Islam Digest (Page 6)

advertisement
tema utama
REPUBLIKA ● AHAD, 28 NOVEMBER 2010
Sejarah Munculnya
Filsafat Islam
ILMU FILSAFAT DALAM
ISLAM PERTAMA KALI
MUNCUL DAN
BERKEMBANG DI
WILAYAH-WILAYAH
ISLAM BELAHAN
TIMUR, TERUTAMA DI
BAGHDAD.
Oleh Nidia Zuraya
lquran mengandung ilmu yang
sangat komprehensif. Mulai
dari akidah, ibadah, akhlak,
muamalah, pernikahan, perceraian, silaturahim, hingga
masalah ilmu pengetahuan
lainnya, seperti ilmu bahasa dan sastra, ilmu
astronomi (falak), fisika, kimia, geografi,
sejarah, matematika, hingga filsafat. Hampir
tak ada satu pun ilmu pengetahuan yang ada
di dunia ini lepas dari Alquran.
Dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa
sesungguhnya ilmu yang diberikan Allah itu
masih sangat sedikit. Bahkan, tak lebih dari
setetes air. Padahal, ilmu yang didapatkan
manusia dan mereka yang mengaplikasinya
dalam kehidupan sudah jutaan buku yang
ditulis. Namun demikian, hingga kini, masih
saja orang mendapatkan pengetahuan baru
dari Alquran.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi)
sesudah (kering)-nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.
Sesungguhnya, Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (QS Luqman [31]: 27). Lihat
pula QS Al-Kahfi [18]: 109.
Ini menunjukkan bahwa ilmu Allah itu
A
Oleh Nidia Zuraya
enyebut kata filsafat, banyak
orang yang enggan membicarakannya. Jangankan mengobrol
soal filsafat, mendengarnya saja
sudah enggan. “Susah dimengerti.”
Begitulah alasan yang kerap diutarakan.
Seorang tokoh filsuf Muslim sekaligus
hujjatul Islam, Abu Hamid bin Muhammad
al-Ghazali, pernah mengutarakan, kecelakaan dan kerusakanlah bagi orang yang
belajar filsafat. Hal ini dikemukakannya
dalam kitab Tahafut al-Falasifah. Menurut
sejumlah pendapat, pernyataan yang dikemukakan Al-Ghazali itu sebelum dirinya
mencapai puncak tertinggi dalam mempelajari filsafat dan ilmu tasawuf.
Namun, ketika ada orang yang serius
membicarakan soal filsafat, komentarkomentar miring pun bermunculan. “Sok
tahu soal filsafat.” Begitulah tipikal
masyarakat kebanyakan. Sebagian umat
Islam, ada yang ‘antipati’ mendengar soal filsafat. “Ngomong filsafat saja lancar. Tapi,
ngomong soal agama, tidak paham.” Ini
adalah sindiran kepada orang yang suka
bicara filsafat.
Padahal, para filsuf Muslim, seperti Ibnu
Rusyd, Al-Kindi, Al-Farabi, dan lainnya,
begitu menghargai setiap perbedaan pendapat. Bahkan, mereka juga dikenal sangat
menghargai pemikiran dari tradisi filsafat
Yunani sejauh tidak bertentangan dengan
ajaran pokok Islam.
M
Bagaimana
Membaca
Filsafat Islam
sangat luas. Bahkan, kendati Allah memberikan kepada seseorang berbagai macam ilmu
pengetahuan yang dikuasainya, hal itu tak
mampu melebihi kekuasaan Allah.
Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
ada dalam Islam adalah filsafat. Dalam tata
bahasa Arab, ilmu ini dikenal pula dengan
nama ilmu hikmah, yang artinya bijaksana.
Dalam bahasa Yunani, filsafat (philos;
sahabat dan sophos; kearifan, bijaksana).
Karenanya, dalam Islam dikenal dengan
nama ilmu hikmah. (Lihat Alquran dan
Terjemahnya, Departemen Agama).
Ilmu hikmah atau filsafat mengandung
empat macam ilmu pengetahuan, yakni ilmu
manthiq (logika), ilmu pasti, ilmu alam, dan
ilmu ketuhanan. Termasuk dalam ilmu alam
ialah ilmu kimia, kedokteran, farmasi, ilmu
hewan, dan pertanian.
Sedangkan yang termasuk ilmu pasti
adalah berhitung, aljabar, ilmu ukur, ilmu
mekanika, ilmu falak, dan geografi. Adapun
kategori ilmu ketuhanan adalah metafisika,
yakni pembahasan mengenai penciptaan
jiwa, jin, manusia, dan sebagainya.
Ranah ilmu filsafat dalam Islam mulai
muncul sejak perkenalan budaya antara
Yunani dan Islam. Bahkan, banyak di antara
filsuf Muslim yang belajar tentang filsafat
Yunani. Dalam Ensiklopedi Islam terbitan
Ichtiar Baru van Hoeve, disebutkan, pemikiran
filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat
Alquran secara tegas telah memberi
kemungkinan bagi pemikiran filosofis itu. Di
dalam Alquran, terdapat sejumlah ayat yang
menyuruh manusia untuk menggunakan
daya nalarnya dengan menjadikan alam
semesta sebagai objek pikirannya.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, disebutkan
bahwa para filsuf Muslim ini mengembangkan pemikiran para filsuf Yunani
sedemikian rupa sehingga tersedia ruang
bagi tampilnya kebenaran asasi dalam Islam.
Namun, yang kerap kali menjadi pertanyaan
adalah bagaimana mempertalikan serta
menyelaraskan pemikiran para filsuf Yunani
ini dengan ajaran pokok Islam.
Oliver Leaman dalam bukunya yang
bertajuk Pengantar Filsafat Islam, memberi
contoh pemikiran Plato dan Ibnu Rusyd.
Dalam bukunya, Republic, Plato mengemukakan usul penggunaan berbagai metode
yang berkepanjangan, tak kenal lelah, untuk
mengajak manusia biasa atau awam agar
bertingkah laku dengan cara tertentu. Dia
tidak menentang penggunaan cara, bahkan
ketika harus bertindak dusta sekalipun untuk memberdayakan musuh atau orang gila.
Menurut Plato, cara seperti itu bermanfaat untuk maksud-maksud pengobatan
yang harus dikuasai oleh bukan orang sembarangan, melainkan oleh seorang dokter.
Seorang dokter dalam sebuah negara adalah
seorang pemegang pemerintahan.
Analogi Plato ini juga sering kali dipakai
oleh Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd berpendapat
dalam bukunya Comentary on Plato’s
Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada
abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah di
Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
Kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke
daerah-daerah itu melalui ekspansi
Alexander Agung, penguasa Macedonia
(336-323 SM), setelah mengalahkan Darius
pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela
(sebelah timur Tigris).
Alexander Agung datang tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia.
Sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah
memunculkan pusat-pusat kebudayaan
Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria
di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundisyapur di
Mesopotamia, dan Bactra di Persia.
Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh
kebudayaan Yunani terhadap Islam belum
begitu tampak karena ketika itu perhatian
penguasa Umayyah lebih banyak tertuju
kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru tampak pada masa
Dinasti Abbasiyah karena orang-orang Persia
pada masa itu memiliki peranan penting
dalam struktur pemerintahan pusat.
Para khalifah Abbasiyah pada mulanya
hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani
berikut sistem pengobatannya. Tetapi,
kemudian mereka juga tertarik pada filsafat
dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian
pada ilmu filsafat semakin meningkat pada
zaman Khalifah Al-Makmun (198-218
H/813-833 M).
Penerjemahan naskah
Kelahiran ilmu filsafat Islam tidak terlepas
dari adanya usaha penerjemahan naskahnaskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu
pengetahuan ke dalam bahasa Arab yang
telah dilakukan sejak masa klasik Islam.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, disebutkan bahwa
usaha penerjemahan ini tidak hanya
dilakukan terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani saja, tetapi juga naskah-naskah
dari bebagai bahasa, seperti bahasa Siryani,
Republic bahwa tindakan dusta yang digunakan oleh seseorang yang mengatur
urusan negara terhadap orang-orang awam
adalah benar dan tepat bagi mereka.
Tindakan itu, menurut dia, seperti merupakan obat bagi suatu penyakit.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd, perbuatan
dusta atau bohong dapat dipergunakan demi
pencapaian kepentingan umum suatu negara
oleh orang-orang pemerintah yang sadar bahwa mereka berbohong. Kadang-kadang, lebih
baik tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya kepada seseorang atau kelompok daripada menunjukkan kebenaran apa adanya.
Inilah yang oleh umat Islam mayoritas
bertentangan dengan pandangan Alquran
maupun hadis Nabi SAW yang memerintahkan untuk senantiasa jujur. “Katakan
yang benar, walau pahit sekalipun.” “Andai
Fatimah binti Muhammad berbohong, akan
saya potong tangannya.” Ini adalah bukti
bahwa Rasul SAW sangat tidak menyukai
ketidakjujuran.
Menurut Ibnu Rusyd, tipe dusta yang
dimaksud dalam filsafat berbeda dengan
sebuah cerita yang seharusnya dikatakan. Ini
demi kebaikan. Ia memberi contoh tentang
cerita orang dalam gua (The Allegory of the
Cave). Menurutnya, ini contoh yang baik
seperti halnya cerita tentang beberapa
lapisan jiwa manusia yang ada pada kelompok yang berbeda-beda dalam masyarakat.
Dengan berpijak pada prinsip bahwa para
filsuf hendaknya tetap berpegang teguh pada
dasar pemikiran yang bersifat demonstratif,
cerita-cerita seperti itu hendaknya ditang-
B4
Persia, dan India.
Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama kurang lebih satu setengah
abad, yang di zaman awal Islam (abad ke-1
hingga abad ke-7 H). Kemudian terus berlangsung secara besar-besaran di Baghdad
sejak masa pemerintahan Al-Mansur (137159 H/754-775 M) dan puncaknya pada
masa pemerintahan Al-Makmun.
Pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid,
utusan khusus dikirim ke Kerajaan Romawi
untuk mencari manuskrip yang kemudian
dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab.
Usaha ini telah menghasilkan buku-buku
filsafat dan lainnya yang sangat banyak.
Oleh penguasa dinasti Abbasiyah, buku-buku
itu kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab sehingga tersedialah buku-buku
filsafat berbahasa Arab dalam jumlah yang
sangat banyak di berbagai perpustakaan,
baik yang dibangun para penguasa Muslim
maupun yang dibangun para hartawan.
Ketersediaan buku-buku terjemahan
tersebut dimanfaatkan oleh kalangan
Muslim untuk berkenalan dengan ilmu
pengetahuan dan filsafat, seperti yang telah
dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen,
dan Majusi pada masa-masa sebelum
munculnya Islam.
Kegiatan penerjemahan ini dalam perkembangannya telah memunculkan tiga kelompok ahli ilmu pengetahuan. Pertama, mereka
yang memusatkan perhatian pada cabangcabang ilmu pengetahuan saja. Kelompok
pertama ini disebut para ilmuwan.
Kedua, mereka yang selain mengkaji dan
mengembangkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan juga memusatkan perhatian
pada bidang filsafat. Kelompok kedua dinamakan para filsuf. Ketiga, yakni mereka yang
berupaya menguasai berbagai cabang ilmu
pengetahuan dan filsafat untuk keperluan
berteologi. Kelompok yang terakhir ini
disebut para teolog.
Baghdad
Ilmu filsafat dalam Islam pertama kali
muncul dan berkembang di wilayah-wilayah
Islam belahan timur, terutama di Baghdad.
Baru tiga abad kemudian, ilmu filsafat ini
berkembang luas di dunia Islam belahan
barat yang berpusat di Cordoba (Spanyol).
Keterlambatan tersebut disebabkan oleh
kenyataan bahwa buku-buku yang
dihasilkan di dunia Islam belahan timur baru
masuk secara besar-besaran ke dunia Islam
belahan barat sejak paruh kedua abad ke-4 H
dengan dorongan dan bantuan dari pihak
penguasa, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Hakam II (350-366 H/937-953
M) di Andalusia.
Berkembangnya ilmu filsafat di dunia
Islam ini pada akhirnya telah melahirkan
sejumlah filsuf terkenal dari kalangan
Muslim. Mereka antara lain al-Kindi, ar-Razi,
al-Farabi, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Ibnu
Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.
Dengan memanfaatkan materi filsafat
dari para filsuf Yunani, seperti Plato,
Aristoteles, Pythagoras, Demokritos dan
Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran
Alquran dan hadis Nabi SAW, para filsuf
Muslim membangun satu corak filsafat baru
yang kini dikenal sebagai filsafat Islam. Dan
karena dihasilkan dalam zaman klasik Islam,
filsafat mereka sering disebut dengan filsafat
klasik Islam. ■ ed: syahruddin el-fikri
guhkan saja. Argumen seperti ini, tambahnya, dapat dipergunakan jika memang tidak
ada lagi argumen lain yang dapat diberikan
dan agar memberi tempat pada Plato yang
merasa tak dapat menciptakan cara yang
lebih meyakinkan dan lebih rasional.
Bila dalam filsafat Aristoteles, Tuhan dipahami sebagai wujud yang hanya mengetahui
diri-Nya sendiri dan tidak mengetahui selain-Nya; dalam filsafat Islam, Tuhan dipahami mengetahui diri-Nya, Tuhan juga mengetahui segenap alam yang diciptakan-Nya.
Bila dalam filsafat Yunani dapat dijumpai
paham hancurnya jiwa manusia bersama
hancurnya badan, seperti yang diuraikan
dalam filsafat Aristoteles dan Demokritos,
atau paham reinkarnasi jiwa manusia,
seperti pada filsafat Pitagoras dan Plotinus,
dalam filsafat Islam, tidak dijumpai kedua
paham itu.
Dalam filsafat Islam dikembangkan
konsep bahwa jiwa manusia tidaklah hancur
bersama hancurnya badan, tidak pula mengalami reinkarnasi, tapi kekal dalam kebahagiaan bila suatu waktu ia berpisah dari badan dalam keadaan suci dan harus mengalami penderitaan bila dalam keadaan kotor.
Jadi, filsafat klasik Islam bukanlah
sekadar filsafat Yunani yang diberi baju
Islam. Filsafat Yunani mengalami perkembangan atau Islamisasi di tangan para filsuf
Muslim. Para filsuf Muslim itu meyakini
bahwa filsafat yang mereka tampilkan adalah filsafat yang sejalan dengan kebenaran
friman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. ■ ed: syahruddin el-fikri
Download