OCULAR IMMUNE RESPONSES OLEH : ARYANI ATIYATUL AMRA NIP. 131 996 177 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 I. PENDAHULUAN Semua organ tubuh kita memberikan respon imun, termasuk mata, yang dibagi menjadi dua kategori utama yaitu respon imun humoral dan selular. Respon imun humoral terutama terjadi melalui IgE dan sel mast yang mengawali reaksi alergi. IgG kadar tinggi dalam darah dapat berperan dalam penyakit autoimun yang mengenai mata seperti pemfigoid. Sedangkan respon imun selular melibatkan sel T. Respon imun yang efektif terhadap antigen benda asing membutuhkan sel efektor dalam suatu aturan lintasan melalui jaringan, meskipun beberapa faktor yang dapat larut (seperti sitokin) berperan penting terhadap aktivasi sel – sel imun, leukosit masih diperlukan sebagai tanda untuk lalu lintas efektif. 1,2,3,4,5 Mata merupakan kelanjutan susunan saraf pusat sedang konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat, berupa mukosa yang berhubungan dengan jaringan limfosit. Epitel konjungtiva terdiri dari suatu kelompok sel dendritik yang dikenal sebagai sel langerhans, dimana fungsinya sama dengan makrofag di jaringan – jaringan lain dalam tubah, yaitu sebagai sel penjaga pada sistem imun permukaan okular. Imunitas humoral pada konjungtiva lebih banyak melibatkan IgA, dan imunitas selular yang didominasi oleh CD4+ sel T. Adanya sel – sel imun, konjungtiva mempunyai pembuluh limfatik yang kaya suplainya, yang menjadi tempat lintasan sel – sel imun dan antigen menuju aliran kelenjar limf dimana respon imun yang didapat lebih Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 banyak terjadi. Sel mast ditemukan dalam konjungtiva, koroid dan saraf mata serta mukosa konjungtiva yang merupakan komponen mata. Vitreus dan kornea avaskular dan tidak dimasuki sel mast. Uvea yang terdiri dari iris, badan siliaris dan choroid adalah jaringan mata yang paling ekstensif vaskularisasinya. Uvea terlibat primer dalam hipersensitivitas selular dan penyakit kompleks imun, sedangkan konjungtiva dilibatkan primer dalam hipersensitivitas cepat dan alergi. Kornea avaskular dan tidak terdapat sel mast, jadi pada keadaan normal tidak mengalami reaksi alergi akut, kornea juga disokong oleh sel – sel dendritik seperti dikonjungtiva, sel – sel dendritik pada epitel kornea juga disebut sel – sel langerhans. Kornea turut berpartisipasi dalam reaksi imun melalui jalur humoral dan komponen – komponen sel imun yang masuk dari periper melalui pembuluh darah limbus. . 1,4,6 II. REAKSI HIVERSENSITIVITAS 1,7,8,9 A. Reaksi Tipe I Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis (reaksi alergi). Alergan yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produk IgE dan penyakit alergi. Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel T helper (Th). IgE diikat oleh sel mast/basofil. Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan granul – granul sel mast (mengandung amin – Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 protease), sintesa metabolik asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) dan sintesa berbagai sitokin yang merupakan mediator vasoaktif. Patogenesis reaksi alergi dimulai dengan interaksi antigen presenting cell (APC) CD4+ T helper 2 (Th2) yang melepas interleukin – 4 (IL – 4) dan sitokin – sitokin Th2 lainya. B. Reaksi Tipe II Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel penjamu, dan mengikat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek tosik, mungkin disebabkan aktivitas komplemen (perkembangan dari kompleks penyerang membran) dan dari pemilihan leukosit termasuk neutrofil, limfosit, dan makrofag, sehingga disebut “killer lymphocytes” (limfosit pembunuh) yang mungkin berpengaruh pada antibodi dependent cell cytotoxicity (ADCC). Pada umumnya banyak peneliti menjelaskan bahwa respon tipe II ini tidak banyak berperan pada morbiditas kornea dan permukaan okular. C. Reaksi Tipe III Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 kompleks antigen – antibodi ditemukan dalam sirkulasi / dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen sekunder, sel efektor dan perekrutan. Kompleks imun bisa mengikat komplemen yang menarik leukosit polimorfonuklear. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG D. Reaksi Tipe IV Reaksi tipe IV disebut juga reaksi “cell mediated”. Terjadi melalui imunitas yang dipengarui sensitas CD4+ T helper I (Th 1) limfosit. Antigen berinteraksi dengan reseptor pada permukaan limfosit T dan menimbulkan pelepasan limfokin. Dermatitis kontak adalah suatu bentuk paling sering pada respon hipersensitifitas lambat eksternal mata yang disebabkan oleh lipid – larut, hapten dengan berat molekul rendah yang bisa menembus kulit dan beruntung masuk ke dalam lapisan epidermis, dimana dapat diambil oleh APC sepeti sel langerhans. Sel – sel tersebut kemudian memproses antigen dan mengaktifkan (sensitas) Sel T naif dalam organ limfosit, oleh ko–ekspresi proses antigen dan MHC kelas II antigen. Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 E. Reaksi Tipe V Reaksi tipe V disebut juga reaksi stimulasi, diduga pada reaksi tipe ini yang berperan adalam human leucocyte antigen (HLA). Contohnya; uvetis akut anterior, optik neurits dan penyakit autoimun tertentu, spondilitis ancilosing. Mekanisme pasti pengaruh HLA terhadap penyakit tersebut masih berupa hipotesis. III. REPSON IMUN PADA KONJUNGTIVA * Gambaran imunologi di konjungtiva Konjungtiva memberikan banyak gambaran tipikal. Mukosa tersebut terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan epitel dan lapisan konektif (subtansia propia). Konjungtiva memiliki vaskularisasi dan drainase limfatik yang baik menuju kelenjar preaurikular dan submandibula. Jaringan tersebut penuh dengan sel Langerhans (SL), sel dendritik (SD), dan makrofag yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC). Folikel – folikel konjungtiva bisa membesar setelah infeksi atau inflamasi tertentu pada permukaan okular, ditandai dengan kumpulan limfosit T, limfosit B, dan APC. Jika diamati fungsinya seperti peyer patch pada usus halus, dimana folikel menunjukkan adanya proses antigen oleh imun lokal yang menyebar melalui epitel tipis yang kemudian diproses oleh limfosit T dan limfosit B secara lokal pada folikel konjungtiva, terutama subtansia propia, diinfiltrasi penuh oleh Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 sel efektor potensial, yang dapat didominasi oleh sel mast. Seluruh isotipe antibody dijumpai, dan merupakan produksi lokal saat terjadi kebocoran pasif. IgA merupakan antibodi yang utama pada tear film. Molekul yang terlarut pada sistim imun bawaan juga diproduksi, misalnya komplemen. Konjungtiva menyokong respons efektor imun didapat dan bawaan, terutama respons yang diperantarai antibodi dan limfosit, meskipun degranulasi sel mast yang diperantai IgE adalah yang paling sering dan penting.1,2,6 * Sistem imunoregulator Sistem imunoregulator terpenting pada konjungtiva adalah jaringan limfoid yang berhubungan dengan mukosa yaitu mucosa associated lymphoid tissue (MALT). Konsep MALT merupakan jaringan interkoneksi dengan mukosa (susunan epitel traktus respiratorik, usus, dan traktus urogenital dan permukaan okular serta adneksanya) yang mempunyai gambaran imunologi spesifik : - terdapat APC - struktur tertentu untuk memperoses antigen yang terlokalisir (payer’s pactch dan tonsil) - sel efektor unik (misal; limfosit T intraepitel dan sejumlah sel mast) Namun, aspek MALT yang paling nyata adalah distribusi dan penempatan efektor limfosit T dan B yang diinduksi oleh imunisasi Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 pada satu sisi mukosa, tetapi untuk semua MALT karena adanya persamaan ekspresi molekul adhesi sel yang spesifik pada venula – venula post kapiler dari pembuluh darah mukosa. Respons imun MALT merangsang T helper 2 (Th2) yang menyebabkan produksi antibodi IgA dan IgE. Imunisasi antigen terlarut melalui MALT, terutama pada usus sering menimbulkan toleransi oral, terutama oleh karena aktivasi limfosit T regulator mirip T2 yang mensupresi sel efektor hipersensitivitas tipe lambat Th I.2 • Contoh klinis Respon imun terhadap konjungtivitis viral. Konjungtivitis yang disebabkan oleh infeksi adenovinus merupakan infeksi okular yang sering. Meskipun penjelasan tentang respon imun setelah infeksi adenovirus pada konjungtiva belum diketahui, hal tersebut dapat diketahui melalui penelitian tentang infeksi virus pada mukosa lain, yang diujikan pada hewan. Setelah infeksi dengan adenovirus, sel – sel epitel mulai bermatian dalam waktu 36 jam. Mekanisme imun bawaan dapat membatasi infeksi aktif segera setelah infeksi. Misalnya, sel yang terinfeksi memproduksi sitokin berupa interferon yang membatasi penyebaran infeksi virus dan menarik sel efektor nonspesifik seperti makrofag dan neutrofil.2,4 Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 Namun, respons imun didapat dianggap lebih penting dalam pemberantasan virus. Respons didapat primer dimulai ketika makrofag dan sel dendritik terinfeksi atau mengambil serpihan-serpihan sel dan antigen virus Baik APC maupun antigen ekstrasel dibawa ke kelenjar preaurikular dan submandibular sepanjang limfatik, dimana respons limfosit T helper dan antibody diaktivasi, sehingga timbul limfadenopati. Proses imun lokal dapat terjadi pada folikel jika virus menyerang kapsul epitel. Selama fase efektor awal dari respons limfosit B - primer, antibodi IgM dilepaskan ke dalam darah yang tidak begitu efektif untuk mengontrol infeksi permukaan, meskipun dapat mencegah terjadinya hiperemis yang luas. Namun, limfosit B yang mengandung IgM menginfiltrasi stroma konjungtiva dan dapat melepas antibodi secara lokal pada konjungtiva. Lebih lanjut, respons effektor primer, pengaktifan IgA atau IgG yang berperan sebagai media respon efektor lokal, seperti netralisasi atau lisis sel terinfeksi yang di mediasi komplemen. Sel effektor paling aktif memberikan respons terhadap infeksi viral akut yang berasal dari sel natural killer dan citotoksic T lymphocyte (CTL) CD8, yang membasmi epitel terinfeksi. Namun, virus mencegah ekspresi major histocompatibility complex (MHC) kelas I pada sel yang terinfeksi dan menghindar pembasmiannya oleh CTL. Imunitas didapat, mengaktifkan makrofag melalui mekanisme hipersensitivitas antiviral tipe lambat (delayed hypersensitivity atau DH) selama Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 terinfeksi. Respons DH terhadap antigen virus diduga berpengaruh terhadap perkembangan infiltrat kornea subepitel yang muncul pada beberapa pasien dengan infeksi adenovirus. Respon sekunder dari konjungtiva, oleh karena paparan primer sebelumnya terhadap virus yang sama pada daerah mukosa lain, terdapat perbedaan mekanisme efektor yang di mediasi oleh antibodi. Karena MALT, antivirus IgA tidak hanya terdapat pada darah tetapi juga pada air mata sebagai hasil dari diferensiasi limfosit B pengekresi IgA pada gladula lakrimalis, substansia propia dan folikel. Dalam hal ini, infeksi berulang sering dicegah dengan adanya antibodi penetral yang tersebar pada air mata dan folikel, mengikuti infeksi primer. Namun, inokulasi virus berulang menghasilkan sawar antibodi ini, atau jika virus telah memutasi glikoprotein permukaannya yang telah dikenali oleh antibodi, kemudian infeksi terjadi. Proses imun tambahan dapat muncul dalam folikel dan aliran kelenjar. Efektor CTL memori spesifik efektif menghilangkan infeksi dalam beberapa hari.2 IV. RESPON IMUN PADA COA, UVEA ANTERIOR DAN VITREUS * Gambaran imunnologi di COA, uvea anterior dan vitreus COA merupakan rongga berisi cairan, aquos humor sekunder merupakan media unik dalam hubungan inter seluler sitokin, sel - sel imun, dan sel jaringan iris, korpus silliaris, dan endotel kornea. Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 Meskipun, aquos humor memiliki jumlah protein yang lebih sedikit dibanding serum (sekitar 0,1% - 1,0% dari konsentrasi total serum protein), bahkan aquos humor normal mengandung campuran kompleks dari faktor – faktor biologik, seperti sitokin imunomodulator, neuropeptida dan inhibitor komplemen, yang merangsang imunologi mata.2,6 Sawar parsial darah dengan okular berupa kapiler – kapiler fenetrasi dari korpus silliaris menyebabkan gradien konsentrasi tergantung ukuran makromolekul plasma agar menyebar ke jaringan interstisial, molekul yang berasal dari plasma yang kecil terdapat dalam jumlah besar dari molekul besar. Tight junction (hubungan yang erat) antara epitel silliaris pigmen dan nonpigmen, membentuk sawar yang lebih ekslusif, mencegah makromolekul interstitial untuk menyebar langsung ke korpus silliaris menuju aquos humor. Selain itu, sejumlah kecil makromolekul plasma melewati sawar epitel nonpigmen dan menyebar secara difusi ke anterior melalui uvea memasuki segmen anterior melalui permukaan iris anterior . Bagian mata sebelah dalam mengandung limfatik yang berkembang dengan baik. Selain pembersihan substansi terlarut bergantung pada kanal pengaliran aquos humor, pemberantasan partikel bergantung pada endositosis trabecular meshwork sel endotel atau makrofag. Di samping itu, inokulasi antigen ke dalam segmen anterior menghasilkan hubungan yang effisien dengan respon imun sistemik. Antigen terlarut Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 yang utuh masuk ke sirkulasi vena, di mana berhubungan melalui limpa. 1,2 Iris dan korpus silliaris mengandung banyak makrofag dan sel dendritik yang berperan sebagai APC dan sel efektor. Proses imun jarang terjadi secara lokal tetapi APC keluar dari mata melalui trabecular meshwork dan kembali ke limpa, di mana proses terjadi pada Th2 dan aktivasi regulator CD8 supresor sel T. Beberapa limfosit T dan sel mast secara normal ada pada uvea anterior, sedangkan limfosit B, eosinofil dan PMNs tidak dijumpai. Konsentrasi IgG yang rendah, komplemen, dan kallikrein ada pada mata normal. Vitreus tidak dideskripsi secara jelas sebagai segmen anterior, tapi vitreus mungkin bermanifestasi pada kebanyakan bahan yang sama, dengan beberapa pengecualian. Gel dari vitreus secara elektrostatistik mengikat substansi protein dan berperan sebagai depot antigen serta subtrat untuk adhesi leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe A, maka ia dapat berperan sebagai depot auto antigen yang potensial pada beberapa bentuk uveitis yang berhubungan dengan artritis di mana kolagen tipe II pada sendi merupakan auto antigen.1,2,3 * Sistem imunoregulator Uvea anterior memiliki sistem imunoregulator yang dideskripsikan sebagai imun, konsep moderen yang istimewa dari imun bahwa implan tumor atau allograft lebih bertahan pada daerah Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 dimana implan/graft yang serupa ditolak oleh mekanisme imun kulit atau daerah yang tidak istimewa. Tempat lain yang memiliki imun istimewa adalah rongga subretina, otak dan testes. Meskipun asal antigen yang terlibat penting, imun istimewa dari uvea anterior telah diobservasi memiliki variasi antigen yang luas, termasuk alloantigen (misal: antigen transplantasi), antigen tumor, hapten, protein terlarut, auto antigen, bakteri dan virus.1,2 Imun istimewa diperantarai, oleh rangsangan baik fase aferen dan efektor yang merespons imun. Imunisasi melalui segmen anterior sebagai fase aferen dari respon imun primer merupakan hasil generasi untuk efektor imun. Imunisasi misalnya dengan protein lensa atau auto antigen lain melalui segmen anterior tidak menghasilkan pola imunitas sistemik yang sama seperti imunisasi melalui kulit. Imunisasi dengan injeksi pada segmen anterior pada hewan percobaan menghasilkan bentuk imunitas sistemik terhadap antigen yang berubah, disebut anterior chamber associated immune deviation (ACAID). Respon imun yang berdeviasi ditandai dengan respon antibodi, sistem antibodi yang berhadapan dengan antigen tetapi tanpa adanya respon DH terhadap antigen tersebut. Mengikuti injeksi antigen pada segmen anterior, fase aferen dimulai saat makrofag pada bagian tertentu iris mengenal dan mengambil antigen. Fungsi APC dari makrofag uvea ini telah berubah oleh paparan terhadap sitokin imunoregulator yang secara normal terdapat Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 pada aquos humor dan jaringan uvea, terutama transforming growth factor β2 (TGF β2). Proses dimana aquos humor mengubah makrofag menjadi ACAID menimbulkan APC belum terpapar antigen menstimulasi makrofag diketahui. TGF β2 yang okular meninggalkan trabekular meshwork dan kanal schlemm kemudian memasuki sirkulasi vena, dimana mereka memigrasi ke limpa. Disini sinyal antigen diproses, dengan aktivasi tidak hanya limfosit T helper dan limfosit B tetapi juga lomfosit T regulator. Sel regulator CD8 merubah respons CD4 limfosit T helper limpa untuk menurunkan regulasi respons DH CD4 limfosit kepada antigen imunitas spesifik pada semua bagian tubuh. Dalam hal ini respons efektor yang dihasilkan memiliki ciri – ciri supresi selektif pada DH spesifik terhadap antigen dan secara selektif mengurangi produksi dari isotipe pengikat komplemen antibodi. Isotipe antibodi lain dan prekursor limfosit T sitotoksik sama dengan imunisasi kulit yang konvensional.2 Beberapa mekanisme lain ACAID diduga, persentase kecil antigen yang utuh dapat meninggalkan mata dan masuk ke darah, dimana diproses dalam limpa. Dosis kecil antigen intravena menghasilkan imunomodulasi yang disebut toleransi zona rendah. Berbagai mekanisme aktivasi imunoregulator limfosit T pada mata juga telah diketahui. Secara klinis kapasitas jaringan penting untuk mempertahankan fase efektor sekunder respon imun, karena respon imun primer pada Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 penyakit auto imun terjadi di luar mata. Dalam hal ini, fase efektor sekunder dari segmen anterior juga merupakan imunomodulator dan disebut sebagai penghambat efektor karena berbagai sistem imunoregulator secara normal terdapat pada mata, efektor imunologi yang utuh berfungsi pada tempat lain : kulit, misalnya; aktivasi dihambat secara parsial dan berfungsi pada segmen anterior. Dalam hal ini, limfosit T, DH, Th1, limfosit T sitotoksik, sel natural killer dan aktivasi komplemen berfungsi kurang efektif pada uvea anterior dibanding tempat lain.1,2 Uvea anterior relatif resisten terhadap induksi protein murni DH sekunder setelah respon imunisasi primer dengan mikrobakterinya dari kulit, mekanisme menghambat efektor bersifat multifaktorial, termasuk hasil dari : - sitokin imunomodulator, diproduksi oleh jaringan okular - neuropeptida imunomodulator, diproduksi oleh saraf okular - APC yang berfungsi unik - penghambat komplemen pada aquos humor - faktor – faktor lain Fas ligan (fasL atau Ligan CD95), diekspresi pada iris dan endotel kornea. FasL secara normal terdapat ditimus dan beberapa tempat dengan imun istimewa seperti testes fasL merupakan perangsang patogen terhadap kematian sel terprogram atau apoptosis, dari limposit. Dalam hal lain, fasL dapat menginduksi pembunuhan Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 apoptatik dari infiltrating limposit T, untuk mencegah fungsi effektor limposit T kehilangan mekanisme protektif yang dapat muncul karena perkembangan uveitis. 1,2,3 Rongga vitreus tidak memiliki karakteristik imunologis, tapi bukti eksperimen menyarankan bahwa respons imun primer mirip ACAID mungkin terdapat pada vitreus juga, terutama pada mata yang telah vitrectomy. Blokade efektor yang telah ada pada vitreus masih kontroversial, tapi kelihatannya jelas bahwa antigen yang diinjeksi yang terlarut ke dalam vitreus dapat mencetus fenomena mirip ACAID, bentuk immunomodulasi dapat difasilitasi oleh vitrectomi bahkan untuk antigen partikuler. Rasional lain pada mata dengan uveitis yang divitrectomi : - memindahkan depot antigen, termasuk kolagen tipe II, terperangkap dalam gel - memindahkan substrat gel untuk molekul adhesi sel guna merekrut dan adheren leukosit. - memungkinkan sirkulasi faktor, imunomodulator aquos humor. * Contoh klinis Pontensial terapeutik untuk imun istimewa. Tidak diketahui apakah ACAID memiliki konsekuensi pada penyakit klinis, meskipun diperkirakan memiliki peran dalam toleransi imunologi pada kristalin Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 lensa setelah operasi katarak dan penerimaan secara imunologi dari transplantasi kornea. ACAID dapat mempengaruhi respons imun terhadap antigen okular. Hewan mendapat imun melalui anterior dengan auto antigennya retina segmen S –antigen atau reseptor interphoto protein pengikat retinol yang berkembang dari ACAID, dan mereka diproteksi dari uveitis autoimun ekspresimental bagian kontralateral setelah imunisasi kutaneus pada mata konvensional. Belakangan, ACAID telah direproduksi oleh infusi monosit yang pertama kali diterapi secara extracorporeally dengan TGF-β dan antigen, menyarankan potensial klinis yang berhubungan dengan imunoterapi.2 V. RESPON IMUN PADA KORNEA * Gambaran imunologi di kornea Kornea merupakan jaringan perifer dan sentral yang mempunyai imunologi berbeda, hanya limbus yang memiliki vaskularisasi. Dimana limbus secara besar-besaran terinvestasi dengan sel langerhans, kornea parasentral dan sentral yang secara normal kurang APC. Namun, berbagai stimulus seperti trauma ringan, beberapa sitokin (misal: IL1), atau infeksi, dapat menarik APC ke kornea sentral, enzim turunan plasma (misal: komplemen), IgM, dan IgG dihasilkan pada Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 konsentrasi moderate pada perifer, tapi hanya sedikit kadar IgM di bagian sentral.2 Sel kornea muncul untuk mensintesa berbagai anti mikrobial dan protein imunoregulator, sel efektor tidak ada atau jarang pada kornea normal, tetapi neutrofil, monosit dan limfosit dapat bermigrasi ke stroma jika stimulus hemotaktik yang sesuai teraktivasi. Limfosit, monosit, dan polimorfonuklear (PMN) dapat juga bartahan pada permukaan endotel selama proses inflamasi, memberikan kenaikan pada presipitasi keratic atau rejeksi endetol garis khodacloust. Imun lokal yang terproses tidak muncul pada kornea.1,2,3 * Sistem imunoregulator Kornea mendemonstrasikan bentuk imiun istimewa berbeda dari yang diamati pada uvea anterior. Imun istimewa kornea bersifat multifaktorial. Fisiologi limbus normal merupakan komponen mayor, terutama mempertahankan avaskularitas dan kurangnya APC pada tengah kornea. Tidak hanya APC dan limfatik secara partial menginhibisi pengenalan aferen pada kornea sentral, dan tidak adanya vanula post kapiler sentralis dapat membatasi efisiensi penarikan efektor, meskipun sel efektor dan molekul dapat menginfiltrasi kornea yang avaskular. Faktor lain yang ada sistem imunoregulator intake pada segmen anterior (misal: ACAID), dimana endotel kornea terpapar.2 Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 * Contoh klinis Penolakan allograf penetrasi. Keratoplasti, transplatasi allograf kornea asing, memberikan angka keberhasilan sangat tinggi (>90%) meskipun dalam keadaan tidak adanya imodulasi imun sistemik. Angka ini berbanding dengan nilai transplantasi dari bagian jaringan lain. Mekanisme pertahanan graf kornea digolongkan sebagai keistimewaan sistem imun. Dalam bentuk percobaan, faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya penolakan termasuk : - adanya vaskularisasi kornea sentral - induksi ekspresi molekul MHC oleh stroma, biasanya (normal) cukup rendah. - kontaminasi dari graf donor dengan APC si penerima donor karena transplantasi - ketidak suksesan MHC antara penerima dan pendonor - preimunisasi resipen terhadap antigen-antigen transplantasi pemberi donor Sebagai tambahan, hilangnya sistem ”imunoregulator dari terowongan anterior dapat berpengaruh dalam imunitas allograf kornea, dan ekspresi dari Fas L pada endotel kornea telah diteliti, memberikan pengaruh besar terhadap perlindungan allograf. Pertukaran cepat dari epitel donor dan epitel pemberi menghilangkan lapisan ini sebagai sebuah stimulasi antigen. Setelah diaktifasikan, DH yang tergantung antibodi dan segala mekanisme yang berhubungan dengan CTL bisa Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 mengenai (target) antigen transplantasi pada semua lapisan kornea.(streilein JW. Regulasi respon imun okular) 1,2,10 VI. RESPON IMUN PADA RETINA, RPE DAN KOROID * Gambaran imunologi di retina, RPE dan koroid Imunologi di retina, RPE koriokapilaris dan koroid tidak mempunyai karakteristik. Sirkulasi retina menunjukkan suatu sawar darah – okular mempunyai hubungan yang erat antara sel – sel endotel. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabe terhadap makromolekul. Transudat makromolekul plasma masuk ke ruang ekstravaskular koroid dan koriokapiler.2 Hubungan yang erat antara sel – sel RPE memungkinkan secara fisiologis sebagai sawar antara koroid dan retina. Bila perkembangn limfatik tidak terjadi, meskipun retina dan koroid berpotensi mempunyai tumpukan APC. Pada retina, mikroglia residen (sumsum tulang, sel – sel derivat monosit) mengalami perubahan secara fisik yang menyebar kesemua lapisan dan bisa dan bermigrasi untuk respon berbagai stimulus. Koriokapiler dan koroid mempunyai banyak APC ponensial tertentu, khususnya makrofag dan sel – sel dendritik.2 RPE bisa terinduksi untuk mengekspresi mlekul MHC klas II, diduga bahwa RPE bisa juga berinteraksi dengan sel T. Munculnya limfosit T atau limfosit B dalam segmen posterior normal tidak dapat diketahui Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 letaknya dengan pasti, tapi adanya sel – sel efektor tidak terjadi pada retina normal. Densitas sel mast sedang pada koroid, khususnya disekitar arteriol, tapi limposit hanya sedikit densitasnya. Eosinofil dan neutrofil tidak ada. Dalam berbagai keadaan klinis atau penelitian bagaimanpun juga densitas tinggi dari sel T, sel B, makrofag dan PMN, bisa menginfiltrasi koroid, koriokapiler dan retina. RPE dan berbagai jenis sel dalam retina da koroid (misal; pericytes) dapat mensintesa berbagai sitokin yang berbeda (misal; TGF-β) yang bisa merubah respon imun selanjutnya. Proses imun lokal tidak tampak terjadi.2,3 * Sistem imunoregulator Akhir – akhir ini tampak bahwa suatu bentuk imun asal yang muncul setelah injeksi antigen subretina. Mekanismenya belum pasti, kemungkinanya sama dengan ACAID. Pengamatan menjadi penting karena timbulnya minat pada transplantasi retina dan terapi genetik. Kapasitas koriokapler dan koroid berfungsi unik pada fase aferen atau fase efektor belum selesai dievaluasi.2 * Contoh klinis Transplantasi retina. Transplantasi retina atau RPE diteliti sebagai metode untuk regenerasi fungsi retina pada berbagi kelainan. Pada hewan percobaan, transplantasi subretinal dari jaringan retina janin atau berbagi jenis allograf RPE sering bertahan lebih lama dari Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 pada graf yang sama ditanam di tempat lain, meskipun tanpa imunomodulasi sistemik. Pengenalan fase aferen dari alloantigen seringnya dilakukan oleh mikroglia retina atau makrofage – marofage derivat darah yang diambil dari koriokapiler. Daerah sitokin subretina tetap belum dapat diketahui karena transplantasinya dilakukan dalam urutan penyakit-penyakit retina seperti retinitis pigmentosa atau degenerasi makula, dimana lapisan darah, retina terlibat/tular dan sel retina (RPE) ditemukan. Bagaimana pun, RPE yang luka tetap bisa membentuk sitokin imunomodulator ataupun sitokin inflamatori.2 Daerah proses pembentukan imun tidak diketahui, tetapi ginjal atau organ bagian mata sekunder dari mata kemungkinan terlibat. Ketika penolakan terjadi, mekanisme-mekanisme penyebabnya yang tidak jelas. Pada graf retina janin di tikus, penolakan imun terjadi karena kejanggalan perkembangan, mekanisme sitotoksik yang lambat tanpa terlibatnya sitokisis antobodi tripikal atau DH limfosit T. Pada manusia dan makhluk lain, penolakan allograf RPE telah dijumpai dalam bentuk subakut dan kronik.2 Terapi gen retina. Terapi gen retina adalah penggunaan terapeutik dari transfeksi yang disenggajakan dari fotoreseptor – fotoreseptor atau RPE dengan virus yang telah direplikasi yang sudah diubah Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 gennya untuk mendapatkan gen pengganti yang diinginkan. Gen ini menjadi terpapar pada sel manapun yang terinfeksi virus tersebut. Pembersihan imun pada virus telah diperlihatkan untuk sebabkan hilangnya ekspresi gen yang ditranfer dalam bagian tubuh lain. Jika keistimewaan sistem tubuh melindungi vektor virus atau protein yang dibentuk oleh gen yang ditransfer dari pembersihan imun tadi, maka terapi gen subretina mata kemungkinan suksesnya lebih besar dari bagian lain. Topik ini hingga sekarang masih diselidiki lebih lanjut.2 Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 DAFTAR PUSTAKA 1. American Academy of Ophthalmology, Immune – Mediated Disorders of the External Eye and Cornea in External Disease and Cornea, Basic and Clinical Science Course, Chapter 8, Section 8, 2005 – 2006, page 183 – 191 2. American Academy of Ophthalmology, Ocular Immune Responses in Intraocular Inflammation and Uveitis, Basic and Clinical Science Course, Chapter 3, Section 9, 2005 – 2006, page 33 – 42 3. Bratawidjaya Garna Karnen, Reaksi Hipersensitivitas dan Imunologi mata dalam Imunologi Dasar, Edisi 7, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, Halaman 155 – 174 dan 297 – 304 4. Vaughan Daniel G, MD, Asbury T.Eva Paul R. Penyakit Imunologik pada Mata dalam Ophthalmology Umum, Edisi 14, Widya medika, Jakarta, 2000, Hal 352 – 360 5. The Double-Edged Ocular Lecture.Scott Immune M Response: Whitcup The Cogan : http://www.iovs.org/cgi/content/full/41/11/3243 6. American Academy of Ophthalmology, Fundamentals and Principles of Ophthalmologi, Basic and Clinical Science Course, Section 2, 2003 – 2004, page 24 – 36 7. Roitt Ivan M, Imunology, Essensial Immunologi, Edisi 8, Widya Medika, Jakarta, 2003, Halaman 21 – 29 Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008 8. Sihota and Tandon, Ocular Manifestations of Systemic Disorders in Parsons’ Disease of The Eye, Twentieth Edition, Elsevier, India, 2007, Page 503 – 509 9. Tasman W, Immunologi of Uveitis in Duane’s Clinicals Ophthalmology, Volume 4, Chapter 34, Lippincot William and Wilkins, Revised Edition, 2004, Page 1 – 8 10. Chong Lye, Ocular Ophtahalmology An Inflamasi & Immunology in Clinical Asian Prespective, Section 8, Chapter 8, Elsevier, Singapore, 2005, Page 519 – 524 Aryani Atiyatul Amra : Ocular Immune Responses, 2007 USU Repository © 2008