Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau

advertisement
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-Pulau Kecil
Menggunakan data Citra Satelit Landsat 8
Studi Kasus: Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta
The Estimation of Small Island’s Extensive with Landsat 8 Image
Case Study: Pramuka Island, Thousand Island Jakarta
Kuncoro Teguh Setiawan1*), Nanin Anggraini1, danAnneke Karinda Sherly Manoppo1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRACT-Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal pula sebagai negara maritim. Wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari 13.466 buah pulau. Kondisi ini merupakan anugrah yang sangat
besar bagi pemerintah sebagai salah satu aset kekayaan alam. Penginderaan Jauh merupakan salah satu teknologi yang
dapat digunakan untuk menentukan luasan dari pulau-pulau kecil. Tujuan penelitian ini adalah menentukan luas wilayah
di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan menggunakan data citra Landsat 8. Citra satelit Landsat 8
sangat potensial bila digunakan untuk menentukan daerah pulau-pulau kecil. Metode yang digunakan adalah rasio kanal
antara kanal NIR dan kanalHijau dari citra Landsat 8 yang diakuisisi tahun 2015.Berdasarkan metode tersebut luas
wilayah Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta teridentifikasi sebesar 27,27 Ha.
Kata kunci: luas daerah, Pulau-pulau kecil, Landsat 8
ABSTRACT-As the world’s largest archipelago nation, Indonesia is also known as a maritime nation. Coastal areas
and small islands in Indonesia consists of 13.466 islands. This condition is a huge boon for the government as one of
the assets of natural resources. Remote sensing is a technology that can be used to define the extents of the small
islands. The purpose of this study was to determine the total area in Pramuka Island in Thousand islands Jakarta.
Landsat 8 satellite imagery potential when used to determine the area of small islands. The method used in this
research is the band ratio between the NIR band and Green band of Landsat 8. We used Landsat 8 data which was
acquired in 2015. The result showed that the extent of Pramuka Island in Jakarta was 27.27 Ha.
Keywords: extensive,small islands, Landsat 8
1.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 13.466 buah pulau (Yusuf, 2014) yang
tersebar dari Sabang sampai Marauke. Luasnya wilayah Indonesia serta banyaknya jumlah pulau tersebut
menyebabkan kesulitan untuk menghitung dan mengetahui luas dari masing-masing pulau (Gambar 1).Salah
satu solusi yang dapat digunakan untuk deteksi dan identifikasi pulau-pulau kecil tersebut adalah dengan
memanfaatkan teknologi pengideraan jauh. Selain untuk deteksi pulau, teknologi penginderaan jauh yang
telah berkembang pesat dapat digunakan untuk mengidentifikasi luas suatu daratan. Teknologi ini akan
sangat mendukung untuk kegiatan pengelolaan kawasan pesisir, salah satu contoh kajian yang memanfaatkan
data inderaja adalah Kajian Pemanfaatan Ruang Pulau Natuna oleh Candra (2003).
Salah satu data satelit yang dapat digunakan untuk menghitung luas daratan adalah Landsat Data
Continuity Mission (LDCM) atau lebih dikenal dengan Landsat 8. Landsat 8 sebagai satelit lingkungan
memiliki 11 kanal dengan sensor Onboard Operational Land Imager (OLI: kanal 1-9) dan Thermal Infrared
Sensor (TIRS: kanal 10 dan 11) dengan tiga jenis resolusi spasial. Kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6,7 dan kanal 9
memiliki resolusi spasial 30 m, sedangkan kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m. Selain
resolusi spasial 30 m dan 15 m, kanal TIR-1 dan TIR-2 (10 dan 11) memiliki resolusi spasial 100 m
(Acharya dan Yang, 2015). Generasi baru dari Landsat ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan
Landsat sebelumnya.
Keunggulan khusus Landsat 8 adalah rentang panjang gelombang yang ditangkap serta spesifikasi dari
masing-masing kanal. Kanal 1, 9, 10, dan 11 adalah kanal-kanal dengan spesifikasi baru yang lebih sensitif.
Kanal 1 (coastal/aerosol) mampu menangkap panjang gelombang yang lebih rendah sehingga lebih sensitif
pada perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Kanal ini mampu mengidentifikasi karakteristik tampilan air
laut pada kedalaman yang berbeda. Kanal 9 dapat digunakan untuk deteksi awan cirrus dan kanal 10-11
dengan resolusi 100 m bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi (Sugiarto,
-294-
Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.)
2013).Banyaknya kanal serta rentang panjang gelombang yang pendek menjadikan Landsat 8 sebagai pilihan
menarik untuk digunakan sebagai alat monitoring permukaan bumi. Kelebihan lainnya dari citra Landsat 8
adalahadanya citratime series dengan liputan wilayah yang luas sehingga dapat digunakan untuk deteksi
perubahan suatu wilayah. Selain untuk identifikasi daratan dan perairan, Landsat 8 telah banyak digunakan
untuk pemukiman (Bhatti dan Tripathi, 2014; Alhawiti dan Mitsova, 2016), suhu permukaan (Avdan dan
Jovanovska, 2016; Rajeshwari, 2014)
Pulau-pulau kecil meliputi 7% dari wilayah dunia, dan merupakan entitas daratan yang memiliki
karakteristik dan kerentanan khusus sehingga pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda
dengan wilayah daratan lain, khususnya pulau besar (mainland). Menurut definisi yang dikeluarkan oleh
PBB dalam UNCLOS tahun 1982 dalam Jaelani dkk (2012), definisi pulau adalah massa daratan yang
terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang tertinggi.
Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat
syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai 'pulau' (Retraubun, 2009), yakni:
 memiliki lahan daratan
 terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi
 dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar
 selalu berada di atas garis pasang tinggi.
Mangrove, gosong, batu tidak dapat dikategorikan sebagai pulau karena tidak memenuhi kriteria
tersebut. Namun, definisi pulau kecil masih dalam pengembangan sampai saat ini. Hess (1990) menyatakan
pulau kecil adalah pulau dengan jumlah penduduk sama atau kurang dari 200.000 orang. Alternatif batasan
pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum
5.000 km (Bengen dan Retraubun 2006). Di Indonesia, pulau kecil merupakan pulau yang mempunyai luasan
kurang atau sama dengan 10.000 km² (KepMen KKP,2000). Menurut UU No.27 Tahun 2007, pulau kecil
adalah pulau dengan luas area ≤ 2000 km2, dan pulau sangat kecil adalah pulau dengan luas area ≤ 100 km2.
Gambar 1. Contoh Pulau Kecil di Indonesia
Pemanfaatan pulau-pulau kecil Indonesia diprioritaskan untuk tujuan konservasi; pendidikan dan
pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan/kelautan dan industri
perikanan secara lestari; dan untuk pertanian organik dan/atau peternakan. Dalam kaitannya dengan
pembangunan pulau-pulau kecil skala dan lokasi pulau di Indonesia sangat berpengaruh, namun hal tersebut
tidak menjadi kendala untuk negara maju seperti Hawai dan Singapura (Brookfield, 2002). Informasi luas
suatu pulau menjadi satu kebutuhan dalam mengidentifikasi suatu pulau dan peruntukan yang tepat untuk
masing-masing pulau. Tujuan dari penulisan ini adalah menentukan luas wilayah pulau kecil di Indonesia
menggunakan data citra Landsat 8, dengan studi kasus di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
2.
METODE
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data Landsat 8 terkoreksi tanggal 15 Agustus 2015
dengan path/row 122/64. Wilayah kajian yang menjadi studi kasus adalah Pulau Pramuka yang termasuk
dalam gugusan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta (Gambar 2).
-295-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2. Lokasi Penelitian (Pulau Pramuka)
Langkah awal yang dilakukan adalah penggabungan kanal dari citra Landsat 8 tanpa melakukan koreksi
baik geometrik maupun radiometrikkarena data Landsat 8 yang digunakan sudah terkoreksi
keduanya.Selanjutnya dilakukan pembuatan komposit citraRed Green Blue (RGB) untuk mempermudah
identifikasi pulau.Kombinasi kanal yang digunakan adalah Natural Color CompositRGB: kanal Red (4),
Green (3), Blue (2)sehingga dapat terlihat lebih jelas antara daratan dan perairan.
Proses selanjutnya adalah pemisahan daratan dan perairan dengan menggunakan rasio kanal. Kanal yang
digunakan untuk algortima band ratio adalah kanal 5 (Near Infra Red- NIR) dan 3 (Green ). Kanal NIR
Landsat 8 memiliki fungsi untuk deteksi biomassa serta garis pantai sedangkan kanal 3 memiliki panjang
gelombang yang mampu mempertegas puncak vegetasi (Widjaja, 2014). Algoritma yang digunakan adalah
penyederhanaan dari formula yang digunakan oleh Winarso et al, 2001, yaitu:
B5/B3 ≥ X then 255 else null.........................................................................................................................(1)
dimana:
B3
B5
X
:
:
:
Kanal 3
Kanal 5
Nilai threshold slicing
Setelah citra telah terpisahkan antara daratan dan perairan, proses selanjutnya adalah klasifikasi untuk
mendapatkan dua kelas yaitu kelas daratan dan kelas perairan. Metode klasifikasi yang digunakan adalah
metode klasifikasi unsupervised. Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penghitungan luas pulau.
Diagram alur penelitian disajikan pada Gambar 3.
-296-
Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.)
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
3.
HASILDAN PEMBAHASAN
Data citra yang digunakan adalah citra reflektansi terkoreksiLandsat 8 path/row 122/64 hasil perekaman
tanggal 15 Agustus 2015 yang diterima dari Pustekdata LAPANh. Oleh karena itu pada penelitian ini tidak
dilakukan lagi proses koreksi data, baik koreksi radiometrik, maupun koreksi geometrik karena data yang
digunakan sudah terkoreksi keduanya. Proses penelitian ini diawali dengan penggabungan kanal dari citra
reflektansi Landsat 8.
Penggabungan kanal dari data citra Landsat 8 dilakukan untuk membantu pembuatan komposit RGB:
kanal Red (4), Green (3), Blue (2). Pemilihan RGB komposit 432 dilakukan untuk menunjukkan kondisi
Pulau Pramuka dengan jelas seperti disajikan pada Gambar 4. Gambar 4memperlihatkan dengan jelas
perbedaan antara daratan dan perairan.Wilayah daratan ditunjukkan pada daerah yang berwarna kemerahan
dan hijau yang berasosiasi dalam satu daerah tengah. Wilayah perairan dangkal yang didalamnya ada obyek
pasir, lamun, karang hidup dan karang mati terlihat dalam warna yang tercampur, diantaranya adalah cyan,
putih, hijau dan merah kecoklatan yang tersebar mengelilingi daratan. Kemudian wilayah perairan laut dalam
yang ditunjukkan oleh warna biru tua yang tersebar mengelilingi perairan dangkal.
Hasil pembuatan komposit RGB 432 dilakukan untuk pembanding sekaligus penentu dalam pemisahan
antara peraiaran dan daratan. Pemisahan antara daratan dan perairan menggunakan metode rasio kanal antara
b5 dan b3 sesuai dengan algoritma yang dikembangkan oleh Winarso et al. (2001). Dasar penentuan kanal
adalah karakter dari masing-masing kanal pada Landsat 8. Kanal 5 (NIR) dengan panjang gelombang 1,55 –
1,75 mm memiliki informasi mengenai perbedaan warna antara tanah terbuka dengan objek-objek lain.
Kanal ini sesuai untuk studi kandungan air tanah, air pada tanaman, formasi batu-batuan dan geologi pada
umumnya. Kanal 3 (Green) dengan panjang gelombang 0,63 – 0,69 mm memiliki informasi mengenai
perbedaan antara vegetasi dan non vegetasi, misalnya dapat dilihat adanya perbedaan antara vegetasi dengan
tanah khususnya pada daerah urban.Dengan menggunakan rasio antara kanal 5 dan 3 maka diharapkan dapat
memisahkan antara daratan dan perairan.
-297-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 4. Komposit RGB 432 Citra Reflektansi Landsat 8
Pengaturan nilaithreshold slicing yang digunakan diatur sedemikian rupa sehingga mendapatkan daratan
yang terpisah dengan perairan. Penentuan nilai threshold slicing inilah yang menjadi kunci dalam penelitian
ini. Pada penelitian ini penentuan nilai threshold slicing tersebut dilakukan berdasarkan teknik visual yang
membandingkan secara langsung antara dua gambar antara hasil rasio kanal dengan komposit RGB 432 pada
beberapa posisi disekitar daerah bibir pantai. Hasil maksimal yang diperoleh untuk menentukan nilai
threshold slicing pada penelitian ini adalah 0,83. Hasil algoritma tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Hasil Pemisahan Obyek Darat dan Perairan
Nilai threshold 0,83 hanya berlaku pada citra yang digunakan pada penelitian ini. Standart trehshold
yang digunakan pada citra yang berbeda tanggal akuisisi maupun perbedaan musim tentunya tidak bisa
dipastikan sama dengan nilai thresholdpenelitian ini, karena nilai threshold yang diperoleh sangat
bergantung dari perbandingan nilai kanal yang dimiliki citra pada saat itu. Oleh karena itu penentuan
threshold mengacu pada nilai reflektansi dari citra yang digunakan pada saat itu.
Setelah proses pemisahan antara wilayah daratan dan perairan dengan menggunakan rasio kanal antara
kanal 5 dan kanal 3 selanjutnya dilakukan proses klasifikasi. Proses klasifikasi dilakukan untuk membuat
citra menjadi 2 kelas yaitu daratan dan perairan dengan menggunakan metode klasifikasi unsupervised. Hasil
klasifikasi dari citra Landsat 8 untuk wilayah daratan Pulau Pramuka ditunjukkan pada Gambar 6. Setelah
dilakukan klasifikasi selanjutnya dilakukan proses kalkulasi statistika sehingga dihasilkan informasi luasan
untuk kelas daratan yang terbentuk. Luasan daratan untuk Pulau Pramuka Kepulauan Seribu berdasarkan
citra Landsat 8 dengan menggunakan nilai threshold slicing 0,83 adalah sebesar 27,27Ha. Pada penelitian ini
perlu dilakuan validasi dengan menggunakan informasi data lapangan dan info pasang surut terkait
penentuan nilai threshold slicing karena penentuan nilai tersebut yang menjadi kunci keakuratan hasil
penelitian ini. Selain itu, diperlukan adanya penelitian dengan menggunakan data multitemporal sehingga
dapat diketahui perubahan luasan serta dapat menentukan nilai threshold yangtepat sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi perubahan luas pada pulau yang lain.
-298-
Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-pulau Kecil Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8 Studi Kasus:Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T., dkk.)
Gambar 6. Hasil Klasifikasi Pulau Pramuka
4.
KESIMPULAN
Penginderaan Jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk menentukan luasan dari
pulau-pulau kecil. Salah satu metode yang digunakan adalah rasio kanal antara kanal 5(NIR) dengan kanal
3(Green). Berdasarkan hasil pengolahan data dari citra reflektansi Landsat 8 yang diakuisisi tahun 2015
menggunakan nilai threshold slicing 0,83, maka teridentifikasi luas dari Pulau Pramuka adalah 27,27 Ha.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional untuk fasilitas penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, T.D., dan Yang, I., (2015). Exploring Landsat 8. International Journal of IT, Engineering and Applied
Sciences Research (IJIEASR), 4(4).
Alhawiti, R. H., dan Mitsova, D., (2016). Using Landsat-8 Data To Explore The Correlation Between Urban Heat
Island And Urban Land Uses. International Journal of Research in Engineering and Technology, 5(3).
Avdan, U., dan Jovanovska, G., (2016). Algorithm for Automated Mapping of Land Surface Temperature Using
LANDSAT 8 Satellite Data. Journal of Sensors.http://dx.doi.org/10.1155/2016/1480307.
Rajeshwari, A. dan Mani, N.D., (2014). Estimation Of Land Surface Temperature of Dindigul District Using Landsat 8
Data.International Journal of Research in Engineering and Technology. 3(5).
Bengen, D.G., dan Retraubun, A.,(2006). Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-sosio Sistem
Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor.
Bhatti, S.S., dan Tripathi, N.K., (2014). Built-up area extraction using Landsat 8 OLI imagery. GIScience & Remote
Sensing, 51(4):445–467. http://dx.doi.org/10.1080/15481603.2014.939539
Brookfield, H.C.,(2002). An approach to islands. In W. Beller, P. d’Ayala and P. Hein (eds). Sustainable Development
and Environmental Management of Small islands. The Partenon Publishing Group, Paris, France, New Jersey,
USA. pp. 23-34.
Candra, A.,(2003). Kajian Pemanfaatan Ruang Pulau Natuna, Kabupaten Natuna. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hess, A.L., (1990). Overview: sustainable development and environmental management of small islands.In Beller, et
al.Sustainable development and environmental management of small islands. Man and The Biosphere Series, Vol.
5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group.
Jaelani (2012). Konsep Pengembangan Minasata Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia No. 41 (2000).Bappenas: Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.
Retraubun, A.,(2009). Mengidentifikasi Pulau, artikel Harian Kompas 06/07/2009:14.
Sugiarto, D.P.,(2013). Landsat 8. Spesifikasi, Keunggulan dan Peluang Pemanfaatan Bidang Kehutanan.
https://tnrawku.wordpress.com/2013/06/12/landsat-8-spesifikasi-keungulan-dan-peluang-pemanfaatan-bidangkehutanan/ (20 Juni 2016: 10.04).
-299-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Undang-undang No. 27 (2007). Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Widjaja, A.M.H.,(2014). Kombinasi Band pada Citra Landsat-8. arnithestoryview.wordpress.com/2014/04/12/tugas-1praktikum-pcd-kombinasi-band-pada-citra-landsat-8/.
Winarso, G., dan Budhiman, S., (2001). The Potential Application Remote Sensing Data for Coastal Study.The 22nd
Asian Conference on Remote Sensing. Centre for Remote Imaging, Sensing and Processing (CRISP), National
University of Singapore; Singapore Institute of Surveyors and Valuers (SISV); Asian Association on Remote
Sensing (AARS).
Yusuf, M.,(2014). Penamaan Pulau (Toponim Pulau). http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/76/penamaanpulau-toponim-pulau-.html (20 Juni 2016: 09.20)
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
Diskusi
: Estimasi Perhitungan Luas Daerah di Pulau-Pulau Kecil Menggunakan Data Citra
Satelit Landsat 8 Studi Kasus: Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta
: Kuncoro Teguh Setiawan (LAPAN)
:
Pertanyaan: Teguh Prayogo (IPB)
1. Dasar pemilihan band dalam penentuan pulau apa?
2. Bagaimana standar threshold slicing untuk menentukan pulau dan citra yang sama namun berbeda
akuisisi dan musim?
3. Bagaimana verifikasi dan validasi hasil deteksi pulau-pulau tersebut?
Jawaban:
1. Dasar penentuan band adalah dengan memperhatikan karakter dari masing-masing band pada Landsat 8.
Band 3 (Red) dengan panjang gelombang 0.63 – 0.69 mm memiliki informasi mengenai perbedaan antara
vegetasi dan non vegetasi, misalnya dapat dilihat adanya perbedaan antara vegetasi dengan tanah
khususnya pada daerah urban. Band 5 (NIR) dengan panjang gelombang 1.55 – 1.75 mm memiliki
informasi mengenai perbedaan warna antara tanah terbuka dengan objek-objek lain. Band ini sesuai untuk
studi kandungan air tanah, air pada tanam-tanaman, formasi batu-batuan dan geologi pada umumnya.
Dengan menggunakan ratio antara band 3 dan 5 maka diharapkan dapat memisahkan antara daratan dan
perairan.
2. Standart trehshold yang digunakan pada citra yang berbeda tanggal akuisisi maupun perbedaan musim
tentunya tidak bisa dipastikan sama dengan nilai threshold dipenelitian ini, karena nilai threshold yang
kita dapat sangat bergantung dari perbandingan nilai band yang dimiliki citra pada saat itu. Begitu pula
bila kita terapka di pulau-pulau kecil lainnya. Oleh karena itu penentuan threhold mengacu pada nilai
reflektansi dari citra yang digunakan pada saat itu.
3. Verifikasi dan validasi: masih belum dilakukan, sehingga kita sangat berharap metode ini diteruskan
dengan melakukan validasi dan verifikasi terkait penentuan nilai threshold yang kita gunakan untuk
memastikan posisi dititik-titik perbatasan darat dan air itu tepat, dan pada penelitian ini kita
mengandalkan tampilan visual dari RGB untuk memisahkan daerah tersebut daratan atau perairan. Terima
kasih atas pertanyaannya yang sangat bagus dan menjadi inspirasi bagi kita.
Pertanyaan: Dr. Dede Dirgahayu (LAPAN):
Variasi nilai X (mean dan standart) pada data multitemporal 1 tahun?
Jawaban:
Penelitian dengan menggunakan data multitemporal 1 tahun belum dicoba, ini merupakan masukan buat kita
untuk melakukannya sehingga kita bisa mendapatkan batasan interval nilai threshold yang bisa dijadikan
acuan untuk digunakan di Pulau lainnya. Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat bagus dan menjadi
inspirasi bagi kita.
-300-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi
Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window
(Studi Kasus: Kabupaten Bantul)
Utilization of Landsat Imagery to Estimate Land Surface Temperature
Using Split Window Algorithm
(Case Study: Bantul Regency)
Ilham Guntara1*)
1
Mahasiswa Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi,
Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK-Teknologi penginderaan jauh mengalami perkembangan yang semakin pesat karena saat ini data
penginderaan jauh semakin mudah didapat. Land Surface Temperature (LST) merupakan salah satu parameter kunci
keseimbangan energi dan variabel klimatologis yang utama. LST dapat diekstraksi dari citra Landsat 8 melalui
pemrosesan citra digital. Split Window Algorithm adalah algoritma yang mampu mengekstraksi informasi suhu
permukaan lahan pada suatu daerah melalui nilai brightness temperature yang dihitung dari band 10 dan band 11 pada
sensor TIRS citra Landsat 8 serta nilai LSE (land surface emissivity) yang dihitung dari band 4 dan band 5 pada sensor
OLI citra Landsat 8. Hasil penelitian menunjukkan dua data LST dalam periode berbeda pada tanggal 24 Juni 2013
memiliki suhu rata-rata 30,2 oC, suhu minimum 24,3 oC, dan suhu maksimum 41,6 oC, sedangkan pada tanggal 30
Agustus 2014 memiliki suhu rata-rata 28,9 oC, suhu minimum 20,1 oC, dan suhu maksimum 42,5 oC. Perbandingan dua
data LST pada periode berbeda menunjukkan bahwa hasil estimasi LST memiliki persebaran nilai suhu yang detail,
variatif, dan dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisi alam, iklim dan cuaca, seperti elevasi, tutupan
vegetasi, penutup lahan, dan tutupan awan serta dipengaruhi juga oleh ketersediaan dan kualitas citra satelit.
Kata kunci: Penginderaan Jauh, Landsat 8, Inframerah Termal, Suhu Permukaan Lahan, Split Window Algorithm
ABSTRACT-Remote sensing technology has developed rapidly since the current remote sensing data is easily
obtainable. Land Surface Temperature (LST) is one of the main parameters in the energy balance and climatological
variables. LST can be extracted from Landsat 8 through digital image processing. Split Window Algorithm (SWA) is an
algorithm that can extract information of LST in a region through brightness temperature values that is calculated from
band 10 and band 11 on the TIRS sensor of Landsat 8 and land surface emissivity values that is calculatedfrom band 4
and band 5 on the OLI sensor of Landsat 8.The result showed two LST data in different periods. LST on June 24 of
2013 has an average temperature of 30,2 oC, minimum temperatureof 24,3 oC, and maximum temperatureof 41,6oC.
While, LST onAugust 30 of 2014 has an average temperature of 28,9 oC, minimum temperatureof 20,1 oC, and
maximum temperatureof 42,5oC. Comparison of two LST data in different periodsshowed that the estimated
temperature has detail, varied, and dynamic distribution of values. Because it is influenced by various factors including
natural conditions, climate and weather, elevation topography, vegetation cover, land cover, and cloud cover. In
addition, it is influenced also by the availabilty and quality of remote sensing satellite imagery.
Keywords: Remote Sensing, Landsat 8 Imagery, Thermal Infrared, Land Surface Temperature, Split Window Algorithm
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teknologi penginderaan jauh k8mengalami perkembangan yang semakin pesat dewasa ini. Data
penginderaan jauh semakin mudah didapat dan mudah dijangkau oleh kalangan umum. Mulai dari data
penginderaan jauh dengan skala detail hingga skala tinjau sudah banyak tersedia secara gratis. Data tersebut
dapat diunduh gratis atau diakses bebas secara online.
Citra Landsat merupakan data penginderaan jauh hasil perekaman satelit Landsat yang dapat diunduh
secara gratis dan diakses secara bebas. Landsat dikembangkan oleh Amerika Serikat melalui dua instansinya
yaitu NASA (The National Aeronautics and Space Administration atau Departemen Penerbangan dan
Antariksa Amerika Serikat) dan USGS (United States Geological Survey atau Departemen Geologi dan
Survei Amerika Serikat).
-301-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
TIRS (Thermal Infrared Sensor) merupakan satu dari dua instrumen sensor Landsat 8 yang memiliki
banyak manfaat dan keunikan tetapi masih jarang diberdayakan oleh penggunanya terutama di Indonesia.
Salah satu aplikasi dari citra Landsat 8 TIRS atau saluran inframerah termal adalah untuk mengestimasi LST
(land surface temperature / suhu permukaan lahan).
LST dapat diestimasi dari citra satelit Landsat 8. LST dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan ratarata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan
yang berbeda (Faridah dan Krisbiantoro, 2014)
Proses ekstraksi suhu permukaan lahan dari citra Landsat 8 menggunakan perhitungan algoritma
matematika. Salah satu algoritma yang cukup populer adalah Split Window Algorithm (SWA). SWA
membutuhkan band 10 dan band 11 serta band 4 dan band 5 dari citra Landsat 8 untuk menyajikan informasi
suhu permukaan lahan (Latif, 2014).
Hasil estimasi LST dapat dibandingkan antara dua data dalam periode waktu perekaman yang berbeda.
LST hasil estimasi dari Citra Landsat 8 pada waktu perekaman 24 Juni 2013 dibandingkan dengan LST hasil
estimasi dari citra Landsat 8 pada waktu perekaman 30 Agustus 2014 di Kabupaten Bantul. Perbandingan
tersebut dilakukan untuk mengetahui keunggulan penggunaan data penginderaan jauh citra Landsat 8 dalam
mengetimasi LST secara regional di wilayah Kabupaten Bantul.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana distribusi hasil estimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature) secara
regional di Kabupaten Bantul dengan citra Landsat 8 menggunakan Split Window Algorithm?
2) Bagaimana perbandingan dua data penginderaan jauh citra Landsat 8 pada periode waktu
perekaman yang berbeda dalam mengetimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature)
menggunakan Split Window Algorithm?
1.3 Tujuan
1) Memetakan distribusi hasil estimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature) secara
regional di Kabupaten Bantul dengan citra Landsat 8 menggunakan Split Window Algorithm.
2) Menganalisis perbandingan dua data penginderaan jauh citra Landsat 8 pada periode waktu
perekaman yang berbeda dalam mengetimasi suhu permukaan lahan (land surface temperature)
menggunakan Split Window Algorithm.
2. METODE
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
1) Seperangkat laptop
2) Perangkat lunak ArcGIS 10.1
3) Perangkat lunak Ms. Office 2013
2.1.2 Bahan
1) Citra Landsat 8 waktu perekaman 24 Juni 2013 path 120 row 65.
2) Citra Landsat 8 waktu perekaman 30 Agustus 2014 path 120 row 65.
3) Data digital shapefile (.shp) peta administrasi Kabupaten Bantul.
2.2 Tahap Penelitian
2.2.1 Pemotongan Citra
Citra Landsat 8 dipotong berdasarkan data shapefile (.shp) Kabupaten Bantul.
2.2.2 Koreksi Radiometrik
Data band 10 dan band 11 serta band 4 dan band 5 dikonversi dari citra mentah (raw image) atau nilai
DN (digital number) ke nilai TOA Spectral Radiance menggunakan radiance rescaling factors dalam file
metadata Landsat 8 (lihat pada tabel 2.1). Formula perhitungan tersebut sebagai berikut (USGS, 2013):
Lλ = MLQcal + AL
(1)
Keterangan:
Lλ
: TOA spectral radiance (Watts/(m2 * srad * μm))
-302-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ML
: Band-specific multiplicative rescaling factor from the metadata (RADIANCE_MULT_BAND_x,
where x is the band number)
AL
: Band-specific additive rescaling factor from the metadata (RADIANCE_ADD_BAND_x, where x
is the band number)
Qcal
: Quantized and calibrated standard product pixel values (DN)
2.2.3 Perhitungan Brightness Temperature
Brightness Temperature (TB) menghasilkan dua nilai yaitu TB10 (band 10) dan TB11 (band 11)
menggunakan konstanta termal (lihat pada Tabel 3.1) dengan formula sebagai berikut (USGS, 2013):
K2
(2)
TB = K1
ln( +1)
Lλ
Keterangan:
TB
: Brightness temperature (K)
Lλ
: TOA spectral radiance (Watts / (m2 * srad * μm))
K1
:
Band-specific
thermal
conversion
constant
from
the
metadata
(K1_CONSTANT_BAND_x, where x is the band number
K2
:
Band-specific
thermal
conversion
constant
from
the
metadata
(K2_CONSTANT_BAND_x, where x is the band number)
Tabel 2.1 Nilai Radian dan Konstanta Termal Band pada Landsat 8
Keterangan
Radiance
Multiplier
Radiance
Add
K1
K2
Band 10
Band 11
Band 4
0,0003342 0,0003342 Lihat pada
metadata
0,1
0,1
Lihat pada
metadata
774,89
480,89
1321,08
1201,14
Sumber:(Rajeshwari & Mani, 2014)
Band 5
Lihat pada
metadata
Lihat pada
metadata
-
2.2.4 Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Band 4 (merah) dan band 5 (inframerah dekat) digunakan untuk memperoleh nilai NDVI dengan
formula sebagai berikut (Latif, 2014):
Band 5 - Band 4
NDVI =
(3)
Band 5 + Band 4
Keterangan:
NDVI : Normalized Difference Vegetation Index
Band 4 : Saluran merah pada Landsat 8
Band 5 : Saluran inframerah dekat pada Landsat 8
2.2.5 Perhitungan Fractional Vegetation Cover (FVC)
Nilai FVC dapat diestimasi menggunakan nilai NDVI yang sebelumnya telah diperoleh serta nilai
NDVIsoil (tanah) dan nilai NDVIveg dengan formula sebagai berikut (Latif, 2014):
NDVI - NDVIsoil
FVC =
NDVIveg - NDVIsoil
Keterangan:
FVC : Fractional Vegetation Cover
NDVI : Nilai NDVI yang sebelumnya telah diperoleh
NDVIsoil: Nilai NDVI untuk tanah = 0,2 (Latif, 2014)
NDVIveg: Nilai NDVI untuk vegetasi = nilai terbesar NDVI
-303-
(4)
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
2.2.6 Perhitungan Land Surface Emissivity (LSE)
Estimasi LSE membutuhkan nilai emisivitas tanah dan nilai emisivitas vegetasi dari band 10 dan band
11 dengan formula sebagai berikut (Latif, 2014):
LSE = εs * (1-FVC) + εv * FVC (5)
Keterangan:
LSE
: Land Surface Emissivity
FVC : Nilai FVC yang sebelumnya telah diperoleh
εs
: Emisivitas tanah band 10 dan band 11 (lihat pada Tabel 2.2)
εv
: Emisivitas vegetasi band 10 dan band 11 (lihat pada Tabel 2.2)
Tabel 2.2 Nilai Emisivitas TIRS Band pada Landsat 8
Emisivitas
Band 10
Band 11
0,971
0,977
εs
0,987
0,989
εv
Sumber: (Rajeshwari & Mani, 2014)
2.2.7 Kombinasi LSE B10 dan LSE B11
LSE B10 + LSE B11
m=
Δm = LSE band 10 - LSE band 11
Keterangan:
m
Δm
LSE B10
(6)
2
(7)
: mean of LSE / nilai rata-rata LSE
: difference of LSE / nilai selisih LSE
: Nilai LSE band 10 yang telah diperoleh
LSE B11 : Nilai LSE band 11 yang telah diperoleh
2.2.8 Perhitungan Land Surface Temperature (LST)
Berikut formula SWA yang dicetuskan Sobrino pada tahun 1996 dan tahun 2008 (Rajeshwari & Mani,
2014):
LST = TB10 + C1 (TB10 - T B11) +
C2 (TB10 - TB11)2 + C0 +
(C3 + C4 W) (1 - m) + (C5 + C6 W) Δ m
Keterangan:
LST
C0 – C6
TB10, TB11
m
W
Δm
: Land Surface Temperature (K)
: Split Window Coefficient (lihat tabel 2.3)
: nilai BT (K) band 10 dan band 11
: rata-rata nilai LSE band 10 dan band 11
: Atmospheric Water Vapour Content = 0,013 (Latif, 2014)
: selisih nilai LSE band 10 dan band 11
-304-
(8)
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 2.3Split Window Coefficient
Constant
Value
C0
-0,268
C1
1,378
C2
0,183
C3
54,300
C4
-2,238
C5
-129,200
C6
16,400
Sumber: (Rajeshwari & Mani, 2014)
2.2.9 Klasifikasi Suhu
Hasil estimasi LST memiliki satuan unit yaitu kelvin perlu dikonversi ke celcius dengan mengurangi
setiap hasil perhitungan suhu tersebut dengan nilai 273,15.
Tabel 2.4 Klasifikasi dan Rentang Nilai Suhu
Kelas
Rentang Nilai Suhu (oC)
1
15,1-17,5
2
17,6-20,0
3
20,1-22,5
4
22,6-25,0
5
25,1-27,5
6
27,6-30,0
7
30,1-32,5
8
32,6-35,0
9
35,1-37,5
10
37,6-40,0
11
40,1-42,5
12
42,6-45,0
Sumber: (Faridah & Krisbiantoro, 2014) dengan modifikasi
2.3 Diagram Alir Peneltian
Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian
-305-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2013
Gambar 3.1 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2013
Ada 8 kelas kelas suhu permukaan lahan yang menyusun Peta Land Surface Temperature Kabupaten
Bantul Tahun 2013 (lihat Gambar 3.1). Jumlah kelas suhu yang banyak tersebut menandakan bahwa variasi
suhu permukaan lahan di Kabupaten Bantul cukup beragam. Perekaman citra Landsat 8 yang digunakan
adalah 24 Juni 2013.
Bulan Juni di Indonesia termasuk dalam musim kemarau di mana matahari bersinar hampir sepanjang
siang pada setiap hari sehingga distribusi sinar matahari bisa optimal di seluruh wilayah Kabupaten Bantul.
Radiasi sinar matahari yang optimal membuat estimasi LST juga bisa optimal.
3.2 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014
Gambar 3.2 Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014
-306-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Peta Land Surface Temperature Kabupaten Bantul Tahun 2014 (lihat pada Gambar 3.2) memiliki 9
kelas suhu. Jumlah kelas suhu yang banyak tersebut menandakan bahwa LST tahun 2014 lebih variatif dan
beragam dibanding LST tahun 2013. Tanggal perekaman citra yang digunakan pada LST tahun 2014 adalah
30 Agustus 2014.
Peta LST Kabupaten Bantul tahun 2014 tidak full-area seperti pada peta LST tahun 2013. Terdapat
area berawan pada peta LST tahun 2014. Area tersebut merupakan area yang sengaja dihilangkan karena
area tersebut tertutup atau terlapisi awan. Lapisan awan yang tipis pun pada citra Landsat dapat
mengakibatkan anomali pada perhitungan suhu, akibatnya suhu bisa turun drastis daripada keadaan suhu
yang sebenarnya.
Rata-rata nilai LST Kabupaten Bantul tahun 2014 berkisar pada suhu 27,6-30,0 oC atau tepatnya
o
28,91 C. Nilai rata-rata tersebut tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai LST tahun 2013 yaitu 30,2 oC.
LST tertinggi bernilai 40,1-42,5 oC atau tepatnya 42,5 oC, tidak berbeda jauh dengan LST tahun 2013 yaitu
41,6 oC. Perbedaan terletak pada lokasi LST tertinggi di mana pada LST tahun 2014 terdapat di sebagian
kecil bagian utara Kecamatan Sewon yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, sedangkan LST
tertinggi tahun 2013 terletak di sebagian kecil bagian selatan Kecamatan Kretek. LST terendah berkisar pada
kelas suhu 20,1-22,5 oC atau tepatnya 20,1 oC, berbeda cukup jauh dengan LST tahun 2013 yaitu 24,3 oC.
Lokasi LST terendah tahun 2014 berada di Kecamatan Dlingo dan Kretek berbeda dengan LST terendah
tahun 2013 yang terletak di Kecamatan Imogiri.
3.3 Perbandingan Dua Data LST dalam Periode Waktu Berbeda
Tabel 3.5 Perbandingan LST Kabupaten Bantul Tahun 2013 dan 2014
No Koordinat
Titik Nilai
Piksel
Sampel
LST (oC)
X (mT) Y (mU)
(2013) (2014)
1
416.822 9.136.947 30,0
25,5
2
429.343 9.134.783 38,3
42,4
3
435.666 9.139.272 33,7
37,1
4
440.957 9.132.657 29,4
39,7
5
437.095 9.130.223 31,9
35,2
6
439.264 9.125.566 27,1
22,2
7
434.544 9.122.460 24,3
25,3
8
426.210 9.128.704 34,4
34,4
9
422.479 9.122.672 29,2
29,2
10 424.798 9.113.802 41,6
37,2
11 418.236 9.115.612 37,5
33,8
12 419.506 9.119.739 29,8
24,9
13 420.767 9.127.282 30,2
29,5
14 415.925 9.134.055 29,1
25,7
15 429.191 9.132.325 35,1
36,7
16 422.736 9.127.404 31,9
29,4
17 435.330 9.125.234 27,6
26,9
18 424.007 9.128.832 32,2
32,4
19 439.722 9.129.097 27,2
22,7
20 427.234 9.137.722 36,6
38,7
Suhu Minimum
24,3
20,1
Suhu Maksimum
41,6
42,5
Suhu Rerata
30,2
28,9
LST Kabupaten Bantul tahun 2014 lebih bervariasi dibandingkan LST tahun 2013 (lihat pada Tabel
3.1). LST tahun 2014 memiliki rentang suhu minimum ke suhu maksimum 20,1-42,5 oC, sedangkan LST
tahun 2013 hanya memiliki rentang suhu minimum ke suhu maksimum antara 24,3-41,6 oC. Secara
keseluruhan LST tahun 2014 memiliki suhu rata-rata sebesar 28,9 oC yang artinya lebih rendah daripada LST
tahun 2013 dengan suhu rata-rata sebesar 30,2 oC. Namun selisih suhu rata-rata kedua LST tersebut tidak
jauh berbeda, hanya sebesar 1,3 oC.
Persebaran nilai suhu pada LST tahun 2013 dan 2014 menunjukkan bahwa hasil yang tergolong detail
dan dinamis. Data hasil estimasi LST menyajikan persebaran suhu regional bahkan bisa per kecamatan atau
per desa. Hasil dua data LST dalam periode berbeda tersebut menggambarkan bahwa persebaran suhu pada
-307-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Algoritma Split Window (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul) (Guntara, I.)
suatu wilayah bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai kondisi alam, iklim, dan cuaca. Persebaran data
suhu yang detail dan dinamis akan sangat berguna sebagai data masukan berbagai penelitian.
4.
KESIMPULAN
1) Hasil estimasi LST Kabupaten Bantul dengan Citra Landsat 8 dan Split Window Algorithm pada
tanggal 24 Juni 2013 memiliki suhu rata-rata 30,15 oC, suhu minimum 24,28 oC, dan suhu
maksimum 41,63 oC, sedangkan pada tanggal 30 Agustus 2014 memiliki suhu rata-rata 28,91 oC,
suhu minimum 20,05 oC, dan suhu maksimum 42,50 oC.
2) Perbandingan dua data LST pada periode berbeda menunjukkan bahwa hasil estimasi LST memiliki
persebaran nilai suhu yang detail, variatif, dan dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai faktor
kondisi alam, iklim dan cuaca, seperti elevasi, tutupan vegetasi, penutup lahan, dan tutupan awan
serta dipengaruhi juga oleh ketersediaan dan kualitas citra satelit .
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini baik dalam
penyediaan data maupun pengerjaan data sebagai berikut:
1) Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi, Sekolah Vokasi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta sebagai instansi yang telah menaungi penelitian ini, membantu
penyediaan data, membantu pengerjaan data, danmemberikan izin penelitian.
2) Dr. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc. dan Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Sc. (Dosen Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) sebagai pihak-pihak yang telah membimbing dan menguji
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Faridah, S.N., dan Krisbiantoro, A., (2014). Analisis Distribusi Temperatur Permukaan Tanah Wilayah Potensi Panas
Bumi Menggunakan Teknik Pendinderaan Jauh di Gunung Lamongan, Tiris-Probolinggo, Jawa Timur.
Berkala Fisika, 17(2):67-72.
Jiménez-Muñoz, J.C., dan Sobrino, J.A., (2008). Split-Window Coefficients for Land Surface Temperature Retrieval
From Low-Resolution Thermal Infrared Sensors. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 5(4):806-809.
Latif, M.S., (2014). Land Surface Temperature Retrival of Landsat-8 Data Using Split Window Algorithm- A Case
Study of Ranchi District. International Journal of Engineering Development and Research (IJEDR),
2(4):3840-3849.
Prasasti, I., dkk. (2007). Pengkajian Pemanfaatan Data TERRA-MODIS untuk Ekstraksi Data Suhu Permukaan Lahan
(SPL) Berdasarkan Beberapa Algoritma. Jurnal Penginderaan Jauh Lapan, 1-8.
Rajeshwari, A., dan Mani, N.D., (2014). Estimation of Land Surface Temperature of Dindigul District Using Landsat 8
Data. International Journal of Research in Engineering and Technology (IJRET).3(5):122-126.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Moderator
JudulMakalah
:
:
Pemakalah
Diskusi :
:
Dr. Ety Parwati
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Mengestimasi Suhu Permukaan Lahan (Land
Surface Temperature) Menggunakan Split Window Algorithm (Studi Kasus:
Kabupaten Bantul)
Ilham Guntara (UGM)
Pertanyaan: Kustiyo (LAPAN)
Persamaan yang digunakan cukup kompleks, mengapa digunakan persamaan tersebut? Di Landsat 8 juga ada
TIRS?
Jawaban :
-308-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Langkah pertama yang dilakukan adalah menurunkan Brightness Temperature. LST ini sudah
mempertimbangkan OLI dan memperhitungkan emisivitas tanah dan juga NDVI. Selain itu juga merubah
resolusi di mana pada TIRS 100 meter dan OLI 30 meter.
Pertanyaan: Eko Susilo (KKP)
Land surface itu suhu tanah atau yang ada di bawahnya?
Jawaban :
Land Surface merupakan suhu permukaan, kalau terdapat vegetasi ya suhu vegetasinya.
-309-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan
Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung
Analysis of Changes in Vegetation Density Index Value Relation to Changes
in Landuse in the Watershed Ciliwung
Adib Ahmad Kurnia1*), Satrio Fatturahman1, dan Dariin Firda1
1
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
*)
Email: [email protected]
ABSTRAK - Kebutuhan akan lahan pemukiman yang semakin tinggi, pada akhirnya banyak mengubah daerah hutan
menjadi lahan pemukiman. DA Ci Liwung merupakan daerah yang mengalami perubahan penggunaan tanah sangat
cepat. Dahulu DA Ci Liwung merupakan daerah sangat hijau yaitu hulunya merupakan daerah puncak, namun karena
daerah DA Ci Liwung (dari hulu sampai hilir) yang melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kota Depok, dan Propinsi
DKI Jakarta yang merupakan daerah perkotaan sehingga lahan hijau di DAS ini menurun sangat drastis. Penelitian ini
bertujuan mengetahui bagaimana perubahan nilai indeks vegetasi pada penggunaan tanah tahun 2005 dan 2015 dengan
menggunakan metode perhitungan NDVI di tahun yang berbeda. Hasil dari penelitian ini akan menggambarkan
perubahan jumlah area wilayah hijau yang berada di DAS Ci Liwung dengan metode perhitungan NDVI
Kata kunci: Perubahan Penggunaan Lahan, DAS Ci Liwung, Metode NDVI
ABSTRACT – Residential land requirements will be higher, many eventually change the forest area to settlement.
Ciliwung watershed is an area of land use changes very fast. Formerly Ciliwung watershed is a very green area is the
upper reaches of the summit area, but due to Ciliwung watershed area (upstream and downstream) surrounding
district. Bogor, Bogor District, Depok City, and DKI Jakarta which are urban areas that green land in the watershed is
decreasing drastically. This study aims to determine how changes in vegetation indices on the use of land in 2005 and
2015 using the method of calculation of NDVI in different years. The results of this study will describe the changes in
the number of areas that are in the green area of Ciliwung with NDVI calculation method
Keywords: Landuse Change, Ci Liwung Watershed, NDVI Methods
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan akan udara yang bersih dan oksigen yang cukup sangat penting untuk keberlangsungan hidup
manusia. Parameter udara yang bersih dan oksigen yang dihasilkan dapat dilihat dari jumlah dan kerapatan
vegetasi yang tersedia di kawasan tersebut. Namun, jumlah penduduk yang semakin banyak saat ini
membutuhkan lahan untuk membangun permukiman yang banyak pula. Kebutuhan akan lahan permukiman
yang semakin banyak akhirnya banyak mengubah daerah hutan menjadi lahan permukiman DAS Ci Liwung
merupakan Serah yang mengalami perubahan penggunaan tanah sangat cepat. Luas areal DAS Ci Liwung
sebesar 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah kurang lebih 117 kilometer. Dahulu DAS Ci Liwung
merupakan daerah yang sangat hijau. Hulunya berada di daerah puncak, namun karena daerah DAS Ci
Liwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kota Depok, dan Provinsi DKI
Jakarta yang merupakan daerah perkotaan sehingga lahan hijau di DAS ini menurun sangat drastis. Dari
kajian di atas tentunya perkembangan penduduk juga harus diimbangi dengan persediaan udara dan oksigen
yang cukup. Sehingga menarik untuk dilihat bagaimana perbedaan kondisi penggunaan tanah di DAS Ci
Liwung dan bagaimana perbedaan nilai indeks vegetasinya dalam jangka waktu 10 tahun. Pengambilan
jangka waktu 10 tahun ini beralasan karena pertumbuhan kota di DAS Ci Liwung dan pertumbuhan di
pariwisata di DAS Ci Liwung Hulu cukup pesat.
Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra
penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada
citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman
memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan
pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain
vegetasi (Horning, 2004). Algoritma Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang dipublikasikan
-310-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
oleh Deering (1978) memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang berasal dari dedauman.
Nilai kehijauan vegetasi suatu wilayah yang diamati berupa skala antara -1 (minimum) hingga 1
(maksimum) yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi vegetasi yang diterima oleh sensor pada
panjang gelombang merah (RED) dan infra merah dekat (NIR). Secara ringkas NDVI dapat dirumuskan
sebagai (NIR-RED)/(NIR+RED) (Sudiana, 2008). Saat ini, banyak sensor satelit yang digunakan untuk
melihan kondisi kehijauan vegetasi bumi, seperti NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS (Sudiana,
2008), serta Landsat (Purwanto, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi dan perkembangan penggunaan tanah di DAS Ci
Liwung pada tahun 2005 dan 2015 serta nilai jumlah dan kerapatan vegetasi yang tersedia dengan
menggunakan metode NDVI. Hasil dari kedua analisis tersebut dapat digunakan untuk mengetahui seberapa
parah perubahan penggunaan tanah di DAS Ci Liwung serta dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengambil
kebijakan dalam pembangunan di DAS Ci Liwung
Gambar 1.Alur Pikir Penelitian
2.
METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Landsat 7 ETM + SLC off yang bersumber dari
NASA dengan path/row 122/064 dan 122/065 pada tahun 2005 dan 2015 dan data Landsat 8 ETM dari
NASA path/row 122/064 dan 122/065 pada tahun 2005 dan 2015. Dalam proses pengolahan data digunakan
perangkat lunak ENVI 5.1 dan Arc Map GIS 10.3.
Setelah mendapatkan citra Landsat 7 ETM+SLC Off pada tahun 2005 dan citra landsat 8 pada tahun
2015, selanjutnya dilakukan pengolahan awal di software Envi 5.1. Pengolahan awal pada citra landsat 7 +
SLC Off berupa gapfill, mosaiking citra, pemotongan citra, koreksi geometrik dan radiometrik serta
dilakukan penajaman baik spektral maupun spasial. Sementara pada landsat 8 pemrosesan awal yang
dilakukan adalah mosaiking citra, pemotongan citra, koreksi geometrik dan radiometrik serta dilakukan
penajaman baik spektral maupun spasial. Pengolahan awal ini bertujuan untuk menghasilkan citra DAS Ci
Liwung yang sesuai wilayahnya dmaupun segi kualitas gambarnya. Setelah citra siap, pengolahan
selanjutnya adalah klasifikasi Tutupan Lahan dan Perhitungan Indeks Vegetasi.
-311-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2.1 Klasifikasi Tutupan Lahan
Setelah melalui tahap pengolahan awal, citra landsat 7 dan landsat 8 / dilakukan klasifikasi tutupan lahan
yang bertujuan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi pada tahun 2005 dan 2010 di DASCi
Liwung. Klasifikasi tutupan lahan diperoleh dari data Landsat 7 ETM+SLC Off tahun 2005 dan Landsat 8
untuk tahun 2015. Klasifikasi tutupan lahan diproses dengan delinasi tutupan lahan, yang di lakukan di
perangkat lunak Arc GIS 10.3 dengan memasukkan citra ke perangkat lunak Arc GIS 10.3 dan didelinasi
dengan digitasi tutupan lahan menggunakan tools yang tersedia. Pengolahan klasifikasi tutupan lahan dengan
citra Landsat 7 ETM+SLC Off tahun 2005 dan Landsat 8 untuk tahun 2015 menghasilkan peta tutupan lahan
2005 dan 2015.
2.2 Perhitungan Indeks Vegetasi Menggunakan Metode NDVI
Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra
penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada
citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman
memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan
pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain
vegetasi (Horning, 2004 dalam Hidayati, 2012). Algoritma Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
yang dipublikasikan oleh Deering (1978) memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang
berasal dari dedauman.
Indeks vegetasi biasanya hanya menggunakan saluran merah (visible) dan saluran inframerah
dekat (NIR). Tanaman hidup menyerap gelombang tanpak (visible) biru dan merah dan memantulkan
gelombang hijau sehingga mata manusia dapat mendeteksi warna hijau pada tanaman. Namun ternyata tidak
hanya gelombang hijau yang dipantulkan oleh tanaman, pantulan paling dominan pada tanaman ternyata
adalah gelombang inframerah dekat (NIR). Tapi karena mata manusia tidak dapat menangkap cahaya pada
gelombang inframerah tersebut maka warna merah ini tidak terlihat pada mata manusia. Padahal pantulan
inframerah dekat pada tanaman mencapai 60%, kontras sekali dengan pantulan gelombang hijau yang hanya
20%. Indeks vegetasi yang paling tua adalah Ratio Vegetation Index (RVI) yang dipublikasikan oleh Jordan
(1969) dan yang paling terkenal adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang
dipublikasikan oleh Deering (1978). Kedua indeks ini menggunakan band/saluran pada panjang gelombang
infra merah dekat (NIR) dan merah (red).Nilai kehijauan vegetasi suatu wilayah yang diamati berupa skala
antara -1 (minimum) hingga 1 (maksimum) yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi vegetasi
yang diterima oleh sensor pada panjang gelombang merah (RED) dan infra merah dekat (NIR). Secara
ringkas NDVI dapat dirumuskan sebagai (NIR-RED)/(NIR+RED) (Sudiana, 2008). Saat ini, banyak sensor
satelit yang digunakan untuk melihan kondisi kehijauan vegetasi bumi, seperti NOAA/AVHRR dan
TERRA/AQUA-MODIS (Sudiana, 2008), serta Landsat (Purwanto, 2016).
Proses perhitungan nilai indeks kerapatan vegetasi lebih baik dilakukan ketika citra sudah dilakukan
pemrosesan awal. Setelah pemrosesan awal dilakukan, kemudian citra dihitung nilai indeks kerapatan
vegetasi dengan menggunakan metode NDVI. Proses ini dilakukan dengan menggunakan tools band ratio
yaitu dengan memasukkan rumus (X2-X1) / (X2+X1). Ekspresi rumus ini merupakan rasio antara selisih
terhadap pertambahan band inframerah refleksi (X2) dimana pada Landsat 7 terdapat pada band 4 dengan
band merah (X1) dimana pada landsat 8 terdapat pada band 3.
Setelah melalui proses perhitungan metode NDVI, citra yang dihasilkan akan berwarna hitam putih
dengan tambahan metadata berupa data nilai indeks kerapatan vegetasi per pikselnya. Namun untuk melihat
perbedaan nilai indeks kerapatan vegetasi di dua tahun berbeda diperlukan nilai rata – ratanya. Nilai rata –
rata ini bisa diperoleh dengan cara menggunakan tools compute statistik setelah itu barulah keluar nilai rata –
rata dari kedua citra tersebut. Kemudian dibuatlah peta berdasarkan nilai indeks kerapatan vegetasi dengan
nilai indeks -1 sampai 1 dengan menggunakan menu density slice di software Envi 5.1,dimana peta yang
dihasilkan dapat menggambarkan kondisi kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung. Kedua data yaitu nilai rata
– rata indeks kerapatan vegetasi dan peta peta berdasarkan nilai indeks kerapatan vegetasi digunakan pada
tahap analisis data
-312-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
Gambar 2. Alur Kerja Penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Perbandingan Hasil NDVI DAS Ci Liwung Tahun 2005 dan 2015
Hasil perhitungan indeks vegetasi NDVI pada tahun 2005 dan 2015 pada DAS Ci Liwung dapat dilihat
pada Gambar 3. Rentang nilai NDVI -1 sampai 0 menggambar tingkat vegetasi rendah dengan warna merah,
rentang nilai 0 sampai 0,2 menggambarkan tingkat vegetasi sedang dengan warna kuning, dan rentang nilai
0,2 sampai 1 menunjukkan tingkat vegetasi tinggi dengan warna hijau, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
-313-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 1.Klasifikasi Nilai Indeks NDVI
Rentang Nilai
(1) - 0
0 – 0,2
0,2 - 1
Pembagian Klasifikasi Nilai NDVI
Tingkat Vegetasi
Rendah
Sedang
Tinggi
Warna
Merah
Kuning
Hijau
Setelah dilakukan proses pengklasifikasian rentang nilai NDVI, proses selanjutnya adalah menampilkan
klasifikasi NDVI yang sudah dibuat menjadi sebuah Peta Persebaran Nilai NDVI di DAS Ci Liwung dengan
menggunakan menu density slice di software Envi 5.1
Gambar 3.Peta NDVI DAS Ci Liwung tahun 2005 (kiri) dan 2015 (kanan)
Pada tahun 2005, indeks vegetasi NDVI pada hulu, tengah dan hilir DAS Ci Liwung masih di dominasi oleh
warna hijau dan kuning. Kerapatan vegetasi di bagian hulu dan tengah tinggi yang teramati dominasi warna
hijau. Tingkat kerapatan vegetasi rendah hanya mendominasi di barat daya dan sebagian kecil di utara DAS
-314-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
Ci Liwung. Sedangkan pada tahun 2015, indeks vegetasi NDVI pada tengah dan hilir DAS Ci Liwung telah
di dominasi oleh warna merah, yang menunjukkan tingkat vegetasi yang rendah. Sementara itu tingkat
vegetasi tinggi hanya terdapat di bagian DAS Ci Liwung hulu.
Hasil statistik dari perhitungan indeks vegetasi NDVI pada tahun 2005 dan 2015 dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Hasil Perhitungan Indeks NDVI Tahun 2005 (Kiri) Dan Tahun 2015 (Kanan)
Selama 10 tahun terakhir, kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung terlihat dari nilai rata-rata NDVI. Nilai ratarata NDVI pada tahun 2005 dan 2015 terjadi penurunan sebesar 0,1254 yang menunjukkan semakin
rendahnya tingkat kerapatan di DAS Ci Liwung. Penurunan nilai NDVI dari tahun 2005 ke tahun 2015 juga
dapat dilihat dari penurunan nilai maksimum dan nilai minimum NDVI di DAS Ci Liwung seperti yang
terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Nilai NDVI DAS Ci Liwung
Parameter
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
Rata – Rata
Standar Deviasi
Perbandingan Nilai NDVI DAS Ci Liwung
Tahun 2005
Tahun 2015
-0,4489
-0,9491
0,9714
0,5030
0,1693
0,0439
0,1449
0,1494
-315-
Perubahan
-0,5002
-0,4684
-0,1254
0,0045
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
3.2. Perbandingan Tutupan Lahan DAS Ci Liwung
Gambar 5. Tutupan Lahan DAS Ci Liwung Tahun 2005 (Kiri) dan Tutupan Lahan DAS Ci Liwung Tahun 2015
(Kanan)
Pada Gambar 5 telah terlihat adanya perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Ci Liwung. Perubahan
penggunaan tanah yang terjadi dari vegetasi menjadi lahan terbangun terbilang cukup pesat, mencapai >50%
dalam waktu 10 tahun. Penggunaan tanah berupa lahan terbangun meningkat 60,9% dari 19.358,5 hektar
pada tahun 2005 menjadi 31.151,2 hektar pada tahun 2015. Sementara itu, luasan vegetasi pada DAS Ci
Liwung mengalami penurunan sebesar 61,9% dari 19.050,2 hektar pada tahun 2005 menjadi hanya seluas
7.257,49 hektar pada 2015. Perubahan tutupan lahan terutama terjadi pada daerah tengah dan sebagian hulu
DAS Ci Liwung seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Tabel 3. Luas tutupan lahan di DAS Ci Liwung tahun 2005 dan 2015
Tutupan Lahan
Lahan Terbangun
Vegetasi
Tahun
2005
19.358,5 Ha
19.050,2 Ha
2015
31.151,2 Ha
7.257,5 Ha
Pada Tabel 3, dapat dilihat pula kaitan dari perubahan nilai NDVI dengan tutupan lahan, dimana seiring
dengan bertambahnya luas lahan terbangun, luas tutupan vegetasi pada DAS Ci Liwung semakin berkurang
pada tahun 2015, yang menyebabkan nilai indeks vegetasi NDVI semakin menurun.
4.KESIMPULAN
Kondisi dan perkembangan penggunaan tanah di DAS Ci Liwung pada tahun 2005 dan 2015 telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat yang terlihat dari bertambahnya luas lahan terbangun pada
tahun 2015 yang luasnya mencapai >50% dibandingkan dengan luas lahan terbangun pada tahun 2005.
-316-
Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ci Liwung (Kurnia,
A., dkk.)
Sementara itu, jumlah dan kerapatan vegetasi yang tersedia di DAS Ci Liwung dengan menggunakan metode
NDVI mengalami penurunan dari tahun 2005 ke tahun 2015. Teramati bahwa penurunan jumlah dan
kerapatan vegetasi di DAS Ci Liwung dipengaruhi oleh pertumbuha lahan terbangun selama 10 tahun
terakhir. Kedua hasil analisis tersebut menunjukan perubahan tutpan lahan yang cukup parah di DAS Ci
Liwung, terutama pada bagian tengah dan hilir DAS Ci Liwung. Semakin menurunnya tingkat vegetasi dan
semakin meningkatnya lahan terbangun tersebut tentu dapat menimbulkan dampak-dampak yang dapat
merugikan masyarakat yang hidup di sekitar DAS Ci Liwung, seperti berkurangnya udara bersih serta dapat
pula menimbulkan dampak luas bagi masyarakat, dengan menurunnya vegetasi di DAS Ci Liwung dan
bertambahnya lahan terbangun tentu dapat meningkatkan resiko banjir.
5.UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga
penulis mampu menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa juga kepada para keluarga dan orang-orang
tersayang yang telah atas dukungannya, baik moril maupun materiil yang telah membantu menyemangati
penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Terimakasih juga kepada para peneliti yang tulisannya sangat
bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan studi literatur dan menambah pemahaman mengenai tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P.,(1996).Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.
Horning, N.,(2004). Global Land Vegetation; An Electronic Textbook:NASGoddard Space Flight Center Earth Sciences
Directorate Scientifix and Educational Endeavors (SEE).
Hidayati, I.N., (2012). Ekstraksi Data Indeks Vegetasi Untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Sleman
Berdsarkan Citra Penginderaan Jauh.Laporan Akhir Hibah Penelitian Dosen Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta:
Fakultas Geografi UGM
Howard, A.D.,(1996). Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan (Teori dan Aplikasinya): Gadjah Mada University
Press.
Prasasti, I., (2014). Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Analisis Pengaruh Perubahan lahan Terhadap
Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di DKI Jakarta dan Koefisien Aliran Permukaan. Diunduh 6 Juni 2016
dari sinasinderaja.lapan.go.id/.../bukuprosiding_577-587.p...
Susiana, D., dan Diasmara, E.,(2008). Analisis Indeks Vegetasi menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan
TERRA/AQUA-MODIS. Diunduh 6 Juni 2016 dari staff2.ui.ac.id/upload/dodi.sudiana/.../dodi2.pdf
Sutanto.,(1992). Penginderaan Jauh Jilid 1: Gadjah Mada University Press.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
Diskusi
: Analisis Perubahan Nilai Indeks Kerapatan Vegetasi Kaitannya Dengan
Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Ci Liwung
: Adib Ahmad Kurnia (UI)
:
Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN)
Di bagian hulu (paling Selatan) pada citra NDVI terlihat tahun 2005 dan 2015 ada perubahan lokasi NDVI
rendah (warna merah), pada tahun 2015 di bagian kanan di ujung Selatan terlihat NDVI merah. Namun pada
peta penutupan lahan, area tersebut merupakan vegetasi. Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Resolusi landsat 30m x 30m sehingga banyak terjadi generalisasi tutupan lahan dan beberapa vegetasi ada
yang tidak bernilai tinggi pada saat dilakungan perhitungan. Dikarenakan NDVI adalah sistem otomatis dari
software ENVI yaitu perhitungan selisih band 4 atau near infrared (NIR) dan band 3 (red). maka perhitungan
dilakukan adalah per piksel
-317-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan
Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang)
Evaporation Estimation Based on Energy Balance Concepts
Using Landsat 8 Satellite Imagery (Case Study: Karawang District)
Aryo Adhi Condro1*)
1
Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK -Evaporasi merupakan proses penguapan air dari permukaan bumi menuju atmosfer. Evaporasi menjadi
potensial ketika faktor pembatasnya hanya berasal dari faktor cuaca dan iklim saja tanpa mempertimbangkan jumlah air
yang tersedia di permukaan. Berdasarkan konsep neraca air, evaporasi merupakan nilai kehilangan air permukaan
sehingga parameter ini berperan penting dalam menduga kebutuhan air tanaman, penentuan cekaman air suatu tanaman,
dan analisis kekeringan. Lisimeter digunakan untuk mengukur nilai evaporasi secara observatif. Namun, biaya
operasional yang mahal dan hanya menghasilkan data titik menjadi masalah dalam analisis data evaporasi. Oleh karena
itu, pemanfaatan data penginderaan jauh dilakukan dalam menduga nilai evaporasi sehingga pengukuran lebih efisien.
Karakteristik evaporasi terhadap tutupan lahan tertentu pun dapat dianalisis apabila pendugaan dilakukan menggunakan
citra satelit. Citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS digunakan dalam menduga nilai evaporasi. Kombinasi antara neraca
radiasi dengan neraca energi digunakan dalam memperoleh nilai panas laten yang selanjutnya akan dikonversi menjadi
nilai evaporasi. Karawang digunakan sebagai wilayah kajian karena daerah ini merupakan salah satu daerah penghasil
padi yang berpengaruh di Jawa Barat sehingga informasi kebutuhan air sangat penting bagi wilayah tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan nilai evaporasi minimum sebesar 1.2 mm hari-1 dan nilai evaporasi maksimum sebesar 15.4
mmhari-1 di wilayah Kabupaten Karawang secara umum pada tanggal 15 Agustus 2015. Nilai evaporasi pada tutupan
lahan badan air berkisar antara 6.2 mm hari-1 hingga 15.4 mm hari-1, lahan terbangun berkisar antara 1.2mm hari1
hingga 3.1mm hari-1, dan vegetasi berkisar antara 6.4mm hari-1hingga 10.4 mm hari-1. Hal ini berkaitan erat dengan
karakteristik permukaan dalam menghambat evaporasi.
Kata kunci:evaporasi, Landsat-8 OLI/TIRS, neraca energi, neraca radiasi, pendugaan cepat
ABSTRACT - Evaporation is a physical process – through which, water from the earth surface is vapoured and
transmitted to the atmosphere. Evaporation is termed as ‘potential’, if it only considers weather and climate as the
limiting factors – without taking water quantity, available on the earth surface, into account. In a water balance model,
evaporation is considered as the water loss from the earth surface – thus, estimating the amount of water loss due to
evaporation is therefore very crucial, in order to further assess: (1) crops’ water demand; (2) crops’ water stress; and
(3) other impacts of drought. Lysimeter is conventionally used for measuring evaporation on the field – however, since
one lysimeter can only measure evaporation at one particular point of location; thus, in order to obtain and analyse
evaporation data of a relatively large area – using lysimeter is therefore cost-inefficient. Hence, estimating
evaporation on a large area using remotely sensed data should offer a more efficient approach. In addition, remote
sensing also offers a rapid method for assessing evaporation from various types of land cover. Landsat 8 satellite
image OLI/TIRS used in predicting the value of evaporation. The combination between the radiation balance and the
energy balance used to obtain the value of the latent heat, which would then be converted into evaporation. Karawang
is used as a study area because this area is one of the influential producer of rice in West Java, so the information of
the water needs for crop is very important for this region. Findings of the study indicated daily evaporation in
Karawang as observed on 15 August 2015 was ranging from 1.2 mm day-1 to 15.4 mm day-1 –, which varied among
various types of land cover – i.e.: water body, built-up area, and vegetation – of about 6.2-15.4 mm day-1, 1.2-3.1 mm
day-1, and 6.4-10.4 mm day-1 respectively. It suggests that each land cover type has different surficial properties –
functioning as constraining factors to evaporation.
Keywords: evaporation, Landsat-8 OLI/TIRS, energy balance, radiation balance, rapid assessment
1.
PENDAHULUAN
Evaporasi merupakan proses fisik yang terjadi di atas permukaan dimana air diubah menjadi uap air dan
dipindahkan ke atmosfer dengan laju yang ditentukan oleh faktor-faktor cuaca. Proses fisik serupa terjadi
pada vegetasi yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor fisiologis vegetasi tersebut. Dalam analisis neraca air,
kedua parameter tersebut seringkali dikombinasikan dan disebut evapotranspirasi. Ketika nilai leaf area
index (LAI) suatu wilayah rendah, proses evaporasi mengambil proporsi lebih banyak dibandingkan dengan
-318-
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
transpirasi. Sebaliknya, ketika nilai LAI tinggi, proses transpirasi akan mengambil peran dominan terhadap
kehilangan air dari permukaan suatu wilayah tersebut (Allen dkk., 1998). Pendugaan nilai evaporasi dalam
aplikasi neraca air menjadi sangat penting dalam melakukan kajian irigasi tanaman, pembangunan model
kekeringan, analisis cekaman air terhadap suatu tanaman, serta kajian-kajian lainnya yang berhubungan
dengan neraca air.
Pengukuran evaporasi secara observatif dapat dilakukan menggunakan panci kelas A standar, atmometer,
dan lisimeter. Lisimeter merupakan alat yang standar dalam pengukuran evaporasi karena proses transpirasi
berdasarkan tanaman acuan dimasukkan ke dalam pengukuran. Namun, banyak ditemukan kesulitan dalam
operasional lisimeter tersebut. Beberapa hambatan dalam pengukuran lisimeter secara observatif diantaranya:
biaya perawatan dan operasional alat cukup mahal, sampel tanah pada lisimeter mudah terganggu sehingga
pengisian air pada tanah harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghasilkan nilai evaporasi yang
representatif dengan lingkungan, lisimeter dapat rusak akibat tutupan salju dan es pada musim dingin di
wilayah subtropis, dan pengukuran nilai evaporasi potensial pada musim kering dan panas dapat
menghasilkan data yang overestimate (Shaw dkk., 2011). Pendekatan empiris dalam menduga nilai evaporasi
digunakan untuk menghindari kesulitan yang dihadapi dalam melakukan observasi sehingga pendugaan
evaporasi menjadi lebih efisien. Beberapa pendekatan empiris yang dapat digunakan antara lain: pendekatan
neraca air, metode Penman atau metode kombinasi, transfer massa, korelasi eddy, dan neraca energi
(Dingman, 2015).Penelitian ini menggunakan metode neraca energi dalam menduga nilai evaporasi dengan
pendekatan penginderaan jauh.
Absorpsi radiasi matahari dan pancaran radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi merupakan
faktor penggerak dinamika atmosfer sehingga akan mempengaruhi karakteristik dan proporsi energi di bumi.
Satelit pasif seperti Landsat 8 dapat menangkap pancaran objek-objek dari permukaan bumi dalam bentuk
reflektansi. Nilai reflektansi tersebut dapat dikonversi ke dalam parameter-parameter radiasi dan energi
dengan metode-metode tertentu. Energi input ke dalam bumi (radiasi netto) terdistribusi dalam bentuk panas
terasa, panas laten, panas tanah, dan sebagian kecil digunakan untuk proses fotosintesis. Panas laten
merupakan energi yang dapat dikonversi menjadi nilai evaporasi sehingga citra satelit Landsat 8 dapat
digunakan untuk mengestimasi nilai evaporasi di wilayah tertentu.
Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai evaporasi di wilayah kajian berdasarkan konsep neraca
energi menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS serta membandingkan distribusi nilai evaporasi di
tutupan lahan tertentu di Kabupaten Karawang.Kabupaten Karawang memberikan kontribusi kebutuhan
beras nasional rata-rata setiap tahunnya mencapai 865000 ton/tahunberdasarkan data RPJMD Kabupaten
Karawang tahun 2011-2015. Pengaruh ketersediaan air bagi tanaman padi di wilayah kajian perlu
diperhatikan sehingga pendugaan parameter neraca air menggunakan penginderaan jauh diharapkan mampu
memberikan data secara efisien untuk pembangunan model neraca air.
2. METODE
2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra satelit Landsat 8 sensor OLI/TIRS dengan
level koreksi L1T yang dapat diunduh secara dari laman (earthexplorer.usgs.gov). Path/Row wilayah kajian
adalah 122/64 yang diakuisisi pada tanggal 15 Agustus 2015. Hanya citra satelit yang berasal dari kanal 2, 3,
4, 5, 6, 10, dan 11 yang digunakan dalam pengolahan data. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah
seperangkat komputer, perangkat lunak Ms. Office 2016, ERDAS Imagine 9.1, serta ArcMap 10.3.
2.2 Lokasi Penelitian
Kabupaten Karawang berada di bagian utara Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 1753.27 km2atau
174327 ha yang secara geografis terletak antara 107o02’ – 107o40’ BT dan 5o56’ – 6o34’ LS. Wilayah ini
termasuk daerah daratan yang relatif rendah dengan variasi ketinggian wilayah antara 0 – 1279 m dpl.
2.3 Alur Penelitian
2.3.1 Klasifikasi tak terbimbing dan cloud removal
Klasifikasi tak terbimbing merupakan metode pengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa
cluster tutupan lahan yang memiliki karakteristik piksel yang mirip tanpa harus mengambil sampel training
area. Algoritma yang biasa digunakan dalam melakukan klasifikasi tak terbimbing disebut iterative selforganizing data analysis atau ISODATA (Lillesand dkk., 2004). Citra komposit kanal 654 digunakandalam
melakukan klasifikasi ke dalam tiga kelas berbeda. Hal ini didasari oleh karakteristik permukaan terhadap
-319-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
respon energi yang diterima. Kelas tutupan lahan terdiri dari badan air, vegetasi, dan lahan terbangun. Selain
proses klasifikasi, cloud removal pada citra dilakukan sehingga piksel awan dihilangkan dari data raster.
2.3.2 Perhitungan suhu permukaan
Suhu permukaan berguna untuk menentukan radiasi gelombang panjang yang keluar dari permukaan
bumi. Kanal termal Landsat 8 dari sensor TIRS (kanal 10 dan kanal 11) digunakan dalam perhitungan suhu
permukaan. Berikut merupakan langkah-langkah dalam menentukan nilai suhu permukaan.
Nilai spektral radians diperoleh dari persamaan konversi yang terdapat dalam Landsat 8 Data users
handbook. Berikut adalah persamaan spektral radians yang digunakan.
=
+
………………………………………………………………………………….(1)
dimana Lλmerupakan nilai spektral radians (Wm-2sr-1μm-1), MLmerupakan radiancemultiplicative scaling
factor kanal tertentu, Qcal merupakan nilai digital number kanal tertentu, dan ALmerupakan radiance
additive scaling factorkanal tertentu. Selanjutnya, suhu kecerahan dihitung berdasarkan persamaan berikut.
=
)
(
− 273.15………………………………………………………………………………...(2)
dimana Tb merupakan suhu kecerahan (oC) yang merupakan suhu efektif yang ditangkap oleh satelit dengan
asumsi emisivitas yang seragam di setiap permukaan, K1dan K2 merupakan konstanta konversi termal untuk
kanal tertentu, dan Lλmerupakan nilai spektral radians (Wm-2sr-1μm-1). Suhu permukaan diperoleh dengan
mengoreksi suhu kecerahan dengan nilai emisivitas yang berbeda pada setiap tutupan lahan. Berikut adalah
persamaan suhu permukaan (Weng, 2001).
=
…………………………………………………………………………………..……...(3)
)
(
dimana Ts merupakan suhu permukaan (oC), Tb merupakan suhu kecerahan (oC), λmerupakan panjang
gelombang yang diemisikan (11.5 μm), ∂merupakan yang bernilai 1.438x10-2 mK, dan εmerupakan nilai
emisivitas permukaan. Badan air memiliki nilai εsebesar 0.98, untuk vegetasi sebesar 0.95, dan non-vegetasi
(lahan terbangun) sebesar 0.92 (Weng, 2001).
2.3.3 Perhitungan komponen neraca radiasi
Pendugaan nilai radiasi netto merupakan tujuan utama dalam perhitungan komponen neraca energi.
Berikut ini merupakan persamaan neraca radiasi.
=(
)−(
+
+
)……………………………………………………….…….(4)
dimana Qn merupakan radiasi netto (Wm-2), RSinmerupakan radiasi gelombang pendek yang masuk menuju
bumi (Wm-2), RLin merupakan radiasi gelombang panjang yang masuk ke dalam bumi (Wm-2), RSout
merupakan radiasi gelombang pendek yang keluar dari bumi (Wm-2), dan RLout merupakan radiasi
gelombang panjang yang keluar dari permukaan bumi (Wm-2). Berikut merupakan langkah-langkah dalam
menentukan komponen neraca radiasi.
Radiasi gelombang pendek yang keluar menuju atmosfer dan albedo dapat dihitung melalui persamaan
sebagai berikut menggunakan citra kanal 4, kanal 3, dan kanal 2 (USGS, 2013).
……………………………………………………………………….………..(5)
=
=
. . .
.
(
)
……………..…………………………………………………………………………..(6)
dimana dmerupakan jarak bumi-matahari pada julian datetertentu, Esunmerupakan exoatmospheric solar
irradiance kanal tertentu (Wm-2μm-1), dan θs merupakan sudut zenith matahari. Albedo dan radiasi
gelombang pendek yang keluar tersebut digunakan untuk menghitung radiasi gelombang pendek yang masuk
ke permukaan bumi. Berikut adalah persamaan radiasi gelombang pendek yang masuk.
-320-
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
=
………………………………………………………………………….…………………(7)
RLin memiliki nilai yang sangat kecil sehingga pada perhitungan neraca radiasi nilai radiasi gelombang
panjang yang masuk ke bumi dapat diasumsikan bernilai nol. Selanjutnya, radiasi gelombang panjang yang
keluar dari permukaan bumi dihitung berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann.
…………………………………………………………………………………….(8)
=
dimana σ merupakan konstanta Stefan-Boltzmann dengan nilai sebesar 5.67x10-8 Wm-2K-4, dan Ts
merupakan suhu permukaan (K).
2.3.4 Pendugaan komponen neraca energi
Neraca energi merupakan distribusi radiasi netto ke dalam bentuk energi lain yang berperan dalam proses
kehidupan (Arya, 2001). Berikut ini merupakan persamaan umum dari neraca energi.
=
+
+
+ …………………………………………………………………………………(9)
dimana H merupakan panas terasa (Wm-2), G merupakan panas tanah (Wm-2), P merupakan energi yang
digunakan untuk fotosintesis (Wm-2), dan LE merupakan panas laten (Wm-2).
Energi yang digunakan untuk fotosintesis sangat rendah sehingga dalam persamaan neraca energi dapat
diasumsikan bernilai nol. Panas tanah diperoleh dari nilai radiasi netto, suhu permukaan, albedo, dan NDVI.
Berikut adalah persamaan panas tanah yang digunakan (Allen dkk., 2001).
=
(0.0038 + 0.0074
)(1 −
)………………………………………………………..(10)
Panas terasa dan panas laten dapat diperoleh dengan menggunakan metode Bowen Ratio. Berikut adalah
persamaan perhitungan panas terasa dan panas laten.
=
=
(
)
(
)
……………………………………………………………………………………………(11)
atau
=
−
− ………………………………………………………………...(12)
Bowen ratio merupakan rasio antara panas terasa dengan panas laten. Rasio tersebut relatif konstan pada
setiap tutupan lahan tertentu sehingga nilai β untuk badan air sebesar 0.1, nilai β untuk vegetasi sebesar 0.5,
dan untuk lahan terbangun sebesar 4.
2.3.5 Pendugaan nilai evaporasi
Jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan satu kilogram air (L) digunakan dalam mengonversi
nilai panas laten menjadi nilai evaporasi harian. Berikut ini merupakan persamaan latent heat vaporization.
= 2.5 10 − 2400
…………………………………………………………………….(13)
Selanjutnya, nilai evaporasi harian dapat diestimasi menggunakan persamaan berikut.
=
1000 86400…………………………...……….………………………………….(14)
dimana Emerupakan evaporasi harian (mm hari-1), ρ merupakan kerapatan air sebesar 1000 kgm-3, dan L
merupakan latent heat vaporization (Jkg-1).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi tutupan lahan secara tak terbimbing dilakukan pada penelitian ini dengan iterasi sebanyak
seratus kali. Recoding data hasil klasifikasi dilakukan untuk menggabungkan cluster ke dalam klasifikasi
yang sama. Hasil klasifikasi tersebut tidak dapat merepresentasikan penggunaan lahan. Berikut adalah
klasifikasi tutupan lahan di Kabupaten Karawang pada tanggal 15 Agustus 2015.
-321-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang
Berdasarkan Gambar 1, tutupan lahan di Kabupaten Karawang dibagi menjadi tiga: badan air, lahan
terbangun, serta vegetasi. Kelas yang dibangun merupakan generalisasi dari tutupan lahan tertentu karena
hanya diperlukan tutupan lahan dengan perbedaan karakteristik dan sifat permukaan yang signifikan.
Wilayah utara Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air. Lahan terbangun mendominasi wilayah
selatan Kabupaten Karawang. Penggunaan lahan sawah bera dan lahan terbuka memiliki karakteristik yang
relatif sama dengan lahan terbangun sehingga sawah bera dan lahan terbuka diklasifikasikan ke dalam lahan
terbangun.
Tabel 1.Luasan Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang
Tutupan Lahan
Luas (%)
Badan air
Lahan terbangun
Vegetasi
Total
Luas (ha)
39.2
38.2
68359
66590
22.6
100
39378
174327
Tutupan lahan di Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air sebesar 39.2 % dari total wilayah
Kabupaten Karawang. Lahan tambak dan sawah tergenang digolongkan ke dalam kelas badan air sehingga
tutupan lahan badan air memiliki luasan yang cukup besar. Lahan terbangun memiliki luasan sebesar 38.2 %
dari total wilayah, sedangkan vegetasi memiliki luas sebesar 22.6 % dari total wilayah.
Perhitungan komponen neraca radiasi dilakukan untuk menghasilkan nilai radiasi netto sehingga nilai
panas laten dan komponen energi lainnya dapat diketahui. Berikut ini adalah data komponen neraca radiasi,
neraca energi, dan evaporasi harian di setiap tutupan lahan pada tanggal 15 Agustus 2015 di Kabupaten
Karawang.
Tabel 2.Komponen Neraca Radiasi di Kabupaten Karawang
Tutupan Lahan
Badan air
Lahan terbangun
Vegetasi
Ts (ºC)
Std.
Mean
Dev
22.6
24.6
22.2
0.8
1.4
0.9
Albedo
Std.
Mean
Dev
RSout (W m-2)
Std.
Mean
Dev
RSin (W m-2)
Std.
Mean
Dev
RLout (W m-2)
Std.
Mean
Dev
0.119
0.122
0.098
107.1
109.6
89.2
901.8
897.0
912.9
425.1
409.8
410.1
0.02
0.02
0.01
-322-
12.8
17.7
7.0
17.5
14.4
12.0
4.7
7.6
4.8
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
Tabel 3.Komponen Neraca Energi dan Evaporasi Harian di Kabupaten Karawang
Qn (W m-2)
Std.
Mean
Dev
G (W m-2)
Std.
Mean
Dev
H (W m-2)
Std.
Mean
Dev
LE (W m-2)
Std.
Mean
Dev
E(mm hari-1)
Std.
Mean
Dev
Badan air
369.6
28.7
39.0
2.3
30.1
2.4
300.6
24.4
10.6
0.9
Lahan terbangun
377.7
413.5
31.6
18.2
43.3
40.8
2.5
1.8
267.5
124.3
24.0
5.9
66.9
248.5
6.0
11.8
2.4
8.8
0.2
0.4
Tutupan Lahan
Vegetasi
Kelas tutupan lahan vegetasi memiliki nilai radiasi netto rata-rata yang paling tinggi dari tutupan lahan
lainnya, yaitu sebesar 413.5 W m-2. Lahan terbangun memiliki radiasi netto rata-rata sebesar 377.7 W m-2
sedangkan badan air memiliki radiasi netto rata-rata sebesar 369.6 W m-2. Berdasarkan konsep neraca radiasi,
nilai radiasi netto yang tinggi merepresentasikan lebih banyak radiasi yang diterima permukaan bumi
dibandingkan dengan radiasi yang keluar dari bumi. Vegetasi memiliki albedo rata-rata terendah dari tutupan
lahan lainnya sehingga radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam vegetasi sangat tinggi, yaitu
mencapai 912.9 W m-2.Berbeda dengan lahan terbangun, albedo rata-rata dari lahan terbangun memiliki nilai
yang paling tinggi sehingga nilai radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam lahan terbangun menjadi
rendah, yaitu sebesar 897 W m-2.Albedo memiliki hubungan terbalik dengan radiasi gelombang pendek yang
masuk ke permukaan bumi. Berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann, suhu permukaan mempengaruhi
besarnya radiasi gelombang panjang yang diemisikan melalui objek di permukaan bumi. Flux panas
permukaan tanah (soil heat flux) memiliki nilai yang berkisar antara 39 – 43 W m-2. Lahan terbangun
memiliki rata-rata fluks panas permukaan tanah tertinggi dan badan air memiliki rata-rata fluks panas
permukaan terendah. Nilai fluks panas permukaan tanah relatif konstan sehingga karakteristik radiasi netto
dan komponen energi lainnya biasanya dinyatakan dalam rasio per fluks panas permukaan tanah. Rasio
tersebut dapat menggambarkan karakteristik energi pada tutupan lahan yang berbeda.
Panas laten merupakan energi yang digunakan untuk proses evaporasi. Badan air memiliki nilai panas
laten rata-rata tertinggi, yaitu sebesar 300.6 W m-2. Kandungan air pada badan air sangat melimpah sehingga
sebagian besar energi atau radiasi netto (Qn) akan diubah menjadi panas laten (LE). Vegetasi memiliki nilai
panas laten rata-rata sebesar 248.5 W m-2. Cadangan air yang cukup banyak pada vegetasi serta proses
konduktivitas stomata menyebabkan nilai panas laten di tutupan lahan vegetasi juga cukup tinggi. Tumbuhan
memperoleh CO2(g) sebagai reaktan dalam proses fotosintesis dari stomata. Pembukaan stomata akan diikuti
dengan masuknya CO2(g) dan keluarnya H2O dari dalam tumbuhan ke atmosfer sehingga akan terjadi proses
transpirasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh perbedaan nilai tekanan uap antaraatmosfer dengan tumbuhan
(Jones, 2014). Lahan terbangun memiliki nilai panas laten terendah, yaitu 66.9 W m-2. Potensi penguapan
yang dimiliki tutupan lahan terbangun sangat rendah. Hal ini dipengaruhi oleh sifat permukaan dan
ketersediaan air di lahan tersebut. Berikut ini merupakan persentase alokasi radiasi netto menjadi panas
terasa, panas laten, dan panas permukaan tanah.
Gambar 2. Persentase Alokasi Energi. (a) Badan Air, (b) Lahan Terbangun, dan (c) Vegetasi
Pie chartdi atas merupakan persentase alokasi energi dari radiasi netto pada tutupan lahan berbeda.Panas
laten memiliki alokasi energi tertinggi di tutupan lahan badan air dan vegetasi. Sedangkan, lahan terbuka
memiliki persentase energi panas laten yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua tutupan lahan lainnya.
-323-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Radiasi netto pada lahan terbangun paling tinggi dialokasikan menjadi energi panas terasa sehingga pada
tutupan lahan tersebut sering terjadi proses pemanasan lokal atau urban heat island.
Gambar 3. Distribusi Evaporasi di Kabupaten Karawang pada Tanggal 15 Agustus 2015.
Berdasarkan Gambar 3, dapat terlihat distribusi evaporasi di Kabupaten Karawang pada tanggal 15
Agustus 2015. Rentang nilai evaporasi berada di antara 1.2 – 15.4 mm hari-1 dengan variasi pada tutupan
lahan yang berbeda. Nilai evaporasi pada tutupan lahan badan air berkisar antara 6.2 - 15.4 mm hari-1, lahan
terbangun berkisar antara 1.2 - 3.1 mm hari-1, dan vegetasi berkisar antara 6.4 - 10.4 mm hari-1. Evaporasi
tinggi di wilayah utara Kabupaten Karawang dan rendah di bagian selatan dan barat daya Kabupaten
Karawang. Berdasarkan kelas tutupan lahan, wilayah utara Kabupaten Karawang didominasi oleh badan air
berupa tambak dan sawah tergenang. Cadangan air di tutupan lahan tersebut relatif berlimpah sehingga
potensi evaporasi di wilayah tersebut juga tinggi. Wilayah selatan dan barat daya Kabupaten Karawang
didominasi oleh lahan terbangun sehingga memiliki nilai evaporasi yang relatif rendah dari wilayah
Kabupaten Karawang lainnya. Karakteristik statistik nilai evaporasi di setiap tutupan lahan dapat dilihat
dalam distribusi frekuensi.
Gambar 4. Histogram Nilai Evaporasi pada Setiap Tutupan Lahan di Kabupaten Karawang.
-324-
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang) (Condro, A.A.)
Distribusi nilai evaporasi pada setiap tutupan lahan relatif menyebar secara normal. Perbedaan nilai rataan
evaporasi pada setiap tutupan lahan terlihat dalam posisi histogram pada sumbu axis. Besarnya frekuensi
merepresentasikan luasan tutupan lahan tertentu di Kabupaten Karawang. Badan air memiliki nilai evaporasi
yang tinggi dengan luasan wilayah yang tinggi pula sehingga badan air menyumbangkan evaporasi terbesar
di Kabupaten Karawang. Lahan terbangun memiliki nilai rataan evaporasi terendah tetapi memiliki luasan
wilayah yang cukup tinggi.
4.
KESIMPULAN
Evaporasi harian pada tutupan lahan tertentu secara spasial dapat diduga menggunakan citra satelit
Landsat 8 OLI/TIRS. Rentang nilai evaporasi berada di antara 1.2 – 15.4 mm hari-1 dengan variasi pada
tutupan lahan yang berbeda. Evaporasi rata-rata tertinggi berada di tutupan lahan badan air, yaitu sebesar
10.6 mm hari-1, evaporasi rata-rata di tutupan lahan vegetasi sebesar 8.8 mm hari-1, dan evaporasi rata-rata
terendah berada di lahan terbangun, yaitu sebesar 2.4 mm hari-1. Perbedaan nilai evaporasi pada tutupan
lahan yang berbeda sangat dipengaruhi oleh karakteristik permukaan seperti emisivitas permukaan, bowen
ratio, dan cadangan air yang tersedia di permukaan.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih saya haturkan kepada Bapak Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc. dan Bapak Dr. Yudi
Setiawan, S.P., M.Sc., Ph.D. atas saran dan bimbingannya, serta rekan-rekan Departemen Geofisika dan
Meteorologi IPB angkatan 50 atas dukungannya selama penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., Morse, A., Tasumi, M., Bastiaansen, W., dan Anderson, H., (2001). Evapotranspiration from Landsat
(SEBAL) for water right management and compliance with ulti-state water compact. University of Idaho Kimberly.
Allen, R.G., Pereira L.S., Raes, D., dan Smith, M., (1998). Crop Evapotranspiration Guidelines Computing Crop Water
Requirements, FAO Irrigation and Drainage.
Arya, S.P., (2001). Intoduction to Micrometeorology, Second Edition: Academic Press.
Bappeda Karawang. (2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang Tahun
2011-2015. Karawang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Bappeda Karawang.
Dingman, S.L., (2015). Physical Hydrology, Third Edition: Waveland Press, Inc.
Dwijayanto, A., (2015). Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat.
(Skripsi), IPB (Bogor Agricultural University), Bogor.
Jones, H.G., (2014). Plant and Microclimate: A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiology, Third
Edition: Cambridge University Press.
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W., (2004). Remote Sensing and Image Interpretation, Fifth Edition:
John Wiley & Sons, Inc.
Setiawan, R., (2006). Metode Neraca Energi untuk Perhitungan Leaf Area Index (LAI) di Lahan Bervegetasi
Menggunakan Data Citra Satelit. Skripsi, IPB (Bogor Agricultural University), Bogor.
Shaw, E.M., Beven, K.J., Chappell, N.A., dan Lamb, R., (2011). Hydrology in Practice, Fourth Edition: Spon Press.
United State Geological Survey., (2013). Landsat 8 (L8) Data User Handbook, diunduh 19 April 2016
darihttp://landsat.usgs.gov/documents/Landsat8DataUsersHandbook.pdf
Weng, Q., (2001). A Remote Sensing: GIS Evaluation of Urban Expansion and Its Impact on Surface Temperature in
The Zhujiang Delta, China. Int. J. Remote Sensing, 22(10):1999-2014.
Yudiansyah, T.R., (2010). Pendugaan Nilai Komponen Neraca Energi di Kanopi Hutan Tanaman Agathis Loranthifolia
dengan Menggunakan Satelit Optik (Studi Kasus Hutan Gunung Walat Sukabumi). Skripsi, IPB (Bogor Agricultural
University), Bogor.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
:
:
Pemakalah
:
Hidayat Gunawan
Pendugaan Evaporasi Berdasarkan Konsep Neraca Energi Menggunakan Citra
Satelit Landsat 8 (Studi Kasus: Kabupaten Karawang)
Aryo Adhi Condro (IPB)
Diskusi:
-325-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pertanyaan: Dr. Dony Kushardono (LAPAN):
Penelitian ini seharusnya bukan mengenai evaporasi tetapi evapotranspirasi karena didalamnya mengenai
vegetasi. Seperti yang diketahui penggunaan satelit Landsat 8 dalam pengukuran evapotranspirasi dirasa
kurang tepat, karena satelit Landsat 8 berada di orbit sunsychronous pada pukul 09.00, dan disitu belum
terjadi pemanasan yang maksimal. Awan masih banyak dan itu artinya bumi belum begitu panas. Jadi
seharusnya menggunakan data satelit siang hari sekitar jam 12.00 dan Landsat tidak bisa memenuhi. Perlu
dikaji lebih lanjut?
Jawaban:
Untuk masalah wording antara evaporasi dan evapotranspirasi itu dikarenakan yang dijadikan penelitian
tidak hanya tutupan lahan vegetasi, tetapi saya juga menggunakan non vegetasi, sehingga menggunakan kata
yang lebih umum yaitu evaporasi. Mungkin memang diperlukan data citra yang lebih relevan lagi sesuai
dengan jamnya. Karena saat ini memiliki keterbatasan data observasi, sehingga untuk saat ini validasi belum
dilakukan.
-326-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling
Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7
Comparison of Various Spectral Value Resampling Methods
for Generating SPOT 6/7 Primary Product
Ferman Setia Nugroho1,*) dan Sanjiwana Arjasakusuma2,3
1
Remote Sensing Ground Station Parepare, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space
2
Remote Sensing Department, Faculty of Geography, Gadjah Mada University
3
Graduate School of Environmental Studies, Nagoya University
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Primary Product adalah merupakan level pemrosesan yang paling mendekati dengan gambaran alami
yang diperoleh dari sensor. Pada proses produksi data primary, terdapat berbagai macam metode resampling yang dapat
digunakan. Dari berbagai macam metode resampling tersebut belum diketahui seberapa besar perubahan nilai
spektralnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui besar perubahan nilai spektral dari berbagai metode untuk
resamplingPrimary Product SPOT 6/7. Dengan mengetahui besar perubahan nilai spektral setelah proses resampling,
maka akan dapat diketahui metode resampling yang konsisten dalam mempertahankan nilai spektral yang penting pada
saat akan melakukan proses transformasi citra ataupun klasifikasi citra digital. Pada Penelitian ini, korelasi antara citra
resampling menggunakan metode bicubic optimized dan bicubic bilinear dengan near neighbour dapat dibandingkan
untuk memperoleh kesimpulan tentang konsistensi metode tersebut dalam mempertahankan nilai spektral citra asli.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi sangat tinggi antar berbagai metode resampling sehingga bisa dipilih
salah satu dari berbagai metode resampling untuk memproduksi Primary Products pada SPOT 6/7. Namun lebih
disarankan untuk menggunakan metode resamplingnear neighbour karena lebih mempertahankan nilai spektral citra
asli.
Kata kunci: nilai spektral, resampling, primary product
ABSTRACT Primary product is the closest processing level to the raw image acquired by sensor. In the process of
generating Primary Product, there are various methods of resampling used to generate this product. Among these
various methods of resampling, it is not yet known how much of these resampling methods change the spectral value of
the final resampled product. This study aims to determine the changes in the spectral value of the final resampled
products for the Primary Product of SPOT 6/7. By knowing how spectral value changes in the final product, the
consistency of the resampling methods can be concluded which is important to be considered when performing digital
classification or spectral transformation. In this research, the correlation of the resampled imagery using Bicubic
Optimized and Bicubic Bilinear methods was compared with Near Neighbour method to conclude which one is the most
spectral-consistent method. Based on the analysis, the result indicated that there is a very high correlation between the
various resampling methods with near neighbour method so that based on the final correlation analysis, whatever
resampling methods can be used for generating primary products of SPOT 6/7. However it is advisable to use near
Neighbour resampling method considering that this method retains most of the original spectral values.
Keywords: spectral value, resampling, primary product
1. PENDAHULUAN
Pada tahun 2008, SPOT Image (yang sekarang menjadi Geo Intelligence program line of Airbus Defence
and Space) di Toulouse, Perancis memulai inovasi untuk membangun kelanjutan dari misi SPOT, yang akan
diberi nama SPOT 6/7 untuk melanjutkan misi mendapatkan citra resolusi tinggi dengan cakupan yang lebar
seperti pada generasi sebelumnya yaitu SPOT5. Mendapatkan dukungan penuh dari Airbus Group,
pengerjaan satelit konstelasi SPOT6/7 diumumkan resmi pada pertengahan 2009 oleh Airbus Defence and
Space. SPOT 6 diluncurkan oleh India’s Polar Satellite Launch Vehicle flight C21 pada jam 04:23 UTC
tanggal 9 September 2012, sedangkan SPOT 7 diluncurkan PSLV flight C23 pada jam 04:42 UTC tanggal 30
Juni 2014. Kedua satelit tersebut akan berkonstelasi untuk melanjutkan misi mendapatkan citra resolusi
tinggi dengan cakupan yang lebar sampai dengan tahun 2024.
SPOT 6/7 tersedia dalam dua tingkat pengolahan yang berbeda: Primary dan Ortho. Kedua tingkat
pengolahan tersebut telah dikoreksi radiometrik dan koreksi distorsi sensor, menggunakan parameter
-327-
Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S,
dkk.)
kalibrasi internal, pengukuran ephemeris dan attitude. SPOT 6 dan SPOT 7 memiliki saluran Pankromatik
(resolusi produk: 1.5m), dan saluran Multispektral (4 band, resolusi produk: 6m).
Primary Product adalah merupakan level pemrosesan yang paling mendekati dengan gambaran alami
yang diperoleh dari sensor. Produk ini mengembalikan citra pada kondisi sempurna: sensor ditempatkan
dalam geometri bujursangkar, dan gambar terlihat jelas dari semua distorsi radiometrik. Primary Product
sangat sesuai dengan pengguna yang paham dengan pengolahan citra satelit yang ingin menerapkan metode
produksi sendiri (orthorectification atau modeling 3D misalnya). Untuk tujuan ini, Rational Polynomial
Coefficient (RPC) dan model sensor disediakan bersama dengan produk untuk memastikan otonomi penuh
dan kesederhanaan bagi pengguna.
Proses penyiapan data citra SPOT membutuhkan beberapa proses untuk rektifikasi geometrik dan
penajaman radiometrik contohnya adalah proses resampling geometri. Proses resampling ini mengubah
geometri citra original yang terdistorsi menjadi terkoreksi dengan menghitung nilai pixel baru pada citra
terkoreksi (Baboo dkk., 2010). Proses resampling ini diketahui dapat membawa efek penurunan kualitas citra
hasil yang tidak diinginkan (Tauch dan Kaehler, 1988). Sehingga perlu ada kajian untuk menguji konsistensi
proses geometrik resampling pada citra hasil. Pada citra SPOT, proses resampling dapat menggunakan
beberapa metode seperti bicubic bilinear, bicubic optimized and near neighbour.
Dari berbagai macam metode resampling tersebut belum diketahui seberapa besar perubahan nilai
spektralnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui besar perubahan nilai spektral dari berbagai
metode untuk resampling Primary Product SPOT 6/7. Dengan mengetahui besar perubahan nilai spektral
setelah proses resampling, maka akan dapat diketahui metode resampling yang konsisten dalam
mempertahankan nilai spektral yang penting pada saat akan melakukan proses transformasi citra ataupun
klasifikasi citra digital.
2. DATA DAN METODE
2.1. Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data SPOT-6 multispektral 4 band, resolusi spasial 6
meter, dengan 12 bit tingkat keabuan. Level pengolahan Primary Product dengan menggunakan metode
resampling near neighbour, bicubic optimized, dan bicubic bilinear wilayah Kepulauan Adonara, Nusa
Tenggara Timur, Indonesia. Direkam pada tanggal 23 April 2016 jam 01:46:21 UTC.Pulau Adonara terletak
di kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang merupakan salah satu dari 3
pulau besar di kabupaten tersebut dengan luas 509 km2.
Gambar 1. Lokasi Daerah Kajian
2.2. Pra Pemrosesan Data
Koreksi radiometrik Top of Atmosfer(ToA) dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama adalah konversi
nilai digital menjadi nilai spektral radian, dan tahap kedua adalah konversi nilai spektral radian menjadi nilai
spektral reflektan.
A. Mengkonversi nilai digital ke nilai spektral radian
-328-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pada proses ini diperlukan informasi Gain dan Bias dari sensor di setiap band. Transformasi dilakukan
berdasarkan kurva kalibrasi nilai digital ke radian yang telah dihitung secara sistematik. Kalibrasi dilakukan
sebelum sensor diluncurkan dan tingkat akurasi menurun seiring dengan sensitivitas sensor yang berubah
sepanjang waktu, sehingga diperlukan kalibrasi ulang sensor. Metode untuk mengkalibrasi nilai digital
menjadi nilai spektral radian (Lλ) adalah sebagai berikut:
(1)
Gain dan offset dalam unit W/(m2 * sr * µm). Sehingga nilai radian juga dalam unit W/(m2 * sr * µm).
B. Mengkonversi nilai spektral radian ke nilai spektral reflektan
Langkah selanjutnya adalah menormalisasi nilai irradian dengan mengkonversi nilai spektral radian
dengan mempertimbangkan nilai cosinus akibat dari perbedaan sudut matahari dan nilai exoatmospheric
irradian dari perbedaan nilai spektral di setiap band. Dengan demikian nilai reflektan exoatmospheric adalah
kombinasi faktor kelengkungan permukaan dan reflektan atmosfer yang dihitung menggunakan persamaan
berikut
(2)
dimana:
= Radiance dengan satuan unit W/(m2 * sr * µm)
= Jarak Bumi-Matahari dalam satuan astronomical.
= Solar irradiance dalam satuan W/(m2 * µm)
= Sun elevation dalam derajat
2.3. Proses Resampling
Pada proses produksi data Primary, terdapat berbagai macam metode resampling yang dapat digunakan.
Adapun metode resampling yang tersedia dalam proses produksi SPOT adalah: 1) Near Neighbour: untuk
setiap "hilang" pixel (pixel yang harus diciptakan dalam gambar diproses) metode Tetangga terdekat
mengambil nilai pixel terdekat di sumber gambar. 2) Bicubic Bilinear: untuk setiap "hilang" pixel (pixel
yang harus diciptakan dalam gambar diproses) metode bilinear mengambil nilai dari empat titik yang paling
dekat di sudut-sudut diagonal pada gambar sumber, dan rata-rata nilai-nilai mereka. 3)Bicubic Optimized:
interpolasi bicubic, berbeda dengan 2 metode sebelumnya, mengambil tidak hanya empat piksel diagonal
terdekat, tapi poin terdekat mereka juga, untuk total 16 piksel interpolasi bicubic menciptakan kurva yang
lebih halus dari bilinear
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Ilustrasi Metode Resampling (A) Near Neighbour (B) Bicubic Bilinear (C) Bicubic Optimized
2.4. Uji Konsistensi
Uji konsistensi proses resampling citra ini menggunakan analisa kuantitatif dengan koefisien
korelasi antara citra hasil resample dengan proses bicubic bilinear dan bicubic optimized dengan
citra resampling near neighbour. Analisa kuantitatif menggunakan koefisien korelasi sudah banyak
dilakukan untuk menguji konsistensi citra pansharpened (Palsson dkk., 2016). Perhitungan koefisien
korelasi hasil citra pansharpened dianggap mampu mencerminkan kualitas konsistensi citra hasil
-329-
Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S,
dkk.)
fusi (Panchal dkk., 2015). Nilai koefisien korelasi juga dianggap mewakili tingkat kemiripan citra
secara umum antara citra hasil dan citra referensi (Javan dkk., 2013). Dengan asumsi tersebut,
maka untuk menguji nilai koefisien korelasi dapat digunakan untuk menguji integritas spectral data
hasil proses resampling yang berbeda.
SPOT6 Multispektral
Level 0
Resampling
near neighbour
Resampling
bicubic bilinear
Resampling
bicubic optimized
Radiance-Reflectance
Top of atmosphere
Radiance-Reflectance
Top of atmosphere
Radiance-Reflectance
Top of atmosphere
PerbandinganNilaiSpektralBerbaga
iMetode Resampling
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
3. HASIL PEMBAHASAN
3.1. Pra Pemrosesan Data
Nilai digital dikonversikan ke nilai reflektansi dengan menggunakan metode koreksi radiometrik Top
of Atmosfer, dimana dalam statistik nilai digital range data mulai dari 0 sampai dengan maksimal 4096,
sedangkan setelah dikoreksi radiometrik ToA range data mulai 0 sampai dengan 1. Adapun nilai minimum,
maksimum, rata-rata, dan standar deviasi dari tiap band baik masih berupa nilai digital ataupun nilai
reflektasi akan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 1.Statistik Nilai Digital dan Nilai Reflektansi Hasil ToA
Metode Resample
near neighbour
bicubic bilinear
bicubic optimized
Band
Min
Statistik nilai digital
Max
Mean
Stdev
Statistik nilai reflektansi hasil ToA
Min
Max
Mean
Stdev
1
0
4073
336,317
110,1354
0
1
0,0831
0,0272
2
0
4095
274,038
132,9295
0
0,9416
0,063
0,0306
3
0
4095
167,7667
137,3715
0
1
0,0414
0,0339
4
0
4075
553,2615
540,514
0
1
0,143
0,1397
1
0
3698
336,3148
109,7026
0
0,9142
0,0831
0,0271
2
0
3996
274,0374
132,2828
0
0,9189
0,063
0,0304
3
0
4026
167,7675
136,5937
0
0,9923
0,0414
0,0337
4
0
3900
553,2585
537,408
0
1
0,143
0,1389
1
0
4004
336,3149
109,9915
0
0,9899
0,0831
0,0272
2
0
4027
274,0377
132,7154
0
0,926
0,063
0,0305
3
0
4095
167,7675
137,1312
0
1
0,0414
0,0338
4
0
3927
553,2582
539,2996
0
1
0,143
0,1393
3.2. Uji Konsistensi
Setelah dilakukan konversi dari nilai digital menjadi nilai reflektansi maka tahapan selanjutnya
adalah melihat korelasi bicubic bilinear dan bicubic optimized terhadap near neighbour tiap band pada
berbagai lokasi sehingga bisa dilihat seberapa besar perbedaan nilai spektralnya. Adapun nilai korelasi
tersebut bisa dilihat pada tabel berikut:
-330-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 2.Tabel Korelasi Bicubic Bilinear dan Bicubic Optimized terhadap Near Neighbour Tiap Band pada Berbagai
Lokasi
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
0.994244
0.995281
0.991908
0.979041
0.966206
0.965920
0.973680
0.969486
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
0.994705
0.995759
0.992860
0.980810
0.970690
0.969601
0.976084
0.972328
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
0.983708
0.983424
0.984128
0.973649
0.979583
0.985703
0.984803
0.995908
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
0.985218
0.984944
0.985616
0.976294
0.981200
0.986783
0.985704
0.996331
-331-
Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Proses Pembuatan Primary Product SPOT 6/7 (Nugroho, F.S,
dkk.)
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
korelasi bicubic bilinear terhadap near neighbour
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
0.965892
0.958659
0.972729
0.959801
0.998024
0.997439
0.997023
0.996942
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
korelasi bicubic optimized terhadap near neighbour
B1
B2
B3
B4
B1
B2
B3
B4
0.970025
0.963240
0.975648
0.964374
0.998187
0.997681
0.997271
0.997284
Hasil koefisien korelasi citra dengan proses resampling yang berbeda menunjukkan tingginya integritas
citra hasil proses resampling yang berbeda. Rata - rata koefisien korelasi mempunyai korelasi yang positif
dan tinggi ditunjukkan dengan nilai yang mendekati nilai maksimum 1. Proses resampling bicubic optimized
mempunyai korelasi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proses resampling menggunakan bicubic
bilinear terhadap resampling hasil near neighbours. Hasil ini menunjukkan hasil yang mirip dengan
penelitian serupa oleh (Studley dan Weber, 2011) yang mendapatkan koefisien korelasi yang mendekati 1
dengan membandingkan koefisien korelasi bicubic bilinear dan bicubic optimized dengan agregated
average(aa). Dengan begitu, tingginya hasil proses resampling geometrik yang berbeda ini menunjukkan
bahwa metode resampling yang berbeda dapat digunakan untuk rektifikasi geometrik dan penajaman
radiometrik dengan penurunan kualitas data yang minimal.
Penurunan kualitas data yang minimal dan tingginya konsistensi dari hasil proses resampling yang
berbeda ini membuat citra hasil proses resampling masih dapat digunakan untuk pemrosesan citra digital.
Pemrosesan citra digital ini meliputi proses transformasi citra seperti raster algebra dan juga proses
klasifikasi digital contohnya untuk klasifikasi penutup lahan. Dengan tingginya konsistensi antar proses
resample, maka informasi yang diturunkan melalui pemrosesan citra digital menggunakan citra hasil
resample dengan metode yang berbeda diharapkan akan memiliki informasi yang sama atau tidak jauh
berbeda.
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi sangat tinggi antar berbagai metode resampling
sehingga bisa dipilih salah satu dari berbagai metode resampling untuk memproduksi Primary Products pada
SPOT 6/7. Bicubic bilinear dan bicubic optimized yang masing - masing menggunakan 4 dan 16 nilai
spektral piksel sekitarnya untuk menghitung nilai piksel baru pada citra terkoreksi masing - masing dapat
digunakan untuk proses resample geometrik. Namun lebih disarankan untuk menggunakan metode
resampling near neighbour karena lebih mempertahankan nilai spektral citra asli dan juga lebih hemat
komputasi karena tidak menggunakan proses perhitungan rata-rata dalam menghitung nilai piksel hasil
pemrosesan.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Parepare
yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Tim Redaksi dan Mitra Bestari atas masukan dan koreksinya.
-332-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
DAFTAR PUSTAKA
Astrium (2015). SPOT6|SPOT7 Technical Sheet. Cited in http://www2.geo-airbusds.com/files/pmedia/public/r12317
_9_spot6-7_technical_sheet.pdf .
Baboo, Santhosh, S., dan Devi M.R., (2010). An Analysis of Different Resampling Methods in Coimbatore, District’,
Global Journal of Computer Science and Technology, 10: 61–66
Javan, Farzaneh, D., Farhad, S., dan Peter, R., (2013). Spatial Quality Assessment of Pan-Sharpened High Resolution
Satellite Imagery Based on an Automatically Estimated Edge Based Metric, Remote Sensing.
<http://dx.doi.org/10.3390/rs5126539>
Panchal, Shailesh, dan Rajesh, T., (2015). Implementation And Comparative Quantitative Assessment Of Different
Multispectral Image Pansharpening Approaches. Signal & Image Processing : An International Journal, 6:50–52
Palsson, Frosti, Johannes, R.,S., Magnus, O.U., dan Jon, A.B., (2016). Quantitative Quality Evaluation of Pansharpened
Imagery : Consistency Versus Synthesis’, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing.
Ruediger, Tauch, dan Martin, K., (1988). Improving the Quality of Satellite Image Maps by Various Processing
Techniques, Proceedings of ISPRS. http://dx.doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Studley, H., dan Weber, K.T., (2011). Comparison of Image Resampling Techniques for Satellite Imagery. Final
Report: Assessing Post-Fire Recovery of Sagebrush-Steppe Rangelands in Southeastern Idaho.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
:
:
Pemakalah
Diskusi
:
:
Kuncoro Teguh Setiawan
Perbandingan Nilai Spektral Berbagai Metode Resampling Pada Primary Product
SPOT-6
Ferman Setia Nugroho (LAPAN)
Pertanyaan: Fajar Yulianto (LAPAN)
Mungkin penelitian ini kedepan bisa dipertajam dengan menggunakan pendekatan split base. Per scene di
split per subscene image misal resolusi 500 x500 m pergrid. Per grid bisa dihitung statistiknya. Nanti hasil
dari per scene yang sudah dipotong2 diplotkan setiap parameternya dan dianalisis lebih lanjut dan
dibandingkan dengan satu scene keseluruhan yang digunakan.
Jawaban :
Penelitian yang dilakukan sangat singkat sehingga hanya menggunakan 5 lokasi sample. Kedepan memang
lebih baik menggunakan image yang displit.
Pertanyaan: STA Munawar (LAPAN)
Ragu dengan kesimpulan yang menyatakan hasilnya sama saja, jika dilihat grafik kekanan seharusnya
semakin smooth, seperti jerawat tidak kelihatan dengan menggunakan metode bicubic optimized. Sedangkan
near neighbor memperindah warna aslinya tidak mengubah nilai spektralnya. Mungkin perlu dikaji lagi
apakah ada perbedaan atau tidak pada metode tersebut.
Jawaban :
Untuk metode korelasi sendiri masih banyak perdebatan mengenai apakah nilai korelasi bisa menunjukan
keterkaitan antara variable a dan variable b. Metode yang paling mudah adalah membandingkan korelasi
tinggi atau rendah, karena hasilnya sama-sama mendekati satu maka dikatakan sama. Keterbatasan waktu
dan kemampuan dalam mengetahui metode selain korelasi, apakah ada metode lain selain korelasi untuk
membandingkan var a dan var b. Karena yang diketahui sebatas korelasi dan hasilnya sama-sama tinggi jadi
tidak ada masalah. Maka dari itu jika dilihat dari kesimpulan yang diambil terlihat tidak ada perbedaan.
-333-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation
Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh
Open Mine Land Identification using Vegetation Index Differencing Method
Case Study: Gold Mine Geumpang, Aceh
Ahmad Sutanto1*), dan Arum Tjahjaningsih1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta, Indonesia
*)
E-mail : [email protected]
ABSTRAK – Provinsi Aceh merupakan provinsi yang banyak memiliki sumberdaya mineral , karena faktor geologi
yaitu Aceh terletak pada jalur Patahan Semangko. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah perhitungan
citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi.
NDVI dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomass dedaunan hijau,
daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi. Disparitas indeks
vegetasi (VIDN), metode ini umum digunakan untuk tujuan analisis perubahan atau change detection. Deteksi perubahan
merupakan suatu proses mengindetifikasi perubahan-perubahan suatu objek atau fenomena melalui pengamatan pada
berbagai waktu yang berbeda. Terjadinya pengurangan biomassa merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu perubahan
tutupan lahan yang pada penelitian ini, perubahan lahan yang dimaksud adalah terjadinya lahan terbuka pada areal
tambang emas. Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda. Pada kegiatan ini
telah dilakukan perhitungan NDVI pada citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra Landsat 7 tahun 2000, citra
Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan scene path/row: 131/057. Dari penelitian menggunakan
metode VIDN menghasilkan nilai ambang batas bawah (Td) -0,249238 dan nilai ambang batas atas (Tu) 0,115725
Kata kunci: Landsat, NDVI, VIDN, change detection, biomassa.
ABSTRACT - Aceh province has numerous mineral resources, due to geological factors as this province laid over
Semangko Fault. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) is a calculation of the imagery used to determine the
level of greenness, which is very good as the beginning of the division of areas of vegetation. NDVI can show the
parameters associated with vegetation parameters, that is green foliage biomass. Green foliage area is the value that can
be estimated for the distribution of vegetation. Vegetation index disparities (VIDN) method is commonly used for analysis
purposes alteration or change detection. Change detection is a process of identifying changes of an object or phenomenon
by observing at various different times. A reduction in biomass is one indication of the occurrence of a change land cover
in this field, changes in the land is the open land in the gold mine area. VIDN synthetic image derived from NDVI values
between two different times. This studies carried out NDVI calculations for Landsat 8 images in 2014 and 2015, Landsat 7
in 2000, Landsat 5 in 2009, 2010 and 2011 Aceh southern scene path / row: 131/057. Calculations using methods VIDN
produce lower threshold values (Td) -0.249238 and upper threshold values (Tu) 0.115725
Keywords: Landsat, NDVI, VIDN, change detection, biomass
1.
PENDAHULUAN
Provinsi Aceh merupakan provinsi yang banyak memiliki sumberdaya mineral, karena faktor geologi yaitu
Aceh terletak pada jalur Patahan Semangko. Aceh memiliki cadangan dan penghasil emas di 7 (tujuh)
kabupaten yaitu: Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Pidie, Aceh Tengah, Aceh Besar.
Penambangan emas tanpa ijin (PETI) merupakan penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat tanpa
didasari oleh data eksplorasi, sehingga memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Adanya permasalahan
terkontaminasinya air sungai akibat limbah berbahaya dari pengolahan emas sehingga menyebabkan jutaan ikan
mati. Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam menuntut Pemda bisa lebih pro-aktif melakukan inventarisasi dan eksplorasi emas di wilayahnya.
Perlu dipetakan daerah yang berpotensi mineral emas bernilai ekonomi. Lokasi tambang emas ada yang di atas
bukit sehingga sulit untuk dilakukan pengecekan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nangro
Aceh Darussalam bermaksud untuk menginventarisasi lokasi PETI di wilayahnya.
Data penginderaan jauh berkembang sangat pesat, baik resolusi spasial, temporal maupun spektralnya,
sehingga aplikasinya menjadi lebih luas. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sektor geologi dapat
digunakan untuk inventarisasi lahan bekas tambang, identifikasi parameter geologi (kelurusan, pola aliran dan
-334-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
lain-lain). Data citra satelit resolusi tinggi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk pemantauan aktivitas
penambang (secara visual), sedangkan untuk citra resolusi menengah memerlukan pengolahan lanjut.
2.
TEORI DASAR
Dalam aplikasi penginderaan jauh, indeks vegetasi merupakan cerminan tingkat kehijauan vegetasi yang juga
dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan. Indeks vegetasi dapat berubah disebabkan oleh kondisi
ketersediaan air akibat pergantian musim. Kondisi indeks vegetasi rendah mengakibatkan penurunan produksi
pangan, kebakaran, dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasi akibat buruk tersebut, upaya pemantauan indeks
vegetasi perlu dilakukan.
Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra
penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra
penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman
memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan pancaran
gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi
(Pettorelli dkk., 2005). Tanaman hidup menyerap gelombang tampak (visible) biru dan merah serta
memantulkan gelombang hijau, oleh karena itulah kenapa mata manusia melihat daun-daun tanaman yang hidup
adalah berwarna hijau. Akan tetapi ada satu jenis gelombang lain yang juga di pantulkan oleh tanaman selain
gelombang hijau, akan tetapi gelombang ini tidak dapat di lihat oleh mata (invisible), gelombang ini adalah
gelombang infra merah dekat.
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui
tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukkan
parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomass dedaunan hijau, daerah dedaunan
hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi.Seperti perhitungan pada citra
rasio, pada citra normalisasi juga menggunakan data kanal1 dan kanal2. Kanal1 terdapat dalam bagian dari
spektrum dimana klorofilmenyebabkan adanya penyerapan terhadap radiasi cahaya yang datang yang dilakukan
saat fotosintesis, sedangkan kanal 2 terdapat dalam daerah spektral dimana struktur daun spongy mesophyll
menyebabkan adanya pantulan terhadap radiasi cahaya. Perbedaan respon dari kedua kanal ini dapat diketahui
dengan transformasi rasio perbandingan satu kanal dengankanalyang lain.
Perbandingan antara kedua kanal adalah pertimbangan yang digunakan untuk mengurangi variasi yang
disebabkan oleh topografi dari permukaan bumi. Hal ini merupakan kompensasi dari variasi pancaran sebagai
fungsi dari elevasi matahari untuk daerah yang berbeda dalam sebuah citra satelit. Perbandingan ini tidak
menghilangkan efek additive yang disebabkan oleh atmospheric attenuation, tetapi komponen dasar untuk
NDVI dan vegetasi saling berhubungan. Latar belakang daratan berfungsi sebagai pemantul sinyal yang terpisah
dari vegetasi, dan berinteraksi dengan vegetasi melalui hamburan yang sangat banyak dari energi radiasi.
Rentang nilai NDVI adalah antara -1.0 hingga +1.0. Nilai yang lebih besar dari 0.1 biasanya menandakan
peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Nilai diantara 0 dan 0.1 umumnya merupakan
karakteristik dari bebatuan dan lahan kosong, dan nilai yang kurang dari 0 kemungkinan mengindikasikan awan
es, awan uap air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0.1 untuk lahan savanna (padang
rumput) hingga 0.8 untuk daerah hutan hujan tropis. Nilai NDVI dapat diperoleh yaitu dengan membandingkan
pengurangan data kanal 2 dan kanal 1 dengan penjumlahan dari kedua kanal tersebut. Berikut ini rumus NDVI :
=
...................................................................................................................... ………………….(1)
Nilai NDVI menggunakan nilai reflektansi dari kanal NIR ( Near Infra Red ) dan kanal Red pada citra satelit
untuk perhitungannya.Disparitas indeks vegetasi (VIDN), metode ini umum digunakan untuk tujuan analisis
perubahan atau change detection. Deteksi perubahan merupakan suatu proses mengindetifikasi perubahanperubahan suatu objek atau fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang berbeda. Lau dkk. (2005);
Sitorus (2006); Jensen (2005) menyebutkan salah satu metode yang digunakan untuk analisis perubahan di
antaranya adalah metode Image Differencing atau metode pengurangan citra. Jaya (2005) menjelaskan bahwa
nilai VIDN berkisar -2 – 2 dengan nilai negatif menyatakan adanya pengurangan biomassa atau vegetasi hijau.
Terjadinya pengurangan biomassa merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu perubahan tutupan lahan yang
pada penelitian ini, perubahan lahan yang dimaksud adalah terjadinya lahan terbuka pada areal tambang emas.
Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda.
Pada citra Landsat 5 dan 7 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 4 sedangkan saluran merah
terdapat pada saluran 3. Pada citra Landsat 8 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 5 sedangkan
-335-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
saluran merah terdapat pada saluran 4. Nilai VIDN dapat diperoleh yaitu dengan pengurangan data NDVI tahun
n dengan data NDVI tahun m. Berikut ini rumus NDVI :
=
−
........................................................................................................ ………………….(2)
Dimana tahun n > tahun m.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kegiatan ini telah dilakukan perhitungan NDVI pada citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan 2015, citra
Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 wilayah Aceh bagian selatan scene path/row:
131/057. Berikut ini tampilan hasil NDVI dari citra Landsat 8 tahun 2014, citra Landsat 7 tahun 2000, citra
Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011 untuk wilayah Geumpang, Aceh
(a)
(b)
Gambar 1. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil NDVI dari Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000, (b) Hasil NDVI
dari Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009.
(a)
(b)
Gambar 2. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil NDVI dari Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010, (b) Hasil
NDVI dari Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011.
-336-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
Gambar 3. Hasil NDVI wilayah Geumpang dari Landsat 8 tanggal 23 Mei 2014
Pembuatan citra sintetik VIDN berasal dari nilai NDVI antara 2 waktu yang berbeda. Pembuatan citra VIDN
pada kegiatan ini menggunakan :
 citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 7 tahun 2000.
 citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2009.
 citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2010.
 citra NDVI Landsat 8 tahun 2014 dan citra Landsat 5 tahun 2011.
Pada citra Landsat 5 dan 7 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 4 sedangkan saluran merah terdapat
pada saluran 3. Pada citra Landsat 8 saluran inframerah dekat terdapat pada saluran 5 sedangkan saluran merah
terdapat pada saluran 4.
(a)
(b)
Gambar 4. Hasil VIDN Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil VIDN dari data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan
Data NDVI Landsat 7 Tanggal 5 Maret 2000, (b) Hasil VIDN dari Data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data
NDVI Landsat 5 Tanggal 18 Februari 2009.
-337-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
Gambar 5. Hasil NDVI Wilayah Geumpang, Aceh (a) Hasil VIDN dari data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan
Data NDVI Landsat 5 Tanggal 20 Januari 2010, (b) Hasil VIDN dari Data NDVI Landsat 8 Tanggal 23 Mei 2014 dan Data
NDVI Landsat 5 Tanggal 8 Februari 2011.
Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index
Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Perhitungan nilai statistik
ini dibutuhkan untuk menentukan nilai Threshold maksimum dan minimum dari nilai piksel citra VIDN. Nilai
threshold ini kemudian bisa digunakan untuk identifikasi lahan terbuka pertambangan.Pada kegiatan ini
dilakukan perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) yang terdapat
di dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Data citra sintetik VIDN yang digunakan adalah

citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.

citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.

citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.

citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Perhitungan numerik nilai statistik VIDN ini dapat lakukan dengan menggunakan tools yang tersedia pada
software QGIS 2.8.1. Tools tersebut bernama Zonal Statistics.Berikut ini tampilan hasil perhitungan statistik
data citra sintetik VIDN (Vegetation IndexDifferencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon sample lahan
terbuka tambang.untuk wilayah Geumpang, Aceh.
Tabel 1. Hasil Perhitungan Statisik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka Tambang
Nilai Statistik
Data VIDN
Min
Max
Mean
Standart
Deviation
Varians
Range
Count
VIDN 2014_2000
-0.249238
0.115725
-0.053729
0.086644
0.007507
0.364964
92
VIDN 2014_2009
-0.232959
0.121008
-0.031151
0.083375
0.006951
0.353967
92
VIDN 2014_2010
-0.238905
0.118355
-0.045971
0.085164
0.007253
0.357260
92
VIDN 2014_2011
-0.223731
0.140553
-0.027479
0.083550
0.006981
0.364284
92
Pelaksanaan komputasi numerik berupa thresholding citra sintetik VIDN untuk identifikasi lahan terbuka
tambang. Thresholding ini menggunakan nilai statistik VIDN di dalam polygon sample lahan terbuka tambang.
Nilai statistik yang digunakan yaitu nilai Threshold maksimum dan minimum dari nilai piksel citra VIDN yang
terdapat dalam polygon sample lahan terbuka tambang. Nilai threshold inilah yang kemudian digunakan untuk
identifikasi lahan terbuka pertambangan untuk keseluruhan wilayah yang terdapat di citra. Nilai Tu (Threshold
Up) dan Td (Threshold Down) dari masing-masing treshold ditentukan berdasarkan nilai piksel contoh pada
-338-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
areal-areal lahan tambang. Nilai Tu diambil dari nilai maksimum, sedangkan nilai Td diambil dari nilai
minimum hasil perhitungan statistik VIDN dalam polygon sample. Proses tresholding dilakukan dengan kaidah
pengambilan keputusan seperti pada persamaan berikut.
......................................................................................................................................... ………………….(3)
Dalam kaidah tersebut, I(x,y) adalah nilai piksel yang dibuat dari indeks terpilih. Pembuatan treshold dilakukan
dengan membuat training area pada citra sintetik yang telah dihasilkan. Pada kegiatan ini data citra sintetik
VIDN yang digunakan adalah :
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Berikut ini adalah tabel yang menyajikan nilai Tu dan Td untuk data-data VIDN yang digunakan :
Tabel 2. Nilai Threshold Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample
Nilai Threshold
Data VIDN
Td
Tu
VIDN tahun 2014 dan tahun 2000
-0,249238
0,115725
VIDN tahun 2014 dan tahun 2009
-0,232959
0,121008
VIDN tahun 2014 dan tahun 2010
-0,238905
0,118355
VIDN tahun 2014 dan tahun 2011
-0,223731
0,140553
Pelaksanaan komputasi numerik berupa filtering hasil thresholding citra sintetik VIDN untuk identifikasi
lahan terbuka tambang. Jaya (2005) menyebutkan bahwa hasil thresholding pada umumnya masih mengandung
noise yang tampak seperti noktah-noktah atau sering disebut salt and pepper. Untuk menghilangkan kesalahan
ini dilakukan filtering menggunakan lowpass filter yaitu filter median. Filter median merupakan salah satu
filtering non-linear yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok piksel, kemudian mengganti nilai piksel yang
diproses dengan nilai mediannya. Data hasil thresholding citra sintetik VIDN yang digunakan yaitu VIDN tahun
2000-2014, tahun 2009-2014, tahun 2010-2014, tahun 2011-2014 wilayah Aceh bagian selatan.
Citra (image) atau istilah lain untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan
sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering kali
citra yang dimiliki mengalami penurunan mutu, misalnya mengandung cacat atau noise. Tentu saja citra
semacam ini menjadi lebih sulit untuk diinterpretasikan karena informasi yang disampaikan oleh citra tersebut
menjadi berkurang. Untuk mengatasi noise tersebut perlu dilakukan usaha untuk memperbaiki kualitas citra itu.
Salah satunya adalah dengan filtering citra baik secara linear maupun secara non-linear. Median filter adalah
salah satu filtering non-linear yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok pixel, kemudian mengganti nilai
pixel yang diproses dengan nilai mediannya. Median filter telah digunakan secara luas untuk memperhalus dan
mengembalikan bagian dari citra yang mengandung noise yang berbentuk bintik putih.
-339-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Berikut ini tampilan hasil thresholding data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN)) untuk
mengidentifikasi lahan terbuka tambang.untuk wilayah Geumpang, Aceh.
(b)
(a)
(c)
0 = Lahan Non Tambang ;
1 = Lahan Tambang
(d)
Gambar 6. (a) Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun 2000, (b) Hasil Thresholding Data
Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun 2009, (c) Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun
2010, (d) Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Tahun 2014 dan Tahun 2011 Wilayah Geumpang, Aceh.
Sesuai dengan namanya, median filter merupakan suatu metode yang menitik beratkan pada nilai median
atau nilai tengah dari jumlah total nilai keseluruhan pixel yang ada di sekelilingnya. Dimisalkan terdapat data
A=1, B=5, C=2, D=9, dan E=7, maka median filter akan mencari nilai tengah dari semua data yang telah
diurutkan terlebih dahulu dari yang paling kecil hingga pada data yang paling besar dan kemudian diambil nilai
tengahnya (1, 2, 5, 7, 9). Median dari deret tersebut adalah 5. Pemrosesan median filter ini dilakukan dengan
cara mencari nilai tengah dari nilai pixel tetangga yang mempengaruhi pixel tengah. Teknik ini bekerja dengan
cara mengisi nilai dari setiap pixel dengan nilai median tetangganya. Proses pemilihan median ini diawali
dengan terlebih dahulu mengurutkan nilai-nilai pixel tetangga, baru kemudian dipilih nilai tengahnya (Sulistyo,
dkk., 2009). Block Diagram Alur Kerja Median Filter terlihat sebagai berikut :
Gambar 7. Block Diagram Alur Kerja Median Filter
-340-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
Pengurutan akan menghasilkan nilai dari yang terkecil sampai nilai yang terbesar sesuai dengan P (1)< P(2)<
dimana n bernilai ganjil. Contoh Penerapan Median
P(3)< P(n), sedangkan nilai m sesuai dengan rumus =
Filter terlihat sebagai berikut :
Gambar 8. Contoh Penerapan Median Filter
Hasil dari pengurutan data pada contoh didapatkan urutan 25, 33, 38, 45, 45, 45, 54, 57, 98. Dari hasil ini
akan diambil nilai median yang memiliki nilai 45. Filtering hasil thresholding citra sintetik VIDN pada kegiatan
ini menggunakan jendela filtering 3x3 piksel. Data hasil thresholding citra sintetik VIDN yang digunakan pada
kegiatan ini :
 Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.
 Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.
 Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.
 Hasil thresholding citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Berikut ini tampilan hasil thresholding data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing (VIDN))
sebelum dan setelah filtering untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang, Aceh.
(a)
(c)
(b)
= Lahan Tambang ;
= Lahan Non Tambang
(d)
Gambar 9. Hasil Thresholding Data Citra Sintetik VIDN Wilayah Geumpang, Aceh Setelah Dilakukan Median Filtering
(a) Tahun 2014 dan Tahun 2000, (b) Tahun 2014 dan Tahun 2009, (c) Tahun 2014 dan Tahun 2010, (d) Tahun 2014 dan
Tahun 2011.
-341-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan akurasi hasil thresholding data citra sintetik VIDN
(Vegetation Index Differencing) pada lahan terbuka tambang. Perhitungan akurasi ini dilakukan untuk
mengukur seberapa akurat hasil thresholding data VIDN yang mengidentifikasikan area tambang dan nontambang. Untuk pengukuran akurasi ini digunakan acuan/referensi berupa hasil klasifikasi visual lahan tambang
dari citra resolusi tinggi yaitu citra SPOT-6 pansharpening dengan resolusi spasial 1,5 meter. Nilai VIDN ini
merupakan nilai yang diperoleh dari pengurangan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dua
waktu yang berbeda.
Nilai NDVI diperoleh dari perhitungan menggunakan data citra satelit. Data citra satelit yang digunakan
adalah citra satelit Landsat 8 tahun 2014, citra Landsat 7 tahun 2000, citra Landsat 5 tahun 2009, 2010 dan 2011
wilayah Aceh bagian selatan. Data citra sintetik VIDN yang digunakan yaitu VIDN tahun 2000-2014, tahun
2009-2014, tahun 2010-2014, tahun 2011-2014. Berikut ini tampilan hasil perhitungan akurasi dari identifikasi
area tambang menggunakan hasil thresholding data citra sintetik NDVI (Normalized Difference Vegetation
Index) wilayah Geumpang, Aceh.
Tabel 3. Akurasi Hasil Thresholding Citra Sintetik VIDN
Producer
User Accuracy
Data VIDN
Accuracy
Tahun 2014_2000
96.96
98.04
Kappa
Coefficient
0.13
Tahun 2014_2009
97.05
97.98
0.103
Tahun 2014_2010
96.89
98.00
0.11
Tahun 2014_2011
96.88
98.00
0.11
LSQ  98 % (pada kepercayaan 1.96σ)  global test (ok), data snooping (bebas blunder), uji
signifikan parameter (signifikan)
Pelaksanaan komputasi numerik berupa perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index
Differencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang. Polygon hasil
identifikasi lahan terbuka tambang didapatkan dari proses thresholding dan filtering data VIDN. Perhitungan
nilai statistik ini dibutuhkan untuk melihat perbandingan antara nilai standar deviasi data VIDN dalam polygon
hasil identifikasi lahan tambang dengan nilai standar deviasi data VIDN dalam polygon sample lahan tambang.
Bila nilai standar deviasi hasil identifikasi lebih kecil atau sama dengan 2 kali nilai standar deviasi data VIDN
yang terdapat dalam polygon sample maka hasil identifikasi lahan terbuka tersebut bagus hasilnya (tingkat
kepercayaannya baik). Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation
IndexDifferencing (VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang. Data citra
sintetik VIDN yang digunakan adalah :
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2000.
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2009.
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2010.
 citra VIDN tahun 2014 dan tahun 2011.
Berikut ini tampilan hasil perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation Index Differencing
(VIDN)) yang terdapat di dalam polygon hasil identifikasi lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang,
Aceh. Sebagai perbandingan, ditampilkan pula hasil perhitungan statistik data citra sintetik VIDN (Vegetation
Index Differencing) yang terdapat di dalam polygon sample lahan terbuka tambang untuk wilayah Geumpang,
Aceh. Dari data tersebut terlihat bahwa nilai standar deviasi data VIDN yang terdapat dalam polygon hasil
identifikasi lebih kecil dari 2 kali nilai standar deviasi data VIDN yang terdapat dalam polygon sample.
-342-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
Tabel 4. Hasil Perhitungan Nilai Statistik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Hasil Identifikasi Lahan
Terbuka Tambang
Nilai Statistik
Data VIDN
Min
Max
Mean
Standart
Deviation
Varians
Range
Count
VIDN 2014_2000
-0.367714
0.212982
0.008050
0.097142
0.009437
0.580696
911
VIDN 2014_2009
-0.343684
0.227428
0.011915
0.092294
0.008518
0.571112
791
VIDN 2014_2010
-0.337490
0.244597
0.009002
0.096268
0.009268
0.582087
883
VIDN 2014_2011
-0.317526
0.250306
0.029022
0.096242
0.009263
0.567832
875
Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Statistik Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka
Tambang
Nilai Statistik
Data VIDN
Min
Max
Mean
Standart
Deviation
Varians
Range
Count
VIDN 2014_2000
-0.249238
0.115725
-0.053729
0.086644
0.007507
0.364964
92
VIDN 2014_2009
-0.232959
0.121008
-0.031151
0.083375
0.006951
0.353967
92
VIDN 2014_2010
-0.238905
0.118355
-0.045971
0.085164
0.007253
0.357260
92
VIDN 2014_2011
-0.223731
0.140553
-0.027479
0.083550
0.006981
0.364284
92
Tabel 6. Rasio Nilai Standar Deviasi Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Hasil Identifikasi Lahan Terbuka
Tambang dan Nilai Standar Deviasi Citra Sintetik VIDN yang Berada dalam Polygon Sample Lahan Terbuka Tambang
Nilai Standart Deviation
Data VIDN
Dalam polygon
Sample
Dalam polygon hasil
identifikasi
Hasil Identifikasi / Sample
VIDN 2014_2000
0.086644
0.097142
1.121162
VIDN 2014_2009
0.083375
0.092294
1.106975
VIDN 2014_2010
0.085164
0.096268
1.130384
VIDN 2014_2011
0.083550
0.096242
1.151909
-343-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
: Polygon hasil identifikasi
Gambar 10. Visualisasi VIDN, Polygon Sample dan Polygon Hasil Identifikasi
Berdasarkan hasil nilai akurasi untuk data VIDN , maka kami dapat menentukan model yang optimal untuk
mengidentifikasi lahan terbuka tambang. Dari hasil akurasi maka model yang paling baik adalah hasil
threholding tahun 2000 dan 2014 untuk data VIDN. Berikut model tersebut berdasarkan hasil thresholding nilai
bawah (Td) dan nilai atas (Tu) :
Model Untuk VIDN
1,
≥ −0.249238
≤ 0.115725
( , )=
…………….. .......................... ………………..(4)
0,
I(x,y) = 1 diidentifikasikan sebagai lahan terbuka tambang, sedangkan I(x,y) = 0 diidentifikasikan sebagai lahan
non-tambang.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dari penelitian identifikasi lahan terbuka tambang dengan
menggunakan metode VIDN antara lain :
 Data citra Landsat yang sudah dikonversi menjadi nilai reflektansi dari band Green, Red dan NIR dapat
digunakan untuk mendeteksi keberadaan lahan terbuka tambang dengan menggunakan metode VIDN.
 Data Landsat multitemporal yang digunakan dapat memberikan gambaran yang jelas pada kondisi
sebelum lahan tambang dibuka dan sesudah lahan tambang dibuka.
 Dari beberapa percobaan didapatkan hasil yang optimum untuk metode VIDN yang menghasilkan nilai
thresholding untuk dijadikan model. Untuk model VIDN nilai thresholding bawah (Td) yaitu -0.249238
dan nilai thresholding atas (Tu) 0.115725.
4.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya diharapkan bisa menggunakan beberapa indeks lain seperti indeks lahan terbuka
untuk lebih memperkaya indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi lahan terbuka tambang. Dapat juga
menggunakan algoritma pengklasifikasi citra untuk membantu identifikasi lahan terbuka tambang.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan pada Kapustekdata yang telah menyediakan data untuk kegiatan penelitian
ini, serta Kepala Bidang SDWD atas dukungan yang telah diberikan.
-344-
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode Vegetation Index Differencing Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang,
Aceh (Sutanto A., dkk.)
DAFTAR PUSTAKA
Pettorelli, N., Vik, J.O., Mysterud, A., Gaillard, J. M., Tucker, C.J., dan Stenseth. N.C., (2005). Using The SatelliteDerived Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) to Assess Ecological Effects of Environmental Change.
Trends in Ecology and Evolution, 20(9):503-510.
Jaya, I.N.S., (2005). Teknik Mendeteksi Lahan Longsor Menggunakan Citra SPOT Multi Waktu, Studi Kasus di
Teradomari, Tochio dan Shidata Mura, Niigata, Jepang. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 10:31–48.
Jensen, J.R., (2005). Introductory to Digital Image Processing:A Remote Sensing Perspectiv. New Jersey: Prentice Hall.
Inc.
Sitorus, J., Purwandari, Luwin, E.D., Widyastuti, R., dan Suharno (2006). Kajian model deteksi perubahan penutup lahan
menggunakan data inderaja untuk aplikasi perubahan lahan sawah. http://www.lapanrs.or.id [6 Maret 2009].
Lau, W.Y., Linlin, G., dan Jia, X. (2005). The Possibility of Using Multitemporal Landsat Images for Mining Monitoring:
A Preliminary Study. Di dalam: The 3rd International Symposium on Future Intelligent Earth Observation Satellites
2006. http://www.crcsi.com.au/ [3 Maret 2009].
Sulistyo, W., Bech, R.Y, dan Frans F., (2009). Analisis Penerapan Metode Median Filter untuk Mengurangi Noise Pada
Citra Digital. Konferensi Nasional Sistem dan Informatika.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
:
:
Pemakalah
Diskusi
:
:
Kuncoro Teguh Setiawan
Identifikasi Lahan Terbuka Tambang Menggunakan Metode VIDN (Vegetation
Index Differencing) Studi Kasus: Tambang Emas Geumpang, Aceh
Ahmad Sutanto (LAPAN)
Pertanyaan: Fajar Yulianto (LAPAN):
Penelitian bagus dan menarik, sebenarnya jika belajar pola reflektansi objek dapat dicirikan dalam 3 yaitu
vegetasi, tanah dan air. Penelitian sekarang hanya menerapkan pola yang didekati dengan vegetasi. Sebaiknya
ke depan diharapkan lebih dipertajam lagi supaya analisis lebih kompleks yaitu dengan memperbandingkan
indeks tanah dan air. Problem dalam mendeteksi tambang adalah masih belum mengetahui apakah masuk pada
perubahan vegetasi, tanah dan air. Kedepan diharapkan diperdalam dengan menambahkan 2 parameter indeks
lainnya, sehingga nanti terlihat pola dari tambang seperti apa, dan mungkin nanti bisa menemukan indeks
khusus tambang seperti apa dengan pendekatan tiga objek pola spektral.
Jawaban:
Sebenarnya kegiatan ini sudah mengerjakan beberapa metode, sebelumnya sempat terpikir untuk menggunakan
indeks lahan terbuka yaitu tanah, namun belum terpikir menggunakan indeks air. Kami juga mengerjakan
metode principal component analysis (PCA) untuk data multi temporal. Disitu hasilnya agak lebih bagus, jika
tadi daerah terbuka tambang mirip dengan sawah, namun dengan menggunakan metode PCA, bisa terbedakan
antara sawah dengan tambang.
Pertanyaan: Sri Harini (LAPAN):
Band yang digunakan berapa saja? Jika misalnya daerah ini potensial untuk emas,apakah bisa terdeteksi juga?
Jawaban :
Menggunakan band NIR dan RED, jadi pertama kali dihitung NDVI nya. Kegiatan ini hanya mendeteksi daerah
terbuka bukan mendeteksi potensi, hal ini bertujuan karena biasanya tambang berada di daerah pedalaman yang
tidak bisa dijangkau dengan perjalanan darat.
-345-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi
pada Permukaan Datar dan Miring
(Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya)
The Effect of DEM Accuracy to The Accuracy Of Orthorectified Image
on Flat and Slope Surface
(Case Study : Surabaya City and Tasikmalaya City)
Jali Octariady1*), Elyta Widyaningrum1, dan Maundri Prihanggo1
1
Badan Informasi Geospasial (Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim (PPRT))
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu data yang digunakan untuk proses ortorektifikasi.
Ortorektifikasi dengan menggunakan data DEM dilakukan untuk menghilangkan kesalahan yang disebabkan adanya
ketinggian pada objek di permukaan bumi (relief displacement). Semakin teliti DEM yang digunakan maka semakin
baik pula citra terortorektifikasi yang didapatkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
ketelitian DEM terhadap citra terortorektifikasi pada permukaan datar dan miring. Area penelitian adalah kota Surabaya
sebagai daerah dengan permukaan datar dan kota Tasikmalaya sebagai daerah dengan permukaan miring.
Ortorektifikasi dilakukan dengan menggunakan beberapa Ground Control Point (GCP) dari pengukuran dengan
menggunakan GPS Geodetic metode Statik. Metode ortorektifikasi yang dilakukan adalah rigorous model. Evaluasi
ketelitian dilakukan pada rentang kepercayaan 90% dengan menggunakan beberapa titik uji. Hasil evaluasi ketelitian
menunjukkan terdapat perbedaan ketelitian pada setiap citra terortorektifikasi yang dihasilkan.
Kata kunci: DEM, ortorektifikasi, permukaan datar, permukaan miring, ketelitian
ABSTRACT - Digital Elevation Model (DEM) is one of the data used to process orthorectification. Orthorectification
using DEM data is performed to eliminate errors caused by objects elevation on the earth's surface (relief
displacement). The more precision DEM used the better orthorectified image obtained. This study was conducted to
determine how much the effect of DEM accuracy to the accuracy of orthoimage on flat and slope surface. The study
area is Surabaya city as area with flat surface and Tasikmalaya city as area with slope surface. Orthorectification
performed using several Ground Control Point (GCP) from GPS Geodetic measurements using static method.
Orthorectification method used is rigorous models. Evaluation of accuracy performed at 90% confidence range by
using multiple test points. The evaluation results shows that there are differences accuracy for each orthorectified
imagery produced.
Keywords: DEM, orthorectification, flat surface, slope surface, accuracy
1.
PENDAHULUAN
Ortorektifikasi citra dilakukan untuk menghilangkan kesalahan yang disebabkan oleh objek di permukaan
bumi memiliki ketinggian. Jenis kesalahan ini hanya bisa dihilangkan dengan proses ortorektifikasi, dan
tidak bisa hilang dengan proses rektifikasi biasa. Ortorektifikasi dilakukan dengan menggunakan data Digital
Elevation Model (DEM) dan Titik Kontrol Tanah (TKT). DEM memiliki ketelitian yang berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana akuisisi dan proses pengolahan datanya. Akusisi DEM radar secara spaceborne
ada 2 cara yakni single pass dan repeat pass. Tipe single pass dilakukan oleh satu wahana satelit dengan 2
antena pemancar dan penerima, sedangkan tipe repeat pass dilakukan oleh dua wahana satelit yang terbang
tak berjauhan dimana masing-masing satelit membawa antenanya sendiri. Semakin baik resolusi spasial
DEM dan semakin teliti DEM maka semakin baik pula DEM tersebut dapat merepresentasikan permukaan
bumi asli.
Penelitian tentang pengaruh ketelitian DEM dalam proses ortorektifikasi citra telah banyak dilakukan.
Pembuatan citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah Bavaria dan Catalonia menggunakan DEM
European Remote Sensing Satellite (ERS) 1/2 Tandem dengan ketelitian vertikal DEM yakni 5-10m
menghasilkan citra yang terortorektifikasi dengan ketelitian horisontal 10-20m (Amato, dkk., 2004).
Penggunaan DEM yang lebih teliti yakni DEM yang dihasilkan dari peta digital skala 1 : 5000 pada daerah
Korea dapat meningkatkan ketelitian horisontal citra SPOT 5 yang terortorektifikasi hingga mencapai 5-7m
-346-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
(Kang, dkk., 2008). Hasil yang sama juga didapatkan dari citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah
Badia di Saudi Arabia (Al-Rousan, dkk., 1997). Citra SPOT 5 yang terortorektifikasi pada daerah Badia di
Saudi Arabia dibuat dengan menggunakan DEM yang dihasilkan dari citra SPOT 5 yang bertampalan. Hasil
evaluasi menunjukkan bahwa citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki ketelitian horisontal sebesar
8,8m (Al-Rousan, dkk., 1997).
Pembuatan citra yang terortorektifikasi dengan menggunakan citra resolusi spasial tinggi dan DEM yang
bervariasi juga telah banyak dilakukan. Citra yang terortorektifikasi pada daerah El Paso di United States
America (USA) memiliki ketelitian horisontal sebesar 1,4m. Citra yang terortorektifikasi ini dibuat
menggunakan Quickbird level Basic dan United Stated Geological Survey (USGS) Digital Terrain
Elevation Data(DTED) versi dua dengan ketelitian vertikal 10m serta 6TKT hasil pengukuran Differensial
Global Positioning System(DGPS) (Toutin dan Cheng, 2002). Pembuatan citra yang terortorektifikasi
menggunakan DEM yang lebih teliti yakni hasil ekstraksi dari peta digital skala 1 : 2000 dan citra Quickbird
dapat meningkat ketelitian horisontal citra yang terortorektifikasi menjadi 1,06m (Amato, dkk., 2004). Hasil
yang lebih baik didapatkan apabila DEM yang digunakan adalah DEM yang dihasilkan dari akuisisi
airborne LIDAR.
Citra yang terortorektifikasi pada daerah Genewa dan Thun adalah salah satu contoh citra
terortorektifikasi yang dibuat dengan menggunakan citra resolusi tinggi dan DEM hasil akuisisi airborne
LiDAR. Citra resolusi tinggi yang digunakan adalah citra Quickbird level 1B. Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki ketelitian horisontal yang mencapai 50-80cm.
Mengacu pada National Map Accuracy Standards (NMAS), citra yang terortorektifikasi ini bisa digunakan
untuk pembuatan peta skala 1 : 1200(Eisenbeiss, dkk., 2004).
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, diketahuilah bahwa memang benar ketelitian DEM
akan mempengaruhi hasil dari ortorektifikasi citra. Namun, penelitian-penelitian terdahulu belum ada yang
mengkaji bagaimana pengaruh ketelitian DEM pada kondisi permukaan yang datar dan miring. Apakah DEM
berpengaruh besar pada ketelitian citra terortorektifikasi pada daerah yang datar dan miring belum diketahui
dengan pasti. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh dari ketelitian DEM terhadap hasil
dari ortorektifikasi citra pada daerah datar dan miring.
2.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 6 buah data, yakni Citra Satelit Worldview-2 yang
meliputi daerah Kota Surabaya, Citra Satelit Quickbird yang meliputi daerah Kota Tasikmalaya, DEM
Terrasar-X, DEM ASTERGDEM, DEM SRTM 30m dan TKT.
2.1 Citra Satelit Quickbird
Citra Quickbird yang digunakan memiliki resolusi spasial 0.6m level OR Standar 2A. Citra ini meliputi
kawasan Kota Tasikmalaya dengan luas area ±228.57 km2. Citra ini diambil pada bulan April 2012.
Sebanyak 2 scene citra Quickbird digunakan untuk mengcover seluruh area Tasikmalaya.
Berdasarkan kenampakan topografinya, Kota Tasikmalaya memiliki permukaan yang relatif bervariasi.
Pada bagian selatan, Kota Tasikmalaya relatif dipenuhi pepohonan dengan permukaan yang relatif miring.
Sedangkan pada bagian utarara, relatif dipenuhi bangunan-bangunan dengan permukaan yang relatif datar.
Kota Tasikmalaya diklasifikasikan sebagai daerah miring karena topografi permukaannya yang relatif
bervariasi dengan elevasi yang berada pada rentang 163–987m di atas permukaan laut. Gambar 1
menunjukkan kenampakan Kota Tasikmalaya pada citra Quickbird kenampakan 3 Dimensinya.
-347-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. Citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya beserta kenampakan 3 Dimensinya.
2.2 Citra Satelit Worldview-2
Citra Worldview-2 yang digunakan memiliki resolusi spasial 0.5m level ORStandar2A. Citra ini meliputi
kawasan Kota Surabaya dengan luas area ±396.63km2. Citra ini diambil pada bulan Juni 2012. Sebanyak 3
scene citra Worldview-3 digunakan untuk mengcover seluruh area Kota Surabaya.
Daerah Kota Surabaya lebih luas daripada daerah Kota Tasikmalaya. Namun dari segi kemiringan
lereng, permukaan bumi pada daerah Kota Surabaya relatif lebih datar. Hal ini di tunjukkan dari kecilnya
perbedaan tinggi yang ada di kota Surabaya. Kota Surabaya diklasifikasikan sebagai daerah datar karena
topografi permukaan pada daerah ini relatif datar dengan rentang elevasi berada pada rentang 0 – 35m di atas
permukaan laut. Gambar 2 menunjukkan kenampakan Kota Surabaya pada citra Worldview-2.
Gambar 2. Citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya.
2.3 DEM Terrasar-X
DEM Terrasar X dihasilkan dari Satelit Terrasar Tandem pada saluran X, sehingga objek di atas
permukaan bumi masih disajikan pada DEM ini (yang disajikan adalah Digital Surface Model (DSM). Tipe
akuisisi dari Satelit ini adalah tipe repeat pass dimana satelit yang lain dengan antena berbeda mengikuti
satelit yang lebih awal melaju dengan selang waktu yang tidak berjauhan. DEM Terrasar-X ini memiliki
resolusi spasial 9 m. DEM ini didapatkan dari Badan Informasi Geospasial (BIG). DEM ini memiliki
ketelitian vertikal ±6m untuk sebagian besar daerah Indonesia. Gambar 3 menunjukkan kenampakan DEM
Terrasar-X untuk daerah Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya.
-348-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
Gambar 3. Kenampakan DEM Terrasar X 9m pada daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan).
2.4 DEM ASTERGDEM
The Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Global Digital
Elevation Model (GDEM) pertama kali dikenalkan ke umum pada Juli 2009 (Gesch, dkk., 2012; Tachikawa,
dkk., 2011b; Tachikawa, dkk., 2011a). Evaluasi ketelitian vertikal dari ASTER GDEM dilakukan oleh
Amerika Serikat dan Jepang (Tachikawa, dkk., 2011b). Hasil evaluasi secara global menunjukkan bahwa
ASTER GDEM memiliki akurasi vertikal 20 m dengan rentang kepercayaan 95%. Disebabkan berbagai
masalah yang dikandung oleh ASTER GDEM versi satu maka diputuskan untuk mengenalkan ASTER GDEM
versi dua pada Oktober 2011 oleh NASA dan METI (Tarecha dan Crysdian, 2013; Tachikawa, dkk., 2011b).
ASTER GDEM versi dua memiliki 260.000 scene yang lebih banyak dari pada ASTER GDEM versi satu
(Tarecha dan Crysdian, 2013). Adapun karakteristik ASTER GDEM disajikan pada tabel I.1. Evaluasi
ketelitian dilakukan untuk mengetahui ketelitian vertikal ASTER GDEM. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
ketelitian vertikal ASTER GDEM versi dua sebesar 17,01 m pada rentang kepercayaan 95% dengan resolusi
spasial 30 m (Tachikawa, dkk., 2011b).
ASTER GDEM dihasilkan dari ekstraksi tinggi secara otomatis 1,5 juta citra ASTER yang bertampalan
(Tachikawa, dkk., 2011a; NASA, 2009a). Satelit ASTER pertama kali diluncurkan pada Juli 1999 (Oliveira
dan Paradella, 2009) dan setiap scene citra ASTER melingkupi luasan sebesar 60 x 60 km (Abrams, dkk.,
2002). Gambar 4 menyajikan proses pembentukan ASTER GDEM dari citra ASTER yang bertampalan
(Toutin, 2002). Sensor ASTER melakukan akuisisi secara backward dan nadir seperti yang ditunjukkan pada
gambar 4, hal ini mengakibatkan terbentuknya citra stereo secara seketika dalam satu jalur akuisisi (Abrams,
dkk., 2002). Gambar 5 menunjukkan kenampakan DEM ASTERGDEM pada daerah Kota Surabaya dan Kota
Tasikmalaya.
Gambar 4. Metode akuisisi dan pembentukan DEM ASTERGDEM.
-349-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Kenampakan DEM ASTERGDEM pada daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan).
2.5 DEM SRTM 30m
DEM SRTM dihasilkan dari kegiatan Shuttle Radar Topograpy Mission (SRTM). SRTM merupakan
proyek internasional yang dipelopori oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) dan National
Aeronautics dan Space Administration (NASA) (NASA, 2009b; Farr, dkk., 2007; Farr dan Kobrick, 2000).
Data elevasi global diperoleh dari pengolahan data radar meliputi permukaan daratan bumi antara 60° lintang
utara dan 56° lintang selatan dengan titik data diposting setiap 1 arc-second yakni sekitar 30 m (CGIARCSI,
2012; Farr dan Kobrick, 2000). Pelaksanaan proyek ini menggunakan dua antena radar. Sebuah antena
pemancar sekaligus penerima gelombang yang terletak di badan pesawat dan antena penerima lain terletak di
ujung tiang yang berjarak 60 m dari badan pesawat (USGS, 2008; Farr, dkk., 2007; Jarvis, dkk., 2004).
Perbedaan fase antara dua sinyal yang diperoleh dari antena satu dengan antena penerima lainnya pada
daerah penyiaman yang sama digunakan untuk perhitungan elevasi permukaan (USGS, 2008; Farr dan
Kobrick, 2000). DEM ini memiliki ketelitian vertikal lebih baik dari 16m dan memiliki sistem referensi
tinggi pada Earth Gravitational Model 1996 (EGM 96) (Reuter, dkk., 2007). Gambar 6 menunjukkan
kenampakan DEM SRTM 30m pada daerah Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya.
Gambar 6. Kenampakan DEM SRTM 30m daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan).
2.6 Titik Kontrol Tanah (TKT)
Titik kontrol tanah yang digunakan dihasilkan dari pengukuran GPS Geodetic metode static dengan
ketelitian fraksi mm. Lamanya waktu pengamatan antar titik adalah 30menit. Objek-objek yang dipilih
sebagai TKT adalah objek-objek yang sesuai dengan kriteria yang diberikan oleh BIG. Adapun kriteria objek
yang diterapkan diantaranya:
1. Obyek yang dijadikan ICP dapat diidentifikasi secara jelas dan akurat pada citra dan lapangan
2. Obyek berada pada permukaan tanah.
3. Obyek bukan merupakan bayangan.
-350-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
4. Obyek tidak memiliki pola yang sama.
5. Obyek merupakan permanen dan diam serta diyakini tidak akan mengalami perubahan atau
pergeseran pada saat pengukuran GNSS.
6. Bentuk obyek jelas dan tegas.
7. Warna obyek kontras dengan warna disekitarnya.
8. Terdapat akses yang mudah menuju lokasi ICP.
9. Bukan berada di sudut atau pojok bangunan.
Banyaknya titik kontrol tanah (GCP dan ICP) yang digunakan pada proses ortorektifikasi citra daerah
Kota Surabaya adalah 19GCP dan 21ICP, sedangkan untuk daerah Kota Tasikmalaya sebanyak 16GCP dan
13ICP. Sebaran dari masing-masing GCP ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Sebaran GCP daerah Kota Surabaya (kiri) dan Kota Tasikmalaya (kanan)
2.7 Metode Ortorektifikasi
Ortorektifikasi citra dilakukan dengan metode Rigorous model. Metode ini dipilih karena berdasarkan
berbagai literatur dan berbagai penelitian yang pernah dilakukan, metode ini adalah yang paling teliti.
Penggunaan metode ini tergantung pada tersedianya informasi mengenai sensor dan data ephemeris satelit.
Apabila data mengenai sensor satelit dan data ephemeris satelit tersedia maka metode ini bisa dilakukan,
jika tidak maka metode ini tidak bisa dilakukan. Data mengenai satelit dan data ephemeris satelit terdapat
pada file dengan ekstensi *.ATT dan *.EPH. Oleh karena setiap satelit memiliki sensor dan data ephemeris
satelit yang berbeda-beda maka model matematik fisik yang digunakan pun berbeda antara satu satelit
dengan satelit lainnya (Aguilar, dkk., 2012). Model matematik ini tergolong sulit untuk terpenuhi karena
tergantung pada informasi ephemeris sensor satelit yang diberikan oleh pembuat citra. Meskipun demikian,
metode pendekatan menggunakan model Toutin dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini (Chmiel, dkk.,
2004).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menghasilkan enam buah citra terortorektifikasi pada 2 lokasi penelitian yang berbeda yakni
pada daerah Kota Tasikmalaya dan Kota Surabaya. Enam citra terortorektifikasi yang dihasilkan memiliki
ketelitian yang berbeda-beda.
3.1 Hasil untuk Daerah Datar (Kota Surabaya)
Ortorektifikasi pada daerah ini menghasilkan 3 citra terortorektifikasi. Sejumlah ICP digunakan untuk
menguji ketelitian dari citra ortorektifikasi yang dihasilkan. Hasil evaluasi menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan dari hasil yang didapatkan. Tabel 1 menunjukkan ketelitian yang dihasilkan dari
masing-masing citra terortorektifikasi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan kualitas DEM tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian citra tegak yang dihasilkan pada daerah datar untuk lokasi
Kota Surabaya. Hal ini menadakan bahwa untuk proses ortorektifikasi citra daerah datar untuk daerah Kota
Surabaya bisa menggunakan DEM yang tidak teliti.
-351-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 1. Hasil evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi daerah datar (Kota Surabaya)
Kondisi
Surabaya/DEM TERRASAR X
Surabaya/DEM ASTERGDEM
Surabaya/DEM SRTM 30m
RMSE
1.3401
1.3003
1.3939
Ketelitian
2.0335
1.9732
2.1153
3.2 Hasil untuk Daerah Miring (Kota Tasikmalaya)
Sama seperti daerah datar, pada daerah miring juga dihasilkan 3 citra terortorektifikasi, yakni citra
terortorektifikasi dengan mengunakan DEM TERRASAR X, DEM ASTERGDEM, DEM SRTM 30m. Hasil
evaluasi ketelitian menggunakan 13 ICP yang tersebar merata di seluruh cakupan citra menunjukkan adanya
perbedaan yang cukup besar antara citra terortorektifikasi dengan menggunakan DEM ASTERGDEM dan
TERRASAR X terhadap DEM SRTM. Perbedaan ketelitian terjadi sebesar 20 cm lebih. Tabel 2 menunjukkan
ketelitian yang dihasilkan dari masing-masing citra terortorektifikasi yang dihasilkan. Banyaknya pergeseran
titik terletak pada sisi kanan dari citra, yakni posisi di area kaki gunung. Hal ini menunjukkan adanya
pengaruh kualitas DEM terhadap hasil ortorektifikasi citra pada daerah yang miring. Semakin baik kualitas
DEM maka makin baik pula hasil yang diharapkan. Kondisi ini juga menandakan adanya kemungkinan akan
semakin berpengaruhnya DEM apabila ortorektifikasi dilakukan pada area yang seluruhnya berupa
pegunungan
Tabel 2. Hasil evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi daerah miring (Kota Tasikmalaya)
Kondisi
Tasikmalaya/DEM TERRASAR X
Tasikmalaya/DEM ASTERGDEM
Tasikmalaya/DEM SRTM 30m
4.
RMSE
1.3420
1.3506
1.4983
Ketelitian
2.0365
2.0496
2.2736
KESIMPULAN
Kualitas DEM tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian citra terortorektifikasi untuk kasus
daerah datar di Kota Surabaya. Kualitas DEM lebih berpengaruh terhadap daerah yang miring seperti
pegunungan yang mana dalam penelitian ini ditunjukkan dari pergeseran yang terjadi pada area di kaki
gunung di Kota Tasikmalaya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, Michael, Hook, S., dan Ramachandran, B., (2002). ASTER user Handbook Version 2. Jet Propulsion
Laboratory 4800.
Aguilar, M.A., Saldana, M.D.M., dan Aguilar, F.J., (2012). Assessing Geometric Accuracy of the Orthorectification
Process from GeoEye-1 and WorldView-2 Panchromatic Images. International Journal of Applied Earth
Observation and Geoinformation, 21:427–435.
Al-Rousan, N., Cheng, P., Petrie, G., Toutin, T., dan Zoej, M.J.V., (1997). Automated DEM Extraction and Orthoimage
Generation from SPOT Level 1B lmagery. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 63(8): 965-975.
Amato, R., Dardanelli, G., Emmolo, D., Franco, V., Lo, B.M., Midulla, P., Orlando, P., dan Villa, B., (2004). Digital
Orthophotos at A Scale Of 1:5000 From High Resolution Satellite Images. XXth ISPRS Congress Technical
Commission IV, 35(B4):593-598.
BIG (2013). Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Norma, Standar, Prosedur,
dan Kriteria Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar. Cibinong.
CGIARCSI., (2012). SRTM 90m Digital Elevation Database v4.1, diakses 18 Juni 2016 dari http://www.cgiarcsi.org/data/srtm-90m-digital-elevation-database-v4-1
Chmiel, J., Kay, S., dan Spruyt, P., (2004). Orthorectification and Geometric Quality Assessment of Very High Spatial
Resolution Satellite Imagery for Common Agricultural Policy Purposes. XXth ISPRS Congress Technical
Commission IV, 35(B4):1019-1024.
Eisenbeiss, H., Baltsavias, E., Pateraki, M., dan Zhang, L., (2004). Potential of IKONOS and Quickbird Imagery for
Accurate 3D Point Positioning, Orthoimage And DSM Generation. XXth ISPRS Congress Technical Commission
VII, 35(B7):1250-1256.
Farr, T.G., dan Kobrick, M., (2000). Shuttle Radar Topography Mission produces a wealth of data. Union Eos, 81:583585.
Farr, T.G., Rosen, P.A., Caro, E., Crippen, R., Duren, R., Hensley, S., dan Kobrick, M., (2007). The Shuttle Radar
Topography Mission. American Geophysical Union, 45.
-352-
Pengaruh Ketelitian DEM terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota
Surabaya dan Kota Tasikmalaya) (Octariady, J., dkk)
FGDC (1998). Geospatial Positioning Accuracy Standards. National Standard for Spatial Data Accuracy.
Gesch, D., Oimoen, M., Zhang, Z., Meyer, D., dan Danielson, J., (2012). Validation Of The ASTER Global Digital
Elevation Model Version 2 Over The Conterminous United States. International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 39(B4):281-286.
http://srtm.usgs.gov/data/interferometry.php
Jarvis, A., Rubiano, J., Nelson, A., Farrow, A., dan Mulligan, M., (2004). Practical Use of SRTM Data in the Tropics –
Comparisons with Digital Elevation Models Generated from Cartographic Data. Working Document, 198:1-35.
Kang, J.M., Yoon, H.C., dan Park, J.K. (2008). Evaluation of Possibility of Ortho Imagery Production Using SPOT 5
Single Image. XXIst ISPRS Congress Technical Commission IV, 37(B4):1279-1282.
NASA. (2009a). ASTER Imagery, diakses 18 Juni 2016 dari http://www.nasa.gov/topics/earth/features/20090629.html
NASA. (2009b). Shuttle Radar topography Mission the mission to Map the World, diakses 18 Juni 2016 dari
http://www2.jpl.nasa.gov/srtm/
Oliveira, C.G.D., dan Paradella, W.R., (2009). Evaluating the Quality of the Digital Elevation Models Produced from
ASTER Stereoscopy for Topographic Mapping in the Brazilian Amazon Region. Annals of the Brazilian Academy of
Sciences, 81(2):217-225.
Reuter, H.I., Nelson, A., dan Jarvis, A., (2007). An Evaluation of Void Filling Interpolation Methods for SRTM Data
International Journal of Geographic Information Science, 21(9):983-1000.
Tachikawa, T., Hato, M., Kaku, M., dan Iwasaki, A., (2011a). Characteristics of ASTER GDEM Version 2. Geoscience
and Remote Sensing Symposium (IGARSS), 3657-3660.
Tachikawa, T., Kaku, M., Iwasaki, A., Gesch, D., Oimoen, M., Zhang, Z., Danielson, J., Krieger, T., Curtis, B., Haase,
J., Abrams, M., Crippen, R., dan Carabajal, C., (2011b). ASTER Global Digital Elevation Model Version 2 –
Summary of Validation Results. NASA Land Processes Distributed Active Archive Center and the Joint Japan-US
ASTER Science Team.
Tarecha, M.A., dan Crysdian, C., (2013). Visualisasi 3D Rupa Bumi berbasis Data GDEM ASTER 30 Meter. Seminar
Nasional Matematika dan Aplikasinya.
Toutin, T., (2002). Three-Dimensional Topographic Mapping With ASTER Stereo Data in Rugged Topography.
Geoscience and Remote Sensing, 40(10):2241-2247.
Toutin, T., dan Cheng, P., (2002). QuickBird – A Milestone for High Resolution Mapping. Earth Observation
Magazine, 11(4):14-18.
USGS. (2008). Interferometry and SRTM - An Overview, diakses 18 Juni 2016 dari
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Pengaruh Ketelitian Dem Terhadap Ketelitian Citra Terortorektifikasi Pada Permukaan
Datar Dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya)
: Jali Octariady
:
Pertanyaan: Rizki (LAPAN):
Adakah angka slope kemiringan minimum sampai kualitas DEM tidak berpengaruh terhadap ketelitian citra
terortorektifikasi?
Jawaban:
Sampai dengan saat ini, dan sejauh kami meneliti, belum ada informasi mengenai berapa nilai batas slope
minimum sehingga DEM tidak berpengaruh. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan fokus mengkaji
berbagai macam kondisi slope pada suatu daerah yang di ortorektifikasi sehingga akan didapatkan informasi
mengenai ambang batas dimana angka kemiringan slope dari DEM akan tidak berpengaruh.
-353-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara
Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur
Sentinel-1 Data Utilization for Multi-Temporal Analysis of Oil Spills in
North-Sea of East Java
Hamdi Eko Putranto1, Maryani Hartuti1, Rosita A.E. Putri2*), Siti Gora K.R. Putri2,
dan Retno A. Pratiwi2
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
1
Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Perairan Indonesia yang begitu luas dan memiliki peran besar bagi dunia tidak terhindar dari berbagai
permasalahan, salah satunya adalah fenomena tumpahan minyak. Fenomena tumpahan minyak dapat terjadi akibat
adanya kebocoran pada kapal maupun kebocoran pipa minyak bawah laut. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya
pencemaran perairan Indonesia yang merugikan berbagai sektor, utamanya sektor kelautan. Suatu metode khusus
diperlukan untuk mendeteksi adanya tumpahan minyak sekaligus mengetahui luasan area yang tercemar, misalnya
menggunakan metode penginderaan jauh. Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati kondisi tumpahan minyak di
perairan utara Jawa Timur secara multitemporal dari 3 waktu yang berbeda yaitu 18 Juni 2015, 29 Agustus 2015, dan 22
September 2015 dengan memanfaatkan data sentinel-1A. Metode yang digunakan untuk mendeteksi tumpahan minyak
dalam penelitian ini adalah metode dark spot detection dengan algoritma adaptive threshold. Hasil pengolahan data dan
analisis menunjukkan bahwa terjadi perbedaan luasan tumpahan minyak dari ketiga data tersebut. Tumpahan minyak
dengan luas tertinggi ditemukan pada data sentinel-1A tanggal 29 Agustus 2015. Diperkirakan telah terjadi peristiwa
tumpahan minyak berlebih pada kurun waktu mendekati tanggal 29 Agustus 2015 yang mengakibatkan peningkatan
luasan tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur.
Kata Kunci: tumpahan minyak, perairan, Jawa Timur, Sentinel-1A
ABSTRACT - Indonesian seas, which is wide and have a big influence to the world, are not free from various
problems. One of the problem is the phenomenon of oil spills. The phenomenon of oil spills may occur as a result of any
leakage on the ship or leakage of oil pipeline under the sea. These conditions could cause pollution on Indonesian seas
and bring disadvantage to the various sectors, mainly maritime sector. A special method is required to detect any oil
spills as well as know the widespread polluted area, for example using remote sensing method. The purpose of this
research is to observe the condition of the oil spills in the North-sea of East Java through multi-temporal image data.
The image data is Sentinel-1A acquired in 3 different acquisition time, those are on 18 June 2015, 29 August 2015, and
22 September 2015. The method to detect oil spills in this research is the dark spot detection method with the adaptive
threshold algorithm. The result of the data processing and analysis shows the differences of the oil spills from the three
imaging data. The widest spread of oil spills are found on the data Sentinel-1A that acquired on 29 August 2015. It is
estimated that there have been a large oil spills event on the time frame of the approaching 29 August 2015 that
resulted in the improvement of widespread oil spills in the North-sea of East Java.
Keywords: oil spills, seas, East Java, Sentinel-1A
1.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan sebesar 3.257.483 km² atau
sekitar dua pertiga luas wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia. Wilayah perairan yang begitu luas
dan posisi geografisnya yang strategis menjadikan Indonesia sebagai jalur transportasi kapal-kapal
penumpang dan barang serta jalur pipa dan kabel bawah laut.
Peran perairan Indonesia yang begitu besar bagi dunia tidak terhindar dari berbagai permasalahan, salah
satunya fenomena tumpahan minyak. Fenomena tumpahan minyak banyak terjadi akibat adanya kebocoran
pada kapal maupun kebocoran pipa minyak bawah laut. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya
pencemaran perairan Indonesia. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi nelayan karena kegiatan
perekonomian di pesisir pantai seperti rumput laut dan jumlah tangkapan ikan menjadi berkurang, selain itu
jika tumpahan minyak tidak segera ditangani dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem laut seperti alga,
mangrove, dan terumbu karang. Untuk itu diperlukan suatu metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi
-354-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
adanya tumpahan minyak sekaligus mengetahui luasan area yang tercemar, misalnya menggunakan metode
penginderaan jauh.
Penginderaan jauh sebagai ilmu yang mampu menunjang kegiatan deteksi tumpahan minyak di atas laut
merupakan solusi yang efektif dan efisien. Citra yang digunakan adalah citra Sentinel-1 yang diolah
menggunakan perangkat lunak Sentinel-1 Toolbox. Citra Sentinel-1 memiliki karakteristik yang cocok untuk
deteksi tumpahan minyak dilihat dari resolusi temporal selama 10 hari, kemampuan sensor dalam
menangkap gelombang elektromagnetik, dll. Hasil akhir berupa peta lokasi sebaran tumpahan minyak
beserta informasi mengenai koordinat dan luasan area yang tercemar. Peta ini dapat digunakan pihak terkait
untuk melakukan penanggulangan terhadap fenomena tumpahan minyak.
2.
METODE
Lokasi Penelitian
Lokasi kajian dalam analisis tumpahan minyak secara multitemporal ini adalah di perairan Tuban.
Lokasi kajian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Kajian Penelitian
Data
Data yang digunakan adalah data Sentinel-1A wilayah perairan utara Jawa Timur tanggal 18 Juni 2015,
29 Agustus 2015, dan 22 September 2015 dengan polarisasi VV. Liputan data Sentinel-1A yang digunakan
terdapat pada Gambar 1.
Metode
Metode penelitian ini diilustrasikan dalam diagram alir pada Gambar 2. Metode yang diilustrasikan
dalam diagram alir diterapkan pada ketiga data citra satelit Sentinel-1A. Cakupan area pengolahan pada
koordinat 6.633˚ LS sampai 6.99˚ LS dan 112.004˚BT sampai 112.57˚BT.
Tahap awal pengolahan data dilakukan dengan melakukan pemilihan data Sentinel-1A yang merekam
perairan utara Jawa Timur dan pada tanggal yang bersesuaian dengan kejadian tumpahan minyak. Dari hasi
seleksi, didapatkan data yang paling baik adalah data Sentinel-1A pada tanggal 18 Juni 2015 sebagai asumsi
data pembanding sebelum kejadian, 29 Agustus 2015 sebagai data saat kejadian, dan 22 September 2015
sebagai data setelah kejadian. Selanjutnya dilakukan pengolahan data awal yang meliputi koreksi radiometrik
dan geometrik dengan tujuan untuk mengurangi noise pada data citra satelit dan mendefinisikan system
koordinat data citra satelit.
Kalibrasi dan Speckle Filtering
Kalibrasi dan speckel filtering merupakan proses awal yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang optimal dalam proses deteksi tumpahan minyak. Pada citra Sentinel-1, proses kalibrasi bertujuan untuk
mengkonversi nilai digital number (DN) atau nilai piksel ke dalam bentuk backscatter atau nilai pancaran
balik. Nilai DN pada citra SAR harus dikonversi untuk memudahkan pengolahannya.
Speckle filtering dilakukan dengan tujuan menghilangkan tekstur yang menurunkan kualitas citra dan
menyebabkan kesulitan dalam intepretasi citra. Speckle terjadi akibat gangguan konstruktif dan dekstruktif
dari backscatter. Jenis speckle filtering yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mean filter. Metode ini
menghilangkan speckle dengan cara merata-rata nilai DN dari speckle dengan nilai DN area di sekelilingnya
dalam sebuah kernel hingga speckle menyatu. Metode ini mampu mereduksi speckle namun memiliki
kekurangan dalam hal berkurangnya resolusi dan detil dari citra tersebut (Mansourpour M., et al, 2006).
Bentuk kernel dari mean filter beragam, umumnya berbentuk persegi maupun bentuk lain. Persamaan dari
mean filter dijabarkan dalam persamaan I.1.
-355-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
⋯
=
............................................................................................................................ (I.1)
Dimana nilai R adalah rata-rata dari nilai DN speckle dengan area di sekelilingnya. Nilai n adalah jumlah
dari piksel yang dihitung.
Gambar 2. Diagram alir penelitian
Land Masking
Land Masking ditujukan untuk menyeleksi wilayah kajian pada data citra satelit secara spesifik sesuai
dengan karakteristik yang dibutuhkan untuk mendeteksi tumpahan minyak. Pada tahap ini dilakukan masking
untuk menentukan area mana yang akan dipertahankan (darat atau air) dan area mana yang akan dinyatakan
nilai DN nya sebagai no data value sehingga nilai DN tidak diperhitungkan dalam proses pendeteksian
tumpahan minyak. Pada penelitian ini dilakukan deteksi tumpahan minyak di wilayah perairan/laut sehingga
dipilih proses Land-masking, dimana nilai DN dari wilayah darat akan diubah menjadi no data value. Proses
masking sendiri dilakukan dengan melibatkan bantuan DEM SRTM dengan resolusi 5 menit untuk
menentukan wilayah mana yang merupakan darat dan mana yang merupakan laut.
Dark Spot Detection
Dark spot detection merupakan tahapan untuk membantu mengetahui titik-titik yang diduga terjadi
adanya tumpahan minyak. Algoritma yang digunakan untuk dark spot detection ini adalah adaptive
thresholding. Algoritma ini dilakukan dengan menentukan rata-rata level backscatter, kemudian nilai k dB
diatur hingga berada dibawah estimasi rata-rata lokal dari level backscatter. Nilai k ditentukan berdasarkan
data angin. Piksel objek yang akan terdeteksi sebagai dark spot adalah piksel yang nilainya berada di bawah
nilai threshold yang telah ditentukan.
-356-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
Clustering and Discrimination
Tahap clustering digunakan untuk menunjukkan batasan antara spot-pot yang merupakan tumpahan
minyak dengan objek lain yang serupa. Pada tahap ini diterapkan algoritma kombinasi model statistik bentuk
tumpahan minyak yang berbeda dan dilihat juga kondisi angin pada saat perekaman. Proses ini melibatkan
parameter luasan dengan menginputkan parameter minimum luasan klaster untuk menentukan apakah dark
spot tersebut benar merupakan tumpahan minyak atau bukan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data tanggal 18 Juni 2015
Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, didapatkan data-data sebagai berikut :
Gambar 3. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 18 Juni 2015 (skala ilustrasi)
Informasi yang didapat dari hasil deteksi tumpahan minyak Gambar 3 dan Gambar 4 adalah terdapat
tumpahan minyak seluas 5.267 km2 yang terdeteksi pada koordinat 639790 mT dan 9240081 mU.
Gambar 1. menunjukkan hasil perhitungan luasan tumpahan minyak pada citra secara keseluruhan.
-357-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Data tanggal 29 Agustus 2015
Gambar 2. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 29 Agustus 2015
Informasi yang didapat dari hasil deteksi tumpahan minyak Gambar 5 adalah terdapat tumpahan
minyak seluas 7.057 km2 yang tersebar pada beberapa koordinat yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Koordinat tumpahan minyak tanggal 29 Agustus 2015
Titik ke1
2
3
4
5
6
Easting
639154
640467
641979
644845
654316
657739
Northing
9240273
9240990
9240870
9240711
9240353
9241348
Gambar 3. Hasil perhitungan luas tumpahan minyak tanggal 29 Agustus 2015
Data tanggal 22 September 2015
Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, didapatkan hasil analisis luasan tumpahan minyak tanggal
22 September 2015 pada Gambar 7. Luas sebaran tumpahan minyak yang ditemukan sebesar 6.102 km2.
Tumpahan minyak tersebut berada menyebar pada koordinat yang terlampir di Tabel 2.
-358-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
Tabel 2. Koordinat tumpahan minyak tanggal 22 September 2015
Titik ke1
2
3
4
5
6
Easting
639035
642019
644805
653839
654595
657938
Northing
9240353
9241030
9240711
9240393
9241398
9241388
Gambar 4. Sebaran tumpahan minyak pada tanggal 22 September 2015 (skala ilustrasi)
Hasil analisis menunjukkan, pada tanggal 22 September 2015 telah terjadi penurunan luas tumpahan
minyak dari tanggal 29 Agustus 2015, yaitu sebesar 0.955 km2. Hal tersebut diakibatkan sebagian tumpahan
minyak telah terbaur bersama air laut dan berpindah mengikuti arah arus.
Analisis Overlay ketiga data Sentinel-1A
Ketiga data kemudian ditumpang tindihkan untuk mengetahui dan membandingkan kondisi data pada
masing-masing citra. Hasil tumpang tindih pada Gambar 6 menunjukkan bahwa terdapat sebaran tumpahan
minyak yang baru muncul pada tanggal 29 Agustus 2015 disertai dengan peningkatan luasan tumpahan
minyak. Pada tanggal 29 Agustus 2015 dan tanggal 22 September 2015 terdapat kesamaan pola sebaran
tumpahan minyak namun dalam jumlah yang menurun sehingga diperkirakan bahwa sebaran tumpahan
minyak telah terbawa arus laut pantai utara Jawa Timur.
-359-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Sebaran tumpahan minyak dari tiga waktu yang berbeda (skala ilustrasi)
4.
KESIMPULAN
Data Sentinel-1 dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis tumpahan minyak secara multi-temporal
di perairan utara Jawa Timur. Metode yang digunakan untuk mendeteksi tumpahan minyak yakni melalui
Dark Spot Detection dengan algoritma Adaptive Threshold. Pada penelitian ini didapatkan informasi bahwa
terjadi fluktuasi luasan tumpahan minyak di perairan utara Jawa Timur pada 3 waktu yang berbeda. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah luasan tumpahan minyak dari data pada tanggal 18
Juni 2015 ke tanggal 29 Agustus 2015, dan penurunan luasan tumpahan minyak dari tanggal 29 Agustus
2015 ke tanggal 22 September 2015. Diperkirakan telah terjadi peristiwa tumpahan minyak berlebih pada
kurun waktu mendekati tanggal 29 Agustus 2015 yang mengakibatkan peningkatan luasan tumpahan minyak
di perairan utara Jawa Timur. Tumpahan minyak tersebut kemungkinan berasal dari kapal-kapal yang
berlabuh dan berlayar dari Pelabuhan Brondong, Kabupaten Lamongan.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari hasil kegiatan analisis sebaran tumpahan minyak di perairan utara
Jawa Timur yang melibatkan pihak penelitia dari Bidang Sumberdaya dan Wilayah Pesisir dan Laut, Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN dengan mahasiswa Program Studi Teknik Geodesi, Departemen
Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 2016. Terima kasih kami
ucapkan kepada Harintaka, DR., S.T., M.T., atas arahan dan bimbingannya.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Brekke, C., (2007). Automatic screening of Synthetic Aperture Radar imagery for detection of oil pollution in the
marine environment. Ph. D. dissertation, Faculty of Mathematics and Natural Science, Univ. Oslo.
Frost, V.S., Stiles, J.A., Shanmugan, K.S., dan Holtzman, J.C., (1982). A model for radar images and its application to
adaptive digital filtering of multiplicative noise. Pattern Analysis and Machine Intelligence, IEEE
Transactions on, 2:157-166.
Mansourpour, M., Rajabi, M.A., dan Blais, J.A.R., (2006). Effects and performance of speckle noise reduction filters on
active radar and SAR images. In Proc. ISPRS, pp. 14-16.
Snoeij, P., Attema, E., Davidson, M., Floury, N., Levrini, G., Rosich, B., dan Rommen, B., (2008). Sentinel-1, the
GMES radar mission. In Radar Conference, RADAR'08. IEEE, pp. 1-5
-360-
Pemanfaatan Data Sentinel-1 untuk Analisis Tumpahan Minyak secara Multi-Temporal di Perairan Utara Jawa Timur (Putranto, H
E., dkk)
Solberg, A.S., Brekke, C., Solberg, R., dan Husoy, P.O., (2004). Algorithms for oil spill detection in Radarsat and
ENVISAT SAR images. In International Geoscience and Remote Sensing Symposium.
Solberg, Anne H.S., Dokken, T.S., Solberg, dan Rune. (2012). Automatic detection of oil spills in Envisat, Radarsat,
and ERS SAR Images, Oslo, Norwegian Computing Center.
Solberg, A.H.S., Storvik, G., Solberg, R., dan Volden, E., (1999). Automatic detection of oil spills in ERS SAR
images. Geoscience and Remote Sensing, IEEE Transactions on, 37(4):1916-1924.
The Sentinel-1 Toolbox, diakses 19 Februari 2016 dari https://sentinel.esa.int/web/sentinel/toolboxes/sentinel-1,
Van der Sanden, J.J., (1997). Radar remote sensing to support tropical forest management. Georgetown. TropenbosGuyana Programme.
What is Sentinel-1?, diakses 10 Februari 2016 dari https://earth.esa.int/web/guest/missions/esa-operational-eomissions/sentinel-1
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Pemanfaatan Data Sentinel-1 Untuk Analisis Tumpahan Minyak Secara Multi Temporal
Di Perairan Utara Jawa Timur
: Rosita Andari Eka Putri
:
Pertanyaan: Ety Parwati (LAPAN)
1. Mengapa memutuskan menggunakan data Sentinel-1 dengan polarisasi VV? Apa kelebihan VV dibanding
VH untuk mendeteksi tumpahan minyak?
2. Apakah nilai threshold pada metoda dark spot detection berlaku sama atau berbeda pada ketiga data yang
digunakan? Bisakan nilai tersebut digunakan pada tempat lain?
Jawaban:
Tidak ada jawaban dari penulis.
-361-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan
Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan
Annual Monitoring of Sea Surface Temperature Anomaly
Using Extract Multi Value Point Method
Ummu Kultsum1*)
1
*)
Universitas Brawijaya
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Pemetaan suhu permukaan laut dalam jangka waktu satu tahun yang diolah lebih lanjut dapat
menghasilkan sebuah data anomali suhu tahunan. Maka dari itu diperlukan suatu metode yang efektif dalam mengolah
data suhu permukaan laut. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data variasi suhu dalam jangka waktu satu tahun
dengan menggunakan citra satelit Aqua MODIS level 3 dengan studi kasus di perairan dekat Pelabuhan Mayangan,
Probolinggo, Jawa Timur. Metode Exctract Multi Value Point sebagai salah satu metode dari analisis spasial merupakan
metode yang efektif dalam pengolahan data citra sehingga didapatkan data variasi suhu yang kemudian dapat diolah
lebih lanjut menjadi data anomali suhu tahunan.
Kata kunci:Pemetaan suhu permukaan laut, Aqua MODIS 3, Exctract Multi Value Point
ABSTRACT -The mapping of sea surface temperature within a period of one year which may further processed to
produce an annual temperature anomaly data. Therefore we need a method that is effective in processing sea surface
temperature data. In this research, data collection temperature variations within a period of one year using Aqua
MODIS satellite imagery level 3 with a case study in the waters near Port Mayangan, Probolinggo, East Java. Methods
Exctract Multi Value Point as one of the methods of spatial analysis is an effective method of processing image data so
that the data obtained temperature variations which can then be further processed into annual temperature anomaly
data.
Keywords: Sea surface temperature mapping, Aqua MODIS level 3, Exctract Multi Value Point
1.
PENDAHULUAN
Suhu adalah faktor yang sangat penting di perairan. Suhu Permukaan Laut (SPL) merupakan salah satu
parameter oseanografi yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi dilaut,
karena suhu permukaan laut mencirikan massa air di lautan dan berhubungan dengan keadaan lapisan air laut
yang terdapat di bawahnya (Hutabarat dan Evans, 1986).SPL dapat digunakan dalam menganalisis
fenomena-fenomena yang terjadi di lautan seperti fenomena arus, upwelling, front (pertemuan dua massa air
yang berbeda), dan aktifitas biologi di laut (Robinson, 1985).
Penelitian yang berkaitan dengan fenomena oseanografi baik skala global maupun mesoscale memerlukan
pengamatan suhu permukaan laut (SST) dan ocean color imagery dari satelit. Keberadaan data citra satelit
bagi pengamatan parameter dan/atau fenomena oseanografi dapat memberikan keuntungan dari aspek
efisiensi waktu dan biaya serta akurasi yang cukup tinggi. Data penginderaan jauh menggunakan citra satelit
Aqua-Modis dapat berguna menganalisis baik secara visual maupun raw-data parameter suhu permukaan.
Sehingga memudahkan dalam mempelajari berbagai fenomena terkait lainnya yang berlangsung di lautan
(Kasim, 2010). Wahana satelit yang memiliki sensor termal telah mengalami perkembangan yang pesat,
ditandai dengan diluncurkannya satelit sensor Aqua MODIS dan sensor NPP menjadikan penginderaan laut
baik siang maupun malam hari dapat dilakukan sehingga tersedia data SPL baik pada waktu siang maupun
malam hari (Gaol dkk., 2014).
Informasi SPL dalam bidang kelautan dan perikanan memiliki peran yang sangat penting. Data satelit
Aqua-MODIS sangat baik untuk pemantauan perubahan SPL secara berkala (Hamuna dkk., 2015).
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persebaran suhu permukaan laut yang
diperlukan dalampemantauan anomali suhu permukaan laut tahunan. Banyaknya data variasi suhu yang
diperlukan untuk mengetahui adanya anomali suhu di suatu perairan, maka diperlukan metode yang efektif
dalam memperoleh data variasi suhu tersebut. Metode Exctract Multi Value Point sebagai salah satu metode
-362-
Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.)
dari analisis spasial merupakan metode yang efektif dalam pengolahan data citra sehingga didapatkan data
variasi suhu yang kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi data anomali suhu tahunan.
2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di -7,4380110 BT - 7,6860960 BB serta 113,3333940 LU - 113,1380190 LS seperti
pada Gambar 1. Data yang digunakan dalam penelitian ini data SST (Sea Surface Temperature) dari sensor
satelit Aqua MODIS Level 3 11 µ daytime dengan resolusi 4 km mulai bulan Januari hingga Desember 2015
dengan Lokasi di perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur. Data MODIS tersebut
diperoleh dari web: http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3.
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
2.2 Pengolahan Data
Titik yang berjumlah 16 pada Gambar 1 diatas merupakan cakupan lokasi penelitian sekaligus merupakan
titik pengambilan sampel. Data SST yang telah diperoleh diolah terlebih dahulu didalam aplikasi SeaDAS.
SeaDAS merupakan sebuah aplikasi yang digunakan untuk mengolah, menampilkan, menganalisis,
dan mengontrol data warna laut dengan menganalisis gambar secara komprehensif. Data yang
dihasilkan dari SeaDAS adalah data yang telah di cropping dan reproject dalam format TIFF.
Pengolahan data yang telah di reproject selanjutnya di-clip dengan peta Rupa Bumi Indonesia
(RBI) dengan memasukkan koordinat lokasi. Langkah terakhir adalah melakukan analisis spasial
dengan menggunakan metode Exctract Multi Value Point yang terdapat pada menu Arc Toolbox
didalam aplikasi ArcGIS. Metode Exctract Multi Value Point merupakan metode ekstraksi suatu
nilai sel yang telah ditentukan dalam kelas berbentuk fitur poin (titik-titik) dengan beberapa data
raster kemudian hasil estraksi akan tercatat didalam tabel atribut pada kelas fitur poin.
-363-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Persebaran Suhu
Metode Exctract Multi Value Point yang telah dilakukan untuk ke-16 titik dengan data raster SST di
tahun 2015 didapatkan hasil sebagai berikut:
-364-
Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.)
Gambar 2. Peta Persebaran Suhu di periaran dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015
Bersadarkan gambar peta diatas, persebaran warna SPL pada bulan Mei mengalami perubahan dan
konstan hingga bulan November. Akan tetapi memasuki bulan Desember, sebaran warna SPL mulai
bervariasi kembali. Adapu grafik nilai variasi suhu dari ke-16 titik pada peta diatas terdapat dalam grafik
berikut:
-365-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 1Persebaran Suhu di perairan dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015
Titik
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Jan
30,87
30,71
30,70
30,11
30,32
30,43
30,70
31,00
30,61
30,44
30,36
30,24
30,25
30,28
30,55
30,55
Feb
31,07
30,95
30,74
30,72
30,70
30,98
30,99
31,11
31,09
31,02
30,69
30,62
30,44
30,05
30,77
31,28
Mar
31,51
31,35
30,42
30,61
30,84
31,23
31,41
31,52
31,50
31,34
31,16
29,92
30,96
30,95
31,06
30,65
Apr
31,15
30,97
30,74
31,57
31,67
30,98
31,27
28,61
31,84
31,04
30,73
31,38
30,19
31,35
31,82
31,96
Mei
29,94
29,97
30,00
30,05
30,17
30,02
29,99
29,97
30,21
29,98
30,09
30,21
30,23
30,11
30,01
30,33
Jun
Jul
29,70
29,74
29,88
30,14
30,29
29,87
29,74
29,74
29,81
29,69
29,66
30,04
29,82
29,72
29,55
29,53
28,35
28,26
28,34
28,39
28,36
28,52
28,33
28,45
28,69
28,43
28,49
28,56
28,28
28,38
28,29
28,58
Agu
28,51
28,53
28,52
28,52
28,51
28,45
28,45
28,45
28,44
28,32
28,21
28,35
28,17
28,15
28,23
28,39
Sep
28,82
28,84
28,83
28,94
29,03
28,87
28,83
28,82
28,82
28,59
28,55
28,98
28,71
28,37
28,43
28,81
Okt
29,49
29,53
29,41
29,37
29,34
29,13
29,10
29,27
29,35
29,05
29,04
28,89
28,95
28,90
29,06
29,43
Nov
31,18
31,12
31,05
31,12
30,49
30,26
30,41
30,69
30,61
30,12
30,15
30,04
30,01
29,76
29,97
30,43
Des
32,06
31,48
31,50
31,20
30,76
30,67
31,78
31,07
31,02
31,23
30,19
30,14
30,49
31,04
30,73
31,31
Berdasarkan tabel diatas, suhu pada bulan Mei-Oktober rata-rata mengalami penurunan, namun
pada bulan November-Desember mengalami penaikan.Suhu terendah dalam tabel persebaran suhu
diatas adalah sebesar 28,150C, sedangkan suhu tertinggi adalah 32,070C. Suhu yang terdapat di
perairan dekat Pelabuhan Mayangan, Probolinggo tidak mengalami penurunan dan kenaikan yang
begitu signifikan. Pada dasarnya keadaan sebaran mendatar suhu permukaan laut di perairan Indonesia
memiliki variasi tahunan yang kecil, akan tetapi masih memperlihatkan adanya perubahan. Hal ini
disebabkan oleh sinar matahari dan oleh massa air dari lintang tinggi. Posisi Indonesia yang terletak pada
garis ekuator mengakibatkan aliran panas dari radiasi matahari dapat diterima sepanjang tahun sehingga suhu
mempunyai fluktuasi yang kecil. Akan tetapi disisi lain dengan posisi tersebut mengakibatkan transport
massa air banyak dipengaruhi oleh angin munson yang berganti dua kali dalam setahun. Kondisi ini
berakibat pada pergantian musim dengan karakteristik tersendiri yang berbeda antara keduanya (Hutabarat
dan Evans, 1986).
3.2 Anomali Suhu
Data variasi suhu yang tercatat pada Tabel.1 dapat digunakan untuk mengetahui adanya anomali
SPL diperiaran dekat Pelabuhan Mayangan dengan grafik sebagai berikut:
Suhu (0C)
Grafik Anomali Suhu Perairan Mayangan, Probolinggo Tahun
2015
34,00
Jan
32,00
Feb
30,00
Mar
28,00
Apr
Mei
26,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Titik Sampel
Jun
Jul
Gambar 2. Grafik Anomali Suhu di perairan dekat Pelabuhan Mayangan Tahun 2015
-366-
Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut Tahunan (Kultsum, U.)
Grafik diatas memberikan sebuah visualisasi bahwa persebaran SPL di perairan dekat Pelabuhan
Mayangan, Probolinggo cenderung konstan, hanya saja terdapat anomali suhu yang ditujunkan oleh
titik sampel ke-8 pada bulan April, dimana SPL pada titik sampel ke-7 dengan besar suhu 31,270C
dengan titik sampel ke-8 dengan besar suhu 28,610C mengalami penurunan sekitar 2,920C.
4.
KESIMPULAN
Persebaran nilai SPL di perairan dekat Pelabuhan Mayangan pada tahun 2015 mengalami fluktuasi setiap
bulannya. Meskipun fluktuasi tersebut tidak begitu signifikan, akan tetapi perubahan nilai suhu yang terjadi
di perairan tersebut menunjukkan adanya suatu anomali yang terjadi di bulan Mei-Oktober. Nilai sebaran
SPL pada bulan Mei-Oktober rata-rata mengalami penurunan, namun pada bulan November-Desember
mengalami penaikan dengan bobot nilai suhu yang hampir sama pada bulan Januari-April.
Data variasi suhu yang didapatkan secara cepat dengan metode Exctract Multi Value Point sangat efektif
diaplikasikan dalam pengolahan data dan pemantuan anomali SPL dengan jangka waktu lebih dari satu
tahun.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tim Asisten Laboratorium Eksplorasi Sumberdaya Perikanan
dan Kelautan Universitas Brawijaya yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya
tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gaol, J.L., Arhatin, R.E., dan Ling, M.M., (2014). Pemetaan suhu permukaan laut dari satelit di perairan Indonesia
untuk mendukung “One Map Policy”, dalam Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh, Bogor April 2014, hal
433-442.
Hamuna, B., Paulangan, Y.P, dan Lisiard, D. (2015). Kajian Suhu Permukaan Laut Mengunakan Data Satelit AquaMODIS di PerairanJayapura, Papua. Depik, 4(3):160-167, doi: http://dx.doi.org/10.13170/depik.4.3.3055.
Hutabarat, S. dan Evans, S.M. (1986). Pengantar Oseanografi. Cetakan ke-3. UI Press. Jakarta. ix + 159 h.
Kasim, F., (2010). Analisis Distribusi Suhu Permukaan Menggunakan Data Citra Satelit Aqua-Modis dan Perangkat
Lunak Seadas di Perairan Teluk Tomini. Jurnal Ilmiah Agropolitan, 3(1):270-276.
Robinson, I.S., (1985). Satelite Oceanography On Introduction for Oceanographer and Remote Sensing Scientist. Ellis
Harwood Ltd: New York.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Metode Extract Multi Value Point Untuk Pemantauan Anomali Suhu Permukaan Laut
Tahunan
: Ummu Kultsum
:
Tidak ada diskusi.
-367-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR
Study of Ocean Wave Fields from SAR Images
A. Sulaiman1*) dan Agustan1
1
Geostech Laboratory-Pusat Teknologi Sumberdaya Wilayah,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kawasan Puspiptek Serpong, Tanggerang Selatan.
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK- Salah satu cara yang memadai untuk mengobservasi gelombang laut adalah citra synthetic aperture radar
(SAR). Makalah ini bertujuan untk mempelajari dinamika gelombang laut dengan menggunakan citra SAR polarimetri.
Filter lowpass akan dikenakan pada citra untuk mereduksi noise dan diskontinuitas di suat citra dapat dihilangkan.
Setelah itu spektrum gelombang dengan asumsi fungsi transfer linier diterapkan untuk mendapatkan spektrum
gelombang dua dimensi dengan menghitung fast fourier transform (FFT). Spektrum frekuensi diperoleh melalui relasi
dispersi gelombang air. Dengan melakukan bandpass filter maka penerapan invers FFT, dapat diperoleh amplitudo
gelombang. Hasil menunjukkan bahwa di Teluk Jakarta gelombang permukaan didominasi oleh gelombang angin dan
alun.
Kata kunci: gelombang laut, radar, teluk jakarta.
ABSTRACT–A sophisticated way for spatial observation of the sea state is the use of SAR image. Paper aims to
studying the dynamics of ocean waves using SAR image with single polarization and double polarizations. The use of
two polarizations in the form of polarization ratio intended to reduce radar scattering cross section dependency only
hanging from the incident angle. After cropping the interest areas in the Jakarta Bay, the low pass filter was done so that
the noise can be reduced and the discontinuity in wave images can be removed as well. Fast Fourier Transform (FFT)
two dimensional was applied and uses the dispersion relation to get the wave spectrum. By implementing band-pass
filter and IFFT the amplitude of ocean wave will be obtained. The result shows that swell and wind sea are dominant
wave in Jakarta bay.
Keywords: Jakarta Bay, ocean wave, synthetic aperture radar (SAR)
1.
INTRODUCTION
When the SAR wavelength and Ocean surface wave wavelength satisfy the Bragg scattering law then the
ocean wave can be detected from SAR images (Alpers 2011). The advantage of SAR observation especially
in tropical ragion is the images free of cloud cover. Due to the ocean wave has very dynamics properties so
that the intensive observation is needed. Ocean wave pheomenon have temporal order from second (intra
gravity waves) to month (long waves) and spatal variation from mm (capillary) scale to km (planetary) scale.
In situ measurement by using wave gauge will very detail times series data but poor in spatial variability.
The other hands, the spatial variation can be observed by using SAR images. The combination between
insitu measurement and SAR measurement will give a good result in spatio-temporal observation.
The Jakarta bay is very interseted area due to many activity occur in that bay. This is part of Java sea
when the mosoon effect is dominant (Wyrtki 1961). The bay has average depth is about 25m with wind sea,
swell and tidal currents are dominant. The tidal type is mixed tide prevailing diurnal. There are many river
flow to Jakarta bay which makes river outflow plays a great role in transporting of suspended sediment and
the existence of seawall will modify the behavior of incident wave in the shoreline. The other hands,
domestic sewage, industrial effluent and urban runoff from big cities treathen the southernmost portion of
this bay. The ocean wave observation is very important to manage this bay. The paper is organized as follow,
the Data and Methods are presented in sec-2. The data analysis and discussion is described in sec-3. The
paper will e ended y a conclusion.
2.
DATA AND METHODS
2.1. Study Area
The SAR data was provided by JAXA under ALOS Research Announcement Project number PI417002
entitled “Sea Surface Roughness Identification based on Synthetic Aperture Radar Data in Indonesian
Waters”. One SAR data in ScanSAR mode that was observed on January, 26 2015 HH polarization was
-368-
Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR (Sulaiman, A., dkk)
downloaded via ALOS-2 User Interface Gateway (AUIG) website. The SAR data were processed by using
SNAP-SITBX software (Veci dkk 2014). The SAR images of Jakarta ay is depicted in Figure-1. The area of
interest is represented in white box is depicted in Figure-2.
2.2. Data Processing
SAR data were processed to obtained the SAR image that containes backscatter information. The Data
processing chain for ScanSAR mode (wide-swath dual polarization, 1.5 level) are converting the ALOS-2
CEOS data format to EAM-DIMAP data format. The Refined Lee filter are applied to reduce speckle noise
after radiometric calibration was done. Result is a normalized radar cross section (sigma naught σ 0) in term
of deciel (dB) value
The 2D Fast Fourier Tranform (FFT) is used to get wave number spectrum Ψ(kx,ky) that represent the
wave energy. In two dimensional, the wave is not only has the energy but also the direction. This is
represented in term of directional spectrum Ψ(f,θ). The directional wave spectrum consist directon and
frequency. This spectrum described the complex phenomenon of wind-generated ocean waves in term of
contribution from waves propagating in different directions with different wavelength. The frequency can be
obtained by using dispersion relation of water waves. This relation is given by (Kuo dkk 1999),
 f ,    k x , k y 
where k= k x2  k y2
4k gk tanh kh 
gk tanh kh   gkh sec h 2 kh 
(1)
Relation between wavelength with frequency is given by a dispersion relation as follow (Apel 1988)
 2  gh tanh( kh )
(2)
The band pass filter is contructed based on the Eq. (2). Invers Fourier transform are applied to get the wave
amplitude.
3.
RESULT AND DISCUSSION
The SAR image of Jakarta Bay is depicted in Figure-1. Many small islands located in the bay may give
complex pattern of sea surface waves. The Tanjung Priok harbour is located in the southpart of the bay
where the white dot represent ships and vessels. The big ship with the wake waves are observed in the center
of the bay. The area of interest are noted in the white box. The lowpass filter of the area is depicted in
Figure-2. The plot of backscatter intensity with pixel distance can be seen in Figure-3. This figure showed
oscillation pattern with random background. We believe that the SAR cross section is correspond to the
amplitude of ocean surface waves. The connectivity is represented by using the modulation transfer function.
We assume that the transfer function is linear and an ideal condition. In this condition the use of SAR
imagery for ocean surface wave measurement would be straightforward. The radar cross section were
proportional to the ocean surface wave slope or wave hight. The computing of Fourier transform of SAR
image would produce an estimation of ocean wave spectrum. This is depicted in Figure-4. The energy is
concentrated in the center of the 250 m of wave length. This is typical of long wave (swell). By using
dispersion relation we obtained the period rank between 30-300 second. The band pass filter with the band
between 500m to 800m are applied to wave spectrum then by applying invers Fourier transform we have the
wave amplitude. This is depicted in Figure-5. The result showed that the maximum amplitude is about 1.5m
with the average wavelength 650m. This is typical of swell that ussualy come from the South China Sea and
the Indian Ocean that flow trough the Sunda Strait.
-369-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
Figure 1. Alos II images with polarization. The white box represents area of study.
Figure 2. The lowpass filter by moving average methods of the interest area. The dot line is plot of pixel and pixel
value which is represented in the next figure.
0.55
0.5
0.45
Intensity
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
pixel
Figure 3. Variation of wave signal (backscatter value) of SAR in x direction of the image where the location is
described in Fig-2..
-370-
Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR (Sulaiman, A., dkk)
Figure 4. 2D FFT from SAR images of interest area where the amplitude represented in Ψ(kx,ky)=log(1+abs(Ψ)).
Figure 5. The ocean surface wave height obtained by applying invers Fourier transform of a bandpass filter ocean
surface wave spectrum.
4.
CONCLUSION
The observation of ocean surface wave in the Jakarta Bay by using SAR image has been investigated.
Assuming the modulation transfer function linear then the SAR spectrum is proportional to ocean wace
spectrum. The dispersion relation of water wave is used as a basis of bandpass filter construction. The wave
amplitude is obtained by applying invers Fourier transform of wave spectrum. The result show that the
average of wave height is aout 1.5m with the wavelength 650m. This is typical of swell.
5.
ACKNOWLEDGEMENT
This reseach is part of JAXA -ALOS Research Announcement Project number PI417002 and funded by
DIPA PTPSW in fiscal years 2016.
REFERENCE
Alpers, W., (2011). On the discriminaion of Radar signatures of atmospheric gravity waves and internal waves on
synthetic aperture radar images of the sea surface, IEEE Transaction on Geoscience and Remote Sensing,
49(3):1114-1127.
Apel, J.R, (1988), Principles of Ocean Physics, Academic Press, New York.
Kuo, Y.Y., Leu, G., dan Kao, I.I., (1999). Directional spectrum analysis and statistics otained from ERS-1 SAR wave
images, Ocean Engineering, 26:1125-1144.
Veci, L., Lu, J., Prats-Iraola,P., Scheiber,R., Collard, F., Fomferra, N., and Engdajl, M., (2014). The sentinel-1 Toolox.
Proceedings of the IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium (IGARSS), 1-3, IEEE.
Wyrtki, K,. (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Water, Naga Report, Scripps Institute of
Oceangraphy, University of California.
-371-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
Diskusi
: Studi Pengukuran Gelombang Samudera dari Citra SAR
: Albert Sulaiman (BPPT)
:
Pertanyaan: Hidayat Gunawan (LAPAN)
1. Apakah dalam prosedur harusnya ada tahapan ekstraksi backscatter?
Pertanyaan: Kustiyo (LAPAN)
2. Arah gelombang mempengaruhi citra radar, bagaimana efek tersebut pada Ocean Wave Fields?
Pertanyaan: Ety Parwati (LAPAN)
3. Hal apa yang akan dilakukan ke depannya?
Jawaban :
1. Data yang digunakan sudah langsung siap olah.
2. Kalau tidak ada direction-nya ya hilang.
3. Ke depan akan mem-propose KKP untuk menambah buoy.
-372-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit
untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
Validation of Multiple Time Scale Satellite Rainfall Estimation Products
over Varied Topography in North Kalimantan Province
Abdurahman1*) dan Amsari Mudzakir Setiawan2
1
Program Studi Klimatologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG)
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)hanya memiliki empat Unit Pelaksana Teknis
(UPT) di provinsi Kalimantan Utara yang melakukan kegiatan observasi curah hujan. Observasi hujan dilakukan di
Stasiun Meteorologi (Stamet)Juata Tarakan, Tanjung Harapan (Tanjung Selor), Nunukan, dan Juvai Semaring
(Longbawan) yang berlokasi di sekitar bandar udara dengan topografi yang bervariasi. Keterbatasannya penakar hujan
tersebut menyebabkan data curah hujan pun terbatas sehingga diperlukan adanya alternatif data observasi sebagai
informasi tambahan untuk keperluan analisa cuaca. Estimasi produk satelit dari data CPC MORPHing technique
(CMORPH), Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMAP) dan Climate Hazards group Infrared Precipitation
with Stations (CHIRPS) digunakan sebagai alternatif data observasi untuk analisis berbagai skala waktu, seperti harian,
dasarian, bulanan, danmusiman (tiga bulanan). Validasi dengan hasil observasi harian dilakukan untuk mengukur
ketepatan estimasi curah hujan, terutama saat intensitas curah hujan tinggi yang dapat meningkatkan potensi bencana.
Validasi terhadap data curah hujan menunjukkan bahwa CMORPH, CHIRPS, maupun GSMaP secara umum memiliki
hasil yang baik pada skala waktu harian bergantung lokasi stasiun yang menjadi objek penelitian. Estimasi curah hujan
CHIRPS pada skala waktu harian, dasarian, maupun bulanan diwilayah Longbawan memiliki nilai yang kurang baik
jika dibandingkan dengan produk citra satelit lainnya. Pada skala waktu dasarian, bulanan, ataupun tiga bulanan,
CHIRPS memiliki hasil validasi terhadap data curah hujan lebih baik dibandingkan CMORPH dan GSMaP dalam
estimasi curah hujan diwilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan. Dalam estimasi curah hujan harian pada saat
kejadian cuaca ekstrim yaitu hujan dengan intensitas ≥ 50 mm/hari, CMORPH pada lokasi penelitian di Tarakan
memiliki hasil validasi yang lebih baik dibandingkan produk citra satelit lainnya.
Kata kunci:validasi, produk satelit,estimasi curah hujan, berbagai skala waktu, cuaca ekstrim
ABSTRACT –Indonesia Agency for Meteorology,Climatology,and Geophysics (BMKG) in North Kalimantan Province
had only four Operational Meteorological Office (Met Office) equipped with in situ observation. Rainfall observation
conducted by Juata (Tarakan Met Office), Tanjung Harapan (Tanjung Selor Met Office), NunukanMet Office, and Juvai
Semaring (Longbawan Met Office) located near the airport with varied topography. Limited rain gauged observation
lead to lack of precipitation data for weather and climate analysis. Additional information from alternatives
observation data source are needed. CPC MORPHing technique (CMORPH), Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMAP) and Climate Hazards Group Infrared Precipitation with Stations (CHIRPS) can be used as an
alternative observation data for multiple time scale (e.g. daily, 10-days (dasarian), monthly, and seasonal (3-monthly)
analysis. Daily in situ–based rainfall observation used to measure the accuracy of rainfall estimation, especially when
high intensity rainfall occursand lead to increase the potential for disastrous events. Validation of rainfall data shows
that CMORPH, CHIRPS, and GSMaP generally have good results on a daily time scale depends on the station location
for the study area. Estimated rainfall CHIRPS on a daily time scale, dasarian, and monthly Longbawan region have a
value less well when compared to other satellite imagery products. At the time scale dasarian, monthly, or quarterly,
CHIRPS have the results of the validation of rainfall data better than CMORPH and GSMaP in rainfall estimation
region Tarakan, Tanjung Selor, and Nunukan. In the estimation of daily rainfall during extreme weather events, which
is intensity rainfall ≥ 50 mm/day, CMORPH research sites in Tarakan have better validation results than the other
satellite imagery products.
Keywords: validation, satellite products, rainfall estimate, multiple time scale, extreme weather
1.
PENDAHULUAN
Provinsi Kaltara secara resmi terbentuk sejak ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012
tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 16 November 2012 oleh Presiden Republik
-373-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
Indonesia dengan luas wilayah Provinsi Kalimantan Utara sebesar 72.567,49 km². Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di wilayah Kalimantan Utara memiliki empat buah penakar hujan yang
lokasinya berada di bandar udara Juata Tarakan, bandar udara Nunukan, bandar udara Yuvai Semaring
Longbawan, dan bandar udara Tanjung Selor. Keterbatasannya data curah hujan yang ada, maka diperlukan
adanya data alternatif, misalnya data produk citra satelit sebagai informasi tambahan untuk keperluan analisa
cuaca ketika terjadi cuaca ekstrim diwilayah yang tidak terdapat penakar hujan.
Adapun data maupun produk citra satelit yang dapat digunakan dalam estimasi presipitasi antara lain:
CPC MORPHing technique (CMORPH) (Joyce dkk., 2004), Global Satellite Mapping of Precipitation
(GSMAP) (Okamoto dkk., 2005), dan Climate Hazards group Infrared Precipitation with Stations
(CHIRPS) (Funk dkk., 2014).Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui data produk citra satelit
manakah yang lebih baik digunakan untuk analisa cuaca dalam estimasi presipitasi di Provinsi Kalimantan
Utara berdasarkan skala waktu yang berbeda, misalnya data harian, dasarian, bulanan, atau 3 bulanan.
2.
METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data curah hujan harian, dasarian, bulanan, dan 3 bulanan
stasiun meteorologi di Provinsi Kalimantan Utara, data estimasi curah hujan harian CMORPH yang diunduh
dari http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.CPC/.CMORPH /.daily/.mean/.morphed/,
data
estimasi
curah
hujan
harian
CHIRPS
yang
diunduh
dari
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily-improved/.global/.0p05/ dan data
estimasi curah hujan GSMaP yang diunduh dari ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/realtime/daily/00Z-23Z/periode
tahun 2009-2015.
Gambar 1. Peta Lokasi Penakar Hujan di Kalimantan Utara
Gambar 1 merupakan peta lokasi penakar hujan di Unit Pelaksana Teknis BMKG Kalimantan Utara. Pada
Gambar tersebut terlihat bahwa wilayah Longbawan memiliki elevasi paling tinggi dibandingkan tiga lokasi
penelitian lainnya.
Produk Satelit
CMORPH
GSMaP_NRT
CHIRPS v2.0
Tabel 1. Ringkasan tiga produk citra satelit
Periode Waktu
Cakupan Wilayah
2005-Juni 2016
2008-Juni 2016
1981-Juni 2016
60N~60S
60N~60S
50N~50S
Resolusi Spasial
0,25º
0,25º
0,05º
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validasi produk citra satelit (CMORPH, GSMaP, dan
CHIRPS) sesuai lokasi stasiun meteorologi di Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan skala waktu tertentu,
misalnya data harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan dengan tahapan awal penentuan nilai estimasi
curah hujan produk citra satelit sesuai lokasi stasiun.Penentuan nilai estimasicurah hujan pada penelitian ini
-374-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
menggunakan metode rata-rata (mean). Menurut Pribadi (2012), adapun persamaan dari rata – rata (mean)
adalah:
= ∑
..........................................................................................................................(1)
dimana X adalah nilai rata-rata, n adalah banyaknya data, danXi adalah data ke i , i=1,2,3,..., n.
Adapun teknik validasi yang digunakan yaitu dengan melakukan perhitungan nilai Mean Error, Root
Mean Square Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE), Correlation Coefficient (CC), dan Relative Bias
(BIAS).
Tabel 2. Validasi Stastistik untuk data produk cita satelit estimasi curah hujan dan data pengamatan curah hujan
Nama
Persamaan
Mean Error
Root Mean Square Error
ME = ∑
Correlation Coefficient
Relative Bias
∑
RMSE =
Mean Absolute Error
(
MAE = ∑
∑
r=
∑
−
(
|
∑
−
(
∑
0
)²
0
|
)(
)²
0
)
−
(
(
BIAS =
Nilai Terbaik
)
∑
(
)
)²
100%
1
0
Catatan. n : banyaknya data;
: nilai estimasi curah hujan berdasarkan produk citra satelit (misalnya:
CMORPH, GSMaP, atau CHIRPS),
: nilai curah hujan berdasarkan pengamatan
Pada Tabel 2 menjelaskan tentang persamaan teknik validasi secara statistik yang disertai dengan nilai
terbaiknya.Koefisien korelasi Pearsondigunakan untuk menilai skala kesesuaian yang mencerminkan tingkat
korelasi linear.Selain itu,terdapat empat indeks statistik yang digunakan untuk validasi dalam memeriksa
error dan bias antara curah hujan satelit dan observasi.Root mean square error (RMSE) mengevaluasi
besarnya rata-rata error dan mean error (ME) menentukan nilai rata-rata varians yang berkaitan dengan
estimasi dan data observasi.Sementara itu, mean absolute error (MAE) menunjukkan berarti besarnya
kesalahan. Sementara, RMSE juga menghitung besarnya kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada kesalahan
besar karena dibandingkan dengan berarti kesalahan mutlak. Relative Bias (BIAS) memberikan informasi
tentang besarnya perbedaan antara dua dataset (Khan,dkk. 2014).
Nilai validasi berdasarkan perhitungan tersebut akan ditampilkan dalam tabel atau grafik. Perhitungan
nilai koefisien korelasi antara produk citra satelit dan data observasi berdasarkan skala waktu tertentu akan
ditampilkan dalam bentuk diagram taylor.
Gambar 2. Contoh Diagram Taylor
Pada Gambar 2 terlihat berbagai macam bentuk dan warna pada diagram taylor. Bentuk dan warna pada
objek diagram taylor tersebut menunjukkan nilai koefisien korelasi, RMS difference, dan Standar Deviasi
antara produk citra satelit dan data observasi pada lokasi tertentu. Bentuk kotak ( ) pada penelitian ini
dimaksudkan untuk menjelaskan produk citra satelit GSMaP, segitiga ( ) untuk produk citra satelit
CHIRPS, dan bentuk lingkaran ( ) untuk produk citra satelit CMORPH. Pada Gambar diatas, terdapat
empat macam warna untuk menjelaskan lokasi penelitian, yaitu warna biru untuk lokasi stasiun di Tarakan,
-375-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
warna merah untuk lokasi stasiun di Tanjung Selor, warna hijau untuk lokasi stasiun di Nunukan, dan warna
hitam untuk lokasi stasiun di Longbawan. Jika pada Gambar di atas terdapat bentuk segitiga dengan warna
merah (
) berarti menjelaskan koefisien korelasi antara produk citra satelit CHIRPS dan data observasi
pada lokasi penelitian di Tanjung Selor.
3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Data curah hujan berdasarkan skala waktu
Pada Gambar 3 terlihat pola sebaran data estimasi curah hujan harian produk citra satelit terhadap data
observasi. Dari beberapa stasiun yang menjadi lokasi pengamatan, terlihat bahwa Unit Pelaksana Teknis
yang berada di Tarakan memiliki pola sebaran data yang berbeda dengan lokasi pengamatan lainnya. Pada
wilayah Tarakan, kategori hujan lebat berdasarkan data pengamatan lebih banyak terjadi jika dibandingkan
dengan wilayah lainnya. Pola sebaran seperti itu disebabkan karena nilai estimasi curah hujan produk citra
satelit (CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP) yang sangat rendah nilainya jika di bandingkan curah hujan
berdasarkan pengamatan.
Gambar 3. Perbandingan sebaran data curah hujan harian pada empat lokasi stasiun antara data produk citra satelit
CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP dengan data observasi
Gambar 4(a), 4(b), 4(c), dan 4(d) merupakan grafik nilai rata-rata curah hujan dasarian produk citra satelit
dan observasi pada empat lokasi stasiun. Pada wilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan, rata-rata
estimasi curah hujan dasarian produk citra satelit CHIRPS memiliki nilai yang mendekati observasi jika
dibandingkan dengan dua produk citra satelit lainnya. Tetapi, rata-rata estimasi curah hujan dasarian produk
citra satelit CHIRPS pada wilayah Longbawan memiliki rata-rata estimasi curah hujan paling tinggi di atas
nilai observasi dibandingkan GSMaP dan CMORPH. Pada produk citra satelit CMORPH dan GSMaP
diwilayah Tarakan, secara umum nilai rata-rata curah hujan dasarian berada dibawah nilai observasi. Tetapi,
kedua produk citra satelit tersebut menunjukkan pola yang hampir sama dengan pola curah hujan dasarian
berdasarkan data pengamatan.
-376-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4. Rata-rata curah hujan dasarian produk citra satelit dan data observasi pada empat lokasi stasiun
(a) Tarakan, (b) Tanjung Selor, (c) Nunukan, dan (d) Longbawan
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan produk citra satelit dan data observasi pada empat lokasi stasiun
(a) Tarakan, (b) Tanjung Selor, (c) Nunukan, dan (d) Longbawan
Pada Gambar 5 terlihat bahwa pada skala waktu bulanan ,produk citra satelit estimasi curah hujan yang
nilainya mendekati observasi curah hujan stasiun yaitu produk citra satelit CHIRPS, kecuali untuk wilayah
longbawan memiliki nilai yang kurang baik jika dibandingkan dengan CMORPH dan GSMaP.
3.2 Validasi Produk Citra Satelit
3.2.1 Berdasarkan Skala Waktu
-377-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
Validasi produk citra satelit berdasarkan skala waktu harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan dapat
dilihat pada Gambar 5 dan 6.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar6. Perbandingan validasi statistik berdasarkan skala waktu tertentu pada empat lokasi stasiun.
(a) Mean Error, (b) Root Mean Square Error, (c) Mean Absolute Error, dan (d) Relative Bias.
Gambar 6(a) menunjukkan nilai Mean Error (ME) produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP
pada empat lokasi stasiun berdasarkan skala waktu tertentu. Secara umum, nilai ME produk citra satelit pada
semua lokasi stasiun dalam skala waktu harian memiliki nilai yang kecil. CHIRPS diwilayah Tarakan
memiliki nilai ME paling baik yaitu sebesar -0,06136. Akan tetapi, nilai ME untuk produk citra satelit
CMORPH dan GSMaP di wilayah Tarakan memiliki nilai paling besar jika dibandingkan dengan lokasi
stasiun lainnya masing-masing yaitu sebesar -2,90551 dan -3,22175. Pada skala waktu dasarian, bulanan,
maupun 3 bulanan, CHIRPS diwilayah Tarakan memiliki nilai ME paling kecil jika dibandingkan produk
citra satelit lainnya.Akan tetapi, nilai ME untuk produk citra satelit CMORPH dan GSMaP diwilayah
Tarakan memiliki nilai paling besar pada skala dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan.
Gambar 6(b) menunjukkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) produk citra satelit CHIRPS,
CMORPH, dan GSMaP. Secara umum, nilai RMSE pada skala waktu harian berkisar antara 12 sampai
dengan 20 pada semua lokasi stasiun, kecuali pada lokasi pengamatan di Longbawan. CHIRPS pada wilayah
Longbawan juga memiliki nilai RMSE paling besar pada skala waktu bulanan dan 3 bulanan. Sedangkan
GSMaP dan CMORPH memiliki nilai RMSE paling besar di wilayah Tarakan pada skala dasarian, bulanan,
maupun 3 bulanan.
Gambar 6(c) menunjukkan nilai Mean Absolute Error (MAE) produk citra satelit CHIRPS, CMORPH,
dan GSMaP. Nilai MAE pada wilayah maupun skala waktu yang ada, memiliki pola yang hampir sama
dengan RMSE. Hal itu terlihat pada produk citra satelit CHIRPS pada wilayah Longbawan yang memiliki
nilai MAE paling besar pada skala waktu harian, bulanan, maupun 3 bulanan. Pada produk citra satelit
-378-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
GSMaP dan CMORPH, nilai MAE paling besar berada pada lokasi pengamatan di wilayah Tarakan pada
skala waktu dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan.
Gambar 6(d) menunjukkan nilai Relative Bias produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP. Pada
wilayah Tarakan, produk citra satelit CHIRPS memiliki nilai Relative Biaspaling kecil pada seluruh skala
waktu berdasarkan penelitian ini. Akan tetapi, pada lokasi pengamatan di wilayah Longbawan memiliki nilai
yang paling besar pada skala waktu harian, dasarian, bulanan, maupun 3 bulanan. Pada gambar tersebut juga
terlihat bahwa produk citra satelit GSMaP dan CMORPH di wilayah Tarakan dan Nunukan memiliki nilai
Relative Bias sedikit lebih rendah dari CHIRPS diwilayah Longbawan pada seluruh skala waktu.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar7. Diagram Taylor berdasarkan skala waktu tertentu di empat lokasi stasiun.
(a) Harian,(b) Dasarian, (c) Bulanan, dan (d) 3 Bulanan
Pada Gambar 7, terlihat nilai korelasi antara produk citra satelit CHIRPS, CMORPH, dan GSMaP pada
beberapa lokasi pengamatan berdasarkan skala waktu tertentu. Gambar 7(a) menunjukkan nilai koefisien
korelasi tertinggi pada produk citra satelit CMORPH di wilayah Tarakan sebesar 0,51945 dan nilai koefisien
korelasi terendah di wilayah Tanjung Selor sebesar 0,10732. Gambar 7(b) menunjukkan skala waktu
dasarian yang menunjukkan korelasi tertinggi pada produk citra satelit CHIRPS di wilayah Tanjung Selor
sebesar 0,6365 dan nilai koefisien korelasi terendah pada produk citra satelit GSMaP di wilayah Longbawan
sebesar 0,3418. Koefisien korelasi produk citra satelit pada skala waktu bulanan terlihat pada Gambar 7(c).
Pada Gambar tersebut terlihat bahwa nilai koefisien korelasi tertinggi terdapat pada produk citra satelit
CMORPH di wilayah Nunukan sebesar 0,6053 dan nilai koefisien korelasi terendah terdapat pada produk
citra satelit GSMaP di wilayah Longbawan sebesar 0,1624.Gambar 7(d) menunjukkan nilai koefisien
korelasi pada skala waktu tiga bulanan. Nilai koefisien korelasi produk citra satelit tertinggi dan terendah
yaitu pada produk citra satelit CMORPH dengan nilai koefisien korelasinya masing-masing yaitu sebesar
0,61309 pada wilayah Nunukan dan 0,0098 pada wilayah Longbawan.
3.2.1 Berdasarkan Kategori Ekstrim
Berdasarkan peraturan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Nomor: Kep.009 Tahun
2009 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi
Informasi Cuaca Ekstrim, hujan lebat yang memiliki intensitas paling rendah 50 mm/hari dan/atau 20
mm/jam termasuk dalam kategori cuaca ekstrim. Nilai validasi statistik pada beberapa lokasi dan produk
citra satelit tertentu dapat dilihat pada Tabel 2.
-379-
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
(Abdurahman, dkk.)
Tabel 2. Validasi stastistik data produk citra satelit dan data Observasi pada kejadian cuaca ekstrim
(hujan lebat ≥ 50 mm) periode tahun 2009-2015
Validasi
Lokasi
Tarakan
Tanjung Selor
Nunukan
Longbawan
CHIRPS
-47,48
-54,57
-51,46
-48,51
Root Mean
Square Error
(RMSE)
Tarakan
Tanjung Selor
Nunukan
Longbawan
53,79
60,17
58,22
53,19
50,58
63,75
54,44
54,07
58,10
62,90
60,05
54,86
Mean Absolute
Error (MAE)
Tarakan
Tanjung Selor
Nunukan
Longbawan
47,90
54,57
51,46
48,51
44,48
58,93
45,61
50,19
52,00
58,23
52,84
49,86
Correlation
Coefficient (CC)
Tarakan
Tanjung Selor
Nunukan
Longbawan
0,10
-0,11
-0,12
0,15
0,24
-0,05
-0,05
0,13
0,02
-0,15
-0,07
0,02
Relative Bias
(BIAS)
Tarakan
Tanjung Selor
Nunukan
Longbawan
-0,66
-0,78
-0,75
-0,71
-0,58
-0,84
-0,61
-0,73
-0,70
-0,83
-0,77
-0,72
Mean Error
(ME)
CMORPH
-41,61
-58,45
-41,61
-50,19
GSMaP
-49,72
-57,58
-52,48
-49,43
Pada Tabel 2 terlihat nilai validasi statistikestimasi curah hujan produk citra satelit dan observasi pada
kejadian cuaca ektrim di lokasi stasiun. Pada wilayah Tarakan, produk citra satelit CMORPH memiliki nilai
korelasi paling besar dan nilai ME, RMSE, MAE, dan BIAS paling kecil jika dibandingkan dengan produk
citra satelit lainnya. Kondisi yang hampir sama terjadi pada wilayah Nunukan, perhitungan nilai ME, RMSE,
MAE, dan BIAS paling kecil jika dibandingkan dengan produk citra satelit CHIRPS dan GSMaP. Akan
tetapi, koefisien korelasi CMORPH pada wilayah Nunukan lebih rendah dari koefisien korelasi CHIRPS.
Pada wilayah Tanjung Selor, perhitungan nilai validasi statistik berdasarkan kejadian hujan lebat memiliki
nilai terbaik pada produk citra satelit CHIRPS. Walaupun estimasi curah hujan produk citra satelit GSMaP
memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi dari produk citra satelit lainnya, perhitungan nilai ME,
RMSE, MAE, dan BIAS pada produk citra satelit ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan CHIRPS. Di
wilayah Longbawan, validasi menggunakan data produk citra satelit GSMaP memiliki hasil yang kurang
baik jika dibandingkan dengan CHIRPS maupun CMORPH.
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum produk citra
satelit CMORPH, CHIRPS, maupun GSMaP memiliki hasil yang baik pada skala waktu harian. Tetapi,
estimasi curah hujan harian, dasarian, maupun bulanan CHIRPS diwilayah Longbawan memiliki nilai yang
kurang baik jika dibandingkan dengan produk citra satelit lainnya. Pada skala waktu dasarian, bulanan,
ataupun tiga bulanan, CHIRPS memiliki nilai lebih baik dibandingkan CMORPH dan GSMaP dalam
estimasi curah hujan diwilayah Tarakan, Tanjung Selor, dan Nunukan. Dalam estimasi curah hujan harian
pada saat kejadian hujan ≥ 50 mm/hari, produk citra satelit CMORPH pada lokasi penelitian Tarakan lebih
baik dibandingkan produk citra satelit lainnya.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pegawai Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) di Provinsi Kalimantan Utara yang terlibat dalam ketersediaannya data pengamatan curah hujan
yang terdapat pada penelitian ini.
-380-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
DAFTAR PUSTAKA
Funk,C., Peterson,P., Landsfeld,M., Pedreros,D., Verdin,J., Rowland,J., Romero,B., Husak,G., Michaelsen,J., dan
Verdin,A., (2014). A quasi-global precipitation time series for drought monitoring. U.S. Geological Survey Data
Series,http://dx.doi.org/10.3133/ds832
Joyce, R.J., Janowiak, J.E., Arkin, P.A., dan Xie,P., (2004). CMORPH: A Method that Produces Global Precipitation
Estimates from Passive Microwave and Infrared Data at High Spatial and Temporal Resolution. Journal of
Hydrometeorology, 5:487-503.
Khan, S.I., Hong,Y., Gourley.J.J., Khattak, M.U.K., Yong, B., dan Vergara,H.J., (2014). Evaluation of three highresolution satellite precipitation estimates: Potential for monsoon monitoring over Pakistan. Advances in Space
Research, 54:670–684.
Pribadi, Y.H., (2012). Variabilitas Curah Hujan dan Pergeseran Musim Di Wilayah Banten Sehubungan Dengan Variasi
Suhu Muka Laut Perairan Indonesia, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Tesis, Program Magister Ilmu
Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok.
Okamoto,K., Iguchi,T., Takahashi,N., Iwanami,K., dan Ushio,T. (2005).The Global Satellite Mapping of Precipitation
(GSMaP) project. Proc. of IGARSS 2005, 3414-3416.
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.CPC/.CMORPH /.daily/.mean/.morphed/
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily-improved/.global/.0p05/
ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/realtime/daily/00Z-23Z/
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
:
:
Pemakalah
Diskusi :
:
Kuncoro Teguh Setiawan
Validasi Estimasi Berbagai Skala Waktu Curah Hujan Produk Satelit untuk
Topografi yang Beragam di Provinsi Kalimantan Utara
Abdur Rahman (Bappeda Kab. Sleman)
Pertanyaan: Amsari Mudzakir Setiawan (IPB)
Data QMORPH diambil dari apa ?Apakah hasil yang sama untuk setiap skala waktu baik yang ekstrim
maupun yang biasa ?
Jawaban:
Data QMORPH diambil dari sumber JAXA Jepang. Ya hasilnya sama untuk setiap skala waktu baik yang
ekstrim maupun yang biasa.
Pertanyaan: Kuncoro Teguh Setiawan (LAPAN)
Apakah pengambilan data-data dari waktu yang sama? Bagaimana pengaruh resolusi satelit?
Jawaban:
Ya dari waktu yang sama yaitu tahun 2009.Resolusi GSMAP 0.25, QMORPH 0.25 dan CHIPS 0.5. Pada
penelitian ini menggunakan metode rata-rata untuk mengatasi perbedaan resolusi satelit.
-381-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit
(Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015)
MCS Detection Using Lightning Recording and Satellite Imagery
(Case Study: MCS in Bali RegionDate 9th-10th March 2015)
I Putu Dedy Pratama1*) dan Pande Komang Gede Arta Negara2
1
2
Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar - BMKG
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK –Salah satu indikasi dari adanya MCS (Mesoscale Convective System) adalah kemunculan sambaran petir
CG+ (Cloud to Ground Positive) dalam jumlah yang sangat banyak pada daerah stratiform. Pada tanggal 9-10 Maret
2015 Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar mencatat rekaman CG+ 99.387
sambaran dan rekaman CG- sebanyak 70.034 sambaran. Jumlah sambaran CG- umumnya lebih banyak daripada
sambaran CG+ karena pada awan cumulonimbus umumnya muatan positif lebih banyak berada pada atas awan dan
muatan negatif berkumpul pada bagian dasar awan. Hal ini merupakan indikasi adanya MCS pada wilayah Bali dan
sekitarnya pada tanggal tersebut dan area Bali berada pada daerah stratiform dari MCS. Tujuan dari penulisan ini adalah
membandingkan antara data rekaman CG+ dengan gambar citra satelit NOAA (18 dan 19) dan MTSAT sebagai validasi
kejadian MCS di sekitar daerah Bali. Dari gambar citra satelit terlihat adanya kumpulan awan di wilayah Bali. Kejadian
MCS ini berkaitan dengan pola tekanan rendah di Laut Coral yang menimbulkan Siklon Tropis Nathan yang terbentuk
pada 10 Maret 2015.
Kata kunci:MCS, Lightning Detector, CG+, stratiform, citra satelit
ABSTRACT -One indication of the MCS (Mesoscale Convective System) is the lightning occurrence of +CG (positive
cloud to ground) in the stratiform region. On 9th-10th March 2015Lightning Detector installed in Geophysical Station
Sanglah Denpasar recorded 99.387 strikes of CG+ and 70.034 strikes of CG-. Number CG- lightning strikes are
generally more than CG+ because the cumulonimbus clouds generally have more positive charges gather in the top of
the clouds and negative chargse gatherin the base of the clouds.This is an indication of MCS in Bali and surrounding
area on that date and Bali region is in the stratiform region of MCS.The purpose of this paper is to compare between
the data recording CG+ with images of NOAA satellite imagery (18 and 19) and MTSAT as a validation of MCS event
around Bali region. From satellite imagery data, we can see the a number of clouds over Bali region. MCS incident is
related to the pattern of low pressure in the Coral Sea which raises Tropical Cyclone Nathan formed on 10thMarch
2015.
Keywords: MCS, Lightning Detector, CG+, stratiform, satellite imagery
1.
PENDAHULUAN
Mesoscale Convective Systems(MCS)merupakan suatu sistem awan guruh terbesar yang memiliki daerah
konvektif dan stratiform dalam satu awan yang kompleks(Hodapp, 2007).MCS mampu menyebar mencapai
lebih dari 100 km secara horizontal dan mempunyai masa hidup mencapai sekitar 10 jam (Houze, 2004).
MacGorman dan Morgenstern (1998) mendefinisikan MCS sebagai sistem badai yang berumur panjang
yang merupakan gabungan dari badai-badai kecil yang saling berinteraksi dengan lingkungan lokal. MCS
juga berperan dalam beberapa kejadian curah hujan tinggi dan sebagian besar cuaca buruk (Maddox, 1980).
Selain menimbulkan dampak cuaca buruk, MCS juga membangkitkan sambaran petir yang sangat tinggi.
Sifat petir dari MCS telah menjadi pusat perhatian banyak penelitian dimana sebagian besar memfokuskan
penelitian pada petir jenis awan ke tanah (cloud-to-ground (CG))yang dikaitkan dengan citra radar atau
satelit (Mattos dan Machado, 2011; Correoso dkk., 2006).
Salah satu indikasi dari kemunculan MCS adalah kejadian petir CG+ pada daerah stratiform. Rutledge
dan MacGorman (1988), telah mencatat pola horizontal yang berbeda dari petir CG dalam garis badai
dimana sebagian besar sambaran CG- terjadi dalam daerah konvektif (bipole) dansambaran petir CG+
sebagian besar terjadi pada daerah stratiform. Sebagian besar dari penelitian menyatakan bahwa MCS
menghasilkan persentase sambaran CG+ yang lebih tinggi (MacGorman dan Morgenstern, 1998; Parker
dkk., 2001).
-382-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D., dkk)
Bali termasuk dalam Kepulauan Indonesia yang merupakan wilayah benua maritim karena sebagian
besar terdiri atas lautan. Wilayah benua maritim ini mencakup Indonesia, Filipina, dan Papua Nugini.
Terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, benua maritim berada di wilayah lautan hangat
yang dikenal sebagai Kolam Hangat Tropis. Wilayah benua maritim merupakan wilayah yang paling sering
terjadi MCS dibandingkan dengan daerah Samudera Hindia, Pasifik Barat, dan Zona Konvergen Pasifik
Selatan (Virts dan Houze, 2015).
Pada tanggal 9-10 Maret 2015 Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar
mencatat rekaman CG+ 99.387 sambaran dan rekaman CG- sebanyak 70.034 sambaran. Tingginya sambaran
petir baik CG+ dan CG- pada dua hari tersebut merupakan kejadian sambaran tertinggi pada bulan Maret
2015. Terjadi anomali dimana CG+ lebih banyak daripada CG- pada dua hari tersebut mengindikasikan
kejadian MCS di sekitar daerah Bali. Selain itu adanya Siklon Tropis Nathan di Laut Coral yang terbentuk
pada 10 Maret 2015 mengindikasikan tingginya pertumbuhan awan di daerah Bali.
Kajian terhadap kejadian petir CG+ terkait keberadaan MCS merupakan topik kajian yang menarik dan
relatif baru untuk studi di Indonesia (Kurniawan dan Pratama, 2014). Hal ini karena pada umumnya
pengetahuan mengenai MCS serta mekanisme dan penyebab petir CG+ masih sangat kurang dan masih
relatif baru di Indonesia. Fenomena petir CG+ terkait keberadaan MCS merupakan suatu sistem yang sangat
kompleks sehingga sulit untuk dianalisis. Berangkat dari pemikiran tersebut maka pemanfaatan Lightning
Detector dan citra satelit cuaca dalam menganalisis kejadian petir diharapkan dapat membantu dalam
menganalisis kejadian sambaran petir di Bali.
Untuk memastikan apakah kejadian anomali jumlah CG+ yang lebih banyak daripada CG- pada dua hari
tersebut perlu dibuat perbandingan secara spasial dan temporal. Untuk itu perlu data pembanding yaitu citra
satelit untuk memplot lokasi dan waktu sambaran kejadian petir CG+ maksimum yang di-overlay dengan
data citra satelit.
2.
METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sambaran petir jenis CG pada tanggal 9 dan 10
Maret 2015 yang terekam pada sensor Boltek Storm Tracker yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah
Denpasar. Koordinat sensor berada pada 8,68o LS dan 115,21o BT. Sebagai data pendukung digunakan data
citra satelit perjam dari Multifunctional Transport Satellites (MTSAT) yang diperoleh dari halaman web
BMKG. Selain itu juga digunakan data citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA) 18 dan 19 yang diterima oleh Ground Satellite Receiver (GSR) NOAA yang juga terpasang di
Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar.
Pengolahan data petir menggunakan perangkat lunak Lightning/2000. Tahapan pengolahannya adalah
dengan mengubah rekaman alat dari format .ldc menjadi .kml kemudan dikonversi menjadi format .csv
dengan Microsoft Excel 2007. Data format .csv ini kemudian dipetakan dengan Surfer 12 selanjutnya
diperoleh sebaran petir untuk wilayah Bali. Data format .csv ini dibuat grafik secara temporal perjam untuk
kejadian sambaran tanggal 9 dan 10 Maret 2015 untuk mengetahui waktu puncak kejadian sambaran CG+
dan CG-. Kemudian dilakukan pemisahan antara CG+ dan CG- untuk memetakan sambaran CG+ sehingga
diketahui lokasi sambaran CG+ terhadap sebaran awan yang diperoleh dari citra satelit MTSAT dan NOAA.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil rekaman sambaran petir pada bulan Maret 2015 menunjukan suatu anomali pada dua tanggal yaitu 9
dan 10 Maret 2015. Dalam dua hari berurutan tersebut jumlah sambaran CG sangat jauh dibandingkan
dengan tanggal yang lain di bulan yang sama. Selain itu, nilai rasio perbandingan antara sambaran dan
kilatan petir menunjukan rasio yang sangat signifikan pada dua hari tersebut (Gambar 1).
Satu kilatan petir dapat menimbulkan beberapa sambaran. Perbedaan yang paling signifikan ditunjukan
dengan tingginya jumlah sambaran CG+ dibandingkan dengan kilatannya. Petir CG+ yang terjadi pada
stratiform mengakibatkan sambaran petir berbentuk seperti jaring laba-laba (Liu dkk., 2011). Hal ini
ditunjukan dari rasio antara sambaran kilatan CG+ dan sambaran CG+ dimana dengan jumlah kilatan yang
sedikit dapat menimbulkan sambaran yang banyak.
-383-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D. dan Negara, P. K. G.A.)
Gambar 1. Grafik Rasio Jumlah Sambaran Terhadap Kilatan Petir CG Bulan Maret 2015
Pada tanggal 9 Maret 2015, puncak sambaran CG+ terjadi pada pukul 02:59:22 WITA dengan catatan
sambaran mencapai 106 kali sambaran. Pada tanggal 10 Maret 2015 puncak sambaran CG+ terjadi pada
pukul 01:48:00 WITA yang mencapai 107 kali sambaran. Puncak kejadian sambaran CG+ diawali dengan
peningkatan sambaran CG- kemudian saat sambaran CG- telah melewati fase puncak CG+ semakin
meningkat hingga melewati jumlah sambaran CG-. Adanya fase disipasi yang didominasi oleh pergerakan
massa udara turun dari awan cumulonimbus meningkatkan jumlah sambaran CG+. Hal ini karena muatan
positif pada awan cumulonimbus umumnya berkumpul pada puncak awan.
Gambar 2. Grafik Perbandingan Jumlah Sambaran CG+ dan CG- Tanggal 9 Maret 2015 (Kiri) dan 10 Maret 2015
(Kanan)
Hasil penelitian ini sesuai dengan Correoso, dkk. (2006) yang menyatakan bahwa sambaran petir CG+
umumnya mencapai maksimum setelah puncak CG-. Gambar 1 menunjukan bahwa sambaran CG positif
lebih tinggi setelah CG- mencapai puncaknya dan selanjutnya berkurang. Kedua kejadian petir terjadi pada
dini hari. Hal ini disebabkan oleh proses pembentukan MCS pada wilayah perairan memerlukan waktu dari
proses pemanasan muka laut hingga pengangkatan udara ke atas dan pembentukan daerah stratiform.
Proses ionisasi pada awan cumulonimbus mengakibatkan adanya muatan dipole pada awan. Awan dengan
muatan positif berada pada puncak awan dan awan dengan muatan negatif berada pada dasar awan. Oleh
karena itu pada saat pergerakan naik pada proses pembentukan MCS didominasi oleh petir CG-. Ketika awan
semakin membesar dan membentuk stratiform sambaran CG+ semakin meningkat. Semakin luas wilayah
stratiform maka semakin meningkat persentase sambaran CG+ (Liu dkk., 2011). Kemudian sambaran CG+
akan mencapai maksimum saat proses musnahnya MCS.
Terdapat kesulitan dalam mendeteksi wilayah stratiform disebabkan oleh heterogenitas substansial (Lang,
dkk., 2011). Oleh karena itu, diperlukan overlay data antara citra satelit dan petir CG+ (Gambar 3 dan 4).
Dalam proses dipole muatan pada awan cumulonimbus, muatan positif awan akan terkumpul pada bagian
puncak awan. Kemudian, saat pembentukan stratiform muatan positif akan ikut menyebar secara horizontal.
-384-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D., dkk)
Gambar 3. Citra Satelit MTSAT IR Enhance Pukul 02:00 WITA Tanggal 9 Maret 2015 (kiri) dan 10 Maret 2015
(kanan) yang di-overlay dengan Sambaran Petir CG+ (tanda positif hitam)
Puncak kejadian CG+ dijadikan acuan untuk memilih waktu citra satelit MTSAT IR Enhance (Gambar 3)
dengan data sambaran CG selama dua jam. Hasil overlay sambaran petir tanggal 9 Maret 2015 menunjukan
sebaran petir berada di barat daya dan barat laut Pulau Bali. Sebaran signifikan yang menunjukan kejadian
MCS adalah pada lokasi barat daya dimana terdapat awan dengan suhu puncak di bawah -40oC. Sedangkan
untuk kejadian tanggal 10 Maret 2015 dini hari sebaran petir berada di atas pulau Bali dengan sebaran
mencapai bagian utara dan tenggara. Terdapat kumpulan CG+ di wilayah tepian awan di bagian barat laut
dan tenggara.
Menurut Correoso, dkk. (2006) sebagian besar sambaran petir CG yang berhubungan dengan MCS terjadi
sebelum sistem mencapai ukuran maksimum yaitu perisai maksimum awan dalam isoterm kecerahan -52,8oC
dan tingkat sambaran puncak CG+ sedikit. Menggunakan data rekaman CG+ dengan sinyal radio frekuensi
rendah dapat digunakan untuk mendeteksi MCS. Hal ini sesuai dengan penggunaan alat Lightning Detector
yang terpasang di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar.
Gambar 4. Citra Satelit NOAA Tanggal 9 Maret 2015 Pukul 02:49 WITA (kiri) dan 10 Maret 2015 Pukul 02:37
WITA (kanan) yang di-overlay dengan Sambaran Petir CG+ (tanda positif hitam)
Berdasarkan hasil overlay sambaran CG+ dengan citra satelit NOAA (Gambar 4) diperoleh hasil bahwa
sambaran CG+ terjadi pada stratiform awan yang terdeteksi sebagai “Layer Cloud” pada citra klasifikasi
awan NOAA. Lokasi sambaran tidak tepat berada pada awan cumulonimbus (titik merah) karena kejadian
CG+ lebih banyak terjadi pada daerah stratiform.
Pada kejadian tanggal 9 Maret 2015 dini hari, lokasi pusat MCS berada pada daerah tenggara dan barat
daya Pulau Bali. Titik merah mengindikasikan lokasi awan cumulonimbus sebagai pusat dari MCS. Sebaran
CG+ yang berhasil dideteksi merupakan wilayah stratiform. Sebaran petir yang membentuk garis berarah
-385-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D. dan Negara, P. K. G.A.)
barat laut – tenggara di atas Pulau Bali mengindikasikan kejadian lokal pada daerah tersebut karena terpisah
dengan stratiform baik pada citra satelit MTSAT dan NOAA.
Pada kejadian tanggal 10 Maret 2015 dini hari sebaran petir sebagian besar membentuk kumpulan.
terdapat tiga kelompok petir yaitu di wilayah barat laut, tenggara, dan di atas Pulau Bali. Jika dilihat pada
Gambar 4, sebaran awan cumulonimbus berada pada barat laut dan barat daya Pulau Bali. Jadi terdapat dua
pusat MCS pada kejadian tanggal 10 Maret 2015 dimana MCS pertama berada di barat laut Pulau Bali yang
stratiformnnya mencapai atas Pulau Bali. Sedangkan MCS kedua berada di barat daya pulau bali yang
menimbulkan stratiform menyembar sepanjang selatan Pulau Bali. Namun, untuk kejadian ini sambaran
CG+ hanya terdeteksi pada bagian tenggara Pulau Bali saja.
Proses dipole dari awan konvektif menyebabkan muatan positif berkumpul di bagian atas awan
cumulonimbus yang dikenal sebagai daerah stratiform. Seluruh sambaran ini berasal dari daerah konvektif
dan menyebar secara horizontal sekitar puluhan hingga ratusan kilometer dalam daerah stratiform dan
sambaran petir CG+ terjadi di bawah wilayah stratiform (Lu, G., dkk., 2009). Peningkatan luasan stratiform
meningkatkan jumlah sambaran CG+ (Azambuja, R. R. dkk., 2014).
Tekanan rendah di wilayah selatan yang membangkitkan Siklon Tropis Nathan pada 10 Maret 2015
memicu cuaca buruk di sekitar Pulau Bali. Kondisi ini membuat munculnya MCS di sekitar Pulau Bali.
Percobaan numerik oleh Yamasaki (2013) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara klaster awan dengan
kejadian siklon tropis. Kumpulan-kumpulan klaster awan ini kemudian berkumpul pada suatu tekanan
membentuk siklon tropis.
4.
KESIMPULAN
Perbedaan siginfikan rasio CG+ mengindikasikan adanya kejadian MCS di sekitar Bali. MCS dapat
dideteksi menggunakan rekaman CG+ oleh sensor Boltek Storm Tracker. Indikasi ini di-overlay dengan citra
satelit MTSAT dan NOAA untuk mengetahui lokasi sebaran CG+ sehingga dapat diketahui bahwa sebaran
tersebut berada pada wilayah stratiform.
Adanya beberapa MCS di wilayah Bali pada tanggal 9 dan 10 Maret 2015 sangat berkaitan dengan
kejadian Siklon Tropis Nathan yang muncul pada 10 Maret 2015. Klaster-klaster MCS pada tanggal 9 Maret
215 berkaitan dengan tumbuhnya Siklon Tropis Nathan keesokan harinya.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pegawai fungsional PMG di Stasiun Geofisika Sanglah
Denpasar atas pengumpulan data dan diskusi dalam pembuatan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Azambuja, R.R., Zepka, G.S., Vargas Jr.V.R., dan Pinto Jr.O., (2014). Lightning Activity in Mesoscale Convective
System associated with Different Synoptic Situations over Southern South America. Paper presented at the 23rd
International Lightning Detection Conference, 18 – 19 Mare 2014, Tucson, Arizona, USA.
Correoso, J.F., Hernandez, E., Garcia-Herrera, R., Barriopedro, D., dan Paredes, D., (2006). A 3-year Study of Cloudto-ground Lightning Flash Characteristics of Mesoscale Convective Systems Over the Wetern Mediterranean Sea.
Atmospheric Research 79 doi:10.1016/j.atmosres.2005.05.002, 89-107
Hodapp, C.L. (2007). The Evolution Of Total Lightning And Radar Reflectivity Characteristics Of Two Mesoscale
Convective Systems Over Houston, Texas. (Thesis, Major Subject Atmospheric Sciences), Texas A&M University,
Texas.
Kurniawan, P.M.R., dan Pratama, I.P.D. (2014). Kejadian Petir Jenis CG+ Di Bali Akibat Mesoscale Convective
System (MCS). Prosiding Bidang MIPA BKS-PTN-BARAT, ISBN 978-602-70491-0-9, 384-389, Bogor, Indonesia.
Lang, T.J., Li, J., Lyons, W.A., Cummer, S.A., Rutledge, S.A., dan MacGorman, D.R., (2011). Transient luminous
events above two mesoscale convective systems: Charge moment change analysis. J. Geophys. Res., 116, A10306,
doi:10.1029/2011JA016758.
Liu, D., Qie, X., Xiong, Y., dan Feng, G. (2011). Evolution of the Total Lightning Activity in a Leading-Lineand
Trailing Stratiform Mesoscale ConvectiveSystem over Beijing. Advances in Atmospheric Sciences, 28(4):866-878
Lu, G., dkk. (2010).Lightning Mapping Observation of a Terrestrial Gamma-ray Flash, Geophys. Res. Lett., 37, L11806,
doi:10.1029/ 2010GL043494.
MacGorman, R.D., Morgenstern, C.D. (1998). Some Characteristics Of Cloud-To-Ground Lightning In Mesoscale
Convective Systems. J. Geophys. Res. 103:14011– 14023.
Maddox, R.A., (1980). Mesoscale Convective Complexes. Bull. Amer. Meteorol. Soc., 61:1374-1387
Mattos, E.V., dan Machado, L.A.T. (2011). Cloud-to-ground lightning and Mesoscale Convective Systems.
Atmospheric Research 99 doi:10.1016/j.atmosres.2010.11.007, 377-390
Parker, M.D., Rutledge, S.A., dan Johnson, R.H. (2001). Cloud-to-Ground Lightning in Linear Mesoscale Convective
Systems. Mon. Weather Rev. 129:1232–1242.
-386-
Mendeteksi MCS Menggunakan Data Lightning Detector dan Citra Satelit (Studi Kasus: MCS di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret
2015) (Pratama, I P. D., dkk)
Virts, K.S. dan Houze Jr.,R.A., (2015). Variation of Lightning and Convective Rain Fraction in Mesoscale Convective
System of the MJO. Journal of the Atmospheric Sicences 72doi: http://dx.doi.org/10.1175/JAS-D-14-0201.1, 19321944
Yamasaki, M., (2013). Toward an Understanding of Tropical Cyclone Formation with a Nonhydrostatic, MesoscaleConvection-Resolving Model. The Open Atmospheric Science Journal 7, 37-50
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Mendeteksi Mcs Menggunakan Data Lightning Detector Dan Citra Satelit (Studi Kasus:
MCS Di Daerah Bali Tanggal 9-10 Maret 2015)
: I Putu Dedy Pratama (Bmkg)
:
Tidak ada diskusi.
-387-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat
Jabodetabek Menggunakan Data Satelit
Identification of Mesoscale Convective Complexes Systems Trigerring Heavy
Rainfall over Greater Jakarta using Satellite Data
Danang Eko Nuryanto1,2*), Hidayat Pawitan2, Rahmat Hidayat2, dan Edvin Aldrian1
1
Departement Geophysics and Meteorology, FMIPA Bogor Agricultural University,
Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, West Java, Indonesia
2
Research and Development Center, The Indonesian Agency for Meteorology Climatology and Geophysics,
Jl Angkasa I No 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720, Indonesia
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Suatu sistem awan konvektif besar, lama hidupnya dan menunjukkan bentuk awan mendekati lingkaran
disebut sistem mesoscale convective complexes (MCC). Sistem ini menghasilkan beragam cuaca buruk misalnya hujan
lebat. Pada 15 Januari 2013, Jakarta mengalami kejadian hujan lebat yang luarbiasa. Pada penelitian ini, diselidiki
propagasi sistem MCC tersebut yang memicu hujan lebat di kawasan JABODETABEK, menggunakan data pengamatan
satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R dan data sinoptik. Sistem tesebut terbentuk dari tengah malam
14 Januari hingga pagi 15 Januari, dan diperkuat oleh pengaruh angin baratan lapisan bawah. Ada dua sistem konvektif
yang terbentuk pada 14 -15 Januari. Pertama, sistem konvektif terbentuk pada siang hari tanggal 14 Januari 2013 di
utara JABODETABEK di atas Laut Jawa, dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Kedua, sistem
konvektif yang terbentuk pada tengah malam tanggal 14 Januari di atas Sumatera dan berpropagasi ke arah Tenggara
melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari tanggal 15 Januari 2013. Sistem konvektif
kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan JABODETABEK pada 04.00 WIB.
Kata kunci: sistem mesoscale convective complexes, hujan lebat, jabodetabek
ABSTRACT - A convective cloud system that large, long lived, and exhibits a quasi-circular cloud shield could be
called a mesoscale convective complexes (MCC) system. These systems produce a wide variety of severe convective
weather such as heavy rainfall. On 15 January 2013, Jakarta experienced an extraordinary heavy rainfall event. In this
study, we examined the propagation of the convective complexes system that trigering heavy rainfall occurred in the
Great Jakarta area, using observations from the Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R and the synoptic
data. The convective complexes system developed from midnight on 14 January until the morning of 15 January, and it
was intensified by the influence of low-level westerly winds. There are two convective systems developed during 14 – 15
January. First a convective system was generated during the daytime of 14 January 2013 of the northern Great Jakarta
over Java Sea, and they propagate to the Northeast of Java Sea. Second a convective system was generated during the
nighttime of 14 January 2013 of over Sumatera, and they propagate to the Southeast through the Java Sea until the
northern coast of Great Jakarta the morning of 15 January 2015. The second convective systems give heavy rainfall up
to 10 mm h−1 average over the Great Jakarta area at 04.00 LT.
Keywords: mesoscale convective complexes systems, heavy rainfall, jabodetabek
1.
PENDAHULUAN
Istilah mesoscale convective complexes(MCC) dapat didefinisikan sebagai sistem awan konvektif yang
besar, berumur lama dan menunjukkan tutupan awan cenderung berbentuk lingkaran. MCC merupakan salah
satu mesoscale convective systems (MCS) terbesar yang dapat diidentifikasi berdasarkan kriteria Maddox.
Fenomena MCC pertama kali diteliti oleh Maddox 1980 berdasarkan ciri-ciri yang ditunjukkan citra satelit
infrared kanal 1 (IR1) di Amerika Serikat bagian Tengah selama 1978, hasilnya ditemukan bahwa fenomena
MCC ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan fenomena-fenomena cuaca skala meso yang
lain. Sehingga Maddox membuat batasan dan definisi umum dari MCC, antara lain: memiliki inti awan
dengan suhu puncak awan lebih kecil atau sama dengan -52oC dengan area lebih besar atau sama dengan
50.000 km2, memiliki selimut awan dengan suhu puncak awan lebih kecil atau sama dengan -32oC dengan
luasan area lebih besar atau sama dengan 100.000 km2 dan cenderung berbentuk lingkaran dengan masa
hidup lebih besar atau sama dengan 6 jam, dan yang terakhir selimut awan harus mempunyai tingkat
kelonjongan (eccentrisity) = 0.7 saat luasan areanya mencapai maksimum.
-388-
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
Sistem MCC dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox 1980; Fritsch
dkk.., 1986; McAnelly dan Cotton 1989) tapi juga menghasilkan curah hujan yang intens di atas wilayah
hujan yang luas (Blamey dan Reason, 2013). MCC yang terjadi di Lautan Hindia juga diketahui telah
menyebabkan curah hujan deras di pantai barat Sumatera pada tanggal 28 Oktober 2007 (Trismidianto dkk.,
2016). Hujan seperti ini dapat menyebabkan banjir diberbagai tempat, misalnya: Amerika Serikat (Maddox,
1981), Amerika Selatan (Durkee dan Mote, 2009), dan Asia Timur (Chen dan Li, 1995). Hasil penelitian
Durkee dkk. (2009) juga menunjukkan secara substansi kontribusi MCC terhadap total curah hujan
sepanjang subtropik Amerika Selatan, dimana MCC mempunyai peran penting dalam anomali curah hujan
musim panas. Secara rata-rata MCC di Amerika Selatan mendistribusikan 15.7 mm curah hujan sepanjang
381.000 km2, menghasilkan volume 7.0 km3. Sedangkan sistem MCC di Benua Maritim Indonesia hanya
muncul di Kalimantan, Papua dan wilayah utara Australia (Miller dan Fritsch, 1991).
Demikian halnya fenomena banjir pada beberapa wilayah di Indonesia menjadi telah perhatian banyak
pihak mengingat terkait dengan kenyamanan bertempat tinggal. Semakin sering terjadinya banjir pada
musim hujan ini ditunjukkan dengan peningkatan frekuensi kejadian banjir tersebut disaat hujan lebat.
Ketika bencana banjir sering terjadi tentunya akan menimbulkan permasalahan turunan lainnya, misalnya
pengungsian penduduk, gangguan kesehatan, adanya korban jiwa hingga terganggunya aktivitas ekonomi di
suatu wilayah dampak banjir. Berdasarkan data yang dihimpun BNPB (2016) selama kurun waktu 1985 –
2015 telah terjadi 6.229 kejadian banjir di wilayah BMI. Sedangkan wilayah JABODETABEK sebagai salah
satu tujuan kaum urban dalam beberapa dekade terakhir mengalami permasalahan banjir. Jika musim hujan
tiba maka masalah banjir akan menjadi topik utama di wilayah JABODETABEK. Hal ini terlihat nyata pada
beberapa banjir dasawarsa tahun terakhir di JABODETABEK telah melumpuhkan perekonomian.
Permasalahan hujan lebat tersebut sudah dikaji oleh beberapa peneliti yang bertepatan dengan kejadian
banjir di JABODETABEK. Hujan lebat di JABODETABEK pada Januari – Februari 2007 terkait dengan
kejadian cold surge dari Borneo vortex (Trilaksono dkk., 2012). Selanjutnya hujan lebat di JABODETABEK
bulan Januari – Februari 2010 terkait dengan penguatan angin laut yang paralel dengan aliran Sungai
Ciliwung (Sulityowati et al., 2014). Sedangkan hujan lebat di JABODETABEK bulan Januari 2013 terkait
dengan fase aktif Madden Julian Oscillation (MJO) (Wu dkk., 2013). Penelitian terbaru tentang hujan lebat
di JABODETABEK bulan Januari 2014 memberikan bukti bahwa jumlah curah hujan maksimum tahunan
tahun 2014 mempunyai kemiripan dengan jumlah curah hujan harian dan dua harian pada 115 tahun terakhir
(Siswanto dkk., 2015). Berdasarkan hasil kajian sebelumnya (Trilaksono dkk., 2012; Wu dkk., 2013;
Sulityowati dkk., 2014; Siswanto dkk., 2015) menunjukkan bahwa saat kejadian banjir di JABODETABEK
terjadi hujan lebat dengan berbagai faktor yang menyebabkannya. Dalam penelitian tersebut belum
disinggung sistem awan konvektif yang terjadi pada saat kejadian hujan lebat tersebut. Artinya belum ada
penelitian yang mengindikasikan adanya banjir tersebut akibat hujan lebat yang terkait dengan kejadian
MCC.
Penelitian ini ditekankan pada fakta adanya curah hujan lebat yang berpotensi mengakibatkan banjir,
dimana curah hujan lebat yang demikian memiliki karakter durasi lama dan area yang luas. Curah hujan lebat
yang memiliki karakter tersebut dihasilkan dari sistem awan-awan konvektif dengan durasi lama dan area
juga luas. Sistem awan konvektif yang demikian dikenal dengan MCC seperti yang diuraikan
sebelumnya.Pada paper ini dilakukan identifikasi sistem MCC yang memicu terjadinya hujan lebat di
kawasan JABODETABEK menggunakan data satelit. Adanya fakta curah hujan lebat pada tanggal 15
Januari 2013 menarik untuk dipelajari apakah ada kaitannya dengan sistem awan yang disebut MCC ataukah
ada sistem lain yang menyebabkannya.
2.
METODE
Data awan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan hasil citra satelit Multi-functional
Transport SATellite (MTSAT), citra suhu IR dengan kanal IR1 dengan panjang gelombang 11 µm yang
menunjukkan suhu permukaan tanah, permukaan laut atau puncak awan di atasnya. Data yang dipergunakan
mempunyai resolusi horizontal 0.08 x 0.08 derajat dan resolusi temporat jam-jaman yang dapat di akses pada
http://database.rish.kyoto-u.ac.jp/arch/ctop/index_e.html (Hamada & Nishi, 2010). Pada IR1 emisivitas tipe
awan mendekati satu kecuali awan cirrus. Sehingga tingkat kecerahan citra yang dideteksi satelit sebanding
dengan suhu sesungguhnya pada puncak awan selain awan cirrus (Adler dan Negri, 1988).Sedangkan untuk
verifikasi kejadian hujan lebat digunakan data pengamatan curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data curah hujan dari titik stasiun pengamatan sekitar JABODETABEK antara lain: Cengkareng,
Serang, Curug, Tanjung Priok, Kemayoran dan Citeko yang dihimpun oleh BMKG (Gambar 1). Wilayah
studi dapat diperhatikan pada Gambar 1, dengan kotak merah merupakan wilayah JABODETABEK sebagai
wilayah yang terdampak dengan curah hujan lebat.
-389-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. Wilayah studi dalam penelitian dengan wilayah terdampak curah hujan lebat sekitar JABODETABEK
dengan kotak merah
Dalam Tabel 1 menunjukkan ambang batas minimal kriteria yang harus dipenuhi menurut beberapa
peneliti sebelumnya untuk dapat menyebutkan bahwa sistem itu merupakan MCC.Ambang batas minimal
kriteria tersebut awal mulanya diperkenalkan oleh Maddox (1980) yang selanjutnya oleh beberapa peneliti
mengalami beberapa modifikasi, dan modifikasi yang dilakukan adalah terkait dengan suhu puncak awan.
Teknik identifikasi MCC menggunakan definisi yang digunakan oleh Blamey & Reason(2012) ditunjukkan
pada Tabel 1. Secara umum data citra satelit IR1 yang mempunyai nilai suhu puncak awan dipilih yang
mempunyai nilai lebih kecil dari 221 K sebagai inti awan dingin (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai suhu
puncak awan tersebut selanjutnya nilainya diganti dengan “1” dan yang tidak memenuhi nilai gridnya diganti
dengan angka “0”, proses ini akan merubah data satelit yang sebelumnya dalam suhu (satuan Kelvin)
menjadi data biner. Data biner tersebut kemudian dicari luasan area yang memenuhi syarat suhu (piksel yang
mempunyai nilai “1”) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung dengan 4 koneksi grid
disekitarnya. Untuk menentukan luasan area tersebut jumlah grid piksel tersebut dikalikan dengan 78.8544
(artinya 1 grid data mewakili luasan 78.8544 km2. Seleksi selanjutnya hanya dipilih area yang memiliki
luasan IA ≥ 50.000 km². Selanjutnya mencari titik pusat dari area yang terpilih dari prosedur di atas. Titik
pusat ini merupakan pusat massa dari area yang saling terkoneksi. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan
dengan formula Carvhalo dan Jones (2001) menggunakan persamaan (1) berikut:
, dan
dimana:
Xiadalah posisi piksel ke-i pada sumbu X,
Yi adalah posisi piksel ke-i pada sumbu Y,
X0 dan Y0 adalah titik pusat dan
N adalah luasan area (total piksel).
-390-
..............................................(1)
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
Tabel 1. Ambang batas minimal kriteria yang harus dipenuhi menurut beberapa peneliti sebelumnya untuk dapat
menyebutkan bahwa sistem itu merupakan MCC
Karakteristik
Fisis
Suhu Puncak
Awan
Ukuran
Bentukeccentricity
Durasi
Inisiasi
Maksimum
Berakhir
Lokasi studi
Maddox (1980)
A ≤ 241 K
B ≤ 221 K
A  100000 km2
B  50000 km2
 0.7 pada saat
fase maksimum
 6 jam
Ketika
ukuran
dan suhu ambang
batas terpenuhi
pertama
Suhu
tutupan
awan ≤ 241 K
mencapai ukuran
maksimum
Definisi ukuran A
dan
B
tidak
terpenuhi lagi
AS tengah
Miller dan
Fritsch (1991)
≤ 217 K
 50000 km2
 0.7 pada saat
fase maksimum
 5 jam
Ketika ukuran
dan
suhu
ambang
batas
terpenuhi
Suhu
tutupan
awan ≤ 217 K
mencapai ukuran
maksimum
Definisi ukuran
tidak terpenuhi
lagi
Pasifik Barat
Laing dan Fritsch
(1993)
A ≤ 240 K
B ≤ 219 K
A  100000 km2
B  50000 km2
 0.7 pada saat
fase maksimum
 6 jam
Ketika
ukuran
dan suhu ambang
batas terpenuhi
pertama
Suhu
tutupan
awan ≤ 240 K
mencapai ukuran
maksimum
Definisi ukuran A
dan
B
tidak
terpenuhi lagi
Afrika Barat
Laurent dkk
(1998)
A ≤ 233 K
B ≤ 213 K
A  80000 km2
B  30000 km2
 0.7 pada saat
fase maksimum
 6 jam
Ketika
ukuran
dan suhu ambang
batas terpenuhi
pertama
Suhu
tutupan
awan ≤ 233 K
mencapai ukuran
maksimum
Ukuran definisi
A dan B tidak
terpenuhi lagi
Afrika Barat
Blamey dan
Reason (2012)
≤ 221 K
 50000 km2
 0.7 pada saat
fase maksimum
 6 jam
Ketika
ukuran
dan suhu ambang
batas terpenuhi
Suhu
tutupan
awan ≤ 221 K
mencapai ukuran
maksimum
Definisi ukuran
tidak terpenuhi
lagi
Afrika Selatan
Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai eksentrisitas ≥ 0.7, sehingga perlu
dilakukan terlebih dahulu pengujian terhadap suatu data biner contoh ideal MCC untuk memastikan batas
eksentrisitas tersebut (menggunakan persamaan 2, 3, 4, 5 dan 6). Pada penelitian ini nilai eksentrisitas ≤ 0.7
tetap digunakan untuk dilihat setiap kemungkinan sistem konvektif yang ada. Metode dikembangkan oleh
Machado et al (1998) pada prinsipnya menghitung sebaran tiap grid data (yang menjadi sistem awan) antara
sumbu x dan sumbu y. Prosesnya adalah pertama-tama dari sebaran grid sistem awan (xi,yi) dihitung
kecenderungan garis lurus dengan least square seluruh posisi piksel dalam sistem awan, garis ini menjadi
sumbu koordinat baru. Sedangkan proses selanjutnya dilakukan proyeksi masing-masing piksel lintang dan
piksel bujur kedalam koordinat baru (Machado et al, 1998):
…............................................(2)
...........................................................................(3)
...................................................(4)
...................................................(5)
.................................................................(6)
dimana:
 adalah eccentricity,
loniadalah posisi piksel dalam koordinat ke-i pada sumbu X,
lati adalah posisi piksel dalam koordinat ke-i pada sumbu Y,
xxi dan yyiadalahpanjang minimal dan panjang maksimal luasan awan dan
N adalah luasan area (total piksel).
Pada penelitian kali ini dilakukan plot suhu puncak awan yang direpresentasikan TBB dengan beberapa
definisi pada Tabel 1. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa perbedaan masing-masing definisi dalam
mendefinisikan MCC. Langkah selanjutnya menggunakan salah satu definisi terbaru, diambil Blamey dan
Reason (2012), untuk menghitung dan mengidentifikasi MCC. Setelah diperoleh beberapa kriteria MCC
hasil perhitungan lalu dilakukan penentuan apakah sistem tersebut termasuk dalam sistem MCC atau tidak
setelah di bandingkan dengan data curah hujan pada tanggal 14 – 15 Januari 2013 pada wilayah
JABODETABEK untuk melihat kontribusinya terhadap curah hujan lebat wilayah.
-391-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teridentifikasi ada dua sistem yang diduga MCC yang berperan dalam curah hujan lebat di
JABODETABEK tanggal 14 dan 15 Januari 2013 (Tabel 2). Pada Tabel 2 menunjukkan rangkuman kejadian
yang diduga MCC dengan tiga fase penting (awal, maksimum, akhir) berdasarkan kriteria Maddox (1980)
dan luasan suhu puncak awan ≤ 221K (Blamey dan Reason, 2012).Pada kasus pertama tanggal 14 Januari
2013 terjadi pada siang hari dengan fase maksimum terjadi pada pukul 1300 WIB dengan luasan 100,850.8
km2, eccentricity 0.52 dan durasi kurang lebih 9 jam. Sedangkan pada kasus kedua tanggal 14 - 15 Januari
2013 terjadi pada malam hari dengan fase maksimum terjadi pada pukul 0200 WIB tanggal 15 Januari 2013
dengan luasan 238,613.4 km2, eccentricity 0.46 dan durasi kurang lebih 14 jam. Secara sekilas kedua sistem
tersebut bukanlah tergolong sistem MCC karena eccentricity-nya < 0.7 dimana merupakan salah satu
properti yang harus dipenuhi untuk bisa disebut sebagai MCC (Maddox, 1980).
Tabel 2. Karakteristik Awan-awan Konvektif yang diduga sebagai MCC di Daerah Penelitian
Kasus
14 January 2013
14/15 January 2013
Awal
0700
1600
Fase Awan
Maksimum
1300
0200
Akhir
1500
0500
Luasan maksimum suhu
puncak awan ≤ 221K (km2)
100,854.8
238,613.4
Eccentricity pada
fase maksimum
0.523285
0.463322
Durasi
9 jam
14 jam
Gambar 2 menunjukkan sistem pertama tanggal 14 Januari 2013 pada saat fase awal, maksimum dan
akhir sistem. Sistem konvektif terbentuk pada pagi hari tanggal 14 Januari 2013 (Gambar 2a) di utara
JABODETABEK di atas Laut Jawa, berkembang dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa.
Sistem ini mencapai luasan maksimum pada pukul 1500 WIB di atas Laut Jawa dengan sebagian kecil
berada di wilayah JABODETABEK (Gambar 2b). Sistem ini berakhir pada pukul 1500 WIB dengan indikasi
sistem awan mulai menghilang (Gambar 2c).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada saat fase (a) awal, (b) maksimumdan (c)
akhir sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 14 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu selimut
awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1.
Gambar 3 menunjukkan sistem kedua tanggal 14/15 Januari 2013 pada saat fase awal, maksimum dan
akhir sistem. Sistem konvektif terbentuk pada sore hari pukul 1600 WIB tanggal 14 Januari 2013 (Gambar
3a) di utara JABODETABEK di atas Sumatera dan Laut Jawa, berkembang dan berpropagasi ke arah Timur
Laut dari Laut Jawa. Sistem ini mencapai luasan maksimum pada pukul 0200 WIB di atas Laut Jawa, Jawa
Barat dengan wilayah JABODETABEK dan sebagian Lampung (Gambar 3b). Hal ini sesuai dengan sistem
MCC secara umum bahwa MCC mencapai maksimum pada malam dini hari (Maddox, 1980). Sistem ini
berakhir pada pukul 1500 WIB dengan indikasi sistem awan mulai menghilang (Gambar 3c).
-392-
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada saat fase (a) awal, (b) maksimum dan (c)
akhir sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 14/15 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu selimut
awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1.
Kedua sistem konvektif yang terbentuk tanggal 14 Januari 2013 pada pagi hari di atas Laut Jawa dan
berpropagasi ke arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada siang hari,
terbentuk lagi tanggal 15 Januari 2013 pada sore hari di atas Sumatera dan Laut Jawa dan berpropagasi ke
arah Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari. Sistem konvektif
kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan JABODETABEK pada
04.00 WIB.Sedangkan pada sistem pertama tidak memberikan curah hujan (< 1 mm/jam) yang cukup lebat
di atas kawasan JABODETABEK. Secara lengkap curah hujan per tiga jam wilayah sekitar
JABODETABEK dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Curah hujan per 3 jam tanggal 14 – 15 Januari 2013 pada wilayah sekitar JABODETABEK.
Pada Gambar 4 terlihat curah hujan maksimum terjadi di Citeko pada pukul 0700 WIB tanggal 15 Januari
2013 dengan curah hujan hampir 90 mm/3 jam. Sedangkan secara rata-rata wilayah curah hujan maksimum
terjadi pada pukul 0400 WIB tanggal 15 Januari 2013. Hal ini mengindikasikan sistem konvektif yang
mencapai maksimum pada pukul 0200 WIB tanggal 15 Januari 2013 menghasilkan curah hujan lebat secara
wilayah pada antara pukul 0200 – 0400 WIB tanggal 15 Januari 2013. Sementara itu sistem konvektif yang
mencapai maksimum pada pukul 1300 WIB tanggal 14 Januari 2013 tidak menghasilkan curah hujan lebat.
Pada Gambar 4 juga menunjukkan adanya curah hujan lebat pada pukul 1400 – 2200 WIB tanggal 15 Januari
2013 namun tidak terlihat sistem konvektif yang menunjukkan MCC. Gambar 5 adalah suhu puncak awan
yang direpresentasikan TBB pada pukul 1400 WIB, 1700 WIB dan 2000 WIB tanggal 15 Januari 2013
dimana menunjukkan curah hujan lebat seperti terlihat pada Gambar 4.
-393-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Suhu puncak awan yang direpresentasikan dengan TBB pada pukul (a) 1400 WIB, (b) 1700 WIB dan
(c) 2000 WIB sistem awan konvektif pada wilayah studi tanggal 15 Januari 2013. Warna merah merupakan suhu
selimut awan dan warna biru menunjukkan suhu inti awan seperti didefinisikan pada Tabel 1.
Pada Gambar 5 menunjukkan sistem awan konvektif pada saat curah hujan lebat antara pukul 1400 –
2200 WIB tanggal 15 Januari 2013 wilayah JABODETABEK. Hasil tersebut menunjukkan bahwa curah
hujan lebat tidak berasal dari sistem awan kompleks seperti pada kasus kedua tanggal 14/15 Januari 2013.
Demikian juga pada kasus pertama sistem konvektif pada tanggal 14 Januari menunjukkan adanya sistem
awan kompleks namun tidak menghasilkan curah hujan lebat. Pada tahap selanjutnya akan ditunjukkan
properti sistem awan konvektif yang diduga merupakan MCC.
Tabel 3.PropertiSistemAwan Konvektif yang diduga sebagai MCCdi Daerah Penelitian
Tanggal
Pukul
(WIB)
Titik tengah sistem
Bujur
Lintang
Luas (km2)
Ecentricity
14
7
109.04
-8.52
35563.33
0.347881
14
8
106.80
-5.40
52122.76
0.516895
14
9
107.04
-5.48
70180.42
0.392966
14
10
107.44
-5.48
78933.25
0.396597
14
11
107.76
-5.56
81062.32
0.439821
14
12
107.84
-5.40
99987.38
0.520035
14
13
108.00
-5.40
100854.8
0.523285
14
14
108.56
-5.40
83664.52
0.605573
14
15
108.80
-4.60
38244.38
0.382291
14
16
105.36
-3.56
61664.14
0.508664
14
17
106.16
-3.80
123170.6
0.291334
14
18
105.92
-4.12
155106.6
0.229415
14
19
104.80
-4.12
138941.5
0.410391
14
20
104.88
-4.36
140124.3
0.429691
14
21
104.32
-4.68
153844.9
0.665928
14
22
104.48
-4.92
182311.4
0.621908
14
23
105.60
-5.40
228046.9
0.371309
15
0
106.16
-5.56
209831.6
0.415853
15
1
106.72
-5.80
215587.9
0.427624
15
2
106.72
-5.80
238613.4
0.463322
15
3
106.64
-5.88
234276.4
0.500373
15
4
106.80
-5.80
154081.5
0.423433
15
5
107.20
-6.04
107872.8
0.254470
-394-
Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat JABODETABEK Menggunakan Data Satelit (Nuryanto,
D.E., dkk.)
Pada Tabel 3 merupakan properti 2 sistem awan konvektif per jam-nya yang diduga merupakan MCC
pada wilayah studi. Ada dua properti penting yang ditunjukkan pada Tabel 3 itu luasan dan
eccentricity.Secara keseluruhan tidak ada nilai eccentricity yang  0.7 tiap jamnya. Selanjutnya akan dilihat
nilai eccentricity pada fase maksimum sistem tersebut. Pada tanggal 14 Januari 2013 terdapat sistem awan
konvektif dengan eccentricity<0.7yaitu 0.523285, dimana bukan termasuk dalam definisi MCC meskipun
durasinya > 6 jam. Sedangkan pada tanggal 15 Januari 2013 terdapat sistem awan konvektif dengan dengan
eccentricitylebih kecil dari sistem pertama (<0.7)yaitu 0.463322, juga bukan termasuk dalam definisi MCC
meskipun durasinya mencapai 14 jam.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua sistem awan konvektif yang teridentifikasi bukan
termasuk MCC seperti yang telah dedefinisikan pada Tabel 1. Kedua sistem awan konvektif tersebut
mempunyai respon yang berbeda terhadap curah hujan, dimana sistem yang pertama tidak menghasilkan
curah hujan deras sedangkan sistem yang kedua menghasilkan curah hujan deras. Menariknya lagi ada sistem
awan yang tidak diduga sebagai MCC namun menghasilkan curah hujan lebat pada wilayah studi. Dalam
studi selanjutnya dapat dilakukan identifikasi sistem awan konvektif tersebut, bisa jadi merupakan definisi
tersendiri yang berbeda dari sistem MCC.
4.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini, diselidiki propagasi sistem MCC tersebut yang memicu hujan lebat di kawasan
JABODETABEK, menggunakan data pengamatan satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)-1R
dan data sinoptik. Sistem tesebut terbentuk dari tengah malam 14 Januari hingga pagi 15 Januari, dan
diperkuat oleh pengaruh angin baratan lapisan bawah. Ada dua sistem konvektif yang terbentuk pada 14 -15
Januari. Pertama, sistem konvektif terbentuk pada siang hari tanggal 14 Januari 2013 di utara
JABODETABEK di atas Laut Jawa, dan berpropagasi ke arah Timur Laut dari Laut Jawa. Kedua, sistem
konvektif yang terbentuk pada tengah malam tanggal 14 Januari di atas Sumatera dan berpropagasi ke arah
Tenggara melalui Laut Jawa hingga pantai utara JABODETABEK pada pagi hari tanggal 15 Januari 2013.
Sistem konvektif kedua memberikan curah hujan lebat hingga rata-rata 10 mm/jam di atas kawasan
JABODETABEK pada 04.00 WIB.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa kami
sebutkan satu persatu. Terutama sekali penulis ucapkan terimakasih kepada Allah SWT, orang tua kami dan
keluarga serta rekan-rekan BMKG.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, R.F., dan Negri, A.J., (1988). A Satellite Infrared Technique to Estimate Tropical Convective and Stratiform
Rainfall. Journal of Applied Meteorology, 27:30 – 51.
Blamey, R.C., dan Reason, C.J.C., (2012). Mesoscale Convective Complexes over Southern Africa,Journal of Climate,
25:753 – 766.
Blamey, R.C., dan Reason, C.J.C., (2013). The Role of Mesoscale Convective Complexes in Southern Africa Summer
Rainfall, Journal of Climate, 26:1654 – 1668.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana,(2016). http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana/statistik, Diakses tanggal
28 Maret 2016.
Carvalho, L.M.V., dan Jones, C., (2001). A Satellite Method to Identify Structural Properties of Mesoscale Convective
Systems Based on the Maximum Spatial Correlation Tracking Technique (MASCOTTE),Journal of Applied
Meteorology, 40:1683 – 1701.
Chen, Y.-L., dan Li, J., (1995). Large-scale conditions favorable for the development of heavy rainfall during TAMEX
IOP 3, Monthly Weather Review, 123:2978 – 3002.
Durkee, J.D., dan Mote, T.L., (2009). A climatology of warm-season mesoscale convective complexes in subtropical
South America,International Journal of Climatology, 30(3):418 – 431.
Durkee, J.D., Mote, T.L., dan Shepherd, J.M., (2009). The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to
Rainfall across Subtropical South America,Journal of Climate, 22:4590 – 4605.
Fritsch, J.M., Kane, R.J.,dan Chelius, C.R., (1986). The Contribution of Mesoscale Convective Weather Systems to the
Warm-Season Precipitation in the United States, Journal of Climate and Applied Meteorology, 25:1333 – 1345.
Hamada, A., dan Nishi, N., (2010). Development of a Cloud-Top Height Estimation Method by Geostationary Satellite
Split-Window Measurements Trained with CloudSat Data, Journal of Applied Meteorology dan Climatology,
49:2035 – 2049.
Laing, A.G., dan Fritsch, J.M., (1993). Mesoscale Convective Complexes in Africa,Monthly Weather Review, 121:2254
– 2263.
-395-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Laurent, H., D’Amato, N., dan Lebel, T., (1998). How important is the contribution of the mesoscale convective
complexes to the Sahelianrainfall?, Physics and Chemistry of the Earth, 23(5–6):629–633, DOI: 10.1016/S00791946(98)00099-8.
Machado, L.A.T., Rossow, W.B., Guedes, R.L., dan Walker, A.W., (1998). Life Cycle Variations of Mesoscale
Convective Systems over the Americas,Monthly Weather Review, 126(6):1630–1654.
Maddox, R,A., (1980). Mesoscale Convective Complexes,Bulletin American Meteorological Society, 61(11):1374 –
1387.
Maddox, R.A., (1981). Picture of the Month: Satellite Depiction of the Life Cycle of a Mesoscale Convective
Complex,Monthly Weather Review, 109:1583 – 1586.
McAnelly, R.L., dan Cotton, W.R., (1989). The Precipitation Life Cycle of Mesoscale Convective Complexes over the
Central United States, Monthly Weather Review, 117:784 – 808.
Miller, D., dan Fritsch, J.M., (1991). Mesoscale Convective Complexes in the Western Pacific Region,Monthly Weather
Review, 119:2978 – 2992.
Siswanto, van Oldenborgh, G.J., van der Schrier, G., Lenderink, G.,dan van den Hurk, B., (2015). Trend in High-Daily
Precipitation Events in Jakarta and the Flooding of January 2014, Bulletin of American Meteorological Society,
DOI:10.1175/BAMS-D-15-00128.1.
Trilaksono, N.J., Otsuka, S., dan Yoden, S., (2012). A Time-Lagged Ensemble Simulation on the Modulation of
Precipitation over West Java in January–February 2007, Monthly Weather Review, 140:601 – 616.
Trismidianto, Hadi, T.W., Ishida, S., Manda, A., Iizuka, S., dan Moteki, Q., (2016). Development processes of oceanic
convective systems inducing the heavy rainfall over the western coast of Sumatra, SOLA, 12:6 –11.
Wu. P., Arbain, A.A, Mori, S., Hamada, J., Hattori, M., Syamsudin, F., dan Yamanaka, M.D., (2013). The Effects of an
Active Phase of the Madden-Julian Oscillation on the Extreme Precipitation Event over Western Java Island, SOLA,
9:79 - 83, doi:10.2151/sola.2013-018.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah : Identifikasi Sistem Mesoscale Convective Complexes Pemicu Hujan Lebat Jabodetabek
Menggunakan Data Satelit
Pemakalah
: Danang Eko Nuryanto
Diskusi
:
Pertanyaan: Ratih Dewanti (LAPAN):
1. Untuk daerah seperti Jabodetabek, berapa ambang minimum intensitas curah hujan rata-rata yang
menimbulkan genangan banjir secara merata?
2. Berapa lama sebelum kejadian dapat diprediksi dari data MTSAT bahwa di daerah Jabodetabek akan
terjadi banjir?
Jawaban:
1. Belum ada penelitian yg secara spesifik menunjukkan ambang minimum intensitas curah hujan rata-rata
yang menimbulkan banjir secara merata di Jakarta, namun peneliti sebelumnya menyebut 10 mm/jam
(Kahlig, 1993) dan 12 mm/jam (Cole dan Moore, 2008) disebut sebagai heavy rainfall. Dalam penelitian
ini mengacu pada Kahlig (1993) untuk ambang batas minimal disebut sebagai heavy rainfall.
2. Data MTSAT langsung menunjukkan kondisi awan terkini bahkan kejadian banjirnya. Namun dengan
mengetahui life cycle sistem tersebut kita dapat memprediksi kpn terjadi hujan lebat yg berpotensi banjir,
dmn dalam 3-6 jam sebelum fase mature sistem dpt kita jadikan sbg indikator terjadinya curah hujan lebat
berpotensi banjir.
-396-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca
(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)
Volcanic Ash Cloud Identification Using Weather Radar
(Case Study Mount Bromo Eruption January 5th 2016)
Teguh Setyawan1*)
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Erupsi gunung berapi aktif dengan formasi sebaran debu vulkanik merupakan salah satu ancaman
bencana di Indonesia. Radar cuaca memiliki kemampuan mendeteksi partikel awan debu vulkanik akibat letusan
gunung berapi, memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi untuk mengidentifikasi material dan arah sebaran
debu vulkanik. Penelitian ini menggunakan Radar Doppler C-Band untuk memantau debu vulkanik dalam erupsi
Gunung Bromo di Jawa Timur pada tanggal 5 Januari 2016. Analisis menggunakan produk CAPPI V untuk
memprediksi arah sebaran debu vulkanik dan MAX dBZ yang kemudian akan dilakukan cross section untuk melihat
nilai reflektifitas debu vulkanik, mengidentifikasi tinggi kolom letusan, pola sebaran, dan klasifikasi material debu
vulkanik. Nilai indeks reflektifitas diganti pada tampilan produk radar sehingga sesuai dengan klasifikasi material awan
debu vulkanik dilihat dari nilai dBZ-nya. Hasil dari identifikasi menunjukkan material vulkanik saat erupsi primer
Gunung Bromo mencapai nilai maksimum 55 dBZ dan tinggi kolom erupsi hingga 17 km, dengan arah sebaran yang
berbeda pada tiap lapisan ketinggiannya, namun dominan ke arah barat dan barat laut.
Kata kunci: debu vulkanik, radar cuaca, CAPPI V, MAX dBZ, cross section
ABSTRACT - Active volcanic eruptions with spread of volcanic ash formation is one of the hazards in Indonesia.
Weather radar has the ability to detect particles of volcanic ash cloud from the eruption of the volcano, has a high
spatial and temporal resolution to identify the material and the direction of the spread of volcanic ash. This study uses
the C-band Doppler radar to monitor volcanic ash in the eruption of Mount Bromo in East Java on January 5th, 2016.
The analysis using Cappi V to predict the direction of the spread of volcanic ash and MAX which will then be ‘crosssection’ to see the value of the reflectivity of volcanic ash, identifying the eruption column height, the distribution
pattern, and classification of volcanic ash material. Reflectivity index value is replaced on the display so that the radar
products in accordance with the classification of a volcanic ash cloud material seen from its dBZ value. Results of
identification showing the volcanic material during primary eruption of Bromo reach maximum value 55 dBZ and
eruption column height up to 17 km, with different direction spreads on each layer height, but dominantly are to the
west and northwest.
Keywords: volcanic ash, weather radar, CAPPI V, MAX dBZ, cross section
1.
PENDAHULUAN
Erupsi gunung berapi aktif dengan formasi sebaran debu vulkanik merupakan salah satu ancaman
bencana di Indonesia. Pemantauan areal erupsi gunung berapi secara real time dan kontinyu diperlukan
untuk memberikan informasi cepat kepada masyarakat dan pengguna informasi terkait sehingga dapat
diminimalisir dampak dan kerugian harta dan jiwa terhadap masayarakat sekitar. Pada tanggal 5 Januari 2016
letusan Gunung Bromo membuat aktifitas penerbangan Bandar Udara Abdul Rachman Saleh dari dan ke
Malang ditutup sementara hingga aktifitas Gunung Bromo dinilai aman.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sesuai amanat Undang-Undang bertugas untuk
mengamati pergerakan debu vulkanik di atmosfer dan berkoordinasi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) terkait aktifitas geologis dari gunung serta Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) terkait tindakan cepat mitigasi. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi material debu vulkanik dan mendeteksi sebarannya adalah radar cuaca. Radar cuaca dapat
memberikan informasi pada area yang relatif luas, pengamatan yang real time dengan resolusi spasial dan
temporal yang tinggi, serta dapat melakukan pengamatan yang berkelanjutan (Marzano dkk., 2006).
Radar cuaca menghasilkan informasi yang detail terkait wilayah jangkauannya, yaitu informasi lintang
dan bujur serta ketinggian elevasi yang beragam. Kelebihan-kelebihan ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi material erupsi gunung berapi dan mendeteksi arah sebaran dari debu vulkanik (Wardoyo
-397-
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.)
dan Matondang, 2014).Zulqisthi (2015) mengkaji sebaran debu vulkanik saat kejadian meletus Gunung
Bromo5 Januari 2016 dan berhasil mengidentifikasi material serta arah sebaran debu vulkanik menggunakan
radar cuaca dengan memanfaatkan produk reflectivity dan velocity.
Radar memancarkan pulsa berupa gelombang elektromagnetik melalui antena dengan arah lurus dan
kecepatan tetap. Setelah gelombang elektromagnetik mengenai objek, maka akan dipantulkan dan
pantulan tersebut akan diterima radar (Rinehart, 2010). Radar cuaca jenis Doppler menghasilkan 3 jenis
output data, yaitu reflektifitas (Z), kecepatan radial (V), dan lebar spektrum (W).
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis debu vulkanik menggunakan radar cuaca untuk
mengetahui pola, karakteristik, dan sebaran debu vulkanik pada saat erupsi Gunung Bromo di Jawa Timur
pada tanggal 5 Januari 2016. Hasil penelitian ini dapat menjadi pegangan bagi prakirawan cuaca dalam
mengidentifikasi dan menganalisis serta memberikan informasi arah sebaran debu vulkanik sesaat setelah
terjadi erupsi gunung berapi dalam cakupan wilayah pengamatan radar cuaca. Selain itu, informasi jenis
material debu vulkanik yang keluar dapat menjadi informasi yang bermanfaat serta mendukung tumbuhnya
perekonomian rakyat.
2.
METODE
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah rawdata radar cuaca Gematronik di Stasiun Meteorologi
Juanda Surabaya. Data yang diambil adalah data scanning radar tanggal 5 Januari 2016 jam 04.00 -04.30
WIB. Radar cuaca tersebut merupakan radar cuaca Doppler single polarization yang dapat menghasilkan
tiga produk data yaitu reflektifitas (reflectivity), kecepatan radial (radial velocity), dan lebar spektral
(spectral width). Objek penelitian adalah Gunung Bromo yang dilaporkan oleh BNPB Jawa Timur sudah
mulai aktif sejak pertengahan bulan Desember 2015. Rawdata radar cuaca akan diolah menggunakan
software Rainbow5 sehingga dihasilkan produk MAX dBZ, vertical cut(V CUT), dan CAPPI V.
Diagram alir pada penelitian berikut adalah sebagai berikut pada Gambar 1:
Gambar 1. Diagram alir penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Pola Erupsi dari produk MAX dBZ
Analisis nilai reflektifitas menggunakan produk MAX dBZ dan didukung dengan tools V CUT (vertical
cut) untuk melihat profil echo erupsi secara vetikal. Gunung Bromo (lingkaran hitam pada Gambar
1)memiliki jarak kurang lebih 72.3 km dari pusat radar cuaca Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya. Jarak ini
merupakan jarak yang cukup ideal untuk melakukan analisis produk-produk radar cuaca. Pola echo erupsi
Gunung Bromo yang tertangkap radar cuaca ditunjukkan pada Gambar 2.
-398-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2. Citra produk MAX dBZ pada saat erupsi (pukul 04.00-04.30 WIB)
Citra produk MAX dBZ menunjukkan adanya pola echo yang cukup signifikan di area Gunung Bromo
antara jam 04.00 WIB hingga jam 04.30 WIB diikuti pola perubahan sebaran nilai echo. Nilai echo
maksimum berada di titik pusat Gunung Bromo, semakin menjauh dari titik pusat gunung maka nilai echo
semakin kecil. Sebaran nilai echo yang bervariasi menunjukkan sebaran jenis dan ukuran material yang
dilontarkan oleh erupsi Gunung Bromo. Material yang memiliki ukuran besar cenderung terisolir di area
dekat gunung, sedangkan material yang berukuran lebih kecil dapat mencapai jarak yang lebih jauh karena
terbawa angin. Dari Gambar 1 di atas, terlihat bahwa arah sebaran material cenderung ke arah Barat Daya
dan Selatan.
3.2 Analisis Profil Vertikal Erupsi
Profil vertikal erupsi Gunung Bromo didapatkan dengan melakukan V CUT pada produk MAX dBZ
yang ditunjukkan oleh Gambar3.
Gambar 3. Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer
(pukul 04.10-04.20 WIB)
Pada Gambar 3 didapatkan informasi dari hasil vcut terhadap produk MAX dBZ pada jam 04.10
WIBbahwa ketinggian maksimum kolom erupsi mencapai kurang lebih 6 km. Dapat disimpulkan bahwa
erupsi primer terjadi antara jam 04.10 WIB hingga 04.20 WIB. Pada saat erupsi primer tersebut lontaran
material berukuran sedang mencapai 2 km di atas permukaan laut yang direpresentasikan dengan adanya
-399-
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.)
nilai echomaksimum sebesar 25 dBZ. Semburan material yang lebih halus mencapai hingga ketinggian 6 km
di atas permukaan laut.
3.3 Analisis Pergerakan Partikel Debu Vulkanik
Analisis pergerakan partikel debu vulkanik dilakukan dengan memanfaatkan produk velocity pada radar
cuaca. Penggunaan produk CAPPI V dipilih untuk mendapatkan analisis pergerakan sesuai ketinggian yang
diinginkan. Produk HWIND ditambahkan ke dalam produk CAPPI untuk memudahkan pembacaan
pergerakan partikel. Analisis pergerakan partikel debu vulkanik Gunung Bromo ditunjukkan oleh Gambar 4.
Analisis produk CAPPI V ketinggian 3 kilometer pada empat periode waktu yang berbeda menunjukkan
adanya perubahan arah sebaran debu vulkanik. Pergerakan debu vulkanik cenderung ke arah Barat Daya dan
Barat dengan nilai kecepatan yang rendah yaitu sekitar 1- 7 m/ s. Angin yang tidak bertiup kencang ini
menjadi hal positif karena debu tidak tersebar kemana-mana.
Gambar 4. Analisis sebaran partikel debu vulkanik
3.4 Klasifikasi Jenis Material Erupsi Gunung Bromo
Untuk mendeteksi material erupsi gunung berapi yang memiliki jenis material dan ukuran yang beragam
mulai dari material padat hingga debu vulkanik yang sangat halus dapat dilihat dari produk MLV CUT.
Gambar 5.Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer
pukul 04.10WIB
Berdasarkan tabel 1, irisan vertikal pada saat puncak erupsi dapat dikelompokkan berbagai jenis material
gunung berapi sebagai berikut:
 Area nomor 1 (satu) dan 3 (tiga)merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash
(debu halus) dengan kisaran nilai antara 5-10 dBZ. Material ini tersebar hingga puncak kolom erupsi dan
-400-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
mencapai jarak 6 km. Debu halus dapat tersebar hingga jarak yang lebih jauh bergantung kepada faktor
angin dan cuaca (hujan).
 Area nomor 2 (dua) merupakan sebaran material jenis coarse ash (debu kasar). Material ini memiliki
kisaran nilai antara 15-20 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 6 km pada saat erupsi
primer.
 Area nomor 4 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus)
dengan kisaran nilai antara 20-30 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 2 km.
Gambar 6. Potongan vertikal produk MAX dBZ pada area Gunung Bromo saat keadaan erupsi primer
pukul 04.20 WIB
Irisan vertikal pada jam 04.20 WIB atau 10 menit setelah erupsi puncak dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
 Area nomor 1 (satu) dan 3 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash
(debu halus) dengan kisaran nilai antara 5-10 dBZ. Material ini tersebar hingga puncak kolom erupsi dan
mencapai jarak 7 km. Debu halus dapat tersebar hingga jarak yang lebih jauh bergantung kepada faktor
angin dan cuaca (hujan).
 Area nomor 2 (dua) merupakan sebaran material jenis coarse ash (debu kasar). Material ini memiliki
kisaran nilai antara 15-20 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 6 km pada saat erupsi
primer.
 Area nomor 4 (tiga) merupakan campuran antara coarse ash (debu kasar) dengan fine ash (debu halus)
dengan kisaran nilai antara 20-30 dBZ. Material jenis debu kasar ini mencapai ketinggian 3 km.
Tabel 1. Pengelompokkan Jenis Material Debu Vulkanik Berdasarkan Nilai dBZ (Zulqisthi, 2015)
Jenis Material Debu Vulkanik
dBZ
Fine Ash, Tumbling
Fine Ash, Oblate
-12.7484
-12.0257
Fine Ash, Prolate
Coarse Ash, Tumbling
Coarse Ash, Oblate
Coarse Ash, Prolate
Small Lapili, Tumbling
Small Lapili, Oblate
Small Lapili, Prolate
Large Lapili, Tumbling
Large Lapili, Oblate
Large Lapili, Prolate
-13.1592
17.1295
17.8018
16.8287
47.0223
47.4860
46.7709
63.0374
64.0786
63.2229
-401-
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca(Studi Kasus Letusan Gunung Bromo 5 Januari 2016)(Setyawan, T.)
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
 Radar cuaca memiliki kemampuan cukup baik untuk memberikan informasi tentang erupsi gunung berapi
secara real time dan aktual meliputi pola dan karakteristik erupsi, sebaran debu vulkanik, dan arah
pergerakannya.
 Identifikasi material dan arah sebaran debu vulkanik menggunakan radar cuaca dapat dilakukan dengan
memanfaatkan produk reflectivity dan velocity.
 Berdasarkan penelitian, erupsi Gunung Bromo menghasilkan material dengan nilai reflektifitas
maksimum sebesar 30 dBZ dan ketinggian kolom letusan mencapai 7 km. Namun radar cuaca belum
mampu mendeteksi partikel jenis fine ash yang memiliki nilai reflektifitas dibawah 0 dBZ.
 Radar cuaca mampu mengidentifikasi arah dan pola sebaran debu vulkanik menggunakan produk
velocitydengan cukup baik.
Penelitian yang telah dilakukan dan tertuang dalam tulisan ini merupakan langkah awal dalam
mengoptimalkan fungsi radar cuaca sesuai dengan kebutuhan dan fenomena yang terjadi di area cakupan
radar yang salah satunya adalah debu vulkanik yang dihasilkan oleh erupsi gunung berapi. Namun karena
karakteristik yang berbeda antara debu vulkanik dengan partikel air hujan, maka dibutuhkan sistem scanning
dan konfigurasi yang tepat pada radar cuaca agar lebih optimal dalam mendeteksi partikel debu vulkanik.
Penggunaan clear air mode scanning dianjurkan untuk mendapatkan data debu vulkanik yang lebih detail.
Selain itu, dapat pula dikombinasikan dengan elevation scan pada radar dengan difokuskan pada area gunung
berapi untuk mendapatkan profil data vertikal yang lebih rinci.
Dari penelitian ini, diharapkan mampu dihasilkan suatu pedoman standar untuk memasukkan deteksi abu
vulkanik menggunakan radar cuaca single polarization dalam prosedur operasional standar untuk
mendukung pelayanan informasi dan menunjang keselamatan masyarakat khususnya terkait dunia
penerbangan di Indonesia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan menggunakan radar
cuaca dual polarization sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih detail terkait debu vulkanik.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini tidak akan selesai tanpa data radar cuaca Gematronik milik Stasiun Meteorologi Juanda,
Surabaya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman BMKG di Stasiun
Meteorologi Juanda atas dukungan data dan support kepada penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Lacasse, C., dkk.,(2003). Weather Radar Observations of The Hekla 2000 Eruption Cloud, Iceland. Bull Volcanol,
66:457-473.
Marzano, dkk.,(2006). Can We Use Weather Radar to Retrieve Volcanic Ash Eruption Clouds? A Model and
Experimental Analysis. Paper presented at the Proceedings of ERAD 2006.
Marzano, dkk.,(2010). Monitoring Volcanic Ash Eruption Using Ground-Based C-Band Weather Radar and ModelBased Techniques. ERAD 2010-The Fifth European Conference on Radar in Meteorology and Hydrology.
Mosher, F.R., (2010). Global Composite of Volcanic Ash “Split Window” Geostationary Satellite Images. P3.13.
Nugraheni, I.R., (2014). Kajian Kejadian Puting Beliung di Sumatera Selatan dengan Memanfaatkan Data Radar
Cuaca (Studi Kasus Januari 2013 - Maret 2014). (Skripsi Diploma IV), STMKG (School of Meteorology
Climatology and Geophysics), Jakarta.
Rinehart, R.E.,(2010). Radar for Meteorologist - Fifth Edition. Nevada, Missouri: Rinehart Publications.
Wardoyo, E.,(2013). Detecting Volcanic Ash with C-Band Weather Radar (Case Study Eruption of Mount Lokon
December 6, 2012).Paper presented at the 1st Asian Conference on Radar Meteorology. Jeju Island, South Korea.
Wardoyo, E., dan Matondang, C.A.,(2014). Identifikasi Debu Vulkanik pada Kejadian erupsi Gunung Sinabung 24
Oktober 2013, 14 dan 18 November 2013. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Jakarta: Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika.
Zulqisthi, H.T.,(2015). Pemanfaatan Radar Cuaca Dalam Mengidentifikasi Awan Debu Vulkanik (Studi Kasus Letusan
Gunung Kelud 13 Februari 2014).(Skripsi Diploma IV), STMKG (School of Meteorology Climatology and
Geophysics), Jakarta.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
-402-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
:
:
Pemakalah
Diskusi
:
:
Kuncoro Teguh Setiawan
Identifikasi Awan Debu Vulkanik Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus Letusan
Gunung Bromo 5 Januari 2016)
Teguh Setyawan (STMKG)
Pertanyaan: Ambinari (STMKG)
1. Apakah fungsi dari identifikasi material debu vulkanik?
2. Apa maksud dari scanning, konfigurasi, single polarisasi, dual polarisasi?
Jawaban:
1. Identifikasi material debu vulkanik untuk mengetahui penyebaran debu secara realtime sesuai dengan
kejadian letusan gunung berapi. Juga berpengaruh dengan dampak kesehatan dan penerbangan pesawat.
2. Scanning adalah proses radar memindai objek. Konfigurasi yang dimaksud adalah setting operasional
radar. Single polarisasi ialah satu jenis polarisasi radar. Dual polarisasi ialah dua jenis polarisasi radar.
-403-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) untuk Mendeteksi Sebaran Asap
(Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015)
Use Of Satellite (Himawari-8) for Distribution To Detect Smoke In Maluku
Region (Case Study: 21 October 2015)
Rion Suaib Salman1*), dan Ayufitriya1
1
Stasiun Meteorologi Pattimura - BMKG, Ambon 97236, Maluku – INDONESIA
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK-Asap (Smoke) merupakan partikel kering yang melayang-layang di udara, bersumber dari sisa pembakaran
pabrik-pabrik industri ataupun hasil kebakaran hutan dan lahan. Dengan klasifikasi yang merupakan partikel kering,
maka asap tidak mudah hilang dan dapat bertahan lama serta menyebar luas di atmosfer. Salah satu dampak yang sangat
signifikan ialah dapat menggangu jarak pandang (visibility) khususnya pada saat take off dan landing pesawat terbang.
Pada wilayah Indonesia asap yang sering menyelimuti atmosfer ialah asap hasil kebakaran hutan dan lahan. Pada bulan
Oktober 2015, khususnya pada wilayah Maluku yakni Pulau Ambon asap hasil kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
pada wilayah Papua bagian selatan. Hal ini tentunya sangat beresiko dan berdampak terhadap aktivitas penerbangan,
oleh karena itu diperlukan alat yang dapat memantau pergerakan dan sebaran asap secara simultan. Salah satu alat yang
dapat dimanfaatkan ialah citra satelit cuaca geostationer (GEO) Himawari-8. Hal ini dikarenakan himawari-8 memiliki
posisi yang tetap berada pada satu titik yang terletak 36.000 km dari permukaaan bumi di atas garis equatorial dan
memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi. Dengan demikian pemantauan secara simultan dapat
dilakukan dan data yang didapat juga tidak terputus-putus, sesuai area yang kita inginkan. Kemudian dengan
menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) maka data satelit dapat dianalisis
dengan teknik RGB (Red, Green and Blue) dengan menggabungkan channel yang tersedia pada data satelit tersebut.
Dengan demikian dapat memberikan informasi secara cepat, tepat dan akurat.
Kata kunci: Asap, Satelit Cuaca, Himawari-8, SATAID, Teknik RGB
ABSTRACT - Smoke is a dry particle that floats in the air, comes from the combustion of industrial plants or the result
of land and forest fires. With classification which is dry particle, smoke can not easily lost and last long time,
widespread in the atmosphere. One of very significant impact is that it can interfere with visibility, especially during
take off and aircraft landing. On Indonesian territory, smoke from forest fires and land often surrounds the atmosphere.
In October 2015, particularly on Ambon Island of Maluku, smoke of forest and land fires that occurred is from the
southern region of Papua. This is certainly very risky also effect on flight activity. Therefore, the necessary tools to
monitor the movement and spread of smoke simultaneously is very needed. One of the tools that can be utilized is
weather satellite image geostationary (GEO) Himawari-8. This is because Himawari-8 has a fixed position at a point,
located 36.000 km on the surface of the earth above the equatorial line and has the same speed as the speed of Earth's
rotation. Thus, simultaneous monitoring can be performed also the data obtained does not falter, according to the area
where we want. Then, using software SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis), the satellite data can be
analyzed by using RGB (Red, Green and Blue) combining channels available on the satellite data so that it can provide
information quickly and accurately.
Keywords: Smoke, Weather Satellite, Himawari-8, RGB technique
1.
PENDAHULUAN
Bulan Oktober 2015 pada wilayah Maluku khususnya pulau Ambon dilanda salah satu fenomena
meteorologi yakni asap (smoke). Asap merupakan partikel kering yang mengambang di udara, disebabkan
oleh hasil kebakaran hutan dan lahan. Fenomena asap termasuk kedalam fenomena meteorologi yakni
fenomena Lithometeor (Maynard, 2010). Kondisi ini menyebabkan berkurangnya jarak pandang (visibility)
secara signifikan, yang sangat berdampak terhadap take off dan landing pesawat udara. Sangatlah jelas
bahwa fenomena asap yang tejadi merupakan fenomena yang tidak lazim, khususnya pada wilayah Indonesia
bagian timur yakni Pulau Ambon, sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi sebagian masyarakat. Jika
diteliti berdasarkan ilmu meteorologi dan informasi yang telah dikeluarkan oleh Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa pada tahun 2015 kita juga dihampiri oleh fenomena elnino.
Fenomena elnino yang terjadi pada tahun 2015 berdampak terhadap pengurangan curah hujan pada
sebagian besar wilayah Indonesia memiliki peran yang begitu besar terhadap kondisi kekeringan yang terjadi
-404-
Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) Untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015)
(Salman, R., dkk)
(Salman, 2015). Pada tahun-tahun Elnino, kasus kebakaran lahan dan hutan meningkat tajam (Aldrian,
dkk.,2011). Dengan kekeringan yang berkepanjangan maka semakin besar pula potensi kebakaran hutan
akan terjadi. Selain itu, dengan menguatnya fenomena elnino ini pada fase sedang hingga kuat maka semakin
berkurang pula penguapan yang terjadi sehingga pembentukan awan-awan hujan pun akan berkurang (Zakir,
2010). Tentu saja hal ini berindikasi terhadap kecendurungan curah hujan yang berkurang, sehingga asap
yang tersebar dari kebakaran hutan dan lahan tidak mudah untuk menghilang.
Secara alamiah, asap di atmosfer yang tersebar dapat bertahan berpuluh-puluh tahun karena termasuk
partikel kering (Aldrian, dkk., 2011). Begitu pula sebaliknya, asap yang tersebar di atmosfer pun dapat
menghilang jika terjadi hujan pada wilayah tersebut. Oleh karena itu diperlukan alat pemantau yang dapat
kita gunakan untuk menganalisis arah gerak asap secara cepat, tepat dan akurat. Salah satu alat yang dapat
dimanfaatkan ialah satelit cuaca, yakni satelit cuaca Geostasionary (GEO). Satelit cuaca GEO dapat
dimanfaatkan secara baik untuk memantau pergerakan sebaran asap dikarenakan memiliki posisi yang tetap
berada pada satu titik yang terletak 36.000km dari permukaaan bumi di atas garis equatorial, dan memiliki
kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi (Shimoji, 2015). Dengan demikian pemantauan secara
simultan dapat dilakukan dan data yang didapat juga tidak terputus-putus.
Dalam tulisan ini data satelit cuaca GEO yang digunakan untuk memantau keadaan atmosfer khususnya
sebaran asap yakni citra satelit cuaca milik Japan Meteorological Agency (JMA) himawari-8. Citra satelit
himawari-8 mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2015. Himawari-8 dilengkapi dengan 16 channel lebih
banyak dari pada pendahulunya MTSAT yang hanya memiliki 5 channel. 16 channel himawari-8
diantaranya yakni V1, V2, VS, N1, N2, N3, I4, WV, W2, W3, MI, O3, IR, L2, I2, dan CO. Namun dalam
menganalisis sebaran asap yang terjadi pada tanggal 21 Oktober 2015 hanya menggunakan data channel IR,
I2 , VS, N1, dan N3. Data channel VS, N1 dan N3 digunakan untuk membuat citra komposit dengan teknik
Red, Green and Blue (RGB) untuk melihat sebaran asap. Sedangkan data channel S2 (IR-I4) untuk
menganalisis titik kebakaran hutan (Fire Forest).
Interpretasi dengan metode teknik RGB merupakan salah satu cara penggabungan channel yang
diinginkan menggunakan SATAID, untuk dapat mengnalisis suatu fenomena dan mempermudah untuk
menentukan fenomena yang terjadi pada saat itu di atmosfer. Berdasarkan hasil analisis RGB citra satelit
cuaca (himawari-8) tanggal 21 Oktober 2015, jam 07.00 hingga 11.00 WIT menunjukan adanya sebaran asap
(smoke) yang bergerak dari arah tenggara tepatnya pada wilayah Papua bagian selatan meluas ke wilayah
Maluku. Hasil analisis juga menunjukan bahwa asap yang terdeteksi berwarna kemerahan. Pada jam 07.00 07.30 WIT terlihat asap masih terbatas hanya pada wilayah Papua bagian selatan hingga laut Aru. Kemudian
pada jam 08.00 WIT – 11.00 WIT sebaran asap hampir menyeluruh menyelimuti wilayah Maluku, seperti :
Kepulauan Aru, Kepulauan Kai, Pulau Banda, Pulau Seram, Pulau Ambon hingga Pulau Buru.
2.
METODE
Data yang digunakan ialah data citra satelit cuaca himawari-8 pada tanggal 21 Oktober 2015 data channel
IR, I2 , VS, N1, dan N3. Data channel VS, N1 dan N3digunakan untuk membuat citra komposit dengan
teknik Red, Green and Blue (RGB) untuk melihat sebaran asap. Selanjutnya, didukung dengan data channel
S2 (IR-I4) untuk menganalisis titik kebakaran hutan (Fire Forest).
Sedangkan metode yang digunakan yakni interpretasi citra berdasarkan hasil analisis RGB menggunakan
software SATAID (SATellite Animation and Interactive Diagnosis) versi 300. Dengan Data channel VS
(red) nilai gamma 2.50, N1(green) nilai gamma 1.50 dan N3(blue) nilai gamma 3.00.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis RGB citra satelit cuaca (himawari-8) tanggal 21 Oktober 2015, jam 07.00
hingga 11.00 WIT menunjukan adanya sebaran asap (smoke) yang bergerak dari arah tenggara tepatnya pada
wilayah Papua bagian selatan meluas ke wilayah Maluku. Hasil analisis juga menunjukan bahwa asap yang
terdeteksi berwarna kemerahan. Pada jam 07.00 - 07.30 WIT terlihat asap masih terbatas hanya pada wilayah
Papua bagian selatan hingga laut Aru. Kemudian pada jam 08.00 WIT – 11.00 WIT sebaran asap hampir
menyeluruh menyelimuti wilayah Maluku, seperti : Kepulauan Aru, Kepulauan Kai, Pulau Banda, Pulau
Seram, Pulau Ambon hingga Pulau Buru. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis indikasi kebakaran lahan
(Fire Forest) dengan menggunakan channels IR dan I4.
-405-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Area Sebaran
Asap
Area Sebaran
Asap
Area Sebaran
Asap
Area Sebaran
Asap
Area Sebaran
Asap
Area Sebaran
Asap
Gambar 1. Peta sebaran asap pada wilayah Maluku hasil analisis teknik RGB.
-406-
Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) Untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke) Pada Wilayah Maluku (Studi Kasus : 21 Oktober 2015)
(Salman, R., dkk)
Gambar 2. Peta titik kebakaran hutan (Fire Forest) wilayah Papua Bagian selatan.
Peta titik kebakaran hutan (Fire Forest) diatas menunjukan bahwa titik kebakaran yang terjadi pada
wilayah Papua bagian selatan. Berdasarkan analisis mengunakan channel S2 (IR-I4) menunjukan bahwa
pada tanggal 21 jam 09.00 hingga 11.30 WIT terdapat 10 titik kebakaran hutan. Hal ini tentu merupakan data
pendukung yang sangat akurat karena dengan pasti menunjukan titik hasil kebakaran hutan di wilayah Papua
bagian selatan. S2 memungkinkan kita untuk dapat melihat titi panas yang terpantau oleh satelit dengan
tanda titik hitam yang muncul secara tetap dan konstan.
4.
KESIMPULAN
1. Dengan memanfaatkan data citra satelit himawari-8 yang diolah menggunakan software SATAID
(SATellite Animation and Interactive Diagnosis) yang dianalisis dengan teknik RGB khususnya channel
VS, N1 dan N3, memudahkan kita untuk memantau pergerakan dan arah sebaran asap secara simultan
khususnya terhadap infomasi penerbangan. Kemudian data pendukung seperti titik kebakaran hutan
(Fire Forest) yang juga diolah menggunakan software SATAID (SATellite Animation and Interactive
Diagnosis) sangat membantu untuk memberikan peringatan bahwa pada tanggal 21 Oktober 2015 telah
terjadi kebakaran hutan di wilayah Papua bagian selatan.
2. Pemanfaatan data citra satelit cuaca himawari-8 yang merupakan satelit cuaca geostasioner secara tepat
guna, maka akan sangat membantu kita dalam penyampaian informasi secara cepat, tepat dan akurat
-407-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
kepada masyarakat maupun instansi terkait. Hal ini diharapkan dapat meminimlisir kerugian jiwa, harta
dan benda.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., dkk., (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia (pp. 89,131). Pusat Perubahan Iklim dan
Kualitas Udara Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Jakarta
Maynard (2010). Hazardous Lithometeor Threshold. Meteorological Warnings Study Group (METWSG) third
Meeting. ICAO. Montreal.
Salman, R., (2015). Pemanfaatan Data Advance Very Height Radiometer (AVHRR) Citra Satelit Cuaca untuk
Pemantauan Sea Surface Temperature (SST) Selama Periode Elnino Tahun 2015 di Wilayah Maluku. Laporan
Workshop Operasional Satelit Cuaca 2015. Makassar.
Shimoji, K., (2015). Introduction To Remote Sensing. The Meteorological Satellite Center of the Japan Meteorological
Agency. Makassar.
Zakir, A., dkk., (2010). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. (pp.211-212). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Jakarta
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Pemanfaatan Satelit (Himawari-8) untuk Mendeteksi Sebaran Asap (Smoke)
pada Wilayah Maluku (Studi Kasus: 21 Oktober 2015).
: Rion Salman
:
Muchammad Soleh (LAPAN):
Apakah saat ini di setiap stasiun pemantauan BMKG telah tersedia sistem peringatan dini bahaya
asap atau kebakaran hutan untuk keselamatan penerbangan? Jika memang sudah tersedia, berapa
lama sebelum waktu terjadinya bahaya tersebut sistem peringatan dini sudah diterima oleh pihakpihak yang membutuhkan informasi cepat, seperti bandara dan sebagainya?
Jawaban:
Tidak ada jawaban dari penulis.
-408-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia
Menggunakan JRA-55
Analysis of Atmospheric Conditions in Indonesia Maritime Continent
Using JRA-55
Kadarsah1*)
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan, BMKG, Jl.Angkasa I no.2 Kemayoran Jakarta 10720
*)
Email: [email protected]
ABSTRAK - Analisis kondisi awal tahun (Januari-Februari-Maret,JFM) 2016 merupakan kajian yang sangat menarik
karena munculnya berbagai fenomena di Benua Maritim Indonesia (BMI). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kondisi atmosfer BMI dengan memanfaatkan data The Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55). Data JRA-55 merupakan
seperangkat data produk Japan Meteorology Agency (JMA) yang menggabungkan data observasi, radiosonde, satelit
dan data observasi lainnya selama kurun waktu 55 tahun (1958-2012). Analisis pengaruh kondisi atmosfer BMI
terhadap curah hujan menunjukkan terjadi pengurangan curah hujan selama JFM khususnya di Pulau Jawa dan sebagian
besar Pulau Sumatera. Pengurangan curah hujan ini terjadi akibat berkurangnya proses pembentukan awan di BMI.
Penggunaan data JRA-55 cocok untuk studi tentang perubahan iklim, variabilitas multi-dekade dan monitoring sistem
iklim khususnya di BMI.
Kata kunci: Benua Maritim Indonesia (BMI), ERA-40, JRA-55, The Japanese 55-year Reanalysis
ABSTRACT - Analysis of the conditions in the beginning of year (January-February- March, JFM) 2016 is a very
interesting study for the emergence of various phenomena in Indonesian Maritime Continent (IMC). This study aimed to
analyze the atmospheric conditions of IMC uses data from the Japanese 55-year reanalysis (JRA-55). The JRA-55 is a
dataset from Japan Meteorology Agency (JMA), which combines observational data, radiosonde, satellite and other
observation data for a period of 55 years (1958-2012). Analysis of the influence of atmospheric conditions on IMC
rainfall showed a reduction in rainfall during JFM especially in Java and most of the island of Sumatra. Reduction of
rainfall occurs due to reduced cloud formation processes in IMC. Data usage of JRA-55 is suitable for the study of
climate change, multi-decadal variability and climate system monitoring, especially in IMC.
Keywords: ERA-40, Indonesia Maritime Continent (IMC), JRA-55, The Japanese 55-year Reanalysis
1. PENDAHULUAN
Analisis kondisi atmosfer awal tahun 2016 yaitu pada bulan Januari- Februari-Maret (JFM) merupakan
kajian yang sangat menarik karena fenomena cuaca yang terjadi menyebabkan bencana yang menimpa
sebagian besar wilayah Indonesia. Bencana alam yang mendominasi tersebut diantaranya banjir, puting
beliung dan tanah longsor (BNPB, 2016). Analisis kondisi atmosfer di suatu lokasi sangat penting untuk
memahami fenomena-fenomena alam yang terjadi. Salah satu nya adalah pengaruh El Nino yang berdampak
pada curah hujan di Indonesia. Fenomena El Nino ditandai dengan peningkatan temperatur di sebagai besar
wilayah Indonesia. Peningkatan temperatur ini dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dan berpengaruh
terhadap sektor pertanian. Berbagai sirkulasi yang terjadi di atmosfer juga menjadi kajian oleh beberapa
ilmuwan. Salah satunya adalah sirkulasi Brewer-Dobson. Analisis sirkulasi Brewer-Dobson menggunakan
JRA-55 telah dilakukan oleh Kobayashi dkk (Kobayashi dkk, 2016). Sirkulasi Brewer-Dobson merupakan
model sirkulasi sederhana atmosfer, yang diusulkan oleh Alan Brewer dan Gordon Dobson masing-masing
pada tahun 1949 dan 1956. Model sirkulasi atmosfer ini menjelaskan keberadaan arus lambat di musim
dingin belahan bumi yang meredistribusi udara dari daerah tropis ke extratropis. Selain itu, model ini
menjelaskan konsentrasi ozon tropis yang lebih besar dibanding daerah kutub walaupun ozon yang
dihasilkan diumumnya di lapisan stratosfer. Sirkulasi Brewer-Dobson digerakan oleh gelombang atmosfer
dan dapat mengalami percepatan karena perubahan iklim. Fenomena lainnya adalah analisis Madden–Julian
oscillation (MJO) yang juga menggunakan tiga data reanalisis [Japanese 55-year Reanalysis Project (JRA55), Japanese 25-year Reanalysis Project (JRA-25), and ECMWF Interim Re-Analysis (ERA-Interim) (Dee
dkk, 2011)] dengan fokus pada variabilitas kolom uap air (Yokoi, 2014).
-409-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
Selain itu, dalam prediksi cuaca numerik operasional, model yang dipergunakan untuk memprediksi
atmosfer didasarkan pada sistem iklim pada saat kondisi awal. Kondisi awal yang diberikan digunakan
sebagai masukan prediksi terdiri dari data untuk berbagai parameter prognostik meteorologi - yaitu,
parameter yang menentukan hasil prediksi model. Parameter meteorologi spasial juga sangat diperlukan oleh
model, misalnya data di setiap titik grid harus sesuai dengan kondisi sekarang dan sebelumnya. Sebaliknya,
data pengamatan yang tersedia biasanya tidak mencakup semua parameter prognosis model, dan beberapa
parameter lainnya. Data pengamatan juga memiliki distribusi spasial yang berbeda dari model grid, yang
hanya berlaku selama rentang waktu tertentu, dan memiliki error pengamatan. Untuk mengatasi hal tersebut
maka dilakukan berbagai teknik asimilasi data. Teknik asimilasi ini digunakan untuk menghasilkan analisis
kondisi awal, yang merupakan input untuk model numerik , dan dengan mempertimbangkan error dalam
model dan data. Luasnya penggunaan data reanalisis tersebut diberbagai bidang, maka analisis kondisi
atmosfer pada bulan Januari-Februari-Maret 2016 menggunakan JRA-55 merupakan sesuatu yang sangat
bermanfaat dan menarik.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi atmosfer saat periode awal tahun 2016 selama
Januari-Maret dengan menggunakan data JRA-55. Hasilnya diharapkan dapat membantu memahami kondisi
atmosfer dan antisipasi bencana alam yang akan terjadi di Indonesia.
2. DATA DAN METODOLOGI
2.1 Data
Data yang digunakan adalah JRA-55 (Kobayasi dkk, 2015; Ebita dkk, 2011). Sumber data
http://jra.kishou.go.jp/JRA-55/index_en.html. Badan Meteorologi Jepang atau Japan Meteorological Agency
(JMA) memiliki proyek penelitian tentang data reanalisis yang disebut dengan Japanese 55-year Reanalysis,
atau disingkat JRA-55. Data reanalysis ini menggunakan sistem asimilasi data yang lebih baik dari data
reanalysis sebelumnya yaitu JRA-25. Data Reanalisis JRA-55 berdasarkan sistem operasional per Desember
2009 dan data-data pengamatan sebelumnya. Periode analisis meliputi 55 tahun dari tahun 1958, ketika
observasi radiosonde mulai dilakukan berbasis global. Data JRA-55 merupakan sistem data yang
melengkapi kekurangan JRA-25 (Onogi,K dkk, 2016) sehingga dihasilkan data yang berkualitas tinggi yang
homogen. Sistem data yang dihasilkan berdasarkan analisis variasional 4 dimensi (4-Var) sehingga bias
utama yang ditemukan pada JRA-25 berkurang secara signifikan dan konsistensi temporal temperature lebih
baik. Sehingga JRA-55 sangat cocok untuk studi tentang perubahan iklim dan variabilitas multi-dekade serta
untuk monitoring sistem iklim saat ini. Selain itu, JRA-55 dapat digunakan untuk analisis variabilitas iklim
dan sirkulasi atmosfer khususnya skala global (Harada dkk, 2016). Analisis klimatologi di laut Jepang juga
menggunakan data reanalis JRA-55 untuk mengetahui arah angin dominan yang berpengaruh dilokasi
tersebut (Yanase dkk., 2015) dan juga perbandingan ERA-In dan ERA-40 (Laffineur dkk., 2014).
Sistem data asimilasi yang digunakan berdasarkan pada model operasional yang digunakan oleh JMA
sejak Desember 2009. Penyempurnaan dilakukan pada skema radiasi, sistem 4D-Var dan koreksi
variasional bias untuk radiasi satelit. Hasilnya secara signifikan mengurangi bias model, meningkatkan
analisis dari konsistensi dinamis dan kemampuan radiasi satelit. Data pengamatan yang digunakan dalam
JRA-55 juga digunakan dalam ERA-40 (Uppala dkk., 2005) . Data ERA-40 yang digunakan oleh JMA
dalam membentuk JRA-55 diberikan oleh ECMWF yang pada awalnya digunakan dalam JRA-25. Sumber
utama dataset pengamatan ERA-40 disediakan oleh ECMWF dengan proses homogenisasi data
menggunakan Radiosonde Observation Correction Using Reanalyses (RAOBCORE v1.4) (Haimberger
dkk. 2008) 1958 –2006 dan RAOBCORE v1.5 (Haimberger dkk. 2012) 2007 –2012. Selain itu direproduksi
satelit observasi GMS, GOES-9 and MTSAT-1R (MSC/JMA), METEOSAT (EUMETSAT), TMI (NASA,
JAXA), AMSR-E (JAXA), QuikSCAT (NASA/PO.DAAC), AMI (ESA) dan GNSS-RO (UCAR). Beberapa
paremeter yang dikeluarkan oleh JRA-55 ditunjukkan Tabel 1 sedangkan sistem asimilasi data yang
digunakan dijelaskan dalam Tabel 2.
Tabel 1.Parameter yang Dikeluarkan JRA-55
SLP (Sea Level Pressure)
hPa
Ps (Surface Pressure)
hPa
qs (Surface Specific Humidity)
Kg/Kg
Ts (Surface Temperature)
C.Deg
T-Td (Surface 2m dew point depression)
K
Us (Surface Zonal Wind)
m/s
-410-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Vs (Surface Meridional Wind)
Tprat (surface Total precipitation)
Latent heat flux (positive: upward)
Sensible heat flux (positive: upward)
Solar radiation flux (positive: upward)
Longwave radiation flux (positive: upward)
m/s
mm/day
W/m2
W/m2
W/m2
W/m2
Tabel 2. Sistem Asimilasi Data JRA-55
Resolusi
TL319 (~55 km)
Level
60 level sampai 0.1 hPa
Asimilasi
4D-Var, 6 jam,T106 model inti
Koreksi bias radiansi data satelit
VarBC (Deep and Uppala,2009)
Model radiatif transfer satelit
RTTOV-9.3 (Saunders dkk.2008)
Skema radiasi gelombang panjang
 absorpsi garis
 distribusi-k dan pra-komputasi tabel transmisi
(Chou dkk. 2001)
 uap air MK_CKD V1.0 (e-type dan p-type)
(Zhong and Haigh,1995)
 Radiasi gas aktif :H2O,O3,CO2,CH4,N2O,CFC11,CFC-12,HCFC-22
Skema radiasi gelombang pendek
 Absorpsi H2O (Brigleb, 1992)
 Absorpsi O2 , O3 dan CO2 (Freidenreich and
Ramaswamy, 1999)
Ozon
 Pra-1978:klimatologi
 1979-sekarang : T42l68 MRI CCM1 (Shibata
dkk.2005)
Gas Rumah Kaca
CO2,CH4,N2O, CFC-11,CFC-12,HCFC-22
2.2 Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan parameter yang diperlukan
untuk analisis. Parameter tersebut adalah : presipitasi, tekanan dan angin . Selanjutnya dilakukan analisis
anomali presipitasi, tekanan dan angin pada bulan Januari-Februari –Maret (JFM) 2016. Data klimatologi
normal yang digunakan adalah 1981-2010. Selain itu, dilakukan analisis anomali standar deviasi dan ratarata curah hujan spasial untuk analisis yang lebih mendalam.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Anomali curah hujan Januari-Februari-Maret 2016 (Gambar 1) menunjukkan terjadi kenaikan curah
hujan pada bulan Januari khususnya Sumatera bagian Barat. Pada bulan Februari area kenaikan curah hujan
bertambah luas meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua dan sebagian besar Sulawesi. Begitupun, curah
hujan yang terjadi pada Maret tidak berbeda jauh dengan Februari. Selama JFM terlihat jelas terjadi kenaikan
curah hujan dibanding kondisi normal klimatologinya. Kondisi ini menjelaskan kenapa di beberapa wilayah
di Indonesia mengalami bencana alam akibat kenaikan curah hujan. Selain itu analisis standar deviasi
anomali curah hujan, seperti yang ditunjukkan Gambar 2, terlihat bahwa anomali curah hujan yang terjadi
memiliki kenaikan sebesar 1-3 mm/hari di sebagian besar Kalimantan dan Sumatera bagian barat, sedangkan
kenaikan anomali curah hujan lainnya < 1 mm/hari. Kenaikan anomali curah hujan dari kondisi normal
klimatologisnya menunjukkan bahwa pada JFM sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kenaikan
curah hujan khususnya di wilayah daratan. Kenaikan curah hujan dari kondisi normal klimatologisnya tidak
melebihi 5 mm/hari sedangkan pengurangan curah hujan mencapai 1 mm/hari.
Saat JFM sebagian besar wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan, dan mencapai puncak musim
hujan pada akhir Januari dan Februari 2016. Fenomena El Nino masih berada dalam intensitas kuat, tetapi
kondisinya terus meluruh dan memasuki fase netral pada bulan Maret/April 2016. Pada akhir Januari 2016
beberapa fenomena atmosfer yang mempengaruhi cuaca di Indonesia yang berpotensi meningkatkan curah
hujan. Kondisi Monsoon dingin Asia semakin menguat bersamaan dengan masuknya fase basah osilasi
barat-timur (Madden Julian Oscillation) ke wilayah BMI serta didukung dengan kondisi Dipole Mode yang
-411-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
turut menambah pasokan uap air khususnya di wilayah Indonesia bagian Barat. Selain itu, indeks seruak
dingin atau cold surge terlihat meningkat yang juga mengindikasikan peningkatan potensi pertumbuhan
awan hujan yang signifikan di wilayah Indonesia bagian barat.
Gambar 1. Anomali Curah Hujan Januari-Februari-Maret 2016
Gambar 2. Standar Deviasi Anomali Curah Hujan Januari-Februari-Maret 2016
-412-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 3. Rata-rata Anomali Curah Hujan Yang Meliputi Wilayah Dalam Luasan -150 LS s.d 100 LU
Analisis rata-rata anomali curah hujan melintang yang meliputi area -150 LS s.d 100 LU, juga jelas
terlihat menunjukkan kenaikan curah hujan . Kenaikan curah hujan yang menonjol di Januari (terlihat puncak
grafik, Gambar 3) terjadi pada daerah 950 BT. Kenaikan curah hujan secara signifikan disumbang oleh
curah hujan yang terjadi di Sumatera Utara bagian barat. Curah hujan Februari memiliki kondisi curah hujan
yang sama dengan Januari tetapi dengan penambahan curah hujan di longitude 110-1150 BT. Lokasi lainnya
walaupun memili puncak tetapi nilainya masih negatif atau dibawah 0 mm/hari. Nilai yang negatif juga
menunjukkan pengurangan curah hujan di beberapa kawasan tertentu khususnya di lautan. Pengurangan
curah hujan ini relatif konsisten selama JFM khususnya pada kawasan sekitar 1250 BT atau wilayah Nusa
Tenggara Timur dan Maluku. Secara klimatologis kawasan ini merupakan kawasan dengan pola curah hujan
yang mencapai nilai minimum dibanding bulan-bulan lainnya. Kawasan ini memiliki pola curah hujan antimonsoon atau Indonesian throughflow (Aldrian dan Susanto, 2003). Pola curah hujan ini disebut juga dengan
pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola
lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan
tipe hujan monsun. Tetapi pada awal 2016 ini curah hujan yang sudah rendah ini terlihat lebih rendah lagi
dibanding dengan kondisi normalnya.
Selanjutnya analisis kondisi atmosfer atas di Wilayah Indonesia selama JFM (Gambar 4) menunjukkan
bahwa angin bertiup dari bagian timur Indonesia menuju bagian barat dan mengalami kenaikan pada
longitude 95-1000 BT pada Januari. Pola sedikit berbeda terjadi bulan Februari dan Maret, terjadi kenaikan
pada130-145 BT selain kenaikan pada longitude 95-1000 BT. Akibatnya disekitar lokasi ini terjadi konveksi
yang menyebabkan peningkatan potensi terbentuknya awan. Potensi awan yang terbentuk lebih besar
dibanding sekitarnya ini menyebabkan kenaikan curah hujan yang lebih besar dibanding kawasan lainnya.
Kondisi atmosfer yang sesuai menyebabkan proses konveksi dapat terjadi dengan baik dan kemudian
membentuk awan yang pada akhirnya meningkatkan curah hujan di lokasi tersebut.
-413-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
Gambar 4. Penampang Melintang Atmosfer dari 1000 mbar-100 mbar Dalam Area -150 LS s.d 100 LU. Pola
Angin Zonal Ditunjukkan Garis Putus-Putus dan Kelembapan Spesifik Positif (Negatif) Ditunjukkan Warna Biru
(Merah) Selama Januari-Februari-Maret 2016.
-414-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Penampang Melintang Atmosfer dari 1000 mbar-100 mbar Dalam Area -150 LS s.d 100 LU. Kecepatan
Tekanan Vertikal dan Divergensi Selama Januari s.d Maret 2016.
Gambar 5 menunjukkan kondisi atmosfer diatas BMI khususnya mengenai kecepatan tekanan vertikal
dan divergensi saat JFM 2016. Kecepatan tekanan vertikal ini dan divergensi membantu analisis curah hujan
yang terjadi di beberapa lokasi BMI. Terlihat ketika kecepatan tekanan vertikal ini negatif (positif) maka
akan meningkatkan (mengurangi) curah hujan yang terjadi di lokasi tersebut.
4. KESIMPULAN
Analisis kondisi atmosfer di Benua Maritim Indonesia dengan menggunakan data reanalisis JRA-55
dapat membantu untuk memahami kondisi atmosfer dan implikasinya di Benua Maritim Indonesia. Data
reanalisis JRA-55 merupakan data reanalisis variasional 4 dimensi (4D-Var) produk Japan Meteorological
Agency yang memiliki rentang 55 tahun (1958-2012) serta menggabungkan data observasi, radiosonde,
satelit dan data observasi. JRA-55 dapat digunakan untuk studi tentang perubahan iklim, variabilitas multi-dekade
dan monitoring sistem iklim khususnya di BMI. Kondisi awal tahun 2016 ditandai dengan curah hujan yang
relatif lebih tinggi dibanding kondisi normal klimatologinya. Tetapi dibeberapa lokasi terjadi pengurangan
curah hujan khususnya Pulau Jawa dan sebagian besar Sumatera hal ini disebabkan pengaruh El Nino masih
terjadi. Pengurangan curah hujan dibeberapa lokasi tersebut akibat berkurangnya pembentukan awan.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih diberikan untuk Dr.Ardhasena Sopaheluwakan atas berbagai petunjuk dan saran
dalam penggunaan JRA-55.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., dan Susanto, D., (2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their
Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology , 23:1435-1452.
Anonim (2016). Jumlah Kejadian Bencana, Korban, dan Dampaknya sampai bulan Januari 2016, diunduh 8 Juni 2016
dari .htpp:/bnpb.go.id
Ebita, A., dan Coauthors (2011). The Japanese 55-year reanalysis ‘‘JRA-55’’: An interim report. SOLA, 7:149–152,
doi:10.2151/sola.2011-038.
-415-
Analisis Kondisi Atmosfer di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55 (Kadarsah)
Haiberger, L., Tavolato, C., dan Sperka, S., (2008). Toward elimination of the warm bias in historic radiosonde
temperature records—some new results from a comprehensive intercomparison of upper air data. J Climate,
21:4587–4606
Harada, Y., Kamahori, H., Kobayashi, C., Endo, H., Kobayashi, S., Ota, Y., Onoda, H., Onogi, K., Miyaoka, K., dan
Takahashi, K., (2016). The JRA-55 Reanalysis: Representation of atmospheric circulation and climate variability. J
Meteor. Soc. Japan, doi:10.2151/jmsj.2016-015.
Haiberger, L., Tavolato, C., dan Sperka, S., (2012). Homogenization of the Global Radiosonde Temperature Dataset
through Combined Comparison with Reanalysis Background Series and Neighboring Station. J Climate, 25:81088131
Hodges, K.I, Lee R.W, dan Bengtsson L., (2011). A Comparison of Extratropical Cyclones in Recent Reanalyses ERAInterim, NASA MERRA, NCEP CFSR, and JRA-25. J Climate, 24:4888-4960
Kobayashi, S., Ota, Y., Harada, Y., Ebita, A., Moriya, M., …, dan Takahashi, K., (2015). The JRA-55 Reanalysis:
General specifications and basic characteristics. J Meteor. Soc. Japan, 93:5-48, doi:10.2151/jmsj.2015-001
Laffineur, T., Claud, C., Chaboureau, J.P., dan Noer, G., (2014). Polar lows over the Nordic seas: Improved
representation in ERA-Interim compared to ERA-40 and the impact on downscaled simulations. Mon. Wea. Rev.,
142:2271–2289, doi:10.1175/MWR-D-13-00171.1.
Onogi, K., Tsutsui, J., Koide, H., Sakamoto, M., Kobayashi, S., Hatsushika, H., Matsumoto, T., …, dan Taira, R.,
(2007). The JRA-25 Reanalysis. J Meteor. Soc. Japan, 85:369-432, doi:10.2151/jmsj.85.369.
Shunichi, I.W., Hiroshi, N., Wataru, Y., (2016). Climatology of Polar Mesocyclones over the Sea of Japan Using a New
Objective Tracking Method. Monthly Weather Review, 144(7):2503-2515.,
Uppala, S. M., dan Coauthors (2005). The ERA-40 Re-Analysis. Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 131:2961–3012.
Yanase, W., Niino, H., Watanabe, S., Hodges, K., Zahn, M., dan Gurvich, I.A., (2015). Climatology of Polar Lows over
the Sea of Japan Using the JRA-55 Reanalysis , J Climate, 29:419-437
Yokoi, S., (2014). Multireanalysis Comparison of Variability in Column Water Vapor and Its Analysis Increment
Associated with the Madden–Julian Oscillation. J Climate, 28:793-808.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
DAFTAR ACARA
PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Analisis Kondisi Atmosfer Di Benua Maritim Indonesia Menggunakan JRA-55
: Kadarsah (BMKG)
:
Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing. (LAPAN)
1. Mohon setiap gambar dengan sumbu X dan Y dituliskan satuannya
2. Disebutkan bahwa data JRA 55 digabungkan dengan data observasi, radiosonde, satelit dan data
observasi. Mohon dijelaskan data observasi, radiosonde, satelit dan data observasi diperoleh dari mana?
dan dijelaskan hubungan setiap data dengan grafik curah hujan dan kondisi atmosfer.
Jawaban:
1. Terimakasih atas saran gambar, akan diperbaiki.
2. JRA merupakan data reanalisis selama 55 tahun (sebelumnya JRA-25, data reanalisis 25 tahun) produk
JMA (Japan Meteorology Agency). Data ini setelah melalui proses menggunakan asimilasi, ddln
mengabungkan data observasi, radiosonde, satelit. Data observasi yang mereka peroleh dari data WMO
(data WMO ini merupakan kumpulan dari data anggotanya termasuk Indonesia). Detail tentang sumber,
proses asimilasi dlln dijelaskan dalam referensi mengenai JRA-55.(Kobayashi, S., Y. Ota, Y. Harada, A.
Ebita, M. Moriya, H. Onoda, K. Onogi, H. Kamahori, C. Kobayashi, H. Endo, K. Miyaoka, and K.
Takahashi , (2015). The JRA-55 Reanalysis: General specifications and basic characteristics. J. Meteor.
Soc. Japan, 93, 5-48, doi:10.2151/jmsj.2015-001). Grafik yang digambarkan jelas memiliki hubungan
dengan kondisi atmosfer khususnya di BMI (Benua MAritim Indonesia). Kondisi curah hujan yang
terjadi dibeberapa wilayah BMI dipengaruhi atau ada variabel lain yang terlihat berubah misalnya
kecepatan vertikal, divergensi, arah dan kecepatan angin. Yang ditunjukkan disini hanya contoh untuk
kecepatan vertikal dan divergensinya.
-416-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan
Algoritma Support Vector Machine (SVM)
Rainfall Intensity Classification from Himawari-8 using
Support Vector Machine Algorithm
Raafi’i Darojat Triyoga 1*) dan AgieWandala2
1
2
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK –Teknologi penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan berbagai bidang, salah satunya
adalah estimasi curah hujan. Hingga saat ini teknik estimasi curah hujan khususnya dengan pemanfaatan data citra
satelit banyak dilakukan dengan metode matematis dan deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk membuat klasifikasi
intensitas hujan dari satelit Himawari-8 dengan resolusi spasial mencapai 4 km untuk kanal infra merah. Model estimasi
yang digunakan adalah pendekatan metode Support Vector Machine (SVM) yang merupakan cabang ilmu dari Artificial
Neural Network (ANN). Perhitungan matematis dengan metode ini menghasilkan output dengan meminimalkan nilai
error sehingga model estimasi memiliki performa yang baik dalam mengklasifikasi kejadian hujan. Wilayah yang
digunakan dalam eksperimen ini yaitu pulau Jawa dengan menggunakan lima kanal dari Himawari-8, yaitu kanal-kanal
7 (3,85 µm), kanal 8 (6,25 µm), kanal 13 (10,45 µm), dan kanal 15 (12,35 µm). Data GSMaP (Global Satellite Mapping
of Precipitation) digunakan sebagai data pembanding sekaligus menjadi data training eksperimen klasifikasi curah
hujan. Batasan klasifikasi target antara lain: A (0 mm), B (0,01-0.5 mm), C (0,5-1 mm), D (1-2 mm), E (2-4 mm), F (48 mm), G (8-12 mm), H (12-20 mm), dan I (≥20 mm). Teknik yang dibangun menghasilkan estimasi klasifikasi daerah
hujan yang cukup baik, dilihat dari sebaran hujan pada tanggal 14 Desember 2015 yang mendekati kondisi aktual. Nilai
Root Mean Squared Error (RMSE) 0,2187, Mean Absolute Error (MAE) 0,0478 dan akurasi hingga 70 %
mengindikasikan bahwa performa model estimasi curah hujan dengan SVM menunjukan bias yang cukup kecil dan
kemampuan estimasi area hujan yang cukup akurat.
Kata kunci: Estimasi Curah Hujan, Himawari-8, Support Vector Machine (SVM)
ABSTRACT - Remote sensing technology has been largely used for the needs of various fields includes the rainfall
estimation problems. Recently, rainfall estimation techniques using satellite imagery data are mostly developed by
mathematical and descriptive methods. This research purposed to classify the rainfall intensity from Himawari-8
satellite data with a spatial resolution up to 4 km for infrared channels. The numerical model to solve the problems is
Support Vector Machine algorithm (SVM), which is a branch of Artificial Neural Network (ANN). Mathematical
calculations with this method generates output by minimizing the error value so that the estimation models have good
performance in classifying rainfall event. The area of experiment is Java island by using five channels of Himawari-8,
the image of channel 13 (11 µm), the image of channel 15 (12 µm), the image of channel 8 (6,7 µm) and the image of
the channel 7 (3,9 µm). GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) data is used as the comparative data and a
training data of experiments rainfall classification. Limitation of the target classification among others: 0 mm, 0.01-1
mm, 1-5 mm, 5-10 mm, 10-20 mm > 20 mm. This technique showed a good estimation of area rainfall classification,
indentified from the distribution of rainfall on December 14, 2015 that approached an actual conditions. The value of
Root Mean Squared Error (RMSE) 0,2401 and the accuracy up to 82,4% indicated that the performance of rainfall
estimation model with SVM showed small bias and accurate result.
Keywords: Rainfall Estimation, Himawari-8, Support Vector Machine (SVM)
1.
PENDAHULUAN
Hujan menjadi salah satu fenomena penting dalam kajian meteorologi karena merupakan suatu kejadian
yang paling sering menjadi sorotan akibat dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Dalam
beberapa tahun terakhir, bencana yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan semakin meningkat, hal ini
menjadi tantangan tersendiri untuk selalu memperbaharui dan menyempurnakan metode prakiraan curah
hujan. Kondisi cuaca Indonesia yang cenderung terpangaruh oleh fenomena lokal membuat metode untuk
prakiraan curah hujan menjadi sangat beragam, tergantung dari letak geografis, kondisi topografi serta
kondisi iklim daerah tersebut.
-417-
Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk)
Hujan merupakan hal yang penting dalam siklus hidrologi dan memiliki variasi spasial serta temporal
yang sangat besar. Curah hujan juga penting dalam prediksi cuaca dan iklim di mana diperlukan cakupan
data yang luas dan akurat, sehingga pengetahuan tentang jumlah curah hujan pada suatu daerah menjadi
sangat penting. Data curah hujan yang ada di Indonesia saat ini masih terbatas dari alat penakar hujan
konvensional manual dan/atau dari data Automatic Weather Station (AWS) yang tersebar di Indonesia.
Namun untuk daerah kepulauan terutama daerah yang terpencil masih jauh dari jangkauan alat penakar
hujan, baik konvensional maupun otomatis. Oleh karena itu pengembangan estimasi curah hujan sangat
diperlukan. Salah satunya adalah estimasi curah hujan dengan menggunakan data dari citra satelit.
Tulisan ini bertujuan menguji metode estimasi curah hujan dengan menggunakan nilai klasifikasi pada
data satelit Himawari-8 menggunakan perhitungan matematis Support Vektor Machine (SVM) Algorithm.
Penggunaan metode ini didasarkan pada kelebihannya yang mampu menghitung pola data dalam jumlah
yang besar dengan meminimalkan nilai error sehingga dapat memaksimalkan hasil yang akan dicapai
nantinya.
2.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental. Dimana sampel tempat dan waktu
diambil secara subjektif sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan
tujuan penelitian ini.
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel wilayah pulau Jawa dengan koordinat 105o – 114oE dan
o
4.5 – 9oS untuk waktu kejadian hujan tanggal 14 Desember 2015 untuk jam 01-23 UTC. Data yang
digunakan adalah data olahan per grid dengan rentang 0.10 untuk spasial wilayah penelitian.
Data utama yang digunakan merupakan data dari hasil olahan citra infrared satelit Himawari-8 yang
terdiri dari kanal 7 (3.85 µm), kanal 8 (6.25 µm), kanal 13 (10.45 µm), dan kanal 15 (12.35 µm).
Penggunaan hanya kanal infrared saja didasarkan pada fungsi dari masing masing kanal yang berkaitan satu
sama lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapannya dalam penelitian ini. Selain itu,
penggunaan kanal infrared saja bertujuan untuk mendapat pola data dengan distribusi data yang seimbang
karena seluruh nilai dari data kanal infrared cenderung memiliki besaran nilai yang sama.
Himawari-8 merupakan satelit cuaca dengan orbit geostasioner yang dioperasikan oleh Japan
Meteorological Agency (JMA) dengan koordinat orbit 140oE yang melewati wilayah Jepang, Papua dan
Australia bagian tengah. Himawari-8 merupakan penerus dari satelit cuaca sebelumnya yaitu Multifunctional Transpotr Satellite (MTSAT-2). Satelit Himawari-8 telah mengalami pengembangan yang
signifikan dengan menawarkan kelebihan pada frekuensi dan resolusi dari citra yang dihasilkan.
Data yang digunakan sebagai data truth atau data pembanding untuk mendapatkan pola klasifikasi hasil
estimasi potensi hujan berdasarkan data citra satelit Himawari-8 adalah dari data GSMaP. Data GSMaP
digunakan karena data tersebut merupakan data observasi curah hujan menggunakan satelit sehingga jenis
data ini dianggap cocok untuk dijadikan sebagai data pembanding dengan data dari citra Himawari-8.
GSMaP atau Global Satellite Mapping of Precipitaion,merupakan sebuah projek yang dipromosikan oleh
JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) pada tahun 2007 yang bertujuan untuk mempromosikan
kajian tentang produk peta curah hujan global yang akurat dengan resolusi tinggi menggunakan data satelit.
Data ekstraksi hasil olahan awal dari GSMaP diklasifikasikan berdasarkan pola data yang tersedia,
eksperimen dilakukan menggunakan klasifikasi nilai dengan rentang antara lain: A (0 mm), B (0,01-0,5
mm), C (0,5-1 mm), D (1-2 mm), E (2-4 mm), F (4-8 mm), G (8-12 mm), H (12-20 mm), dan I (≥20 mm).
Komputasi dilakukan dengan data permulaan waktu sekarang untuk membangun sebuah model estimasi
yang digunakan untuk perhitungan estimasi potensi curah hujan satu jam yang akan datang, pola perhitungan
ini dilakukan secara berkelanjutan. Sebagai contoh, untuk melakukan estimasi hujan jam 01 Z, maka data
yang digunakan untuk membangun model estimasi adalah data jam 00 Z.
Data olahan citra satelit, data curah hujan GSMaP dan data klasifikasi curah hujan kemudian digabung
dalam sebuah file dengan format baris dan kolom dengan posisi lintang dan bujur yang sama. Data gabungan
tersebut kemudian dikomputasi lebih lanjut dengan perhitungan algoritma SVM menggunakan program
analisis numerik untuk memperoleh hasil estimasi potensi hujan berdasarkan klasifikasi rentang nilai yang
telah ditentukan.
SVM (Support Vector Machine) merupakan proses perhitungan matematika yang meniru sistem kerja
jaringan saraf otak manusia atau yang biasa dikenal dengan istilah Artificial Neural Network (ANN). Dengan
sistem kerja ini, komputasi dapat dilakukan dengan menggunakan banyak data dengan hasil perhitungan
yang memiliki nilai error yang relatif kecil.
-418-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Data olahan awal
Data
Himawari-8
dengan grid 0.1
o
Data
GSMaP
Data Olahan
Algoritma
SVM
Model Estimasi
Perhitungan dengan Data
citra satelit
Estimasi
Potensi Hujan
Gambar 1. Alur Pengolahan Data.
SVM merupakan sebuah algoritma pelatihan yang memaksimalkan margin antara pola pelatihan dan
batas keputusan yang disajikan. Jumlah efektif parameter diatur secara otomatis agar sesuai dengan
kompleksifitas masalah. Secara prinsip, SVM merupakan sebuah klasifikasi data linier yang solusinya
dinyatakan sebagai kombinasi linear dari pola pendukung (Boser, 1994).
Data output hasil prediksi potensi curah hujan yang telah dihasilkan dari perhitungan model estimasi
tersebut kemudian dipetakan berdasarkan wilayah penelitian menggunakan perangkat lunak sistem informasi
geografis untuk mendapatkan sebuah gambaran wilayah yang memiliki potensi hujan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data olahan awal yang dihasilkan dengan menggunakan grid 0,10, menghasilkan data grid dengan jumlah
4186 titik untuk wilayah pulau Jawa. Data tersebut dikomputasi dengan menggunakan program analisis
numerik untuk menghasilkan estimasi potensi hujan selama 1 jam yang akan datang. Data pembanding atau
data curah hujan aktual yang digunakan untuk mendapatkan tingkat keakuratan dari estimasi hujan diperoleh
dari dari data curah hujan GSMaP.
3.1 Analisis Peta Hujan
Untuk analisis dan pembahasan peta hujan, terdapat dua peta yang disajikan, yaitu Peta Hujan Aktual dan
Peta Estimasi Potensi Hujan. Untuk sampel analisis dan pembahasan peta hujan, digunakan jam 14 UTC, 15
UTC, dan 16 UTC sebagai sampel, karena sebaran hujan yang relatif banyak hampir di seluruh pulau Jawa
dengan intensitas yang relatif tinggi. Hal ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana sensitifitas sebaran
estimasi potensi hujan terhadap hujan aktualnya.
Gambar 3. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 14 UTC
Gambar 2. Peta Hujan Aktual Jam 14 UTC
-419-
Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk)
Pada peta hujan aktual jam 14 UTC (Gambar 2), menunjukan sebaran hujan yang paling banyak dengan
intensitas di atas 8 mm terdapat pada bagian tengah dari pulau Jawa yang mencakup hampir seluruh bagian
tengah wilayah pulau Jawa. Untuk peta estimasi potensi hujan jam 14 UTC (Gambar 3), terdapat wilayah
overestimate di bagian perairan selatan pulau Jawa. Sebaran intensitas hujan di atas 8 mm sedikit bergeser ke
arah utara bila dibandingkan dengan peta hujan aktualnya.
Nilai akurasi peta estimasi potensi hujan jam 14 UTC yaitu sebesar 40,83% bila dibandingkan
dengan hujan aktualnya.
Gambar 5. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 15
UTC
Gambar 4. Peta Hujan Aktual Jam 15 UTC
Pada Peta Hujan Aktual jam 15 UTC (Gambar 4), menunjukkan wilayah dominan curah hujan dengan
intensitas di atas 8 mm terdapat di bagian tengah, perairan utara, dan perairan selatan pulau Jawa. Terdapat
intensitas hujan lebih dari 20 mm (yang ditandai denga warna merah) di wilayah utara perairan pulau Jawa.
Peta Estimas Potensi Hujan jam 15 UTC (Gambar 5) memiliki pola sebaran yang hampir sama dengan
hujan aktualnya. Namun, terdapat wilayah yang overestimate untuk wilayah tengah pulau, perairan bagian
utara dan perairan bagian selatan pulau Jawa. Wilayah overestimate pada peta estimasi memiliki intensitas
hujan lebih dari 12 mm yang dominan pada sebaran luasan potensi hujannya. Nilai akurasi pada Peta
Estimasi Potensi Hujan jam 15 UTC yaitu 50,79% terhadap hujan aktualnya.
Gambar 7. Peta Estimasi Potensi Hujan Jam 16 UTC
Gambar 6. Peta Hujan Aktual Jam 16 UTC
Peta Hujan Aktual jam 16 UTC (Gambar 6) memiliki sebaran hujan sama seperti pada Peta Hujan Aktual
jam 15 UTC (Gambar 4) dengan sebaran hujan di wilayah perairan utara, bagian tengah pulau, dan wilayah
perairan bagian selatan pulau Jawa dengan sebaran hujan mencapai lebih dari 12 mm hingga lebih dari 20
mm. terdapat juga wilayah sebaran hujan pada lebih dari 8 mm hingga di atas 20 mm untuk perairan sebelah
timur laut pulau Jawa.
Pada Peta Estimasi Potensi Hujan jam 16 UTC (Gambar 7), didominasi oleh wilayah overestimate dengan
sebaran potensi hujan yang hampir sama dengan hujan aktualnya. Nilai intensitas lebih dari 20 mm pada
sebaran potensi hujan terlihat lebih banyak dibandingkan dengan sebaran hujan aktualnya.
Nilai akurasi untuk Peta Estimasi Potensi Hujan jam 16 UTC mencapai 50,67% dari sebaran hujan
aktualnya.
3.2 Analisis Tingkat Keakuratan.
Untuk anilisis tingkat akurasi dari hasil estimasi potensi hujan untuk tanggal 14 Desember 2015 jam 01 –
23 UTC dilakukan dengan menggunakan 3 kriteria, yaitu Nilai Tingkat Akurasi, Mean Absolute Error
(MAE), dan Root Mean Squared Error (RMSE).
Time
(UTC)
01
02
Tabel 1. Validasi Tingkat Keakuratan
Mean Absolute
Root Mean Squared
Tingkat Akurasi
Error
Error
50.48 %
0.11
0.3317
49.47 %
0.1123
0.3351
-420-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Time
(UTC)
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Mean Absolute
Error
0.1122
0.1044
0.1124
0.1187
0.1041
0.1702
0.1525
0.1566
0.1542
0.1429
0.1295
0.1315
0.1094
0.1096
0.1091
0.1116
0.1045
0.0947
0.1046
0.0526
0.0478
Tingkat Akurasi
49.52 %
53.03 %
49.40 %
46.58 %
53.15 %
23.41 %
31.37 %
29.53 %
30.65 %
35.69 %
41.73 %
40.83 %
50.79 %
50.67 %
50.91 %
49.79 %
52.69 %
57.38 %
52.94 %
76.33 %
78.48 %
Root Mean Squared
Error
0.3349
0.3231
0.3353
0.3445
0.3227
0.4125
0.3905
0.3957
0.3926
0.378
0.3598
0.3626
0.3307
0.3311
0.3303
0.334
0.3233
0.3077
0.3234
0.2294
0.2187
Tingkat akurasi yang dihasilkan dari hasil estimasi potensi hujan terhadap hujan aktualnya dengan
validasinya (Tabel 1) memiliki keterkaitan, semakin besar nilai tingkat akurasi maka semakin kecil nilai dari
RMSE dan MAE artinya hasil estimasi yang dihasilkan semakin mendekati kondisi aktualnya.
76,33%
52,94%
57,38%
52,96%
50,91%
49,79%
50,67%
50,79%
41,73%
40,83%
35,69%
30,63%
31,37%
29,53%
53,15%
49,40%
46,58%
53,03%
23,41%
40,00%
49,52%
60,00%
50,48%
80,00%
49,47%
Nilai Akurasi
100,00%
78,48%
Tingkat Akurasi
20,00%
0,00%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jam (UTC)
Gambar 8. Tingkat Akurasi
Estimasi Potensi Hujan pada tanggal 14 Desember 2015, menunjukkan ada variasi tingkat akurasi yang
terjadi selama 23 Jam (Gambar 8). Pada jam 01 UTC hingga 07 UTC, tingkat akurasi masih relatif sama
yaitu di kisaran 46 – 53 %. Kemudian tingkat akurasi tersebut turun hingga menyentuh angka 23 % pada jam
08 UTC. Namun setelah jam 08 UTC, trend tingkat akurasinya naik secara berkala hingga nilai 78 % pada
jam 23 UTC.
Secara keseluruhan, nilai akurasi estimasi potensi hujan bernilai positif. Hasil estimasi yang dihasilkan
memiliki nilai akurasi yang bertambah hingga mencapai puncaknya pada jam 23 UTC yaitu 78,48 %.
Dengan nilai akurasi ini, estimasi yang dihasilkan oleh perhitungan menggunakan komputasi algoritma SVM
dengan data satelit Himawari-8 selalu menunjukkan hasil yang relatif baik dengan nilai akurasi yang
mencapai lebih dari 70%.
-421-
Klasifikasi Intensitas Hujan dari Data Himawari-8 menggunakan Algoritma Support Vector Machine (SVM) (Triyoga, R.D.,dkk)
Gambar 9. Nilai RMSE dan MAE
Validasi menggunakan nilai RMSE dan MAE bertujuan untuk menghitung keakuratan sebuah model
terhadap nilai aktualnya. Nilai RMSE dan MAE memiliki nilai semakin rendah, maka model tersebut
semakin valid dan mendekati keadaan aktualnya.
Nilai RMSE dan MAE untuk estimasi hujan tanggal 14 Desember 2015 jam 01 – 23 UTC (Gambar 9),
menunjukkan hasil yang positif. Nilai validasi yang dihasilkan paling tinggi yaitu RMSE mencapai 0,2187
dan MAE mencapai 0,0478. Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi potensi hujan yang dihasilkan
dengan komputasi Algoritma SVM menggunakan data citra satelit Himawari-8, secara berkala mampu
mendekati kondisi aktualnya.
4.
KESIMPULAN
Model estimasi potensi hujan dengan komputasi Algoritma SVM menggunakan data citra satelit
Himawari-8 menunjukan hasil yang positif dengan tingkat akurasi lebih dari 70%. Peta Estimasi Potensi
Hujan yang dihasilkan secara umum memiliki pola sebaran hujan yang hampir sama dengan hujan aktualnya.
Sedangkan intensitas pada peta estimasi potensi hujan cenderung overestimate dari hujan aktualnya.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) atas bantuannya dalam menyediakan data satelit
Himawari-8 untuk tanggal 14 Desember 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, R. F., dan Negri, A. J. (1988). A satellite technique to estimate tropical convective and stratiform rainfall. J.
Appl. Meteor., 27:30–51.
Ahrens, D.C. (2012). Tenth edition of Meteorology Today : An Introduction To Weather, Climate, And The
Environment. Brooks/Cole, USA.
Boser, Benhard E., Isabelle, M., Guyon, Vladimir, N., dan Vapnik (1992). A Train Algortihm for optional margin
classifiers. Proceeding of the fifth annual workshop on Computational learning theory, USA.
Kidd, C., dan George, H. (2011). Global Precipitation Measurement. Meteorol. Appl., 18:334-353.
Kubota, Takuji, Ken’ichi, O., Shige, Ushio, T., …, dan Oki, R. (2007). Presentasi The Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMaP) Project. The 7th GPM International Planning Workshop. BellesaleKudan, Tokyo, Japan.
Sembiring, K., (2007). Penerapan Teknik Support Vector Machine untuk Pendeteksian Instruksi pada Jaringan. Tugas
Akhir. Teknik Elektro dan Informatika ITB, Bandung.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
: Klasifikasi Intensitas Hujan Dari Data Himawari-8 Menggunakan Algoritma Support
Vector Machine (SVM)
: Raafi'i Darojat Triyoga
-422-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Diskusi
:
Pertanyaan: Nur Setyawan (BMKG):
Resolusi Himawari-8 dari data BMKG memiliki resolusi 0,04 x 0,040, sedangkan untuk olahan data menjadi
0,10. Bagaimana cara menjadikan data tersebut menjadi 0,10?
Jawaban:
Resolusi yang digunakan dalam olahan data 0,10 sebagai eksperimen awal untuk mendapatkan resolusi data
yang seimbang dengan data GSMaP sebagai data pembanding. Metode yang digunakan untuk mengubah
resolusi tersebut adalah metode upscaling. Pemilihan metode ini untuk mendapatkan nilai yang sesuai antara
kedua jenis data tersebut untuk selanjutnya dapat dilakukan komputasi untuk menghasilkan estimasi hujan.
Pertanyaan: Dony Kushardono (Pustfatja LAPAN):
1. Apakah SVM itu mengklasifikasi jenis awan dari data satelit?
2. Akurasinya sampai berapa?
Jawaban:
1. Penggunaan metode komputasi SVM pada penelitian ini bukan ditunjukan untuk mengklasifikasikan
jenis awan. Namun untuk mengklasifikasikan hujan dengan menggunakan data dari satelit Himawari-8.
Estimasi yang dilakukan lebih kepada sifat dari setiap kanal yang digunakan untuk langsung dapat
menghasilkan estimasi hujan dengan mengabaikan jenis awan.
2. Untuk akurasi, penggunaan metose komputasi SVM memiliki tingkat akurasi mencapai 70% (untuk
eksperiman kejadian selama periode 23 jam)
-423-
Download