DAMPAK ASEAN CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) TERHADAP KINERJA UMKM BATIK Oleh Prof. Dr. Hj. Nurhajati, S.E., M.S. Abdul Wahid Mahsuni Agus Salim PHD Universitas Islam Malang ABSTRACT ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) has been taking place since January 1 st 2010, however there is still limited research about its impact on micro, small and medium-sized enterprises (MSMEs) performance in East Java. The research aims at filling the gap by analyzing the impacts of ACFTA on MSMEs performance at three sentral area of batik producer in East Java i.e. Pamekasan, Sidoarjo, and Malang. Data were collected through survey of 60 MSMEs from that sentral producer area. Paired sample t-test was used to analyze the impact of ACFTA on level of sales and profit as the incators of MSMEs performance. The research found that batik producers understand the implication of ACFTA, however most of them (68 percent) experienced decreasing sales of 20 percent in average. On the contrary, 32 percent of MSMEs experience increasing sales by only 13 percent. As the results, profit decrease by 20 percent in averageand profit increase by only 10 percent. In short, performance of MSMEs was significantly decreased after implementation of ACFTA. It was mainly because batik from China was mechanically produced by low cost. Nevertheles, there is a positive indication that local batik producers would have comparative advantage in the near future through product innovation by producing batik with unique design so that difficult to be imitated. Keywords: ACFTA, printed batik, MSMEs performance, product innovation, competitive advantage. 1. Pendahuluan Perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China atau yang lebih dikenal ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Inti kesepatan perdagangan bebas ASEAN dan China adalah penghapusan dan penuruan tariff secara berkala sampai menjadi 0 (nol) persen. Berdasarkan hasil kesepakatan kerangka kerja (Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and thePeople’s Republic of China), 6 negara ASEAN dan China akan menghilangkan atau menurunkan semua hambatan tarif menjadi nol persen pada tahun 2010. 1 Sementara negara baru ASEAN lainnya seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) akan menghilangkan hambatan tarif tersebut hingga tahun 2015 (ASEAN, 2010). Perdagangan bebas ACFTA melalui penghapusan dan/atau penurunan tarif menimbulkan respon yang berbeda, baik positif maupun negatif bagi negaranegara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia. Banyak perusahaan, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) manufaktur di Indonesia yang akan menghadapi tantangan dengan adanya perjanjian perdagangan bebas ACFTA, dengan ribuan pos tarif produk manufaktur menjadi nol persen per 1 Januari 2010. Dengan adanya pengurangan tarif, bahkan nol persen, produkproduk dari negara di kawasan ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke Indonesia dengan harga yang lebih murah. Di sisi lain, produk-produk dari Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar di negara kawasan ASEAN dan China. Pihak yang bersikap positif menganggap bahwa pemberlakuan ACFTA sebagai kesempatan, tetapi bagi pihak yang bersikap negatif memandangnya sebagai ancaman. Beberapa keuntungan dari ACFTA, antara lain Indonesia akan memiliki pemasukan tambahan dari pajak pertambahan nilai (PPn) produk-produk baru yang masuk ke Indonesia. Semakin banyak produk China yang masuk ke Indonesia, makin banyak pula objek pajak sehingga dinilai berpotensi besar mendatangkan pendapatan pajak bagi pemerintah. Selain itu, adanya ACFTA akan memunculkan persaingan usaha yang diharapkan memicu persaingan harga yang sehat dan kompetitif sehingga pada akhirnya konsumen yang ada di Indonesia akan diuntungkan, karena barang yang dibutuhkan relatif terjangkau. Batik merupakan salah satu produk yang termasuk di dalam perdagangan bebas ACFTA. Dengan adanya ACFTA, batik Indonesia mendapat saingan berat dengan produk batik di China, selain produk-produk seperti kerajinan kayu, bambu, keramik, dan jamu. Batik cap asal Tiongkok dengan motif yang sama persis dengan produk lokal Indonesia menjadi ancaman serius bagi produksi batik cap lokal dari Yogyakarta, Pekalangan, Cirebon, dan Solo. Produk batik 2 yang dikenal dengan istilah batik mekanik tersebut telah menguasai pangsa di berbagai kota di tanah air sebesar 25-30 persen (Pikiran Rakyat, 2015). Batik merupakan bagian dari budaya Indonesia yang telah lama ada dan berkembang di masyarakat. Menurut Kementrian Perindustrian (2011), sejak ratusan tahun lalu, masyarakat Indonesia sudah akrab dengan batik. Dahulu batik sekadar menjadi simbol warisan budaya, sehingga hanya digunakan untuk acara-acara tertentu, seperti pesta pernikahan dan berbagai kegiatan resmi. Kini, cara pandang masyarakat Indonesia sudah berubah. Batik sudah menjadi sebuah usaha (bisnis) yang sangat prospektif sejalan dengan berkembangnya industri kreatif, bahkan menjadi motor penggerak ekonomi. Eksistensi batik makin kokoh setelah United Nation Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai world heritage atau warisan budaya pada tanggal 2 Oktober 2009. Pemerintah Indonesia juga menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Oleh karena itu, usaha batik di Indonesia perlu terus dikembangkan. Pada acara World Batik Summit (WBS), yang berlangsung 28 September hingga 2 Oktober 2011, di Jakarta Convention Center, Presiden SBY menegaskan bahwa untuk mengembangkan batik meliputi empat aspek yaitu budaya, ekonomi, lingkungan, dan diplomasi Internasional. Dari aspek ekonomi, nilai transaksi perdagangan batik pada tahun 2006 pencapai Rp 2,9 triliun, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 3,9 triliun. Sementara, nilai ekspor pada tahun 2006 sebesar US$ 14,3 juta dan pada tahun 2010, mencapai US$ 22,3 juta, dengan peningkatan 56 persen. Jumlah tenaga kerja yang diserap industri batik mencapai 916.783 orang pada tahun 2010. Jumlah konsumen batik tercatat 72,86 juta orang (Kemendag, 2011). Melihat potensi dan nilai budaya batik, sudah selayaknya Indonesia mengembangkan usaha batik terutama di pusat-pusat batik tradisional seperti Solo, Yogya, Pekalongan, Garut, Sumenap, Malang, dan banyak tempat yang lain. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis dampak ACFTA terhadap kinerja UMKM batik seperti Wijayanan dan Sukirman (2015)0 di Banyumas, Putra (2012) dan Sunaryo dkk. (2014) di Pekalongan. Publikasi penelitian dampak ACFTA terhadap kinerja UMKM Batik di Jawa Timur masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mengisi kekurangan informasi tersebut. 3 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak ACFTA terhadap kinerja UMKM batik di Jawa Timur, khususnya di pusat produksi batik di Pamekasan, Sidoarjo, dan Malang. Hasil penelitian diharapkan memberi informasi kepada pihak terkait (pengelola usaha batik, pemerintah, dan peneliti selanjutnya) tentang upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja batik sebagai salah satu asset budaya Indonesia. 2. Kajian Pustaka 2.1 Perdagangan Internasional Perdagangan internasional secara teoritis terjadi karena suatu negara mampu menghasilkan produk dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui dua teori, yaitu teori keunggulan komparatif dari David Ricardo dan teori intensitas penggunaan faktor produksi oleh Heckscher-Ohlin (HO). Teori keunggulan komparatif dikemukakan oleh David Ricardo (Krugman dan Obstfeld, 2011). Menurut Ricardo, perdagangan internasional terjadi apabila terdapat perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu Keunggulan memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Misalnya, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi kopi dan timah. Indonesia mampu memproduksi kopi secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi timah secara efisien dan murah. Sebaliknya, Malaysia mampu dalam memproduksi timah secara efisien dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi kopi secara efisien dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi timah. Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua negara bersedia bertukar kopi dan timah. Berlandaskan teori keunggulan komparatif, Indonesia seharusnya memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan barang-barang yang berbasis alam karena sumber daya alam Indonesia tersedia dalam jumlah banyak sehingga biaya produksi lebih murah. Dalam teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan 4 standar hidup dan pendapatan jika suatu negarai melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi. Teori Heckscher-Ohlin atau biasanya disingkat menjadi Teori HO pada prinsipnya menjelaskan bahwa perdagangan internasional terjadi karena suatu negara mampu mengimbinasikan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan produk dengan biaya yang lebih rendah (Thompson, 2001). Analisis HO didasarkan pada hipotesis berikut: (a) harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara, (b) comparative advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilikinya, (c) masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya, dan (d) sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya. Berdasarkan hipotesis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa teori HO menjelaskan keunggulan komparatif dari dua faktor, yaitu (a) bahwa keunggulan komparatif dapat dicapai melalui faktor endowment, yakni kepemilikan faktorfaktor produksi di dalam suatu negara, dan (b) faktor faktor intensity, yakni teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, apakah labor intensive atau capital intensive. Teori HO memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan produktivitas antar negara. Negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya (Donald, 2000). 2.2 Integrasi Ekonomi Integrasi ekonomi merupakan bagian dari upaya suatu negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan cara membebaskan perdagangan dari segala bentuk proteksi dan restriksi, dengan menciptakan area perdagangan bebas atau free trade area (Jovanovic, 1998). Integrasi ekonomi adalah 5 penghilangan atau penghapusan rintangan perdagangan antara paling sedikit dua Negara dan membangun koordinasi dan kerjasama antar Negara yang tergabung didalamnya (El-Algraa, 1998). Oleh karena integrasi ekonomi adalah area perdagangan bebas maka umumnya dilakukan oleh negara-negara yang berada dalam satu kawasan. Tujuan utama integrasi ekonomi adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan perluasan pasar, internalisasi increasing return to scale dalam produksi dan konsumsi, dan meningkatkan standar hidup masyarakat sekaligus mengurangi tingkat disparitas diantara sesama negara anggota (Daniel dan Radebaugh, 1986). Kawasan integrasi ekonomi juga akan mempermudah transfer produk, barang dan tenaga kerja yang pada akhirnya dapat membentuk sebuah integrasi secara total yang juga menyangkut aspek politik (Chu dan Park, 2007). Manfaat dari pembentukan integrasi ekonomi akan semakin besar apabila terdapat beberapa kondisi, seperti negara anggota memiliki keunggulan komparatif yang hampir sama, negara anggota memiliki small market size, dan pengenaan tarif terhadap negara bukan anggota adalah rendah (Gibb dan Michalak,1994). Secara teoritis terdapat berbagai bentuk/kriteria dari integrasi ekonomi. Jones dan Plummer (2004) memberikan klasifikasi mengenai tingkatan dari intergasi ekonomi menjadi 5 tingkatan, yakni : (i) free trade area;(ii) costom union;(iii) common market; (iv) economic union ; (v) total economic integration. Free trade area ditandai oleh adanya perdagangan bebas tanpa adanya hambatan tarif diantara negara anggota tetapi masing-masing negara anggota masih dibolehkan mengenakan tarif untuk negara bukan anggota. Custom union menerapkan pengurangan tarif impor dari sesama negara anggota dan menerapkan hambatan perdagangan yang sama terhadap negara bukan anggota melalui kebijakan Common External Tariff (CET). Common market perluasan dari custom union dengan adanya tambahan pergerakan bebas atas faktor produksi (barang, modal, tenaga kerja dan jasa) diantara sesama negara anggota. Economic union perjanjian kerjasama ekonomi yang melibatkan harmonisasi kebijakan ekonomi nasional dan kebijakan fiskal. Sedangkan political union bentuk integrasi yang melibatkan harmonisasi politik secara lengkap diantara sesama negara anggota, yakni dengan penguasaan politik tunggal di suatu kawasan integrasi ekonomi. 6 membentuk 2.3 ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatanhambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China (Direktorat Kerjasama Regional, 2014). Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEANChina FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos. Persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Cebu, Filipina, pada bulan Januari 2007. Sedangkan Persetujuan Investasi ASEAN China ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN tanggal 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand. Tujuan dari perjanjian ACFTA, antara lain adalah (1) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negaranegara anggota, (2) meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi, (3) menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota, dan (4) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi di antara negara-negara anggota (Direktorat Kerjasama Regional, 2014). Peluang adanya perjanjian ACFTA, antara lain adalah (1) meningkatnya akses pasar ekspor ke China dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi produkproduk nasional, (2) meningkatkanya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis”, (3) meningkatnya akses pasar 7 jasa di China bagi penyedia jasa nasional, (4) meningkatnya arus investasi asing asal China ke Indonesia, (5) terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara. Manfaat adanya perjanjian ACFTA, antara lain adalah (1) terbukanya akses pasar produk pertanian (Chapter 01 s/d 08 menjadi 0%) Indonesia ke China pada tahun 200, (2) terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40% dari Normal Track (± 1880 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%, (3) terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada tahun 2007 yang mendapatkan tambahan 20% dari Normal Track (± 940 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%, dan (4) pada tahun 2010, Indonesia memperoleh tambahan akses pasar ekspor ke China sebagai akibat penghapusan seluruh pos tarif dalam Normal Track China, dan (5) sampai dengan tahun 2010 Indonesia menghapuskan 93,39% pos tarif (6.683 pos tarif dari total 7.156 pos tarif yang berada di Normal Track ), dan 100% pada tahun 2012. Tantangan adanya perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), antara lain adalah (1) Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk China, (2) menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing, (3) menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transparan, efisien dan ramah dunia usaha, dan (4) meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby. 2.4 Kinerja Perusahaan Setiap perusahaan bertujuan mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Perusahaan sebagai organisasi yang profit-riented, tujuannya adalah mencapai keuntungan maksimum. Keuntungan dapat diartikan dalam bentuk manfaat sehingga ada manfaat yang bersifat kualitatif dan ada manfaat yang kuantitatif. Manfaat kualitatif misalnya terkait dengan image masyarakat terhadap sebuah perusahaan, merek yang makin dikenal, atau sebaliknya dalam bentuka kerugian seperti nama perusahaan tercemar karena mengganggu lingkungan, perusahaan terlibat didalam perdagangan yang illegal, dan 8 sebagainya. Penelitian ini akan fokus pada kinerja kuantitati, khususnya penjualan dan laba yang diperoleh UMKM batik. Penjualan merupakan sebuah proses dimana kebutuhan pembeli dan kebutuhan penjual dipenuhi, melalui antar pertukaran informasi dan kepentingan (Kotler, 2005). Penjualan perlu dikembangkan melalui rencana strategis yang diarahkan pada usaha pemuasan kebutuhan dan keinginan pembeli sehingga mendapatkan penjualan yang menghasilkan laba (Marwan, 2006). Penjualan merupakan sumber hidup suatu perusahaan, karena dari penjualan dapat diperoleh laba serta suatu usaha memikat konsumen yang diusahakan untuk mengetahui daya tarik mereka sehingga dapat mengetahui hasil produk yang dihasilkan. Laba usaha merupakan pendapatan perusahaan dikurangi biaya eksplisit atau biaya akuntansi perusahaan (Salvatore, 2005). Laba usaha berbeda dengan laba ekonomi, yaitu pendapatan perusahaan dikurangi dengan biaya eksplisit dan biaya implisit. Dalam akuntansi, laba kotor adalah keuntungan penjualan yakni perbedaan antara pendapatan dengan biaya untuk membuat suatu produk atau penyediaan jasa sebelum dikurangi biaya overhead, gaji, pajak dan pembayaran bunga. Penjualan bersih didapatkan dengan cara mengurangi penjualan kotor dengan retur penjualan dan diskun penjualan. 3. Metode Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kuantitatif dengan metode survei terhadap pelaku UMKM Batik di Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)) Batik Malang, Sidoarjo, dan Pamekasan-Madura. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Timur (2013) diketahui bahwa industri batik khususnya batik tulis cukup banyak terdapat di wilayah Malang Raya, Sidoarjo, dan Pamekasan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perajin batik yang menghasilkan produk batik yang terdaftar di Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan di tiga lokasi penelitian, yaitu di Malang (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu), Kota dan Kabupaten Sidoarjo, dan PamekasanMadura. Setelah dilakukan studi lapangan diketahui bahwa jumlah perajin batik di tiga pusat produksi batik berjumlah 60 unita usaha sehingga seluruhnya 9 dijadikan sampel, dengan kata lain studi ini adalah sensus terhadap perajin batik di tiga pusat produksi tersebut. Responden dalam penelitian ini adalah pemilik dan/atau pengelola usaha kecil batik di Malang Raya, Sidoarjo, dan Pamekasan. Data dikumpulkan secara langsung dari usaha-usaha kecil dan rumah tangga penghasil batik menggunakan kuesioner. Teknik penyerahan kuesioner secara langsung menurut Arsono (1995) dirasakan lebih baik dibandingkan dengan mail survey karena dapat memperkecil perbedaan interpretasi antara responden dan peneliti. Wawancara mendalam (in-depth interview) juga dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih detail dari responden terkait data yang berifat kualitatif. Hasil wawancara diharapkan menjadi cross-check terhadap hasil kuesioner sehingga meningkatkan validitas instrumen dan reliabilitas data. Data kuantitatif yang dikumpulkan meliputi tingkat penjualan dan laba usaha batik sebelum dan sesudah pelaksanaan ACFTA. Data yang dikumpulan berupada persentase peningkatan atau penurunan, dengan pertimbangan bahwa perajin akan cenderung memberikan data yang bias dalam bentuk angka nomial atau absolut. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji beda berpasangan (pair sample t-test) untuk dua rata-rata hitung sebelum dan setelah pelaksanaan ACFTA. Perbandingan yang dimaksud adalah kinerja UMKM batik dilihat dari tingkat penjualan dan laba usaha. 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Hasil Penelitian Sebelum menganalisis dampak ACFTA terhada kinerja UMKM batik, perlu diketahui informasi awal dari pelaku UMKM terkait dengan makna ACFTA. Informasi awal tersebut adalah (1) tarif barang yang masuk ke Indonesia termasuk harga batik dari China yang murah, (2) produk dari Cina termasuk batik makin banyak yang masuk ke Indonesia, dan (3) pemerintah Indonesia tidak bisa membatasi jumlah produk batik dari Cina yang masuk ke Indonesia. Sebagian besar responden (56,7%) setuju bahwa dengan adanya ACFTA tarif barang dari negara-negara anggota ASEAN dan dari Cina yang masuk ke Indonesia termasuk batik makin murah (Tabel 1). 10 Secara keseluruhan untuk responden yang setuju dan sangat setuju adalah 66,7% yang mengindikasikan bahwa sebagian besar pelaku UMKM batik memahami arti dari ACFTA. Sejalan dengan prinsip ACFTA melalui Common Effective Preferential Tariff (CEPT), tarif perdagangan barang diantara negara-negara ASEAN dengan Cina akan dikurangi secara bertahap menjadi nol pada tahun 2015. Artinya, di akhir tahun 2015 benar-benar tidak ada tarif bea masuk terutama untuk barang-barang yang termasuk dalam kategori normal track. Oleh karena tarif nol persen maka produk batik dari China yang lebih murah menguasai pasar di Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN. Namun, masih ada 12 responden atau 20% yang menyatakan tidak tahu tentang hubungan ACFTA dengan tarif barang yang masuk ke Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena ada pelaku UMKM yang menghasilkan produk batik dengan pasar sasaran di wilayah Jawa Timur. Produsen yang tidak berorientasi ekspor cenderung untuk tidak memperhatikan persoalan perdagangan internasional. Tabel 1. Pendapat Responden tentang “Dengan adanya perdagangan bebas dengan Cina, tarif barang yang masuk ke Indonesia termasuk batik makin murah” No. 1 2 3 4 5 Pendapat Responden Sangat tidak setuju Tidak setuju Tidak Tahu Setuju Sangat Setuju Jumlah Frekuensi (orang) 0 8 12 34 6 60 Persentase (%) 0 13,3 20,0 56,7 10,0 100,00 Pelaku UMKM batik lebih memahami aliran masuknya barang ke Indonesia dengan adanya perdagangan bebas ASEAN-Cina. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan sekitar 87% responden yang setuju dan sangat setuju bahwa perdagangan bebas menyebabkan produk dari Cina termasuk batik makin banyak yang masuk ke Indonesia. Masuknya barang dari Cina ke Indonesia popular di masyarakat dan sudah cukup banyak diungkapkan melalui media massa baik cetak maupun elektronik dan televisi. Walaupun demikian masih ada 8 responden atau 13% yang tidak tahu bahwa dengan perdagangan bebas khususnya ASEAN dengan Cina maka 11 produk dari negara lain akan banyak masuk ke Indonesia. Sekali lagi, responden yang merupakan produsen yang berorientasi pada pasar lokal kurang atau bahkan tidak memperhatikan pasar internasional. Tabel 2. No. 1 2 3 4 5 Pendapat Responden tentang “Perdagangan bebas menyebabkan produk dari Cina termasuk batik makin banyak yang masuk ke Indonesia” Pendapat Responden Sangat tidak setuju Tidak setuju Tidak Tahu Setuju Sangat Setuju Jumlah Frekuensi (orang) 0 0 8 46 6 60 Persentase (%) 0 0 13,3 76,7 10,0 100,00 Informasi awal terakhir terkait ACFTA adalah campur tangan pemerintah dalam membatasi jumlah produk negara lain yang masuk ke Indonesia. Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir semua responden (sekitar 93%) setuju dan sangat setuju bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa membatasi jumlah produk batik dari China yang masuk ke Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip ACFTA yang telah disetujui oleh pemimpin negara-negara ASEAN dan China. Tabel 3. Pendapat Responden tentang “Pemerintah Indonesia tidak bisa membatasi jumlah produk batik dari China yang masuk ke Indonesia” No. 1 2 3 4 5 Pendapat Responden Sangat tidak setuju Tidak setuju Tidak Tahu Setuju Sangat Setuju Jumlah Frekuensi (orang) 0 0 4 34 22 60 Persentase (%) 0 0 6,7 56,7 36,7 100,00 Pemahaman yang baik dari pelaku UMKM batik tentang makna ACFTA diharapkan mendorong UMKM untuk terus berupaya meningkatkan kinerja dan daya saing menghadapi perdagangan bebas khususnya dengan China. Produk dari China sudah dikenal masyarakat Indonesia karena harganya bersaing dengan produk sejenis di Indonesia maupun dari negara lain. Penurunan dan penghapusan tariff bea masuk produk batik dari China ke Indonesia berdampak pada penurunan penjualan rata-rata 20,24% yang dialami oleh 41 unit UMKM, sedangkan yang meningkat pendapatannya hanya 19 unit 12 usaha dengan rata-rata kenaikan 12,60% (Tabel 4). Sebanyak 6 UMKM yang meningkat penjualan usahanya ternyata tidak diikuti dengan peningkatan laba. Secara keseluruhan rata-rata penurunan penjualan lebih besar daripada peningkatan laba. Tabel 4. Penurunan dan Kenaikan Penjualan dan Laba UMKM Batik Keterangan Jumlah UMKM Penurunan penjualan 41 Minimal (%) 5,00 Maksimal (%) 45,00 Rata-rata (%) 20,24 Peningkatan penjualan 19 4,00 20,45 12,60 Penurunan laba 47 6,00 40,00 20,21 Peningkatan laba 13 4,00 15,00 10,38 Kinerja secara umum adalah tingkat penurunan penjualan dan laba lebih besar daripada tingkat kenaikan penjualan dan laba. Rata-rata laba sebelum ACFTA sebesar 26,55% sementara rata-rata penjualan sesudah ACFTA sebesar 13,28% sehingga terdapat selisih sebesar 13,27%. Hasil uji statistik dengan paired sample t-test selisih tersebut signifikan pada α = 5%, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat penjualan UMKM batik sesudah pelaksanaan ACFTA menuruh (Tabel 5). Demikian pula tingkat laba sebelum ACFTA rata-rata laba sebesar 17,43% dan sesudah ACFTA sebesar 13,03% sehingga terjadi penuruhan rata-rata 4,40%. Hasil uji statistik (Tabel 5) menunjukkan bahwa laba UMKM batik secara signifikan menurun. Tabel 5. Hasil uji Paired Sample t test pada Penjualan dan Laba UMKM Batik Kinerja Paired Sample t-Test Kesimpulan Mean t-hitung Sig (2-tailed) Penjualan 13,27 6,30 0,000 Signifikan Laba 4,40 3,83 0,000 Signifikan 4.2 Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku UMKM batik mamahami makna ACFTA karena sebagian besar responden (56,7%) setuju bahwa produk batik dari China yang masuk ke Indonesia makin murah karena penghapusan 13 tariff bea masuk; sekitar 87% responden yang setuju dan sangat setuju bahwa perdagangan bebas menyebabkan produk dari Cina termasuk batik makin banyak yang masuk ke Indonesia, dan hampir semua responden (93%) setuju dan sangat setuju bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa membatasi jumlah produk batik dari China yang masuk ke Indonesia. Tingkat pemahaman yang baik dari pelaku UMKM batik terkait ACFTA karena sejak mulai berlakunya ACFTA pada 1 Januari 2010 berita tentang peluang dan ancaman ACFTA cukup banyak disampaikan melalui media massa. Walau demikian, masih terdapat 20 responden atau 33,3% yang tidak setuju dan tidak tahu bahwa tariff bea masuk terhadap produk batik dari China makin murah dan sekitar 13% responden yang menyatakan tidak tahu bahwa produk batik dari China yang masuk ke Indonesia makin banyak setelah adanya ACFTA. Pelaku UMKM batik yang tidak setuju dan tidak tahu dampak ACFTA disebabkan antara lain sebagian UMKM memproduksi batik untuk memenuhi segmen pasar khusus di dalam negeri seperti pakaian pesta. Masuknya produk batik China ke Indonesia berdampak terhadap kinerja UMKM batik yang ditunjukkan oleh penjualan yang menurun. Penurunan penjualan terjadi pada sebagian besar (41 unit usaha atau 68%) UMKM batik di tiga pusat produksi batik di Jawa Timur (Pamekasan, Sidoarjo, dan Malang). Penurunan penjualan rata-rata 20% dibandingkan penjualan sebelum adanya ACFTA. Penurunan penjualan paling besar mencapai 45% dan paling kecil adalah 5%. Sebaliknya, terdapat 19 UMKM batik yang penjualannya meningkat rata-rata sekitar 13% dengan kenaikan paling tinggi 20% dan terendah 4%. Penurunan penjualan berakibat pada menurunnya laba yang diperoleh UMKM batik. Penurunan dialami oleh 47 UMKM atau sekitar 80% dengan rata-rata 20%, sedangkan yang mengalami peningkatan penjualan hanya 13 UMKM atau sekitar 20% dengan rata-rata kenaikan 10% setelah adanya ACFTA. Secara keseluruhan terjadi penurunan penjualan rata-rata sekitar 13% dan penurunan laba sebesar 4%. Penurunan ini ternyata signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Penurunan kinerja UMKM batik setelah berlangsungnya ACFTA disebabkan oleh paling tidak dua faktor. Pertama, penurunan dan penghapusan bea masuk menyebabkan produk dari China yang masuk ke ASEAN dan secara khusus ke Indonesia mampu bersaing dengan produk batik dalam negeri karena 14 harga jual produk batik China menjadi lebih murah dibandingkan sebelumnya. Persaingan harga setelah ACFTA adalah hal yang wajar untuk produk sejenis yang diharapkan berdampak positif terhadap inovasi UMKM batik untuk mampu bersaing melalui inovasi produk, inovasi proses, inovasi organisasi, dan inovasi bisnis secara keseluruhan. bersaing. Inovasi akan memungkinkan UMKM mampu Melalui inovasi produk, misalnya akan menghasilkan produk yang menarik karena desain atau motif yang berbeda atau unik. Sementara inovasi proses akan berdampak pada biaya operasional yang lebih mudah sehingga mampu bersaing. Inovasi organisasi terkait kemampuan UMKM untuk mengelola tenaga kerja yang dimiliki sehingga lebih terampil, mampu mengembangkan ideide inovasi, dan cara kerja yang lebih baik. Akhirnya inovasi bisnis adalah kombinasi antar jenis-jenis inovasi produk, proses, dan organisasi. Misalnya, selain menghasil produk berkualitas juga disertai layanan pemasaran yang baik. Layanan kepada konsumen dapat berupa ketepatan waktu produksi atau penyampaikan produk sesuai pesanan, memberikan informasi yang dibutuhkan konsumen, mendengarkan keluhan konsumen, dan lain-lain. Faktor kedua yang menyebabkan menurunnya penjualan dan laba UMKM batik di Indonesia setelah adanya ACFTA adalah perbedaan teknis produksi batik antara China dan Indonesia. Batik dari China adalah batik cap sedangkan sebagian besar batik di tiga daerah sentra produksi di Jawa Timur yang diteliti adalah batik tulis. Batik cap atau lebih dikenal sebagai batik mekanik asal Tiongkok dengan motif yang sama persis dengan produk lokal Indonesia menjadi ancaman serius bagi produksi batikdi Indonesia. Hasil penelitian Immawan menemukan bahwa batik mekanik asal China menguasai pangsa di berbagai kota di Indonesia sebesar 25-30 persen (Pikiran Rakyat, 2015). Produk batik Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan pasar sejak UNESCO mengukuhkan Batik Indonesia sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 2 Oktober 2009, yang diikuti penetapan tanggal tersebut sebagai hari batik nasional. Berdasarkan hasil penelitian Immawan seperti yang dilaporkan melalui Pikiran Rakyat (2015), penjualan batik Solo, Yogyakarta dan Pekalongan meningkat tajam setelah penetapan UNESCO tersebut. Pasar batik Solo omzet penjualan meningkat antara 30 – 50% pada tahun 2010 dan sekitar 200% pada tahun berikutnya (2011). Peningkatan pada kisaran yang sama berlaku di pasar-pasar di Yogyakarta dan Pekalongan. 15 Melihat pasar batik meningkat tajam di Indonesia, produsen China memasuki pasar batik di berbagai kota di Indonesia setelah berlakunya ACFTA tahun 2010. Batik Tiongkok bisa dikategorikan sebagai batik cap, tetapi produksinya menggunakan mesin atau disebut batik mekanik. Ekspor batik mereka sangat massif. Sebagai contoh batik asal China selama tiga bulan pertama 2013 (Januari-Maret) masuk pasar Indonesia sebanyak 159 ton, dengan nilai 4.6 juta dolar AS atau setara Rp 43.7 miliar (Pikiran Rakyat, 2015). Hal serupa juga dikemukakan oleh Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta bahwa masuknya produk batik dari China sebesar Rp43 miliar selama tiga bulan di awal tahun 2013 merupakan merupakan ancaman luar biasa bagi industry batik Indonesia. Harga batik dari China jauh lebih murah dari batik lokal dan karakteristik masyarakat Indonesia sebagai negara berkembang lebih menyukai barang yang murah meski kualitasnya rendah. Batik China sangat mirip dengan batik Indonesia, bahkan mereknya banyak sama dengan merek indonesia tetapi harganya jauh lebih murah. Masyarakat Indonesia lebih memilih yang lebih murah dan warnanya menarik meski kualitas batik lita jauh lebih baik (Economy, 2013). Oleh karena itu pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas untuk mengatasinya. Pemerintah harus segera mewaspadai keadaan tersebut dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Misalnya melakukan program seperti membuat aturan yang tujuannya membatasi impor batik atau dengan cara lain misalnya menaikkan paja produk batik dari luar negeri. Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) mengharapkan Kementerian Perdagangan membentuk sebuah komite untuk mengwasi peredaran barang impor di pasaran (Economy, 2013). Pandangan sebaliknya dikemukakan oleh Kemenderian Perdagangan. Bahwa pemberlakuan ACFTA membuat batik produksi Tiongkok membanjiri pasar dalam negeri. Itu akibat bea masuk produk sebesar nol persen. Meski begitu, batik lokal masih bisa bertahan karena memiliki kualitas lebih baik daripada batik printing asal Cina. Kualitas yang dihasilkan (batik asal Cina) masih di bawah produk batik asal Indonesia (Kemenperin, 2012). Menurut Dirjen Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian, batik adalah produk asli Indonesia yang dibuat dengan keterampilan tertentu. 16 Batik Indonesia bahan bakunya terdiri atas kain batik dengan bahan baku gondorukem dan menggunakan canting dalam proses produksinya. Untuk batik cap, menggunakan bahan baku katun dan mempunyai teknik khusus dalam membuat produknya. Batik printing asal Cina, diproduksi dengan menggunakan mesin tanpa keterampilan manusia. Batik Cina hanya diprint dan harganya lebih murah serta proses produksinya tidak sesuai dengan ketentuan UNESCO (Kemenperin, 2012). Masuknya produk batik dari China setelah adanya ACFTA menjadi ancaman tetapi ancaman tersebut dapat diubah menjadi peluang dengan cara melakukan inovasi. Menurut Stovia (2012), para pelaku usaha batik lokal saat ini mulai membuat motif-motif batik yang tak bisa ditiru oleh produsen batik China. Ditambah lagi kualitas bahan kain batik itu sendiri yang tetap dipertahankan dan akhirnya mampu bersaing di negeri sendiri bahkan mulai merambah persaingan dunia. Permintaan batik lokal terus meningkat, hal ini juga berdampak pada kesempatan kerja dalam negeri hingga mampu mengurangi jumlah pengangguran. Apalagi dengan banyaknya pihak yang mendukung usaha batik dalam negeri maka perkembangan industri batik dalam negeri akan mampu bertahan. Hal senada juga dikemukakan oleh Mubarok (2013) yang dalam penelitiannya di Lamongan, menemukan bahwa dengan meningkatkan kualitas produk batik lokal oleh para pengusaha dan kebijakan serta strategi yang dijalankan oleh pemerintah dalam rangka melestarikan dan mengembangkan batik lokal telah menghasilkan dampak positif. Dengan meningkatnya nilai produksi batik lokal menunjukkan bahwa telah terjadi dampak positif dari perdagangan bebas ACFTA yang mengakibatkan membanjirnya produk batik Cina, masyarakat atau para pengrajin batik lokal menganggap produk batik Cina bukan merupakan ancaman karena produk batik lokal memiliki kualitas lebih bagus dan lebih memiliki nilai seni. Dampak positif lainnya yaitu terlihat dari ketahanan ekonomi keluarga pengrajin batik lokal. Ketahanan ekonomi keluarga yang diukur dari tingkat pendapatan dan pengeluaran para pengrajin batik lokal menunjukkan rata-rata tahan dan diatas garis kemiskinan atau tidak miskin. Kebijakan pemerintah yang mewajibkan masyarakat memakai batik pada hari Batik Nasional dan satu hari secara regular pada hari kerja untuk pegawai atau satu hari sekolah bagi pelajar, juga menjadi salah satu kebijakan yang 17 mendukung pengembangan usaha batik lokal. Namun, perlu disertai dukungan pemerintah untuk melindungi perajin batik local terhadap ancaman produk batik mekanis dari China, misalnya mendorong produsen lokal untuk menghasilkan produk batik dengan harga murah untuk memenuhi kebutuhan konsumen Indonesia yang daya belinya masih rendah. 5. Simpulan dan Saran Perdagangan bebas ASEAN dengan China (ACFTA) memberi dampak negatif terhadap kinerja batik local Indonesia dilihat dari tingkat penjualan dan laba yang menurun. Penurunan penjualan dan laba disebabkan harga produk batik dari China harganya lebih murah dengan motif, warna, dan kualitas yang relatif sama. Murahnya produk batik China selain tidak ada tariff bea masuk, juga disebabkan produk bati China diproduksi secara mekanis, sedangkan batik Indonesia dihasilkan dengan cap atau batik tulis. Namun, dengan berjalannya waktu ada indikasi bahwa produk batik UMKM lokal mulai mampu bersaing dengan produk batik dari China. Pelaku UMKM batik dapat menghasilkan produk dengan motif batik dengan keterampilan khusus yang sulit ditiru. Konsumen Indonesia juga secara bertahap dapat membedakan kualitas produk batik printing dari China dan produk local yang lebih baik kualitasnya. Disarankan kepada pemerintah untuk mendukung perajin batik lokal melalui berbagai cara, seperti pelatihan keterampilan menghasilkan batik yang berkualitas baik, meningkatkan efektivitas perkreditan bagi UMKM yang kesulitan modal untuk pengembangan usaha, peningkatan/perluasan jaringan pemasaran, dan membangun kerjasama antara perajin kecil dengan usaha-usaha menengah dan besar dalam pengembangan usaha. Pemerintah juga diharapkan secara terus-menerus meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai produk lokal dan tidak berpandangan bahwa produk luar negeri lebih bergengsi dan selalu lebih baik kualitasnya. 18 DAFTAR PUSTAKA Chu, C. P. dan S. C. Park. 2007. Regional Integration in Central and Eastern Europe and the Prospects for the Fifth Enlargement of the Europe, Paper, National Science Council Republic of China:1-19 Daniels, J.D dan L. H. Radebaugh. 1986. International Business: Environments and Operations, Addison-Wesley,MA Direktorat Kerja Sama Regional-Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional. ASEAN China Free Trade Area. http//ditjenkpi.depdag.go.if/Umum/ Regional/Win/ ASEAN%20- %20China%FTA.pdf. Donald. 2000. Bisnis Internasional. Jakarta: Salemba Empat. Economy, 14 Mei 2013. Batik Cina Ancaman untuk UKM. http://economy.okezone.com/ read/2013/05/14/320/806870/batik-chinaancaman-untuk-ukm, diakses tanggal 29 September 2016. El-Algraa, A. M. 1998. European Union: Economics and Policy. New York: Prentice-Hall. Helfert, E. A. 1996. Financial Management. Jakarta: Erlangga Jones, E. dan M.G. Plummer (ed.). 2006. International Economic Integration and Asia. New Jersey; World Science. Jovanovic, B. 1998. Vintagen Capital and Inequality. Review of Economic Dynamic, ELSEVIER, 1 (2): 497 – 530. Kemenperin. 2012. Batik Lokal Ungguli Batik Cina. http://www.kemenperin.go.id/artikel/ 4656/Batik-Lokal%202012 , diakses tanggal 29 September 2016. Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran, Edisi Kesebelas, jilid 2. Jakarat: Penerbit Erlangga. Krugman, P.R. dan M. Obstfeld. 2011. International Econbomics: Theory and Policy. Seventh Edition. Eddison-Wesley. Boston. Marwan, S. 2006. Marketing. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mubarok, A. 2013. Dampak Produk Batik Cina Terhadap Ketahanan Ekonomi Keluarga Pengrajin Batik Lokal (Studi di Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan). http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Pen elitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=60963 , diakses tanggal 29 September 2016. Munawir. 2001. Analisa Laporan Keuangan. Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty. Pikiran Rayat, edisi 22 September 2015. http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/ 2015/09/22/343321/batik-cap-tiongkok-mengancam-produk-batik-lokal, diakses tanggal 29 September 2016. 19 Putra, E.A. 2012. Analisis Pengaruh Implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) Terhadap Perkembangan Usaha Industri Batik (Studi Kasus di Sentra Industri Batik Pesindon dan Kauman, Kota Pekalongan. Skripsi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang. Salvatore, Dominick. 2005. Ekonomi Manajerial dalam Perekonomian Global. Jakarta: Salemba Empat. Stovia. 2012. Dampak Perjanjian ACFTA pada Produk Batik Lokal Indonesia dan Perkembangan Sistem Perekonomian Syari’ah di Indonesia. Harian Republika, Kamis, 26 Juli 2012. Sunaryo, W.A., Mutadin, dan Maghfiroh. 2014. Identifikasi Lima Tahun Pasca Pengukuhan Batik oleh UNESCO Terhadap Perkembangan IKM Batik di Kota Pekalongan (Studi Kasus di Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Pesinden). Jurnal LITBANG Kota Pekalongan, 122-140. Thompson, H. 2001. International Economics: Global Markets and International Competition. New Jersey: World Scientific. Wijayana, W. dan Sukirman. 2015. Analisis Pengaruh Pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) Terhadap Keberlangsungan Ushaa pada Industri UMKM Batik di Wilayah Banyumas. Jurnal Akuntansi dan Keuangan (JAKA), Vol. 2, No.1, 2015: 65-78. 20