Analisis Potensi Kondisi Suhu dan Radiasi Sinar Matahari di Kota

advertisement
Seminar Nasional dan Expo Teknik Elektro 2014
ISSN: 2088-9984
Analisis Potensi Kondisi Suhu dan Radiasi
Sinar Matahari di Kota Banda Aceh untuk
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Ira Devi Sara
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. T. Abdurrauf No.7, Darussalam Banda Aceh Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstract—This paper analyses the potential of radiation and temperature conditions for implementing Photovoltaic
(PV) systems in Banda Aceh. The radiation and temperature data were collected using the Meteonorm 7 which is
a meteorological software connected to 8300 weather stations around the world. The collected weather data was
averaged for monthly period in order to obtain monthly radiation and temperature profile at the site. From the data
analyses, it shows that the radiation and temperature conditions in Banda Aceh are very potential for developing
photovoltaic systems.
Keywords: radiation and temperature, photovoltaic systems, developing country
I.
PENDAHULUAN
listrik yang berasal dari bahan bakar fosil, jumlah
pasokan energi listrik yang berasal dari energi terbarukan
masih sangat kecil dan perlu ditingkatkan kapasitas
pembangkitannya. Salah satu usaha untuk meningkatkan
jumlah pasokan daya listrik dari energi terbarukan adalah
dengan menambah lebih banyak jumlah pembangkit listrik
dari sumber energi terbarukan dan mengurangi jumlah
pembangkit yang sumber energinya berasal dari bahan
bakar fosil.
Salah satu sumber energi terbarukan yang masih
kurang pemamfaatan di Indonesia adalah sinar matahari
(tenaga surya). Pembangkit listrik tenaga surya ini sangat
besar potensinya untuk dikembangkan di Indonesia yang
memiliki sinar matahari melimpah sepanjang tahunnya.
Untuk melihat sejauh mana potensi sinar matahari ini
bermamfaat untuk pembangkit energi tenaga surya, maka
analisa potensi energi yang tersedia dalam sinar matahari
perlu dilakukan. Paper ini bertujuan untuk menganalisa
Jumlah pasokan energi listrik di wilayah Aceh masih
sangat terbatas. Ini bisa dilihat dari jumlah pasokan
energi listrik yang dibangkitkan sebanding dengan
energi listrik yang dipakai untuk melayani beban listrik
masyarakat yaitu sebesar 351 megawatt[1]. Kondisi ini
semakin mengkhawatirkan karena sekitar 71% suplai
listrik di Aceh masih berasal dari sistem interkoneksi
sumatera bagian utara. Bila terjadi kerusakan pada salah
satu bagian dari pembangkit listrik di wilayah ini, maka
akan menyebabkan terjadinya defisit energi listrik dan
pemadaman listrik bergilir di wiliyah Aceh tidak dapat
dihindari. Hal ini terjadi karena kurangnya energi listrik
yang dibangkitkan dan tidak adanya suplai energi listrik
tambahan untuk mengantisipasi suplai energi listrik yang
berkurang. Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung,
maka aktivitas perekonomian dan sosial masyarakat akan
terganggu. Untuk mengatasi persoalan kelistrikan ini,
diversifikasi sumber energi listrik perlu dilakukan dengan
memfaatkan potensi sumber daya alam daerah sebagai
sumber energi listrik.
Diversifikasi energi listrik dapat dilakukkan dengan
memamfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi
listrik. Penggunaan energi terbarukan sebagai sumber
energi listrik masih sangat rendah yaitu sebesar 12% dari
total produksi listrik nasional pada tahun 2013[2] seperti
terlihat pada Gambar 1. Dari kapasitas pembangkitan ini,
pemamfaatan energi dari sumber energi terbarukan masih
terbatas pada sumber energi air dan panas bumi. Kondisi
ini sangat disayangkan karena Indonesia memiliki sumber
energi terbarukan yang sangat bervariasi dan melimpah
seperti angin, sinar matahari, panas matahari dan biomasa.
Dibandingkan dengan jumlah pembangkitan energi
Gambar 1. Kapasitas pembangkit listrik nasional tahun 2013
142
Seminar Nasional dan Expo Teknik Elektro 2014
ISSN: 2088-9984
potensi energi sinar matahari di wilayah kota Banda
Aceh untuk pengembangan pembangkit energi listrik dari
tenaga surya.
(global horizontal irradiance) dan radiasi tersebar (diffuse
irradiance). Data radiasi yang dikumpulkan adalah untuk
waktu 20 tahun yaitu mulai tahun 1991 sampai tahun 2010.
Jumlah data cuaca yang telah terkumpulkan ini, kemudian
dirata-ratakan per bulan untuk memperoleh profil radiasi
pada setiap bulan dalam setahun.
Nilai radiasi horizontal global matahari yang telah
dikumpulkan ini tidak dapat langsung dipakai untuk
menghitung jumlah energi listrik yang dihasilkan oleh
sebuah modul surya. Hal ini disebabkan oleh posisi
pemasangan modul surya yang tidak horizontal tetapi
dipasang dengan kemiringan tertentu yang disesuaikan
dengan posisi lintang (latitude) suatu daerah. Ini bertujuan
untuk memperoleh radiasi matahari maksimum. Untuk
menghitung radiasi matahari pada posisi kemiringan modul
surya, maka radiasi horizontal global harus dikonversikan
ke radiasi pada posisi kemiringan modul surya. Paper
ini tidak membahas konversi radiasi sinar matahari pada
posisi kemiring tertentu dari sebuah modul surya.
Proses pengumpulan data suhu udara, kelembaban
udara dan lama penyinaran sinar matahari adalah sama
dengan pengumpulan data radiasi matahari. Data yang telah
terkumpulkan selama kurun waktu 20 tahun dirata-ratakan
untuk melihat kondisi suhu, kelembaban udara dan lama
penyinaran matahari per bulan. Suhu, kelembaban udara,
kecepatan angin dan radiasi sinar matahari berpengaruh
terhadap kenaikan suhu sebuah modul surya. Efek
perubahan suhu udara terhadap penurunan dan kenaikan
suhu sebuah modul surya dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut[6]:
II. PENENTUAN POTENSI SINAR MATAHARI
Bagian dari sinar matahari yang sangat berpengaruh
terhadap performansi sebuah modul surya adalah intensitas
sinar matahari (irradiance), spektrum (spectrum), sudut
datangnya sinar matahari (angle of incidence) dan
suhu (temperature). Sebuah modul surya akan bekerja
dengan baik pada kondisi standar yaitu intensitas sinar
matahari pada intensitas cahaya 1000Watt/m2, suhu
modul surya sebesar 25OC, Spektum matahari pada posisi
AM1.5 global dan sudut datang sinar matahari 0O [3,4].
Sayangnya kondisi standar ini sangat jarang ditemui pada
kondisi operasi nyata di lapangan. Semua karakteristik
cahaya matahari berubah setiap saat sepanjang tahun yang
dipengaruhi oleh kondisi awan, uap air di udara, debu,
partikel-partikel polutan, posisi dan orientasi matahari
terhadap bumi.
Analisa kondisi intensitas sinar matahari dan suhu
dilakukan dengan menggunakan software meteonorm
7,yaitu sebuah program aplikasi kondisi cuaca dunia.
Software ini mengumpulkan keadaan cuaca dari 8300
stasiun meteorologi di berbagai belahan bumi melalui
satelit[5]. Informasi yang dapat diperoleh dari software
aplikasi ini adalah keadaan radiasi matahari, suhu,
kelembaban udara, kecepatan angin dan lama penyinaran
sinar matahari pada suatu tempat di permukaan bumi.
Untuk memperoleh data intensitas cahaya matahari, suhu,
kelembaban udara dan lama penyinaran matahari pada
suatu lokasi di bumi, software meteonorm ini memerlukan
data koordinat dari lokasi tujuan. Lokasi yang dipilih
dalam penelitiannya ini adalah kota Banda Aceh yang
terletak pada koordinat 95.4OBT, 5.5OLU dan ketinggian
21 meter di atas permukaan laut.
Setelah posisi koordinat lokasi ditentukan, selanjutkan
adalah penentuan posisi sensor pengukur radiasi sinar
matahari. Posisi sensor ditetapkan pada kondisi horizontal
dengan sudut Azimuth 0O(solar noon) seperti ditunjukkan
pada Gambar 2, yaitu pada posisi matahari tepat berada di
atas kepala.
Kedudukan matahari pada posisi ini menghasilkan
radiasi matahari yang paling tinggi. Data radiasi matahari
yang dikumpulkan dibedakan atas radiasi horizontal global
(1)
Dimana T adalah suhu modul surya dan suhu udara,
V adalah kecepatan angin in m/s dan G adalah intensitas
cahaya matahari dalam Watt/m2.
III. HASIL DAN DISKUSI
Pengukuran total radiasi, suhu, kelembaban dan lama
penyinaran sinar matahari rata-rata per bulan selama kurun
waktu 20 tahun untuk kota Banda Aceh adalah sebagai
berikut:
A. Kondisi radiasi sinar matahari
Radiasi matahari menunjukkan energi yang tersedia
dalam sinar matahari. Dari hasil pengolahan data radiasi
matahari diperoleh kondisi rata-rata radiasi sinar matahari
horizontal global dan tersebar di kota Banda Aceh seperti
ditunjukkan pada Gambar 3. Dari Gambar 3 ini terlihat
bahwa radiasi matahari tersebar lebih tinggi dari radiasi
matahari langsung yaitu berkisar antara 52% sampai
dengan 63%. Hal ini menunjukkan kondisi atmosfir di
kota Banda Aceh banyak mengandung uap air (berawan)
seperti ditunjukkan pada Gambar 4, partikel debu dan
pollutan. Efek dari semua keberadaan komponen udara
ini berkurangnya jumlah radiasi langsung sinar matahari
Gambar 2: Pengukuran radiasi sinar matahari untuk kota Banda Aceh
143
Seminar Nasional dan Expo Teknik Elektro 2014
ISSN: 2088-9984
Gambar 5: Kondisi radiasi matahari rata-rata per tahun di kota Banda
Aceh
Gambar 3: Profil radiasi global dan tersebar rata-rata per bulan di kota
Banda Aceh
sinar matahari di kota Banda Aceh tergolong tinggi yaitu
sekitar 1677 kWh/m2 per tahun seperti ditunjukkan pada
Gambar 5 dan cenderung stabil dengan rata-rata radiasi
per bulan sebesar 139.75 kWh/m2 dan standar deviasi
±14.28 kWh/m2. Kondisi ini menunjukkan penerapan
pembangkitan energi dari tenaga surya di kota Banda
Aceh sangat potensial.
Kondisi ini juga didukung oleh lamanya penyinaran
sinar matahari di kota Banda Aceh yaitu rata-rata sekitar
12 jam setiap bulannya seperti ditunjukkan Gambar 6.
karena terserap oleh uap air dan terpantul oleh partikel
debu. Oleh karena data yang dihasilkan tidak menunjukkan
kondisi distribusi spektrum radiasi matahari, maka tidak
dapat diketahui dengan jelas komponen udara mana yang
banyak terdapat didalam atmosfir di kota Banda Aceh.
Dari kondisi pada Gambar 3 diperoleh informasi
bahwa untuk menghasilkan energi keluaran yang tinggi
dari sebuah modul surya yang akan dipasang di kota
Banda Aceh maka modul surya harus dipasang dengan
kemiringan tertentu dari permukaan horizontal. Dengan
demikian penyerapan radiasi tersebar akan jauh lebih
besar dari radiasi langsung.
Informasi lain yang diberikan dari profil radiasi
global pada Gambar 3 adalah kondisi rendahnya radiasi
global matahari pada bulan November dan Desember
dibandingkan dengan kondisi radiasi matahari pada bulan
– bulan lainnya. Jika beban listrik yang akan dilayani oleh
pembangkit listrik tenaga surya stabil (tidak mengalami
peningkatan) maka untuk menjamin suplai daya yang
konstan, kapasitas pembangkitan harus dirancang
berdasarkan nilai radiasi pada bulan terendah. Hal ini
untuk mengantisipasi kekurangan energi listrik yang
dihasilkan pada bulan Desember.
Secara keseluruhan, kondisi radiasi global rata-rata
B. Kondisi suhu dan kelembaban udara
Kondisi suhu udara di kota Banda Aceh tergolong
tinggi dan bervariasi antara 20OC sampai 36OC dalam
setahun seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Bila diambil kondisi rata-rata suhu dalam sebulan
yaitu antara 26OC dan 28OC dan kondisi kecepatan angin
ditunjukkan pada Gambar 8, maka kenaikan suhu sebuah
sel surya adalah berkisar antara 30OC sampai 33OC.
Kondisi suhu modul surya ini masih dalam batas operasi
kerja sebuah modul surya.
Kenaikan suhu sel surya ini berpengaruh terhadap
tegangan terbuka (open- circuit voltage) sebuah sel surya.
Bila sebuah sel surya terbuat dari monocrystalline silicon
Gambar 4: Kondisi kelembaban udara di kota Banda Aceh per bulan
selama kurun waktu 20 tahun
Gambar 6: Profil lamanya penyinaran cahaya matahari per bulan di kota
Banda Aceh
144
Seminar Nasional dan Expo Teknik Elektro 2014
ISSN: 2088-9984
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah Banda
Aceh memiliki kondisi intensitas radiasi sinar matahari
yang tinggi yaitu sebesar 1677 kWh/m2 rata-rata per tahun
dengan tingkat penyinaran matahari yang stabil yaitu 12
jam dalam sehari. Kondisi ini juga didukung oleh kondisi
suhu udara rata-rata sebesar 28OC dan kelembaban yang
tinggi. Semua kondisi ini menunjukkan penerapan sebuah
pembangkit listrik tenaga surya di kota Banda Aceh sangat
potensial.
Oleh karena biaya instalasi teknologi surya masih
tergolong mahal maka intervensi pemerintah untuk
memberikan subsidi dalam pengembangan pembangkit
listrik tenaga surya ini di Indonesia dan regulasi tarif
masih sangat diperlukan.
Gambar 7: Kondisi suhu rata-rata di kota Banda Aceh per bulan selama
kurun waktu 20 tahun
Referensi
Gambar 8: Kondisi suhu rata-rata harian di kota Banda Aceh
memiliki koeffisien suhu untuk tegangan terbuka sebesar
-2.05 mV/OC [7] dan tegangan terbuka sebesar 0.58 Volt
maka suhu sel surya sebesar 30OC menyebabkan penurunan
tegangan terbukanya menjadi 0.51 Volt. Tegangan ini
akan jauh berkurang menjadi 0.49 Volt bila suhu sel surya
naik menjadi 40OC. Untuk mengantisipati kenaikan suhu
modul surya maka modul surya harus dipasang pada rak
penopang yang terbuka sehingga udara dapat bersikulasi
dengan baik.
145
[1]
Antara. (11 September 2013). Kondisi kelistrikan di Aceh Masih
Defisit, [Online]. Viewed (10 June 2014). Available at: http://
diliputnews.com/read/23527/kondisi-pelistrikan-di-aceh-masihdefisit.html]
[2]
Sunandar. (4 September 2013). 2013, Total Produksi Listrik
Capai 48.113MW. Viewed (10 June 2014). Available at: http://
www.pedomannews.com/energi/23779-2013-total-produksi-l
istrik-capai-48113-mw.
[3]
IEC 60904-1, “Photovoltaic devices - Part 1: Measurement of
photovoltaic current-voltage characteristics,” 2006.
[4]
IEC 60904-3, “Photovoltaic devices - Part 3: Measurement
Principles for Terrestrial PV Solar Devices with Reference
Spectral Irradiance Data,” 2008.
[5]
http://meteonorm.com/en/support
[6]
Migan, Gail-Angee (2013). Study of the operating temperature
of a PV module. [Online]. Viewed (15 may 2014). Available at:
http://www.ht.energy.lth.se/fileadmin/ht/Kurser/MVK160/2012/
Gail-Angee_Migan.pdf ,
[7]
King, D.L., Kratochvil, J.A., and William, E. B.1997. Temperature
coefficient for PV module and array: Measurement Methods,
Difficulties and Results. Presented at the 26th IEEE Photovoltaic
Specialist Conference. Anaheim: California.
Download