GAMBARAN BEBAN PAJAK DI RS. ISLAM DAN PROSPEK KEDEPANNYA SERTA KONSESI PAJAK *) (Drs. H.S.Eko Prijono, MM – MUKISI) I. PENDAHULUAN 1. UU Rumah Sakit Rumah Sakit sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 berdasarkan pengelolaannya dapat dibagi menjadi Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat. Rumah Sakit Publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan hukum yang bersifat Nirlaba. Sedangkan Rumah Sakit Privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan Profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Sesuai dengan asas dan tujuan sebagaimana tertuang dalam pasal 2, bahwa Rumah Sakit mempunyai fungsi sosial. Hal ini tentu saja sangat berkaitan langsung dengan Rumah Sakit Publik yang bersifat Nirlaba. Meskipun bersifat Nirlaba dan amanah fungsi sosial, Rumah Sakit Publik tetap dituntut menjaga standard mutu pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam melayani pasien. Dan untuk menjaga standard mutu tersebut diperlukan sarana dan prasarana serta tenaga profesional yang susuai standard. Dalam hal pembiayaan terdapat perbedaan yang cukup besar antara Rumah Sakit Publik yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan hukum swasta yang bersifat Nirlaba. Pembiayaan Rumah Sakit Pemerintah bersumber selain dari penerimaan Rumah Sakit, maka masih diperoleh dari Anggaran Pemerintah/Pemerintah Daerah, sedangkan Rumah Sakit Publik yang dikelola swasta sangat mengandalkan penerimaan dari operasional Rumah Sakit disamping berasal dari sumber lain yang tidak mengikat. Pada prakteknya cukup banyak Rumah Sakit Publik yang dikelola oleh organisasi keagamaan yang bersifat Nirlaba dengan segala permasalahan khususnya dalam hal pembiayaan. Agar Rumah Sakit tetap dapat eksis membantu Pemerintah dalam mencapai tujuannya yaitu pelayanan kesehatan yang didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti Pengenaan pajak di RS 1 diskriminasi, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial, maka sudah selayaknya Rumah Sakit Publik yang dikelola swasta yang bersifat Nirlaba mendapat bantuan sumber pembiayaan dan Insensif dari Pemerintah. 2. Permasalahan Rumah Sakit Publik yang dikelola oleh Swasta. Secara umum dalam menjalankan UU Rumah Sakit tersebut tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara Rumah Sakit Publik dengan Rumah Sakit Privat. Dalam UU Rumah Sakit pasal 30 ayat 1.h. disebutkan Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan mendapat Insentif pajak yang lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sampai dengan tahun fiskal 2009 Rumah Sakit Nirlaba belum mendapatkan Insentif Pajak. Beberapa permasalahan Rumah Sakit Nirlaba antara lain : a. Pelayanan bermutu Rumah Sakit Nilaba tetap dituntut memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standard mutu pelayanan kepada pasien. b. Pembiayaan Untuk mempertahankan pelayanan bermutu, maka Rumah Sakit Nirlaba harus membiayai sarana dan prasarana, tenaga ahli serta Administrasi Manajemen secara mandiri. Pembiayaan tersebut antara lain : - Penyediaan sarana fisik - Penyediaan Peralatan Medis - Penyediaan bahan operasional - Pembiayaan tenaga ahli - Pembiayaan manajemen c. Fasilitas Umum Dalam pembiayaan fasilitas umumpun Rumah Sakit Nirlaba tidak diberikan Insentif antara lain : - Pembiayaan tarif Listrik - Pembiayaan tarif Air - Pembiayaan tarif Bahan Bakar - Pembiayaan tarif Gas Medis - Perpajakan Pengenaan Pajak di RS 2 II. UNDANG UNDANG PERPAJAKAN UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 antara lain menyebutkan : Ayat 1 : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ayat 2 : “Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”. Ayat 3 : “Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, orhanisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”. Dalam hal ini Rumah Sakit Nirlaba termasuk Wajib Pajak yang harus memenuhi kewajiban pajaknya. 1. UU Pajak Penghasilan Sebagaimana tertuang dalam pasal 2.b UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, maka Badan (dalam hal ini Rumah Sakit Nirlaba) termasuk menjadi Subyek Pajak. Sedangkan yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah Pengenaan Pajak di RS 3 kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun (pasal 4 ayat 1 Undang-Undang ini) Dengan demikian setiap penghasilan yang diperoleh Rumah Sakit Publik menjadi Obyek Pajak sesuai dengan Undang-Undang. 2. UU PPN dan PPnBM Terhadap penyerahan barang kena pajak dan penyerahan jasa kena pajak di daerah pabean dikenai Pajak berdasarkan UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU No. 42 tahun 2009 Pasal 1 : Ayat 1 : “Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempattempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan”. Ayat 2 : “Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud”. Ayat 3 : “Barang kena pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini”. Ayat 4 : “Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak”. Ayat 5 : “Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan”. Pengenaan Pajak di RS 4 Ayat 6 : “Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini”. Ayat 7 : Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. Berdasarkan pasal 1 tersebut diatas, maka setiap transaksi penyerahan barang / jasa kena pajak yang dilakukan oleh Rumah Sakit dikenai Pajak berdasarkan Undang-Undang ini kecuali yang tidak dikenai PPN berdasarkan pasal 4A Undang-Undang ini. Pengecualian atas Barang / Jasa Kena Pajak dituangkan dalam pasal 4A Undang-Undang ini yaitu : Ayat 2 : Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut : a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. ( Meskipun tidak tidak dikenai PPN atas penyajian makanan dan minuman tersbut dikenai retribusi daerah ). d. Uang, emas batangan, dan surat berharga. Ayat 3 : Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut : a. Jasa pelayanan kesehatan medis b. Jasa pelayanan sosial c. Jasa pengiriman surat dengan perangko d. Jasa keuangan e. Jasa asuransi Pengenaan Pajak di RS 5 f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. III. Jasa keagamaan Jasa pendidikan Jasa kesenian dan hiburan Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri Jasa tenaga kerja Jasa perhotelan Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum Jasa penyediaan tempat parkir Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam Jasa boga atau katering. PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN DI RUMAH SAKIT Setiap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan dikenai Pajak berdasarkan pasal 4 ayat 1 UU No. 36 tahun 2008. Dengan demikian atas penghasilan orang pribadi yang bekerja di rumah sakit dan badan dikenai Pajak Penghasilan. 1. Pajak Penghasilan pasal 21 Pasal 21 ayat (1) “Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh : a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. Rumah Sakit sebagai pemberi kerja dalam hal ini diwajibkan melakukan pemotongan terhadap penghasilan yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi baik pegawai maupun bukan pegawai. Dengan demikian berdasarkan pasal 21 ini Rumah sakit harus melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh : Pengenaan Pajak di RS 6 a. Pegawai tetap dan pegawai tidak tetap Rumah Sakit menghitung, memotong dan menyetorkan potongan PPh 21 pegawai tetap dan pegawai tidak tetap ke Kantor Pajak serta membuat administrasi pajaknya. Penghasilan pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang dikenakan pajak meliputi antara lain : - Gaji/Upah - Tunjangan - Lembur - Tunjangan Hari Raya - Insentif - Penghasilan lain kena pajak Pajak yang disetor adalah penghasilan tersebut diatas setelah dikurangi dengan PTKP dan biaya yang boleh dikurangkan. Besarnya PTKP adalah : a. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi b. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. c. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan pebghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1). d. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Pajak yang diterutang dihitung dari tarif pajak (pasal 17 ayat 1.a.) dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak. Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima 5 % (lima persen) puluh juta rupiah) Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh 15 % (lima belas juta rupiah) sampai dengan Rp persen) Pengenaan Pajak di RS 7 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) Di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 25 % (dua puluh lima persen) 30 % persen) (tiga puluh b. Dokter dan tenaga medis lainnya Rumah Sakit menghitung, memotong dan menyetorkan potongan PPh 21 jasa dokter ke Kantor Pajak serta membuat administrasi pajaknya. Penghasilan dokter yang dikenakan pajak meliputi baik gaji maupun jasa yang diterima dari profesinya. Tarif pajak sebagaimana pasal 17 ayat 1.a. di atas 2. Pajak Penghasilan pasal 23 Rumah Sakit dapat bertindak sebagai WAPU maupun WABA dalam transaksi yang berkaitan dengan penghasilan yang termasuk kategori penghasilan pasal 23. Pasal 23 UU No. 36 tahun 2008 yaitu : Ayat (1) : Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan : Huruf a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : 1. Deviden sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g. 2. Bunga sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf f. 3. Royalti 4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf e. Pengenaan Pajak di RS 8 Huruf b. Sebesar 2% (dua persen) 1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2). 2. Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21. Dengan demikian atas transaksi-transaksi tersebut diatas, maka Rumah sakit akan dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pasal 23 tersebut. 3. Pajak Pengasilan Badan Pada setiap periode tahun fiskal Rumah Sakit membuat Laporan Laba Rugi untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang. Pada perhitungan ini tidak ada perbedaan antara Rumah Publik dengan Rumah Sakit Privat maupun badan usaha lain yang berorientasi Profit. Penghasilan yang menjadi Obyek pajak badan sebagaimana pasal 4 ayat (1) huruf c adalah laba usaha. Tarif Pajak Penghasilan Badan adalah berdasarkan pasal 17 : ayat (1) huruf b : “Wajib Pajak Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Ayat (2a) : Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25 % (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. Beberapa hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan Pajak Penghasilan Badan antara lain : a. Penerapan sistem akuntansi. b. Penghasilan yang dikenai pajak bersifat final : pasal 4 ayat (2) c. Yang dikecualikan dari obyek pajak : pasal 4 ayat (3) d. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto : pasal 6 ayat (1) e. Biaya yang tidak boleh dikurangkan : pasal 9 ayat (1) Pengenaan Pajak di RS 9 Dari beberapa hal tersebut tidak dibedakan antara Rumah sakit publik dengan Rumah sakit privat atau badan hukum profit yang lain. Di dalam biaya yang tidak boleh dikurangkan terdapat beberapa hal yang memberatkan Rumah sakit publik antara lain ; Pasal 9 ayat (1) huruf c Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali 1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang. 2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Penyelenggara jaminan sosial. 3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin simpanan 4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan 5. Cadangan penanaman kembali untuk usaha kehutanan 6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri. Rumah sakit publik swasta yang cukup banyak melayani tidak mampu, menanggung resiko yang cukup tinggi tertagihnya piutang atas pasien tidak mampu, akan tidak termasuk pengecualian biaya yang tidak dikurangkan. pasien tidak tetapi boleh Dengan tidak dibolehkan beban cadangan piutang tak tertagih mengurangi penghasilan bruto, maka beban pajak penghasilan badan menjadi tinggi dan cukup memberatkan. IV. PENGENAAN PPN DAN PPnBM DI RUMAH SAKIT Dalam hal pelayanan jasa kesehatan, maka Rumah sakit tidak dikenai PPN, namun demikian terhadap penjualan obat farmasi untuk rawat jalan yang dilakukan oleh Instalasi farmasi Rumah sakit (bukan Apotik) tetap dikenakan PPN. Pengenaan Pajak di RS 10 V. PENGENAAN PAJAK LAINNYA DI RUMAH SAKIT Atas kepemilikan tanah dan bangunan, maka rumah sakit dikenai PBB. Sampai saat ini Rumah Sakit masih diperbolehkan mengajukan keringanan PBB walaupun harus memenuhi persyaratan yang cukup rumit dan masih dapat diberikan keringanan sebesar 50 %. VI. BEA MASUK DAN CUKAI Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.04/2006 tentang Pembebasan Bea masuk dan cukai atas barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, dan kebudayaan. Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial dan kebudayaan adalah : a. Barang yang diperlukan untuk mendirikan atau memperbaiki bangunan ibadah, rumah sakit, poliklinik, dan sekolah atau barang yang akan merupakan inventaris tetapnya. b. Mobil klinik, sarana pengangkut orang sakit, sarana pengangkut petugas ibadah umum, sarana pengangkut petugas kesehatan. c. Barang yang diperlukan untuk pemakaian tetap oleh perkumpulan dan badan-badan untuk tujuan kebudayaan d. Barang yang diperlukan untuk ibadah umum seperti tikar sembahyang, permadani, atau piala-piala untuk perjamuan suci, atau barang hadiah dalam rangka perayaan haris besar keagamaan. e. Peralatan operasi, perkakas pengobatan dan bahan pembalut yang digunakan untuk badan-badan sosial f. Makanan, obat-obatan dan pakaian untuk diberikan dengan CumaCuma kepada masyaarakat yang memerlukan termasuk bantuan bencana alam. g. Barang peralatan belajar mengajar untuk lembaga pengajaran dan diberikan dengan Cuma-Cuma untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Atas barang-barang tersebut, maka Rumah Sakit yang telah ditetapkan dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini dibebaskan dari bea masuk dan cukai atas barang-barang tersebut diatas. Pengenaan Pajak di RS 11 VII. PENUTUP 1. Prospek RS Publik Swasta Dalam mencapai tujuan yaitu Rumah sakit diselenggarakan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial (UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit pasal 2), maka Rumah sakit publik swasta sangat diharapkan berperan lebih besar. Disamping itu dapat membantu tanggungjawab pemerintah dalam menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. (UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit pasal 6 ayat (1) huruf f) 2. Harapan Peningkatan peran serta Rumah sakit publik swasta akan dapat direalisasikan tentunya dengan peran Pemerintah melalui beberapa langkah real yang dapat menjadi pemicu peningkatan peran rumah sakit publik swasta tersebut. Harapan-harapan yang dibutuhkan oleh Rumah sakit publik swasta antara lain : a. Bantuan sumber dana dari pemerintah b. Insentif Pajak 1. PPN Terhadap pelayanan obat farmasi untuk Rawat Jalan agar termasuk pengecualian yang tidak dikenai PPN. Hal ini sangat membantu meringankan beban berobat pasien. 2. PPh Badan - Kelonggaran beberapa biaya yang tidak boleh dikurangkan yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk pasien tak mampu hendaknya termasuk dikecualikan yang boleh dikurangkan. - Karena selisih usaha RS. Publik swasta tidak dibagikan kepada Pemilik tetapi dipergunakan sebagai Reinvestment, maka Tarif Pajak Badan hendaknya dapat dihilangkan atau maksimal 5 %. Pengenaan Pajak di RS 12 3. PBB Tarif PBB untuk RS. Publik swasta hendaknya ditetapkan sebesar 50 % dari tarif standard. Dengan demikian RS. Publik swasta tidak perlu mengajukan keringanan setiap kali jatuh tempo pembayaran PBB. 4. Insentif Pajak Lain Insentif pajak lain diberikan kepada RS. Publik swasta yang berperan aktif dalam mendukung kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan dan sosial antara lain : - Insentif diberikan kepada rumah sakit publik swasta yang mempunyai fasilitas kamar kelas III (pasien tak mampu) lebih dari 25 %. - Insentif diberikan kepada rumah sakit publik swasta yang ikut melayani program pemerintah (Jankesmas, Jamsostek, Askes, KB). - Mempunyai Instalasi limbah, kawasan bebas rokok - Melakukan kegiatan sosial. _____________ *) Disampaikan dalam rangka Seminar 1 hari tentang “Kriteria Pelayanan sosial RS dan Konsesi Pajak untuk RS non-profit”, Rabu 9 Juni 2010, di Hotel Santika Jakarta. Pengenaan Pajak di RS 13