BAB III. REFERENCE GROUP DAN DISTRO DI KOTA BANDUNG 3.1. Tinjauan Umum Reference Group Di Kota Bandung Kota Bandung sebagai salah-satu kota besar di Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa adalah termasuk dalam kategori kota metropolitan. Jumlah penduduk kota yang besar dan heterogen dengan berbagai aktivitas, telah memunculkan banyak komunitas-komunitas sosial di dalam masyarakatnya. Komunitas-komunitas tersebut terbentuk kerena adanya kesamaan terhadap kepentingan dan minat. Kesamaan tersebut telah menarik banyak orang untuk bergabung menjadi anggota dari sebuah komunitas, walaupun tidak semua segmentasi masyarakat dapat masuk ke dalam kelompok-kelompok tersebut. Banyak kelompok-kelompok dalam komunitas sosial di kota Bandung juga telah banyak mempengaruhi prilaku masyarakat di dalamnya. Kelompok-kelompok yang mempunyai pengaruh di masyarakat tersebut tergolong ke dalam kategori reference group. Reference group yang ada di kota Bandung terbagi ke dalam berbagai aktivitas kepentingan dan kesamaan minat. Dalam penelitian ini aktivitas-aktivitas tersebut dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu reference group yang berdasarkan minat terhadap musik dan reference group yang berdasarkan minat terhadap aktivitas lainnya seperti: otomotif, olahraga, hobi, dan kreativitas dikategorikan ke dalam kelompok reference group berdasarkan minat khusus. Dalam penelitian ini reference group yang dipilih mengacu pada pendapat Robert K. Merton (Soekamto, 1982:135), yaitu kelompok yang dianggap memiliki pengaruh besar dalam minat tertentu, pengaruh kelompok tersebut dapat dilihat dari besarnya anggota yang dimilikim, semakin besar jumlah anggota maka semakin besar pula pengaruhnya. 3.1.1. Reference Group Berdasarkan Minat Terhadap Musik 49 Musik dan kota Bandung adalah identik dan tidak dapat dipisahkan, karena banyaknya musisi dan penyanyi atau kelompok-kelompok musik lahir dari kota ini dan menjadikan kota Bandung sebagai barometer dan trend musik di Indonesia. Selain sekolah-sekolah musik yang banyak terdapat di kota Bandung, aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan musik sangat banyak dapat ditemui di kota Bandung. Statsiun-statsiun radio di kota Bandung juga turut berpartisipasi dengan menggelar aktivitas bermain musik mulai dari sekolah-sekolah, kafe-kafe, sampai dengan jalanan. Hampir setiap minggu kita dapat menyaksikan aktivitas masyarakat, terutama kalangan muda kota Bandung bermain musik di berbagai sudut kota. Aktivitas bermusik tidak dapat dilepaskan dengan selera yang terimplementasikan dari munculnya beragam genre musik. Musik Pop, Rock, Jazz, Dangdut, Keroncong, sampai dengan musik tradisional adalah ragam jenis musik yang sangat dikenal. Jenis-jenis musik tersebut terbagi lagi menjadi beberapa genre yang terus berkembang saat ini. Perkembangan genre dalam musik ini tidak lepas dari munculnya musisi-musisi atau bahkan grup-grup musik baru yang membawa konsep dan nuansa baru dalam bermusik. Musik menurut kelompok-kelompok musik adalah identitas dan mewakili karakter dari orang-orang yang memainkannya. Musik rock yang banyak digemari oleh kalangan muda dikenal sebagai salah-satu jenis musik yang identik dengan kebebasan dan anarkis. Hall dan Jefferson (Chris Barker, 2000: 422), mengemukakan bahwa anak muda dilingkupi oleh tema-tema yang rumit tentang perlawanan, karena anak muda yang dianggap bagian dari masa transisi dan menjadikannya wilayah untuk mengedepankan sensasi dari keberadaan mereka. Lain lagi dengan musik Jazz yang dikenal sebagai musik kalangan atas yang berduit, musik Pop sebagai musik kalangan menengah, musik Dangdut identik dengan kalangan bawah, dan musik tradisional sebagai musik yang identik dengan kedaerahan. Musik sebagai identitas memunculkan persaingan terutama pada kelompokkelompok musik dan penggemarnya. Setiap kelompok musik memiliki keinginan untuk selalu berbeda, baik warna musik maupun penampilan personelnya masing- 50 masing, karena itu kebaruan selalu dimunculkan untuk dapat bersaing dan diminati banyak penggemar. Begitu pula dengan kelompok-kelompok musik yang ada di kota Bandung yang selalu muncul dengan keunikannya dan selalu menjadi trend baru terutama bagi kalangan muda kota Bandung. Namun hanya beberapa saja yang dapat bertahan lama dan menjadi barometer bermusik bagi kalangan muda di kota Bandung. Hampir sebagian besar kelompok musik tersebut berada dijalur independen (mandiri tanpa naungan label besar), idealisme dan originalitas karya musik dan penampilan mereka yang menjadikan identitas mereka banyak dikenal. Sebut saja kelompok musik rock ’Koil’ yang lahir pada awal tahun 90-an di kota Bandung, merupakan kelompok musik yang lahir tanpa naungan label besar, dengan mengusung warna musik metal yang sangat idealis dan eksperimental dengan bunyi-bunyian aneh, didukung dengan penampilan yang sangat khas dengan nuansa hitam yang mereka sebut metal industrial. Gambar 3.1. Kelompok musik ’Koil’, mengusung idealisme pada musik mereka (sumber: koil.com) Dalam wawancara terungkap bahwa kelompok musik ’Koil’ menjadikan tematema pahit dari kehidupan seperti; amarah, kesepian, suasana murung, sebagai benang merah konsep musik grup asal Bandung ini. Dengan gaya bernyanyi ’telanjang’, tanpa tendensi berindah-indah, serta aransemen musik yang sangat elektrik, ’Koil’ seolah datang dengan ketidakpedulian pada respon yang bakal mereka terima. Setidaknya tidak ada eksploitasi melodi pada lagu-lagu yang 51 mereka kemas, yang ada hanyalah rangkaian ritem, seperti yang bisa disimak pada lagu Pudar. Dalam judul lagu Murka yang menjadi nomor pembuka, mereka juga secara sadar memadukan suara gemercik air yang alami ke dalam tema lagu yang justru meledak-ledak oleh amarah dan kemurungan. Tampaknya mereka ingin menyerahkan kepada kita untuk mengembangkan imajinasi sebebasnya. ’Koil’ ingin menginformasikan bahwa jaman sekarang ini semakin sedikit ruang yang tersedia untuk kebahagiaan. Ketidakpedulian manusia pada sesama telah melahirkan kesepian, sehingga kita harus berteriak sekedar untuk mendapatkan kawan. Setidaknya inilah yang terasa pada lagu Dengekeun Aing (bahasa Sunda, artinya: dengar aku). Kelompok musik ’Koil’ bersikeras bahwa sebuah karya musik, meskipun itu seni kontemporer yang berarti tidak lepas dari mata rantai industri, tidak harus selalu dikaitkan dengan komersialisme. Bagi mereka komersialisme hanyalah persoalan untung rugi yang tidak ada hubungannya dengan kreativitas, terutama dalam mengeksplorasi karya musik. ’Koil’ telah menjadi kelompok musik rock indipenden terbesar di Indonesia dan sekarang menjadi panutan kelompokkelompok lain di tanah air. Menurut Otong motor dari kelompok musik ’Koil’, mengatakan bahwa ’Koil’ bisa menjadi kelompok musik panutan, karena ketekunannya mereka dalam pencarian identitas, dimana semangat untuk tampil berbeda (revolusioner) dan selalu konsisten menciptakan karya-karya sendiri dengan berbagai bunyi-bunyian aneh dalam musik mereka. Kesuksesan kelompok musik ’Koil’ juga ditunjang oleh penampilan anggota kelompoknya yang sangat khas, terutama pada atribut yang mereka kenakan. Rantai dileher, Spike (gelang) yang dipenuhi dengan pernik besi runcing, celana pendek warna gelap, dan sepatu boot yang besar, yang semuanya hampir dipenuhi oleh pernik besi runcing adalah seragam kebesaran kelompok musik ’Koil’ yang sudah identik. 52 Gambar 3. 2. Otong motor kelompok musik ’Koil’, penuh dengan atribut pernik besi sebagai seragam kebesaran, (sumber: omnivium.com) Gambar 3.3. Merchandise kelompok musik ’Koil’, tidak jauh berbeda dengan atribut personilnya, (sumber: koil.com) Selain warna musik dan fesyen, identitas visual kelompok musik ’Koil’, juga terlihat dari warna hitam yang mendominasi identitasnya (logo). Dari wawancara dengan Otong (vokalis) terungkap bahwa makna bintang dengan 8 sudut menggambarkan keseimbangan dan kehidupan, sedangkan 12 buah bintang yang mengelilingi huruf K melambangkan perputaran waktu. Keunikan dari identitas ’Koil’, tidak hanya mengusung nilai-nilai yang berbau religius seperti syair-syair musik mereka, tetapi keunikan yang paling khas terlihat pada tipografi yang mereka gunakan. Mengambil karakter huruf kanji Jepang kelompok musik ’Koil’ ingin memberi kesan ketimuran yang memiliki nilai filosofi tinggi, sama seperti anggota kelompok musik ini yang masing-masing personelnya memiliki ketertarikan akan filosofi-filosofi hidup orang timur. 53 Gambar 3.4. Identitas visual kelompok musik ’Koil’. didominasi warna Hitam dan penuh simbol bintang.. Lain lagi dengan kelompok musik ’The Turtles Jr’. yang dianggap sebagai pelopor kelompok musik Punk di kota Bandung, ’Turtles Jr’. Menurut bapak Dadan (motor kelompok ’Turtles Jr’), seperti kelompok musik punk lainnya ’Turtles Junior’ mempunyai konsep menyuarakan teriakan anti kemapanan dan ketidaksetujuan akan sistem yang ada sekarang ini. Pemberontakan- pemberontakan dalam musik mereka adalah simbol perlawanan dari kaum minoritas yang dianggap oleh masyarakat sebagai sampah dan kaum menengah kebawah. Seperti halnya kelompok generasi punk pertama yang lahir di Inggris yang dianggap sebagai musuh ’keinggrisan’. Dick Hebdige (1999:123) menjelaskan bahwa dalam kultur Inggris generasi punk adalah ancaman bagi kelangsungan kultur mereka, karena nilai-nilai yang diadopsi adalah anarki dan penolakan, yang merupakan sebuah bentuk pengingkaran yang terang-terangan terhadap budaya Inggris. Pemberontakan kelompok musik ’The Turles Junior’ juga dapat terlihat pada identitas visual (logo) yang mereka miliki. Secara visual identitas kelompok musik ini tidak terlalu rumit tetapi menggunakan efek-efek rusak pada tiporafinya. Seperti yang dituturkan oleh Dohem sebagai orang yang mendesain identitas kelompok musik ’The turtles Jr’, jenis tipografi yang digunakan mirip dengan film kartun Ninja Turtles yang terlihat sangat sederhana, yang kemudian direduksi bagian-bagian hurufnya sehingga terlihat seperti terbelah-belah dan tampak rusak. 54 Efek rusak sengaja mereka munculkan untuk menyampaikan pesan pemberontakan sebagai semangat bermusik dan filosofi mereka sebagai kelompok musik punk. Gambar 3.5. Kelompok musik ‘The Turtles Junior’dalam salah-satu aksi panggungnya (sumber: common room) Gambar 3.6. Identitas visual kelompok musik ’The Turtles Jr’. Menggunakan efek rusak untuk menyampaikan pesan pemberontakan sebagai kelompok musik punk. (sumber: Riotic) Hampir sama halnya dengan penampilan kelompok musik ’Koil’, secara fesyen memang penampilan mereka sangat tidak lazim dan cenderung sangat urakan dan penuh dengan tato, tetapi mereka mengklaim itu adalah bagian dari kebebasan ekspresi dan identitas mereka sebagai kelompok musik punk. Celana pendek yang penuh dengan gantungan rantai besi, rambut potongan ala suku India (Mouhawk), dengan emblem menempel hampir diseluruh pakaian yang mereka kenakan sudah menjadi ciri khas yang identik bagi mereka. Yang menarik dilihat secara fesyen adalah penggemar fanatik kelompok musik ini, yang tidak lain adalah kumpulan anak-anak punk yang biasa berkumpul dibelakang mal Bandung Indah Plaza, selain terlihat urakan, kebanyakan dari mereka memiliki tato ditubuhnya. 55 Gambar 3.7. Penggemar kelompok musik ‘The Turtles Junior’, menirukan idola mereka dalam berbagai atribut fesyen Begitu juga dengan kelompok musik lainnya, seperti ’Burger Kill’, yang berhasil menjadi kelompok musik panutan. Setelah 11 tahun perjalanan sebuah kelompok musik super keras yang telah menjadi fenomena di populasi musik keras khususnya di kota Bandung. Mungkin pertama kali mendengar namanya ’Burger Kill’, banyak orang tidak menyangka ini adalah sebuah nama kelompok musik, yang sebetulnya nama tersebut hanya merupakan nama yang diambil dari sebuah restorant fast food terkenal. ’Burger Kill’ mengklaim adalah produk asli Ujung Berung, tempat tumbuh dan berkembangnya komunitas musik Death Metal/ Grindcore di daerah Bandung Timur. Gambar 3.8.Kelompok musik ’Burger Kill’ salah-satu grup musik Indie lokal Bandung yang paling terkenal (sumber: Burgerkill) 56 Mengusung warna musik agresif yang super cepat, ’Burger Kill’ sendiri pada masa awalnya hanyalah sebuah side project yang tidak jelas. Walhasil, pada awalnya line up kelompokpun tidak mulus. Namun demikian hal itu adalah hal yang biasa terjadi dalam sebuah kelompok musik. Baru pada sekitar awal tahun 1999, mereka mendapat tawaran dari perusahaan rekaman independent Malaysia, Anak Liar Records yang berakhir dengan deal merilis album Three Ways Split bersama dengan band Infireal (Malaysia) dan Watch It Fall (Perancis). Disisi lain identitas fesyen anggota kelompok ’Burger Kill’ sangat khas, yaitu selalu menggunakan celana dengan motif loreng, seperti motif yang dimiliki oleh tentara. Menurut mereka hal ini merefleksikan kekerasan musik yang mereka bawakan, seperti halnya seorang tentara yang terlihat keras dan sangar. Gambar 3.9. Kelompok musik ’Burger Kill’ dengan celana loreng sebagai identitas mereka yang menggambarkan kekerasan musik yang mereka bawakan. (sumber: Burgerkill) Kerasnya musik yang mereka mainkan terefleksikan juga pada identitas visual (logo) yang mereka gunakan. Pada bagian tipografi, karakter huruf di distorsi sehingga terlihat rapuh dan hancur, dengan penampilan latar belakang kesan suram dan kusam. 57 Gambar 3.10. Identitas visual (logo) kelompok musik ’Burger Kill’. Ingin memperlihatkan karakter keras dan rusak. (sumber: Burgerkill) Kelompok musik ’Burger Kill’ memang tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka hasilkan, mereka selalu ingin berbuat lebih dengan terus membuka diri pada pengaruh baru. Hampir semua format musik keras dilahap dan diinterprestasikan ke dalam lagu, logo, dan penampilan fesyen mereka, demikianlah ’Burger Kill’. 3.1.2. Reference Group Berdasarkan Minat Khusus Selain di bidang musik, kota Bandung juga memiliki segudang aktivitas kreatif yang bisa dibanggakan. Mulai dari aktivitas seni, olah raga, sampai dengan hobi yang terlihat dengan banyaknya kelompok-kelompok dengan aktivitas tersebut lahir di kota ini. Contohnya di kawasan lapangan Gasibu sebagai salah-satu tempat favorit kelompok yang menggemari otomotif berkumpul di kota Bandung, disini bisa dijumpai kerumunan kelompok-kelompok tersebut dengan berbagai jenis kendaraan dan atribut sebagai identitas kelompok masing-masing. Seperti halnya refernce group musik, reference group dengan minat khusus ini juga mengedepankan perbedaan sebagai identitas kelompok, yang akhirnya memunculkan keunikan-keunikan yang sangat menarik dan khas. ’Bikers Brotherhood’ adalah salah-satu reference group yang semua anggotanya memiliki kesamaan minat akan kendaraan bermotor, khususnya motor roda dua keluaran pabrikan di Inggris, berdiri sejak tahun 1988 di kota Bandung, menurut bapak Dear salah-satu pendiri dari kelompok ’Bikers ’Brotherhood, mengatakan bahwa kelompok yang mereka dirikan lahir berlandaskan keperihatinan atas kondisi kelompok-kelompok motor yang ada di kota Bandung yang mereka anggap tidak jelas keberadaannya. ’Bikers Brotherhood’ merupakan kelompok yang didirikan 58 atas dasar kebebasan (dalam arti positif) dan kemampuan yang dimiliki anggotanya, dan ini menjadi ciri khas atau identitas yang dimiliki oleh setiap anggotanya. Filosofi dari kelompok ’Bikers Brotherhood’ adalah “dari kita dan untuk kita“, artinya bahwa kelompok ini bersifat kekeluargaan dan mandiri tidak tergantung kepada siapapun atau kelompok manapun. Kelompok ini berusaha keluar dari sistem yang ada yang mereka anggap telah rusak dan tidak bisa dirubah. Akhirnya mereka membentuk sistem sendiri dalam kelompok ’Bikers Brotherhood’ ini. Dilihat dari segi sumber daya manusia anggota kelompok ’Bikers Brotherhood’ ini memiliki kemampuan yang baik secara intelektual. Terdapat beberapa anggota yang telah menjadi sarjana diberbagai bidang seperti Dokter, Arsitektur, Desainer, Seniman dan bahkan Pengacara. Dengan sumberdaya tersebut, maka kelompok ini membentuk sistem kekeluargaan yang saling menunjang dan menguntungkan sesuai dengan kemampuan yang ada yang mereka miliki sekarang. ’Bikers Brotherhood’ secara struktural terbagi menjadi 3 tingkatan identitas yaitu pendiri (hell), senior anggota yang sudah lebih dari 5 tahun bergabung (heaven) dan junior kurang dari 5 tahun bergabung dalam kelompok (angel). Karena anggotanya telah tersebar di berbagai kota di Indonesia, maka secara wilayah kelompok ini terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kota Bandung sebagai induk wilayah (Motherland) dan kota lainnya sebagai Chapter. ’Bikers Brotherhood’ secara harfiah berasal dari istlah bahasa Inggris yaitu Brotherhood yang dalam bahasa Indonesia berarti persaudaraan yang kuat dan Biker yang berarti pengendara sepeda motor. Identitas ini secara garis besar kemudian digambarkan dalam bentuk visual berupa logo kelompok seperti pada gambar 3.11, yang biasa dapat kita lihat pada emblem yang menempel pada jaket dan stiker yang menempel di motor-motor para anggotanya. 59 Gambar 3.11. Identitas visual kelompok ’Bikers Brotherhood’ (sumber: Mother Chapter Bikers Brotherhood. Braga-Bandung) Pada identitas kelompok ’Bikers Brotherhood’ terdapat beberapa elemen visual yaitu, tengkorak, kacamata, helm, palu, kunci Inggris, dan tipografi dengan tulisan Biker pada bagian atas, Brotherhood pada bagian bawah, 1% pada bagian kiri dan MC pada bagian kanan. Elemen visual tersebut masing-masing memiliki makna dan filosofi tertentu. Menurut bapak Dear, Tengkorak mengandung makna tekad yang teguh atau dalam istilah mereka harga mati, yaitu sebuah tekad yang tidak ada toleransi lagi. Palu seperti halnya tengkorak mengandung arti yang hampir sama yaitu keteguhan hati atau kekerasan jiwa. Kunci Inggris mengandung makna fleksibilitas, dan kacamata mewakili kesamaan visi. Untuk warna yaitu merah sebagai warna yang dominan mengandung makna keteguhan dan coklat sebagai warna tanah mempunyai arti filosofi yaitu membumi, atau tidak berpihak pada kelompok manapun, yang dalam pengertian kelompok ’Bikers Brotherhood’ adalah netral. Sedangkan untuk teks 1% mengandung arti anggota kelompok cuma memikirkan 1% waktunya untuk kepentingan pribadi dan 99% untuk kepentingan kelompok. Teks MC adalah singkatan dari Motor Club sesuai dengan tujuan dari kelompok ’Bikers Brotherhood’ sendiri sebagai kelompok yang terbentuk karena mempunyai kesamaan minat akan sepeda motor tua. 60 Selanjutnya terdapat visual lainnya sebagai identitas kedua kelompok Bikers Brotherhood yang memiliki makna-makna sendiri sebagai identitas strata di dalam kelompok, yaitu Baby Angel, Heaven, dan Hell seperti pada gambar 3.12-3.14. Gambar 3.12. Identitas visual anggota baru (Angel), digunakan oleh anggota junior kelompok ’Biker Brotherhood’, (sumber: Mother Chapter Bikers Brotherhood. BragaBandung) Gambar 3.13. Identitas visual yang digunakan oleh anggota senior, yang telah lima tahun bergabung (Heaven), (sumber: Mother Chapter Bikers Brotherhood. BragaBandung) Gambar 3.14. Identitas visual khusus untuk para pendiri (Hell) (sumber: Mother Chapter Bikers Brotherhood. Braga-Bandung) 61 Dalam identitas visual strata anggota ’Bikers Brotherhood’ terdapat lima elemen visual tengkorak, yang kesemuanya memiliki makna yang sama, yaitu tekad kuat, denga lima sudut yang mengandung makna ketidak berpihakan. Warna merah dengan tipografi warna putih juga memiliki makna sama yaitu keteguhan jiwa. Di sisi lain kelompok ’Bikers Brotherhood’ ini tergolong kedalam kelompok yang mapan, karena mereka dapat mengadakan berbagai even besar sampai taraf internasional secara mandiri dan mereka mempunyai kepedulian terhadap anggota kelompoknya yang membutuhkan uluran dana tanpa meminta pada kelompok lain. Secara organisasi mereka tergolong kedalam kelompok besar, karena mempunyai anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah sekitar 1200 anggota dan 800 anggota diantaranya berada di kota Bandung dan sekitarnya. Gambar 3.15. Emblem-emblem yang menempel pada jaket merupakan identitas, yang juga membedakan tingkat keanggotaan (sumber: Mother Chapter Bikers Brotherhood. Braga-Bandung) Selain kelompok reference group ‘Bikers Brotherhood’ di kota Bandung terdapat pula kelompok yang memiliki anggota sangat besar, dan fanatisme sekali, yaitu kelompok ‘Viking Persib Club’. Berdiri sejak tahun 1993, berawal dari seorang yang sangat menyukai klub sepakbola lokal Jawa Barat, yaitu Persib dan peduli terhadap antusias para penggemar fanatisme Persib Bandung (bobotoh). Melihat kecenderungan hal tersebut maka “Heru Joko” yang pada saat itu bekerja sebagai pegawai negeri di pemerintahan kota Bandung memprekarsai berdirinya ’Viking Persib Club’. Namun sangat tidak disangka antusiasme dari para bobotoh sangat 62 tinggi, sejak berdiri tahun 1993 hingga sekarang telah memiliki anggota sebanyak 40.000 orang, yang tersebar di Jawa Barat dan sekitar 10.000 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia. Gambar 3.16. Lautan biru ribuan anggota ’Viking Persib Club’ mendukung kesebelasan Persib Bandung (sumber: Viking) Kelompok ’Viking Persib Club’ yang secara organisasi tidak memiliki pola kerja dan program yang khusus yang dirancang selama berdiri hingga sekarang, karena tujuan awal mendirikan ’Viking Persib Club’ hanyalah untuk mendukung klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung yaitu Persib saat bertanding. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi anggota Viking namun yang paling penting adalah mereka memiliki kesamaan menyukai klub sepak bola Persib. Nama ’Viking’ menurut Heru Joko di ambil dari bangsa pelaut petualang dunia ’Viking’ yang berasal dari negara Norwegia di belahan Eropa, Kesamaan visi akan rasa kebersamaan yang tinggi dan gigih dalam perjuangan mempertahankan hidup menjadikan nama ’Viking’ diambil untuk kelompok suporter ini. Nama ini dianggap kontras dengan klub sepak bola persib dengan alasan untuk membuat jarak antara anggota suporter dengan pengurus Persib ataupun pemain. Hal ini untuk menjaga kemungkinan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan di lain waktu. Secara langsung ’Viking Persib Club’ terpisah peranannya dengan Persib yang justru sebagai alasan untuk mendirikan ’Viking’. Sifat keanggotaan terbuka bahkan tidak ada kepengurusan secara khusus didalam organisasi yang ada 63 hanyalah koordinator daerah yang disebut dengan “distrik” yang tersebar di seluruh Indonesia. Mengenai identitas visual ’Viking’ bagi Ewok desainer yang merancang logo ’Viking Persib Club’ merupakan nilai idealis pribadi yang tidak didasari dengan keinginan untuk menyesuaikan dengan identitas klub sepakbola Persib. Logo ini semakin tersebar karena kebesaran dari ’Viking’ yang tidak disangka justru malah semakin luas. Untuk menjaga konsistensi logo maka tidak ada perbedaan antara distrik yang satu dengan distrik yang lain bahkan hingga ke ’Viking Persib Fanshop’ yang merupakan pusat penjualan merchandise Persib. Secara visual pada logo ’Viking Persib Club’ terdapat ilustrasi tutup kepala bertanduk atau helm baja yang diambil gagasannya dari pakaian bangsa ’Viking’. Figur lelaki kuat berjanggut dengan mata menatap garang seperti pada gambar 3.17, bermakna heroisme, pantang menyerah, sesuai dengan visi fanatisme suporter ’Viking’, terus mendukung Persib pantang mundur. Secara keseluruhan visual pada identitas tersebut terlihat sangat maskulin, diperkuat dengan tipografi yang memiliki bentuk serif yang kuat (bold). Warna hitam dengan latar biru jadi pilihan utama sebagai simbol maskulinitas dari klub ’Viking’ ini. Gambar 3.17. Identitas ‘Viking Persib Club’ (sumber: Viking) Melihat identitas visual dari reference group baik musik maupun minat khusus, kesemuanya mengutamakan perbedaan sebagai identitas utama dari kelompoknya 64 masing-masing. Identitas tersebut merefleksikan aktvitas dan juga karakter dari kelompok masing-masing. Karakter juga mencerminkan kelas dan kekuatan kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya. 3.2. Sekilas Perkembangan Gerai Distribution Store (Distro) Di Kota Bandung Gerai-gerai distro yang tersebar di kota Bandung begitu banyak dan beragam tentu sangat menarik untuk dikunjungi, terutama oleh kaum muda baik yang berasal dari kota Bandung maupun yang berasal dari luar kota. Diluar dugaan perkembangan gerai distro dapat menyaingi pesatnya perkembangan Factory Outlet (FO) di kota Bandung dan telah menjadikan industri baru bagi kaula muda di kota ini. Menurut Sadsonic Labs Management (PR cyber media, 24 Maret 2006) dikatakan bahwa istilah distro sendiri berasal dari kata distribution store (Toko distribusi), yang bisa diartikan sebagai toko yang khusus mendistribusikan produk dari suatu komunitas. Distro di luar Indonesia pada awalnya adalah toko yang khusus menjual produk dari komunitas kelompok musik indie. Produk tersebut beragam jenisnya, mulai dari album sampai pernak-pernik seperti kaos dan asesoris musik lainnya. Kemudian ada juga distro yang menjual produk khusus untuk komunitas tertentu seperti peralatan dan kaos skateboard. Bila dilihat dari sejarah munculnya gerai distro di kota Bandung, pertama kali dibuka untuk menjual produk dari kelompok-kelompok musik luar negri khususnya kelompok musik underground serta perlengkapan untuk bermain skateboard. Dimulai dengan adanya distro ‘Reverse’ di Jalan Sukasenang, yang menjual berbagai t-shirt musik dari luar negri dan perlengkapan skateboard. Distro ‘Reverse’ juga dikenal sebagai markas para pelopor musik indie label di kota Bandung. Kemudian muncul juga distro ‘Hobbies’ yang mengkhususkan diri pada produk-produk skateboard, serta distro ‘Mossy’ yang khusus hanya menjual t-shirt kelompok musik luar negri. Pada pertengahan tahun 1990-an muncul distro yang pertama menjual produk dari kelompok musik lokal , yaitu distro ‘Anonim’ dan ‘Riotic’. Saat ini istilah 65 distro dikenal sebagai toko atau retail yang khusus hanya menjual produk dari berbagai merchandise kelompok musik indie lokal. Namun seiring meningkatnya perekonomian pemilik usaha distro yang ada di kota Bandung, kemudian muncul istilah Clothing Company. Pada dasarnya clothing company dan distro itu secara konsep berbeda, ada yang mengartikan clothing company itu adalah istilah untuk produk atau tokonya, sedang distro adalah sistem penjualannya. Tetapi bila menyusuri asal kata istilah dari clothing company dan distro, dua kata tersebut memang memiliki arti yang berbeda. Menurut Sadsonic Labs Management (PR cyber media, 24 Maret 2006) Clothing company merupakan salah-satu istilah yang dikenakan untuk perusahaan yang memproduksi pakaian jadi di bawah brand atau merk mereka sendiri. Pakaian jadi tersebut sebagian besar adalah T-shirt yang kemudian sekarang berkembang sampai berbagai perlengkapan yang menunjang lifestyle anak muda seperti kacamata, jam tangan, dan lainnya. Clothing company sendiri di kota Bandung diawali dengan berdirinya ‘347 boardrider.co’ pada tahun 1996 (sekarang 347/eat). Clothing company ini mengambil nama dari lokasi berdiri pertamakalinya yang terletak di Jalan Dago no.347. Disusul kemudian oleh ‘Ouval Research’ pada tahun 1997 (meskipun pada awalnya telah dirintis oleh salah satu pendirinya, Arif Maskom pada 1993 dengan merilis ‘M Clothing’). Serta ada pula ‘Airplane’,’Harder’, ‘No Labels’ (NL's), ‘Monik’, dan ‘Two Clothes’ yang berdiri 1998. Menurut Sadsonic Labs Management (PR cyber media, 24 Maret 2006) istilah clothing company maupun distro semakin berkembang menjadi satu kategori tersendiri karena adanya soul serta karakter yang mampu membedakan mereka dengan yang lain. Di antaranya adalah adanya konsep yang jelas dari sisi desain, tidak sekedar menjiplak atau mengambil desain dari luar. Kemudian adanya ekslusivitas dari sisi produksi, di mana setiap desain untuk satu produk dirilis hanya dalam jumlah terbatas (biasanya antara 50-150 per desain). Hal inilah yang menjadi salah satu pembeda antara distro dan clothing company dengan mass produk lain. Selain itu salah satu faktor pembeda lainnya adalah kentalnya hubungan antara distro dengan komunitas lokal sebagai roots mereka. 66 Kejelasan antara karakter distro dan clothing company yang jelas berbeda, telah memunculkan satu ruang untuk kategori gerai distro yang lain. Ruang tersebut adalah untuk gerai kategori distro transisi, yaitu gerai distro yang masih aktif menyalurkan produk untuk kelompok atau komunitas tertentu, namun juga telah mengembangkan produk dibawah brand atau merknya sendiri yang bukan ditujukan untuk kelompoknya, tetapi lebih untuk kepentingan bisnis semata (Sumber: Sadsonic Labs Management). Nampaknya faktor ekonomi telah banyak mempengaruhi para pemilik gerai distro untuk mulai menggeser konsep usahanya, namun tetap memiliki loyalitas terhadap kelompoknya. Ciri lain distro transisi adalah dari sisi perbandingan produk yang dijual, yang masih didominasi oleh produk untuk kepentingan kelompok dibandingkan produk dengan merk sendiri. Nampaknya citra distro yang selama ini melekat pada gerai mereka mempengaruhi juga volume penjualan produk, sehingga produk diluar kebutuhan kelompoknya jarang diketahui oleh khalayak lain diluar komunitas atau kelompok mereka. Untuk lebih melihat perbedaan dari kategori gerai distro, distro transisi, dan clothing company yang ada di kota Bandung, maka pada sub-bab berikutnya akan dibahas beberapa gerai yang masuk dari kategori-kategori tersebut. 3.2.1. Gerai Kategori Distro Di Kota Bandung Untuk gerai kategori distro yang mengacu pada definisi distro, tinggal terdapat 3 (tiga) buah saja yang masih eksis di kota Bandung, salah-satunya adalah gerai distro ’Riotic’ yang mengklaim merupakan distro komunitas punk di kota Bandung. Gerai Distro ini tumbuh dari keberadaan kelompok-kelompok musik punk dan komunitas punk di kota Bandung. Menurut Dadan pemilik gerai, Riotic dulunya adalah kumpulan anak-anak punk yang memiliki semangat pemberontakan yang tinggi. Distro ’Riotic’ sendiri telah berdiri di kota Bandung sejak tahun 1997 yang lahir dari komunitas musik punk. Berawal dari seringnya mereka berkumpul di suatu tempat di belakang Mall Bandung Indah Plaza, komunitas ini terbentuk. Dari sekedar jualan pinggir jalan untuk kebutuhan komunitas punk seperti t-shirt, kalung, gelang, anting-anting, 67 sampai dengan jaket, komunitas ini akhirnya membentuk sebuah recording company (perusahaan rekaman) yang tujuannya untuk menampung dan mengembangkan kreativitas dari musik mereka yang mereka sadari tidak akan dilirik oleh major label yang ada. Gambar 3.18. Distro ’Riotic’, saluran bagi komunitas punk di kota Bandung (sumber: Riotic) Bapak Dadan atau yang terkenal dengan sebutan Ketu adalah salah-satu pemrakarsa berdirinya recording company, yang mereka namai Hijau Record yang awalnya menyewa studio rekaman di jalan Sukasenang Bandung. Musikmusik yang mereka produksi adalah musik-musik beraliran punk dan hardcore, salah-satunya adalah kelompok musik punk ’The Turtle Junior’ yang salah-satu personelnya adalah bapak Dadan sendiri. 68 Gambar 3.19. Ornamen interior pada dinding Distro ’Riotic’ penuh ornamen dan pesan perlawanan. (sumber: Riotic) Komunitas Hijau record ini dari waktu-ke waktu semakin besar bahkan sampai mempunyai hubungan dengan komunitas punk di Singapore dan Amerika. Murahnya tarif internet pada tahun 1997 dan mudahnya akses barang dari luar Indonesia dimanfaatkan oleh komunitas Hijau Record ini untuk mendatangkan produk-produk bernuansa punk dari komunitas punk diluar negri yang mereka kenal. Tahun 1999 usaha ini mendapatkan minat besar dari komunitas punk di kota Bandung mulai dari mulut ke mulut, pintu ke pintu, akhirnya bapak Dadan mengambil inisiatif untuk membuka tempat sebagai penampungan produk-produk bernuansa punk di daerah Dago Bandung. Nama Riotic adalah nama yang diberikan oleh bapak Dadan sendiri sebagai pemilik, menurutnya Riotic secara harfiah adalah pembuat kerusuhan, namun makna yang dimaksud adalah pemberontakan terhadap sistem yang ada disekitar mereka dan nama Riotic sendiri identik dengan musik punk dan hardcore yang mempunyai semangat memberontak terhadap sistem. 69 Gambar 3.20. Produk-produk yang di jual di distro ’Riotic’, khusus untuk komunitas punk (sumber: Riotic) Dilihat dari identitas visual (logo) gerai distro ’Riotic’ terdapat dua visual yang merupakan dua identitas, satu bagian sebagai identitas gerai distro dan satu bagian lagi sebagai identitas recording. Pada identitas Riotic terdapat ilustrasi yang berasal dari huruf R yang saling bertolak belakang atau menurut bapak Dadan sebagai desainernya mengatakan ini adalah huruf R dengan efek mirror. Huruf R di ambil dari huruf awal kata Riotic dengan efek mirror yang mempunyai filosofi bercermin diri. Namun menurut beliau efek lain yang muncul dari ilustrasi visual huruf R tersebut adalah sebuah penggambaran wajah Alien (makhluk asing) dengan makna bahwa distro ’Riotic’ hadir dari keterasingan kehidupan sosial masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya, khususnya masyarakat kota Bandung. Sedangkan lima buah visual bintang yang muncul di bawah tipografi Riotic melambangkan lima orang pendiri distro ’Riotic’, walaupun sekarang hanya tinggal seorang saja yang tersisa yaitu bapak Dadan. 70 Gambar 3.21. Logo distro ’Riotic’, penggambaran makhluk asing (Alien) (sumber: Riotic) Untuk visual pada identitas recording, yaitu gambar tengkorak dengan tulang menyilang dibelakangnya menurut bapak Dadan, mengandung makna kekuatan atau kemandirian dari recording ’Riotic’ yang memang muncul dengan modal sendiri tanpa bantuan dana dari orang lain. Latar belakang warna hitam menguatkan identitas visual yang muncul dengan warna putih yang terlihat sangat mencolok dan kontras, namun warna hitam dipilih karena warna ini dianggap mewakili komunitas punk dan hardcore yang dianggap minoritas dan pemberontak oleh masyarakat. Namun warna hitam yang dipilih menjadi latar identitas distro ’Riotic’ mengandung makna keterasingan dan dianggap memiliki kesan yang kuat dan teguh. Gambar 3.22. Logo Recording Company menyertai kehadiran logo distro ‘Riotic’, penggambaran kemandirian (sumber: Riotic) 71 Tidak kalah dengan komunitas musik punk, komunitas reference group minat khusus, seperti ’Bikers Brotherhood’ juga memiliki distro yang bernama ’Pit Stop’. Berdiri sejak tanggal 9 Februari 2004 di jalan Purnawarman Bandung yang dikelola oleh Bapak Hendi, yang tak lain adalah salah-satu anggota senior pada kelompok ’Bikers Brotherhood’. Nama ’Pit Stop’ sendiri mengambil dari istilah yang berasal dari sirkuit, yaitu tempat berhentinya kendaraan ketika berlomba di sirkuit. Nama ini diambil karena berkaitan erat dengan kendaraan bermotor dan mudah diingat. Pertimbangan lain penamaan ’Pit Stop’ diambil karena distro ini menjual produk-produk kebutuhan identitas para bikers di kota Bandung, terutama produk-produk yang berkaitan dengan identitas kelompok ’Bikers Brotherhood’ seperti stiker, emblem, jaket, sampai dengan asesoris kendaraan bermotor seperti pada gambar 3.23. Gambar 3.23. Stiker dan emblem merupakan produk-produk untuk kebutuhan komunitas motor, yang dijual di distro ’Pit Stop’ (sumber: Pit Stop) Produk-produk yang dijual di ’Pit Stop’ berasal dari sesama anggota kelompok motor, mereka banyak menitipkan produk-produknya untuk dijual di distro ini. Hampir semua produk yang dijual mempunyai tema tentang Bikers dan kebanyakan berkaitan dengan aktivitas kelompok ’Bikers Brotherhood’. Keberadaan distro ini lambat-laun mulai tercium oleh kelompok motor di luar kota Bandung, dan sering dijadikan tempat tujuan untuk membeli cinderamata ketika mereka berkunjung ke Bandung. 72 Dengan semakin ramainya pembeli datang ke distro ’Pit Stop’ membuat bapak Hendi sebagai pemilik memperluas usahanya, tidak hanya membuka tempat penitipan barang-barang kebutuhan bikers untuk dijual, tetapi juga membuka kafe kecil untuk para bikers berkumpul baik para bikers kota Bandung maupun dari luar kota Bandung. Ternyata dengan kehadiran kafe di distro ’Pit Stop’ tidak hanya mendatangkan keuntungan dari penjualan produk di distro tersebut, tetapi juga telah menjadikan distro ’Pit Stop’ sebagai tempat bersosialisasi para bikers, bahkan sekarang menjadi tempat rapat para pengurus kelompok ’Bikers Brotherhood’ ketika akan mengadakan sebuah aktivitas kelompok. Tak jarang juga banyak para Bikers luar kota menjadikan distro ’Pit Stop’ sebagai tempat transit ketika mereka berada di kota Bandung. Gambar 3. 24. Distro ’Pit Stop’ tampak dari muka (sumber: Pit Stop) Pada identitas visual (logo) distro ’Pit Stop’, terdapat elemen-elemen visual berupa tipografi bertuliskan Pit Stop Biker Station berwarna kuning dengan outline merah, dan visual yang terakhir adalah visual tengkorak dengan mata berwarna merah dan berlatar belakang dua buah bagian seher motor bersilangan dengan efek petir disekelilingnya. 73 Gambar 3.25. Logo distro ’Pit Stop’ tampak dari muka keseluruhan (sumber: Pit Stop) Menurut bapak Hendi pemilik distro visual-visual tersebut mempunyai makna yang keseluruhannya bertemakan biker. Elemen visual tengkorak ternyata mengambil inspirasi dari visual tengkorak pada identitas kelompok ’Brotherhood Bikers’, yang memiliki makna tekad yang kuat, sedangkan elemen visual bagian seher motor sengaja digunakan untuk memperkuat identitas bahwa distro ini berkaitan dengan aktivitas kendaraan bermotor. Berbeda dengan komunitas Bikers para pendukung kesebelasan Persib atau yang dikenal dengan ’Viking Persib Club’, mendirikan distro dengan nama ’Viking Persib Fanshop’ yang berada di jalan Banda No. 9. Merupakan milik bersama dari anggota ’Viking Persib Club’, dan seluruh biaya serta desain yang disajikan hanyalah hasil kerjasama sesama anggotanya. Berdiri pada taggal 13 Desember 2006 pada awalnya hanyalah sebuah “obivan” milik seorang anggota namun tidak berlanjut karena adanya penyalahgunaan obivan. Untuk menggantikan obivan dibukalah ’Viking Persib Fanshop’ di jalan Banda untuk memenuhi kebutuhan para bobotoh Persib dalam memuaskan hasrat akan kebutuhan merchandise Persib. Produk yang disediakan di ’Viking Persib Fanshop’ antara lain, t-shirt, tas, syal, topi, kupluk, stiker, dll. Produk-produk ini dikumpulkan dari para anggota yang memproduksi merchandise khusus klub sepakbola Persib. 74 Gambar 3.26. Distro’Viking Persib Fanshop’, memenuhi kebutuhan atribut bagi ”Bobotoh” Persib Bandung (sumber: Viking) Tema yang diusung distro ini cukup unik yaitu Hooligan, sebuah sebutan untuk suporter fanatik sepakbola Inggris yang terkenal sering berulah. Tema ini diambil karena kekaguman mereka terhadap fanatisme yang ditunjukan oleh suporter sepak bola Inggris yang setia dan loyal terhadap kesebelasannya. Gambar 3.27. Produk-produk yang dijual di Distro ’Viking Fanshop’ (sumber: Viking) 75 3.2.2. Gerai Kategori Distro Transisi Di Kota Bandung Di kota Bandung terdapat beberapa gerai distro kategori distro transisis, salahsatunya adalah gerai distro ’Mordor’ yang terletak di kawasan Cihampelas Bandung. Walaupun belum genap satu tahun usianya, tetapi sebenarnya distro ini adalah penerus dari gerai distro ’Harder’, yang merupakan salah-satu pelopor distro di kota Bandung. Distro transisi ’Mordor’ mengusung konsep merchandiser khusus untuk yang berminat terhadap musik rock. Produk yang ditawarkan mulai dari t-shirt, tas, sampai dengan ikat pinggang semuanya bernuansa musik rock. Banyak produk-produk bertuliskan kelompokkelompok musik yang ada di kota Bandung dengan identitasnya masing-masing. Bahkan pada gerai distro ’Mordor’ banyak dijumpai kaset-kaset atau compact disk dari kelompok-kelompok musik kota Bandung yang berada pada jalur indie label. Gambar 3.28. distro transisi ’Mordor’ (sumber: Mordor) 76 Gambar III.29. distro transisi ’Mordor’ penuh produk bernuansa musik rock, juga merupakan distribusi kaset untuk kelompok musik rock indie (sumber: Mordor) Namun tidak semua produk yang dijual pada distro ini merupakan produk-produk dari reference group musik yang ada di kota Bandung. Ada beberapa t-shirt yang diproduksi sendiri yang tidak berkaitan dengan musik rock atau bahkan dengan reference group tertentu. Bila pada produk t-shirt yang bernuansa musik rock, sangat khas memunculkan warna hitam, maka pada produk t-shirt produksi sendiri tersebut mulai dari warna, model, dan tanpa banyak visual di dalamnya jauh berbeda dengan nuansa produk t-shirt musik. Warna-warna pastel seperti pink, biru muda, dan hijau lebih mendominasi, dan produk t-shirt tersebut lebih di fokuskan untuk segmentasi wanita muda. 77 Gambar 3.30. distro transisi ’Mordor’ juga menjual produk sendiri yang tidak bernuansa musik rock, dengan warna-warna yang lembut. (sumber: Mordor) Satu lagi distro transisi yang berhubungan dengan ’Bikers Brotherhood’ adalah distro ’Comrade’. Distro Comrade yang berada di jalan Pelajar Pejuang Bandung ini menjual semua atribut yang berkaitan dengan kelompok motor, tetapi tidak hanya kelompok motor ’Bikers Brotherhood’ saja, kelompok-kelompok motor seperti ’Harley Davidson’, vespa antik dan lainnya. Secara visual gerai ’Comrade’ sangat terlihat jelas sebagai distro penyalur produk-produk dari kelompokkelompok motor. Gambar 3.31. distro transisi ’Comrade’ juga menjual produk sendiri yang tidak bernuansa Bikers (sumber: Comrade) 78 Distro transisi ’Comrade’ bila dilihat dari ragam produk yang ditawarkannya, terlihat lebih bervariasi dan lengkap dibandingkan dengan distro ’Pit Stop’. Mulai dari t-shirt, jaket, helm, sampai dengan kelengkapan suku cadang kendaraan bermotor, khususnya kendaraan bermotor roda dua. Gambar 3.32. distro transisi ’Comrade’ Juga menjual beragam produk bernuansa Bikers (sumber: Comrade) Tetapi bila diamati lebih lanjut, distro ini juga sudah mulai memproduksi produknya sendiri dengan label ’Comrade’, dan masih berkonsep tentang bikers. Bila dilihat dari tujuan distro awal, adalah sebagai penyalur kepentingan kelompok-kelompok, tampaknya distro ’Comrade’ mulai membuka peluang untuk kepentingan pribadinya walaupun masih bernuansa Bikers. Motivasi ekonomi menjadikan pemilik gerai untuk mengembangkan jenis produknya. Prinsip ”business is business” tetap menjadi prioritas utama, artinya produk yang dijual harus tetap laku dan banyak menghasilkan laba. Produk 79 dengan label ’Comrade’, paling banyak dijumpai pada produk t-shirt, kemudian kemeja dan tas. Tema-tema yang diusung adalah aktivitas mengenai Bikers tentang teriakan kebebasan. Gambar 3.33. distro transisi ’Comrade’ juga menjual beragam produk sendiri walaupun masih bernuansa Bikers (sumber: Comrade) Distro transisi lainnya adalah ’1st Store’, distro yang lahir dari kelompok musik ’Speaker 1st’ ini memiliki kesamaan dengan distro ’Mordor’ dari sisi produk yang ditawarkannya. Mengusung konsep musik merchandiser ’1st Store’ menawarkan berbagai atribut fesyen kelompok-kelompok musik Rock and Roll independen yang ada di kota Bandung. Atribut seperti T-shirt, kemeja, topi, poster, sampai dengan komik semuanya bernuansa musik dan penuh dengan identitas kelompok musik. Gambar 3.34. distro transisi ’1st Store’ Lahir dari kelompok musik ’Speaker First’ (sumber: 1st Store) 80 Dari hasil wawancara diketahui bahwa ’1st Store’, Lahir dari sebuah kelompok musik independen di kota Bandung yang bernama ’Speaker First’. Kelompok musik yang konsisten membawakan lagu-lagu bernuansa Rock and Roll adalah pecahan dari kelompok musik cadas ’Puppen’ yang kemudian salah-satu anggotanya mendirikan kelompok’ Speaker First’, yaitu Marcell pemain drum yang sekarang sudah sangat terkenal sebagai vokalis solo di tanah air. Gambar 3.35. distro transisi ‘1st Store’ menawarkan merchandiser musik Rock and Roll (sumber: 1st Store) Serupa dengan distro ’Mordor’ dan ’Comrade’, distro ’1st Store’ awalnya tetap konsisten menawarkan produk-produk dari berbagai kelompok musik rock independen di kota Bandung. Namun seiring perjalanan waktu distro ini mulai 81 mengembangkan bisnisnya dengan menawarkan berbagai jenis produk atau atribut fesyen dengan label sendiri, namun tetap menawarkan konsep musik rock. Perbedaan yang ada pada produk mereka adalah tidak ada identitas kelompok musik tertentu pada produknya, namun lebih memunculkan slogan-slogan keras khas musik rock. Masih banyak lagi gerai distro di kota Bandung yang awalnya muncul sebagai media distribusi atribut dari kelompok-kelompok reference group kemudian berkembang lebih besar. Namun walaupun gerai-gerai distro tersebut masih menjadi sarana penyaluran identitas kelompok tertentu, namun bila dilihat dari jumlah produk yang ditawarkan, masih lebih banyak produk yang dijual sebagai produk untuk kebutuhan trend semata yang benar-benar diperuntukan untuk kepentingan bisnis semata dan hanya sebagian kecil saja produk untuk kepentingan kelompok yang ditawarkan. 3.2.3. Gerai Kategori Clothing Company Di Kota Bandung Di kota Bandung terdapat beberapa gerai clothing company salah-satu pelopor adalah ‘347 boardrider.co’. Berdiri sejak tahun 1996 oleh beberapa anak muda di kota Bandung. Mereka adalah penggemar olahraga hobi seperti skateboard, surfing, dan juga seniman grafis. Produk yang mereka buat mengusung tema boardriding and streatwear yang sangat sederhana tetapi tetap terlihat kasual. Segmentasi yang mereka ciptakan lewat tema boardriding and streatwear memunculkan keunikan tersendiri yang dengan cepat diterima kalangan muda kota Bandung, bahkan anak muda ibukota. Menurut Dendy pemilik gerai clothing company ’347’, mengakui bahwa bisnis yang dibangunnya sangat cepat diterima oleh kalangan muda, karena mengusung tema budaya jalanan (streatwear) macam punk dan skateboard (Sumber: Gatra online, Edisi 15 Agustus 2003). Tema ini sesuai dengan kondisi psikologis generasi muda yang sedang dalam masa pencarian jatidirinya yang penuh dengan semangat pemberontakan pada kultur atau norma yang ada dan berlaku umum di masyarakat. 82 Dendy mengakui dirinya juga melakukan pemberontakan dari sisi pengelolaan bisnis, misalnya dengan membuat produk dalam jumlah terbatas. Padahal sesuai dengan teori ekonomi, kalau barang laris, biasanya produksinya ditambah. Karena manajemen yang tidak lazim itu jugalah akhirnya menciptakan ekslusifitas dan kekhasan tersendiri pada produk-produk clothing company ’347’. Gambar 3.36. Clothing Company ’347’ menggunakan tema skateboard dan punk yang kemudian tumbuh menjadi sebuah konveksi besar di kota Bandung. Ekslusifitas selain terlihat dari produk, desain signboard dari Clothing Company 347 pun secara visual tampil sangat berbeda dengan signboard distro yang ada di kota Bandung. Kesan elegan dengan pictogram yang meembentuk seperti mangkuk berwarna putih, dengan latar belakang hijau (lihat Gambar), tidak banyak pesan yang dimunculkan sehingga terlihat begitu sederhana, tetapi sangat berkarakter. Sangat familiar dikalangan anak muda di Indonesia, khususnya di kota Bandung. Tidak juga menampilkan reference group punk atau skate board seperti konsep awal mereka, yang terlihat hanya sebuah pictogram dari gerai distro yang sudah mapan. 83 Gambar 3.37. Signboard clothing company ‘347’ Clothing company lainnya adalah ‘Monik’ yang berdiri sekitar tahun 1998, yang berkonsentrasi pada produksi tas. Tas yang diproduksi pada saat itu adalah tas yang dikhususkan untuk kaum perempuan dan cukup bertahan hingga pada pertengahan tahun 2001. Seiring dengan perkembangan dan banyaknya permintaan dari pasar maka pengembangan demi pengembanganpun dilakukan oleh jajaran manajemen clothing company ‘Monik’. Pada tahun 2001 dimulai pengembangan usaha ke berbagai jenis barang, dari mulai T-shirt, topi, sandal, sepatu, jaket, dan sweater dengan tidak menghilangkan pasar yang sudah ada yaitu tas. ‘Monik’ didirkan oleh Risma dan dibantu oleh beberapa teman. Tema yang diangkat oleh clothing company ‘Monik’ adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Girly. Keunggulan dari monik salah satunya selain berkonsentrasi terhadap model dan varian tas dari mulai eksperimen bahan serta tampilan visual juga keterbatasan barang yang disediakan oleh monik yang hanya memproduksi sekitar 60 - 75 barang untuk setiap modelnya yang disebarkan. Ini dimaksudkan untuk membangun nilai “sadar Estetika” yang dapat mengangkat identitas ‘Monik’ sebagai produk yang ekslusif. 84 Gambar 3.38. Clothing Company ‘Monik’ mengkhususkan segmentasi untuk kaum hawa Identitas clothing company ‘monik’ adalah berbentuk tas yang telah mengalami distorsi-distorsi dengan tidak menghilangkan kesan betuk tas. Tas bermakna sebuah tempat untuk menyimpan sesuatu dan juga tempat untuk mgumpulkan sesuatu, dalam kata lain tas adalah sebuah wadah atau tempat. Tas adalah bidang usaha yang pertama kali dilakukann oleh clothing company ‘monik’ dan juga menjadi bagian yang paling utama pada bidang usaha monik. Setiap warna merupakan pelambangan dari nilai emosi yang dibangun dan diaplikasikan pada setiap produk. Warna - warna ini juga yang mengartikan bahwa banyaknya varian produk yang ditampilkan dan yang paling dasar bahwa produk yang diciptakan oleh clothing company ‘monik’ merupakan tas yang flexsibel. 85 Gambar 3.39. produk-produk yang ditawarkan Clothing Company ‘Monik’ Clothing company lainnya adalah ’Ouval Reaserch’ yang sudah sangat terkenal dikalangan anak muda di Indonesia. Untuk saat ini dari sisi bisnis clothing company ’Ouval Reasearch’ adalah yang paling sukses dan dapat meraup keuntungan yang paling besar diantara clothing company lainnya di kota Bandung. Sama halnya dengan clothing company lainnya, pengembangan produk tidak ditujukan untuk komunitas atau kelompok tertentu, tetapi lebih kepada penguasaan pangsa pasar yang umum (trend market). Gambar 3. 40. Signboard dari Clothing Company ‘Ouval Reaserch’ 86 Di luar sisi bisnisnya penampilan identitasnya pada signboard, ’Ouval ’Reasearch memiliki kesamaan konsep dengan clothing company lainnya, terutama pada karakter identitasnya yang sederhana dan elegan. Tidak banyak pesan visual yang ditampilkan hanya bentuk bujursangkar berwarna merah dengan lingkaran putih ditengahnya. Bentuk lingkaran merupakan penggambaran dari huruf awal O yang juga menggambarkan bentuk ouval sebagai identitas. Kesamaan lainnya adalah sama-sama tidak memunculkan pesan dari kelompok reference group manapun. Tiga gerai clothing company tersebut hanyalah contoh dari beberapa gerai clothing company yang tumbuh pesat di kota Bandung sebagai sumber perekonomian baru yang dikelola oleh anak muda seperti diantaranya; ’Cosmic, Jejak Shop, Flushy, Airplane, Two Cloth, Black ID, Skaters’, dan lainnya. 87