MENCARI PARADIGMA BARU MANAJEMEN MONETER

advertisement
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
5
MENCARI PARADIGMA BARU MANAJEMEN MONETER
DALAM SISTEM NILAI TUKAR FLEKSIBEL:
Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia
Hartadi A. Sarwono, dan Perry Warjiyo *)
Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya masih menggunakan paradigma lama
yang mengandalkan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalam
mempengaruhi kegiatan ekonomi. Perekonomian Indonesia yang berubah cepat dan semakin terbuka, khususnya
sejak langkah-langkah deregulasi di segala bidang sejak tahun delapan puluhan, ditengah-tengah lingkungan
perekonomian dunia yang semakin terintegrasi, telah menyebabkan paradigma lama sistem pengendalian moneter
dengan sasaran kuantitas (monetary aggregates targetting) tersebut menjadi semakin kurang relevan. Lebih
dari itu, deregulasi dan globalisasi selama ini juga telah mendorong sektor keuangan berkembang sangat
cepat ke arah bekerjanya mekanisme pasar, timbulnya inovasi produk-produk keuangan baru dan gejala
sekuritisasi, membaurnya operasi bank dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya, serta terjadinya
transnasionalisasi keuangan. Kesemuanya ini menyebabkan proses penciptaan uang lebih banyak lagi terjadi
di luar kendali otoritas moneter sehingga pelaksanaan kebijakan moneter sering menjadi kurang efektif.
Di sisi lain, pasar keuangan dunia yang semakin terintegrasi dan ditunjang oleh semakin pesatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah menyebabkan perpindahan modal bergerak lebih cepat
dan seringkali dalam jumlah yang besar mengikuti perkembangan ekonomi dan perubahan kebijakan suatu
negara. Sebagai akibatnya, hampir tidak mungkin bagi otoritas moneter suatu negara untuk mengendalikan
secara pasti perkembangan agregat-agregat moneter di dalam negeri. Sasaran agregat moneter yang diinginkan
otoritas moneter sering tidak dapat dicapai karena arus modal internasional yang keluar maupun masuk dalam
jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat. Pengalaman kita selama ini menunjukkan semakin sulitnya
mengarahkan agregat moneter sesuai dengan yang dikehendaki, terutama dalam jangka pendek. Masalah ini
terjadi karena uang beredar memang berada diluar kendali otoritas moneter, dimana perkembangannya lebih
banyak dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan bukan sebaliknya.
Tulisan ini ingin mengajukan proposisi mengenai sistem pengendalian moneter dengan penggunaan
suku bunga dan nilai tukar sebagai intermediate target dalam mencapai sasaran akhir yakni inflasi. Mekanisme
transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga dan nilai tukar ini, atau disebut sebagai indikator kondisi
moneter, diharapkan dapat memberikan signal yang lebih cepat kepada otoritas moneter dalam rangka
menstabilisasikan harga.
*) Hartadi A. Sarwono : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected]
Perry Warjiyo
: Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected]
Tulisan ini disarikan dari Makalah SESPIBI angkatan XXI 1996, Hartadi A. Sarwono, dan Makalah SESPIBI angkatan
XXII 1997, Perry Warjiyo
6
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Pendahuluan
S
ejak hampir satu dekade terakhir telah terjadi berbagai perubahan mendasar yang
mempengaruhi pelaksanaan manajemen moneter di Indonesia. Pertama, reformasi
yang dilakukan pada sektor keuangan dan perbankan telah mendorong tumbuh dan
berkembangnya inovasi produk-produk keuangan baru. Dengan berkembangnya produk
tabungan dan ATM, misalnya, sekarang sulit membedakan jenis rekening simpanan yang
ditujukan untuk keperluan transaksi ekonomi dengan untuk maksud tabungan. Proses
sekuritisasi telah semakin berkembang baik di sisi aktiva maupun sisi pasiva bank yang
semakin memperluas berbagai media pembayaran ataupun media simpanan sebagaimana
layaknya diperankan oleh uang. Kesemuanya ini menyebabkan definisi, cakupan, dan
perilaku uang beredar telah pula mengalami perubahan.
Kedua, semakin berkembangnya sektor keuangan telah mendorong kecenderungan
terjadinya proses pemisahan kegiatan (decoupling) antara sektor moneter dengan sektor
riil. Kini uang tidak lagi dipandang sebagai alat pembayaran, akan tetapi juga sebagai
komoditas yang diperdagangkan. Volume perputaran uang di sektor keuangan telah jauh
melebihi kebutuhan pembiayaan di sektor riil. Proses disintermediasi semakin lama semakin
menggejala. Akibatnya, hubungan antara uang beredar dengan berbagai variabel di sektor
riil menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Fungsi permintaan uang yang selama
ini digunakan sebagai salah satu acuan dalam manajemen moneter menjadi kurang stabil
perilakunya.
Ketiga, sukses pembangunan ekonomi Indonesia telah mendorong derasnya aliran
modal masuk dari luar negeri. Sebagian dari aliran dana tersebut berbentuk penanaman
modal langsung ataupun pinjaman jangka menengah dan panjang. Akan tetapi sebagian
lainnya berupa pinjaman dan investasi portofolio pada berbagai surat berharga berjangka
pendek. Aliran modal luar negeri tersebut memang diperlukan untuk menutup kesenjangan
tabungan dan investasi yang masih kita hadapi. Namun aliran dana tersebut, khususnya
yang berjangka pendek, sangat rentan terhadap rumor dan spekulasi sehingga sewaktuwaktu dapat berbalik menjadi aliran dana ke luar negeri. Fenomena demikian menyebabkan
pelaksanaan manajemen moneter menjadi lebih sulit. Pengalaman kita dengan gejolak nilai
tukar Rupiah sejak pertengahan Juli 1997 yang lalu merupakan pelajaran berharga yang
dapat kita tarik dalam hal ini.
Keempat, dan yang paling mendasar, sistim nilai tukar kita telah mengalami
perubahan dari sistim mengambang terkendali dengan rentang intervensi menjadi sistim
nilai tukar fleksibel. Gerakan nilai tukar kini tidak lagi dibatasi oleh rentang intervensi,
akan tetapi lebih mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing.
Akibatnya, fluktuasi nilai tukar Rupiah menjadi semakin tinggi dan sulit diprediksi.
Memang fleksibilitas nilai tukar dapat meringankan beban Bank Indonesia dalam
melakukan sterilisasi atas dampak aliran modal masuk terhadap ekspansi uang beredar di
dalam negeri. Akan tetapi fluktuasi nilai tukar yang tinggi itu sendiri menyebabkan
pergeseran terms of trade yang dapat mempengaruhi permintaan aggregat, disamping
dampak langsungnya terhadap laju inflasi karena imported inflation. Bagaimanapun juga
fluktuasi nilai tukar tersebut harus diperhitungkan secara seksama dalam manajemen
moneter di dalam negeri.
Keempat perubahan mendasar tersebut mengarah pada satu hal: bahwa manajemen
moneter melalui transmisi uang beredar perlu dikaji ulang. Kita tidak bisa lagi terlalu
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
7
mengandalkan pada pencapaian sasaran uang primer dan uang beredar (M1 dan M2)
sebagai ukuran dari keberhasilan manajemen moneter. Hal ini mengingat telah terjadi
perubahan mekanisme transmisi dari kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir
laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan kemantapan neraca pembayaran. Transmisi
kebijakan moneter melalui kuantitas seperti uang beredar dan kredit diyakini tidak sekuat
dulu lagi. Mekanisme transmisi melalui harga seperti suku bunga dan nilai tukar diyakini
lebih mendekati kenyataan di Indonesia dewasa ini dan di masa mendatang. Perubahan
demikian mengharuskan kita untuk membangun rumusan baru mengenai mekanisme
manajemen moneter di Indonesia.
Tulisan ini ingin mengemukakan beberapa pokok pikiran mengenai manajemen
moneter dalam sistim nilai tukar fleksibel yang kiranya dapat diterapkan di Indonesia.
Pada dasarnya ingin diajukan proposisi bahwa manajemen moneter melalui transmisi suku
bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan dengan kondisi perekonomian
dan sektor keuangan Indonesia yang telah semakin maju dan kompeks. Berangkat dari
pemikiran demikian, dalam makalah ini dirumuskan sasaran akhir, sasaran antara dan
variabel indikator, sasaran operational, dan instrumen dari kebijakan moneter yang kiranya
dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan manajemen moneter melalui transmisi
suku bunga dan nilai tukar tersebut.
Agar alur pikir pemaparannya dapat lebih runtut, artikel ini dibagi ke dalam empat
bab. Setelah bab pendahuluan ini, dalam bab Jalur Mekanisme Kebijakan Moneter
Paradigma Lama versus Paradigma Baru akan diulas mengenai perbedaan antara
paradigma lama dan paradigma baru mekanisme transmisi kebijakan moneter sebagai
landasan bagi perumusan manajemen moneter. Selanjutnya dalam bab Merumuskan
Kembali Sasaran Pengendalian Moneter Quantity vs. Price Targeting, akan dibahas pro
dan kontra antara quantity dan price targetting. Bab Paradigma Baru Manajemen Moneter
Indonesia Melalui Jalur Transmisi Suku Bunga dan Nilai Tukar secara rinci akan
menjabarkan manajemen moneter melalui jalur transmisi suku bunga dan nilai tukar yang
kiranya dapat diterapkan di Indonesia. Pemaparannya akan dimulai dengan gambaran
umum mengenai kerangka dasar manajemen moneter dengan mempertimbangkan
kenyataan-kenyataan baru dalam perekonomian kita. Setelah itu akan dibahas secara
berurutan mengenai sasaran akhir, sasaran antara dan variabel indikator, sasaran
operasional, serta instrumen kebijakan moneter yang dipandang dapat mendukung
manajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar tersebut. Bab terakhir
merupakan kesimpulan dan saran dari makalah ini.
Jalur Mekanisme Kebijakan Moneter Paradigma Lama versus Paradigma Baru
Paradigma lama mekanisme transmisi sistem pengendalian moneter beranggapan
bahwa otoritas moneter dapat secara langsung mengendalikan uang primer, kemudian
dengan asumsi bahwa angka pengganda uang cukup stabil dan dapat diprakirakan dengan
baik, maka uang beredar dapat pula dikendalikan. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa
income velocity relatif stabil, otoritas moneter melalui pengendalian uang beredar dapat
mempengaruhi kegiatan ekonomi yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir kebijakan
moneter yang ditetapkan.
Pengalaman kita dalam pengendalian moneter selama ini menuntut untuk mencari
sudut pandang baru mekanisme transmisi tersebut, sehingga pemahaman kita dalam
8
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
melaksanakan kebijakan moneter adalah dalam arti benar-benar “mengendalikan” suatu
policy variable yang diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir. Ini
merupakan suatu tugas yang berat karena menyangkut perubahan yang mendasar dari
sistem pengendalian moneter baik ditinjau dari sisi teoritis dan empiris maupun pelaksanaan
praktis operasionalnya. Kontroversi mengenai topik ini, baik dikalangan peneliti maupun
di tingkat pengambil keputusan, masih sulit untuk direkonsiliasikan. Penelitian yang lebih
mendalam secara teoritis dan empiris, diskusi dan tukar pikiran perlu terus dilanjutkan,
sehingga perubahan mekanisme transmisi sistem pengendalian moneter yang memutarbalikkan paradigma lama lebih mantap lagi untuk dilaksanakan.1
Dalam berbagai literatur ekonomi-moneter, pada dasarnya terdapat empat jalur
transmisi utama yang menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi
perekonomian (Mishkin, 1995, Boediono, 1996, dan BIS 1995), yaitu : jalur suku bunga,
jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur kredit. 2
Jalur suku bunga pada dasarnya merupakan pandangan Keynessian dimana suku
bunga riil jangka panjang paling berpengaruh dalam perekonomian. Pengetatan moneter
mengurangi uang beredar dan dalam jangka pendek akan mendorong naiknya suku bunga
nominal jangka pendek. Apabila kebijakan ini dianggap credible, masyarakat akan
mempunyai ekspektasi bahwa laju inflasi akan menurun di waktu mendatang sehingga
expected inflation menurun atau suku bunga riil jangka panjang meningkat. Permintaan
domestik baik untuk investasi maupun untuk konsumsi akan menurun karena biaya dana
(cost of capital) yang lebih tinggi. Akhirnya laju pertumbuhan ekonomi cenderung lebih
rendah.
Jalur nilai tukar berpandangan bahwa pergerakan nilai tukar paling berpengaruh
bagi perekonomian khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel.
Pengetatan moneter akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jika
suku bunga internasional tidak berubah maka interest rate differential meningkat, dan ini
akan mendorong masuknya dana dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung apresiasi.
Kegiatan ekspor akan menurun dan sebaliknya impor meningkat, sehingga transaksi
berjalan dalam neraca pembayaran akan membaik. Akibatnya, permintaan aggregat akan
menurun dan demikian pula laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.
Jalur harga aset merupakan pandangan Monetarist dimana pengaruh kebijakan
moneter terjadi melalui pergeseran portfolio investasi yang dimiliki masyarakat. Kebijakan
moneter akan mempengaruhi jumlah dana dalam portfolio para pelaku ekonomi (wealth
effect) dan relokasi dari suatu jenis aset ke jenis aset lain dalam portfolio sesuai dengan
expected returns and risks dari masing-masing bentuk aset. Dengan demikian, pengetatan
moneter meningkatkan suku bunga yang mengakibatkan pelaku ekonomi lebih suka
1 Boediono (1996), dalam tulisannya “Merenungkan kembali mekanisme transmisi moneter di Indonesia”, mengatakan
bahwa untuk memulainya perlu dilakukan dengan menggali literatur muktahir, dan menarik pelajaran dari pengalaman
kita maupun dari negara lain.
2 Untuk pembahasan yang lebih rinci, baca Mishkin (1995) dan Boediono (1996b). Sementara itu, BIS (1995)
mengemukakan lima jalur transmisi kebijakan moneter yang sedikit berbeda, yaitu: (a) income/cash-flow channel, (b)
wealth channel, (c) direct interest rate channel on consumption, (d) cost-of-capital channel, dan (e) exchange rate
channel.
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
9
memegang aset dalam bentuk obligasi atau deposito daripada saham. Minat untuk
berinvestasi dalam kegiatan ekonomi riil menjadi berkurang sehingga laju pertumbuhan
ekonomi menurun.
Jalur kredit berpendapat bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatan
ekonomi terjadi melalui perubahan perilaku bank dalam menyalurkan kreditnya kepada
nasabah. Pengetatan moneter akan menurunkan net worth pengusaha sehingga berakibat
pada menurunnya nilai jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank. Resiko yang
dihadapi bank menjadi meningkat sehingga bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan
kredit (adverse selection). Menurunnya net worth juga akan mendorong nasabah untuk lebih
berani mengusulkan proyek-proyek yang menjanjikan tingkat hasil yang tinggi akan tetapi
dengan tingkat resiko kegagalan yang tinggi pula (moral hazard). Dan ini meningkatkan
resiko kredit macet bank-bank. Dengan demikian dampak dari pengetatan moneter terhadap
penurunan permintaan aggregat dan laju pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan oleh
menurunnya kredit yang disalurkan bank-bank baik karena faktor adverse selection maupun
untuk menghidari moral hazard nasabah.
Bagaimana transmisi kebijakan moneter di Indonesia selama ini? Telah dikemukan
bahwa berbagai perubahan mendasar yang terjadi dalam perekonomian kita telah
menyebabkan efektivitas kebijakan moneter yang selama ini ditempuh menjadi kurang
efektif. Paradigma lama yang mengatakan bahwa otoritas moneter dapat mempengaruhi
permintaan aggregat melalui pengendalian uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran
antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional perlu dikaji ulang (Boediono,
1994). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa hubungan antara uang beredar, laju
inflasi, dan laju pertumbuhan ekonomi menjadi semakin lemah sejak reformasi keuangan
di Indonesia (Bond, et. al., 1994).3 Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya. Jumlah uang
beredar baik M1 maupun M2 sangat dipengaruhi oleh perkembangan kegiatan ekonomi,
sehingga seakan-akan merupakan arus balik yang sangat kuat mempengaruhi
perkembangan uang primer. Dengan demikian, paradigma lama yang menyatakan bahwa
jumlah atau kuantitas uang beredar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas moneter
menjadi tidak berlaku. Karena itu manajemen moneter melalui sasaran kuantitas nampaknya
semakin kurang dapat dipertahankan lagi.
Semakin berkembangnya peran pasar dalam perekonomian nampaknya cenderung
menyebabkan semakin pentingnya transmisi kebijakan moneter melalui “harga” uang atau
suku bunga. Paradigma baru ini juga tidak terlepas dari semakin majunya sektor keuangan
kita dengan berbagai karakteristik seperti majunya inovasi produk keuangan, proses
sekuritisasi, maupun proses decoupling antara sektor moneter dengan sektor riil. Uang
sekarang telah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Karena itu “harga” uang
menentukan perputaran uang, alokasi uang dari berbagai jenis investasi, serta kegiatan
perekonomian secara keseluruhan.
Suku bunga merupakan “harga” uang yang terpenting dalam perekonomian sehingga
merupakan jalur transmisi kebijakan moneter yang diyakini lebih mendekati kenyataan
3 Lihat misalnya Bond, et. al..(1994) yang meneliti hubungan antara M1 dan M2 dengan laju inflasi dan laju pertumbuhan
ekonomi dari kuartal pertama tahun 1985 hingga 1994. Hasilnya menunjukkan hubungannya sangat lemah sehingga
disimpulkan bahwa uang beredar kurang tepat dipergunakan sebagai sasaran antara.
10
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
(Bond, 1994).4 Hal ini dikarenakan suku bunga menentukan keputusan mengenai alternatif
investasi di masyarakat. Kenaikan suku bunga, misalnya, akan menyebabkan investasi
dan konsumsi di sektor riil menjadi kurang menarik. Masyarakat akan lebih tertarik untuk
menanamkan dananya pada tabungan, deposito maupun obligasi. Perpindahan dana dari
sektor riil ke sektor moneter menyebabkan permintan aggregat dan laju pertumbuhan
ekonomi menurun. Mekanisme kebijakan moneter melalui jalur transmisi suku bunga
pernah diajukan oleh Sarwono (1996).
Akan tetapi dalam ekonomi terbuka dengan sistim nilai tukar fleksibel “harga” uang
yang lain yaitu nilai tukar Rupiah juga menjadi semakin penting. Telah dikemukakan di
atas bahwa kebijakan moneter mempengaruhi nilai tukar dan sistim nilai tukar fleksibel
mendorong fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Gerakan nilai tukar mengubah harga
relatif sehingga mempengaruhi perkembangan ekspor dan impor. Selanjutnya gerakan
nilai tukar tersebut akan mempengaruhi permintaan aggregat, laju pertumbuhan ekonomi,
dan laju inflasi. Di berbagai negara yang menganut sistim nilai tukar fleksibel menunjukkan
bahwa jalur nilai tukar menjadi semakin penting dalam mentransmisikan kebijakan moneter
(BIS, 1995).5
Paradigma baru yang lebih meyakini jalur suku bunga dan jalur nilai tukar sebagai
jalur utama transmisi kebijakan moneter bukan berarti memandang kurang pentingnya
jalur kredit. Kecenderungan adverse selection dan moral hazard merupakan fenomena yang
sering dijumpai dalam bisnis perbankan. Akan tetapi kenyataan ini pada dasarnya
merupakan dampak lanjutan dari perubahan suku bunga dan nilai tukar tersebut. Demikian
pula mengenai jalur harga asset. Pada dasarnya ada tiga harga asset dalam perekonomian,
yaitu: suku bunga pada pasar uang Rupiah, nilai tukar pada pasar valuta asing, dan harga
saham pada pasar modal. Keseimbangan pada ketiga pasar ini dapat direfleksikan pada
dua dari tiga harga asset tersebut.6 Dengan demikian gerakan suku bunga dan nilai tukar
secara otomatis juga merefleksikan gerakan harga saham.
Dasar pemikiran di atas mengarah pada suatu pandangan bahwa gerakan suku bunga
dan nilai tukar merupakan variabel penting dalam mentransmisikan pengaruh kebijakan
moneter terhadap kegiatan perekonomian. Karena itu manajemen moneter di Indonesia
hendaknya dibangun atas mekanisme transmisi suku bunga dan nilai tukar yang diyakini
lebih mendekati kenyataan daripada transmisi melalui uang beredar yang selama ini
dipergunakan sebagai dasar pijakan.
4 Bond (1994) menunjukkan secara empiris bahwa hubungan antara suku bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuat
dibandingkan dengan hubungan antara uang beredar dengan laju inflasi, sehingga diusulkan agar suku bunga dipergunakan
sebagai sasaran kebijakan moneter.
5 Hasil survei oleh BIS (1995) terhadap mekanisme transmisi kebijakan moneter di berbagai negara maju menunjukkan
kecenderungan demikian, disamping jalur suku bunga sebagai indikator cost of capital dalam melakukan kegiatan
investasi.
6 Ingat bahwa dalam suatu Walrasian system apabila terdapat sebanyak (n) pasar dalam perekonomian, maka keseimbangan
dalam perekonomian dapat diwujudkan apabila terjadi keseimbangan pada (n-1) pasar.
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
11
Merumuskan Kembali Sasaran Pengendalian Moneter
Quantity vs. Price Targeting
Di dalam literatur ekonomi-moneter, yang mendasari dipilihnya kuantitas uang
primer sebagai instrumen pengendalian moneter adalah bahwa jumlah uang primer berada
pada kendali otoritas moneter. Dengan asumsi money multipliers stabil dan dapat
diprakirakan dengan baik, perubahan uang primer akan mempengaruhi komposisi neraca
bank-bank (portofolio bank) yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam
hal ini, perubahan komposisi neraca bank terjadi karena perubahan uang primer (dimana
salah satu komponennya adalah bank reserve), akan diakomodir oleh bank dengan mengubah
komposisi asetnya —utamanya kredit— atas inisiatif bank itu sendiri. Dalam grafik quantity vs price dari uang beredar, money supply menjadi vertikal yang perubahannya
dikendalikan oleh bank sentral, sedangkan sukubunga hanya mengikuti kearah
keseimbangan yang terjadi; sudut pandang teori ini disebut verticalist.7
Sudut pandang verticalist dirasakan kurang relevan dengan berkembangnya sistem
keuangan (financial system) yang semakin maju dan efisien yang ditandai dengan adanya
transnasionalisasi keuangan, inovasi produk-produk baru, gejala sekuritisasi, dan
membaurnya operasi bank-bank komersial dengan lembaga keuangan lainnya.
Terintegrasinya pasar keuangan dunia telah pula menyebabkan operasi lembaga keuangan
tidak lagi terbatas pada suatu negara atau wilayah (borderless world). Uang dan kredit
mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti perputaran roda kegiatan ekonomi.
Implisit dalam perkembangan ini, kegiatan ekonomi mencari sumber pembiayaannya
sendiri yang tidak lagi terbatas pada suatu negara ataupun suatu lembaga keuangan
tertentu.8 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah mendorong
terciptanya sistem pembayaran (payment system) dengan instrumen yang lebih modern
seperti credit card, debit card, automatic teller machine, electronic funds transfer, dan pointofsale.
Demikian pula, bermunculan inovasi-inovasi baru dalam berbagai bentuk turunan dari
financial assets (derivatives) seperti swap, option, financial futures.
Perkembangan sistem keuangan dan sistem pembayaran dewasa ini mengaburkan
pengertian uang yang kini lebih dari sekedar uang kertas dan logam atau fiat money
melainkan telah meluas menjadi credit money. Sebagai akibatnya, aktivitas penciptaan uang
oleh sistem keuangan meluas dan berlipat ganda melebihi penciptaan uang oleh bank
sentral. Jumlah atau kuantitas uang beredar tidak lagi dapat dikendalikan secara pasti
oleh bank sentral, karena semakin banyak ditentukan dari sisi permintaan (demand determined). Nasabah bank dan lembaga keuangan lainnya baik secara individual maupun
secara agregat menentukan rencana kegiatan ekonominya yang tercermin dari kebutuhan
pembiayaannya, yang selanjutnya diterjemahkan kedalam permintaan akan uang.
Perkembangan ini menyebabkan berubahnya trend dan kestabilan dari money multipliers
dan velocity of money; padahal, pengendalian kuantitas uang beredar sangat tergantung
dari kestabilan kedua parameter ini.
7 Lihat, Basil J. Moore (1988) dalam bukunya “Horizontalists and Verticalists : the Macroeconomics of Credit Money”.
8 Literatur menarik mengenai phenomena deregulasi dan globalisasi pasar keuangan dunia dapat dilihat pada Kenichi
Ohmae “The End of The Nation State”, dan Yasuke Kashiwagi “The Emeregence of Global Finance”.
12
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Dengan demikian, sudut pandang lama yang beranggapan bahwa permintaan agregat
dan kegiatan perekonomian ditentukan oleh pengendalian uang beredar (verticalist) secara
perlahan namun pasti akan berubah haluan sejalan dengan perkembangan sistem keuangan
(financial system) dan sistem pembayaran (payment system) yang bekerja lebih efisien
didasarkan pada mekanisme pasar. Mekanisme transmisi yang terjadi adalah sebaliknya;
uang beredar dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi yang dibiayai oleh kredit bank dan
lembaga keuangan lainnya pada suatu harga (sukubunga) tertentu dan suatu persyaratan
tertentu. Harga dari sumber dana yang ditentukan oleh sistem keuangan pada dasarnya
dapat dipengaruhi oleh otoritas moneter sebagai supplier dari ujung akhir sumber dana
yaitu uang primer. Bank sentral dapat membuat mahal harga uang di pasar uang antarbank
yang kemudian ditransmisikan keseluruh spectrum suku bunga jangka menengah-panjang.
Nasabah bank akan memperhitungkan kembali proyeknya; keputusan apakah ia
akan meneruskan atau menunda proyeknya adalah sepenuhnya ditangan nasabah. Sudut
pandang baru ini beranggapan bahwa sukubunga (price) dapat dikendalikan oleh otoritas
moneter, dan uang beredar (quantity) akan berubah mengikuti keseimbangannya. Dalam
grafik quantity vs price dari uang beredar, kurva money supply menjadi horisontal pada tingkat
sukubunga tertentu yang diinginkan oleh bank sentral, sedangkan kuantitas uang beredar
bergerak kearah kesimbangan permintaan dengan penawaran. Oleh karena itu, sudut
pandang baru ini disebut horizontalist. Bank sentral tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mempengaruhi sukubunga jangka pendek pada suatu tingkat dimana kuantitas uang
beredar yang terjadi akan ditentukan oleh permintaan sistem keuangan. Sistem keuangan
berada pada posisi sebagai supplier dari uang beredar sesuai dengan jumlah kredit yang
diperlukan untuk membiayai kegiatan ekonomi, sehingga dalam sudut pandang baru ini
uang beredar pada dasarnya adalah credit driven.
Dalam literatur ekonomi-moneter classic, berbeda dengan padangan Currency School
yang dipelopori oleh Locke dan Hume, Banking School yang dipelopori oleh Tooke dan
John Stuart Mill, menyatakan bahwa dalam perekonomian modern dengan sistem keuangan
yang telah maju dan efisien, uang lebih dari sekedar uang kertas dan logam (fiat money)
karena uang dapat tercipta dengan aktivitas pemberian kredit oleh bank dan lembaga
keuangan lainnya. Kuantitas uang beredar dalam arti credit money bereaksi secara pasif
sesuai dengan perubahan permintaan akan kredit (credit driven). Perbedaan kedua pendapat
tersebut dewasa ini telah berkurang, para akademisi dan praktisi bank sentral menyadari
bahwa perkembangan sistem keuangan dan sistem pembayaran tidak lagi membatasi uang
hanya sebagai uang kertas dan logam tetapi telah berkembang menjadi credit money yang
dapat tercipta oleh adanya permintaan.9
Sementara itu, perkembangan yang telah terlihat lebih nyata sebagai akibat dari
deregulasi dan globalisasi di sektor keuangan adalah semakin likuidnya tabungan dan
deposito karena ada yang dapat ditarik sewaktu-waktu dan perhitungan bunganya dapat
dilakukan atas dasar harian. Giro bank sebagian telah pula diberikan jasa giro untuk lebih
menarik nasabah karena semakin tingginya kompetisi antarbank. Perkembangan ini
mengakibatkan substitusi diantara komponen uang beredar (monetary assets) menjadi
semakin dekat (close substitutes). Perubahan elastisitas substitusi (elasticity of substitution)
9 Studi literatur mengenai teori pengendalian moneter dapat dilihat misalnya pada: Harris (1981) & Moore (1988).
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
13
diantara komponen uang beredar ini, antara lain mengakibatkan tidak stabilnya money
multipliers dan perlunya dilakukan redefinisi dari uang dalam arti sempit (M1) maupun
dalam arti yang lebih luas lagi (M2 dan M3) karena komponen-komponennya telah menjadi
semakin dekat hubungannya. Demikian pula, persamaan permintaan uang (demand for
money) perlu dilakukan reestimasi untuk menjawab pertanyaan apakah ketidakstabilan
persamaan tersebut diakibatkan oleh definisi uangnya yang salah ataukah hubungan antara
uang beredar dengan output dan inflasi memang telah terputus. Kita ketahui bahwa
kestabilan persamaan permintaan uang ini merupakan prasyarat bagi efektivitas
pengendalian kuantitas uang beredar.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa perkembangan yang cepat di sektor
keuangan, telah mengurangi kemampuan bank sentral dalam mengendalikan besaran atau
kuantitas uang beredar. Dengan semakin meluasnya transnasionalisasi keuangan, inovasi
produk dan proses keuangan, serta gejala sekuritisasi aset, maka penciptaan uang beredar
semakin banyak terjadi di luar otoritas moneter. Perkembangan ini menyebabkan kestabilan
dari persamaan permintaan uang, multipliers, dan velocity yang menjadi terganggu, padahal
kesemuanya ini merupakan prasyarat bagi efektivitas pengendalian jumlah uang beredar.
Sementara itu, perkembangan pembiayaan ekonomi yang semakin meluas yang tidak saja
melibatkan bank dan lembaga keuangan lainnya tetapi juga melibatkan cara pembiayaan
yang lebih luas dari instrumen konvensional (kredit), telah menekankan pentingnya
mekanisme transmisi pengendalian moneter melalui sukubunga.
Paradigma Baru Manajemen Moneter Indonesia
Melalui Jalur Transmisi Suku Bunga dan Nilai Tukar.
Kebijakan Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
Pertanyaan pertama yang perlu kita jawab dalam memahami kebijakan moneter
dalam sistim nilai tukar fleksibel adalah bagaimana sistim nilai tukar tersebut akan
dilaksanakan di Indonesia. Kesepakatan umum dewasa ini mengarah pada suatu pendapat
bahwa gerakan nilai tukar akan dibiarkan sesuai kekuatan pasar, namun intervensi Bank
Indonesia tetap dimungkinkan apabila kondisi memang memerlukan. Pernyataan inilah
yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Bahwa intervensi memang diperlukan
dapat dimengerti karena di negara manapun yang menganut sistim nilai tukar fleksibel
pernah dan perlu melakukan intervensi.10 Namun intervensi tersebut biasanya tidak
diarahkan untuk mencapai suatu “level” tertentu, apalagi “level” yang dianggap sebagai
tingkat nilai tukar ekuilibrium, kecuali apabila memang diyakini telah terjadi exchange rate
misalignment (Edwards, 1994).11 Anggapan dasar ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel
10 Kesepakatan negara-negara G-7 untuk secara bersama-sama melakukan intervensi untuk mengatasi semakin menguatnya
dolar Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan Plaza Accord tahun 1992 merupakan contoh populer dalam kasus
ini. Dalam pertemuan negara-negara G-7 memang pergerakan nilai tukar merupakan salah satu agenda yang sering
dibicarakan.
11 Edwards (1994) berpendapat bahwa intervensi diperlukan apabila misalignment tersebut disebabkan oleh kesalahan
kebijakan ekonomi makro (macroeconomic induced misalignment) atau oleh perubahan struktural dalam ekonomi
(structural induced misalignment).
14
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
adalah keyakinan bahwa pasar telah berkembang secara efisien sehingga mampu
menentukan sendiri tingkat ekuilibrium nilai tukar tersebut. Bahkan apabila terjadi suatu
kejutanpun, efisiensi pasar dapat secara cepat menyesuaikan tingkat ekuilibrium tersebut
ke tingkat yang baru. Dengan demikian, intervensi Bank Indonesia hanya diperlukan apabila
terdapat gejala ketidakrasionalan perilaku pasar sehingga menghalangi bekerjanya pasar
tersebut secara efisien. Menurunnya secara drastis kepercayaan pelaku pasar dan
masyarakat luas terhadap gerakan nilai tukar yang mengarah pada terjadinya kepanikan
yang meluas merupakan kondisi pokok diperlukannya intervensi Bank Indonesia di pasar.
Implikasi dari ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel tersebut cukup mendasar
bagi perekonomian Indonesia.12 Fluktuasi dan karenanya ketidakpastian mengenai gerakan
nilai tukar Rupiah jelas akan menjadi tinggi. Peranan ekspektasi pelaku pasar dan
masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar
(Dornbusch, 1976).13 Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi
tingkat harga di dalam negeri karena banyaknya barang-barang impor (imported inflation)
.
Harga relatif (real effective exchange rates) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh
terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakin
perlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga
dapat terpengaruh. Pendeknya fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi
sasaran-sasaaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang
hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro.
Bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perkembangan berbagai variabel
ekonomi? Yang jelas, dalam sistim nilai tukar fleksibel Bank Indonesia dapat lebih bebas
dalam melaksanakan kebijakan moneter dalam negeri karena tidak dituntut untuk
melakukan sterilisasi atas dampak aliran dana masuk terhadap perkembangan uang beredar
untuk mempertahankan suatu tingkat atau kisaran nilai tukar tertentu. Dengan demikian,
pengendalian moneter dapat lebih difokuskan pada pencapaian sasaran-sasaran di dalam
negeri. Dalam hal melakukan suatu kontraksi, misalnya, ketatnya likuiditas akan mendorong
meningkatnya suku bunga di dalam negeri. Aliran dana masuk dari luar negeri akan
meningkat dan menyebabkan nilai tukar Rupiah cenderung apresiasi. Permintaan domestik
baik konsumsi maupun investasi akan menurun karena tingginya suku bunga dan
menurunnya harga relatif. Laju pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah. Laju
inflasi juga akan menurun baik karena apresiasi nilai tukar maupun karena menurunnya
permintaan domestik. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam sistim nilai tukar
fleksibel kebijakan moneter dapat lebih efektif dalam mempengaruhi gerakan ekonomi
dalam jangka pendek (Guitan, 1994a; Flood dan Musa, 1994).14
12 Model Mundell-Flemming merupakan acuan pokok dalam membahas hubungan berbagai variabel ekonomi dalam
ekonomi terbuka dengan sistim nilai tukar fleksibel. Dornbusch (1980) membahas lebih mendalam model ini dan
perluasannya dengan memasukkan faktor ekspektasi, rigiditas harga dalam negeri, serta kebijakan stabilisasi yang
diperlukan dalam masalah ini.
13 Bahkan ekspektasi tersebut dapat menyebabkan fluktuasi nilai tukar menjadi overshooting, dalam arti bahwa penyesuaian
nilai tukar dalam jangka pendek atas terjadinya suatu kejutan ekonomi tertentu jauh lebih besar dari yang dapat
diperkirakan dalam jangka panjang. Baca Dornbusch (1976) untuk mendalami permasalahan ini.
14 Ingat bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap laju inflasi. Dengan demikian,
penggunaan kebijakan moneter yang lebih aktif (dengan discretion daripada rule) hanya dimaksudkan untuk
mempengaruhi gerakan ekonomi dalam jangka pendek. Tulisan Guitian (1994a) serta Flood dan Mussa (1994) merupakan
referensi yang baik dalam memahami berbagai permasalahan dalam manajemen moneter.
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
15
Akan tetapi independensi tersebut menuntut disiplin yang lebih tinggi dalam
pelaksanaan kebijakan moneter. Hal ini mengingat kejutan-kejutan yang terjadi pada pasar
uang dapat mempunyai dampak yang merugikan bagi perekonomian. Ekspansi moneter
yang berlebihan, misalnya, akan mendorong suku bunga lebih rendah, menurunnya aliran
dana masuk atau bahkan terjadinya aliran dana ke luar negeri, depresiasi nilai tukar, serta
meningkatnya permintaan domestik, laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi (Guitan,
1994b).15 Yang perlu dikhawatirkan adalah ketidakdisiplinan kebijakan moneter tersebut
dalam jangka pendek dapat mendorong fluktuasi nilai tukar Rupiah yang lebih besar karena
kecenderungan overshooting yang disebabkan oleh rigiditas harga-harga di dalam negeri
(Dornbusch, 1976).
Kerangka Dasar Manajemen Moneter
Kerangka dasar manajemen moneter yang diterapkan di berbagai bank sentral pada
umumnya tidak banyak berbeda. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran-sasaran
akhir yang menjadi tugas pokoknya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan
keseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi yang lain, bank sentral hanya mampu
mempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah
pengendaliannya. Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang
hendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan, dengan suatu mekanisme tertentu
yang diasumsikan, dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaran
antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang diinginkan.
Alur mekanisme manajemen moneter demikian dapat digambarkan sebagai: instrumen
kebijakan moneter → sasaran operasional → sasaran antara → sasaran akhir (Friedman,
1975).16
Perbedaan pokoknya terdapat pada sedikitnya dua hal. Pertama, pemilihan variabel
ekonomi yang dipergunakan sebagai sasaran operasional dan sasaran antara perlu
disesuaikan dengan keyakinan perumus kebijakan atas mekanisme transmisi kebijakan
moneter dan kondisi perekonomian yang diantisipasikan. Dengan demikian, apabila
transmisi melalui suku bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan dalam
perekonomian Indonesia, maka manajemen moneter akan menggunakan suku bunga dan
nilai tukar sebagai sasaran operasional dan sasaran antara.
Kedua, semakin maju dan kompleksnya perekonomian dan sektor keuangan kita
menyebabkan hubungan antara berbagai variabel dalam perekonomian menjadi semakin
kompleks dan sulit diprediksi. Kecenderungan ini mendorong perumus kebijakan tidak
boleh secara kaku dan dogmatis hanya meyakini suatu mekanisme kebijakan moneter
tertentu. Perumus kebijakan harus mampu menggali dan mengintepretasikan berbagai data
dan informasi untuk semakin mendalami perkembangan perekonomian pada waktu
15 Guitan (1994b) memberikan referensi yang bagus dalam mereview kelebihan dan kekurangan sistim nilai tukar tetap
dan fleksibel. Antara lain dikatakan bahwa sistim fleksibel lebih baik apabila sebagian besar kejutan dalam ekonomi
berasal dari sektor eksternal dan sektor riil, sementara sistim kurs tetap lebih unggul untuk menghadapi kejutan nominal domestik.
16 Kerangka dasar manajemen moneter seperti ini telah banyak dibahas dalam literatur ekonomi. Baca misalnya Friedman (1975).
16
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
sekarang dan arahnya ke depan. Meskipun suatu kerangka dasar manajemen moneter telah
diletakkan, peran dari variabel-variabel indikator menjadi semakin penting. Dengan kata
lain, pendekatan pragmatis dan eklektik dalam manajemen moneter nampaknya merupakan
alternatif yang banyak ditempuh di berbagai negara (Madigan, 1994; Sawamoto dan
Ichikawa, 1994).17 Pendekatan demikian kiranya dapat pula dilakukan di Indonesia seperti
pernah dinyatakan oleh Gubernur Bank Indonesia (Djiwandono, 1994).
Dengan pemikiran di atas, maka manajemen moneter di Indonesia dapat dilakukan
dengan mekanisme sebagaimana digambarkan pada lampiran. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang akan dikemukakan secara rinci pada bagian-bagian di bab ini, dalam
skema tersebut digambarkan bahwa sasaran akhir manajemen moneter adalah laju inflasi
dan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai sasaran akhir ini, Bank Indonesia akan
memonitor secara seksama Indikator Kebijakan Moneter (IKM) yang mencerminkan
pengaruh suku bunga deposito atau kredit dan real effective exchange rate (REER) terhadap
tekanan permintaan aggregat. Bank Indonesia juga perlu memonitor berbagai variabel
indikator lainnya, khususnya prompt indicators dan leading indicators, untuk lebih memahami
perkembangan perekonomian terkini dan arahnya di masa mendatang. Selanjutnya gerakan
IKM tersebut akan dipengaruhi dengan perkembangan suku bunga jangka pendek seperti
suku bunga PUAB, suku bunga SBI atau tingkat diskonto SBPU sebagai sasaran operasional.
Dalam pelaksanaannya, manajemen moneter dengan mekanisme di atas akan ditempuh
dengan instrumen sebagaimana yang telah dipergunakan selama ini yaitu Operasi Pasar
Terbuka (OPT), reserve requirement, fasilitas diskonto, dan moral suasion.
Sasaran Akhir
Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran akhir
kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran. Berbagai perubahan mendasar
yang dikemukan pada bab pendahuluan, khususnya sistim nilai tukar fleksibel,
mengharuskan kita untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat
diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Yang jelas, dalam sistim yang baru
kebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk mencapai sasaran peningkatan
ekspor dan karenanya kemantapan neraca pembayaran. Seperti telah dijelaskan, dalam
sistim nilai tukar fleksibel gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan
pasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasi
tertentu untuk mendorong ekspor.
Dengan demikian dalam sistim yang baru kebijakan moneter lebih difokuskan pada
pengendalian permintaan aggregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkan
untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang
disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan aggregat dengan output potensial
(output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi
dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan
ekonomi dapat lebih tinggi akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi
17 Bahkan Amerika Serikat dan Jepang juga menempuh pendekatan yang pragmatis dan eklektik dalam manajemen
moneternya. Baca Madigan (1994) untuk manajemen moneter di Amerika Serikat serta Sawamoto dan Ichikawa (1994)
untuk Jepang.
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
17
pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil
untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi
yang dianggap paling “optimal”.
Beberapa pendapat mengemukan perlunya Bank Indonesia lebih memfokuskan pada
pencapaian satu sasaran yang diprioritaskan yaitu laju inflasi. Bank-bank sentral di berbagai
negara seperti Kanada, Selandia Baru dan Australia juga telah mengarah pada pencapaian
sasaran tunggal seperti ini. Bahkan Stanley Fischer (1994), Deputy Managing Director
IMF, juga menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi target utama kebijakan
moneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat berpengaruh terhadap laju inflasi,
meskipun dalam jangka pendek mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Guitan,
1994a). Selain itu, pencapaian sasaran tunggal tersebut tidak saja dapat menghilangkan
trade-off antara sasaran-sasaran yang hendak dicapai akan tetapi juga dapat meningkatkan
accountability dan credibility dari bank sentral yang bersangkutan. Pendapat demikian dapat
saja diterapkan untuk Indonesia. Dalam konteks pemodelan ekonomi, pencapaian sasaran
tunggal laju inflasi dapat direfleksikan sebagai pengendalian permintaan aggregat untuk
mengurangi output gap sekecil mungkin sesuai dengan sasaran laju inflasi yang ditetapkan.
Dengan kata lain, Bank Indonesia tidak perlu lagi mempertanyakan imbangan antara laju
inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap “optimal” dalam melaksanakan
kebijakan moneternya.
Bagaimana dengan sasaran kemantapan neraca pembayaran? Kebijakan moneter
memang dapat mempengaruhi perkembangan neraca pembayaran melalui pengendalian
permintaan aggregat. Akan tetapi nampaknya kebijakan moneter tidak lagi dapat
difokuskan pada sasaran ini. Seperti telah dikemukakan, dalam sistim nilai tukar fleksibel
kebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk meningkatkan kinerja ekspor. Selain
itu, meskipun dapat mempengaruhi permintaan aggregat, kebijakan moneter akan menjadi
sulit apabila diarahkan pula untuk mempengaruhi komposisi yang “optimal” antara
permintaan domestik dan sektor eksternal dari permintaan aggregat tersebut.
Sasaran Antara
Tercapainya sasaran akhir laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi tersebut akan
sangat tergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi permintaan
aggregat baik konsumsi, investasi maupun transaksi berjalan. Untuk maksud ini Bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi makro yang telah ada (seperti MODBI) untuk
memprakirakan seberapa besar permintaan aggregat yang dianggap aman sesuai dengan
sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Sasaran tersebut
diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam memprakirakan besarnya demand
pressures atau output gap yang dapat ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan
moneter yang dilakukan.
Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat dipergunakan
sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan aggregat tersebut. Dalam hubungan
ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh oleh Kanada, Selandia Baru dan
Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan dalam penerapannya di Indonesia. IKM
pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap aggregate demand
pressures yang dicerminkan pada besarnya output gap sebagai berikut:
18
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
IKM (v) = [ α ( suku bunga (t) - suku bunga (base) ) + β ( REER (t) - REER (base) ) ] * 100
dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan periode
sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan indeks. Suku
bunga yang berpengaruh pada permintaan aggregat pada umumnya adalah suku bunga
menengah-panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau suku bunga kredit dapat
dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku bunga menengah-panjang.
REER adalah real effective exchange rate.
Parameter a dan b diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan aggregat dengan
variabel suku bunga dan REER sebagai variabel bebas. Dengan demikian suatu rasio IKM
yang dicerminkan dengan a/b menunjukkan seberapa kuatnya pengaruh suku bunga
terhadap permintaan aggregat relatif terhadap pengaruh REER. Di Selandia Baru rasio IKM
adalah ½ sehingga menunjukkan bahwa 1% pengaruh kenaikan suku bunga sama dengan
2% apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan aggregat (Huxford dan Reddell,
1996).18 Dengan kata lain, agar permintaan aggregat tidak mengalami perubahan maka
kenaikan suku bunga sebesar 1% harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2%.
Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk mempengaruhi permintaan aggregat
diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Kanada, misalnya, mempunyai rasio IKM
sebesar 1/3 sehingga kenaikan suku bunga 1% yang diimbangi dengan depresiasi nilai tukar
sebesar 3% akan tidak banyak mempengaruhi permintaan aggregat (Freedman, 1994).19
Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar maka
perkembangan IKM dari waktu ke waktu menunjukkan semakin besar tidaknya aggregat
demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan semakin besarnya pengaruh suku bunga
dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan permintaan aggregat tersebut. Dengan kata
lain, gerakan IKM menunjukkan ketat tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditem
puh. Apabila Bank Indonesia ingin mengetatkan pengendalian moneter untuk
mengantisipasi tekanan permintaan aggregat yang semakin besar maka IKM diupayakan
untuk dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu.20
Dalam kondisi perekonomian dan sektor keuangan kita yang semakin kompleks,
Bank Indonesia hendaknya tidak mengandalkan satu indikator seperti IKM saja untuk
mengarahkan manajemen moneter dalam mencapai sasaran akhir yang diinginkan. Berbagai
variabel lain perlu dipergunakan sebagai variabel indikator ataupun variabel informasi
dalam rangka lebih memahami perkembangan perekonomian dan arahnya ke depan. Dalam
hubungan ini, pertumbuhan uang beredar (M1 dan M2) dan kredit dapat dipergunakan
untuk menunjukkan tekanan permintaan aggregat di masa mendatang.21 Perkembangan
18 Untuk mendalami lebih lanjut manajemen moneter di Selandia Baru dengan menggunakan IKM, baca Huxford dan
Reddell (1996) serta Economics Department Reserve Bank of New Zealand (1996).
19 Freedman (1994) memberikan penjelasan yang baik mengenai penggunaan IKM dalam manajemen moneter di Kanada.
20 IKM dapat dinyatakan secara nominal atau riil. Dalam jangka pendek perbedaan antara kedua pilihan ini tidak berarti
mengingat actual inflation mendekati expected inflation. Akan tetapi dalam jangka panjang, untuk akurasi penggunaan
IKM secara riil lebih baik sehingga pengaruh expected inflation dapat diperhitungkan.
21 Ingat bahwa pengaruh uang beredar dan kredit terhadap kegiatan ekonomi memerlukan waktu (lag). Dengan demikian,
kenaikan pertumbuhan uang beredar dan kredit saat ini dapat mendorong kenaikan permintaan aggregat di masa yang
akan datang.
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
19
harga saham dan harga properti juga dapat digunakan sebagai indikator mengenai besarnya
tekanan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga asset (asset price inflation). Informasi
lain seperti hasil survei kegiatan usaha, survei konsumsi dan survei-survei yang lain dapat
pula digunakan Bank Indonesia dalam rangka semakin memahami gerakan ekonomi
dimaksud. Berbagai variabel indikator tersebut dapat dikelompokkan sebagai prompt indicators, yaitu indikator yang dapat dipergunakan sebagai deteksi dini perkembangan
ekonomi terkini, dan leading indicators, yaitu indikator yang dapat menunjukkan arah
perkembangan ekonomi di masa mendatang. Kesemua ini pada dasarnya merupakan
cerminan dari pendekatan eklektik dalam manajemen moneter di Indonesia sebagaimana
dikemukakan di atas.
Sasaran Operasional
Pemilihan variabel yang dijadikan sebagai sasaran operasional dalam rangka
mengarahkan gerakan IKM sebagai sasaran antara tersebut merupakan keputusan
selanjutnya yang perlu dilakukan. Dalam hal ini, suku bunga PUAB, suku bunga SBI, atau
tingkat diskonto SBPU merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat
digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada setidaknya dua
pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga jangka
pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau kredit dan
perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh suku bunga jangka pendek tersebut dapat
dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia.
Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan sekaligus
kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU mempunyai
kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Bahkan kedua suku bunga ini
dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran operasional kebijakan moneter.
Perbedaannya terletak pada pandangan perbankan bahwa SBI sebagai alternatif investasi,
sementara SBPU sebagai alternatif pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering
diyakini lebih dekat hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit. Bagaimanapun
juga penelitian yang lebih mendalam diperlukan untuk mengetahui kecepatan perubahan
kedua suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke suku bunga deposito atau
kredit dan nilai tukar Rupiah.
Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih
menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan
penanaman jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi return dan risk
perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih cepat ditransmisikan ke
suku bunga deposito atau kredit. Selain itu, PUAB sering pula dipergunakan sebagai
alternatif sumber pendanaan bagi transaksi di pasar valuta asing karena eratnya keterkaitan
antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian diperkirakan perubahan suku bunga PUAB
lebih cepat pula ditransmisikan ke pergerakan nilai tukar Rupiah.
Penelitian yang pernah dilakukan di Bank Indonesia menunjukkan bahwa penentuan
suku bunga di Indonesia melalui jalur yaitu: suku bunga SBI → suku bunga PUAB → suku
bunga deposito → suku bunga kredit (Bond dan Kurniati, 1994). Apabila hasil penelitian
ini dapat diterima, maka suku bunga PUAB dapat dipergunakan sebagai sasaran operasional
sementara suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU sebagai acuan dalam penggunaan
instrumen kebijakan moneter. Tentunya penelitian dan pengkajian yang lebih seksama
20
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
perlu dilakukan untuk menentukan suku bunga jangka pendek mana yang akan dipilih
sebagai sasaran operasional.
Instrumen Kebijakan
Instrumen yang dipergunakan dalam manajemen moneter pada dasarnya sama
dengan yang ada selama ini, yaitu: Operasi Pasar Terbuka (OPT), reserve requirement,fasilitas
diskonto, dan moral suasion. Demikian pula titik berat pengelolaan moneter tetap pada
penggunaan OPT sebagai instrumen utama. Perbedaannya adalah pada arah dari
penggunaan instrumen manajemen moneter dimaksud. Kalau selama ini instrumen tersebut
lebih diarahkan untuk mencapai sasaran uang primer (M0) pada tingkat tertentu, dalam
sistim yang baru instrumen tersebut perlu lebih difokuskan pada pencapaian sasaran suku
bunga jangka pendek yang diinginkan.
Perbedaan arah dari penggunaan instrumen tersebut tentu saja mempunyai implikasi
pada implementasi manajemen moneter. Lelang SBI tidak lagi menitikberatkan pada
kuantitas SBI yang diperlukan untuk mencapai sasaran uang primer yang ditetapkan dengan
suku bunga SBI sebagai pertimbangan kedua. Dalam sistim yang baru lelang SBI lebih
diarahkan untuk mencapai sasaran suku bunga SBI yang diinginkan dengan kuantitas SBI
sebagai pertimbangan kedua. Suku bunga SBI yang ingin dicapai tersebut tentunya
disesuaikan dengan tingkat atau kisaran suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional
atau, dalam hal suku bunga SBI sekaligus sebagai sasaran operasional, dengan tingkat
IKM yang diinginkan sebagai sasaran antara.
Kesimpulan
Berbagai perubahan mendasar dalam perekonomian dan sektor keuangan telah
menyebabkan paradigma lama manajemen moneter melalui transmisi uang beredar perlu
dikaji ulang. Kita tidak bisa lagi terlalu mengandalkan pada pencapaian sasaran uang primer
dan uang beredar (M1 dan M2) sebagai ukuran dari keberhasilan manajemen moneter.
Hal ini mengingat telah terjadi perubahan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam
mencapai sasaran akhir laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan kemantapan neraca
pembayaran. Transmisi kebijakan moneter melalui kuantitas seperti uang beredar dan
kredit diyakini tidak sekuat dulu lagi. Mekanisme transmisi melalui harga seperti suku
bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan di Indonesia dewasa ini dan di
masa mendatang.
Berdasarkan pemikiran demikian, tulisan ini mengajukan proposisi mengenai
paradigma baru manajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar yang
kiranya dapat diterapkan di Indonesia. Sasaran akhir dari kebijakan moneter hendaknya
lebih dititikberatkan pada pengendalian laju inflasi. Sebagai sasaran antara, Indikator
Kondisi Moneter (IKM) yang merupakan pengaruh gabungan suku bunga dan nilai tukar
terhadap permintaan agregat dapat dipergunakan, disamping berbagai variabel indikator
seperti pertumbuhan uang beredar, kredit, harga saham, harga aset, dan leading indicators.
Operasi Pasar Terbuka hendaknya tetap dipergunakan sebagai instrumen utama kebijakan
moneter dengan mengarahkan lelang SBI pada penentuan suku bunga SBI sesuai mekanisme
pasar untuk mempengaruhi suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional.
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
21
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Juda, “Financial Deregulation and Substitutability of Monetary Assets in
Indonesia”, Department of Economics, University of Birmingham, 1995.
Bernanke, B., and Blinder, A., “The Federal Funds Rate and the Channels of Monetary Transmission”, NBER Working Paper No.3487., 1992.
Blinder, A., “On the Conceptual Basis of Monetary Policy”, Remarks for the Senior
Excecutives Conference of the Mortgage Bankers Association, New York, 1996.
Boediono, “Melihat Kembali Target Moneter Kita : M0, M1, atau M2?”, Catatan
Direktur Bidang Moneter, Bank Indonesia, Oktober 1994.
_____, “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”, Catatan
Direktur Bidang Moneter, Bank Indonesia, Juni 1996.
_____, “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter”, Bahan Kuliah Khusus Sespibi
Angkatan XXI, September 1996.
Bond, Timothy J., et al., “Money, Interest Rates, and Inflation”, URES Discussion
Paper, Bank Indonesia, Juni 1994.
_____, dan Yati Kurniati, “The Determination of Interest rates in Indonesia”, URES
Discussion Paper, Bank Indonesia, Juli 1994.
_____, et al., “Monetary Management with an Exchange Rate Target”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, Agustus 1995.
Djiwandono, Soedradjad J., “Ekonomi Makro dalam Dinamisme Perekonomian
Dunia: Tantangan bagi Pendekatan dan Kebijaksanaan Makro”, Pidato Upacara
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Universitas Indonesia,
Juli 1994.
_____, “Masalah dan Kebijakan Moneter-Perbankan Indonesia: Perannya dalam
Pembangunan dan Perkembangan Dewasa Ini”, Ceramah Gubernur Bank Indonesia pada
Kursus Singkat Angkatan VI Lemhannas, April 1996.
_____, Sambutan Gubernur Bank Indonesia pada Upacara Pembukaan Sespibi
Angkatan XXI, September 1996.
Edey, Malcolm, dan Romalis, John, “Issues in Modelling Monetary Policy”, Reserve
Bank of Australia, May 1996.
Fischer, Stanley, “Central Banking : the Challenges Ahead”, the 25th Anniversary
Sysmposium of the Monetary Authority of Singapore”, May 1996.
Fraser, Bernie, “The Art of Monetary Policy”, Talk by Governor of the Reserve Bank
of Australia in 23rd Conference of Economists, September 1994.
Fuhrer, J.C., and Moore, G.R., “Monetary Policy Trade-offs and the Correlation Between Nominal Interest Rates and Real Output”, American Economic Review, 1995.
22
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Grenville, S.A., “An Overview of Current Issues in Monetary Policy”, Memorandum
to Governor and Managing Director, Bank Indonesia, November 1993.
Grenville, S.A., dan Stebbing, P.W., “Monetary Management the Australian Experience”, International Conference on Monetary Management, Denpasar-Bali, 1994.
Hadad, Muliaman D., “Bank Behaviour in a Changing Regulatory Environtment :
Study of Indonesia 1983-1993”, a Ph.D. Thesis Monash University, April 1996.
Haldane, A.G., “Rules, Discretion and the UK’s NewMonetary Framework”, paper
on Bank of England’s Inflation Targets Conference, Maret 1995.
Harinowo, C., dan Belchere, W., “Monetary and Exchange Rate Management with
International Capital Mobility”, Pacific Basin Central Bank Conference, Hong Kong, October 1994.
Harris, L., “Monetary Theory”, McGraw-Hill Book Company, 1981.
Iljas, Achjar, “Suatu Tinjauan Mengenai Penggunaan Nilai Tukar Sebagai Nominal
Anchor dalam Pengendalian Inflasi di Indonesia”, Makalah Sespibi Angkatan XVII, 1992.
Moore, Basil J., “Horizontalists and Verticalists : the Macroeconomics of Credit
Money”, Cambridge University Press, 1988.
Poole, William, “Monetary Policy Implications of Recent Changes in the Financial
System in the United States and Europe”, the Sixth International Conference organized by
the Institute for Monetary and Economic Studies, Bank of Japan, October 1993.
Sarwono, Hartadi A., Alamsyah, Halim, “Sasaran Pengendalian Uang Beredar : Two
Step Cointegration Approach”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia,1993.
Bank for International Settlements (BIS), Financial Structure and the Monetary Policy
Transmission Mechanism, Basle, March 1995.
_______, et. al., “Monetary Targets”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, August 1994.
Dornbusch, Rudiger, “Expectations and Exchange Rate Dynamics, Journal of Political
Economy, Nomor 84, 1976.
______, Open Economy Macroeconomics, Basic Books Inc., New York, 1980.
Economics Department, Reseve Bank Of New Zealand, “Summary Indicators of
Monetary Condition”, Reserve bank Bulletin, Vol. 59 No. 4, 1996.
Edwards, Sebastian, “Exchange Rate Misalignment in Developing Countries”, dalam
IMF Institute, Approaches to Exchange Rate Policies, Washington, D.C., 1994.
Flood, Robert P. dan Mussa, Michael, “Issues Concerning Nominal Anchors for Monetary Policy”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Stability”, IMF, Washington, 1994.
Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
23
Freedman, C., “The Use of Indicators and of the Monetary Conditions Index in
Canada”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Stability”, IMF, Washington, 1994.
Friedman, Benjamin M., “Targets, Instruments, and Indicators of Monetary Policy”,
Journal of Monetary Economics, Oktober 1975.
Guitan, Manuel, “Rules or Discretion in Monetary Policy: National and International
Perspectives”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Stability”, IMF, Washington, 1994a.
_______, “The Choice of Exchange Rate Regime”, dalam IMF Institute, Approaches to
Exchange Rate Policies, Washington, D.C., 1994b.
Huxford, Julie dan Reddell, Michael, “Implementing Monetary Policy in New
Zealand”, Reserve bank Bulletin, Vol. 59 No. 4, 1996.
Madigan, Brian F., “The Design of U.S. Monetary Policy: Targets, Indicators, and
Information Variables”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli (editors), Frameworks for Monetary Stability, IMF, Washington, 1994.
Mishkin, Frederic S., Symposium on the Monetary Transmission Mechanism, Journal
of Economic Perspectives, Vol. 9, No. 4, Fall, 1995.
Sawamoto, Kuniho dan Ichikawa, Nobuyuki, “Implementation of Monetary Policy
in Japan” dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli (editors), Frameworks for Monetary
Stability, IMF, Washington, 1994.
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
25
PENGGUNAAN SUKU BUNGA SEBAGAI
SASARAN OPERASIONAL
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Perry Warjiyo dan Doddy Zulverdi *)
Salah satu alternatif pendekatan untuk meningkatkan kinerja kebijakan moneter Bank Indonesia adalah
dengan menerapkan sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional.
Berkaitan dengan itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa: i) terdapat suatu keyakinan yang cukup kuat
bahwa transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga menjadi semakin penting dibandingkan dengan transmisi
melalui jumlah uang beredar sehingga penerapan sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga
sebagai sasaran operasional layak untuk dipertimbangkan; ii) terdapat hubungan yang cukup erat antara laju
inflasi dan suku bunga (deposito berjangka satu bulan dan kredit modal kerja); dan iii) suku bunga PUAB
dapat dipertimbangkan untuk menjadi sasaran operasional karena memiliki kaitan yang erat dengan suku
bunga deposito, mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang, dan sekaligus dapat dipengaruhi oleh instrumen
OPT khususnya suku bunga SBPU.
Terdapat beberapa syarat bagi efektivitas sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagai
sasaran operasional, yaitu: i) Sasaran akhir kebijakan moneter sebaiknya diprioritaskan pada pengendalian
underlying/core inflation, yaitu komponen inflasi yang diyakini benar-benar dipengaruhi faktor-faktor moneter;
ii) Untuk meminimalkan pengaruh negatif tekanan-tekanan eksternal terhadap efektivitas kebijakan moneter,
sistem nilai tukar yang fleksibel (mengambang) menjadi pilihan utama dibandingkan dengan sistem nilai
tukar tetap; iii) Anggaran pemerintah harus “fully budget” dalam arti setiap defisit/surplus anggaran harus
setiap saat dibiayai/diserap oleh instrumen utang pemerintah; iv) Untuk memelihara kestabilan permintaan di
pasar uang, kinerja sistem pembayaran harus terus-menerus ditingkatkan.
*) Perry Warjiyo
Doddy Zulverdi
: Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected]
: Peneliti Ekonomi Yunior, Bag. Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI
Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Triono Widodo, Kepala Bagian Studi Ekonomi Makro,
UREM-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Siti Astiyah, Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Analisis dan
Perencanaan Kebijakan, UREM-BI.
26
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Pendahuluan
E
fektivitas pengendalian moneter di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dirasakan
semakin berkurang sebagaimana terlihat pada semakin sulitnya pencapaian sasaransasaran operasional berupa besaran-besaran moneter maupun sasaran-sasaran akhir
khususnya laju inflasi dan neraca pembayaran. Permasalahan ini tampaknya terkait dengan
perkembangan sistem, operasi, dan instrumen pasar keuangan yang pesat dan semakin
kompleks serta peningkatan keterkaitan pasar keuangan domestik dan internasional yang
telah berdampak pada:
• Berubahnya definisi, cakupan, dan perilaku uang beredar.
• Terjadinya proses pemisahan kegiatan antara sektor moneter dan sektor riil sehingga
hubungan antara uang beredar dan berbagai variabel di sektor riil semakin sulit
diprediksi.
• Semakin besar dan cepatnya arus lalu lintas modal sehingga uang beredar dalam jangka
pendek menjadi berfluktuatif dan sulit dikendalikan.
Kondisi tersebut diyakini telah mengubah hubungan-hubungan kausalitas yang
melandasi formulasi kebijakan moneter dan menuntut adanya peninjauan kembali atas
relevansi paradigma monetaris yang selama ini melandasi kebijakan moneter Bank Indonesia. Berbagai negara dengan permasalahan yang sama telah berpaling kepada mekanisme
pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional. Mekanisme ini
didasarkan pada paradigma Keynesian bahwa transmisi kebijakan moneter ke sasaran akhir
tidak secara langsung melalui perubahan volume uang beredar namun melalui perubahan
suku bunga.
Dengan menggunakan analisis grafis dan pengujian ekonometri, studi ini
menunjukkan adanya hubungan-hubungan kausalitas di antara beberapa variabel moneter
yang sejalan dengan pendekatan Keynesian. Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut
serta didukung oleh hasil studi banding di Australia dan Selandia Baru, kami mencoba
menawarkan konsep pengendalian moneter dengan suku bunga sebagai sasaran operasional
untuk Indonesia.
Tulisan ini disajikan dengan rangkaian sebagai berikut. Bab “Evaluasi Atas Efektivitas
Kebijakan Moneter” Selama Ini mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
efektivitas kebijakan moneter dan menjelaskan dampak deregulasi keuangan terhadap
efektivitas kebijakan moneter selama ini. Bab “Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional”
mengulas secara ringkas teori yang melandasi mekanisme pengendalian moneter melalui
suku bunga sebagai sasaran operasional dan merangkum pengalaman Australia dan
Selandia Baru dalam menerapkan mekanisme tersebut. Bab “Kemungkinan Penggunaan
Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional di Indonesia” menyajikan hasil studi empiris
mengenai hubungan kausalitas antara suku bunga dan sasaran akhir kebijakan moneter
(inflasi) serta jenis-jenis suku bunga yang dapat menjadi kandidat sasaran operasional
kebijakan moneter. Selanjutnya, dalam Bab “Konsep Pengendalian Moneter Dengan
Menggunakan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Untuk Indonesia” kami
menyajikan konsep pengendalian moneter dengan menggunakan suku bunga sebagai
sasaran operasional untuk Indonesia. Akhirnya, dalam Bab “Kesimpulan dan Saran” kami
memberikan kesimpulan dan beberapa saran kebijakan serta arahan untuk penelitianpenelitian selanjutnya.
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
27
Evaluasi Atas Efektivitas Kebijakan Moneter Selama Ini
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan Moneter
Kebijakan-kebijakan ekonomi secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu: kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi sisi penawaran agregat, seperti kebijakan
ketenagakerjaan, kebijakan perdagangan, kebijakan perindustrian, dan kebijakan-kebijakan
untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat (atau lebih dikenal sebagai kebijakankebijakan ekonomi makro), seperti kebijakan moneter, fiskal, dan nilai tukar.
Seluruh kebijakan tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat
mempengaruhi berbagai sasaran kebijakan ekonomi seperti laju inflasi, pertumbuhan
ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi
suatu kebijakan idealnya kita harus mampu mengisolasi dampak kebijakan tersebut dari
pengaruh kebijakan-kebijakan lain terhadap sasaran yang dituju.
Mengingat analisis ini ditujukan untuk menilai efektivitas kebijakan moneter dalam
jangka pendek/menengah dan dengan keyakinan bahwa kebijakan di sisi penawaran lebih
banyak berdampak terhadap perkembangan sasaran akhir dalam jangka panjang maka
upaya mengevaluasi efektivitas kebijakan moneter dilakukan tanpa memperhitungkan
pengaruh kebijakan-kebijakan di sisi penawaran.
Ada tiga komponen yang terkandung di dalam setiap kebijakan ekonomi, yaitu
instrumen, sasaran, dan hubungan kausalitas antara instrumen dan sasaran (yang umumnya
dipresentasikan ke dalam suatu model ekonomi).1 Uraian berikut ini akan mencoba
mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter
dengan melihat kinerja ketiga komponen tersebut.
Dalam merancang kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai sasaran akhir
berganda (multi-targeting), keharmonisan policy mix dan ketepatan policy assignment sangat
penting. Landasan teoritis dari konsep keharmonisan policy mix dipelopori oleh pemenang
hadiah Nobel di bidang Ilmu Ekonomi dari Belanda, Jan Tinbergen, sedangkan konsep
ketepatan policy assignment diajukan oleh pakar ekonomi moneter internasional dari Amerika
Serikat, Robert Mundell.
Kerangka kerja Tinbergen didasarkan pada asumsi adanya hubungan linear antara
instrumen-instrumen kebijakan dengan sasaran-sasaran akhir. Salah satu syarat agar
instrumen-instrumen kebijakan tersebut dapat mencapai sasaran-sasaran akhir yang
berbeda secara bersamaan adalah jumlah instrumen yang tersedia minimal harus sama
dengan jumlah sasaran akhir. Selain itu, setiap instrumen harus independen terhadap
instrumen lain. (Lihat Lampiran). Di dalam kerangka kerja Tinbergen, penyebab
ketidakefektivan kebijakan moneter dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
• Apakah jumlah instrumen kebijakan yang tersedia minimal sama dengan jumlah sasaran?
Untuk kasus Indonesia, terdapat tiga sasaran utama kebijakan ekonomi makro yang
ingin dicapai secara bersamaan, yaitu laju inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Dari sisi permintaan, ketiga
1 Sach & Larrain, “Macroeconomics in the Global Economy”, hal. 589.
28
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
sasaran tersebut diupayakan untuk dicapai dengan menggunakan tiga instrumen utama,
yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai tukar. Dengan demikian,
jumlah instrumen yang tersedia sudah sama dengan jumlah sasaran.
• Apakah terdapat pembatasan ruang gerak kebijakan moneter? Di Indonesia tampaknya
tidak ada pembatasan secara eksplisit terhadap besaran-besaran moneter yang dikaitkan
dengan kinerja sisi fiskal. Namun, tampaknya ruang gerak kebijakan moneter sangat
dibatasi oleh sasaran nilai tukar.
• Apakah terdapat hubungan sebab akibat antara berbagai sasaran akhir? Hal ini
tampaknya terjadi di Indonesia. Pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi seringkali
harus mengorbankan pencapaian sasaran laju inflasi.
• Apakah policy mix cocok dengan policy setting? Di dalam sistem ekonomi terbuka dengan
sistem nilai tukar yang relatif tetap seperti yang diterapkan oleh Indonesia sampai dengan
14 Agustus 1997, efektivitas kebijakan moneter sangat berkurang. Dalam situasi ini,
pembebanan tugas yang terlalu berlebihan kepada kebijakan moneter untuk mencapai
berbagai sasaran ekonomi makro hanya akan mendorong timbulnya ekonomi biaya tinggi
(khususnya yang bersumber dari tingginya biaya suku bunga), mendorong masuknya
modal asing berjangka pendek yang bermotif spekulasi, dan mendorong industri
keuangan domestik untuk melakukan/ membiayai kegiatan usaha yang mengandung
resiko tinggi.
Berkaitan dengan pembagian tugas di antara berbagai kebijakan yang tersedia, Robert Mundell mengajukan apa yang dikenal sebagai Mundell’s Assignment Rule. Berdasarkan
aturan tersebut, efektivitas setiap kebijakan tergantung pada kesesuaian pembagian tugas
dengan keunggulan komparatif dari masing-masing kebijakan. Apabila kebijakan moneter
diyakini lebih berpengaruh terhadap laju inflasi daripada kebijakan fiskal sedangkan
kebijakan fiskal diyakini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi daripada
kebijakan moneter maka seyogianya kebijakan moneter hanya diberi tugas untuk
mengendalikan laju inflasi sedangkan pengendalian produksi diserahkan sepenuhnya
kepada kebijakan fiskal.
Efektivitas kebijakan moneter juga ditentukan oleh kemampuan otoritas moneter
dalam mengendalikan instrumen-instrumen yang tersedia. Indikator yang paling sederhana
adalah sejauh mana kemampuan otoritas moneter dalam mengendalikan uang primer.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi efektivitas pengendalian uang primer.
Pertama, derasnya arus keluar masuk modal jangka pendek. Satu hasil penelitian
menemukan bahwa koefisien ofset, yaitu koefisien yang mengukur pengaruh bersih operasi
pasar terbuka (OPT) terhadap jumlah uang beredar, di Indonesia mencapai lebih dari 75%
(Bond, et al). Artinya, setiap Rp 1,00 jumlah uang yang disedot melalui OPT, hanya Rp 0,25
yang benar-benar berhasil disedot sedangkan sejumlah Rp 0,75 mengalir kembali ke
masyarakat melalui peningkatan arus masuk modal dari luar negeri. Kedua, masih
rendahnya tingkat kedalaman pasar uang (atau dalam kerangka analisis pemintaan dan
penawaran kondisi ini tercermin pada kurva permintaan yang sangat tidak elastis). Saat
ini tingkat kedalaman pasar uang baik rupiah maupun valuta asing masih relatif tipis.
Dalam kondisi ini tekanan-tekanan baik yang bersumber dari pesatnya arus keluar masuk
modal maupun tekanan likuiditas lebih banyak ditransmisikan melalui perubahan suku
bunga dan nilai tukar daripada diredam oleh perubahan volume transaksi. Sebagai
konsekuensinya suku bunga dan nilai tukar menjadi sangat fluktuatif. Ketiga, adanya
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
29
segmentasi di sektor perbankan yang menimbulkan perbedaan perilaku di antara berbagai
kelompok bank (contoh: antara kelompok bank-bank pemerintah dan kelompok bank-bank
swasta) dalam menyikapi sinyal-sinyal kebijakan moneter. Keempat, rapuhnya sistem
perbankan akibat praktek-praktek perbankan yang tidak berhati-hati dan sistem
pengawasan yang lemah. Dengan kondisi portofolio yang buruk, walaupun ada kemauan,
bank-bank tidak akan mampu memberikan respons kepada sinyal-sinyal kebijakan moneter.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kredibilitas yang dimiliki
oleh otoritas pengambil kebijakan. Satu konsep yang berkaitan dengan kredibilitas
pengambil kebijakan adalah konsep time consistency. Berdasarkan konsep ini, suatu kebijakan
yang diambil berdasarkan prinsip discretionary akan mendorong para pengambil kebijakan
untuk selalu mengambil kebijakan yang berbeda dengan ekspektasi pasar. Dari sisi
pengambil kebijakan, tindakan ini adalah optimal karena mampu memaksimalkan manfaat
dari kebijakan yang diambil. Namun, apabila tindakan tersebut dilakukan berkali-kali maka
tingkat kredibilitas kebijakan akan turun di mata para pelaku pasar. Untuk Indonesia,
masalah kredibilitas ini tampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Seringkali kita amati
bahwa berbagai sasaran ekonomi makro, khususnya sasaran-sasaran operasional kebijakan
moneter, tidak mampu dicapai. Hal ini telah menurunkan kredibilitas kebijakan pemerintah
dan mendorong masyarakat untuk membentuk ekspektasi yang berbeda dengan apa yang
diinginkan oleh pemerintah.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter adalah adanya
perubahan paradigma hubungan sebab akibat antara instrumen kebijakan dan sasaran akhir
sebagai dampak dari deregulasi sektor keuangan dan meningkatnya keterkaitan antara
pasar keuangan domestik dan internasional.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak kemungkinan faktor penyebab
berkurangnya efektivitas kebijakan moneter. Namun, sebagaimana halnya pengalaman
negara-negara lain ketika mereka menjalani proses transformasi ekonomi dan keuangan,
faktor perubahan paradigma pengendalian moneter sebagai dampak deregulasi dan
globalisasi di sektor keuangan diduga menjadi penyebab utama melemahnya kinerja
kebijakan moneter di Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi
pada upaya untuk menemukan mekanisme transmisi moneter dan kerangka operasional
kebijakan moneter yang tepat untuk Indonesia di dalam konteks paradigma pengendalian
moneter yang telah berubah.
Dampak Deregulasi Keuangan terhadap Efektivitas Kebijakan Moneter
Deregulasi dan globalisasi sektor keuangan membawa pengaruh yang besar terhadap
perekonomian di banyak negara. Reformasi sektor keuangan yang dilakukan Indonesia
dan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand sejak dekade 1980-an
telah meningkatkan efisiensi sektor keuangan dan menjadi salah satu faktor penting yang
mendorong kemajuan ekonomi negara-negara tersebut.2
Di samping dampak positifnya terhadap perekonomian, perubahan yang cepat di
pasar keuangan juga telah memberikan pengaruh negatif terhadap efektivitas kebijakan
2 The International Monetary Fund and the World Bank, Finance Development, March 1994
30
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
moneter. Friedman mengidentifikasi tiga kemungkinan dampak deregulasi keuangan
terhadap kebijakan moneter. Pertama, deregulasi suku bunga dan nilai tukar serta integrasi
pasar-pasar keuangan di dunia akan mengubah proses transmisi kebijakan moneter. Kedua,
inovasi-inovasi keuangan akan menyebabkan tidak stabilnya hubungan antara harga
(inflasi) dan uang (besaran moneter). Ketiga, semakin meningkatnya mobilitas modal akan
mempersulit pencapaian dua sasaran akhir, yaitu stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar,
dalam waktu bersamaan.3 Pengalaman di beberapa negara maju seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, dan beberapa negara Eropa, serta hasil penelitian IMF menunjukkan
bahwa setelah era reformasi sistem keuangan hubungan antara pertumbuhan uang beredar
dan kegiatan ekonomi serta inflasi cenderung menjadi tidak stabil. 4 Akibatnya,
perkembangan jumlah uang beredar menjadi tidak mampu lagi memberikan indikasi arah
perkembangan inflasi maupun produksi secara akurat. Kondisi tersebut menyebabkan
banyak negara tidak lagi menggunakan besaran-besaran moneter sebagai variabel sasaran
kebijakan moneter. Kini banyak negara menggunakan suku bunga dan nilai tukar sebagai
sasaran operasionalnya.
Di Indonesia, kinerja pencapaian sasaran-sasaran moneter seperti M1 dan M2
cenderung menurun (lihat Grafik 1 dan 2). Kinerja pencapaian sasaran M0 juga memiliki
kecenderungan yang sama (lihat Grafik 3). Seiring dengan menurunnya kinerja pencapaian
sasaran-sasaran moneter, kinerja pencapaian sasaran-sasaran akhir terutama laju inflasi
dan neraca pembayaran tampak semakin sulit. Sasaran inflasi yang dalam Repelita V dan
VI ditetapkan sebesar rata-rata 5% per tahun tidak pernah berhasil dicapai. Defisit transaksi
berjalan dalam tiga tahun terakhir semakin membengkak sementara struktur neraca modal
semakin didominasi oleh modal jangka pendek yang mengandung resiko tinggi.
Gejala penurunan efektivitas kebijakan moneter tersebut tidak terlepas dari dampak
deregulasi di sektor finansial yang telah dimulai sejak tahun 1983. Deregulasi tersebut telah
mengakibatkan beberapa perubahan struktural. Pertama, pembebasan penentuan suku bunga
kepada pasar menyebabkan terjadinya perubahan portofolio keuangan masyarakat yang
tercermin dari perubahan komposisi uang kartal dan uang giral maupun komposisi simpanan
berjangka dan uang giral. Kedua, batas antara M1 dan M2 menjadi tipis karena semakin
dekatnya substitusi antara uang kuasi khususnya tabungan (komponen M2) dengan M1.5
Ketiga, perubahan portofolio aset-aset keuangan mengakibatkan perubahan tingkat
Grafik 2: Sasaran dan Realisasi M2 (%)
Grafik 1: Sasaran dan Realisasi M1 (%)
50
50
45
45
40
40
35
Realisasi
35
Ta rg et
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
88/89
89/90 90/91
91/92
92/93 93/94
94/95
95/96 96/97
97/98
Realisasi
Target
0
88/89 89/90 90/91 91/92 92/93 93/94 94/95 95/96 96/97 97/98
3 Morgan, Donald P., Introduction,...
4 Robert Dekle and Mahmood Pradhan, Financial Liberalization and Money Demand in ASEAN Countries : Implication
for Monetary Policy.
5 Sarwono, Hartadi A.,Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter: Suatu Studi
Kemungkinan Penerapannya, 1996
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
31
G r a f i k 3 : S a s a r a n d a n R e a l i s a s i U a n g P r i m e r (%)
33
Rea lisasi
30
27
24
21
18
15
12
Sasaran
9
6
3
1993/94
1994/95
1995/96
1996/97
sensitivitas permintaan akan uang terhadap perubahan pendapatan dan suku bunga.
Keempat, semakin berkembangnya pasar keuangan yang menawarkan beragam aset
mempunyai pengaruh yang besar terhadap permintaan uang.6 Adanya banyak perubahan
tersebut melahirkan sebuah keyakinan bahwa transmisi kebijakan moneter melalui harga
uang (suku bunga) menjadi semakin penting dibandingkan dengan transmisi melalui jumlah
uang beredar (kuantitas).7 Hal ini juga didukung oleh hasil beberapa penelitian yang
mempertanyakan kembali keyakinan yang melandasi kebijakan moneter Indonesia bahwa
terdapat kestabilan angka pengganda uang dan permintaan akan uang serta keterkaitan
yang erat antara besaran-besaran moneter dan sektor riil terutama PDB dan inflasi.8
Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional
Landasan Teoritis: Sasaran Kuantitas vs. Sasaran Harga
Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui pengendalian jumlah uang beredar
(sasaran kuantitas) atau suku bunga (sasaran harga). Pengendalian kuantitas dipelopori
oleh aliran Monetaris sedangkan pengendalian suku bunga dipelopori oleh aliran Keynesian.
Secara umum perbedaan antara Keynesian dan Monetaris dapat disederhanakan dalam
bentuk elastisitasnya.
Aliran Monetaris percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap permintaan akan
uang relatif rendah dan elastisitas suku bunga terhadap permintaan barang relatif tinggi.
Aliran ini berkeyakinan bahwa velocity of circulation dan uang beredar bersifat eksogen.
Kondisi ini mengakibatkan uang tidak bersifat netral karena uang dapat mempengaruhi
6 Occasional Paper 84, Financial Liberalization, Money Demand, and Monetary Policy in Asian Countries, International
Monetary Fund
7 Lihat catatan Direktur URES, Boediono “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”, Juni 1996
8 Penelitian terdahulu menyatakan bahwa permintaan M1 masih stabil. Namun penelitian ulang selanjutnya menyatakan
bahwa keakuratan dan kestabilan permintaan akan uang tersebut perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan hasil
proyeksi yang diperoleh. Lihat: Hartadi Sarwono dan Halim Alamsyah, “Sasaran Pengendalian Uang Beredar: Two
Step Cointegration Approach”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, September 1994 dan “Evaluasi terhadap
Fungsi Permintaan Uang dan Program Moneter”, Kertas Kerja Staf, Bagian APK, UREM, Juni , 1997.
32
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
produksi dan harga dalam jangka pendek. Atas dasar asumsi-asumsi di atas maka aliran
Monetaris lebih merekomendasikan penggunaan sasaran jumlah uang beredar daripada
sasaran suku bunga.
Aliran Verticalist memiliki pemikiran yang sejalan dengan aliran Monetaris. Aliran
ini meyakini bahwa, dengan asumsi money multiplier stabil dan dapat diperkirakan dengan
baik, perubahan uang primer akan mempengaruhi komposisi neraca bank-bank (portofolio
bank) yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, perubahan
uang primer (salah satu komponennya adalah bank reserve), akan diakomodasi oleh bank
dengan mengubah komposisi asetnya, terutama kredit, atas inisiatif bank sendiri. Dalam
grafik kuantitas versus harga dari uang beredar, kurva penawaran uang menjadi vertikal
yang perubahannya dikendalikan oleh bank sentral, sedangkan suku bunga hanya
mengikuti ke arah keseimbangan yang terjadi.9
Di lain pihak, aliran Keynesian percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap
permintaan akan uang relatif tinggi sedangkan elastisitas suku bunga terhadap investasi
relatif rendah. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa velocity of circulation tidak stabil dan
bergejolak dan uang beredar merupakan faktor endogen. Berbagai karakteristik pasar
tersebut mengakibatkan mekanisme transmisi kebijakan moneter bersifat tidak langsung,
yaitu melalui suku bunga. Oleh karena itu, aliran Keynesian merekomendasikan
penggunaan sasaran suku bunga dalam melaksanakan kebijakan moneter.
Berikut ini adalah beberapa jalur transmisi kebijakan moneter dengan menggunakan
sasaran suku bunga.10
• Intertemporal substitution. Perubahan suku bunga akan mengubah biaya pinjaman atau
pendapatan dari tabungan. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap komponen
utama pengeluaran, terutama untuk investasi usaha, investasi perumahan, dan mungkin
juga pengeluaran konsumsi barang-barang tahan lama.
• Exchange rate effect. Di dalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga, ceteris
paribus, biasanya akan dihubungkan dengan apresiasi nilai tukar dalam jangka pendek
sehingga barang impor relatif menjadi lebih murah dan laju inflasi akan menurun.
Kegiatan ekspor juga akan terpengaruh karena penjualan barang ekspor akan beralih ke
dalam negeri. Pengalihan pasar produk ekspor ini juga akan mendorong turunnya hargaharga di dalam negeri.
• Cash-flow effect. Dengan meningkatnya suku bunga nominal, pendapatan nominal debitur
akan menurun. Jika debitur menghadapi kendala likuiditas akibat meningkatnya suku
bunga dan tidak dapat meminjam lagi dalam jumlah lebih besar untuk mempertahankan
tingkat pengeluaran semula maka pengeluaran mereka terpaksa harus diturunkan.
• Wealth effect. Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagai faktor diskonto dari
ekspektasi pendapatan untuk masa yang akan datang akan mengubah nilai aset finansial
dan aset riil. Perubahan nilai aset-aset tersebut mengakibatkan perubahan tingkat
kesejahteraan pelaku ekonomi dan pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan
9 Sarwono, Hartadi A., et.al.,Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter di Indonesia, Juli 1997, p.8
10 Stevens, Glen and Jenny Wilkinson, The monetary policy process in Australia: what do we know?, p.267-268
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
33
konsumsi, investasi dan produksi.
• Credit rationing effect. Peningkatan suku bunga dapat mendorong bank-bank untuk
meningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada debitur lama maupun calon
debitur baru akibat kekhawatiran akan turunnya kapasitas para debitur dalam membayar
hutang-hutangnya. Implikasinya, suku bunga kredit meningkat, suplai kredit menurun,
atau terjadi penjatahan kredit.
Pengalaman Selandia Baru
Untuk memperbaiki kinerja perekonomiannya yang relatif lebih buruk dibandingkan
dengan negara-negara anggota OECD lainnya, sejak tahun 1984 Selandia Baru mulai
melakukan serangkaian reformasi di sektor riil, fiskal, dan keuangan. Di sektor fiskal
pemerintah melakukan pengurangan defisit anggaran secara bertahap sementara
pembenahan di sektor riil dilakukan antara lain melalui penghapusan hambatan impor
serta pengurangan tarif impor. Reformasi di sektor keuangan diawali dengan pembebasan
penentuan tingkat suku bunga kepada pasar dan diikuti oleh deregulasi transaksi modal.
Selanjutnya, sejak Maret 1985 Selandia Baru menerapkan sistem nilai tukar mengambang.
Reformasi di sektor keuangan juga mencakup berbagai upaya penyempurnaan kebijakan
moneter baik dari aspek kelembagaan, paradigma yang dianut, sasaran kebijakan moneter,
maupun instrumen yang digunakan.
Di sisi kelembagaan, upaya penyempurnaan kebijakan moneter diawali dengan
keluarnya Undang-undang Bank Sentral yang baru pada tahun 1989 yang secara formal
dan konstitusional memberikan independensi kepada Bank Sentral dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Reformasi di sektor keuangan juga memaksa Selandia Baru untuk meninjau
ulang paradigma pengendalian moneter yang sebelumnya mereka anut. Dalam
perkembangannya, mereka memilih untuk menggunakan paradigma aliran Keynesian yang
menjadikan suku bunga sebagai sasaran operasional pengendalian moneter. Di samping
itu, sejak tahun 1985 Selandia Baru juga mengubah sasaran akhirnya menjadi sasaran
tunggal yaitu stabilitas harga dengan menggunakan underlying inflation sebagai sasaran
akhir. Untuk menentukan sasaran akhir, RBNZ menggunakan proyeksi inflasi berdasarkan
teori Phillips curve dengan pendekatan output gap (selisih antara PDB aktual dan potensial).
Penetapan sasaran tersebut dilakukan melalui kesepakatan bersama antara Gubernur Bank
Sentral (RBNZ) dengan Menteri keuangan yang disebut “the Policy Target Agreements (PTA)”.
Untuk mencapai sasaran laju inflasi yang telah disepakati, RBNZ menetapkan sasaran
operasional dan sasaran antara. Sebagai sasaran operasional, RBNZ mengendalikan likuditas
perbankan (cash settlement) pada level tertentu (saat ini sekitar $5 juta per hari ). Apabila
level settlement cash tidak sesuai dengan sasaran yang ditetapkan, pada kondisi likuditas
ketat RBNZ akan membeli government bills di pasar uang melalui OPT dan menjualnya
pada kondisi longgar. Upaya pengendalian cash settlement akan mempengaruhi tingkat
suku bunga cash rate dan selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga treasury bill 90
hari.
Sebagai sasaran antara, RBNZ menggunakan variabel proksi yang disebut Monetary
Conditions Indicator (MCI). MCI adalah indikator yang menggabungkan pengaruh moneter
yang berasal dari suku bunga (treasury bill 90 hari) dan nilai tukar (trade weighted index)
.
34
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Pengendalian M oneter di S elandia B aru
M CI
OMO
I n t e r e st R a t e
Se ttle m e nt C ash
($ 5m . pe r day)
D iscou nt
rate
Inte r B ank
C ash Rate
(90 day trea su ry bill
Longer
Inte re st R ate
Pass Thro u gh
Tradable G oods
Exchange Rate
(TW I)
R e lative Price
change s thro u gh
A ggr. D e m and
GDP
if G D P >Po tential O utput
Inflatio n
T arget
Sementara itu, besaran-besaran moneter hanya digunakan sebagai variabel indikator.
Dari skema di bawah ini terlihat bahwa pengendalian moneter di Selandia Baru
dilakukan melalui upaya Bank Sentral untuk mempengaruhi suku bunga antarbank.
Perubahan suku bunga antarbank tersebut diharapkan akan mempengaruhi suku bunga
treasury bill 90 hari dan nilai tukar. Perubahan suku bunga treasury bill 90 hari akan
ditransmisikan ke sektor riil melalui dampaknya terhadap PDB. Apabila PDB aktual
melebihi PDB potensial (output gap), inflasi akan cenderung naik. Sementara itu, perubahan
nilai tukar dapat mempengaruhi PDB dan akhirnya laju inflasi melalui dua saluran, yaitu :
• Melalui tradeable goods. Proses transmisi ini memerlukan lag sekitar 4-6 kuartal. Setiap
depresiasi 1% akan menaikkan inflasi sebesar 0,3%.
• Melalui permintaan aggregat. Mekanisme ini memerlukan lag yang lebih panjang yaitu
sekitar 2 tahun.
Pengalaman Australia
Mengiringi deregulasi keuangan yang dimulai sejak akhir 1970-an, kebijakan moneter
di Australia terus mengalami berbagai penyesuaian. Sejak tahun 1985, kerangka kebijakan
moneter berubah dari pengendalian moneter yang menggunakan besaran moneter sebagai
sasaran antara menjadi suku bunga sebagai sasaran antara. Hal ini antara lain berkaitan
dengan sulitnya mengendalikan jumlah uang beredar sehubungan dengan makin sulitnya
memprediksi besaran-besaran moneter akibat banyaknya inovasi di sektor keuangan.
Perkembangan ini mengakibatkan permintaan akan uang menjadi tidak stabil dan hubungan
antara besaran moneter dengan sasaran akhir menjadi kurang signifikan. Untuk
meningkatkan efektivitas dan kredibilitas kebijakan moneter, prioritas sasaran akhir adalah
menciptakan laju inflasi yang rendah yang dituangkan ke dalam sasaran laju inflasi underlying 2% - 3% per tahun.
Pengendalian moneter dilakukan melalui operasi pasar terbuka dengan jalan
menetapkan suku bunga overnight funds (cash rates).Cash rates ini menjadi sasaran operasional
kebijakan moneter. Apabila RBA akan melakukan perubahan arah kebijakan moneter maka
RBA akan melakukan operasi pasar untuk mempengaruhi cash rate. Perubahan cash rate
akan segera diikuti oleh perubahan berbagai suku bunga lainnya khususnya suku bunga
pinjaman dan suku bunga lainnya yang berjangka waktu lebih panjang. Selanjutnya,
35
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
Pengendalian Moneter di Austr
OMO
Settlement Cash
Inter Bank
Cash Rate
Interest rat
(90 days
treasury bil
Longer
Interest Rate
Discount
rate
GDP
if GDP >Potential Output
Inflation
Target
perubahan suku bunga berjangka waktu panjang diharapkan akan mempengaruhi output
gap dan laju inflasi. Skema berikut menggambar mekanisme transmisi kebijakan moneter di
Australia.
Pada dasarnya cash rates akan bergerak bebas sesuai dengan kekuatan permintaan dan
penawaran di pasar uang. Untuk menjaga agar cashrate tetap berada pada tingkat yang telah
ditetapkan, RBA melakukan operasi pasar dengan menggunakan instrumen surat berharga
pemerintah yang terdiri atas Commonwealth Government Securities dan State Government Securities. Sejak Januari 1990 RBA mengumumkan tingkat cash rate harian yang akan dicapai
pada hari tersebut berikut latar belakang kenaikan atau penurunannya. Kredibilitas RBA
merupakan faktor yang sangat menentukan karena “announcement effect” yang kuat
menyebabkan bank-bank berupaya untuk mengajukan “bid/offer rate” sedekat mungkin
berdasarkan keyakinan bahwa RBA akan masuk ke pasar untuk memastikan bahwa sasaran
cash rate akan tercapai.
Grafik 4: Inflasi di Negara-negara yang Menggunakan Inflasi
(%)
13,0
12,0
11,0
10,0
9,0
8,0
7,0
6,0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
(1,0)
1980
Selandia Baru
Australia
OECD
Canada
1990/92
1994
1996
36
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang menggunakan suku bunga sebagai
sasaran operasional dan laju inflasi underlying sebagai sasaran akhir, pada umumnya mereka
berhasil menurunkan laju inflasi baik dalam ukuran CPI maupun inflasi underlying secara
mengesankan. Sebagai contoh, dalam tahun 1980-an Selandia Baru dan Australia masing-masing
mengalami inflasi rata-rata sebesar 11,3% dan 8,2%. Namun, setelah kedua negara menerapkan
inflation targeting dan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional pengendalian
moneter, laju inflasi berhasil diturunkan menjadi 1,7% dan 1,9% pada tahun 1994.
Kemungkinan Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional
Di Indonesia
Proses Transmisi Sasaran Antara ke Sasaran Akhir
Sebagai langkah pertama dalam melihat kemungkinan penggunaan suku bunga
sebagai sasaran operasional dalam pengendalian moneter, perlu kiranya dicari jenis suku
bunga yang dapat berperan sebagai sasaran antara, yaitu suku bunga yang mampu
mentransmisikan sinyal-sinyal yang diberikan oleh kebijakan moneter ke sasaran akhir,
dalam hal ini laju inflasi. Dengan menggunakan tes kausalitas Granger menggunakan
data bulanan dalam periode setelah deregulasi 1988 (1989.1-1997.7) dapat dinyatakan halhal berikut (hasil pengujian di dalam Tabel 1):
Tabel 1
Hasil Tes Kausalitas Granger Antara Suku Bunga dan Laju Inflasi
Hipotesis
Dep. 1
Inflasi
Dep. 3
Inflasi
Dep. 6
Inflasi
Dep. 12
Inflasi
KI
Inflasi
KMK
Inflasi
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
⇒
Inflasi
Dep.1
Inflasi
Dep.3
Inflasi
Dep.6
Inflasi
Dep.12
Inflasi
KI
Inflasi
KMK
F Stat.
Prob.
3.43
1.44
1.53
0.69
1.43
0.24
0.00
1.88
0.34
0.36
2.30
0.65
0.04
0.24
0.22
0.51
0.24
0.79
0.99
0.16
0.71
0.70
0.08
0.59
Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk first difference.
• Suku bunga deposito berjangka 1 bulan mempunyai hubungan searah dengan inflasi.
Hal ini berarti bahwa inflasi dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga deposito 1 bulan.
Di samping itu, suku bunga kredit modal kerja (KMK) juga mempunyai hubungan yang
searah dengan inflasi.
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
37
Grafik 5: Proporsi Deposito Menurut Jangka W
45
1 bulan
40
35
12 bulan
30
3 bulan
25
20
6 bulan
15
10
24 bulan
5
0
1
5 9
1988
1
5 9
1989
1
5 9
1990
1
5 9
1991
1
5 9
1992
1
5 9
1993
1
5 9
1994
1
5 9
1995
1
5 9 1
1996 1997
• Suku bunga deposito yang berjangka lebih panjang, yaitu yang berjangka 3, 6, dan 12
bulan tidak mempengaruhi laju inflasi.
Keterkaitan yang cukup kuat antara suku bunga deposito satu bulan dan laju inflasi
sejalan dengan semakin besarnya peranan deposito satu bulan dalam total dana yang
dihimpun oleh perbankan (lihat Grafik 5). Sejak tahun 1990 tampak ada pergeseran dalam
preferensi masyarakat dalam memegang deposito, yaitu dari deposito yang berjangka relatif
panjang, khususnya deposito 12 bulan, ke deposito yang berjangka waktu sangat pendek
yaitu deposito berjangka satu bulan. Perubahan preferensi mungkin disebabkan oleh
tingginya suku bunga deposito berjangka waktu pendek dibandingkan dengan yang
berjangka waktu lebih panjang akibat kesulitan likuiditas yang dialami oleh perbankan.
Kalau benar demikian maka hasil yang diperoleh dari pengujian ini mungkin saja berubah
apabila bank-bank tidak lagi mengalami kesulitan likuiditas.
Selanjutnya untuk melihat kemungkinan adanya hubungan jangka panjang antara
suku bunga deposito satu bulan dan laju inflasi dilakukan uji Kointegrasi Johansen. Hasil
pengujian tersebut menunjukkan bahwa, dengan tingkat keyakinan 5%, terdapat hubungan
yang bersifat jangka panjang antara suku bunga deposito satu bulan dengan laju inflasi.
Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2
Uji Kointegrasi Johansen: Suku Bunga Deposito Satu Bulan dan Laju Inflasi
Sampel :1989:01 1997:07
Jumlah Observasi :98
Series : DEP1 INFL
Eigenvalue
0.07120
0.041176
Likelihood
Ratio
11.35990
4.120647
Asumsi : Linear deterministic trend in the data
Lags interval : 1 to 4
5 Percent
Critical Value
15.41
3.76
1 Percent
Critical Value
20.04
6.65
Hypothesized
No. of CE (s)
None
At most 1*
(*) menunjukkan penolakan hipotesis nol pada tingkat signifikansi 5%.
38
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Proses Transmisi Sasaran Operasional ke Sasaran Antara
Setelah diperoleh kandidat terkuat sasaran antara kebijakan moneter Indonesia, yaitu
suku bunga deposito satu bulan, langkah selanjutnya adalah mencari variabel yang dapat
menjadi sasaran operasional. Sasaran operasional pada umumnya adalah variabel yang
mampu mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang sekaligus dapat dipengaruhi oleh
berbagai instrumen kebijakan moneter. Di pasar uang Indonesia, variabel yang diperkirakan
memenuhi syarat-syarat di atas adalah suku bunga PUAB.
Secara visual, suku bunga PUAB (rata-rata seluruh jangka waktu 1 s.d. 90 hari)
tampaknya menunjukkan pergerakan yang searah dengan suku bunga deposito berjangka
(Grafik 6 dan 7). Perkembangan yang searah tersebut juga terjadi antara suku bunga PUAB
dengan suku bunga kredit baik KMK maupun KI (Grafik 8).
Grafik 6: Suku Bunga Dep. 1 Bulan , Dep. 3 Bulan, dan PUAB
28
25
22
19
Deposito 3 Bln
16
Deposito 1
13
10
PUAB
7
4
1
4
7 10
1
1989
4
7 10 1
1990
4
7 10
1
1991
4
7 10
1
1992
4
7 10
1
1993
4
7 10
1
4
1994
7 10 1
1995
4
7 10
1
1996
4
7 10
1997
Grafi k 7 : Suk u Bu nga Dep . 6 Bu la n, De p. 1 2 Bul a n, d an PUAB
28
25
22
19
Deposito 12 Bln
16
Deposito 6 Bln
13
10
PUAB
7
4
1
4
7 10
1989
1
4
7 10
1990
1
4
7 10
1991
1
4
7 10
1992
1
4
7 10
1993
1
4
7 10
1994
1
4
7 10 1
1995
4
7 10
1996
1
4
7 10
1997
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
39
Grafik 8 : Su k u Bu n g a Kred it Mo dal Kerja, Kred it In v es tasi , d an PUAB
31
28
25
KMK
22
19
16
KI
13
10
PUAB
7
4
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Untuk memperoleh indikasi arah hubungan antara suku bunga PUAB dengan suku
bunga deposito, kredit modal kerja, dan kredit investasi, telah dilakukan pengujian Granger
atas variabel-variabel tersebut. Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa suku bunga PUAB
mempunyai hubungan yang searah dengan suku bunga deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan,
dan kredit investasi (KI). Sementara itu, terdapat hubungan dua arah antara suku bunga
PUAB dan suku bunga kredit modal kerja (KMK)
Tabel 3
Hasil Tes Kausalitas Granger: Suku Bunga PUAB, Deposito, KMK, dan KI
Hipotesis
F Stat.
Prob.
PUAB
Dep.1
⇒
⇒
Dep.1
PUAB
8,25
1,23
0,00
0,30
PUAB
Dep.3
⇒
⇒
Dep.3
PUAB
3,52
1,09
0,03
0,34
PUAB
Dep.6
⇒
⇒
Dep.6
PUAB
7,65
1,86
0,00
0,16
PUAB
Dep.12
⇒
⇒
Dep.12
PUAB
0,12
0,46
0,89
0,63
PUAB
KI
⇒
⇒
KI
PUAB
4,06
0,42
0,00
0,83
PUAB
KMK
⇒
⇒
KMK
PUAB
15,74
12,19
0,00
0,00
Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk first difference.
Untuk lebih memahami mekanisme transmisi suku bunga PUAB ke suku bunga
deposito perlu dikembangkan suatu model suku bunga. Untuk suatu perekonomian yang
40
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
terbuka maka suku bunga pasar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan
eksternal (Edward, et.al.,1985). Hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
i
i
il
id
=
=
=
=
ail + (1-a) id
suku bunga pasar
suku bunga yang ditentukan oleh faktor eksternal
suku bunga yang ditentukan oleh faktor internal
Secara umum ada dua cara dalam merumuskan model penentuan suku bunga yang
dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu uncovered interest parity (UIP) dan covered interest
parity (CIP).
Model UIP dapat diformulasikan sebagai berikut:
i = i* + e
Sedangkan model CIP:
i = i* + e + rp
dimana:
I* = suku bunga di luar negeri
e = ekspektasi depresiasi
rp = premi resiko
Dengan dibukanya kisaran nilai tukar intervensi sejak 14 Agustus 1997 maka faktor resiko
perubahan nilai tukar menjadi sangat penting. Sehingga model CIP dapat diubah menjadi:
i = i*+fd , dimana fd = premi forward.
Formula suku bunga paritas di atas dapat dikembangkan untuk mengetahui proses
transmisi perubahan suku bunga PUAB ke suku bunga pasar berjangka menengah dan
panjang. Model pengembangan tersebut sebagai berikut:
R puab = a + b SBI/SBPU + e
interest rate = a + b PUAB + e11
................................................................. (1)
................................................................. (2)
Jika proses transmisi berlangsung sangat cepat dan komplet maka b akan mendekati 1.
Akan tetapi untuk suku bunga yang berjangka relatif lebih panjang proses transmisi
berlangsung lebih lambat sehingga perlu ada faktor lag.
interest ratet = a + Sgi DPUAB + SliDinterest ratet-i + b PUAB + et ............ (3)
Faktor yang mempengaruhi cepat/lambatnya proses transmisi antara lain adalah struktur
dari simpanan masyarakat di bank dan bunganya, tingkat resiko dari pinjaman yang
diberikan bank, dan tingkat persaingan bank.
Dengan anggapan bahwa suku bunga pasar, misal deposito, tidak hanya ditentukan
oleh perkembangan suku bunga deposito itu sendiri dari waktu-waktu sebelumnya tetapi
11 Diadaptasi dari Lowe, Philip, The link between the cash rate and market interest rate, RBA, p. 4-5
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
41
juga merupakan respons dari perubahan suku bunga luar negeri dan ekspektasi depresiasi,
diperoleh model suku bunga sbb:
interest ratet = a1 + Sgi D PUAB + a2 ilt + b PUAB ........................................ (4)
dimana l
i = suku bunga libor + ekspektasi depresiasi.12
b = long-run response dari perubahan interest rate terhadap perubahan pada
sukubunga operating target.
Atas dasar model di atas, dilakukan pengetesan untuk melihat kecepatan transmisi
dan kekuatan pengaruh perubahan suku bunga PUAB (Lihat Tabel 4). Dengan melakukan
sedikit transformasi atas hasil persamaan regresi tersebut, dapat dihitung besarnya koefisien
b, yaitu 0,84. Angka koefisien b yang cukup besar tersebut menunjukkan bahwa proses
transmisi suku bunga PUAB ke suku bunga deposito 1 bulan berlangsung cukup cepat.
Tabel 4
LS // Dependent Variable is DDEP1
Sample: 1992:04 1997:07
Included observations: 64 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
T-Statistic
Prob.
C
PUAB(-1)
D(PUAB,2)
D(PUAB,3)
DPUAB(-2)
DPUAB(-5)
DEP1(-1)
DER(-1)
DDEP1(-2)
DDEP1(-4)
DLIB1(-2)
0,6888
0,1151
0,1770
-0,1167
0,1784
0,0763
-0,1370
0,0002
0,1481
0,1781
0,1587
0,2344
0,0341
0,0819
0,0565
0,0756
0,0384
0,0306
0,0001
0,0951
0,0982
0,1365
2,9380
3,3698
2,1594
-2,0682
2,3613
1,9868
-4,4734
3,3592
1,5575
1,8133
1,1625
0,0049
0,0014
0,0354
0,0435
0,0219
0,0521
0,0000
0,0015
0,1253
0,0755
0,2502
R-squared
0,6984
Mean dependent var.
-0,0763
Adjusted R-squared
0,6415
S.D. dependent var.
0,4449
S.E. of regression
0,2664
F-statistic
12,2755
DW-stat
1,8709
Prob(F-statistic)
0,0000
12 Pada dasarnya ada beberapa pendekatan untuk menghitung ekspektasi depresiasi, antara lain pendekatan rational expectation, adaptive expectation dan bisa juga menggunakan penyimpangan antara nilai tukar PPP dengan nilai tukar
aktual. Akan tetapi dalam makalah ini diasumsikan bahwa nilai aktual sama besarnya dengan nilai ekspektasinya.
Untuk masa yang akan datang, peranan ekspektasi nilai tukar ini semakin penting sehingga perlu pengkajian yang lebih
mendalam.
42
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Hubungan antara Sasaran Operasional dan Instrumen Kebijakan Moneter
Langkah berikutnya adalah mencari instrumen kebijakan moneter yang mampu
mempengaruhi pergerakan sasaran operasional. Secara visual baik suku bunga SBI maupun
SBPU memiliki pergerakan yang searah dengan suku bunga PUAB (Grafik 9). SBI yang
berjangka waktu 7 hari relatif lebih dekat daripada SBI yang berjangka waktu 1 bulan.
Perkembangan suku bunga SBPU juga terlihat searah dengan suku bunga PUAB sampai
periode 1994. Setelah itu, suku bunga SBPU relatif konstan (Grafik 10).
Hasil uji kausalitas Granger antara suku bunga PUAB, suku bunga SBI 7 hari dan 1
bulan, dan suku bunga SBPU 7 hari dan 1 bulan memberikan hasil-hasil berikut (lihat
Tabel 5):
• Suku bunga SBI 7 hari maupun yang berjangka waktu 1 bulan tidak mempunyai
hubungan baik searah maupun dua arah dengan suku bunga PUAB. Berarti suku bunga
PUAB tidak ditentukan oleh perubahan suku bunga SBI dan begitu juga suku bunga SBI
tidak dipengaruhi oleh suku bunga PUAB.
Grafik 9 : Su ku Bun g a SBI 7 Hari, SBI 1 Bu lan , dan PUAB
30
27
24
21
PUAB
SBI 1 bl.
18
15
12
9
SBI 7 hr.
6
3
1
4
7
10
1
1989
4
7 10
1
1990
4
7
10
1
1991
4
7 10
1
1992
4
7
10
1
1993
4
7 10
1
1994
Grafik 10: Suku Bunga SBPU 7 Hari,
4
7
10
1
1995
4
7 10
1
1996
4
7
1997
SBPU 1 Bulan, dan PUAB
30
27
SBPU 1 bl.
24
SBPU 7 hr.
21
18
15
12
PUAB
9
6
3
1
4
7 10
1989
1
4
1990
7 10
1
4
7
1991
10
1
4
7 10
1992
1
4
7
1993
10
1
4
7 10
1994
1
4
7
1995
10
1
4
7 10
1996
1
4
7
1997
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
43
• Akan tetapi suku bunga SBPU 7 hari mempunyai hubungan kausalitas yang bersifat
dua arah dengan suku bunga PUAB. Dengan perkataan lain, suku bunga SBPU 7 hari
mempengaruhi suku bunga PUAB dan sebaliknya suku bunga PUAB mempengaruhi
suku bunga SBPU 7 hari.
Tabel 5
Uji Kausalitas Granger: Suku Bunga PUAB, SBI, dan SBPU
Hipotesis
F Stat.
Prob.
SBI 1
PUAB
⇒
⇒
PUAB
SBI 1
0,41
0,81
0,66
0,45
SBI 7
PUAB
⇒
⇒
PUAB
SBI 7
1,60
0,53
0,21
0,59
SBPU 1
PUAB
⇒
⇒
PUAB
SBPU 1
0,42
12,42
0,66
0,00
SBPU 7
PUAB
⇒
⇒
PUAB
SBPU 7
28,83
4,86
0,00
0,01
Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk first difference.
Kenapa suku bunga PUAB lebih dekat hubungannya dengan suku bunga SBPU
daripada dengan suku bunga SBI? Salah satu kemungkinan alasannya adalah instrumen
SBPU digunakan oleh bank-bank untuk mencari dana sehingga suku bunga SBPU lebih
mencerminkan harga dari kelangkaan dana. Alasan lain terkait dengan adanya perbedaan
mekanisme lelang antara kedua instrumen OPT tersebut.
Sejak April 1993 sistem yang diterapkan untuk lelang SBI adalah Stop Out Rate (SOR)
atau sistem target kuantitas. Selain penjualan SBI secara lelang, Bank Indonesia juga
melakukan penjualan SBI secara intervensi. Dalam intervensi tingkat diskonto terlebih
dahulu ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan tingkat bunga di pasar yang bisa berada
di atas atau di bawah suku bunga SBI lelang. Ada kemungkinan bahwa suku bunga SBI
intervensi juga mempunyai hubungan yang erat dengan suku bunga PUAB karena
penentuan suku bunga SBI intervensi lebih mengarah ke tingkat harga dana di pasar
dibandingkan dengan suku bunga SBI lelang. Sementara itu, lelang SBPU menganut sistem
Cut Off Rate (COR) atau sistem target suku bunga.
Konsep Pengendalian Moneter Dengan Menggunakan Suku Bunga
Sebagai Sasaran Operasional Untuk Indonesia
Penggunaan Sasaran Akhir Tunggal
Kebijakan moneter di Indonesia mempunyai sasaran ganda, yaitu: (1) pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, (2) penyediaan lapangan kerja yang cukup, (3) laju inflasi yang rendah
44
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
dan (4) neraca pembayaran yang mantap. Dalam pelaksanaannya sulit bagi bank sentral
untuk mencapai seluruh sasaran tersebut dalam waktu yang sama karena adanya “conflicting target” antara satu sasaran dengan sasaran lainnya.
Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter perlu kiranya dipertimbangkan
penggunaan sasaran akhir tunggal. Kalau pun sasaran ganda masih dipertahankan maka
perlu urutan prioritas yang jelas dan tegas, misalnya dengan mendahulukan pencapaian
sasaran laju inflasi yang rendah daripada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Banyak negara
telah menggunakan sasaran tunggal dalam kebijakan moneternya seperti Australia, Selandia
Baru, Kanada, dan sebagian besar negara-negara di Eropa. Stanley Fischer (1994), Deputy
Managing Director IMF, pernah menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi
sasaran utama kebijakan moneter bank sentral mana pun di dunia. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat
mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengikuti
pertumbuhan naturalnya (Guitan,1994a). Selain itu, pencapaian sasaran tunggal tidak saja
dapat menghilangkan trade-off antara sasaran-sasaran yang hendak dicapai tapi juga dapat
meningkatkan accountability dan credibility bank sentral.13
Mekanisme Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional
Dengan mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia dan
Selandia Baru yang disesuaikan dengan instrumen-instrumen pasar keuangan yang tersedia
di Indonesia, berikut ini adalah gambaran mekanisme pengendalian moneter melalui suku
bunga sebagai sasaran operasional yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia.
Dari skema tersebut terlihat bahwa untuk mencapai sasaran akhir berupa
pengendalian laju inflasi, Bank Indonesia menggunakan suku bunga jangka pendek, yaitu
suku bunga PUAB, sebagai sasaran operasional. Untuk mengendalikan suku bunga PUAB,
instrumen utama yang dapat digunakan adalah operasi pasar terbuka (OPT) melalui
kegiatan jual/beli SBI/SBPU. Perubahan suku bunga SBI/SBPU akan ditransmisikan ke
suku bunga PUAB untuk selanjutnya diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar.
SBI-SBPU
rate
Excess
reserve
PUAB
Suku Bunga Dep.
dan Nilai Tukar
GDP
GDP> Potensial out put
Inflasi
meningkat
13 Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel:Suatu pemikiran untuk penerapannya di
Indonesia, SESPIBI, Nov. 1997
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
45
Nilai tukar rupiah akan dipengaruhi oleh suku bunga PUAB dengan asumsi Indonesia
mempertahankan sistem nilai tukar mengambang. Kedua variabel tersebut selanjutnya
akan ditransmisikan ke sektor riil melalui pengaruhnya terhadap tingkat output nasional.
Perbedaan antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi.
Operasi Pasar Terbuka (OPT) sebagai Instrumen Utama Pengendalian Moneter
Untuk mencapai sasaran-sasaran moneter, sejak tahun 1984 Bank Indonesia
menggunakan empat instrumen pokok, yaitu penentuan rasio cadangan wajib bank
terhadap dana pihak ketiga (reserve requirement), operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas
diskonto, dan himbauan (moral suasion). Dari keempat kebijakan tersebut yang paling
fleksibel untuk digunakan pada situasi normal adalah OPT. Pada saat ini instrumen OPT
yang dipakai oleh Bank Indonesia adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU).
Dalam pengendalian moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran, OPT
akan menjadi instrumen andalan. Akan tetapi “jiwa” dari penggunaan SBI dan SBPU
berbeda dari pengendalian secara kuantitas. Transaksi jual beli SBI dan SBPU harus lebih
diarahkan untuk mempengaruhi suku bunga di pasar uang daripada untuk mencapai
sasaran besaran-besaran moneter tertentu.
Esensi penerapan sasaran suku bunga dalam konteks mekanisme pasar adalah bank
sentral mengendalikan ‘harga’ (suku bunga) dari dana kliring antarbank. Persyaratan
bekerjanya sistem tersebut adalah bank-bank memiliki permintaan akan dana kliring
antarbank yang stabil dan bank sentral mampu mengendalikan suplai dana kliring
antarbank tersebut. (Lihat Grenville & Stebbing, p.9)
Elemen pertama sistem pengendalian moneter atas dasar mekanisme pasar adalah
permintaan akan dana kliring antarbank:
• Permintaan akan dana kliring antarbank akan selalu ada sepanjang bank sentral
mewajibkan bank-bank komersial untuk menyelesaikan hutang antarmereka melalui
rekening mereka di bank sentral.
• Hutang antarbank terutama terjadi karena partisipasi bank-bank di dalam sistem
pembayaran. Oleh karena itu, kinerja sistem pembayaran menentukan keberadaan dan
perkembangan pasar uang.
• Karena bank sentral melaksanakan OPT melalui pasar uang maka efektivitas OPT
tergantung pada kinerja sistem pembayaran.
• Permintaan akan dana kliring antarbank (demand for excess reserves) tergantung pada
pola transaksi bank-bank, bukan pada ukuran neraca bank-bank. Bank-bank yang lebih
banyak melayani rumah tangga-rumah tangga memiliki kebutuhan akan dana kliring
antarbank yang lebih kecil daripada bank-bank yang lebih banyak melayani perusahaanperusahaan.
Elemen kedua adalah kemampuan bank sentral untuk mengendalikan suplai dana
kliring antarbank. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa terdapat dua hal
yang harus dilakukan agar bank sentral mampu mengendalikan neracanya secara efektif:
46
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
• Anggaran pemerintah harus “fully funded” dalam arti setiap kekurangan dana anggaran
dibiayai melalui penjualan surat berharga pemerintah kepada sektor swasta. Setiap
kenaikan uang primer yang berasal dari pengeluaran bersih bersih pemerintah dan surat
berharga pemerintah yang jatuh tempo harus diserap kembali dengan menerbitkan surat
berharga baru. Inti dari persyaratan ini adalah bahwa adanya pemisahan antara
manajemen moneter (pengendalian dana di pasar keuangan) dan manajemen hutang
(pengendalian sumber pembiayaan anggaran pemerintah). Selama ini saldo rekening
pemerintah baik di BI maupun di bank-bank selalu positif. Agar saldo tersebut dapat
dikendalikan sekaligus menambah instrumen di pasar uang, dapat dilakukan sekuritisasi
saldo positif rekening pemerintah dan menggunakannya sebagai instrumen OPT.
• Nilai tukar harus ditentukan oleh pasar sehingga bank sentral tidak lagi harus
menyeimbangkan pasar valas melalui jual/beli valas. Secara teoritis, nilai tukar yang
mengambang bukan prasyarat utama dalam mengisolasi neraca bank sentral dari faktorfaktor eksternal karena hal tersebut dapat dicapai apabila otoritas moneter mampu
menyesuaikan nilai tukar sehingga selalu terjadi keseimbangan di pasar valas atau apabila
pemerintah mampu mensterilisasi dampak arus keluar masuk dana dari luar negeri. Namun,
pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa kedua hal tersebut sulit dicapai.
Satu prasyarat bagi berjalannya sistem pasar adalah adanya sistem pengawasan
kehati-hatian yang baik. Meskipun pasar telah dideregulasi, “rules of the game” tetap
diperlukan agar pasar bekerja secara teratur.
Perlu diingat bahwa adanya segmentasi di pasar uang antarbank membuat suku
bunga PUAB tidak sepenuhnya mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran di
pasar. Akan tetapi terus berlanjutnya reformasi keuangan dan perbankan diharapkan akan
mengurangi segmentasi pasar tersebut.
Penentuan Suku Bunga dalam OPT
Apabila suku bunga dijadikan sasaran operasional dalam pengendalian moneter
maka suku bunga nominal akan diarahkan sedemikian rupa sehingga dicapai suku bunga
netral. Suku bunga netral adalah suatu tingkat suku bunga di mana variabel-variabel utama
seperti inflasi dan tingkat produksi berada pada tingkat yang diinginkan. Untuk itu, ada
beberapa “simple rule” untuk menentukan suku bunga operating target:14
- nominal income level rule, it= Φ + p t-1 + g (py t-1 -pyT t-1;
)
- nominal income growth rule, it= Φ + p t-1 + g (Dpy t-1 - D pyT t-1;
)
- pure price rule, it= Φ + p t-1 + g (pt -1 - pTt -1;
)
- Taylor rule, it= Φ + p t-1 + g 1 (p t-1 -p T) + g 2(yt -1 - Ωt-1;
)
- Inflation-only rule, it= Φ + p t-1 + g 1 (p t-1 -p T;
)
- change rule, it= it-1 + p t-1 + g 1 (p t-1 -p T) + g 2(yt -1 - Ωt-1); dan
- constant real interest rate rule, it= c + p t-1,
dimana:
it = nominal interest rate
Φ = suku bunga riil netral
14 de Brouwer, Gordon and James O’Regan , Evaluataing Simple Monetaray-Policy Rules for Australia, p
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
47
p = tingkat laju inflasi
py = nominal income
superscript T = target
p = tingkat harga
y = income riil
Ω = output potensial
c = suku bunga riil konstan yang tidak dispesifikasi
g = parameter reaksi
“Simple Rule” merupakan reaction function dimana kebijakan akan berubah sebagai
respons terhadap perubahan pada variabel utama. Metode ini tidak seperti “Friedman’s
constant growth rate” karena penentuan suku bunga di sini lebih diarahkan sebagai
pegangan pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan suku bunga sebagai sasaran
operasional.
Model (rule) mana yang akan dipakai? Untuk itu perlu dikaji rule yang paling efisien
dalam pencapaian target. Efisiensi diartikan sebagai makin rendahnya fluktuasi tingkat
inflasi dan output gap. Untuk itu, penentuan suku bunga nominal yang baik antara lain
memperhatikan sasaran laju inflasi dan juga output gap karena output gap diyakini sebagai
penyebab dari munculnya inflasi. Untuk saat ini, Taylor rule dianggap metode yang efisien.15
Pada Taylor rule, kebijakan moneter akan mengetat apabila inflasi di atas yang ditargetkan
dan tingkat produksi berada di atas tingkat produksi potensial. Dapat dinyatakan bahwa
sejak pertengahan 1980-an penggunaan Taylor rule di beberapa negara, antara lain: Amerika
Serikat (Taylor, 1993, 1994), Inggris (Stuart, 1996), Jerman dan Jepang (Davies et al., 1996),
menunjukkan hasil yang efisien.16
Oleh karena Taylor rule merupakan suatu reaction function maka unsur discretionary
dalam pengambilan keputusan masih cukup dominan. Sebagai konsekuensinya, efektivitas
kebijakan moneter yang menggunakan rule ini sangat tergantung kepada kredibilitas bank
sentral.
Satu isu penting dalam menyusun sistem operasional bagi penerapan kebijakan
moneter adalah derajat fleksibilitas suku bunga instrumen. Ada dua pilihan yaitu penetapan
sasaran suku bunga harian yang dikendalikan secara ketat dan penetapan suku bunga
yang masih memberikan sedikit fleksibilitas harian.
• Keuntungan penetapan suku bunga harian secara ketat:
-Memberikan sinyal yang jelas kepada pasar mengenai arah kebijakan moneter.
-Meningkatkan akuntabilitas bank sentral di mata masyarakat.
• Keuntungan adanya fleksibilitas suku bunga harian adalah:
-Dapat mendepolitisasi proses penentuan suku bunga dalam arti politikus tidak dapat
memaksakan kehendaknya kepada bank sentral untuk mengubah-ubah suku bunga.
15 Penjelasan lebih detail lihat Gordon de Brower and James O’Regan dalam Evaluating Simple Monetary-Policy Rules
for Australia dan Laurence Ball dalam Efficient rules for monetary policy.
16 Ball, Laurence, Efficient rules for monetary policy, p.7
48
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
- Mengurangi keharusan untuk menjelaskan setiap perubahan kecil suku bunga yang
terjadi di pasar. Kondisi ini terutama membantu mengurangi beban moral yang harus
ditanggung bank sentral ketika harus menaikkan suku bunga.
-Memberikan kesempatan kepada pasar untuk memberikan umpan balik atas kondisi
likuiditas pasar. Apabila otoritas menetapkan suku bunga secara harian maka otoritas
tidak akan mendapatkan umpan balik dari pasar.
Indikator Kondisi Moneter (IKM) Indonesia
Di dalam kerangka perekonomian Indonesia yang semakin terbuka dan kebijakan
nilai tukar yang semakin fleksibel maka keterkaitan antara suku bunga domestik dan nilai
tukar menjadi semakin erat. Tekanan-tekanan eksternal maupun internal tidak lagi hanya
ditransmisikan melalui suku bunga tapi juga melalui nilai tukar. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan suatu formula sasaran antara yang mampu menangkap proses interaksi
antara kedua variabel tersebut. Satu alternatif formula yang telah digunakan di beberapa
negara adalah indikator kondisi moneter (IKM).
IKM adalah indikator yang memadukan kadar pengaruh moneter yang berasal dari
suku bunga dan nilai tukar terhadap permintaan agregat. Rasio IKM menunjukkan
perbandingan kekuatan antara suku bunga dan nilai tukar dalam mempengaruhi
permintaan agregat. Di Selandia Baru, rasio IKM adalah ½ yang menunjukkan bahwa
pengaruh 1% kenaikan suku bunga sama dengan pengaruh 2% apresiasi nilai tukar terhadap
permintaan agregat (Huxford dan Reddell, 1996). Dengan kata lain, agar permintaan agregat
tidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1% harus diimbangi dengan
depresiasi nilai tukar sebesar 2%.17 Di sini terlihat bahwa di Selandia Baru peranan suku
bunga lebih besar dibandingkan peranan nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan
agregat.
IKM Indonesia dapat diperoleh melalui penaksiran yang didasarkan pada model
permintaan agregat berikut:
L G D P = b0 + b1 r + b2 NT + b3 TOT
L G D P = Produk Domestik Bruto riil (dalam log)
r
= suku bunga riil
NT
= perubahan REER (basket)
TOT
= perubahan terms of trade
Atas dasar model tersebut dengan menggunakan data sampel 1989.1 s.d 1997.1
diperoleh rasio antara koefisien suku bunga deposito satu bulan riil dengan koefisien nilai
tukar sebesar 3,75 (dan sebesar 4,13 jika menggunakan rasio antara deposito tiga bulan
dan nilai tukar). Dengan rasio IKM sebesar 3,75, agar permintaan agregat tidak mengalami
perubahan maka setiap kenaikan suku bunga sebesar 1% perlu diimbangi dengan apresiasi
nilai tukar sebesar 0,27%. Hal ini menunjukkan bahwa peranan nilai tukar lebih penting
daripada suku bunga dalam mempengaruhi permintaan agregat.
17 Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di
Indonesia, p. 14
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
49
Apabila sampel dibatasi sampai dengan tahun 1995, diperoleh rasio IKM sebesar
1,34 jika menggunakan suku bunga deposito satu bulan dan sebesar 1,51 jika menggunakan
suku bunga deposito 3 bulan. Berdasarkan hasil pengujian ini tampak ada suatu perubahan
dalam pergerakan pengaruh antara suku bunga dan nilai tukar dalam menjelaskan
pertumbuhan ekonomi, terutama setelah tahun 1995. Sekalipun demikian, nilai tukar tetap
lebih dominan pengaruhnya terhadap permintaan agregat daripada pengaruh suku bunga.
Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengendalian moneter
dengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional sebaiknya tetap
memperhatikan gerakan nilai tukar. IKM dapat dijadikan pedoman sasaran antara yang
bersifat tidak formal bagi bank sentral dalam pengendalian moneter.
Untuk menghitung indeks IKM nominal dapat dilakukan sebagai berikut18 :
IKM nominal = {(rt-rb) + 3.75 * [logTWIt-logTWIb) * 100]}*100 +1000
Sejalan dengan hal tersebut, maka dapat pula dihitung IKM riil sebagai berikut:
IKM riil = {(riil rt-riilrb) + 3.75 * [logn(riil TWIt) - logn(riil TWIb) * 100]}*100 +1000
rt
= suku bunga nominal periode t
rb
= suku bunga nominal periode tahun dasar
TWIt = trade weighted index nilai tukar nominal periode t
TWIb = trade weighted index nilai tukar nominal periode tahun dasar
Angka 1000 menunjukkan arbitrary fixed base.
Dengan menggunakan arbitrary fixed base sebesar 100 dan angka dasar pada bulan
Mei 1995 serta berdasarkan perumusan model di atas maka dapat dilakukan perhitungan
Indeks IKM baik nominal maupun indeks riil. Penggunaan IKM nominal akan cenderung
bias dalam memperhitungkan dampak inflasi dalam jangka panjang. Akan tetapi dalam
jangka pendek IKM nominal dapat digunakan sebagai pendekatan dari IKM riil karena
perbedaan antara ekspektasi dan aktual inflasi diasumsikan bersifat gradual. Sedangkan
untuk melihat pengaruh IKM terhadap perekonomian riil dalam jangka lebih panjang
diperlukan IKM riil. Dengan menggunakan batas bawah dan batas atas masing-masing
sebesar 5% maka perkembangan dari indeks IKM nominal maupun riil dapat digambarkan
sebagai berikut:
In d ek s
In d ik ator
K on disi
M on eter
N om in a
150
115
110
105
100
95
90
I K M d g n D e p .1 b ln .
I K M d g n D e p .3 b ln .
85
80
1
4
7
10
1989
1
4
7
10
1990
*)N ila i tu k a r y g
1
4
7
10
1991
1
4
7
10
1992
d ip a k a i d a la m
1
4
7
10
1
4
1993
p e rh itu n g a n
7
10
1
1994
a d a la h
4
7
10
1995
REER
1
4
7
10
1996
1
4
7
1997
N o m in a l (b a
18 RBNZ, How to construct and interpret MCI indices, Monetary Policy Statement, June 1997
50
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Indeks Indikator Kondisi Mon
115
110
105
100
95
90
85
80
IKM dgn. Dep 1
IKM dgn. Dep 3
75
1
4
1989
7 10 1
4
7 10 1
1990
4
1991
7 10 1
4
7 10 1
1992
4
7 10 1
1993
4
7 10 1
1994
4
7 10 1
4
1995
7 10 1
1996
4
7
1997
*) Nilai tukar yg dipakai dalam perhitungan adalah REER Riil ( base =Mei 1995)
Indeks Indikator Kondisi Moneter N
125
120
115
110
105
100
95
90
IKM dgn. Dep 1 bln.
IKM dgn. Dep 3 bln.
85
1
4 7 10 1
4 7 10 1
4
7 10 1 4
7 10 1
4 7 10 1
4 7 10 1
1989
1990
1991
1992
1993
1994
*) kurs yg dipakai dalam perhitungan adalah kurs Rp/USD ( base =Des 1988)
4
7 10 1 4
1995
7 10 1 4
1996
7
1997
Bila indeks berada di atas batas atas berarti perlu dilakukan kebijakan pelonggaran
moneter sedangkan bila indeks berada di posisi di bawah batas bawah maka perlu kebijakan
pengetatan moneter.
Kesimpulan dan Saran
Hasil penjajakan terhadap kemungkinan penerapan sistem pengendalian moneter
melalui suku bunga sebagai sasaran operasional menemukan adanya hubungan-hubungan
kausalitas yang signifikan antara suku bunga (deposito satu bulan) dan sasaran akhir (laju
inflasi) serta antara instrumen kebijakan moneter (suku bunga SBPU) dan suku bunga
(deposito satu bulan).
Agar efektif, pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional
hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
51
• Sasaran akhir kebijakan moneter hendaknya hanya diprioritaskan kepada sasaran tunggal
laju inflasi, khususnya laju inflasi underlying.
• Sistem lelang SBI sebaiknya menggunakan sistem COR yang sejalan dengan “jiwa”
penggunaan suku bunga sebagai sasaran operasional.
• Mengingat belum adanya acuan suku bunga jangka panjang di Indonesia, perlu
diperkenalkan instrumen semacam obligasi pemerintah (treasury bill)
.
Untuk semakin memperkuat landasan bagi penerapan sistem pengendalian moneter
menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional, perlu dilakukan penelitianpenelitian lanjutan mengenai:
• Estimasi permintaan agregat dan penawaran agregat serta output gap yang lebih akurat.
• Penghitungan tingkat suku bunga netral untuk Indonesia.
• Pengujian model IKM yang lebih akurat dengan memperhitungkan sistem nilai tukar
mengambang yang kini diterapkan di Indonesia.
• Pengujian ketepatan policy mix dan policy assignment di antara tiga kebijakan ekonomi
makro, yaitu kebijakan moneter, fiskal, dan nilai tukar.
52
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Daftar Pustaka
Boediono, Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter, Disampaikan pada Kuliah Khusus
SESPIBI, 24 September 1996.
Debelle, Guy, dan Glenns Stevens, Monetary Policy Goals for Inflation in Australia, Reserve Bank of Australia Discussion Paper, 9503, 1995.
De Brouwer, Gordon, dan J. Oregan, Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Australia, 1997.
De Brouwer, Gordon, Irene Ng, dan Robert Subbaraman, The Demand for Money in
Australia: New Test on an Old Topic, Reserve Bank of Australia Reserach Discussion Paper,
9314, 1993.
Eckhold Kelly, Monetary Policy Theory and Practice in New Zealand, RBNZ, 1997.
Fahrer, Jerome, dan Lynne-Elle Shori, An Empericel Model of Australian Interest Rate,
Exchange Rates and Monetary Policy, Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper,
9009, 1990.
Grenville, S.A, dan P.W. Stebbing, Monetary Management: the Australian Experience,
International Coference on Monetary Management, 1994.
Horton, Tracey, dan Jenny Wilkinson, An Analysis of the Determinants of Imports, Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper -8910, 1989.
MacFarlane, Ian, dan Warren Tease, Capital flows and Exchange Rate Determination,
Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper, 8908, 1989.
Morris, Dirk, Monetary Transmission in a Dergulated Financial System, Reserve Bank of
Australia Research Discussion Paper, 8811, 1988.
RBNZ, Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-95, 1995.
______________, Summary Indicators of Monetary Condition, 1997.
Roger, Scott, An Illustarated Guide to the Role of Underlying Inflation in Monetary Policy,
Reserve Bank of New Zealand Bulletin, Vo.57(3), h.234-242, 1994.
Sarwono, Hartadi A., Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian
Moneter: Suatu Studi Kemungkinan Penerapannya, Makalah SESPIBI XXI, 1996.
Stevens, Glenn, dan Jenny Wilkinson, The Monetary Policy Transmission Process in
Australia: What Do We know ?
Siklos, Pierre L., Searching for Improved Monetary Indicator for New Zealand, RBNZ Discussion Paper Series - G96/1, 1996.
______________, The Demand for Money in New Zealand in Era of Institutional Change:
Evidence from the 1981 - 1994 Period, RBNZ Discussion Paper Series - G95/3, 1995.
Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran
Untuk Penerapannya di Indonesia, SESPIBI XXII, November, 1997
Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia
53
Lampiran
Kerangka Kerja Tinbergen
Misalkan, hubungan antara kebijakan fiskal (G) dan kebijakan moneter (M) dalam
mempengaruhi pencapaian sasaran pengendalian tingkat produksi (Q) dan tingkat hargaharga (P) dapat dipresentasikan ke dalam sistem persamaan linear berikut:
Q = a1G + a2M
P = b1G + b2M
Koefisien-koefisien a1,a2,b1, dan b2 mengukur pengaruh kuantitatif kebijakan fiskal
dan moneter terhadap produksi dan harga. Sistem persamaan tersebut dapat diubah ke dalam
notasi matriks berikut:
 Q =
 a1 a2   G 
P =
 b1 b2   M 
Dengan menggunakan Metoda Kramer dapat dibuktikan bahwa untuk mencapai Q = Q*
dan P = P* maka kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang harus diambil adalah:
(b2Q* - a2P*)
(b2P* - a2Q*)
G =
M=
(a1 b2 -b1 a2)
(a1 b2 -b1 a2)
Penyebut dari kedua persamaan di atas tidak lain adalah koefisien determinasi matriks
di atas. Apabila koefisien determinasi suatu matriks sama dengan nol maka solusi kedua
persamaan tidak dapat ditemukan kecuali salah satu sasaran dikorbankan. Koefisien
determinasi yang sama dengan nol juga dapat diartikan bahwa terdapat hubungan kausalitas
antara masing-masing sasaran. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
Q = a1G + a2M
P = gQ
Persamaan kedua menunjukkan tingkat harga sepenuhnya ditentukan oleh tingkat produksi.
Dengan mensubstitusikan persamaan pertama ke dalam persamaan kedua akan diperoleh:
Q = a1G + a2M
P = g a1G + g a2M
Koefisien determinasi dari sistem persamaan di atas adalah:
g a1 a2 -ga1 a2 =0.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa apabila kebijakan moneter dan fiskal hanya dapat
mempengaruhi laju inflasi secara tidak langsung melalui pengaruh kedua kebijakan tersebut
terhadap tingkat produksi maka sasaran produksi dan laju inflasi tidak mungkin dapat
dicapai secara bersamaan. Kalau pun koefisien determinasi tidak sama dengan nol namun
mendekati nol maka pencapaian kedua sasaran secara bersama-sama hanya dapat terjadi
apabila masing-masing instrumen kebijakan berada jauh di atas/bawah tingkat normalnya.
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
59
UNDERLYING INFLATION SEBAGAI INDIKATOR HARGA
YANG RELEVAN DENGAN KEBIJAKAN MONETER:
Sebuah Tinjauan Untuk Indonesia
Wijoyo Santoso dan Reza Anglingkusumo *)
Untuk melihat keberhasilan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, indikator harga yang digunakan selama
ini adalah indeks harga konsumen atau IHK karena indikator ini dapat tersedia lebih cepat dibandingkan indikator harga lainnya
seperti indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan PDB deflator. Walaupun IHK merupakan pilihan terbaik saat ini sebagai
indeks harga yang paling relevan untuk melihat efektivitas kebijakan moneter, namun IHK mengandung kelemahan yaitu
noise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Beberapa unsur noise dalam IHK tersebut adalah faktor-faktor
seperti kenaikan biaya input produksi (misalnya melalui pass through depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga komoditi input
untuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kenaikan biaya distribusi domestik (second stage pass through dari
depresiasi nilai tukar), kebijakan fiskal, faktor non-ekonomi (misalnya, kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa bumi, gejala
El-Nino, dan kebakaran hutan), administered prices, dan ketidakseimbangan serta inefisiensi dalam struktur industri. Semua
faktor-faktor ini tidak memiliki relevansi dengan kebijakan moneter.
Oleh karena itu, telah dilakukan pengukuran underlying inflation yaitu laju inflasi yang diturunkan dari inflasi IHK
dengan mengeluarkan unsur noise dalam keranjang IHK. Terdapat beberapa metode untuk membersihkan IHK dari faktorfaktor tersebut antara lain metode specific adjustment, adjustment by exclusion, dan pemangkasan (trimmed method). Dengan
mengeluarkan unsur noise dalam inflasi IHK tersebut, yang tersisa adalah laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan
kekuatan-kekuatan fundamental dari sisi permintaan seperti interaksi antara ekspektasi masyarakat, jumlah uang yang beredar,
dan siklus penggunaan kapasitas produksi. Dengan demikian, underlying inflation dapat menjadi proxy untuk inflasi yang
disebabkan oleh sisi permintaan yang secara teoritis dekat dan relevan dengan kebijakan moneter. Dalam kaitannya dengan
penetapan laju inflasi sebagai target tunggal kebijakan moneter (inflation targeting), underlying inflation dapat berperan
sebagai nominal anchor yang menjadi patokan bagi ekspektasi inflasi dan policy stance bank sentral yang kemudian diikuti oleh
dunia usaha. Oleh karena itu, sebagaimana di beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Kanada yang
sudah menggunakan underlying inflation sebagai sasaran tunggal (single target), Bank Indonesia seharusnya menggunakan
underlying inflation sebagai indikator dalam rangka memonitor efektivitas kebijakan moneternya.
Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran pada pembaca mengenai konsep dan pengukuran underlying inflation
serta implikasinya terhadap kebijakan moneter dan kaitannya dengan penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakan
moneter di Indonesia. Bagian pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang dilakukannya penelitian mengenai
underlying inflation sebagai indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Bagian kedua akan menyediakan landasan
konseptual penelitian indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Pada bagian ketiga akan diuraikan mengenai
metode-metode pengukuran underlying inflation. Di bagian keempat akan dipaparkan mengenai hasil-hasil dari penelitian
indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, khususnya yang berkaitan dengan underlying inflation. Selanjutnya di
bagian kelima akan diulas mengenai berbagai pelajaran yang dapat ditarik dari eskalasi krisis moneter terhadap penggunaan
inflasi IHK sebagai indikator harga untuk mengukur efektifitas kebijakan moneter. Akhirnya, bagian keenam akan menyimpulkan
tulisan ini sekaligus menyampaikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penggunaan underlying inflation dalam skim inflation targeting.
*) Wijoyo Santoso
: Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, Email: [email protected]
Reza Angingkusumo : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, Email: [email protected]
Penulis mengucapkan terimakasih untuk diskusi dan komentar dari Hotbin Sigalingging, Kepala Bagian Studi Sektor
Riil, UREM-BI, dan Noor Yudanto, Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI.
60
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Pendahuluan
S
eiring dengan semakin menyatunya perekonomian nasional ke dalam tatanan
ekonomi
dunia, maka iklim ketidakpastian yang menjadi ciri dalam dinamika
perekonomian global pun harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Iklim
ketidakpastian tersebut, terutama yang berkaitan dengan perubahan pada nilai tukar
sebagian akan tercermin sebagai ketidakpastian perubahan harga-harga barang dalam
masyarakat. Dalam jangka panjang, ketidakpastian harga akan menyulitkan pelaku
ekonomi domestik maupun internasional untuk melakukan perencanaan kegiatan
konsumsi, produksi, dan distribusinya, sehingga dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi.
Dari sisi domestik, laju inflasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling
terkait yaitu ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi, jumlah likuiditas yang beredar
dalam perekonomian, tingkat penggunaan kapasitas usaha, dan faktor musiman. Dalam
kaitannya dengan nilai tukar, tekanan domestik pada inflasi dapat pula disebabkan oleh
kenaikan biaya produksi dan distribusi domestik sebagai akibat dari depresiasi dan gejolak
pada nilai tukar. Lebih dari itu, inefisiensi dan ketidakseimbangan pada struktur fundamental mikro-ekonomi, khususnya di sektor-sektor yang erat kaitannya dengan produksi
dan distribusi, dapat memperdalam dan memperpanjang tekanan pada laju inflasi terutama
jika terjadi gejolak berkelanjutan pada faktor eksternal (khususnya nilai tukar)1 .
Semua hal diatas mencerminkan kompleksitas dalam pengendalian dan stabilisasi
laju inflasi melalui kebijakan moneter yang menjadi tugas pokok Bank Indonesia. Inflasi
ternyata bukan semata-mata disebabkan oleh jumlah uang beredar sebagaimana yang
ditekankan oleh Nobelaurate Profesor Milton Friedman. Sehingga, secara teknis dalam
hubungannya dengan kebijakan moneter, Bank Indonesia dituntut untuk mengidentifikasi
suatu indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, yaitu indeks harga yang dapat
dikendalikan melalui pengelolaan jumlah uang yang beredar. Indeks harga tersebut
selanjutnya menjadi suatu patokan (anchor) dalam implementasi kebijakan moneter.
Landasan Konseptual
Sebagaimana telah disinggung diatas, kompleksitas pengendalian inflasi telah
menyebabkan perlunya Bank Indonesia mengidentifikasi indikator harga yang relevan
dengan kebijakan moneter. Secara teknis hal ini berarti mencari suatu indeks harga yang
perilakunya secara statistik mencerminkan policy stance Bank Indonesia mengenai jumlah
likuiditas moneter dalam perekonomian. Untuk itu, Bank Indonesia perlu untuk pertamatama melakukan pembedahan terhadap beberapa indikator harga agregat seperti inflasi
IHK dan IHPB menjadi beberapa kelompok, untuk diuji secara statistik keterkaitan perilaku
dinamis jangka pendek dan panjangnya (relevansinya) dengan kebijakan moneter. Oleh
karena itu pada sub-pembahasan ini akan diuraikan mengenai landasan konseptual yang
digunakan dalam desain penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Secara statistik, dalam hubungannya dengan kebijakan moneter untuk
1 Kesimpulan dari pertemuan ESCAP ke-32 di Bangkok, Thailand misalnya menyebutkan bahwa pendalaman krisis di
Asia, khususnya Indonesia, terutama disebabkan oleh struktur sektor riil yang tidak seimbang dan inefisien.
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
61
pengendalian dan stabilisasi laju inflasi, dapat dilakukan pemilahan terhadap indikator
inflasi agregat, seperti inflasi IHK dan IHPB, menjadi laju inflasi kelompok barang,
misalnya kelompok makanan, sandang, perumahan, aneka barang, food & energy2 ,nonfood & non-energy3 , administered dan non-administered4 , traded dan non-traded5 , IHPB
sektoral6 , IHPB ekspor7 , dan IHPB impor8 .
Dengan melakukan pemilahan-pemilahan
seperti ini, maka dapat dilakukan pengujian statistik yang lebih mendetil dan terfokus
mengenai kaitan antara kebijakan pengendalian uang beredar dengan laju inflasi. Karena,
bisa jadi perilaku indeks harga secara agregat, misalnya inflasi IHPB agregat, tidak
mencerminkan stance kebijakan moneter, tetapi beberapa komponen sektoralnya seperti
IHPB sektor industri, ekspor, dan pertanian mencerminkan.
Selanjutnya, khusus untuk laju inflasi IHK, pemilahan dapat pula dilakukan atas
sifat dari inflasi IHK, yaitu sifat permanen dan temporer. Secara lebih rinci, laju inflasi
IHK yang bersifat permanen adalah laju inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan
permintaan terhadap barang dan jasa (permintaan agregat) dalam perekonomian, sehingga
walaupun inflatoir dapat menambah pada pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka
panjang. Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab perubahan laju inflasi yang bersifat
permanen tersebut adalah interaksi antara ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi,
jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, faktor siklus kegiatan usaha (misalnya tingkat
penggunaan kapasitas produksi dan tingkat akumulasi cadangan produksi atau inventory), dan tekanan permintaan musiman (misalnya hari raya keagamaan, musim panen,
dan dimulainya tahun ajaran baru).
Komponen laju inflasi yang bersifat temporer dilain pihak, adalah komponen laju
inflasi yang lebih disebabkan oleh adanya gangguan sesekali (one time shocks) pada laju
inflasi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gejolak sementara tadi adalah
kenaikan biaya input produksi dan distribusi (misalnya melalui depresiasi nilai tukar dan
kenaikan harga komoditi input untuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi,
kebijakan fiskal, dan faktor non-ekonomi (seperti kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa
bumi, dan kebakaran hutan). Sedikit catatan perlu disampaikan disini bahwa faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan tekanan inflatoir yang berkepanjangan jika terdapat struktur
mikro fundamental yang tidak efisien dan tidak seimbang dalam perekonomian, khususnya
struktur disektor produksi dan distribusi.
Dalam hubungannya dengan kedua sifat dari inflasi IHK diatas, Bank Indonesia
kemudian perlu untuk mengukur komposisi antara komponen laju inflasi yang bersifat
2 Laju inflasi food dan energy adalah laju inflasi barang-barang yang dikategorikan sebagai bahan pangan dan bahan
bakar dalam keranjang IHK.
3 Laju inflasi non-food dan non-energy adalah laju inflasi barang-barang diluar bahan pangan dan bahan bakar.
4 Laju inflasi administered adalah laju inflasi barang-barang yang harganya ditetapkan (dipengaruhi) oleh pemerintah
melalui subsidi (misalnya beras, gula pasir, dan minyak goreng), sedangkan non-administered adalah laju inflasi barangbarang yang harganya tidak ditetapkan (dipengaruhi) oleh pemerintah.
5 Laju inflasi traded adalah laju inflasi barang-barang yang diperdagangkan dengan luar negeri, sedangkan laju inflasi
non-traded adalah laju inflasi barang-barang yang tidak diperdagangkan dengan luar negeri.
6 Laju inflasi IHPB sektoral adalah laju inflasi barang perdagangan besar menurut sektor usaha, misalnya pertanian,
pengolahan, pertambangan, dan sebagainya.
7 Laju inflasi IHPB ekspor adalah laju inflasi barang perdagangan besar yang diekspor.
8 Laju inflasi IHPB impor adalah laju inflasi barang perdagangan besar yang diimpor.
62
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
permanen yang disebabkan oleh tekanan permintaan agregat dalam perekonomian dan
yang bersifat temporer yang lebih disebabkan oleh one time events (gejolak temporer).
Demikian halnya karena komponen laju inflasi yang permanen adalah komponen yang
disebabkan oleh interaksi beberapa faktor yang diantaranya adalah jumlah uang yang
beredar dalam perekonomian. Dalam hal ini, Roger (1995) telah berargumen bahwa laju
inflasi yang permanen adalah laju inflasi yang relevan dengan kebijakan moneter. Dua
alasan yang dikemukakan mengenai hal ini dirangkum oleh Claus (1997) yaitu: pertama,
pada dasarnya pengendalian komponen laju inflasi yang temporer adalah diluar
kemampuan otoritas moneter. Walaupun begitu, otoritas moneter dapat mengeluarkan
kebijakan untuk meredam efek lanjutan (second round effect) dari gejolak temporer tersebut,
yang akan tercermin dalam laju inflasi jangka menengah (medium term inflation) atau underlying inflation. Kedua, jika jelas bahwa gejolak inflasi lebih disebabkan oleh one-time events,
maka semakin lemah argumen yang menyatakan bahwa perlu dikeluarkan kebijakan
moneter untuk meredam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dalam jangka
pendek guna menstabilkan gejolak pada inflasi.
Untuk mengukur laju inflasi yang bersifat permanen diatas, telah dilakukan
pengukuran terhadap laju underlying inflation Indonesia. Underlying inflation adalah laju
inflasi yang mencerminkan kecenderungan fundamental pertumbuhan harga-harga agregat
jangka menengah (medium term inflation). Underlying inflation berbeda dari laju inflasi aktual
karena didalam keranjang pembentuknya telah dikeluarkan unsur noise (laju inflasi
temporer). Akibat dari dikeluarkannya unsur noise tersebut diperoleh suatu ukuran inflasi
yang merupakan sinyal dari tekanan kekuatan-kekuatan yang lebih fundamental dalam
perekonomian, seperti ekspektasi, jumlah uang beredar, siklus penggunaan kapasitas
produksi (output gap), dan faktor permintaan musiman. Selanjutnya, semua unsur dari
tekanan fundamental ini ekuivalen dengan tekanan permintaan agregat dalam
perekonomian, sehingga underlying inflation dapat pula didefinisikan sebagai laju inflasi
dari sisi permintaan agregat.
Metodologi Pengukuran Underlying Inflation
Merujuk pada kajian-kajian akademis dan hasil studi banding di dua negara yaitu
Australia dan Selandia Baru, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat dua
metode dalam pengukuran underlying inflation, yaitu metode judgemental dan non-judgemental9 . Pengukuran dengan metode judgemental adalah pengukuran dengan mengeluarkan
barang-barang dalam keranjang IHK yang inflasinya dinilai terlalu bergejolak (volatile),
dipengaruhi oleh faktor musim geografis (seasonal), dan dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah. Dalam diskusi dikalangan akademis maupun praktisi, terdapat dua teknik
pengukuran dengan metode judgemental , yaitu teknik specific adjustment dan teknik adjustment by exclusion. Sedangkan untuk teknik non-judgemental digunakan teknik pemangkasan
trimmed method, yang pada hakikatnya adalah minimisasi pengaruh noise pada series IHK
dengan menggunakan suatu nilai kritikal tertentu yang selanjutnya hasil ukuran tersebut
9 Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-1995. RBNZ, September
10 Teknik ini lazim disebut sebagai limited influence estimator, dimana penilaian sepihak mengenai komponen mana yang
harus dibuang dari IHK diminimisasi dengan menganggap setiap angka ekstrem (transitory outliers) sebagai gangguan
(noise).
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
63
diuji integritasnya secara statistik10 .
Teknik specific adjustment merujuk pada teknik pengukuran dengan mengeluarkan
angka pada komponen-komponen IHK yang besar perubahannya pada satu waktu
tertentu dinilai mengganggu judgement kebijakan moneter, dimana gangguan-gangguan
tersebut dapat bersumber dari perubahan rate pajak terhadap harga barang maupun
perubahan mendadak pada harga-harga bahan baku produksi (price shocks), harga enerji
dan biaya transportasi, serta kenaikan harga karena kelangkaan pasokan (supply shortage). Secara umum metode ini dianggap cukup baik jika besaran (magnitude) dan rentang
waktu (timing) dari kejutan-kejutan diatas dapat diidentifikasi dengan informasi yang
ada. Masalah utama yang dihadapi jika underlying inflation diukur dengan teknik ini
adalah adanya kesulitan untuk melakukan identifikasi sumber perubahan harga jika efek
dari sumber perubahan tersebut bersifat tidak langsung. Sebagai contoh, besaran dan
waktu dari perubahan harga barang-barang impor di dunia mungkin dengan mudah
dapat diidentifikasi, akan tetapi besaran dan waktu dari kejadian tersebut hingga
mempengaruhi harga-harga barang konsumsi didalam negeri masih perlu diidentifikasi
dan diestimasi lebih lanjut. Hal ini berakibat perlunya untuk melakukan estimasi besarnya
pengaruh dari kenaikan harga impor tersebut (pass-through) pada setiap komponen
IHK yang dinilai akan terpengaruh.
Teknik kedua dalam metode judgemental adalah adjustment by exclusion. Teknik ini
membuang komponen tertentu dari indeks harga agregat yang perilakunya dinilai berbeda
secara mendasar dari kecenderungan umumnya. Dengan membuang komponen-komponen
tersebut, indeks yang dihasilkan dianggap sebagai indeks yang mencerminkan underlying
inflation. Berbeda dari teknik specific adjustment, adjustment by exclusion tidak menetralisir
pengaruh sumber perubahan harga yang ekstrem secara kasus-per-kasus, akan tetapi
menghapus satu komponen tertentu dari indeks harga agregat. Penghapusan terhadap
series komponen tersebut dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap
pencaran (frequency distribution) dari perubahan harga-harga. Dengan penilaian-penilaian
tersebut dilakukan identifikasi secara sepihak terhadap tingkat gejolak dari suatu
komponen. Jika komponen tersebut dinilai sangat bergejolak sepanjang satu periode tertentu
maka komponen tersebut akan dikeluarkan dari keranjang IHK. Masalah utama yang
dihadapi dalam pengukuran dengan teknik ini adalah adanya kesulitan untuk menentukan
tingkat gejolak, mengingat panjang pendeknya periode pengukuran akan mempengaruhi
persepsi pengukur mengenai tingkat gejolak.
Disamping kedua teknik judgmental diatas, ukuran underlying inflation dapat pula
diperoleh dengan menggunakan metode non-judgemental yaitu teknik pemangkasan
(trimmed method). Dengan teknik ini dilakukan pemangkasan terhadap keranjang IHK
sehingga diperoleh suatu angka inflasi yang relatif bersih dari noise yang mengganggu
judgement kebijakan. Pemangkasan dilakukan dengan berbagai nilai kritikal pemangkasan
untuk memperoleh beberapa ukuran underlying inflation. Selanjutnya ukuran-ukuran
tersebut dievaluasi dengan menggunakan berbagai konsep statistik inferensial, seperti
standar deviasi dan autocorrelation, serta dilakukan pula uji sebab-akibat (Granger Causality
Test) untuk memilih ukuran yang relatif paling bersih dari unsur noise .
Secara formal dengan merujuk pada Bryan dan Cecchetti (1993) underlying inflation
yang diukur dengan metode non-judgmental adalah minimalisasi dari unsur noise atau
komponen non-permanen secara kuantitatif. Secara lebih spesifik, noise mengacu pada
64
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
gejolak tidak permanen (temporaray shocks) pada pergerakan harga-harga pembentuk
indeks harga umum, yang tidak boleh sampai mempengaruhi judgement dari kebijakan
moneter.
Dampak dari noise adalah ketidakakuratan perubahan jangka pendek inflasi
dalam mencerminkan perilaku kecenderungan jangka panjangnya. Mengingat sifatnya
yang transitory, maka analisa terhadap dampak noise pada pengukuran underlying inflation menjadi sangat penting. Karena jika Bank Indonesia akan menjadikan inflasi sebagai
target kebijakan moneter, maka diperlukan adanya suatu batasan-batasan (bands) target
inflasi yang relatif bersih dari noise. Alasan lain adalah agar dapat dibuat suatu
penafsiran yang reliable terhadap pergerakan laju inflasi medium term.
Beberapa sumber dari noise yang diidentifikasi di beberapa negara yang
menggunakan underlying inflation sebagai sasaran kebijakan moneter11 adalah: (1)
Perubahan harga-harga yang hanya berlangsung pada musim-musim tertentu (seasonal),
(2) Perubahan yang besar dan mendadak pada harga sumber daya secara luas (broadbased resource shock) yang disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dinamika dalam
perdagangan internasional, dan atau kenaikan harga enerji, (3) Perubahan ‘rate’ pajak
tak langsung (indirect tax-rate), dan (4) Penyesuaian-penyesuaian harga yang besar dan
tak berkala yang dilakukan baik oleh sektor swasta maupun pemerintah.
Secara konseptual dengan berasumsi bahwa setiap noise adalah transitory outliers12 yang tidak berpotensi untuk meninggalkan bekas permanen pada basic trend inflasi
maka dengan membuang outliers akan diperoleh suatu ukuran harga yang yang
mencerminkan kecenderungan jangka menengah dari perubahan harga-harga yang
sebenarnya, atau underlying inflation13 . Di Australia misalnya, ditemui adanya sasaran
inflasi jangka menengah (medium-term inflation target) yang diumumkan kepada
masyarakat. Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Australia dengan the Reserve
Bank of Australia (RBA) telah ditetapkan suatu kisaran medium-term inflation tersebut,
yaitu sebesar 2-3%. Sasaran kisaran 2-3% ini diterjemahkan sebagai sasaran agar
kecenderungan umum dari laju kenaikan harga-harga konsumen (broad central tendency
for inflation), atau rata-rata kenaikan harga-harga konsumen sepanjang satu periode
tertentu adalah sebesar 2-3%. Oleh karena itu, sasaran ini bukanlah sasaran angka inflasi
jangka pendek yang harus dicapai, melainkan suatu sasaran yang akan mencerminkan
kecenderungan angka inflasi yang secara material tidak mengganggu keputusan
11 Diskusi mengenai faktor noise dapat dilihat pada Reserve Bank of Australia Bulletin 1994,;Measuring Underlying
Inflation, Agustus; dan Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G. 1993, Measuring Core Inflation, Federal Reserve
Bank of Cleveland, Working Paper # 9304, June; serta Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New
Zealand, 1981-1995. RBNZ, September.
12 Transitory outliers dalam hal ini didefinisikan sebagai gejala ekstrem yang berlangsung tidak terlalu lama dan tidak
secara permanen merubah kecenderungan jangka panjang harga walaupun gejala tersebut berukuran besar . Bryan dan
Cecchetti melihat bahwa komponen-komponen transitory ini harus dikeluarkan dari pengukuran underlying inflation
sehingga diperoleh suatu angka laju inflasi yang hanya mencerminkan perilaku komponen-komponen yang persistent
dan permanent. Selanjutnya dengan berasumsi bahwa velocity of money selalu konstan maka angka laju inflasi yang
bersih dari komponen transitory tersebut adalah ukuran dari inflasi moneter (monetary inflation) ( Bryan, Michael F.
dan Cecchetti, Stephen G. 1993, Measuring Core Inflation, Federal Reserve Bank of Cleveland, Working Paper #
9304, June.
13 Beberapa istilah telah dipergunakan untuk menjelaskan konsep kecenderungan dalam definisi underlying rates of inflation
ini. Inggris dan Australia menyebut kecenderungan “riil” ini sebagai medium term rates of inflation. Selandia Baru
menyebutnya sebagai kecenderungan utama jangka panjang (long run central tendency of inflation). Kanada
menggunakan istilah trend dasar dari harga-harga agregat (basic trend of aggregate prices)
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
65
keuangan dari dunia usaha dan rumah tangga konsumen (household consumers). Di Australia, kisaran angka sasaran medium-term inflation tersebut dikenal dengan sebutan the
Treasury Underlying Rate (Australian Bureau of Statistics) atau Underlying CPI yang
ditetapkan oleh RBA, dan oleh kalangan dunia usaha dilihat sebagai sasaran inflasi bank
sentral (the RBA inflation target). Perilaku dari angka underlying inflation ini sejak
dikeluarkannya lima tahun yang lalu telah berperan sebagai anchor bagi inflation expectations di Australia yang juga merupakan indikator awal dari perilaku inflasi jangka pendek
dimasa datang (predictor of short-run future course of inflation)14 .
Disamping itu, penetapan sasaran underlying inflation diatas juga digunakan untuk
mengimplementasikan kebijakan moneter yang forward-looking. Instrumen kebijakan
moneter akan disesuaikan untuk menjaga agar proyeksi medium-term inflasi RBA tetap
pada kisaran 2-3%. RBA melakukan pengetatan moneter sebelum adanya kenaikan inflasi
diatas 3% dan tekanan kebijakan tidak akan dikurangi sebelum angka medium term tersebut
berada dibawah 3%. Jika terjadi perubahan laju inflasi jangka menengah yang tidak
diantisipasi sebelumnya, RBA akan melakukan penyesuaian kebijakan untuk menurunkan
angka tersebut secepatnya tergantung dari penyebabnya. Dengan kata lain RBA tidak akan
membiarkan perubahan pada komponen persistent dalam inflasi untuk secara permanen
tercermin dalam laju perubahan harga-harga.
Di Selandia Baru salah satu elemen penting dalam mekanisme kerja Bank Sentralnya
adalah terikatnya perilaku kebijakan dari The Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) terhadap
kewajiban untuk secara berkala memberi laporan kepada khalayak tentang progress dari
pelaksanaan the Policy Targets Agreement (PTA). Kesepakatan dalam PTA ini memberi
arah bagi RBNZ dalam kegiatannya untuk menjaga stabilitas harga-harga umum agar tetap
dalam target bands yang telah disepakati bersama dengan Kementerian Keuangan Selandia
Baru, yaitu pada kisaran pertumbuhan CPI tahunan sebesar 0% - 2%. Dengan kisaran
target bands tersebut RBNZ bertanggung jawab atas kebijakan moneter yang diarahkan
untuk menahan agar perubahan harga temporer tidak meninggalkan bekas permanen pada
trend jangka panjang inflasi. Untuk itu PTA memberi suatu petunjuk mengenai kondisikondisi prinsip yang dikategorikan sebagai temporary disturbances dan dapat menjadi escape clause RBNZ dalam merumuskan kebijakan moneter untuk sasaran pengendalian hargaharga15 . Hal-hal tersebut adalah: (1) Adanya perubahan tingkat suku bunga yang secara
mendasar dapat menyebabkan penyimpangan
trend jangka panjang Consumer Price
Index (CPI) yang mengeluarkan komponen suku bunga (CPI excl. interest components); (2)
Adanya perubahan mendasar yang terjadi hanya sekali (once-off) pada tingkat harga-harga
umum yang dapat mempengaruhi trend jangka panjangnya yang dapat terjadi karena
perubahan terms of trade, perubahan sistem tarif dan pungutan pemerintah, dan perubahan
tarif pajak; dan (3) Adanya perubahan mendasar yang terjadi hanya sekali (once-off) pada
perubahan harga relatif (relative price changes); serta, (4) Bencana alam dan serangan hama
dan penyakit pada tanaman pangan dan peternakan.
14 Mengenai hal ini Gubernur Ian MacFarland dari RBA menyebutkan bahwa kinerja dari the underlying CPI, yang
disusun oleh the Australian Bureau of Statistics dan RBA sebagai rujukan (anchor) secara konsisten berada dalam
target kisaran 2% - 3% dan telah menolong dalam mempersempit spread antara yields obligasi jangka panjang di
Australia dan jenis obligasi yang sama di negara-negara lain.
15 Kondisi-kondisi prinsip yang dilaporkan dalam makalah ini sesuai dengan the Policy Targets Agreement of 19 December,
1992 yang tercantum menggantikan section 9(4) dari The Reserve Bank of New Zealand Act tahun 1989.
66
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Pengukuran underlying inflation secara non-judgemental di Australia mengacu pada
metodologi pemangkasan sebagaimana yang telah disinggung terdahulu. Metode yang
demikian ini ditempuh dengan asumsi bahwa angka underlying inflation yang ideal untuk
kebijakan moneter adalah angka yang menangkap kecenderungan siklikal dan trend dari
tingkat harga umum. Oleh karena itu unsur volatilitas, musiman, dan policy disturbances
harus dikeluarkan dari pengukuran inflasi. Metode pemangkasan ini digunakan juga di
Selandia Baru untuk mengukur underlying inflation di negara tersebut.
Di Indonesia, pengukuran underlying inflation dilakukan dengan pemangkasan
terhadap data IHK-Indonesia yang melibatkan series IHK bulanan dari bulan Mei 1990
sampai dengan bulan Mei 1998. Langkah-langkah dalam prosedur pemangkasan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan series bulanan indeks IHK untuk setiap barang. Series ini diolah oleh
Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (SRKP), Urusan Statistik Ekonomi
dan Moneter (USEM) Bank Indonesia. Dari data yang tersedia diperoleh suatu periode
pengukuran, yaitu dari bulan Mei 1990 sampai dengan bulan Mei 1998.16 Untuk setiap
bulan observasi, seluruh komoditi yang dipakai dalam menghitung IHK berikut bobotnya
masing-masing (sesuai dengan bobot yang dihitung oleh Bagian SRKP, USEM, Bank
Indonesia) digunakan dalam pengukuran. Total keseluruhan komoditi tersebut
berjumlah 337 komoditi.
2. Selanjutnya dihitung laju inflasi dari setiap barang dan dilakukan perhitungan inflasi
terbobot bulanannya.
3. Dilakukan pensortiran laju inflasi bulanan terbobot untuk setiap barang sehingga data
berurutan dari yang terbesar ke terkecil.
4. Berdasarkan urutan yang tercipta dilakukan pemangkasan pada angka-angka ekstrem
teratas dan terbawah dengan menggunakan beberapa nilai kritikal, yaitu 10%, 15%, 20%,
25%, 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50%.
5. Ukuran-ukuran yang diperoleh kemudian diuji tingkat kebersihannya dari unsur noise
dengan menguji hubungan sebab akibat antara inflasi barang-barang yang terpangkas
terhadap inflasi yang sudah terpangkas. Ukuran dianggap bersih dari noise jika inflasi
barang-barang yang terpangkas tidak menyebabkan inflasi barang-barang yang sudah
terpangkas.
6. Akhirnya, dari ukuran-ukuran yang telah diseleksi diatas dicari lagi ukuran yang memiliki
gejolak terendah (standard deviation terendah) tapi memiliki kadar informasi tertinggi
(autocorrelation tertinggi).
Grafik 1 menggambarkan laju inflasi underlying inflation yang diukur dengan metode
pemangkasan diatas dibandingkan dengan laju inflasi IHK. Dari hasil perhitungan, secara
historis komponen permanen dari inflasi IHK secara rata-rata tidaklah lebih dari 20-30%
dari total IHK. Ini memberi implikasi bahwa secara rata-rata paling sedikit 70-80% dari
laju inflasi IHK disebabkan oleh noise (komponen tidak permanen). Bagi pelaksanaan
16 Untuk saat ini angka underlying inflation bulan April dan Mei 1998 masih merupakan angka sementara yang dipangkas
berdasarkan 30 sub-kelompok barang dalam IHK.
67
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
Grafik 1. Laju Inflasi IHK, Underlying Inflation, dan Noise
Inflasi IHK, Underlying Inflation
(% bulanan)
NOISE
(% bulanan)
14
7.00
12
6.00
10
5.00
8
4.00
6
3.00
LAJU INFLASI IHK
4
2.00
UNDERLYING INFLATION
NOISE
-2
Apr-98
May-98
Mar-98
Jan-98
Feb-98
Dec-97
Oct-97
Nov-97
Sep-97
Jul-97
Aug-97
Jun-97
May-97
Apr-97
Mar-97
Jan-97
Feb-97
Dec-96
Oct-96
Nov-96
Sep-96
Jul-96
Aug-96
Jun-96
Apr-96
May-96
0.00
Mar-96
0
Feb-96
1.00
Jan-96
2
-1.00
kebijakan moneter hal ini berarti pula bahwa terdapat setidaknya 70% dari laju inflasi IHK
yang tidak relevan dengan kebijakan moneter. Demikian halnya karena sebagian besar
dari laju inflasi IHK tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang berada diluar
jangkauan kebijakan moneter, misalnya kenaikan harga barang-barang impor baik karena
depresiasi nilai tukar maupun karena dinamika dalam perdagangan dunia, kenaikan harga
enerji serta biaya transportasi yang menyertainya, gejolak musim geografis, kenaikan harga
barang input domestik, dan kelangkaan pasokan barang karena faktor-faktor non-ekonomis.
Walaupun demikian pendapat bahwa hanya 20-30% dari komponen inflasi IHK yang
relevan dengan kebijakan moneter masih perlu dibuktikan secara statistik. Oleh karena
itu, dalam sub-pembahasan berikut akan dipaparkan hasil dari penelitian indeks harga
yang relevan dengan kebijakan moneter.
Hasil Penelitian
Sebelum lebih jauh mengulas mengenai hasil penelitian ini, maka terlebih dahulu akan
disampaikan secara sekilas mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam
garis besarnya, penelitian dilakukan dengan melakukan uji kedekatan hubungan statistik
antara inflasi agregat berikut komponen-komponennya dengan besaran-besaran moneter.
Inflasi agregat yang diteliti adalah laju inflasi IHK , laju inflasi IHPB , dan PDB deflator,
sedangkan komponen inflasi yang diuji adalah kelompok makanan, sandang, perumahan,
aneka barang, food & energy ,non-food & non-energy,administered dan non-administered , traded
dan non-traded , IHPB sektoral , IHPB ekspor , dan IHPB impor . Telaah yang lebih khusus
68
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
dilakukan terhadap underlying inflation yang merupakan komponen permanen dalam inflasi
IHK guna menampilkan relevansi indikator harga ini dengan kebijakan moneter.
Untuk melakukan uji kedekatan diatas beberapa teknik analisa statistik telah
digunakan secara simultan dan berurutan. Analisa dilakukan dengan melibatkan data
tahunan untuk melihat hubungan jangka panjang, dan data bulanan untuk melihat
hubungan jangka pendek. Teknik pertama yang digunakan adalah uji korelasi sederhana17 ,
yaitu suatu uji statistik yang melihat kedekatan awal dan arah antara variabel-variabel
yang diuji, misalnya inflasi kelompok makanan dengan pertumbuhan M0, inflasi kelompok
sandang dengan pertumbuhan M2, dan seterusnya.
Berdasarkan hasil uji korelasi
sederhana tersebut dilakukan uji struktur lag18 untuk melihat secara historis lamanya suatu
variabel berpengaruh terhadap variabel yang lainnya, misalnya menguji sampai berapa
bulan pertumbuhan M0 mempengaruhi laju inflasi IHK, berapa lama pertumbuhan M2
akan tercermin pada laju inflasi IHPB, dan seterusnya. Setelah itu, dilakukan analisa
hubungan sebab akibat19 antara dua variabel, untuk melihat variabel mana yang menjadi
penyebab diantara dua variabel yang diuji, misalnya apakah pertumbuhan M2
menyebabkan inflasi kelompok food & energy, atau sebaliknya. Kemudian, setelah arah
hubungan diketahui, dilakukan uji kekuatan transmisi20 untuk melihat seberapa lama
kekuatan pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya untuk jangka waktu kedepan,
misalnya selama berapa bulan kedepan kebijakan meningkatkan jumlah M0 yang beredar
akan mempengaruhi laju inflasi IHK. Akhirnya, setelah kekuatan transmisi diketahui
dilakukan taksiran kedekatan hubungan dengan menggunakan suatu persamaan statistik
sehingga diperoleh derajat kekuatan hubungan antara variabel-variabel yang independen
dengan variabel yang dependen21 . Sebagai misal, disusun suatu persamaan bahwa laju
underlying inflation ditentukan oleh ekspektasi, pertumbuhan M0, pertumbuhan M1,
pertumbuhan M2, dan output gap22 , maka derajat kepekaan akan diukur dari tingkat
signifikansi23 dari variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi underlying inflation.
Berdasarkan metodologi diatas diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan jumlah uang kertas dan logam yang
beredar di masyarakat (M0), indikator harga yang paling relevan dan dapat dijadikan
anchor adalah laju inflasi IHK agregat dan laju inflasi kelompok food & energy dalam
keranjang IHK .
2. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan jumlah uang giral yang diciptakan oleh
17 Uji korelasi sederhana dilakukan dengan membuat simple correlation matrix yang melibatkan semua variabel yang
diuji dalam penelitian.
18 Uji struktur lag dilakukan dengan melakukan analisa cross correlogram terhadap semua variabel yang diuji dalam
penelitian.
19 Uji hubungan sebab akibat dilakukan dengan melakukan Granger Causality Test terhadap semua variabel yang diuji
dalam penelitian.
20 Uji kekuatan transmisi dilakukan dengan melakukan analisa Variance Decomposition berdasarkan hasil uji sebab akibat.
21 Taksiran kedekatan statistik dilakukan dengan membuat model persamaan polynomial distributed lag dan model
structural dynamics.
22 Output gap ditaksir dengan melakukan Hodrick-Prescott filtering terhadap series PDB kuartalan deseasonalized yang
diinterpolasi menjadi data bulanan.
23 Tingkat signifikasi yang mencerminkan tingkat kedekatan diukur dengan ranking t-statistics dari setiap independen
variabel yang terlibat dalam pengujian.
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
69
sistem perbankan ditambah dengan uang kertas dan uang logam yang beredar diluar
Bank Indonesia (M1), indikator harga yang paling relevan dan dapat dijadikan anchor
adalah PDB deflator.
3. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan M2, yaitu total jumlah M1 ditambah
uang kuasi (tabungan dan deposito) di sistem perbankan, indikator harga yang paling
relevan dan dapat dijadikan anchor adalah laju inflasi kelompok non-administered, nontraded, IHPB agregat dan underlying inflation.
4. Khusus untuk underlying inflation yang merupakan komponen IHK yang permanen dan
mencerminkan inflasi dari sisi permintaan agregat, terdapat indikasi statistik yang cukup
kuat bahwa interaksi simultan antara ekspektasi masyarakat terhadap besarnya noise
dalam inflasi, jumlah uang yang beredar, siklus penggunaan kapasitas produksi (output
gap), dan tekanan permintaan musiman adalah faktor yang mempengaruhi dinamika
underlying inflation terutama dalam kaitannya dengan ekskalasi krisis moneter.
5. Unsur noise dalam inflasi IHK banyak ditentukan oleh faktor gejolak pada nilai tukar
(first stage pass through), kenaikan biaya produksi dan distribusi domestik (second stage
pass through), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kelangkaan barang pasokan (supply shortage), dan faktor musim geografis, sehingga tidak relevan dengan kebijakan
moneter. Disamping itu, terdapat indikasi kuat bahwa unsur noise ditengah krisis
moneter dapat menyebabkan perubahan struktural pada perilaku jangka panjang inflasi
IHK yang juga berarti bahwa terdapat perubahan struktural yang cukup berarti di sisi
penawaran dalam perekonomian sebagai akibat dari krisis moneter. Underlying inflation
dilain pihak, mempunyai kecenderungan untuk tetap pada perilaku jangka panjangnya
dimasa pra-krisis24
Beberapa catatan tambahan dapat disampaikan disini, yaitu:
1.Walaupun laju inflasi IHPB dan PDB deflator termasuk dalam indikator harga yang
relevan dengan kebijakan moneter, akan tetapi mengingat ketersediaan data untuk
menyusun kedua indikator ini sangatlah lambat, maka kegunaannya sebagai anchor
kebijakan moneter menjadi tidak ada.
2. Laju inflasi food & energy walaupun dekat dengan pertumbuhan uang kertas dan logam
yang beredar, tapi secara historis dinamika indikator ini cukup sarat dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi noise dalam IHK, sehingga cukup besar kemungkinan
bahwa indikator ini dapat mengganggu judgement kebijakan jika digunakan sebagai anchor.
3. Secara historis barang-barang yang membentuk underlying inflation sebagian besar juga
dapat dikategorikan dalam kelompok inflasi non-administered dan non-traded. Oleh karena
itu bagi kebijakan moneter, tampaknya underlying inflation adalah suatu indikator harga
yang lebih komprehensif dalam fungsinya sebagai anchor.
Beberapa Pelajaran dari Krisis Moneter
Sebagaimana telah disinggung diatas, salah satu sasaran akhir dari kebijakan moneter
adalah pengendalian inflasi yang dilakukan melalui pengelolaan jumlah uang beredar
24
Hasil penelitian dapat dilihat di Lampiran 2.
70
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
secara hati-hati. Akan tetapi dengan terjebaknya perekonomian nasional kedalam krisis
nilai tukar, perekonomian nasional kemudian memasuki krisis makro-moneter yang saat
ini telah memasuki periode krisis (resesi) ekonomi makro yang dalam dan cukup berat,
yang antara lain ditandai oleh terus melemahnya nilai tukar rupiah dan tingginya
ekspektasi laju inflasi.
Dengan sedikit menengok ke belakang ke periode awal dari krisis moneter yaitu
pada semester II / 1997, maka dapat dilihat bahwa seiring dengan adanya contagion effect
dan krisis kepercayaan terhadap sustainability makro-fundamental perekonomian nasional,
telah terjadi sudden capital outflows yang menekan nilai tukar Rp/USD. Dengan depresiasi
yang kuat pada nilai tukar tersebut, telah berkembang suatu iklim ketidakpastian usaha
di sektor riil. Para pengusaha mengalami kesulitan untuk menetapkan anggaran usahanya
dan ini berpengaruh pada keputusan-keputusan usaha yang berkaitan dengan produksi
dan distribusi. Implikasi langsung dari fenomena ini terhadap laju inflasi, adalah
meningkatnya unsur noise dalam laju inflasi IHK melalui: (i) dampak depresiasi nilai tukar
ke harga-harga (first stage pass through); (ii) penurunan pasokan barang-barang dalam
perekonomian baik karena menurunnya jumlah barang-barang hasil produksi secara
agregat; maupun oleh (iii) adjustment di sektor distribusi barang-barang karena penurunan
pasokan barang kemudian menekan laba sebelum pajak para distributor, yang selanjutnya
diterjemahkan menjadi meningkatnya biaya operasi per unit dan harga barang per-unit
(second stage pass through).
Seiring dengan tekanan yang berasal dari depresiasi nilai tukar di atas, pada semester II/1997 juga diimplementasikan pencabutan subsidi bahan-bahan pokok diluar beras
melalui BULOG yang mengakibatkan tekanan inflatoir pada komoditi-komoditi seperti
gula pasir, minyak goreng, dan tepung terigu. Kemudian menjelang triwulan I / 1998
tekanan pada harga-harga ditambah lagi oleh datangnya faktor tekanan permintaan
musiman seperti Hari Raya Natal dan Bulan Ramadhan.
Bersamaan dengan tekanan yang terjadi di sektor riil diatas, terjadi krisis kepercayaan
terhadap sistem perbankan nasional sebagai akibat dari diimplementasikannya nota kesepakatan
pertama dengan IMF mengenai restrukturisasi sistem perbankan melalui kebijakan likuidasi
16 bank. Dampak dari kebijakan likuidasi ini adalah terjadinya krisis kepercayaan terhadap
sistem perbankan nasional yang diikuti oleh fenomena bank run dimana masyarakat menarik
dana simpanannya dari sistem perbankan.
Dana yang ditarik tersebut kemudian sebagian
dialihkan menjadi simpanan berdenominasi USD (flighttocurrency) dan atau simpanan di bankbank asing (flighttoquality), dan sebagian lainnya dikonsumsi untuk mengantisipasi kenaikan
pada harga-harga sebagaimana yang terjadi di triwulan I/ 1998. Implikasi dari hal-hal tersebut
adalah tekanan domestik pada nilai tukar Rp/USD, dimana permintaan terhadap mata uang
USD terus meningkat, sementara itu pasokan USD cenderung berkurang sebagai akibat dari
semakin dekatnya saat pembayaran utang luar negeri swasta yang jatuh tempo. Tekanan pada
nilai tukar tersebut selanjutnya menambah pada iklim ketidakpastian usaha di triwulan I /
1998 yang sudah semakin terakumulasi semenjak triwulan IV / 1997.
Excessive depreciation nilai tukar Rp/USD dan meningkatnya iklim ketidakpastian
usaha yang di akibatkannya di awal triwulan I / 1998 diatas telah menyebabkan semakin
meningkatnya komponen biaya input dalam struktur biaya produksi nasional dan
menurunnya minat produksi pada industri-industri di sektor riil.
Hal ini kemudian
memukul laba dari sektor-sektor yang berkaitan dengan distribusi sejalan dengan
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
71
Grafik 2. Inflasi IHK, Underlying Inflation,Noise,
dan Proporsi Underlying Inflation
(dalam % bulanan)
Laju Inflasi IHK, Underlying Inflation, dan
Porsi Underlying Inflation (% Bulanan)
Noise (% Bulanan)
14
7.00
12
6.00
10
5.00
8
4.00
LAJU INFLASI IHK
UNDERLYING INFLATION
6
3.00
NOISE
PORSI BULANAN UNDERLYING INFLATION
-2
Apr-98
May-98
Mar-98
Jan-98
Feb-98
Dec-97
Oct-97
Nov-97
Sep-97
Jul-97
Aug-97
Jun-97
Apr-97
May-97
Mar-97
Feb-97
Jan-97
Dec-96
Oct-96
Nov-96
Sep-96
Jul-96
Aug-96
Jun-96
0.00
Apr-96
0
May-96
1.00
Mar-96
2
Jan-96
2.00
Feb-96
4
-1.00
meningkatnya biaya operasional yang dikarenakan oleh berkurangnya pasokan barangbarang. Perkembangan yang terjadi pada sisi produksi dan distribusi tersebut, selanjutnya
menyebabkan meningkatnya porsi noise dalam inflasi IHK.
Menilik beberapa fakta mengenai inflasi IHK, komponen permanen, dan noise-nya
menunjukkan bahwa inflasi IHK sampai dengan bulan Mei tahun kalender 1998 telah
mencapai kumulatif bulanan sebesar 35.44%, sedangkan underlying inflation (inflasi sisi
permintaan) mencapai sekitar 13.64%, dan unsur noise melaju sebesar 21.80% (Grafik 2)25 .
Jika dilihat dari porsinya terhadap inflasi IHK, porsi underlying inflation telah mengalami
penurunan yang cukup tajam dari 48% di bulan Januari menjadi 25% di bulan Mei 1998,
sedangkan porsi noise meningkat dari 52% di bulan Januari menjadi 75% (Grafik 2).
Selanjutnya, dari sisi kecenderungan jangka pendeknya, inflasi IHK masih
menunjukkan kecenderungan untuk tetap tinggi dan belum stabil. Hal ini terutama
disebabkan oleh perilaku noise yang masih bergejolak pada laju yang tinggi (Grafik 2).
Beberapa sub-komoditi dalam laju inflasi IHK yang menyumbang pada perilaku noise
tersebut adalah kelompok komoditi:
1. Minuman non alkohol
2. Tembakau dan minuman beralkohol
25 Angka-angka ini adalah angka sum cummulative yang menjumlah laju inflasi bulanan dari bulan Januari sampai
dengan Mei 1998.
72
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
3. Lemak dan minyak
4. Sayur-sayuran
5. Padi-padian, Umbi-umbian dan hasil-hasilnya
6. Makanan Jadi
7. Biaya tempat tinggal
8. Bahan bakar, penerangan, dan air
9. Transportasi
Dilain pihak, perilaku underlying inflation terlihat cenderung menurun dan akan
kembali pada stabilitas jangka pendeknya ketika sebelum krisis moneter. Walaupun
demikian, masih terdapat indikasi adanya tekanan dari sisi permintaan agregat yang cukup
persistent, yang ditunjukkan oleh angka underlying inflation yang masih tinggi yaitu 1.65%
di bulan April dan 1.29% di bulan Mei 1998 (Grafik 2).
Beberapa hipotesa yang diajukan dalam kaitannya dengan perilaku noise dan underlying inflation diatas adalah bahwa peningkatan yang terjadi pada porsi noise disebabkan
oleh paling tidak empat hal yang saling berkaitan.
• Pertama adalah feed-through dari kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik
secara langsung ke komponen BBM, Penerangan, dan Listrik yang secara tertimbang
merupakan 5.14% dari total inflasi IHK, dan secara tidak langsung ke harga-harga jasa
transportasi yang secara tertimbang membentuk 9.75% dari total inflasi IHK. Feed-through
ini menyebabkan semakin tingginya biaya produksi dan distribusi barang-barang pasokan
yang kemudian tercermin dalam laju inflasi.
• Kedua adalah second stage pass-through dari depresiasi dan gejolak nilai tukar yang terjadi
Grafik 3. Kecenderungan IHPB(3 Months Moving Average)
60
50
IHPB-IMPOR
40
IHPB INDUSTRI
IHPB UMUM
30
20
10
0
Nov-97
Dec-97
Jan-98
Feb-98
Mar-98
Apr-98
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
73
pada sisi distribusi. Sebagaimana telah diyakini, sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar
dan menurunnya kredibilitas instrumen pembayaran luar negeri Indonesia, maka telah terjadi
peningkatan biaya akuisisi barang input produksi maupun barang impor siap jual over-thedock (sampai di pelabuhan bongkar muat). Peningkatan biaya akuisisi over-the-dock tersebut
jika ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan biaya
transportasi, akan diterjemahkan sebagai meningkatnya biaya persediaan (inventory) per
unit pada kegiatan di sisi produksi dan total biaya operasi domestik di sisi distribusi (domestic wholesaler’s dan retailer’s cost). Efek bersih dari meningkatnya biaya inventory dan
operasional tersebut adalah meningkatnya harga jual produsen dan mark-up distributor yang
kemudian tercermin dalam laju inflasi. Peningkatan yang terjadi pada harga jual produsen
dan mark-up distributor tersebut selanjutnya dapat dilihat pada kecenderungan perubahan
harga-harga perdagangan besar (IHPB) yang masih meningkat, khususnya untuk IHPB di
sektor industri, sebagaimana yang dapat dicermati pada Grafik 3.
• Ketiga adalah terganggunya kelancaran distribusi barang-barang pasokan sebagai akibat
dari kerusuhan yang terjadi di beberapa kota dagang utama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada bulan April dan Mei 1998 tersebut telah
menyebabkan rusaknya jaringan distribusi, baik itu dalam bentuk kerusakan infrastruktur
maupun berkurangnya sumber-daya kewirausahaan di sektor distribusi. Data rekapitulasi
kerusakan di lima kota besar yang dilanda kerusuhan terhebat, yaitu: Jakarta, Surakarta,
Lampung, Medan, dan Palembang menunjukkan bahwa secara total terdapat sekurangnya
7300 tempat usaha yang dirusak oleh para perusuh dan penjarah. Tempat-tempat usaha
tersebut merupakan infrastruktur yang penting bagi kelancaran distribusi, seperti shopping
center, toko-toko retail, rumah toko, dan pasar swalayan. Dari sisi sumber daya manusia,
media masa telah melansir bahwa disaat terjadi kerusuhan dan beberapa hari sesudahnya,
sudah sekitar 10,000 orang WNI keturunan Cina yang sebagian besar adalah wirausahawan
yang berbisnis di sektor perdagangan dan jasa pergi meninggalkan Indonesia. Kiranya
dapat diperkirakan bahwa trauma psikologis yang ditimbulkan oleh kerusuhan akan
cenderung menurunkan minat para wirausahawan tersebut untuk kembali berusaha di Indonesia. Arus eksodus dan kerusakan pada infrastruktur distribusi diatas telah menyebabkan
berkurangnya kelancaran pasokan barang-barang hasil produksi di kota-kota yang dilanda
kerusuhan. Hal ini berakibat pada peningkatan laju inflasi IHK, khususnya noise inflation.
Selanjutnya, karena bobot dari kota-kota utama tersebut dalam perhitungan inflasi nasional
cukup besar, yaitu kurang lebih 47% dari total inflasi IHK nasional, maka noise yang terjadi
di kota-kota tersebut akan secara signifikan mempengaruhi perhitungan inflasi secara
nasional.
• Akhirnya, hal keempat yang menyumbang pada noise inflation adalah adanya ekspektasi
pengusaha bahwa perekonomian nasional akan diwarnai oleh penurunan permintaan secara
agregat. Ini dapat dilihat dari hasil saldo bersih tertimbang Survey Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) di Triwulan I / 1998 yang menunjukkan melemahnya persepsi pengusaha terhadap
masa depan perekonomian (Grafik 4).
• Seiring dengan melemahnya persepsi pengusaha tersebut, terdapat indikasi bahwa untuk
menjamin laba perusahaan tidak akan terpukul oleh krisis moneter, maka kebijakan kenaikan
harga yang diiringi oleh pengurangan biaya produksi melalui pengurangan output dan
variable cost (biaya buruh) melalui PHK, adalah langkah yang akan banyak dilakukan oleh
pengusaha untuk mengambil pendapatan marjinal (marginal revenue) yang seoptimal mungkin
sebelum produksi harus secara permanen dikurangi atau dihentikan sama sekali. Dapat
74
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Grafik 4. Saldo Bersih Tertimbang Hasil SKDU
30
20
10
0
TW1/97
TW2/97
TW3/97
TW4/97
TW1/98
-10
-20
-30
-40
Grafik 5. Hasil SKDU Mengenai Kebijakan Pengusaha di Sisi Harga, Produksi, dan Variable
Cost Menurut Sektor
(Saldo Bersih26 )
140
120
100
80
60
40
20
0
Pertanian
Menaikkan Harga
Pengolahan
Menurunkan Produksi
Bangunan
Perdagangan
Menurunkan Jumlah Pegawai
26 Saldo bersih yang positif berarti jumlah pengusaha yang menjawab bahwa harga jual akan dinaikkan, produksi akan
diturunkan, dan PHK akan dilanjutkan lebih banyak dari pada yang menjawab sebaliknya. Khusus untuk sektor bangunan
dan perdangan saldo bersih jumlah perusahaan yang menyatakan akan menurunkan produksi diambil dari saldo bersih
jumlah perusahaan yang menyatakan bahwa barang hasil produksinya tidak laku terjual.
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
75
dilihat pada Grafik 5 dibawah bahwa di Triwulan I / 1998 secara net jumlah pengusaha
yang menyatakan akan meningkatkan harga jual, menurunkan produksi, dan menurunkan
jumlah pegawai telah meningkat diatas jumlah pengusaha yang menyatakan sebaliknya.
Berdasarkan pengamatan diatas terlihat bahwa dalam periode eskalasi krisis moneter,
yaitu dari bulan Januari sampai Mei 1998 faktor-faktor yang menjadi penyebab gejolak
temporer pada inflasi (noise) adalah faktor-faktor yang dominan berpengaruh pada laju
inflasi IHK. Pada sisi underlying inflation dilain pihak terdapat indikasi kuantitatif yang
cukup kuat yang menunjukkan bahwa meningkatnya porsi underlying inflation di bulan
Januari dan Februari 1998 adalah sepenuhnya karena faktor ekspektasi yang disambut
oleh ekses likuiditas dalam perekonomian. Dalam hal ini meningkatnya permintaan dalam
masyarakat adalah karena konsumen melihat besarnya unsur noise dalam inflasi IHK yang
selanjutnya diterjemahkan menjadi rush buying untuk melindungi ekses likuiditas yang
ada ditangan mereka setelah terjadi bank run. Oleh karena itu, meningkatnya underlying
inflation sebenarnya tidak akan material bila di tidak terdapat ekses likuiditas dan di sisi
produksi dan distribusi tidak terdapat banyak sinyal-sinyal noise seperti kelangkaan
pasokan barang-barang (supply shortage) dan meningkatnya harga jual di tingkat distributor (second stage pass through)27 . Ketika ekses likuiditas dapat diserap kembali ke dalam
sistem moneter, maka sinyal-sinyal noise yang pada hakekatnya sudah berkepanjangan,
walaupun meningkatkan ekspektasi inflasi tetap tumpul sebagai pemicu meningkatnya
underlying inflation.
Akhirnya, berdasarkan kejadian-kejadian diatas dapat ditarik suatu benang merah
bahwa dalam kaitannya dengan kebijakan moneter, maka dengan terekskalasinya krisis
moneter, dapat dikatakan bahwa laju inflasi IHK cenderung menjadi anchor yang kurang
baik bagi kebijakan visavis underlying inflation. Selanjutnya dalam kaitannya dengan noise
dalam inflasi IHK, stabilisasi unsur noise tersebut secara teoritis berada diluar jangkauan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, apalagi setelah dikeluarkannya kebijakan sistem
nilai tukar freely floating. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan untuk
menurunkan inflasi dalam krisis moneter harus dilakukan dari berbagai arah, yaitu: (a)
menyerap kelebihan likuiditas dalam masyarakat melalui kebijakan suku bunga untuk
menahan underlying inflation agar tidak material dalam memicu inflasi IHK yang lebih besar
lagi, dan (b) mengurangi gejolak noise yang berkepanjangan dalam inflasi IHK melalui
kebijakan-kebijakan industrial untuk memperlancar dan mendorong kegiatan produksi
dan distribusi di sektor riil, dan
mengurangi rentanitas struktur mikro-fundamental
terhadap gejolak eksternal yang berkelanjutan (krisis nilai tukar), serta (c ) upaya stabilisasi
nilai tukar
Kesimpulan
Interaksi yang semakin dinamis dalam perekonomian internasional dan domestik
telah menyebabkan pengendalian inflasi melalui pengendalian uang beredar menjadi lebih
kompleks dan mengharuskan Bank Indonesia untuk memiliki suatu indikator harga yang
relevan dengan kebijakan moneter. Selama ini Bank Indonesia sangat bergantung pada
27 Lihat Lampiran 1.
76
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
laju inflasi IHK untuk memonitor efektifitas kebijakan moneternya. Walaupun demikian,
terdapat permasalahan dengan indikator ini yaitu adanya unsur noise yang menggangu
judgement kebijakan moneter.
Penelitian indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter yang telah
dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa terdapat beberapa indikator harga
selain laju inflasi IHK yang dapat dijadikan anchor untuk pengendalian inflasi melalui
pengelolaan jumlah uang beredar. Indikator-indikator harga tersebut adalah laju inflasi
kelompok inflasi food & energy, PDB deflator, inflasi non-administered, inflasi non-traded,
dan underlying inflation. Namun, mengingat terdapat sensitifitas yang cukup tinggi
antara inflasi food & energy dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya noise dalam
inflasi IHK, maka indikator ini masih dapat menggangu judgement kebijakan moneter.
Lebih daripada itu, terdapat overlapping yang cukup besar antara inflasi non-administered dan non-traded dengan underlying inflation, dimana kebanyakan dari barang-barang
yang membentuk underlying inflation dapat pula dikategorikan sebagai inflasi non-administered dan non-traded. Selanjutnya dalam kaitannya dengan ekskalasi krisis moneter
dan dampaknya terhadap inflasi IHK, terlihat bahwa underlying inflation adalah anchor
yang lebih cocok untuk menilai efektifitas kebijakan moneter. Demikian halnya karena
dengan terekskalasinya krisis moneter, laju inflasi IHK cenderung lebih dipenuhi oleh
noise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Oleh karena itu underlying
inflation adalah indikator harga yang lebih relevan dengan kebijakan moneter.
Saran
Sebagai penutup, dapat disarankan disini untuk suatu penelitian lebih lanjut
mengenai sumbangan struktur fundamental mikroekonomi nasional terhadap inflasi. Kajian
terutama diarahkan untuk memperoleh gambaran mengenai struktur, perilaku, dan kinerja
fundamental mikroekonomi nasional dan rentanitasnya terhadap gejolak eksternal seperti
depresiasi dan gejolak yang berkelanjutan pada nilai tukar. Dengan melakukan kajian
yang lebih mendalam mengenai fundamental mikroekonomi tersebut, diharapkan akan
lebih memperjelas proses pembentukan harga di sektor riil, terutama dalam kaitannya
dengan pembentukan noise inflation dan dampaknya terhadap tekanan inflasi agregat dalam
perekonomian.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan pembahasan mengenai peran underlying inflation dalam kerangka kerja rezim inflation targeting perlu dikaji aspek teoritis mengenai
penetapan laju inflasi sebagai sasaran kebijakan moneter28 . Premis yang mendasari inflation targeting adalah bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter hanyalah ditujukan untuk
mencapai dan mempertahankan laju inflasi yang rendah dan stabil. Dalam konteks ini
28 Diskusi mengenai kaitan antara underlying inflation dan inflation targeting dapat dilihat di Masson R. Paul, Savastano,
Miguel A., dan Sharma, Sunil, 1997. The Scope of Inflation Targeting in Developing Countries. IMF Working Paper,
Agustus; Debelle, Guy, 1997. Inflation Targeting in Practice. Economic Research Department, RBA, December; De
Brouwer, Gordon, dan O’Regan, James, 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Australia. RBA, Conference
on Monetary Policy and Inflation Targeting, July; Haldane, Andrew G, 1997. Designing Inflation Target. RBA,
Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July ; Grenville, Stephen, 1997. The Evolution of Monetary
Policy: From Money Targets to Inflation Targets. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July.
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
77
diasumsikan bahwa (1) laju inflasi yang tinggi adalah suatu bentuk biaya yang harus
ditanggung oleh perekonomian berupa pertumbuhan ekonomi yang rendah dan
menurunnya nilai riil dari pendapatan nasional, (2) kebijakan moneter, dalam hal ini
kebijakan pengendalian uang beredar, tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan output
dalam jangka panjang, tapi dapat dalam jangka pendek, sedangkan (3) pengendalian
inflasi melalui kebijakan moneter adalah dalam rangka stabilisasi dan penurunan laju
inflasi dalam jangka panjang dan bukan dalam jangka pendek. Oleh karena itu masih
diperlukan suatu analisa mengenai benefit dan cost dari disinflationary policy oleh bank
sentral, terutama dalam kaitannya dengan output variability yang inheren dalam skim
inflation tergeting.
Disamping itu,
beberapa prasyarat dari stabilisasi dan penurunan laju inflasi
melalui penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal mengharuskan adanya independensi
bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter, ditiadakannya sasaran
pengendalian nilai tukar, adanya suatu kisaran nominal anchor berupa indeks harga yang
relevan sebagai sasaran, adanya suatu metodologi proyeksi inflasi yang dapat
menangkap prospek inflasi di masa datang dengan baik, dan prosedur operasional
kebijakan moneter yang forward-looking. Dengan kelima syarat diatas terlihat bahwa
setidaknya dua syarat telah secara formal dipenuhi oleh Bank Indonesia yaitu adanya
independensi dalam kebijakan moneter dan sistem nilai tukar yang freely floating. Dari
segi teknis pelaksanaannya, penelitian mengenai underlying inflation sebagai indeks harga
yang relevan dengan kebijakan moneter, sedikit banyak telah memperjelas arah dalam
mendesain arsitektur dari skim inflation targeting untuk Indonesia. Walaupun demikian
masih perlu untuk diestimasi lebih lanjut philips curve Indonesia dan kaitannya dengan
kebijakan moneter melalui pengendalian uang beredar.
Lebih dari pada itu proyeksi
ekpektasi inflasi dalam jangka menengah juga masih diperlukan untuk bisa menjadi
masukan bagi program moneter yang forward looking oleh Bank Indonesia.
Lampiran 1
Perilaku Inflasi Ditengah Krisis Moneter
• Untuk memilah-milah perbedaan perilaku inflasi disaat ‘normal’ maupun ‘krisis’, telah
dilakukan uji ekonometri dengan menggunaan persamaan-persamaan jangka pendek
berikut:
CPI= α + β CPI(-1) + χ M1 + δ Kuasi + ε Noise + r ...................................................... (1)
UDLCPI= α + β UDLCPI(-1) + χ M1 + δ Kuasi + ε Noise + r .................................... (2)
dimana,
CPI
= sum annual dari inflasi IHK
M1
= pertumbuhan M1 year on year
Kuasi
= pertumbuhan uang kuasi year on year
Noise
= CPI - Underlying inflation (year on year)
UDLCPI = Underlying inflation
• Uji statistik terhadap persamaan diatas dilakukan setelah sebelumnya dilakukan uji
kointegrasi antara level CPI, dengan level uang kartal, giral, dan kuasi. Hasil dari uji
kointegrasi tersebut dapat dilihat pada grafik dan statistik berikut ini:
78
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Grafik 1. Perilaku Level CPI, Uang Kartal, Uang Giral, dan Uang Kuasi
4
3
2
1
0
-1
-2
91
92
93
94
95
IDXUDL
KARTAL
96
97
98
GIRAL
KUASI
Hasil Johansen Cointegration Test
Sampel Data Bulanan: 1990:05 1998:06
Series: IDXUDL KARTAL GIRAL KUASI
Lags interval: 1 to 2
Likelihood
5 Percent
Eigenvalue Ratio
Critical Value
0.040828
3.876686
3.76
Asumsi: Linear deterministic trend pada data
1 Percent
Critical Value
6.65
Hypothesized
No. of CE(s)
At most 3 *
*(**) menunjukkan penolakan hipotesa non-kointegrasi pada 5% (1%) significance level
• Selanjutnya dari hasil analisa ekonometri terhadap perilaku inflasi dengan:
menggunakan model persamaan diatas , dan memilah periode observasi menjadi
sebelum krisis nilai tukar, saat krisis nilai tukar (periode sampai dengan Desember 1997),
dan saat krisis makro moneter (periode sampai dengan Maret 1998), maka hasil regresi
dapat di rekapitulasi dalam rekapitulasi berikut ini:
Inflasi IHK
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
79
Periode: 06/91 - 06/97
CPI = 0.074 + 0.11 CPI(-1) + 1.8 M1 + 1.68 Kuasi + 1.11 Noise
(2.45)
(3.3)
(2.3)
(18.9)
R-sq = 0.96
DW = 0.36F-Stat = 548.43
S.E. = 0.27
Periode: 06/91 - 12/97
CPI = 0.087 + 0.15 CPI(-1) + 1.68 M1 + 1.32 Kuasi + 1.06 Noise
(3.9)
(3.18)
(1.99)
(22.2)
R-sq = 0.97
DW = 0.40F-Stat = 679.02
S.E. = 0.275
Periode: 06/91 - 03/98
CPI = -2.06 + 0.10 CPI(-1) + 3.96 M1 + 4.11 Kuasi + 1.39 Noise
(1.92)
(5.48)
(5.16)
(22.12)
R-sq = 0.98
DW = 1.16
F-Stat = 1675.86
S.E. = 0.47
Underlying Inflation
Periode: 06/91 - 06/97
UDLCPI = 0.074 + 0.8 UDLCPI(-1) + 0.09 M1 + 0.12 Kuasi + 0.05 Noise
(11.10)
(0.24)
(0.26)
(2.49)
R-sq = 0.82
DW = 1.24 F-Stat = 82.20
S.E. = 0.17
Periode: 06/91 - 12/97
UDLCPI = 0.006 + 0.76 UDLCPI(-1) + 0.17 M1 + 0.23 Kuasi + 0.07 Noise
(12.4)
(0.48)
(0.55)
(4.03)
R-sq = 0.83
DW = 1.16 F-Stat = 96.60
S.E. = 0.17
Periode: 06/91 - 03/98
UDLCPI = -1.76 + 0.50 UDLCPI(-1) + 2.62 M1 + 3.4 Kuasi + 0.27 Noise
(1.92)
(5.48)
(5.16)
(22.12)
R-sq = 0.94
DW = 1.69 F-Stat = 324.44
S.E. = 0.39
• Merujuk pada hasil rekapitulasi diatas maka disusun matriks berikut:
Tabel 2. Matriks Variabel-Variabel Independen yang Secara Statistik Signifikan Terhadap
Laju Inflasi IHK dan Underlying Inflation Berdasarkan Peringkat29
Periode I
06/91 - 06/97
Periode II
06/91 - 12/97
Periode III
06/91 - 03/98
Laju Inflasi IHK
M1
Uang Kuasi
Noise
Ekspektasi
M1
Uang Kuasi
Noise
Ekspektasi
Uang Kuasi
M1
Noise
Ekspektasi
Laju Underlying
Ekspektasi
Ekspektasi
Noise
29 Peringkat disusun sesuai dengan hasil koefisien regresi, sedangkan signifikansi diukur dengan T-Statistik. Pada matriks
diatas hanya ditampilkan variabel-variabel independen yang signifikan pada tingkat 90% keyakinan.
80
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
Inflation
M1
Uang Kuasi
Ekspektasi
• Beberapa hal yang dapat ditangkap dari matriks diatas adalah bahwa sampai dengan
periode pertama dari krisis moneter, yaitu sampai dengan bulan Desember 1997, terlihat
dalam jangka pendek laju inflasi sisi permintaan agregat (underlying inflation) masih
lebih banyak dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap laju perubahan harga-harga di masa
depan. Dilain pihak, untuk perilaku laju inflasi IHK sampai dengan periode ke-dua
dari krisis moneter, yaitu ketika krisis nilai tukar sudah mulai berkembang menjadi krisis
makro moneter (triwulan I / 1998), faktor-faktor yang menjelaskannya tidak berubah
dari sebelum krisis nilai tukar terjadi, yaitu: uang beredar, noise, dan ekspektasi. Hal ini
menunjukkan bahwa uang beredar merupakan potensi yang dapat mendorong inflasi
di sisi permintaan dalam jangka pendek, akan tetapi jika tidak ada faktor-faktor pemicu
seperti menurunnya produksi dan distribusi sehingga terjadi kelangkaan pasokan barang,
maka uang beredar tidak material sebagai penyebab tekanan inflasi sisi permintaan.
• Berkaitan dengan hal diatas, kiranya dapat dicermati bahwa ketika krisis moneter sudah
semakin terekskalasi terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju underlying
inflation tidak hanya ekspektasi, tapi meluas kepada jumlah uang beredar dan noise.
Fenomena ini memberi indikasi bahwa pada triwulan I / 1998 faktor noise, yang dapat
diterjemahkan sebagai komplikasi dari iklim ketidakpastian usaha dan naiknya biaya
input yang mengganggu proses produksi dan distribusi, yang timbul bersamaan dengan
meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi telah mentransformasi potensi
inflatoir dari ekses likuiditas menjadi inflasi yang material.
Lampiran 2
Pengujian ‘Random Walks’ Pada Laju Inflasi IHK dan Komponennya
Metodologi
Dengan mendefinisikan random walks sebagai perilaku series yang bervariasi terhadap
perubahan waktu dan tidak mempunyai batas variance yang tetap, maka pengujian random
walks pada laju inflasi IHK adalah pengujian stationarity pada laju inflasi IHK. Jika laju
inflasi IHK terbukti non-stationary, maka laju inflasi IHK yang terjadi dengan berjalannya
waktu cenderung untuk tidak kembali pada suatu kecenderungan jangka panjang yang
sama (random walks). Sebaliknya jika laju inflasi IHK ternyata stationary, maka laju inflasi
IHK yang terjadi dengan berubahnya waktu akan cenderung kembali pada suatu
kecenderungan jangka panjang yang tetap.
Uji stationarity diatas dilakukan dengan melakukan Augmented Dickey Fuller - Test
(ADF-Test) terhadap laju inflasi IHK umum dan komponennya (IHK kelompok makanan,
perumahan, sandang, dan aneka barang, serta underlying inflation). Tiga bentuk persamaan
regresi linear yang digunakan dalam ADF-Test tersebut adalah sebagai berikut:
(Pure Random Walks)
δyt = γyt-1 + Σβ1δyt-i + εt ...................................................................................................... (1)
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
81
(Pure With Drift)
δyt = α0 + γyt-1 +Σβ1δyt-i + εt ........................................................................................ (2)
(Pure With Drift and Trend) δyt =α0 + γyt-1 + α2t + Σβ1δyt-i + εt........................................ (3)
dimana, yt adalah laju inflasi IHK atau komponennya dan t adalah waktu. Perbedaan
yang terdapat pada tiga persamaan regresi diatas menunjukkan keberadaan trend
deterministik , yaitu a0 dan a2t. Persamaan (1) adalah model persamaan ‘random walks’
murni, persamaan (2) menambah komponen intercept (drift), dan persamaan (3)
menambah komponen trend.
Parameter yang menjadi perhatian dalam kedua sequence
persamaan diatas adalah g, dimana jika g=0, maka sequence{gt} mengandung unsur random walks.
Untuk menguji apakah g secara signifikan berbeda dari nol dilakukan
pembandingan antara F-statistik yang diperoleh dari regresi dengan nilai kritikal
McKinnon, yang merupakan replikasi dan perluasan dari nilai kritikal yang pertama kali
di simulasi oleh David A. Dickey dengan metode Monte Carlo30
Hasil
Dalam pengujian random walks ini digunakan dua periode sampel untuk melihat
perbedaan sebelum dan sesudah krisis nilai tukar terjadi. Kedua periode sampel tersebut
adalah (1) periode dari bulan Mei 1990 sampai dengan Mei 1997 untuk periode sebelum
krisis nilai tukar, dan (2) periode dari bulan Mei 1990 sampai dengan Maret 1998 untuk
periode yang memasukkan krisis nilai tukar sebagai in-sample. Hasil-hasil yang diperoleh
dari ADF-test dengan menggunakan dua periode sampel yaitu periode sebelum dan sesudah
currency crisis adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Uji ADF terhadap Laju Inflasi IHK dan Komponennya
(ADF F-Statistics)
Periode:
Persamaan:
IHK
Makanan
Perumahan
Sandang
Aneka-Barang
Underlying IHK
* Menolak hipotesa bahwa
05/90 - 05/97
Pure +Drift
+Trend
05/90 - 03/98
Pure
+Drift
+Trend
-2.47
(-1.61)
-3.62
(-1.61)
-2.76
(-1.61)
-4.72
(-2.58)
-4.99
(-2.58)
-4.18
(-2.58)
-4.70
(-3.25)
-5.00
(-3.25)
-4.15
(-3.25)
0.28*
(-1.61)
-1.09*
(-1.61)
-1.31*
(-1.61)
-0.56*
(-2.58)
-1.86*
(-2.58)
-2.74
(-2.58)
-0.61*
(-3.23)
2.29*
(-3.23)
-2.42*
(-3.23)
-2.31
(-1.61)
-3.41
(-1.61)
-2.30
(-1.61)
-4.51
(-2.58)
-4.93
(-2.58)
-4.78
(-2.58)
-4.48
(-3.25)
-4.87
(-3.25)
-4.75
(-3.25)
0.81*
(-1.61)
-1.55*
(-1.61)
2.34
(-1.61)
0.16*
(-2.58)
-2.76
(-2.58)
2.60
(-2.58)
0.023*
(-3.23)
-2.67*
(-3.23)
2.48*
(-3.23)
g secara signifikan tidak berbeda dari nol (terdapat unsur
82
Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998
unit root dalam persamaan) sehingga persamaan mengindikasikan adanya perilaku
random walks pada series yang diuji. Angka dalam ( ) adalah McKinnon 10 % Critical
Values. Jika nilai absolut dari ADF F-Statistics berada diatas angka McKinnon, maka
hipotesa g =0 diterima.
Hasil dari pengujian random walks terhadap laju inflasi IHK diatas menunjukkan
bahwa untuk periode sampel yang memasukkan krisis nilai tukar sebagai in-sample laju
inflasi IHK cenderung berperilaku random walks atau cenderung untuk tidak kembali pada
suatu trend jangka panjang yang tetap seperti pada waktu sebelum krisis nilai tukar terjadi.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai F-Statistics sebelum krisis yang menunjukkan angka-angka
absolut diatas nilai kritikal untuk menerima keberadaan random walks pada ketiga sequence
persamaan. Setelah krisis nilai tukar terjadi, nilai F-Statistics secara absolut pada sequence
persamaan berada dibawah nilai kritikal McKinnon, yang menandakan bahwa g secara
signifikan berbeda dari nol sehingga series laju inflasi IHK cenderung untuk mengambil
perilaku random-walks setelah krisis nilai tukar bereskalasi.
Adapun hasil dari komponen-komponen IHK menunjukkan bahwa non-stationarity
yang terjadi pada series laju inflasi IHK setelah krisis nilai tukar disebabkan oleh perilaku
random walks yang terjadi pada harga-harga dari kelompok makanan dan sandang dalam
laju inflasi IHK, dan tidak disebabkan oleh kelompok perumahan dan aneka barang.
Perbandingan nilai F-Statistics sebelum dan sesudah terjadi krisis nilai tukar menunjukkan
diterimanya hipotesa bahwa g secara signifikan berbeda dari nol pada ketiga sequence
persamaan di kelompok makanan dan sandang, sehingga dapat dikonfirmasi adanya
perilaku random walks pada kedua kelompok tersebut. Sebaliknya untuk kelompok
perumahan dan aneka barang, hipotesa keberadaan unsur random walks ditolak pada
persamaan pure random walks with drift sehingga perubahan harga-harga pada kedua
kelompok ini masih mengikuti pola jangka panjang seperti sebelum krisis nilai tukar terjadi.
Selanjutnya, underlying IHK atau underlying inflation yang merupakan laju inflasi sisi
permintaan agregat tampak tidak terpengaruh oleh adanya krisis nilai tukar. Nilai F-Statistics dari underlying inflation pada dua dari tiga sequence persamaan menolak keberadaan
unsur random walks, yaitu persamaan pure random walks dan pure with drift. Hal ini memberi
indikasi bahwa demand shock yang terjadi pada dua bulan pertama Triwulan I / 1998 masih
bersifat temporer dan masih mungkin untuk dikoreksi melalui kebijakan penyerapan ekses
likuiditas
Kesimpulan
Berdasarkan hasil-hasil dari uji random walks diatas, maka beberapa implikasi temuan
dapat diajukan disini:
• Laju inflasi IHK dan komponen kelompoknya, khususnya kelompok makanan dan
sandang cenderung mengikuti pola random walks yang inflatoir setelah krisis nilai tukar
terjadi dan berekskalasi. Hal ini berarti bahwa dengan berjalannya waktu, kemungkinan
besar perubahan IHK bulanan tidak akan kembali ke kecenderungan jangka panjangnya
pada saat sebelum krisis, kecuali jika ada fully blown structural policy yang difokuskan
untuk mencegah adverse shock dari krisis moneter untuk meninggalkan bekas permanen
dalam struktur perekonomian. Kebijakan tersebut selanjutnya harus diarahkan pada
Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter
83
upaya untuk mendorong kelancaran produksi dan distribusi pada sektor-sektor yang
memproduksi makanan dan sandang.
• Laju underlying inflation tidak secara konklusif mengikuti pola random walks setelah krisis
nilai tukar terjadi, ini menandakan bahwa masih mungkin untuk segera mengkoreksi
tingginya underlying unflation dengan normal measure seperti tight money policy. Atau
dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa jika ada perubahan pada sisi permintaan
agregat, maka perubahan tersebut masih akan konsisten dengan shock temporer pada
sisi permintaan agregat dan bukan karena permanent demand shock .
• Selanjutnya, mengingat noise inflation adalah laju inflasi IHK dikurangi dengan underlying inflation, maka dapat dikatakan bahwa random walks pada inflasi IHK lebih disebabkan
oleh random walks pada noise inflation karena underlying inflation secara statistik tidak
random walks. Dan, noise inflation tersebut terutama datang dari perilaku inflasi kelompok
makanan dan sandang yang random walks.
• Akhirnya, dapat pula disimpulkan bahwa jika tidak dikeluarkan suatu kebijakan yang
secara struktural dapat mendorong supply side, terutama di sektor pangan dan sandang,
maka kemungkinan besar adverse shock yang sedang terjadi akan meninggalkan bekas
permanen pada inflasi untuk waktu yang cukup lama.
Daftar Pustaka
Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G., 1993. Measuring Core Inflation. Federal
Reserve Bank of Cleveland, Working Paper No. 9304, Juni.
Debelle, Guy, 1997. Inflation Targeting in Practice. Economic Research Department,
RBA, Desember.
De Brouwer, G. dan O’Regan J., 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Australia. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July.
Enders, W. Applied Econometric Time Series. John A. Willey & Sons, 1995.
Grenville, S., 1997. The Evolution of Monetary Policy: From Money Targets to Inflation
Targets. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July.
Haldane, AG., 1997. Designing Inflation Target. RBA, Conference on Monetary Policy
and Inflation Targeting, July.
Masson, R. P. dan Savastano M. A., dan Sharma Sunil, 1997. The Scope of Inflation
Targeting in Developing Countries. IMF Working Paper, Agustus.
Reserve Bank of Australia, 1994. Measuring Underlying Inflation. Bulletin, Agustus.
Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-1995. RBNZ,
September.
Download