114 VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi Terdapat beberapa temuan penting pada analisa keragaan ekonomi agroforestri sebagai berikut : 1. Pendapatan bersih usaha agroforestri strata 1 tanpa internalisasi menunjukkan, bahwa tanpa pendapatan off farm, dan pada jeda waktu menunggu hasil dari tanaman tahunan, tidak cukup untuk menutup pengeluaran rumah tangga. Pendapatan bersih rumah tangga agroforestri strata 1 berda di bawah garis kemiskinan dengan ketiadaan modal untuk investasi, sehingga secara keekonomian sulit mengharapkan petani untuk melakukan konservasi untuk kesinambungan agroforestri.. 2. Pendapatan bersih agroforestri dengan luas≥ 1 ha (strata 2 dan 3) kontribusi pendapatan didominasi pendapatan on farm, ketergantungan pada pendapatan off farm makin kecil. Besarnya kontribusi pendapatan on farm, bahkan mampu menutup total pengeluaran rumah tangga tanpa mengandalkan penerimaan off farm. 3. Keragaan ekonomi strata 2 (rata-rata 1,60 ha) dan strata 3 (rata-rata 2,59 ha) pada tahun 2010, menunjukkan jauh di atas garis kemiskinan, namun tanpa pendapatan off farm, kelebihan pendapatan strata 2 dan 3 setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga akan hanya berlebih sekitar Rp. 6 juta per tahun pada rata-rata luas 1,60 ha, dan Rp.22 juta per tahun pada rata-rata luas 2,59 ha. Hal ini mengindikasikan, bahwa walaupun kondisinya layak usaha, namun terjadi ketidak cukupan modal investasi, karena untuk mengembangkan usaha agroforestri dibutuhkan Rp 2 115 juta untuk biaya persiapan dan Rp 8 juta per ha untuk operasional penanaman, pemeliharaan hanya untuk tanaman tahunan. Sedangkan petani juga membutuhkan modal budidaya palawija selama 3 tahun, sebelum tajuk tanaman tahunan menutup. 6.2 Nilai Ekonomi Jasa Air dan Jasa Karbon Agroforestri Serta Harga Bayangan 6.2.1 Valuasi Ekonomi Jasa Air Agroforestri a. Identifikasi supply air dan pengguna serta proporsi per penggunaan Identifikasi dan pengukuran debit pada 13 sumber air agroforestri, menghasilkan total supply agroforestri desa Sumberejo adalah 3.309.552 m 3 pertahun. Sedangkan identifikasi pengguna terbagi kedalam klasifikasi untuk penggunaan yang sudah komersil (k) dan belum komersil (nk) atau nilai potensial (potential value). Sedangkan prosentase porsi pemanfaatan dari total supply ditetapkan dalam nomenklatur a%. Penggunaan per tahun yang sudah komersil terdiri dari: 1) PAM Desa TirtoKencono sebesar 23.725 m 3 (a:0,70%); 2) PDAM Tirtasari, Baturetno sebesar 1.261.440 m 3 (a: 38,12%). Penggunaan pertahun yang belum komersil terdiri dari: 1) Masyarakat dalam Desa non komersil (nk) sebesar 1.259.712 m 3 (a:38,06 %); 2) Pengairan sawah di dalam Desa seluas 22 ha (2 x panen @ 4 ton/ tahun: 140.800 m 3 (a:4,25%) 3) Pengairan sawah di luar Desa, di Desa Saradan dan Temon seluas 209 ha (2 x panen @ 6 ton/ tahun:sebesar 624.325 m 3 per tahun (a: 18,86%). b. 1) Valuasi nilai ekonomi jasa air penggunaan sudah komersil PAM Desa Tirto Kencono Pemanfaatan jasa air agroforestri dengan memanfaatkan telah tersedianya 116 jaringan pipa distribusi yang dibangun melalui proyek PAMSIRA Kimpraswil yang selanjutnya menjadi investasi Badan Pengelola Prasarana Desa Sumberejo, dan distribusi komersil dilakukan melalui pembentukan Perusahaan Air Minum Tirto Kencono untuk distribusi air minum dengan tarif Rp.2500 per m 3. Dari wawancara dan pengumpulan data di kantor PAM tersebut didapatkan volume distribusi air per tahun dengan rata-rata pemakaian 10 m 3 per keluarga per bulan, juga keterangan menurut kalkulasi pihak PAM tarif tersebut seharusnya direvisi menjadi Rp.3100 per m 3, sesuai dengan kenyataan biaya operasional. Nilai penggunaan jasa air komersil PAM Desa Tirto Kencono menggunakan metode biaya penuh dan prinsip umum biaya air, (Rogers, et al, 2000), dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel 14. Kemudian menurut prosedur metoda yang digunakan matriks dikonversi ke dalam bentuk: Biaya penuh BJD air PAM Tirta Kencono (Rp.) yang dapat dilihat pada gambar 16. Dari hasil perhitungan dan pendekatan-pendekatan yang digunakan diperoleh biaya air secara penuh, sebesar Rp1.763.741.008/tahun. Nilai tersebut menggambarkan Nilai Guna Lestari dari 23.725 m 3 (a: 0,70%) air agroforestri yang telah menginternalisasikan eksternalitas di dalamnya sehingga mencerminkan nilai manfaat yang lestari dari hulu sampai hilir. Selanjutnya biaya penuh ini dapat dijadikan dasar perhitungan tarif Biaya Sumberdaya air PAM Tirto Kencono sehingga dapat diperoleh besar tarif normal yang ideal pada kondisi produksi saat ini, yaitu: Rp.74.341 per m3. Nilai lingkungan (tarif normaltarif berlaku/Rp.2500) adalah Rp. 71.841 /m3. 2) PDAM Tirta Sari Baturetno Pada saat penelitian diketahui sedang terjadi proses re-negosiasi nilai provisi antara pihak desa dan PDAM Tirta Sari Baturetno, namun posisi tawar 117 Desa lebih lemah, karena adanya asimetri informasi perihal volume penggunaan air dan besar dugaan nilai ekonomi air sesungguhnya. Sementara pihak PDAM tidak transparan mengenai proporsi komponen air agroforestri dalam proses produksi, PDAM malah mengeluhkan pihaknya saat itu sedang mengalami kerugian. Posisi yang kurang menguntungkan tersebut, membuat pihak Desa merubah pola negosiasi menjadi ancaman akan memutus supply air. Terkait salah satu tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai ekonomi air agroforestri, kejadian tersebut mengindikasikan, bahwa telah ada kejelasan property right dan pihak pemanfaat air agroforestri. Konflik terkait besaran nilai provisi menjelaskan secara ekonomi, bahwa nilai imbal jasa wajib dipersepsikan oleh pemanfaat sebagai biaya pelayanan pada petani dan sebagai insentif pemenuhan kewajiban memelihara atau meningkatakan pelayanan berupa keberadaan agroforestri dan tersedianya air secara berkesinambungan. Selanjutnya metode biaya penuh air diaplikasikan untuk penghitungan nilai guna lestari air agroforestri komersil distribusi air oleh PDAM Tirtasari. Hasil perhitungan volume air yang digunakan untuk supply ke PDAM Tirtasari per tahun adalah 1.261.440 m 3 dengan porsi penggunaan (a): 38,12%. Sedangkan perhitungan didapatkan nilai biaya penuh Rp.92.257.293.049/tahun, nilai tersebut menggambarkan Nilai Guna Lestari air agroforestry yang telah menginternalisasikan eksternalitas di dalamnya sehingga mencerminkan nilai manfaat yang lestari dari hulu sampai hilir. Lebih lanjut diperoleh besar tarif normal yang ideal pada kondisi produksi saat ini, yaitu:Rp.73.136/m3.Nilai provisi PDAM Tirtasari lingkungan Rp. 2,500.000 untuk penggunaan 1.261.440 m 3 per tahun atau Rp.2 per m 3/tahun, sehingga nilai lingkungannya adalah (Tarif 118 normal-Nilai provisi) Rp73.134/m3. c. Penggunaan air non komersil (potential value) 1) Penggunaan lngsung dari sumber Masyarakat dalam Desa Dari penggunaan air rumah tangga langsung dari sumber sebesar 1.259.712 m3 a: 38,06 % dan biaya investasi Rp 2.347.680.000, didapatkan nilai air Rp. 89.359.546.795 per 1.259.712 m3 per tahun atau tarif normal/nilai lingkungan Rp.70.936/ m3. 2) Penggunaan untuk pengairan sawah di dalam Desa Perhitungan nilai ekonomi air untuk pengairan sawah seluas 22 ha (2 x panen @ 4 ton/ tahun: a: 4,25%, dan biaya investasi Rp.10.027.857.692 per 140.800 m3 pertahun diperoleh tarif normal/nilai lingkungan Rp.71.221/ m 3 3) Pengairan sawah di luar Desa, di Desa Saradan dan Temon Perhitungan nilai ekonomi air untuk pengairan sawah seluas 209 ha (2 x panen @ 6 ton/tahun: a: 18,86% dan biaya investasi Rp44.347.423.675 per 624.325 m 3 per tahun, diperoleh tarif normal Rp. 71.033/ m 3 Dari penjumlahan harga bayangan /tarif normal per penggunaan didapatkan total nilai ekonomi air agroforestri adalah Rp. 74.341 + Rp.73.136 + Rp.70.936 + Rp.71.221 + Rp.71.033 = Rp.360.667/ m3 (rata-rata Rp.72.133/m3). Dengan demikian atau total nilai ekonomi air agroforestri desa Sumberejo dengan luas 293,46 ha, adalah Rp.238.727.914.416,- per tahun. Selanjutnya nilai ekonomi air akan diinternalisasikan ke dalam penghitungan analisa kelayakan finansial per strata, dengan nilai masing-masing pertahun: a) Strata 1: Rp. 117.068.000; b) Strata 2: Rp. 371.198.432 ; dan c) Strata 3: Rp. 699.983.600 6.2.2 Valuasi Jasa Karbon Agroforestri Untuk mendapatkan volume stock karbon tegakan agroforestry, digunakan penafsiran landsat ETM pada titik lokasi Desa Sumberejo. Dari hasil penafsiran 119 didapatkan: Tabel 19. Hasil Penafsiran Luas, Volume dan Karbon Agroforestri Desa Sumberejo Lokasi Agroforestri Desa Sumberejo Luas (ha) Total m3 dan Rataan Volume Kayu m3/ha Biomassa (tb) Stok karbon (t CO 2 ) 293,46 4.208, 42 14,34 2.377, 20 8,10 8569,73 29,20 Sumber: Data primer, 2011 Stok karbon 8.569,73 t CO 2 atau rata-rata 29,20 t CO 2 per ha, sejalan dengan referensi dan masih masuk selang hasil carbon agroforestri, yaitu 32,7 tCO2 per ha (Boer, 2004 dan Basuki, 2008, dan Litbang kehutanan, 2010). Menghitung nilai stok karbon agroforestri dimulai dengan menghitung biaya abatasi dengan cara: Biaya oportunitas.(biaya reboisasi agroforestri) Rp.2.347.680.000 Biaya transaksi 39,2% (Ginoga dan Lugina, 2007) Rp. 920.290.560 Biaya Abatasi Rp. 3.267.018.640 Penghitungan nilai jasa serap karbon agroforestri bersih (NC) selama proyek 20 tahun, dilakukan menggunakan formula (dengan asumsi riap volume dan riap tebang tahunan tetap): NC = Riap serap karbon – Riap emisi karbon dari penebangan. Penghitungan harga bayangan: Biaya Abatasi /Volume tC)2 Nilai ekonomi jasa karbon agroforestri desa Sumberejo dalam Tabel 20, selanjutnya digunakan dalam analisa kelayakan finansial, dengan nilai pada masing-masing strata per tahun (kurs Rp.9000/US$), adalah: a) Strata 1: Rp.181.051.329 ; b) Strata 2: Rp.507.679.009; dan c) Strata 3: Rp.821.805.397. 120 Tabel 20. Penghitungan Nilai Karbon Agroforestri Desa Sumberejo Uraian Volume (m3) tCO2 Harga (US$/tCO2) 1. Stock karbon 4.208,42 8569,73 42 2 Nilai ekonomi stock karbon 3. Riap agroforestri selama per tahun Riap volume Jati:4,3 m3/ha/tahun Mahoni: 8,1 m3/ha/tahun Luas jati dan mahoni masingmasing 146,73 ha 4. Riap tebangan per tahun Rata-rata penebangan 14% dari riap volume 5. Nilai serap karbon bersih per tahun No. 6. 6.3 363.002 1.819,452 3.735,941 257,52 528,774 1561,932 3207,167 113 32.071,67 3.630.021 Nilai serap karbon bersih 20 tahun Analisis Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan Internalisasi Nilai Jasa Karbon dan Jasa Air Selanjutnya dari pengolahan dan analisa data didapatkan hasil sebagai berikut: tabel 21. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan Internalisasi Jasa (masa 20 tahun, bunga 12%) Tanpa Internalisasi Stra ta Internalisasi jasa air Internalisasi Jasa karbon Internalisasi jasa air dan karbon NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) NPV (Juta, Rp) BCR IRR (%) S1 33,82 1,48 13 296,92 6,02 24 301,00 6,64 25 399,02 9,72 26 S2 141,33 5,26 16 305,11 11.20 27 804,09 11.22 28 896,54 14,80 32 S3 190,22 5,42 19 415,78 11,77 29 1.944,2 12,42 35 2239,78 15,3 35 Perhitungan di atas adalah penilaian kelayakan finansial pada usaha agroforestri yang berbasis lahan. Berdasarkan kriteria kelayakan, yaitu NPV positif, BCR > 1 dan IRR > tingkat bunga, maka dari hasil analisa didapatkan: 1. Keragaan ekonomi usaha agroforestri tanpa internalisasi dengan rancangan 121 usaha 20 tahun pada tingkat bunga 12%, menunjukkan kelayakan finansial pada ketiga kriteria kelayakan, yaitu Strata 1 NPV sebesar 13%; Strata 2 sebesar 16%; dan Strata 3 sebesar 19%. Nilai BCR 1,48 pada strata 1 menunjukkan bila petani akan mengembangkan usaha agroforestri secara intensif pada strata tersebut, masih memerlukan bantuan permodalan, karena kelebihan dari pendapatan bersih usaha sebagian besar terserap untuk menutup kebutuhan rumah tangga. 2. Besarnya nilai BCR keragaan ekonomi tanpa internalisasi pada strata 2 dan 3, adalah karena tingginya harga kayu, terutama periode 10 tahun terakhir. 3. Internalisasi eksternalitas jasa air, jasa karbon, dan jasa air dan jasa karbon secara bersama-sama meningkatkan pada pendapatan semua usaha strata yang berhasil nyata, yaitu: menghasilkan Internalisasi eksternalitas jasa air meningkatkan parameter kelayakan dari metode NVP, BCR, dan IRR, yaitu Strata 1 (< 1 ha); keragaan tanpa internalisasi sebesar NVP: Rp.33,82 juta, BCR: 1,48, dan IRR: 13% dengan internalisasi jasa air, menjadi NPV: Rp.296,92 juta per tahun, BCR: 6,02, dan IRR: 24%. Sedangkan internalisasi jasa karbon berhasil meningkatkan NPV menjadi Rp.301 juta, BCR:6,64, dan IRR: 25%. Dengan kedua jasa NPV menjadi Rp.399,02 juta, BCR: 9,72, dan IRR: 26%. Kecenderungan yang sama terjadi pada strata 2 dan 3 dengan proporsi yang lebih besar. 4. Dengan demikian internalisasi eksternalitas jasa air, jasa karbon baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama, terbukti berhasil meningkatkan kelayakan finansial pada semua strata. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis penelitian yang mengaplikasikan konsep keuntungan agroforestri dari satu input dihasilkan banyak output dan aplikasi dari konsep total nilai ekonomi pada agroforestri. 122 5. Hasil analisa juga mengindikasikan, bahwa dari keragaan ekonomi strata 1, menunjukkan perlunya insentif pada tahap awal, agar mampu mengembangkan agroforestrinya dengan tetap mempertahankan kelayakan usahanya. 6. Keragaan ekonomi strata 2 dan 3 menunjukkan, bahwa luas lahan > 1 ha mengindikasikan peningkatan kontribusi pendapatan dari keuntungan usaha pada rumah tangga dan ekonomi pedesaan memiliki prospek yang baik untuk pengembangan agroforestri baik dalam memproduksi barang maupun jasa secara berkesinambungan. 7. Kemampuan usaha agroforestri untuk masa 20 tahun setelah internalisasi eksternalitas jasa dalam pengembalian modal pada tingkat bunga antara 20 – 30%, akan menjadi argumen penting untuk menjadikan agroforestri sebagai program unggulan untuk merehabilitasi lahan kritis berbasis pedesaan. 6.4 Analisis Kesinambungan Agroforestri Berangkat dari prinsip kelestarian stock dan flow tanaman tahunan serta pertimbangan ketersediaan ruang tumbuh tanaman musiman, maka disusun pola kelola lestari masing-masing strata luas agroforestri dengan acuan : 1. Stock tanaman tahunan dengan jarak tanam 3 x 3 m atau jumlah tanaman 1111 pohon per hektar, dan 2. Skenario flow penjarangan I diadakan penebangan 30 % dari tanaman umur 5 tahun dan diikuti penanaman kembali, Penjarangan II penebangan 20 % dari tanaman umur 10 tahun dan diikuti penanaman kembali, dan penjarangan III penebangan 10 % dari tanaman 15 umur diikuti penanaman kembali, serta pemanenan 70 % tanaman umur 20 tahun diikuti penanaman kembali. 123 Adapun hasil penyusunan pola kelola lestari untuk strata 1 dengan luas rata-rata 0,60 hektar adalah sebagaimana tabel 22 berikut : Tabel 22. Skenario pola kelola lestari agroforestri strata 1 selama 20 Tahun Uraian Komposisi umur tanaman tahunan Tanam Penj. 1 Th 1 Th 5 0 th : 667 667 0 th : 200 ph 5 th : 467 ph 0 th : 93 5 th : 200 ph 10 th : 373 ph Th 15 Th.20 0 th : 37 ph 5 th : 93 ph 10 th : 200 ph 15 th : 336 ph 0 th : 210 ph 5 th : 37 ph 10 th : 93 ph 15 th : 200 ph 20 th : 126 ph 467 tebang dan tanam kembali Penj. 2 tebang dan tanam kembali Penj. 3 tebang dan tanam kembali Panen tebang dan tanam kembali jumlah tana man lesta ri Th 10 200 373 93 336 37 126 210 667 667 667 667 667 Tabel 22 di atas diturunkan dalam bentuk Gambar 18 berikut : Gambar 18. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 1 Selama 20 Tahun 124 Dari tabel 22 dan gambar 18. di atas, dengan jarak tanam 3 x 3 m, stock tanaman lestari untuk strata 1 adalah 667 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur. Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 5 kelas umur tanaman.. Dengan demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi kelas umur tanaman pada strata 1 dapat terjamin konsistensinya. Penyusunan skenario pola kelola lestari pada strata 2 dengan luas ratarata luas lahan usaha 1,60 hektar dengan basis jarak tanam 3 x 3 m, menunjukkan hasil sebagai berikut : Tabel 23. Skenario pola kelola lestari agroforestri strata 2 selama 20 Tahun Uraian Th 1 Th 5 Th 10 Th 15 Th.20 0 th : 249 ph 5 th : 533 ph 10 th : 995 ph 0 th : 100 ph 5 th : 249 ph 10 th : 533 ph 15 th : 896 ph 0 th : 660 ph 5 th : 100 ph 10 th : 249 ph 15 th : 533 ph 20 th : 236 ph Komposisi umur tanaman tahunan Tanam Penj. 1 tebang dan tanam kembali Penj. 2 0 th : 1778 ph 1.778 0 th : 533 ph 5 th:1244 ph 1.244 533 995 tebang dan tanam kembali Penj. 3 tebang dan tanam kembali Panen tebang dan tanam kembali Jumlah tana man lesta ri 249 896 100 236 660 1778 1778 1778 1778 1778 125 Gambar 19. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 2 Selama 20 Tahun Dari tabel 23 dan gambar 19 di atas, dengan jarak tanam 3 x 3 m, stock tanaman lestari untuk strata 2 adalah 1778 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur. Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 5 kelas umur tanaman.. Dengan demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi kelas umur tanaman pada strata 2 dapat terjamin konsistensinya. Penyusunan skenario pola kelola lestari pada strata 3 dengan luas ratarata luas lahan usaha 2,59 hektar menunjukkan hasil sebagai berikut : dengan basis jarak tanam 3 x 3 m, 126 Tabel 24. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 3 Selama 20 Tahun Uraian Th 1 Th 5 Th 10 Th 15 Th.20 0 th : 403 ph 5 th : 863 ph 10 th : 1611 h 0 th : 161 ph 5 th : 403 ph 10 th : 863 ph 15 th: 1450 ph 0 th : 1036 ph 5 th : 161 ph 10 th : 403 ph 15 th : 863 ph 20 th : 414 ph Komposisi umur tanaman tahunan 0 th : 2877 ph 2.877 Tanam 0 th : 863 ph 5 th : 2014 ph Sisa Penja rangan 1 2.014 tebang dan tanam kembali Sisa Penja rangan 2 tebang dan tanam kembali Sisa Penja rangan 3 tebang dan tanam kembali Sisa Pa nen 863 2.474 403 2.716 161 1.841 tebang dan tanam kembali Jumlah tana man lesta ri 1.036 2.877 2.877 2.877 2.877 2.877 Dari Tabel 24 di atas diturunkan dalam bentuk Gambar 20 berikut : Gambar 20. Skenario Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Strata 3 Selama 20 Tahun Dari tabel 24 dan gambar 20 di atas, dengan jarak tanam 3 x 3 m, stock tanaman lestari untuk strata 3 adalah 1778 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan 127 dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur. Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 4 kelas umur tanaman.. Dengan demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi kelas umur tanaman pada strata 3 dapat terjamin konsistensinya. 6.5 Instrumen Kebijakan Keuangan (Insentif) Untuk Jasa Karbon Dan Jasa Air Agroforestri Referensi menunjukkan, ketika subsidi berorientasi input (produksi) didasarkan pada paradigma, bahwa keberadaan hutan/agroforestri menjadi syarat keberadaan berkembangnya manfaat sosial ekonomi dan ekologi agroforestri yang akan meningkatkan distribusi kepemilikan lahan dan stabilitas ekonomi pedesaan. Namun pengalaman setelah 10 tahun pendekatan tersebut digunakan dalam bentuk kredit di Indonesia dan subsidi di Negara-negara Eropa Barat, menunjukkan tujuan tersebut tidak tercapai. Di Indonesia alokasi kredit hutan milik yang beroientasi input, ternyata hanya menguntungkan oknum mitra yang berperan sebagai free rider dengan memanfaatkan kondisi asimetri informasi, untuk mengalihkan kredit pada lahan miliknya dengan alasan mitra adalah penjamin dan penanggung kredit macet. Sedangkan petani mendapat bantuan hanya dalam bentuk input pupuk dan bibit yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga tetap terpelihara dalam kemiskinan, karena keterbatasan luas lahan dan ketiadaan modal usaha. Sedangkan di Negara Eropa Barat pengembangan manfaat selain kayu 128 tidak atau tidak cukup direspon mekanisme pasar, sehingga subsidi orientasi dianggap penghamburan pajak masyarakat dengan return yang tidak seimbang dari hutan milik. Saat ini di Eropa dengan dipelopori oleh Belanda, dilakukan perubahan instrument kebijakan input menjadi kebijakan berorientasi output. Didapatkan perubahan orientasi subsidi dari input ke output terbukti lebih mendukung kejelasan property right hutan milik, sehingga menjamin distribusi alokasi subsidi lebih efisien dan tepat sasaran. Agroforestri desa Sumberejo dan agroforestri umumnya di hulu DAS Kabupaten Wonogiri, dibangun secara swadaya di atas tanah dengan entitas berupa hak kepemilikan yang jelas, sementara kebutuhan petani adalah bagaimana nilai ekonomi jasa air dan karbon dapat ditransfer menjadi sumber peningkatan pendapatan yang menjadi insentif untuk mempertahankan keberadaan dan kesinambungan usaha agroforestri. Kenyataan bahwa agroforestri dibangun secara swadaya, maka untuk usaha di lahan dengan luas < 1 ha, instrument kebijakan finansial kombinasi subsidi berorientasi input dan berbasis output, yaitu mampu mentransfer eksternalitas menjadi penambah pendapatan dan atau mengurangi beban biaya rumah tangga, sehingga mampu mengurangi ketergantungan rumah tangga dari pendapatan off farm serta menurunkan biaya rumah tangga dari peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan akan lebih rasional dalam mendukung kesinambungan agroforestri, bila dibandingkan dengan subsidi yang berorientasi input. Terkait sumber pendanaannya intrumen kebijakan keuangan diarahkan pada prinsip Government Pay Principle, sebagaimana klustering subsidi dan bantuan program pemerintah yang sedang berjalan dan User Pay Principle, yaitu dengan partisipasi masyarakat dan program bentuk tanggung jawab swasta 129 (Corporate Social Responsibility) terkait pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan bencana alam.. Implikasi subsidi berorientasi output memiliki 2 sisi, yaitu dari sisi pemanfaat atau pemerintah subsidi merupakan penambah pendapatan petani yang terkait usaha agroforestrinya dan menjadi insentif yang mendorong petani untuk mempertahankan keberadaan dan mengembangkankan usaha agroforestri. Sedangkan dari sisi petani sebagai produsen keberadaan subsidi menjadi tuntutan untuk bagaimana memelihara, mengamankan keberadaan agroforestri yang dimilikinya dengan mengelolanya secara lebih intensif. Merujuk pada ragam tipe imbal jasa Gouyon (2004), agar alokasi subsidi/imbal jasa langsung terdistribusi pada entitas yang jelas dan kondisi usaha yang relevan, sehingga mendorong petani untuk mau dan mampu mengembangkan dan meningkatkan kontribusi agroforestri pada rumah tangga dan berdampak pada pada pertumbuhan ekonomi Desa. Tipe imbal jasa tidak selalu dalam bentuk bantuan langsung tunai yang berdasarkan pengalaman rawan dari paraktek korupsi. Ragam tipe subsidi meliputi: a) Subsidi ramah-lingkungan, termasuk tarif pajak yang lebih rendah pada lahan dimana konservasi agroforestri dilaksanakan. b) Skema sertifikasi, tergantung pada pilihan konsumen dalam menyediakan peningkatan pangsa pasar dan/ atau harga premi untuk produk-produk agroforestri yang dihasilkan dengan cara yang meminimasi lahan kritis atau pembangunan rendah karbon. Lembaga-lembaga publik dapat menyediakan sumber keuangan bagi pemangku lahan melalui skema keuangan mikro untuk mendukung kegiatankegiatan rehabilitasi seperti komersialisasi hasil hutan non-kayu. 130 Skema transfer pembayaran memberikan kompensasi yang spesifik, bersyarat baik untuk melakukan tindakan tertentu misalnya, rehabilitasi lahan kritis yang menggunakan kombinasi pohon-pohon hutan seperti agroforestri. Dengan memperhatikan karakteristik pedesaan di Indonesia, maka bentuk insentif yang dapat diterapkan adalah: 1. Insentif untuk pengelola agroforestri untuk menerapkan silvilkultur intensif 2. Insentif untuk kegiatan agroforestri di lahan terdegradasi 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengurangan lahan kritis 4. Pembayaran jasa lingkungan Implikasi instrument kebijakan finansial akan efektif bila mengacu pada skenario pemberian subsidi dan kredit yang tidak terlepas dari pola budidaya agroforestri, yaitu berbasis tata waktu budidaya dan evaluasi komitmen petani dalam memenuhi kewajibannya mempertahankan dan mengembangkan agroforestri. Alokasi dana secara transparan, sesuai dengan besaran nilai ekonomi konservasi jasa air dan jasa karbon agroforestri desa Sumberejo per tahun sebagai pagu maksimum, sektor pertanian dan kehutanan secara bersama-sama menyalurkan insentif subsidi dan kredit sesuai dengan kebutuhan nyata. Adapun alokasi waktu tanpa besaran subsidi adalah sebagai berikut: 1. Tahun ke 0 atau t -1 dan t1 – t3, subsidi pada strata 1 (luas < 1 ha), diarahkan pada subsidi on farm. Bentuk subsidi pengembangan jasa konservasi sebagai bantuan tahap awal bibit, berupa biaya pupuk, biaya pengolahan lahan, biaya tanam, biaya pemeliharaan tahun I – III. Strategi ini dilakukan, karena petani belum mampu membiayai investasi di awal. 2. Subsidi berupa social security dan pelatihan diversifikasi usaha yang relevan pada strata 1 dan 2 (< 2ha) diberikan pada t4, t9, t14 dan t19, saat petani menunggu penjarangan dan panen tanaman tahunan. Strategi ini diharapkan 131 dapat mengurangi urbanisasi dan petani dapat lebih intensif menjaga agroforestri. 3. Kredit bunga lunak dan bergulir dialokasikan pada strata 3 (luas ≥ 2 ha) mulai tahun keempat, dengan asumsi tanaman agroforestri mulai berfungsi menghasilkan jasa air dan jasa karbon secara effektif. Grass period diberikan untuk 3 kali masa penjarangan (t14), sedangkan kredit jatuh tempo tahun kedua puluh (t20). 4. Subsidi program prasarana sarana desa, seperti pembangunan sekolah dan sarana kesehatan disalurkan pada t4 – t5, t9 –t10 dan t14 – t15, yang merupakan periode evaluasi komitmen petani. Diharapkan bantuan program dapat didesain dengan masyarakat desa sebagai pelaksananya Instrumen kebijakan keuangan didasarkan keunggulan dan peran strategis agroforestri dalam mengurangi kemiskinan di pedesaan dan konservasi tanah air di daerah hulu DAS melalui rehabilitasi lahan kritis. Argumen ketiadaan modal pada usaha agroforestri dengan luas < 1 ha, serta ketidak cukupan modal pada usaha agroforestri dalam upaya pengembangan, sementara ketiadaan respon pasar terhadap public service yang dihasilkan agroforestri menjadi masalah kelembagaan dalam pencapaian tujuan bersama pemerintah dan petani yang memerlukan intervensi kebijakan affirmatif dari pemerintah. Pengalaman ketidak berhasilan insentif pengembangan hutan rakyat dengan skim kredit dengan kemitraan di masa lalu menjadi pembelajaran agar insentif lebih difokuskan pada pihak-pihak yang secara nyata menginisiasi kelanjutan rehabilitasi lahan kritis yang dipicu oleh program pemerintah.. Diperlukan insentif yang bersifat edukatif bukan sekedar sincerity, karena hal ini secara psikologis akan meningkatkan martabat petani dan keterbukaannya dalam menerima desain skim insentif yang berkesesuaian 132 dengan kebutuhan peningkatan berkesinambungan. usaha dan kesejahteraannya secara Narasi alokasi waktu insentif di atas untuk kasus agroforestri desa Sumberejo dapat dilihat pada tabel 25 berikut ini :. tabel 25. Desain Alokasi Distribusi Waktu Insentif Agroforestri Desa Sumberejo Tahun ke 0 I II III IV V VI VII VIII IX XI XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII XIX XX PENANAMAN 1 Persemaian dan Pembibitan 2 Persiapan Lahan (Ha) 3 Penanaman tanaman tahunan dilaksanakan pada tahun I dan palaw ija selama tahun I, II, III; PEMELIHARAAN 1 Pembersihan/pendangiran dan pemupukan Tanaman Tahunan dilakukan bersamaan dengan tanaman semusim pada Tahun I, I, dan III PENJARANGAN dan PENANAMAN KEMBALI : 3.Penebangan untuk perbaikan mutu tanaman tahunan dan memberi ruang tumbuh tanaman semusim dilaksanakan pada tahun V, X, dan XV 4.Diikuti penanaman kembali tanaman tahunan pada tahun VI danpenanaman tanaman semusim tahun VI, VII, VIII, tahun XI, XII, XIII, dan tahun XVI, XVII, XVIII Tahun ke X PEMANENAN Subsidi investasi (t -1): Bantuan bibit, biaya olah lahan, kompensasi upaya konservasi Subsidi/Kredit investasi penanaman pertanian(t1-t3), penanaman tanaman tahunan (t1) dan pemeliharaan (t1-t3), pemeliharaan lanjutan/perlindungan(t4, t6-t9,t11-t14,& t16-t20) Subsidi social security saat terjadi penurunan sampai dengan tidak adanya pendapatan dari on farm (asumsi tidak ada penanaman selain palawija dan hasil hutan bukan kayu). Alternatif 2 untuk alokasi waktu dan besaran insentif dilakukan dengan pentahapan: 1) Perhitungan balance aliran kas usaha on farm per strata untuk masa 20 tahun; 2) Perhitungan balance aliran kas off farm rumah tangga; 3) Komparasi hasil 1) dan 2) untuk mendapatkan balance aliran kas rumah tangga petani, dan 4) hasil 3) Dengan basis kriteria alokasi kredit menjadikan pendapatan rumah tangga minimal 25% di atas garis kemiskinan didapatkan 133 kebutuhan dan alokasi waktu insentif setiap strata. Adapun alokasi insentif per strata sesuai dengan perhitungan kebutuhan nyata investasi dan posisi pendapatan 25 % di atas garis kemiskinan, adalah : 1) Skenario skim insentif strata 1 : Pada saat tidak ada pendapatan dari panen kayu, strata 1 sama sekali tidak mempunyai kemampuan modal untuk investasi, karena pendapatan on farm dan off farm tidak mampu menutup pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu mutlak diperlukan dukungan insentif berupa subsidi yang besarnya semakin menurun setiap tahun. Subsidi ditujukan untuk dukungan modal investasi dan untuk meningkatkan pendapatan petani 25 % di atas garis kemiskinan (mengentaskannya dari kemiskinan). Jumlah dukungan insentif per tahun jauh di bawah return dari kontribusi nilai ekonomi jasa air agroforestri dan jasa karbon agroforestri strata 1 Rp.117.068.000, dan Rp. 181.051.329 per tahun. Tabel 30 Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strat a 1 Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani Tahun ke (Juta, Rp) per tahun Balance pendapatan 25 % > Total kebutuhan rumah tangga petani GK dukungan insentif per tahun Sesudah Investasi 0 (t – 1) 1 2 3 4 6 7 8 9 11 12 13 14 16 17 18 19 Jumlah total kebutuhan insentif (13,07) (1,67) (1,67) (1,67) (10,07) (1,59) (1,59) (1,59) (1,87) (1,59) (1,59) (1,59) (1,47) (1,28) (1,28) (1,28) (1,47) (46,34) 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 196,775 Keterangan : rincian perhitungan terlampir 24,65 13,25 13,25 13,25 21,65 13,17 13,17 13,17 13,45 13,17 13,17 13,17 13,05 12,86 12,86 12,86 12,86 243,12 134 Alokasi insentif pada strata 1 tidak dibutuhkan pada tahun ke 5, 10, 15 dan 20, karena terdapat penerimaan dari penjualan penjarangan dan pemanen tanaman tahunan. Pendapatan bersih rumah tangga petani pada saat tersebut berada jauh di atas garis kemiskinan yang dapat ditabung untuk tambahan investasi diversifikasi kegiatan usaha di dalam desa yang akan meminimalisir ketergantungan pada pendapatan off farm . Keberadaan tabungan (saving) akan meningkatkan kemampuan konsumsi dan diversifikasi usaha (investmen) yang menambah lapangan pekerjaan di dalam desa, Hal-hal tersebut akan menungurangi pengangguran dan urbanisasi penduduk desa keperkotaan, dan meningkatkan kontribusi agroforestri pada pertumbuhan ekonomi desa. Gambar 22 Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 1 (Luas < 1 ha) 2) Skenario skim insentif strata 2 (rata-rata luas 1,60 ha) Model alokasi waktu dan besaran biaya insentif strata 2, menunjukkan tidak dibutuhkannya dukungan insentif pada tahun ke 5, 10, 15 dan 20, karena terdapat penerimaan dari penjualan penjarangan dan pemanen tanaman tahunan. Pendapatan bersih rumah tangga petani pada saat tersebut berada jauh di atas garis kemiskinan yang dapat ditabung untuk tambahan investasi diversifikasi kegiatan usaha di dalam desa yang akan meminimalisir ketergantungan pada pendapatan off farm . Keberadaan tabungan (saving) akan 135 meningkatkan kemampuan konsumsi dan diversifikasi usaha (investmen) yang menambah lapangan pekerjaan di dalam desa, Hal-hal tersebut akan menungurangi pengangguran dan urbanisasi (buruh) penduduk desa keperkotaan serta meningkatkan kontribusi agroforestri pada pertumbuhan ekonomi desa. Hasil pertanian dan peternakan strata 2 (1 - < 2 ha) berhasil menutup pengeluaran rumah tangga, namun menunjukkan ketidak cukupan modal investasi khususnya pada tahun ke 0 (t-1), tahun ke 4, 9, 14, 16,17, 18, dan ke 19, namun penerimaan yang besar dari hasil penjualan kayu tiga kali penjarangan membuat petani mempunyai kemampuan pengembalian skim kredit tanpa bunga masa 20 tahun dengan grass period 15 tahun (sesudah penjarangan ketiga) Tabel 31 Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 2 Tahun ke 0 (t – 1) 1 2 3 4 6 7 8 9 11 12 13 14 16 17 18 19 Jumlah total kebutuhan insentif Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani (Juta, Rp) per tahun Balance pendapatan 25 % > Total kebutuhan rumah tangga petani GK insentif per tahun Sesudah Investasi (19,21) 3,32 3,32 3,32 (4,76) 1,70 1,70 1,70 (4,76) 0,41 0,41 0,41 (4,76) (0,62) (0,62) (0,62) (4,76) (25,8) 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 196,775 30,785 8,255 8,255 8,255 16,340 9,871 9,871 9,871 16,340 13,17 13,17 13,17 16,340 12,200 12,200 12,200 16,340 241,705 136 Pada strata 2 dengan lahan yang lebih luas daripada strata 1 dibutuhkandukungan insentif yang lebih besar di awal investasi. Namun pendapatan rumah tangga tanpa internalisasi sesudah investasi selama masa 20 tahun sebesar Rp.154,510,000, atau rata-rata Rp 15,451,000 per tahun maka dukungan pada skim kredit tanpa bunga untuk modal investasi awal dan subsidi yang ditujukan pada pengentasan kemiskinan rumah tangga petani (25 % > dari garis kemiskinan terutama pada tahun-tahun dimana penerimaan bersih rumah tangga opetani < dari garis kemiskinan. Sama halnya dengan strata 1, return kontribusi jasa air agroforestri Rp.371.198.432, dan jasa karbon Rp. 507.679.009 yang dihasilkan dari hasil pembangunan agroforestri strata 2 per tahun jauh di atas kebutuhan dukungan insentif. Return tersebut akan jauh lebih besar apabila aspek manfaat jasa tata air agroforestri di hulu DAS diperluas, sehingga sangatlah layak pemerintah memberikan dukungan insentif baik skim subsidi atau pun kredit pada agroforestri strata 2. Gambar 23 Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 2 ( Luas 1 - < 2 ha) 3) Skenario skim insentif strata 3 (rata-rata luas 2,59 ha) 137 Strata 3 memperagakan, bahwa secara ekonomi usaha agroforestri pada luas lahan ≥ 2 ha nyata berbeda dengan usaha pada lahan dengan luas < 2 ha. Lebih kurang 50 % Investasi yang jauh lebih besar dibandingkan strata 1 dan 2,di awal pada tahun 0 (t-1), karena luas rata-rata strata 3 adalah 2,59 ha, ternyata dapat kembali pada tahun ke 3 dari hasil penerimaan pertanian dan peternakan. Penerimaan tahunan rumah tangga menunjukkan minus hanya pada tahun ke 4, 9, 14 dan ke 19, dimana hal tersebut dikarenakan belum adanya panen kayu dan tidak dilakukan penanaman/panen palawija pada tahun-tahun tersebut, sedangkan penerimaan dari palwija mulai menurun 20 % setiap setelah dilakukan penjarangan. Tabel 32. Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 3 Tahun ke 0 (t – 1) 1 2 3 4 6 7 8 9 11 12 13 14 16 17 18 19 Jumlah total kebutuhan insentif Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani (Juta, Rp) Balance pendapatan 25 % > Total rumah tangga petani GK Sesudah Investasi (34,205) 5,945 5,945 5,945 (2,720) 4,112 4,112 4,112 (2,720) 2,86 2,86 2,86 (2,720) 1,1176 1,1176 1,1176 (2,720) (2,981) 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 11,575 196,775 45,78 5,63 5,63 5,63 14,30 7,36 7,36 7,36 14,30 8,75 8,75 8,75 14,30 9,86 9,86 9,86 14,30 241,88 Penerimaan bersih dari hasil penjarangan di tahun ke 5, 10, dan 15 serta 138 panen, selama masa 20 tahun berjumlah Rp. 369,180,000 atau rata-rata Rp.36,918,000 per tahun, sehingga apabila ditambah dengan pendapatan bersih dari palawija dan peternakan dan dikurangi pendapatan minus rumah tangga seluruhnya berjumlah Rp.423,957,000 atau Rp.42,395,7000 pertahun. Nilai usaha agroforestri strata 3 tanpa internalisasi tersebut lebih dari cukup untuk jaminan pembayaran angsuran skim kredit lunak insentif yang bergulir dari program pemerintah. Skim kredit tanpa bunga dapat dipertimbangkan apabila dikaitkan dengan nilai ekonomi jasa air Rp. 699.983.600, dan nilai ekonomi jasa karbon Rp. 821.805.397 per tahun dari strata 3. Gambar 24.. Model alokasi waktu dan bes aran insenti strata 3 (luas≥ 2 ha) Dukungan kebijakan lainnya adalah fasilitasi valuasi ekonomi jasa air dan jasa karbon agroforestri, serta menginisiasi pengembangan pasar karbon sukarela (voluntary market) di dalam negeri untuk pengurangan emisi karbon dari agroforestri. Pengalaman di Brasil dan Filipina, serta Vietnam menunjukkan monitoring karbon pada agroforestri dengan luas sempit secara periodik, lebih efisien dilakukan masing-masing pemilik lahan berbarengan dengan intensifikasi kelola agroforestrinya. Kesinambungan usaha agroforestri secara teknis sangat ditentukan dari 139 intensitas penanaman dan atau penyulaman tanaman pada ruang lahan kosong, sehingga penjarangan yang dilakukan, sehingga setiap saat tanaman tahunan akan mempunyai komposisi umur yang beragam dan bertingkat. Hal ini akan sangat penting, karena pengusahaan agroforestri pada lahan sempit, tidak seperti halnya pengusahaan dalam skala luas (corporate management), dimana pembagian menjadi blok tanaman tahunan yang membuat pemanenan dapat diatur untuk mempertahankan kelestarian hutan.