional publik atau yang lazim disebut hukum internasional. Mochtar Kusumaatmadja memberikan pengertian bahwa hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah atau asas hukum yang mengatur hubungan atau 14 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 1. Sugeng Istanto, Loc. Cit. 16 Ibid. 15 16 persoalan yang melintasi batas negara (hubungan atau persoalan internasional) yang tidak bersifat perdata.17 Hukum internasional menurut Sugeng Istanto adalah kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat hukum internasional.18 Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan di atas, terutama mengenai pengertian hukum internasional publik dan hukum perdata internasional yang dipaparkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, tampak persamaan dan perbedaan antara hukum internasional publik atau hukum internasional dan hukum perdata internasional, dimana persamaannya adalah kedua bidang hukum ini mengenai persoalan atau permasalahan yang melintasi batas negara. Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan dan persoalan atau permasalahan yang menjadi objeknya atau yang diatur oleh hukum tersebut. Pembedaan seperti ini dirasa sangat tepat, dibanding jika pembedaanya ditekankan pada pelaku atau subjek hukum, dengan membedakan berdasarkan bahwa hukum internasional publik merupakan bidang hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara, dan hukum perdata internasional mengatur tentang hubungan antar individu atau perorangan.19 Mochtar Kusumaatmadja melakukan autokritis terhadap batasan atau definisi tentang hukum internasional publik bahwa: 17 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 1-2. Sugeng Istanto, Loc. Cit. 19 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Loc. Cit. 18 17 Terhadap batasan (definition) hukum internasional (publik) di atas dapat dikemukakan keberatan bahwa batasan itu tidak tegas karena didasarkan pada suatu ukuran yang negatif yakni hubungan atau persoalan internasional yang tidak bersifat perdata. Mengapa tidak dengan tegas dikatakan hubungan atau persoalan hukum antar negara, sehingga sebutan cabang ilmu hukum ini pun dinamakan saja hukum antarnegara. Lepas dari persoalan bahwa ukuran publik dalam arti kenegaraan itu sendiri sering sukar ditetapkan batasan-batasannya yang tegas, keberatan terhadap batasan demikian ialah bahwa terlalu terbatas sifatnya.20 Tidak luput untuk menjadi catatan, bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum, maka sudah pasti memenuhi unsurunsur hukum, sehingga berlakunya hukum internasional dipertahankan oleh external power.21 2. Sumber Hukum Internasional Sumber hukum merupakan suatu istilah yang ambigu, karena bisa memiliki lebih dari satu makna. Pertama bisa berarti metode penciptaan hukum, atau norma hukum yang lebih tinggi erat kaitannya dengan norma hukum yang lebih rendah dalam penciptaanya. Kedua, dari segi hukum nasional, hukum hanya norma-norma umum dalam hukum nasional yang seringkali dikenal dengan dua sumber hukum, yaitu legislasi dan adat, sedangkan dalam segi hukum internasional tidak mengenal legislasi, hanya mengenal adat dan perjanjian.22 20 Idem., hlm. 2. Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 1. 22 Hans Kelsen, 1978, Pure Theory of Law, Terjemahan oleh Raisul Muttaqin, Berkely University of California Press, California, hlm. 256-257. 21 18 Mengenai hukum materiil dan formil, Hans Kelsen menyebutkan bahwa dua kategori norma hukum ini biasanya dibedakan menjadi norma-norma hukum formil dan norma hukum materiil, yang pastinya norma hukum formil dan norma hukum materiil berhubungan dengan fungsi ganda yang seharusnya diterapkan oleh organ pengadilan atau pemerintah. Fungsi ganda tersebut adalah: pertama, penentuan organ-organ ini dan atas prosedur yang mereka taati; kedua, penentuan isi dari setiap norma yang mesti ditentukan atau diciptakan dalam putusan pengadilan atau pemerintah.23 Hukum formil merupakan norma-norma umum yang mengatur organisasi dan prosedur pengadilan dan otoritas pemerintah, yakni proses perdata, pidana dan administratif. Hukum materiil merupakan norma-norma umum yang menetapkan muatan dari keputusan yudisial dan administratif, yang disebut hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administratif, kendati norma-norma yang mengatur prosedur pengadilan hukum dan lembaga administratif juga merupakan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administratif.24 Mochtar Kusumaatmadja dalam buku yang berjudul Pengantar Hukum Internasional menyampaikan bahwa kata sumber hukum dipakai dalam beberapa makna. Pertama, perkataan sumber hukum digunakan untuk mengetahui landasan berlakunya suatu hukum, sehingga dipergunakan untuk menjawab pertanyaan: apa dasar yang menjadi kekuatan mengikat suatu hukum (hukum internasional). Perkataan sumber hukum tersebut memiliki pengertian sumber hukum dalam arti materiil. Pengertian kedua adalah sumber hukum dalam arti 23 24 Idem., hlm. 253-254. Idem., hlm. 254. 19 formil, yang mana untuk menjawab pertanyaan: dimanakah dapat menemukan suatu pengaturan atau ketentuan hukum yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan konkret. Beliau menyampaikan pula arti sumber hukum yang ketiga, yaitu sumber hukum dalam arti kausal, yaitu penyebab yang turut membantu terbentuknya suatu kaidah hukum, seperti faktor ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, dan psikologis, atau gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.25 Sumber hukum formil dalam bentuk tertulis, menunjuk pada dua tempat, yaitu Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tertanggal 18 Oktober 1907 tentang Pendirian Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut dan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Dua tempat untuk mendapatkan sumber hukum formil tersebut, Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional yang penting, mengingat Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut tidak pernah terbentuk dalam kenyataanya, karena dipersyaratkan dalam tidak memenuhi statuta.26 jumlah Pendapat ratifikasi hampir sama yang juga dikemukakan oleh Yudha Bhakti, yang menurutnya Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional merupakan sumber formil hukum internasional.27 25 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 113. Idem., hlm. 114. 27 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional; Bunga Rampai, Alumni, Bandung, hlm. 70. 26 20 Kembali pada pembahasan sumber hukum materiil, J.G. Strake, dalam buku yang judul aslinya Introduction to International Law, cukup banyak membahas tentang sumber-sumber material (materiil) hukum internasional. Sumber-sumber material hukum internasional dapat diartikan sebagai bahan-bahan aktual dimana seorang ahli hukum dapat menentukan kaidah hukum yang berlaku dan dapat diterapkan dalam keadaan konkret.28 Terdapat lima kategori atau bentuk utama bahan-bahan tersebut: 1. 2. 3. 4. 5. Kebiasaan Traktat-Traktat Keputusan-keputusan Pengadilan atau pengadilan arbitrasi Karya-karya hukum Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organorgan lembaga-lembaga internasional.29 Sumber-sumber yang ditunjuk oleh Statuta Mahkamah Internasional yang terdapat dalam Pasal 38 (1), adalah: 1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists 28 J. G. Strake, 2008, Pengantar Hukum Internasional 1 ; Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42. 29 Ibid. 21 of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.30 J.G. Starke dalam pandangan teoritisnya memberikan kritik terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, salah satunya mengenai “prinsip-prinsip umum”. Ketentuan untuk menerapkan prinsip-prinsip umum tersebut, diinterpretasikan sebagai “menyuarakan lonceng kematian” bagi kaum positivisme, karena ketentuan tersebut secara jelas dan tegas menolak konsep dari pemikiran positivis yang luas untuk menganggap bahwa kebiasaan dan traktat-traktat harus dipandang sebagai sumber hukum internasional yang eksklusif. Ketentuan tersebut juga untuk memecahkan permasalahan non liquet yang dihadapi, jelasnya ketidaksediaan Mahkamah Internasional dalam memberikan keputusan mengingat tidak ada ketentuan atau kaidah yang mengatur hal tersebut. Pandangan terhadap hal tersebut dianggap sebagai suatu ketentuan yang tidak akan menciptakan ketentuan yang baru, kecuali mengenai hal yang telah dilakukan oleh Mahkamah Internasional dalam praktiknya, yang telah berlangsung lama.31 Para ahli hukum internasional yang lain pun, khususnya di Indonesia berbeda pendapat. Sugeng Istanto memberikan definisi sumber hukum internasional berangkat dari sumber hukum pada umumnya yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu sumber hukum 30 31 Article 38 (1)Statute of the International Court Justice. J. G. Strake, Op. Cit., hlm. 44-45. 22 formil dan sumber hukum materiil. Definisi sumber hukum formil berdasarkan sudut pandang sumber hukum pada umumnya adalah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi kaidah hukum atau ketentuan hukum yang berlaku umum, dengan kata lain suatu proses yang bisa manjadikan ketentuan menjadi hukum positif. Proses ini baik melalui perundang-undangan (proses legislasi) atau kebiasaan. Sumber hukum meteril berdasarkan sudut pandang hukum pada umumnya adalah faktor yang menentukan ketentuan hukum yang berlaku.32 Boer Mauna lebih mengadopsi pendapat dari J.G. Starke, yang memberikan pengertian sumber-sumber materiil hukum sama dengan J.G. Starke, yaitu bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional, untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi peristiwa tertentu yang telah terjadi.33 Ketiga pendapat ahli hukum, yaitu J.G. Starke, Sugeng Istanto dan Mochtar Kusumaatmadja, belum ada kesepahaman mengenai sumber hukum, terlebih kategori dari sumber hukum dan definisi masing-masing kategori sumber hukum. Kesamaan antara J.G. Starke, Sugeng Istanto dan Boer Mauna ketika berpendapat tidak menempatkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional sebagai sumber formil atau sumber materiil hukum internasional secara tegas, tetapi meletakkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional 32 33 Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 15-17. Boer Mauna, Op. Cit., hal. 8-9. 23 sebagai pendekatan praktis terutama ketika halnya seorang hakim di Mahkamah Internasional dihadapkan keadaan konkrit diranah hukum internasional.34 Berbeda dengan Mochtar Kusumaatmadja dan Yudha Bhakti yang menempatkan secara tegas Pasal 38 (1) Mahkamah Internasional sebagai sumber formil hukum internasional.35 Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang disebutkan oleh para ahli hukum internasional. Perjanjian internasional dapat ditinjau dari judul perjanjian atau nomenklatur yang diberikan, karena menggunakan nomenklatur tertentu menentukan isi secara materiil atau bobot materiil, tingkatan dan hubungannya dengan perjanjian internasional lainnya. Berikut judul perjanjian atau nomenklatur yang biasa dipergunakan dalam perjanjian internasional: a. Traktat atau treaty Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur ketentuan atau hal-hal yang sangat penting, sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya dapat mengikat suatu negara secara keseluruhan. Sifat dari perjanjian ini biasanya multilateral, tetapi karena praktik dimasa lampau ada kebiasaan 34 Ibid., dan Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 19-20., dan J. G. Strake, 2008, Loc. Cit. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Loc. Cit., dan Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Loc. Cit. 35 24 untuk menggunakan istilah traktat untuk perjanjian internasional yang bersifat bilateral.36 I Wayan memberikan definisi pada istilah traktat adalah perjanjian internasional yang dilaksanakan antara negara, dengan substansi yang dianggap penting.37 b. Konvensi atau Convention Perjanjian internasional yang mengatur hal-hal penting, resmi dan bersifat multilateral. Konvensi dikenal dengan sifatnya yang law making treaty yaitu sebagai peletak norma-norma hukum untuk diterapkan dalam masyarakat internasional.38 Konvensi bisa dibentuk oleh negara-negara maupun lembaga atau organisasi internasional. Umumnya konvensi bersifat multilateral, tetapi ada pula perjanjian internasional yang bersifat bilateral dalam praktiknya yang diberi nomenklatur konvensi.39 c. Persetujuan atau Agreement Agreement merupakan perjanjian internasional yang pada umumnya penyematanya diletakkan pada perjanjian yang bersifat bilateral, dengan substansi yang diatur lebih kecil, dari pada treaty atau konvensi.40 36 Eddy Pratomo, 2011, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung, hlm. 58. 37 I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Mandar Maju, Bandung, hlm. 27. 38 Eddy Pratomo, Loc. Cit. 39 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 28-29. 40 Eddy Pratomo, Loc. Cit. 25 I Wayan memberikan pandangan lain terhadap persetujuan, yang mana istilah persetujuan disamakan artinya dengan istilah agreement dan arrangement. Persetujuan (agreement atau arrangement) dalam pandangan I Wayan adalah perjanjian yang jika ditinjau dari segi substansi lebih bersifat teknis dan administratif, berbeda dengan treaty dan konvensi yang substansinya lebih besar dan penting, persetujuan yang lingkup substansinya lebih kecil.41 d. Piagam atau Charter Piagam atau charter yang istilah ini diambil dari istilah Magna Charta tahun 1215, merupakan perjanjian internasional yang digunakan sebagai instrumen internasional untuk berdirinya suatu lembaga atau organisasi internasional,42 I Wayan menyebutnya dengan konstitusi organisasi internasional.43 e. Protokol atau Protocol Protokol merupakan perjanjian dengan materi yang lebih sempit dari traktat atau konvensi.44 I Wayan yang beracuan kepada pendapat J.G. Starke, mendefinisikan Protokol sebagai perjanjian internasional yang kurang formal.45 Protokol merupakan instrumen hukum tunggal yang tujuannya bisa berupa amademen, pelengkap, bahkan turunan lebih lanjut dari suatu perjanjian internasional yang 41 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 32. Eddy Pratomo, Loc. Cit. 43 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 31. 44 Eddy Pratomo, 2011, Op. Cit., hlm. 59. 45 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 34. 42 26 telah dibentuk sebelumnya. Terdapat beberapa nomenklatur protokol, berdasarkan tujuannya, yaitu: 1. Protokol Tambahan (Additional Protocol); 2. Protokol Pilihan (Optional Protocol), dan; 3. Protokol Pelengkap (Supplementary Protocol).46 f. Deklarasi atau declaration Deklarasi, declaratie atau declaration dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “pernyataan” atau “pengumuman”. Deklarasi merupakan suatu kesepakatan antara para pihak yang masih bersifat umum dan menyatakan hal-hal yang masih pokok, tetapi deklarasi ada pula yang berbentuk instrumen hukum yang mengikat yang berisi kaidah-kaidah hukum.47 g. Statuta (Statute) Statuta biasanya digunakan sebagai konstitusi untuk berdirinya lembaga atau organisasi internasional, yang berbentuk perjanjian internasional. Organisasi yang menggunakan istilah ini adalah lembaga-lembaga peradilan internasional, seperti Statute of International Court of Justice.48 46 Eddy Pratomo, Loc. Cit. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 29-30. 48 Idem., hlm. 30-31. 47 27 h. Kovenan (Convenant) Kovenan atau covenant dalam penggunaannya sama dengan perjanjian internasional lainnya, yang ditunjukkan sebagai konstitusi atau fundamen berdirinya lembaga atau organisasi internasional, seperti statuta dan piagam.49 i. Pakta (Pact) Perjanjian internasional yang dalam ketentuanya mengatur dalam bidang militer, pertahanan dan keamanan negara.50 j. Pengaturan atau Arrangement Perjanjian ini dibentuk untuk melaksanakan hal yang bersifat teknis dari suatu perjanjian yang sudah ada sebelumnya.51 k. Memorandum Saling Pengertian atau Memorandum of Understanding (MoU) MoU merupakan bentuk perjanjian internasional yang memiliki sifat khusus. MoU dalam praktik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau dikenal dengan istilah non legally binding. Berbeda dengan negara lain yang menganut sistem hukum Anglo Saxon seperti Indonesia. Negara-negara tersebut menganggap bahwa MoU merupakan bentuk perjanjian internasional lainnya yang memiliki kekuatan hukum mengikat, layaknya perjanjian internasional. 49 Idem., hlm. 31. Idem., hlm. 33. 51 Eddy Pratomo, Op. Cit., hlm. 60. 50 28 Para ahli berpendapat bahwa pengadaan MoU merupakan upaya dari para pihak untuk menghindari bentuk perjanjian internasional lainnya seperti agreement yang lebih bersifat formal dan mengikat, yang pada dasarnya pertimbangan ini lebih kepada sifat politis.52 l. Modus Vivendi Merupakan kesepakatan sementara yang digunakan oleh para pihak sebagai instrumen informal. Setelah terdapat instrumen tersebut biasanya ditindaklanjuti dengan instrumen berupa perjanjian internasional yang lebih formal dan permanen.53 m. Agreed Minutes atau Summary Record atau Record of Discussion Nomenklatur ini digunakan dalam hal tercapainya suatu kesepakatan sementara atau akhir dari suatu pertemuan antara perwakilan dari lembaga-lembaga pemerintah, dimana pertemuan tersebut memang bersifat teknis. Bentuk konkritnya dapat berupa rekaman pembicaraan pada saat pertemuan antara perwakilan dari para pihak, baik dari kunjungan yang bersifat formal, pun informal. Rekaman tersebut merupakan bagian dari perundingan- perundingan tentang masalah atau suatu hal yang sedang dirundingkan.54 52 Idem., hlm. 59. Idem., hlm. 60. 54 Ibid. 53 29 n. Process Verbal Istilah penyimpanan yang digunakan naskah untuk pengesahan mencatat perjanjian pertukaran, internasional, kesepakatan hal-hal yang bersifat teknis administratif, bahkan perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan.55 o. Pertukaran Nota Diplomatik atau Exchange of Notes Pertukaran nota diplomatik merupakan suatu kesepahaman antar Negara untuk menyampaikan atau pemberitahuan resmi posisi pemerintahan mengenai suatu permasalahan tertentu. Kesepahaman ini akan menjadi suatu perjanjian internasional jika dikehendaki oleh para pihak dengan menuangkannya dalam bentuk Exchange of Notes/Letters Constitute Treaty/Agreement.56 p. Concordat Perjanjian internasional khusus yang diadakan antara Tahta Suci Vatikan dengan negara lain di bidang keagamaan.57 3. Subjek Hukum Internasional Subjek hukum internasional awalnya adalah negara, dengan dasar pemikiran hanya negara lah yang berdaulat dan mampu mengikatkan diri dalam hukum internasional. Perkembangan selanjutnya bukan hanya negara yang mampu dan/atau berkepentingan 55 Idem., hlm. 60-61. Idem., hlm. 60. 57 Idem., hlm. 61. 56 30 untuk mengikatkan diri dalam hukum internasional, tapi mulai bermunculan subjek hukum baru.58 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional terdiri dari: (1) Negara; (2) Tahta Suci; (3) Palang Merah Internasional; (4) Organisasi Internasional; (5) Orang perorangan; (6) Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent). 59 Menurut I Wayan Parthiana, yang menyebutkan bahwa subjek hukum internasional terdiri dari: (1) Negara; (2) Organisasi internasional (antar-negara atau antar pemerintah); (3) Palang Merah Internasional; (4) Vatikan atau Tahta Suci; (5) Organisasi pembebasan atau bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya; (6) Kaum belligerensi; (7) Wilayah Perwalian; (8) Individu; (9) Organisasi internasional non-negara atau non-pemerintah; (10)Perusahaan transnasional atau perusahaan multinasional. 60 Tiga subjek hukum internasional yang memilki hubungan erat dengan rumusan masalah yang diangkat adalah negara, individu, dan hlm. 87. 58 I Wayan Parthina, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 59 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit. hlm. 98-110. I Wayan Parthina, Pengantar Hukum Internasional, Op. Cit., hlm. 88. 60 31 organisasi internasional. Ketiga subjek hukum internasional tersebut agaknya perlu untuk dijabarkan lebih lajut. a. Negara 1. Asal mula negara Pembahasan ini menurut Soehino perlu meninjau pendapat beberapa ahli filsafat, mengingat pendangan para ahli filsafat mengenai asal mula negara akan sangat berbeda interpretasinya antar ahli filsafat yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari aliran filsafat apa yang dianutnya.61 Menurut R. Krenenburg, negara merupakan suatu organisasi kekuasaan yang telah diciptakan oleh bangsa, sehingga dalam pandangannya bangsa terlebih dahulu ada dalam suatu waktu dan tempat, lalu berkehendak untuk menciptakan suatu negara atau organisasi kekuasaan. Uraian ini menunjukkan bahwa adannya sekelompok manusia yang disebut bangsa, ditempatkan dalam posisi primer, dan negara yang dibentuk berdasarkan kehendak dan untuk kepentingan suatu bangsa, ditempatkan pada posisi sekunder.62 Pendapat Logemann mengenai negara, meskipun memiliki aliaran filsafat yang sama dengan Kranenburg, tetapi Logemann berpendapat bahwa negara merupakan suatu organisasi kekuasaan yang menghimpun dan menyatukan 61 62 Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 146. Idem., hlm. 142. 32 kelompok individu menjadi suatu bangsa. Logemann berperspektif bahwa organisasi kekuasaan yaitu negara memiliki kedudukan sekelompok manusia yang bersifat atau bangsa primer, sedangkan bersifat sekunder.63 Perbedaan pendapat antara sarjana atau ahli filsafat yang masih memiliki pangkal teori yang sama, yaitu teori modern, tidak lain karena perbedaan pengertian dengan apa yang dimaksud dari bangsa. Kranenburg memberikan pengertian bahwa bangsa harus diartikan secara ethnologis, seperti Bangsa Jawa, Sunda, Marin, dan lain-lain. Logemann memberikan pengertian bahwa bangsa merupakan rakyat dari suatu negara.64 2. Kedaulatan negara Jean Bodin memberikan definisi dan sifat-sifat dari kedaulatan. Menurutnya kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum yang berlaku dalam suatu negara, dan kedaulatan memiliki sifat tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi. Rumusan yang diberikan Jean Bodin mengenai kedaulatan mendapatkan tanggapan, bahwa rumusan yang diberikannya sudah irrelavan dengan perkembangan sekarang, mengingat rumusan yang diberikan Jean Bodin hanya berdasarkan tinjauan souvereiniteit merupakan hubungan dalam negeri saja. Secara tegas Jean Bodin tidak menjelaskan 63 64 Idem., hlm. 143. Ibid. 33 apakah rumusan yang diberikannya berlaku dalam negeri atau luar negeri terutama ketika suatu negara melakukan hubungan dengan negara lain.65 3. Hakikat negara menurut hukum internasional Negara dalam hukum internasional merupakan salah satu subjek hukum internasional, yang dimasukkan pula kepada subjek utama hukum internasional. Negara tidak dapat didefinisikan secara tepat,66 bahkan Sugeng Istanto berpandangan belum terdapat kesepakatan tentang perumusan arti dari negara. J.G. Starke menjelaskan karakteristik-karakteristik utama dalam sebuah negara, dengan beracuan pada Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Negara. Isi dari Konvensi Montevideo 1933 Pasal 1 menyebutkan bahwa negara memiliki syarat-syarat yaitu: a. penduduk yang tetap; b. wilayah tertentu; c. pemerintahan; d. kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain.67 65 Idem.,hlm. 151. J. G. Strake, Op. Cit., hlm. 127. 67 Ibid.. 66 34 Syarat dalam ketentuan huruf (d) Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 merupakan syarat yang paling penting dalam hukum internasional. Hal ini dikarenakan negara dipersyaratkan harus memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan ekternal dengan negara-negara lain dan menjadi wujud pribadi subjek hukum internasional yang utama.68 Ini yang membedakan negara dalam arti pribadi subjek hukum internasional yang utama yang sesungguhnya, dengan unit-unit lain seperti negara-negara anggota dalam sutu negara federasi dan negara-negara yang berada di bawah perlindungan (protektorat) negara lain yang tidak mengurus kepentingan ekternalnya dengan negara lain secara mandiri.69 4. Hak dan kewajiban negara Hak-hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukannya terhadap negara lain, terdiri dari: a. Hak kemerdekaan b. Hak kesederajatan c. Hak mempertahankan diri d. Kewajiban tidak melakukan perang e. Kewajiban melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik hlm. 80. 68 Idem., hlm. 128., dan I Wayan Parthina, Pengantar Hukum Internasional, Op. Cit., 69 J. G. Strake, Op. Cit., hlm. 128. 35 f. Kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara lain.70 b. Organisasi internasional Hubungan yang terjadi antar masyarakat tidak hanya dalam batas teritorial, karena dalam perkembangannya hubungan tersebut terjadi melewati batas teritorial negara. Peristiwa-peristiwa yang berdampak tidak hanya pada satu negara pun banyak terjadi, yang menyebabkan negara-negara dalam keadaan yang komplek harus bekerja sama untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang sama, sehingga memerlukan pengaturan. Pengaturan tersebut salah satunya dengan dibentuknya medium bagi negara-negara yaitu organisasi internasional.71 1. Pengertian dan klasifikasi organisasi internasional Para sarjana hukum internasional tidak memberikan definisi secara limitatif terhadap organisasi internasional,72 karena belum terdapat kesepakatan.73 Jadi terkadang para sarjana atau ahli hukum internasional hanya memberikan ilustrasi tentang elemen-elemen yang memberikan fundamen pada organisasi internasional.74 internasional 70 Berbeda lainnya dengan yang tidak para sarjana hukum memberikan definisi Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 44-47. Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 1-3. 72 Ade Maman Suherman, 2003, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional; dalam Persfektif hukum dan globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 45. 73 Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 4. 74 Ade Maman Suherman, Loc. Cit. 71 36 organisasi internasional, J. Pareira Mandalangi memberikan definisi organisasi internasional sebagai berikut: organisasi internasional memiliki arti ganda, yaitu arti secara luas dan arti secara sempit. Arti organisasi internasional secara luas adalah setiap organisasi yang melintasi territorial atau batas-batas negara, baik organisasi yang bersifat publik maupun privat, sedangkan arti organisasi internasional secara sempit hanya tertuju pada organisasi yang bersifat publik.75 Banyak ahli atau sarjana di bidang hukum internasional, memberikan klasifikasi terhadap organisasi internasional, seperti Schermer dan Sri Setianingsih Suwardi. Schemer mengklasifikasikan organisasi internasional menjadi empat berdasarkan stuktur dan fungsi, yaitu: 1) Organisasi internasional publik dan organisasi internasional privat; 2) Organisasi internasional yang bersifat universal dan organisasi bersifat tertutup; 3) Organisasi antar pemerintah dan organisasi supranasional; 4) Organisasi fungsional dan organisasi umum.76 75 76 Idem., hlm. 48-49. Idem., hlm. 54-57. 37 Berbeda dengan Sri Setianingsih yang memberikan lima klasifikasi organisasi internasional berdasarkan kebutuhan dan peninjauan organisasi tersebut terdiri dari: a) Organisasi permanen dan tidak permanen b) Organisasi internasional publik dan organisasi internasional privat c) Organisasi universal dan organisasi tertutup d) Organisasi supranasional e) Organisasi berdasarkan fungsinya.77 2. Hubungan organisasi internasional dan hukum internasional Organisasi internasional merupakan salah satu masyarakat hukum internasional, sehingga tatanan hukum internasional akan berlaku terhadap organisasi internasional. Hubungan organisasi internasional dengan hukum internasional, akan lebih tertuju pembahasan kepada kedudukannya dalam hukum internasional.78 Berikut kedudukan organisasi internasional dalam tata hukum internasional: 1. Berkedudukan sebagai subjek hukum internasional 2. Membantu dalam pembentukan hukum internasional 3. Sebagai forum atau medium dalam memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya 77 78 Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 21-35. Idem., hlm. 7. 38 4. Sebagai alat pemaksa supaya kaidah hukum internasional ditaati.79 3. Keanggotaan Organisasi internasional dalam instrumen dasarnya atau konstitusi yang menjadikan organisasi internasional berdiri akan memuat ketentuan mengenai keanggotaan.80 Berikut hal yang biasanya ditekankan dalam konstitusi organisasi internasional: 1. Penggolongan keanggotaan Keanggotaan organisasi internasional dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan hak-hak yang dimiliki dalam organisasi internasional terdiri dari: a. Full members (anggota penuh) yaitu anggota yang akan berpartisifasi dalam setiap kegiatan dan tentunya memiliki hak penuh di organisasi internasional. b. Associate atau affiliate members yaitu anggota yang dapat berpartisifasi tetapi tidak memiliki hak memilih. c. Partial members yaitu anggota yang hanya mengikuti kegiatan tertentu saja.81 Berbeda dengan pendapat Sri Setianingsih yang membagi keanggotaan menjadi empat golongan, menjadi: 79 Idem., hlm. 8-20. Idem., hlm. 39. 81 Ade Maman Suherman, Op. Cit., hlm. 62. 80 39 a. Full members (keanggotaan penuh). b. Associate members (keanggotaan luar biasa). c. Partial members (keanggotaan sebagian). d. Affiliate members (keanggotaan afiliasi).82 Perbedaannya, bahwa pendapat dari Sri Setianingsih membedakan penggolongan dari affiliante members dan associate members, sedangkan pendapat sebelumnya berpendapat bahwa affiliante members dan associate members merupakan satu kesatuan. Selain penggolongan di atas, keanggotaan dalam organisasi internasional dapat pula ditinjau mulai efektifnya suatu Negara menjadi anggota, yaitu: a. Original members (anggota asli) Anggota yang diundang dalam konferensi-konferensi pembentukan rancangan anggaran dasar, dan negara yang ikut serta biasanya dicantumkan namanya dalam annex anggaran dasar organisasi internasional. b. Admitted members (anggota lainnya) Anggota yang masuk setelah berdirinya organisasi internasional, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam anggaran dasar.83 82 Sri Setianingsih Suwardi, Loc. Cit. 40 Pemenuhan dan pemberian hak dan kewajiban anggota tidak terdapat perbedaan sama sekali.84 2. Prinsip-prinsip keanggotaan Prinsip dari keanggotaan organisasi internasional beracuan terhadap fungsi dan tujuan didirikan organisasi internasional. Organisasi internasional universal dan terbatas tentunya memiliki prinsip-prinsip keanggotaan yang berbeda. Organisasi internasional universal pada prinsipnya tidak membedakan latar belakang pemerintahan, ekonomi dan lain-lain, sedangkan organisasi internasional terbatas pada prinsipnya menekankan syarat-syarat tertentu terhadap anggotanya, yaitu: a. Keadaan yang berdasarkan pada kedekatan letak geografis, tetapi sering pula berdasarkan politis. b. Keanggotaan berdasarkan kepentingan yang hendak dicapai. c. Keanggotaan berdasarkan sistem pemerintahan tertentu ataupun sistem ekonomi tertentu. d. Keanggotaan berdasarkan pada persamaan agama, budaya, etnis dan latar belakang atau pengalaman sejarah. 40. 83 Ade Maman Suherman, Op. Cit., hlm. 63., dan Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 84 Ade Maman Suherman, Loc. Cit. 41 e. Keanggotaan berdasarkan penerapan hak-hak asasi manusia.85 3. Persyaratan keanggotaan Syarat keanggotan dari organisasi internasional satu sama lain dapat berbeda pula, karena syarat anggota ditentukan dalam anggaran dasar organisasi internasional.86 PBB misalnya, dalam Pasal 4 (1) Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa 1945, menetapkan persyaratan bagi negara yang akan menjadi anggota harus cinta damai, menerima kewajiban yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa 1945, sanggup dan bersedia melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.87 4. Prosedur penerimaan anggota Penerimaan keanggotaan dalam organisasi internasional merupakan tindakan bilateral, di satu sisi adalah organisasi internasional dan di sisi lain adalah negara yang menurut konstitusinya sah untuk mengikuti organisasi internasional.88 Pada umumnya terdapat dua prosedur untuk ikut serta sebagai anggota dalam organisasi internasional, yaitu: 85 Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 46-47. Idem., hlm. 49-50. 87 Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 471. 88 Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 56. 86 42 1. Negara yang hendak menjadi anggota mengajukan permohonan. 2. Negara telah meratifikasi anggaran dasar dari organisasi internasional dimana negara tersebut akan menjadi anggota.89 Prosedur penerimaan anggota yang lebih rinci, biasanya ditentukan masing-masing dalam anggaran dasar organisasi internasional.90 5. Berhentinya keanggotaan Berakhirnya keanggotaan dalam organisasi internasional dapat dengan dua cara, pertama dengan mengundurkan diri, baik dengan ketentuan konstitusi ataupun tanpa ketentuan konstitusi. Negara yang akan keluar, berapa hari sebelumnya harus memberitahukan, karena setelah waktu tertentu pernyataan keluarnya suatu negara akan berlaku efektif. Kedua, diberhentikan dari organisasi internasional, karena biasanya telah melakukan pelanggaran yang berat dan sifatnya destruktif terhadap organisasi internasional, bahkan organisasi internasional tidak bisa memberlakukan terhadapnya prosedur suspension. Bahkan jika dalam anggaran dasar organisasi 89 90 Idem., hlm. 57. Idem., hlm. 63. 43 internasional tidak menentukan cara mengeluarkan secara paksa negara anggota, biasanya dalam praktik Negaranegara lain dalam satu organisasi yang sama akan melakukan penekanan-penekanan terhadap negara yang melakukan pelanggaran.91 Selain dua prosedur di atas, berakhirnya keanggotaan negara dalam organisasi internasional bisa pula diakibatkan karena bubarnya organisasi internasional dimana negara tersebut menjadi anggota. 92 4. Keputusan-keputusan organisasi internasional Organisasi internasional dalam menjalankan fungsinya yang terdapat dalam anggaran dasar akan memiliki dua sifat kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat intern dan kegiatan yang bersifat ekstern. Pertama, kegiatan intern organisasi internasional dapat berupa mengeluarkan keputusan-keputusan untuk mengatur anggota-anggota dari organisasi internasional sebagai pelaksanaan kewenangannya.93 Kedua, kegiatan ekstern organisasi internasional dapat dilihat dari kebijaksanaan atau hubungan-hubungan organisasi internasional dengan organisasi internasional lain, atau organisasi internasional dengan negara lain. Hubungan ektern tersebut dapat berwujud sebagai berikut: 91 Idem., hlm. 63-72., dan Ade Maman Suherman, Loc. Cit. Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 73. 93 Idem., hlm. 191-192. 92 44 a. Rekomendasi Organisasi internasional melalui organ atau alat pelengkapnya mengeluarkan rekomendasi sebagai usul yang tidak mengikat, sedangkan istilah lain yang sering digunakan adalah opinion (pendapat) atau advice (nasihat). Rekomendasi dalam beberapa organisasi internasional lainnya disebut juga dengan resolusi. Rekomendasi pada umumnya ditunjukkan kepada negara yang menjadi anggota dari organisasi internasional tersebut, tetapi tidak menutup kemungkinan rekomendasi ditunjukkan pula terhadap organ/alat perlengkapan organisasi internasional, bahkan terhadap organisasi internasional lainnya.94 b. Konvensi Konvensi telah dibahas sebelumnya dalam sumbersumber hukum internasional, tetapi dalam pembahasan ini perlu ditekankan kembali, bahwa perjanjian yang bersifat multilateral dan mengikat ini dalam perumusannya di organisasi internasional universal, sering mengundang negara yang bukan bagian dari organisasi internasional, mengingat 94 Idem., hlm. 193-194. instrumen yang dikeluarkan organisasi 45 internasional akan mempunyai peran dalam orde hukum dalam organisasi internasional.95 c. Deklarasi Deklarasi merupakan instrumen yang dikeluarkan untuk melakukan klarifikasi terhadap fakta-fakta atau keadaan yang perlu adanya penerapam hukum. Deklarasi tidak ditunjukkan untuk mengubah hukum, tetapi dalam praktiknya deklarasi merupakan bentuk kodifikasi terhadap kebiasaan-kebiasaan internasional, sehingga berlaku mengikat. Perlu dijadikan perhatian bahwa deklarasi mengikat jika di dalamnya terdapat asas-asas hukum.96 d. Peraturan yang mengikat Keputusan mengikat secara ekternal yang dikeluarkan oleh organisasi internasional hanya mungkin terjadi jika memang dalam anggaran dasar organisasi internasional tersebut menentukan hal tersebut. Keputusan organisasi internasional dapat berlaku jika memang ditunjukkan kepada negara atau kepada individu, juga organisasi internasional dalam mengeluarkan keputusan yang berlaku umum.97 95 Idem., hlm. 200-203. Idem., hlm. 197-198. 97 Idem., hlm. 203-205. 96 46 5. Pendirian dan pembubaran organisasi internasional Syarat-syarat pendirian organisasi internasional yang dikembangkan dari unsur-unsur perjanjian internasional yang tertera dalam Konvensi Wina 1969, sebagai berikut: 1. Dibuat oleh negara sebagai para pihak dalam perjanjian. 2. Berdasarkan perjanjian tertulis. 3. Untuk tujuan tertentu 4. Terdapat organ atau alat perlengkapan. 5. Yang dijadikan dasar adalah hukum internasional.98 Penutupan organisasi apabila tugas dan fungsi dari organisasi sudah terpenuhi, sedangkan penggantian apabila organisasi internasional lain telah mengambil alih tugas dan fungsi organisasi sebelumnya. Metode pembubaran organisasi internasional secara umum dapat berupa: 1. berdasarkan ketentuan konstitusi organisasi internasional. 2. berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam traktat lain. 3. ketentuan rapat atau kongres Majelis Umum. 4. perjanjian dengan organisasi internasional lainnya. 5. ketidakaktifan organisasi internasional. 6. terjadinya amademen konstitusi. 7. adanya perubahan keadaan. 98 Ade Maman Suherman, Op. Cit., hlm. 61-62. 47 8. conclusion.99 c. Individu Individu merupakan salah satu subjek hukum internasional yang mulai banyak mendapat perhatian, semenjak kemunculannya sebagai subjek pasca Perang Dunia II. Kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional kini sudah tidak perlu diragukan lagi. Pada masa awal pertumbuhan hukum internasional, individu hanyalah sebagai subjek hukum nasional, sedangkan subjek hukum internasional -bahkan satu-satunya- adalah negara. Ada pendapat bahwa individu hanya dapat bertindak dalam level internasional apabila sudah mendapat ijin atau persetujuan dari negaranya sendiri. Jadi menurut pandangan ini, negara itulah yang sebenarnya merupakan subjek hukum internasional. Namun dalam perkembangan hukum dan masyarakat internasional, ternyata individu mulai menampakkan kemunculannya sebagai subjek hukum internasional. Individu dalam kasuskasus tertentu, sudah tampil secara mandiri sebagai subjek hukum internasional. Hukum internasional sudah memberikan hak-hak dan memikulkan kewajibankewajiban berdasarkan hukum internasional secara langsung kepada individu. Demikian pula individu dapat dimintakan pertanggungjawaban secara langsung atas tidakan-tindakannya yang diduga merupakan pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum internasional.100 4. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional Tidak bisa dihindari bahwa dalam hubungan internasional berlaku maka perlu memperhatikan adanya dua sistem hukum, yaitu sistem hukum nasional dan internasional, mengingat hubungan antara dua sistem hukum ini terutama dalam mengatur eskalasi hubungan 99 Idem., hlm. 63-67. I Wayan Parthina, Pengantar Hukum Internasional, Op. Cit., hlm. 141. 100 48 internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja untuk menjawab hal ini perlu meninjau kembali dua pandangan berikut, yaitu voluntaire dan objektivis. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dari hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri maupun dua perangkat hukum yang pada hakikatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.101 Menurut paham dualisme yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.102 Pandangan dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang penting. Salah satu akibat pokok yang terpenting ialah bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan perkataan lain, dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada hakikatnya kedua perangkat umum ini tidak saja berlainan dan tidak bergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang lainnya.103 Padangan monisme melahirkan dua pandangan turunan, dan paham monisme beranggapan. 101 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 56. Idem., hlm. 57. 103 Idem,. hlm. 58. 102 49 Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dengan hukum internasional ini melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional. 104 B. Kejahatan Internasional/ Tindak Pidana Internasional Beberapa literatur tidak memberikan pembedaan pada istilah kejahatan internasional dan tindak pidana internasional, hal ini lebih kepada kebiasaan para sarjana hukum dalam penyebutannya.105 1. Definisi Kejahatan Internasional/ Tindak Pidana Internasional Definisi tindak pidana internasional berdasarkan putusan Peradilan Tindak Pidana Perang di Amerika Serikat dalam kasus Hostages adalah tindakan yang secara universal dianggap tindak pidana, yang memberi dampak yang besar dan menjadi perhatian serius masyarakat internasional, sehingga terhadap tindak pidana tersebut berlaku hukum nasional atau hukum negara tersebut, dapat berlaku pula yurisdiksi hukum negara-negara lain 104 dan yurisdiksi Idem,. hlm. 60-61. Oentoeng Wahjoe, 2011, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya, Erlanggga, Jakarta, hlm. 31, dan Romli Atmasasmita, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 5. 105 50 universal.106 M. Cherif Bassiouni memberikan definisi terhadap kejahatan internasional atau tindak pidana internasional sebagai kejahatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan diikuti oleh negara-negara, yang mana dalam ketentuan perjanjian internasional tersebut terdapat salah satu dari sepuluh karakteristik tindak pidana internasional.107 Bryan A. Garner memberikan definisi bahwa kejahatan internasional sebagai kejahatan terhadap hukum internasional, pertama merupakan suatu tindakan kejahatan berdasarkan perjanjian internasional di bawah hukum internasional dan kebiasaan internasional yang mengikat langsung terhadap individu tanpa memerlukan legitimasi dari hukum nasional. Kedua, dalam ketentuan hukum internasional mengharuskan suatu tindakan untuk dilaksanakan penuntutan dengan alasan bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang dapat dipidana atas dasar yurisdiksi universal.108 Istilah-istilah dalam menyebutkan kejahatan internasional, memiliki konsekuensi arti yang berbeda. Berbeda dengan istilah tindak pidana internasional dan tindak kejahatan internasional memiliki arti yang sama. Berikut istilah yang memiliki konsekuensi arti yang berbeda: 106 Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 27. Idem., hlm. 31., dan Eddy O.S. Hiariej, 2009, Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, hlm. 46. 108 Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 46. 107 51 1. Istilah kejahatan internasional atau international crime Kejahatan internasional adalah tindakan atau perilaku yang berdasarkan ketentuan perjanjian internasional internasional dimasukkan ke dalam atau kebiasaan kualifikasi kejahatan internasional. Perlu menjadi perhatian pula, bahwa istilah kejahatan internasional atau international crime memiliki definisi yang meliputi international crimes stricto dan international crimes largo sensu. 2. Istilah international crimes stricto sensu Interpretasi international crimes stricto sensu secara harfiah adalah kejahatan-kejahatan dalam arti sempit, yang berarti kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan yang menjadi yuridiksi materiil dari Mahkamah Pidana Internasional. 3. Istilah international crimes largo sensu Istilah ini memiliki arti kejahatan internasional dalam arti luas, tidak hanya kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi materiil Mahkamah Pidana Internasional, tetapi juga kejahatankejahatan internasional lainnya. 4. Istilah transnational crimes Istilah yang dikemukakan oleh Philip Jessup pertama kali dalam agenda United Nations Convention Against Transnational Crimes, yang pada dasarnya istilah ini digunakan ketika 52 berhubungan dengan yurisdiksi negara menghadapi suatu kejahatan, baik yurisdiksi yang bersifat mandatory dan non mandatory.109 Seperti pendapat Romli yang dikutif oleh Eddy O.S. Hiariej: Yurisdiksi yang bersifat mandatory hanya diberlakukan terhadap kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara, sedangkan yurisdiksi yang bersifat non mandatory diberlakukan untuk kejahatan terhadap korban warga negara dari negara yang bersangkutan, kejahatan yang dilakukan oleh warga negara yang bersangkutan atau stateless dan kejahatan yang dilakukan di luar batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi dipandang sebagai dilakukan di wilayah negara yang bersangkutan.110 M. Cherif Bassiouni melakukan penelitian terhadap 315 konvensi yang di dalamnya terdapat ketentuan atau mengatur tentang tindak pidana internasional, terkait definisi tindak pidana internasional. Konklusi penelitian Bassiouni bahwa suatu perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan atau tindak pidana internasional apabila memenuhi faktor: 1. Perbuatan itu melanggar kepentingan internasional yang sangat signifikan; 2. Perbuatan tersebut melanggar nilai-nilai bersama yang terdapat dalam masyarakat internasional; 109 110 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 46-47. Ibid. 53 3. Perbuatan tersebut melintasi batas territorial suatu negara, baik hal itu disebabkan karena pelaku, korban, bahkan perbuatan itu sendiri.111 2. Karakteristik Kejahatan Internasional Definisi sebelumnya mengenai kejahatan internasional menurut pendapat M. Cherif Bassiouni, bahwa kejahatan internasional tersebut dirumuskan dalam perjanjian internasional yang bersifat multilateral, dan di dalam perjanjian internasional tersebut (konvensi) salah satu dari sepuluh karakteristik pidana. Definisi kejahatan internasional menurut pendapat M. Cherif Bassiouni, terutama pada kalimat terakhir yang menyatakan sepuluh karakteristik pidana,112 dimana sepuluh karakteristik pidana tersebut atau ciri-ciri tindak pidana internasional adalah: 1. Adanya pengakuan secara eksplisit bahwa bahwa tindakantindakan tersebut merupakan tindakan pidana, tindakan pidana internasional, dan di bawah pengaturan hukum internasional. 2. Adanya pengakuan secara implisit terhadap sifat-sifat tindak pidana dengan menentukan dan melakukan penerapan kewajiban untuk melarang, menuntut, mencegah, menjatuhkan pidana dan lain-lain. 3. Kriminalisasi atau pemberian sifat pidana terhadap tindakantindakan tertentu. 111 112 Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 27-28. Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm. 37. 54 4. Adanya kewajiban atau hak untuk melakukan penuntutan. 5. Kewajiban atau hak untuk menjatuhkan pidana terhadap tindakan tertentu. 6. Kewajiban atau hak untuk melakukan ekstradisi. 7. Kewajiban atau hak untuk melakukan kerjasama dalam hal penuntutan, penjatuhan pidana, bahkan proses judisiil dan lain-lain. 8. Penetapan dasar-dasar yurisdiksi kriminal. 9. Melakukan dukungan atau referensi dalam pembentukan Mahkamah Pidana Internasional atau tribunal. 10. Penghapusan akan alasan-alasan perintah atasan dalam menjalankan tugas.113 Kesembilan karakteristik atau ciri tindak pidana internasional merefleksikan bahwa adanya peran negara yang cukup luas dalam perkembangannya maupun dalam penegakannya, hanya karakteristik kesepuluh lah negara tidak memainkan peranannya.114 Romli Atmasasmita mengemukakan pandangan terhadap sepuluh karakteristik pidana tersebut, yang menurutnya masih memiliki kelemahan-kelemahan yang berarti dalam penegakan hukum internasional terhadap kejahatan internasional yang terjadi. Salah satu kelemahannya yaitu kesepuluh karakteristik penal tindak pidana 113 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 52-53., Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm. 37-38., dan Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 31. 114 Oentoeng Wahjoe, Ibid. 55 internasional, tidak melihat Negara sebagai suatu yang memiliki batasbatas teritorial.115 3. Persyaratan Tindak Pidana Internasional Terdapat tiga persyaratan suatu tindak pidana dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana internasional menurut pendapat M. Cherif Bassiouni, yaitu: 1. memiliki unsur internasional kejahatan yang dimaksud mengancam atau dapat mengancam secara langsung ataupun tidak langsung keselamatan dan keamanan manusia secara keseluruhan. Selain itu kejahatan yang dilakukan telah bertentangan dengan hati nurani dan nilainilai yang dianut oleh umat manusia pada umumnya. 2. memiliki unsur transnasional Tindak pidana yang terjadi mempengaruhi lintas teritorial negara dalam hal keselamatan umum maupun bidang ekonomi, termasuk melibatkan warga negara yang lebih dari satu negara dan menggunakan sarana dan prasarana yang berasal dari lebih satu negara. 3. memiliki unsur keharusan. Tindak kejahatan internasional yang menjadi perhatian masyarakat internasional, karena dalam rangka pemberantasan maka diperlukan kerjasama lintas negara. Hal ini disebabkan tindak 115 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm. 38. 56 kejahatan internasional tersebut merupakan delicto jus gentium. Negara diwajibkan terhadap tindak kejahatan internasional yang berkarakter demikian, dilakukan penangkapan, penuntutan, penjatuhan hukuman dan lain-lain dimanapun tindakan tersebut terjadi.116 C. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu peletakan instumen hukum dalam rangka pembentukan lembaga internasional yang sangat penting, yaitu dengan berdirinya Mahkamah Pidana Internasional, melalui Rome Statute of The International Criminal Court 1998. Suatu lembaga yang sifatnya berbeda dengan mahkamah/pengadilan-pengadilan ad hoc sebelumnya, Mahkamah Pidana Internasional ini bersifat permanen.117 Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, yang redaksi lengkapnya sebagai berikut: The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; 116 Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 30. Arlina Permanasari, dkk., 2005, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of Red Cross, Jakarta, hlm. 190-191. 117 57 (d) The crime of aggression.118 Statuta Roma 1998 juga menentukan bahwa Mahkamah Pidana Internasional memiliki asas-asas sebagai berikut: a. Prinsip Komplementer Tercantum secara tegas dalam Mukadimah Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional 1998, bahwa Statuta ini hanya sebagai pelengkap yurisdiksi pidana hukum nasional. Pasal 1 Statuta Roma 1998 merupakan penegasan bahwa adanya statuta tidak semata-mata menggantikan sistem pidana nasional yang ada. Hal ini sebagai perwujudan penghargaan terhadap kedaulatan Negara dan pengharapan masyarakat internasional untuk ikut membantu mendorong pembentukan dan penerapan sistem hukum pidana nasional terhadap kejahatan-kejahatan yang menjadi perhatian dunia.119 b. Prinsip Penerimaan Prinsip ini menunjukkan bahwa statuta merujuk kepada hubungan komplek antara sistem hukum nasional dengan Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat menerima jika dalam keadaan: 1. sedang dilaksanakannya sistem hukum nasional untuk memeriksa dan mengadili oleh negara setempat, kecuali negara tersebut dianggap unable atau unwilling. 118 119 Article 5 (1) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 297. 58 2. telah dilaksanakannya penyelidikan oleh negara setempat dan negara setempat tidak berkehendak untuk mengajukan tuntutan terhadap individu yang bersangkutan, kecuali disebabkan oleh faktor ketidaksediaan atau ketidakmauan negara. 3. individu yang bersangkutan telah dipidana atas dasar tindakan sama yang menjadi dasar tuntutan dari Mahkamah Pidana Internasional. 4. tindak pidana yang ringan untuk ditangani Mahkamah Pidana Internasional. Ketentuan-ketentuan di atas semata-mata untuk mengurangi bahkan menghapus konsep immunitas individu.120 c. Prinsip Otomatis Statuta secara otomatis akan berlaku jika pelanggaran terhadap ketentuan atau tindak pidana terjadi yang tercantum dalam statuta, tanpa harus menunggu persetujuan dari negara pihak. Mahkamah pidana internasional dapat menerapkan yurisdiksinya apabila: 1. Kejahatan tersebut terjadi di negara pihak; 2. Pelaku kejahatan berasal dari negara pihak. 120 Idem., hlm. 297-298. 59 Bagi negara yang bukan anggota atau pihak dari statuta, baginya dapat berlaku yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional melalui pernyataan penerimaan yurisdiksi oleh negara non pihak statuta untuk kasus per kasus.121 d. Ratione Temporis (yurisdiksi temporal) Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga yang prospektif, sehingga terhadap para pihak dalam lembaga ini tidak berlaku asas retroaktif terhadap tindakan-tindakan kejahatan yang lampau. Jadi mahkamah hanya memiliki yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang terjadi setelah negara pihak meratifikasi dan tanggal aktif dari statuta.122 e. Nulum Crimen Sine Lege Asas dalam statuta ini diadopsi dari asas hukum pidana umum, dimana tidak ada seorangpun dapat diminta pertanggungjawabanya, apabila pada saat seorang tersebut melakukan tindakan pidana, tindak pidana tersebut bukan bagian dari yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.123 121 Idem., hlm. 298-299. Idem., hlm. 299. 123 Idem., hlm. 299-300. 122 60 f. Prinsip ne bis idem Seorang tidak dapat dituntut kembali atas tindakan yang telah diputus oleh mahkamah, baik itu putusan pidana atau putusan bebas dari mahkamah.124 g. Prinsip Yurisdiksi Teritorial (ratione loci) Mahkamah Pidana Internasional akan memberlakukan yurisdiksinya atas kejahatan-kejahatan yang terjadi di negara pihak statuta, tanpa memandang kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana.125 h. Tanggung Jawab Pidana Secara Individual Yurisdiksi mahkamah terhadap individu-individu, kapasitas dari individu tersebut sebagai natural persons. Seseorang yang melakukan tindakan kejahatan dapat dihukum berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam statuta, yang pertanggung jawabannya atas pribadi seseorang, bukan pertanggung jawaban negara.126 i. Prinsip Praduga Tak Bersalah Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan dari mahkamah yang menyatakan bahwa orang yang diduga melakukan tindak pidana tersebut bersalah, sehingga 124 Idem., hlm. 300. Ibid. 126 Ibid. 125 61 organ atau perlengkapan organisasi harus memperlakukan dan menganggap orang tersebut tidak bersalah.127 j. Veto Dewan Keamanan Untuk Menghentikan Penuntutan. Ketentuan Pasal 16 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa Dewan Keamanan berdasarkan Bab VII Piagam PBB, dapat mengeluarkan resolusi untuk memberhentikan atau menangguhkan penyidikan dan penuntutan di Mahkamah Pidana Internasional. Penangguhan tersebut dapat diperbaharui oleh Dewan Keamanan secara terus menerus 128 127 128 Idem., hlm. 301. idem., hlm. 297-301. 62 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian yuridis normatif ini menggunakan tiga pendekatan, yang terdiri dari pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis (historical approach). Ketiga pendekatan tersebut memiliki pengertian sebagai berikut: (1) Pendekatan undang-undang (statute approach) Dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.129 (2) Pendekatan kasus (case approach) Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.130 (3) pendekatan historis (historical approach) Dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.131 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian adalah penelitian deskriptif (descriptive research).132 Penelitian deskriptif adalah penelitian untuk melukiskan 129 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 93. Idem., hlm. 94. 131 Ibid. 130 63 tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu, dengan ketentuan peneliti sudah memegang data awal.133 C. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, dan United Nations Information Centre Jakarta. D. Sumber Data Ada tiga katagori jenis data yang digunakan, yaitu: Pertama, data primer; data yang dimaksud di sini adalah data yang diperoleh peneliti dari hasil wawancara langsung dengan narasumber yang memiliki ikatan atau kompetensi langsung atau pengetahuan dengan objek yang diteliti. Interviewer bertatap muka langsung dengan narasumber untuk menanyakan perihal pribadi narasumber, fakta-fakta yang ada dan pendapat (opinion) maupun persepsi diri narasumber dan bahkan saransaran narasumber tentang objek yang diteliti.134 Data primer akan digunakan sebagai pendukung data sekunder. Kedua, data sekunder; data yang dimaksud di sini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif atau lebih mempunyai otoritas, seperti perundang-undangan, risalah dalam hlm. 7. 132 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 133 Idem., hlm.8-9. Idem., hlm. 57. 134 64 pembuatan perundang-undangan dan keputusan majelis hakim. Bahanbahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum bisa berupa buku-buku teks tentang hukum, karya ilmiah, penelitian-penelitian terdahulu, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan atau suatu perkara. 135 Terakhir bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus-kamus, ensiklopedia, indek komulatif dan situs internet. Ketiga, data tersier atau yang disebut oleh Peter Mahmud dengan istilah bahan non-hukum, adalah bahan yang bersifat multidisipliner yang bisa membantu memecahkan dan menjadi dasar perkembangan ilmu hukum.136 Data tersier sama dengan data sekunder, yaitu digunakan sebagai pendukung data sekunder. E. Metode Pengumpulan Data Data primer didapatkan dengan wawancara terhadap narasumber. Data sekunder (bahan hukum primer, sekunder, dan tersier), pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan atau dokumen yang bisa dilakukan dengan inventaris peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional, buku, abstrask dan lain-lain, sedangkan terhadap data tersier atau bahan non-hukum didapatkan dengan menginventarisir bahan-bahan yang bersifat multidisipliner, seperti buku-buku. 135 136 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 141. Idem., hlm. 163-164. 65 F. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan hasil penelitian dan pembahasan-pembahasan serta diakhirI dengan simpulan, yang disajikan secara sistematis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, saling berhubungan dan berurutan. G. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah normatif kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya: perilaku, persepsi motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan manfaatnya dari berbagai metode ilmiah. 66 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kriteria Suatu Negara Dianggap Tidak Mau (Unwilling) atau Tidak Mampu (Unable) Dalam Penyelesain Kejahatan Internasional Pembentukan mahkamah-mahkamah internasional untuk menyelesaikan kejahatan internasional yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai kejahatan internasional serius, memiliki sejarah yang cukup panjang. Ditinjau berdasarkan waktu dan pembentukannya maka mahkamah-mahkamah internasional yang telah berhasil dibentuk, dibagi menjadi empat masa, yaitu: masa Pra-perang Dunia II; masa Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo; masa Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR) dan Mahkamah eksYugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY); masa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).137 Pertama, masa Pra-perang Dunia II. Pada masa ini gagasan pembentukan mahkamah-mahkamah internasional untuk mengadili pelaku kejahatan internasional sudah dibentuk, meskipun umumnya masyarakat internasional beranggapan bahwa International Military Tribunal for Nuremberg/IMTN sebagai peletak dasar, bagi pembentukan mahkamah kejahatan internasional dalam sejarah moderen. Pada masa Pra-perang 137 Arie siswanto, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 1. 67 Dunia II, seperti yang dikemukakan oleh Sharp dan dikutip oleh Arie Siswanto dalam buku yang berjudul Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, pendapat Sharp juga dikutif dalam artikel Muladi yang berjudul Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional. Mahkamah yang pertama kali dibentuk pada tahun 1474, dimana mahkamah ini mengadili Sir Peter von Hagenbach di Breisach, Austria, atas kejahatan yang dilakukannya berupa pembunuhan, pemerkosaan, keterangan palsu dan kejahatan lain terhadap hukum Tuhan dan hukum manusia terhadap penduduk sipil, semasa pendudukan militer yang dilakukannya dalam rangka paksaan untuk tunduk terhadap kekuasaan Duke Charles di Burgundy. Sir Peter von Hagenbach atas perbuatannya diadili oleh 28 hakim dari negara-negara yang berada di bawah Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire), melalui Mahkamah ini Sir Peter von Hagenbacht diberikan hukuman dengan ditanggalkannya status kebangsawanannya dan dihukum mati.138 Berbeda dengan pendapat M. Cherif Bassiouni, menurutnya mahkamah untuk pelaku kejahatan internasional didirikan pertama kalinya untuk mengadili Conradin von Höhenstaufen pada tahun 1268 di Naples, Italia. Conradin von Höhenstaufen dianggap melancarkan perang yang 138 Idem., hlm. 1-2., dan Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional, http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Pengadilan%20ham%20dalam% 20konteks%20nasional%20dan%20internasional%20-%20muladi.pdf, diakses pada tanggal 21 Oktober 2014. 68 tidak dibenarkan (unjust war). Mahkamah yang mengadili Conradin von Höhenstaufen menjatuhkan hukuman mati.139 Perspektif sejarah modern, mahkamah internasional yang dibentuk sebagai upaya internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan internasional, direpresentasikan dengan pembentukan Peradilan Leizig. Peradilan ini dibentuk pada akhir Perang Dunia I, sebagai upaya untuk mengadili penjahat perang dari pihak yang kalah dalam Perang Dunia I. Peradilan Leizig merupakan upaya Jerman untuk tidak menyerahkan para tersangka dari pihak jerman, sebagai pihak yang kalah dalam perang kepada pihak Sekutu untuk diadili. Berdasarkan ketentuan Perjanjian Versailles tahun 1919 (The Treaty of Peace Between the Allied and Associated Power and Germany) bahwa Jerman sebagai pihak yang kalah dalam Perang Dunia I, harus menyerahkan para tersangka penjahat perang terhadap sekutu. Jerman dalam pelaksanaan menolak untuk menyerahkan 896 tersangka, dengan dalih akan mengadilinya sendiri dalam Peradilan Leizig. Dari 896 tersangka, hanya empat puluh lima yang hendak diadili Jerman, sedangkan yang benar-benar dihadapkan ke pengadilan dari empat puluh lima, hanya dua belas tersangka. Akhirnya Peradilan Leizig memutuskan bahwa enam orang tersangka bebas, dan enam orang tersangka lainnya dijatuhi hukuman yang sangat ringan.140 Kedua, pada masa Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg yang memiliki nama resmi International Military 139 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 2., dan Artikel Wikipedia tentang Conradin, http:// en.wikipedia.org/ wiki/Conradin, diakses pada tanggal 21 Oktober 2014. 140 Arie Siswanto, Loc. Cit. 69 Tribunal for Nuremberg (IMT Nuremberg),141 yang dibentuk untuk mengadili para penjahat perang NAZI, Jerman.142 Berdasarkan pengalaman sebelumnya yaitu pada saat berakhirnya Perang Dunia I, maka para Sekutu berusaha merumuskan model pengadilan atau mahkamah kejahatan internasional yang berbeda supaya bisa mengadili secara langsung di bawah Sekutu, terhadap penjahat perang NAZI, Jerman. Berdasarkan pembicaraan antara negara Sekutu yang dilakukan di Moscow dan London pada tahun 1942-1943, akhirnya Sekutu menyepakati Piagam London pada tanggal 8 Agustus 1945.143 Piagam London atau Yustina Trihoni Nalesti Dewi menyebutnya London Agreement, merupakan instrumen hukum internasional untuk mengadili para penjahat perang NAZI, Jerman, Melalui Mahkamah Internasional Militer. Nama lengkap Agreement tersebut yaitu The Agreement for the Prosecution and Punisment of Major War Criminal of the European Axis, and Establising the Charter of the International Military Tribunal. Perlu ditekankan juga dalam Agreement tersebut juga termuat Statute of the Nuremberg sebagai dasar pelaksanaan dari Mahkamah Internasional Militer.144 Yurisdiksi kejahatan dalam Mahkamah Nuremberg mencakup tiga jenis kejahatan yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap 141 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 137. Arlina Permanasari, dkk., Op. Cit., hlm. 184. 143 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 3. 144 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 138-139. 142 70 kemanusian (crimes against humanity).145 Tiga jenis kejahatan yang terdapat dalam Piagam Nuremberg dan menjadi yurisdiksi atas kejahatan yang akan ditangani oleh Mahkamah Nuremberg merupakan hal yang perlu dicermati, karena dua dari tiga jenis kejahatan substantif tersebut, merupakan kejahatan yang tidak pernah dinyatakan dalam hukum internasional sebelumnya. Dua kejahatan substatif yang baru dimunculkan melalui Piagam Nuremberg tersebut yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace) dan kejahatan terhadap kemanusian (crimes against humanity).146 Berikut ketentuan Pasal 6 Piagam Nuremberg: The following acts, or any of them, are crimes coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual responsibility: (a) Crimes Against Peace: namely, planning, preparation, initiation or waging of a war of aggression, or a war in violation of international treaties, agreements or assurances, or participation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the foregoing; (b) War Crimes: namely, violations of the laws or customs of war. Such violations shall include, but not be limited to, murder, illtreatment or deportation to slave labor or for any other purpose of civilian population of or in occupied territory, murder or illtreatment of prisoners of war or persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private property, wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified by military necessity; (c)Crimes Against Humanity: namely, murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war; or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated.147 145 Arlina Permanasari, dkk., Op. Cit., hlm. 185. Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 139. 147 Article 6 Charter of the International Military Tribunal 1945. https://www.unimarburg.de/icwc/dateien/imtcenglish.pdf, diakses pada tanggal 22 Oktober 2014. 146 71 Terdapat empat orang hakim dan empat orang hakim pengganti pada Mahkamah Nuremberg, yang berasal dari negara-negara yang menyusun Piagam Nuremberg, yaitu: Francis Biddle, John Parker (Amerika Serikat), Lord Justice Geoffrey Lawrence, Justice Norman Birkitt (Inggris), Prof. Donnedieu de Vabres, Judge R. Falco (Perancis), I.T. Niktchenko, Maj. Gen, A.F. Volchkof, Lt. Col (Uni Soviet). Adapun mengenai penuntut atau prosecutor di Mahkamah Nuremberg ada empat chief prosecutor yang masing-masing berasal dari keempat negara tersebut di atas. 148 Mahkamah ini berhasil mengadili 21 orang Jerman, dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha senior, pejabat militer, diplomat, hingga orang yang melakukan propaganda, 12 orang diantaranya dijatuhi hukuman mati. Mereka semua didakwa karena memulai perang tidak sah dan kejahatan perang lainnya.149 Tindakan genosida yang dilakukan terhadap orang-orang yahudi, karena dalam Piagam Nuremberg tidak terdapat terminologi genosida, maka penjahat NAZI didakwa dengan crimes against humanity.150 Berbeda dangan Arie Siswanto, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Nuremberg berhasil mengadili 24 tersangka dari penjahat NAZI, Jerman.151 Sementara itu pada tanggal 19 Januari 1946, berdasarkan deklarasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas 148 Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, internasional Commitee of Red Cross, Jakarta, hlm. 186-187. 149 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 140. 150 Idem., hlm. 139. 151 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 2. 72 MacArthur, didirikan Mahkamah Penjahat Perang Tokyo atau mahkamah ini memiliki nama resmi International Military Tribunal for the Far East/IMTFE (Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh), atau masyarakat internasional biasa menyebutnya dengan Tokyo Tribunal (Mahkamah Tokyo). Setelah deklarasi dilaksanakan oleh Jenderal Douglas MacArthur maka disusunlah draft piagam oleh Amerika Serikat dengan mengacu pada Piagam Nuremberg.152 Terdapat perbedaan dalam pembentukan antara Piagam Nuremberg dan Piagam Tokyo. Draft Piagam Nuremberg disusun dalam medium konferensi internasional oleh negaranegara sekutu yang menang dalam Perang Dunia II, sedangkan draft Piagam Tokyo hanya disusun oleh Amerika Serikat Sepihak, dan disetujui secara unilateral oleh Komandan Tertinggi Sekutu di Jepang. Tepatnya draft Piagam Tokyo hanya disusun oleh Josep B. Keenan yang merupakan orang yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, yang berikutnya menjadi Prosecutor di MahkamahTokyo. Peran negara-negara dalam hal ini hanya memberikan masukan ketika setelah terbentuknya Mahkamah Tokyo.153 Di Mahkamah Tokyo terdapat 11 orang hakim, yang berasal dari sebelas Negara yang terlibat dalam Perang Pasifik, negara-negara tersebut yaitu Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Cina, Australia, Uni Soviet, Kanada, Belanda, Selandia Baru, India, dan Filipina. India dan Filipina ditunjuk menjadi sebagai negara yang merepresentasikan hakim, meski 152 153 Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 187. Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 140-141. 73 kedua negara ini pada saat itu belum berdaulat. Negara India dan Negara Filipina belum mendapatkan kedaulatannya pada saat itu, tetapi dalam perumusan, pembentukan sampai dengan penunjukan Aparatur Mahkamah Tokyo, bahwa Negara Amerika Serikat lah yang memiliki otoritas tertinggi untuk itu. Misalkan dalam menentukan negara mana saja yang dapat mengirimkan hakim untuk duduk di Mahkamah Tokyo adalah Amerika Serikat; yang menunjuk 11 hakim yang diserahkan oleh 11 negara adalah Amerika Serikat; yang menentukan Presiden Mahkamah Tokyo dari 11 hakim, yaitu Sir William Webb dari Australia adalah Amerika Serikat;154 dan yang Amerika Serikat pula yang menentukan Chief Prosecutor yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, dan dibantu pula dengan sepuluh orang associates prosecutor.155 Beberapa otoritas Amerika Serikat dalam menentukan hal-hal yang bersifat strategis tersebut, sekaligus menjadi pembeda prosedur teknis (penentuan struktur) antara Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Misalkan Presiden Mahkamah Nuremberg dipilih dari dan oleh 11 hakim dari Mahkamah Nuremberg yang ada, tetapi hal ini berbeda dengan di Mahkamah Tokyo, dimana Presiden Mahkamah Tokyo ditentukan atas hak preogratif dari Amerika Serikat.156 11 hakim yang berasal dari 11 negara yang terlibat dalam Perang Pasifik, adalah: Webb (Australia); yang juga menjabat sebagai Presiden Mahkamah, McDougal (Canada), Mei (China), Bernrd (Perancis), Pal (India), Roling (Belanda), Nortcroft 154 Idem., hlm. 141. Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 188. 156 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Loc. Cit. 155 74 (New Zealand), Jaranila (Philipina), Patrick (Inggeris), Higgina (Amerika Serikat), Zaranayov (Uni Soviet)157 Yurisdiksi kejahatan yang terdapat dalam Piagam Tokyo, sama dengan yurisdiksi kejahatan yang terdapat dalam Piagam Nuremberg, terdapat tiga yurisdiksi kejahatan yang terdiri dari kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan perang (war crimes).158 Terdapat dua puluh lima pelaku penjahat perang Jepang yang dihadapkan di Mahkamah Tokyo, dari dua puluh lima orang yang dihadapkan ke Mahkamah Tokyo, semuanya dinyatakan bersalah atas kejahatan yang didakwakan, dan dari dua puluh orang yang diputus bersalah, tujuh orang diantaranya dijatuhi hukuman mati.159 Ketiga, masa Mahkamah eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dan Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR). Di Wilayah eksYugoslavia, mendapatkan dampak dari keruntuhan kubu komunis, setelah berakhirnya Perang Dingin. Negara-negara yang termasuk Blok Timur yang sebelumnya berada di bawah cengkraman komunisme, mengalami dampak perubahan struktur politik internasional dan domestik, salah satunya eks-Yugoslavia. Yugoslavia merupakan salah satu negara federasi yang tampak solid berada di bawah cengkraman komunisme, mulai 157 Arlina Permanasari, dkk, Loc. Cit. Idem., hlm. 187. 159 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 4. 158 75 mengalami guncangan disintegrasi, dengan terdapatnya negara-negara bagian yang sebelumnya termasuk kedalam Federasi Yugoslavia, memploklamirkan independensi negara bagian, dan akan meninggalkan Federasi Yugoslavia. Negara-negara tersebut yaitu Republik Slovenia, Republik Kroasia, dan Republik Bosnia-Herzegovina. Guncangan disintegrasi yang dihadapi oleh Federasi Yugoslavia, tidak luput muncul pula sentimental etnik yang berada di wilayah Federasi Yugoslavia. Etnik Serbia yang mayoritas bermukim di Negara Bagian Republik Serbia, yang dimana negara bagian ini latar belakangnya merupakan negara bagian terkuat di Negara Federasi Yugoslavia, menentang adanya disintegrasi yang dilakukan oleh negara-negara bagian lainnya, sehingga dimulailah kekerasan antar etnik di wilayah bekas Federasi Yugoslavia. Terutama yang menjadi perhatian khusus masyarakat internasional adalah kekerasan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan startegis di Serbia, diantaranya yang dilakukan oleh Pemimpin Militer Serbia-Bosnia, Ratko Mladic dan mantan Politikus Serbia, Radovan Karadzic terhadap warga yang berada disalah satu provinsi yang bernama Kosovo, yang merupakan salah satu bagian dari Republik Serbia. Ketika salah satu provinsi di Serbia ini (Kosovo) menginginkan kemerdekaan dan keluar dari Republik Serbia, Presiden Slobodan Milosevic menjawabnya dengan operasi pembersihan etnik (ethnic cleansing) di Wilayah Kosovo, terhadap Etnik Albania Muslim. Wilayah Kosovo ditempati oleh Etnis Albania Muslim yang 76 berkisar 90 %, dan Etnis Serbia yang berkisar 10 % dari jumlah keseluruhan Penduduk Kosovo 160 Atas tindakan Slobodan Milosevic di Kroasia pada tahun 19911992, Perang Bosnia pada tahun 1992-1995, dan peperangan yang terjadi Kosovo pada tahun 1998-1999. Prosecutor Carla del Ponte mencatat telah menelan korban bekisar 200.000 orang, dan melakukan eksodus sekitar 3,5 juta penduduk.161 PBB ketika berusaha meredam konflik yang terjadi melalui United Nations Peace-Keepers, justru banyak United Nations Peace-Keepers yang menjadi korban. Keadaan ini menjadikan keprihatinan masyarakat internasional atas apa yang terjadi di Wilayah eks-Yugoslavia, sehingga Dewan Keamanan PBB atas otoritas yang dimilikinya menetapkan peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia.162 Langkah berikutnya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 808/1993 (22 Februari 1998) dan Resolusi Nomor 827/1993 (25 Mei 1993), Selanjutnya Statuta Mahkamah eksYugoslavia yang dibentuk berdasarkan Resolusi Nomor 827/1993 diamademen dengan Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1166 tahun 1998,163 yang menetapkan pembentukan suatu peradilan internasional ad hoc, yaitu International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia 160 Idem., hlm. 4-5. Boer Mauna., Op. Cit., hlm. 284. 162 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 5-6. 163 Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 188. 161 77 (ICTY), untuk mengadili pelanggar berat HAM di wilayah eksYugoslavia.164 Terdapat 16 Hakim di Mahkamah eks-Yugoslavia, yang ditentukan berdasarkan keputusan Majelis Umum PBB, dua hakim diantaranya merupakan hakim yang dipilih oleh Sekretaris Jenderal PBB. Mahkamah eks-Yugoslavia diketuai oleh Theodor Meron, yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, dipilih bersamaan dengan terpilihnya hakim-hakim lainnya. Selain itu mengingat tugas yang berat dalam penanganan kasus yang terjadi di Wilayah eks-Yugoslavia, Dewan Keamanan PBB dengan Resolusi Nomor 1329/2000 membentuk hakim-hakim ad litem (diperbantukan) berjumlah 27 orang, dengan proses melalui Majelis Umum PBB.165 Mahkamah eks-Yugoslavia memiliki yurisdiksi atas kejahatan: genosida (genoside), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang (violations of the laws and customs of war/war crimes), pelanggaran berat seperti yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949 (graves breaches of the Geneva Convention), dan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional (serious violations of international humanitarian law). Ketentuan dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 Statuta Mahkamah eksYugoslavia, yang terjadi sejak tanggal 1 Januari 1991 sampai dengan 164 165 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 6. Boer Mauna., Op. Cit., hlm. 282. 78 tanggal terlaksananya restorasi perdamaian, sedangkan restorasi perdamaian tersebut belum diketahui kapan akan terlaksana.166 Mahkamah eks-Yugoslavia tidak dapat mengadili kejahatan yang terjadi sebelum tahun 1991, baik yang terjadi di dalam Wilayah eks-Yugoslavia, dan kejadian yang terjadi di luar Wilayah eks-Yugoslavia.167 Mahkamah eks-Yugoslavia telah menjatuhkan hukuman 45 tahun penjara terhadap Jenderal Kroasia Bosnia Tihomir Blaskic pada tanggal 3 Maret 2000, karena telah melakukan pengorganisiran program ethnic cleansing terhadap orang muslim selama perang Bosnia pada tahun 19921995. Selain itu Jenderal Radislav Kristic pada tanggal 2 Agustus 2001 dijatuhi hukuman 46 tahun penjara oleh Mahkamah eks-Yugoslavia, dan yang menjadi sorotan masyarakat internasional adalah ditangkap dan diadilinya mantan Presiden Federasi Yugoslavia Slobodan Milosevic pada tanggal 12 Februari 2002 di Den Haag.168 Sementara itu di belahan Benua Afrika Tengah, tepatnya di Negara Rwanda, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Etnik Hutu terhadap Pemerintahan Rwanda. Pemerintahan Rwanda pada saat itu dikuasai oleh etnik minoritas, yaitu Etnik Tutsi. Perbandingan penduduk antara Etnik Hutu dan Etnik Tutsi yaitu: 85% dan 14%. Atas dasar kecemburuan Etnik Mayoritas terhadap Etnik Minoritas yang menguasai Pemerintahan, maka 166 Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 189., dan Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit. hlm 142. 167 Boer Mauna., Loc. Cit. 168 Idem., hlm. 282-283. 79 pada tahun 1959 pemberontakan tehadap pemerintahan yang berkuasa yang didominasi Etnik Tutsi dilancarkan oleh kelompok mayoritas Etnik Hutu, sehingga satu tahun setelah pemberontakan, kelompok Etnik Hutu berhasil menguasai pemerintahan. Pada Desember 1963, setelah Etnik Hutu berkuasa, terjadi kekerasan antar etnik di Rwanda, yang mengakibatkan tewasnya 20.000 orang Etnik Tutsi, sedangkan beberapa kelompok Etnik Tutsi lainnya meninggalkan Rwanda, ke negara-negara tetangga. Kelompok Etnik Tutsi di negara tetangga melakukan serangan terhadap kelompok Etnik Hutu di Rwanda, tetapi serangannya selalu saja bisa dipatahkan, dan yang menanggung akibat dari serangan tersebut adalah Etnik Tutsi yang masih berada di wilayah Rwanda, yang dijadikan sebagai objek balasan oleh Etnik Hutu atas serangan yang dilancarkan oleh Kelompok Etnik Tutsi yang berada di luar Rwanda. Politikus Juvenal Habyarimana, yang masih merupakan bagian dari kelompok Etnik Hutu, melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang telah dua puluh tahun berkuasa di Rwanda, sehingga menjadi penguasa di Rwanda dan membuat program-program yang bisa memudarkan konflik, tetapi konflik antar etnik tidak bisa dihentikan secara menyeluruh. Setelah Rwandan Patriotic Front (RPF) melancarkan serangan dari Uganda pada 1 Oktober 1990, terjadi penangkapan terhadap Etnik Tutsi dan oposisi sekitar 10.000 orang oleh pemerintahan Rwanda, tanpa melalui proses yang adil, yang berlangsung sampai tahun 1992, yang mengakibatkan 80 banyaknya jumlah korban dan 100.000 orang mengungsi ke luar Wilayah Rwanda. Ketegangan kembali terjadi pada bulan Oktober 1993, dimana ketegangan ini terjadi setelah dicapainya perdamaian antara Pemerintah Rwanda dengan Rwandan Patriotic Front (RPF) pada Agustus 1993 di Tanzania. Selanjutnya 6 April 1994, pesawat yang ditumpangi oleh Juvenal Habyarimana dan Ntaryamira yang merupakan kepala Negara Burundi, jatuh di Lapangan Udara Kigali, yang menyebabkan kematian dua kepala negara tersebut. Peristiwa ini menyulut kembali ketegangan di Rwanda, kelompok keras Etnik Hutu menuduh bahwa Kelompok Etnik Tutsi lah yang mengakibatkan jatuhnya pesawat tersebut. Pada 1 Juli 1994, Dewan Keamanan PBB melakukan usaha untuk membentuk Komisi Ahli yang mempunyai tugas untuk melakukan investigasi dan rekomendasi atas adanya dugaan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional dan tindakan genosida yang dilakukan di Rwanda. Pada tanggal 29 September 1994 Komisi Ahli telah memberikan laporan awal atas hasil investigasinya, dan turut pula merekomendasikan untuk membentuk Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili pelaku kejahatan perang dan genosida, yang dilakukan sejak tanggal 6 April 1994, akan tetapi Dewan Keamanan memutuskan untuk membentuk Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda pada tanggal 8 81 Nopember 1994, tanpa menunggu konklusi dari Komisi Ahli.169 Mahkamah Kejahatan Internasional yang dibentuk untuk Rwanda, memiliki nama resmi yaitu International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), yang dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan Nomor 955/1994. Internasional Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dibentuk untuk mengadili Warga Negara Rwanda yang telah melakukan pelanggaran, baik di dalam Wilayah Rwanda, maupun di luar Wilayah Rwanda, yang dilakukan mulai tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994.170 Pelanggaran yang menjadi kompetensi International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) adalah kejahatankejahatan sebagai berikut: 1. Genosida (Genocide); 2. Kejahatan terhadap kemanusian (Crimes Against Humanity); 3. Pelanggaran terhadap Pasal 3 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977 (violations of Art. 3 common to the Geneva Conventions and Additional Protokol II).171 International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) atau Mahkamah Rwanda, memiliki 6 hakim tatap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB pada Mei 1995, yang kemudian atas pertimbangan pembentukan Trial Chamber yang ke tiga, maka Dewan Keamanan melalui resolusi Nomor 1165/1998 menunjuk 3 hakim tetap lainnya, sehingga hakim tetap berjumlah 9 orang, dan pada tahun 2000 Dewan Keamanan melalui resolusi Nomor 1329/2000 menunjuk kembali 2 orang hakim tetap. Sama 169 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 6-8. Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 190. 171 Ibid. 170 82 dengan Mahkamah Yugoslavia, Mahkamah Rwanda berdasarkan resolusi Dewan Keamanan Nomor 1431/2002, membentuk hakim ad litem berjumlah 18 orang, yang dipilih oleh Majelis Umum PBB, untuk membantu jalannya Mahkamah Rwanda.172 Mahkamah Rwanda berhasil menghadapkan pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya genosida dan kejahatan lainnya yang terjadi mulai tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994.173 Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah mantan Wali Kota Taba Jean Paul Akayesu, yang dijatuhi hukuman 80 tahun penjara pada akhir tahun 1998, atas kejahatan genosida yang direncanakan dan secara teroganisir terhadap Etnik Tutsi. Perdana Menteri Rwanda, Jean Kambanda salah satu contoh lainnya yang tidak luput dibawa ke Mahkamah Rwanda untuk diadili, Jean Kambanda diadili karena pada tahun 1994 saat terjadinya genosida, menjabat sebagai Perdana Menteri Rwanda, tidak melakukan upaya-upaya untuk melakukan pencegahan supaya tidak terjadinya tindakan tersebut. Akibat sikap Jean Kambanda tersebut, dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.174 Keempat, masa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen, pembentukannya sudah diusahakan pasca-Perang Dunia I di Versailles pada tahun 1919, yang diharapkan sebagai fundamen untuk 172 Boer Mauna., Op. Cit., hlm 286. Idem., hlm. 286. 174 Ibid. 173 83 mengakhiri perang, atau biasa dikenal dengan istilah “the war to end all wars”. Meletusnya Perang Dunia II berakibat timbulnya tragedi kemanusian yang luar biasa besar dari pada akibat yang ditimbulkan Perang Dunia I, menyebabkan usaha pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen ini terabaikan.175 Berakhirnya Perang Dunia II, pembetukan Mahkamah Pidana Internasional terus bergulir di bawah Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission/ILC),176 dimana pada dasarnya Komisi Hukum Internasional PBB dibentuk melalui sidang umum PBB pada tahun 1948. Tujuan dibentuknya adalah untuk membangun sistem hukum internasional yang moderen.177 Pada tahun 1949 sampai dengan tahun 1954, Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft statuta sebagai upaya pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, akan tetapi banyak sekali perdebatan antara anggotanya, sehingga pembahasan draft statuta untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam sidang Komisi Hukum Internasional PBB dihentikan. Pada tahun 1989 Trinidad dan Tobago sempat meminta kembali Komisi Hukum Internasional untuk melanjutkan pembahasan statuta internasional dalam hal pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dengan yurisdiksi yang mencakup tindakan dalam hal peredaran obat-obatan terlarang,178 bahkan 175 Muladi, Op. Cit., hlm. 11. Boer Mauna, Op. Cit., hlm 290. 177 Aristo M.A. Pangaribuan, 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), Papas Sinar Sinanti dan Badan Penerbit FHUI, Jakarta, hlm. 29. 178 Boer Mauna, Loc. Cit. 176 84 dalam literatur lain dipaparkan bahwa Trinidad dan Tobago sempat mengajukan rancangan proposal untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional di sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak mendapatkan perhatian dari para anggota PBB yang hadir pada saat itu. Tragedi kemanusian terjadi di wilayah Balkan pada sekitar 1990-an yang menyita perhatian masyarakat internasional, barulah setelah berdirinya dan melihat keefektifan Mahkamah masyarakat internasional Rwanda mulai dan Mahkamah merasakan eks-Yugoslavia, perlunya membentuk Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen. Atas desakan beberapa Negara, khususnya yang menjadi anggota PBB, Komisi Hukum Internasional melanjutkan penyusunan draft statuta untuk pembetukan Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen.179 Akhirnya pada tahun 1994, Komisi Hukum Internasional berhasil menyelesaikan penyusunan draft statuta untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen, dan mengajukan draft tersebut ke Majelis Umum PBB. Setelah penyerahan draft statuta dilakukan, Majelis Umum PBB membentuk Komite yang bersifat ad hoc (Ad hoc Committee) untuk pembahasan hal-hal atau isu-isu yang bersifat substantif dalam lingkup pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Tahun 1995 Majelis Umum PBB kembali membentuk UN Preparatory Committee on the Establishment of International Criminal Court (PrepCom) yang dikhususkan untuk penyempurnaan draft Statuta 179 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 8. 85 Mahkamah Pidana Internasional sebelum diajukan dan dibahas di Konferensi Diplomatik. United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan International Criminal Court/ICC yang dilaksanakan tanggal 15 Juni-17 Juli 1998 di Markas Besar FAO di Roma, berdasarkan Resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum dengan No. 51/207 tahun 1966 dan Resolusi No. 52/160 tahun 1997. Konferensi Diplomatik ini dihadiri oleh 160 Negara, 33 Organisasi Internasional, dan 236 NGO’s. Penerimaan Statuta Mahkamah Pidana Internasional dengan nama resmi Rome Statute of the International Criminal Court, dilakukan dengan pemungutan suara pada tanggal 17 Juli 1998 yang dilakukan oleh 120 negara, diantaranya 7 menentang dan 21 abstain. Amerika Serikat termasuk Negara yang menentang dan menolak menandatangani Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, dengan alasan bahwa berdirinya Mahkamah Pidana Internasional akan mengurangi peran Dewan Keamanan PBB dan memiliki sistem yang cacat, tanpa adanya pengawasan dan dapat mengancam kedaulatan negara. Pada tanggal 31 Desember 2000 jumlah negara yang menandatangani sudah mencapai 139 negara.180 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional mulai berlaku tanggal 1 Juli 2002, meski pada tanggal 17 Juli 1998 sudah terdapat 120 negara yang menandatangani. Berlakunya Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah 180 Boer Mauna, Op. Cit., hlm 290-291. 86 Pidana Internasional, karena mengacu pada ketentuan Pasal 126 Statuta,181 yaitu: 1. This Statute shall enter into force on the first day of the month after the 60th day following the date of the deposit of the 60th instrument of ratification, acceptance, approval or accession with the Secretary-General of the United Nations. 2. For each State ratifying, accepting, approving or acceding to this Statute after the deposit of the 60th instrument of ratification, acceptance, approval or accession, the Statute shall enter into force on the first day of the month after the 60th day following the deposit by such State of its instrument of ratification, acceptance, approval or accession.182 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002, sejak adanya ratifikasi ke-60 dan didepositkannya ke Sekretaris Jenderal PBB.183 Sampai tanggal 12 Nopember 2014 terdapat 122 negara yang telah menjadi negara anggota, yang terdiri dari 34 negara (Afrika), 18 negara (Asia Pasifik), 18 negara (Eropa Timur), 27 (Amerika Latin dan Caribbean), 25 negara (Eropa Barat dan negara-negara lainnya).184 Berikut daftar negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional sampai tanggal 11 September 2014 dapat ditinjau pada lampiran 1: Jumlah hakim yang terdapat di Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan ketentuan Pasal 36 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional berjumlah 18 hakim, yang dipilih dari negara 181 Idem., hlm. 291. Article 126 (1)(2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 183 Boer Mauna, Loc. Cit. 184 International Criminal Court, Assembly of States Parties, States Parties to the Rome Statute, 2014, http://www.icc-cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/Pages/the%20states% 20parties%20to%20the%20rome%20statute.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014. 182 87 anggota, dengan masa jabatan 9, 6, dan 3 tahun, yang dapat dipilih kembali untuk satu kali masa bakti penuh, kecuali hakim dengan masa jabatan 9 tahun. Hakim yang menjadi Ketua atau Presiden pertama di Mahkamah Pidana Internasional adalah Philippe Kirsch dari Canada. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 Statuta Roma 1998 tentang Mahakamh Pidana Internasional, Penuntut Umum hanya terdiri dari satu orang dan dapat dibantu dalam pelaksanaan tugasnya oleh seorang atau lebih Wakil Penuntut Umum. Penuntut Umum dan Wakil Penuntut Umum dipilih untuk masa jabatan 9 tahun, setelah berakhir masa jabatannya tidak dapat dipilih kembali. Luis Morino Ocampo yang berkewarganegaraan Argentina, merupakan Penuntut Umum pertama Mahkamah Pidana Internasional.185 Mahkamah Pidana internasional, berdasarkan prinsip komplementer seperti yang tertera dalam ayat 10 Pembukaan dan dipertegas oleh ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998, sebagai berikut: Emphasizing that the International Criminal Court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdictions;186 Sedangkan ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, sebagai berikut: 185 186 Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 292-293. Paragraph (10) Preamble Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 88 An International Criminal Court (‘the Court’) is hereby established. It shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, as referred to in this Statute, and shall be complementary to national criminal jurisdictions. The jurisdiction and functioning of the Court shall be governed by the provisions of this Statute.187 sehingga yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional hanya sebagai pelengkap yurisdiksi suatu negara.188 Mahkamah Pidana Internasional bersifat komplementer, kerena diketahui berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998 dan tentunya mengingat pula ayat 10 Pembukaan Statuta Roma 1998, bahwa kewajiban untuk menegakkan hukum, atas kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat internasional yang dilakukan, menjadi tanggung jawab suatu negara. Berikut ketentuan lengkap ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional: Recalling that it is the duty of every State to exercise its criminal jurisdiction over those responsible for international crimes;189 Ketentuan dalam Statuta Roma 1998, meskipun pada dasarnya menyebutkan bahwa kewajiban untuk menegakkan hukum ada di suatu negara, akan tetapi negara dapat berada dalam keadaan atau dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional. Ketentuan 187 yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 Statuta Article 1 Rome Statute of The International Criminal Court 1998. Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 297. 189 Paragraph (6) Preamble Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 188 89 Roma 1998, menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap tidak mau atau ketidaksediaan (unwilling) sebagai berikut: 2. In order to determine unwillingness in a particular case, the Court shall consider, having regard to the principles of due process recognized by international law, whether one or more of the following exist, as applicable: (a) The proceedings were or are being undertaken or the national decision was made for the purpose of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the Court referred to in article 5; (b) There has been an unjustified delay in the proceedings which in the circumstances is inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice; (c) The proceedings were not or are not being conducted independently or impartially, and they were or are being conducted in a manner which, in the circumstances, is inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice.190 Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998, menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap tidak mampu atau ketidaksediaan (unable) adalah sebagai berikut: 3. In order to determine inability in a particular case, the Court shall consider whether, due to a total or substantial collapse or unavailability of its national judicial system, the State is unable to obtain the accused or the necessary evidence and testimony or otherwise unable to carry out its proceedings.191 Kasus kontemporer yang ditangani oleh Mahkamah Pidana Internasional salah satunya adalah kasus yang terjadi di Republik Demokratik Kongo (Democratic Republic of the Congo/DRC), dengan tersangka utama Thomas Lubanga Dyilo. Kasus Thomas Lubanga Dyilo 190 191 Article 1(2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. Article 1(3) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 90 sebagai pembuka Mahkamah Pidana Internasional, sejak berdirinya pada tanggal 1 Juli 2002, dengan Thomas Lubanga Dyilo sebagai tersangka dalam sidang penuh Mahkamah Pidana Internasional.192 Selain itu putusan Mahkamah Pidana Internasional tahun 10 Juli 2012,193 terhadap Thomas Lubanga Dyilo merupakan putusan pertama Mahkamah Pidana Internasional.194 Kasus ini pada dasarnya muncul karena perebutan penguasaan atas tambang dan pajak yang berada di daerah Ituri, yang berada di timur laut wilayah Republik Demokratik Kongo (Democratic Republic of the Congo/DRC), tapi dalam perkembangannya, menjadi konflik antar etnik, yaitu antara Etnik Hema dan Etnik Lendu. Masing-masing etnik memiliki kelompok milisi tersendiri, misalkan Etnik Hema yang memiliki kelompok milisi Uni Patriotic Congo (UPC)195 atau Angkatan Patriotik untuk Pembebasan Kongo (Patriotic Force for the Liberation of Congo/FPLC). Angkatan Patriotik untuk Pembebasan Kongo (Patriotic Force for the 192 Tokoh Perang Kongo Diadili dalam ICC: Republika (on line), 27 Januari 2009, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/01/27/28028-tokoh-perangkongo-diadili-dalam-icc, diakses pada tanggal 12 September 2014. 193 International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, The Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, 2012, http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/situations %20and%20cases/situations/situation%20icc%200104/related%20cases/icc%200104%200106/Pa ges/democratic%20republic%20of%20the%20congo.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014. 194 Panglima Perang Kongo Dipenjara Karena Pakai Tentara Anak: BBC Indonesiia, 2012, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/07/120710_congosentence, diakses pada tanggal 18 September 2012 195 Pemimpin Milisi Kongo Jadi Tersangka Pertama yang Diadili di Pengadilan Internasioal: Republika (on line), 26 Januari 2009, http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/internasional/09/01/26/27996-pemimpin-milisi-kongo-jadi-tersangka-pertama-yang-diadilidi-pengadilan-internasioal, diakases pada tanggal 18 September 2014. 91 Liberation of Congo/FPLC) ini dibentuk dan berada di bawah pimpinan Thomas Lubanga Dyilo. Selain itu, yang menyita perhatian masyarakat internasional adalah terdapat dugaan bahwa Thomas Lubanga Dyilo telah melakukan rekruitmen dengan cara penculikan, untuk dijadikan anggota milisi Angkatan Patriotik untuk Pembebasan Kongo. Anak-anak yang dijadikan target rekruitmen, adalah anak yang berusia di bawah 15 tahun. Anakanak tersebut diarahkan untuk ikut aktif dalam peperangan yang bersifat non-internasional. 196 Atas terjadinya perang antar etnik tersebut, banyak pimpinan atau orang-orang yang dianggap bertanggung jawab diproses di Mahkamah Pidana Internasional, diantaranya selain Thomas Lubanga Dyilo, yaitu Germain Katanga, Bosco Ntaganda dan lain-lain. Pelaku utama yang menjadi perhatian masyarakat internasional adalah Thomas Lubanga Dyilo, yang telah melakukan rekrutmen dan pengarahan anak-anak yang berusia 15 tahun atau di bawahnya untuk dijadikan tentara, Pembebasan Kongo. Mahkamah Pidana melalui 197 pergerakan Angkatan Patriotik untuk Atas tindakannya tersebut, Penuntut Umum Internasional yang pada saat itu dijabat oleh Luis Moreno Ocampo, dengan berdasarkan ketentuan Pasal 15 Statuta Roma 1998, melakukan Proprio motu terhadap tindak kejahatan yang terjadi di 196 International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, Related Cases, 2012, http://www.icccpi.int/en_menus/icc/situations%20and%20cases/situations/situation %20icc%200104 /Pages/situation%20index.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014. 197 Ibid. 92 Republik Demokratik Kongo, berdasarkan pula laporan dari Negara, Organisasi Pemerintah Internasional (International Goverment Organization/IGO’s) dan Organisasi Non-Pemerintah Internasional (Non Government Organization/NGO’s). Luis Moreno Ocampo memberitahukan kepada Majelis Negara Pihak (Assembly of States Parties) dalam Statuta Roma 1998 dan meminta otoritas dari Pre-Kamar Pengadilan (Pre-Trial Chamber) untuk memulai penyelidikan pada tanggal 1 Juli 2002. Langkah yang dilakukan oleh Penuntut Umum (Prosecutor) Mahkamah Pidana Internasional yaitu Luis Moreno Ocampo mendapatkan rujukan dan dukungan dari Republik Demokratik Kongo, sehingga memudahakan Penuntut Umum dalam melakukan penyidikan.198 Pada Maret 2005 Thomas Lubanga Dyilo akhirnya ditangkap oleh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB, dan sempat ditahan di Kongo, sebelum akhirnya dipindahkan ke Den Haag pada tanggal 16 Maret 2006.199 Pada tanggal 26 Januari 2009, persidangan pertama Thomas Lubanga Dyilo untuk pertama kalinya dimulai. Pada tanggal 14 Maret 2012 akhirnya Thomas Lubanga Dyilo diputus karena telah melakukan kejahatan perang, sebagai pelaku dan koordinator pelaku dalam hal rekrutmen dan 198 International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, Press Releases , Office of the Prosecutor, 2004, http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/press%20and %20media/press%20releases/2004/Pages/the%20office%20of%20the%20prosecutor%20of%20the %20international%20criminal%20court%20opens%20its%20first%20investigation.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014. 199 Panglima Perang Kongo Dipenjara Karena Pakai Tentara Anak: BBC Indonesiia, Loc. Cit. 93 pengarahan anak-anak umur 15 tahun untuk dijadikan tentara dibawah pergerakan milisi Angkatan Patriotik untuk Pembebasan Kongo, dari tanggal 1 September 2002 sampai 13 Agustus 2003, dimana putusan tersebut diambil oleh Majelis Hakim I yang terdiri dari Hakim Adrian Fulford (United Kingdom), sebagai Hakim Ketua, Hakim Elizabeth Odio Benito (Costa Rica) dan Hakim René Blattmann (Bolivia). Akhirnya pada tanggal 10 Juli 2012 Majelis Hakim I menjatuhkan hukuman terhadap Thomas Lubanga Dyilo 14 tahun penjara, yang dipotong masa tahanan.200 Penyelesaian terhadap kejahatan internasional, pada dasarnya menjadi tanggungjawab Negara dan hal ini sudah menjadi prinsip fundamental. Hal ini belum dirumuskan dalam kesepakatan multilateral atau dikodifikasikan secara khusus, tetapi mengikat sebagai kaidah hukum internasional terhadap Negara.201 Konsep pertanggungjawaban Negara dalam perkembangannya terdapat dua perbuatan Negara yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Negara, yaitu: 1. Perbuatan Negara yang termasuk ke dalam original responsibility Pertanggungjawaban yang lahir dari kehendak/tindakan dari Negara atau pemerintah resmi suatu Negara. Tindakan tersebut dalam pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pejabat tinggi pemerintahan atau pejabat pemerintahan melaksanakan 200 yang kebijakan lebih Negara rendah atau semata-mata pemerintah yang untuk telah International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, The Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, Loc. Cit. 201 Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 81. 94 diputuskan, melalui berdasarkan kebijakan otoritas tertinggi pemerintahan, misalkan yang dikeluarkan pemegang kekuasaan eksekutif yang melanggar kewajiban internasional. 2. Perbuatan Negara yang termasuk ke dalam vicarious responsibility Pertanggungjawaban yang timbul merupakan suatu akibat dari tindakan yang bukan dilakukan alat-alat perlengkapan Negara atau pejabat pemerintah. Tindakan tersebut dilakukan tidak berdasarkan kebijakan Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, tindakan tersebut dilakukan oleh individu atau kelompok tanpa ada korelasi dengan Negara, tetapi karena tindakan tersebut Negara tetap harus bertanggungjawab. Pengertian lain dari perbuatan ini adalah tindakan tersebut bukan merupakan tindakan yang disebabkan kebijakan pemerintah, tetapi mengingat tindakan tersebut terjadi di wilayah teritorial Negara yang bersangkutan, maka Negara tersebut harus bertanggungjawab.202 Dua perbuatan yang menimbulkan original responsibility dan vicarious responsibility yang telah dijelaskan di atas meletakkan tanggungjawab Negara secara prinsipil bahkan menjadi jus cogens dalam beberapa instrumen hukum internasional. Perbuatan yang menimbulkan original responsibility merupakan perbuatan yang sangat dekat, bahkan lahir dari kebijakan politik suatu Negara. Kebijakan politik suatu negara atau istilah pengambilan keputusan 202 Ibid. 95 dalam suatu negara yang menjadi pokok dalam politik: kebijakan atau keputusan-keputusan yang diambil, secara kolektif keputusan tersebut mengikat seluruh masyarakat.203 Kebijakan yang telah diambil oleh negara khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanan, dapat berpotensi atau bahkan timbul korban. Kebijakan tersebut menimbulkan korban yang tidak dibenarkan, maka akan menghimpun opini nasional atau internasional (masyarakat internasional) bahwa tindakan atau kebijakan yang diambil oleh Negara atau otoritas dalam suatu Negara merupakan kejahatan. Perbuatan yang menimbulkan vicarious responsibility, dengan tetap mengacu pada prinsip hukum internasional pada umumnya, seperti yurisdiksi teritorial suatu Negara, dimana Negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap harta benda, tindakan, dan peristiwa yang terjadi di wilayahnya.204 Kebijakan atau tindakan dalam masyarakat internasional merupakan sebuah kejahatan tentu akan mendapatkan perhatian khusus, terlebih jika kebijakan atau tindakan yang diambil dapat membawa dampak atau berpotensi menggangu keamanan dunia internasional. Kejahatan yang dapat mengganggu keamanan dunia atau kejahatan yang diatur konvensi internasional dapat didefinisikan sebagai kejahatan internasional. Unsur-unsur kejahatan internasional yang bersifat alternatif 203 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik; Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 19. 204 J.G. Starke, Op. Cit., hlm. 270. 96 tidak luput dikemukakan oleh M. Cherif Bassiouni, menurutnya terdapat lima unsur kejahatan internasional, yaitu: 1) Tingkah laku yang dilarang menimbulkan akibat signifikan terhadap kepentingan internasional, khususnya dalam hal keamanan internasional. 2) Tingkah laku yang dianggap buruk yang dapat merusak nilainilai yang telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk pula tingkah laku yang dianggap oleh sejarah telah menyentuh hati nurani manusia. 3) Tingkah laku yang dilarang untuk memiliki implikasi yang bersifat transnasional, baik dalam perencanaan, persiapan dan perbuatan. 4) Tingkah laku yang membahayakan perlindungan kepentingan internasional atau orang yang diberikan perlindungan internasional. 5) Tingkah laku yang melanggar kepentingan internasional yang dilindungi secara umum, tidak sampai pada tingkatan yang disebutkan dalam poin satu dan dua, tetapi karena sifat dasarnya tingkah laku tersebut dapat ditekan melalui kriminalisasi internasional.205 Beberapa literatur menyebutkan banyak istilah dan kategori kejahatan internasional atau tindak pidana internasional, yang selanjutnya 205 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 51-52. 97 dalam pembahasan ini disebut dengan kejahatan, adalah apa yang disebutkan oleh Neil Boister sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej dengan istilah international crimes stircto sensu, yaitu kejahatan dalam arti sempit. Kejahatan dalam arti sempit yang dimaksud adalah kejahatan yang hanya menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional, seperti agresi, genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusian.206 Ketentuan mengenai kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, terdapat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998. Ketentuan lengkapnya sebagai berikut: 1. The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.207 Penyelesaian kejahatan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 tersebut menjadi tanggungjawab negara, baik kejahatan yang ditimbulkan atas kehendak atau kebijakan negara melalui pejabat-pejabat atau representatif negara, ataupun kejahatan yang ditimbulkan tidak oleh kehendak atau kebijakan negara secara langsung atau pun tidak langsung, seperti oleh orang atau kelompok yang masih berada di bawah tanggungjawab negara. Pemahaman mengenai konsep pertanggungjawaban negara ketika terjadi pelanggaran kejahatan, telah 206 207 Idem., hlm. 47. Article 5(1) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 98 dirumuskan pula dalam ketentuan yang terdapat pada ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional. Pada pelaksanaan ketentuan tentang tanggungjawab negara, untuk menyelesaikan kejahatan yang menjadi perhatian internasional, beberapa negara dapat berada dalam keadaan tidak dapat melaksanakan tanggungjawab negara tersebut. Padahal masyarakat internasional, khususnya para sarjana hukum internasional menghendaki bahwa terhadap kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat internasional, seperti genosida (genoside), kejahatan terhadap kemanusian (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan agresi (agration), terhadap pelakunya perlu dilakukan penghukuman atau pelaku dari kejahatan tersebut tidak boleh sampai tidak dihukum. Misalkan kita mengacu pada kasus dan keadaan pembentukan Mahkamah Nuremberg, yang pada umumnya ketika tentara NAZI Jerman melakukan kejahatan serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional, bersamaan dihadapkannya dengan keadaan tidak ada peraturan yang mengatur akan hal yang dilakukan tentara NAZI Jerman. Maka terdapat pendapat permberlakuan asas non retroaktif demi keadilan, akan lebih tidak adil jika para pelaku kejahatan tidak diadili.208 Berdasarkan kasus tersebut, jelas bahwa para pelaku kejahatan serius tidak boleh sampai tidak dihukum. Ketentuan akan keharusan adanya suatu 208 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 139. 99 penegakan hukum terhadap kejahatan internasional, terdapat pula dalam ayat 4 Pembukaan Statuta Roma 1998. Statuta Roma 1998, mengatur bahwa jika suatu negara tidak dapat melaksanakan tanggungjawabnya dalam penegakan hukum atas kejahatan seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang, dan agresi, maka yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional atas kejahatan tersebut akan dilaksanakan. Pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sesuai dengan prinsip komplementer yang terdapat dalam ayat 10 Pembukaan dan dipertegas oleh ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998. Pada dasarnya prinsip komplementer merupakan prinsip yang mendorong sistem hukum nasional untuk memuat pengaturan untuk mengadili para pelaku kejahatan yang menjadi perhatian internasional, sekaligus berupa penghormatan terhadap kedaulatan negara.209 Menurut Jean Bodin kedaulatan (negara) adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum yang berlaku dalam suatu negara.210 Kenyataan tidak dapat dihindari, bahwa terdapat negara yang tidak dapat atau dianggap tidak melaksanakan tanggungjawabnya untuk menegakkan hukum atas kejahatan yang telah dilakukan oleh orang atau kelompok yang tunduk pada sistem hukum nasional negara tersebut. 209 210 Boer Mauna, Loc. Cit. Soehino, Loc. Cit. 100 Suatu negara tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk menegakkan hukum atas kejahatan yang telah terjadi, atau dalam hal keadaan seperti ini negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional. Negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional sebelum terbentuknya Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, dapat dilihat dari keadaan dalam proses pengadilan atau putusan pengadilan yang tidak mencerminkan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggar kejahatan yang menjadi perhatian dunia. Sebelum adanya Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, Negara yang dianggap tidak mau (unwilling) merupakan negara yang pada dasarnya dapat menegakkan sistem hukum nasional, kepada pelaku kejahatan yang menjadi perhatian internasional, tetapi dalam pelaksanaannya negara tersebut tidak secara kredibel. Baik dalam proses atau langkah-langkah penegakan hukumnya maupun putusan yang dihasilkan dari sistem hukum nasional negara tersebut. Berdasarkan Perjanjian Versailles, Jerman selaku pihak yang kalah harus menyerahkan para pelaku kejahatan perang dari pihak Jerman untuk diadili. Jerman dalam hal ini menolak untuk menyerahkan para pelaku kejahatan perang, dengan alasan akan mengadili sendiri para pelaku, tetapi dari 896 tersangka yang diminta oleh sekutu sebelumnya, Jerman hanya mengadili empat puluh lima tersangka, dan yang benar-benar dibawa ke pengadilan hanya berjumlah dua belas orang 101 tersangka. Akhirnya Pengadilan Jerman memutus dua belas terdakwa tersebut dengan putusan diantaranya, enam orang bebas dan enam orang lainnya hanya dijatuhi hukuman ringan.211 Negara yang dianggap tidak mau/ketidaksediaa (unwilling), selain negara yang pada dasarnya mampu atau dapat menegakkan sistem hukum nasional, tetapi tidak kredibel, baik dalam proses atau langkah-langkah penegakan hukumnya, maupun putusan yang dihasilkan dari sistem hukum nasional negara tersebut. Selain itu negara yang dianggap tidak mau (unwilling) dapat ditunjukkan terhadap negara yang pada dasarnya mampu atau dapat menegakkan sistem hukum nasional, tetapi secara tegas melakukan penolakan atau upaya-upaya yang untuk mencegah pelaku kejahatan internasional untuk dibawa ke muka pengadilan nasional ataupun internasional untuk diadili. Amerika Serikat misalnya dengan tegas melarang Jepang untuk menuntut Amerika Serikat atas penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.212 Berbeda dengan negara yang dianggap tidak mau (unwilling), negara yang tidak mampu atau dianggap tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional, sebelum terbentuknya Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional adalah negara yang tidak dapat menerapkan sistem hukum nasionalnya. Keadaan negara tersebut, terutama dalam penegakan hukum atas pelanggaran yang telah dilakukan 211 212 Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 2. Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 142. 102 tidak dapat dilaksanakan, baik dalam proses maupun hasil yang diputuskan. Hal ini dapat di ketahui dengan mengamati peristiwa dan penegakan hukumnya yang terjadi di Negara eks-Yugoslavia dan di Negara Rwanda. Negara Yugoslavia pada akhir perang dingin mengalami disintegrasi, sebagaimana yang dialami pula oleh negara-negara yang berada di bawah naungan Blok Timur. Disintergrasi tersebut berkembang menjadi sentiment etnis, yang menimbulkan kejahatan-kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan-tindakan sebagai reaksi telah terjadinya kejahatankejahatan berat yang telah menyita perhatian masyarakat internasional dan kejahatan tersebut membahayakan perdamaian dunia, dengan mendirikan Mahkamah eks-Yugoslavia untuk mengadili para pelaku kejahatan. Pengambil alihan dalam penegakan hukum tersebut dengan pertimbangan bahwa tidak dapatnya diterapkan sistem hukum nasional, mengingat konflik yang yang terus terjadi di Wilayah eks-Yugoslavia. Selain itu yang banyak menjadi korban adalah penduduk dari negara-negara bagian yang melepaskan diri dari Federasi Yugoslavia. Negara-negara bagian tersebut pada dasarnya lebih lemah secara keseluruhan, terutama dalam hal militer. Hal ini sangat sulit ketika negara-negara bagian yang menjadi korban harus mengadili para pelaku yang berasal dari Federasi Yugoslavia dan Republik Serbia yang pada dasarnya merupakan negara yang unggul 103 dari segi kekuatan dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya, sehingga hal akan menyulitkan dalam proses pengadilannya. Konflik etnik yang terjadi di Rwanda tidak jauh berbeda dengan konflik etnik di wilayah eks-Yugoslavia, yang dalam perkembangannya negara tidak dapat menegakkan sistem hukum nasional atau mengadili para pelaku kejahatan di Rwanda. Pengambil alihan dalam penegakan hukum, untuk menggadili para pelaku kejahatan oleh Dewan Keamanan PBB dengan mendirikan Mahkamah Rwanda, merupakan respon terhadap keadaan dari sistem hukum nasional Negara Rwanda yang tidak dapat ditegakan untuk mengadili para pelaku kejahatan. Jika sistem hukum nasional Rwanda dipaksakan untuk diterapkan, maka tahap-tahap dalam proses pengadilan akan sulit untuk dijalankan. Pendirian Mahkamah Rwanda juga ditujukan untuk meredam kejahatan yang terjadi Rwanda, yang sewaktu-waktu dapat terjadi kembali. Kriteria negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable), dalam penyelesaian kejahatan internasional setelah adanya Statuta Roma 1998. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3 Statuta Roma 1998 menentukan secara tegas negara yang dapat dianggap tidak mau (unwilling) dan negara yang dianggap tidak mampu (unable) dengan memberikan penjelasan mengenai kriteria negara tersebut. Negara yang dapat dianggap tidak mau (unwilling), dalam Pasal 17 ayat 2, Mahkamah Pidana Internasional harus dapat mempertimbangkan 104 dengan asas-asas hukum acara yang diakui oleh hukum internasional dan apakah satu atau lebih kriteria suatu negara dapat dianggap tidak mau (unwilling) ditemukan dalam kesimpulan pandangan Mahkamah Pidana Internasional. Terdapat tiga kriteria yang disebutkan dalam Statuta Roma 1998, yang ketiga kriteria tersebut bersifat alternatif. Kriteria pertama, berdasarkan Pasal 17 ayat 2 huruf a Statuta Roma 1998. Negara dapat dianggap tidak mau (unwilling) oleh Mahkamah Pidana Internasional apabila negara tersebut melalui sistem hukum nasionalnya sedang atau telah melakukan langkah-langkah hukum, atau bahkan sudah adanya keputusan dari peradilan nasional negara yang bersangkutan, tetapi langkah-langkah yang sedang atau telah, bahkan putusan yang dihasilkan oleh peradilan nasional negara tersebut, sematamata dengan maksud melindungi orang atau individu yang bersangkutan dari tanggungjawab pidana atas kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah. Kata “Court” dalam Pasal 17 ayat 2 huruf (a) meski berdasarkan Statuta Roma 1998 terjemahan ICRC perwakilan untuk Indonesia dan Timur Leste adalah Mahkamah, tatapi Aristo M.A. Pangaribuan dalam literaturnya mengartikan dengan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).213 Kriteria kedua, berdasarkan Pasal 17 ayat 2 huruf (b) Statuta Roma 1998. Negara dapat dianggap tidak mau (unwilling) oleh Mahkamah Pidana Internasional, apabila dalam proses penegakan hukum atau 213 Aristo M.A. Pangaribuan, Op. Cit., hlm. 63. 105 langkah-langkah hukum yang sedang ditempuh, terdapat suatu penangguhan yang tidak dibenarkan. Penangguhan tersebut merupakan keadaan yang tidak sesuai atau tidak konsisten dengan maksud membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkamah. Kalimat “to justice” dalam Pasal 17 ayat 2 huruf (b) dalam Statuta Roma 1998 terjemahan ICRC perwakilan untuk Indonesia dan Timur Leste diartikan menjadi “ke depan Mahkamah”, tetapi Aristo M.A. Pangaribuan dalam literaturnya menerjemahkan pula menjadi “ke muka hukum”.214 Jika berdasarkan terjemahan Aristo M.A. Pangaribuan Pasal 17 ayat 2 huruf (b), intinya adalah adanya dalam suatu proses atau langkah-langkah yang sedang dilaksanakan terdapat suatu penangguhan, dimana penangguhan tersebut merupakan suatu tindakan inkonsisten untuk membawa seseorang yang bersangkutan atau orang yang harus dimintakan pertanggungjawabannya ke muka hukum. Kriteria ketiga, berdasarkan Pasal 17 ayat 2 huruf (c) Statuta Roma 1998. Negara dapat dianggap tidak mau (unwilling) oleh Mahkamah Pidana Internasional, apabila dalam proses atau langkah-langkah yang telah atau sedang dilaksanakan tidak secara mandiri (independen) atau memihak, yang mana hal ini bertentangan dengan tujuan untuk membawa seseorang yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 5 Statuta Roma 1998. Campur tangan yang menyebabkan suatu proses atau 214 Idem., hlm. 63-64. 106 langkah-langkah hukum tidak independen, dapat berupa intervensi yang berasal di luar kekuasaan kehakiman (paradilan), sedangkan keberpihakan dalam suatu proses atau langkah-langkah hukum, dapat disebabkan karena pemegang otoritas dalam penegakan hukum tersebut, tendensius terdadap salah satu pihak dengan alasan di luar dari pertimbangan hukum. Negara yang dianggap tidak mampu (unable) setelah adanya Statuta Roma 1998, turut pula dijelaskan dalam salah satu pasal Statuta Roma 1998. Berbeda dengan kriteria untuk menetukan negara yang dianggap tidak mau (unwilling), seperti yang dijelaskan dalam Pasal 17 ayat 2, kriterian untuk menentukan bahwa suatu negara dapat dianggap tidak mampu (unable) adalah seperti yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 17 ayat 3. Negara yang dapat dianggap oleh Mahkamah Pidana Internasional sebagai negara yang tidak mampu (unable) adalah negara yang dalam kasus tertentu tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk menegakkan sistem hukum nasional negaranya. Mahkamah Pidana Internasional dalam hal menentukan dengan mempertimbangkan apakah ketidaksediaan negara tersebut disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau sebagian sistem pengadilan nasionalnya. Negara tidak mampu menangkap tertuduh atau mendapatkan bukti dan kesaksian yang diperlukan, atau pun tidak dapat melakukan proses-proses atau langkahlangkah hukumnya. Berbeda dengan dokumen Statuta Roma 1998 terjemahan ICRC, bahwa ketidaksediaan suatu negara dalam suatu kasus disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau sebagian sistem pengadilan 107 nasionalnya. Aristo M.A. Pangaribuan memberikan pengertian terhadap Pasal 17 ayat 3, bahwa ketidaksediaan suatu negara dalam suatu kasus disebabkan oleh tidak berfungsinya sistem yudisial negara tersebut secara penuh ataupun substansial, sehingga tidak memungkinkan dalam proses atau langkah-langkah penegakan sistem hukum nasional (peradilan) dilakukan secara objektif dan imparsial.215 Selanjutnya Aristo M.A. Pangaribuan, menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen yang menentukan ketidaksediaan negara dalam menjalankan kewajibannya berdasarkan Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, yaitu: 1. Saat negara tidak dapat menangkap tersangka; 2. Saat negara tidak mampu mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dan keterangan saksi untuk membawa tertuduh ke muka pengadilan; 3. Saat negara tidak sama sekali dapat menjalankan proses hukum, mengingat tidak berfungsinya sistem peradilan yang terdapat di negara tersebut, karena tidak adanya pemerintahan yang kuat di negara tersebut.216 Boer Mauna mengemukakan pendapatnya secara umum, mengenai dalam hal bagaimana suatu negara yang dapat dianggap tidak mau (unwilling) dan negara yang dianggap tidak mampu (unable), jika 215 216 Idem., hlm. 64-65. Idem., hlm. 65-66. 108 penyidikan dan penuntutan dilaksanakan oleh suatu negara melalui peradilan nasional, akan tetapi meski dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, namun tidak sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya. Ketidaksediaan akan timbul ketika peradilan di negara tersebut tidak dapat mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan atau kesaksian dari para saksi untuk melanjutkan proses atau langkah-langkah pemeriksaan perkara.217 Kejahatan yang terjadi di Republik Demokratik Kongo merupakan kasus yang ditangani Mahkamah Pidana Internasional, setelah berlakunya Statuta Roma 1998. Kasus ini diambil alih oleh Mahkamah Pidana Internasional, mengingat Republik Demokratik Kongo dianggap sebagai negara yang tidak mampu (unable) dalam menegakkan sistem hukum nasionalnya atau tidak mampu untuk menjalankan proses peradilan bagi pelaku kejahatan. Republik Demokratik Kongo tidak dapat melaksanakan langkah-langkah atau proses peradilan, disebabkan pemegang otoritas dari Republik Demokratik Kongo tidak memiliki kekuatan yang cukup mengadili para pelaku kejahatan. B. Implementasi Statuta Roma 1998 Terhadap Negara Yang Dianggap Tidak Mau (Unwilling) atau Tidak Mampu (Unable) Implementasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional terhadap negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable), perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar Mahkamah Pidana Internasional, seperti mengenai yurisdiksi ratione 217 Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 298. 109 temporis, yang terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat 1 dan 2 Statuta Roma 1998, yang redaksinya sebagai berikut: 1. The Court has jurisdiction only with respect to crimes committed after the entry into force of this Statute. 2. If a State becomes a Party to this Statute after its entry into force, the Court may exercise its jurisdiction only with respect to crimes committed after the entry into force of this Statute for that State, unless that State has made a declaration under article 12, paragraph 3.218 Selanjutnya Pasal 11 ayat 1 dan 2 di perjelas kembali dalam Pasal 12 ayat 2 dan 3 mengenai tempat dan pelaku kejahatan dari satu atau lebih negara pihak dari Statuta Roma 1998 atau negara bukan pihak yang menerima yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Ketentuan lebih lengkapnya sebagai berikut: 2. In the case of article 13, paragraph (a) or (c), the Court may exercise its jurisdiction if one or more of the following States are Parties to this Statute or have accepted the jurisdiction of the Court in accordance with paragraph 3: (a) The State on the territory of which the conduct in question occurred or, if the crime was committed on board a vessel or aircraft, the State of registration of that vessel or aircraft; (b) The State of which the person accused of the crime is a national. 3. If the acceptance of a State which is not a Party to this Statute is required under paragraph 2, that State may, by declaration lodged with the Registrar, accept the exercise of jurisdiction by the Court with respect to the crime in question. The accepting State shall cooperate with the Court without any delay or exception in accordance with Part 9.219 Pasal 13 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, juga menentukan para pihak beserta mekanisme untuk 218 219 Article 11 (1) and (2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. Article 12 (2) and (3) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 110 mengajukan kasus ke Penuntut Umum (Prosecutor). Berikut ketentuan lengkap yang terdapat dalam Pasal 13, yaitu: The Court may exercise its jurisdiction with respect to a crime referred to in article 5 in accordance with the provisions of this Statute if: (a) A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by a State Party in accordance with article 14; (b) A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations; or (c) The Prosecutor has initiated an investigation in respect of such a crime in accordance with article 15.220 Ketentuan mengenai Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998 yang menyerahkan suatu situasi (kasus), sebagai mana yang diatur dalam Pasal 13 huruf (a) Statuta Roma 1998, dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 14 ayat 1 dan 2 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, dengan ketentuan lengkapnya sebagai berikut: 1. A State Party may refer to the Prosecutor a situation in which one or more crimes within the jurisdiction of the Court appear to have been committed requesting the Prosecutor to investigate the situation for the purpose of determining whether one or more specific persons should be charged with the commission of such crimes. 2. As far as possible, a referral shall specify the relevant circumstances and be accompanied by such supporting documentation as is available to the State referring the situation.221 220 221 Article 13 (a), (b), and (c) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. Article 14 (1), and (2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 111 Setelah terlaksananya langkah-langkah atau proses sebagai mana yang telah ditentukan dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 Statuta Roma 1998, maka langkah-langkah berikutnya yang harus ditempuh, secara garis besar dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat 1 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, dengan ketentuan lengkapnya sebagai berikut: 1. When a situation has been referred to the Court pursuant to article 13 (a) and the Prosecutor has determined that there would be a reasonable basis to commence an investigation, or the Prosecutor initiates an investigation pursuant to articles 13 (c) and 15, the Prosecutor shall notify all States Parties and those States which, taking into account the information available, would normally exercise jurisdiction over the crimes concerned. The Prosecutor may notify such States on a confidential basis and, where the Prosecutor believes it necessary to protect persons, prevent destruction of evidence or prevent the absconding of persons, may limit the scope of the information provided to States.222 Langkah-langkah atau proses yang berdasarkan inisiatif Penuntut Umum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 13 huruf (c) Statuta Roma 1998, pun dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 Statuta Roma 1998, yang lengkapnya sebagai berikut: 1. The Prosecutor may initiate investigations proprio motu on the basis of information on crimes within the jurisdiction of the Court. 2. The Prosecutor shall analyse the seriousness of the information received. For this purpose, he or she may seek additional information from States, organs of the United Nations, intergovernmental or non-governmental organizations, or 222 Article 18 (1) Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 112 other reliable sources that he or she deems appropriate, and may receive written or oral testimony at the seat of the Court. 3. If the Prosecutor concludes that there is a reasonable basis to proceed with an investigation, he or she shall submit to the Pre-Trial Chamber a request for authorization of an investigation, together with any supporting material collected. Victims may make representations to the Pre-Trial Chamber, in accordance with the Rules of Procedure and Evidence. 4. If the Pre-Trial Chamber, upon examination of the request and the supporting material, considers that there is a reasonable basis to proceed with an investigation, and that the case appears to fall within the jurisdiction of the Court, it shall authorize the commencement of the investigation, without prejudice to subsequent determinations by the Court with regard to the jurisdiction and admissibility of a case. 5. The refusal of the Pre-Trial Chamber to authorize the investigation shall not preclude the presentation of a subsequent request by the Prosecutor based on new facts or evidence regarding the same situation. If, after the preliminary examination referred to in paragraphs 1 and 2, the Prosecutor concludes that the information provided does not constitute a reasonable basis for an investigation, he or she shall inform those who provided the information. This shall not preclude the Prosecutor from considering further information submitted to him or her regarding the same situation in the light of new facts or evidence.223 Prinsip-prinsip dasar ketika suatu negara atau pemegang otoritas lainnya akan memberlakukan Statuta Roma 1998, mengenai jenis-jenis kejahatan yang terdapat dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional yang telah terjadi. Implementasi Statuta Roma 1998 atau berlakunya Mahkamah Pidana Internasional pada dasarnya bersifat komplementer, seperti yang termaktub dalam ayat 10 Pembukaan Statuta Roma 1998 dan ditekankan kembali ketentuan mengenai sifat atau prinsip komplementer Mahkamah Pidana Internasional dalam ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998. Dua ketentuan tersebut, yaitu 223 Article 15 Rome Statute of The International Criminal Court 1998. 113 ayat 10 Pembukaan dan Pasal 1 Statuta Roma 1998, pada intinya menegaskan bahwa Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di bawah Statuta Roma 1998 merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional. Prinsip ini sekaligus merupakan pencerminan penghormatan terhadap prinsip kedaulatan negara dan suatu pengharapan masyarakat internasional supaya sistem hukum nasional memuat pengaturan untuk mengadili para pelaku kejahatan yang menjadi perhatian dunia/kejahatan luar biasa.224 Kedaulatan negara dalam menerapkan sistem hukum nasionalnya, khususnya mengenai hukum pidana, juga ditekankan dalam ketentuan ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998. Merupakan kewajiban seperti yang ditentukan dalam ketentuan ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998, bagi suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap orangorang yang dianggap bertanggungjawab, atas jenis-jenis kejahatan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, yang menjadi perhahatian serius masyarakat internasional. Penegakan hukum atas kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian masyarakat internasional, yang penanganannya menjadi suatu kewajiban dari suatu negara yang bersangkutan, dalam keadaan tertentu negara tersebut tidak bisa melaksanakan yang menjadi kewajiban. Ketika negara 224 Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 297. 114 tersebut tidak dapat melaksanakan kewajibannya, jika ditinjau khususnya dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3, maka negara tersebut dapat dianggap tidak mau (unwilling) atau dapat pula dianggap tidak mampu (unable). Implementasi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara Pihak dan Negara bukan Pihak Statuta Roma 1998 berdasarkan penjelasan sebelumnya, menegaskan kembali bahwa negara yang dimaksud di sini adalah negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) oleh Mahkamah Pidana Internasional. Mengingat pula bahwa yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional tidak mungkin diimplementasikan terhadap negara yang mampu atau mau dalam penegakan sistem hukum nasionalnya. Terhadap negara yang merupakan pihak dalam Statuta Roma 1998, Pasal 11 ayat 1 dan 2 menjelaskan yurisdiksi ratione temporis atas kejahatan yang terjadi. Ketentuan Pasal 11 ayat 1 menjelaskan bahwa yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat diimplementasikan terhadap kejahatan yang terjadi setelah berlakunya Statuta Roma 1998. Berlakunya Statuta Roma 1998 dimulai sejak tanggal 1 Juli 2002, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 126 ayat 1, yang mana Statuta Roma 1998 mulai berlaku pada hari pertama dari bulan setelah hari keenam puluh, setelah didepositkannya instrumen diratifikasi, penerimaan, 115 pengesahan atau tambahan yang ke-60 pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional adalah kejahatan yang terjadi pada saat atau setelah tanggal 1 Juli 2002, atas dasar ketentuan tersebut maka Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi sebelum Statuta Roma 1998 berlaku. Pasal 11 ayat 2 menentukan lebih lanjut bahwa jika terdapat Negara yang meratifikasi Statuta Roma 1998 setelah Statuta ini berlaku, maka Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi setelah dinyatakan berlakunya Statuta Roma 1998 bagi negara tersebut, kecuali negara tersebut menerima yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional melalui sebuah deklarasi yang disampaikan kepada Panitera Mahkamah Pidana Internasional sesuai ketentuan Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma 1998. Pasal 12 ayat 2 menentukan mengenai tempat dan pelaku kejahatan, yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional, dari satu atau lebih Negara Pihak dari Statuta Roma 1998. Mahkamah Pidana Internasional dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan, yang kejahatan tersebut masih memiliki hubungan dengan satu atau lebih Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998. Hubungan yang dimaksud dalam hal ini adalah hubungan yang menjadi alasan atau syarat dapat berlakunya yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. dipersyaratkan bersifat alternatif sebagai berikut: Hubungan yang 116 1. Kejahatan terjadi di wilayah kekuasaan dari Negara Pihak dari Statuta Roma 1998 atau terjadi di atas kapal atau pesawat terbang, yang mana negara tempat kapal atau pesawat terbang tersebut terdaftar, merupakan Negara Pihak dari Statuta Roma 1998; 2. Orang yang dituduh melakukan kejahatan merupakan warga negara dari Negara Pihak Statuta Roma 1998. Implementasi Statuta Roma 1998, pada dasarnya merupakan penerapan atau pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap suatu negara dimana kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat yang internasional terjadi. Negara menjadi tempat diberlakukannya Statuta Roma 1998 atau yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional merupakan negara yang dianggap tidak mau/ketidakmauan (unwilling) atau dianggap tidak mampu (unable) oleh Mahkamah Pidana Internasional. Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terdapat beberapa mekanisme, ditinjau dari siapa pihak yang berinisiatif atau dapat mengajukan kasus. Statuta Roma 1998 menentukan untuk kasus yang terjadi di Negara Pihak, maka terdapat tiga mekanisme untuk memberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Mekanisme pertama berdasarkan inisiatif Negara Pihak Statuta Roma 1998. Negara Pihak dapat mengajukan satu atau lebih kasus kejahatan yang tejadi, seperti yang termaktub dalam Pasal 13 huruf (a). Negara Pihak dalam hal ini menyerahkan suatu kasus dimana satu atau 117 lebih kejahatan tampak telah dilakukan. Kejahatan tersebut masuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Negara Pihak dalam hal ini juga meminta kepada Penuntut Umum untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus, guna menetapkan apakah dapat seseorang atau lebih dapat dituduh sebagai orang yang bertanggungjawab atas kejahatan tersebut. Mekanisme ini juga ditentukan dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 Statuta Roma 1998. Penyerahan kasus kepada Penuntut Umum, sedapat mungkin penyerahan tersebut diperinci dengan kasus yang berkaitan dan disertai dengan dokumen pendukung, sejauh dokumen pendukung yang dimiliki oleh Negara Pihak yang melakukan penyerahan kasus terkait. Pasal 18 ayat 1 turut menentukan bahwa Penuntut Umum akan memulai penyelidikan jika ada dasar yang masuk akal mengenai kasus yang diserahkan oleh Negara Pihak. Penuntut Umum akan memberi tahu semua Negara Pihak dan Negara yang memperhitungkan informasi yang tersedia, bahwa akan melaksanakan Penyelidikan terhadap kejahatan yang bersangkutan. Penyelidikan yang dilakukan oleh Penuntut Umum tidak perlu meminta otoritas atau kewenangan untuk melaksanakan penyelidikan, kepada Sidang Pra-Peradilan, kecuali jika terdapat keberatan yang diajukan kepada Sidang Pra-Peradilan, atas yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam bentuk penyelidikan atau investigasi yang dilakukan 118 oleh Penuntut Umum. Tentunya dalam hal ini Sidang Pra-Peradilan harus memutus keberatan yang diajukan.225 Negara yang menerapkan mekanisme ini yaitu penyerahan kasus oleh Negara Pihak kepada Penuntut Umum adalah negara yang dilanda kasus, seperti Kongo, Uganda, dan Republik Afrika Tengah.226 Mekanisme kedua berdasarkan inisiatif Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB yang dapat mengajukan satu atau lebih kejahatan yang tampak telah terjadi. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan langkah-langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk menjaga keamanan dunia, mengingat sebagai mana yang ditentukan dalam Bagian VII (Chapter VII) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Charter).227 Seperti yang diatur dalam Pasal 13 huruf (b) Statuta Roma 1998. Dewan Keamanan menyerahkan suatu kasus, yang tampak telah terjadi satu atau lebih kejahatan kepada Penuntut Umum. Sedangkan mekanisme atau langkah-langkah berikutnya, yaitu ketika Penuntut Umum memutuskan untuk melakukan penyelidikan, maka Penuntut Umum tidak perlu meminta Otoritas dari Sidang Pra-Peradilan. Penuntut Umum bisa langsung penyelidikan, kecuali jika ada keberatan mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, terkait dengan penyelidikan atau investigasi yang dilakukan oleh Penuntut Umum, maka disinilah tugas 225 Aristo M.A. Pangaribuan, Op. Cit., hlm. 44. Idem., hlm. 36. 227 Idem., hlm. 36-37. 226 119 Sidang Pra-Peradilan untuk mengadili apabila ada yang keberatan.228 Mekanisme ini juga rawan intervensi politik dan menuai banyak kritik.229 Mekanisme ketiga berdasarkan inisiatif dari Penuntut Umum sendiri. Penuntut Umum sendiri dapat berinisiatif untuk melakukan penyelidikan dan menerapkan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 huruf (c) Statuta Roma 1998. Mekanisme ketiga yang dilakukan atas inisiatif sendiri dari Penuntut Umum untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus dapat disebut dengan istilah Proprio Motu, seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 15 ayat 1 Statuta Roma 1998. Langkah-langkah yang dilakukan dalam mekanisme inisiatif dari Penuntut Umum, dalam Pasal 13 huruf (c) Statuta Roma 1998 menentukan lebih lanjut harus sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Statuta Roma 1998. Penuntut Umum ketika sudah melakukan proprio motu berdasarkan Pasal 13 huruf (c) jo. Pasal 15 ayat 1 Statuta Roma 1998, maka Penuntut Umum perlu melakukan langkah-langkah atau mekanisme seperti yang dipaparkan dalam Pasal 15 ayat 2, 3, 4, 5, dan 6 Statuta Roma 1998, yaitu dalam hal ketika Penuntut Umum memutuskan untuk melakukan penyelidikan, mengingat kesimpulan atas dasar yang masuk akal dalam kasus yang diajukan atas inisiatif sendiri, sebelumnya Penuntut Umum tentuya sudah menganalisis informasi yang didapat dari berbagai pihak. 228 229 Idem., hlm. 44. Idem., hlm. 37. 120 Tahap berikutnya penyelidikan masih belum bisa dilaksanakan, meskipun Penuntut Umum sudah berkesimpulan bahwa kasus sudah memiliki dasar yang masuk akal untuk dilakukan penyelidikan. Penuntut Umum jika menyatakan bahwa situasi yang diangkat atas inisiatif sendiri dari Penuntut Umum, sudah memiliki dasar yang masuk akal, disampaikan kepada Sidang Pra-Peradilan untuk meminta suatu kewenangan untuk melakukan penyelidikan dari Sidang Pra-Peradilan. Permohonan untuk melakukan penyelidikan juga dibarengi dengan penyerahan bahan pendukung yang telah berhasil dikumpulkan. Sidang Pra-Peradilan akan memeriksa permohonan beserta bahanbahan pendukung yang diserahakan oleh Penuntut Umum, dan apabila terdapat dasar yang masuk akal untuk melakukan penyelidikan, maka Sidang Pra-Peradilan akan memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan penyelidikan. Sehingga jika Sidang Pra-Peradilan berkesimpulan tidak ada dasar yang masuk akal untuk melakukan penyelidikan, maka Penuntut Umum tidak dapat melakukan penyelidikan atas kasus yang bersangkutan. Penolakan yang dilakukan oleh Sidang Pra-Peradilan atas permohonan penyelidikan yang diajukan oleh Penuntut Umum, tidak menghalangi Penuntut Umum untuk mengajukan kembali permohonan untuk melakukan penyelidikan atas kasus yang sama, berdasarkan faktafakta atau bukti-bukti yang baru. Hal ini berlaku pula ketika Penuntut 121 Umum menganalisis informasi yang didapatkan, dan tenyata informasi tersebut tidak menjadi dasar akal untuk melanjutkan ke tingkat penyelidikan, maka hal ini tidak menghalangi pula bagi Penuntut Umum untuk memeriksa kembali dan mempertimbangkan lebih lanjut kasus berdasarkan fakta-fakta atau bukti baru. Mekanisme yang dilakukan atas inisiatif Penuntut Umum ini juga menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, yang mempertanyakan independensi Penuntut umum, mengingat negara yang mengalami mekanisme seperti ini adalah Negara Pantai Gading dan Kenya, yang pada dasarnya negar-negara tersebut tidak memiliki daya tawar yang kuat di dunia internasional.230 Setelah menjelaskan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998, maka berikutnya adalah menjelaskan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap negara yang merupakan bukan Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998. Mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap negara yang merupakan bukan Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998, Statuta Roma 1998 menentukan untuk kasus yang terjadi di Negara bukan Pihak Statuta Roma 1998, maka terdapat dua mekanisme untuk memberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. 230 Idem., hlm. 34-35. 122 Mekanisme pertama yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat diterapkan atas inisiatif Negara bukan Pihak dari Statuta Roma 1998. Negara bukan Pihak dari Statuta Roma 1998 dapat mengajukan satu atau lebih kejahatan yang tejadi, seperti yang tertera dalam Pasal 12 ayat 3. Jika dicermati ketentuan Pasal 12 ayat 3 secara implisit menyatakan bahwa negara bukan pihak dalam Statuta Roma 1998, dapat mengimplementasikan Statuta Roma 1998 atau yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap kejahatan tertentu. Pemberlakuan tersebut dilakukan dengan cara, negara bukan pihak melakukan deklarasi penerimaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap kejahatan tertentu, yang kemudian deklarasi tersebut disampaikan kepada Panitera Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan yang oleh negara bukan Pihak Statuta Roma 1998 diberlakukan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional adalah kejahatan yang sebagai mana dipersyaratkan dalam Pasal 12 ayat 2 huruf (a) dan (b), yaitu: 1. Kejahatan terjadi di wilayah kekuasaan dari negara bukan Pihak dari Statuta Roma 1998 yang mendeklarasikan penerimaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional atau terjadi di atas kapal atau pesawat terbang, yang mana negara tempat kapal atau pesawat terbang tersebut terdaftar; 123 2. Orang yang dituduh melakukan kejahatan merupakan warga negara dari negara bukan Pihak Statuta Roma 1998 yang mendeklarasikan penerimaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Syarat kejahatan yang terjadi terhadap negara bukan Pihak Statuta Roma 1998 di atas, sama dengan syarat kejahatan yang berlaku terhadap Negara Pihak. Mekanisme kedua yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat diterapkan atas inisiatif Dewan Keamanan PBB terhadap negara bukan Pihak Statuta Roma 1998, berdasarkan ketentuan Pasal 13 (b) Statuta Roma 1998, dengan mengingat tugas yang ditentukan dalam Bagian VII (Chapter VII) Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (UN Charter) sebagai penjaga keamanan dan perdamaian dunia. Berdasarkan langkah-langkah yang sama, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sidang Pra-Peradilan untuk mengadili apabila ada yang keberatan.231 Mekanisme ini telah digunakan oleh Dewan Keamanan PBB terhadap negara Libya dan Sudan, yang pada dasarnya bukan merupakan anggota Statuta Roma 1998 dan termasuk negara yang tidak memiliki daya tawar yang tinggi di dunia internasional232 231 232 Idem., hlm. 44. Idem., hlm. 36-37. 124 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Suatu negara yang dianggap tidak mau (unwilling) dan negara yang dianggap tidak mampu (unable), memiliki perbedaan kriteria. Terdapat tiga kriteria yang bersifat alternatif suatu negara yang dianggap tidak mau (unwilling), yaitu: a. Apabila negara sedang atau telah melakukan langkah-langkah hukum, atau sudah adanya keputusan dari peradilan nasional, tetapi semata-mata dengan maksud melindungi orang yang bersangkutan dari tanggungjawabnya. b. Apabila dalam proses hukum yang sedang ditempuh, terdapat suatu penangguhan yang tidak dibenarkan. c. Apabila dalam proses hukum yang telah atau sedang dilaksanakan, tidak secara mandiri (independen) atau memihak. Kriteria suatu negara yang dianggap tidak mampu (unable) merupakan negara yang dalam kasus tertentu tidak dapat melaksanakan kewajibannya, disebabkan oleh tidak berfungsinya sistem yudisial negara tersebut secara penuh ataupun substansial. 2. Implementasi Statuta Roma 1998 terhadap negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam praktiknya dapat berlaku terhadap Negara Pihak Statuta Roma 1998 dan bukan negara 125 Pihak Statuta Roma 1998. Terhadap Negara Pihak dapat menggunakan tiga mekanisme, yaitu berdasarkan inisiatif Negara Pihak, Dewan Keamanan dan Penuntut Umum, sedangkan untuk negara bukan Pihak, dapat menggunakan dua mekanisme, yaitu atas inisatiaf negara bukan Pihak dan Dewan Keamanan. B. Saran Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Statuta Roma 1998 tidak menentukan waktu penangguhan yang dilakukan oleh negara, yang dapat dikategorikan negara tersebut tidak mau (unwilling), sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai masalah waktu penangguhan. 2. Pasal 16 Statuta Roma 1998, menyebutkan bahwa Dewan Keamanan PBB melalui resolusi berdasarkan Bab VII Piagam PBB dapat mengajukan permohonan penundaan penyelidikan dan penuntutan, sehingga perlu adanya pengkajian ulang mengenai independensi Mahkamah Pidana Internasional dalam penelitian selanjutnya. 126 DAFTAR PUSTAKA Literatur/Buku: Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional; Bunga Rampai, Alumni, Bandung. Atmasasmita, Romli, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung. Dewi, Yustina Trihoni Nalesti, 2013, Kejahatan Perang dalam Hukum Imternational dan Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta. Downing , Stephane, 2007, Dwi Ekasari Ariani (penerjemah), Holocaust; Fakta atau Fiksi, Media Pressindo, Yogyakarta. Hiariej, Eddy O.S., 2009, Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta. Ismail, H. M. Isplancius, 2011, Konsep Dasar Hukum Internasional, UPT. Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Istanto, Sugeng, 2010, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Kelsen, Hans, 1978, Pure Theory of Law, Terjemahan oleh Raisul Muttaqin, Berkely University of California Press, California. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, 2003, Edisi Kedua, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Mauna, Boer, 2005, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung. Pangaribuan, Aristo M.A., 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana Internasional(International Criminal Court), Papas Sinar Sinanti dan Badan Penerbit FHUI, Jakarta. Parthiana, I Wayan, 2002, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Mandar Maju, Bandung. 127 ---------, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung. Permanasari, Arlina dkk, 1999, Pengantar Hukum Internasional Committee of the Red Cross, Jakarta. Humaniter, Pratomo, Eddy, 2011, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung. Sargent, Lyment Tower, Henry Sitanggung (penerjemah), 1984, Ideology-ideologi Politik Kontemporer: Sebuah Analisis Komparatif, Erlangga, Jakarta. Siswanto, Arie, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor. Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta. Strake, J. G., 2008, Pengantar Hukum Internasional 1 ; Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta. Suherman, Ade Maman, 2003, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional; dalam Persfektif hukum dan globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Suwardi, Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI-Press, Jakarta. Suryanegara, Ahmad Mansyur, 2010, Api Sejarah 2; Buku yang akan Menuntaskan Kepenasaranan Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia, Salamadani, Bandung. Wahjoe, Oentoeng, 2011, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya, Erlanggga, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Rome Statute Of The International Criminal Court 1998 Statute of The International Court Justice 1946 Charter of the United Nations 1945 128 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Keawajiban Negara Website: International Criminal Court, Assembly of States Parties, States Parties to the Rome Statute, 2014, http://www.icc-cpi.int/en_menus/asp /states%20parties/Pages/the%20states% 20parties%20to%20the %20rome%20statute.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014. ---------, Situation in Democratic Republic of the Congo, Related Cases, 2012, http://www.icccpi.int/en_menus/icc/situations%20and%20 cases/situations/situation%20icc%200104/Pages/situation%20 index.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014. ---------, Situation in Democratic Republic of the Congo, The Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, 2012, http://www.icc-cpi.int/ en_menus/icc/situations %20and%20 cases/situations/situation %20icc%200104/related%20cases/icc%200104%200106/Pages/d emocratic%20republic%20of%20the%20congo.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014. Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional, http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar /Pengadilan%20ham%20dalam% 20konteks%20nasional %20 dan%20internasional%20-%20muladi.pdf, diakses pada tanggal 21 Oktober 2014. Panglima Perang Kongo Dipenjara Karena Pakai Tentara Anak: BBC Indonesiia, 2012, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/ 2012 /07/120710_congosentence, diakses pada tanggal 18 September 2012. Pemimpin Milisi Kongo Jadi Tersangka Pertama yang Diadili di Pengadilan Internasioal: Republika (on line), 26 Januari 2009, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ internasional /09/01/26/27996-pemimpin-milisi-kongo-jadi-tersangka-pertama -yang-diadili-di-pengadilan-internasioal, diakases pada tanggal 18 September 2014. Tokoh Perang Kongo Diadili dalam ICC: Republika (on line), 27 Januari 2009, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/inter nasional/09/01/27/28028-tokoh-perang-kongo-diadili-dalam-icc, diakses pada tanggal 12 September 2014. 129 LAMPIRAN Lampiran 1. States Parties and Chronological List No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Negara Senegal Trinidad and Tobago San Marino Italy Fiji Ghana Norway Belize Tajikistan Iceland Venezuela France Belgium Canada Mali Lesotho New Zealand Botswana Luxembourg Sierra Leone Gabon Spain South Africa Marshall Islands Germany Austria Finland Argentina Dominica Andorra Paraguay Croatia Costa Rica Antigua and Barbuda Denmark Tanggal 02 February 1999 06 April 1999 13 May 1999 26 July 1999 29 November 1999 20 December 1999 16 February 2000 05 April 2000 05 May 2000 25 May 2000 07 June 2000 09 June 2000 28 June 2000 07 July 2000 16 August 2000 06 September 2000 07 September 2000 08 September 2000 08 September 2000 15 September 2000 20 September 2000 24 October 2000 27 November 2000 07 December 2000 11 December 2000 28 December 2000 29 December 2000 08 February 2001 12 February 2001 30 April 2001 14 May 2001 21 May 2001 07 June 2001 18 June 2001 21 June 2001 130 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 Sweden Netherlands Serbia Nigeria Liechtenstein Central African Republic United Kingdom Switzerland Peru Nauru Poland Hungary Slovenia Benin Estonia Ecuador Portugal Mauritius The Former Yugoslav Republic of Macedonia Cyprus Panama Democratic Republic of the Congo Niger Cambodia Jordan Mongolia Bosnia and Herzegovina Bulgaria Romania Slovakia Ireland Greece Uganda Brazil Namibia Bolivia Gambia Uruguay Latvia Honduras Australia Colombia United Republic of Tanzania Timor-Leste 28 June 2001 17 July 2001 06 September 2001 27 September 2001 02 October 2001 03 October 2001 04 October 2001 12 October 2001 10 November 2001 12 November 2001 12 November 2001 30 November 2001 31 December 2001 22 January 2002 30 January 2002 05 February 2002 05 February 2002 05 March 2002 06 March 2002 07 March 2002 21 March 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 15 May 2002 14 June 2002 20 June 2002 25 June 2002 27 June 2002 28 June 2002 28 June 2002 28 June 2002 01 July 2002 01 July 2002 05 August 2002 20 August 2002 06 September 2002 131 80 Samoa 16 September 2002 81 Malawi 19 September 2002 82 Djibouti 05 November 2002 83 Zambia 13 November 2002 84 Republic of Korea 13 November 2002 85 Malta 29 November 2002 86 Saint Vincent and the Grenadines 03 December 2002 87 Barbados 10 December 2002 88 Albania 31 January 2003 89 Afghanistan 10 February 2003 90 Lithuania 12 May 2003 91 Guinea 14 July 2003 92 Georgia 05 September 2003 93 Burkina Faso 16 April 2004 94 Congo 03 May 2004 95 Burundi 21 September 2004 96 Liberia 22 September 2004 97 Guyana 24 September 2004 98 Kenya 15 March 2005 99 Dominican Republic 12 May 2005 100 Mexico 28 October 2005 101 Saint Kitts and Nevis 22 August 2006 102 Montenegro 23 October 2006 103 Comoros 01 November 2006 104 Chad 01 January 2007 105 Japan 17 July 2007 106 Madagascar 14 March 2008 107 Suriname 15 July 2008 108 Cook Islands 18 July 2008 109 Chile 29 June 2009 110 Czech Republic 21 July 2009 111 Bangladesh 23 March 2010 112 Seychelles 10 August 2010 113 Saint Lucia 18 August 2010 114 Republic of Moldova 12 October 2010 115 Grenada 19 May 2011 116 Tunisia 24 June 2011 117 Philippines 30 August 2011 118 Maldives 21 September 2011 119 Cape Verde 10 October 2011 120 Vanuatu 02 December 2011 121 Guatemala 02 April 2012 122 Côte d’Ivoire 15 February 2013 Sumber: Majelis Negara-negara Pihak (Assembly of States Parties) 132