Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 5 MENCARI PARADIGMA BARU MANAJEMEN MONETER DALAM SISTEM NILAI TUKAR FLEKSIBEL: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia Hartadi A. Sarwono, dan Perry Warjiyo *) Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya masih menggunakan paradigma lama yang mengandalkan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Perekonomian Indonesia yang berubah cepat dan semakin terbuka, khususnya sejak langkah-langkah deregulasi di segala bidang sejak tahun delapan puluhan, ditengah-tengah lingkungan perekonomian dunia yang semakin terintegrasi, telah menyebabkan paradigma lama sistem pengendalian moneter dengan sasaran kuantitas (monetary aggregates targetting) tersebut menjadi semakin kurang relevan. Lebih dari itu, deregulasi dan globalisasi selama ini juga telah mendorong sektor keuangan berkembang sangat cepat ke arah bekerjanya mekanisme pasar, timbulnya inovasi produk-produk keuangan baru dan gejala sekuritisasi, membaurnya operasi bank dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya, serta terjadinya transnasionalisasi keuangan. Kesemuanya ini menyebabkan proses penciptaan uang lebih banyak lagi terjadi di luar kendali otoritas moneter sehingga pelaksanaan kebijakan moneter sering menjadi kurang efektif. Di sisi lain, pasar keuangan dunia yang semakin terintegrasi dan ditunjang oleh semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah menyebabkan perpindahan modal bergerak lebih cepat dan seringkali dalam jumlah yang besar mengikuti perkembangan ekonomi dan perubahan kebijakan suatu negara. Sebagai akibatnya, hampir tidak mungkin bagi otoritas moneter suatu negara untuk mengendalikan secara pasti perkembangan agregat-agregat moneter di dalam negeri. Sasaran agregat moneter yang diinginkan otoritas moneter sering tidak dapat dicapai karena arus modal internasional yang keluar maupun masuk dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat. Pengalaman kita selama ini menunjukkan semakin sulitnya mengarahkan agregat moneter sesuai dengan yang dikehendaki, terutama dalam jangka pendek. Masalah ini terjadi karena uang beredar memang berada diluar kendali otoritas moneter, dimana perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan bukan sebaliknya. Tulisan ini ingin mengajukan proposisi mengenai sistem pengendalian moneter dengan penggunaan suku bunga dan nilai tukar sebagai intermediate target dalam mencapai sasaran akhir yakni inflasi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga dan nilai tukar ini, atau disebut sebagai indikator kondisi moneter, diharapkan dapat memberikan signal yang lebih cepat kepada otoritas moneter dalam rangka menstabilisasikan harga. *) Hartadi A. Sarwono : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected] Perry Warjiyo : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected] Tulisan ini disarikan dari Makalah SESPIBI angkatan XXI 1996, Hartadi A. Sarwono, dan Makalah SESPIBI angkatan XXII 1997, Perry Warjiyo 6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Pendahuluan S ejak hampir satu dekade terakhir telah terjadi berbagai perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan manajemen moneter di Indonesia. Pertama, reformasi yang dilakukan pada sektor keuangan dan perbankan telah mendorong tumbuh dan berkembangnya inovasi produk-produk keuangan baru. Dengan berkembangnya produk tabungan dan ATM, misalnya, sekarang sulit membedakan jenis rekening simpanan yang ditujukan untuk keperluan transaksi ekonomi dengan untuk maksud tabungan. Proses sekuritisasi telah semakin berkembang baik di sisi aktiva maupun sisi pasiva bank yang semakin memperluas berbagai media pembayaran ataupun media simpanan sebagaimana layaknya diperankan oleh uang. Kesemuanya ini menyebabkan definisi, cakupan, dan perilaku uang beredar telah pula mengalami perubahan. Kedua, semakin berkembangnya sektor keuangan telah mendorong kecenderungan terjadinya proses pemisahan kegiatan (decoupling) antara sektor moneter dengan sektor riil. Kini uang tidak lagi dipandang sebagai alat pembayaran, akan tetapi juga sebagai komoditas yang diperdagangkan. Volume perputaran uang di sektor keuangan telah jauh melebihi kebutuhan pembiayaan di sektor riil. Proses disintermediasi semakin lama semakin menggejala. Akibatnya, hubungan antara uang beredar dengan berbagai variabel di sektor riil menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Fungsi permintaan uang yang selama ini digunakan sebagai salah satu acuan dalam manajemen moneter menjadi kurang stabil perilakunya. Ketiga, sukses pembangunan ekonomi Indonesia telah mendorong derasnya aliran modal masuk dari luar negeri. Sebagian dari aliran dana tersebut berbentuk penanaman modal langsung ataupun pinjaman jangka menengah dan panjang. Akan tetapi sebagian lainnya berupa pinjaman dan investasi portofolio pada berbagai surat berharga berjangka pendek. Aliran modal luar negeri tersebut memang diperlukan untuk menutup kesenjangan tabungan dan investasi yang masih kita hadapi. Namun aliran dana tersebut, khususnya yang berjangka pendek, sangat rentan terhadap rumor dan spekulasi sehingga sewaktuwaktu dapat berbalik menjadi aliran dana ke luar negeri. Fenomena demikian menyebabkan pelaksanaan manajemen moneter menjadi lebih sulit. Pengalaman kita dengan gejolak nilai tukar Rupiah sejak pertengahan Juli 1997 yang lalu merupakan pelajaran berharga yang dapat kita tarik dalam hal ini. Keempat, dan yang paling mendasar, sistim nilai tukar kita telah mengalami perubahan dari sistim mengambang terkendali dengan rentang intervensi menjadi sistim nilai tukar fleksibel. Gerakan nilai tukar kini tidak lagi dibatasi oleh rentang intervensi, akan tetapi lebih mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. Akibatnya, fluktuasi nilai tukar Rupiah menjadi semakin tinggi dan sulit diprediksi. Memang fleksibilitas nilai tukar dapat meringankan beban Bank Indonesia dalam melakukan sterilisasi atas dampak aliran modal masuk terhadap ekspansi uang beredar di dalam negeri. Akan tetapi fluktuasi nilai tukar yang tinggi itu sendiri menyebabkan pergeseran terms of trade yang dapat mempengaruhi permintaan aggregat, disamping dampak langsungnya terhadap laju inflasi karena imported inflation. Bagaimanapun juga fluktuasi nilai tukar tersebut harus diperhitungkan secara seksama dalam manajemen moneter di dalam negeri. Keempat perubahan mendasar tersebut mengarah pada satu hal: bahwa manajemen moneter melalui transmisi uang beredar perlu dikaji ulang. Kita tidak bisa lagi terlalu Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 7 mengandalkan pada pencapaian sasaran uang primer dan uang beredar (M1 dan M2) sebagai ukuran dari keberhasilan manajemen moneter. Hal ini mengingat telah terjadi perubahan mekanisme transmisi dari kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan kemantapan neraca pembayaran. Transmisi kebijakan moneter melalui kuantitas seperti uang beredar dan kredit diyakini tidak sekuat dulu lagi. Mekanisme transmisi melalui harga seperti suku bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan di Indonesia dewasa ini dan di masa mendatang. Perubahan demikian mengharuskan kita untuk membangun rumusan baru mengenai mekanisme manajemen moneter di Indonesia. Tulisan ini ingin mengemukakan beberapa pokok pikiran mengenai manajemen moneter dalam sistim nilai tukar fleksibel yang kiranya dapat diterapkan di Indonesia. Pada dasarnya ingin diajukan proposisi bahwa manajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan dengan kondisi perekonomian dan sektor keuangan Indonesia yang telah semakin maju dan kompeks. Berangkat dari pemikiran demikian, dalam makalah ini dirumuskan sasaran akhir, sasaran antara dan variabel indikator, sasaran operational, dan instrumen dari kebijakan moneter yang kiranya dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan manajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar tersebut. Agar alur pikir pemaparannya dapat lebih runtut, artikel ini dibagi ke dalam empat bab. Setelah bab pendahuluan ini, dalam bab Jalur Mekanisme Kebijakan Moneter Paradigma Lama versus Paradigma Baru akan diulas mengenai perbedaan antara paradigma lama dan paradigma baru mekanisme transmisi kebijakan moneter sebagai landasan bagi perumusan manajemen moneter. Selanjutnya dalam bab Merumuskan Kembali Sasaran Pengendalian Moneter Quantity vs. Price Targeting, akan dibahas pro dan kontra antara quantity dan price targetting. Bab Paradigma Baru Manajemen Moneter Indonesia Melalui Jalur Transmisi Suku Bunga dan Nilai Tukar secara rinci akan menjabarkan manajemen moneter melalui jalur transmisi suku bunga dan nilai tukar yang kiranya dapat diterapkan di Indonesia. Pemaparannya akan dimulai dengan gambaran umum mengenai kerangka dasar manajemen moneter dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan baru dalam perekonomian kita. Setelah itu akan dibahas secara berurutan mengenai sasaran akhir, sasaran antara dan variabel indikator, sasaran operasional, serta instrumen kebijakan moneter yang dipandang dapat mendukung manajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar tersebut. Bab terakhir merupakan kesimpulan dan saran dari makalah ini. Jalur Mekanisme Kebijakan Moneter Paradigma Lama versus Paradigma Baru Paradigma lama mekanisme transmisi sistem pengendalian moneter beranggapan bahwa otoritas moneter dapat secara langsung mengendalikan uang primer, kemudian dengan asumsi bahwa angka pengganda uang cukup stabil dan dapat diprakirakan dengan baik, maka uang beredar dapat pula dikendalikan. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa income velocity relatif stabil, otoritas moneter melalui pengendalian uang beredar dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir kebijakan moneter yang ditetapkan. Pengalaman kita dalam pengendalian moneter selama ini menuntut untuk mencari sudut pandang baru mekanisme transmisi tersebut, sehingga pemahaman kita dalam 8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 melaksanakan kebijakan moneter adalah dalam arti benar-benar “mengendalikan” suatu policy variable yang diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir. Ini merupakan suatu tugas yang berat karena menyangkut perubahan yang mendasar dari sistem pengendalian moneter baik ditinjau dari sisi teoritis dan empiris maupun pelaksanaan praktis operasionalnya. Kontroversi mengenai topik ini, baik dikalangan peneliti maupun di tingkat pengambil keputusan, masih sulit untuk direkonsiliasikan. Penelitian yang lebih mendalam secara teoritis dan empiris, diskusi dan tukar pikiran perlu terus dilanjutkan, sehingga perubahan mekanisme transmisi sistem pengendalian moneter yang memutarbalikkan paradigma lama lebih mantap lagi untuk dilaksanakan.1 Dalam berbagai literatur ekonomi-moneter, pada dasarnya terdapat empat jalur transmisi utama yang menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian (Mishkin, 1995, Boediono, 1996, dan BIS 1995), yaitu : jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur kredit. 2 Jalur suku bunga pada dasarnya merupakan pandangan Keynessian dimana suku bunga riil jangka panjang paling berpengaruh dalam perekonomian. Pengetatan moneter mengurangi uang beredar dan dalam jangka pendek akan mendorong naiknya suku bunga nominal jangka pendek. Apabila kebijakan ini dianggap credible, masyarakat akan mempunyai ekspektasi bahwa laju inflasi akan menurun di waktu mendatang sehingga expected inflation menurun atau suku bunga riil jangka panjang meningkat. Permintaan domestik baik untuk investasi maupun untuk konsumsi akan menurun karena biaya dana (cost of capital) yang lebih tinggi. Akhirnya laju pertumbuhan ekonomi cenderung lebih rendah. Jalur nilai tukar berpandangan bahwa pergerakan nilai tukar paling berpengaruh bagi perekonomian khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel. Pengetatan moneter akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jika suku bunga internasional tidak berubah maka interest rate differential meningkat, dan ini akan mendorong masuknya dana dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung apresiasi. Kegiatan ekspor akan menurun dan sebaliknya impor meningkat, sehingga transaksi berjalan dalam neraca pembayaran akan membaik. Akibatnya, permintaan aggregat akan menurun dan demikian pula laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Jalur harga aset merupakan pandangan Monetarist dimana pengaruh kebijakan moneter terjadi melalui pergeseran portfolio investasi yang dimiliki masyarakat. Kebijakan moneter akan mempengaruhi jumlah dana dalam portfolio para pelaku ekonomi (wealth effect) dan relokasi dari suatu jenis aset ke jenis aset lain dalam portfolio sesuai dengan expected returns and risks dari masing-masing bentuk aset. Dengan demikian, pengetatan moneter meningkatkan suku bunga yang mengakibatkan pelaku ekonomi lebih suka 1 Boediono (1996), dalam tulisannya “Merenungkan kembali mekanisme transmisi moneter di Indonesia”, mengatakan bahwa untuk memulainya perlu dilakukan dengan menggali literatur muktahir, dan menarik pelajaran dari pengalaman kita maupun dari negara lain. 2 Untuk pembahasan yang lebih rinci, baca Mishkin (1995) dan Boediono (1996b). Sementara itu, BIS (1995) mengemukakan lima jalur transmisi kebijakan moneter yang sedikit berbeda, yaitu: (a) income/cash-flow channel, (b) wealth channel, (c) direct interest rate channel on consumption, (d) cost-of-capital channel, dan (e) exchange rate channel. Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 9 memegang aset dalam bentuk obligasi atau deposito daripada saham. Minat untuk berinvestasi dalam kegiatan ekonomi riil menjadi berkurang sehingga laju pertumbuhan ekonomi menurun. Jalur kredit berpendapat bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi terjadi melalui perubahan perilaku bank dalam menyalurkan kreditnya kepada nasabah. Pengetatan moneter akan menurunkan net worth pengusaha sehingga berakibat pada menurunnya nilai jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank. Resiko yang dihadapi bank menjadi meningkat sehingga bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit (adverse selection). Menurunnya net worth juga akan mendorong nasabah untuk lebih berani mengusulkan proyek-proyek yang menjanjikan tingkat hasil yang tinggi akan tetapi dengan tingkat resiko kegagalan yang tinggi pula (moral hazard). Dan ini meningkatkan resiko kredit macet bank-bank. Dengan demikian dampak dari pengetatan moneter terhadap penurunan permintaan aggregat dan laju pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan oleh menurunnya kredit yang disalurkan bank-bank baik karena faktor adverse selection maupun untuk menghidari moral hazard nasabah. Bagaimana transmisi kebijakan moneter di Indonesia selama ini? Telah dikemukan bahwa berbagai perubahan mendasar yang terjadi dalam perekonomian kita telah menyebabkan efektivitas kebijakan moneter yang selama ini ditempuh menjadi kurang efektif. Paradigma lama yang mengatakan bahwa otoritas moneter dapat mempengaruhi permintaan aggregat melalui pengendalian uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional perlu dikaji ulang (Boediono, 1994). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa hubungan antara uang beredar, laju inflasi, dan laju pertumbuhan ekonomi menjadi semakin lemah sejak reformasi keuangan di Indonesia (Bond, et. al., 1994).3 Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya. Jumlah uang beredar baik M1 maupun M2 sangat dipengaruhi oleh perkembangan kegiatan ekonomi, sehingga seakan-akan merupakan arus balik yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan uang primer. Dengan demikian, paradigma lama yang menyatakan bahwa jumlah atau kuantitas uang beredar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas moneter menjadi tidak berlaku. Karena itu manajemen moneter melalui sasaran kuantitas nampaknya semakin kurang dapat dipertahankan lagi. Semakin berkembangnya peran pasar dalam perekonomian nampaknya cenderung menyebabkan semakin pentingnya transmisi kebijakan moneter melalui “harga” uang atau suku bunga. Paradigma baru ini juga tidak terlepas dari semakin majunya sektor keuangan kita dengan berbagai karakteristik seperti majunya inovasi produk keuangan, proses sekuritisasi, maupun proses decoupling antara sektor moneter dengan sektor riil. Uang sekarang telah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Karena itu “harga” uang menentukan perputaran uang, alokasi uang dari berbagai jenis investasi, serta kegiatan perekonomian secara keseluruhan. Suku bunga merupakan “harga” uang yang terpenting dalam perekonomian sehingga merupakan jalur transmisi kebijakan moneter yang diyakini lebih mendekati kenyataan 3 Lihat misalnya Bond, et. al..(1994) yang meneliti hubungan antara M1 dan M2 dengan laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi dari kuartal pertama tahun 1985 hingga 1994. Hasilnya menunjukkan hubungannya sangat lemah sehingga disimpulkan bahwa uang beredar kurang tepat dipergunakan sebagai sasaran antara. 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 (Bond, 1994).4 Hal ini dikarenakan suku bunga menentukan keputusan mengenai alternatif investasi di masyarakat. Kenaikan suku bunga, misalnya, akan menyebabkan investasi dan konsumsi di sektor riil menjadi kurang menarik. Masyarakat akan lebih tertarik untuk menanamkan dananya pada tabungan, deposito maupun obligasi. Perpindahan dana dari sektor riil ke sektor moneter menyebabkan permintan aggregat dan laju pertumbuhan ekonomi menurun. Mekanisme kebijakan moneter melalui jalur transmisi suku bunga pernah diajukan oleh Sarwono (1996). Akan tetapi dalam ekonomi terbuka dengan sistim nilai tukar fleksibel “harga” uang yang lain yaitu nilai tukar Rupiah juga menjadi semakin penting. Telah dikemukakan di atas bahwa kebijakan moneter mempengaruhi nilai tukar dan sistim nilai tukar fleksibel mendorong fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Gerakan nilai tukar mengubah harga relatif sehingga mempengaruhi perkembangan ekspor dan impor. Selanjutnya gerakan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi permintaan aggregat, laju pertumbuhan ekonomi, dan laju inflasi. Di berbagai negara yang menganut sistim nilai tukar fleksibel menunjukkan bahwa jalur nilai tukar menjadi semakin penting dalam mentransmisikan kebijakan moneter (BIS, 1995).5 Paradigma baru yang lebih meyakini jalur suku bunga dan jalur nilai tukar sebagai jalur utama transmisi kebijakan moneter bukan berarti memandang kurang pentingnya jalur kredit. Kecenderungan adverse selection dan moral hazard merupakan fenomena yang sering dijumpai dalam bisnis perbankan. Akan tetapi kenyataan ini pada dasarnya merupakan dampak lanjutan dari perubahan suku bunga dan nilai tukar tersebut. Demikian pula mengenai jalur harga asset. Pada dasarnya ada tiga harga asset dalam perekonomian, yaitu: suku bunga pada pasar uang Rupiah, nilai tukar pada pasar valuta asing, dan harga saham pada pasar modal. Keseimbangan pada ketiga pasar ini dapat direfleksikan pada dua dari tiga harga asset tersebut.6 Dengan demikian gerakan suku bunga dan nilai tukar secara otomatis juga merefleksikan gerakan harga saham. Dasar pemikiran di atas mengarah pada suatu pandangan bahwa gerakan suku bunga dan nilai tukar merupakan variabel penting dalam mentransmisikan pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatan perekonomian. Karena itu manajemen moneter di Indonesia hendaknya dibangun atas mekanisme transmisi suku bunga dan nilai tukar yang diyakini lebih mendekati kenyataan daripada transmisi melalui uang beredar yang selama ini dipergunakan sebagai dasar pijakan. 4 Bond (1994) menunjukkan secara empiris bahwa hubungan antara suku bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara uang beredar dengan laju inflasi, sehingga diusulkan agar suku bunga dipergunakan sebagai sasaran kebijakan moneter. 5 Hasil survei oleh BIS (1995) terhadap mekanisme transmisi kebijakan moneter di berbagai negara maju menunjukkan kecenderungan demikian, disamping jalur suku bunga sebagai indikator cost of capital dalam melakukan kegiatan investasi. 6 Ingat bahwa dalam suatu Walrasian system apabila terdapat sebanyak (n) pasar dalam perekonomian, maka keseimbangan dalam perekonomian dapat diwujudkan apabila terjadi keseimbangan pada (n-1) pasar. Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 11 Merumuskan Kembali Sasaran Pengendalian Moneter Quantity vs. Price Targeting Di dalam literatur ekonomi-moneter, yang mendasari dipilihnya kuantitas uang primer sebagai instrumen pengendalian moneter adalah bahwa jumlah uang primer berada pada kendali otoritas moneter. Dengan asumsi money multipliers stabil dan dapat diprakirakan dengan baik, perubahan uang primer akan mempengaruhi komposisi neraca bank-bank (portofolio bank) yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, perubahan komposisi neraca bank terjadi karena perubahan uang primer (dimana salah satu komponennya adalah bank reserve), akan diakomodir oleh bank dengan mengubah komposisi asetnya —utamanya kredit— atas inisiatif bank itu sendiri. Dalam grafik quantity vs price dari uang beredar, money supply menjadi vertikal yang perubahannya dikendalikan oleh bank sentral, sedangkan sukubunga hanya mengikuti kearah keseimbangan yang terjadi; sudut pandang teori ini disebut verticalist.7 Sudut pandang verticalist dirasakan kurang relevan dengan berkembangnya sistem keuangan (financial system) yang semakin maju dan efisien yang ditandai dengan adanya transnasionalisasi keuangan, inovasi produk-produk baru, gejala sekuritisasi, dan membaurnya operasi bank-bank komersial dengan lembaga keuangan lainnya. Terintegrasinya pasar keuangan dunia telah pula menyebabkan operasi lembaga keuangan tidak lagi terbatas pada suatu negara atau wilayah (borderless world). Uang dan kredit mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti perputaran roda kegiatan ekonomi. Implisit dalam perkembangan ini, kegiatan ekonomi mencari sumber pembiayaannya sendiri yang tidak lagi terbatas pada suatu negara ataupun suatu lembaga keuangan tertentu.8 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah mendorong terciptanya sistem pembayaran (payment system) dengan instrumen yang lebih modern seperti credit card, debit card, automatic teller machine, electronic funds transfer, dan pointofsale. Demikian pula, bermunculan inovasi-inovasi baru dalam berbagai bentuk turunan dari financial assets (derivatives) seperti swap, option, financial futures. Perkembangan sistem keuangan dan sistem pembayaran dewasa ini mengaburkan pengertian uang yang kini lebih dari sekedar uang kertas dan logam atau fiat money melainkan telah meluas menjadi credit money. Sebagai akibatnya, aktivitas penciptaan uang oleh sistem keuangan meluas dan berlipat ganda melebihi penciptaan uang oleh bank sentral. Jumlah atau kuantitas uang beredar tidak lagi dapat dikendalikan secara pasti oleh bank sentral, karena semakin banyak ditentukan dari sisi permintaan (demand determined). Nasabah bank dan lembaga keuangan lainnya baik secara individual maupun secara agregat menentukan rencana kegiatan ekonominya yang tercermin dari kebutuhan pembiayaannya, yang selanjutnya diterjemahkan kedalam permintaan akan uang. Perkembangan ini menyebabkan berubahnya trend dan kestabilan dari money multipliers dan velocity of money; padahal, pengendalian kuantitas uang beredar sangat tergantung dari kestabilan kedua parameter ini. 7 Lihat, Basil J. Moore (1988) dalam bukunya “Horizontalists and Verticalists : the Macroeconomics of Credit Money”. 8 Literatur menarik mengenai phenomena deregulasi dan globalisasi pasar keuangan dunia dapat dilihat pada Kenichi Ohmae “The End of The Nation State”, dan Yasuke Kashiwagi “The Emeregence of Global Finance”. 12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Dengan demikian, sudut pandang lama yang beranggapan bahwa permintaan agregat dan kegiatan perekonomian ditentukan oleh pengendalian uang beredar (verticalist) secara perlahan namun pasti akan berubah haluan sejalan dengan perkembangan sistem keuangan (financial system) dan sistem pembayaran (payment system) yang bekerja lebih efisien didasarkan pada mekanisme pasar. Mekanisme transmisi yang terjadi adalah sebaliknya; uang beredar dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi yang dibiayai oleh kredit bank dan lembaga keuangan lainnya pada suatu harga (sukubunga) tertentu dan suatu persyaratan tertentu. Harga dari sumber dana yang ditentukan oleh sistem keuangan pada dasarnya dapat dipengaruhi oleh otoritas moneter sebagai supplier dari ujung akhir sumber dana yaitu uang primer. Bank sentral dapat membuat mahal harga uang di pasar uang antarbank yang kemudian ditransmisikan keseluruh spectrum suku bunga jangka menengah-panjang. Nasabah bank akan memperhitungkan kembali proyeknya; keputusan apakah ia akan meneruskan atau menunda proyeknya adalah sepenuhnya ditangan nasabah. Sudut pandang baru ini beranggapan bahwa sukubunga (price) dapat dikendalikan oleh otoritas moneter, dan uang beredar (quantity) akan berubah mengikuti keseimbangannya. Dalam grafik quantity vs price dari uang beredar, kurva money supply menjadi horisontal pada tingkat sukubunga tertentu yang diinginkan oleh bank sentral, sedangkan kuantitas uang beredar bergerak kearah kesimbangan permintaan dengan penawaran. Oleh karena itu, sudut pandang baru ini disebut horizontalist. Bank sentral tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempengaruhi sukubunga jangka pendek pada suatu tingkat dimana kuantitas uang beredar yang terjadi akan ditentukan oleh permintaan sistem keuangan. Sistem keuangan berada pada posisi sebagai supplier dari uang beredar sesuai dengan jumlah kredit yang diperlukan untuk membiayai kegiatan ekonomi, sehingga dalam sudut pandang baru ini uang beredar pada dasarnya adalah credit driven. Dalam literatur ekonomi-moneter classic, berbeda dengan padangan Currency School yang dipelopori oleh Locke dan Hume, Banking School yang dipelopori oleh Tooke dan John Stuart Mill, menyatakan bahwa dalam perekonomian modern dengan sistem keuangan yang telah maju dan efisien, uang lebih dari sekedar uang kertas dan logam (fiat money) karena uang dapat tercipta dengan aktivitas pemberian kredit oleh bank dan lembaga keuangan lainnya. Kuantitas uang beredar dalam arti credit money bereaksi secara pasif sesuai dengan perubahan permintaan akan kredit (credit driven). Perbedaan kedua pendapat tersebut dewasa ini telah berkurang, para akademisi dan praktisi bank sentral menyadari bahwa perkembangan sistem keuangan dan sistem pembayaran tidak lagi membatasi uang hanya sebagai uang kertas dan logam tetapi telah berkembang menjadi credit money yang dapat tercipta oleh adanya permintaan.9 Sementara itu, perkembangan yang telah terlihat lebih nyata sebagai akibat dari deregulasi dan globalisasi di sektor keuangan adalah semakin likuidnya tabungan dan deposito karena ada yang dapat ditarik sewaktu-waktu dan perhitungan bunganya dapat dilakukan atas dasar harian. Giro bank sebagian telah pula diberikan jasa giro untuk lebih menarik nasabah karena semakin tingginya kompetisi antarbank. Perkembangan ini mengakibatkan substitusi diantara komponen uang beredar (monetary assets) menjadi semakin dekat (close substitutes). Perubahan elastisitas substitusi (elasticity of substitution) 9 Studi literatur mengenai teori pengendalian moneter dapat dilihat misalnya pada: Harris (1981) & Moore (1988). Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 13 diantara komponen uang beredar ini, antara lain mengakibatkan tidak stabilnya money multipliers dan perlunya dilakukan redefinisi dari uang dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti yang lebih luas lagi (M2 dan M3) karena komponen-komponennya telah menjadi semakin dekat hubungannya. Demikian pula, persamaan permintaan uang (demand for money) perlu dilakukan reestimasi untuk menjawab pertanyaan apakah ketidakstabilan persamaan tersebut diakibatkan oleh definisi uangnya yang salah ataukah hubungan antara uang beredar dengan output dan inflasi memang telah terputus. Kita ketahui bahwa kestabilan persamaan permintaan uang ini merupakan prasyarat bagi efektivitas pengendalian kuantitas uang beredar. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa perkembangan yang cepat di sektor keuangan, telah mengurangi kemampuan bank sentral dalam mengendalikan besaran atau kuantitas uang beredar. Dengan semakin meluasnya transnasionalisasi keuangan, inovasi produk dan proses keuangan, serta gejala sekuritisasi aset, maka penciptaan uang beredar semakin banyak terjadi di luar otoritas moneter. Perkembangan ini menyebabkan kestabilan dari persamaan permintaan uang, multipliers, dan velocity yang menjadi terganggu, padahal kesemuanya ini merupakan prasyarat bagi efektivitas pengendalian jumlah uang beredar. Sementara itu, perkembangan pembiayaan ekonomi yang semakin meluas yang tidak saja melibatkan bank dan lembaga keuangan lainnya tetapi juga melibatkan cara pembiayaan yang lebih luas dari instrumen konvensional (kredit), telah menekankan pentingnya mekanisme transmisi pengendalian moneter melalui sukubunga. Paradigma Baru Manajemen Moneter Indonesia Melalui Jalur Transmisi Suku Bunga dan Nilai Tukar. Kebijakan Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel Pertanyaan pertama yang perlu kita jawab dalam memahami kebijakan moneter dalam sistim nilai tukar fleksibel adalah bagaimana sistim nilai tukar tersebut akan dilaksanakan di Indonesia. Kesepakatan umum dewasa ini mengarah pada suatu pendapat bahwa gerakan nilai tukar akan dibiarkan sesuai kekuatan pasar, namun intervensi Bank Indonesia tetap dimungkinkan apabila kondisi memang memerlukan. Pernyataan inilah yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Bahwa intervensi memang diperlukan dapat dimengerti karena di negara manapun yang menganut sistim nilai tukar fleksibel pernah dan perlu melakukan intervensi.10 Namun intervensi tersebut biasanya tidak diarahkan untuk mencapai suatu “level” tertentu, apalagi “level” yang dianggap sebagai tingkat nilai tukar ekuilibrium, kecuali apabila memang diyakini telah terjadi exchange rate misalignment (Edwards, 1994).11 Anggapan dasar ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel 10 Kesepakatan negara-negara G-7 untuk secara bersama-sama melakukan intervensi untuk mengatasi semakin menguatnya dolar Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan Plaza Accord tahun 1992 merupakan contoh populer dalam kasus ini. Dalam pertemuan negara-negara G-7 memang pergerakan nilai tukar merupakan salah satu agenda yang sering dibicarakan. 11 Edwards (1994) berpendapat bahwa intervensi diperlukan apabila misalignment tersebut disebabkan oleh kesalahan kebijakan ekonomi makro (macroeconomic induced misalignment) atau oleh perubahan struktural dalam ekonomi (structural induced misalignment). 14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 adalah keyakinan bahwa pasar telah berkembang secara efisien sehingga mampu menentukan sendiri tingkat ekuilibrium nilai tukar tersebut. Bahkan apabila terjadi suatu kejutanpun, efisiensi pasar dapat secara cepat menyesuaikan tingkat ekuilibrium tersebut ke tingkat yang baru. Dengan demikian, intervensi Bank Indonesia hanya diperlukan apabila terdapat gejala ketidakrasionalan perilaku pasar sehingga menghalangi bekerjanya pasar tersebut secara efisien. Menurunnya secara drastis kepercayaan pelaku pasar dan masyarakat luas terhadap gerakan nilai tukar yang mengarah pada terjadinya kepanikan yang meluas merupakan kondisi pokok diperlukannya intervensi Bank Indonesia di pasar. Implikasi dari ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel tersebut cukup mendasar bagi perekonomian Indonesia.12 Fluktuasi dan karenanya ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar Rupiah jelas akan menjadi tinggi. Peranan ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar (Dornbusch, 1976).13 Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri karena banyaknya barang-barang impor (imported inflation) . Harga relatif (real effective exchange rates) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakin perlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Pendeknya fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-sasaaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro. Bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perkembangan berbagai variabel ekonomi? Yang jelas, dalam sistim nilai tukar fleksibel Bank Indonesia dapat lebih bebas dalam melaksanakan kebijakan moneter dalam negeri karena tidak dituntut untuk melakukan sterilisasi atas dampak aliran dana masuk terhadap perkembangan uang beredar untuk mempertahankan suatu tingkat atau kisaran nilai tukar tertentu. Dengan demikian, pengendalian moneter dapat lebih difokuskan pada pencapaian sasaran-sasaran di dalam negeri. Dalam hal melakukan suatu kontraksi, misalnya, ketatnya likuiditas akan mendorong meningkatnya suku bunga di dalam negeri. Aliran dana masuk dari luar negeri akan meningkat dan menyebabkan nilai tukar Rupiah cenderung apresiasi. Permintaan domestik baik konsumsi maupun investasi akan menurun karena tingginya suku bunga dan menurunnya harga relatif. Laju pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah. Laju inflasi juga akan menurun baik karena apresiasi nilai tukar maupun karena menurunnya permintaan domestik. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam sistim nilai tukar fleksibel kebijakan moneter dapat lebih efektif dalam mempengaruhi gerakan ekonomi dalam jangka pendek (Guitan, 1994a; Flood dan Musa, 1994).14 12 Model Mundell-Flemming merupakan acuan pokok dalam membahas hubungan berbagai variabel ekonomi dalam ekonomi terbuka dengan sistim nilai tukar fleksibel. Dornbusch (1980) membahas lebih mendalam model ini dan perluasannya dengan memasukkan faktor ekspektasi, rigiditas harga dalam negeri, serta kebijakan stabilisasi yang diperlukan dalam masalah ini. 13 Bahkan ekspektasi tersebut dapat menyebabkan fluktuasi nilai tukar menjadi overshooting, dalam arti bahwa penyesuaian nilai tukar dalam jangka pendek atas terjadinya suatu kejutan ekonomi tertentu jauh lebih besar dari yang dapat diperkirakan dalam jangka panjang. Baca Dornbusch (1976) untuk mendalami permasalahan ini. 14 Ingat bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap laju inflasi. Dengan demikian, penggunaan kebijakan moneter yang lebih aktif (dengan discretion daripada rule) hanya dimaksudkan untuk mempengaruhi gerakan ekonomi dalam jangka pendek. Tulisan Guitian (1994a) serta Flood dan Mussa (1994) merupakan referensi yang baik dalam memahami berbagai permasalahan dalam manajemen moneter. Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 15 Akan tetapi independensi tersebut menuntut disiplin yang lebih tinggi dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Hal ini mengingat kejutan-kejutan yang terjadi pada pasar uang dapat mempunyai dampak yang merugikan bagi perekonomian. Ekspansi moneter yang berlebihan, misalnya, akan mendorong suku bunga lebih rendah, menurunnya aliran dana masuk atau bahkan terjadinya aliran dana ke luar negeri, depresiasi nilai tukar, serta meningkatnya permintaan domestik, laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi (Guitan, 1994b).15 Yang perlu dikhawatirkan adalah ketidakdisiplinan kebijakan moneter tersebut dalam jangka pendek dapat mendorong fluktuasi nilai tukar Rupiah yang lebih besar karena kecenderungan overshooting yang disebabkan oleh rigiditas harga-harga di dalam negeri (Dornbusch, 1976). Kerangka Dasar Manajemen Moneter Kerangka dasar manajemen moneter yang diterapkan di berbagai bank sentral pada umumnya tidak banyak berbeda. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran-sasaran akhir yang menjadi tugas pokoknya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi yang lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya. Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan, dengan suatu mekanisme tertentu yang diasumsikan, dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang diinginkan. Alur mekanisme manajemen moneter demikian dapat digambarkan sebagai: instrumen kebijakan moneter → sasaran operasional → sasaran antara → sasaran akhir (Friedman, 1975).16 Perbedaan pokoknya terdapat pada sedikitnya dua hal. Pertama, pemilihan variabel ekonomi yang dipergunakan sebagai sasaran operasional dan sasaran antara perlu disesuaikan dengan keyakinan perumus kebijakan atas mekanisme transmisi kebijakan moneter dan kondisi perekonomian yang diantisipasikan. Dengan demikian, apabila transmisi melalui suku bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan dalam perekonomian Indonesia, maka manajemen moneter akan menggunakan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasional dan sasaran antara. Kedua, semakin maju dan kompleksnya perekonomian dan sektor keuangan kita menyebabkan hubungan antara berbagai variabel dalam perekonomian menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Kecenderungan ini mendorong perumus kebijakan tidak boleh secara kaku dan dogmatis hanya meyakini suatu mekanisme kebijakan moneter tertentu. Perumus kebijakan harus mampu menggali dan mengintepretasikan berbagai data dan informasi untuk semakin mendalami perkembangan perekonomian pada waktu 15 Guitan (1994b) memberikan referensi yang bagus dalam mereview kelebihan dan kekurangan sistim nilai tukar tetap dan fleksibel. Antara lain dikatakan bahwa sistim fleksibel lebih baik apabila sebagian besar kejutan dalam ekonomi berasal dari sektor eksternal dan sektor riil, sementara sistim kurs tetap lebih unggul untuk menghadapi kejutan nominal domestik. 16 Kerangka dasar manajemen moneter seperti ini telah banyak dibahas dalam literatur ekonomi. Baca misalnya Friedman (1975). 16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 sekarang dan arahnya ke depan. Meskipun suatu kerangka dasar manajemen moneter telah diletakkan, peran dari variabel-variabel indikator menjadi semakin penting. Dengan kata lain, pendekatan pragmatis dan eklektik dalam manajemen moneter nampaknya merupakan alternatif yang banyak ditempuh di berbagai negara (Madigan, 1994; Sawamoto dan Ichikawa, 1994).17 Pendekatan demikian kiranya dapat pula dilakukan di Indonesia seperti pernah dinyatakan oleh Gubernur Bank Indonesia (Djiwandono, 1994). Dengan pemikiran di atas, maka manajemen moneter di Indonesia dapat dilakukan dengan mekanisme sebagaimana digambarkan pada lampiran. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang akan dikemukakan secara rinci pada bagian-bagian di bab ini, dalam skema tersebut digambarkan bahwa sasaran akhir manajemen moneter adalah laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai sasaran akhir ini, Bank Indonesia akan memonitor secara seksama Indikator Kebijakan Moneter (IKM) yang mencerminkan pengaruh suku bunga deposito atau kredit dan real effective exchange rate (REER) terhadap tekanan permintaan aggregat. Bank Indonesia juga perlu memonitor berbagai variabel indikator lainnya, khususnya prompt indicators dan leading indicators, untuk lebih memahami perkembangan perekonomian terkini dan arahnya di masa mendatang. Selanjutnya gerakan IKM tersebut akan dipengaruhi dengan perkembangan suku bunga jangka pendek seperti suku bunga PUAB, suku bunga SBI atau tingkat diskonto SBPU sebagai sasaran operasional. Dalam pelaksanaannya, manajemen moneter dengan mekanisme di atas akan ditempuh dengan instrumen sebagaimana yang telah dipergunakan selama ini yaitu Operasi Pasar Terbuka (OPT), reserve requirement, fasilitas diskonto, dan moral suasion. Sasaran Akhir Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran. Berbagai perubahan mendasar yang dikemukan pada bab pendahuluan, khususnya sistim nilai tukar fleksibel, mengharuskan kita untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Yang jelas, dalam sistim yang baru kebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk mencapai sasaran peningkatan ekspor dan karenanya kemantapan neraca pembayaran. Seperti telah dijelaskan, dalam sistim nilai tukar fleksibel gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor. Dengan demikian dalam sistim yang baru kebijakan moneter lebih difokuskan pada pengendalian permintaan aggregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan aggregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi 17 Bahkan Amerika Serikat dan Jepang juga menempuh pendekatan yang pragmatis dan eklektik dalam manajemen moneternya. Baca Madigan (1994) untuk manajemen moneter di Amerika Serikat serta Sawamoto dan Ichikawa (1994) untuk Jepang. Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 17 pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling “optimal”. Beberapa pendapat mengemukan perlunya Bank Indonesia lebih memfokuskan pada pencapaian satu sasaran yang diprioritaskan yaitu laju inflasi. Bank-bank sentral di berbagai negara seperti Kanada, Selandia Baru dan Australia juga telah mengarah pada pencapaian sasaran tunggal seperti ini. Bahkan Stanley Fischer (1994), Deputy Managing Director IMF, juga menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi target utama kebijakan moneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat berpengaruh terhadap laju inflasi, meskipun dalam jangka pendek mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Guitan, 1994a). Selain itu, pencapaian sasaran tunggal tersebut tidak saja dapat menghilangkan trade-off antara sasaran-sasaran yang hendak dicapai akan tetapi juga dapat meningkatkan accountability dan credibility dari bank sentral yang bersangkutan. Pendapat demikian dapat saja diterapkan untuk Indonesia. Dalam konteks pemodelan ekonomi, pencapaian sasaran tunggal laju inflasi dapat direfleksikan sebagai pengendalian permintaan aggregat untuk mengurangi output gap sekecil mungkin sesuai dengan sasaran laju inflasi yang ditetapkan. Dengan kata lain, Bank Indonesia tidak perlu lagi mempertanyakan imbangan antara laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap “optimal” dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Bagaimana dengan sasaran kemantapan neraca pembayaran? Kebijakan moneter memang dapat mempengaruhi perkembangan neraca pembayaran melalui pengendalian permintaan aggregat. Akan tetapi nampaknya kebijakan moneter tidak lagi dapat difokuskan pada sasaran ini. Seperti telah dikemukakan, dalam sistim nilai tukar fleksibel kebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk meningkatkan kinerja ekspor. Selain itu, meskipun dapat mempengaruhi permintaan aggregat, kebijakan moneter akan menjadi sulit apabila diarahkan pula untuk mempengaruhi komposisi yang “optimal” antara permintaan domestik dan sektor eksternal dari permintaan aggregat tersebut. Sasaran Antara Tercapainya sasaran akhir laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi tersebut akan sangat tergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi permintaan aggregat baik konsumsi, investasi maupun transaksi berjalan. Untuk maksud ini Bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi makro yang telah ada (seperti MODBI) untuk memprakirakan seberapa besar permintaan aggregat yang dianggap aman sesuai dengan sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Sasaran tersebut diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam memprakirakan besarnya demand pressures atau output gap yang dapat ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan moneter yang dilakukan. Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat dipergunakan sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan aggregat tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh oleh Kanada, Selandia Baru dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan dalam penerapannya di Indonesia. IKM pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada besarnya output gap sebagai berikut: 18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 IKM (v) = [ α ( suku bunga (t) - suku bunga (base) ) + β ( REER (t) - REER (base) ) ] * 100 dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan periode sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan indeks. Suku bunga yang berpengaruh pada permintaan aggregat pada umumnya adalah suku bunga menengah-panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau suku bunga kredit dapat dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku bunga menengah-panjang. REER adalah real effective exchange rate. Parameter a dan b diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan aggregat dengan variabel suku bunga dan REER sebagai variabel bebas. Dengan demikian suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/b menunjukkan seberapa kuatnya pengaruh suku bunga terhadap permintaan aggregat relatif terhadap pengaruh REER. Di Selandia Baru rasio IKM adalah ½ sehingga menunjukkan bahwa 1% pengaruh kenaikan suku bunga sama dengan 2% apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan aggregat (Huxford dan Reddell, 1996).18 Dengan kata lain, agar permintaan aggregat tidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1% harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2%. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk mempengaruhi permintaan aggregat diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Kanada, misalnya, mempunyai rasio IKM sebesar 1/3 sehingga kenaikan suku bunga 1% yang diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 3% akan tidak banyak mempengaruhi permintaan aggregat (Freedman, 1994).19 Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar maka perkembangan IKM dari waktu ke waktu menunjukkan semakin besar tidaknya aggregat demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan permintaan aggregat tersebut. Dengan kata lain, gerakan IKM menunjukkan ketat tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditem puh. Apabila Bank Indonesia ingin mengetatkan pengendalian moneter untuk mengantisipasi tekanan permintaan aggregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu.20 Dalam kondisi perekonomian dan sektor keuangan kita yang semakin kompleks, Bank Indonesia hendaknya tidak mengandalkan satu indikator seperti IKM saja untuk mengarahkan manajemen moneter dalam mencapai sasaran akhir yang diinginkan. Berbagai variabel lain perlu dipergunakan sebagai variabel indikator ataupun variabel informasi dalam rangka lebih memahami perkembangan perekonomian dan arahnya ke depan. Dalam hubungan ini, pertumbuhan uang beredar (M1 dan M2) dan kredit dapat dipergunakan untuk menunjukkan tekanan permintaan aggregat di masa mendatang.21 Perkembangan 18 Untuk mendalami lebih lanjut manajemen moneter di Selandia Baru dengan menggunakan IKM, baca Huxford dan Reddell (1996) serta Economics Department Reserve Bank of New Zealand (1996). 19 Freedman (1994) memberikan penjelasan yang baik mengenai penggunaan IKM dalam manajemen moneter di Kanada. 20 IKM dapat dinyatakan secara nominal atau riil. Dalam jangka pendek perbedaan antara kedua pilihan ini tidak berarti mengingat actual inflation mendekati expected inflation. Akan tetapi dalam jangka panjang, untuk akurasi penggunaan IKM secara riil lebih baik sehingga pengaruh expected inflation dapat diperhitungkan. 21 Ingat bahwa pengaruh uang beredar dan kredit terhadap kegiatan ekonomi memerlukan waktu (lag). Dengan demikian, kenaikan pertumbuhan uang beredar dan kredit saat ini dapat mendorong kenaikan permintaan aggregat di masa yang akan datang. Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 19 harga saham dan harga properti juga dapat digunakan sebagai indikator mengenai besarnya tekanan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga asset (asset price inflation). Informasi lain seperti hasil survei kegiatan usaha, survei konsumsi dan survei-survei yang lain dapat pula digunakan Bank Indonesia dalam rangka semakin memahami gerakan ekonomi dimaksud. Berbagai variabel indikator tersebut dapat dikelompokkan sebagai prompt indicators, yaitu indikator yang dapat dipergunakan sebagai deteksi dini perkembangan ekonomi terkini, dan leading indicators, yaitu indikator yang dapat menunjukkan arah perkembangan ekonomi di masa mendatang. Kesemua ini pada dasarnya merupakan cerminan dari pendekatan eklektik dalam manajemen moneter di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas. Sasaran Operasional Pemilihan variabel yang dijadikan sebagai sasaran operasional dalam rangka mengarahkan gerakan IKM sebagai sasaran antara tersebut merupakan keputusan selanjutnya yang perlu dilakukan. Dalam hal ini, suku bunga PUAB, suku bunga SBI, atau tingkat diskonto SBPU merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada setidaknya dua pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh suku bunga jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia. Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU mempunyai kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran operasional kebijakan moneter. Perbedaannya terletak pada pandangan perbankan bahwa SBI sebagai alternatif investasi, sementara SBPU sebagai alternatif pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit. Bagaimanapun juga penelitian yang lebih mendalam diperlukan untuk mengetahui kecepatan perubahan kedua suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke suku bunga deposito atau kredit dan nilai tukar Rupiah. Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan penanaman jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih cepat ditransmisikan ke suku bunga deposito atau kredit. Selain itu, PUAB sering pula dipergunakan sebagai alternatif sumber pendanaan bagi transaksi di pasar valuta asing karena eratnya keterkaitan antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian diperkirakan perubahan suku bunga PUAB lebih cepat pula ditransmisikan ke pergerakan nilai tukar Rupiah. Penelitian yang pernah dilakukan di Bank Indonesia menunjukkan bahwa penentuan suku bunga di Indonesia melalui jalur yaitu: suku bunga SBI → suku bunga PUAB → suku bunga deposito → suku bunga kredit (Bond dan Kurniati, 1994). Apabila hasil penelitian ini dapat diterima, maka suku bunga PUAB dapat dipergunakan sebagai sasaran operasional sementara suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU sebagai acuan dalam penggunaan instrumen kebijakan moneter. Tentunya penelitian dan pengkajian yang lebih seksama 20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 perlu dilakukan untuk menentukan suku bunga jangka pendek mana yang akan dipilih sebagai sasaran operasional. Instrumen Kebijakan Instrumen yang dipergunakan dalam manajemen moneter pada dasarnya sama dengan yang ada selama ini, yaitu: Operasi Pasar Terbuka (OPT), reserve requirement,fasilitas diskonto, dan moral suasion. Demikian pula titik berat pengelolaan moneter tetap pada penggunaan OPT sebagai instrumen utama. Perbedaannya adalah pada arah dari penggunaan instrumen manajemen moneter dimaksud. Kalau selama ini instrumen tersebut lebih diarahkan untuk mencapai sasaran uang primer (M0) pada tingkat tertentu, dalam sistim yang baru instrumen tersebut perlu lebih difokuskan pada pencapaian sasaran suku bunga jangka pendek yang diinginkan. Perbedaan arah dari penggunaan instrumen tersebut tentu saja mempunyai implikasi pada implementasi manajemen moneter. Lelang SBI tidak lagi menitikberatkan pada kuantitas SBI yang diperlukan untuk mencapai sasaran uang primer yang ditetapkan dengan suku bunga SBI sebagai pertimbangan kedua. Dalam sistim yang baru lelang SBI lebih diarahkan untuk mencapai sasaran suku bunga SBI yang diinginkan dengan kuantitas SBI sebagai pertimbangan kedua. Suku bunga SBI yang ingin dicapai tersebut tentunya disesuaikan dengan tingkat atau kisaran suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional atau, dalam hal suku bunga SBI sekaligus sebagai sasaran operasional, dengan tingkat IKM yang diinginkan sebagai sasaran antara. Kesimpulan Berbagai perubahan mendasar dalam perekonomian dan sektor keuangan telah menyebabkan paradigma lama manajemen moneter melalui transmisi uang beredar perlu dikaji ulang. Kita tidak bisa lagi terlalu mengandalkan pada pencapaian sasaran uang primer dan uang beredar (M1 dan M2) sebagai ukuran dari keberhasilan manajemen moneter. Hal ini mengingat telah terjadi perubahan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan kemantapan neraca pembayaran. Transmisi kebijakan moneter melalui kuantitas seperti uang beredar dan kredit diyakini tidak sekuat dulu lagi. Mekanisme transmisi melalui harga seperti suku bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan di Indonesia dewasa ini dan di masa mendatang. Berdasarkan pemikiran demikian, tulisan ini mengajukan proposisi mengenai paradigma baru manajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar yang kiranya dapat diterapkan di Indonesia. Sasaran akhir dari kebijakan moneter hendaknya lebih dititikberatkan pada pengendalian laju inflasi. Sebagai sasaran antara, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang merupakan pengaruh gabungan suku bunga dan nilai tukar terhadap permintaan agregat dapat dipergunakan, disamping berbagai variabel indikator seperti pertumbuhan uang beredar, kredit, harga saham, harga aset, dan leading indicators. Operasi Pasar Terbuka hendaknya tetap dipergunakan sebagai instrumen utama kebijakan moneter dengan mengarahkan lelang SBI pada penentuan suku bunga SBI sesuai mekanisme pasar untuk mempengaruhi suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional. Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 21 DAFTAR PUSTAKA Agung, Juda, “Financial Deregulation and Substitutability of Monetary Assets in Indonesia”, Department of Economics, University of Birmingham, 1995. Bernanke, B., and Blinder, A., “The Federal Funds Rate and the Channels of Monetary Transmission”, NBER Working Paper No.3487., 1992. Blinder, A., “On the Conceptual Basis of Monetary Policy”, Remarks for the Senior Excecutives Conference of the Mortgage Bankers Association, New York, 1996. Boediono, “Melihat Kembali Target Moneter Kita : M0, M1, atau M2?”, Catatan Direktur Bidang Moneter, Bank Indonesia, Oktober 1994. _____, “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”, Catatan Direktur Bidang Moneter, Bank Indonesia, Juni 1996. _____, “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter”, Bahan Kuliah Khusus Sespibi Angkatan XXI, September 1996. Bond, Timothy J., et al., “Money, Interest Rates, and Inflation”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, Juni 1994. _____, dan Yati Kurniati, “The Determination of Interest rates in Indonesia”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, Juli 1994. _____, et al., “Monetary Management with an Exchange Rate Target”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, Agustus 1995. Djiwandono, Soedradjad J., “Ekonomi Makro dalam Dinamisme Perekonomian Dunia: Tantangan bagi Pendekatan dan Kebijaksanaan Makro”, Pidato Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Universitas Indonesia, Juli 1994. _____, “Masalah dan Kebijakan Moneter-Perbankan Indonesia: Perannya dalam Pembangunan dan Perkembangan Dewasa Ini”, Ceramah Gubernur Bank Indonesia pada Kursus Singkat Angkatan VI Lemhannas, April 1996. _____, Sambutan Gubernur Bank Indonesia pada Upacara Pembukaan Sespibi Angkatan XXI, September 1996. Edey, Malcolm, dan Romalis, John, “Issues in Modelling Monetary Policy”, Reserve Bank of Australia, May 1996. Fischer, Stanley, “Central Banking : the Challenges Ahead”, the 25th Anniversary Sysmposium of the Monetary Authority of Singapore”, May 1996. Fraser, Bernie, “The Art of Monetary Policy”, Talk by Governor of the Reserve Bank of Australia in 23rd Conference of Economists, September 1994. Fuhrer, J.C., and Moore, G.R., “Monetary Policy Trade-offs and the Correlation Between Nominal Interest Rates and Real Output”, American Economic Review, 1995. 22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Grenville, S.A., “An Overview of Current Issues in Monetary Policy”, Memorandum to Governor and Managing Director, Bank Indonesia, November 1993. Grenville, S.A., dan Stebbing, P.W., “Monetary Management the Australian Experience”, International Conference on Monetary Management, Denpasar-Bali, 1994. Hadad, Muliaman D., “Bank Behaviour in a Changing Regulatory Environtment : Study of Indonesia 1983-1993”, a Ph.D. Thesis Monash University, April 1996. Haldane, A.G., “Rules, Discretion and the UK’s NewMonetary Framework”, paper on Bank of England’s Inflation Targets Conference, Maret 1995. Harinowo, C., dan Belchere, W., “Monetary and Exchange Rate Management with International Capital Mobility”, Pacific Basin Central Bank Conference, Hong Kong, October 1994. Harris, L., “Monetary Theory”, McGraw-Hill Book Company, 1981. Iljas, Achjar, “Suatu Tinjauan Mengenai Penggunaan Nilai Tukar Sebagai Nominal Anchor dalam Pengendalian Inflasi di Indonesia”, Makalah Sespibi Angkatan XVII, 1992. Moore, Basil J., “Horizontalists and Verticalists : the Macroeconomics of Credit Money”, Cambridge University Press, 1988. Poole, William, “Monetary Policy Implications of Recent Changes in the Financial System in the United States and Europe”, the Sixth International Conference organized by the Institute for Monetary and Economic Studies, Bank of Japan, October 1993. Sarwono, Hartadi A., Alamsyah, Halim, “Sasaran Pengendalian Uang Beredar : Two Step Cointegration Approach”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia,1993. Bank for International Settlements (BIS), Financial Structure and the Monetary Policy Transmission Mechanism, Basle, March 1995. _______, et. al., “Monetary Targets”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, August 1994. Dornbusch, Rudiger, “Expectations and Exchange Rate Dynamics, Journal of Political Economy, Nomor 84, 1976. ______, Open Economy Macroeconomics, Basic Books Inc., New York, 1980. Economics Department, Reseve Bank Of New Zealand, “Summary Indicators of Monetary Condition”, Reserve bank Bulletin, Vol. 59 No. 4, 1996. Edwards, Sebastian, “Exchange Rate Misalignment in Developing Countries”, dalam IMF Institute, Approaches to Exchange Rate Policies, Washington, D.C., 1994. Flood, Robert P. dan Mussa, Michael, “Issues Concerning Nominal Anchors for Monetary Policy”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Stability”, IMF, Washington, 1994. Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel 23 Freedman, C., “The Use of Indicators and of the Monetary Conditions Index in Canada”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Stability”, IMF, Washington, 1994. Friedman, Benjamin M., “Targets, Instruments, and Indicators of Monetary Policy”, Journal of Monetary Economics, Oktober 1975. Guitan, Manuel, “Rules or Discretion in Monetary Policy: National and International Perspectives”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Stability”, IMF, Washington, 1994a. _______, “The Choice of Exchange Rate Regime”, dalam IMF Institute, Approaches to Exchange Rate Policies, Washington, D.C., 1994b. Huxford, Julie dan Reddell, Michael, “Implementing Monetary Policy in New Zealand”, Reserve bank Bulletin, Vol. 59 No. 4, 1996. Madigan, Brian F., “The Design of U.S. Monetary Policy: Targets, Indicators, and Information Variables”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli (editors), Frameworks for Monetary Stability, IMF, Washington, 1994. Mishkin, Frederic S., Symposium on the Monetary Transmission Mechanism, Journal of Economic Perspectives, Vol. 9, No. 4, Fall, 1995. Sawamoto, Kuniho dan Ichikawa, Nobuyuki, “Implementation of Monetary Policy in Japan” dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli (editors), Frameworks for Monetary Stability, IMF, Washington, 1994. Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 25 PENGGUNAAN SUKU BUNGA SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA Perry Warjiyo dan Doddy Zulverdi *) Salah satu alternatif pendekatan untuk meningkatkan kinerja kebijakan moneter Bank Indonesia adalah dengan menerapkan sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional. Berkaitan dengan itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa: i) terdapat suatu keyakinan yang cukup kuat bahwa transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga menjadi semakin penting dibandingkan dengan transmisi melalui jumlah uang beredar sehingga penerapan sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional layak untuk dipertimbangkan; ii) terdapat hubungan yang cukup erat antara laju inflasi dan suku bunga (deposito berjangka satu bulan dan kredit modal kerja); dan iii) suku bunga PUAB dapat dipertimbangkan untuk menjadi sasaran operasional karena memiliki kaitan yang erat dengan suku bunga deposito, mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang, dan sekaligus dapat dipengaruhi oleh instrumen OPT khususnya suku bunga SBPU. Terdapat beberapa syarat bagi efektivitas sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional, yaitu: i) Sasaran akhir kebijakan moneter sebaiknya diprioritaskan pada pengendalian underlying/core inflation, yaitu komponen inflasi yang diyakini benar-benar dipengaruhi faktor-faktor moneter; ii) Untuk meminimalkan pengaruh negatif tekanan-tekanan eksternal terhadap efektivitas kebijakan moneter, sistem nilai tukar yang fleksibel (mengambang) menjadi pilihan utama dibandingkan dengan sistem nilai tukar tetap; iii) Anggaran pemerintah harus “fully budget” dalam arti setiap defisit/surplus anggaran harus setiap saat dibiayai/diserap oleh instrumen utang pemerintah; iv) Untuk memelihara kestabilan permintaan di pasar uang, kinerja sistem pembayaran harus terus-menerus ditingkatkan. *) Perry Warjiyo Doddy Zulverdi : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected] : Peneliti Ekonomi Yunior, Bag. Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Triono Widodo, Kepala Bagian Studi Ekonomi Makro, UREM-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Siti Astiyah, Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM-BI. 26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Pendahuluan E fektivitas pengendalian moneter di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dirasakan semakin berkurang sebagaimana terlihat pada semakin sulitnya pencapaian sasaransasaran operasional berupa besaran-besaran moneter maupun sasaran-sasaran akhir khususnya laju inflasi dan neraca pembayaran. Permasalahan ini tampaknya terkait dengan perkembangan sistem, operasi, dan instrumen pasar keuangan yang pesat dan semakin kompleks serta peningkatan keterkaitan pasar keuangan domestik dan internasional yang telah berdampak pada: • Berubahnya definisi, cakupan, dan perilaku uang beredar. • Terjadinya proses pemisahan kegiatan antara sektor moneter dan sektor riil sehingga hubungan antara uang beredar dan berbagai variabel di sektor riil semakin sulit diprediksi. • Semakin besar dan cepatnya arus lalu lintas modal sehingga uang beredar dalam jangka pendek menjadi berfluktuatif dan sulit dikendalikan. Kondisi tersebut diyakini telah mengubah hubungan-hubungan kausalitas yang melandasi formulasi kebijakan moneter dan menuntut adanya peninjauan kembali atas relevansi paradigma monetaris yang selama ini melandasi kebijakan moneter Bank Indonesia. Berbagai negara dengan permasalahan yang sama telah berpaling kepada mekanisme pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional. Mekanisme ini didasarkan pada paradigma Keynesian bahwa transmisi kebijakan moneter ke sasaran akhir tidak secara langsung melalui perubahan volume uang beredar namun melalui perubahan suku bunga. Dengan menggunakan analisis grafis dan pengujian ekonometri, studi ini menunjukkan adanya hubungan-hubungan kausalitas di antara beberapa variabel moneter yang sejalan dengan pendekatan Keynesian. Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut serta didukung oleh hasil studi banding di Australia dan Selandia Baru, kami mencoba menawarkan konsep pengendalian moneter dengan suku bunga sebagai sasaran operasional untuk Indonesia. Tulisan ini disajikan dengan rangkaian sebagai berikut. Bab “Evaluasi Atas Efektivitas Kebijakan Moneter” Selama Ini mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter dan menjelaskan dampak deregulasi keuangan terhadap efektivitas kebijakan moneter selama ini. Bab “Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional” mengulas secara ringkas teori yang melandasi mekanisme pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional dan merangkum pengalaman Australia dan Selandia Baru dalam menerapkan mekanisme tersebut. Bab “Kemungkinan Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional di Indonesia” menyajikan hasil studi empiris mengenai hubungan kausalitas antara suku bunga dan sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi) serta jenis-jenis suku bunga yang dapat menjadi kandidat sasaran operasional kebijakan moneter. Selanjutnya, dalam Bab “Konsep Pengendalian Moneter Dengan Menggunakan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Untuk Indonesia” kami menyajikan konsep pengendalian moneter dengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional untuk Indonesia. Akhirnya, dalam Bab “Kesimpulan dan Saran” kami memberikan kesimpulan dan beberapa saran kebijakan serta arahan untuk penelitianpenelitian selanjutnya. Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 27 Evaluasi Atas Efektivitas Kebijakan Moneter Selama Ini Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan Moneter Kebijakan-kebijakan ekonomi secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi sisi penawaran agregat, seperti kebijakan ketenagakerjaan, kebijakan perdagangan, kebijakan perindustrian, dan kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat (atau lebih dikenal sebagai kebijakankebijakan ekonomi makro), seperti kebijakan moneter, fiskal, dan nilai tukar. Seluruh kebijakan tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat mempengaruhi berbagai sasaran kebijakan ekonomi seperti laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi suatu kebijakan idealnya kita harus mampu mengisolasi dampak kebijakan tersebut dari pengaruh kebijakan-kebijakan lain terhadap sasaran yang dituju. Mengingat analisis ini ditujukan untuk menilai efektivitas kebijakan moneter dalam jangka pendek/menengah dan dengan keyakinan bahwa kebijakan di sisi penawaran lebih banyak berdampak terhadap perkembangan sasaran akhir dalam jangka panjang maka upaya mengevaluasi efektivitas kebijakan moneter dilakukan tanpa memperhitungkan pengaruh kebijakan-kebijakan di sisi penawaran. Ada tiga komponen yang terkandung di dalam setiap kebijakan ekonomi, yaitu instrumen, sasaran, dan hubungan kausalitas antara instrumen dan sasaran (yang umumnya dipresentasikan ke dalam suatu model ekonomi).1 Uraian berikut ini akan mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter dengan melihat kinerja ketiga komponen tersebut. Dalam merancang kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai sasaran akhir berganda (multi-targeting), keharmonisan policy mix dan ketepatan policy assignment sangat penting. Landasan teoritis dari konsep keharmonisan policy mix dipelopori oleh pemenang hadiah Nobel di bidang Ilmu Ekonomi dari Belanda, Jan Tinbergen, sedangkan konsep ketepatan policy assignment diajukan oleh pakar ekonomi moneter internasional dari Amerika Serikat, Robert Mundell. Kerangka kerja Tinbergen didasarkan pada asumsi adanya hubungan linear antara instrumen-instrumen kebijakan dengan sasaran-sasaran akhir. Salah satu syarat agar instrumen-instrumen kebijakan tersebut dapat mencapai sasaran-sasaran akhir yang berbeda secara bersamaan adalah jumlah instrumen yang tersedia minimal harus sama dengan jumlah sasaran akhir. Selain itu, setiap instrumen harus independen terhadap instrumen lain. (Lihat Lampiran). Di dalam kerangka kerja Tinbergen, penyebab ketidakefektivan kebijakan moneter dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: • Apakah jumlah instrumen kebijakan yang tersedia minimal sama dengan jumlah sasaran? Untuk kasus Indonesia, terdapat tiga sasaran utama kebijakan ekonomi makro yang ingin dicapai secara bersamaan, yaitu laju inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Dari sisi permintaan, ketiga 1 Sach & Larrain, “Macroeconomics in the Global Economy”, hal. 589. 28 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 sasaran tersebut diupayakan untuk dicapai dengan menggunakan tiga instrumen utama, yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai tukar. Dengan demikian, jumlah instrumen yang tersedia sudah sama dengan jumlah sasaran. • Apakah terdapat pembatasan ruang gerak kebijakan moneter? Di Indonesia tampaknya tidak ada pembatasan secara eksplisit terhadap besaran-besaran moneter yang dikaitkan dengan kinerja sisi fiskal. Namun, tampaknya ruang gerak kebijakan moneter sangat dibatasi oleh sasaran nilai tukar. • Apakah terdapat hubungan sebab akibat antara berbagai sasaran akhir? Hal ini tampaknya terjadi di Indonesia. Pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi seringkali harus mengorbankan pencapaian sasaran laju inflasi. • Apakah policy mix cocok dengan policy setting? Di dalam sistem ekonomi terbuka dengan sistem nilai tukar yang relatif tetap seperti yang diterapkan oleh Indonesia sampai dengan 14 Agustus 1997, efektivitas kebijakan moneter sangat berkurang. Dalam situasi ini, pembebanan tugas yang terlalu berlebihan kepada kebijakan moneter untuk mencapai berbagai sasaran ekonomi makro hanya akan mendorong timbulnya ekonomi biaya tinggi (khususnya yang bersumber dari tingginya biaya suku bunga), mendorong masuknya modal asing berjangka pendek yang bermotif spekulasi, dan mendorong industri keuangan domestik untuk melakukan/ membiayai kegiatan usaha yang mengandung resiko tinggi. Berkaitan dengan pembagian tugas di antara berbagai kebijakan yang tersedia, Robert Mundell mengajukan apa yang dikenal sebagai Mundell’s Assignment Rule. Berdasarkan aturan tersebut, efektivitas setiap kebijakan tergantung pada kesesuaian pembagian tugas dengan keunggulan komparatif dari masing-masing kebijakan. Apabila kebijakan moneter diyakini lebih berpengaruh terhadap laju inflasi daripada kebijakan fiskal sedangkan kebijakan fiskal diyakini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi daripada kebijakan moneter maka seyogianya kebijakan moneter hanya diberi tugas untuk mengendalikan laju inflasi sedangkan pengendalian produksi diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan fiskal. Efektivitas kebijakan moneter juga ditentukan oleh kemampuan otoritas moneter dalam mengendalikan instrumen-instrumen yang tersedia. Indikator yang paling sederhana adalah sejauh mana kemampuan otoritas moneter dalam mengendalikan uang primer. Terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi efektivitas pengendalian uang primer. Pertama, derasnya arus keluar masuk modal jangka pendek. Satu hasil penelitian menemukan bahwa koefisien ofset, yaitu koefisien yang mengukur pengaruh bersih operasi pasar terbuka (OPT) terhadap jumlah uang beredar, di Indonesia mencapai lebih dari 75% (Bond, et al). Artinya, setiap Rp 1,00 jumlah uang yang disedot melalui OPT, hanya Rp 0,25 yang benar-benar berhasil disedot sedangkan sejumlah Rp 0,75 mengalir kembali ke masyarakat melalui peningkatan arus masuk modal dari luar negeri. Kedua, masih rendahnya tingkat kedalaman pasar uang (atau dalam kerangka analisis pemintaan dan penawaran kondisi ini tercermin pada kurva permintaan yang sangat tidak elastis). Saat ini tingkat kedalaman pasar uang baik rupiah maupun valuta asing masih relatif tipis. Dalam kondisi ini tekanan-tekanan baik yang bersumber dari pesatnya arus keluar masuk modal maupun tekanan likuiditas lebih banyak ditransmisikan melalui perubahan suku bunga dan nilai tukar daripada diredam oleh perubahan volume transaksi. Sebagai konsekuensinya suku bunga dan nilai tukar menjadi sangat fluktuatif. Ketiga, adanya Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 29 segmentasi di sektor perbankan yang menimbulkan perbedaan perilaku di antara berbagai kelompok bank (contoh: antara kelompok bank-bank pemerintah dan kelompok bank-bank swasta) dalam menyikapi sinyal-sinyal kebijakan moneter. Keempat, rapuhnya sistem perbankan akibat praktek-praktek perbankan yang tidak berhati-hati dan sistem pengawasan yang lemah. Dengan kondisi portofolio yang buruk, walaupun ada kemauan, bank-bank tidak akan mampu memberikan respons kepada sinyal-sinyal kebijakan moneter. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kredibilitas yang dimiliki oleh otoritas pengambil kebijakan. Satu konsep yang berkaitan dengan kredibilitas pengambil kebijakan adalah konsep time consistency. Berdasarkan konsep ini, suatu kebijakan yang diambil berdasarkan prinsip discretionary akan mendorong para pengambil kebijakan untuk selalu mengambil kebijakan yang berbeda dengan ekspektasi pasar. Dari sisi pengambil kebijakan, tindakan ini adalah optimal karena mampu memaksimalkan manfaat dari kebijakan yang diambil. Namun, apabila tindakan tersebut dilakukan berkali-kali maka tingkat kredibilitas kebijakan akan turun di mata para pelaku pasar. Untuk Indonesia, masalah kredibilitas ini tampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Seringkali kita amati bahwa berbagai sasaran ekonomi makro, khususnya sasaran-sasaran operasional kebijakan moneter, tidak mampu dicapai. Hal ini telah menurunkan kredibilitas kebijakan pemerintah dan mendorong masyarakat untuk membentuk ekspektasi yang berbeda dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Faktor lain yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter adalah adanya perubahan paradigma hubungan sebab akibat antara instrumen kebijakan dan sasaran akhir sebagai dampak dari deregulasi sektor keuangan dan meningkatnya keterkaitan antara pasar keuangan domestik dan internasional. Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak kemungkinan faktor penyebab berkurangnya efektivitas kebijakan moneter. Namun, sebagaimana halnya pengalaman negara-negara lain ketika mereka menjalani proses transformasi ekonomi dan keuangan, faktor perubahan paradigma pengendalian moneter sebagai dampak deregulasi dan globalisasi di sektor keuangan diduga menjadi penyebab utama melemahnya kinerja kebijakan moneter di Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi pada upaya untuk menemukan mekanisme transmisi moneter dan kerangka operasional kebijakan moneter yang tepat untuk Indonesia di dalam konteks paradigma pengendalian moneter yang telah berubah. Dampak Deregulasi Keuangan terhadap Efektivitas Kebijakan Moneter Deregulasi dan globalisasi sektor keuangan membawa pengaruh yang besar terhadap perekonomian di banyak negara. Reformasi sektor keuangan yang dilakukan Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand sejak dekade 1980-an telah meningkatkan efisiensi sektor keuangan dan menjadi salah satu faktor penting yang mendorong kemajuan ekonomi negara-negara tersebut.2 Di samping dampak positifnya terhadap perekonomian, perubahan yang cepat di pasar keuangan juga telah memberikan pengaruh negatif terhadap efektivitas kebijakan 2 The International Monetary Fund and the World Bank, Finance Development, March 1994 30 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 moneter. Friedman mengidentifikasi tiga kemungkinan dampak deregulasi keuangan terhadap kebijakan moneter. Pertama, deregulasi suku bunga dan nilai tukar serta integrasi pasar-pasar keuangan di dunia akan mengubah proses transmisi kebijakan moneter. Kedua, inovasi-inovasi keuangan akan menyebabkan tidak stabilnya hubungan antara harga (inflasi) dan uang (besaran moneter). Ketiga, semakin meningkatnya mobilitas modal akan mempersulit pencapaian dua sasaran akhir, yaitu stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar, dalam waktu bersamaan.3 Pengalaman di beberapa negara maju seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, dan beberapa negara Eropa, serta hasil penelitian IMF menunjukkan bahwa setelah era reformasi sistem keuangan hubungan antara pertumbuhan uang beredar dan kegiatan ekonomi serta inflasi cenderung menjadi tidak stabil. 4 Akibatnya, perkembangan jumlah uang beredar menjadi tidak mampu lagi memberikan indikasi arah perkembangan inflasi maupun produksi secara akurat. Kondisi tersebut menyebabkan banyak negara tidak lagi menggunakan besaran-besaran moneter sebagai variabel sasaran kebijakan moneter. Kini banyak negara menggunakan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasionalnya. Di Indonesia, kinerja pencapaian sasaran-sasaran moneter seperti M1 dan M2 cenderung menurun (lihat Grafik 1 dan 2). Kinerja pencapaian sasaran M0 juga memiliki kecenderungan yang sama (lihat Grafik 3). Seiring dengan menurunnya kinerja pencapaian sasaran-sasaran moneter, kinerja pencapaian sasaran-sasaran akhir terutama laju inflasi dan neraca pembayaran tampak semakin sulit. Sasaran inflasi yang dalam Repelita V dan VI ditetapkan sebesar rata-rata 5% per tahun tidak pernah berhasil dicapai. Defisit transaksi berjalan dalam tiga tahun terakhir semakin membengkak sementara struktur neraca modal semakin didominasi oleh modal jangka pendek yang mengandung resiko tinggi. Gejala penurunan efektivitas kebijakan moneter tersebut tidak terlepas dari dampak deregulasi di sektor finansial yang telah dimulai sejak tahun 1983. Deregulasi tersebut telah mengakibatkan beberapa perubahan struktural. Pertama, pembebasan penentuan suku bunga kepada pasar menyebabkan terjadinya perubahan portofolio keuangan masyarakat yang tercermin dari perubahan komposisi uang kartal dan uang giral maupun komposisi simpanan berjangka dan uang giral. Kedua, batas antara M1 dan M2 menjadi tipis karena semakin dekatnya substitusi antara uang kuasi khususnya tabungan (komponen M2) dengan M1.5 Ketiga, perubahan portofolio aset-aset keuangan mengakibatkan perubahan tingkat Grafik 2: Sasaran dan Realisasi M2 (%) Grafik 1: Sasaran dan Realisasi M1 (%) 50 50 45 45 40 40 35 Realisasi 35 Ta rg et 30 30 25 25 20 20 15 15 10 10 5 5 0 88/89 89/90 90/91 91/92 92/93 93/94 94/95 95/96 96/97 97/98 Realisasi Target 0 88/89 89/90 90/91 91/92 92/93 93/94 94/95 95/96 96/97 97/98 3 Morgan, Donald P., Introduction,... 4 Robert Dekle and Mahmood Pradhan, Financial Liberalization and Money Demand in ASEAN Countries : Implication for Monetary Policy. 5 Sarwono, Hartadi A.,Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter: Suatu Studi Kemungkinan Penerapannya, 1996 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 31 G r a f i k 3 : S a s a r a n d a n R e a l i s a s i U a n g P r i m e r (%) 33 Rea lisasi 30 27 24 21 18 15 12 Sasaran 9 6 3 1993/94 1994/95 1995/96 1996/97 sensitivitas permintaan akan uang terhadap perubahan pendapatan dan suku bunga. Keempat, semakin berkembangnya pasar keuangan yang menawarkan beragam aset mempunyai pengaruh yang besar terhadap permintaan uang.6 Adanya banyak perubahan tersebut melahirkan sebuah keyakinan bahwa transmisi kebijakan moneter melalui harga uang (suku bunga) menjadi semakin penting dibandingkan dengan transmisi melalui jumlah uang beredar (kuantitas).7 Hal ini juga didukung oleh hasil beberapa penelitian yang mempertanyakan kembali keyakinan yang melandasi kebijakan moneter Indonesia bahwa terdapat kestabilan angka pengganda uang dan permintaan akan uang serta keterkaitan yang erat antara besaran-besaran moneter dan sektor riil terutama PDB dan inflasi.8 Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Landasan Teoritis: Sasaran Kuantitas vs. Sasaran Harga Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui pengendalian jumlah uang beredar (sasaran kuantitas) atau suku bunga (sasaran harga). Pengendalian kuantitas dipelopori oleh aliran Monetaris sedangkan pengendalian suku bunga dipelopori oleh aliran Keynesian. Secara umum perbedaan antara Keynesian dan Monetaris dapat disederhanakan dalam bentuk elastisitasnya. Aliran Monetaris percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap permintaan akan uang relatif rendah dan elastisitas suku bunga terhadap permintaan barang relatif tinggi. Aliran ini berkeyakinan bahwa velocity of circulation dan uang beredar bersifat eksogen. Kondisi ini mengakibatkan uang tidak bersifat netral karena uang dapat mempengaruhi 6 Occasional Paper 84, Financial Liberalization, Money Demand, and Monetary Policy in Asian Countries, International Monetary Fund 7 Lihat catatan Direktur URES, Boediono “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”, Juni 1996 8 Penelitian terdahulu menyatakan bahwa permintaan M1 masih stabil. Namun penelitian ulang selanjutnya menyatakan bahwa keakuratan dan kestabilan permintaan akan uang tersebut perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan hasil proyeksi yang diperoleh. Lihat: Hartadi Sarwono dan Halim Alamsyah, “Sasaran Pengendalian Uang Beredar: Two Step Cointegration Approach”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, September 1994 dan “Evaluasi terhadap Fungsi Permintaan Uang dan Program Moneter”, Kertas Kerja Staf, Bagian APK, UREM, Juni , 1997. 32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 produksi dan harga dalam jangka pendek. Atas dasar asumsi-asumsi di atas maka aliran Monetaris lebih merekomendasikan penggunaan sasaran jumlah uang beredar daripada sasaran suku bunga. Aliran Verticalist memiliki pemikiran yang sejalan dengan aliran Monetaris. Aliran ini meyakini bahwa, dengan asumsi money multiplier stabil dan dapat diperkirakan dengan baik, perubahan uang primer akan mempengaruhi komposisi neraca bank-bank (portofolio bank) yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, perubahan uang primer (salah satu komponennya adalah bank reserve), akan diakomodasi oleh bank dengan mengubah komposisi asetnya, terutama kredit, atas inisiatif bank sendiri. Dalam grafik kuantitas versus harga dari uang beredar, kurva penawaran uang menjadi vertikal yang perubahannya dikendalikan oleh bank sentral, sedangkan suku bunga hanya mengikuti ke arah keseimbangan yang terjadi.9 Di lain pihak, aliran Keynesian percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap permintaan akan uang relatif tinggi sedangkan elastisitas suku bunga terhadap investasi relatif rendah. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa velocity of circulation tidak stabil dan bergejolak dan uang beredar merupakan faktor endogen. Berbagai karakteristik pasar tersebut mengakibatkan mekanisme transmisi kebijakan moneter bersifat tidak langsung, yaitu melalui suku bunga. Oleh karena itu, aliran Keynesian merekomendasikan penggunaan sasaran suku bunga dalam melaksanakan kebijakan moneter. Berikut ini adalah beberapa jalur transmisi kebijakan moneter dengan menggunakan sasaran suku bunga.10 • Intertemporal substitution. Perubahan suku bunga akan mengubah biaya pinjaman atau pendapatan dari tabungan. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap komponen utama pengeluaran, terutama untuk investasi usaha, investasi perumahan, dan mungkin juga pengeluaran konsumsi barang-barang tahan lama. • Exchange rate effect. Di dalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga, ceteris paribus, biasanya akan dihubungkan dengan apresiasi nilai tukar dalam jangka pendek sehingga barang impor relatif menjadi lebih murah dan laju inflasi akan menurun. Kegiatan ekspor juga akan terpengaruh karena penjualan barang ekspor akan beralih ke dalam negeri. Pengalihan pasar produk ekspor ini juga akan mendorong turunnya hargaharga di dalam negeri. • Cash-flow effect. Dengan meningkatnya suku bunga nominal, pendapatan nominal debitur akan menurun. Jika debitur menghadapi kendala likuiditas akibat meningkatnya suku bunga dan tidak dapat meminjam lagi dalam jumlah lebih besar untuk mempertahankan tingkat pengeluaran semula maka pengeluaran mereka terpaksa harus diturunkan. • Wealth effect. Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagai faktor diskonto dari ekspektasi pendapatan untuk masa yang akan datang akan mengubah nilai aset finansial dan aset riil. Perubahan nilai aset-aset tersebut mengakibatkan perubahan tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi dan pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan 9 Sarwono, Hartadi A., et.al.,Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter di Indonesia, Juli 1997, p.8 10 Stevens, Glen and Jenny Wilkinson, The monetary policy process in Australia: what do we know?, p.267-268 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 33 konsumsi, investasi dan produksi. • Credit rationing effect. Peningkatan suku bunga dapat mendorong bank-bank untuk meningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada debitur lama maupun calon debitur baru akibat kekhawatiran akan turunnya kapasitas para debitur dalam membayar hutang-hutangnya. Implikasinya, suku bunga kredit meningkat, suplai kredit menurun, atau terjadi penjatahan kredit. Pengalaman Selandia Baru Untuk memperbaiki kinerja perekonomiannya yang relatif lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara anggota OECD lainnya, sejak tahun 1984 Selandia Baru mulai melakukan serangkaian reformasi di sektor riil, fiskal, dan keuangan. Di sektor fiskal pemerintah melakukan pengurangan defisit anggaran secara bertahap sementara pembenahan di sektor riil dilakukan antara lain melalui penghapusan hambatan impor serta pengurangan tarif impor. Reformasi di sektor keuangan diawali dengan pembebasan penentuan tingkat suku bunga kepada pasar dan diikuti oleh deregulasi transaksi modal. Selanjutnya, sejak Maret 1985 Selandia Baru menerapkan sistem nilai tukar mengambang. Reformasi di sektor keuangan juga mencakup berbagai upaya penyempurnaan kebijakan moneter baik dari aspek kelembagaan, paradigma yang dianut, sasaran kebijakan moneter, maupun instrumen yang digunakan. Di sisi kelembagaan, upaya penyempurnaan kebijakan moneter diawali dengan keluarnya Undang-undang Bank Sentral yang baru pada tahun 1989 yang secara formal dan konstitusional memberikan independensi kepada Bank Sentral dalam menjalankan tugas-tugasnya. Reformasi di sektor keuangan juga memaksa Selandia Baru untuk meninjau ulang paradigma pengendalian moneter yang sebelumnya mereka anut. Dalam perkembangannya, mereka memilih untuk menggunakan paradigma aliran Keynesian yang menjadikan suku bunga sebagai sasaran operasional pengendalian moneter. Di samping itu, sejak tahun 1985 Selandia Baru juga mengubah sasaran akhirnya menjadi sasaran tunggal yaitu stabilitas harga dengan menggunakan underlying inflation sebagai sasaran akhir. Untuk menentukan sasaran akhir, RBNZ menggunakan proyeksi inflasi berdasarkan teori Phillips curve dengan pendekatan output gap (selisih antara PDB aktual dan potensial). Penetapan sasaran tersebut dilakukan melalui kesepakatan bersama antara Gubernur Bank Sentral (RBNZ) dengan Menteri keuangan yang disebut “the Policy Target Agreements (PTA)”. Untuk mencapai sasaran laju inflasi yang telah disepakati, RBNZ menetapkan sasaran operasional dan sasaran antara. Sebagai sasaran operasional, RBNZ mengendalikan likuditas perbankan (cash settlement) pada level tertentu (saat ini sekitar $5 juta per hari ). Apabila level settlement cash tidak sesuai dengan sasaran yang ditetapkan, pada kondisi likuditas ketat RBNZ akan membeli government bills di pasar uang melalui OPT dan menjualnya pada kondisi longgar. Upaya pengendalian cash settlement akan mempengaruhi tingkat suku bunga cash rate dan selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga treasury bill 90 hari. Sebagai sasaran antara, RBNZ menggunakan variabel proksi yang disebut Monetary Conditions Indicator (MCI). MCI adalah indikator yang menggabungkan pengaruh moneter yang berasal dari suku bunga (treasury bill 90 hari) dan nilai tukar (trade weighted index) . 34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Pengendalian M oneter di S elandia B aru M CI OMO I n t e r e st R a t e Se ttle m e nt C ash ($ 5m . pe r day) D iscou nt rate Inte r B ank C ash Rate (90 day trea su ry bill Longer Inte re st R ate Pass Thro u gh Tradable G oods Exchange Rate (TW I) R e lative Price change s thro u gh A ggr. D e m and GDP if G D P >Po tential O utput Inflatio n T arget Sementara itu, besaran-besaran moneter hanya digunakan sebagai variabel indikator. Dari skema di bawah ini terlihat bahwa pengendalian moneter di Selandia Baru dilakukan melalui upaya Bank Sentral untuk mempengaruhi suku bunga antarbank. Perubahan suku bunga antarbank tersebut diharapkan akan mempengaruhi suku bunga treasury bill 90 hari dan nilai tukar. Perubahan suku bunga treasury bill 90 hari akan ditransmisikan ke sektor riil melalui dampaknya terhadap PDB. Apabila PDB aktual melebihi PDB potensial (output gap), inflasi akan cenderung naik. Sementara itu, perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi PDB dan akhirnya laju inflasi melalui dua saluran, yaitu : • Melalui tradeable goods. Proses transmisi ini memerlukan lag sekitar 4-6 kuartal. Setiap depresiasi 1% akan menaikkan inflasi sebesar 0,3%. • Melalui permintaan aggregat. Mekanisme ini memerlukan lag yang lebih panjang yaitu sekitar 2 tahun. Pengalaman Australia Mengiringi deregulasi keuangan yang dimulai sejak akhir 1970-an, kebijakan moneter di Australia terus mengalami berbagai penyesuaian. Sejak tahun 1985, kerangka kebijakan moneter berubah dari pengendalian moneter yang menggunakan besaran moneter sebagai sasaran antara menjadi suku bunga sebagai sasaran antara. Hal ini antara lain berkaitan dengan sulitnya mengendalikan jumlah uang beredar sehubungan dengan makin sulitnya memprediksi besaran-besaran moneter akibat banyaknya inovasi di sektor keuangan. Perkembangan ini mengakibatkan permintaan akan uang menjadi tidak stabil dan hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir menjadi kurang signifikan. Untuk meningkatkan efektivitas dan kredibilitas kebijakan moneter, prioritas sasaran akhir adalah menciptakan laju inflasi yang rendah yang dituangkan ke dalam sasaran laju inflasi underlying 2% - 3% per tahun. Pengendalian moneter dilakukan melalui operasi pasar terbuka dengan jalan menetapkan suku bunga overnight funds (cash rates).Cash rates ini menjadi sasaran operasional kebijakan moneter. Apabila RBA akan melakukan perubahan arah kebijakan moneter maka RBA akan melakukan operasi pasar untuk mempengaruhi cash rate. Perubahan cash rate akan segera diikuti oleh perubahan berbagai suku bunga lainnya khususnya suku bunga pinjaman dan suku bunga lainnya yang berjangka waktu lebih panjang. Selanjutnya, 35 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia Pengendalian Moneter di Austr OMO Settlement Cash Inter Bank Cash Rate Interest rat (90 days treasury bil Longer Interest Rate Discount rate GDP if GDP >Potential Output Inflation Target perubahan suku bunga berjangka waktu panjang diharapkan akan mempengaruhi output gap dan laju inflasi. Skema berikut menggambar mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia. Pada dasarnya cash rates akan bergerak bebas sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran di pasar uang. Untuk menjaga agar cashrate tetap berada pada tingkat yang telah ditetapkan, RBA melakukan operasi pasar dengan menggunakan instrumen surat berharga pemerintah yang terdiri atas Commonwealth Government Securities dan State Government Securities. Sejak Januari 1990 RBA mengumumkan tingkat cash rate harian yang akan dicapai pada hari tersebut berikut latar belakang kenaikan atau penurunannya. Kredibilitas RBA merupakan faktor yang sangat menentukan karena “announcement effect” yang kuat menyebabkan bank-bank berupaya untuk mengajukan “bid/offer rate” sedekat mungkin berdasarkan keyakinan bahwa RBA akan masuk ke pasar untuk memastikan bahwa sasaran cash rate akan tercapai. Grafik 4: Inflasi di Negara-negara yang Menggunakan Inflasi (%) 13,0 12,0 11,0 10,0 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 (1,0) 1980 Selandia Baru Australia OECD Canada 1990/92 1994 1996 36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional dan laju inflasi underlying sebagai sasaran akhir, pada umumnya mereka berhasil menurunkan laju inflasi baik dalam ukuran CPI maupun inflasi underlying secara mengesankan. Sebagai contoh, dalam tahun 1980-an Selandia Baru dan Australia masing-masing mengalami inflasi rata-rata sebesar 11,3% dan 8,2%. Namun, setelah kedua negara menerapkan inflation targeting dan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional pengendalian moneter, laju inflasi berhasil diturunkan menjadi 1,7% dan 1,9% pada tahun 1994. Kemungkinan Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Di Indonesia Proses Transmisi Sasaran Antara ke Sasaran Akhir Sebagai langkah pertama dalam melihat kemungkinan penggunaan suku bunga sebagai sasaran operasional dalam pengendalian moneter, perlu kiranya dicari jenis suku bunga yang dapat berperan sebagai sasaran antara, yaitu suku bunga yang mampu mentransmisikan sinyal-sinyal yang diberikan oleh kebijakan moneter ke sasaran akhir, dalam hal ini laju inflasi. Dengan menggunakan tes kausalitas Granger menggunakan data bulanan dalam periode setelah deregulasi 1988 (1989.1-1997.7) dapat dinyatakan halhal berikut (hasil pengujian di dalam Tabel 1): Tabel 1 Hasil Tes Kausalitas Granger Antara Suku Bunga dan Laju Inflasi Hipotesis Dep. 1 Inflasi Dep. 3 Inflasi Dep. 6 Inflasi Dep. 12 Inflasi KI Inflasi KMK Inflasi ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ Inflasi Dep.1 Inflasi Dep.3 Inflasi Dep.6 Inflasi Dep.12 Inflasi KI Inflasi KMK F Stat. Prob. 3.43 1.44 1.53 0.69 1.43 0.24 0.00 1.88 0.34 0.36 2.30 0.65 0.04 0.24 0.22 0.51 0.24 0.79 0.99 0.16 0.71 0.70 0.08 0.59 Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk first difference. • Suku bunga deposito berjangka 1 bulan mempunyai hubungan searah dengan inflasi. Hal ini berarti bahwa inflasi dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga deposito 1 bulan. Di samping itu, suku bunga kredit modal kerja (KMK) juga mempunyai hubungan yang searah dengan inflasi. Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 37 Grafik 5: Proporsi Deposito Menurut Jangka W 45 1 bulan 40 35 12 bulan 30 3 bulan 25 20 6 bulan 15 10 24 bulan 5 0 1 5 9 1988 1 5 9 1989 1 5 9 1990 1 5 9 1991 1 5 9 1992 1 5 9 1993 1 5 9 1994 1 5 9 1995 1 5 9 1 1996 1997 • Suku bunga deposito yang berjangka lebih panjang, yaitu yang berjangka 3, 6, dan 12 bulan tidak mempengaruhi laju inflasi. Keterkaitan yang cukup kuat antara suku bunga deposito satu bulan dan laju inflasi sejalan dengan semakin besarnya peranan deposito satu bulan dalam total dana yang dihimpun oleh perbankan (lihat Grafik 5). Sejak tahun 1990 tampak ada pergeseran dalam preferensi masyarakat dalam memegang deposito, yaitu dari deposito yang berjangka relatif panjang, khususnya deposito 12 bulan, ke deposito yang berjangka waktu sangat pendek yaitu deposito berjangka satu bulan. Perubahan preferensi mungkin disebabkan oleh tingginya suku bunga deposito berjangka waktu pendek dibandingkan dengan yang berjangka waktu lebih panjang akibat kesulitan likuiditas yang dialami oleh perbankan. Kalau benar demikian maka hasil yang diperoleh dari pengujian ini mungkin saja berubah apabila bank-bank tidak lagi mengalami kesulitan likuiditas. Selanjutnya untuk melihat kemungkinan adanya hubungan jangka panjang antara suku bunga deposito satu bulan dan laju inflasi dilakukan uji Kointegrasi Johansen. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa, dengan tingkat keyakinan 5%, terdapat hubungan yang bersifat jangka panjang antara suku bunga deposito satu bulan dengan laju inflasi. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 Uji Kointegrasi Johansen: Suku Bunga Deposito Satu Bulan dan Laju Inflasi Sampel :1989:01 1997:07 Jumlah Observasi :98 Series : DEP1 INFL Eigenvalue 0.07120 0.041176 Likelihood Ratio 11.35990 4.120647 Asumsi : Linear deterministic trend in the data Lags interval : 1 to 4 5 Percent Critical Value 15.41 3.76 1 Percent Critical Value 20.04 6.65 Hypothesized No. of CE (s) None At most 1* (*) menunjukkan penolakan hipotesis nol pada tingkat signifikansi 5%. 38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Proses Transmisi Sasaran Operasional ke Sasaran Antara Setelah diperoleh kandidat terkuat sasaran antara kebijakan moneter Indonesia, yaitu suku bunga deposito satu bulan, langkah selanjutnya adalah mencari variabel yang dapat menjadi sasaran operasional. Sasaran operasional pada umumnya adalah variabel yang mampu mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang sekaligus dapat dipengaruhi oleh berbagai instrumen kebijakan moneter. Di pasar uang Indonesia, variabel yang diperkirakan memenuhi syarat-syarat di atas adalah suku bunga PUAB. Secara visual, suku bunga PUAB (rata-rata seluruh jangka waktu 1 s.d. 90 hari) tampaknya menunjukkan pergerakan yang searah dengan suku bunga deposito berjangka (Grafik 6 dan 7). Perkembangan yang searah tersebut juga terjadi antara suku bunga PUAB dengan suku bunga kredit baik KMK maupun KI (Grafik 8). Grafik 6: Suku Bunga Dep. 1 Bulan , Dep. 3 Bulan, dan PUAB 28 25 22 19 Deposito 3 Bln 16 Deposito 1 13 10 PUAB 7 4 1 4 7 10 1 1989 4 7 10 1 1990 4 7 10 1 1991 4 7 10 1 1992 4 7 10 1 1993 4 7 10 1 4 1994 7 10 1 1995 4 7 10 1 1996 4 7 10 1997 Grafi k 7 : Suk u Bu nga Dep . 6 Bu la n, De p. 1 2 Bul a n, d an PUAB 28 25 22 19 Deposito 12 Bln 16 Deposito 6 Bln 13 10 PUAB 7 4 1 4 7 10 1989 1 4 7 10 1990 1 4 7 10 1991 1 4 7 10 1992 1 4 7 10 1993 1 4 7 10 1994 1 4 7 10 1 1995 4 7 10 1996 1 4 7 10 1997 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 39 Grafik 8 : Su k u Bu n g a Kred it Mo dal Kerja, Kred it In v es tasi , d an PUAB 31 28 25 KMK 22 19 16 KI 13 10 PUAB 7 4 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 Untuk memperoleh indikasi arah hubungan antara suku bunga PUAB dengan suku bunga deposito, kredit modal kerja, dan kredit investasi, telah dilakukan pengujian Granger atas variabel-variabel tersebut. Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa suku bunga PUAB mempunyai hubungan yang searah dengan suku bunga deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan kredit investasi (KI). Sementara itu, terdapat hubungan dua arah antara suku bunga PUAB dan suku bunga kredit modal kerja (KMK) Tabel 3 Hasil Tes Kausalitas Granger: Suku Bunga PUAB, Deposito, KMK, dan KI Hipotesis F Stat. Prob. PUAB Dep.1 ⇒ ⇒ Dep.1 PUAB 8,25 1,23 0,00 0,30 PUAB Dep.3 ⇒ ⇒ Dep.3 PUAB 3,52 1,09 0,03 0,34 PUAB Dep.6 ⇒ ⇒ Dep.6 PUAB 7,65 1,86 0,00 0,16 PUAB Dep.12 ⇒ ⇒ Dep.12 PUAB 0,12 0,46 0,89 0,63 PUAB KI ⇒ ⇒ KI PUAB 4,06 0,42 0,00 0,83 PUAB KMK ⇒ ⇒ KMK PUAB 15,74 12,19 0,00 0,00 Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk first difference. Untuk lebih memahami mekanisme transmisi suku bunga PUAB ke suku bunga deposito perlu dikembangkan suatu model suku bunga. Untuk suatu perekonomian yang 40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 terbuka maka suku bunga pasar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal (Edward, et.al.,1985). Hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: i i il id = = = = ail + (1-a) id suku bunga pasar suku bunga yang ditentukan oleh faktor eksternal suku bunga yang ditentukan oleh faktor internal Secara umum ada dua cara dalam merumuskan model penentuan suku bunga yang dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu uncovered interest parity (UIP) dan covered interest parity (CIP). Model UIP dapat diformulasikan sebagai berikut: i = i* + e Sedangkan model CIP: i = i* + e + rp dimana: I* = suku bunga di luar negeri e = ekspektasi depresiasi rp = premi resiko Dengan dibukanya kisaran nilai tukar intervensi sejak 14 Agustus 1997 maka faktor resiko perubahan nilai tukar menjadi sangat penting. Sehingga model CIP dapat diubah menjadi: i = i*+fd , dimana fd = premi forward. Formula suku bunga paritas di atas dapat dikembangkan untuk mengetahui proses transmisi perubahan suku bunga PUAB ke suku bunga pasar berjangka menengah dan panjang. Model pengembangan tersebut sebagai berikut: R puab = a + b SBI/SBPU + e interest rate = a + b PUAB + e11 ................................................................. (1) ................................................................. (2) Jika proses transmisi berlangsung sangat cepat dan komplet maka b akan mendekati 1. Akan tetapi untuk suku bunga yang berjangka relatif lebih panjang proses transmisi berlangsung lebih lambat sehingga perlu ada faktor lag. interest ratet = a + Sgi DPUAB + SliDinterest ratet-i + b PUAB + et ............ (3) Faktor yang mempengaruhi cepat/lambatnya proses transmisi antara lain adalah struktur dari simpanan masyarakat di bank dan bunganya, tingkat resiko dari pinjaman yang diberikan bank, dan tingkat persaingan bank. Dengan anggapan bahwa suku bunga pasar, misal deposito, tidak hanya ditentukan oleh perkembangan suku bunga deposito itu sendiri dari waktu-waktu sebelumnya tetapi 11 Diadaptasi dari Lowe, Philip, The link between the cash rate and market interest rate, RBA, p. 4-5 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 41 juga merupakan respons dari perubahan suku bunga luar negeri dan ekspektasi depresiasi, diperoleh model suku bunga sbb: interest ratet = a1 + Sgi D PUAB + a2 ilt + b PUAB ........................................ (4) dimana l i = suku bunga libor + ekspektasi depresiasi.12 b = long-run response dari perubahan interest rate terhadap perubahan pada sukubunga operating target. Atas dasar model di atas, dilakukan pengetesan untuk melihat kecepatan transmisi dan kekuatan pengaruh perubahan suku bunga PUAB (Lihat Tabel 4). Dengan melakukan sedikit transformasi atas hasil persamaan regresi tersebut, dapat dihitung besarnya koefisien b, yaitu 0,84. Angka koefisien b yang cukup besar tersebut menunjukkan bahwa proses transmisi suku bunga PUAB ke suku bunga deposito 1 bulan berlangsung cukup cepat. Tabel 4 LS // Dependent Variable is DDEP1 Sample: 1992:04 1997:07 Included observations: 64 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error T-Statistic Prob. C PUAB(-1) D(PUAB,2) D(PUAB,3) DPUAB(-2) DPUAB(-5) DEP1(-1) DER(-1) DDEP1(-2) DDEP1(-4) DLIB1(-2) 0,6888 0,1151 0,1770 -0,1167 0,1784 0,0763 -0,1370 0,0002 0,1481 0,1781 0,1587 0,2344 0,0341 0,0819 0,0565 0,0756 0,0384 0,0306 0,0001 0,0951 0,0982 0,1365 2,9380 3,3698 2,1594 -2,0682 2,3613 1,9868 -4,4734 3,3592 1,5575 1,8133 1,1625 0,0049 0,0014 0,0354 0,0435 0,0219 0,0521 0,0000 0,0015 0,1253 0,0755 0,2502 R-squared 0,6984 Mean dependent var. -0,0763 Adjusted R-squared 0,6415 S.D. dependent var. 0,4449 S.E. of regression 0,2664 F-statistic 12,2755 DW-stat 1,8709 Prob(F-statistic) 0,0000 12 Pada dasarnya ada beberapa pendekatan untuk menghitung ekspektasi depresiasi, antara lain pendekatan rational expectation, adaptive expectation dan bisa juga menggunakan penyimpangan antara nilai tukar PPP dengan nilai tukar aktual. Akan tetapi dalam makalah ini diasumsikan bahwa nilai aktual sama besarnya dengan nilai ekspektasinya. Untuk masa yang akan datang, peranan ekspektasi nilai tukar ini semakin penting sehingga perlu pengkajian yang lebih mendalam. 42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Hubungan antara Sasaran Operasional dan Instrumen Kebijakan Moneter Langkah berikutnya adalah mencari instrumen kebijakan moneter yang mampu mempengaruhi pergerakan sasaran operasional. Secara visual baik suku bunga SBI maupun SBPU memiliki pergerakan yang searah dengan suku bunga PUAB (Grafik 9). SBI yang berjangka waktu 7 hari relatif lebih dekat daripada SBI yang berjangka waktu 1 bulan. Perkembangan suku bunga SBPU juga terlihat searah dengan suku bunga PUAB sampai periode 1994. Setelah itu, suku bunga SBPU relatif konstan (Grafik 10). Hasil uji kausalitas Granger antara suku bunga PUAB, suku bunga SBI 7 hari dan 1 bulan, dan suku bunga SBPU 7 hari dan 1 bulan memberikan hasil-hasil berikut (lihat Tabel 5): • Suku bunga SBI 7 hari maupun yang berjangka waktu 1 bulan tidak mempunyai hubungan baik searah maupun dua arah dengan suku bunga PUAB. Berarti suku bunga PUAB tidak ditentukan oleh perubahan suku bunga SBI dan begitu juga suku bunga SBI tidak dipengaruhi oleh suku bunga PUAB. Grafik 9 : Su ku Bun g a SBI 7 Hari, SBI 1 Bu lan , dan PUAB 30 27 24 21 PUAB SBI 1 bl. 18 15 12 9 SBI 7 hr. 6 3 1 4 7 10 1 1989 4 7 10 1 1990 4 7 10 1 1991 4 7 10 1 1992 4 7 10 1 1993 4 7 10 1 1994 Grafik 10: Suku Bunga SBPU 7 Hari, 4 7 10 1 1995 4 7 10 1 1996 4 7 1997 SBPU 1 Bulan, dan PUAB 30 27 SBPU 1 bl. 24 SBPU 7 hr. 21 18 15 12 PUAB 9 6 3 1 4 7 10 1989 1 4 1990 7 10 1 4 7 1991 10 1 4 7 10 1992 1 4 7 1993 10 1 4 7 10 1994 1 4 7 1995 10 1 4 7 10 1996 1 4 7 1997 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 43 • Akan tetapi suku bunga SBPU 7 hari mempunyai hubungan kausalitas yang bersifat dua arah dengan suku bunga PUAB. Dengan perkataan lain, suku bunga SBPU 7 hari mempengaruhi suku bunga PUAB dan sebaliknya suku bunga PUAB mempengaruhi suku bunga SBPU 7 hari. Tabel 5 Uji Kausalitas Granger: Suku Bunga PUAB, SBI, dan SBPU Hipotesis F Stat. Prob. SBI 1 PUAB ⇒ ⇒ PUAB SBI 1 0,41 0,81 0,66 0,45 SBI 7 PUAB ⇒ ⇒ PUAB SBI 7 1,60 0,53 0,21 0,59 SBPU 1 PUAB ⇒ ⇒ PUAB SBPU 1 0,42 12,42 0,66 0,00 SBPU 7 PUAB ⇒ ⇒ PUAB SBPU 7 28,83 4,86 0,00 0,01 Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk first difference. Kenapa suku bunga PUAB lebih dekat hubungannya dengan suku bunga SBPU daripada dengan suku bunga SBI? Salah satu kemungkinan alasannya adalah instrumen SBPU digunakan oleh bank-bank untuk mencari dana sehingga suku bunga SBPU lebih mencerminkan harga dari kelangkaan dana. Alasan lain terkait dengan adanya perbedaan mekanisme lelang antara kedua instrumen OPT tersebut. Sejak April 1993 sistem yang diterapkan untuk lelang SBI adalah Stop Out Rate (SOR) atau sistem target kuantitas. Selain penjualan SBI secara lelang, Bank Indonesia juga melakukan penjualan SBI secara intervensi. Dalam intervensi tingkat diskonto terlebih dahulu ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan tingkat bunga di pasar yang bisa berada di atas atau di bawah suku bunga SBI lelang. Ada kemungkinan bahwa suku bunga SBI intervensi juga mempunyai hubungan yang erat dengan suku bunga PUAB karena penentuan suku bunga SBI intervensi lebih mengarah ke tingkat harga dana di pasar dibandingkan dengan suku bunga SBI lelang. Sementara itu, lelang SBPU menganut sistem Cut Off Rate (COR) atau sistem target suku bunga. Konsep Pengendalian Moneter Dengan Menggunakan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Untuk Indonesia Penggunaan Sasaran Akhir Tunggal Kebijakan moneter di Indonesia mempunyai sasaran ganda, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi yang tinggi, (2) penyediaan lapangan kerja yang cukup, (3) laju inflasi yang rendah 44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 dan (4) neraca pembayaran yang mantap. Dalam pelaksanaannya sulit bagi bank sentral untuk mencapai seluruh sasaran tersebut dalam waktu yang sama karena adanya “conflicting target” antara satu sasaran dengan sasaran lainnya. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter perlu kiranya dipertimbangkan penggunaan sasaran akhir tunggal. Kalau pun sasaran ganda masih dipertahankan maka perlu urutan prioritas yang jelas dan tegas, misalnya dengan mendahulukan pencapaian sasaran laju inflasi yang rendah daripada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Banyak negara telah menggunakan sasaran tunggal dalam kebijakan moneternya seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan sebagian besar negara-negara di Eropa. Stanley Fischer (1994), Deputy Managing Director IMF, pernah menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi sasaran utama kebijakan moneter bank sentral mana pun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengikuti pertumbuhan naturalnya (Guitan,1994a). Selain itu, pencapaian sasaran tunggal tidak saja dapat menghilangkan trade-off antara sasaran-sasaran yang hendak dicapai tapi juga dapat meningkatkan accountability dan credibility bank sentral.13 Mekanisme Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Dengan mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia dan Selandia Baru yang disesuaikan dengan instrumen-instrumen pasar keuangan yang tersedia di Indonesia, berikut ini adalah gambaran mekanisme pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia. Dari skema tersebut terlihat bahwa untuk mencapai sasaran akhir berupa pengendalian laju inflasi, Bank Indonesia menggunakan suku bunga jangka pendek, yaitu suku bunga PUAB, sebagai sasaran operasional. Untuk mengendalikan suku bunga PUAB, instrumen utama yang dapat digunakan adalah operasi pasar terbuka (OPT) melalui kegiatan jual/beli SBI/SBPU. Perubahan suku bunga SBI/SBPU akan ditransmisikan ke suku bunga PUAB untuk selanjutnya diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar. SBI-SBPU rate Excess reserve PUAB Suku Bunga Dep. dan Nilai Tukar GDP GDP> Potensial out put Inflasi meningkat 13 Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel:Suatu pemikiran untuk penerapannya di Indonesia, SESPIBI, Nov. 1997 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 45 Nilai tukar rupiah akan dipengaruhi oleh suku bunga PUAB dengan asumsi Indonesia mempertahankan sistem nilai tukar mengambang. Kedua variabel tersebut selanjutnya akan ditransmisikan ke sektor riil melalui pengaruhnya terhadap tingkat output nasional. Perbedaan antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi. Operasi Pasar Terbuka (OPT) sebagai Instrumen Utama Pengendalian Moneter Untuk mencapai sasaran-sasaran moneter, sejak tahun 1984 Bank Indonesia menggunakan empat instrumen pokok, yaitu penentuan rasio cadangan wajib bank terhadap dana pihak ketiga (reserve requirement), operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan himbauan (moral suasion). Dari keempat kebijakan tersebut yang paling fleksibel untuk digunakan pada situasi normal adalah OPT. Pada saat ini instrumen OPT yang dipakai oleh Bank Indonesia adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Dalam pengendalian moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran, OPT akan menjadi instrumen andalan. Akan tetapi “jiwa” dari penggunaan SBI dan SBPU berbeda dari pengendalian secara kuantitas. Transaksi jual beli SBI dan SBPU harus lebih diarahkan untuk mempengaruhi suku bunga di pasar uang daripada untuk mencapai sasaran besaran-besaran moneter tertentu. Esensi penerapan sasaran suku bunga dalam konteks mekanisme pasar adalah bank sentral mengendalikan ‘harga’ (suku bunga) dari dana kliring antarbank. Persyaratan bekerjanya sistem tersebut adalah bank-bank memiliki permintaan akan dana kliring antarbank yang stabil dan bank sentral mampu mengendalikan suplai dana kliring antarbank tersebut. (Lihat Grenville & Stebbing, p.9) Elemen pertama sistem pengendalian moneter atas dasar mekanisme pasar adalah permintaan akan dana kliring antarbank: • Permintaan akan dana kliring antarbank akan selalu ada sepanjang bank sentral mewajibkan bank-bank komersial untuk menyelesaikan hutang antarmereka melalui rekening mereka di bank sentral. • Hutang antarbank terutama terjadi karena partisipasi bank-bank di dalam sistem pembayaran. Oleh karena itu, kinerja sistem pembayaran menentukan keberadaan dan perkembangan pasar uang. • Karena bank sentral melaksanakan OPT melalui pasar uang maka efektivitas OPT tergantung pada kinerja sistem pembayaran. • Permintaan akan dana kliring antarbank (demand for excess reserves) tergantung pada pola transaksi bank-bank, bukan pada ukuran neraca bank-bank. Bank-bank yang lebih banyak melayani rumah tangga-rumah tangga memiliki kebutuhan akan dana kliring antarbank yang lebih kecil daripada bank-bank yang lebih banyak melayani perusahaanperusahaan. Elemen kedua adalah kemampuan bank sentral untuk mengendalikan suplai dana kliring antarbank. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa terdapat dua hal yang harus dilakukan agar bank sentral mampu mengendalikan neracanya secara efektif: 46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 • Anggaran pemerintah harus “fully funded” dalam arti setiap kekurangan dana anggaran dibiayai melalui penjualan surat berharga pemerintah kepada sektor swasta. Setiap kenaikan uang primer yang berasal dari pengeluaran bersih bersih pemerintah dan surat berharga pemerintah yang jatuh tempo harus diserap kembali dengan menerbitkan surat berharga baru. Inti dari persyaratan ini adalah bahwa adanya pemisahan antara manajemen moneter (pengendalian dana di pasar keuangan) dan manajemen hutang (pengendalian sumber pembiayaan anggaran pemerintah). Selama ini saldo rekening pemerintah baik di BI maupun di bank-bank selalu positif. Agar saldo tersebut dapat dikendalikan sekaligus menambah instrumen di pasar uang, dapat dilakukan sekuritisasi saldo positif rekening pemerintah dan menggunakannya sebagai instrumen OPT. • Nilai tukar harus ditentukan oleh pasar sehingga bank sentral tidak lagi harus menyeimbangkan pasar valas melalui jual/beli valas. Secara teoritis, nilai tukar yang mengambang bukan prasyarat utama dalam mengisolasi neraca bank sentral dari faktorfaktor eksternal karena hal tersebut dapat dicapai apabila otoritas moneter mampu menyesuaikan nilai tukar sehingga selalu terjadi keseimbangan di pasar valas atau apabila pemerintah mampu mensterilisasi dampak arus keluar masuk dana dari luar negeri. Namun, pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa kedua hal tersebut sulit dicapai. Satu prasyarat bagi berjalannya sistem pasar adalah adanya sistem pengawasan kehati-hatian yang baik. Meskipun pasar telah dideregulasi, “rules of the game” tetap diperlukan agar pasar bekerja secara teratur. Perlu diingat bahwa adanya segmentasi di pasar uang antarbank membuat suku bunga PUAB tidak sepenuhnya mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Akan tetapi terus berlanjutnya reformasi keuangan dan perbankan diharapkan akan mengurangi segmentasi pasar tersebut. Penentuan Suku Bunga dalam OPT Apabila suku bunga dijadikan sasaran operasional dalam pengendalian moneter maka suku bunga nominal akan diarahkan sedemikian rupa sehingga dicapai suku bunga netral. Suku bunga netral adalah suatu tingkat suku bunga di mana variabel-variabel utama seperti inflasi dan tingkat produksi berada pada tingkat yang diinginkan. Untuk itu, ada beberapa “simple rule” untuk menentukan suku bunga operating target:14 - nominal income level rule, it= Φ + p t-1 + g (py t-1 -pyT t-1; ) - nominal income growth rule, it= Φ + p t-1 + g (Dpy t-1 - D pyT t-1; ) - pure price rule, it= Φ + p t-1 + g (pt -1 - pTt -1; ) - Taylor rule, it= Φ + p t-1 + g 1 (p t-1 -p T) + g 2(yt -1 - Ωt-1; ) - Inflation-only rule, it= Φ + p t-1 + g 1 (p t-1 -p T; ) - change rule, it= it-1 + p t-1 + g 1 (p t-1 -p T) + g 2(yt -1 - Ωt-1); dan - constant real interest rate rule, it= c + p t-1, dimana: it = nominal interest rate Φ = suku bunga riil netral 14 de Brouwer, Gordon and James O’Regan , Evaluataing Simple Monetaray-Policy Rules for Australia, p Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 47 p = tingkat laju inflasi py = nominal income superscript T = target p = tingkat harga y = income riil Ω = output potensial c = suku bunga riil konstan yang tidak dispesifikasi g = parameter reaksi “Simple Rule” merupakan reaction function dimana kebijakan akan berubah sebagai respons terhadap perubahan pada variabel utama. Metode ini tidak seperti “Friedman’s constant growth rate” karena penentuan suku bunga di sini lebih diarahkan sebagai pegangan pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan suku bunga sebagai sasaran operasional. Model (rule) mana yang akan dipakai? Untuk itu perlu dikaji rule yang paling efisien dalam pencapaian target. Efisiensi diartikan sebagai makin rendahnya fluktuasi tingkat inflasi dan output gap. Untuk itu, penentuan suku bunga nominal yang baik antara lain memperhatikan sasaran laju inflasi dan juga output gap karena output gap diyakini sebagai penyebab dari munculnya inflasi. Untuk saat ini, Taylor rule dianggap metode yang efisien.15 Pada Taylor rule, kebijakan moneter akan mengetat apabila inflasi di atas yang ditargetkan dan tingkat produksi berada di atas tingkat produksi potensial. Dapat dinyatakan bahwa sejak pertengahan 1980-an penggunaan Taylor rule di beberapa negara, antara lain: Amerika Serikat (Taylor, 1993, 1994), Inggris (Stuart, 1996), Jerman dan Jepang (Davies et al., 1996), menunjukkan hasil yang efisien.16 Oleh karena Taylor rule merupakan suatu reaction function maka unsur discretionary dalam pengambilan keputusan masih cukup dominan. Sebagai konsekuensinya, efektivitas kebijakan moneter yang menggunakan rule ini sangat tergantung kepada kredibilitas bank sentral. Satu isu penting dalam menyusun sistem operasional bagi penerapan kebijakan moneter adalah derajat fleksibilitas suku bunga instrumen. Ada dua pilihan yaitu penetapan sasaran suku bunga harian yang dikendalikan secara ketat dan penetapan suku bunga yang masih memberikan sedikit fleksibilitas harian. • Keuntungan penetapan suku bunga harian secara ketat: -Memberikan sinyal yang jelas kepada pasar mengenai arah kebijakan moneter. -Meningkatkan akuntabilitas bank sentral di mata masyarakat. • Keuntungan adanya fleksibilitas suku bunga harian adalah: -Dapat mendepolitisasi proses penentuan suku bunga dalam arti politikus tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada bank sentral untuk mengubah-ubah suku bunga. 15 Penjelasan lebih detail lihat Gordon de Brower and James O’Regan dalam Evaluating Simple Monetary-Policy Rules for Australia dan Laurence Ball dalam Efficient rules for monetary policy. 16 Ball, Laurence, Efficient rules for monetary policy, p.7 48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 - Mengurangi keharusan untuk menjelaskan setiap perubahan kecil suku bunga yang terjadi di pasar. Kondisi ini terutama membantu mengurangi beban moral yang harus ditanggung bank sentral ketika harus menaikkan suku bunga. -Memberikan kesempatan kepada pasar untuk memberikan umpan balik atas kondisi likuiditas pasar. Apabila otoritas menetapkan suku bunga secara harian maka otoritas tidak akan mendapatkan umpan balik dari pasar. Indikator Kondisi Moneter (IKM) Indonesia Di dalam kerangka perekonomian Indonesia yang semakin terbuka dan kebijakan nilai tukar yang semakin fleksibel maka keterkaitan antara suku bunga domestik dan nilai tukar menjadi semakin erat. Tekanan-tekanan eksternal maupun internal tidak lagi hanya ditransmisikan melalui suku bunga tapi juga melalui nilai tukar. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu formula sasaran antara yang mampu menangkap proses interaksi antara kedua variabel tersebut. Satu alternatif formula yang telah digunakan di beberapa negara adalah indikator kondisi moneter (IKM). IKM adalah indikator yang memadukan kadar pengaruh moneter yang berasal dari suku bunga dan nilai tukar terhadap permintaan agregat. Rasio IKM menunjukkan perbandingan kekuatan antara suku bunga dan nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan agregat. Di Selandia Baru, rasio IKM adalah ½ yang menunjukkan bahwa pengaruh 1% kenaikan suku bunga sama dengan pengaruh 2% apresiasi nilai tukar terhadap permintaan agregat (Huxford dan Reddell, 1996). Dengan kata lain, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1% harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2%.17 Di sini terlihat bahwa di Selandia Baru peranan suku bunga lebih besar dibandingkan peranan nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan agregat. IKM Indonesia dapat diperoleh melalui penaksiran yang didasarkan pada model permintaan agregat berikut: L G D P = b0 + b1 r + b2 NT + b3 TOT L G D P = Produk Domestik Bruto riil (dalam log) r = suku bunga riil NT = perubahan REER (basket) TOT = perubahan terms of trade Atas dasar model tersebut dengan menggunakan data sampel 1989.1 s.d 1997.1 diperoleh rasio antara koefisien suku bunga deposito satu bulan riil dengan koefisien nilai tukar sebesar 3,75 (dan sebesar 4,13 jika menggunakan rasio antara deposito tiga bulan dan nilai tukar). Dengan rasio IKM sebesar 3,75, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan maka setiap kenaikan suku bunga sebesar 1% perlu diimbangi dengan apresiasi nilai tukar sebesar 0,27%. Hal ini menunjukkan bahwa peranan nilai tukar lebih penting daripada suku bunga dalam mempengaruhi permintaan agregat. 17 Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di Indonesia, p. 14 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 49 Apabila sampel dibatasi sampai dengan tahun 1995, diperoleh rasio IKM sebesar 1,34 jika menggunakan suku bunga deposito satu bulan dan sebesar 1,51 jika menggunakan suku bunga deposito 3 bulan. Berdasarkan hasil pengujian ini tampak ada suatu perubahan dalam pergerakan pengaruh antara suku bunga dan nilai tukar dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi, terutama setelah tahun 1995. Sekalipun demikian, nilai tukar tetap lebih dominan pengaruhnya terhadap permintaan agregat daripada pengaruh suku bunga. Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengendalian moneter dengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional sebaiknya tetap memperhatikan gerakan nilai tukar. IKM dapat dijadikan pedoman sasaran antara yang bersifat tidak formal bagi bank sentral dalam pengendalian moneter. Untuk menghitung indeks IKM nominal dapat dilakukan sebagai berikut18 : IKM nominal = {(rt-rb) + 3.75 * [logTWIt-logTWIb) * 100]}*100 +1000 Sejalan dengan hal tersebut, maka dapat pula dihitung IKM riil sebagai berikut: IKM riil = {(riil rt-riilrb) + 3.75 * [logn(riil TWIt) - logn(riil TWIb) * 100]}*100 +1000 rt = suku bunga nominal periode t rb = suku bunga nominal periode tahun dasar TWIt = trade weighted index nilai tukar nominal periode t TWIb = trade weighted index nilai tukar nominal periode tahun dasar Angka 1000 menunjukkan arbitrary fixed base. Dengan menggunakan arbitrary fixed base sebesar 100 dan angka dasar pada bulan Mei 1995 serta berdasarkan perumusan model di atas maka dapat dilakukan perhitungan Indeks IKM baik nominal maupun indeks riil. Penggunaan IKM nominal akan cenderung bias dalam memperhitungkan dampak inflasi dalam jangka panjang. Akan tetapi dalam jangka pendek IKM nominal dapat digunakan sebagai pendekatan dari IKM riil karena perbedaan antara ekspektasi dan aktual inflasi diasumsikan bersifat gradual. Sedangkan untuk melihat pengaruh IKM terhadap perekonomian riil dalam jangka lebih panjang diperlukan IKM riil. Dengan menggunakan batas bawah dan batas atas masing-masing sebesar 5% maka perkembangan dari indeks IKM nominal maupun riil dapat digambarkan sebagai berikut: In d ek s In d ik ator K on disi M on eter N om in a 150 115 110 105 100 95 90 I K M d g n D e p .1 b ln . I K M d g n D e p .3 b ln . 85 80 1 4 7 10 1989 1 4 7 10 1990 *)N ila i tu k a r y g 1 4 7 10 1991 1 4 7 10 1992 d ip a k a i d a la m 1 4 7 10 1 4 1993 p e rh itu n g a n 7 10 1 1994 a d a la h 4 7 10 1995 REER 1 4 7 10 1996 1 4 7 1997 N o m in a l (b a 18 RBNZ, How to construct and interpret MCI indices, Monetary Policy Statement, June 1997 50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Indeks Indikator Kondisi Mon 115 110 105 100 95 90 85 80 IKM dgn. Dep 1 IKM dgn. Dep 3 75 1 4 1989 7 10 1 4 7 10 1 1990 4 1991 7 10 1 4 7 10 1 1992 4 7 10 1 1993 4 7 10 1 1994 4 7 10 1 4 1995 7 10 1 1996 4 7 1997 *) Nilai tukar yg dipakai dalam perhitungan adalah REER Riil ( base =Mei 1995) Indeks Indikator Kondisi Moneter N 125 120 115 110 105 100 95 90 IKM dgn. Dep 1 bln. IKM dgn. Dep 3 bln. 85 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 1989 1990 1991 1992 1993 1994 *) kurs yg dipakai dalam perhitungan adalah kurs Rp/USD ( base =Des 1988) 4 7 10 1 4 1995 7 10 1 4 1996 7 1997 Bila indeks berada di atas batas atas berarti perlu dilakukan kebijakan pelonggaran moneter sedangkan bila indeks berada di posisi di bawah batas bawah maka perlu kebijakan pengetatan moneter. Kesimpulan dan Saran Hasil penjajakan terhadap kemungkinan penerapan sistem pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional menemukan adanya hubungan-hubungan kausalitas yang signifikan antara suku bunga (deposito satu bulan) dan sasaran akhir (laju inflasi) serta antara instrumen kebijakan moneter (suku bunga SBPU) dan suku bunga (deposito satu bulan). Agar efektif, pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional hendaknya memperhatikan hal-hal berikut: Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 51 • Sasaran akhir kebijakan moneter hendaknya hanya diprioritaskan kepada sasaran tunggal laju inflasi, khususnya laju inflasi underlying. • Sistem lelang SBI sebaiknya menggunakan sistem COR yang sejalan dengan “jiwa” penggunaan suku bunga sebagai sasaran operasional. • Mengingat belum adanya acuan suku bunga jangka panjang di Indonesia, perlu diperkenalkan instrumen semacam obligasi pemerintah (treasury bill) . Untuk semakin memperkuat landasan bagi penerapan sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional, perlu dilakukan penelitianpenelitian lanjutan mengenai: • Estimasi permintaan agregat dan penawaran agregat serta output gap yang lebih akurat. • Penghitungan tingkat suku bunga netral untuk Indonesia. • Pengujian model IKM yang lebih akurat dengan memperhitungkan sistem nilai tukar mengambang yang kini diterapkan di Indonesia. • Pengujian ketepatan policy mix dan policy assignment di antara tiga kebijakan ekonomi makro, yaitu kebijakan moneter, fiskal, dan nilai tukar. 52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Daftar Pustaka Boediono, Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter, Disampaikan pada Kuliah Khusus SESPIBI, 24 September 1996. Debelle, Guy, dan Glenns Stevens, Monetary Policy Goals for Inflation in Australia, Reserve Bank of Australia Discussion Paper, 9503, 1995. De Brouwer, Gordon, dan J. Oregan, Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Australia, 1997. De Brouwer, Gordon, Irene Ng, dan Robert Subbaraman, The Demand for Money in Australia: New Test on an Old Topic, Reserve Bank of Australia Reserach Discussion Paper, 9314, 1993. Eckhold Kelly, Monetary Policy Theory and Practice in New Zealand, RBNZ, 1997. Fahrer, Jerome, dan Lynne-Elle Shori, An Empericel Model of Australian Interest Rate, Exchange Rates and Monetary Policy, Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper, 9009, 1990. Grenville, S.A, dan P.W. Stebbing, Monetary Management: the Australian Experience, International Coference on Monetary Management, 1994. Horton, Tracey, dan Jenny Wilkinson, An Analysis of the Determinants of Imports, Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper -8910, 1989. MacFarlane, Ian, dan Warren Tease, Capital flows and Exchange Rate Determination, Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper, 8908, 1989. Morris, Dirk, Monetary Transmission in a Dergulated Financial System, Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper, 8811, 1988. RBNZ, Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-95, 1995. ______________, Summary Indicators of Monetary Condition, 1997. Roger, Scott, An Illustarated Guide to the Role of Underlying Inflation in Monetary Policy, Reserve Bank of New Zealand Bulletin, Vo.57(3), h.234-242, 1994. Sarwono, Hartadi A., Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter: Suatu Studi Kemungkinan Penerapannya, Makalah SESPIBI XXI, 1996. Stevens, Glenn, dan Jenny Wilkinson, The Monetary Policy Transmission Process in Australia: What Do We know ? Siklos, Pierre L., Searching for Improved Monetary Indicator for New Zealand, RBNZ Discussion Paper Series - G96/1, 1996. ______________, The Demand for Money in New Zealand in Era of Institutional Change: Evidence from the 1981 - 1994 Period, RBNZ Discussion Paper Series - G95/3, 1995. Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di Indonesia, SESPIBI XXII, November, 1997 Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia 53 Lampiran Kerangka Kerja Tinbergen Misalkan, hubungan antara kebijakan fiskal (G) dan kebijakan moneter (M) dalam mempengaruhi pencapaian sasaran pengendalian tingkat produksi (Q) dan tingkat hargaharga (P) dapat dipresentasikan ke dalam sistem persamaan linear berikut: Q = a1G + a2M P = b1G + b2M Koefisien-koefisien a1,a2,b1, dan b2 mengukur pengaruh kuantitatif kebijakan fiskal dan moneter terhadap produksi dan harga. Sistem persamaan tersebut dapat diubah ke dalam notasi matriks berikut:  Q =  a1 a2   G  P =  b1 b2   M  Dengan menggunakan Metoda Kramer dapat dibuktikan bahwa untuk mencapai Q = Q* dan P = P* maka kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang harus diambil adalah: (b2Q* - a2P*) (b2P* - a2Q*) G = M= (a1 b2 -b1 a2) (a1 b2 -b1 a2) Penyebut dari kedua persamaan di atas tidak lain adalah koefisien determinasi matriks di atas. Apabila koefisien determinasi suatu matriks sama dengan nol maka solusi kedua persamaan tidak dapat ditemukan kecuali salah satu sasaran dikorbankan. Koefisien determinasi yang sama dengan nol juga dapat diartikan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara masing-masing sasaran. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: Q = a1G + a2M P = gQ Persamaan kedua menunjukkan tingkat harga sepenuhnya ditentukan oleh tingkat produksi. Dengan mensubstitusikan persamaan pertama ke dalam persamaan kedua akan diperoleh: Q = a1G + a2M P = g a1G + g a2M Koefisien determinasi dari sistem persamaan di atas adalah: g a1 a2 -ga1 a2 =0. Jadi, dapat disimpulkan bahwa apabila kebijakan moneter dan fiskal hanya dapat mempengaruhi laju inflasi secara tidak langsung melalui pengaruh kedua kebijakan tersebut terhadap tingkat produksi maka sasaran produksi dan laju inflasi tidak mungkin dapat dicapai secara bersamaan. Kalau pun koefisien determinasi tidak sama dengan nol namun mendekati nol maka pencapaian kedua sasaran secara bersama-sama hanya dapat terjadi apabila masing-masing instrumen kebijakan berada jauh di atas/bawah tingkat normalnya. Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 59 UNDERLYING INFLATION SEBAGAI INDIKATOR HARGA YANG RELEVAN DENGAN KEBIJAKAN MONETER: Sebuah Tinjauan Untuk Indonesia Wijoyo Santoso dan Reza Anglingkusumo *) Untuk melihat keberhasilan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, indikator harga yang digunakan selama ini adalah indeks harga konsumen atau IHK karena indikator ini dapat tersedia lebih cepat dibandingkan indikator harga lainnya seperti indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan PDB deflator. Walaupun IHK merupakan pilihan terbaik saat ini sebagai indeks harga yang paling relevan untuk melihat efektivitas kebijakan moneter, namun IHK mengandung kelemahan yaitu noise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Beberapa unsur noise dalam IHK tersebut adalah faktor-faktor seperti kenaikan biaya input produksi (misalnya melalui pass through depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga komoditi input untuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kenaikan biaya distribusi domestik (second stage pass through dari depresiasi nilai tukar), kebijakan fiskal, faktor non-ekonomi (misalnya, kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa bumi, gejala El-Nino, dan kebakaran hutan), administered prices, dan ketidakseimbangan serta inefisiensi dalam struktur industri. Semua faktor-faktor ini tidak memiliki relevansi dengan kebijakan moneter. Oleh karena itu, telah dilakukan pengukuran underlying inflation yaitu laju inflasi yang diturunkan dari inflasi IHK dengan mengeluarkan unsur noise dalam keranjang IHK. Terdapat beberapa metode untuk membersihkan IHK dari faktorfaktor tersebut antara lain metode specific adjustment, adjustment by exclusion, dan pemangkasan (trimmed method). Dengan mengeluarkan unsur noise dalam inflasi IHK tersebut, yang tersisa adalah laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan kekuatan-kekuatan fundamental dari sisi permintaan seperti interaksi antara ekspektasi masyarakat, jumlah uang yang beredar, dan siklus penggunaan kapasitas produksi. Dengan demikian, underlying inflation dapat menjadi proxy untuk inflasi yang disebabkan oleh sisi permintaan yang secara teoritis dekat dan relevan dengan kebijakan moneter. Dalam kaitannya dengan penetapan laju inflasi sebagai target tunggal kebijakan moneter (inflation targeting), underlying inflation dapat berperan sebagai nominal anchor yang menjadi patokan bagi ekspektasi inflasi dan policy stance bank sentral yang kemudian diikuti oleh dunia usaha. Oleh karena itu, sebagaimana di beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Kanada yang sudah menggunakan underlying inflation sebagai sasaran tunggal (single target), Bank Indonesia seharusnya menggunakan underlying inflation sebagai indikator dalam rangka memonitor efektivitas kebijakan moneternya. Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran pada pembaca mengenai konsep dan pengukuran underlying inflation serta implikasinya terhadap kebijakan moneter dan kaitannya dengan penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakan moneter di Indonesia. Bagian pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang dilakukannya penelitian mengenai underlying inflation sebagai indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Bagian kedua akan menyediakan landasan konseptual penelitian indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Pada bagian ketiga akan diuraikan mengenai metode-metode pengukuran underlying inflation. Di bagian keempat akan dipaparkan mengenai hasil-hasil dari penelitian indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, khususnya yang berkaitan dengan underlying inflation. Selanjutnya di bagian kelima akan diulas mengenai berbagai pelajaran yang dapat ditarik dari eskalasi krisis moneter terhadap penggunaan inflasi IHK sebagai indikator harga untuk mengukur efektifitas kebijakan moneter. Akhirnya, bagian keenam akan menyimpulkan tulisan ini sekaligus menyampaikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penggunaan underlying inflation dalam skim inflation targeting. *) Wijoyo Santoso : Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, Email: [email protected] Reza Angingkusumo : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, Email: [email protected] Penulis mengucapkan terimakasih untuk diskusi dan komentar dari Hotbin Sigalingging, Kepala Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI, dan Noor Yudanto, Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI. 60 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Pendahuluan S eiring dengan semakin menyatunya perekonomian nasional ke dalam tatanan ekonomi dunia, maka iklim ketidakpastian yang menjadi ciri dalam dinamika perekonomian global pun harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Iklim ketidakpastian tersebut, terutama yang berkaitan dengan perubahan pada nilai tukar sebagian akan tercermin sebagai ketidakpastian perubahan harga-harga barang dalam masyarakat. Dalam jangka panjang, ketidakpastian harga akan menyulitkan pelaku ekonomi domestik maupun internasional untuk melakukan perencanaan kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusinya, sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dari sisi domestik, laju inflasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait yaitu ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi, jumlah likuiditas yang beredar dalam perekonomian, tingkat penggunaan kapasitas usaha, dan faktor musiman. Dalam kaitannya dengan nilai tukar, tekanan domestik pada inflasi dapat pula disebabkan oleh kenaikan biaya produksi dan distribusi domestik sebagai akibat dari depresiasi dan gejolak pada nilai tukar. Lebih dari itu, inefisiensi dan ketidakseimbangan pada struktur fundamental mikro-ekonomi, khususnya di sektor-sektor yang erat kaitannya dengan produksi dan distribusi, dapat memperdalam dan memperpanjang tekanan pada laju inflasi terutama jika terjadi gejolak berkelanjutan pada faktor eksternal (khususnya nilai tukar)1 . Semua hal diatas mencerminkan kompleksitas dalam pengendalian dan stabilisasi laju inflasi melalui kebijakan moneter yang menjadi tugas pokok Bank Indonesia. Inflasi ternyata bukan semata-mata disebabkan oleh jumlah uang beredar sebagaimana yang ditekankan oleh Nobelaurate Profesor Milton Friedman. Sehingga, secara teknis dalam hubungannya dengan kebijakan moneter, Bank Indonesia dituntut untuk mengidentifikasi suatu indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, yaitu indeks harga yang dapat dikendalikan melalui pengelolaan jumlah uang yang beredar. Indeks harga tersebut selanjutnya menjadi suatu patokan (anchor) dalam implementasi kebijakan moneter. Landasan Konseptual Sebagaimana telah disinggung diatas, kompleksitas pengendalian inflasi telah menyebabkan perlunya Bank Indonesia mengidentifikasi indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Secara teknis hal ini berarti mencari suatu indeks harga yang perilakunya secara statistik mencerminkan policy stance Bank Indonesia mengenai jumlah likuiditas moneter dalam perekonomian. Untuk itu, Bank Indonesia perlu untuk pertamatama melakukan pembedahan terhadap beberapa indikator harga agregat seperti inflasi IHK dan IHPB menjadi beberapa kelompok, untuk diuji secara statistik keterkaitan perilaku dinamis jangka pendek dan panjangnya (relevansinya) dengan kebijakan moneter. Oleh karena itu pada sub-pembahasan ini akan diuraikan mengenai landasan konseptual yang digunakan dalam desain penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Secara statistik, dalam hubungannya dengan kebijakan moneter untuk 1 Kesimpulan dari pertemuan ESCAP ke-32 di Bangkok, Thailand misalnya menyebutkan bahwa pendalaman krisis di Asia, khususnya Indonesia, terutama disebabkan oleh struktur sektor riil yang tidak seimbang dan inefisien. Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 61 pengendalian dan stabilisasi laju inflasi, dapat dilakukan pemilahan terhadap indikator inflasi agregat, seperti inflasi IHK dan IHPB, menjadi laju inflasi kelompok barang, misalnya kelompok makanan, sandang, perumahan, aneka barang, food & energy2 ,nonfood & non-energy3 , administered dan non-administered4 , traded dan non-traded5 , IHPB sektoral6 , IHPB ekspor7 , dan IHPB impor8 . Dengan melakukan pemilahan-pemilahan seperti ini, maka dapat dilakukan pengujian statistik yang lebih mendetil dan terfokus mengenai kaitan antara kebijakan pengendalian uang beredar dengan laju inflasi. Karena, bisa jadi perilaku indeks harga secara agregat, misalnya inflasi IHPB agregat, tidak mencerminkan stance kebijakan moneter, tetapi beberapa komponen sektoralnya seperti IHPB sektor industri, ekspor, dan pertanian mencerminkan. Selanjutnya, khusus untuk laju inflasi IHK, pemilahan dapat pula dilakukan atas sifat dari inflasi IHK, yaitu sifat permanen dan temporer. Secara lebih rinci, laju inflasi IHK yang bersifat permanen adalah laju inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan permintaan terhadap barang dan jasa (permintaan agregat) dalam perekonomian, sehingga walaupun inflatoir dapat menambah pada pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab perubahan laju inflasi yang bersifat permanen tersebut adalah interaksi antara ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi, jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, faktor siklus kegiatan usaha (misalnya tingkat penggunaan kapasitas produksi dan tingkat akumulasi cadangan produksi atau inventory), dan tekanan permintaan musiman (misalnya hari raya keagamaan, musim panen, dan dimulainya tahun ajaran baru). Komponen laju inflasi yang bersifat temporer dilain pihak, adalah komponen laju inflasi yang lebih disebabkan oleh adanya gangguan sesekali (one time shocks) pada laju inflasi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gejolak sementara tadi adalah kenaikan biaya input produksi dan distribusi (misalnya melalui depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga komoditi input untuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kebijakan fiskal, dan faktor non-ekonomi (seperti kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa bumi, dan kebakaran hutan). Sedikit catatan perlu disampaikan disini bahwa faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan tekanan inflatoir yang berkepanjangan jika terdapat struktur mikro fundamental yang tidak efisien dan tidak seimbang dalam perekonomian, khususnya struktur disektor produksi dan distribusi. Dalam hubungannya dengan kedua sifat dari inflasi IHK diatas, Bank Indonesia kemudian perlu untuk mengukur komposisi antara komponen laju inflasi yang bersifat 2 Laju inflasi food dan energy adalah laju inflasi barang-barang yang dikategorikan sebagai bahan pangan dan bahan bakar dalam keranjang IHK. 3 Laju inflasi non-food dan non-energy adalah laju inflasi barang-barang diluar bahan pangan dan bahan bakar. 4 Laju inflasi administered adalah laju inflasi barang-barang yang harganya ditetapkan (dipengaruhi) oleh pemerintah melalui subsidi (misalnya beras, gula pasir, dan minyak goreng), sedangkan non-administered adalah laju inflasi barangbarang yang harganya tidak ditetapkan (dipengaruhi) oleh pemerintah. 5 Laju inflasi traded adalah laju inflasi barang-barang yang diperdagangkan dengan luar negeri, sedangkan laju inflasi non-traded adalah laju inflasi barang-barang yang tidak diperdagangkan dengan luar negeri. 6 Laju inflasi IHPB sektoral adalah laju inflasi barang perdagangan besar menurut sektor usaha, misalnya pertanian, pengolahan, pertambangan, dan sebagainya. 7 Laju inflasi IHPB ekspor adalah laju inflasi barang perdagangan besar yang diekspor. 8 Laju inflasi IHPB impor adalah laju inflasi barang perdagangan besar yang diimpor. 62 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 permanen yang disebabkan oleh tekanan permintaan agregat dalam perekonomian dan yang bersifat temporer yang lebih disebabkan oleh one time events (gejolak temporer). Demikian halnya karena komponen laju inflasi yang permanen adalah komponen yang disebabkan oleh interaksi beberapa faktor yang diantaranya adalah jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Dalam hal ini, Roger (1995) telah berargumen bahwa laju inflasi yang permanen adalah laju inflasi yang relevan dengan kebijakan moneter. Dua alasan yang dikemukakan mengenai hal ini dirangkum oleh Claus (1997) yaitu: pertama, pada dasarnya pengendalian komponen laju inflasi yang temporer adalah diluar kemampuan otoritas moneter. Walaupun begitu, otoritas moneter dapat mengeluarkan kebijakan untuk meredam efek lanjutan (second round effect) dari gejolak temporer tersebut, yang akan tercermin dalam laju inflasi jangka menengah (medium term inflation) atau underlying inflation. Kedua, jika jelas bahwa gejolak inflasi lebih disebabkan oleh one-time events, maka semakin lemah argumen yang menyatakan bahwa perlu dikeluarkan kebijakan moneter untuk meredam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dalam jangka pendek guna menstabilkan gejolak pada inflasi. Untuk mengukur laju inflasi yang bersifat permanen diatas, telah dilakukan pengukuran terhadap laju underlying inflation Indonesia. Underlying inflation adalah laju inflasi yang mencerminkan kecenderungan fundamental pertumbuhan harga-harga agregat jangka menengah (medium term inflation). Underlying inflation berbeda dari laju inflasi aktual karena didalam keranjang pembentuknya telah dikeluarkan unsur noise (laju inflasi temporer). Akibat dari dikeluarkannya unsur noise tersebut diperoleh suatu ukuran inflasi yang merupakan sinyal dari tekanan kekuatan-kekuatan yang lebih fundamental dalam perekonomian, seperti ekspektasi, jumlah uang beredar, siklus penggunaan kapasitas produksi (output gap), dan faktor permintaan musiman. Selanjutnya, semua unsur dari tekanan fundamental ini ekuivalen dengan tekanan permintaan agregat dalam perekonomian, sehingga underlying inflation dapat pula didefinisikan sebagai laju inflasi dari sisi permintaan agregat. Metodologi Pengukuran Underlying Inflation Merujuk pada kajian-kajian akademis dan hasil studi banding di dua negara yaitu Australia dan Selandia Baru, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat dua metode dalam pengukuran underlying inflation, yaitu metode judgemental dan non-judgemental9 . Pengukuran dengan metode judgemental adalah pengukuran dengan mengeluarkan barang-barang dalam keranjang IHK yang inflasinya dinilai terlalu bergejolak (volatile), dipengaruhi oleh faktor musim geografis (seasonal), dan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Dalam diskusi dikalangan akademis maupun praktisi, terdapat dua teknik pengukuran dengan metode judgemental , yaitu teknik specific adjustment dan teknik adjustment by exclusion. Sedangkan untuk teknik non-judgemental digunakan teknik pemangkasan trimmed method, yang pada hakikatnya adalah minimisasi pengaruh noise pada series IHK dengan menggunakan suatu nilai kritikal tertentu yang selanjutnya hasil ukuran tersebut 9 Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-1995. RBNZ, September 10 Teknik ini lazim disebut sebagai limited influence estimator, dimana penilaian sepihak mengenai komponen mana yang harus dibuang dari IHK diminimisasi dengan menganggap setiap angka ekstrem (transitory outliers) sebagai gangguan (noise). Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 63 diuji integritasnya secara statistik10 . Teknik specific adjustment merujuk pada teknik pengukuran dengan mengeluarkan angka pada komponen-komponen IHK yang besar perubahannya pada satu waktu tertentu dinilai mengganggu judgement kebijakan moneter, dimana gangguan-gangguan tersebut dapat bersumber dari perubahan rate pajak terhadap harga barang maupun perubahan mendadak pada harga-harga bahan baku produksi (price shocks), harga enerji dan biaya transportasi, serta kenaikan harga karena kelangkaan pasokan (supply shortage). Secara umum metode ini dianggap cukup baik jika besaran (magnitude) dan rentang waktu (timing) dari kejutan-kejutan diatas dapat diidentifikasi dengan informasi yang ada. Masalah utama yang dihadapi jika underlying inflation diukur dengan teknik ini adalah adanya kesulitan untuk melakukan identifikasi sumber perubahan harga jika efek dari sumber perubahan tersebut bersifat tidak langsung. Sebagai contoh, besaran dan waktu dari perubahan harga barang-barang impor di dunia mungkin dengan mudah dapat diidentifikasi, akan tetapi besaran dan waktu dari kejadian tersebut hingga mempengaruhi harga-harga barang konsumsi didalam negeri masih perlu diidentifikasi dan diestimasi lebih lanjut. Hal ini berakibat perlunya untuk melakukan estimasi besarnya pengaruh dari kenaikan harga impor tersebut (pass-through) pada setiap komponen IHK yang dinilai akan terpengaruh. Teknik kedua dalam metode judgemental adalah adjustment by exclusion. Teknik ini membuang komponen tertentu dari indeks harga agregat yang perilakunya dinilai berbeda secara mendasar dari kecenderungan umumnya. Dengan membuang komponen-komponen tersebut, indeks yang dihasilkan dianggap sebagai indeks yang mencerminkan underlying inflation. Berbeda dari teknik specific adjustment, adjustment by exclusion tidak menetralisir pengaruh sumber perubahan harga yang ekstrem secara kasus-per-kasus, akan tetapi menghapus satu komponen tertentu dari indeks harga agregat. Penghapusan terhadap series komponen tersebut dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap pencaran (frequency distribution) dari perubahan harga-harga. Dengan penilaian-penilaian tersebut dilakukan identifikasi secara sepihak terhadap tingkat gejolak dari suatu komponen. Jika komponen tersebut dinilai sangat bergejolak sepanjang satu periode tertentu maka komponen tersebut akan dikeluarkan dari keranjang IHK. Masalah utama yang dihadapi dalam pengukuran dengan teknik ini adalah adanya kesulitan untuk menentukan tingkat gejolak, mengingat panjang pendeknya periode pengukuran akan mempengaruhi persepsi pengukur mengenai tingkat gejolak. Disamping kedua teknik judgmental diatas, ukuran underlying inflation dapat pula diperoleh dengan menggunakan metode non-judgemental yaitu teknik pemangkasan (trimmed method). Dengan teknik ini dilakukan pemangkasan terhadap keranjang IHK sehingga diperoleh suatu angka inflasi yang relatif bersih dari noise yang mengganggu judgement kebijakan. Pemangkasan dilakukan dengan berbagai nilai kritikal pemangkasan untuk memperoleh beberapa ukuran underlying inflation. Selanjutnya ukuran-ukuran tersebut dievaluasi dengan menggunakan berbagai konsep statistik inferensial, seperti standar deviasi dan autocorrelation, serta dilakukan pula uji sebab-akibat (Granger Causality Test) untuk memilih ukuran yang relatif paling bersih dari unsur noise . Secara formal dengan merujuk pada Bryan dan Cecchetti (1993) underlying inflation yang diukur dengan metode non-judgmental adalah minimalisasi dari unsur noise atau komponen non-permanen secara kuantitatif. Secara lebih spesifik, noise mengacu pada 64 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 gejolak tidak permanen (temporaray shocks) pada pergerakan harga-harga pembentuk indeks harga umum, yang tidak boleh sampai mempengaruhi judgement dari kebijakan moneter. Dampak dari noise adalah ketidakakuratan perubahan jangka pendek inflasi dalam mencerminkan perilaku kecenderungan jangka panjangnya. Mengingat sifatnya yang transitory, maka analisa terhadap dampak noise pada pengukuran underlying inflation menjadi sangat penting. Karena jika Bank Indonesia akan menjadikan inflasi sebagai target kebijakan moneter, maka diperlukan adanya suatu batasan-batasan (bands) target inflasi yang relatif bersih dari noise. Alasan lain adalah agar dapat dibuat suatu penafsiran yang reliable terhadap pergerakan laju inflasi medium term. Beberapa sumber dari noise yang diidentifikasi di beberapa negara yang menggunakan underlying inflation sebagai sasaran kebijakan moneter11 adalah: (1) Perubahan harga-harga yang hanya berlangsung pada musim-musim tertentu (seasonal), (2) Perubahan yang besar dan mendadak pada harga sumber daya secara luas (broadbased resource shock) yang disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dinamika dalam perdagangan internasional, dan atau kenaikan harga enerji, (3) Perubahan ‘rate’ pajak tak langsung (indirect tax-rate), dan (4) Penyesuaian-penyesuaian harga yang besar dan tak berkala yang dilakukan baik oleh sektor swasta maupun pemerintah. Secara konseptual dengan berasumsi bahwa setiap noise adalah transitory outliers12 yang tidak berpotensi untuk meninggalkan bekas permanen pada basic trend inflasi maka dengan membuang outliers akan diperoleh suatu ukuran harga yang yang mencerminkan kecenderungan jangka menengah dari perubahan harga-harga yang sebenarnya, atau underlying inflation13 . Di Australia misalnya, ditemui adanya sasaran inflasi jangka menengah (medium-term inflation target) yang diumumkan kepada masyarakat. Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Australia dengan the Reserve Bank of Australia (RBA) telah ditetapkan suatu kisaran medium-term inflation tersebut, yaitu sebesar 2-3%. Sasaran kisaran 2-3% ini diterjemahkan sebagai sasaran agar kecenderungan umum dari laju kenaikan harga-harga konsumen (broad central tendency for inflation), atau rata-rata kenaikan harga-harga konsumen sepanjang satu periode tertentu adalah sebesar 2-3%. Oleh karena itu, sasaran ini bukanlah sasaran angka inflasi jangka pendek yang harus dicapai, melainkan suatu sasaran yang akan mencerminkan kecenderungan angka inflasi yang secara material tidak mengganggu keputusan 11 Diskusi mengenai faktor noise dapat dilihat pada Reserve Bank of Australia Bulletin 1994,;Measuring Underlying Inflation, Agustus; dan Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G. 1993, Measuring Core Inflation, Federal Reserve Bank of Cleveland, Working Paper # 9304, June; serta Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-1995. RBNZ, September. 12 Transitory outliers dalam hal ini didefinisikan sebagai gejala ekstrem yang berlangsung tidak terlalu lama dan tidak secara permanen merubah kecenderungan jangka panjang harga walaupun gejala tersebut berukuran besar . Bryan dan Cecchetti melihat bahwa komponen-komponen transitory ini harus dikeluarkan dari pengukuran underlying inflation sehingga diperoleh suatu angka laju inflasi yang hanya mencerminkan perilaku komponen-komponen yang persistent dan permanent. Selanjutnya dengan berasumsi bahwa velocity of money selalu konstan maka angka laju inflasi yang bersih dari komponen transitory tersebut adalah ukuran dari inflasi moneter (monetary inflation) ( Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G. 1993, Measuring Core Inflation, Federal Reserve Bank of Cleveland, Working Paper # 9304, June. 13 Beberapa istilah telah dipergunakan untuk menjelaskan konsep kecenderungan dalam definisi underlying rates of inflation ini. Inggris dan Australia menyebut kecenderungan “riil” ini sebagai medium term rates of inflation. Selandia Baru menyebutnya sebagai kecenderungan utama jangka panjang (long run central tendency of inflation). Kanada menggunakan istilah trend dasar dari harga-harga agregat (basic trend of aggregate prices) Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 65 keuangan dari dunia usaha dan rumah tangga konsumen (household consumers). Di Australia, kisaran angka sasaran medium-term inflation tersebut dikenal dengan sebutan the Treasury Underlying Rate (Australian Bureau of Statistics) atau Underlying CPI yang ditetapkan oleh RBA, dan oleh kalangan dunia usaha dilihat sebagai sasaran inflasi bank sentral (the RBA inflation target). Perilaku dari angka underlying inflation ini sejak dikeluarkannya lima tahun yang lalu telah berperan sebagai anchor bagi inflation expectations di Australia yang juga merupakan indikator awal dari perilaku inflasi jangka pendek dimasa datang (predictor of short-run future course of inflation)14 . Disamping itu, penetapan sasaran underlying inflation diatas juga digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan moneter yang forward-looking. Instrumen kebijakan moneter akan disesuaikan untuk menjaga agar proyeksi medium-term inflasi RBA tetap pada kisaran 2-3%. RBA melakukan pengetatan moneter sebelum adanya kenaikan inflasi diatas 3% dan tekanan kebijakan tidak akan dikurangi sebelum angka medium term tersebut berada dibawah 3%. Jika terjadi perubahan laju inflasi jangka menengah yang tidak diantisipasi sebelumnya, RBA akan melakukan penyesuaian kebijakan untuk menurunkan angka tersebut secepatnya tergantung dari penyebabnya. Dengan kata lain RBA tidak akan membiarkan perubahan pada komponen persistent dalam inflasi untuk secara permanen tercermin dalam laju perubahan harga-harga. Di Selandia Baru salah satu elemen penting dalam mekanisme kerja Bank Sentralnya adalah terikatnya perilaku kebijakan dari The Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) terhadap kewajiban untuk secara berkala memberi laporan kepada khalayak tentang progress dari pelaksanaan the Policy Targets Agreement (PTA). Kesepakatan dalam PTA ini memberi arah bagi RBNZ dalam kegiatannya untuk menjaga stabilitas harga-harga umum agar tetap dalam target bands yang telah disepakati bersama dengan Kementerian Keuangan Selandia Baru, yaitu pada kisaran pertumbuhan CPI tahunan sebesar 0% - 2%. Dengan kisaran target bands tersebut RBNZ bertanggung jawab atas kebijakan moneter yang diarahkan untuk menahan agar perubahan harga temporer tidak meninggalkan bekas permanen pada trend jangka panjang inflasi. Untuk itu PTA memberi suatu petunjuk mengenai kondisikondisi prinsip yang dikategorikan sebagai temporary disturbances dan dapat menjadi escape clause RBNZ dalam merumuskan kebijakan moneter untuk sasaran pengendalian hargaharga15 . Hal-hal tersebut adalah: (1) Adanya perubahan tingkat suku bunga yang secara mendasar dapat menyebabkan penyimpangan trend jangka panjang Consumer Price Index (CPI) yang mengeluarkan komponen suku bunga (CPI excl. interest components); (2) Adanya perubahan mendasar yang terjadi hanya sekali (once-off) pada tingkat harga-harga umum yang dapat mempengaruhi trend jangka panjangnya yang dapat terjadi karena perubahan terms of trade, perubahan sistem tarif dan pungutan pemerintah, dan perubahan tarif pajak; dan (3) Adanya perubahan mendasar yang terjadi hanya sekali (once-off) pada perubahan harga relatif (relative price changes); serta, (4) Bencana alam dan serangan hama dan penyakit pada tanaman pangan dan peternakan. 14 Mengenai hal ini Gubernur Ian MacFarland dari RBA menyebutkan bahwa kinerja dari the underlying CPI, yang disusun oleh the Australian Bureau of Statistics dan RBA sebagai rujukan (anchor) secara konsisten berada dalam target kisaran 2% - 3% dan telah menolong dalam mempersempit spread antara yields obligasi jangka panjang di Australia dan jenis obligasi yang sama di negara-negara lain. 15 Kondisi-kondisi prinsip yang dilaporkan dalam makalah ini sesuai dengan the Policy Targets Agreement of 19 December, 1992 yang tercantum menggantikan section 9(4) dari The Reserve Bank of New Zealand Act tahun 1989. 66 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Pengukuran underlying inflation secara non-judgemental di Australia mengacu pada metodologi pemangkasan sebagaimana yang telah disinggung terdahulu. Metode yang demikian ini ditempuh dengan asumsi bahwa angka underlying inflation yang ideal untuk kebijakan moneter adalah angka yang menangkap kecenderungan siklikal dan trend dari tingkat harga umum. Oleh karena itu unsur volatilitas, musiman, dan policy disturbances harus dikeluarkan dari pengukuran inflasi. Metode pemangkasan ini digunakan juga di Selandia Baru untuk mengukur underlying inflation di negara tersebut. Di Indonesia, pengukuran underlying inflation dilakukan dengan pemangkasan terhadap data IHK-Indonesia yang melibatkan series IHK bulanan dari bulan Mei 1990 sampai dengan bulan Mei 1998. Langkah-langkah dalam prosedur pemangkasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan series bulanan indeks IHK untuk setiap barang. Series ini diolah oleh Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (SRKP), Urusan Statistik Ekonomi dan Moneter (USEM) Bank Indonesia. Dari data yang tersedia diperoleh suatu periode pengukuran, yaitu dari bulan Mei 1990 sampai dengan bulan Mei 1998.16 Untuk setiap bulan observasi, seluruh komoditi yang dipakai dalam menghitung IHK berikut bobotnya masing-masing (sesuai dengan bobot yang dihitung oleh Bagian SRKP, USEM, Bank Indonesia) digunakan dalam pengukuran. Total keseluruhan komoditi tersebut berjumlah 337 komoditi. 2. Selanjutnya dihitung laju inflasi dari setiap barang dan dilakukan perhitungan inflasi terbobot bulanannya. 3. Dilakukan pensortiran laju inflasi bulanan terbobot untuk setiap barang sehingga data berurutan dari yang terbesar ke terkecil. 4. Berdasarkan urutan yang tercipta dilakukan pemangkasan pada angka-angka ekstrem teratas dan terbawah dengan menggunakan beberapa nilai kritikal, yaitu 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50%. 5. Ukuran-ukuran yang diperoleh kemudian diuji tingkat kebersihannya dari unsur noise dengan menguji hubungan sebab akibat antara inflasi barang-barang yang terpangkas terhadap inflasi yang sudah terpangkas. Ukuran dianggap bersih dari noise jika inflasi barang-barang yang terpangkas tidak menyebabkan inflasi barang-barang yang sudah terpangkas. 6. Akhirnya, dari ukuran-ukuran yang telah diseleksi diatas dicari lagi ukuran yang memiliki gejolak terendah (standard deviation terendah) tapi memiliki kadar informasi tertinggi (autocorrelation tertinggi). Grafik 1 menggambarkan laju inflasi underlying inflation yang diukur dengan metode pemangkasan diatas dibandingkan dengan laju inflasi IHK. Dari hasil perhitungan, secara historis komponen permanen dari inflasi IHK secara rata-rata tidaklah lebih dari 20-30% dari total IHK. Ini memberi implikasi bahwa secara rata-rata paling sedikit 70-80% dari laju inflasi IHK disebabkan oleh noise (komponen tidak permanen). Bagi pelaksanaan 16 Untuk saat ini angka underlying inflation bulan April dan Mei 1998 masih merupakan angka sementara yang dipangkas berdasarkan 30 sub-kelompok barang dalam IHK. 67 Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter Grafik 1. Laju Inflasi IHK, Underlying Inflation, dan Noise Inflasi IHK, Underlying Inflation (% bulanan) NOISE (% bulanan) 14 7.00 12 6.00 10 5.00 8 4.00 6 3.00 LAJU INFLASI IHK 4 2.00 UNDERLYING INFLATION NOISE -2 Apr-98 May-98 Mar-98 Jan-98 Feb-98 Dec-97 Oct-97 Nov-97 Sep-97 Jul-97 Aug-97 Jun-97 May-97 Apr-97 Mar-97 Jan-97 Feb-97 Dec-96 Oct-96 Nov-96 Sep-96 Jul-96 Aug-96 Jun-96 Apr-96 May-96 0.00 Mar-96 0 Feb-96 1.00 Jan-96 2 -1.00 kebijakan moneter hal ini berarti pula bahwa terdapat setidaknya 70% dari laju inflasi IHK yang tidak relevan dengan kebijakan moneter. Demikian halnya karena sebagian besar dari laju inflasi IHK tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang berada diluar jangkauan kebijakan moneter, misalnya kenaikan harga barang-barang impor baik karena depresiasi nilai tukar maupun karena dinamika dalam perdagangan dunia, kenaikan harga enerji serta biaya transportasi yang menyertainya, gejolak musim geografis, kenaikan harga barang input domestik, dan kelangkaan pasokan barang karena faktor-faktor non-ekonomis. Walaupun demikian pendapat bahwa hanya 20-30% dari komponen inflasi IHK yang relevan dengan kebijakan moneter masih perlu dibuktikan secara statistik. Oleh karena itu, dalam sub-pembahasan berikut akan dipaparkan hasil dari penelitian indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Hasil Penelitian Sebelum lebih jauh mengulas mengenai hasil penelitian ini, maka terlebih dahulu akan disampaikan secara sekilas mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam garis besarnya, penelitian dilakukan dengan melakukan uji kedekatan hubungan statistik antara inflasi agregat berikut komponen-komponennya dengan besaran-besaran moneter. Inflasi agregat yang diteliti adalah laju inflasi IHK , laju inflasi IHPB , dan PDB deflator, sedangkan komponen inflasi yang diuji adalah kelompok makanan, sandang, perumahan, aneka barang, food & energy ,non-food & non-energy,administered dan non-administered , traded dan non-traded , IHPB sektoral , IHPB ekspor , dan IHPB impor . Telaah yang lebih khusus 68 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 dilakukan terhadap underlying inflation yang merupakan komponen permanen dalam inflasi IHK guna menampilkan relevansi indikator harga ini dengan kebijakan moneter. Untuk melakukan uji kedekatan diatas beberapa teknik analisa statistik telah digunakan secara simultan dan berurutan. Analisa dilakukan dengan melibatkan data tahunan untuk melihat hubungan jangka panjang, dan data bulanan untuk melihat hubungan jangka pendek. Teknik pertama yang digunakan adalah uji korelasi sederhana17 , yaitu suatu uji statistik yang melihat kedekatan awal dan arah antara variabel-variabel yang diuji, misalnya inflasi kelompok makanan dengan pertumbuhan M0, inflasi kelompok sandang dengan pertumbuhan M2, dan seterusnya. Berdasarkan hasil uji korelasi sederhana tersebut dilakukan uji struktur lag18 untuk melihat secara historis lamanya suatu variabel berpengaruh terhadap variabel yang lainnya, misalnya menguji sampai berapa bulan pertumbuhan M0 mempengaruhi laju inflasi IHK, berapa lama pertumbuhan M2 akan tercermin pada laju inflasi IHPB, dan seterusnya. Setelah itu, dilakukan analisa hubungan sebab akibat19 antara dua variabel, untuk melihat variabel mana yang menjadi penyebab diantara dua variabel yang diuji, misalnya apakah pertumbuhan M2 menyebabkan inflasi kelompok food & energy, atau sebaliknya. Kemudian, setelah arah hubungan diketahui, dilakukan uji kekuatan transmisi20 untuk melihat seberapa lama kekuatan pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya untuk jangka waktu kedepan, misalnya selama berapa bulan kedepan kebijakan meningkatkan jumlah M0 yang beredar akan mempengaruhi laju inflasi IHK. Akhirnya, setelah kekuatan transmisi diketahui dilakukan taksiran kedekatan hubungan dengan menggunakan suatu persamaan statistik sehingga diperoleh derajat kekuatan hubungan antara variabel-variabel yang independen dengan variabel yang dependen21 . Sebagai misal, disusun suatu persamaan bahwa laju underlying inflation ditentukan oleh ekspektasi, pertumbuhan M0, pertumbuhan M1, pertumbuhan M2, dan output gap22 , maka derajat kepekaan akan diukur dari tingkat signifikansi23 dari variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi underlying inflation. Berdasarkan metodologi diatas diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan jumlah uang kertas dan logam yang beredar di masyarakat (M0), indikator harga yang paling relevan dan dapat dijadikan anchor adalah laju inflasi IHK agregat dan laju inflasi kelompok food & energy dalam keranjang IHK . 2. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan jumlah uang giral yang diciptakan oleh 17 Uji korelasi sederhana dilakukan dengan membuat simple correlation matrix yang melibatkan semua variabel yang diuji dalam penelitian. 18 Uji struktur lag dilakukan dengan melakukan analisa cross correlogram terhadap semua variabel yang diuji dalam penelitian. 19 Uji hubungan sebab akibat dilakukan dengan melakukan Granger Causality Test terhadap semua variabel yang diuji dalam penelitian. 20 Uji kekuatan transmisi dilakukan dengan melakukan analisa Variance Decomposition berdasarkan hasil uji sebab akibat. 21 Taksiran kedekatan statistik dilakukan dengan membuat model persamaan polynomial distributed lag dan model structural dynamics. 22 Output gap ditaksir dengan melakukan Hodrick-Prescott filtering terhadap series PDB kuartalan deseasonalized yang diinterpolasi menjadi data bulanan. 23 Tingkat signifikasi yang mencerminkan tingkat kedekatan diukur dengan ranking t-statistics dari setiap independen variabel yang terlibat dalam pengujian. Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 69 sistem perbankan ditambah dengan uang kertas dan uang logam yang beredar diluar Bank Indonesia (M1), indikator harga yang paling relevan dan dapat dijadikan anchor adalah PDB deflator. 3. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan M2, yaitu total jumlah M1 ditambah uang kuasi (tabungan dan deposito) di sistem perbankan, indikator harga yang paling relevan dan dapat dijadikan anchor adalah laju inflasi kelompok non-administered, nontraded, IHPB agregat dan underlying inflation. 4. Khusus untuk underlying inflation yang merupakan komponen IHK yang permanen dan mencerminkan inflasi dari sisi permintaan agregat, terdapat indikasi statistik yang cukup kuat bahwa interaksi simultan antara ekspektasi masyarakat terhadap besarnya noise dalam inflasi, jumlah uang yang beredar, siklus penggunaan kapasitas produksi (output gap), dan tekanan permintaan musiman adalah faktor yang mempengaruhi dinamika underlying inflation terutama dalam kaitannya dengan ekskalasi krisis moneter. 5. Unsur noise dalam inflasi IHK banyak ditentukan oleh faktor gejolak pada nilai tukar (first stage pass through), kenaikan biaya produksi dan distribusi domestik (second stage pass through), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kelangkaan barang pasokan (supply shortage), dan faktor musim geografis, sehingga tidak relevan dengan kebijakan moneter. Disamping itu, terdapat indikasi kuat bahwa unsur noise ditengah krisis moneter dapat menyebabkan perubahan struktural pada perilaku jangka panjang inflasi IHK yang juga berarti bahwa terdapat perubahan struktural yang cukup berarti di sisi penawaran dalam perekonomian sebagai akibat dari krisis moneter. Underlying inflation dilain pihak, mempunyai kecenderungan untuk tetap pada perilaku jangka panjangnya dimasa pra-krisis24 Beberapa catatan tambahan dapat disampaikan disini, yaitu: 1.Walaupun laju inflasi IHPB dan PDB deflator termasuk dalam indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter, akan tetapi mengingat ketersediaan data untuk menyusun kedua indikator ini sangatlah lambat, maka kegunaannya sebagai anchor kebijakan moneter menjadi tidak ada. 2. Laju inflasi food & energy walaupun dekat dengan pertumbuhan uang kertas dan logam yang beredar, tapi secara historis dinamika indikator ini cukup sarat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi noise dalam IHK, sehingga cukup besar kemungkinan bahwa indikator ini dapat mengganggu judgement kebijakan jika digunakan sebagai anchor. 3. Secara historis barang-barang yang membentuk underlying inflation sebagian besar juga dapat dikategorikan dalam kelompok inflasi non-administered dan non-traded. Oleh karena itu bagi kebijakan moneter, tampaknya underlying inflation adalah suatu indikator harga yang lebih komprehensif dalam fungsinya sebagai anchor. Beberapa Pelajaran dari Krisis Moneter Sebagaimana telah disinggung diatas, salah satu sasaran akhir dari kebijakan moneter adalah pengendalian inflasi yang dilakukan melalui pengelolaan jumlah uang beredar 24 Hasil penelitian dapat dilihat di Lampiran 2. 70 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 secara hati-hati. Akan tetapi dengan terjebaknya perekonomian nasional kedalam krisis nilai tukar, perekonomian nasional kemudian memasuki krisis makro-moneter yang saat ini telah memasuki periode krisis (resesi) ekonomi makro yang dalam dan cukup berat, yang antara lain ditandai oleh terus melemahnya nilai tukar rupiah dan tingginya ekspektasi laju inflasi. Dengan sedikit menengok ke belakang ke periode awal dari krisis moneter yaitu pada semester II / 1997, maka dapat dilihat bahwa seiring dengan adanya contagion effect dan krisis kepercayaan terhadap sustainability makro-fundamental perekonomian nasional, telah terjadi sudden capital outflows yang menekan nilai tukar Rp/USD. Dengan depresiasi yang kuat pada nilai tukar tersebut, telah berkembang suatu iklim ketidakpastian usaha di sektor riil. Para pengusaha mengalami kesulitan untuk menetapkan anggaran usahanya dan ini berpengaruh pada keputusan-keputusan usaha yang berkaitan dengan produksi dan distribusi. Implikasi langsung dari fenomena ini terhadap laju inflasi, adalah meningkatnya unsur noise dalam laju inflasi IHK melalui: (i) dampak depresiasi nilai tukar ke harga-harga (first stage pass through); (ii) penurunan pasokan barang-barang dalam perekonomian baik karena menurunnya jumlah barang-barang hasil produksi secara agregat; maupun oleh (iii) adjustment di sektor distribusi barang-barang karena penurunan pasokan barang kemudian menekan laba sebelum pajak para distributor, yang selanjutnya diterjemahkan menjadi meningkatnya biaya operasi per unit dan harga barang per-unit (second stage pass through). Seiring dengan tekanan yang berasal dari depresiasi nilai tukar di atas, pada semester II/1997 juga diimplementasikan pencabutan subsidi bahan-bahan pokok diluar beras melalui BULOG yang mengakibatkan tekanan inflatoir pada komoditi-komoditi seperti gula pasir, minyak goreng, dan tepung terigu. Kemudian menjelang triwulan I / 1998 tekanan pada harga-harga ditambah lagi oleh datangnya faktor tekanan permintaan musiman seperti Hari Raya Natal dan Bulan Ramadhan. Bersamaan dengan tekanan yang terjadi di sektor riil diatas, terjadi krisis kepercayaan terhadap sistem perbankan nasional sebagai akibat dari diimplementasikannya nota kesepakatan pertama dengan IMF mengenai restrukturisasi sistem perbankan melalui kebijakan likuidasi 16 bank. Dampak dari kebijakan likuidasi ini adalah terjadinya krisis kepercayaan terhadap sistem perbankan nasional yang diikuti oleh fenomena bank run dimana masyarakat menarik dana simpanannya dari sistem perbankan. Dana yang ditarik tersebut kemudian sebagian dialihkan menjadi simpanan berdenominasi USD (flighttocurrency) dan atau simpanan di bankbank asing (flighttoquality), dan sebagian lainnya dikonsumsi untuk mengantisipasi kenaikan pada harga-harga sebagaimana yang terjadi di triwulan I/ 1998. Implikasi dari hal-hal tersebut adalah tekanan domestik pada nilai tukar Rp/USD, dimana permintaan terhadap mata uang USD terus meningkat, sementara itu pasokan USD cenderung berkurang sebagai akibat dari semakin dekatnya saat pembayaran utang luar negeri swasta yang jatuh tempo. Tekanan pada nilai tukar tersebut selanjutnya menambah pada iklim ketidakpastian usaha di triwulan I / 1998 yang sudah semakin terakumulasi semenjak triwulan IV / 1997. Excessive depreciation nilai tukar Rp/USD dan meningkatnya iklim ketidakpastian usaha yang di akibatkannya di awal triwulan I / 1998 diatas telah menyebabkan semakin meningkatnya komponen biaya input dalam struktur biaya produksi nasional dan menurunnya minat produksi pada industri-industri di sektor riil. Hal ini kemudian memukul laba dari sektor-sektor yang berkaitan dengan distribusi sejalan dengan Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 71 Grafik 2. Inflasi IHK, Underlying Inflation,Noise, dan Proporsi Underlying Inflation (dalam % bulanan) Laju Inflasi IHK, Underlying Inflation, dan Porsi Underlying Inflation (% Bulanan) Noise (% Bulanan) 14 7.00 12 6.00 10 5.00 8 4.00 LAJU INFLASI IHK UNDERLYING INFLATION 6 3.00 NOISE PORSI BULANAN UNDERLYING INFLATION -2 Apr-98 May-98 Mar-98 Jan-98 Feb-98 Dec-97 Oct-97 Nov-97 Sep-97 Jul-97 Aug-97 Jun-97 Apr-97 May-97 Mar-97 Feb-97 Jan-97 Dec-96 Oct-96 Nov-96 Sep-96 Jul-96 Aug-96 Jun-96 0.00 Apr-96 0 May-96 1.00 Mar-96 2 Jan-96 2.00 Feb-96 4 -1.00 meningkatnya biaya operasional yang dikarenakan oleh berkurangnya pasokan barangbarang. Perkembangan yang terjadi pada sisi produksi dan distribusi tersebut, selanjutnya menyebabkan meningkatnya porsi noise dalam inflasi IHK. Menilik beberapa fakta mengenai inflasi IHK, komponen permanen, dan noise-nya menunjukkan bahwa inflasi IHK sampai dengan bulan Mei tahun kalender 1998 telah mencapai kumulatif bulanan sebesar 35.44%, sedangkan underlying inflation (inflasi sisi permintaan) mencapai sekitar 13.64%, dan unsur noise melaju sebesar 21.80% (Grafik 2)25 . Jika dilihat dari porsinya terhadap inflasi IHK, porsi underlying inflation telah mengalami penurunan yang cukup tajam dari 48% di bulan Januari menjadi 25% di bulan Mei 1998, sedangkan porsi noise meningkat dari 52% di bulan Januari menjadi 75% (Grafik 2). Selanjutnya, dari sisi kecenderungan jangka pendeknya, inflasi IHK masih menunjukkan kecenderungan untuk tetap tinggi dan belum stabil. Hal ini terutama disebabkan oleh perilaku noise yang masih bergejolak pada laju yang tinggi (Grafik 2). Beberapa sub-komoditi dalam laju inflasi IHK yang menyumbang pada perilaku noise tersebut adalah kelompok komoditi: 1. Minuman non alkohol 2. Tembakau dan minuman beralkohol 25 Angka-angka ini adalah angka sum cummulative yang menjumlah laju inflasi bulanan dari bulan Januari sampai dengan Mei 1998. 72 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 3. Lemak dan minyak 4. Sayur-sayuran 5. Padi-padian, Umbi-umbian dan hasil-hasilnya 6. Makanan Jadi 7. Biaya tempat tinggal 8. Bahan bakar, penerangan, dan air 9. Transportasi Dilain pihak, perilaku underlying inflation terlihat cenderung menurun dan akan kembali pada stabilitas jangka pendeknya ketika sebelum krisis moneter. Walaupun demikian, masih terdapat indikasi adanya tekanan dari sisi permintaan agregat yang cukup persistent, yang ditunjukkan oleh angka underlying inflation yang masih tinggi yaitu 1.65% di bulan April dan 1.29% di bulan Mei 1998 (Grafik 2). Beberapa hipotesa yang diajukan dalam kaitannya dengan perilaku noise dan underlying inflation diatas adalah bahwa peningkatan yang terjadi pada porsi noise disebabkan oleh paling tidak empat hal yang saling berkaitan. • Pertama adalah feed-through dari kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik secara langsung ke komponen BBM, Penerangan, dan Listrik yang secara tertimbang merupakan 5.14% dari total inflasi IHK, dan secara tidak langsung ke harga-harga jasa transportasi yang secara tertimbang membentuk 9.75% dari total inflasi IHK. Feed-through ini menyebabkan semakin tingginya biaya produksi dan distribusi barang-barang pasokan yang kemudian tercermin dalam laju inflasi. • Kedua adalah second stage pass-through dari depresiasi dan gejolak nilai tukar yang terjadi Grafik 3. Kecenderungan IHPB(3 Months Moving Average) 60 50 IHPB-IMPOR 40 IHPB INDUSTRI IHPB UMUM 30 20 10 0 Nov-97 Dec-97 Jan-98 Feb-98 Mar-98 Apr-98 Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 73 pada sisi distribusi. Sebagaimana telah diyakini, sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan menurunnya kredibilitas instrumen pembayaran luar negeri Indonesia, maka telah terjadi peningkatan biaya akuisisi barang input produksi maupun barang impor siap jual over-thedock (sampai di pelabuhan bongkar muat). Peningkatan biaya akuisisi over-the-dock tersebut jika ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan biaya transportasi, akan diterjemahkan sebagai meningkatnya biaya persediaan (inventory) per unit pada kegiatan di sisi produksi dan total biaya operasi domestik di sisi distribusi (domestic wholesaler’s dan retailer’s cost). Efek bersih dari meningkatnya biaya inventory dan operasional tersebut adalah meningkatnya harga jual produsen dan mark-up distributor yang kemudian tercermin dalam laju inflasi. Peningkatan yang terjadi pada harga jual produsen dan mark-up distributor tersebut selanjutnya dapat dilihat pada kecenderungan perubahan harga-harga perdagangan besar (IHPB) yang masih meningkat, khususnya untuk IHPB di sektor industri, sebagaimana yang dapat dicermati pada Grafik 3. • Ketiga adalah terganggunya kelancaran distribusi barang-barang pasokan sebagai akibat dari kerusuhan yang terjadi di beberapa kota dagang utama di Pulau Jawa dan Sumatera. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada bulan April dan Mei 1998 tersebut telah menyebabkan rusaknya jaringan distribusi, baik itu dalam bentuk kerusakan infrastruktur maupun berkurangnya sumber-daya kewirausahaan di sektor distribusi. Data rekapitulasi kerusakan di lima kota besar yang dilanda kerusuhan terhebat, yaitu: Jakarta, Surakarta, Lampung, Medan, dan Palembang menunjukkan bahwa secara total terdapat sekurangnya 7300 tempat usaha yang dirusak oleh para perusuh dan penjarah. Tempat-tempat usaha tersebut merupakan infrastruktur yang penting bagi kelancaran distribusi, seperti shopping center, toko-toko retail, rumah toko, dan pasar swalayan. Dari sisi sumber daya manusia, media masa telah melansir bahwa disaat terjadi kerusuhan dan beberapa hari sesudahnya, sudah sekitar 10,000 orang WNI keturunan Cina yang sebagian besar adalah wirausahawan yang berbisnis di sektor perdagangan dan jasa pergi meninggalkan Indonesia. Kiranya dapat diperkirakan bahwa trauma psikologis yang ditimbulkan oleh kerusuhan akan cenderung menurunkan minat para wirausahawan tersebut untuk kembali berusaha di Indonesia. Arus eksodus dan kerusakan pada infrastruktur distribusi diatas telah menyebabkan berkurangnya kelancaran pasokan barang-barang hasil produksi di kota-kota yang dilanda kerusuhan. Hal ini berakibat pada peningkatan laju inflasi IHK, khususnya noise inflation. Selanjutnya, karena bobot dari kota-kota utama tersebut dalam perhitungan inflasi nasional cukup besar, yaitu kurang lebih 47% dari total inflasi IHK nasional, maka noise yang terjadi di kota-kota tersebut akan secara signifikan mempengaruhi perhitungan inflasi secara nasional. • Akhirnya, hal keempat yang menyumbang pada noise inflation adalah adanya ekspektasi pengusaha bahwa perekonomian nasional akan diwarnai oleh penurunan permintaan secara agregat. Ini dapat dilihat dari hasil saldo bersih tertimbang Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) di Triwulan I / 1998 yang menunjukkan melemahnya persepsi pengusaha terhadap masa depan perekonomian (Grafik 4). • Seiring dengan melemahnya persepsi pengusaha tersebut, terdapat indikasi bahwa untuk menjamin laba perusahaan tidak akan terpukul oleh krisis moneter, maka kebijakan kenaikan harga yang diiringi oleh pengurangan biaya produksi melalui pengurangan output dan variable cost (biaya buruh) melalui PHK, adalah langkah yang akan banyak dilakukan oleh pengusaha untuk mengambil pendapatan marjinal (marginal revenue) yang seoptimal mungkin sebelum produksi harus secara permanen dikurangi atau dihentikan sama sekali. Dapat 74 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Grafik 4. Saldo Bersih Tertimbang Hasil SKDU 30 20 10 0 TW1/97 TW2/97 TW3/97 TW4/97 TW1/98 -10 -20 -30 -40 Grafik 5. Hasil SKDU Mengenai Kebijakan Pengusaha di Sisi Harga, Produksi, dan Variable Cost Menurut Sektor (Saldo Bersih26 ) 140 120 100 80 60 40 20 0 Pertanian Menaikkan Harga Pengolahan Menurunkan Produksi Bangunan Perdagangan Menurunkan Jumlah Pegawai 26 Saldo bersih yang positif berarti jumlah pengusaha yang menjawab bahwa harga jual akan dinaikkan, produksi akan diturunkan, dan PHK akan dilanjutkan lebih banyak dari pada yang menjawab sebaliknya. Khusus untuk sektor bangunan dan perdangan saldo bersih jumlah perusahaan yang menyatakan akan menurunkan produksi diambil dari saldo bersih jumlah perusahaan yang menyatakan bahwa barang hasil produksinya tidak laku terjual. Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 75 dilihat pada Grafik 5 dibawah bahwa di Triwulan I / 1998 secara net jumlah pengusaha yang menyatakan akan meningkatkan harga jual, menurunkan produksi, dan menurunkan jumlah pegawai telah meningkat diatas jumlah pengusaha yang menyatakan sebaliknya. Berdasarkan pengamatan diatas terlihat bahwa dalam periode eskalasi krisis moneter, yaitu dari bulan Januari sampai Mei 1998 faktor-faktor yang menjadi penyebab gejolak temporer pada inflasi (noise) adalah faktor-faktor yang dominan berpengaruh pada laju inflasi IHK. Pada sisi underlying inflation dilain pihak terdapat indikasi kuantitatif yang cukup kuat yang menunjukkan bahwa meningkatnya porsi underlying inflation di bulan Januari dan Februari 1998 adalah sepenuhnya karena faktor ekspektasi yang disambut oleh ekses likuiditas dalam perekonomian. Dalam hal ini meningkatnya permintaan dalam masyarakat adalah karena konsumen melihat besarnya unsur noise dalam inflasi IHK yang selanjutnya diterjemahkan menjadi rush buying untuk melindungi ekses likuiditas yang ada ditangan mereka setelah terjadi bank run. Oleh karena itu, meningkatnya underlying inflation sebenarnya tidak akan material bila di tidak terdapat ekses likuiditas dan di sisi produksi dan distribusi tidak terdapat banyak sinyal-sinyal noise seperti kelangkaan pasokan barang-barang (supply shortage) dan meningkatnya harga jual di tingkat distributor (second stage pass through)27 . Ketika ekses likuiditas dapat diserap kembali ke dalam sistem moneter, maka sinyal-sinyal noise yang pada hakekatnya sudah berkepanjangan, walaupun meningkatkan ekspektasi inflasi tetap tumpul sebagai pemicu meningkatnya underlying inflation. Akhirnya, berdasarkan kejadian-kejadian diatas dapat ditarik suatu benang merah bahwa dalam kaitannya dengan kebijakan moneter, maka dengan terekskalasinya krisis moneter, dapat dikatakan bahwa laju inflasi IHK cenderung menjadi anchor yang kurang baik bagi kebijakan visavis underlying inflation. Selanjutnya dalam kaitannya dengan noise dalam inflasi IHK, stabilisasi unsur noise tersebut secara teoritis berada diluar jangkauan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, apalagi setelah dikeluarkannya kebijakan sistem nilai tukar freely floating. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan untuk menurunkan inflasi dalam krisis moneter harus dilakukan dari berbagai arah, yaitu: (a) menyerap kelebihan likuiditas dalam masyarakat melalui kebijakan suku bunga untuk menahan underlying inflation agar tidak material dalam memicu inflasi IHK yang lebih besar lagi, dan (b) mengurangi gejolak noise yang berkepanjangan dalam inflasi IHK melalui kebijakan-kebijakan industrial untuk memperlancar dan mendorong kegiatan produksi dan distribusi di sektor riil, dan mengurangi rentanitas struktur mikro-fundamental terhadap gejolak eksternal yang berkelanjutan (krisis nilai tukar), serta (c ) upaya stabilisasi nilai tukar Kesimpulan Interaksi yang semakin dinamis dalam perekonomian internasional dan domestik telah menyebabkan pengendalian inflasi melalui pengendalian uang beredar menjadi lebih kompleks dan mengharuskan Bank Indonesia untuk memiliki suatu indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Selama ini Bank Indonesia sangat bergantung pada 27 Lihat Lampiran 1. 76 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 laju inflasi IHK untuk memonitor efektifitas kebijakan moneternya. Walaupun demikian, terdapat permasalahan dengan indikator ini yaitu adanya unsur noise yang menggangu judgement kebijakan moneter. Penelitian indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa terdapat beberapa indikator harga selain laju inflasi IHK yang dapat dijadikan anchor untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan jumlah uang beredar. Indikator-indikator harga tersebut adalah laju inflasi kelompok inflasi food & energy, PDB deflator, inflasi non-administered, inflasi non-traded, dan underlying inflation. Namun, mengingat terdapat sensitifitas yang cukup tinggi antara inflasi food & energy dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya noise dalam inflasi IHK, maka indikator ini masih dapat menggangu judgement kebijakan moneter. Lebih daripada itu, terdapat overlapping yang cukup besar antara inflasi non-administered dan non-traded dengan underlying inflation, dimana kebanyakan dari barang-barang yang membentuk underlying inflation dapat pula dikategorikan sebagai inflasi non-administered dan non-traded. Selanjutnya dalam kaitannya dengan ekskalasi krisis moneter dan dampaknya terhadap inflasi IHK, terlihat bahwa underlying inflation adalah anchor yang lebih cocok untuk menilai efektifitas kebijakan moneter. Demikian halnya karena dengan terekskalasinya krisis moneter, laju inflasi IHK cenderung lebih dipenuhi oleh noise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Oleh karena itu underlying inflation adalah indikator harga yang lebih relevan dengan kebijakan moneter. Saran Sebagai penutup, dapat disarankan disini untuk suatu penelitian lebih lanjut mengenai sumbangan struktur fundamental mikroekonomi nasional terhadap inflasi. Kajian terutama diarahkan untuk memperoleh gambaran mengenai struktur, perilaku, dan kinerja fundamental mikroekonomi nasional dan rentanitasnya terhadap gejolak eksternal seperti depresiasi dan gejolak yang berkelanjutan pada nilai tukar. Dengan melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai fundamental mikroekonomi tersebut, diharapkan akan lebih memperjelas proses pembentukan harga di sektor riil, terutama dalam kaitannya dengan pembentukan noise inflation dan dampaknya terhadap tekanan inflasi agregat dalam perekonomian. Selanjutnya dalam kaitannya dengan pembahasan mengenai peran underlying inflation dalam kerangka kerja rezim inflation targeting perlu dikaji aspek teoritis mengenai penetapan laju inflasi sebagai sasaran kebijakan moneter28 . Premis yang mendasari inflation targeting adalah bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter hanyalah ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan laju inflasi yang rendah dan stabil. Dalam konteks ini 28 Diskusi mengenai kaitan antara underlying inflation dan inflation targeting dapat dilihat di Masson R. Paul, Savastano, Miguel A., dan Sharma, Sunil, 1997. The Scope of Inflation Targeting in Developing Countries. IMF Working Paper, Agustus; Debelle, Guy, 1997. Inflation Targeting in Practice. Economic Research Department, RBA, December; De Brouwer, Gordon, dan O’Regan, James, 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Australia. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July; Haldane, Andrew G, 1997. Designing Inflation Target. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July ; Grenville, Stephen, 1997. The Evolution of Monetary Policy: From Money Targets to Inflation Targets. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July. Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 77 diasumsikan bahwa (1) laju inflasi yang tinggi adalah suatu bentuk biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian berupa pertumbuhan ekonomi yang rendah dan menurunnya nilai riil dari pendapatan nasional, (2) kebijakan moneter, dalam hal ini kebijakan pengendalian uang beredar, tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan output dalam jangka panjang, tapi dapat dalam jangka pendek, sedangkan (3) pengendalian inflasi melalui kebijakan moneter adalah dalam rangka stabilisasi dan penurunan laju inflasi dalam jangka panjang dan bukan dalam jangka pendek. Oleh karena itu masih diperlukan suatu analisa mengenai benefit dan cost dari disinflationary policy oleh bank sentral, terutama dalam kaitannya dengan output variability yang inheren dalam skim inflation tergeting. Disamping itu, beberapa prasyarat dari stabilisasi dan penurunan laju inflasi melalui penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal mengharuskan adanya independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter, ditiadakannya sasaran pengendalian nilai tukar, adanya suatu kisaran nominal anchor berupa indeks harga yang relevan sebagai sasaran, adanya suatu metodologi proyeksi inflasi yang dapat menangkap prospek inflasi di masa datang dengan baik, dan prosedur operasional kebijakan moneter yang forward-looking. Dengan kelima syarat diatas terlihat bahwa setidaknya dua syarat telah secara formal dipenuhi oleh Bank Indonesia yaitu adanya independensi dalam kebijakan moneter dan sistem nilai tukar yang freely floating. Dari segi teknis pelaksanaannya, penelitian mengenai underlying inflation sebagai indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, sedikit banyak telah memperjelas arah dalam mendesain arsitektur dari skim inflation targeting untuk Indonesia. Walaupun demikian masih perlu untuk diestimasi lebih lanjut philips curve Indonesia dan kaitannya dengan kebijakan moneter melalui pengendalian uang beredar. Lebih dari pada itu proyeksi ekpektasi inflasi dalam jangka menengah juga masih diperlukan untuk bisa menjadi masukan bagi program moneter yang forward looking oleh Bank Indonesia. Lampiran 1 Perilaku Inflasi Ditengah Krisis Moneter • Untuk memilah-milah perbedaan perilaku inflasi disaat ‘normal’ maupun ‘krisis’, telah dilakukan uji ekonometri dengan menggunaan persamaan-persamaan jangka pendek berikut: CPI= α + β CPI(-1) + χ M1 + δ Kuasi + ε Noise + r ...................................................... (1) UDLCPI= α + β UDLCPI(-1) + χ M1 + δ Kuasi + ε Noise + r .................................... (2) dimana, CPI = sum annual dari inflasi IHK M1 = pertumbuhan M1 year on year Kuasi = pertumbuhan uang kuasi year on year Noise = CPI - Underlying inflation (year on year) UDLCPI = Underlying inflation • Uji statistik terhadap persamaan diatas dilakukan setelah sebelumnya dilakukan uji kointegrasi antara level CPI, dengan level uang kartal, giral, dan kuasi. Hasil dari uji kointegrasi tersebut dapat dilihat pada grafik dan statistik berikut ini: 78 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Grafik 1. Perilaku Level CPI, Uang Kartal, Uang Giral, dan Uang Kuasi 4 3 2 1 0 -1 -2 91 92 93 94 95 IDXUDL KARTAL 96 97 98 GIRAL KUASI Hasil Johansen Cointegration Test Sampel Data Bulanan: 1990:05 1998:06 Series: IDXUDL KARTAL GIRAL KUASI Lags interval: 1 to 2 Likelihood 5 Percent Eigenvalue Ratio Critical Value 0.040828 3.876686 3.76 Asumsi: Linear deterministic trend pada data 1 Percent Critical Value 6.65 Hypothesized No. of CE(s) At most 3 * *(**) menunjukkan penolakan hipotesa non-kointegrasi pada 5% (1%) significance level • Selanjutnya dari hasil analisa ekonometri terhadap perilaku inflasi dengan: menggunakan model persamaan diatas , dan memilah periode observasi menjadi sebelum krisis nilai tukar, saat krisis nilai tukar (periode sampai dengan Desember 1997), dan saat krisis makro moneter (periode sampai dengan Maret 1998), maka hasil regresi dapat di rekapitulasi dalam rekapitulasi berikut ini: Inflasi IHK Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 79 Periode: 06/91 - 06/97 CPI = 0.074 + 0.11 CPI(-1) + 1.8 M1 + 1.68 Kuasi + 1.11 Noise (2.45) (3.3) (2.3) (18.9) R-sq = 0.96 DW = 0.36F-Stat = 548.43 S.E. = 0.27 Periode: 06/91 - 12/97 CPI = 0.087 + 0.15 CPI(-1) + 1.68 M1 + 1.32 Kuasi + 1.06 Noise (3.9) (3.18) (1.99) (22.2) R-sq = 0.97 DW = 0.40F-Stat = 679.02 S.E. = 0.275 Periode: 06/91 - 03/98 CPI = -2.06 + 0.10 CPI(-1) + 3.96 M1 + 4.11 Kuasi + 1.39 Noise (1.92) (5.48) (5.16) (22.12) R-sq = 0.98 DW = 1.16 F-Stat = 1675.86 S.E. = 0.47 Underlying Inflation Periode: 06/91 - 06/97 UDLCPI = 0.074 + 0.8 UDLCPI(-1) + 0.09 M1 + 0.12 Kuasi + 0.05 Noise (11.10) (0.24) (0.26) (2.49) R-sq = 0.82 DW = 1.24 F-Stat = 82.20 S.E. = 0.17 Periode: 06/91 - 12/97 UDLCPI = 0.006 + 0.76 UDLCPI(-1) + 0.17 M1 + 0.23 Kuasi + 0.07 Noise (12.4) (0.48) (0.55) (4.03) R-sq = 0.83 DW = 1.16 F-Stat = 96.60 S.E. = 0.17 Periode: 06/91 - 03/98 UDLCPI = -1.76 + 0.50 UDLCPI(-1) + 2.62 M1 + 3.4 Kuasi + 0.27 Noise (1.92) (5.48) (5.16) (22.12) R-sq = 0.94 DW = 1.69 F-Stat = 324.44 S.E. = 0.39 • Merujuk pada hasil rekapitulasi diatas maka disusun matriks berikut: Tabel 2. Matriks Variabel-Variabel Independen yang Secara Statistik Signifikan Terhadap Laju Inflasi IHK dan Underlying Inflation Berdasarkan Peringkat29 Periode I 06/91 - 06/97 Periode II 06/91 - 12/97 Periode III 06/91 - 03/98 Laju Inflasi IHK M1 Uang Kuasi Noise Ekspektasi M1 Uang Kuasi Noise Ekspektasi Uang Kuasi M1 Noise Ekspektasi Laju Underlying Ekspektasi Ekspektasi Noise 29 Peringkat disusun sesuai dengan hasil koefisien regresi, sedangkan signifikansi diukur dengan T-Statistik. Pada matriks diatas hanya ditampilkan variabel-variabel independen yang signifikan pada tingkat 90% keyakinan. 80 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 Inflation M1 Uang Kuasi Ekspektasi • Beberapa hal yang dapat ditangkap dari matriks diatas adalah bahwa sampai dengan periode pertama dari krisis moneter, yaitu sampai dengan bulan Desember 1997, terlihat dalam jangka pendek laju inflasi sisi permintaan agregat (underlying inflation) masih lebih banyak dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap laju perubahan harga-harga di masa depan. Dilain pihak, untuk perilaku laju inflasi IHK sampai dengan periode ke-dua dari krisis moneter, yaitu ketika krisis nilai tukar sudah mulai berkembang menjadi krisis makro moneter (triwulan I / 1998), faktor-faktor yang menjelaskannya tidak berubah dari sebelum krisis nilai tukar terjadi, yaitu: uang beredar, noise, dan ekspektasi. Hal ini menunjukkan bahwa uang beredar merupakan potensi yang dapat mendorong inflasi di sisi permintaan dalam jangka pendek, akan tetapi jika tidak ada faktor-faktor pemicu seperti menurunnya produksi dan distribusi sehingga terjadi kelangkaan pasokan barang, maka uang beredar tidak material sebagai penyebab tekanan inflasi sisi permintaan. • Berkaitan dengan hal diatas, kiranya dapat dicermati bahwa ketika krisis moneter sudah semakin terekskalasi terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju underlying inflation tidak hanya ekspektasi, tapi meluas kepada jumlah uang beredar dan noise. Fenomena ini memberi indikasi bahwa pada triwulan I / 1998 faktor noise, yang dapat diterjemahkan sebagai komplikasi dari iklim ketidakpastian usaha dan naiknya biaya input yang mengganggu proses produksi dan distribusi, yang timbul bersamaan dengan meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi telah mentransformasi potensi inflatoir dari ekses likuiditas menjadi inflasi yang material. Lampiran 2 Pengujian ‘Random Walks’ Pada Laju Inflasi IHK dan Komponennya Metodologi Dengan mendefinisikan random walks sebagai perilaku series yang bervariasi terhadap perubahan waktu dan tidak mempunyai batas variance yang tetap, maka pengujian random walks pada laju inflasi IHK adalah pengujian stationarity pada laju inflasi IHK. Jika laju inflasi IHK terbukti non-stationary, maka laju inflasi IHK yang terjadi dengan berjalannya waktu cenderung untuk tidak kembali pada suatu kecenderungan jangka panjang yang sama (random walks). Sebaliknya jika laju inflasi IHK ternyata stationary, maka laju inflasi IHK yang terjadi dengan berubahnya waktu akan cenderung kembali pada suatu kecenderungan jangka panjang yang tetap. Uji stationarity diatas dilakukan dengan melakukan Augmented Dickey Fuller - Test (ADF-Test) terhadap laju inflasi IHK umum dan komponennya (IHK kelompok makanan, perumahan, sandang, dan aneka barang, serta underlying inflation). Tiga bentuk persamaan regresi linear yang digunakan dalam ADF-Test tersebut adalah sebagai berikut: (Pure Random Walks) δyt = γyt-1 + Σβ1δyt-i + εt ...................................................................................................... (1) Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 81 (Pure With Drift) δyt = α0 + γyt-1 +Σβ1δyt-i + εt ........................................................................................ (2) (Pure With Drift and Trend) δyt =α0 + γyt-1 + α2t + Σβ1δyt-i + εt........................................ (3) dimana, yt adalah laju inflasi IHK atau komponennya dan t adalah waktu. Perbedaan yang terdapat pada tiga persamaan regresi diatas menunjukkan keberadaan trend deterministik , yaitu a0 dan a2t. Persamaan (1) adalah model persamaan ‘random walks’ murni, persamaan (2) menambah komponen intercept (drift), dan persamaan (3) menambah komponen trend. Parameter yang menjadi perhatian dalam kedua sequence persamaan diatas adalah g, dimana jika g=0, maka sequence{gt} mengandung unsur random walks. Untuk menguji apakah g secara signifikan berbeda dari nol dilakukan pembandingan antara F-statistik yang diperoleh dari regresi dengan nilai kritikal McKinnon, yang merupakan replikasi dan perluasan dari nilai kritikal yang pertama kali di simulasi oleh David A. Dickey dengan metode Monte Carlo30 Hasil Dalam pengujian random walks ini digunakan dua periode sampel untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah krisis nilai tukar terjadi. Kedua periode sampel tersebut adalah (1) periode dari bulan Mei 1990 sampai dengan Mei 1997 untuk periode sebelum krisis nilai tukar, dan (2) periode dari bulan Mei 1990 sampai dengan Maret 1998 untuk periode yang memasukkan krisis nilai tukar sebagai in-sample. Hasil-hasil yang diperoleh dari ADF-test dengan menggunakan dua periode sampel yaitu periode sebelum dan sesudah currency crisis adalah sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Uji ADF terhadap Laju Inflasi IHK dan Komponennya (ADF F-Statistics) Periode: Persamaan: IHK Makanan Perumahan Sandang Aneka-Barang Underlying IHK * Menolak hipotesa bahwa 05/90 - 05/97 Pure +Drift +Trend 05/90 - 03/98 Pure +Drift +Trend -2.47 (-1.61) -3.62 (-1.61) -2.76 (-1.61) -4.72 (-2.58) -4.99 (-2.58) -4.18 (-2.58) -4.70 (-3.25) -5.00 (-3.25) -4.15 (-3.25) 0.28* (-1.61) -1.09* (-1.61) -1.31* (-1.61) -0.56* (-2.58) -1.86* (-2.58) -2.74 (-2.58) -0.61* (-3.23) 2.29* (-3.23) -2.42* (-3.23) -2.31 (-1.61) -3.41 (-1.61) -2.30 (-1.61) -4.51 (-2.58) -4.93 (-2.58) -4.78 (-2.58) -4.48 (-3.25) -4.87 (-3.25) -4.75 (-3.25) 0.81* (-1.61) -1.55* (-1.61) 2.34 (-1.61) 0.16* (-2.58) -2.76 (-2.58) 2.60 (-2.58) 0.023* (-3.23) -2.67* (-3.23) 2.48* (-3.23) g secara signifikan tidak berbeda dari nol (terdapat unsur 82 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998 unit root dalam persamaan) sehingga persamaan mengindikasikan adanya perilaku random walks pada series yang diuji. Angka dalam ( ) adalah McKinnon 10 % Critical Values. Jika nilai absolut dari ADF F-Statistics berada diatas angka McKinnon, maka hipotesa g =0 diterima. Hasil dari pengujian random walks terhadap laju inflasi IHK diatas menunjukkan bahwa untuk periode sampel yang memasukkan krisis nilai tukar sebagai in-sample laju inflasi IHK cenderung berperilaku random walks atau cenderung untuk tidak kembali pada suatu trend jangka panjang yang tetap seperti pada waktu sebelum krisis nilai tukar terjadi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F-Statistics sebelum krisis yang menunjukkan angka-angka absolut diatas nilai kritikal untuk menerima keberadaan random walks pada ketiga sequence persamaan. Setelah krisis nilai tukar terjadi, nilai F-Statistics secara absolut pada sequence persamaan berada dibawah nilai kritikal McKinnon, yang menandakan bahwa g secara signifikan berbeda dari nol sehingga series laju inflasi IHK cenderung untuk mengambil perilaku random-walks setelah krisis nilai tukar bereskalasi. Adapun hasil dari komponen-komponen IHK menunjukkan bahwa non-stationarity yang terjadi pada series laju inflasi IHK setelah krisis nilai tukar disebabkan oleh perilaku random walks yang terjadi pada harga-harga dari kelompok makanan dan sandang dalam laju inflasi IHK, dan tidak disebabkan oleh kelompok perumahan dan aneka barang. Perbandingan nilai F-Statistics sebelum dan sesudah terjadi krisis nilai tukar menunjukkan diterimanya hipotesa bahwa g secara signifikan berbeda dari nol pada ketiga sequence persamaan di kelompok makanan dan sandang, sehingga dapat dikonfirmasi adanya perilaku random walks pada kedua kelompok tersebut. Sebaliknya untuk kelompok perumahan dan aneka barang, hipotesa keberadaan unsur random walks ditolak pada persamaan pure random walks with drift sehingga perubahan harga-harga pada kedua kelompok ini masih mengikuti pola jangka panjang seperti sebelum krisis nilai tukar terjadi. Selanjutnya, underlying IHK atau underlying inflation yang merupakan laju inflasi sisi permintaan agregat tampak tidak terpengaruh oleh adanya krisis nilai tukar. Nilai F-Statistics dari underlying inflation pada dua dari tiga sequence persamaan menolak keberadaan unsur random walks, yaitu persamaan pure random walks dan pure with drift. Hal ini memberi indikasi bahwa demand shock yang terjadi pada dua bulan pertama Triwulan I / 1998 masih bersifat temporer dan masih mungkin untuk dikoreksi melalui kebijakan penyerapan ekses likuiditas Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil dari uji random walks diatas, maka beberapa implikasi temuan dapat diajukan disini: • Laju inflasi IHK dan komponen kelompoknya, khususnya kelompok makanan dan sandang cenderung mengikuti pola random walks yang inflatoir setelah krisis nilai tukar terjadi dan berekskalasi. Hal ini berarti bahwa dengan berjalannya waktu, kemungkinan besar perubahan IHK bulanan tidak akan kembali ke kecenderungan jangka panjangnya pada saat sebelum krisis, kecuali jika ada fully blown structural policy yang difokuskan untuk mencegah adverse shock dari krisis moneter untuk meninggalkan bekas permanen dalam struktur perekonomian. Kebijakan tersebut selanjutnya harus diarahkan pada Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter 83 upaya untuk mendorong kelancaran produksi dan distribusi pada sektor-sektor yang memproduksi makanan dan sandang. • Laju underlying inflation tidak secara konklusif mengikuti pola random walks setelah krisis nilai tukar terjadi, ini menandakan bahwa masih mungkin untuk segera mengkoreksi tingginya underlying unflation dengan normal measure seperti tight money policy. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa jika ada perubahan pada sisi permintaan agregat, maka perubahan tersebut masih akan konsisten dengan shock temporer pada sisi permintaan agregat dan bukan karena permanent demand shock . • Selanjutnya, mengingat noise inflation adalah laju inflasi IHK dikurangi dengan underlying inflation, maka dapat dikatakan bahwa random walks pada inflasi IHK lebih disebabkan oleh random walks pada noise inflation karena underlying inflation secara statistik tidak random walks. Dan, noise inflation tersebut terutama datang dari perilaku inflasi kelompok makanan dan sandang yang random walks. • Akhirnya, dapat pula disimpulkan bahwa jika tidak dikeluarkan suatu kebijakan yang secara struktural dapat mendorong supply side, terutama di sektor pangan dan sandang, maka kemungkinan besar adverse shock yang sedang terjadi akan meninggalkan bekas permanen pada inflasi untuk waktu yang cukup lama. Daftar Pustaka Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G., 1993. Measuring Core Inflation. Federal Reserve Bank of Cleveland, Working Paper No. 9304, Juni. Debelle, Guy, 1997. Inflation Targeting in Practice. Economic Research Department, RBA, Desember. De Brouwer, G. dan O’Regan J., 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Australia. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July. Enders, W. Applied Econometric Time Series. John A. Willey & Sons, 1995. Grenville, S., 1997. The Evolution of Monetary Policy: From Money Targets to Inflation Targets. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July. Haldane, AG., 1997. Designing Inflation Target. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July. Masson, R. P. dan Savastano M. A., dan Sharma Sunil, 1997. The Scope of Inflation Targeting in Developing Countries. IMF Working Paper, Agustus. Reserve Bank of Australia, 1994. Measuring Underlying Inflation. Bulletin, Agustus. Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-1995. RBNZ, September.