Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-Pulau Kecil Menggunakan data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus: Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta The Estimation of Small Island’s Extensive with Landsat 8 Image Case Study: Pramuka Island, Thousand Island Jakarta Kuncoro Teguh Setiawan1*), Nanin Anggraini1, danAnneke Karinda Sherly Manoppo1 1 Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN *) E-mail: [email protected] ABSTRACT-Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal pula sebagai negara maritim. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari 13.466 buah pulau. Kondisi ini merupakan anugrah yang sangat besar bagi pemerintah sebagai salah satu aset kekayaan alam. Penginderaan Jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk menentukan luasan dari pulau-pulau kecil. Tujuan penelitian ini adalah menentukan luas wilayah di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan menggunakan data citra Landsat 8. Citra satelit Landsat 8 sangat potensial bila digunakan untuk menentukan daerah pulau-pulau kecil. Metode yang digunakan adalah rasio kanal antara kanal NIR dan kanalHijau dari citra Landsat 8 yang diakuisisi tahun 2015.Berdasarkan metode tersebut luas wilayah Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta teridentifikasi sebesar 27,27 Ha. Kata kunci: luas daerah, Pulau-pulau kecil, Landsat 8 ABSTRACT-As the world’s largest archipelago nation, Indonesia is also known as a maritime nation. Coastal areas and small islands in Indonesia consists of 13.466 islands. This condition is a huge boon for the government as one of the assets of natural resources. Remote sensing is a technology that can be used to define the extents of the small islands. The purpose of this study was to determine the total area in Pramuka Island in Thousand islands Jakarta. Landsat 8 satellite imagery potential when used to determine the area of small islands. The method used in this research is the band ratio between the NIR band and Green band of Landsat 8. We used Landsat 8 data which was acquired in 2015. The result showed that the extent of Pramuka Island in Jakarta was 27.27 Ha. Keywords: extensive,small islands, Landsat 8 1. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 13.466 buah pulau (Yusuf, 2014) yang tersebar dari Sabang sampai Marauke. Luasnya wilayah Indonesia serta banyaknya jumlah pulau tersebut menyebabkan kesulitan untuk menghitung dan mengetahui luas dari masing-masing pulau (Gambar 1).Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk deteksi dan identifikasi pulau-pulau kecil tersebut adalah dengan memanfaatkan teknologi pengideraan jauh. Selain untuk deteksi pulau, teknologi penginderaan jauh yang telah berkembang pesat dapat digunakan untuk mengidentifikasi luas suatu daratan. Teknologi ini akan sangat mendukung untuk kegiatan pengelolaan kawasan pesisir, salah satu contoh kajian yang memanfaatkan data inderaja adalah Kajian Pemanfaatan Ruang Pulau Natuna oleh Candra (2003). Salah satu data satelit yang dapat digunakan untuk menghitung luas daratan adalah Landsat Data Continuity Mission (LDCM) atau lebih dikenal dengan Landsat 8. Landsat 8 sebagai satelit lingkungan memiliki 11 kanal dengan sensor Onboard Operational Land Imager (OLI: kanal 1-9) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS: kanal 10 dan 11) dengan tiga jenis resolusi spasial. Kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6,7 dan kanal 9 memiliki resolusi spasial 30 m, sedangkan kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m. Selain resolusi spasial 30 m dan 15 m, kanal TIR-1 dan TIR-2 (10 dan 11) memiliki resolusi spasial 100 m (Acharya dan Yang, 2015). Generasi baru dari Landsat ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan Landsat sebelumnya. Keunggulan khusus Landsat 8 adalah rentang panjang gelombang yang ditangkap serta spesifikasi dari masing-masing kanal. Kanal 1, 9, 10, dan 11 adalah kanal-kanal dengan spesifikasi baru yang lebih sensitif. Kanal 1 (coastal/aerosol) mampu menangkap panjang gelombang yang lebih rendah sehingga lebih sensitif pada perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Kanal ini mampu mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman yang berbeda. Kanal 9 dapat digunakan untuk deteksi awan cirrus dan kanal 10-11 dengan resolusi 100 m bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi (Sugiarto, -294- Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.) 2013).Banyaknya kanal serta rentang panjang gelombang yang pendek menjadikan Landsat 8 sebagai pilihan menarik untuk digunakan sebagai alat monitoring permukaan bumi. Kelebihan lainnya dari citra Landsat 8 adalahadanya citratime series dengan liputan wilayah yang luas sehingga dapat digunakan untuk deteksi perubahan suatu wilayah. Selain untuk identifikasi daratan dan perairan, Landsat 8 telah banyak digunakan untuk pemukiman (Bhatti dan Tripathi, 2014; Alhawiti dan Mitsova, 2016), suhu permukaan (Avdan dan Jovanovska, 2016; Rajeshwari, 2014) Pulau-pulau kecil meliputi 7% dari wilayah dunia, dan merupakan entitas daratan yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus sehingga pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah daratan lain, khususnya pulau besar (mainland). Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB dalam UNCLOS tahun 1982 dalam Jaelani dkk (2012), definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang tertinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai 'pulau' (Retraubun, 2009), yakni: memiliki lahan daratan terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar selalu berada di atas garis pasang tinggi. Mangrove, gosong, batu tidak dapat dikategorikan sebagai pulau karena tidak memenuhi kriteria tersebut. Namun, definisi pulau kecil masih dalam pengembangan sampai saat ini. Hess (1990) menyatakan pulau kecil adalah pulau dengan jumlah penduduk sama atau kurang dari 200.000 orang. Alternatif batasan pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum 5.000 km (Bengen dan Retraubun 2006). Di Indonesia, pulau kecil merupakan pulau yang mempunyai luasan kurang atau sama dengan 10.000 km² (KepMen KKP,2000). Menurut UU No.27 Tahun 2007, pulau kecil adalah pulau dengan luas area ≤ 2000 km2, dan pulau sangat kecil adalah pulau dengan luas area ≤ 100 km2. Gambar 1. Contoh Pulau Kecil di Indonesia Pemanfaatan pulau-pulau kecil Indonesia diprioritaskan untuk tujuan konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan/kelautan dan industri perikanan secara lestari; dan untuk pertanian organik dan/atau peternakan. Dalam kaitannya dengan pembangunan pulau-pulau kecil skala dan lokasi pulau di Indonesia sangat berpengaruh, namun hal tersebut tidak menjadi kendala untuk negara maju seperti Hawai dan Singapura (Brookfield, 2002). Informasi luas suatu pulau menjadi satu kebutuhan dalam mengidentifikasi suatu pulau dan peruntukan yang tepat untuk masing-masing pulau. Tujuan dari penulisan ini adalah menentukan luas wilayah pulau kecil di Indonesia menggunakan data citra Landsat 8, dengan studi kasus di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta. 2. METODE Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data Landsat 8 terkoreksi tanggal 15 Agustus 2015 dengan path/row 122/64. Wilayah kajian yang menjadi studi kasus adalah Pulau Pramuka yang termasuk dalam gugusan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta (Gambar 2). -295- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 2. Lokasi Penelitian (Pulau Pramuka) Langkah awal yang dilakukan adalah penggabungan kanal dari citra Landsat 8 tanpa melakukan koreksi baik geometrik maupun radiometrikkarena data Landsat 8 yang digunakan sudah terkoreksi keduanya.Selanjutnya dilakukan pembuatan komposit citraRed Green Blue (RGB) untuk mempermudah identifikasi pulau.Kombinasi kanal yang digunakan adalah Natural Color CompositRGB: kanal Red (4), Green (3), Blue (2)sehingga dapat terlihat lebih jelas antara daratan dan perairan. Proses selanjutnya adalah pemisahan daratan dan perairan dengan menggunakan rasio kanal. Kanal yang digunakan untuk algortima band ratio adalah kanal 5 (Near Infra Red- NIR) dan 3 (Green ). Kanal NIR Landsat 8 memiliki fungsi untuk deteksi biomassa serta garis pantai sedangkan kanal 3 memiliki panjang gelombang yang mampu mempertegas puncak vegetasi (Widjaja, 2014). Algoritma yang digunakan adalah penyederhanaan dari formula yang digunakan oleh Winarso et al, 2001, yaitu: B5/B3 ≥ X then 255 else null.........................................................................................................................(1) dimana: B3 B5 X : : : Kanal 3 Kanal 5 Nilai threshold slicing Setelah citra telah terpisahkan antara daratan dan perairan, proses selanjutnya adalah klasifikasi untuk mendapatkan dua kelas yaitu kelas daratan dan kelas perairan. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode klasifikasi unsupervised. Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penghitungan luas pulau. Diagram alur penelitian disajikan pada Gambar 3. -296- Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.) Gambar 3. Diagram Alir Penelitian 3. HASILDAN PEMBAHASAN Data citra yang digunakan adalah citra reflektansi terkoreksiLandsat 8 path/row 122/64 hasil perekaman tanggal 15 Agustus 2015 yang diterima dari Pustekdata LAPANh. Oleh karena itu pada penelitian ini tidak dilakukan lagi proses koreksi data, baik koreksi radiometrik, maupun koreksi geometrik karena data yang digunakan sudah terkoreksi keduanya. Proses penelitian ini diawali dengan penggabungan kanal dari citra reflektansi Landsat 8. Penggabungan kanal dari data citra Landsat 8 dilakukan untuk membantu pembuatan komposit RGB: kanal Red (4), Green (3), Blue (2). Pemilihan RGB komposit 432 dilakukan untuk menunjukkan kondisi Pulau Pramuka dengan jelas seperti disajikan pada Gambar 4. Gambar 4memperlihatkan dengan jelas perbedaan antara daratan dan perairan.Wilayah daratan ditunjukkan pada daerah yang berwarna kemerahan dan hijau yang berasosiasi dalam satu daerah tengah. Wilayah perairan dangkal yang didalamnya ada obyek pasir, lamun, karang hidup dan karang mati terlihat dalam warna yang tercampur, diantaranya adalah cyan, putih, hijau dan merah kecoklatan yang tersebar mengelilingi daratan. Kemudian wilayah perairan laut dalam yang ditunjukkan oleh warna biru tua yang tersebar mengelilingi perairan dangkal. Hasil pembuatan komposit RGB 432 dilakukan untuk pembanding sekaligus penentu dalam pemisahan antara peraiaran dan daratan. Pemisahan antara daratan dan perairan menggunakan metode rasio kanal antara b5 dan b3 sesuai dengan algoritma yang dikembangkan oleh Winarso et al. (2001). Dasar penentuan kanal adalah karakter dari masing-masing kanal pada Landsat 8. Kanal 5 (NIR) dengan panjang gelombang 1,55 – 1,75 mm memiliki informasi mengenai perbedaan warna antara tanah terbuka dengan objek-objek lain. Kanal ini sesuai untuk studi kandungan air tanah, air pada tanaman, formasi batu-batuan dan geologi pada umumnya. Kanal 3 (Green) dengan panjang gelombang 0,63 – 0,69 mm memiliki informasi mengenai perbedaan antara vegetasi dan non vegetasi, misalnya dapat dilihat adanya perbedaan antara vegetasi dengan tanah khususnya pada daerah urban.Dengan menggunakan rasio antara kanal 5 dan 3 maka diharapkan dapat memisahkan antara daratan dan perairan. -297- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 4. Komposit RGB 432 Citra Reflektansi Landsat 8 Pengaturan nilaithreshold slicing yang digunakan diatur sedemikian rupa sehingga mendapatkan daratan yang terpisah dengan perairan. Penentuan nilai threshold slicing inilah yang menjadi kunci dalam penelitian ini. Pada penelitian ini penentuan nilai threshold slicing tersebut dilakukan berdasarkan teknik visual yang membandingkan secara langsung antara dua gambar antara hasil rasio kanal dengan komposit RGB 432 pada beberapa posisi disekitar daerah bibir pantai. Hasil maksimal yang diperoleh untuk menentukan nilai threshold slicing pada penelitian ini adalah 0,83. Hasil algoritma tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Hasil Pemisahan Obyek Darat dan Perairan Nilai threshold 0,83 hanya berlaku pada citra yang digunakan pada penelitian ini. Standart trehshold yang digunakan pada citra yang berbeda tanggal akuisisi maupun perbedaan musim tentunya tidak bisa dipastikan sama dengan nilai thresholdpenelitian ini, karena nilai threshold yang diperoleh sangat bergantung dari perbandingan nilai kanal yang dimiliki citra pada saat itu. Oleh karena itu penentuan threshold mengacu pada nilai reflektansi dari citra yang digunakan pada saat itu. Setelah proses pemisahan antara wilayah daratan dan perairan dengan menggunakan rasio kanal antara kanal 5 dan kanal 3 selanjutnya dilakukan proses klasifikasi. Proses klasifikasi dilakukan untuk membuat citra menjadi 2 kelas yaitu daratan dan perairan dengan menggunakan metode klasifikasi unsupervised. Hasil klasifikasi dari citra Landsat 8 untuk wilayah daratan Pulau Pramuka ditunjukkan pada Gambar 6. Setelah dilakukan klasifikasi selanjutnya dilakukan proses kalkulasi statistika sehingga dihasilkan informasi luasan untuk kelas daratan yang terbentuk. Luasan daratan untuk Pulau Pramuka Kepulauan Seribu berdasarkan citra Landsat 8 dengan menggunakan nilai threshold slicing 0,83 adalah sebesar 27,27Ha. Pada penelitian ini perlu dilakuan validasi dengan menggunakan informasi data lapangan dan info pasang surut terkait penentuan nilai threshold slicing karena penentuan nilai tersebut yang menjadi kunci keakuratan hasil penelitian ini. Selain itu, diperlukan adanya penelitian dengan menggunakan data multitemporal sehingga dapat diketahui perubahan luasan serta dapat menentukan nilai threshold yangtepat sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan luas pada pulau yang lain. -298- Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.) Gambar 6. Hasil Klasifikasi Pulau Pramuka 4. KESIMPULAN Penginderaan Jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk menentukan luasan dari pulau-pulau kecil. Salah satu metode yang digunakan adalah rasio kanal antara kanal 5(NIR) dengan kanal 3(Green). Berdasarkan hasil pengolahan data dari citra reflektansi Landsat 8 yang diakuisisi tahun 2015 menggunakan nilai threshold slicing 0,83, maka teridentifikasi luas dari Pulau Pramuka adalah 27,27 Ha. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional untuk fasilitas penelitian. DAFTAR PUSTAKA Acharya, T.D., dan Yang, I., (2015). Exploring Landsat 8. International Journal of IT, Engineering and Applied Sciences Research (IJIEASR), 4(4). Alhawiti, R. H., dan Mitsova, D., (2016). Using Landsat-8 Data To Explore The Correlation Between Urban Heat Island And Urban Land Uses. International Journal of Research in Engineering and Technology, 5(3). Avdan, U., dan Jovanovska, G., (2016). Algorithm for Automated Mapping of Land Surface Temperature Using LANDSAT 8 Satellite Data. Journal of Sensors.http://dx.doi.org/10.1155/2016/1480307. Rajeshwari, A. dan Mani, N.D., (2014). Estimation Of Land Surface Temperature of Dindigul District Using Landsat 8 Data.International Journal of Research in Engineering and Technology. 3(5). Bengen, D.G., dan Retraubun, A.,(2006). Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor. Bhatti, S.S., dan Tripathi, N.K., (2014). Built-up area extraction using Landsat 8 OLI imagery. GIScience & Remote Sensing, 51(4):445–467. http://dx.doi.org/10.1080/15481603.2014.939539 Brookfield, H.C.,(2002). An approach to islands. In W. Beller, P. d’Ayala and P. Hein (eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small islands. The Partenon Publishing Group, Paris, France, New Jersey, USA. pp. 23-34. Candra, A.,(2003). Kajian Pemanfaatan Ruang Pulau Natuna, Kabupaten Natuna. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hess, A.L., (1990). Overview: sustainable development and environmental management of small islands.In Beller, et al.Sustainable development and environmental management of small islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group. Jaelani (2012). Konsep Pengembangan Minasata Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia No. 41 (2000).Bappenas: Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Retraubun, A.,(2009). Mengidentifikasi Pulau, artikel Harian Kompas 06/07/2009:14. Sugiarto, D.P.,(2013). Landsat 8. Spesifikasi, Keunggulan dan Peluang Pemanfaatan Bidang Kehutanan. https://tnrawku.wordpress.com/2013/06/12/landsat-8-spesifikasi-keungulan-dan-peluang-pemanfaatan-bidangkehutanan/ (20 Juni 2016: 10.04). -299- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Undang-undang No. 27 (2007). Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Widjaja, A.M.H.,(2014). Kombinasi Band pada Citra Landsat-8. arnithestoryview.wordpress.com/2014/04/12/tugas-1praktikum-pcd-kombinasi-band-pada-citra-landsat-8/. Winarso, G., dan Budhiman, S., (2001). The Potential Application Remote Sensing Data for Coastal Study.The 22nd Asian Conference on Remote Sensing. Centre for Remote Imaging, Sensing and Processing (CRISP), National University of Singapore; Singapore Institute of Surveyors and Valuers (SISV); Asian Association on Remote Sensing (AARS). Yusuf, M.,(2014). Penamaan Pulau (Toponim Pulau). http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/76/penamaanpulau-toponim-pulau-.html (20 Juni 2016: 09.20) *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Nama Pemakalah Diskusi : Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-Pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus: Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta : Kuncoro Teguh Setiawan (LAPAN) : Pertanyaan: Teguh Prayogo (IPB) 1. Dasar pemilihan band dalam penentuan pulau apa? 2. Bagaimana standar threshold slicing untuk menentukan pulau dan citra yang sama namun berbeda akuisisi dan musim? 3. Bagaimana verifikasi dan validasi hasil deteksi pulau-pulau tersebut? Jawaban: 1. Dasar penentuan band adalah dengan memperhatikan karakter dari masing-masing band pada Landsat 8. Band 3 (Red) dengan panjang gelombang 0.63 – 0.69 mm memiliki informasi mengenai perbedaan antara vegetasi dan non vegetasi, misalnya dapat dilihat adanya perbedaan antara vegetasi dengan tanah khususnya pada daerah urban. Band 5 (NIR) dengan panjang gelombang 1.55 – 1.75 mm memiliki informasi mengenai perbedaan warna antara tanah terbuka dengan objek-objek lain. Band ini sesuai untuk studi kandungan air tanah, air pada tanam-tanaman, formasi batu-batuan dan geologi pada umumnya. Dengan menggunakan ratio antara band 3 dan 5 maka diharapkan dapat memisahkan antara daratan dan perairan. 2. Standart trehshold yang digunakan pada citra yang berbeda tanggal akuisisi maupun perbedaan musim tentunya tidak bisa dipastikan sama dengan nilai threshold dipenelitian ini, karena nilai threshold yang kita dapat sangat bergantung dari perbandingan nilai band yang dimiliki citra pada saat itu. Begitu pula bila kita terapka di pulau-pulau kecil lainnya. Oleh karena itu penentuan threhold mengacu pada nilai reflektansi dari citra yang digunakan pada saat itu. 3. Verifikasi dan validasi: masih belum dilakukan, sehingga kita sangat berharap metode ini diteruskan dengan melakukan validasi dan verifikasi terkait penentuan nilai threshold yang kita gunakan untuk memastikan posisi dititik-titik perbatasan darat dan air itu tepat, dan pada penelitian ini kita mengandalkan tampilan visual dari RGB untuk memisahkan daerah tersebut daratan atau perairan. Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat bagus dan menjadi inspirasi bagi kita. Pertanyaan: Dr. Dede Dirgahayu (LAPAN): Variasi nilai X (mean dan standart) pada data multitemporal 1 tahun? Jawaban: Penelitian dengan menggunakan data multitemporal 1 tahun belum dicoba, ini merupakan masukan buat kita untuk melakukannya sehingga kita bisa mendapatkan batasan interval nilai threshold yang bisa dijadikan acuan untuk digunakan di Pulau lainnya. Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat bagus dan menjadi inspirasi bagi kita. -300- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus: Kabupaten Bantul) Utilization of Landsat Imagery to Estimate Land Surface Temperature Using Split Window Algorithm (Case Study: Bantul Regency) Ilham Guntara1*) 1 Mahasiswa Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *) E-mail: [email protected] ABSTRAK-Teknologi penginderaan jauh mengalami perkembangan yang semakin pesat karena saat ini data penginderaan jauh semakin mudah didapat. Land Surface Temperature (LST) merupakan salah satu parameter kunci keseimbangan energi dan variabel klimatologis yang utama. LST dapat diekstraksi dari citra Landsat 8 melalui pemrosesan citra digital. Split Window Algorithm adalah algoritma yang mampu mengekstraksi informasi suhu permukaan lahan pada suatu daerah melalui nilai brightness temperature yang dihitung dari band 10 dan band 11 pada sensor TIRS citra Landsat 8 serta nilai LSE (land surface emissivity) yang dihitung dari band 4 dan band 5 pada sensor OLI citra Landsat 8. Hasil penelitian menunjukkan dua data LST dalam periode berbeda pada tanggal 24 Juni 2013 memiliki suhu rata-rata 30,2 oC, suhu minimum 24,3 oC, dan suhu maksimum 41,6 oC, sedangkan pada tanggal 30 Agustus 2014 memiliki suhu rata-rata 28,9 oC, suhu minimum 20,1 oC, dan suhu maksimum 42,5 oC. Perbandingan dua data LST pada periode berbeda menunjukkan bahwa hasil estimasi LST memiliki persebaran nilai suhu yang detail, variatif, dan dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisi alam, iklim dan cuaca, seperti elevasi, tutupan vegetasi, penutup lahan, dan tutupan awan serta dipengaruhi juga oleh ketersediaan dan kualitas citra satelit. Kata kunci: Penginderaan Jauh, Landsat 8, Inframerah Termal, Suhu Permukaan Lahan, Split Window Algorithm ABSTRACT-Remote sensing technology has developed rapidly since the current remote sensing data is easily obtainable. Land Surface Temperature (LST) is one of the main parameters in the energy balance and climatological variables. LST can be extracted from Landsat 8 through digital image processing. Split Window Algorithm (SWA) is an algorithm that can extract information of LST in a region through brightness temperature values that is calculated from band 10 and band 11 on the TIRS sensor of Landsat 8 and land surface emissivity values that is calculatedfrom band 4 and band 5 on the OLI sensor of Landsat 8.The result showed two LST data in different periods. LST on June 24 of 2013 has an average temperature of 30,2 oC, minimum temperatureof 24,3 oC, and maximum temperatureof 41,6oC. While, LST onAugust 30 of 2014 has an average temperature of 28,9 oC, minimum temperatureof 20,1 oC, and maximum temperatureof 42,5oC. Comparison of two LST data in different periodsshowed that the estimated temperature has detail, varied, and dynamic distribution of values. Because it is influenced by various factors including natural conditions, climate and weather, elevation topography, vegetation cover, land cover, and cloud cover. In addition, it is influenced also by the availabilty and quality of remote sensing satellite imagery. Keywords: Remote Sensing, Landsat 8 Imagery, Thermal Infrared, Land Surface Temperature, Split Window Algorithm 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi penginderaan jauh k8mengalami perkembangan yang semakin pesat dewasa ini. Data penginderaan jauh semakin mudah didapat dan mudah dijangkau oleh kalangan umum. Mulai dari data penginderaan jauh dengan skala detail hingga skala tinjau sudah banyak tersedia secara gratis. Data tersebut dapat diunduh gratis atau diakses bebas secara online. Citra Landsat merupakan data penginderaan jauh hasil perekaman satelit Landsat yang dapat diunduh secara gratis dan diakses secara bebas. Landsat dikembangkan oleh Amerika Serikat melalui dua instansinya yaitu NASA (The National Aeronautics and Space Administration atau Departemen Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat) dan USGS (United States Geological Survey atau Departemen Geologi dan Survei Amerika Serikat). -301- Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus: Kabupaten Bantul) (Guntara, I.) TIRS (Thermal Infrared Sensor) merupakan satu dari dua instrumen sensor Landsat 8 yang memiliki banyak manfaat dan keunikan tetapi masih jarang diberdayakan oleh penggunanya terutama di Indonesia. Salah satu aplikasi dari citra Landsat 8 TIRS atau saluran inframerah termal adalah untuk mengestimasi LST (land surface temperature / suhu permukaan lahan). LST dapat diestimasi dari citra satelit Landsat 8. LST dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan ratarata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda (Faridah dan Krisbiantoro, 2014) Proses ekstraksi suhu permukaan lahan dari citra Landsat 8 menggunakan perhitungan algoritma matematika. Salah satu algoritma yang cukup populer adalah Split Window Algorithm (SWA). SWA membutuhkan band 10 dan band 11 serta band 4 dan band 5 dari citra Landsat 8 untuk menyajikan informasi suhu permukaan lahan (Latif, 2014). Hasil estimasi LST dapat dibandingkan antara dua data dalam periode waktu perekaman yang berbeda. LST hasil estimasi dari Citra Landsat 8 pada waktu perekaman 24 Juni 2013 dibandingkan dengan LST hasil estimasi dari citra Landsat 8 pada waktu perekaman 30 Agustus 2014 di Kabupaten Bantul. Perbandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui keunggulan penggunaan data penginderaan jauh citra Landsat 8 dalam mengetimasi LST secara regional di wilayah Kabupaten Bantul. 1.2 Rumusan Masalah 1) Bagaimana distribusi hasil estimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature) secara regional di Kabupaten Bantul dengan citra Landsat 8 menggunakan Split Window Algorithm? 2) Bagaimana perbandingan dua data penginderaan jauh citra Landsat 8 pada periode waktu perekaman yang berbeda dalam mengetimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature) menggunakan Split Window Algorithm? 1.3 Tujuan 1) Memetakan distribusi hasil estimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature) secara regional di Kabupaten Bantul dengan citra Landsat 8 menggunakan Split Window Algorithm. 2) Menganalisis perbandingan dua data penginderaan jauh citra Landsat 8 pada periode waktu perekaman yang berbeda dalam mengetimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature) menggunakan Split Window Algorithm. 2. METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat 1) Seperangkat laptop 2) Perangkat lunak ArcGIS 10.1 3) Perangkat lunak Ms. Office 2013 2.1.2 Bahan 1) Citra Landsat 8 waktu perekaman 24 Juni 2013 path 120 row 65. 2) Citra Landsat 8 waktu perekaman 30 Agustus 2014 path 120 row 65. 3) Data digital shapefile (.shp) peta administrasi Kabupaten Bantul. 2.2 Tahap Penelitian 2.2.1 Pemotongan Citra Citra Landsat 8 dipotong berdasarkan data shapefile (.shp) Kabupaten Bantul. 2.2.2 Koreksi Radiometrik Data band 10 dan band 11 serta band 4 dan band 5 dikonversi dari citra mentah (raw image) atau nilai DN (digital number) ke nilai TOA Spectral Radiance menggunakan radiance rescaling factors dalam file metadata Landsat 8 (lihat pada tabel 2.1). Formula perhitungan tersebut sebagai berikut (USGS, 2013): Lλ = MLQcal + AL (1) Keterangan: Lλ : TOA spectral radiance (Watts/(m2 * srad * μm)) -302- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 ML : Band-specific multiplicative rescaling factor from the metadata (RADIANCE_MULT_BAND_x, where x is the band number) AL : Band-specific additive rescaling factor from the metadata (RADIANCE_ADD_BAND_x, where x is the band number) Qcal : Quantized and calibrated standard product pixel values (DN) 2.2.3 Perhitungan Brightness Temperature Brightness Temperature (TB) menghasilkan dua nilai yaitu TB10 (band 10) dan TB11 (band 11) menggunakan konstanta termal (lihat pada Tabel 3.1) dengan formula sebagai berikut (USGS, 2013): K2 (2) TB = K1 ln( +1) Lλ Keterangan: TB : Brightness temperature (K) Lλ : TOA spectral radiance (Watts / (m2 * srad * μm)) K1 : Band-specific thermal conversion constant from the metadata (K1_CONSTANT_BAND_x, where x is the band number K2 : Band-specific thermal conversion constant from the metadata (K2_CONSTANT_BAND_x, where x is the band number) Tabel 2.1 Nilai Radian dan Konstanta Termal Band pada Landsat 8 Keterangan Radiance Multiplier Radiance Add K1 K2 Band 10 Band 11 Band 4 0,0003342 0,0003342 Lihat pada metadata 0,1 0,1 Lihat pada metadata 774,89 480,89 1321,08 1201,14 Sumber:(Rajeshwari & Mani, 2014) Band 5 Lihat pada metadata Lihat pada metadata - 2.2.4 Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Band 4 (merah) dan band 5 (inframerah dekat) digunakan untuk memperoleh nilai NDVI dengan formula sebagai berikut (Latif, 2014): Band 5 - Band 4 NDVI = (3) Band 5 + Band 4 Keterangan: NDVI : Normalized Difference Vegetation Index Band 4 : Saluran merah pada Landsat 8 Band 5 : Saluran inframerah dekat pada Landsat 8 2.2.5 Perhitungan Fractional Vegetation Cover (FVC) Nilai FVC dapat diestimasi menggunakan nilai NDVI yang sebelumnya telah diperoleh serta nilai NDVIsoil (tanah) dan nilai NDVIveg dengan formula sebagai berikut (Latif, 2014): NDVI - NDVIsoil FVC = NDVIveg - NDVIsoil Keterangan: FVC : Fractional Vegetation Cover NDVI : Nilai NDVI yang sebelumnya telah diperoleh NDVIsoil: Nilai NDVI untuk tanah = 0,2 (Latif, 2014) NDVIveg: Nilai NDVI untuk vegetasi = nilai terbesar NDVI -303- (4) Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus: Kabupaten Bantul) (Guntara, I.) 2.2.6 Perhitungan Land Surface Emissivity (LSE) Estimasi LSE membutuhkan nilai emisivitas tanah dan nilai emisivitas vegetasi dari band 10 dan band 11 dengan formula sebagai berikut (Latif, 2014): LSE = εs * (1-FVC) + εv * FVC (5) Keterangan: LSE : Land Surface Emissivity FVC : Nilai FVC yang sebelumnya telah diperoleh εs : Emisivitas tanah band 10 dan band 11 (lihat pada Tabel 2.2) εv : Emisivitas vegetasi band 10 dan band 11 (lihat pada Tabel 2.2) Tabel 2.2 Nilai Emisivitas TIRS Band pada Landsat 8 Emisivitas Band 10 Band 11 0,971 0,977 εs 0,987 0,989 εv Sumber: (Rajeshwari & Mani, 2014) 2.2.7 Kombinasi LSE B10 dan LSE B11 LSE B10 + LSE B11 m= Δm = LSE band 10 - LSE band 11 Keterangan: m Δm LSE B10 (6) 2 (7) : mean of LSE / nilai rata-rata LSE : difference of LSE / nilai selisih LSE : Nilai LSE band 10 yang telah diperoleh LSE B11 : Nilai LSE band 11 yang telah diperoleh 2.2.8 Perhitungan Land Surface Temperature (LST) Berikut formula SWA yang dicetuskan Sobrino pada tahun 1996 dan tahun 2008 (Rajeshwari & Mani, 2014): LST = TB10 + C1 (TB10 - T B11) + C2 (TB10 - TB11)2 + C0 + (C3 + C4 W) (1 - m) + (C5 + C6 W) Δ m Keterangan: LST C0 – C6 TB10, TB11 m W Δm : Land Surface Temperature (K) : Split Window Coefficient (lihat tabel 2.3) : nilai BT (K) band 10 dan band 11 : rata-rata nilai LSE band 10 dan band 11 : Atmospheric Water Vapour Content = 0,013 (Latif, 2014) : selisih nilai LSE band 10 dan band 11 -304- (8) Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 2.3Split Window Coefficient Constant Value C0 -0,268 C1 1,378 C2 0,183 C3 54,300 C4 -2,238 C5 -129,200 C6 16,400 Sumber: (Rajeshwari & Mani, 2014) 2.2.9 Klasifikasi Suhu Hasil estimasi LST memiliki satuan unit yaitu kelvin perlu dikonversi ke celcius dengan mengurangi setiap hasil perhitungan suhu tersebut dengan nilai 273,15. Tabel 2.4 Klasifikasi dan Rentang Nilai Suhu Kelas Rentang Nilai Suhu (oC) 1 15,1-17,5 2 17,6-20,0 3 20,1-22,5 4 22,6-25,0 5 25,1-27,5 6 27,6-30,0 7 30,1-32,5 8 32,6-35,0 9 35,1-37,5 10 37,6-40,0 11 40,1-42,5 12 42,6-45,0 Sumber: (Faridah & Krisbiantoro, 2014) dengan modifikasi 2.3 Diagram Alir Peneltian Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian -305- Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus: Kabupaten Bantul) (Guntara, I.) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2013 Gambar 3.1 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2013 Ada 8 kelas kelas suhu permukaan lahan yang menyusun Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2013 (lihat Gambar 3.1). Jumlah kelas suhu yang banyak tersebut menandakan bahwa variasi suhu permukaan lahan di Kabupaten Bantul cukup beragam. Perekaman citra Landsat 8 yang digunakan adalah 24 Juni 2013. Bulan Juni di Indonesia termasuk dalam musim kemarau di mana matahari bersinar hampir sepanjang siang pada setiap hari sehingga distribusi sinar matahari bisa optimal di seluruh wilayah Kabupaten Bantul. Radiasi sinar matahari yang optimal membuat estimasi LST juga bisa optimal. 3.2 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014 Gambar 3.2 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014 -306- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014 (lihat pada Gambar 3.2) memiliki 9 kelas suhu. Jumlah kelas suhu yang banyak tersebut menandakan bahwa LST tahun 2014 lebih variatif dan beragam dibanding LST tahun 2013. Tanggal perekaman citra yang digunakan pada LST tahun 2014 adalah 30 Agustus 2014. Peta LST Kabupaten Bantul tahun 2014 tidak full-area seperti pada peta LST tahun 2013. Terdapat area berawan pada peta LST tahun 2014. Area tersebut merupakan area yang sengaja dihilangkan karena area tersebut tertutup atau terlapisi awan. Lapisan awan yang tipis pun pada citra Landsat dapat mengakibatkan anomali pada perhitungan suhu, akibatnya suhu bisa turun drastis daripada keadaan suhu yang sebenarnya. Rata-rata nilai LST Kabupaten Bantul tahun 2014 berkisar pada suhu 27,6-30,0 oC atau tepatnya o 28,91 C. Nilai rata-rata tersebut tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai LST tahun 2013 yaitu 30,2 oC. LST tertinggi bernilai 40,1-42,5 oC atau tepatnya 42,5 oC, tidak berbeda jauh dengan LST tahun 2013 yaitu 41,6 oC. Perbedaan terletak pada lokasi LST tertinggi di mana pada LST tahun 2014 terdapat di sebagian kecil bagian utara Kecamatan Sewon yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, sedangkan LST tertinggi tahun 2013 terletak di sebagian kecil bagian selatan Kecamatan Kretek. LST terendah berkisar pada kelas suhu 20,1-22,5 oC atau tepatnya 20,1 oC, berbeda cukup jauh dengan LST tahun 2013 yaitu 24,3 oC. Lokasi LST terendah tahun 2014 berada di Kecamatan Dlingo dan Kretek berbeda dengan LST terendah tahun 2013 yang terletak di Kecamatan Imogiri. 3.3 Perbandingan Dua Data LST dalam Periode Waktu Berbeda Tabel 3.5 Perbandingan LST Kabupaten Bantul Tahun 2013 dan 2014 No Koordinat Titik Nilai Piksel Sampel LST (oC) X (mT) Y (mU) (2013) (2014) 1 416.822 9.136.947 30,0 25,5 2 429.343 9.134.783 38,3 42,4 3 435.666 9.139.272 33,7 37,1 4 440.957 9.132.657 29,4 39,7 5 437.095 9.130.223 31,9 35,2 6 439.264 9.125.566 27,1 22,2 7 434.544 9.122.460 24,3 25,3 8 426.210 9.128.704 34,4 34,4 9 422.479 9.122.672 29,2 29,2 10 424.798 9.113.802 41,6 37,2 11 418.236 9.115.612 37,5 33,8 12 419.506 9.119.739 29,8 24,9 13 420.767 9.127.282 30,2 29,5 14 415.925 9.134.055 29,1 25,7 15 429.191 9.132.325 35,1 36,7 16 422.736 9.127.404 31,9 29,4 17 435.330 9.125.234 27,6 26,9 18 424.007 9.128.832 32,2 32,4 19 439.722 9.129.097 27,2 22,7 20 427.234 9.137.722 36,6 38,7 Suhu Minimum 24,3 20,1 Suhu Maksimum 41,6 42,5 Suhu Rerata 30,2 28,9 LST Kabupaten Bantul tahun 2014 lebih bervariasi dibandingkan LST tahun 2013 (lihat pada Tabel 3.1). LST tahun 2014 memiliki rentang suhu minimum ke suhu maksimum 20,1-42,5 oC, sedangkan LST tahun 2013 hanya memiliki rentang suhu minimum ke suhu maksimum antara 24,3-41,6 oC. Secara keseluruhan LST tahun 2014 memiliki suhu rata-rata sebesar 28,9 oC yang artinya lebih rendah daripada LST tahun 2013 dengan suhu rata-rata sebesar 30,2 oC. Namun selisih suhu rata-rata kedua LST tersebut tidak jauh berbeda, hanya sebesar 1,3 oC. Persebaran nilai suhu pada LST tahun 2013 dan 2014 menunjukkan bahwa hasil yang tergolong detail dan dinamis. Data hasil estimasi LST menyajikan persebaran suhu regional bahkan bisa per kecamatan atau per desa. Hasil dua data LST dalam periode berbeda tersebut menggambarkan bahwa persebaran suhu pada -307- Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus: Kabupaten Bantul) (Guntara, I.) suatu wilayah bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai kondisi alam, iklim, dan cuaca. Persebaran data suhu yang detail dan dinamis akan sangat berguna sebagai data masukan berbagai penelitian. 4. KESIMPULAN 1) Hasil estimasi LST Kabupaten Bantul dengan Citra Landsat 8 dan Split Window Algorithm pada tanggal 24 Juni 2013 memiliki suhu rata-rata 30,15 oC, suhu minimum 24,28 oC, dan suhu maksimum 41,63 oC, sedangkan pada tanggal 30 Agustus 2014 memiliki suhu rata-rata 28,91 oC, suhu minimum 20,05 oC, dan suhu maksimum 42,50 oC. 2) Perbandingan dua data LST pada periode berbeda menunjukkan bahwa hasil estimasi LST memiliki persebaran nilai suhu yang detail, variatif, dan dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisi alam, iklim dan cuaca, seperti elevasi, tutupan vegetasi, penutup lahan, dan tutupan awan serta dipengaruhi juga oleh ketersediaan dan kualitas citra satelit . 5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini baik dalam penyediaan data maupun pengerjaan data sebagai berikut: 1) Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta sebagai instansi yang telah menaungi penelitian ini, membantu penyediaan data, membantu pengerjaan data, danmemberikan izin penelitian. 2) Dr. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc. dan Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Sc. (Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) sebagai pihak-pihak yang telah membimbing dan menguji penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Faridah, S.N., dan Krisbiantoro, A., (2014). Analisis Distribusi Temperatur Permukaan Tanah Wilayah Potensi Panas Bumi Menggunakan Teknik Pendinderaan Jauh di Gunung Lamongan, Tiris-Probolinggo, Jawa Timur. Berkala Fisika, 17(2):67-72. Jiménez-Muñoz, J.C., dan Sobrino, J.A., (2008). Split-Window Coefficients for Land Surface Temperature Retrieval From Low-Resolution Thermal Infrared Sensors. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 5(4):806-809. Latif, M.S., (2014). Land Surface Temperature Retrival of Landsat-8 Data Using Split Window Algorithm- A Case Study of Ranchi District. International Journal of Engineering Development and Research (IJEDR), 2(4):3840-3849. Prasasti, I., dkk. (2007). Pengkajian Pemanfaatan Data TERRA-MODIS untuk Ekstraksi Data Suhu Permukaan Lahan (SPL) Berdasarkan Beberapa Algoritma. Jurnal Penginderaan Jauh Lapan, 1-8. Rajeshwari, A., dan Mani, N.D., (2014). Estimation of Land Surface Temperature of Dindigul District Using Landsat 8 Data. International Journal of Research in Engineering and Technology (IJRET).3(5):122-126. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator JudulMakalah : : Pemakalah Diskusi : : Dr. Ety Parwati Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature) Menggunakan Split Window Algorithm (Studi Kasus: Kabupaten Bantul) Ilham Guntara (UGM) Pertanyaan: Kustiyo (LAPAN) Persamaan yang digunakan cukup kompleks, mengapa digunakan persamaan tersebut? Di Landsat 8 juga ada TIRS? Jawaban : -308- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Langkah pertama yang dilakukan adalah menurunkan Brightness Temperature. LST ini sudah mempertimbangkan OLI dan memperhitungkan emisivitas tanah dan juga NDVI. Selain itu juga merubah resolusi di mana pada TIRS 100 meter dan OLI 30 meter. Pertanyaan: Eko Susilo (KKP) Land surface itu suhu tanah atau yang ada di bawahnya? Jawaban : Land Surface merupakan suhu permukaan, kalau terdapat vegetasi ya suhu vegetasinya. -309- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung Analysis of Changes in Vegetation Density Index Value Relation to Changes in Landuse in the Watershed Ciliwung Adib Ahmad Kurnia1*), Satrio Fatturahman1, dan Dariin Firda1 1 Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia *) Email: [email protected] ABSTRAK - Kebutuhan akan lahan pemukiman yang semakin tinggi, pada akhirnya banyak mengubah daerah hutan menjadi lahan pemukiman. DA Ci Liwung merupakan daerah yang mengalami perubahan penggunaan tanah sangat cepat. Dahulu DA Ci Liwung merupakan daerah sangat hijau yaitu hulunya merupakan daerah puncak, namun karena daerah DA Ci Liwung (dari hulu sampai hilir) yang melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kota Depok, dan Propinsi DKI Jakarta yang merupakan daerah perkotaan sehingga lahan hijau di DAS ini menurun sangat drastis. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana perubahan nilai indeks vegetasi pada penggunaan tanah tahun 2005 dan 2015 dengan menggunakan metode perhitungan NDVI di tahun yang berbeda. Hasil dari penelitian ini akan menggambarkan perubahan jumlah area wilayah hijau yang berada di DAS Ci Liwung dengan metode perhitungan NDVI Kata kunci: Perubahan Penggunaan Lahan, DAS Ci Liwung, Metode NDVI ABSTRACT – Residential land requirements will be higher, many eventually change the forest area to settlement. Ciliwung watershed is an area of land use changes very fast. Formerly Ciliwung watershed is a very green area is the upper reaches of the summit area, but due to Ciliwung watershed area (upstream and downstream) surrounding district. Bogor, Bogor District, Depok City, and DKI Jakarta which are urban areas that green land in the watershed is decreasing drastically. This study aims to determine how changes in vegetation indices on the use of land in 2005 and 2015 using the method of calculation of NDVI in different years. The results of this study will describe the changes in the number of areas that are in the green area of Ciliwung with NDVI calculation method Keywords: Landuse Change, Ci Liwung Watershed, NDVI Methods 1. PENDAHULUAN Kebutuhan akan udara yang bersih dan oksigen yang cukup sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia. Parameter udara yang bersih dan oksigen yang dihasilkan dapat dilihat dari jumlah dan kerapatan vegetasi yang tersedia di kawasan tersebut. Namun, jumlah penduduk yang semakin banyak saat ini membutuhkan lahan untuk membangun permukiman yang banyak pula. Kebutuhan akan lahan permukiman yang semakin banyak akhirnya banyak mengubah daerah hutan menjadi lahan permukiman DAS Ci Liwung merupakan Serah yang mengalami perubahan penggunaan tanah sangat cepat. Luas areal DAS Ci Liwung sebesar 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah kurang lebih 117 kilometer. Dahulu DAS Ci Liwung merupakan daerah yang sangat hijau. Hulunya berada di daerah puncak, namun karena daerah DAS Ci Liwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kota Depok, dan Provinsi DKI Jakarta yang merupakan daerah perkotaan sehingga lahan hijau di DAS ini menurun sangat drastis. Dari kajian di atas tentunya perkembangan penduduk juga harus diimbangi dengan persediaan udara dan oksigen yang cukup. Sehingga menarik untuk dilihat bagaimana perbedaan kondisi penggunaan tanah di DAS Ci Liwung dan bagaimana perbedaan nilai indeks vegetasinya dalam jangka waktu 10 tahun. Pengambilan jangka waktu 10 tahun ini beralasan karena pertumbuhan kota di DAS Ci Liwung dan pertumbuhan di pariwisata di DAS Ci Liwung Hulu cukup pesat. Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi (Horning, 2004). Algoritma Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang dipublikasikan -310- Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia, A., dkk.) oleh Deering (1978) memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang berasal dari dedauman. Nilai kehijauan vegetasi suatu wilayah yang diamati berupa skala antara -1 (minimum) hingga 1 (maksimum) yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi vegetasi yang diterima oleh sensor pada panjang gelombang merah (RED) dan infra merah dekat (NIR). Secara ringkas NDVI dapat dirumuskan sebagai (NIR-RED)/(NIR+RED) (Sudiana, 2008). Saat ini, banyak sensor satelit yang digunakan untuk melihan kondisi kehijauan vegetasi bumi, seperti NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS (Sudiana, 2008), serta Landsat (Purwanto, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi dan perkembangan penggunaan tanah di DAS Ci Liwung pada tahun 2005 dan 2015 serta nilai jumlah dan kerapatan vegetasi yang tersedia dengan menggunakan metode NDVI. Hasil dari kedua analisis tersebut dapat digunakan untuk mengetahui seberapa parah perubahan penggunaan tanah di DAS Ci Liwung serta dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengambil kebijakan dalam pembangunan di DAS Ci Liwung Gambar 1.Alur Pikir Penelitian 2. METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Landsat 7 ETM + SLC off yang bersumber dari NASA dengan path/row 122/064 dan 122/065 pada tahun 2005 dan 2015 dan data Landsat 8 ETM dari NASA path/row 122/064 dan 122/065 pada tahun 2005 dan 2015. Dalam proses pengolahan data digunakan perangkat lunak ENVI 5.1 dan Arc Map GIS 10.3. Setelah mendapatkan citra Landsat 7 ETM+SLC Off pada tahun 2005 dan citra landsat 8 pada tahun 2015, selanjutnya dilakukan pengolahan awal di software Envi 5.1. Pengolahan awal pada citra landsat 7 + SLC Off berupa gapfill, mosaiking citra, pemotongan citra, koreksi geometrik dan radiometrik serta dilakukan penajaman baik spektral maupun spasial. Sementara pada landsat 8 pemrosesan awal yang dilakukan adalah mosaiking citra, pemotongan citra, koreksi geometrik dan radiometrik serta dilakukan penajaman baik spektral maupun spasial. Pengolahan awal ini bertujuan untuk menghasilkan citra DAS Ci Liwung yang sesuai wilayahnya dmaupun segi kualitas gambarnya. Setelah citra siap, pengolahan selanjutnya adalah klasifikasi Tutupan Lahan dan Perhitungan Indeks Vegetasi. -311- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 2.1 Klasifikasi Tutupan Lahan Setelah melalui tahap pengolahan awal, citra landsat 7 dan landsat 8 / dilakukan klasifikasi tutupan lahan yang bertujuan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi pada tahun 2005 dan 2010 di DASCi Liwung. Klasifikasi tutupan lahan diperoleh dari data Landsat 7 ETM+SLC Off tahun 2005 dan Landsat 8 untuk tahun 2015. Klasifikasi tutupan lahan diproses dengan delinasi tutupan lahan, yang di lakukan di perangkat lunak Arc GIS 10.3 dengan memasukkan citra ke perangkat lunak Arc GIS 10.3 dan didelinasi dengan digitasi tutupan lahan menggunakan tools yang tersedia. Pengolahan klasifikasi tutupan lahan dengan citra Landsat 7 ETM+SLC Off tahun 2005 dan Landsat 8 untuk tahun 2015 menghasilkan peta tutupan lahan 2005 dan 2015. 2.2 Perhitungan Indeks Vegetasi Menggunakan Metode NDVI Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi (Horning, 2004 dalam Hidayati, 2012). Algoritma Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang dipublikasikan oleh Deering (1978) memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang berasal dari dedauman. Indeks vegetasi biasanya hanya menggunakan saluran merah (visible) dan saluran inframerah dekat (NIR). Tanaman hidup menyerap gelombang tanpak (visible) biru dan merah dan memantulkan gelombang hijau sehingga mata manusia dapat mendeteksi warna hijau pada tanaman. Namun ternyata tidak hanya gelombang hijau yang dipantulkan oleh tanaman, pantulan paling dominan pada tanaman ternyata adalah gelombang inframerah dekat (NIR). Tapi karena mata manusia tidak dapat menangkap cahaya pada gelombang inframerah tersebut maka warna merah ini tidak terlihat pada mata manusia. Padahal pantulan inframerah dekat pada tanaman mencapai 60%, kontras sekali dengan pantulan gelombang hijau yang hanya 20%. Indeks vegetasi yang paling tua adalah Ratio Vegetation Index (RVI) yang dipublikasikan oleh Jordan (1969) dan yang paling terkenal adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang dipublikasikan oleh Deering (1978). Kedua indeks ini menggunakan band/saluran pada panjang gelombang infra merah dekat (NIR) dan merah (red).Nilai kehijauan vegetasi suatu wilayah yang diamati berupa skala antara -1 (minimum) hingga 1 (maksimum) yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi vegetasi yang diterima oleh sensor pada panjang gelombang merah (RED) dan infra merah dekat (NIR). Secara ringkas NDVI dapat dirumuskan sebagai (NIR-RED)/(NIR+RED) (Sudiana, 2008). Saat ini, banyak sensor satelit yang digunakan untuk melihan kondisi kehijauan vegetasi bumi, seperti NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS (Sudiana, 2008), serta Landsat (Purwanto, 2016). Proses perhitungan nilai indeks kerapatan vegetasi lebih baik dilakukan ketika citra sudah dilakukan pemrosesan awal. Setelah pemrosesan awal dilakukan, kemudian citra dihitung nilai indeks kerapatan vegetasi dengan menggunakan metode NDVI. Proses ini dilakukan dengan menggunakan tools band ratio yaitu dengan memasukkan rumus (X2-X1) / (X2+X1). Ekspresi rumus ini merupakan rasio antara selisih terhadap pertambahan band inframerah refleksi (X2) dimana pada Landsat 7 terdapat pada band 4 dengan band merah (X1) dimana pada landsat 8 terdapat pada band 3. Setelah melalui proses perhitungan metode NDVI, citra yang dihasilkan akan berwarna hitam putih dengan tambahan metadata berupa data nilai indeks kerapatan vegetasi per pikselnya. Namun untuk melihat perbedaan nilai indeks kerapatan vegetasi di dua tahun berbeda diperlukan nilai rata – ratanya. Nilai rata – rata ini bisa diperoleh dengan cara menggunakan tools compute statistik setelah itu barulah keluar nilai rata – rata dari kedua citra tersebut. Kemudian dibuatlah peta berdasarkan nilai indeks kerapatan vegetasi dengan nilai indeks -1 sampai 1 dengan menggunakan menu density slice di software Envi 5.1,dimana peta yang dihasilkan dapat menggambarkan kondisi kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung. Kedua data yaitu nilai rata – rata indeks kerapatan vegetasi dan peta peta berdasarkan nilai indeks kerapatan vegetasi digunakan pada tahap analisis data -312- Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia, A., dkk.) Gambar 2. Alur Kerja Penelitian 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Perbandingan Hasil NDVI DAS Ci Liwung Tahun 2005 dan 2015 Hasil perhitungan indeks vegetasi NDVI pada tahun 2005 dan 2015 pada DAS Ci Liwung dapat dilihat pada Gambar 3. Rentang nilai NDVI -1 sampai 0 menggambar tingkat vegetasi rendah dengan warna merah, rentang nilai 0 sampai 0,2 menggambarkan tingkat vegetasi sedang dengan warna kuning, dan rentang nilai 0,2 sampai 1 menunjukkan tingkat vegetasi tinggi dengan warna hijau, seperti yang terlihat pada Tabel 1. -313- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 1.Klasifikasi Nilai Indeks NDVI Rentang Nilai (1) - 0 0 – 0,2 0,2 - 1 Pembagian Klasifikasi Nilai NDVI Tingkat Vegetasi Rendah Sedang Tinggi Warna Merah Kuning Hijau Setelah dilakukan proses pengklasifikasian rentang nilai NDVI, proses selanjutnya adalah menampilkan klasifikasi NDVI yang sudah dibuat menjadi sebuah Peta Persebaran Nilai NDVI di DAS Ci Liwung dengan menggunakan menu density slice di software Envi 5.1 Gambar 3.Peta NDVI DAS Ci Liwung tahun 2005 (kiri) dan 2015 (kanan) Pada tahun 2005, indeks vegetasi NDVI pada hulu, tengah dan hilir DAS Ci Liwung masih di dominasi oleh warna hijau dan kuning. Kerapatan vegetasi di bagian hulu dan tengah tinggi yang teramati dominasi warna hijau. Tingkat kerapatan vegetasi rendah hanya mendominasi di barat daya dan sebagian kecil di utara DAS -314- Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia, A., dkk.) Ci Liwung. Sedangkan pada tahun 2015, indeks vegetasi NDVI pada tengah dan hilir DAS Ci Liwung telah di dominasi oleh warna merah, yang menunjukkan tingkat vegetasi yang rendah. Sementara itu tingkat vegetasi tinggi hanya terdapat di bagian DAS Ci Liwung hulu. Hasil statistik dari perhitungan indeks vegetasi NDVI pada tahun 2005 dan 2015 dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Hasil Perhitungan Indeks NDVI Tahun 2005 (Kiri) Dan Tahun 2015 (Kanan) Selama 10 tahun terakhir, kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung terlihat dari nilai rata-rata NDVI. Nilai ratarata NDVI pada tahun 2005 dan 2015 terjadi penurunan sebesar 0,1254 yang menunjukkan semakin rendahnya tingkat kerapatan di DAS Ci Liwung. Penurunan nilai NDVI dari tahun 2005 ke tahun 2015 juga dapat dilihat dari penurunan nilai maksimum dan nilai minimum NDVI di DAS Ci Liwung seperti yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Nilai NDVI DAS Ci Liwung Parameter Nilai Minimum Nilai Maksimum Rata – Rata Standar Deviasi Perbandingan Nilai NDVI DAS Ci Liwung Tahun 2005 Tahun 2015 -0,4489 -0,9491 0,9714 0,5030 0,1693 0,0439 0,1449 0,1494 -315- Perubahan -0,5002 -0,4684 -0,1254 0,0045 Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 3.2. Perbandingan Tutupan Lahan DAS Ci Liwung Gambar 5. Tutupan Lahan DAS Ci Liwung Tahun 2005 (Kiri) dan Tutupan Lahan DAS Ci Liwung Tahun 2015 (Kanan) Pada Gambar 5 telah terlihat adanya perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Ci Liwung. Perubahan penggunaan tanah yang terjadi dari vegetasi menjadi lahan terbangun terbilang cukup pesat, mencapai >50% dalam waktu 10 tahun. Penggunaan tanah berupa lahan terbangun meningkat 60,9% dari 19.358,5 hektar pada tahun 2005 menjadi 31.151,2 hektar pada tahun 2015. Sementara itu, luasan vegetasi pada DAS Ci Liwung mengalami penurunan sebesar 61,9% dari 19.050,2 hektar pada tahun 2005 menjadi hanya seluas 7.257,49 hektar pada 2015. Perubahan tutupan lahan terutama terjadi pada daerah tengah dan sebagian hulu DAS Ci Liwung seperti yang terlihat pada Gambar 5. Tabel 3. Luas tutupan lahan di DAS Ci Liwung tahun 2005 dan 2015 Tutupan Lahan Lahan Terbangun Vegetasi Tahun 2005 19.358,5 Ha 19.050,2 Ha 2015 31.151,2 Ha 7.257,5 Ha Pada Tabel 3, dapat dilihat pula kaitan dari perubahan nilai NDVI dengan tutupan lahan, dimana seiring dengan bertambahnya luas lahan terbangun, luas tutupan vegetasi pada DAS Ci Liwung semakin berkurang pada tahun 2015, yang menyebabkan nilai indeks vegetasi NDVI semakin menurun. 4.KESIMPULAN Kondisi dan perkembangan penggunaan tanah di DAS Ci Liwung pada tahun 2005 dan 2015 telah mengalami perkembangan yang sangat pesat yang terlihat dari bertambahnya luas lahan terbangun pada tahun 2015 yang luasnya mencapai >50% dibandingkan dengan luas lahan terbangun pada tahun 2005. -316- Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia, A., dkk.) Sementara itu, jumlah dan kerapatan vegetasi yang tersedia di DAS Ci Liwung dengan menggunakan metode NDVI mengalami penurunan dari tahun 2005 ke tahun 2015. Teramati bahwa penurunan jumlah dan kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung dipengaruhi oleh pertumbuha lahan terbangun selama 10 tahun terakhir. Kedua hasil analisis tersebut menunjukan perubahan tutpan lahan yang cukup parah di DAS Ci Liwung, terutama pada bagian tengah dan hilir DAS Ci Liwung. Semakin menurunnya tingkat vegetasi dan semakin meningkatnya lahan terbangun tersebut tentu dapat menimbulkan dampak-dampak yang dapat merugikan masyarakat yang hidup di sekitar DAS Ci Liwung, seperti berkurangnya udara bersih serta dapat pula menimbulkan dampak luas bagi masyarakat, dengan menurunnya vegetasi di DAS Ci Liwung dan bertambahnya lahan terbangun tentu dapat meningkatkan resiko banjir. 5.UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa juga kepada para keluarga dan orang-orang tersayang yang telah atas dukungannya, baik moril maupun materiil yang telah membantu menyemangati penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Terimakasih juga kepada para peneliti yang tulisannya sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan studi literatur dan menambah pemahaman mengenai tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Danoedoro, P.,(1996).Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Horning, N.,(2004). Global Land Vegetation; An Electronic Textbook:NASGoddard Space Flight Center Earth Sciences Directorate Scientifix and Educational Endeavors (SEE). Hidayati, I.N., (2012). Ekstraksi Data Indeks Vegetasi Untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Sleman Berdsarkan Citra Penginderaan Jauh.Laporan Akhir Hibah Penelitian Dosen Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Howard, A.D.,(1996). Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan (Teori dan Aplikasinya): Gadjah Mada University Press. Prasasti, I., (2014). Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Analisis Pengaruh Perubahan lahan Terhadap Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di DKI Jakarta dan Koefisien Aliran Permukaan. Diunduh 6 Juni 2016 dari sinasinderaja.lapan.go.id/.../bukuprosiding_577-587.p... Susiana, D., dan Diasmara, E.,(2008). Analisis Indeks Vegetasi menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS. Diunduh 6 Juni 2016 dari staff2.ui.ac.id/upload/dodi.sudiana/.../dodi2.pdf Sutanto.,(1992). Penginderaan Jauh Jilid 1: Gadjah Mada University Press. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Nama Pemakalah Diskusi : Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya Dengan Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Ci Liwung : Adib Ahmad Kurnia (UI) : Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN) Di bagian hulu (paling Selatan) pada citra NDVI terlihat tahun 2005 dan 2015 ada perubahan lokasi NDVI rendah (warna merah), pada tahun 2015 di bagian kanan di ujung Selatan terlihat NDVI merah. Namun pada peta penutupan lahan, area tersebut merupakan vegetasi. Mohon penjelasannya. Jawaban: Resolusi landsat 30m x 30m sehingga banyak terjadi generalisasi tutupan lahan dan beberapa vegetasi ada yang tidak bernilai tinggi pada saat dilakungan perhitungan. Dikarenakan NDVI adalah sistem otomatis dari software ENVI yaitu perhitungan selisih band 4 atau near infrared (NIR) dan band 3 (red). maka perhitungan dilakukan adalah per piksel -317- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang) Evaporation Estimation Based on Energy Balance Concepts Using Landsat 8 Satellite Imagery (Case Study: Karawang District) Aryo Adhi Condro1*) 1 Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor *) E-mail: [email protected] ABSTRAK -Evaporasi merupakan proses penguapan air dari permukaan bumi menuju atmosfer. Evaporasi menjadi potensial ketika faktor pembatasnya hanya berasal dari faktor cuaca dan iklim saja tanpa mempertimbangkan jumlah air yang tersedia di permukaan. Berdasarkan konsep neraca air, evaporasi merupakan nilai kehilangan air permukaan sehingga parameter ini berperan penting dalam menduga kebutuhan air tanaman, penentuan cekaman air suatu tanaman, dan analisis kekeringan. Lisimeter digunakan untuk mengukur nilai evaporasi secara observatif. Namun, biaya operasional yang mahal dan hanya menghasilkan data titik menjadi masalah dalam analisis data evaporasi. Oleh karena itu, pemanfaatan data penginderaan jauh dilakukan dalam menduga nilai evaporasi sehingga pengukuran lebih efisien. Karakteristik evaporasi terhadap tutupan lahan tertentu pun dapat dianalisis apabila pendugaan dilakukan menggunakan citra satelit. Citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS digunakan dalam menduga nilai evaporasi. Kombinasi antara neraca radiasi dengan neraca energi digunakan dalam memperoleh nilai panas laten yang selanjutnya akan dikonversi menjadi nilai evaporasi. Karawang digunakan sebagai wilayah kajian karena daerah ini merupakan salah satu daerah penghasil padi yang berpengaruh di Jawa Barat sehingga informasi kebutuhan air sangat penting bagi wilayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan nilai evaporasi minimum sebesar 1.2 mm hari-1 dan nilai evaporasi maksimum sebesar 15.4 mmhari-1 di wilayah Kabupaten Karawang secara umum pada tanggal 15 Agustus 2015. Nilai evaporasi pada tutupan lahan badan air berkisar antara 6.2 mm hari-1 hingga 15.4 mm hari-1, lahan terbangun berkisar antara 1.2mm hari1 hingga 3.1mm hari-1, dan vegetasi berkisar antara 6.4mm hari-1hingga 10.4 mm hari-1. Hal ini berkaitan erat dengan karakteristik permukaan dalam menghambat evaporasi. Kata kunci:evaporasi, Landsat-8 OLI/TIRS, neraca energi, neraca radiasi, pendugaan cepat ABSTRACT - Evaporation is a physical process – through which, water from the earth surface is vapoured and transmitted to the atmosphere. Evaporation is termed as ‘potential’, if it only considers weather and climate as the limiting factors – without taking water quantity, available on the earth surface, into account. In a water balance model, evaporation is considered as the water loss from the earth surface – thus, estimating the amount of water loss due to evaporation is therefore very crucial, in order to further assess: (1) crops’ water demand; (2) crops’ water stress; and (3) other impacts of drought. Lysimeter is conventionally used for measuring evaporation on the field – however, since one lysimeter can only measure evaporation at one particular point of location; thus, in order to obtain and analyse evaporation data of a relatively large area – using lysimeter is therefore cost-inefficient. Hence, estimating evaporation on a large area using remotely sensed data should offer a more efficient approach. In addition, remote sensing also offers a rapid method for assessing evaporation from various types of land cover. Landsat 8 satellite image OLI/TIRS used in predicting the value of evaporation. The combination between the radiation balance and the energy balance used to obtain the value of the latent heat, which would then be converted into evaporation. Karawang is used as a study area because this area is one of the influential producer of rice in West Java, so the information of the water needs for crop is very important for this region. Findings of the study indicated daily evaporation in Karawang as observed on 15 August 2015 was ranging from 1.2 mm day-1 to 15.4 mm day-1 –, which varied among various types of land cover – i.e.: water body, built-up area, and vegetation – of about 6.2-15.4 mm day-1, 1.2-3.1 mm day-1, and 6.4-10.4 mm day-1 respectively. It suggests that each land cover type has different surficial properties – functioning as constraining factors to evaporation. Keywords: evaporation, Landsat-8 OLI/TIRS, energy balance, radiation balance, rapid assessment 1. PENDAHULUAN Evaporasi merupakan proses fisik yang terjadi di atas permukaan dimana air diubah menjadi uap air dan dipindahkan ke atmosfer dengan laju yang ditentukan oleh faktor-faktor cuaca. Proses fisik serupa terjadi pada vegetasi yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor fisiologis vegetasi tersebut. Dalam analisis neraca air, kedua parameter tersebut seringkali dikombinasikan dan disebut evapotranspirasi. Ketika nilai leaf area index (LAI) suatu wilayah rendah, proses evaporasi mengambil proporsi lebih banyak dibandingkan dengan -318- Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang) (Condro, A.A.) transpirasi. Sebaliknya, ketika nilai LAI tinggi, proses transpirasi akan mengambil peran dominan terhadap kehilangan air dari permukaan suatu wilayah tersebut (Allen dkk., 1998). Pendugaan nilai evaporasi dalam aplikasi neraca air menjadi sangat penting dalam melakukan kajian irigasi tanaman, pembangunan model kekeringan, analisis cekaman air terhadap suatu tanaman, serta kajian-kajian lainnya yang berhubungan dengan neraca air. Pengukuran evaporasi secara observatif dapat dilakukan menggunakan panci kelas A standar, atmometer, dan lisimeter. Lisimeter merupakan alat yang standar dalam pengukuran evaporasi karena proses transpirasi berdasarkan tanaman acuan dimasukkan ke dalam pengukuran. Namun, banyak ditemukan kesulitan dalam operasional lisimeter tersebut. Beberapa hambatan dalam pengukuran lisimeter secara observatif diantaranya: biaya perawatan dan operasional alat cukup mahal, sampel tanah pada lisimeter mudah terganggu sehingga pengisian air pada tanah harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghasilkan nilai evaporasi yang representatif dengan lingkungan, lisimeter dapat rusak akibat tutupan salju dan es pada musim dingin di wilayah subtropis, dan pengukuran nilai evaporasi potensial pada musim kering dan panas dapat menghasilkan data yang overestimate (Shaw dkk., 2011). Pendekatan empiris dalam menduga nilai evaporasi digunakan untuk menghindari kesulitan yang dihadapi dalam melakukan observasi sehingga pendugaan evaporasi menjadi lebih efisien. Beberapa pendekatan empiris yang dapat digunakan antara lain: pendekatan neraca air, metode Penman atau metode kombinasi, transfer massa, korelasi eddy, dan neraca energi (Dingman, 2015).Penelitian ini menggunakan metode neraca energi dalam menduga nilai evaporasi dengan pendekatan penginderaan jauh. Absorpsi radiasi matahari dan pancaran radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi merupakan faktor penggerak dinamika atmosfer sehingga akan mempengaruhi karakteristik dan proporsi energi di bumi. Satelit pasif seperti Landsat 8 dapat menangkap pancaran objek-objek dari permukaan bumi dalam bentuk reflektansi. Nilai reflektansi tersebut dapat dikonversi ke dalam parameter-parameter radiasi dan energi dengan metode-metode tertentu. Energi input ke dalam bumi (radiasi netto) terdistribusi dalam bentuk panas terasa, panas laten, panas tanah, dan sebagian kecil digunakan untuk proses fotosintesis. Panas laten merupakan energi yang dapat dikonversi menjadi nilai evaporasi sehingga citra satelit Landsat 8 dapat digunakan untuk mengestimasi nilai evaporasi di wilayah tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai evaporasi di wilayah kajian berdasarkan konsep neraca energi menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS serta membandingkan distribusi nilai evaporasi di tutupan lahan tertentu di Kabupaten Karawang.Kabupaten Karawang memberikan kontribusi kebutuhan beras nasional rata-rata setiap tahunnya mencapai 865000 ton/tahunberdasarkan data RPJMD Kabupaten Karawang tahun 2011-2015. Pengaruh ketersediaan air bagi tanaman padi di wilayah kajian perlu diperhatikan sehingga pendugaan parameter neraca air menggunakan penginderaan jauh diharapkan mampu memberikan data secara efisien untuk pembangunan model neraca air. 2. METODE 2.1 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra satelit Landsat 8 sensor OLI/TIRS dengan level koreksi L1T yang dapat diunduh secara dari laman (earthexplorer.usgs.gov). Path/Row wilayah kajian adalah 122/64 yang diakuisisi pada tanggal 15 Agustus 2015. Hanya citra satelit yang berasal dari kanal 2, 3, 4, 5, 6, 10, dan 11 yang digunakan dalam pengolahan data. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat komputer, perangkat lunak Ms. Office 2016, ERDAS Imagine 9.1, serta ArcMap 10.3. 2.2 Lokasi Penelitian Kabupaten Karawang berada di bagian utara Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 1753.27 km2atau 174327 ha yang secara geografis terletak antara 107o02’ – 107o40’ BT dan 5o56’ – 6o34’ LS. Wilayah ini termasuk daerah daratan yang relatif rendah dengan variasi ketinggian wilayah antara 0 – 1279 m dpl. 2.3 Alur Penelitian 2.3.1 Klasifikasi tak terbimbing dan cloud removal Klasifikasi tak terbimbing merupakan metode pengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa cluster tutupan lahan yang memiliki karakteristik piksel yang mirip tanpa harus mengambil sampel training area. Algoritma yang biasa digunakan dalam melakukan klasifikasi tak terbimbing disebut iterative selforganizing data analysis atau ISODATA (Lillesand dkk., 2004). Citra komposit kanal 654 digunakandalam melakukan klasifikasi ke dalam tiga kelas berbeda. Hal ini didasari oleh karakteristik permukaan terhadap -319- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 respon energi yang diterima. Kelas tutupan lahan terdiri dari badan air, vegetasi, dan lahan terbangun. Selain proses klasifikasi, cloud removal pada citra dilakukan sehingga piksel awan dihilangkan dari data raster. 2.3.2 Perhitungan suhu permukaan Suhu permukaan berguna untuk menentukan radiasi gelombang panjang yang keluar dari permukaan bumi. Kanal termal Landsat 8 dari sensor TIRS (kanal 10 dan kanal 11) digunakan dalam perhitungan suhu permukaan. Berikut merupakan langkah-langkah dalam menentukan nilai suhu permukaan. Nilai spektral radians diperoleh dari persamaan konversi yang terdapat dalam Landsat 8 Data users handbook. Berikut adalah persamaan spektral radians yang digunakan. = + ………………………………………………………………………………….(1) dimana Lλmerupakan nilai spektral radians (Wm-2sr-1μm-1), MLmerupakan radiancemultiplicative scaling factor kanal tertentu, Qcal merupakan nilai digital number kanal tertentu, dan ALmerupakan radiance additive scaling factorkanal tertentu. Selanjutnya, suhu kecerahan dihitung berdasarkan persamaan berikut. = ) ( − 273.15………………………………………………………………………………...(2) dimana Tb merupakan suhu kecerahan (oC) yang merupakan suhu efektif yang ditangkap oleh satelit dengan asumsi emisivitas yang seragam di setiap permukaan, K1dan K2 merupakan konstanta konversi termal untuk kanal tertentu, dan Lλmerupakan nilai spektral radians (Wm-2sr-1μm-1). Suhu permukaan diperoleh dengan mengoreksi suhu kecerahan dengan nilai emisivitas yang berbeda pada setiap tutupan lahan. Berikut adalah persamaan suhu permukaan (Weng, 2001). = …………………………………………………………………………………..……...(3) ) ( dimana Ts merupakan suhu permukaan (oC), Tb merupakan suhu kecerahan (oC), λmerupakan panjang gelombang yang diemisikan (11.5 μm), ∂merupakan yang bernilai 1.438x10-2 mK, dan εmerupakan nilai emisivitas permukaan. Badan air memiliki nilai εsebesar 0.98, untuk vegetasi sebesar 0.95, dan non-vegetasi (lahan terbangun) sebesar 0.92 (Weng, 2001). 2.3.3 Perhitungan komponen neraca radiasi Pendugaan nilai radiasi netto merupakan tujuan utama dalam perhitungan komponen neraca energi. Berikut ini merupakan persamaan neraca radiasi. =( )−( + + )……………………………………………………….…….(4) dimana Qn merupakan radiasi netto (Wm-2), RSinmerupakan radiasi gelombang pendek yang masuk menuju bumi (Wm-2), RLin merupakan radiasi gelombang panjang yang masuk ke dalam bumi (Wm-2), RSout merupakan radiasi gelombang pendek yang keluar dari bumi (Wm-2), dan RLout merupakan radiasi gelombang panjang yang keluar dari permukaan bumi (Wm-2). Berikut merupakan langkah-langkah dalam menentukan komponen neraca radiasi. Radiasi gelombang pendek yang keluar menuju atmosfer dan albedo dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut menggunakan citra kanal 4, kanal 3, dan kanal 2 (USGS, 2013). ……………………………………………………………………….………..(5) = = . . . . ( ) ……………..…………………………………………………………………………..(6) dimana dmerupakan jarak bumi-matahari pada julian datetertentu, Esunmerupakan exoatmospheric solar irradiance kanal tertentu (Wm-2μm-1), dan θs merupakan sudut zenith matahari. Albedo dan radiasi gelombang pendek yang keluar tersebut digunakan untuk menghitung radiasi gelombang pendek yang masuk ke permukaan bumi. Berikut adalah persamaan radiasi gelombang pendek yang masuk. -320- Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang) (Condro, A.A.) = ………………………………………………………………………….…………………(7) RLin memiliki nilai yang sangat kecil sehingga pada perhitungan neraca radiasi nilai radiasi gelombang panjang yang masuk ke bumi dapat diasumsikan bernilai nol. Selanjutnya, radiasi gelombang panjang yang keluar dari permukaan bumi dihitung berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann. …………………………………………………………………………………….(8) = dimana σ merupakan konstanta Stefan-Boltzmann dengan nilai sebesar 5.67x10-8 Wm-2K-4, dan Ts merupakan suhu permukaan (K). 2.3.4 Pendugaan komponen neraca energi Neraca energi merupakan distribusi radiasi netto ke dalam bentuk energi lain yang berperan dalam proses kehidupan (Arya, 2001). Berikut ini merupakan persamaan umum dari neraca energi. = + + + …………………………………………………………………………………(9) dimana H merupakan panas terasa (Wm-2), G merupakan panas tanah (Wm-2), P merupakan energi yang digunakan untuk fotosintesis (Wm-2), dan LE merupakan panas laten (Wm-2). Energi yang digunakan untuk fotosintesis sangat rendah sehingga dalam persamaan neraca energi dapat diasumsikan bernilai nol. Panas tanah diperoleh dari nilai radiasi netto, suhu permukaan, albedo, dan NDVI. Berikut adalah persamaan panas tanah yang digunakan (Allen dkk., 2001). = (0.0038 + 0.0074 )(1 − )………………………………………………………..(10) Panas terasa dan panas laten dapat diperoleh dengan menggunakan metode Bowen Ratio. Berikut adalah persamaan perhitungan panas terasa dan panas laten. = = ( ) ( ) ……………………………………………………………………………………………(11) atau = − − ………………………………………………………………...(12) Bowen ratio merupakan rasio antara panas terasa dengan panas laten. Rasio tersebut relatif konstan pada setiap tutupan lahan tertentu sehingga nilai β untuk badan air sebesar 0.1, nilai β untuk vegetasi sebesar 0.5, dan untuk lahan terbangun sebesar 4. 2.3.5 Pendugaan nilai evaporasi Jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan satu kilogram air (L) digunakan dalam mengonversi nilai panas laten menjadi nilai evaporasi harian. Berikut ini merupakan persamaan latent heat vaporization. = 2.5 10 − 2400 …………………………………………………………………….(13) Selanjutnya, nilai evaporasi harian dapat diestimasi menggunakan persamaan berikut. = 1000 86400…………………………...……….………………………………….(14) dimana Emerupakan evaporasi harian (mm hari-1), ρ merupakan kerapatan air sebesar 1000 kgm-3, dan L merupakan latent heat vaporization (Jkg-1). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Klasifikasi tutupan lahan secara tak terbimbing dilakukan pada penelitian ini dengan iterasi sebanyak seratus kali. Recoding data hasil klasifikasi dilakukan untuk menggabungkan cluster ke dalam klasifikasi yang sama. Hasil klasifikasi tersebut tidak dapat merepresentasikan penggunaan lahan. Berikut adalah klasifikasi tutupan lahan di Kabupaten Karawang pada tanggal 15 Agustus 2015. -321- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 1. Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang Berdasarkan Gambar 1, tutupan lahan di Kabupaten Karawang dibagi menjadi tiga: badan air, lahan terbangun, serta vegetasi. Kelas yang dibangun merupakan generalisasi dari tutupan lahan tertentu karena hanya diperlukan tutupan lahan dengan perbedaan karakteristik dan sifat permukaan yang signifikan. Wilayah utara Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air. Lahan terbangun mendominasi wilayah selatan Kabupaten Karawang. Penggunaan lahan sawah bera dan lahan terbuka memiliki karakteristik yang relatif sama dengan lahan terbangun sehingga sawah bera dan lahan terbuka diklasifikasikan ke dalam lahan terbangun. Tabel 1.Luasan Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang Tutupan Lahan Luas (%) Badan air Lahan terbangun Vegetasi Total Luas (ha) 39.2 38.2 68359 66590 22.6 100 39378 174327 Tutupan lahan di Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air sebesar 39.2 % dari total wilayah Kabupaten Karawang. Lahan tambak dan sawah tergenang digolongkan ke dalam kelas badan air sehingga tutupan lahan badan air memiliki luasan yang cukup besar. Lahan terbangun memiliki luasan sebesar 38.2 % dari total wilayah, sedangkan vegetasi memiliki luas sebesar 22.6 % dari total wilayah. Perhitungan komponen neraca radiasi dilakukan untuk menghasilkan nilai radiasi netto sehingga nilai panas laten dan komponen energi lainnya dapat diketahui. Berikut ini adalah data komponen neraca radiasi, neraca energi, dan evaporasi harian di setiap tutupan lahan pada tanggal 15 Agustus 2015 di Kabupaten Karawang. Tabel 2.Komponen Neraca Radiasi di Kabupaten Karawang Tutupan Lahan Badan air Lahan terbangun Vegetasi Ts (ºC) Std. Mean Dev 22.6 24.6 22.2 0.8 1.4 0.9 Albedo Std. Mean Dev RSout (W m-2) Std. Mean Dev RSin (W m-2) Std. Mean Dev RLout (W m-2) Std. Mean Dev 0.119 0.122 0.098 107.1 109.6 89.2 901.8 897.0 912.9 425.1 409.8 410.1 0.02 0.02 0.01 -322- 12.8 17.7 7.0 17.5 14.4 12.0 4.7 7.6 4.8 Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang) (Condro, A.A.) Tabel 3.Komponen Neraca Energi dan Evaporasi Harian di Kabupaten Karawang Qn (W m-2) Std. Mean Dev G (W m-2) Std. Mean Dev H (W m-2) Std. Mean Dev LE (W m-2) Std. Mean Dev E(mm hari-1) Std. Mean Dev Badan air 369.6 28.7 39.0 2.3 30.1 2.4 300.6 24.4 10.6 0.9 Lahan terbangun 377.7 413.5 31.6 18.2 43.3 40.8 2.5 1.8 267.5 124.3 24.0 5.9 66.9 248.5 6.0 11.8 2.4 8.8 0.2 0.4 Tutupan Lahan Vegetasi Kelas tutupan lahan vegetasi memiliki nilai radiasi netto rata-rata yang paling tinggi dari tutupan lahan lainnya, yaitu sebesar 413.5 W m-2. Lahan terbangun memiliki radiasi netto rata-rata sebesar 377.7 W m-2 sedangkan badan air memiliki radiasi netto rata-rata sebesar 369.6 W m-2. Berdasarkan konsep neraca radiasi, nilai radiasi netto yang tinggi merepresentasikan lebih banyak radiasi yang diterima permukaan bumi dibandingkan dengan radiasi yang keluar dari bumi. Vegetasi memiliki albedo rata-rata terendah dari tutupan lahan lainnya sehingga radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam vegetasi sangat tinggi, yaitu mencapai 912.9 W m-2.Berbeda dengan lahan terbangun, albedo rata-rata dari lahan terbangun memiliki nilai yang paling tinggi sehingga nilai radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam lahan terbangun menjadi rendah, yaitu sebesar 897 W m-2.Albedo memiliki hubungan terbalik dengan radiasi gelombang pendek yang masuk ke permukaan bumi. Berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann, suhu permukaan mempengaruhi besarnya radiasi gelombang panjang yang diemisikan melalui objek di permukaan bumi. Flux panas permukaan tanah (soil heat flux) memiliki nilai yang berkisar antara 39 – 43 W m-2. Lahan terbangun memiliki rata-rata fluks panas permukaan tanah tertinggi dan badan air memiliki rata-rata fluks panas permukaan terendah. Nilai fluks panas permukaan tanah relatif konstan sehingga karakteristik radiasi netto dan komponen energi lainnya biasanya dinyatakan dalam rasio per fluks panas permukaan tanah. Rasio tersebut dapat menggambarkan karakteristik energi pada tutupan lahan yang berbeda. Panas laten merupakan energi yang digunakan untuk proses evaporasi. Badan air memiliki nilai panas laten rata-rata tertinggi, yaitu sebesar 300.6 W m-2. Kandungan air pada badan air sangat melimpah sehingga sebagian besar energi atau radiasi netto (Qn) akan diubah menjadi panas laten (LE). Vegetasi memiliki nilai panas laten rata-rata sebesar 248.5 W m-2. Cadangan air yang cukup banyak pada vegetasi serta proses konduktivitas stomata menyebabkan nilai panas laten di tutupan lahan vegetasi juga cukup tinggi. Tumbuhan memperoleh CO2(g) sebagai reaktan dalam proses fotosintesis dari stomata. Pembukaan stomata akan diikuti dengan masuknya CO2(g) dan keluarnya H2O dari dalam tumbuhan ke atmosfer sehingga akan terjadi proses transpirasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh perbedaan nilai tekanan uap antaraatmosfer dengan tumbuhan (Jones, 2014). Lahan terbangun memiliki nilai panas laten terendah, yaitu 66.9 W m-2. Potensi penguapan yang dimiliki tutupan lahan terbangun sangat rendah. Hal ini dipengaruhi oleh sifat permukaan dan ketersediaan air di lahan tersebut. Berikut ini merupakan persentase alokasi radiasi netto menjadi panas terasa, panas laten, dan panas permukaan tanah. Gambar 2. Persentase Alokasi Energi. (a) Badan Air, (b) Lahan Terbangun, dan (c) Vegetasi Pie chartdi atas merupakan persentase alokasi energi dari radiasi netto pada tutupan lahan berbeda.Panas laten memiliki alokasi energi tertinggi di tutupan lahan badan air dan vegetasi. Sedangkan, lahan terbuka memiliki persentase energi panas laten yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua tutupan lahan lainnya. -323- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Radiasi netto pada lahan terbangun paling tinggi dialokasikan menjadi energi panas terasa sehingga pada tutupan lahan tersebut sering terjadi proses pemanasan lokal atau urban heat island. Gambar 3. Distribusi Evaporasi di Kabupaten Karawang pada Tanggal 15 Agustus 2015. Berdasarkan Gambar 3, dapat terlihat distribusi evaporasi di Kabupaten Karawang pada tanggal 15 Agustus 2015. Rentang nilai evaporasi berada di antara 1.2 – 15.4 mm hari-1 dengan variasi pada tutupan lahan yang berbeda. Nilai evaporasi pada tutupan lahan badan air berkisar antara 6.2 - 15.4 mm hari-1, lahan terbangun berkisar antara 1.2 - 3.1 mm hari-1, dan vegetasi berkisar antara 6.4 - 10.4 mm hari-1. Evaporasi tinggi di wilayah utara Kabupaten Karawang dan rendah di bagian selatan dan barat daya Kabupaten Karawang. Berdasarkan kelas tutupan lahan, wilayah utara Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air berupa tambak dan sawah tergenang. Cadangan air di tutupan lahan tersebut relatif berlimpah sehingga potensi evaporasi di wilayah tersebut juga tinggi. Wilayah selatan dan barat daya Kabupaten Karawang didominasi oleh lahan terbangun sehingga memiliki nilai evaporasi yang relatif rendah dari wilayah Kabupaten Karawang lainnya. Karakteristik statistik nilai evaporasi di setiap tutupan lahan dapat dilihat dalam distribusi frekuensi. Gambar 4. Histogram Nilai Evaporasi pada Setiap Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang. -324- Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang) (Condro, A.A.) Distribusi nilai evaporasi pada setiap tutupan lahan relatif menyebar secara normal. Perbedaan nilai rataan evaporasi pada setiap tutupan lahan terlihat dalam posisi histogram pada sumbu axis. Besarnya frekuensi merepresentasikan luasan tutupan lahan tertentu di Kabupaten Karawang. Badan air memiliki nilai evaporasi yang tinggi dengan luasan wilayah yang tinggi pula sehingga badan air menyumbangkan evaporasi terbesar di Kabupaten Karawang. Lahan terbangun memiliki nilai rataan evaporasi terendah tetapi memiliki luasan wilayah yang cukup tinggi. 4. KESIMPULAN Evaporasi harian pada tutupan lahan tertentu secara spasial dapat diduga menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS. Rentang nilai evaporasi berada di antara 1.2 – 15.4 mm hari-1 dengan variasi pada tutupan lahan yang berbeda. Evaporasi rata-rata tertinggi berada di tutupan lahan badan air, yaitu sebesar 10.6 mm hari-1, evaporasi rata-rata di tutupan lahan vegetasi sebesar 8.8 mm hari-1, dan evaporasi rata-rata terendah berada di lahan terbangun, yaitu sebesar 2.4 mm hari-1. Perbedaan nilai evaporasi pada tutupan lahan yang berbeda sangat dipengaruhi oleh karakteristik permukaan seperti emisivitas permukaan, bowen ratio, dan cadangan air yang tersedia di permukaan. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih saya haturkan kepada Bapak Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc. dan Bapak Dr. Yudi Setiawan, S.P., M.Sc., Ph.D. atas saran dan bimbingannya, serta rekan-rekan Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB angkatan 50 atas dukungannya selama penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Allen, R.G., Morse, A., Tasumi, M., Bastiaansen, W., dan Anderson, H., (2001). Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for water right management and compliance with ulti-state water compact. University of Idaho Kimberly. Allen, R.G., Pereira L.S., Raes, D., dan Smith, M., (1998). Crop Evapotranspiration Guidelines Computing Crop Water Requirements, FAO Irrigation and Drainage. Arya, S.P., (2001). Intoduction to Micrometeorology, Second Edition: Academic Press. Bappeda Karawang. (2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang Tahun 2011-2015. Karawang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Bappeda Karawang. Dingman, S.L., (2015). Physical Hydrology, Third Edition: Waveland Press, Inc. Dwijayanto, A., (2015). Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat. (Skripsi), IPB (Bogor Agricultural University), Bogor. Jones, H.G., (2014). Plant and Microclimate: A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiology, Third Edition: Cambridge University Press. Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W., (2004). Remote Sensing and Image Interpretation, Fifth Edition: John Wiley & Sons, Inc. Setiawan, R., (2006). Metode Neraca Energi untuk Perhitungan Leaf Area Index (LAI) di Lahan Bervegetasi Menggunakan Data Citra Satelit. Skripsi, IPB (Bogor Agricultural University), Bogor. Shaw, E.M., Beven, K.J., Chappell, N.A., dan Lamb, R., (2011). Hydrology in Practice, Fourth Edition: Spon Press. United State Geological Survey., (2013). Landsat 8 (L8) Data User Handbook, diunduh 19 April 2016 darihttp://landsat.usgs.gov/documents/Landsat8DataUsersHandbook.pdf Weng, Q., (2001). A Remote Sensing: GIS Evaluation of Urban Expansion and Its Impact on Surface Temperature in The Zhujiang Delta, China. Int. J. Remote Sensing, 22(10):1999-2014. Yudiansyah, T.R., (2010). Pendugaan Nilai Komponen Neraca Energi di Kanopi Hutan Tanaman Agathis Loranthifolia dengan Menggunakan Satelit Optik (Studi Kasus Hutan Gunung Walat Sukabumi). Skripsi, IPB (Bogor Agricultural University), Bogor. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah : : Pemakalah : Hidayat Gunawan Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang) Aryo Adhi Condro (IPB) Diskusi: -325- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pertanyaan: Dr. Dony Kushardono (LAPAN): Penelitian ini seharusnya bukan mengenai evaporasi tetapi evapotranspirasi karena didalamnya mengenai vegetasi. Seperti yang diketahui penggunaan satelit Landsat 8 dalam pengukuran evapotranspirasi dirasa kurang tepat, karena satelit Landsat 8 berada di orbit sunsychronous pada pukul 09.00, dan disitu belum terjadi pemanasan yang maksimal. Awan masih banyak dan itu artinya bumi belum begitu panas. Jadi seharusnya menggunakan data satelit siang hari sekitar jam 12.00 dan Landsat tidak bisa memenuhi. Perlu dikaji lebih lanjut? Jawaban: Untuk masalah wording antara evaporasi dan evapotranspirasi itu dikarenakan yang dijadikan penelitian tidak hanya tutupan lahan vegetasi, tetapi saya juga menggunakan non vegetasi, sehingga menggunakan kata yang lebih umum yaitu evaporasi. Mungkin memang diperlukan data citra yang lebih relevan lagi sesuai dengan jamnya. Karena saat ini memiliki keterbatasan data observasi, sehingga untuk saat ini validasi belum dilakukan. -326- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 Comparison of Various Spectral Value Resampling Methods for Generating SPOT 6/7 Primary Product Ferman Setia Nugroho1,*) dan Sanjiwana Arjasakusuma2,3 1 Remote Sensing Ground Station Parepare, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space 2 Remote Sensing Department, Faculty of Geography, Gadjah Mada University 3 Graduate School of Environmental Studies, Nagoya University *) E-mail: [email protected] ABSTRAK – Primary Product adalah merupakan level pemrosesan yang paling mendekati dengan gambaran alami yang diperoleh dari sensor. Pada proses produksi data primary, terdapat berbagai macam metode resampling yang dapat digunakan. Dari berbagai macam metode resampling tersebut belum diketahui seberapa besar perubahan nilai spektralnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui besar perubahan nilai spektral dari berbagai metode untuk resamplingPrimary Product SPOT 6/7. Dengan mengetahui besar perubahan nilai spektral setelah proses resampling, maka akan dapat diketahui metode resampling yang konsisten dalam mempertahankan nilai spektral yang penting pada saat akan melakukan proses transformasi citra ataupun klasifikasi citra digital. Pada Penelitian ini, korelasi antara citra resampling menggunakan metode bicubic optimized dan bicubic bilinear dengan near neighbour dapat dibandingkan untuk memperoleh kesimpulan tentang konsistensi metode tersebut dalam mempertahankan nilai spektral citra asli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi sangat tinggi antar berbagai metode resampling sehingga bisa dipilih salah satu dari berbagai metode resampling untuk memproduksi Primary Products pada SPOT 6/7. Namun lebih disarankan untuk menggunakan metode resamplingnear neighbour karena lebih mempertahankan nilai spektral citra asli. Kata kunci: nilai spektral, resampling, primary product ABSTRACT Primary product is the closest processing level to the raw image acquired by sensor. In the process of generating Primary Product, there are various methods of resampling used to generate this product. Among these various methods of resampling, it is not yet known how much of these resampling methods change the spectral value of the final resampled product. This study aims to determine the changes in the spectral value of the final resampled products for the Primary Product of SPOT 6/7. By knowing how spectral value changes in the final product, the consistency of the resampling methods can be concluded which is important to be considered when performing digital classification or spectral transformation. In this research, the correlation of the resampled imagery using Bicubic Optimized and Bicubic Bilinear methods was compared with Near Neighbour method to conclude which one is the most spectral-consistent method. Based on the analysis, the result indicated that there is a very high correlation between the various resampling methods with near neighbour method so that based on the final correlation analysis, whatever resampling methods can be used for generating primary products of SPOT 6/7. However it is advisable to use near Neighbour resampling method considering that this method retains most of the original spectral values. Keywords: spectral value, resampling, primary product 1. PENDAHULUAN Pada tahun 2008, SPOT Image (yang sekarang menjadi Geo Intelligence program line of Airbus Defence and Space) di Toulouse, Perancis memulai inovasi untuk membangun kelanjutan dari misi SPOT, yang akan diberi nama SPOT 6/7 untuk melanjutkan misi mendapatkan citra resolusi tinggi dengan cakupan yang lebar seperti pada generasi sebelumnya yaitu SPOT5. Mendapatkan dukungan penuh dari Airbus Group, pengerjaan satelit konstelasi SPOT6/7 diumumkan resmi pada pertengahan 2009 oleh Airbus Defence and Space. SPOT 6 diluncurkan oleh India’s Polar Satellite Launch Vehicle flight C21 pada jam 04:23 UTC tanggal 9 September 2012, sedangkan SPOT 7 diluncurkan PSLV flight C23 pada jam 04:42 UTC tanggal 30 Juni 2014. Kedua satelit tersebut akan berkonstelasi untuk melanjutkan misi mendapatkan citra resolusi tinggi dengan cakupan yang lebar sampai dengan tahun 2024. SPOT 6/7 tersedia dalam dua tingkat pengolahan yang berbeda: Primary dan Ortho. Kedua tingkat pengolahan tersebut telah dikoreksi radiometrik dan koreksi distorsi sensor, menggunakan parameter -327- Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S, dkk.) kalibrasi internal, pengukuran ephemeris dan attitude. SPOT 6 dan SPOT 7 memiliki saluran Pankromatik (resolusi produk: 1.5m), dan saluran Multispektral (4 band, resolusi produk: 6m). Primary Product adalah merupakan level pemrosesan yang paling mendekati dengan gambaran alami yang diperoleh dari sensor. Produk ini mengembalikan citra pada kondisi sempurna: sensor ditempatkan dalam geometri bujursangkar, dan gambar terlihat jelas dari semua distorsi radiometrik. Primary Product sangat sesuai dengan pengguna yang paham dengan pengolahan citra satelit yang ingin menerapkan metode produksi sendiri (orthorectification atau modeling 3D misalnya). Untuk tujuan ini, Rational Polynomial Coefficient (RPC) dan model sensor disediakan bersama dengan produk untuk memastikan otonomi penuh dan kesederhanaan bagi pengguna. Proses penyiapan data citra SPOT membutuhkan beberapa proses untuk rektifikasi geometrik dan penajaman radiometrik contohnya adalah proses resampling geometri. Proses resampling ini mengubah geometri citra original yang terdistorsi menjadi terkoreksi dengan menghitung nilai pixel baru pada citra terkoreksi (Baboo dkk., 2010). Proses resampling ini diketahui dapat membawa efek penurunan kualitas citra hasil yang tidak diinginkan (Tauch dan Kaehler, 1988). Sehingga perlu ada kajian untuk menguji konsistensi proses geometrik resampling pada citra hasil. Pada citra SPOT, proses resampling dapat menggunakan beberapa metode seperti bicubic bilinear, bicubic optimized and near neighbour. Dari berbagai macam metode resampling tersebut belum diketahui seberapa besar perubahan nilai spektralnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui besar perubahan nilai spektral dari berbagai metode untuk resampling Primary Product SPOT 6/7. Dengan mengetahui besar perubahan nilai spektral setelah proses resampling, maka akan dapat diketahui metode resampling yang konsisten dalam mempertahankan nilai spektral yang penting pada saat akan melakukan proses transformasi citra ataupun klasifikasi citra digital. 2. DATA DAN METODE 2.1. Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data SPOT-6 multispektral 4 band, resolusi spasial 6 meter, dengan 12 bit tingkat keabuan. Level pengolahan Primary Product dengan menggunakan metode resampling near neighbour, bicubic optimized, dan bicubic bilinear wilayah Kepulauan Adonara, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Direkam pada tanggal 23 April 2016 jam 01:46:21 UTC.Pulau Adonara terletak di kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang merupakan salah satu dari 3 pulau besar di kabupaten tersebut dengan luas 509 km2. Gambar 1. Lokasi Daerah Kajian 2.2. Pra Pemrosesan Data Koreksi radiometrik Top of Atmosfer(ToA) dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama adalah konversi nilai digital menjadi nilai spektral radian, dan tahap kedua adalah konversi nilai spektral radian menjadi nilai spektral reflektan. A. Mengkonversi nilai digital ke nilai spektral radian -328- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pada proses ini diperlukan informasi Gain dan Bias dari sensor di setiap band. Transformasi dilakukan berdasarkan kurva kalibrasi nilai digital ke radian yang telah dihitung secara sistematik. Kalibrasi dilakukan sebelum sensor diluncurkan dan tingkat akurasi menurun seiring dengan sensitivitas sensor yang berubah sepanjang waktu, sehingga diperlukan kalibrasi ulang sensor. Metode untuk mengkalibrasi nilai digital menjadi nilai spektral radian (Lλ) adalah sebagai berikut: (1) Gain dan offset dalam unit W/(m2 * sr * µm). Sehingga nilai radian juga dalam unit W/(m2 * sr * µm). B. Mengkonversi nilai spektral radian ke nilai spektral reflektan Langkah selanjutnya adalah menormalisasi nilai irradian dengan mengkonversi nilai spektral radian dengan mempertimbangkan nilai cosinus akibat dari perbedaan sudut matahari dan nilai exoatmospheric irradian dari perbedaan nilai spektral di setiap band. Dengan demikian nilai reflektan exoatmospheric adalah kombinasi faktor kelengkungan permukaan dan reflektan atmosfer yang dihitung menggunakan persamaan berikut (2) dimana: = Radiance dengan satuan unit W/(m2 * sr * µm) = Jarak Bumi-Matahari dalam satuan astronomical. = Solar irradiance dalam satuan W/(m2 * µm) = Sun elevation dalam derajat 2.3. Proses Resampling Pada proses produksi data Primary, terdapat berbagai macam metode resampling yang dapat digunakan. Adapun metode resampling yang tersedia dalam proses produksi SPOT adalah: 1) Near Neighbour: untuk setiap "hilang" pixel (pixel yang harus diciptakan dalam gambar diproses) metode Tetangga terdekat mengambil nilai pixel terdekat di sumber gambar. 2) Bicubic Bilinear: untuk setiap "hilang" pixel (pixel yang harus diciptakan dalam gambar diproses) metode bilinear mengambil nilai dari empat titik yang paling dekat di sudut-sudut diagonal pada gambar sumber, dan rata-rata nilai-nilai mereka. 3)Bicubic Optimized: interpolasi bicubic, berbeda dengan 2 metode sebelumnya, mengambil tidak hanya empat piksel diagonal terdekat, tapi poin terdekat mereka juga, untuk total 16 piksel interpolasi bicubic menciptakan kurva yang lebih halus dari bilinear (a) (b) (c) Gambar 2. Ilustrasi Metode Resampling (A) Near Neighbour (B) Bicubic Bilinear (C) Bicubic Optimized 2.4. Uji Konsistensi Uji konsistensi proses resampling citra ini menggunakan analisa kuantitatif dengan koefisien korelasi antara citra hasil resample dengan proses bicubic bilinear dan bicubic optimized dengan citra resampling near neighbour. Analisa kuantitatif menggunakan koefisien korelasi sudah banyak dilakukan untuk menguji konsistensi citra pansharpened (Palsson dkk., 2016). Perhitungan koefisien korelasi hasil citra pansharpened dianggap mampu mencerminkan kualitas konsistensi citra hasil -329- Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S, dkk.) fusi (Panchal dkk., 2015). Nilai koefisien korelasi juga dianggap mewakili tingkat kemiripan citra secara umum antara citra hasil dan citra referensi (Javan dkk., 2013). Dengan asumsi tersebut, maka untuk menguji nilai koefisien korelasi dapat digunakan untuk menguji integritas spectral data hasil proses resampling yang berbeda. SPOT6 Multispektral Level 0 Resampling near neighbour Resampling bicubic bilinear Resampling bicubic optimized Radiance-Reflectance Top of atmosphere Radiance-Reflectance Top of atmosphere Radiance-Reflectance Top of atmosphere PerbandinganNilaiSpektralBerbaga iMetode Resampling Gambar 3. Diagram Alir Penelitian 3. HASIL PEMBAHASAN 3.1. Pra Pemrosesan Data Nilai digital dikonversikan ke nilai reflektansi dengan menggunakan metode koreksi radiometrik Top of Atmosfer, dimana dalam statistik nilai digital range data mulai dari 0 sampai dengan maksimal 4096, sedangkan setelah dikoreksi radiometrik ToA range data mulai 0 sampai dengan 1. Adapun nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi dari tiap band baik masih berupa nilai digital ataupun nilai reflektasi akan disajikan dalam tabel berikut: Tabel 1.Statistik Nilai Digital dan Nilai Reflektansi Hasil ToA Metode Resample near neighbour bicubic bilinear bicubic optimized Band Min Statistik nilai digital Max Mean Stdev Statistik nilai reflektansi hasil ToA Min Max Mean Stdev 1 0 4073 336,317 110,1354 0 1 0,0831 0,0272 2 0 4095 274,038 132,9295 0 0,9416 0,063 0,0306 3 0 4095 167,7667 137,3715 0 1 0,0414 0,0339 4 0 4075 553,2615 540,514 0 1 0,143 0,1397 1 0 3698 336,3148 109,7026 0 0,9142 0,0831 0,0271 2 0 3996 274,0374 132,2828 0 0,9189 0,063 0,0304 3 0 4026 167,7675 136,5937 0 0,9923 0,0414 0,0337 4 0 3900 553,2585 537,408 0 1 0,143 0,1389 1 0 4004 336,3149 109,9915 0 0,9899 0,0831 0,0272 2 0 4027 274,0377 132,7154 0 0,926 0,063 0,0305 3 0 4095 167,7675 137,1312 0 1 0,0414 0,0338 4 0 3927 553,2582 539,2996 0 1 0,143 0,1393 3.2. Uji Konsistensi Setelah dilakukan konversi dari nilai digital menjadi nilai reflektansi maka tahapan selanjutnya adalah melihat korelasi bicubic bilinear dan bicubic optimized terhadap near neighbour tiap band pada berbagai lokasi sehingga bisa dilihat seberapa besar perbedaan nilai spektralnya. Adapun nilai korelasi tersebut bisa dilihat pada tabel berikut: -330- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 2.Tabel Korelasi Bicubic Bilinear dan Bicubic Optimized terhadap Near Neighbour Tiap Band pada Berbagai Lokasi korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 0.994244 0.995281 0.991908 0.979041 0.966206 0.965920 0.973680 0.969486 korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 0.994705 0.995759 0.992860 0.980810 0.970690 0.969601 0.976084 0.972328 korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 0.983708 0.983424 0.984128 0.973649 0.979583 0.985703 0.984803 0.995908 korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 0.985218 0.984944 0.985616 0.976294 0.981200 0.986783 0.985704 0.996331 -331- Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S, dkk.) korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 0.965892 0.958659 0.972729 0.959801 0.998024 0.997439 0.997023 0.996942 korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 0.970025 0.963240 0.975648 0.964374 0.998187 0.997681 0.997271 0.997284 Hasil koefisien korelasi citra dengan proses resampling yang berbeda menunjukkan tingginya integritas citra hasil proses resampling yang berbeda. Rata - rata koefisien korelasi mempunyai korelasi yang positif dan tinggi ditunjukkan dengan nilai yang mendekati nilai maksimum 1. Proses resampling bicubic optimized mempunyai korelasi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proses resampling menggunakan bicubic bilinear terhadap resampling hasil near neighbours. Hasil ini menunjukkan hasil yang mirip dengan penelitian serupa oleh (Studley dan Weber, 2011) yang mendapatkan koefisien korelasi yang mendekati 1 dengan membandingkan koefisien korelasi bicubic bilinear dan bicubic optimized dengan agregated average(aa). Dengan begitu, tingginya hasil proses resampling geometrik yang berbeda ini menunjukkan bahwa metode resampling yang berbeda dapat digunakan untuk rektifikasi geometrik dan penajaman radiometrik dengan penurunan kualitas data yang minimal. Penurunan kualitas data yang minimal dan tingginya konsistensi dari hasil proses resampling yang berbeda ini membuat citra hasil proses resampling masih dapat digunakan untuk pemrosesan citra digital. Pemrosesan citra digital ini meliputi proses transformasi citra seperti raster algebra dan juga proses klasifikasi digital contohnya untuk klasifikasi penutup lahan. Dengan tingginya konsistensi antar proses resample, maka informasi yang diturunkan melalui pemrosesan citra digital menggunakan citra hasil resample dengan metode yang berbeda diharapkan akan memiliki informasi yang sama atau tidak jauh berbeda. 4. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi sangat tinggi antar berbagai metode resampling sehingga bisa dipilih salah satu dari berbagai metode resampling untuk memproduksi Primary Products pada SPOT 6/7. Bicubic bilinear dan bicubic optimized yang masing - masing menggunakan 4 dan 16 nilai spektral piksel sekitarnya untuk menghitung nilai piksel baru pada citra terkoreksi masing - masing dapat digunakan untuk proses resample geometrik. Namun lebih disarankan untuk menggunakan metode resampling near neighbour karena lebih mempertahankan nilai spektral citra asli dan juga lebih hemat komputasi karena tidak menggunakan proses perhitungan rata-rata dalam menghitung nilai piksel hasil pemrosesan. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Parepare yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Tim Redaksi dan Mitra Bestari atas masukan dan koreksinya. -332- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 DAFTAR PUSTAKA Astrium (2015). SPOT6|SPOT7 Technical Sheet. Cited in http://www2.geo-airbusds.com/files/pmedia/public/r12317 _9_spot6-7_technical_sheet.pdf . Baboo, Santhosh, S., dan Devi M.R., (2010). An Analysis of Different Resampling Methods in Coimbatore, District’, Global Journal of Computer Science and Technology, 10: 61–66 Javan, Farzaneh, D., Farhad, S., dan Peter, R., (2013). Spatial Quality Assessment of Pan-Sharpened High Resolution Satellite Imagery Based on an Automatically Estimated Edge Based Metric, Remote Sensing. <http://dx.doi.org/10.3390/rs5126539> Panchal, Shailesh, dan Rajesh, T., (2015). Implementation And Comparative Quantitative Assessment Of Different Multispectral Image Pansharpening Approaches. Signal & Image Processing : An International Journal, 6:50–52 Palsson, Frosti, Johannes, R.,S., Magnus, O.U., dan Jon, A.B., (2016). Quantitative Quality Evaluation of Pansharpened Imagery : Consistency Versus Synthesis’, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing. Ruediger, Tauch, dan Martin, K., (1988). Improving the Quality of Satellite Image Maps by Various Processing Techniques, Proceedings of ISPRS. http://dx.doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Studley, H., dan Weber, K.T., (2011). Comparison of Image Resampling Techniques for Satellite Imagery. Final Report: Assessing Post-Fire Recovery of Sagebrush-Steppe Rangelands in Southeastern Idaho. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah : : Pemakalah Diskusi : : Kuncoro Teguh Setiawan Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Primary Product SPOT-6 Ferman Setia Nugroho (LAPAN) Pertanyaan: Fajar Yulianto (LAPAN) Mungkin penelitian ini kedepan bisa dipertajam dengan menggunakan pendekatan split base. Per scene di split per subscene image misal resolusi 500 x500 m pergrid. Per grid bisa dihitung statistiknya. Nanti hasil dari per scene yang sudah dipotong2 diplotkan setiap parameternya dan dianalisis lebih lanjut dan dibandingkan dengan satu scene keseluruhan yang digunakan. Jawaban : Penelitian yang dilakukan sangat singkat sehingga hanya menggunakan 5 lokasi sample. Kedepan memang lebih baik menggunakan image yang displit. Pertanyaan: STA Munawar (LAPAN) Ragu dengan kesimpulan yang menyatakan hasilnya sama saja, jika dilihat grafik kekanan seharusnya semakin smooth, seperti jerawat tidak kelihatan dengan menggunakan metode bicubic optimized. Sedangkan near neighbor memperindah warna aslinya tidak mengubah nilai spektralnya. Mungkin perlu dikaji lagi apakah ada perbedaan atau tidak pada metode tersebut. Jawaban : Untuk metode korelasi sendiri masih banyak perdebatan mengenai apakah nilai korelasi bisa menunjukan keterkaitan antara variable a dan variable b. Metode yang paling mudah adalah membandingkan korelasi tinggi atau rendah, karena hasilnya sama-sama mendekati satu maka dikatakan sama. Keterbatasan waktu dan kemampuan dalam mengetahui metode selain korelasi, apakah ada metode lain selain korelasi untuk membandingkan var a dan var b. Karena yang diketahui sebatas korelasi dan hasilnya sama-sama tinggi jadi tidak ada masalah. Maka dari itu jika dilihat dari kesimpulan yang diambil terlihat tidak ada perbedaan. -333- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh Open Mine Land Identification using Vegetation Index Differencing Method Case Study: Gold Mine Geumpang, Aceh Ahmad Sutanto1*), dan Arum Tjahjaningsih1 1 Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta, Indonesia *) E-mail : [email protected] ABSTRAK – Provinsi Aceh merupakan provinsi yang banyak memiliki sumberdaya mineral , karena faktor geologi yaitu Aceh terletak pada jalur Patahan Semangko. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomass dedaunan hijau, daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi. Disparitas indeks vegetasi (VIDN), metode ini umum digunakan untuk tujuan analisis perubahan atau change detection. Deteksi perubahan merupakan suatu proses mengindetifikasi perubahan-perubahan suatu objek atau fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang berbeda. Terjadinya pengurangan biomassa merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu perubahan tutupan lahan yang pada penelitian ini, perubahan lahan yang dimaksud adalah terjadinya lahan terbuka pada areal tambang emas. Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda. Pada kegiatan ini telah dilakukan perhitungan NDVI pada citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan scene path/row: 131/057. Dari penelitian menggunakan metode VIDN menghasilkan nilai ambang batas bawah (Td) -0,249238 dan nilai ambang batas atas (Tu) 0,115725 Kata kunci: Landsat, NDVI, VIDN, change detection, biomassa. ABSTRACT - Aceh province has numerous mineral resources, due to geological factors as this province laid over Semangko Fault. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) is a calculation of the imagery used to determine the level of greenness, which is very good as the beginning of the division of areas of vegetation. NDVI can show the parameters associated with vegetation parameters, that is green foliage biomass. Green foliage area is the value that can be estimated for the distribution of vegetation. Vegetation index disparities (VIDN) method is commonly used for analysis purposes alteration or change detection. Change detection is a process of identifying changes of an object or phenomenon by observing at various different times. A reduction in biomass is one indication of the occurrence of a change land cover in this field, changes in the land is the open land in the gold mine area. VIDN synthetic image derived from NDVI values between two different times. This studies carried out NDVI calculations for Landsat 8 images in 2014 and 2015, Landsat 7 in 2000, Landsat 5 in 2009, 2010 and 2011 Aceh southern scene path / row: 131/057. Calculations using methods VIDN produce lower threshold values (Td) -0.249238 and upper threshold values (Tu) 0.115725 Keywords: Landsat, NDVI, VIDN, change detection, biomass 1. PENDAHULUAN Provinsi Aceh merupakan provinsi yang banyak memiliki sumberdaya mineral, karena faktor geologi yaitu Aceh terletak pada jalur Patahan Semangko. Aceh memiliki cadangan dan penghasil emas di 7 (tujuh) kabupaten yaitu: Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Pidie, Aceh Tengah, Aceh Besar. Penambangan emas tanpa ijin (PETI) merupakan penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat tanpa didasari oleh data eksplorasi, sehingga memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Adanya permasalahan terkontaminasinya air sungai akibat limbah berbahaya dari pengolahan emas sehingga menyebabkan jutaan ikan mati. Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menuntut Pemda bisa lebih pro-aktif melakukan inventarisasi dan eksplorasi emas di wilayahnya. Perlu dipetakan daerah yang berpotensi mineral emas bernilai ekonomi. Lokasi tambang emas ada yang di atas bukit sehingga sulit untuk dilakukan pengecekan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nangro Aceh Darussalam bermaksud untuk menginventarisasi lokasi PETI di wilayahnya. Data penginderaan jauh berkembang sangat pesat, baik resolusi spasial, temporal maupun spektralnya, sehingga aplikasinya menjadi lebih luas. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sektor geologi dapat digunakan untuk inventarisasi lahan bekas tambang, identifikasi parameter geologi (kelurusan, pola aliran dan -334- Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh (Sutanto A., dkk.) lain-lain). Data citra satelit resolusi tinggi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk pemantauan aktivitas penambang (secara visual), sedangkan untuk citra resolusi menengah memerlukan pengolahan lanjut. 2. TEORI DASAR Dalam aplikasi penginderaan jauh, indeks vegetasi merupakan cerminan tingkat kehijauan vegetasi yang juga dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan. Indeks vegetasi dapat berubah disebabkan oleh kondisi ketersediaan air akibat pergantian musim. Kondisi indeks vegetasi rendah mengakibatkan penurunan produksi pangan, kebakaran, dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasi akibat buruk tersebut, upaya pemantauan indeks vegetasi perlu dilakukan. Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi (Pettorelli dkk., 2005). Tanaman hidup menyerap gelombang tampak (visible) biru dan merah serta memantulkan gelombang hijau, oleh karena itulah kenapa mata manusia melihat daun-daun tanaman yang hidup adalah berwarna hijau. Akan tetapi ada satu jenis gelombang lain yang juga di pantulkan oleh tanaman selain gelombang hijau, akan tetapi gelombang ini tidak dapat di lihat oleh mata (invisible), gelombang ini adalah gelombang infra merah dekat. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomass dedaunan hijau, daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi.Seperti perhitungan pada citra rasio, pada citra normalisasi juga menggunakan data kanal1 dan kanal2. Kanal1 terdapat dalam bagian dari spektrum dimana klorofilmenyebabkan adanya penyerapan terhadap radiasi cahaya yang datang yang dilakukan saat fotosintesis, sedangkan kanal 2 terdapat dalam daerah spektral dimana struktur daun spongy mesophyll menyebabkan adanya pantulan terhadap radiasi cahaya. Perbedaan respon dari kedua kanal ini dapat diketahui dengan transformasi rasio perbandingan satu kanal dengankanalyang lain. Perbandingan antara kedua kanal adalah pertimbangan yang digunakan untuk mengurangi variasi yang disebabkan oleh topografi dari permukaan bumi. Hal ini merupakan kompensasi dari variasi pancaran sebagai fungsi dari elevasi matahari untuk daerah yang berbeda dalam sebuah citra satelit. Perbandingan ini tidak menghilangkan efek additive yang disebabkan oleh atmospheric attenuation, tetapi komponen dasar untuk NDVI dan vegetasi saling berhubungan. Latar belakang daratan berfungsi sebagai pemantul sinyal yang terpisah dari vegetasi, dan berinteraksi dengan vegetasi melalui hamburan yang sangat banyak dari energi radiasi. Rentang nilai NDVI adalah antara -1.0 hingga +1.0. Nilai yang lebih besar dari 0.1 biasanya menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Nilai diantara 0 dan 0.1 umumnya merupakan karakteristik dari bebatuan dan lahan kosong, dan nilai yang kurang dari 0 kemungkinan mengindikasikan awan es, awan uap air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0.1 untuk lahan savanna (padang rumput) hingga 0.8 untuk daerah hutan hujan tropis. Nilai NDVI dapat diperoleh yaitu dengan membandingkan pengurangan data kanal 2 dan kanal 1 dengan penjumlahan dari kedua kanal tersebut. Berikut ini rumus NDVI : = ...................................................................................................................... ………………….(1) Nilai NDVI menggunakan nilai reflektansi dari kanal NIR ( Near Infra Red ) dan kanal Red pada citra satelit untuk perhitungannya.Disparitas indeks vegetasi (VIDN), metode ini umum digunakan untuk tujuan analisis perubahan atau change detection. Deteksi perubahan merupakan suatu proses mengindetifikasi perubahanperubahan suatu objek atau fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang berbeda. Lau dkk. (2005); Sitorus (2006); Jensen (2005) menyebutkan salah satu metode yang digunakan untuk analisis perubahan di antaranya adalah metode Image Differencing atau metode pengurangan citra. Jaya (2005) menjelaskan bahwa nilai VIDN berkisar -2 – 2 dengan nilai negatif menyatakan adanya pengurangan biomassa atau vegetasi hijau. Terjadinya pengurangan biomassa merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu perubahan tutupan lahan yang pada penelitian ini, perubahan lahan yang dimaksud adalah terjadinya lahan terbuka pada areal tambang emas. Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda. Pada citra Landsat 5 dan 7 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 4 sedangkan saluran merah terdapat pada saluran 3. Pada citra Landsat 8 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 5 sedangkan -335- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 saluran merah terdapat pada saluran 4. Nilai VIDN dapat diperoleh yaitu dengan pengurangan data NDVI tahun n dengan data NDVI tahun m. Berikut ini rumus NDVI : = − ........................................................................................................ ………………….(2) Dimana tahun n > tahun m. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada kegiatan ini telah dilakukan perhitungan NDVI pada citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan scene path/row: 131/057. Berikut ini tampilan hasil NDVI dari citra Landsat 8 tahun 2014, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 untuk wilayah Geumpang, Aceh (a) (b) Gambar 1. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil NDVI dari Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000, (b) Hasil NDVI dari Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009. (a) (b) Gambar 2. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil NDVI dari Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010, (b) Hasil NDVI dari Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011. -336- Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh (Sutanto A., dkk.) Gambar 3. Hasil NDVI wilayah Geumpang dari Landsat 8 tanggal 23 Mei 2014 Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda. Pembuatan citra VIDN pada kegiatan ini menggunakan : citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 7 tahun 2000. citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2009. citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2010. citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2011. Pada citra Landsat 5 dan 7 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 4 sedangkan saluran merah terdapat pada saluran 3. Pada citra Landsat 8 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 5 sedangkan saluran merah terdapat pada saluran 4. (a) (b) Gambar 4. Hasil VIDN Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil VIDN dari data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data NDVI Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000, (b) Hasil VIDN dari Data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data NDVI Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009. -337- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 (a) (b) Gambar 5. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil VIDN dari data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data NDVI Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010, (b) Hasil VIDN dari Data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data NDVI Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011. Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Perhitungan nilai statistik ini dibutuhkan untuk menentukan nilai Threshold maksimum dan minimum dari nilai piksel citra VIDN. Nilai threshold ini kemudian bisa digunakan untuk identifikasi lahan terbuka pertambangan.Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Data citra sintetik VIDN yang digunakan adalah citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011. Perhitungan numerik nilai statistik VIDN ini dapat lakukan dengan menggunakan tools yang tersedia pada software QGIS 2.8.1. Tools tersebut bernama Zonal Statistics.Berikut ini tampilan hasil perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation IndexDifferencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang.untuk wilayah Geumpang, Aceh. Tabel 1. Hasil Perhitungan Statisik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka Tambang Nilai Statistik Data VIDN Min Max Mean Standart Deviation Varians Range Count VIDN 2014_2000 -0.249238 0.115725 -0.053729 0.086644 0.007507 0.364964 92 VIDN 2014_2009 -0.232959 0.121008 -0.031151 0.083375 0.006951 0.353967 92 VIDN 2014_2010 -0.238905 0.118355 -0.045971 0.085164 0.007253 0.357260 92 VIDN 2014_2011 -0.223731 0.140553 -0.027479 0.083550 0.006981 0.364284 92 Pelaksanaan komputasi numerik berupa thresholding citra sintetik VIDN untuk identifikasi lahan terbuka tambang. Thresholding ini menggunakan nilai statistik VIDN di dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Nilai statistik yang digunakan yaitu nilai Threshold maksimum dan minimum dari nilai piksel citra VIDN yang terdapat dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Nilai threshold inilah yang kemudian digunakan untuk identifikasi lahan terbuka pertambangan untuk keseluruhan wilayah yang terdapat di citra. Nilai Tu (Threshold Up) dan Td (Threshold Down) dari masing-masing treshold ditentukan berdasarkan nilai piksel contoh pada -338- Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh (Sutanto A., dkk.) areal-areal lahan tambang. Nilai Tu diambil dari nilai maksimum, sedangkan nilai Td diambil dari nilai minimum hasil perhitungan statistik VIDN dalam polygon sample. Proses tresholding dilakukan dengan kaidah pengambilan keputusan seperti pada persamaan berikut. ......................................................................................................................................... ………………….(3) Dalam kaidah tersebut, I(x,y) adalah nilai piksel yang dibuat dari indeks terpilih. Pembuatan treshold dilakukan dengan membuat training area pada citra sintetik yang telah dihasilkan. Pada kegiatan ini data citra sintetik VIDN yang digunakan adalah : citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011. Berikut ini adalah tabel yang menyajikan nilai Tu dan Td untuk data-data VIDN yang digunakan : Tabel 2. Nilai Threshold Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Nilai Threshold Data VIDN Td Tu VIDN tahun 2014 dan tahun 2000 -0,249238 0,115725 VIDN tahun 2014 dan tahun 2009 -0,232959 0,121008 VIDN tahun 2014 dan tahun 2010 -0,238905 0,118355 VIDN tahun 2014 dan tahun 2011 -0,223731 0,140553 Pelaksanaan komputasi numerik berupa filtering hasil thresholding citra sintetik VIDN untuk identifikasi lahan terbuka tambang. Jaya (2005) menyebutkan bahwa hasil thresholding pada umumnya masih mengandung noise yang tampak seperti noktah-noktah atau sering disebut salt and pepper. Untuk menghilangkan kesalahan ini dilakukan filtering menggunakan lowpass filter yaitu filter median. Filter median merupakan salah satu filtering non-linear yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok piksel, kemudian mengganti nilai piksel yang diproses dengan nilai mediannya. Data hasil thresholding citra sintetik VIDN yang digunakan yaitu VIDN tahun 2000-2014, tahun 2009-2014, tahun 2010-2014, tahun 2011-2014 wilayah Aceh bagian selatan. Citra (image) atau istilah lain untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering kali citra yang dimiliki mengalami penurunan mutu, misalnya mengandung cacat atau noise. Tentu saja citra semacam ini menjadi lebih sulit untuk diinterpretasikan karena informasi yang disampaikan oleh citra tersebut menjadi berkurang. Untuk mengatasi noise tersebut perlu dilakukan usaha untuk memperbaiki kualitas citra itu. Salah satunya adalah dengan filtering citra baik secara linear maupun secara non-linear. Median filter adalah salah satu filtering non-linear yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok pixel, kemudian mengganti nilai pixel yang diproses dengan nilai mediannya. Median filter telah digunakan secara luas untuk memperhalus dan mengembalikan bagian dari citra yang mengandung noise yang berbentuk bintik putih. -339- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Berikut ini tampilan hasil thresholding data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang.untuk wilayah Geumpang, Aceh. (b) (a) (c) 0 = Lahan Non Tambang ; 1 = Lahan Tambang (d) Gambar 6. (a) Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun 2000, (b) Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun 2009, (c) Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun 2010, (d) Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun 2011 Wilayah Geumpang, Aceh. Sesuai dengan namanya, median filter merupakan suatu metode yang menitik beratkan pada nilai median atau nilai tengah dari jumlah total nilai keseluruhan pixel yang ada di sekelilingnya. Dimisalkan terdapat data A=1, B=5, C=2, D=9, dan E=7, maka median filter akan mencari nilai tengah dari semua data yang telah diurutkan terlebih dahulu dari yang paling kecil hingga pada data yang paling besar dan kemudian diambil nilai tengahnya (1, 2, 5, 7, 9). Median dari deret tersebut adalah 5. Pemrosesan median filter ini dilakukan dengan cara mencari nilai tengah dari nilai pixel tetangga yang mempengaruhi pixel tengah. Teknik ini bekerja dengan cara mengisi nilai dari setiap pixel dengan nilai median tetangganya. Proses pemilihan median ini diawali dengan terlebih dahulu mengurutkan nilai-nilai pixel tetangga, baru kemudian dipilih nilai tengahnya (Sulistyo, dkk., 2009). Block Diagram Alur Kerja Median Filter terlihat sebagai berikut : Gambar 7. Block Diagram Alur Kerja Median Filter -340- Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh (Sutanto A., dkk.) Pengurutan akan menghasilkan nilai dari yang terkecil sampai nilai yang terbesar sesuai dengan P (1)< P(2)< dimana n bernilai ganjil. Contoh Penerapan Median P(3)< P(n), sedangkan nilai m sesuai dengan rumus = Filter terlihat sebagai berikut : Gambar 8. Contoh Penerapan Median Filter Hasil dari pengurutan data pada contoh didapatkan urutan 25, 33, 38, 45, 45, 45, 54, 57, 98. Dari hasil ini akan diambil nilai median yang memiliki nilai 45. Filtering hasil thresholding citra sintetik VIDN pada kegiatan ini menggunakan jendela filtering 3x3 piksel. Data hasil thresholding citra sintetik VIDN yang digunakan pada kegiatan ini : Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000. Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009. Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010. Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011. Berikut ini tampilan hasil thresholding data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) sebelum dan setelah filtering untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang, Aceh. (a) (c) (b) = Lahan Tambang ; = Lahan Non Tambang (d) Gambar 9. Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Wilayah Geumpang, Aceh Setelah Dilakukan Median Filtering (a) Tahun 2014 dan Tahun 2000, (b) Tahun 2014 dan Tahun 2009, (c) Tahun 2014 dan Tahun 2010, (d) Tahun 2014 dan Tahun 2011. -341- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan akurasi hasil thresholding data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing) pada lahan terbuka tambang. Perhitungan akurasi ini dilakukan untuk mengukur seberapa akurat hasil thresholding data VIDN yang mengidentifikasikan area tambang dan nontambang. Untuk pengukuran akurasi ini digunakan acuan/referensi berupa hasil klasifikasi visual lahan tambang dari citra resolusi tinggi yaitu citra SPOT-6 pansharpening dengan resolusi spasial 1,5 meter. Nilai VIDN ini merupakan nilai yang diperoleh dari pengurangan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dua waktu yang berbeda. Nilai NDVI diperoleh dari perhitungan menggunakan data citra satelit. Data citra satelit yang digunakan adalah citra satelit Landsat 8 tahun 2014, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan. Data citra sintetik VIDN yang digunakan yaitu VIDN tahun 2000-2014, tahun 2009-2014, tahun 2010-2014, tahun 2011-2014. Berikut ini tampilan hasil perhitungan akurasi dari identifikasi area tambang menggunakan hasil thresholding data citra sintetik NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) wilayah Geumpang, Aceh. Tabel 3. Akurasi Hasil Thresholding Citra Sintetik VIDN Producer User Accuracy Data VIDN Accuracy Tahun 2014_2000 96.96 98.04 Kappa Coefficient 0.13 Tahun 2014_2009 97.05 97.98 0.103 Tahun 2014_2010 96.89 98.00 0.11 Tahun 2014_2011 96.88 98.00 0.11 LSQ 98 % (pada kepercayaan 1.96σ) global test (ok), data snooping (bebas blunder), uji signifikan parameter (signifikan) Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang. Polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang didapatkan dari proses thresholding dan filtering data VIDN. Perhitungan nilai statistik ini dibutuhkan untuk melihat perbandingan antara nilai standar deviasi data VIDN dalam polygon hasil identifikasi lahan tambang dengan nilai standar deviasi data VIDN dalam polygon sample lahan tambang. Bila nilai standar deviasi hasil identifikasi lebih kecil atau sama dengan 2 kali nilai standar deviasi data VIDN yang terdapat dalam polygon sample maka hasil identifikasi lahan terbuka tersebut bagus hasilnya (tingkat kepercayaannya baik). Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation IndexDifferencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang. Data citra sintetik VIDN yang digunakan adalah : citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010. citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011. Berikut ini tampilan hasil perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang, Aceh. Sebagai perbandingan, ditampilkan pula hasil perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang, Aceh. Dari data tersebut terlihat bahwa nilai standar deviasi data VIDN yang terdapat dalam polygon hasil identifikasi lebih kecil dari 2 kali nilai standar deviasi data VIDN yang terdapat dalam polygon sample. -342- Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh (Sutanto A., dkk.) Tabel 4. Hasil Perhitungan Nilai Statistik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Hasil Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Nilai Statistik Data VIDN Min Max Mean Standart Deviation Varians Range Count VIDN 2014_2000 -0.367714 0.212982 0.008050 0.097142 0.009437 0.580696 911 VIDN 2014_2009 -0.343684 0.227428 0.011915 0.092294 0.008518 0.571112 791 VIDN 2014_2010 -0.337490 0.244597 0.009002 0.096268 0.009268 0.582087 883 VIDN 2014_2011 -0.317526 0.250306 0.029022 0.096242 0.009263 0.567832 875 Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Statistik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka Tambang Nilai Statistik Data VIDN Min Max Mean Standart Deviation Varians Range Count VIDN 2014_2000 -0.249238 0.115725 -0.053729 0.086644 0.007507 0.364964 92 VIDN 2014_2009 -0.232959 0.121008 -0.031151 0.083375 0.006951 0.353967 92 VIDN 2014_2010 -0.238905 0.118355 -0.045971 0.085164 0.007253 0.357260 92 VIDN 2014_2011 -0.223731 0.140553 -0.027479 0.083550 0.006981 0.364284 92 Tabel 6. Rasio Nilai Standar Deviasi Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Hasil Identifikasi Lahan Terbuka Tambang dan Nilai Standar Deviasi Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka Tambang Nilai Standart Deviation Data VIDN Dalam polygon Sample Dalam polygon hasil identifikasi Hasil Identifikasi / Sample VIDN 2014_2000 0.086644 0.097142 1.121162 VIDN 2014_2009 0.083375 0.092294 1.106975 VIDN 2014_2010 0.085164 0.096268 1.130384 VIDN 2014_2011 0.083550 0.096242 1.151909 -343- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 : Polygon hasil identifikasi Gambar 10. Visualisasi VIDN, Polygon Sample dan Polygon Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil nilai akurasi untuk data VIDN , maka kami dapat menentukan model yang optimal untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang. Dari hasil akurasi maka model yang paling baik adalah hasil threholding tahun 2000 dan 2014 untuk data VIDN. Berikut model tersebut berdasarkan hasil thresholding nilai bawah (Td) dan nilai atas (Tu) : Model Untuk VIDN 1, ≥ −0.249238 ≤ 0.115725 ( , )= …………….. .......................... ………………..(4) 0, I(x,y) = 1 diidentifikasikan sebagai lahan terbuka tambang, sedangkan I(x,y) = 0 diidentifikasikan sebagai lahan non-tambang. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dari penelitian identifikasi lahan terbuka tambang dengan menggunakan metode VIDN antara lain : Data citra Landsat yang sudah dikonversi menjadi nilai reflektansi dari band Green, Red dan NIR dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan lahan terbuka tambang dengan menggunakan metode VIDN. Data Landsat multitemporal yang digunakan dapat memberikan gambaran yang jelas pada kondisi sebelum lahan tambang dibuka dan sesudah lahan tambang dibuka. Dari beberapa percobaan didapatkan hasil yang optimum untuk metode VIDN yang menghasilkan nilai thresholding untuk dijadikan model. Untuk model VIDN nilai thresholding bawah (Td) yaitu -0.249238 dan nilai thresholding atas (Tu) 0.115725. 4.2 Saran Pada penelitian selanjutnya diharapkan bisa menggunakan beberapa indeks lain seperti indeks lahan terbuka untuk lebih memperkaya indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang. Dapat juga menggunakan algoritma pengklasifikasi citra untuk membantu identifikasi lahan terbuka tambang. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada Kapustekdata yang telah menyediakan data untuk kegiatan penelitian ini, serta Kepala Bidang SDWD atas dukungan yang telah diberikan. -344- Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh (Sutanto A., dkk.) DAFTAR PUSTAKA Pettorelli, N., Vik, J.O., Mysterud, A., Gaillard, J. M., Tucker, C.J., dan Stenseth. N.C., (2005). Using The SatelliteDerived Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) to Assess Ecological Effects of Environmental Change. Trends in Ecology and Evolution, 20(9):503-510. Jaya, I.N.S., (2005). Teknik Mendeteksi Lahan Longsor Menggunakan Citra SPOT Multi Waktu, Studi Kasus di Teradomari, Tochio dan Shidata Mura, Niigata, Jepang. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 10:31–48. Jensen, J.R., (2005). Introductory to Digital Image Processing:A Remote Sensing Perspectiv. New Jersey: Prentice Hall. Inc. Sitorus, J., Purwandari, Luwin, E.D., Widyastuti, R., dan Suharno (2006). Kajian model deteksi perubahan penutup lahan menggunakan data inderaja untuk aplikasi perubahan lahan sawah. http://www.lapanrs.or.id [6 Maret 2009]. Lau, W.Y., Linlin, G., dan Jia, X. (2005). The Possibility of Using Multitemporal Landsat Images for Mining Monitoring: A Preliminary Study. Di dalam: The 3rd International Symposium on Future Intelligent Earth Observation Satellites 2006. http://www.crcsi.com.au/ [3 Maret 2009]. Sulistyo, W., Bech, R.Y, dan Frans F., (2009). Analisis Penerapan Metode Median Filter untuk Mengurangi Noise Pada Citra Digital. Konferensi Nasional Sistem dan Informatika. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah : : Pemakalah Diskusi : : Kuncoro Teguh Setiawan Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode VIDN (Vegetation Index Differencing) Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh Ahmad Sutanto (LAPAN) Pertanyaan: Fajar Yulianto (LAPAN): Penelitian bagus dan menarik, sebenarnya jika belajar pola reflektansi objek dapat dicirikan dalam 3 yaitu vegetasi, tanah dan air. Penelitian sekarang hanya menerapkan pola yang didekati dengan vegetasi. Sebaiknya ke depan diharapkan lebih dipertajam lagi supaya analisis lebih kompleks yaitu dengan memperbandingkan indeks tanah dan air. Problem dalam mendeteksi tambang adalah masih belum mengetahui apakah masuk pada perubahan vegetasi, tanah dan air. Kedepan diharapkan diperdalam dengan menambahkan 2 parameter indeks lainnya, sehingga nanti terlihat pola dari tambang seperti apa, dan mungkin nanti bisa menemukan indeks khusus tambang seperti apa dengan pendekatan tiga objek pola spektral. Jawaban: Sebenarnya kegiatan ini sudah mengerjakan beberapa metode, sebelumnya sempat terpikir untuk menggunakan indeks lahan terbuka yaitu tanah, namun belum terpikir menggunakan indeks air. Kami juga mengerjakan metode principal component analysis (PCA) untuk data multi temporal. Disitu hasilnya agak lebih bagus, jika tadi daerah terbuka tambang mirip dengan sawah, namun dengan menggunakan metode PCA, bisa terbedakan antara sawah dengan tambang. Pertanyaan: Sri Harini (LAPAN): Band yang digunakan berapa saja? Jika misalnya daerah ini potensial untuk emas,apakah bisa terdeteksi juga? Jawaban : Menggunakan band NIR dan RED, jadi pertama kali dihitung NDVI nya. Kegiatan ini hanya mendeteksi daerah terbuka bukan mendeteksi potensi, hal ini bertujuan karena biasanya tambang berada di daerah pedalaman yang tidak bisa dijangkau dengan perjalanan darat. -345- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya) The Effect of DEM Accuracy to The Accuracy Of Orthorectified Image on Flat and Slope Surface (Case Study : Surabaya City and Tasikmalaya City) Jali Octariady1*), Elyta Widyaningrum1, dan Maundri Prihanggo1 1 Badan Informasi Geospasial (Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim (PPRT)) *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu data yang digunakan untuk proses ortorektifikasi. Ortorektifikasi dengan menggunakan data DEM dilakukan untuk menghilangkan kesalahan yang disebabkan adanya ketinggian pada objek di permukaan bumi (relief displacement). Semakin teliti DEM yang digunakan maka semakin baik pula citra terortorektifikasi yang didapatkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ketelitian DEM terhadap citra terortorektifikasi pada permukaan datar dan miring. Area penelitian adalah kota Surabaya sebagai daerah dengan permukaan datar dan kota Tasikmalaya sebagai daerah dengan permukaan miring. Ortorektifikasi dilakukan dengan menggunakan beberapa Ground Control Point (GCP) dari pengukuran dengan menggunakan GPS Geodetic metode Statik. Metode ortorektifikasi yang dilakukan adalah rigorous model. Evaluasi ketelitian dilakukan pada rentang kepercayaan 90% dengan menggunakan beberapa titik uji. Hasil evaluasi ketelitian menunjukkan terdapat perbedaan ketelitian pada setiap citra terortorektifikasi yang dihasilkan. Kata kunci: DEM, ortorektifikasi, permukaan datar, permukaan miring, ketelitian ABSTRACT - Digital Elevation Model (DEM) is one of the data used to process orthorectification. Orthorectification using DEM data is performed to eliminate errors caused by objects elevation on the earth's surface (relief displacement). The more precision DEM used the better orthorectified image obtained. This study was conducted to determine how much the effect of DEM accuracy to the accuracy of orthoimage on flat and slope surface. The study area is Surabaya city as area with flat surface and Tasikmalaya city as area with slope surface. Orthorectification performed using several Ground Control Point (GCP) from GPS Geodetic measurements using static method. Orthorectification method used is rigorous models. Evaluation of accuracy performed at 90% confidence range by using multiple test points. The evaluation results shows that there are differences accuracy for each orthorectified imagery produced. Keywords: DEM, orthorectification, flat surface, slope surface, accuracy 1. PENDAHULUAN Ortorektifikasi citra dilakukan untuk menghilangkan kesalahan yang disebabkan oleh objek di permukaan bumi memiliki ketinggian. Jenis kesalahan ini hanya bisa dihilangkan dengan proses ortorektifikasi, dan tidak bisa hilang dengan proses rektifikasi biasa. Ortorektifikasi dilakukan dengan menggunakan data Digital Elevation Model (DEM) dan Titik Kontrol Tanah (TKT). DEM memiliki ketelitian yang berbeda-beda, tergantung pada bagaimana akuisisi dan proses pengolahan datanya. Akusisi DEM radar secara spaceborne ada 2 cara yakni single pass dan repeat pass. Tipe single pass dilakukan oleh satu wahana satelit dengan 2 antena pemancar dan penerima, sedangkan tipe repeat pass dilakukan oleh dua wahana satelit yang terbang tak berjauhan dimana masing-masing satelit membawa antenanya sendiri. Semakin baik resolusi spasial DEM dan semakin teliti DEM maka semakin baik pula DEM tersebut dapat merepresentasikan permukaan bumi asli. Penelitian tentang pengaruh ketelitian DEM dalam proses ortorektifikasi citra telah banyak dilakukan. Pembuatan citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah Bavaria dan Catalonia menggunakan DEM European Remote Sensing Satellite (ERS) 1/2 Tandem dengan ketelitian vertikal DEM yakni 5-10m menghasilkan citra yang terortorektifikasi dengan ketelitian horisontal 10-20m (Amato, dkk., 2004). Penggunaan DEM yang lebih teliti yakni DEM yang dihasilkan dari peta digital skala 1 : 5000 pada daerah Korea dapat meningkatkan ketelitian horisontal citra SPOT 5 yang terortorektifikasi hingga mencapai 5-7m -346- Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk) (Kang, dkk., 2008). Hasil yang sama juga didapatkan dari citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah Badia di Saudi Arabia (Al-Rousan, dkk., 1997). Citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah Badia di Saudi Arabia dibuat dengan menggunakan DEM yang dihasilkan dari citra SPOT 5 yang bertampalan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki ketelitian horisontal sebesar 8,8m (Al-Rousan, dkk., 1997). Pembuatan citra yang terortorektifikasi dengan menggunakan citra resolusi spasial tinggi dan DEM yang bervariasi juga telah banyak dilakukan. Citra yang terortorektifikasi pada daerah El Paso di United States America (USA) memiliki ketelitian horisontal sebesar 1,4m. Citra yang terortorektifikasi ini dibuat menggunakan Quickbird level Basic dan United Stated Geological Survey (USGS) Digital Terrain Elevation Data(DTED) versi dua dengan ketelitian vertikal 10m serta 6TKT hasil pengukuran Differensial Global Positioning System(DGPS) (Toutin dan Cheng, 2002). Pembuatan citra yang terortorektifikasi menggunakan DEM yang lebih teliti yakni hasil ekstraksi dari peta digital skala 1 : 2000 dan citra Quickbird dapat meningkat ketelitian horisontal citra yang terortorektifikasi menjadi 1,06m (Amato, dkk., 2004). Hasil yang lebih baik didapatkan apabila DEM yang digunakan adalah DEM yang dihasilkan dari akuisisi airborne LIDAR. Citra yang terortorektifikasi pada daerah Genewa dan Thun adalah salah satu contoh citra terortorektifikasi yang dibuat dengan menggunakan citra resolusi tinggi dan DEM hasil akuisisi airborne LiDAR. Citra resolusi tinggi yang digunakan adalah citra Quickbird level 1B. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki ketelitian horisontal yang mencapai 50-80cm. Mengacu pada National Map Accuracy Standards (NMAS), citra yang terortorektifikasi ini bisa digunakan untuk pembuatan peta skala 1 : 1200(Eisenbeiss, dkk., 2004). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, diketahuilah bahwa memang benar ketelitian DEM akan mempengaruhi hasil dari ortorektifikasi citra. Namun, penelitian-penelitian terdahulu belum ada yang mengkaji bagaimana pengaruh ketelitian DEM pada kondisi permukaan yang datar dan miring. Apakah DEM berpengaruh besar pada ketelitian citra terortorektifikasi pada daerah yang datar dan miring belum diketahui dengan pasti. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh dari ketelitian DEM terhadap hasil dari ortorektifikasi citra pada daerah datar dan miring. 2. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 6 buah data, yakni Citra Satelit Worldview-2 yang meliputi daerah Kota Surabaya, Citra Satelit Quickbird yang meliputi daerah Kota Tasikmalaya, DEM Terrasar-X, DEM ASTERGDEM, DEM SRTM 30m dan TKT. 2.1 Citra Satelit Quickbird Citra Quickbird yang digunakan memiliki resolusi spasial 0.6m level OR Standar 2A. Citra ini meliputi kawasan Kota Tasikmalaya dengan luas area ±228.57 km2. Citra ini diambil pada bulan April 2012. Sebanyak 2 scene citra Quickbird digunakan untuk mengcover seluruh area Tasikmalaya. Berdasarkan kenampakan topografinya, Kota Tasikmalaya memiliki permukaan yang relatif bervariasi. Pada bagian selatan, Kota Tasikmalaya relatif dipenuhi pepohonan dengan permukaan yang relatif miring. Sedangkan pada bagian utarara, relatif dipenuhi bangunan-bangunan dengan permukaan yang relatif datar. Kota Tasikmalaya diklasifikasikan sebagai daerah miring karena topografi permukaannya yang relatif bervariasi dengan elevasi yang berada pada rentang 163–987m di atas permukaan laut. Gambar 1 menunjukkan kenampakan Kota Tasikmalaya pada citra Quickbird kenampakan 3 Dimensinya. -347- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 1. Citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya beserta kenampakan 3 Dimensinya. 2.2 Citra Satelit Worldview-2 Citra Worldview-2 yang digunakan memiliki resolusi spasial 0.5m level ORStandar2A. Citra ini meliputi kawasan Kota Surabaya dengan luas area ±396.63km2. Citra ini diambil pada bulan Juni 2012. Sebanyak 3 scene citra Worldview-3 digunakan untuk mengcover seluruh area Kota Surabaya. Daerah Kota Surabaya lebih luas daripada daerah Kota Tasikmalaya. Namun dari segi kemiringan lereng, permukaan bumi pada daerah Kota Surabaya relatif lebih datar. Hal ini di tunjukkan dari kecilnya perbedaan tinggi yang ada di kota Surabaya. Kota Surabaya diklasifikasikan sebagai daerah datar karena topografi permukaan pada daerah ini relatif datar dengan rentang elevasi berada pada rentang 0 – 35m di atas permukaan laut. Gambar 2 menunjukkan kenampakan Kota Surabaya pada citra Worldview-2. Gambar 2. Citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya. 2.3 DEM Terrasar-X DEM Terrasar X dihasilkan dari Satelit Terrasar Tandem pada saluran X, sehingga objek di atas permukaan bumi masih disajikan pada DEM ini (yang disajikan adalah Digital Surface Model (DSM). Tipe akuisisi dari Satelit ini adalah tipe repeat pass dimana satelit yang lain dengan antena berbeda mengikuti satelit yang lebih awal melaju dengan selang waktu yang tidak berjauhan. DEM Terrasar-X ini memiliki resolusi spasial 9 m. DEM ini didapatkan dari Badan Informasi Geospasial (BIG). DEM ini memiliki ketelitian vertikal ±6m untuk sebagian besar daerah Indonesia. Gambar 3 menunjukkan kenampakan DEM Terrasar-X untuk daerah Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya. -348- Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk) Gambar 3. Kenampakan DEM Terrasar X 9m pada daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan). 2.4 DEM ASTERGDEM The Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Global Digital Elevation Model (GDEM) pertama kali dikenalkan ke umum pada Juli 2009 (Gesch, dkk., 2012; Tachikawa, dkk., 2011b; Tachikawa, dkk., 2011a). Evaluasi ketelitian vertikal dari ASTER GDEM dilakukan oleh Amerika Serikat dan Jepang (Tachikawa, dkk., 2011b). Hasil evaluasi secara global menunjukkan bahwa ASTER GDEM memiliki akurasi vertikal 20 m dengan rentang kepercayaan 95%. Disebabkan berbagai masalah yang dikandung oleh ASTER GDEM versi satu maka diputuskan untuk mengenalkan ASTER GDEM versi dua pada Oktober 2011 oleh NASA dan METI (Tarecha dan Crysdian, 2013; Tachikawa, dkk., 2011b). ASTER GDEM versi dua memiliki 260.000 scene yang lebih banyak dari pada ASTER GDEM versi satu (Tarecha dan Crysdian, 2013). Adapun karakteristik ASTER GDEM disajikan pada tabel I.1. Evaluasi ketelitian dilakukan untuk mengetahui ketelitian vertikal ASTER GDEM. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa ketelitian vertikal ASTER GDEM versi dua sebesar 17,01 m pada rentang kepercayaan 95% dengan resolusi spasial 30 m (Tachikawa, dkk., 2011b). ASTER GDEM dihasilkan dari ekstraksi tinggi secara otomatis 1,5 juta citra ASTER yang bertampalan (Tachikawa, dkk., 2011a; NASA, 2009a). Satelit ASTER pertama kali diluncurkan pada Juli 1999 (Oliveira dan Paradella, 2009) dan setiap scene citra ASTER melingkupi luasan sebesar 60 x 60 km (Abrams, dkk., 2002). Gambar 4 menyajikan proses pembentukan ASTER GDEM dari citra ASTER yang bertampalan (Toutin, 2002). Sensor ASTER melakukan akuisisi secara backward dan nadir seperti yang ditunjukkan pada gambar 4, hal ini mengakibatkan terbentuknya citra stereo secara seketika dalam satu jalur akuisisi (Abrams, dkk., 2002). Gambar 5 menunjukkan kenampakan DEM ASTERGDEM pada daerah Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya. Gambar 4. Metode akuisisi dan pembentukan DEM ASTERGDEM. -349- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 5. Kenampakan DEM ASTERGDEM pada daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan). 2.5 DEM SRTM 30m DEM SRTM dihasilkan dari kegiatan Shuttle Radar Topograpy Mission (SRTM). SRTM merupakan proyek internasional yang dipelopori oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) dan National Aeronautics dan Space Administration (NASA) (NASA, 2009b; Farr, dkk., 2007; Farr dan Kobrick, 2000). Data elevasi global diperoleh dari pengolahan data radar meliputi permukaan daratan bumi antara 60° lintang utara dan 56° lintang selatan dengan titik data diposting setiap 1 arc-second yakni sekitar 30 m (CGIARCSI, 2012; Farr dan Kobrick, 2000). Pelaksanaan proyek ini menggunakan dua antena radar. Sebuah antena pemancar sekaligus penerima gelombang yang terletak di badan pesawat dan antena penerima lain terletak di ujung tiang yang berjarak 60 m dari badan pesawat (USGS, 2008; Farr, dkk., 2007; Jarvis, dkk., 2004). Perbedaan fase antara dua sinyal yang diperoleh dari antena satu dengan antena penerima lainnya pada daerah penyiaman yang sama digunakan untuk perhitungan elevasi permukaan (USGS, 2008; Farr dan Kobrick, 2000). DEM ini memiliki ketelitian vertikal lebih baik dari 16m dan memiliki sistem referensi tinggi pada Earth Gravitational Model 1996 (EGM 96) (Reuter, dkk., 2007). Gambar 6 menunjukkan kenampakan DEM SRTM 30m pada daerah Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya. Gambar 6. Kenampakan DEM SRTM 30m daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan). 2.6 Titik Kontrol Tanah (TKT) Titik kontrol tanah yang digunakan dihasilkan dari pengukuran GPS Geodetic metode static dengan ketelitian fraksi mm. Lamanya waktu pengamatan antar titik adalah 30menit. Objek-objek yang dipilih sebagai TKT adalah objek-objek yang sesuai dengan kriteria yang diberikan oleh BIG. Adapun kriteria objek yang diterapkan diantaranya: 1. Obyek yang dijadikan ICP dapat diidentifikasi secara jelas dan akurat pada citra dan lapangan 2. Obyek berada pada permukaan tanah. 3. Obyek bukan merupakan bayangan. -350- Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk) 4. Obyek tidak memiliki pola yang sama. 5. Obyek merupakan permanen dan diam serta diyakini tidak akan mengalami perubahan atau pergeseran pada saat pengukuran GNSS. 6. Bentuk obyek jelas dan tegas. 7. Warna obyek kontras dengan warna disekitarnya. 8. Terdapat akses yang mudah menuju lokasi ICP. 9. Bukan berada di sudut atau pojok bangunan. Banyaknya titik kontrol tanah (GCP dan ICP) yang digunakan pada proses ortorektifikasi citra daerah Kota Surabaya adalah 19GCP dan 21ICP, sedangkan untuk daerah Kota Tasikmalaya sebanyak 16GCP dan 13ICP. Sebaran dari masing-masing GCP ditunjukkan pada gambar 7. Gambar 7. Sebaran GCP daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan) 2.7 Metode Ortorektifikasi Ortorektifikasi citra dilakukan dengan metode Rigorous model. Metode ini dipilih karena berdasarkan berbagai literatur dan berbagai penelitian yang pernah dilakukan, metode ini adalah yang paling teliti. Penggunaan metode ini tergantung pada tersedianya informasi mengenai sensor dan data ephemeris satelit. Apabila data mengenai sensor satelit dan data ephemeris satelit tersedia maka metode ini bisa dilakukan, jika tidak maka metode ini tidak bisa dilakukan. Data mengenai satelit dan data ephemeris satelit terdapat pada file dengan ekstensi *.ATT dan *.EPH. Oleh karena setiap satelit memiliki sensor dan data ephemeris satelit yang berbeda-beda maka model matematik fisik yang digunakan pun berbeda antara satu satelit dengan satelit lainnya (Aguilar, dkk., 2012). Model matematik ini tergolong sulit untuk terpenuhi karena tergantung pada informasi ephemeris sensor satelit yang diberikan oleh pembuat citra. Meskipun demikian, metode pendekatan menggunakan model Toutin dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini (Chmiel, dkk., 2004). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menghasilkan enam buah citra terortorektifikasi pada 2 lokasi penelitian yang berbeda yakni pada daerah Kota Tasikmalaya dan Kota Surabaya. Enam citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki ketelitian yang berbeda-beda. 3.1 Hasil untuk Daerah Datar (Kota Surabaya) Ortorektifikasi pada daerah ini menghasilkan 3 citra terortorektifikasi. Sejumlah ICP digunakan untuk menguji ketelitian dari citra ortorektifikasi yang dihasilkan. Hasil evaluasi menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dari hasil yang didapatkan. Tabel 1 menunjukkan ketelitian yang dihasilkan dari masing-masing citra terortorektifikasi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan kualitas DEM tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian citra tegak yang dihasilkan pada daerah datar untuk lokasi Kota Surabaya. Hal ini menadakan bahwa untuk proses ortorektifikasi citra daerah datar untuk daerah Kota Surabaya bisa menggunakan DEM yang tidak teliti. -351- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 1. Hasil evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi daerah datar (Kota Surabaya) Kondisi Surabaya/DEM TERRASAR X Surabaya/DEM ASTERGDEM Surabaya/DEM SRTM 30m RMSE 1.3401 1.3003 1.3939 Ketelitian 2.0335 1.9732 2.1153 3.2 Hasil untuk Daerah Miring (Kota Tasikmalaya) Sama seperti daerah datar, pada daerah miring juga dihasilkan 3 citra terortorektifikasi, yakni citra terortorektifikasi dengan mengunakan DEM TERRASAR X, DEM ASTERGDEM, DEM SRTM 30m. Hasil evaluasi ketelitian menggunakan 13 ICP yang tersebar merata di seluruh cakupan citra menunjukkan adanya perbedaan yang cukup besar antara citra terortorektifikasi dengan menggunakan DEM ASTERGDEM dan TERRASAR X terhadap DEM SRTM. Perbedaan ketelitian terjadi sebesar 20 cm lebih. Tabel 2 menunjukkan ketelitian yang dihasilkan dari masing-masing citra terortorektifikasi yang dihasilkan. Banyaknya pergeseran titik terletak pada sisi kanan dari citra, yakni posisi di area kaki gunung. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh kualitas DEM terhadap hasil ortorektifikasi citra pada daerah yang miring. Semakin baik kualitas DEM maka makin baik pula hasil yang diharapkan. Kondisi ini juga menandakan adanya kemungkinan akan semakin berpengaruhnya DEM apabila ortorektifikasi dilakukan pada area yang seluruhnya berupa pegunungan Tabel 2. Hasil evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi daerah miring (Kota Tasikmalaya) Kondisi Tasikmalaya/DEM TERRASAR X Tasikmalaya/DEM ASTERGDEM Tasikmalaya/DEM SRTM 30m 4. RMSE 1.3420 1.3506 1.4983 Ketelitian 2.0365 2.0496 2.2736 KESIMPULAN Kualitas DEM tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian citra terortorektifikasi untuk kasus daerah datar di Kota Surabaya. Kualitas DEM lebih berpengaruh terhadap daerah yang miring seperti pegunungan yang mana dalam penelitian ini ditunjukkan dari pergeseran yang terjadi pada area di kaki gunung di Kota Tasikmalaya. DAFTAR PUSTAKA Abrams, Michael, Hook, S., dan Ramachandran, B., (2002). ASTER user Handbook Version 2. Jet Propulsion Laboratory 4800. Aguilar, M.A., Saldana, M.D.M., dan Aguilar, F.J., (2012). Assessing Geometric Accuracy of the Orthorectification Process from GeoEye-1 and WorldView-2 Panchromatic Images. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 21:427–435. Al-Rousan, N., Cheng, P., Petrie, G., Toutin, T., dan Zoej, M.J.V., (1997). Automated DEM Extraction and Orthoimage Generation from SPOT Level 1B lmagery. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 63(8): 965-975. Amato, R., Dardanelli, G., Emmolo, D., Franco, V., Lo, B.M., Midulla, P., Orlando, P., dan Villa, B., (2004). Digital Orthophotos at A Scale Of 1:5000 From High Resolution Satellite Images. XXth ISPRS Congress Technical Commission IV, 35(B4):593-598. BIG (2013). Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar. Cibinong. CGIARCSI., (2012). SRTM 90m Digital Elevation Database v4.1, diakses 18 Juni 2016 dari http://www.cgiarcsi.org/data/srtm-90m-digital-elevation-database-v4-1 Chmiel, J., Kay, S., dan Spruyt, P., (2004). Orthorectification and Geometric Quality Assessment of Very High Spatial Resolution Satellite Imagery for Common Agricultural Policy Purposes. XXth ISPRS Congress Technical Commission IV, 35(B4):1019-1024. Eisenbeiss, H., Baltsavias, E., Pateraki, M., dan Zhang, L., (2004). Potential of IKONOS and Quickbird Imagery for Accurate 3D Point Positioning, Orthoimage And DSM Generation. XXth ISPRS Congress Technical Commission VII, 35(B7):1250-1256. Farr, T.G., dan Kobrick, M., (2000). Shuttle Radar Topography Mission produces a wealth of data. Union Eos, 81:583585. Farr, T.G., Rosen, P.A., Caro, E., Crippen, R., Duren, R., Hensley, S., dan Kobrick, M., (2007). The Shuttle Radar Topography Mission. American Geophysical Union, 45. -352- Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk) FGDC (1998). Geospatial Positioning Accuracy Standards. National Standard for Spatial Data Accuracy. Gesch, D., Oimoen, M., Zhang, Z., Meyer, D., dan Danielson, J., (2012). Validation Of The ASTER Global Digital Elevation Model Version 2 Over The Conterminous United States. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 39(B4):281-286. http://srtm.usgs.gov/data/interferometry.php Jarvis, A., Rubiano, J., Nelson, A., Farrow, A., dan Mulligan, M., (2004). Practical Use of SRTM Data in the Tropics – Comparisons with Digital Elevation Models Generated from Cartographic Data. Working Document, 198:1-35. Kang, J.M., Yoon, H.C., dan Park, J.K. (2008). Evaluation of Possibility of Ortho Imagery Production Using SPOT 5 Single Image. XXIst ISPRS Congress Technical Commission IV, 37(B4):1279-1282. NASA. (2009a). ASTER Imagery, diakses 18 Juni 2016 dari http://www.nasa.gov/topics/earth/features/20090629.html NASA. (2009b). Shuttle Radar topography Mission the mission to Map the World, diakses 18 Juni 2016 dari http://www2.jpl.nasa.gov/srtm/ Oliveira, C.G.D., dan Paradella, W.R., (2009). Evaluating the Quality of the Digital Elevation Models Produced from ASTER Stereoscopy for Topographic Mapping in the Brazilian Amazon Region. Annals of the Brazilian Academy of Sciences, 81(2):217-225. Reuter, H.I., Nelson, A., dan Jarvis, A., (2007). An Evaluation of Void Filling Interpolation Methods for SRTM Data International Journal of Geographic Information Science, 21(9):983-1000. Tachikawa, T., Hato, M., Kaku, M., dan Iwasaki, A., (2011a). Characteristics of ASTER GDEM Version 2. Geoscience and Remote Sensing Symposium (IGARSS), 3657-3660. Tachikawa, T., Kaku, M., Iwasaki, A., Gesch, D., Oimoen, M., Zhang, Z., Danielson, J., Krieger, T., Curtis, B., Haase, J., Abrams, M., Crippen, R., dan Carabajal, C., (2011b). ASTER Global Digital Elevation Model Version 2 – Summary of Validation Results. NASA Land Processes Distributed Active Archive Center and the Joint Japan-US ASTER Science Team. Tarecha, M.A., dan Crysdian, C., (2013). Visualisasi 3D Rupa Bumi berbasis Data GDEM ASTER 30 Meter. Seminar Nasional Matematika dan Aplikasinya. Toutin, T., (2002). Three-Dimensional Topographic Mapping With ASTER Stereo Data in Rugged Topography. Geoscience and Remote Sensing, 40(10):2241-2247. Toutin, T., dan Cheng, P., (2002). QuickBird – A Milestone for High Resolution Mapping. Earth Observation Magazine, 11(4):14-18. USGS. (2008). Interferometry and SRTM - An Overview, diakses 18 Juni 2016 dari *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Pengaruh Ketelitian Dem Terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi Pada Permukaan Datar Dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya) : Jali Octariady : Pertanyaan: Rizki (LAPAN): Adakah angka slope kemiringan minimum sampai kualitas DEM tidak berpengaruh terhadap ketelitian citra terortorektifikasi? Jawaban: Sampai dengan saat ini, dan sejauh kami meneliti, belum ada informasi mengenai berapa nilai batas slope minimum sehingga DEM tidak berpengaruh. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan fokus mengkaji berbagai macam kondisi slope pada suatu daerah yang di ortorektifikasi sehingga akan didapatkan informasi mengenai ambang batas dimana angka kemiringan slope dari DEM akan tidak berpengaruh. -353- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur Sentinel-1 Data Utilization for Multi-Temporal Analysis of Oil Spills in North-Sea of East Java Hamdi Eko Putranto1, Maryani Hartuti1, Rosita A.E. Putri2*), Siti Gora K.R. Putri2, dan Retno A. Pratiwi2 1 Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN 1 Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Perairan Indonesia yang begitu luas dan memiliki peran besar bagi dunia tidak terhindar dari berbagai permasalahan, salah satunya adalah fenomena tumpahan minyak. Fenomena tumpahan minyak dapat terjadi akibat adanya kebocoran pada kapal maupun kebocoran pipa minyak bawah laut. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan Indonesia yang merugikan berbagai sektor, utamanya sektor kelautan. Suatu metode khusus diperlukan untuk mendeteksi adanya tumpahan minyak sekaligus mengetahui luasan area yang tercemar, misalnya menggunakan metode penginderaan jauh. Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati kondisi tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur secara multitemporal dari 3 waktu yang berbeda yaitu 18 Juni 2015, 29 Agustus 2015, dan 22 September 2015 dengan memanfaatkan data sentinel-1A. Metode yang digunakan untuk mendeteksi tumpahan minyak dalam penelitian ini adalah metode dark spot detection dengan algoritma adaptive threshold. Hasil pengolahan data dan analisis menunjukkan bahwa terjadi perbedaan luasan tumpahan minyak dari ketiga data tersebut. Tumpahan minyak dengan luas tertinggi ditemukan pada data sentinel-1A tanggal 29 Agustus 2015. Diperkirakan telah terjadi peristiwa tumpahan minyak berlebih pada kurun waktu mendekati tanggal 29 Agustus 2015 yang mengakibatkan peningkatan luasan tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur. Kata Kunci: tumpahan minyak, perairan, Jawa Timur, Sentinel-1A ABSTRACT - Indonesian seas, which is wide and have a big influence to the world, are not free from various problems. One of the problem is the phenomenon of oil spills. The phenomenon of oil spills may occur as a result of any leakage on the ship or leakage of oil pipeline under the sea. These conditions could cause pollution on Indonesian seas and bring disadvantage to the various sectors, mainly maritime sector. A special method is required to detect any oil spills as well as know the widespread polluted area, for example using remote sensing method. The purpose of this research is to observe the condition of the oil spills in the North-sea of East Java through multi-temporal image data. The image data is Sentinel-1A acquired in 3 different acquisition time, those are on 18 June 2015, 29 August 2015, and 22 September 2015. The method to detect oil spills in this research is the dark spot detection method with the adaptive threshold algorithm. The result of the data processing and analysis shows the differences of the oil spills from the three imaging data. The widest spread of oil spills are found on the data Sentinel-1A that acquired on 29 August 2015. It is estimated that there have been a large oil spills event on the time frame of the approaching 29 August 2015 that resulted in the improvement of widespread oil spills in the North-sea of East Java. Keywords: oil spills, seas, East Java, Sentinel-1A 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan sebesar 3.257.483 km² atau sekitar dua pertiga luas wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia. Wilayah perairan yang begitu luas dan posisi geografisnya yang strategis menjadikan Indonesia sebagai jalur transportasi kapal-kapal penumpang dan barang serta jalur pipa dan kabel bawah laut. Peran perairan Indonesia yang begitu besar bagi dunia tidak terhindar dari berbagai permasalahan, salah satunya fenomena tumpahan minyak. Fenomena tumpahan minyak banyak terjadi akibat adanya kebocoran pada kapal maupun kebocoran pipa minyak bawah laut. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan Indonesia. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi nelayan karena kegiatan perekonomian di pesisir pantai seperti rumput laut dan jumlah tangkapan ikan menjadi berkurang, selain itu jika tumpahan minyak tidak segera ditangani dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem laut seperti alga, mangrove, dan terumbu karang. Untuk itu diperlukan suatu metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi -354- Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H E., dkk) adanya tumpahan minyak sekaligus mengetahui luasan area yang tercemar, misalnya menggunakan metode penginderaan jauh. Penginderaan jauh sebagai ilmu yang mampu menunjang kegiatan deteksi tumpahan minyak di atas laut merupakan solusi yang efektif dan efisien. Citra yang digunakan adalah citra Sentinel-1 yang diolah menggunakan perangkat lunak Sentinel-1 Toolbox. Citra Sentinel-1 memiliki karakteristik yang cocok untuk deteksi tumpahan minyak dilihat dari resolusi temporal selama 10 hari, kemampuan sensor dalam menangkap gelombang elektromagnetik, dll. Hasil akhir berupa peta lokasi sebaran tumpahan minyak beserta informasi mengenai koordinat dan luasan area yang tercemar. Peta ini dapat digunakan pihak terkait untuk melakukan penanggulangan terhadap fenomena tumpahan minyak. 2. METODE Lokasi Penelitian Lokasi kajian dalam analisis tumpahan minyak secara multitemporal ini adalah di perairan Tuban. Lokasi kajian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Lokasi Kajian Penelitian Data Data yang digunakan adalah data Sentinel-1A wilayah perairan utara Jawa Timur tanggal 18 Juni 2015, 29 Agustus 2015, dan 22 September 2015 dengan polarisasi VV. Liputan data Sentinel-1A yang digunakan terdapat pada Gambar 1. Metode Metode penelitian ini diilustrasikan dalam diagram alir pada Gambar 2. Metode yang diilustrasikan dalam diagram alir diterapkan pada ketiga data citra satelit Sentinel-1A. Cakupan area pengolahan pada koordinat 6.633˚ LS sampai 6.99˚ LS dan 112.004˚BT sampai 112.57˚BT. Tahap awal pengolahan data dilakukan dengan melakukan pemilihan data Sentinel-1A yang merekam perairan utara Jawa Timur dan pada tanggal yang bersesuaian dengan kejadian tumpahan minyak. Dari hasi seleksi, didapatkan data yang paling baik adalah data Sentinel-1A pada tanggal 18 Juni 2015 sebagai asumsi data pembanding sebelum kejadian, 29 Agustus 2015 sebagai data saat kejadian, dan 22 September 2015 sebagai data setelah kejadian. Selanjutnya dilakukan pengolahan data awal yang meliputi koreksi radiometrik dan geometrik dengan tujuan untuk mengurangi noise pada data citra satelit dan mendefinisikan system koordinat data citra satelit. Kalibrasi dan Speckle Filtering Kalibrasi dan speckel filtering merupakan proses awal yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam proses deteksi tumpahan minyak. Pada citra Sentinel-1, proses kalibrasi bertujuan untuk mengkonversi nilai digital number (DN) atau nilai piksel ke dalam bentuk backscatter atau nilai pancaran balik. Nilai DN pada citra SAR harus dikonversi untuk memudahkan pengolahannya. Speckle filtering dilakukan dengan tujuan menghilangkan tekstur yang menurunkan kualitas citra dan menyebabkan kesulitan dalam intepretasi citra. Speckle terjadi akibat gangguan konstruktif dan dekstruktif dari backscatter. Jenis speckle filtering yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mean filter. Metode ini menghilangkan speckle dengan cara merata-rata nilai DN dari speckle dengan nilai DN area di sekelilingnya dalam sebuah kernel hingga speckle menyatu. Metode ini mampu mereduksi speckle namun memiliki kekurangan dalam hal berkurangnya resolusi dan detil dari citra tersebut (Mansourpour M., et al, 2006). Bentuk kernel dari mean filter beragam, umumnya berbentuk persegi maupun bentuk lain. Persamaan dari mean filter dijabarkan dalam persamaan I.1. -355- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 ⋯ = ............................................................................................................................ (I.1) Dimana nilai R adalah rata-rata dari nilai DN speckle dengan area di sekelilingnya. Nilai n adalah jumlah dari piksel yang dihitung. Gambar 2. Diagram alir penelitian Land Masking Land Masking ditujukan untuk menyeleksi wilayah kajian pada data citra satelit secara spesifik sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan untuk mendeteksi tumpahan minyak. Pada tahap ini dilakukan masking untuk menentukan area mana yang akan dipertahankan (darat atau air) dan area mana yang akan dinyatakan nilai DN nya sebagai no data value sehingga nilai DN tidak diperhitungkan dalam proses pendeteksian tumpahan minyak. Pada penelitian ini dilakukan deteksi tumpahan minyak di wilayah perairan/laut sehingga dipilih proses Land-masking, dimana nilai DN dari wilayah darat akan diubah menjadi no data value. Proses masking sendiri dilakukan dengan melibatkan bantuan DEM SRTM dengan resolusi 5 menit untuk menentukan wilayah mana yang merupakan darat dan mana yang merupakan laut. Dark Spot Detection Dark spot detection merupakan tahapan untuk membantu mengetahui titik-titik yang diduga terjadi adanya tumpahan minyak. Algoritma yang digunakan untuk dark spot detection ini adalah adaptive thresholding. Algoritma ini dilakukan dengan menentukan rata-rata level backscatter, kemudian nilai k dB diatur hingga berada dibawah estimasi rata-rata lokal dari level backscatter. Nilai k ditentukan berdasarkan data angin. Piksel objek yang akan terdeteksi sebagai dark spot adalah piksel yang nilainya berada di bawah nilai threshold yang telah ditentukan. -356- Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H E., dkk) Clustering and Discrimination Tahap clustering digunakan untuk menunjukkan batasan antara spot-pot yang merupakan tumpahan minyak dengan objek lain yang serupa. Pada tahap ini diterapkan algoritma kombinasi model statistik bentuk tumpahan minyak yang berbeda dan dilihat juga kondisi angin pada saat perekaman. Proses ini melibatkan parameter luasan dengan menginputkan parameter minimum luasan klaster untuk menentukan apakah dark spot tersebut benar merupakan tumpahan minyak atau bukan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data tanggal 18 Juni 2015 Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, didapatkan data-data sebagai berikut : Gambar 3. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 18 Juni 2015 (skala ilustrasi) Informasi yang didapat dari hasil deteksi tumpahan minyak Gambar 3 dan Gambar 4 adalah terdapat tumpahan minyak seluas 5.267 km2 yang terdeteksi pada koordinat 639790 mT dan 9240081 mU. Gambar 1. menunjukkan hasil perhitungan luasan tumpahan minyak pada citra secara keseluruhan. -357- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Data tanggal 29 Agustus 2015 Gambar 2. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 29 Agustus 2015 Informasi yang didapat dari hasil deteksi tumpahan minyak Gambar 5 adalah terdapat tumpahan minyak seluas 7.057 km2 yang tersebar pada beberapa koordinat yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Koordinat tumpahan minyak tanggal 29 Agustus 2015 Titik ke1 2 3 4 5 6 Easting 639154 640467 641979 644845 654316 657739 Northing 9240273 9240990 9240870 9240711 9240353 9241348 Gambar 3. Hasil perhitungan luas tumpahan minyak tanggal 29 Agustus 2015 Data tanggal 22 September 2015 Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, didapatkan hasil analisis luasan tumpahan minyak tanggal 22 September 2015 pada Gambar 7. Luas sebaran tumpahan minyak yang ditemukan sebesar 6.102 km2. Tumpahan minyak tersebut berada menyebar pada koordinat yang terlampir di Tabel 2. -358- Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H E., dkk) Tabel 2. Koordinat tumpahan minyak tanggal 22 September 2015 Titik ke1 2 3 4 5 6 Easting 639035 642019 644805 653839 654595 657938 Northing 9240353 9241030 9240711 9240393 9241398 9241388 Gambar 4. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 22 September 2015 (skala ilustrasi) Hasil analisis menunjukkan, pada tanggal 22 September 2015 telah terjadi penurunan luas tumpahan minyak dari tanggal 29 Agustus 2015, yaitu sebesar 0.955 km2. Hal tersebut diakibatkan sebagian tumpahan minyak telah terbaur bersama air laut dan berpindah mengikuti arah arus. Analisis Overlay ketiga data Sentinel-1A Ketiga data kemudian ditumpang tindihkan untuk mengetahui dan membandingkan kondisi data pada masing-masing citra. Hasil tumpang tindih pada Gambar 6 menunjukkan bahwa terdapat sebaran tumpahan minyak yang baru muncul pada tanggal 29 Agustus 2015 disertai dengan peningkatan luasan tumpahan minyak. Pada tanggal 29 Agustus 2015 dan tanggal 22 September 2015 terdapat kesamaan pola sebaran tumpahan minyak namun dalam jumlah yang menurun sehingga diperkirakan bahwa sebaran tumpahan minyak telah terbawa arus laut pantai utara Jawa Timur. -359- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 5. Sebaran tumpahan minyak dari tiga waktu yang berbeda (skala ilustrasi) 4. KESIMPULAN Data Sentinel-1 dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis tumpahan minyak secara multi-temporal di perairan utara Jawa Timur. Metode yang digunakan untuk mendeteksi tumpahan minyak yakni melalui Dark Spot Detection dengan algoritma Adaptive Threshold. Pada penelitian ini didapatkan informasi bahwa terjadi fluktuasi luasan tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur pada 3 waktu yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah luasan tumpahan minyak dari data pada tanggal 18 Juni 2015 ke tanggal 29 Agustus 2015, dan penurunan luasan tumpahan minyak dari tanggal 29 Agustus 2015 ke tanggal 22 September 2015. Diperkirakan telah terjadi peristiwa tumpahan minyak berlebih pada kurun waktu mendekati tanggal 29 Agustus 2015 yang mengakibatkan peningkatan luasan tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur. Tumpahan minyak tersebut kemungkinan berasal dari kapal-kapal yang berlabuh dan berlayar dari Pelabuhan Brondong, Kabupaten Lamongan. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini merupakan bagian dari hasil kegiatan analisis sebaran tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur yang melibatkan pihak penelitia dari Bidang Sumberdaya dan Wilayah Pesisir dan Laut, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN dengan mahasiswa Program Studi Teknik Geodesi, Departemen Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 2016. Terima kasih kami ucapkan kepada Harintaka, DR., S.T., M.T., atas arahan dan bimbingannya. 6. DAFTAR PUSTAKA Brekke, C., (2007). Automatic screening of Synthetic Aperture Radar imagery for detection of oil pollution in the marine environment. Ph. D. dissertation, Faculty of Mathematics and Natural Science, Univ. Oslo. Frost, V.S., Stiles, J.A., Shanmugan, K.S., dan Holtzman, J.C., (1982). A model for radar images and its application to adaptive digital filtering of multiplicative noise. Pattern Analysis and Machine Intelligence, IEEE Transactions on, 2:157-166. Mansourpour, M., Rajabi, M.A., dan Blais, J.A.R., (2006). Effects and performance of speckle noise reduction filters on active radar and SAR images. In Proc. ISPRS, pp. 14-16. Snoeij, P., Attema, E., Davidson, M., Floury, N., Levrini, G., Rosich, B., dan Rommen, B., (2008). Sentinel-1, the GMES radar mission. In Radar Conference, RADAR'08. IEEE, pp. 1-5 -360- Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H E., dkk) Solberg, A.S., Brekke, C., Solberg, R., dan Husoy, P.O., (2004). Algorithms for oil spill detection in Radarsat and ENVISAT SAR images. In International Geoscience and Remote Sensing Symposium. Solberg, Anne H.S., Dokken, T.S., Solberg, dan Rune. (2012). Automatic detection of oil spills in Envisat, Radarsat, and ERS SAR Images, Oslo, Norwegian Computing Center. Solberg, A.H.S., Storvik, G., Solberg, R., dan Volden, E., (1999). Automatic detection of oil spills in ERS SAR images. Geoscience and Remote Sensing, IEEE Transactions on, 37(4):1916-1924. The Sentinel-1 Toolbox, diakses 19 Februari 2016 dari https://sentinel.esa.int/web/sentinel/toolboxes/sentinel-1, Van der Sanden, J.J., (1997). Radar remote sensing to support tropical forest management. Georgetown. TropenbosGuyana Programme. What is Sentinel-1?, diakses 10 Februari 2016 dari https://earth.esa.int/web/guest/missions/esa-operational-eomissions/sentinel-1 *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Pemanfaatan Data Sentinel-1 Untuk Analisis Tumpahan Minyak Secara Multi Temporal Di Perairan Utara Jawa Timur : Rosita Andari Eka Putri : Pertanyaan: Ety Parwati (LAPAN) 1. Mengapa memutuskan menggunakan data Sentinel-1 dengan polarisasi VV? Apa kelebihan VV dibanding VH untuk mendeteksi tumpahan minyak? 2. Apakah nilai threshold pada metoda dark spot detection berlaku sama atau berbeda pada ketiga data yang digunakan? Bisakan nilai tersebut digunakan pada tempat lain? Jawaban: Tidak ada jawaban dari penulis. -361- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan Annual Monitoring of Sea Surface Temperature Anomaly Using Extract Multi Value Point Method Ummu Kultsum1*) 1 *) Universitas Brawijaya E-mail: [email protected] ABSTRAK – Pemetaan suhu permukaan laut dalam jangka waktu satu tahun yang diolah lebih lanjut dapat menghasilkan sebuah data anomali suhu tahunan. Maka dari itu diperlukan suatu metode yang efektif dalam mengolah data suhu permukaan laut. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data variasi suhu dalam jangka waktu satu tahun dengan menggunakan citra satelit Aqua MODIS level 3 dengan studi kasus di perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur. Metode Exctract Multi Value Point sebagai salah satu metode dari analisis spasial merupakan metode yang efektif dalam pengolahan data citra sehingga didapatkan data variasi suhu yang kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi data anomali suhu tahunan. Kata kunci:Pemetaan suhu permukaan laut, Aqua MODIS 3, Exctract Multi Value Point ABSTRACT -The mapping of sea surface temperature within a period of one year which may further processed to produce an annual temperature anomaly data. Therefore we need a method that is effective in processing sea surface temperature data. In this research, data collection temperature variations within a period of one year using Aqua MODIS satellite imagery level 3 with a case study in the waters near Port Mayangan, Probolinggo, East Java. Methods Exctract Multi Value Point as one of the methods of spatial analysis is an effective method of processing image data so that the data obtained temperature variations which can then be further processed into annual temperature anomaly data. Keywords: Sea surface temperature mapping, Aqua MODIS level 3, Exctract Multi Value Point 1. PENDAHULUAN Suhu adalah faktor yang sangat penting di perairan. Suhu Permukaan Laut (SPL) merupakan salah satu parameter oseanografi yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi dilaut, karena suhu permukaan laut mencirikan massa air di lautan dan berhubungan dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya (Hutabarat dan Evans, 1986).SPL dapat digunakan dalam menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di lautan seperti fenomena arus, upwelling, front (pertemuan dua massa air yang berbeda), dan aktifitas biologi di laut (Robinson, 1985). Penelitian yang berkaitan dengan fenomena oseanografi baik skala global maupun mesoscale memerlukan pengamatan suhu permukaan laut (SST) dan ocean color imagery dari satelit. Keberadaan data citra satelit bagi pengamatan parameter dan/atau fenomena oseanografi dapat memberikan keuntungan dari aspek efisiensi waktu dan biaya serta akurasi yang cukup tinggi. Data penginderaan jauh menggunakan citra satelit Aqua-Modis dapat berguna menganalisis baik secara visual maupun raw-data parameter suhu permukaan. Sehingga memudahkan dalam mempelajari berbagai fenomena terkait lainnya yang berlangsung di lautan (Kasim, 2010). Wahana satelit yang memiliki sensor termal telah mengalami perkembangan yang pesat, ditandai dengan diluncurkannya satelit sensor Aqua MODIS dan sensor NPP menjadikan penginderaan laut baik siang maupun malam hari dapat dilakukan sehingga tersedia data SPL baik pada waktu siang maupun malam hari (Gaol dkk., 2014). Informasi SPL dalam bidang kelautan dan perikanan memiliki peran yang sangat penting. Data satelit Aqua-MODIS sangat baik untuk pemantauan perubahan SPL secara berkala (Hamuna dkk., 2015). Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persebaran suhu permukaan laut yang diperlukan dalampemantauan anomali suhu permukaan laut tahunan. Banyaknya data variasi suhu yang diperlukan untuk mengetahui adanya anomali suhu di suatu perairan, maka diperlukan metode yang efektif dalam memperoleh data variasi suhu tersebut. Metode Exctract Multi Value Point sebagai salah satu metode -362- Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.) dari analisis spasial merupakan metode yang efektif dalam pengolahan data citra sehingga didapatkan data variasi suhu yang kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi data anomali suhu tahunan. 2. METODE 2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di -7,4380110 BT - 7,6860960 BB serta 113,3333940 LU - 113,1380190 LS seperti pada Gambar 1. Data yang digunakan dalam penelitian ini data SST (Sea Surface Temperature) dari sensor satelit Aqua MODIS Level 3 11 µ daytime dengan resolusi 4 km mulai bulan Januari hingga Desember 2015 dengan Lokasi di perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur. Data MODIS tersebut diperoleh dari web: http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian 2.2 Pengolahan Data Titik yang berjumlah 16 pada Gambar 1 diatas merupakan cakupan lokasi penelitian sekaligus merupakan titik pengambilan sampel. Data SST yang telah diperoleh diolah terlebih dahulu didalam aplikasi SeaDAS. SeaDAS merupakan sebuah aplikasi yang digunakan untuk mengolah, menampilkan, menganalisis, dan mengontrol data warna laut dengan menganalisis gambar secara komprehensif. Data yang dihasilkan dari SeaDAS adalah data yang telah di cropping dan reproject dalam format TIFF. Pengolahan data yang telah di reproject selanjutnya di-clip dengan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan memasukkan koordinat lokasi. Langkah terakhir adalah melakukan analisis spasial dengan menggunakan metode Exctract Multi Value Point yang terdapat pada menu Arc Toolbox didalam aplikasi ArcGIS. Metode Exctract Multi Value Point merupakan metode ekstraksi suatu nilai sel yang telah ditentukan dalam kelas berbentuk fitur poin (titik-titik) dengan beberapa data raster kemudian hasil estraksi akan tercatat didalam tabel atribut pada kelas fitur poin. -363- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1 Persebaran Suhu Metode Exctract Multi Value Point yang telah dilakukan untuk ke-16 titik dengan data raster SST di tahun 2015 didapatkan hasil sebagai berikut: -364- Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.) Gambar 2. Peta Persebaran Suhu di periaran dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015 Bersadarkan gambar peta diatas, persebaran warna SPL pada bulan Mei mengalami perubahan dan konstan hingga bulan November. Akan tetapi memasuki bulan Desember, sebaran warna SPL mulai bervariasi kembali. Adapu grafik nilai variasi suhu dari ke-16 titik pada peta diatas terdapat dalam grafik berikut: -365- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 1Persebaran Suhu di perairan dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015 Titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jan 30,87 30,71 30,70 30,11 30,32 30,43 30,70 31,00 30,61 30,44 30,36 30,24 30,25 30,28 30,55 30,55 Feb 31,07 30,95 30,74 30,72 30,70 30,98 30,99 31,11 31,09 31,02 30,69 30,62 30,44 30,05 30,77 31,28 Mar 31,51 31,35 30,42 30,61 30,84 31,23 31,41 31,52 31,50 31,34 31,16 29,92 30,96 30,95 31,06 30,65 Apr 31,15 30,97 30,74 31,57 31,67 30,98 31,27 28,61 31,84 31,04 30,73 31,38 30,19 31,35 31,82 31,96 Mei 29,94 29,97 30,00 30,05 30,17 30,02 29,99 29,97 30,21 29,98 30,09 30,21 30,23 30,11 30,01 30,33 Jun Jul 29,70 29,74 29,88 30,14 30,29 29,87 29,74 29,74 29,81 29,69 29,66 30,04 29,82 29,72 29,55 29,53 28,35 28,26 28,34 28,39 28,36 28,52 28,33 28,45 28,69 28,43 28,49 28,56 28,28 28,38 28,29 28,58 Agu 28,51 28,53 28,52 28,52 28,51 28,45 28,45 28,45 28,44 28,32 28,21 28,35 28,17 28,15 28,23 28,39 Sep 28,82 28,84 28,83 28,94 29,03 28,87 28,83 28,82 28,82 28,59 28,55 28,98 28,71 28,37 28,43 28,81 Okt 29,49 29,53 29,41 29,37 29,34 29,13 29,10 29,27 29,35 29,05 29,04 28,89 28,95 28,90 29,06 29,43 Nov 31,18 31,12 31,05 31,12 30,49 30,26 30,41 30,69 30,61 30,12 30,15 30,04 30,01 29,76 29,97 30,43 Des 32,06 31,48 31,50 31,20 30,76 30,67 31,78 31,07 31,02 31,23 30,19 30,14 30,49 31,04 30,73 31,31 Berdasarkan tabel diatas, suhu pada bulan Mei-Oktober rata-rata mengalami penurunan, namun pada bulan November-Desember mengalami penaikan.Suhu terendah dalam tabel persebaran suhu diatas adalah sebesar 28,150C, sedangkan suhu tertinggi adalah 32,070C. Suhu yang terdapat di perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo tidak mengalami penurunan dan kenaikan yang begitu signifikan. Pada dasarnya keadaan sebaran mendatar suhu permukaan laut di perairan Indonesia memiliki variasi tahunan yang kecil, akan tetapi masih memperlihatkan adanya perubahan. Hal ini disebabkan oleh sinar matahari dan oleh massa air dari lintang tinggi. Posisi Indonesia yang terletak pada garis ekuator mengakibatkan aliran panas dari radiasi matahari dapat diterima sepanjang tahun sehingga suhu mempunyai fluktuasi yang kecil. Akan tetapi disisi lain dengan posisi tersebut mengakibatkan transport massa air banyak dipengaruhi oleh angin munson yang berganti dua kali dalam setahun. Kondisi ini berakibat pada pergantian musim dengan karakteristik tersendiri yang berbeda antara keduanya (Hutabarat dan Evans, 1986). 3.2 Anomali Suhu Data variasi suhu yang tercatat pada Tabel.1 dapat digunakan untuk mengetahui adanya anomali SPL diperiaran dekat Pelabuhan Mayangan dengan grafik sebagai berikut: Suhu (0C) Grafik Anomali Suhu Perairan Mayangan, Probolinggo Tahun 2015 34,00 Jan 32,00 Feb 30,00 Mar 28,00 Apr Mei 26,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Titik Sampel Jun Jul Gambar 2. Grafik Anomali Suhu di perairan dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015 -366- Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.) Grafik diatas memberikan sebuah visualisasi bahwa persebaran SPL di perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo cenderung konstan, hanya saja terdapat anomali suhu yang ditujunkan oleh titik sampel ke-8 pada bulan April, dimana SPL pada titik sampel ke-7 dengan besar suhu 31,270C dengan titik sampel ke-8 dengan besar suhu 28,610C mengalami penurunan sekitar 2,920C. 4. KESIMPULAN Persebaran nilai SPL di perairan dekat Pelabuhan Mayangan pada tahun 2015 mengalami fluktuasi setiap bulannya. Meskipun fluktuasi tersebut tidak begitu signifikan, akan tetapi perubahan nilai suhu yang terjadi di perairan tersebut menunjukkan adanya suatu anomali yang terjadi di bulan Mei-Oktober. Nilai sebaran SPL pada bulan Mei-Oktober rata-rata mengalami penurunan, namun pada bulan November-Desember mengalami penaikan dengan bobot nilai suhu yang hampir sama pada bulan Januari-April. Data variasi suhu yang didapatkan secara cepat dengan metode Exctract Multi Value Point sangat efektif diaplikasikan dalam pengolahan data dan pemantuan anomali SPL dengan jangka waktu lebih dari satu tahun. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tim Asisten Laboratorium Eksplorasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA Gaol, J.L., Arhatin, R.E., dan Ling, M.M., (2014). Pemetaan suhu permukaan laut dari satelit di perairan Indonesia untuk mendukung “One Map Policy”, dalam Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh, Bogor April 2014, hal 433-442. Hamuna, B., Paulangan, Y.P, dan Lisiard, D. (2015). Kajian Suhu Permukaan Laut Mengunakan Data Satelit AquaMODIS di PerairanJayapura, Papua. Depik, 4(3):160-167, doi: http://dx.doi.org/10.13170/depik.4.3.3055. Hutabarat, S. dan Evans, S.M. (1986). Pengantar Oseanografi. Cetakan ke-3. UI Press. Jakarta. ix + 159 h. Kasim, F., (2010). Analisis Distribusi Suhu Permukaan Menggunakan Data Citra Satelit Aqua-Modis dan Perangkat Lunak Seadas di Perairan Teluk Tomini. Jurnal Ilmiah Agropolitan, 3(1):270-276. Robinson, I.S., (1985). Satelite Oceanography On Introduction for Oceanographer and Remote Sensing Scientist. Ellis Harwood Ltd: New York. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan : Ummu Kultsum : Tidak ada diskusi. -367- Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016 Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR Study of Ocean Wave Fields from SAR Images A. Sulaiman1*) dan Agustan1 1 Geostech Laboratory-Pusat Teknologi Sumberdaya Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kawasan Puspiptek Serpong, Tanggerang Selatan. *) E-mail: [email protected] ABSTRAK- Salah satu cara yang memadai untuk mengobservasi gelombang laut adalah citra synthetic aperture radar (SAR). Makalah ini bertujuan untk mempelajari dinamika gelombang laut dengan menggunakan citra SAR polarimetri. Filter lowpass akan dikenakan pada citra untuk mereduksi noise dan diskontinuitas di suat citra dapat dihilangkan. Setelah itu spektrum gelombang dengan asumsi fungsi transfer linier diterapkan untuk mendapatkan spektrum gelombang dua dimensi dengan menghitung fast fourier transform (FFT). Spektrum frekuensi diperoleh melalui relasi dispersi gelombang air. Dengan melakukan bandpass filter maka penerapan invers FFT, dapat diperoleh amplitudo gelombang. Hasil menunjukkan bahwa di Teluk Jakarta gelombang permukaan didominasi oleh gelombang angin dan alun. Kata kunci: gelombang laut, radar, teluk jakarta. ABSTRACT–A sophisticated way for spatial observation of the sea state is the use of SAR image. Paper aims to studying the dynamics of ocean waves using SAR image with single polarization and double polarizations. The use of two polarizations in the form of polarization ratio intended to reduce radar scattering cross section dependency only hanging from the incident angle. After cropping the interest areas in the Jakarta Bay, the low pass filter was done so that the noise can be reduced and the discontinuity in wave images can be removed as well. Fast Fourier Transform (FFT) two dimensional was applied and uses the dispersion relation to get the wave spectrum. By implementing band-pass filter and IFFT the amplitude of ocean wave will be obtained. The result shows that swell and wind sea are dominant wave in Jakarta bay. Keywords: Jakarta Bay, ocean wave, synthetic aperture radar (SAR) 1. INTRODUCTION When the SAR wavelength and Ocean surface wave wavelength satisfy the Bragg scattering law then the ocean wave can be detected from SAR images (Alpers 2011). The advantage of SAR observation especially in tropical ragion is the images free of cloud cover. Due to the ocean wave has very dynamics properties so that the intensive observation is needed. Ocean wave pheomenon have temporal order from second (intra gravity waves) to month (long waves) and spatal variation from mm (capillary) scale to km (planetary) scale. In situ measurement by using wave gauge will very detail times series data but poor in spatial variability. The other hands, the spatial variation can be observed by using SAR images. The combination between insitu measurement and SAR measurement will give a good result in spatio-temporal observation. The Jakarta bay is very interseted area due to many activity occur in that bay. This is part of Java sea when the mosoon effect is dominant (Wyrtki 1961). The bay has average depth is about 25m with wind sea, swell and tidal currents are dominant. The tidal type is mixed tide prevailing diurnal. There are many river flow to Jakarta bay which makes river outflow plays a great role in transporting of suspended sediment and the existence of seawall will modify the behavior of incident wave in the shoreline. The other hands, domestic sewage, industrial effluent and urban runoff from big cities treathen the southernmost portion of this bay. The ocean wave observation is very important to manage this bay. The paper is organized as follow, the Data and Methods are presented in sec-2. The data analysis and discussion is described in sec-3. The paper will e ended y a conclusion. 2. DATA AND METHODS 2.1. Study Area The SAR data was provided by JAXA under ALOS Research Announcement Project number PI417002 entitled “Sea Surface Roughness Identification based on Synthetic Aperture Radar Data in Indonesian Waters”. One SAR data in ScanSAR mode that was observed on January, 26 2015 HH polarization was -368- Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR (Sulaiman, A., dkk) downloaded via ALOS-2 User Interface Gateway (AUIG) website. The SAR data were processed by using SNAP-SITBX software (Veci dkk 2014). The SAR images of Jakarta ay is depicted in Figure-1. The area of interest is represented in white box is depicted in Figure-2. 2.2. Data Processing SAR data were processed to obtained the SAR image that containes backscatter information. The Data processing chain for ScanSAR mode (wide-swath dual polarization, 1.5 level) are converting the ALOS-2 CEOS data format to EAM-DIMAP data format. The Refined Lee filter are applied to reduce speckle noise after radiometric calibration was done. Result is a normalized radar cross section (sigma naught σ 0) in term of deciel (dB) value The 2D Fast Fourier Tranform (FFT) is used to get wave number spectrum Ψ(kx,ky) that represent the wave energy. In two dimensional, the wave is not only has the energy but also the direction. This is represented in term of directional spectrum Ψ(f,θ). The directional wave spectrum consist directon and frequency. This spectrum described the complex phenomenon of wind-generated ocean waves in term of contribution from waves propagating in different directions with different wavelength. The frequency can be obtained by using dispersion relation of water waves. This relation is given by (Kuo dkk 1999), f , k x , k y where k= k x2 k y2 4k gk tanh kh gk tanh kh gkh sec h 2 kh (1) Relation between wavelength with frequency is given by a dispersion relation as follow (Apel 1988) 2 gh tanh( kh ) (2) The band pass filter is contructed based on the Eq. (2). Invers Fourier transform are applied to get the wave amplitude. 3. RESULT AND DISCUSSION The SAR image of Jakarta Bay is depicted in Figure-1. Many small islands located in the bay may give complex pattern of sea surface waves. The Tanjung Priok harbour is located in the southpart of the bay where the white dot represent ships and vessels. The big ship with the wake waves are observed in the center of the bay. The area of interest are noted in the white box. The lowpass filter of the area is depicted in Figure-2. The plot of backscatter intensity with pixel distance can be seen in Figure-3. This figure showed oscillation pattern with random background. We believe that the SAR cross section is correspond to the amplitude of ocean surface waves. The connectivity is represented by using the modulation transfer function. We assume that the transfer function is linear and an ideal condition. In this condition the use of SAR imagery for ocean surface wave measurement would be straightforward. The radar cross section were proportional to the ocean surface wave slope or wave hight. The computing of Fourier transform of SAR image would produce an estimation of ocean wave spectrum. This is depicted in Figure-4. The energy is concentrated in the center of the 250 m of wave length. This is typical of long wave (swell). By using dispersion relation we obtained the period rank between 30-300 second. The band pass filter with the band between 500m to 800m are applied to wave spectrum then by applying invers Fourier transform we have the wave amplitude. This is depicted in Figure-5. The result showed that the maximum amplitude is about 1.5m with the average wavelength 650m. This is typical of swell that ussualy come from the South China Sea and the Indian Ocean that flow trough the Sunda Strait. -369- Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016 Figure 1. Alos II images with polarization. The white box represents area of study. Figure 2. The lowpass filter by moving average methods of the interest area. The dot line is plot of pixel and pixel value which is represented in the next figure. 0.55 0.5 0.45 Intensity 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 pixel Figure 3. Variation of wave signal (backscatter value) of SAR in x direction of the image where the location is described in Fig-2.. -370- Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR (Sulaiman, A., dkk) Figure 4. 2D FFT from SAR images of interest area where the amplitude represented in Ψ(kx,ky)=log(1+abs(Ψ)). Figure 5. The ocean surface wave height obtained by applying invers Fourier transform of a bandpass filter ocean surface wave spectrum. 4. CONCLUSION The observation of ocean surface wave in the Jakarta Bay by using SAR image has been investigated. Assuming the modulation transfer function linear then the SAR spectrum is proportional to ocean wace spectrum. The dispersion relation of water wave is used as a basis of bandpass filter construction. The wave amplitude is obtained by applying invers Fourier transform of wave spectrum. The result show that the average of wave height is aout 1.5m with the wavelength 650m. This is typical of swell. 5. ACKNOWLEDGEMENT This reseach is part of JAXA -ALOS Research Announcement Project number PI417002 and funded by DIPA PTPSW in fiscal years 2016. REFERENCE Alpers, W., (2011). On the discriminaion of Radar signatures of atmospheric gravity waves and internal waves on synthetic aperture radar images of the sea surface, IEEE Transaction on Geoscience and Remote Sensing, 49(3):1114-1127. Apel, J.R, (1988), Principles of Ocean Physics, Academic Press, New York. Kuo, Y.Y., Leu, G., dan Kao, I.I., (1999). Directional spectrum analysis and statistics otained from ERS-1 SAR wave images, Ocean Engineering, 26:1125-1144. Veci, L., Lu, J., Prats-Iraola,P., Scheiber,R., Collard, F., Fomferra, N., and Engdajl, M., (2014). The sentinel-1 Toolox. Proceedings of the IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium (IGARSS), 1-3, IEEE. Wyrtki, K,. (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Water, Naga Report, Scripps Institute of Oceangraphy, University of California. -371- Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016 *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Nama Pemakalah Diskusi : Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR : Albert Sulaiman (BPPT) : Pertanyaan: Hidayat Gunawan (LAPAN) 1. Apakah dalam prosedur harusnya ada tahapan ekstraksi backscatter? Pertanyaan: Kustiyo (LAPAN) 2. Arah gelombang mempengaruhi citra radar, bagaimana efek tersebut pada Ocean Wave Fields? Pertanyaan: Ety Parwati (LAPAN) 3. Hal apa yang akan dilakukan ke depannya? Jawaban : 1. Data yang digunakan sudah langsung siap olah. 2. Kalau tidak ada direction-nya ya hilang. 3. Ke depan akan mem-propose KKP untuk menambah buoy. -372- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara Validation of Multiple Time Scale Satellite Rainfall Estimation Products over Varied Topography in North Kalimantan Province Abdurahman1*) dan Amsari Mudzakir Setiawan2 1 Program Studi Klimatologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta *) E-mail: [email protected] ABSTRAK – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)hanya memiliki empat Unit Pelaksana Teknis (UPT) di provinsi Kalimantan Utara yang melakukan kegiatan observasi curah hujan. Observasi hujan dilakukan di Stasiun Meteorologi (Stamet)Juata Tarakan, Tanjung Harapan (Tanjung Selor), Nunukan, dan Juvai Semaring (Longbawan) yang berlokasi di sekitar bandar udara dengan topografi yang bervariasi. Keterbatasannya penakar hujan tersebut menyebabkan data curah hujan pun terbatas sehingga diperlukan adanya alternatif data observasi sebagai informasi tambahan untuk keperluan analisa cuaca. Estimasi produk satelit dari data CPC MORPHing technique (CMORPH), Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMAP) dan Climate Hazards group Infrared Precipitation with Stations (CHIRPS) digunakan sebagai alternatif data observasi untuk analisis berbagai skala waktu, seperti harian, dasarian, bulanan, danmusiman (tiga bulanan). Validasi dengan hasil observasi harian dilakukan untuk mengukur ketepatan estimasi curah hujan, terutama saat intensitas curah hujan tinggi yang dapat meningkatkan potensi bencana. Validasi terhadap data curah hujan menunjukkan bahwa CMORPH, CHIRPS, maupun GSMaP secara umum memiliki hasil yang baik pada skala waktu harian bergantung lokasi stasiun yang menjadi objek penelitian. Estimasi curah hujan CHIRPS pada skala waktu harian, dasarian, maupun bulanan diwilayah Longbawan memiliki nilai yang kurang baik jika dibandingkan dengan produk citra satelit lainnya. Pada skala waktu dasarian, bulanan, ataupun tiga bulanan, CHIRPS memiliki hasil validasi terhadap data curah hujan lebih baik dibandingkan CMORPH dan GSMaP dalam estimasi curah hujan diwilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan. Dalam estimasi curah hujan harian pada saat kejadian cuaca ekstrim yaitu hujan dengan intensitas ≥ 50 mm/hari, CMORPH pada lokasi penelitian di Tarakan memiliki hasil validasi yang lebih baik dibandingkan produk citra satelit lainnya. Kata kunci:validasi, produk satelit,estimasi curah hujan, berbagai skala waktu, cuaca ekstrim ABSTRACT –Indonesia Agency for Meteorology,Climatology,and Geophysics (BMKG) in North Kalimantan Province had only four Operational Meteorological Office (Met Office) equipped with in situ observation. Rainfall observation conducted by Juata (Tarakan Met Office), Tanjung Harapan (Tanjung Selor Met Office), NunukanMet Office, and Juvai Semaring (Longbawan Met Office) located near the airport with varied topography. Limited rain gauged observation lead to lack of precipitation data for weather and climate analysis. Additional information from alternatives observation data source are needed. CPC MORPHing technique (CMORPH), Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMAP) and Climate Hazards Group Infrared Precipitation with Stations (CHIRPS) can be used as an alternative observation data for multiple time scale (e.g. daily, 10-days (dasarian), monthly, and seasonal (3-monthly) analysis. Daily in situ–based rainfall observation used to measure the accuracy of rainfall estimation, especially when high intensity rainfall occursand lead to increase the potential for disastrous events. Validation of rainfall data shows that CMORPH, CHIRPS, and GSMaP generally have good results on a daily time scale depends on the station location for the study area. Estimated rainfall CHIRPS on a daily time scale, dasarian, and monthly Longbawan region have a value less well when compared to other satellite imagery products. At the time scale dasarian, monthly, or quarterly, CHIRPS have the results of the validation of rainfall data better than CMORPH and GSMaP in rainfall estimation region Tarakan, Tanjung Selor, and Nunukan. In the estimation of daily rainfall during extreme weather events, which is intensity rainfall ≥ 50 mm/day, CMORPH research sites in Tarakan have better validation results than the other satellite imagery products. Keywords: validation, satellite products, rainfall estimate, multiple time scale, extreme weather 1. PENDAHULUAN Provinsi Kaltara secara resmi terbentuk sejak ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 16 November 2012 oleh Presiden Republik -373- Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara (Abdurahman, dkk.) Indonesia dengan luas wilayah Provinsi Kalimantan Utara sebesar 72.567,49 km². Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di wilayah Kalimantan Utara memiliki empat buah penakar hujan yang lokasinya berada di bandar udara Juata Tarakan, bandar udara Nunukan, bandar udara Yuvai Semaring Longbawan, dan bandar udara Tanjung Selor. Keterbatasannya data curah hujan yang ada, maka diperlukan adanya data alternatif, misalnya data produk citra satelit sebagai informasi tambahan untuk keperluan analisa cuaca ketika terjadi cuaca ekstrim diwilayah yang tidak terdapat penakar hujan. Adapun data maupun produk citra satelit yang dapat digunakan dalam estimasi presipitasi antara lain: CPC MORPHing technique (CMORPH) (Joyce dkk., 2004), Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMAP) (Okamoto dkk., 2005), dan Climate Hazards group Infrared Precipitation with Stations (CHIRPS) (Funk dkk., 2014).Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui data produk citra satelit manakah yang lebih baik digunakan untuk analisa cuaca dalam estimasi presipitasi di Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan skala waktu yang berbeda, misalnya data harian, dasarian, bulanan, atau 3 bulanan. 2. METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data curah hujan harian, dasarian, bulanan, dan 3 bulanan stasiun meteorologi di Provinsi Kalimantan Utara, data estimasi curah hujan harian CMORPH yang diunduh dari http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.CPC/.CMORPH /.daily/.mean/.morphed/, data estimasi curah hujan harian CHIRPS yang diunduh dari http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily-improved/.global/.0p05/ dan data estimasi curah hujan GSMaP yang diunduh dari ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/realtime/daily/00Z-23Z/periode tahun 2009-2015. Gambar 1. Peta Lokasi Penakar Hujan di Kalimantan Utara Gambar 1 merupakan peta lokasi penakar hujan di Unit Pelaksana Teknis BMKG Kalimantan Utara. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa wilayah Longbawan memiliki elevasi paling tinggi dibandingkan tiga lokasi penelitian lainnya. Produk Satelit CMORPH GSMaP_NRT CHIRPS v2.0 Tabel 1. Ringkasan tiga produk citra satelit Periode Waktu Cakupan Wilayah 2005-Juni 2016 2008-Juni 2016 1981-Juni 2016 60N~60S 60N~60S 50N~50S Resolusi Spasial 0,25º 0,25º 0,05º Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validasi produk citra satelit (CMORPH, GSMaP, dan CHIRPS) sesuai lokasi stasiun meteorologi di Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan skala waktu tertentu, misalnya data harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan dengan tahapan awal penentuan nilai estimasi curah hujan produk citra satelit sesuai lokasi stasiun.Penentuan nilai estimasicurah hujan pada penelitian ini -374- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 menggunakan metode rata-rata (mean). Menurut Pribadi (2012), adapun persamaan dari rata – rata (mean) adalah: = ∑ ..........................................................................................................................(1) dimana X adalah nilai rata-rata, n adalah banyaknya data, danXi adalah data ke i , i=1,2,3,..., n. Adapun teknik validasi yang digunakan yaitu dengan melakukan perhitungan nilai Mean Error, Root Mean Square Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE), Correlation Coefficient (CC), dan Relative Bias (BIAS). Tabel 2. Validasi Stastistik untuk data produk cita satelit estimasi curah hujan dan data pengamatan curah hujan Nama Persamaan Mean Error Root Mean Square Error ME = ∑ Correlation Coefficient Relative Bias ∑ RMSE = Mean Absolute Error ( MAE = ∑ ∑ r= ∑ − ( | ∑ − ( ∑ 0 )² 0 | )( )² 0 ) − ( ( BIAS = Nilai Terbaik ) ∑ ( ) )² 100% 1 0 Catatan. n : banyaknya data; : nilai estimasi curah hujan berdasarkan produk citra satelit (misalnya: CMORPH, GSMaP, atau CHIRPS), : nilai curah hujan berdasarkan pengamatan Pada Tabel 2 menjelaskan tentang persamaan teknik validasi secara statistik yang disertai dengan nilai terbaiknya.Koefisien korelasi Pearsondigunakan untuk menilai skala kesesuaian yang mencerminkan tingkat korelasi linear.Selain itu,terdapat empat indeks statistik yang digunakan untuk validasi dalam memeriksa error dan bias antara curah hujan satelit dan observasi.Root mean square error (RMSE) mengevaluasi besarnya rata-rata error dan mean error (ME) menentukan nilai rata-rata varians yang berkaitan dengan estimasi dan data observasi.Sementara itu, mean absolute error (MAE) menunjukkan berarti besarnya kesalahan. Sementara, RMSE juga menghitung besarnya kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada kesalahan besar karena dibandingkan dengan berarti kesalahan mutlak. Relative Bias (BIAS) memberikan informasi tentang besarnya perbedaan antara dua dataset (Khan,dkk. 2014). Nilai validasi berdasarkan perhitungan tersebut akan ditampilkan dalam tabel atau grafik. Perhitungan nilai koefisien korelasi antara produk citra satelit dan data observasi berdasarkan skala waktu tertentu akan ditampilkan dalam bentuk diagram taylor. Gambar 2. Contoh Diagram Taylor Pada Gambar 2 terlihat berbagai macam bentuk dan warna pada diagram taylor. Bentuk dan warna pada objek diagram taylor tersebut menunjukkan nilai koefisien korelasi, RMS difference, dan Standar Deviasi antara produk citra satelit dan data observasi pada lokasi tertentu. Bentuk kotak ( ) pada penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan produk citra satelit GSMaP, segitiga ( ) untuk produk citra satelit CHIRPS, dan bentuk lingkaran ( ) untuk produk citra satelit CMORPH. Pada Gambar diatas, terdapat empat macam warna untuk menjelaskan lokasi penelitian, yaitu warna biru untuk lokasi stasiun di Tarakan, -375- Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara (Abdurahman, dkk.) warna merah untuk lokasi stasiun di Tanjung Selor, warna hijau untuk lokasi stasiun di Nunukan, dan warna hitam untuk lokasi stasiun di Longbawan. Jika pada Gambar di atas terdapat bentuk segitiga dengan warna merah ( ) berarti menjelaskan koefisien korelasi antara produk citra satelit CHIRPS dan data observasi pada lokasi penelitian di Tanjung Selor. 3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1 Data curah hujan berdasarkan skala waktu Pada Gambar 3 terlihat pola sebaran data estimasi curah hujan harian produk citra satelit terhadap data observasi. Dari beberapa stasiun yang menjadi lokasi pengamatan, terlihat bahwa Unit Pelaksana Teknis yang berada di Tarakan memiliki pola sebaran data yang berbeda dengan lokasi pengamatan lainnya. Pada wilayah Tarakan, kategori hujan lebat berdasarkan data pengamatan lebih banyak terjadi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pola sebaran seperti itu disebabkan karena nilai estimasi curah hujan produk citra satelit (CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP) yang sangat rendah nilainya jika di bandingkan curah hujan berdasarkan pengamatan. Gambar 3. Perbandingan sebaran data curah hujan harian pada empat lokasi stasiun antara data produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP dengan data observasi Gambar 4(a), 4(b), 4(c), dan 4(d) merupakan grafik nilai rata-rata curah hujan dasarian produk citra satelit dan observasi pada empat lokasi stasiun. Pada wilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan, rata-rata estimasi curah hujan dasarian produk citra satelit CHIRPS memiliki nilai yang mendekati observasi jika dibandingkan dengan dua produk citra satelit lainnya. Tetapi, rata-rata estimasi curah hujan dasarian produk citra satelit CHIRPS pada wilayah Longbawan memiliki rata-rata estimasi curah hujan paling tinggi di atas nilai observasi dibandingkan GSMaP dan CMORPH. Pada produk citra satelit CMORPH dan GSMaP diwilayah Tarakan, secara umum nilai rata-rata curah hujan dasarian berada dibawah nilai observasi. Tetapi, kedua produk citra satelit tersebut menunjukkan pola yang hampir sama dengan pola curah hujan dasarian berdasarkan data pengamatan. -376- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 (a) (b) (c) (d) Gambar 4. Rata-rata curah hujan dasarian produk citra satelit dan data observasi pada empat lokasi stasiun (a) Tarakan, (b) Tanjung Selor, (c) Nunukan, dan (d) Longbawan (a) (b) (c) (d) Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan produk citra satelit dan data observasi pada empat lokasi stasiun (a) Tarakan, (b) Tanjung Selor, (c) Nunukan, dan (d) Longbawan Pada Gambar 5 terlihat bahwa pada skala waktu bulanan ,produk citra satelit estimasi curah hujan yang nilainya mendekati observasi curah hujan stasiun yaitu produk citra satelit CHIRPS, kecuali untuk wilayah longbawan memiliki nilai yang kurang baik jika dibandingkan dengan CMORPH dan GSMaP. 3.2 Validasi Produk Citra Satelit 3.2.1 Berdasarkan Skala Waktu -377- Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara (Abdurahman, dkk.) Validasi produk citra satelit berdasarkan skala waktu harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. (a) (b) (c) (d) Gambar6. Perbandingan validasi statistik berdasarkan skala waktu tertentu pada empat lokasi stasiun. (a) Mean Error, (b) Root Mean Square Error, (c) Mean Absolute Error, dan (d) Relative Bias. Gambar 6(a) menunjukkan nilai Mean Error (ME) produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP pada empat lokasi stasiun berdasarkan skala waktu tertentu. Secara umum, nilai ME produk citra satelit pada semua lokasi stasiun dalam skala waktu harian memiliki nilai yang kecil. CHIRPS diwilayah Tarakan memiliki nilai ME paling baik yaitu sebesar -0,06136. Akan tetapi, nilai ME untuk produk citra satelit CMORPH dan GSMaP di wilayah Tarakan memiliki nilai paling besar jika dibandingkan dengan lokasi stasiun lainnya masing-masing yaitu sebesar -2,90551 dan -3,22175. Pada skala waktu dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan, CHIRPS diwilayah Tarakan memiliki nilai ME paling kecil jika dibandingkan produk citra satelit lainnya.Akan tetapi, nilai ME untuk produk citra satelit CMORPH dan GSMaP diwilayah Tarakan memiliki nilai paling besar pada skala dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan. Gambar 6(b) menunjukkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP. Secara umum, nilai RMSE pada skala waktu harian berkisar antara 12 sampai dengan 20 pada semua lokasi stasiun, kecuali pada lokasi pengamatan di Longbawan. CHIRPS pada wilayah Longbawan juga memiliki nilai RMSE paling besar pada skala waktu bulanan dan 3 bulanan. Sedangkan GSMaP dan CMORPH memiliki nilai RMSE paling besar di wilayah Tarakan pada skala dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan. Gambar 6(c) menunjukkan nilai Mean Absolute Error (MAE) produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP. Nilai MAE pada wilayah maupun skala waktu yang ada, memiliki pola yang hampir sama dengan RMSE. Hal itu terlihat pada produk citra satelit CHIRPS pada wilayah Longbawan yang memiliki nilai MAE paling besar pada skala waktu harian, bulanan, maupun 3 bulanan. Pada produk citra satelit -378- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 GSMaP dan CMORPH, nilai MAE paling besar berada pada lokasi pengamatan di wilayah Tarakan pada skala waktu dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan. Gambar 6(d) menunjukkan nilai Relative Bias produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP. Pada wilayah Tarakan, produk citra satelit CHIRPS memiliki nilai Relative Biaspaling kecil pada seluruh skala waktu berdasarkan penelitian ini. Akan tetapi, pada lokasi pengamatan di wilayah Longbawan memiliki nilai yang paling besar pada skala waktu harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa produk citra satelit GSMaP dan CMORPH di wilayah Tarakan dan Nunukan memiliki nilai Relative Bias sedikit lebih rendah dari CHIRPS diwilayah Longbawan pada seluruh skala waktu. (a) (b) (c) (d) Gambar7. Diagram Taylor berdasarkan skala waktu tertentu di empat lokasi stasiun. (a) Harian,(b) Dasarian, (c) Bulanan, dan (d) 3 Bulanan Pada Gambar 7, terlihat nilai korelasi antara produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP pada beberapa lokasi pengamatan berdasarkan skala waktu tertentu. Gambar 7(a) menunjukkan nilai koefisien korelasi tertinggi pada produk citra satelit CMORPH di wilayah Tarakan sebesar 0,51945 dan nilai koefisien korelasi terendah di wilayah Tanjung Selor sebesar 0,10732. Gambar 7(b) menunjukkan skala waktu dasarian yang menunjukkan korelasi tertinggi pada produk citra satelit CHIRPS di wilayah Tanjung Selor sebesar 0,6365 dan nilai koefisien korelasi terendah pada produk citra satelit GSMaP di wilayah Longbawan sebesar 0,3418. Koefisien korelasi produk citra satelit pada skala waktu bulanan terlihat pada Gambar 7(c). Pada Gambar tersebut terlihat bahwa nilai koefisien korelasi tertinggi terdapat pada produk citra satelit CMORPH di wilayah Nunukan sebesar 0,6053 dan nilai koefisien korelasi terendah terdapat pada produk citra satelit GSMaP di wilayah Longbawan sebesar 0,1624.Gambar 7(d) menunjukkan nilai koefisien korelasi pada skala waktu tiga bulanan. Nilai koefisien korelasi produk citra satelit tertinggi dan terendah yaitu pada produk citra satelit CMORPH dengan nilai koefisien korelasinya masing-masing yaitu sebesar 0,61309 pada wilayah Nunukan dan 0,0098 pada wilayah Longbawan. 3.2.1 Berdasarkan Kategori Ekstrim Berdasarkan peraturan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Nomor: Kep.009 Tahun 2009 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim, hujan lebat yang memiliki intensitas paling rendah 50 mm/hari dan/atau 20 mm/jam termasuk dalam kategori cuaca ekstrim. Nilai validasi statistik pada beberapa lokasi dan produk citra satelit tertentu dapat dilihat pada Tabel 2. -379- Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara (Abdurahman, dkk.) Tabel 2. Validasi stastistik data produk citra satelit dan data Observasi pada kejadian cuaca ekstrim (hujan lebat ≥ 50 mm) periode tahun 2009-2015 Validasi Lokasi Tarakan Tanjung Selor Nunukan Longbawan CHIRPS -47,48 -54,57 -51,46 -48,51 Root Mean Square Error (RMSE) Tarakan Tanjung Selor Nunukan Longbawan 53,79 60,17 58,22 53,19 50,58 63,75 54,44 54,07 58,10 62,90 60,05 54,86 Mean Absolute Error (MAE) Tarakan Tanjung Selor Nunukan Longbawan 47,90 54,57 51,46 48,51 44,48 58,93 45,61 50,19 52,00 58,23 52,84 49,86 Correlation Coefficient (CC) Tarakan Tanjung Selor Nunukan Longbawan 0,10 -0,11 -0,12 0,15 0,24 -0,05 -0,05 0,13 0,02 -0,15 -0,07 0,02 Relative Bias (BIAS) Tarakan Tanjung Selor Nunukan Longbawan -0,66 -0,78 -0,75 -0,71 -0,58 -0,84 -0,61 -0,73 -0,70 -0,83 -0,77 -0,72 Mean Error (ME) CMORPH -41,61 -58,45 -41,61 -50,19 GSMaP -49,72 -57,58 -52,48 -49,43 Pada Tabel 2 terlihat nilai validasi statistikestimasi curah hujan produk citra satelit dan observasi pada kejadian cuaca ektrim di lokasi stasiun. Pada wilayah Tarakan, produk citra satelit CMORPH memiliki nilai korelasi paling besar dan nilai ME, RMSE, MAE, dan BIAS paling kecil jika dibandingkan dengan produk citra satelit lainnya. Kondisi yang hampir sama terjadi pada wilayah Nunukan, perhitungan nilai ME, RMSE, MAE, dan BIAS paling kecil jika dibandingkan dengan produk citra satelit CHIRPS dan GSMaP. Akan tetapi, koefisien korelasi CMORPH pada wilayah Nunukan lebih rendah dari koefisien korelasi CHIRPS. Pada wilayah Tanjung Selor, perhitungan nilai validasi statistik berdasarkan kejadian hujan lebat memiliki nilai terbaik pada produk citra satelit CHIRPS. Walaupun estimasi curah hujan produk citra satelit GSMaP memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi dari produk citra satelit lainnya, perhitungan nilai ME, RMSE, MAE, dan BIAS pada produk citra satelit ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan CHIRPS. Di wilayah Longbawan, validasi menggunakan data produk citra satelit GSMaP memiliki hasil yang kurang baik jika dibandingkan dengan CHIRPS maupun CMORPH. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum produk citra satelit CMORPH, CHIRPS, maupun GSMaP memiliki hasil yang baik pada skala waktu harian. Tetapi, estimasi curah hujan harian, dasarian, maupun bulanan CHIRPS diwilayah Longbawan memiliki nilai yang kurang baik jika dibandingkan dengan produk citra satelit lainnya. Pada skala waktu dasarian, bulanan, ataupun tiga bulanan, CHIRPS memiliki nilai lebih baik dibandingkan CMORPH dan GSMaP dalam estimasi curah hujan diwilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan. Dalam estimasi curah hujan harian pada saat kejadian hujan ≥ 50 mm/hari, produk citra satelit CMORPH pada lokasi penelitian Tarakan lebih baik dibandingkan produk citra satelit lainnya. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pegawai Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Provinsi Kalimantan Utara yang terlibat dalam ketersediaannya data pengamatan curah hujan yang terdapat pada penelitian ini. -380- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 DAFTAR PUSTAKA Funk,C., Peterson,P., Landsfeld,M., Pedreros,D., Verdin,J., Rowland,J., Romero,B., Husak,G., Michaelsen,J., dan Verdin,A., (2014). A quasi-global precipitation time series for drought monitoring. U.S. Geological Survey Data Series,http://dx.doi.org/10.3133/ds832 Joyce, R.J., Janowiak, J.E., Arkin, P.A., dan Xie,P., (2004). CMORPH: A Method that Produces Global Precipitation Estimates from Passive Microwave and Infrared Data at High Spatial and Temporal Resolution. Journal of Hydrometeorology, 5:487-503. Khan, S.I., Hong,Y., Gourley.J.J., Khattak, M.U.K., Yong, B., dan Vergara,H.J., (2014). Evaluation of three highresolution satellite precipitation estimates: Potential for monsoon monitoring over Pakistan. Advances in Space Research, 54:670–684. Pribadi, Y.H., (2012). Variabilitas Curah Hujan dan Pergeseran Musim Di Wilayah Banten Sehubungan Dengan Variasi Suhu Muka Laut Perairan Indonesia, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Tesis, Program Magister Ilmu Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok. Okamoto,K., Iguchi,T., Takahashi,N., Iwanami,K., dan Ushio,T. (2005).The Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) project. Proc. of IGARSS 2005, 3414-3416. http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.CPC/.CMORPH /.daily/.mean/.morphed/ http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily-improved/.global/.0p05/ ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/realtime/daily/00Z-23Z/ *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah : : Pemakalah Diskusi : : Kuncoro Teguh Setiawan Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara Abdur Rahman (Bappeda Kab. Sleman) Pertanyaan: Amsari Mudzakir Setiawan (IPB) Data QMORPH diambil dari apa ?Apakah hasil yang sama untuk setiap skala waktu baik yang ekstrim maupun yang biasa ? Jawaban: Data QMORPH diambil dari sumber JAXA Jepang. Ya hasilnya sama untuk setiap skala waktu baik yang ekstrim maupun yang biasa. Pertanyaan: Kuncoro Teguh Setiawan (LAPAN) Apakah pengambilan data-data dari waktu yang sama? Bagaimana pengaruh resolusi satelit? Jawaban: Ya dari waktu yang sama yaitu tahun 2009.Resolusi GSMAP 0.25, QMORPH 0.25 dan CHIPS 0.5. Pada penelitian ini menggunakan metode rata-rata untuk mengatasi perbedaan resolusi satelit. -381- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015) MCS Detection Using Lightning Recording and Satellite Imagery (Case Study: MCS in Bali RegionDate 9th-10th March 2015) I Putu Dedy Pratama1*) dan Pande Komang Gede Arta Negara2 1 2 Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar - BMKG Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *) E-mail: [email protected] ABSTRAK –Salah satu indikasi dari adanya MCS (Mesoscale Convective System) adalah kemunculan sambaran petir CG+ (Cloud to Ground Positive) dalam jumlah yang sangat banyak pada daerah stratiform. Pada tanggal 9-10 Maret 2015 Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar mencatat rekaman CG+ 99.387 sambaran dan rekaman CG- sebanyak 70.034 sambaran. Jumlah sambaran CG- umumnya lebih banyak daripada sambaran CG+ karena pada awan cumulonimbus umumnya muatan positif lebih banyak berada pada atas awan dan muatan negatif berkumpul pada bagian dasar awan. Hal ini merupakan indikasi adanya MCS pada wilayah Bali dan sekitarnya pada tanggal tersebut dan area Bali berada pada daerah stratiform dari MCS. Tujuan dari penulisan ini adalah membandingkan antara data rekaman CG+ dengan gambar citra satelit NOAA (18 dan 19) dan MTSAT sebagai validasi kejadian MCS di sekitar daerah Bali. Dari gambar citra satelit terlihat adanya kumpulan awan di wilayah Bali. Kejadian MCS ini berkaitan dengan pola tekanan rendah di Laut Coral yang menimbulkan Siklon Tropis Nathan yang terbentuk pada 10 Maret 2015. Kata kunci:MCS, Lightning Detector, CG+, stratiform, citra satelit ABSTRACT -One indication of the MCS (Mesoscale Convective System) is the lightning occurrence of +CG (positive cloud to ground) in the stratiform region. On 9th-10th March 2015Lightning Detector installed in Geophysical Station Sanglah Denpasar recorded 99.387 strikes of CG+ and 70.034 strikes of CG-. Number CG- lightning strikes are generally more than CG+ because the cumulonimbus clouds generally have more positive charges gather in the top of the clouds and negative chargse gatherin the base of the clouds.This is an indication of MCS in Bali and surrounding area on that date and Bali region is in the stratiform region of MCS.The purpose of this paper is to compare between the data recording CG+ with images of NOAA satellite imagery (18 and 19) and MTSAT as a validation of MCS event around Bali region. From satellite imagery data, we can see the a number of clouds over Bali region. MCS incident is related to the pattern of low pressure in the Coral Sea which raises Tropical Cyclone Nathan formed on 10thMarch 2015. Keywords: MCS, Lightning Detector, CG+, stratiform, satellite imagery 1. PENDAHULUAN Mesoscale Convective Systems(MCS)merupakan suatu sistem awan guruh terbesar yang memiliki daerah konvektif dan stratiform dalam satu awan yang kompleks(Hodapp, 2007).MCS mampu menyebar mencapai lebih dari 100 km secara horizontal dan mempunyai masa hidup mencapai sekitar 10 jam (Houze, 2004). MacGorman dan Morgenstern (1998) mendefinisikan MCS sebagai sistem badai yang berumur panjang yang merupakan gabungan dari badai-badai kecil yang saling berinteraksi dengan lingkungan lokal. MCS juga berperan dalam beberapa kejadian curah hujan tinggi dan sebagian besar cuaca buruk (Maddox, 1980). Selain menimbulkan dampak cuaca buruk, MCS juga membangkitkan sambaran petir yang sangat tinggi. Sifat petir dari MCS telah menjadi pusat perhatian banyak penelitian dimana sebagian besar memfokuskan penelitian pada petir jenis awan ke tanah (cloud-to-ground (CG))yang dikaitkan dengan citra radar atau satelit (Mattos dan Machado, 2011; Correoso dkk., 2006). Salah satu indikasi dari kemunculan MCS adalah kejadian petir CG+ pada daerah stratiform. Rutledge dan MacGorman (1988), telah mencatat pola horizontal yang berbeda dari petir CG dalam garis badai dimana sebagian besar sambaran CG- terjadi dalam daerah konvektif (bipole) dansambaran petir CG+ sebagian besar terjadi pada daerah stratiform. Sebagian besar dari penelitian menyatakan bahwa MCS menghasilkan persentase sambaran CG+ yang lebih tinggi (MacGorman dan Morgenstern, 1998; Parker dkk., 2001). -382- Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015) (Pratama, I P. D., dkk) Bali termasuk dalam Kepulauan Indonesia yang merupakan wilayah benua maritim karena sebagian besar terdiri atas lautan. Wilayah benua maritim ini mencakup Indonesia, Filipina, dan Papua Nugini. Terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, benua maritim berada di wilayah lautan hangat yang dikenal sebagai Kolam Hangat Tropis. Wilayah benua maritim merupakan wilayah yang paling sering terjadi MCS dibandingkan dengan daerah Samudera Hindia, Pasifik Barat, dan Zona Konvergen Pasifik Selatan (Virts dan Houze, 2015). Pada tanggal 9-10 Maret 2015 Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar mencatat rekaman CG+ 99.387 sambaran dan rekaman CG- sebanyak 70.034 sambaran. Tingginya sambaran petir baik CG+ dan CG- pada dua hari tersebut merupakan kejadian sambaran tertinggi pada bulan Maret 2015. Terjadi anomali dimana CG+ lebih banyak daripada CG- pada dua hari tersebut mengindikasikan kejadian MCS di sekitar daerah Bali. Selain itu adanya Siklon Tropis Nathan di Laut Coral yang terbentuk pada 10 Maret 2015 mengindikasikan tingginya pertumbuhan awan di daerah Bali. Kajian terhadap kejadian petir CG+ terkait keberadaan MCS merupakan topik kajian yang menarik dan relatif baru untuk studi di Indonesia (Kurniawan dan Pratama, 2014). Hal ini karena pada umumnya pengetahuan mengenai MCS serta mekanisme dan penyebab petir CG+ masih sangat kurang dan masih relatif baru di Indonesia. Fenomena petir CG+ terkait keberadaan MCS merupakan suatu sistem yang sangat kompleks sehingga sulit untuk dianalisis. Berangkat dari pemikiran tersebut maka pemanfaatan Lightning Detector dan citra satelit cuaca dalam menganalisis kejadian petir diharapkan dapat membantu dalam menganalisis kejadian sambaran petir di Bali. Untuk memastikan apakah kejadian anomali jumlah CG+ yang lebih banyak daripada CG- pada dua hari tersebut perlu dibuat perbandingan secara spasial dan temporal. Untuk itu perlu data pembanding yaitu citra satelit untuk memplot lokasi dan waktu sambaran kejadian petir CG+ maksimum yang di-overlay dengan data citra satelit. 2. METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sambaran petir jenis CG pada tanggal 9 dan 10 Maret 2015 yang terekam pada sensor Boltek Storm Tracker yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar. Koordinat sensor berada pada 8,68o LS dan 115,21o BT. Sebagai data pendukung digunakan data citra satelit perjam dari Multifunctional Transport Satellites (MTSAT) yang diperoleh dari halaman web BMKG. Selain itu juga digunakan data citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) 18 dan 19 yang diterima oleh Ground Satellite Receiver (GSR) NOAA yang juga terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar. Pengolahan data petir menggunakan perangkat lunak Lightning/2000. Tahapan pengolahannya adalah dengan mengubah rekaman alat dari format .ldc menjadi .kml kemudan dikonversi menjadi format .csv dengan Microsoft Excel 2007. Data format .csv ini kemudian dipetakan dengan Surfer 12 selanjutnya diperoleh sebaran petir untuk wilayah Bali. Data format .csv ini dibuat grafik secara temporal perjam untuk kejadian sambaran tanggal 9 dan 10 Maret 2015 untuk mengetahui waktu puncak kejadian sambaran CG+ dan CG-. Kemudian dilakukan pemisahan antara CG+ dan CG- untuk memetakan sambaran CG+ sehingga diketahui lokasi sambaran CG+ terhadap sebaran awan yang diperoleh dari citra satelit MTSAT dan NOAA. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil rekaman sambaran petir pada bulan Maret 2015 menunjukan suatu anomali pada dua tanggal yaitu 9 dan 10 Maret 2015. Dalam dua hari berurutan tersebut jumlah sambaran CG sangat jauh dibandingkan dengan tanggal yang lain di bulan yang sama. Selain itu, nilai rasio perbandingan antara sambaran dan kilatan petir menunjukan rasio yang sangat signifikan pada dua hari tersebut (Gambar 1). Satu kilatan petir dapat menimbulkan beberapa sambaran. Perbedaan yang paling signifikan ditunjukan dengan tingginya jumlah sambaran CG+ dibandingkan dengan kilatannya. Petir CG+ yang terjadi pada stratiform mengakibatkan sambaran petir berbentuk seperti jaring laba-laba (Liu dkk., 2011). Hal ini ditunjukan dari rasio antara sambaran kilatan CG+ dan sambaran CG+ dimana dengan jumlah kilatan yang sedikit dapat menimbulkan sambaran yang banyak. -383- Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015) (Pratama, I P. D. dan Negara, P. K. G.A.) Gambar 1. Grafik Rasio Jumlah Sambaran Terhadap Kilatan Petir CG Bulan Maret 2015 Pada tanggal 9 Maret 2015, puncak sambaran CG+ terjadi pada pukul 02:59:22 WITA dengan catatan sambaran mencapai 106 kali sambaran. Pada tanggal 10 Maret 2015 puncak sambaran CG+ terjadi pada pukul 01:48:00 WITA yang mencapai 107 kali sambaran. Puncak kejadian sambaran CG+ diawali dengan peningkatan sambaran CG- kemudian saat sambaran CG- telah melewati fase puncak CG+ semakin meningkat hingga melewati jumlah sambaran CG-. Adanya fase disipasi yang didominasi oleh pergerakan massa udara turun dari awan cumulonimbus meningkatkan jumlah sambaran CG+. Hal ini karena muatan positif pada awan cumulonimbus umumnya berkumpul pada puncak awan. Gambar 2. Grafik Perbandingan Jumlah Sambaran CG+ dan CG- Tanggal 9 Maret 2015 (Kiri) dan 10 Maret 2015 (Kanan) Hasil penelitian ini sesuai dengan Correoso, dkk. (2006) yang menyatakan bahwa sambaran petir CG+ umumnya mencapai maksimum setelah puncak CG-. Gambar 1 menunjukan bahwa sambaran CG positif lebih tinggi setelah CG- mencapai puncaknya dan selanjutnya berkurang. Kedua kejadian petir terjadi pada dini hari. Hal ini disebabkan oleh proses pembentukan MCS pada wilayah perairan memerlukan waktu dari proses pemanasan muka laut hingga pengangkatan udara ke atas dan pembentukan daerah stratiform. Proses ionisasi pada awan cumulonimbus mengakibatkan adanya muatan dipole pada awan. Awan dengan muatan positif berada pada puncak awan dan awan dengan muatan negatif berada pada dasar awan. Oleh karena itu pada saat pergerakan naik pada proses pembentukan MCS didominasi oleh petir CG-. Ketika awan semakin membesar dan membentuk stratiform sambaran CG+ semakin meningkat. Semakin luas wilayah stratiform maka semakin meningkat persentase sambaran CG+ (Liu dkk., 2011). Kemudian sambaran CG+ akan mencapai maksimum saat proses musnahnya MCS. Terdapat kesulitan dalam mendeteksi wilayah stratiform disebabkan oleh heterogenitas substansial (Lang, dkk., 2011). Oleh karena itu, diperlukan overlay data antara citra satelit dan petir CG+ (Gambar 3 dan 4). Dalam proses dipole muatan pada awan cumulonimbus, muatan positif awan akan terkumpul pada bagian puncak awan. Kemudian, saat pembentukan stratiform muatan positif akan ikut menyebar secara horizontal. -384- Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015) (Pratama, I P. D., dkk) Gambar 3. Citra Satelit MTSAT IR Enhance Pukul 02:00 WITA Tanggal 9 Maret 2015 (kiri) dan 10 Maret 2015 (kanan) yang di-overlay dengan Sambaran Petir CG+ (tanda positif hitam) Puncak kejadian CG+ dijadikan acuan untuk memilih waktu citra satelit MTSAT IR Enhance (Gambar 3) dengan data sambaran CG selama dua jam. Hasil overlay sambaran petir tanggal 9 Maret 2015 menunjukan sebaran petir berada di barat daya dan barat laut Pulau Bali. Sebaran signifikan yang menunjukan kejadian MCS adalah pada lokasi barat daya dimana terdapat awan dengan suhu puncak di bawah -40oC. Sedangkan untuk kejadian tanggal 10 Maret 2015 dini hari sebaran petir berada di atas pulau Bali dengan sebaran mencapai bagian utara dan tenggara. Terdapat kumpulan CG+ di wilayah tepian awan di bagian barat laut dan tenggara. Menurut Correoso, dkk. (2006) sebagian besar sambaran petir CG yang berhubungan dengan MCS terjadi sebelum sistem mencapai ukuran maksimum yaitu perisai maksimum awan dalam isoterm kecerahan -52,8oC dan tingkat sambaran puncak CG+ sedikit. Menggunakan data rekaman CG+ dengan sinyal radio frekuensi rendah dapat digunakan untuk mendeteksi MCS. Hal ini sesuai dengan penggunaan alat Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar. Gambar 4. Citra Satelit NOAA Tanggal 9 Maret 2015 Pukul 02:49 WITA (kiri) dan 10 Maret 2015 Pukul 02:37 WITA (kanan) yang di-overlay dengan Sambaran Petir CG+ (tanda positif hitam) Berdasarkan hasil overlay sambaran CG+ dengan citra satelit NOAA (Gambar 4) diperoleh hasil bahwa sambaran CG+ terjadi pada stratiform awan yang terdeteksi sebagai “Layer Cloud” pada citra klasifikasi awan NOAA. Lokasi sambaran tidak tepat berada pada awan cumulonimbus (titik merah) karena kejadian CG+ lebih banyak terjadi pada daerah stratiform. Pada kejadian tanggal 9 Maret 2015 dini hari, lokasi pusat MCS berada pada daerah tenggara dan barat daya Pulau Bali. Titik merah mengindikasikan lokasi awan cumulonimbus sebagai pusat dari MCS. Sebaran CG+ yang berhasil dideteksi merupakan wilayah stratiform. Sebaran petir yang membentuk garis berarah -385- Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015) (Pratama, I P. D. dan Negara, P. K. G.A.) barat laut – tenggara di atas Pulau Bali mengindikasikan kejadian lokal pada daerah tersebut karena terpisah dengan stratiform baik pada citra satelit MTSAT dan NOAA. Pada kejadian tanggal 10 Maret 2015 dini hari sebaran petir sebagian besar membentuk kumpulan. terdapat tiga kelompok petir yaitu di wilayah barat laut, tenggara, dan di atas Pulau Bali. Jika dilihat pada Gambar 4, sebaran awan cumulonimbus berada pada barat laut dan barat daya Pulau Bali. Jadi terdapat dua pusat MCS pada kejadian tanggal 10 Maret 2015 dimana MCS pertama berada di barat laut Pulau Bali yang stratiformnnya mencapai atas Pulau Bali. Sedangkan MCS kedua berada di barat daya pulau bali yang menimbulkan stratiform menyembar sepanjang selatan Pulau Bali. Namun, untuk kejadian ini sambaran CG+ hanya terdeteksi pada bagian tenggara Pulau Bali saja. Proses dipole dari awan konvektif menyebabkan muatan positif berkumpul di bagian atas awan cumulonimbus yang dikenal sebagai daerah stratiform. Seluruh sambaran ini berasal dari daerah konvektif dan menyebar secara horizontal sekitar puluhan hingga ratusan kilometer dalam daerah stratiform dan sambaran petir CG+ terjadi di bawah wilayah stratiform (Lu, G., dkk., 2009). Peningkatan luasan stratiform meningkatkan jumlah sambaran CG+ (Azambuja, R. R. dkk., 2014). Tekanan rendah di wilayah selatan yang membangkitkan Siklon Tropis Nathan pada 10 Maret 2015 memicu cuaca buruk di sekitar Pulau Bali. Kondisi ini membuat munculnya MCS di sekitar Pulau Bali. Percobaan numerik oleh Yamasaki (2013) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara klaster awan dengan kejadian siklon tropis. Kumpulan-kumpulan klaster awan ini kemudian berkumpul pada suatu tekanan membentuk siklon tropis. 4. KESIMPULAN Perbedaan siginfikan rasio CG+ mengindikasikan adanya kejadian MCS di sekitar Bali. MCS dapat dideteksi menggunakan rekaman CG+ oleh sensor Boltek Storm Tracker. Indikasi ini di-overlay dengan citra satelit MTSAT dan NOAA untuk mengetahui lokasi sebaran CG+ sehingga dapat diketahui bahwa sebaran tersebut berada pada wilayah stratiform. Adanya beberapa MCS di wilayah Bali pada tanggal 9 dan 10 Maret 2015 sangat berkaitan dengan kejadian Siklon Tropis Nathan yang muncul pada 10 Maret 2015. Klaster-klaster MCS pada tanggal 9 Maret 215 berkaitan dengan tumbuhnya Siklon Tropis Nathan keesokan harinya. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pegawai fungsional PMG di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar atas pengumpulan data dan diskusi dalam pembuatan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Azambuja, R.R., Zepka, G.S., Vargas Jr.V.R., dan Pinto Jr.O., (2014). Lightning Activity in Mesoscale Convective System associated with Different Synoptic Situations over Southern South America. Paper presented at the 23rd International Lightning Detection Conference, 18 – 19 Mare 2014, Tucson, Arizona, USA. Correoso, J.F., Hernandez, E., Garcia-Herrera, R., Barriopedro, D., dan Paredes, D., (2006). A 3-year Study of Cloudto-ground Lightning Flash Characteristics of Mesoscale Convective Systems Over the Wetern Mediterranean Sea. Atmospheric Research 79 doi:10.1016/j.atmosres.2005.05.002, 89-107 Hodapp, C.L. (2007). The Evolution Of Total Lightning And Radar Reflectivity Characteristics Of Two Mesoscale Convective Systems Over Houston, Texas. (Thesis, Major Subject Atmospheric Sciences), Texas A&M University, Texas. Kurniawan, P.M.R., dan Pratama, I.P.D. (2014). Kejadian Petir Jenis CG+ Di Bali Akibat Mesoscale Convective System (MCS). Prosiding Bidang MIPA BKS-PTN-BARAT, ISBN 978-602-70491-0-9, 384-389, Bogor, Indonesia. Lang, T.J., Li, J., Lyons, W.A., Cummer, S.A., Rutledge, S.A., dan MacGorman, D.R., (2011). Transient luminous events above two mesoscale convective systems: Charge moment change analysis. J. Geophys. Res., 116, A10306, doi:10.1029/2011JA016758. Liu, D., Qie, X., Xiong, Y., dan Feng, G. (2011). Evolution of the Total Lightning Activity in a Leading-Lineand Trailing Stratiform Mesoscale ConvectiveSystem over Beijing. Advances in Atmospheric Sciences, 28(4):866-878 Lu, G., dkk. (2010).Lightning Mapping Observation of a Terrestrial Gamma-ray Flash, Geophys. Res. Lett., 37, L11806, doi:10.1029/ 2010GL043494. MacGorman, R.D., Morgenstern, C.D. (1998). Some Characteristics Of Cloud-To-Ground Lightning In Mesoscale Convective Systems. J. Geophys. Res. 103:14011– 14023. Maddox, R.A., (1980). Mesoscale Convective Complexes. Bull. Amer. Meteorol. Soc., 61:1374-1387 Mattos, E.V., dan Machado, L.A.T. (2011). Cloud-to-ground lightning and Mesoscale Convective Systems. Atmospheric Research 99 doi:10.1016/j.atmosres.2010.11.007, 377-390 Parker, M.D., Rutledge, S.A., dan Johnson, R.H. (2001). Cloud-to-Ground Lightning in Linear Mesoscale Convective Systems. Mon. Weather Rev. 129:1232–1242. -386- Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015) (Pratama, I P. D., dkk) Virts, K.S. dan Houze Jr.,R.A., (2015). Variation of Lightning and Convective Rain Fraction in Mesoscale Convective System of the MJO. Journal of the Atmospheric Sicences 72doi: http://dx.doi.org/10.1175/JAS-D-14-0201.1, 19321944 Yamasaki, M., (2013). Toward an Understanding of Tropical Cyclone Formation with a Nonhydrostatic, MesoscaleConvection-Resolving Model. The Open Atmospheric Science Journal 7, 37-50 *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Mendeteksi Mcs Menggunakan Data Lightning Detector Dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS Di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015) : I Putu Dedy Pratama (Bmkg) : Tidak ada diskusi. -387- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat Jabodetabek Menggunakan Data Satelit Identification of Mesoscale Convective Complexes Systems Trigerring Heavy Rainfall over Greater Jakarta using Satellite Data Danang Eko Nuryanto1,2*), Hidayat Pawitan2, Rahmat Hidayat2, dan Edvin Aldrian1 1 Departement Geophysics and Meteorology, FMIPA Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, West Java, Indonesia 2 Research and Development Center, The Indonesian Agency for Meteorology Climatology and Geophysics, Jl Angkasa I No 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720, Indonesia *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Suatu sistem awan konvektif besar, lama hidupnya dan menunjukkan bentuk awan mendekati lingkaran disebut sistem mesoscale convective complexes (MCC). Sistem ini menghasilkan beragam cuaca buruk misalnya hujan lebat. Pada 15 Januari 2013, Jakarta mengalami kejadian hujan lebat yang luarbiasa. Pada penelitian ini, diselidiki propagasi sistem MCC tersebut yang memicu hujan lebat di kawasan JABODETABEK, menggunakan data pengamatan satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R dan data sinoptik. Sistem tesebut terbentuk dari tengah malam 14 Januari hingga pagi 15 Januari, dan diperkuat oleh pengaruh angin baratan lapisan bawah. Ada dua sistem konvektif yang terbentuk pada 14 -15 Januari. Pertama, sistem konvektif terbentuk pada siang hari tanggal 14 Januari 2013 di utara JABODETABEK di atas Laut Jawa, dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Kedua, sistem konvektif yang terbentuk pada tengah malam tanggal 14 Januari di atas Sumatera dan berpropagasi ke arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari tanggal 15 Januari 2013. Sistem konvektif kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan JABODETABEK pada 04.00 WIB. Kata kunci: sistem mesoscale convective complexes, hujan lebat, jabodetabek ABSTRACT - A convective cloud system that large, long lived, and exhibits a quasi-circular cloud shield could be called a mesoscale convective complexes (MCC) system. These systems produce a wide variety of severe convective weather such as heavy rainfall. On 15 January 2013, Jakarta experienced an extraordinary heavy rainfall event. In this study, we examined the propagation of the convective complexes system that trigering heavy rainfall occurred in the Great Jakarta area, using observations from the Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R and the synoptic data. The convective complexes system developed from midnight on 14 January until the morning of 15 January, and it was intensified by the influence of low-level westerly winds. There are two convective systems developed during 14 – 15 January. First a convective system was generated during the daytime of 14 January 2013 of the northern Great Jakarta over Java Sea, and they propagate to the Northeast of Java Sea. Second a convective system was generated during the nighttime of 14 January 2013 of over Sumatera, and they propagate to the Southeast through the Java Sea until the northern coast of Great Jakarta the morning of 15 January 2015. The second convective systems give heavy rainfall up to 10 mm h−1 average over the Great Jakarta area at 04.00 LT. Keywords: mesoscale convective complexes systems, heavy rainfall, jabodetabek 1. PENDAHULUAN Istilah mesoscale convective complexes(MCC) dapat didefinisikan sebagai sistem awan konvektif yang besar, berumur lama dan menunjukkan tutupan awan cenderung berbentuk lingkaran. MCC merupakan salah satu mesoscale convective systems (MCS) terbesar yang dapat diidentifikasi berdasarkan kriteria Maddox. Fenomena MCC pertama kali diteliti oleh Maddox 1980 berdasarkan ciri-ciri yang ditunjukkan citra satelit infrared kanal 1 (IR1) di Amerika Serikat bagian Tengah selama 1978, hasilnya ditemukan bahwa fenomena MCC ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan fenomena-fenomena cuaca skala meso yang lain. Sehingga Maddox membuat batasan dan definisi umum dari MCC, antara lain: memiliki inti awan dengan suhu puncak awan lebih kecil atau sama dengan -52oC dengan area lebih besar atau sama dengan 50.000 km2, memiliki selimut awan dengan suhu puncak awan lebih kecil atau sama dengan -32oC dengan luasan area lebih besar atau sama dengan 100.000 km2 dan cenderung berbentuk lingkaran dengan masa hidup lebih besar atau sama dengan 6 jam, dan yang terakhir selimut awan harus mempunyai tingkat kelonjongan (eccentrisity) = 0.7 saat luasan areanya mencapai maksimum. -388- Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto, D.E., dkk.) Sistem MCC dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox 1980; Fritsch dkk.., 1986; McAnelly dan Cotton 1989) tapi juga menghasilkan curah hujan yang intens di atas wilayah hujan yang luas (Blamey dan Reason, 2013). MCC yang terjadi di Lautan Hindia juga diketahui telah menyebabkan curah hujan deras di pantai barat Sumatera pada tanggal 28 Oktober 2007 (Trismidianto dkk., 2016). Hujan seperti ini dapat menyebabkan banjir diberbagai tempat, misalnya: Amerika Serikat (Maddox, 1981), Amerika Selatan (Durkee dan Mote, 2009), dan Asia Timur (Chen dan Li, 1995). Hasil penelitian Durkee dkk. (2009) juga menunjukkan secara substansi kontribusi MCC terhadap total curah hujan sepanjang subtropik Amerika Selatan, dimana MCC mempunyai peran penting dalam anomali curah hujan musim panas. Secara rata-rata MCC di Amerika Selatan mendistribusikan 15.7 mm curah hujan sepanjang 381.000 km2, menghasilkan volume 7.0 km3. Sedangkan sistem MCC di Benua Maritim Indonesia hanya muncul di Kalimantan, Papua dan wilayah utara Australia (Miller dan Fritsch, 1991). Demikian halnya fenomena banjir pada beberapa wilayah di Indonesia menjadi telah perhatian banyak pihak mengingat terkait dengan kenyamanan bertempat tinggal. Semakin sering terjadinya banjir pada musim hujan ini ditunjukkan dengan peningkatan frekuensi kejadian banjir tersebut disaat hujan lebat. Ketika bencana banjir sering terjadi tentunya akan menimbulkan permasalahan turunan lainnya, misalnya pengungsian penduduk, gangguan kesehatan, adanya korban jiwa hingga terganggunya aktivitas ekonomi di suatu wilayah dampak banjir. Berdasarkan data yang dihimpun BNPB (2016) selama kurun waktu 1985 – 2015 telah terjadi 6.229 kejadian banjir di wilayah BMI. Sedangkan wilayah JABODETABEK sebagai salah satu tujuan kaum urban dalam beberapa dekade terakhir mengalami permasalahan banjir. Jika musim hujan tiba maka masalah banjir akan menjadi topik utama di wilayah JABODETABEK. Hal ini terlihat nyata pada beberapa banjir dasawarsa tahun terakhir di JABODETABEK telah melumpuhkan perekonomian. Permasalahan hujan lebat tersebut sudah dikaji oleh beberapa peneliti yang bertepatan dengan kejadian banjir di JABODETABEK. Hujan lebat di JABODETABEK pada Januari – Februari 2007 terkait dengan kejadian cold surge dari Borneo vortex (Trilaksono dkk., 2012). Selanjutnya hujan lebat di JABODETABEK bulan Januari – Februari 2010 terkait dengan penguatan angin laut yang paralel dengan aliran Sungai Ciliwung (Sulityowati et al., 2014). Sedangkan hujan lebat di JABODETABEK bulan Januari 2013 terkait dengan fase aktif Madden Julian Oscillation (MJO) (Wu dkk., 2013). Penelitian terbaru tentang hujan lebat di JABODETABEK bulan Januari 2014 memberikan bukti bahwa jumlah curah hujan maksimum tahunan tahun 2014 mempunyai kemiripan dengan jumlah curah hujan harian dan dua harian pada 115 tahun terakhir (Siswanto dkk., 2015). Berdasarkan hasil kajian sebelumnya (Trilaksono dkk., 2012; Wu dkk., 2013; Sulityowati dkk., 2014; Siswanto dkk., 2015) menunjukkan bahwa saat kejadian banjir di JABODETABEK terjadi hujan lebat dengan berbagai faktor yang menyebabkannya. Dalam penelitian tersebut belum disinggung sistem awan konvektif yang terjadi pada saat kejadian hujan lebat tersebut. Artinya belum ada penelitian yang mengindikasikan adanya banjir tersebut akibat hujan lebat yang terkait dengan kejadian MCC. Penelitian ini ditekankan pada fakta adanya curah hujan lebat yang berpotensi mengakibatkan banjir, dimana curah hujan lebat yang demikian memiliki karakter durasi lama dan area yang luas. Curah hujan lebat yang memiliki karakter tersebut dihasilkan dari sistem awan-awan konvektif dengan durasi lama dan area juga luas. Sistem awan konvektif yang demikian dikenal dengan MCC seperti yang diuraikan sebelumnya.Pada paper ini dilakukan identifikasi sistem MCC yang memicu terjadinya hujan lebat di kawasan JABODETABEK menggunakan data satelit. Adanya fakta curah hujan lebat pada tanggal 15 Januari 2013 menarik untuk dipelajari apakah ada kaitannya dengan sistem awan yang disebut MCC ataukah ada sistem lain yang menyebabkannya. 2. METODE Data awan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan hasil citra satelit Multi-functional Transport SATellite (MTSAT), citra suhu IR dengan kanal IR1 dengan panjang gelombang 11 µm yang menunjukkan suhu permukaan tanah, permukaan laut atau puncak awan di atasnya. Data yang dipergunakan mempunyai resolusi horizontal 0.08 x 0.08 derajat dan resolusi temporat jam-jaman yang dapat di akses pada http://database.rish.kyoto-u.ac.jp/arch/ctop/index_e.html (Hamada & Nishi, 2010). Pada IR1 emisivitas tipe awan mendekati satu kecuali awan cirrus. Sehingga tingkat kecerahan citra yang dideteksi satelit sebanding dengan suhu sesungguhnya pada puncak awan selain awan cirrus (Adler dan Negri, 1988).Sedangkan untuk verifikasi kejadian hujan lebat digunakan data pengamatan curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan dari titik stasiun pengamatan sekitar JABODETABEK antara lain: Cengkareng, Serang, Curug, Tanjung Priok, Kemayoran dan Citeko yang dihimpun oleh BMKG (Gambar 1). Wilayah studi dapat diperhatikan pada Gambar 1, dengan kotak merah merupakan wilayah JABODETABEK sebagai wilayah yang terdampak dengan curah hujan lebat. -389- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 1. Wilayah studi dalam penelitian dengan wilayah terdampak curah hujan lebat sekitar JABODETABEK dengan kotak merah Dalam Tabel 1 menunjukkan ambang batas minimal kriteria yang harus dipenuhi menurut beberapa peneliti sebelumnya untuk dapat menyebutkan bahwa sistem itu merupakan MCC.Ambang batas minimal kriteria tersebut awal mulanya diperkenalkan oleh Maddox (1980) yang selanjutnya oleh beberapa peneliti mengalami beberapa modifikasi, dan modifikasi yang dilakukan adalah terkait dengan suhu puncak awan. Teknik identifikasi MCC menggunakan definisi yang digunakan oleh Blamey & Reason(2012) ditunjukkan pada Tabel 1. Secara umum data citra satelit IR1 yang mempunyai nilai suhu puncak awan dipilih yang mempunyai nilai lebih kecil dari 221 K sebagai inti awan dingin (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai suhu puncak awan tersebut selanjutnya nilainya diganti dengan “1” dan yang tidak memenuhi nilai gridnya diganti dengan angka “0”, proses ini akan merubah data satelit yang sebelumnya dalam suhu (satuan Kelvin) menjadi data biner. Data biner tersebut kemudian dicari luasan area yang memenuhi syarat suhu (piksel yang mempunyai nilai “1”) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung dengan 4 koneksi grid disekitarnya. Untuk menentukan luasan area tersebut jumlah grid piksel tersebut dikalikan dengan 78.8544 (artinya 1 grid data mewakili luasan 78.8544 km2. Seleksi selanjutnya hanya dipilih area yang memiliki luasan IA ≥ 50.000 km². Selanjutnya mencari titik pusat dari area yang terpilih dari prosedur di atas. Titik pusat ini merupakan pusat massa dari area yang saling terkoneksi. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan dengan formula Carvhalo dan Jones (2001) menggunakan persamaan (1) berikut: , dan dimana: Xiadalah posisi piksel ke-i pada sumbu X, Yi adalah posisi piksel ke-i pada sumbu Y, X0 dan Y0 adalah titik pusat dan N adalah luasan area (total piksel). -390- ..............................................(1) Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto, D.E., dkk.) Tabel 1. Ambang batas minimal kriteria yang harus dipenuhi menurut beberapa peneliti sebelumnya untuk dapat menyebutkan bahwa sistem itu merupakan MCC Karakteristik Fisis Suhu Puncak Awan Ukuran Bentukeccentricity Durasi Inisiasi Maksimum Berakhir Lokasi studi Maddox (1980) A ≤ 241 K B ≤ 221 K A 100000 km2 B 50000 km2 0.7 pada saat fase maksimum 6 jam Ketika ukuran dan suhu ambang batas terpenuhi pertama Suhu tutupan awan ≤ 241 K mencapai ukuran maksimum Definisi ukuran A dan B tidak terpenuhi lagi AS tengah Miller dan Fritsch (1991) ≤ 217 K 50000 km2 0.7 pada saat fase maksimum 5 jam Ketika ukuran dan suhu ambang batas terpenuhi Suhu tutupan awan ≤ 217 K mencapai ukuran maksimum Definisi ukuran tidak terpenuhi lagi Pasifik Barat Laing dan Fritsch (1993) A ≤ 240 K B ≤ 219 K A 100000 km2 B 50000 km2 0.7 pada saat fase maksimum 6 jam Ketika ukuran dan suhu ambang batas terpenuhi pertama Suhu tutupan awan ≤ 240 K mencapai ukuran maksimum Definisi ukuran A dan B tidak terpenuhi lagi Afrika Barat Laurent dkk (1998) A ≤ 233 K B ≤ 213 K A 80000 km2 B 30000 km2 0.7 pada saat fase maksimum 6 jam Ketika ukuran dan suhu ambang batas terpenuhi pertama Suhu tutupan awan ≤ 233 K mencapai ukuran maksimum Ukuran definisi A dan B tidak terpenuhi lagi Afrika Barat Blamey dan Reason (2012) ≤ 221 K 50000 km2 0.7 pada saat fase maksimum 6 jam Ketika ukuran dan suhu ambang batas terpenuhi Suhu tutupan awan ≤ 221 K mencapai ukuran maksimum Definisi ukuran tidak terpenuhi lagi Afrika Selatan Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai eksentrisitas ≥ 0.7, sehingga perlu dilakukan terlebih dahulu pengujian terhadap suatu data biner contoh ideal MCC untuk memastikan batas eksentrisitas tersebut (menggunakan persamaan 2, 3, 4, 5 dan 6). Pada penelitian ini nilai eksentrisitas ≤ 0.7 tetap digunakan untuk dilihat setiap kemungkinan sistem konvektif yang ada. Metode dikembangkan oleh Machado et al (1998) pada prinsipnya menghitung sebaran tiap grid data (yang menjadi sistem awan) antara sumbu x dan sumbu y. Prosesnya adalah pertama-tama dari sebaran grid sistem awan (xi,yi) dihitung kecenderungan garis lurus dengan least square seluruh posisi piksel dalam sistem awan, garis ini menjadi sumbu koordinat baru. Sedangkan proses selanjutnya dilakukan proyeksi masing-masing piksel lintang dan piksel bujur kedalam koordinat baru (Machado et al, 1998): …............................................(2) ...........................................................................(3) ...................................................(4) ...................................................(5) .................................................................(6) dimana: adalah eccentricity, loniadalah posisi piksel dalam koordinat ke-i pada sumbu X, lati adalah posisi piksel dalam koordinat ke-i pada sumbu Y, xxi dan yyiadalahpanjang minimal dan panjang maksimal luasan awan dan N adalah luasan area (total piksel). Pada penelitian kali ini dilakukan plot suhu puncak awan yang direpresentasikan TBB dengan beberapa definisi pada Tabel 1. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa perbedaan masing-masing definisi dalam mendefinisikan MCC. Langkah selanjutnya menggunakan salah satu definisi terbaru, diambil Blamey dan Reason (2012), untuk menghitung dan mengidentifikasi MCC. Setelah diperoleh beberapa kriteria MCC hasil perhitungan lalu dilakukan penentuan apakah sistem tersebut termasuk dalam sistem MCC atau tidak setelah di bandingkan dengan data curah hujan pada tanggal 14 – 15 Januari 2013 pada wilayah JABODETABEK untuk melihat kontribusinya terhadap curah hujan lebat wilayah. -391- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Teridentifikasi ada dua sistem yang diduga MCC yang berperan dalam curah hujan lebat di JABODETABEK tanggal 14 dan 15 Januari 2013 (Tabel 2). Pada Tabel 2 menunjukkan rangkuman kejadian yang diduga MCC dengan tiga fase penting (awal, maksimum, akhir) berdasarkan kriteria Maddox (1980) dan luasan suhu puncak awan ≤ 221K (Blamey dan Reason, 2012).Pada kasus pertama tanggal 14 Januari 2013 terjadi pada siang hari dengan fase maksimum terjadi pada pukul 1300 WIB dengan luasan 100,850.8 km2, eccentricity 0.52 dan durasi kurang lebih 9 jam. Sedangkan pada kasus kedua tanggal 14 - 15 Januari 2013 terjadi pada malam hari dengan fase maksimum terjadi pada pukul 0200 WIB tanggal 15 Januari 2013 dengan luasan 238,613.4 km2, eccentricity 0.46 dan durasi kurang lebih 14 jam. Secara sekilas kedua sistem tersebut bukanlah tergolong sistem MCC karena eccentricity-nya < 0.7 dimana merupakan salah satu properti yang harus dipenuhi untuk bisa disebut sebagai MCC (Maddox, 1980). Tabel 2. Karakteristik Awan-awan Konvektif yang diduga sebagai MCC di Daerah Penelitian Kasus 14 January 2013 14/15 January 2013 Awal 0700 1600 Fase Awan Maksimum 1300 0200 Akhir 1500 0500 Luasan maksimum suhu puncak awan ≤ 221K (km2) 100,854.8 238,613.4 Eccentricity pada fase maksimum 0.523285 0.463322 Durasi 9 jam 14 jam Gambar 2 menunjukkan sistem pertama tanggal 14 Januari 2013 pada saat fase awal, maksimum dan akhir sistem. Sistem konvektif terbentuk pada pagi hari tanggal 14 Januari 2013 (Gambar 2a) di utara JABODETABEK di atas Laut Jawa, berkembang dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Sistem ini mencapai luasan maksimum pada pukul 1500 WIB di atas Laut Jawa dengan sebagian kecil berada di wilayah JABODETABEK (Gambar 2b). Sistem ini berakhir pada pukul 1500 WIB dengan indikasi sistem awan mulai menghilang (Gambar 2c). (a) (b) (c) Gambar 2. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada saat fase (a) awal, (b) maksimumdan (c) akhir sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 14 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu selimut awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1. Gambar 3 menunjukkan sistem kedua tanggal 14/15 Januari 2013 pada saat fase awal, maksimum dan akhir sistem. Sistem konvektif terbentuk pada sore hari pukul 1600 WIB tanggal 14 Januari 2013 (Gambar 3a) di utara JABODETABEK di atas Sumatera dan Laut Jawa, berkembang dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Sistem ini mencapai luasan maksimum pada pukul 0200 WIB di atas Laut Jawa, Jawa Barat dengan wilayah JABODETABEK dan sebagian Lampung (Gambar 3b). Hal ini sesuai dengan sistem MCC secara umum bahwa MCC mencapai maksimum pada malam dini hari (Maddox, 1980). Sistem ini berakhir pada pukul 1500 WIB dengan indikasi sistem awan mulai menghilang (Gambar 3c). -392- Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto, D.E., dkk.) (a) (b) (c) Gambar 3. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada saat fase (a) awal, (b) maksimum dan (c) akhir sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 14/15 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu selimut awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1. Kedua sistem konvektif yang terbentuk tanggal 14 Januari 2013 pada pagi hari di atas Laut Jawa dan berpropagasi ke arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada siang hari, terbentuk lagi tanggal 15 Januari 2013 pada sore hari di atas Sumatera dan Laut Jawa dan berpropagasi ke arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari. Sistem konvektif kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan JABODETABEK pada 04.00 WIB.Sedangkan pada sistem pertama tidak memberikan curah hujan (< 1 mm/jam) yang cukup lebat di atas kawasan JABODETABEK. Secara lengkap curah hujan per tiga jam wilayah sekitar JABODETABEK dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Curah hujan per 3 jam tanggal 14 – 15 Januari 2013 pada wilayah sekitar JABODETABEK. Pada Gambar 4 terlihat curah hujan maksimum terjadi di Citeko pada pukul 0700 WIB tanggal 15 Januari 2013 dengan curah hujan hampir 90 mm/3 jam. Sedangkan secara rata-rata wilayah curah hujan maksimum terjadi pada pukul 0400 WIB tanggal 15 Januari 2013. Hal ini mengindikasikan sistem konvektif yang mencapai maksimum pada pukul 0200 WIB tanggal 15 Januari 2013 menghasilkan curah hujan lebat secara wilayah pada antara pukul 0200 – 0400 WIB tanggal 15 Januari 2013. Sementara itu sistem konvektif yang mencapai maksimum pada pukul 1300 WIB tanggal 14 Januari 2013 tidak menghasilkan curah hujan lebat. Pada Gambar 4 juga menunjukkan adanya curah hujan lebat pada pukul 1400 – 2200 WIB tanggal 15 Januari 2013 namun tidak terlihat sistem konvektif yang menunjukkan MCC. Gambar 5 adalah suhu puncak awan yang direpresentasikan TBB pada pukul 1400 WIB, 1700 WIB dan 2000 WIB tanggal 15 Januari 2013 dimana menunjukkan curah hujan lebat seperti terlihat pada Gambar 4. -393- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 (a) (b) (c) Gambar 5. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada pukul (a) 1400 WIB, (b) 1700 WIB dan (c) 2000 WIB sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 15 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu selimut awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1. Pada Gambar 5 menunjukkan sistem awan konvektif pada saat curah hujan lebat antara pukul 1400 – 2200 WIB tanggal 15 Januari 2013 wilayah JABODETABEK. Hasil tersebut menunjukkan bahwa curah hujan lebat tidak berasal dari sistem awan kompleks seperti pada kasus kedua tanggal 14/15 Januari 2013. Demikian juga pada kasus pertama sistem konvektif pada tanggal 14 Januari menunjukkan adanya sistem awan kompleks namun tidak menghasilkan curah hujan lebat. Pada tahap selanjutnya akan ditunjukkan properti sistem awan konvektif yang diduga merupakan MCC. Tabel 3.PropertiSistemAwan Konvektif yang diduga sebagai MCCdi Daerah Penelitian Tanggal Pukul (WIB) Titik tengah sistem Bujur Lintang Luas (km2) Ecentricity 14 7 109.04 -8.52 35563.33 0.347881 14 8 106.80 -5.40 52122.76 0.516895 14 9 107.04 -5.48 70180.42 0.392966 14 10 107.44 -5.48 78933.25 0.396597 14 11 107.76 -5.56 81062.32 0.439821 14 12 107.84 -5.40 99987.38 0.520035 14 13 108.00 -5.40 100854.8 0.523285 14 14 108.56 -5.40 83664.52 0.605573 14 15 108.80 -4.60 38244.38 0.382291 14 16 105.36 -3.56 61664.14 0.508664 14 17 106.16 -3.80 123170.6 0.291334 14 18 105.92 -4.12 155106.6 0.229415 14 19 104.80 -4.12 138941.5 0.410391 14 20 104.88 -4.36 140124.3 0.429691 14 21 104.32 -4.68 153844.9 0.665928 14 22 104.48 -4.92 182311.4 0.621908 14 23 105.60 -5.40 228046.9 0.371309 15 0 106.16 -5.56 209831.6 0.415853 15 1 106.72 -5.80 215587.9 0.427624 15 2 106.72 -5.80 238613.4 0.463322 15 3 106.64 -5.88 234276.4 0.500373 15 4 106.80 -5.80 154081.5 0.423433 15 5 107.20 -6.04 107872.8 0.254470 -394- Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto, D.E., dkk.) Pada Tabel 3 merupakan properti 2 sistem awan konvektif per jam-nya yang diduga merupakan MCC pada wilayah studi. Ada dua properti penting yang ditunjukkan pada Tabel 3 itu luasan dan eccentricity.Secara keseluruhan tidak ada nilai eccentricity yang 0.7 tiap jamnya. Selanjutnya akan dilihat nilai eccentricity pada fase maksimum sistem tersebut. Pada tanggal 14 Januari 2013 terdapat sistem awan konvektif dengan eccentricity<0.7yaitu 0.523285, dimana bukan termasuk dalam definisi MCC meskipun durasinya > 6 jam. Sedangkan pada tanggal 15 Januari 2013 terdapat sistem awan konvektif dengan dengan eccentricitylebih kecil dari sistem pertama (<0.7)yaitu 0.463322, juga bukan termasuk dalam definisi MCC meskipun durasinya mencapai 14 jam. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua sistem awan konvektif yang teridentifikasi bukan termasuk MCC seperti yang telah dedefinisikan pada Tabel 1. Kedua sistem awan konvektif tersebut mempunyai respon yang berbeda terhadap curah hujan, dimana sistem yang pertama tidak menghasilkan curah hujan deras sedangkan sistem yang kedua menghasilkan curah hujan deras. Menariknya lagi ada sistem awan yang tidak diduga sebagai MCC namun menghasilkan curah hujan lebat pada wilayah studi. Dalam studi selanjutnya dapat dilakukan identifikasi sistem awan konvektif tersebut, bisa jadi merupakan definisi tersendiri yang berbeda dari sistem MCC. 4. KESIMPULAN Pada penelitian ini, diselidiki propagasi sistem MCC tersebut yang memicu hujan lebat di kawasan JABODETABEK, menggunakan data pengamatan satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R dan data sinoptik. Sistem tesebut terbentuk dari tengah malam 14 Januari hingga pagi 15 Januari, dan diperkuat oleh pengaruh angin baratan lapisan bawah. Ada dua sistem konvektif yang terbentuk pada 14 -15 Januari. Pertama, sistem konvektif terbentuk pada siang hari tanggal 14 Januari 2013 di utara JABODETABEK di atas Laut Jawa, dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Kedua, sistem konvektif yang terbentuk pada tengah malam tanggal 14 Januari di atas Sumatera dan berpropagasi ke arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari tanggal 15 Januari 2013. Sistem konvektif kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan JABODETABEK pada 04.00 WIB. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Terutama sekali penulis ucapkan terimakasih kepada Allah SWT, orang tua kami dan keluarga serta rekan-rekan BMKG. DAFTAR PUSTAKA Adler, R.F., dan Negri, A.J., (1988). A Satellite Infrared Technique to Estimate Tropical Convective and Stratiform Rainfall. Journal of Applied Meteorology, 27:30 – 51. Blamey, R.C., dan Reason, C.J.C., (2012). Mesoscale Convective Complexes over Southern Africa,Journal of Climate, 25:753 – 766. Blamey, R.C., dan Reason, C.J.C., (2013). The Role of Mesoscale Convective Complexes in Southern Africa Summer Rainfall, Journal of Climate, 26:1654 – 1668. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana,(2016). http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana/statistik, Diakses tanggal 28 Maret 2016. Carvalho, L.M.V., dan Jones, C., (2001). A Satellite Method to Identify Structural Properties of Mesoscale Convective Systems Based on the Maximum Spatial Correlation Tracking Technique (MASCOTTE),Journal of Applied Meteorology, 40:1683 – 1701. Chen, Y.-L., dan Li, J., (1995). Large-scale conditions favorable for the development of heavy rainfall during TAMEX IOP 3, Monthly Weather Review, 123:2978 – 3002. Durkee, J.D., dan Mote, T.L., (2009). A climatology of warm-season mesoscale convective complexes in subtropical South America,International Journal of Climatology, 30(3):418 – 431. Durkee, J.D., Mote, T.L., dan Shepherd, J.M., (2009). The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America,Journal of Climate, 22:4590 – 4605. Fritsch, J.M., Kane, R.J.,dan Chelius, C.R., (1986). The Contribution of Mesoscale Convective Weather Systems to the Warm-Season Precipitation in the United States, Journal of Climate and Applied Meteorology, 25:1333 – 1345. Hamada, A., dan Nishi, N., (2010). Development of a Cloud-Top Height Estimation Method by Geostationary Satellite Split-Window Measurements Trained with CloudSat Data, Journal of Applied Meteorology dan Climatology, 49:2035 – 2049. Laing, A.G., dan Fritsch, J.M., (1993). Mesoscale Convective Complexes in Africa,Monthly Weather Review, 121:2254 – 2263. -395- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Laurent, H., D’Amato, N., dan Lebel, T., (1998). How important is the contribution of the mesoscale convective complexes to the Sahelianrainfall?, Physics and Chemistry of the Earth, 23(5–6):629–633, DOI: 10.1016/S00791946(98)00099-8. Machado, L.A.T., Rossow, W.B., Guedes, R.L., dan Walker, A.W., (1998). Life Cycle Variations of Mesoscale Convective Systems over the Americas,Monthly Weather Review, 126(6):1630–1654. Maddox, R,A., (1980). Mesoscale Convective Complexes,Bulletin American Meteorological Society, 61(11):1374 – 1387. Maddox, R.A., (1981). Picture of the Month: Satellite Depiction of the Life Cycle of a Mesoscale Convective Complex,Monthly Weather Review, 109:1583 – 1586. McAnelly, R.L., dan Cotton, W.R., (1989). The Precipitation Life Cycle of Mesoscale Convective Complexes over the Central United States, Monthly Weather Review, 117:784 – 808. Miller, D., dan Fritsch, J.M., (1991). Mesoscale Convective Complexes in the Western Pacific Region,Monthly Weather Review, 119:2978 – 2992. Siswanto, van Oldenborgh, G.J., van der Schrier, G., Lenderink, G.,dan van den Hurk, B., (2015). Trend in High-Daily Precipitation Events in Jakarta and the Flooding of January 2014, Bulletin of American Meteorological Society, DOI:10.1175/BAMS-D-15-00128.1. Trilaksono, N.J., Otsuka, S., dan Yoden, S., (2012). A Time-Lagged Ensemble Simulation on the Modulation of Precipitation over West Java in January–February 2007, Monthly Weather Review, 140:601 – 616. Trismidianto, Hadi, T.W., Ishida, S., Manda, A., Iizuka, S., dan Moteki, Q., (2016). Development processes of oceanic convective systems inducing the heavy rainfall over the western coast of Sumatra, SOLA, 12:6 –11. Wu. P., Arbain, A.A, Mori, S., Hamada, J., Hattori, M., Syamsudin, F., dan Yamanaka, M.D., (2013). The Effects of an Active Phase of the Madden-Julian Oscillation on the Extreme Precipitation Event over Western Java Island, SOLA, 9:79 - 83, doi:10.2151/sola.2013-018. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat Jabodetabek Menggunakan Data Satelit Pemakalah : Danang Eko Nuryanto Diskusi : Pertanyaan: Ratih Dewanti (LAPAN): 1. Untuk daerah seperti Jabodetabek, berapa ambang minimum intensitas curah hujan rata-rata yang menimbulkan genangan banjir secara merata? 2. Berapa lama sebelum kejadian dapat diprediksi dari data MTSAT bahwa di daerah Jabodetabek akan terjadi banjir? Jawaban: 1. Belum ada penelitian yg secara spesifik menunjukkan ambang minimum intensitas curah hujan rata-rata yang menimbulkan banjir secara merata di Jakarta, namun peneliti sebelumnya menyebut 10 mm/jam (Kahlig, 1993) dan 12 mm/jam (Cole dan Moore, 2008) disebut sebagai heavy rainfall. Dalam penelitian ini mengacu pada Kahlig (1993) untuk ambang batas minimal disebut sebagai heavy rainfall. 2. Data MTSAT langsung menunjukkan kondisi awan terkini bahkan kejadian banjirnya. Namun dengan mengetahui life cycle sistem tersebut kita dapat memprediksi kpn terjadi hujan lebat yg berpotensi banjir, dmn dalam 3-6 jam sebelum fase mature sistem dpt kita jadikan sbg indikator terjadinya curah hujan lebat berpotensi banjir. -396- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016) Volcanic Ash Cloud Identification Using Weather Radar (Case Study Mount Bromo Eruption January 5th 2016) Teguh Setyawan1*) 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Erupsi gunung berapi aktif dengan formasi sebaran debu vulkanik merupakan salah satu ancaman bencana di Indonesia. Radar cuaca memiliki kemampuan mendeteksi partikel awan debu vulkanik akibat letusan gunung berapi, memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi untuk mengidentifikasi material dan arah sebaran debu vulkanik. Penelitian ini menggunakan Radar Doppler C-Band untuk memantau debu vulkanik dalam erupsi Gunung Bromo di Jawa Timur pada tanggal 5 Januari 2016. Analisis menggunakan produk CAPPI V untuk memprediksi arah sebaran debu vulkanik dan MAX dBZ yang kemudian akan dilakukan cross section untuk melihat nilai reflektifitas debu vulkanik, mengidentifikasi tinggi kolom letusan, pola sebaran, dan klasifikasi material debu vulkanik. Nilai indeks reflektifitas diganti pada tampilan produk radar sehingga sesuai dengan klasifikasi material awan debu vulkanik dilihat dari nilai dBZ-nya. Hasil dari identifikasi menunjukkan material vulkanik saat erupsi primer Gunung Bromo mencapai nilai maksimum 55 dBZ dan tinggi kolom erupsi hingga 17 km, dengan arah sebaran yang berbeda pada tiap lapisan ketinggiannya, namun dominan ke arah barat dan barat laut. Kata kunci: debu vulkanik, radar cuaca, CAPPI V, MAX dBZ, cross section ABSTRACT - Active volcanic eruptions with spread of volcanic ash formation is one of the hazards in Indonesia. Weather radar has the ability to detect particles of volcanic ash cloud from the eruption of the volcano, has a high spatial and temporal resolution to identify the material and the direction of the spread of volcanic ash. This study uses the C-band Doppler radar to monitor volcanic ash in the eruption of Mount Bromo in East Java on January 5th, 2016. The analysis using Cappi V to predict the direction of the spread of volcanic ash and MAX which will then be ‘crosssection’ to see the value of the reflectivity of volcanic ash, identifying the eruption column height, the distribution pattern, and classification of volcanic ash material. Reflectivity index value is replaced on the display so that the radar products in accordance with the classification of a volcanic ash cloud material seen from its dBZ value. Results of identification showing the volcanic material during primary eruption of Bromo reach maximum value 55 dBZ and eruption column height up to 17 km, with different direction spreads on each layer height, but dominantly are to the west and northwest. Keywords: volcanic ash, weather radar, CAPPI V, MAX dBZ, cross section 1. PENDAHULUAN Erupsi gunung berapi aktif dengan formasi sebaran debu vulkanik merupakan salah satu ancaman bencana di Indonesia. Pemantauan areal erupsi gunung berapi secara real time dan kontinyu diperlukan untuk memberikan informasi cepat kepada masyarakat dan pengguna informasi terkait sehingga dapat diminimalisir dampak dan kerugian harta dan jiwa terhadap masayarakat sekitar. Pada tanggal 5 Januari 2016 letusan Gunung Bromo membuat aktifitas penerbangan Bandar Udara Abdul Rachman Saleh dari dan ke Malang ditutup sementara hingga aktifitas Gunung Bromo dinilai aman. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sesuai amanat Undang-Undang bertugas untuk mengamati pergerakan debu vulkanik di atmosfer dan berkoordinasi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terkait aktifitas geologis dari gunung serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait tindakan cepat mitigasi. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi material debu vulkanik dan mendeteksi sebarannya adalah radar cuaca. Radar cuaca dapat memberikan informasi pada area yang relatif luas, pengamatan yang real time dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi, serta dapat melakukan pengamatan yang berkelanjutan (Marzano dkk., 2006). Radar cuaca menghasilkan informasi yang detail terkait wilayah jangkauannya, yaitu informasi lintang dan bujur serta ketinggian elevasi yang beragam. Kelebihan-kelebihan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi material erupsi gunung berapi dan mendeteksi arah sebaran dari debu vulkanik (Wardoyo -397- Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.) dan Matondang, 2014).Zulqisthi (2015) mengkaji sebaran debu vulkanik saat kejadian meletus Gunung Bromo5 Januari 2016 dan berhasil mengidentifikasi material serta arah sebaran debu vulkanik menggunakan radar cuaca dengan memanfaatkan produk reflectivity dan velocity. Radar memancarkan pulsa berupa gelombang elektromagnetik melalui antena dengan arah lurus dan kecepatan tetap. Setelah gelombang elektromagnetik mengenai objek, maka akan dipantulkan dan pantulan tersebut akan diterima radar (Rinehart, 2010). Radar cuaca jenis Doppler menghasilkan 3 jenis output data, yaitu reflektifitas (Z), kecepatan radial (V), dan lebar spektrum (W). Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis debu vulkanik menggunakan radar cuaca untuk mengetahui pola, karakteristik, dan sebaran debu vulkanik pada saat erupsi Gunung Bromo di Jawa Timur pada tanggal 5 Januari 2016. Hasil penelitian ini dapat menjadi pegangan bagi prakirawan cuaca dalam mengidentifikasi dan menganalisis serta memberikan informasi arah sebaran debu vulkanik sesaat setelah terjadi erupsi gunung berapi dalam cakupan wilayah pengamatan radar cuaca. Selain itu, informasi jenis material debu vulkanik yang keluar dapat menjadi informasi yang bermanfaat serta mendukung tumbuhnya perekonomian rakyat. 2. METODE Data yang digunakan pada penelitian ini adalah rawdata radar cuaca Gematronik di Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya. Data yang diambil adalah data scanning radar tanggal 5 Januari 2016 jam 04.00 -04.30 WIB. Radar cuaca tersebut merupakan radar cuaca Doppler single polarization yang dapat menghasilkan tiga produk data yaitu reflektifitas (reflectivity), kecepatan radial (radial velocity), dan lebar spektral (spectral width). Objek penelitian adalah Gunung Bromo yang dilaporkan oleh BNPB Jawa Timur sudah mulai aktif sejak pertengahan bulan Desember 2015. Rawdata radar cuaca akan diolah menggunakan software Rainbow5 sehingga dihasilkan produk MAX dBZ, vertical cut(V CUT), dan CAPPI V. Diagram alir pada penelitian berikut adalah sebagai berikut pada Gambar 1: Gambar 1. Diagram alir penelitian 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Pola Erupsi dari produk MAX dBZ Analisis nilai reflektifitas menggunakan produk MAX dBZ dan didukung dengan tools V CUT (vertical cut) untuk melihat profil echo erupsi secara vetikal. Gunung Bromo (lingkaran hitam pada Gambar 1)memiliki jarak kurang lebih 72.3 km dari pusat radar cuaca Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya. Jarak ini merupakan jarak yang cukup ideal untuk melakukan analisis produk-produk radar cuaca. Pola echo erupsi Gunung Bromo yang tertangkap radar cuaca ditunjukkan pada Gambar 2. -398- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 2. Citra produk MAX dBZ pada saat erupsi (pukul 04.00-04.30 WIB) Citra produk MAX dBZ menunjukkan adanya pola echo yang cukup signifikan di area Gunung Bromo antara jam 04.00 WIB hingga jam 04.30 WIB diikuti pola perubahan sebaran nilai echo. Nilai echo maksimum berada di titik pusat Gunung Bromo, semakin menjauh dari titik pusat gunung maka nilai echo semakin kecil. Sebaran nilai echo yang bervariasi menunjukkan sebaran jenis dan ukuran material yang dilontarkan oleh erupsi Gunung Bromo. Material yang memiliki ukuran besar cenderung terisolir di area dekat gunung, sedangkan material yang berukuran lebih kecil dapat mencapai jarak yang lebih jauh karena terbawa angin. Dari Gambar 1 di atas, terlihat bahwa arah sebaran material cenderung ke arah Barat Daya dan Selatan. 3.2 Analisis Profil Vertikal Erupsi Profil vertikal erupsi Gunung Bromo didapatkan dengan melakukan V CUT pada produk MAX dBZ yang ditunjukkan oleh Gambar3. Gambar 3. Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer (pukul 04.10-04.20 WIB) Pada Gambar 3 didapatkan informasi dari hasil vcut terhadap produk MAX dBZ pada jam 04.10 WIBbahwa ketinggian maksimum kolom erupsi mencapai kurang lebih 6 km. Dapat disimpulkan bahwa erupsi primer terjadi antara jam 04.10 WIB hingga 04.20 WIB. Pada saat erupsi primer tersebut lontaran material berukuran sedang mencapai 2 km di atas permukaan laut yang direpresentasikan dengan adanya -399- Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.) nilai echomaksimum sebesar 25 dBZ. Semburan material yang lebih halus mencapai hingga ketinggian 6 km di atas permukaan laut. 3.3 Analisis Pergerakan Partikel Debu Vulkanik Analisis pergerakan partikel debu vulkanik dilakukan dengan memanfaatkan produk velocity pada radar cuaca. Penggunaan produk CAPPI V dipilih untuk mendapatkan analisis pergerakan sesuai ketinggian yang diinginkan. Produk HWIND ditambahkan ke dalam produk CAPPI untuk memudahkan pembacaan pergerakan partikel. Analisis pergerakan partikel debu vulkanik Gunung Bromo ditunjukkan oleh Gambar 4. Analisis produk CAPPI V ketinggian 3 kilometer pada empat periode waktu yang berbeda menunjukkan adanya perubahan arah sebaran debu vulkanik. Pergerakan debu vulkanik cenderung ke arah Barat Daya dan Barat dengan nilai kecepatan yang rendah yaitu sekitar 1- 7 m/ s. Angin yang tidak bertiup kencang ini menjadi hal positif karena debu tidak tersebar kemana-mana. Gambar 4. Analisis sebaran partikel debu vulkanik 3.4 Klasifikasi Jenis Material Erupsi Gunung Bromo Untuk mendeteksi material erupsi gunung berapi yang memiliki jenis material dan ukuran yang beragam mulai dari material padat hingga debu vulkanik yang sangat halus dapat dilihat dari produk MLV CUT. Gambar 5.Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer pukul 04.10WIB Berdasarkan tabel 1, irisan vertikal pada saat puncak erupsi dapat dikelompokkan berbagai jenis material gunung berapi sebagai berikut: Area nomor 1 (satu) dan 3 (tiga)merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus) dengan kisaran nilai antara 5-10 dBZ. Material ini tersebar hingga puncak kolom erupsi dan -400- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 mencapai jarak 6 km. Debu halus dapat tersebar hingga jarak yang lebih jauh bergantung kepada faktor angin dan cuaca (hujan). Area nomor 2 (dua) merupakan sebaran material jenis coarse ash (debu kasar). Material ini memiliki kisaran nilai antara 15-20 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 6 km pada saat erupsi primer. Area nomor 4 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus) dengan kisaran nilai antara 20-30 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 2 km. Gambar 6. Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer pukul 04.20 WIB Irisan vertikal pada jam 04.20 WIB atau 10 menit setelah erupsi puncak dapat dikelompokkan sebagai berikut: Area nomor 1 (satu) dan 3 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus) dengan kisaran nilai antara 5-10 dBZ. Material ini tersebar hingga puncak kolom erupsi dan mencapai jarak 7 km. Debu halus dapat tersebar hingga jarak yang lebih jauh bergantung kepada faktor angin dan cuaca (hujan). Area nomor 2 (dua) merupakan sebaran material jenis coarse ash (debu kasar). Material ini memiliki kisaran nilai antara 15-20 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 6 km pada saat erupsi primer. Area nomor 4 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus) dengan kisaran nilai antara 20-30 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 3 km. Tabel 1. Pengelompokkan Jenis Material Debu Vulkanik Berdasarkan Nilai dBZ (Zulqisthi, 2015) Jenis Material Debu Vulkanik dBZ Fine Ash, Tumbling Fine Ash, Oblate -12.7484 -12.0257 Fine Ash, Prolate Coarse Ash, Tumbling Coarse Ash, Oblate Coarse Ash, Prolate Small Lapili, Tumbling Small Lapili, Oblate Small Lapili, Prolate Large Lapili, Tumbling Large Lapili, Oblate Large Lapili, Prolate -13.1592 17.1295 17.8018 16.8287 47.0223 47.4860 46.7709 63.0374 64.0786 63.2229 -401- Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.) 4. KESIMPULAN Berdasarkan dari analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Radar cuaca memiliki kemampuan cukup baik untuk memberikan informasi tentang erupsi gunung berapi secara real time dan aktual meliputi pola dan karakteristik erupsi, sebaran debu vulkanik, dan arah pergerakannya. Identifikasi material dan arah sebaran debu vulkanik menggunakan radar cuaca dapat dilakukan dengan memanfaatkan produk reflectivity dan velocity. Berdasarkan penelitian, erupsi Gunung Bromo menghasilkan material dengan nilai reflektifitas maksimum sebesar 30 dBZ dan ketinggian kolom letusan mencapai 7 km. Namun radar cuaca belum mampu mendeteksi partikel jenis fine ash yang memiliki nilai reflektifitas dibawah 0 dBZ. Radar cuaca mampu mengidentifikasi arah dan pola sebaran debu vulkanik menggunakan produk velocitydengan cukup baik. Penelitian yang telah dilakukan dan tertuang dalam tulisan ini merupakan langkah awal dalam mengoptimalkan fungsi radar cuaca sesuai dengan kebutuhan dan fenomena yang terjadi di area cakupan radar yang salah satunya adalah debu vulkanik yang dihasilkan oleh erupsi gunung berapi. Namun karena karakteristik yang berbeda antara debu vulkanik dengan partikel air hujan, maka dibutuhkan sistem scanning dan konfigurasi yang tepat pada radar cuaca agar lebih optimal dalam mendeteksi partikel debu vulkanik. Penggunaan clear air mode scanning dianjurkan untuk mendapatkan data debu vulkanik yang lebih detail. Selain itu, dapat pula dikombinasikan dengan elevation scan pada radar dengan difokuskan pada area gunung berapi untuk mendapatkan profil data vertikal yang lebih rinci. Dari penelitian ini, diharapkan mampu dihasilkan suatu pedoman standar untuk memasukkan deteksi abu vulkanik menggunakan radar cuaca single polarization dalam prosedur operasional standar untuk mendukung pelayanan informasi dan menunjang keselamatan masyarakat khususnya terkait dunia penerbangan di Indonesia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan menggunakan radar cuaca dual polarization sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih detail terkait debu vulkanik. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini tidak akan selesai tanpa data radar cuaca Gematronik milik Stasiun Meteorologi Juanda, Surabaya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman BMKG di Stasiun Meteorologi Juanda atas dukungan data dan support kepada penulis. DAFTAR PUSTAKA Lacasse, C., dkk.,(2003). Weather Radar Observations of The Hekla 2000 Eruption Cloud, Iceland. Bull Volcanol, 66:457-473. Marzano, dkk.,(2006). Can We Use Weather Radar to Retrieve Volcanic Ash Eruption Clouds? A Model and Experimental Analysis. Paper presented at the Proceedings of ERAD 2006. Marzano, dkk.,(2010). Monitoring Volcanic Ash Eruption Using Ground-Based C-Band Weather Radar and ModelBased Techniques. ERAD 2010-The Fifth European Conference on Radar in Meteorology and Hydrology. Mosher, F.R., (2010). Global Composite of Volcanic Ash “Split Window” Geostationary Satellite Images. P3.13. Nugraheni, I.R., (2014). Kajian Kejadian Puting Beliung di Sumatera Selatan dengan Memanfaatkan Data Radar Cuaca (Studi Kasus Januari 2013 - Maret 2014). (Skripsi Diploma IV), STMKG (School of Meteorology Climatology and Geophysics), Jakarta. Rinehart, R.E.,(2010). Radar for Meteorologist - Fifth Edition. Nevada, Missouri: Rinehart Publications. Wardoyo, E.,(2013). Detecting Volcanic Ash with C-Band Weather Radar (Case Study Eruption of Mount Lokon December 6, 2012).Paper presented at the 1st Asian Conference on Radar Meteorology. Jeju Island, South Korea. Wardoyo, E., dan Matondang, C.A.,(2014). Identifikasi Debu Vulkanik pada Kejadian erupsi Gunung Sinabung 24 Oktober 2013, 14 dan 18 November 2013. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Zulqisthi, H.T.,(2015). Pemanfaatan Radar Cuaca Dalam Mengidentifikasi Awan Debu Vulkanik (Studi Kasus Letusan Gunung Kelud 13 Februari 2014).(Skripsi Diploma IV), STMKG (School of Meteorology Climatology and Geophysics), Jakarta. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah -402- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah : : Pemakalah Diskusi : : Kuncoro Teguh Setiawan Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016) Teguh Setyawan (STMKG) Pertanyaan: Ambinari (STMKG) 1. Apakah fungsi dari identifikasi material debu vulkanik? 2. Apa maksud dari scanning, konfigurasi, single polarisasi, dual polarisasi? Jawaban: 1. Identifikasi material debu vulkanik untuk mengetahui penyebaran debu secara realtime sesuai dengan kejadian letusan gunung berapi. Juga berpengaruh dengan dampak kesehatan dan penerbangan pesawat. 2. Scanning adalah proses radar memindai objek. Konfigurasi yang dimaksud adalah setting operasional radar. Single polarisasi ialah satu jenis polarisasi radar. Dual polarisasi ialah dua jenis polarisasi radar. -403- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015) Use Of Satellite (Himawari-8) for Distribution To Detect Smoke In Maluku Region (Case Study: 21 October 2015) Rion Suaib Salman1*), dan Ayufitriya1 1 Stasiun Meteorologi Pattimura - BMKG, Ambon 97236, Maluku – INDONESIA *) E-mail: [email protected] ABSTRAK-Asap (Smoke) merupakan partikel kering yang melayang-layang di udara, bersumber dari sisa pembakaran pabrik-pabrik industri ataupun hasil kebakaran hutan dan lahan. Dengan klasifikasi yang merupakan partikel kering, maka asap tidak mudah hilang dan dapat bertahan lama serta menyebar luas di atmosfer. Salah satu dampak yang sangat signifikan ialah dapat menggangu jarak pandang (visibility) khususnya pada saat take off dan landing pesawat terbang. Pada wilayah Indonesia asap yang sering menyelimuti atmosfer ialah asap hasil kebakaran hutan dan lahan. Pada bulan Oktober 2015, khususnya pada wilayah Maluku yakni Pulau Ambon asap hasil kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada wilayah Papua bagian selatan. Hal ini tentunya sangat beresiko dan berdampak terhadap aktivitas penerbangan, oleh karena itu diperlukan alat yang dapat memantau pergerakan dan sebaran asap secara simultan. Salah satu alat yang dapat dimanfaatkan ialah citra satelit cuaca geostationer (GEO) Himawari-8. Hal ini dikarenakan himawari-8 memiliki posisi yang tetap berada pada satu titik yang terletak 36.000 km dari permukaaan bumi di atas garis equatorial dan memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi. Dengan demikian pemantauan secara simultan dapat dilakukan dan data yang didapat juga tidak terputus-putus, sesuai area yang kita inginkan. Kemudian dengan menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) maka data satelit dapat dianalisis dengan teknik RGB (Red, Green and Blue) dengan menggabungkan channel yang tersedia pada data satelit tersebut. Dengan demikian dapat memberikan informasi secara cepat, tepat dan akurat. Kata kunci: Asap, Satelit Cuaca, Himawari-8, SATAID, Teknik RGB ABSTRACT - Smoke is a dry particle that floats in the air, comes from the combustion of industrial plants or the result of land and forest fires. With classification which is dry particle, smoke can not easily lost and last long time, widespread in the atmosphere. One of very significant impact is that it can interfere with visibility, especially during take off and aircraft landing. On Indonesian territory, smoke from forest fires and land often surrounds the atmosphere. In October 2015, particularly on Ambon Island of Maluku, smoke of forest and land fires that occurred is from the southern region of Papua. This is certainly very risky also effect on flight activity. Therefore, the necessary tools to monitor the movement and spread of smoke simultaneously is very needed. One of the tools that can be utilized is weather satellite image geostationary (GEO) Himawari-8. This is because Himawari-8 has a fixed position at a point, located 36.000 km on the surface of the earth above the equatorial line and has the same speed as the speed of Earth's rotation. Thus, simultaneous monitoring can be performed also the data obtained does not falter, according to the area where we want. Then, using software SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis), the satellite data can be analyzed by using RGB (Red, Green and Blue) combining channels available on the satellite data so that it can provide information quickly and accurately. Keywords: Smoke, Weather Satellite, Himawari-8, RGB technique 1. PENDAHULUAN Bulan Oktober 2015 pada wilayah Maluku khususnya pulau Ambon dilanda salah satu fenomena meteorologi yakni asap (smoke). Asap merupakan partikel kering yang mengambang di udara, disebabkan oleh hasil kebakaran hutan dan lahan. Fenomena asap termasuk kedalam fenomena meteorologi yakni fenomena Lithometeor (Maynard, 2010). Kondisi ini menyebabkan berkurangnya jarak pandang (visibility) secara signifikan, yang sangat berdampak terhadap take off dan landing pesawat udara. Sangatlah jelas bahwa fenomena asap yang tejadi merupakan fenomena yang tidak lazim, khususnya pada wilayah Indonesia bagian timur yakni Pulau Ambon, sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi sebagian masyarakat. Jika diteliti berdasarkan ilmu meteorologi dan informasi yang telah dikeluarkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa pada tahun 2015 kita juga dihampiri oleh fenomena elnino. Fenomena elnino yang terjadi pada tahun 2015 berdampak terhadap pengurangan curah hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia memiliki peran yang begitu besar terhadap kondisi kekeringan yang terjadi -404- Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) Untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015) (Salman, R., dkk) (Salman, 2015). Pada tahun-tahun Elnino, kasus kebakaran lahan dan hutan meningkat tajam (Aldrian, dkk.,2011). Dengan kekeringan yang berkepanjangan maka semakin besar pula potensi kebakaran hutan akan terjadi. Selain itu, dengan menguatnya fenomena elnino ini pada fase sedang hingga kuat maka semakin berkurang pula penguapan yang terjadi sehingga pembentukan awan-awan hujan pun akan berkurang (Zakir, 2010). Tentu saja hal ini berindikasi terhadap kecendurungan curah hujan yang berkurang, sehingga asap yang tersebar dari kebakaran hutan dan lahan tidak mudah untuk menghilang. Secara alamiah, asap di atmosfer yang tersebar dapat bertahan berpuluh-puluh tahun karena termasuk partikel kering (Aldrian, dkk., 2011). Begitu pula sebaliknya, asap yang tersebar di atmosfer pun dapat menghilang jika terjadi hujan pada wilayah tersebut. Oleh karena itu diperlukan alat pemantau yang dapat kita gunakan untuk menganalisis arah gerak asap secara cepat, tepat dan akurat. Salah satu alat yang dapat dimanfaatkan ialah satelit cuaca, yakni satelit cuaca Geostasionary (GEO). Satelit cuaca GEO dapat dimanfaatkan secara baik untuk memantau pergerakan sebaran asap dikarenakan memiliki posisi yang tetap berada pada satu titik yang terletak 36.000km dari permukaaan bumi di atas garis equatorial, dan memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi (Shimoji, 2015). Dengan demikian pemantauan secara simultan dapat dilakukan dan data yang didapat juga tidak terputus-putus. Dalam tulisan ini data satelit cuaca GEO yang digunakan untuk memantau keadaan atmosfer khususnya sebaran asap yakni citra satelit cuaca milik Japan Meteorological Agency (JMA) himawari-8. Citra satelit himawari-8 mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2015. Himawari-8 dilengkapi dengan 16 channel lebih banyak dari pada pendahulunya MTSAT yang hanya memiliki 5 channel. 16 channel himawari-8 diantaranya yakni V1, V2, VS, N1, N2, N3, I4, WV, W2, W3, MI, O3, IR, L2, I2, dan CO. Namun dalam menganalisis sebaran asap yang terjadi pada tanggal 21 Oktober 2015 hanya menggunakan data channel IR, I2 , VS, N1, dan N3. Data channel VS, N1 dan N3 digunakan untuk membuat citra komposit dengan teknik Red, Green and Blue (RGB) untuk melihat sebaran asap. Sedangkan data channel S2 (IR-I4) untuk menganalisis titik kebakaran hutan (Fire Forest). Interpretasi dengan metode teknik RGB merupakan salah satu cara penggabungan channel yang diinginkan menggunakan SATAID, untuk dapat mengnalisis suatu fenomena dan mempermudah untuk menentukan fenomena yang terjadi pada saat itu di atmosfer. Berdasarkan hasil analisis RGB citra satelit cuaca (himawari-8) tanggal 21 Oktober 2015, jam 07.00 hingga 11.00 WIT menunjukan adanya sebaran asap (smoke) yang bergerak dari arah tenggara tepatnya pada wilayah Papua bagian selatan meluas ke wilayah Maluku. Hasil analisis juga menunjukan bahwa asap yang terdeteksi berwarna kemerahan. Pada jam 07.00 07.30 WIT terlihat asap masih terbatas hanya pada wilayah Papua bagian selatan hingga laut Aru. Kemudian pada jam 08.00 WIT – 11.00 WIT sebaran asap hampir menyeluruh menyelimuti wilayah Maluku, seperti : Kepulauan Aru, Kepulauan Kai, Pulau Banda, Pulau Seram, Pulau Ambon hingga Pulau Buru. 2. METODE Data yang digunakan ialah data citra satelit cuaca himawari-8 pada tanggal 21 Oktober 2015 data channel IR, I2 , VS, N1, dan N3. Data channel VS, N1 dan N3digunakan untuk membuat citra komposit dengan teknik Red, Green and Blue (RGB) untuk melihat sebaran asap. Selanjutnya, didukung dengan data channel S2 (IR-I4) untuk menganalisis titik kebakaran hutan (Fire Forest). Sedangkan metode yang digunakan yakni interpretasi citra berdasarkan hasil analisis RGB menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) versi 300. Dengan Data channel VS (red) nilai gamma 2.50, N1(green) nilai gamma 1.50 dan N3(blue) nilai gamma 3.00. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis RGB citra satelit cuaca (himawari-8) tanggal 21 Oktober 2015, jam 07.00 hingga 11.00 WIT menunjukan adanya sebaran asap (smoke) yang bergerak dari arah tenggara tepatnya pada wilayah Papua bagian selatan meluas ke wilayah Maluku. Hasil analisis juga menunjukan bahwa asap yang terdeteksi berwarna kemerahan. Pada jam 07.00 - 07.30 WIT terlihat asap masih terbatas hanya pada wilayah Papua bagian selatan hingga laut Aru. Kemudian pada jam 08.00 WIT – 11.00 WIT sebaran asap hampir menyeluruh menyelimuti wilayah Maluku, seperti : Kepulauan Aru, Kepulauan Kai, Pulau Banda, Pulau Seram, Pulau Ambon hingga Pulau Buru. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis indikasi kebakaran lahan (Fire Forest) dengan menggunakan channels IR dan I4. -405- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Area Sebaran Asap Area Sebaran Asap Area Sebaran Asap Area Sebaran Asap Area Sebaran Asap Area Sebaran Asap Gambar 1. Peta sebaran asap pada wilayah Maluku hasil analisis teknik RGB. -406- Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) Untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015) (Salman, R., dkk) Gambar 2. Peta titik kebakaran hutan (Fire Forest) wilayah Papua Bagian selatan. Peta titik kebakaran hutan (Fire Forest) diatas menunjukan bahwa titik kebakaran yang terjadi pada wilayah Papua bagian selatan. Berdasarkan analisis mengunakan channel S2 (IR-I4) menunjukan bahwa pada tanggal 21 jam 09.00 hingga 11.30 WIT terdapat 10 titik kebakaran hutan. Hal ini tentu merupakan data pendukung yang sangat akurat karena dengan pasti menunjukan titik hasil kebakaran hutan di wilayah Papua bagian selatan. S2 memungkinkan kita untuk dapat melihat titi panas yang terpantau oleh satelit dengan tanda titik hitam yang muncul secara tetap dan konstan. 4. KESIMPULAN 1. Dengan memanfaatkan data citra satelit himawari-8 yang diolah menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) yang dianalisis dengan teknik RGB khususnya channel VS, N1 dan N3, memudahkan kita untuk memantau pergerakan dan arah sebaran asap secara simultan khususnya terhadap infomasi penerbangan. Kemudian data pendukung seperti titik kebakaran hutan (Fire Forest) yang juga diolah menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) sangat membantu untuk memberikan peringatan bahwa pada tanggal 21 Oktober 2015 telah terjadi kebakaran hutan di wilayah Papua bagian selatan. 2. Pemanfaatan data citra satelit cuaca himawari-8 yang merupakan satelit cuaca geostasioner secara tepat guna, maka akan sangat membantu kita dalam penyampaian informasi secara cepat, tepat dan akurat -407- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 kepada masyarakat maupun instansi terkait. Hal ini diharapkan dapat meminimlisir kerugian jiwa, harta dan benda. DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., dkk., (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia (pp. 89,131). Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Jakarta Maynard (2010). Hazardous Lithometeor Threshold. Meteorological Warnings Study Group (METWSG) third Meeting. ICAO. Montreal. Salman, R., (2015). Pemanfaatan Data Advance Very Height Radiometer (AVHRR) Citra Satelit Cuaca untuk Pemantauan Sea Surface Temperature (SST) Selama Periode Elnino Tahun 2015 di Wilayah Maluku. Laporan Workshop Operasional Satelit Cuaca 2015. Makassar. Shimoji, K., (2015). Introduction To Remote Sensing. The Meteorological Satellite Center of the Japan Meteorological Agency. Makassar. Zakir, A., dkk., (2010). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. (pp.211-212). Pusat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Jakarta *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) pada Wilayah Maluku (Studi Kasus: 21 Oktober 2015). : Rion Salman : Muchammad Soleh (LAPAN): Apakah saat ini di setiap stasiun pemantauan BMKG telah tersedia sistem peringatan dini bahaya asap atau kebakaran hutan untuk keselamatan penerbangan? Jika memang sudah tersedia, berapa lama sebelum waktu terjadinya bahaya tersebut sistem peringatan dini sudah diterima oleh pihakpihak yang membutuhkan informasi cepat, seperti bandara dan sebagainya? Jawaban: Tidak ada jawaban dari penulis. -408- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 Analysis of Atmospheric Conditions in Indonesia Maritime Continent Using JRA-55 Kadarsah1*) 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan, BMKG, Jl.Angkasa I no.2 Kemayoran Jakarta 10720 *) Email: [email protected] ABSTRAK - Analisis kondisi awal tahun (Januari-Februari-Maret,JFM) 2016 merupakan kajian yang sangat menarik karena munculnya berbagai fenomena di Benua Maritim Indonesia (BMI). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi atmosfer BMI dengan memanfaatkan data The Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55). Data JRA-55 merupakan seperangkat data produk Japan Meteorology Agency (JMA) yang menggabungkan data observasi, radiosonde, satelit dan data observasi lainnya selama kurun waktu 55 tahun (1958-2012). Analisis pengaruh kondisi atmosfer BMI terhadap curah hujan menunjukkan terjadi pengurangan curah hujan selama JFM khususnya di Pulau Jawa dan sebagian besar Pulau Sumatera. Pengurangan curah hujan ini terjadi akibat berkurangnya proses pembentukan awan di BMI. Penggunaan data JRA-55 cocok untuk studi tentang perubahan iklim, variabilitas multi-dekade dan monitoring sistem iklim khususnya di BMI. Kata kunci: Benua Maritim Indonesia (BMI), ERA-40, JRA-55, The Japanese 55-year Reanalysis ABSTRACT - Analysis of the conditions in the beginning of year (January-February- March, JFM) 2016 is a very interesting study for the emergence of various phenomena in Indonesian Maritime Continent (IMC). This study aimed to analyze the atmospheric conditions of IMC uses data from the Japanese 55-year reanalysis (JRA-55). The JRA-55 is a dataset from Japan Meteorology Agency (JMA), which combines observational data, radiosonde, satellite and other observation data for a period of 55 years (1958-2012). Analysis of the influence of atmospheric conditions on IMC rainfall showed a reduction in rainfall during JFM especially in Java and most of the island of Sumatra. Reduction of rainfall occurs due to reduced cloud formation processes in IMC. Data usage of JRA-55 is suitable for the study of climate change, multi-decadal variability and climate system monitoring, especially in IMC. Keywords: ERA-40, Indonesia Maritime Continent (IMC), JRA-55, The Japanese 55-year Reanalysis 1. PENDAHULUAN Analisis kondisi atmosfer awal tahun 2016 yaitu pada bulan Januari- Februari-Maret (JFM) merupakan kajian yang sangat menarik karena fenomena cuaca yang terjadi menyebabkan bencana yang menimpa sebagian besar wilayah Indonesia. Bencana alam yang mendominasi tersebut diantaranya banjir, puting beliung dan tanah longsor (BNPB, 2016). Analisis kondisi atmosfer di suatu lokasi sangat penting untuk memahami fenomena-fenomena alam yang terjadi. Salah satu nya adalah pengaruh El Nino yang berdampak pada curah hujan di Indonesia. Fenomena El Nino ditandai dengan peningkatan temperatur di sebagai besar wilayah Indonesia. Peningkatan temperatur ini dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dan berpengaruh terhadap sektor pertanian. Berbagai sirkulasi yang terjadi di atmosfer juga menjadi kajian oleh beberapa ilmuwan. Salah satunya adalah sirkulasi Brewer-Dobson. Analisis sirkulasi Brewer-Dobson menggunakan JRA-55 telah dilakukan oleh Kobayashi dkk (Kobayashi dkk, 2016). Sirkulasi Brewer-Dobson merupakan model sirkulasi sederhana atmosfer, yang diusulkan oleh Alan Brewer dan Gordon Dobson masing-masing pada tahun 1949 dan 1956. Model sirkulasi atmosfer ini menjelaskan keberadaan arus lambat di musim dingin belahan bumi yang meredistribusi udara dari daerah tropis ke extratropis. Selain itu, model ini menjelaskan konsentrasi ozon tropis yang lebih besar dibanding daerah kutub walaupun ozon yang dihasilkan diumumnya di lapisan stratosfer. Sirkulasi Brewer-Dobson digerakan oleh gelombang atmosfer dan dapat mengalami percepatan karena perubahan iklim. Fenomena lainnya adalah analisis Madden–Julian oscillation (MJO) yang juga menggunakan tiga data reanalisis [Japanese 55-year Reanalysis Project (JRA55), Japanese 25-year Reanalysis Project (JRA-25), and ECMWF Interim Re-Analysis (ERA-Interim) (Dee dkk, 2011)] dengan fokus pada variabilitas kolom uap air (Yokoi, 2014). -409- Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah) Selain itu, dalam prediksi cuaca numerik operasional, model yang dipergunakan untuk memprediksi atmosfer didasarkan pada sistem iklim pada saat kondisi awal. Kondisi awal yang diberikan digunakan sebagai masukan prediksi terdiri dari data untuk berbagai parameter prognostik meteorologi - yaitu, parameter yang menentukan hasil prediksi model. Parameter meteorologi spasial juga sangat diperlukan oleh model, misalnya data di setiap titik grid harus sesuai dengan kondisi sekarang dan sebelumnya. Sebaliknya, data pengamatan yang tersedia biasanya tidak mencakup semua parameter prognosis model, dan beberapa parameter lainnya. Data pengamatan juga memiliki distribusi spasial yang berbeda dari model grid, yang hanya berlaku selama rentang waktu tertentu, dan memiliki error pengamatan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan berbagai teknik asimilasi data. Teknik asimilasi ini digunakan untuk menghasilkan analisis kondisi awal, yang merupakan input untuk model numerik , dan dengan mempertimbangkan error dalam model dan data. Luasnya penggunaan data reanalisis tersebut diberbagai bidang, maka analisis kondisi atmosfer pada bulan Januari-Februari-Maret 2016 menggunakan JRA-55 merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat dan menarik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi atmosfer saat periode awal tahun 2016 selama Januari-Maret dengan menggunakan data JRA-55. Hasilnya diharapkan dapat membantu memahami kondisi atmosfer dan antisipasi bencana alam yang akan terjadi di Indonesia. 2. DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data Data yang digunakan adalah JRA-55 (Kobayasi dkk, 2015; Ebita dkk, 2011). Sumber data http://jra.kishou.go.jp/JRA-55/index_en.html. Badan Meteorologi Jepang atau Japan Meteorological Agency (JMA) memiliki proyek penelitian tentang data reanalisis yang disebut dengan Japanese 55-year Reanalysis, atau disingkat JRA-55. Data reanalysis ini menggunakan sistem asimilasi data yang lebih baik dari data reanalysis sebelumnya yaitu JRA-25. Data Reanalisis JRA-55 berdasarkan sistem operasional per Desember 2009 dan data-data pengamatan sebelumnya. Periode analisis meliputi 55 tahun dari tahun 1958, ketika observasi radiosonde mulai dilakukan berbasis global. Data JRA-55 merupakan sistem data yang melengkapi kekurangan JRA-25 (Onogi,K dkk, 2016) sehingga dihasilkan data yang berkualitas tinggi yang homogen. Sistem data yang dihasilkan berdasarkan analisis variasional 4 dimensi (4-Var) sehingga bias utama yang ditemukan pada JRA-25 berkurang secara signifikan dan konsistensi temporal temperature lebih baik. Sehingga JRA-55 sangat cocok untuk studi tentang perubahan iklim dan variabilitas multi-dekade serta untuk monitoring sistem iklim saat ini. Selain itu, JRA-55 dapat digunakan untuk analisis variabilitas iklim dan sirkulasi atmosfer khususnya skala global (Harada dkk, 2016). Analisis klimatologi di laut Jepang juga menggunakan data reanalis JRA-55 untuk mengetahui arah angin dominan yang berpengaruh dilokasi tersebut (Yanase dkk., 2015) dan juga perbandingan ERA-In dan ERA-40 (Laffineur dkk., 2014). Sistem data asimilasi yang digunakan berdasarkan pada model operasional yang digunakan oleh JMA sejak Desember 2009. Penyempurnaan dilakukan pada skema radiasi, sistem 4D-Var dan koreksi variasional bias untuk radiasi satelit. Hasilnya secara signifikan mengurangi bias model, meningkatkan analisis dari konsistensi dinamis dan kemampuan radiasi satelit. Data pengamatan yang digunakan dalam JRA-55 juga digunakan dalam ERA-40 (Uppala dkk., 2005) . Data ERA-40 yang digunakan oleh JMA dalam membentuk JRA-55 diberikan oleh ECMWF yang pada awalnya digunakan dalam JRA-25. Sumber utama dataset pengamatan ERA-40 disediakan oleh ECMWF dengan proses homogenisasi data menggunakan Radiosonde Observation Correction Using Reanalyses (RAOBCORE v1.4) (Haimberger dkk. 2008) 1958 –2006 dan RAOBCORE v1.5 (Haimberger dkk. 2012) 2007 –2012. Selain itu direproduksi satelit observasi GMS, GOES-9 and MTSAT-1R (MSC/JMA), METEOSAT (EUMETSAT), TMI (NASA, JAXA), AMSR-E (JAXA), QuikSCAT (NASA/PO.DAAC), AMI (ESA) dan GNSS-RO (UCAR). Beberapa paremeter yang dikeluarkan oleh JRA-55 ditunjukkan Tabel 1 sedangkan sistem asimilasi data yang digunakan dijelaskan dalam Tabel 2. Tabel 1.Parameter yang Dikeluarkan JRA-55 SLP (Sea Level Pressure) hPa Ps (Surface Pressure) hPa qs (Surface Specific Humidity) Kg/Kg Ts (Surface Temperature) C.Deg T-Td (Surface 2m dew point depression) K Us (Surface Zonal Wind) m/s -410- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Vs (Surface Meridional Wind) Tprat (surface Total precipitation) Latent heat flux (positive: upward) Sensible heat flux (positive: upward) Solar radiation flux (positive: upward) Longwave radiation flux (positive: upward) m/s mm/day W/m2 W/m2 W/m2 W/m2 Tabel 2. Sistem Asimilasi Data JRA-55 Resolusi TL319 (~55 km) Level 60 level sampai 0.1 hPa Asimilasi 4D-Var, 6 jam,T106 model inti Koreksi bias radiansi data satelit VarBC (Deep and Uppala,2009) Model radiatif transfer satelit RTTOV-9.3 (Saunders dkk.2008) Skema radiasi gelombang panjang absorpsi garis distribusi-k dan pra-komputasi tabel transmisi (Chou dkk. 2001) uap air MK_CKD V1.0 (e-type dan p-type) (Zhong and Haigh,1995) Radiasi gas aktif :H2O,O3,CO2,CH4,N2O,CFC11,CFC-12,HCFC-22 Skema radiasi gelombang pendek Absorpsi H2O (Brigleb, 1992) Absorpsi O2 , O3 dan CO2 (Freidenreich and Ramaswamy, 1999) Ozon Pra-1978:klimatologi 1979-sekarang : T42l68 MRI CCM1 (Shibata dkk.2005) Gas Rumah Kaca CO2,CH4,N2O, CFC-11,CFC-12,HCFC-22 2.2 Metodologi Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan parameter yang diperlukan untuk analisis. Parameter tersebut adalah : presipitasi, tekanan dan angin . Selanjutnya dilakukan analisis anomali presipitasi, tekanan dan angin pada bulan Januari-Februari –Maret (JFM) 2016. Data klimatologi normal yang digunakan adalah 1981-2010. Selain itu, dilakukan analisis anomali standar deviasi dan ratarata curah hujan spasial untuk analisis yang lebih mendalam. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Anomali curah hujan Januari-Februari-Maret 2016 (Gambar 1) menunjukkan terjadi kenaikan curah hujan pada bulan Januari khususnya Sumatera bagian Barat. Pada bulan Februari area kenaikan curah hujan bertambah luas meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua dan sebagian besar Sulawesi. Begitupun, curah hujan yang terjadi pada Maret tidak berbeda jauh dengan Februari. Selama JFM terlihat jelas terjadi kenaikan curah hujan dibanding kondisi normal klimatologinya. Kondisi ini menjelaskan kenapa di beberapa wilayah di Indonesia mengalami bencana alam akibat kenaikan curah hujan. Selain itu analisis standar deviasi anomali curah hujan, seperti yang ditunjukkan Gambar 2, terlihat bahwa anomali curah hujan yang terjadi memiliki kenaikan sebesar 1-3 mm/hari di sebagian besar Kalimantan dan Sumatera bagian barat, sedangkan kenaikan anomali curah hujan lainnya < 1 mm/hari. Kenaikan anomali curah hujan dari kondisi normal klimatologisnya menunjukkan bahwa pada JFM sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kenaikan curah hujan khususnya di wilayah daratan. Kenaikan curah hujan dari kondisi normal klimatologisnya tidak melebihi 5 mm/hari sedangkan pengurangan curah hujan mencapai 1 mm/hari. Saat JFM sebagian besar wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan, dan mencapai puncak musim hujan pada akhir Januari dan Februari 2016. Fenomena El Nino masih berada dalam intensitas kuat, tetapi kondisinya terus meluruh dan memasuki fase netral pada bulan Maret/April 2016. Pada akhir Januari 2016 beberapa fenomena atmosfer yang mempengaruhi cuaca di Indonesia yang berpotensi meningkatkan curah hujan. Kondisi Monsoon dingin Asia semakin menguat bersamaan dengan masuknya fase basah osilasi barat-timur (Madden Julian Oscillation) ke wilayah BMI serta didukung dengan kondisi Dipole Mode yang -411- Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah) turut menambah pasokan uap air khususnya di wilayah Indonesia bagian Barat. Selain itu, indeks seruak dingin atau cold surge terlihat meningkat yang juga mengindikasikan peningkatan potensi pertumbuhan awan hujan yang signifikan di wilayah Indonesia bagian barat. Gambar 1. Anomali Curah Hujan Januari-Februari-Maret 2016 Gambar 2. Standar Deviasi Anomali Curah Hujan Januari-Februari-Maret 2016 -412- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 3. Rata-rata Anomali Curah Hujan Yang Meliputi Wilayah Dalam Luasan -150 LS s.d 100 LU Analisis rata-rata anomali curah hujan melintang yang meliputi area -150 LS s.d 100 LU, juga jelas terlihat menunjukkan kenaikan curah hujan . Kenaikan curah hujan yang menonjol di Januari (terlihat puncak grafik, Gambar 3) terjadi pada daerah 950 BT. Kenaikan curah hujan secara signifikan disumbang oleh curah hujan yang terjadi di Sumatera Utara bagian barat. Curah hujan Februari memiliki kondisi curah hujan yang sama dengan Januari tetapi dengan penambahan curah hujan di longitude 110-1150 BT. Lokasi lainnya walaupun memili puncak tetapi nilainya masih negatif atau dibawah 0 mm/hari. Nilai yang negatif juga menunjukkan pengurangan curah hujan di beberapa kawasan tertentu khususnya di lautan. Pengurangan curah hujan ini relatif konsisten selama JFM khususnya pada kawasan sekitar 1250 BT atau wilayah Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Secara klimatologis kawasan ini merupakan kawasan dengan pola curah hujan yang mencapai nilai minimum dibanding bulan-bulan lainnya. Kawasan ini memiliki pola curah hujan antimonsoon atau Indonesian throughflow (Aldrian dan Susanto, 2003). Pola curah hujan ini disebut juga dengan pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun. Tetapi pada awal 2016 ini curah hujan yang sudah rendah ini terlihat lebih rendah lagi dibanding dengan kondisi normalnya. Selanjutnya analisis kondisi atmosfer atas di Wilayah Indonesia selama JFM (Gambar 4) menunjukkan bahwa angin bertiup dari bagian timur Indonesia menuju bagian barat dan mengalami kenaikan pada longitude 95-1000 BT pada Januari. Pola sedikit berbeda terjadi bulan Februari dan Maret, terjadi kenaikan pada130-145 BT selain kenaikan pada longitude 95-1000 BT. Akibatnya disekitar lokasi ini terjadi konveksi yang menyebabkan peningkatan potensi terbentuknya awan. Potensi awan yang terbentuk lebih besar dibanding sekitarnya ini menyebabkan kenaikan curah hujan yang lebih besar dibanding kawasan lainnya. Kondisi atmosfer yang sesuai menyebabkan proses konveksi dapat terjadi dengan baik dan kemudian membentuk awan yang pada akhirnya meningkatkan curah hujan di lokasi tersebut. -413- Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah) Gambar 4. Penampang Melintang Atmosfer dari 1000 mbar-100 mbar Dalam Area -150 LS s.d 100 LU. Pola Angin Zonal Ditunjukkan Garis Putus-Putus dan Kelembapan Spesifik Positif (Negatif) Ditunjukkan Warna Biru (Merah) Selama Januari-Februari-Maret 2016. -414- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 5. Penampang Melintang Atmosfer dari 1000 mbar-100 mbar Dalam Area -150 LS s.d 100 LU. Kecepatan Tekanan Vertikal dan Divergensi Selama Januari s.d Maret 2016. Gambar 5 menunjukkan kondisi atmosfer diatas BMI khususnya mengenai kecepatan tekanan vertikal dan divergensi saat JFM 2016. Kecepatan tekanan vertikal ini dan divergensi membantu analisis curah hujan yang terjadi di beberapa lokasi BMI. Terlihat ketika kecepatan tekanan vertikal ini negatif (positif) maka akan meningkatkan (mengurangi) curah hujan yang terjadi di lokasi tersebut. 4. KESIMPULAN Analisis kondisi atmosfer di Benua Maritim Indonesia dengan menggunakan data reanalisis JRA-55 dapat membantu untuk memahami kondisi atmosfer dan implikasinya di Benua Maritim Indonesia. Data reanalisis JRA-55 merupakan data reanalisis variasional 4 dimensi (4D-Var) produk Japan Meteorological Agency yang memiliki rentang 55 tahun (1958-2012) serta menggabungkan data observasi, radiosonde, satelit dan data observasi. JRA-55 dapat digunakan untuk studi tentang perubahan iklim, variabilitas multi-dekade dan monitoring sistem iklim khususnya di BMI. Kondisi awal tahun 2016 ditandai dengan curah hujan yang relatif lebih tinggi dibanding kondisi normal klimatologinya. Tetapi dibeberapa lokasi terjadi pengurangan curah hujan khususnya Pulau Jawa dan sebagian besar Sumatera hal ini disebabkan pengaruh El Nino masih terjadi. Pengurangan curah hujan dibeberapa lokasi tersebut akibat berkurangnya pembentukan awan. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih diberikan untuk Dr.Ardhasena Sopaheluwakan atas berbagai petunjuk dan saran dalam penggunaan JRA-55. DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., dan Susanto, D., (2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology , 23:1435-1452. Anonim (2016). Jumlah Kejadian Bencana, Korban, dan Dampaknya sampai bulan Januari 2016, diunduh 8 Juni 2016 dari .htpp:/bnpb.go.id Ebita, A., dan Coauthors (2011). The Japanese 55-year reanalysis ‘‘JRA-55’’: An interim report. SOLA, 7:149–152, doi:10.2151/sola.2011-038. -415- Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah) Haiberger, L., Tavolato, C., dan Sperka, S., (2008). Toward elimination of the warm bias in historic radiosonde temperature records—some new results from a comprehensive intercomparison of upper air data. J Climate, 21:4587–4606 Harada, Y., Kamahori, H., Kobayashi, C., Endo, H., Kobayashi, S., Ota, Y., Onoda, H., Onogi, K., Miyaoka, K., dan Takahashi, K., (2016). The JRA-55 Reanalysis: Representation of atmospheric circulation and climate variability. J Meteor. Soc. Japan, doi:10.2151/jmsj.2016-015. Haiberger, L., Tavolato, C., dan Sperka, S., (2012). Homogenization of the Global Radiosonde Temperature Dataset through Combined Comparison with Reanalysis Background Series and Neighboring Station. J Climate, 25:81088131 Hodges, K.I, Lee R.W, dan Bengtsson L., (2011). A Comparison of Extratropical Cyclones in Recent Reanalyses ERAInterim, NASA MERRA, NCEP CFSR, and JRA-25. J Climate, 24:4888-4960 Kobayashi, S., Ota, Y., Harada, Y., Ebita, A., Moriya, M., …, dan Takahashi, K., (2015). The JRA-55 Reanalysis: General specifications and basic characteristics. J Meteor. Soc. Japan, 93:5-48, doi:10.2151/jmsj.2015-001 Laffineur, T., Claud, C., Chaboureau, J.P., dan Noer, G., (2014). Polar lows over the Nordic seas: Improved representation in ERA-Interim compared to ERA-40 and the impact on downscaled simulations. Mon. Wea. Rev., 142:2271–2289, doi:10.1175/MWR-D-13-00171.1. Onogi, K., Tsutsui, J., Koide, H., Sakamoto, M., Kobayashi, S., Hatsushika, H., Matsumoto, T., …, dan Taira, R., (2007). The JRA-25 Reanalysis. J Meteor. Soc. Japan, 85:369-432, doi:10.2151/jmsj.85.369. Shunichi, I.W., Hiroshi, N., Wataru, Y., (2016). Climatology of Polar Mesocyclones over the Sea of Japan Using a New Objective Tracking Method. Monthly Weather Review, 144(7):2503-2515., Uppala, S. M., dan Coauthors (2005). The ERA-40 Re-Analysis. Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 131:2961–3012. Yanase, W., Niino, H., Watanabe, S., Hodges, K., Zahn, M., dan Gurvich, I.A., (2015). Climatology of Polar Lows over the Sea of Japan Using the JRA-55 Reanalysis , J Climate, 29:419-437 Yokoi, S., (2014). Multireanalysis Comparison of Variability in Column Water Vapor and Its Analysis Increment Associated with the Madden–Julian Oscillation. J Climate, 28:793-808. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah DAFTAR ACARA PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Analisis Kondisi Atmosfer Di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 : Kadarsah (BMKG) : Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing. (LAPAN) 1. Mohon setiap gambar dengan sumbu X dan Y dituliskan satuannya 2. Disebutkan bahwa data JRA 55 digabungkan dengan data observasi, radiosonde, satelit dan data observasi. Mohon dijelaskan data observasi, radiosonde, satelit dan data observasi diperoleh dari mana? dan dijelaskan hubungan setiap data dengan grafik curah hujan dan kondisi atmosfer. Jawaban: 1. Terimakasih atas saran gambar, akan diperbaiki. 2. JRA merupakan data reanalisis selama 55 tahun (sebelumnya JRA-25, data reanalisis 25 tahun) produk JMA (Japan Meteorology Agency). Data ini setelah melalui proses menggunakan asimilasi, ddln mengabungkan data observasi, radiosonde, satelit. Data observasi yang mereka peroleh dari data WMO (data WMO ini merupakan kumpulan dari data anggotanya termasuk Indonesia). Detail tentang sumber, proses asimilasi dlln dijelaskan dalam referensi mengenai JRA-55.(Kobayashi, S., Y. Ota, Y. Harada, A. Ebita, M. Moriya, H. Onoda, K. Onogi, H. Kamahori, C. Kobayashi, H. Endo, K. Miyaoka, and K. Takahashi , (2015). The JRA-55 Reanalysis: General specifications and basic characteristics. J. Meteor. Soc. Japan, 93, 5-48, doi:10.2151/jmsj.2015-001). Grafik yang digambarkan jelas memiliki hubungan dengan kondisi atmosfer khususnya di BMI (Benua MAritim Indonesia). Kondisi curah hujan yang terjadi dibeberapa wilayah BMI dipengaruhi atau ada variabel lain yang terlihat berubah misalnya kecepatan vertikal, divergensi, arah dan kecepatan angin. Yang ditunjukkan disini hanya contoh untuk kecepatan vertikal dan divergensinya. -416- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) Rainfall Intensity Classification from Himawari-8 using Support Vector Machine Algorithm Raafi’i Darojat Triyoga 1*) dan AgieWandala2 1 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) *) E-mail: [email protected] ABSTRAK –Teknologi penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan berbagai bidang, salah satunya adalah estimasi curah hujan. Hingga saat ini teknik estimasi curah hujan khususnya dengan pemanfaatan data citra satelit banyak dilakukan dengan metode matematis dan deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk membuat klasifikasi intensitas hujan dari satelit Himawari-8 dengan resolusi spasial mencapai 4 km untuk kanal infra merah. Model estimasi yang digunakan adalah pendekatan metode Support Vector Machine (SVM) yang merupakan cabang ilmu dari Artificial Neural Network (ANN). Perhitungan matematis dengan metode ini menghasilkan output dengan meminimalkan nilai error sehingga model estimasi memiliki performa yang baik dalam mengklasifikasi kejadian hujan. Wilayah yang digunakan dalam eksperimen ini yaitu pulau Jawa dengan menggunakan lima kanal dari Himawari-8, yaitu kanal-kanal 7 (3,85 µm), kanal 8 (6,25 µm), kanal 13 (10,45 µm), dan kanal 15 (12,35 µm). Data GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) digunakan sebagai data pembanding sekaligus menjadi data training eksperimen klasifikasi curah hujan. Batasan klasifikasi target antara lain: A (0 mm), B (0,01-0.5 mm), C (0,5-1 mm), D (1-2 mm), E (2-4 mm), F (48 mm), G (8-12 mm), H (12-20 mm), dan I (≥20 mm). Teknik yang dibangun menghasilkan estimasi klasifikasi daerah hujan yang cukup baik, dilihat dari sebaran hujan pada tanggal 14 Desember 2015 yang mendekati kondisi aktual. Nilai Root Mean Squared Error (RMSE) 0,2187, Mean Absolute Error (MAE) 0,0478 dan akurasi hingga 70 % mengindikasikan bahwa performa model estimasi curah hujan dengan SVM menunjukan bias yang cukup kecil dan kemampuan estimasi area hujan yang cukup akurat. Kata kunci: Estimasi Curah Hujan, Himawari-8, Support Vector Machine (SVM) ABSTRACT - Remote sensing technology has been largely used for the needs of various fields includes the rainfall estimation problems. Recently, rainfall estimation techniques using satellite imagery data are mostly developed by mathematical and descriptive methods. This research purposed to classify the rainfall intensity from Himawari-8 satellite data with a spatial resolution up to 4 km for infrared channels. The numerical model to solve the problems is Support Vector Machine algorithm (SVM), which is a branch of Artificial Neural Network (ANN). Mathematical calculations with this method generates output by minimizing the error value so that the estimation models have good performance in classifying rainfall event. The area of experiment is Java island by using five channels of Himawari-8, the image of channel 13 (11 µm), the image of channel 15 (12 µm), the image of channel 8 (6,7 µm) and the image of the channel 7 (3,9 µm). GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) data is used as the comparative data and a training data of experiments rainfall classification. Limitation of the target classification among others: 0 mm, 0.01-1 mm, 1-5 mm, 5-10 mm, 10-20 mm > 20 mm. This technique showed a good estimation of area rainfall classification, indentified from the distribution of rainfall on December 14, 2015 that approached an actual conditions. The value of Root Mean Squared Error (RMSE) 0,2401 and the accuracy up to 82,4% indicated that the performance of rainfall estimation model with SVM showed small bias and accurate result. Keywords: Rainfall Estimation, Himawari-8, Support Vector Machine (SVM) 1. PENDAHULUAN Hujan menjadi salah satu fenomena penting dalam kajian meteorologi karena merupakan suatu kejadian yang paling sering menjadi sorotan akibat dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, bencana yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan semakin meningkat, hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk selalu memperbaharui dan menyempurnakan metode prakiraan curah hujan. Kondisi cuaca Indonesia yang cenderung terpangaruh oleh fenomena lokal membuat metode untuk prakiraan curah hujan menjadi sangat beragam, tergantung dari letak geografis, kondisi topografi serta kondisi iklim daerah tersebut. -417- Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk) Hujan merupakan hal yang penting dalam siklus hidrologi dan memiliki variasi spasial serta temporal yang sangat besar. Curah hujan juga penting dalam prediksi cuaca dan iklim di mana diperlukan cakupan data yang luas dan akurat, sehingga pengetahuan tentang jumlah curah hujan pada suatu daerah menjadi sangat penting. Data curah hujan yang ada di Indonesia saat ini masih terbatas dari alat penakar hujan konvensional manual dan/atau dari data Automatic Weather Station (AWS) yang tersebar di Indonesia. Namun untuk daerah kepulauan terutama daerah yang terpencil masih jauh dari jangkauan alat penakar hujan, baik konvensional maupun otomatis. Oleh karena itu pengembangan estimasi curah hujan sangat diperlukan. Salah satunya adalah estimasi curah hujan dengan menggunakan data dari citra satelit. Tulisan ini bertujuan menguji metode estimasi curah hujan dengan menggunakan nilai klasifikasi pada data satelit Himawari-8 menggunakan perhitungan matematis Support Vektor Machine (SVM) Algorithm. Penggunaan metode ini didasarkan pada kelebihannya yang mampu menghitung pola data dalam jumlah yang besar dengan meminimalkan nilai error sehingga dapat memaksimalkan hasil yang akan dicapai nantinya. 2. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental. Dimana sampel tempat dan waktu diambil secara subjektif sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel wilayah pulau Jawa dengan koordinat 105o – 114oE dan o 4.5 – 9oS untuk waktu kejadian hujan tanggal 14 Desember 2015 untuk jam 01-23 UTC. Data yang digunakan adalah data olahan per grid dengan rentang 0.10 untuk spasial wilayah penelitian. Data utama yang digunakan merupakan data dari hasil olahan citra infrared satelit Himawari-8 yang terdiri dari kanal 7 (3.85 µm), kanal 8 (6.25 µm), kanal 13 (10.45 µm), dan kanal 15 (12.35 µm). Penggunaan hanya kanal infrared saja didasarkan pada fungsi dari masing masing kanal yang berkaitan satu sama lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapannya dalam penelitian ini. Selain itu, penggunaan kanal infrared saja bertujuan untuk mendapat pola data dengan distribusi data yang seimbang karena seluruh nilai dari data kanal infrared cenderung memiliki besaran nilai yang sama. Himawari-8 merupakan satelit cuaca dengan orbit geostasioner yang dioperasikan oleh Japan Meteorological Agency (JMA) dengan koordinat orbit 140oE yang melewati wilayah Jepang, Papua dan Australia bagian tengah. Himawari-8 merupakan penerus dari satelit cuaca sebelumnya yaitu Multifunctional Transpotr Satellite (MTSAT-2). Satelit Himawari-8 telah mengalami pengembangan yang signifikan dengan menawarkan kelebihan pada frekuensi dan resolusi dari citra yang dihasilkan. Data yang digunakan sebagai data truth atau data pembanding untuk mendapatkan pola klasifikasi hasil estimasi potensi hujan berdasarkan data citra satelit Himawari-8 adalah dari data GSMaP. Data GSMaP digunakan karena data tersebut merupakan data observasi curah hujan menggunakan satelit sehingga jenis data ini dianggap cocok untuk dijadikan sebagai data pembanding dengan data dari citra Himawari-8. GSMaP atau Global Satellite Mapping of Precipitaion,merupakan sebuah projek yang dipromosikan oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) pada tahun 2007 yang bertujuan untuk mempromosikan kajian tentang produk peta curah hujan global yang akurat dengan resolusi tinggi menggunakan data satelit. Data ekstraksi hasil olahan awal dari GSMaP diklasifikasikan berdasarkan pola data yang tersedia, eksperimen dilakukan menggunakan klasifikasi nilai dengan rentang antara lain: A (0 mm), B (0,01-0,5 mm), C (0,5-1 mm), D (1-2 mm), E (2-4 mm), F (4-8 mm), G (8-12 mm), H (12-20 mm), dan I (≥20 mm). Komputasi dilakukan dengan data permulaan waktu sekarang untuk membangun sebuah model estimasi yang digunakan untuk perhitungan estimasi potensi curah hujan satu jam yang akan datang, pola perhitungan ini dilakukan secara berkelanjutan. Sebagai contoh, untuk melakukan estimasi hujan jam 01 Z, maka data yang digunakan untuk membangun model estimasi adalah data jam 00 Z. Data olahan citra satelit, data curah hujan GSMaP dan data klasifikasi curah hujan kemudian digabung dalam sebuah file dengan format baris dan kolom dengan posisi lintang dan bujur yang sama. Data gabungan tersebut kemudian dikomputasi lebih lanjut dengan perhitungan algoritma SVM menggunakan program analisis numerik untuk memperoleh hasil estimasi potensi hujan berdasarkan klasifikasi rentang nilai yang telah ditentukan. SVM (Support Vector Machine) merupakan proses perhitungan matematika yang meniru sistem kerja jaringan saraf otak manusia atau yang biasa dikenal dengan istilah Artificial Neural Network (ANN). Dengan sistem kerja ini, komputasi dapat dilakukan dengan menggunakan banyak data dengan hasil perhitungan yang memiliki nilai error yang relatif kecil. -418- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Data olahan awal Data Himawari-8 dengan grid 0.1 o Data GSMaP Data Olahan Algoritma SVM Model Estimasi Perhitungan dengan Data citra satelit Estimasi Potensi Hujan Gambar 1. Alur Pengolahan Data. SVM merupakan sebuah algoritma pelatihan yang memaksimalkan margin antara pola pelatihan dan batas keputusan yang disajikan. Jumlah efektif parameter diatur secara otomatis agar sesuai dengan kompleksifitas masalah. Secara prinsip, SVM merupakan sebuah klasifikasi data linier yang solusinya dinyatakan sebagai kombinasi linear dari pola pendukung (Boser, 1994). Data output hasil prediksi potensi curah hujan yang telah dihasilkan dari perhitungan model estimasi tersebut kemudian dipetakan berdasarkan wilayah penelitian menggunakan perangkat lunak sistem informasi geografis untuk mendapatkan sebuah gambaran wilayah yang memiliki potensi hujan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data olahan awal yang dihasilkan dengan menggunakan grid 0,10, menghasilkan data grid dengan jumlah 4186 titik untuk wilayah pulau Jawa. Data tersebut dikomputasi dengan menggunakan program analisis numerik untuk menghasilkan estimasi potensi hujan selama 1 jam yang akan datang. Data pembanding atau data curah hujan aktual yang digunakan untuk mendapatkan tingkat keakuratan dari estimasi hujan diperoleh dari dari data curah hujan GSMaP. 3.1 Analisis Peta Hujan Untuk analisis dan pembahasan peta hujan, terdapat dua peta yang disajikan, yaitu Peta Hujan Aktual dan Peta Estimasi Potensi Hujan. Untuk sampel analisis dan pembahasan peta hujan, digunakan jam 14 UTC, 15 UTC, dan 16 UTC sebagai sampel, karena sebaran hujan yang relatif banyak hampir di seluruh pulau Jawa dengan intensitas yang relatif tinggi. Hal ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana sensitifitas sebaran estimasi potensi hujan terhadap hujan aktualnya. Gambar 3. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 14 UTC Gambar 2. Peta Hujan Aktual Jam 14 UTC -419- Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk) Pada peta hujan aktual jam 14 UTC (Gambar 2), menunjukan sebaran hujan yang paling banyak dengan intensitas di atas 8 mm terdapat pada bagian tengah dari pulau Jawa yang mencakup hampir seluruh bagian tengah wilayah pulau Jawa. Untuk peta estimasi potensi hujan jam 14 UTC (Gambar 3), terdapat wilayah overestimate di bagian perairan selatan pulau Jawa. Sebaran intensitas hujan di atas 8 mm sedikit bergeser ke arah utara bila dibandingkan dengan peta hujan aktualnya. Nilai akurasi peta estimasi potensi hujan jam 14 UTC yaitu sebesar 40,83% bila dibandingkan dengan hujan aktualnya. Gambar 5. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 15 UTC Gambar 4. Peta Hujan Aktual Jam 15 UTC Pada Peta Hujan Aktual jam 15 UTC (Gambar 4), menunjukkan wilayah dominan curah hujan dengan intensitas di atas 8 mm terdapat di bagian tengah, perairan utara, dan perairan selatan pulau Jawa. Terdapat intensitas hujan lebih dari 20 mm (yang ditandai denga warna merah) di wilayah utara perairan pulau Jawa. Peta Estimas Potensi Hujan jam 15 UTC (Gambar 5) memiliki pola sebaran yang hampir sama dengan hujan aktualnya. Namun, terdapat wilayah yang overestimate untuk wilayah tengah pulau, perairan bagian utara dan perairan bagian selatan pulau Jawa. Wilayah overestimate pada peta estimasi memiliki intensitas hujan lebih dari 12 mm yang dominan pada sebaran luasan potensi hujannya. Nilai akurasi pada Peta Estimasi Potensi Hujan jam 15 UTC yaitu 50,79% terhadap hujan aktualnya. Gambar 7. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 16 UTC Gambar 6. Peta Hujan Aktual Jam 16 UTC Peta Hujan Aktual jam 16 UTC (Gambar 6) memiliki sebaran hujan sama seperti pada Peta Hujan Aktual jam 15 UTC (Gambar 4) dengan sebaran hujan di wilayah perairan utara, bagian tengah pulau, dan wilayah perairan bagian selatan pulau Jawa dengan sebaran hujan mencapai lebih dari 12 mm hingga lebih dari 20 mm. terdapat juga wilayah sebaran hujan pada lebih dari 8 mm hingga di atas 20 mm untuk perairan sebelah timur laut pulau Jawa. Pada Peta Estimasi Potensi Hujan jam 16 UTC (Gambar 7), didominasi oleh wilayah overestimate dengan sebaran potensi hujan yang hampir sama dengan hujan aktualnya. Nilai intensitas lebih dari 20 mm pada sebaran potensi hujan terlihat lebih banyak dibandingkan dengan sebaran hujan aktualnya. Nilai akurasi untuk Peta Estimasi Potensi Hujan jam 16 UTC mencapai 50,67% dari sebaran hujan aktualnya. 3.2 Analisis Tingkat Keakuratan. Untuk anilisis tingkat akurasi dari hasil estimasi potensi hujan untuk tanggal 14 Desember 2015 jam 01 – 23 UTC dilakukan dengan menggunakan 3 kriteria, yaitu Nilai Tingkat Akurasi, Mean Absolute Error (MAE), dan Root Mean Squared Error (RMSE). Time (UTC) 01 02 Tabel 1. Validasi Tingkat Keakuratan Mean Absolute Root Mean Squared Tingkat Akurasi Error Error 50.48 % 0.11 0.3317 49.47 % 0.1123 0.3351 -420- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Time (UTC) 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Mean Absolute Error 0.1122 0.1044 0.1124 0.1187 0.1041 0.1702 0.1525 0.1566 0.1542 0.1429 0.1295 0.1315 0.1094 0.1096 0.1091 0.1116 0.1045 0.0947 0.1046 0.0526 0.0478 Tingkat Akurasi 49.52 % 53.03 % 49.40 % 46.58 % 53.15 % 23.41 % 31.37 % 29.53 % 30.65 % 35.69 % 41.73 % 40.83 % 50.79 % 50.67 % 50.91 % 49.79 % 52.69 % 57.38 % 52.94 % 76.33 % 78.48 % Root Mean Squared Error 0.3349 0.3231 0.3353 0.3445 0.3227 0.4125 0.3905 0.3957 0.3926 0.378 0.3598 0.3626 0.3307 0.3311 0.3303 0.334 0.3233 0.3077 0.3234 0.2294 0.2187 Tingkat akurasi yang dihasilkan dari hasil estimasi potensi hujan terhadap hujan aktualnya dengan validasinya (Tabel 1) memiliki keterkaitan, semakin besar nilai tingkat akurasi maka semakin kecil nilai dari RMSE dan MAE artinya hasil estimasi yang dihasilkan semakin mendekati kondisi aktualnya. 76,33% 52,94% 57,38% 52,96% 50,91% 49,79% 50,67% 50,79% 41,73% 40,83% 35,69% 30,63% 31,37% 29,53% 53,15% 49,40% 46,58% 53,03% 23,41% 40,00% 49,52% 60,00% 50,48% 80,00% 49,47% Nilai Akurasi 100,00% 78,48% Tingkat Akurasi 20,00% 0,00% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Jam (UTC) Gambar 8. Tingkat Akurasi Estimasi Potensi Hujan pada tanggal 14 Desember 2015, menunjukkan ada variasi tingkat akurasi yang terjadi selama 23 Jam (Gambar 8). Pada jam 01 UTC hingga 07 UTC, tingkat akurasi masih relatif sama yaitu di kisaran 46 – 53 %. Kemudian tingkat akurasi tersebut turun hingga menyentuh angka 23 % pada jam 08 UTC. Namun setelah jam 08 UTC, trend tingkat akurasinya naik secara berkala hingga nilai 78 % pada jam 23 UTC. Secara keseluruhan, nilai akurasi estimasi potensi hujan bernilai positif. Hasil estimasi yang dihasilkan memiliki nilai akurasi yang bertambah hingga mencapai puncaknya pada jam 23 UTC yaitu 78,48 %. Dengan nilai akurasi ini, estimasi yang dihasilkan oleh perhitungan menggunakan komputasi algoritma SVM dengan data satelit Himawari-8 selalu menunjukkan hasil yang relatif baik dengan nilai akurasi yang mencapai lebih dari 70%. -421- Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk) Gambar 9. Nilai RMSE dan MAE Validasi menggunakan nilai RMSE dan MAE bertujuan untuk menghitung keakuratan sebuah model terhadap nilai aktualnya. Nilai RMSE dan MAE memiliki nilai semakin rendah, maka model tersebut semakin valid dan mendekati keadaan aktualnya. Nilai RMSE dan MAE untuk estimasi hujan tanggal 14 Desember 2015 jam 01 – 23 UTC (Gambar 9), menunjukkan hasil yang positif. Nilai validasi yang dihasilkan paling tinggi yaitu RMSE mencapai 0,2187 dan MAE mencapai 0,0478. Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi potensi hujan yang dihasilkan dengan komputasi Algoritma SVM menggunakan data citra satelit Himawari-8, secara berkala mampu mendekati kondisi aktualnya. 4. KESIMPULAN Model estimasi potensi hujan dengan komputasi Algoritma SVM menggunakan data citra satelit Himawari-8 menunjukan hasil yang positif dengan tingkat akurasi lebih dari 70%. Peta Estimasi Potensi Hujan yang dihasilkan secara umum memiliki pola sebaran hujan yang hampir sama dengan hujan aktualnya. Sedangkan intensitas pada peta estimasi potensi hujan cenderung overestimate dari hujan aktualnya. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) atas bantuannya dalam menyediakan data satelit Himawari-8 untuk tanggal 14 Desember 2015. DAFTAR PUSTAKA Adler, R. F., dan Negri, A. J. (1988). A satellite technique to estimate tropical convective and stratiform rainfall. J. Appl. Meteor., 27:30–51. Ahrens, D.C. (2012). Tenth edition of Meteorology Today : An Introduction To Weather, Climate, And The Environment. Brooks/Cole, USA. Boser, Benhard E., Isabelle, M., Guyon, Vladimir, N., dan Vapnik (1992). A Train Algortihm for optional margin classifiers. Proceeding of the fifth annual workshop on Computational learning theory, USA. Kidd, C., dan George, H. (2011). Global Precipitation Measurement. Meteorol. Appl., 18:334-353. Kubota, Takuji, Ken’ichi, O., Shige, Ushio, T., …, dan Oki, R. (2007). Presentasi The Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) Project. The 7th GPM International Planning Workshop. BellesaleKudan, Tokyo, Japan. Sembiring, K., (2007). Penerapan Teknik Support Vector Machine untuk Pendeteksian Instruksi pada Jaringan. Tugas Akhir. Teknik Elektro dan Informatika ITB, Bandung. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Nama Pemakalah : Klasifikasi Intensitas Hujan Dari Data Himawari-8 Menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) : Raafi'i Darojat Triyoga -422- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Diskusi : Pertanyaan: Nur Setyawan (BMKG): Resolusi Himawari-8 dari data BMKG memiliki resolusi 0,04 x 0,040, sedangkan untuk olahan data menjadi 0,10. Bagaimana cara menjadikan data tersebut menjadi 0,10? Jawaban: Resolusi yang digunakan dalam olahan data 0,10 sebagai eksperimen awal untuk mendapatkan resolusi data yang seimbang dengan data GSMaP sebagai data pembanding. Metode yang digunakan untuk mengubah resolusi tersebut adalah metode upscaling. Pemilihan metode ini untuk mendapatkan nilai yang sesuai antara kedua jenis data tersebut untuk selanjutnya dapat dilakukan komputasi untuk menghasilkan estimasi hujan. Pertanyaan: Dony Kushardono (Pustfatja LAPAN): 1. Apakah SVM itu mengklasifikasi jenis awan dari data satelit? 2. Akurasinya sampai berapa? Jawaban: 1. Penggunaan metode komputasi SVM pada penelitian ini bukan ditunjukan untuk mengklasifikasikan jenis awan. Namun untuk mengklasifikasikan hujan dengan menggunakan data dari satelit Himawari-8. Estimasi yang dilakukan lebih kepada sifat dari setiap kanal yang digunakan untuk langsung dapat menghasilkan estimasi hujan dengan mengabaikan jenis awan. 2. Untuk akurasi, penggunaan metose komputasi SVM memiliki tingkat akurasi mencapai 70% (untuk eksperiman kejadian selama periode 23 jam) -423-