DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA Volume 15 Januari—April 2014 ARTIKEL Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional Damos Dumoli Agusman ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di Kawasan Asia Tenggara Heribertus Jaka Triyana Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction dalam Hukum Siber di Indonesia Purna Cita Nugraha The Judicial Expansive Attitude towards Public Policy in Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia Mahmudin Nur Al-Gozaly RESENSI BUKU Investor-State Arbitration Muhammad Ferdien ISTILAH HUKUM i Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 15 Januari—April 2014 DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2014 Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 15 Januari—April 2014 Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Sejak Oktober 2009 Penanggung Jawab Wiwiek Setywati Firman, SH. Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, SH., MA Redaktur Yoshi Iskandar, SH.; Kemal Haripurwanto, SH., LL.M; Amrih Jinangkung, SH., LL.M; Elmar Iwan Lubis, SH.; Drs.Sukarsono; Sudarsono, SH., MM; Rofita, SH; Zainul Idris Yunus, SE; Fajar Yusuf SH., LL.M. Editor Nenda Inasa Fadhilah, SH., LL.M.; Santa Marelda Saragih,SH., MH.; Ratih Wulandari, SIP.; Vina Novianti, S.Hum.; Rike Octaviany, SH., LL.M.; M. Ferdien, SH.; Nova Maulani, SH., LL.M. Disain Grafis Abdul Hayyi, Asep Hermawan Sekretariat Uki Subki, S.Sos, M.Si.; Anisa Husna, S.Hum; Tasunah; Maisaroh, S.Sos., Sutono Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected] Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website http://pustakahpi.kemlu.go.id/ Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 DAFTAR ISI Daftar Isi .............................................................................................................v Pengantar Redaksi ........................................................................................ vi Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional ................................................................. 8 Damos Dumoli Agusman ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di Kawasan Asia Tenggara.............................................................................. 45 Heribertus Jaka Triyana Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction dalam Hukum Siber di Indonesia ...................................................................................... 104 Purna Cita Nugraha The Judicial Expansive Attitude Towards Public Policy in Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia ........... 12727 Mahmudin Nur Al-Gozaly RESENSI BUKU ..........................................................................................1711 ISTILAH HUKUM .................................................................................... 17777 TENTANG PENULIS ............................................................................... 18080 v JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 PENGANTAR REDAKSI Memasuki tahun keenam penerbitan Jurnal Opinio Juris telah diterbitkan sebanyak 15 volume dengan berbagai macam topik dan isu yang dimuat. Usia enam tahun terbitan sebuah Jurnal dengan kekhususan di bidang hukum internasional merupakan upaya mempertahankan keberadaan Jurnal Opinio Juris dan meningkatkan kualitas tampilan dan isi tulisan secara terus menerus. Disamping itu sirkulasi Jurnal Opinio Juris telah menyentuh berbagai kalangan baik legislatif, eksekutif, yudikatif, misi diplomatik, lembaga kajian termasuk civitas akademika terutama Fakultas Hukum diberbagai penjuru tanah air. Tampilan dalam bentuk e-journal juga dapat dibaca melalui website http://pustakahpi.kemlu.go.id. Dalam Volume 15 tahun 2014 ini terdapat empat kontributor penulis utama yaitu: Dr. iur Damos Dumoli Agusman dengan judul tulisan Indonesia dan Hukum Internasional – Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional¨; Purna Cita Nugraha dengan judul tulisan Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction dalam Hukum Siber di Indonesia¨; Mahmudin Nur Al-Gozaly dengan judul tulisan ¨The Judicial Expansive Attitude towards Public Policy in Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia¨; dan Heribertus Jaka Triyana dengan judul tulisan ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di Kawasan Asia Tenggara. Meskipun pada volume 15 ini hanya terdapat 4 tulisan, namun tulisan yang ada memuat isu yang beragam, dengan harapan pembaca Jurnal dapat menikmati tulisan tersebut. vi JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Redaksi Jurnal Opinio Juris membuka peluang seluas-luasnya bagi pemerhati hukum internasional untuk menuangkan pemikiran, ide, gagasannya dalam bentuk sumbangan tulisan dan secara bersama mengembangkan Jurnal Opinio Juris sebagai salah satu dari sedikit Jurnal Hukum Internasional yang ada di Indonesia. Akhir kata Redaksi Jurnal Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat menjadi wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Terima kasih dan selamat membaca. Redaksi Opinio Juris vii JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI INDONESIA TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL Damos Dumoli Agusman Abstract Jurists had debated the relationship between international law and national law for many years. They created the legendary theories, namely monism and dualism and continue with adoption and transformation theories. Within the historical perspective of Indonesia, international law is the pro establishments that give the legitimation for colonial state to colonize its colony. Therefore, international law is different with the legal system of Indonesia and become a new element within the architecture of Indonesian Law. The impact of the aforementioned issue is Indonesian legal system had not concerned with the existence of international law, particularly international treaties. The issue concerning relationship between international treaties and national law in Indonesia become unique and interesting. Indonesian tradition of international law had been colored by nationalistic sentiment, resistance and the struggling against the colonial tone of international law. This presumption and tradition will affect the behavior of Indonesia toward international law as stated by Ko Swan Sik. Keywords: international law, national law, Indonesian legal system, treaty law A. Pendahuluan Pakar hukum Belanda, Lambertus Erades, pernah mengekpresikan kegelisahannya bahwa “the relation between international law and municipal law is a subject with which many generations of lawyers have 8 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 wrestled, are wrestling and will continue to wrestle”.1 Para pakar hukum telah lama berdebat soal bagaimana hubungan kedua bidang hukum ini yang akhirnya melahirkan teori legendaris yang disebut dengan monisme dan dualisme dan berlanjut dengan derivatif-nya yaitu teori adopsi dan transformasi. Studi tentang hubungan kedua hukum ini sudah banyak, tidak hanya soal interaksi antara kedua hukum ini namun juga menguak konflik diantara keduanya. Namun sayangnya, studi ini masih terbatas pada negara-negara modern2 dan belum banyak mengkaji sistem-sistem hukum di negara-negara berkembang. Belum banyak terkuak bagaimana hubungan hukum internasional dan hukum nasional di negara-negara baru yang lahir setelah PD II dan yang melepaskan diri tradisi hukum kolonialnya seperti Indonesia.3 Negara-negara bekas koloni, yang mewariskan sistem hukum negara penjajahnya, lebih gampang menjelaskan hubungan kedua hukum ini karena negara-negara ini cenderung mewarisi sistem hukum yang dianut oleh negara penjajahnya yang telah menyediakan doktrin untuk 1 Lambertus Erades, ‘International Law and the Netherlands Legal Order’, di H.F. van Panhuys (ed.), International Law in the Netherlands, vol. III (1980), 376. 2 Andrea Bianchi, ‘International Law and US Courts: the Myth of Lohengrin Revisited’, 15 EJIL (2004) 4, 751; Tidak seperti pengalaman negara-negara Barat, Ko berargumen bahwa Negara-negara Asia tidak pernah membahas masalah ini, lihat Swan Sik Ko, ‘International Law in Municipal Legal Orders of Asian States: Virgin Land’, di Ronald St. J. Macdonald (ed.), Essays in Honour of Wang Tieya (1994), 740. 3 Studi komparatif dengan merujuk pada beberapa system hukum Negara berkembang dalam proses penyusunan perjanjian internasional dan status domestik perjanjian internasional dapat ditemukan di Duncan B Hollis, Merritt R. Blakeslee and L. Benyamin Ederington (eds), National Treaty Law and Practice (2005); David Sloss (ed.), The Role of Domestic Courts in Treaty Enforcement, A Comparative Study (2009); Dinah Shelton (ed.), International Law and Domestic Legal Systems: Incorporation, Transformation and Persuasion (2011). 9 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 persoalan ini.4 Bekas jajahan Inggris akan serta merta mewarisi sistem common law yang telah menyediakan doktrin untuk persoalan hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang cenderung menganut dualisme, namun untuk Indonesia persoalan ini tampaknya belum jelas.5 Indonesia adalah negara baru yang memperoleh kemerdekaannya dan pejajahan Belanda dengan perjuangan pahit. Akibatnya, Indonesia cenderung anti penjajah dan menjadi tidak antusias mengadopsi tradisi hukum Belanda sehingga cenderung membangun sistem hukumnya sendiri.6 Bagi Indonesia, secara historis hukum internasional adalah pro establishement yang memberi legitimasi bagi negara penjajah untuk terus menjajah negara jajahannya. Hukum internasional pada waktu itu menjadi sangat tidak bersahabat bagi Indonesia. Itulah sebabnya, hukum internasional menjadi agak asing bagi sistem Indonesia dan menjadi elemen yang cenderung baru dalam arsitektur hukum Indonesia. Akibatnya, bagaimana sistem hukum Indonesia menyikapi hukum 4 Tiyanjana Maluwa, ‘The Incorporation of International Law and its Interpretational Role in Municipal Legal Systems in Africa: An Exploratory Survey’, 23 SAYIL (1998), 48. 5 Bekas koloni Inggris di dunia berkembang seperti Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh dan lainnya) dan di Asia Tenggara (Malaysia, Singapora, Brunei Darussalam) akan tanpa terelakkan menerapkan prinsip common law Inggris pada status perjanjian internasionalnya. Namun Shaw memberi kesan bahwa hal tersebut akan berbeda pada Negara civil law, lihat Malcolm N. Shaw, International Law (1997), 123. 6 Swan Sik Ko mengkategorikan Negara-negara tersebut sebagai tanah perawan, lihat Sik Ko (note 4), 737-752. 10 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 internasional khususnya perjanjian internasional belum mendapatkan perhatian dalam sistem hukum ini.7 Persoalan tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum nasional menjadi sangat menarik dan unik. Pengalaman sejarah Indonesia sedikit banyak dapat menjelaskan relasi ini. Indonesia melepaskan diri dari sistem kolonialisme Belanda yang waktu itu dilabelkan sebagai dunia Barat, dunia yang menciptakan “hukum internasional”. Tradisi Indonesia sudah diwarnai oleh sentimen nasionalisme, resistensi dan perlawanan terhadap apa yang diyakini sebagai “hukum internasional kolonial”. Persepsi dan tradisi ini, seperti kata Ko Swan Sik8 akan mewarnai sikap Indonesia terhadap hukum internasional. Indonesia memisahkan diri dari Belanda dengan cara revolusioner dan dengan demikian menolak mewarisi tradisi hukum Belanda tentang hukum internasional.9 Indonesia membangun sistem hukumnya sendiri dan menetapkan sikap tersendiri terhadap hukum internasional. Sekalipun mempertahankan tradisi civil law Belanda, Indonesia merumuskan UUD-nya sendiri setelah kemerdekaan. Sejak kemerdekaan, Indonesia berjuang keras untuk memperoleh pengakuan internasional yang akhirnya diperoleh pada tahun 1949. 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties 1945-1990 (1993). 8 Sik Ko (note 4), 738. 9 Selama masa kolonial, Indonesia tidak memiliki sistem hukum yang mengatur perjanjian internasional karena merupakan bagian dari Belanda dan tidak memiliki kedaulatan. Setelah masa kemerdekaan, Indonesia mewarisi sebagian besar sistem hukum Belanda (hukum perdata dan hukum pidana) terkecuali hukum konstitusi. 11 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Setelah itu, Indonesia mengalami 3 periode rejim pemerintahan, pertama disebut dengan ‘orde lama’10 yang ditandai dengan sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Sukarno yang sangat dominan dalam politik nasional. Pada awalnya Presiden Sukarno berorientasi pada demokrasi namun lambat laun mengarah pada pelanggengan kekuasaan yang ditandai dengan istilah Presiden seumur hidup. Krisis ekonomi pada tahun 1960-an menggiring keruntuhan rejim ini dan selanjutnya diganti dengan rejim ‘orde baru’ yang dipimpin oleh pemerintahan militer Presiden Soeharto. Krisis ekonomi yang sama terjadi pada tahun 1998 dan juga memaksa rejim orde baru ini mengakhiri kekuasaannya yang kemudian diganti dengan rejim ketiga yaitu rejim ‘reformasi’ yang menguasai sampai saat ini. Pada masa rejim otoriter baik orde lama maupun orde baru, perdebatan tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional tidak berkembang. Sistem politik yang dominan pada waktu itu dengan serta merta akan memberikan jawaban politik terhadap persoalan juridis ini. Persoalan ini tidak kontroversial dan tidak merangsang publik untuk membahas persoalan ini dari segi hukum. Namun di era reformasi pertanyaan tentang status hukum dari suatu perjanjian internasional di dalam sistem hukum Indonesia sudah mulai mencuat. Pertanyaan ini lahir karena tekanan dari dua arah secara bersamaan yaitu internal 10 Istilah ‘orde lama’ (1945-1966) diperkenalkan dan dipergunakan oleh rejim ‘orde baru’ (1966-1999). 12 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 maupun eksternal. Secara internal, Indonesia mulai mempraktekkan demokrasi modern yang harus ditandai dengan prinsip rule of law, partisipasi parlemen, pembagian kekuasaan dan kepastian hukum. Prinsip-prinsip demokrasi ini menuntut adanya ketegasan hukum tentang status suatu perjanjian internasional dalam sistem hukum. Tekanan eksternal terjadi akibat globalisasi. Ciri utama dari globalisasi adalah semakin kaburnya batas perbedaan antara hukum internasional dan hukum nasional. Dewasa ini telah lahir banya perjanjian internasional yang bersifat intrusif ke hukum nasional seperti perjanjian tentang lingkungan hiudp, HAM dan perdagangan. Sifat intrusif dari perjanjian ini telah mendorong para pakar Indonesia untuk menemukan jawaban terhadap status perjanjian ini dalam kaca mata hukum nasional. B. Respon Indonesia terhadap Hukum Internasional 1. Sikap Permusuhan (1945-1966) Indonesia memiliki sikap yang sama dengan negara-negara Asia pada umumnya terhadap hukum internasional, yakni selektif: memilih norma hukum internasional yang bermanfaat bagi perjuangannya dan menolak norma yang merugikannya.11 Sikap ini selaras dengan pengalaman sejarahnya yang melihat hukum internasional sangat 11 James Leslie Brierly, The Law of Nations (1963), 43-44; J.J.G. Syatauw, Some Newly Established Asian States and the Development of International Law (1961), 221. 13 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 menguntungkan negara penjajah dan sebaliknya merugikan setiap negara yang hendak merdeka karena karakternya yang ‘separatism”.12 Sentimen ini telah mendorong para pendiri bangsa untuk mencap bahwa kolonialisme adalah dunia Barat si pencipta hukum internasional. Hukum ini menjustifikasi penundukan bangsa Asia Afrika terhadap kolonialisme.13 Sebaliknya, proklamasi kemerdekaan oleh dunia Barat dituduh sebagai tindakan sepihak yang melanggar hukum internasional.14 Berakhirnya perang kemerdekaan ditandai dengan pembentukan the Netherlands-Indonesia Union pada tahun 1949 dan sejak itu sikap Indonesia terhadap hukum internasional berorientasi pada Belanda yakni sangat bersahabat. Namun sikap bersahabat ini hanya berlansung singkat karena sejak 1950 Indonesia memutuskan secara sepihak Konferensi Meja 12 Kemerdekaan Indonesia terjadi sebelum kaidah self-determination yang dikembangkan dalam UN Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Declaration of Granting Independence to Colonial People and Countries, 1960. Pada tahap selanjutnya, seiring proses dekolonialisasi setelah Perang Dunia Kedua, pandangan Negara berkembang terhadap hukum internasional telah menjadi topik klasik di buku-buku hukum internasional, lihat N. Shaw (note 7), 36-39; Michael Akehurst, Modern Introduction to International Law (1977), 29; Antonio Cassese, International Law (2005), 115-123. Beberapa peneliti membahasnya dalam topik “Third World Approaches to International Law”, lihat B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law: Manifesto’, 8 International Community Law Review (2006), 3-27; David P. Fidler, ‘Revolt Against of From Within the West? TWAIL, the Developing World, and the Future Direction of International Law’, 2 Chinese JIL (2003) 29, 1-46; Antony Anghie and B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law and Individual Responsibility in Internal Conflicts’, 2 Chinese JIL (2003) 1, 77-103. 13 Persepsi terhadap hukum internasional sebagai penopang kolonialisme dimiliki oleh sebagian besar orang Asia pada abad ke-20, lihat Muthucumaraswamy Sornarajah, ‘Asian Perspective to International Law in the Age of Globalization’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001) 2, 284-313. 14 Sunaryati Hartono, ‘The Interaction between National Law and International Law in Indonesia’, di Paul Waart, Paul Peters and Erik Denters (eds), International Law and Development (1988), 35. 14 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Bundar 1949, yang waktu itu dikritik sebagai melanggar hukum internasional. Sejak itu, seiring dengan memburuknya hubungan Indonesia dengan Belanda, sikap anti Barat semakin menguat dan cenderung menjadi identik dengan sikap anti hukum internasional. Sikap Indonesia menjadi sangat anti Barat dan cenderung membangkitkan semangat revolusi yang pernah dikobarkan pada era perang kemerdekaan.15 Akibatnya, sentimen ini berimbas pada sikap yang sama yaitu anti terhadap hukum internasional. Beberapa kebijakan Indonesia pada era ini sangat sarat dengan perlawanan terhadap hukum internasional. Pada tahun 1957, kekecewaan Indonesia terhadap PBB semakin memuncak karena PBB dianggap tidak lagi membantu Indonesia dalam pertikaian dengan Belanda atas Irian Barat sehingga pada tahun 1958 Indonesia mengeluarkan PP No. 23 tahun 1958 yang menasionalisasikan semua Perusahaan Belanda di Indonesia. Berdasarkan penjelasan dari PP ini, kebijakan ini diambil dalam rangka penyelamatan kelangsungan dan kelancaran ekonomi akibat perjuangan pembebasan Irian Barat. Kebijakan nasionalisasi ini telah menimbulkan kontroversi dan melahirkan gugatan terhadap Indonesia di pengadilan Jerman.16 Para pakar hukum internasional juga angkat bicara mengkritisi 15 B.H. Vlekke, Indonesia in 1956 (1957), 9. 16 Decision of Landesgericht 1958 and Oberlandesgericht Bremen 1959, De Vereingde Deli Maatschapijen vs Deutsch-Indonesischen Tabak Handels G.m.b.H; Martin Domke, ‘Indonesian Nationalisation Measures before Foreign Courts’, 54 AJIL (1960) 2, 205-323 and the reply by Hans W. Baade, ‘Indonesian Nationalization Measures Before Foreign Courts- a Reply’, 54 AJIL (1960), 801-835. 15 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.17 Pakar hukum internasional Mochtar Kusumaatmadja sendiri mengakui bahwa kebijakan ini prima facie bertentangan dengan hukum internasional tentang perlindungan warga asing beserta propertinya.18 Resistensi Indonesia terhadap hukum internasional memuncak pada waktu munculnya ancaman strategis yang diakibatkan oleh hukum laut yang berlaku pada saat itu. Lebar laut yang hanya diperkenankan 3 mil telah mengakibatkan Indonesia dipisahkan oleh laut bebas dan membuka ruang bagi kebebasan kapal-kapal perang Belanda di tengahtengah perebutan Irian Barat. Akibatnya Indonesia melihat hukum laut yang berlaku saat itu sangat merugikan kelangsungan hidup Indonesia karena wilayah Indonesia menjadi tercerai-berai dan sangat rawan terhadap disintegrasi oleh daerah-daerah yang pada waktu itu cenderung menguat. Ancaman ini menimbulkan persoalan ketahanan dan keamanan negara dan semakin meningkatkan sentimen negatif bahwa hukum internasional tidak adil.19 Sebagai reaksi terhadap ketidakadilan hukum laut ini maka pada tahun 1957 Indonesia mengeluarkan deklarasi unilateral yang terkenal 17 Board of Editors, ‘The Measure Taken by Indonesian Government against the Netherlands Enterprises’, 5 NILR (1958) 3, 227-247; Lord McNair, ‘The Seizure of Property and Enterprises in Indonesia’, 6 NILR (1959) 3, 218-256; Alfred Verdross, ‘Die Nationalisierung niederländischer Unternehmungen in Indonesien im Lichte des Völkerrechts’, 6 NILR (1959) 3, 278-290. 18 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (1976), 48-49. 19 Beberapa penulis seperti Sornarajah menyatakan bahwa: ‘once free, the new States began to construct a series of principles of international law that conserved their interest’, lihat Sornarajah (note 15), 286. 16 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut yang berada diantara pulau-pulau adalah laut yang menghubungkan pulaupulau ketimbang memisahkannya. Untuk itu, Deklarasi menetapkan penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan selanjutnya mengklaim bahwa perairan didalamnya yang semula adalah laut bebas menjadi perairan pedalaman. Deklarasi ini tentu saja mengundang protes keras dari negara-negara Barat20 khususnya Amerika Serikat21 yang menganggap Deklarasi ini sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun deklarasi ini ditolak dalam Konferensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, Indonesia tetap bersikukuh dengan kebijakan ini dengan mengeluarkan UU No. 4 Tahun 1960 yang mempertahankan sikap ‘persistent non-compliance’ terhadap ‘international law’, sampai akhirnya gagasan ini diterima dalam Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut. Sikap apatis terhadap hukum internasional semakin meningkat manakala politik luar negeri Indonesia mendekat ke blok sosialis Russia dan China di era perang dingin, dan eskalasinya semakin buruk pada tahun 1963 waktu Presiden Soekarno menggagas ide kontroversial tentang ‘new emerging forces’ (NEFOS) yang mewakili negara-negara Asia, Amerika Latin, negara-negara sosialis dan berhadapan dengan apa yang dia sebut sebagai ‘old emerging forces’ (OLDEFOS) yang merujuk pada 20 Daniel P. O’Connell, The International Law of the Sea (1982), 39. 21 Arthur H. Dean, ‘The Second Geneva Conference on the Law of the Sea: The Fight for Freedom of the Seas’, 54 AJIL (1960) 4, 753. 17 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 negara-negara kapitalis. Gerakan ini berakhir ketika Soekarno dipaksa turun dari kekuasaannya pada tahun 1966. Sikap perlawanan terhadap hukum internasional mencapai klimaks pada saat Indonesia melalui suratnya tanggal 20 January 1965 menyatakan mundur 22 dari keanggotaan PBB dan semua organnya dengan dasar pertimbangan sbb: … that in the circumstances which have been created by colonial powers in the United Nations so blatantly against our anticolonial struggle and indeed against the lofty principles and purposes of the United Nations Charter, the Government felt that no alternative had been left for Indonesia but withdrawal from the United Nations. Sikap permusuhan Indonesia terhadap hukum internasional juga memperoleh dukungan dari para pakar Indonesia. Dalam rangka pembelaan terhadapa posisi Indonesia yang menarik diri sepihak dari Perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949 yang dituduh sebagai pelanggaran pacta sunt servanda, Roeslan Abdulgani, berpendapat bahwa tindakan itu bisa dibenarkan berdasarkan prinsip rebus sic stantibus.23 22 Piagam PBB tidak memiliki aturan terkait mundurnya Negara dari PBB sehingga ada argument bahwa tindakan Indonesia tidak memiliki dasar hukum, lihat Egon Schwelb, ‘Withdrawal from the United Nations: the Indonesian Intermezzo’, 61 AJIL (1967), 661-672. Pada tahun 1966, keanggotaan Indonesia berlanjut dan Sekjen PBB U Thant menganggap bahwa mundurnya Indonesia sebagai penangguhan tindakan Indonesia di PBB. Oleh karenanya, Indonesia tetap harus membayar kontribusi tahunan selama masa penangguhan tersebut, lihat Kusumaatmajda (note 20), 89-99. 23 Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum (1965), 36. 18 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Dalam pernyataannya di London Conference on the Suez Canal Crisis 1956, Abdulgani mengklarifikasi posisi Indonesia terhadap perjanjian internasional dengan menyatakan: Mr. Chairman, I understand fully Sir Anthony Eden’s remarks this morning about respect for the sanctity of international law. However Mr. Chairman, I should add one comment upon this, and that is that most of international treaties which are a reflection of international law do not respect the sanctity of men as equal human beings irrespective of their race, or their creed or locality. Most of the existing laws between Asian and African and the old-established western world are more or less outmoded and should be regarded as a burden of modern life. They should be revised and be made more adaptable to modern international relations and the emancipation of all parts of mankind.24 Presiden Soekarno juga menggunakan dalil yang diungkapkan oleh Roeslan Abdulgani diatas dalam setiap pidato retorikanya yang akhirnya berhasil menarik hati rankyat Indonesia untuk mendukung kebijakan anti terhadap hukum internasional. Soekarno mengkritik para ahli yang terlalu menekankan pada kesakralan perjanjian internasional karena setiap perjanjian harus dapat direvisi jika bertentangan dengan 24 Pidato Menlu RI pada London Conference on Suez Canal, Aug. 16, 1956, in Abdulgani (note 25), 59. 19 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 keadilan dan kemanusiaan. Menurut Soekarno, perjanjian internasional yang merestui penjajahan harus segera diakhiri.25 Pakar hukum lain yang mengecap pendidikan di Belanda, Muhammad Yamin, juga mengkritik hukum internasional yang berlaku saat itu sebagai ciptaan Eropa Barat dimana negara-negara Eropa Timur dan Asia tidak terlibat dalam permubataannya.26 Sentimen anti hukum internasional ini telah mengkristal menjadi persepsi publik dan mengakibatkan perkembangan hukum internasional pada era ini di Indonesia sangat lambat bahkan mengarah ke apatisme. 2. “Sikap Bersahabat” Era Orde Baru (1966-1998) Sejak 1966, Indonesia dibawah kekuasaan rejim orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto sampai tahun 1998. Rejim ini ditandai dengan dominasi mengambil kekuasaan keputusan ketatanegaraan eksekutif politik sebelumnya yang telah yang sangat mendorong senantiasa solid. rejim mampu Pengalaman ini untuk menekankan stabilitas politikd dan ekonomi sehingga menutup ruang adanya perubahan konstitutional yang bakal rawan terhadap stabilitas dimaksud. Di bawah rejim ini, sikap terhadap hukum internasional cenderung “bersahabat” karena kiblat politik luar negeri-nya sangat 25 President Soekarno’s Speech on Aug. 17, 1959, Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi (1964), 33. 26 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, vol. III (1960), 48. 20 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 bersahabat dengan dunia Barat. Terjadi pergeseran yang signifikan dari yang semula bermusuhan menjadi lebih berkerjasama dengan dunia internasional. The attitude had moved from being hostile to being more cooperative with respect to international law. Pergeseran ini ditegaskan oleh pakar hukum internasional, Mochtar Kusumaatmadja, yang berupaya mencari keseimbangan antara kebutuhan negara-negara berkembang dan stabilitas hukum internasional yang berlaku saat itu. Dia menyadari bahwa hukum internasional yang berlaku mungkin sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan perubahan masyarakat internasional. Namun dalam menyikapi keusangan hukum internasional ini sikap penolakan Indonesia tidak harus diartikan sebagai pelanggaran hukum ini. Selanjutnya dia mengembangkan dalil bahwa Indonesia dapat saja tidak menerapkan norma hukum internasional yang usang itu sepanjang Indonesia juga memperhatikan kepentingan hukum negara-negara lain. Dalam hal ini Indonesia sangat ingin berkontribusi terhadap perubahan hukum internasional yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat internasional yang telah berubah ini.27 Politik luar negari Indonesia selanjutnya terinspirasi dengan gagasan konstruktif dari Mochtar Kusumaatmadja sehingga penolakan terhadap hukum laut internasional yang kerasa di jaman orde lama bergeser menjadi politik keterlibatan yang konstuktif di jaman orde baru. Sejak era ini, Indonesia tidak lagi menolak membabi buta hukum laun 27 Kusumaatmadja (note 20), 63. 21 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 namun turut aktif menegosiasikan klaim Deklarasi Djuanda-nya pada rangkaian perundingan hukum laut di PBB yang berakhir dengan diterimanya konsep negara kepulauan pada Konferensi PBB tentang Hukum Laut 1982.28 Suksesnya Indonesia memeperoleh pengakuan atas apa yang selama ini dinilai sebagai “pelanggaran hukum internasional” telah mengubah pola pikir para ahli bahwa apa yang dilakukan oleh Indonesia adalah “membuat hukum internasional” melanggarnya (making instead of breaking international law).29 ketimbang Mochtar Kusumaatmadja30 selalu menekankan bahwa klaim unilateral yang didorong oleh kebutuhan prinsip suatu negara dapat mengkristal menjadi suatu norma hukum baru berdasarkan kebiasaan internasional. Dalam hal ini menurunya, klaim unilateral dari negara berkembang, terlepas apakah itu destruktif atau konstruktif terhadap hukum internasional pada awalnya, tidak harus berarti tetap desruktif pada akhirnya. Dalil ini telah dibuktikan dengan pengalaman Indonesia di bidang hukum laut. Mengingat bahwa rejim order baru didukung oleh kekuasaan militer yang kuat di wilayah politik, hukum internasional juga dimaknai 28 The Archipelagic concept for which Indonesia sought international recognition had been submitted to the UN Conference by Mochtar Kusumaatmadja in a well descriptive international legal policy, see Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum Laut ke III (The Legal Concept of Archipelagic State at Conference of Law of the Sea)(1977). 29 Barbara Kwiatkowska, ‘The Archipelagic Regime in the Philippines and Indonesia, Making or Breaking International Law’, 6 International Journal of Estuarine (1991) 1, 13-30. 30 Kusumaatmadja (note 20), 56-65. 22 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 dan diperlakukan dalam konteks berdasarkan politik ketimbang hukum. Dalam hal ini kehendak politik Presiden sangat menentukan tentang bagaimana hukum internasional beroperasi di wilayah hukum nasional. Sehingga tidaklah mengherankan jika keputusan politik lah yang mendorong Indonesia menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional untuk penyelesaian konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia pada tahun 1997. Kekuatan politik pula yang mendorong Indonesia mengintegrasikan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia tahun 1976, yang oleh masyarakat internasional dinilai sebagai pelanggaran hukum internasional.31 Artinya, hukum internasional tidak berakar pada sistem hukum nasional melainkan ditegakkan dan bahkan dilanggar oleh pertimbangan politik yang kuat. Issue HAM sangat menonjol di era orde baru. Dalam hal ini Indonesia mengembangkan prinsip hukum internasional tentang penolakan campur tangan asing kedalam masalah dalam negeri dalam rangka serangan internasional di bidang HAM.32 Mengingat kekuatan militer di Indonesia berorientasi pada keamanan nasional yang acap kali memasuki wilayah sipil, maka hukum internasional tentang HAM 31 Pada tahun 1975 Indonesia ‘menganeksesi’ Timor Timur dengan merujuk pada hak selfdetermination yang telah ditunjukan oleh perwakilan rakyat Timor Timur melalui Balibo Declaration of 1975. PBB tidak mengakui klaim Indonesia bahwa rakyat Timor Timur telah mempergunakan hak self-determination dan tetap menyimpan isu tersebut di Agenda sampai tahun 1999, dimana setelah referendum yang disponsori PBB, Timor Timur menjadi negara merdeka. 32 Anja Jetschke, ‘Linking the Unlinkable? International Norms and Nationalism in Indonesia and the Philippines’, di Thomas Risse, Stephen C. Ropp and Kathryn Sikkink (eds), The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change (1999), 141; Bahwa sosialisasi suatu negara pads norma HAM international dapat dibagi pada model spiral 5 fase: 1. Represi; 2. Penyangkalan; 3. Konsesi taktis; 4. Status preskriptif; 5. Tingkah laku yang mengikuti aturan secara konsisten. 23 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 menjadi tidak kompatibel dengan politik pemerintah. Kecaman HAM terhadap Indonesia semakin memuncak pada waktu Indonesia menduduki Timor Timur pada tahu 1975. Dalam rangka menjawab kecaman internasional ini, Indonesia menggalang kekuatan Asia dan mengembangkan konsep Asian value dengan melahirkan apa yang disebut konsep cultural relativism (melawan Western universality of human rights)33 yang oleh dunia akademisi dikecam sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan otoriter.34 Kebijakan HAM ini pada hakekatnya didasarkan pada konsep tentang negara integral yang telah digagas oleh Professor Soepomo pada watu pendirian negara di awal kemerdekaan, yang pada waktu itu menolak ide individualisme.35 Pada tahap persiapan kemerdekaan RI, ide negara integralistik dinilai lebih berakar pada kultur Indonesia yang menekankan bahwa hak individu dan hak negara tidak dapat dipisahkan. Ide ini secara efektif diterapkan oleh pemerintah order baru sehingga tidak membuka ruang bagi penghormatan HAM individu seperti yang dibayangkan oleh dunia Barat. 33 R.J. Vincent, Human Rights and International Relations (2001), 39-48. 34 Knut D. Asplund, ‘Resistance to Human Rights in Indonesia’, 10 Asia-Pacific Journal on Human Rights and Law (2009) 1, 27-47. 35 Prof. Soepomo, anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, menyatakan di depan BPUPKI bahwa ide ‘negara totaliter’ seperti Jerman di bawah Nazi atau Jepang sebelum PD II agar dipakai pada negara Indonesia, lihat Supomo, ‘Integralist State’ di Herbert Feith and Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1966 (1970), 188-192. 24 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 3. Hukum International di Era Reformasi (1998-sekarang) Rerformasi politik yang berlangsung sejak 1999 telah melahirkan perubahan radikal dalam sistem hukum dan kelembagaan ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan radikal ini, hukum internasional sayangnya belum memperoleh perhatian yang memadai dan bahkan tidak melahirkan sama sekali aturan konstitusi tentang hukum internasional. Luputnya perhatian politik terhadap hukum internasional dapat dimaklumi. Reformasi yang terjadi sejak tahun 1998 dipicu oleh tekanan politik domestik dalam rangka menyelesaikan persoalan dalam negari akibat krisis multi dimensi yang dipicu oleh krisi ekonomi. Sehingga arah reformasi lebih diorientasikan pada pembangunan kelembagaan konstitusional dimana hukum internasional bukan merupakan prioritas. Dalam konteks ini gerakan reformasi tidak melihat ada yang salah dalam hukum internasional dalam sistem hukum Indonesia dan kalau pun ada tidaklah langsung bersentuhan persoalan reformasi itu sendiri. Oleh sebab itu persoalan status hukum internasional tidaklah merupakan agenda penting dalam reformasi. Faktor utama lainnya yang mengakibatkan hukum internasional tidak menjadi perhatian reformasi adalah karena disiplin hukum ini tidak terlalu popular dalam kesharian masyarakat dan tidak terlalu menarik minat publik Indonesia. Hukum internasional masih dipahami sebagai bidang yang ekslusif tugas pemerintah khususnya kementerian luar negeri. Ketertarikan terhadap hukum internasional masih terbatas pada komunitas akademis dan itu pun masih diajarkan secara minimalis dan 25 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 masih jauh dari standar negara-negara maju36 sehingga studi dan penelitian tentang hukum internasional masih sangat langka.37 Sekalipun merupakan mata kuliah dalam berbagai universitas, hukum ini masih diajarkan secara terisolasi tanpa perlu mengkaitkannya dengan hukum nasional. Di lain pihak, disiplin hukum tata negara dan administrasi negara telah berkembang dengan pesat di Indonesia namun agak membisu soal hukum internasional. Bab tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional sekalipun diajarkan di mata kuliah hukum internasional jarang merujuk kepada praktik Indonesia dan kalau pun ada hanya bersifat indikasi saja.38 Pakar hukum Indonesia secara umum masih belum memiliki minat untuk mendalami tentang status hukum internasional di dalam sistem hukum nasional. Sampai pada tahun 2000-an, hubungan hukum internasional dan hukum nasional belum menjadi perhatian akademis dan belum menyinggung kepentingan praktis para praktisi sehingga bukanlah 36 Hikmahanto Juwana, ‘Teaching International Law in Indonesia’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001) 412, 412-415. 37 Beberapa ahli hukum telah meneliti masalah perjanjian internasional dari kebijakan hukum Indonesia namun kebanyakan berpusar pads masalah pembuatan perjanjian internasional bukan malah status perjanjian internasional di hukum Indonesia, seperti Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional (1999); Swan Sik Ko turut menulis secara singkat mengenai Hukum Indonesia dalam keterkaitannya dengan perjanjian internasional, lihat Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties 1945-1990 (1994). 38 Ahli hukum Indonesia di era 1950 seperti Prof. Utrecht dan Prof. Kusumaatmadja di 1980s telah mengindikasikan bahwa Indonesia cenderung mempergunakan pendekatan monisme, lihat E. Utrecht and Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia (1983), 120; Kusumaatmadja (note 20), 65-67. 26 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 merupakan isu yang kontroversial. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sbb: Pakar konstitusi/tatanegara dan pakar hukum internasional di Indonesia masih terpaku dengan wilayah disiplinnya sendiri-sendiri dan memandang hukum internasional menurut perspektif masing-masing.39 Bagi pakar konstitusi/tatanegara, perjanjian internasional secara teoritis adalah sumber hukum tatanegara. Sedangkan bagi pakar hukum internasional, perjanjian internasional adalah dokumen hukum yang tunduk pada hukum internasional. Pakar hukum internasional tidak tertarik untuk membahas status hukum ini dalam sistem hukum nasional. Karena perjanjian internasional ditangani oleh eksektuf yang kuat dan dominan maka issue-issue praktis tentang perjanjian internasional tidak pernah muncul dalam wacana dan perdebatan publik. Jika timbul permasalahan maka keputusan politik akan dengan serta merta menuntaskannya tanpa hiruk pikuk debat publik. Komunitas akademis menjadi tidak terstimulasi untuk memperdebatkannya dan kalaupun didiskusikan maka akan terlihat kurangnya aspek-aspek internasional dari hukum tatanegara, dan sebaliknya lemahnya pembahasan aspek konstitusional dari hukum internasional. Sejak kemerdekaan RI tahun 1945, dunia akademisi Indonesia diwarnai oleh sentimen nasionalisme yang tinggi dan memandang 39 Situasi ini turut disebabkan oleh struktur Fakultas Hukum di Indonesia dimana hukum konstitusi/administrasi dan hukum internasional adalah subjek terpisah dengan departemen yang berbeda. 27 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 hukum internasional sebagai hukum kolonial. Para pakar akan melirik hukum internasional hanya jika mempengaruhi kepentingan hukum nasionalnya.40 Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia berada pada wilayah terpencil yang jauh dari interkasi lintas perbatasan. Hubungan internasional hanya dilihat sebagai hubungan antar pemerintah ketimbang hubungan antar manusia. Pola pikir ini mendorong para pakar untuk bersikap konservatif tentang hukum internasional sehingga hanya memandang perjanjian internasional sebagai dokumen antar negara urusan ekslusif kementerian luar negeri. Pertanyaan tentang status domestik dari perjanjian internasional tidak meyangkut kepentingan publik sehingga tidak menjadi perhatian para pakar konstitusi/tatanegara maupun pakar hukum internasional. C. Perlunya Rejim Hukum yang jelas tentang Perjanjian Internasional dalam transisi demokrasi Indonesia 1. Konsekuensi dari Sistem Hukum yang berlandaskan Demokrasi Indonesia sedang menuju ke arah sistem demokrasi penuh. Dalam suatu negara demokrasi, prinsip rule of law/Rechtsstaat, yang bercirikan legalitas, kepastian hukum dan equality adalah bagian yang tidak 40 Hukum laut menjadi subjek yang menarik pada tahun 1960-1982 saat Indonesia mengajukan kepentingan strategies national pada konsep kepulauan internasional ke PBB. 28 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 terpisahkan. Semua negara demokrasi pada umumnya akan mengalami tuntutan tentang elemen-elemen ini yang pada akhirnya harus memperjelas tentang status perjanjian dalam sistem hukum nasionalnya. Mengingat perjanjian internasional akan menciptakan hak dan kewajiban terhadap individu maka validitasnya dalam hukum nasional harus jelas secara konstitutional dan tidak didasarkan pada suatu diskresi semata. Dengan kata lain, rejim hukum yang jelas yang mengatur status perjanjian dalam hukum nasional adalah conditio sine quo non untuk suatu sistem negara demokrasi. Proses transisi demokrasi di Indonesia mensyaratkan rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional. Sebelum menjadi negara demokrasi, pada umumnya suatu negara tidak memiliki rejim hukum yang jelas tentang status hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Afrika Selatan, contohnya, sebagai bekas jajahan negara-negara persemakmuran seyogianya sudah memiliki rejim yang jelas dari negara penjajahnya, namun kenyataannya asumsi ini tidak tercermin dalam jurisprudensinya.41 Rejim hukum yang jelas tentang status hukum khsusunya perjanjian internasional baru tercipta sejak lahirnya Konstitusi baru tahun 1994 Afrika Selatan.42 Untuk pertama kalinya, Konstitusi Afrika Selatan menyediakan memuat norma yang mengatur perjanjian dan hukum internasional dalam hukum 41 J.W. Bridge, ‘The Relationship between International Law and the Law of South Africa’, 20 ICLQ (1971), 746. 42 Dermott Devine, ‘The Relationship between International Law and Municipal Law in the Light of the Interim South African Constitution 1992’, 44 ICLQ (1995), 1. 29 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 nasionalnya. Hubungan hukum internasional dan hukum nasional lebih jelas diatur pasca reformasi di Afrika Selatan.43 Negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet juga mengalami situasi yang sama dan pada umumnya dituntut untuk memperjelas status perjanjian dan hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Sebelum proses demokratisasi, status hukum internasional sama sekali tidak diatur dalam konstitusi maupun undangundang nasionalnya. Akibatnya, sistem hukumnya menjadi tidak konsisten dan tidak tegas dalam teori dan prakteknya. Itulah sebabnya, para pakar di negara-negara ini mendesak agar hubungan hukum internasional dan hukum nasional diatur secara jelas dalam konstitusi.44 Sekalipun masing-masing negara berbeda dalam mengatur hubungan ini namun klausula tentang ini sudah terdapat di banyak konstitusi negaranegara tersebut.45 Indonesia pada akhirnya harus melalui tuntutan seperti yang dialami negara-negara demokrasi dimaksud. Sejak jatuhnya orde baru, terdapat tuntutan yang keras untuk perubahan struktur dan bangunan 43 Andre Stemmet, ‘The Influence of Recent Constitutional Developments in South Africa on the Relationship between International Law and Municipal Law’, 33 Int'l L.(1999) 1, 74. 44 Eric Stein, ‘International Law in Internal Law: Toward Internationalization of Central-Eastern European Constitutions’, 88 AJIL (1994) 3, 427-450. 45 Vladlen S. Vereshchetin, ‘New Constitution and the Old Problem of the Relationship between International Law and National Law’, 7 EJIL (1996), 34. 30 JURNAL OPINIO JURIS politik Indonesia.46 Vol. 15 Januari-April 2014 Struktur politik dan ketatanegaraan ini telah telah mengalami reformasi melalui amandemen UUD 1945 yang berlangsung antara tahun 1999-2002. Reformasi konstitusional telah menghasilkan perubahan fundamental yang ditandai dengan pembagian kekuasaan yang signifikan dalam rangka terbentuknya sistem demokrasi. UUD 1945 sebelum amandemen telah dikritik oleh para ahli HTN karena memiliki banyak kelemahan. Pakar konstitusi Moh. Mahfud47 menyatakan bahwa UUD 1945 sebelum amandemen menciptakan sistem ekesekutif yang lebih kuat, lemahnya checks and balances, banyaknya pendelegasian aturan ke level UU, banyaknya norma konstitusi yang rancu, serta penekanan pada kemauan politik dan integritas para politisi. Amandemen UUD 1945 telah menciptakan sistem yang secara teori dalam mengatasi kelemaahan-kelemahan ini melalui pemberian kekuasaan lebih besar kepada Parlemen, terciptaknya sistem checks and balances serta dianutnya prinsip rule of law. Namun sayangnya, persoalan tentang status perjanjian internasional dalam hukum Indonesia masih belum terjamah oleh amandemen. Sebelum amandemen, pertanyaan ini ditangani melalui diskresi pemerintah tanpa proses checks and balances dari kekuasaan parlemen. Sistem yang terbentuk dapat menciptakan stabilitas dalam mengeimplementasikan perjanjian internasional namun 46 I Ketut Putra Erawan, ‘Political Reform and Regional Politics in Indonesia’, 39 Asian Survey (1999) 4, 588. 47 Moh. Mahfud, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara (1999), 52; Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia (2010), 1-10. 31 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 secara bersamaan gagal menjelasan tentang statusnya dalam hukum nasional. UUD 1945 yang telah diamandemen telah mentransformasikan beberapa ciri-ciri sbb: (a) dari otoriter ke pemerintahaan demokratis, (b) dari executive heavy ke equal checks and balances, (c) dari kekuasaan militer ke supremasi hukum (d) dari pengingkaran ke penghormatan terhadap HAM, (e) dari sentralisasi ke otonomi daerah. Konstelasi kekuasaan ketatanegaraan dewasa ini tentunya membutuhkan adanya sistem hukum yang jelas termasuk rejim hukum yang mengatur hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Struktur ketatanegaraan pasca amandemen telah memperjelas kekuasaan masing-masing lembaga negara, baik eksekutif, legislatif dan judikatif. Kekuasaan eksekutif telah diberi kekuasaan yang terbatas namun masih memegang kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional dan implementasinya. Kekuasaan legislatif diberi kekuasaan yang lebih besar dalam pembuatan undang-undang dan tentunya akan mencakup kekuasaan yang dapat mempengaruhi penentuan status norma internasional kedalam hukum nasional. Kekuasaan judikatif saat ini telah bebas dari pengaruh eksekutf dan tentunya berwenang menginterpretasikan dan menentukan kekuatan mengikat perjanjian internasional. Selain itu, bebasnya kekuasaan judikatif juga melahirkan pertanyaan apakah kekuasaan ini mencakup unuk menguji perjanjian 32 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 internasional terhadap UUD 1945. Dalam sistem checks and balances ini, setiap organ negara harus memiliki posisi konstitusional yang jelas tentang hak dan kewajiban dari perjanjian internasional. Perdebatan tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional khususnya perjanjian internasional telah menjadi agenda publik. Pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional telah mencuat tidak hanya di kalangan praktisi melainkan juga di kalangan pembuat UU dan penegak hukum. Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitias. Perjanjian yang dibuat deawas ini cenderung mulai mengatur hak dan kepentingan individual seperti HAM, lingkungan hidup dan perdagangan sehingga melahirkan pertanyaan tentang bagaimana penerapaknya dalam hukum nasional.48 Dengan perkembangan ini maka ketiadaan rejim hukum yang jelas akan melahirkan ketidakpastian hukum tentang hak dan kewajiban individual yang lahir dari perjanjian-perjanjian tersebut. Dari perspektif internasional, Indonesia tentunya dituntut untuk memenuhi kewajiban internasionalnya yang lahir dari setiap perjanjian internasional yang mengikatnya. Para pakar meyakini bahwa negara yang tidak memiliki 48 Debat yang mengemuka pada rangkaian Focussed Group Discussions dalam Status Perjanjian Internasional di Sistem Hukum Indonesia telah dilaksanakan oleh Kemlu RI dan dihadiri oleh ahli hukum dari berbagai universitas semenjak tahun 2006, hasilnya bisa dibaca di Perjanjian Internasional dalam Teori dan Praktik Indonesia, Kompilasi Permasalahan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2008); Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundang-undangan Nasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2009). 33 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional akan mengalami risiko ganda, yaitu melanggar hukum internasional dan merusak balance of powers dalam sistem konstitusinya.49 Ketidakpastian akibat tidak adanya rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional semakin diperparah dengan derasnya arus globalisasi. Karakter perjanjian internasional di era globalisasi ini sangat intrusif dan menyentuh wilayah ekslusif hukum nasional, seperti perjanjian-perjanjian di bidang HAM, lingkungan hidup dan perdagangan.50 Hukum Indonesia tidak dapat lagi berdiri sendiri. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa setiap sistem hukum nasional saat ini harus melakukan rekonsiliasi terhadap standar internasional. Jika di masa-masa lalu hukum nasional bisa kebal dari pengaruh internasional maka dewasa ini telah mengkristal adanya syarat minimum bagi setiap negara untuk mematuhi suatu perjanjian internasional.51 Sebagai negara demokrasi yang terinspirasi dengan model Barat, Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan standar negara-negara modern. Sistem negara hukum, partisipasi parlemen, pembagian 49 Giuliana Ziccardi Capaldo, ‘Treaty and National Law in a Globalizing Sytem’, in The Global Community, 1 Yearbook of Internatioanl Law and Jurisprudence (2003) , 140. 50 Banyak yang berargumen bahwa globalisasi hukum internasional telah memasuki ranah domestik yang dulu secara eksklusif mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya, lihat Anne Marie Slaughter and William Burke-White, ‘The Future of International is Domestic (or, The European Way of Law)’, 47 Harv. Int'l L. J. (2006) 2, 327. 51 Stefan Kadelbach, ‘The Transformation of Treaties into Domestic Law’, 42 GYIL (1999), 67. 34 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 kekuasaan, kepastian hukum merupakan ciri-ciri negara demokrasi yang hendak dibangun oleh negara Indonesia. Konsekuensi logis dari upaya ini adalah bahwa Indonesia perlu memiliki rejim hukum yang jelas yang mampu menjawab secara pasti dan predictable tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Pertanyaan tentang status perjanjian ini juga akan terkait dengan kedudukan hirarkis-nya dalam sturktur perundang-undangan. Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah menganut teori Stufenbau dari Hans Kelsen. Dengan teori ini maka Indonesia telah membangun secara hirarkis sumber hukum dan tata urutan perundang-undangannya yang dimulai dari norma fundamental Pancasila, UUD 1945, UU dan seterusnya.52 Sistem hirarkis ini juga akan menyisakan pertanyaan tentang bagaimana kedudukan hukum internasional khsusunya perjanjian internasional dalam bangunan hirarkis tersebut.53 52 Semenjak tahun 1966, terinspirasi oleh Hans Kelsen dengan teori Grundnorm and Stufenbau des Rechts/Stufenbau der Rechtsordnung dan Hans Nawiasky dengan teori Staatsfundamental Norm, Indonesia telah menyusun sistem hirarki norma. Saat ini diatur oleh UU No. 12 tahun 2011 yang menyatakan bahwa tata urutan peraturan adalah: a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan MPR; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; g. Peraturan Daerah Kabupaten. 53 Tata urutan perjanjian internasional diakui merupakan a critical subject dalam status perjanjian internasional di hokum nasional, lihat Francis G. Jacobs, ‘Introduction’, di G. Jacobs and Roberts (note 3), xxiv. 35 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 2. Pentaatan terhadap Hukum Internasional Indonesia menghadapi tekanan dinamis dari dua arah sekaligus secara bersamaan Pertama, tekanan dari dinamika reformasi yang menuntut adanya standar demokrasi serta penegakan dan pentaatan hukum termasuk kewajiban internasional Indonesia yang lahir dari hukum termasuk perjanjian internasional. Kedua, tekanan dari globalisasi yang juga membentuk suatu sistem dalam masyarakat internasional yang telah menuntut adanya standar minimum tentang postur suatu sistem hukum nasional dalam mengimplementasikan kewajiban internasionalnya.54 Sejak kemerdekaan, Indonesia telah membuat banyak perjanjian internasional dan telah merupakan aktivitas rutin dari pemerintah. Indonesia turut aktif membuat perjanjian internasional dalam berbagai forum baik multilateral, regional maupun bilateral. Sampai saat ini, Indonesia telah mendpositkan sekitar 4000 dokumen “perjanjian” yang mengatur berbagai issue. Jumlah perjanjian yang membutuhkan pemberlakuan khususnya di dalam bidang hukum nasional ekonomi seperti juga semakin pasar bebas, meningkat investasi, penghindaran pajak berganda; kerjasama hukum seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, pembrantasan kriminal terorganisasi, anti korupsi, dan pemberantasan terorisme. 54 Kadelbach (note 53), 67-68. 36 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Sejak reformasi tahun 1998, semua Presiden yang memerintah sampai saat ini secara konsisten menetapkan politik luar negeri yang berorientasi pada peningkatkan peran Indonesia di fora internasional, menciptakan perdamaian, pemulihan citra Indonesia di mata dunia, dan mendorong terciptanya tata ekonomi dunia yang lebih baik pada tingka regional nasional.55 maupun internasional Untuk memperoleh serta mendukung reputasi dan pembangunan kredibilitas dimata internasional seperti yang dicanangkan dalam politik luar negeri itu Indonesia harus memperlihatkan kepatuhannya kepada hukum internasional.56 Pentaatan terhadap perjanjian internasional merupakan parameter utama. Sebagai pihak dalam perjanjian internasional Indonesia terikat pada prinsip pacta sunt servanda, suatu prinsip fundamental dalam hukum perjanjian internasional bahwa para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.57 Kegagalan untuk melaksanakan perjanjian akan melahirkan pelanggaran hukum internasional dan hanya akan merusak reputasi dan kredibilitas Indonesia di mata dunia. Kegagalan mentaati perjanjian internasional akan melahirkan pertanggungjawaban internasional dan negara tidak dapat berlindung 55 Kementrian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangungan Jangka Menengah 2004 – 2009, Bab 8. 56 Dari implikasi empiris pre-commitment and diffusion theories, Ginsburg menemukan bahwa adopsi hukum international merupakan strategy yang berguna bagi demokrasi untuk menetapkan kebijakan tertentu, menambah kepercayaan pads pemerintah dan rejim yang berkuasa dan menambah reputasi internasional, lihat Tom Ginsburg, Svitlana Chernykh and Zachary Elkins, ‘Commitment and Diffusion: How and Why National Constitutions Incorporate International Law’, University of Illinois Law Review (2008), http://works.bepress.com/tom_ginsburg/18, 201 (last visited on 9 April 2013). 57 Article 26 VCLT of 1969. 37 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 dibalik hukum nasionalnya untuk menjustifikasi kegagalan ini. Dalam hal ini, suatu negara justru harus memastikan bahwa pentaatan perjanjian ini mendapat justifikasi dari hukum nasionalnya. Di lain pihak, bagaimana perjanjian internasional ditransformasikan, diadopsi, dan diperingkatkan dalam hukum nasional adalah urusan hukum nasional.58 Kedaulatan hukum nasional untuk menentukan status ini akan tetap dihormati sepanjang hukum internasional masih berkarakter Westphalian.59 Mengingat bahwa hukum nasional harus menentukan status ini maka setiap hukum nasional harus memiliki rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional khususnya perjanjian internasional. Globalisasi saat ini cenderung mensyaratkan adanya kepastian bahwa setiap hukum nasional negara pihak mentaati perjanjian internasional sehingga dan untuk itu hukum internasional telah mulai mengembangkan suatu mekanisme pentaatan perjanjian. Indonesia telah menjadi pihak pada berbagai perjanjian internasional yang menyediakan mekanisme pentaatan dimaksud seperti Konvensi-konvensi HAM yang diperlengkapi dengan mekanisme monitoring.60 Indonesia telah dimonitor secara regular oleh mekanisme ini dan dari perspektif politik 58 Kadelbach (note 53), 66. 59 Stephane Beaulac, ‘Westphalia, Dualism and Contextual Interpretation’, EUI Working Papers, European University Institute (2007), 5-6; Mattias Kumm, ‘Democratic Constitutionalism Encounters International Law: Terms of Engagement’, di S. Choudhry (ed.), The Migration of Constitutional Ideas (2006), 258. 60 Michael O'Flaherty and Claire O'Brien, ‘Reform of UN Human Rights Treaty Monitoring Bodies: A Critique of the Concept Paper on the High Commissioner's Proposal for a Unified Standing Treaty Body’, 7 Human Rights Law Review (2007) 1, 141-172. 38 JURNAL OPINIO JURIS luar negeri tetap Vol. 15 Januari-April 2014 berkomitment untuk mentaati kewajiban perjanjiannya.61 Mengingat konvensi-konvensi HAM mengatur hak indvidu yang merupakan domain hukum nasional, maka implementasi dari hak-hak ini di dalam hukum nasional menjadi mutlak. Untuk maksud itu, Indonesia sudah menghadapi berbagai persoalan hukum tentang bagaimana perjanjian ini beroperasi di dalam hukum nasional.62 Dalam konteks regional, Indonesia saat ini terlibat dalam proses konstitusionalisasi di ASEAN. Diberlakukannya Piagam ASEAN 2008 telah melahirkan pertanyaan baru tentang hubungan Piagam ASEAN termasuk aturan turunannya dengan hukum nasional setiap negara. Para pakar telah membayangkan munculnya perosalan-persoalan hukum dari meningkatnya konstitusionalisasi hukum internasional yang disebabkan beroperasinya Piagam ASEAN termasuk persoalan bagaimana mengintegrasikan norma-norma yang lahir dari sistem ASEAN kedalam hukum nasional, menginterpretasikannya serta menerapkannya dalam domain hukum nasional.63 61 Semenjak tahun 1998, Indonesia telah meluncurkan rangakaian rencana aksi dalam hak asasi manusia yang ditujukan, inter alia, implementasi norma dan standar hak asasi manusia. Rencana kerja yang berlaku saat ini (2011-2014) diatur dalam Peraturan Presiden No. 23 tahun 2011. 62 Badan HAM PBB seperti Committee on the Elimination of Racial Discrimination mempertanyakan status Konvensi di hukum nasional dan sejauh mana pengadilan domestik dapat secara langsung menerapkan aturan Konvensi dimaksud, UN Doc. CERD/C/IDN/3, Seventy-first session, Geneva, 30 July-18 August 2007, question no. 3. 63 Diane Desierto, ‘ASEAN’S Constitutionalization of International Law: Challenges to Evolution under the New ASEAN Charter’, 49 Colum. J. Transnat’l L. (2010-2011), 268-320. 39 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 3. Desentralisasi Salah satu agenda utama dari reformasi 1998 adalah tuntutan desentralisasi kekuasaan yang selama ini terkonsentrasi pada pemerintah pusat. Sebelumnya, pemerintah pusat memegang kendali pemerintahaan atas pemerintah daerah. Kekuasaan pemerintah daerah bersumber dari pemerintah pusat sehingga dalam pelaksanaan fungsinya pemerintah daerah bertindak atas nama pemerintah pusat. UUD 45 hasil reformasi telah memberi ruang bagi otonomi daerah yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada daerah melalui sistem tiga lapis: pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Masing-masing tingkat diberikan otonomi untuk melaksanakan fungsi pemerinthaan untuk hampir di semua bidang kecuali politi luar negeri, pertahana, keamanan, keuangan, kehakiman dan agama. Secara paralel terdapat pula otonomi khusus yang diberikan kepada dua provinsi yaitu Provinsi Aceh dan Papua. Otonomi khusus ini diberikan karena secara historis terdapat karakteristik khusus dari kedua daerah ini yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Tuntutan akan otonomi khusus ini sudah ada sebelum reformasi berlangsung dan selama ini telah menjadi issue politik yang sensitif antara pusat dan daerah. Konflik antara pusat dan daerah ini telah mengundang perhatian internasional dan berpontensi untuk gerakan separatisme yang melibatkan negara-negara lain. Dengan otonomi khusus ini maka kedua daerah tersebut memperoleh kekuasaan yang lebih besar dibandingkan provinsi-provinsi lainnya. 40 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Adanya otonomi daerah ini akan melahirkan pertanyaan baru tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional pemerintah daerah khususnya jika materi yang diperjanjikan berada dibawa kewenangan eksklusifnya. Terlebih lagi dengan otonomi khusus yang diberikan kepada Pemerintah Papua dan Aceh telah melahirkan tuntutan baru agar mereka dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat internasional atas namanya sendiri yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan apakah mereka berwenang untuk membuat perjanjian dengan pihak asing. Pertanyaan ini bukan hal yang baru bagi setiap negara modern dan selalu muncul di banyak negara khususnya yang berkarakter federalisme. Para pakar hukum sepakat bahwa konstitusi masing-masing negara sangat menentukan dalam pemberian kekuasaan membuat perjanjian oleh entitas daerah. Kekuasaan ini dapat dinikmati oleh pemerintah daerah jika diberikan oleh konstitusinya.64 Draft akhir dari Komisi Hukum Internasional tentang Perjanjian Internasional65 yang kemudian dihapus pada saat Konferensi pada tahun 1969 menyerahan persoalan ini kepada konstitusi masing-masing negara. Draft tersebut menyatakan: States members of a federal union may posses a capacity to conclude treaties if such capacity is admitted by the federal constitution and within the limits there laid down. Dihapuskan draft pasal ini tidak diartikan 64 Helmut Steinberger, ‘Constitutional Subdivisions of States or Unions and their Capacity to conclude Treaties’, 27 ZaöRV (1967), 428; Thomas A. Levy, ‘Provincial International Status Revisited’, 3 Dalhousie L.J. (1976-1977), 75. 65 ILC Official Records: 21st session, Supplement No. 9 (A/6309/Rev.1), UN (1966), 10. 41 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 sebagai penolakan terhadap kekuasaan negara bagian untuk membuat perjanjian internasional.66 Menurut pandangan tradisionl, kekuasaan membuat perjanjian internasional secara keseluruhan berada di tangan Raja sebagai atribut kedaulatan. Namun gerakan konstitusionalisme dan pemisahan kekuasaan dewasa ini telah mendorong lahirnya aturan konstitusi yang membedakan antara membuat perjanjian internasional dengan melaksanakan perjanjian internasional.67 Sebagai konsekuensi, kekuasaan membuat perjanjian telah telah dialokasikan kepada berbagai organ negara baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal terdapat tuntutan untuk adanya partisipasi parlemen sehingga terjadi pembagian kekuasaan antara pemerintah dan parlemen dan memberikan kepada parlemen kekuasaan untuk melaksanakan perjanjian dalam kerangka fungsi legislasi. Secara vertikal telah lahir pemerintah daerah yang memiliki kewenangan eksklusif atas beberapa urusan pemerintahaan yang mengakibatkan mereka harus berpartisipasi jika urusan eksklusif ini diperjanjikan dengan pihak asing. 66 Mark E. Villiger, Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (2009), 127128; Alasan utama penghapusan adalah dengan membuat kecakapan (bagi negara bagian untuk membuat perjanjian internasional) hanya bergantung bagi aturan konsitusi federal, paragraf tersebut akan dapat menjadi pemicu untuk bagi negara lain untuk menginterpretasikan sendiri konstitusi tersebut, lihat J.S. Stanford, ‘United Nations Law of Treaties Conference: First Session’, 19 U. Toronto L.J. (1969), 60-61. 67 Luzius Wildhaber, ‘Provisions of Internal Law Regarding Competence to Conclude a Treaty’, 8 Va. J. Int'l L. (1967-1968), 94. 42 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Persoalan ini sangat nyata dalam sistem federalisme karena kekuasaan pemerintah terbagi antara pemerintah pusat dan daerah dan setiap penduduk akan tunduk pada dua otoritas pembuat undangundang secara bersamaan. Dalam hal ini masing-masing otoritas tidak tunduk satu sama lain (subordinasi) melainkan bersifat koordinatif.68 Praktek negara menunjukkan bahwa ternyata persoalan kontroversi tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional oleh entitas atau bagian negara tidak hanya melulu terjadi pada situasi negara federalisme melainkan juga dalam situasi hubungan kolonial. overseas territories, dan dependent territories. Ini membuktikan bahwa persoalan kekuasaan membuat perjanjian bisa muncul di setiap entitas selain negara. Walapun terdapat kecenderungan negara-negara untuk menghapuskan kekuasaan membuat perjanjian dari entitas daerah,69 persoalan dasarnya masih mewarnai hubungan pusat dan daerah. Tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana menangani konflik antara pusat dan daerah jika pemerintah pusat membuat perjanjian yang materinya dibawah kekuasaan eksklusif dari pemerintah daerah. Saat ini muncul gagasan bahwa keterlibatan pemerintah daerah untuk membuat perjanjian tidaklah semata-mata untuk maksud melindungi kepentingan daerah tsb melainkan adalah konsekuensi dari desentralisasi dan 68 A. Kim Campbell, ‘Federalism and International Relations: The Canadian Experience’, 85 Am. Soc'y Int'l L. Proc. (1991), 125. 69 Oliver J. Lissitzyn, ‘Territorial Entities other than Independent States in the Law of Treaties’, RdC (1968-III), 87. 43 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 globalisasi. Di era globalisasi terdapat kebutuhan adanya kebijakan luar negeri oleh otonomi daerah sebagai konsekuensi dari demokratisasi, federalisme, tingkat pertumbuhan ekonomi, meningkatnya internasionalisasi pasar.70 Terlepas dari apa pun struktur negara, apakah kesatuan atau federalisme, pertanyaan tentang bagaimana kewenangan eksklusif daerah diperlakukan jika urusan yang dibawah wewenang eksklusif ini menjadi objek dan materi dari suatu perjanjian internasional. Pertanyaan ini akan bersentuhan dengan kekuasaan membuat perjanjian internasional menurut hukum konstitusinya. Beberapa perjanjian justru telah membuka ruang bagi partisipasi sub-negara jika materinya adalah wewenang eksklusif dari sub-negara itu yang berada di luar kewenangan pemerintah pusat.71 Dalam hal ini fenomena desentralisasi tetap melahirkan persoalan kontroversi terhadap posisi negara terhadap perjanjian internasional. *** 70 Ferran Requejo, ‘Foreign Policy of Constituents Units in a Globalised World’, di Ferran Requejo (ed.), Foreign Policy of Constituents Units at the Beginning of 21st Century (2010), 11. 71 Agreement Establishing the World Trade Organization menyatakan di Pasal XII bahwa Setiap Negara atau wilayah kepabeanan terpisah memiliki otoritas penuh untuk mengatur hubungan dagang eksternal dan masalah-masalah lain yang diatur di Perjanjian ini dan Perjanjian Dagang Multilateral yang mengacu pada Perjanjian ini, dalam aturan yang disetujui diantara mereka dan WTO. Aksesi tersebut akan berlaku pada Perjanjian ini dan Perjanjian Dagang Multilateral yang terlampir. 44 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 ASEAN DAN PENGUATAN RULE OF LAW HUKUM HAK ASASI MANUSIA DI KAWASAN ASIA TENGGARA Heribertus Jaka Triyana Abstrak The principle of rule of law and human rights protection in the Association of Southeast Asian Nations has been accpeted as one of the fundamental principle in the ASEAN human rights norms and mechanisms. As a ruled-based organization, ASEAN commits to implement this principle in its decision making and its implementation processes for better human rights protection. Derivation of this principle, equality before the law, supremacy of law, accountability, participation, and transparancy has been used as a common vision to reach one vision and one community in Southeast Asian cooperation under auspices of the ASEAN. It then developes certain theories in international human rights law and international organization law, such as the social function of law as well as principle of complementarity as frameworks of legal analysis to test whether the principle of rule of law inspires future affective and practical human rights advocacy and adjudication in South East Asian countries. It reveals that the principle of rule of law for human rights’ protection is still evolving and has tremendous influance for better human rights advocacy at strategic level within ASEAN cooperations while at the operational and tactical levels, it has less attention to it. At the same time, human rights adjudication has far beyond its reach due to its limited mandate and function. Remarkably, its institutionalization has led to public awareness and scutiny for better improvement of its capacity in the future as requisite to establish a more powerful human rights insitutions. Keywords: ASEAN Charter, Rule of Law, Human Rights A. LATAR BELAKANG 45 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 The Association of the Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah sebuah organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara72. Ia telah memenuhi kriteria hukum sebagai sebuah organisasi internasional regional ketika Piagam ASEAN diratifikasi oleh semua anggota sehingga berlaku pada tanggal 15 Desember 200873. Penandatanganan Piagam ASEAN tersebut disandarkan pada 2 (dua) dasar pemikiran, yaitu: (1). Adanya kepentingan bersama; dan (2). Adanya kenyataan saling Organisasi Internasional dalam studi hukum internasional dan hukum organisasi internasional tidak memiliki pengertian atau definisi yang pasti. Kajian tersebut hanya dapat mendeskripsikan tentang ciri atau elemen umum sehingga diperoleh pengertian apa itu sebuah organisasi internasional. Lihat Phillipe Sand and Pierre Klein, Bowett’s Law of International Indtitutions, Fith Edition, Thompson and Sweet and Maxwell, hlm. 18; Jan Klabbers, An Introduction to International Institutions, Cambridge University Press, 2002, hlm. 6-9; Deskrpsi tersebut menghasilkan beberapa kriteria mengenai apa itu organisasi internasional, seperti dibentuk oleh negara-negara, memiliki dokumen hukum pembentukannya, memiliki struktur organisasi, markas besar, dan memiliki tujuan yang hendak dicapai dalam kerangka kerja sama internasional, lihat Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, 1997, hlm. 37-38; Burhan Tsani, Hukum Organisasi Internasional, Diklat Bahan Ajar Hukum Organisasi Internasional FH UGM, 2012, hlm. 7; N. White, The Law of International Organization, London, 1958, hlm. 7-9; C.F Amersinghe, Principles of the Institutional Law of the International Organizations, Cambridge University Press, 1996, hlm. 10. Kajian ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional adalah Haas, Basic Documents of Asian Regional Organizations, 1974, volume 1-9; ASEAN, The Asian Report, 1979, Volume 2; Garnut, ASEAN in A Changing Pacific and World Economy, 1980; Broinowski, Understanding ASEAN, 1982; ASEAN, The First Twenty Years, 1987; Tommy Koh, dan Rosario G Manalo, The Making of the ASEAN Charter, World Scientific Publishing, 2009, hlm. 117; dan ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, hlm. 26 73 Ciri tersebut telah dipenuhi oleh ASEAN yaitu: ASEAN dibentuk dengan perjanjian internasional; ASEAN memiliki tujuan yang berkesinambungan; ASEAN beranggotakan negara; sifat keanggotaan ASEAN adalah terbuka dan sukarela; ASEAN memiliki organ seperti organ pleno dan organ subsidier; memiliki sekretariat tetap; dan ASEAN mehgikuti dan diatur dengan hukum internasional. Lihat Mohd Burhan Tsani, Arti Penting Piagam ASEAN, Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UGM, 7 Mei 2008; Thailand adalah Negara terakhir yang meratifikasi Piagam ASEAN pada bulan November 2008; Marie Pangestu, “The Future of ASEAN”, the Indonesian Quarterly, vol. XXV, No. 4, 1997, hlm. 362-365; dan Tomyy Koh, ibid, hlm. 119; Bennet mencirikan organisasi internasional adalah memiliki A permanent organization to carry on a contiuing set of funcions; Voluntary membership of eligible parties; A basic instrument stating goals, structure, and method of operation; A broadly representative concultative conference organ, and A permanent secretary to carry on continuous administrative reseach, and information functions dalam Bennet, International Organization, 5 th.ed., Prentice Hall Inc., 1991, New Jersey, hlm. 2 72 46 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 ketergantungan diantara rakyat dan Negara-Negara anggota ASEAN dalam kesatuan visi, identitas dan komunitas (one vision, one identity, and one community) yang saling peduli dan berbagi bagi terciptanya kemakmuran bersama74. Dari dua dasar pemikiran inilah, ASEAN menjadi sebuah organisasi internasional regional yang menjadi institusi pembentuk hukum (law making institution) pertama kali terhadap regionalisasi hukum di kawasan Asia Tenggara, khususnya di bidang hak asasi manusia (HAM) seturut dengan ketentuan hukum internasional75. Penandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) dengan sendirinya merubah ASEAN dari suatu asosiasi longgar menjadi organisasi berdasarkan aturan hukum (rule-based organization dan mempunyai personalitas hukum (legal personality) dan kapasitas hukum (legal capacity)76. Sifat rule-based organization ini dijiwai oleh aplikasi ASEAN, Roadmap for ASEAN Community 2009-2015, 2011, hlm. 1-5. Regionalisasi atau regionalism adalah wadah terciptanya hukum yang berlaku dikawasan tertentu yang memiliki norma dan mekanisme berlaku secara khusus dan ditaati oleh anggota-anggotanya untuk mewujudkan kepentingan bersama kawasan. Regionalisasi ini harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip dan ketentuan yang diatur dalam Piagam PBB, seperti dalam ketentuan Pasal 52 (1), (2), (3) dan (4) yaitu upaya kerjasama regional (regional arrangement) yang mendukung terciptanya tujuan PBB dikawasan tertentu yang dalam hal ini adalah di Asia Tenggara, lihat D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, alih bahasa oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, 1995, hlm. 205. Lihat juga Hubungan yang makin rapat serta kehidupan bangsa-bangsa yang semakin bergantung satu sama lain, menuntut adanya kerjasama antara bangsa-bangsa dalam suatu sistem kerjasama regional. Hal tersebut diungkapkan dalam Report of the Rockefeller Brothers Fund yang mengatakan bahwa; ”Pengelolaan regional tidak lagi masalah pilihan. Hal tersebut telah dipaksakan oleh teknologi, ilmu pengetahuan dan ekonomi dalam dunia kontemporer sekarang ini”. M. Sabir, ASEAN Harapan dan Kenyataan, Jakarta, PT. Penebar Swadaya, 1992, hlm. 21-22 76 Seperti dibahas dalam Centre of International Law. CIL ASEAN Charter Series 2010: Workshop on Implementing Legal Personality and Privileges and Immunities. National University of Singapore, 2010; Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, PT Tatanusa, Jakarta, 2007, hlm. 19; Jiangyu Wang. International Legal Personality of ASEAN and the Legal Nature of the China-ASEAN Free Trade Agreement. CHINA-ASEAN RELATIONS: ECONOMIC AND LEGAL DIMENSIONS, 2010; John 74 75 47 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 prinsip rule of law yang terdapat dalam Mukadimah dan dalam Pasal 1 (7) Piagam ASEAN77. Semula, berlandaskan Deklarasi Bangkok 1967 atau the ASEAN Declaration, hubungan antara negara ASEAN pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan politik (political statements) yang tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap negara anggota maupun organisasi itu sendiri dan pada saat ini keadaan tersebut berbeda karena adanya prinsip rule of law78. Rule of law dalam studi hukum organisasi internasional adalah sebuah konsep yang sangat mendasar bagi eksistensi suatu organisasi internasional dalam mecapai tujuannya dimana ia menjadi dasar tata kelola organisasi yang baik dalam mengatur pola hubungan antara individu, organ organisasi dan negara anggota dalam ranah publik dan privat didasari oleh prinsip-prinsip supremasi hukum (supremacy of law), kesamaan dihadapan hukum (equality before the law), akuntabilitas (accountability), pemisahan kekuasaan organisasi (seperation of power), kepastian hukum (legal certainty), partisipasi (participation) dalam proses pengambilan keputusan organsasi dan transparansi (transparency)79. Wong, Zou Keyuan, Zeng Huaquan, eds., Singapore: World Scientific; Dominic McGoldrick (Ed), “The ASEAN Charter: ‘Current Developments: Public International Law”, International Comparative Law Quarterly, vol 58, Januari 2009, Cambrigde University, hlm 197. 77 Human Rights Resource Center, Rule of Law Untuk Hak Asasi Manusia di Kawasan ASEAN, Studi Data Awal, UI Press, 2011, hlm. 10-12. 78 Alexandra Retno Wulan dan Bantarto Bandoro, “ASEAN Quest for A Full-Fledged Community”, CSIS, 2007, hlm iv-ix. 79 Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan PBB, “The Rule of Law and Sekretaris Jenderal PBB, Transititional Justice in Conflict and Post-Conflcit Societies, Dewan Keamanan PBB, 2004, S/2004/616, hlm. 4; “Guidance Note of the Secretary General: United Nations Approach to Rule of Law Assisstance”, 14 48 JURNAL OPINIO JURIS Dalam konteks Vol. 15 Januari-April 2014 ASEAN, Severino menyatakan bahwa kontekstualisasi dan aplikasi prinsip rule of law adalah “...untuk mewujudkan norma-norma yang mengatur perilaku anggota ASEAN dalam forum ASEAN serta perilaku domestik negara-negara anggotanya terhadap rakyat, demokrasi, HAM dan kebebasan-kebebasan dasar dalam suatu tata pemerintahan yang baik, pemerintahan yang konstitusional dan keadilan sosial dalam mewujudkan tujuan ASEAN”80. Kontekstualisasi rule of law tersebut di atas telah bergeser dan menjadi sebuah langkah bersama (common vision) dan pendekatan aktif (proactive approach) untuk menghadapi tantangan eksternal dan internal ke depan dalam mencapai tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN81. Piagam ASEAN merumuskan 15 (lima belas) tujuan ASEAN82 dan 14 (empat belas) prinsip-prinsip dasar83 yang menjadi sebuah sumber April 2008, hlm. 1; dan Dencho Georgiev, “Politics or Rule of Law: Deconstruction and Legitimacy in International Law”, 4 European Journal of International Law, 1993, hlm. 1-10. 80 Rodolfo Severino, “The ASEAN Charter: One Year on”, Opinion Asia, 10 Januari 2010, dapat diakses di http://opinionasia.com/ASEANCharteroneyearon. 81 Pasca penandatanganan Piagam ASEAN, terdapat lima prioritas kegiatan untuk mempersiapkan perubahan ASEAN yaitu penyusunan Term of Reference (ToR) pembentukan Permanent Representatives to ASEAN, penyusunan Rules and Procedures ASEAN Coordinating Council dan ASEAN Community Councils, penyusunan supplementary protocols mengenai dispute settlement mechanism, penyusunan perjanjian baru menggantikan perjanjian pendirian Sekretariat ASEAN tahun 1976, serta penyusunan ToR pembentukan badan HAM ASEAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu, ASEAN Selayang Pandang, 2007, hlm. 41. 82 Tentang 15 Tujuan ASEAN baca Pasal 1 Piagam ASEAN. Prinsip-prinsip diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Piagam ASEAN. Dalam pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa Dalam mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan dalam Pasal 1, ASEAN dan Negara-Negara Anggotanya menegaskan kembali dan memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam deklarasi-deklarasi, persetujuanpersetujuan, konvensi-konvensi, concords, traktat-traktat, dan instrumen ASEAN lainnya. 83 49 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 hukum (constituent instrument) ASEAN84. Dalam struktur ASEAN, prinsip rule of law menjadi dasar strategis dan operasional pembentukan 3 (tiga) komunitas ASEAN, yaitu: (1). komunitas Politik-Keamanan (PoliticalSecurity Community); (2). Komunitas Ekonomi (Economic Community); dan (3). Komunitas Sosial Budaya (Socio-Cultural Community) sebagai peretas jalan menuju komunitas tunggal ASEAN pada tahun 201585. Selain itu, prinsip rule of law secara substantif telah digunakan sebagai dasar filosofis pembentukan regionalisasi hukum dibidang perlindungan HAM86, seperti: (1). Agreement on the Privileges and Immunities (API) of the ASEAN87; (2). the ASEAN Regional Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance (AADMER)88; dan (3). the ASEAN Declaration on Human Rights Mohd. Burhan Tsani, op.cit, no. 2, hlm. 2 Dalam struktur ASEAN, untuk mewujudkan tiga komunitas tersebut dibentuk, tiga badan komunitas ASEAN yaitu badan komunitas politik-keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community Council), Badan komunitas ekonomi (ASEAN Economic Community Council) , dan Badan komunitas sosial budaya (ASEAN Socio-Cultural Community Council). Lihat ASEAN Charter Pasal 9; Dibandingkan dengan Kemlu, Pembentukan Komunitas ASEAN Pada Tahun 2015, Power Point Presentation on ASEAN Workshop, Aryaduta Hotel, Jakarta, 10 Desember 2010 dan Alexandra, op.cit, no. 6. 84 85 ASEAN, op.cit, no. 10. ASEAN, Agreement on the Priveleges and Immunities of ASEAN, 2nd Edition, ASEAN Secretariat, 2010. 88 Signed in July 2005, ASEAN 2006. This Agreement has been ratified by all ten Members States and it came into force on 24 December 2009. Persetujuan ini menjadi persetujuan internasional regional yang pertama kali mengatur tentang penanggulangan bencana yang berlaku mengikat di kawasan Asia Tenggara; Lihat dalam Heath, J. Benton, “Disaster, Relief, and Neglect: The Duty to Accept Humanitarian Assistance and the Work of the International Law Commission”, the International Law And Politics, Vol. 43: 419, 2011, hlm. 446; AADMR adalah interumen hukum regional pertama yang mengatur tentang penangulangan bencana dan berlaku di Asia Tenggara dimana aturan mengenai hal tersbeut dalam hukum internasional masih tersebar dalam berbagai aturan hukum seperti dalam the United Nations, such as the United Nations General Assembly Resolution A/Res/46/182 of 1991 and A/Res/57/150 of 2002; by international humanitarian agencies such as the Active Learning Network for Accountability and Performance in Humanitarian Action (ALNAP), the Development Assistance Committee of the OECD (OECD-DAC Criteria), and from the Humanitarian 86 87 50 JURNAL OPINIO JURIS (ADHR/AHRD)89. fungsi Vol. 15 Januari-April 2014 Mudahnya, rule of law dalam Piagam ASEAN memiliki yang kompleks dan menentukan dalam penguatan dan perlindungan HAM, yaitu: (1). Sebagai salah satu elemen dasar perlindungan HAM yang menjadi landasan filosofis adopsi nilai-nilai universal HAM dan partikularisme nilai-nilai bersama Asia Tenggara dalam norma dan mekanismenya; (2). Sebagai justifikasi pembenar atas dasar pembentukan hukum HAM dalam konteks norma dan prosedurnya; dan (3). Pengembangan dan penguatan kelembagaan ASEAN dalam perlindungan HAM di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan Konvensi-konvensi dasar HAM internasional yang diratifikasi oleh negara-negara anggota ASEAN90. Ketiga produk hukum tersebut di atas merupakan contoh mutakhir regionalisasi hukum di kawasan Asia Tenggara terkait dengan pemajuan dan perlindungan HAM berdasarkan aplikasi prinsip rule of Accountability (HAP); and by the International Law Applicable to Disaster (the IDRL) developed from heterogeneous collection of international instruments with regards to customs, industrial accidents, nuclear emergency, civil defense, food aids, sea or air transport, telecommunication, satellite imaging, lihat Fisher, D, “Domestic Regulation of International Humanitarian Relief in Disasters and Armed Conflict: A Comparative Analysis”, the International Review of the Red Cross, Volume 89 Number 866, June 2007, hlm. 353-354. 89 Deklarasi HAM ASEAN ini ditandatangani oleh 10 kepala negara anggota ASEAN pada tanggal 18 November 20120 oleh Haji Hassanal Bolkiah, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, Susilo Bambang Yudhoyono, Thongsing Thammavong, Dato Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak, U Thein Sein, Benigno S Aquino III, Lee Hsien Loong, Yingluck Shinawarta, Nguyen Tan Dung yang mengadopsi 9 prinsip dasar HAM, 15 hak sipil dan politik, 9 jenis hak ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan, hak atas perdamaian dan ditutup dengan kerjasama regional dan internasional dalam hal pemajuan HAM dalam Deklarasi tersebut. Lihat Phnom Penh Statement on the Adoption of the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD), 18 November 2012. 90 Randall Peerenboom, “Varieties of Rule of Law: An Introduction and Provisional Conclusion”, in Randall Pereenboom (Editor), Asian Discourse of Rule of Law, Theories and Implementation of Rule of Law in Twelve Asian Countries, France and the US, London, New York, Routledge Curzon, 2004, hlm. 10-23. 51 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 law91. Mereka dijiwai oleh bidang kerjasama antar negara dengan acuan non politik atau kerjasama non pertahanan keamanan (non high political commitment) namun pada aras kerjasama kesejahteraan dan penciptaan keamanan yang komprehensif (soft political commitment) dalam konteks penguatan rule of law di Asia Tenggara92. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, permasalahan pokok dalam paper ini dirumuskan sebagai berikut, yaitu: “Bagaimanakah ASEAN mengimplementasikan prinsip rule of law dalam regionalisasi hukum HAM di Asia Tenggara sehingga penguatan kapasitas hukum perlindungan HAM dapat diperkuat dan ditingkatkan secara efektif sebagai salah satu pencapaian tujuan dasar ASEAN?”. Paper ini akan mengkaji secara kritis dan mendalam (in depth) mengenai tiga aspek hukum terkait dengan permasalahan pokok tersebut, yaitu: (1). Bagaimana eksistensi prinsip rule of law dalam Piagam ASEAN dan dalam studi hukum organisasi internasional; (2). Bagaimana Michelle Staggs Kelsall, “The New ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights: Toothless Tiger or Tentative First Step?”, East-West Center, 2009, hlm. 2-3; SAPA Task Force (FORUMASIA), Hiding Behind the Limits, 2009, hlm.1-5; dan Tommy Koh, dan Rosario G Manalo, The Making of the ASEAN Charter, World Scientific Publishing, 2009, hlm. 117; dan ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, 2008, hlm. 26. 92 Rule of Law dalam Piagam ASEAN diartikan sebagai “sebuah organisasi yang didasarkan pada aturan hukum dalam mencapai komunitas dengan nilai-nilai dan norma-norma bersama yang berbasis pada aturan-aturan hukum yang dibuat dan disepakati bersama”, Rodolfo C. Seeverino, “ASEAN Way and the Rule of Law”, Pidato pada Konferensi Hukum Internasional tentang SistemSistem Hukum ASEAN dan Integrasi Regional, Asia-Europe, University of Malaya, Kuala Lumpur 3 September 2001; dan dibandingkan dengan Wolfgang Benedek, “Human Rights and Security: Challanges and Prospects” dalam Francisco Ferrandiz and Antonius CGM Robben (eds), Multidiciplinary Perspectives on Peace and Conflicts Research A View From Europe, Humanitarian Net, University of Bilbao, Spain, 2007, hlm. 29-51. 91 52 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 peran dan fungsi rule of law dalam peningkatan, pemajuan dan perlindungan HAM dalam Piagam ASEAN dan kepatuhan (compliance) negara anggota ASEAN terhadap penerapan prinsip tersebut didalam urusan dalam negerinya; (3). Bagaimana mekanisme penguatan kepatuhan hukum terhadap implementasi prinsip rule of law dalam kerangka kegiatan ASEAN di Asia Tenggara. Untuk mengkaji secara kritis dan mendalam, paper ini akan dimulai dengan menempatkan landasan konsep dan teori yang relevan terhadap regionalisasi hukum perlindungan HAM oleh organisasi internasional, konsep kedaulatan negara dan teori-teori hukum internasional yang relevan. Dibagian akhir, paper ini akan menyimpulkan secara deduktif mengenai peran ASEAN terhadap penguatan dan kepatuhan negara anggota ASEAN terhadap aplikasi rule of law sebagai salah satu elemen terpenting dan sebagai salah satu sarana justifikasi akuntabilitas upaya perlindungan HAM di Asia Tenggara dalam kerangka kegiatan ASEAN sebagai organisasi internasional. B. Landasan Konsep dan Teori Teori adalah analisis hubungan antar fakta dan dipahami sebagai sebuah bangunan atau sistem yang tersruktur dari sekumpulan ide, gagasan, atau pemikiran yang berfungsi untuk menerangkan terjadinya sesuatu atau mengapa sesuatu itu ada yang dikemukan oleh 53 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 seorang atau beberapa ahli dibidangnya93. Dalam studi hukum organisasi internasional, teori adalah sekumpulan ide, gagasan atau pemikiran mengenai apa itu organisasi internasional dan mengapa organisasi internasional itu ada dan perlu dipertahankan oleh masyarakat internasional94. Teori didasari oleh suatu pernyataan-pernyataan umum tentang suatu kebenaran-kebenaran tertentu (konsep) dalam hubungan antara subyek hukum internasional yaitu organisasi internasional dan bagaimana mereka berinteraksi dalam mencapai tujuan dasar dalam organisasi internasional tersebut yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang pemahaman baik realis, naturalis, positivis maupun sosiologis95. Konsep dibangun dari rasio-rasio hukum mengenai kebenaran atas suatu fenomena, fakta atau data96. Konsep dalam studi hukum organisasi internasional adalah rasio-rasio hukum menegnai kebenaran atas suatu fenomena, fakta atau data mengapa negara-negara bersepakat membentuk suatu ikatan bersama dalam suatu oragnisasi internasional dan mengapa mereka menundukkan diri serta mengikatkan diri terhadap hak dan kewajiban hukum yang timbul. Konsep pertama dalam paper ini adalah adanya rasio yuridis yang berupa fakta hukum dan adanya A.S. Hornby, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, Sixth Edition, 2000, hlm. 1346. Simon Chesterman and Clare Rhoden, Studying Law at University, Allen and Unwin, 1999, hlm. 7879; Jan Klabbers, An Introduction to International Institutiuonal Law, Cambridge, 2002, hlm. 1-4; dan Christhoper Joyner, The United Nations and International Law, Cambridge, 1997, hlm. 9-11. 95 Anthony D’Amato, The Need of Theory of International Law, Northwestern School of Law, 2004, hlm. 9-23 dan Chesterman and Rhoden, ibid, hlm. 10 96Aulis Arnio, Essay on Doctrinal Study of Laws, Springer, 2011, hlm, 119-121; dan Spinezi, Maria, Ancilla Iuris, 2007, hlm. 66 93 94 54 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 fenomena sosiologis pembentukan ASEAN oleh 10 negara di Asia Tenggara97. Salah satu konsep mengenai eksistensi ASEAN adalah adanya fakta keinginan bersama untuk hidup di kawasan yang damai, aman dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kesejahteraan bersama, kemajuan sosial, serta untuk memajukan kepentingan, cita-cita, dan aspirasi bersama masyarakat Asia Tenggara98. Disamping itu, Negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk membentuk komunitas ASEAN sebagai langkah untuk menjamin pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi generasi-generasi sekarang dan mendatang dan menempatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak serta kemakmuran rakyat sebagai pusat proses pembentukan komunitas ASEAN99. Keinginan bersama tersebut harus tetap menghormati kedaulatan (sovereignty) dan kesetaraan (equality) negara-negara anggota ASEAN serta mematuhi prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia100. Burhan Tsani, op.cit, no. 2, hlm. 5-6 dan ASEAN, op.cit, no.3, hlm. 5-8. ASEAN, op.cit, no. 7 dan bandingkan dengan Sjamsumar Dam dan Riswadi, Kerjasama ASEAN: Latar Belakang, Perkembangan dan Masa Depan, Ghalia Indah, 1995, hlm. 15-17 dan Marie Pangestu, op.cit, no. 2, hlm. 363. 99 Baca lebih lanjut Bagian Pendahuluan Piagam ASEAN; dan ASEAN, Annual Report, Implementing the Roadmap for An ASEAN Community 2015, 2009, hlm. 9-12. 97 98 Pasal 2 ayat 2 (h dan i) yang menentukan bahwa ASEAN dan Negara-negara anggotanya wajib bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip berikut, yaitu: (h). Berpegang teguh pada aturan hukum, tata pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional; dan (i). Menghormati kebebasan fundamental dan perlindungan hak asasi manusia dan pemajuan keadilan sosial. 100 55 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Konsep kedua adalah adanya kebutuhan (need) yang berbentuk fakta empiris mengenai regionalisasi hukum di ASEAN101. Regionaliasi hukum ini memiliki arti penting dalam studi hukum organisasi internasional sebagai katalisator ASEAN memiliki personalitas dan kapasitas hukum dalam mencapai tujuannya berdasarkan prinsip rule of law102 Regionalisasi hukum ini menentukan kapasitas hukum dalam melaksanakan kegiatan dan pencapaian tujuan ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional di Asia Tenggara103. Kegiatan tersebut memiliki dua (2) dimensi hukum terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban hukum yang dikenal dalam hukum organisasi internasional, yaitu: (a). Dimensi hukum internal; dan (b). dimensi hukum eksternal104. Aspek pertama mencakup pemenuhan 3 (tiga) aspek hukum kelembagaan ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional, yaitu: (1). aspek akuntabilitas; (2). Aspek legitimasi; dan (3). Aspek pelaksanaan tata organisasi yang baik (good organization governance)105. Aspek kedua terkait Ronald Bruce, Revolution, Reforms and Regionalization in South East Asia: Cambodia, Laos and Vietnam, Oxford: Routledge, 2006, hlm. 100-1002; dan Tan Sri Ahmad Fauzi bin Abdul Razak, “Facing Unfair Criticims”, dalam Tommy Koh, op.cit, no. 1, hlm. 21-22. 102 Alan R White, Grounds of Liability, Oxford University Press, 1985, hlm. 23-34; dan Jan Klabbers, The Concepts of Treaty in International Law, The Hague, 1996, hlm. 182-187. 103 Lihat argumen hukum dalam Andrew Halpin, “The Concept of Legal Power”, 16 Oxford Journal of Legal Studies, 1996, hlm. 129-152; Enzo Cannizaro (eds), The European Union as An Actor in International Relations, The Hague, 2002, hlm. 151-152 dan Jan Klabbers, “The Life and Times of the Law of International Organizations, 70 Nordic Journal of International Law, 2001, hlm. 287-317. 104 D.W. Bowett, op.cit, no. 4, hlm. 6-16. 105 Koenraad Van Brabant, Accountable Humanitarian Action: An Overview of Recent Trends, dalam ICRC, FORUM (War and Accountability), April 2002; lihat yurisprudensi dimensi hukum internal ini di PBB dalam hal pembiayaan operasi perdamaian PBB dalam the Certain Expenses of the United Nations 1962, Advisory Opinion of the International Court of Justice concerning Cetain Expenses of the United Nations 101 56 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 dengan kemampuan ASEAN dalam membuat dan melaksanakan hukum yang berlaku dan dipatuhi oleh anggota-anggotanya serta kemungkinan terkena klaim hukum terhadap aplikasi hukum tersebut oleh pihak ketiga (negara diluar anggota ASEAN dan/atau organisasi internasional lainnya), khususnya bagi pemajuan dan perlindungan HAM106. Konsep Kedaulatan Negara adalah konsep ketiga yang menjadi kerangka pemahaman untuk menemukan beberapa aspek hukum terkait dengan penundukan diri negera-negara pada ASEAN, yaitu: (1). alasanalasan hukum mengapa Negara adalah pihak utama yang memiliki kewajiban perlindungan HAM dan supremasi negara terhadap pemajuan dan perlindungan HAM terhadap masyarakatnya107; dan (2). persinggungan kedaulatan dalam upaya perlindungan HAM telah mengubah paradigma kedaulatan negara dari Mashab Westphalia ke Mashab Hobessian108 yang dapat digunakan untuk menginterprestasikan (Article 17, Paragraph 2, of the Charter), 20 July 1962, dikutip oleh Robert Siekmann, Basic Documents on United Nations and Related Peace Keeping Forces, Tim Asser Institute, 1989, hlm.111; dan The Report of the Panel for United Nations Peace Operation (the Brahimi Report), UN Doc. A/55/305-S/2000/809, 21 August 2000. 106 Dominic Goldrick, op.cit. no. 5, hlm. 16-23; dalam aspek hukum ini, praktek hukum PBB bisa dijadikan rujukan studi karena memiliki kesamaan dimensi operasionalnya, lihat dalam John Cerone, “Minding the Gap: Outlining KFOR Accountability in Post Conflict in Kosovo”, 12 European Journal of International Law, 2001, hlm. 496-88; Adam Roberts, “Humanitarian Issues and Agencies as Triggers for International Military Action”, 839 International Review of the Red Cross (Vol. 82, September 2000), hlm. 679; dan Secretary_General Bulletin: “Observance by United Nations Forces of International Humanitarian Law”, entry into force 12 August 1999, UN Doc. ST/SGB/1999/13 (6 August 1999). 107 Kristen Hessler, “State Soverignty as an Obstacle to International Criminal Law” dalam Larry May dan Zachary Hoskins, International Criminal Law And Philosophy, Cambridge University Press, 2010, hlm 39-57. 108 Mashab Westphalia memandang kedaulatan Negara sebagai sebuah cikal bakal munculnya Negara karena “Negara terbentuk di suatu wilayah atau teritori tertentu sehingga otoritas nasional memiliki kapasitas hukum untuk membuat, melaksanakan dan memaksakan berlakunya hukum 57 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 cakupan, sifat dan area prinsip-prinsip perlindungan HAM yang ada dalam Piagam ASEAN. Menurut Mashab Westhalia, kedaulatan Negara adalah kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh dari kekuasaan lain yang dimiliki oleh Negara untuk mengakui, memajukan, melindungi dan melaksanakan ketentuan norma HAM di wilayah negaranya dan di yurisdiksinya109. Yurisdiksi adalah kekuasaan suatu negara untuk membuat hukum tentang perlindungan HAM dan berlaku terhadap tersebut di wilayahnya itu terhadap orang, benda dan perbuatan hukum yang ada. Mashab ini menciptakan beberapa asas dasar dalam hukum internasional yaitu asas non intervensi dan asas kesamaan atau kesedarajatan dalam hubungan antar Negara yang diadopsi dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mashab Wetphalia ini muncul ketika pada tahun 1648 ditandatangani Perjanjian Perdamaian Westphalia antara Kaisar Suci Roma dengan Raja Kerajaan Perancis yang berisi 128 Pasal yang pada intinya mengakui Bahwa Kaisar memiliki kedaulatan penuh terhadap wilayahnya sebagai sebuah konsep kadaulatan negara berdasarkan adagium cujus regio ejus religio (Agama penguasa adalah agama wilayah penguasa itu). Selain itu, Mashab ini memiliki ciri bukan sebagai sebuah penjabaran atas prinsip keadilan (principles of justice), namun merupakan pengejawantahan dari definisi prerogatif suatu negara (penguasa) berdaulat dan bagaimana menjamin diplomasi diantara para penguasa berdaulat tersebut dalam melaksanakan kedaulatan dalam negerinya terkait dengan orang, perbuatan dan peristiwa hukum yang muncul dalam hubungan bilateral atau multilateral. Lihat Jhon H. Jackson, “Sovereignty-Modern: A New Approach to an Outdated Concept’, 97 American Journal of International Law, 2003, hlm. 786-787; dan Allen Buchanann, “Rawl’s Law of People: Rules for a Vanished Westphalian World, 115 Ethics, 2004, hlm. 35-66; Stehpen Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy, Princeton University Press, 1999, hlm. 20. Sedangkan Mashab Hobbessian yang dikembangkan oleh pemikiran Thomas Hobbes, Imanuel Kant dan Hans Kelsen memandang kedaulatan Negara sebagai sebuah bentuk kontrol relatif dari suatu Negara berdaulat terhadap warganegaranya dan memberikan justifikasi kekuasaan eksternal bagi terciptanya dan terpeliharanya tertib dan stabilitas sosial terhadap individu atau populasi yang ada di wilayah suatu Negara berdaulat itu sendiri. Lihat Larry May, Crimes Against Humanity: A Normative Account, Cambridge University Press, 2005, hlm. 9; Hans Kelsen, Principles of International Law, 2nd ed, 1966, hlm. 180; Lyal Sunga, Individual Responsibility in International Law for Serious Human Rights Violations, 1992, hlm.140-141; lihat juga P. Reuter, Droit International Public, 1983, hlm. 235; J Pritchard, “The International Military Tribunal for the Far East and Its Contemporary Resonances”, 149 Military Law Review 25, 1995, hlm. 33. 109 Huala Adolf, 1990, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum INternasional, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.7. 58 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 orang, benda atau perbuatan-perbuatan (yurisdiksi legislatif); kekuasaan negara terhadap orang, perbuatan atau benda didalam proses peradilan HAM (yurisdiksi adjudikasi); atau kekuasaan negara untuk memaksakan berlakunya kewajiban perlindungan HAM dan dipatuhinya ketentuan hukum dan penghukuman bagi pelanggaran terhadap ketentuanketentuan HAM tersebut (yurisdiksi penegakan hukum)110. Arti penting Mashab ini adalah diterimanya prinsip “the exhaustion of local remedies”, yaitu prinsip dasar perlindungan HAM oleh Negara yang mengutamakan pengunaan norma dan mekanisme perlindungan HAM nasional (primacy) sebelum mengunakan norma dan mekanisme yang terdapat dalam sistem regional dan internasional dalam kerangka ASEAN111. Piagam ASEAN secara jelas mengadopsi Mashab kedaulatan Negara Westphalia dalam prinsip-prinsip dasar ASEAN, yaitu: (a). menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan identitas nasional seluruh Negara-Negara Anggota ASEAN; (b). tidak campur tangan urusan dalam negeri Negara-Negara Anggota ASEAN; (c). penghormatan terhadap hak setiap Negara Anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi, dan paksaan; (d). menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, hlm. 45; Malcolm N. Shaw, International Law, 4th ed, 1997, hlm. 452-456; Cristopher L. Blakesley, “Extraterritorial Jurisdiction”, dalam MC. Bassiouni, “International Criminal Law Procedure”, 1986, hlm. 1; L. Henkin, R. Pugh, O. Schachter and H. Smith, International Law in Theory and Practice, 2nd ed, 1987, hlm. 820-825. 111 The United Nations Human Rights, Office for the High Commissioner on Human Rights, The High Commissioner on Human Rights Strategic Management Plan 2008-2009, p. 1-5. 110 59 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 perlindungan hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial; (e). menjunjung tinggi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional, yang disetujui oleh Negara-Negara Anggota ASEAN; (f). tidak turut serta dalam kebijakan atau kegiatan apa pun, termasuk penggunaan wilayahnya, yang dilakukan oleh Negara Anggota ASEAN atau Negara non-ASEAN atau subyek non-negara mana pun, yang mengancam kedaulatan, integritas wilayah atau stabilitas politik dan ekonomi Negara-Negara Anggota ASEAN112. Mashab Hobbesian berperan besar sebagai dasar munculnya doktrin intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention)113, penerimaan pelanggaran HAM berat sebagai sebuah bentuk ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional114, berkembangnya asas responsibility to protect (R2P)115 dan diterimanya paham kedaulatan Negara sebagai sebuah tanggung jawab (sovereignty as responsibility)116 dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Kesmua pemahaman ini secara ASEAN Secretariat, Piagam ASEAN, 2009. J.L Holzgrefe and Robert O. Keohane, Humanitarian Intervention, Ethical, Legal and Political Dillemas, Cambridge University Press, 2003. 114 SC Res 827 (May 25,1993), UN Doc S/25704 (May 3, 1993), 3 ILM 1159 dan SC Res 955 (November 8, 1994), UN Doc S/1994/140 tentang pembentukan ICTY dan ICTR. 115 The Asia Pacific Center for R2P, The Responsibility to Protect in Southeast Asia, January 2009, hlm.6 yang dielaborasikan dengan beberapa pemikiran dari B. Cheng, “Custom: the Future of General State Practice in Divided World” dalam R. Macdonald dan D. Johnston (editor), The Structure and Process of Internatmional Law: Essay in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Dordrecht, Martinus Nijhoff Publisher, 1983, hlm. 513 116 J.L Holzgrefe and Robert O. Keohane, op.cit, no. 42, hlm. 45-67. 112 113 60 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 prinsip telah diadopsi dalam AHRD, khususnya dalam Bagian dan pada Bagian Penutupnya. Disamping itu, Mashab ini juga digunakan dan diambil sebagai salah satu prinsip dasar ASEAN khususnya oleh the ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR) sebagai badan yang memiliki fungsi sebagai badan yang memiliki yurisdiksi pelengkap dari yurisdiksi hukum nasional negara-negara anggota ASEAN117. Konsep keempat adalah konsep yuridis sosiologis organisasi internasional yang menjadi latar belakang terbentuknya ASEAN oleh masyarakat Asia Tenggara118. Organisasi internasional dalam arti luas, adalah bentuk kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional untuk tujuan yang bersifat internasional119. Pada hakekatnya organisasi internasional timbul karena “ubi societas, ibi jus’ (dimana ada masyarakat disana ada hukum), termasuk juga ASEAN dimana seiring dengan perkembangan teknologi, telekomunikasi dan transportasi intensitas interaksi antara negara juga semakin meningkat khususnya di kawasan Asia Tenggara120. Dalam interaksi tersebut, timbul banyak persinggungan The AICHR ToR, Chapter 1 (1.5) yang menentukan bahwa “to enhance regional cooperation with a view to complementing national and international efforts on the promotion and protection of human rights”; and Chapter 2 (2.3) yang menentukan bahwa “recognition that the primary responsibility to promote and protect human rights and fundamental freedoms rests with each Member State”. 118 Jan Klabbers, “The Life and Times of the Law of International Organization, 70 Nordic Journal of International Law, 2001, hlm. 287; Alan Dashwood, “The Limits of European Community Powers, 21 European Law Review, 1996, hlm. 125; dan Finn Seyersted, Objective International Personality of International Organizations: Do Their Capacities Really Depend Upon the Conventions Establishing Them?, Copenhagen, 1963, hlm. 28-30. 119 Klabbers, ibid, hlm. 288. 120 Tommy Koh, op.cit, no. 1, hlm. 5. 117 61 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 kepentingan antara negara terkait dengan bidang kehidupan yang sangat luas yang tentunya tidak dapat disandarkan kepada peraturan dari masing-masing negara namun memerlukan pengaturan bersama internasional agar kepentingan masing-masing negara lebih terjamin121. Kebutuhan akan suatu pembuatan peraturan bersama tersebut kemudian membuat negara-negara berfikir bagaimana mekanisme yang paling efisien dalam realisasinya yang diwadahi oleh suatu organisasi internasional, dalam hal ini adalah ASEAN122. Teori pertama yang digunakan dalam paper ini adalah Teori Efektifitas Perlindungan HAM dan Teori Fungsi Sosial Hukum Internasional yang dikemukakan oleh Phillip Allot (the Social Function of International Human Rights Law Theory)123. Teori ini memandang bahwa hukum HAM internasional adalah sebuah sistem hukum yang terbentuk dan berkembang dari, ke dan untuk masyarakat internasional, dalam suatu masyarakat internasional yang terbentuk dari masyarakat nasional tanpa memandang perbedaan suku, agama dan ras untuk mewujudkan kepentingan bersama umat manusia berdasarkan prinsip-prinsip dasar perlindungan HAM dan kebebasan dasar umat manusia124. Untuk anggota ASEAN, Teori ini berkorelasi dan bermanfaat pada Daswood, op.cit, no. 47, hlm. 126. CF Amersinghe, Principles of the Institutional Law of International Organization, Cambridge University Press, 1996, hlm. 68-79. 123 Phillips Allot, The Concept of International Law’, 10 Europan Journal of International Law, 1999, hlm. 31-50. 124 Ibid. 121 122 62 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 ditemukannya pola untuk memetakan permasalahan, tantangan sekaligus kesempatan dalam upaya perlindungan HAM kedepan sebagai indikator pelaksanaan rule of law menurut ketentuan Piagam ASEAN125. Berdasarkan Teori Fungsi Sosial Hukum Hak Asasi Manusia, hukum HAM dalam Piagam ASEAN ini memiliki tiga dimensi hukum yang saling menentukan, yaitu: (1). Hukum tersebut membawa perubahan dalam struktur hukum dan sistem sosial masyarakat dalam kurun waktu tertentu; (2). Hukum tersebut memasukkan kepentingan bersama dalam perilaku yang diharapkan dalam pembentukan dan praktek identitas komunal yang disepakati; dan (3). Hukum tersebut membawa pengharapan hukum (legal expectation) yang akan terjadi pada masyarakat tersebut dimasa yang akan datang yang sesuai dengan identitas dan nilai-nilai sosial masyarakatnya, tata nilai dan tujuan hidup bersama dalam suatu kesepakatan yuridis untuk hidup bersama secara damai dan sejahtera126. Dencho Georgiev menyebut ketiga dimensi hukum ini sebagai sebuah kebenaran (correctness) yang memiliki implikasi hukum untuk pemenuhannya (entitlement) dalam mekanisme dan kegiatan entitas hukum yang bersangkutan127. Heribertus Jaka Triyana, “Politics and Law of Human Rights in Southeast Asia: A Critical Legal Analysis”, Presented at the Short Course on Human Rights and Democracy in Southeast Asia for the ASEAN Diplomats, 24-25 August 2009, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT UGM)-Deplu RI, Yogyakarta. 126 Allot, op.cit, no. 52, hlm.31. 127 Georgiev, op.cit, no. 8, hlm. 1-6 dan Jack Donelly, Universal Human Rights In Theory and Practice, Second Edition, Ithaca Cornell University Press, London, 2000, hlm. 10 125 63 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Dari ketiga dimensi hukum tersebut, Teori ini memberikan kerangka analisis atau justifikasi pembenar bahwa perlindungan HAM adalah salah satu elemen terpenting dari prinsip rule of law dalam konteks dan perspektif ASEAN disaat ini dan dimasa yang akan datang, yaitu: (1). Hukum HAM merupakan bagian dari eksistensi bersama masyarakat Asia Tenggara yang memiliki kesamaan identitas (self-constituting of a society); (2). Eksistensi bersama tersebut terbentuk dari ide dasar yang sama dan membentuk perilaku nyata berdasarkan ide dasar tersebut; (3). Hukum HAM ini digerakkan oleh bentuk korelaksi sosial yang sama dengan doktrin nilai-nilai Asia (a distinctive social forms); (4). Hukum HAM ini mengeneralisasi sistem hukum perlindungan HAM yang ada sesuai dengan kepentingan sosial bersama masyarakat Asia Tenggara; (5). Hukum HAM ini pada saat bersamaan membentuk partikularisasi dalam segmen sosial berdasarkan pembatasan yang diakui dan diatur dalam konstitusi dan undang-undang nasional negara anggota; (6). Hukum HAM ini menentukan kepentingan bersama dari masyarakat sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan bersama yang membentuk tatanan bersama (societal order); (7). Hukum HAM ini memerlukan penjelasan-penjelasan teoritis dalam hubungan antar komunitas sehingga terbangun kondisi seutuhnya mengenai tatanan nilai dan tujuan yang disepakati (agreed values and purposes); dan (8). Hukum HAM ini harus mampu digunakan sebagai perekayasa sosial (social engineering) dalam kesadaran privat dan publik secara bersamaan sehingga tumbuhlah kepedulian bersama untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan ketentuan dalam norma dan 64 JURNAL OPINIO JURIS mekanisme tersebut128. Vol. 15 Januari-April 2014 Dari kedelapan ciri atau karakteristik tersebut, tegaknya rule of law akan berdampak positif bagi upaya pemenuhan dan perlindungan HAM dan mengharuskan negara sebagai anggota ASEAN untuk menjalankan hukum yang fungsional sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuan bersama ASEAN di kawasan Asia Tenggara129. C. Eksistensi Prinsip Rule of Law Dalam Kerangka Hukum ASEAN Sebagai Sebuah Organisasi Internasional Black mendefinisikan prinsip hukum sebagai “a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination” atau suatu kaidah kebenaran pokok atau sebagai sebuah norma hukum; keseluruhan aturan atau norma yang menjadi dasar pembenar terhadap pembentukan norma atau kaidah yang lainnya; sebuah peraturan yang pasti untuk melakukan perbuatan hukum, tata cara atau pencapaian terhadap suatu tujuan-tujuan hukum130. Dengan demikian, prinsip hukum berfungsi sebagai dasar pembenar ataupun dasar pemaaf terhadap proses pembentukan dan pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang berlaku dalam masayarakat internasional dan pada masyarakat pada suatu negara yang berdaulat131. Prinsip hukum memiliki dimensi luas dalam artian sebagai sebuah preskripsi hukum: baik sebagai sebuah Allot, loc.cit. Peerenboom, op.cit, no. 19, hlm. 48. 130 Black., H.C., Black’s Law Dictionary, 6th ed., St. Paul: West Publishing Co, 1990. 131 Aulis Arnio, Essay on Doctrinal Study of Laws, Springer, 2011, hlm, 119-121. 128 129 65 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 perintah, larangan atau perkenan, kompetensi hukum dan sebuah definisi hukum132 sehingga prinsip hukum adalah salah satu pengertian dari asas hukum yang dikenal dalam sistem-sistem hukum yang ada di dunia133. Rule of law adalah sebuah prinsip hukum yang keberadaanya diakui oleh masyarakat internasional dan diakui pula oleh sistem-sistem hukum yang ada didunia134. Disamping itu, prinsip rule of law juga diterima dan dipraktekkan dalam mekanisme organisasi internasional, seperti di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)135. Kenyataannya, prinsip ini tidak bisa berdiri sendiri karena ia memerlukan aspek lain non yuridis seperti stabilitas politik, keamanan dan kemauan serta kemandirian entitas pelaksananya136. Mudahnya, secara konsepsional dan normatif, rule of law adalah hukum itu sendiri dan sudah tidak ada lagi pertentangan pendapat mengenainya, namun kegagalan dalam melaksanakannya dalam tataran implementasi adalah masalah hukum dalam kerangka rule of law yang menyebabkan dinamisasi dan aktualisasi prinsip hukum ini dalam kenyataannya137. Ibid, hlm. 122. Ibid; bandingkan dengan Spinezi, Maria, Ancilla Iuris, 2007, p. 66 dan Mochtar Mochtar Kusumatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.148; dan Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968, hlm.58. 134 Thomas M Franck and Arun K. Timeringedam, “International Law and Constitutional Making, Chinese Journal of International Law 2003, hlm. 468 dan 514 135 Jeremy Mathan Farral, The United Nations Sanctions and the Rule of Law, Cambridge University Press, 2007. 136 Gerry J. Simpson, “The Situation on the International Legal Theory Front: The Power of Rules and the Rules of Power”, The European Journal of International Law, Vol. 11, No. 2, 2000, hlm. 439-464. 137 Franck and Timeringedam, op.cit, no. 63, hlm. 510. 132 133 66 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Definisi rule of law sangat beragam dan kompleks dari yang mendefinisikannya secara formal dan material138, luas dan sempit139, serta tebal dan tipis140 walaupun semua definisi tersebut menyetujui bahwa rule of law adalah produk hukum mashab Positivist yang sangat mengedepankan tiga (3) cita hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum141. Keberagaman definisi tersebut memberikan gambaran atau deskripsi umum mengenai apa itu rule of law dalam kajian dan relevansinya secara yuridis, yaitu: (1). Ia adalah asas hukum, sekaligus prinsip hukum dan dogma hukum142; (2). Eksistensinya adalah untuk mencapai keadilan hukum, disamping kemanfaatan dan kepastian hukum143; (3). Ketaatannya ditujukan pada kesadaran perilaku subyek hukum untuk mencapai tujuan hukum yang telah disepakati bersama dalam sebuah ikatan yuridis sosiologi144; dan (4). Model implementasinya adalah sebagai sebuah proses untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan/atau wewenang dari pada sebagai sebuah hasil terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan/atau wewenang Georgiev, op.cit, no. 8, hlm. 10-11. Qurratul Ain, Hak Asasi Manusia dan Rule of Law: Sebuah Pengantar, Paper 2008, tidak dipublikasikan, hlm 3-6. 140 Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 12-15. 141 Simpson, op.cit, no. 65; Georgiev, op.cit, no. 8; Farnck and Timerindam, op.cit, no, 63. 142 Farral, op.cit, no. 64, hlm. 35. 143 Simpson, op.cit, no. 65, hlm. 460 dan bandingkan dengan Andrew Altman and Christopher Heath Wellman, A Liberal Theory of International Justice, Oxford University Press, 2009. 144 Phillipe Nonet and Phillip Selznik, Law and Society in Transition, Harper Book, New York, 1978, hlm. 1 138 139 67 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 tersebut145. Dapat disimpulkan bahwa rule of law merupakan suatu legalisme hukum yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat diciptakan dan dilayani melalui pembuatan dan pelaksanaan sistem peraturan dan prosedur hukum yang bersifat obyektif, tidak memihak, otonom dan membuka peluang partisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaannya dengan mengedepankan asas-asas hukum yang berlaku secara umum146. Secara yuridis dalam kajian hukum internasional, prinsip rule of law digunakan sebagai salah satu sumber hukum internasional seturut dengan ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (MI) karena ia memenuhi beberapa kriteria sebagai sumber hukum internasional sebagai berikut, yaitu147: (1). Prinsip tersebut adalah bagian dari hukum internasional itu sendiri yang dapat diketemukan dalam perjanjian internasional, instrumen pokok suatu organisasi internasional ataupun dalam praktek negara dalam melaksanakan hubungan internasional; (2). Keberadaannya adalah mandiri terdapat dalam dokumen-dokumen hukum internasional, kebiasaan hukum dan keputusan-keputusan hukum organisasi internasional yang berlaku sebagai dasar berlakunya B.S. Chimi, “International Institution Today: An Imperial Global State in the Making, European Journal of International Law, Vol. 15, No. 1, 2004, hlm. 2-7 dan Geuther Teupner, “Substantive and Reflexive Law, Society Law Review, vol. 17, no. 2, 1983, hlm. 247. 146 Sacipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Penerbitan Kompas, 2007, hlm. 77 dan 133. 147 Massimo La Torre, Law and Institutions, Springer, 2009, hlm. 61 dan Simpson, op.cit, no, 65, hlm. 459. 145 68 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 suatu kerjasama internasional dalam hubungan internasional; (3). Prinsip tersebut dapat membantu hakim atau lembaga penyelesaian sengketa untuk berkreasi dalam menemukan hukum ketika terjadi sengketa antara para pihak atau ketidakjelasan aturan hukum sehingga mereka dapat memutuskan perkara dan memberikan fatwa hukum secara adil, imparsial dan akuntabel; (4). Keberadaanya sangatlah penting dalam sistem hukum yang bersangkutan karena adanya jaminan kesetaraan hukum dalam sistem hukum tersebut (checks and balances); (5). Aspek filosofisnya merupakan cakupan dasar dalam asas tersebut yang menjadi dasar tujuan dari kegiatan organisasi internasional; dan (6). Prinsip ini memiliki fungsi dasar sebagai “reservoir” atau tempat diketemukannya rasionalitas suatu aturan hukum yang mengatur kapasitas dan personalitas hukum terkait dengan dimensi hukum internal dan eksternal148. Rule of law dalam studi hukum organisasi internasional adalah sebuah konsep yang sangat mendasar bagi eksistensi suatu organisasi internasional dalam mecapai tujuannya dimana ia menjadi dasar tata kelola organisasi yang baik yang mengatur pola hubungan antara individu, organ organisasi dan negara anggota dalam kasanah publik dan privat didasari oleh prinsip-prinsip supremasi hukum, kesamaan dihadapan hukum, akuntabilitas, pemisahan kekuasaan organisasi, kepastian hukum, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan 148 Spinezi, ibid, hlm 67. 69 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 organsasi dan transparansi149. Secara konseptual, rule of law menjadi pemersatu antara studi hukum internasional dan studi hubungan internasional yang dilaksanakan oleh organisasi internasional sebagai salah satu subyek hukum internasional yang mengabungkan paham Positivis dan paham Realis sehingga tercipta paham baru, yaitu Positivis Realis150. Menurut paham ini, rule of law menjadi dasar justifikasi legal terhadap pencapaian tujuan bersama yang memiliki legitimasi sosiologis yang kuat dalam masyarakat internasional dimana mereka menerimanya sebagai sebuah kebenaran hukum dan kewajiban internasional serta kegagalan dalam melaksanakan kewajiban tersebut menjadi dasar terjadinya pertanggungjawaban negara151. Dalam sistem PBB, prinsip rule of law menjadi model tata kelola PBB yang menggantikan orientasi hasil kepada orientasi proses yang didasarkan pada keterkaitan antara HAM dan demokrasi dalam mencapai tujuannya152. Rule of law memberikan elemen-elemen dasar yang memformulasikan struktur, operasi dan evaluasi berdasarkan Op.cit, no. 8. Shirley V. Scott, “International Law As An Ideology: Theorizing the Relationship Between International Law and International relations; 5 European Journal of International Law, 1994, hlm. 311316; dibandingkan dengan George Schawarzerberger, Power Politics, 1951; dan H. Morgenthau, Politics Among Nations: The Strugle for Power and Peace, 1949. 151 F. Boyle, World Politics and International Law, 1985, hlm. 6-7 dan Gearoid Tuathail, Simon Dalby and Paul Routledge, The Geopolitics Reader, Second Edition, Routledge, London and New York, 2007, hlm. 263. 152 Sekretaris Jenderal PBB, Guidance Note of the Secretary General: United Nations Apparoach to Rule of Law Assistance, 14 April 2008, hlm. 1; dan Paul F. Diehl, The Politics of Global Governance, International Organizations in An Interdependent World, Lynne Rienner Publishers, 2005, hlm. 9-11 149 150 70 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 elemen-elemen persamaan, pertanggungjawaban, dan penghindaran kesewenang-wenangan hukum dalam struktur PBB153. Selain itu, rule of law memperoleh justifikasi dan dukungan yang sangat luas dalam kerja sama PBB yang mengarah pada terbentuknya rule of law sebagai salah satu hukum kebiasaan internasional yang memenuhi elemen substansi (opinio jurist) dan elemen formal (state practice)154. Prinsip rule of law adalah saling menguatkan dan saling tergantung dengan HAM dan demokrasi sehingga penggabungan diantara mereka merupakan keharusan dalam pencapaian tujuan PBB dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang155. Pada akhirnya, PBB mengembangkan rule of law sebagai sebuah tolok ukur penyelenggaraan tata pemerintahan organisasi yang baik khususnya dalam sistem peraturan dan prosedur hukum yang bersifat obyektif, tidak memihak, otonom dan membuka peluang partisipasi dalam pembuatan dan dalam pelaksanaannya sehingga penundukan diri negara anggota PBB didasari oleh kepatuhan atas rasa dan tertib hukum dan bukan karena motif kepentingan (political interests)156. Prinsip rule of law terdapat dalam Mukadimah dan dalam Pasal 1 (7) Piagam ASEAN157. Dalam kerangka ASEAN, prinsip rule of law diterapkan sesuai dengan fungsinya seturut dengan Teori Fungsi Sosial Farral, op.cit, no. 64. Giorgiev, op.cit, no. 8, hlm. 67 dan Simpson, op.cit, no. 65, hlm. 456. 155 Sekjen PBB, op.cit, no. 79, hlm. 2 dan Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 10. 156 Farral, op.cit, no. 65, hlm, 78; dan A/ 59/2005/: “In Larger Freedom: Toward Development, Security and Human Rights for All”, 21 March 2005. 157 Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 10-12. 153 154 71 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Hukum Internasional158. Mukadimah Piagam ASEAN menyatakan bahwa semua anggota mematuhi prinsip-prinsip demokrasi, rule of law dan tata pemerintahan yang baik dan penghormatan dan perlindungan HAM dan kebebasan-kebebasan manusia yang fundamental. Pasal 1 (7) menentukan bahwa tujuan ASEAN adalah untuk memperkuat demokrasi, meningkatkan tata pemerintahan yang baik dan rule of law, dan memajukan serta melindungi HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara-negara Anggota ASEAN. Piagam ASEAN tidak lagi menjadi satu-satunya instrumen yang mengatur rule of law, namun penguatan dan pelaksanaannya telah diikat dengan diciptakannya tiga komunitas hukum, yaitu komunitas Politik-Keamanan (Political-Security Community); Komunitas Ekonomi (Economic Community); dan Komunitas Sosial Budaya (Socio-Cultural Community) sebagai peretas jalan menuju komunitas ASEAN pada tahun 2015. Ketiga komunitas ini menjadi sarana bersama dimana negara-negara anggota ASEAN berinteraksi dan bekerjasama yang lebih erat untuk membentuk norma-norma bersama dan menciptakan mekanisme bersama untuk mencapai tujuan dan sasaran ASEAN di bidang politik dan keamanan159. Jhonston, “Functionalism in the Theory of International Law”, 26 Canadian Yearbook of International Law, 1988, hlm. 6-9 dan didasarkan pada argumentasi Allot, op.cit, no. 52. 159 Deklarasi Cha-am Hin Tentang Langkah-Langkah Pengembangan Sebuah Komunitas ASEAN Tahun 2009 (2009-2015), 1 Maret 2009 158 72 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Prinsip rule of law juga dikembangkan menjadi sebuah model kegiatan ASEAN yang menggantikan orientasi hasil kepada orientasi proses yang didasarkan pada keterkaitan antara HAM dan demokrasi dalam mencapai tujuannya160. Rule of law memberikan elemen-elemen dasar yang memformulasikan struktur, operasi dan evaluasi berdasarkan elemen-elemen persamaan, pertanggungjawaban, dan penghindaran kesewenang-wenangan hukum dalam struktur kelembagaan ASEAN161. Selain itu, rule of law memperoleh justifikasi dan dukungan yang sangat luas dalam kerja sama ASEAN dengan PBB dan organisasi internasional lainnya yang mengarah pada terbentuknya rule of law sebagai salah satu hukum kebiasaan internasional162. Prinsip rule of law adalah saling menguatkan dan saling tergantung dengan HAM dan demokrasi sehingga penggabungan diantara mereka merupakan keharusan dalam pencapaian tujuan ASEAN atau sebagai sebuah “conditio sine qua non”163. Pada akhirnya, ASEAN mengembangkan rule of law sebagai sebuah tolok ukur penyelenggaraan tata pemerintahan organisasi yang baik khususnya dalam sistem peraturan dan prosedur hukum yang bersifat obyektif, ASEAN, ASEAN Handbook on International Cooperations in Trafficking in Persons, ASEAN Public Affairs Services, 2010. 161 ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, 2008. 162 ASEAN, Agreement on Priveleges and Immunities of ASEAN, ASEAN Secretariat, 2010. 163 Camoying, Luningning G, “Establishing an ASEAN Human Rights Mechanism: Development and Prospects”, Insights, Issue No. 1, March 2005. 160 73 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 tidak memihak, otonom dan membuka peluang partisipasi dalam pembuatan dan dalam pelaksanaan kegiatan ASEAN164. Dapat disimpulkan bahwa prinsip rule of law dalam Piagam ASEAN secara substantif memenuhi keenam kriteria sebagai sumber hukum yang berlaku mengikat bagi negara-negara anggota ASEAN dan bagi organ-organ ASEAN, yaitu: (1). Prinsip tersebut adalah bagian dari hukum internasional regional itu sendiri yang telah dipraktekkan oleh negara-negara Asia Tenggara yang menjadi anggota ASEAN165; (2). Keberadaanya adalah mandiri secara yuridis formal walaupun ia tetap memerlukan faktor penentu non yuridis seperti faktor keamanan dan stabilitas politik dalam pelaksanaan pembangunan bersama166; (3). Prinsip ini membantu hakim atau lembaga penyelesaian sengketa yang ada dalam mekanime ASEAN untuk berkreasi dan menemukan hukum khususnya terhadap pencapaian tujuan ASEAN167; (4). Keberadaannya sangatlah penting dalam sistem hukum ASEAN yang dibuktikan dengan dicantumkannya prinsip tersebut dalam Terms of References AICHR sebagai bagian integral struktur ASEAN dan dalam Mukadimah AHRD Severino, op.cit, no. 21 dan bandingkan dengan Hiro Katsumata, ASEAN’s Cooeperative Security Enterprise, Norms and Interests in the ASEAN Regional Forum, Palgrave McMilan, 2009. 165 Mohamed El Zeidy, The Principle of Complementarity in International Criminal Law, Origins, Deleopment and Practice, Martinus Nijhoff Publisher, 2008, hlm. 5-152. 166 Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 16. 167 Michael Wesley, The Regional Organization in Asia Pacific, Exploring Institutional Changes, Palgrave McMilan, 2003 dan Marie Pangestu, “The Future of ASEAN”, the Indonesian Quarterly, vol. XXV, No. 4, 199 164 74 JURNAL OPINIO JURIS sebagai sebuah norma Vol. 15 Januari-April 2014 hukum168; (5). Aspek filosofisnya tercakup dalam prinsip tersebut yaitu memberikan pengutamaan kepada pencapaian keadilan, kepastian dan kemanfaatan bersama dan masyarakat yang sejahtera169; dan (6). Prinsip ini menjadi reservoir atau tempat diketemukannya aturan hukum terkait dengan pencapaian dan tata laksana kegiatan ASEAN berdasarkan tata pemerintahan organisasi yang baik khususnya dalam sistem peraturan dan prosedur hukum yang bersifat obyektif, tidak memihak, otonom dan membuka peluang partisipasi dalam pembuatan dan dalam pelaksanaannya170. Selain itu, prinsip rule of law dalam kerangka ASEAN menjadi pedoman utama dalam penguatan struktur kelembagaan dan pengembangan kelembagaan ASEAN itu sendiri yang akuntabel dan memiliki legitimasi yang kuat dalam mencapai tujuannya. Dasar penguatan tersebut terletak pada diterimanya elemen-elemen dasar dar prinsip rule of law dalam keragka kerja ASEAN, yaitu: (1). Diataatinya prinsip berkuasanya hukum (supremacy of law); (2). Persamaan didepan hukum (equality before the law); (3). Pertanggungjawaban hukum (fairness in the application of the law); (4). Adanya pemisahan kekuasaan dalam pengambilan dan pelaksanaan keputusan hukum (separation of power); (5). Timothy LH MacCormack and Sue Robertson, “Jurisdictional Aspects of the Rome Statute for the New International Criminal Court”, 23 Melbourne University Law Review, 1999, hlm. 652-660 dan Geoffrey Watson, “The Humanitarian Law of the Yugoslavia War Crimes Tribunal: Jurisdiction in Prosecutor v Tadic”, 36 Virginia Journal of International Law, 1997, hlm. 717. 169 Lijun Yang, “On the Principle of Complementarity in the Rome Statute of the International Criminal Court”, Chinese Journal of International Law, Vol.4, No. 1, 2005, hlm. 122. 170 ASEAN, op.cit, no. 89. 168 75 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan hukum di ASEAN (participation in the decision making); (6). Adanya kepastian hukum (legal certainty); (7). Dihindarinya kesewenang-wenangan hukum (avoidance of arbitrariness); dan (8). Keterbukaan prosedur dan pelaksanaan hukum (transparency)171. Burhan Tsani dalam hal ini berargumentasi bahwa prinsip rule of law dalam Piagam ASEAN mampu digunakan sebagai instrumen hukum untuk meniadakan penilaian negatif bahwa ASEAN selama ini hanya menyentuh kaum elit politik yang berkuasa di Asia Tenggara; ASEAN hanyalah “keranjang kosong tanpa isi” bagi terciptanya kemakmuran bersama masyarakat Asia Tenggara; dan ASEAN tidak memiliki relevasi terhadap peningkatan kesejahteraan dan keamanan di kawasan Asia Tenggara secara langsung khususnya terhadap penciptaan keamanan komprehensif kepada umat manusia172. Disamping itu, prinsip rule of law dalam Piagam ASEAN memberikan penguatan kepada ASEAN sebagai sebuah institusi regional (regional arrangement) yang harus diberdayakan dalam upaya-upaya penyelesaian sengketa di kawasan Asia Tenggara berdasarkan ketentuan Pasal 52 (1) Piagam PBB dan sebagai institusi penyelesaian sengketa secara damai menurut ketentuan Pasal 33 Piagam Erman Suparman, “Kerjasama Bidang Peradilan Antar Negara Dan Upaya Penyeragaaman Pranata Hukum Antar Bangsa, Paper tidak di[ublikasikan, 2010, hlm. 2-6. 172 Burhan Tsani, op.cit, no. 1, hlm. 18-19. 171 76 JURNAL OPINIO JURIS PBB173. Vol. 15 Januari-April 2014 Rule of law dalam Piagam ASEAN mempertajam peran dan fungsi ASEAN seturut dengan Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970 yang menentukan bahwa “Negara-negara anggota PBB harus mencari dan mengunakan penyelesaian sengketa internasional sedini mungkin dan seadil-adilnya dengan cara negosiasi, jasa baik mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui pengadilan, mengunakan upaya-upaya atau badan-badan regional yang ada atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya berdasarkan pilihan mereka sendiri”174 (kursif penulis). D. Aplikasi Prinsip Rule of Law dalam Penguatan dan Perlindungan HAM dalam Kerangka ASEAN (AHRD dan AICHR) Randall Peerenboom secara khusus meneliti dan mengkaji secara mendalam dan kritis kaitan antara rule of law dan perlindungan HAM serta kebebasan dasar umat manusia dan menghasilkan temuan hukum bahwa keduanya memiliki hubungan yang kompleks dan saling menentukan satu dengan yang lainnya175. Kompleksitas tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur, isi serta budaya hukum dalam sistem itu sendiri serta faktor eksternal non sistem tersebut176. Dilain sisi, Robert Bowett, op.cit, no.4, hlm. 205 dan Farral, op.cit, no. 64, hlm. 84. General Assembly Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Cooperations Among States in Accordance with the Charter of the United Nations, GA Res. 2625 (XXV), 24 October 1970; dan lihat uraian selengkapnya dalam JG Merills, International Disputes Settlement, 3rd Editions, Cambridge University Press, 2000. 175 Peerenboom, op.cit, no. 19 dan Javaid Rehman, International Human Rights Law: A Practical Approach, Longeman Press, 2003; 176 Ibid, hlm. 20 173 174 77 JURNAL OPINIO JURIS McCorquodale menguatkan Vol. 15 Januari-April 2014 asumsi yuridis bahwa organisasi internasional memiliki kewajiban internasional terhadap perlindungan HAM berdasarkan 3 (tiga) argumen hukum, yaitu: (1). Organisasi internasional tidak boleh bertindak bertentangan dengan kewajiban hukum yang dimiliki oleh anggotanya terhadap kewajiban mereka pada instrumen perlindungan hukum HAM yang diterimanya; (2). Organisasi internasional terikat pada hukum kebiasaan internasional mengenai perlindungan HAM sama seperti pada negara dan individu; dan (3). Kewajiban hukum perlindungan HAM tersebut telah berkembang ke organisasi internasional secara langsung177. ASEAN mengambil ketiga argumen hukum ini sebagai rasionalitas dan fakta hukum pembentukan norma dan mekanisme perlindungan HAM dalam kerangka rule of law178. Sejalan dengan kedua argumentasi hukum tersebut di atas, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan bahwa: “State Parties should ensure that their actions as members of international organizatioions take due account of their rights to water. Accordingly, State parties that are members of international financial institutions, notably the Robert McCorquodale, “International Organizations and International Human Rights Law: One Giant Leap for Humankind”, in Kaiyan Homi Kaikobad and Michael Bohlander, International and Power Perspective on Legal Order and Justice, Martinus Nijhoff Publishers, 2009, hlm. 154-156. 178 Tommy Koh, op.cit, no. 1, hlm. 18; Heppy Ratna, AICHR dan Penguatan Perlindungan HAM di ASEAN, http://news.antara.co.id/berita/1256362459/aichr-dan-penguatan-perlindungan-ham-diasean, 2009; dan Human Rights Committee, General Comment 3, Article 2, para 1, Implementation at the national level (Thirteenth session, 1981), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc. HRI/GEN/1/Rev.1 at 14 (1994), University of Minnesota Human Rights Library, http://www1.umn.edu/humanrts/gencomm/hrcom13.htm. 177 78 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 International Monetary Fund, the World Bank, and regional development banks, should take steps to ensure that the right to water is taken into account in their lending policies, credit agreements and other international measures”179. Mudahnya, organisasi internasional terikat terhadap kewajiban pemenuhan dan perlindungan HAM dalam menjalankan fungsinya180. Selain itu, yurisprudensi internasional juga menguatkan argumentasi tersebut di atas bahwa organisasi internasional memiliki kewajiban pemenuhan dan perlindungan HAM secara langsung berdasarkan aplikasi hukum kebiasaan internasional sebagai sebuah penghormatan atas Piagam PBB181. Mahkamah Internasional memutuskan secara jelas bahwa: “International organizations are subjects of international law and, as such, are bound by any obligations incumbent upon them under general rules of international law, under their constitutions or under international agreements to which they are parties”182. Dengan demikian, eksistensi rule of law dan penguatan perlindungan HAM dalam kerangka ASEAN memiliki rasionalitas hukum yang dibangun dari keyakinan hukum yang ditunjukan dalam aturan-aturan normatif internasional dan praktek- Committe on Economic, Social and Cultural Rights, General Comments 15: The Rights To Water”, UN Doc. E/C.12/2002/II, 2002, para. 36. 180 Coomans and Kaminga (eds), Extraterritorial Application of Human Rights Treaties, Antwerp, 2004, hlm. 214 dan Reinisch, “Securing the Accountability of International Organizations”, 7 Global Governance, 2001, hlm. 131-135. 181 Blokker and Schemers, International Institutional Law, Fourth Edition, Leiden, 2003, hlm. 1002-1003. 182 Interpretation of the Agreement of March 25, 1951 between the WHO and Egypt: Advisory Opinion, ICJ Report 1980, para. 73, hlm. 89-91. 179 79 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 praktek subyek hukum internasional sehingga memperoleh suatu legitimasi yang kuat183. Perlindungan HAM menjadi kerangka kerja dan tujuan yang hendak dicapai oleh ASEAN184. Tujuan tersebut didasarkan pada aturanaturan hukum (rule of law) dalam Piagam ASEAN, dimana ASEAN telah melahirkan isi dan wadah perlindungan HAM dalam konteks dan perspektif ASEAN185. Pasal 14 Piagam ASEAN menjadi dasar pembentukan Badan HAM ASEAN atau the ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR). Pada tanggal 18 November 2012, Deklarasi HAM ASEAN disepakati oleh 10 kepala Negara anggota ASEAN dalam Koferensi Tahunan di Phnom Penh, Kamboja sebagai pengejawantahan bagian Mukadimah dan Pasal 1 (7) Piagam ASEAN186. Lawson, “Out of Control, State Responsibility and Human Rights: Will the ILC’s Definitions of the Act of State Meet the Challanges of the 21st Century?, dalam Castermans, Van Hoof and Smith (eds), The Role of Nations State in the 21st Century, Human Rights, International Organizations and Foreign Policies, Essay in Honor of Peter Baehr, Cambridge, MA, 1999, hlm. 91. 184 Marie Pangestu, “The Future of ASEAN”, the Indonesian Quarterly, vol. XXV, No. 4, 1997, hlm. 362365. 185 Tempo Interaktif, “Deklarasi HAM ASEAN Diteken”, http://www.tempo.co/read/news/201211/18/118442473/deklarasihamasean.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2012 186 Pasca penandatanganan Piagam ASEAN, terdapat lima prioritas kegiatan untuk mempersiapkan perubahan ASEAN yaitu penyusunan Term of Reference (ToR) pembentukan Permanent Representatives to ASEAN, penyusunan Rules and Procedures ASEAN Coordinating Council dan ASEAN Community Councils, penyusunan supplementary protocols mengenai dispute settlement mechanism, penyusunan perjanjian baru menggantikan perjanjian pendirian Sekretariat ASEAN tahun 1976, serta penyusunan ToR pembentukan badan HAM ASEAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu, ASEAN Selayang Pandang, 2007, hlm. 41; Deklarasi HAM ASEAN ini ditandatangani oleh 10 kepala negara anggota ASEAN pada tanggal 18 November 20120 oleh Haji Hassanal Bolkiah, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, Susilo Bambang Yudhoyono, Thongsing Thammavong, Dato Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak, U Thein Sein, Benigno S Aquino III, Lee Hsien Loong, Yingluck Shinawarta, Nguyen Tan Dung yang mengadopsi 9 prinsip dasar HAM, 15 hak sipil dan politik, 9 jenis hak 183 80 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Kedua aturan perlindungan HAM tersebut berlaku dalam keadaan damai (normal), ASEAN juga telah berhasil membuat the ASEAN Regional Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance (AADMER) dalam situasi darurat187. AADMER adalah ketentuan regional yang menyatukan semua ketentuan mitigasi dan pengelolaan bencana internasional dilevel Asia Tenggara sebagai sebuah standar minimal terhadap perlindungan HAM dan kebebasan dasar umat manusia188. Dengan demikian, ASEAN pada prinsipnya mengadopsi secara filosofis semua norma dan mekanisme perlindungan HAM yang telah ada189. Deklarasi HAM ASEAN merujuk pada kesesuian dan ketepatan hukum terhadap norma dan mekanisme HAM internasional dengan menambahkan cakupan penekanan pengaturannya terhadap hak atas perdamaian, hak atas pembangunan, dan mekanisme kerjasama regional dan internasional sesuai dengan isi, tujuan dan mekanisme dalam Piagam ASEAN 190. Ketiga ketentuan perlindungan dan pemajuan HAM dalam ASEAN tersebut di atas diharapkan muncul pola positif dan berkorelasi ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan, hak atas perdamaian dan ditutup dengan kerjasama regional dan internasional dalam hal pemajuan HAM dalam Deklarasi tersebut. Lihat Phnom Penh Statement on the Adoption of the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD), 18 November 2012. 187 Op.cit, no. 17. 188 ASEAN, The ASEAN Regional Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance (AADMER) Work Programme 2009-2015, ASEAN, 2009, hlm. 3-8; 15-17, dan 27. 189 Bagian Mukadimah Deklarasi menyatakan dengan jelas bahwa ASEAN lebih mengikatkan dirinya terhadap komitmen bersama pada Deklarasi Universal HAM 1948; Piagam PBB; Deklarasi Vina mengenai Program Aksi HAM; dan semua perjanjian dasar HAM dimana anggota ASEAN menjadinya anggotanya. 190 Mertokusumo, S., 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, hlm. 3-5. 81 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 secara dinamis dalam meningkatnya harapan hukum (legal expectation) oleh masyarakat di Asia Tenggara terhadap perbaikan kondisi penghormatan dan perlindungan HAM dalam kerangka rule of law191. Harapan hukum ini muncul dalam aspek meningkatnya budaya hukum (legal culture); sturuktur hukum (legal structure) dan substansi hukum (legal substance) perlindungan HAM di Asia Tenggara. Akibat hukumnya adalah daya paksa hukum norma dan mekanisme HAM ASEAN memperoleh justifikasi dan legitimasi legal, sosial dan politik192. Selanjutnya, akuntabilitas dan legitimasi norma dan mekanisme ini harus diterima di dalam sistem hukum nasional suatu negara anggota ASEAN193. Kajian menadalam rule of law dalam Piagam ASEAN akan dielaborasikan terhadap pembentukan dan implementasi sebagai sebuah perubahan institusional dari AADMER dan AHRD di bawah ini194. Kompas Cyber media, “Deklarasi HAM ASEAN Hormati Prinsip-Prinsip HAM Universal”, kompas.com, http://www.internasional.kompas.com/read/2012/11/18/11304138/deklarasihamasean.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2012. 192 Tommy Koh, dan Rosario G Manalo, The Making of the ASEAN Charter, World Scientific Publishing, 2009, hlm. 117; dan ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, 2008, hlm. 26. 193 Lihat penundukan dan pelaksanaan kewajiban hukum internasional kedalam sistem hukum nasional dalam F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1994, hlm. 45; Malcolm N. Shaw, International Law, 4th ed, 1997, hlm. 452-456; Cristopher L. Blakesley, “Extraterritorial Jurisdiction”, dalam MC. Bassiouni, “International Criminal Law Procedure”, 1986, hlm. 1; L. Henkin, R. Pugh, O. Schachter and H. Smith, International Law in Theory and Practice, 2nd ed, 1987, hlm. 820-825. 194 MC Abad Jr, “The Association of South East Asian Nations: Challanges and Responses”, dalam Micheal Wesley, The Regional Organisazation in Asia-Pacific: Exploring Institutional Changes”, Palgrave McMilan, 2003, hlm.50. 191 82 JURNAL OPINIO JURIS 1. Vol. 15 Januari-April 2014 Rule of law Dan Implementasi AADMER AADMER adalah instrumen hukum regional berlaku mengikat bagi anggota ASEAN mulai tanggal 24 Desember 2009 yang merupakan kerangka kerja proaktif dalam hal kerjasama regional195, koordinasi fungsional196, bantuan teknis, dan mobilisasi sumber daya dalam hal pengelolaan bencana197. Tujuan dasar dari instrumen hukum ini adalah untuk perlindungan HAM dan hak-hak kebebasan dasar manusia dalam situasi bencana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan standar penanganan bencana seperti yang ditentukan dalam mekanisme PBB198, norma-norma dasar internasional penanganan bencana199 dan Bab VI menentukan sebagai berikut, yaitu: “the role and functions for effective cooperation between international humanitarian institutions and Government with regard to disaster management throughout Article 28 and 30; and effective coordination at mitigation, emergency and reconstruction and rehabilitation are specifically determined in Articles 33. In Article 30, consent and appeal-based cooperation have been determined to foster national and international cooperation of disaster management”. 196 Bab IX menentukan bahwa: “technical assistance in terms of supervision in the making of all policy friendly disaster management in all sustainable development process. Article 71 determines that technical assistance shall be provided in: identification of threat, potential policy making disaster, exploitation activities, usage of goods and services, land use planning, management of natural resources, reclamation and budget-based allocation to disaster management” 197 ASEAN, ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response, http://www.aseansec.org/17579.htm, 2008, diakses pada tanggal 2 Juni 2012. 198 The United Nations, The United Nations General Assembly Resolution 46/182 , UNGA, 2001 dan dibandingkan dengan Heath, J. Benton, “Disaster, Relief, and Neglect: The Duty to Accept Humanitarian Assistance and the Work of the International Law Commission”, the International Law And Politics, Vol. 43: 419, 2011, hlm. 446 199 HIVOS, Disaster Management: Planning and Paradigm in Indonesia, 11 Juni 2007 and Permana, Mengubah Paradigma Penanganan Bencana di Indonesia, Paper, West Java Disaster Reduction Studies Center, Juni 2007, hlm. 2-6; 195 83 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 pendekatan-pendekatan internasional200 sebagai pengejawantahan prinsip rule of law201. AADMER akuntabilitas, mengadopsi relevansi, asas-asas keberlanjutan partisipasi, dan transparansi, koherensi sehingga pemberdayaan masyarakat yang terkena bencana menjadi kunci pokok dalam pengelolaan bencana202. Disamping itu, persetujuan tersebut mengadopsi pengelolaan bencana sebagai sebuah satu kesatuan langkah berupa pencegahan, mitigasi dan rehabilitasi dengan menekankan penguatan kapasitas masyarakat terhadap kerentanan dan faktor risiko bencana, baik bencana alam atau bencana yang disebabkan oleh faktor manusia203. Prinsip rule of law dalam AADMER jelas menjadi inspirasi pengaturan community-based disaster risk reduction management (CBDRM)204. Dalam Mukadimah, CBDRM diartikan sebagai “a process in which at-risk communities are actively engaged in the identification, analysis, Spieker, Heike, Standardization Approaches to Disaster Response, Class Presentation, tidak dipublikasikan, 2007 201 Bagian Mukadimah The ASEAN Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance, ASEAN, 2006; dan Pitsuwan, Surin, The ASEAN Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance, diakses pada http://www.asean.org/18441.htm, pada tanggal 14 September 2011 dan Friedman, J., Empowerment: The Politics of Alternative Development, Cambridge MA, Blackwell, 1992, hlm.5-20. 202 Skjernaa, Anton,“Theorizing the Impacts of International Law in State Behavior in World Politics”, Paper, presented at the International Studies Association in San Francisco, 2008, hlm.1 203 Abarquez, Imelda and Murshed, Community-based Disaster Risk Management: Field Practitioners’ Handbook, ADPC, 2005, hlm. 14; and Maskrey, A., Module on Community-based Disaster Risk Management, CBDRM-2 Handout, Bangkok, 1998; dan Hoffman, S.H., and Oliver-Smith, A., Catastrophe & Culture, the Anthropology of Disaster, Oxford; Hunter., D., et all, International Environmental Law and Policy, Foundation Press, New York, 2002; 204 Hoffman and Smih, ibid. 200 84 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 treatment, monitoring and evaluation of disaster risk in order to reduce their vulnerabilities and enhance their capacities”205. Langkah-langkah nyata telah diinisiasikan oleh ASEAN terhadap implementasi AADMER, seperti pembuatan program kerja 2010-2015 dalam menuju masyarakat ASEAN yang tanggap dan cakap dalam penanganan bencana206. ASEAN Committee on Disasster Management (ACDM) merupakan organ teknis ASEAN dalam mengimplementasikan kerangka kerja dan prinsip-prinsip dasar AADMER dalam perspektif rule of law, yaitu: (1). Penilaian faktor risiko bencana dan peringatan awal bencana; (2). Pencegahan dan mitigasi bencana; (3). Kesiapsiagaan dan tanggap darurat; dan (4). Pengembalian kekeadaan semula207. Program kerja ini sangat dibutuhkan karena negara-negara ASEAN sangat rentan terhadap risiko bencana, khususnya risiko bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, kekeringan dan lain sebagainya208. Preamble, ibid dibandingkan dengan with Abarquez, Imelda and Murshed, Community-based Disaster Risk Management: Field Practitioners’ Handbook, ADPC, 2005, hlm. 14; dan Hodgson., R.L.P., “Community Participation in Emergency Technical Assistance Programmes, “Technical Support for Refugees, (Proceedings of the 1991 Conference), ed, R.A. Reed, WEDC; Sakai, M., Konflik Sekitar Devolusi Kekuasaan Ekonomi dan Politik: Suatu Pengantar, Antropologi Indonesia, Volume 68, 2002; Samadhi, W.P., Desentralisasi Setengah Hati: Berpindahnya “Sentralisme” ke Daerah, Penelitian, 2005. 206 Abarquez, op.cit, no. 132. 207 Fisher, D, “Domestic Regulation of International Humanitarian Relief in Disasters and Armed Conflict: A Comparative Analysis”, the International Review of the Red Cross, Volume 89 Number 866, Juni 2007, hlm. 353-354. 208 Sphere Project, The Humanitarian Charter and Minimum Standard in Humanitarian Response, 2011 edition, Sphere Project Pub, 2011, hlm. 4; Acciaoli, G.L., “Archipelagic Culture” as An Exclusionary Government Discourse in Indonesia”, The Asia Pacific Journal of Anthropology 2 (1); dan Baiquni, M. and Rijanta, R, Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Dalam Era Otonomi dan Transisi Masyarakat, Paper (unpublished), 2007. 205 85 JURNAL OPINIO JURIS Dalam implementasi Vol. 15 Januari-April 2014 terhadap anggotanya, AADMER memberikan hak dan kewajiban hukum kepada negara anggota ASEAN untuk merubah dan menyesuaikan peraturan nasionalnya terkait dengan pengelolaan bencana seturut dengan isi, maksud dan tujuan AADMER209. Dalam ASEAN Roadmap ASEAN Community 2009-2015, AADMER dijalankan dengan menentukan 12 langkah politik, hukum dan ekonomi dalam menguatkan rule of law penanganan bencana di Asia Tenggara salah satunya adalah perubahan hukum, kebijakan, program, proyek, kegiatan dan pendanaan penanganan bencana seturut dengan misi dan visi ASEAN210. Indonesia dan Thailand menjadi contoh terhadap aplikasi rule of law dalam kerangka implementasi AADMER seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Indonesia telah mengambil langkah-langkah tersebut dan telah menjalankan ketentuan, isi dan tujuan AADMER ketika mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebelum AADMER berlaku sebagai ketentuan hukum yang mengikat211. Sebagai sebuah ketentuan hukum normatif, pembentukan Dalam Building Disaster-Resilient Nations and Safer Communities Strategis Objectives, AADMER menentukan bahwa: “AADMER strenghtens effective mechanisms and capabilities to prevent and reduce disaster lossess in lives, and in social, economic, and environmental assets of ASEAN Member States and to jointly respond to disaster through concreted national efforts and intensified regional and international cooperations”. Burgstaller, Markus, Theories of Compliance with International Law, Martinus Nijhoff Publisher, 2005, hlm.85 dan bandingkan dengan ASEAN, Roadmap for An ASEAN Community 20092015, 2011, hlm. 77. 210 Ibid. 211 Pada tanggal 26 April 2007, Undang-undang tersebut diundangakan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66. Undang-undang ini berisi 13 Bab dan 85 Pasal yang telah 209 86 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 dasar hukum, kebijakan nasional, program, proyek, kegiatan dan pendanaan penanggulangan bencana telah sesuai dengan ketentuan AADMER di Indonesia setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 seturut dengan prinsip rule of law dalam perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia saat bencana212. Namun demikian, faktor-faktor non yuridis seperti implementasi kebijakan desentralisasi, harmonisasi perangkat aturan hukum terkait dengan kemudahan akses bantuan, koordinasi antara lembaga pusat dan daerah serta intervensi kemanusiaan dari kelompok masyarakat madani dan lembaga swadaya masyarakat mereduksi dan mengurangi efektifitas pelaksanaan ketentuan isi, tujuan dan prinsip-prinsip AADMER yang telah diadopsi dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 di Indonesia khususnya dalam penanggulangan bencana alam gempa bumi di Padang, Sumatera Barat, Erupsi Gunung Merapi di DIY dan bencana banjir di Distrik Wasior, Papua Barat213. Infektivitas tersebut juga terjadi di Thailand ketika pada tahun 2010, Kota Bangkok mengalami bencana alam banjir yang hampir melumpuhkan seluruh aktivitas penduduknya. Thailand memiliki tiga mengannti dan merubah aturan penanggangan bencana di Indonesia seperti Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1979 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana; Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Pengungsi dan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 Tentang Epidemik.; Penyesuaian dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2008 tentang Pengaturan Pendanaan dalam Pengelolaan Bencana. 212 Heribertus Jaka Triyana dan Richo Andi Wibowo, “Implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Terhadap Penangulan Bencana Erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman dan Magelang”, Laporan Penelitian 2011, Unit Penelitian dan Pengembangan FH UGM, hlm. 12. 213 Ibid, hlm. 14-27. 87 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 aturan hukum, yaitu: (1). Thai Martial law 1914; (2). Thai Emergency Decree 2005; dan (3). Thai Internal Security Act 2008 yang secara garis besar mengambil isi, tujuan dan prinsip-prinsip dasar AADMER dalam menentukan adanya faktor bencana dan upaya-upaya penanggulangan bencana alam dalam kategori “keadaan bahaya”214. Faktor stabilitas keamanan dan peran militer menjadi penentu pelaksanaan rule of law dalam AADMER yang menyebabkan pemberdayaan masyarakat untuk tanggap bencana masih belum terperdayakan seturut prinsip pembentukan aturan hukum, AADMER215. Dapat disimpulkan bahwa, kebijakan, program, kegiatan dan pendanaan rule of law dalam peningkatan kapasitas negara dan masyarakat dalam AADMER telah diinkorporasikan dalam aturan hukum nasional negara anggota ASEAN. Rencana kerja, haluan kerja, pembentukan kelembagaan ASEAN yang bersinergi dengan kelembagaan pengelolaan bencana di dalam negeri negara-negara anggota ASEAN telah dibuat dan diinisiasikan dan telah diterima sebagai sebuah kebenaran hukum. Namun demikian, faktor penentu lain dalam implementasi yaitu pengetahuan masyarakat dilevel paling bawah, faktor keamanan dan politik internal negara anggota, peran dan fungsi masyarkat madani dan LSM masih menentukan ICJ dan Libertas, “Regional Consultation on Security Laws Operating in ASEAN and Possible Advocacy Work Concerning Access to Justice Mechanisms, Regional Consultation, 4-6 Oktober 2012, Bangkok, hlm. 149. 215 Ibid, hlm. 150. 214 88 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 efektivitas rule of law AADMER dalam implementasi regionalisasi aturan hukum mengenai pengelolaan bencana yang menjadi basis kegiatan ASEAN sampai tahun 2015216. 2. Rule of Law dan Implementasi AHRD dan Peran AICHR Eksistensi AICHR dan khususnya AHRD banyak menuai pro dan kotra dalam wacana rule of law ASEAN217. Banyak kalangan dan penggerak HAM, seperti Navi Pillay menyatakan bahwa AHRD hanyalah merupakan pernyataan pengulangan dan repetisi yang tidak perlu karena dalam penyusunannya perlindungan HAM tidak dan tidak memenuhi standar melibatkan internasional kelompok-kelompok masyarkat sipil di Asia Tenggara218. Dilain sisi, hampir semua kepala pemerintahan atau perwakilan negara-negara yang terlibat dalam pembuatannya menyatakan hal sebaliknya karena Deklarasi tersebut merupakan penegasan kembali komitmen ASEAN dalam perlindungan HAM dalam konteks dan perspektif negara-negara Asia Tenggara219. Naryanto, H.S., The Basis Principle of Disaster, Mitigation and Disaster Management in Disaster Handling, The Research Institution and Social Development KWI (LPPS-KWI)- Caritas and Cordaid, 2001; dan Permana, R., Mengubah Paradigma Penanganan Bencana di Indonesia, Paper, West Java Disaster Reduction Studies Center, June 2007. 217 Verena Harpe, “Harpe: Deklarasi HAM ASEAN Kontroversial”, DW, Ammnesty International, 2012; Suruhanjaya HAM Malaysia, Deklarasi HAM ASEAN Bertentangan Dari Pada Apa Yang Dijangka, Press Release, 19 November 2012. 218 ABC News, “Deklarasi HAM ASEAN Tidak Penuhi Standar Internasional PBB”, 12 December 2012. 219 Tempo.com, “Deklarasi HAM ASEAN Diteken”, http://www.tempo.co/read/news/2012/11/18/Deklarasihamasean.html, diakses pada tanggal 15 Desember 2012 dan Tempo.com, “Indonesia akan Tandatangani Deklarasi HAM ASEAN”, 216 89 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Norma perlindungan HAM dalam AHRD memang dibentuk berdasarkan Piagam PBB, Deklarasi HAM Universal 1948, Deklarasi Wina Tentang Program dan Aksi HAM dan Konvensi-Konvensi Pokok HAM dimana negara-negara anggota ASEAN menjadi anggotanya, yaitu: the Internnational Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR)220, the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)221, the Convention on the Ellimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD)222, the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1984 (CAT)223; the Convention on the Ellimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)224; dan the Convention on the Rights of the Child (CRC)225. Norma perlindungan HAM dalam AHRD memiliki kekhususan tersendiri, yaitu: (1). Prinsip non diskriminasi lebih dikembangkan mencakup non diskriminasi terhadap kelompok orang dalam kategori rentan, kondisi fisik dan psikis http://www.twmpo.co/read/news/2012/11/17/078442362/indonesia.html, diakses pada tanggal 15 Desember 2012. 220 Berlaku pada tanggal 23 Maret 1976, 993 UNTS 171, 1966 UNJYB 193; 1977 UKTS 6, anggota Komite adalah 18 orang. 221 Berlaku pada tanggal 3 January 1976; 993 UNTS 3; 1966 UNJYB 170, anggota Komite adalah 18 Orang. 222 Berlaku pada tanggal 4 Januari 1969, GA Res. 2106 A (XX) 21 December 1965, anggota Komite Adalah 18 orang. 223 Berlaku tanggal 26 Juni 1987, GA Res. 39/46, 10 December 1984, anggota Komite adalah 10 orang. 224 Berlaku tanggal 3 September 1981, GA Res 34/180, 18 Desember 1979, anggota Komite adalah 23 Orang. 225 Berlaku pada tanggal 2 September 1990, GA Res. 44/25 (Annex), UNGAOR, 44 th Sess., Supp. No. 49, at 166, UN Doc. A/RES/44/49 (1990), 30 ILM 1448 (1989), anggota Komite adalah 10 orang. 90 JURNAL OPINIO JURIS dan status yang lainnya226; Vol. 15 Januari-April 2014 (2). Penekanan kesetaraan hukum bagi kelompok-kelompok tertentu seperti perempuan, anak, orang tua, orang dengan kebutuhan khusus, buruh migran dan kelompok marjinal diterima sebagai bagian integral dari perlindungan HAM dan kebebasan dasar umat manusia227; (3). Pembatasan terhadap perlindungan HAM dalam AHRD diperluas cakupannya seperti yang ditentukan dalam DUHAM dan ICCPR, yaitu pembatasan yang diatur oleh hukum dan pembatasan berdasarkan keadilan berdasarkan pada keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan publik, keamanan umum dan moralitas bersama dalam kerangka perwujudan negara kesejahteraan didalam negara yang demokratis; dan (4). Menekankan arti penting hak atas pembangunan dan hak atas perdamaian sebagai norma HAM partikular bagi ASEAN yang memiliki kesamaan faktor historis sebagai negara berkembang dan sebagai negara-negara bekas kolonilisasi negara-negara barat228. Jika norma-norma dalam AHRD dikaitkan dengan peran dan fungsi AICHR sebagai badan intergral dari ASEAN maka akan terlihat segmentasi dan dinamisasi yang sangat nyata dalam kerangka rule of law Lihat dalam General Principles of the AHRD, principle 2 yang menentukan bahwa”Every person is entitled to the rights and freedoms set forth herein, without any distiction of any kind, such as race, gender, age, language religion, political or other opinion, national or social origins, economic status, birth, disability or other status”. AHRD, 2012. 227 General Prindiples 4 of the AHRD menentukan bahwa: “The Rights of women, children, the elderly, persons with disablilities, migrant workers, and vulnerable groups are an inalianable, integral and invisible part of human rights and fundamental freedoms, AHRD, ibid. 228 MC Abad Jr, op.cit, no. 123, hlm. 61. 226 91 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 perlindungan HAM229. Berdasarkan the 'Cha-am Hua Hin Declaration on the Inauguration of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), High Level Meeting menyetujui Terms of Reference of the AICHR (TOR AICHR)230. Dalam TOR tersebut disebutkan bahwa AICHR merupakan badan antar pemerintah dan merupakan bagian integral dari struktur organisasi ASEAN yang bertujuan untuk menguatkan perlindungan HAM di Asia Tenggara231. Peran dan fungsi Badan HAM ASEAN (selanhutnya disebut sebagai AICHR) dalam perlindungan HAM menimbulkan permasalahan hukum (legal problems), dan tantangan (legal challanges) pada saat ini dan pada Pareenboom, op.cit, no. 19 dan Harpe, op.cit, no. 146. ToR ini berisi sembilan (9) area dan cakupan norma dan mekanisme bagi pelaksanaan tugas dari AICHR yang terdiri dari tujuan, prinsip, badan konsultasi antar pemerintah, mandat dan fungsi, komposisi, modalitas, peran dan fungsi Sekretariat Jenderal dan Sekretariat ASEAN, rencana kerja dan pendanaan serta ketentuan umum dan ketentuan penutup. Lihat Heribertus Jaka Triyana, “Tinjauan Yuridis Tentang Badan HAM ASEAN Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum FH UGM, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm. 612-623. 231 Chapter 3 of the AICHR ToR yang menyatakan bahwa AICHR is an intergovernmental body and an integral part of the ASEAN organizational structure and it is a consultative body. Ia memiliki fungsi sebagai berikut, yaitu: 1). To promote and protect human rights and fundamental freedoms of the peoples of ASEAN; (2). To uphold the right of the peoples of ASEAN to live in peace, dignity and prosperity; (3). To contribute to the realization of the purposes of ASEAN as set out in the ASEAN Charter in order to promote stability and harmony in the region, friendship and cooperation among ASEAN Member States, as well as the well-being, livelihood, welfare and participation of ASEAN peoples in the ASEAN Community building process; (4). To promote human rights within the regional context, bearing in mind national and regional particularities and mutual respect for different historical, cultural and religious backgrounds, and taking into account the balance between rights and responsibilities; (5). To enhance regional cooperation with a view to complementing national and international efforts on the promotion and protection of human rights; and (6). To uphold international human rights standards as prescribed by the Universal Declaration of Human Rights, the Vienna Declaration and Programme of Action, and international human rights instruments to which ASEAN Member States are parties. 229 230 92 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 saat mendatang dalam implementasi AHRD232. Permasalahan dan tantangan tersebut adalah: Pertama, meskipun tujuan dari AICHR adalah “to promote and protect human rights and fundamental freedoms of the peoples” tetapi kewenangan tersebut terbatas pada promosi dan belum mencakup aspek proteksi HAM kepada individu atau kelompok individu di wilayah negara-negara anggota ASEAN, khususnya dalam implementasi hak sipil dan politik dalam AHRD233. Mudahnya, kewenangan tersebut hanya akan sampai pada tataran pemerintah dalam bentuk rekomendasi atau saran perbaikan yang bersifat tidak mengikat dan kewenangan yang demikian mereduksi sifat pemehuhan hak-hak tersebut yang bersifat segera dan menjalankan harus234. Kenyataan mekanisme ini perlindungan menjadikan HAM di AICHR bawah hanya standar perlindungan yang diakui dan berlaku secara internasional, khususnya dalam implementasi ICCPR (Kamboja, Indonesia, Laos, Philipina, Tahiland dan Vietnam adalah anggota dari ICCPR)235. Padahal, ToR Heribertus Jaka Triyana, “Politics and Law of Human Rights in Southeast Asia: A Critical Legal Analysis”, Presented at the Short Course on Human Rights and Democracy in Southeast Asia for the ASEAN Diplomats, 24-25 August 2009, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT UGM)-Deplu RI, Yogyakarta, hlm. 3-7. 233 Ibid. 234 Michelle Staggs Kelsall, “The New ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights: Toothless Tiger or Tentative First Step?”, East-West Center, 2009, hlm. 2-3. 235 Lihat semua ketentuan norma dan mekanisme HAM terkait dengan standar-standar internasonal yang harus dilaksnakan oleh negara dalam melindungi dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi efektivitas perlindungannya seperti dalam Human Rights Committee, General Comment 3, Pasal 2, para 1, Implementation at the national level (Thirteenth session, 1981), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc. HR1/GEN/1/Rev.1 at 4 (1994); General Comment, Op.Cit, No. 5; Pasal 1 of the European Convention 232 93 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 AICHR menentukan bahwa mekanisme dan standar tersebut harus sesuai dengan standar internasional seperti yang ditentukan dalam the Universal Declaration of Human Rights 1948, dan the Vienna Declaration and Programme of Action236. Dalam sistem hukum Thailand, isu konsultasi dan diseminasi perlindungan HAM oleh AICHR pasti tidak akan menyentuh isu-isu keadaan darurat yang terjadi di wilayah Thailand Selatan terkait dengan for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1954, 4 November 1950, berlaku 3 September 1953; 213 UNTS 221; ETS 5, 1 EYB 316; Pasal 3 dan 4 Convention Relating to the Status of Refugees 1951, 28 July 1951, berlaku 22 April 1954, 189 UNTS 150; 1954 ATS 5; 1961 NZTS 2; Preamble of the Convention on the Political Rights of Women; Prinsip 7 of the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples 1960, UNGA, 14 Desember 1960, GA Res 1514, UNGAOR, 15th Sess, Supp No. 16, UN. Docs. A/4684 (1961); Bagian I European Social Charter 1961, 18 October 1961, berlaku 26 February 1965, 529 UNTS 89, ETS 35, 9 EYB 247; Pasal 2 of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1966; Pasal 2 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966, berlaku 3 January 1976; 993 UNTS 3; 1966 UNJYB 170; Pasal 2 of the International Covenant on Civil and Political Rights 1966, lihat the American Convention on Human Rights 1969, entered into force 18 July 1978, 1114 UNTS 123; OASTS No. 36, 9 ILM 673; Article 2 of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979, berlaku 3 September 1981, 1249 UNTS 13, 1989 UKTS 2, 19 ILM 33; lihat African Charter on Human and Peoples’ Rights 1981 (Banjul Charter), berlaku 21 October 1986, 21 ILM 59 (1982); Pasal 4 of the Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination based on Religion and Belief 1981, UNGA, GA Res 36/55, UNGAOR 36th Sess, Supp. No. 51, UN Doc. A/36/51 (1981), 21 ILM 205 (1982); lihat the Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights 1984, UN Doc. E/CN.4/1984/4 (28 September 1984) 7 HRQ 3 (1985); Additional Protocol to the American Convention on Human Rights in the Area of Economic, Social and Cultural Rights 1988, OASTS No. 69, 28 ILM (1989); lihat Pasal seluruhnya Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1984, berlaku 26 Juni 1987, GA Res 39/46, UNGAOR, 39th Sess, Supp. No. 51, UN Doc. A/39/51 (1985), 23 ILM 1027; bandingkan dengan the Inter-American Convention to Prevent and Punish Torture 1985, berlaku 28 Februari 1987, OASTS No. 67, OAS Doc. OEA/SER. P, AG/DOC 2023/85, 25 ILM 519 (1986); International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid, 30 November 1973, GA Res. 3068 (XXVII) (1973), 1015 UNTS 246, 28 UNGAOR Supp(No. 30), UN. Doc. A/Res/3068 (1973), 13 ILM 50 (1974). 236 Chapter 1 (1.6) of the AICHR ToR. 94 JURNAL OPINIO JURIS bentrokan masyarkat Vol. 15 Januari-April 2014 Muslim dengan Pemerintah Thailand237. Kekosongan advokasi hukum oleh ASEAN (AICHR) dalam implementasi hak sipil dan politik, perlindungan hak anak dan permepuan dalam AHRD telah terjadi selama ini. AICHR belum pernah mengeluarkan rekomendasi atau saran perbaikan kondisi pelanggaran HAM yang ditujukan kepada Pemerintah Thailand akibat diberlakukannya 3 aturan mengenai keamanan nasional Thailand secara ofensif, yaitu: (1). Martial Law 1914; (2). Emergency Decree 2005; dan (3). Internal Security Act 2008238. Keberadaan ketiga aturan tersebut merupakan cerminan kedaulatan mutlak dari Negara Thailand untuk melaksanakan yurisdiksinya sehingga membatasi dan membuat mekanisme perlindungan HAM ASEAN tidak bisa menyentuh perubahan kebijakan, program dan kegiatan militer Thailand dalam menangani pemberontakan tersebut239. Keadaan di Thailand ini sama dengan kondisi di Philipina terkait dengan isu pelanggaran HAM di wilayah Philipina Selatan terkait dengan isu keamanan dan pergerakan pembebasan Bangsa Moro240. Perbedaan versi tindakan hukum antara gerakan pembebasan dengan CrCF dan MAC, Thailand Compilation of Report: Recommendation to the Judiciary Concerning the Administration of Justice in the Security Related Cases in the Southern Border Province, Cross Cultural Foundation and Muslim Attorney Commission, 2010, hlm. 5-9. 238 Martial Law Act dan Emergency Decree Law mencakup Provinsi Pattani, Yala, dan Narathivat sedangkan the Internal Security Act mencakup district Chana, Thepa, Nathwawae dan Sabayoy di Songkhla. Ketiga aturan hukum ini terkait dengan dakwaan terhadap pemberontakan yang diadili dengan mengunakan darurat militer yang ditujukan kepada penduduk sipil sehingga banyak terjadi pelanggaran HAM dalam proses peradilan bagi mereka yang disangka terlibat dalam gerakan pemberontakan. 239 CrCF dan MAC, op.cit, no. 166, hlm.139. 240 Koran Tempo, “Pembentukan Bangsa Moro”, 10 Oktober 2012, hlm. B2. 237 95 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 justifikasi terorisme menjadi konflik berkepanjangan yang sarat dengan pelanggaran HAM241. Kekosongan hukum dalam bidang advokasi perlindungan HAM oleh AICHR dalam AHRD terbentur oleh implementasi the Human Security Act Philipina tahun 2007 yang memberikan legitimasi kepada Pemerintah Filipina untuk mengambil langkah-langkah militer untuk melindungi kepentingan nasional242. Kedua preseden ini juga memperburuk reputasi AICHR dalam melaksanakan diseminasi AHRD dan fungsi konsultasi dengan pemerintah Myanmar terkait dengan isu pelanggaran HAM atas etnis Rohingya243. Sampai saat ini, langkah-langkah perbaikan atau remedies yang bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi perlindungan HAM belum pernah diinisiasikan oleh AICHR karena terbentur dengan aturan hukum yang ada dan kebijakan pemerintah terkait dengan isu atau masalah keamanan dalam negeri yang sarat dengan pelanggaran HAM, seperti penahanan penduduk sipil oleh militer dan diadili di pengadilan militer, masa penahanan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana, dan tidak adanya rehabilitasi dan kompensasi244. Kedua, kekaburan norma dan mekanisme hukum perlindungan HAM ASEAN telah terjadi khususnya terhadap implementasi norma dan Wawancara dengan Atty. Roberto Cadiz, pada tanggal 6 Oktober di Bangkok. ICJ and Libertas, Regional Consulattion on Security Laws Operating in ASEAN and Possible Advocacy Work Concerning Access to Justice Mechanisms, 4-6 October 2012, Bangkok. 243 Wawancara dengan Dith Vin Tinth, Senior Lawyer on Human Rights Protection in Myanmar, 5 Oktober di Bangkok, Thailand. 244 ICJ, op.cit, no. 171, hlm. 108. 241 242 96 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 mekanisme HAM internasional dan nasional yang telah ada dan berlaku dan menjadi kewajiban setiap negara anggota ASEAN untuk melaksanakannya. Kekaburan ini terletak pada tiga aspek hukum, yaitu: (1). Ketidakadaan jaminan kepastian hukum bahwa kewenangan perlindungan hukum yang ada dalam AHRD memberikan kewenangan hukum kepada AICHR sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam implemtasinya; (2). Ketidakjelasan eksistensi dari AHRD dan AICHR adalah sebagai pelengkap dari sistem norma dan mekanisme hukum nasional dan internasional dan bukan sebagai duplikasi dari norma dan mekanisme yang telah ada245; (3). Ketidakadaan suatu panduan kerja atau rule of engagement (RoE) yang dimiliki oleh AICHR terkait dengan upaya diseminasi HAM dalam AHRD yang menjadi domain dari lembaga HAM nasional di negara-negara anggota ASEAN (national human rights institutions) (NHRI)246; dan (4). Ketidakadaan mekanisme konsultasi dan koordinasi yang dimiliki oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang perlindungan HAM terhadap AICHR terhadap upaya konsolidasi dan penguatan norma dalam AHRD khususnya terhadap partisipasi masyarakat247. Keempat kekaburan norma dan mekanisme Michelle Staggs Kelsall, “The New ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights: Toothless Tiger or Tentative First Step?”, East-West Center, 2009, hlm. 2- 4. 246 Lihat selengkapnya dalam Yigen, et all, National Human Rights Institutions: Articles and Working Papers, The Danish Center For Human Rights, Wilden Plada, Denmark, hlm. 44; Mortem Kjaerum, National Human Rights Institution Implementing Human Rights, Martinus Nijhoff Publisher, 2003, hlm. 2-4; dan Pacific Forum Secretariat, National Human Rights Institutions Pathways of the Pacific States, Pacific Islands Forum Secretariat, hlm. 2-10. 247 SAPA Task Force (FORUM-ASIA), Hiding Behind the Limits, 2009, hlm.1-5. 245 97 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 hukum ini berimbas pada mencuatnya kekaburan atau bias hukum perlindungan HAM oleh ASEAN pada saat ini dan pada masa yang akan datang, khususnya antara AHRD dan AICHR248. Ketiga, kemungkinan munculnya konflik hukum dan tumpang tindihnya aturan hukum terkait dengan mekanisme perlindungan HAM oleh AICHR terhadap AHRD di wilayah negara-negara anggota ASEAN. Masalah ini disebabkan oleh dua masalah mendasar yaitu249: (1). Tingkat kesesuaian aturan atau norma (materi atau substansi) perlindungan HAM yang terdapat di level nasional dan yang terdapat dilevel internasional yang harus dijadikan acuan kerja AICHR dalam melaksanakan ketentuan AHRD; dan (2). Kesesuaian aturan mengenai mekanisme atau prosedur perlindungan HAM yang terdapat di level nasional dan internasional dalam mekanisme konsultasi dan diseminasi oleh AICHR terhadap implementasi AHRD250. Jawaban dasar dalam konteks kemungkinan munculnya konflik hukum tentang kewenangan hukum terletak pada ketidakjelasan mengenai dasar hukum pembentukan agenda koordinasi dan konsultasinya oleh AICHR terhadap AHRD, yaitu: (a). apakah Badan tersebut akan membatasi peran dan fungsi koordinasi terhadap upaya Heribertus Jaka Triyana, “Tinjauan Yuridis Tentang Badan HAM ASEAN Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum FH UGM, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm. 612-623. 249 Ibid, hlm. 630. 250 Sripapha Sriprasert, “The International Norms and Mechanism of Human Rights”, Peper presented at the Workshop of the Asia Pacific Curriculum, the Mahidol University, 9-12 Oktober 2009, Bangkok, hlm. 7. 248 98 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 promosi dan perlindungan hukum HAM yang telah diratifikasi oleh semua anggota ASEAN; atau (b). Tidak hanya terbatas pada peran dan fungsi koordinasi terhadap upaya promosi dan perlindungan hukum HAM bagi AHRD tersebut. Jawaban dari permasalahan pertama akan terkait dengan dispersitas reservasi pada kedua instrumen itu sendiri, dan jawaban terhadap permasalahan hukum kedua akan tertuju pada ada tidaknya basis penentuan upaya koordinasi dan pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban hukum yang timbul oleh AICHR kepada negaranegara anggota ASEAN terhadap efektifitas perlindungan norma AHRD. Selama hampir lima (5) tahun, AICHR masih memfokuskan kerjanya dalam menyusun tematis kegiatan advokasi melalui tema-tema tertentu yang menonjol di kawasan Asia Tenggara dan belum memfokuskan garapan kerjanya seturut dengan norma dan mekanisme perlindungan HAM dalam AHRD seperti yang telah dilakukan di kawasan Eropa dan Latin Amerika dalam konteks regionalisasi hukum perlindungan HAM. Dalam Roadmap for An ASEAN Community 2009-2015, aksi-aksi penguatan perlindungan HAM telah ditentukan sebagai sebuah kegiatan ASEAN sebagai organisasi internasional yang memiliki dimensi hukum eksternal dan internal dalam kerangka rule of law. Aksi-aksi tersebut adalah: (1). Pendirian Badan HAM ASEAN dan Kerangka Kerjanya; (2). Menyempurnakan norma dan mekanisme perlindungan HAM khusus kepada hak-hak anak dan perempuan; (3). Bekerjasama dengan badanbadan sektoral dalam kerangka kerja ASEAN dalam perlindungan HAM; (4). Memperkuat interaksi dan jalinan kerja sama perlindungan HAM 99 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 khususnya dengan masyarakat madani dan organisasi kemasyarakatan yang relevan dengan bidang kerja badan-badan ASEAN; (5). Meningkatkan kerjasama pertukaran data dan informasi dibidang perlindungan HAM diantara anggota ASEAN sesuai dengan ketentuan Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM; (6). Meningkatkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai HAM; dan (7). Bekerjasama secara giat dan penuh dalam usaha pembentukan komisi perlindungan hak-hak anak dan perempuan. Dari ketujuh bidang aksi tersebut, penguatan rule of law dalam perlindungan HAM ASEAN sebagai sebuah kegiatan organisasi internasional regional perlu ditindaklanjuti dengan menentukan skala prioritas perlindungan, orientasi pemenuhan, model advokasi dan konsultasi dan pembuatan bank data mengenai permasalahan perlindungan HAM di semua negara anggota ASEAN. Selain itu, reformulasikan peran dan fungsi AICHR sebagai fasilitator dan kolaborator dan bukan sebagai subyek atau obyek perlindungan HAM dalam kerangka rule of law perlu ditegaskan kembali supaya AICHR memiliki kewenangan hukum dalam melaksanakan AHRD yang tidak menduplikasi kewenangan dari lembaga perlindungan HAM internasional dan lembaga-lembaga perlindungan HAM nasional suatu negara dengan jalan AICHR harus diberi kewenangan hukum untuk membentuk fatwa atau legal comment mengenai satandar perlindungan HAM dalam AHRD. 100 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Aksi-aksi tersebut harus didasarkan pada orientasi pendekatan konsultasi dan diseminasi perlindungan HAM yang memberdayakan individu dan kelompok individu dengan diarahkan dan mulai dikembangkan pada tataran proses yang terus menerus (transformasi) atau transformational development dan bukan menekankan pendekatan transkasional sebagai sebuah proyek tahunan atau lima tahunan diranah advokasi aktif dalam sebuah kegiatan organisasi ASEAN. AICHR harus mampu mengaplikasikan model konsultasi dan koordinasi berdasarkan bottom up system berdasarkan partisipasi dari para pelaku perlindungan HAM dilevel nasional berdasarkan rights-based approach sebagai amanat konstitusional dari AHRD dan Piagam ASEAN yang mengacu pada aplikasi prinsip kedaulatan negara sebagai sebuah tanggung jawab untuk melindungi HAM bagi setiap individu atau kelompok individu sebagai sebuah pendekatan proaktif yang ditujukan langsung kepada negara untuk perbaikan sistem atau mekanisme perlindungan HAM di level nasional. Langkah terakhir adalah AICHR harus terus mengembangkan rasio-rasio atau indikator pelaksanaan kebijakan atau program (objectively verified indicators) bagi pelaksanaan perlindungan HAM di Asia Tenggara, khususnya dalam penyusunan kerangka kerja dalam tema-tema tertentu perlindungan HAM bagi kaum marjinal, orang tua, permpuan dan anak sebagai isu advokasi dilevel taktis, sedangkan advokasi dilevel startegis antar pemerintah adalah dikembangkannya kesepahaman mengenai hak atas pembangunan dan hak atas perdamaian sebagai sebuah gerakan 101 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 perlindungan HAM kolektif terhadap ekspansi kekuatan kapital dunia di Asia Tenggara. V. Kesimpulan Paper ini mengimplementasikan menyimpulkan prinsip rule bahwa of law ASEAN dalam telah pembentukan regionalisasi hukum (norma dan mekanisme) HAM di Asia Tenggara. Kenyataan ini berdampak pada penguatan kapasitas hukum perlindungan HAM oleh ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional. Rule of law telah sesuai dengan ketentuan hukum HAM internasional seperti ketentuan dalam Piagam PBB, Deklarasi HAM universal, dan yang lainnya. Harapan hukum (legal expectation) perbaikan kondisi perlindungan HAM memperoleh sandaran hukum yang kuat bagi advokasi dan adjudikasi perlindungan HAM di Asia Tenggara yang dapat digunakan oleh orang perorang dan kelompok orang dalam usaha perbaikan pemenuhan HAM bagi mereka. Aspek ini adalah aspek hukum terpenting dari elemen rule of law dalam kerangka ASEAN. Negaranegara anggota ASEAN memiliki kewajiban hukum untuk memenuhinya dan pengingkaran serta ketidaktaatan mereka terhadap norma dan mekanisme tersebut merupakan suatu pelanggaran negara terhadap kewajiban perlindungan HAM dalam AHRD dan Piagam ASEAN. Namun demikian, rule of law tersebut masih harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah nyata perbaikan struktur kelembagaan dan koordinasi perlindungan HAM dalam kerangka ASEAN, khususnya 102 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 terhadap pelaksanaan AHRD oleh AICHR, AHRD terhadap perilaku negara-negara anggota ASEAN, dan AICHR terhadap eksistensi lembagalembaga nasional HAM, kelompok masyarakat sipil dan madani serta pemenuhan kewajiban internasional yang muncul dari ratifikasi negaranegara anggota terhadap instrumen hukum HAM internasional. Selain itu, pendekatan komprehensif terhadap pemahaman bersama terhadap faktor penentu non yuridis dari aplikasi rule of law dalam perlindungan HAM seperti faktor keamanan, sensitifitas isu kedaulatan negara, interprestasi atas limitasi-limitasi pemenuhan HAM dalam konteks kepentingan nasional negara anggota ASEAN serta tekanan dari diplomasi hegemoni ekonomi dari kelompok kapitalis dan negara-negara barat perlu dijadikan acuan pengambilan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan HAM dilevel strategis oleh pemimpin-pemimpin ASEAN. Akhirnya, ASEAN, rule of law dan perlindungan HAM di Asia Tenggara adalah sebuah keniscayaan dalam dinamika regionalisasi hukum di kawasan Asia Tenggara yang harus kita sikapi secara positif sebagai sebuah harapan dan bukan sebagai sebuah permasalahan. 103 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 PENERAPAN REZIM EXTRATERRITORIAL JURISDICTION DALAM HUKUM SIBER DI INDONESIA Purna Cita Nugraha Abstract The application of positive law in Indonesia particularly Article 2 of the Information and Electronic Transaction Law, in which extraterritorial jurisdiction of national law is applied against other countries, will definitely create problems when it comes face to face with other jurisdictions. In order to overcome the obstacles in implementing the aforesaid article, Indonesia has to carry out international cooperations through agreements or other forms of international cooperations. International cooperations can also be done in the form of the formulation of norms or international principles that can later be recognized as customary international law. Keywords: cyberspace, extraterritorial jurisdiction, and international cooperation. A. LATAR BELAKANG Kehidupan modern meningkatkan ketergantungan pada infrastruktur-infrastruktur yang saling terhubung dan bergantung satu sama lain. Sementara sektor-sektor seperti pangan, air, kesehatan dan transportasi dan infrastruktur yang mendukung sektor-sektor tersebut merupakan suatu yang sifatnya sangat penting dan kritis, kemampuannya untuk menghubungkan terdapat pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang merupakan komponen penting dalam kehidupan sehari-hari. 104 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Ruang siber yang merupakan keseluruhan dari komponenkomponen tersebut di atas kadang dikategorikan sebagai sektor tersendiri, yang pada praktiknya sangat berkaitan dengan sektor-sektor lain, sama seperti sektor energi dan transportasi yang tidak dapat begitu saja dipisahkan. Ruang siber dapat diilustrasikan sebagai lapisan tipis atau sistem syaraf yang menghubungkan sektor-sektor yang lain sehingga membuat sektor-sektor lain dapat saling berkomunikasi dan berfungsi. 251 Seiring terjadinya globalisasi, kemajuan di bidang teknologi informasi seperti lahirnya internet yang menciptakan ruang siber diharapkan memberi manfaat yang seluas-luasnya bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia. Namun demikian, manfaat tersebut diikuti juga dengan munculnya berbagai jenis tindak kejahatan baru dengan memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Di satu sisi, internet merupakan suatu ruang yang dapat memungkinkan para penggunannya beraktivitas di dalamnya, namun di sisi lain internet juga berfungsi sebagai media bagi para penggunanya untuk membantu aktivitas dan kegiatannya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Marty Natalegawa menyampaikan bahwa: “the impact of the cyber world on every aspect of human life is enormous. At every moment of the day, informastion floods from all 251 Lihat Dave Clemente, Cyber Security and Global Interdependence: What is Critical?, Chantam House, London, 2013, hlm. v 105 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 directions at immense speed. While the cyber space provides convenience to our life, it also comes with its own challanges. Indeed, we are confronted by paradoxes. It provides vast opportunities for all nations. Yet, in the wrong hands, it can be an instrument of crimes and discord.”252 Globalisasi merupakan akibat dari pengembangan teknologi yang membuat hubungan komunikasi antar individu dan bahkan komunikasi antar negara menjadi lebih mudah, dan sebaliknya, hal itu mengakibatkan meningkatnya juga aktivitas rutin. Dampaknya bertolak belakang dari berbagai kepentingan yang statis di masa lalu dan berubah pada saat ini sehingga bergerak menuju suatu pengaturan yang bersifat universal untuk memenuhi kebutuhan manusia secara global. 253 Pada praktiknya, meningkatnya penggunaan teknologi akan membawa banyak kejutan yang harus direspon oleh hukum. Dengan kata lain, peningkatan tersebut akan mengakibatkan permasalahan hukum. Hal tersebut terlihat dari paparan sebagai berikut : “This increase of technology utility will bring more surprise which should be responded in the field of law. In another word, it will result in law problems.”254 252 Statement by H.E. DR. R. Marty. M. Natalegawa, Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, at the Seoul Conference on Cyberspace, Seoul, 17 October 2013 253 Lihat Jeane Neltje Saly, Globalization, Law Enforcement and Cyber Crime in National Law System, Indonesia Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights, Jakarta, 2007, hlm. 18 254 Ibid. 106 JURNAL OPINIO JURIS Aturan hukum Vol. 15 Januari-April 2014 yang ada seringkali tidak cukup untuk mengakomodasi kegiatan atau aktivitas pemanfaatan informasi dan teknologi. Misalnya saja, hukum pidana belum mampu menampung kebutuhan akan perlunya alat bukti tindak pidana siber atas tindak pidana yang terkait dengan komputer (computer-related crimes). Permasalahan hukum selalu terkait dengan masalah-masalah lain di luar hukum. Di bidang yang sangat pesat perkembangannya seperti teknologi dan informasi, meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi merupakan salah satu aspek yang mempercepat globalisasi yang kemudian ditandai dengan memudarnya batas-batas antar Negara. Oleh karena itu, untuk mempertahankan agar suatu Negara tetap tertib sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, maka hukum harus berfungsi sebagai pedoman dalam menyeimbangkan kepentingan nasional dan internasional. Internet sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi, memungkinkan para pemakainya melewati batas yurisdiksi negara masing-masing. Masalah yurisdiksi di internet erat kaitannya dengan masalah penegakan hukum di tiap-tiap negara. Sebagai dunia tanpa batas, penerapan yurisdiksi di internet bukan hal yang mudah. Perlu ada kepastian mengenai hukum yang akan diterapkan di dunia tanpa batas 107 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 tersebut. Yurisdiksi suatu negara sebagaimana kita ketahui selama ini, dapat dikembangkan dan dipergunakan di dunia tanpa batas.255 Salah satu yurisdiksi yang terdapat dalam peraturan perundangan atau hukum nasional Indonesia adalah yurisdiksi ekstrateritorial (extraterritorial jurisdiction). Yurisdiksi ekstrateritorial berbicara mengenai kemampuan hukum dari suatu negara untuk melaksanakan kedaulatan/kewenangannya di luar wilayahnya. Pada tataran implementasi, penerapan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial tentu akan menemui sejumlah hambatan, terutama apabila berhadap-hadapan dengan yurisdiksi Negara lain. Prinsip yurisdiksi ekstrateritorial mungkin tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena suatu negara pada kenyataannya tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di wilayah negara lain walaupun mempunyai yurisdiksi atas suatu perbuatan hukum, subjek/objek hukum, dan kepentingan hukum tertentu. B. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan uraian dalam latar belakang, masalah yang hendak dikaji adalah sebagai berikut : 255 Ayu Putriyanti, Yurisdiksi di Internet/Cyberspace, Media Hukum, Volume IX. No. 2, April-Juni, 2009, hlm. 1 108 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Apakah terdapat kendala dalam penerapan hukum positif khususnya rezim extraterritorial jurisdiction di Indonesia saat ini? C. PENERAPAN PRINSIP EXTRATERRITORIAL JURISDICTION OLEH INDONESIA Yurisdiksi negara untuk mengatur ruang siber meliputi yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, dan yurisdiksi yudikatif pada tataran konseptual dapat diterapkan dalam konteks ekstrateritorial. Pada intinya prinsip-prinsip yurisdiksi tersebut didesain untuk mengatur penentuan yurisdiksi, misalnya dalam hal di mana dan kapan suatu Negara mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum terkait dengan subyek-subyek/masalah-masalah yang bersifat ekstrateritorial. Dalam tataran pembentukan hukum (jurisdiction to prescribe), suatu negara dimungkinkan dan mempunyai kewenangan untuk membuat serta menetapkan yurisdiksi terhadap hal-hal yang bersifat ekstrateritorial. Namun, dalam konteks pemberlakuannya, perlu diuji lebih lanjut apakah akan melanggar kedaulatan negara lain atau tidak. Yurisdiksi negara untuk membentuk hukum yang bersifat ekstrateritorial terdiri dari 3 (tiga) jenis yurisdiksi, yaitu: 1) yurisdiksi atas subjek ektrateritorial saja, misalnya Section 46 Competition Act Kanada yang melarang perjanjian monopoli yang dibuat di luar wilayah Kanada oleh perusahaan-perusahaan Kanada; 2) yurisdiksi atas perorangan secara ekstrateritorial saja, misalnya Section 477.1 the Criminal Code Kanada yang menetapkan pelanggaran di atas kapal Berbendera Kanada 109 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 di laut oleh Warga Negara Kanada maupun orang asing; 3) Yurisdiksi atas perbuatan-perbuatan secara ekstrateritorial oleh aktor/pelaku ekstrateritorial, misalnya the Crimes Against Humanity and War Crimes Act khususnya Sections 6 dan 8 pada pelanggaran di luar wilayah Kanada dan di luar yurisdiksi dari pelaku. 256 Membentuk hukum atau pengaturan yang bersifat ekstrateritorial bukanlah merupakan suatu pelanggaran atau hal yang ilegal dalam hukum internasional. Pada hakikatnya, dasar yang tegas bagi penerapan jurisdiction to prescribe diperlukan untuk menjustifikasi “infringement of sovereignty” atau pelanggaran kedaulatan yang diatur dalam peraturan atas ruang siber misalnya konten internet. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam opininya dalam Kasus Lotus (Lotus Case), bahwa suatu negara tidak boleh melaksanakan kedaulatannya dalam bentuk apapun di dalam wilayah negara lain dan yurisdiksi tidak dapat dilakukan oleh negara tersebut di luar wilayahnya kecuali dengan suatu aturan yang memperbolehkannya yang diperoleh dari kebiasaan internasional atau dari suatu konvensi. 257 Pada hakikatnya, permasalahan baru ada ketika negara menegakkan atau melaksanakan hukumnya secara ekstrateritorial. 256 Lihat Steve Coughlan, et.al, Global Reach, Local Grasp: Constructing Extraterritorial Jurisdiction in the Age of Globalization, Dalhousie Law School, Prepared for the Law Commission of Canada, 2006, hlm.15 257 Lihat Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana University School of Law, Digital Repository @Maurer Law, Indiana Journal of Global Legal Studies, Volume 2, Issue 2, 2003, hlm. 229 110 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Apabila suatu negara tidak menegakkan atau melaksanakan hukum yang telah ditetapkannya tersebut maka sebenarnya secara praktis hal itu tidak akan menimbulkan persoalan. Namun akan sangat tidak bijak apabila suatu negara tidak mampu memetakan yurisdiksi preskriptifnya (prescriptive jurisdiction) secara ekstrateritorial, misalnya dengan melihat di mana Indonesia berniat dan mempunyai potensi serta kapasitas untuk melakukan penegakan hukum terhadap hukum yang telah Indonesia tetapkan. Dalam hal ini kriteria yang diberikan oleh Mahkamah Internasional dalam menerapkan yuridiksi negara secara ekstrateritorial terhadap negara lain adalah adanya: 1) permissive rule yang berasal dari kebiasaan internasional (international costumary law); dan 2) permissive rule yang berasal dari suatu konvensi. Pada konteks pelaksanaannya oleh Indonesia, pembentukan rezim ekstrateritorial khususnya dalam hukum siber terdapat pada Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagai berikut: “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”258 258 Lihat Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 111 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Pada penjelasan Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.259 Dalam tataran pembentukan hukum (jurisdiction to prescribe), Indonesia tentu mempunyai kewenangan untuk membuat serta menetapkan yurisdiksi terhadap hal-hal yang bersifat ekstrateritorial dalam hukum sibernya. Namun, tentu saja masih belum jelas dalam konteks penegakannya karena perlu diuji lebih lanjut apakah akan melanggar kedaulatan negara lain atau tidak. Selain itu, permasalahan baru muncul ketika Indonesia berniat untuk menegakkan atau melaksanakan Pasal 2 UU ITE tersebut secara ekstrateritorial terhadap Negara lain. Penegakan secara unilateral oleh Indonesia dapat dipastikan akan mengalami hambatan ketika berhadaphadapan dengan yurisdiksi negara yang lain. Oleh karena itu, penegakan 259 Lihat Penjelasan Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 112 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Pasal 2 UU ITE terhadap wilayah negara lain ataupun di luar wilayah Indonesia tersebut dirasa akan sangat lemah. Untuk itu, dalam tataran proses pembentukan, Pasal 2 UU ITE ini sebenarnya belum selesai dikonstruksikan legislasinya oleh Indonesia. Hal ini karena Pasal 2 UU ITE membutuhkan pembentukan suatu rezim hukum baru agar dapat berlaku secara efektif. Sesuai dengan Pendapat Hukum Mahkamah Internasional dalam Kasus Lotus (Lotus Case), rezim hukum baru yang dimaksud di sini adalah hukum kebiasaan internasional (international customary law) dan konvensi ataupun perjanjian internasional. Dalam rangka mengatasi hambatan yurisdksi dalam penegakan Pasal 2 UU ITE tersebut, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadakan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian internasional atau bentuk lain dengan negara (perjanjian bilateral) atau negara-negara lain (perjanjian regional dan multilateral) lingkup ruang siber. Kerja sama internasional tersebut juga dapat dilakukan dalam bentuk perumusan norma-norma atau prinsip-prinsip internasional yang nantinya dapat berfungsi sebagai international customary law. Gagasan mengenai kerja sama internasional ini sekali lagi secara tegas dinyatakan oleh Marty Natalegawa di Seoul Conference on Cyberspace, Seoul, pada tanggal 17 Oktober 2013, sebagai berikut: “We need to establish a global arrangement through which the cyberspace contributes to addressing the challanges of our time, such as poverty, climate change, armed conflicts, corruption and natural disasters. We must, therefore, develop and promote cyberspace principles and norms that will support and sustain development. That will bring common progress 113 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 instead of marginalization of world citizens. That will promote democracy and tolerance instead of extremism and hatred. And that will strenghten cooperation and collaboration instead of confrontation and rivalry. In this regard, Indonesia believes such norms and principles must be developed through the United Nations.”260 Menurut Jonathan Zittrain261, dalam menjawab pertanyaan dalam wawancara secara online dengan penulis mengenai kemungkinan pengembangan/pembentukan rezim yurisdiksi ektrateritorial untuk menegakkan hukum siber dari satu negara terhadap negara lain dengan menggunakan perjanjian internasional, Zittrain menyatakan bahwa hal tersebut mungkin dilakukan, namun hal tersebut akan sangat lambat prosesnya karena berbagai kepentingan politis. Zittrain memberikan contoh Rusia yang mempunyai maksud untuk memiliki suatu kerangka hukum untuk menyerahkan informasi hasil identifikasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana siber dari wilayahnya, atau bahkan mungkin mempertimbangkan opsi ekstradisi, namun tentu Pihak Rusia menginginkan hal yang sama dari negara lain, misalnya Amerika Serikat, dan pengertian mengenai tindak pidana antara satu negara dengan negara lain akan sangat berbeda. Idealnya, kita dapat memikirkan opsi 260 Marty Natalegawa, op.cit. 261 Jonathan L. Zittrain adalah seorang Profesor Hukum di Harvard Law School dan Kennedy School of Government, Profesor Ilmu Komputer di Harvard School of Engineering dan Ilmu Pengetahuan Terapan Harvard, dan co-founder dari Berkman Center for Internet & Society. Minat penelitiannya di bidang penguasaan properti digital dan konten, kriptografi, privasi elektronik, peran perantara dalam arsitektur internet, komputasi manusia, serta penyebaran teknologi yang berguna dan tidak mengganggu dalam pendidikan. 114 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 lain seperti membuat sistem finansial perbankan kita menjadi lebih kuat, sehingga tingkat kriminalitas dapat diturunkan, atau dampak dari tindak pidana tersebut tidak terlalu besar. Akan lebih mudah misalnya mengatur dan memverifikasi rating dari kredit seseorang.262 Lebih lanjut Zittrain menyampaikan bahwa dalam membentuk suatu perjanjian internasional dalam hukum siber, masalah akan muncul dari hal-hal yang detail yang perlu diatur. Zittrain dapat melihat adanya kemungkinan pembentukan rezim internasional dalam bentuk perjanjian internasional seperti ektradisi dan lain sebagainya, namun sulit untuk membayangkan penerapan perjanjian internasional dan memberlakukan ekstradisi untuk semua hal. Zittrain menyatakan bahwa hal tersebut hanya dapat dimungkinkan untuk kasus-kasus prioritas saja. Selanjutnya disampaikan bahwa kebijakan akan tergantung dari bentuk persoalannya, apakah sesuatu yang akan berdampak besar, di mana sejumlah penuntutan akan membuat perubahan besar (where a few wellplaced prosecutions can make a dent), ataukah hanya upaya yang tidak 262 Hasil wawancara secara online dengan Prof. Jonathan L. Zittrain pada tanggal 23 Juli 2013 melalui sebuah thread di Facebook.com yang disponsori oleh Berkman Center for Internet & Society, Harvard University. Pada kesempatan tersebut Jonathan Zittrain akan menjawab pertanyaanpertanyaan seputar cyber security dan Internet governance secara real time dari para penanya termasuk pertanyaan penulis. Dapat diakses melalui https://www.facebook.com/BerkmanCenter. Question : What about in matters related to cyber crime such as hacking, carding, etc? Do you think it’s possible to use extraterritorial jurisdiction to adjudicate the person from other state? And can we combine it with extradition treaty bilaterally to make it enforcable? Answer : Possible, just that the gears turn slowly. The Russians, for example, may be game to have a framework for turning over identifiying information of those engaging in internet-based crime from their turf, or even extradition, but they’ll want the same from, say, the US—and qour definitions of crime may vary greatly. Ideally, we could have financial systems be more resilient, so that the crime level dreps overall, or the impact of crime is felt less harshly. It should be easier to manage and verify one’s credit rating, for example. 115 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 menimbulkan efek perubahan besar (more like fish in the ocean). Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan pelanggaran/tindak pidana yang akan diatur.263 Dapat disimpulkan dari pendapat Zittrain di atas bahwa pada prinsipnya terdapat kemungkinan pembentukan rezim yurisdiksi ekstrateritorial dalam hukum siber melalui perjanjian internasional, namun masalah yang akan dihadapi adalah pengaturan-pengaturan yang bersifat detail di dalamnya termasuk penentuan pelanggaran/tindak pidana yang akan diatur. Dalam rangka penentuan pengaturan detail terkait apa-apa saja yang hendak diatur dalam suatu perjanjian internasional baik bilateral maupun internasional dan internasional sebenarnya dapat mengacu pada perjanjian internasional atau konvensi yang telah ada untuk dijadikan sebagai patokan. Terkait dengan penentuan pelanggaran yang akan diatur, Convention on Cybercrime 2001 telah menentukan sebagai berikut: 263 Ibid. Question : so, you would suggest pre-emptive and preventive action by technical arrangements on this particular matters? Say Indonesia, Malaysia, and Singapore both has the same rules and principles on extraterritorial jurisdiction to prosecute internet-based crime, the only obstacle is the sovereignty of each sountry to willingly hand over the offender. I think it’ll be the best way if somehow these countries have their own extradition treaty that include internet based crime to possibly enforce the extraterritorial jurisdiction considering there’s no international regime regarding this matter. Answer: The devil will be in details—I could see something working here, but it’s hard to imagine invoking the treaty and performing an extradition for all but the most high priority defendants. So the wisdom of this will depend, in part, by a sense of the shape of the problem: is it something that’s kingpin-heavy, where a few well-placed prosecutions can make a dent, or more like fish on the ocean. Definining the problem will be a first step: is it DDOS, identity theft,....? 116 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 “whereas, the Council of Europe in Convention on Cybercrime has devided the types of cybercrime into some classifications as follow: 1) illegal access; 2) illegal interception; 3) data interference; 4) system interference; 5) misuse of devices; 6) computer-related forgery; 7) computer-related fraud; offences related to child pornography; 8) offences related to infringements of copyright and related rights.”264 Selain itu, dalam tataran legislasi, Convention on Cybercrime 2001 menawarkan langkah-langkah kebijakan kriminalisasi hukum pidana (substantive criminal law measure), hukum acara (procedural law), dan tentunya kerja sama internasional (international cooperation) yang dapat juga diikuti dalam pembentukan hukum siber. Langkah-langkah kebijakan kriminalisasi pidana (substantive criminal law measure) yang diatur meliputi pelanggaran terhadap kerahasiaan atau privasi (offences against the confidentiality), integritas dan ketersediaan sistem serta data komputer (misalnya akses ilegal, intersepsi ilegal, data interference, dan penyalahgunaan komputer), computer-related offences (seperti computer-related forgery dan computer-related fraud), contentrelated offences (seperti pornografi anak), dan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.265 264 Ahmad M. Ramli, The Urgency of Ratification of Convention on Cybercrime, Indonesia Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights, Jakarta, 2007, hlm. 2 265 Global Project on Cybercrime, The Cybercrime Legislation of Commonwealth States: Use of the Budapest Convention and Commonwealth Model Law, Council of Europe contribution to the Commonwealth Working Group on Cybercrime, Data Protection and Cybercrime Division, 2013, hlm. 79 117 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Hukum acara atau prosedur untuk menegakkan hukum pidana seperti langkah-langkah yang lebih efektif untuk melakukan investigasi atau penyelidikan tindak pidana siber yang meliputi expedited preservation of stored computer data, pengungkapan arus data secara parsial, production orders, penggeledahan dan penyitaan data komputer yang disimpan, penyadapan secara real-time terhadap arus data dan konten. Langkahlangkah prosedural tersebut dapat diaplikasikan terhadap perbuatan yang dilakukan dengan sistem komputer, dan pengumpulan alat bukti (proses penyidikan) secara umum, serta kondisi dan pengaturan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse of powers).266 Bentuk kerja sama internasional yang ditentukan dalam Convention on Cybercrime 2001 meliputi prinsip-prinsip umum (general principles) seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, informasi sukarela (spontaneous information) dan langkah-langkah tertentu seperti akses terhadap trans-border data komputer yang tersimpan, bantuan timbal balik terhadap pengumpulan arus data secara real time, bantuan timbal balik terhadap penyadapan data konten, point of contact selama 24 jam dalam 7 hari, dan lain sebagainya.267 Dari paparan-paparan tersebut di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa terdapat banyak manfaat dari keikutsertaan suatu 266 Ibid., hlm. 79-80 267 Ibid, hlm. 80 118 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 negara dalam konvensi tersebut. Bagi Indonesia, tentu saja urgensi untuk ikut serta dan melakukan aksesi terhadap Convention on Cybercrime 2001 dilakukan agar nantinya Pasal 2 UU ITE yang mengatur mengenai prinsip ekstrateritorial dapat dijalankan secara efektif. Namun, untuk mengaksesi Convention on Cybercrime 2001, suatu negara harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak pidana siber dalam hukum nasionalnya dengan konvensi tersebut. Untuk itu, Pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang Undang tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana siber, mengingat masih ada tindak pidana yang tidak tercakup dalam UU ITE. Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya bahwa pembentukan prinsip ekstrateritorial digunakan untuk mengontrol atau mempengaruhi tingkah laku negara-negara lain. Dalam kaitan ini, langkah-langkah didesain sedemikian rupa untuk memberikan jangkauan secara ekstrateritorial dengan mempengaruhi tindakan-tindakan dari negara-negara lain. Tindakan untuk mengontrol atau mempengaruhi tingkah laku negara-negara lain ini juga dilakukan oleh Dewan Eropa sebagai penggagas dari Convention on Cybercrime 2001. Hal ini terlihat dari “persuasive power” dari konvensi tersebut yang menyaratkan bahwa untuk mengaksesi Konvensi Dewan Eropa 2001 tersebut, suatu negara terlebih dahulu harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak pidana siber dalam hukum nasionalnya dengan konvensi tersebut. Tentu saja, untuk ikut serta dalam konvensi ini, Indonesia “dipaksa” untuk mematuhi dan 119 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 menyesuaikan norma-norma/aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam konvensi tersebut. Dalam hal ini, walaupun konvensi tersebut bersifat terbuka, konvensi yang dihasilkan dari bentuk paham regionalisme atau kawasan tertentu cenderung akan mendapatkan resistensi khususnya dari negaranegara dari kawasan yang berbeda. Sehingga suatu keniscayaan bahwa konvensi yang dapat diterima oleh semua kalangan adalah konvensi/traktat/perjanjian internasional yang dihasilkan oleh forum multilateral atau dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di tingkat multilateral atau PBB sendiri, Indonesia bersama Brazil dan Jerman sedang memperkenalkan suatu resolusi yang diberi nama UN Resolution on the Right to Privacy in the Digital Age. Upaya ini dilakukan untuk menegaskan peran PBB dalam merespon merebaknya tindak penyadapan dan mata-mata melalui internet dan telekomunikasi oleh Amerika Serikat yang dibeberkan oleh Edward Snowden. Rancangan resolusi PBB tersebut pada intinya mengajak negaranegara Anggota PBB untuk : 1) menghormati dan melindungi hak privasi, termasuk dalam konteks komunikasi digital; 2) untuk mengambil langkah-langkah terukur dalam mengakhiri pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersebut dan menciptakan kondisi-kondisi untuk mencegah pelanggaran tersebut, termasuk menjamin aturan-aturan nasional sesuai dengan kewajibannya sesuai dengan Hukum Internasional mengenai HAM; 3) mereview prosedur, praktik, dan legislasi terkait pengawasan terhadap komunikasi, intersepsi dan 120 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 pengumpulan data secara personal, termasuk pengawasan komunikasi secara masal, memperhatikan penyadapan penghormatan dan pengumpulan terhadap hak-hak data dengan privasi dengan menjamin implementasi dari seluruh kewajibannya pada hukum internasional tentang HAM; 4) membentuk atau mempertahankan mekanisme internal yang mandiri dan efektif dalam menjamin transparansi dan akuntabilitas bagi pengawasan komunikasi oleh negara, serta penyadapan dan pengumpulan data personal/individu yang dilakukan oleh negara. 268 Untuk itu, selain melakukan harmoniasi hukum nasional terhadap Convention on Cybercrime 2001, perlu kiranya dipikirkan alternatif lain bagi pembentukan rezim internasional dalam rangka penerapan prinsip ekstrateritorial. Alternatif lain yang perlu dipertimbangkan pada konteks pembentukan hukum siber adalah pembentukan norma-norma dan prinsip-prinsip tingkah laku dalam bentuk international customary law. Dalam hal ini, ASEAN melalui mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF) sebagai suatu forum dialog dan konsultasi di bidang politik dan keamanan di kawasan sudah mulai membahas isu-isu yang terkait dengan keamanan siber dan membentuk work plan on cyber security. Diharapkan pembentukan work plan on cyber security tersebut pada akhirnya akan melahirkan suatu rezim internasional dalam waktu dekat sehingga Anggota ARF dan wilayahnya akan memiliki soft law sendiri 268 UN Draft Resolution A/C.3/68/L.45/Rev.1 tanggal 20 November 2013, hlm. 2-3 121 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 yang berkaitan dengan masa depan internet dan keamanan siber. Hasil dari ARF dapat berupa resolutions, declarations, statements, principles, objectives, declarations of principles, guidelines, standards, or action plans dan memiliki morally binding power bagi Negara-Negara Anggota ARF. Selanjutnya, alternatif lain dalam membentuk rezim internasional untuk dapat menerapkan dan memberlakukan Pasal 2 UU ITE secara efektif adalah dengan mekanisme pembentukan perjanjian bilateral. Dalam hal ini perjanjian bilateral tersebut dapat mengatur 3 (tiga) kewenangan secara ekstrateritorial, yaitu: 1) bantuan timbal balik dan kerja sama terhadap bidang-bidang tertentu secara ekstrateritorial, sebagai contoh dari perjanjian ini adalah bantuan hukum timbal balik; 2) kewenangan ekstrateritorial secara resiprokal, misalnya operasi gabungan antar dua negara; 3) kewenangan ekstrateritorial secara bersama, misalnya dalam bentuk pendirian komisi bersama serta pendirian liason office dan liasion officer. Contoh perjanjian bilateral yang mengatur ketiga kewenangan secara ekstrateritorial seperti tersebut di atas adalah Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of Australia on Combating Transnational Crime and Developing Police Cooperation Tahun 2008 (MoU 2008) dan Arrangement between The Indonesian National Police and The Australian Federal Police on Cooperation in Preventing and Combating Transnational Crime Tahun 2011 (Arrangement 2011) di bawah kerangka kerja sama Lombok Treaty. 122 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Kedua perjanjian tersebut merupakan perjanjian pelaksana dari Agreement between The Republic of Indonesia and Australia on The Framework for Security Cooperation, yang disebut dengan Perjanjian Lombok atau Lombok Treaty. Lombok Treaty telah disahkan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia Tentang Kerangka Kerja Sama Keamanan (Agreement between The Republic of Indonesia and Australia on The Frameworkfor Security Cooperation). Salah satu lingkup kerja sama prioritas yang diatur baik oleh MoU 2008 maupun Arrangement 2011 adalah tindak pidana siber. Hal ini terlihat dari Paragraph 6 MoU 2008 sebagai berikut: “Paragraph 6 MoU: Priority Crime Types, Priority criminal issues under this MoU will include but are not limited to: 1) terrorism; 2) illicit trafficking in narcotics drugs and psychotropic substances and their precursors; 3) people smuggling and trafficking in persons; 4) transnational child exploitation; 5) money laundring and proceeds of crime action; 6) cyber crimes; 7) arms smuggling; 8) transnational economic crimes; 9) corruption; 10) environmental crime; 11) illegal fishing; 12) intellectual property crime; 13) identity crime; 14) sea piracy; and 15) other types of crime if deemed necessary by both Parties.”269 Dan diatur juga pada Paragraph 3 Arrangement 2011, sebagai berikut: “Paragraph 3: Scope of Cooperation, The Participants will cooperate in: Preventing and combating transnational crimes, in particular acts relating to: 269 Lihat Paragraph 6 MoU: Priority Crime Types, Memorandum Of Understanding Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The Government Of Australia On Combating Transnational Crime And Developing Police Cooperation Tahun 2008 123 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 terrorism, people smuggling, trafficking in persons, money laundering, corruption, illegal fishing, illegal mining, illegal logging, cyber crimes, child exploitation, economic crime, intellectual property crime, illicit trafficking in narcotic drugs and psychotropic substances and their precursors, illicit trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous materials and the illegal production thereof other types of crimes if deemed necessary by both Participants.”270 Kedua perjanjian tersebut baik MoU 2008 maupun Arrangement 2011 mengatur baik mengenai bantuan timbal balik dan kerja sama terhadap bidang-bidang tertentu secara ekstrateritorial, kewenangan ekstrateritorial secara resiprokal, dan kewenangan ekstrateritorial secara bersama. Sebagai contoh baik MoU 2008 maupun Arrangement 2011 mengatur mengenai bentuk-bentuk kerja sama yang bersifat ekstrateritorial, yaitu: 1) kerja sama dan koordinasi operasi dan intelijen serta pertukaran informasi untuk keperluan penegakan hukum; 2) operasi bersama (joint operational activities); 3) pembentukan atau penempatan Liason Offices dan/atau Liason Officers di kedua Negara; 4) pengembangan kapasitas seperti peningkatan kapasitas institusional, organisasi, sumber daya manusia, dan peralatan.271 Terkait dengan pembentukan atau penempatan Liason Offices dan/atau Liason Officers di kedua negara, hal ini telah direalisasikan 270 Lihat Paragraph 3: Scope of Cooperation, Arrangement Between The Indonesian National Police And The Australian Federal Police On Cooperation In Preventing And Combating Transnational Crime Tahun 2011 271 Lihat Paragraph 4 MoU 2008 dan Paragraph 4 Arrangement 2011 124 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 dengan pembentukan The Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di Semarang tahun 2004 . Dalam pelaksanaannya, JCLEC akan berkerja sama dengan dengan badan-badan lain seperti the South East Asian Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT) di Kuala Lumpur, Malaysia dan International Law Enforcement Academy (ILEA) di Bangkok, Thailand.272 KESIMPULAN Berdasarkan pada penjelasan bab-bab sebelumnya dapat ditarik suatu simpulan, yaitu: Dalam penerapan hukum positif di Indonesia saat ini khususnya Pasal 2 UU ITE tersebut secara ekstrateritorial terhadap negara lain dapat dipastikan akan mengalami hambatan ketika berhadap-hadapan dengan yurisdiksi negara yang lain tersebut. Hal ini dikarenakan dalam tataran proses pembentukan, Pasal 2 UU ITE ini sebenarnya belum selesai dikonstruksikan legislasinya oleh Indonesia. Hal ini karena Pasal 2 UU ITE membutuhkan pembentukan suatu rezim hukum baru secara internasional agar dapat berlaku secara efektif. Dalam rangka mengatasi hambatan yurisdksi untuk melaksanakan Pasal 2 UU ITE tersebut, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadakan 272 http://www.jclec.com/index.php?option=com_content&task=view&id=14&Itemid=28, diakes tanggal 16 Desember 2013 125 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian internasional atau bentuk lain dengan negara lain (perjanjian bilateral) atau negara-negara lain (perjanjian regional dan multilateral). Kerja sama internasional tersebut juga dapat dilakukan dalam bentuk perumusan norma-norma atau prinsip-prinsip internasional yang nantinya dapat dianggap sebagai international customary law. 126 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 THE JUDICIAL EXPANSIVE ATTITUDE TOWARDS PUBLIC POLICY IN ENFORCEMENT OF FOREIGN ARBITRAL AWARDS IN INDONESIA Mahmudin Nur Al-Gozaly Abstrak Penggunaan konsep “kebijakan publik” oleh peradilan nasional sebagai landasan untuk menolak eksekusi keputusan arbitrase asing menyisakan persoalan dalam sistem peradilan Indonesia. Peradilan Indonesia diketahui telah beberapa kali menolak pelaksanaan keputusan arbitrase asing dengan dasar konsep “kebijakan publik”. Artikel ini menganalisis apakah peradilan nasional Indonesia telah berhasil membangun penalaran hukum yang cukup dan konsisten dengan ketentuan United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitral Awards (Konvensi New York). Namun demikian, konsep “kebijakan publik” menurut Konvensi New York telah menimbulkan interpretasi yang beragam. Kenyataan, bahwa Indonesia belum memiliki hukum dan regulasi nasional yang khusus mengatur penegakan keputusan arbitrase asing di Indonesia, menyebabkan keleluasaan bagi peradilan nasional untuk menafsirkan konsep “kebijakan publik” dan karenanya semakin menambah keyakinan adanya resistensi peradilan nasional terhadap arbitrase internasional. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa peradilan Indonesia yang menolak penegakan keputusan arbitrase asing telah menerapkan konsep kebijakan publik dalam arti yang sangat luas. Selain itu, konsep tersebut juga sering digunakan secara bergantian dengan konsep pemeliharaan "ketertiban umum" dan perlindungan "kepentingan publik" bagi Negara. Kata kunci: kebijakan publik, peradilan Indonesia, putusan arbitrase asing, Konvensi New York 127 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 A. INTRODUCTION Despite a signatory Party to the 1958 United Nations (UN) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (also known as the New York Convention), Indonesia has been accused of being unfriendly to foreign arbitration.273 One of the reasons is that an international arbitration might be time consuming when it comes to enforcing due to prevailing long procedures. Further, some of arbitral awards were found to have been overturned by the Indonesian court, raising concerns about the certainty and finality of enforcement of the arbitral awards in the country. A study has pointed out that six out of 29 foreign arbitral decisions were annulled by the central Jakarta district court for particular reasons (to be discussed below).274 Yet, the rejection of foreign arbitration is actually allowed by the Convention for a number of possible rationales, one of which is a condition where such a foreign award would clearly contradict the public policy, regulated by national laws.275 However, the public policy has yet to be comprehensively specified in the currently related Indonesia’s arbitration laws, in particular the Law No. 30 of 1999 on Arbitration and 273 Hukum Online, “Indonesia is Unfriendly to International Arbitration”, 27 April 2011 <http://en.hukumonline.com/pages/lt4db81f2f12c73/indonesia-is-unfriendly-to-internationalarbitration>, retrieved on 19 January 2013. 274 Ibid. 275 Article V (2) b of the New York Convention. 128 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Alternative Dispute Resolution (hereinafter referred to as the Arbitration Law),276 which in turn has brought about the domestic legal uncertainty in the enforcement of international arbitration.277 The adoption of national public policy exception to alien arbitral awards’ enforcement in Indonesia, mainly like in many other developing countries,278 has shown to be what is known as “a very unruly horse”,279 which has made it difficult for a winning party to enforce international awards. In fact, some internal decisions showed that judges often relied on “public interests” as enumerated in the state’s national directive principle in the Preamble of the 1945 Constitution280—the terminology that is not similar to the term “public policy” embodied in the Convention. 276 See Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution in Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) Law Firm, “Arbitration in Indonesia: Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution, (HHP, 2011) <http://www. hhp.co.id/files/Uploads/Documents/Type%202/HHP/br_hhp_arbitrationindonesia>, retrieved on 19 January 2013. 277 See Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia and Other Issues of Judicial Involvement in Arbitration”, presented in the Inaugural International Conference on Arbitration of the Malaysia Branch of the Chartered Institute of Arbitratiors in Kuala Lumpur, 1 March 2003 (Karimsyah Lawfirm Jakarta, 2003) 8 <http://www.arbitralwomen.org/files/publication/4310102632224>, retrieved on 5 January 2013. 278 See generally Nandang Sutrisno, Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Developed and Developing Countries: A Comparison of the US and Indonesia, Thesis, (Institute of Comparative Law – MacGill University, 1993). 279 In Richardson v. Mellish, 2 Bing 229 (1824), Judge Burrough underlined that public policy is “a very unruly horse, and when once you get astride it you never know where it will carry you.” See Dharmendra Rautray, ‘The Public Policy Hurdle to Enforcement of Foreign Awards in India’ (2012) 66(4) ADR News 16, 16. 280 “…protect all the people of Indonesia and all the independence and the land that has been struggled for, and to improve public welfare, to educate the life of the people and to participate toward the establishment of a world order based on freedom, perpetual peace and social justice….” See Preamble to the 1945 Constitution. 129 JURNAL OPINIO JURIS Moreover, Indonesian Vol. 15 Januari-April 2014 courts appeared to have imposed constraints using the concept of the national interests especially to protect economic goals. For example, the Indonesia’s central district court’s annulment of an award granted by the arbitration panel in Geneva, Switzerland in Karaha Bodas v Pertamina and PLN (hereinafter referred to as Karaha Bodas case) constitutes the municipal court’s affirmation to set aside an international arbitration award using the rationales of economic protectionist ends. But, the award was later overturned by the state’s Supreme Court meaning that the arbitral award was domestically enforceable because arguments taken by the district court were not only poorly reasoned and flawed, but also violated against the Arbitration Law.281 Nevertheless, in addition to the court using the article V (2) b of the New York Convention as a ground for vacating the award that would be in direct violation against the public policy in place, it referred to the Supreme Court’s Regulation No. 1 of 1999 which emphasised that the application of international arbitration awards in Indonesia may apply as long as it does not violate “public order” consistent with all underlying principles of the legal system and society.282 In this respect, on the one hand the court considered rules under the Convention to recognise and 281 Noah Rubins, ‘The Enforcement and Annulment of International Arbitration Awards in Indonesia’ (2005) 20(2) American University International Law Review 359, 384-393. 282 See the Decision of Pertamina vs Karaha Bodas, No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST <http://www.lfip.org/lawe506/documents/session14/e506kbjakartadctfinal.doc> 26-8. 130 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 enforce the foreign arbitral award, and on the other hand, it relied upon the national arbitration laws to resist the enforcement of such an award. In fact, the Arbitration Law does not specify public policy pertaining to annulment aspects; it merely provides public policy in terms of enforcement actions.283 In this regard, the court seemed to have confused between the proceeding before it with regard to recognition and enforcement and to the overruling procedures under the Arbitration Law.284 A general picture of the use of public policy by Indonesian court in relation to the recognition and enforcement of foreign arbitral awards can be seen through their attitude towards foreign arbitral awards. In the judgment of the Supreme Court in E. D. & F.MAN (Sugar) Limited v. Yani Haryanro, for instance, the court enforced the arbitral award between those parties considering that it was in line with the public policy.285 However, it has been annotated that the court did not provide sufficient reasoning on the scope of public policy.286 Nonetheless, contravening Indonesian regulation with regard to the need of the people might be included in the public policy. In the Judgment of the Central District Court No. 499/PdtlGIVII1988 in 1989, the court invalidated a private contract between an English vendor and an Indonesian sugar buyer 283 Article 66 of the Arbitration Law. 284 Rubins, above n 9, 396-7. 285 See E.D. & F. MAN (Sugar) Limired v. Yani Haryanto No. 1 Pen. Ex·r/Arb.lnt.lPdtlI991, 1 March 1991. 286 Sutrisno, above n 6, 105. 131 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 provided the fact that it contradicted the public policy and a regulation which only authorised Badan Urusan Logistik (Indonesian national agency of procurement) to import sugar to the country.287 Although such a decision did not correlate to the application of foreign arbitral awards, it may have somehow provided how public policy was depicted in the state’s judicial system. Nonetheless, the status of enforceability of foreign arbitral awards in Indonesia might remain unclear and perceived to be unable to deal with constraints of the application of alien arbitration awards, despite the fact that it has ratified the New York Convention, promulgated the implementing regulation and enacted the Arbitration Law. The Indonesian central district court’s reluctance to enforce the award based its decision on a more widely defined ‘public policy’ including ‘public interests’ and ‘public order’. The existence of the various use of exception indicates that it has yet to specify public policy as may be stipulated in the Convention.288 Therefore, such an absence (or imprecise definition) of necessary public policy regulation or measures may pertain to the fact that Indonesian judiciary uses a dualist approach in the face of foreign arbitration. It adheres to the New York Convention in terms of recognition and enforcement of foreign arbitral awards, but on the other 287 Ibid. 288 Ibid 108. 132 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 hand it strictly applies domestic broad notion of public policy to set aside foreign arbitration awards without properly adherence to the Convention.289 It can be said that in spite of having incorporated the Convention into the Indonesian legal regime through a Presidential Decree No. 34 of 1981, Indonesian judiciary, in practice, have often defined public policy according to national enactment rather than international laws with regard to denial of foreign arbitral awards. The full obedience to the rules under the treaty has not always been reflected in practice.290 In fact, both the absence of implementing regulations and the tendency to rely upon national laws instead of international values have been conceived as adding to the major flaw of the applicability of foreign arbitral awards.291 The aforementioned ambivalence and lack of implementing regulations pertaining to the enforceability of foreign arbitral awards in Indonesia have actually become the Indonesian judicial hostility to international arbitration. The fact that Indonesia has integrated the Convention into its legal system through ratification should make the application of alien arbitral awards possible. In practice, with reference to the national view of public policy, there will be justifications for refusing 289 Gennady M Danilenko, ‘Implementation of International Law in CIS States: Theory and Practice’ (1999) 10 European Journal of International Law (EJIL) < http://ejil.oxfordjournals.org/content/10/1/51.full.pdf+html>, 1-2. 290 Ibid. 291 Fifi Junita, ‘Experience of Practical Problems of Foreign Arbitral Awards Enforcement in Indonesia’ (2008) 5 Macquarie J. Bus. L. 369, 378. 133 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 the enforcement of foreign awards. Yet, a concern can be raised as to whether a national legal concept of public policy does not contravene the ‘doctrine’ of public policy under international law. The International Law Association (ILA) has formulated the “international standard” of public policy defence purporting to provide for a restrict method of determining public policy constraints.292 Nonetheless, if international setting of public policy basically emanates from restrictive approach of national public policy, the applicability of global public policy will mostly be determined by national law rather than international law.293 In fact, some have argued that international public policy in relation to foreign arbitral awards enforcement basically relies upon national law, where national courts may have the most significant roles in making the enforcement possible.294 In addition, the scope of public policy exception as stipulated in the article V (2) b of the Convention has been discerned to be vague. 295 Such a definitional vagueness will then lead to creating possible challenges to the certainty and finality of a foreign award as each state 292 See International Law Association, “Resolution of the ILA on Public Policy as Bar to Enforcement of International Arbitral Awards”, (ILA, 2002) <http://www.epublications.bond.edu.au/context/theses/article/1023/index/2/type/native/viewc ontent>, retrieved on 20 January 2013. 293 Junita, above n 19, 385. 294 See United Nations Conference on Trade and Development, “Dispute Settlement, International Commercial Arbitration” (UNCTAD, 2005) <http://unctad.org/en/Docs/edmmisc232add38_en.pdf > 38-9, retrieved on 5 January 2013. 295 Allen B. Green and Josh Weiss, ‘Public Policy and International Arbitration in the European Union’ (2011) 2 American Review of International Arbitration 661, 662. 134 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 party will have its own international public policy framework. In the currently global economy and competition, despite the presence of emerging regional and global cooperation, every state will remain focusing on promoting and protecting its own national interests.296 Consequently, there is always a possibility for overuse of public policy exception by various countries with their respective legal stance. Therefore, enforcing state parties are likely to abuse the public policy defence. In fact, the adoption of a broad notion of the public policy exception has been reported to be exaggerated.297 In the Indonesian context, the use of public policy exception by the court not only has been criticised as exaggerating but also as out of the principle of fundamentality, which often put it into intervention to international commercial arbitration.298 Further, opposing a foreign valid arbitral award by putting the public policy exception in place would undermine the valuable tenet of arbitration legal regime. Loosing parties are enabled to make use of the opportunity to challenge an arbitrage award so it is likely to threaten the essential advantages of arbitration including flexibility, reduced cost, speedy process, privacy, a neutral form and a definite 296 Ibid 613. 297 Karen E. Minehan, ‘The Public Policy Exception to the Enforcement of Foreign Judgments: Necessary or Nemesis’ (1996) 18 Loyola of Los Angles International and Comparative Law Review 795, 796. 298 Fifi Junita, ‘Refusing Enforcement of Foreign Arbitral Awards under Article V (2) b of the New York Convention: The Indonesian Perspective’ 2009 2(2) Contemporary Asia Arbitration Journal 301, 312-4. 135 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 choice of law.299 The tenet of fundamentality will then be a more certain basis for a court to adjudicate an international arbitral award brought into it, adding that an award merely not in line with a country's public policy may not necessarily justify annulment, unless it is evidently on the contrary to the national skeleton principle of justice and morality which can be considered justified by international law of public policy.300 Purpose and Scope This paper basically contains concerns about the Indonesia judiciary’s stance of public policy defence and thus seeks to assess whether Indonesian court’s interpretation with particular reference to foreign arbitration awards enforcement comply with the article V (2) b of the Convention. Bearing in mind that the Convention leaves much discretionary power of enforcement of alien arbitrage awards to the rule of procedure of the territory where such awards adhere to,301 this paper also elaborates rule of enforcement procedure regulated in the prevailing Indonesian arbitration laws, including the Arbitration Law, purporting to assess it on the basis of international fundamentality principles of public policy. Additionally, few Indonesian cases concerned will be discussed in order to analyse how Indonesian judicial practices establish public policy 299 Andrew T. Guzman, ‘Arbitrator Liability: Reconciling Arbitration and Mandatory Rules’ (2000) 49 DUKE Law Journal 1279, 1284-8; Green and Weiss, above n 23, 615. 300 Junita, above n 26, 312-3. 301 Article III of the New York Convention. 136 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 exception as one of the reflections of the right of the state and its judiciary to exercise its fundamental control over foreign arbitral proceedings. The fact that Indonesia’s arbitration has been said to be still finding its way302 is not included in this paper. This research paper focuses thoroughly upon the legal aspect of using the defence ground for opposing awards of foreign arbitration. In other words, it is aimed at analysing the New York Convention, international law of public policy, and Indonesia’s municipal laws with regard to arbitral awards. Yet, discussion in this paper excludes internal arbitration awards; instead, it is confined to the denial of enforcement of foreign arbitration awards. In many literatures, the term “foreign arbitration” has often been confused with “international arbitration”. The two are practically and legally different. While foreign arbitration is basically used to differentiate it from “national arbitration”, international arbitration vests a broad sense of trade of international interests, embracing the borderless movement of goods or money.303 Moreover, according to the United Nations Commission on Trade Law (UNCITRAL) Model Law on International Commercial 302 Mills, above n 5, 34. 303 According to the European tradition, the internationality of arbitration is often linked to at least two conditions: parties involved have distinct nationalities and habitual places of residence, and the seats of the parties. Alan Redfern and Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration (Sweet & Maxwell, 1991) 11-3; J. L. Delvolve, Arbitration in France: The French Law of National and International Arbitration (Kluwer Law and Taxation Publishers, 1982) 82-4. 137 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Arbitration,304 international arbitration is based on criteria if (i) the parties in their arbitration agreement have the places of business in different countries; (ii) either the place of arbitration or any location where a substantial part of the obligations under the arbitration agreement is performed is situated outside the state where the parties have the places of business; (iii) there is an agreement between the parties that the subject of the agreement pertains to more than a country.305 The above distinction, however, may not be satisfactory enough as in practice there may be parties who agree to consider an arbitration agreement to be not national nor international as governed by the UNCITRAL definition. Additionally, even if the parties have come to an arbitration agreement which is deemed “international” or “foreign” arbitration, at the end its finality and certainty will primarily be determined by municipal courts. In this regard, the nationality of arbitration will still take place to a certain extent.306 What is more, the scope of international or foreign arbitration will vary since the national law eventually determines the internationality of arbitration. Therefore, in this paper, the term “foreign arbitration” will be considered similar to the term “international arbitration” in terms of how the award is enforced. The equalisation of the two relates to the fact that 304 The United Nations Commission on International Trade Law adopted UNCITRAL Model Law on 21 June 1985. Until now, Indonesia has yet to adopt the Model Law. 305 Article I (3) of the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. 306 Sutrisno, above n 6, 4-5. 138 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 the fundamental discussed in this paper does not touch on the analyses of internationality aspect of arbitration, but the denial of enforcement “as opposed” to the tenet of “pro-enforcement” valued in the New York Convention. This paper finally finds that public policy as opposed to international arbitral awards execution, both in the context legislation by the Parliament and in enforcement by the court, is much more perceived to be the entire legal system and the Indonesian society commonly known as “public order”. The expansive judicial attitudes towards adoption of public policy exception in Indonesia has been primarily influenced by the generally prevailing rules of civil procedures, namely the Code of Civil Procedures which emphasises that a foreign arbitral award should be treated the same as a ruling of foreign judgement as well as a decision handed in by the Indonesian courts. In fact, grounds for justifying the expansive use of public policy defence (or public order in the context of Indonesia) are often based on a number of legal facts found in courtroom, such as a mistaken contextualisation of mandatory rules of law, contract found invalid substantially (illegality), public interests protection and overlapping of procedural and substantive public policy. 139 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 B. ENFORCEMENT OF FOREIGN ARBITRAL AWARDS UNDER THE NEW YORK CONVENTION 1. Nature of International Commercial Arbitration “Arbitration”, originally from the Latin word “arbitrare” which means the authority to cope with something with wisdom,307 can be defined as a means, alternative to judiciary adjudication, of dispute settlement and problems solving in a speedy and private manner of particularly commercial disputes among business parties,308 by a third party approved.309 The choice of forum of arbitration has been considered the emerging reference for commercial disputes not only because its award is final and binding, but also its proceedings are speedy but not publicised.310 Further, the parties are enabled to choose their arbitrators, opt for the applicable law and place of arbitration, and arbitral procedures that prevail in the proceedings.311 Arbitration is thus conducted outside courtroom where disputants can choose arbitrators as a neutral third 307 D.M. Lawrance, A Treatise on the Law and Practice of Arbitrations and Awards for Surveyors, Valuers, Actioneers and Estate Agents (The Estates Gazette Limited, 1959) 1. 308 Alan Redfern and Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration (Sweet & Maxwell, 4th ed, 2004) 481-2. 309 Martin Domke, The Law and Practice of Commercial Arbitration (Callaghan and Company, 1968) 1. 310 Huala Adolf, “Improving Enforcement of International Arbitral Awards in ASEAN Countries”, presented at the 10th General Assembly of the ASEAN Law Association, 21 October 2009 <www.baniarb.org/pdf/Newsletter8.pdf> 2, retrieved on 20 January 2013. 311 Redfern and Hunter, above n 36, 482. 140 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 party, the choice of law, and place of arbitration, whose award is final and binding. In addition, aware that arbitration is not always linked to commerce, international commercial arbitration has then been deemed the most likely accepted term in a way that could distinguish it from its use in the other contexts of, for example, employment and family arbitration law. This differentiation is very essential, in particular when an arbitration award comes into recognition and enforcement, for in a country that is not party to the Convention, or a party that has reservations, an arbitral award not categorised as commercial disputes cannot be recognised as binding and enforceable.312 2. Enforcement of International/Foreign Arbitral Awards The Convention is a multilateral treaty which basically sets out the international legal regime for the recognition and enforcement of foreign arbitration awards. Two ultimate aims of the Convention are to provide private parties with facilitation for recognition and enforcement of international arbitration agreements as an alternative dispute settlement313 and make their enforcement more possible,314 so that the 312 Sutrisno, above n 6, 7. 313 Susan Choi, ‘Judicial Enforcement of Arbitration Awards under the ICSID and New York Conventions’ (1996) 28 New York University Journal International Law and Politics 175, 187. 314 Green and Weiss, above n 23, 663. 141 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Convention focuses more on the aspect of recognition and enforcement rather than resisting the awards.315 However, the treaty, in principle, allows for the possibility of enforcing states to annul an award granted by arbitration forum as a result of an arbitration agreement. Although the treaty allows a state’s court to oppose foreign award enforcement, its denial proceedings seem to fall outside the scope of the Convention.316 In short, recognition and enforcement of a foreign award constitute a very important part of the whole process of transnational commercial arbitration, especially in determining the success of an international commercial arbitration by means of making an award rendered enforceable,317 fundamentally aimed at fostering judicial order and uniformity in the field of international arbitration.318 The use of “recognition” and “enforcement” of foreign arbitral awards under article I (1) of the Convention has indeed its own certain purposes. Whereas the first pertains to the attitude of accepting or respecting the legal impact of foreign arbitral awards, the later constitutes commitment to carrying out a final award rendered by arbitrators.319 Once a foreign arbitral award is enforced means that it is recognised either 315 Matthias Scherer and Sam Moss, ‘Resisting Enforcement of A Foreign Arbitral Award under the New York Convention’ (2008) 51 Inter-Pacific BAR Association (IPBA) Journal 17, 17. 316 Ibid. 317 Green and Weiss, above n 23, 663-4. 318 Hans Harnik, ‘Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards’ (1983) 31 American Journal Comparative Law 703, 703. 319 Sutrisno, above n 6, 27. 142 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 through full compliance by a losing party or an ordering decision by a municipal court; though, a foreign arbitral award may be recognised to a certain extent but not be enforced for particular reasons.320 Apart from voluntary adherence to an award by the losing party, the certainty, finality and efficacy of foreign arbitration awards, at the end of the day, relies on its enforcement by domestic courts. In particular, when a party is reluctant to abide by a foreign arbitral award, the winning party is entitled to submitting a bid for enforcement to a certainly related municipal court. In this respect, the national judiciary will have to play an essential role in the international arbitration award enforcement. That is why the Convention appears to put a foreign arbitral award in the same line as the decision of a competent domestic court in a way that the judiciary lends their hand to make the award enforceable.321 At least four principles can be identified in the Convention in relation to recognition and enforcement of international arbitration awards. First, the Convention puts the onus on the state parties to commit to recognising and enforcing the awards. Article III of the Convention states that “Each Contracting State shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the award is relied upon, under the conditions laid down 320 See Redfern and Hunter, above n 31, 447-9. 321 Brette L. Steele, ‘Enforcing International Commercial Mediation Agreements as Arbitral Awards under the New York Convention’ (2007) 54(5) UCLA Law Review 1385, 1392-3. 143 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 in the following articles...”.322 Second, regarding a contracting party that has the duty to enforce the awards domestically, the enforcement relies primarily on the rules of procedures under the prevailing national laws.323 Yet, this principle has been criticised as setting a minimum standard for the recognition and enforcement, for the provision appears to put emphasis on the availability, and maybe the favourability, of national laws and courts in complying with the foreign arbitration award.324 Third, even if the nature of binding is not written in the international arbitral award, the treaty recognises such awards as final and binding.325 Fourth, the treaty prevents the double enforcement process of arbitral awards from occurring. The Convention merely enables arbitral awards enforcement in the territory of the state party in which the enforcement is sought. It is stated that “this Convention shall apply to the recognition and enforcement of arbitral awards made in the territory of a state other than the state where the recognition and enforcement of such awards are sought.326 Fifth, to enforce the arbitral awards a winning party is only required handing in two valid burdens of documentation concerned.327 As 322 Article III of the New York Convention. 323 Ibid. 324 Scherer and Moss, above n 42, 17-8. 325 The Convention does not specify whether an arbitration agreement should explicitly state in which binding force of the agreement must be stated. It merely emphasises that an award granted must be recognised as binding by a contracting state. See article II (2) and III of the New York Convention. 326 Article I of the New York Convention. 327 Rene David, Arbitration in International Trade (Kluwer, 1985), 96. 144 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 mentioned in the article IV (1) of the Convention, the party wishing a foreign arbitral award to be enforced “... shall, at the time of the application, supply: (a) The duly authenticated original award or a duly certified copy thereof; (b) The original agreement referred to in article II or a duly certified copy thereof.” 3. Formal, Procedural Conditions for the Request of Enforcement With regard to the procedural requirements, in principle, the party seeking enforcement is obliged to satisfy particular formal and procedural conditions. Further, the winning party has to ensure that at least the documents pursuant to the article IV (1) are supplied. How to certify such a duly copy of an award is not explained in the Convention. In this respect, validation of the certification is determined by the court pursuant to the governing law of the place of arbitration or the law of the place of enforcement, consistent with article IV of the Convention.328 If the foreign arbitral award or the arbitration clause does not use an official language of the country where enforcement is sought, pursuant to article IV (2), the seeking party must fulfil a duly certified translation or a translation by a sworn translator. In certain countries, particular additional requirements are put in place for the enforcement of foreign arbitral awards. In the Philippines, for instance, a party that seeks arbitral 328 Albert Jan van den Berg, The New York Arbitration Convention of 1958 (Kluwer, 1981), 252. 145 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 awards enforcement is required to supply a clear and explicit burden of proving, consisting of the forms and solemnities of contracts stating the involvement of the parties, the description of any person, property or thing referred to in the award.329 In China, a party seeking enforcement must supply the information in detail about the reluctant party, such as the assets and the internal economic situation which must show that the losing party is in a wealthy condition.330 The failure to prove that the losing party lacks of assets would lead to a rejected enforcement by the court. However, there may be an issue regarding the rules of procedures of foreign awards enforcement on which the Convention is silent. The issue pertains to time limits for arbitral enforcement. Consequently, this issue can be governed by rules of procedures under the municipal law of the country in which enforcement is sought. China, England and Switzerland, for example, impose such a period of limitation differently. In China, the seeking party must submit needed documents to the court within six months after the date of the foreign award was received.331 Whereas the prevailing law in England imposes six years for the party 329 Gamaliel G. Bongco, ‘The Enforcement of Foreign Agreements and Awards in the Philippines’ (2009) The Arbitration Journal 21(1) 34, 38, 40-2. 330 Ariel Ye, ‘Enforcement of Foreign Arbitral Awards and Foreign Judgements in China’ (2007) 74(3) Defense Counsel Journal 248, 250-1; See also Scherer and Moss, above n 43, 24-5. 331 Pursuant to the article 219 of the China’s Civil Procedure Law, six month period applies for parties who are legal person or other organization seeking enforcement, but one-year period applies for a condition when one of the parties or both parties is/are natural person. Ibid 250. 146 JURNAL OPINIO JURIS who seeks to enforce the arbitral Vol. 15 Januari-April 2014 award,332 the time limit in Switzerland is ten years.333 In short, a time limits aspect may become an issue when it is not respected by the party concerned. As the Convention is silent on this issue, its application will vary from state to state and thus the seeking party must be aware of complying with it for arbitral awards enforcement. Another issue relates to reservation. Although every contracting state has the obligation to recognise and enforce the awards, the attitudes of reservation are made possible according to the article I (3) of Convention, encompassing the reciprocity and commercial reservations. The reciprocity reservation is defined as a condition that the application of treaty will not include all foreign arbitral awards applied for enforcement in a contracting country; instead, its application is confined to awards rendered in other contracting states. This principle of reciprocity reservation is upheld on the basis of a mutual principle, meaning that applications for foreign arbitral awards enforcement may be rejected when the country of the reluctant party is not yet prepared to also enforce the awards in that country.334 On the other hand, the commercial reservation means that the Convention will solely apply in all kinds of commercial disputes in a country party to the Convention. In this sense, 332 Scherer and Moss, above n 42, 19, 25. 333 Ibid. 334 Setiawan, ‘Eksekusi Putusan Arbitrase Asing: Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990’ (1990) 6 Varia Peradilan 143, 145-7. 147 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 each country will impose different measures for this reservation.335 The term commercial has the correlation with any legal relationship to which a business purpose belongs.336 In the Indonesia’s legal system, for instance, where commercial and civil issues are differentiated, it is important to pay attention to the distinction between the two, for there may be a contract which has business purposes but are not considered commercial. Hence, the failure to understand the legal system of either an enforcing or rendering country is likely to pose denial of enforcement of the arbitration award.337 C. DENIAL OF ENFORCMENT OF A FOREIGN ARBITRAL AWARD UNDER THE NEW YORK CONVENTION 1. Grounds to Challenge a Foreign Arbitral Award Valid grounds to challenge enforcement of a foreign arbitral award granted by the arbitral panel are legally possible under the Convention. In general, enforcement of the award can be either successful or unsuccessful, depending on how successful a winning party can present their case in court with all the material and procedural requirements met in the application for enforcement. On the other hand, 335 Sutrisno, above n 6, 28-9. 336 Harnik, above n 45, 706. 337 Sutrisno, above n 6, 29. 148 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 the failure to full all the requirements may lead to the award unenforceable. In other words, the plaintiff’s failure to provide valid burden of proving is in line with the defendant’s success to avail valid grounds for resisting such enforcement. Article V of the New York Convention provides for the grounds for the competent court to deny or annul enforcement of an award. The party contesting enforcement, pursuant to article V (1) of the Convention, must prove one of these five grounds in order for resisting enforcement to be successful, encompassing (a) the incapacity of the party concerned and the invalidity of the arbitration agreement; (b) the party’s improper notice of the appointment of the arbitrators or arbitration proceedings or the party’s inability to present his or her case; (c) the arbitrators acting out of their authority; (d) the composition of arbitral authority contravening the agreement of the parties or the law of the country the agreement concluded; (e) the suspension or annulment of the award by a competent authority of the state of a rendered award. Further, the national competent authority may also refuse enforcement in a way that (a) “the subject matter of the differences is not capable of settlement by arbitration under the law of that country or (b) the recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.”338 However, it should be noted that the above provision provides the competent court with the term “may” to block foreign awards 338 Article V (2) a, b of the New York Convention. 149 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 enforcement. The permissive word has been shown to allow the judiciary to resist enforcing the award even if it is found that the reluctant party finds it successful in providing the court with sufficient and adequate grounds for denial.339 In this respect, the Convention was conceived as actually a pro-enforcement feature, for it stands for the proposition that the judiciary should actually confirm foreign arbitral awards granted by the arbitral forum absent extenuating conditions.340 The above support for a pro-enforcement posture under the Convention has at least two reasons. First, valuing the motivation of the conclusion of the Convention, the pro-enforcement proposition was largely aimed at ensuring obedience and full compliance of the parties concerned with the treaty in recognition and enforcement of international arbitration awards.341 In fact, the judicial proceedings has been narrowly drawn and known to tend to focus merely on formal, procedural judgment rather than to substantively focus on possible errors made in the awards.342 Second, the Convention puts the onus on the national courts to be supportive of a valid arbitral agreements and its enforcement domestically. The value ensured in this reason is that it protects the 339 Redfern and Hunter, above n 36, 12-32. 340 Green and Weiss, above n 23, 663. 341 Andrew T. Guzman, ‘Arbitrator Liability: Reconciling Arbitration and Mandatory Rules’ (2000) 49 DUKE Law Journal 1279, 1289. 342 Richard Garnett, ‘International Arbitration Law: Progress towards Harmonisation’ (2002) 3 Melbourne Journal of International Law 400, 404 -5. 150 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 mutually binding nature of the arbitration agreements from diminishing by parochial views of the desirability.343 2. Losing Grounds for Contesting Enforcement After the issuance of the award, the reluctant party seeking invalidation of foreign arbitration award must realise that former’s attitude in the arbitral proceedings may have an effect on its ability to present in the latter’s forum for objecting enforcement. This carefulness must be noted for at least two reasons.344 The first thing relates to the relief previously sought in the arbitrage award, which may not be formulated cautiously which in turn contributes to enforcement problems at the end. Another reason may pertain to the judicial institutions in several jurisdictions that uphold rules of procedure estopping the opposing party from adjuring grounds enumerated in the Convention. Yet, the treaty does not appear to expressly mention this prohibition matter. However, the Convention inherently values the tenet of good faith that should inherently exist in the arbitration contract between the parties so that the failure to carrying out obligation in good faith will also be conceived as the violation against the purposes and objectives of the New York Convention.345 343 Green and Weiss, above n 23, 664-5. 344 Scherer and Moss, above n 43, 20. 345 Ibid 20, 25. 151 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Therefore, a party wishing to challenge enforcement may be halted from objecting reinforcement of an award. With this in mind, three different conditions have been pointed out in which estopping the reluctant party from refusing award enforcement may take place. First, the party will likely be unable to be reluctant to objecting enforcement if they fail to defend grounds guaranteed in the Convention for contesting enforcement in the arbitration proceedings and if the courts finally find either the arbitration agreement is invalid or breach of due process is in place.346 This doctrine of estoppel has ever been adopted in the Hong Kong court, when it had to halt the losing party from questioning the invalidity of the arbitration contract as it was found to have failed to object the arbitration tribunal jurisdiction.347 Second, the party seeking resisting enforcement may be estopped based on the principle that the invalidation of an arbitral award can be challenged merely in the jurisdiction of the place of arbitration within the period of time limitation. For example in China, whereas many foreign arbitral awards have simply been refused on the ground that the application of enforcement exceeded the period of limitation, the party’s failure to petition the court in the jurisdiction other than the place of arbitration will indeed result in the court’s denial of resisting enforcement 346 Ibid 20. 347 See ‘China Nanhai Oil Joint Service Corporation Shenzlien Branch v Gee Tai Holdings Co Ltd’ (1995) XX Hong Kong Law Review 215, 670-2; See also Scherer and Moss, above n 43, 21, 25. 152 JURNAL OPINIO JURIS of the awards.348 Vol. 15 Januari-April 2014 Another example may be found in Indonesian case, where the Central District Court of Jakarta refused to enforce an international arbitration award by the arbitral panel in London (LCIA) on the grounds that the court is not the jurisdiction of the place of arbitration adding that the enforcement of the award would violate the Indonesia’s public policy.349 Third, the party will be precluded from being able to request for annulment of enforcement of foreign arbitral awards if they have raised the grounds unsuccessfully in applying for invalidation of the awards elsewhere. Through using the principle of estoppel, the Hong Kong court was shown to have halted the reluctant party from seeking to resist enforcement of an award concluded in Switzerland.350 The reason why the party was precluded was that the party failed two times to invoke the grounds under the Convention in annulment proceedings in the US court and in the Indonesia’s Supreme Court previously.351 From the above, thus, estopping the losing party from objecting enforcement of the foreign 348 Yi, above n 57, 251-3. 349 See Bankers Trust Company & Bankers Trust International vs PT. Jakarta International Hotels and Development, Tbk, and Bankers Trust Company & Bankers Trust International vs. PT. Mayora Indah in Decision of the District Court of South Jakarta No. 454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel, 30 May 2000 with the applications for Exequatur of international arbitrations No. 001/Pdt/Arb.Int/1999 with respect to LCIA Award No. 8199 of 18 June 1999 and No. 004/Pdt/Arb.Int/1999 with respect to LCIA Award No. 9128 of 19 October 1999. Tony Budidjaja, ‘Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia’ (2001) Interpacific Bar Association Journal in Mills, above n 5, 28-30. 350 Scherer and Moss, above n 43, 21-2. 351 See Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina) vs Karaha Bodas Company LLC, 27 March 2003, at the High Court of the Hong Kong SAR and Court of First Instance (2003) 21 ASA Bull 3/2003, 667. Ibid 22, 25-6. 153 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 awards may be based not only on the fact that the party unsuccessfully prove the annulment of the enforcement, but also on the fact that they fail to raise grounds in enforcement arbitral process elsewhere. D. ASSESSMENT OF USE OF PUBLIC POLICY EXCEPTION IN THE ENFORCEMENT OF FOREIGN ARBITRAL AWARDS IN INDONESIA 1. Public Policy Notion under Indonesian Arbitration Laws In general, cases where enforcement of foreign arbitral awards has been challenged have been frequent, but only few have been annulled by the Court. Internationally, about ten percent of all the compiled arbitral contract related cases, in the Yearbook Commercial Arbitration, was reportedly refused through decisions of the municipal courts around the world.352 In Indonesia, six out of 29 foreign arbitral awards were found to have been invalidated by the central first instance Jakarta court on the grounds most of which were based on the exception of public policy.353 The adoption of public policy reasoning in the judicial involvement in adjudicating foreign arbitral contract based cases is interesting, for not only did the judiciary appear to have interpreted public policy widely, 352 See Albert Jan van den Berg, ‘New York Convention of 1958: Refusals of Enforcement’ (2007) 18(2) ICC International Commercial Arbitration Bull 15, 48-9. 353 Hukum Online, above n 1. 154 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 but also the fact that the Indonesia’s arbitration laws have yet to create clear, definite scope of public policy. Whereas the New York Convention leaves the issue of public policy to national laws and regulation of contracting states,354 the Indonesia’s Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (or the Arbitration Law), for example, unfortunately, does not address this issue. Nonetheless, even though the Arbitration Law does not provide detailed information about definition of public policy, it still stipulates a number of principles in conformity to those enshrined in the Convention.355 However, the Law appears to pose several issues that need coping with. For example, the principles of finality and enforceability of arbitration awards stated in article 60 of the Arbitration Law is deemed in contrast to article 66 (c) of the Law, which state that (c) “an international arbitral award can be enforced in Indonesia unless it violates “public order”. The Law does not use the term “public policy” as exactly as the legal term stated in the Convention. While the meaning of public policy is not explained in the Convention, the other term “public order” produced in the Law gives no clear guidance as to whether it specifically refers to the international356 or Indonesia’s national public policy, which in turn may open broad 354 Article V (2) b of the New York Convention. 355 See Article 60 of the Arbitration Law stating “The arbitration award is final and has a permanent and binding legal effect on the parties” which confirms the article III of the Convention. 356 “International” in the frame of international public policy has been discerned to be distinct from domestic public policy, as the former is used in the context of private international law containing foreign elements. See Junita, above n 26, 317. 155 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 interpretation for the judicial authority in adjudicating arbitral awards related cases. In fact, public order popularly known in civil law countries has been found to usually be used interchangeably with public policy commonly known in common law system.357 In addition, the absence of definition of public policy is also in place in the Indonesian implementing regulation namely the Supreme Court Regulation No. 1 of 1990. The Regulation constitutes the implementation legislation of the Presidential Decree No. 34 of 1981 on the Ratification of the 1958 New York Convention.358 Yet, public order reservation is emphasised in a way that enforcement of foreign arbitral awards may be vacated by the court, even though that reservation is not the only one exception that can be used by the court to object application of award. The principles of reciprocity reservation, commerciality reservation and exequatur are included as grounds for the national court to set aside the enforcement.359 Article 3 (3) of the Supreme Court 357 Ibid 318. 358 The fact that Indonesia ratified the New York Convention through a Presidential Decree does not necessarily mean that the country automatically had implementing rules of procedures of national regulation concerning the use of public policy exception in relation to oppose arbitral awards enforcement in conformity to the article III of the Convention. Hence, the highest Indonesian judicial authority (the Supreme Court) decided to formulate such a needed implementation regulation in order to pose national rules of procedures to which the Court shall adhere in adjudicating foreign arbitral proceedings. See Sudargo Gautama, ‘Some Legal Aspects of International Commercial Arbitration in Indonesia’ (1990) 7(4) Journal of International Arbitration 93, 102-3. 359 A number of reservations can be legally justified under the Supreme Court Regulation, encompassing: “(1) The awards must be rendered by arbitral institutions or ad hoc arbitrators in a country which is party to a bilateral or unilateral convention with Indonesia relating to the recognition and enforcement of foreign arbitral awards based on the principle of reciprocity; (2) The awards must be limited to those falling within the scope of commercial law under Indonesian law; (3) 156 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Regulation reechoes that enforcement of a foreign arbitral award shall not be carried out if it violates public order. The definition of public order is further found in article 4 (2) of the Supreme Court Regulation which specifies that public order constitutes “the basic principles of the entire legal system and society in Indonesia.” It can then be said that public policy does not merely constitute values adhering to prevailing laws, but also it includes principles evolving in societies. In this regard, the statement that Indonesia laws give no clear definition of public order is merely “half correct”.360 The reason why the Indonesia’s concept of public order is still vague relates to the fact that it still raises issues. First, this definition has been criticised as it takes a likely broadened approach to public order in practice, adding that substances and scopes are widely covered in the legal regime and society of Indonesia.361 Second, meaning contained in the concept of public order can be discerned to be too flexible, adding that its application will tend to be blended with political interests. If so, the use of public order defence may be aimed at protecting the vested political interests of the ruling power rather than preserving the entire legal system and society. The awards must not contravene public policy; (4) The awards must be enforced in Indonesia after applicants obtain a writ of execution (exequatur) From the Supreme Court of Indonesia.” See article 3 of the Supreme Court Regulation. 360 Robert N. Hornick, ‘Indonesian Arbitration in Theory and Practice’ (1991) 39 American Journal of Comparative Law 575, 576. 361 Junita, above n 26, 318. 157 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 2. Judicial Attitudes towards Foreign Arbitral Awards Public Policy Before going further to discuss the Indonesia’s judicial attitudes towards public policy exception, there are three different factors to refusal of enforcement of foreign arbitral awards that can be noted here. First, the refusal of awards enforcement may be influenced by the tendency to object enforcement ordered by a foreign judgement. Pursuant to methods of enforcement of foreign judgements, Indonesia’s judicial system adheres to the “evidentiary method” which obliges the court to treat a foreign judgment merely as evidence which in turn not only assess as to whether such a ruling contravenes the principle of public order, but also carry out fact finding proceedings.362 According to article 1338 of the prevailing Code of Civil Procedure (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering),363 a contract validly entered into force must be binding on the parties concerned, depending on whether it meets the requirements under the article 1320 of the Code, posing that (i) the parties must be indeed competent to enter into a contract; (ii) the contractual terms and provisions must be clear and certain; (iii) the parties are bound by such terms voluntarily; and (iv) the contractual agreement may not be for a purpose contrary to prevailing 362 Sutrisno, above n 6, 98-9. 363 The Code of Civil Procedure was at first prevailed in the middle of the 19th Century with its name was Dutch Code of Civil Procedure (known as Burgelijke Reglement of de Rechtsvordering or the “RV”). Now, the Code remains into force for civil legal matters. Mills, above n 5, 8. 158 JURNAL OPINIO JURIS laws or public policy.364 Vol. 15 Januari-April 2014 With this in mind, the notion of unenforceability of foreign judgments has been perceived to having a strong effect on the unenforceability of foreign arbitration awards.365 However, such an impact is not merely a perceived influence; rather it is what is exactly stated in the prevailing Code of Civil Procedure. Article 440 of the Code clearly gives affirmative position of how the Indonesian judicial court should treat a foreign award, adding that an award of the arbitrator panel a ruling handed in by a foreign court rendered will be treated the same as the decision of the national court. This is what makes the ongoing judicial hostility to international arbitration remain in place in Indonesia.366 However, there are also rulings known to have confirmed enforcement of the awards on the grounds that the awards do not contradict public policy (or public order in the context of Indonesia). In the Supreme Court Decision No. 1/1959 handed in 5 September 1959, the prohibition of appeal of arbitral awards contained in arbitration contract was not in direct violation against public order, whereas the Indonesian judicial system permits appeal of arbitral awards under the prevailing laws and regulations.367 Yet, the stance of the court appeared to be consistent when the court decided rather differently. In the Decision of the Central District Court, Jakarta, No. 499/PdtlGIVII1988 handed in 27 364 See article 1320 of the Code of Civil Procedure. 365 Sutrisno, above n 6, 99. 366 Junita above n 26, 304. 367 Sutrisno, above n 6, 104. 159 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 July 1989, the court annulled a commercial contract between an Indonesian sugar buyer and an English vendor as it was contrary to the public policy and a regulation which only appointed Badan Urusan Logistik as the only Indonesian agency of procurement to import sugar to the country.368 Public policy here was broadened not only related to legal system, but also a mater pertaining to sugar as the object of the contract representing on the people’s basic need. However, precedent around the globe has shown that a foreign award merely in contravention of the domestic law cannot necessarily determine the foreign award unenforceable; the refusal of the foreign award should be relied upon the fact that it is contrary to the fundamental policy of the municipal law instead.369 In addition, if looking at several cases, one will be finding that there are various, expansive definitions that might be classified as matters contrary to public policy in the Indonesia context for refusal of enforcement of foreign arbitral awards. First, the ground for rejecting application of foreign awards is linked to Indonesia’s concept of public policy rather than international public policy. What is meant by international public policy can be known through Parsons & Whittemore Oveseas Co. Inc. vs Societe Generale de l'Industrie du Papier, showing that public policy violated should be interpreted narrowly, and such 368 Ibid 105. 369 Rautray, ‘above n 7, 17. 160 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 violation occurs when the content of an award is contrary to morality and justice.370 In this context, a violation of public policy ultimately requires burden of proving representing evidence substantially contravening basic principles of morality and justice. Nonetheless, in Pertamina vs Karaha Bodas Company LLC (Karaha Bodas case) the court construed public policy exception grounds differently, with it emphasising merely national arbitration laws against which the award was deemed in contravention. In this regard, the concept of national public policy was much emphasised. The court considered rules under the Convention to recognise and enforce the foreign arbitral award, but it relied upon the national arbitration laws to resist the enforcement of such an award.371 Such an overuse of public policy defence has been criticised as expanding the judicial attitude towards a wider ground for public exception relief as guaranteed in the Convention.372 Second, a widened definition of public policy by the Indonesian court is also to do with it confused with mandatory rules.373 Nonetheless, in the above case of importing sugar from an English vendor, an issue was raised as to whether it concerned public policy or more about a 370 See Parson & Whittemore Overseas Co. Inc. vs Societe Generale de l'Industrie da Papier (RAKTA), 508 F.2d.969.973(2d Cir.1974) in Sutrisno, above n 6, 48, 56, 61. 371 See Decision of Pertamina vs Karaha Bodas, No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST, above n 10, 26-8. 372 W. Laurence Craig, ‘Some Trends and Developments in the Law and Practice of International Commercial Arbitration’ (1995) 30 Texas International Law Journal 11-2. 373 The notion of a broad public policy used by the Indonesian court to deny the enforcement can be seen among other things through the equation between mandatory rules of law and public policy. See Junita, above n 26, 319-20. 161 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 mandatory body appointed to be a state logistics agency to serve as a storage facility to ensure that various strategic commodities, including a strategy to stabilise the price of food basic commodities, are working for the fulfilment of the basic needs of the Indonesia people. Yet, a doubt still remained as to whether the worry about the violation against the mandatory rules of importing the sugar by the individual would have a serious consequence on the Indonesia’s entire society.374 Additionally, a violation against mandatory rules under the domestic laws does not necessarily mean a contravention of public policy, consisting of fundamental policy of national law, justice and morality of the nation. Rather, public policy violation should be viewed as the attitude which sets aside values, norms and rules under the international obligations.375 Further, it has been emphasised that international restrictive approach to public policy defence does not cover all national mandatory rules of enforcement by the judiciary.376 In other words, it can be said that using the domestic sense of public policy has been discerned to be not reasonably enough for objecting the international nature of arbitral awards so that merely adopting the ground of contravention of internal 374 Ibid. 375 See Committee on International Commercial Arbitration, “Final Report on Public Policy as A Bar to Enforcement of International Arbitral Awards” at the International Law Association New Delhi Conference, 2002, <http://www.ila-hq.org/download.cfm/docid/BD0F9192-2E98-4B178D56FFE03B80B3EA> 6, retrieved on 20 February 2013. 376 Jean-Francois Poudret and Sebastien Besson, Comparative Law of International Arbitration (Stephen Berti & Annette Ponti Trans., 2nd ed, 2007) 857-8. 162 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 mandatory rules of law is not a good legal justification for nonenforcement of the international arbitration awards. In the context of the aforementioned contract between an Indonesian importer and an English vendor, under the obligations of international trade law, hence, the contract can be perceived to be valid which its arbitral awards as a result of disputes rising must also be upheld under the international law. From this standpoint, the national court as a judicial entity of national state bodies has also the duty to ensure that such international obligations are preserved, observed by the party concerned. Third, with regard to the second above notion, the judicial attitude towards public policy exception is conceived as emphasising sovereignty preservation and local protectionism rather than the observance of international setting of public policy. Consequently, execution of foreign decisions and awards may be perceived to be contrary to the principle of sovereignty. Supporters of the jurisdictional sovereignty will indeed justify the dominant role of states in the name of preserving sovereignty by means of regulating and controlling any activities within the territory claimed to purport to protect local fundamental interests of the people, including intervening substantive, procedural of awards execution by the municipal courts.377 The tendency of the Indonesian courts to be reluctant to foreign awards enforcement may to some extend be “understandable” 377 See Veronica L. Taylor, “Contract and Contract Enforcement in Indonesia: An Institutional Assessment” in Tim Lindsey (ed), Indonesia, Law and Society (Federation Press, 2nd ed, 2008) 581-2. 163 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 as a means to protect local businesspersons due to their inferior position they have come into in contracts with foreign business entities. It is not peculiar that due to economically though bargaining of the foreign parties in particular developed countries based companies, Indonesian parties often had to agree clauses which did not benefit the Indonesian sides and make them parties continuously dependent on the foreign well established enterprises.378 The fact that the Indonesian foreign investment laws are very friendly and accommodative to foreign investors, in a way that the legislation is for the purpose of attracting the flow of money from outside, has definitely added to the situations most advantageous to the foreign businessmen.379 In the Indonesian point of view, such a situation has undeniably made the courts seek a legally justifying ground for vacating execution of a contract to which one of the signing parties is Indonesian, as an attempt to express the sensitivity towards an assumed exploitation, even though such a judicial attitude can be categorised as violating against international trade law.380 However, it is obvious that the Indonesian judiciary tends to adopt juridical sovereignty approach to enforcement of foreign judgments and awards, whereas one of the prevailing laws clearly stipulates that 378 Sutrisno, above n 6, 101. 379 See Todung Mulya Lubis, “Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing: Harapan dan Kenyataan Sebuah Telaah Mengenai Kebijaksanaan Penanarnan Modal” in Sumantoro (ed.), Hukum Ekonomi (Penerbit Universitas Indonesia, 1986) 91-4. 380 See C. Noles, ‘Enforcement of Forum Selection Agreements in Contracts between Unequal Parties’ (1981) 11 Georgia Journal of International and Comparative Law 693-4, 706-7. 164 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 every valid contract binds on signing parties. Pursuant to article 1338 of the Code Civil, all valid contracts will have the force of law and thus bind on the contracting parties. A foreign award upholding the Indonesian prevailing rules of contract between parties which has been annulled by the internal court with escape clause of violating public policy, as can be seen in the Decision of the Central District Court, Jakarta, No. 499/PdtlGIVII1988 dated 27 July 1989, has raised a serious concern about the consistency of enforcement of international foreign awards between concept and practice. As previously discussed, the concept of public policy (or “public order” in the Indonesian context) constitutes “the basic principles of the entire legal system and society in Indonesia.”381 Nevertheless, the fact that the decision has invalidated the foreign award is also in contrast to the provision which clearly observes the contract that had a binding effect on the parties concerned. In the view of contractual theory, the states even do not have an authority to control over the arbitration which its enforcement should better be halted from being interfered with by domestic legal system and municipal court.382 Fourth, refusal of enforcement on the basis of public policy defence has been found to have confused the procedural with the substantive aspect of public policy.383 In this regard, reasoning construed 381 Article 4 (2) of the Supreme Court Regulation. 382 See Andrew Barraclough and Jeff Waincymer, ‘Mandatory Rules of Law in International Commercial Arbitration’ (2005) 6 Melbourne Journal of International Law 4-6 <http://mjil.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/downloadebcc1.pdf>, retrieved on 20 February 2013. 383 Junita, above n 26, 320. 165 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 by the Indonesian judiciary has often overlapped the substance and due process public policy exception under the article V (1) b with procedural public policy according to V (2) (b). This broad notion of the Indonesia judicial style of use of public policy exception can be seen in Karaha Bodas case where the court has been criticised as having overused the exception of “procedural Indonesia’s public policy” instead of substantive international public policy. The court obviously adopted norms and rules under the Convention with regard to recognition and enforcement of the awards, but expressly did not use the public policy exception in line with all the principles enumerated in the treaty constituting pro-enforcement of international arbitral awards, adding that the refusal was generated by the economic crisis facing the country at the time the award’s enforcement was sought.384 Instead, the first instance court adopted the internal Indonesian law to confirm the application for invalidation of the award without sufficiently proving that the enforcement of the award was highly likely to contribute to the destruction of fundamental policy of the Indonesian legal system and the entire society. However, the expanded notions of the judicial attitude towards public policy defence as explained above have actually occurred. A question as to whether such broad, expansive use of public policy will remain and will not only depend on legislation but also on the judicial 384 See the Decision of Pertamina vs Karaha Bodas, above n 10. 166 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 culture through which the enforcement of foreign arbitral awards arising out from a valid contract will be made possible. In a country that holds civil law system like Indonesia, enactment and written laws have the role in determining the judicial stance towards foreign awards. Nonetheless, the fact, that the Supreme Court has invalidated the ruling made by the first instance court which refused enforcement of the award, had brought about progress in terms of respect for foreign arbitral awards arising out of valid contract between parties. The most recent arbitral awards enforcement based cases of PT. Wahana Adhireksa Wiraswasta vs Cocoa Merchants' Association of America, Inc. (the decision handed in 18 July 2001), Oceanis Shipping Limited v. Mrs. R. Adji A. Suryo Di Puro (decision dated 15 February 2001) and Balmac International Inc. v. Firma Sinar Nusantara 11 April 2001,385 are among the cases which show that the court relied to the rules under the Convention. With the Indonesian judicial system today adopting the valuable tenet of jurisprudence consisting of past final decisions, it is hoped that the country will then be in full preservation and adherence to international laws in particular in relation to enforcement of international law of arbitration. Hence, the state’s obedience to international treaties through ratification is not enough. Instead, its obedience should extend to the state’s judiciary’s adherence and reliance to international laws, including laws of arbitration. 385 Rubins, above n 9,398-400. 167 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 E. CONCLUSSION In the Indonesian context, public policy defence as opposed to international arbitral awards execution, both in the context of legislation and in enforcement, is much more perceived to be the entire legal system and the Indonesian society commonly known as “public order”. In fact, the use of public policy and public order has often been used interchangeably. Through assessment of various cases, it is found that the Indonesian judicial attitude towards public policy use as a means to refuse enforcement of foreign arbitral awards to public policy has been so broad, expansive that the decisions made by the court have raised criticisms, for grounds construed by the court have merely relied upon the domestic sense of public policy, not as required by the values and principles under international law. Four primary broad notions of public policy adoption by the Indonesian judiciary have been found. First, the reason for objecting application of foreign arbitral awards is much linked to Indonesia’s concept of public policy rather than international public policy, posing that a violation of public policy requires an obvious contravention of fundamental policy of morality and justice of the entire legal system and society. Second, a broadened scope of public policy by the court is also to do with it confused with mandatory rules. Third, with regard to the second above notion, the judicial stance of public policy defence is conceived as emphasising more on sovereignty observation and national 168 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 protectionism rather than adherence to international standard of public policy. Accordingly, enforcement of foreign awards may be perceived to be in contrast to the principle of sovereignty, purporting to protect local fundamental interests of the people, including intervening substantive, procedural of awards execution by the municipal courts. Fourth, denial of enforcement on the basis of public policy exception has been found to have overused the exception of “procedural Indonesia’s public policy” instead of substantive international public policy. The aforementioned expansive judicial attitudes towards adoption of public policy exception in Indonesia have been primarily influenced by the generally prevailing rules of civil procedures, namely the Code of Civil Procedures which emphasises that a foreign arbitral award should be treated the same as a ruling of foreign judgement as well as a decision handed in by the Indonesian courts. Further, the enforceability of foreign arbitral awards in Indonesia will remain uncertain if the country has still yet to formulate obvious, comprehensive legislation on this matter. The absence of necessary public policy regulation or measures will indeed have an impact on the judicial attitude towards foreign arbitration which so far has created the major flaw of the applicability of foreign arbitral awards. In view of the above, enactment dealing with the judicial attitudes issues is therefore needed to ensure that full obedience to the rules under the New York Convention be observed, adopted and used by the judiciary. For a country like Indonesia which often takes a dualist 169 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 approach in interpreting and implementing international laws, actions to pass a law will in a way give treaties domestic effect and certainly provide for judicial enforcement of the Convention. In other words, the obedience and compliance with international laws by a state should practically include the obedience and adherence by the judiciary of the state. If not, this ambivalence and lack of implementing legislation with regard to the enforceability of foreign arbitral awards in the country will remain contributing to the Indonesian judicial hostility to international arbitration. 170 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 RESENSI BUKU Judul : Investor-State Arbitration Penulis buku : Christopher F. Dugan, Don Wallace, Jr., Noah D. Rubins, Borzu Sabahi Penerbit : Oxford University Press Bahasa : Inggris Jumlah halaman : xxx + 791 Tahun penerbitan : 2011 Pembuat resensi : Muhammad Ferdien, S.H. Buku ini adalah sebuah hasil pembelajaran dan praktik selama bertahun-tahun dalam bidang arbitrase investasi. Pada awalnya buku ini ditulis sebagai sebuah buku wajib bagi para mahasiswa dalam sebuah seminar mengenai arbitrase investor- negara, dimana para penulis telah mengajarkan selama beberapa Georgetown Center. subjek tersebut tahun University Dengan di Law banyaknya 171 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 perjanjian-perjanjian investasi, dan perkembangan yang dihasilkan dari arbitrase investasi sebagai suatu wilayah praktik dimana para penulis terlibat secara aktif, fokus dari buku tersebut telah diubah untuk menyesuaikan dengan kalangan pembaca yang lebih luas. Investasi lintas batas merupakan hal yang fundamental bagi perdagangan di abad ke-21, tetapi sulit dikatakan sebagai suatu fenomena yang baru. Walaupun pada umumnya perbatasan negara dan politik telah memperlambat migrasi orang dan modal dari satu negara ke negara lainnya, namun hanya di situasi tertentu yang jarang terjadi, hambatan tersebut terbukti dapat diatasi. Dan untuk alasan yang baik: walaupun emigrasi modal dapat berarti bahwa dana untuk modal tersebut tidak mempromosikan pembangunan di ekonomi asalnya, tetapi dana tersebut tampak lebih produktif di tempat lain, dan sebagian dari investasi tersebut untuk kemudian dapat menemukan jalannya untuk kembali ke ekonomi asal investor. Ada tiga kategori besar investasi lintas batas: investasi portofolio, investasi langsung, dan investasi tidak langsung. Investasi porfolio di antaranya meliputi sekuritas yang diperdagangkan secara publik, seperti saham dan obligasi dari perusahaan asing. Foreign Direct Investment (FDI) atau Investasi Asing Langsung biasanya terdiri dari gabungan jangka menengah dan jangka panjang dari uang, peralatan, keahlian, atau aset lain di negara lain, dalam perusahaan baik yang sedang berkembang atau yang baru berdiri yang didirikan untuk tujuan menjalankan beberapa bisnis. International Monetary Fund mendefinisikan investasi jenis tersebut 172 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 sebagai "investasi yang dibuat untuk mempertahankan kepentingan yang langgeng pada sebuah perusahaan yang beroperasi dalam sebuah ekonomi selain dari ekonomi asal investor, tujuan investor adalah untuk memiliki peranan yang efektif dalam manajemen perusahaan.” Sebagai akibat dari kelangkaan pinjaman bank komersial, kondisi makroekonomi yang membaik, dan rezim hukum liberal, aliran investasi langsung yang lintas batas tumbuh pesat dalam dekade terakhir di abad ke-20. Sementara itu, investasi langsung adalah metode yang digunakan untuk memindahkan sumber daya secara lintas batas dalam pasar yang ditargetkan tanpa benar-benar berpartisipasi dalam program atau proyek yang dihasilkan. Contohnya meliputi lisensi paten dan pengalihan kekayaan intelektual lainnya, perjanjian bantuan teknis, dan pengaturan pemasaran bersama. Demikian pula, konsentrasi sumber daya alam dan tenaga kerja di negara-negara berkembang yang secara metaforis diistilahkan ‘selatan’ membuat investasi lintas batas menjadi suatu bagian penting dari pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi untuk seluruh dunia. Dikarenakan keahlian dan modal awal yang diperlukan untuk mengeksploitasi sumber daya sebagian besar berada di ‘utara’, negaranegara kurang berkembang atau less developed countries tidak bisa membuka potensi aset sumber daya alam mereka tanpa setidaknya suntikan FDI pada awal prakarsa pembangunannya. Semakin pentingnya investasi internasional telah disertai dengan pesatnya perkembangan suatu bidang besar yang baru dari hukum 173 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 internasional, yang mendefinisikan kewajiban negara tuan rumah terhadap investor asing dan menciptakan prosedur untuk menyelesaikan sengketa sehubungan dengan kewajiban tersebut. Pada prinsipnya, bidang hukum baru tersebut dikodifikasikan dalam suatu jaringan yang luas dari perjanjian investasi bilateral dan multilateral, yang didukung dengan hukum kebiasaan internasional yang terus berkembang. Secara umum dalam perjanjian-perjanjian tersebut, entitas asing dari satu negara penandatangan yang telah berinvestasi sesuai dengan ketentuan di wilayah negara penandatangan lain dapat menikmati berbagai jenis perlindungan, khususnya dari diskriminasi dan pengambilalihan (expropriation) tanpa kompensasi, serta persyaratan untuk perlakuan yang adil dan setara dan perlindungan dan keamanan penuh investasi. Ketika seorang investor merasa bahwa hak-haknya di dalam perjanjian telah dilanggar, investor tersebut dapat mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan arbitrase internasional, yang biasanya diatur dan dikelola di bawah naungan lembaga arbitrase terkemuka tetapi terkadang pula arbitrase yang ad hoc. Berbeda dengan sistem tradisional, investor yang menerima manfaat dari perjanjian investasi semacam ini tidak perlu lagi untuk memohon ke pemerintah mereka sendiri untuk mendukung klaim mereka secara diplomatis. Mereka dapat langsung melanjutkan ke proses arbitrase melawan negara tuan rumah, sehingga menghilangkan hambatan diplomatis dan politis untuk secara langsung menyelesaikan sengketa yang muncul pada hukum kebiasaan internasional. Subyek 174 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 arbitrase negara-investor terletak di ujung tombak dari hukum internasional dan penyelesaian sengketa, dan mereka memainkan peran yang semakin penting dalam perkembangan sistem ekonomi global. Lebih lanjut, kajian mengenai bentuk arbitrase tersebut memberikan wawasan tentang perkembangan dalam hukum kebiasaan internasional, konflik yang tak terhindarkan antara negara pengimpor dan pengekspor modal, dan status individu dan perusahaan dalam tatanan hukum internasional. Bab I – III dari buku ini menerangkan tentang sejarah perlakuan terhadap pihak asing dan investasi berdasarkan hukum internasional dan memberikan suatu gambaran atas perjanjian-perjanjian internasional yang paling penting yang memberikan investor sebuah hak untuk arbitrase gugatan. Analisis historis ini sangat penting untuk memahami perkembangan arbitrase negara-investor dan konsep-konsep seperti tanggung jawab negara, penyangkalan hukum (denial of justice), habisnya upaya hukum nasional, dan pendukungan (espousal). Bab IV – VIII memberikan suatu analisis mengenai aturan arbitrase yang paling umum digunakan dalam penyelesaian sengketa negara-investor. Bab IX – XIX menguraikan elemen-elemen yang paling penting dari substansi dan prosedur yang menjadi karakter arbitrase negarainvestor, meliputi hukum yang berlaku, persetujuan (consent), prinsip perlakuan nasional (national treatment) dan perlakuan nondiskriminasi (most-favored nation treatment), perlakuan yang adil dan setara, standar 175 JURNAL OPINIO JURIS minimum, Vol. 15 Januari-April 2014 perlindungan dan keamanan penuh, pengambilalihan (expropriation), klausula-klausula payung (umbrella clauses), dan akhirnya masalah kerugian (damages). Bab XX – XXI membahas tentang tantangan dan penegakan putusan, khususnya proses pembatalan berdasarkan Konvensi Law of the International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Bab XXII menerangkan tentang perkembangan masa depan dari arbitrase negara-investor. Tema sentral dalam bagian penutup ini meliputi tantangan globalisasi, benturan negara pengimpor dan pengekspor modal, batasan-batasan terhadap kedaulatan negara, dan evolusi dari suatu yurisprudensi investasi internasional. Topik penyelesaian sengketa negara-investor berbeda nyata dari bidang hukum lainnya yang terkait. Perbedaan dengan hukum internasional publik (dan subtopik perlindungan diplomatik) adalah dalam hal bahwa salah satu pihak yang terlibat hampir selalu merupakan pihak swasta, yang secara tradisional sama sekali dianggap bukan sebagai subjek hukum internasional. Meskipun arbitrase investor-negara meminjam banyak prosedur dari arbitrase komersial internasional, berbagai standar untuk kewajiban dan kompensasi dalam sengketa kategori baru ini berasal bukan dari kesepakatan para pihak pihak tetapi sebagian besar berasal dari bahasa perjanjian dan hukum kebiasaan internasional yang berdiri sendiri. 176 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 ISTILAH HUKUM Nenda Fadhilah Accession "Accession" is the act whereby a state accepts the offer or the opportunity to become a party to a treaty already negotiated and signed by other states. Accession adalah proses bergabung suatu negara pada traktat yang telah dinegosiasikan dan ditandatangani oleh negara lain. Sehingga negara tersebut bukanlah kelompok negara yang turut bernegosiasi dalam pembuatan traktat. Accession dapat dilakukan secara terbuka pada negara-negara lain atau terbatas dengan persyaratan tertentu (contoh: posisi geografis atau persetujuan negara-negara pihak traktat) Exhaustion of Local Remedies A person whose rights have been violated should make use of domestic remedies to right a wrong, rather than first address the issue to an international committee, court or other tribunal. Access to an international organ should be available, but only as a last resort, after the domestic remedies have been exhausted. Exhaustion of Local Remedies adalah konsep dimana seseorang atau badan hukum harus menyelesaikan masalah mereka melalui peradilan lokal sampai tingkat terakhir sebelum dapat membawa masalah pada tribunal atau arbitrase internasional. Hal ini karena peradilan lokal dianggap dapat menyelesaikan masalah dengan lebih cepat. Perkecualian bagi konsep Exhaustion of Local Remedies adalah apabila tidak adanya prosedur 177 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 penyelesaian masalah pada peradilan lokal, peradilan lokal tidak efektif atau terlalu lama menyelesaikan masalah tanpa alas an yang jelas. Konsep ini umum dipakai pada permasalahan hukum antara negara dengan perseorangan atau badan hukum. Contoh-contoh sengketa yang mensyaratkan Exhaustion of Local Remedies diantaranya sengketa investasi terutama yang bermuara di International Centre for Investment Dispute (ICSID) dan perkara hak asasi manusia di European Courts of Human Rights. Geographical Indication/Indikasi Geografis Place names (or words associated with a place) used to identify products (for example, “Champagne”, “Tequila” or “Roquefort”) which have a particular quality, reputation or other characteristic because they come from that place. Indikasi geografis adalah konsep dimana suatu produk hanya diperbolehkan memakai nama tempat atau kata yang berasosiasi tertentu dikarenakan produk dari tempat tersebut memiliki kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang khas. Contoh Indikasi geografis adalah Champagne dimana hanya sparkling wine yang berasal dari Champagne, Perancis yang boleh memakai nama Champagne. Most Favoured Nation A treaty status granted to a nation, usually in international trade, allowing it to enjoy the privileges that the other party accords to other nations under similar circumstances. 178 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Prinsip Most Favoured Nation adalah prinsip dimana negara setuju untuk memberikan perlakuan yang sama dan paling menguntungkan bagi semua negara dalam hal perdagangan dan investasi. Prinsip ini tercantum pada umumnya di perjanjian investasi dan perdagangan. Prinsip Most Favoured Nation dapat mencakup keseluruhan bagian perjanjian atau dibatasi pada klausula tertentu seperti masalah bea masuk dan penyelesaian sengketa. Dengan pencantuman klausula Most Favoured Nation dalam perjanjian dagang antara negara A dan B maka negara A tidak hanya memperoleh perlakuan yang dijanjikan pada perjanjian dagang tersebut namun juga perlakuan yang lebih baik yang dijanjikan oleh negara B pada perjanjian dagang negara B yang selanjutnya. National Treatment A provision contained in some treaties, usually commercial ones, according foreigners the same rights, in certain respects, as those accorded to nationals. Prinsip National Treatment berarti bahwa barang impor atau investor asing yang telah masuk ke pasar dalam negeri akan mendapat perlakuan yang sama dengan barang lokal atau investor lokal. Perlakuan sama dan setara ini seperti tidak ada pemungutan pajak tambahan selain bea impor dan tidak adanya lisensi khusus untuk menjual barang impor. 179 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 TENTANG PENULIS Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, SH., MA, Lulusan dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1987. Penulis memperoleh gelar Master of Arts di bidang Hukum Internasional dan Politik dari University of Hull, Inggris pada tahun 1991 dan memperoleh gelar Doctor iuris di bidang Hukum Perjanjian Internasional dari Goethe University pada tahun 2014. Penulis pernah mengikuti program hukum internasional pada The Hague Academy of International Law, Den Haag, Belanda. Penulis pernah menjabat sebagai Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya pada Kementerian Luar Negeri tahun 2006-2010 dan Konsul Jenderal RI di Frankfurt di tahun 2010-2014. Saat ini bertugas sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M, MA Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Penulis memperoleh gelar LLM dari University of Melbourne, Australia dan gelar MA dari RuG dan RuB Belanda dan Jerman. Saat ini penulis menjadi kandidat Doktor Ilmu Hukum dari FH UGM-Rijks Universiteit Groningen Belanda (2012sekarang). Selain sebagai dosen pada FH Universitas UGM, penulis telah sering kali menjadi Staf Ahli pada bidang Penataan Ruang dan Pariwisata baik pada Pemerintah Daerah, DPD, Kemkominfo dan terakhir menjadi Reviewer ahli perubahan Undang-Undang Tentang Perjanjian Internasional, DPR RI, 2013. Penulis juga telah menghasilkan beberapa publikasi dibidang Ruang, Perdagangan dan Industri Pariwisata yang terakhir yaitu diantaranya: The Indonesian Compliance and Its Effective Implementation to the ASEAN Agreement on Disaster Response, Book Chapter in Zwitter, Herman and Heinzte, The International Law on Humanitarian Action, Cambridge University Press (to be published, November 2014); The Implementation of the Natural Disaster Management Program in Indonesia Between 2007-2013, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 1, February, ISSN 0852100x; The Implementation of the International Norms on Disaster Response in Indonesia, Korea Legislation Reserach Institute, Volume 3, Number 1, March 2013 180 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Purna Citra Nugraha, S.H., M.H. Lulusan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jurusan Hukum Pajak Angkatan 2004, menyelesaikan S2 pada Magister Hukum Bisnis Universitas Padjadjaran di Tahun 2010, dan saat ini sedang dalam proses menyelesaikan studi S3 pada universitas yang sama. Kini bertugas sebagai Staf Sekretariat Wakil Menteri Luar Negeri, Biro Administrasi Menteri, Kementerian Luar Negeri RI. Mahmudin Nur Al-Gozaly, S.H., LL.M. Lulusan dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2008. Penulis menempuh pendidikan lanjutan di Melbourne Law Master, University of Melbourne, Australia dan memperoleh gelar LL.M pada tahun 2013. Penulis pernah mengikuti program Regional Training Course for Southeast Asia on the New Generation of Investment Policies for Sustainable Development pada bulan Mei 2013 di Bangkok, Thailand yang diselenggarakan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) bekerjasama dengan International Institute for Sustainable Development (IISD). Penulis pernah menjadi Editor in Chief pada Buku “Diplomasi Indonesia dalam Dinamika Internasional” yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri pada tahun 2009. Sejumlah tulisannya juga pernah dimuat di Jakarta Post. Saat ini Penulis bertugas di Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Kementerian Luar Negeri. Muhammad Ferdien S.H. Muhammad Ferdien, lahir di Jakarta pada 6 Desember 1984. Lulusan S1 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini telah bergabung dengan Kementerian Luar Negeri sejak 2009. Fungsional Dipomat pada Direktorat Hukum ini pernah mengikuti International Humanitarian Law Moot Court and Migration Legal Issue Training for ASEAN Diplomats pada 2011 dan The President Speechwriting Program di Washington DC pada 2012. 181 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Nenda Inasa Fadhilah S.H., LL.M Staf Fungsional Diplomat Direktorat Perjanjian Ekonomi, Sosial dan Budaya. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan dengan program kekhususan Hukum Internasional pada tahun 2009 serta Master of Laws (International Legal Studies) dari Georgetown University Law Center di Washington, DC pada tahun 2013. Penulis memasuki Kementerian Luar Negeri pada tahun 2010 dan mengikuti Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) Angkatan XXXV. 182 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional. Ketentuan Penulisan: 1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Times New Roman ukuran 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10; 2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris; 3. Setiap naskah harus disertai abstraksi maksimal 1 halaman A4. Untuk tulisan dalam bahasa Indonesia, abstraksi dibuat dalam bahasa Inggris dan untuk tulisan dalam bahasa Inggris, abstraksi dibuat dalam bahasa Indonesia. Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata. 4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote); 5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain; 6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah maksud dan isi tulisan; 7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim; 8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi; 9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi finansial; 10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi. Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional Kementerian Luar Negeri Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044 Email: [email protected] http://pustakahpi.kemlu.go.id/ 183