PENGENDALIAAN EROSI DAN LIMPASAN PERMUKAAN (RUN-OFF) MENGGUNAKAN TEKNIK MULSA VERTIKAL PADA BUDIDAYA JERUK MANIS DI LAHAN MIRING KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (CONTROLING OF SOIL EROSION AND RUN-OFF BY VERTICAL MULCH TECHNOLOGY ON THE CITRUS CULTIVATION AT HILL SLOPE TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER ) Oleh: Abdul Rauf Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana USU Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan 20155, Telp./Fax. 061-8223604. e-mail: [email protected] ABSTRACT The effects of vertical mulch applications on erosion control and run-off, also soil properties and fertility on citrus cultivations at hill slopes had been done in buffer zone of Gunung Leuser National Park, Rumah Galuh Village, Sei Bingei Sub-district, Langkat District, with 560 meters altitude, and 22,5% land slope. Two vertical mulch applications are: vertical mulch having the same aim with contour line, and ring vertical mulch. The conservation methods were studied are pile having the same aim with contour line, pile ring, ring of mulch in gunny-sack. Two control experiments are: horizontal mulch application, and without mulch application. These results are: vertical mulch applications could control erosion and run-off and affected physical and chemical soil properties better than horizontal mulch application. The best of conservation methods application where controlling erosion and run-off are contour pile and mulch in gunny-sack, and affected on soil physical and biological properties are ring vertical mulch, but for affecting soil chemical properties are mulch in gunny-sack. ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui pengaruh penerapan teknik mulsa vertikal terhadap erosi dan limpasan permukaan telah dilakukan di lahan pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis) di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat pada ketinggian tempat 560 meter di atas permukaan laut, kemiringan lereng 22,5% dan rerata curah hujan 2506 mm thn-1. Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) non-faktorial dengan 7 perlakukan yang terdiri atas: 2 perlakukan teknik mulsa vertikal yaitu: mulsa vertikal searah garis kontur (MVK) dan mulsa vertikal piringan (MVP); 4 perlakuan teknik konservasi, yaitu guludan searah kontur (GK), gulud piringan (GP), benteng piringan (BP), dan mulsa horizontal (MH) yang ditebar merata dalam piringan, serta tanpa perlakuan mulsa (TM). Pengamatan juga dilakukan terhadap sifat fisika, kimia, dan biologi tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guludan searah kontur, benteng piringan, dan tanpa perlakuan mulsa (lahan ditutupi rerumputan/gulma) berpengaruh lebih baik pada pengendalian erosi dan limpasan permukaan. Terhadap sifat fisika dan biologi tanah teknik mulsa vertikal piringan berpengaruh lebih baik, dan terhadap sifat kimia tanah, perlakuan benteng piringan (mulsa dan pupuk kandang dalam goni membentuk benteng dalam piringan) berpengaruh lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. 1 PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, dewasa ini lahan pertanian yang subur dan datar semakin berkurang akibat semakin banyaknya lahan pertanian tersebut dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman, perindustrian, jalan raya, lapangan udara, dan fasilitas lainnya. Di sisi lain, kebutuhan akan pangan, papan, dan serat serta lapangan pekerjaan terus meningkat yang menyebabkan pemanfaatan lahan berlereng curam hingga sangat curam semakin intensif. Pemanfaatan lahan berlereng yang tidak terkendali dan tanpa disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air bukan hanya menyebabkan lahan terdegradasi, lebih dari itu dapat menimbulkan bencana banjir, dan longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Guna mengatasi masalah tersebut, salah satu agroekoteknologi yang diharapkan dapat menekan degradasi lahan miring di satu sisi dan diperolehnya produk yang optimal di sisi lain, adalah dengan penerapan teknik mulsa vertikal. Mulsa vertikal atau disebut juga “teknik jebakan mulsa” adalah bangunan menyerupai rorak yang dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih panjang bila di bandingkan dengan rorak. Ukuran jebakan mulsa harus disesuaikan dengan keadaan lahan dengan lebar 0,40 -0,60 meter dan dalam 0,30 -0,50 meter, jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh kemiringan lahan atau berkisar antara 3-5 meter. Jebakan mulsa ini merupakan tempat dan sekaligus berfungsi untuk menampung air aliran permukaan serta sedimen. Pada musim tanam berikutnya, bersamaan dengan persiapan dan pengelolaan tanah, jebakan mulsa tersebut diperbaiki (dibuat kembali), hasil pelapukan tanaman dan sedimen dari jebakan mulsa dikembalikan ke bidang olah yang dapat memperbaitki kesuburan tanah (Kurnia, 2004). Teknik pemulsaan (mulching) yang selama ini dilakukan yaitu tindakan pelapisan permukaan tanah (teknik mulsa horizontal) menggunakan bahan tertentu agar tanah terhindar dari pukulan langsung (energi kinetik) curah hujan, limpasan permukaan (runoff) dan erosi, serta mempertahankan/meningkatkan kelembaban tanah, mengendalikan fluktuasi temperatur tanah, dan menambah unsur hara tanah (Moody, Lillard, and Edwinster. 1952; Arsyad, 2006) hanya sesuai pada lahan datar, tetapi kurang/tidak efektif bila diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng tinggi, apalagi dengan kedalaman solum yang dangkal sampai sangat dangkal). Pada kondisi lahan miring seperti ini perlakuan mulsa vertikal dapat menekan lalu limpasan permukaan dan erosi yang sekaligus menekan pencucian bahan organik dan unsur hara (Brata, 1995; Bainbridge, 1996; Abdul- 2 Rauf, 1999; Murtilaksono, Sutarta, Darlan, dan Sudarmo, 2008a; Murtilaksono, Sutarta, Siregar, Darmosarkoro, dan Hidayat, 2008b). Selanjutnya Murtilaksono, dkk (2008a) mendapatkan bahwa aplikasi gulud dan rorak yang dilengkapi dengan mulsa vertikal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Kabupaten Lampung Selatan. Aplikasi rorak dan gulud bermulsa vertikal menghasilkan tandan buah segar (TBS) sebanyak 17,5-18,4 ton ha-1 yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa mulsa vertikal sebesar 16,6 ton ha-1. Pada penelitian lain, Murtilaksono, dkk (2008b) mendapatkan bahwa teras gulud dan rorak yang dilengkapi mulsa vertikal mampu menekan jumlah tanah yang tersuspensi dalam aliran air (suspended load) cukup nyata. Perlakuan rorak dengan mulsa vertikal berpengaruh paling baik terhadap muatan sedimen dalam aliran air (sebanyak 8,3 kg ha-1) dibandingkan perlakuan guludan (sebanyak 11,9 kg ha-1) dan perlakuan guludan masih berpengaruh lebih baik dibandingkan pada perlakuan tanpa aplikasi teknik konservasi atau kontrol (sebanyak 15,3 kg ha-1). Selanjutnya Murtilaksono, dkk (2008b) juga mendapatkan bahwa aliran permukaan yang keluar dari petak yang diperlakukan dengan mulsa vertikal dan teras gulud masing-masing sebesar 12,8 dan 87,8 mm, sedangkan pada petak tanpa aplikasi konservasi tanah dan air (kontrol) sebesar 508,3 mm. Pada penelitian mulsa vertikal berupa penempatan serasah hutan di dalam saluran pada hutan tanaman mahoni di Pasir Awi-Leuwiliang Jawa Barat yang dilakukan oleh Pratiwi (2001) diperoleh bahwa perlakukan mulsa vertikal terbukti dapat meningkatkan infiltrasi tanah, menekan laju limpasan permukaan, meningkatkan kadar unsur hara dan biota tanah secara signifikan. Berkenaan dengan itu telah dilakukan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh penerapan beberapa teknik mulsa vertikal terhadap erosi dan limpasan permukaan serta beberapa sifat fisika, kima dan biologi tanah pada pertanaman jeruk manis di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat. BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan di areal pertanaman jeruk manis (Citrus sinensis) milik petani di Kawasan Penyangga TNGL, Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat pada ketinggian tempat 560 meter di atas permukaan laut dengan 3 koordinat N 3o21’52,8” dan E 98o24’21,5”, kemiringan lereng 22,5%, dan curah hujan rerata tahunan sebesar 2506 mm dengan rerata bulanan maksimum sebesar 384,3 mm dan rerata bulanan minimum sebesar 92,3 mm. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) non-faktorial dengan 7 perlakukan yang terdiri atas: 2 perlakukan teknik mulsa vertikal yaitu: mulsa vertikal memotong lereng atau searah garis kontur (MVK; Lampiran Gambar 1) dan mulsa vertikal piringan (MVP; Lampiran Gambar 2); 4 perlakuan teknik konservasi, yaitu guludan searah kontur (GK; Lampiran Gambar 3), gulud piringan (GP; Lampiran Gambar 4), benteng piringan (BP; Lampiran Gambar 5), dan mulsa horizontal (MH; Lampiran Gambar 6) yang ditebar merata dalam piringan (cara konvensional), serta tanpa perlakuan mulsa yaitu petak lahan yang dibiarkan pada keadaan aslinya (TM; Lampiran Gambar 7). Ke 5 perlakuan terakhir (4 perlakuan teknik konservasi dan 1 perlakuan tanpa mulsa) dimaksudkan sebagai pembanding (kontrol) terhadap perlakuan mulsa vertikal. Semua perlakukan diulang sebanyak 3 kali. Bahan mulsa yang digunakan adalah campuran sisa gulma di areal percobaan dengan pupuk kandang sapi sebanyak 5 ton ha-1 dengan ratio 1:1. Pengamatan erosi dan limpasan permukaan menggunkan metoda petak kecil standar yang dibuat sedemikian rupa pada setiap petak perlakuan dengan cara membatasinya menggunakan plastik terpal lebar 30 cm (10 cm dibenamkan ke dalam tanah dan 20 cm sebagai dinding pembatas limpasan permukaan). Air limpasan yang mengalir pada saat terjadi hujan ditampung di bagian bawah lereng menggunakan drum dan diukur volume limpasan serta dianalisis sedimen terangkutnya (suspended load) pada setiap kejadian hujan untuk rentang waktu selama 3 bulan. Penangkar curah hujan juga disiapkan di sekitar lokasi kajian sebagai dasar dalam penghitungan limpasan permukan (% terhadap curah hujan). Pengamatan juga dilakukan terhadap sifat fisika, kimia, dan biologi tanah melalui analisis contoh tanah pada setiap perlakuan setelah 3 bulan aplikasi mulsa dan teknik konservasi tanah lainnya, terhadap berat volume (bulk density), porositas, permeabilitas, kadar air tersedia, C-organik, N-total, P-tersedia, K-tukar, populasi bakteri, jamur, aktinomicetes, dan respirasi tanah. Data yang diperoleh dianalisis secara statistika menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk masing-masing parameter yang dipengruhi secara nyata oleh perlakukan mulsa vertikal tersebut. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terhadap Erosi dan Limpasan Permukaan Pengaruh penerapan teknik mulsa vertikal pada pertanaman jeruk manis terhadap limpasan permukaan dan erosi disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa perlakukan penerapan mulsa konvensional (TM atau tebar merata horizontal) menyebabkan limpasan permukaan dan erosi tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Tabel 1. Rataan limpasan permukaan dan erosi akibat penerapan teknik mulsa vertikal pada pertanaman jeruk manis di Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat. Perlakuan Limpasan Permukaan Erosi (ton (% terhadap curah hujan) ha-1 thn-1) MVK (Mulsa vertikal searah kontur) 8,37 b 6,10 b MVP (Mulsa vertikal piringan) 9,64 b 5,75 b GK (Guludan searah kontur) 10,44 ab 0,92 c GP (Gulud piringan) 10,93 ab 6,97 b BP (Benteng piringan) 11,08 ab 2,11 bc MH (Mulsa horizontal/tebar merata piringan) 14,18 a 10,95 a TM (Tanpa mulsa dengan gulma rapat) 9,56 b 0,64 c *) Rataan yang diikuti oleh notasi yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada p.05. Erosi terendah justru terjadi pada perlakuan tanpa mulsa atau pada keadaan lahan tidak terganggu dengan gulma yang rapat di lahan sela pertanaman jeruk manis (Lampiran Gambar 7). Hal ini membuktikan bahwa gulma/rerumputan sebagai cover crop sangat efektif dalam mengendalikan erosi, disamping guludan searah kontur (GK) dan benteng piringan (BP) dengan besar erosi masing-masing sebesar 0,64, 0,92 dan 2,11 ton ha-1 thn-1. Perlakuan mulsa vertikal, baik mulsa vertikal searah kontur (MVK), maupun mulsa vertikal piringan (MVP) menghasilkan erosi yang lebih kecil dari perlakuan gulud piringan (GP) dan berbeda nyata dibandingkan erosi pada perlakuan mulsa horizontal (MH). Namun demikian, secara keseluruhan erosi yang terjadi pada masing-masing perlakukan masih di bawah erosi yang dapat ditoleransikan di daerah itu, sebesar rata-rata 22,5 ton ha-1 thn-1 (Abdul-Rauf, 2004). Lebih efektifnya lahan yang tidak diperlakukan dengan mulsa (lahan tertutup rapat oleh rerumputan) dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan Arsyad (2006) bahwa pada lahan yang ditumbuhi rumput utuh pada 5 tanah Latosol Cokelat Kemerahan Bogor (lereng 35%, curah hujan 4200 mm thn-1, ketinggian tempat 260 m d.p.l) erosi yang terjadi hanya 0,2 ton ha-1 thn-1 dengan limpasan permukaan sebesar 4,4%. Demikian halnya dengan perlakukan guludan searah kontur (GK) yang juga lebih efektif dalam mengendalikan erosi hingga menjadi 0,92 ton ha-1 thn-1 ini sejalan dengan hasil penelitian Murtilaksono, dkk (2008b) pada lahan perkebunan kelapa sawit Unit Usaha Rejosari PTPN VII Kabupaten Lampung Selatan yang diperlakukan dengan teras gulud menyebabkan erosi yang terjadi hanya sebesar 0,012 ton ha-1 thn-1. Perlakuan mulsa vertikal masih cukup efektif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan ditandai dengan erosi dan limpasan permukaan yang terjadi lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan perlakuan mulsa horizontal/tebar merata dalam piringan (cara konvensional) dan tidak berbeda nyata dengan teras gulud piringan dan benteng piringan). Efektifitas mulsa vertikal terhadap erosi dan limpasan permukaan ini sejalan dengan hasil penelitian Pratiwi (2001) yang mendapatkan bahwa serasah hutan yang dibenamkan ke dalam saluran berupa mulsa vertikal pada hutan tanaman mahoni dapat menurunkan limpasan permukaan, erosi dan sedimentasi secara nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Murtilaksono, dkk (2008b) bahkan mendapatkan bahwa erosi yang terjadi pada perlakuan mulsa vertikal lebih kecil dibandingkan erosi yang terjadi pada perlakuan teras gulud. Oleh sebab itu, tindakan konservasi tanah dan air berupa perlakukan mulsa vertikal sangat sesuai diterapkan pada pertanian lahan kering dengan topografi berlereng (Brata, 1995). Pengaruh Terhadap Sifat Fisik Tanah Penerapan teknik mulsa vertikal pada pertanaman jeruk manis terhadap sifat fisika tanah dapat dilihat dari rerata berat volume, porositas, permeabilitas, kadar air kapasitas lapang, dan kadar air tersedia tanah sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa perlakuan mulsa vertikal terhadap berat (kerapatan) volume, porositas, kadar air kapasitas lapang dan kadar air tersedia tidak berpengaruh nyata, sedangkan terhadap permeabilitas, kadar air kering udara dan kadar air titik layu permanen berpengaruh nyata. Perlakukan teknik mulsa vertikal piringan (MVP; Lampiran Gambar 2) menunjukkan rataan permeabilitas, kadar air kering udara dan kadar air titik layu permanen tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakukan lainnya, terutama dengan perlakukan kontrol (tanpa pemberian mulsa). 6 Tabel 2. Rataan nilai berat volume, porositas, permeabilitas, dan kadar air tanah akibat penerapan teknik mulsa vertikal pada pertanaman jeruk manis di Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat. Perlakuan MVK MVP GK GP BP MH TM BV (g cm-3) Porositas (%) Permeabilitas (cm jam-1) Kadar Air Kering Udara (%) 0.91 0.90 0.94 0.91 0.91 0.94 0.96 65.53 66.03 64.52 65.65 65.78 64.27 63.76 4.64 cd*) 8.40 a 3.54 d 5.75 bc 6.19 b 3.32 d 3.09 d 16.74 a 17.75 a 12.04 b 9.54 c 12.79 b 8.52 cd 7.95 d Kapasitas Lapang (%) 59.74 60.68 56.35 57.42 58.75 55.67 55.44 Titik Layu Permanen (%) 2.74 abc 3.45 a 2.05 abc 2.39 abc 3.10 ab 1.35 c 1.70 c Air Tersedia (%) 57.00 55.57 54.30 55.03 55.66 54.32 53.75 Keterangan: MVK = mulsa vertikal searah kontur; MVP = mulsa vertikal piringan; GK = guludan searah kontur; GP = guludan piringan; BP = benteng piringan; MH = mulsa horizontal (tebar merata/cara konvensional); TM = tanpa perlakuan mulsa dengan gulma rapat. *) Rataan yang diikuti oleh notasi yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada p.05. Hal yang sama terjadi pada rataan porositas, kadar air kapasitas lapang, dan kadar air tersedia yang lebih tinggi pada perlakukan teknik mulsa vertikal piringan (MVP) tersebut, meskipun tidak berbeda nyata. Rataan kerapatan volumenya juga lebih rendah pada perlakuan ini dibandingkan perlakuan lainnya yang menandakan tanahnya lebih gembur. Secara umum dapat pula diketahui bahwa perlakukan teknik konservasi, baik mulsa vertikal, maupun guludan memiliki rataan porositas, permeabilitas, dan semua kadar air yang lebih tinggi dibandingkan perlakukan mulsa horizontal/cara konvensional (MH) dan tanpa pemberian mulsa (TM). Berat volumenyapun lebih rendah dibandingkan pada teknik mulsa horizontal dan tanpa pemberian mulsa. Hal ini memberikan gambaran bahwa teknik konservasi berupa mulsa vertikal dan teras gulud pada lahan miring lebih efektif dalam memperbaiki sifat fisik tanah dibandingkan teknik mulsa horizontal, apalagi bila dibandingkan dengan tanpa perlakuan mulsa. Pengaruh positif dari perlakuan mulsa vertikal terhadap perbaikan sifat fisik tanah ini sesuai dengan pendapat Bainbridge (1996) yang menyatakan bahwa penempatan bahan organik sebagai mulsa vertikal dapat memperbaiki sifat fisik tanah secara umum, terutama kegemburan tanah, tidak hanya pada lapisan permukaan tetapi sampai ke lapisan yang lebih dalam. Keadaan ini menyebabkan tanah dapat menyerap dan menyimpan air lebih banyak yang memungkinkan tanaman tidak stress terhadap kekurangan air pada musim 7 kemarau atau pada daerah dengan curah hujan rendah hingga sangat rendah, seperti di daerah gurun (Hammond, Mills, and Johnson. 1993; Bainbridge, 1995). Pengaruh Terhadap Sifat Kimia Tanah Pengaruh penerapan teknik mulsa vertikal terhadap sifat kimia tanah dapat dilihat dari kadar C-organik, N-total, nisbah C/N, P-tersedia, dan K-tukar tanah. Rataan kadar Corganik, hara N, P, K, dan nisbah C/N tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan kadar C-organik, N-total, nisbah C/N, P-tersedia dan K-tukar akibat penerapan teknik mulsa vertikal pada pertanaman jeruk manis di Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat. Perlakuan MVK MVP GK GP BP MH TM C-organik (%) 2.21 c*) 2.88 ab 2.78 b 2.67 bc 2.93 a 2.29 c 1.95 d N-Total (%) 0.37 0.33 0.30 0.38 0.45 0.39 0.23 Nisbah C/N 5.97 c 8.73 ab 9.27 a 7.03 bc 6.51 c 5.87 c 8.48 ab P-tersedia (ppm) 207.16 a 199.23 a 165.80 a 203.16 a 211.86 a 110.42 b 41.53 c K-tukar (me 100g-1) 4.26 ab 8.35 a 3.85 b 5.54 a 8.66 a 2.01 b 2.25 b Keterangan: MVK = mulsa vertikal searah kontur; MVP = mulsa vertikal piringan; GK = guludan searah kontur; GP = guludan piringan; BP = benteng piringan; MH = mulsa horizontal (tebar merata/cara konvensional); TM = tanpa perlakuan mulsa dengan gulma rapat. *) Rataan yang diikuti oleh notasi yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada p.05. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa penerpan teknik konservasi (mulsa vertikal dan guludan) berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati, kecuali terhadap kadar N-total yang tidak berpengaruh nyata. Berbeda pengaruhnya terhadap sifat fisika yang lebih tinggi pada perlakuan mulsa vertikal piringan (MVP), terhadap sifat kimia teknik konservasi yang lebih baik adalah perlakuan benteng piringan (BP; Lampiran Gambar 5). Pada perlakuan ini kadar C-organik, P-tersedia, dan K-tukar lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, terutama dengan perlakuan mulsa horizontal (MH) dan tanpa perlakuan mulsa (TM). Kadar N-total juga lebih tinggi, meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Nisbah C/N tergolong paling rendah yang menggambarkan bahan organik telah lebih terdekomposisi dibandingkan perlakuan lainnya. 8 Secara umum dapat pula diketahui bahwa kedua perlakuan teknik mulsa vertikal (MVK dan MVP) memiliki sifat kimia yang lebih baik dan berbeda nyata dibandingkan pada teknik mulsa horizontal (tebar merata) (MH) dan tanpa pemberian mulsa (TM). Hal ini dapat terjadi karena pada teknik mulsa vertikal bahan organik dan pupuk kandang yang digunakan sebagai mulsa tetap berada di dalam tanah, tidak mudah terbawa oleh limpasan permukaan dan erosi, dan diperkirakan dapat melepaskan hara secara perlahan-lahan (slow release). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pratiwi (2001) yang mendapatkan bahwa kadar unsur hara, terutama N, P, dan K lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan pada perlakukan tanpa mulsa. Kadar hara yang lebih tinggi pada perlakukan mulsa vertikal, terutama di dalam tanah lapisan olah hingga ke lapisan bawah (0-60 cm) ini karena unsur hara yang terlarut dari hasil dekomposisi bahan organik, terhindar dari erosi dan limpasan permukaan (terjebak di dalam saluran penempatan mulsa vertikal tersebut) (Brata, 1955; Bainbridge, 1996; Abdul-Rauf, 1999; Siregar dan Pratiwi, 1999). Kadar hara dan air yang cukup tersedia pada lapisan dalam (daerah rizosfer) ini memudahkan tanaman dalam memanfaatkannya sehingga menghindarkan tumbuhan, terutama tanaman pohon dari defisiensi air dan unsur hara (Bainbridge, 1995; Hammond, et al, 1993; Abdul-Rauf, 1999). Pengaruh Terhadap Sifat Biologi Tanah Pengaruh penerapan teknik konservasi tanah (mulsa vertikal dan guludan) terhadap sifat biologi tanah dapat dilihat dari rataan populasi bakteri, jamur dan aktinomicetes, serta respirasi tanah, sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa penerapan teknik konservasi tanah (mulsa vertikal dan guludan) berpengaruh nyata terhadap sifat biologi tanah. Terhadap populasi bakteri, populasi aktinomicetes, dan respirasi tanah, perlakukan mulsa vertikal (MVK dan MVP) terjadi peningkatan secara nyata dibandingkan pada perlakukan kontrol atau tanpa perlakukan mulsa (TM). Meskipun populasi bakteri tertinggi terdapat pada perlakukan guludan searah kontur (GK), namun tidak berbeda nyata dibandingkan pada teknik mulsa vertikal (MVK dan MVP). Populasi aktinomicetes tertinggi terdapat pada perlakuan mulsa horizontal (MH) yang tidak berbeda nyata dibandingkan pada perlakuan guludan piringan (GP), sedangkan aktinomicetes pada perlakuan mulsa vertikal masih lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan pada 9 perlakuan tanpa mulsa (TM). Respirasi tertinggi justru terdapat pada perlakuan mulsa vertikal dan berbeda nyata dibandingkan pada perlakuan lainnya. Tabel 4. Rataan populasi mikrobia dan respirasi tanah akibat penerapan teknik mulsa vertikal pada pertanaman jeruk manis di Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat. Perlakuan Bakteri (x 10 spk ml ) (x 10 spk ml ) Aktinomicetes (x 106 spk ml-1) 52,70 a*) 50,38 a 64,70 a 56.03 a 48,74 a 56.57 a 16.25 b 7.34 bc 8.74 ab 6.06 bc 8,25 ab 6.17 bc 5.50 c 10.34 a 26.21 b 22.43 b 24.99 b 34.99 ab 22.29 bc 48.51 a 10.57 c 6 MVK MVP GK GP BP MH TM Jamur -1 6 -1 Respirasi Tanah (kg CO2 kg-1 tanah hari-1 5.56 ab 6,00 a 5.06 c 5.01 c 4.10 d 5.30 bc 4.06 d Keterangan: MVK = mulsa vertikal searah kontur; MVP = mulsa vertikal piringan; GK = guludan searah kontur; GP = guludan piringan; BP = benteng piringan; MH = mulsa horizontal (tebar merata/cara konvensional); TM = tanpa perlakuan mulsa dengan gulma rapat. *) Rataan yang diikuti oleh notasi yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada p.05. Berbeda dengan bakteri dan aktinomicetes, populasi jamur tertinggi justru dijumpai pada perlakukan kontrol atau tanpa penerapan mulsa (TM), meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakukan mulsa vertikal piringan (MVP) dan gulud piringan (GP). Ini berarti perlakuan mulsa vertikal secara umum dapat meningkatkan populasi mikrobia di dalam tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Siregar dan Pratiwi (1999) yang menyimpulkan bahwa limbah hutan yang dimasukkan ke dalam saluran dapat meningkatkan populasi dan aktifitas mikrobia tanah. Peningkatan mikrobia ini terjadi karena peranannya sebagai perombak bahan organik yang pada akhirnya akan meningkatkan unsur-unsur hara penting bagi tanaman di dalam tanah. Sedangkan terhadap respirasi tanah yang ditandai dengan pelepasan kadar CO2 dari dalam tanah seperti telah diuraikan di atas, tertinggi dijumpai pada perlakuan mulsa vertikal piringan (MVP) yang tidak berbeda nyata dengan perlakukan mulsa vertikal searah kontur (MVK) namun berbeda nyata dibadingkan pada perlakuan tanpa mulsa (TM) dan benteng piringan (BP). Tingginya jumlah CO2 yang dilepaskan dari dalam tanah akibat perlakuan mulsa vertikal ini menandakan aktifitas mikrobia di dalam tanah meningkat. Selanjutnya tingginya aktifitas mikrobia di dalam tanah akibat perlakukan mulsa vertikal 10 tersebut memberi peluang terhadap tingginya proses pelarutan unsur hara dan agregasi tanah (Bainbridge, 1996; Siregar dan Pratiwi, 1999), sehingga seperti telah diuraikan terdahulu bahwa perlakukan mulsa vertikal juga berpengaruh baik terhadap sifat fisika dan kimia tanah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Teras gulud dan tanpa perlakuan mulsa (lahan ditumbuhi gulma/rerumputan rapat) berperan lebih baik dan berpengaruh nyata dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi dibandingkan pada perlakuan lainnya, sedangkan teknik mulsa vertikal berpengaruh lebih baik dan cukup nyata dibandingkan pada perlakuan mulsa horizontal (tebar merata/teknik konvensional). 2. Teknik mulsa vertikal dan teras gulud berpengaruh lebih baik dan nyata terhadap sifat fisika dan biologi tanah dibandingkan teknik mulsa horizontal dan tanpa perlakuan mulsa. 3. Teknik benteng piringan (mulsa dan pupuk kandang dalam goni) berpengaruh paling baik terhadap sifat kimia tanah yang tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan mulsa vertikal dan teras gulud, namun berbeda nyata dibandingkan perlakuan mulsa horizontal (tebar merata/konvensional) dan tanpa perlakuan mulsa. Saran Aplikasi mulsa organik pada lahan miring sebaiknya dilakukan dengan teknik mulsa vertikal, dan untuk tanaman tahunan berjarak tanam lebar seperti tanaman jeruk manis, teknik mulsa vertikal terbaik adalah mulsa vertikal piringan. Sedangkan teknik konservasi berupa benteng piringan (mulsa dan pupuk kandang dalam goni yang setengah bagiannya dibenamkan ke dalam tanah dan sebagian lagi berada di atas permukaan lahan seperti benteng membentuk piringan) merupakan cara terbaik dalam memperbaiki/ meningkatkan kadar hara esensial (sifat kimia) di dalam tanah. DAFTAR PUSTAKA Abdul-Rauf. 1999. Pengaruh Mulsa Vertikal terhadap Sifat Tanah, Produksi Jagung, Erosi dan Pemanenan Air di Lahan Kering Berlereng Curam. Makalah pada Kongres VII dan Seminar Nasional HITI. Bandung, 27-28 November 1999. 11 Abdul-Rauf. 2004. Penerapan Sistem Agroforestry di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani dan Pengendalian Erosi; Studi Kasus di Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat. Makalah Disampaikan pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Fakultas Pertanian USU. Medan, 06 Nopember 2004. Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Bainbridge, D.A. 1995. Restoration in the California Desert Vertical Mulch for Site Protection and Revegetation. http://www.sci.sdu.edu/SERG/techniques/erosion.html. Bainbridge, D.A. 1996. Vertical Mulch for Soil Improvement. Restoration and Mangement Notes 14(1):72 Brata, K.R. 1995. Efektivitas Mulsa Vertikal sebagai Tindakan Konservasi Tanah dan Air pada Pertanian Lahan Kering di Latosol Dermaga. Jurnal Pertanian Indonesia, Vol. 5, No. 1, Bogor Hammond, R., L. Mills, and W.S. Johnson. 1993. Vertical Mulch for Healthier Trees and Shrubs. University of Nevada. www.unce.unr.edu/southern/ Kurnia, U., A. Rachman, dan A. Dariah. 2004. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Berlereng. Puslitanak Bogor. Moody, J.E., J.H. Lillard, and T.W. Edwinster. 1952. Mulch Tillage: Some Effects on Plant and Soil Properties. Proceedings Soil Science Society America. Vol. 16, Page: 190-194. Murtilaksono, K., E.S. Sutarta, N.H. Darlan, dan Sudarmo. 2008a. Aplikasi Teras Gulud dan Rorak Bermulsa Vertikal dalam Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI, 17-18 Desember 2007, Cisarua Bogor: 39-50. Murtilaksono, K., E.S. Sutarta, H.H. Siregar, W. Darmosarkoro, dan Y. Hidayat. 2008b. Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air dalam Upaya Penekanan Aliran Permukaan dan Erosi di Kebun Kelapa Sawit. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI, 17-18 Desember 2007, Cisarua Bogor: 165-171. Pratiwi. 2001. Efektivitas Penempatan Mulsa Vertikal untuk Mengurangi Laju Aliran Permukaan dan Sedimentasi serta Kehilangan Unsur Hara di Hutan Tanaman Mahoni Afrika (Khaya antotheca) Pasir Awi- Leuwiliang Jawa Barat. Bulletin Penelitian Hutan 628:49-60. Siregar C.V., dan Pratiwi. 1999. Pemanfaatan Bahan Organik dengan Teknik Mulsa Vertikal untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah pada Hutan Tanaman Industri. Makalah Utama Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Penerapan Konservasi Tanah dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengusahaan Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor, 11 Februari 1999. 12 LAMPIRAN Lampiran Gambar 1. Teknik Mulsa Vertikal Searah Kontur (MVK) Lampiran Gambar 2. Teknik Mulsa Vertikal Piringan (MVP) Lampiran Gambar 3. Guludan Searah Kontur (GK) Lampiran Gambar 4. Guludan Piringan (GP) 13 Lampiran Gambar 5. Benteng Piringan/Mulsa dalam Goni disusun sebagai benteng (BP) Lampiran Gambar 6. Mulsa Horizontal ditebar merata dalam piringan/konvensional (MH) Lampiran Gambar 7. Tanpa Perlakuan Mulsa (TM) (keadaan asli areal dengan gulma/rerumputan rapat di lahan sela tanaman jeruk manis) 14