Perencanaan lanskap permukiman untuk mitigasi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perencanaan Lanskap
Perencanaan lanskap adalah suatu proses sintesis yang kreatif tanpa akhir
dan dapat ditambah, juga merupakan proses yang rasional dan evolusi yang
teratur. Perencanaan merupakan urutan-urutan pekerjaan yang saling berhubungan
dan berkaitan. Semua bagian tersusun sedemikian rupa sehingga apabila terjadi
perubahan pada suatu bagian, maka akan mempengaruhi bagian yang lainnya
(Simonds, 1993). Nurisjah dan Pramukanto (1995) menyatakan bahwa merencana
merupakan suatu tindakan menata dan menyatukan berbagai penggunaan lahan
berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas estetiknya guna mendukung
fungsi yang akan dikembangkan diatas atau pada lahan tersebut.
Menurut Rachman (1984) dalam Kusuma (2001), perencanaan lanskap
adalah perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu dan lingkungan atau
ekologi dan pengetahuan alam yang bergerak dalam kegiatan penilaian atas lahan
yang luas dalam pencari ketepatan tataguna tanah di masa mendatang.
2.2. Gempa Bumi
Gempa adalah getaran yang dirasakan di permukaan bumi dalam bentuk
gelombang seismik di permukaan bumi akibat adanya sumber getaran yang
terdapat di dalam bumi. Pusat gempa bumi yaitu titik di dalam bumi di mana
gempa terjadi disebut hiposenter. Sedangkan titik pada permukaan bumi tepat di
atas pusat gempa bumi disebut episenter (Tjasyono, 2003).
Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng
bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal
terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Walaupun bumi padat, selalu bergerak,
dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah
terlalu besar untuk dapat ditahan. Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari
pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan
yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai
pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran
5 lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi (www.wikipedia.com,
diunduh 11 Januari 2010)
Gempa bumi secara umum merupakan bentuk pelepasan tekanan yang
terjadi di lithosferer. Ketika benturan antara batuan pada dua sisi lempeng
mencegah batuan tersebut bergeser dengan mudah atau ketika batuan tersebut
belum siap untuk patah, akan terjadi sebuah deformasi elastis. Ketika tekanan
tinggi terakhir yang muncul memecah kekuatan dari batuan, suatu pergerakan
yang tiba-tiba akan muncul untuk melepaskan tekanan. Inilah yang disebut dengan
gempa (Montgomery, 2003).
Montgomery (2003) juga menambahkan bahwa kekuatan gempa
memiliki beragam ukuran. Mulai dari getaran sangat lemah yang sulit dideteksi
oleh instrumen yang sensitif hingga guncangan dahsyat yang dapat meratakan
sebuah kota. Santoso (2002), menyatakan bahwa skala intensitas gempa dapat
menggambarkan besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu lokasi yang
diakibatkan oleh getaran gempa. Di Indonesia skala intensitas yang banyak
digunakan adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) seperti yang diuraikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang
Disempurnakan)
I.
Getaran tidak dirasakan, kecuali dalam keadaan luar biasa oleh orang tertentu saja.
II
Getaran dirasakan orang tertentu. Benda ringan yang digantung bergoyang-goyang.
III.
Getaran dirasakan nyata di dalam rumah, terasa seakan-akan ada truk lewat.
IV.
Pada siang hari dirasakan oleh banyak orang di dalam rumah, di luar hanya oleh
orang tertentu saja. Barang belah-pecah, jendela, pintu gemerincing, dinding
berbunyi karena pecah-pecah.
V.
Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk. Barang belah-pecah,jendela dan
sebagainya pecah, barang-barang terpelanting, pohon, tiang, dan lain-lain tampak
bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti.
VI.
Getaran dirasakan oleh semua orang, kebanyakan terkejut dan lari keluar. Plester
dinding jatuh dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan.
VII.
Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah dan bangunan yang
konstruksinya tidak baik maupaun baik. Cerobong asap pecah atau retak-retak.
Getaran dapat dirasakan oleh orang yang naik kendaraan.
6 Lanjutan Tabel 1.
VIII.
Kerusakan ringan pada bangunan yang konstruksinya baik. Retak-retak pada
bangunan yang kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik
dan monumen roboh. Air keruh.
IX.
Kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi.
Banyak retakan pada bangunan-bangunan yang konstruksinya kuat. Bangunan rumah
bergeser dari pondasinya. Pipa dalam tanah pecah.
X.
Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah
terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tebing dan di tanah yang curam. Terjadi
gelombang pasang dan tsunami.
XI.
Hancur sama sekali. Gelombang gempa tampak pada permukaan tanah.
Pemandangan gelap. Benda-benda terlempar ke udara.
(Sumber : Santoso, 2002)
Noor (2006) menjelaskan mengenai berbagai dampak dari bencana
gempa bumi, yaitu :
1. Rekahan/Patahan di Permukaan Bumi
Pada umumnya gempa bumi seringkali berdampak pada rekah dan
patahnya permukaan bumi yang secara regional dikenal sebagai deformasi
kerak bumi. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat
berdampak pada bangunan-bangunan, jalan dan jembatan, pipa air minum,
pipa listrik, saluran telepon, serta prasarana lainnya yang ada di daerah
tersebut.
2. Getaran/Guncangan Permuakaan Tanah
Bencana gempa yang secara langsung terasa dan berdampak sangat serius
adalah
runtuhnya
bangunan-bangunan
yang
disebabkan
oleh
getaran/guncangan gempa yang merambat pada media batuan/tanah. Pada
umumnya bangunan-bangunan yang diatas lapisan batuan yang padat
dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunanbangunan yang berada di atas batuan sedimen jenuh.
3. Longsoran Tanah
Berbagai tipe dan jenis longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan
dengan terjadinya gempa. Hampir semua longsor tanah dapat terjadi pada
radius 40 km dari pusat gempa (episenter) dan untuk gempa yang sangat
besar dapat mencapai 160 km. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat
sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah. Dalam hal ini
7 gempa bersifat menginduksi gerakan tanah, sedangkan longsoran baru
akan terjadi apabila daya ikat antar butiran lemah, kejenuhan
batuan/sedimen, porositas dan permeabilitas batuan/tanah tinggi.
4. Kebakaran
Kerusakan yang utama dan sering terjadi pada saat terjadinya gempa bumi
adalah bahaya kebakaran. Pada umumnya gempa menginduksi api yang
berasal dari putusnya saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang
sedang beroperasi yang pada akhirnya menyebabkan kebakaran.
5. Perubahan pengaliran
Terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya permukaan daratan
(subsidence) seperti dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang
diakibatkan oleh gempa bumi merupakan suatu permasalahan yang cukup
serius. Perubahan pengaliran akibat penurunan permukaan daratan yang
disebabkan oleh gempa memungkinan terbentuknya danau-danau buatan
dan reservoir baru serta rusaknya bendungan.
6. Perubahan air bawah tanah
7. Tsunami
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa disebutkan tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan
berdasarkan tingkat risiko gempa yang didasarkan pada informasi geologi dan
penilaian kestabilan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi
dapat dibedakan menjadi (6) enam tipe kawasan yang diuraikan sebagai berikut:
a. Tipe A
Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran
gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling
melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila
intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek
merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.
b. Tipe B
1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini
tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari
8 satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI
VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk
bangunan dengan konstruksi sederhana.
c. Tipe C
1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan
tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas
gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik
batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.
2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan
dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona
sesar.
d. Tipe D
1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang
saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan
kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang
zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan
lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi
landaan tsunami cukup merusak.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan
dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.
e. Tipe E
1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang
dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat
berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan
kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
f. Tipe F
1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di
sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan
episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan
9 sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam
sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
2.3. Mitigasi Bencana
Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan
kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini
diperoleh melalui analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi
sebagai bahan acuan untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko
(www.fema.com/mitigation.htm, 11 Januari 2010).
Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya
menjadi bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses
mitigasi berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau
menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai
bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural
dan non struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi
teknologi seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara
non-struktural dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna
lahan dan asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya
untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Yang juga dapat
dimasukan ke dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi,
sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut, dan informasi serta komunikasi pada
publik
mengenai
resiko
yang
mungkin
terjadi
(www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.htm, 11 Januari 2010).
Di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana disebutkan bahwa terdapat dua jenis tindakan mitigasi berdasarkan
sifatnya yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
1. Penyusunan peraturan perundang-undangan
2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
10 4. Pembuatan brosur/leaflet/poster
5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
6. Pengkajian / analisis risiko bencana
7. Internalisasi Penanggulangan Bencana dalam muatan lokal pendidikan
8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10.
Pengarus-utamaan
Penanggulangan
Bencana
dalam
perencanaan
pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pencegahan bencana.
3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang
lebih aman.
5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan
sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural
(berupa bangunan dan prasarana).
2.4. Tata Ruang
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud
struktur dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri adalah susunan pusat-pusat
11 permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Selanjutnya dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan
ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaat ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
antar yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan
ruang sehingga diharapkan
1. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya
guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan
2. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang
3. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang
Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah
administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan
rencana pola ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk
setiap block/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata
ruang.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa disebutkan bahwa perencanaan tata ruang kawasan rawan letusan
gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi mencakup:
1. Penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan
gempa bumi meliputi: penetapan tipologi kawasan rawan letusan gunung
berapi dan kawasan rawan gempa bumi,
2. Penentuan struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan
kawasan rawan gempa bumi, serta
3. Penentuan pola ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan
rawan gempa bumi.
12 Di dalam peraturan tersebut juga dijelaskan pendekatan penentuan pola
ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa
bumi dilakukan melalui:
1. pendekatan kajian geologi;
2. pendekatan aspek fisik dan sosial ekonomi;
3. pendekatan tingkat risiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan
kawasan rawan gempa bumi; dan
4. rekomendasi penentuan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan
bencana dan rekomendasi tipologi jenis kegiatan yang diperbolehkan
berdasarkan tingkat kerentanan.
Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi
dan kawasan rawan gempa bumi adalah:
1) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi
yang mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan
dipertahankan sebagai kawasan lindung.
2) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi
yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria
tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan tersebut untuk kegiatan budi daya.
Arahan peraturan zonasi yang akan ditentukan diuraikan sebagai berikut :
a. Tipe A
Pada kawasan rawan gempa bumi tipe A untuk kawasan perkotaan dapat juga
dikembangkan kegiatan perdagangan dan perkantoran, permukiman, hutan
kota, pariwisata, serta industri dengan tingkat kerentanan rendah. Begitu pula
dengan kawasan rawan gempa bumi di perdesaan. Kegiatan pertanian,
perikanan, pertambangan rakyat, permukiman, perdagangan dan perkantoran,
perkebunan, dan kehutanan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tingkat
kerentanan rendah.
b. Tipe B
Kawasan rawan gempa bumi tipologi B dapat dikembangkan untuk kegiatan
budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A namun harus
memenuhi syarat-syarat tingkat kerentanan sedang dan rendah.
13 c. Tipe C
Kawasan rawan gempa bumi tipologi C juga dapat dikembangkan untuk
kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A
maupun B, namun kegiatan pertambangan tidak boleh dilakukan pada kawasan
tipologi C. Syarat-syarat tingkat kerentanan yang harus dipenuhi pada kawasan
rawan gempa bumi tipologi ini adalah tingkat kerentanan sedang dan tinggi.
d. Tipe D
Pada kawasan rawan gempa bumi tipologi D tidak diperbolehkan
mengembangkan kegiatan budi daya mengingat tingkat kerawanan akibat
gempa dapat membahayakan. Namun kegiatan pariwisata (wisata sosiokultural
dan agro-kultural) masih dapat dikembangkan secara terbatas dengan ketentuan
bangunan tahan gempa dengan tingkat kerentanan sedang dan tinggi.
e. Tipe E
Kawasan rawan gempa bumi tipologi E tidak dapat dikembangkan untuk
kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi.
Kawasan ini mutlak harus dilindungi.
f. Tipe F
Seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi E, kawasan rawan gempa
bumi tipologi F juga tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya
mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Untuk itu
penggunaan ruang diutamakan sebagai kawasan lindung.
2.5. Permukiman
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1992 Pasal 1
disebutkan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan
permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran
dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur.
14 Di dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman di sebutkan bahwa sarana yang
utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman adalah :
1. Jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah
perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang
teratur.
2. Jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah
untuk
kesehatan lingkungan.
3. Jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) dan pencegahan
banjir setempat.
Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal
(satu rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai
dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman
sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur
berdasarkan
jarak
antar
rumah-rumah
sepanjang
jalan
sehingga
dapat
dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe
permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman
dengan pengaturan area atau streetplan (Van der Zee dalam Setiawan, 2008).
Menurut DeChiara dan Koppelman (1978), terdapat beberapa kondisi
yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu
1. Kondisi tanah dan bawah tanah.
2. Air tanah dan drainase.
3. Keterbebasan dari banjir permukaan.
4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan.
5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi.
6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka.
7. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan.
8. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan.
9. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.
Download