BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan Lanskap Perencanaan lanskap adalah suatu proses sintesis yang kreatif tanpa akhir dan dapat ditambah, juga merupakan proses yang rasional dan evolusi yang teratur. Perencanaan merupakan urutan-urutan pekerjaan yang saling berhubungan dan berkaitan. Semua bagian tersusun sedemikian rupa sehingga apabila terjadi perubahan pada suatu bagian, maka akan mempengaruhi bagian yang lainnya (Simonds, 1993). Nurisjah dan Pramukanto (1995) menyatakan bahwa merencana merupakan suatu tindakan menata dan menyatukan berbagai penggunaan lahan berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas estetiknya guna mendukung fungsi yang akan dikembangkan diatas atau pada lahan tersebut. Menurut Rachman (1984) dalam Kusuma (2001), perencanaan lanskap adalah perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu dan lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alam yang bergerak dalam kegiatan penilaian atas lahan yang luas dalam pencari ketepatan tataguna tanah di masa mendatang. 2.2. Gempa Bumi Gempa adalah getaran yang dirasakan di permukaan bumi dalam bentuk gelombang seismik di permukaan bumi akibat adanya sumber getaran yang terdapat di dalam bumi. Pusat gempa bumi yaitu titik di dalam bumi di mana gempa terjadi disebut hiposenter. Sedangkan titik pada permukaan bumi tepat di atas pusat gempa bumi disebut episenter (Tjasyono, 2003). Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Walaupun bumi padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran 5 lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi (www.wikipedia.com, diunduh 11 Januari 2010) Gempa bumi secara umum merupakan bentuk pelepasan tekanan yang terjadi di lithosferer. Ketika benturan antara batuan pada dua sisi lempeng mencegah batuan tersebut bergeser dengan mudah atau ketika batuan tersebut belum siap untuk patah, akan terjadi sebuah deformasi elastis. Ketika tekanan tinggi terakhir yang muncul memecah kekuatan dari batuan, suatu pergerakan yang tiba-tiba akan muncul untuk melepaskan tekanan. Inilah yang disebut dengan gempa (Montgomery, 2003). Montgomery (2003) juga menambahkan bahwa kekuatan gempa memiliki beragam ukuran. Mulai dari getaran sangat lemah yang sulit dideteksi oleh instrumen yang sensitif hingga guncangan dahsyat yang dapat meratakan sebuah kota. Santoso (2002), menyatakan bahwa skala intensitas gempa dapat menggambarkan besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu lokasi yang diakibatkan oleh getaran gempa. Di Indonesia skala intensitas yang banyak digunakan adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) seperti yang diuraikan pada Tabel 1. Tabel 1. Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang Disempurnakan) I. Getaran tidak dirasakan, kecuali dalam keadaan luar biasa oleh orang tertentu saja. II Getaran dirasakan orang tertentu. Benda ringan yang digantung bergoyang-goyang. III. Getaran dirasakan nyata di dalam rumah, terasa seakan-akan ada truk lewat. IV. Pada siang hari dirasakan oleh banyak orang di dalam rumah, di luar hanya oleh orang tertentu saja. Barang belah-pecah, jendela, pintu gemerincing, dinding berbunyi karena pecah-pecah. V. Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk. Barang belah-pecah,jendela dan sebagainya pecah, barang-barang terpelanting, pohon, tiang, dan lain-lain tampak bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti. VI. Getaran dirasakan oleh semua orang, kebanyakan terkejut dan lari keluar. Plester dinding jatuh dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan. VII. Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah dan bangunan yang konstruksinya tidak baik maupaun baik. Cerobong asap pecah atau retak-retak. Getaran dapat dirasakan oleh orang yang naik kendaraan. 6 Lanjutan Tabel 1. VIII. Kerusakan ringan pada bangunan yang konstruksinya baik. Retak-retak pada bangunan yang kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen roboh. Air keruh. IX. Kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi. Banyak retakan pada bangunan-bangunan yang konstruksinya kuat. Bangunan rumah bergeser dari pondasinya. Pipa dalam tanah pecah. X. Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tebing dan di tanah yang curam. Terjadi gelombang pasang dan tsunami. XI. Hancur sama sekali. Gelombang gempa tampak pada permukaan tanah. Pemandangan gelap. Benda-benda terlempar ke udara. (Sumber : Santoso, 2002) Noor (2006) menjelaskan mengenai berbagai dampak dari bencana gempa bumi, yaitu : 1. Rekahan/Patahan di Permukaan Bumi Pada umumnya gempa bumi seringkali berdampak pada rekah dan patahnya permukaan bumi yang secara regional dikenal sebagai deformasi kerak bumi. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat berdampak pada bangunan-bangunan, jalan dan jembatan, pipa air minum, pipa listrik, saluran telepon, serta prasarana lainnya yang ada di daerah tersebut. 2. Getaran/Guncangan Permuakaan Tanah Bencana gempa yang secara langsung terasa dan berdampak sangat serius adalah runtuhnya bangunan-bangunan yang disebabkan oleh getaran/guncangan gempa yang merambat pada media batuan/tanah. Pada umumnya bangunan-bangunan yang diatas lapisan batuan yang padat dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunanbangunan yang berada di atas batuan sedimen jenuh. 3. Longsoran Tanah Berbagai tipe dan jenis longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa. Hampir semua longsor tanah dapat terjadi pada radius 40 km dari pusat gempa (episenter) dan untuk gempa yang sangat besar dapat mencapai 160 km. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah. Dalam hal ini 7 gempa bersifat menginduksi gerakan tanah, sedangkan longsoran baru akan terjadi apabila daya ikat antar butiran lemah, kejenuhan batuan/sedimen, porositas dan permeabilitas batuan/tanah tinggi. 4. Kebakaran Kerusakan yang utama dan sering terjadi pada saat terjadinya gempa bumi adalah bahaya kebakaran. Pada umumnya gempa menginduksi api yang berasal dari putusnya saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang sedang beroperasi yang pada akhirnya menyebabkan kebakaran. 5. Perubahan pengaliran Terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya permukaan daratan (subsidence) seperti dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang diakibatkan oleh gempa bumi merupakan suatu permasalahan yang cukup serius. Perubahan pengaliran akibat penurunan permukaan daratan yang disebabkan oleh gempa memungkinan terbentuknya danau-danau buatan dan reservoir baru serta rusaknya bendungan. 6. Perubahan air bawah tanah 7. Tsunami Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa disebutkan tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan berdasarkan tingkat risiko gempa yang didasarkan pada informasi geologi dan penilaian kestabilan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi dapat dibedakan menjadi (6) enam tipe kawasan yang diuraikan sebagai berikut: a. Tipe A Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat. b. Tipe B 1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari 8 satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana. c. Tipe C 1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak. 2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. d. Tipe D 1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. e. Tipe E 1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. f. Tipe F 1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan 9 sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. 2.3. Mitigasi Bencana Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini diperoleh melalui analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi sebagai bahan acuan untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko (www.fema.com/mitigation.htm, 11 Januari 2010). Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya menjadi bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses mitigasi berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural dan non struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi teknologi seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara non-struktural dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna lahan dan asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Yang juga dapat dimasukan ke dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi, sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut, dan informasi serta komunikasi pada publik mengenai resiko yang mungkin terjadi (www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.htm, 11 Januari 2010). Di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa terdapat dua jenis tindakan mitigasi berdasarkan sifatnya yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif. Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1. Penyusunan peraturan perundang-undangan 2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. 3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur 10 4. Pembuatan brosur/leaflet/poster 5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana 6. Pengkajian / analisis risiko bencana 7. Internalisasi Penanggulangan Bencana dalam muatan lokal pendidikan 8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana 9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum 10. Pengarus-utamaan Penanggulangan Bencana dalam perencanaan pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: 1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dsb. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat. 4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman. 5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat. 6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana. 7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya. Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana). 2.4. Tata Ruang Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri adalah susunan pusat-pusat 11 permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaat ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antar yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan 1. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan 2. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang 3. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap block/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa disebutkan bahwa perencanaan tata ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi mencakup: 1. Penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi meliputi: penetapan tipologi kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi, 2. Penentuan struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi, serta 3. Penentuan pola ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi. 12 Di dalam peraturan tersebut juga dijelaskan pendekatan penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dilakukan melalui: 1. pendekatan kajian geologi; 2. pendekatan aspek fisik dan sosial ekonomi; 3. pendekatan tingkat risiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi; dan 4. rekomendasi penentuan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan bencana dan rekomendasi tipologi jenis kegiatan yang diperbolehkan berdasarkan tingkat kerentanan. Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi adalah: 1) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan lindung. 2) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budi daya. Arahan peraturan zonasi yang akan ditentukan diuraikan sebagai berikut : a. Tipe A Pada kawasan rawan gempa bumi tipe A untuk kawasan perkotaan dapat juga dikembangkan kegiatan perdagangan dan perkantoran, permukiman, hutan kota, pariwisata, serta industri dengan tingkat kerentanan rendah. Begitu pula dengan kawasan rawan gempa bumi di perdesaan. Kegiatan pertanian, perikanan, pertambangan rakyat, permukiman, perdagangan dan perkantoran, perkebunan, dan kehutanan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tingkat kerentanan rendah. b. Tipe B Kawasan rawan gempa bumi tipologi B dapat dikembangkan untuk kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A namun harus memenuhi syarat-syarat tingkat kerentanan sedang dan rendah. 13 c. Tipe C Kawasan rawan gempa bumi tipologi C juga dapat dikembangkan untuk kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A maupun B, namun kegiatan pertambangan tidak boleh dilakukan pada kawasan tipologi C. Syarat-syarat tingkat kerentanan yang harus dipenuhi pada kawasan rawan gempa bumi tipologi ini adalah tingkat kerentanan sedang dan tinggi. d. Tipe D Pada kawasan rawan gempa bumi tipologi D tidak diperbolehkan mengembangkan kegiatan budi daya mengingat tingkat kerawanan akibat gempa dapat membahayakan. Namun kegiatan pariwisata (wisata sosiokultural dan agro-kultural) masih dapat dikembangkan secara terbatas dengan ketentuan bangunan tahan gempa dengan tingkat kerentanan sedang dan tinggi. e. Tipe E Kawasan rawan gempa bumi tipologi E tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Kawasan ini mutlak harus dilindungi. f. Tipe F Seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi E, kawasan rawan gempa bumi tipologi F juga tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Untuk itu penggunaan ruang diutamakan sebagai kawasan lindung. 2.5. Permukiman Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1992 Pasal 1 disebutkan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. 14 Di dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman di sebutkan bahwa sarana yang utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman adalah : 1. Jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang teratur. 2. Jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan. 3. Jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) dan pencegahan banjir setempat. Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur berdasarkan jarak antar rumah-rumah sepanjang jalan sehingga dapat dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman dengan pengaturan area atau streetplan (Van der Zee dalam Setiawan, 2008). Menurut DeChiara dan Koppelman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu 1. Kondisi tanah dan bawah tanah. 2. Air tanah dan drainase. 3. Keterbebasan dari banjir permukaan. 4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan. 5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi. 6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka. 7. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan. 8. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan. 9. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.