BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1.
Landasan Teori
Dalam bab ini terdapat teori-teori yang berhubungan dengan topik yang
bersangkutan yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Berikut penjelasan teorinya.
II.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan merupakan dasar teori yang digunakan dalam pemahaman
konsep good corporate governance. Hubungan keagenan dalam teori agensi muncul
karena adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu
investor dengan pihak yang menerima wewenang (agen) yaitu manajer, dalam bentuk
kontrak kerja sama dimana prinsipal mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan
kepada agen dalam mengelola kekayaan investor (Brigham dan Houston, 2004). Investor
mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut
akan memperoleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran
investor.
Menurut Dwiyanti (2010), manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak
mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham atau investor). Oleh sebab itu, manajer
mempunyai kewajiban memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik.
Informasi
yang
diberikan
oleh
manajer
dapat
dilakukan
dengan
mengungkapkan informasi akuntansi seperti laporan keuangan perusahaan. Laporan
keuangan digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan. Namun
yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan perusahaan adalah para pengguna
10
eksternal (di luar manajemen) karena pengguna laporan keuangan eksternal berada
dalam kondisi ketidakpastian. Sedangkan para pengguna internal (manajemen
perusahaan) mempunyai kontak langsung dengan perusahaan dan mengetahui peristiwa
yang terjadi terhadap perusahaan sehingga tingkat ketergantungan terhadap informasi
akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal.
Situasi tersebut memicu timbulnya suatu kondisi yang disebut asimetri informasi
(information asymmetry), yaitu suatu kondisi di mana prinsipal tidak mempunyai
informasi yang cukup mengenai kinerja agen dan tidak pernah dapat merasa pasti
bagaimana usaha agen memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Pemegang
saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang
diperoleh dari investasi mereka di perusahaan tersebut, sedangkan para agen
diasumsikan tidak hanya menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan akan tetapi
juga ingin mendapatkan tambahan yang terlibat dalam hubungan suatu agensi, seperti
keanggotaan klub, dan jam kerja yang fleksibel.
Dalam hubungan agensi terdapat tiga masalah utama yang dihadapi antara
pemegang saham (prinsipal) dan manajer (agen). Pertama, masalah pengendalian yang
dilakukan oleh pemegang saham terhadap manajer. Masalah pengendalian tersebut yaitu
seperti tindakan manajer yang tidak bisa diamati oleh pemegang saham atau investor dan
mekanisme pengendaliannya. Tanpa mengamati kegiatan manajer, hanya manajer yang
mengetahui apakah manajer bekerja demi kepentingan pemegang saham atau tidak.
Selain itu, hanya manajer yang mengetahui lebih banyak tentang tugas dan tanggung
jawabnya dibandingkan pemegang saham. Oleh sebab itu, pemegang saham terpaksa
melakukan mekanisme pengendalian agar kegiatan manajemen dapat berjalan sesuai
yang diharapkan yaitu dengan cara monitoring dan kontrak insentif.
11
Kedua, masalah biaya yang menyertai hubungan agensi. Munculnya perbedaan
kepentingan antara pemegang saham dan manajer menyebabkan munculnya biaya
tambahan sebagai biaya agensi. Sebagai contoh biaya yang termasuk biaya agensi yaitu
biaya kompensasi insentif berupa bonus dalam bentuk opsi saham, biaya monitoring
(biaya audit) dan biaya kesempatan (oppportunity cost) yang muncul karena kesulitan
perusahaan dalam merespon kesempatan baru sehingga menyebabkan perusahaan
kehilangan peluang untuk memperoleh keuntungan.
Ketiga, masalah tentang bagaimana menghindari dan meminimalisasi biaya
agensi. Dua macam usaha yang dapat dilakukan oleh pemegang saham dalam
memperkecil biaya agensi yang tidak dapat dihilangkan yaitu dengan cara mencari
manajer yang benar-benar dapat dipercaya dan mengetahui secara jelas kapabilitas dan
personalitas, serta memperjelas kontrak insentif dengan skema kompensasi opsional
sehingga memotivasi manajer untuk bekerja sesuai kepentingan pemegang saham.
Masalah-masalah keagenan ini dapat diatasi dengan tata kelola perusahaan yang
merupakan seperangkat aturan yang mengontrol perilaku perusahaan terhadap para
direktur, manajer, karyawan, pemegang saham, kreditor, pelanggan, competitor, dan
komunitasnya (Brigham dan Ehrhardt, 2010).
Berdasarkan teori keagenan, ada 2 macam corporate governance yaitu “bad” dan
“good” (Armstrong, 2009). Bad corporate governance berarti perusahaan mengalami
konflik keagenan yang serius antara pemegang saham dan manajer, serta biaya kontrak.
Sedangkan good corporate governance berarti perusahaan dapat mengurangi konflik
keagenan antara pemegang saham dan manajer, serta biaya kontrak.
12
II.1.2. Stewardship Theory
Teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para
manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada
sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai
dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai
steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal, selain itu perilaku
steward tidak akan meninggalkan organisasinya sebab steward berusaha mencapai
sasaran organisasinya. Teori ini didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi dimana
para eksekutif dalam perusahaan sebagai pelayan dapat termotivasi untuk bertindak
dengan cara terbaik pada prinsipalnya (Suyanto, 2008).
Inti dari teori ini yaitu kepercayaan. Para manajer digambarkan sebagai good
steward dalam teori ini, dimana para manajer tersebut setia menjalankan setiap tugas dan
tanggung jawab yang diberikan oleh para stakeholder. Para manajer tidak termotivasi
pada materi dan uang, tetapi mereka termotivasi oleh keinginan diri sendiri dalam
mengaktualisasi diri dan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan yang dikerjakan, serta
menghindari konflik kepentingan dengan para stakeholder.
Dari penjelasan teori ini, maka setiap aktivitas bisnis para manajer dapat
berdampak pada kepentingan stakeholder lainnya. Oleh sebab itu dibutuhkan good
corporate governance untuk mengelola dan mengendalikan kegiatan operasional
perusahaan guna memenuhi keinginan semua pemangku kepentingan dan meningkatkan
kepercayaan dalam bisnis yang dijalankannya.
13
II.1.3. Stakeholder Theory
Pengertian teori stakeholder adalah sekelompok orang yang dapat mempengaruhi
kegiatan perusahaan atau dapat dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan (Phillips, 2011).
Dalam teori ini, manajer diharapkan dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap
penting oleh para stakeholder dan melaporkan aktivitas-aktivitas tersebut. Artinya
perusahaan perlu menjelaskan tanggung jawabnya kepada para stakeholder dan perlu
menerapkan good corporate governance untuk memenuhi harapan para stakeholder-nya.
II.1.4. Pengertian dan Konsep Dasar GCG
II.1.4.1. Pengertian Good Corporate Governance
Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain
suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. (FCGI, 2002).
Menurut IICG (2008), Konsep Corporate Governance dapat didefinisikan
sebagai serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan mengendalikan suatu
perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku
kepentingan (stakeholders). Good Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai
struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh pihak-pihak internal maupun eksternal
yang berkaitan dengan perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah
perusahaan
secara
berkesinambungan
dalam
jangka
panjang,
dengan
tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan
dan norma yang berlaku. Good adalah tingkat pencapaian terhadap suatu hasil upaya
14
yang memenuhi persyaratan, menunjukkan kepatutan dan keteraturan operasional
perusahaan sesuai dengan konsep corporate governance. Struktur adalah susunan atau
rangka dasar manajemen perusahaan yang didasarkan pada pendistribusian hak-hak dan
tanggung jawab di antara pihak-pihak dalam perusahaan (dewan komisaris, direksi, dan
RUPS/pemegang saham) dan stakeholder lainnya, dan aturan-aturan maupun prosedurprosedur untuk pengambilan keputusan dalam hubungan perusahaan. Sistem adalah
prosedur formal dan informal yang mendukung struktur dan strategi operasional dalam
suatu perusahaan. Proses adalah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang
direncanakan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan perilaku
perusahaan dengan ekspektasi dari masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas
perusahaan kepada pemegang saham. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
GCG merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan
komisaris, direksi, pemegang saham, dan para stakeholder lainnya.
2. Suatu sistem pengawasan dan keseimbangan kewenangan atas pengendalian
perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang
salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut
dengan pengukuran kinerjanya.
Menurut Van der Stede (2007), tata kelola perusahaan merujuk pada seperangkat
mekanisme dan proses yang membantu memastikan bahwa perusahaan diarahkan dan
dikelola untuk menciptakan nilai bagi pemiliknya sementara secara bersamaan
memenuhi tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan lain (misalnya karyawan,
pemasok, masyarakat pada umumnya). Banyak mekanisme, termasuk dewan direksi,
15
auditor eksternal, penilaian tata kelola perusahaan, hak pemegang saham suara, dan
ancaman pengambilalihan, dapat memiliki efek tata kelola perusahaan.
II.1.4.2. Prinsip GCG Menurut KNKG
Setiap perusahaan harus memberikan kepastian atas penerapan prinsip atau asas
GCG di setiap aspek bisnisnya. Menurut KNKG (2006), prinsip-prinsip GCG terdiri dari
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan
diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan
memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders).
1. Transparansi (Transparency)
Prinsip dasar:
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku
kepentingan sesuai dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi,
sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan
16
kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya
dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen resiko, sistem
pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta
tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi
perusahaan.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban
untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan
kepada pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Prinsip dasar:
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing
pihak perusahaan yang bersangkutan dan semua karyawan secara jelas dan
selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi
perusahaan.
17
b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua pihak perusahaan yang berkepentingan
dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung
jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.
c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif
dalam pengelolaan perusahaan.
d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang
konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan
dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap pihak perusahaan
yang bersangkutan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan
pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Prinsip dasar:
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan harus berpegang pada prinsip
kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).
b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli
terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan
dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
18
4. Independensi (Independency)
Prinsip dasar
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Masing-masing pihak perusahaan yang bersangkutan harus menghindari
terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala
pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara
obyektif.
b. Masing-masing karyawan perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling
mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Prinsip dasar:
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.
Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan
serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi
dalam lingkup kedudukan masing-masing.
19
b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan
kepada perusahaan.
c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
II.1.4.3. Dasar Tata Kelola Perusahaan yang Efektif Menurut OECD
Perusahaan harus memastikan dasar kerangka tata kelola perusahaan yang efektif
(OECD, 2004). Kerangka tata kelola perusahaan harus menunjukkan transparansi dan
pasar yang efisien, konsisten dengan aturan hukum dan jelas mengartikulasikan
pembagian tanggung jawab antara berbagai pengawasan dan penegakan hukum yang
berlaku. Dasar kerangka tata kelola perusahaan yang efektif yaitu:
1. Kerangka tata kelola perusahaan harus dikembangkan dengan tujuan untuk
berdampak pada kinerja ekonomi secara keseluruhan, integritas pasar dan insentif
untuk menciptakan pelaku pasar dan kenaikan pasar yang transparan dan efisien.
2. Persyaratan hukum dan peraturan yang mempengaruhi praktik tata kelola perusahaan
dalam yurisdiksi harus konsisten dengan aturan hukum, transparan, dan dapat
dilaksanakan.
3. Pembagian tanggung jawab antara otoritas yang berbeda dalam yurisdiksi yang harus
jelas diartikulasikan dan memastikan bahwa kepentingan umum disajikan.
4. Pengawas, pihak berwenang, dan penegak hukum harus memiliki wewenang,
integritas dan sumber daya untuk memenuhi tugas mereka secara profesional dan
20
obyektif. Selain itu, keputusan mereka harus tepat waktu, transparan dan sepenuhnya
dijelaskan.
II.1.4.4. Tujuan dan Manfaat Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge (2005: 5-6), good corporate
governance mempunyai tujuan dan manfaat yaitu:
1. melindungi hak dan kepentingan pemegang saham dan para anggota non-pemegang
saham yang bersangkutan.
2. meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja dewan pengurus atau board of
directors dan manajemen perusahaan.
3. meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan manajemen senior
perusahaan.
4. mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang saham
sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
5. meningkatkan nilai saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan citra
perusahaan kepada publik lebih luas dalam jangka panjang.
6. mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di suatu
perusahaan.
II.1.5. Pengertian Bank
Bank adalah suatu badan usaha atau perusahaan yang bergerak dalam bidang
keuangan (Kasmir, 2007: 27). Aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan
penghimpunan dana dari masyarakat yang berbentuk simpanan dan penyaluran dana
21
kepada masyarakat berupa kredit dan/atau bentuk lainnya dengan tujuan meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
Bank berfungsi sebagai financial intermediary atau perantara keuangan yaitu
menghimpun dana masyarakat dari penabung dan menyalurkan atau meminjamkan dana
tersebut kepada peminjam (Mishkin, 2008: 9). Perbankan di Indonesia bertujuan untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
II.1.6. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Penerapan tata kelola perusahaan industri perbankan di Indonesia belum mampu
mengubah budaya kerja yang lebih baik guna menangkal tindak kejahatan dari internal
bank, karena baru dijalankan sebatas aturan atau pengisian daftar kelengkapan. Menurut
peraturan Bank Indonesia (2011), bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan
bank dengan menggunakan pendekatan resiko (Risk-based Bank Rating) dengan
cakupan penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut:
1. Profil resiko (risk profile)
Penilaian terhadap faktor profil resiko merupakan penilaian terhadap resiko inheren
dan kualitas penerapan manajemen resiko dalam operasional bank yang dilakukan
terhadap 8 (delapan) resiko yaitu:
1. resiko kredit
Resiko kredit merupakan resiko yang terjadi karena ketidakmampuan debitur
(peminjam) dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang.
22
2. resiko pasar
Resiko pasar adalah resiko yang muncul karena nilai suatu investasi menurun
yang disebabkan oleh perubahan harga-harga pasar.
3. resiko likuiditas
Resiko likuiditas adalah resiko akibat ketidakmampuan bank dalam memenuhi
kewajibannya yang jatuh tempo. Likuiditas dianggap sangat penting karena
untuk menjaga kelangsungan usaha bank.
4. resiko operasional
Resiko operasional merupakan resiko yang terjadi karena tidak berfungsinya
proses internal, kegagalan suatu sistem, kesalahan manusia, dan/atau adanya
kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5. resiko hukum
Resiko hukum adalah resiko yang timbul akibat kelemahan aspek yuridis.
6. resiko stratejik
Resiko stratejik merupakan resiko yang muncul karena pengambilan keputusan
dan/atau pelaksanaan strategi yang tidak tepat, serta ketidakberhasilan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
7. resiko kepatuhan
Resiko kepatuhan adalah resiko yang timbul karena bank tidak mematuhi
peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang berlaku.
8. resiko reputasi
Resiko reputasi adalah resiko yang terjadi karena menurunnya tingkat
kepercayaan
stakeholders
atau
pihak-pihak
yang
berkepentingan
yang
disebabkan oleh timbulnya persepsi negatif terhadap suatu bank.
23
2. Good corporate governance (GCG)
Penilaian terhadap faktor GCG merupakan penilaian terhadap manajemen bank atas
pelaksanaan prinsip-prinsip GCG.
3. Rentabilitas (earnings)
Penilaian terhadap faktor rentabilitas (earnings) meliputi penilaian terhadap kinerja
earnings, sumber-sumber earnings, dan sustainability earnings bank.
4. Permodalan (capital)
Penilaian terhadap faktor permodalan (capital) meliputi penilaian terhadap tingkat
kecukupan permodalan dan pengelolaan permodalan.
Tingkat kesehatan bank adalah bank yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya
dengan baik, yaitu terdiri dari tiga fungsi:
1. fungsi intermediasi
2. membantu kelancaran sistem pembayaran
3. perantara kebijakan moneter
Penilaian untuk menentukan kondisi suatu bank, biasanya menggunakan
berbagai alat ukur. Salah satu alat ukur yang utama yang digunakan untuk menentukan
kondisi suatu bank dikenal dengan nama analisis CAMEL (Capital, Assets, Management,
Earnings and Liquidity). Hasil dari salah satu aspek ini kemudian akan menghasilkan
kondisi bank.
1. Aspek Permodalan (Capital)
Penilaian pertama aspek permodalan (capital) suatu bank. Dalam aspek ini yang
dinilai adalah permodalan yang dimiliki oleh bank yang didasarkan pada kewajiban
penyediaan modal minimum bank. Penilaian tersebut didasarkan kepada CAR
(Capital Adequacy Ratio) yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Perbandingan
24
rasio CAR adalah rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR).
Sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka perbankan harus
mempunyai CAR minimal 8% (PBI No. 10/15/PBI/2008 pasal 2 ayat 1). Menurut
peraturan Bank Indonesia (2001), bagi bank yang memiliki CAR di bawah 8%, maka
bank tersebut dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. Penambahan CAR untuk
mencapai seperti yang telah ditetapkan memerlukan waktu, sehingga pemerintah pun
memberikan waktu sesuai dengan ketentuan. Apabila sampai waktu yang telah
ditentukan target CAR tidak tercapai, maka bank bersangkutan akan dikenakan
sanksi.
2. Aspek Kualitas Aset atau Aktiva (Assets)
Aspek yang kedua adalah mengukur kualitas aset atau aktiva bank. Dalam hal ini
upaya yang dilakukan adalah untuk menilai jenis-jenis aset yang dimiliki oleh bank.
Menurut peraturan Bank Indonesia (2005), aset atau aktiva bank dibagi menjadi dua
jenis yaitu aktiva produktif dan aktiva non produktif. Aktiva Produktif adalah
penyediaan dana bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat
berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga
yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan
derivatif, penyertaan, transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana
lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan aktiva non produktif adalah
aset bank selain aktiva produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam
bentuk agunan yang diambil alih, properti terbengkalai (abandoned property),
rekening antar kantor dan suspense account.
Penilaian aset harus sesuai dengan peraturan oleh Bank Indonesia dengan
memperbandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva
25
produktif. Kemudian rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva
produktif yang diklasifikasikan. Rasio ini dapat dilihat dari neraca yang telah
dilaporkan secara berkala kepada Bank Indonesia.
3. Aspek Kualitas Manajemen (Management)
Penilaian yang ketiga meliputi penilaian kualitas manajemen bank. Untuk menilai
kualitas manajemen dapat dilihat dari kualitas manusianya dalam mengelola bank.
Kualitas manusia juga dilihat dari segi pendidikan serta pengalaman para
karyawannya dalam menangani berbagai kasus yang terjadi. Dalam aspek ini yang
dinilai adalah manajemen permodalan, manajemen kualitas aktiva, manajemen
umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas.
4. Aspek Earnings
Merupakan aspek yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam
meningkatkan keuntungan. Kemampuan ini dilakukan dalam suatu periode.
Kegunaan aspek ini juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas
yang dicapai bank bersangkutan. Bank yang sehat adalah bank yang diukur secara
rentabilitas yang terus meningkat di atas standar yang telah ditetapkan. Penilaian ini
meliputi juga hal-hal seperti:
a. rasio laba terhadap total aset (ROA)
b. perbandingan biaya operasi dengan pendapatan operasi (BOPO).
5. Aspek Likuiditas (Liquidity)
Aspek kelima adalah penilaian terhadap aspek likuiditas bank. Suatu bank dapat
dikatakan likuid, apabila bank yang bersangkutan mampu membayar semua
hutangnya terutama hutang-hutang jangka pendek. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan hutang-hutang jangka pendek yaitu simpanan masyarakat seperti simpanan
26
tabungan, giro dan deposito. Dikatakan likuid jika pada saat ditagih bank mampu
membayar. Kemudian bank juga harus dapat pula memenuhi semua permohonan
kredit yang layak dibiayai. Kriteria atau syarat utama kredit yang layak dibiayai
yaitu identitas penerima kredit harus jelas dan benar, dan adanya jaminan harta atau
benda yang sesuai ketentuan bank dalam menerima kredit bank.
II.1.7. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang penerapan good corporate governance dan penilaian tingkat
kesehatan perbankan (khususnya aspek permodalan dan kualitas aktiva bank) pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. GCG sampai saat ini masih menjadi isu
yang banyak dibicarakan oleh masyarakat Indonesia karena pada perkembangannya
penerapan good governance tidak hanya berlaku bagi perusahaan yang berorientasi
bisnis semata, tetapi juga untuk lembaga pemerintahan dan lembaga publik yang bekerja
menggunakan dana masyarakat seperti BUMN, bahkan good corporate governance juga
bisa diimplementasikan bagi istitusi-institusi pendidikan. Oleh karena itu, penelitian ini
tentang analisis pengaruh penerapan good corporate governance terhadap 31 bank yang
berkapitalisasi di Bursa Efek Indonesia per tanggal 31 Desember 2011. Penelitian ini
lebih menaruh perhatian hanya pada bank-bank yang berkapitalisasi di BEI karena
industri perbankan di Indonesia mempunyai regulasi yang lebih ketat dibandingkan
dengan industri lain, misalnya bank harus memenuhi kriteria minimum CAR sebesar 8%,
dan sekarang ini perbankan menjadi sorotan utama dalam masalah keuangan negara
Indonesia. Penelitian ini membutuhkan penelitian sebelumnya untuk mendukung
penelitian dalam penulisan skripsi ini. Berikut ini beberapa penelitian sebelumnya
27
beserta penjelasannya yang membahas tentang good corporate governance, aspek
permodalan dan kualitas aktiva bank.
II.1.7.1. Agus Aryanto (2009) – Pengaruh Peranan Good Corporate Governance
Terhadap Kinerja Keuangan Dengan Menggunakan Rasio CAMELS di Industri
Perbankan di Indonesia yang Terdaftar di BEI Tahun 2005-2007
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja keuangan dengan
berbasis pada rasio CAMELS dalam memprediksi kondisi keuangan lembaga perbankan
2005-2007 dan mengetahui pengaruh penerapan good corporate governance terhadap
kinerja keuangan pada industri perbankan di Indonesia dengan menggunakan statistik
deskriptif.
Penelitian ini menggunakan sampel 23 bank yang terdaftar di BEI per 31 Maret
2009 dengan metode purposive sampling. Data penelitian diambil dari laporan keuangan
bank untuk tahun 2005-2007. Jenis data ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
pihak ketiga. Metode analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda.
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh yang signifikan dan nyata antara komposisi dewan komisaris
independen terhadap aspek permodalan, kualitas aktiva dan manajemen. Tetapi tidak
berpengaruh signifikan dan nyata terhadap aspek earnings dan likuiditas.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan dan nyata antara ukuran dewan direksi dengan
aspek permodalan, tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap aspek kualitas aktiva,
manajemen, earnings, dan likuiditas.
3. Terdapat pengaruh yang signifikan dan nyata antara keberadaan komite audit dengan
aspek permodalan, kualitas aktiva, manajemen, earnings, dan likuiditas.
28
4. Terdapat pengaruh yang signifikan dan nyata antara keberadaan sekretaris
perusahaan dengan aspek permodalan, tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap
aspek kualitas aktiva, manajemen, earnings, dan likuiditas.
5. Secara keseluruhan, aspek permodalan merupakan aspek yang paling dipengaruhi
oleh variabel-variabel independen.
II.1.7.2. Ina Sugiarto (2009) – Analisis Kinerja Bank Setelah Penerapan Good
Corporate Governance (GCG) Melalui Pendekatan Rasio CAMEL – Studi Kasus
pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan PT. Bank Negara
Indonesia (Persero), Tbk sesudah penerapan konsep good corporate governance (GCG)
selama periode yang diteliti dengan menggunakan analisis rasio CAMEL dan
mengetahui trend kinerja bank setelah penerapan GCG pada PT. Bank Negara Indonesia
(Persero), Tbk dengan menggunakan analisis rasio CAMEL.
Rumusan masalah dalam penelitian ini mengenai GCG, kinerja keuangan dan
rasio CAMEL adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kinerja bank sesudah penerapan GCG pada PT. Bank Negara
Indonesia (Persero), Tbk apabila diukur dengan mengunakan Metode CAMEL?
2. Bagaimanakah trend kinerja bank sesudah penerapan GCG pada PT. Bank Negara
Indonesia (Persero), Tbk apabila diukur dengan mengunakan Metode CAMEL?
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari laporan keuangan
publikasi Bank Indonesia pada periode 2001-2006 yang diperoleh dari situs resmi Bank
Indonesia (www.bi.go.id) dan Yahoo finance (www.finance.yahoo.com), serta
29
rekomendasi dari pihak Bank Indonesia berkaitan dengan aspek manajemen dalam
penelitian metode CAMEL. Metode analisis data menggunakan rasio CAMEL.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Setelah penerapan GCG secara umum nilai kredit BNI 46 berpredikat “sehat”. Hal
tersebut menunjukkan bahwa penerapan GCG memberikan pengaruh pada BNI 46
untuk tetap menjaga asas “prudential banking”.
2. Setelah penerapan GCG, tren rasio CAMEL BNI 46 mengalami fluktuasi dan belum
mengalami peningkatan secara terus-menerus. Hal tersebut memperlihatkan bahwa
keberhasilan penerapan GCG memerlukan waktu yang cukup lama. Tujuh tahun
setelah penerapan GCG belum dapat memberikan hasil yang maksimal.
II.2.
Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan teori-teori yang telah diberikan, maka pengembangan hipotesis
yaitu terdiri dari:
1. Pengaruh Pemantauan Kepemilikan Terhadap Aspek Permodalan dan Kualitas
Aktiva Bank
Konsentrasi kepemilikan pada segelintir pemegang saham (pemegang saham
pengendali) membuat pelaksanaan monitoring terhadap pihak manajemen menjadi
lebih mudah. Adanya monitoring yang cukup tinggi membuat manajer mempunyai
wewenang penuh yang rendah dalam mengambil keputusan-keputusan untuk
menguntungkan dirinya. Hal ini akan mengurangi konflik keagenan dan dapat
menyelaraskan kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham (Belkhir,
2005 dalam Sari, 2010). Adanya pemantauan kepemilikan seperti perusahaan
asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan oleh institusi lain akan
30
mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja
manajemen (Sam’ani, 2008).
Ha.1: Pemantauan kepemilikan berpengaruh positif terhadap aspek permodalan
bank.
Ha.2: Pemantauan kepemilikan berpengaruh positif terhadap kualitas aktiva
bank.
2. Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris Terhadap Aspek Permodalan dan Kualitas
Aktiva Bank
Dewan komisaris adalah sebuah dewan yang bertugas dalam melakukan
pengawasan dan memberikan nasihat kepada para direktur perusahaan. Peran dewan
komisaris ini diharapkan dapat meminimalisir permasalahan agensi yang timbul
antara dewan direksi dengan pemegang saham (Sam’ani, 2008). Menurut Chtourou
et al (2001) (dalam Sari, 2010) dalam penelitiannya bahwa dengan jumlah anggota
dewan yang semakin besar maka mekanisme monitoring manajemen perusahaan
akan semakin baik. Jumlah anggota dewan yang besar menguntungkan perusahaan
dari sudut pandang bahwa perusahaan akan tergantung terhadap dewannya untuk
dapat mengelola sumber dayanya secara lebih baik.
Ha.3: Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap aspek permodalan
bank.
Ha.4: Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap kualitas aktiva
bank.
31
3. Pengaruh Ukuran Dewan Direksi Terhadap Aspek Permodalan dan Kualitas Aktiva
Bank
Dewan direksi bertugas menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi
jangka panjang maupun jangka pendek. Peningkatan ukuran dan diversitas dari
dewan direksi akan memberikan manfaat bagi perusahaan karena terciptanya
network dengan pihak luar perusahaan dan menjamin ketersediaan sumber daya.
Ha.5: Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap aspek permodalan
bank.
Ha.6: Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap kualitas aktiva bank.
4. Pengaruh Komite Audit Terhadap Aspek Permodalan dan Kualitas Aktiva Bank
Komite audit bertanggungjawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi
audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal. Komite audit dibentuk
oleh dewan komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas pengawasan
(Aryanto, 2009). Komite audit di dunia perbankan terdiri dari komisaris independen
dan pihak independen. Barnhart & Rosenstein (1998) dalam Sari (2010) melakukan
penelitian mengenai “Board Composition, Managerial Ownership and Firm
Performance”, yang membuktikan bahwa semakin tinggi perwakilan dari outsider
director (komisaris independen dan pihak independen), maka semakin tinggi
independensi dan efektivitas corporate board sehingga dapat meningkatkan nilai
perusahaan. Hubungan antara komisaris independen dan pihak independen dengan
kinerja perbankan juga didukung oleh perspektif bahwa dengan adanya komisaris
independen diharapkan dapat memberikan fungsi pengawasan terhadap perusahaan
secara objektif dan independen, menjamin pengelolaan yang bersih dan sehatnya
32
operasi perusahaan sehingga dapat mendukung kinerja perusahaan (Jones,1979
dalam Sari, 2010).
Ha.7: Komite audit berpengaruh positif terhadap aspek permodalan bank.
Ha.8: Komite audit berpengaruh positif terhadap kualitas aktiva bank.
5. Pengaruh Ukuran Bank Terhadap Aspek Permodalan dan Kualitas Aktiva Bank
Ukuran bank dicerminkan dengan total asset yang menggambarkan seberapa
besar dana yang dikelola dan kompleksitasnya. Total asset juga menggambarkan hak
dan kewajiban serta permodalan bank. Peasnell, Pope dan Young (1998) dalam Sari
(2010) menunjukan adanya hubungan negatif antara ukuran perusahaan dan
manajemen laba di Inggris. Dengan ini disimpulkan bahwa manajer yang memimpin
di perusahaan besar memiliki kesempatan yang lebih kecil dalam memanipulasi laba
dibandingkan dengan manajer di perusahaan kecil. Dari pengujian Veronica dan
Utama (2005) dalam Sari (2010) dilaporkan bahwa variabel yang berpengaruh
signifikan terhadap besaran manajemen laba adalah ukuran perusahaan. Makin besar
ukuran perusahaan, makin kecil tindak manajemen labanya.
Ha.9: Ukuran bank berpengaruh positif terhadap aspek permodalan bank.
Ha.10: Ukuran bank berpengaruh positif terhadap kualitas aktiva bank.
33
Download