BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tipe Kepribadian Kepribadian (personality) adalah suatu pola watak yang relatif permanen dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualitas bagi perilaku seseorang (Feist & Feist, 2009). Menurut Allport dalam Friedman & Schustack (2006), kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan penyesuaian unik dirinya terhadap lingkungan. Sehingga, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah suatu pola yang bersifat relatif permanen dan juga unik, sehingga dapat menentukan individualitas dan penyesuaian seorang individu dengan lingkungannya. 2.1.1 Introvert dan Ekstrovert Menurut Jung, terdapat dua kondisi di dalam kepribadian seorang individu, yaitu alam sadar (conscious) dan alam bawah sadar (unconscious) (Sujanto, Lubis, dan Hadi, 1984). Disisi lain, menurut Jung dalam Suryabrata (2002), alam sadar (conscious) terdiri dari fungsi jiwa (function) dan sikap jiwa (attitudes). Fungsi jiwa (function) terdiri dari thinking, feeling, sensing, dan intuiting (Feist & Feist, 2009). Sementara itu, sikap jiwa (attitudes) dapat digolongkan kedalam tipe kepribadian Ekstrovert maupun tipe Introvert (Suryabrata, 2002). Pada dasarnya, setiap individu memiliki kedua aspek dari sikap jiwa tersebut, namun hanya terdapat salah satu aspek yang masuk ke dalam alam sadar (conscious) manusia. Sedangkan aspek lainnya berada di dalam alam bawah sadar (unconscious) manusia (Feist & Feist 2009). Seorang individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert yang lebih dominan, akan menggunakan energi yang dimilikinya ke dunia luar, sehingga individu tersebut memiliki orientasi yang objektif. Sedangkan seseorang yang didominasi tipe kepribadian Introvert, akan menggunakan energi yang dimilikinya kembali ke dalam dirinya sendiri. Sehingga individu tersebut memiliki orientasi yang lebih subjektif. (Feist & Feist, 2009). 6 7 2.2.2 Karakteristik Ekstrovert Menurut Mischel, Shoda, dan Smith (2003), jika seseorang dikatakan memiliki tipe kepribadian Ekstrovert yang dominan, mereka akan cenderung lebih berbaur dengan orang lain dan terlibat dalam aktivitas sosial. Begitupun ketika sedang berada dalam sebuah tekanan. Mereka juga lebih tertarik dengan pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk berhadapan langsung dengan orang lain. Menurut salah seorang tokoh yang mengembangkan teori Jung, yaitu Hedges (1993) terdapat beberapa karakterstik pada individu yang memiliki tipe kepribadian Ekstrovert, yaitu: 1. Perhatiannya tertuju pada dunia di luar dirinya. 2. Mendapatkan energi melalui orang lain. 3. Menyaring isi pikiran, perasaan dan ide dari orang lain. 4. Cenderung berkomunikasi dengan cara lisan. 5. Minat yang dimilikinya menyebar. 6. Berbicara dahulu baru berpikir 7. Ekspresif dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. 8. Bersifat terbuka dan gemar berteman. 9. Ramah dan tidak canggung. 10. Senang untuk bekerja sama dengan orang lain. 11. Mudah untuk berbicara dan mengutarakan perasaan. 12. Komunikatif. 2.2.3 Karakteristik Introvert Menurut Mischel, Shoda, dan Smith (2003), seseorang dengan Introvert yang dominan, umumnya memiliki karakteristik seperti, lebih cenderung menarik kedalam dirinya sendiri. Ciri-ciri lain, ketika mereka tengah mengalami tekanan ataupun konflik, mereka lebih memilih untuk menyendiri dan menghindari kontak sosial dengan orang lain. Selain itu, seseorang dengan tipe kepribadian Introvert yang dominan terkesan pemalu. Menurut salah seorang tokoh yang mengembangkan teori Jung, yaitu Hedges (1993), terdapat karakteristik dari individu yang memiliki tipe kepribadian Introvert, yaitu: 1. Perhatiannya tertuju pada dunia di dalam dirinya. 2. Mendapatkan energi dari dalam dirinya sendiri. 8 3. Menyaring ide dan isi pikiran dari dalam diri. 4. Lebih memilih berkomunikasi secara tulisan. 5. Memiliki minat yang mendalam. 6. Berpikir dahulu baru berbicara. 7. Memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. 8. Memiliki sifat yang tertutup. 9. Pemalu dan sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. 10. Lebih menyukai bekerja secara individual. 11. Tidak banyak mengukapkan perasaanya. 12. Lebih banyak berpikir sendiri di bandingkan berdiskusi dengan orang lain. 13. Kurang komunikatif. 2.2 Tahapan Komunikasi Intim 2.2.1 Definisi Komunikasi Menurut Hybels & Weaver (2001), komunikasi merupakan suatu proses yang terjadi dimana seorang individu berbagi informasi, ide, dan perasaannya. Proses tersebut juga melibatkan aspek bahasa tubuh, ciri khas pribadi, dan gaya yang dapat menambah arti dari pesan yang disampaikan. Sedangkan menurut Hovland, dkk dalam Miller (2005), komunikasi adalah suatu proses dimana seorang individu mengirimkan suatu stimulus yang umumnya verbal dan akan dimodifikasi oleh individu lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses terjadi dimana seorang individu mengirimkan stimulus atau berbagi informasi, ide, dan perasaannya kepada orang lain yang melibatkan aspek verbal dan juga non-verbal. 2.2.2 Tahapan Komunikasi Intim Menurut Pearson dalam Paruntu (1998), komunikasi intim adalah suatu komunikasi interpersonal yang terjadi pada dua orang yang terlibat dalam hubungan yang bersifat intim. Pada dasarnya, komunikasi yang terjadi dalam hubungan yang bersifat intim terdiri dari dua saluran, yaitu verbal dan non-verbal. Dalam komunikasi non-verbal, terdiri dari beberapa komponen seperti, ekspersi wajah, memandang atau kontak mata, bahasa tubuh, sentuhan, jarak interpersonal, dan paralanguage (Miller, 2005). Menurut Noller dalam Miller (2005), komunikasi non- 9 verbal dapat digunakan dalam menentukan kepuasan dalam suatu hubungan. Di sisi lain, komunikasi verbal juga merupakan komponen yang penting di dalam hubungan yang intim, karena dapat berperan dalam membangun keintiman di dalam hubungan (Dindia & Timmerman dalam Miller, 2005). Dalam komunikasi verbal, selfdisclosure dapat digunakan sebagai prediktor keintiman di dalam sebuah hubungan. Sehingga, kedua saluran dalam komunikasi yaitu verbal dan no-verbal sama-sama berperan penting dalam terciptanya komunikasi yang bersifat intim. Satir dalam Paruntu (1998), mengemukakan terdapat empat tahap yang idealnya dilalui agar komunikasi intim tersebut dapat terjadi. Sementara itu, Pearson (1985) menjelaskan bahwa terdapat empat tahapan yang berkaitan dengan perkembangan hubungan intim yang dapat meningkatkan komunikasi intim pada pasangan. Ke empat tahap yang dimaksud oleh Satir dalam Paruntu (1998) dan Pearson (1985) adalah sebagai berikut: 1. Sharing the self Sharing the self sama halnya dengan self disclosure. Sharing the self merupakan hal yang penting dalam membangun hubungan personal yang dekat. Self disclosure dalam konteks ini harus bersifat terbuka, pribadi, dan langsung. Umumnya, individu sering menyamakan aspek self disclosure dengan komunikasi intim, hal tersebut di karena keduanya bersifat serupa atau identik (Pearson, 1985). Sehingga, peran self disclosure atau keterbukaan diri sangat penting di dalam sebuah komunikasi yang bersifat intim 2. Affirming the other Affirming the other dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan aspek empati (empathy). Individu perlu memahami bahwa individu lain merupakan seorang individu yang unik dan juga penting. Selain itu, dalam tahapan ini juga seseorang mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain (Pearson, 1985). 3. Becoming ‘one’ Ketika dua orang individu menjadi suatu kesatuan dengan orang lain, akan muncul suatu aspek yang disebut dengan bonding atau ikatan. Ikatan tersebut terbentuk berdasarkan dua kepribadian yang berbeda. Seseorang yang telah menikah, ada kalanya terlihat serupa, memiliki perilaku yang sama, dan juga berbicara dengan cara 10 yang sama. Meskipun hal tersebut tidak selalu terjadi, namun, pada dasarnya setiap pasangan mengembangkan cara-cara yang spesial dalam berkomunikasi di dalam hubungan mereka (Pearson, 1985). 4. Transcending ‘one’ Aspek transcending one dalam sebuah hubungan yang bersifat intim, menyerupai aktualisasi diri dalam pekermbangan pribadi seseorang. Ketika seorang individu benar-benar merasa aman dalam hubungannya, individu tersebut mampu mendapatkan dan memberikan hal yang disebut kebebasan dan juga kesamaan. Setiap pasangan yang memiliki perasaan aman dalam hubungannya, dapat memahami hubungan dan juga memiliki kebebasan atau tidak bergantung kepada pasangannya dalam mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri. (Pearson, 1985). 2.3 Pernikahan Menurut Noller, Feeney, dan Peterson (2001), salah satu tahapan yang dilalui oleh individu dalam usia dewasa awal adalah menikah. Di Indonesia, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan). Menurut DeMaria (2007) terdapat tujuh fase atau tahapan dalam sebuah pernikahan, yaitu: 1. Passion stage Fase ini dialami ketika seseorang dominan merasakan kebahagiaan, seks, dan keintiman yang dominan dengan pasangannya. 2. Realization stage Fase ini dialami ketika seseorang mulai menyadari akan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki satu sama lain. 3. Rebellion stage Fase ini dialami ketika seorang individu berusaha untuk menegaskan keinginannya dan mengalami kehilangan kestabilan serta adanya perebutan kekuasaan dalam sebuah hubungan. 11 4. Cooperation stage Fase ini dialami ketika seorang individu merasakan bahwa ia dan pasangannya tengah disibukan oleh permasalahan rumah tangga seperti keuangan, anak-anak, dan juga pekerjaan. Hal tersebut membuat seseorang merasa hubungannya dengan pasangannya lebih mengarah selayaknya rekan bisnis. 5. Reunion stage Pada fase ini, seorang individu merasakan lebih memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan untuk hal yang mereka senangi, termasuk kembali menjalin persahabatan. 6. Explosion stage Fase ini terjadi ketika seseorang tengah merasakan krisis di dalam karir, keluarga, maupun kesehatannya. 7. Completion stage Pada tahapan terakhir ini, seorang individu akan merasakan keamanan dan stabilitas serta tengah menikmati hidupnya. Sedangkan menurut Sekartaji (2012), terdapat lima tahapan yang harus dilalui dalam pernikahan, yaitu: 1. Bulan madu Pada tahapan ini, masing-masing pasangan cenderung mengungkapkan cintanya dengan lebih hangat dan juga intim. 2. Menerima Pada fase yang kedua, pasangan mulai menyadari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing pasangannya. 3. Mempunyai keluarga baru Dalam tahapan ini, pasangan akan dihadapi oleh berbagai tantangan dalam hal mengurus rumah tangga. Seperti megatur keuangan dan membersarkan anak. 4. Transformasi Pada tahapan ini, seorang individu dapat dikatakan telah mampu untuk menerima perbedaan-perbedaan yang muncul dan mulai menikmati serta beradaptasi dengan kehidupan yang tengah dijalani. 12 5. Tahap kesempurnaan Pada tahapan yang terakhir ini, setiap pasangan akan menikmati tingkat keintiman dan romantisme yang paling dalam. Pasangan juga telah mampu untuk melalui fase tersulit dalam kehidupan pernikahan. 2.4 Dewasa Awal Dalam Penelitian ini, penulis ingin melihat hubungan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert dengan tahapan komunikasi intim yang mengambil sampel yaitu pria atau wanita termasuk ke dalam rentang usia dewasa awal. Berikut ini akan di uraikan beberapa faktor yang berhubungan dengan perkembangan dalam usia dewasa awal. 2.4.1 Kategori Dewasa Awal Menurut Levinson dalam Mönks (2006), kriteria agar seseorang dapat dikategorikan kedalam dewasa awal adalah ketika seorang individu berusia antara 17 sampai dengan 45 tahun. Padangan Levinson tersebut sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Erik Erikson dalam Lahey (2009). Erikson menyatakan bahwa fase dewasa awal (early adulthood) dimulai pada usia 17 tahun dan berakhir pada usia 45 tahun. Oleh karena itu, dalam penelitian ini menggunakan pandangan yang dikemukakan oleh Levinson dan juga Erikson, yaitu seseorang yang dinyatakan berada dalam kategori usia dewasa awal adalah seorang individu yang berusia antara 17 hingga 45 tahun. 2.4.2 Perkembangan Psikososial Jika membahas mengenai perkembangan psikososial, umumnya teori yang digunakan adalah teori psikososial oleh Erik Erikson. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa tugas perkembangan psikosoasial yang harus di lalui oleh seseorang pada usia dewasa awal adalah intimacy versus isolation (Lahey, 2009). Erik Erikson juga menekankan, bahwa pada tahap tersebut, tugas yang perlu dilalui oleh individu dalam fase tersebut, yaitu intimacy skill (Howe, 2012). Menurut Lahey (2009), terdapat tantangan yang perlu dilewati oleh individu dalam fase ini, yaitu membuat komitmen dalam sebuah hubungan percintaan dan melepaskan diri dari orang tua. Disisi lain, menurut Erikson dalam Howe (2012), yang dimaksud 13 dengan intimacy adalah kemampuan seseorang untuk berbagi dirinya dengan orang lain tanpa merasa kehilangan identitas dirinya sendiri. Namun, jika seorang individu tidak memiliki kemampuan dan pengalaman intimacy tersebut, dapat mengakibatkan munculnya persaan terisolasi dan tidak berdaya yang dapat mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. 14 2.5 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 15 Berdasarkan data yang diperoleh, umumnya rata-rata masyarakat Indonesia menikah pada periode usia dewasa awal (early adulthood). Selain itu, menurut Noler, dkk (2001), bagi individu yang berada dalam periode usia dewasa awal, terdapat satu tahapan yang perlu mereka dilalui, yaitu menikah. Sementara itu, 80% dari kasus perceraian di Indonesia, terjadi pada suami dan istri yang berusia muda, yakni dibawah usia 25 tahun (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014). Periode usia tersebut dapat dikategorikan dalam usia dewasa awal. Menurut Musdalifah (2012) dan Amato dalam Previti (2003) salah satu faktor yang dapat menyebabkan perceraian adalah masalah komunikasi. Pada dasarnya, dalam suatu hubungan yang bersifat intim, yaitu pernikahan, unsur komunikasi merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan. Menurut Miller, dkk, (2007), faktor komunikasi merupakan hal yang sangat penting di dalam hubungan yang sifatnya intim. Jika berfokus pada komunikasi dalam sebuah hubungan pernikahan, terdapat suatu jenis komunikasi spesial yang terjadi pada dua orang yang terlibat dalam hubungan yang bersifat intim, yaitu komunikasi intim (Pearson dalam Paruntu, 1998). Sementara itu, menurut Satir dalam Paruntu (1998), terdapat empat tahapan yang idealnya dilalui agar komunikasi intim dapat terjadi, yaitu sharing the self, affirming the other, becoming one, dan transcending one. Namun, dalam proses komunikasi yang terjadi di dalam sebuah hubungan tidaklah selamanya dapat berjalan dengan lancar. Dapat pula terjadi perbedaan komunikasi yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin maupun tipe kepribadian masing-masing individu. Menurut Hedges (1993), individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert dikatakan lebih ekspresif, terbuka, mudah untuk berbicara dan mengutarakan perasaanya serta komunikatif. Sedangkan sebaliknya, individu dengan tipe kepribadian Introvert cenderung tertutup, pemalu, tidak banyak mengungkapkan perasaannya, dan juga dikatakan kurang komunikatif (Hedges, 1993). Dari pemaparan tersebut, dapat tercermin perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert yang dapat pula membedakan komunikasi di antara individu tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Opt dan Loffredo (2000), dikemukakan hasil bahwa terdapat perbedaan komunikasi yang dimiliki oleh individu berdasarkan teori kepribadian Jung. Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa seseorang Introvert memperoleh nilai yang lebih tinggi dalam hal communication apprehension dibandingkan dengan seseorang yang Ekstrovert. 16 Communication apprehension adalah keengganan seseorang untuk berbicara dalam konteks group, meeting, dyadic, dan juga public. Sementara itu, unsur tipe kepribadian maupun komunikasi merupakan unsur yang tidak dapat dilepaskan dalam diri individu, termasuk dalam diri individu yang berusia dewasa awal dan telah terikat dalam hubungan pernikahan. Jika hasil penelitian Opt & Loffredo (2000) mengenai perbedaan tipe kepribadian yang dapat membedakan kemampuan komunikasi seorang individu diterapkan dalam konteks pernikahan, perbedaan tipe kepribadian yang dimiliki oleh suami dan juga istri dapat pula membedakan komunikasi intim yang ditampilkan berdasarkan empat tahapan yang terdapat di dalamnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert yang berdampak pada perbedaan tahapan komunikasi intim yang ditampilkan melalui tahap sharing the self, affirming the other, becoming one, dan juga transcending one. Karena tidak tertutup kemungkinan dengan karakteristik tipe kepribadian Ekstrovert yang lebih terbuka dan komunikatif (Hedges, 1993), dapat mempengaruhi tahapan komunikasi intim yang dicapai dengan individu yang memiliki tipe kepribadian Introvert, dimana mereka cenderung tertutup dan juga kurang komunikatif (Hedges, 1993). Dengan terciptanya komunikasi intim yang dapat terjadi melalui empat tahapan yang ada, komunikasi yang efektif dapat terwujud di dalam suatu hubungan pernikahan. Menurut Lauer & Lauer (2000), kesuksesan suatu hubungan dapat dipengaruhi oleh komunikasi yang efektif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hazizah (2012), diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara komunikasi intim dengan kepuasan pernikahan. Sementara itu, komunikasi yang tidak efektif dalam hubungan pernikahan tidak dapat dipungkiri kehadirannya apabila terdapat ketidakseimbangan dalam komunikasi, yang salah satunya dapat disebabkan oleh perbedaan tipe kepribadian yang dimiliki antara suami dan istri. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert cenderung menuntut keterbukaan, disisi lain individu dengan tipe kepribadian Introvert cukup sulit untuk dapat mewujudkannya. Dampak yang diperoleh dari ketidakefektifan komunikasi tersebut, dapat memunculkan kesalahpahamanan dan juga dapat membuat suami dan istri sulit untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Bailey, 2009). Selain itu, menurut Adnamazida (2012), hancurnya suatu rumah tangga dapat disebabkan oleh 17 komunikasi yang buruk di antara pasangan. Salah satu contoh hancurnya rumah tangga adalah perpisahan atau perceraian yang terjadi di antara suami dan istri.