BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah The Arab Spring, Musim Semi Arab, adalah bahasa politik yang mulai populer dalam kancah politik internasional, terutama di negara-negara Arab, sejak awal Januari 2011 lalu. Istilah yang menunjukkan kejatuhan berderet rezim pemimpin-pemimpin otoriter dunia Arab, dimulai dari Tunisia, Zein al-Abidin Ben Ali (Ben Ali), diikuti Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, kemudian ke Libya, yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafy yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya, dilanjutkan oleh Yaman, Bahrain, dan Suriah yang masih berlangsung sampai sekarang. Rakyat Arab menyebut peristiwa politik penting ini dengan sebutan alTsaurat al-Arabiyyah yaitu revolusi yang akan mengubah tatanan menuju masyarakat dan bangsa ideal setelah sekian lama dipimpin dengan sistem otoriter, dengan kekuasaan yang tidak dibatasi, yang mengekang kebebasan masyarakat serta melahirkan kesenjangan antara elite (penguasa), yang hidup mewah, dengan rakyat yang miskin. Orang Barat menyebutnya dengan Arab Springs (Musim Semi Arab/alRabi’ al-Arabiy) yaitu musim yang menjadi titik awal pertumbuhan demokrasi di negara-negara Arab (Burdah, 2014: 21). 1 Maka dari itu, peristiwa politik inilah yang menjadi awal untuk mengakhiri sistem politik di negara-negara Arab yang tidak transparan dan juga tidak membatasi kekuasaan pemimpin (presiden). Peristiwa ini pula yang menjadi awal untuk membangun sistem serta tatanan kehidupan yang lebih transparan, kekuasaan pemimpim dibatasi dengan memberikan ruang kebebasan (hak) kepada masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam dunia politik, baik itu berpartisipasi untuk memilih dan dipilih maupun berpartisipasi dalam bentuk mengontrol roda pemerintahan. Tujuannya adalah agar dapat mengedepankan kemaslahatan rakyat banyak; memperbaiki taraf kehidupan rakyat, menghilangkan kesenjangan antara elite dengan rakyat, mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, menjamin kesetaraan hak-hak politik untuk semua warga negaranya. Itulah demokrasi yang didambakan oleh masyarakat Arab baik sebelum maupun sesudah bergejolaknya Tha Arab Spring 2011 lalu. Oleh karena itu, pasca bergulirnya The Arab Spring, demokrasi pun menjadi pembicaraan yang menarik dan hangat untuk membaca masa depan politik kawasan tersebut. Demokrasi mulai berani disuarakan secara luas oleh masyarakat dunia Arab. Namun demikian masyarakat dunia Arab sebenarnya telah menuntut kehidupan yang demokratis sejak tahun 1990an (Barakat, 2012: 373). Tetapi karena masyarakat tidak mempunyai kekuatan politik untuk melawan rezim yang diktator sehingga tuntutan mereka tidak tersalurkan hingga terjadinya The Arab Spring. Inisiatif-inisiatif untuk membangun sistem politik yang demokratis juga telah dilaksanakan. Sejak tahun 1990-an, negara-negara Arab pada umumnya telah 2 melakukan perbaikan struktural dan liberalisasi ekonomi, juga ada peningkatan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pada tahun 1994, Liga Arab juga telah menerima Piagam Hak Asasi Manusia/human right charter (Hassouna, 2001: 51). Hal itu dapat dikatakan bahwa sejak awal dekade 1990-an, telah dilakukan upaya untuk membangun sistem pemerintahan yang terbuka (transparan), akuntabel, dan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa harapan dan inisiatif untuk membangun kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab tidak berjalan lancar serta tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Upaya tersebut berjalan lambat bahkan dapat dikatakan gagal dengan tetap berkuasanya pemimpin-pemimpin otoriter. Kurang lebih dua dekade kemudian (sejak tahun 1990-an), upaya demokratisasi yang lambat atau gagal tersebut mendapatkan saluran untuk disuarakan secara masif melalui pengorbanan pemuda 26 tahun yang bernama Mohammed Bouazizi di Tunisia. Ia membakar diri sebagai bentuk perlawanan (secara tidak langsung) terhadap rezim Zein al-Abidin Ben Ali, di Tunisia, yang tidak berpihak terhadap kaum lemah (Jamshidi, 2014: 8). Ben Ali sendiri berkuasa sejak 7 November 1987 melalui kudeta secara damai tidak lama setelah diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Habib Bourguiba. Rakyat Tunisia pun bangkit melawan pemerintahan Ben Ali yang memimpin Tunisia dengan mengekang kebebasan pers, dunia maya (internet) disensor, telepon, dan komunikasi lewat email disensor, dan oposisi di parlemen dibuatnya tidak berkutik (diam) 3 (Angrist, 2011:76). Menghadapi gerakan massa tersebut, Ben Ali pun melarikan diri ke Saudi Arabia. Berakhirnya era kekuasaan Ben Ali ini tersebar dan menjadi berita yang hangat di seluruh dunia Arab, bahkan dunia. Perlawanan rakyat Tunisia yang berhasil menggulingkan rezim diktator Ben Ali menjadi inspirasi bagi masyarakat negaranegara Arab lainnya untuk membangun kekuatan gerakan massa melawan rezim yang diktator. Dari sanalah gejolak revolusi, The Arab Spring, di Timur Tengah bermula. Pemimpin pertama, setelah Ben Ali, yang terkena dampak dari gejolak tersebut adalah Hosni Mubarak yang mundur pada hari Jum‟at, 11 Februari 2011 dari kursi kepresidenan yang didudukinya selama kurang lebih 30 tahun, 6 Oktober 1981-11 Februari 2011 (Jamshidi, 2014: 9). Dari Mesir, kemudian merambat ke Libya, yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafi yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya. Beberapa negara Arab lainnya, seperti Jordania, Suriah, Bahrain, dan Yaman terkena dampak revolusi yang berawal dari Tunisia tersebut (Sahide, 2012: 42). Dampak itu berupa munculnya kekuatan massa yang melakukan demonstrasi menuntut rezim yang berkuasa mundur dari kursi kekuasaannya. Dari beberapa negara yang terkena dampak gejolak yang berawal di Tunisia tersebut, hanya Suriah yang berlangsung paling lama, sampai saat ini (2016). Dalam kasus Suriah, kelompok oposisi, Dewan Nasional Suriah/Syrian National Council (SNC), yang mendapatkan dukungan dari Barat, dengan dalih perjuangan 4 demokratisasi dan kemanusiaan, belum berhasil menggulingkan rezim Bashar alAssad. Negosiasi untuk perdamaian di Suriah tidak pernah berhasil menemukan jalan keluar karena negosiasi dari pihak rezim al-Assad tidak ingin membahas posisi kepresidenan al-Assad. Adapun pihak oposisi menetapkan harga mati bahwa negosiasi bertujuan untuk menggulingkan rezim al-Assad. Kofi Annan, diplomat senior yang juga mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pernah diberi mandat sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur Tengah, namun Kofi Annan juga gagal menyelesaikan konflik politik di Suriah dan mengundurkan diri sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur Tengah. Lachdar Brahimi, pengganti Annan, juga gagal menciptakan perdamaian dan menemukan jalan keluar dari prahara yang berlangsung. Karena negosiasi selalu menemui jalan buntu, maka pertempuran antara rezim dan kelompok oposisi pun terus berlangsung sehingga korban, terutama dari rakyat sipil, terus berjatuhan. Situasi politik dalam negeri Suriah semakin rumit dengan munculnya gerakan politik baru yang bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Sementara itu, dua negara lainnya (Tunisia dan Mesir) telah berjalan ke arah transisi demokrasi. Tunisia, misalnya, telah melakukan pemilihan umum yang mengantarkan Partai Politik Ennahda ke puncak kekuasaan dan mengangkat Moncef Marzouki sebagai Presiden Tunisia. Marzouki adalah presiden pertama Tunisia yang dipilih secara demokratis. Dua pemimpin sebelumnya mengambil alih kekuasaan 5 melalui kudeta. Namun demikian, pada pemilihan kedua, 26 Oktober 2014, dimenangkan oleh kelompok sekuler, Nidaa Tounes pimpinan Beji Caid Essebsi, dengan perolehan 80 kursi, dari 216 kursi, sementara Ennahda hanya memeroleh 68 kursi di Parlemen. Mesir juga telah melaksanakan pemilihan presiden setelah setahun lebih The Arab Spring berlangsung yang mengantarkan Muhammad Mursi, dari Ikhwanul Muslimin, sebagai pemimpin negara tersebut setelah kejatuhan penguasa otoriter, Hosni Mubarak. Mursi diambil sumpahnya sebagai Presiden Mesir pada tanggal 30 Juni 2012 dan hanya setahun memimpin karena tokoh Ikhwan tersebut dilengserkan dari kursi kepresidenan pada awal Juli 2013 melalui demonstrasi massa yang didukung oleh militer. Pada bulan Juni 2014, Mesir kembali melaksanakan pemilihan presiden yang dimenangi oleh Abdel Fattah el-Sisi dengan perolehan suara mencapai 82% (Aljazeera, 22/06/2014). Hal ini dapat dikatakan bahwa peristiwa politik The Arab Spring sejak awal 2011 lalu, dengan terjadinya serangkaian gerakan yang menggugat kemapanan politik berbagai penguasa Timur Tengah, adalah momentum yang menjadi pemantik lahirnya kembali harapan untuk memantapkan jalan menuju kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab. The Arab Spring menjadi titik awal lahirnya perubahan besar di Timur Tengah, yaitu menjadi awal terbukanya proses demokratisasi yang ditandai dengan kejatuhan para penguasa otoriter, meskipun demokratisasi di negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas, juga masih menuai banyak perdebatan-perdebatan (pemikiran) di kalangan ilmuwan. 6 Perdebatan Demokrasi di Dunia Arab Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa The Arab Spring menjadi awal kebangkitan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan lebih demokratis di kawasan Timur Tengah, terutama dunia Arab, setelah sekian lama dipimpin dengan sistem otoriter yang mengekang kebebasan masyarakat. Di samping itu, jauh sebelum terjadinya peristiwa tersebut, demokrasi telah lama menjadi wacana akademik di dunia Arab, lebih luas dunia Islam. Berangkat dari kajian akademik tersebut, terdapat dua teori atau pandangan yang berseberangan terkait demokrasi. Ada ilmuwan politik yang berpandangan pesimis, melihat masa depan demokrasi suram, dan ada juga yang berpandangan otpimis, melihat adanya harapan tumbuhnya sistem yang demokratis. Pandangan yang pesimis tersebut datang dari Samuel P. Huntington, jauh sebelum The Arab Spring begejolak. Menurut Huntington, prospek demokrasi di republik-republik Islam tampak suram (Huntington, 2006: 340). Pandangan yang pesimis ini melihat bahwa dunia Arab (Islam secara lebih luas) pada dasaranya tidak demokratis, tidak mampu beradaptasi dengan tantangan global dalam proses demokratisasi (Hassouna, 2001: 49). Ilmuwan politik lainnya yang pesimis adalah Eric Chaney. Chaney merespons pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul Democratic Change in the Arab World, Past and Present. Dari tulisannya ini, Chaney membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi. Ada tiga keraguan Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan secara sistematis dari keberlangsungan demokratisasi di negara-negara Arab pasca-the Arab 7 Spring, yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya Arab. Chaney mengatakan bahwa defisit demokrasi di negara-negara Islam (negara-negara Arab) mempunyai akar historis yang cukup mendalam (Chaney, 2012). Pandangan pesimis lainnya datang dari Alfred Stepan. Stepan memberikan catatan kritis terhadap demokrasi di Arab secara umum dan Mesir secara khusus sebagai an exceptionalism. Intinya, demokrasi tidak dapat tumbuh subur di dunia Arab, bukan hanya semata-mata karena mereka mengharamkan demokrasi, tetapi yang jauh lebih mengkhawatirkan yaitu praktik pemilu yang tidak jujur dan bersih, serta suksesi kepemimpinan yang tidak berjalan secara demokratis. Di samping itu, Freedom House1 juga memberikan catatan kritis demokrasi di dunia Arab. Menurut lembaga ini, negara-negara Arab telah mengabaikan dua elemen penting dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil (Misrawi, 2013: 335). Sementara itu, pandangan yang optimis akan tumbuhnya demokratisasi di negara-negara Arab datang dari Julie Chernov Hwang, John L. Esposito, Tariq Ramadan, dan Hussein A. Hassouna. Hwang mempunyai tesis yang cukup menarik yang membantah tesis beberapa pakar yang mengatakan bahwa Islam tidak cocok dengan demokrasi. Menurutnya, asumsi tersebut keliru. Hasil-hasil survei akan nilainilai dunia 1995-1996 dan 2000-2002 menunjukkan bahwa antara 92-97 persen Muslim yang tinggal di Albania, Mesir, Bangladesh, Azerbaijan, Indonesia, Maroko, dan Turki menyokong institusi-institusi demokratik. Namun demikian, Hwang 1 Freedom House adalah organisasi nirlaba yang berpusat di Washington dengan kantor cabang di berbagai negara. 8 mengutip argumen Jack Snyder bahwa dibutuhkan institusi-institusi politik demokratik yang andal sebagai pendahulu transisi demokratik untuk mencegah para elite memanfaatkan nasionalisme ekslusioner untuk menyebarkan instabilitas dan konflik (Hwang, 2011: 5-6). John L. Esposito, Profesor Agama dan Hubungan Internasional juga sebagai Directur Perintis Center For Muslim-Christian Understanding di Universitas Georgetown, memberikan pula pendapatnya mengenai berkembangnya demokrasi di negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas. Menurut Esposito, pada dasawarsa-dasawarsa belakangan banyak negara Muslim menerima gagasan demokrasi, meskipun berbeda pendapat mengenai makna persisnya. Banyak yang berupaya menjelaskan bentuk demokrasi atau partisipasi politik rakyat dalam Islam. Mereka berupaya memberikan alasan dan legitimasi islami yang berakar pada tradisi (Esposito, 1996: 217). Demokrasi pun, menurut Esposito, menjadi bagian integral dalam pemikiran dan praktik politik Islam modern. Demokrasi telah diterima di banyak negara Muslim sebagai tes lakmus untuk menjamin keterbukaan pemerintah dan relevansi kelompok Islam. Ini merupakan simbol legitimasi, yang mengabsahkan dan membatalkan secara tepat, karena demokrasi dipandang sebagai kebaikan universal (Esposito, 1996: 218). Maka dari itu, demokrasi menjadi tuntutan rakyat Arab setelah bergulirnya The Arab Spring karena demokrasi telah menjadi bagian integral dalam pemikiran dan praktik politik Islam modern. 9 Robert W. Hefner, antropolog dari Barat, juga berpandangan bahwa demokrasi dapat berkembang di negara-negara yang mayoritas Muslim. Hefner sendiri mempunyai keyakinan bahwa jika dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana demokrasi bukanlah konstruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks masyarakat Barat. Hefner melihat bahwa cita-cita tentang kewarganegaraan yang setara dan inklusif itu bukanlah sebuah ciptaan “Barat”, melainkan ciptaan masyarakat Muslim itu sendiri (Hefner, 2007: 89). Lebih lanjut Hefner menambahkan bahwa kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural demokrasi bukanlah peniruan atau “westernisasi”. Melainkan dialog dan kontekstualisasi. Menurut Hefner, beberapa pemikir Muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern ketimbang pendekatan filologis sempit yang membekukan gagasan-gagasan masa lalu Barat yang mistis (Averroes Community). Tariq Ramadan, salah satu dari ilmuwan sosial yang optimis, juga melihat adanya masa depan demokrasi tumbuh di negara-negara Arab. Ramadan menuliskan pendapatnya: The “civil state,” democracy, and pluralism can only become concrete realities in the Middle East when peoples and governments focus on the ethics of good governance. The fight against corruption, the demand for transparency, limiting the powers of military establishments and stimulating the emergence of an active, dynamic civil society are the preconditions of success (Ramadan: 143). Ilmuwan lainnya adalah Hussein A. Hassouna. Pada tahun 2001, ia menulis di World Policy Journal, Vol. 18, No. 3 (Fall, 2001), pp. 49-52, yang mana dari 10 tulisannya tersebut ia optimis akan demokratisasi di negara-negara Arab. Menurutnya, dunia Arab sedang bergerak pada jalur demokrasi meskipun menghadapi berbagai macam tantangan. Pandangannya ini dibangun dengan melihat bahwa kebanyakan negara-negara sudah melakukan penyesuaian struktural dan liberalisasi ekonomi sebagai bagian dari agenda politiknya. Hassouna juga menambahkan bahwa gelombang demokratisasi global membantu proses keterbukaan politik dunia Arab. Oleh karena itu, negara-negara Arab perlu untuk mengatasi berbagai macam tantangan dan rintangan yang ada untuk berhasil dalam membangun sistem yang demokratis. Tantangan utama itu di antaranya adalah warisan kolonial, konflik Arab-Israel, faktor sosial ekonomi, dan fundamentalisme (Hassouna, 2001: 50-51). Dari dua pandangan yang berbeda tersebut, penulis berada pada pandangan yang optimis, mempunyai harapan demokratisasi berkembang di dunia Islam, dan dunia Arab secara lebih khusus. Optimisme terhadap tumbuhnya demokratisasi di negara-negara Arab dengan data yang dipaparkan oleh Julie Chernov Hwang yang menyatakan 92-97 persen negara-negara Islam (termasuk negara-negara Arab) menyokong institusi-institusi politik yang demokratik. Di samping, beberapa pandangan yang pesimis akan masa depan demokrasi di negara-negara Arab karena melihat suksesi kepemimpinan yang tidak bersih, jujur, serta mengabaikan elemenelemen dasar dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil. Jika pandangan pesimisme berdasarkan pada argumentasi tersebut, maka demokrasi sebenarnya dapat tumbuh apabila pelembagaan proses demokrasi untuk menjamin 11 suksesi kepemimpinan dapat dijalankan dengan jujur, adil, bersih serta menjunjung tinggi hak-hak politik dan kebebasan sipil. Data yang dipaparkan oleh Hwang juga telah membantah pandangan yang pesimis tersebut. Lebih dari itu, inisiatif-inisiatif telah dilakukan untuk membangun sistem pemerintahan yang demokratis, baik sebelum maupun sesudah bergejolaknya Musim Semi Arab. Berangkat dari pandangan yang optimis tersebutlah, penulis melihat bahwa gejolak The Arab Spring, sejak awal 2011 lalu, adalah momentum yang membuka ruang terbangunnya pranata-pranata politik yang berjalan ke arah demokrasi; sistem politik yang transparan, akuntabel, dan terbukanya partisipasi politik secara luas. Ketika The Arab Spring meluas di Timur Tengah, bahkan menular sampai ke Mesir, ada suatu asumsi bahwa apa yang dialami oleh negara-negara di sana adalah awal bagi transisi menuju negara yang pemerintahannya dikelola dengan cara-cara yang demokratis (Kuncahyono, 2013: xix). Namun demikian, penulis sepakat dengan Hwang, yang mengutip argumen Jack Snyder, bahwa dibutuhkan institusi-institusi politik demokratik yang andal sebagai pendahulu transisi demokratik untuk mencegah para elite memanfaatkan nasionalisme ekslusioner untuk menyebarkan instabilitas dan konflik (Hwang: 6). Pada aspek pembentukan (pelembagaan) institusi-institusi politik demokratik itulah; seperti pembagian kekuasaan, kekuasaan yang dibatasi dan dikontrol, jaminan terhadap hak-hak politik setiap warga negara, demokratisasi itu menghadapi tantangan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larbi Sadiki, dari Australian National University, bahwa dalam proses demokratisasi tantangannya 12 adalah bagaimana membuat sistem (hukum) yang mampu bertahan, netral, dan jaminan terhadap adanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya (Sadiki, 2014). Tantangan tersebut datangnya dari dalam (internal) maupun dari luar (pihak asing) yang menyebabkan rendahnya legitimasi politik, dalam teori Michael Hudson, bagi pemimpin-pemimpin dunia Arab; seperti rendahnya otoritas, identitas yang sulit untuk diwujudkan, dan tidak adanya justice (equality). Bagi masyarakat Arab, adanya warisan kolonial, konflik Arab-Israel, dan kondisi sosial-ekonomi, fundamentalisme menghambat terbangunnya institusiinstitusi politik yang demokratik. Warisan kolonial sudah lama membentuk negaranegara Arab dengan sistem kerajaan dan kediktatoran (Esposito, 1996: 214). Budaya dari warisan kolonial inilah yang menjadi tantangan, dari dalam, bagi masyarakat Arab untuk membangun pranata politik yang demokratis. Politik dengan sistem pembagian kekuasaan tidak dibangun oleh rezim yang berkuasa karena dapat mengancam keberlangsungan kekuasaannya. Masyarakat luas juga tidak diberi kesempatan dan ruang yang sama serta bebas dalam partisipasi politik. Adapaun tantangan yang datangnya dari luar adalah keterlibatan pihak-pihak asing dengan berbagai macam motif; ekonomi dan politik (perebutan pengaruh). Negara-negara asing yang ikut bermain serta ikut campur dalam gejolak The Arab Spring tersebut di antaranya adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan China (Tiongkok). Keberadaan mereka tentu dengan alasan-alasan yang dapat memberikan 13 legitimasi, seperti dengan memberikan bantuan (pendampingan untuk demokratisasi), dan juga dengan alasan kemanusiaan, Humanitarian Intervention. Uni Eropa, misalnya, lebih banyak ikut terlibat dalam kasus Tunisia, adapun AS banyak bermain untuk memertahankan pengaruhnya di Mesir. AS aktif membangun komunikasi dengan negara-negara Eropa, seperti Perancis dan Inggris, dalam merespons gejolak tersebut. Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS saat itu, juga langsung mengunjungi kawasan tersebut, terutama Mesir. AS juga mengakui mengontak dan menawarkan bantuan kepada berbagai kelompok oposisi di Mesir setelah berakhirnya era kekuasaan Mubarak (Kompas, 4/03/2011). Pada sisi yang lain, AS aktif membangun kekuatan politik untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad di Suriah. Sementara, Rusia dan China (Tiongkok), dibantu oleh Iran, aktif membela dan memberikan dukungan politik kepada Assad. Dari sini terlihat bahwa negara-negara Arab, setelah bergulirnya Musim Semi, menjadi medan perebutan pengaruh negara-negara asing di mana hal itulah yang dapat mengganggu (tantangan) terbangunnya sistem pemerintahan yang demokratis. Ada upaya agar pemimpin yang tampil setelah terjadinya peristiwa politik 2011 lalu adalah pemimpin yang dapat menjaga kepentingan masing-masing pihak (asing). Konflik Arab-Israel juga turut menghadirkan pihak-pihak asing dalam kancah politik dunia Arab, dalam hal ini Amerika Serikat (AS) sebagai pemain utamanya. Kehadiran pihak asing, terutama AS, turut memengaruhi proses pengangkatan tokoh tertentu untuk menjadi pemimpin. Di samping itu, kehadiran asing kerap kali berusaha menjatuhkan pemimpin tertentu. Dampak dari kehadiran asing tersebut 14 adalah munculnya pemimpin-pemimpin dari dunia Arab yang tidak mempunyai legitimasi politik yang kuat, yang dibutuhkan dalam membangun demokrasi, yang mana masalah utama negara-negara Arab hari ini, menurut Michael C. Hudson, adalah legitimasi politik (Hudson, 1977: 2). Krisis legitimasi politik itulah yang kini dihadapi Mesir dan Suriah, juga negara-negara lainnya, baik sebelum maupun setelah era The Arab Spring berlangsung. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum memasuki era The Arab Spring, ketika negara tersebut dipimpin oleh pemimpin yang tidak memiliki legitimasi politik yang kuat. Tunisia sejak merdeka hanya memiliki dua presiden dan semuanya melalui jalur kudeta, kekuasaan kedua pemimpin tersebut juga tidak dibatasi dan dikontrol. Mesir juga demikian, Hosni Mubarak menjadi presiden bukan melalui proses pemilihan, baik langsung maupun tidak langsung. Mubarak menjadi presiden karena menggantikan Anwar Sadat yang tertembak mati dalam masa jabatannya. Suriah mempunyai kasus yang sama, Dinasti Assad menguasai negara tersebut sejak tahun 1970. Melihat ketiga negara tersebut terlihat bahwa tidak ada satu pun pemimpin yang meraih kekuasaan dengan cara-cara yang demokratis (pemilihan) sampai akhirnya musim semi Arab itu bergejolak. Tunisia, awal kebangkitan The Arab Spring, juga tidak terlepas dari gejala krisis legitimasi tersebut. Begitupun juga dengan gejolak politik yang terjadi di Bahrain, yang mayoritas Syi‟ah tetapi dipimpin oleh kelompok Sunni. Legitimasi politik yang rendah terjadi karena proses politik yang tidak melibatkan rakyat banyak 15 dalam pengangkatan pemimpin dan juga pemimpin yang berhasil merebut kekuasaan itu berasal dari kelompok minoritas. Tanpa legitimasi, menurut Max Weber, suatu pemerintahan, rezim, atau sistem pemerintahan akan berada dalam tekanan berat untuk memperoleh kapabilitas managemen konflik yang esensial untuk menjaga kelangsungan stabilitas berjangka panjang serta membangun pemerintahan yang baik (Hudson : 1). Selain itu, masalah legitimasi politik yang rendah, di samping kesulitan mewujudkan identitas nasional dan heterogenitas masyarakat, akan memberi peluang bagi intervensi asing yang biasanya cenderung mempunyai kebijakan politik devide and rule (pecah belah) untuk mengusai (Setiawati, 2010: 35). Legitimasi politik yang rendah inilah yang menjadi salah satu celah bagi pihak asing untuk hadir memainkan peran dan semakin memperkeruh suasana konflik. Konflik-konflik yang berlangsung di kawasan Timur Tengah hari ini tidak luput dari keberadaan pihak asing. Kisruh politik yang sampai hari ini terus bergejolak di Suriah karena ada pertarungan perebutan pengaruh antara Amerika versus Rusia, China, beserta Iran. Perlawanan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir yang baru saja dicap sebagai teroris karena ada intervensi asing yang terkesan mendukung militer yang mengambil-alih kekuasaan secara tidak sah dari tangan Mursi, tokoh yang diusung Ikhwan. Inilah yang menghambat demokratisasi untuk berkembang di negara-negara Arab. Pada sisi yang lain, perilaku rezim politik di negara-negara Arab juga tidak membuka ruang terbuka lebarnya proses transisi demokrasi karena terancam kehilangan kekuasaannya. Hal ini juga dituliskan oleh Marina Ottaway dan Thomas 16 Carothers bahwa masyarakat di negara-negara Timur Tengah, khususnya negaranegara Arab, menghendaki kebebasan politik dan pemerintah memahami hal tersebut akan tetapi pemerintah terlihat menolak demokrasi. Rezim-rezim di negara-negara Arab hanya mengakui hak-hak wanita dan mengadakan pemilihan untuk membendung kritik-kritik yang ditujukan padanya, baik dari dalam maupun dari luar negeri (Ottaway dan Carothers, 2004: 22). Tantangan demokratisasi (masyarakatnya yang tidak mandiri, adanya intervensi asing, dan perilaku rezim) inilah yang mewarnai gejolak politik di negaranegara Arab, terutama Tunisia, Mesir, dan Suriah pada era The Arab Spring. Sampai hari ini, Tunisia dapat dikatakan berhasil mengonsolidasikan demokrasi. Pada akhir tahun 2011 negara ini sukses melakukan pemilihan presiden yang mengantarkan Ennahda ke puncak kekuasaan. Meskipun perjalanan politik Tunisia setelah itu kadang diwarnai dengan gerakan-gerakan yang sedikit mengganggu, misalnya adanya ribuan orang turun ke jalan, pada bulan September 2013, di Tunisia untuk melancarkan protes pada partai berbasis Islam, Ennahda. Para pendemo mendesak agar partai Ennahda mundur dari pemerintahan untuk dapat diselenggarakanya pemilihan umum (pemilu) secepatnya. Pada akhir Januari 2014 lalu, Parlemen, yang beranggotakan 216 orang, Tunisia resmi mengesahkan konstitusi baru di negaranya (Arjomand, 2014: 188). Perkembangan politik di Tunisia setelah kepergian Ben Ali cukup memberikan harapan terbangunnya institusi-institusi politik yang demokratik, meskipun tidak terlepas dari kerikil-kerikil yang menghadang di tengah jalan. 17 Sementara itu, perkembangan politik di Mesir berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Tunisia. Mesir memang sukses mengadakan pemilihan presiden satu tahun pascakepergian Mubarak, dengan dilantiknya Muhammad Mursi, tokoh dari Ikhwanul Muslimin (IM), pada tanggal 30 Juni 2012, dengan membacakan sumpah jabatannya di hadapan para hakim agung. Namun, kurang lebih satu tahun menjabat, Muhammad Mursi harus rela kekuasaannya dirampas kembali oleh kelompok militer, Rabu, 4 Juli 2013. Sulit dimungkiri bahwa militer berdiri di belakang ribuan massa yang turun ke jalan mencabut legitimasi politik presiden yang diusung oleh kelompok Ikhwanul Muslimin tersebut. The Arab Spring (Musim Semi Arab), yang dielu-elukan oleh rakyat Mesir ketika berhasil menggulingkan penguasa tangan besi saat itu, Hosni Mubarak, sepertinya hanya euforia belaka. Kehidupan yang bebas, yang adil, dan layak secara ekonomi yang diimpikan oleh rakyat Mesir dalam kehidupan bernegara yang demokratis sepertinya masih jauh panggang dari api. Sampai saat ini, kekerasan dan kekisruhan politik masih terus mewarnai kancah politik Mesir. Militer yang kembali merebut kekuasaan terus menangkap dan menghabisi sayap gerakan Ikhwanul Muslimin. Sebaliknya, kelompok Ikhwan, pendukung Mursi, tidak menyerah begitu saja. Mereka terus melakukan perlawanan, meledakkan bom dan lain sebagainya, karena menganggap bahwa rezim yang berkuasa saat ini tidak mempunyai legitimasi politik. Hal itu karena Abdel Fatah el-Sisi merebut kekuasaan dari tangan Presiden Mursi yang dipilih secara demokratis. 18 Suriah, yang dipimpin dengan sistem politik “republik dinasti” sejak tahun 1970, juga punya cerita perkembangan politik yang berbeda. Sampai pada hari ini, Oktober 2015, gejolak di Suriah belum berujung serta beberapa kali mendapatkan ancaman serangan militer dari Amerika Serikat (AS). Upaya perdamaian antara rezim Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi selalu mengalami jalan buntu. Dalam kasus Suriah, konflik ini bukan hanya pertempuran antara rezim Bashar al-Assad dengan pihak oposisi, tetapi pertempuran antara AS melawan Rusia, China (Tiongkok), dan Iran. Oleh karena itu, jika pihak oposisi gagal menggulingkan Assad berarti juga adalah kegagalan bagi Amerika melawan Rusia, China, dan Iran. Tidak heran, dalam pertemuan pemimpin G-20, awal September 2013, ketegangan itu terjadai antara Obama, Presiden AS, dengan Vladimir Putin, Presiden Rusia. Sejarah mencatat bahwa keruntuhan Uni Soviet (Rusia) pada akhir dari Perang Dingin karena dikalahkan oleh Amerika Serikat. Peristiwa politik penting dari dunia internasional inilah yang dibahasakan oleh Francis Fukuyama sebagai The End of History and The Last Man. Artinya bahwa keruntuhan Uni Soviet adalah akhir dari sejarah konflik ideologi besar dunia (Kapitalisme dan Komunisme). Fukuyama berpandangan bahwa tidak ada lagi ideologi yang mampu menyaingi kapitalisme (Fukuyama, 2001). Oleh karena itu, dalam kasus Suriah yang tidak terlepas dari campur tangan asing dapat dikatakan bahwa kekalahan oposisi adalah kekalahan bagi AS dan itu akan menjadi titik awal dari pembuktian alur sejarah bahwa sejarah dunia yang dikatakan oleh Fukuyama belum berakhir. Rencana serangan militer oleh Obama 19 kepada rezim Bashar al-Assad sepertinya adalah bagian dari upaya Obama untuk mempertahankan alur dan „takdir‟ sejarah dunia. Situasi politik Suriah kini semakin runyam setelah munculnya gerakan politik baru, yaitu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). ISIS merupakan negara baru yang dideklarasikan oleh Abu Bakar alBaghdady pada tanggal 9 April 2013, menyusul terjadinya perang saudara di Irak dan Suriah.2 Dari pemaparan di atas terlihat bahwa dinamika politik di negara-negara Arab, yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, tidak terlepas dari pengaruh atau keterlibatan asing. Pihak asing hadir untuk mendukung atau untuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Naomi Klein, seorang penulis dan pembuat film, dalam bukunya The Shock Doctrine, memperkuat alasan keterlibatan asing dalam turbulensi politik di negara-negara Arab bahwa salah satu cara bagi negaranegara lain (super power) untuk masuk dan mengintervensi negara lainnya adalah melalui dengan apa yang dia istilahkan “shock doctrine” (Klein, 2007). Oleh karena itu, gejolak The Arab Spring pun dijadikan sebagai momentum oleh AS untuk menancapkan doktrin politiknya terhadap negara-negara yang selama ini belum dapat ia kontrol sepenuhnya. Kehadiran Barat (Amerika) tetaplah pada jualan lamanya, proyek demokrasi yang diyakini sebagai sistem yang berupaya mewujudkan kebaikan bersama (common 2 ISIS adalah organisasi teroris, namun ia bukan hanya organisasi teroris. Ia adalah juga semacam mafia yang mahir dalam bermain di pasar gelap minyak dan perdagangan senjata transnasional. ISIS yang pada mulanya diremehkan, tetapi lalu menjadi sensasional sekaligus brutal dan licik. Kini, ISIS berhasil menghancurkan perbatsan negara-negara kontemporer dan memproklamasikan diri sebagai pembangkit kekaisaran Islam (Weiss dan Hassan, 2015: xxi-xxii). 20 good). Walaupun Amerika juga seringkali menghambat pertumbuhan demokrasi jika hal itu dapat mengganggu kepentingan nasionalnya. Dari gejolak ini terlihat pihakpihak asing menetapkan standar ganda dari keterlibatan mereka dalam gejolak The Arab Spring. Hal itu dapat dilihat dalam kasus Mesir, sejak awal tergulingnya Mubarak, Barat (Amerika) sebenarnya khawatir bahwa krisis (the Arab Spring) yang akan membawa ke jalan demokrasi yang begitu cepat akan memberi ruang bagi Ikhwanul Muslimin untuk muncul sebagai kekuatan politik utama (Goldberg, 2011: 111). Sebaliknya, Amerika dan sekutunya begitu kuat memberi tekanan politik, dengan memberikan bantuan persenjataan terhadap kelompok oposisi dan juga mengisolasi Suriah dalam kancah politik internasional, terhadap Bashar al-Assad yang dianggapnya memerintah dengan tangan besi (tidak demokratis) di Suriah, negara dengan rezim partai tunggal, karena secara historis Suriah di bawah al-Assad berada dalam kubu politik yang berlawanan dengan kubu yang dibangun Amerika dan aliansinya. Oleh karena itu, keterlibatan AS dalam kasus Suriah dengan alasan Humanitarian Intervention, intervensi dengan alasan kemanusiaan (Thontowi, 2006: 259). Dalam kasus Tunisia, dukungan Barat memang tidak ada ketika tekanan dari masyarakat datang dan dialamatkan kepada Ben Ali karena Tunisia bukan kepentingan utama (Tunisia is a peripheral interest) bagi Washington dan sekutunya (Angrist, 2011: 80). Barat pun tidak terlalu banyak bermain untuk mendukung atau 21 „menghambat‟ demokratisasi. Begitulah potret demokrasitisasi di negara-negara Arab era the Arab Spring yang tidak dapat terlepas dari campur tangan asing dengan motif dan bentuk yang berbeda. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa masyarakat dunia Arab sebenarnya sudah lama mempunyai aspirasi kehidupan yang demokratis namun tersengap oleh kontrol negara yang begitu kuat dan dominan. Maka, gejolak The Arab Springlah yang membangkitkan masyarakat dunia Arab untuk berani melawan rezim otoritarian serta menuntut kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem yang demokratis. Dengan demokrasilah, rakyat mempunyai daulat atas negara yang mereka bentuk, dan semua kekuasaan negara berasal dari kekuasaan rakyat. Negara mendapat kepercayaan dari rakyat menjalankan kekuasaan negara, dengan luas kekuasaan sebatas fungsinya yang juga terbatas. Yang mana fungsi negara adalah menerapkan martabat manusia yang telah menjadi milik manusia sejak dari keadaan alamiah, yang diterima manusia langsung dari pencipta (Simanjuntak, 2014: 107). Itulah yang menjadi alasan mengapa demokrasi menjadi tuntutan masyarakat dunia Arab, terutama setelah bergejolaknya The Arab Spring. Demokrasi, sebagaimana telah disinggung di atas, dapat menjadi sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Namun demikian, demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat Arab bukanlah tanpa tantangan. Berbagai tantangan hadir merintangi proses demokratisasi tersebut. 22 Kajian penelitian ini hadir untuk menjawab secara akademik apa yang menjadi tantangan demokratisasi tersebut di mana dari pemaparan di atas terlihat bahwa ada aspirasi untuk kehidupan demokratis di masyarakat dunia Arab namun banyak tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pranata-pranata politik yang demokratis (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi politik). Kajian ini penting karena apa yang penulis teliti belum diteliti oleh ilmuwan yang mengkaji politik dunia Arab, terutama dalam merespons gejolak The Arab Spring. Selain dari itu, teori yang dihasilkan dari penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan terkait dengan demokratisasi dalam studi kawasan Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab. 1.2. Perumusan Masalah Berangkat dari uraian Latar Belakang Masalah di atas, maka peneliti mengangkat beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa faktor yang menyebabkan gerakan people power berhasil menggulingkan beberapa rezim negara-negara Arab dalam gejolak The Arab Spring pada awal tahun 2011? 2. Mengapa demokratisasi menghadapi tantangan di tiga negara Arab era bergulirnya The Arab Spring? 3. Mengapa pihak asing ikut campur dalam proses pemilihan pemimpin nasional di tiga negara Arab tersebut era bergulirnya The Arab Spring? 23 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Kawasan Timur Tengah sebagai kawasan pertemuan tiga benua; Eropa, Asia, dan Afrika menjadikannya sebagai kawasan yang strategis, baik secara politik maupun ekonomi, sehingga kawasan tersebut ditakdirkan menjadi lahan rebutan bagi negara-negara lain (super power) untuk menancapkan pengaruhnya melalui sistem pemerintahan yang terbentuk. Negara-negara tertentu punya kepentingan dengan sistem pemerintahan yang otoriter efektif untuk menancapkan pengaruh politiknya di kawasan tersebut dan negara-negara tertentu lainnya punya kepentingan (mendapatkan keuntungan) dengan sistem pemerintahan demokratis yang efektif. Turbulensi politik di Timur Tengah, terutama di negara-negara Arab, sejak tahun 2011 lalu menjadikan kawasan ini dalam tarikan dua kutub besar. Masa depan politik negara-negara Arab diperhadapkan pada dua pilihan sistem politik; The Arab Spring adalah awal dari proses menuju sistem pemerintahan yang demokratis, sebagaimana yang sudah lama menjadi tuntutan masyarakatnya, atau tetap „mempertahankan‟ sistem pemerintahan yang sudah lama yaitu sistem pemerintahan yang otoriter. Oleh karena itu, penelitian ini ditulis dengan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut: Pertama, untuk menemukan teori yang menjadi penyebab The Arab Spring yang mulai bergejolak awal 2011 lalu, termasuk latar belakang terjadinya gejolak tersebut, faktor-faktor yang mendukung, dan juga dampaknya terhadap politik di negara-negara Arab. 24 Kedua, untuk mengetahui dan memetakan tantangan demokratisasi di negaranegara Arab pasca the Arab Spring. Negara-negara Arab yang penulis kaji di sini adalah Tunisia, Mesir, dan Suriah. Adapun alasan pemilihan ketiga negara tersebut adalah bahwa ketiganya dapat merepresentasikan perbedaan dinamika dan fase pergolakan dan tantangan politik (demokratisasi) di negara-negara Arab. Tunisia merepresentasikan sebagai negara yang cukup berhasil dalam transisi demokrasinya. Sementara Mesir merepresentasikan sebagai negara yang berhasil menggulingkan rezim otoriter, akan tetapi demokratisasinya „dibajak‟ di tengah jalan. Adapun Suriah merepresentasikan sebagai negara yang mana demokrasinya belum berhasil menggulingkan rezim yang otoriter. Pada bagian sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa salah satu yang menghambat demokratisasi adalah legitimasi politik yang rendah (Hudson), maka dalam kajian ini penulis akan melakukan pengkajian yang mendalam untuk menemukan pola yang dimainkan oleh pihak asing, juga rezim yang berkuasa, dan perilaku masyarakat sabagai faktor yang menghambat tumbuhnya demokratisasi dengan legitimasi politik yang kuat di negara-negara Arab. Ketiga, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara lebih mendalam peran pihak-pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat, Rusia bersama China (Tiongkok), dan juga Uni Eropa, dalam proses demokratisasi di negara-negara Arab pada masa the Arab Spring. Dalam kajian ini, penulis mendalami mengapa Amerika mengambil peran dominan serta bagaimana Amerika berperan menghambat proses demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah). 25 Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menambah khasanah ilmu pengetahuan, baik itu kalangan akademisi maupun masyarakat secara luas, dalam dunia politik internasional, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan politik mutakhir di kawasan Timur Tengah, lebih khusus lagi pada negara-negara Arab. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan atau referensi bagi para akademisi maupun peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan dinamika politik dan demokratisasi di negara-negara Arab ke depannya. 1.4. Tinjauan Pustaka The Arab Spring yang sudah berlangsung lebih dari empat tahun menjadi perhatian serius dunia internasional, baik itu para pengambil kebijakan maupun pemerhati politik kawasan tersebut. Para ilmuwan politik Timur Tengah turut mengambil perannya sebagai seorang ilmuwan dengan melakukan penelitianpenelitian dalam membaca turbulensi politik di Abad 21 tersebut. Dalam kajian keilmuan, sudah banyak buku maupun hasil penelitian yang telah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten di bidang tersebut. Salah satu buku yang ditulis oleh para ilmuwan Barat terkait prahara Timur Tengah kontemporer adalah buku dengan judul The New Arab Revolt. What Happened, What It Means, and What Comes Next. Buku yang tebalnya 497 halaman ini banyak memotret perkembangan mutakhir di negara-negara yang terjangkit The Arab Spring, seperti Tunisia, Libya dan Mesir. Namun demikian, buku ini tidak hanya fokus dengan pembahasan negara-negara Arab kontemporer, beberapa tulisan 26 mengajak pembaca untuk melihat sejarah dari negara-negara tersebut. Arab Saudi, salah satu negara Arab yang „aman‟ dari sindrom The Arab Spring, masuk dalam pembahasan. Buku ini memberikan gambaran mengenai negara-negara Arab dari berbagai perspektif dan fokus kajian. Hal itu karena buku ini merupakan kumpulan tulisan dari beberapa penulis ternama yang konsen dengan Timur Tengah. Salah satu dari penulis buku, ini yang banyak menulis buku tentang Timur Tengah, misalnya, adalah Bernard Lewis. Tantangan dalam upaya demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan lainnya) tidak dibahas secara mendalam dari buku ini. Halim Barakat adalah salah satu dari ilmuwan politik dari Lebanon yang merespons gejolak The Arab Spring dengan menuliskan sebuah buku serius yang berjudul Dunia Arab, Masyarakat, Budaya, dan Negara. Dunia Arab, yang dituliskan oleh Barakat, mengutip pengamatan Samir Amin, dipetakannya dalam tiga zona yang sangat berbeda, baik itu pranata politik, ekonomi, dan sosialnya. Ketiga zona tersebut adalah Arab Timur, negara-negara di lembah sungai Nil, dan Arab Barat. Masyarakat Mesir adalah masyarakat yang berbasis pada pertanian, masyarakat di kawasan timur dan barat dunia Arab merupakan masyarakat urban dan pedagang (Barakat, 2012: 103). Buku yang ditulis oleh Barakat tersebut memang tidak fokus membahas, menganalisis, atau mengeksplorasi gejolak di Dunia Arab pada abad XXI M ini, tetapi apa yang dituliskan oleh Barakat di dalam bukunya sangat membantu penulis dalam membaca dinamika yang sedang bergolak saat ini di kawasan kaya minyak 27 tersebut. Dari penangkapan penulis, Barakat menunjukkan sosok manusia Arab kepada pembaca secara luas, baik itu identitas, karakter, sejarah, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan akademik yang sering muncul pasca-The Arab Spring adalah akankah sistem yang demokratis mulai bersemi di dunia Arab, Timur Tengah secara lebih luas? Dalam bukunya, Halim Barakat tidak sampai pada kajian ini. Pembacaan kontemporer akan dinamika demokratisasi di dunia Arab pasca-The Arab Spring tidak „dijamahnya‟, sehingga pembaca seolah merasa digantung oleh Barakat akan keingintahuannya menoropong masa depan politik negara-negara dunia Arab. Pada bagian terkhir, kesimpulan (bab xii), Barakat hanya mengatakan bahwa keseimbangan dan kesetaraan harus diwujudkan. Baginya, inilah tantangan yang menanti kaum progresif sekuler Arab (Barakat: 381). Terlepas dari itu semua, buku Halim Barakat yang tebalnya 447 halaman ini sangat membantu penulis dalam membaca atau mengikuti dinamika politik dan demokratisasi di negara-negara Arab, dan Timur Tangah secara luas. Barakat mencoba membalikkan gagasan dari para ilmuwan Barat terkemuka yang menyebutkan bahwa agama adalah kunci untuk memahami masyarakat Arab. Sebaliknya, bagi Barakat, masyarakat adalah kunci untuk memahami agama. Dan memahami keduanya (agama dan masyarakat) penting untuk membaca politik dari negara-negara Arab, termasuk ke depannya di mana kesukuan („ashabiyya) merupakan basis imperium dan negara pada masa kekuasaan orang-orang Arab. 28 Tariq Ramadan, salah satu ilmuwan yang banyak menulis tentang dunia Islam merespons dengan menuliskan buku yang berjudul Islam and the Arab Awakening. Buku yang ditulis oleh Ramadan ini memang cukup untuk mengantarkan kita dalam membaca perkembangan mutakhir dunia Arab setelah masa yang dia sebut “uprising”. Ramadan juga sedikit mengulas tekait demokrasi, namun ia belum banyak memberikan perhatian yang lebih fokus terkait dengan tantangan demokratisasi di negara-negara Arab pasca-“uprising”. Eric Chaney, ilmuwan politik dunia Islam dari Harvard University, merespons pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul Democratic Change in the Arab World, Past and Present. Dari tulisannya ini, Chaney membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi. Setidaknya ada tiga keraguan dari Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan secara sistematis dari keberlangsungan demokratisasi di negara-negara Arab pasca the Arab Spring, yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya Arab. Chaney mengatakan bahwa defisit demokrasi di negara-negara Islam (negaranegara Arab) mempunyai akar historis yang cukup mendalam (Chaney, 2012). Berangkat dari tiga teori defisit demokrasi itulah sehingga Chaney mempunyai tesis yang kurang lebih sama dengan Huntington atau bahkan memperkuat tesis Huntington bahwa demokrasi akan nampak suram di republikrepublik Islam (termasuk negara-negara Arab). Huntington menuliskan, yang dikutip oleh Charles K. Rowley dan Nathanael Smith; 29 “Western ideas of individualism, lib- eralism, constitutionalism, human rights, equality, liberty, the rule of law, democracy, free markets, the separation of church and state, often have little resonance in Islamic, Confucian, Japanese, Hindu, Buddhist or Orthodox cultures” (Rowley dan Smith, 2009: 274). Chaney dalam paper ilmiahnya tersebut tidak detail membaca perkembangan dan dinamika politik di negara-negara Timur Tengah, khususnya ketiga negara yang peneliti akan kaji, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Peneropongan politik ke depan di negara-negara Arab yang dilakukan oleh Chaney hanya berangkat dari tiga teori yang ia istilahkan sebagai sumber dari defisit demokrasi. Wartawan senior Harian Kompas, Trias Kuncahyono, mengambil peran dalam mendokumentasikan Musim Semi Arab dengan menuliskan dua buah buku yang berjudul Musim Semi di Suriah dan Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir. Kehadiran dua buku yang ditulis oleh Trias Kuncahyono ini sangat penting karena buku tersebut memberikan gambaran cukup detail kepada pembaca menganai kronologi gejolak The Arab Spring. Sebagaimana diakui oleh penulisnya sendiri bahwa buku ini ditulis dengan khas Trias Kuncahyono sebagai seorang wartawan sehingga kedua buku Trias Kuncahyono tersebut hanya mendokumentasikan apa yang dia lihat dan dengar dari peristiwa yang menjadi sorotan dunia sejak tahun 2011 lalu tersebut. Gaya penulisan Trias Kuncahyono adalah gaya penulisan yang bebas, tidak ditulis dengan kerangka ilmiah untuk menganalisis fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, kedua buku tersebut tidak menghasilkan teori terkait dengan masa depan demokratisasi di negara-negara Arab. 30 Buku terbaru untuk membaca dinamika politik kontemporer pasca The Arab Spring adalah Beyond The Arab Spring, The Evolving Ruling Bargain in the Middle East (2014) oleh Mehran Kamrava (editor). Buku ini menguraikan pembacaan mutakhir tentang dinamika politik di Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab, pasca The Arab Spring. Namun demikian, buku ini memiliki kekurangan yang hampir sama dengan buku The New Arab Revolt. What Happened, What It Means, and What Comes Next. Kesamaannya adalah keduanya merupakan buku kumpulan tulisan dari banyak penulis (pakar) sehingga pembahasannya sangat luas (kurang fokus), terutama pembahasan terkait demokratisasi di negara-negara Arab. Buku terbaru lainnya adalah The Arab Springs, Uprisings oleh Hal Marcovitz (2014) dan The Future of The Arab Spring (2014) yang ditulis oleh Maryam Jamshidi. Kedua buku ini lebih fokus membahas kronologi dari peristiwa The Arab Spring, namun demikian, pembahasan terkait dengan demokraatisasi di negara-negara Arab setelah gejolak politik 2011 lalu tersebut masih sangat kurang. Dari beberapa buku dan hasil penelitian yang ada, sejauh mana pengamatan penulis, belum menemukan publikasi atau hasil penelitian yang mengkaji lebih dalam terkait dengan demokratisasi beserta tantangan yang dihadapi di negara-negara Arab setelah The Arab Spring. Oleh sebab itu penelitian yang penulis lakukan yang mencoba melihat tantangan demoratisasi di negara-negara Arab pasca-The Arab Spring bergulir adalah kajian yang dapat memberikan hal baru dalam dunia akademik. 31 1.5. Landasan Teori Penelitian ini dilakukan untuk merespons Musim Semi Arab (The-Arab Spring) yang bergejolak sejak awal tahun 2011. Turbulensi politik dipandang oleh banyak pengamat politik Timur Tengah sebagai awal dari bangkitnya demokratisasi di negara-negara tersebut, sementara sebagian kalangan atau pengamat juga meragukannya seiring dengan perjalanan waktu yang belum memberikan tanda-tanda yang cukup positif, kecuali Tunisia. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah mengkaji demokratisasi di negara-negara Arab setelah The-Arab Spring tersebut bergulir dan teori yang peneliti gunakan sebagai kacamata dalam melakukan pengkajian tersebut adalah teori demokrasi. Di sini penulis akan mengambil teori demokrasi menurut Robert A. Dahl, Jack Snyder, dan Georg Sorensen untuk membaca demokratsasi di negara-negara Arab, dalam hal ini negara-negara yang penulis sebut dalam tema sentral penelitian ini, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Dahl memperkenalan kita istilah fondasi demokrasi dan keterlibatan pihak asing dalam demokratisasi. Sementara Jack Snyder mempunyai istilah mature democracies, democratizing states, serta demokratisasi dan konflik nasionalis. Adapun Georg Sorensen memperkenalkan kepada kita model dalam transisi dan konsolidasi demokrasi. 1.5.1. Demokrasi Demokrasi telah didiskusikan selama kurang lebih dua ribu lima ratus tahun, suatu kurun waktu yang cukup lama untuk memberikan suatu perangkat gagasan yang 32 jelas tentang demokrasi yang dapat disepakati oleh semua orang, atau oleh hampir semua orang (Dahl,2001: 3). Saat ini jutaan orang diatur dengan hukum berdasarkan warisan kuno baik dari Yunani maupun Romawi yang sudah berabad-abad lamanya. Masyarakat menciptakan sistem politik yang kita kenal dengan istilah demokrasi. Demokrasi merupakan hasil dari rekayasa masyarakat sendiri. Berabad-abad lamanya mereka memberikan model pemaknaan kepadanya, menciptakan kesalahan fatal pada suatu saat, dikarenakan kehendak masyarakat itu sendiri dan mencapai perkembangan yang luar biasa pada saat yang lain. Di banyak negara, sudah lama sekali orang tahu tentang demokrasi (Ketchum, 2004: 8). Namun demikian, orang Yunanilah yang sebenarnya menciptakan kata demokrasi- dari demos, yang berarti masyarakat, dan kratein, mengatur/pemerintahan (Ketchum: 28, dan Zhen, 2006: 1). Secara tradisional, negara demokratis antara lain dicirikan dengan penerapan sistem politik terbuka multipartai dan pergantian kekuasaan dilakukan melalui pemilihan umum yang bebas, ekonomi pasar bebas, juga kebebasan pers dijamin. Adapun negara yang tidak demokratis dicirikan dengan kekuasaan terpusat di elite satu partai, sistem ekonominya pun tertutup, dan pers dikontrol pemerintah. Namun seiring dengan perkembangannya, demokrasi tidak sekadar dipahami sebagai kebebasan politik, tetapi juga termasuk konsep keadilan dan kesetaraan sosial (Kompas, 23/04/2015). Perlu juga dipahami bahwa kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal melainkan beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi 33 kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan publik terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini. Menurut Robert W. Hefner, tidak ada demokrasi yang cocok untuk semua, melainkan beragam bentuk yang dihubungkan oleh kemiripan keluarga. Nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, persamaan, dan toleransi dalam keragaman tidak hadir dalam instruksi yang dapat dipaksakan untuk seluruh tempat dan waktu. Nilai-nilai ini mengikuti pedoman praktis dan partikularitas tempat dimana ia dilaksanakan (Averrros Community). Dari sini dapat kita menarik benang merah bahwa demokrasi sejatinya sebuah sistem yang memberikan keterlibatan kepada publik secara luas agar supaya pemerintahan yang berjalan dapat mengedepankan kebaikan bersama (rakyat banyak). Oleh karena itu sistem tersebut harus transparan, akuntabel, serta memberi ruang partisipasi publik secara luas. Itulah demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat Arab, terutama setelah The Arab Spring bergejolak. Kata sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno dengan adanya negara kota “polis” di Athena pada abad VIV SM. Sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk yang juga tidak banyak, sehingga prinsip demokrasi langsung dapat dijalankan secara partisipatoris. Menurut beberapa rujukan, warga Athena bertemu setidaknya empat puluh kali dalam setahun untuk membahas persoalan-persoalan publik. Boleh jadi karena itu, demokrasi kerap dirumuskan sebagai government of, by and for the people (Ketchum: xi-xii). 34 Dalam masyarakat modern, demokrasi dipandang sebagai simbol peradaban sosial dan juga kemajuan itu diapresiasi. Dari historis gagasannya, demokrasi tidak mempunyai kualitas keabsolutan (quality of absoluteness). Dengan kata lain, pada masa lalu, demokrasi tidak berjalan sama positifnya dengan demokrasi yang diterapkan hari ini. Intinya adalah bahwa demokrasi, dalam arti yang sesungguhnya, harus dimaknai sebagai cara untuk mencapai kompromi sosial (as a way to social compromi), yang bertujuan untuk menjamin kehidupan politik yang adil (Zhen, 2006: 1). Kehidupan politik yang adil itu akan terbangun dengan adanya pembagian kekuasaan (distribution of power), Montesqiu, pakar hukum asal Perancis, menyebutnya dengan istilah Trias Politika; pemisahan antara kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Huntington menambahkan bahwa masa depan demokrasi erat kaitannya dengan masa depan kebebasan di dunia. Menurut Huntington, korelasi antara keberadaan demokrasi dan keberadaan kebebasan individu sangat tinggi (Huntington, 1996:76). 1.5.2. Demokrasi Menurut Robert A. Dahl. 1.5.2.1. Fondasi Demokrasi Robert A. Dahl memperkenalkan kepada dunia politik istilah “fondasi demokrasi”. Dari fondasi demokrasi ini, Dahl mensyaratkan, dengan menggali dari teori „populis‟, adanya tiga karakteristik demokrasi yang dapat dibuat bermanfaat secara operasional; (1) kedaulatan popular (popular sovereignty), (2) persamaan politik (political equality), dan pemerintahan oleh mayoritas (majority rule) (Krouse, 35 1982:442-443). Dahl kemudian membuatnya lebih spesifik menjadi setidaknya delapan unsur hal cerminan sistem yang demokratis, yaitu: 1. kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi (berserikat dan berkumpul); 2. kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat); 3. hak memilih dan dipilih; 4. kesempatan yang relatif terbuka untuk menduduki jabatan-jabatan publik; 5. hak bagi pemimpin politik untuk berkompetisi dalam mendapatkan dukungan atau memberi dukungan; 6. alternatif sumber-sumber informasi; 7. pemilu yang bebas dan adil; 8. pelembagaan pembuatan kebijakan pemerintah yang merujuk atau tergantung suara rakyat lewat pemungutan suara maupun cara-cara lain yang sejenis (Dahl, 1971: 7). Dahl juga mencoba mengklasifikasikan demokrasi dalam dua bentuk, yaitu demokrasi substantif dan demokrasi prosedural atau “poliarki” (istilah Dahl). Demokrasi substantif adalah demokrasi yang membawa prinsip dan nilai-nilai demokratis dalam tatanan praktis. Adapun demokrasi prosedural atau “poliarki”, menurut Dahl, adalah lebih menekankan kemerdekaan rakyat memilih pemimpin. Esensinya, poliarki tidak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari eliteelite yang berebut kuasa melalui mekanisme pemilu. Pengklasifikasian demokrasi menurut Dahl ini dikembangkan oleh Charles Tilly. Menurut Tilly, terdapat 4 36 pemahaman publik akan demokrasi. Keempat pemahaman itu berdampak pada perbedaan penafsiran dan implementasi pemerintah suatu negara dalam mengadopsi konsep demokrasi. Keempat definisi mengenai demokrasi itu terdiri atas: 1. Demokrasi secara Konstitusional (constitutional) 2. Demokrasi secara Substantif (substantive) 3. Demokrasi secara Prosedural (procedural) 4. Demokrasi secara Orientasi Proses (process-oriented) (Basri Dalam blog/http.Seta Basri Menulis Terus) Yudi Latif menuliskan bahwa demokrasi yang sehat menghendaki kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (civil and political rights), tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc rights). Pertimbangan inilah yang membuat para pemikir demokrasi, seperti Alexis de Toxqueville dan Amy Gutmann, menghubungkan demokrasi dengan keadilan ekonomi dan kesejahteraan. Di sinilah terlihat, tulis Yudi Latif, bahwa konsolidasi demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada reformasi prosedural, tetapi harus menjangkau hal-hal yang substantif (Latif, 2012). Oleh karena itu, dalam demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah) harus mendapatkan jaminan hukum yang menjamin implementasi ke delapan unsur di atas tersebut. Di samping itu, gerakan-gerakan penguatan civil society penting dilakukan, baik oleh 37 pemerintah, masyarakat, dan juga pihak asing, untuk membangun sistem demokrasi yang substantif. Sampai saat ini, demokrasi telah menjadi populer secara universal karena merupakan sistem politik terbaik yang dapat ditempuh dan diandalkan oleh umat manusia. Kini, sebagian besar bangsa dan masyarakat menyaksikannya. Fasisme telah gagal sejak lama. Komunisme tidak ada lagi, sedangkan kekuasaan militer tidak dapat menciptakan pemerintahan yang efektif. Demokrasi memungkinkan rakyat untuk memutuskan siapakah yang sebaiknya memimpin mereka dan, dengan mempertimbangkan syarat-syarat tertentu, dapat ikut menghasilkan para pemimpin politik yang baik. Demokrasi memberikan pilihan tertentu, yang secara defenitif tidak dapat diberikan oleh sistem partai tunggal. Menurut Francis Fukuyama, otoritarianisme, entah kiri atau kanan, telah gagal karena tidak mampu menciptakan legitimasi yang memuaskan atas kekuasaaannya sendiri. Rezim-rezim seperti itu tidak memiliki modal berupa niat baik yang dapat menguji dirinya selama masa-masa sulit; rezim-rezim tersebut tidak fleksibel seperti halnya negara-negara demokrasi liberal (Giddens, 2009: 148-151). 1.5.2.2. Faktor Asing sebagai Pendorong Demokrasi Menurut Robert A. Dahl, bergeraknya suatu negara ke arah transisi demokrasi tidak dapat terlepas dari pengaruh faktor luar. Hal itu karena sistem apa pun yang diterapkan oleh sebuah negara, ia tidak akan pernah lepas dari pengaruh pihak asing sebagaimana dikatakan oleh Robert Dahl bahwa takdir dari sebuah negara adalah ia 38 tidak pernah sepenuhnya berada dalam genggamannya sendiri (Dahl: 189). John C. Pavehouse mempunyai pendapat yang sama dengan Dahl. Pavehouse berpendapat bahwa faktor-faktor internasional, terutama organisasi regional, mempunyai peran penting dalam transisi dan keberlangsungan demokrasi (international factors, specifically regional organizations, play an important role in the transition to and endurance of democracy) (Pavehouse, 2005: i). Oleh karena itu, terbentuknya pranata-pranata politik yang demokratis karena adanya interaksi yang terbangun dengan pihak luar, faktor asing. Dalam banyak kasus, dominasi yang datangnya dari pihak luar (negara lain) sangat menentukan untuk menjalankan roda pemerintahan. Setiap negara berdiri dalam sebuah lingkungan yang terdiri dari negara lain. Di bawah setiap rezim, para pengambil kebijakan harus mencermati kemungkinan tindakan beserta reaksi dari pengambil kebijakan di negara lain. Dalam hal ini, bahkan negara yang paling kuat sekalipun dalam beberapa hal dibatasi oleh pengaruh dan kontrol atau kekuasaan dari negara lain. Lebih dari itu, kebanyakan negara berpartisipasi lebih luas dalam ekonomi multinasional; konsekuensinya, para pengambil kebijakakn biasanya mencermati tindakan dan reaksi orang-orang dari luar negeranya yang kemungkinan mempengaruhi ekonomi lokal. Negara-negara, dengan berat, tergantung pada perdagangan internasional atau investasi asing (Dahl: 189). Menyadari begitu kompleksnya pengaruh lingkungan internasional pada pengembangan hegemoni ataupun poliarki (demokrasi prosedural dalam istilah Robert Dahl), Dahl membedakan bentuknya secara lebih rinci menjadi tiga cara 39 (jalan) di mana tindakan, reaksi, dan tindakan yang diharapkan oleh pihak luar memengaruhi kesempatan poliarki atau hegemoni di negara tertentu. Pertama, tindakan politik dari pihak luar (asing) dapat dan hampir pasti mempunyai dampak terhadap satu atau lebih kondisi dalam negeri, kepercayaan aktivis politik; asumsi, budaya politik, kepercayaan, dan paradigma. Kepercayaan dari aktivis politik, jalan menuju era hari ini, level pengembangan sosio-ekonomi, tingkat konsentrasi atau disperse ekonomi, ketidakmerataan, bahkan penyebaran pengepungan subkultur – semua terbuka dengan pengaruh-pengaruh dari aktor-aktor luar. Kedua, tindakan dari pihak asing dapat mengubah secara drastis pilihanpilihan yang ada pada sebuah rezim tanpa harus mengganti bentuk dari rezim tersebut. Sebagaimana sudah disinggung bahwa keberadaan dalam sebuah lingkungan internasional merubah atau mengurangi pilihan-pilihan yang ada pada setiap rezim di setiap negara. Ketiga, orang-orang di suatu negara boleh saja dengan sengaja mencari untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk menanamkan bentuk-bentuk tertentu rezim politik atas negara lainnya: dominasi asing secara sengaja (Dahl: 189191). 1.5.3. Demokrasi Menurut Jack Snyder Jack Snyder dalam bukunya Democratization and Nationalist Conflict, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dari Pemungutan Suara ke 40 Pertumpahan Darah, memberikan klasifikasi yang cukup menarik perihal negara demokrasi. Snyder membedakan bahwa istilah demokratisasi terdiri dari negaranegara yang demokrasinya matang (mature democracies/MD) dan negara yang sedang menuju demokrasi (democratizing states/DS). 1.5.3.1. Mature Democracies dan Democratizing States Snyder memberikan klasifikasi pertumbuhan demokrasi di sebuah negara dengan dua tahap. Tahap pertama adalah dengan apa yang ia sebut dengan istilah Mature Democracy/Negara Berdemokrasi Matang (MD), demokrasi yang sudah pada tahap yang matang/dewasa. Dalam negara yang demokrasinya sudah matang (mature democracy), kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan luar negeri dan kebijakan militer, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang luberjurdil dan berkala; tindakan-tindakan para pejabat dibatasi dengan berbagai ketentuan konstitusional dan kewajiban terhadap kebebasan sipil. Dalam pemilihan umum, calon pemerintah seringkali kalah dan karena itu harus melepaskan jabatan mereka. Kebebasan berbicara, kebebasan berorganisasi untuk bersaing dalam pemilihan umum, dan terwakilinya secara adil pandangan yang beragam di dalam media massa, dianggap sebagai prasyarat-prasyarat terlaksananya pemilihan umum yang luberjurdil. Adapun Democratizing State/Negara Sedang Menuju Demokrasi (NSMD) didefinisikan oleh Snyder sebagai Negara yang baru saja memenuhi satu atau lebih prasyarat demokrasi tersebut di atas, sekalipun negara itu masih mempertahankan ciri-ciri penting yang tidak demokratis (Snyder, 2003:16-17). 41 Ketegori Democratizing State/DS sangatlah luas, tercakup di dalamnya negara seperti Republik Ceko pada awal 1990-an, yang melaksanakan transisi dari otokrasi penuh menuju demokrasi penuh. Juga termasuk dalam kategori itu bekas Yugoslavia dekat menjelang negara tersebut terpecah-belah pada 1991, ketika pertama kali pemilihan umum diselenggarakan dengan sedikit banyak kebebasan berbicara, namun belum luber dan jurdil (Snyder:17). Pertanyaan yang muncul di benak banyak pihak tentunya adalah kapankah suatu DS berhasil menjadi MD? Kapan demokrasi di DS dapat dikatakan sudah terkonsolidasi? Snyder menuliskan bahwa beberapa sarjana menggunakan rumus “dua kali pergantian kekuasaan” (two turnover rule) untuk menandai konsolidasi demokrasi: demokrasi dianggap sudah terkonsolidasi apabila kekuasaan sudah dua kali pindah tangan melalui proses pemilihan umum yang luber-jurdil. Ada pula yang mengatakan bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi apabila dia merupakan “permainan satu-satunya” (the only game in town). Itu berarti tidak ada lagi jalan bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain memenangkan pemilihan umum yang luber-jurdil. Terakhir, sarjana lain mengukur sejauh mana suatu negara telah menunjukkan ciri-ciri MD yang bersifat kelembagaan dan hukum, dengan menggunakan berbagai indikator seperti adanya politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil, termasuk hak-hak minoritas. Apabila suatu negara telah mencapai nilai cukup tinggi dalam hampir semua kriteria di atas, maka negara tersebut dikatakan telah berhasil 42 mengonsolidasikan demokrasinya. Menurut semua kriteria tersebut di atas maka negara yang telah melewati ambang-batas peralihan ini merupakan MD, bukan lagi DS (Snyder :17-18). 1.5.3.2. Demokratisasi dan Konflik Nasionalis Dalam pandangan Jack Snyder, demokratisasi tidak dapat terlepas dari konflik nasionalis atau konflik antargolongan. Konflik yang terjadi di negara-negara Arab setelah bergulirnya The Arab Spring juga diwarnai oleh konflik tersebut. Beragam fakta menunjukkan adanya hubungan antara demokratisasi dan konflik yang disulut oleh nasionalisme. Sejalan dengan makin banyaknya orang memainkan peran yang lebih besar dalam politik, maka bertambah besar pula kemungkinan konflik SARA di dalam suatu negara, sebagaimana agresi asing makin banyak dengan alasan nasionalisme. Kebanyakan negara-negara tercebur dalam konflik SARA yang hebat dan yang menjadi berita utama selama dasawarsa 1990-an adalah negara-negara yang mengalami kemajuan tanggung (partial) dalam kebebasan politik atau kebebasan sipil satu dua tahun sebelum pecahnya pertikaian. Bagian terbesar konflik tersebut terjadi di negara-negara yang sedang mengayunkan langkah awal menuju transisi demokratis, seperti menyelenggarakan pemilihan umum dan mengizinkan berbagai kelompok politik melancarkan kritik terhadap pemerintah maupun terhadap satu sama lain (Snyder:18). Studi sistematis mengenai semua konflik SARA yang terjadi pada 1990 hingga 1998 menunjukkan bahwa tuntutan politik SARA memuncak selama masa 43 transisi menuju demokrasi, seperti yang terjadi menyusul runtuhnya kekuasaan Uni Soviet, sejak 1989 sampai 1991. Pada pertengahan dasawarsa tersebut gelombang demokratisasi mengendur atau dalam beberapa kasus malah mundur, dan sejalan dengan itu jumlah konflik SARA juga berkurang, yang mana demokrasi berhasil dikonsolidasikan, seperti terjadi di sebagian besar negara-negara Amerika Selatan dan bagian utara Eropa Timur, hak-hak minoritas semakin memperoleh perlindungan melalui jalan damai. Sementara itu, makin sedikit negeri yang termasuk kategori berbahaya, yaitu DS, yang mana hak-hak minoritas lebih cenderung diinjak daripada dilindungi. Jadi, konsolidasi demokrasi mengurangi konflik SARA, tetapi langkahlangkah awal transisi menuju demokrasi yang penuh kesulitan itu meningkatkan konflik sejenis, khususnya di negara-negara baru (Snyder: 19). Terkait dengan ini, Snyder juga memberikan pengklasifikasian yang cukup menarik. Menurut Snyder, dua wawasan yang bertentangan, yang masing-masing dia beri nama “persaingan antar-kelompok rakyat” (popular-rivalries) dan “propaganda elite” (elite persuasion), memberikan penjelasan terhadap adanya korelasi antara demokratisasi dan konflik nasionalis. Wawasan yang pertama beranggapan bahwa persaingan nasionalis di dalam masyarakat sudah lama ada sebelum terjadi demokratisasi. Menurut pandangan ini, demokratisasi sekadar mencerminkan cita-cita kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan citacita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian lama” ini merupakan salah satu bentuk wawasan “persaingan antar-kelompok rakyat” (Snyder: 22-23). 44 Snyder berpendapat sebaliknya. Sebelum demokratisasi mulai, nasionalisme biasanya lemah atau belum ada kalangan luas massa penduduk. Nasionalisme massa biasanya muncul selama tahap paling awal demokratisasi, ketika para elite menggunakan pesona nasionalisme untuk mendapatkan dukungan rakyat. Demokratisasi melahirkan nasionalisme ketika golongan-golongan kuat dalam masyarakat tidak hanya perlu menggalang dukungan rakyat untuk keperluan perang atau peningkatan ekonomi, tetapi juga enggan menyerahkan wewenang politik kepada warga biasa. Bagi lapisan elite ini, nasionalisme merupakan doktrin yang berguna untuk membenarkan demokrasi tanggung atau setengah-setengah, yang mana para elite dapat berkuasa atas nama rakyat tetapi tidak sepenuhnya bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam demokrasi setengah-setengah, elite sering dapat memanfaatkan kedudukan mereka dalam pemerintahan, perekonomian, dan media massa untuk mengobarkan nasionalisme, dan dengan begitu menentukan agenda wacana umum. Konflik nasionalisme muncul sebagai hasil samping upaya elite membujuk rakyat menerima gagasan-gagasan nasionalisme yang sarat sentiment perpecahan (Snyder: 23). Teori demokrasi menurut Dahl dan Snyder inilah yang penulis gunakan dalam penelitian ini untuk melihat demokratisasi yang diperhadapkan dengan berbagai tantangan di negara-negara Arab. Di mana kitahui bahwa demokrasi, menurut Dahl, mempunyai delapan unsur yang menjadi fondasi berpijaknya sistem yang demokratis. Artinya bahwa demokratisasi di negara-negara Arab, dalam hal ini Tunisia, Mesir, dan Suriah, adalah upaya untuk mewujudkan ke delapan unsur tersebut. Selain itu, 45 Dahl juga melihat adanya peran pihak luar (asing) dalam proses terciptanya sistem yang demokratis. Teori Snyder juga penulis gunakan, memadukannya dengan teori Dahl, karena dalam demokratisasi, Snyder melihat adanya tahap-tahap yang dialami oleh setiap negara yang sedang dalam transisi menuju sistem yang demokratis. Kedua tahap itu adalah dengan apa yang ia istilahkan mature democracy dan democratizing state. Di mana Menurut Snyder, perlu adanya pergantian kepemimpinan secara demokratis (pemilihan umum) selama dua kali dari suatu negara yang masih dalam kategori democratizing state untuk menjadi mature democracy. Dalam fase democratizing state itulah, konflik nasionalis seringkali tidak dapat dihindarkan. Teori ini, hemat penulis, sangat tepat untuk membaca tantangan demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah). Demokratisasi di Tunisia, Mesir, dan Suriah tentulah akan melalui fase-fase tersebut, dari democratizing state menjadi mature democracy. Pada tahap democratizing state (demokratisasi) menuju mature democracy inilah menghadapi berbagai tantangan yang menjadi fokus dari penelitian ini. 1.5.4. Proses Transisi dan Konsolidasi Demokrasi Menurut Georg Sorensen George Sorensen berpendapat, sedikit berbeda dari Jack Snyder, bahwa transisi dari sistem atau aturan yang tidak demokratis menuju sistem yang demokratis merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan beberapa fase. Sorensen 46 juga menambahkan bahwa rezim yang baru akan selalu diperhadapakan dengan sistem demokrasi yang masih terbatas, lebih demokratis dari rezim sebelumnya, tetapi tidak sepenuhnya demokratis (Sorensen, 2008: 46). Di sini teori Sorensen hampir sama dengan teori Snyder tetapi dengan bahasa yang berbeda. Jack Snyder menggunakan istilah democratizing state yang tahapannya menuju mature democracy. Konsolidasi dan transisi demokrasi ini lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan yang dibuatkan oleh Georg Sorensen sebagai berikut. Latar belakang kondisi: persatuan nasional 2. Fase persiapan: 1. Kejatuhan rezim yang tidak demokratis 2. Fase pengambilan keputusan: mulai membangun tatanan yang demokratis 3. Fase konsolidasi: Pembangunan demokrasi yang lebih lanjut (jauh); demokrasi sudah melekat dalam budaya politik Sumber: George Sorensen, Democracy and Democratization, processes and Prospects in A Changing World. 2008. Fase-fase yang dibuatkan bagan oleh Georg Sorensen dalam transisi dan konsolidasi demokrari ini sangat membantu untuk membaca demokratisasi di negaranegara Arab pasca The Arab Spring. Berangkat dari bagan di atas, kita dapat melihat pada fase mana negara-negara tersebut dalam mengonsolidasikan demokrasinya. 47 1.6. Hipotesis Dari gambaran yang ada, penulis dapat membangun suatu hipotesis terkait dengan Demokratisasi Era The-Arab Spring di negara-negara Arab: (Studi Kasus Tunisia, Mesir, dan Suriah) bahwa gejolak The Arab Spring terjadi karena masyarakat dunia Arab telah cukup lama hidup dengan sistem otoritarian yang tidak membawa perbaikan kehidupan bagi masyarakat bawah, baik itu dilihat dari sisi ekonomi maupun politik. Selain itu peran kaum intelektual dan media sosial tidak dapat dihindarkan dari peristiwa penting tersebut. Munculnya kelompok-kelompok intelektual dan kuatnya peran media sosial dapat memobilisasi terbangunnya kekuatan gerakan rakyat untuk melakukan perlawanan dan menuntut perbaikan kehidupan (demokratis). Namun demkian, demokratisasi (membangun pranata demokratis) yang menjadi harapan dari masyarakat Tunisia, Mesir, dan Suriah setelah The Arab Spring bergejolak menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut datang dari dalam dan juga dari luar negara-negara tersebut itu sendiri. Tantangan yang datang dari dalam adalah dengan terbangunnya kultur politik yang otoritarian, struktur politik demokratis (transparan, akuntabel, dan partisipasi publik) tidak terbangun, dan juga sistem politik yang memunculkan pemimpin-pemimpin dengan legitimasi poltik yang rendah (krisis). Tidak terbangunnya kekuatan gerakan masyarakat sipil (civil society) juga menjadi bagian dari tantangan tersebut. 48 Adapun tantangannya yang datang dari pihak luar adalah keberadaan pihakpihak asing, terutama Amerika Serikat, dalam proses pemilihan pemimpin di negaranegara Arab demi menjaga kepentingan nasionalnya serta menanamkan pengaruhnya. 1.7. Metode Penelitian Metode yang penulis lakukan dalam penelitian ini Demokratisasi Pasca The Arab Spring di Negara-negara Arab (Studi Kasus Tunisia, Mesir, dan Suriah) adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan terkait dengan sifat, ciri, nilai-nilai (ideologi dan sikap orang), keadaan, dan kondisi. Oleh karena itu, untuk melakukan hal tersebut, penulis mengkaji dinamika demokratisasi di negara-negara Arab kontemporer pasca The Arab Spring dengan cara mengumpulkan data, mengolah data, dan menganalis data yang telah dikumpulkan dan diolah. Penelitian ini fokus pada kajian kepustakaan. 1.7.1. Teknik Pengumpulan Data Menurut Lofland (1984) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain. Data tambahan yang tidak bisa diabaikan adalah bahan yang berasal dari sumber tertulis. Data tertulis tersebut dapat berupa buku, majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen resmi (Moleong, 2010:157-159). Oleh karena itu, dalam mengumpulkan data terkait dengan penelitian penulis, pernyataan-pernyataan maupun langkah politik (tindakan) dari elite-elite politik dari ketiga negara tersebut (Tunisia, Mesir, dan Suriah), atau negara lain yang terkait, 49 akan penulis amati dan ikuti perkembangannya melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, pernyataan-pernyataan dari para pengamat yang terkait dengan penelitian ini juga menjadi data yang penting dalam kajian ini. Penulis juga dapat melakukan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh yang dianggap punya kapasitas memberikan informasi penting dan akurat terkait dengan penelitian penulis, misalnya Diplomat, pengamat politik Timur Tengah, dan jurnalis yang pernah meliput langsung di negara yang penulis teliti. Terkait dengan data tambahan yang sifatnya tertulis, penulis dapat melakukannya di perpustakaan-perpustakaan, baik yang ada di Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun yang ada di tempat lain. Khusus untuk majalah ilmiah, penulis dapat melakukannya dengan mengakses majalah cetak maupun majalah online. Majalah online, penulis dapat mengaksesnya di lingkungan kampus UGM yang berlangganan dengan beberapa majalah internasional secara online, seperti JSTOR dan lain-lain. Keberadaan majalah online yang dilanggan oleh UGM ini sangat membantu penulis untuk mendapatkan data-data terbaru terkait dengan penelitian ini. Sementara itu, untuk mendapatkan data berupa arsip dan dokumen resmi, penulis akan menghadapi beberapa kesulitan karena tidak punya banyak akses untuk mendapatkan data-data berupa arsip dan dokumen resmi, seperti untuk mengakses arsip dan dokumen resmi di Kedutaan/Perwakilan negara-negara tersebut yang ada di Indonesia. 50 1.7.2. Metode Analisis Sebagai penelitian yang memfokuskan pada kajian kepustakaan, maka datadata yang penulis peroleh dari berbagai sumber dioleh dengan menggunakan teknik content analysis atau di sini dinamakan kajian isi. Beberapa defenisi dikemukakan untuk memberikan gambaran tentang konsep kajian isi tersebut. Pertama, Berelson mendefinisikan kajian ini sebagai teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara objektif, sistematis, dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi. Sementara itu, Weber (1985) menyatakan bahwa kajian isi adalah metodologi yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Defenisi berikutnya dikemukakan oleh Krippendorff (1980), yaitu kajian isi adalah teknik penelitian yang dimanfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksinya. Terakhir, Holsti (1969) memberikan defenisi yang agak lain dan menyatakan bahwa kajian isi adalah teknik apa pun yang digunakan untuk menarik kesimpulan, melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis. Dari segi penelitian kualitatif, tampaknya defenisi terakhir lebih mendekati teknik yang diharapkan (Moleong, 2010:219-220). Harold D. Lasswell memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai pendekatan dan tujuan dari analisis isi, yaitu semua tanda (sign) dan pernyataan dianalisis dengan tujuan untuk menguji efeknya bagi pendengarnya; hasilnya adalah frekuensi dari simbol-simbol tertentu, intensitas, dan perhitungan dari pengirimnya. Dalam kajian ini, Lasswell memberikan model komunikasi sebagai dasar analisisnya, 51 “yang mengatakan apa kepada siapa dan dengan efek yang bagaimana” (who says what to whom and with what effect) (Titscher dkk, 2009: 94-95). Oleh karena itu, data-data yang penulis kumpulkan tersebut diolah dengan konsultasi dalam rangka mempertajam pemahaman dan analisis penulis, terutama kepada Promotor dan Co-Promotor maupun kepada dosen-dosen lain atau diskusi dengan teman-teman mahasiswa yang punya ketertarikan dengan tema yang penulis angkat sebagai bahan penelitian. Untuk proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, sebagaimana disebutkan di atas. Langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuansatuan tersebut kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap ini selesai, maka mulailah dilakukan tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori susbtantif dengan menggunakan metode content analysis (Moleong, 2010:247). 52