BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang akan memiliki pengalaman dari hasil fenomena yang diamati dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki itu kemudian menjadi dasar bagi setiap orang untuk membentuk suatu konsepsi dalam mengartikan gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya. Bersama dengan setiap pengalaman yang diperoleh seseorang terbangun pula konsep-konsep sederhana tentang pengalaman tersebut. Secara spontan, konsep-konsep sederhana tersebut terbangun sesuai dengan asumsi dan penalaran mereka sendiri dan tidak dicocokkan atau dibandingkan dengan konsep-konsep yang benar atau disetujui oleh para ahli. Oleh sebab itu, sering kali suatu konsep sederhana yang dibangun atas pemikiran sendiri tidak sesuai dengan konsep yang benar. Ketidaksesuaian konsep yang dimiliki oleh seseorang dengan konsep yang benar dan telah disetujui oleh para ahli akan menimbulkan suatu miskonsepsi. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh siswa dan mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wandersee, Mintzes, dan Novak dalam Suparno (2005), menjelaskan bahwa konsep alternatif atau miskonsepsi terjadi dalam semua bidang fisika. Dari 700 studi mengenai miskonsepsi bidang fisika, ada 300 yang meneliti tentang miskonsepsi dalam mekanika, 159 tentang listrik, 70 tentang panas, optika, dan sifat-sifat materi, 35 tentang bumi dan antariksa, serta 10 studi mengenai fisika modern. Jadi miskonsepsi dalam bidang fisika meliputi berbagai sub bidang. Pada konsep kelistrikan, Osborne (1982) mewawancarai siswa SD di Amerika Serikat yang belum pernah dapat pelajaran mengenai kelistrikan. Ternyata mereka sudah memiliki konsepsi mengenai arus listrik. Osborne menemukan empat macam konsepsi mengenai arus listrik, yaitu “arus dari satu kutub saja sudah cukup untuk menyalakan lampu, arus berlawanan arah dari dua kutub bertabrakan dan menyalakan lampu, arus semakin berkurang karena digunakan oleh lampu dan alat listrik lainnya, dan anggapan bahwa arus tetap” (van den Berg, 1991:63). Pada 1 2 konsep optika, Stead dan Osborne (1980) serta Anderson dan Karqvist (1981) yang memperlihatkan bahwa banyak siswa atau mahasiswa berpikir bahwa “cahaya tidak berjalan sama sekali atau hanya berjalan dalam lingkungan gelap” (van den Berg, 1991:93). Siswa belum paham bahwa dalam proses penglihatan, manusia dapat melihat benda karena benda tersebut merupakan sumber cahaya sehingga mata menerima sinar-sinar asli dari benda tersebut. Sebagian siswa ada yang menganggap bahwa manusia dapat melihat karena mata memancarkan sinar yang meraba-raba lingkungan. Miskonsepsi lain di bidang dinamika partikel yaitu benda yang berat akan jatuh terlebih dahulu dibanding benda yang ringan pada gerak jatuh bebas. Gunstone (1994) melaporkan 63% mahasiawa pendidikan diploma mengalami miskonsepsi tentang benda yang berat akan jatuh terlebih dahulu daripada benda yang lebih ringan. Sedangkan identifikasi untuk populasi anak umur 11 tahun, mahasiswa yang belum lulus, sarjana muda, dan bukan siswa remaja frekuensinya meningkat 91% (Allen, 2010:154). Hal serupa juga diungkapkan oleh Paul Suparno pada tahun 2005 bahwa siswa beranggapan “benda yang massanya lebih besar akan jatuh lebih cepat daripada benda yang lebih ringan pada peristiwa jatuh bebas”. Yeo dan Zadnik (2001) mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami siswa pada materi suhu dan kalor. Profil miskonsepsi yang terjadi adalah kalor bukanlah energi, kalor sama dengan suhu, kalor tidak dapat diukur, suhu dapat ditransfer, suatu benda dalam keadaan dingin tidak memiliki kalor, suhu adalah sifat khusus yang dimiliki materi atau benda, air tidak dapat mencapai suhu 0°C. Gönen dan Kocakaya (2010) juga telah melakukan penelitian untuk mengetahui ketidakpahaman siswa yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada konsep suhu dan kalor. Pada penelitian tersebut digunakan soal pilihan ganda terhadap 342 siswa kelas 6 dengan usia 11-12 tahun dan kelas 8 dengan usia 14-15 tahun. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menghubungkan pengetahuan yang diperoleh selama pembelajaran di sekolah dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Miskonsepsi pada siswa terjadi karena tidak adanya hubungan antara kehidupan sehari-hari dengan pengalaman sekolah. 3 Alwan (2011) melakukan penelitian terhadap 53 mahasiswa yang berbeda pada Jurusan Pendidikan Fisika, Kimia, Biologi dan Matematika di Universitas Al Fateh tentang konsep suhu dan kalor. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa membangun konsep yang salah pada konsep suhu dan kalor. Akhirnya, konsep yang salah tersebut dapat menjadi sumber miskonsepsi ketika mahasiswa melakukan pembelajaran di sekolah nantinya. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Kartal, Ozturk, dan Yalvac (2011) menemukan bahwa calon guru fisika kesulitan dalam menjelaskan konsep suhu dan kalor. Bogazici (2003) juga melakukan penelitian tentang miskonsepsi pada suhu dan kalor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa tentang suhu dan kalor. Suhu dan kalor tidak diragukan lagi salah satu konsep yang paling sulit dalam kurikulum sekolah menengah dan juga di universitas. Penelitian yang dillakukan Kacovsky antara September 2013 dan Mei 2014, yang melibatkan hampir 500 siswa di Ceko dalam studi miskonsepsi suhu dan kalor dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesulitan yang paling serius dalam memahami konsep ditemukan di bidang fase transisi, siswa menolak fakta bahwa suhu tidak berubah selama peleburan, pembekuan dan mendidih. Miskonsepsi lain yang juga sering muncul dalam penelitian tersebut yaitu adanya "kalor panas" dan "kalor dingin". Miskonsepsi yang dialami oleh siswa harus segera direduksi. Bila tidak segera direduksi miskonsepsi tersebut akan terbawa sampai ke jenjang sekolah berikutnya, bahkan bisa terbawa sampai di perguruan tinggi sehingga akan menghambat proses belajar siswa. Salah satu hal yang dapat digunakan sebagai upaya mereduksi miskonsepsi dalam pembelajaran fisika adalah dengan menyajikan suatu kegiatan pembelajaran dengan pendekatan dan metode yang tepat, karena menurut Halloun dau Hestenes "dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau dihindari" (van den Berg, 1991:17). Maka dari itu diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa pada situasi konflik, dimana nantinya akan ada proses ketidakseimbangan antara konsep yanga baru dipelajari dengan miskonsepsi yang dibawa sebelumnya. 4 Upaya yang dilakukan guru dalam mereduksi miskonsepsi siswa lebih baik ditempuh dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme. Menurut Kunandar (2006:301), “Pendekatan konstruktivisme adalah landasan berpikir pembelajaran kontekstual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong”, maka dari itu, keterlibatan siswa dalam proses belajar aktif sangat ditekankan dalam pendekatan ini, sehingga pengetahuan dibentuk oleh siswa secara aktif bukan hanya diterima secara pasif dari guru. Pendapat tersebut dipertegas oleh Baser (2006) yang menyatakan bahwa metode perubahan konseptual yang dibangun dengan konstruktivisme dapat digunakan untuk mereduksi miskonsepsi menggunakan strategi siswa. Metode perubahan untuk konseptual mengurangi yang miskonsepsi dirancang untuk mempromosikan akuisisi konsep baru sebagai konsekuensi dari pertukaran dan diferensiasi konsep yang ada dan integrasi konsep-konsep baru dengan konsepkonsep yang ada. Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan hal ini adalah pendekatan konstruktivisme melalui model pembelajaran Children Learning in Science (CLIS). Penelitian yang dilakukan oleh tim CLIS di Leeds University dalam jurnal Internasional yang ditulis Driver (1988) menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh tim CLIS bertanggungjawab terhadap banyak penelitian penting yang terkait dengan gagasan anak terhadap Sains. Dalam CLIS terdapat suatu tahapan pembelajaran yang memunculkan situasi konflik. Situasi konflik ini merupakan suatu tahapan dimana beberapa siswa dalam satu kelas memiliki pendapat-pendapat yang berbeda mengenai suatu fenomena. Perbedaan pendapat ini muncul dari siswa yang paham konsep, kurang paham, dan miskonsepsi. Dan dalam tahap tahap berikutnya gagasan siswa yang miskonsepsi dan tidak miskonsepsi diuji berdasarkan konsep yang benar. Menurut Wali (2008: 7), model CLIS merupakan model pembelajaran yang berusaha mengembangkan ide atau gagasan siswa tentang suatu masalah tertentu dalam pembelajaran serta merekonstruksi ide atau gagasan berdasarkan hasil pengamatan atau percobaan. Model CLIS ini lebih menekankan pada keaktifan 5 siswa untuk menyempurnakan ide-ide yang didapatnya, menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang telah ada, mencari pemecahan masalah yang muncul melalui diskusi-diskusi sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya sendiri. Melalui model pembelajaran Children Learning in Science (CLIS), siswa bisa menerima konsep-konsep fisika yang diajarkan disertai bukti-bukti secara langsung melalui demonstrasi maupun eksperimen. Sehingga proses pembelajaran akan membuat siswa mengalami secara langsung fenomena alam dan terbentuk pengertian yang baik dan sempurna. Penelitian yang dilakukan Patria (2013) dengan judul “Penerapan Model Children Learning In Science untuk Meremediasi Miskonsepsi Siswa Tentang Tekanan Udara di SMP” menunjukkan bahwa terjadi penurunan miskonsepsi siswa setelah diberikan remediasi sebesar 45,36 %. Seperti yang Yuniarti tahun 2005 di SMP Negeri 5 Ketapang menemukan bahwa model CLIS dapat menurunkan persentase jumlah miskonsepsi sebesar 55% pada materi gaya. Melalui model pembelajaran Children Learning in Science (CLIS), siswa bisa menerima konsep-konsep fisika yang diajarkan disertai bukti-bukti secara langsung melalui demonstrasi maupun eksperimen. Sehingga proses pembelajaran akan membuat siswa mengalami secara langsung fenomena alam dan terbentuk pengertian yang baik dan sempurna. Penelitian yang dilakukan Suryani (2012) dengan judul “Remediasi Miskonsepsi Siswa pada Materi Pemuaian Zat Padat dengan Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) di Kelas VII SMP Negeri 4 Sintang.” Dari hasil penelitan yang telah dilaksanakan, menemukan bahwa pembelajaran dengan menerapkan model CLIS menurunkan persentase jumlah miskonsepsi sebesar 39,7% pada materi pemuaian zat padat. Penelitian yang dilakukan oleh Tomo (1995) dengan judul “Model Konstruktivis untuk Membangkitkan Perubahan Konseptual Siswa dalam Pengajaran IPA. Menerapkan Strategi Mengajar Perubahan Konseptual Model CLIS untuk Mengajarkan Topik Cahaya Di Kelas II SMPN 1 Sekura”. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat penurunan miskosensepsi siswa tentang cahaya setelah belajar melalui model CLIS. Perubahan konseptual ini cenderung dapat bertahan dalam selang waktu satu bulan. 6 Berdasarkan data tersebut, miskonsepsi siswa terjadi baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Di dalam negeri selain di Bandar Lampung dan di daerah Ketapang miskonsepsi siswa juga terjadi di daerah lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Listiana, menunjukkan bahwa siswa kelas VIII SMP N 8 Surakarta pada Semester Genap Tahun Ajaran 2013/2014 mengalami miskonsepsi pada materi tekanan dengan persentase lebih dari 20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati tahun 2012 pada pokok materi Suhu dan Kalor dapat ditarik kesimpulan bahwa profil miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa SMA N Kebakkramat dengan persentase rata-rata siswa tiap tipe miskonsepsi lebih dari 40%, miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa SMA N 5 Surakarta dengan persentase rata-rata siswa tiap tipe miskonsepsi lebih dari 40%. Penelitian lain di SMP N 1 Miri Sragen kelas VIII yang dilakukan oleh Susanti pada tahun 2012 menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dimiliki siswa pada materi getaran, gelombang, dan bunyi persentase rata-rata siswa tiap tipe miskonsepsi lebih dari 30%. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari tahun 2011 menyimpulkan bahwa miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa siswa kelas X SMA Negeri 1 Surakarta dengan persentase lebih dari 30% pada materi gerak. Dengan hasil penelitian tersebut siswa-siwa di daerah Teras Boyolali juga dimungkinkan mengalami miskonsepsi fisika. Prakonsepsi yang dimiliki siswa di Teras belum pernah diidentifikasi. Maka dari itu perlu dilakukan identifikasi untuk mengetahui profil miskonsepsi siswa. Untuk tindakan selanjutnya jika terjadi miskonsepsi maka harus segera direduksi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka diajukan penelitian dengan judul: “Remediasi Pembelajaran Melalui Model CLIS (Children Learning In Science) untuk Mereduksi Miskonsepsi pada Materi Suhu dan Kalor Siswa Kelas X SMA N 1 Teras” B. Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. Adanya kemungkinan konsepsi yang telah dibangun oleh siswa menyimpang dari konsep yang benar. 7 2. Adanya kemungkinan siswa mengalami miskonsepsi pada beberapa konsep fisika, diantaranya pada konsep Suhu dan Kalor. 3. Miskonsepsi yang tidak segera direduksi akan terbawa sampai ke jenjang sekolah berikutnya, bahkan bisa terbawa sampai di perguruan tinggi sehingga akan menghambat proses belajar siswa. 4. Upaya mereduksi miskonsepsi dalam pembelajaran fisika harus dengan menyajikan suatu kegiatan pembelajaran dengan pendekatan dan model yang tepat. Karena jika tidak dengan pendekatan dan model yang tepat maka miskonsepsi tidak dapat tereduksi. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka masalah dalam penelitian ini harus dibatasi agar penelitian ini mempunyai arah yang jelas dan pasti. Adapun batasan-batasan tersebut meliputi: 1. Miskonsepsi yang dikaji adalah miskonsepsi pada mata pelajaran Fisika tentang konsep Suhu dan Kalor dengan sub materi pengertian suhu dan kalor, perpindahan kalor, pengaruh kalor pada zat, kesetimbangan termal. 2. Pengajaran remediasi yang dilaksanakan menggunakan model Children Learning In Science (CLIS) dengan pendekatan konstruktivisme. 3. Subjek penelitian adalah siswa SMA Negeri 1 Teras Boyolali kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014/2015. D. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah serta untuk memperjelas permasalahan, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana profil miskonsepsi suhu dan kalor yang terjadi pada siswa kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014/2015 SMA Negeri 1 Teras Boyolali? 2. Bagaimana pengaruh remediasi pembelajaran fisika melalui model pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) terhadap miskonsepsi suhu dan kalor yang terjadi pada siswa kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014/2015 SMA Negeri 1 Teras Boyolali? 8 E. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: 1. Menjelaskan profil miskonsepsi suhu dan kalor yang terjadi pada siswa kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014/2015 SMA Negeri 1 Teras Boyolali. 2. Menjelaskan penurunan jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi suhu dan kalor dengan pembelajaran fisika melalui model Children Learning In Science (CLIS). F. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi berbagai pihak antara lalin: 1. Bagi Siswa Hasil penelitian ini dapat mereduksi miskonsepsi pada pelajaran Fisika bagi siswa yang terlibat dalam kegiatan penelitian. 2. Bagi Sekolah dan Guru Memberikan informasi kepada sekolah dan guru tentang profil miskonsepsi siswa.